Anda di halaman 1dari 21

Modul

ASKEP Klien HIV/AIDS

2.1 Konsep Dasar HIV dan AIDS


2.1.2 Pengertian
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit disebabkan oleh virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang ditandai
dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh..(Djauzi dan Djoerban, 2003).

2.1.3 Faktor Risiko Terinfeksi HIV


Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV sebagai berikut :
1) Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan kondom.
2) Hubungan seksual yang tidak aman : multipartner, pasangan seks individu yang
terinfeksi HIV, seks peranal.
3) Pengguna NAPZA intravena, terutama pada pemakaian jarum secara bersama
tanpa sterilisasi yang memadai.
4) Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
5) Riwayat menerima tranfusi darah berulang tanpa penapisan.
6) Riwayat perlukaan kulit: tato, tindik menggunakan alat tanpa sterilisasi.
(Nasronudin,2007)

2.1.4 Transmisi Infeksi HIV


HIV merupakan virus sitopatik dari famili retrovirus. Transmisi HIV masuk
kedalam tubuh manusia melalui 3 cara yaitu secara transeksual, secara vertikal, dan
secara horisontal.
1) Transmisi Secara Transeksual
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV. Virus ini
dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks. Transmisi infeksi
HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat
membran mukosa rektum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi. Pada
kontak seks pervaginal, kemungkinan transmisi HIV dari laki-laki ke perempuan
diperkirakan sekitar 20 kali lebih besar daripada perempuan ke laki-laki (Kelly
M,2003)
2) Transmisi Secara Vertikal
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan, dan setelah melahirkan melalui
pemberian Air Susu Ibu (ASI) (Kelly M,2003)
3) Transmisi Secara Horisontal
(1) Transmisi melalui Darah atau Produk Darah
HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan produk darah. Terutama pada
individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik secara
bersama tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang
menerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan
HIV. Transfusi darah lengkap (whole blood), sel darah merah (packed red
blood cell), trombosit, leukosit, dan plasma semuanya berpotensi menularkan
HIV (Kelly M,2003)
(2) Potensi transmisi melalui cairan tubuh lain.
Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang
yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat
menularkan infeksi HIV. Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor
terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh
lain misalnya air mata, keringat, dan urine dapat merupakan media transmisi
HIV. Namun, cairan tubuh tersebut tetap harus diperlakukan sesuai tindakan
pencegahan melalui kewaspadaan universal.
(3) Transmisi melalui petugas kesehatan dan petugas laboratorium
Meskipun risiko penularan kecil tetapi risiko tetap ada bagi kelompok
pekerjaan berisiko terpapar HIV seperti petugas kesehatan, petugas
laboratorium, dan orang yang bekerja dengan spesimen atau bahan yang
terinfeksi HIV. Risiko penularan HIV akibat paparan bahan yang tercemar
HIV ke membran mukosa atau kulit yang mengalami erosi adalah sekitar
0,09%. (Kelly M,2003)

2.1.5 Patofisiologi Infeksi HIV


HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara
vertikal, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding
pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi
sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah.
Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan
tanda infeksi virus akut seperti panas. tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi,
nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain. Keadaan ini disebut
sindrom retroviral akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan
HIV-RNA Viral load. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan
kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya
infeksi, viral-load secara perlahan cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan
diikuti penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan
laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk
bisa masuk ke sel target, gp!20 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor
CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit-makrofag, Langerhan's, sel
dendrit, astrosit, mikroglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine receptor yaitu CXCR4 dan CCR5, beberapa reseptor lain yang memiliki
peran adalah CCR2b dan CCR3. intensitas ikatan gp!20
HIV dengan reseptor CD4 ditentukan melalui peran regio V terutama V3.
Stabilitas dan potensi ikatan diperkuat oleh ko-reseptor CCR5 dan CXCR4. Semakin
kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi
lebih lanjut yaitu terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran
gp41 HIV Dengan terjadinya fusi kedua membran, seluruh isi sitoplasma HIV
termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke dalam sitoplasma sel target.
Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim
reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk mensintesis
DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribononuklea.se dan enzim reverse
transcriptase untuk mensintesis DNA lagi sehingga menjadi double strand DNA yang
disebut sebagai provirus. Provirus masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan
kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini
menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi.
Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten. Untuk
mengaktifkan provirus dari keadaan laten tersebut memerlukan proses aktivasi dari sel
host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain
maka sel akan memicu nuclear factor KB (NF-xB) sehingga menjadi aktif dan
berikatan pada 5' LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR
berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NFKB menginduksi
replikasi DNA. Induktor nulear factor KB (NF-icB) sehingga cepat memicu replikasi
HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu
infeksi . sekunder dan memengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, virus, jamur,
maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut yang paling besar
pengaruhnya terhadap percepatanreplikasi HIV adalah virus non-Hiy terutama adalah
virus DNA.
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNAyang secara struktur
berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA
mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan
RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini
membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh
enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi
oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru
yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel, akan
menginfeksi sel target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi
hingga mencapai 109-10n virus baru.
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan
jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut :
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat
adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak
berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV
dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus
dan sel yang terinfeksi virus. Namun respons ini bisa menyebabkan disfungsi
imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-
bystander}.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 di regio V3
dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan
pesan kematian sel melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70, sehingga fungsi
sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi
missfolding dan denaturasi protein, jejas dan kematian sel.

2.1.6 Perjalanan Penyakit dan gejala HIV dan AIDS


Periode masa jendela atau window perioded yaitu periode di mana
pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah
ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi terhadap HIV biasanya
muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela
sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan
potensial menularkan HIV kepada orang lain. (Nasronudin,2007)
Perjalanan infeksi HIV berdasarkan jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus, dan
gejala klinis melalui 3 fase yaitu : fase infeksi akut, fase infeksi latent, fase infeksi
kronis.
1) Fase Infeksi Akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan
virus baru atau virion jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari virion tersebut memicu
munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu,
selama 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam,
faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual,
muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Pada fase akut terjadi penurunan
limfosit T yang bermakna dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai
terjadi respons imun.
2) Fase Infeksi Laten
Pembentukan respons imun spesifik HIVmulai menurun, gejala hilang dan
mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga
sekitar 500 sampai 200 sel/mm3. Beberapa pasien terjadi sarkoma Kaposi's, Herpes
simpleks, sinusitis bakterial. Herpes zooster, dan pneumonia yang sering berlangsung
tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung rerata sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun)
setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan setelah terinfeksi HIV akan muncul
infeksi oportunistik.
3) Fase Infeksi Kronis
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi
virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi
kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun, sehingga virion secara berlebihan di
dalam sirkulasi sistemik. Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah
200 sel/mm3. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.
Infeksi sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan
Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat
kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus,
kandidiasis trakhea, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain
misalnya histoplamosis (WHO,2006)

Derajat Berat Infeksi HIV dan


Derajat berat infeksi HIV dapat ditentukan sesuai ketentuan WHO melalui
stadium klinis pada orang dewasa serta klasifikasi klinis dan CD4 dari CDC.
1) Stadium Klinis I
(1) Asimtomatis
(2) Limadenopati persistent generalisata
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala I: Asimtomatis, aktivitas normal
2) Stadium Klinis II
(1) Penurunan berat badan, tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya
(2) Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi
jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral berulang, cheilitis angularis)
(3) Herpes zoster, dalam 5 tahun terakhir
(4) Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (missal: sinusitis bakterial)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala II: simptomatis, aktivitas normal
3) Stadium Klinis III
(1) Penurunan berat badan, > 10%
(2) Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan
(3) Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > 1 bulan
(4) Kandidiasis oris
(5) Oral hairy leukoplakia
(6) TB Pulmoner, dalam satu tahun terakhir
(7) Infeksi bacterial berat (misal: pneumonia, piomiositis)
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur, <
50% per tori dalam bulan terakhir
4) Stadium klinis IV:
(1) HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC
(2) PCP
(3) Ensefalitis Toksoplasmosis
(4) Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan
(5) Cryptococcosis ekstrapulmoner
(6) Infeksi virus Sitomegalo
(7) Infeksi Herpes simpleks > 1 bulan
(8) Berbagai infeksi jamur berat (histoplasma, coccidioidomycosis)
(9) Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkus
(10) Mikobakteriosis atypical
(11) Salmonelosis non tifoid disertai setikemia
(12) TB, ekstrapulmoner
(13) Limfoma maligna
(14) Sarkoma Kaposi's
(15) Ensefalopati HIV
Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4:sangat lemah, selalu berada di
tempat tidur > 50% per hari dalam bulan terakhir

Kategori Klinis A
(1) Infeksi HIV asimtomatis
(2) Limfadenopati generalisata yang menetap
(3) Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi
HIV akut.
Kategori Klinis B
Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang
terinfeksi HIV yang tidaktermasuk dalam kategori C dan memenuhi paling
kurang satu dari keadaan:
(1) Angiomatosis
(2) Kandidiasis orofarengal
(3) Kandidiasis vulvovaginal
(4) Displasia servikal
(5) Demam 38,5 °C atau diare lebih dari 1 bulan
(6) Herpes zoster
(7) ITP
(8) Penyakit radang panggul
(9) Nuropati perifer.
Kategori Klinis C
(1) Kandidiasis pada bronkus, trachea dan paru
(2) Kandidiasis esofagus
(3) Kanker leher rahim
(4) Coccidioidoinycosis 3'ang menyebar atau di paru
(5) Kriptokokosis ekstrapulmoner
(6) Retinitis virus sitomegalo
(7) Ensefalopati HIV
(8) Herpes simpleks, ulkus kronis lebih 1 bulan
(9) Histoplamosis sistemik atau ekstrapulmoner
(10) Sarkoma Kaposi o
(11) Linifoma imunoblastik
(12) Limfoma primer di otak
(13) TB di berbagai tempat
(14) PCP
(15) Pneumonia berulang
(16) Septicemia Salmonela berulang
(17) Toksoplasmosis ensefalitis
(18) HIV wasting syndrome (penurunan berat badan lebih 10% disertai diare
kronis lebih 1 bulan atau demam lebih 1 bulan yang bukan disebabkan
penyakit lain).

Di Indonesia diagnosis HIV dan AIDS untuk keperluan survailens


epidemioligi bila seorang dianggap AIDS apabila menunjukkan test HIV positif,
dengan strategi pemeriksaan yang sesuai, dengan didapatkan sekurang-kurangnya 2
gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor, dan gejala ini bukan disebabkan oleh
keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
1) Gejala Mayor
(1) Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan
(2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
(3) Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan
(4) Penurunan Kesadaran dan gangguan neurologis
(5) Ensefalopati HIV
2) Gejala Minor
(1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
(2) Dermatitis generalisata
(3) Adanya Herpes Zoester multi segmental.
(4) Kandidiasis orofaringeal
(5) Herpes Simpleks kronis progresif
(6) Limfedenopati generalisata
(7) Infeksi Jamur berulang pada alat kelamin wanita
(8) Retinitis virus sitomegalo
Gejala pada bayi dan anak adalah berat badan lahir rendah, gagal tumbuh,
limfedenophati, hepatosplenomegali, sinusitis, ISPA berulang, parotitis, diare kronik
atau berulang, infeksi virus dan bakteri yang berulang, oropharingeal thrust,
thrombocytopenia, infeksi bakteri misalnya meningitis, pneumonia, infeksi kronik
50% dari anak yang terinfeksi HIV mengalami gangguan neurologik seperti
enchephalophaty, keterlambatan perkembangan atau kehilangan kemampuan motorik
(Depkes RI,2006)

2.1.7 Pemeriksaan penunjang


Untuk menegakkan diagnosa HIV positif dan AIDS tidak hanya melihat dari
manifestasi klinik tetapi perlu juga pemeriksaan laboratorium serologis ELISA dan
EIA. Indikasi dilakukan pemeriksaan anti HIV, jika ada perilaku risiko yaitu
hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkoba melalui suntikan intravena.
Pembacaan hasil test HIV sebagai berikut :
1) Hasil tes positif palsu
Informasi penting yang berhubungan dengan hasil test positif palsu yaitu
tidak adanya faktor risiko, CD4 normal.
Hasil test positif palsu dapat disebabkan oleh :
(1) Autoantibodi sebagai contoh pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif, terdapat
antibodi terhadap HIV kelas immunoglobulin G yang berasal dari darah ibu.
Immunoglobulin ini dapat bertahan selama 15 bulan. Karena itu bayi yang lahir
dari ibu HIV positif jika tes anti HIVnya positif belum tentu tertular. Tes harus
diulang pada usia 18 bulan . Penerima vaksin HIV. Pada penelitian didapatkan
orang yang divaksinasi HIV dapat menimbulkan tes HIV positif .
(2) Kesalahan teknik pemeriksaan.
2) Hasil tes negatif palsu
Hasil tes negatif palsu dapat disebabkan oleh :
(1) Orang yang tes dalam masa jendela atau window periode.
(2) Serokonversi, tubuh tak mampu membentuk antibodi pada AIDS lanjut.
(3) Agammaglobulinemia , strain tipe N atau O atau HIV-2
(4) Kesalahan teknik pemeriksaan. (WHO,2006)

2.1.8 Penatalaksanaan umum HIV dan AIDS


Penatalaksanaan umum pasien dengan HIV dan AIDS meliputi : terapi
antiretroviral, terapi infeksi oportunistik dan malignansi, dukungan nutrisi berbasis
makronutrien dan mikronutrien, konseling terhadap peasien maupun keluarga.
1) Terapi antiretroviral
Prinsip Terapi Antiretroviral (ARV) :
(1) Indikasi
ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat
serta memperkecil resistensi.
(2) Informasi
Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap
maksud dan tujuan terapi ARV; efek samping segera, lambat, atau tertunda;
resistensi obat; kontinuitas pengobatan; monitoring pemberian ARV secara
klinis, laboratoris (biokimiawi, CD4, beban virus), radiologis secara berkala.
(3) Motivasi
Perlu diingatkan, disadarkan, diposisikan secara wajar bahwa didalam tubuhnya
terdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian ARV. Penderita
memerlukan obat-obatan secara teratur, dosis tepat, kombinasi tepat untuk
keberhasilan suatu pengobatan. Kepada penderita perlu dijelaskan keterkaitan,
interaksi, resistensi antara ARV dan obat lain termasuk obat untuk infeksi
sekunder.
(4) Monitoring
Pemeriksaan laboratoris guna menentukan HIV-RNA virus dan hitung CD4
secara periodik dan teratur. Efek samping dan resisten ARV juga perlu dimonitor
secara cermat dan hati-hati. (WHO,2002)

2) Terapi infeksi sekunder atau infeksi oportunistik serta malignansi


Terapi infeksi oportunistik dan malignansi disesuaikan dengan jenis infeksi
sekunder dan malignansi yang ada.

2.1.9 Dukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien


Perubahan status nutrisi pada pasien HIV dan AIDS disebabkan oleh berbagai
faktor yaitu anoreksia, hiperkatabolik, infeksi kronis, demam, penurunan intake
nutrien, mual, muntah, diare, malabsorpsi, meningkatnya kebutuhan maupun
kehilangan nutrien, depresi, efek samping obat. (Nasronudin,2007)
Pada infeksi HIV banyak terbentuk reactive oxygen species (ROS) dapat
mencetuskan timbulnya krisis scavenger enzyme akibat defisit berbagai komponen
seperti Fe, Zn, Selenium, dan berbagai vitamin seperti vitamin C, vitamin B6, vitamin
E. Meningkatnya produksi ROS yang disertai menurunnya antioksidan akan
mendorong progresivitas infeksi HIV ke arah AIDS.
Malnutrisi akibat respons metabolik dan biokimiawi dalam tubuh mempunyai
kontribusi dalam mekanisme pertahanan, yang selanjutnya menentukan hasil setiap
episode infeksi. Respons metabolik dan biokimiawi tersebut terdiri atas
hipermetabolisme, proteolisis dan hilangnya nitrogen, serta peningkatan
glukogenolisis.
Penurunan antioksidan jaringan ternyata juga berdampak terjadinya respons
inflamatori sehingga terjadi gangguan produksi dan sekresi sitokin pro-inflamatori
seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α. sehingga terjadi replikasi HIV.
Proses tersebut dapat dihambat oleh pemberian antioksidan seperti vitamin E,
NAC, dan asam lipoic-α. Antioksidan dapat menghambat laju penurunan limfosit-T-
CD4+ dan dapat menurunkan viral load. Se merupakan parameter terpenting dari
albumin. Zn mengatur fungsi neutrofil, makrofag, sel NK, limfosit T dan B,
menghambat enzim reverse transcriptase HIV. Di otak, Zn berfungsi untuk
menghambat ROS dengan cara mengikat thiol dan mencegah proses oksidasinya.
Asam katekinat yang merupakan salah satu kandungan teh hijau dapat menghambat
interaksi gp120 HIV dengan reseptor CD-4 sel target. Komponen lain asam kafenat,
tanin, lektin dan asam katekinat diharapkan dapat menghambat replikasi HIV. (Oiwoz
E,2003)

2.1.9.1 Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh
aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
b) Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
c) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
d) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
a) Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
b) ·Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada:
pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang,
perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.
c) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
d) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
e) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai
dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:
a) Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres,
aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13%
untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
b) Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan
ginjal dan hati.
c) Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak,
digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama
minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
d) Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi
yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium,
Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa
suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan
tubuh.
e) Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
f) Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan
fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap
dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental
(thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
g) Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium, kalium dan klorida).
h) Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat
kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang
cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai
makanan utama atau makanan selingan.
i) Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
j) Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik,
maupun kimia.
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada
pasien dengan:
a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan
menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
e. Rute memberian makanan
Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral (sonde) dan parental (infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya
dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan
enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
f. Macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.
1) Diet AIDS I
Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas
tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa
cairan dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan
pasien, dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan
diberikan dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan
makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan
makanan enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup
energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy
dapat ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).
2) Diet AIDS II
Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi
kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.
3) Diet AIDS III
Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa,
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin
dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde
sebagai makanan tambahan atau makanan utama.

2.1.10 Konseling terhadap peasien maupun keluarga


Konseling ini akan membuat klien mampu menerima hasil pemeriksaan dan
status diagnosis HIVnya dan menyesuaikan diri dengan konsekuensi dan risiko untuk
membuat perubahan perilaku ke arah perilaku hidup sehat.
Konseling digunakan dalam: (1) menilai keadaan psikososial terkini, (2) menilai
pemahaman klien, (3) membacakan hasil, (4) mendukung dan menstabilkan emosi
klien, (5) manajemen pemecahan masalah.
Beberapa hal penting pada konseling pasca tes HIV: (1) interpretasi hasil tes,
(2) anjurkan pencegahan penularan,(3) sarankan untuk follow-up pasangan seksual
dan kontak jarum suntik,(4) jika hasil tes positif, anjurkan untuk menghindari
mendonorkan darah, sperma, atau organ dan jangan menggunakan pisau cukur, sikat
gigi dan barang lainnya yang mungkin mengandung darah secara bersama-sama.
(Depkes RI,2003)

2.1.11 H.Pencegahan

1. A (Abstinent): Puasa, jangan melakukan hubungan seksual yang tidak sah


2. B (Be Faithful) Setialah pada pasangan, melakukan hubungan seksual hanya
dengan pasangan yang sah
3. C (use Condom) Pergunakan kondom saat melakukan hubungan seksual bila
berisiko menularkan/tertular penyakit
4. D (Don’t use Drugs) Hindari penyalahgunaan narkoba
5. E (Education) Edukasi, sebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS dalam
setiap kesempatan
Tanggal No Problem Tujuan (NOC) Intervensi (NIC) Waktu Implementasi Evaluasi
21-6-10 1 Kerusakan Bebas dari plak, 1. Oral hygiene
membrane higiene oral managemen
mukosa oral optimal, berasa bila 2. Gunakan pengoksidasi
makan /minum mucus
3. Oleskan pelumas bibir
Terapi mikosis
2 Gangguan Gas darah normal, 1. Pantau saturasi O2
pertukaran gas tanda vital normal, dengan oksimetri
tidak gelisah 2. Pantau hasil gas darah
3. Identifikasi kebutuhan
insersi jalan nafas
4. Ajarkan batuk efektif
5. Managemen oksigen
3 Ketidak Penurunan Peningkatan koping
efaktifan perasaan negative,
koping mencari informasi,
individu perilaku penurunan
strees
4 Intoleransi Perawatan diri Energi management
aktifitas Bedrest
Form KP2
Flow Sheet
Nama Pasien :
No Reg :

No Masalah Tujuan Primary Prevention Secondary Prevention Tertiary Prevention


1 Kerusakan membrane Bebas dari plak, 4. Oral hygiene menggunakan Ajarkan cara oral Anjurkan keluarga
mukosa oral higiene oral optimal, PZ setiap habis makan hygiene menggunakan membantu oral higiene
berhubungan dengan berasa bila makan 5. Gunakan pengoksidasi PZ dan gargling
kandidiasis /minum mucus dengan gargling
2 Ketidak efaktifan Penurunan perasaan 1. Dorong untuk melakukan Partisipasi keluarga Keluarga
koping individu negative, mencari evaluasi diri tentang dalam penatalaksanaan mengembangkan koping
informasi, perilaku perilakunya stres konstruktif
penurunan strees 2. Bantu untuk pecahan
masalah yang konstruktif
3. Libatkan social worker
3 Hambatan interaksi Peningkatan kepuasan 1. Bantu identifikasi strees Anjurkan keluarga untuk
sosial bersosialisasi, 2. Bantu identifikasi membantu menurunkan
sosialisasi efektif alternative tindakan ketegangan
3. Terapi kelompok
4 Intoleransi aktifitas Peningkatan aktifitas 1. Pantau respon individu Anjurakan keluarga
perawatan diri terhadap aktifitas pada tanda membantu minimal
vital kebutuhan perawatan
2. Bantu merencanakan diri
aktifitas perawatan diri
5 Risiko infeksi Pencegahan infeksi 1. Bantu mengenali IO Anjurkan keluarga Keluarga
oportunistic 2. Diskusikan cara pencegahan membantu mengontrol mengembangkan
(pneumonia, TB paru) IO terapi obat pencegahan resiko infeksi
3. Terapi Flukonazol opportunistik
1x500mg
Levocloxacon 1x50gr
Albumin 400 cc/4jam
Ketokonazol 200g drip
Nursing act
Nama pasien :
No Reg:

Tanggal Masalah Waktu Implementasi Evaluasi Tanggal


22-6-10 Kerusakan 09.00 Mendiskusikan cara oral S: mengatakan makan sudah 23-6-10
membrane hygiene menggunakan PZ berasa ,nyeri berkurang
mukosa oral dan gargling O: makan 1 porsi habis,plak
12.00 Pasien dengan bantuan lidah putih , nyeri 2,
keluarga melakukan oral keluarga membantu oral
hygiene sesuai yang hygiene
diajarkan A: masalah teratasi sebagian
P: Primer prev diteruskan
Ketidak 09.30 Membantu melakukan S: mengatakan masih cemas 23-6-10
efaktifan evaluasi diri tentang O: ekspresi datar,
koping kecemasan : px persepsi menanyakan hasil
individu penyakitnya bertambah pemeriksaan sputum
parah dan biaya tidak A: masalah belum teratasi
cukup. Pemecahan : P: primer dan sekunder
bantuan keluarga dan prev diteruskan +
program libatkan social worker

Hambatan 10.00 Membantu evaluasi S: mengatakan AIDS 23-6-10


interaksi penyebab hambatan banyak yang mati
sosial interaksi : px karena O: ekspresi datar,
sakit AIDS menceritakan teman yang
meninggal mendadak
A: masalah baru : ketakutan
P: primer dan sekunder
prev diteruskan + kaji
spiritual

KEPUSTAKAAN
1. Abbas A, Lichtman A, Pober J. Cellular and Molecular Immunology.
Philadelphia : WB Saunders Co 1994; 418-25.
2. Stites D, Terr A, Parslow T. Medical Immunology. Ninth ed. London Prentice Hall
Int Inc 1997; 748-55.
3. Kuby J. Immunology. Second Ed. New York : Freeman and Co. 1996; 523-56.
4. Whittle H, Ariyoshi K, Rowland-Jones S. HIV-2 and T Cell Recognition. Current
Op in Immunol 1998; 10 : 383.
5. Wolther K, Schuitmaker H, Miedema F. Rapid CD4+ T-Cell Turnover HIV 1
Infection: Paradigm Revisited. J Immunol Today 1998; 19 : 44-7.
6. Benjamini E, Lekowitz S. Immunology : A Short Course. Second ed. New York:
Wiley and Sons 1991; 226-9.
7. Roit I, Brostoff J, Male D. Immunology, Fourth ed. London: Mosby 1996; 16.7-
16.8, 21.7.
8. Lane C. Immunophatogenesis of HIV Infection. Medscape HIV/AIDS. Annual
Update. Norhwestern Univ Med School 1999.
9. Siti Budina K. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed ketiga.
1996; 134.
10. O' Brien S, Dean M. In Search of AIDS-Resistance Genes. J Scient Am 1997; Sept
: 28-33. Cermin Dunia Kedokteran No. 130, 2001

Anda mungkin juga menyukai