Anda di halaman 1dari 35

PENDAHULUAN

Sistemik Lupus eritematosus (SLE) atau disebut juga lupus adalah


penyakit autoimun inflamasi yang bersifat kronik, sistemik, dan penyebabnya
tidak diketahui. Karakteristik

penyakit ini yaitu ditemukannya produksi

autoantibodi yang berlebihan dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi


tergantung target organ yang terkena, pada umumnya melibatkan kulit, sendi,
ginjal, dan sistem saraf pusat.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting. Sedangkan pada beberapa anak dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ lain.1 Mendiagnosa SLE pada anak
juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, banyak muncul gejala seperti demam,
nyeri sendi, artritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah dan kehilangan berat badan yang
nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan
laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis
dini sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah
daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus yang didiagnosis pada usia sebelum 16 tahun atau lupus pada anak
mencapai 10% sampai 20% dari seluruh kasus SLE, dengan usia saat diagnosis
paling sering yaitu 12 sampai 16 tahun. Insidens lupus pada anak adalah 0.36
sampai 0.9 per 100 000 anak per tahun dan prevalensi mencapai 3.3 sampai 24
per 100 000 anak.2 Seperti halnya pada dewasa, lupus pada anak juga predominan
pada perempuan, sekitar 80% penderita adalah perempuan.1
Lupus sering disebut sebagai the great imitator atau the great
mimicker karena gejala klinisnya yang mirip dengan banyak penyakit lain,
terutama jika ruam malar tidak ditemukan pada wajah. American College of
Rheumatology (ACR) telah menyimpulkan suatu kriteria diagnosis berdasarkan
pola gejala klinis yang sering muncul pada penderita lupus, diantaranya ruam
malar, demam, nyeri sendi, fotosensitifitas, dan lainnya.1
Penatalaksanaan lupus saat ini terdiri dari farmakologi dan non
farmakologi. Pengobatan farmakologi dengan obat anti-inflamasi non steroid
(OAINS), kortikosteroid, hidroksiklolorokuin, dan obat imunosupresif. Non
1

farmakologi berupa pemberian krim tabir surya, pakaian yang melindungi dari
paparan sinar matahari, dan fisioterapi. Meskipun prognosis dan kualitas hidup
penderita lupus telah jauh meningkat selama beberapa dekade terakhir, namun
masih ditemukan kasus refrakter dan masalah efek samping pengobatan seperti
glukokortikoid dan obat sitotoksik yang merupakan tantangan bagi klinisi.3
Dalam Tinjauan Pustaka ini akan dibahas mengenai SLE pada Anak mulai
dari definisi, etiologi, patogenesa, manifestasi klinis, bentuk-bentuk lupus, lupus
neonatus dan penatalaksanaannya serta aspek laboratorium dalam mendiagnosa
lupus pada anak.

SLE PADA ANAK

A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang
menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah Lupus Eritematosus
Sistemik dapat diartikan secara bahasa sebagai gigitan serigala, mungkin
istilah ini muncul dari adanya gejala klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE
yang perjalanan penyakitnya sudah lama dan belum mendapat terapi. Secara
istilah SLE dapat didefinisikan sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik,
multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear antibodi
(ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk double-stranded
DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan karena
sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit
seribu wajah (masquerader, The Great Imitators).1
B. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus
jarang pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.
Sekitar 5% kasus terjadi pada masa anak, khususnya pada saat pubertas. SLE
jarang ditemukan pada anak yang berusia kurang dari 9 tahun. Prevalensi SLE
pada populasi anak secara keseluruhan adalah 10 sampai 25 kasus per 100.000
anak. Dalam hal etnis, lupus sering muncul pada penduduk Afrika, penduduk asli
Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia.2
Dua puluh persen kasus SLE didiagnosis selama 2 dekade pertama
kehidupan. SLE pada anak biasanya terjadi pada wanita pasca-pubertas, dengan
usia rata-rata onset ~12 tahun. Sebelum pubertas, laki-laki: perempuan rasio 1: 3,
tapi setelah pubertas meningkatkan ke 1: 9. Etnis memainkan peran penting dalam
kejadian SLE. Insiden SLE sebelum usia 19 tahun adalah antara 6,0 dan 18,9
kasus per 100.000 pada anak perempuan kulit putih, tetapi lebih tinggi di Afrika
Amerika (20-30/ 100.000) dan anak perempuan dari Puerto Rico (16,0-36,7/
100.000).2 Selain itu, kejadian SLE lebih tinggi pada Hispanik, penduduk asli
Amerika, Kepulauan Pasifik, dan individu Asia dibandingkan pada individu kulit
putih. Dengan pengobatan yang lebih agresif, tingkat kelangsungan hidup 5-tahun
untuk SLE pada anak mendekati 100% dan tingkat kelangsungan hidup 10-tahun
adalah 86%.1
3

C. ETIOLOGI
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan kelainan multisistem yang
tidak diketahui etiologinya dan mempunyai ciri-ciri adanya produksi autoantibodi
pada sirkulasi dalam jumlah besar. Produksi antibodi ini dapat disebabkan karena
hilangnya kontrol limfosit T terhadap aktivitas limfosit B sehingga menyebabkan
hiperaktivitas limfosit B dan selanjutnya produksi antibodi dan autoantibodi
spesifik dan nonspesifik. Antibodi ini akan membentuk kompleks imun yang akan
terperangkap pada pembuluh darah mikro dan menyebabkan terjadinya inflamasi
dan iskemia.2
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah:
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
Diperkirakan SLE, layaknya penyakit autoimun lain, muncul pada seseorang
yang secara genetis rentan terpapar satu atau beberapa faktor pencetus yang ada di
lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang
diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul pada umumnya pada kulit
putih. B) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika. Antigen HLA
AII, B8 dan B35 masing-masing memiliki hubungan dengan SLE. Keluarga
maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang
berhubungan

dengan

disfungsi

atau

disregulasi

sistem

imun

(misal:

imunodefisiensi primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia,


RF, ANA dan penyakit autoimun lainnya.4
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan
-

pasca pubertas
Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE.
Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik.
Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah

jelek.
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah
stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan.

Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya
terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat-obat berikut: hydralazine
(digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk irama
jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (nidrazid,
laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicilamine (digunakan untuk
rheumatoid arthritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan
menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari
5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut
dihentikan.4
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena
ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel
miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap
dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.4
D. PATOGENESIS
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multiple organ. Kadangkadang yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada
nefritis lupus, tetapi lambat laun organ-organ lain menyusul. Gambaran klinis
yang ditemukan terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai
macam antigen jaringan. Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah
terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA tubuh sendiri berupa anti DNA double
stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded (ss-DNA).1
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T
yang bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan
autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa deposit dalam
jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi
inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut.5
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko
meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga
menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh
petanda penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q,
C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotif
HLA (-DR2 dan DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE
bersifat multiple, kompleks dan interaktif.3

Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan
menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel
B yang memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
Aktivasi sel B poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang
merangsang proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG
anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang disebabkan
oleh hipermutasai somatik selama aktivasi sel B poliklonal yang diinduksi oleh
faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.5
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi
antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi
autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi
jaringan idiotip-antiidiotip. Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada
bagian determinan antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang
respon pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respon tubuh terhadap
peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat spesifik
terhadap berbagai jenis struktur determinan antigen sesuai dengan jenis idiotip
yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai sifat
spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul
aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun
juga

disebabkan

oleh

pembersihan

yang

kurang

optimal

dari

sistem

retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem


retikuloendotelial dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi
dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi,
pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun
yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.5
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis
autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Diantara berbagai jenis autoantibodi
yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear
(autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam
nukleat). Umumnya titer anti-DNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit
lupus.3
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu
bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan

mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai
reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai
sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan
karena

dapat

berinteraksi

dengan

substansi

antikoagulasi,

diantaranya

antiprotrombinase (antibodi terhadap glikoprotein trombosit), sehingga dapat


terjadi trombositopenia dan trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear
telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.2
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun
bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat
ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari
seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus
ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.2
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan
pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus
renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh
kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya
produk aktivasi komplemen.2
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen
dengan afinitas tinggi, seperti ds-DNA). Komplemen C1q dapat terikat langsung
pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.3
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit
dan makrofag sehingga terjadi inflamasi seperti vaskulitis. Beberapa faktor
terlibat dalam deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen,
respon autoantibodi yang berlebihan dan penurunan pembersihan kompleks imun
karena inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR 1 pada permukaan sel.
Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di
daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan
membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks imun.3
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian
CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B.

Terdapat perubahan (shift) fenotif sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya
sitokin cenderung untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan
IL-6. Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang
terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam
pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada
SLE terjadi peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi
sel apoptosis akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah
mencegah ambilan sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada
sel T dan protein Fas pada CD8 + mengakibatkan peningkatan apoptosis dan
limfositopenia.5
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause,
diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun studi oleh Cooper dkk
menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat
mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan
resiko terbesar untuk mendapat LES.3
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon
estrogen merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga
mempunyai kadar hormon FSH (Follicle stimulating hormone), LH (Luteinizing
hormone) dan prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga
terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga
meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan
hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan
betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian
penderita jantan.3
Fakta bahwa sebagian besar kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor
predisposisi genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan
faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun
spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun.3
Gambar 1. Mekanisme patogenesis penyakit lupus5

Proses terjadinya lupus merupakan suatu proses imunologis yang


kompleks disebabkan disregulasi sel limfosit T dan B, produksi auto-antibodi, dan
pembentukan kompleks imun. Penyebab pasti terganggunya fungsi imun pada
lupus masih belum diketahui, diduga faktor genetik dan lingkungan paling
berperan. Beberapa studi menemukan kelainan genetik pada penderita lupus, juga
ditemukan insidens lupus pada keluarga kembar homozigot. 5 Karakteristik
penyakit lupus adalah adanya produksi autoantibodi dan aktifasi poliklonal dari
limfosit B yang menyebabkan peningkatan kadar imunoglobulin, sehingga kadar
autoantibodi juga semakin bertambah.6 Lupus merupakan jenis gangguan sistem
imun yang termasuk reaksi hipersensitifitas tipe 3, dimana antibodi akan berikatan
dengan antigen yang beredar dalam sirkulasi, membentuk kompleks antigenantibodi, dan mengendap pada jaringan, pembuluh darah, dan menimbulkan
inflamasi seperti vaskulitis, nefritis, dan arthritis, sehingga muncul gejala klinis

sesuai organ yang terkena. Deposit kompleks imun tersebut menyebabkan


inflamasi dengan cara menarik dan mengaktifkan leukosit.7
E. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan SLE dapat bermanifestasi tiba-tiba sebagai penyakit yang
berat atau muncul secara diam-diam. Gejala nonspesifik cukup sering ditemui dan
dapat bermanifestasi cukup nyata berupa rasa capai dan lemas yang nyata, demam
tidak tinggi dan penurunan berat badan. Penyakit kulit dapat merupakan temuan
yang utama, yang terjadi sampai pada 95% anak. Ruam eritema yang meninggi
pada pipi, yang disebut butterfly rash, sering ditemui. Raum ini juga dapat terjadi
menyeberangi jembatan hidung, pada dahi dan dagu.4
Tabel 1. kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik4
Tanda Fisis
Malar butterfly rash
Lupus diskoid
Fotosensitifitas
Ulserasi oral dan nasofaringeal
Artritis nonerosif (>2 sendi dengan efusi dan nyeri)
Pleuritis atau perikarditis (serositis)
Kejang atau psikosis tanpa adanya metabolik toksin atau obat
Data Laboratorium
Penyakit ginjal (nefritis)
Proteinuria (>500 mg/24 jam) atau
Silinder sel (SDM, granular atau tubular)
Penyakit hematologik
Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau
Leukopenia (< 4000 pada dua kali pemeriksaan) atau
Limfopenia (< 1500 pada dua kali pemeriksaan) atau
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Data Serologi
Anti dsDNA positif atau
Anti Sm positif atau
Bukti adanya antibodi antifosfolipid
Antibodi antikardiolipin IgG atau IgM atau
Antikoagulan lupus atau
VDRL positif palsu selama >6 bulan
ANA positif tanpa adanya obat yang diketahui menginduksi lupus
* ini merupakan kriteria diagnostik SLE yang direvisi tahun 1997. Pasien harus memenuhi
empat dari 11 kriteria untuk menegakkan diagnosis SLE.
Tabel 2: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal yang paling sering
ditemukan)4

10

Sistemik

Kulit

Muskuloskeletal

Sistem Pencernaan

Kardiovaskuler

Sistem Pernafasan

Sistem Persarafan

Sistem Penglihatan
Ginjal

Demam
Malaise
Penurunan berat badan
Lelah
Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas
Alopesia
Lesi diskoid
Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis
Arthritis/ arthralgia non erosif
Tenosinovitis
Miopati
Nekrosis avaskular
Ulserasi oral dan nasal
Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut
difus
Dismotilitas esofagus
Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy/ sindrom malabsorbsi
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi vaskular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Pleuritis, efusi pleura
Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)
Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks
Migrain
Depresi/ cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Retinopati, cotton wool spot
Papiloedema
Glomerulonefritis
11

Hematologi
Endokrin

Hipertensi
Gagal ginjal
Anemia hemolitik dengan Coombs positif
Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid
Hipo/ hipertiroidism

Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan artritis.
Ruam malar yang khas atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul
akibat

adanya

sensitifitas

yang

berlebihan

terhadap

cahaya

matahari

(photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress
emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada
lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak
tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut
dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat
berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari
tangan atau kaki.4

Gambar
2:
Butterfly rash (ruam
kupu-kupu/
malar rash) pada
anak dengan lupus4
Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat
menyebabkan jaringan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlihat. Ruam
kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Baisanya
berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit
dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen.
5-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE.7

12

Gambar 3: Ruam pada lupus diskoid7


Manifestasi

klinis

lain

adalah

ptekie

dan

perdarahan

karena

trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan
biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenia Purpura (ITP).
Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala
berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum
ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik.
Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaund
sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan
krioglobulin.4
Keterlibatan ginjal merupakan salah satu manifestasi LES yang paling
serius dan sering ditemukan pada SLE anak, terjadi pada 50-70% anak. Penyakit
ginjal dapat bervariasi dari proteinuria dan hematuria mikroskopik, sindrom
nefrotik dan gagal ginjal. Hipertensi dengan adanya edema menunjukkan penyakit
ginjal lupus.7
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan
sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak
didiagnosis dengan suspect infeksi sebelum akhirnya diagnosis lupus
ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari
seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya
dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan
seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal:
Crohn disease, atau vaskulitis sistemik).2 Diagnosis lupus sering hampir dapat
dipastikan pada keadaan lupus yang berat. Pada kasus yang lebih ringan,
seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis. American College of
Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.2
F. BENTUK-BENTUK LUPUS

13

1. Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan
ginjal pada suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus
dilakukan

pemeriksaan

biopsi

ginjal

dan

diperiksa

dengan

mikroskop

imunoflouresensi akan ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun


pada pemeriksaan urinalisanya belum ada kelainan (silent NL).8
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan
patologi anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim
ginjal, yaitu glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan
pada urinalisis, atau hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran
klinis yang berat yaitu sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai
penurunan fungsi ginjal yang progresif, atau hipertensi yang dapat disertai
ensefalopati hipertensif.1
Diagnosis:
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya
SLE pada pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah
direvisi pada tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas. Diagnosis
ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan laboratorium
pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+), peninggian
LED, penurunan kadar komplemen C3, C4 dan komplemen total (CH50),
peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA doublestranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria,
proteinuria dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah dan sel
darah putih. Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan
dapat mencapai kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu > 40 mg/jam/m2.
Pemeriksaan darah tepi juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau
leukopenia dengan atau tanpa trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu
diperiksa uji coombs untuk melihat adanya anemia hemolitik autoimun. NL
dengan anemia dilaporkan mempunyai prognosis yang kurang baik dan umumnya
progresif. Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan
serologi terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan

14

laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus
eritematosus sistemik pada umumnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL/SLE1
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
- darah ureum dan kreatinin
- klirens ureum dan kreatinin
5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
6. Pemeriksaan Khusus
- sel LE
- komplemen darah (C3, C4, CH50)
- C-reaktif protein (CRP)
- Antibodi anti ds-DNA
- Uji coombs
- Uji serologi sifilis
- Serum imunoglobulin, terutama IgG
- Krioglobulin
7. Biopsi ginjal
Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm dan anti kardiolipin
(anti fosfolipid)
Gambaran Patologi Anatomi (PA)
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO
Tabel 4. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1
Tipe 1 Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan deposit pada
pemeriksaan mikroskop imun
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
a. Pelebaran daerah mesangium dengan/ tanpa hiperseluler ringan
b. Hiperseluler sedang
Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental
a. Dengan lesi nekrosis aktif
b. Dengan lesi sklerosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrosis aktif
15

c. Dengan lesi sklerosis aktif


d. Dengan lesi sklerosis
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
a. Murni
b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)
Tipe VI Glomerulonefritis sklerosis kronik
Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain
pada pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaitu
hipertensi, peningkatan kadar ureum/ kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi
ginjal diperlukan untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi
pasien NL, 3. Menetapkan jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai
keberhasilan pengobatan (dengan biopsi ulang).

Tipe 1 Glomerulus normal


Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan
sel mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan
pemeriksaan imunoflouresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4,
C1q, kadar IgA dan IgM di mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat
ditemukan deposit elektron dense di mesangium. Gambaran ini ditemukan pada
6% NL.
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan
sel mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imunoflouresensi
dan elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada
20% NL.
Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial
dan endotel yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat
(fokal) dapat terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil dan penebalan
membran basal. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imunoflouresensi
16

ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, C1q, kadang-kadang IgM dan IgA di
daerah mesangial dan beberapa dinding kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop
elektron, terlihat deposit electron dense pada daerah mesangial dan di beberapa
tempat subendotel dan subepitel. Tipe III ditemukan pada 23% NL.
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus
mesangial dan sel endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai
proliferasi sel epitel glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat
mencapai lebih dari 50%. Juga dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi
sel neutrofil di glomerulus. Membran basal glomerulus menebal dan menunjukkan
gambaran lesi wire loop eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel
yang besar dan difus. Kadang-kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan
trombosis

pada

kapiler

glomerulus.

Pada

pemeriksaan

mikroskop

imunoflouresensi akan terlihat gambaran deposit granular di mesangium dan


sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, C1q, kadang-kadang IgA dan
IgM. Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan
daerah subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada
nefropati membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan
penebalan membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir
(spike). Pada pemeriksaan imunoflouresensi ditemukan deposit granular IgG, C3,
C4, C1q. Disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop
elektron, ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus
dan kadang-kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada
kurang dari 10%.
Tipe VI Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL
yang bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan

17

matriks mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular dan


fibrosis intersisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus
lainnya antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan
morfologi glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya.
Perubahan dari bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV bila tidak diobati,
sedangkan dengan terapi tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II
mesangial atau tipe V membranosa yang lebih ringan.
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE
karena dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakit reumatoid lain dan
membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit
granuler pada pertemuan daerah dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan
teknik imunoflouresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA. Ada
laporan terdapat korelasi antara beratnya gambaran histologi ginjal dan gambaran
deposit di kulit, tetapi ini belum dapat dikonfirmasi peneliti lain.
Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis
Pada umumnya, terdapat korelasi yang kuat antara gambaran PA dan
klinis. Pasien dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangial (tipe
II) menunjukkan presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau
minimal dan fungsi ginjal yang normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV)
biasanya menunjukkan gambaran PA glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik
dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe IV ini disertai kresen yang > 50%
akan disertai gagal ginjal progresif (glomerulonefritis progresif cepat). Pasien
dengan gambaran PA tipe V GN membranosa menunjukkan gambaran klinis
sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal
yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis merupakan
stadium lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.
2. Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.
Lesi kulit diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang timbul dengan
adherent keratotic scalling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi

18

parut atrofi dan banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari,
sebagaimana halnya pada pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan
timbulnya jaringan parut dan dapat kambuh kembali jika pasien terpapar sinar
ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan menjadi SLE dalam waktu 5 tahun.
Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan lupus diskoid dapat
berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid pad anak
yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuklear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk
memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE.8
3. Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20-30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan
dapat melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti
manifestasi penyakit lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama
penyakit pada 75-85% pasien yang akan berkembang menjadi penyakit SSP.
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Gejala neuropsikiatrik ada pada 33-60% pasien SLE dewasa dengan kelainan SSP.
Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria dan resiko tertinggi ada
pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk
menyingkirkan gangguan psikososial reaktif, infeksi dan metabolik. Disarankan
untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.
Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak
dan dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi
kognitif. Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin
berhubungan dengan adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering
menjadi gejala dari SLE namun penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah
banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan bukan berasal dari kelainan
intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena serebralis dan hipertensi
intrakranial. Trombosis vena serebralis biasanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis rudah diduga, konfirmasi dengan CTScan perlu dilakukan.8
4. Arthritis Lupus
19

Arthritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan
nyeri tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali
muncul poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis
biasanya lebih mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain
pada SLE. Tidak seperti reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan
nyeri yang dirasakan pasien tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang
terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi pada sendi yang terkena, menunjukkan
osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan RA sendi
poliartikular beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES.3
5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi
pleura pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri
pleura adalah nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas
dalam dan perubahan tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai
perikarditis, dibuktikan dengan EKG atau terdengan pericardial friction rub atau
terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik.
6. Fenomena Raynaund
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal.8
7. Gangguan darah
Terdapat salah satu daintara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik
dengan retikulositosis, 2) Leukopenia <4000/mm3 pada 1 pemeriksaan, 3)
Limfopenia < 1500/mm3 pada 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia <
100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat.8
G. LUPUS NEONATUS
Lupus neonatus merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin
pada ibu dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam,
trombositopenia atau blokade jantung kongenital, kelaianan hepar dan berbagai
manifestasi sistemik lainnya. Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh
faktor-faktor maternal pada janin, tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus. The research registry for neonatal
lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut:
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/ Ro atau 48 kD SSB/ La pada serum ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi jantung/
blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20.000 kelahiran hidup (0,005%),
20

tergantung dari adanya anti SSA/ Ro atau anti SSA/ La. Apabila antibodi tersebut
ditemukan pada penderita LES maka resiko bayi mengalami blok jantung
kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut
tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan
wanita.10
Patogenesa blok jantung kongenital neonatus pada penderita dengan anti
SSA/ Ro dan anti SSB/ La positif belum jelas diketahui. Mekanisme yang
dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi
pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan
sistem konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka kelainan
yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk
menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti seperti pemberian
kortikosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah gagal mencegah
kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi
ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.10

Gambar

4.

Rash

pada neonatal lupus10


H. PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
SLE
PADA ANAK
Pemeriksaan laboratorium memiliki 2 peran penting yaitu untuk
menegakkan diagnosa dan menilai aktiviats penyakit. Meskipun nonspesifik,
antibodi antinuklear yang positif ditemukan pada lebih dari 97% pasien dengan
SLE, biasanya dengan titer yang tinggi. Karena sensitivitasnya yang tinggi,
antibodi antinuklear yang negatif mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi
untuk SLE. Adanya antibodi terhadap double stranded DNA harus dipikirkan
kemungkinan SLE karena antibodi ini ditemukan pada sebagian besar pasien SLE
dan ditemukan hampir eksklusif untuk penyakit ini. Titer antibodi anti double
stranded DNA dapat diukur dan bervariasi berdasarkan aktivitas penyakit.
Antibodi terhadap Sm (Smith) spesifik untuk SLE dan ditemukan hanya lebih

21

kurang pada 30% pasien dengan SLE, sehingga membatasi kegunaannya secara
klinis. Antibodi terhadap Ro (SSA) dan La (SSB) juga dapat ditemukan pada
pasien SLE, namun antibodi ini juga terdapat pada pasien dengan sindrom
Sjogren. Demikian juga, pasien dengan SLE dapat mempunyai antibodi terhadap
fosfolipid, yang juga dapat dijumpai pada penyakit reumatologi lain dan pada
sindrom antifosfolipid primer.9
Antibodi-antibodi dapat meningkatkan resiko trombosis arteri dan vena
dan dapat dideteksi dengan adanya antibodi antikardiolipin, hasil Veneral Disease
Research Laboratory (VDRL) positif palsu, atau activated partial thromboplastin
time yang memanjang.5
Kelainan hematologik juga ditemukan pada pasien dengan SLE.
Leukopenia terutama bermanifestasi sebagai limfopenia, cukup sering dijumpai.
Trombositopenia dan anemia karena penyakit kronik dapat dijumpai. Kadangkadang, pasien dengan SLE mengalami anemia hemolitik autoimun Coombs
positif. Produksi antibodi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hipergamopati
poliklonal dengan peningkatan fraksi globulin pada serum. Antibodi bersirkulasi
dan kompleks imun dalam jumlah besar juga dapat menyebabkan konsumsi
protein komplemen, dengan kadar CD dan C4 rendah, dan penurunan fungsi
ko,plemen yang diukur dengan CH50. Terapi yang efektif dapat mengembalikan
kadar komplemen yang rendah menjadi normal. Hal ini adalah salah satu cara
untuk memantau terapi, kecuali pada pasien yang mengalami defisiensi komponen
komplemen familial, yang memang juga mempunayi predisposisi menjadi SLE. 5
Urinalisis dapat menunjukkan hematuria dan proteinuria, yang
mengidentifikasi pasien dengan lupus nefritis. Kadar ureum dan kreatinin serum
dapat mengevaluasi fungsi ginjal. Hipoalbuminemia dan hipoproteinemia dapat
ditemukan. Peningkatan enzim otot dapat menjadi petunjuk adanya miositis.
Peningkatan protein cairan serrebrospinalis dan peningkatan rasio IgG terhadap
albumin apabila dibandingkan pada cairan serebrospinalis dengan serum (IgG
indeks) dapat menunjukkan produksi antibodi dalam cairan serebrospinalis dan
membantu mendiagnosis SLE yang mengenai susunan saraf pusat (SSP). SLE
SSP mempunyai pola spesifik pada gadolinium-enhanced magnetic resonance
imaging.9
I. DIAGNOSIS BANDING

22

Karena SLE merupakan penyakit multisitem, diagnosis pada perjalanan


penyakit yang masih awal mungkin sulit dilakukan. Kecurigaan tinggi harus
dimiliki pada pasien yang menunjukkan gejala yang luas, terutama pada remaja
perempuan. Banyak manifestasi klinis SLE juga ditemukan pada penyakit
inflamasi lain dan selama infeksi akut dan kronik.7
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit lupus membutuhkan pendekatan multidisipliner,
idealnya melibatkan ahli reumatologi, kesehatan remaja, ahli nefrologi, psikiater,
psikolog, dan terapi okupasional. Pengobatan farmakologi biasanya agresif dan
disesuaikan tingkat keparahan penyakit. Kortikosteroid oral maupun injeksi tetap
merupakan tulang punggung utama pengobatan lupus dan paling efektif untuk
mengontrol gejala penyakit. Mekanisme kerja kortikosteroid adalah meniru efek
steroid endogen yaitu glukokortikoid yang mempunyai efek anti inflamasi, yang
diperoleh dengan cara menghambat produksi sitokin dan molekul adhesi sel,
sehingga mengurangi akumulasi sel neutrofil pada daerah inflamasi, mengurangi
migrasi makrofag, dan mengurangi proliferasi sel T. Kortikosteroid

juga

menghambat produksi antibodi.7


Jenis kortikosteroid yang digunakan adalah hidrokortison, kortison,
prednison, dan prednisolon. Untuk pemberian secara oral, dapat digunakan
prednison atau prednisolon sekali sehari atau dibagi dua dosis. Pemberian terapi
metilprednisolon pulse intravena biasanya dilakukan pada kasus berat misalnya
refrakter dengan steorid oral dosis tinggi, nefritis lupus, neuropsikiatrik,
trombositopenia dan anemia hemolitik berat yang refrakter, dan vaskulitis berat.
Pada kasus ini diberikan metilprednisolon intravena sesuai dengan gejala klinis
yang tergolong berat yaitu adanya gejala susunan syaraf pusat (SSP) dengan dosis
30 mg/kg/kali (maksimal 1 gram/hari) selama 3 hari berturut-turut, dilanjutkan
dengan pemberian metilprednisolon oral setiap hari.4
Setelah aktifitas penyakit dianggap sudah terkontrol secara klinis dan
serologis, baik dengan kortikosteroid saja atau kombinasi dengan obat lainnya,
pengurangan dosis harus dilakukan hingga dosis terendah yang memungkinkan.
Biasanya pengurangan tidak boleh melebihi 25% dosis. Tujuan akhir adalah untuk
menghentikan sama sekali steroid, yang harus dilakukan secara bertahap. Efek
samping steroid telah diketahui sangat banyak dan bergantung dosis dan lamanya

23

terapi, dapat bersifat akut seperti retensi cairan, pandangan kabur, perubahan
mood, insomnia, penambahan berat badan, dan imunosupresi. Efek jangka
panjang berupa hiperglikemia, hipertensi, osteoporosis, kelemahan otot, jerawat,
dispepsia, Cushing syndrome, supresi adrenal, dan dislipidemia.7
Anti inflamasi non steroid (OAINS) diberikan untuk mengatasi gejala
muskuloskeletal, juga dapat digunakan untuk serositis. Jenis yang sering
digunakan

adalah

golongan

salisilat

dan

ibuprofen.

Penggunaan

obat

imunosupresif seperti siklofosfamid ditujukan untuk LES yang berat seperti lupus
nefritis dan gejala neuropsikiatrik. Pemberian secara intravena dengan dosis awal
500 sampai 1000 mg/m2 tiap bulan diberikan selama enam bulan. Kombinasi
siklofosfamid dengan prednison oral efektif dalam mencegah

penyakit

berkembang dan menjaga fungsi ginjal.4 Respon terapi dengan menggunakan


indeks aktifitas penyakit, yang sering digunakan adalah LES diseasse activity
index (SLEDAI). Penilaian aktifitas penyakit ini perlu untuk menyesuaikan dosis
dan lamanya terapi kortikosteroid dan tappering.7
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade
terakhir ini telah mengalami benyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan
karena penggunaan obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan
cepat menghilang pada pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala
ekstra renal ringan, tidak diperlukan terapi kortikosteroid, cukup diberi obat
salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau obat anti inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa
dipantau dari pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan
dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.9
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan
relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan
anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi
dan konseling memerluka tim ahli yang berpengalaman dalam menangani
penyakit multisistem pada anak dan remaja, dan harus meliputi ahlireumatologi
anak, perawat, petugas sosial dan psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada
awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.

24

Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis juga diperlukan.


Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.3
1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE.
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap
yang terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan
pada anak, bahwa efek samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk
daripada penyakitnya itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak
mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 7 Karena efek sampingnya yang banyak,
dosisnya harus dikurangi segera setelah muncul perbaikan secara klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit anak biasanya diberikan
jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan
namun tetap dilanjutkan.7 Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi,
yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg/hari) dan diturunkan
secara bertahap; bila terdapat perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal,
normalisasi komplemen darah, dan penurunan titer anti dsDNA. Penurunan dosis
berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis prednison diturunkan secara sampai 5-10
mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak
terjadi relap, pemberian steroid diubah menjadi selang sehari dan diberikan pada
pagi hari. Bila timbul relaps dosis dinaikkan lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang peling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan
dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium
bisa mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi
pada anak SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program
exercise yang lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada
pertumbuhan bisa dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin
seperti tiroiditis dan defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis
avaskuler bisa terjadi pada 10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis
tinggi dan jangka panjang.8 Pada beberapa anak, pola tidur dapat terganggu karena
pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit
memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kortikosteroid malam
25

hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi
mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk
memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat
disesuikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5: Efek samping Kortikosteroid7
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face
bila perlu
Acne
Krim anti acne topikal
Gangguan mood
Diskusikan dengan anak dan anggota keluarga
yang lain bahwa terkadang perubahan mood ini
sulit untuk dikontrol.
Pertumbuhan lebih lambat
Beri pengertian tentang keharusan anak
mengejar ketinggalan dan pertumbuhannya
Osteopenia
Suplemen kalsium dan vitamin D
Avaskular nekrosis (AVN)
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan pad
dokter ahli ortopaedi
Mudah terkena infeksi
Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak
tidak sedang menderita cacar
Tekanan darah meninggi
Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Katarak
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan pada dokter spesialis mata
Peningkatan resiko atherosklerosis
Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid
maupun hidroklorokuin
2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada
lupus derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang
berat. Ada beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat
menurunkan resiko kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek
pada lipid plasma dan dapat menurunkan resiko komplikasi kardiovaskular.
Pemakaian jangka panjang hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun
resiko ini dapat diminimalisasi dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6
mg/kgBB/hari.7
3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai
profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan
antibodi antifosfolipid yang tinggi dan atau anak dengan lupus antikoagulan. Anti
inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
26

muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan
terapi kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati
serositis.7
4. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam
kombinasi dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah
siklofosfamid dan azatioprin. Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk
mengontrol penyakit
-

Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya


hipertensi

- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi


kortikosteroid dan sitostatik
Biasanya obat sitostatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitostatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse
terapi yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1
jam. Pada hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegak
timbulnya komplikasi sistemik hemoragik. Lehman dkk melaporkam hasil baik
dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan
hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah
500 mg/m2. Bila jumlah lekosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila
<1000/m2 dosis diturunkan 125mg/m2.
5. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada
manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tinggi dan
siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.7
6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi
standar untuk idiopatik trombositopenia, spenektomi biasanya menjadi efektif.
Namun hal ini meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman
salmonella dan pneumokokus.7
7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca

27

Transplantasi sumsum tulang atau sel punca secara autologous atau


alogenik lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini
merupakan pilihan terakhir.2
K. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus
diperhatikan diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan
laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4,
anti-dsDNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin dan urinalisis.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai
terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol. Ada
beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya adalah
SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), The
European Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus
Activity Measure (SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG).
Skor-skor ini sensitif pada perubahan perjalanan penyakit.8
1. Proteksi Terhadap Matahari
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet
(terutama UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus
dan juga gejala sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. Bisa juga menyebabkan
serangan pertama. Jadi untuk menghindari pajanan yang terus-menerus dengan
sinar UV, setiap pasien atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir
surya. Pasien yang menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF15 atau yang
lebih besar) memiliki resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis,
trombositopenia dan membutuhkan lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak
dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya setiap hari pada
seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada
siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV.
2. Imunisasi

28

Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus.
Pada anak-anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan
namun tidak boleh yang mengandung vaksin hidup.
-

Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah
terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup sehingga

harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.


Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE
ditegakkan dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi

pada anak dengan SLE.


Vaksin influenza. Anak SLE yang diimunisasi dengan vaksin influenza
memiliki respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari

anak yang normal.


Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap

anak dengan SLE.


3. Diet dan Olahraga
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada
diet khusus pada pasien SLE. Namun karena adanya kenaikan berat badab akibat
penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau
makanan mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari
kenaikan berat badan berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivatas normal.
Olahraga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan
normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan
dengan kekambuhan.
L. KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang mencakup nekrosis avaskular sekunder akibat
penggunaan kortikosteroid, infeksi dan infark miokard. Pasien dewasa dengan
SLE mengalami atherosklerosis yang lebih dini, bukan hanya karena penggunaan
kortikosteroid jangka panjang namun juga karena penyakit yang mendasarinya.
Semua pasien SLE harus mendapatkan konseling tentang berat badan dan
mempertahankan gaya hidup yang aktif untuk menurunkan faktor resiko jantung
lainnya.9
M. PROGNOSIS

29

Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan


diselingi oleh remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut sibley,
bangkitan diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan
baru yang memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan
bentuk klinis yang kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan
kulit. Bebrapa faktor telah dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus
diluar masa evolusi spontan, yaitu pajana sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis
obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk siklus aromatik
(penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, antikonvulsan dan
kehamilan. Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah
bervariasi dari bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi
viseral. Sebaliknya, bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh
dibawah pengobatan.8
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti
hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantung, aksiden
vaskular serebral iskemik) akibat kemoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati)
akibat pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat
penyakit lupus. Frekunsi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup
(survival) penderita lupus lebih panjang. Infeksi dan sepsis merupakan penyebab
kematian utama pada lupus, bukan hanya akibat kortikoterapi tetapi juga karena
defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu sendiri. Pengurangan resiko infeksi
hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap semua sumber infeksi serta
deteksi dini terhadap infeksi.7
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak
terkontrol, dan satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.

30

Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar
88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ secara jangka
panjang dan menetap.
Penyakit lupus merupakan penyakit yang bersifat kronik dengan periode
eksaserbasi dan remisi yang bergantian terjadi seumur hidup penderita. Oleh
karena mayoritas penderita adalah remaja perempuan seperti dalam kasus ini,
manajemen tidak hanya ditujukan untuk mengontrol gejala, tetapi juga faktorfaktor lain seperti psikologis, fungsi reproduksi, efek samping obat, dan luaran
jangka panjang pasien lupus serta kualitas hidupnya. Prognosis berbagai bentuk
penyakit lupus telah membaik dengan angka survival 10 tahun sebesar 90%.
Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, misalnya karena gagal
ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, atau akibat efek samping
pengobatan, misalnya akibat kortikoterapi yaitu infark miokard, gagal jantung,
trauma vaskular serebral iskemik, atau neoplasma akibat pemakaian obat
imunosupresan. Infeksi dan sepsis juga merupakan penyebab kematian utama
pada lupus, bukan hanya akibat pemakaian kortikosteroid tetapi juga defisiensi
imun akibat penyakit lupus itu sendiri.4
Lupus dengan onset remaja mempunyai prognosis yang lebih buruk
dibandingkan onset dewasa, lebih sering mengalami lupus nefritis dan tingkat
mortalitas juga meningkat.9 Pada kehamilan wanita dengan lupus juga lebih sering
mengalami komplikasi seperti preeklampsia, perdarahan post partum, risiko
operasi sectio cesarean, juga komplikasi pada bayi seperti berat badan lahir
rendah, prematuritas, sindrom gawat nafas, congenital heart block.10
RANGKUMAN
Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu penyakit autoimun yang
dicirikan oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu
antibodi terhadap double stranded DNA. SLE delapan kali lebih banyak pada
wanita daripada pria. Penyebab SLE tidak diketahui, namun keturunan, virus,
sinar ultraviolet dan obat-obatan, semuanya dapat berperan. Lebih dari 10%
pasien dengan lupus yang terbatas pada kulit akan menjadi SLE. Sebelas kriteria

31

dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Pengobatan SLE secara langsung


mengurangi peradangan dan/atau tingkat aktivitas autoimun.
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari
paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba
serta memonitor kondisinya pada dokter.7

DAFTAR PUSTAKA

1. Levy DM, Kamphuis S. Systemic lupus erythematosus in children and


adolescents. Pediatr Clin North Am. 2012;59(2):345-64
2. Malattia C, Martini A. Pediatric-onset systemic lupus erythematosus. Best
Pract Res Clin Rheumatol. 2013;27:351-62
3. Mok CC. Emerging biological therapies for systemic lupus erythematosus.
Expert Opin Emerging Drugs. 2014;19(2):1-20
4. Bailey T, Rowley K, Bernknopf A. A review of systemic lupus erythematosus
and current treatment options. Formulary.2011;46:178-9
5. Klein-Gitelman MS, Miller ML. Systemic lupus erythematosus. Dalam:
Kliegman MR, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders elsevier;
2007.h.1015-9
6. Bhm M, Luger TA. Mechanism of skin damage. Dalam: Tsokos GC, Gordon
C, Smolen JS, penyunting. Systemic Lupus Erythematosus: a Companion to
Rheumatology. Edisi pertama. Philadelphia: Mosby Elsevier.2007.h.318-28
7. Sibbitt WL, Brandt JR, Jhonson CR. The incidence and prevalence of
neuropsychiatric syndromes in pediatric onset systemic lupus erythematosus. J
Rheumatol. 2002;29:1536-42 12.Al-Maini M, Urowitz M. Systemic steroids.
Dalam: Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS, penyunting. Systemic Lupus
Erythematosus: a Companion to Rheumatology. Edisi pertama. Philadelphia:
Mosby Elsevier.2007.h.487-95
8. Lahita RG. Nonsteroid treatment of systemic lupus erythematosus. Dalam:
Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS, penyunting. Systemic Lupus

32

Erythematosus: a Companion to Rheumatology. Edisi pertama. Philadelphia:


Mosby Elsevier.2007.h.483-6
9. Amaral B, Murphy G, Loannou Y, Isenberg DA. A comparison of the outcome
of adolescent and adult-onset systemic lupus erythematosus. Rheumatology.
2014;54:1-6
10. Nili F, McLeod L, OConnell C, Sutton E, McMillan D. Maternal and neonatal
outcomes in pregnancies complicated by systemic lupus erythematosus: a
population- based study. J Obstet Gynaecol Can. 2013;35(4):323-8

Tinjauan Pustaka Immunology

ASPEK LABORATORIUM SLE PADA ANAK

Oleh:

33

Fitriyah Mayorita

Moderator :
DR. dr. Hani Susianti, Sp.PK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PATOLOGI


KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016
DAFTAR ISI
Pendahuluan
A.
B.
C.
D.
E.
F.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
G.
H.
I.
J.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
K.
1.
2.
3.

Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Patogenesis
Manifestasi Klinis
Bentuk-Bentuk Lupus
Nefritis Lupus
Lupus Diskoid
Sistem saraf Pusat
Arthritis Lupus
Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Fenomena Raynaud
Gangguan Darah
Lupus Neonatus
Pemeriksaan Laboratorium SLE pada Anak
Diagnosa Banding
Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Hidroklorokuin
Asam Asetilsalisilat dan Obat-obat AINS
Obat-obatan Imunosupresif
Plasmapharesis
Splenektomi
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Memonitor Perjalanan Penyakit
Proteksi terhadap matahari
Imunisasi
Diet dan olahraga

1
3
3
4
5
10
14
14
19
19
20
20
21
21
21
22
23
23
25
27
27
27
28
28
28
28
29
29
30

34

L. Komplikasi
M. Prognosis

30
30

Rangkuman

32

Daftar Pustaka

33

35

Anda mungkin juga menyukai