DISUSUN OLEH:
M. Faliq Khubbata
14711145
Tutorial 7
Tutor:
dr. Ana Fauziyati, M.Sc. S.PD
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2017
SULIT MENELAN
Pada orang dengan keluhan utama sulit menelan atau disfagia ada
banyak diagnosa penyakit yang memungkinkan. Hal ini dikarenakan
disfagia sendiri terbagi atas dua kelompok besar, yakni disfagia orofaring
dan esofageal.
A. STROKE
Stroke adalah penyakit yang mempengaruhi aliran darah arteri ke
dan di dalam otak. Stroke menempati peringkat kelima penyakit penyebab
kematian di dunia. Setiap tahunnya ada sekitar 795,000 orang di seluruh
dunia mengalamin stroke baru atau rekuren. Dari jumlah tersebut 610,000
di antaranya mengalami serangan pertama stroke dan sisanya adalah
stroke rekuren. Keseluruhan kejadian stroke 87% adalah stroke iskemik,
10% stroke intracerebral dan 3% sisanya adalah stroke subarachnoid
(Mozaffarian D. dkk., 2016).
Penyebab utama stroke adalah penyakit jantung dan pembuluh
darah. Yang termasuk penyakit tersebut yakni hipertensi, aterosklerosis,
dislipidemia dan hiperlipidemia. Banyak manifestasi yang dapat muncul
pada orang dengan stroke, seperti pada stroke iskemik biasanya yang
muncul terutama kelainan neurologis yang berhubungan dengan disfagia
ialah paresis, ataksia, kelemahan dan muntah tetapi hal tersebut
bergantung pada bagian mana otak yang terkena (Mozaffarian D. dkk.,
2016.
Dalam menegakkan diagnosa stroke, American Heart Association
membuat semacam jembatan keledai dalam mengidentifikasi secara cepat
apakah seseorang terkena stroke atau tidak, F.A.S.T (Face Drooping, Arm
Weakness, Speech Difficulty, Time to Call 911) adalah cara yang paling
mudah dalam menegakkan diagnosa stroke mendadak. Face Drooping
dengan meminta pasien untuk tersenyum, Arm Weakness dengan
mengangkat kedua tangan, Speech Difficulty dengan mengulangi
perkataan dan terakhir Time to Call 911 bila pasien dengan gejala tersebut
segera memanggil bantuan cepat (AHA, 2014). Selain itu untuk dapat
membedakan jenis stroke berdasarkan gejala dapat menggunakan
Algortima Gadjah Mada (ASGM) kriterianya adalah : penurunan kesadaran,
nyeri kepala dan Refleks Babinsky Positif. Bila terdapat 2-3 gejala maka
diduga kuat pasien mengalami stroke perdarahan, namun bila bila hanya
refleks Babinsky positif atau tidak ketiganya maka pasien mengalami stroke
iskemik.
Untuk menegakkan diagnosa stroke secara akurat tidak cukup
hanya dengan anamnesis berdasarkan tanda dan gejala pada pasien.
Terdapat tiga pilihan pemeriksaan penunjang yang dianjurkan terutama
pada pasien yang akan mendapatkan terapi endovaskuler : NCCT(Non-
Contrast CT)+ DSA (Digital Substraction Angiography), NCCT+CTA (CT-
Angiography) dan MRI+MRA. Kesemua pemeriksaan tersebut memiliki nilai
diagnostik yang tinggi bergantung dari komponen apa yang akan diperiksa.
NCCT memiliki spesifisitas hingga 100% dalam mendeteksi perubahan
iskemik meskipun masih terdapat perdebatan diantaranya. CTA dengan
sensitifitas 97-100% dan spesifisitas 98-100% dalam mendeteksi stenosis
intrakranial dan oklusi dibandingkan dengan DSA. MRA bisa digunakan
untuk mendeteksi patensi vaskular (Wintermark M. dkk., 2013).
Stroke merupakan kegawatdaruratan, maka tatalaksananya terbagi
menjadi tatalaksana awal dan khusus sesuai jenis strokenya. Pada
tatalaksana awal semua nya sama baik iskemik maupun perdarahan yakni
memastikan kestabilan dan mencegah atau membatasi kematian neuron
pasien. Bila iskemik maka atasi hipertensi, trombosis, hipoglikemi atau
hiperglikemia pasien. Pasien dengan stroke perdarahan biasany dilakukan
pencegahan tromboemboli vena dan operasi. Kemudian setelah itu, pasien
akan menjalani terapi rehabilitasi untuk mengembalikan fungsi fisiologis
pasien sebelumnya (Sudoyono et al, 2014).
B. MIASTENIA GRAVIS
Miastenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang menyerang
membran post sinaps yang mengakibatkan kelemahan dan kelelahan pada
bagian proksimal otot-otot terutama menyerang pada reseptor asetilkolin di
neuromuscular junction (Cass, 2013).
Miastenia Gravis merupakan penyakit yang jarang, namun penyakit
ini cenderung meningkat tiqap tahunnya dengan prevalensi 20 per 100,000
populasi di Amerika Serikat. Sekitar 10% pasien penderita MG gejalanya
terbatas pada Extrinsic Ocular Muscle (EOMs). Jenis kelamin dan usia di
duga kuat berperan pada munculnya penyakit ini. Pada kelompok usia
dibawah 40 tahun rasio kejadian pada wanita dan pria 3:1 sedangkan di
rentang usia 40-50 tahun rasio nya cenderung sama namun pada usia di
atas 50 tahun lebih sering terjadi pada kelompok pria. Kejadian pada anak-
anak sangat jarang di negara barat hanya sekitar 10-15% sedangkan di
Asia lebih tinggi yakni 50% kejadian pada usia di bawah 15 tahun (Trouth
J. dkk., 2012).
Manifestasi klinis pada penderita MG dapat dibagi berdasarkan
onset dan gejala. Miastenia Gravis dibagi menjadi 6 subtipe : early-onset
MG biasany pada usia di bawah 50 tahun, wanita dan hiperplasia timus;
late-onset MG usia diatas 50 tahun, laki-laki dan atrofi timus; thyoma
associated MG; MG with anti-MUSK antibodies, MG okular; MG tanpa
terdeteksi AChR dan tyrosine kinase otot.
The Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
lagi klasifikasi MG berdasarkan 5 kelas utama dan beberapa subklas: MG
Kelas I, di tandai dengan adanya beberapa kelemahan otot okular,
kelemahan menutup mata tetapi otot-otot lain masih normal; MG Kelas II,
kelemahan juga menyerang otot lain selain otot okular, kelemahan otot
okular yang memberat; MG Kelas IIa, banyak menyerang tungkai, otot
aksial atau keduanya dan melibatkan sedikit otot orofaringeal; MG Kelas
IIb, banyak menyerang otot orofaringeal dan pernapasan, juga melibatkan
sedikit otot tungkai dan aksial; MG Kelas III, kelemahan otot moderat dan
kelemahan yang lebih berat pada otot okular; MG Kelas IIIa, lebih dominan
menyerang otot tungkai, aksial atau keduanya dan melibatkan sedikitnya
otot orofaringeal; MG Kelas IIIb, dominan menyerang otot orofaringeal dan
pernapasan ataupun keduanya dan juga melibatkan otot tungkain dan
aksial; MG Kelas IV, ditandai dengan kelemahan otot berat daripada otot
okular dan bisa juga kelemahan otot okular; MG Kelas IVa dan IVb serupa
dengan subklas lainnya; terakhir MG Kelas V, perlu dilakukannya intubasi
dengan atau tanpa ventilator mekanik dan penggunaan selang makan
(Trouth J. dkk., 2012).
Distribusi gejala klinis kelemahan otot banyak terjadi pada otot
okular, bulbar, leher, ekstremitas proksimal dan beberapa pasien dengan
gangguang otot pernapasan. Pada pasien MG sekitar 30-39% disertai
dengan disfagia, batuk dan pengurangan kapasitas vital (Trouth J. dkk.,
2012).
Pemeriksaan yang dapat digunakan dalam menegakkan diagnosa
MG cukup banyak seperti Testilon (anticholinesterase testing with
edrophonium), stimulasi saraf berulang, assay for antiacetylcholine
receptor antibody, CT Scan dapat digunakan untuk melihat perubahan dari
Timus, Uji Kantung Es pada pasien dengan kontraindikasi Testilon dan
Single-fiber electromyography (SFEMG) (Trouth J. dkk., 2012).
Edrophenium bekerja dengan menghambat asetilkolinesterase, stimulasi
elektrik dengan 3-5 Hz dibantu dengan elektroda yang akan merekam
potensial aksi saraf dan antibodi reseptor asetilkolin 90% ditemukan pada
pasien dengan MG dan kelemahan yang luas (Cass, 2013).
Terapi pada Miastenia Gravis harus disesuaikan dengan kondisi dan
derajat keparahan penyakit pasien. Terdapat dua pendekatan terapi pada
MG berdasarkan patofisiologinya. Pertama, dengan meningkatkan jumlah
asetilkolin yang mampu berikatan dengan reseptornya melalui agen
asetilkolinesterase inhibitor dan kedua dengan mensupresi sistem imun
dengan mengurangi ikatan antara antibodi dan reseptor asetilkolin. Empat
pengobatan dasar pada MG yakni pengobatan simptomatik dengan
asetilkolinesterase inhibitor yang merupakan lini pertama pada semua
pasien MG, pengobatan modulasi imun kerja cepat dengan menggunakan
plasmapharesis dan imunoglobulin intravena, pengobatan imunomodulasi
kerja lama dengan glukokortikoid dan imunosupresi lain, terakhir adalah
dengan terapi operasi dengan timektomi (Trouth J. dkk., 2012).
Usia, jenis kelamin, abnormalitas timus, gejala yang menyertai dan
penggunaan obat-obatan dijadikan dasar dari prognosis pasien.
Didapatkan 83 pasien yang terdiri dari 45 perempuan dan 38 laki-laki yang
sesuai dengan kriteria penelitian. Sebanyak 33,8% pasien mengalami
relaps MG, 85% pasien Only Ocular MG (OMG) berkembang menjadi
Secondary Generalized MG (SGMG) dalam kurun waktu dua tahun (Wang
L. dkk., 2017).
Upaya promotif dan pencegahan terhadap MG mungkin sedikit sulit
sampai para peneliti menemukan penyebab dasar dari autoimun ini. Namun
upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan mencegah infeksi pada
pernapasan, menjaga kekuatan dan berat tubuh dengan nutrisi seimbang
dan mengurangi stres (Florida Hospital, 2017).
Program rehabilitasi yang dikombinasi dengan pengobatan dapat
membantu meredakan gejala MG dan meningkatkan kembali fungsi otot.
Tujuan utamanya adalah membangun kekuatan individu untuk
mengembalikan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari. Pendekatan
interdisipliner meliputi pengobatan neuromuskular dan terapi pernapasan
sangat dianjurkan. Terapi fisik sangat baik untuk mengembalikan kekuatan
otot. Terapi bicara untuk melatih pasien dengan gangguan orofaringeal
dengan trakeostomi. Psikososial terapi juga diperlukan untuk menangani
stres pada pasien (Trouth J. dkk., 2012).
C. SKLERODERMA
Chen, X., & Wang, K. (2016). The fate of medications evaluated for ischemic
stroke pharmacotherapy over the period 1995–2015. Acta
Pharmaceutica Sinica B, 6(6), 522–530.
https://doi.org/10.1016/j.apsb.2016.06.013
Gardois, P., Booth, A., Goyder, E., & Ryan, T. (2014). Health promotion
interventions for increasing stroke awareness in ethnic minorities: a
systematic review of the literature. BMC Public Health, 14(1), 409.
https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-409
Jayam Trouth, A., Dabi, A., Solieman, N., Kurukumbi, M., & Kalyanam, J.
(2012). Myasthenia gravis: A review. Autoimmune Diseases, 1(1).
https://doi.org/10.1155/2012/874680
Lahcene, M & Oumnia, Nadia & Matougui, N & Boudjella, M & Tebaibia, A
& Touchene, B. (2012). Esophageal Involvement in Scleroderma:
Clinical, Endoscopic, and Manometric Features. ISRN rheumatology.
2011. 325826. 10.5402/2011/325826.
Lv, Y., Fang, X., Asmaro, K., Liu, H., Zhang, X., Zhang, H., … Ji, X. (2013).
Five-year prognosis after mild to moderate ischemic stroke by stroke
subtype: A multi-clinic registry study. PLoS ONE, 8(11).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0075019
Mozaffarian, D., Benjamin, E. J., Go, A. S., Arnett, D. K., Blaha, M. J.,
Cushman, M., … Turner, M. B. (2016). Heart disease and stroke
statistics-2016 update a report from the American Heart Association.
Circulation (Vol. 133). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000350
NM, F. (2013). Morphea (localized scleroderma). JAMA Dermatology,
149(9), 1124. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1001/jamadermatol.2013.5079
Pradhan, V., Rajadhyaksha, A., Nadkar, M., Pandit, P., Surve, P., Lecerf,
M., … Ghosh, K. (2014). Clinical and autoimmune profile of
scleroderma patients from Western India. International Journal of
Rheumatology, 2014. https://doi.org/10.1155/2014/983781
Wintermark, M., Sanelli, P. C., Albers, G. W., Bello, J. A., Derdeyn, C. P.,
Hetts, S. W., … Meltzer, C. C. (2013). Imaging recommendations for
acute stroke and transient ischemic attack patients: A joint statement
by the American Society of Neuroradiology, the American College of
Radiology and the Society of NeuroInterventional Surgery. Journal of
the American College of Radiology, 10(11), 828–832.
https://doi.org/10.1016/j.jacr.2013.06.019