Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

MEASTENIA GRAVIS

Dosen Pembimbing
Sugiyarto, S.ST., Ns., M.Kes

Di Susun oleh kelompok 3:


1. Aliya Ratunita A. (P27220019003)
2. Az’zahra Salzabilla BS (P27220019013)
3. Fakhar Zainul L. (P27220019022)
4. Lisa Rahmawati (P27220019032)
5. Puput Puspa Indah S. (P27220019041)

2A D-III KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
Jl. Letjen Sutoyo, Mojosongo, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57127
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Miestena Gravis 1

B. Rumusan Masalah Miestena Gravis 1

C. Tujuan Miestena Gravis 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Miestena Gravis 3

B. Etiologi Miestena Gravis 3

C. Klasifikasi Miestena Gravis 3

D. Patofisiologi Miestena Gravis 4

E. Penatalaksanaan Miestena Gravis 5

F. Manifestasi Klinis Miestena Gravis 6

G. Pemeriksaan Penunjang Miestena Gravis 6

BAB III KONSEP ASKEP

A. Pengkajian Miestena Gravis 9

B. Diagnosa Miestena Gravis 11

C. Intervensi Miestena Gravis 11

D. Implementasi Miestena Gravis 11

E. Evaluasi Miestena Gravis 12


i
BAB IV KESIMPULAN

A. Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Miastenia gravis (MG) mrupakan penyakit autoimun kronis yang dimediasi oleh
antibody terhadap acetylvgolin receptor (AchR) pada memberan postynaptic dari tautan
otot saraf. Hilangnya situs AchR menyebabkan transmisi berkurang dari impuls saraf
ditautan otot saraf dan penurunan depolarisa otot. Penurunan jumlah AchR pada MG
mengakibatkan kelemahan pada otot rangka yang berhubungan dengan pernafasan serta
pergerakan ekstremitas. (Huether & McCance, 2019).
Gejala awal yang dialami pasien MG adalah kelemahan otot yang dapat
bervariasi setiap pasiennya (Vincent, 2011 dalam Barber, 2017). Sekitar 15% pasien MG
mengalami ptosis (kelemahan otot kelopak mata) atau diplopia (penglihatan ganda),
sementara manifestasi klinis lainnya seperti kelemahan umum yang mempengaruhi
gerakan wajah, mengnyah, menelan dan berbicara. Kesulitan bernafas juga dialami oleh
penderita MG apabila pasien dalam posisi terlentang atau membungkuk (Grub, 2008
dalam Barber, 2017). Kelemahan otot pernafasan akan mengakibatkan gagal nafas yang
merupakan komplikasi serius pada MG.
Sebanyak 15%-20% pasien dengan MG setidaknya pernah mengalami satu kali
myastenic crisis. Myastenic crisis merupakan keadaan darurat medis yang terjadi akibat
otot-otot yang mengontrol pernafasan melemah hingga pasien membutuhkan ventilator
untuk bernafas (Bershad & Suarez, 2008). Keluhan kelemahan pada pasien MG dengan
riwayat krisis akan meningkatkan sepanjang hari (Komarudin & Chairani, 2019).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan beberapa
rumusan masalah yaitu sebagai berikut :

1. Apa definisi meastenia gravis?


2. Bagaimana etiologi meastenia gravis?

1
3. Apa saja klasifikasi meastenia gravis?
4. Bagaimana patofisiologi dari meastenia gravis?
5. Bagaimana penatalaksanaan umum dari meastenia gravis?
6. Bagaimana manifestasi klinis meastenia gravis?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada klien meastenia gravis?
8. Apa saja komplikasi dan pencegahan dari meastenia gravis?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien meastenia gravis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi meastenia gravis.
2. Untuk mengetahui etiologi meastenia gravis.
3. Untuk mengetahui klasifikasi meastenia gravis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari meastenia gravis.
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan umum dari meastenia gravis.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis meastenia gravis.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada klien meastenia gravis.
8. Untuk mengetahui komplikasi dan pencegahan dari meastenia gravis.
9. Untuk asuhan keperawatan pada pasien meastenia gravis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem saraf (nervus)
dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenia gravis ditandai dengan kelemahan dan
kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk dengan
aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis adalah penyakit auto imun
yang menyerang neuromuscular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat
lelah akibat adanya antibody terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR
di neuromuscular juction berkurang.

B. Etiologi
Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia gravis.
Gejala awal biasanya berupa simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan diplopia
atau pandangan yang kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi seperti
kesulitan saat menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada miastenia
umum. Selain itu virus , stress, dan alcohol. (Komarudin & Chairani, 2019)

C. Klasifikasi
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
1. Class I, kelemahan otot okular dan gangguan menutup mata, otot lain masih normal.
2. Class II, kelemahan ringan pada otot selain okular, otot okular meningkat
kelemahannya.
3. Class IIA, mempengaruhi ekstrimitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal.
4. Class IIb, mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga
mempengaruhi ekstrimitas.
5. Class III, kelemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya kelemahan pada

3
otot okuler.
6. Class IIIa, mempengaruhi ektrimitas sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal.
7. Class IIIb, mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga
mempengaruhi ekstrimitas.
8. Class IV, kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada otot okuler.
9. Class Iva, mempengaruhi ekstrimitas, sedikit pengaruh pada otot-otot
oropharyngeal.
10. Class IVb, terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, juga
mempengruhi otot-otot ekstrimitas.
11. Class V, pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative.

D. Patofisiologi

Menurut Twork (2010), Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain.Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis.

Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis.Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen
pada otot.Tidak diragukan lagi, bahwa antibodipada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan
sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Walaupun mekanisme
pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita
miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Timus merupakan organ sentral

4
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.Sehingga pada pasien
miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda,
dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit
alfa.Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan
ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

PATHWAY

5
E. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Huether & McCance, 2019), penatalaksanaan yang dapat diberikan
diantaranya timektomi, asetikolinerase, imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan
operatif timektomi. Setiap pasien memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani
pengobatan dan masa perawatan lalu kembali ke rutinitas sehari-hari. Bisa jadi hanya
sedikit perubahan yang muncul dalam kemampuan mereka atau bahkan sampai
mengalami keterbatasan baik secara fisik, kognitif, maupun keduanya.
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap pasien
miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien pun terbatas
dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk masing-masing individu. Hal ini
dipertegas dengan studi kasus pada pasien miastenia gravis berusia 85 tahun yang
mengalami CAP (Community Acquired Pneumonia) dan penurunan fungsi pernapasan.
Pemberian antibiotik untuk meredakan gejala CAP menjadi faktor pemberat dari
miastenia gravisnya akibat proses alergi (Berkel et al., 2016). Penatalaksanaan pada
miastenia gravis dengan terapi konvensional tidak dapat memberikan hasil akhir
kesembuhan pasien secara menyeluruh sedangkan pemberian immunosupresan pada
pasien juga dapat memberikan efek samping yang berat (Twork et al., 2010). Kondisi ini
membuat pemberian terapi dan pengawasan penatalaksanaan pada pasien miastenia
gravis memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan sebagai provider pemberi asuhan.

F. Manifestasi Klinis

Menurut Twork (2010), manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia
gravis meliputi:

1. Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata).


2. Kelemahan otot wajah, leher, dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan
dan menelan.
3. Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi keletihan ringan
dengan pemulihan kekuatan setelah beristirahat. Akhirnya, kekuatan tidak pulih
setelah beristirahat.
6
4. Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus. Gangguan
persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan faring
muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga memburuk pada
pemakaian suara yang lama dan berlebihan.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang emenurut (Grub, 2008 dalam Barber, 2017) yaitu:
1. Laboratorium
a. Anti-acetylcholine reseptor antibody
- 85% pada miastenia umum
- 60% pada pasien miastenia okuler
b. Anti-striated muscle
- Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
c. Interleukin-2 reseptor
- Meningkat pada MG
- Peningkatan berhubungan dengan progrsifitas penyakit

2. Imaging
7
a. X-ray thoraks
- Foto polos posisi AP dan lateral dapat mengidentifikasi timomasebagai
massa mediatinum anterior.
b. CT scan thoraks
- Identifikasi timoma
c. MRI otak dan orbita
- Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Cranialies, tidak digunakan secara
rutin.
3. Pemeriksaan klinis
a. Menatap tanpa kedip pada suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata
selama 30 detik, akan terjadi ptosis.
b. Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia.
c. Menghitung atau membaca keras-keras selama tiga menit akan terjadi pita suara
atau suara hilang.
d. Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi
berbaring.
e. Tes exercise untuk otot ekstermitas, dengan mempertahankan posisi saat
mengangkat kaki dengan sudut 450 pada posisi tidur terlentang 3 menit, atau
duduk-berdiri 20-30 kali. Jalan di atas tumit atau jari 30 langkah , tes tidur-
bangkit 5-10 kali.
4. Tes tensilon (edrophonium chloride)\
a. Suntikan tensilon 10 mg (1 ml) iv, secara bertahap. Mula-mula 2 mg atau bila
perbaikan (-) dalam 45 dtk, berikan 3 mg lagi atau bila perbaikan (-), beri 5 mg
lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5 menit.
b. Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung.
5. Tes kolinergik
6. Tes prostigmin (neostigmin) :
a. Injeksi prostigmin 1,5 mg im.
b. Dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknyaseperti neusea,
vomitus, berkeringat. Perbaikan terjadi pada 10-15 menit, mencapai puncak
dalam 30 menit, berakhir dalam 2-3 jam.
8
7. Pemeriksaan EMNG
a. Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement respons)
> 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%. MG
sedang sampai berat dapat sampai 80%.
8. Pemeriksaan antibodi AchR
Antibodi AchR ditemukan pada 85-90% penderita MG generalisata, dan 0% MG
okular. Kadar ini tidak berkolerasi dengan beratnya penyakit.
9. Evaluasi timus
a. Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yang abnomal, terbanyak berupa
hiperplasia, sedangkan 15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dengan CT
scan mediastinum, tetapi pada timus hiperplasia hasil CT scan sering normal.
10. Diagnosis banding :
Sindroma Eaton-Lambert :
a. Sering terjadi bersamaan dengan small cell Ca dari paru.
b. Lesi terjadi di membran presinaptik dimana ‘release’ Ach tidak dapat
berlangsung dengan baik
Botulism
Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yang dapat masuk melalui
makanan yang terkontaminasi. Dengan cara menghambat atau menghalang-halangi
pelepasan Ach dari ujung terminal akson persinaptik.
11. Pengobatan
a. Mestinon
- Antikolinesterase : menghambat dkstruksi Ach
b. Piridostigmin bromide (Mestinon, regonol).
Dosis awal 30-60 mg tiap 6-8 jam atau setiap 3-4 jam. Dosis optimal
bervariasi tergantung kebutuhan mulai 30-120 mg setiap 4 jam. Bila > 120 mg tiap 3
jam dapat menimbulkan krisis kolinergik (dispneu, miosis, lakrimasi, hipersalivasi,
emesi, diare).
BAB III

KONSEP ASKEP

9
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien:
Nama, umur (th), alamat, pekerjaan, jenis kelamin (laki-laki)
b. Keluhan utama:
Sesak, kelopak mata kiri sulit terbuka, kedua kaki terasa lemah saat berjalan jauh.
c. Riwayat penyakit saat ini:
Myasthenia garvis menyerang otot-otot wajah dalam hal ini di daerah mata
sehingga kelopak mata kiri sulit terbuka. Penyakit ini menyerang otot-otot
pernapasan yang ditandai dengan dispnea yang dialami pasien. Kemudian terjadi
serangan pada otot ekstremitas bawah yang mengakibatkan kedua ekstremitas
bawah sulit untuk digerakkan.
d. Riwayat penyakit dahulu:
Mengkaji faktor yang memperberat myasthenia gravis seperti hipertensi dan
diabetes mellitus.
e. Riwayat penyakit keluarga:
Mengkaji adanya riwayat myasthenia gravis pada keluarga pasien
f. Sosio psikospiritual
Klien dengan penyakit myasthenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan
kelemahan otot apabila berada dalam situasi tegang. Adanya kelemahan pada
kelopak mata (ptosis), dilopia, dan kesulitan dalam komunikasi verbal
menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Review of system:
- B1 (Breathing) :Sesak napas, takipnea
- B2 (Blood) :Hipertensi ringan
- B3 (Brain) :Kelemahan otot ekstraokuler yang menyebabkan mata sebelah kiri
klien sulit terbuka
- B4 (Bladder) :Penurunan fungsi kandung kemih, retensi urin, dan hilangnya
sensasi saat berkemih
10
- B5 (Bowel) :Kesulitan mengunyah, menelan, disfagia, penurunan peristaltic
usus, hipersalivasi dan hipersekresi.
- B6 (Bone) :Gangguan aktivitas/mobilitas fisik dan kelemahan otot yang
berlebih kedua extremitas bawah semakin sulit digerakkan.
b. Tingkat kesadaran: Komposmentis
c. Fungsi serebral: Aktivitas motorik mengalami perubahan yaitu kedua ekstremitas
sulit digerakkan
d. Pemeriksaan saraf cranial:
- Saraf I: tidak ada kelainan
- Saraf II: penurunan pada tes tajam penglihatan dan sering megeluh adanya
penglihatan ganda
- Saraf III, IV dan VI: adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia, mimic dari
pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motoirik pada saraf VI
- Saraf V: didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada
otot-otot wajah
- Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik
lidah
- Saraf VII: persepsi pengecapa ternganggu
- Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduksi dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X: ketidakmampuan menelan
- Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
- Saraf XII: lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan
otot motorik pada lidah.
e. System motorik: Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas
bawah yang memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan).

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi
hal berikut :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
2. Deficit peraatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum
11
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
intubasi, atau paralisis otot.
C. Intervensi Dokumentasi
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan.Tujuan :Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
a. Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternative jika klien
menggunakan ventilator
b. Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktifitas
c. Ukur parameter pernafasan dengan teratur
d. Kolaborasi dengn dokter untuk pemberian obat antikolinergik
e. Sucktion sesuai kebutuhan (obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi
bronkial)
D. Deficit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum· Tujuan
;Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias
a. Buat jadwal perawatan diri dengan interval
b. Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
c. Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat
berlebihan atau sertakan keluarga
d. Peragakan tehnik-tehnik penghematan energy

E. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia,
intubasi, atau paralisis otot. Tujuan :Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi
kebutuhan metabolik
a. Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral
b. Hentikan pemberian makan peroraljika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral
atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan
c. Pasang selang makan kecil dan berikan makan perselang jika terdapat disfagia.
d. Catat intake dan output
e. Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori
12
f. Timbang pasien setiap hari.

BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Miastenia gravis berulang- ulang adalah gangguan autoimun dari neuromuskuler
junction (NMJ).
Fatigue atau kelemahan merupakan salah satu manifestasi klinis pada miastenia
gravis. Gejala awal biasanya berupa simetris ptosis yang tidak jarang disertai dengan
diplopia atau pandangan yang kabur pada miastenia gravis okular atau lebih luas lagi
seperti kesulitan saat menelan, mengunyah, maupun berbicara yang terjadi pada
miastenia umum. Selain itu virus , stress, dan alcohol. (Komarudin & Chairani, 2019)
Menurut Twork (2010), Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting
pada patofisiologi miastenia gravis.
Menurut (Huether & McCance, 2019), penatalaksanaan yang dapat diberikan
diantaranya timektomi, asetikolinerase, imunosupresan, plasmaferesis, hingga tindakan
operatif timektomi. Setiap pasien memiliki hasil yang berbeda-beda setelah menjalani
pengobatan.
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang pasti bagi tiap-tiap pasien
miastenia gravis. Terapi farmakologi yang dapat dikonsumsi oleh pasien pun terbatas
dikarenakan respon alergi yang berbeda-beda untuk masing-masing individu.
Penatalaksanaan pada miastenia gravis dengan terapi konvensional tidak dapat
memberikan hasil akhir kesembuhan pasien secara menyeluruh sedangkan pemberian

13
immunosupresan pada pasien juga dapat memberikan efek samping yang berat (Twork et
al., 2010).
Menurut Twork (2010), manifestasi klinis yang muncul pada pasien miastenia
gravis meliputi:

 Kelemahan otot mata, yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata).


 Kelemahan otot wajah, leher, dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan
dan menelan.
 Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan.
 Gejala yang paling umum adalah diplopia, terjdai pada 90% kasus. Gangguan
persendian dan suara hipernasal sering ditemukan. Kelemahan laring dan faring
muncul pada sepertiga pasien miastenia gravis. Disfonia juga memburuk pada
pemakaian suara yang lama dan berlebihan.

14
DAFTAR PUSTAKA
Barber, C. (2017). Diagnosis and manajement of Myastenia Gravis. Nursing Standart,
31(43), 42-47.
Bershad, E., Feen, E., & Suarez, J. (2008). Meastenia Gravis Crisis. Southern Medical
Journal, 101(1), 63.
Bulechek, M.G., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (NIC), 6th Indonesian edition. Indonesia: Mocomedia
Corwin,E.J.(2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 251-252
Komarudin, S., & Chairani, L. (2019). Tinjauan Pustaka: Miastenia Gravis.
Syifa’MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 10(1), 62-70.
Gaspersz, Vincent., & Fontana, Avanti. (2011). Lean Six Sigma for Manufacturing and
Service Industries. Bogor: Vinchristo Publication.
McCance, Kathryn L., Huether, Sue E. (2019). Buku Ajar Patofisiologi. 6th ed Volume 1
by Djoko Wahono Soeatmadji, Retty Ratnawati, Hidayat Sujuti. Singapore:
Elsevier Mosby: ISBN Vol 2 978-981-4570-86-2.
Twork, S., Wiesmeth, S., Klewer, J., Pohlau, D., & Kugler, J. (2010). Quality of Life
Circumstances in German Myastenia Gravis Patients. Health and Quality of Life
Outcomes, 8, 1-10

15

Anda mungkin juga menyukai