DISUSUN OLEH :
Erdi Ramdan T W 220110166093 Indri Anggraeni 220110166022
Fatimah Nuralami 220110166071 Indri Hairani 220110166040
Fauziah Falah H 220110166084 Indriyanni Sri A 220110166080
Fauziah Rifka A 220110166035 Intan Humaeroh 220110166033
Fitri Aulia 220110166088 Intan Nurjanah 220110166059
Hamidah Nurhalimah 220110166060 Intan Rukmana 220110166077
Hanny Budhiyani 220110166085 Ismailah Alam 220110166006
Herlina Silviana 220110166015 Ismi Kharisma F 220110166066
Hikmah Fajar A 220110166157 Jakariya Gilang R 220110166058
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN KAMPUS
GARUT
Jl. Proklamasi No. 5 Telp. (0262) 232212 Garut
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul Penatalaksanaa
Stevens-Johnson dan Miastenia Gravis tepat pada waktunya. Dan juga kami
berterimakasih pada Bapak dan Ibu Dosen, selaku Dosen mata kuliah
Keperawatan Kritis yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Penatalaksanaa Stevens-Johnson dan
Miastenia Gravis. Kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Kelompok
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penulisan 3
1.4 Kegunaan Penulisan 3
3.1 Simpulan 15
3.2 Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
PEMBAHASAN
3
1) Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang
ringan
2) Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a
C. Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular,
sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang
1) Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
2) Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan,
atau keduanya secara predominan. Terdapatnya kelemahan otot-
otot anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
D. Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat
1) Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota
tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
2) Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan
atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan.Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
E. Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi
menjadi
1) Ocular miastenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis
dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
4
2) Generalized miastenia
a) Mild generalized miastenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan
meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak
terkena.Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized miastenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon
terhadap obat tidak memuaskan
3) Severe generalized miastenia
Acute fulmating miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari
otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas
penderita terbatas dan mortalitas tinggi.
Late severe miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah
kelompok I dan II progresif dari miastenia gravis dapat pelanpelan
atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis jelek
2.3 Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti
diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor
asetilkolin (Acetyl Choline Receptor) pada persimpangan neuromuskular
akibat retraksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
A. Autoimun : direct mediated antibody
B. Virus
C. Pembedahan
D. Stres
E. Alkohol
F. Tumor mediastinum
G. Obat-obatan :
1) Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
2) B-blocker (propanolol)
5
3) Lithium
4) Magnesium
5) Procainamide
6) Verapamil
7) Chloroquine
8) Prednisone
2.4 Manifestasi Klinik
A. Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
1) Ptosis (jatuhnya kelopak mata)
2) Diplobia (penglihatan ganda)
3) Otot mimik
B. Kelemahan otot bulbar
1) Otot-otot lidah
a) Suara nasal, regurgitasi nasal
b) Kesulitan dalam mengunyah
c) Kelemahan rahang yang berat dapat menyebebkan rahang
terbuka
d) Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan
batuk dan tercekik saat minum
2) Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot
ekstensor
3) Kelemahan Anggota Gerak
4) Kelemahan otot pernapasan
Kelemahan otot interkostal dan difragma menyebabkan
retensi CO2. Hipoventilasi menyebabkan kedaruratan
neuromuskular. Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal
saluran napas atas.
2.5 Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl
Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline
(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
6
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses
auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang
dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut
Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90%
pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit
dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis
dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini
menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting
dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-
AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis
penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.
7
B. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata
yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat
menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan
atropin.
C. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
D. Laboratorium
1) Anti striated muscle (anti-SM) antibody. Tes ini menunjukkan
hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu
tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif
pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.
2) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50%
penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.
8
3) Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini
dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita
dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma
tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.
E. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek
pada transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :
1) Single-fiber Electromyography (SFEMG). SFEMG mendeteksi
adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil
untuk merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat
mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial
diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
2) Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita Miastenia
gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.
F. Gambaran Radiologi
1) Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi
anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
a) Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
9
semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan
usia tua.
b) MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan dari penyakit miastenia gravis dapat dibagi dibagi
menjadi 3 pendekatan. (dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S. 2016)
A. Penatalaksaan Simptomatik
1) Anticholinesterase
Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja
menghambat enzim hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse
sehingga Ach akan bekerja lebih lama pada neuromuscular
junction. 2 Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide
merupakan obat anticholinesterase yang paling sering digunakan.
Menurut penelitian dari Pyrodostigmine lebih dianjurkan karena
memiliki efek samping yang lebih minimal pada gastointestinal
dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping lain yang muncul
yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot polos
sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan
menyebabkan abdominal cramping, peningkatan flatus, diare dan
menurunnya frekuensi buang air kecil. Jika efek samping muncul
dapat diberikan propantheline 15 mg tiap dosis pyrodostigmine
atau dengan dosis satu kali perhari. 1,2 Dosis awal
pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60 mg tiap
4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1 mg/kg
dan neostagmine 0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari
pyrodostigmine adalah 360 mg atau 6 tablet. Krisis cholinergic
kemungkinan akan terjadi jika kelebihan dosis pyrodostigmine.
10
Menurut penelitian Erwin,I & Donni (2012), Dosis inhibitor
kolinesterase yang diperlukan tergantung derajat blok
neuromuskular yang telah dipulihkan; waktu yang dibutuhkan
untuk memulihkan efek blok non-depolarisasi bergantung pada
beberapa faktor termasuk pilihan dan dosis obat inhibitor
kolinesterase yang digunakan, jenis pelumpuh otot yang
diantagonis, dan derajat blokade sebelum pemulihan. Agen
pemulihan harus diberikan rutin pada pasien yang mendapat
pelumpuh otot non-depolarisasi kecuali ada pemulihan universal,
rencana pasca operasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi,
untuk menyediakan sedasi yang adekuat.
B. Terapi Immunodulatory
1) Thymectomy
11
PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara
sementara. PLEX digunakan sebagai intervensi jangka pendek
pada pasien dengan perburukan symptom miastenia secara
mendadak, untuk memperkuat saat operasi, mencegah exacerbasi
yang diinduksi kortikosteroid dan sebagai terapi chronic
intermittent untuk pasien yang telah gagal menjalani semua terapi
jenis lainnya . 2 Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter
dari plasma dikeluarkan sebanyak 3 kali dalam seminggu hingga
kondisi membaik yaitu sekitar 5 hingga 6 kali penukaran.
Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada minggu pertama.
Perbaikan klinis biasanya akan bertahan hingga 3 bulan dan efek
akan menghilang kecuali diikuti dengan thymectomy atau terapi
immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak
memberikan manfaat kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan
sebagai terapi kronis kecuali terapi lain mengalami kegagalan atau
kontraindikasi. Efek samping dari PLEX antara lain transitory
cardiac arrythmia, nausea, kepala terasa ringan, menggigil,
obscured vision, dan pedal edema. Thrombus, thrombophebitis,
subacute bacterial endocarditis, pneumothorax, brachial plexus
injury merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
pemasangan rute akses peripheral venipuncture.
12
direkomendasikan sebagai terapi kronis kecuali karena mengalami
kegagalan atau kontraindikasi. 2 Perbaikan klinis dilaporkan
terjadi pada 50 hingga 100 persen pasien setelah diberikan dosis 3
mg/kg selama 2 hingga 4 hari. Perbaikan klinis akan bertahan
hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum masih belum
ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung
mengenai hal tersebut. Menurut Gajdos P (2006) dosis 1 mg/kg
sama efektifnya dengan dosis 2 mg/kg dalam mengobati miastenia
crisis. Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit
kepala maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan
dengan pemberian acetaminophen atau aspirin dengan
dipenhidramine sebelum pemberian IGiv. Pasien dengan selective
IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi anafilaksis
terhadap IGiv. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk
melakukan tes kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.
Krisis maistenia gravis dapat diperbaiki dengan plasma exchange
dan disertai intervenous immunoglobulin (IVIg) menurut Imron,A
et al (2013).
C. Terapi Immunosupresant
1) Kortikosteroid
Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari
75% pasien dengan Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis
biasanya akan muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian
prednisone pertama. Respon terbaik terjadi pada pasien dengan
onset muda. Pasien dengan thymoma biasanya akan membaik
dengan prednisone setelah dilakukan pengangkatan tumor. Dosis
awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga 2 mg/kg perhari.
Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang
biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan
diturunkan setiap bulannya hingga mencapai dosis terendah untuk
terapi maintance, dimana idealnya 20 mg setiap harinya.
Penurunan dosis untuk tiap orang akan bervariasi. Pasien dengan
13
initial response yang buruk dianjurkan untuk menggunakan dosis
alternatif yaitu 100- 120 mg dan turunkan dosis 20 hingga 60 mg
tiap bulan. Efek samping dari pemberian prednison jangka lama
antara lain hypercortism. Tingkat keparahan dari hypercortism
meningkat seiring dengan pemberian dosis tinggi lebih dari 1
bulan. Efek samping akan membaik jika dosis diturunkan dan
menjadi minimal pada dosis dibawah 20 mg per hari. Efek
samping dapat diminimalkan dengan diet rendah lemak, rendah
sodium dan pemberian supplemental kalsium. Wanita dengan
postmenopause harus diberikan supplement vitamin D atau
biphosphate. Pasien dengan gastric ulcer atau gastritis memerlukan
H2 antagonist. Prednison tidak boleh digunakan pada penderita
tuberkulosis. Prednison akan bekerja lebih baik jika
dikombinasikan dengan azathioprine, cyclosporine,
mycophenolate atau obat immunosuppresant lainnya.
14
BAB III
3.1 Pengkajian
A. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dan status
B. Keluhan utama : kelemahan otot
C. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat
dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan
miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan
pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
D. Pemeriksaan fisik :
1) B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan
akut, kelemahan otot diafragma
2) B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
3) B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
4) B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
5) B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik
usus turun, hipersalivasi,hipersekresi
6) B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang
berlebih
15
E. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus
otot fasial atau oral
F. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
3.3 Intervensi
A. Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
1) Tujuan:
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan
klien kembali efektif
2) Kriteria hasil :
a) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
b) Bunyi nafas terdengar jelas
c) Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan Untuk klien dengan penurunan
ventilasi kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan
interval yang sering
dalammendeteksi masalah pau-
paru, sebelumperubahan kadar
gas darah arteri dansebelum
tampak gejala klinik.
1. Kaji kualitas, Dengan mengkaji kualitas,
frekuensi,Dan frekuensi, dankedalaman
kedalaman pernapasan, kita
pernapasan,laporkan dapatmengetahui sejauh mana
16
setiap perubahan perubahan kondisiklien.
yang terjadi.
1. Baringkan klien Penurunan diafragma
dalamposisi yang memperluas daerah dada
nyamandalam posisi sehingga ekspansi paru bisa
duduk maksimal
1. Observasi tanda- Peningkatan RR dan takikardi
tanda vital (nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru
17
bermusuhan,
halusinasi setiap
saat.
1. Berbicaralah dengan memfokuskan perhatian klien,
klien secara tenang sehingga setiap masalah dapat
dan gunakan dimengerti.
kalimat-kalimat
pendek.
18
penting padapengguaan
medikasi dengan tepat
waktuadalah ketegasan.
1. Evaluasi Menilai singkat keberhasilan
Kemampuan dari terapi yang boleh diberikan
aktivitas motorik
19
danefek toksik. Dan yang
penting padapengguaan
medikasi dengan tepat
waktuadalah ketegasan.
1. Evaluasi Menilai singkat keberhasilan
Kemampuan dari terapi yang boleh diberikan
aktivitas motorik
20
dengan klienterhadap kedipan
mata mereka dan
ataugoyangkan jari-jari tangan
atau kaki untukmenjawab
ya/tidak. Setelah periode krisis
klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
1. Beri peringatan Untuk kenyamanan yang
bahwaklien di ruang berhubungan dengan
inimengalami ketidakmampuan komunikasi
gangguanberbicara,
sediakan bel khusus
bila perlu
1. Antisipasi dan bantu Membantu menurunkan frustasi
kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuanberkomunikasi
1. Ucapkan langsung Mengurangi kebingungan atau
kepada klien dengan kecemasanterhadap banyaknya
berbicara pelan dan informasi. Memajukanstimulasi
tenang,gunakan komunikasi ingatan dan kata-
pertanyaan kata.
denganjawaban ”ya”
atau”tidak” dan
perhatikanrespon
klien
1. Kolaborasi: Mengkaji kemampuan verbal
konsultasi ke ahli individual,sensorik, dan
terapi bicara motorik, serta fungsi kognitif
untuk mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi
21
F. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
1) Tujuan
Citra diri klien meningkat
2) Kriteria hasil :
a) Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
b) Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
c) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan Menentukan bantuan individual
darigangguan dalammenyusun rencana
persepsi perawatan ataupemilihan
danhubungan intervensi.
dengan derajat
ketidakmampuan
1. Identifikasi arti dari Beberapa klien dapat menerima
Kehilangan atau danmengatur beberapa fungsi
disfungsi pada klien. secara efektifdengan sedikit
penyesuaian diri,
sedangkanyang lain mempunyai
kesulitanmembandingkan
mengenal dan
mengaturkekurangan.
1. Bantu dan anjurkan Membantu meningkatkan
perawatan yang baik perasaan hargadiri dan
dan memperbaiki mengontrol lebih dari satu
kebiasaan areakehidupan
1. Anjurkan orang Menghidupkan kembali
yang Terdekat untuk perasaan kemandirian dan
mengizinkan klien membantu perkembanganharga
22
melakukan hal untuk diri serta mempengaruhi
dirinya sebanyak- prosesrehabilitasi
banyaknya
1. Kolaborasi: rujuk Dapat memfasilitasi perubahan
pada ahli peran yang penting untuk
neuropsikologi dan perkembangan perasaan
konseling bila ada
indikasi.
23
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
4.2 Saran
24
25
DAFTAR PUSTAKA
Imron, A., Aditianingsih, D., & George, Y. W. (2013). Peran Plasmafaresis pada
Terapi Pasien Sepsis dengan Myasthenia Gravis. JAI (Jurnal Anestesiologi
Indonesia), 5(3), 210-216.
Julianti, E., Madiadipoera, T., Anggraeni, R., Purwanto, B., & Ratunanda, S. S. (2016).
Peningkatan functional oral intake scale dan kualitas hidup pada miastenia gravis pasca
rehabilitasi menelan. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 46(1), 79-86.
Yusup, I. M., & Sobaryati, S. (2019). Plasma Exchange (PE) sebagai Pilihan
Pertama Terapi pada Krisis Myasthenia dengan Hemodinamik Stabil. Majalah
Anestesia dan Critical Care, 37(1), 13-21.