Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 15 MODUL 4
RADANG DAN INFEKSI PADA MUSKULOSKELETAL

DISUSUN OLEH KELOMPOK 7


Atira Mayang Putri M. 2010016001
Niken Nur Utami 2010016011
Ni Made Maharani 2010016033
Salsabila Rifha Ananda 2010016046
Anggita Maharani 2010016053
Muhammad Abdul Aziz 2010016062
Alfian Ananda Putra 2010016074
Nurul Aisyah Aguswar 2010016087
Jessica Margery R 1910016101
Miftahuljannah 2010016104

Tutor :
dr. Yetty Octavia Hutahaean, Sp.S.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya yang melimpah kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan yang berjudul “Radang dan Infeksi pada Muskuloskeletal” ini dengan tepat
waktu. Laporan ini telah kami susun atas berbagai sumber ilmiah sebagai hasil
diskusi kelompok kecil kami.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini, yaitu:

1. dr. Hoopmen, Sp.PK. selaku penanggung jawab Blok 15 Modul 4;


2. dr. Yetty O Hutahaean, Sp.S. selaku tutor kelompok 7 dalam membimbing
kami menyelesaikan diskusi kelompok kecil;
3. Mahasiswa/i kelompok 7 yang telah mengikuti proses berdiskusi dengan
meluangkan tenaga dan pikiran sehingga diskusi kelompok kecil dapat
berjalan dengan baik dan terselesaikan;
4. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2020 dalam
memberi dukungan bagi kami;
5. Semua pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Kami menyadari bahwa kami hanyalah sekedar manusia yang tidak


sempurna. Dengan demikian, kami bersedia secara terbuka untuk menerima saran
maupun kritikan sehingga baik laporan ini dan diri kami pribadi dapat menjadi lebih
baik lagi di masa depan.

Samarinda, 26 November 2022

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Pembelajaran 2
BAB II PEMBAHASAN DAN ISI 3
2.1 Skenario 3
2.2 Identifikasi Istilah 3
2.3 Identifikasi Masalah 3
2.4 Analisis Masalah 4
2.5 Strukturisasi Konsep 8
2.6 Identifikasi Tujuan Belajar (Learning Objective) 8
2.7 Belajar Mandiri 9
2.8 Sintesis Masalah 10
2.8.1 Mekanisme Inflamasi akibat Infeksi 10
2.8.2 Klasifikasi Radang Infeksi Tulang dan Sendi berdasarkan Area
Predileksi 21
2.8.3 Etiopatofisiologi Radang Infeksi pada Tulang dan Sendi 23
2.8.4 Faktor Resiko dan Predisposisi Radang Tulang dan Sendi 34
2.8.5 Penegakan Diagnosis Radang Infeksi Tulang dan Sendi 40
2.8.6 Tatalaksana Radang Infeksi Tulang dan Sendi 48
BAB III PENUTUP 57
3.1 Kesimpulan 57
3.2 Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 58

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi dan inflamasi merupakan dua hal berbeda. Infeksi secara


sederhana dapat diartikan sebagai masuknya kuman mikroorganisme ke
dalam tubuh melalui adanya pintu masuk kuman dengan memberikan
manifestasi gejala penyakit sesuai dengan fenomena banyaknya kuman
yang masuk berbanding dengan. kondisi/daya tahan tubuh untuk melakukan
perlawanan dari invasi tersebut. Sedangkan inflamasi atau peradangan
merupakan suatu reaksi lokal jaringan dengan manifestasi klinis berupa:
rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), kalor (panas), dolor (nyeri), dan
functio laesa (gangguan fungsi). Hasil peradangan adalah netralisasi dan
pembuangan agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis, serta
pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan.
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan
bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem utama
sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang,
sendi, otot rangka, tendon, ligamen, bursa, dan persendian. Infeksi dapat
mencapai tulang atau sendi melalui penyebaran tidak langsung melalui
aliran darah, invasi langsung melalui kulit, dan penyebaran langsung dari
fokus infeksi yang berdekatan. Gangguan muskuloskeletal akibat
peradangan dapat menimbulkan berbagai keluhan seperti nyeri,
pembengkakan, kemerahan, penurunan rentang gerak dan sebagainya
sehingga diperlukan kemampuan anamnesis yang baik serta pemahaman
dari seorang dokter untuk mempersepsikan bahasa pasien, serta
pemeriksaan fisik yang didukung pemeriksaan penunjang yang sesuai akan
membantu mendiagnosis keluhan pasien dengan baik dan benar agar dapat
menentukan tatalaksana yang sesuai untuk mengurangi atau mencegah
komplikasi dari gangguan muskuloskeletal.

1
1.2 Tujuan Pembelajaran

1. Mahasiswa/i mampu memahami mekanisme inflamasi akibat infeksi


2. Mahasiswa/i mampu memahami klasifikasi peradangan tulang dan sendi
berdasarkan area predileksi
3. Mahasiswa/i mampu memahami etiopatofisiologi radang infeksi tulang
dan sendi
4. Mahasiswa/i mampu memahami faktor resiko dan predisposisi
peradangan tulang dan sendi
5. Mahasiswa/i mampu memahami penegakan diagnosis radang infeksi
tulang dan sendi
6. Mahasiswa/i mampu memahami tatalaksana radang infeksi tulang dan
sendi

2
BAB II
PEMBAHASAN DAN ISI

2.1 Skenario

Lutut bengkak dan sakit

Seorang perempuan usia 60 tahun dibawa keluarganya berobat


dengan keluhan utama bengkak pada lutut kiri sejak 3 hari yang lalu. Pasien
merasa kesakitan sampai tidak bisa berjalan. Pasien adalah penderita
diabetes sejak 3 tahun yang lalu dan rutin kontrol di puskesmas. Pasien
tampak lemah. Saat diperiksa TD 140/80 mmHg, Nadi 100x/menit, suhu
39°C RR 24x/menit. Status generalis tidak terdapat kelainan. Hasil
pemeriksaan status lokalis, inspeksi sendi lutut kiri tampak seperti gambar
di bawah ini dengan hasil palpasi teraba hangat, lunak dan pasien mengeluh
nyeri berat terus menerus saat diistirahatkan maupun gerak aktif. Pasien
disarankan untuk rawat inap dan dilakukan pemeriksaan penunjang. Dokter
bedah ortopedi merencanakan tindakan aspirasi cairan sendi lutut.
Diskusikan dengan teman-teman di kelompok anda kasus diatas.

2.2 Identifikasi Istilah

Tidak ada istilah yang tidak diketahui pada skenario.

2.3 Identifikasi Masalah

1. Mengapa terjadi bengkak dan kemerahan?


2. Mengapa pasien merasa kesakitan hingga tidak bisa berjalan?
3. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan keluhan pasien?
4. Apa hubungan tekanan darah dengan keluhan pasien?
5. Apa hubungan suhu tubuh dengan keluhan pasien?

3
6. Apa hubungan riwayat diabetes dengan keluhan pasien?
7. Apa saja tujuan dan indikasi aspirasi cairan lutut?
8. Apa kemungkinan diagnosis keluhan pasien?
9. Apa tatalaksana awal yang dapat dilakukan?
10. Apa saja indikasi rawat inap sesuai dengan skenario?

2.4 Analisis Masalah

1. Mengapa terjadi bengkak dan kemerahan?

Bengkak dan kemerahan merupakan tanda terjadinya inflamasi.


Tanda inflamasi tersebut meliputi rubor, tumor, kalor, dolor, dan functio
laesa. Inflamasi dapat disebabkan agen biologis, kimia, dan fisik (trauma).

Ketika ada patogen yang masuk dalam tubuh, maka makrofag akan
berusaha memfagositnya, mengeluarkan mediator inflamasi sehingga sel
mast teraktivasi dan mengeluarkan histamin. Hal ini akan menyebabkan
pembuluh darah berdilatasi sehingga aliran darah meningkat menuju daerah
inflamasi tersebut dan menimbulkan kemerahan yang sifatnya lokal. Selain
itu juga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sehingga
akan terjadi peningkatan perpindahan plasma menuju ke jaringan interstisial
pada daerah inflamasi, maka akan terbentuk penonjolan pada kulit akibat
terisi cairan yang berlebihan, sehingga menimbulkan terjadinya bengkak
pada daerah yang mengalami inflamasi.

2. Mengapa pasien merasa kesakitan hingga tidak bisa berjalan?

Berkaitan dengan keluhan bengkak yang dialami pasien. Bengkak


yang terjadi akan menekan ujung-ujung saraf nyeri (yaitu free nerve ending
dan nosiseptor) dan akan terangsang saat ada iritasi karena jaringan yang
rusak dari proses inflamasi. Nyeri saat digerakkan itu salah satu tanda
inflamasi (functio laesa) dimana terganggunya fungsi suatu bagian tubuh

4
yang menyebabkan terbatasnya pergerakan suatu organ tubuh, nyeri tetap
ada selama mediator dan proses inflamasi tetap berjalan.

Tidak bisa jalan : merupakan salah satu manifestasi klinis dari


peradangan yaitu functio laesa terganggunya fungsi tubuh akibat proses
inflamasi.

3. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan keluhan
pasien?

Usia dan jenis kelamin berhubungan dengan keluhan pasien. Pada


usia lanjut maka fungsi tubuh dan imunitas akan menurun, sehingga mudah
terjadi infeksi.

Jenis kelamin berhubungan dengan hormon estrogen yang dimiliki


wanita. Ketika menopause, maka hormon estrogen akan menurun. Hormon
tersebut berfungsi mempertahankan otot rangka. Selain itu, wanita memiliki
struktur tubuh yang berbeda daripada laki-laki, di mana jaringan adiposa
lebih banyak di bagian panggul. Hal ini mengakibatkan beban tubuh yang
ditopang lutut semakin besar.

4. Apa hubungan tekanan darah dengan keluhan pasien?

Pasien mempunyai riwayat diabetes, di mana pada kondisi diabetes


terjadi peningkatan kadar glukosa darah sehingga akan meningkatkan
viskositas/kekentalan darah. Viskositas yang meningkat ini juga akan
meningkatkan tekanan darah

5. Apa hubungan suhu tubuh dengan keluhan pasien?

Suhu tubuh pasien merupakan reaksi sistemik pada inflamasi.


Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan langsung
dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai
rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri, peradangan, dan rangsang

5
pirogenik lain. Sebagai respons terhadap rangsangan pirogenik,maka
monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang
dikenal sebagai pirogen endogen (IL-1, TNFα, IL-6 dan interferon) yang
bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan
termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru
dan bukan di suhu tubuh normal.

6. Apa hubungan riwayat diabetes dengan keluhan pasien?

Diabetes seringkali dikaitkan dengan inflamasi. Inflamasi


sebenarnya merepresentasikan suatu respons protektif yang mengontrol
infeksi dan memicu perbaikan jaringan, namun dapat juga berkontribusi
pada kerusakan jaringan sekitarnya. Respon inflamasi biasanya dikaitkan
dengan variasi perubahan protein plasma dan sitokin proinflamasi. Respon
inflamasi fase akut merupakan reaksi sistemik dimana konsentrasi beberapa
protein plasma mengalami peningkatan atau penurunan dalam merespon
inflamasi. Konsentrasi plasma dari protein fase akut sebagian besar
tergantung pada biosintesis hati dari protein tersebut, dan perubahan
produksinya dipengaruhi oleh sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan
TNF-α.. Diabetes berkaitan dengan tingginya level serum sitokin inflamasi,
yaitu TNF-α dan IL-1β. Peningkatan produksi sitokin tersebut disebabkan
oleh efek tak langsung dari hiperinsulinemia atau hiperglikemia.
Peningkatan TNF-α juga dihubungkan dengan kontrol glikemik yang buruk
pada manusia.

7. Apa saja tujuan dan indikasi aspirasi cairan lutut?


Tujuan
● Diagnostik, dinilai secara makroskopis (dinilai warna. kemerahan =
ada trauma, kuning = proses infeksi, jernih = autoimun) dan
mikroskopis (ada peningkatan LED/tidak, dsb.)
● Teraupetik
Indikasi

6
Dilakukan apabila terdapat tanda inflamasi, nyeri persendian, dsb.

8. Apa kemungkinan diagnosis keluhan pasien?


● Osteomyelitis
● Bursitis
● Spondylitis
● Acute suppurative arthritis
● Artritis septic

9. Apa tatalaksana awal yang dapat dilakukan?

Metode RICE.
Rest artinya mengistirahatkan bagian tubuh yang cedera, sedangkan bagian
tubuh yang tidak cedera boleh tetap melakukan aktivitas. Ice artinya
memberikan efek dingin untuk membantu menurunkan suhu di sekitar
jaringan yang mengalami cedera. Compression adalah pemberian
penekanan kepada jaringan yang mengalami cedera. Penekanan dilakukan
bersama-sama dengan pemberian metode ice (kompres dingin). Elevasi
adalah meninggikan bagian yang mengalami cedera melebihi ketinggian
jantung sehingga dapat membantu mendorong cairan keluar dari daerah
pembengkakan. Pada tindakan elevasi, sebisa mungkin harus mengangkat
bagian tinggi di atas jantung, misalnya jika yang cedera pergelangan kaki,
pasien dalam posisi tidur kemudian pergelangan kaki diangkat atau ditopang
dengan alat lebih tinggi dari jantung. Bagian yang mengalami cedera
diangkat sehingga berada 15 – 25 cm di atas ketinggian jantung. Elevasi
sebaiknya dilakukan hingga pembengkakan menghilang.

10. Apa saja indikasi rawat inap sesuai dengan skenario?

7
● Pasien merasa kesakitan sampai tidak bisa berjalan. Nyeri yang
dirasakan pasien terus-menerus bahkan setelah diistirahatkan
● Pasien tampak lemah
● Vital sign pasien tidak normal
● Untuk dilakukan tindakan aspirasi cairan sendi lutut dan
pemeriksaan penunjang lainnya
● Ada riwayat diabetes
● Usia pasien 60 tahun
● Mencegah terjadinya sepsis atau mencegah kondisi pasien
memburuk

2.5 Strukturisasi Konsep

2.6 Identifikasi Tujuan Belajar (Learning Objective)

1. Mahasiswa/i mampu memahami mekanisme inflamasi akibat infeksi


2. Mahasiswa/i mampu memahami klasifikasi peradangan tulang dan sendi
berdasarkan area predileksi
3. Mahasiswa/i mampu memahami etiopatofisiologi radang infeksi tulang dan
sendi

8
4. Mahasiswa/i mampu memahami faktor resiko dan predisposisi radang
tulang dan sendi
5. Mahasiswa/i mampu memahami penegakan diagnosis radang infeksi tulang
dan sendi
6. Mahasiswa/i mampu memahami tatalaksana radang infeksi tulang dan sendi

2.7 Belajar Mandiri

Pada step ini masing-masing anggota diskusi melakukan proses


belajar mandiri sehubungan dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan
pada learning objective untuk mengetahui lebih dalam terhadap materi yang
akan dibahas pada diskusi kelompok kecil (DKK) 2.

9
2.8 Sintesis Masalah

2.8.1 Mekanisme Inflamasi akibat Infeksi

Inflamasi adalah respons non-spesifik terhadap invasi asing


atau kerusakan jaringan.Kata inflamasi merujuk ke serangkaian
proses bawaan non-spesifik yang saling berkaitan erat yang
diaktifkan sebagai respons terhadap invasi asing, kerusakan jaringan,
atau keduanya. Tujuan peradangan adalah membawa fagosit dan
protein plasma ke tempat invasi atau kerusakan untuk dapat (1)
mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan penyerang; (2)
membersihkan debris; dan (3) mempersiapkan proses penyembuhan
dan perbaikan. Respons peradangan keseluruhan sangat mirip satu
sama lain tanpa memandang apapun pemicunya (invasi bakteri,
cedera kimiawi, atau trauma mekanis) meskipun mungkin terlihat
beberapa perbedaan ringan, bergantung pada bahan yang mencederai
atau tempat kerusakan. Rangkaian proses berikut biasanya terjadi
selama respons peradangan. Sebagai contoh, kita menggunakan
masuknya bakteri ke kulit yang rusak.

A. Pertahanan oleh Makrofag Jaringan Residen

10
Ketika bakteri masuk melalui kerusakan di sawar eksternal
kulit (atau melewati jalan lain), makrofag yang sudah ada di daerah
tersebut segera memfagosit mikroba asing tersebut, melakukan
pertahanan melawan infeksi selama jam-jam pertama, sebelum
mekanisme lain diaktifkan. Makrofag residen juga menyekresi
bahan-bahan kimia seperti kemotaksin dan sitokin yang
menimbulkan berbagai respons imun.

B. Vasodilatasi Lokal
Hampir segera setelah invasi mikroba, arteriol di daerah
tersebut melebar, meningkatkan aliran darah ke tempat cedera.
Vasodilatasi lokal ini terutama dipicu oleh histamin yang dibebaskan
dari sel mast di daerah jaringan yang rusak (langkah dan 3
Peningkatan penyaluran darah lokal membawa lebih banyak leukosit
fagositik dan protein plasma, keduanya penting bagi respons
pertahanan)

C. Peningkatan Permeabilitas Kapiler


Pelepasan histamin juga meningkatkan permeabilitas kapiler
dengan memperbesar pori kapiler (celah antara sel-sel endotel)
sehingga protein plasma yang biasanya dicegah keluar dari darah
kini dapat masuk ke jaringan yang meradang.

D. Edema Lokal
Akumulasi protein plasma yang bocor di cairan interstisium
meningkatkan tekanan osmotik koloid cairan interstisium lokal.
Selain itu, meningkatnya aliran darah lokal meningkatkan tekanan
darah kapiler. Karena kedua tekanan ini cenderung memindahkan
cairan keluar kapiler, perubahan- perubahan tersebut mendorong
ultrafiltrasi dan mengurangi reabsorpsi cairan di kapiler. Hasil akhir
dari pergeseran keseimbangan cairan ini adalah edema lokal. Karena

11
itu, pembengkakan yang biasa terlihat menyertai peradangan
disebabkan oleh perubahan-perubahan vaskular yang dipicu oleh
histamin. Demikian juga, manifestasi makro lain pada peradangan,
misalnya kemerahan dan panas, sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah arteri hangat ke jaringan yang rusak
(inflammare berarti "dibuat menyala"). Nyeri disebabkan oleh
peregangan lokal di dalam jaringan yang membengkak dan oleh efek
langsung bahan-bahan yang diproduksi lokal pada ujung reseptor
neuron-neuron aferen yang mensarafi daerah tersebut. Karakteristik
proses peradangan yang mudah kita amati ini (pembengkakan,
kemerahan, panas, dan nyeri) berkaitan dengan tujuan utama
perubahan vaskular di daerah yang cedera meningkatkan jumlah
fagosit leukosit dan protein-protein plasma krusial di daerah
tersebut.

E. Pembentengan Daerah Yang Meradang


Protein-protein plasma yang bocor dan paling penting bagi
respons imun adalah protein-protein dalam sistem komplemen serta
faktor pembekuan dan anti-pembekuan. Pada pajanan ke

12
tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera dan ke bahan-bahan
kimia spesifik yang dikeluarkan oleh fagosit di tempat kejadian,
fibrinogen faktor akhir dalam sistem pembekuan-diubah menjadi
fibrin. Fibrin membentuk bekuan cairan interstisium di ruang-ruang
sekitar bakteri penginvasi dan sel yang rusak. Pembentengan bagian
yang cedera ini dari jaringan sekitar mencegah, atau setidaknya
memperlambat, penyebaran bakteri dan produk-produk toksiknya.
Kemudian faktor-faktor anti-pembekuan yang bekerja belakangan
secara bertahap melarutkan bekuan setelah bekuan tidak lagi
diperlukan.

F. Emigrasi Leukosit
Dalam sejam setelah cedera, area cedera dipenuhi oleh
leukosit yang telah meninggalkan pembuluh darah. Neutrofil tiba
pertama kali, diikuti selama 8 hingga 12 jam berikutnya oleh monosit
yang bergerak lebih lambat. Monosit kemudian membesar dan
matang menjadi makrofag dalam periode 8 hingga 12 jam
berikutnya. Sekali meninggalkan aliran darah, neutrofil atau monosit
tidak akan didaur ulang ke darah.

Leukosit dapat beremigrasi dari darah ke dalam jaringan


melalui tahap-tahap berikut:
● Neutrofil dan monosit yang berada di dalam darah melekat
ke la- pisan dalam endotel kapiler di jaringan yang terkena,
suatu proses yang dinamai marginasi. Selektin, sejenis
molekul perekat sel (cell adhesion molecule, CAM) yang
menonjol dari lapisan pembuluh ini, menyebabkan leukosit
yang lewat di darah melambat dan bergulir di sepanjang
interior pembuluh darah, seperti bulu-bulu halus pada karpet
yang memperlambat laju mobil-mobilan anak. Perlambatan
ini memungkinkan neutrofil dan monosit memiliki cukup

13
waktu untuk memeriksa faktor-faktor penggiat lokal "sinyal
SOS", seperti sitokin yang dilepaskan oleh makrofag residen
di jaringan sekitar yang terinfeksi. Jika ada, faktor-faktor
aktivasi ini menyebabkan leukosit melekat erat ke lapisan
endotel melalui interaksi dengan CAM jenis lain, integrin.
● Leukosit yang telah melekat tersebut segera meninggalkan
pembuluh darah melalui mekanisme yang dikenal sebagai
diapedesis. Leukosit yang melekat tersebut, dengan
melakukan gerakan mirip amuba , menyelinap masuk melalui
pori kapiler (meskipun leukosit berukuran lebih besar
daripada pori) dan kemudian merangkak maju menuju area
yang terluka. Neutrofil tiba paling dini di tempat peradangan
karena mobilitasnya lebih tinggi daripada monosit.
● Sel fagositik tertarik ke kemotaksin, mediator-mediator
kimiawi yang dilepaskan pada tempat kerusakan (taxis
berarti "daya tarik"). Pengikatan kemotaksin dengan reseptor
protein di membran plasma sel fagositik meningkatkan
masuknya Ca2+ ke dalam sel. Kalsium, pada gilirannya,
mengaktifkan perangkat kontrakti sel yang menghasilkan
pergerakan merayap mirip amuba. Karena konsentrasi
kemotaksin secara progresif meningkat mendekati tempat
cedera, sel- sel fagositik bergerak secara tepat menuju tempat
ini mengikuti gradien konsentrasi kemotaksin.

G. Proliferasi Leukosit
Makrofag jaringan residen serta leukosit yang keluar dari
darah dan bermigrasi ke tempat peradangan segera ditemani oleh sel-
sel fagositik baru yang direkrut dari sumsum tulang. Dalam beberapa
jam setelah awitan respons peradangan, jumlah neutrofil dalam
darah dapat meningkat hingga empat hingga lima kali daripada
normal. Juga terjadi peningkatan produksi monosit yang bertahan

14
lebih lama, tetapi dimulai lebih lambat sehingga sel prekursor
makrofag ini tersedia dalam jumlah yang lebih besar. Mobilisasi
netrofil simpanan dan proliferasi neutrofil, monosit, dan makrofag
baru dirangsang oleh berbagai mediator kimiawi (colony-stimulating
factors) yang dilepaskan dari daerah peradangan.

H. Menandai Bakteri Dengan Opsonin Untuk Dihancurkan


Fagosit harus mampu membedakan antara sel normal dan sel
asing atau abnormal sebelum melaksanakan misi destruktifnya. Jika
tidak, sel-sel ini tidak dapat secara selektif menelan dan
menghancurkan bahan yang tidak diinginkan saja. Pertama, fagosit,
melalui TLRnya, mengenali dan kemudian menelan infiltrator yang
memiliki komponen-komponen standar dinding sel bakteri yang
tidak terdapat di sel manusia. Kedua, partikel asing secara sengaja
ditandai untuk ingesti fagositik dengan melapisinya dengan
mediator-mediator kimiawi yang dihasilkan oleh sistem imun.
Bahan-bahan kimia yang diproduksi oleh tubuh yang menyebabkan
bakteri lebih rentan terhadap fagositosis dikenal sebagai opsonin
(opsonin berarti "siap untuk dimakan"). Opsonin terpenting adalah
antibodi dan salah satu protein teraktivasi pada sistem komplemen.

Opsonin meningkatkan fagositosis dengan menghubungkan


sel asing dengan sel fagositik. Satu bagian molekul opsonin
berikatan secara non-spesifik dengan permukaan bakteri, sementara

15
bagian lain molekul opsonin berikatan dengan tempat reseptor yang
spesifik untuknya pada membran plasma sel fagositik. Pengikatan
ini memastikan bahwa bakteri tidak memiliki kesempatan untuk
"melarikan diri" sebelum fagosit dapat melaksanakan serangan
mematikannya.

I. Destruksi Bakteri Oleh Leukosit


Neutrofil dan makrofag membersihkan daerah peradangan
dari agen infeksi dan toksik serta debris jaringan melalui mekanisme
fagositik dan non- fagositik; tindakan pembersihan ini adalah fungsi
utama respons peradangan.
Ingat kembali bahwa fagositosis mencakup penelanan
partikel asing dan debris jaringan, yang terdegradasi secara
intraseluler oleh enzim hidrolitik di dalam lisosom yang berfusi
dengan material yang terjebak. Makrofag dapat menelan sebuah
bakteri dalam waktu kurang dari 0,01 detik. Fagosit akhirnya mati
akibat akumulasi produk sampingan toksik dari degradasi partikel
asing atau akibat pembebasan secara tak-sengaja bahan-bahan kimia
lisosom destruktif ke dalam sitosol. Neutrofil biasanya mati setelah
menelan 5 hingga 25 bakteri sedangkan makrofag dapat bertahan
jauh lebih lama dan dapat menelan hingga 100 atau lebih bakteri.
Memang, makrofag yang berusia lebih lama bahkan membersihkan
daerah dari neutrofil yang mati selain debris jaringan lainnya. Pus
yang terbentuk pada luka terinfeksi adalah kumpulan sel-sel
fagositik ini, baik yang masih hidup maupun sudah mati; jaringan
nekrotik (mati) dicairkan oleh enzim-enzim lisosom yang dilepaskan
fagosit; dan bakteri.

J. Bahan Kimia Yang Disekresikan Oleh Fagosit Memperantarai


Respons Peradangan

16
Fagosit yang dirangsang oleh mikroba mengeluarkan banyak
bahan kimia yang berfungsi sebagai mediator peradangan. Semua
mediator kimiawi selain dari antibodi yang disekresi oleh leukosit
secara kolektif disebut sitokin. Makrofag, monosit, neutrofil, suatu
jenis sel T yang disebut sel T Helper, dan beberapa sel non-imun
seperti sel endotelial (sel yang melapisi pembuluh darah) dan
fibroblas (pembentuk serat pada jaringan ikat) semuanya
menyekresikan sitokin. Lebih dari 100 sitokin telah diidentifikasi
dan jumlahnya akan semakin berkembang seiring dengan peneliti
yang menguak senyawa kimia kompleks yang melaluinya, sel
efektor imun dapat berkomunikasi satu sama lain untuk
mengkoordinasikan aktivitasnya. Tidak seperti antibodi, sitokin
tidak berinteraksi secara langsung dengan antigen yang menginduksi
produksinya. Sitokin justru memicu sel imun lain untuk beraksi
menolong dalam menahan invasi. Sitokin biasanya bekerja secara
lokal sebagai parakrin pada sel di sekitarnya tetapi beberapa
bersirkulasi di dalam darah untuk menimbulkan efek endokrin pada
tempat yang jauh. Sitokin yang dilepaskan oleh fagosit menginduksi
kisaran aktivitas imun yang saling terkait, yang bervariasi dari
respons lokal hingga manifestasi sistemik yang menyertai invasi
mikroba. Beberapa sitokin memiliki nama terkait dengan identifikasi
pertama mereka atau fungsi yang paling penting, contohnya dengan
menjadi colony-stimulating factors spesifik. Sitokin lain dirancang
sebagai interleukin yang dinomori secara spesifik, seperti interleukin
1 (IL 1), interleukin 2 (IL2), dan seterusnya (interleukin berarti "di
antara leukosit"); 35 interleukin telah diidentifikasi hingga saat ini,
diberi angka sesuai urutan penemuannya. Interleukin mengatur
berbagai jenis aktivitas imun yang saling tumpang tindih dan
independen. Berikut ini adalah fungsi-fungsi terpenting sekresi
fagosit.

17
1. Sebagian bahan kimia, yang sangat destruktif, secara
langsung mematikan mikroba melalui cara-cara non-
fagositik. Sebagai contoh, makrofag mengeluarkan nitrat
oksida (NO), suatu bahan kimia serba-guna yang toksik bagi
mikroba sekitar. Cara destruksi yang lebih halus, neutrofil
mengeluarkan laktoferin, suatu protein yang berikatan erat
dengan besi, menyebabkan besi tidak dapat digunakan oleh
bakteri penginvasi. Perkembangbiakan bakteri bergantung
pada konsentrasi tinggi besi yang tersedia.
2. Beberapa senyawa kimia yang dilepaskan oleh makrofag,
yaitu interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6), dan faktor
nekrosis tumor (tumor necrosis factor, TNF) secara bersama
bertindak untuk menghasilkan efek yang beragam baik
secara lokal maupun ke seluruh tubuh, semuanya
dipersiapkan untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi
atau kerusakan jaringan. Mereka memacu inflamasi dan
bertanggung jawab terhadap manifestasi sistemik yang
menyertai infeksi. (Faktor nekrosis tumor dinamai atas
perannya dalam membasmi sel kanker tetapi sel ini juga
menimbulkan efek lainnya).
3. Trio sitokin yang sama berfungsi bersama sebagai pirogen
endogen (PE) yang memicu terjadinya demam (endogen
berarti "dari dalam tubuh"; piro artinya "panas" atau "api";
gen artinya "produksi"). Respons ini terjadi terutama jika
organisme penginvasi telah menyebar ke dalam darah.
Pirogen endogen menyebabkan pengeluaran prostaglandin di
dalam hipotalamus, yaitu perantara kimiawi lokal yang
"menyalakan termostat" pengatur suhu tubuh. Fungsi
peningkatan suhu tubuh dalam melawan infeksi belum
diketahui pasti. Demam merupakan manifestasi sistemik
umum peradangan, mengisyaratkan bahwa peningkatan suhu

18
memiliki peran menguntungkan yang penting dalam respons
peradangan secara keseluruhan, seperti didukung oleh bukti-
bukti terakhir. Suhu yang lebih tinggi tampaknya
meningkatkan fagositosis, meningkatkan kecepatan berbagai
aktivitas peradangan dependen enzim, dan menghambat
perkembangbiakan bakteri dengan meningkatkan kebutuhan
bakteri terhadap besi. Menyelesaikan masalah kontroversial
mengenai apakah demam dapat bermanfaat merupakan hal
yang sangat penting, karena luasnya pemakaian obat yang
menekan demam. Meskipun demam ringan mungkin
bermanfaat, tidak diragukan lagi bahwa demam yang sangat
tinggi dapat membahayakan, terutama dengan merusak
sistem saraf pusat. Anak, yang mekanisme pengatur suhunya
belum stabil seperti orang dewasa, kadang kadang
mengalami kejang ketika demam tinggi.
4. IL-1, IL-6, dan TNF juga menurunkan konsentrasi plasma
besi dengan mempengaruhi metabolisme besi di dalam hati,
limpa, dan jaringan lain. Hal ini mengurangi jumlah besi
yang tersedia untuk mendukung perkembangbiakkan bakteri.
5. Selain itu, ketiga sitokin yang sama merangsang pengeluaran
protein fase akut dari hati. Kumpulan protein ini, yang belum
dipilah-pilah oleh para peneliti, menimbulkan efek luas yang
berkaitan dengan proses peradangan, perbaikan jaringan, dan
aktivitas sel imun. Salah satu protein fase akut yang banyak
dikenal adalah protein reaktif-C, yang secara klinis dianggap
sebagai penanda peradangan dalam darah. Protein reaktif C
berfungsi sebagai opsonin non-spesifik yang terikat ke
permukaan berbagai jenis bakteri.
6. TNF merangsang pengeluaran histamin dari sel mast di
sekitar tempat peradangan. Histamin, pada gilirannya,

19
memicu vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
kapiler pada inflamasi.
7. IL-1 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan
T yang masing-masing, pada gilirannya, berperan dalam
pembentukan antibodi dan imunitas diperantarai-sel
8. Faktor stimulasi koloni dari makrofag, limfosit, sel endotel,
dan fibroblas merangsang sintesis dan pelepasan neutrofil
dan monosit oleh sumsum tulang. Efek ini terutama nyata
dalam respons terhadap infeksi bakteri.
9. Terdapat mediator kimiawi fagosit lain memicu sistem
pembekuan dan anti-pembekuan untuk mula-mula
meningkatkan proses pembentengan dan kemudian
mempermudah pelarutan bertahap bekuan fibrin setelah
bekuan tidak lagi diperlukan.
10. Suatu bahan kimia yang dikeluarkan oleh neutrofil, kalikrein,
mengubah prekursor protein-protein plasma spesifik yang
dihasilkan oleh hati menjadi kinin yang aktif. Kinin aktif
memperkuat berbagai proses peradangan. Sebagai contoh,
produk akhir kaskade kinin, bradikinin, mengaktifkan
reseptor nyeri sekitar sehingga ikut menimbulkan rasa nyeri
yang berkaitan dengan peradangan. Bradikinin juga
mendilatasi pembuluh darah di area ini, memperkuat efek
histamin. Melalui mekanisme umpan balik positif, kinin juga
berfungsi sebagai kemotaksin kuat untuk menarik lebih
banyak neutrofil ke tempat pertempuran.

Daftar peristiwa yang diperkuat oleh bahan-bahan kimia


yang dikeluarkan oleh fagosit ini belum tuntas tetapi daftar ini sudah
menggambarkan keberagaman dan kompleksitas respons yang
ditimbulkan oleh mediator-mediator tersebut. Selain itu, nanti akan
dijelaskan interaksi makrofag-limfosit lainnya yang penting yang

20
tidak bergantung pada pelepasan akan dijelaskan interaksi makrofag
limfosit lainnya yang penting yang tidak bergantung pada pelepasan
bahan-bahan kimia dari sel fagositik. Oleh karena itu, efek yang
akhirnya ditimbulkan oleh fagosit, terutama makrofag, pada mikroba
penginvasi jauh melebihi sekedar taktik 'telan dan hancurkan".

Tujuan akhir proses peradangan adalah mengisolasi dan dan


menghancurkan penyebab cedera dan membersihkan daerah
peradangan untuk proses perbaikan jaringan. Di sebagian jaringan
(misalnya kulit, tulang, dan hati), sel-sel sehat spesifik-organ yang
mengelilingi daerah cedera mengalami pembelahan untuk
mengganti sel yang hilang, sering menghasilkan penyembuhan yang
sempurna. Namun, di jaringan yang biasanya non regeneratif
misalnya saraf dan otot, sel sel yang hilang diganti oleh jaringan
parut. Fibroblas, sejenis sel jaringan ikat, mulai membelah diri
dengan cepat di sekitar tempat peradangan dan mengeluarkan
banyak protein kolagen, yang mengisi bagian yang kosong bekas sel
yang hilang dan menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Bahkan
di jaringan yang mudah diperbarui seperti kulit, kadang-kadang
terbentuk jaringan parut jika struktur-struktur kompleks di
bawahnya, misalnya folikel rambut dan kelenjar keringat, rusak
permanen akibat luka yang dalam.

2.8.2 Klasifikasi Radang Infeksi Tulang dan Sendi berdasarkan Area


Predileksi

A. Osteomielitis
1. Osteomielitis Hematogen Akut

Tempat: Sumsung tulang dan dapat menyebar secara lokal ke


periosteum. Pada anak biasanya terjadi pada tulang panjang yang

21
sangat vaskular terutama ekstremitas bawah, pada dewasa lebih
umum pada badan vertebra lumbar dibandingkan area lainnya.

2. Osteomielitis Hematogen Sub-Akut

Tempat: Lebih variatif tempat persebarannya pada skeletal


dibandingkan yang akut akan tetapi untuk tempat yang paling
sering ditemui itu pada daerah distal femur dan proksimal tibia.

3. Osteomielitis Sklerosing

OM sklerosing atau OM garre, merupakan OM subakut yang


terbentuk kavitas yang dikelilingi jaringan sklerotik, biasanya
diderita oleh remaja dan orang dewasa.

Tempat: Daerah metafisis dan diafisis pada tulang panjang.

4. Osteomielitis Kronis

Tempat: Jika pada fraktur terbuka atau tindakan operatif berarti


menyesuaikan.

B. Arthritis Supuratif Akut

Tempat: Kelainan biasanya dimulai dari jaringan sinovial, pada bayi


biasanya terjadi pada epifisis yang sebagian besar merupakan tulang
rawan, pada anak juga terjadi pada epifisis yang mengalami nekrosis,
sedangkan pada orang dewasa pada kartilago sendi.

C. Tuberkulosis Tulang dan Sendi

Tempat: TB sendi dan tulang pada umumnya terutama mengenai


daerah tulang belakang (50-70%) dan sisanya pada sendi-sendi besar
seperti panggul seperti panggul, lutut, pergelangan, sendi bahu, dan
sendi-sendi kecil

22
D. Osteomielitis Tuberkulosa

Tempat: Kalau pada OM hematogen akut umumnya pada metafisis


sedangkan OM TB pada daerah tulang belakang.

E. Arthritis Septik

Tempat: Bisa inokulasi langsung pada saat kontak dari jaringan


periartikuler yang terinfeksi atau secara hematogen, untuk
predileksinya pada rongga sendi atau cavitas sinovium.

F. Spondilitis TB

Tempat: thoracalis bawah dan lumbalis atas

2.8.3 Etiopatofisiologi Radang Infeksi pada Tulang dan Sendi


Infeksi merupakan suatu kondisi di mana mikroorganisme
patogen berkembang biak dan menyebar di dalam jaringan tubuh.
Mikroorganisme dapat mencapai jaringan muskuloskeletal melalui:
1) Pengenalan langsung melalui kulit (suntikan, luka tusuk,
laserasi, fraktur terbuka atau operasi);
2) Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan;
atau
3) Penyebaran secara tidak langsung melalui aliran darah
(hematogen) dari tempat yang jauh seperti hidung atau
mulut, saluran pernapasan, usus atau saluran genitourinaria.

Kerentanan host terhadap infeksi dapat meningkat karena:


1) Faktor lokal, seperti trauma, jaringan parut, sirkulasi yang
buruk, berkurangnya kepekaan, penyakit tulang atau sendi

23
kronis dan adanya benda asing termasuk implan, juga
sebagai
2) Faktor sistemik, seperti malnutrisi, penyakit umum,
kelemahan, diabetes, penyakit rematik, pemberian
kortikosteroid dan segala bentuk imunosupresi, baik yang
didapat atau diinduksi. Perlawanan juga berkurang pada
yang sangat muda dan yang sangat tua.

Infeksi tulang berbeda dari infeksi jaringan lunak karena


tulang terdiri dari kumpulan kompartemen yang kaku. Tulang
dengan demikian lebih rentan daripada jaringan lunak terhadap
kerusakan pembuluh darah dan kematian sel karena tekanan pada
peradangan akut. Kecuali jika ditekan dengan cepat, infeksi tulang
pasti akan menyebabkan nekrosis.
Secara umum, proses terjadinya penyebaran infeksi hingga
menimbulkan inflamasi adalah sebagai berikut:
1) Pada kolonisasi bakteri pada tulang dengan implan, bakteri
dapat melekat pada permukaan avaskular tulang atau
permukaan benda asing yang dipasang pada tulang
(implant). Bakteri cenderung membentuk perkumpulan pada
permukaan benda asing. Kumpulan bakteri ini dilapisi oleh
protein-polisakarida, disebut sebagai biofilm. Biofilm
membantu perkembangan komunitas bakteri, dengan
melindunginya. Apabila biofilm matang, pelepasan bakteri
dari perkumpulan yang terbentuk akan memperluas
kolonisasi. Kolonisasi ini hanya bisa dihentikan jika implant
(pusat kumpulan) diangkat atau diganti.
2) Dengan infeksi pyogenik akut, yang ditandai dengan
penumpukan pus (leukosit mati, bakteri mati/sekarat dan
debris jaringan) yang terlokalisasi. Tekanan menumpuk di
dalam abses, kemudian infeksi meluas ke sendi dan korteks

24
sepanjang jaringan. Infeksi dapat meluas secara limfogen
atau hematogen. Reaksi sistemik yang menyertai bervariasi
dari kelelahan dengan pireksia ringan sampai berat, toksemia
dan syok. Proses selanjutnya terjadi hiperemis dan edema di
daerah metafisis disertai pembentukan pus di dalam tulang
dimana jaringan tulang tidak dapat beradaptasi, tekanan di
dalam tulang bertambah, sirkulasi terganggu, menyebabkan
trombosis
3) Infeksi pyogenic kronis terjadi setelah infeksi akut yang
tidak teratasi dan ditandai dengan menetapnya organisme
penyebab infeksi (atau, lebih sering, multipel
mikroorganisme) di kantong-kantong jaringan nekrotik.
Bahan purulen terakumulasi dan dapat keluar melalui sinus
pada kulit atau luka yang tidak sembuh dengan baik. Faktor-
faktor yang memengaruhi hasil ini adalah adanya otot yang
rusak, tulang mati (sequestrum) atau implan asing,
berkurangnya suplai darah lokal, dan respons pejamu yang
lemah.
4) Infeksi nonpyogenik kronis melibatkan Invasi organisme
yang menghasilkan reaksi seluler hingga pembentukan
granuloma yang terdiri dari limfosit, makrofag termodifikasi
dan giant cell inti banyak; Paling sering terlihat pada
tuberkulosis. Efek sistemik berupa limfadenopati,
splenomegali, dan pengecilan jaringan. Pada infeksi M.
tuberculosis, TB masuk ke dalam tubuh melalui paru-paru
(droplet). Berbeda dengan infeksi piogenik, infeksi kuman
TB menyebabkan reakasi granulomatosa yang menyebabkan
nekrosis pada jaringan dan kaseosa.

A. Osteomielitis

25
Osteomielitis merupakan peradangan yang terjadi pada
struktur tulang dan sumsum tulang. Organisme penyebab terbanyak
yaitu Staphylococcus aureus (ditemukan pada lebih dari 70% kasus),
dan kokus gram-positif lainnya, seperti Streptococcus beta-hemolitik
Grup A (Streptococcus pyogenes) yang ditemukan pada infeksi kulit
kronis, serta Streptococcus Grup B (terutama pada bayi baru lahir)
atau alphahaemolytic diplococcus S. pneumoniae.
Organisme Gram-negatif lainnya (misalnya Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis dan anaerobic
Bacteroides fragilis) terkadang menyebabkan infeksi tulang akut.
Organisme anaerob (khususnya Peptococcus magnus) telah
ditemukan pada pasien dengan osteomyelitis, biasanya sebagai
bagian dari infeksi campuran.

B. Osteomielitis Akut
Pada periode akut awal penyakit, pasokan vaskular ke tulang
berkurang karena infeksi yang meluas ke jaringan lunak. Area tulang
mati yang luas dapat terbentuk ketika pasokan darah meduler dan
periosteal terganggu. Jaringan fibrosa dan sel inflamasi kronis akan
berkerumun di sekitar jaringan granulasi dan tulang mati setelah
infeksi terjadi. Ketika infeksi sudah tertahan, suplai pembuluh darah
di sekitar area infeksi akan berkurang yang mengakibatkan tidak
efektifnya respon inflamasi. Osteomielitis akut, jika tidak diobati
secara efektif, dapat menyebabkan penyakit kronis.
Nekrosis jaringan tulang merupakan gambaran penting dari
osteomielitis. Jaringan granulasi yang berkembang di permukaan
infeksius menghasilkan enzim yang menyerap tulang mati. Resorpsi
paling cepat terjadi di persimpangan tulang hidup dan nekrotik. Jika
area tulang mati kecil, maka akan hancur seluruhnya meninggalkan
rongga. Tulang kanselus nekrotik pada osteomielitis lokal biasanya
diresorpsi. Ketika beberapa tulang mati terpisah dari tulang normal

26
selama proses nekrosis dan dikelilingi oleh kumpulan eksudat yang
terinfeksi, maka akan membentuk sequestrum. Aksi enzim
proteolitik yang dihasilkan oleh sel pertahanan inang, terutama
makrofag atau leukosit polimorfonuklear sebagian besar
mengganggu unsur organik dalam tulang yang mati. Sementara
tulang cancellous diserap kembali dan mungkin sepenuhnya
diasingkan atau bahkan dihancurkan dalam waktu dua hingga tiga
minggu, pemisahan tulang kortikal nekrotik akan membutuhkan dua
minggu hingga enam bulan. Setelah itu, tulang yang mati perlahan
akan mulai terurai dan diserap kembali setelah benar-benar terpisah.

C. Osteomielitis Kronis
Kehadiran tulang nekrotik, pembentukan tulang baru, dan
eksudasi leukosit polimorfonuklear yang bergabung dengan
komponen darah lainnya adalah beberapa gambaran patologis
osteomielitis kronis. Fragmen periosteum dan endosteum yang
bertahan di area infeksi membentuk tulang baru. Ini membentuk
involucrum, selubung tulang hidup yang membungkus tulang mati
di bawah periosteum. Involucrum sering dilubangi oleh
lubang/kloaka sehingga nanah dapat mengalir ke jaringan lunak di
sekitarnya dan mengalir ke permukaan kulit menyebabkan
pembentukan sinus kronis. Ini juga dapat secara bertahap
meningkatkan kepadatan dan ketebalannya untuk membentuk
sebagian atau seluruh diafisis baru. Peningkatan jumlah dan
kepadatan tulang ini sesuai dengan ukuran tulang dan lama serta

27
luasnya infeksi. Endosteum tulang baru dapat berproliferasi dan
menyumbat kanal meduler. Terutama pada anak-anak, setelah
pertahanan tuan rumah atau pengangkatan sequestrum secara
operatif, rongga yang tersisa dapat diisi dengan tulang baru. Namun,
pada orang dewasa, rongga dapat bertahan atau ruang tersebut akan
diisi dengan jaringan fibrosa yang dapat menghubungkan permukaan
kulit melalui saluran sinus.

D. Artritis Sepsis
Organisme dapat menginvasi secara inokulasi langsung pada
saat kontak dari jaringan periartikular yang terinfeksi atau melalui
aliran darah (rute yang paling umum). Sinovium merupakan struktur
yang kaya dengan vaskular yang kurang dibatasi oleh membran basal
sehingga memungkinkan mudah masuknya bakteri secara
hematogen. Di dalam ruang sendi, lingkungannya sangat avaskular
(karena banyaknya fraksi kartilago hialin) dengan aliran cairan sendi
yang lambat, sehingga suasana yang baik bagi bakteri berdiam dan
berproliferasi.
Sendi normal memiliki beberapa komponen pelindung. Sel
sinovia yang sehat memiliki aktivitas fagositosis signifikan dan
cairan sinovia biasanya memiliki aktivitas bakterisida signifikan.
Kondisi artritis rematik dan lupus eritematosus sistemis
menghambat fungsi pertahanan cairan sinovia, penurunan
kemotaksis, dan penurunan fungsi fagositosis leukosit PMN.
Adanya riwayat kerusakan sendi, terutama oleh rematoid artritis
akan memberikan kondisi yang paling rentan terhadap infeksi.
Perubahan membran sinovia dengan terjadinya peningkatan dari
neovaskularisasi sendi dan peningkatan adhesi memberikan
manifestasi untuk terjadinya bakteremia dan mengakibatkan infeksi
sendi.

28
Konsekuensi utama dari invasi bakteri adalah kerusakan
tulang rawan artikular. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kemampuan organisme untuk membentuk kondisi patologis. Sel-sel
merangsang sintesis sitokin dan produk inflamasi lainnya yang
mengakibatkan hidrolisis kolagen dan proteoglikan. Infeksi gonorea
menginduksi masuknya leukosit ke dalam sendi, lalu menimbulkan
kerusakan sendi yang minimal dibandingkan dengan infeksi
organisme Staphylococcus aureus.
Dengan berlanjutnya proses destruktif, maka terbentuk erosi
tulang rawan pada margin lateral sendi dan dengan semakin luasnya
kerusakan tulang rawan akan terbentuk ekspos tulang yang
mengganti posisi tulang rawan, kondisi ini akan menurunkan fungsi
sendi. Kondisi lebih lanjut akan menyebabkan degenerasi tulang
yang terlibat sehingga mengalami perubahan arsitektur pada ujung
tulang. Kondisi pembentukan efusi yang dapat terjadi pada infeksi
pada sendi pinggul akan mengganggu suplai darah dan
mengakibatkan nekrosis tulang.

E. Spondilitis Tuberkulosa
Spondilitis TB adalah penyakit radang granulomatosa pada
tulang belakang yang bersifat kronik yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Tulang belakang adalah lokasi infeksi
tuberkulosis tulang yang paling sering, yakni sekitar 50% kasus
tuberkulosis osteoartrikular. Apabila infeksi bakteri Mycobacterium

29
tuberculosis ini mengenai korpus vertebra, maka kerusakan yang
terjadi menimbulkan instabilitas tulang belakang dan gangguan
struktur di sekitarnya. Pasien dapat lumpuh akibat kompresi pada
medula spinalis.
Penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Penyebaran hematogen yang
paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru.
Reaksi pertama pada infeksi tuberkulosis di tulang belakang
terjadi pada sistem RES korpus vertebra berupa penimbunan sel-sel
polimorfonuklear (PMN) yang segera digantikan oleh makrofag dan
monosit. Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis basil
tuberkulosis oleh makrofag akan dikeluarkan melalui sitoplasma
makrofag dan membentuk sel-sel epiteloid (datia Langhans) dan
nekrosis perkijuan yang memberikan gambaran reaksi spesifik tubuh
terhadap infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Dalam waktu
sekitar satu minggu, limfosit akan muncul dan membentuk cincin
yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel-sel epiteloid, sel datia
Langhans, dan limfosit ini akan membentuk suatu nodul yang
disebut tuberkel. yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal,
dan berada pada tulang subkondral di bagian superior atau inferior
anterior korpus vertebra. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan
di sentral tuberkel tersebut, dan reaksi eksudatif berupa abses dingin
yang terdiri dari serum, leukosit, jaringan perkijuan, debris tulang
dan basil tuberkel yang dapat berpenetrasi dan menyebar ke berbagai
arah.

30
Proses selanjutnya ditandai dengan hiperemia dan
osteoporosis berat akibat resorpsi tulang yang akan mengakibatkan
terjadinya destruksi korpus vertebra di anterior. Proses perkijuan
yang terjadi akan menghalangi proses pembentukan tulang reaktif
dan mengakibatkan segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular,
sehingga terbentuklah sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di
anterior akan mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang
terinfeksi dan terbentuklah kifosis atau angulasi posterior tulang
belakang. Infeksi selanjutnya dapat menembus korteks vertebra,
menginfeksi jaringan lunak di sekitarnya dan membentuk abses
paravertebral. Abses dapat berkumpul dan mendesak ke arah
belakang sehingga menekan medula spinalis dan mengakibatkan
paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Selain karena tekanan
abses, paraplegia awal dapat pula disebabkan oleh kerusakan medula
spinalis akibat gangguan vaskular atau akibat regangan terus
menerus pada gibus yang disebut paraplegia lanjut.
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosis dibagi dalam 5
stadium, yaitu:
- Stadium implantasi, merupakan kondisi dimana terjadi
duplikasi bakteri Mycobacterium tuberculosis membentuk
koloni-koloni baru yang terjadi saat daya tahan tubuh
penderita menurun. Proses duplikasi ini berlangsung selama
6–8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah
paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah
sentral vertebra.
- Stadium destruksi awal, ketika stadium implantasi berlanjut,
akan terjadi proses destruksi korpus vertebra serta
penyempitan ringan pada diskus yang berlangsung selama 3–
6 minggu.
- Stadium destruksi lanjut, terjadi destruksi yang masif,
kolapsnya vertebra, dan terbentuknya massa kaseosa serta

31
pus yang berbentuk abses dingin. Kondisi ini terjadi pada 2–
3 bulan setelah stadium destruksi awal. Sekuestrum dapat
terbentuk dan kerusakan diskus intervertebral dapat terjadi.
Pada saat inilah terbentuk tulang baji, terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra,
yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
- Stadium gangguan neurologis, disebabkan oleh adanya
tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan
10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada
regio ini.
- Stadium deformitas residula, akan terjadi 3–5 tahun setelah
munculnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat
permanen. Hal ini disebabkan oleh adanya kerusakan
vertebra yang masif di sebelah depan.

F. Bursitis

Bursitis adalah peradangan pada bursa yang terjadi ketika


lapisan sinovial menjadi menebal dan menghasilkan cairan yang
berlebihan sehingga menyebabkan pembengkakan dan rasa nyeri.
Bursa adalah struktur seperti kantung yang berisi cairan sinovial
yang berfungsi sebagai bantalan penyangga di antara kulit dan tulang
pada bursa yang superfisial dan di antara tendon, ligamen dan tulang
pada bursa profundus. Bursa dilapisi oleh jaringan sinovial yang
menghasilkan cairan yang bertujuan melumasi dan mengurangi
gesekan antara struktur ini. Bursa sinovial dilapisi oleh sel endotel
yang mengandung sel sinovial yang dapat mensekresi cairan sinovial
yang kaya protein dan proteoglikan, sel sinovial bursa yang
meradang bermultiplikasi dan meningkatkan formasi kolagen serta

32
produksi cairan sinovial ditambah dengan membran kapiler yang
lebih permeabel memungkinkan masuknya cairan tinggi protein
sehingga bursa menjadi terisi dengan cairan yang sering kaya fibrin
dan cairan bisa menjadi hemoragik.

Bursitis dapat disebabkan oleh gangguan autoimun, deposisi


kristal asam urat, infeksi dan cedera berulang. Cedera berulang pada
bursa dapat menghasilkan vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas vaskular yang merangsang kaskade inflamasi, selain
itu juga bursitis dan gangguan jaringan lunak lainnya telah dikaitkan
dengan hipermobilitas umum dimana berapa kondisi rematik seperti
gout dapat menyebabkan terjadinya bursitis. Bursitis septik (infeksi)
paling sering terjadi pada bursa superfisial. Dalam sebagian besar
kasus merupakan hasil dari kontak langsung mikroorganisme
melalui cedera traumatik atau melalui penyebaran infeksi dari
selulitis. Organisme penyebab yang paling umum adalah
Staphylococcus aureus, diikuti oleh streptokokus. Namun, banyak
organisme lain telah terlibat dalam bursitis septik, termasuk
mikobakteri (baik strain tuberkulosis dan nontuberkulous), jamur
(Candida), dan ganggang (Prototheca wickerhamii).

Terdapat tiga fase pada bursitis, diantaranya fase akut, fase


berulang dan fase kronis. Selama fase akut bursitis, peradangan lokal
terjadi dan cairan sinovial bertambah dan setiap gerakan menjadi
menyakitkan sebagai hasilnya. Bursitis kronis menyebabkan rasa
sakit terus-menerus pada daerah bursa yang meradang dan dapat
menyebabkan melemahnya ligamen dan tendon hingga berujung
pada ruptur tendon. Karena kemungkinan efek samping bursitis
kronis pada struktur di atasnya, bursitis dan tendinitis dapat terjadi
secara bersamaan sehingga diagnosis diferensial harus mencakup
kedua struktur ini.

33
2.8.4 Faktor Resiko dan Predisposisi Radang Tulang dan Sendi

A. Faktor Resiko

1. Diabetes
Pada usia yang lebih tua, berbagai kondisi medis dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi sendi, misalnya, artritis
yang sudah ada sebelumnya atau prostesis sendi dan kronis
penyakit ekstraartikular yang menyebabkan imunosupresi atau
penyebaran infeksi secara hematogen ke dalam sendi.
Peningkatan risiko septic arthritis pada orang tua mungkin
disebabkan oleh prevalensi penyakit kronis yang lebih tinggi
penyakit dan penurunan imunokompetensi di populasi ini
dibandingkan dengan orang yang lebih muda.
Diabetes mellitus sendiri meningkatkan kerentanan
infeksi, karena pengaruh hiperglikemia pada fungsi sel
polimorfonuklear (PMN). Mekanisme termasuk penurunan
mobilisasi leukosit ke tempat infeksi, cacat pada kemotaksis,
gangguan glikolisis intraseluler leukosit sehingga kekurangan
pasokan energi yang dibutuhkan untuk penyerapan
mikroorganisme, dan gangguan pembunuhan mikroorganisme
intraseluler. Sebagai tambahan, faktor-faktor neuropati
diabetik dapat menyebabkan septik radang sendi melalui
infeksi kulit.
Neutrofil adalah fagosit dari sistem kekebalan inang
dan sangat penting dalam pembersihan patogen, khususnya S.
aureus, yang merupakan patogen paling umum yang diisolasi
pada orang dengan diabetes. Produksi ROS ekstraseluler,
pelepasan sitokin pro-inflamasi, dan pembentukan NET
meningkat pada diabetes, sedangkan migrasi neutrofil,
apoptosis, dan produksi ROS intraseluler berkurang, yang

34
pada akhirnya mengganggu pembunuhan bakteri dan
peradangan.
Pada DM, terjadi shunting molekul glukosa.
Metabolisme melalui jalur ini menurunkan kadar scavenging
oleh ROS dan memodifikasi faktor transkripsi yang mengatur
gen pro-inflamasi. Peningkatan generasi sitokin selanjutnya
mengaktifkan neutrofil berikutnya, menyebabkan loop
peradangan berlebihan pada diabetes.
Selanjutnya, hiperglikemia menyebabkan sintesis de
novo aktivator protein kinase C (PKC), diacylglycerol (DAG),
meningkatkan pembentukan kompleks oksidase NADPH pada
membran plasma dan menyebabkan stres oksidatif.
Hiperglikemia mengubah osmolaritas cairan tubuh dan stres
hiperosmotik, menyebabkan penyusutan sel dan masuknya
kalsium ke dalam neutrofil, yang menyebabkan gangguan
fagositosis dan peningkatan regulasi sitokin pro-inflamasi.
Konsentrasi kalsium intraseluler yang tinggi menghabiskan
ATP yang tersedia, berdampak pada fungsi utama yang
bergantung pada energi, seperti fagositosis.

2. Hemodialisa
Merupakan perawatan untuk kondisis gagal ginjal,
berhubungan dengan gangguan keseimbangan mineral dalam
tubuh. Ketika ginjal rusak menyebabkan asupan zat seperti
fosfat dari makanan menumpuk di dalam tubuh sehingga
membuat Zat FGF-23 (Fibroblast Growth Factor) meningkat
yaitu zat yang mengatur reabsorpsi fosfat dan memiliki efek
meningkatkan produksi hormon Counterregulatory yang
melindungi organisme dari paparan vitamin D dan kalsium
berlebih, dikarenakan Zat FGD-23 meningkat membuat vit. D

35
dan Kalsium (sebagai zat penguat tulang) menurun, sehingga
meningkatkan resiko kerusakan tulang.

B. Faktor Predisposisi
1. Usia
Sebagian besar pekerjaan hingga saat ini tentang
hubungan antara perubahan penuaan pada tingkat sel dan
perkembangan OA berfokus pada kartilago artikular.
Mengingat kesamaan antara kondrosit dan sel meniskus,
penelitian ini mungkin juga berhubungan dengan penuaan
pada meniskus tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
pada jaringan spesifik tersebut. Biasanya ada sedikit atau tidak
ada pergantian sel pada kartilago artikular dewasa sehingga
kondrosit dianggap sebagai sel berumur panjang dan dengan
demikian dapat mengakumulasi perubahan terkait usia selama
bertahun-tahun. Dalam banyak jaringan, sel-sel tua dapat
digantikan oleh diferensiasi sel dari kumpulan sel progenitor
lokal tetapi pada tulang rawan artikular dewasa tidak jelas
apakah kumpulan seperti itu ada. Studi terbaru telah
menantang anggapan bahwa tulang rawan tidak mengandung
sel progenitor tetapi studi ini dilakukan dengan jaringan sapi
dari hewan yang sangat muda atau jaringan OA, yang terakhir
mungkin termasuk sel dari jaringan lain seperti sinovium atau
sumsum tulang yang dapat membuat jalan mereka ke tulang
rawan ketika rusak parah. Bahkan jika ada kumpulan sel
progenitor lokal, mereka tampaknya tidak mampu
menggantikan sel tua, rusak, atau mati di tulang rawan
artikular.
Tampaknya ada penurunan yang berkaitan dengan usia
dalam jumlah kondrosit dalam tulang rawan dan hilangnya sel
lebih lanjut dalam tulang rawan OA tetapi tingkat kematian sel

36
masih diperdebatkan 30% penurunan kepadatan sel antara usia
30 dan 70 tahun telah terjadi dijelaskan dalam spesimen
pinggul manusia. Namun, sebuah studi lutut manusia
menemukan kurang dari 5% kehilangan sel dengan penuaan.
Meskipun banyak penelitian telah melaporkan kondrosit
apoptosis pada kartilago OA, hanya sedikit yang meneliti
apoptosis pada kartilago dengan penuaan normal dengan
pengecualian studi pada kartilago tikus yang menemukan bukti
peningkatan apoptosis dengan penuaan. Penurunan tingkat
protein kotak kelompok mobilitas tinggi (HMGB) 2 yang
berkaitan dengan usia, yang diekspresikan dalam zona
superfisial tulang rawan, dapat berkontribusi pada peningkatan
kematian kondrosit. HMGB2 adalah protein kromatin
nonhistone yang dapat berfungsi sebagai pengatur transkripsi.
Penghapusan HMGB2 pada tikus transgenik ditemukan
menyebabkan onset awal perubahan seperti OA di zona
superfisial tulang rawan yang dikaitkan dengan peningkatan
kerentanan kondrosit terhadap kematian sel.
Perubahan terkait usia yang terjadi pada matriks tulang
rawan juga dapat berkontribusi pada perkembangan OA. Ada
bukti dari studi MRI lutut bahwa tulang rawan menipis dengan
penuaan, terutama di sisi femoralis sendi dan di patela,
menunjukkan hilangnya bertahap matriks tulang rawan dengan
penuaan. Ini bisa jadi karena hilangnya sel dan berkurangnya
aktivitas faktor pertumbuhan yang dibahas di atas, tetapi bisa
juga karena sesuatu yang sederhana seperti berkurangnya
kandungan air. Tulang rawan artikular adalah sekitar 70-80%
air. Kandungan air dalam kartilago dikendalikan sebagian
besar oleh adanya aggrecan, proteoglikan "agregat" besar yang
ditemukan dalam matriks kartilago. Aggrecan mengandung
rantai glikosaminoglikan yang sangat tersulfasi yang

37
bermuatan negatif dan karenanya sangat hidrofilik dan
bertanggung jawab atas ketahanan tulang rawan. Perubahan
terkait usia dalam ukuran, struktur, dan sulfasi aggrecan telah
dilaporkan yang mengurangi ketahanan dan hidrasi tulang
rawan.
Teori bahwa perubahan penuaan pada jaringan adalah
hasil kerusakan oksidatif dari produksi kronis spesies oksigen
reaktif endogen (ROS) atau “radikal bebas” diajukan pada
tahun 1950-an dan masih relevan dengan penuaan pada
jaringan sendi seperti kartilago artikular. Kondrosit artikular
manusia secara aktif menghasilkan beberapa bentuk ROS yang
berbeda termasuk superoksida, radikal hidroksil, hidrogen
peroksida, serta spesies nitrogen reaktif, terutama oksida nitrat.
Peningkatan kadar ROS intraseluler baru-baru ini terdeteksi di
tulang rawan dari tua jika dibandingkan dengan tikus dewasa
muda98. Biasanya tingkat ROS dikendalikan oleh
keseimbangan produksi ROS dan adanya berbagai anti-
oksidan. Glutathione adalah anti-oksidan intraseluler yang
penting dan ketika kadar ROS berlebihan, rasio glutathione
teroksidasi menjadi tereduksi berubah. Studi sebelumnya telah
mendeteksi peningkatan glutathione teroksidasi seiring
bertambahnya usia pada kondrosit yang diisolasi dari jaringan
pergelangan kaki normal. Ada juga bukti bahwa kadar enzim
anti-oksidan, termasuk katalase dan dismutase superoksida,
hadir pada tingkat yang lebih rendah dengan penuaan, dan di
kartilago OA. Karena pergantian sel dan matriks yang lambat
di tulang rawan, kemungkinan kerusakan akibat ROS yang
berlebihan akan terakumulasi dari waktu ke waktu. Bukti
kerusakan oksidatif pada kartilago artikular diberikan oleh
penelitian yang menunjukkan peningkatan nitrotirosin (ukuran
kerusakan oksidatif pada protein) dengan penuaan, serta

38
dengan OA. Peningkatan kadar ROS dapat mengakibatkan
kerusakan DNA yang telah dicatat pada tulang rawan OA
termasuk dalam DNA mitokondria. Hal ini dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup sel dan produksi matriks.
Stres oksidatif juga dapat berkontribusi pada fenotipe tua
kondrosit. Resistensi terhadap IGF-I yang dicatat dalam
penuaan dan kondrosit OA mungkin juga terkait dengan
tingkat ROS yang berlebihan yang telah terbukti mengganggu
pensinyalan IGF-I normal yang mengakibatkan berkurangnya
produksi matriks106. Hal ini juga dapat terjadi secara tidak
langsung melalui produksi lipoprotein densitas rendah
teroksidasi di tulang rawan yang pada gilirannya dapat
berkontribusi pada penuaan kondrosit dan penurunan
pensinyalan kondrosit.

2. Jenis Kelamin
Mayoritas terjadinya infeksi pada tulang lebih banyak
terjadi pada wanita yang menyangkut beberapa faktor, seperti:
a. Bentuk Tubuh
Wanita memiliki bentuk tubuh yang berbeda
dari laki-laki, khususnya pada bagian panggul. Wanita
memiliki ukuran panggul yang lebih lebar, sehingga
pada usia lanjut, lemak dapat berkumpul pada area
tersebut, dan pada akhirnya beban yang ditopang lutut
akan semakin berat.

b. Hormonal
Pada wanita terdapat hormon estrogen yang
berfungsi sebagai penjaga kartilago dari peradangan,
memperkuat struktur tulang dan menghambat
kerapuhan tulang. Sehingga pada usia menopause,

39
hormon estrogen pada wanita mengalami penurunan
drastis dan berimbas kepada meningkatnya resiko
kerapuhan pada tulang.

2.8.5 Penegakan Diagnosis Radang Infeksi Tulang dan Sendi

A. Osteomyelitis
Gejala osteomyelitis akut biasanya berkembang selama
beberapa hari. Pasien akan mengeluh nyeri tumpul pada tulang yang
terlibat, disertai gejala lokal seperti nyeri tekan, kemerahan,
bengkak, hangat, dan gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan
malaise. Dalam beberapa kasus yang mempengaruhi pinggul, tulang
belakang, atau panggul, nyeri mungkin merupakan satu-satunya
gejala. Osteomielitis akut juga dapat hidup berdampingan dengan
artritis septik, karena infeksi dari metafisis dapat meluas ke sendi
setelah kerusakan korteks yang disebabkan oleh peradangan
intramedullary. Manifestasi klinis osteomielitis kronis adalah nyeri,
eritema, edema, dan terkadang pembentukan sinus kulit; yang
terakhir adalah patognomonik untuk osteomielitis.
Secara umum, osteomielitis harus dipertimbangkan ketika
terdapat luka atau ulkus yang menetap pada kulit meskipun telah
dilakukan pengobatan yang adekuat. Pasien diabetes yang menderita
ulkus dan osteomielitis kronis dapat memberikan gambaran klinis
yang tidak khas, mis. osteomielitis dapat terjadi sebelum paparan
tulang di bawahnya melalui ulkus kulit. Dalam hal ini, kemungkinan
osteomyelitis lebih besar lagi jika tulang terlihat jelas. Di hadapan
ulkus yang lebih besar dari 2×2 cm, atau jika tulang di bawahnya
teraba, diagnosis osteomielitis sangat mungkin sehingga evaluasi
noninvasif lebih lanjut tidak diperlukan.

40
Standar diagnostik untuk osteomielitis adalah isolasi patogen
dari biopsi tulang dan adanya histopatologi peradangan dan
osteonekrosis. Tes diagnostik, terutama teknik pencitraan,
memainkan peran penting dalam mendiagnosis osteomielitis.
Namun, hasil prosedur pencitraan diagnostik harus diinterpretasikan
dengan hati-hati karena memiliki rentang sensitivitas dan spesifitas
yang luas. Radiografi konvensional terjangkau dan tersedia secara
luas, dan telah terbukti bermanfaat dalam mendiagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding osteomielitis. Temuan pencitraan
pada osteomielitis kronis meliputi erosi kortikal, reaksi periosteal,
dan campuran lusen dan sklerosis. Gambar 1 menunjukkan contoh
hasil pencitraan osteomielitis kronis. Dalam meta-analisis penelitian
yang membandingkan teknik pencitraan dengan analisis histologis,
temuan kultur, dan tindak lanjut klinis lebih dari enam bulan,
radiografi konvensional memiliki sensitivitas dan spesifitas masing-
masing sebesar 54% dan 68%.

Untuk meningkatkan sensitivitas, radiografi konvensional


dapat dikombinasikan dengan teknik pencitraan lainnya. Computed
tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)
adalah teknik yang lebih populer dalam diagnosis osteomielitis.

41
Sampai saat ini, MRI adalah teknik terbaik untuk memperoleh
gambar anatomi dari keterlibatan dan peradangan sumsum tulang.
MRI juga dapat diandalkan dalam mendiagnosis pedal (pada pasien
diabetes) dan osteomyelitis vertebral (visualisasi rinci saraf tulang
belakang dan struktur sekitarnya). Kontras gadolinium digunakan
untuk mendapatkan visualisasi sinus, fistula, dan abses yang lebih
baik. MRI memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi; oleh karena
itu kemungkinan osteomyelitis dapat disingkirkan jika gejala sudah
ada selama 1 minggu. Edema yang divisualisasikan pada MRI tidak
spesifik untuk infeksi: memar, patah tulang, atau riwayat
pembedahan dapat menghasilkan temuan serupa; dengan demikian
interpretasi edema sumsum tulang pada MRI harus dipandu oleh
temuan klinis dan tes diagnostik lainnya. CT scan adalah teknik
pilihan ketika MRI tidak dapat dilakukan. Hal ini berguna dalam
mengevaluasi integritas kortikal dan trabekular, reaksi periosteal,
gas intraosseous, dan luasnya saluran sinus. Salah satu kelemahan
teknik pencitraan adalah kemampuannya yang terbatas untuk
membedakan osteomielitis dari lesi non infeksi, seperti trauma,
pembedahan, baru-baru ini. menyembuhkan osteomielitis, septic
arthritis, penyakit sendi degeneratif, tumor tulang, penyakit Paget,
dan penyakit tulang non-inflamasi lainnya. Saat ini belum ada
pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendiagnosis osteomielitis.
Mungkin terdapat leukositosis, terutama pada fase infeksi akut, dan
peningkatan laju endap darah (ESR) dan/atau protein C-reaktif
(CRP). Kultur darah positif pada 50% kasus dan lebih sering pada
kasus dengan penyebaran hematogen.

B. Spondilitis Tuberkulosis

Infeksi di regio torakal akan memberikan manifestasi


keluhan adanya kekakuan pada punggung. Keluhan dirasakan

42
terutama pada saat berbalik dengan menggerakkan kaki, bukan
mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari
lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test). Respons dari penekanan korda
pada regio ini menyebabkan keluhan paralisis. Pada beberapa
keadaan pasien mengeluh adanya benjolan pada punggung yang
berupa abses paravertebra.

Infeksi pada regio lumbar memberikan manifestasi adanya


abses pada pinggang dan di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat
keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di
belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip
dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya di atas paha. Adanya kontraktur otot akan
menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan


pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan
tampak kekakuan pada alat gerak bawah dengan refleks tendon
dalam yang hiperaktif, misalnya pola jalan yang kaku dengan
kelemahan motorik yang bervariasi. Selain itu, apat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

Pada pemeriksaaan fisik regional, ditemukan beberapa hal


berikut.

a. Look: Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas,


terlihat adanya abses pada daerah paravertebral, abdominal,
inguinal, serta dekubitus pada bokong.
b. Feel: Jika terdapat abses, maka akan teraba massa yang
berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut
cold abcess, berbeda dengan abses piogenik yang teraba
panas). Sensasi ini dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fosa

43
iliaka, retrofaring, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), bergantung dari level lesi. Dapat
juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak
ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus
dalam cold abscess. Spasme otot protektif disertai
keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
c. Move: Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan
pergerakan tulang belakang.

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hal berikut.

1) Tuberkulin skin test atau Tuberculine Purified Protein


Derivative (PPD) positif.
2) Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai
lebih dari 100 mm/jam
3) Leukositosis.
4) Kultur cairan serebrospinal menunjukkan basil tuberkel.

C. Bursitis
1. Anamnesis: didapatkan adanya riwayat nyeri pada saat
menggerakkan sendi atau pada saat istirahat, riwayat
pembengkakan, dan penurunan rentang gerak sendi.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Look : terlihat adanya pembengkakan dan kemerahan pada
bagian bursa yang mengalami peradangan. Tempat yang
paling sering terkena adalah lutut dan olecranon
b. Feel : nyeri tekan dan hangat
c. Move : penurunan rentang gerak sendi

3. Pemeriksaan Penunjang

44
a. Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan
LED dan CRP. Pada pemeriksaan cairan bursa dilakukan
untuk mendeteksi adanya sepsis bursitis secara kultur
b. Pemeriksaan radiodiagnostik dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya osteofit atau patologi lainnya.
(Noor, 2016)

D. Acute Suppurative Arthritis

Anamnesis
Oleh karena infeksi sendi jarang terjadi, maka pengkajian
difokuskan pada pengkajian anamnesis riwayat penyakit. Secara
umum riwayat penyakit artritis sepsis adalah demam yang
mendadak, malaise, nyeri lokal pada sendì yang terinfeksi,
pembengkakan sendi,dan penurunan kemampuan ruang lingkup
gerak sendi. Anamnesis yang diperlukan untuk deskripsi nyeri sendi
secara PQRST pada pasien artritis sepsis tergambar pada Tabel 6.1.

45
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pasien yang mengalami artritis septik,
biasanya sendi yang paling terlibat adalah sendi lutut (50% dari
kasus), diikuti dengan sendi panggul (20%), bahu (8%), pergelangan
kaki (7%), dan pergelangan tangan (7%). Sendi pada siku,
interphalangeal, sternoclavicular, dan sendi setiap sacroiliac hanya
sekitar 1-4% kasus.
Pada kebanyakan kasus artritis reaktif biasanya akan
melibatkan beberapa sendi yang besar dengan pola asimetris.
a. Look: pada sendi lokal didapatkan adanya tanda-tanda
eritema, benglak (90% kasus), sendi terinfeksi biasanya
menunjukkan suatu efusi yang jelas.
b. Feel: teraba hangat lokal, kelembutan, dan tenderness.
c. Move: keterbatasan gerak sendi akibat adanya nyeri sendi.

Laboratorium
Evaluasi dari cairan sinovia (yaitu, melalui jumlah leukosit,
penampilan Gram, polarisasi pemeriksaan mikroskopis, dan kultur)
adalah pendekatan yang paling berharga dalam mengidentifikasi
penyebab dari artritis septis. Kultur sinovia atau jaringan sinovia itu
sendiri adalah satu-satunya metode definitif untuk mendiagnosis
artritis sepsis. Hasil kultur pada pasien dengan artritis sepsis non
gonokokal hampir selalu positif kecuali pasien telah menerima
antibiotik sebelum aspirasi bersama. Kultur dari cairan sendi pada
infeksi gonokokal menghasilkan hasil yang positif dalam hanya
sekitar 25% dari kasus. Keputusan pemberian terapi dengan
menunda sampai hasil kultur didapatkan merupakan keputusan yang
baik.

46
Cairan sinovia dari artritis reaktif menunjukkan sedikit
tanda-tanda peradangan. Cairan sinovia dari sendi yang terinfeksi
dengan mikobakterium tuberkulosis ditandai leukositosis. Hasil
kultur positif pada 80% kasus. Hasil biopsi sinovia positif di 94%
ditandai dari spesimen.
Jika kondisi pasien tidak membaik secara signifikan setelah
pemberian antimikroba yang sesuai dengan kultur dalam rentang
waktu lima hari. Sendi harus diaspirasi ulang dan diperiksa kembali.
Sebagian besar sepsis sendi memiliki jumlah WBC yang melebihi
50.000/uL, dengan lebih dari 75% leukosit polimorfonuklear.
Namun, berbagai proses peradangan steril mungkin menunjukkan
profil selular yang sama.
Perubahan dalam konsentrasi glukosa dan protein dari cairan
sinovia yang spesifik perlu diukur, tetapi tidak harus secara rutin.
Peningkatan LED dan CRP (protein C reaktif) ditemukan pada
sebagian besar kasus dan merupakan hasil yang berguna dalam
menilai respons terhadap terapi, serta dalam mendeteksi proses akut
pada peradangan sendi. Pengukuran kadar asam urat serum tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis
artropati asam urat.

Radiodiagnostik
Radiografi polos mempunyai keterbatasan dalam
mengevaluasi adanya infeksi pada sendi. Pembengkakan jaringan
lunak periartikular adalah penemuan yang paling umum. Radiografi
paling berguna dalam mengesampingkan osteomielitis periartikular
yang disebabkan oleh infeksi sendi itu sendiri.
USG dapat digunakan untuk mendiagnosis efusi pada artritis
sepsis kronis (sekunder terhadap trauma atau rematoid artritis). CT
scan dan MRI lebih sensitif untuk membedakan osteomielitis, abses

47
periartikular, dan efusi sendi. Namun, pemeriksaan ini perlu ditinjau
kembali karena mahalnya biaya, meskipun paling bermanfaat pada
pasien dengan infeksi sendi sakroiliaka atau sternoklavikular untuk
menyingkirkan perluasan ke mediastinum atau panggul. MRI lebih
disukai karena kemampuannya yang lebih besar untuk gambar
jaringan lunak.

2.8.6 Tatalaksana Radang Infeksi Tulang dan Sendi

A. Osteomielitis

Pada dasarnya terapi dari osteomielitis berupa:

1) Memberikan obat analgesik dan suportif


2) Mengistirahatkan bagian yang terinfeksi
3) Mengidentifikasi organisme yang terlibat dan memberikan
terapi antibiotik yang efektif
4) Mengeluarkan pus sedini mungkin
5) Stabilisasi tulang bila terjadi fraktur
6) Mengeradikasi jaringan nekrosis dan avascular
7) Mengisi ruangan kosong pada tulang yang sudah dibersihkan
dari jaringan mati
8) Mempertahankan jaringan

Prinsip pemberian antibiotika pada osteomielitis adalah


sesuai dengan hasil pemeriksaan resistensi berdasarkan kultur dan
diberikan dalam jangka waktu yang adekuat. Biasanya dibutuhkan
durasi 4 sampai 6 minggu dan seringkali membutuhkan antibiotika
intravena sehingga menimbulkan biaya tinggi dan lamanya
perawatan di rumah sakit.

48
Pada osteomielitis hematogen akut dengan deteksi dini,
penegakan diagnosis secara klinis saja, dan pemberian antibiotika
yang adekuat dalam 48 jam sejak onset dapat menghilangkan infeksi,
sehingga pembedahan dapat tidak dilakukan.Pembedahan dilakukan
bila tidak terjadi perbaikan gambaran klinis dalam waktu 36 jam dari
awal pemberian terapi. Bila pada saat dilakukan pembedahan
dilakukan biopsi tulang, drilling beberapa lubang pada tulang yang
terinfeksi dengan direksi yang berbeda-beda, dan luka dirawat
terbuka.

Tatalaksana osteomielitis hematogen subakut bersifat


konservatif. Dilakukan imobilisasi, rest, dan pemberian antibiotika.
Biopsi disertai kuretase dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
terapi antibiotika. Osteomielitis hematogen akut dan subakut yang
tidak ditangani secara adekuat biasanya dapat berujung ke
osteomielitis kronis. Usia tua, diabetes, penyakit vaskular perifer,
infeksi kulit, malnutrisi, lupus eritematosa atau berbagai jenis
imunodefisiensi lainnya merupakan faktor predisposisi osteomielitis
kronis. Trauma lokal, fraktur terbuka, operasi tulang yang
berkepanjangan terutama melibatkan implan juga merupakan faktor
predisposisi yang sering ditemukan pada osteomielitis kronis.

Tatalaksana dari osteomielitis pasca trauma lebih berpusat


pada pencegahannya. Pemberian antibiotika secara dini di ruang
emergensi, pembersihan luka dan stabilisasi tulang yang baik dapat
mencegah terjadinya osteomielitis pasca trauma. Terapi
pembedahan pada osteomielitis pasca trauma berupa eliminasi
jaringan nekrosis, dan fiksasi yang stabil. Defek tulang yang
terbentuk dapat diisi dengan implantasi semen
polymethylmethacrylate (PMMA) yang digabungkan dengan
antibiotika, sehingga memberikan konsentrasi lokal antibiotika yang
tinggi dalam jangka panjang. Defek yang luas meliputi tulang,

49
jaringan lunak dan kulit yang terinfeksi ditutup dengan kombinasi
osteomusculocutaneous flap.

Pada osteomielitis akibat pemasangan prostesis atau implan,


dilakukan pengeluaran implan yang terinfeksi, dan dipasang
temporary implant /spacer sesudah pembersihan, bila infeksi sudah
tereliminasi 4 sampai 6 minggu kemudian, dilakukan pemasangan
prostesis atau implan yang baru.

B. Spondilitis Tuberkulosis
1. Istirahat
Dianjurkan pada kasus TB untuk istirahat, dimana pasien
harus “prolonged, uninterrupted, rigid, and enforced”. Disertai
adanya pembidaian atau traksi untuk mencegah rupturnya
permukaan artikular dan mengatasi spasme otot. Istirahat ini
dilakukan biasanya 6 bulan – 1 tahun lamanya. Ketika gejala
sudah berangsur menghilang maka latihan pergerakan dapat
dilakukan.

2. Kemoterapi

Kemoterapi yang dilakukan adalah penggunaan OAT


yang harus terdapat rifampisin dan isoniazid. Regimen yang
disarankan adalah:

a. Intensive phase treatment

Fungsinya adalah untuk membunuh bakteri-


bakteri aktif yang banyak serta penanganan ini bersifat
bakteriosidal. OAT ini harus diminum per hari selama 5
– 6 bulan. Isoniazid 300 – 400 mg, Rifampisin 450 –
600 mg, Fluoroquinolon 400 – 600 mg.

50
b. Continuation phase treat

Fungsinya adalah untuk membasmi bakteri-


bakteri yang bersifat dorman, lambat pertumbuhannya,
serta bakteri intraseluler mycobacteria. Isoniazid dengan
pyrazinamid 1500 mg/ hari selama 4,5 bulan.

c. Prophylactic phase; Etambutol 1200 mg/ hari selama 3–


4 bulan.

3. Pembedahan

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah drainase


atau klirens pada semua fokus tuberkulosis sebenarnya tidak
perlu dilakukan kecuali pada kasus cold abscess secepatnya
harus diaspirasi atau drainase absesnya.

4. Penyangga Eksternal pada beberapa Kasus


a. Cervical collar

Cervical collar merupakan alat penyangga


eksternal yang dipasang di daerah vertebra servikalis.
Tujuan dari penggunaan cervical collar ini adalah
mengurangi pergerakan leher yang berlebihan,
mencegah pergerakan tulang servikal yang patah,
mencegah bertambahnya cedera tulang belakang daerah
servikal, dan mengurangi rasa sakit. Umumnya cervical
collar digunakan selama satu sampai dua minggu.
Setelah itu, cervical collar tidak dapat digunakan
kembali karena bersifat satu kali pakai saja. Bahan
cervical collar dapat berupa soft foam sponge,
polietilena, atau bahan lain yang bersifat lebih kaku.

51
b. Thoraco-lumbo-sacral orthosis (TLSO)

TLSO merupakan penyangga eksternal yang


dipasang pada daerah torakal, lumbal, dan sakral. Bahan
yang digunakan pada TLSO umumnya bersifat
termoplastik, seperti polipropilena. Ada juga TLSO yang
bersifat lebih fleksibel karena menggunakan bahan yang
tidak terlalu kaku. TLSO dipasang dengan tujuan
memberikan tekanan sehingga dapat mendukung
pertumbuhan tulang di daerah tersebut. Alat ini
umumnya dipasang pada anak-anak dikarenakan hanya
efektif pada tulang belakang yang masih mengalami
pertumbuhan. Kekurangan dari alat ini adalah dapat
menyebabkan kesulitan bernapas dan beraktifitas karena
tidak bersifat fleksibel. Meskipun TLSO lebih efektif
digunakan pada anak-anak, TLSO juga dapat digunakan
pada orang dewasa dengan tujuan stabilisasi tulang
belakang daerah torakal, lumbal, dan sakral. TLSO dapat
dipasang dalam keadaan berbaring ataupun duduk
bergantung pada jenis TLSO yang digunakan serta
kondisi pasien.

c. Lumbo-sacral orthosis (LSO)

LSO merupakan penyangga eksternal yang


digunakan di daerah lumbal dan sakral. Tujuan
penggunaan LSO adalah untuk mengontrol dan
menyokong tulang belakang, mengurangi rasa sakit,
mencegah cedera lebih lanjut, dan mendukung proses
penyembuhan. LSO tidak jauh berbeda dengan TLSO
baik dari segi bahan dan cara penggunaanya. LSO dapat
mengganggu gerakan pasien karena tidak fleksibel dan

52
menambah beban pada bagian atas tubuh. Setelah
menentukan bagian depan dan belakang, LSO dipasang
di sekitar abdomen sampai ke belakang dan dapat
dikencangkan sesuai kenyamanan pasien.

C. Bursitis

Penatalaksanaan untuk menurunkan nyeri adalah sebagai berikut.

1) Proteksi dengan pembebatkan atau dengan


2) Istirahat untuk menghindari aktivitas dari sendi untuk
menurunkan nyeri
3) Kompres dengan es dapat menurunkan respons nyeri
4) Kompresi dengan perban elastis
5) Elevasi, mengatur posisi area bursitis berada lebih tinggi
dibanding jantung
6) Obat-obatan, pemberian NSAID

Terapi bedah secara umum hanya dilakukan apabila terjadi


perlengketan bursa dengan keterbatasan pergerakan sendi yang
berat.

D. Arthritis Sepsis
1. Farmakologi

Tatalaksana utama berupa antibiotik dan evakuasi pus.


Belum ditemukan penelitian randomised controlled trial untuk
pemilihan dan durasi antibiotik. Sebuah systematic review dan
meta-analysis menunjukkan tidak ada perbedaan efek klinis dan
bakteriologis antara satu regimen antibiotik dan yang lainnya.

53
Pemilihan antibiotik empiris tergantung gambaran
klinik, faktor risiko penderita, dan pola prevalensi kuman. Pada
penderita risiko tinggi penyakit menular seksual dan pewarnaan
aspirat sendi menunjukkan (ram negative dapat diberi
ceftriaxone dikombinasikan dengan azithromycin atau
doxycycline untuk eradikasi infeksi Gonococcus dan
Chlamydia. Jika pasien tidak jelas risiko tinggi penyakit
menular seksual atau (ram negatif, dapat diberikan ceftriaxone
dikombinasi dengan vancomycin. Pada pasien lansia,
immunocompromised, dan sebelumnya telah dirawat di rumah
sakit, pilihan empiris vancomycin dikombinasi dengan
cephalosporin generasi I7 (cefepime) agar cakupan kuman gram
negatifnya lebih luas.

Jika terdapat dugaan infeksi ESBL (extended spectrum


beta lactamase), dapat digunakan karbapenem, kuinolon, atau
cefepime. Pada pengguna jarum suntik (injection drug user),
pemberian antibiotik harus dimulai dengan vancomycin
dikombinasi dengan antipseudomonal betalaktam yang aktif
melawan MRSA dan basil gram negative.

Vancomycin merupakan antibiotik empiris yang tepat


untuk pasien berisiko infeksi MRSA (seperti hemodialisis,
diabetes, rawat inap jangka lama). 5,20 Linezolid, daptomycin,
quinupristin-dalfopristin, dan ceftaroline dapat menjadi
alternatif untuk mengatasi MRSA bila terdapat kontraindikasi
terhadap vancomycin.

Septic arthritis disebabkan gonococcus biasanya diberi


ceftriaxone selama 1-14 hari ditambah 1 g azithromycin per oral
atau doxycycline 100 mg per oral dua kali per hari selama 7 hari
untuk potensi ko-infeksi Chlamydia. Artritis bakterial non-

54
gonococcus secara umum membutuhkan antibiotic parenteral
selama 2-4 minggu; guideline UK21 menganjurkan terapi
parenteral selama 2 minggu diikuti terapi oral selama 4 minggu.
Infeksi S. aureus dan (gram negative membutuhkan terapi
antibiotik parenteral selama 4 minggu).

2. Non-farmakologi

Pada fase akut, pasien disarankan untuk


mengistirahatkan sendi yang terkena. Rehabilitasi penting untuk
menjaga fungsi sendi dan mengurangi morbiditas septic
arthritis. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat muncul
arthritis untuk mengurangi kehilangan fungsi. Pada fase akut,
pasien cenderung mempertahankan posisi sendi yang dapat
memudahkan komplikasi kontraktur sendi. Bidai kadang perlu
untuk mempertahankan posisi dengan fungsi optimal; sendi
lutut dengan posisi ekstensi, sendi panggul seimbang posisi
ekstensi dan rotasi netral, siku fleksi 900, dan pergelangan
tangan posisi netral sampai sedikit ekstensi.

Pada fase akut, latihan kontraksi otot isotonik harus


segera dilakukan untuk mencegah atrofi otot. Pergerakan sendi
baik aktif maupun pasif harus segera dilakukan dalam 24 jam
setelah keluhan membaik. Drainase, pengeluaran pus dari sendi
esensial pada manajemen septic arthritis. Aspirasi jarum dapat
digunakan pada kasus sendi-sendi kecil dan distal. Metode
aspirasi tidak invasif dan proses penyembuhan lebih cepat;
namun tidak berkaitan dengan lama perawatan atau penurunan
mortalitas Kelemahan aspirasi adalah tidak dapat mengangkat
adhesi ataupun gumpalan infeksi.

55
Metode pembedahan membandingkan arthroscopy
dengan open arthrotomy; tidak terdapat bukti salah satu metode
lebih unggul dari pada yang lainnya. Secara umum, untuk
infeksi sendi panggul digunakan metode open arthrotomy
karena letak anatominya yang dalam dan risiko osteonecrosis.

Metode arthroscopy terbaru menghasilkan irigasi pus


yang aman dan sama efektifnya dengan drainase terbuka. Open
arthrotomy direkomendasikan pada situasi spesifik seperti pada
infeksi sendi disertai osteomyelitis. Di Amerika Serikat, 65%
ahli bedah dan 76% rheumatologist menyarankan drainase
secara arthroscopy pada setiap infeksi sendi; 27% ahli bedah dan
22% rheumatologist menyarankan serial aspirasi sendi; 8% ahli
bedah dan 12% rheumatologist menyarankan open
arthrotomy.Tatalaksana kasus PJI (periprosthetic joint
infection) berbeda dari septic arthritis. Selain harus dilakukan
debridement, dapat dilakukan implant retention atau mungkin
revisi arthroplasty.

56
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Terdapat beberapa penyakit akibat infeksi yang dapat memicu reaksi


peradangan pada muskuloskeletal seperti osteomyelitis, infeksi tuberkulosa
pada tulang dan sendi, arthritis sepsis dan bursitis yang pada akhirnya
menimbulkan gejala yang mengganggu penderitanya dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Dari beberapa penyakit tersebut, ada yang bersifat
kontaminasi langsung dari suatu mikroorganisme dan ada yang tersebar
melalui sirkulasi atau organ sekitar.
Mekanisme penyebab dari masing-masing penyakit tersebut berbeda
sehingga memberikan gejala, alur diagnosis serta tatalaksana yang berbeda
pula. Tetapi secara umum, penyakit-penyakit tersebut memberikan gejala
nyeri sehingga tatalaksana umum yang dapat diberikan berupa analgesik.

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik


dari segi diskusi kelompok maupun penulisan laporan, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen dan rekan-rekan angkatan
2020 serta berbagai pihak. Semoga laporan ini dapat membawa manfaat
bagi para pembaca agar dapat memahami mengenai Radang dan Infeksi
pada Tulang dan Sendi.

57
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. G. and Solomon, L. 2017. System of Orthopaedics and Trauma:


Principles of Fractures. 10th edition. Florida: CRS Press.

Hatzenbuehler, J., & Pulling, T. J. (2011). Diagnosis and management of


osteomyelitis. American Family Physician, 84(9), 1027–1033.
https://doi.org/10.2165/00019053-199916060-00003

Noor, Zairin. 2015. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Edisi Kedua. Penerbit
Salemba Medika.

Rahyussalim. 2018. Spondylitis Tuberkulosis: Diagnosis, Penatalaksanaan, dan


Rehabiitasi Edisi Pertama. Penerbit Media Aesculapius.

Rawung, Rangga. 2019. Osteomyelitis: A Literature Review. Jurnal Biomedik


(JBM), Volume 11, Nomor 2. Faculty of Medicine, Sam Ratulangi University,
Manado.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.

58

Anda mungkin juga menyukai