DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
KELAS 2.B
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II, dengan judul: “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Reumothoid Arthritis”
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Peran perawat dalam mengatasi masalah pada pasien dengan rheumatoid arithritis
yaitu memberikan perawatan yang sesuai dengan kondisi klien, perawat juga mempunyai
peran sebagai pendidik dalam memberikan pendidikan kesehatatan agar dapat
meningkatkan pegetahuan pasien dan keluarga mengenai penyakit apendisitis, perawat
memberikan perlindungan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. oleh karena hal
tersebut, kelompok kami ingin menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah II
dengan topik “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Rheumatoid Arithritis”
1.2. Tujuan
a) Tujuan Umum
Untuk mengetahui, menguraikan, meningkatkan pengetahuan dan wawasan
mahasiswa/i terkait dalam mempelajari, mengidentifikasi, serta mengetahui penyakit
Rheumatoid Arithritis
b) Tujuan khusus
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan khusus masalah nya yaitu :
1. Menjelaskan dan mendeskripsikan defenisi Rheumatoid Arithritis
2. Menjelaskan dan mendeskripsikan etiologi Rheumatoid Arithritis
3. Menjelaskan dan mendeskripsikan klasifikasi Rheumatoid Arithritis
4. Menjelaskan dan mendeskripsikan manifestasi klinik Rheumatoid Arithritis
5. Menjelaskan dan mendeskripsikan patofisiologi dan WOC Rheumatoid Arithritis
6. Menjelaskan dan mendeskripsikan komplikasi Rheumatoid Arithritis
7. Menjelaskan dan mendeskripsikan pemeriksanaan penunjang/diagnostic
Rheumatoid Arithritis
8. Menjelaskan dan mendeskripsikan penatalaksanaan medis dan keperawatan
Rheumatoid Arithritis
9. Menjelaskan dan mendeskripsikan asuhan keperawatan Rheumatoid Arithritis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2. Pergerakan ; dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat bergerak,
adanya persendian.
3. Melindungi organ-organ halus dan lunak yang ada dalam tubuh.
4. Pembentukan sel darah (hematopoesis / red marrow).
5. Tempat penyimpanan mineral (kalium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow).
Menurut bentuknya tulang dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Tulang panjang, terdapat dalam tulang paha, tulang lengan atas.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak tetap dan didalamnya terdiri dari
tulang karang, bagian luas terdiri dari tulang padat.
3. Tulang ceper yang terdapat pada tulang tengkorak yang terdiri dari 2 tulang
karang di sebelah dalam dan tulang padat disebelah luar.
4. Bentuk yang tidak beraturan (vertebra) sama seperti tulang pendek.
4
Struktur Tulang
Dilihat dari bentuknya tulang dapat dibagi menjadi tulang pendek, panjang,
tulang berbentuk rata (flat) dan tulang dengan bentuk tidak beraturan. Terdapat juga
tulang yang berkembang didalam tendon misalnya tulang patella (tulang sessamoid).
Semua tulang memiliki sponge tetapi akan bervariasi dari kuantitasnya.Bagian tulang
tumbuh secara longitudinal, bagian tengah disebut epiphyse yang berbatasan dengan
metaphysic yang berbentuk silinder.
Vaskularisasi. Tulang merupakan bagian yang kaya akan vaskuler dengan total aliran
sekitar 200-400 cc/menit.Setiap tulang memiliki arteri menyuplai darah yang membawa
nutrient masuk di dekat pertengahan tulang kemudian bercabang ke atas dan ke bawah
menjadi pembuluh darah mikroskopis, pembuluh ini menyuplai korteks, morrow, dan
sistem harvest.
Persarafan. Serabut syaraf simpatik dan afferent (sensorik) mempersarafi tulang
dilatasi kapiler dan di control oleh saraf simpatis sementara serabut syaraf efferent
menstramisikan rangsangan nyeri.
5
Calsitonin di produksi oleh kelenjar tiroid memiliki aksi dalam menurunkan kadar
kalsium jika sekresi meningkat di atas normal. Menghambat reabsorbsi tulang dan
meningkatkan sekresi fosfor oleh ginjal bila di perlukan.
Vit. D. diproduksi oleh tubuh dan di trasportasikan ke dalam darah untuk
meningkatkan reabsorbsi kalsium dan fosfor dari usus halus, juga memberi
kesempatan untuk aktifasi PHT dalam melepas kalsium dari tulang.
Proses Pembentukan Tulang
Pada bentuk alamiahnya, vitamin D di proleh dari radiasi sinar ultraviolet
matahari dan beberapa jenis makanan. Dalam kombinasi denagan kalsium dan fosfor,
vitamin ini penting untuk pembentukan tulang.
Vitamin D sebenarnya merupakan kumpulan vitamin-vitamin, termasuk vitamin
D2 dan D3. Substansi yang terjadi secara alamiah ialah D3 (kolekalsiferol), yang
dihasilkan olehakifitas foto kimia pada kulit ketika dikenai sinar ultraviolet matahari.
D3 pada kulit atau makanan diwa ke (liver bound) untuk sebuah alfa – globulin sebagai
transcalsiferin,sebagaian substansi diubah menjadi 25 dihidroksi kolekalsiferon atau
kalsitriol. Calcidiol kemudian dialirkan ke ginjal untuk transformasi ke dalam
metabolisme vitamin D aktif mayor, 1,25 dihydroxycho lekalciferol atau calcitriol.
Banyaknya kalsitriol yang di produksi diatur oleh hormone parathyroid (PTH) dan
kadar fosfat di dalam darah, bentuk inorganic dari fosfor penambahan produksi
kalsitriol terjadi bila kalsitriol meningkat dalam PTH atau pengurangan kadar fosfat
dalam cairan darah.
Kalsitriol dibutuhkan untuk penyerapan kalsium oleh usus secara optimal dan
bekerja dalam kombinasi dengan PTH untuk membantu pengaturan kalsium darah.
Akibatnya, kalsitriol atau pengurangan vitamin D dihasilkan karena pengurangan
penyerapan kalsium dari usus, dimana pada gilirannya mengakibatka stimulasi PHT
dan pengurangan, baik itu kadar fosfat maupun kalsium dalam darah.
Hormon parathyroid. Saat kadar kalsium dalam serum menurun sekresi hormone
parathyroid akan meningkat aktifasi osteoclct dalam menyalurkan kalsium ke dalam
darah lebih lanjutnya hormone ini menurunkan hasil ekskresi kalsium melalui ginjal
dan memfasilitasi absorbsi kalsium dari usus kecil dan sebaliknya.
6
Growth hormone bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tulang dan
penentuan matriks tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas.
Glukokortikoid mengatur metabolism protein. Ketika diperlukan hormone ini dapat
meningkat atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau meningkatkan
matriks organic. Tulang ini juga membantu dalam regulasi absorbsi kalsium dan
fosfor dari usus kecil.
Seks hormone estrogen menstimulasi aktifitas osteobalstik dan menghambat
hormone paratiroid. Ketika kadar estrogen menurun seperti pada masa menopause,
wanita sangat rentan terjadinya massa tulang (osteoporosis).
Persendian
Persendian dapat diklasifikasikan menurut struktur (berdasarkan ada tidaknya
rongga persendian diantara tulang-tulang yang beratikulasi dan jenis jaringan ikat yang
berhubungan dengan paersendian tersebut) dan menurut fungsi persendian (berdasarkan
jumlah gerakan yang mungkin dilakukan pada persendian).
Gambar. Sendi
7
Sendi dengan pergerakan terbatas yang memungkinkan terjadinya sedikit
gerakan sebagai respon terhadap torsi dan kompresi .
Diartrosis
Sendi ini dapat bergerak bebas,disebut juga sendi sinovial.Sendi ini
memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial,suatu kapsul sendi yang
menyambung kedua tulang, dan ujung tilang pada sendi sinovial dilapisi
kartilago artikular.
Klasifikasi persendian sinovial :
Sendi fenoidal : memungkinkan rentang gerak yang lebih besar,menuju ke
tiga arah. Contoh : sendi panggul dan sendi bahu.
Sendi engsel : memungkinkan gerakan ke satu arah saja. Contoh :
persendian pada lutut dan siku.
Sendi kisar : memungkinkan terjadinya rotasi di sekitar aksis
sentral.Contoh : persendian antara bagian kepala proximal tulang radius
dan ulna.
Persendian kondiloid : memungkinkan gerakan ke dua arah di sudut kanan
setiap tulang. Contoh : sendi antara tulang radius dan tulang karpal.
Sendi pelana : Contoh : ibu jari.
Sendi peluru : memungkinkan gerakan meluncur antara satu tulang dengan
tulang lainnya. Contoh : persendian intervertebra.
8
Gambar. Otot pada tubuh manusia
9
atau involunter (tidak sadar), dan juga berdasarkan lokasi,seperti otot jantung, yang
hanya ditemukan di jantung.
Jenis-jenis Otot
Otot rangka adalah otot lurik,volunter, dan melekat pada rangka.
Otot polos adalah otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini dapat
ditemukan pada dinding organ berongga seperti kandung kemih dan uterus,
serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik, pencernaan,
reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
Otot jantung adalah otot lurik, involunter, dan hanya ditemukan pada jantung.
2.1. DEFINISI
Rheumatoid arthritis merupakan penyebab paling sering dari penyakit radang sendi
kronis yaitu gangguan autoimun kronik yang menyebabkan proses inflamasi pada sendi
serta adanya kelainan inflamasi terutama mengenai membran sinovial dari persendian
dan umumnya ditandai dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas dan
keletihan yang terjadi pada semua jenjang umur dari kanak-kanak sampai lanjut usia.
Namun risiko akan meningkat dengan meningkatnya umur. (Sya'diyah, 2018):36 dan
(Asikin, 2013):36
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu
monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian
dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014). Kata arthritis berasal
dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis” yang berarti peradangan.
Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis
adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki)
mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali
menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum
10
didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu
dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat
(Febriana,2015). Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit peradangan kronis pada
sendi yang tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi seperti kelelahan, malaise,
dan kekakuan pada pagi hari. Rheumatoid Arthritis (RA) dapat menyebabkan kerusakan
pada sendi dan sering menyebabkan morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian
yang cukup besar (Zairin, 2016).
2.2.ETIOLOGI
Penyebab utama penyakit reumatik masih belum diketahui secara pasti. Biasanya
merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem
reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri,
mikoplasma dan virus.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu:
1. Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus.
2. Endokrin
3. Autoimun
4. Metabolik
5. Faktor genetik serta pemicu lingkungan
Pada saat ini artritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan
infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin
disebabkan oleh karena virus dan organisme mikroplasma atau grup difterioid yang
menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita. Faktor pencetus
mungkin adalah suatu bakteri, mikoplasma, virus yang menginfeksi sendi atau mirip
dengan sendi secara antigenis. Biasanya respon antibodi awal terhadap mikro-organisme
diperatarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme,
namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau
IgG, terhadap antibodi IgG semula. Antibodi ynng ditujukan ke komponen tubuh sendiri
ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan
peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena predisposisi
genetik terhadap penyakit autoimun.
11
2.3. KLASIFIKASI
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
Menurut (Aspiani, 2014) ada beberapa gejala klinis yang umum ditemukan pada
pasien rheumatoid arthritis. Gejala klinis ini tidak harus timbul secara bersamaan.
Oleh karenanya penyakit ini memiliki gejala klinis yang sangat bervariasi.
12
c. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis dengan
nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang
setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis.
Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur
dan disertai kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah
melakukan aktivitas.
d. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi
pada osteoartratis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan
selalu kurang dari satu jam.
e. Arthritis erosif, merupakan ciri khas rheumatoid arthritis pada gambaran radiologic.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat
pada radiogram.
f. Deformitas, kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, sublukasi sendi metakarpofalangeal,
leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering di jumpai pasien. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat terangsang dan akan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerakan
ekstensi.
g. Nodula-nodula rheumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita rheumatoid arthritis. Lokasi yang paling sering
dari deformitas ini adalah bursa elekranon (sendi siku), atau di sepanjang permukaan
ekstanor dari lengan, walaupun demikian nodul-nodul ini dapat juga timbul pada
tempat-tempat lainnya. Nodul-nodul ini biasanya merupakan suatu tanda penyakit
yang aktif dan lebih berat.
h. Manifestasi ekstra articular, rheumatoid arthritis juga dapat menyerang organorgan
lain diluar sendi. Jantung (pericarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan rusaknya
pembuluh darah.
13
Sakit persendian disertai kaku terutama pada pagi hari (morning stiffness) dan
gerakan terbatas, kekakuan berlangsung tidak lebih dari 30 menit dan dapat
berlanjut sampai berjam-jam dalam sehari. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan osteoartritis yang biasanya tidak berlangsung lama.
Lambat laun membengkak, panas merah, lemah.
Poli artritis simetris sendi perifer → Semua sendi bisa terserang, panggul, lutut,
pergelangan tangan, siku, rahang dan bahu. Paling sering mengenai sendi kecil
tangan, kaki, pergelangan tangan, meskipun sendi yang lebih besar seringkali
terkena juga.
Artritis erosif → sifat radiologis penyakit ini. Peradangan sendi yang kronik
menyebabkan erosi pada pinggir tulang dan ini dapat dilihat pada penyinaran
sinar X.
Deformitas → pergeseran ulnar, deviasi jari-jari, subluksasi sendi
metakarpofalangea, deformitas boutonniere dan leher angsa. Sendi yang lebih
besar mungkin juga terserang yang disertai penurunan kemampuan fleksi ataupun
ekstensi. Sendi mungkin mengalami ankilosis disertai kehilangan kemampuan
bergerak yang total.
Rematoid nodul → merupakan massa subkutan yang terjadi pada 1/3 pasien
dewasa, kasus ini sering menyerang bagian siku (bursa olekranon) atau sepanjang
permukaan ekstensor lengan bawah, bentuknya oval atau bulat dan padat.
Kronik → Ciri khas rematoid artritis.
2. Tanda dan gejala sistemik
Lemah, demam, takhikardi, berat badan turun, anemia, anoreksia. Bila ditinjau
dari stadium, maka pada RA terdapat tiga stadium yaitu:
a. Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai
adanya hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat istirahat maupun saat
bergerak, bengkak, dan kekakuan.
b. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga
pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Selain tanda
14
dan gejala tersebut diatasterjadi pula perubahan bentuk pada tangan yaitu
bentuk jari swan-neck.
c. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan ganggguan fungsi secara menetap. Perubahan pada sendi
diawali adanya sinovitis, berlanjut pada pembentukan pannus, ankilosis
fibrosa, dan terakhir ankilosis tulang.
15
hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium
awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan
mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013). Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi
berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T
merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis
adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian
menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan
pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya
pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular
dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang
dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal
tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah
pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung,
osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitaryadrenalaxis, sehingga
menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).
16
Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah
sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan pembuluh darah oleh
sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat
sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros
terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat
perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler,
daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh
dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran
oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat
karena adanya Pannus (Putra dkk,2013).
17
Sistem Imunisasi Sel B, Sel T, sitokin pro inflamasi
Faktor pencetus
(cuaca yang Komponen antibody Fc dari Igc Inflamasi
lembab dan dingin)
Kerusakan mikro vaskular
Arthritis
factor rematoid Menonjol Edema pada sinovium
Kekakuan sendi
Kemerahan Defisit
Mengungkapkan
Pengetahuan
gaya hidup
Gangguan
Nyeri Akut Mobilitas Fisik
Respon non-verbal
pada persepsi tubuh
Sulit tidur
Kelemahan otot
Gangguan
Sering terjaga Citra Tidur
ROM ↓
Defisit
18
Perawatan Diri
2.6.KOMPLIKASI
Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian lain dari
tubuh selain sendi. Menurut (Aspiani, 2014) rheumatoid arthritis dapat menimbulkan
komplikasi pada bagian lain dari tubuh :
a. Sistem respiratori
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada rheumatoid
arthritis. Gejala keterlibatan saluran nafas atas ini dapat berupa nyeri tenggorokan,
nyeri menelan, atau disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari. Pada
rheumatoid arthritis yang lanjut dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru
yang luas (Aspiani, 2014).
b. Sistem kardiovaskuler
Seperti halnya pada sistem respiratorik, pada rheumatoid arthritis jarang dijumpai
gejala perikarditis berupa nyeri dada atau gangguan faal jantung. Akan tetapi pada
beberapa pasien dapat juga dijumpai gejala perikarditis yang berat. Lesi inflamatif
yang menyerupai nodul rheumatoid dapat dijumpai miokardium dan katup jantung.
Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan
konduksi, aortitis dan kardiomiopati (Aspiani, 2014).
c. Sistem gastrointestinal
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptic
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifyingantirheumatoid
drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
rheumatoid arthritis (Aspiani, 2014).
d. Sistem persarafan
Komplikasi neurologis yang sering dijumpai rheumatoid arthritis umumnya tidak
memberikan gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi
neurologis akibat lesi artikular dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi
neurologis pada umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebre,
servikal, neuropai jepitan atau neuropati iskemik akibat vasculitis (Aspiani, 2014).
19
e. Sistem perkemihan : ginjal
Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik pada rheumatoid arthritis jarang sekali
dijumpai kelainan glomelural. Jika pada pasien rheumatoid arthritis dijumpai
proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering disebabkan karena efek samping
pengobatan seperi garam emas dan D-penisilamin atau erjadi sekunder akibat
amiloidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat dijumpai pada syndrome
sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan penggunaan
OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan
nekrosis papilar ginjal (Aspiani, 2014).
f. Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normosistik
normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah
serta kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran umum
yang sering dijumpai pada rheumatoid arthritis. Enemia akibat penyakit kronik ini
harus dibedakan dari anemia defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada
rheumatoid arthritis akibat penggunaan OAINS atau DMARD yang menyebabkan
erosi mukosa lambung (Aspiani, 2014).
Menurut (Sya'diyah, 2018):212 komplikasi yang mungkin muncul adalah :
a. Neuropati perifer memengaruhi saraf yang paling sering terjadi di tangan dan
kaki
b. Anemia
c. Pada otot terjadi myosis,yaitu proses granulasi jaringan otot.
d. Pada pembuluh darah terjadi tromboemboli. Trombemboli adalah adanya
sumbatan pada pembuluh darah yang disebabkan oleh adanya darah yang
membeku.
20
meningkat (Laju endap darah meningkat)
2. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak
menyingkirkan diagnosis
3. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan synovial.
4. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis
dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun
hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten
5. Profil sel darah lengkap anemia, trombositosis, trombositopenia, leukositosis dan
leukopenia.
6. Analisis cairan synovial: inflamasi cairan synovial, dan dominasi neutrofil (60-80%).
7. WBC count (>2000/uL) hadir dengan sejumlah WBC umumnya dari 5.000-50.000/uL
8. Protein c-reaktif meningkat
9. Terjadi anemia dan leukositosis
10. Tes serologi faktor reumatoid positif (80% penderita )
b. Aspirasi cairan sinovial Menunjukkan adanya proses inflamasi ( jumlah sel darah
putih >2000µL). Pemeriksaan cairan sendi meliputi pewarnaan garam, pemeriksaan
jumlah sel darah, kultur,gambaran makroskopis. c. Pemeriksaan radiologi
Menunjukkan adanya pembengkakan jaringan lunak ,erosi sendi, dan osteoporosis
tulang yang berdekatan.
c. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi,
demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.
d. Radiografi: perhatikan bahwa erosi mungin ada pada kaki, bahkan tanpa adanya rasa sakit
dan tidak adanya erosi ditangan.
e. Ultrasonografi: modalitas ini memungkinkan pengakuan evolusi pada sendi yang tidak
mudah diakses (misalnya sendi pinggul dan sendi bahu pada pasien obesitas) dan kista
(kista baker).
21
Pemberian obat adalah bagian yang penting dari seluruh program penatalaksanaan
penyakit reumatik. Obat-obatan yang dipakai untuk mengurangi nyeri, meredakan
peradangan dan untuk mencoba mengubah perjalanan penyakit.
Anti Inflamasi non steroid (NSAID) contoh:aspirin yang diberikan pada dosis
yang telah ditentukan.
Obat-obat untuk Reumatoid Artitis :
Acetyl salicylic acid, Cholyn salicylate (Analgetik, Antipyretik, Anty
Inflamatory)
Indomethacin/Indocin(Analgetik, Anti Inflamatori)
Ibufropen/motrin (Analgetik, Anti Inflamatori)
Tolmetin sodium/Tolectin(Analgetik Anti Inflamatori)
Naproxsen/naprosin (Analgetik, Anti Inflamatori)
Sulindac/Clinoril (Analgetik, Anti Inflamatori)
Piroxicam/Feldene (Analgetik, Anti Inflamatori)
22
Lakukan kompres panas pada sendi- sendi yang sakit dan bengkak mungkin
dapat mengurangi nyeri.
5. Gizi
Pemenuhan gizi pada atritis reumatoid adalah untuk mencapai dan
mempertahankan status gizi yang optimal serta mengurangi peradangan pada
sendi. Adapun syarat – syarat diet atritis reumatoid adalah protein cukup, lemak
sedang, cukup vitamin dan mineral, cairan disesuaikan dengan urine yang
dikeluarkan setiap hari. Rata – rata asupan cairan yang dianjurkan adalah 2 – 2 ½
L/hari, karbohidrat dapat diberikan lebih banyak yaitu 65 – 75% dari kebutuhan
energi total.
23
2.9. MCP Teori
N.D (1) : Manajemen Kesehatan Tidak Efektif b/d N.D (2) : Gangguan Mobilitas Fisik b/d Nyeri atau Rasa
Kompleksitas Sistem Pelayanan Kesehatan, Kompleksitas Tidak Nyaman, deformitas Skletal, Penurunan Kekuatan
Program Perawatan/Pengobatan Konflik Pengambilan Otot.
Keputusan, Kesusahan Ekonomi, Banyak Tuntutan, Konflik Data Pendukung :
Keluarga. Data Objektif:
Data Pendukung :
- Kekuatan otot menurun
Data Objektif:
- Sendi kaku
- Gagal untuk menerapkan program
- Gerakan terbatas
perawatan/pengobatan dalam kehidupan sehari-hari
- Fisik lemah
- Aktivitas hidup sehari hari tidak efektif untuk
Data Subjektif:
memenuhi tujuan kesehatan
- Klien mengeluh sulit untuk menggerakkan
Data Subjektif:
ekstremitasnya, disertai dengan rasa nyeri saat bergerak
- Klien mengungkapkan sulit untuk menjalani program
Terapi : Latihan fisik
perawatan/ pengobatan dikarenakan kurangnya biaya
25
h. Faktor stres akut/kronis, misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan,keputusasaan dan ketidakberdayaan. Ancaman konsep diri,
citra diri, perubahan bentuk badan
i. Makanan / cairan
Ketidakmampuan untuk mengonsumsi makan/cairan yang adekuat: mual,
anoreksia. Menghindari makanan yang tinggi purin seperti: kacang-kacangan,
daun singkong, jeroan. Menghindari minum kopi
j. Higiene
Berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara
mandiri. Ketergantungan pada orang lain
k. Neurosensori
Kebas/ kesemutan pada tangan dan kak, hilangnya sensai pada jari tangan,
pembengkakan sendi simetris.
l. Nyeri /kenyamanan
Fase akut dari nyeri (disertai / tidak disertai pembekakan jaringan lunak pada
sendi. Rasa nyeri kronis dan kekakuan pada pagi hari. l. Keamanan Kulit
mengilat, tegang. Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah
tangga,kekeringan pada mata dan membran mukosa.
m. Interaksi social
Kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain ,perubahan peran.
26
g. Defisit perawatan diri berhubungan gangguan muskuloskeletal; kelemahan.
h. deficit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
i. Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif b.d kompleksitas sistem
pelayanan kesehatan, kompleksitas program perawatan/pengobatan konflik
pengambilan keputusan, kesusahan ekonomi, banyak tuntutan, konflik keluarga
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah nyeri
Akut Teratasi
KH :
- Keluhan nyeri (5)
- Meringis (5)
- Kemampuan menuntaskan aktifitas (5)
INTERVENSI
Manajemen Nyeri
Observasi
Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
27
Edukasi
Kolaborasi
Diagnosa 2 Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri atau rasa tidak nyaman, deformitas
skeletal,penurunan kekuatan otot
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah
gangguan mobilitas fisik teratasi
KH :
- Pergerakan ekstremitas (1)
- Kekuatan otot (1)
- Rentang gerak (ROM) (1)
INTERVENSI
Dukungan Mobilisasi
Observasi
Terapeutik
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
28
duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat ke kursi)
Terapeutik
29
Edukasi
Terapeutik
Edukasi
30
Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor terhadap tidur
REM
Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur (mis.
psikologis, gaya hidup, sering berubah shift bekerja)
Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonfarmakologi lainnya
Diagnosa 5 Gangguan citra tubuh b.d perubahan kemampuan melaksanakaan aktivitas sehari-
hari, peningkatan penggunaan energi atau ketidakseimbangan mobilitas
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah
gangguan gangguan citra tubuh teratasi
KH :
- Verbalisasi perasaan negative tentang perubahan tubuh (5)
- Verbalisasi kekhawatiran pada penolakan atau reaksi orang lain (5)
- Verbalisasi perubahan gaya hidup (5)
INTERVENSI
Promosi Citra Tubuh
Observasi
Identifikasi harapan citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan
Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin, dan umur terkait citra tubuh
Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan isolasi sosial
Monitor frekuensi pernyataan kritik terhadap diri sendiri
Monitor apakah pasien bisa melihat bagian tubuh yang berubah
Terapeutik
Edukasi
31
Latih peningkatan penapilan diri (mis. berdandan)
Latih pengungkapan kemampuan diri kepada orang lain maupun kelompok
Terapeutik
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan
Edukasi
32
Diagnosa 7 Defisit perawatan diri berhubungan gangguan muskuloskeletal; kelemahan.
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah
deficit perawaran diri teratasi
KH :
- Kemampuan mandi (5)
- Kemampuan mengenakan pakaian (5)
- Memepertahankan kebersihan diri (5)
INTERVENSI
Dukungan perawatan diri
Observasi
Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
Monitor tingkat kemandirian
Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik
Edukasi
33
Diagnosa 8 deficit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah
deficit pengetahuan teratasi
KH :
- Tingkat pengetahuan perilaku sesuai anjuran (5)
- Verbalisasi minat dalam belajar (5)
- Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic (5)
INTERVENSI
Dukungan perawatan diri
Observasi
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi
perilaku hidup
bersih dan sehat
Terapeutik
Edukasi
34
Diagnosa 9 Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif b.d kompleksitas sistem pelayanan
kesehatan, kompleksitas program perawatan/pengobatan konflik pengambilan keputusan,
kesusahan ekonomi, banyak tuntutan, konflik keluarg
TUJUAN : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam di harapkan masalah 9
Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif teratasi
KH :
- Kemampuan menejlaskan masalah kesehatan yang dialami (5)
- Aktifitas keluarga mengatasi masalah kesehatan (5)
- Tindakan untuk mengurangi factor resiko (5)
INTERVENSI
Edukasi Kesehatan
Observasi
Identifikasi respons emosional terhadap kondisi sat ini
Identifikasi beban prognosis gecara psikologis
Identifikasi pemahaman tentang keputusan perawatan getelah pulang
Identifikasi keseguaian antara harapan pasien, keluarga, dan tenaga
Terapeutik
Edukasi
35
Informasikan fagilitas perawatan kesehatan yang tersedia
Kolaborasi
Rujuk untuk terapi keluarga, jika perlu
36
BAB III
MCP KASUS
KASUS RHEUMATOID ARTRITIS
Seorang perempuan berusia 49 tahun dirawat dengan keluhan nyeri sendi di lutut kiri dan kanan
sejak 2 hari SMRS sampai tidak bisa berjalan. Nyeri sendi juga dirasakan di pergelangan tangan
dan jari-jari tangan kanan dan kiri terutama pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Awalnya
terasa rasa kaku di pangkal jari-jari tangan dan pergelangan tangan kanan dan kiri muncul
bersamaan pada pagi hari dan berlangsung kurang dari 30 menit, namun semakin hari semakin
lama hingga 1 jam. Jari semakin membenkak dan nyeri dirasakan di kedua lutut yang semakin
memberat dari hari ke hari. Pasien masih bisa menahan dan beraktifitas biasa hingga nyeri yang
dirasakannya menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Pasien juga
merasakan nyeri pada seluruh badan terutama di leher, bahu, siku, dna pinggang. Keluhan
membaik jika dibawa istirahat dan memberat saat beraktifitas atau saat sendi digerakkan. Satu
hari SMRS pasien mengeluhkan badan lemas dan tidak membaik dengan istirhaat. Pasien tidak
mengalami penurunan nafsu makan. Hasil pemeriksaan laboratorium WBC 13.310/mm3, Hb
11,1 g/dl, RDW 11,4%, MPV 5,3 fL, SGOT 11,8 U/L, SGPT 10,5 U/L, albumin 3,14 g/dl, BUN
6 mg/dl, kreatinin 0,54 mg/dl, asam urat 2,9 mg/dl, natrium 132 mmol/L, kalium 3,08 mmol/L.
pemeriksaan imunologi RF (kuantitatif) = 16. Pemeriksaan klinik CRP (kuantitatif)= 71,4.
Pasien mendapatkan terapi IVFD NS 20 tetes/menit, parasetamol 4x750 mg, Na diclofenac 3x50
mg, metotrexat 1x7,5 mg. Selama dirawat pasien meminta untuk diperbolehkan menggunakan
obat herbal dari jahe merah yang biasanya pasien gunakan selama di rumah.
37
3.1. MCP KASUS
ND: Resiko Intoleransi Aktivitas d/d ND: Resiko Jatuh d.d Anemia, kekuatan otot
Ketidakbugaran Status Fisik menurun
a. Data Subjektif:
Data Pendukung:
Kilen masih bisa menahan dan
beraktifitas biasa hingga nyeri yang a. Data Subjektif:
dirasakannya menjadi kemerahan 1. Klien juga merasakan nyeri dibagian
dan bengkak sehingga tidak bisa leher, bahu, siku dan pinggang
berjalan 2. Klien mengeluhkan badan lemas dan tidak
b. Data Objektif: membaik saat istirahat
1. Tampak kemerahan b. Data Objektif:
2. Bengkak
1. Hb: 11,1 g/dl
3. Mengeluh nyeri
c. Terapi: 2. RDW: 11,4 %
Dukungan Mobilisasi dan Ambulasi Terapi: Vitamin C dan B12
dini 38
3.2. RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA HASIL YANG INTERVENSI
KEPERAWATAN DIHARAPKAN KEPERAWATAN
1 Nyeri Akut b/d Agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
pencedera fisik intervensi keperawatan Observasi:
selama 24 jam masalah - Identifikasi lokasi,
nyeri akut teratasi, karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil: kualitas, frekuensi,
- Keluhan nyeri intesitas nyeri
(1) - Identifikasi skala nyeri
- Nafsu makan - Identifikasi respon
(5) nyeri non verbal
- Identifikasi factor
yang memperberat dan
memperingan nyeri
Terapeutik:
- Berikan Teknik
norfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi:
- Jelaskan penyebab,
39
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Ajarkan Teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Aromaterapi
Obervasi:
- Identifikasi pilihan
aroma yang disukai
dan tidak disuka
- Identifikasi tingkat
nyeri, stres,
kecemasan, dan alam
- perasaan sebelum dan
sesudah aromaterapi
- Monitor
ketidaknyamanan
sebelum dan setelah
- Pemberian (mis.
Mual, pusing)
- Monitor masalah
yang terjadi saat
pemberian
aromaterapis (mis.
Dermatitis kontak,
asma)
- Monitor dan tanda-
tanda vital sebelum
dan sesudah
40
aromaterapi
Terapeutik
1. Pilih minyak
esensial yang tepat
2. Berikan minyak
esensial dengan
metode yang tepat
(mis. Inhalasi,
pemijatan, mandi uap,
atau kompres)
Dukungan Hipnosis
Diri
Observasi:
- Identifikasi
apakahhipnosis
diri dapat
digunakan
- Identifikasi
masalah yang
akan di atasi
dengan hypnosis
diri.
- Identifikasi
penerimaan
terhadap
hypnosis diri
- Identifikasi mitos
dan
kesalahpahaman
terhadap
penggunaan
hypnosis diri
41
- Identifikasi
kesesuaian
sugesti hypnosis
- Identifikasi
teknik induksi
yang sesuai (mis;
ilusi pendulum
chevreul,
relaksasi,
relaksasi otot,
latihan
visualisasi,
perhatian pada
pernapasan,
mengulang
kata/frase kunci)
Terapeutik;
- Tetapkan tujuan
hypnosis diri
- Buatkan jadwal
latihan, jika perlu
Edukasi;
- Jelaskan jenis
hypnosis diri
sebagai
penunjang terapi
modalitas (mis;
hipnoterapi,
psikoterapi,
terapi kelompok,
42
terapi keluarga)
- Ajarkan prosedur
hypnosis diri
sesuai kebutuhan
dan tujuan
43
bantu
- Fasilitasi
melkaukan
pergerakan, jika
perlu
- Libatkan
keluarga untuk
membantu pasien
dalam
meningkatkan
pergerakan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan
dan prosedur
mobilisasi
- Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan
mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis; duduk di
tempat tidur,
duduk di sisi
tempat tidur,
pindah dari
tempat tidur ke
kursi)
44
Dukungan Ambulasi
Observasi:
- Identifikasi
adanya nyeri
atau keluhan
fisik lainnya.
- Identifikasi
toleransi fisik
melakukan
ambulasi.
- Monitor
frekuensi jantung
dan tekanan
darah sebelum
memulai
ambulasi
- Monitor kondisi
umum selama
melakukan
ambulasi
Terapeutik:
- Fasilitasi
aktivitas
ambulasi dengan
alat bantu (mis;
tongkat, kruk)
- Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik,
jika perlu
- Libatkan
45
keluarga untuk
membantu pasien
dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi:
- Jelaskan tujuan
dan prosedur
ambulasi
- Anjurkan
melakukan
ambulasi dini
- Ajarkan
ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis; berjalan
dari tempat tidur
ke kursi roda,
berjalan dari
tempat tidur ke
kamar mandi,
berjalan sesuai
toleransi)
Teknik Latihan
Penguatan Sendi
Observasi:
- Identifikasi
keterbatasan
fungsi dan gerak
46
sendi
- Monitor lokasi
dan sifat
ketidaknyamana
n atau arasa sakit
selama gerakan
atau aktivitas
Terapeutik:
- Lakukan
pengendalian
nyeri sebelum
memulai latihan
- Berikan posisi
tubuh optimal
untuk gerakan
sendi pasif atau
aktif
- Fasilitasi gerak
sendi teratur
dalam batas-
batas rasa sakit,
ketahanan, dan
mobilitas sendi
- Berikan
penguatan positif
untuk
meelakukan
latihan bersama
Edukasi
- Jelaskan kepada
pasien atau
47
keluarga tujuan
dan rencanakan
latihan bersama
- Anjurkan duduk
di tempat tidur,
di sisi tempat
tidur
(menjuntai), atau
di kursi, sesuai
toleransi
- Ajarkan
melakukan
latihan rentang
gerak aktif dan
pasif secara
sistematis
- Anjurkan
memvisualisasik
an gerak tubuh
sebelum
memulai gerakan
- Anjurkan
ambulasi, sesuai
toleransi
Kolaborasi:
- Kolaborasi
dengan
fisioterapi dalam
mengembangkan
dan
melaksanakan
48
program latihan
Resiko Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi
3 Aktivitas d/d intervensi keperawatan Observasi:
Ketidakbugaran Status
selama 24 jam masalah - Identifikasi
Fisik
resiko intoleransi gangguan fungsi
aktivitas dapat diatasi tubuh yang
dengan kriteria hasil: mengakibatkan
- Kemudahan kelelahan
melakukan - Monitor
aktivitas kelelahan fisik
sehari-hari (1) dan emosional
- Kecepatan - Monitor pola dan
berjalan (1) jam tidur
- Keluhan lelah - Monitor lokasi
(5) dan
- Dipsnea saat ketidaknyamana
aktivitas (5) n selama
- Dyspnea melakukan
setelah aktivitas
aktiivitas (5) Terpeutik:
- Sediakan
lingkungan yang
nyaman dan
rendah stimulus
(mis; cahaya,
suara,
kunjungan)
- Lakukan latihan
rentang gerak
pasif dan/atau
aktif
49
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk
di sisi tempat
tidur, jika tidak
dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi:
- Anjurkan tirah
baring
- Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan
menghubungi
perawat jika
tanda dan gejala
keluhan tidak
berkurang
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi:
- Kolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
50
Promosi Latihan Fisik
Observasi:
- Identifikasi
keyakinan
kesehatan
tentang latihan
fisik
- Identifikasi
pengalaman
olahraga
sebelumnya
- Identifikasi
motivasi individu
untuk memulai
atau melanjutkan
program
olahraga
- Identifikasi
hambatan untuk
berolahraga
- Monitor
kepatuhan
menjalankan
program latihan
- Monitor respon
terhadap
program latihan
Terapeutik:
- Motivasi
mengungkapkan
51
perasaan tentang
olahraga atau
kebutuhan
berolahraga
- Motivasi
memulai atau
melanjutkan
olahraga
- Fasilitasi dalam
mengidentifikasi
model peran
positif untuk
mempertahankan
program latihan
- Fasilitasi dalam
menetapkan
tujuan jangka
pendek dan
panjang program
latihan
- Fasilitasii dalam
menjadwalkan
periode regular
latihan rutin
mingguan
- Fasilitasi dalam
mempertahankan
kemajuan
program latihan
- Lakukan
aktivitas
52
olaharaga
bersama pasien,
jika perlu
- Libatkan
keluarga dalam
merencanakan
dan memelihara
program latihan
- Berikan umpan
balik positif
terhadap upaya
yang dijalankan
pasien
Edukasi:
- Jelaskan manfaat
kesehatan dan
efek fisiologis
olahraga
- Jelaskan jenis
latihan yang
sesuai dengan
kondisi
kesehatan
- Jelaskan
frekuensi, durasi,
dan intensitas
program latihan
yang diinginkan
- Ajarkan latihan
pemanasan dan
pendinginan
53
yang tepat.
- Ajarkan teknik
menghindari
cedera saat
berolahraga
- Ajarkan teknik
pernapasan yang
tepat untuk
memaksimalkan
pnyerapan
oksigen selama
latihan fisik
Kolaborasi:
- Kolaborasi
dengan
rehabilitasi
medis atau
dengan ahli
fisiologi
olahraga, jika
perlu
Edukasi
Aktivitas/Istirahat
Observasi:
- Identifikasi
kesiapan dan
kemampuan
menerima
informasi
54
Terapeutik:
- Sediakan materi
dan media
pengaturan
aktivitas dan
istirahat
- Jadwalkan
pemberian
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
- Berikan
kesempatan
kepada pasien
dan keluarga
untuk bertanya
Edukasi:
- Jelaskan
pentingnya
melakukan
aktivitas
fisik/olahraga
secara rutin
- Anjurkan terlibat
dalam aktvitas
kelompok,
aktivitas
bermain, atau
aktivitas lainnya
- Anjurkan
menyusun jadwal
55
aktivitas dan
istirahat
- Ajarkan acara
mengidentifikasi
kebutuhan
istirahat (mis;
kelelahan, sesak
nafas saat
aktivitas)
- Ajarkan cara
mengidentifikasi
target dan jenis
aktivitas sesuai
kemampuan
56
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS RHEUMATOID ATHRITIS
57
OBAT-OBATAN
Obat-obatan DOSIS Dosis Terakhir Frekuensi
(Resep/ Obat
Bebas)
Terapi IVFD NS 20 tetes/menit
Paracetamol 4x750 mg
Na diclofenac 3x50 mg
Metotrexat 1x7,5 mg
PENGGUNAAN
Tembakau Ya ( ) Tidak ( + )
Alkohol Ya ( + ) Tidak ( )
Obat lain Ya ( ) Tidak ( + )
Alergi obat Ya ( + ) Tidak ( )
Obat obatan warung/tanpa resep dokter ( - )
POLA NUTRISI/METABOLISME
Diet/suplemen khusus ( - )
Instruksi diet sebelumnya Ya ( ) Tidak ( + )
Nafsu makan ( ) Normal ( ) Meningkat ( + ) Menurun
Kesulitan menelan (disfagia) Ya ( ) Tidak ( + )
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital: TD: 110/70 mm Hg
N: 88 kali/menit
S: 36,8 C
RR: 22 kali/menit
Kulit I: ketombe (-), uban (+), bengkak (-), rambut pendek (-)
Kepala/Rambut: Pa: Rambut rontok (-)
58
Pe:-
Ausk: -
59
Ausk: -
Abdomen I: terdapat linea nigra, TFU 2 jari di bawah prosesus
xyfidheus
Pa: tidak ada nyeri tekan
Pe: normal
Ausk: bising usus aktif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnostik: -
Laboratorium:
1. WBC: 13.310/mm3
2. Hb: 11,1 g/dl
3. RDW: 11,4 %
4. Kalium: 3,08 mmol/L
60
ANALISA DATA FOKUS
Nama Klien: Ny. S
NO DATA DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Data Subjektif: Nyeri Akut b/d Agen Pencedera
Klien mengeluh nyeri sendi lutut kiri dan Fisiologis
kanan sejak 2 hari SMRS sampai tidak
bisa berjalan.
Nyeri sendi juga dirasakan di
pergelangan tangan dan jari-jari tangan
dan kiri terutama pada ibu jari, jari
telunjuk, dan jari tengah.
Data Objektif:
- Mengeluh nyeri
- Menarik diri
- Gelisah
61
menurun
9. yang keliru terhadap masalah
62
INTERVENSI KEPERAWATAN
63
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
- Ajarkan Teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Aromaterapi
Obervasi:
- Identifikasi pilihan
aroma yang disukai dan
tidak disuka
- Identifikasi tingkat
nyeri, stres, kecemasan,
dan alam
- perasaan sebelum dan
sesudah aromaterapi
- Monitor
ketidaknyamanan
sebelum dan setelah
- Pemberian (mis. Mual,
pusing)
- Monitor masalah yang
terjadi saat pemberian
aromaterapis (mis.
Dermatitis kontak,
asma)
- Monitor dan tanda-
tanda vital sebelum dan
sesudah aromaterapi
64
Terapeutik
16. Pilih minyak
esensial yang tepat
17. Berikan minyak
esensial dengan metode
yang tepat (mis.
Inhalasi, pemijatan,
mandi uap, atau
kompres)
65
induksi yang sesuai
(mis; ilusi
pendulum
chevreul, relaksasi,
relaksasi otot,
latihan visualisasi,
perhatian pada
pernapasan,
mengulang
kata/frase kunci)
Terapeutik;
- Tetapkan tujuan
hypnosis diri
- Buatkan jadwal
latihan, jika perlu
Edukasi;
- Jelaskan jenis
hypnosis diri
sebagai penunjang
terapi modalitas
(mis; hipnoterapi,
psikoterapi, terapi
kelompok, terapi
keluarga)
- Ajarkan prosedur
hypnosis diri
sesuai kebutuhan
- dan tujuan
66
Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi
Fisik b/d Kekakuan
intervensi keperawatan Observasi:
Sendi
selama 24 jam masalah - Identifikasi adanya
gangguan mobilitas fisik nyeri atau keluhan
dapat teratasi: fisik lainnya
- Pergerakan - Identifikasi
ektremitas (1) toleransi fisik
- Nyeri (5) melakukan
- Kecemasan (5) pergerakan
- Kekuatan otot (1) - Monitor frekuensi
jantung dan
tekanan darah
sebelum memulai
mobilisasi
- Monitor kondisi
umum selama
melakukan
mobilisasi
Terapeutik:
- Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu
- Fasilitasi
melkaukan
pergerakan, jika
perlu
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
67
pergerakan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis; duduk di
tempat tidur, duduk
di sisi tempat tidur,
pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Dukungan Ambulasi
Observasi:
- Identifikasi adanya
nyeri atau keluhan
fisik lainnya.
- Identifikasi
toleransi fisik
melakukan
ambulasi.
- Monitor frekuensi
jantung dan
tekanan darah
sebelum memulai
ambulasi
- Monitor kondisi
68
umum selama
melakukan
ambulasi
Terapeutik:
- Fasilitasi aktivitas
ambulasi dengan
alat bantu (mis;
tongkat, kruk)
- Fasilitasi
melakukan
mobilisasi fisik,
jika perlu
- Libatkan keluarga
untuk membantu
pasien dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
- Anjurkan
melakukan
ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
(mis; berjalan dari
tempat tidur ke
kursi roda, berjalan
dari tempat tidur ke
kamar mandi,
69
berjalan sesuai
toleransi)
Teknik Latihan
Penguatan Sendi
Observasi:
- Identifikasi
keterbatasan fungsi
dan gerak sendi
- Monitor lokasi dan
sifat
ketidaknyamanan
atau arasa sakit
selama gerakan
atau aktivitas
Terapeutik:
- Lakukan
pengendalian nyeri
sebelum memulai
latihan
- Berikan posisi
tubuh optimal
untuk gerakan
sendi pasif atau
aktif
- Fasilitasi gerak
sendi teratur dalam
batas-batas rasa
sakit, ketahanan,
dan mobilitas sendi
- Berikan penguatan
70
positif untuk
meelakukan latihan
bersama
Edukasi
- Jelaskan kepada
pasien atau
keluarga tujuan dan
rencanakan latihan
bersama
- Anjurkan duduk di
tempat tidur, di sisi
tempat tidur
(menjuntai), atau di
kursi, sesuai
toleransi
- Ajarkan melakukan
latihan rentang
gerak aktif dan
pasif secara
sistematis
- Anjurkan
memvisualisasikan
gerak tubuh
sebelum memulai
gerakan
- Anjurkan ambulasi,
sesuai toleransi
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan
fisioterapi dalam
mengembangkan
71
dan melaksanakan
program latihan
Resiko Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi
Aktivitas d/d intervensi keperawatan Observasi:
Ketidakbugaran Status
selama 24 jam masalah - Identifikasi
Fisik
resiko intoleransi gangguan fungsi
aktivitas dapat diatasi tubuh yang
dengan kriteria hasil: mengakibatkan
- Kemudahan kelelahan
melakukan - Monitor kelelahan
aktivitas sehari- fisik dan emosional
hari (1) - Monitor pola dan
- Kecepatan jam tidur
berjalan (1) - Monitor lokasi dan
- Keluhan lelah (5) ketidaknyamanan
- Dipsnea saat selama melakukan
aktivitas (5) aktivitas
- Dyspnea setelah Terpeutik:
aktiivitas (5) - Sediakan
lingkungan yang
nyaman dan rendah
stimulus (mis;
cahaya, suara,
kunjungan)
- Lakukan latihan
rentang gerak pasif
dan/atau aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
- Fasilitasi duduk di
72
sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan
Edukasi:
- Anjurkan tirah
baring
- Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Anjurkan
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala keluhan
tidak berkurang
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara meningkatkan
asupan makanan
73
latihan fisik
- Identifikasi
pengalaman
olahraga
sebelumnya
- Identifikasi
motivasi individu
untuk memulai
atau melanjutkan
program olahraga
- Identifikasi
hambatan untuk
berolahraga
- Monitor kepatuhan
menjalankan
program latihan
- Monitor respon
terhadap program
latihan
Terapeutik:
- Motivasi
mengungkapkan
perasaan tentang
olahraga atau
kebutuhan
berolahraga
- Motivasi memulai
atau melanjutkan
olahraga
- Fasilitasi dalam
mengidentifikasi
74
model peran positif
untuk
mempertahankan
program latihan
- Fasilitasi dalam
menetapkan tujuan
jangka pendek dan
panjang program
latihan
- Fasilitasii dalam
menjadwalkan
periode regular
latihan rutin
mingguan
- Fasilitasi dalam
mempertahankan
kemajuan program
latihan
- Lakukan aktivitas
olaharaga bersama
pasien, jika perlu
- Libatkan keluarga
dalam
merencanakan dan
memelihara
program latihan
- Berikan umpan
balik positif
terhadap upaya
yang dijalankan
pasien
75
Edukasi:
- Jelaskan manfaat
kesehatan dan efek
fisiologis olahraga
- Jelaskan jenis
latihan yang sesuai
dengan kondisi
kesehatan
- Jelaskan frekuensi,
durasi, dan
intensitas program
latihan yang
diinginkan
- Ajarkan latihan
pemanasan dan
pendinginan yang
tepat.
- Ajarkan teknik
menghindari
cedera saat
berolahraga
- Ajarkan teknik
pernapasan yang
tepat untuk
memaksimalkan
pnyerapan oksigen
selama latihan fisik
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan
rehabilitasi medis
atau dengan ahli
76
fisiologi olahraga,
jika perlu
Edukasi
Aktivitas/Istirahat
Observasi:
- Identifikasi
kesiapan dan
kemampuan
menerima
informasi
Terapeutik:
- Sediakan materi
dan media
pengaturan
aktivitas dan
istirahat
- Jadwalkan
pemberian
pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan
- Berikan
kesempatan kepada
pasien dan
keluarga untuk
bertanya
Edukasi:
- Jelaskan
pentingnya
melakukan
77
aktivitas
fisik/olahraga
secara rutin
- Anjurkan terlibat
dalam aktvitas
kelompok,
aktivitas bermain,
atau aktivitas
lainnya
- Anjurkan
menyusun jadwal
aktivitas dan
istirahat
- Ajarkan acara
mengidentifikasi
kebutuhan istirahat
(mis; kelelahan,
sesak nafas saat
aktivitas)
- Ajarkan cara
mengidentifikasi
target dan jenis
aktivitas sesuai
kemampuan
78
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
79
pergerakan mulai berkurang dan
- Memonitor frekuensi ototnya sudah mulai
jantung dan tekanan darah tidak terasa lemah lagi
sebelum memulai
mobilisasi
- Memonitor kondisi umum
selama melakukan O:
mobilisasi Klien tampak sudah
- Memfasilitasi aktivitas tidak kemerahan dan
mobilisasi dengan alat bengkak lagi pada
bantu ektremitasnya
- Memfasilitasi melkaukan
pergerakan, jika perlu
- Melibatkan keluarga A:
untuk membantu pasien Masalah teratasi
dalam meningkatkan sebagian
pergerakan
- Menjelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi P:
- Menganjurkan melakukan Lanjutkan Intervensi
mobilisasi dini
- Mengajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan (mis; duduk di
tempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
80
mengakibatkan beraktivitas kembali
kelelahan meski dimulai dari
- Memonitor kelelahan ringan dulu
fisik dan emosional
- Memonitor pola dan
jam tidur
- Memonitor lokasi dan O:
ketidaknyamanan Klien tampak sudah bisa
selama melakukan beraktivitas sedikit demi
aktivitas sedikit
- Menyediakan
lingkungan yang
nyaman dan rendah A:
stimulus (mis; cahaya, Masalah teratasi
suara, kunjungan) sebagian
- Melakukan latihan
rentang gerak pasif
dan/atau aktif P:
- Memberikan aktivitas Lanjutkan Intervensi
distraksi yang
menenangkan
- Memfasilitasi duduk
di sisi tempat tidur,
jika tidak dapat
berpindah atau
berjalan
- Menganjurkan tirah
baring
- Menganjurkan
melakukan aktivitas
secara bertahap
81
- Menganjurkan
menghubungi perawat
jika tanda dan gejala
keluhan tidak
berkurang
- Mengajarkan strategi
koping untuk
mengurangi kelelahan
- Mengkolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
- Mengidentifikasi
harapan untuk
mengendalikan
perilaku
82
BAB IV
ANALISIS JURNAL
rennywulan04@yahoo.co.id
Artikel pada jurnal ini ditulis oleh 2 orang yaitu “Renny Wulan Apriliyasari1 Emma
Setyo Wulan2”. Penulisan nama penulis artikel ini sudah benar pada bagian :
83
ISSN : 2252-8865
Vol. 1, No. 5 - Oktober, 2016
Tersedia On-line : http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/
Penulisan tahun penelitian pada jurnal ini sudah benar dan dilengkapi dengan :
1. Volume jurnal
2. Nomor jurnal
3. Halaman artikel yang diterbitkan
84
4.3 JENIS TINDAKAN/INTERVENSI/ PENANGANAN
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
objektif. Dengan demikian dalam rancangan penelitian, peneliti melibatkan tidak
menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan independen.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional.
Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada saat
itu. Dalam penelitian ini data tentang pengukuran kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari pada pasien rheumatoid artritis di UPT Puskesmas Rejosari Kabupaten
Kudusakan diambil dalam sekali waktu.
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita rheumatoid artritis yang datang ke
UPT Puskesmas Rejosari Kabupaten Kudus untuk berobat pada tanggal 13 April sampai
dengan 2 Mei 2015. Jumlah sampel sebanyak 68 responden yang diambil dengan
menggunakan tehnik Accidental sampling Analisa dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada pasien rheumatoid
artritis diolah secara statistik menggunakan analisa univariat
4.4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.4.1 Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
objektif. Dengan demikian dalam rancangan penelitian, peneliti melibatkan tidak
menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan independen.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional.
Penelitian cross sectional adalah jenis penelitian yang menekankan waktu
pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada saat
itu. Dalam penelitian ini data tentang pengukuran kemandirian dalam melakukan
aktivitas sehari-hari pada pasien rheumatoid artritis di UPT Puskesmas Rejosari
Kabupaten Kudusakan diambil dalam sekali waktu.
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita rheumatoid artritis yang datang ke UPT
Puskesmas Rejosari Kabupaten Kudus untuk berobat pada tanggal 13 April sampai
85
dengan 2 Mei 2015. Jumlah sampel sebanyak 68 responden yang diambil dengan
menggunakan tehnik Accidental sampling. Analisa dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada pasien rheumatoid
artritis diolah secara statistik menggunakan analisa univariat.
86
fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakkan aktif dan pasif pada semua sendi
yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Pada hasil penelitian didapatkan bahwa
sebagian besar responden bekerja yaitu sebanyak63 (92,6%) orang sehingga
sebagian besar masih aktif dalam menjalankan aktivitas, hal tersebut akan
berpengaruh pada fungsi sendi.
Anies. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular; Solusi Pencegahan dari
Aspek Perilaku dan Lingkungan. Elex Media Komputindo. Jakarta
Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakar- ta.
Rineka Cipta
Carpenito. Lynda (2005). Konsep dan Aplikasi Proses Keperawatan. Jakarta. EGC
Chintyawati, C. (2014). Hubungan antara nyeri rheumatoid artritis denngan
kemandirian aktivitas sehari-hari pada lansia di Posbindu Karang Mekar
Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tingkat. Prgram Studi
Ilmu Keperawatn Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
87
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dharma,K.K.,(2011).Metodologipenelitiankeperawatanpedomanmelaksanakand
anmenerapkanhasilpenelitian. Jakarta: Trans Info Media
Depkes RI. (2006). Pharmaceutical Care untukPasienPenyakit Arthritis Rematik.
http://depkes.ropeg.go.id. [Accessed 2 Maret 2015].
Hsueh, I.P., Ming, M.L., Ching,L.H. 2001. Psychometric charateristics of the bhartel
activities of dayly living index in stroke patiens. http://www.fma.org.tw/jfma/
PDF/2001-100/issue_8/Article_3.pdf. [Accessed 23 Maret 2015].
Jakarta :SalembaMedika
:GrahaIlmu
Nursalam.(2008).Konsep&PenerapanMetodologiPenelitianIlmuKeperaw
atan;PedomanSkripsi,TesisdanInstrumenPenelitianKeperawatan .E
d. 01.SalembaMedika, Jakarta.
Pudjiastuti & Budi. (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.
Silbernagl.(2006). Teks& Atlas berwaranpatofisiologi,
alihbahasaIwanSetiawan,
IqbalMochtar. Editor edisibahasa Indonesia, TitiekResmisari. EGC: Jakarta
Stanley, Mickey. (2006). Buku Ajar KeperawatanGerontik. EGC,
Jakarta
Sudoyo, A. (2005) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta:
InternaPublishing
88
Pebruari 2015].
89
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum
diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada
masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai
pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).
Penyebab utama penyakit reumatik masih belum diketahui secara pasti. Biasanya
merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem
reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri,
mikoplasma dan virus.
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab artritis reumatoid, yaitu:
Infeksi Streptokkus hemolitikus dan Streptococcus non-hemolitikus, Endokrin,
Autoimun, Metabolik, Faktor genetik serta pemicu lingkungan
5.2. SARAN
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat dan memberi
pengetahuan lebih tantang Asuhan Keperawatan Rheumatoid Arthritis (RA). Serta
dengan adannya makalah ini penulis berharap agar pembaca yang sebagai mahasiswa
dapat memahami tentang Penyakit Rheumatoid Arthritis (RA).
Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmunya di masyarakat agar masyarakat mampu
mengenali tanda-tanda dan gejalannya.
90
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G.M., Butcher, H., Dochterman, J.M. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC).
6th Edition. Singapore: Elsevier. Terjemahan oleh Nurjannah, I.,Tumanggor,R.D.
2016. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi Indonesia Keenam.
Yogyakarta: CV. Mocomedia.
Meliny, Suhadi, & Sety, M. (2018). Analisis Faktor Resiko Rematik Usia 45-54 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Tahun 2017. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan MAsyarakat , Vol. 2 No. 2 ISSN: 2502- 73 IX.
Asikin, M,. Nasir, M,. Podding, I Takko. 2016. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Asikin, M,. Nasir, M,. Podding, I Takko. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sya’diyah, Hidayatus. 2018 Keperawatan Lanjut Usia. Sidoarjo: Indomedia Pustaka.
Febriana. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arhritis Ankle Billateral
Di RSUD Saras Husada Purworejo. Naskah Publikasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta , 1-15.
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans Info Media.
Istianah, Umi. (2017). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Lukman dan Ningsih, N. (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
PPNI. (2017). Standar diagnosa keperawatan indonesia (SDKI): Definisi dan indikator
diagnostik. DPP PPNI.
PPNI. (2016). Standar intervensi keperawatan indonesia (SIKI): Definisi dan tindakan
keperawatan. DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar luaran keperawatan indonesia (SLKI): Definisi dan kriteria hasil
keperawatan. DPP PPNI.
PPNI (2021). Pedoman standar prosedur operasional keperawatan (SPOK). DPP PPNI.
91
LAMPIRAN
CENDEKIA UTAMA
Jurnal Keperawatan dan KesehatanMasyarakat
STIKES Cendekia Utama Kudus
ISSN : 2252-8865
Vol. 1, No. 5 - Oktober, 2016
Tersedia On-line :http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/
KEMANDIRIAN DALAM MELAKUKAN AKTIVITAS SEHARI-HARI PADA
PASIEN RHEUMATOID ATRITIS
Renny Wulan Apriliyasari1 Emma Setyo Wulan2
Program Studi Profesi Ners STIKES Cendekia Utama Kudus
rennywulan04@yahoo.co.id\
ABSTRAK
Rheumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosif yang si-
metris pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Keadaan rheuma-
toid artritis akan berakibat pada berbagai masalah pada pasien terutama adalah keadaan
nyeri pada persendian. Jika seseorang menderita nyeri maka akan mempengaruhi fisiologis
dan psikologis dari orang tersebut, salah satu diantaranya adalah gangguan pola aktivitas
sehari-hari. Menurut Zivkovic,N. et all(2009) sebanyak 22% mengalami penurunan fung-
si setiap harinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karateristik kemandirian
pasien rheumatoid artritisdalam melakukan aktivitas sehari-hari Jenis penelitian yang di-
gunakan adalah penelitian diskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 68
responden yang dipilih secara Accidental Sampling. Untuk menganalisa data menggunakan
uji univariat Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 39 orang (57,4%) memiliki
ketergantungan ringan yaitu sedangkan 29 orang (42,6%) memiliki kemandirian total da-
lam melakukan kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menunjukkan penurunan kemampu-
an dalam aktivitas kehidupan sehari-hari merupakan masalah yang perlu diperhatikan dan
dilakukan penatakasanaan dengan baik pada pasien artritis rheumatoid.
Kata Kunci : Rheumatoid Atritis , Kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
ABSTRACT
Rheumatoid arthritis is an autoimmune disease that characterized by erosive symmetri-
cal synovitis. The state of rheumatoid arthritis will result in various problems in patients
primarily is the state of pain in the joints. If someone is suffering from pain will affect the
physiological and psychological of the people, one of which is the disruption of daily acti-
vity patterns. According to Zivkovic, N. et al (2009) by 22% decreased function every day.
The purpose of this study was to determine the characteristics of independence artritis in
arthritis patients perform everyday activities type of research is descriptive research with
cross sectional approach. Total sample of 68 respondents selected by accidental sampling.
To analyze the data using univariate test results showed that as many as 39 people (57.4%)
had mild dependence that whereas 29 (42.6%) had complete independence in the conduct of
everyday life. This study showed a decreased ability in activities of daily life are issues that
need to be considered and done penatakasanaan well in patients with rheumatoid arthritis.
92
LATAR BELAKANG
Rheumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosif
yang simetris pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular.
Sebagian besar kasus perjalanan kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan
sendi yang progesif,kecacatan dan bahkan kematian dini (Sudoyo, 2010).
93
(25.6%) dan beribadah (12,8%) dimana lansia yang mengalami rheumatoid artritis
harus dibantu dalam melakukan aktivitas tersebut.
Dari paparan konsep dan hasil penelitian terdahulu maka pada tanggal 16
Februari 2015 dilakukan survey pendahuluan melalui wawancara tentang keluhan
utama dan keterbatasan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari pada 5 pasien
rheumatoid artritisyang melakukan periksa ke UPT Puskesmas Rejosari Kabupaten
Kudus didapatkan bahwa seluruh pasien yang dilakukan wawancara mengatakan
keluhan utama yang dirasakan adalah nyeri pada persendian. Terkait keterbatasan
aktivitas sehari-hari, 4 pasien mengatakan bahwa aktivitasnya sangat terganggu
karena adanya nyeri, aktivitas yang dirasakan terganggu sebagian besar adalah
aktivitas yang membutuhkan pergerakan yang berat seperti berjalan jauh ditempat
datar maupun naik tangga. Salah satu instrument yang dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan aktifitas kehidupan sehari-hari adalah dengan ADL Barthel
Index dimana dalam instrument tersebut terdapat 10 komponen kemampuan aktivitas
kehidupan sehari-hari yang meliputi kemampuan untuk makan, kemampuan
berpindah dari tempat tidur kekursi, kemampuan dalam kebersihan diri, aktivitas
di toilet, madi, berjalan, naik turun tangga, berpakaian, mengontrol devfekasi dan
mengontrol berkemih.
METODE PENELITIAN
94
melibatkan tidak menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan
independen.
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita rheumatoid artritis yang datang
ke UPT Puskesmas Rejosari Kabupaten Kudus untuk berobat pada tanggal 13 April
sampai dengan 2 Mei 2015. Jumlah sampel sebanyak 68 responden yang diambil
dengan menggunakan tehnik Accidental sampling.
Tabel 5.3
Distribusi kemandirian dalam melakukan kehidupan sehari-hari pada pasienartritis
rheumatoid di UPT Puskesmas Rejosari
Tahunun t 2015
(n=68)
95
Pada pasien atritis heumatoid yang mengalami ketergantungan ringan, penurunan
kemandirian pada pasien tersebut terutama pada aspek kemampuan berjalan dan
naik tangga. Hal ini dikarenakan pada 2 akvititas tersebut membutuhkan tenaga dan
kondisi sendi dan factor pendukung kemampuan tulang yang baik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pudjiastuti & Budi (2003) yang mengatakan kolagen sebagai
protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi betangan cross linking yang tidak teratur. Perubahan
pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga
menimbulkan dampak berupa nyeri, penuruan kemampuan untuk peningkatan
kekuatan otot, kesulitan bergerakdari duduk keberdiri, jongkok, dan berjalan, dan
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari- hari.
petani yaitu sebanyak 20 orang (51,3%) yang membutuhkan tenaga yang besar
dalam bekerja. Sebagian kecil pada pasien yang memiliki ketergantungan ringan
tidak bekerja, Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari
(2009) tentang hubungan karateristik personal dengan kemandirian dalam ADL
pada lansia, didapatkan bahwa pada lansia yang memiliki riwayat pekerjaan dengan
beban berat memiliki tingkat kemandirian yang lebih resdag daripada lansia dengan
riwayat pekerjaan dengan beban ringan.
96
dengan pendidikan tinggi mempunyai cara dan adaptasi dalam memepertahankan
kemampuan aktifitasnya. Dalam kamus Bahasa Indonesia kontemporer, dinyatakan
bahwa pendidikan merupakan suatu proses pengubahan cara berpikir atau tingkah
laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan penelitian. Dalam penelitian ini
sebagian besar responden berpendidikan tamat SMP/MTs/Paket B yaitu sebanyak
29 orang (42,6%) sedangkan yang paling sedikit adalah tamat SD/MI/Paket A yaitu
sebanyak 5 orang (7,4%). Jika dianalisis dari hasil penelitian pada pasien artritis yang
memiliki pendidikan tamat SD sebagian besar memiliki ketergantungan ringan yaitu
sebanyak 60% sedangankan yang madiri senabnyak 40%. Sedangkan berpendidikan
Tamat SMP sebgaian besar memiliki kemandirian dalam mmelakukan aktivitas
kehidupan sehari hari yaitu 51,7% sedangkan yang memiliki ketergantungan ringan
sebanyak 48,4%. Penelitian yang dilakukan oleh Rinajumita (2011) menjelaskan
bahwa pendidikan merupakan salah satu factor yang berpengaruh pada kemandirian
pada lansia. Pendidikan akan berdampak pada fungsi kognitif pada seseorang yang
akan mempengaruhi dari kemandirian dari lansia. Penelitian tersebut diperkuat
dengan penelitian yang dilakukan Fadhia (2011) didapatkan bahwa fungsi kognitif
yang salah satunya dipengaruhi oleh pendidikan memiliki hubungan dengan tingkat
kemandirian pada seseorang. dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan
mampu mempertahankan hidupnya lebih lama dan bersamaan dengan itu dapat
mempertahankan kemandiriannya juga lebih lama karena cenderung melakukan
pemeliharaan kesehatannya.
Umur juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kemandirian pasien atritis
rheumatoid dalam menjalankan aktivitas sehari hari. Menurut Kozier (2006). Faktor
degenerative memegang peranan yang penting dalam kemapuan aktifitas. Semakin
bertambah umur seseorang akan mengurangi kemampuan aktifitas sehari-hari
seseorang.Umur kalender dianggap sebagai faktor yang relevan dalam soal senioritas
dan tingkat tanggung jawab. Umur adalah penentu yang penting dari hubungan
sosial dan tingkatan umur merupakan pengaruh yang berarti di dalam struktur dari
beberapa kebudayaan. Dari hasil penelitian terdapa 3 lansia yang masing-masing
berumur 60, 61 dan 64 tahun. Dari ke tiga lansi tersebut seluruhnya mengalami
ketergantungan ringan. Penelitian yang mendukung temuan tersebut dilakukan
oleh Suardana dan Ariestia (2009) tentang karateristik lansia dengan kemandirian
aktivitas sehari-hari didapatkan bahwa usioa memiliki hubungan dengan tingkat
kemandirian pada dimana terdapat hubungan negative yaitu semakin tinggi umur
maka semakin rendah kemandirian dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari . hasil penelitian ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Sari
(2009) bahwaterdapat hubungan antara usia dengan kemandirianlansia, dimana
semakin meningkatnya usia makasemakin berkurangnya kemampuan lansia
dalamberaktifitas sehari-hari. Dengan meningkatnya usiamakasecara alamiah
akan terjadi penurunan kemampuanfungsi untuk merawat diri sendiri maupun
berinteraksidengan masyarakat sekitarnya, dan akan semakinbergantung pada
orang lain.
97
Dalam penelitian ini faktor yang dapat berhubungan dengan tingkat
kemandirian pada pasien rheumatoid artritis yang dilakukan penyelidikan adalah
factor yang tidak dapat diubah yaitu usia, pendididikan dan pekerjaan sedangkan
factor lain belum dilakukan penyelidikan seperti dukungan keluarga, pengetahuan,
dan sikap. Dalam beberapa penelitian factor pengetahuan, sikap dan dukungan
berhubungan dengan kemandirian pada lansia. Penelitian yang dilakukan oleh
Suardana dan Ariestia (2009) menyatakan bahwa karateristik pengetahuan, sikap
dan dukungan keluarga memiliki hubungan dengan kemadirian seseorang dalam
melakukan aktivitas.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Ambardini, Rachmah Laksmi. (2008). Peran Latihan Fisik dalam Manajemen
Terapi Osteoartritis. http://www.scribd.com/doc/210125717/Latihan-Fisik-
Manajemen-Osteoartritis. [Accessed 2 Maret 2015].
Anies. (2006). Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular; Solusi Pencegahan dari
Aspek Perilaku dan Lingkungan. Elex Media Komputindo. Jakarta
Hsueh, I.P., Ming, M.L., Ching,L.H. 2001. Psychometric charateristics of the bhartel
activities of dayly living index in stroke patiens. http://www.fma.org.tw/jfma/
PDF/2001-100/issue_8/Article_3.pdf. [Accessed 23 Maret 2015].
Nursalam.(2008).Konsep&PenerapanMetodologiPenelitianIlmuKeperaw
atan;PedomanSkripsi,TesisdanInstrumenPenelitianKeperawatan .Ed.
01.SalembaMedika, Jakarta.
98
Pudjiastuti & Budi. (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.
Silbernagl.(2006). Teks& Atlas berwaranpatofisiologi, alihbahasaIwanSetiawan,
IqbalMochtar. Editor edisibahasa Indonesia, TitiekResmisari. EGC: Jakarta
Stanley, Mickey. (2006). Buku Ajar KeperawatanGerontik. EGC, Jakarta
Sudoyo, A. (2005) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta:
InternaPublishing
99
100