Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

PPOK

Oleh:

Kelompok 6

1. Rahma mutia(18301063)
2. Resti julita (18301064)
3. Resky hidayat(1830105)
4. Riska ramadani (18301066)
5. Rossa anjani (18301067)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKes PAYUNG NEGERI

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. yang telah
memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya. Penulis merasa  bersyukur karena
telah menyelesaikan makalah mengenai “PPOK” sebagai tugas mata kuliah KMB
1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ns. M. Zul Irfan, M.Kep.
selaku dosen mata kuliah KMB 1. Penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya dalam  pembelajaran
KMB 1 secara baik dan benar. Penulisan makalah belum sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Pekanbaru, 10 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar belakang.....................................................................................................1


1.2 Tujuan.................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1 Definisi PPOK.....................................................................................................3


2.2 Etiologi PPOK.....................................................................................................4
2.3 Klasifikasi PPOK................................................................................................6
2.4 Manifestasi klinik PPOK....................................................................................6
2.5 Patofisiologi dan woc PPOK...............................................................................7
2.6 Komplikasi PPOK...............................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan medis dan keperawatan PPOK.................................................11
2.8 Pemeriksaan penunjang/ diagnostik PPOK.........................................................13
2.9 Asuhan keperawatan PPOK (Pengkajian, diagnose, dan intervensi)..................14

BAB III ANALIS KASUS ..............................................................................................23

3.1 Ringkasan Kasus ................................................................................................23


3.2 MCP kasus dan rencana intervensi kasus............................................................24

BAB IV PEMBAHASAN KASUS .................................................................................25

BAB V PENUTUP ..........................................................................................................29

5.1 Simpulan ............................................................................................................29


5.2 Saran ................................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan


dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible (Lyndon Saputra, 2010).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive
Pulmonary Disease (COPD)merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang
dikenal dengan COPD adalah asma bronchial, bronchitis kronik dan
empysema paru-paru. Sering juga penyaki-penyakit ini disebut dengan Cronic
Obstruktive Lung Disease (COLD) (Somantri, 2009).
Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama kesakitan
dan kematian. Penyakit pada saluran pernafasan lebih sering terjadi dari pada
sistem lain, salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada penyakit
saluran pernafasan adalah penyakit paru obstruksi kronik.Data World Health
Organitation (WHO), menunjukan pada tahun 1990 PPOK menempati urutan
ke-6 sebagai penyakit utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002
telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovasculer dan kanker.
Hasil survai penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendaral PPM & LP di
lima rumah sakitprovinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan) pada tahun 2004 menunjukan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), di ikuti asma
bronchial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%). 70% - 80%
pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan
pencemaran udara akibat industry 20-30%. Dengan meningkatnya jumlah
perokok dan polusi udara sebagai faktor resiko terhadap PPOK maka diduga

1
jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan mengenai penykit PPOK
1.2.3 Tujuan Khusus
a. untuk menddeskripsika pengertian PPOK
b. untuk mendeskripsikan etiologi PPOK
c. untuk mendeskripsikan klasifikasi PPOK
d. untuk mendeskripsikan manifestasi klinik PPOK
e. untuk mendeskripsikan patofisiologi dan WOC PPOK
f. untuk mendeskripsikan komplikasi PPOK
g. untuk mendeskripsikan penatalaksanaan medis dan keperawatan
PPOK
h. untuk mendeskripsikan pemeriksaan penunjang / diagnostic
i. untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan PPOK ( pengkajian,
diagnose, dan rencana intervensi keperawatan)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit peradangan paru


yang berkembang dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini menghalangi
aliran udara dari paru-paru karena terhalang pembengkakan dan lendir atau
dahak, sehingga penderitanya sulit bernapas.

Terdapat beberapa definisi penyakit paru obstruktif kronis menurut


beberapa sumber, yaitu dianataranya:

a. Menurut Robbins et al., 2010 PPOK adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
racun yang berbahaya.
b. Menurut Meyer et al., 2010 PPOK merupakan suatu sindrom yang
ditandai dengan gejala dan tanda pernapasan yaitu batuk kronik, berdahak,
dispnea dengan derajat yang bervariasi, dan penurunan aliran udara
ekspirasi yang signifikan dan progresif.
c. Menurut Anthonisen (2004) istilah PPOK mencakup tiga patologi spesifik
yaitu bronkhitis kronik, penyakit saluran napas perifer dan emfisema.
d. Menurut American Thoracic Society (ATS) PPOK adalah suatu gangguan
dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena bronkitis
kronik atau emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresif dan dapat
disertai hiper-reaksi dan mungkin kembali normal sebagian.
e. Sedangkan menurut Klaus et al., (2007), PPOK adalah penyakit yang
dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang
signifikan yang dapat berkontribusi terhadap keparahan pada individu;

3
yang ditandai dengan keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya
reversibel dan bersifat progresif serta berhubungan dengan respon
inflamasi yang abnormal dalam paru dari partikel berbahaya atau gas
beracun.

Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa


penyakit paru obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan
ciri-ciri adanya keterbatasan udara yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: bronkhitis kronis, asma dan emfisema.

2.2 Etiologi

Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau  chronic obstructive


pulmonary disease (COPD) adalah kerusakan jalan nafas atau kerusakan
parenkim paru. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya
penyakit tersebut adalah:

a. Kebiasaan merokok

Rokok adalah penyebab utama timbulnya penyakit ini. Menurut Gan,


2005, paparan rokok yang saat ini paling banyak diteliti dan diketahui
merupakan faktor risiko terhadap meningkatnya prevalensi PPOK itu
sendiri. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai seseorang yang
merupakan perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain
enviromental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK
menjadi tinggi juga. Secara fisiologis rokok berhubungan langsung dengan
hyperplasia kelenjar mukosa bronkus dan metaplasia skuamulus epitel
saluran pernafasan.

b. Polusi Udara

Polusi zat-zat kimia yang juga dapat menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid, dan ozon. Adapun pilusi udara yang umum didapatkan yaitu
berupa:

4
1) Polusi didalam ruangan, misalnya asap rokok, asap kompor, dan asap
obat nyamuk
2) Polusi diluar ruangan misalnya asap kendaraan bermotor dan debu
jalanan
3) Polusi ditempat kerja misalnya bahan kimia, zat iritasi, dan gas beracun.
c. Usia

Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK. Pada


pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar
akan menderita gangguan genetic berupa defisiensi antitrypsin. Namun
kejadian ini hanya ialami <1% pasien PPOK.

d. Jenis kelamin

Laki-laki lebih beresiko terkena PPOK dari pada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok yang lebih sering terjadi pada laki-laki.
Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita
juga bisa terjadi, hal itu karena adanya wanita yang juga merokok.

e. Adanya gangguan fungsi paru

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan factor resiko


terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Imunoglobulin A
(IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pda masa kaanak-kanak seperti
TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru
mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu
dari pada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih beresiko terhadap
berkembangnya PPOK. Termasuk juga seseorang yang pertumbuhan
parunya tidak normal yaitu karena lahir dengan berat badan rendah, dapat
juga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.

2.3 Klasifikasi (jika ada)

Menurut Alsagaff & Mukty (2006), PPOK dapat diklasifikasikan menjadi

5
sebagai berikut:

a. Bronkitis Kronik

Bronkitis kronis adalah adanya batuk produktif yang berlangsung 3


bulan dalam satu tahun selama satu tahun berturut-turut. Sekresi yang
menumpuk dalam bronkiolus mengganggu pernafasan yang efektif.
Penyebab utama bronchitis kronik adalah merokok atau pemajangan
terhadap polusi.

b. Asma
Asma adalah penyakit nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu.
c. Emfisema
Emfisema adalah suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Penyebab utama
emfisema adalah merokok.
2.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis


menurut Reeves (2001) adalah :

Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah


malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai
dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di
saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek
akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang
semakin banyak.

Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan


berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak
akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau
yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali
merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan

6
sehari-hari.

Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena
produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh,
kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan
sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori
karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

2.5 Patofisiologi dan WOC

A) Patofisiologi

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu


pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk
dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah
distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan
obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang
sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa
detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood,
2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-


komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan
atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris
dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit

7
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya


peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD,
2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa


eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK
predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag
untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak
diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan
(Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran
gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan
dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).

8
B) WOC

2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002)
adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena
keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal. Reeves (2001)

9
menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
a. Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien
penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial
PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial
(PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya
membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.

b. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari
penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme
kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit
paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh
secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka
hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan
penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan
resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi
peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan
lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis
rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema
perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain
karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh

10
hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit
jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo
berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara
dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga
yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan
parietal paru-paru  Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan
paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung.
Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru
untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini
menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya
yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang
terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara
terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar
tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan
dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu
berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam
alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi
di dinding alveolar.

2.7 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis


menurut Mansjoer (2002) adalah :

1) Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.


2) Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a) Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi.
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau

11
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b) Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c) Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama
periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f) Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3) Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4
x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit

12
paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
rehabilitasi pekerjaan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi


Kronis menurut Doenges (2012) antara lain :

a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya


diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi
misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma,
penurunan emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat
dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH
normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap
hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,
kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus
mukosa yang terlihat pada bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi

13
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan
alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P
(asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada
lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji
derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan.

2.9 Asuhan Keperawatan (Pengkajian, Diagnosa keperawatan yg


mungkin muncul, rencana intervensi keperawatan)

a. Pengkajian

Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK


ialah :

1. Aktivitas dan istirahat :


Gejala :
a. Keletihan, kelemahan, malaise.
b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernafas.
c. Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi.
Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau
latihan. Tanda :

a. Keletihan.
b. Gelisah, insomnia.
c. Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
2. Sirkulasi
Gejala : a. Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.

Tanda :

14
a. Peningkatan tekanan darah.
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c. Distensi vena leher atau penyakit berat.
d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP
dada)
f. Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau
sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g. Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :

a. Peningkatan faktor resiko.


b. Perubahan pola hidup.
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsang

4. Makanan atau Cairan


Gejala :

a. Mual atau muntah.


b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda :

a. Mual atau muntah.


b. Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d. Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronchitis).
5. Hygiene
Gejala :

a. Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan

15
melakukan aktivitas sehai-hari.
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.

6. Pernafasan
Gejala :

a. Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai


gejala menonjol pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau
episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada tertekan,
ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b. Lapar udara kronis.
c. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat
bangun selama minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya
2 tahun. Produksisputum (hijau, putih atau kuning) dapat banyak
sekali (bronkhitis kronis).
d. Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
e. Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan
pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu
atau asap misalnya asbes, debu batubara, rami katun, serbuk
gergaji.
f. Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin
(emfisema).
g. Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.
7. Penggunaan oksigen pada malam hari terus menerus
Tanda :

a. Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang


dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b. Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya
dengan eksasebrasi akut (bronchitis kronis).
c. Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu,
retraksi fosa supraklavikula, melebarkan hidung.
d. Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP

16
(bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.
e. Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),
menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki,
mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan
selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi
nafas (asma).
f. Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan
udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya
konsolidasi, cairan, mukosa.
g. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan
keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung).
Pasien dengan
h. emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit
normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
i. Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :

a. Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor


lingkungan.
b. Adanya atau berulangnya infeksi.
c. Kemerahan atau berkeringan (asma)
b. Diagnosa

Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru


Obstruksi Kronis adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,


peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara),

17
kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,
mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
c. Intervensi
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :

a). Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,


peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental,
penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan
bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan
menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

1. Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya


mengi, krekels, ronkhi.
R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi
manifestasi adanya bunyi nafas adventisius.
2. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau
ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat
ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses
infeksi akut.
3. Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara,
gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.

18
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan
gravitasi.
5. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan
udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk
pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi
jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran.
b). Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply
oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan
udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi
dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.

Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot


aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan berbicara atau
berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan
kronisnya proses penyakit.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih

19
posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan
atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan
kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan
beratnya hipoksemia.
4. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan nafas.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan
atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi.
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya
perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan
efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
c). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,
mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju
tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan
perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat.

Intervensi :

20
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena
dispnea, produksi sputum, dan obat.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status
hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas
gaster dan konstipasi.
4. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah
khusus untuk sekali pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat
membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
5. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah
makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori
total.
d). Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan
pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko
individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi
untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan
menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.

Intervensi :

1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.

21
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi
sering, dan masukan cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi
paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan
penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu,
wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.

22
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Ringkasan Kasus

Seorang laki berusian 71 tahun dirawat dengan keluhan sesak napas yang
berat sejak 3 bulan yang lalu, keluhan dirasakan semakin berat, walaupun aktivitas
ringan seperti memakai baju terkadang dirasakan semakin parah. Pasien merpakan
perokok aktif selama 40 tahun, 2-3 batang seharinya, berhenti sejak 3 tahun yang
lalu. Pasien mengeluh sesak napas, sesak dirasakan bertambah jika beraktivitas,
contohnya bila ke kamar mandi dan berkurang bila beristirahat dengan pasisi semi
fowler. Sesak dirasakan disebelah dada dan tidak menyebar, skala napas 3 (0-5),
sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit, sesak dirasakan
sewaktu-waktu dengan frekuensi nadi 89x/menit, ferekuensi napas 28x/menit, suhu
36,2℃, BB sebelum sakit 54 kg BB saat ini 43 kg TB 150 cm, terdapat pernapsan
cuping hidung, retraksi sternal vocal premitus sama antara kiri dan kanan, perkusi
terdengar resonan, roonkhi didaerah bronkial dan whezing. Hasil laboratorium pH 7,
43L, pCO2 38, mmHg, pO2 54, mmHg, HCO3 25 mmHg BE 15 mmHg terapi obat
Ceftazidim 3x 1 gr, dexamethasone 2x 1 amp, nebulizer feombivent 3 kali/hari,
antroponin 3x1 amp drip glukosa 5% infus glukosa 5%.

23
3.2 MCP Kasus dan Rencana Intervensi Kasus

Penyakit paru obstuktif kronik

Key assesment :

Sesak napas

Batuk berdahak putih kental


2. DX : ketidakefektifan pola napas b.d
1. DX: ketidakefektifan bersihan
TTV obstruktif jalan napas oleh secret
jalan napas b.d bronkospame
dan peningkatan secret (secret - TD : 180/80
DS :
kental
-Nadi : 89x/menit
 Pasien mengatakan sesak napas
DS:
-Frekuensi napas : 28x/menit
(dispnea
 Pasien mengatakan sesak - BB turun 54 ke 43 kg
napas disertai batuk berdahak  Skala sesak napas 3

putih kental
DO :
DO:
 RR 28 kali/menit
 Perkusi terdengar resonan
 Wheezing
 RR 28x/meni

3 DX: intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan


suplay dan kebutuhan oksigen

DS: - Pasien mengatakan sesak napas jika


beraktivitas walaupun aktivitas ringan
seperti memakai baju terkadang bisa
sampai tak sadarkan diri

- Pasien mengatakan sesak napas timbul bila


berjalan 100 m atau setelah beberapa menit

DO : - pasien tampak kelelahan

-RR 2kali/menit

BAB IV

24
PEMBAHASAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama: Islam
Alamat: Jl. Jendral
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak nafas, sesak dirasakan bertambah jika
beraktivitas. Sesak dirasakan disebelah dada dan tidak menyebar, dan
sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Seorang pasien dirawat dengan keeluhan sesak nafas, sesak
dirasakan bertambah jika beraktivitas. Sesak dirasakan disebelah dada
dan tidak menyebar, dan sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien merupakan perokok aktif selama 40 tahun, 2-3 batang
seharinya dan berhenti sejak 3 tahun yang lalu
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
TD: 180/80 mmHg, nadi 89 x/menit, pernapasan 28x /menit, suhu
36,2°C, BB 54 kg menjadi turun 43 kg,TB 150 cm, perbandingan APT
1:2, perkusi terdengar resonan dan whezing
3. Pemeriksaan Penunjang
pH : 7,43L, pCO2 : 38,5mmHg, pO2 : 54,7mmHg, HCO3 : 25

25
4. Analisa data
a. DS : pasien mengatakan seak napas disertai batuk berdahak putih kental
dan sesak dirasakan bertambah jika beraktivitas berat ataupun ringan.
b. DO: skala sesak3 dari (0-5), pernapsan 89x/ menit, TD 180/80 mmHg
penurunan berat badan dari 54 kg ke 43 kg, perkusi terdengar resonan,
ronkhi, didaerah bronkial dan whezing

B. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d bronkospasma, peningkatan
produksi sekret
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d obstruksi jalan nafas oleh secret
c. Intoleransi aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
C. Intervensi

1. Ketidakefektifan jalan nafas b/d bronkospasme dan peningkatan produksi


sekret (sekresi kental)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama (…x 24jam)
diharapkan jalan nafas kembali efektif

Kriteria Hasil:

a. Menunjukkan jalan nafas yang paten


b. Mampu mengidentifikasi dan mencegah factor yang dapat menghambat
jalan nafas
c. Suara nafas bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu(mampu bernafas
dengan mudah)

Intervensi:

Obsevasi:

c. Observasi TTV pasien


d. Monitor pernafasan
e. Observasi sputum (warna, aroma, jumlah)

26
Mandiri:

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan fentilasi


b. Lakukan fisioterapi dada

Edukasi:

a. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, dan batuk


b. Ajarkan pasien menggunakan inhalasi sesuai resep sebagaimana
mestinya
c. Anjurkan asupan cairan sesuai kebutuhan perhari jika tidak ada kontra
indikasi

Kolaborasi:

a. Berikan bronkodilator sesuai indikasi


b. Pemberian obat inhalasi
c. Terapi oksigen
2. Ketidakefektifan pola nafas b/d obstruksi jalan nafas oleh secret
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ( ... x24 jam)
masalah keperawatan perubahan pola nafas sedikit teratasi.
Kriteria Hasil:
a. Klien mengatakan sesak hilang/berkurang
b. Menunjukkan pola nafas normal/efektif
c. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (TD,DN,RR)
Intervensi:
Observasi:
d. Observasi TTV klien
e. Kaji frekuensi, irama dan kedalaman dan usaha pernafasan
Mandiri:
a. Posisikan pasien meringankan sesak nafas (semifowler)
b. Auskultasi suara nafas, ada tidaknya suara tambahan
Edukasi:
a. Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam dan batuk
b. Anjurkan pasien batuk efektif untuk mengeluarkan semua secret

27
Kolaborasi:
a. Lakukan kolaborasi untuk pemberian terapi oksigen 3 L/menit
3. Intoleransi aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
Tujuan: Setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan selama ( … x 24
jam) diharapkan intoleransi aktivitas dapat berjalan dengan lebih
efektif.

Kriteria Hasil:

a. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.


b. Tanda-tanda vital mencapai batas normal
c. Dapat beraktivitas terutama dalam hal yang ringan
Intervensi:
Observasi:
ii. Observasi TTV pasien
iii. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual.
Mandiri:

a. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan


b. Bantu utuk mengidetifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginka
c. Sediakan  penguatan  positif bagi yang aktif  beraktivitas

Edukasi:
a. Anjurkan  pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
dalam  beraktivitas
b. Bantu untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik,
sosial dan  psikologi pasien
Kolaborasi:
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanaakan
program terapi yang tepat

28
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulang


yaitu:

a. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit peradangan


paru yang berkembang dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini
menghalangi aliran udara dari paru-paru karena terhalang
pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga penderitanya sulit
bernapas.
b. Etiologi dari PPOK yaitu: kebiasaan meroko, polusi udara, gangguan
paru, jenis kelamin, dan usia.
c. Klasifikasi PPOK yaitu: Bronkitis kronis, emfisema, dan asma
bronkial.
d. Komplikasi dari PPOK yaitu: Acute Respiratory Failure (ARF),
Pneumothoraks, dan Cor Pulmonale.
e. Manifestasi klinik dari PPOK yaitu: Perkembangan gejala-gejala yang
merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem
pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas
pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk
dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk
menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang
semakin banyak.
5.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan
dengan baik terhadap penderita penyakit saluran pernapasan terutama
PPOK. Oleh karena itu, perawat juga harus mampu berperan sebagai
pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun memberikan
edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-
tanda, penanganan dan penceganhanya

29
DAFTAR PUSTAKA

Kardiyudiani, ni ketut & brigitta ayu dwi susanti. (2019). keperawatan nedikal
bedah: pt pusta baru. Jonosari

Somantri,Irwan.2009.Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem


pernapasan.Jakarta:Salemba Medika

Yanti, sri (2015). keperawatan medikal bedah: prodi ilmu keperawatan sekolah
tinggi ilmu kesehatan payung negeri. Pekanbaru

Ikawati, Z. 2011. Penyakit System Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya.


Yogyakarka: Bursa Ilmu.

30

Anda mungkin juga menyukai