PPOK
Oleh:
Kelompok 6
1. Rahma mutia(18301063)
2. Resti julita (18301064)
3. Resky hidayat(1830105)
4. Riska ramadani (18301066)
5. Rossa anjani (18301067)
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. yang telah
memberikan karunia, rahmat dan hidayah-Nya. Penulis merasa bersyukur karena
telah menyelesaikan makalah mengenai “PPOK” sebagai tugas mata kuliah KMB
1. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Ns. M. Zul Irfan, M.Kep.
selaku dosen mata kuliah KMB 1. Penulis berterima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya dalam pembelajaran
KMB 1 secara baik dan benar. Penulisan makalah belum sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan mengenai penykit PPOK
1.2.3 Tujuan Khusus
a. untuk menddeskripsika pengertian PPOK
b. untuk mendeskripsikan etiologi PPOK
c. untuk mendeskripsikan klasifikasi PPOK
d. untuk mendeskripsikan manifestasi klinik PPOK
e. untuk mendeskripsikan patofisiologi dan WOC PPOK
f. untuk mendeskripsikan komplikasi PPOK
g. untuk mendeskripsikan penatalaksanaan medis dan keperawatan
PPOK
h. untuk mendeskripsikan pemeriksaan penunjang / diagnostic
i. untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan PPOK ( pengkajian,
diagnose, dan rencana intervensi keperawatan)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
a. Menurut Robbins et al., 2010 PPOK adalah penyakit paru kronik yang
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
racun yang berbahaya.
b. Menurut Meyer et al., 2010 PPOK merupakan suatu sindrom yang
ditandai dengan gejala dan tanda pernapasan yaitu batuk kronik, berdahak,
dispnea dengan derajat yang bervariasi, dan penurunan aliran udara
ekspirasi yang signifikan dan progresif.
c. Menurut Anthonisen (2004) istilah PPOK mencakup tiga patologi spesifik
yaitu bronkhitis kronik, penyakit saluran napas perifer dan emfisema.
d. Menurut American Thoracic Society (ATS) PPOK adalah suatu gangguan
dengan karakteristik adanya obstruksi dari jalan napas karena bronkitis
kronik atau emfisema; obstruksi jalan napas umumnya progresif dan dapat
disertai hiper-reaksi dan mungkin kembali normal sebagian.
e. Sedangkan menurut Klaus et al., (2007), PPOK adalah penyakit yang
dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang
signifikan yang dapat berkontribusi terhadap keparahan pada individu;
3
yang ditandai dengan keterbatasan jalan napas yang tidak sepenuhnya
reversibel dan bersifat progresif serta berhubungan dengan respon
inflamasi yang abnormal dalam paru dari partikel berbahaya atau gas
beracun.
2.2 Etiologi
a. Kebiasaan merokok
b. Polusi Udara
Polusi zat-zat kimia yang juga dapat menyebabkan brokhitis adalah zat
pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon,
aldehid, dan ozon. Adapun pilusi udara yang umum didapatkan yaitu
berupa:
4
1) Polusi didalam ruangan, misalnya asap rokok, asap kompor, dan asap
obat nyamuk
2) Polusi diluar ruangan misalnya asap kendaraan bermotor dan debu
jalanan
3) Polusi ditempat kerja misalnya bahan kimia, zat iritasi, dan gas beracun.
c. Usia
d. Jenis kelamin
Laki-laki lebih beresiko terkena PPOK dari pada wanita, mungkin ini
terkait dengan kebiasaan merokok yang lebih sering terjadi pada laki-laki.
Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita
juga bisa terjadi, hal itu karena adanya wanita yang juga merokok.
5
sebagai berikut:
a. Bronkitis Kronik
b. Asma
Asma adalah penyakit nafas obstruktif intermiten, reversible dimana
trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu.
c. Emfisema
Emfisema adalah suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Penyebab utama
emfisema adalah merokok.
2.4 Manifestasi Klinik
6
sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat
badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena
produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh,
kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan
sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori
karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
A) Patofisiologi
7
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
8
B) WOC
2.6 Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002)
adalah infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena
keadaan hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal. Reeves (2001)
9
menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
a. Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien
penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial
PaO2 sebesar 55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial
(PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya
membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien tersebut dilakukan
intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara mekanik.
b. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari
penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme
kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada penderita penyakit
paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh
secara menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka
hal ini akan merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan
penyakit paru obstruksi menahun, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokonstriksi kapiler paru-paru yang kemudian akan meningkatkan
resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari perubahan ini terjadi
peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel kanan
lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis
rendah dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema
perifer dan istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain
karena darah balik ke jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh
10
hipertrofi ventrikel kanan. Digitalis hanya digunakan pada penyakit
jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo
berarti udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara
dalam rongga pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga
yang khusus yakni berupa lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan
parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah untuk membantu gerakan
paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan berlangsung.
Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-paru
untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini
menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya
yaitu pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang
terakumulasi di rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara
terperangkap di parenkim paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi
tempat menangkapnya udara untuk pertukaran gas menjadi benar-benar
tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan perubahan fungsi pernafasan
dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-paru, mengganggu
berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap dalam
alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi
di dinding alveolar.
11
eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b) Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c) Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau
doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti
mempercepat penyembuhan dam membantu mempercepat
kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama
periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan
baik.
f) Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3) Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4
x 0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran
nafas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan
pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas
tipe II dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar
terhindar dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit
12
paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan
rehabilitasi pekerjaan.
13
patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan
alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P
(asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada
lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji
derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan atau evaluasi program latihan.
a. Pengkajian
a. Keletihan.
b. Gelisah, insomnia.
c. Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.
2. Sirkulasi
Gejala : a. Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
Tanda :
14
a. Peningkatan tekanan darah.
b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c. Distensi vena leher atau penyakit berat.
d. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP
dada)
f. Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau
sianosis, kuku tabuh dan sianosis perifer.
g. Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. Integritas Ego
Gejala :
15
melakukan aktivitas sehai-hari.
Tanda : Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala :
16
(bentuk barrel chest), gerakan diafragma minimal.
e. Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema),
menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki,
mengi, sepanjang area paru pada ekspirasi dan kemungkinan
selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tak adanya bunyi
nafas (asma).
f. Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan
udara dengan emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya
konsolidasi, cairan, mukosa.
g. Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan
keseluruhan, warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung).
Pasien dengan
h. emfisema sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit
normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
i. Tabuh pada jari-jari (emfisema).
8. Keamanan
Gejala :
17
kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,
mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada
lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
c. Intervensi
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
Intervensi :
18
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan
gravitasi.
5. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan
udara.
6. Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk
pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi
jantung. Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara
sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
mempermudah pengeluaran.
b). Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply
oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan
udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi
dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :
19
posisi yang mudah untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan
atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan
kolaps jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan
beratnya hipoksemia.
4. Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan nafas.
5. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan
atau bunyi tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi.
6. Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan
atau udara terjebak.
7. Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya
perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8. Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan
efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
c). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
dispnea, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia,
mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan menuju
tujuan yang tepat dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan
perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau
mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
20
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makanan.
R/ pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena
dispnea, produksi sputum, dan obat.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status
hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas
gaster dan konstipasi.
4. Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah
khusus untuk sekali pakai dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat
membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
5. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah
makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan
memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori
total.
d). Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak
adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan
pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pasien menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko
individu dengan kriteria hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi
untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien akan
menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.
Intervensi :
1. Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
21
2. Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi
sering, dan masukan cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi paru.
3. Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi
paru.
4. Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
Tekankan cuci tangan yang benar (perawat dan pasien) dan
penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu,
wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
22
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang laki berusian 71 tahun dirawat dengan keluhan sesak napas yang
berat sejak 3 bulan yang lalu, keluhan dirasakan semakin berat, walaupun aktivitas
ringan seperti memakai baju terkadang dirasakan semakin parah. Pasien merpakan
perokok aktif selama 40 tahun, 2-3 batang seharinya, berhenti sejak 3 tahun yang
lalu. Pasien mengeluh sesak napas, sesak dirasakan bertambah jika beraktivitas,
contohnya bila ke kamar mandi dan berkurang bila beristirahat dengan pasisi semi
fowler. Sesak dirasakan disebelah dada dan tidak menyebar, skala napas 3 (0-5),
sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit, sesak dirasakan
sewaktu-waktu dengan frekuensi nadi 89x/menit, ferekuensi napas 28x/menit, suhu
36,2℃, BB sebelum sakit 54 kg BB saat ini 43 kg TB 150 cm, terdapat pernapsan
cuping hidung, retraksi sternal vocal premitus sama antara kiri dan kanan, perkusi
terdengar resonan, roonkhi didaerah bronkial dan whezing. Hasil laboratorium pH 7,
43L, pCO2 38, mmHg, pO2 54, mmHg, HCO3 25 mmHg BE 15 mmHg terapi obat
Ceftazidim 3x 1 gr, dexamethasone 2x 1 amp, nebulizer feombivent 3 kali/hari,
antroponin 3x1 amp drip glukosa 5% infus glukosa 5%.
23
3.2 MCP Kasus dan Rencana Intervensi Kasus
Key assesment :
Sesak napas
putih kental
DO :
DO:
RR 28 kali/menit
Perkusi terdengar resonan
Wheezing
RR 28x/meni
-RR 2kali/menit
BAB IV
24
PEMBAHASAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama: Islam
Alamat: Jl. Jendral
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak nafas, sesak dirasakan bertambah jika
beraktivitas. Sesak dirasakan disebelah dada dan tidak menyebar, dan
sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Seorang pasien dirawat dengan keeluhan sesak nafas, sesak
dirasakan bertambah jika beraktivitas. Sesak dirasakan disebelah dada
dan tidak menyebar, dan sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah
beberapa menit.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien merupakan perokok aktif selama 40 tahun, 2-3 batang
seharinya dan berhenti sejak 3 tahun yang lalu
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada riwayat kesehatan keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
TD: 180/80 mmHg, nadi 89 x/menit, pernapasan 28x /menit, suhu
36,2°C, BB 54 kg menjadi turun 43 kg,TB 150 cm, perbandingan APT
1:2, perkusi terdengar resonan dan whezing
3. Pemeriksaan Penunjang
pH : 7,43L, pCO2 : 38,5mmHg, pO2 : 54,7mmHg, HCO3 : 25
25
4. Analisa data
a. DS : pasien mengatakan seak napas disertai batuk berdahak putih kental
dan sesak dirasakan bertambah jika beraktivitas berat ataupun ringan.
b. DO: skala sesak3 dari (0-5), pernapsan 89x/ menit, TD 180/80 mmHg
penurunan berat badan dari 54 kg ke 43 kg, perkusi terdengar resonan,
ronkhi, didaerah bronkial dan whezing
B. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d bronkospasma, peningkatan
produksi sekret
b. Ketidakefektifan pola nafas b/d obstruksi jalan nafas oleh secret
c. Intoleransi aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
C. Intervensi
Kriteria Hasil:
Intervensi:
Obsevasi:
26
Mandiri:
Edukasi:
Kolaborasi:
27
Kolaborasi:
a. Lakukan kolaborasi untuk pemberian terapi oksigen 3 L/menit
3. Intoleransi aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
Tujuan: Setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan selama ( … x 24
jam) diharapkan intoleransi aktivitas dapat berjalan dengan lebih
efektif.
Kriteria Hasil:
Edukasi:
a. Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
b. Bantu untuk memilih aktivitas yang sesuai dengan kemampuan fisik,
sosial dan psikologi pasien
Kolaborasi:
a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam merencanaakan
program terapi yang tepat
28
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
29
DAFTAR PUSTAKA
Kardiyudiani, ni ketut & brigitta ayu dwi susanti. (2019). keperawatan nedikal
bedah: pt pusta baru. Jonosari
Yanti, sri (2015). keperawatan medikal bedah: prodi ilmu keperawatan sekolah
tinggi ilmu kesehatan payung negeri. Pekanbaru
30