DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
KELAS 2.B
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II, dengan judul:
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Sirosis Hepatis”
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sirosis hati berasal dari kata khirosis yang berarti kuning oranye (orange yellow), karena
perubahan warna yang nodul-nodul yang terbentuk. Istilah ini diberikan oleh Lance pada
tahun 1819, sirosis hati merupakan penyakit hati menahun ditandai adanya pembentukan
jaringan ikat disertai nodul, biasanya dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati
yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul, sehingga menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro sel hepar. Penyebab sirosis hepatis terutama di negara
berkembang ialah virus hepatitis B dan C, selain itu mengomsumsi dan autonium juga
mempengaruhi terjadinya sirosis hepatis. (Diyono, 2013).
Sebagai salah satu penyebab sirosis hepatis, virus B dan telah menginfeksi sekitar 2
milyar orang di dunia 240 juta mengidap hepatitis B kronik. Kebanyakan pasien ini tidak
mengalami keluhan ataupun gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronik yaitu sirosis
hati, dan sirosis hati merupakan penyebab utama terjadinya kanker hati (Ratanasari, 2013).
Berdasarkan data Wordl Health Organization (WHO) tahun 2010, sirosis hepatis termasuk
dalam 20 penyebab kematian terbanyak didunia, sedangkan diasia tenggara, lebih dari 70%
penduduk terinfeksi Virus hepatitis B dan sektitar 20% akan berkembang menjadi sirosis hati.
Sirosis hepatis komplikasi hati yang ditandai dengan menghilangnya sel-sel hati dan
pembentukan jaringan ikat dalam hati yang irreversibel. Perhimpunan Peneliti Indonesia.
Penyebab sirosis hepatis terutama di negara berkembang ialah virus hepatitis B dan C, selain
itu konsumsi alkohol dan autoimun juga mempengaruhi terjadinya sirosis hepatis (PPNI,
2016).
Tanda-tanda pada sirosis hati diantaranya ialah nafsu makan menurun, kelelahan parah,
susuah tidur (insomnia), mual, BB menurun, kulit gatal, mudah mengalami memar dan
berdarah pada tubuh, pumbuluh darah arteri di bawah kulit menyerupai bentuk laba-laba,
kemerahan pada telapak tangan dan sakit atau nyeri pada daerah hati. (Misnadiarly, 2014).
1
Peran perawat dalam mengatasi masalah pada pasien dengan apendisitis yaitu
memberikan perawatan yang sesuai dengan kondisi klien, perawat juga mempunyai peran
sebagai pendidik dalam memberikan pendidikan kesehatatan agar dapat meningkatkan
pegetahuan pasien dan keluarga mengenai penyakit apendisitis, perawat memberikan
perlindungan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. oleh karena hal tersebut, kelompok
kami ingin menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah II dengan topik “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Sirosis Hepatis”
1.2. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan yang hendak dicapai oleh penulis
sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam mempelajari, mengidentifikasi
dan mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Sirosis Hepatis”
2. Tujuan Khusus
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Sirosishepatis adalah tahap akhir dari difusi fibrosis hati progresif yang ditandai oleh
pembentukan nodul regeneratif dan distorsi aristektur hati. Morfologi dari dari sirosishepatis
meliputi dari fibrosis, difus, nodul regeneratife, perubahan aristektur lobular dan pembentukan
hubungan vaskulur intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri
hepatica) dan eferen (vena hepatica). Secara klinis sirosis hepatis dibagi atas sirosi
hatikompensata dan sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalah
hepatoselulur dan hipertensi portal (Nurdjana, 2014).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan proses peradangan,
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul, sehingga
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel hepar tidak teratur akibat penambahan
jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2001). Sirosis hepatis adalah penyakit
kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati dermal dengan fibrosis yang
menyebar dan mengganggu struktur dan fungsi hati. Sirosis atau jaringan parut pada hati,
dibagi menjadi tiga jenis yaitu alkoholik, paling sering disebabkan oleh alkoholik kronis, jenis
sirosis yang paling umum; pasca nekrotik, akibat hepatis virus akut sebelumnya; dan biliter,
akibat obstruksi bilier kronis dan infeksi (Smeltzer & Bare, 2013).
Sirosis adalah suatu kondisi di mana jaringan hati yang digantikan oleh jaringan
parut(fibrosis) yang terbentuk melalui proses bertahap. Jaringan parut ini mempengaruhi
stuktur normal dan regenerasi sel-sel hati. Sel-sel hati menjadi rusak dan mati sehingga hati
secara bertahap kehilangan fungsinya. Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak
diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium
akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2002).
3
Anatomi & Fisiologi Sirosis Hepatitis
Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram. Letaknya
dikuadaran kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi oleh tulang rusuk
(costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis
jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi
unit-unit kecil, yang disebut lobulus.
Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi
hati. Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian besar suplai
darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus
gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika
dan banyak mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler
hati yang disebut sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam
oleh campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di
4
setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke
dalam vena kava inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam
hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya. Disamping hepatosit, sel-sel fagositosis yang
termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga terdapat dalam hati. Organ lain yang
mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-
paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan
benda partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.
2.2 KLASIFIKASI
Menurut Batticaca (2009) berdasarkan etiologi dan morfologinya, sirosishepatis dibagi
menjadi berikut ini :
1. Sirosis portal Laennec (alkoholik nutrisional). Terjadi jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah porta dan disebabkan oleh alkoholisme kronis. Paling sering ditemukan
didaerah Barat dan terjadi lesi hati yang timbulkan akibat alkohol.
2. Sirorsis Pascanekrotik terjadi pita jaringan parut yang lebar akibat lanjut dari hepatitis
virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis biliaris terjadinya pembentukan jaringan parut dalam hati sekitar saluran empedu
dan biasanya terjadi cedera akibat obstruksi sistem bilier intrahepatik yang kronis dan
infeksi. Kelainan ini berkaitan dengan gangguan ekskresi empedu, destruksi parenkim hati,
dan fiborosis progresif yang ditandai oleh :
a. Peradangan kronis
b. Sirosis hepatis biliaris teratas primer dan sekunder. Sirosis hepatis sekunder terjadi
akibat sumbatan jangka panjang duktus ekstrahepatik yang lebih besar sedangankan sirosis
hepatis biliaris primer sering berkaitan dengan berbagai penyakit autoimun misalnya
sindrom calcinosis cutis, Raynaud’s, Phenomenon, Sclerodactyly, and telangiectasia
(CRST); Sindrom sika (mata dan mulut kering), tiroiditis autoimun, dan asidosis tubuler
renalis.
4. Sirosis kardiak terjadi akibat gagal jantung kongestif sisi kiri-kanan yang berat dan
memanjang. Etiologi gagal jantung kongestif sisi kiri-kanan, transmisi retrograde dari
peningkatan tekanan vena melalui vena kava inferior dan vena hepatika. Sinusoid hati
5
menjadi berdilatasi dan berkongesti dengan darah, hati menjadi bengkak secara tegang
akibat kongesti dan iskemik pasif yang memanjang dari perfusi yang buruk sekunder
terhadap penurunan curah jantung, sirosis sentrilobulus terjadi dan menyebabkan fibrosis
pada area sentral. Fibrosis sentrilobulus berkembangan dengan perluasan kolagen keluar
dalam pola bintang.
5. Sirosis metabolik, keturunan, dan terakit obat. Disebabkan oleh kelainan
metabolic dan pemakaian obat-obatan.
2.3 ETIOLOGI
Penyebab sirosis hepatis belum teridentifikasi dengan jelas, meskipun demikian, Menurut
Black & Hawks, 2009 ada beberapa faktor yang menyebabkan sirosis hepatis yaitu:
a. Sirosis Pascanekrosis (Makronodular) Merupakan bentuk paling umum di seluruh
dunia.Kehilangan masif sel hati, dengan pola regenerasi sel tidak teratur. Faktor yang
menyebabkan sirosis ini pasca- akut hepatitis virus (tipe B dan C).
b. Sirosis Billier Merupakan turunnya aliran empedu bersamaan dengan kerusakan sel
hepatosit disekitar duktus empedu seperti dengan kolestasis atau obstruksi duktus
empedu.
c. Sirosis Kardiak Merupakan penyakit hati kronis terkait dengan gagal jantung sisi
kanan jangka panjang, seperti atrioventrikular perikarditis konstriktif lama.
d. Sirosis Alkoholik (mikronodular Laenec) Merupakan bentuk nodul kecil akibat
beberapa agen yang melukai terus-menerus, terkait dengan penyalahgunaan alcohol.
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
3. Virus hepatitis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
7. Zat toksik
Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :
6
Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Ada empat tipe sirosis hepatis atau pembentukan parut dalam hati antara lain :
1. Sirosis Portal Laennec (Alkoholik, Nutrisional). Dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering disebabkan oleh alkoholisme
kronis dan merupakan tipe sirosis yang paling sering ditemukan di Negara Barat
2. Sirosis Pascanekrotik Dimana terdapat pita jaringan parutyang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis Bilier Dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi biliar yang kronis dan infeksi
(kolangitis): insidennya lebih rendah daripada insiden sirosis Laennec dan
pascanekrotik.
4. Sirosis biliaris primer terjadi kerusakan progresif pada duktus biliaris intrahepatik.
Terutama (90%) mengenai wanita antara 40-60 tahun, dan keluhan utamanya berupa
tanda-tanda koleastatis: pruritus, ikterus, disertai tinja pucat, urin gelap, dan steatorea,
pigmentasi, dan xantelasma.
7
sehingga akan menumpuk di dalam tubuh, ketidakmampuan memproses obat, racun, dan
bahan kimia lainnya yang kemudian bisa menumpuk di dalam tubuh.
Pada tahap akhir, sirosis hati terkait dengan banyak gejala. Sebagian besar gejalanya
adalah akibat dari jaringan hati fungsional yang tersisa terlalu sedikit untuk melakukan fungsi
hati. Gejala yang dapat timbul pada fase ini antara lain kelelahan, kelemahan, cairan yang
bocor dari aliran darah dan menumpuk di kaki (edema) dan perut (asites), kehilangan nafsu
makan, merasa mual dan ingin muntah, kecenderungan lebih mudah berdarah dan memar,
penyakit kuning karena penumpukan bilirubin, gatal-gatal karena penumpukan racun,
gangguan kesehatan mental dapat terjadi dalam kasus berat karena pengaruh racun di dalam
aliran darah yang memengaruhi otak. Hal ini dapat menyebabkan perubahan kepribadian dan
perilaku, kebingungan, pelupa, dan sulit berkonsentrasi.
Selain itu jaringan parut membatasi aliran darah melalui vena portal sehingga terjadi
tekanan baik (dikenal dengan hipertensi portal). Vena portal adalah vena yang membawa
darah berisi nutrisi dari usus dan limpa ke hati. Normalnya, darah dari usus dan limpa
dipompa ke hati melalui vena portal. Namun, sirosis menghalangi aliran normal darah melalui
hati sehingga darah terpaksa mencari pembuluh darah baru disekitar hati. Pembuluh-
pembuluh darah baru yang disebut “varises” ini terutama muncul di tenggorokan (esophagus)
dan lambung sehingga membuat usus mudah berdarah.
8
Asites (akibat pergeseran hidrostastik atau osmotic mengarah pada akumulasi cairan
didalam peritoneum)
Bersihan sampah metabolic protein tidak tuntas dengan akibat meningkatnya
ammonia, selanjutnya mengarah kepada ensefalopati hepatikum.
Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab tidak diketahui atau penyalahgunaan
alkohol biasanya mengakibatkan kematian dari ensefalopati hepatikum, infeksi bakteri
(gram negative), peritonitis (bakteri), hepatoma (tumor hati), atau komplikasi
hipertensi porta (Black & Hawks, 2014).
WOC:
9
2.6. KOMPLIKASI
Komplikasi sirosis hepatis menurut adalah:
Hipertensi portal
Coma/ ensefalopaty hepatikum
Hepatoma
Asites
Peritonitis bakterial spontan
Kegagalan hati (hepatoselular)
Sindrom hepatorenal
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis bakterail
spontan, pendarahan varises esophagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati hepatikum,
dan kanker hati.
a. Hipertensi Portal, Adalah peningkatan hepatik venous pressure gradient (HVPG)
lebih 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan suatu sindroma klinis yang sering
terjadi. Bila gradient tekanan portal (perbedaan tekanan antara vena portal dan vena
cava inferior) diatas 10-20 mmHg, komplikasi hipertensi portal dapat terjadi.
b. Asites, Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adalah hipertensi
portal, disamping adanya hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan
disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan dlam peritoniun.
c. Varises Gastroesofagu, Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistemik
yang paling penting. Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan
varieses yang berakibat fatal. Varises ini terdapat sekitar 50% penderita sirosis
hepatis dan berhubungan dengan derajat keparahan sirosis hepatis.
d. Peritonisis Bakterial Spontan Peritonisis bakterial spontan (SBP) merupakan
komplikasi berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan
cairan asites tanpa adanya fokus infeksi intraabdominal.
e. Ensefalopati Hepatikum Sekitar 28% penderita sirtosis hepatis dapat mengalami
komplikasi ensefalopi hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya ensefalopati
hepatikum adalah akibat hiperamonia , terjadi penutunan hepatic uptake sebagai
10
akibat dari intrahepatic portal-systemic shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan
glutamik.
f. Sindrom Hepatorenal Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik
ginjal, yang ditemukan pada sirosis hepatis lanjut. Sindrom ini sering dijumpai pada
penderita sirosis hepatis dengan asites refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai
dengan gangguan progresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin secara
berrmakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus
dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe 2 ini lebih baik prognosisnya daripada tipe
1
11
Detoksikan Amonia: Laktulosa
Vitamin: zink
Analgetik: Oksikodon
Antihistamin: difenhidramin (Benadryl)
Endoskopik skleroterapi: entonolamin
Temponade balloon varises: pipa Sengstaken-Blakemore (pada perdarah aktif)
Profilaksis trombosis vena provunda : stocking kompresi sekuensial.
Penatalaksanaan Keperawatan Menurut Black & Hawks (2009), penatalaksaan
keperawatan sebagai berikut:
1. Mencegah dan memantau perdarahan
Pantau klien untuk perdarahan gusu, purpura, melena, hematuria, dan
hematemesis.Periksa tanda vital sebagai pemeriksa tanda syok. Selain itu untuk
menceah perdarahan, lindungi klien dari cedera fisik jatuh atau abrasi, dan
diberikan suntikan hanya ketika benarbenar diperlukan, menggunakan jarum
sintik yang kecil. Instruksikan klien untuk menghindari nafas hidung dengan kuat
dan mengejan saat BAB. Terkadang pelunak fases diresepkan untuk mencegah
mengejan dan pecahnya varises.
2. Meningkatkan status nutrisi
Modifikasi diet: diet tinggi proten untuk membangun kembali jaringan dan juga
cukup karbohidrat untuk menjaga BB dan menghemat protein. Berikan suplemen
vitamin biasanya pasien diberikan multivitamin untuk menjaga kesehatan dan
diberikan injeksi Vit K untuk memperbaiki faktor bekuan.
3. Meningkatkan pola pernapasan efektif
Edema dalam bentuk asites, disamping menekan hati dan memengaruhi fungsinya,
mungki juga menyebabkan nafas dangkal dan kegagalan pertukaran gas, berakibat
dalam bahaya pernafasan. Oksigen diperlukan dan pemeriksaan AGD arteri. Posisi
semi fowler, juga pengkuran lingkar perut setiap hari perlu dilakukan oleh perawat.
4. Menjaga keseimbangan volume cairan
12
Dengan adanya asites dan edema pembatasan asupan cairan klien harus dipantau
ketat. Memantau asupan dan keluaran, juga mengukur lingkar perut.
5. Menjaga integritas kulit
Ketika tedapat edema, mempunyai resiko untuk berkembang kemungkinan lesi kulit
terinfeksi. Jika jaundis terlihat, mandi hangat-hangat kuku dengan pemakai sabun
non-alkalin dan penggunaan lotion.
6. Mencegah Infeksi
Pencegahan infeksi diikuti dengan istirahat adekuat, diet tepat, memonitor gejala
infeksi dan memberikan antibiotik sesuai resep.
13
Bilirubin serum direk (Terkonjugasi) Meningkat apabila terjadi gangguan
ekskresi bilirubin terkonjugasi (Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl).
Bilirubin serum indirek (Tidak terkonjugasi) Meningkat pada keadaan
hemolitik dan sindrom Gilbert (Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl).
Bilirubin serum total Bilirubin serum direk dan total meningkat pada penyakit
hepatoseluler (Nilai normalnya 0,3-1,0 mg/dl).
b. Metabolisme Protein
Protein serum total : sebagian besar protein serum dan protein pembekuan
disintesis oleh hati sehingga kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
(Nilai normalnya 6-8 gr/dl) Albumin serum (Nilai normalnya : 3,2-5,5 gr/dl)
Globulin serum (Nilai normalnya : 2,0-3,5 gr/dl)
Massa Protrombin (Nilai normalnya : 11-15 detik)
Meningkat pada penurunan sintesis protrombin akibat kerusakan sel hati atau
berkurangnya absorpsi vitamin K pada obstruksi empedu. Vitamin K penting
untuk sintesis prothrombin Prothrombin time (PT) memanjang (akibat
kerusakan sintesis protombin dan faktor pembekuan)
c. Biopsi hepar dapat memastikan diagnosis bila pemeriksaan serum dan
pemeriksaan radiologis tak dapat menyimpulkan.
14
Pada awal sirosis hepatis biasaya orang dengan sirosis sering terungkap
kondisinya secara tidak sengaja ketika mencari pelayanan kesehatan untuk
masalah lain. Beberapa kondisi menjadi alasan masuk pasien yaitu dengan
keluhan Nyeri abdomen bagian atas sebelah kanan, mual, muntah, dan demam.
Sedangkan pada tahap lanjut dengan keluhan adanya ikterus, melena, muntah
berdarah.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien datang dengan mengeluh lemah/letih, nyeri di seluluh badan,
anoreksia(susah makan), kembung, pasien merasa perut terasa tidak enak berat
badan menurun, mengeluh perut semakin membesar, gangguan BAK
(inkontinensia urin), gangguan BAB (konstipasi/ diare), juga sesak nafas.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya adanya riwayat Hepatitis, pascaintoksikasi dengan kimia industri,
sirosis bilier dan yang paling sering ditemukan dengan riwayat mengonsumsi
alkohol, Apakah ada riwayat penyakit hepatitis kronis sebelumnya, Apakah ada
riwayat gagal jantung kiri/kanan, Riwayat pemakaian obat obatan, merokok,
pirampisin.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga Sirosis Hepatis merupakan penyakit yang
menular, jadi jika ada keluarga yang menderita hepatitis maka akan
menjadi faktor resiko.
f. Pola aktivitas sehari-hari
Nutrisi, Biasanya nafsu makan pasien akan berkurang, karena adanya
mual, muntah.
Eliminasi BAB : biasanya berwarna hitam (melena) BAK : biasanya urine
berwarna gelap
Personal Hygiene, Biasanya pasien mengalami defisit perawatan diri
karena kelelahan
Pola Istirahat dan tidur, Biasanya pada ensefalopati pola tidur terbalik,
malam hari terbangun dan siang hari tertidur
15
Pola aktivitas, Biasanya aktivitas dibantu keluarga dan perawat karena
adanya kelelahan
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum dan Tanda-tanda vital, Biasanya pada diperiksa tingkat
kesadaran, bila pada ensefalopati hepatikum akan terjadi penururnan
kesadaran, Tanda- tanda vital juga diperiksa untuk mengetahui keadaan
umum pasien
Kepala, Biasanya akan tampak kotor karena pase mengalami defisit
perawatan diri
Wajah, Wajah biasanya tampak pucat
Mata, Biasanya sklera ampak ikterik dan konjungtiva tampak anemis
Hidung, Biasanya tampak kotor
Mulut, Adanya bau karateristik pernapasan yaitu fetor hepaticus
Telinga, Biasanya tampak kotor kaena defisit perawatan diri
Paru
- Inspeksi : pasien terlihat sesak
- Palpasi : fremitus seimbang bila tidak ada komplikasi
- Perkusi : bila terdapat efusi pleura maka bunyinya hipersonor
- Auskultasi : secara umum normal, akan ada stridor bila ada akumulasi
sekret.
Jantung
- Inspeksi : anemis, terdapat tanda gejala perdarahan.
- Palpasi : peningkatan denyut nadi.
- Auskultasi : biasanya normal
Abdomen
- Inspeksi : perut terlihat membuncit karena terdapat asites.
- Palpasi : terdapat nyeri tekan pada perut kuadran kanan atas, hepar
teraba membesar, terdapat shifting dullnes atau gelombang cairan c
- erkusi : Redup
16
- Auskultasi : penurunan bising usus
- Ekstremitas Biasanya Terdapat udem tungkai, penurunan kekuatan
otot, Eritema Palmaris pada tangan, Jaundis dan CRT >2 detik
Genitalia, Biasanya pada wanita menstruasi tidak teratur
h. Pemeriksaan Diagnostik
Hemoglobin biasanya rendah
Leukosit biasnya meningkat Trombosit biasanya meningkat
Kolesterol biasanya rendah
SGOT dan SGPT biasanya meningkat
Albumin biasanya rendah
Pemerikaan CHE (koloneterase): penting dalam menilai sel hati. Bila
terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun, pada perbaikan terjadi
kenaikan CHE menuju nilai normal.
Pemeriksaan kadar elektrolit dalam penggunaan diuretik dan pembatasan
garam dalam diet (Diyono dan Sri Mulyanti, 2013)
Uji fungsi hati (misalnya fosatase alkali serum, aspartat aminotransferase
[AST], [tranaminase glutamate oksaloasetat serum (SGOT)], alanin
aminotransferase [ALT], [transaminasenglutamat piruvat serum (SGPT)],
GGT, kolinesterase serum dan bilirubin), masa protrombin, gas darah
arteri, biopsy.
Pemidaian ultrasonografi
Pemindaian CT
MRI
Pemindaian hati radioisotope
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas
17
Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme
Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi, kelebihan asupan cairan,
kelebihan asupan natrium, gangguan aliran balik vena
Gangguan Pertukaran Gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi, perubahan
membrane alveolus-kapiler
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat sekunder terhadap anorexia.
Risiko integritas kulit berhubungan dengan penurunan imobilitas
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,
retensi natrium, hematemesis, melena.
Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan fungsi hati (mis. Sirosis
hepatitis)
Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuat pertahanan tubuh.
INTERVENSI KEPERAWATAN
ND : Nyeri Akut Berhubungan dengan Agen Cedera Fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Keperawatan 1 x24 jam diharapkan nyeri menurun 1
x24 jam diharapkan nyeri menurun
KH :
Tingkat nyeri menurun
Penyembuhan luka membaik
Tingkat cidera menurun
INTERVENSI
Manajemen nyeri
Observasi :
Identifikasi identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,intensitas
nyeri
18
Identifikasi skala nyeriTerapeutik :
Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Edukasi:
Jelaskan penyebab dan periode dan pemicu nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Edukasi teknik nafas dalam
Identifikasi kesiapan dan kemampuanmenerima informasi
Terapeutik :
Sediakan materi dan media pendidikankesehatan
Edukasi:
Jelaskan tujuan dan mamafaat tekniknafas dalam
Jelaskan prosedur teknik nafas dalam
EVALUASI
19
Terapeutik :
- Fasilitasi pasien dan keluarga dalam menyesuiakan lingkungan untuk
mengakomodasi aktivitas yang di pilih
- Libatkan keluarga dalam aktivitas Edukasi:
- Ajarkan cara melakukan aktivitas yang dipilih
Manajenen program latihan
Observasi :
- Identifikasi pengetahuan dan pengalaman aktivitas fisik sebelumnya
- Identifikasi kemampuan pasien beraktivitas
Terapeutik :
- Motivasi untuk memulai/ melanjutkan aktivitas fisik
Edukasi:
- Jelaskan mamnfaat aktivitas fisik
EVALUASI
ND : Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Keperawatan 1 x24 jam diharapkan nyeri menurun 1
x24 jam diharapkan nyeri menurun
KH :
Tingkat nyeri menurun
Penyembuhan luka membaik
Tingkat cidera menurun
INTERVENSI
Manajemen nyeri
Observasi :
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Identifikasi makanan yang disukai
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi
20
Monitor asupan makanan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis pereda nyeri, antiemetik) jika
perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu
Terapeutik :
Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis piramida makanan)
Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Edukasi:
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang diprogramkan
EVALUASI
21
membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
Monitor intake dan output cairan
Terapeutik :
Hitung kebutuhan cairan
Berikan posisi modified trendelenburg
Berikan asupan cairan oral
Edukasi:
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis NaCL, RL)
Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis glukosa 2,5%, NaCL 0,4%)
EVALUASI
22
BAB III
MCP KASUS
KASUS SIROSIS HEPATIS
Seorang laki-laki berusia 57 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dengan keluhan perut
membesar sejak 3 bulan SMRS. Pasien mengatakan perutnya semakin membesar dan
bertambah tegang tetapi tidak membuatnya sesak dan kesulitan bernapas. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati skala 3 sejak 3 hari SMRS yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk
dan terus menerus dirasakan sepanjang hari serta tidak membaik ataupun memburuk dengan
makanan. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah yang biasannya terjadi setelah makan
sehingga pasien enggan untuk makan. Badan terasa lemas, tidak dapat melakukan aktifitas
sehari-hari. Kaki bengkak sejak 6 minggu SMRS sehingga pasien susah berjalan. BAB
berwarna hitam seperti aspal dengan konsistensi lunak dan BAK seperti teh. Sklera tampak
ikterik, BB 69kg, konjungtiva anemis, terdapat distensi abdomen. Tekanan darah
110/80mmHg, frekuensi nadi 92 kali/menit, frekuensi napas 20 kali/menit, suhu 370C. saat
palpasi hepar dan lien sulit dievaluasi dan ada nyeri tekan pada regio epigastrium dan
hipokondrium, shifting dullness (+), tampak edema pada kedua ekstremitas bawah. Hasil
laboratorium: bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT,SGPT, BUN dan
kreatini meningkat, sedangkan albumin rendah, HbsAg dan anti HCV nonreaktif. Hasil USG
abdomen: kesan pengecilan hepar. Pasien mendapatkan terapi amnileban 20
tetes/menit,propranolol 2x10 mg, spironolactone 100mg, furosemide 40mg, omeprazole
2x40mg, sucralfate siryp 3x1, transfuse albumin 20% 1 kolf/hari (sampai dengan albumin > 3
gr/dl). Pasien meminta perawat untuk merahasiakan penyakitnya dari keluarganya dan hanya
memberitahukan kondisi yang sebenarnya ke istrinya saja.
23
ND: Nyeri Akut b/d Agen MD: SIROSIS
ND: Intoleransi Aktivitas
Pencedera Fisik HEPATIS KA:
B/D Kelemahan
1. Perut semakin
Data Pendukung:
Data Pendukung:
membesar dan
a. Data Subjektif::
a. Data Subjektif:
bertambah tegang 1. Pasien mengakatan
1. Pasien mengeluhkan
(Asites) badan terasa lemas,
nyeri ulu hati sejak 3
2. Nyeri ulu hati tidak dapat melakukan
hari SMRS seperti
3. Mual dan Muntah aktivitas
ditusuk tusuk dan
4. Enggan untuk 2. Kaki bengkak sejak 6
terus menerus makan
minggu sehingga
dirasakan sepanjang 5. Badan terasa lemas
susah untuk berjalan
hari serta tidak 6. Tidak dapat
b. Data Objektif:
membaik melakukan aktivitas 1. Kaki tampak bengkak
7. BAB berwarna 2. Pasien tampak susah
b. Data Objektif:
1. Mengeluh nyeri hitam seperti aspal berjalan
2. Nafsu makan berubah 3. Merasa lemah
8. BAK seperti teh
3. Skala nyeri 3 4. Mengeluh lelah
9. Sklera tampak 5. Tampak edema pada
c. Terapi: kedua ekstremitas
ikterik
Berikan teknik farmakologi
dan non farmakologis 10. Konjugtiva anemis c. Terapi:
Farmakologi seperti Lakukan latihanrentang
11. Distensi abdomen
antinyeri gerak pasif/aktif dan
Nonfarmakologis seperti 12. Bilirubin, SGOT, berikan aktivitas distraksi
terapi musik, terapi massage yang menenangkan
SGPT, BUN dan
dsb
kreatinin meningkat
24
ND: Defisit Nutrisi b/d
Faktor Psikologis,
Ketidakmampuan
mencerna makanan ND: Keletihan b/d
Data Pendukung: Kondisi Fisiologis (mis.
a. Data Subjektif: Penyakit kronis)
1. Pasien Data Pendukung:
mengeluhkan mual a. Data Subjektif::
dan muntah yang 1. Pasien mengeluh
biasanya terjadi badannya terasa
setelah makan lemah
sehingga enggan
untuk makan b. Data Objektif:
2. Pasien mengeluh 1. Pasien merasa
25
dalam bentk hangat
26
3.1 RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
Terapeutik:
- Berikan Teknik
norfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
- Control
lingkungan yang
memperberat rasa
27
nyeri
- Fasilitasi istirahat
dan tidur
- Pertimbangkan
jenis dan sumber
nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
- Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
- Ajarkan Teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika
perlu
28
Setelah dilakukan Manajemen Energi
2 Defisit Nutrisi b/d
intervensi Observasi:
ketidakmampuan
keperawatan selama - Identifikasi status
mencerna makanan,
24 jam masalah defisit nutrisi
faktor fisiologis
nutrisi teratasi, - Identifikasi alergi
(mis. Keengganan
dengan kriteria hasil: dan intoleransi
untuk makan)
- Nafsu makan makanan
meningkat - identifikasi
- Status makanan yang
menelan disukai
meningkat - Identikasi
- Tingkat nyeri kebutuhan kalori
menurun dan jenis nutrien
- Monitor asupan
makanan
- Monitor berat
badan
Terapeutik:
- Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
- Sajikan makanan
secara menarik
dan suhu yang
sesuai
- Berikan makanan
29
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
- Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
Edukasi:
- Anjurkan posisi
duduk, jika
mampu
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan (mis.
pereda nyeri,
antiemetik). jika
perlu
- Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan
30
Setelah dilakukan Manajemen Energi
3 Intoleransi Aktivitas intervensi Observasi:
B/D Kelemahan
keperawatan selama - Identifikasi
24 jam masalah gangguan fungsi
intoleransi aktivitas tubuh yang
dapat diatasi dengan mengakibatkan
kriteria hasil: kelelahan
- Suhu tubuh (5) - Monitor kelelahan
fisik dan
emosional
- Monitor pola dan
jam tidur
- Monitor lokasi
dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik:
- Sediakan
lingkungan
nyaman dan
rendah stimulus
- Latihan rentang
gerakan pasif atau
aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
31
Edukasi:
- Anjurkan tirah
baring
- Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
keleahan
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang
cara
meningkatkan
asupan makanan
4 Keletihan b/d Setelah dilakukan Manajemen Energi
Kondisi Fisiologis intervensi Observasi:
(mis. Penyakit keperawatan selama - Identifikasi
kronis) 24 jam masalah gangguan fungsi
keletihan dapat diatasi tubuh yang
dengan kriteria hasil: mengakibatkan
kelelahan
- Monitor kelelahan
fisik dan
emosional
- Monitor pola dan
32
jam tidur
- Monitor lokasi
dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Terapeutik:
- Sediakan
lingkungan
nyaman dan
rendah stimulus
- Latihan rentang
gerakan pasif atau
aktif
- Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
Edukasi:
- Anjurkan tirah
baring
- Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
- Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
keleahan
33
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan
34
BAB IV
ANALISIS JURNAL
35
demikian dapat disimpulkan bahwa status gizi pada kelompok intervensi naik secara
signifikan setelah diberikan CBT, sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan status gizi saat pre test dan post test. Dapat
disimpulkan bahwa status gizi pada kelompok kontrol tidak bermakna setelah
diberikan usual care di Rumah Sakit.
Setiap individu membutuhkan asupan zat gizi yang berbeda antar individu, hal ini
tergantung pada usia orang tersebut, jenis kelamin, aktivitas tubuh dalam sehari, berat
badan, dan lainnya. Status gizi seseorang tergantung dari asupan gizi dan
kebutuhannya, jika antara asupan gizi dengan kebutuhan tubuhnya seimbang, maka
akan menghasilkan status gizi yang baik (Harjatmo, Par’i, & Wiyono, 2017) Salah
satu aspek Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah merubah pola pikir negatif
menjadi positif sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah
juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif (Beck, 2006). Seseorang yang patuh
akan diet yang telah dianjurkan, akan berdampak pada peningkatan atau perbaikan
status gizi (Cahyati, 2015
36
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Sirosishepatis adalah tahap akhir dari difusi fibrosis hati progresif yang ditandai oleh
pembentukan nodul regeneratif dan distorsi aristektur hati. Morfologi dari dari
sirosishepatis meliputi dari fibrosis, difus, nodul regeneratife, perubahan aristektur lobular
dan pembentukan hubungan vaskulur intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen
(vena porta dan arteri hepatica) dan eferen (vena hepatica). Secara klinis sirosis hepatis
dibagi atas sirosi hatikompensata dan sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-
tanda kegagalah hepatoselulur dan hipertensi portal (Nurdjana, 2014).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sirosis hepatis yaitu:
a. Sirosis Pascanekrosis (Makronodular) Merupakan bentuk paling umum di seluruh
dunia.Kehilangan masif sel hati, dengan pola regenerasi sel tidak teratur. Faktor yang
menyebabkan sirosis ini pasca- akut hepatitis virus (tipe B dan C).
b. Sirosis Billier Merupakan turunnya aliran empedu bersamaan dengan kerusakan sel
hepatosit disekitar duktus empedu seperti dengan kolestasis atau obstruksi duktus
empedu.
c. Sirosis Kardiak Merupakan penyakit hati kronis terkait dengan gagal jantung sisi
kanan jangka panjang, seperti atrioventrikular perikarditis konstriktif lama.
d. Sirosis Alkoholik (mikronodular Laenec) Merupakan bentuk nodul kecil akibat
beberapa agen yang melukai terus-menerus, terkait dengan penyalahgunaan alcohol.
Komplikasi sirosis hepatis menurut adalah:
4. Hipertensi portal
5. Coma/ ensefalopaty hepatikum
6. Hepatoma
7. Asites
8. Peritonitis bakterial spontan
9. Kegagalan hati (hepatoselular)
10. Sindrom hepatorenal
37
5.2 SARAN
d. Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat dan
memberi pengetahuan lebih tantang Asuhan Keperawatan Sirosis Hepatis.
Serta dengan adannya makalah ini penulis berharap agar pembaca yang sebagai
mahasiswa dapat memahami tentang Penyakit Sirosis Hepatis.
e. Mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmunya di masyarakat agar masyarakat
mampu mengenali tanda-tanda dan gejalannya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Astriani, N. M. D. Y., Putra, N. M. M., & Kep, M. (2020). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah I. Penerbit Lakeisha.
Jainurakhma, J., Koerniawan, D., Supriadi, E., Frisca, S., Perdani, Z. P., Zuliani, Z., ... &
Yudianto, A. (2021). Dasar-Dasar Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam
dengan Pendekatan Klinis. Yayasan Kita Menulis.
Anggraini, N. P. (2020). Asuhan Keperawatan Pola Napas Tidak Efektif Pada Pasien Sirosis
Hepatis Di Ruang Seroja Rsud Dr. Soegiri Lamongan (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS AIRLANGGA).
39
LAMPIRAN
Email: resa@stikestelogorejo.ac.id
ABSTRAK
Malnutrisi merupakan komplikasi yang terkenal pada pasien dengan sirosis hepatis.
Penurunan nilai kekuatan genggam berhubungan dengan malnutrisi dan dianggap sebagai
parameter terpercaya yang mencerminkan hilangnya massa otot. Kepatuhan pasien dalam
pemenuhan nutrisi yang tepat sangat diperlukan untuk sapat meningkatkan status gizi pasien,
sehingga diperlukan perubahan perilaku (changes behavior). Salah satu jenis terapi dengan
menggunakan pendekatan perilaku untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan adalah Cognitive
Behavior Therapy (CBT), yang merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang mengubah
pikiran negatif menjadi pikiran positif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Efektivitas Cognitive Behavior Therapy (CBT) dalam meningkatkan status gizi pada pasien
sirosis hepatis. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian quasi eksperimental pada
pasien sirosis hepatis dengan kriteria child pugh A dan B, pemilihan sampel dengan cara
purposive sampling dan dibagi dalam kelompok intervensi 34 responden dan kelompok
kontrol 34 responden. Normalitas data diuji menggunakan Shapiro wilk, dilanjutkan dengan
uji beda menggunakan Paired T Test. Didapatkan nilai pre-post pada kelompok intervensi
p=0,000. Pengukuran efektivitas dihitung dengan rumus menurut Cohen’s. Didapatkan nilai
Effect Size (ES) CBT terhadap status gizi adalah 0,7 (efek sedang). Simpulan dari peneliian
ini Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif dalam meningkatkan status gizi pada pasien
sirosis hepatis.
40
Kata Kunci : Terapi, Status Gizi, Sirosis Hepatis
PENDAHULUAN
Sirosis hepatis menjadi penyebab ketujuh kematian di dunia. Sebanyak 25.000 orang
meninggal per-tahun akibat sirosis hepatis (Suratun & Lusianah, 2010). World Health
Organization (WHO) mengemukakan bahwa pada tahun 2011 tercatat sebanyak 738.000 pasien
meninggal akibat sirosis hepatis (Kementrian Kesehatan, 2014). WHO memperkirakan lebih 2
milyar penduduk dunia telah terinfeksi virus hepatitis B, dimana 378 juta atau 4,8% terinfeksi
yang bersifat carier kronis dengan angka kematian 620,000 jiwa setiap tahun. Lebih dari 4,5 juta
kasus infeksi baru virus hepatitis B terjadi setiap tahun, dan satu per empat dari kejadian kasus
tersebut berkembang menjadi penyakit hati sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler primer
(Kementrian Kesehatan, 2014; Ott, Stevens, Groeger, & Wiersma, 2012).
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir penyakit hati (Suratun & Lusianah, 2010).
Malnutrisi sering terjadi pada pasien dengan penyakit hati, prevalensi yang didapatkan yaitu 50%
-90% di antara pasien sirosis (Cheung, Lee, & Raman, 2012). Malnutrisi menyebabkan kelainan
sensori-motor dan pengecilan otot yang bervariasi pada tiap tahapannya. Kekuatan genggam
diakui sebagai alat yang berguna untuk mengevaluasi kekuatan otot serta disarankan sebagai
metode untuk mendeteksi kekurangan gizi di bidang klinik. Kekuatan genggaman adalah salah
satu cara untuk menilai kapasitas fungsional, suatu pengukuran kekuatan otot tangan dan lengan
yang dinyatakan dalam kilogram atau newton sesuai dengan kekuatan memeras atau menjepit
dengan alat handgrip dynamometer. Penurunan nilai kekuatan genggam berhubungan dengan
malnutrisi dan dianggap sebagai parameter terpercaya yang mencerminkan hilangnya massa otot
(Silva et al., 2015).
Kepatuhan pasien dalam pemenuhan nutrisi yang tepat sangat diperlukan untuk
meningkatkan status nutrisi, sehingga diperlukan perubahan perilaku (changes behavior). Salah
satu jenis terapi dengan menggunakan pendekatan perilaku untuk mengatasi masalah
ketidakpatuhan adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT), merupakan salah satu bentuk
psikoterapi yang mengubah pikiran negatif menjadi pikiran positif (Meichenbaum, 2009).
Keunggulan dari terapi ini adalah menggali kemampuan seseorang untuk bereaksi secara adaptif
dalam menghadapi masalah atau situasi sulit dalam setiap fase hidupnya (Beck, 2006).
1
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Cognitive Behavior
Therapy (CBT) terhadap status gizi pada pasien sirosis hepatis.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien sirosis hepatis yang mengalami rawat
jalan. Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 68 respponden dengan
distribusi 34 untuk kelompok intervensi dan 34 untuk kelompok kontrol. Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan metode non probability sampling dengan cara
purposive sampling.
Adapun yang termasuk kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien sirosis hepatis
dengan kriteria child pugh A dan B, pasien sirosis hepatis di ruang rawat jalan yang bertempat
tinggal di wilayah semarang (untuk kelompok intervensi), pasien berusia 17 – 55 tahun, pasien
dapat berkomunikasi, pasien tidak mengalami gangguan pendengaran, pasien bersedia menjadi
responden dan kriteria eksklusinya adalah tidak mengikuti sesi CBT secara lengkap.
Penelitian ini menggunakan uji Paired T-Test untuk membandingkan nilai pre-test dan
post test pada masing-masing kelompok. Penilaian status gizi dengan mengukur kekuatan
genggam tangan, menggunakan alat handgrip dynamometer dan lembar observasi.
Berdasarkan hasil uji kesetaraan karakteristik responden yang meliputi usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan dan pekerjaan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol menunjukkan adanya homogenitas, dengan nilai (p>0,005).
1. Usia
2
Berdasarkan data usia responden, distribusi data pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol sebagian besar responden berusia 46-55 tahun. Pada kelompok kontrol
sebanyak 61,8% dan kelompok intervensi sebanyak 58,8%.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jeffrey yang menyatakan bahwa jumlah
penderita sirosis hepatis terbanyak pada usia >40 tahun (Jeffrey T. Parsons, Sarit A. Golub,
Elana Rosof, & Catherine Holder, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) juga
menunjukkan bahwa data karakteristik prevalensi sirosis hepatis tertinggi terdapat pada
kelompok umur 45-54 dan 65-74 tahun (Kementrian Kesehatan, 2014).
Penderita sirosis hati semakin banyak dijumpai seiring dengan bertambahnya usia.
Sirosis hati adalah penyakit hati kronis atau menahun. Progresi dari kerusakan sel hati
menuju sirosis dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan bertahun-tahun.
Oleh karena itu, infeksi virus yang terjadi di masa muda dapat
menunjukkan manifestasi sebagai sirosis hati pada dekade yang lebih lanjut (Tambunan,
Mulyadi, & Ibnu, 2015).
2. Pendidikan
3. Pekerjaan
3
Berdasarkan karakteristik pekerjaan, sebagian besar responden bekerja sebagai
wiraswasta dan pekerja swasta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mutia yang
menyebutkan bahwa responden yang terbanyak adalah pekerja swasta. Hal ini dapat
disebabkan karena kemungkinan adanya paparan penyakit di tempat kerja. Penyebab sirosis
hati terbanyak adalah riwayat penyakit hepatitis. Penyebab yang lain yaitu alkohol, diabetes
mellitus, kardiaksirosis, dan sirosis hati non B-non C (Mutia, 2017).
4. Jenis Kelamin
Perbedaan status gizi sebelum dan sesudah diberikan Cognitive Behavior Therapy
(CBT) pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Hasil uji beda status gizi responden menunjukkan bahwa terdapat perbedaan status gizi yang
signifikan pada kelompok intervensi saat pre test dan post test, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa status gizi pada kelompok intervensi naik secara signifikan setelah
diberikan CBT, sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan status gizi saat pre test dan post test. Dapat disimpulkan bahwa status gizi pada
kelompok kontrol tidak bermakna setelah diberikan usual care di Rumah Sakit.
4
Setiap individu membutuhkan asupan zat gizi yang berbeda antar individu, hal ini
tergantung pada usia orang tersebut, jenis kelamin, aktivitas tubuh dalam sehari, berat badan,
dan lainnya. Status gizi seseorang tergantung dari asupan gizi dan kebutuhannya, jika antara
asupan gizi dengan kebutuhan tubuhnya seimbang, maka akan menghasilkan status gizi yang
baik (Harjatmo, Par’i, & Wiyono, 2017) Salah satu aspek Cognitive Behavior Therapy
(CBT) adalah merubah pola pikir negatif menjadi positif sehingga perilaku maladaptif yang
timbul akibat pola pikir yang salah juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif (Beck,
2006). Seseorang yang patuh akan diet yang telah dianjurkan, akan berdampak pada
peningkatan atau perbaikan status gizi (Cahyati, 2015).
Efektifitas Cognitive Behavior Therapy (CBT) terhadap status gizi pada kelompok intervensi
dan kelompok control
Untuk mengetahui besar pengaruh (effect size) CBT terhadap status gizi pada kelompok
intervensi maka dilakukan penghitungan effect size. Penghitungan besar pengaruh CBT
tersebut menggunakan rumus Cohen’s sebagai berikut:
Keterangan:
kontrol
Perhitungan di atas menunjukkan nilai effect size CBT terhadap kepatuhan diet yaitu
sebesar 0,7. Berdasarkan kriteria nilai Cohen’s, nilai (0,5-0,8) memiliki besar efek yang sedang.
Dapat diartikan bahwa CBT memiliki efek yang sedang dalam meningkatkan status gizi pada
pasien sirosis hepatis sebanyak 43%.
Nilai besar efek ini belum memiliki nilai tinggi dalam meningkatkan status gizi pada
pasien sirosis hepatis. Hal ini dapat disebabkan kurang lamanya waktu evaluasi perubahan status
gizi setelah diberikan CBT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Mutia, menyebutkan bahwa untuk mengetahui perubahan status gizi seseorang dibutuhkan waktu
antara 1-3 bulan (Mutia, 2017). Akan tetapi, CBT menunjukkan dampak yang positif dalam
meningkatkan skor kekuatan genggam tangan (handgrip strength) pada kelompok intervensi.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) sebagai psikoterapi yang berfokus pada masalah
dibuat untuk mengurangi gejala dan membangun kepercayaan bahwa seseorang memiliki kontrol
pikiran, kepercayaan, perilaku dan keterampilan untuk membantu pasien selama terapi diet.
Peran CBT dalam terapi diet sirosis memberikan dampak positif, sehingga dapat meningkatkan
atau memperbaiki status gizi pada pasien yang akan menjalani perawatan (Sulistyowati, Respati,
& Nasrudin, 2016). Proses terjadinya dampak positif setelah CBT pada pasien sirosis hepatis
pada penelitian ini hanya dapat dilihat secara fisik yaitu dari peningkatan status gizi yang dapat
6
dilihat dari meningkatkan kekuatan genggam tangan (handgrip strength), akan tetapi penelitian
belum dapat hasil perubahan status gizi dalam istilah biomolekuler.
Pada penelitian ini, selain diberikan CBT, responden juga diberikan edukasi mengenai diet yang
tepat untuk penderita sirosis hepatis. Pengetahuan merupakan modal awal bagi terbentuknya
sikap yang akhirnya akan mengarah pada niat akan melakukan perbuatan atau bertindak.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah memperbaiki
pengetahuan pasien sehingga menumbuhkan keyakinan pada pasien yang akhirnya akan
menimbulkan sikap yang baik. Seseorang dengan keyakinan yang baik akan keberhasilan terapi
yang dijalani, maka akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi yang dilakukan
(Ilmah, 2015). Seseorang yang patuh akan diet yang telah dianjurkan, akan berdampak pada
peningkatan atau perbaikan status gizi. Hal ini sesuai dengan penelitian Cahyati bahwa ada
hubungan kepatuhan diet dengan
SIMPULAN
Kepatuhan dalam menjalankan diet yang tepat akan dapat meningkatkan status gizi
seseorang. Untuk meningkatkan kepatuhan, perlu dilakukan perubahan perilaku negatif menjadi
positif dengan mengubah pikiran negatif menjadi positif pula. Cognitive Behavior Therapy
(CBT) efektif dalam meningkatkan status gizi pada pasien sirosis hepatis, dengan memiliki besar
efek 0,7 (efek sedang). Selain diberikan CBT, peneliti juga memberikan edukasi mengenai diet
yang tepat untuk penderita sirosis hepatis, yang mana pengetahuan merupakan modal awal bagi
terbentuknya sikap yang akhirnya akan mengarah pada niat untuk melakukan perubahan sikap.
Hal ini perlu ditindaklanjuti oleh pihak rumah sakit bahwa CBT dan edukasi dapat menjadi salah
satu tindakan keperawatan untuk meningkatkan status gizi pasien khususnya pasien sirosis
hepatis.
DAFTAR PUSTAKA
7
Cahyati, S. M. W. (2015). Hubungan Kepatuhan Diet dengan Status Gizi pada Penderita
Diabetes Mellitus Tipe II di Dusun Karang Tengah Yogyakarta.
Cheung, K., Lee, S. S., & Raman, M. (2012). Prevalence and Mechanisms of Malnutrition in
Patients With Advanced.
https://doi.org/10.1016/j.cgh.2011.08.01
Corral, F., Cueva, P., & Yépez, J. M. (2001). Limited education as a risk factor in cervical
cancer. Natl Tumor Regist Soc Struggl against Cancer (Registro Nac Tumores; Soc Lucha
contra el CáncerSOLCA). Quito; Ecuador, 30, 322.
Harjatmo, T. P., Par’i, H., & Wiyono, S. (2017). Penilaian Status Gizi (Tahun 2017). Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Ilmah, F. (2015). Kepatuhan Pasien Rawat Inap Dietdiabetes Mellitus berdasarkan Teori
kepatuhan Niven. Jurnal
Jeffrey T. Parsons, P., Sarit A. Golub, P., Elana Rosof, P., & Catherine Holder, B. (2009).
Motivational Interviewing and Cognitive-Behavioral Intervention to Improve HIV
Medication Adherence Among Hazardous Drinkers: A Randomized Controlled Trial, 46(4),
443–450.
Mutia, D. F. B. (2017). Penatalaksanaan dan edukasi pasien sirosis hati dengan varises esofagus.
Intisari Sains Medis, 8, 19–23.
8
Ott, J. J., Stevens, G. A., Groeger, J., & Wiersma, S. T. (2012). Global epidemiology of hepatitis
B virus infection : New estimates of age-specific HBsAg seroprevalence and endemicity.
https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2011.1
2.116
Silva, M., Gomes, S., Peixoto, A., Torresramalho, P., Cardoso, H., Azevedo, R., … Macedo, G.
(2015). Nutrition in Chronic Liver Disease. GE Jornal Português de Gastrenterologia,
22(6),
268–276.
https://doi.org/10.1016/j.jpge.2015.06.0
04
Sulistyowati, S., Respati, S., & Nasrudin, M. (2016). Effect of Cognitive Behavioral Therapy for
Serotonin Level, 52(3), 231– 234.
Suratun, & Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Suwistianisa, R., & Huda, N. J. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Diet Pada Pasien Kanker Yang Dirawat Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. JOM, 2, 2.
Tambunan, A., Mulyadi, Y., & Ibnu, K. M. (2015). Karakteristik pasien sirosis hepatis. Journal
FK Untan.
9
10