“STUDI KASUS”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Asyifa Putri Yuniarika 22020120140143
Elkana Setyo Utomo 22020120140044
Kezia Indah Permata 22020120130116
Laela Nur Nabilah 22020120130113
Maria Stella Febrianti 22020120130045
Nabila Azzahra 22020120130100
Nanda Riyanggi Nurani Fatikha 22020120120021
Nuur Annisa Rahmah 22020120140144
Sinta Kusuma Adiyanti 22020120120027
Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan nikmat dan rahmat nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah studi
kasus Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1 dengan tepat waktu.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Suhartini, S.Kp.,MNS.,
PhD selaku dosen pengampu dan dosen pembimbing Mata Kuliah Gawat Darurat
dan Kritis 1.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk segala bentuk saran, ide dan masukan
dalam kemajuan penulisan makalah selanjutnya.
Akhir kata kami sangat berharap semoga makalah ini memberikan
manfaat bagi pendidikan, perkembangan, sosial dan lainnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................1
KATA PENGANTAR .....................................................................................................2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................4
A. Deskripsi Kasus....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................4
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................4
BAB II STUDI KASUS ...................................................................................................6
A. Istilah-Istilah yang Ada di Dalam Kasus ...........................................................6
B. Data Pengkajian yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut / Dilengkapi ......................9
C. Kasus yang Mungkin Terjadi pada Pasien .....................................................11
D. Pathway Patofisiologi Kasus .............................................................................13
E. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan............................................................13
F. Rasionalisasi Intervensi .....................................................................................22
G. Mindmap ............................................................................................................31
BAB III PENUTUP........................................................................................................32
A. Kesimpulan.........................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................33
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Kasus
Ny. M, usia 56 tahun dirawat di ruang penyakit dalam sejak 3 hari yang
lalu karena pneumonia dan gagal jantung. Saat pertama kali datang, pasien
mengeluh sesak napas dan demam. Pasien juga mengalami peningkatan berat
badan dan ada edema di ekstremitas bawah. Selanjutnya, pasien mendapatkan
terapi lasix, terapi oksigen dan dipasang kateter. Dalam 1 hari terakhir kondisi
pasien memburuk sehingga dipindah ke ICU. Hasil pemeriksaan menunjukkan
tekanan darah 82/66 mmHg, frekuensi nadi 82x/menit, frekuensi pernapasan
32x/menit, suhu 38,4o C, SaO 2 90% dengan O 2 6 lt/menit via masker. Kulit pasien
lembab dan pucat, nadi cepat dan lemah “hampir tidak teraba”, capillary refill 3
detik, dan pasien mengeluh mual. Terdengar bunyi crackles dan wheezing di
semua lapang paru. Pasien tampak lemah dan kesulitan menjawab pertanyaan
karena sedikit kebingungan. Urine output satu jam terakhir adalah 18 ml.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja istilah-istilah yang ada di dalam kasus?
2. Apa saja data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut / dilengkapi?
3. Bagaimana kasus yang mungkin terjadi pada pasien?
4. Bagaimana penggambaran pathway patofisiologi kasus?
5. Apa saja diagnosa dan intervensi keperawatan yang diberikan?
6. Bagaimana rasionalisasi intervensi keperawatan yang diberikan?
7. Bagaimana penggambaran mindmap keseluruhan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa/i mengetahui definisi istilah-istilah yang ada pada kasus.
2. Mahasiswa/i mampu menganalisis pengkajian apa yang perlu ditambahkan
berdasarkan kasus yang diterima.
3. Mahasiswa/i mampu menentukan kemungkinan kasus yang terjadi pada
pasien dalam kasus.
4. Mahasiswa/i mampu menggambarkan pathway patofisiologi dan mindmap
kasus secara keseluruhan.
4
5. Mahasiswa/i mampu menentukan diagnosa keperawatan yang sesuai dengan
kasus yang ada.
6. Mahasiswa/i mampu menentukan intervensi yang sesuai dengan
diagnosakeperawatan yang ditentukan.
7. Mahasiswa/i mampu menentukan rasionalisasi intervensi yang ditentukan.
5
BAB II
STUDI KASUS
A. Istilah-Istilah yang Ada di Dalam Kasus
1. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang disebabkan oleh adanya pengisian
pada rongga alveoli oleh eksudat. Keadaan tersebut membuat pertukaran gas
tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi sehingga
terjadi ketidakfungsian darah yang dialirkan ke sekitar alveoli. Keadaan
hipoksemia bisa terjadi tergantung dari segi banyak tidaknya jaringan paru-
paru yang sakit. Patogenesis dari pneumonia bakteri ditandai oleh adanya
eksudat intra alveolar supuratif yang disertai konsolidasi. Infeksi pneumonia
diklasifikasikan berdasarkan anatomi. Pneumonia lobularis atau
bronkopneumonia menunjukkan penyebaran pada daerah infeksi dengan
tanda adanya bercak berdiameter 3 – 4 cm yang mengelilingi serta mengenai
bronkus.
2. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah keadaan patologis kelainan fungsi jantung yang
menyebabkan kegagalan jantung dalam memompa darah guna memenuhi
kebutuhan jaringan atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan melalui
peningkatan tekanan pengisian. Gagal jantung ditandai oleh sejumlah gejala
seperti gangguan irama jantung, gangguan endokardial, perikardial, valvular,
atau miokardial. Istilah gagal jantung meliputi gagal jantung kiri, kanan, dan
kombinasi atau kongestif. Pada gagal jantung kiri ditemukan adanya
bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang menyebabkan
perfusi jaringan menurun. Tanda gagal jantung kanan akan ditemukan edema
perifer, asites, dan peningkatan tekanan vena jugularis. Sedangkan gagal
jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua gangguan tersebut.
3. Edema
Edema merupakan pengumpulan cairan berlebihan pada bagian sela-
sela jaringan ataupun rongga tubuh. Edema dikelompokkan menjadi edema
peradangan atau eksudat dan edema non radang atau transudat. Eksudat
6
timbul selama proses peradangan dan mempunyai berat jenis (>1,20) serta
mengandung protein kadar tinggi sedangkan transudat memiliki berat jenis
yang rendah (<1,15) dan mengandung sedikit protein. Edema dapat bersifat
setempat atau umum. Edema umum menimbulkan pembengkakan berat
jaringan bawah kulit sedangkan edema pada rongga serosa tubuh diberi nama
sesuai dengan tempat yang bersangkutan.
4. Terapi Lasix
Terapi lasix adalah terapi yang digunakan untuk pasien CHF guna
meningkatkan ekskresi Na urine dengan tujuan menjaga keseimbangan Na
dan euvolemia serta mengurangi tanda-tanda fisik dari retensi cairan pada
pasien dengan gagal jantung. Terapi Lasix dapat diberikan secara intravena
maupun oral. Penggunaan terapi lasix intravena diberikan pada pasien dengan
kondisi kelebihan cairan atau memiliki risiko lain yang memperparah kondisi
jantung.
5. Terapi Oksigen
Terapi oksigen adalah upaya meningkatkan pemasukan oksigen ke
dalam sistem respirasi, meningkatkan daya angkut hemodinamik, dan
meningkatkan daya ekstraksi O 2 dalam jaringan. Penatalaksanaan dari
pemberian terapi oksigen perlu aksesoris berupa regulator, sistem perpipaan
oksigen sentral, meter aliran, alat humodifikasi, alat terapi aerosol, dan
pipa/kanul/kateter dan alat pemberinya.
6. ICU (Intensive Care Unit)
ICU adalah salah satu unit pelayanan di rumah sakit yang berfokus
pada perawatan pasien kritis, gawat, atau klien dengan risiko tinggi
kegawatan, penyakit akut, cedera atau penyakit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa yang dinilai masih bisa pulih kembali.
7. Capillary Refill
Capillary refill adalah tes yang dilakukan untuk memonitor dehidrasi
dan jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi). Capillary refill dilakukan
dengan memegang tangan klien lebih tinggi dari jantung kemudian menekan
lembut kuku jari tangan atau jari kaki sampai putih, lalu lepaskan. Catat kapan
7
waktu yang dibutuhkan untuk warna kuku dapat kembali normal setelah
tekanan dilepaskan.
8. Crackles
Crackles adalah jenis suara paru yang bersifat discontinuous (terputus-
putus), pendek, dan kasar yang biasanya terjadi saat inspirasi. Suara crackles
terjadi akibat dua proses. Proses pertama ketika tiba-tiba terbukanya saluran
udara yang sempit hingga menimbulkan suara mirip “plop”. Proses kedua
terjadi saat gelembung udara keluar pada pulmonary edema. Kemudian
kondisi yang berhubungan dengan crackles meliputi asma, bronchiectasis,
chronic bronchitis, dan interstitial lung disease.
9. Wheezing
Wheezing adalah jenis suara paru yang dihasilkan oleh pergerakan
udara turbulen yang melalui lumen jalan napas sempit. Wheezing bersifat
kontinu, pitch yang tinggi, dan sering terjadi pada proses ekspirasi. Wheezing
terjadi saat aliran udara melalui saluran udara yang menyempit karena sekresi,
benda asing ataupun adanya luka yang menghalangi. Adapun kondisi yang
menyebabkan wheezing seperti asthma, CHF, dan Chronic bronchitis.
10. Urine Output
Urine output adalah jumlah urine yang dikeluarkan tubuh dengan
rentang jumlah 1500 cc perhari pada orang dewasa. Jumlah tersebut
bergantung pada kuantitas asupan cairan. Apabila terjadi penurunan volume
urine dalam sirkulasi darah maka reseptor atrium jantung kiri dan kanan akan
mengirimkan impuls ke otak yang kemudian otak akan mengirimkan impuls
kembali ke ginjal dan menghasilkan ADH guna menyeimbangkan
pengeluaran jumlah urine. Normalnya urine output dalam tubuh sekitar 1400
– 1500 ml per 24 jam atau sekitar 30 – 50 ml per jam. Apabila aktivitas
keringat meningkat,maka produksi urine akan menurun sebagai bentuk upaya
dalam mempertahankan keseimbangan tubuh.
8
B. Data Pengkajian yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut / Dilengkapi
1. Identitas pasien
a. Nama : Ny. M
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Umur : 58 Tahun
d. Diagnosa medis : pneumonia dan gagal jantung
2. Survei Primer dan Resusitasi
a. Airway dan Kontrol Servikal
1) Tingkat kesadaran : Somnolen
2) Pernapasan : 32x/menit
3) Upaya bernapas : Ada
4) Benda asing di jalan napas : (+)
5) Bunyi napas : Crackles dan wheezing (+)
6) Hembusan napas : Ada
b. Breathing
1) Jenis Pernapasan : Dyspnea, SpO2 90%
2) Frekuensi Pernapasan : 32x/menit
3) Retraksi Otot bantu napas : Ada
4) Bunyi napas : Crackles dan wheezing (+)
5) Hembusan napas : Ada
c. Circulation
1) Tingkat kesadaran : Somnolen
2) Perdarahan (internal/eksternal) : Tidak terkaji
3) Capillary Refill : 3 detik
4) Tekanan darah : 82/66 mmHg
5) Nadi radial/karotis : 82x/menit
6) Akral perifer : Hangat
d. Disability
1) GCS: (E2 - V2 - M5) = 7 → Somnolen
9
3. Pengkajian Sekunder / Survei Sekunder
a. Riwayat Kesehatan
1) RKD
Sejak 3 hari lalu pasien dirawat di ruang penyakit dalam karena
pneumonia dan gagal jantung.
2) RKS
Pasien datang dengan keluhan sesak napas dan demam sejak
pertama kali datang. Pasien juga mengalami peningkatan berat badan
dan ada edema di ekstremitas bawah. Selanjutnya, pasien juga
mendapatkan terapi lasix, terapi oksigen dan dipasang kateter. Dalam 1
hari terakhir kondisi pasien memburuk sehingga dipindah ke ICU.
Keluhan sesak, demam, dan mual. Hasil pemeriksaan menunjukkan
TD: 82/66 mmHg, Nadi: 82 x/menit, R: 32x/menit, S: 38,4°C, SaO2
90%. Diagnosa medis saat ini pneumonia dan gagal jantung.
3) RKK
Keluarga pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang
memiliki penyakit keturunan.
b. Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
1) Kepala : Normochepal
Kulit kepala : Bersih, tidak ada luka
Mata : Pupil isokor, sklera tidak ikterik
Telinga : Simetris dan pendengaran normal
Hidung : Tulang hidung simetris dan hidung lembab
2) Dada/thorax
Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris, terdapat
penggunaan otot bantu pernapasan dan tidak terdapat jejas.
Palpasi : Simetris, tidak terdapat nyeri tekan dan terdapat retraksi
dinding dada, irama pernapasan dengan frekuensi 32x/menit.
Perkusi : Tidak terkaji.
Auskultasi : Terdapat suara napas tambahan crackles dan wheezing (+)
10
3) Ekstremitas
Status sirkulasi : Nadi radialis teraba 82x/menit, CRT > 2 detik
Keadaan injury : Terdapat edema pada ekstremitas bawah
4) Neurologis
Fungsi sensorik : Baik
Fungsi motorik : Baik
c. Terapi dokter
1) Nebulizer combivent UDV 3 x 1 via masker
2) Chateter urinal
3) Lasix
Dari beberapa pengkajian yang sudah dilakukan di atas dan tertera
pada kasus, ada beberapa pengkajian atau data yang perlu diperjelas dan
dilengkapi untuk membantu dalam menyelesaikan kasus yang ada,
diantaranya:
- Foto thorax.
- EKG (Elektrokardiogram) dapat mengungkapkan adanya tachicardi,
hipetrofi bilik jantung, dan iskemi (jika disebabkan AMI).
- ECG (Ekokardiagram).
- GDA/ nadi oksimetris.
- Pemeriksaan gram/kultur, sputum, dan darah.
- Pemeriksaan serelogi.
- Pemeriksaan fungsi paru.
- Status elektrolit.
- Bilirubin.
- Aspirasi perkutan/ biopsi jaringan paru terbuka.
C. Kasus yang Mungkin Terjadi pada Pasien
Kasus yang mungkin terjadi pada pasien dalam kasus adalah syok
kardiogenik. Syok kardiogenik dapat terjadi akibat menurunnya alirah darah ke
jaringan tubuh. Salah satu tanda khas dari syok kardiogenik adalah kondisi
penderitanya yang tidak kunjung membaik setelah pemberian cairan (Dalam kasus
walaupun pasien sudah diberikan beberapa terapi termasuk kedalamnya terapi
11
oksigen tetapi kondisi pasien semakin memburuk). Gejala-gejala yang dapat
terlihat akibat berkurangnya aliran darah ke jaringan antara lain:
- Tekanan darah rendah atau hipotensi: Hasil pemeriksaan Ny. M menunjukkan
tekanan darah 82/66 mmHg.
- Denyut nadi cepat namun lemah: Nadi cepat dan lemah “hampir tidak
teraba”.
- Sesak napas: Ketika datang, pasien mengeluh sesak napas.
- Frekuensi buang air kecil berkurang atau sama sekali tidak buang air kecil:
Urine output pasien satu jam terakhir adalah 18 ml.
Selain itu, kondisi pasien yang memiliki penyakit bawaan berupa gagal
jantung dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya syok kardiogenik.
12
D. Pathway Patofisiologi Kasus
13
- Warna kulit pucat
- Tampak lemah dan
kesulitan menjawab
pertanyaan karena sedikit
kebingungan
- Terapi oksigen 6
liter/menit via masker
14
ml)
- Terapi lasix
2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload.
c. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri.
d. Hipervolemia berhubungan dengan kelebihan asupan cairan.
3. Intervensi Keperawatan
15
respirasi sesuai kondisi
pasien.
2) Dokumentasikan hasil
pemantauan.
Edukasi
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan.
2) Informasikan hasil
pemantauan.
16
jalan napas.
2) Siapkan dan atur
peralatan pemberian
oksigen.
3) Berikan oksigen
tambahan via masker
sebanyak 6 liter/menit.
Edukasi
1) Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen di
rumah.
Kolaborasi
1) Kolaborasi penentuan
dosis oksigen.
17
pada waktu yang sama.
6) Monitor saturasi oksigen.
7) Monitor EKG 12
sadapan.
8) Monitor aritmia
(kelainan irama dan
frekuensi).
9) Periksa tekanan darah
dan frekuensi nadi
sebelum dan sesudah
aktivitas.
10) Periksa tekanan darah
dan frekuensi nadi
sebelum pemberian obat.
Terapeutik
1) Posisikan pasien semi-
fowler atau fowler
dengan kaki ke bawah
atau posisi nyaman.
2) Berikan diet jantung yang
sesuai (mis. batasi asupan
kafein, natrium,
kolesterol, dan makanan
tinggi lemak).
3) Berikan dukungan
emosional dan spiritual.
4) Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%.
Edukasi
1) Anjurkan beraktivitas
18
fisik secara toleransi dan
bertahap.
2) Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur berat
badan harian.
3) Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
intake dan output cairan
harian.
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu.
19
Edukasi
1) Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur.
2) Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat (mis. melembapkan
kulit kering pada kaki).
3) Informasikan tanda dan
gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis. rasa
sakit yang tidak hilang
saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa).
20
menurun. karakteristik).
6. Tekanan darah 5) Monitor efek
membaik. samping diuretik.
7. Denyut nadi Terapeutik
radial membaik. 1) Timbang berat badan
8. Tekanan arteri setiap hari pada
rata-rata waktu yang sama.
membaik. 2) Batasi asupan cairan
9. Membran dan garam.
mukosa 3) Tinggikan kepala
membaik. tempat tidur 30-40°.
10. Mata cekung Edukasi
membaik. 1) Anjurkan melapor jika
11. Turgor kulit haluaran urine <0,5
membaik. mL/kg/jam dalam 6
jam.
2) Anjurkan melapor jika
BB bertambah >1 kg
dalam sehari.
3) Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan
dan haluaran cairan.
4) Ajarkan cara membatasi
cairan.
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
diuretik.
F. Rasionalisasi Intervensi
21
1. Gangguan pertukaran Pemantauan respirasi Pemantauan respirasi
gas berhubungan (I.01014) (I.01014)
dengan Observasi Observasi
ketidakseimbangan 1) Monitor frekuensi, 1) Mengetahui status
ventilasi-perfusi irama, kedalaman, dan pernapasan, untuk
upaya napas. mendeteksi tanda -
2) Monitor pola napas tanda bahaya.
(takipnea, 2) Mengetahui pola napas
hiperventilasi). pasien. Distress
3) Monitor adanya pernapasan yang
sumbatan jalan napas. dibuktikan dengan
4) Palpasi kesimetrisan takipnea/dipsnea,
ekspansi paru. hiperventilasi sebagai
5) Auskultasi bunyi indikasi penurunan
napas. kemampuan
6) Monitor saturasi menyediakan oksigen
oksigen. bagi jaringan.
7) Monitor nilai AGD. 3) Mengetahui adanya
8) Monitor hasil x-ray sumbatan jalan napas
thorax. pada sistem pernapasan
Terapeutik pasien.
1) Atur interval 4) Mengetahui
pemantauan respirasi kesimetrisan ekspansi
sesuai kondisi pasien. paru pasien.
2) Dokumentasikan hasil 5) Mengetahui adanya
pemantauan. bunyi napas tambahan.
Edukasi Crackles dan wheezing
1) Jelaskan tujuan dan menyertai obstruksi
prosedur pemantauan. jalan napas/kegagalan
2) Informasikan hasil pernapasan.
pemantauan. 6) Mengetahui adanya
22
perubahan saturasi
Terapi oksigen oksigen pasien.
(I.01026) 7) Menurunnya saturasi
Observasi oksigen (PaO 2 ) atau
1) Monitor kecepatan meningkatnya PCO2
aliran oksigen. menunjukkan perlunya
2) Monitor posisi alat penanganan yang lebih
terapi oksigen. adekuat atau perubahan
3) Monitor aliran terapi.
oksigen secara 8) Mengetahui adanya
periodik dan pastikan perubahan dan atau
fraksi yang diberikan kelainan pada hasil x-
cukup. ray thorax pasien.
4) Monitor efektifitas Terapeutik
terapi oksigen 1) Mengetahui
(oksimetri, AGD). perkembangan kondisi
5) Monitor tanda dan pasien.
gejala toksikasi 2) Mengetahui fokus
oksigen dan keperawatan dan
atelektasis. mengevaluasi hasil
6) Monitor integritas keperawatan serta
mukosa hidung akibat sebagai tanggung gugat
pemasangan oksigen. perawat.
Terapeutik Edukasi
4) Pertahankan 1) Memberikan informasi
kepatenan jalan napas. kepada pasien dan
5) Siapkan dan atur keluarga terkait
peralatan pemberian tindakan yang akan
oksigen. diberikan.
6) Berikan oksigen 2) Meningkatkan
tambahan via masker pengetahuan pasien dan
23
sebanyak 6 liter/menit. keluarga mengenai
Edukasi kondisi terkait masalah
2) Ajarkan pasien dan kesehatannya.
keluarga cara
menggunakan oksigen Terapi oksigen (I.01026)
di rumah. Observasi
Kolaborasi 1) Mendeteksi adanya
2) Kolaborasi penentuan tanda-tanda bahaya
dosis oksigen. pada sistem pernapasan.
2) Mengetahui apakah
sudah sesuai dengan
standar operasional
prosedur (SOP) yang
benar atau tidak.
3) Mempertahankan
oksigenisasi agar tetap
adekuat.
4) Mengetahui berapa
saturasi dan juga kadar
oksigen dalam darah.
5) Mencegah terjadinya
komplikasi dari terapi
oksigen.
6) Mengetahui adanya
iritasi atau kerusakan
integritas pada mukosa
hidung.
Terapeutik:
1) Mempertahankan
kondisi kepatenan jalan
napas pasien dan
24
mencegah adanya
bahaya yang dapat
timbul.
2) Melakukan
pemasangan alat pada
pasien untuk diberikan
terapi oksigen.
3) Memenuhi suplai
kebutuhan oksigen
pasien.
Edukasi
1) Agar pasien dan
keluarga dapat
melakukan terapi
oksigen secara mandiri.
Kolaborasi
1) Memberikan kebutuhan
dosis oksigen sesuai
yang diperlukan pasien.
25
jantung (peningkatan darah pasien.
BB, oliguria, kulit 4) Mengetahui
pucat). keseimbangan cairan
3) Monitor tekanan pasien.
darah. 5) Mengetahui berat badan
4) Monitor intake dan setiap hari pada waktu
output cairan. yang sama pada pasien.
5) Monitor BB setiap 6) Mengetahui saturasi
hari pada waktu yang oksigen pada pasien.
sama. 7) Mengetahui EKG 12
6) Monitor saturasi sadapan pada pasien.
oksigen. 8) Mengetahui adanya
7) Monitor EKG 12 kelainan irama dan
sadapan. frekuensi jantung pada
8) Monitor aritmia pasien.
(kelainan irama dan 9) Mengetahui tekanan
frekuensi). darah dan frekuensi nadi
9) Periksa tekanan darah sebelum dan sesudah
dan frekuensi nadi aktivitas.
sebelum dan sesudah 10) Mengetahui Frekuensi
aktivitas. tekanan darah dan
10) Periksa tekanan darah frekuensi.
dan frekuensi nadi Terapeutik
sebelum pemberian 1) Mempertahankan
obat. kenyamanan,
Terapeutik meningkatkan ekspansi
1) Posisikan pasien semi- paru, dan
fowler atau fowler memaksimalkan
dengan kaki ke bawah oksigenasi pasien.
atau posisi nyaman. 2) Pemberian asupan
2) Berikan diet jantung makanan yang tidak
26
yang sesuai (mis. memacu kerja jantung
batasi asupan kafein, lebih keras.
natrium, kolesterol, 3) Memberikan raya aman
dan makanan tinggi dan nyaman kepada
lemak). pasien.
3) Berikan dukungan 4) Memenuhi suplai
emosional dan oksigen pasien.
spiritual. Edukasi
4) Berikan oksigen untuk 1) Melatih pasien
mempertahankan beraktivitas sesuai
saturasi oksigen toleransi dan bertahap.
>94%. 2) Agar pasien dan
Edukasi keluarga dapat
1) Anjurkan beraktivitas mengukur berat badan
fisik secara toleransi harian secara mandiri.
dan bertahap. 3) Agar pasien dan
2) Ajarkan pasien dan keluarga dapat
keluarga mengukur mengukur intake dan
berat badan harian. output cairan secara
3) Ajarkan pasien dan mandiri.
keluarga mengukur Kolaborasi
intake dan output 1) Pemberian antiaritmia
cairan harian. sesuai kebutuhan pasien.
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu.
27
perifer, edema, melihat adakah kelainan
pengisian kapiler, yang muncul.
warna, suhu, ankle- 2) Mengetahui adanya
branchial index). gangguan sirkulasi pada
2) Monitor panas, pasien.
kemerahan, nyeri, atau Terapeutik:
bengkak pada 1) Mengurangi risiko
ekstremitas. cedera pada pasien.
Terapeutik 2) Agar tidak terjadi
1) Hindari pengukuran adanya komplikasi pada
tekanan darah pada pasien.
ekstremitas dengan Edukasi:
keterbatasan perfusi. 1) Mengontrol tekanan
2) Lakukan pencegahan darah agar normal
infeksi. kembali.
Edukasi 2) Mencegah terjadinya
1) Anjurkan minum obat kerusakan integritas
pengontrol tekanan kulit atau komplikasi
darah secara teratur. dekubitus.
2) Anjurkan melakukan 3) Mencegah terjadinya
perawatan kulit yang komplikasi penyakit dan
tepat (mis. mengatasi kesalahan
melembapkan kulit dalam perawatan sedini
kering pada kaki). mungkin.
3) Informasikan tanda
dan gejala darurat
yang harus dilaporkan
(mis. rasa sakit yang
tidak hilang saat
istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya
28
rasa).
29
haluaran urine <0,5 jantung, mengakibatkan
mL/kg/jam dalam 6 gangguan perfusi ginjal,
jam. retensi natrium/ air, dan
2) Anjurkan melapor jika penurunan output urine.
BB bertambah >1 kg 5) Mengetahui adanya efek
dalam sehari. samping diuretik pada
3) Ajarkan cara pasien.
mengukur dan Terapeutik
mencatat asupan dan 1) Mengetahui adanya
haluaran cairan. penambahan atau
4) Ajarkan cara pengurangan berat
membatasi cairan. badan pasien.
Kolaborasi 2) Mengurangi asupan
1) Kolaborasi pemberian cairan dan garam agar
diuretik. keseimbangan cairan
kembali normal.
3) Mempertahankan
kenyamanan,
meningkatkan ekspansi
paru, dan
memaksimalkan
oksigenasi pasien.
Edukasi
1) Agar haluaran urin
pasien tetap terpantau
sehingga perfusi renal,
kecukupan penggantian
cairan dan kebutuhan
serta status cairan pasien
dapat segera ditangani
jika terjadi
30
ketidakseimbangan.
2) Agar BB pasien tetap
terpantau sehingga,
kecukupan penggantian
cairan dan kebutuhan
serta status cairan pasien
dapat segera ditangani
jika terjadi
ketidakseimbangan.
3) Agar pasien dapat
mengetahui cara
mengukur dan mencatat
asupan dan haluaran
cairan nya secara
mandiri.
4) Agar pasien dapat
mengontrol intake dan
output cairan secara
mandiri.
Kolaborasi
1) Diuretik bertujuan untuk
menurunkan volume
plasma dan menurunkan
retensi cairan di jaringan
sehingga menurunkan
resiko terjadinya edema
paru.
G. Mindmap
Terlampir
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus yang dialami oleh Ny. M dapat mengakibatkan syok hemoragik dan
menimbulkan beberapa diagnosa keperawatan diantaranya gangguan pertukaran
gas, penurunan curah jantung, perfusi perifer tidak efektif, dan hipervolemia.
Kondisi Ny. M merupakan kondisi yang kritis dan diperlukan intervensi
keperawatan yang dapat membantu pasien untuk dapat menstabilkan kondisinya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Pane, Merry Dame Cristy. (2020). Syok Kardiogenik. Diakses pada 13 Mei 2022
dari alodokter.com
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defisit dan
Standar Diagnostik ((cetakan III) edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defisit dan
Tindakan Keperawatan ((cetakan II) edisi 1). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defisit dan
Kriteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) edisi 1). Jakarta: DPP
PPNI.
33
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
Crackless Wheezing Urine output ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
• Perawatan sirkulasi
Syok Hemoragik
• Manajemen hipervolemia
Pathway
Suplai O2 menurun
PERFUSI JARINGAN
PERIFER TIDAK
EFEKTIF
Studi Kasus Kondisi Kritis 2
Disusun untuk Memenuhi Penugasan Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1
Disusun oleh:
Kelompok 2 (A20.2)
Penulis
ii
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
prognosis pada pasien ICU. Pada keadaan kritis pasien mengalami perubahan
psikologis dan fisiologis, oleh karena itu peran perawat kritis merupakan posisi
sentral untuk memahami semua perubahan yang terjadi pada klien, serta
1
mengidentifikasi masalah keperawatan dan tindakan yang akan diberikan pada
klien dengan tepat.
1.2 Rumusan Masalah
2. Apa saja data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut atau dilengkapi
dalam kasus komplikasi post operasi craniotomy?
3. Apa saja jenis komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan
komplikasi post operasi craniotomy?
5. Apa saja diagnosa dan intervensi keperawatan yang ada pada kasus
komplikasi post operasi craniotomy?
6. Apa saja rasionalisasi dari setiap intervensi yang disusun pada kasus
komplikasi post operasi craniotomy?
2. Mengetahui data-data pengkajian apa saja yang perlu dikaji lebih lanjut
dalam kasus komplikasi post operasi kraniotomi;
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Kasus
● Infeksi
● Perdarahan atau pembekuan
darah
● Pembengkakan otak
● Pneumonia
● Kejang
● Tekanan darah tidak stabil
● Kelemahan otot
5
6
Intracerebral hemorrhage (ICH) perdarahan yang terjadi di dalam
parenkim otak dan sistem ventrikel
atau Perdarahan intraserebral
yang penyebabnya bukan diakibatkan
oleh trauma. (Sacco et al., 2013)
Nontraumatic perdarahan intraserebral
paling sering hasil dari kerusakan
hipertensi ke dinding pembuluh darah
(misalnya, hipertensi, eklampsia,
penyalahgunaan narkoba), tetapi juga
mungkin karena autoregulatory
disfungsi dengan aliran darah otak yang
berlebihan (misalnya, cedera reperfusi,
transformasi hemoragik, paparan
dingin), pecahnya aneurisma atau
arteriovenous malformation (AVM),
arteriopathy (misalnya, amiloid serebral
angiopathy, Moyamoya), diubah
hemostasis (misalnya, trombolisis,
antikoagulan, perdarahan diatesis),
hemoragik nekrosis (misalnya, tumor,
infeksi), atau vena obstruksi outflow
(misalnya, trombosis vena cerebral).
8
jantung memompa darah dengan usaha
yang lebih keras daripada normalnya.
Beban kerja yang berlebihan ini lama-
kelamaan akan menyebabkan
penebalan otot jantung, sehingga
ukuran jantung menjadi lebih besar.
Diagnosis kardiomegali diawali
dengan menanyakan gejala yang
dialami serta riwayat kesehatan pasien.
Selanjutnya, akan dilakukan
pemeriksaan fisik, terutama pada
jantung, dengan meraba dan mengetuk
daerah dinding dada, serta
mendengarkan suara jantung melalui
stetoskop. Tes diagnostik meliputi
salah satu dari berikut ini: Rontgen
dada, Ekokardiogram transtorakal,
MRI Jantung, Elektrokardiogram
(EKG), Kadar serum peptida
natriuretik otak (pro-BNP), troponin I
dan T, fungsi ginjal, dan tes fungsi hati
, Tes stres dan/atau angiogram koroner
9
LVH (Left Ventricular Hypertrophy) Hipertrofi ventrikel kiri (LVH) adalah
suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan massa ventrikel kiri, baik
karena peningkatan ketebalan dinding
atau karena pembesaran rongga
ventrikel kiri, atau keduanya. Paling
sering, penebalan dinding ventrikel
kiri terjadi sebagai respons terhadap
kelebihan tekanan, dan dilatasi ruang
terjadi sebagai respons terhadap
kelebihan volume.
Seiring berkembangnya kondisi LVH,
klien dapat mengalami sesak napas,
kelelahan, nyeri dada, sering kali setelah
berolahraga, sensasi detak jantung
kencang dan berdebar (palpitasi), pusing
atau pingsan
10
Ventilator Modus SIMV SIMV adalah mode ventilator yang
(Synchronized Intermittent Mandatory memungkinkan bantuan mekanis
Ventilation) parsial. Mode ventilator ini akan
memberikan jumlah napas yang
ditetapkan pada volume tidal yang
tetap, tetapi pasien dapat memicu
napas spontan dengan volume yang
ditentukan oleh upaya pasien. Manfaat
SIMV yang maksimal hanya dapat
dirasakan oleh pasien yang dapat
mengambil napas spontan.
Volume Tidal Volume tidal adalah volume udara
hasil inspirasi atau ekspirasi pada
setiap kali bernafas normal. Ini
mengukur sekitar 500 mL pada pria
dewasa sehat rata-rata dan sekitar 400
mL pada wanita sehat. Volume udara
tidal bervariasi tergantung pada
tingkat kegiatan seseorang. Pada
kondisi tubuh istirahat, volume udara
tidal sebanyak kira-kira 0,5 l atau 500
ml pada rata-rata orang dewasa muda,
dan besarnya akan meningkat bila
kegiatan tubuh meningkat. Dari 0,5 l
udara tidal yang dipernapaskan pada
kondisi istirahat tersebut hanya 0,35 l
saja yang dapat sampai di alveolus,
sedang yang 0,15 l mengisi ruang yang
terdapat pada saluran respirasi
(disebut ruang rugi).
11
PEEP (positive end-expiratory Positive end-expiratory pressure
pressure) (PEEP) adalah tekanan positif yang
akan tetap berada di saluran napas
pada akhir siklus pernapasan (end of
exhalation) yang lebih besar dari
12
tekanan atmosfer pada pasien dengan
ventilasi mekanik. PEEP dapat
menjadi parameter terapeutik yang
diatur dalam ventilator (PEEP
ekstrinsik), atau komplikasi ventilasi
mekanis dengan perangkap udara
(auto-PEEP). Level PEEP yang
dipakai biasanya 5-7 cmH2O. PEEP
yang tinggi dapat menyebabkan
overdistensi sehingga menurunkan
compliance paru, tidal volume,
pengeluaran CO2 dan curah jantung
serta meningkatkan PaCO2.
FiO2 (Fraksi oksigen inspirasi) Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) adalah
konsentrasi oksigen dalam campuran
gas. Campuran gas di udara kamar
memiliki fraksi oksigen inspirasi
sebesar 21%, artinya konsentrasi
oksigen di udara kamar adalah 21%.
Persentase oksigen pada ketinggian
yang berbeda tetap sama, artinya FiO2
udara di atmosfer tetap 21% terlepas
dari ketinggian individu. Kelebihan
atau kekurangan oksigen dapat
berakibat buruk pada paru-paru, sistem
syaraf, dan mata. Pada sistem syaraf,
dapat mengakibatkan kejang-kejang
dan tidak sadar (dinamakan Paul Bert
Effect). Pada paru-paru dapat
mengakibatkan sesak nafas dan sakit
dada (dinamakan Lorrain Smith
Effect). Pada mata dapat
13
mengakibatkan rabun jauh. Umumnya,
efek ini tidak bersifat menetap bagi
orang dewasa dan dapat membaik
dengan berjalannya waktu.
14
arteri dan/atau vena, karbon dioksida,
dan pH, serta konsentrasi karbon
dioksida dan bikarbonat serum total,
dapat memberikan informasi
tambahan mengenai tingkat
hipoksemia dan asidosis.
pH (power of hydrogen) Ukuran keasaman dan kebasaan suatu
larutan yang merupakan angka pada
skala di mana nilai 7 mewakili
netralitas dan angka yang lebih rendah
menunjukkan peningkatan keasaman
dan angka yang lebih tinggi
meningkatkan alkalinitas. Rentang pH
darah sangat sempit dan biasanya
berkisar antara 7,35-7,45, dengan pH
ideal adalah 7,4. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pH darah antara lain
● Ginjal yang mengoreksi beban
ion H
● Ion H dan K saling terkait dalam
homeostasis asam-basa
● Pertahanan pertama terhadap
perubahan pH darah diberikan
oleh buffer darah, tetapi paru -
paru dan ginjal yang
mengoreksi beban ion H
● Produksi asam-asam tertentu
mengharuskan ginjal
membuang ion H dan
menyimpan ion HCO3-
15
PaCO2 (partial pressure of carbon Tekanan parsial karbondioksida
dioxide) (PCO2) adalah ukuran karbon
dioksida dalam darah arteri atau vena.
Ini sering berfungsi sebagai penanda
ventilasi alveolar yang cukup di dalam
paru-paru. Umumnya, dalam kondisi
fisiologis normal, nilai PCO2 berkisar
antara 35-45 mmHg, atau 4,7-6,0 kPa.
Biasanya pengukuran PCO2
dilakukan melalui gas darah arteri,
pengambilan sampel vena perifer,
vena sentral, atau vena campuran.
Penyakit dapat bekerja dengan cara
yang sama, mengubah tekanan parsial
yang memastikan transfer seimbang
molekul karbon dioksida. Beberapa
kondisi dapat mengubah level ini:
● Penyakit paru obstruktif seperti
penyakit paru obstruktif kronik
dan asma .
● Gangguan sistem saraf pusat
(termasuk cedera kepala dan
penggunaan narkoba).
● Penyakit neuromuskular seperti
amyotrophic lateral sclerosis
(ALS).
● Konsentrasi hemoglobin yang
rendah digunakan untuk
mengangkut oksigen dan
karbon dioksida melalui darah.
Kisaran normal tekanan parsial karbon
dioksida adalah antara 40 dan 45 mm
Hg. Jika lebih dari 45 mm Hg, maka
16
terlalu banyak karbon dioksida dalam
darah. Kurang dari 40mm Hg, dan
sangat sedikit. Peningkatan kadar
karbon dioksida biasanya terlihat dalam
kasus: Penyakit paru obstruktif, Muntah
parah, Penggunaan berlebihan diuretik
berbasis merkuri, Aldosteronisme
(sejenis gangguan hormonal yang
menyebabkan tekanan darah tinggi ).
17
PaO2 (partial pressure of oxygen) PaO2 adalah pengukuran tekanan
oksigen dalam darah arteri. Ini
mencerminkan seberapa baik oksigen
dapat berpindah dari paru-paru ke
18
darah. Digunakan untuk menilai efek
dari masalah pernapasan pada suplai
oksigen.Nilai normal PaO2 berada
pada rentang 80-100 mmhg. Klien
dengan PaO2 rendah atau dibawah
normal mengindikasikan terjadi
hipoksemia. Dimana PaO2 dibawah
80mmhg dan SpO2 dibawah 94%.
Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi rendahnya nilai PaO2,
yaitu penurunan konsentrasi oksigen
yang diinspirasi. Tempat yang tinggi
dapat menyebabkan tekanan oksigen
menurun. Kondisi yang
mempengaruhi pergerakan dinding
dada, misalnya penyakit kronis juga
dapat mempengaruhi rendahnya nilai
PaO2. Faktor perkembangan seperti
usia dan perilaku juga turut
menyebabkan rendahnya nilai PaO2.
AaDO2 (alveolar-arterial oxygen Gradien A-a, atau gradien alveolar-
gradient) arteri, mengukur perbedaan antara
konsentrasi oksigen dalam alveoli dan
sistem arteri. Nilai normal A-a gradien
adalah 10 - 15 mmHg dan normalnya
meningkat 1 mmHg per dekade.
Perhitungan gradien A-a adalah
sebagai berikut:
A-a Gradien = PAO2 – PaO2.
Dengan PAO2 mewakili tekanan
oksigen alveolar dan PaO2 mewakili
tekanan oksigen arteri. Tekanan
oksigen arteri (PaO2) dapat langsung
19
dinilai dengan tes gas darah arteri
(ABG) atau diperkirakan dengan tes
gas darah vena (VBG).
PAO2 = (Patm – PH2O) FiO2 –
PaCO2/RQ
Dalam sistem yang sempurna, tidak ada
gradien A-a: oksigen akan berdifusi
dan menyamakan kedudukan melintasi
membran kapiler, dan tekanan dalam
sistem arteri dan alveoli akan sama
(menghasilkan gradien A-a nol).
Namun, ada ketidakcocokan V/Q
fisiologis di paru-paru karena
heterogenitas dalam perfusi dan
ventilasi apikal vs basilar.
A-a gradien = (Usia + 10) / 4
Nilai yang dihitung untuk gradien A-a
pasien dapat menilai apakah hipoksia
mereka disebabkan oleh disfungsi unit
kapiler-alveolar, yang akan meningkat,
atau karena alasan lain, di mana gradien
A-a akan berada pada atau lebih rendah
dari yang dihitung. nilai menggunakan
persamaan di atas.
SaO2 (oxygen saturation) Saturasi oksigen adalah ukuran
seberapa banyak hemoglobin saat ini
terikat dengan oksigen dibandingkan
dengan berapa banyak hemoglobin
yang tetap tidak terikat.
SAO2 adalah pengukuran langsung O2
yang terikat pada protein heme
hemoglobin dalam darah.
Pengukuran SPO2 adalah pengukuran
20
pulsa oksimetri saturasi fungsional
hemoglobin dengan O2.
Tingkat Kejenuhan pada Individu
yang Sehat
SAO2 pada orang sehat harus 95 -
100%. Sedangkan SPO2 pada orang
sehat harus lebih dari 94%.
Perangkat yang Digunakan untuk
Pengukuran
Co-oksimeter digunakan untuk
mengukur SAO2. Sedangkan Pulse
Oximeter digunakan untuk mengukur
SPO2.
Teknik yang Digunakan
Teknik invasif digunakan untuk
mengukur SAO2. Ini menggunakan
pengukuran saturasi O2 dalam darah
arteri.
Teknik tanpa-invasif digunakan untuk
mengukur SPO2. Ini menggunakan
cuping telinga atau ujung jari untuk
pengukuran.
21
GCS (Glasgow coma scale) GCS adalah sistem penilaian yang
paling umum digunakan untuk
menggambarkan tingkat kesadaran
seseorang setelah mengalami cedera
kepala akut.
Ronchi Adalah bunyi gaduh yang dalam yang
terdengar selama ekspirasi.
Penyebabnya adalah gerakan udara
melewati jalan napas yang menyempit
akibat obstruksi napas (sumbatan
akibat sekresi, edema, atau tumor.)
22
cairan, misalnya darah atau air ludah.
Oedema Pulmo Edema pulmo adalah kelebihan cairan
di paru-paru. Edema paru terjadi
ketika cairan menumpuk di kantung
udara paru-paru (alveolus).
Penumpukan cairan ini mengganggu
pertukaran gas dan dapat
menyebabkan gagal napas. Edema
paru yang disebabkan oleh gangguan
jantung terjadi akibat ventrikel kiri
tidak mampu memompa masuk darah
dalam jumlah yang cukup, sehingga
tekanan di dalam atrium kiri, serta
pembuluh darah di paru-paru
meningkat. Peningkatan tekanan ini
kemudian menyebabkan terdorongnya
cairan melalui dinding pembuluh
darah ke dalam alveoli. Sehingga
paru-paru terisi cairan dan oksigen
yang dihirup tidak mampu masuk ke
paru-paru dan pembuluh darah.
23
Tekanan Intra Kranial (TIK) Tekanan intrakranial adalah tekanan
di sekitar otak, di dalam tengkorak.
Tekanan ini dipertahankan oleh tiga
komponen utama, yaitu cairan di
sekitar otak (cairan serebrospinal),
darah, serta otak sendiri. TIK normal
pada saat istirahat kira-kira 10 mmhg
(136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari
20 mmHg dianggap tidak normal dan
TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
dalam kenaikan TIK berat. Semakin
tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya. Ada
beberapa hal yang bisa menjadi
penyebab peningkatan tekanan rongga
kepala, antara lain:
● Cedera pada kepala akibat
benturan atau pukulan di
kepala.
● Anak mengalami hidrosefalus
kongenital atau hidrosefalus
bawaan sejak lahir.
● Meningkatnya tekanan pada
cairan yang mengelilingi otak
dan sumsum tulang belakang
(serebrospinal).
● Pembengkakan jaringan otak
karena luka atau penyakit.
Selain itu, ada juga beberapa penyakit
yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial, antara lain infeksi,
kejang, stroke, tumor, aneurisma otak
atau pembengkakan otak,
24
hidrosefalus, hipoksemia, meningitis
atau peradangan selaput otak, status
epileptikus pada penderita epilepsi,
pendarahan otak karena tekanan darah
yang terlalu tinggi. Berikut adalah
gejala yang muncul ketika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial, di
antaranya sakit kepala, mual dan
muntah, penglihatan berubah menjadi
ganda, tekanan darah meningkat,
bingung, linglung, rasa gelisah,
perubahan perilaku, pupil mata tidak
memberikan respon terhadap cahaya,
napas terasa sesak, kejang, dan hilang
kesadaran hingga koma.
2.3 Data Pengkajian Yang Perlu Dikaji Lebih Lanjut/Dilengkapi Pada Kasus
1. Identitas Pasien
Nama Tn. J
Umur 57 tahun
2. PPengkajian Primer
25
Suhu : 38oC
3. Pengkajian Sekunder
A. Riwayat Kesehatan
Pengkajian PQRST
4. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
26
Pemeriksaan Head to Toe
5. Pemeriksaan Penunjang
27
Foto Thorak Kardiomegali suspek LVH dan gambaran edema
pulmo.
28
2.4 Kasus Yang Kemungkinan Terjadi Pada Pasien
Berdasarkan data yang terdapat pada kasus dan pengkajian lanjutan,
permasalahan yang mungkin terjadi yaitu :
1. Penurunan Kesadaran
Berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan data GCS E1 M4 VET.
Perubahan pada tingkat kesadaran pasien mungkin menjadi tanda pertama
terjadinya Peningkatan TIK. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
neurologi yang berfokus pada tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda mata,
respon motorik, dan tanda-tanda vital. (Smeltzer & Bare, 2001)
2. Asidosis respiratorik
Perdarahan intrakranial menyebabkan peningkatan tekanan sistemik
sehingga terjadi spasme pembuluh darah yang menyebabkan aneurisma dan
terjadi perdarahan pada arachnoid/ventrikel menyebar ke seluruh otak dan
medulla spinalis bersama cairan serebrospinalis, medulla spinalis dan
kemosensitif perifer akan mempengaruhi fungsi organ pernapasan dan dapat
mengakibatkan hiperventilasi pernapasan. Hasil pemeriksaan penunjang
rontgen menunjukkan adanya Edema Pulmo. yang berarti terdapat
penumpukan cairan didalam paru-paru. Kedua hal tersebut diperkuat dengan
hasil pemeriksaan Blood Gas Arterial yaitu :
Parameter Hasil Nilai Normal Keterangan
pH 7.32 7.35-7.45 ↓
PaO2 80 mmHg 75-100 -
PaCO2 48 mmHg 35-45 ↑
HCO3 28 mmol/L 22-26 ↑
3. Hipertermi Sekunder
Peningkatan TIK akan mempengaruhi fungsi hipotalamus terutama
apabila terjadi perdarahan yang luas. Peningkatan suhu secara signifikan
dapat terjadi akibat kerusakan hipotalamus. Pada pengkajian didapatkan data
suhu tubuh sekitar 38⁰C (Smeltzer & Bare, 2001).
29
4. Distress Pernapasan
Salah satu komplikasi yang terjadi pasca pembedahan intrakranial yaitu
deficit neurologic dan perdarahan. Perdarahan yang meluas mungkin dapat
mempengaruhi fungsi organ pernapasan. Peningkatan tekanan intrakranial
dapat mengganggu fungsi medula yang kemudian akan mempengaruhi kerja
saraf parasimpatis pada organ paru. Sehingga fungsi inspirasi ekspirasi tidak
dapat berjalan normal (Smeltzer & Bare, 2001).
Perlu mengkaji lebih lanjut mengenai lokasi perdarahan, efek sedasi
anestesi, keadaan umum, kesadaran pasien saat masuk rumah sakit, dan
pemeriksaan vital sign untuk mengetahui pasti gangguan distress pernapasan.
Untuk sementara penggunaan ventilator mekanik menjadi tatalaksana pasien
mengalami distress pernapasan.
2.5 Patofisiologi Kasus Dalam Bentuk Pathway
30
2.6 Diagnosa Keperawatan Yang Dapat Muncul Beserta Intervensinya
1. Analisa Data
-Volume tidal
350ml
(Rendah)
-PaCO2 48
mmHg
31
(Tinggi)
-SaO2 94%
(Rendah)
-Frekuensi
nadi 115
x/menit
(Takikardia)
Ketidakseimba Gangguan
3. DS : - ngan Ventilasi Pertukaran Gas
Perfusi (D. 0003)
DO :
- pH 7,32
(Asidosis)
- PaCO2 48
mmHg
(Tinggi)
- PaO2 80
mmHg
- FiO2 50%
- P/F =
PaO2/FiO
2 ratio
P/F =
80/50%
P/F = 160
- AaDO2
300
(adanya
gangguan
difusi
ventilasi
atau
pertukaran
gas,
normal
<65)
- SaO2 94%
- HR
32
115x/meni
t ->
Takikardia
- Kesadaran
menurun
Hipertensi Penurunan
4. DS : pasien Intrakranial Kapasitas
mengalami Adaptif
cedera kepala Intrakranial
(D.0066)
DO :
- Hasil CT
Scan
menunjuk
kan
adanya
intrakrania
l
hemoragik
(perdaraha
n di dalam
otak)
- Tekanan
darah
180/100
mmHg
(Tinggi)
- Frekuensi
nadi 115
x/menit
(Melebar)
- GCS
E1M4VE
33
T
- Terdapat
tanda
peningkata
n TIK (>
20 mmHg)
3. Intervensi Keperawatan
34
2. Suara warna,
tambahan aroma)
dalam Terapeutik
pernapasa
a. Posisikan
n (ronchi
dan semi-
gurgling) Fowler atau
menurun. Fowler
3. Frekuensi (30o- 45o)
pola napas
b. Lakukan
membaik
4. Pola napas penghisapa
membaik n lendir
kurang dari
15 detik.
c. Lakukan
hiperoksige
nasi
sebelum
penghisapa
n
endotrakeal
.
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
eskpetoran
atau mukolitik.
36
menurun. bunyi
2. Tekanan napas.
parsial Terapeutik
oksigen di a. Atur
darah arteri interval
(PaO2) pemantauan
dalam respirasi
rentang sesuai
normal yaitu kondisi
75-100 pasien.
mmHg. b.
3. Tekanan Dokumentas
parsial ikan hasil
karbondioks pemantauan
ida di darah .
arteri Edukasi
(PaCO2) a.
dalam Jelaskan
rentang tujuan dan
normal yaitu prosedur
38-42 pemantaua
mmHg. n.
4. pH arteri b.
dalam Informasik
rentang an hasil
normal yaitu pemantaua
7,35-7,45. n.
37
hasil: n TIK.
Kapasitas c. Monitor
Adaptif status
Intrakranial pernapasan.
(L.06049) Terapeutik
1. Tekanan a. Minimalkan
intrakranial stimulus
membaik dengan
2. Tekanan menyediaka
darah n
membaik lingkungan
3. Tekanan yang
nadi (pulse tenang.
pressure) b. Berikan
membaik posisi semi
4. Pola Fowler.
napas c. Atur
membaik ventilator
agar PaCO2
optimal.
d. Pertahankan
suhu tubuh
normal.
38
merupakan bunyi napas
tambahan yang
dihasilkan karena
adanya pergerakan atau
gerakan mukus dengan
udara yang lewat.
Sedangkan gurgling
merupakan bunyi
kumur-kumur yang
menandakan adanya
cairan.
Monitor sputum Mengetahui jumlah,
(jumlah, warna, warna dana roma dari
aroma) sputum untuk
mendeteksi adanya
bakteri penyebab
infeksi saluran
pernafasan.
Posisikan semi-Fowler Posisi semi-Fowler dan
39
Lakukan penghisapan Untuk mencegah
lender kurang dari 15 terjadinya infeksi
detik. nosokomial,
pneumonia akibat
akumulasi sekret, serta
mempertahankan jalan
nafas yang paten.
Lakukan Hiperoksigenasi
hiperoksigenasi bertujuan untuk
sebelum penghisapan menghindari hipoksemi
enotrakeal. akibat suction atau
proses penghisapan
sekret.
Kolaborasi pemberian Pemberian ini
bronkodilator, dilakukan untuk
eskpetoran atau meredakan gejala
mukolitik. akibat penyempitan
saluran pernapasan,
seperti batuk, mengi,
atau sesak napas.
40
Monitor efek Mengetahui adanya
ventilator terhadap efek ventilator pada
status oksigenasi. status oksigenasi pasien
yang mengenakan
ventilator mekanik
Monitor efek negatif Melihat apakah ada
ventilator. efek negatif pada status
oksigenasi pasien
akibat pemasangan
ventilator
Atur posisi kepala 45- Beberapa penelitian
60º untuk mencegah terkait positioning,
aspirasi melakukan elevasi
kepala 45 derajat sudah
tidak disarankan dan
elevasi yang digunakan
15-30 derajat.
Dokumentasikan Menjadi bukti dari
respon terhadap tindakan keperawatan
ventilator. yang sudah dilakukan
dan menyimpan semua
data pasien yaitu bukti
respon terhadap
ventilator
Kolaborasi PEEP adalah tekanan
penggunaan PS atau yang mendukung paru
PEEP untuk pada akhir ekspirasi.
meminimalkan PEEP yang optimal
hipoventilasi. mencegah kolaps
alveolar dan tidak
menyebabkan
overdistensi
41
3. Gangguan Pemantauan Mengetahui frekuensi,
Pertukaran Gas b.d Respirasi (I.01014) irama, kedalaman dan
Ketidakseimbangan Monitor frekuensi, upaya napas pasien
Ventilasi Perfusi irama, kedalaman, dan untuk menetapkan
(D.0003) upaya napas. intervensi yang dapat
dilakukan.
Monitor pola napas. Untuk mengetahui
apakah ada
ketidakefektifan pola
napas pada pasien yang
ditandai dengan terjadi
peningkatan pada
frekuensi, volume,
irama, dan adanya
usaha pernafasan.
Monitor adanya Mengetahui adanya
produksi sputum. sputum atau sekret
berlebih pada pasien.
Monitor sumbatan Mengidentifikasi
jalan napas. adanya sumbatan jalan
napas pada pasien atau
tidak karena apabila
terdapat sumbatan
napas maka aliran
42
Atur interval Berguna dalam
pemantauan respirasi mendeteksi atau
sesuai kondisi pasien. memantau masalah
medis dan menentukan
status kesehatan pasien.
Dokumentasikan hasil Menjadi bukti dari
pemantauan. tindakan keperawatan
yang sudah dilakukan
dan menyimpan samua
data atau informasi
pasien.
Jelaskan tujuan dan Pasien dapat
prosedur pemantauan. mengetahui prosedur
apa yang akan perawat
lakukan kepada pasien.
43
dekompensasi.
Monitor Melihat tanda atau
tanda/gejala gejala pada pasien
peningkatan TIK. yang menjadi tanda
peningkatan TIK.
Pemantauan TIK
dilakukan untuk
mengikuti
kecenderungan
TIK tersebut, karena
nilai tekanan
menentukan tindakan
yang perlu dilakukan
agar terhindar dari
cedera otak
selanjutnya,
dimana dapat bersifat
ireversibel dan letal.
Monitor status Untuk mengetahui
pernapasan. kececpatan, irama,
suara napas dan
kedalaman napas pada
pasien dan mengetahui
tanda-tanda bahaya
yang munculpada
pasien.
Minimalkan stimulus Nyeri dan stress dapat
dengan menyediakan meningkatkan
lingkungan yang metabolisme serebral
tenang. dan secara patologis
meningkatkan volume
darah serebral dan
44
meningkatkan TIK.
Nyeri dan gelisah
dapat merangsang
hipofisis untuk
mengeluarkan hormon
katekolamin sehingga
membuat tekanan
darah dan heart rate
menjadi meningkat.
Berikan posisi semi Posisi semi-Fowler
Fowler dapat membantu
mempertahankan
kestabilan pola nafas
pasien serta
mempertahankan
kenyamanan pasien.
Beberapa peneliti
berpendapat bahwa
pasien dengan cedera
kepala harus
ditempatkan pada
posisi semi fowler yaitu
30 sampai 45 derajat.
Posisi tersebut
dapat membantu
mengurangi TIK.
Atur ventilator agar Otak merupakan organ
PaCO2 optimal. yang sangat sensitif
terhadap PaCO2,
setiap 1 mmHg
penurunan
PaCO2 dapat
45
menurunkan tekanan
intrakranial 2-5
tergantung pada
pemenuhan otak.
Hiperventilasi
memungkinkan
terjadinya kerusakan
neurologis dengan
menurunkan perfusi
serebral, oleh karena
itu hiperventilasi
digunakan untuk
menurunkan TIK
untuk jangka pendek
ketika perburukan
neurologis akut terjadi.
Pertahankan suhu Demam menyebabkan
tubuh normal. peningkatan
metabolisme serebral
& dapat menyebabkan
dilatasi serebrovaskuler
dua faktor tersebut
dapat meningkatkan
aliran darah serebral
dan TIK.
46
Pemantauan Mengetahui penyebab
Tekanan dari meningkatnya
Intrakranial Tekanan Intrakranial
(I.06198) yang dapat
Identifikasi mengancam nyawa.
penyebab
peningkatan TIK.
Monitor Kontrol tekanan darah
peningkatan TD. merupakan salah satu
hal yang sangat
pentingdalam
manajemen TIK,
karena apabila tekanan
darah terlalu
rendah dapat
menyebabkan
hipotensi dan
menurunkan CBF
yang
mengarah ke iskemia
serebral.
Monitor penurunan Tingkat kesadaran atau
tingkat kesadaran. GCS ini merupakan
kondisi klinis yang
harus dinilai pada
peningkatan TIK.
Penurunan kesadaran
dapat terjadi karena
berbagai macam
penyakit seperti
gangguan sirkulasi
darah pada otak,
47
epilepsi, tumor dan
masih banyak lagi.
Pertahankan posisi Posisi merupakan hal
kepala dan leher yang sangat penting
netral. dalam manajemen
pasien dengan
peningkatan TIK.
Posisi yang
menghalangi aliran
balik vena dari kepala
menyebabkan
peningkatan TIK. Studi
yang dilakukan oleh
Castillo et al
menunjukkan bahwa
penurunan TIK tanpa
penurunan CPP
maupun CBF pada
sebagian besar pasien
dengan elevasi kepala
30 derajat.
Atur interval Pemantauan dilakukan
pemantauan sesuai sesuai dengan
kondisi pasien. bagaimana kondisi
pasien saat dilakukan
pemantauan.
Dokumentasikan hasil Menjadi bukti dari
pemantauan. tindakan keperawatan
yang sudah dilakukan
dan menyimpan samua
data atau informasi
pasien.
48
Jelaskan tujuan dan Keluarga pasien dapat
prosedur pemantauan. mengetahui prosedur
apa yang akan perawat
lakukan kepada pasien.
Informasikan hasil Keluarga pasien
pemantauan. berhak mengetahui
hasil pemantauan atau
ringkasan rekam
medisnya.
49
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa masalah
keperawatan yang timbul dalam kasus pada Tn J pasca operasi Craniotomy yang
dirawat di ICU setelah dilakukan analisa data pengkajian yang ada di dalam kasus
dan data pelengkap, maka didapatkan 4 diagnosa yaitu Bersihan jalan napas tidak
efektif b.d sekresi yang tertahan (D. 0001), gangguan ventilasi spontan b.d
gangguan metabolisme (D.0004), gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan
ventilasi perfusi (D. 0003), dan penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d
hipertensi, cedera kepala (D.0066). Penulis berusaha memberikan intervensi dan
rasionalisasi tindakan yang sesuai dengan teori yang didapatkan. Keempat diagnosa
keperawatan tersebut ditegakkan berdasarkan SDKI serta telah diberikan intervensi
sesuai SIKI.
3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka penulis memberikan
saran :
1. Bagi Penulis
Agar dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam
menyelesaikan atau memecahkan kasus serta berupaya memberikan asuhan
keperawatan khususnya pada pasien pasca operasi craniotomy dengan tepat.
2. Bagi perawat
Diharapkan dapat terus meningkatkan pengalaman dan kualitas dalam
memberikan asuhan keperawatan pada klien pasca operasi craniotomy serta
dapat membantu mengevaluasi dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan pada pasien pasca operasi craniotomy.
50
DAFTAR PUSTAKA
Amin, H., & Siddiqui, W. J. (2021). Cardiomegaly. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from: https://www.ncb.
nlm.nih.gov/books/NBK542296/
Black, J., & Hawks, J. (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management For Positive
Outcomes (S. Elsevier, ed.). Singapore.
Bornstein AB, Rao SS, Marwaha K. Left Ventricular Hypertrophy. [Updated 2021 Dec 19].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557534/?report
=classic
Caceres, J. A., & Goldstein, J. N. (2012). Intracranial hemorrhage. Emergency medicine
clinics of North America, 30(3), 771–794. https://doi.org/10.1016/j.emc.2012.06. 003
Caplan, L. R. (2009). Stroke A Clinical Approach (4th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier.
Fernández-de Thomas RJ, De Jesus O. Craniotomy. [Updated 2021 Aug 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560922/
Fuentes S, Chowdhury YS. Fraction of Inspired Oxygen. [Updated 2022 Feb 17]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560867/
Geneva, I. I., Cuzzo, B., Fazili, T., & Javaid, W. (2019). Normal Body Temperature: A
Systematic Review. Open forum infectious diseases, 6(4), ofz032.
https://doi.org/10.1093/ofid/ofz032
GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention: A Guide for
Healthcare Professionals. 2017 ed. Sydney: Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease Inc.; 2017.
Hafen BB, Sharma S. Oxygen Saturation. [Updated 2021 Aug 12]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK525974/
Hallett S, Toro F, Ashurst JV. Physiology, Tidal Volume. [Updated 2021 May 9]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
51
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482502/ Hantzidiamantis
, P. J., & Amaro, E. (2022). Physiology, Alveolar to Arterial Oxygen
Gradient. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Haryanto, G. D. A., Setyawa, D., & Kusuma, M. A. B. (2014). Pengaruh Terapi AIUEO
terhadap Kemampuan Bicara pada Pasien Stroke yang Mengalami Afasia Motorik di
RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK).
Hisham, N., & Bayraktutan, U. (2013). Epidemiology, Pathophysiology, and Treatment of
Hypertension in Ischemic Stroke Patients. Jevon, P., Ewens, B., & Pooni, J. S. (2007).
Pemantauan Pasien Kritis (2nd ed.; V. Umami, ed.). Jakarta: Erlangga.
InformedHealth.org [Internet]. Cologne, Germany: Institute for Quality and Efficiency in
Health Care (IQWiG); 2006-. What is blood pressure and how is it measured? 2010
Jun 24 [Updated 2019 May 23]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK279251/
Jubran A. (2015). Pulse oximetry. Critical care (London, England), 19(1), 272.
https://doi.org/10.1186/s13054-015-0984-8
Lazoff SA, Bird K. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation. [Updated 2021 Jul 18].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549846/
Maindoka FS, Mpila D, Citraningtyas G. Kajian Interaksi Obat pada Pasien Geriatri Rawat
Inap Di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado. J Ilm Farm; 2017. 6(3).
Mann DL. Braunwalds Heart Disease a Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th. ed; 2012.
487.
Mansjoer, A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. Messina
Z, Patrick H. Partial Pressure of Carbon Dioxide. [Updated 2021 Sep 28]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551648/
Mora Carpio, A. L., & Mora, J. I. (2021). Positive End-Expiratory Pressure. In StatPearls.
StatPearls Publishing.
Muttaqin, A. 2008. Asuhan keperawatan dengan Gangguan Pernafasan. Jakarta: Salemba
Medika
Nanda-I. (2018). Nursing Diagnoses: Definition and Classification (11th ed.; T. H. Herdman
& S. Kamitsuru, eds.). New York: Thieme Publishers.
52
Padmosantjojo, & Soemitro, D. (2003). Keperawatan Bedah Saraf. Jakarta: Bagian Bedah
Saraf FKUI/RSCM.
Pagani FD. Right Heart Failure After Left Ventricular Assist Device Placement: Medical and
Surgical Management Considerations. Cardiol Clin; 2020. 10.
Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume2. Jakarta: 2009 Ramani
GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporarydiagnosis and
management. Mayo Clin. Proc. 2010;85:180–195.
Reilly J, Silverman EK, Shapiro SD. Chronic obstructive pulmonary disease. In: Longo D,
Fauci AS, Kasper D, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison's principles of internal
medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 2011. pp. 2151–2159.
Shimizu, Yoshi. (2021). Hypertension. In WHO. Retrieved from Hypertension (who.int).
Accessed on 28 April 2022
Sigmon DF, An J. Nasogastric Tube. [Updated 2021 Nov 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556063/
Smeltzer & Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC. Smeltzer,
S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (8 Vol 3;
M. Ester, ed.). Jakarta: EBC.
World Health Organization. (2016). Global NCD Target Prevent Heart Attacks and Strokes
Through Drug Theraphy and Counselling.
53
TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS 1
“Makalah Studi Kasus”
Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Aisya Permatasari 22020120140134
2. Oktavia Candra Dewi 22020120120023
3. Qoonit Adzdzaakiya Khairunnisa 22020120140139
4. Rizqa Rosyada 22020120120025
5. Tifani Ester Rahmanti 22020120130121
6. Zanuba Fitriyani A. 22020120140147
7. Ariens Traiyu Pudita 22020120140136
8. Hanif Fauzan Ammar 22020120140126
9. Tutur Satria Wicaksono 22020120140125
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat,
taufiq, dan hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya,
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1. Makalah
ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerja sama dan bantuan dari semua anggota
kelompok. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dosen pembimbing,
yaitu Ns. Nana Rochana,S.Kep. serta kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara
maksimal dalam penyelesaian makalah ini.
Diluar itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu, kami selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Demikian yang
bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
memberikan manfaat nyata untuk setiap mahasiswa serta masyarakat luas dalam menambah
pengetahuan mengenai strategi pemenuhan kebutuhan psikososial pada pasien kritis. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita
Hormat Kami,
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………………………....... 1
1.2. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………… 1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Opioid merupakan salah satu jenis golongan obat pereda nyeri yang dapat berikatan
secara spesifik dengan reseptor opioid di tubuh manusia yang dapat memberikan efek
analgesik kuat terhadap nyeri yang sedang dirasakan manusia. Golongan obat opioid ini
diekstrak dari tumbuhan papaver somniferum/opium dan obat pertama kali yang diisolir
disebut Morfin. Tubuh manusia juga dapat memproduksi opioid endogen secara alami
yang juga akan memberikan efek yang sama seperti morfin. Selain efek analgesik tentunya
masih banyak efek fisiologis lain yang didapatkan euforia, sedasi, hipoventilasi, hipotensi,
pruritus serta mual muntah. Dalam praktek klinis obat opioid ini cenderung untuk
dihindari oleh karena efek samping yang berat terutama yaitu depresi nafas.
Intoksikasi opiat/opioid akut merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
penggunaan opioid dalam dosis tinggi yang mengakibatkan gangguan kesadaran, fungsi
kognitif, persepsi/afek/mood, perilaku atau fungsi dan respon psikofisiologis lainya.
Intoksikasi opioid akut ini merupakan suatu keadaan darurat yang harus segera ditangani
agar tidak menimbulkan kematian. Intoksikasi opioid akut harus dipantau dengan ketat
oleh perawat dan dokter yang merawatnya.
Penggunaan opioid secara berlebihan merupakan salah satu penyebab kematian yang
biasanya terjadi. Terdapat lebih dari 1,5 juta kunjungan gawat darurat terkait dengan
analgesik opioid. Adapun tanda dan gejala dari pasien dengan kasus overdosis opioid
antara lain pupil bulat kecil (Pinpoint pupil), ketidaksadaran, dan kesulitan bernapas.
Penggunaan opioid yang berlebihan dapat menyebabkan kematian dikarenakan opioid
berefek langsung pada bagian otak yang mengatur pernapasan. Maka dari itu, pada maka
makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai penanganan kasus
keracunan/overdosis opioid agar dapat menyelamatkan nyawa pasien dengan tepat.
1. Tujuan umum
Mengetahui gambaran secara umum mengenai overdosis opioid dan asuhan
keperawatan pada masalah overdosis opioid
1
2. Tujuan Khusus
● Mengetahui istilah istilah yang terdapat pada kasus
● Mengetahui data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut/dilengkapi pada kasus
● Mengetahui kasus yang kemungkinan terjadi pada pasien
● Mengetahui patofisiologi kasus dalam bentuk pathway
● Mengetahui secara terperinci diagnosa dan intervensi yang terjadi pada kasus
● Mengetahui rasionalisasi dari setiap intervensi yang disusun
2
BAB II
ANALISIS KASUS
3
Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai atau 3
tidak teratur, tidak dapat mempertahankan
kecakapan bicara
Suara tidak teratur 2
Tidak ada suara, bahkan dengan rangsangan 1
nyeri yang kuat
Tidak dapat diperiksa (Not testable) NT
Motorik Perintah verbal Mematuhi perintah 6
Nyeri Dapat melokalisasi nyeri, tidak patuh tetapi 5
(penekanan pada ada usaha untuk menyingkirkan rangsangan
proksimal kuku) yang menyakitkan
Penarikan ekstremitas secara fleksi, fleksi 4
lengan sebagai respon terhadap nyeri tanpa
postur fleksi yang abnormal
Fleksi abnormal, fleksi dan pronasi siku- 3
lengan, tangan mengepal
Ekstensi abnormal, ekstensi lengan pada 2
siku disertai adduksi dan rotasi internal
lengan-bahu
Tidak ada respon 1
Tidak dapat diperiksa (Not testable) NT
4
Somnolen Kesadaran pasien menurun, respon psikomotor yang lambat,
(GCS 7-9) mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal .
Stupor Keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
(GCS 5-6)
Semi-koma Tidak dapat memberikan respons pada rangsangan verbal dan
(GCS 4) tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi reflex kornea dan pupil
masih baik
Koma Pasien tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
(GCS 3) rangsangan (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,
mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Kesadaran diatur oleh kedua hemisfer otak dan Ascending Reticular Activating
System (ARAS), yang meluas dari midpons ke hipotalamus anterior serta
menghubungkan batang otak dengan korteks serebri (Tahir, 2018). Kesadaran
ditentukan oleh interaksi antara fungsi korteks serebri dengan ARAS. Kemudian
ARAS memancarkan serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris secara
difus dan melalui thalamic relay nuclei. Disini ARAS bertindak sebagai tombol on-
off agar korteks serebri tetap sadar (Wijdicks 2010 dalam Tahir 2018).
Berdasarkan kasus, Tn.P dengan GCS 3 atau E1M1V1 Sehingga mekanisme status
kesadaran Tn.P dalam kasus yaitu Koma yang berarti kesadaran hilang, tidak
memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan (verbal, taktil, dan nyeri) dari
luar. Tn.P dalam keadaan tidak sadar yang dalam, yang tidak dapat dibangunkan
akibat disfungsi ARAS di batang otak atau kedua hemisfer serebri.
2. Tekanan Darah 100/70 mmHg
Menurut Moniaga, Pangemanan, dan Rampengan (2013), Tekanan darah
merupakan daya yang diperlukan agar darah dapat mengalir dan beredar ke seluruh
tubuh. Klasifikasi tekanan darah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik Diastolic
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pra Hipertensi 120 – 139 mmHg 80 – 89 mmHg
5
Hipertensi derajat I 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg
Hipertensi derajat II > 160 mmHg > 100 mmHg
Hipertensi Sistolik Terisolasi > 140 mmHg dan < 90 mmHg
Menurut Stedman’s Medical Dictionary for the Health Professions and Nursing,
tekanan darah merupakan tekanan pada darah dalam arteri sistemik, yang dipengaruhi
oleh kontraksi pada ventrikel kiri, resistensi pada arteriol dan kapilari, elastisitas
dinding arteri, viskositas serta volume darah. Tekanan darah dikatakan normal apabila
tekanan sistoliknya 120-140 mmHg manakala tekanan diastolik nya 80-90 mmHg
(WHO).
Berdasarkan kasus, tekanan darah Tn.P 100/70 mmHg dimana tekanan darah
tersebut berada dibawah tekanan darah normal maka dapat disimpulkan Tn.P
mengalami hipotensi atau tekanan darah rendah. Hipotensi adalah kondisi dimana
tekanan darah (rasio tekanan sistolik dan tekanan diastolik) didapatkan lebih rendah
dari nilai normal Hipotensi atau Tekanan darah rendah ini terjadi ketika terdapat
ketidakseimbangan antara kapasitas vaskular dan volume darah atau ketika jantung
terlalu lemah untuk mendorong darah sehingga terjadinya penurunan aliran darah dari
jantung keseluruh tubuh.
3. Frekuensi Nadi 108x/ menit
Menurut Purwanti (2020), frekuensi nadi merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kontraksi ventrikel jantung. Frekuensi nadi normal berada pada
rentang 60 – 80 kali/menit.
Frekuensi nadi setiap orang akan bervariasi tergantung pada beberapa faktor yang
bisa mempengaruhi, seperti usia, aktivitas fisik, tingkat kebugaran, suhu udara, posisi
tubuh, emosi, ukuran tubuh, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Secara umum, berikut
adalah jumlah Frekuensi nadi normal per menit sesuai usia:
Usia Frekuensi Nadi Normal
Bayi sampai usia 1 tahun 100 – 160 kali per menit.
Anak usia 1 – 10 tahun 70 – 120 kali per menit.
Anak usia 11 – 17 tahun 60 – 100 kali per menit.
Orang dewasa 60 – 100 kali per menit.
Di dalam Jantung terdapat semacam alat pacu alami bernama sinoatrial node
(simpul SA). Simpul SA ini berada di bagian atas jantung dan bertugas mengirim
sinyal elektrik untuk menjaga jantung tetap berdetak secara normal. Denyut nadi yang
6
tidak teratur memungkinkan terjadinya aritmia. Aritmia merupakan ketidakteraturan
irama jantung, kondisi dimana irama jantung berdetak terlalu cepat atau terlalu lambat.
Kondisi ini terjadi akibat impuls elektrik yang berfungsi mengatur detak jantung tidak
bekerja dengan baik.
Ada beberapa jenis aritmia salah satunya takikardia. Takikardia merupakan
gangguan irama jantung dengan laju lebih dari 100 kali/menit. Takikardia terjadi
ketika detak jantung lebih cepat dari normal. Artinya, ada masalah dalam pengiriman
sinyal elektrik dari simpul SA. Berdasarkan kasus, Frekuensi nadi Tn.P adalah 108
kali/menit, maka dapat disimpulkan Tn.P mengalami takikardia.
4. Frekuensi Nafas 12x/menit dan Dangkal
Frekuensi pernapasan atau frekuensi napas adalah jumlah total udara yang keluar
masuk ke paru-paru pada setiap kali bernapas. Umumnya, nilai normal frekuensi
pernapasan berada di rentang 12-16 kali/menit. Pernapasan dangkal merupakan
pernapasan yang durasi ekspirasinya lebih lama dibandingkan dengan durasi inspirasi.
Pernapasan dangkal dapat mengakibatkan atau menjadi gejala pernapasan cepat
dan hipoventilasi. Pada kasus ini, frekuensi pernapasan 12 kali/menit dan dangkal
dapat diartikan sebagai tanda ketidaknormalan sistem pernapasan atau disebut dengan
bradipnea. Bradipnea disebabkan oleh overdosis opioid, hipotiroidisme, keracunan,
cedera kepala, dan lain-lain. Pada kasus ini terjadi penurunan respon pernapasan
akibat penggunaan opioid sehingga terjadi gangguan difusi serta retensi oksigen dan
kadar PCO2 naik. Lalu, akan terjadi depresi pusat pernapasan dan hipoventilasi
sehingga pasien mengalami bradipnea.
5. Kulit Pasien dan Akral Teraba Dingin serta Terlihat Sianosis
Akral atau ujung jari adalah ujung dari ekstremitas atas. Sedangkan sianosis
adalah warna kebiruan atau keabu-abuan dari kulit, kuku, bibir, atau di sekitar mata.
Kulit biru dapat disebabkan oleh hal-hal di luar penyakit. Contohnya meliputi terpapar
suhu dingin, pakaian yang ketat, atau perhiasan. Dapat diklasifikasikan menjadi
sianosis sentral dan sianosis perifer. Menurut Supomo (2020), adanya warna kebiruan
merupakan akibat dari peningkatan kadar hemoglobin yang terinduksi serta penurunan
aliran darah dan tekanan oksigen pada ujung vena sistem kapiler.
6. Pupil Miosis dan Tidak Reaktif
Diameter pupil normal kurang lebih 3-5 mm dengan rata-rata 3-3,5 mm. Pupil
dikatakan miosis apabila diameter pupil kurang dari ukuran normal yaitu kurang dari
3 mm. Miosis dapat terjadi dalam keadaan tidur, koma, dan tekanan intrakranial yang
7
tinggi. Sedangkan pupil tidak reaktif berarti suatu kondisi di mana pupil tidak memiliki
reaksi reflek terhadap cahaya. Pupil miosis dan tidak reaktif menunjukkan adanya
gangguan batang otak. Pada kasus ini penyebab dari pupil miosis adalah obat-obatan
yaitu opioid.
Mekanisme pupil miosis adalah sebagai berikut:
Rangsangan cahaya masuk ke mata, rangsang tadi akan diubah menjadi impuls
listrik oleh fotoreseptor yang ada di retina, dan akan dibawa oleh Nervus III ke otak
tepatnya di pretectal nucleus otak bagian tengah. Impuls listrik tadi melalui lateral
nucleus geniculate dan visual korteks utama. Lalu dibawa ke Nucleus Edinger-
Westphal, dimana impuls yang dibawa oleh syaraf viseromotor tadi akan mengalir
disepanjang Nervus Occulomotorius kanan dan kiri. Syaraf viseromotor akhirnya akan
synaps disyaraf ganglion ciliary. Dimana syaraf parasimpatis menginervasi otot
konstiktor iris, dan akhirnya menimbulkan miosis.
Penyebab miosis, diantaranya:
Penyakit:
a. Horner syndrome
b. Pancoast tumor
c. Perdarahan pada Pons
Obat:
a. Opiates (kodein, morfin, dan heroin)
b. Antipsikotik (haloperidol, thorazine)
c. Cholinergic agent yang digunakan pada pengobatan penyakit Alzheimer
desease dan nerve gasses
d. Obat kemoterapi termasuk turunan Camptotecin
e. Carbachol dan Neostigmine
f. Tazadone
11
bronkospasme,
bronkorea, mual,
muntah, diare,
bradikardia
12
b. Pemeriksaan EKG
ACEP (American College of Emergency Physicians) merekomendasikan
untuk memperoleh elektrokardiogram dan kadar biomarker jantung pada pasien
di instalasi gawat darurat dengan keracunan CO sedang sampai berat Hasil
pemeriksaan jantung meliputi peningkatan kadar high sensitive troponin I
seringkali menunjukkan kardiomiopati, termasuk disfungsi global reversibel.
Iskemia miokard umum terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena
paparan CO moderat sampai berat dan merupakan prediktor kematian (Rahayu
M.& Solihat M.F, 2018).
13
c. Pupil miosis dan tidak reaktif. Hal tersebut merupakan reaksi farmakologi dimana
terjadi sedikit atau tidak sama sekali keterlibatan toleransi.
d. Tekanan darah 100/70 mmHg yang menunjukkan bahwa pasien mengalami tekanan
darah rendah atau hipotensi.
2.5.Patofisiologi
Opioid bekerja di dua tempat utama, yaitu pada susunan saraf pusat dan visceral.
Aktivasi reseptor opioid menyebabkan penghambatan neurotransmisi sinaptik dalam
sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer (PNS). Penatalaksanaan pada kasus
dimana Tn. P memiliki frekuensi pernapasan 12x/menit perlu dilakukan chin-lift, jaw-
thrust kemudian memasang ventilasi dengan bag-valve mask. Selain itu, penatalaksanaan
juga dilakukan dengan pemberian antidote seperti :
a. Naloxone : opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid membalikkan dan
memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2 menit. Half-life 20-60 menit dengan
durasi 2-3 jam.
b. Naltrexone : opioid antagonis yang lebih baru, half-life lebih lama dari naloxone yaitu
4-8 jam atau 8-12 jam. Tidak direkomendasikan untuk pasien yang tidak sadar. Bisa
digunakan untuk opioid withdrawal
c. Methadone : golongan narkotika kerja panjang yang sering digunakan untuk
melemahkan gejala withdrawal dan biasanya digunakan untuk opioid dependence atau
opioid addiction.
Opioid mengikat dan meningkatkan neurotransmisi di tiga kelas utama dari reseptor
opioid. Efek fisiologis opioid dimediasi terutama melalui µ dan reseptor kappa dalam SSP
dan saraf tepi. Reseptor µ memberikan efek analgesia, euforia, depresi pernapasan, dan
miosis, sedangkan reseptor kappa memiliki efek analgesia, miosis, depresi pernapasan,
dan sedasi. Dua reseptor opioid lain yang memediasi efek opioid tertentu, yaitu δ. Reseptor
Sigma memediasi disforia, halusinasi, dan psikosis.
Antagonis opioid (misalnya, nalokson, nalmefene, naltrexone) memiliki efek
berlawanan dengan keempat reseptor opiate tersebut. Opioid mengurangi persepsi nyeri,
bukan menghilangkan atau mengurangi stimulus yang menyakitkan. Agonis opioid yang
merangsang sedikit euforia, bekerja juga mengurangi sensitifitas terhadap rangsangan
eksogen. Opioid mudah diserap pada gastrointestinal dan mukosa pernafasan. Dalam
susunan saraf pusat opioid berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus,
14
talamus, hipotalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah
periakuaduktal, medulla oblongata dan medulla spinalis. Sedangkan pada sistem saraf
visceral opioid bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang
menyebabkan efek konstipasi.
Ketika ada konsentrasi tinggi obat di medulla dan batang otak karena reseptor opioid
di kedua tempat ini, ada penurunan sensitivitas pusat pernapasan otak untuk peningkatan
karbon dioksida, dan di medulla ada depresi irama pernafasan. Depresi pernafasan
disebabkan oleh reaksi reseptor primer (reseptor µ-opioid) yang diinhibisi langsung pada
pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit setelah
injeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi
kembali normal dalam 2-3 jam. Depresi pernafasan dengan overdosis akut akan lebih
parah ketika disertai dengan hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh dilatasi arteri perifer
dan vena akibat mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilisasi vasomotor dan
pelepasan histamin. Hipotensi biasanya terjadi pada tahap akhir keracunan dan akibat dari
hipoksia. Pada kasus overdosis opioid biasanya mengalami pengecilan pada pupil yang
disebut juga miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi pada nukleus Edinger Westtphal N.III.
Namun juga terdapat pada beberapa kasus overdosis pupil tidak dapat mengecil hal ini
dikarenakan adanya perubahan asfiksia akibat penurunan pertukaran oksigen paru.
(Pratiwi & Suharman, 2014).
15
2.6.Diagnosis Keperawatan
16
2 Objektif : Perubahan irama Penurunan
● Denyut nadi 108x/menit (Takikardi) jantung curah jantung
● Tekanan darah 100/70 mmHg
(Hipotensi)
● Sianosis
17
● Diameter thoraks mengi, weezing, ronkhi
anterior-posterior kering)
meningkat Rasional : Untuk mengetahui
● Tekanan ekspirasi bunyi napas normal atau tidak
meningkat dan mengetahui apakah ada
● Tekanan inspirasi sumbatan pada jalan napas
meningkat B. Terapeutik
● Frekuensi napas 1. Pertahankan kepatenan jalan
membaik napas dengan head-tilt dan
● Kedalaman napas chin-lift (jaw-thrust jika curiga
membaik trauma cervical)
Rasional : Untuk membuka
jalan napas pasien jika terjadi
sumbatan akibat benda asing,
darah, lidah, maupun cairan
2. Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
Rasional : Membantu
memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya
pernapasan
3. Berikan oksigen, jika perlu
Rasional : Untuk memenuhi
kebutuhan oksigen pada
pasien dan mengurangi rasa
sesak
MANAJEMEN OVERDOSIS
(I.14518)
A. Observasi
1. Monitor status respirasi,
jantung, gastrointestinal,
ginjal, dan neurologis
18
Rasional : Untuk mengetahui
kondisi tubuh dalam keadaan
normal
2. Monitor tanda-tanda vital
Rasional : Untuk mengetahui
TTV normal atau tidak
3. Monitor gejala spesifik dari
obat yang dikonsumsi (mis.
pupil menyempit, hipotensi,
dan bradikardi untuk overdosis
opiate; nausea, vomitus,
diaphoresis, nyeri kuadran
kanan atas 48-72 jam setelah
overdosis asetaminofen;
dilatasi pupil, takikardia,
kejang, dan nyeri dada pada
overdosis kokain)
Rasional : Untuk
mengidentifikasi dan
mengetahui penyebab pasien
overdosis sehingga dapat
diberikan intervensi yang tepat
B. Terapeutik
1. Pertahankan jalan napas
terbuka
Rasional : Agar pernapasan
pasien dapat berfungsi secara
maksimal
2. Atur posisi yang tepat (mis.
posisi semi-fowler jika sadar,
posisi rekumben lateral kiri
jika tidak sadar)
19
Rasional : Membantu
memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya
pernapasan
3. Lakukan skrining toksikologi
dan tes fungsi sistem (mis.
skrining obat urin dan serum,
gas darah arterial, kadar
elektrolit, enzim hati, nitrogen
urea darah, kreatinin), jika
perlu
Rasional : Untuk mengetahui
pasien mengalami overdosis
obat/zat jenis apa dan
mengetahui kondisi fungsi
sistem tubuh pasien
4. Bina hubungan baik dengan
pasien dan keluarga (mis.
gunakan pendekatan tidak
menghakimi)
Rasional : Agar pasien dan
keluarga merasa nyaman
dengan perawat
5. Berikan dukungan emosional
kepada pasien dan keluarga
Rasional : Agar pasien dan
keluarga mampu untuk
menerima serta menjalani
keadaan ini dengan lapang
dada
20
C. Edukasi
1. Anjurkan keluarga melakukan
perawatan lanjutan sesuai
kebutuhan pasien
Rasional : Agar keluarga
mampu membantu pasien
untuk memenuhi
kebutuhannya
2. Ajarkan cara meminimalkan
overdosis aksidental (mis.
simpan obat-obatan di dalam
wadah, atasi masalah konfusi
atau memori, dan simpan obat-
obatan jauh dari jangkauan
anak)
Rasional : Untuk
meminimalisir dan mencegah
kejadian overdosis aksidental
D. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian agen
spesifik (mis. antimetik,
nalokson, tiamin, glukosa,
flumazenil, kalsium,
vasopressor, antiaritmik,
inotropic)
Rasional : Pemberian agen
spesifik, seperti nalokson pada
kasus pasien ini dapat
memulihkan pernapasan yang
lambat menjadi normal
akibat opioid
21
2 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN ARITMIA (I.
jantung b.d. keperawatan selama 1x24 02035)
perubahan irama jam, diharapkan curah A. Observasi
jantung (D.0008) jantung klien dapat 1. Periksa onset dan pemicu
meningkat dengan kriteria aritmia
hasil (L.02008) : Rasional: Untuk mengetahui
● Kekuatan nadi perifer onset dan pemicu terjadinya
meningkat aritmia
● Takikardia menurun 2. Identifikasi jenis aritmia
● Gambaran EKG aritmia Rasional: Untuk mengetahui
menurun jenis aritmia
● Pucat/sianosis menurun 3. Monitor frekuensi dan durasi
● Tekanan darah aritmia
membaik Rasional: Untuk mengetahui
seberapa sering dan lama
aritmia
4. Monitor respon hemodinamik
akibat aritmia
Rasional: Untuk mengetahui
bagaimana pengaruh
hemodinamik pasien akibat
aritmia
B. Terapeutik
1. Berikan lingkungan yang
tenang
Rasional: Lingkungan yang
tenang akan membuat pasien
lebih rileks
2. Pasang monitor jantung
Rasional: Untuk mengetahui
kerja jantung
3. Rekam EKG 12 sadapan
22
Rasional: Untuk mengetahui
seluruh kondisi pada otot
jantung, sehingga akan
mempermudah diagnosis
kelainan jantung
C. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia,jika perlu
Rasional: Obat anti-aritmia
dapat menjaga irama jantung
teratur memaksimalkan
kebutuhan sirkulasi tubuh
2. Kolaborasi pemberian
kardioversi, jika perlu
Rasional: Untuk
mengembalikan detak jantung
abnormal ke ritma yang
normal
3. Kolaborasi pemberian
defibrilasi, jika perlu
Rasional: Untuk
mengembalikan detak jantung
yang tidak normal
23
● Nilai rata-rata tekanan Rasional: Untuk mengetahui
darah membaik penyebab dari peningkatan
● Tekanan darah sistolik TIK.
membaik 2. Monitor tanda atau gejala
peningkatan TIK (mis.tekanan
darah meningkat, tekanan nadi
melebar, bradikardia, pola
napas irreguler, kesadaran
menurun)
Rasional: Untuk mengetahui
tanda atau gejala dari
peningkatan TIK
3. Monitor MAP (Mean Arterial
Pressure)
Rasional: Untuk mengetahui
MAP pasien, agar homeostasis
tubuh tidak mengalami
gangguan
4. Monitor ICP (Intra Cranial
Pressure), jika perlu
Rasional: Untuk mengetahui
adanya perubahan tekanan
intrakranial
5. Monitor status pernapasan
Rasional: Untuk mengetahui
status pernapasan pasien
B. Terapeutik
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
Rasional: Lingkungan yang
tenang akan menurunkan
stimulus
24
2. Berikan posisi semi fowler
Rasional: Membantu
memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya
pernapasan
3. Cegah terjadinya kejang
Rasional: Dengan tidak
terjadinya kejang, dapat
mengurangi resiko kerusakan
motorik dan sensorik
4. Pertahankan suhu tubuh
Rasional: Agar tidak terjadi
kerusakan lebih lanjut
25
2.9.Mindmap
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Opioid merupakan salah satu jenis gangguan obat pereda nyeri yang dapat berikatan
secara spesifik dengan reseptor opioid di tubuh manusia yang dapat memberikan efek
analgesik kuat terhadap nyeri yang dirasakan. Intoksikasi obat merupakan kumpulan
gejala yang disebabkan oleh penggunaan opioid dalam dosis tinggi yang mengakibatkan
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku atau fungsi dan respon
psikofisiologis lainnya Penggunaan opioid yang berlebihan dapat menyebabkan kematian
dikarenakan opioid berefek langsung pada bagian otak yang mengatur pernapasan.
Adapun tanda dan gejala dari pasien dengan kasus overdosis opioid antara lain pupil bulat
kecil (Pinpoint pupil), ketidaksadaran, dan kesulitan bernapas.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk kedepannya
kami akan menjelaskan makalah secara lebih fokus dan detail dengan sumber yang lebih
banyak dan dapat dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat dibutuhkan oleh kami.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1. Jakarta: Persatuan Perawat Indonesia.
Weaver, L. et al. (2018). Naloxone Administration for Opioid Overdose Reversal in the
Prehospital Setting: Implications for Pharmacists. Journal of Pharmacy Practice;
31(1), 91–98.
29
MAKALAH
MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS 1
STUDI KASUS GAWAT DARURAT
Dosen Pengampu :
Ns.Nur Hafizhah Widyaningtyas ,S.Kep.,M.Kep
NIP. 199304202019032024
Disusun oleh :
Kelompok 4 Kelas A20.2
Aina Fijar Maharani 22020120120020
Nazilla Aqina Puteri Nismara 22020120140141
Alif Ramadhana Suwari 22020120140132
Ilham Unggul Pambudi 22020120130114
Dini Alviolita 22020120130092
Amalia Nur Annisa 22020120130090
Anisha Dyah Ayu A 22020120140152
Anjeli Widya Lutfia 22020120140159
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Gambaran Kasus
Tn M usia 24 tahun dibawa ke UGD pasca mengalami kecelakaan lalu lintas. Saksi
mata mengatakan bahwa pasien mengalami muntah darah, keluar darah dari hidung dan telinga.
Hasil pengkajian menunjukkan pasien mengalami penurunan kesadaran, mata tidak berespon
terhadap rangsang nyeri, mengerang, dan menarik tangan saat dirangsang nyeri, terdengar
suara gurgling, napas tidak teratur, irama cepat dan dangkal, ekspansi dada tidak seimbang
antara kanan dan kiri, bunyi napas hilang di paru sebelah kanan, frekuensi napas 36x/menit,
Tekanan Darah 90/60 mmHg, Nadi 130x/menit, nadi perifer teraba lemah, CRT >3 detik, akral
dingin, terlihat jejas pada dada dextra, ekstremitas atas dextra, ekstremitas bawah dextra,
kepala bagian temporal dextra dan cervical.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Istilah-Istilah dalam Kasus
1. Muntah darah
Muntah darah atau hematemesis adalah memuntahkan isi organ lambung
bersama darah atau hanya darah saja. Hematemesis tidak selalu merupakan tanda
kondisi medis yang serius. Kondisi ini juga bisa disebabkan oleh hal-hal kecil, seperti
kandidiasis atau tidak sengaja menelan darah dari mimisan.Namun, tidak jarang
hematemesis disebabkan oleh masalah pencernaan. Ketika seseorang muntah, itu
adalah tanda bahwa saluran pencernaannya berdarah.
Darah dapat terjadi akibat pendarahan, luka dalam, atau laserasi (pecahnya)
organ. Darah yang terkumpul di perut keluar dengan atau tanpa isi perut.Sangat sulit
untuk mengetahui apakah darah dalam muntahan itu ringan atau parah. Oleh karena
itu, hematemesis umumnya dianggap sebagai keadaan darurat yang membutuhkan
perhatian segera.
2. Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran adalah suatu kondisi yang ditandai dengan hilangnya
kesadaran atau penurunan kesadaran terhadap lingkungan. Akibatnya,klien tidak akan
dapat merespon dengan tepat. Kondisi ini bisa menjadi tanda kedaruratan yang
membutuhkan penanganan segera. Kehilangan kesadaran juga bisa bermanifestasi
sebagai pingsan karena otak tidak mendapatkan cukup darah. Sinkop umumnya
bersifat sementara dan mungkin tidak menunjukkan penyakit serius.
3. Suara gurgling
Gurgling adalah suara napas tambahan yang terjadi ketika pasien mengalami
obstruksi jalan napas. Kebisingan yang khas adalah suara seseorang yang sedang
berkumur karena adanya sumbatan berisi cairan seperti air, muntahan, atau darah.
4. Frekuensi napas
Frekuensi pernapasan normal adalah jumlah napas yang dihirup dalam 60 detik
atau 1 menit. Namun, tingkat pernapasan biasanya meningkat selama latihan. Seperti
dikutip dari Very Well Health, frekuensi pernapasan normal selama 60 detik
merupakan sinyal yang memberitahu tubuh untuk tetap bernapas. Ketika kadar
oksigen darah turun atau kadar karbon dioksida meningkat, tubuh bernafas lebih
sering.
4
5. Tekanan darah
Tekanan darah adalah tekanan darah yang menekan dinding arteri jantung. Pada
manusia, darah dipompa melalui dua sistem sirkulasi yang terpisah di hati, yaitu
sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik. Ventilasi jantung kanan memompa darah
yang mengurangi O2 ke paru-paru karena sirkulasi arteri pulmonalis di mana CO2 dan
O2 dilepaskan ke darah. Darah yang mengandung O2 kembali ke sisi kiri jantung, dari
ventrikel kiri aorta melalui sirkulasi sistemik, di mana ia disuplai ke seluruh tubuh.
Darah O2 yang terkandung melewati pembuluh darah arteri dalam darah, di jaringan
tubuh lebih sedikit O2 yang mengalir melalui pembuluh darah jaringan tubuh menuju
jantung. Tekanan darah diukur dalam milimeter air raksa (MmHg), dan dicatat sebagai
dua nilai yang berbeda, yaitu tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik. Tekanan
darah sistolik terjadi saat ventrikel berkontraksi, terjadi perdarahan arteri, sedangkan
tekanan darah diastolik terjadi saat ventrikel berelaksasi dan terisi darah dari atrium.
Tekanan darah rata-rata orang dewasa muda yang sehat sekitar 20 tahun adalah 120/80
mmHg.
6. Nadi
Denyut nadi manusia merupakan informasi penting untuk menentukan keadaan
fisiologis dan psikologis seseorang. Denyut nadi berhubungan langsung dengan
denyut jantung karena merupakan efek perubahan volume darah terhadap denyut nadi
yang disebabkan oleh aktivitas jantung. Seluruh tubuh bergerak secara teratur, dan
detak jantung berubah tergantung pada kondisi fisiologis dan psikologis yang
mempengaruhinya.
Denyut nadi adalah denyut atau getaran pembuluh darah akibat kontraksi
ventrikel kiri. Denyut nadi dirasakan dan dipalpasi pada permukaan kulit dekat arteri.
Denyut nadi ditemukan di beberapa area seperti pergelangan tangan (arteri radial),
leher (arteri serviks), kerutan lengan dekat siku (arteri brakialis), tulang paha, arteri
poplitea, dan bagian belakang kaki (Guyton dan). Hall, 2013).
7. CRT (Capillary Refill Time)
CRT adalah tes yang dilakukan secara cepat di area dasar kuku untuk memantau
kehilangan cairan tubuh dan jumlah aliran darah ke jaringan. CRT yang
berkepanjangan merupakan indikasi pasien kehilangan cairan. Ini diperkuat jika
disertai dengan turgor kulit dan pola pernapasan yang tidak normal. Namun, CRT
berkepanjangan juga harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan indikasi
5
klinis lainnya, seperti hemodinamik yang tidak stabil. CRT normal kurang dari 3 detik
(Asmadi, 2009).
8. Akral dingin
Dalam keadaan darurat, seperti keadaan darurat atau syok pasien, tubuh
menambahkan darah yang terkonsentrasi di organ-organ penting, mengurangi suplai
darah perifer. Darah yang membawa suhu tubuh juga membuat anggota tubuh lebih
dingin dan wajah lebih pucat saat pembuluh darah berkontraksi.
2.2. Pengkajian
Data Pengkajian
Tanggal Pengkajian
Tanggal Masuk
Ruang/Kelas
Nomor Register
Diagnosa Medis
A. Identitas Pasien
Nama : Tn M
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 24 tahun
Agama
Status Perkawinan
Alamat
Pekerjaan
B. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
a. Keluhan Utama
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
a. Riwayat Alergi
b. Riwayat Kecelakaan
c. Riwayat Pemakaian Obat
C. Pemeriksaan Fisik
1. Pengkajian Fisik Umum
a. Berat Badan
b. Tinggi Badan
c. Tekanan Darah : 90/60 mmHg
d. Nadi : 130 kali/menit
e. Frekuensi Nafas : 36 kali/menit
f. Suhu Tubuh
g. Kesadaran : tidak sadar
6
D. Pemeriksaan Penunjang (hasil pemeriksaan yang menunjang masalah : lab, radiologi,
endoskopi,dll)
E. Penatalaksanaan Medis
1. Cairan
2. Diet
3. Obat
7
dextra, ekstremitas
bawah dextra, kepala
bagian temporal dextra
dan cervical.
8
2.5. Diagnosa, Intervensi, dan Rasionalisasi
2.5.1 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan secret yang
berlebih, gumpalan darah yang menghalangi pernapasan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
O2 ke otak ditandai dengan penurunan kesadaran
4. Nyeri akut berhubungan dengan jejas pada dada dextra, ekstremitas atas
dextra, ekstremitas bawah dextra, kepala bagian temporal dextra dan
cervical.
9
dalam 8. Mengetahui
rentang perubahan SaO2 dan
normal, status hemodinamik
tidak ada
suara nafas
abnormal)
- Mampu
mengidentif
ikasi dan
mencegah
faktor yang
menghamba
t jalan nafas
10
6. Tidak ada 6. Amati tanda-tanda kebutuhan alat bantu
suara nafas hipoventilasi pernafasan
tambahan, 5. Pemberian oksigen
seperti untuk pernafasan
gurgling 6. Mendeteksi tanda-
tanda bahaya dan
gangguan pernafasan
lainnya
11
2. Akral di 3. Monitor tromboemboli 3. Mempertahankan
ekstremitas dan tromboflebitis pada volume darah normal
normal vena 4. Mengidentifikasi
3. Kekuatan defisiensi dan
denyut nadi kebutuhan
karotis pengobatan atau
normal respon terhadap terapi
4. Tidak ada yang sudah diberikan
mati rasa
c. Manajemen sensasi perifer
5. Tidak ada
kram dan 1. Untuk mengetahui
kelemahan perubahan suhu tubuh
otot secara tiba-tiba
2. Mengidentifikasi
defisiensi dan
kebutuhan
pengobatan atau
respon terhadap terapi
yang sudah diberikan
3. Identifikasi gangguan
pada pembentukan
bekuan darah di
pembuluh darah
12
an tindakan 6. Evaluasi keefektifan dari dan mengurangi
penguranga tindakan pengontrolan nyeri derajat nyeri
n tanpa 6. Identifikasi respon
7. Dukung istirahat/tidur
analgetik terhadap terapi yang
4. Melaporkan b. Pemberian analgesik sudah diberikan
perubahan 7. Mencegah klien dari
gejala nyeri 1. Cek perintah pengobatan keletihan
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah-itilah yang ada dalam kasus 4 antara lain nadi, tekanan darah, Capillary Refill Test,
akral dingin, muntah darah, penurunan kesadaran, gurgling dan frekuensi napas. Data
pengkajian yang harus dikaji lebih lanjut dari Tn. M yaitu identitas, riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan medis. Kasus yang mungkin
terjadi pada pasien yaitu Gangguan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, Gangguan Pola
nafas yang tidak efektif , Nyeri akut yang disebabkan oleh benturan pada saat kecelakaan dan
mengalami cedera yang menyebabkan luka ataupun memar , dan Gangguan kesadaran
(penurunan kesadaran). Diagnosis keperawatan yang ada pada pasien meliputi
ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas, ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer, dan nyeri akut. Dari diagnosa terebut dapat diambil intervensi keperawatan
yaitu monitor pernapasan, manajemen jalan napas, terapi oksigen, manajemen asam basa,
perawatan sirkulasi, manajemen sensasi perifer, manajemen nyeri, dan pemberian analgesik.
3.2 Saran
Perawat perlu memperhatikan kondisi pasien secara menyeluruh serta memprioritaskan upaya
untuk menyelamatkan pasien dan menstabilkan kondisi pasien. Critical thinking diperlukan
untuk menganalisis situasi serta melakukan tindakan secara tepat dan cepat.
14
MIND MAP
15
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. A., Danes, V. R., & Lintong, F. (2015). Analisa Hasil Pengukuran Tekanan
Darah Antara Posisi Duduk dan Posisi Berdiri Pada Mahasiswa Semester VII (Tujuh)
TA. 2014/2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. e-Biomedik, 3(1).
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC), Edisi 6. Philadelphia: Elsevier.
Caroline. (2021). Penyebab hilang kesadaran setelah kecelakaan. Alodokter. Diakses
pada tanggal 30 April 2022 dari https://www.alodokter.com/komunitas/topic/kepala-
terbentur-aspale15a87
Hapsari, H. P. (2017). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Hematemesis Melena
ec Sirosis Hepatis di IRNA Non Bedah Ruang Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil
Padang Tahun 2017.
Harsismanto. (2019). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien yang Mengalami
Trauma Thorak. Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
Hasibuan, M. A. (2017). Asuhan Keperawatan pada An. F dengan Masalah Kebutuhan
Dasar Rasa Aman dan Nyaman: Nyeri di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan
Polonia.
Herdman, T.H. (2018). NANDA International Nursing Diagnoses: definitions and
classification 2018-2020. Jakarta: EGC.
Irawan, D. (2021). Penurunan Kesadaran. Sehatq. Diakses pada tanggal 30 April 2022
dari https://www.sehatq.com/penyakit/penurunan-kesadaran
Lestari, D. A. (2021). Hematemesis (Muntah Darah). Hellosehat. Diakses pada tanggal
30 April 2022 dari https://hellosehat.com/pencernaan/muntah-darah/
Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, M.L., & Swanson, Elizabeth. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC), Edisi 5. Philadelphia: Elsevier.
Olang, S. O. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Tn. AH yang Menderita Anemia di
Ruang Komodo RSUD Prof. Dr. WZ Johannes Kupang (Doctoral dissertation, Poltekkes
Kemenkes Kupang).
Putri, N. H. (2021). Frekuensi Napas Normal Dalam 60 Detik pada Anak dan Dewasa. Sehatq.
Diakses pada tanggal 30 April 2022 dari https://www.sehatq.com/artikel/frekuensi-
napas-normal-dalam-60-detik-pada-anak-dan-dewasa
RESTIANINGSIH, U. (2019). Gambaran Klinis Pasien Hipertensi Di RSUD AJIBARANG.
Doctoral dissertation, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO.
Simanjuntak, M. A. (2017). Asuhan Keperawatan pada Tn. M dengan Gangguan
Kebutuhan Dasar Oksigenasi: Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSUD. dr.
Pringadi Medan.
Simatupang, L. S. S. (2020). Asuhan Keperawatan Pola Nafas Tidak Efektif Pada Bayi
Respiratory Distress Syndrome (Rds) Di Ruang Nicu Rsud Ibnu Sina Gresik (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Yunita, N. F. (2021). Resume Gurgling. Diakses pada tanggal 30 April 2022 dari
https://www.scribd.com/document/502749208/RESUME-GURGLING
16
TUGAS KELOMPOK STUDI KASUS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
DAN KRITIS I
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis I
NIP: 196005151983032002
Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2
menurun dan terjadi peningkatan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri (A-a) DO2.
hipoksemia adalah kondisi kadar oksigen di dalam darah kurang dari batas normal,
terutama pada pembuluh darah arteri. Dalam pemeriksaannya, hipoksemia ditentukan
melalui serangkaian tes, seperti pengukuran kadar oksigen dalam sampel darah dari arteri.
Oksigen arteri normal yaitu berkisar 75-100 mmHg, sedangkan nilai di bawah 60 mmHg
biasanya mengindikasikan bahwa tubuh membutuhkan oksigen tambahan. Gagal nafas tipe
ini terjadi pada kelainan pulmoner dan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia
terjadi akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri,
sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta.
Dalam kasus tersebut didapatkan hasil analis gas darah, yaitu pH 7,29; pCO2 42;
PaO2 118, FiO2 100%. Dikarenakan pH kurang dari 7,35 maka diinterpretasikan bahwa
analisis gas darah adalah asidosis. Hasil perhitungan rasio PaO2/FiO2 menunjukkan angka
118 dengan indikasi hipoksemia sedang yang berada pada rentang 100 mmHg <
PaO2/FIO2 < 200 mmHg. Adanya penurunan ventilasi menyebabkan suplai oksigen ke
dalam paru menjadi menurun yang mengakibatkan terjadi penumpukan CO2 dalam darah
akibat fungsi paru yang tidak optimal. Sehingga terjadi penumpukan CO2 dalam darah dan
menyebabkan darah bersifat asam.
6) FiO2
Fraksi oksigen yang dihirup (FiO2) adalah persentase oksigen yang dihantarkan
oleh ventilator ke pasien dengan range antara 21%-100% untuk mengoptimalkan
pertukaran gas pada pasien. Settingan FiO2 pada awal pemasangan ventilator
direkomendasikan sebesar 100% dan biasanya dipertahankan di bawah 0,5 bahkan dengan
ventilasi mekanis, untuk menghindari keracunan oksigen. Dalam analisis gas darah,
terdapat perhitungan rasio PaO2/FiO2 yang dilakukan untuk mengetahui status oksigenasi
pasien. Seorang pasien didiagnosis dengan ALI ketika rasio PaO2 / FiO2 antara 200 hingga
300 mmHg dan di diagnosis dengan ARDS ketika rasio PaO2 / FiO2 kurang dari atau sama
dengan 200 mmHg. Pada kasus di atas hasil analisis gas darah pasien memiliki PaO2 118
mmHg dan FiO2 100%, sehingga rasio PaO2 / FiO2 sebesar 118.
7) Ronchi
Ronchi digambarkan sebagai suara yang mirip dengkuran. Kondisi ini muncul saat
udara tersumbat atau aliran udara menjadi kasar ketika melalui saluran udara yang besar.
8) Hipertensi
Hipertensi adalah pengertian medis dari penyakit tekanan darah tinggi. Kondisi ini
dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi kesehatan yang membahayakan nyawa
jika dibiarkan. Bahkan, gangguan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
penyakit jantung, stroke, hingga kematian.
Tekanan darah yang tinggi dalam waktu yang lama akan mengakibatkan
komplikasi hipertensi, salah satunya adalah komplikasi hipertensi pada jantung dan
pembuluh darah yang meliputi penyakit jantung koroner, gagal jantung, gangguan irama,
diseksi aorta, maupun penyakit pembuluh darah tepi. Penyakit jantung koroner adalah
suatu penyakit ketika ada penyumbatan parsial aliran darah ke jantung yang ditandai
dengan nyeri dada, rasa tertekan, berat dan terbakar di dada, rasa mual atau nyeri ulu hati,
keringat dingin, serta nyeri/ rasa tidak nyaman di dada seperti ditindih lebih dari 20 menit.
Sedangkan gagal jantung adalah kondisi saat otot jantung menjadi sangat lemah sehingga
tidak bisa memompa cukup darah ke seluruh tubuh pada tekanan yang tepat dan ditandai
dengan penderita mudah lelah, sesak nafas saat beraktivitas maupun saat istirahat serta
kaki bengkak. Penyakit lain akibat komplikasi hipertensi adalah gangguan irama atau
fibrilasi atrium yaitu masalah pada irama jantung ketika organ tersebut berdetak terlalu
cepat, terlalu lambat, atau tidak teratur yang ditandai dengan berdebar, sesak nafas,
kelelahan, pusing dan pingsan. Sedangkan diseksi aorta adalah keadaan yang berbahaya di
mana dinding aorta, yaitu dinding pembuluh darah utama jantung, robek dan akhirnya
mengakibatkan pemisahan dan ditandai dengan nyeri dada depan seperti ditusuk, nyeri
dada tembus punggung, nyeri perut, nyeri tungkai serta kelumpuhan anggota gerak.
Berbeda dengan penyakit jantung lainnya, penyakit pembuluh darah tepi adalah kondisi
dimana aliran darah ke tungkai tersumbat akibat penyempitan pembuluh darah yang berasal
dari jantung (arteri). Dampaknya, tungkai yang kekurangan pasokan darah akan terasa
sakit, terutama saat berjalan. Penyakit ini ditandai dengan nyeri pergelangan kaki jika
berjalan, kelemahan tungkai, tungkai dingin, perubahan warna kaki/kulit pucat dan adanya
koreng di kaki.
9) Diabetes
Diabetes atau diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien
DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
● Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
● Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Komplikasi yang terjadi akibat penyakit DM dapat berupa gangguan pada pembuluh darah baik
makrovaskular maupun mikrovaskular, serta gangguan pada sistem saraf atau neuropati.
10) PCO2
PCO2 (tekanan parsial karbon dioksida) adalah ukuran tekanan karbon dioksida yang
terlarut dalam darah, hal ini menunjukkan seberapa baik CO2 dapat mengalir keluar dari
tubuh. Normalnya, dalam gas darah arteri 35-45 mmHg sedangkan dalam gas darah vena
41-51 mmHg.
11) PaO2
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah oksigen yang
terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan paru-paru dalam menyediakan
oksigen bagi darah. Nilai normal (suhu kamar, tergantung umur) 75-100 mmHg.
Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik, PPOK,
penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat gangguan fisik atau neuromuskular
dan gangguan fungsi jantung. Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan
perhatian khusus.
Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran O2 oleh alat
bantu, contohnya nasal prongs, alat ventilasi mekanik hiperventilasi dan polisitemia,
peningkatan sel darah merah dan daya angkut oksigen.
12) Frekuensi napas
Jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernapas disebut sebagai
frekuensi pernapasan. Pada umumnya, frekuensi pernapasan manusia (lansia) setiap
menitnya sebanyak 15-18 kali .. Frekuensi napas disesuaikan dengan usaha pasien untuk
bernapas. Frekuensi pernapasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
1) Usia
Semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin rendah frekuensi pernapasannya
karena berhubungan dengan energi yang dibutuhkan.
2) Jenis kelamin
Pada umumnya pria memiliki frekuensi pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita karena kebutuhan akan oksigen serta produksi karbondioksida pada pria
lebih tinggi dibandingkan wanita.
3) Suhu tubuh
Semakin tinggi suhu tubuh seseorang maka akan semakin cepat frekuensi
pernapasannya karena adanya peningkatan proses metabolisme yang terjadi dalam
tubuh.
4) Posisi atau kedudukan tubuh
Penyebab perubahan frekuensi pernapasan yaitu berhubungan dengan energy yang
dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai tumpuan berat tubuh maka frekuensi pernapasan
ketika sedang duduk akan berbeda dibandingkan dengan ketika sedang berjongkok atau
berdiri.
Di dalam kasus tersebut didapatkan bahwa frekuensi nafas pada lansia tersebut
adalah 25 kali sehingga mengalami takipnea
13) Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan pada pembuluh nadi dari peredaran darah sistemik di
dalam tubuh manusia. Tekanan darah adalah daya yang diperlukan agar darah dapat
mengalir di dalam pembuluh darah dan beredar mencapai seluruh jaringan tubuh manusia
(La Ode Alifariki). Tekanan darah dibedakan antara tekanan darah sistolik dan tekanan
darah diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah ketika menguncup (kontraksi)
sedangkan, tekanan darah diastolik adalah tekanan darah ketika mengendur kembali
(relaksasi). Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana tekanan darah akan
lebih tinggi ketika seseorang melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika sedang
beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda paling tinggi di waktu pagi hari
dan paling rendah pada saat tidur malam hari (Sigarlaki, 2006).
Dilihat dari kasus diatas bahwa lansia umur 60 tahun memiliki tekanan darah
rendah yaitu 100/60 mmHg
16) Auskultasi
Auskultasi adalah ketrampilan untuk mendengar suara tubuh pada paru-paru,
jantung, pembuluh darah dan bagian dalam/viscera abdomen.Umumnya, auskultasi adalah
teknik terakhir yang digunakan pada suatu pemeriksaan, kecuali pada abdomen. Pada
pemeriksaan abdomen, auskultasi dilakukan setelah inspeksi, sebelum palpasi dan perkusi,
agar suara usus tidak terganggu palpasi/perkusi yang dilakukan. Suara-suara penting yang
terdengar saat auskultasi adalah suara gerakan udara dalam paru-paru, terbentuk oleh
thorax dan viscera abdomen, dan oleh aliran darah yang melalui sistem kardiovaskular.
Auskultasi dilakukan dengan stetoskop. Berikut ini adalah beberapa macam suara napas
tambahan :
Pada pernapasan normal tidak ditemukan suara tambahan, jika ditemukan suara
tambahan indikasi ada kelainan,adapun suara tambahan adalah :
1) Rales/Crackles
Bunyi yang dihasilkan oleh eksudat lengket saat saluran halus pernapasan
mengembang dan tidak hilang, suruh pasien batuk, sering ditemui pada pasien
dengan peradangan paru seperti TBC maupun pneumonia.
2) Ronchi
Bunyi dengan nada rendah, sangat kasar terdengar baik inspirasi maupun ekspirasi
akibat terkumpulnya secret dalam trachea atau bronchus sering ditemui pada pasien
oedema paru, bronchitis.
3) Wheezing
Bunyi musical terdengar “ngii...” yang bisa ditemukan pada fase ekspirasi maupun
ekspirasi akibat udara terjebak pada celah yang sempit seperti oedema pada
bronchus.
17) Ekstremitas
Ekstremitas atau sering disebut anggota gerak, adalah perpanjangan dari anggota
tubuh utama (misalnya kaki-kaki serangga yang merupakan perpanjangan dari abdomen),
atau juga merupakan anggota tubuh prehensilitas atau anggota tubuh yang digunakan untuk
mencengkram/memegang.
A. Ekstremitas Atas
Ekstremitas atas terdiri dari beberapa bagian besar tulang dan bagian penyambung
antara tulang satu dengan yang lainnya yaitu clavicula, scapula, humerus, siku (olecranon),
radius, ulna, carpal, metacarpal dan phalanges. penyambungannya terdapat beberapa
diantaranya shoulder joint, elbow, dan wrist join.
B. Ekstremitas Bawah
Anantomi ekstremitas bawah terdiri atas regio glutea, tungkai atas (paha), lutut,
tungkai bawah, pergelangan kaki, dan kaki. Fungsi utama dari ekstremitas atas adalah
menyokong berat badan dan menjadi tumpuan yang menstabilkan tubuh saat dalam
keadaan berdiri, berjalan, dan berlari .
B. Sebutkan data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut/dilengkapi pada kasus.
1) Identitas pasien
a. Nama : Tn. ( Tidak tertulis dalam kasus)
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Usia : 60 Tahun
d. TTL : (Tidak tertulis dalam kasus)
e. Pendidikan, Pekerjaan, Agama, Suku, Alamat, Diagnosa Medis (Tidak tertulis
dalam kasus
- Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan BGA: pH 7,29; pCO2 42; PaO2 118, FiO2 100%.
b. Pemeriksaan foto thorax
c. Elektrokardiografi (EKG)
d. Pemeriksaan Darah lengkap
2) Pengkajian Primer
A. Airway
Terdengar suara ronchi di kedua lapang paru pasien.
B. Breathing
Pasien mengalami sesak napas dan terpasang ventilator mode SIMV dengan PEEP
5 cmH2O.
C. Circulation
Pasien terlihat pucat, ekstremitas teraba dingin dan lembab,
D. Disability
(Tidak tertulis dalam kasus)
E. Exposure
(Tidak tertulis dalam kasus)
3) Pengkajian sekunder
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sesak, batuk kering, demam nyeri otot dan kelelahan
2. Riwayat Penyakit
Hipertensi dan diabetes
3. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum :
2) Tanda vital :
- TD : 100/60 mmHg
- HR : 112x/menit
- RR : 25x/menit
- Suhu : 38,9 C
- SpO2 : 92%
3) Pemeriksaan head to toe :
- Kulit
Inspeksi : terlihat pucat, demam, dan suhu 38,9 C
- Thorax
Inspeksi : memiliki keluhan sesak, batuk kering
Auskultasi : terdengar ronchi di kedua lapang paru
- Ekstremitas
Palpasi : ekstremitas teraba dingin dan lembab
C. Jelaskan kasus apa yang kemungkinan terjadi pada pasien!
1) Pneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan bawah akut
(ISNBA) dengan gejala batuk dengan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen
infeksius seperti Virus, Bakteri, Mycoplasma (fungi), Dan aspirasi substansi asing, berupa
radang paruparu yang sertai eksudasi dan konsolidasi. (Nanda 2015) Pneumonia
merupakan istilah umum yang menandakan inflamasi pada daerah pertukaran gas dalam
pleura; biasanya mengimplikasikan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi.
(Caia Francis, 2011). Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang umumnya
disebabkan oleh agens infeksius (Brunner & suddarth 2012).
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik
non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak
darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih
suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat bernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction
rub.
Pada kasus pasien memiliki keluhan sesak dan batuk kering, demam dengan hasil
pemeriksaan suhu diperoleh 38,9 C, terdapat nyeri otot dan setelah dilakukan auskultasi
dada terdengar ronchi di kedua lapang paru. Pasien juga mengalami takipnea dibuktikan
dari hasil frekuensi nafas yaitu 25x/menit. Gejala tersebut dapat dimanifestasikan adanya
pneumonia.
Biasanya dalam analisa gas darah ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada
beberapa kasus, tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada stadium lanjut
menunjukkan asidosis respiratorik. Dalam kasus, hal ini dibuktikan dari hasil pemeriksaan
BGA: pH 7,29; pCO2 42; PaO2 118.
Pneumonia yang dialami oleh pasien tersebut diperkuat dengan adanya riwayat
penyakit pasien yaitu hipertensi dan diabetes. Dalam penelitian Sari et al (2016),
didapatkan bahwa penyakit diabetes melitus menjadi komorbid kedua tertinggi pada pasien
lanjut dengan pneumonia. Pada pasien dengan pneumonia, maka akan terjadi gangguan
oksigen dari paru-paru ke pembuluh darah yang akan mempengaruhi P/F Ratio, yaitu
ketika alveoli terisi oleh pus dan cairan yang akan membuat sulit bernafas dan mengurangi
masuknya oksigen, sehingga timbul masalah gagal nafas pada pasien pneumonia
(Banavasi, 2020). Pada sebuah jurnal juga menunjukkan bahwa hipertensi adalah penyakit
penyerta yang sering terjadi pada pasien gagal nafas dan pada penderita diabetes melitus
ditemukan sebanyak 24 pasien (21,6%) dari 114 pasien (Elhidsi et al, 2021).
2) Hipoksia
Hipoksia merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tingkat oksigenasi di
jaringan yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob
pada sel. Hipoksia terjadi saat oksigen tidak sampai ke sel dan jaringan. Hipoksia dapat
terjadi karena kurangnya kadar oksigen pada darah arteri (Hipoksemia), gangguan
transport oksigen (Seperti pada pasien anemia atau gangguan jantung), dan peningkatan
kebutuhan oksigen (Misalnya pada pasien hipermetabolisme, stress fisik, stress psikis).
Menurut Marianti (2017), hipoksia merupakan kondisi kurangnya pasokan oksigen di sel
dan jaringan tubuh untuk menjalankan fungsi normal oleh karena itu dapat mempengaruhi
saturasi oksigen. Hipoksia merupakan kondisi berbahaya karena dapat mengganggu fungsi
otak, hati, dan organ lainnya dengan cepat.
Akibat dari turunnya kadar oksigen pada jaringan menimbulkan keluhan dan gejala
seperti, kelelahan, nyeri otot, kecemasan, pusing, penurunan tingkat kesadaran, penurunan
konsentrasi, kelemahan, peningkatan tanda-tanda vital, disritmia, pucat, sianosis, clubbing,
dan dispnea.
Pendeteksian gejala hipoksia dapat dilakukan dengan melakukan deteksi detak
jantung, Sp02, volume serta irama pernafasan. Pada penelitian ini detak jantung digunakan
untuk mengetahui gejala. Untuk kisaran jantung normal yaitu 60-100 beats-per-minute.
Jika keadaan jantung tidak seperti kisaran yang telah ditentukan, maka orang tersebut
terkena hipoksia (Utomo. et al., 2019). Sp02 mempunyai presentasi <90% dan dapat
dijadikan sebagai parameter untuk mengetahui gejala hipoksia (Ristanto. et al., 2018).
Volume dan irama pernapasan dapat dijadikan untuk deteksi gejala hipoksia dengan
melihat pendek, cepat dan nafas tidak beraturan diatas rata-rata orang normal (Kunaedi. et
al., 2018)
Pada kasus diatas pasien mengalami gagal napas hipoksemia akut dimana bila
hipoksemia tidak teratasi maka akan berlanjut menjadi kondisi hipoksia. Berkurangnya
kandungan oksigen dalam darah (hipoksemia) akan merangsang saraf simpatis, yang
berpengaruh pada jantung sehingga menyebabkan takikardi (Guyton & Hall, 2012), hal ini
ditandai pada pasien yaitu dengan hasil pemeriksaan nadi 112 x/mnt. Hasil pemeriksaan
saturasi oksigen (SpO2) pasien yaitu 92%, serta takipnea yang dialami oleh pasien yang
ditunjukkan dengan hasil frekuensi napas yaitu 25x/menit juga turut mendukung adanya
tanda dan gejala terdapatnya hipoksia.
3) Asidosis respiratorik
4) Henti Jantung
Cardiac arrest atau yang biasa dikenal henti jantung merupakan suatu kondisi
dimana terjadinya kegagalan organ jantung untuk mencapai curah jantung yang adekuat,
yang disebabkan oleh terjadinya asistole (tidak adanya detak jantung) maupun disritmia
(Park et al., 2020). Henti jantung dapat juga dikatakan sebagai henti sirkulasi. Karena
dalam (Ngurah & Putra, 2019) menyebutkan bahwa henti jantung terjadi ketika jantung
telah berhenti berdetak yang menyebabkan terhentinya aliran darah di tubuh sehingga
mengakibatkan tidak teralirkannya oksigen ke seluruh tubuh. Tidak ada nya pasokan
oksigen dalam tubuh akan berdampak fatal, yaitu kerusakan otak.
Henti jantung disebabkan karena adanya gangguan pada kelistrikan jantung yang
menyebabkan keadaan-keadaan mengancam jiwa misalnya seperti aritmia maligna atau
adanya masalah pada irama jantung. Selain itu, cardiac arrest atau henti jantung juga dapat
dipicu oleh kelainan yang reversible, seperti hipoksia hipovolemia, hipotermia, tension
pneumothorax, tamponade cardiac, dan hydrogen ion (asidosis).
Pada kasus diatas pasien mengalami gagal napas hipoksemia akut dimana bila
hipoksemia tidak teratasi maka akan berlanjut menjadi kondisi hipoksia. Menurut (Della,
Nadea Salsa, 2021) Henti jantung dapat disebabkan karena hipoksia. Pemutusan
pemasokan oksigen di otak dan seluruh organ dapat dikatakan sebagai penyebab ataupun
konsekuensi dari henti jantung. Hipoksia pada kasus diatas dapat disebabkan karena
adanya hipoksemia yang tidak teratasi atau berkelanjutan.
Faktor yang juga dapat memicu terjadinya henti jantung pada pasien adalah adanya
riwayat hipertensi dan diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi saraf dan menyebabkan
serangan jantung yang tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak disadari oleh pasien.
Peristiwa ini disebut serangan jantung hening atau senyap, yang berarti mungkin tidak ada
tanda peringatan atau gejalanya sangat ringan. Tingginya kadar gula darah, dapat membuat
pembuluh darah menjadi rusak dan menyebabkan komplikasi penyakit jantung serius.
Sedangkan hipertensi dapat membuat pembuluh darah menjadi kurang elastis. Akibatnya,
aliran darah dan oksigen ke jantung berkurang. Kurangnya aliran darah ke jantung dapat
menyebabkan nyeri dada atau angina, serangan jantung, hingga gagal jantung.
D. Jelaskan patofisiologi kasus tersebut dalam bentuk pathway! 2 orang nasa , rahmy
E. Susun diagnosa keperawatan yang dapat muncul beserta intervensinya. Urutkan sesuai
prioritas!
1. Diagnosa Keperawatan
Nama Klien : Tn. xx
Umur : 60 tahun
No. Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif b.d Pola Napas (L.01004) Manajemen Jalan Nafas
hambatan upaya napas Setelah dilakukan tindakan (I.01011)
keperawatan diharapkan Observasi
inspirasi dan atau ekspirasi ● Monitor pola nafas
yang memberikan ventilasi (frekuensi, usaha
adekuat membaik. nafas)
● Monitor bunyi nafas
Kriteria hasil: tambahan (ronchi)
● Kapasita vital Terapeutik
meningkat ● Posisikan semi
● Frekuensi napas Fowler atau Fowler
membaik Edukasi
● Tekanan ekspirasi ● Ajarkan teknik batuk
meningkat efektif
● Tekanan inspirasi
meningkat
● Kedalaman napas
membaik
● Ventilasi semenit
meningkat
Manajemen Ventilasi
Mekanik (I. 01013)
Observasi
● Monitor efek
ventilator terhadap
status oksigenasi
● Monitor efek negatif
ventilator
● Monitor gejala
peningkatan
pernafasan
(L.08066) (I.08238)
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian
analgesik
Pemberian Analgesik
(I.08243)
Observasi
● Identifikasi riwayat
alergi obat
● Identifikasi
kesesuaian jenis
analgesik dengan
keparahan nyeri
● Monitor efektivitas
analgesik
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis
dan jenis analgesik
(I.01013)
- Memonitor efek dari
ventilator setelah
menggunakan ventilator
- Mengatur posisi kepala
pasien untuk mencegah
aspirasi
- Mengkolaborasi pemilihan
mode ventilator
Observasi ( I. 01013 )
● Monitor efek ventilator terhadap
status oksigenasi - Memonitor status oksigenasi
● Monitor efek negatif ventilator dari efek ventillator setelah
● Monitor gejala peningkatan digunakan
pernafasan - Mengetahui efek
negatif dari ventilator
- Mengetahui gejala yang
bisa
menyebabkan peningkatan
pernafasan
Budi, D. B. S., Maulana, R., dan Fitriyah, H. (2018). Sistem Deteksi Gejala Hipoksia Berdasarkan
Saturasi Oksigen dan Detak Jantung Menggunakan Metode Fuzzy Berbasis Arduino.
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 3 (2). 1925-1933.
Brunner & Suddarth. 2012. Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC.
Della, N. S. (2021). Studi Literatur: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resusitasi Jantung
Paru (RJP) Berkualitas Tinggi pada CPR Training (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah
Elhidsi, M., Fachrucha, F., & Yudha Irawan , R. (2021). N-Acetylcysteine for COVID-19: A
Potential Adjuvant Therapy. Journal of Health Sciences, 11(1), 1–6.
https://doi.org/10.17532/jhsci.2020.1156
Francis, Caia, 2012. Perawatan Respirasi. Dialih bahasakan oleh Stella Tiana Hasianna.
Jakarta : Erlangga
Guyton, Arthur. C, Hall, John. E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan oleh:
Irawati dkk. EGC. Jakarta, Indonesia. Hal. 102-126
Guyton and Hall. 2007 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta: EGC. 244-57
Kunaedi, A., dan Anissa’baniyah, S. N. 2018. Uji Hipoksia Asap Rokok Tembakau Dan
Rokok Elektrik Terhadap Mencit Putih Jantan (Mus musculus). Medical Sains. 3 (1). 43-
50.
Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5): 360-6
Ristanto, R., dan Zakaria, A. 2018. AKURASI OXYGEN SATURATION (SpO2) SEBAGAI
PREDIKTOR MORTALITY PADA KLIEN CEDERA KEPALA. Jurnal Kesehatan
Mesencephalon, 4(2). 94-98
Saehu, A. 2016. Studi Perbandingan Kecepatan Denyut Nadi Pada Orang Yang Tinggal di Daerah
Pantai dan Daerah Pegunungan. Skripsi, UIN ALAUDDIN: Makasar
Sari, H. P., Dardjito, E., & Anandari, D. (2016). Anemia gizi besi pada remaja putri di wilayah
Kabupaten Banyumas. Jurnal Kesmasindo, 8(1), 15-33. Retrieved from http://jos.unsoed.
ac.id/index.php/kesmasindo/article/view/138/127
Sigarlaki, H.J (2006). KARAKTERISTIK DAN FAKTOR BERHUBUNGAN DENGAN
HIPERTENSI DI DESA BOCOR , KECAMATAN BULUS PESANTREN,
KABUPATEN KEBUMEN, JAWA TENGAH, TAHUN 2006. Makara
Kesehatan,10(2),78-88.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Utomo, A. S., Negoro, E. H. P., dan Sofie, M. 2019. MONITORING HEART RATE DAN
SATURASI OKSIGEN MELALUI SMARTPHONE. Simetris: Jurnal Teknik Mesin,
Elektro dan Ilmu Komputer. 10(1). 319-324.
Viswanatha, P. A., & KAH, P. (2017). Keseimbangan Asam Basa. Gangguan
Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, 60-71.
2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di
Indonesia. PB PERKENI.
MAKALAH STUDI KASUS
NIP. 198212312008122001
Kelompok 6 (A20.2)
Anggota :
1. Nikmatussofah (22020120120028)
4. Saniatuzzahro (22020120120022)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah studi kasus mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan
Kritis 1 dengan tepat waktu.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ns. Reni Sulung Utami, S.Kep.M.Sc selaku
dosen pembimbing pada tugas kelompok ini. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca terkait kasus pada pasien kritis yang
ada dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan saran untuk dapat menyempurnakan makalah ini. Penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan di dalam makalah ini. Demikian yang dapat penulis
sampaikan, terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
2
1.4.4 Bagi Pasien DM
Makalah ini harapannya dapat membuat pasien termotivasi dalam pengobatan dan
penyembuhan dari gangguan yang ada sesuai dengan apa yang diberikan oleh
tenaga kesehatan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Ny B (53 th), ditransfer dari UGD ke ICU. Pasien bernafas cepat dan dalam
(28x/menit), gelisah, tercium bau tidak sedap dari luka yang ada di kakinya. Hasil
wawancara dengan suaminya didapatkan data sebagai berikut: Ny. B memiliki riwayat DM
sejak 15 th yang lalu, 3 minggu yang lalu klien jatuh dengan luka di kaki. Empat hari
sebelum masuk UGD, Ny B mengeluh nyeri abdomen dan mual dengan disertai muntah.
Dua hari sebelumnya klien berhenti memakai insulin dengan alasan dia tidak makan
apapun. Meskipun klien mengeluh kesakitan di kakinya tapi dia melarang suaminya untuk
menghubungi dokter. Lebih dari seminggu, kakinya bengkak, merah dan tercium bau tidak
sedap. Klien tidak buang air kecil sejak 8 jam terakhir kemudian klien terus mengalami
penurunan kesadaran dan disorientasi. Hasil pengkajian fisik didapatkan: GCS 6, RR 34
x/mnt, TD 88/64 mmHg, nadi 115 x/mnt, suhu 38,9 °C, kulitnya kering, panas dan
kemerahan, vena jugularis kolaps. Hasil Laboratorium : FiO2 60%; 14 mE pH 7,2 ; PCO2
28mmHg; PO2 88 mmHg; HCO3 14 mEq/L; GDS 400 mg/dL; ketones (+), Na 110 mEq/L;
Cl 95 mEq/L; K 5,8 mEq/L; Ca 8,3 mEq/L; Anion Gap 19 mEq/L; Hb 15,4 mEq/L; Ht
48,2%.
4
2. Insulin
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Insulin memiliki fungsi yang sangat penting dan luas
dalam mengendalikan sistem metabolisme tubuh yaitu untuk mengatur keseimbangan
kadar gula dalam darah. Kekurangan hormon ini akan menyebabkan penyakit diabetes
yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah.
3. Disorientasi
Disorientasi adalah gangguan orientasi akibat gangguan kesadaran yang dapat
menyangkut waktu (tidak tahu-menahu tentang jam, hari, bulan dan tahun), tempat
(tidak tahu-menahu dimana dia berada), atau orang (tentang dirinya sendiri atau orang
lain, tidak tahu identitasnya atau salah menafsirkan identitas orang lain).
4. GCS
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan alat untuk mengukur tingkat kesadaran
pada pasien dengan melibatkan 3 komponen yaitu respon mata, respon verbal dan
respon motorik dengan skor total terdiri atas 15 poin. Pada pengukuran GCS dapat
diklasifikasikan sebagai ringan (skor GCS 14- 15), sedang (skor GCS 9-13), dan berat
(skor GCS ≤ 8). Skor GCS total tersebut dapat berfungsi untuk memberikan gambaran
dari keseluruhan tingkat keparahan yang dimiliki pasien.
5. Vena jugularis kolaps
Vena jugularis kolaps merupakan suatu keadaan di mana vena jugularis
mengalami penurunan pengisian darah ketika seseorang sedang berada pada posisi
berdiri atau duduk tegak (Holmlund, et al., 2017). Adanya kondisi vena jugularis kolaps
yang terjadi dalam kasus tersebut dapat menunjukkan bahwa pasien mengalami syok
hipovolemik.
6. FiO2 (Fraction Of Inspired Oxygen)
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) adalah persentase oksigen yang
dihantarkan dengan rentang antara 21%-100% yang berfungsi untuk mengoptimalkan
pertukaran gas pada pasien.
7. pH (Power of Hydrogen)
Pengaturan kadar ion hidrogen/H+ (pH) di dalam cairan tubuh merupakan sudut
pandang terpenting yang berkaitan dengan keseimbangan asam basa tubuh karena
setiap perubahan pH dapat mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme dan fungsi
organ. Nilai pH darah adalah nilai tertentu yang digunakan untuk menunjukkan
5
keasaman atau kealkalinan/kebasaan darah dengan nilai rujukan 7,35–7,45. Nilai pH
<7,35 disebut asidemia, dan nilai pH >7,45 disebut alkalemia.
8. PCO2
PCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 yang terlarut dalam
plasma. Nilai CO2 berfungsi untuk menentukan ada atau tidaknya gangguan
keseimbangan asam basa pada komponen respiratorik. Nilai normal PCO2 yaitu 35- 45
mmHg.
9. PO2
PO2 merupakan tekanan parsial oksigen di dalam darah arteri. Tekanan parsial
oksigen darah arteri dapat diukur dengan analisis gas darah. Kadar normal PO2 adalah
80-100 mmHg.
10. HCO3 (bikarbonat)
HCO3 (bikarbonat) berperan sebagai komponen basa dan disebut juga sebagai
komponen metabolik. Nilai normal dari HCO3 berada dalam rentang 22-26 mEq/L.
Apabila nilai HCO3 lebih rendah dari normal, maka tubuh akan mengalami kondisi
asidosis metabolik dan apabila nilai HCO3 lebih tinggi dari normal, maka tubuh akan
mengalami kondisialkalosis metabolik.
11. GDS
Gula darah sewaktu (GDS) merupakan parameter pemeriksaan kadar gula darah
yang dapat diukur setiap saat tanpa memperhatikan waktu pasien terakhir kali makan.
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui kadarglukosa darah secara cepat
dan tepat. Kadar gula darah normal pada saat pemeriksaan GDS adalah <200 mg/dl.
12. Keton
Keton merupakan produk dari pemecahan asam lemak. Keberadaan keton
dalam urin menandakan bahwa tubuh menggunakan lemak sebagai energi. Pada saat
tubuh mengalami kelaparan dimana jumlah karbohidrat tidak mencukupi sebagai
energi, asam lemak akan diubah menjadi badan keton yang kemudian beredar dalam
darah, proses pembentukan keton disebut sebagai ketogenesis. Suatu keadaan dimana
jumlah keton yang diproduksi melebihi jumlah normal disebut sebagai ketosis, yang
kemudian dapat ditemukan dalam darah yang dikenal sebagai ketonemia atau dalam
urin sebagai ketonuria.
13. Na (Natrium)
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L)
6
berada dalam cairan intrasel. Natrium berfungsi untuk mengatur volume cairan,
mengatur keseimbangan cairan, mengatur osmolaritas (khususnya dalam bentuk
natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3)), dan untuk mengatur
tekanan darah.
14. Cl (Klorida)
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Sekitar 88% klorida
berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan intrasel. Pemeriksaan
konsentrasi klorida dalam plasma berguna sebagai diagnosis banding pada gangguan
keseimbangan asam-basa, dan menghitung anion gap. Nilai normal kadar klorida
adalah 95-105 mEq/L.
15. K (Kalium)
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel. Kadar
kalium normal yaitu 3,5 - 5,3 mEq/L. Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan
jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan
jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak-anak.
16. Ca (Kalsium)
Kalsium merupakan mineral penting yang paling banyak dibutuhkan oleh tubuh
manusia dibandingkan dengan mineral yang lainnya. Fungsi kalsium dalam tubuh
adalah untuk membantu proses pembentukan tulang dan gigi serta untuk mengukur
proses biologis yang terjadi di dalam tubuh seperti proses pembekuan darah,
mempertahankan kepekaan normal jantung, otot dan saraf, serta dalam aspek
permeabilitas membran yang berlainan.
17. Anion Gap
Anion gap merupakan selisih antara jumlah anion dan kation di dalam tubuh
serta menunjukkan kadar anion lemah tidak terukur dalam plasma yang sebagian besar
merupakan albumin. Perhitungan anion gap membutuhkan data kadar elektrolit,
bikarbonat dan kemudian dikoreksi terhadap kadar albumin pasien.
18. Hb (Hemoglobin)
Hemoglobin (Hb) merupakan protein dalam sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Hemoglobin dapat
meningkat ataupun menurun. Penurunan kadar hemoglobin dalam darah disebut
anemia, sedangkan peningkatan kadar hemoglobin dalam darah disebut polisitemia.
Kadar hemoglobin normal pada pria yaitu antara 13,5 - 17,5 g/dL, sedangkan pada
wanita yaitu antara 12 - 16 g/dL.
7
19. Ht (Hematokrit)
Hematokrit adalah perbandingan jumlah sel darah merah terhadap volume
seluruh darah yang dinyatakan dalam persen. Nilai normal hematokrit pada pria yaitu
42%-54%, sedangkan pada wanita yaitu 38%-46%. Jika kadar hematokrit meningkat
maka dapat mengakibatkan terganggunya kecepatan aliran darah.
8
c. Circulation
TD rendah (88/64 mmHg), vena jugularis kolaps, nadi kuat (115x/menit), suhu
tinggi (38,9 °C), kulit kering, panas, dan kemerahan, tidak ada pendarahan.
d. Disability
GCS rendah (6) dan kesadaran delirium (gelisah) dan disorientasi.
e. Exposure
Luka pada kaki (bengkak, merah, dan tercium bau tidak sedap)
4. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
- Klien terjatuh dan mengalami luka kaki (3 minggu sebelum masuk UGD)
- Kaki bengkak, merah, dan tercium bau tidak sedap (1 minggu sebelum masuk
UGD)
- Klien mengeluh nyeri abdomen, mual, dan muntah (4 hari sebelum masuk
UGD)
- Klien berhenti memakai insulin dan tidak makan apapun (sejak 2 hari sebelum
masuk UGD),
- Tidak buang air kecil dan terus mengalami penurunan kesadaran (8 jam
terakhir)
b. Riwayat Kesehatan Lalu
Ny.B mengalami riwayat DM sejak 15 tahun yang lalu
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat yang sama seperti pasien
d. Pengkajian AMPLE
- Allergy : Tidak disebutkan
- Medication : Berhenti memakai insulin sejak dua hari terakhir
- Pass Illness : Riwayat DM sejak 15 tahun yang lalu
- Last Meal : Tidak disebutkan
- Event / Environment : Pasien jatuh dengan luka kaki (3 minggu yang lalu)
e. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala : Mimik wajah gelisah
- Leher : Vena jugularis kolaps
- Dada : Pola pernafasan cepat dalam
- Abdomen : Nyeri
9
- Ekstremitas / muskuloskeletal: Nyeri, bengkak, merah, dan berbau pada
ekstremitas bawah
- Kulit / Integumen : Kulit kering dan panas
f. Pengkajian Nyeri
Tahkan et al (2009) mengidentifikasi lima alat ukur pengkajian nyeri untuk
digunakan pada pasien kritis yang tidak mampu memverbalisasikan intensitas
nyerinya, yaitu Behavioral Pain Scales (BPS), Critical Care Pain Observation Tool
(CPOT), Non Verbal Assessment and Intervention Notation Algorithm (PAIN), dan
Pain Assessment Algorithm. Diantara kelima alat ukur tersebut, salah satu yang
dapat diaplikasikan adalah CPOT. CPOT merupakan alat ukur nyeri yang cukup
aplikatif untuk digunakan di area perawatan kritis karena memiliki definisi
operasional yang jelas pada setiap butir observasinya.
g. Pengkajian Luka
Pengkajian luka kaki diabetes dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
klasifikasi dan pengkajian BJWAT. BJWAT (Bates Jensen Wound Assessment
Tool) memiliki 13 tools untuk melakukan pengkajian luka. Dan setiap tools
memiliki 5 status kondisi luka berdasarkan tingkat keparahan luka. Semakin besar
skor yang diperoleh semakin parah kondisi luka. Berikut ini instrumen BJWAT :
1. Ukuran luka
a. 1 = P x L < 4 cm
b. 2 = P x L < 16 cm
c. 3 = P x L 16 < 36 cm
d. 4 = P x L 36 < 80 cm
e. 5 = P x L < 80 cm
2. Kedalaman
a. 1 = stage 1 (kulit berwarna merah,belum tampak adanya lapisan epidermis
yang hilang)
b. 2 = stage 2 (hilangnya lapisan epidermis/lecet sampai batas dermis paling
atas)
c. 3 = stage 3 (rusaknya lapisan dermis bagian bawah hingga lapisan subkutan)
d. 4 = stage 4 (rusaknya lapisan subkutan hingga otot dan tulang)
e. 5 = necrosis wound
3. Tepi luka
a. 1 = samar, tidak jelas terlihat
10
b. 2 = batas tepi terlihat, menyatu dengan dasar luka
c. 3 = jelas, tidak menyatu dengan dasar luka
d. 4 = jelas, menyatu dengan dasar luka, tebal
e. 5 = jelas, fibrotik, parut tebal/hyperkeratinik
4. GOA
a. 1 = tidak ada
b. 2 = goa < 2cm di area manapun
c. 3 = goa 2-4 cm < 50% pinggir luka
d. 4 = goa 2-4 cm < 50% pinggir luka
e. 5 = goa > 4cm direa manapun
5. Tipe jaringan nekrosis
a. 1 = tidak ada
b. 2 = putih abu abu jaringan mati atau slough yang lengket(mudah
dihilangkan)
c. 3 = slough mudah dihilangkan
d. 4 = lengket lembut dan ada jaringan parut palsu berwarna hitam (black
eschar)
e. 5 = lengket berbatas tegas, keras dan ada black eschar
6. Jumlah jaringan nekrosis
a. 1 = tidak tampak
b. 2 = <25% dari dasar luka
c. 3 = 25%-50% dari dasar luka
d. 4 = >50% hingga <75% dari dasar luka
e. 5 = 75% hingga 100% dasar luka
7. Tipe eksudat
a. 1 = tidak tampak
b. 2 = bloody (berdarah)
c. 3 = serosanguineous (berdarah dengan plasma darah
d. 4 = serous (bening)
e. 5 = purulen (pus/nanah)
8. Jumlah eksudat
a. 1 = kering
b. 2 = basah / lembab
c. 3 = sedikit
11
d. 4 = sedang
e. 5 = banyak
9. Warna sekitar luka
a. 1 = pink atau normal
b. 2 = merah terang jika ditekan
c. 3 = putih atau pucat/hipopigmentasi
d. 4 = merah gelap/abu abu
e. 5 = hitam atau hiperpigmentasi
10. Jaringan yang edema
a. 1 = no swelling atau edema
b. 2 = non pitting edema kurang dari 4 mm di sekitar luka
c. 3 = non pitting edema lebih dari 4 mm di sekitar luka
d. 4 = pitting edema kurang dari 4 mm di sekitar luka
e. 5 = krepitasi atau pitting edema > 4mm
11. Pengerasan jaringan tepi
a. 1 = tidak ada
b. 2 = pengerasan < 2 cm di sebagian kecil sekitar luka
c. 3 = pengerasan 2-4 cm menyebar
d. 4 = pengerasan 2-4 cm menyebar >/= 50% di tepi luka
e. 5 = pengerasan > cm di seluruh tepi luka
12. Jaringan granulasi
a. 1 = kulit utuh atau stage
b. 2 = terang 100% jaringan granulasi
c. 3 = terang 50% jaringan granulasi
d. 4 = granulasi 25%
e. 5 = tidak ada jaringan granulasi
13. Epitelisasi
a. 1 = 100% epitelisasi
b. 2 = 75%-100% epitelisasi
c. 3 = 50%-75% epitelisasi
d. 4 = 25%-50% epitelisasi
e. 5 = <25%% epitelisasi
12
h. Pengkajian Pola Nutrisi
Pasien dengan keluhan nyeri abdomen, mual, muntah, serta menyatakan tidak
makan selama 2 hari perlu dicurigai adanya ketidakseimbangan status nutrisi. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan pengkajian pola nutrisi sebagai berikut :
Pengkajian ABCD :
- A : Anthropometric measurement, pengukuran antropometri meliputi
pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, dan lipatan kulit/lipat
lemak.
- B : Biochemical data, pengkajian status nutrisi pasien perlu ditunjang dengan
pemeriksaan laboratorium seperti : hemoglobin, hematokrit, dan albumin.
- C : Clinicalsign, pasien dengan masalah nutrisi akan memperlihatkan tanda-
tanda klinik yang jelas. Tanda-tanda abnormal tersebut bukan saja pada organ
fisiknya tetapi juga fungsi fisiologisnya, seperti tubuh lemas, nafsu makan
menurun, rambut rontok, kusam, dan tumbuh tidak sempurna, kulit kering,
bersisik, dan terdapat ruam, konjungtiva pucat, dsb.
- D : Dietary, faktor yang perlu dikaji dalam riwayat konsumsi nutrisi/diet pasien
adalah kebiasaan makan, makanan kesukaan, pemasukan cairan, problem diet,
aktivitas fisik, dan riwayat kesehatan. Selain itu salah satu tanda pasien yang
mengalami masalah nutrisi yaitu pasien tidak mampu menghabiskan porsi
makan.
i. Pola Eliminasi
Pasien tidak BAK selama 8 jam terakhir
j. Pola Tidur dan Istirahat
Pola tidur mungkin terganggu berhubungan dengan adanya nyeri pada luka
k. Pola Personal Hygiene
Personal hygiene buruk karena adanya bau tidak sedap pada luka menandakan
adanya infeksi dan pertumbuhan bakteri
l. Pola Aktivitas dan Latihan
Diduga adanya penurunan aktivitas dan latihan karena adanya luka pada
ekstremitas bawah
m. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Klien dan keluarga menunjukkan ketidakpatuhan dan kurangnya pengetahuan
dibuktikan dengan berhentinya memakai insulin karena tidak makan dua hari dan
tidak membawa pasien ke dokter walaupun pasien sudah merasa sakit.
13
n. Pemeriksaan Status Gizi
Pemeriksaan status gizi pada pasien dengan kecurigaan masalah nutrisi dapat
menentukan diet dan intervensi lain yang tepat untuk diberikan. Pemeriksaan status
gizi dapat dilakukan dengan beberapa metode berikut :
Perhitungan IMT
Penentuan berat badan ideal
Penentuan kebutuhan kalori perhari
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Pada pasien DM dengan luka, penting untuk mengetahui apakah sudah terjadi
osteomielitis atau belum yaitu dengan melakukan pemeriksaan radiologis. Rontgen
pedis biasa harus dilakukan sebagai pemeriksaan radiologi awal pasien diabetes
dengan kecurigaan penyakit DFU. Rontgen pedis tersebut dapat menemukan
osteomielitis, osteolysis, fraktur, dislokasi pada neuropati arthropati, kalsifikasi
arteri medial, gas jaringan lunak, benda asing, serta adanya arthritis.
Bone scan dengan Technetium-99 methylene diphosphonate (Tc-99 MDP) juga
sering digunakan untuk mencari osteomielitis pada infeksi DFU. Osteomielitis,
fraktur, arthritis, dan neuropati artropati akan ditunjukkan melalui peningkatan
radiotracer uptake.
Computed tomography scanning (CT scan) diindikasikan untuk menilai tulang
dan sendi yang dicurigai mengalami gangguan tetapi tidak terbukti pada
pemeriksaan radiologi biasa. CT scan dapat memberikan gambaran fragmentasi
tulang dan subluksasio sendi.
Selain CT ScanMagnetic resonance imaging (MRI) untuk pemeriksaan
osteomielitis lebih disukai dari CT scan karena resolusi gambar yang lebih baik dan
dapat melihat proses infeksi yang meluas. MRI digunakan untuk menilai
osteomyelitis, abses dalam, sepsis sendi, dan ruptur tendon.
b. Laboratorium
1. FiO2 60%
2. pH 7,2
3. PCO2 28 mmHg
14
4. PO2 88 mmHg
5. HCO3 14 mEq/L
7. Keton +
8. Na 110 mEq/L
9. Cl 95 mEq/L
14. Ht 48,2%
Pada kasus tersebut kemungkinan yang terjadi pasien, Ny.B mengalami Ketoasidosis
Diabetik. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan salah satu kegawatdaruratan pada
diabetes melitus (DM). KAD didefinisikan sebagai trias hiperglikemia, ketonemia, dan
asidosis. Faktor risiko KAD antara lain penderita yang baru terdiagnosis DM,
ketidakpatuhan menggunakan insulin, infeksi, infark miokard, akut abdomen, trauma,
tirotoksikosis, kokain, dan antipsikotik. Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala
hiperglikemia, pernapasan Kussmaul, nafas beraroma aseton, kehilangan volume cairan
ekstraseluler, mual, muntah, nyeri abdomen, dan penurunan kesadaran. Berdasarkan data
yang dianalisis serta pemeriksaan fisik, berikut gejala yang dialami oleh pasien,
diantaranya:
a. Nyeri abdomen disertai mual muntah
Nyeri pada pasien KAD biasanya terjadi akibat menurunnya perfusi
mesenterium, dehidrasi otot, dan jaringan usus. Sedangkan pada gejala klinis muntah
karena adanya asidosis metabolik pada pasien. Hal ini terjadi saat pasien sebelum
memasuki ruangan UGD 4 hari sebelumnya.
b. Pemberhentian pemakaian insulinPasien mulai tidak menggunakan insulin secara
teratur dengan alasan karena tidak makan apapun. Kasus KAD sering ditemukan pada
15
pasien yang tidak melakukan insulin secara rutin. Dengan berhentinya menggunakan
insulin yang dilakukan oleh pasien menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat
digunakan oleh sel metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel, akibatnya
kadar dalam darah meningkat atau mengalami hiperglikemia. Menurut Cieluch et al
(2018) pemberian terapi insulin pada pasien KAD akan mengaktifkan pompa Na+/K+-
ATPase yang dapat berdampak pada peningkatan penyerapan kalium ke dalam sel dan
perburukan kondisi hipokalemia.
c. Kaki bengkak, merah, dan tercium bau tidak sedap
Menurut Maryunani (2016) Luka adalah suatu keadaan yang terjadi integritas
kulit (kerusakan struktur jaringan utuh), akibat trauma mekanik, fisik, maupun
pembedahan. Ulkus diabetik merupakan salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes
Mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang disertai adanya kematian
jaringan setempat (Hariani, Lynda, 2013). Pada pasien Ny.B mengalami
pembengkakan pada kaki dan merasa kesakitan sebelumnya, tetapi hal tersebut tidak
langsung ditindaklanjuti oleh pasien untuk segera diberikan perawatan ulkus
diabetikum. Warna merah dan bau tidak sedap ditandai bahwa adanya kerusakan
integritas kulit pada pasien karena tidak dilakukan perawatan. Bukti terjadinya infeksi
pada luka diabetes adalah timbulnya gejala klasik inflamasi (kemerahan, panas di
lokasi luka, bengkak, nyeri) atau sekresi purulen atau gejala tambahan (sekresi non
purulen, perubahan jaringan granulasi, Perawatan pada ulkus diabetikum hal ini
dilakukan dengan prinsip evaluasi ulkus meliputi inspeksi dan palpasi serta evaluasi
fungsi sensorik dan motorik, pengelolaan/perawatan luka setiap hari . Perawatan kaki
yang perlu dilakukan seperti mencuci kaki dan kulit dengan sabun yang lembab,
menggunakan air yang tidak terlalu panas, memakai krim/lotion pada kaki dan kulit
namun jangan diantara sela sela jari kaki untuk menghindari pertumbuhan bakteri.
d. Siklus pernapasan cepat (34x/mnt)
Diketahui bahwa pasien Ny.B mengalami penurunan kesadaran dan disorientasi
fisik, dengan hasil pengkajian fisik frekuensi napas 34x/menit atau takipnea.
e. pH 7,2 ; PCO2 28mmHg; PO2 88 mmHg; HCO3 14 mEq/
Dalam hasil laboratorium pH pada pasien Ny.B kurang dari 7,35 dengan hasil
pH 7,2 ditemukan bahwa pasien terindikasi asidosis metabolik. Derajat Ketoasidosis
Diabetik dapat dikelompokkan menjadi derajat ringan, sedang, dan berat dengan
melihat kadar glukosa plasma (mg/dL), kadar pH darah, kadar serum bikarbonat
(mEq/L), keton urin, kadar anion gap (mEq/L), dan dari kesadaran pasien.
16
Ketoasidosis Diabetik derajat ringan, sedang, dan berat akan memiliki kadar glukosa
plasma >250 mg/dL. Sedangkan kadar pH yakni ringan (pH 7,25 - < 7,35 atau HCO3
15 – 18 mEq/L), sedang (pH 7 - < 7,25 atau HCO3 10 - < 15 mEq/L), dan berat (pH <
7 atau HCO3 < 10 mEq/L). Kadar pH yang dimiliki oleh Ny.B termasuk dalam
Ketoasidosis Diabetik derajat sedang dengan pH 7,2 atau HCO3 14 mEq/L.
2.5 Patofisiologi
17
2.6 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
18
(115x/menit)
c. Perubahan pola nafas
(kussmaul)
d. Gelisah
19
2.7 Intervensi dan Rasionalisasi
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasionalitas
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
Resiko syok b.d Tujuan :
1. hipovolemia 1. Pemantauan Tanda Vital 1. Pemantauan tanda vital
Setelah dilakukan tindakan 1
x 24 jam. Diharapkan tanda - Monitor tekanan darah - Untuk pemeriksaan
tanda vital dan tingkat - Monitor nadi (frekuensi, dan nantinya hasil
kesadaran pasien meingkat. kekuatan, irama) yang didapat dari
- Monitor pernapasan pengukuran tekanan
Kriteria Hasil : (frekuensi dan kedalaman darah, nadi, suhu dan
napas) status pernapasan
1. Tingkat syok - Monitor suhu tubuh akan terpantau secara
Hipovolemi - Monitor suhu tubuh terkontrol.
- Kekuatan nadi perifer - Identifikasi penyebab - Guna mengetahui
meningkat perubahan tanda vital apakah ada perbedaan
- Output urine - Dokumentasi hasil hasil di setiap
meningkat pemantauan pengecekan
- Tingkat kesadaran - Mengetahui apakah tanda-
2. Manajemen Syok tanda vital pada pasien
meningkat
Hipovolemik normal atau tidak
- Asidosis metabolik
menurun - Monitor status - Mengetahui penyebab
- Tekanan darah diastol kardiopulmonal yang mendasari
membaik - Monitor status oksigenasi perubahan tanda-tanda
- Tekanan nadi - Monitor status cairan vital pasien
membaik - Periksa tingkat kesadaran - Mengetahui dan
memantau irama
20
- Frekuensi nadi dan respon pupil tekanan jantung pasien
membaik - Periksa permukaan tubuh - Mengetahui apakah pasien
- Frekuensi napas terhadap adanya DOTS mengalami hipotermi atau
membaik (Deformity, Open hipertermi
Wound,Tenderness, - Untuk pemantauan
Swelling) irama dan laju napas
- Kolaborasi pemberian infus pasien
cairan kristaloid 1-2L pada - Mengetahui
dewasa suaraparu-paru pada
pasien
3. Pencegahan Syok
2. Manajemensyok
- Jelaskan penyebab/faktor
Hipovolemik
risiko syok
- Jelaskan tanda dan gejala - Guna memberikan jalan
awal syok napas yang adekuat bagi
- Anjurkan melapor jika pasien
menemukan/,erasakan tanda - Menjaga tingkat
dan gejala awal syok. saturasi oksigen
pasien agar memiliki
status yang normal
- Memenuhi kebutuhan
cairan pasien.
3. Pencegahan syok
- Guna mengetahui
dan memantau status
kardiopulmonari
21
- Memantau tingkat
kesadaran pasien
- Untuk mengetahui
reaksi pasien terhadap
reaksi alergi
- Untuk
mempertahankan
saturasi pasien dalam
rentang yang normal
- Agar kebutuhan
cairan pasien
terpenuhi dengan
melalui asupan oral
- Mendukung jalan
napas adekuat
- Mengetahui riwayat
alergi pada pasien
- Meredakan nyeri
Pola nafas tidak efektif Tujuan :
2. b.d kompensasi 1. Pemantauan respirasi 1. Pemantauan Respirasi
asidosis metabolik Setelah dilakukan tindakan 1
x 24 jam diharapkan pasien - Monitor frekuensi , irama, - Untuk memeriksa dan
yang ditandai dengan kedalaman, dan upaya napas mendapat hasil pengukuran
hiperventilasi menunjukkan keefektifan
pola nafas. - Monitor pola napas frekuensi, irama, pola
(hiperventilasi ) napas dan status
Kriteria Hasil : - Auskultasi bunyi napas pernapasan secara
- Monitor saturasi oksigen terkontrol
1. Pertukaran gas - Dokumentasikan hasil - Supaya mengetahui bunyi
pemantauan pernapasan pada pasien
22
- Tingkat kesadaran - Memantau perubahan
meningkat 2. Manajemen Jalan Napas status respirasi
- Gelisah menurun - Pertahankan kepatenan jalan - Agar pasien mengetahui
- PCO2 membaik napas dengan head tilt dan hasil pemeriksaan yang
- PO2 membaik chin lift telah dilakukan
- Pola napas membaik - Posisikan semi fowler atau 2. Manajemen jalan napas
fowler
2. Pola Napas
- Memberikan minum hangat - Untuk mengamati
- Frekuensi napas - Memberikan oksigen perubahan tanda dan
membaik gejala yang ada pada
- Kedalaman napas 3. Manajemen Asidosis pasien
membaik Metabolik - Memberikan jalan
- Mempertahankan akses napas yang adekuat
intra vena bagi pasien
- Mempertahankan
3. Manajemen asidosis
hidrasi sesuai
metabolik
kebutuhan
- Berkolaborasi - Mempertahankan status
pemberian bikarbonat hidrasi dan cairan yang
sesuai
- Supaya menetralisir asam
darah pada
pasien/mengendalikan
asidosis metabolik
Nyeri akut b.d agen Tujuan :
3. pencedera fisiologis: 1. Manajemen Nyeri 1. Manajemen nyeri
inflamasi Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 - Mengidentifikasi lokasi, - Mengetahui dan
23
jam, diharapkan nyeri akut karakteristik, durasi, mengidentifikasi nyeri
pada pasien berkurang frekuensi, kualitas, intensitas yang dirasakan oleh pasien
nyeri dengan mengidentifikasi
Kriteria hasil: - Megidentifikasi skala lokasi dan karakteristik
1. Tingkat Nyeri nyeri pasien nyeri pada pasien
- Mengidentifikasi faktor - Mencegah nyeri pada
- Keluhan nyeri yang memperberat dan pasien supaya skala nyeri
menurun memperingan nyeri pasien tidak bertambah
- Ekspresi meringis - Memberikan tehnik - Memantau skala nyeri
karena nyeri menurun nonfarmakologis untuk pasien dengan
- Muntah menurun mengurangi rasa nyeri memperhatikan faktor yang
- Mual menurun Mengontrol lingkungan mempengaruhi tingkat
yang memperberat rasa nyeri
2. Kontrol Nyeri
nyeri - Untuk membantu pasien
- Melaporkan nyeri - Mempertimbangkan jenis mengurangi rasa nyeri
tekontrol meningkat dan sumber nyeri dalam dengan menggunakan
- Kemampuan pemilihan strategi yang beberapa strategi terutama
menggunakan teknik meredakan nyeri teknik non-farmakologis
nonfarmakologis - Menjelaskan - Mengurangi faktor yang
meningkat strategi meredakan memperberat/memperburuk
- Keluhan nyeri nyeri nyeri pada pasien
menurun - Menganjurkan - Mengidentifikasi
menggunakan pemberian analgesic yang
3. Tingkat Cedera analgetik secara tepat bagi pasien
tepat
- Kejadian cedera 2. Pemberian analgesic
menurun 2. Pemberian
- Luka/lecet menurun - Mengetahui dan
Analgesic
mengidentifikasi nyeri
24
- Ekspresi wajah - Mengidentifikasi yang dirasakan oleh pasien
kesakitan menurun karakteristik nyeri dengan mengidentifikasi
- Mengidentifikasi lokasi dan karakteristik
riwayat alergi obat nyeri pada pasien
- Monitor efektifitas - Memeriksa dan mendapat
analgesic hasil mengenai riwayat
- Menetapkan target alergi obat yang pernah
efektifitas diderita pasien sehingga
analgesic untuk dapat memberikan obat
mengoptimalkan yang tepat
respon pasien - Untuk memilih dan
- Menjelaskan efek terapi menggunakan obat
dan efek samping obat analgesic yang tepat sesuai
dengan tingkat keparahan
3. Dukungan nyeri pada pasien
koping keluarga - Memonitor tanda vital
- Mendengarkan selama pemberian
masalah, perasaan analgesic
dan pertanyaan - Untuk mengidentifikasi
keluarga keefektifan analgesic yang
- Mendiskusikan diberikan
rencana medis dan - Supaya pasien tahu efek
perawatan yang diberikan setelah
- Menginformasikan diberikan analgesik
kemajuan pasien
3. Dukungan koping
secara berkala keluarga
- Menginformasikan
fasilitas perawatan - Mendukung keluarga
25
kesehatan yang untuk ikut
tersedia berpartisipasi
terhadap pemberian
keperawatan
- Keluarga dapat
mengetahui informasi-
informasi yang
dibutuhkan
- Keluarga mengetahui
tindakan keperawatan
yang dilakukan
Defisit nutrisi b.d mual Tujuan:
4. dan muntah 1. Manajemen nutrisi 1. Manajemen nutrisi
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 x 24 - Mengidentifikasi - Memeriksa dan
jam, diharapkan resiko defisit status nutrisi mengidentifikasi
nutrisi pada pasien menurun. - Mengidentifikasi status nutrisi pada
kebutuhan kalori dan pasien supaya dapat
Kriteria hasil: jenis nutrient menentukan
- Monitor asupan tindakan yang
1. Status Nutrisi makan dilakukan
- Porsi makanan yang - Memfasilitasi selanjutnya
dihabiskan meningkat penentuan pedoman - Mengidentifikasi
- Verbalisasi keinginan diet kebutuhan dan
untuk meningkatkan - Menyajikan asupan pasien
nutrisi meningkat makanan secara supaya kebutuhan
- Pengetahuan tentang menarik dan suhu nutrisi pasien
standar asupan nutrisi yang sesuai terpenuhi secara
- Mengajarkan diet yang adekuat
26
yang tepat meningkat diprogramkan - Mengajak dan
- Nyeri abdomen melatih pasien
menurun 2. Manajemen gangguan melakukan diet
- Nafsu makan makan - Agar pasien lebih
membaik - Memonitor asupan dan mudah
keluarnya makanan dan mengaplikasikan diet
2. Kontrol sesuai dengan
cairan serta kebutuhan
mual/muntah kebutuhan
kalori
- Kemampuan - Mengajarkan pengaturan 2. Manajemen gangguan
melakukan tindakan diet yang tepat
makan
untuk mengontrol - Mengajarkan keterampilan
mual dan muntah koping untuk - Mengidentifikasi
meningkat menyelesaikan masalah dan memantau
- Melaporkan mual dan perilaku makan asupan nutrisi pada
muntah terkontrol - Berkolaborasi dengan ahli pasien
gizi terkait target BB, - Mengajak dan
kebutuhan kalori dan melatih pasien
pilihan makanan melakukan diet yang
tepat sesuai dengan
kebutuhan
- Membantu pasien
menemukan koping
yang berhubungan
dengan masalah
perilaku makan
- Bekerja sama
dengan ahli gizi
supaya dapat
27
memberikan
perawatan yang
lebih optimal
28
jam tirah baring - Memeriksa dan
- Menggunakan produk mengidentifikasi faktor
berbahan petroleum atau penyebab gangguan
minyak pada kulit kering integritas kulit
- Menganjurkan minum - Mengidentifikasi resiko
yang cukup dan skala kerusakan
- Menganjurkan integritas kulit pada
meningkatkan asupan pasien dengan
nutrisi memberikan nutrisi pada
kulit
3. Perawatan kaki - Memantau perubahan
- Memeriksa adanya tanda dan gejala
iritasi, retak, lesi, intergritas kulit pada
kapalan, kelainan pasien apakah ada
bentuk, atau edema gangguan atau tidak
- Memeriksa adanya - Mengidentifikasi bentuk
ketebalan kuku dan dari bagian ekstremitas
perubahan warna bawah pasien apakah ada
- Monitor kadar gula gangguan atau tidak (seperi
darah atau iritasi, lesi, edema, dll)
HbA1c<7%
3. Perawatan kaki
- Melakukan
perawatan luka - Memeriksa dan
sesuai kebutuhan mengidentifikasi kondisi
- Menginformasikan luka pada pasien untuk
pentingnya mengetahui tindakan apa
perawatan kaki yang selanjutnya akan
- Menganjurkan dilakukan
29
pentingnya - Memeriksa kadar glukosa
pemeriksaan kaki, darah
terutama saat - Supaya dilakukan
sensasi berkurang perawatan pada luka
secata adekuat
- Mengidentifikasi luka
pada kaki tersebut apakah
adanya tekanan atau
klaudikasi dan nyeri pada
waktu tertentu sehingga
pasien disarankan
menghindari penekanan
- Memberi edukasi terkait
pentingnya perawatan
kaki supaya tidak terjadi
komplikasi yang lebih
parah
- Memberi edukasi tentang
pentingya pemeriksaan
kaki supaya dapat
dipantau
perkembangannya
Resiko ketidakstabilan Tujuan:
6. 1. Manajemen 1. Manajemen
kadar glukosa darah
b.d gangguan toleransi Setelah dilakukan tindakan hiperglikemia hiperglikemia
glukosa darah keperawatan selama 2 x 24
jam, diharapkan resiko - Mengidentifikasi - Memeriksa faktor
ketidakstabilan kadar glukosa kemungkinan penyebab yang mendasari
penyebab glikemia
30
darah pada pasien menurun. hiperglikemia - Memantau dan
- Memonitor kadar memeriksa kadar
Kriteria Hasil: glukosa darah glukosa dalam darah
1. Kestabilan kadar - Memberikan asupan - Memantau dan
glukosa darah cairan oral memeriksa tanda
- Kadar glukosa dalam - Menganjurkan dan gejala yang
darah membaik kepatuhan terhadap dialami oleh pasien
- Jumlah urine diet dan olahraga - Untuk memberikan asupan
membaik - Berkolaborasi pada klien
memberikan insulin - Mengajak pasien untuk
melakukan diet dan
olahraga secara patuh
- Melakukan kerjasama
untuk memberikan
perawatan yang lebih
optimal
31
2.8 Mindmap
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar
glukosa darah melebihi normal atau hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat menyerang
hampir seluruh sistem tubuh manusia, mulai dari kulit sampai jantung yang menimbulkan
komplikasi. Komplikasi yang paling sering pada penderita Diabetes Melitus adalah
Ketoasidosis Diabetikum (KAD). Ketoasidosis diabetikum (KAD) terjadi akibat defisiensi
insulin yang beredar dan kombinasi peningkatan hormon-hormon kontraregulator yaitu
katekolamin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan dan data penunjang pada kasus yang
terjadi pada Ny B, dapat disimpulkan bahwa Ny B menderita Ketoasidosis Diabetikum
(KAD). Sesuai dengan gambaran kasus yang ada bahwa Ny B mengalami nafas yang cepat
dan dalam yaitu 28x/menit, selain itu Ny B juga nampak gelisah. Saat dilakukan pengkajian
Ny B mempunyai riwayat DM dan pernah jatuh sehingga kakinya mengalami kemerahan
bengkak dan timbul luka sehingga menyebabkan bau yang tidak sedap. Diagnosa
keperawatan yang dapat diambil dari kasus tersebut yaitu risiko syok, pola nafas tidak
efektif, nyeri akut, gangguan integritas kulit, risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah dan
defisit nutrisi.
3.2 Saran
Demikian makalah studi kasus yang dapat kami paparkan. Besar harapan kami
bahwa hasil diskusi kami ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Dalam penulisan
makalah studi kasus ini tentunya penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu nantinya kami akan
melakukan perbaikan makalah studi kasus ini dengan menggunakan pedoman dari
beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
33
DAFTAR PUSTAKA
Amran, P. (2018). Analisis perbedaan kadar kalsium (ca) terhadap karyawan teknis produktif
dengan karyawan administratif pada Persero Terbatas Semen Tonasa. Jurnal Media
Analis Kesehatan, 1(1), 1-7.
Bulu, A., Wahyuni, T. D., & Sutriningsih, A. (2019). Hubungan antara Tingkat Kepatuhan
Minum Obat dengan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II. Nursing
News, 4(1), 181–189.
Dewi, C. J. S., Yaswir, R., & Desywa. (2018). Korelasi tekanan parsial oksigen dengan jumlah
eritrosit berinti pada neonatus hipoksemia. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1), 76-80.
Diky, E., & Hindriati, E. (2021). Tata Laksana Ketoasidosis Diabetik pada Penderita Gagal
Jantung. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 8(1), 46-53.
Donaliazarti, Marwan, D. W., & Valzon, M. (2020). Korelasi Anion Gap Calculated dengan
Strong Ion Gap dalam Evaluasi Keadaan Asidosis Metabolik pada Pasien Critically III.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 7(2), 86–90.
Efrida, Parwati, I., & Redjeki, I. S. (2013). Pendekatan Stewart dalam pH darah yang mendasari
asidosis metabolic. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory,
19(2), 79-87.
Eka et al. (2017). Karakteristik Ulkus Diabetikum pada Penderita Diabetes Mellitus di RSUD
dr. Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. Buletin Penelitian Kesehatan, 45(3),
153-160.
Indrawati, N., Kupa, C. N., Putri, E. M., Lesimanuaya, L. L., Alviolita, V. E., & Septiani, V.
(2020). Komparasi Glasgow Coma Scale (GCS) dan Full Outline of Unresponsiveness
(FOUR) untuk Menilai Mortalitas pada Pasien Cedera Kepala di Area Perawatan Kritis :
Literature Review. Journal of Health, 8(1), 19–27.
34
Kinasih, et al. (2020). Karakteristik penderita ketoasidosis diabetik pada pasien dengan
diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit umum daerah wangaya periode januari 2017-
desember 2019. Jurnal medika udayana, 10(5). 2021
Priambodo, A. P., Ibrahim, K., & N, N. (2017). Pengkajian Nyeri pada Pasien Kritis dengan
Menggunakan Critical Pain Observation Tool(CPOT) di Intensive Care Unit(ICU).
Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 4(2). https://doi.org/10.24198/jkp.v4i2.239
Rasyid. N., Yusuf. S., Tahir.T. (2018). Study Literatur Pengkajian Luka Kaki Diabetes. Jurnal
Luka Indonesia. 2018, 4(2): 123-137
Ria & Syali. (2017). Penatalaksanaan KAD dan DM tipe 1 pada Anak Usia 15 Tahun. Jurnal
Meudla Unila, 7(2), 114-122.
Tutik, & Ningsih, S. (2019). Pemeriksaan Kesehatan Hemoglobin Di Posyandu Lanjut Usia
(Lansia) Pekon Tulung Agung Puskesmas Gadingrejo Pringsewu. Jurnal Pengabdian
Farmasi Malahayati, 2(1), 22–26.
http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/pengabdianfarmasi/article/view/1962/pdf
Wahyuni, N. T. & Indahsari, W. (2018). Hubungan cedera kepala dengan disorientasi pada
pasien kecelakaan lalu lintas. Jurnal Kesehatan, 9(2), 95-100.
Wiryansyah, et al. (2021). Karakteristik pasien ketoasidosis diabetik di RSUD abdul wahab
sjahranie samarinda periode 2017-2020. Jurnal Verdure, 3(2), 1
Yaswir, R. & Ferawati, I. (2012). Fisiologi dan gangguan keseimbangan natrium, kalium dan
klorida serta pemeriksaan laboratorium. Jurnal Kesehatan Andalas, 1(2), 80-5.
35
MAKALAH STUDI KASUS
“Asuhan Keperawatan pada Pasien Kondisi Gawat Darurat”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis 1
Dosen Pembimbing: Ns. Nana Rochana, S.Kep., MN
NIP 1983041220140420001
Dengan memanjatkan puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah studi
kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pasien pada Kondisi Gawat Darurat” ini dengan
baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad
SAW, yang selalu kita tunggu-tunggu syafa’atnya kelak di yaumul kiamah.
Penulisan makalah studi kasus berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien pada Kondisi
Gawat Darurat” dapat diselesaikan karena bantuan dari banyak pihak terutama kami ucapkan
terima kasih kepada Ns. Nana Rochana, S.Kep., MN selaku dosen fasilitator kelompok 7
A.20.2 dan kami berharap makalah studi kasus ini dapat memberi penjelasan kepada pembaca
terkait asuhan keperawatan yang akan diberikan pada pasien dengan kondisi gawat darurat
serta dapat menemukan sudut pandang baru setelah membaca makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah studi kasus “Asuhan Keperawatan Pasien pada
Kondisi Gawat Darurat” ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa,
maupun penulisannya. Hal ini karena kami masih memiliki kekurangan dan keterbatasan
kemampuan dan pengalaman. Untuk itu, kami menerima segala bentuk kritik dan saran dari
pembaca demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk
menambah ilmu pengetahuan terutama bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
khususnya. Akhir kata kami sampaikan terima kasih.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB l
PENDAHULUAN
3
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana gambaran kasus kegawatdaruratan?
1.2.2. Apa yang terjadi pada pasien dalam kasus kegawatdaruratan?
1.2.3. Bagaimana patofisiologis kasus pada pasien STEMI?
1.2.4. Apa saja yang pengkajian sesuai dengan kasus, kondisi, dan keluhan pasien?
1.2.5. Apa saja diagnosa keperawatan dan Intervensi keperawatan yang terkait?
1.2.6. Rasionalisasi dari berbagai Intervensi Keperawatan yang diberikan?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui gambaran kasus kegawatdaruratan yang diberikan.
1.3.2. Mengetahui dan memahami permasalahan yang terjadi pada pasien pada
kasus.
1.3.3. Mengetahui patofisiologis kasus pada pasien STEMI.
1.3.4. Mengetahui terkait pengkajian sesuai dengan kasus, kondisi, dan keluhan
pasien.
1.3.5. Menentukan diagnosa terkait masalah keperawatan yang dialami pasien.
1.3.6. Mengetahui dan menentukan perencanaan terkait dengan diagnosa yang telah
dirumuskan.
1.3.7. Mengetahui rasionalisasi rencana tindakan keperawatan yang terkait pada
pasien.
4
BAB II
PEMBAHASAN
No Istilah Definisi
1. Capillary refill > 3 Tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar kuku
detik untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke
jaringan. Hasil pengukurannya adalah lebih dari 3 detik
yang menandakan pasien mengalami dehidrasi berat.
Perfusi ke jaringan tidak adekuat yang ditandai
dengan pemanjangan CRT (Capillary refill time).
Penyakit arteri perifer ini menyebabkan ketidakefektifan
perfusi jaringan perifer yaitu penurunan sirkulasi darah
ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer ini dapat
menyebabkan rasa kesemutan yang sering timbul, hal ini
berkaitan sirkulasi darah perifer menurun hingga ke
serabut saraf. Gangguan sirkulasi darah pada bagian
ujung atau tepi tubuh pada penderita penyakit diabetes
diakibatkan karena peredaran darah yang kurang lancar
karena darah terlalu kental dan banyak mengandung
gula. Penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah
perifer (yang utama), sering terjadi pada tungkai bawah
(terutama kaki) (Arif, 2020).
Ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan
5
kebutuhan tubuh yang dialami oleh Tn. A ini juga
mengakibatkan Tn. A mengalami gangguan perfusi
jaringan perifer yang dibuktikan dari pemeriksaan
capillary refill time yang menunjukkan hasil yaitu lebih
dari 3 detik. Hasil dari CRT yang didukung dengan
pemeriksaan bahwa akral yang teraba dingin ini
menunjukkan bahwa suplai darah ke jaringan perifer
sangat kurang.
6
5. Klien pucat dan Klien terlihat pucat dan akral teraba dingin karena
akral teraba dingin penderita memiliki gangguan pada pembuluh darah arteri
perifer. Secara umum perfusi perifer tidak efektif
merupakan penurunan sirkulasi darah pada level kapiler
yang dapat mengganggu metabolisme tubuh (PPNI,
2017). Salah satu fungsi darah adalah membawa O2 ke
seluruh organ tubuh. Jika O2 yang diangkut menurun,
maka akan terjadi gangguan karena suplai O2 yang
kurang ke jaringan. Hal ini mengakibatkan gangguan
perfusi jaringan, dan berdampak pada organ yang
mendapat suplai O2 sedikit, terlebih dalam jangka waktu
yang lama (Mangiwa et.al, 2017).
7
frekuensi lebih dari 24 kali permenit. Dalam takipnea ini,
ada yang disebut sebagai pernapasan Kussmaul.
Pernapasan Kussmaul adalah pola pernapasan yang
sangat dalam dengan frekuensi yang normal atau
semakin kecil. Pernapasan ini merupakan salah satu
bentuk hiperventilasi (Ridwan et.al, 2016).
Penyebab pernafasan Kussmaul adalah
kompensasi pernapasan pada asidosis metabolik, yang
sering terjadi pada pasien diabetes pada ketoasidosis
diabetikum. Gas-gas darah pada pasien dengan
pernapasan Kussmaul memperlihatkan tekanan parsial
karbon dioksida yang menurun karena adanya tekanan
yang meningkat pada pernapasan. Pernapasan ini
membuang banyak karbon dioksida. Pasien akan merasa
ingin cepat untuk menarik napas secara mendalam, dan
tampaknya terjadi secara tidak sadar. Asidosis metabolic
ini suatu saat nanti akan menyebabkan hiperventilasi,
namun sebelumnya pernapasan akan cenderung cepat
dan dangkal. Pernapasan ini juga dapat menandakan
tingkat keparahan penyakit, terutama pada pasien
diabetes mellitus (Ridwan et.al, 2016).
Pada kasus, Tn. A yang mengeluhkan nyeri pada
dadanya, mengakibatkan ia merasa kesakitan dan rasa
tidak nyaman yang diduga karena adanya
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
yang diperlukan oleh tubuh. Suplai oksigen yang tidak
adekuat ini membuat tubuh melakukan kompensasi
dengan meningkatkan pola nafas yang mengakibatkan
Tn. A mengalami hiperventilasi yang ditandai dengan
hasil pemeriksaan RR yaitu 30x/menit.
8
menurunnya suplai oksigen ke miokard dan menurunnya
curah jantung. Disfungsi miokardium yang terjadi ketika
kemampuan jantung dalam berkontraksi berkurang
sehingga menimbulkan gerakan abnormal pada dinding
jantung. Daya kembang pada ruang jantung menjadi
berubah dan ventrikel tidak mampu memompa darah
keluar sesuai banyak darah yang masuk selama diastole.
Semakin berlebih beban awal ventrikel maka semakin
sedikit darah yang mampu dipompa keluar sehingga
curah jantung menurun. Akibatnya volume sekuncup,
curah jantung dan tekanan darah menurun (Mangiwa
et.al, 2017). Pasien kemungkinan mengalami STEMI.
Infark miokard dengan elevasi ST (STEMI) terjadi ketika
aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya (Sudoyo dalam Safitri, 2013).
9
2017).
Perubahan frekuensi atau irama konduksi
elektrikal dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
Penurunan curah jantung adalah ketidakadekuatan darah
yang dipompa oleh jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Penurunan curah jantung akan
mengganggu sistem vaskularisasi darah, menyebabkan
sel dan jaringan mengalami kekurangan suplai oksigen
maupun nutrient, menyebabkan perubahan membrane
kapiler alveolar, edema, peningkatan tekanan vena
(Oktay et.al, 2018).
10
pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu yang
disertai Infark Miokard Akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena
adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.
Dari pengertian dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah keadaan yang
mengancam kehidupan dengan tanda nyeri dada yang khas dikaitkan dengan
gambaran EKG berupa elevasi ST dan terjadi pembentukan jaringan nekrosis
otot yang permanen karena otot jantung kehilangan suplai oksigen yang
disebabkan oleh adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang
tak stabil. (Pusponegoro,2015).
b. Tanda dan Gejala STEMI
Tanda dan gejala dapat ditemukan dengan anamnesis atau pemeriksaan fisik.
Berikut adalah tanda dan gejala seseorang mengalami STEMI (Bruyninckx et
al., 2008):
a. Tanda yang sering terjadi adalah nyeri pada dada kiri yang dapat
menyebar ke lengan dan bahu kiri, kedua lengan, leher, punggung,
epigastrik).
b. Timbulnya rasa sakit yang menindas/tak tertahan.
c. Adanya sesak nafas.
d. Pusing.
e. Mual dan/atau muntah.
f. Diaphoresis atau keluarnya keringat secara berlebih namun tidak
disebabkan oleh faktor eksternal seperti suhu lingkungan.
g. Jantung berdebar-debar.
c. Faktor Risiko STEMI
Berdasarkan penelitian berskala luas dalam Interheart Study menunjukkan
kadar lipid yang abnormal, riwayat merokok, hipertensi, DM, secara
signifikan berhubungan dengan infark miokard akut baik pada STEMI (Yunus
et al., 2004). Secara garis besar, faktor risiko tersebut terbagi menjadi dua
kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya dimodifikasi:
a. Non-Modifiable
1) Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan
kejadiannya lebih awal dari pada wanita (American Heart Association
(AHA), 2007). Morbiditas penyakit ini pada laki-laki lebih besar
11
daripada wanita dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada
wanita (Huon, 2002). Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit
ini sampai menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti
pria. Hal diduga karena adanya efek perlindungan estrogen (Santoso
dan Setiawan, 2005).
2) Usia
Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya
usia. Seluruh jenis penyakit jantung koroner termasuk STEMI yang
terjadi pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi kematian dan adverse
events (Saymour, 2006).
3) Ras
Ras kulit putih lebih sering terjadi serangan jantung daripada ras
African American (Lewis et al., 2007). Kelompok masyarakat kulit
putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian, tetapi
lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering ditemukan pada usia muda
daripada usia lebih tua. Insidensi kematian dini akibat penyakit jantung
koroner pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah pada
ras Afro-Karibia (Huon et al., 2002).
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada kasus penyakit jantung koroner yaitu
keluarga langsung yang berhubungan darah pada pasien berusia kurang
11 dari 70 tahun merupakan faktor risiko independen. Terdapat
beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat (Huon et al., 2002).
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam
patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan
penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK
(Norman et al., 1994).
b. Modifiable
1) Hipertensi
Peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan
arteriosklerosis, sehingga ruptur dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun
lebih cepat dari pada orang normotensi (Stern, 1979). Tingginya
12
tekanan darah dipengaruhi oleh pola hidup yang kurang sehat,
diantaranya yaitu :
- Pola makan yang tidak sehat, makanan siap saji, makanan
tinggi garam dan minuman kemasan dan beralkohol.
- Kebiasaan merokok, salah satu kandungan rokok yang sangat
mempengaruhi tekanan darah adalah nikotin. Efek nikotin
menyebabkan perangsangan terhadap hormon katekolamin
(adrenalin) yang bersifat memacu jantung dan tekanan darah.
- Kurangnya aktivitas fisik, dengan berolahraga selama 10 menit
beberapa kali sehari dinilai efektif menurunkan tekanan darah.
Sebuah penelitian di Indiana University membuktikan bahwa
berjalan 4 kali 10 menit setiap hari akan menurunkan tekanan
darah sebanyak 6,6 poin pada pasien prehipertensi dan 12,9
poin pada pasien hipertensi (Kowalski, 2010).
2) Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan
membran basalis dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria,
sehingga terjadi penyempitan aliran darah ke jantung. Insiden
serangan jantung meningkat 2 hingga 4 kali lebih besar pada
pasien yang dengan diabetes melitus. Orang dengan diabetes
cenderung lebih cepat mengalami degenerasi dan disfungsi endotel
(Lewis et al., 2007).
3) Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting
karena termasuk faktor resiko utama PJK di samping hipertensi
dan merokok. Kadar kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan
makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh.
13
d. Pathway STEMI
e. Penatalaksanaan STEMI
Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah
angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik
untuk STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan
marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi
segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
1. Terapi Awal
14
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
a) Tirah baring (Kelas I-C).
b) Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi
O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
c) Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
d) Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak
bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah)
yang lebih cepat (Kelas I-C).
e) Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
- Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik (Kelas I-B) atau
- Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
f) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-
C). jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
g) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas IIa-B).
2. Terapi Reperfusi
Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi
reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi
15
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien
STEMI adalah door to needle atau medical contact to balloon time untuk
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dapat dicapai dalam 90 menit
(Patrick, 2013). Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer,
diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada
untuk semua pasien Infark Miokard yang juga memenuhi salah satu
kriteria berikut :
ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang
berturutan,
ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan,
Left bundle branch block baru
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada
tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari
tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut
apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari
2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai
diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas IKP.
16
f. Definisi Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai keadaan darurat medis dengan
terjadinya hipoperfusi jaringan akibat berkurangnya curah jantung.9 Kriteria
syok kardiogenik adalah jika ditemukan (i) tekanan darah sistolik (TDS) <90
mmHg selama >30 menit atau membutuhkan vasopresor untuk mencapai
tekanan darah ≥90 mmHg; (ii) kongesti paru atau peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri; (iii) tanda-tanda gangguan perfusi organ dengan
setidaknya satu dari kriteria berikut: (a) perubahan status mental; (B) akral
dingin; (c) oliguria; (D) peningkatan serum laktat.
g. Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
Secara umum, pasien syok kardiogenik sebaiknya dirawat di pusat perawatan
tersier yang dapat menangani pasien khusus syok kardiogenik. Tatalaksana
didasarkan pada etiologi syok kardiogenik, seperti berikut :
1. Revaskularisasi
Revaskularisasi segera adalah strategi perawatan terpenting syok
kardiogenik pada pasien infark miokard akut, dan ditemukan
penurunan angka kematian yang signifikan pada follow-up setelah 6
bulan, 1, dan 6 tahun
2. Tatalaksana Intensive Care Unit
Pasien syok kardiogenik memerlukan stabilisasi hemodinamik awal
dengan ekspansi volume, inotropik, vasopresor dengan pencegahan
atau pengobatan disfungsi sistem multiorgan. Pemberian cairan dalam
syok kardiogenik terutama didasarkan pada pertimbangan
patofisiologi; saat ini cairan sebagai terapi lini pertama kecuali terdapat
tanda-tanda kelebihan cairan yang jelas (rekomendasi kelas 1C).8
Farmakoterapi bertujuan untuk meningkatkan perfusi organ dengan
meningkatkan curah jantung dan tekanan darah melalui penggunaan
inotropik dan vasopresor pada hampir 90% pasien syok kardiogenik.
3. Mechanical Circulatory Support (MCS)
Selama dua dekade terakhir terjadi peningkatan penggunaan berbagai
perangkat dukungan sirkulasi mekanik yang dapat membantu
meningkatkan hemodinamik.
17
2.4 Patofisiologi
a. Nyeri akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
Karena kurangnya suplai darah dan oksigen ke miokardium yang
disebabkan oleh penyumbatan total pada arteri akan mengakibatkan iskemia
miokard (Katz, 2015). Iskemia miokard akan meningkatkan metabolisme asam
laktat dalam tubuh dan mengakibatkan transmisi nyeri yang akan
dipersepsikan sebagai nyeri oleh korteks serebral. Hal ini dapat menyebabkan
pasien merasakan nyeri.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan suplai oksigen tidak
seimbang
Penurunan suplai darah dan oksigen yang terjadi akibat infark miokard
mengakibatkan gangguan metabolisme. Adanya gangguan metabolisme ini
dapat mengakibatkan peningkatan kadar asam laktat. Hal ini dapat
menyebabkan edema pada paru-paru. Edema paru yang ditandai dengan
penimbunan cairan di dalam alveolus menyebabkan alveolus kolaps sehingga
terjadi gangguan pertukaran gas dan proses difusi tidak berjalan secara normal
sehingga menyebabkan pola pernapasan tidak efektif yang ditandai dengan
pernapasan dangkal yang cepat.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi
atau irama konduksi elektrikal
Adanya faktor risiko yang dapat dimodifikasi (hipertensi, merokok,
gangguan toleransi glukosa, dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan
kalori) serta faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin,
ras, riwayat dan keluarga) dapat menyebabkan total penyumbatan pada arteri
oleh bekuan darah yang menyebabkan beberapa otot jantung yang disuplai
dengan darah oleh arteri menjadi infark. Dalam kasus STEMI, arteri koroner
benar-benar tersumbat oleh bekuan darah yang menyebabkan hampir semua
otot jantung yang disuplai oleh arteri yang terkena mulai mengalami infark
(mati). Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung, yang juga
mengakibatkan penurunan suplai darah dan oksigen ke miokardium.
Penurunan suplai darah dan oksigen ke miokardium menyebabkan hipoksia
seluler, yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan curah jantung.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemia
miokard
18
Terjadinya iskemia miokard menyebabkan suplai darah dan oksigen ke
miokardium berkurang. Suplai oksigen yang tidak mencukupi menyebabkan
hipoksia seluler. Kekurangan oksigen pada tingkat sel mengakibatkan
perubahan integritas membran sel yang membuat kontraktilitas jantung
berkurang. Penurunan kontraktilitas otot jantung menyebabkan penurunan
curah jantung. Penurunan curah jantung ini menyebabkan hipoksia, iskemia,
dan infark yang meluas. Kemudian aliran darah ke perifer akan berkurang,
ditandai dengan CRT > 2 detik, pucat, dan akral dingin. Penurunan aliran
darah ini akan mengakibatkan gangguan perfusi jaringan.
2.5 Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Nama : Tn. A
b. Umur : 47 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Tn. A masuk ke UGD dengan keluhan nyeri pada dada. Ketika dilakukan
pengkajian, klien tampak kesakitan dengan memegang di area dada. Selain itu,
klien juga tampak pucat.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus.
3. Tanda-tanda Vital
a. Respiratory Rate (RR) : 30x/menit
b. Tekanan darah (TD) : 90/50 mmHg
c. Nadi : 120x/menit
4. Pengkajian Primer
a. Airways (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas : (tidak dituliskan pada kasus)
() benda asing () bronkospasme
() darah () sputum () lendir
() lain-lain sebutkan: -
b. Breathing (Pernafasan)
Sesak dengan : Pasien mengeluh sesak nafas
19
() aktivitas () tanpa aktivitas () menggunakan otot tambahan
Frekuensi : 30 x/menit
Irama : (tidak dituliskan pada kasus)
() teratur () tidak teratur
Kedalaman : (tidak dituliskan pada kasus)
() dalam () dangkal
Reflek batuk : (tidak dituliskan pada kasus)
() ada () tidak ada
Batuk : (tidak dituliskan pada kasus)
()Tidak ada batuk () produktif () non produktif
Sputum : (tidak dituliskan pada kasus)
() ada () tidak
Warna :- (tidak dituliskan pada kasus)
Konsistensi :- (tidak dituliskan pada kasus)
Bunyi nafas : (tidak dituliskan pada kasus)
() ronchi () crackles
BGA : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Circulation (Sirkulasi)
Sirkulasi perifer:
Nadi : 120x/menit
Irama : (tidak dituliskan pada kasus)
() teratur () tidak
Denyut : (tidak dituliskan pada kasus)
() lemah () kuat () tidak kuat
TD : 90/50 mmHg
Ekstremitas : teraba dingin
() Hangat (√) Dingin
Warna Kulit : terlihat pucat
( ) cyanosis (√) Pucat () Kemerahan
Nyeri Dada : ada, pasien mengeluh nyeri dada.
(√) Ada () Tidak
Karakteristik nyeri dada : (tidak dituliskan pada kasus)
() Menetap () Menyebar ke leher
() Seperti ditusuk-tusuk () Seperti ditimpa benda berat
20
Capillary refill : >3 detik
() < 3 detik (√) > 3 detik
Edema : (tidak disebutkan pada kasus)
() Ya () Tidak
Lokasi edema : (tidak disebutkan pada kasus)
() Muka () Tangan () Tungkai () Anasarka
d. Disability
Tingkat kesadaran : compos mentis.
(√) Compos mentis ( ) Apatis ( ) Somnolen
( ) Sopor ( ) Soporocoma (Coma)
Pupil : (tidak dituliskan pada kasus)
() Isokor ( ) Miosis ( ) Anisokor
( ) Midriasis ( ) Pin poin
Reaksi terhadap cahaya : (tidak dituliskan pada kasus)
Kanan () Positif () Negatif
Kiri () Positif () Negatif
GCS : (tidak dijelaskan pada kasus)
Jumlah : -
5. Pengkajian Sekunder
a. Musculoskeletal / Neurosensori: tidak ada spasme otot, tidak ada vulnus,
tidak terdapat krepitasi, tidak terdapat fraktur, tidak ada dislokasi, dan
kekuatan otot normal.
(-) Spasme otot
(-) Vulnus
(-) Krepitasi
(-) Fraktur
(-) Dislokasi
(-) Kekuatan Otot :
21
( ) Luka Bakar: -
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil pemeriksaan EKG
Hasil pemeriksaan EKG yaitu menunjukkan adanya ST depresi di lead II, III,
AVF, dan ST elevasi I.
- N: 120X/mnt elektrikal
- ST depresi di lead II
- ST depresi di lead III
- ST elevasi I
DS:
3.
DO: Suplai oksigen tidak Ketidakefektifan pola
seimbang nafas
- RR: 30X/menit
22
- pola napas abnormal
- Klien tampak kesakitan
dengan memegang daerah
dada
DS:
- dispnea
DS: -
23
2) interupsi pada mereka yang tidak tidur atau
saat tidur dapat berkomunikasi beristirahat,sehingga
3) gangguan secara efektif. penggunaan kombinasi
pergerakan fisik c. Gunakan kombinasi analgesik dianjurkan(
analgesic jika nyeri misalnya opioid dan non-
memberat opioid).
d. Identifikasi intensitas d. Pergerakan fisik yang
nyeri selama menimbulkan nyeri dapat
pergerakan (misalnya dihindari dengan
batuk dan nafas menurunkan stimulus
dalam,ambulasi,transfe nyeri,yaitu dengan relaksasi
r ke kursi) pernapasan,dukungan
e. Tanyakan pasien psikologis pasien,dan
terkait dengan tingkat massage/sentuhan.
atau skala nyeri e. Pasien memerlukan istirahat
yang cukup dan manajemen
lingkungan yang tepat agar
tingkat nyeri dapat
berkurang.
24
2) Denyut nadi jantung konsumsi obat-obatan
perifer Perawatan Jantung monitor tekanan
3) Disritmia a. Monitor EKG,adakah darah,pembatasan
4) Sianosis perubahan segmen cairan,pembatasan
ST,sebagaimana alkohol,dan rehabilitasi
mestinya. jantung.
b. Lakukan penilaian Perawatan jantung
komprehensif pada a. Monitor EKG digunakan
sirkulasi untuk memantau adanya
perifer,(misalnya cek perubahan pada segmen
nadi ,edema,pengisian ST.apabila segmen ST
ulang kapiler,warna mengalami perubahan
dan suhu ekstremitas) (depresi/elevasi),maka
sesuai kebijakan agen. terdapat permasalahan
c. Catat tanda dan gejala jantung.
penurunan curah b. Mengetahui derajat
jantung. hipoksemia dan peningkatan
d. Monitor toleransi tahanan perifer.
aktivitas pasien. c. Memantau tanda gejala
penurunan curah jantung
karena menyebabkan suplai
darah yang akan menuju ke
jaringan perifer akan
berkurang dan terjadi
gangguan perfusi jaringan
perifer.
d. Memonitor bagaimana pasien
membatasi dalam
aktivitasnya.Pada keadaan ini
pasien dianjurkan untuk
beristirahat serta rileks.
25
b.d suplai Setelah dilakukan Pernafasan a. Memantau kecepatan
oksigen tidak tindakan
a. Monitor Kecepatan irama,kedalaman,dan
seimbang
keperawatan selama
irama,kedalaman,dan kesulitan bernafas untuk
1x24 Jam diharapkan
kesulitan bernafas. mengidentifikasi tanda dan
tidak terjadi pola
pernafasan yang b. Monitor pola nafas gejala pada pernafasan
buruk dengan kriteria Manajemen Jalan Nafas pasien agar dapat diatasi.
hasil: a. Posisikan untuk b. Memantau pola nafas pasien
Status Pernafasan
meringankan sesak untuk mendeteksi apakah
1) Frekuensi
nafas adanya pola nafas yang tidak
pernafasan
2) Dispnea saat b. Monitor status normal seperti
istirahat pernafasan dan hiperventilasi.terjadinya
oksigen,sebagaimana hiperventilasi dapat
mestinya disebabkan oleh gangguan
perfusi jaringan perifer
karena kurangnya suplai
oksigen,sehingga pasien
mengalami sesak nafas dan
tubuh akan melakukan
kompensasi dengan
meningkatkan pola nafas(
hiperventilasi).
Manajemen jalan nafas
a. Memposisikan pasien
senyaman mungkin untuk
meringankan sesak
nafas.apabila pasien masih
merasa sesak nafas,dapat
diberikan terapi oksigenasi
menggunakan nasal kanula
untuk meringankan sesak
nafas.
b. Memantau status pernafasan
pasien,apakah masih merasa
26
sesak nafas atau
tidak.memantau pola nafas
pasien,apakah setelah
diberikan terapi oksigen
masih terjadi hiperventilasi
atau tidak.
27
menentukan b. Mengukur tekanan darah
adanya hipotensi pasien untuk mengetahui
(didefinisikan apakah pasien tersebut
sebagai kurang mengalami hipotensi atau
dari 90 mmHg tidak.pasien dengan hipotensi
sistolik dan atau memiliki tekanan darah
kurang dari 60 dibawah 90/60 mmHg.
mmHg diastolic c. Mengetahui derajat
dalam populasi keasaman darah
umum). pasien.pasien dengan
c. Lakukan hipotermi akan memiliki
pengecekan gas darah yang cenderung asam.
darah, jika
memungkinkan.
28
2.8 Mind Map
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
STEMI (ST elevation myocardial infarction) merupakan salah satu jenis
serangan jantung berupa penyumbatan pembuluh darah arteri koroner secara total
sehingga otot-otot jantung tidak mendapat suplai oksigen. STEMI juga dapat
dikatakan sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan dengan tanda nyeri
dada yang khas dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST dan terjadi
pembentukan jaringan nekrosis otot yang permanen karena otot jantung kehilangan
suplai oksigen yang disebabkan oleh adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil. (Pusponegoro,2015). Beberapa faktor risiko yang dapat
memicu terjadinya STEMI diantaranya yaitu riwayat merokok, hipertensi, dan
diabetes melitus.
Berdasarkan dari kasus yang dialami oleh pasien diatas yang menderita
STEMI (ST elevation myocardial infarction) dan setelah dilakukan pengkajian
berdasarkan keluhan pasien maka dari hasil pengkajian dapat ditegakkan diagnosa
keperawatan terkait yaitu nyeri akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
O2, penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi atau irama
konduksi elektrikal, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan suplai oksigen
tidak seimbang, dan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
iskemik miokard. Diagnosa keperawatan tersebut akan memunculkan intervensi dan
implementasi yang dapat membantu pasien untuk dapat meminimalisir terjadinya
komplikasi. Intervensi dan implementasi ini dilakukan sesuai kondisi maupun
kebutuhan klien diantaranya meliputi kebutuhan oksigenasi, aman dan nyaman,
nutrisi dan cairan, serta aktivitas dan istirahat.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiana, M. (2021). BUKU AJAR BELAJAR CEPAT EKG. Airlangga University Press.
Dewi, R. F., Wahid, A., & Hafifah, I. (2016). Gambaran faktor risiko pada kejadian
mortalitas pasien stemi di rsud ulin banjarmasin. Dunia Keperawatan: Jurnal
Keperawatan dan Kesehatan, 4(2), 110-117.
Ere, Y. W. (2019). Asuhan keperawatan gawat darurat pada Tn. M. N.M dengan ST elevasi
miokard infark di Ruang ICU Prof. dr. W. Z. Johannes Kupang. Skripsi. Kupang:
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.
Ginanjar Eka., Sjaaf.C.A., Alwi Idrus. (2020). Code STEMI Program Improves Clinical
Outcome in ST Elevation Myocardial Infarction.
Irmalita, J. D., Andrianto, S. B., Tobing, D. P. L., Firman, D., & Firdaus, I. (2015). Pedoman
tatalaksana sindrom koroner akut. ke-3. Indonesia: PERKI.
Katz MJ, Ness, S.M. (2015). Coronary artery disease. American Heart Journal, 169 (1),
162-9.
Mulia, D. P., Budiarti, A., & Utomo, S. (2021). Tatalaksana sindrom koroner akut-STEMI
pada rumah sakit rujukan. Proceeding Book National Symposium and Workshop
Continuing Medical Education XIV.
Pratama, Agung Rizka dan Fadli, Muhammad. (2021). Peranan Inotropik dan Vsopresor
dalam Terapi Syok Kardiogenik. Cermin Dunia Kedokteran, 48(6), 307-314.
Safitri, E. S. (2013). St Elevasi Miokard Infark (Stemi) Anteroseptal Pada Pasien Dengan
Faktor Resiko Kebiasaan Merokok Menahun Dan Tingginya Kadar Kolestrol Dalam
Darah. Jurnal Medula, 1(04), 60-68.
Wahyuni, S. (2018). Karakteristik pasien ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) di
RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo periode Januari sampai Juni 2017. Doctoral
dissertation. Makassar: Universitas Hasanuddin.
31
MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN
STUDI KASUS LUKA BAKAR PADA ANAK
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS 1
Anggota Kelompok : 8
1
Kata Pengantar
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna menyelesaikan tugas kuliah
Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis I di Departemen Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Nur Hafidzah Widyaningtyas, S.Kep.,
M.Kep selaku dosen mata kuliah KGDK I yang telah membantu penulis dalam menyusun
makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Oleh kaena itu, kami mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun berbagai
pihak. Kami harap makalah ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi para pembaca.
Penulis
2
Daftar Isi
3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan populasi yang rentan mengalami luka bakar disebabkan
perkembangan fungsional (lambat bereaksi dan kemampuan mobilitas masih terbatas)
maupun fungsi imun terhadap penyakit belum sempurna. Luka bakar pada anak merupakan
masalah kesehatan yang penting namun belum banyak diungkap dibandingkan dengan
dewasa. Banyak penelitian di dunia yang mengaitkan mortalitas dengan karakteristik luka
bakar antara lain usia, jenis kelamin, penyebab luka bakar, kedalaman, luas luka bakar,
ada/ tidaknya trauma inhalasi, penyebab kematian dan sebagainya.
Luka bakar atau combustio adalah kehilangan jaringan atau suatu bentuk kerusakan
jaringan yang terjadi akibat dari kontak dengan sumber panas seperti api, bahan kimia, air
panas, listrik dan radiasi yang merupakan jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi sehingga memerlukan perawatan yang khusus mulai fase awal hingga fase
lanjut. Luka bakar terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang
menghasilkan panas baik kontak secara langsung maupun tidak langsung. Kulit adalah
organ tubuh terluas yang menutupi otot dan memiliki peran homeostasis. Kulit merupakan
organ terberat dan terbesar dari tubuh. Kulit memiliki struktur laminar yang tersusun oleh
epidermis yang merupakan lapisan paling luar dan dermis pada bagian dalam. Kulit
berfungsi sebagai termoregulator dan memiliki fungsi proteksi terhadap kehilangan cairan,
kerusakan mekanik, maupun infeksi. Seluruh kulit beratnya sekitar 2,7-3,6kg dan luasnya
sekitar 1,5-1,9m. Tebal kulit bervariasi mulai 0,5mm hingga 4mm tergantung letak, umur,
dan jenis kelamin.
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan cedera,
lamanya pajanan, dan ketebalan kulit. Luka bakar derajat 1 hanya melibatkan epidermis
yang umumnya disebabkan pajanan sinar matahari dan dapat mengalami penyembuhan
cepat. Luka bakar derajat II mengenai permukaan superfisial dermis disebut dengan partial
thickness burn yang ditandai dengan terbentuknya bula dan umumnya sembuh kurang dari
21 hari. Pada luka bakar derajat III, terlihat kerusakan yang lebih dalam seperti persarafan
bahkan mengenai tulang. Penentuan luas luka bakar dengan bantuan rule of nine Wallace
yang membagi sebagai berikut: kepala dan leher 9%, lengan 18%, badan bagian depan
18%, badan bagian belakang 18%, tungkai 36%, dan genitalia/ perineum 1%. Luas telapak
4
tangan penderita adalah 1% dari luas permukaan tubuhnya. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebabkan kehilangan cairan terjadi akibat penguapan yang berlebihan di derajat
1, penumpukan cairan pada bula di luka bakar derajat 2, dan pengeluaran cairan dari
keropeng luka bakar derajat 3. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya masih
terkompensasi oleh keseimbangan cairan tubuh, namun jika lebih dari 20% resiko syok
hipovolemik akan muncul dengan tanda-tanda seperti gelisah, pucat, dingin, nadi lemah
dan cepat, serta penurunan tekanan darah dan produksi urine. kulit manusia dapat
mentoleransi suhu 44∘C (111∘F) relatif selama 6 jam sebelum mengalami cedera termal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja istilah-istilah yang ada di dalam kasus?
2. Apa saja data pengkajian yang perlu dikaji lebih lanjut/dilengkapi pada kasus?
3. Apa kasus yang kemungkinan terjadi pada pasien?
4. Apa patofisiologi yang ada dalam kasus?
5. Apa diagnosa dan intervensi keperawatan yang ada pada kasus?
6. Apa saja rasionalisasi dari setiap intervensi yang disusun?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui istilah-istilah yang ada pada kasus
2. Mengetahui data yang perlu dikaji lebih lanjut dari kasus
3. Mengetahui kasus yang dialami oleh pasien
4. Mengetahui patofisiologi dari kasus yang dialami pasien
5. Mengetahui diagnosa dan intervensi keperawatan dari kasus
6. Mengetahui rasionalisasi dari setiap intervensi yang disusun berdasarkan kasus
5
BAB II PEMBAHASAN
A. Gambaran Kasus
Anak H usia 5 tahun, dibawa ke UGD karena mengalami luka bakar penuh di kepala,
leher, dada, abdomen dan kedua lengan atas karena tersiram air panas. Anak tersebut terlihat
menangis, mengeluh dingin dan nyeri, suara serak dan sulit berbicara. Ibu anak tersebut terlihat
panik dan menangis. Hasil pemeriksaan menunjukkan nadi perifer teraba lemah, nadi 140
x/mnt, frekuensi pernapasan 40x/mnt, CRT >2 detik.
2. Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas
ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera
jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.
3. Panik
Gangguan panik merupakan suatu pengalaman serangan panik yang tidak diharapkan yang
diikuti oleh ketakutan yang menetap tentang kemungkinan berulangnya serangan atau
perubahan perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai akibat dari serangan tersebut.
4. Frekuensi Pernapasan
Frekuensi pernapasan atau respiratory rate (RR) atau kecepatan pernapasan adalah
indikator kemampuan paru dalam melakukan proses ventilasi yang diukur dalam satu
menit.
5. Nadi Perifer
Denyut nadi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni nadi apikal dan nadi perifer. Denyut
nadi apikal adalah denyut nadi yang dirasakan pada daerah apeks jantung, sedangkan
denyut nadi perifer adalah denyut nadi pada daerah pembuluh darah
6
6. CRT (Capillary Refill Time)
CRT (Capillary Refill Time) adalah tes yang digunakan cepat pada daerah dasar kuku
untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan.
7
3. Suhu tubuh meningkat
4. Konsentrasi urin meningkat
5. Berat badan turun tiba-tiba
2. Aritmia
Aritmia menurut Lim (2018) merupakan gangguan pada detak atau irama jantung
yang ditandai oleh detak jantung yang tidak beraturan, dapat terlalu cepat atau terlalu
lambat. Terjadinya aritmia pada penderita luka bakar menurut Kurniadi (n.d) adalah karena
terjadinya penurunan kardiak output akibat kehilangan cairan, tekanan darah yang
menurun, yang terjadi karena saraf simpatis akan melepaskan katekolamin yang dapat
meningkatkan resistensi perifer (vasokontriksi) dan peningkatan pada frekuensi nadi.
Tanda gejala aritmia menurut Lim (2018) yaitu :
1. Hilangnya kesadaran secara tiba-tiba
2. Kesulitan bernapas
3. Sakit kepala
4. Sakit pada bagian ada yang sensasinya terasa seperti tertusuk, perih, dan tertekan
5. Badan terasa tidak bertenaga atau mudah lelah
6. Jantung yang berdetak lebih lambat dari detak jantung normal (bradikardia)
7. Jantung berdetak sangat cepat melebihi jantung normal atau > 100 kali per menit
(takikardia)
3. Laringospasme
Laringospasme menurut Evans et al (2008) adalah tertutupnya glotis akibat
kontriksi refleks otot laring; bagian yang tertutup dapat parsial atau total. Laringospasme
total diartikan berbeda dengan laringospasme sebagian berdasarkan tanda gejalanya.
Laringospasme total ditandai dengan adanya pergerakan dada tanpa adanya pergerakan
kantung udara dan tidak dimungkinkan adanya ventilasi. Sedangkan laringospasme parsial,
terdapat pergerakan dada namun terdengar suara nafas tambahan yaitu stridor dengan
ketidaksesuaian upaya pernapasan yang dilakukan dengan sedikitnya pergerakan kantung
udara. Luka bakar seluruh wajah dan leher berakibat pada munculnya risiko kontraktur
yang dapat menekan jalan napas dan menyebabkan terjadinya obstruksi pada jalan napas.
(Sabri et al, 2017) Tanda gejala yang diidentifikasi pada berbagai tingkat obstruksi jalan
napas menurut Evans et al (2008) :
1. Gerakan dada paradoksal
2. Retraksi dada dan tarikan otot leher (tracheal tug)
3. Suara stridor dapat terdengar pada pasien dengan laringospasme parsial, namun tidak
ada pada laringospasme total
4. Hipotermia
Hipotermia menurut PPNI (2016) adalah suhu tubuh yang berada di bawah rentang
normal. Menurut Brunner & Suddarth (2013) dalam Fatah (2019) hilangnya kulit akibat
terpajan luka bakar menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mengatur suhunya menjadi
8
rentang normal. Umumnya, beberapa jam pertama pasca luka bakar terjadi suhu tubuh
menjadi rendah (hipotermia), namun pada beberapa jam berikutnya suhu tubuh akan naik
dan menyebabkan hipotermia yang diakibatkan oleh adanya hipermetabolisme dalam
tubuh. Tanda gejala hipotermia menurut PPNI (2016), yaitu :
Gejala dan Tanda Mayor
Objektif 1. Akrosianosis
2. Bradikardia
3. Dasar kuku sianotik
4. Hipoglikemia
5. Hipoksia
6. Pengisian kapiler > 3 detik
7. Konsumsi oksigen meningkat
8. Ventilasi menurun
9. Piloereksi
10. Takikardia
11. Vasokonstriksi perifer
12. Kutis memorata (pada neonatus)
9
D.Patofisiologi
Panas
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
10
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
I. Identitas pasien
a. Nama : An. H
c. Umur : 5 Tahun
a. Alasan masuk Rumah Sakit : mengalami luka bakar penuh di kepala, leher, dada,
abdomen dan kedua lengan atas karena tersiram air panas
11
b. Keluhan Utama : Pasien Mengeluh dingin dan nyeri
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure
i. Jejas/luka : Adanya luka bakar penuh di kepala, leher, dada, abdomen, dan kedua
lengan atas
ii. Luas luka bakar :36%
12
- Kepala penuh : 13%
- Leher : 2 %
- Dada + Abdomen : 13%
- Kedua lengan atas : 8%
iii. Derajat luka bakar : (tidak disebutkan pada kasus)
iv. Temperatur : (tidak disebutkan pada kasus)
a. Keluhan utama :
b. Penampilan umum :
Pasien mengalami luka bakar penuh di kepala, leher, dada, abdomen, dan kedua lengan
atas; pasien terlihat menangis; suara terdengar serak; dan sulit berbicara
c. Pengkajian AMPLE :
d. Pengkajian nyeri
iii. Radiates : Nyeri dirasakan di sekitar area luka bakar, yaitu di kepala, leher, dada,
13
abdomen, dan kedua lengan atas
i. Kepala :
iii. Wajah :
iv. Mata :
ix. Dada
Palpasi : Nyeri
x. Abdomen
14
Inspeksi : Kulit melepuh
Palpasi : Nyeri
xii. Ekstremitas bawah : tidak ada luka bakar, tidak ada edema
2. Diagnosis Keperawatan (diurutkan sesuai yg paling prioritas, pake tabel analisis data)
DO:
1. Jalan napas
tersumbat
2. Frekuensi napas
berubah yaitu
40×/menit
(normal : 20-
25×/menit)
15
DS: Penurunan aliran arteri Perfusi Perifer Tidak
dan/atau vena Efektif (D.0009)
1. Mengeluh
dingin
2. Nyeri
DO:
1. Nadi perifer
lemah
2. CRT >2 detik.
3. Frekuensi nadi
meningkat yaitu
140x/menit
(normal pada
anak usia 5
tahun : 70-
120x/menit)
DO:
1. Tampak
meringis
2. Luka bakar dari
kepala, leher,
dada, abdomen
dan kedua
lengan sebesar
36%
16
DO: Faktor mekanis Gangguan Integritas
(tersiram air panas) Kulit (D.0192)
1. Kerusakan
lapisan kulit
2. Nyeri
3. Luka bakar dari
kepala, leher,
dada, abdomen
dan kedua
lengan sebesar
36%
17
DAFTAR PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
5. Hipovolemia (D.0023)
18
Posisikan semi
fowler atau Membantu mengurangi
fowler sesak napas, menurunkan
konsumsi oksigen dan
mempertahankan
kenyamanan posisi klien
Beri minum
hangat Mempermudah
pengeluaran sekret ketika
batuk efektif
Ajarkan teknik
batuk efektif Mengeluarkan dahak
yang menumpuk di
bagian dalam paru-paru
menggunakan energi
untuk batuk dengan
seefektif mungkin.
4.Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian Bronkodilator untuk
bronkodilator, mempelebar saluran
ekspektoran, pernapasan apabila
mukolitik, jika terjadi penyempitan
perlu saluran napas.
Sedangkan ekspektoran
dan mukolitik untuk
mengencerkan dahak
19
yang kental agar mudah
dikeluarkan
Hindari
pemasangan infus Dapat memperparah
atau pengambilan kondisi kulit akibat luka
darah di area bakar karena integritas
keterbatasan kulit masih belum
perfusi membaik
Lakukan
pencegahan Dengan memberikan
infeksi perawatan luka bakar
yang tepat serta
memonitor tanda tanda
infeksi seperti
kemerahan, nanah atau
keluar banyak eksudat.
20
Lakukan hidrasi
Memenuhi kebutuhan
cairan yang hilang akibat
adanya peningkatan
permeabilitas kapiler
3. Edukasi
Anjurkan
melakukan Memperbaiki integritas
perawatan kulit kulit akibat luka bakar
yang tepat dan menggunakan teknik
aseptic untuk mencegah
risiko infeksi
Anjurkan program
rehabilitasi Meningkatkan perfusi
vascular perifer dan tekanan nadi
membaik
· Anjurkan
program diet Diet tinggi protein untuk
untuk membantu memperbaiki
memperbaiki jaringan yang rusak
sirkulasi (mis.
Rendah lemak
jenuh, minyak
ikan omega 3)
21
Manajemen
Nyeri Akut Setelah dilakukan Nyeri
intervensi selama 2 1. Observasi
x 30 menit maka · Identifikasi
tingkat nyeri lokasi, Untuk mengetahui
menurun dengan nyeri,karakteristik, adanya ketidaknormalan
kriteria hasil : durasi, frekuensi, data yang dapat
1. Keluhan nyeri kualitas dan memperparah nyeri
menurun intensitas nyeri
2. Meringis · Identifikasi skala
menurun nyeri Menyesuaikan intervensi
3. Gelisah yang diberikan sesuai
menurun skala nyeri yang
4. Frekuensi nadi dirasakan
membaik · Identifikasi
5. Pola napas respon nyeri non Mengidentifikasi data
membaik verbal subjektif pasien dari
respon non verbal
2. Terapeutik
· Berikan teknik
nonfarmakologis Membantu untuk
untuk mengurangi mengalihkan rasa nyeri
rasa nyeri (mis. dengan terapi bermain
Terapi bermain) pada anak
· Kontrol
lingkungan yang Mengurangi faktor yang
memperberat rasa dapat berisiko
nyeri ( mis. Suhu memberikan rasa
ruangan, ketidaknyamanan pasien
pencahayaan dan
kebisingann)
3. Edukasi
22
· Jelaskan
strategi meredakan Menjelaskan cara yang
nyeri dilakukan untuk
mengalihkan rasa nyeri
pada anak
4. Kolaborasi
· Kolaborasi
pemberian Obat analgetik bekerja
analgetik, jika mengaktivasi reseptor
perlu opioid pada SSP untuk
mengurangi rasa nyeri.
Perawatan Luka
Gangguan Setelah dilakukan Bakar
Integritas Kulit intervensi selama
2 x 40 menit maka 1. Observasi
integritas kulit
meningkat dengan Identifikasi durasi
kriteria hasil : luka bakar dan Membantu dalam
1. Hidrasi riwayat menetapkan intervensi
meningkat penanganan luka yang sesuai
2. Perfusi
jaringan ·Minotor kondisi
meningkat luka (mis. Ukuran, Mengetahui data data
3. Kerusakan derajat, objektif yang tidak
lapisan kulit pendarahan, warna normal dan membantu
menurun dasar, infeksi, dalam melakukan
4. Nyeri eksudat, bau dan tindakan yang sesuai
menurun kondisi tepi luka)
5. Suhu kulit
membaik 2. Terapeutik
·Bersihkan luka
dengan cairan NaCl 0,9% atau cairan
steril (mis. NaCl antiseptic dapat
0,9% , cairan menurunkan dan
antiseptic) membunuh
mikroorganisme dalam
luka untuk menghindari
risiko infeksi
Gunakan modern
dressing sesuai Modern dressing
dengan kondisi melindungi luka dari
luka sekaligus sekaligus
merangsang poliferasi
jaringan
23
Berikan suplemen
vitamin dan Membantu
mineral (mis. menyeimbangkan
Vitamin A, kestabilan elektrolit
vitamin C, zinc, dalam tubuh serta
asam amino), membantu pembentukan
sesuai indikasi kolagen yang dapat
mendorong pembentukan
jaringan kulit yang baru
3. Edukasi
·Anjurkan
mengkonsumsi Makanan tinggi kalori
makanan tinggi dan protein membantu
kalori dan protein meningkatkan proses
penyembuhan luka
4. Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian Antibiotik untuk
antibiotik, jika mengatasi infeksi bakteri
perlu dari luka.
Managemen
Hipovolemia Setelah dilakukan Hipovolemia
intervensi selama 2
x 15 menit maka 1. Observasi
status cairan
membaik dengan · Monitor intake
kriteria hasil : dan output cairan Membantu menentukan
1. Dispnea intervensi keperawatan
menurun yang diberikan
2. Frekuensi 2. Terapeutik
nadi membaik
3. Tekanan · Hitung
nadi membaik kebutuhan cairan Menentukan cairan
4. Intake pengganti yang diberikan
cairan membaik sesuai rumus kebutuhan
5. Suhu tubuh cairan akibat luka bakar
membaik 3. Edukasi
· Anjurkan
perubahan posisi Untuk menghindari
mendadak perubahan sirkulasi dan
terjadinya nyeri akibat
posisi yang tidak tepat.
4. Kolaborasi
24
· Kolaborasi
pemberian cairan Infus NaCl 0,9%
IV isotonis diberikan untuk
(NaCL, 0,9%) mengganti cairan tubuh
yang hilang akibat luka
bakar
F. Mind Map
25
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Luka bakar merupakan kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh sentuhan yang
menghasilkan panas yang terjadi pada bagian kulit. Luka bakar dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti cairan panas, api, listrik, zat kimia, serta radiasi. Derajat luka bakar dibagi menjadi
3 yaitu grade I (dengan kerusakan pada epidermis), grade II (kerusakan mencapai dermis atau
lapisan dalam kulit), serta grade III (kerusakan pada seluruh lapisan kulit). Pada luka bakar
diperlukan adanya pengkajian lengkap meliputi primer, sekunder, serta pemeriksaan gas arteri.
Efek samping dari luka bakar dapat menimbulkan berbagai masalah keperawatan seperti
ketidakefektifan bersihan jalan napas, gangguan rasa nyaman : nyeri, ketidakefektifan perfusi
perifer, serta risiko defisit volume cairan. Intervensi keperawatan yang tepat diperlukan guna
mencegah terjadinya komplikasi serta meminimalisir ketidaknyamanan pasien.
B. Saran
26
Daftar Pustaka
Anggraeni, L., & Bratadiredja, M. A. (2018). Review Artikel: Tanaman Obat yang Memiliki
Aktivitas Terhadap Luka Bakar. Farmaka, 16(2), 51-59
Aryati, K. (2020). Seorang Laki-Laki Usia 27 Tahun dengan Gangguan Panik. Medical
Profession Journal of Lampung, 9(4), 749-753.
Evans, D.H., Morgan, P., & Farrar, M. (2008). Pediatric laryngospasm. Pedhiatric Anesthesia. 18:
303-307. Diakses melalui
https://www.mcgill.ca/anesthesia/files/anesthesia/laryngospasm.pdf pada 28 April 2022.
Fatah, I.M. (2019). Manajemen asuhan keperawatan kegaatdaruratan pada tn. p dengan diagnosa
medis luka bakar (combustio) dengan tindakan debridement di ruang kamaar operasi igd
rsup. dr. wahidin sudirohusodo makassar : karya ilmiah akhir. Diakses melalui
https://ruslanstikpan.com/assets/uploads/alumni/40a92c9d44c11ebd6161639913e99979.p
df. pada 28April 2022: Makassar.
Kurniadi, R. (n.d). Asuhan Keperawatan Luka Bakar dengan NANDA, NOC, NIC. Diakses
melalui http://repo.poltekkes-
medan.ac.id/jspui/bitstream/123456789/2198/1/docdownloader.com_asuhan-
keperawatan-luka-bakar-dengan-nanda-noc-nic-rizki-kurniadi.pdf pada 27 April 2022.
Lim, H. (2018). Waspada! Aritmia menjadi Salah Satu Penyebab Kematian Mendadak. Diakses
melalui https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/waspada-aritmia-
menjadi-salah-satu-penyebab-kematian-mendadak pada 27 April 2022.
Magdalena, H., & Ramadhan, F. C. (2018). Aplikasi Registrasi Pasien Berbasis Web di Unit Gawat
Darurat (Studi Kasus: Rumah Sakit Bakti Timah Pangkalpinang). Fountain Informatics J,
3(2), 54.
Nekada, C. D. Y., & Judha, M. (2019). Dampak Frekuensi Pernapasan Predialisis Terhadap
Kram Otot Intradialisis di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Jurnal Keperawatan
Indonesia, 22(1), 11-22.
Zuhair, M. N. (2021). Hubungan Intensitas Nyeri dengan Status Fungsional Penderita Low Back
Pain (LBP) di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS
HASANUDDIN).
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Ed.
1. Jakarta: DPP PPNI.
Sabri, A., Dabbous, H., Dowli, A., & Barazi, R. (2017). The airway in inhalation injury: diagnosis
and management. Ann Burns Fire Disasters 30(1):24-29. Diakses melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5446904/ pada 28 April 2022.
Sitohang, D. (n.d). Diagnosis keperawatan pada pasien luka bakar. DIakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=
8&ved=2ahUKEwi5_8GrqrT3AhVp8XMBHacDB1gQFnoECDkQAQ&url=https%3A%
27
2F%2Fosf.io%2Fv95zx%2Fdownload%2F%3Fformat%3Dpdf&usg=AOvVaw3pB1hthz
UG7FgN2rO3rY5_ pada 27 April 2022.
28