Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PASIEN DENGAN BATU SALURAN KEMIH


Dosen Pembimbing Dr. Moch. Bahrudin, M. Kep., Sp. KMB.

DisusunOleh:
Kelompok 1
Tingkat 2A

1. Moch. Iqbal Pratama (01)


2. Dina Frida Aisyiya (02)
3. Nurul Amaliyah (03)
4. Aris Novi Indrasari (04)
5. Fitra Ayu Saputri (05)
6. Ajeng Rufaidah H. (06)
7. Hatipah Al Inayah H. (07)
8. Nur Candrawati A. (08)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SIDOARJO
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat, serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran Kemih.
Makalah Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran Kemih ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 2. Makalah ini berisi tentang pengertian batu saluran kemih,
etiologi batu saluran kemih, teori proses pembentukan batu saluran kemih, gejala
klinis dari pembentukan saluran kemih dan asuhan keperawatan pasen dengan
batu saluran kemih.
Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran
Kemih, tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuandari beberapa pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepadaYth:

1. Bapak Dr. Moch. Bahrudin, M. Kep., Sp. KMB.


2. Bapak dan Ibu Dosen Prodi DIII Keperawatan Sidoarjo.
3. Teman - teman Prodi DIII Keperawatan Sidoarjo angkatan 2018 atas
motivasi dan dukungannya sehingga kami bias menyelesaikan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
dibutuhkan. Semoga dengan adanya makalah inidapat memberikan manfaat
bagikami sekaligus bagi para pembaca.

Sidoarjo, 16 Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 2

1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................................ 2

1.3.2 Tujuan Khusus........................................................................................................ 2

1.4 Manfaat ........................................................................................................................ 2

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Batu Saluran Kemih ................................................................................... 3


2.2 Etiologi Batu Saluran Kemih ........................................................................................ 3
2.3 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih .................................................................... 4
2.4 Gejala Klinis Dari Pembentukan Saluran Kemih ...........................................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


3.1 Pengkajian .....................................................................................................................6
3.2 Diagnosa .......................................................................................................................6
3.3 Intervennsi .....................................................................................................................6
BAB 1V PENUTUP
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................14
4.2 Saran ....................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman babilonia dan
zaman mesir kuno. Sebagai salah satu buktnya adalah diketemukan batu pada
kandung kemh seorang mummi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk
seluruh dunia tdak terkecuali penduduk di indonesia. Angka kejadian penyakit
ini tdak sama diberbagai belahan bumi. Di negara – negara berkembang
banyak dijumpai pasien batu buli – buli sedangkan di negara maju lebih
banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena
pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari – hari.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan batu saluran kemih ?
2. Bagaimana etiologi batu saluran kemih ?
3. Bagaimana teori proses pembentukan batu saluran kemih ?
4. Bagaimana gejala klinis dari pembentukan saluran kemih ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menerapkan tentang asuhan keperawatan
tentang batu saluran kemih.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian batu saluran kemih.
2. Untuk mengetahui etiologi batu saluran kemih.
3. Untuk mengetahui teori proses pembentukan batu saluran kemih.
4. Untuk mengetahui gejala klinis dari pembentukan saluran kemih.

1
1.4 Manfaat
2.1Bagi Pasien
Agar pasien mengerti tentang batu saluran kemih.
2.2Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa mengerti dan menerapkan tentang asuhan
keperawatan batu saluran kemih dengan benar dan sesuai SOP.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Epilepsi


Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relatif serng terjadi.
Epilepsi merupakan suatugangguan fungsional kronik dan banyak jenisnya dan
ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan kejang yang merupakan
gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan kelainan fungsional (
Motorik, sensorik, atau psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak terkontrol
serta timbul secara periodik.

Epilepsi dapat digolongkan sebagai idiopatik atau simtomatik. Pada


epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi pada otak. Pada
epileps simtomatik atau sekunder memang ada kelainan serebral yang
mempermudah terjadinya respon kejang.

2.2 Patologi Epilepsi


Aktivitas serangan epilepsi dapat terjadi sesudah suatu gangguan pada otak
dan sebagian ditentukan oleh derajat danlokasi dari lesi. Lesi pada mesensefalon,
thalamus dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya tidak menimbulkan
serangan epilepsy.

Pada tingkat membrane sel, neuron epileptic ditandai oleh fenomena


biokimia tertentu. Beberapa diantaranya adalah

1. Ketidakstabilan membrane sel saraf sehingga sel lebih mudah diaktifkan


2. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun, sehingga mudah
terangsang, dan secara berlebihan
3. Mungkin terjadi polarisai yang abnormal (polarisasi berlebihan,
hiperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi)

3
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron.
Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neunoral
mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan
membrane neuron mengalami depolarisasi
Perubahan – perubahan metabolism yang terjadi selama serangan dan
segera sesudah serangan antara lain disebabkan juga oleh peningkatan kebutuhan
energy akibat hiperaktivitas neuron. Kebutuhan metabolisme meningkat secara
drastis selama serangan kejang .pengeluaran energy listrik oleh sel – sel saraf
motorik dapat meningkat, demikian juga pernapasan jaringan dan glikolisis.
Selama dan sesudah serangan, cairan serebrospinal mengandung asetilkoin,
sedangkan kadar asam glutamate mungkin menurun selama serangan

Pada waktu diadakan otopsi tiidak ditemukan perubahan makroskopis.


Bukti hispatologis menyokong hipotesis bahwa lesi sesungguhnya bersifat
neurokimia dan bukan structural. Tidak ditemukan adanya faktor patologis yang
konsisten. Diantara serangan ditemukan kelainan fokal pada metabolism kalium
dan asetilkolin. Agaknya ditempat yang mengalami serangan sangat peka terhadap
asetilkolin, yaitu suatu transmitter fasilitator. Pembuangan dan pengikatan
asetilkolin berlangsung lambat.

2.3 Serangan Kejang


Ada 2 golongan utama epilepsi serangan parsial atau fokal yang mulai
pada suatu tempat tertentu di otak, biasanya didaerah kortek sereebri dan
serabbngan umum yang mencakup seluruh korteks serebri dan diensefalon.

Epilepsi parsial dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar atau


kompleks. Epilepsi parsial gejala-gejala besar adalah yang mencakup gejala –
gejala motorik atau sensorik. dari jenis ini epilepsi jackson yang paling sering
ditemui, dan fokus biasanya terletak pada korteks motorik atau korteks sensorik.
Salah satu contoh serangan parsial yang disertai simptomatologi kompleks adalah
epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor. Epilepsi parsial yang
kompleks melibatkan gangguan fungsional serebral pada tingkat yang lebih tinggi,
seperti proses ingatan dan proses berfikir serta tingkah laku motorik kompleks
yang berjalan otomatis. Fokus epileptik pada jenis epilepsi ini seringkali Pada

4
lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan
menjadi serangan umum (motorik utama).

Epilepsi motorik Jakson ditandai oleh suatu awitan fokal dan diduga
disebabkan oleh lesi pada korteks kontralateral. Epilepsi jenis ini biasanya nya
dimulai dengan spasme tonik atau gerak kedutan klonik dan ritmis jari pada salah
satu tangan, satu sisi wajah dan sebagainya. Gangguan ini menyebar secara
progresif misalnya di wajah ke leher, tangan, lengan bawah, lengan atas, tubuh
dan tungkai, semuanaya hanya pada sisi tubuh. Pada keadaan tertentu terjadi
penyebaran ke hemisfer yang berlawanan, disertai kehilangan kesadaran. Penting
sering mengamati dimana serangan dimulai, mungkin ini merupakan kunci yang
dapat menunjukkan lokasi lesi.

Epilepsi jackson dapat pula bersifat sensorik. Pasien mengeluhkan suatu


sensasi abnormal yang bersifat sementara (misalnya baal, perasaan seperti ada
yang merayap, tertusuk jarum) yang mula-mula timbul sebagai fenomena vocal
tetapi kemudian secara progresif mencakup seluruh satu sisi tubuh. Biasanya
sebagian gerakan klonik ada kaitannya dengan serangan sensorik, karena dalam
korteks sensorik terdapat di bagian representasi motorik.

Epilepsi psikomotor (lobus temporalis) ditandai oleh gangguan mental


yang bersifat sementara dan gerakan-gerakan otomatis dan tak bertujuan (
bertepuk tangan, mengecap-ngecap bibir, gerakan mengunyah). Pasien tersebut
mungkin juga mempunyai perasaan tidak di alam nyata, per kabut dan “bagaikan
mimpi”.

Biasanya pasien tetap sadar selama serangan, tetapi umumnya tidak dapat
mengingat kembali apa yang telah dialaminya. Tingkah laku lain yang ada kaitan
nya dengan epilepsi jenis ini antara lain: tiba-tiba mengingat kembali apa yang
telah dialaminya dulu, halusinasi (seringkali penglihatan atau penciuman),mudah
lupa, kesulitan menentukan kata-kata tertentu, perubahan kepribadian, tingkah
laku anti sosial serta afek yang tidak sesuai dengan suasana bicara. Sesudah
serangan pasien mungkin akan memasuki keadaan fuguedimana pasien dapat saja

5
melakukan suatu aktivitas yang terorganisasi dan kompleks tetapi tidak dapat
mengingatnya (amnesia).

Serangan dapat ditimbulkan oleh musik, kerlipan cahaya yang


menyilaukan atau rangsangan lainnya. Serangan dapat terjadi pada setiap usia,
tetapi lebih sering pada orang dewasa. serangan persikomotor seringkali dikaitkan
dengan lesi fokal yang kecil pada lobus temporalis anterior. Terutama pada girus
hipokampus ( unsinatus ). Namun dapat pula mencakup lesi yang letaknya di luar
lobus temporalis( dalam insula, korteks orbitalis,pusat penciuman anterior dan
diensefalon). Ikut terlibat nya struktur-struktur ini dapat menjelaskan fakta
mengapa suatu aura (suatu gejala peringatan akan timbulnya serangan) yang
terjadi pada epilepsi psikomotor seringkali terbentuk suatu ilusi perseptual,
misalnya mengecap sesuatu yang tidak enak atau bau yang kurang menyenangkan.

Epilepsi(kejang) umum ditandai oleh timbulnya aktivitas epilepsi bilateral


dan simetris (tidak lokal). Termasuk didalamnya adalah absence atau serangan
petik mal, dan serangan tonik-klonik atau grand mal.

Epilepsi absence atau petit mal ditandai dengan hilangnya kesadaran yang
berlangsung singkat,jarang melampaui beberapa detik. Misalnya, penderita dapat
berhenti berbicara sejenak, pandangannya kosong atau mata berkedip -kedip
dengan cepat.Penderita mungkin mendapat satu atau dua kali serangan sebulan,
atau mungkin sampai beberapa kali sehari. Serangan absenceini hampir eksklusif
terjadi pada anak-anak; awitan sangat jarang pada usia di atas 20 tahun.Dapat
hilang sesudah anak mencapai usia remaja atau mungkin dapat pula diganti oleh
epilepsi jenis lainnya terutama jenis tonik-klonik.

Epilepsi tonik-klonik atau grand mal merupakan serangan epilepsi yang


klasik. Serangan epilepsi ini ditandai oleh adanya aura, diikuti oleh hilangnya
kesadaran dan kejang tonik – klonik. Aura merupakan sesuatu indikasi sensorik
yang menyatakan bakal datangnya serangan epilepsi. Aura ini dapat berupa suatu
sensasi penglihatan, pendengaran atau penciuman yang hanya berlangsung selama
beberapa sesaat.

6
Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara cepat.
Dapat terdengar teriakan akibat spasme toraks atau spasme abnormal yang
menyebabkan ekspresi kuat. Pasien kehilangan kemampuannya untuk tetap
mempertahankan tubuh dalam posisi yang tegak, gerakan tonik, kemudian kelonik
inkontinensia kemih dan feses, disertai dengan disfungsi otonom lainnya. Pada
fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu. Sam fase ini
berlangsung hanya beberapa detik. Fase klonik berupa kontraksi dan relaksasi
kelompok otot-otot yang berlawanan, sehingga menimbulkan gerakan yang
tersentak-sentak. Kontraksi sedikit demi sedikit berkurang frekuensinya, tetapi
tidak kekuatannya. Lidah dapat lidah dapat tergigit, seperti yang terjadi pada
sekitar separuh dari penderita kejang (spasme rahang dan lidah). Serangan itu
berlangsung sekitar 3 sampai 5 menit dan diikuti dengan periode tidak sadar yang
berlangsung selama beberapa menit sampai sekitar setengah jam. Pasien yang
sadar kembali tampak bingung,stupor atau bodoh. Stadium ini disebut stadium
post-iktal. Biasanya pasien tidak dapat mengingat serangan yang telah dialaminya.

Kejang tonik-klonik berat dapat menyebabkan terjadinya hipoksia sistemik


disertai asidosis akibat spasme otot pernafasan, aktivitas otot yang terlalu
berlebihan, dan terhentinya pernapasan. Akibat dari kejang yang lama dapat
timbul henti jantung dan pernafasan.

Kejang demam tonik-klonik, sering disebut kejang demam, sangat sering


dijumpai pada anak-anak berusia dibawah 5 tahun. Menurut teori, serangan kejang
ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hipertermia yang timbul mendadak pada
infeksi bakteri atau virus. Serangan ini biasanya tidak lama dan biasanya ada
predisposisi familial. Pada beberapa kasus serangan kejang ini dapat berlanjut
terus melampaui usia kanak-kanak, dan anak ini berkemungkinan akan mendapat
serangan kejang tanpa demam di kemudian hari.

Selain dari tipe kejang umum yang sering dijumpai ini, ada beberapa kasus
yang mungkin merupakan keadaan sekunder. Kecantikan ini dapat disebabkan
oleh gangguan metabolik seperti gagal ginjal, hipoglikemia, hipoksia,
hiponatremia, hipernatremia gagal hati atau gejala putus obat. Setelah menderita

7
meningitis atau ensafilitis, seringkali pasien mendapatkan serangan kacang
sekunder yang dapat berupa kejang tonik-klonik dan fokal, atau psikomotor.

2.4 Pengobatan
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi adalah terapi obat – obatan
untuk mencegah timbulnya serangan kejang atau untuk mengurangi frekuensinya,
sehingga pasien dapat menjalani kehidupan yang normal. Sekitar 70-80%
penderita dapat merasakan manfaat obat – obat antikonvulsan. Obat yang dipilih
ditentukan oleh jenis serangan, dan dosisnya disesuaikan secara perorangan.

Secara historik, digunakan kombinasi obat- obatan dengan tujuan


mengurangi dosis obat, sehingga dapat mengurangi efek sampingnya. Tetapi
sekarang banyak dokter yang hannya memakai satu jenis obat saja dan sedapat
mungkin mengurangi jumlah obat yang digunakan.

Adapun cara yang dipakai, penilaian klinis yang cermat dan pemeriksaan
kadar obat yang sering, sangat penting dalam menangani penderita ini.
Pemantauan kadar obat memungkinkan individualisasi dosis obat yang sesuai
dengan kebutuhan penderita. Kemampuan pasien dalam metabolisme obat sangan
sangat bervariasi. Faktor – faktor seperti kadar protein dalam serum dan
kemampuan enzim – enzim hati untuk menghancurkan obat mempengaruhi dosis
dan kadar obat dalam serum.

Asetazolamid (Diamox), yang diberikan bersama obat antikonvulsan,


menghasilkan suatu keadaan yang keasamannya relatif menyerupai penderita yang
diberi diet ketogenik. Keadaan ini agaknya menimbulkan suasana yang cenderung
mengurangi aktivitas serangan. Keadaan dehidrasi agaknya juga mengurangi
aktivitas serangan seperti halnya kegiatan fisik (mungkin karena kegiatan fisik
menghasilkan asam laktat).

Mempertahankan patensi jalan napas dan mencegah terjadi cedera adalah


dua tujuan utama dalam merawat penderita yang sedang mengalami serangan.
Mempertahankan posisi penderita dalam keadaan berbaring pada salah satu sisi

8
tubuhnya dapat mengurangi kemungkinan aspirasi isi lambung dan saliva,
tindakan ini juga dapat mencegah lidah menyumbat jalan napas. Mencegah cedera
dapat dicapai dengan melindungi kepala sewaktu ada serangan dan memindahkan
benda - benda disekitar yang membahayakan penderita.

Pentingnya melakukan pendekatan secara holistik di dalam


penatalaksanaan penderita epilepsi tidak dapat dilewatkan begitu saja. Penderita
dan keluarganya perlu memahami rejimen obat yang diberikan, dosis dan efek
sampingnya, serta perlu mengetahui tindakan yang tepat pada saat terjadi
serangan, masalah psikologis yang berkaitan dengan epilepsi, dan sikap
masyarakat terhadap penderita epilepsi.

9
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EPILEPSI

3.1 Pengkajian

DATA DASAR PENGKAJIAN PASIEN

1. Aktivitas atau Istirahat


a. Gejala : Keletihan, kelemahan umum.
Keterbatasan dalam beraktivitas atau bekerja yang
ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat atau
pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
b. Tanda : Perubahan tonus atau kekuatan otot.
Gerakan involunter atau kontraksi otot ataupun
sekelompok otot.

2. Sirkulasi
a. Gejala
1) Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
2) Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan
nadi dan
Pernapasan.

3. Integritas Ego
a. Gejala : Stresor eksternal atau internal yang berhubungan dengan
keadaan
dan atau penanganan.
Peka rangsang ; perasaan tidak ada harapan atau tidak
berdaya.
Perubahan dalam berhubungan.
b. Tanda : Pelebaran rentang respon emosional.

4. Eliminasi

10
a. Gejala : Inkontinensia episodik.
b. Tanda
1) Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
sfingter.
2) Posikital : Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia
(baik urine
Atau fekal).

5. Makanan atau Cairan


a. Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang
berhubungan
dengan aktivitas kejang.
b. Tanda : Kerusakan jaringan lunak atau gigi (cedera selama
kejang).
Hiperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin
jangka panjang).

6. Neurosensori
a. Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan,
pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral.
Adanya aura ( rangsangan visual, auditorius, area
halusinogenik).
Posiktal : Kelemahan, nyeri otot, area parestese atau
paralisis.
b. Tanda : Karakteristik Umum.
Fase prodormal : Adanya perubahan pada reaksi
emosi atau respons afektif yang tidak menentu yang
mengarah pada fase aura dalam beberapa kasus dan
berakhir beberapa menit sampai beberapa jam.
1) Kejang Umum :

11
Tonik-klonik (grand mal) : kekakuan dan
postur menjejak, mengerang, penurunan
kesadaran, pupil dilatasi, inkontinensia urine
atau fekal, pernafasan stridor (ngorok), saliva
keluar secara berlebihan dan mungkin juga
lidahnya tergigit.
a) Posiktal : pasien tertidur dalam 30
menit sampai beberapa jam,
selanjutnya merasa lemah, kacau
mental dan amnesia selama beberapa
waktu dengan merasa mual dan nyeri
otot.
b) Absen (pelit mal) : periode gangguan
kesadaran dan atau melamun (tak sadar
lingkungan) yang diawali dengan
pandangan mata menerawang sekitar
5-30 menit saja, yang dapat terjadi 100
kali setiap harinya, terjadinya kejang
pada motorik minor mungkin bersifat
akinetik (hilang gerakan), mioklonik
(kontraksi otot secara berulang), atau
atonim (hilangnya tonus otot).
c) Posiktal : Amnesia terhadap peristiwa
kejang, tidak bingung, dapat
melakukan kembali aktivitas.
2) Kejang parsial (kompleks) :
Lobus psikomotor atau temporal : Pasien
umumnya tetap sadar, dengan reaksi seperti
bermimpi, melamun, berjalan-jalan, peka
rangsang, halusinasi, bermusuha atau takut.
Dapat menunjukkan gejala motorik involunter
(seperti merasa-rasakan bibir) dan tingkah

12
laku yang tampak bertujuan tetapi tidak sesuai
(involunter atau automatisme) dan termasuk
kerusakan penyesuaian dan pada pekerjaan,
kegiatan bersifat antisosial.
a) Posiktal : Hilangnya memori terhadap
peristiwa yang terjadi, kekacauan
mental ringan sampai berat.
3) Kejang parsial (sederhana) :
Jacksonian atau motorik fokal : Sering
didahului aleh aura 2-15 menit. Tidak ada
penurunan kesadaran (unilateral) atau
penurunan kesadaran (bilateral). Gerakan
bersifat konvlusif dan terjadi gangguan
sementara pada bagian tertentu yang
dikendalikan oleh bagian otak yang terkena
(seperti lobus frontal [disfungsi motorik] ;
parietal [terasa baal, kesemutan], lobus
oksipital [cahaya terang, sinar lampu], lobus
posterotemporal [kesulitan dalam berbicara].
Konvulsi (kejang) dapat mengenai seluruh
tubuh yang mengalami gangguan yang terus
berkembang. Jika dilakukan restrein selama
kejang, pasien mungkin akan melawan dan
memperlihatkan tingkah laku yang tidak
kooperatif.
4) Status epileptikus :
Aktivitas kejang yang terjadi terus-menerus
dengan spontan atau berhubungan dengan
gejala putus antikonvulsan tiba-tiba dan
fenomena metabolik lain. Catatan : Jika
hilangnya kejang mengikuti pola tertentu,
masalah dapat menghilang tidak terdeteksi

13
selama periode waktu tertentu, sehingga
pasien tidak kehilangan kesadarannya.

7. Nyeri atau Kenyamanan


a. Gejala : Sakit kepala, nyeri otot atau punggung pada periode
posiktal.
Nyeri abnormal paroksismal selama fase iktal (mungkin
terjadi selama kejang fokal atau parsial tanpa mengalami
penurunan kesadaran).
b. Tanda : Sikap atau tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi atau gelisah.

8. Pernafasan
a. Gejala :
1) Fase iktal : Gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun atau
cepat; peningkatan sekresi mukus.
2) Fase posiktal : Apnea.

9. Keamanan
a. Gejala : Riwayat terjatuh atau trauma, fraktur, adanya alergi.
b. Tanda : Trauma pada jaringan lunak atau ekimosis, penurunan
kekuatan atau Tonus otot secara menyeluruh.

10. Interaksi sosial


a. Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga
atau Lingkungan sosialnya. Pembatasan atau penghindaran
terhadap kontak sosial.

14
3.2 Pemeriksaan Diagnostik

1. Elektrolit
Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada
aktivitas kejang.
2. Glukosa
Hipoglikemia dapat menjadi prespitasi (pencetus) kejang.
3. Ureum atau kreatinin
Jika meningkat dapat meningkatkan risiko timbulnya aktivitas kejang atau
mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan
pengobatan.
4. Sel Darah Merah (SDM)
Anemia aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat.
5. Kadar obat pada serum
Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik.
6. Pungsi lumbal (PL)
Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi,
persarahan (hemoragik subarakhnoid, subdural) sebagai penyebab kejang
tersebut.
7. Foto ronsen kepala
Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
8. Elektoensefalogram (EEG)
Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur
aktivitas otak. Gelombang otak untuk menentukan karakteristik dari
gelombang pada masing-masing tipe dari aktivitas kejang tersebut.
9. Pemantauan video-EEG, 24 jam (gambar video didapatkan bersamaan
dengan EEG) Dapat mengidentifikasi fokus kejang secara tepat
(keuntungan dari peristiwa yang berulang melalui (EEG).
10. Skan CT
Mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral,
trauma, abses, tumor dan dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras.
11. Pasitron emission tomography (PET)
Mendemonstrasikan perubahan metabolik, misalnya penurunan
metabolisme glukosa pada sisi lesi.
12. MRI
Melokalisasi lesi-lesi fokal.
13. Magnetoensefalogram :
Mematakan impuls atau potensial listrik otak pada pola pembebasan yang
abnormal.
14. Wada :
Menentukan hemister dominan (dilakukan sebagai evaluasi awal dari
praoperasi lobektomi temporal).

15
3.3 Diagnosis Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

1) Trauma/Penghentian Pernapasan, Risiko Tinggi Terhadap


Faktor risiko meliputi : Kelemahan, kesulitan keseimbangan.
Keterbatasan kognitif/perubahan
kesadaran.
Kehilangan koordinasi otot besar
atau kecil.
Kesulitan emosional.
Kemingkinan dibuktikan oleh :[Tidak dapat diterapkan;adanya
tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual]

HASIL YANG DIHARAPKAN/KRITERIA EVALUASI PASIEN


AKAN :

a. Mengungkapkan pemahaman faktor yang menunjang


kemungkinan trauma, dan/atau penghentian pernapasan dan
mengambil langkah untuk memperbaiki situasi.

b. Mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk


mengurangi faktor risiko dan melindungi diri dari cedera.

c. Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan


keamanan.

d. Mempertahankan aturan pengobatan untuk


mengontrol/menghilangkan aktivitas kejang.

e. Pemberi perawatan akan : Mengidentifikasi tindakan untuk


diambil bila terjadi kejang.

TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL

Mandiri

Gali bersama-sama pasien berbagai Alkohol, berbagai obat dan stimulasi


stimulasi yang dapat menjadi pencetus lain (seperti kurang tidur, lampu yang
kejang. terlalu terang, menonton televisi terlalu
lama0 dapat meningkatkan aktivitas
otak, yang selanjutnya meningkatkan
resiko terjadinya kejang.

Mengurangi trauma saat kejang

16
Pertahankan bantalan lunak pada (sering/umum) terjadi selama pasien
penghalang tempat tidur yang terpasang berada di tempat tidur.
dengan posisi tempat tidur rendah.

Mungkin dapat menyebabkan


Anjurkan pasien untuk merook hanya kebakaran jika rokok tersebut jatuh
selama dapat diawasi secara tidak disengaja selama fase
aura/aktivitas kejang yang terjadi.

Penggunaan penutup kepala (semacam


Evaluasi kebutuhan untuk/berikan helm) dapat memberikan perlindungan
perlindungan kepala tambahan terhadap seseorang yang
mengalami kejang terus-
menerus/kejang berat.

Menurunkan resiko pasien menggigit


dan menghancurkan termometer yang
terbuat dari kaca atau kemungkinan
Gunakan termometer dengan bahan
mengalami trauma jika tiba-tiba terjadi
metal atau dapatkan suhu melalui
aktivitas kejang.
lubang telinga jika perlu.

Pasien mungkin merasa tidak dapat


beristirahat/perlu untuk bergerak atau
Pertahankan tirah baring secara ketat melepaskan diri dari suatu keadaan
jika pasien mengalami tanda-tanda selama fase aura, namun bergerak
timbulnya fase prodromal/aura. Jelaskan dengan mempedulikan diri dari
perlunya kegiatan ini. keamanan lingkungan dan mudah
diobservasi. Pemahaman kepentingan
untuk mempertimbangkan tentang
pentingnya kebutuhan keamanan diri
sendiri dapat menambah keikutsertaan
(kerja sama) pasien.

Meningkatkan keamanan pasien.

17
Tinggalah bersama pasien dalam waktu Menurunkan risiko terjadinya trauma
beberapa lama selama/setelah kejang. mulut tetapi tidak boleh “dipaksa” atau
dimasukkan ketika gigi-gigi sedang
mengatup kuat karena kerusakan pada
Masukan jalan napas buatan yang gigi dan jaringan lunak dapat terjadi.
terbuat dari plastik/biarkan pasien Juga membantu mempertahankan jalan
menggigit benda lunak antara gigi (jika napas. Catatan: Spatel lidah dari kayu
rahang sedang relaksasi). Miringkan tidak boleh digunakan karena mungkin
kepala kesalah satu sisi/lakukan bisa rusak atau terpelintir pada mulut
penghisapan pada jalan napas sesuai pasien. (Rujuk ke DK: Pola
indikasi. Napas/Bersihan Jalan Napas tak efektif
hal.265).

Mengarahkan ekstremitas dengan hati-


hati menurunkan risiko trauma secara
fisik ketika pasien kehilangan kontrol
terhadap otot volunter. Catatan: Jika
dilakukan restrein pada pasien yang
mengalami kejang, gerakan kaku dapat
meningkat dan pasien dapat mengalami
trauma oleh diri sendiri atau orang lain.
Atur kepala, tempatkan di atas daerah
yang empuk (lunak) atau bantu
meletakkan pada lantai jika keluar dari
tempat tidur. Jangan melakukan restrein. Membantu untuk melokalosasi daerah
otak yang terkena.

Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti


lokasi/lamanya aktivitas motorik, Mencatat keadaan posiktal dan waktu
hilang/penurunan kesadaran, penyembuhan pada keadaan normal.
inkontinensia, dan lain-lain) dan
bebrapa kali terjadi

18
(frekuensi/kambuhannya).

Lakukan penilaian neurologis/tanda- Pasien mungkin menjadi bingung,


tanda vital setelah kejang, misal: tingkat disorientasi, dan mungkin juga
kesadaran, orientasi, tekanan darah mengalami amnesia setelah kejang dan
(TD), nadi dan pernapasan. memerlukan bantuan untuk dapt
mengontrol lagi dan menghilangkan
ansietas.
Orientasikan kembali pasien terhadap
aktivitas kejang yang dialaminya
Mungkin tingkah laku ini memanjang
(yang berasal dari motorik atau
psikologik) yang tampak tidak
sesuai/tidak relevan terhadap waktu
atau tempat. usahakan untuk
mengendalikan atau mencegah
kegiatan yang mungkin mengakibatkan
Biarkan tingkah laku “automatik” pasien menjadi agresif/melawan.
posiktal tanpa menghalanginya selama
perlindungan terhadap lingkungan tetap
diberikan. Hal ini merupakan keadaan darurat
yang mengancam hidup yang dapat
menyebabkan henti napas, hipoksia
berat, dan/atau kerusakan pada otak
dan sel saraf. Intervensi yang segera
dibutuhkan untuk mengandalikan
aktivitas kejang. Catatan: Meskipun
kejang tidak ada mungkin menjadi
statis, biasanya hal seperti ini tidak
membahayakan (mengancam
Observasi munculnya tanda-tanda status kehidupan).
epileptikus, seperti kejang tonik klonik
setelah jenis yang lain muncul dengan
cepat dan cukup meyakinkan.
Memberikan kesempatan pasien untuk
melindungi diri sendiri dari trauma dan
mengenali perubahan yang perlu
disampaikan pada dokter/pada
intervensi selanjutnya. Mengetahui apa
yang dilakukan ketika kejang terjadi
dapat mencegah trauma/komplikasi

19
dan menurunkan perasaan tak berdaya
dari orang terdekat.

Diskusikan adanya tanda-tanda serangan


kejang (jika memungkinkan) dan pola
kejang yang biasa dialami. Ajarkan
orang terdekat pasien untuk menganali Obat antiepilepsi meningkatkan
tanda-tanda awal dari kejang tersebut ambang kejang dengan menstabilkan
dan bagaimana merawat pasien selama membran sel
dan setelah serangan kejang. saraf, yang menurunkan eksitasi
neuron atau melalui aktivitas langsung
pada sistem limbik, talamus dan
hipotalamus. Tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan penekanan terhadap
aktivitas kejang dengan dosis obat
Kolaborasi yang terendah dan dengan efek
samping yang minimal.
Berikan obat sesuai indikasi :

Obat antiepilepsi meliputi fenitoin


(Dilantin), primidon (Mysoline), Meningkatkan efek dari obat
karbamazepin (Tegretol), antiepilepsi dan memungkinkan untuk
klonazepam (Klonopin), asam memberikan dosis lebih rendah untuk
valproat (Depakote). menurunkan efek sampingnya.

Dapat digunakan tersendiri (atau dalam


kombinasi dengan fenobarbital)
sebagai pbat pilihan pertama untuk
menekan satus kejang.

Dapat diberikan untuk


mempertahankan keseimbangan
Fenobarbital (Luminal) metabolisme jika kejang tersebut
ditimbulkan oleh
hipoglikemia/alkohol.

Kadar terapeutik standar mungkin

20
tidak optimal pada pasien individual
jika terjadi efek samping yang
Diazepam (Valium) merugiakn atau kejangnya tidak
terkontrol.

Mengidentifikasi faktor-faktor yang


memperberat/menurunkan ambang
Glukosa, tiamin. kejang.

Stimulator saraf vagal, terapi dengan


pancaran magnetik, atau intervensi
bedah lainnya (seperti; lubektomi
temporal) dapat dilakukan untuk
kejang yang tidak dapat diobati atau
Pantau/catat kadar obat antiepilepsi, melokalisasi dengan akurat lesi
yang berhubungan dengan efek samping epileptogenik ketika pasien tidak dapat
dan frekuensi dari aktivitas kejang yang mengatasi dan adanya risiko yang amat
terjadi. tinggi terhadap munculnya trauma
yang serius.

Pantau kadar sel darah, elektrolit, dan


glukosa.

Siapkan untuk pembedahan/elektrolit


pengganti sesuai indikasi.

2) Bersihan Jalan Napas/Pola Napas Tak efektif, Risiko Tinggi


Terhadap
Faktor Risiko : Kerusakan neuromuskuler, Obstruksi
trakeobronkial, kerusakan persepsi/kognitif
Kemungkinan : (tidak dapat diterapkan ;adanya tanda – tanda dan
gejala – gejala membuat diagnosa aktual)

21
Hasil yang diharapkan kriteria evaluasi pasien akan :
mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas paten/
aspirasi dicegah)

Tindakan/Intervensi Rasional

Mandiri : Menurunkan resikoaspirasi atau


masuknya sesuatu benda asing ke
Anjurkan pasien untuk mengosongkan faring.
mulut dari benda/zat tertentu/ggi palsu
atau alat yang lain jika fase aura terjadi
dan untuk menghindari rahang yang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal

Letakkan pasien pada posisi miiring, Meningkatkan aliran (drainase) sekret,


permukaan datar, miringkan kepala mencegah lidah jatuh dan menyumbat
selama serangan kejang. jalan napas.

Masukan spatel lidah/jalan napas buatan Jika dimasukkannya dawal untuk


atau gulungan benda lunak sesuai membuka rahang, alat ini dapat
dengan indikasi mencegah terggitnya lidah dan
memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir atau memberi
sokongan terhadap pernapasan jika
diperlukan.

Lakukan penghisapan sesuai indikasi Menurunkan resiko intubasi.

Kolaborasi : Dapat menurunkan hpoksia serebral


sebagai akibat dari sirkulasiyang
Berikan tambahan oksgen/ventilasi menurun atau oksigen sekunder
manual sesuai kebutuhan pada fase terhadap spasme vaskuler selma
posiktal. serangan kejang.

Siapkan untuk/bantu melakukan Munculnya apnea yang


intubasi, jika ada indikasi. berkepanjangan pada fase posiktal
membutuhkan dukungan ventlator
mekanik.

3) Gangguan Harga diri/ Identitas Pribadi


Dapat dihubungkan : Stigma berkenan dengan kondisi, persepsi
tentang tidak terkontrol
Kemungkinan dibuktikan oleh : Pengungkapan tentang perubahan
gaya hidup, takut penolakan, perasaan negatif tentang tubuh,

22
perubahan pada persepsi diri tentang peran, perubahan pada pola
tanggung jawab biasanyan, kurang mengikuti/ tidak berpartisipasi
pada terapi.
a. Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi- pasien akan :
mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan
persepsi negatif pada diri sendiri,
b. mengungkapakan peningkatan rasa harga diri dalam
hubungannya dengandiagnosis,
c. mengungkapkan persepsi realistis dan penerimaan diri
dalam perubahan peran/gaya hidup.

Tindakan/Intervensi Rasional

Mandiri : Reaksi yang ada bervariasi diantara


indvidu dan pengetahuan/pengalaman
Diskusikan perasaan pasien mengenai awal dengan keadaan penyakitnya akan
diagnostik, persepsi diri terhadap mempengaruhi penerimaan aturan
penanganan yang dilakukannya. pengobatan
Anjurkan untuk mengungkapkan/
mengekspresikan perasaannya

Gali bersama pasien mengenai Memfokuskan pada aspek positif dapat


keberhasilan yang telah dperoleh atau membantu untuk menghilangkan
yang akan dcapai selanjutnya dan perasaan dari kegagalan atau kesadaran
kekuatan yang dimilkinya. terhadap diri dan membentuk pasien
mulai menerima penanganan terhadap
penyakitnya.

Hindari pemberian perlindungan yang Partisipasi dalam sebanyak mungkin


amat berlebihan pada pasien. Anjurkan pengalaman dapat mengurangi depresi
aktivitas dengan memberikan tentang keterbatasan.
pengawasan/ dengan memantau jika
ada indikasi.

Tentukan sikap/kecakapan orang Pandangan yang negatif dari orang


terdekat. Bantu ia menyadari perasaaan terdekat dapat berrpengaruh terhadap
tersebut adalah normal, sedangkan perasaan kemampuan/harga diri pasien
merasa bersalah dan menyalahkan diri dan mengurangi dukungan yang
sendiri tidak ada manfaatnya. diterima dari orang terdekat tersebut
yang mempunyai resko membatasi
penanganan yang optimal

Tekankan pentingnya staff/orang Ansietas dari pemberi asuhan adalah


terdekat untuk tetap dalam keadaan menjalar dan bila sampai pada pasien

23
tenang. dapat meningkatkan persepsi negatif
terhadap keadaan lingkungan/diri
sendiri

4) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar ) mengenai kondisi


dan aturan pengobatan
Dapat dihubungkan dengan:
 Kurang pemajanan
 Kesalahan interpetrasi informasi, kurang mengingat
 Keterbatasan kognitif
 Kegagalan untuk berubah
Kemungkinan dibuktikan oleh:

 Pertanyaan
 Peningkatan/ kurang control aktivitas kejang
 Kurang mengikuti aturan obat
Kriteria hasil :
 Pasien akan mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan
berbagai rangsangan dapat meningkatkan / berpotensial pada
aktivitas kejang
 Pasien akan memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai
indikasi
 Pasien akanmenaati aturan obat yang diresepkan

Tindakan/Intervensi Rasional
Jelaskan kembali mengenai Memberikan kesempatan untuk
patofisioogi/prognosis penyakit dan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan
perlunya pengobatan/penanganan keadaan penyakit yang ada sebagai
dalam jangka waktu yang lama sesuai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara
indikasi. hidup yang normal.

Tinjau kembali obat – obat yang Tidak adanya pemahaman terhadap obat-
didapat, penting sekali memakan obat obatyang didapat merupakan penyebab
sesuai petunjuk dan tidak kejang yang terus menerus tanpa henti.

24
menghentikan pengobatan tanpa Pasien perlu untuk mengetahui resiko
pengawasan dokter. Termasuk timbulnya status epileptikus sebagai
petunjuk untuk mengurangi dosis. akibat dari menghentikan penggunaan
obat antikonvulsan. Bergantung pada
obat dan frekuensinya, pasien dapat
diinstruksikan untuk menentukan dosis
obat yang tepat.

Berikan petunjuk yang jelas pada Dapat menhurangi iritasi lambung,


pasien untuk minum obat bersamaan mual/muntah
dengan waktu makan jika
memungkinkan.
Diskusikan mengenai efek samping Dapat menindikasikan kebutuhan akan
secara khusus, seperti mengantuk, perubahan dalam dosis/obat pilihan yang
hiperaktif, gangguan tidur, hipertrofi lain, meningkatkan keterlibatan atau
pada gusi, gangguan penglihatan, partisipasi dalam proses pengambilan
mual/muntah, timbul ruam pada kulit, keputusan dan menyadari efek jangka
sinkope/ataksia, kelahiran yang panjang dari obat dan memberian
terganggu dan anemia aplastik. kesempatan untuk mengurangi atau
mencegahkomplikasi

Berikan informasi tentang interaksi Pengetahuan mengenai penggunaan obat


obat yang potensial dan pentingnya antikonvulsan menurunkan resiko obat
untuk memberitahu pemberi yang diresepkan yang dapat berinteraksi
perawatan yang lain dari pemberian yang selanjutnya mengubah ambang
obat tersebut kejang atau memiliki efek terapeutik.

Anjurkan pasien untuk menggunakan Mempercepat penanganan dan


semacam gelang identifikasi/ menentukan diagnose dalam keadaan
semacam petunjuk untuk darurat.
memberitahukan bahwa pasien
menderita epilepsy
Tekankan perlunya untuk melakukan Kebutuhan terapeutik dapat berubah dan
evaluasi yang terartur/ melakukan atau efek samping obta yang
pemeriksaan laboratorium yang serius(seperti agranulositosis atau
teratur sesuai indikasi seperti darah toksisitas) dapat terjadi.
lengkap harus diperhatikan minimal 2
kali dalam 1 tahun dan munculnya
sakit tenggorokan dan demam.

25
BAB 1V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Urolithiasis adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada sistem
penyalur urine, tetapi batu pada umumnya terbentuk di ginjal. Batu mungkin
terbentuk tanpa menimbulkan gejala atau kerusakan ginjal yang bermakna, hal
ini terutama pada batu besar yang tersangkut pada pelvis ginjal. Makna klinis
batu terletak pada kapasitasnya menghambat aliran urin atau menimbulkan
trauma yang menyababkan ulserasi dan perdarahan, pada kedua kasus ini
terjadi peningkatan predisposisi infeksi bakteri .
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat; sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat,
batu magnesium amonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan
batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis pembentukan batu-batu diatas
hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan
terbentuknya jenis batu itu tidak sama.
4.2 Saran
Dalam penyusunan makalah Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Batu Saluran kemih ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini. Untuk
menyempurnakan makalah ini agar lebih baik, sebaiknya di beri tambahan
referensi dan rujukan yang memiliki keterkaitan dengan materi tersebut.

26
DAFTAR PUSTAKA

Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Jakarta; CV Sagung Seto

Soeparman, Waspadil, Sarwono. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta
; Balai Penerbit FKUI

Purwanto, Hadi.2016. KMB II Komprehensif. Jakarta ; Pusdik SDM


Kesehatan.

27

Anda mungkin juga menyukai