DisusunOleh:
Kelompok 1
Tingkat 2A
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat, serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran Kemih.
Makalah Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran Kemih ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah 2. Makalah ini berisi tentang pengertian batu saluran kemih,
etiologi batu saluran kemih, teori proses pembentukan batu saluran kemih, gejala
klinis dari pembentukan saluran kemih dan asuhan keperawatan pasen dengan
batu saluran kemih.
Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien dengan Batu Saluran
Kemih, tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuandari beberapa pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepadaYth:
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman babilonia dan
zaman mesir kuno. Sebagai salah satu buktnya adalah diketemukan batu pada
kandung kemh seorang mummi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk
seluruh dunia tdak terkecuali penduduk di indonesia. Angka kejadian penyakit
ini tdak sama diberbagai belahan bumi. Di negara – negara berkembang
banyak dijumpai pasien batu buli – buli sedangkan di negara maju lebih
banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena
pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari – hari.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menerapkan tentang asuhan keperawatan
tentang batu saluran kemih.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian batu saluran kemih.
2. Untuk mengetahui etiologi batu saluran kemih.
3. Untuk mengetahui teori proses pembentukan batu saluran kemih.
4. Untuk mengetahui gejala klinis dari pembentukan saluran kemih.
1
1.4 Manfaat
2.1Bagi Pasien
Agar pasien mengerti tentang batu saluran kemih.
2.2Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa mengerti dan menerapkan tentang asuhan
keperawatan batu saluran kemih dengan benar dan sesuai SOP.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
3
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron.
Pada waktu serangan, keseimbangan elektrolit pada tingkat neunoral
mengalami perubahan. Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan
membrane neuron mengalami depolarisasi
Perubahan – perubahan metabolism yang terjadi selama serangan dan
segera sesudah serangan antara lain disebabkan juga oleh peningkatan kebutuhan
energy akibat hiperaktivitas neuron. Kebutuhan metabolisme meningkat secara
drastis selama serangan kejang .pengeluaran energy listrik oleh sel – sel saraf
motorik dapat meningkat, demikian juga pernapasan jaringan dan glikolisis.
Selama dan sesudah serangan, cairan serebrospinal mengandung asetilkoin,
sedangkan kadar asam glutamate mungkin menurun selama serangan
4
lobus temporalis. Kedua jenis epilepsi parsial tersebut dapat menyebar dan
menjadi serangan umum (motorik utama).
Epilepsi motorik Jakson ditandai oleh suatu awitan fokal dan diduga
disebabkan oleh lesi pada korteks kontralateral. Epilepsi jenis ini biasanya nya
dimulai dengan spasme tonik atau gerak kedutan klonik dan ritmis jari pada salah
satu tangan, satu sisi wajah dan sebagainya. Gangguan ini menyebar secara
progresif misalnya di wajah ke leher, tangan, lengan bawah, lengan atas, tubuh
dan tungkai, semuanaya hanya pada sisi tubuh. Pada keadaan tertentu terjadi
penyebaran ke hemisfer yang berlawanan, disertai kehilangan kesadaran. Penting
sering mengamati dimana serangan dimulai, mungkin ini merupakan kunci yang
dapat menunjukkan lokasi lesi.
Biasanya pasien tetap sadar selama serangan, tetapi umumnya tidak dapat
mengingat kembali apa yang telah dialaminya. Tingkah laku lain yang ada kaitan
nya dengan epilepsi jenis ini antara lain: tiba-tiba mengingat kembali apa yang
telah dialaminya dulu, halusinasi (seringkali penglihatan atau penciuman),mudah
lupa, kesulitan menentukan kata-kata tertentu, perubahan kepribadian, tingkah
laku anti sosial serta afek yang tidak sesuai dengan suasana bicara. Sesudah
serangan pasien mungkin akan memasuki keadaan fuguedimana pasien dapat saja
5
melakukan suatu aktivitas yang terorganisasi dan kompleks tetapi tidak dapat
mengingatnya (amnesia).
Epilepsi absence atau petit mal ditandai dengan hilangnya kesadaran yang
berlangsung singkat,jarang melampaui beberapa detik. Misalnya, penderita dapat
berhenti berbicara sejenak, pandangannya kosong atau mata berkedip -kedip
dengan cepat.Penderita mungkin mendapat satu atau dua kali serangan sebulan,
atau mungkin sampai beberapa kali sehari. Serangan absenceini hampir eksklusif
terjadi pada anak-anak; awitan sangat jarang pada usia di atas 20 tahun.Dapat
hilang sesudah anak mencapai usia remaja atau mungkin dapat pula diganti oleh
epilepsi jenis lainnya terutama jenis tonik-klonik.
6
Serangan epilepsi dimulai dengan menghilangnya kesadaran secara cepat.
Dapat terdengar teriakan akibat spasme toraks atau spasme abnormal yang
menyebabkan ekspresi kuat. Pasien kehilangan kemampuannya untuk tetap
mempertahankan tubuh dalam posisi yang tegak, gerakan tonik, kemudian kelonik
inkontinensia kemih dan feses, disertai dengan disfungsi otonom lainnya. Pada
fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh dapat terganggu. Sam fase ini
berlangsung hanya beberapa detik. Fase klonik berupa kontraksi dan relaksasi
kelompok otot-otot yang berlawanan, sehingga menimbulkan gerakan yang
tersentak-sentak. Kontraksi sedikit demi sedikit berkurang frekuensinya, tetapi
tidak kekuatannya. Lidah dapat lidah dapat tergigit, seperti yang terjadi pada
sekitar separuh dari penderita kejang (spasme rahang dan lidah). Serangan itu
berlangsung sekitar 3 sampai 5 menit dan diikuti dengan periode tidak sadar yang
berlangsung selama beberapa menit sampai sekitar setengah jam. Pasien yang
sadar kembali tampak bingung,stupor atau bodoh. Stadium ini disebut stadium
post-iktal. Biasanya pasien tidak dapat mengingat serangan yang telah dialaminya.
Selain dari tipe kejang umum yang sering dijumpai ini, ada beberapa kasus
yang mungkin merupakan keadaan sekunder. Kecantikan ini dapat disebabkan
oleh gangguan metabolik seperti gagal ginjal, hipoglikemia, hipoksia,
hiponatremia, hipernatremia gagal hati atau gejala putus obat. Setelah menderita
7
meningitis atau ensafilitis, seringkali pasien mendapatkan serangan kacang
sekunder yang dapat berupa kejang tonik-klonik dan fokal, atau psikomotor.
2.4 Pengobatan
Penatalaksanaan primer pada penderita epilepsi adalah terapi obat – obatan
untuk mencegah timbulnya serangan kejang atau untuk mengurangi frekuensinya,
sehingga pasien dapat menjalani kehidupan yang normal. Sekitar 70-80%
penderita dapat merasakan manfaat obat – obat antikonvulsan. Obat yang dipilih
ditentukan oleh jenis serangan, dan dosisnya disesuaikan secara perorangan.
Adapun cara yang dipakai, penilaian klinis yang cermat dan pemeriksaan
kadar obat yang sering, sangat penting dalam menangani penderita ini.
Pemantauan kadar obat memungkinkan individualisasi dosis obat yang sesuai
dengan kebutuhan penderita. Kemampuan pasien dalam metabolisme obat sangan
sangat bervariasi. Faktor – faktor seperti kadar protein dalam serum dan
kemampuan enzim – enzim hati untuk menghancurkan obat mempengaruhi dosis
dan kadar obat dalam serum.
8
tubuhnya dapat mengurangi kemungkinan aspirasi isi lambung dan saliva,
tindakan ini juga dapat mencegah lidah menyumbat jalan napas. Mencegah cedera
dapat dicapai dengan melindungi kepala sewaktu ada serangan dan memindahkan
benda - benda disekitar yang membahayakan penderita.
9
BAB III
3.1 Pengkajian
2. Sirkulasi
a. Gejala
1) Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
2) Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan
nadi dan
Pernapasan.
3. Integritas Ego
a. Gejala : Stresor eksternal atau internal yang berhubungan dengan
keadaan
dan atau penanganan.
Peka rangsang ; perasaan tidak ada harapan atau tidak
berdaya.
Perubahan dalam berhubungan.
b. Tanda : Pelebaran rentang respon emosional.
4. Eliminasi
10
a. Gejala : Inkontinensia episodik.
b. Tanda
1) Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
sfingter.
2) Posikital : Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia
(baik urine
Atau fekal).
6. Neurosensori
a. Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan,
pusing.
Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi serebral.
Adanya aura ( rangsangan visual, auditorius, area
halusinogenik).
Posiktal : Kelemahan, nyeri otot, area parestese atau
paralisis.
b. Tanda : Karakteristik Umum.
Fase prodormal : Adanya perubahan pada reaksi
emosi atau respons afektif yang tidak menentu yang
mengarah pada fase aura dalam beberapa kasus dan
berakhir beberapa menit sampai beberapa jam.
1) Kejang Umum :
11
Tonik-klonik (grand mal) : kekakuan dan
postur menjejak, mengerang, penurunan
kesadaran, pupil dilatasi, inkontinensia urine
atau fekal, pernafasan stridor (ngorok), saliva
keluar secara berlebihan dan mungkin juga
lidahnya tergigit.
a) Posiktal : pasien tertidur dalam 30
menit sampai beberapa jam,
selanjutnya merasa lemah, kacau
mental dan amnesia selama beberapa
waktu dengan merasa mual dan nyeri
otot.
b) Absen (pelit mal) : periode gangguan
kesadaran dan atau melamun (tak sadar
lingkungan) yang diawali dengan
pandangan mata menerawang sekitar
5-30 menit saja, yang dapat terjadi 100
kali setiap harinya, terjadinya kejang
pada motorik minor mungkin bersifat
akinetik (hilang gerakan), mioklonik
(kontraksi otot secara berulang), atau
atonim (hilangnya tonus otot).
c) Posiktal : Amnesia terhadap peristiwa
kejang, tidak bingung, dapat
melakukan kembali aktivitas.
2) Kejang parsial (kompleks) :
Lobus psikomotor atau temporal : Pasien
umumnya tetap sadar, dengan reaksi seperti
bermimpi, melamun, berjalan-jalan, peka
rangsang, halusinasi, bermusuha atau takut.
Dapat menunjukkan gejala motorik involunter
(seperti merasa-rasakan bibir) dan tingkah
12
laku yang tampak bertujuan tetapi tidak sesuai
(involunter atau automatisme) dan termasuk
kerusakan penyesuaian dan pada pekerjaan,
kegiatan bersifat antisosial.
a) Posiktal : Hilangnya memori terhadap
peristiwa yang terjadi, kekacauan
mental ringan sampai berat.
3) Kejang parsial (sederhana) :
Jacksonian atau motorik fokal : Sering
didahului aleh aura 2-15 menit. Tidak ada
penurunan kesadaran (unilateral) atau
penurunan kesadaran (bilateral). Gerakan
bersifat konvlusif dan terjadi gangguan
sementara pada bagian tertentu yang
dikendalikan oleh bagian otak yang terkena
(seperti lobus frontal [disfungsi motorik] ;
parietal [terasa baal, kesemutan], lobus
oksipital [cahaya terang, sinar lampu], lobus
posterotemporal [kesulitan dalam berbicara].
Konvulsi (kejang) dapat mengenai seluruh
tubuh yang mengalami gangguan yang terus
berkembang. Jika dilakukan restrein selama
kejang, pasien mungkin akan melawan dan
memperlihatkan tingkah laku yang tidak
kooperatif.
4) Status epileptikus :
Aktivitas kejang yang terjadi terus-menerus
dengan spontan atau berhubungan dengan
gejala putus antikonvulsan tiba-tiba dan
fenomena metabolik lain. Catatan : Jika
hilangnya kejang mengikuti pola tertentu,
masalah dapat menghilang tidak terdeteksi
13
selama periode waktu tertentu, sehingga
pasien tidak kehilangan kesadarannya.
8. Pernafasan
a. Gejala :
1) Fase iktal : Gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun atau
cepat; peningkatan sekresi mukus.
2) Fase posiktal : Apnea.
9. Keamanan
a. Gejala : Riwayat terjatuh atau trauma, fraktur, adanya alergi.
b. Tanda : Trauma pada jaringan lunak atau ekimosis, penurunan
kekuatan atau Tonus otot secara menyeluruh.
14
3.2 Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektrolit
Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada
aktivitas kejang.
2. Glukosa
Hipoglikemia dapat menjadi prespitasi (pencetus) kejang.
3. Ureum atau kreatinin
Jika meningkat dapat meningkatkan risiko timbulnya aktivitas kejang atau
mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang berhubungan dengan
pengobatan.
4. Sel Darah Merah (SDM)
Anemia aplastik mungkin sebagai akibat dari terapi obat.
5. Kadar obat pada serum
Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang terapeutik.
6. Pungsi lumbal (PL)
Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tanda-tanda infeksi,
persarahan (hemoragik subarakhnoid, subdural) sebagai penyebab kejang
tersebut.
7. Foto ronsen kepala
Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
8. Elektoensefalogram (EEG)
Melokalisasi daerah serebral yang tidak berfungsi dengan baik, mengukur
aktivitas otak. Gelombang otak untuk menentukan karakteristik dari
gelombang pada masing-masing tipe dari aktivitas kejang tersebut.
9. Pemantauan video-EEG, 24 jam (gambar video didapatkan bersamaan
dengan EEG) Dapat mengidentifikasi fokus kejang secara tepat
(keuntungan dari peristiwa yang berulang melalui (EEG).
10. Skan CT
Mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema serebral,
trauma, abses, tumor dan dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras.
11. Pasitron emission tomography (PET)
Mendemonstrasikan perubahan metabolik, misalnya penurunan
metabolisme glukosa pada sisi lesi.
12. MRI
Melokalisasi lesi-lesi fokal.
13. Magnetoensefalogram :
Mematakan impuls atau potensial listrik otak pada pola pembebasan yang
abnormal.
14. Wada :
Menentukan hemister dominan (dilakukan sebagai evaluasi awal dari
praoperasi lobektomi temporal).
15
3.3 Diagnosis Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
16
Pertahankan bantalan lunak pada (sering/umum) terjadi selama pasien
penghalang tempat tidur yang terpasang berada di tempat tidur.
dengan posisi tempat tidur rendah.
17
Tinggalah bersama pasien dalam waktu Menurunkan risiko terjadinya trauma
beberapa lama selama/setelah kejang. mulut tetapi tidak boleh “dipaksa” atau
dimasukkan ketika gigi-gigi sedang
mengatup kuat karena kerusakan pada
Masukan jalan napas buatan yang gigi dan jaringan lunak dapat terjadi.
terbuat dari plastik/biarkan pasien Juga membantu mempertahankan jalan
menggigit benda lunak antara gigi (jika napas. Catatan: Spatel lidah dari kayu
rahang sedang relaksasi). Miringkan tidak boleh digunakan karena mungkin
kepala kesalah satu sisi/lakukan bisa rusak atau terpelintir pada mulut
penghisapan pada jalan napas sesuai pasien. (Rujuk ke DK: Pola
indikasi. Napas/Bersihan Jalan Napas tak efektif
hal.265).
18
(frekuensi/kambuhannya).
19
dan menurunkan perasaan tak berdaya
dari orang terdekat.
20
tidak optimal pada pasien individual
jika terjadi efek samping yang
Diazepam (Valium) merugiakn atau kejangnya tidak
terkontrol.
21
Hasil yang diharapkan kriteria evaluasi pasien akan :
mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas paten/
aspirasi dicegah)
Tindakan/Intervensi Rasional
22
perubahan pada persepsi diri tentang peran, perubahan pada pola
tanggung jawab biasanyan, kurang mengikuti/ tidak berpartisipasi
pada terapi.
a. Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi- pasien akan :
mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dengan
persepsi negatif pada diri sendiri,
b. mengungkapakan peningkatan rasa harga diri dalam
hubungannya dengandiagnosis,
c. mengungkapkan persepsi realistis dan penerimaan diri
dalam perubahan peran/gaya hidup.
Tindakan/Intervensi Rasional
23
tenang. dapat meningkatkan persepsi negatif
terhadap keadaan lingkungan/diri
sendiri
Pertanyaan
Peningkatan/ kurang control aktivitas kejang
Kurang mengikuti aturan obat
Kriteria hasil :
Pasien akan mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan
berbagai rangsangan dapat meningkatkan / berpotensial pada
aktivitas kejang
Pasien akan memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai
indikasi
Pasien akanmenaati aturan obat yang diresepkan
Tindakan/Intervensi Rasional
Jelaskan kembali mengenai Memberikan kesempatan untuk
patofisioogi/prognosis penyakit dan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan
perlunya pengobatan/penanganan keadaan penyakit yang ada sebagai
dalam jangka waktu yang lama sesuai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara
indikasi. hidup yang normal.
Tinjau kembali obat – obat yang Tidak adanya pemahaman terhadap obat-
didapat, penting sekali memakan obat obatyang didapat merupakan penyebab
sesuai petunjuk dan tidak kejang yang terus menerus tanpa henti.
24
menghentikan pengobatan tanpa Pasien perlu untuk mengetahui resiko
pengawasan dokter. Termasuk timbulnya status epileptikus sebagai
petunjuk untuk mengurangi dosis. akibat dari menghentikan penggunaan
obat antikonvulsan. Bergantung pada
obat dan frekuensinya, pasien dapat
diinstruksikan untuk menentukan dosis
obat yang tepat.
25
BAB 1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Urolithiasis adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada sistem
penyalur urine, tetapi batu pada umumnya terbentuk di ginjal. Batu mungkin
terbentuk tanpa menimbulkan gejala atau kerusakan ginjal yang bermakna, hal
ini terutama pada batu besar yang tersangkut pada pelvis ginjal. Makna klinis
batu terletak pada kapasitasnya menghambat aliran urin atau menimbulkan
trauma yang menyababkan ulserasi dan perdarahan, pada kedua kasus ini
terjadi peningkatan predisposisi infeksi bakteri .
Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium, baik yang
berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat, membentuk batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat; sedangkan sisanya berasal dari batu asam urat,
batu magnesium amonium fosfat (batu infeksi), batu xanthyn, batu sistein, dan
batu jenis lainnya. Meskipun patogenesis pembentukan batu-batu diatas
hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran kemih yang memungkinkan
terbentuknya jenis batu itu tidak sama.
4.2 Saran
Dalam penyusunan makalah Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
Batu Saluran kemih ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi yang ada hubungannya dengan makalah ini. Untuk
menyempurnakan makalah ini agar lebih baik, sebaiknya di beri tambahan
referensi dan rujukan yang memiliki keterkaitan dengan materi tersebut.
26
DAFTAR PUSTAKA
Soeparman, Waspadil, Sarwono. 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta
; Balai Penerbit FKUI
27