D
I
S
U
S
U
N
Oleh kelompok 7
1. Audyna Rizki (200204004)
2. Desman Rezeki Telaumbanua (200204014)
3. Mukhlis Laia (200204035)
4. Oktristita Selvin Laia (200204037)
5. Salvin Siastin Dachi (200204047)
6. Tiur Y.M Gultom (200204052)
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul“ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS NEUROLOGI :
GBS”
Selama penulisan dan penyusunan laporan makalah ini, penulis tidak luput dari kendala.
Kendala tersebut dapat diatasi penulis berkat adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya
kepada :
2. Dr. Ivan Elisabeth, SP, M.Kes selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan.
3. Ns.Taruli Rohana Sinaga, SP, MKM, selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia.
4. Ns. Marthalena Simamora, M.Kep, selaku Ketua Program Studi Keperawatan Fakultas
Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
5. Ns. Agnes Marbun, M.Kep, selaku dosen pengampu Keperawatan Komunitas yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan masukan sehingga makalah ini
terselesaikan Kelompok menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, dengan demikian penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
3.1. Pengkajian
3.2. Diagnosa Keperawatan
3.3. Intervensi
3.4. Implementasi
3.5. Evaluasi
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat jarang,
kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode
42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan rata-rata insidensi
1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun.
Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan
dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan
4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi
belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita
3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.
Myastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia.
Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala myastenia pada
kelinci yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR). Sedangkan pada manusia yang
menderita myastenia gravis, ditemukan adanya defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR)
pada neuromuscular junction. Pada tahun 1977, karakteristik autoimun pada myastenia gravis
dan peran patogenik dari antibodi AchR telah berhasil ditemukan melalui beberapa penelitian.
Hal ini meliputi demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR pada hampir 90% penderita
myastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus,
lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik, dan efek
menguntungkan dari plasmaparesis.
Bagaimaa konsep asuhan keperawatan pada pasien dengan gagguan Miastenia dan GBS?
1.3 Tujuan
dan GBS.
BAB II
LANDASAN TEORI
Myastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya gangguan
dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Hal ini ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak
lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit autoimun itu sendiri adalah suatu
jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia Gravis
dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol
gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul,
leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat
terserang.
Penyakit Myastenia Gravis ini dapat mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada
penderita myastenia gravis, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf
yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan
dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan
defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan
otot.
2.1.2 Etiologi
Myasthenia Gravis dimasukkan dalam golongan penyakit autoimun. Sejak tahun 1960, telah
didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita Myastenia Gravis secara
langsung melawan konstituen pada otot. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan Myastenia
Gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Antibodi adalah protein yang memainkan peranan penting dalam sistem imun. Biasanya antibodi
secara langsung menolak protein-protein asing yang disebut antigen yang menyerang tubuh.
Protein-protein ini termasuk juga bakteri dan virus. Antibodi menolong tubuh untuk melindungi
dirinya dari protein-protein asing ini. Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada
orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi melawan reseptor pada neuromuscular
junction. Antibodi yang tidak normal ini dapat ditemukan dalam darah pada orang-orang dengan
Myasthenia Gravis. Antibodi tersebut menghancurkan reseptor dengan lebih cepat dibanding
tubuh mereka sendiri dapat melakukannya (Myasthenia Gravis Foundation of America).
Selain penjelasan mengenai penyebab Myasthenia Gravis, terdapat juga penjelasan mengenai
kemungkinan adanya peranan kelenjar thymus dalam penyakit ini. Kelenjar thymus yang
terletak di daerah dada atas di bawah tulang dada, mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan system imun pada awal kehidupan. Kelenjar ini pada saat bayi ada dalam jmlah
yang cukup banyak, tumbuh secara berangsur-angsur sampai masa pubertas, dan kemudian
menjadi mengecil dan digantikan dengan pertumbuhan bersama usia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar
thymus. Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi berbahaya. Hubungan antara kelenjar
thymus dan Myasthenia Gravis masih belum sepenuhnya dimengerti. Para ilmuwan percaya
bahwa kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi yang salah mengenai produksi antibodi
reseptor asetilkolin sehingga malah menyerang transmisi neuromuskular.
2.1.3 Patofisiologi
Otot-otot dari seluruh tubuh dikontrol oleh impul syaraf yang timbul dalam otak. Impul-impul
syaraf ini berjalan turun melewati syaraf-syaraf menuju tempat dimana syaraf-syaraf bertemu
dengan serabut otot. Serabut syaraf tidak benar-benar berhubungan dengan serabut otot. Ada
tempat atau jarak antara keduanya, tempat ini disebut neuromuskular junction.
Ketika impul syaraf yang berasal dari otak sampai pada syaraf bagian akhir, syaraf bagian akhir
ini mengeluarkan bahan kimia yang disebut asetilkolin. Asetilkolin berjalan menyeberangi jarak
yang ada diantara serabut syaraf dan serabut otot (neuromuscular junction) menuju serabut otot
dimana banyak diikat oleh reseptor asetilkolin. Otot menutup atau mengkerut ketika reseptor
telah digiatkan oleh asetilkolin. Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80 % penurunan pada
angka reseptor asetilkolin. Penurunan ini disebabkan oleh antibodi yang menghancurkan dan
merintangi reseptor asetilkolin.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline Receptor(AChR).
Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal
tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor
dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit
pada pasien.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi kehilangan toleransi terhadap
AChR sampai saat ini masih belum diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap
sebagai penyakit yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR
bodies.
Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki
peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma. Sub-unit alfa
juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien myastenia gravis, antibodi
IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung
melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada
reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area
permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
2.1.4 Klasifikasi
1) Test Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba test Wartenberg. Penderita
diminta untuk menatap tanpa kedip kepada suatu benda yang terletak diatas dan diantara
bidang kedua mata untuk beberapa waktu lamanya. Pada Myasthenia Gravis, kelopak
mata yang terkena akan menunjukkan ptosis.
2.1.7 Penatalaksanaan
Myasthenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada myasthenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan
pada myasthenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan myasthenia gravis
generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan myastenia
gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan imunomodulasi
dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan
miastenia gravis.
Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang
mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.
Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat
digunakan untuk replacement . Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan
hingga lebih dari 10 minggu.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan
natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya pergeseran
cairan selama pertukaran berlangsung. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor
pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen
plasma tidak diperlukan.
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk
tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman
untuk diberikan secara intravena.
Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi
PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai
terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang
juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1
gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan
level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan
infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 2 4 jam
pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan
infus menjadi lebih lambat.
3) Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian
dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunj ukkan respon terhadap IVMp
pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek
maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada
keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.
4) Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun
dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja
kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana
respon terhadap pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah
inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan
pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan
imun pada miastenia gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul efek samping berupa
osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
5) Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang
memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine
merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya.
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol
tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien
diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon Azathioprine
sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan
terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
6) Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine
berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap
aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Cyclosporine dapat
menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.
7) Cyclophosphamide (CPM)
Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi dibandingkan obat
lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak
langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia gravis sejak tahun
1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900.
Tujuan utama dari timektomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien,
mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya besarnya
angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung dari jenis timektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin banyaknya
prosedur ekstensif adalah antara 40-60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan
adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah
timektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan
serta obat-obatan). Komplikasi
Ada dua komplikasi utama yang biasa menyertai penyakit Myasthenia Gravis adalah Myasthenic
Crisis dan Cholinergic Crisis.
Myasthenic Crisis
Cholinergic Crisis
Krisis kolinergik terjadi sebagai hasil dari pemberian obat yang lebih. Efek muskarinik
dari tingkat racun olehkarena obat antikolinesterase menyebabkan kram perut, diare, dan sekresi
paru berlebihan. Efek nikotinik paradoksikal memperburuk kelemahan dan dapat menyebabkan
kejang bronkial. Jika status pernapasan terganggu, klien mungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik.
2.2.1 Definisi
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan
kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS
mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis,Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang
menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian
sembuh setelah menerima perawatan medis.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil.
GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang
disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis. Jadi disimpulkan
bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem selaput sarafyang
menyebabkan kelemahan akut ekstermitas tubuh.Pada umumnya penyakit ini didahului oleh
infeksi.Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi selaput mielin dari saraf perifer
dan kranial.
2.2.2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus saraf
perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat serangan
autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama
serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi. Otot ekstremitas bawah biasanya
terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat
terkena dan menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu karena
gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009).
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih
diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen. Limfosit yang
berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin
diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus
terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus.
Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah
mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa
minggu setelah proses peradangan/infeksi terjadi.
Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada
beberapa segmen. Hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan
penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat
namun reversibel karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun
pada banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil,
2010).
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri
serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap
ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat
saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di
fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari,
jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein
CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.Derajat
penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di
bawah 10 leukosit mononuclear/mm
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat
meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala
4. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang Tserta sinus takikardia.Gelombang T akan
mendatar atau inverted pada lead lateral.Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik
mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang
dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi
wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar
hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral
root , saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ
lainnya.
2.2.6 Penatalaksanaan
a. Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang
menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan.Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka
penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus
dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu
yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring
fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.
b. Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan
fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta
gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan
obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau
nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan
pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan
pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
c. Plasmaparesis
Pertukaran plasma ( plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam
sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang
memburuk pada pasien demielinasi.Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama
dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam
waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange
bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.
d. Pengobatan imunosupresan:
Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan antibody. Imunoglobulin
IV : Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau
gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya
seperti halnya plasmapharesis.Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis
tinggi.Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis
aintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk
memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari
selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi
IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG.
Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
e. Perawatan umum :
Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan
perubahan posisi tidur.
f. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur
untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah penyembuhan
mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
g. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang
lumpuh.
h. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang
lumpuh mencegah deep voin thrombosis.
i. Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
10)Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
11)Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
2.2.7 Komplikasi
Contoh Kasus :
Tn. Ali usia 45 tahun masuk UGD RSUD Dr.Soetomo Surabaya dengan keluhan susah napas,
dada terasa berat, gelisah. Hasil pengkajian didapatkan Tn. Ali menderita demam 3 hari yang
lalu, kemudian kaki tidak bisa digerakkan. TD: 130/80 mmHg, nadi 85x permenit, RR 26x
permenit, Suhu 37’C.
3.1 Pengkajian
1. Identitas :
Nama: Tn. A
Umur: 4 5 th
3. Riwayat penyakit sekarang : Tn.A mengeluh susah napas, dada terasa berat, serta gelisah.
Tn. A telah menderita demam sejak 3 hari yang lalu, serta kakinya tidak bisa digerakkan.
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
2. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.
3. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan otot.
3.4. Intervensi
3.5. Implementasi
3.6. Evaluasi
I. Pengkajian
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah
istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan
setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak
mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :
B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan
otot diafragma
III. Intervensi
Kriteria hasil :
Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan : Citra diri klien meningkat Kriteria hasil :
Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi
dan perubahan yangsedang terjadi
Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang
akurat tanpa harga diri yang negatif.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas . Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction. Sebelum memahami tentang myastenia gravis,
pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps
merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit yang langka dan dapat disembuhkan
akan tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan tergantung dari derjat kerusakan
saraf yang terjadi pada fase infeksi. Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu
sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi
klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko
komplikasi pencernaan.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, Gde Agung Anom, Made Oka Adnyana & I Putu Eka Wisyadharma.
Diagnosis dan Tata Laksana Myasthenia Gravis (Jurnal), diakses pada 13 Maret 2016 pk.
20.32 WIB.
Black, Joys & Jane Hokanson. 2009. Medical Surgical nursing : Clinical Management for
Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier
Morton, Patricia Gonce & Dorre K. Fontaine. 2009. Critical Care Nursing : a