Anda di halaman 1dari 12

PENUGASAN REFERAT INDIVIDU 4.

Disusun Oleh:

Gevira Aline Hilya 19711150

TUTORIAL 12

Tutor:

dr. Shofiati Ashfia

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2022
1. NEUROPATI DIABETIKA
a. Definisi dan Etiologi
Neuropati diabetika adalah salah satu komplikasi diabetes yang
menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat dan perifer pada pasien diabetes.
Neuropati diabetika terbagi menjadi beberapa tipe tergantung area saraf yang
terdampak, diantaranya adalah neuropati perifer, neuropati proksimal, neuropati
kranial dan truncal, serta mononeuropati multiplex. Dari semua tipe, neuropati
perifer atau yang disebut juga neuropati distal simetris perifer/distal
symmetrical peripheral neuropathy (DSPN). Sekitar 75% dari keseluruhan
neuropati diabetik merupakan DSPN. (Bansal, 2006)
b. Epidemiologi
Neuropati diabetika terjadi pada 50-66% pasien diabetes mellitus.
Pasien DM tipe 2 menunjukkan prevalensi lebih banyak dibandingkan dengan
pasien DM tipe 1. 10-20% pasien menunjukkan gejala neuropati DM pada awal
onset terdiagnosis DM. Prevalensi lebih banyak ditemukan pada pasien DM
kronis yaitu 26% pada pasien dengan DM setelah 5 tahun dan 41% pada
pasien dengan DM setelah 10 tahun. Produksi ROS berlebihan akibat
hiperglikemia dan mekanisme lain menyebabkan kerusakan pada DNA saraf,
disfungsi mitokondrial, apoptosis hingga penurunan sinyal neurotropik pada sel
saraf sehingga menyebabkan neuropati diabetic. (Bansal, 2006; Bodman &
Varacallo, 2022; Hicks & Selvin, 2019)

Gambar 1. Tipe Neuropati Diabetika(Bansal, 2006)

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis neuropati diabetika tergantung tipe neuropati, yaitu
tergantung area kerusakan saraf yang terjadi. Pada DSPN gejala muncul pada
area yang disebut glove and stocking pattern, yaitu pada distal tangan dan lutut
kebawah seperti pada pemakaian sarung tangan dan stocking. Manifestasi
DSPN lebih sering muncul di kaki dibandingkan di tangan, namun gejala
muncul simetris antara ekstremitas kanan dan kiri. Gejala DSPN muncul
sebagai manifestasi sensorik, motoric, dan autonomik. Manifestasi sensorik
ditandai dengan paresthesia, rasa terbakar, kram, kesemutan (pins and needle
sensation), sensasi tersetrum listrik, allodynia, dan hyperalgesia. Rasa nyeri
dan sensasi sensoris lain biasanya muncul atau memburuk pada malam hari.
Manifestasi motorik mungkin terjadi namun hanya sedikit kejadiannya,
diantaranya adalah kelemahan otot dan atrofi otot yang dapat mengakibatkan
gangguan saat berjalan yaitu ataxic gait. Manifestasi autonomik ditandai
dengan penurunan produksi keringat sehingga kulit yang melapisi area tersebut
menjadi kering, rentan menimbulkan fisura (kulit pecah-pecah), dan
memudahkan perkembangan infeksi selanjutnya.(Bansal, 2006; CDC, 2022;
Siao & Kaku, 2019)
d. Pemeriksaan Penunjang
Penegakkan diagnosis secara umum dapat ditegakkan menggunakan
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik/manifestasi klinik, namun beberapa
pemeriksaan penunjang dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding
dan menilai prognosis penyakit. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada pasien neuropati diabetic diantaranya adalah glukosa darah puasa,
hbA1c, hitung darah lengkap, kadar vitamin B1, B6, dan B12 dalam darah,
TSH, serta EKG. Pada fasilitas Kesehatan yang lebih lengkap dapat dilakukan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) untuk menilai kerusakan serabut saraf
besar serta menilai keterlibatan serabut saraf motorik, sensorik, dan tingkat
keparahan kerusakannya. (Aring et al., 2005; Doughty & Seyedsadjadi, 2018;
Siao & Kaku, 2019)
e. Tatalaksana
Tatalaksana definitive untuk neuropati diabetic adalah dengan
mengatasi hiperglikemi atau control glukosa darah. Hal ini dilakukan dengan
melanjutkan terapi diabetes mellitus yaitu menggunakan obat anti-hiperglikemik
oral maupun terapi insulin sesuai tipe diabetes mellitus yang diderita. Ketika
hiperglikemia sudah teratasi maka gejala neuropati juga akan teratasi. Selain
itu, tatalaksana farmakologi juga diberikan untuk memperbaiki kontrol nyeri.
Beberapa obat-obatan yang digunakan dalam tatalaksana nyerii neuropati
diabetic diantaranya adalah NSAID (ibuprofen 600mg/hari, sulindac 200mg
2x1), antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg sebelum tidur), antikovulsan
(pregabalin 50-200mg 3x1, gabapentin 900mg 3x1), antiaritmia (mexilletin 150-
450mg/hari), dan dapat diberikan obat topical berupa capsaicin 0,075% 4x/hari.
(Setia et al., 2018)
f. Prognosis
Neuropati diabetic bersifat irreversible, tujuan pengobatan bukan untuk
menyembuhkan namun untuk memperlambat progresivitas penyakit dan
meredakan gejala dan nyeri. Komplikasi yang paling sering terjadi karena
neuropati diabetic yang tidak ditangani adalah kaki diabetes. Kaki diabetes
ditandai dengan triad klasik yaitu neuropati, iskemia, dan infeksi pada kaki.
Kerusakan saraf yang semakin parah akan menyebabkan deformitas anatomis
pada kaki dan tangan yang akan memudahkan penghancuran kulit dan
ulserasi. Selain itu, parestesia pada pasien menyebabkan pasien menjadi tidak
sadar ketika terdapat trauma pada kaki sehingga memperburuk neuropati,
ulserasi, dan nyeri menjadi kronis. Pada ulserasi yang mencapai tulang maka
diperlukan amputasi agar infeksi tidak menyebar ke jaringan/organ lain.
(Pendsey, 2010; Siao & Kaku, 2019)

g. Upaya Preventif, Promotif, Rehabilitatif


Tindakan promotive dan preventif yang dapat dilakukan pada kasus
neuropati diabetic adalah dengan pencegahan perburukan hiperglikemi, yaitu
dengan membatasi makanan dengan gula/karbohidrat tinggi, meningkatkan
kepatuhan konsumsi obat antihiperglikemik, rutin melakukan skrining DM, serta
dengan melakukan olahraga rutin 3x seminggu selama 30 menit persesinya.
Selain itu, Tindakan rehabilitative yang dapat dilakukan adalah dengan
perawatan kaki utamanya ketika terdapat trauma pada kaki. Perawatan kaki
dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan kulit kaki (mandi dan mencuci
kaki) serta menghindari trauma kaki, contohnya dengan menghindari
penggunaan alas kaki/sepatu sempit.(Azhary et al., 2010)
CARPAL TUNNEL SYNDROME

a. Definisi dan Etiologi


Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah kumpulan gejala yang
menimbulkan kondisi parestesia, nyeri, dan kelemahan pada pegelangan
tangan yang diakibatkan oleh saraf median pada pergelangan tekanan
mengalami penekanan/terhimpit oleh ligamen. Penyebab CTS belum diketahui
secara pasti, namun diduga dapat terjadi karena trauma, infeksi, gangguan
endokrin, dan lain-lain. Beberapa faktor resiko juga dihubungkan dengan
kejadian CTS, diantaranya adalah kehamilan, artritis, diabetes dapat
meningkatkan tekanan. Aktivitas yang menyebabkan penekanan repetitive
pada bagian pergelangan tekanan juga meningkatkan resiko terjadinya CTS,
contohnya adalah pada pekerja yang bekerja di bagian produksi makanan atau
pengepakan. (Genova et al., 2020; Salim, 2017)

b. Epidemiologi
CTS merupakan salah satu neuropati yang paling sering terjadi, sekitar
3.8% populasi terdiagnosis mengalami CTS. Insidensi CTS lebih banyak terjadi
pada Wanita dibandingkan laki-laki pada seluruh rentan usia. Peningkatan
prevalensi juga ditemukan pada pekerjaan yang berhubungan dengan penyakit
musculoskeletal (60%). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya Gerakan dan
regangan repetitive yang dilakukan pekerja tersebut setiap harinya. (Genova et
al., 2020; Ibrahim et al., 2012; Salim, 2017)

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi CTS muncul sebagai gangguan sensorik dan motoric.
Gangguan sensorik berupa nyeri, parestesia, kesemutan, dan mati rasa.
Sedangkan gangguan motoric yang terjadi dapat berupa hambatan gerak
oposisi, fleksi, ekstensi, adduksi, dan abduksi akibat atrofi otot. Manifestasi
CTS kebanyakan muncul di bagian distal distribusi nervus medianus (ibu jari,
jari telunjuk, jari tengah, dan sisi radial jari manis). Gejala biasanya memburuk
pada malam hari dan saat pergelangan tangan banyak digunakan untuk
bekerja. Terdapat beberapa tahap perkembangan penyakit pada CTS. Pada
tahap pertama, pasien biasanya sering terbangun tidur karena rasa kesemutan
pada tangan. Pasien juga dapat merasakan nyeri berat-kesemutan pada
tangan yang menjalar sampai ke bahu, hal ini disebut dengan brachialgia
paresthetica nocturna. Tahap kedua ditandai dengan adanya gejala yang
dirasakan terus-menerus dalam sehari. Pasien akan merasa kesulitan saat
menggunakan tangan atau saat menggenggam sesuatu. Pada tahap terakhir
manifestasi CTS muncul berupa hipertrofi atau atrofi pada eminensia thenar
(area distal ibu jari)(Genova et al., 2020; Ibrahim et al., 2012; Salim, 2017)

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis CTS adalah
nerve conduction studies (NCS) untuk mengukur kecepatan impuls listrik yang
dihantarkan nervus. Pada kasus CTS, hasil NCS yang muncul adalah
perlambatan atau hilangnya kecepatan impuls listrik pada nervus medianus.
(Genova et al., 2020; Ibrahim et al., 2012)

e. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis yang dilkaukan dalam diagnosis CTS dapat ditanyakan
terkait gejala yang dirasakan pasien, onset gejala, frekuensi gejala, riwayat
pekerjaan/aktivitas yang dilakuakan secara repetitive, atau faktor resiko lain
yang dapat menyebabkan CTS. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan propioseptif dan kekuatan otot pada jari dan
pergelangan tangan. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk merangsang
nyeri pada nervus medianus, diantaranya adalah manuver Phalen dan Tinel’s
sign. Pada manuver Phalen pasien diminta untuk melakukan fleksi pada
pergelangan tangan dan menahan pada posisi tersebut selama 60 detik. Hasil
positif jika dirasakan nyeri atau parestesia pada area distribusi nervus
medianus. Sedangkan Tinel’s test dilakukan dengan cara memberikan ketukan
atau tekanan langsung pada pergelangan tangan. Hasil positif jika dirasakan
nyeri atau parestesia pada jari-jari yang diinervasi nervus medianus (ibu jari, jari
telunjuk, jari tengah, dan radial jari manis). (Genova et al., 2020; Ibrahim et al.,
2012)
f. Penatalaksanaan Klinis
Tatalaksana untuk CTS dibagi menjadi dua kategori, yaitu konservatif
dan operatif. Tatalaksana konservatif diberikan kepada pasien yang merasakan
gejala ringan-sedang. Pada kelompok ini dapat diberikan terapi farmakologi
kortikosteroid injeksi (deksametason 1-4mg IV atau hidrokortison 10-25mg),
vitamin B6 (100-300mg/hari), vitamin B12, dan NSAID untuk meredakan nyeri.
Selain itu, dilakukan tatalksana nonfarmakologi berupa pemasangan splint
untuk mobilisasi, terapi ultrasound, dan dapat dilakukan olahraga seperti yoga
untuk membantu perbaikan gejala CTS. Tatalaksana operatif dilakukan dengan
cara memotong ligamentum transversal carpal untuk meningkatkan ruang pada
terowongan carpal sehingga dapat mengurangi tekanan interstisial. Prosedur ini
diindikasikan untuk pasien yang tidak membaik dengan tatalaksana konservatif
atau pada pasien dengan gejala CTS berat. (Bahrudin, 2012)

g. Prognosis
Secara umum CTS memiliki prognosis baik jika dilakukan terapi dan
perawatan dengan baik, namun CTS juga dapat mengarah ke kerusakan
nervus medianus irreversible dengan penurunan fungsi tangan berat jika tidak
ditangani dengan baik. Prognosis yang lebih baik dihubungkan dengan durasi
nyeri pendek, pasien usia muda, dan hasil manuver Phalen negative.
(Bahrudin, 2012; Salim, 2017)

h. Upaya Promotif, Preventif, dan Rehabilitatif


Tindakan promotive dan preventif yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya CTS diantaranya adalah dengan meningkatkan aspek
ergonomis pada saat bekerja, contohnya adalah dengan mengurangi posisi
kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitive, dan getaran peralatan
tangan pada saat bekerja. Gunakan peralatan kerja yang memungkinkan
tangan dalam posisi natural saat bekerja. Usahakan untuk mengubah metode
kerja dengan mengadakan istirahat pendek sesekali dan mengupayakan rotasi
kerja. Selain itu, tindakan rehabilitative dapat dilakukan dengan menghindari
menekuk pergelangan tangan, lakukan peregangan pada pergelangan tangan
dan jangan mencengkeram tangan terlalu kuat. (Bahrudin, 2012)
HIPOTIROID

a. Definisi dan Etiologi


Hipotiroid adalah gangguan endokrin yang ditandai dengan defisiensi
hormone tiroid. Diantara defisiensi hormone secara keseluruhan, hipotiroid
merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi. Hipotiroid
diklasifikasikan menjadi hipotiroid primer dan sekunder (sentral) menurut
etiologinya. Hipotiroid primer terjadi defisiensi tiroid karena kelenjar tiroid tidak
mampu memproduksi hormone tiroid dalam jumlah cukup. Hal ini dapat terjadi
karena destruksi akibat autoimun (autoimun tiroiditis Hashimoto), operasi eksisi
tiroid, dan lain-lain. Sedangkan, pada hipotiroid sekunder, defisiensi tiroid
terjadi akibat rendahnya sintesis dan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone)
oleh kelenjar pituitary. Penyebab hipotiroid sekunder diantaranya adalah
adenoma pituitary, efek radioterapi, dan operasi. (Chaker et al., 2017; Patil et
al., 2022)

b. Epidemiologi
Prevalensi hipotiroid secara global berada pada rentan 1-2%, namun
meningkat hingga 7% pada orang dengan usia lanjut (85-89 tahun).
Peningkatan prevalensi hipotiroid ditemukan pada populasi usia lebih tingi dan
pada daerah dengan defisiensi iodin (banyak pada negara berkembang).
Hipotiroid juga lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun
seperti DM tipe 1, atrofi lambung autoimun, dan celiac disease. Dari sisi
gender, prevalensi hipotiroid pada wanita ditemukan lebih tinggi 10x
dibandingkan dengan pria. (Chaker et al., 2017; LeFevre, 2015)

c. Manifestasi Klinis
Hipotiroid menunjukkan manifestasi klinis yang bervariasi dari
asimtomatik hingga gejala berat dan nonspesifik pada pasien yang berbeda.
Karakteristik umum yang sering ditemukan pada pasien hipotiroid adalah
intoleransi dingin, penurunan keringat, letargi, fatig, peningkatan berat badan,
konstipasi, perubahan suara, dan kulit kering. Namun, tidak semua pasien
menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada pasien yang lebih tua biasanya
menunjukkan lebih sedikit gejala dibandingkan dengan pasien yang lebih muda.
Gejala lain ditunjukkan pada hamper seluruh system organ mayor. (Chaker et
al., 2017)
Tabel 1. Manifestasi klinis dan implikasi pada hipotiroid(Chaker et al., 2017)

d. Pemeriksaan Penunjang dan Penegakkan Diagnosis


Penegakkan diagnosis hipotiroid primer ditinjau dari pengukuran kadar
TSH dan T4 bebas pada serum. Pada hipotiroid primer, kadar TSH akan
meningkat dan kadar T4 bebas serum rendah. Pada hipotiroid sekunder, terjadi
penurunan pada kadar TSH dan T4 bebas. Rentang kadar TSH normal adalah
0.35-45.0, sedangkan untuk rentang kadar T4 bebas adalah 0.7-1.53 ng/dL.
(LeFevre, 2015; Patil et al., 2022)

e. Penatalaksanaan Klinis
Tatalaksana hipotiroid dilakukan dengan peberian terapi pengganti
hormone (thyroid hormone replacement) berupa pemberian hormone tiroid
eksogen untuk meningkatkan atau menggantikan hormone tiroid endogen.
Monoterapi LT4 (levothyroxine) merupakan pengobatan pilihan utama dengan
dosis 1,6mcg/kg per hari. Pada pasien usia lanjut dan pasien fibrilasi atrium
dosis dapat dikurangi. Untuk membantu penyerapan, LT4 harus diminum 30-45
menit sebelum sarapan, setidaknya 3 jam setelah makan sebelum tidur. LT4
dapat diberikan melalui IV dengan indikasi pasien tidak dapat mengonsumsi
pengganti tiroid secara oral atau diduga ada koma myxedema. Dosis IV
dikurangi 50% dari dosis oral. Pada masa pengobatan, kadar TSH dan T4
bebas serum harus tetap dipantau setiap 4-8 minnggu sampai kadar target
tercapai. (Patil et al., 2022)

f. Prognosis
Tanpa pengobatan, hipotiroid memiliki resiko morbidiat dan mortalitas
yang tinggi sehingga dapat menyebabkan koma bahkan kematian. Pada anak-
anak, kegagalan pengobatan hipotiroid dapat menyebabkan retardasi mental.
Dengan pengobatan, kebanyakan pasien memiliki prognosis baik dan gejala
biasanya membaik dalam beberapa minggu-bulan. (Vanderpump & Tunbridge,
2002)

g. Upaya Promotif, Preventif, dan Rehabilitatif


Hipotiroid tidak dapat dicegah. Cara terbaik untuk mencegah
perburukan penyakit adalah dengan memperhatikan tanda-tanda hipotiroid dan
segera memeriksakan ke dokter.(Vanderpump & Tunbridge, 2002)
DAFTAR PUSTAKA

Aring, A. M., Jones, D. E., & Falko, J. M. (2005). Evaluation and prevention of diabetic
neuropathy. American Family Physician, 71(11), 2123–2128.
Azhary, H., Farooq, M. U., Bhanushali, M., Majid, A., & Kassab, M. Y. (2010). Peripheral
neuropathy: differential diagnosis and management. American Family Physician, 81(7),
887–892.
Bahrudin, M. (2012). Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Saintika Medika, 7(1).
https://doi.org/10.22219/sm.v7i1.1090
Bansal, V. (2006). Diabetic neuropathy. Postgraduate Medical Journal, 82(964), 95–100.
https://doi.org/10.1136/pgmj.2005.036137
Bodman, M. A., & Varacallo, M. (2022, January). Peripheral Diabetic Neuropathy.
StatPearls Publishing.
CDC. (2022, June 20). Diabetes and Nerve Damage.
Chaker, L., Bianco, A. C., Jonklaas, J., & Peeters, R. P. (2017). Hypothyroidism. The
Lancet, 390(10101), 1550–1562. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(17)30703-1
Doughty, C. T., & Seyedsadjadi, R. (2018). Approach to Peripheral Neuropathy for the
Primary Care Clinician. The American Journal of Medicine, 131(9), 1010–1016.
https://doi.org/10.1016/j.amjmed.2017.12.042
Genova, A., Dix, O., Saefan, A., Thakur, M., & Hassan, A. (2020). Carpal Tunnel Syndrome:
A Review of Literature. Cureus. https://doi.org/10.7759/cureus.7333
Hicks, C. W., & Selvin, E. (2019). Epidemiology of Peripheral Neuropathy and Lower
Extremity Disease in Diabetes. Current Diabetes Reports, 19(10), 86.
https://doi.org/10.1007/s11892-019-1212-8
Ibrahim, I., Khan, W. S., Goddard, N., & Smitham, P. (2012). Carpal Tunnel Syndrome: A
Review of the Recent Literature. The Open Orthopaedics Journal, 6(1), 69–76.
https://doi.org/10.2174/1874325001206010069
LeFevre, M. L. (2015). Screening for Thyroid Dysfunction: U.S. Preventive Services Task
Force Recommendation Statement. Annals of Internal Medicine, 162(9), 641–650.
https://doi.org/10.7326/M15-0483
Patil, N., Rehman, A., & Jialal, I. (2022, August 8). Hypothyroidism. StatPearls.
Pendsey, S. (2010). Understanding diabetic foot. International Journal of Diabetes in
Developing Countries, 30(2), 75. https://doi.org/10.4103/0973-3930.62596
Salim, D. (2017). Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome.
Jurnal Kedokteran Meditek, 23(63).
Setia, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru. W., Simadibrata, M., Setyohadi, B., Syam, F. A., Djauzi, S.,
& Abdurrahman, N. (2018). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (S. Setia, I. Alwi, Aru. W.
Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setyohadi, & F. A. Syam, Eds.; 6th ed.). Interna
Publishing.
Siao, P., & Kaku, M. (2019). A Clinician’s Approach to Peripheral Neuropathy. Seminars in
Neurology, 39(05), 519–530. https://doi.org/10.1055/s-0039-1694747
Vanderpump, M. P. J., & Tunbridge, W. M. G. (2002). Epidemiology and Prevention of
Clinical and Subclinical Hypothyroidism. Thyroid, 12(10), 839–847.
https://doi.org/10.1089/105072502761016458
 

Anda mungkin juga menyukai