Anda di halaman 1dari 8

5.

Penyakit menular dan tidak menular dalam kedokteran pariwisata

a.) Penyakit menular

1.) Malaria

-Kematian akibat malaria di seluruh dunia : 1,5 – 2,7 juta / tahun

-Laporan WHO : 500 juta penderita malaria / tahun, terutama di Afrika dan Asia, dengan
kematian 1,1 juta / tahun

-Di Indonesia, KLB malaria pernah terjadi di Sukabumi (Jabar) pada Januari – Juni 2004 :
993/32.664, dengan kematian 10 orang dan di Karimun (Riau) 144 pdrt, dengan kematian 3
orang

-Peningkatan tinggi terjadi di NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, & NAD

-Di Jawa-Bali, tahun 2003 : 0,22 / 1000 ( laporan Dirjen PPM-PL)

-Menyebabkan kerugian negara (pertumbuhan ekonomi menurun)

2.) Avian Influenza (H5N1)

Sebuah studi surveilans influenza tahun 2003-2007 di Indonesia melaporkan bahwa terdapat
21.030 laporan kasus dengan manifestasi klinis seperti influenza. Dari jumlah kasus tersebut,
4.236 (20.1%) di antaranya terbukti terinfeksi virus influenza, dengan proporsi yang serupa
antara pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.  Kelompok usia terbanyak penderita
influenza adalah kelompok anak usia sekolah.  Studi tersebut juga menyebutkan bahwa
64.9% dari seluruh kasus influenza yang ditemukan merupakan infeksi virus influenza A
(dengan klasifikasi sub tipe H3N2 sebanyak 64.6%, H1N1 sebanyak 34.9%, dan H5N1
sebanyak 0.4%) dan 35.1% lainnya merupakan infeksi virus influenza B.
Ditemukan adanya aktivitas musiman dari virus influenza A yang mencapai puncaknya pada
bulan Desember dan Januari, di saat musim hujan terjadi, terutama di Indonesia bagian barat
dan tengah. Sedangkan untuk Indonesia bagian timur, didapatkan aktivitas kedua jenis virus
influenza, A dan B.  Dari data aktivitas musiman dan jenis virus tersebut, dapat disarankan
bahwa jenis vaksin yang sesuai adalah vaksin influenza belahan bumi utara.
Mengenai pencegahan, cakupan vaksinasi influenza di Indonesia masih rendah, yaitu kurang
dari 300.000 dosis setiap tahunnya. Anggapan bahwa influenza merupakan penyakit ringan
dan harga vaksin disinyalir menjadi penyebab rendahnya cakupan tersebut. 

3.) Demam tifoid

Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per
100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000
penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%.
Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya
dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan

4.) Hepatitis A, B

Pada tahun 2013, enam provinsi dan 11 kabupaten/kota di Indonesia pernah mengalami
kejadian luar biasa (KLB) HA berjumlah 495 kasus, namun tidak terdapat mortalitas
serta case fatality rate (CFR) adalah nol. Kemudian di tahun 2014, tiga provinsi dan 4
kabupaten/kota terkena KLB dengan 282 kasus, tapi tidak terdapat kematian, dan CFR nol.
Sekitar 2,9 juta, atau 1,2% penduduk Indonesia mengidap hepatitis A menurut data tahun
2013. Lima provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi secara berurutan adalah NTT,
Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Aceh 

Indonesia adalah negara dengan prevalensi hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi
yaitu lebih dari 8 persen yang sebanyak 1,5 juta orang Indonesia berpotensi mengidap kanker
hati. Sekitar 5% dari populasi adalah carrier kronis HBV, dan secara umum hampir 25%
carrier dapat mengalami penyakit hati yang lebih parah seperti hepatitis kronis, sirosis, dan
karsinoma hepatoseluler primer. Infeksi HBV menyebabkan lebih dari satu juta kematian
setiap tahun

5.) Cacar air (Varicella)

Tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak tetapi dapat juga menyerang orang
dewasa. Transmisi penyakit ini secara aerogen dengan masa penularan lebih kurang 7 hari
dihitung dari timbulnya gejala kulit. biasanya bulan Maret dan April. Sebelum vaksin
varicella disebarkan, dilaporkan terjadi 4 juta kasus varicella. Penyakit ini responsibel pada
11.000 kasus di rumah sakit dalam setahun dan terjadi 50 – 100 kasus kematian. Saat ini,
kurang dari 10 kematian dalam setahun menimpa mereka yang belum diimunisasi. Sedangkan
di internasional, secara universal varicella cenderung merata, diperkirakan terjadi 60 juta
kasus dalam setahun. Varicella lebih berpengaruh pada individu yang tidak memperoleh
kekebalan. Mungkin ada sekitar 80 – 90 juta kasus di seluruh dunia.Banyak terjadi pada anak
usia 1 – 4 tahun, diperkirakan 2 kematian tiap 100.000 kasus

Kebanyakan kematian di Amerika Serikat terjadi sebelum ada vaksinasi dan bersama dengan
ensefalitis, pneumonia, infeksi bakteri sekunder, dan sindroma Reye.
1.Mortalitas pada anak – anak dengan immunocompromised lebih tinggi.
2.Penyakit ini lebih serius pada neonatus, tergantung kapan infeksi terhadap ibunya

6.) Difteri

- Angka mortalitas 5-10%


- Di Indonesia angka kematian 15%
- Menyerang anak remaja dan dewasa
- Di Amerika Serikat tahun 1908-1996 71% kasus menyerang > 14 tahun.Tahun 1994 lebih
39.000 kasus dengan kematian 1100 (CFR-2,82%) sebagian besar > 15 tahun.
7.) Campak, Gondong, Rubela

Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspek campak,
dan hasil konfirmasi laboratorium menunjukkan 12–39% di antaranya adalah campak pasti
(lab confirmed) sedangkan 16–43% adalah rubella pasti. Dari tahun 2010 sampai 2015,
diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Jumlah kasus ini
diperkirakan masih lebih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih
banyaknya kasus yang tidak terlaporkan,terutama dari pelayanan kesehatan swasta serta
kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah. Di Indonesia, Rubella merupakah salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan upaya pencegahan efektif. Data
surveilans selama lima tahun terakhir menunjukan 70% kasus rubella terjadi pada kelompok
usia <15 tahun. Selain itu, berdasarkan studi tentang estimasi beban penyakit CRS di
Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 2.767 kasus CRS, 82/100.000 terjadi pada
usia ibu 15-19 tahun dan menurun menjadi 47/100.000 pada usia ibu 40-44 tahun.

8.) Pneumococal

Berdasarkan data dari Centers for Disease Control 2008, Pneumococcal menyebabkan 1 juta
kematian anak-anak dibawah 5 tahun dan lansia setiap tahunnya. Berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, period prevalence atau prevalensi periode
seluruh pneumonia di Indonesia secara nasional adalah 1,8% dimana prevalensi tahun 2013
adalah 4,5%. Prevalensi periode paling tinggi pada kelompok umur 1-4 tahun dan meningkat
pada kelompok umur 45-54 tahun dan kelompok umur yang lebih tua.[14] Berdasarkan data
administratif, terdapat 988 kasus CAP pada tiap 100.000 pasien yang telah keluar dari
perawatan inap rumah sakit di Indonesia dengan rata-rata masa rawat inap atau length of stay
adalah 6,1 hari.

9.) Rabies

Penyakit rabies menjadi endemis di 25 provinsi di Indonesia.

Terdapat 9 provinsi yang bebas dari penyakit rabies yaitu Provinisi Kepulauan Riau, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, DIY, Jateng, Jatim, NTB, Papua dan Papua Barat,akan tetapi pada
tanggal 15 Januari 2019 dilaporkan adanya kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) di
Desa Anamina, Kecamatan Manggelewa, Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Berdasarkan
hasil pemeriksaan dari BBVet Denpasar kasus gigitan ini berasal dari anjing yang positif
rabies.

Hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan oleh tim terpadu dari Ditjen P2P
Kementerian Kesehatan dan Ditjen PKH Kementerian Pertanian terkait dugaan adanya
kejadian luar biasa (KLB) Rabies pada tanggal 17-20 Januari 2019 ditemukan 192 kasus
gigitan hewan penular rabies dan 2 kasus kematian pada manusia karena rabies (Lyssa).

Hingga Minggu pertama Februari 2019 kejadian luar biasa (KLB) rabies di Kabupaten
Dompu NTB terus meluas ke 9 kecamatan sekitarnya, hingga ke Kabupaten Sumbawa dan
Kabupaten Bima.
Berdasarkan laporan mingguan dari Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Kabupaten
Dompu, terdapat jmlah kumulatif kasus rabies pada minggu III Februari 2019 (data per 24
Februari 2019) ditemukan 735 kasus gigitan hewan penular rabies dan 6 kasus kematian pada
manusia karena rabies (Lyssa).

Di Kabupaten Sumbawa jumlah kumulatif gigitan hewan penular rabies ada 22 kasus dan
tidak ada kasus kematian pada manusia karena rabies (Lyssa). Jumlah kumulatif kasus rabies
pada Kabupaten Bima ada 26 kasus gigitan hewan penular rabies dan tidak ada kasus
kematian pada manusia karena rabies (Lyssa).

10.) Japanese enchepalitis

Di Indonesia, pantauan infeksi JE pada kelompok masyarakat di berbagai wilayah dimulai


dari penelitian yang dilakukan berbagai kelompok dan institusi sejak tahun 1972. Dilanjutkan
dengan surveilans berbasis masyarakat di Bali oleh Kemenkes (2001-2003). Tahun 2014
Kemenkes bekerja sama dengan WHO mengembangkan surveilans sentinel JE di Bali dan
empat provinsi berisiko lainnya. Tahun 2016, surveilans sentinel JE dikembangkan sehingga
menjadi 11 provinsi. Data surveilans kasus JE di Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa
terdapat sembilan provinsi yang melaporkan adanya kasus JE, diantaranya adalah Provinsi
Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta,
Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Kepulauan Riau.

Hasil surveilans sentinel 2016 di 11 provinsi menunjukkan bahwa terdapat 326 kasus AES
dengan 43 kasus (13%) diantaranya positif JE. Sebanyak 85% kasus JE di Indonesia terdapat
pada kelompok usia 15 tahun dan 15% pada kelompok usia >15 tahun. Kasus JE terbanyak
terdapat di provinsi Bali.

11.) Leptospirosis

Berdasarkan laporan International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia sebagai negara


dengan insiden Leptospirosis yang tinggi. Diperkirakan Leptospirosis sudah ada di 33
provinsi karena berkaitan dengan keberadaan binatang tikus (Rodent) sebagai reservoir utama
disamping binatang penular lain seperti anjing, kucing, sapi dan lain-lain, serta lingkungan
sebagai faktor resiko. Laporan insidens lepotospirosis sangat dipengaruhi oleh tersedianya
perangkat laboratorium diagnostik, indeks kecurigaan klinik dan insidens penyakit itu sendiri.

Penularan pada manusia terjadi melalui paparan pekerjaan, rekreasi atau hobi dan bencana
alam. Kontak langsung manusia dengan hewan terinfeksi di areal pertanian, peternakan,
tempat pemotongan hewan, petugas laboratorium yang menangani tikus, pengawasan hewan
pengerat. Sedangkan kontak tidak langsung penting bagi pekerja pembersih selokan, buruh
tambang, prajurit, pembersih septictank, peternakan ikan, pengawas binatang buruan, pekerja
kanal, petani kebun dan pemotongan gula tebu.

Penyakit ini sifatnya musiman. Di negara beriklim sedang puncak kasus cenderung terjadi
pada musim panas dan musim gugur karena temperatur. Sementara pada negara tropis
insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.
12.) Giardiasis

G. lamblia ditemukan kosmopolit dan penyebarannya tergantung dari golongan umur yang
diperiksa dan sanitasi lingkungan. Prevalensi yang pernah ditemukan di Jakarta adalah 4.4%.
Prevalensi G. lamblia di Jakarta antara tahun 1983 hingga 15 1990 adalah 2,9%.

13.) Babesiosis/ Piroplasmosis

Kejadian babesiosis pertama kali di Indonesia dilaporkan pada kerbau di Tegal (Jawa
Tengah) bertepatan dengan terjadinya wabah Texas fever pada tahun 1896 dan menyusul di
daerah Sumatra pada tahun 1906. Kasus babesiosis terus berkembang dan menjadi wabah
pada tahun 1918 yang menyerang ternak-ternak di import dari Australia, sehingga daerah
tertular dan dan tersangka tertular Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jambi,
Riau,Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali, dan Jawa.

Selanjutnya kasus wabah babesiosis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 1982
dilaporkan sebanyak 710 kasus dan meningkat taja, pada tahun 1983 menjadi 3.563 kasus,
sedangkan pada tahun 1984 meningkat hingga 5.579 kasus. Penyakit ini terdistribusi luas di
seluruh Indonesia.

14.) Infeksi kulit

Tahun 2013 penyakit kulit infeksi menduduki posisi keempat dari sepuluh besar penyakit
dengan jumlah 136.035 kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Skabies atau kudis
merupakan salah satu jenis penyakit kulit infeksi,disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabie.Kejadian skabies sering di jumpai di daerah tropis pada masyarakat yang tinggal di
daerah dengan tingkat higiene, sanitasi dan ekonomi rendah. Tulisan ini merupakan kajian
pustaka yang tersusun berdasarkan studi kepustakaan dan browsing internet berupa artikel
ilmiah hasil penelitian dan artikel ilmiah populer yang ditulis dalam majalah/jurnal ilmiah
atau ilmiah populer, laporan hasil penelitian dan survei dan buku teks yang terkait dengan
skabies (epidemiologi dan pengendaliannya). Di Indonesia prevalensi skabies tiap daerah
bervariasi. Di Pulau Jawa skabies di temukan pada daerah kumuh dan pondok pesantren
sedangkan di Nusa Tenggara di temukan di keluarga miskin dan lembaga
permasyarakatan.Penularan terjadi melalui kontak langsung dan tidak langung melalui alas
tempat tidur dan pakaian penderita dan juga dapat ditularkan dari hewan ke manusia.
Pencegahan dapat dilakukan dengan penyuluhan tentang skabies, penemuan dan pengobatan
penderita serta menjaga sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.

15.) STIs (Sexual Transmitted Infection)

Sebuah studi baru mendapati bahwa lebih dari satu juta orang di seluruh belahan dunia setiap
hari tertular penyakit seksual yang dapat disembuhkan. Data yang dikeluarkan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan penyakit kelamin itu tersebar luas diantara
laki-laki dan perempuan berusia 15 hingga 49 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia WHO melaporkan lebih dari 276 juta kasus baru chlamydia,
gonorrhea, trichomoniasis dan sifilis terjadi setiap tahun. WHO mengatakan rata-rata satu
dari 25 orang di dunia mengidap salah satu infeksi itu, dan sebagian bahkan memiliki
beberpaa infeksi sekaligus dalam waktu yang sama.

16.) Kolera

Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) terbaru menyebut tak ada kasus kolera di Indonesia
dalam peta kasus kolera periode 2010-2014.

Sampai 2018 pun tidak ada (data tak tersedia) kasus kolera di negeri ini, sementara kasus
penyakit menular ini masih ditemukan di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan
Amerika Selatan.

17.) Tetanus

Berdasarkan data dari Kemenkes RI, laporan kasus tetanus pada tahun 1994 di Indonesia
berjumlah 3.843 kasus, dengan kasus terbanyak ditemukan di provinsi Jawa Timur yakni
1.229 kasus. Penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung antara tahun 1991-
1995 menemukan 85 kasus tetanus. Sekitar 69,4% kasus disebabkan karena luka pada kaki.
Angka mortalitas mencapai 25,6% dan dari semua pasien tersebut tidak ada yang pernah
mendapatkan imunisasi dasar.

Penemuan kasus tetanus mengikuti kejadian bencana gempa di Yogyakarta pada tahun 2006
melaporkan adanya 26 kasus tetanus yang ditemukan dari data 8 rumah sakit setempat.
Delapan dari 26 pasien tersebut meninggal (30,8%) dengan rata-rata usia 74,62 ± 13,43
tahun.

Di tahun 2017, WHO melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia sebanyak 25


kasus, dan insidensi tetanus secara keseluruhan adalah 506 kasus.

b.) Penyakit tidak menular

1.) Traveller diarrhea

Berdasarkan Studi Basic Human Service (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat
dalam mencuci tangan adalah, (i) setelah buang air besar 12%, (ii) setelah membersihkan
tinja bayi dan balita 9%, (iii) sebelum makan 14 %, (iv) sebelum memberi makan bayi 7%,
dan (v) sebelum menyiapkan makanan 6%. Sementara itu studi BHS lainnya terhadap
perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk
mendapatkan air minum, tetapi 47,50% dari air tersebut mengandung Eschericia coli. Kondisi
tersebut berkontribusi terhadap tingginya angkakejadian diare di Indonesia. Hal ini terlihat
dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per 1.000 penduduk pada
semua umur dan 16 propinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case
Fatality Rate (CFR) sebesar 2,5
2.) Otitis media

Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi terjadinya OMA
sekitar 17-20% pada 2 tahun pertama kehidupan. Biaya pemakaian antibiotik yang digunakan
untuk kasus OMA di AS per tahun sekitar 3-5 juta US dolar. Prevalensi otitis media di
negara-negara maju lainnya hampir sama dengan di AS. Studi epidemiologi OMA di negara-
negara berkembang sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen5 melaporkan
bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986
sampai 1991 sebesar 0,8%. Berdasarkan survei kesehatan Indera Pendengaran tahun 1994-
1996 pada 7 provinsi di Indonesia didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah populasi
segala umur di Indonesia sebesar 3.9 %. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang
melaporkan angka kejadian OMA.1-7

3.) Alergi

Prevalensi alergi makanan sangat beragam, yaitu antara 1–10,8%. Kisaran yang lebar ini
disebabkan oleh perbedaan metodologi masing-masing penelitian.

CDC menyatakan terjadi peningkatan prevalensi alergi makanan hingga 50% pada periode
2009–2011 dibandingkan periode 1997–1999. Hal ini mungkin berhubungan dengan
hipotesis higiene.

Anak-anak lebih mudah mengalami alergi makanan (8%) dibandingkan orang dewasa (3,7%).
Anak laki-laki lima kali lebih mudah mengalami alergi makanan dibandingkan anak
perempuan. Sementara pada dewasa, perempuan justru lebih sering mengalami alergi dengan
rasio 2:1.

Di Indonesia, data prevalensi alergi makanan di Indonesia masih belum ada. Penelitian di
Poliklinik Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 1987–1996 menyebutkan prevalensi alergi makanan
mencapai 4,6% dan lebih sering ditemukan pada usia di bawah setahun.

DAFTAR PUSTAKA

Prevalensi Hepatitis A dan Demam Tifoid di Wilayah Jember, available at


http://toothman.posterous.com/prevalensi-hepatitis-a-dan-demam-tifoid-di-wi di akses
tanggal 28 Oktober 2019.

Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Centers of disease control 2008

World Health Organization (WHO). Global Malaria Report 2015.Switzerland. 2015.


Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2008.Pneumococcal Infection. DPDx-
Laboratory Identification of Parasitic Diseases of Public Health Concern. Available at:
http://www. cdc.gov/dpdx/ Pneumococcal/ index.html. Diakses pada tanggal 28 Oktober
2009.

Teele DW, Klein JO, Rosner BA, et al. Epidemioloy of otitis media during the first seven
years of life in children in Greater Bosto: prospectie cohort study. J Infect Dis. 1989;(160).

Sumarmo, Garna H, Hadinegoro SR .Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis, Edisi pertama.
UKK PP IDAI, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2003.

Anda mungkin juga menyukai