Anda di halaman 1dari 108

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN USIA KEJANG

DEMAM PERTAMA PADA ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas dan memenuhi syarat – syarat


guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

RIRIN INTANIA
1707101010073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH
2020
i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan


Shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, yang atas berkat rahmat
dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan
Status Gizi dengan Usia Kejang Demam Pertama pada Anak”.

Skripsi ini penulis ajukan sebagai prasyarat guna memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran sebagai salah satu rangkaian proses penyelesaian pendidikan di
program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Penulis mengucapkan terima kasih terhadap pihak – pihak yang turut membantu
dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Maimun Syukri, Sp.PD, KGH-FINASIM selaku dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
2. Dr. dr. Herlina Dimiati, Sp.A (K) selaku dosen pembimbing I yang dengan
sabar memberikan bimbingan dan arahan dimulai dari penentuan judul hingga
penyelesaian skripsi kepada penulis.
3. Dr. dr. Azwar Ridwan, Sp.MK, Sp.THT-KL(K), FICS selaku dosen
pembimbing II yang dengan sabar memberikan bimbingan dan masukan
terhadap penulisan skripsi hingga skripsi ini selesai.
4. Dr. dr. Anidar, Sp.A (K) selaku dosen penguji I atas pemberian saran dan
masukan yang berharga terhadap skripsi yang diajukan penulis.
5. dr. Marisa, M.Gizi, Sp.GK selaku dosen penguji II atas pemberian saran dan
masukan yang berharga terhadap skripsi yang diajukan penulis.
6. Dr. dr. Nirwana Lazuardi Sary, M.Kes. dan Staf Tim Pengelola Skripsi
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala yang turut memberikan arahan dan panduan dalam mekanisme
penyelesaian skripsi
7. Dr. dr. Safrizal Rahman, M.Kes., Sp.OT selaku dosen wali yang selama ini
telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis sejak
mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran.

ii
8. Ayahanda Alm. Zahrial dan Ibunda Asniwati selaku orang tua, penyemangat,
dan landasan hidup bagi penulis yang atas doa yang tiada henti memberikan
semangat dan dorongan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
9. Abang Harry Febri, S.E. dan Kakak Ipar dr. Husna Fauziah serta keponakan
Latifa Humairah dan Muhammad Khalid; Kakak Yulia Rizki, S.H., M.Kn., dan
Abang Ipar Wahyu Budiarja, S.E.I., M.E., dan keponakan Azzam Wahyu Rizki
dan Aisha Wahyu Rizki, serta keluarga lainnya yang turut serta memberikan
dukungan dan motivasi atas penulisan skripsi ini.
10. Teman - Teman Shoni’ut Tarikh, beserta sahabat tercinta : Rafika Amir,
Nindia Yosa Dahlan, Indri Permata Rani, Faradila Aninda Raesa, Syawelleony
Rania Zhusto, Aisyah Khairunnisa, Linta Rizeka, dan Rizkiasa Nurafitha yang
mengiringi langkah penulis dengan berbagai penghiburan, semangat, dan
motivasi.
11. Teman – teman asisten anatomi angkatan 2017 : Salmah, Istiqomah Genepo,
Kholis Rizqullah, Naufal Gusti, Maya Safira, Ridwan Alfatah, Naufal
Rabbany, Nadifa Khairunnisa, Ridha Hidayana.
12. Teman – teman program studi pendidikan dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala angkatan 2017
13. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
saran dan kritikan yang membangun akan penulis terima dengan hati lapang demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan perkembangan pengetahuan kedokteran.

Banda Aceh,
Penulis

Ririn Intania
1707101010073

iii
ABSTRAK

Demam pada kejang demam dapat disebabkan oleh proses infeksi yang
dimungkinkan terjadi akibat malnutrisi pada balita dan digambarkan dalam
penilaian status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi
terhadap usia kejang demam pertama pada anak. Penelitian ini merupakan studi
cross sectional, dengan pendekatan retrospektif menggunakan data sekunder rekam
medis pasien rawat inap kejang demam anak periode Januari – Desember 2019 di
RSUD Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat. Sampel
penelitian ini sebanyak 95 anak dengan kejang demam pertama yang dipilih dengan
teknik consecutive sampling. Penelitian dilaksanakan pada 07 s.d 21 November
2020. Pengolahan data menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji korelasi
Spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan anak dengan kejang demam pertama
memiliki gizi yang baik (50,5% berdasarkan indeks IMT/U dan 51,6% berdasarkan
indeks BB/PB atau BB/TB), dan berada dalam kelompok umur batita (12 bulan ≤
usia < 36 bulan) dengan rata – rata usia kejang demam pertama 24,42 bulan. Uji
spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi
dengan usia kejang demam pertama baik berdasarkan indeks IMT/U (p = 0,260)
maupun berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB (p = 0,386). Kesimpulan, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan usia kejang demam
pertama pada anak.

Kata kunci : kejang demam, status gizi, usia kejang demam pertama

iv
ABSTRACT

Fever in febrile convulsion may be caused by the process of infection that are likely
lead by malnutrition, which can be seen in nutritional status assessment. This study
aims to find out the relationship between nutritional status and age of first febrile
convulsion in children. This study used cross-sectional design with retrospective
approach based on secondary data of pediatric febrile convulsion inpatients’s
history during January to December 2019 period from Regional General Hospital
Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, West Sumatra. The samples of this study
were 95 children with first febrile convulsion who were selected through
consecutive sampling technique. This study was conducted on November 7th to
November 21st, 2020. This study used univariate and bivariate analysis using
Spearman correlation test. Results showed that children with first febrile
convulsion had a good nutrition (50,5% according to BMI for age and 51,6%
according to weight for length or weight for height index), and were in the toddler
age group (12 months ≤ age <36 months old) with average of 24.42 months old
age. Spearman’s test showed that there was no significant relationship between
nutritional status and age of first febrile convulsion, based on both the BMI for age
(p = 0.260) and the weight for length or weight for height index (p = 0.386). In
conclusion, there is no significant relationship between nutritional status and age
of first febrile convulsion in children.

Keywords : Febrile Convulsion, Nutritional Status, Age of First Febrile Convulsion

v
DAFTAR ISI
Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

ABSTRACT ............................................................................................................v

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix

DAFTAR TABEL...................................................................................................x

LAMPIRAN .......................................................................................................... xi

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum ..........................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus .........................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian ..........................................................................................3
1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................................................3
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................4

2.1 Landasan Teori ...............................................................................................4


2.1.1 Kejang Demam ........................................................................................4

a. Definisi ...........................................................................................4
b. Epidemiologi ..................................................................................6
c. Faktor Risiko ..................................................................................7
d. Etiologi .........................................................................................11
e. Patogenesis ...................................................................................12
f. Klasifikasi .....................................................................................13

vi
g. Manifestasi Klinis ........................................................................14
h. Diagnosis ......................................................................................15
i. Diagnosis Banding ........................................................................16
j. Manajemen Tatalaksana ................................................................19
k. Komplikasi ...................................................................................21
l. Prognosis .......................................................................................22
m. Edukasi ........................................................................................23

2.1.2 Status Gizi..............................................................................................24

a. Definisi .........................................................................................24
b. Penilaian Status Gizi ....................................................................24
c. Klasifikasi.....................................................................................25
d. Timbulnya Masalah Gizi ..............................................................28
e. Zat Gizi dan Pengaruhnya terhadap Kejang Demam ...................29
f. Status Gizi pada Anak Kejang Demam ........................................34
2.2 Kerangka Teori .............................................................................................37
2.3 Hipotesis .......................................................................................................37

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .............................................................38

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian....................................................................38


3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................38
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian....................................................................38
3.3.1 Populasi Penelitian ................................................................................38
3.3.2 Sampel Penelitian ..................................................................................38
3.3.3 Kriteria Inklusi .......................................................................................39
3.3.4 Kriteria Eksklusi ....................................................................................39
3.3.5 Besar Sampel .........................................................................................39
3.3.6 Teknik Pengambilan Sampel .................................................................40
3.4 Kerangka Konsep .........................................................................................41
3.5 Variabel dan Definisi Operasional ...............................................................41
3.5.1 Variabel Penelitian.................................................................................41
3.5.2 Definisi Operasional ..............................................................................41
3.6 Alat / Instrumen dan Bahan Penelitian .........................................................44

vii
3.7 Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................44
3.8 Prosedur Penelitian .......................................................................................45
3.9 Alur Penelitian ..............................................................................................46
3.10 Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ...................................................47
3.10.1 Analisis Univariat ................................................................................47
3.10.2 Analisis Bivariat ..................................................................................48

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................49

4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan .................................................................49


4.2 Keterbatasan Penelitian ................................................................................61

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................62

5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 62


5.2 Saran ............................................................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................63

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................70

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur tatalaksana kejang demam pada anak ........................................21

Gambar 2.2 Faktor penyebab gizi kurang ..............................................................29

Gambar 2.3 Kerangka teori ....................................................................................37

Gambar 3.1 Kerangka konsep ................................................................................41

Gambar 3.2 Alur penelitian ....................................................................................46

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Demam berdasarkan area suhu tubuh terukur .........................................5

Tabel 2.2 Faktor risiko kejang demam berulang ...................................................11

Tabel 2.3 Perbedaan kejang demam sederhana dengan kompleks .......................13

Tabel 2.4 Kategori dan ambang batas status gizi anak .........................................27

Tabel 3.1 Variabel penelitian dan definisi operasional .........................................43

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel .............................................................................49

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Tanda Vital dan Hitung Darah Rutin .....................53

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi IMT/U ...............................................55

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Status Gizi BB/PB atau BB/TB ...........................55

Tabel 4.5 Hubungan Status Gizi IMT/U terhadap Usia Kejang Demam Pertama
pada Anak…………...............................................................................................58

Tabel 4.6 Hubungan Status Gizi BB/PB atau BB/TB terhadap Usia Kejang
Demam Pertama pada Anak ..................................................................................59

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ...........................................................70

Lampiran 2 Surat Izin Survey Awal.......................................................................71

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran .................................72

Lampiran 4 Surat Persetujuan Etik (Ethical Approval) .........................................73

Lampiran 5 Surat Rekomendasi Penelitian Kesbangpol ........................................74

Lampiran 6 Surat Disposisi Penelitian RSUD Prof. MA Hanafiah .......................75

Lampiran 7 Surat Keterangan Selesai Penelitian ...................................................76

Lampiran 8 Lembar Pengumpulan Data ................................................................77

Lampiran 9 Master Tabel Pengumpulan Data .......................................................79

Lampiran 10 Hasil Uji Statistik..............................................................................84

Lampiran 11 Dokumentasi Penelitian ....................................................................93

Lampiran 12 Biodata Peneliti.................................................................................94

xi
DAFTAR SINGKATAN

ADHD Attention Deficit Hyperactivity Disorder

AED Anti Epileptic Drug

AKG Angka Kecukupan Gizi

CDC Centers for Disease Control and Prevention

COX – 2 Cyclooxygenase-2

CRP C – Reactive Protein

CT Scan Computed Tomography Scan

DNA Deoxyribonucleic Acid

EEG Electroencephalography

GCS Glasgow Coma Scale

FIRES Febrile Infection-Related Epilepsy Syndrome

GEFS+ Generalized Epilepsy with Febrile Seizures Plus

GABA Gamma-Aminobutyric Acid

GABRG2 gene Gamma-Aminobutyric Acid Type A Receptor subunit

Gamma 2

GCTS Generalized Tonic Clonic Seizures

GPA Grafik Pertumbuhan Anak

HB Hemoglobin

HHV 6 Human Herpes Virus 6

IL- Interleukin -

ILAE The International League Against Epilepsy

Indeks BB/U Indeks Berat Badan menurut Umur

xii
Indeks BB/PB Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan

Indeks BB/TB Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan

Indeks IMT/U Indeks Massa Tubuh menurut Umur

Indeks PB/U Indeks Panjang Badan menurut Umur

Indeks TB/U Indeks Tinggi Badan menurut Umur

LPS Lipopolisakarida

MRI Magnetic Resonance Imaging

NORSE New-Onset Refractory Status Epilepticus

NVP – FS Non - Vaccine Proximate Febrile Seizures

PGE2 Prostaglandin E2

Riskesdas Riset kesehatan dasar

RLS Restless Leg Syndrome

RNA Ribonucleic Acid

RSUD Rumah Sakit Umum Daerah

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SCN Supra Chiasmatic Nucleus

SCN1A gene Sodium voltage-gated Channel Alpha subunit 1

SCN1B gene Sodium voltage-gated Channel Beta subunit 1

SPSS Statisical Package for the Social Sciences

SSP Sistem Saraf Pusat

TB Tuberkulosis

TNF-α Tumor Necrosis Factor - Alpha

VP – FS Vaccine Proximate Febrile Seizures

WHO World Health Organization

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kejang demam merupakan tantangan utama dalam praktik kedokteran anak


karena tingginya tingkat insidensi pada anak dalam rentang umur 6 s.d. 60 bulan,
kecenderungannya untuk kembali terjadi, dan merupakan momok yang
menakutkan bagi orang tua sehingga dapat berdampak pada kualitas hidup
keluarga1–3. Vebriasa,dkk.4 pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa kejang demam
pertama pada anak yang memiliki riwayat kejang keluarga cenderung terjadi pada
usia lebih dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat. Kejang demam
sederhana biasanya bersifat tidak berbahaya, tetapi anak dengan kejang demam
kompleks berada pada risiko untuk mengalami epilepsi di masa depan 2. Etiologi
kejang demam masih belum dapat dipastikan sehingga hanya dapat dinilai dari
berbagai faktor risiko : keterlambatan perkembangan, riwayat kejang demam pada
keluarga, dan adanya defisiensi zat besi dan zinc5.
Fredlina, dkk.6 pada tahun 2018 memaparkan salah satu masalah utama
pemerintah Indonesia untuk anak balita adalah status gizi yang buruk, yang
berdampak tingginya prevalensi anemia pada balita. Gangguan gizi dan kesehatan
rentan terjadi pada anak usia kurang 5 tahun7. Hasil Riskesdas tahun 20188,
menunjukkan provinsi Sumatera Barat berada diatas rata - rata seluruh provinsi di
Indonesia untuk status gizi buruk dan gizi kurang pada balita. Status gizi merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang anak dengan metode
penilaian status gizi yang paling sering digunakan berupa antropometri gizi
berdasarkan nilai ukuran dimensi dan komposisi tubuh (berat badan, tinggi badan,
9,10
lingkar lengan atas, dan tebal lemak bawah kulit) . Hairunis,dkk11 tahun 2018
menjelaskan terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan
perkembangan anak. Perkembangan yang terhambat dan tidak optimal berdasarkan
usianya, rentan terjadi pada anak dengan status gizi kurang 11. Anak akan rentan
terhadap infeksi apabila kebutuhan gizinya tidak terpenuhi 11.
Kejang demam dapat dipresipitasi oleh infeksi virus terutama pada infeksi
saluran pernapasan atas, bakteri, dan pasca vaksinasi 12. Infeksi saluran pernapasan

1
2

akut, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, infeksi saluran kemih merupakan


penyebab infeksi tersering yang menyebabkan demam pada kasus kejang demam 5.
Penelitian oleh Kakalang,dkk.13 pada tahun 2016 mendapatkan 67.3% dari
distribusi kejang demam terjadi pada anak dengan status gizi normal, sebaliknya
oleh Hussain,dkk14. Adanya perbedaan hasil penelitian terkait asosiasi status gizi
dan infeksi bakteri terhadap kejang demam sehingga diperlukan studi lebih lanjut
untuk menilai keterkaitannya14. Adanya kondisi anemia dan defisiensi beberapa zat
nutrisi yang diketahui berperan terhadap mekanisme metabolisme neurotransmitter
seperti zat besi dan zinc, apabila nilai optimalnya tidak terpenuhi dapat memicu
depolarisasi berlebihan sehingga dapat menimbulkan kejang demam 15,16.
Kerentanan seorang anak terhadap kekurangan asupan gizi maupun
mengalami kejang demam terjadi pada usia krusial tumbuh kembang anak yang
sama, yaitu usia 6 – 60 bulan17. Oleh karena adanya kesamaan usia kerentanan anak
terkena kejang demam dan mengalami permasalahan gizi yang dinilai melalui
indikator status gizi, tidak spesifiknya etiologi dari kejang demam, serta kurangnya
penelitian terkait status gizi dan keterkaitannya terhadap anak kejang demam lebih
lanjut terhadap usia kejang demam pertama, penulis tertarik untuk meneliti tentang
hubungan status gizi dengan usia pertama kejang demam pada anak.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah pada penelitian ini :
1. Bagaimana gambaran status gizi pada anak saat kejang demam pertama?
2. Bagaimana gambaran usia kejang demam pertama pada anak?
3. Bagaimana hubungan status gizi dengan usia kejang demam pertama pada
anak?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1. TUJUAN UMUM
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status
gizi dengan usia kejang demam pertama pada anak.
3

1.3.2. TUJUAN KHUSUS


1. Mengetahui gambaran status gizi pada anak saat kejang demam pertama
2. Mengetahui gambaran usia kejang demam pertama pada anak
3. Mengetahui hubungan status gizi dengan usia kejang demam pertama
pada anak

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1.4.1. MANFAAT TEORITIS
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap tambahan pengetahuan
terkait kejang demam pada anak khususnya hubungan status gizi dengan
usia kejang demam pertama pada anak

1.4.2. MANFAAT PRAKTIS


Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi ilmu pengetahuan bagi
masyarakat dan institusi terkait status gizi pada anak kejang demam, lebih
lanjut hubungannya dengan usia kejang demam pertama pada anak dan
sebagai acuan bagi penelitian – penelitian selanjutnya untuk dapat
dikembangkan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Kejang Demam
a. Definisi
1) Kejang

Kejang berasal dari bahasa Latin, “Sacire” yang berarti kepemilikan atau
mengambil secara paksa, didefinisikan sebagai kejadian paroksismal yang
disebabkan oleh pelepasan eksitasi muatan hipersinkron yang berlebihan
(abnormal) dari kumpulan neuron di sistem saraf pusat18,19. Singkatnya, kejang
merupakan perubahan paroksismal pada fungsi neurologis yang dihasilkan dari
abnormalitas aktivitas listrik neuron otak yang berlebihan 20. Seringkali onset dari
kejang terjadi pada masa kanak – kanak atau pada masa dewasa18.

Kejang merupakan istilah umum yang biasa digunakan untuk


menggolongkan salah satu dari beberapa gangguan termasuk epilepsi, kejang
demam, dan kemungkinan kejang tunggal dan atau kejang sekunder terkait dengan
gangguan metabolisme, infeksi, ataupun etiologi penyebab lainnya (misal :
hipokalsemia, meningitis)19.

2) Demam

Demam (Pyrexia) dapat diartikan dalam istilah patofisiologi maupun dalam


istilah klinis21. Secara patofisiologi, demam merupakan peningkatan set point
sistem termoregulasi di pusat Hipotalamus yang dimediasi oleh Interleukin – I (IL-
I)21. Dalam merespon terjadinya perubahan set point tersebut, terjadi proses aktif
dalam rangka penyesuaian terhadap set point baru21. Hal ini terjadi secara fisiologis
melalui mekanisme minimalisir kehilangan panas melalui vasokonstriksi dan
meningkatkan produksi panas dengan menggigil21. Rata - rata perilaku yang
dilakukan untuk meningkatkan suhu tubuh termasuk mencari lingkungan yang lebih
hangat, mengenakan beberapa lapis pakaian, meringkuk dengan selimut, dan
meminum minuman hangat21. Secara klinis, demam merupakan peningkatan suhu

4
5

tubuh 1°C (1.8°F) atau lebih tinggi diatas rata – rata rentang suhu tubuh normal
sesuai area tubuh yang diukur21.

Tabel 2. 1 Demam berdasarkan area suhu tubuh terukur21

Area suhu terukur Demam


• Suhu rektal ≥ 38 °C
• Suhu Oral ≥ 37.6 °C
• Suhu Axilla ≥ 37.4 °C
• Membran timpani ≥ 37.6 °C

Pengaruh peningkatan 1°C dari rata- rata suhu tubuh normal terdapat pada
variasi diurnal dari suhu tubuh normal, yang mencapai nilai tertinggi pada sore hari
(pukul 4 – 6 sore) dan nilai terendah pada saat sebelum terbangun dari waktu tidur
(pukul 4 – 5 subuh)21. Ritme ini diregulasi oleh nukleus pada Hypothalamus,
Suprachiasmatic Nucleus (SCN), yang peka terhadap cahaya sehingga memberikan
respon terhadap cahaya ketika memasuki mata 21. Fluktuasi suhu diurnal lebih besar
terjadi pada anak dibandingkan pada orang dewasa dan lebih menonjol terjadi
selama episode demam21. Pada anak, suhu rektal yang relatif tinggi lebih
mendominasi, dengan terjadi penurunan suhu secara gradual menuju dewasa yang
dimulai sejak usia 2 tahun21. Perubahan ini menjadi stabil segera setelah terjadi
pubertas21.

22
Demam oleh CDC diartikan ketika seseorang menunjukkan suhu 38°C
(100.4°F) atau lebih tinggi saat diukur, atau terasa hangat saat disentuh, atau
memiliki keluhan yang menunjukkan gejala dari demam. Meskipun pengukuran
suhu dengan termometer merupakan metode yang paling akurat untuk menilai
demam, ketersediaan termometer tidak selalu memungkinkan untuk menilai suhu
tubuh seseorang22. Dalam situasi tertentu, metode lain untuk mendeteksi
kemungkinan demam dapat dipertimbangkan22 :

• Adanya keluhan merasa demam ketika termometer tidak tersedia atau


ketika pasien memiliki riwayat mengonsumsi obat untuk menurunkan
suhu terukur22.
6

• Ketika seseorang terasa hangat saat disentuh22.


• Adanya tampilan wajah memerah, mata berkaca – kaca, tampak
menggigil kedinginan ketika tidak memungkinkan untuk disentuh atau
ketika seseorang tersebut tidak melaporkan merasa demam 22.

Adanya demam dapat menunjukkan suatu kejadian infeksi, tetapi demam


tidak selalu disertai dengan kejadian infeksi22.

3) Kejang Demam

Kejang demam menurut The International League Against Epilepsy (ILAE)


didefinisikan sebagai kejang yang terjadi pada masa kanak – kanak setelah berumur
satu bulan, terkait dengan kejang yang bukan disebabkan oleh infeksi sistem saraf
pusat, tanpa riwayat kejang neonatus ataupun riwayat kejang tanpa demam, dan
tidak memenuhi kriteria untuk kejang simtomatik akut lainnya 16. Kejang demam
merupakan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan hingga usia 60 bulan pada
suhu 38°C ( 100.4°F ) atau pada suhu lebih tinggi tanpa disertai penyebab
intrakranial (infeksi sistem saraf pusat, trauma kepala, dan epilepsi), maupun
penyebab kejang lainnya ( gangguan metabolisme , ketidakseimbangan elektrolit,
hipoglikemia, penggunaan narkoba, ketergantungan narkoba, dan atau riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya2,23–25.

b. Epidemiologi

Kejang demam terjadi setidaknya satu kali episode pada 2 – 5 % anak dengan
23
usia puncak kejadian 18 bulan . Kejang demam merupakan kejang yang paling
umum terjadi pada anak, mempengaruhi 2 hingga 5 dari 100 anak 12. Risiko
prevalensi pada anak yang memiliki faktor risiko keluarga akan meningkat dari 1
dalam 30 anak menjadi 1 dalam 5 anak ketika memiliki saudara yang pernah
mengalami episode kejang demam, dan akan menjadi 1 dalam 3 anak ketika kedua
orang tua dan saudara sebelumnya memiliki riwayat kejang demam 26. Meskipun
kejang demam dapat terjadi pada semua kelompok etnis, kejadian kejang demam
lebih sering terlihat pada populasi Asia ( 5 – 10% anak di India dan 6 – 9 % anak
di Jepang)2. Kondisi ini lebih umum terjadi pada anak yang berasal dari status sosio
ekonomi yang lebih rendah, hal ini dimungkinkan karena akses yang tidak memadai
7

untuk mendapatkan pelayanan medis2. Rasio perbandingan kejadian pada anak laki
– laki dan perempuan didapatkan 1.6 : 12. Kejang demam lebih umum terjadi pada
anak laki – laki dan bermanifestasi sebagai kejang tipe tonik – klonik3.
Kejang dengan durasi kurang dari 1 jam ditemukan pada 21% kejadian kejang
demam, dan yang terjadi antara 1 - 24 jam saat demam berlangsung ditemukan pada
57% kejang demam, serta sisanya terjadi lebih dari 24 jam terjadinya demam 27.
Variasi musim dan diurnal kejadian kejang demam yang diamati oleh peneliti dari
Amerika, Finlandia, dan Jepang, didapatkan sebagian besar kejang demam terjadi
pada bulan – bulan musim dingin dan saat sore hari2.
Di Indonesia, hanya didapatkan data kasus kejadian kejang demam di
sejumlah rumah sakit, tetapi belum didapatkan data keseluruhan mengenai insidensi
kejang demam di Indonesia28. Penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Bali,
oleh Hardika,dkk.28 pada tahun 2019 berdasarkan data kasus kejang demam pada
Januari 2014 – Juni 2015 didapatkan 162 kasus kejang demam dengan 112 anak
yang memenuhi kriteria inklusi, dengan 20 subjek tidak memenuhi kriteria usia, 10
subjek memiliki infeksi sistem saraf pusat, dan 20 subjek tidak memiliki
kelengkapan data rekam medis. Di Sumatera Barat, penelitian pada tahun 2016 oleh
Yunita,dkk29 dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas didapatkan 40 kejadian
kejang demam berulang berdasarkan data rekam medis periode Januari 2010 hingga
Desember 2012. Penelitian tersebut mendapatkan kecenderungan kejang demam
berulang terjadi saat usia kejang demam pertama kurang dari 20 bulan29 dengan
persebaran persentase : usia kejang demam pertama 0-10 bulan 42.5% ; usia kejang
demam pertama 11-20 bulan 47.5% ; usia 21-30 bulan 7.5% ; dan usia 51-60 bulan
2.5%.

c. Faktor Risiko

Faktor risiko kejang demam dapat berupa :

1) Faktor Genetik

Meskipun telah dilakukan pengkajian terkait faktor genetik melalui model


poligenik, dominan autosomal, dan resesif autosomal, sebagian besar kasus kejang
demam terjadi melalui mekanisme pewarisan poligenik 12. Studi tentang keluarga
8

dan kelahiran kembar dalam keluarga menunjukkan faktor genetik berperan penting
terhadap kejadian kejang demam2. Kejang demam dengan riwayat keluarga yang
positif ditemukan pada 25 – 40% kasus12. Dengan kata lain, sekitar sepertiga dari
anak dengan kejang demam memiliki riwayat keluarga yang positif 2. Peningkatan
angka kejadian kejang demam terjadi pada kembar monozigot dibandingkan
kembar dizigot12. Tidak ada gen kerentanan tunggal yang diketahui untuk kasus
kejang demam26. Review yang dilakukan oleh Leung,dkk2 pada tahun 2018,
menunjukkan pemetaan lokus kromosom yang memungkinkan terjadinya
peningkatan risiko terjadinya kejang demam : 1q31, 2q23-34, 3p24.2- 23, 3q26.2-
26.33, 5q14-15, 5q34, 6q22-24, 8q13-21, 18p11.2, 19p13.3, 19q, and 21q222.

Selain itu, identifikasi gen juga berhasil dilakukan pada keluarga dengan
epilepsi genetik dengan kejang demam plus / Generalized Epilepsy with Febrile
Seizures Plus (GEFS+)26. Pada GEFS+ ditemukan mutasi pada SCN1A, SCN1B
(kedua gen kanal natrium ini berperan penting dalam rangsangan saraf /
neurotransmisi), dan GABRG2 (related to γ-aminobutyric acid, merupakan
neurotransmitter inhibitor yang penting)26.

2) Umur

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 110 kasus kejang akut dengan rentang
usia 2 bulan hingga 12 tahun di Paediatric and Neonatology Department of
Rajendra Institute of Medical science oleh Kaur,dkk19 pada tahun 2017 berdasarkan
data Februari 2013 hingga Juni 2014, mayoritas kasus kejang terjadi pada kelompok
usia dibawah 5 tahun (55.45%)19. Anak dengan riwayat kejang pada keluarga
mempunyai onset kejang demam pertama pada usia yang lebih dini 4.

3) Jenis Kelamin

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 110 kasus kejang akut dengan rentang
usia 2 bulan hingga 12 tahun di Paediatric and Neonatology Department of
Rajendra Institute of Medical science oleh Kaur,dkk19 pada tahun 2017 berdasarkan
data Februari 2013 hingga Juni 2014, dominan kejadian kejang didapatkan pada
anak laki – laki dengan 66 kasus (60%). Hal ini dapat terjadi secara umum pada
mayoritas penyakit, kasus pada anak laki – laki lebih banyak dibandingkan anak
9

perempuan karena pola sosial / masyarakat pada anak laki – laki yang lebih
dominan19.

4) Faktor Maturasi Otak yang Belum Sempurna12

Selama periode ketika seorang bayi rentan terhadap kejang demam, terjadi
perubahan maturasi yang penting berupa sinaptogenesis pada otak 12. Terjadinya
neurotransmisi sinaps eksitatorik yang dimediasi oleh reseptor glutamat sangat
penting dalam proses ini12. Pada saat yang bersamaan, terjadi perubahan penting
pada sistem neurotransmitter lainnya, seperti sistem GABA, dan sistem
neuromodulatory peptide, serta voltage-gated ion channels12. Perubahan –
perubahan ini menyebabkan peningkatan eksitabilitas dan kerentanan otak bayi
terhadap epilepsi dan kejang demam12.

5) Pasca Vaksinasi

Vaksin pertussis whole-cell dan vaksin campak / measles juga vaksin influenza
dalam kombinasi dengan vaksin pneumokokus berhubungan dengan peningkatan
kejadian kejang demam dalam periode waktu yang tertentu ketika puncak demam
setelah selesai vaksinasi30. Kejang demam terkait dengan vaksinasi dapat
menurunkan kepercayaan orang tua dan penyedia layanan terkait keamanan vaksin
dan dampak vaksinasi pada anak dan anggota keluarga lainnya 30. Menurut
penelitian yang dilakukan Deng,dkk30 pada tahun 2019, ketika terjadi peningkatan
kasus kejang demam setelah vaksinasi influenza di Australia pada tahun 2010, hal
tersebut menyebabkan turunnya kepercayaan dan penyediaan vaksin influenza
meskipun tidak ada sinyal lebih lanjut terkait kejang demam pada tahun – tahun
berikutnya30.

Sementara vaksin influenza dikaitkan dengan gejala sisa yang signifikan, masih
belum ditemukan kejelasan apakah kejang demam setelah vaksinasi / vaccine
proximate febrile seizures (VP-FS) terjadi ketika demam disebabkan oleh vaksinasi
atau disebabkan oleh penyebab lain30. Kejang demam setelah vaksinasi (VP – FS)
didefinisikan sebagai kejang demam yang terjadi dari hari 0 hingga 2 hari seteleh
pemberian vaksin yang tidak aktif / inactivated vaccine, hari kelima hingga 14 hari
setelah pemberian vaksin aktif yang dilemahkan / live-attenuated vaccine, atau hari
10

0 hingga 14 setelah kombinasi inactivated dan live-attenuated vaccine30. Kejang


demam yang terjadi diluar kategori ini dipertimbangkan sebagai sebuah Non
Vaccine Proximate Febrile Seizures (NVP-FS)30.

6) Pyrogen Endogen dan Eksogen dan Mekanisme terkait Demam 12

Pada demam, terjadi peningkatan ekspresi dan pelepasan sitokin pro – inflamasi
terutama yang berasal dari sel monosit yang berperan sebagai pyrogen endogen 12.
Mikroglia dan astroglia yang berada pada sistem saraf pusat juga dapat
menghasilkan sitokin pro – inflamasi12. Prostaglandin, khususnya PGE2 yang
secara lokal diproduksi di hipotalamus anterior, berperan sebagai mediator final
yang umum digunakan untuk efek pyrogen endogen dalam mengendalikan set point
suhu tubuh inti12. Sejumlah besar kanal ion, termasuk beberapa yang terlibat dalam
rangsangan saraf / eksitabilitas neuronal, diketahui sangat sensitif terhadap suhu 12.
Sitokin pro – inflamasi yang juga turut serta menginduksi demam yang terjadi pada
kejang demam, juga dapat secara langsung mempengaruhi rangsangan saraf /
eksitabilitas neuronal dan mempengaruhi ambang / threshold pada kejang12.
Mekanisme lain termasuk populasi neuronal tertentu, seperti yang terdapat pada
hipokampus dapat membawa berbagai reseptor sitokin 12. Peningkatan sitokin yang
merupakan pyrogen endogen terjadi seiring dengan kejadian demam dan respon
inflamasi akut27. Interleukin-1 (IL-1) sebagai pyrogen endogen, dan
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pyrogen eksogen,
sering dikaitkan dengan respon terhadap demam27

7) Anemia Defisiensi Zat Besi

Anemia defisiensi zat besi telah dipelajari dan ditemukan berkaitan dengan
peningkatan insidensi kejang demam 23. Anemia didefinisikan sebagai kadar
hemoglobin (HB) 2 standar deviasi dibawah nilai normal untuk usia, Hb < 10.5
g/dL unutk usia 6 – 24 bulan dan <11.5 g/dL untuk usia 2 – 5 tahun31. Anemia pada
anak dapat disebabkan oleh kurangnya produksi sel darah merah karena kegagalan
sumsum tulang, adanya penyakit akut dan dapat disebabkan karena kurangnya
asupan zat gizi6. Anemia defisiensi zat besi merupakan faktor risiko kejang demam
pada anak dan merupakan kondisi yang dapat dikoreksi23. Anemia defisiensi zat
11

besi merupakan defisiensi mikronutrien yang paling umum terjadi di dunia (30%),
terutama di negara berkembang (50%) dan lebih umum terjadi pada usia 6 – 24
bulan23. Di Pakistan, penelitian menunjukkan anemia defisiensi zat besi merupakan
faktor predisposisi peningkatan kejang demam sederhana 23. Oleh karena anemia
defisiensi zat besi dapat dicegah, insidensi kejang demam dapat dikurangi dengan
pemberian nutrisi pada anemia dengan diet dan suplemen zat besi 23.

Banyak faktor risiko independen (faktor genetik, usia, jenis kelamin, demam,
jenis dan durasi kejang, riwayat pada keluarga, kejang multipel, pajanan obat jenis
antiretroviral pada masa perinatal, riwayat merokok dan mengonsumsi alkohol pada
ibu selama masa kehamilan) yang telah dipelajari sebagai potensi prediktor
kemungkinan terjadinya kejang demam berulang 23. Pemberian antipiretik
profilaksis tidak mengurangi risiko terjadinya kekambuhan kejang demam 26.

Tabel 2. 2 Faktor risiko kejang demam berulang setelah inisial kejang


demam pertama26

Faktor Risiko Yang Meningkatkan Kejadian Kejang Demam Berulang


• Usia saat onset pertama kurang dari 18 bulan
• Memiliki riwayat kejang demam pada kerabat tingkat pertama / first
degree relative
• Suhu demam yang relatif rendah saat kejang terjadi (<39 °C)
• Durasi demam yang lebih singkat sebelum kejang terjadi (<1 jam)
• Riwayat kejang berulang terjadi pada gejala demam yang sama
• Day Nursery attendance

d. Etiologi

Etiologi dari kejang demam merupakan kombinasi beberapa faktor risiko /


bersifat multifaktorial yang memberikan kontribusi terhadap patogenesis kejang
demam2,26. Secara umum, kejang demam dipercaya terjadi disebabkan karena
kerentanan dari perkembangan sistem saraf pusat akibat terjadinya demam, disertai
dengan kombinasi adanya predisposisi faktor genetik dan pengaruh faktor
12

lingkungan2. Kejang demam sering terjadi berkaitan dengan kejadian Otitis media,
Roseola, Herpes Simpleks 6, Shigella dan atau kejadian infeksi lainnya23.

Kejang demam bersifat tergantung terhadap usia, terutama ketika


perkembangan otak yang belum sempurna berespon terhadap terjadinya demam 2.
Selama proses pematangan otak, adanya demam meningkatkan eksitasi neuron
yang memicu terjadinya kejang demam pada seorang anak 2. Oleh karena itu, kejang
demam seringkali terjadi pada anak terutama sebelum usia 3 tahun dikarenakan
threshold kejang pada otak yang masih rendah2.

e. Patogenesis

Patogenesis dari kejang demam belum diketahui secara menyeluruh 32.


Walaupun pengaruh genetik berperan penting pada anak dalam hal kemungkinan
mengalami kejang demam, demam dapat menyebabkan kejang itu sendiri 32.
Perubahan letupan aktivitas neuronal pada otak dipengaruhi oleh peningkatan
temperatur dalam otak27. Biasanya, kejang demam terjadi mengikuti infeksi yang
menyebabkan demam demam termasuk Herpes Virus 6 (HHV-6), infeksi saluran
pernapasan atas, dan infeksi gastrointestinal 32. Reaksi imunologis dapat juga
berperan dalam proses ini32. Dalam studi sebelumnya, investigasi sering dilakukan
terkait hubungan antara kejang demam dan kekurangan zat besi, serum ferritin,
termasuk defisiensi seng, magnesium, dan selenium 32.

Peningkatan sitokin yang merupakan pyrogen endogen terjadi seiring dengan


kejadian demam dan respon inflamasi akut 27. Interleukin-1 (IL-1) sebagai pyrogen
endogen, dan lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pyrogen
eksogen, sering dikaitkan dengan respon terhadap demam27. Makrofag distimulus
oleh lipopolisakarida untuk memproduksi sitokin pro- dan anti-inflamasi tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra),
dan prostaglandin E2 (PGE2)27. Enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) distimulus oleh
reaksi sitokin melalui sel endothelial circumventricular untuk mengkatalis konversi
asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus hipotalamus sebagai
pusat termoregulasi, yang menyebabkan terjadinya kenaikan suhu tubuh27. Sintesis
sitokin di hipokampus juga dapat meningkat melalui mekanisme demam 27.
13

Interleukin 1ß sebagai pyrogen endogen kemudian meningkatkan eksitabilitas


neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABAergic, sehingga menimbulkan
kejang27.

f. Klasifikasi

Kejang demam dapat dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks berdasarkan durasi, karakteristik fisik, dan pola pengulangan
kejang2. Kejang demam sederhana terjadi pada 80 – 85 % dari keseluruhan kasus
kejang demam2. Kejang demam sederhana adalah kejang tonik atau tonik – klonik
yang berlangsung kurang dari 15 menit dan hanya terjadi sekali dalam periode 24
jam pada anak yang normal secara neurologis dan perkembangannya 33. Jika
didapatkan kejang yang bersifat fokal, berlangsung lebih lama dari 15 menit dan
anak memiliki riwayat kondisi neurologis sebelumnya, dan kejang terjadi secara
mutipel ( berulang dalam 24 jam ) atau dalam kejadian demam yang sama, maka
kejang tersebut merupakan kejang demam kompleks33.

Tabel 2. 3 Perbedaan kejang demam sederhana dengan kejang demam


kompleks26

Karakteristik Kejang Demam Sederhana Kejang Demam Kompleks


Durasi Pendek (<15 menit) Lebih panjang (>15 menit)
Fitur Fokal Kejang tonik klonik yang Kejang fokal dengan atau tanpa
tipikal (kekakuan otot yang generalisasi sekunder
diikuti sentakan kontraksi
otot yang ritmis)
Rekurensi Tidak terdapat rekurensi Dapat terjadi rekurensi dengan
dalam 24 jam kejang berulang dalam 24 jam
Fitur postictal Tidak ada kelainan patologi Todd’s paresis dapat terjadi
setelah fase iktal (periode paresis pada
ekstremitas yang terkena)
14

g. Manifestasi Klinis

Dalam kebanyakan kasus, kejang demam terjadi pada hari pertama demam
terjadi2. Jika kejang terjadi ≥3 hari setelah onset demam terjadi perlu dicurigai
kemungkinan kondisi medis penyebab lainnya 2. Saat kejang, mayoritas anak akan
memiliki suhu ≥39 °C dan terjadi kehilangan kesadaran pada saat kejang terjadi 2.
Selain itu, pada kejang demam dapat terjadi keluar busa dari mulut, kesulitan
bernapas, pucat, hingga sianosis2. Kejang demam biasanya bersifat konvulsif dan
sebagian besar merupakan kejang demam tonik klonik / Generalized Tonic Clonic
Seizures (GTCS), yang digeneralisasikan baik secara primer maupun sekunder 12.
Pada awal fase tonik, ditandai dengan kekakuan tubuh yang diikuti dengan fase
klonik berulang berupa sentakan berirama pada ekstremitas12. Kejang demam dapat
juga terjadi dalam bentuk tunggal kejang tonik atau kejang klonik12.

Kejang demam sederhana digeneralisasikan bermanifestasi sebagai


pergerakan tonik – klonik pada daerah ekstremitas, dapat juga berupa kejang atonik
dan tonik, dan bola mata yang memutar ke belakang 2. Pada fitur atonik, anak akan
terlihat bingung dan tidak responsif, hal ini biasanya bukan berasal dari etiologi
epilepsi12. Kejang biasanya berlangsung selama beberapa detik hingga 15 menit
(biasanya kurang dari 5 menit), diikuti oleh adanya periode post ictal berupa
keadaaan mengantuk, dan periode kejang tidak berulang dalam 24 jam 2. Otot – otot
pada wajah dan otot pernapasan biasanya sering terlibat saat kejang terjadi 2.

Sebaliknya, kejang demam kompleks biasanya bertahan lebih dari 15


menit2. Kejang biasanya bersifat fokal ( pergerakan terbatas pada salah satu sisi
tubuh atau sisi ekstremitas), dan dapat berulang dalam hari yang sama 2. Kejang
demam kompleks memiliki periode yang lama pada fase kantuk postictal atau dapat
berhubungan dengan transien postictal hemiparesis (Todd’s Palsy)2. Anak dengan
kejang demam kompleks umumnya mengalami kejang demam pada usia yang lebih
dini dan lebih besar kemungkinannya mengalami keterlambatan perkembangan
dibandingkan anak dengan kejang demam sederhana 2. Mayoritas anak dengan
kejang demam kompleks mengalami kejang demam pertama yang bersifat
kompleks, tetapi dapat pula terjadi pada anak dengan riwayat kejang demam
sederhana2.
15

Demam status epileptikus / Febrile status epilepticus, jenis paling berat dari
kejang demam kompleks, merujuk kepada kejang demam terus menerus atau
intermiten tanpa kembalinya kesadaran pada fase interictal dan berlangsung lebih
dari 30 menit2. Perlu diperhatikan pada keadaan mata yang terbuka terus menerus
atau terjadinya deviasi mata pada saat kejang berlangsung 2. Anak dengan demam
status epileptikus cenderung memiliki kelainan / abnormalitas pada hipokampus
dan berada pada risiko untuk mengalami demam status epileptikus berikutnya 2.

h. Diagnosis
1) Anamnesis

Anamnesis yang lengkap perlu dilakukan untuk mencari tahu penyebab dari
demam, hubungan onset demam dengan terjadinya kejang, karakteristik dari
demam termasuk suhu puncak dan durasi demam, semiologi kejang, dan durasi
rasa kantuk pada fase postictal2. Anamnesis sebaiknya mencakup riwayat
pribadi kejadian kejang sebelumnya, apakah anak baru saja melakukan
vaksinasi, anak dititipkan pada tempat penitipan anak pada usia yang dini, atau
riwayat pemberian agen antimikroba pada anak2.

Demam umum terjadi pada kelompok usia pediatrik dan dapat terjadi
bersamaan dengan penyebab yang mendasari kejang yang lebih serius 2. Untuk
itu, perlu diketahui secara lengkap mengenai status imunisasi, potensi paparan
terhadap infeksi, riwayat konsumsi toksin / racun, trauma sistem saraf pusat,
perkembangan tumbuh kembang anak, riwayat kejang sebelumnya, dan riwayat
kejang demam dan kejang non demam pada anggota keluarga lainnya 2.

2) Pemeriksaan Fisik

Tanda – tanda vital perlu dipantau dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab yang mendasari terjadinya
demam2. Adanya eritema dan bulging pada gendang telinga, kemerahan pada
faring, pembesaran dan eritema pada tonsil, dan adanya eksantema dapat
memberikan petunjuk dari sumber demam2.
16

Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari tanda dari meningitis
berupa, iritabilitas, penurunan sensorik, kaku kuduk / nuchal rigidity, fontanel
yang menggembung dan tegang, dan tanda Brudzinsky atau Kernig 2.
Pemeriksaan neurologi formal perlu dilakukan, termasuk tingkat kesadaran,
tonus dan kekuatan otot, dan refleks perifer2. Setiap kelainan yang ditemukan
harus diperhatikan2. Pemeriksaan fundus perlu dilakukan untuk mengetahui
peningkatan tekanan intrakranial2.

3) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium, tidak dilakukan rutin pada pasien kejang
demam, dapat berupa pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula
darah27. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyakit, atau keaadaan lain seperti gastroenteritis
dehidrasi disertai demam27.
b) Pungsi lumbal, untuk menilai cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis, mengingat
manifestasi klinis meningitis yang tidak jelas pada bayi sehingga sulit
dinilai27.
c) Electroencephalography (EEG), dilakukan pada keadaan kejang
demam yang tidak khas, seperti kejang demam kompleks pada anak usia
lebih dari 6 tahun27. Pemeriksaan EEG tidak disarankan untuk dilakukan
karena tidak dapat memberikan prediksi kejadian kejang berulang
maupun kemungkinan kejang demam berkembang menjadi epilepsi27.
d) Pencitraan / Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed
Tomography (CT) Scan, digunakan untuk mendeteksi perubahan fokal
yang terjadi bersifat sementara atau merupakan kejang fokal sekunder 27.

i. Diagnosis Banding

Aspek yang paling penting dalam membedakan diagnosis banding pada anak
dengan kejang yaitu adanya kondisi demam terkait (kejang demam) atau kejang
terjadi tanpa demam (kejang epilepsi)26. Oleh karena itu, penting untuk melakukan
17

pengukuran suhu pada onset kejang berlangsung26. Beberapa diagnosis banding


kejang demam yang dapat dipertimbangkan2,26 :

1) Kejang epilepsi, pada infan dan anak dapat dipicu oleh penyakit ringan
tanpa menyebabkan anak menjadi demam 26. Sindrom epilepsi yang dapat
muncul sebagai kejang demam yang disertai cacat genetik dapat berupa 12 :
• Epilepsi umum dengan kejang demam plus / Generalized Epilepsy with
Febrile Seizures Plus (GEFS+), ditandai dengan individu di dalam satu
keluarga yang memiliki riwayat kejang demam dan kejang non demam,
dimana pada kondisi ini kejang demam bertahan pada usia hingga 6
tahun dan berhubungan dengan kejang fokal maupun kejang umum non
demam12. GEFS+ merupakan kondisi dominan autosomal, dimana
terjadi mutase pada 4 gen yang telah diidentifikasi hingga saat ini 12.
Kanal natrium memiliki peran krusial dalam eksitabilitas pada membran
neuron12. Gamma-Aminobutyric acid (GABA) nerupakan
neurotransmitter inhibitor penting pada sistem saraf pusat sehingga obat
– obatan GABAergic pada umumnya menghambat terjadinya kejang12.
• Sindrom Doose (Epilepsi mioklonik – atonik), sindrom ini merupakan
jenis familial yang jarang dari epilepsi general primer, yang
mempengaruhi anak berusia 1 – 5 tahun tanpa disertasi defisit
neurologis sebelum terjadi onset dan biasanya bersifat resisten terhadap
obat anti epilepsi / Anti epileptic drug (AED)12.
• Sindrom Dravet, merupakan ensefalopati epilepsy, gangguan
neurodevelopmental dengan kejang yang sulit diatasi, ditandai dengan
adanya kejang demam, yang sering berkepanjangan dan bersifat fokal
dan berhubungan dengan demam yang tidak terlalu tinggi / low grade
fever12,26. Onset pada sindrom ini biasanya pada paruh kedua tahun
pertama kehidupan disertai epilepsi polimorfik yang mulai terjadi pada
tahun kedua atau ketiga kehidupan12. Pola kejang akan berubah seiring
dengan usia, diawali dengan mioklonik yang kemudian berkembang
menjadi kejang fokal26. Walaupun perkembangan awal pada anak
bersifat normal, seiring dengan onset dari epilepsi polimorfik akan
terjadi stagnasi pada perkembangan dan seringkali anak akan benar –
18

benar kehilangan keterampilan yang berdampak pada kesulitan belajar


yang parah12. Adanya mutasi genetik pada kanal natrium dapat
menyebabkan kejang dan ensefalopati12.
2) Menggigil kedinginan / shivering chills, sebagai persepsi kedinginan dan
tremor otot – otot involunter yang bertahan selama beberapa menit 2.
Berbeda dengan kejang demam, pada keadaan menggigil ini tidak terjadi
kehilangan / penurunan kesadaran dan tidak ada keterlibatan otot – otot
wajah dan otot pernapasan2.
3) Febrile syncope / Febrile delirium, mengacu kepada keadaan bingung yang
bersifat akut dan sementara dengan bersamaan dengan demam yang
tinggi2,26. Pada keadaan ini tidak ditemukan secara khas gerakan tonik –
klonik pada ekstremitas dan gerakan bola mata yang memutar 2.
4) Blue breath holding spells dan refleks kejang anoksik, terjadi ketika anak
menahan napas secara involunter pada saat kejang sebagai respon terhadap
stimulus berupa rasa marah, frustasi, rasa sakit, dan atau rasa takut, yang
menyebabkan perubahan menjadi kebiruan pada wajah 2,26. Terdapat dua
jenis breath holding spells yang diketahui : jenis cyanotic dan jenis pallid,
berdasarkan warna pada anak selama episode apnea 2. Hilangnya kesadaran
menunjukkan adanya periode apnea yang memanjang 2. Tidak adanya
demam, pergerakan tonik – klonik pada ekstremitas, dan gerakan memutar
ke belakang pada bola mata membedakan kondisi ini dari kejang demam 2.
5) Infeksi sistem saraf pusat (SSP)2. Anak dengan infeksi sistem saraf pusat
seperti meningitis dan encephalitis biasanya memiliki karakteristik demam
dan kejang2. Adanya gangguan kesadaran, ruam petekie, kaku kuduk, tanda
Kernig, dan tanda Brudzinski memberikan petunjuk diagnosis infeksi
sistem saraf pusat2. Perbedaannya dengan kejang demam bisa lebih sulit
ditemukan pada anak usia <12 bulan karena tanda rangsang meningeal dapat
tidak ditemukan2.
6) Febrile myoclonus, merupakan gangguan yang bersifat jinak / benign yang
menyerang anak – anak terutama usia 6 bulan hingga 6 tahun2. Anak yang
terkena biasanya menunjukkan sentakan mioklonik, sebagian besar
melibatkan ekstremitas atas selama demam 2. Sentakan mioklonik dapat
19

jarang terjadi atau terjadi beberapa kali per menit dan dapat berlangsung
selama 15 menit hingga beberapa jam2.
7) GEFS+, adalah gangguan sindrom dominan autosom, dengan setidaknya 6
fenotip yang digambarkan oleh gen penyebabnya (misal : SCN1A, SCN2A,
SCN1B, and GABRG2)2. Berbeda dengan kejang demam, pada GEFS+
kejang dengan demam berlanjut melebihi usia 6 tahun, dan kejang non
demam / afebrile seizures yang bisa menjadi mioklonik, atonik, maupun
tidak adanya kejang juga dapat terjadi2.
8) New-Onset Refractory Status Epilepticus (NORSE), merupakan sebuah
presentasi klinis, bukan merupakan diagnosis yang spesifik, pada pasien
tanpa epilepsi aktif atau gangguan neurologis relevan lainnya, dengan
timbulnya onset status epileptikus refrakter baru tanpa adanya stuktur akut
atau aktif, metabolik, dan penyebab toksik yang jelas2.
9) Febrile Infection-Related Epilepsy Syndrome (FIRES), dianggap sebagai
bagian dari NORSE yang membutuhkan adanya demam infeksi antara 24
jam hingga 2 minggu sebelum timbulnya status epileptikus refrakter,
dengan atau tanpa demam pada onset status epileptikus, dan tidak terdapat
batasan usia pada pasien2.

j. Manajemen Tatalaksana

Manajemen akut pada anak yang datang ke rumah sakit pada saat sedang
kejang termasuk penghentian kejang, dapat dilakukan dengan pemberian diazepam
atau lorazepam rute intravena 12. Midazolam intranasal bersifat sama efektif dan
amannya dengan diazepam intravena ( diazepam intravena memiliki aksi yang lebih
cepat dibandingkan midazolam intranasal ) 12.

Pemeriksaan menyeluruh dilakukan untuk mencari sumber demam sangat


penting sebagai bagian dari pemeriksaan12. Meningitis harus dikeluarkan dari
penemuan klinis, dan perlu mencari bukti peningkatan tekanan intrakranial, lesi
kulit tuberous sclerosis, yang mungkin menunjukkan kerentanan terhadap
epilepsi12. Penting untuk mengukur dan mencatat tingkat kesadaran anak dengan
12
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) . Pemeriksaan laboratorium tidak
20

selalu dilakukan, seringkali pada anak dilakukan urinalisis 12. Sehingga, investigasi
seperti : hitung darah lengkap, pengukuran C-Reactive Protein (CRP) dan studi
bakteriologi dan virologi tidak diperlukan dalam sebagian besar kasus12. Biasanya
anak kembali sadar dengan cepat setelah mengalami kejang demam, sehingga perlu
diwaspadai apabila GCS pada anak bernilai rendah setelah waktu 1 jam setelah
kejang demam terjadi12.

Penilaian lain termasuk : pungsi lumbal, kemungkinan seorang anak dengan


kejang demam akan memiliki meningitis bakterial termasuk rendah 12. Jika tidak
terdapat perburukan dan anak tampak sehat setelah kejang, pungsi lumbal dan
pemeriksaan meningitis tidak perlu dilakukan12. Pungsi lumbal disarankan
dilakukan pada anak dengan kejang demam kompleks12. Jika terdapat tanda fokal
neurologis atau papilloedema, pengobatan empiris dengan agen antivirus dan
antibiotik untuk mengatasi meningitis bakterial dan herpes ensefalitis perlu segera
dimulai, dan pelaksanaan pungsi lumbal harus ditunda hingga terdapat bukti secara
klinis dan radiologis yang menunjukkan aman untuk dilakukan pungsi lumbal 12.

Pencitraan otak rutin, baik dengan CT ataupun MRI, tidak diindikasikan pada
anak dengan kejang demam sederhana maupun kejang demam kompleks12. Namun,
pemindaian CT darurat dapat dilakukan pada anak yang gagal menunjukkan
pemulihan cepat setelah kejang demam terjadi 12. Neuroimaging juga diindikasikan
apabila terdapat tanda – tanda neurologis yang persisten setelah kejang demam dan
pada beberapa anak dengan riwayat perinatal, riwayat gangguan perkembangan,
riwayat keluarga dengan kejang demam yang memungkinkan menunjukkan
terjadinya abnormalitas struktur otak12. MRI lebih sensitif dibandingkan CT tetapi
membutuhkan sedasi atau obat bius untuk pelaksanaannya 12.

EEG pada anak yang mengalami kejang demam sering kali tidak normal 12.
Aktivitas gelombang lambat dan kelainan epileptofprm paroksismal dapat
ditemukan segera setelah kejang dan dapat bertahan selama beberapa hari 12.
Namun, deteksi gelombang tersebut tidak membantu dalam mengarahkan
tatalaksana ataupun prognosis sehingga EEG tidak diindikasikan pada kejang
demam12.
21

Gambar 2. 1 Alur tatalaksana kejang demam menurut IDAI 201634


k. Komplikasi

Kejang demam merupakan jenis kejang yang didefinisikan memiliki risiko


epilepsi di masa depan2. Anak dengan kejang demam sederhana memiliki risiko
epilepsi yang sedikit lebih tinggi sekitar 1% dibandingkan dengan anak pada
populasi umum sekita 0.5%2. Risiko epilepsi masa depan pada anak dengan kejang
demam kompleks sekitar 4-6% tergantung tingkat kompleksitas yang terjadi 2.
22

Faktor risiko lain untuk epilepsi termasuk durasi demam yang lebih pendek (<1
jam) sebelum terjadinya kejang, usia kejang demam pertama kurang dari 1 tahun
atau terjadi setelah usia 3 tahun, episode kejang demam yang multipel, kelainan
perkembangan saraf / neurodevelopmental yang mendasari, riwayat epilepsi pada
keluarga yang positif, dan pelepasan gelombang epileptiform pada gambaran EEG 2.
Kejang demam, terutama jika berulang, bersifat parah, dan berkepanjangan, dapat
menyebabkan perubahan persisten pada sirkuit neuronal pada hipokampus dalam
menyeimbangkan respon eksitatorik dan inhibitorik , dan mesial temporal sclerosis,
yang mengarah pada epileptogenesis setelah kejang demam 2. Ensefalopati
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada kejang demam 2.

Kejang demam berkepanjangan juga dapat menyebabkan gangguan pada


pematangan substansia alba / white matter , diikuti dengan neuroplastisitas dan
reorganisasi mikrostruktural2. Secara umum diyakini bahwa anak dengan kejang
demam sederhana tidak berisiko untuk mengalami defisit neurologis, dan fungsi
kecerdasan dan kognitif anak tersebut tidak terpengaruh 2. Berbeda dengan kejang
demam tinggal, kejang demam berulang secara signifikan berhubungan dengan
peningkatan risiko keterlambatan pengembangan kosa kata2. Anak dengan kejang
demam memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit atopik seperti rhinitis
dan asma2. Prevalensi stress hiperglikemia yang tinggi ditemukan pada anak dengan
kejang demam2.

l. Prognosis

Prognosis kejang demam umumnya baik sesuai dengan kondisinya yang


biasanya tidak berbahaya dan bersifat self – limiting2. Biasanya anak mengatasi
kondisi tersebut pada usia 6 tahun2. Diperkirakan sepertiga anak yang pernah
mengalami kejang demam akan mengalami rekurensi / kekambuhan selama awal
masa kanak – kanak, tetapi kurang dari 10% anak akan mengalami ≥ 3
kekambuhan2. Jika terjadi kekambuhan, diperkirakan 75% kekambuhan akan
terjadi kembali dalam 1 tahun dan 90% akan terjadi kembali dalam 2 tahun2. Secara
umum, semakin besar jumlah faktor risiko yang dimiliki, semakin besar tingkat
kekambuhan / rekurensi kejang demam2. Anak dengan tanpa faktor risiko memiliki
23

4% kemungkinan rekurensi, sedangkan anak yang memiliki semua faktor risiko


kemungkinannya meningkat hingga 80%2.

Sebagian besar anak dengan kejang demam tidak mengalami epilepsi 26.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Patel,dkk 26 pada tahun 2015, sebuah studi
epidemiologi cohort terhadap 687 anak dengan inisial kejang demam (sederhana
dan kompleks) menunjukkan peningkatan lima kali lipat risiko terjadinya kejang
tanpa provokasi / unprovoked seizures dibandingkan anak tanpa riwayat kejang
demam26. Risikonya berkisar 2.4% pada anak dengan kejang demam sederhana
hingga 6-8% pada anak dengan kejang demam kompleks26. Tiga faktor risiko utama
berikut meningkatkan kemungkinan terjadinya epilepsi hingga 50% : adanya
riwayat epilepsi dalam keluarga, kejang demam kompleks, dan gangguan
perkembangan saraf26. Mayoritas anak dengan kejang demam sederhana memiliki
pertumbuhan dan perkembangan yang normal2.

m. Edukasi

Kejang demam biasanya merupakan pengalaman yang menakutkan bagi


orang tua dan penting untuk memberitahu orang tua bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan anak mereka tidak akan meninggal karena kondisi ini26. Orang tua
perlu diberitahu tentang kondisi umum pada kejang demam, meyakinkan kejang
demam umumnya memiliki prognosis yang baik, jarang berkaitan dengan epilepsi,
diberitahu cara penanganan kejang, informasi kemungkinan risiko kejang berulang,
pemberian obat untuk mencegah rekurensi yang efektif dengan memperhatikan
risiko efek samping obat, dan orang tua perlu diyakinkan bahwa kecenderungan
kejang demam berkurang seiring dengan bertambahnya usia seiring dengan
bertambah matangnya otak anak26,27.

Selain itu, ketika anak memiliki 1 dari 3 faktor risiko kejang demam berulang,
penting untuk menasehati orang tua terkait apa yang harus dilakukan ketika kejang
demam terjadi saat anak di rumah26,27 :

1) Tetap tenang dan tidak panik


2) Lindungi anak dari cedera saat kejang
3) Jangan menahan anak atau memasukkan apapun ke dalam mulutnya
24

4) Periksa jalan napas, longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar


leher, dan posisikan anak dalam recovery position ketika kejang
berhenti
5) Bila anak tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lender di mulut atau hidung anak.
6) Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang
7) Tetap bersama pasien selama kejang terjadi
8) Jelaskan kemungkinan anak akan mengantuk hingga satu jam setelah
kejang terjadi
9) Gunakan bantuan dan saran medis jika kejang bertahan kurang dari 5
menit atau hubungi ambulans jika kejang berlanjut lebih dari 5 menit
10) Untuk kejang demam berulang, berikan rescue treatment jika kejang
tonik – klonik bertahan lebih dari 5 menit
11) Berikan midazolam bukal sebagai pengobatan lini pertama atau berikan
diazepam rektal jika midazolam tidak tersedia. Jangan berikan diazepam
rektal bila kejang sudah berhenti.
12) Orang tua dari anak dengan risiko tinggi kejang demam berulang perlu
melakukan pelatihan yang tepat dalam penanganan anak dengan kejang
demam

2.1.2. Status Gizi


a. Definisi

Status gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan


seorang anak9. Status gizi didefinisikan sebagai suatu ukuran mengenai kondisi
tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan
zat – zat gizi di dalam tubuh yang dibutuhkan sebagai sumber energi, pertumbuhan
dan pemeliharaan jaringan tubuh, serta pengatur proses tubuh35,36.

b. Penilaian Status Gizi

Menurut Hidayati, dkk dalam buku “Pendamping Gizi pada Balita” 37 tahun
2019, metode penilaian status gizi dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat
perkembangan kekurangan gizi, yaitu dengan metode konsumsi, metode
25

antropometri dan metode klinik. Metode pengukuran status gizi yang paling sering
digunakan dalam masyarakat adalah antropometri gizi, yaitu penilaian status gizi
berdasarkan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh (berat badan, tinggi
badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak bawah kulit) dari berbagai tingkat umur
dan status gizi10.

Penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam 2 cara 10,37 :


1. Penilaian status gizi secara langsung : metode biokimia, antropometri,
klinik, dan biofisik
2. Penilaian status gizi secara tidak langsung : survey konsumsi makanan,
statistic vital, dan faktor ekologi.

c. Klasifikasi
1) Zat Gizi

Komponen penting yang berperan dalam pertumbuhan anak mencakup


tingkat kecukupan zat gizi makro dan mikro meliputi : energi, protein,
vitamin A, vitamin C dan kalsium38.

• Zat Gizi Makro


Zat gizi makro mempengaruhi status gizi secara antropometri karena
berperan penting untuk menghasilkan energy yang bermanfaat untuk
39,40
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh . Zat gizi makro merupakan
zat gizi yang dibutuhkan setiap hari dalam jumlah yang besar terdiri atas
protein, lemak, dan karbohidrat; mineral makro : natrium, klorida,
kalsium, fosfor, magnesium, dan sulfur40. Menurut Sitoayu,dkk,41 tahun
2017, kecukupan asupan zat gizi makro dikategorikan baik apabila
memenuhi 80-110% dari AKG dan tidak baik apabila <80% atau >
110% dari AKG.

• Zat Gizi Mikro


Zat gizi mikro dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang sedikit
(dalam ukuran milligram sampai mikrogram), dan terlibat dalam
sejumlah proses kognisi baik secara langsung maupun tidak langsung 40.
26

Zat gizi mikro tersebut turut membantu proses yang menjaga


keberlangsungan proses kognisi : metabolisme energi di dalam sel otak,
suplai darah menuju otak, sintesis neurotransmitter (senyawa kimia
yang dibebaskan dari sel – sel saraf dan mentransmisikan impuls ke sel
lain), pengenalan dan pengikatan neurotransmitter oleh reseptor,
propagasi impuls saraf, dan metabolisme homosistein 40. Zat gizi mikro
termasuk vitamin dan mineral (yodium, zat besi/Fe, selenium, kromium,
tembaga, fluor) 40.

2) Indeks Antropometri Status Gizi


Penilaian status gizi anak berdasarkan pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan No. 2 tahun 202042, tentang standar antropometri anak, dilakukan
dengan membandingkan hasil pengukuran berat badan dan panjang / tinggi
badan berdasarkan standar antropometri anak menggunakan :
a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) anak usia 0 (nol)
sampai dengan 60 (enam puluh) bulan;
b. Indeks Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U
atau TB/U) anak usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam puluh)
bulan;
c. Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan
(BB/PB atau BB/TB) anak usia 0 (nol) sampai dengan 60 (enam
puluh) bulan;
d. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) anak usia 0 (nol)
sampai dengan 60 (enam puluh) bulan; dan
e. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) anak usia lebih dari
5 (lima) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
27

Tabel 2. 4 Tabel Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak42

Ambang Batas (Z-


Indeks Kategori Status Gizi
Score)

Berat badan sangat < -3 SD


kurang (severely
Berat Badan menurut underweight)
Umur (BB/U) anak usia Berat badan kurang -3 SD sd < -2 SD
0 – 60 bulan (underweight)
Berat badan normal -2 SD sd +1 SD
Risiko Berat badan lebih > +1 SD
Panjang Badan atau Sangat Pendek (severely < -3 SD
Tinggi Badan menurut stunted)
Umur (PB/U atau Pendek (Stunted) -3 SD sd < -2 SD
TB/U) anak usia 0 – 60 Normal -2 SD sd +3 SD
bulan Tinggi >+ 3 SD
Gizi buruk (severely < -3 SD
wasted)
Berat Badan menurut Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Panjang Badan atau Gizi baik (normal) -2 SD sd + 1 SD
Tinggi Badan (BB/PB Berisiko gizi lebih > +1 SD sd +2 SD
atau BB/TB) anak usia (possible risk of
0 - 60 bulan overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) >+3 SD
Gizi buruk (severely < -3 SD
wasted)
Gizi kurang (wasted) -3 SD sd < -2 SD
Gizi baik (normal) -2 SD sd + 1 SD
Indeks Massa Tubuh
Berisiko gizi lebih > +1 SD sd +2 SD
menurut Umur (IMT/U)
(possible risk of
anak usia 0 – 60 bulan
overweight)
Gizi lebih (overweight) >+2 SD sd +3 SD
Obesitas (obese) >+3 SD
Gizi buruk (severely < -3 SD
thinness)
Indeks Massa Tubuh
Gizi kurang (thinness) -3 SD sd < -2 SD
menurut Umur (IMT/U)
Gizi baik (normal) -2 SD sd +1 SD
anak usia 5 – 18 tahun
Gizi lebih (overweight) +1 SD sd +2 SD
Obesitas (obese) > +2 SD
28

d. Timbulnya Masalah Gizi


Menurut Par.i, dkk43 tahun 2017 dalam buku ajar Penilaian Status Gizi43,
masalah gizi merupakan kesenjangan yang terjadi akibat keadaan gizi yang
diharapkan tidak sesuai dengan keadaan gizi yang ada.
1) Gangguan pemanfaatan zat gizi, dinilai berdasarkan zat gizi yang
dikonsumsi dan gangguan pemanfaatan zat gizi dalam tubuh 43.
a) Faktor Primer, berupa faktor asupan makanan yang dapat
menyebabkan zat gizi tidak cukup atau berlebihan, biasanya
disebabkan susunan makanan yang dikonsumsi tidak tepat dari
segi kualitas maupun kuantitas43.
b) Faktor Sekunder, berupa faktor kondisi tubuh yang
mempengaruhi pemanfaatan zat gizi dalam tubuh (gangguan
pencernaan makanan, gangguan absorbsi zat gizi oleh parasit
maupun efek samping obat, gangguan metabolisme zat gizi,
gangguan ekskresi) 43.

2) Teori Timbulnya masalah gizi43


a) Teori Unicef43
Oleh Unicef 1990, masalah gizi disebabkan oleh dua faktor
utama,
- Faktor langsung, berupa kurangnya asupan makanan dan
penyakit yang diderita43. Pengaruhnya, asupan gizi yang
kurang menyebabkan rendahnya imunitas / daya tahan
tubuh sehingga anak menjadi rentan untuk sakit43.
Sebaliknya, kondisi sakit cenderung diiringi hilangnya
nafsu makan sehingga menyebabkan turunnya status gizi 43.
Kesimpulannya, asupan gizi dan penyakit memiliki
hubungan yang saling mempengaruhi43.
- Faktor tidak langsung, berupa kurangnya ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga, perilaku/asuhan ibu dan anak
yang kurang, kurangnya pelayanan kesehayan dan
lingkungan tidak sehat43.
29

Gambar 2. 2 Faktor Penyebab Gizi Kurang43

b) Teori Segitiga Penyebab Masalah43


- Host (Pejamu), faktor pada diri manusia yang dapat
mempengaruhi keadaan gizi termasuk genetik, umur, jenis
kelamin, kelompok etnik, fisiologik, imunologik,
kebiasaan43.
- Agen, agregat yang keberadaannya (obat – obatan, zat
kimia yang dapat menimbulkan keracunan) atau
ketidakberadaannya (vitamin, hormon, lemak)
mempengaruhi timbulnya masalah gizi pada diri manusia 43.
- Lingkungan, baik fisik, biologis, maupun sosial ekonomi
dalam upaya pemenuhan gizi43.

e. Zat Gizi dan Pengaruhnya terhadap Kejang Demam

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sholikah,dkk.44 tahun 2017


menunjukkan bahwa balita dengan status gizi baik, baik di pedesaan maupun di
perkotaan, sebagian besar tidak memiliki penyakit infeksi karena status gizi yang
baik akan mempunyai daya tahan tubuh yang baik sehingga balita tidak mudah
terserang penyakit. Sebaliknya, balita dengan status gizi kurang dan buruk memiliki
30

daya tahan tubuh yang lemah sehingga mudah terserang penyakit 44. Berikut
mikronutrien yang mungkin berhubungan dengan kejadian kejang demam :

1) Zat Besi / Iron

Zat besi merupakan salah satu nutrisi yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang adekuat pada anak45. Ketika terjadi defisiensi zat besi akan
mengganggu fungsi dari beberapa organ, mendorong ke arah anemia, pertumbuhan
dan perilaku abnormal, retardasi mental, perubahan termoregulasi, gangguan
kinerja fisik, dan disfungsi kekebalan tubuh45.

Defisiensi besi dinilai dari serum Fe< 22 μg/dL, plasma Ferritin <30 ng/mL
atau saturasi transferrin <16%31. Defisiensi zat besi juga berhubungan dengan
masalah neurologis pada anak – anak, termasuk gangguan pertumbuhan,
keterlambatan perkembangan saraf, stroke, breath-holding spells, pseudotumor
cerebri, dan gangguan fungsi kognitif45. Zat besi mempengaruhi reaksi enzimatik
yang terlibat dalam DNA, RNA, dan metabolisme monoamine, serta produksi dan
fungsi neurotransmitter45. Akibatnya, defisiensi zat besi menyebabkan
ketidaknormalan metabolisme zat besi, mielinisasi, dan aktivitas neurotransmitter
di otak45. Defisiensi zat besi mengurangi metabolisme beberapa neurotransmitter,
seperti Monoamine dan Aldehide oxidase sehingga dapat menyebabkan terjadinya
perubahan ambang batas kejang pada seorang anak 23. Juga, adanya penurunan
ekspresi dari Cytochrome C oxidase, sebagai marker / penanda aktivitas
metabolisme neuronal, terjadi pada anemia defisiensi zat besi 23. Berkurangnya nilai
dari beberapa neurotransmitter, Monoamine dan Aldehide oxidase berkaitan secara
signifikan terhadap defisiensi zat besi dan terbukti mempengaruhi perilaku normal
dan proses perkembangan3. Gangguan perilaku pada anak dengan defisiensi zat besi
dapat berupa : iritabel / mudah marah, perilaku yang mengganggu, defisit perhatian,
performans skolastik yang buruk, dan kurangnya minat pada lingkungan sekitar 46.

Defisiensi zat besi juga mempengaruhi kapasitas untuk respon imun yang
adekuat45. Zat besi berperan penting dalam immunosurveillance, karena perannya
sebagai pemacu pertumbuhan dan memicu diferensiasi sel imun dan pengaruhnya
terhadap efek imun yang dimeadiasi oleh sel / cell-mediated immune atau terhadap
31

jalur dan aktivitas sitokin45. Adanya sitokin berperan penting untuk fungsi respon
imun bawaan dan respon imun adaptif45. Bukti klinis dan eksperimen belakangan
menunjukkan bahwa sitokin pro-inflamasi memperburuk kerusakan otak setelah
terjadinya demam, hal tersebut mungkin berkontribusi terhadap injuri sel saraf yang
berkaitan dengan kejang45. Lebih lanjut, sitokin anti-inflamasi mengurangi
kerentanan untuk kejang demam45.

Defisiensi zat besi merupakan faktor risiko untuk kejang demam sederhana,
tetapi tidak untuk jenis kejang akut lainnya45. Namun, defisiensi zat besi
berhubungan dengan dua gangguan lain yang menyebabkan peningkatan
rangsangan otak : Restless Leg Syndrome (RLS) dan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD)45.

Status zat besi dapat dikaitkan dengan status kesehatan umum pada anak
dalam hal terkait gizi, pertumbuhan, dan kekebalan tubuh 45. Faktor – faktor ini
dapat mempengaruhi kejang demam secara langsung 45. Anemia defisiensi zat besi
meningkatkan risiko persalinan prematur, berat badan lahir rendah, dan kematian
bayi pada dua trimester pertama kehamilan45.

2) Zinc

Di otak, zinc terdapat dalam jumlah yang banyak di area Hipokampus 16. Zinc
berperan dalam regulasi aktivitas asam glutamat dekarboksilase, yang merupakan
enzim penting dalam produksi asam γ- amino butirat. Selain itu, zinc juga berperan
dalam mengatur afinitas dari neurotransmitter16. Peranan tersebut memediasi
inhibisi kalsium pada reseptor N-methyl-Daspartate dengan mengurangi pelepasan
rangsang neuron eksitatorik16. Pada keadaan defisisiensi dari zinc, reseptor ini
terstimulasi yang memungkinkan terjadinya pelepasan neuron epileptiform pada
anak dengan demam16. Zinc juga mengaktivasi Pyridoxal kinase yang pada
gilirannya berperan membantu sintesis Pyridoxal phosphate16. Pyridoxal phosphate
kemudian mengaktivasi asam glutamat dekarboksilase, yang terlibat dalam sintesis
neurotransmitter GABA16. Neurotransmitter GABA merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama dan abnormalitas pada fungsi GABAergic, termasuk sintesis,
pelepasan sinaps, komposisi reseptor, dan metabolisme, setiap aspek dapat
32

menyebabkan keadaan hipereksitasi dan menurunkan ambang pada kejang 24.


Interaksi reseptor post sinaps dengan zinc mengarahkan aksi pada GABA16. Oleh
karena itu, defisiensi zinc akan menurunkan level dari GABA, yang mengarah pada
perkembangan kejang16.

3) Selenium

Salah satu penyebab epilepsy adalah stress oksidatif dan pembentukan spesies
nitrogen dan oksigen reaktif32. Otak sangat rentan terhadap kerusakan oksidatif dan
stress oksidatif pada kejang, stroke, dan penyakit neurodegeneratif, karena
pembentukan oksigen reaktif dalam volume yang tinggi yang berasal dari
metabolisme aerobik yang tinggi32. Sebagai antioksidan dan agen pelindung sel,
selenium diperlukan untuk perkembangan dan fungsi otak normal 32.

Studi yang dilakukan oleh Mukhi, dkk32 pada tahun 2017 dengan
membandingkan kadar oksidan dan antioksidan dalam darah terhadap 30 anak
dengan kejang demam dibandingkan dengan kelompok kontrol menyimpulkan
peningkatan oksidan dan penurunan antioksidan32. Peningkatan stress oksidatif
dapat meningkatkan bahaya pada kejang demam 32. Untuk mengurangi efek
berbahaya dari oksidan termasuk radikal bebas, terdapat mekanisme pertahanan
dalam tubuh berupa enzim antioksidan termasuk glutathione reductase, glutathione
peroxidase, superoxide dismutase dan catalase32. Peran utama glutathione
peroxidase sebagai enzim yang bergantung pada selenium / selenium dependent
enzyme adalah mengurangi peroksida organik / organic peroxydes dan oksigen32.
Elemen langka termasuk tembaga / copper, seng / zinc, dan selenium diperlukan
untuk fungsi enzim antioksidan32.

Volume selenium yang tinggi terdapat pada otak, terutama pada bagian
substansia grisea / grey matter32. Jumlah selenium dalam tubuh berkaitan dengan
usia, jenis kelamin, asupan makanan dan volume selenium tanah 32. Perbedaan nilai
selenium di berbagai daerah dihasilkan dari perbedaan termasuk kandungan
selenium tanah di daerah tersebut, kebiasaan makan, dan perbedaan geografis
terhadap asupan selenium32. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Mukhi, dkk32
pada tahun 2017 dikatakan adanya studi terbaru yang menunjukkan selenium
33

memerankan peran yang penting pada kejadian epilepsy dan kemungkinan peranan
selenium dalam patogenesis kejang demam32. Kadar selenium serum diukur dengan
menggunakan atomic frame spectrophotometer32. Nilai normal kadar selenium
serum adalah 46 – 143 mg/dL32. Secara umum, dapat dinyatakan bahwa kadar
selenium menurun pada infeksi karena selenium digunakan sebagai antioksidan
untuk menghilangkan radikal bebas32.

4) Kalsium

Perubahan serum kalsium dipercaya dapat meningkatkan kerentanan terhadap


kejang47. Kurangnya kadar serum kalsium menyebabkan terjadinya peningkatan
neuroeksitabilitas48. Kadar kalsium terionisasi yang rendah dalam cairan
ekstraselular, dengan mengikat permukaan luar molekul protein kanal natrium pada
membran plasma sel saraf, akan meningkatkan permeabilitas membran neuron
terhadap ion natrium, menyebabkan depolarisasi progresif sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya potensial aksi 48. Ketika ion kalsium tidak ada, level voltase
yang dibutuhkan untuk membuka kanal natrium yang terjaga keamanannya (voltage
gated sodium channels) berubah secara signifikan, dengan kata lain hanya
dibutuhkan lebih sedikit eksitasi untuk dapat membuka kanal natrium tersebut 48.
Kondisi hipokalsemia secara spontan dapat menghasilkan potensial aksi sehingga
terjadi kontraksi otot rangka perifer yang berdampak pada kejadian kejang secara
klinis48. Abnormalitas biokimia umum yang dapat menyebabkan kejang adalah
hipokalsemia yang bermanifestasi sebagai kram otot, tetanus, kejang, dan
paresthesia47.

Peranan demam adalah meningkatkan suhu tubuh secara sengaja sebagai respon
terhadap situasi tertentu48. Selama demam akut, sering terjadi gangguan cairan dan
elektrolit pada tubuh47. Demam secara spesifik melepaskan cadangan kalsium yang
disimpan dari tulang48. Bagaimana demam dan kurangnya kadar kalsium bertindak
dalam hubungannya atau dalam suatu sinergi masih perlu dipelajari untuk
menjelaskan mekanisme yang memungkinkan mereka dalam menghasilkan kejang
secara klinis48.
34

Penelitian yang dilakukan oleh Kiran, dkk48 pada tahun 2017 menyimpulkan
terdapat hubungan yang definit antara rendahnya kadar serum kalsium dengan
kejadian kejang demam48. Walaupun penurunan kadar kalsium tidak mencapai
rentang kondisi hipokalsemia, hal tersebut cukup untuk menyebabkan signifikansi
statistik dalam mempercepat terjadinya kejang demam 48. Penelitian tersebut juga
membenarkan perlunya menyediakan makanan kaya akan kalsium atau suplemen
untuk bayi dan anak – anak48.

f. Status Gizi berdasarkan Penilaian Antropometri pada Anak Kejang


Demam

Nutrisi yang sehat pada tahun – tahun awal kehidupan merupakan suatu peranan
penting untuk menentukan status kesehatan anak pada tahun – tahun berikutnya49.
Oleh karena itu, salah satu tujuan kesehatan yang utama adalah untuk memiliki
nutrisi yang cukup pada tahun awal kehidupan seorang anak49. Berbagai macam
faktor diketahui mempengaruhi status gizi pada anak, terutama kerentanan
makanan49. Kerentanan makanan dapat berarti terbatasnya akses atau tidak pastinya
kecukupan gizi dan tingkat kesehatan dari makanan yang dikonsumsi, termasuk
alergi anak terhadap makanan tertentu seperti : susu sapi, ikan, telur, kacang
kedelai, kacang yang dapat mempengaruhi status kesehatan dan digambarkan
melalui status gizi49.

Status kesehatan umum pada anak dapat dikaitkan dengan kejang demam 45.
Meskipun keterkaitannya masih kontroversi hingga saat ini, beberapa penelitian
melaporkan bahwa malnutrisi kronis berpengaruh pada pertumbuhan kepala,
kelaparan, dan dapat menyebabkan penurunan yang bertahap namun parah dalam
aktivitas intelektual45. Lebih lanjut, ritme EEG cenderung lebih lambat selama
periode malnutrisi akut45. Kondisi malnutrisi dapat diamati pada semua umur, tetapi
tingkat prevalensinya ditemukan lebih tinggi pada infan, bayi lahir prematur dan
bayi baru lahir dengan kategori underweight, dan anak berusia 2 s.d. 5 tahun49.
Bahkan di negara maju malnutrisi merupakan penyebab utama atau merupakan
konsekuensi dari penyakit lain, malnutrisi meningkatkan kerentanan host terhadap
infeksi sedangkan infeksi merupakan penyebab utama demam yang merupakan
35

predisposisi dari kejang demam50. Selain itu, malnutrisi dapat menurunkan ambang
kejang terkait efeknya terhadap neurotransmitter inhibitor dan elektrolit 51.

Dukungan nutrisi dianggap sebagai salah satu pendekatan untuk membantu anak
yang dirawat inap49. Penyakit infeksi merupakan penyebab tersering kejadian rawat
inap pada anak usia 2 s.d 6 tahun, yang mungkin disebabkan oleh kondisi gizi yang
buruk49. Penyakit infeksi tersebut dapat termasuk infeksi gastrointestional seperti
diare sebagai faktor penting yang mempengaruhi kematian anak di seluruh dunia,
infeksi saluran napas sebagai penyebab penting kematian pada anak di bawah 5
tahun, dan juga tuberculosis (TB) anak sebagai penyebab kematian diantara ribuan
anak per tahun, yang berbeda dengan TB dewasa dalam berbagai aspek 49. Berbagai
macam penyakit infeksi diketahui melatarbelakangi demam pada kejang demam :
infeksi saluran pernapasan akut, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, infeksi
saluran kemih 5,52.

Terdapat berbagai macam penelitian terkait status gizi pada anak kejang demam.
Penelitian yang dilakukan oleh Borji,dkk49. pada tahun 2018 di Iran untuk menilai
hubungan status gizi, kerentanan makanan, dan penyebab rawat inap pada anak
dengan penyakit infeksi di Rumah Sakit Ilam, Iran, mendapatkan kejang demam
termasuk kategori 4 besar penyebab anak dirawat di rumah sakit 49. Pada penelitian
tersebut dilakukan penilaian status gizi dengan metode antropometri berdasarkan
kriteria WHO/NCHS, dan ditemukan pada pasien rawat inap anak dengan kejang
demam 85.2% dalam keadaan underweight (42% moderate underweight; 25%
severe underweight; dan 18.2% underweight), dan 14.2% anak dalam status gizi
normal49. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapatnya hubungan yang signifikan
secara statistik antara status gizi dengan dengan penyebab rawat inap pada anak 49.
Hal serupa sejalan dengan penelitian oleh Hussain, dkk 14 terhadap pasien kejang
demam pada tahun 2015 di Pakistan, didapatkan 64% pasien kejang mengalami
malnutrisi, 77% mengalami anemia, dan 51% diantaranya mengalami peningkatan
pada hitung leukosit total. Penilaian status gizi dilakukan menggunakan klasifikasi
Gomez berdasarkan indeks BB/U untuk menentukan derajat KEP, dan penelitian
ini menyimpulkan bahwa kondisi anemia, malnutrisi, dan peningkatan hitung
jumlah leukosit merupakan faktor risiko terhadap kejadian kejang demam 14.
36

Penelitian prospektif komparatif berdasarkan studi rumah sakit yang dilakukan oleh
Malla,dkk53. terhadap 92 kasus kejang demam pada tahun 2015 di Rumah Sakit
Pendidikan Manipal, Nepal, menemukan 56.52% anak kejang demam dengan
tingkat status gizi yang rendah berdasarkan indikator BB/U dan 61.95% mengalami
anemia53.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Novayanti, dkk. 50 pada tahun
2018 di RSUP Sanglah, Bali terhadap 100 subjek kejang demam berdasarkan data
rekam medis Mei 2016 s.d. Februari 2018, menunjukkan hal berbeda, dimana
didapatkan 66% anak dengan status gizi baik, dan 34% anak dengan malnutrisi.
Penilaian status gizi pada penelitian ini berdasarkan persentase median BB/TB dari
kriteria Waterlow50. Hal tersebut serupa dengan penelitian oleh Kakalang,dkk.13
berdasarkan data rekam medis RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada Januari
2014 sampai Juni 2016 didapatkan 67.3% dari distribusi kejang demam terjadi pada
anak dengan status gizi normal. Sebelumnya pernah dilakukan penelitian indeks
status gizi pada anak dengan kejang demam pada tahun 2002 oleh Oseni, dkk 54.
melalui pendekatan antropometri menggunakan indikator BB/U, didapatkan dua
per tiga anak kejang demam yang diteliti memiliki status gizi normal 54. Penelitian
tersebut menyimpulkan kejang demam lebih umum terjadi pada anak dengan status
gizi baik dengan klasifikasi kejang demam sederhana 54.

Adanya perbedaan hasil penelitian terkait asosiasi status gizi terhadap kejang
demam sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk menilai keterkaitannya 14.
37

2.2 Kerangka Teori

Faktor
Lingkungan
Status Infeksi
Status Gizi

Konsumsi makanan Gizi Buruk

Gizi Kurang

Gizi Baik
Faktor Host
Anak usia 0-60 Berpotensi Gizi
bulan Lebih

Gizi Lebih
Faktor Genetik
Obesitas

Jenis Kelamin
Usia Kejang Kejang Demam
Maturasi Otak Anak usia 6- Demam Pertama Melalui
yang Belum 60 bulan mekanisme
Sempurna terkait demam
Pasca Vaksinasi

Anemia
Defisiensi Zat
Besi

: Yang tidak diteliti


: Yang diteliti
: Memiliki pengaruh
Gambar 2. 3 Kerangka Teori

2.3. Hipotesis

Terdapat hubungan status gizi terhadap usia kejang demam pertama pada
anak.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah analitik observasional dengan
rancangan cross sectional, penilaian variabel independen dan dependen
dilakukan secara serentak dalam satu waktu, dengan pendekatan retrospektif
menggunakan data sekunder rekam medis dari pasien rawat inap kejang
demam anak periode Januari – Desember 2019.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di unit rekam medis Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat. Penelitian
dilaksanakan pada 07 s.d 21 November 2020.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap kejang
demam anak periode Januari - Desember 2019 di Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat yang
didapatkan melalui data rekam medis di unit rekam medis.

3.3.2. Sampel Penelitian


Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap kejang demam
anak periode Januari - Desember 2019 di Rumah Sakit Umum Daerah Prof.
Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi untuk sampel penelitian.

38
39

3.3.3. Kriteria Inklusi


1. Anak dengan kejang demam baik sederhana maupun kompleks
2. Berusia 6 bulan s.d 60 bulan (5 tahun) ketika terjadi kejang demam
pertama
3. Anak tercatat sebagai pasien rawat inap di RSUD Prof. Dr. M. A.
Hanafiah SM Batusangkar periode Januari – Desember 2019
4. Memiliki kelengkapan data rekam medis mencakup : Jenis kelamin, usia
kejang demam pertama, berat badan, panjang badan / tinggi badan.

3.3.4. Kriteria Eksklusi


1. Anak dengan epilepsi
2. Anak dengan kejang tanpa demam
3. Anak dengan riwayat gangguan neurologis / gangguan
neurodevelopmental sebelum kejang demam pertama
4. Anak dengan infeksi sistem saraf pusat

3.3.5. Besar Sampel


Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus penelitian Cross
Sectional dengan besar populasi diketahui berupa :

𝑍 2 𝑝 (1 − 𝑝 ) 𝑁
𝑛=
𝑑 2 (𝑁 − 1) + 𝑍 2 𝑝(1 − 𝑝)
Keterangan :
n : Jumlah sampel
N : Jumlah populasi = 120
Z : Derajat kepercayaan (95% = 1.96)
p : Proporsi kasus terhadap populasi, bila tidak diketahui ditetapkan 50%
(0.5)
d : Derajat penyimpangan terhadap populasi, 5% (0.05)

Berdasarkan rumus tersebut, didapatkan jumlah sampel minimal :


(1.96)2 (0.5)(1 − 0.5)(120)
𝑛=
[(0.05)2 (120 − 1)] + [(1.96)2 (0.5)(1 − 0.5)]
40

(3.8416)(0.5)(0.5)(120)
𝑛=
[(0.0025)(119)] + [(3.8416)(0.5)(0.5)]

115.248
𝑛=
0.2975 + 0.9604

115.248
𝑛=
1.2579

𝑛 = 91.619 ~ 92

Besar sampel minimal pada penelitian ini adalah sebesar 92 anak. Dari
120 populasi kejang demam anak, didapatkan 95 data sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. Sampel penelitian ini
bersifat representatif mewakili sebagian besar populasi karena memenuhi
batas jumlah sampel minimal yang diperlukan.
Adapun 25 data populasi yang tidak memenuhi kriteria sampel
dikarenakan kondisi usia kejang demam pertama anak kurang dari 6 bulan
atau lebih dari 60 bulan (kejang demam plus), data rekam medis tidak
lengkap untuk beberapa penilaian dalam penelitian, serta dokumen rekam
medis yang tidak layak baca dan basah disebabkan terkena rembesan hujan
dari salah satu sudut atap ruangan yang bocor.

3.3.6. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik non
probability sampling berupa consecutive sampling, dimana cara
pengambilan sampel dengan semua objek atau elemen dalam populasi tidak
memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel, dengan
sampel yang diambil adalah seluruh subjek yang diamati dan memenuhi
kriteria pemilihan sampel yang kemudian dimasukkan sebagai sampel
penelitian sampai besar sampel yang diperlukan terpenuhi55,56.
41

3.4. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Status Gizi Usia Kejang Demam


Pertama pada Anak
1. Gizi Buruk 4. Berisiko gizi lebih
1. Bayi
2. Gizi Kurang 5. Gizi lebih
2. Batita
3. Gizi Baik 6. Obesitas 3. Anak Pra sekolah

Gambar 3. 1 Kerangka Konsep

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.5.1. Variabel Penelitian
Variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi dan variabel
dependen dalam penelitian ini adalah usia kejang demam pertama pada
anak.

3.5.2. Definisi Operasional


1. Status gizi adalah ukuran mengenai keadaan tubuh anak dibawah 5
tahun yang dapat diketahui dengan menilai berat badan, tinggi badan,
dan usia anak. Status gizi dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2020 dengan
indikator IMT/U dan BB/PB atau BB/TB : Gizi buruk (Z-score < -3.0
), Gizi kurang (Z-score ≥ -3.0 s/d Z-score <-2.0 ), Gizi baik (Z-score ≥
-2.0 s/d Z-score ≤ +1.0 ), Berisiko gizi lebih ( Z-score > +1.0 s/d Z-
score ≤ +2.0 ), Gizi lebih ( Z-score > +2.0 s/d Z-score ≤ +3.0 ), Obesitas
( Z-score > +3.0 ).
2. Usia kejang demam pertama pada anak adalah usia ketika anak
mengalami bangkitan kejang demam pertama. Penentuan usia kejang
demam pertama anak dibagi kedalam 3 kelompok umur anak usia < 5
tahun menurut CDC22 : infan/bayi (<12 bulan), toddler/batita (12≤ usia
<36 bulan), dan anak pra sekolah (36 ≤ usia ≤ 60 bulan).
3. Laju napas adalah hitungan jumlah napas yang dilakukan setiap menit
oleh anak kejang demam sesuai umurnya dan tercatat dalam dokumen
42

rekam medis. Anak mengalami takipnea ketika jumlah napas > 40 kali/
menit pada usia 6 s.d. <18 bulan; >35 kali/menit pada usia 18 s.d. 24
bulan; dan >30 kali/menit pada usia 25 s.d. 96 bulan.
4. Denyut nadi adalah hitungan jumlah denyut nadi setiap menit yang
terjadi pada anak kejang demam sesuai umurnya dan tercatat dalam
dokumen rekam medis. Anak mengalami takikardi ketika denyut nadi
yang terukur ≥160 kali/menit pada usia 3 s.d. <18 bulan; ≥155 kali/menit
pada usia 18 s.d. <24 bulan; ≥150 kali/menit pada usia 24 s.d. <36 bulan;
≥140 kali/menit pada usia 36 s.d. <48 bulan; dan ≥135 kali/menit pada
usia 48 s.d. 72 bulan.
5. Kadar hemoglobin adalah hasil pemeriksaan darah rutin mengenai
kondisi kadar hemoglobin anak kejang demam yang tercatat dalam
dokumen rekam medis. Anak usia < 5 tahun mengalami anemia ketika
kadar hemoglobin bernilai < 11 gr/dL.
6. Kadar hematokrit adalah hasil pemeriksaan darah rutin mengenai
kondisi kadar hematokrit anak kejang demam yang tercatat dalam
dokumen rekam medis. Kadar hematokrit normal pada anak usia < 5
tahun adalah 35 – 50%.
7. Kadar leukosit adalah kadar sel darah putih pada anak dengan kejang
demam yang berperan dalam mekanisme imunitas tubuh dan tercatat
dalam dokumen rekam medis. Kadar leukosit normal pada anak usia <
5 tahun adalah 4.000 s.d. 11.000/µL darah. Kadar leukosit yang kurang
dari kadar normal disebut leukositopenia. Kadar leukosit yang lebih dari
kadar normal disebut leukositosis.
8. Kadar trombosit adalah banyaknya jumlah trombosit atau keping darah
yang berperan pada mekanisme pembekuan darah dalam tiap mikroliter
darah dan tercatat dalam dokumen rekam medis. Kadar trombosit
normal pada anak usia < 5 tahun adalah 150.000 s.d. 500.000 / µL darah.
Kadar trombosit yang nilainya kurang dari kadar normal disebut
trombositopenia. Kadar trombosit yang nilainya lebih dari kadar normal,
disebut trombositosis.
43

9. Kadar gula darah sewaktu adalah hasil pemeriksaan gula darah pada
dokumen rekam medis pada anak kejang demam dilakukan pada waktu
kapan saja. Kadar gula darah sewaktu yang normal pada anak < 5 tahun
adalah 100 – 200 mg/dL.
Tabel 3. 1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur


Status gizi Rekam Analisis 1. Gizi buruk Ordinal
medis rekam medis 2. Gizi kurang
3. Gizi baik
4. Berisiko gizi lebih
5. Gizi lebih
6. Obesitas
Usia kejang demam Rekam Analisis 1. Bayi Ordinal
pertama pada anak medis rekam medis 2. Batita
3. Anak Pra Sekolah
Laju Napas Rekam Analisis 1. Tidak takipnea Ordinal
medis rekam medis 2. Takipnea
Denyut Nadi Rekam Analisis 1. Tidak takikardi Ordinal
medis rekam medis 2. Takikardi
Kadar Hemoglobin Rekam Analisis 1. Anemia Ordinal
medis rekam medis 2. Tidak Anemia
Kadar Hematokrit Rekam Analisis 1. Kurang Ordinal
medis rekam medis 2. Normal
Kadar Leukosit Rekam Analisis 1. Leukopenia Ordinal
medis rekam medis 2. Normal
3. Leukositosis
Kadar Trombosit Rekam Analisis 1. Trombositopenia Ordinal
medis rekam medis 2. Normal
3. Trombositosis
Kadar Gula Darah Rekam Analisis 1. Kurang Ordinal
Sewaktu medis rekam medis 2. Normal
44

3.6. Alat / Instrumen dan Bahan Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa :
1) Dokumen rekam medis pasien, dengan data yang diambil berupa :
Identitas nama; jenis kelamin; tanggal lahir; alamat; usia saat mengalami
kejang demam pertama; lama rawat inap; ada/tidak riwayat kejang
demam keluarga; penyakit/faktor yang mendasari kejang demam;
indeks antropometri : berat badan, panjang/tinggi badan; pemeriksaan
laboratorium : nilai Hemoglobin, Hematokritt, Leukosit, Trombosit,
Gula darah sewaktu.
2) Tabel Standar Indeks Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
berdasarkan indikator IMT/U dan BB/PB atau BB/TB pada anak usia 0
– 24 bulan dan usia 24 – 60 bulan sesuai dengan jenis kelamin anak
berdasarkan Permenkes No. 2 tahun 2020.

3.7. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dokumen
rekam medis pasien rawat inap kejang demam anak periode Januari –
Desember 2019 berupa : Identitas nama; jenis kelamin; tanggal lahir; alamat;
usia saat mengalami kejang demam pertama; lama rawat inap; ada/tidak
riwayat kejang demam keluarga; penyakit/faktor yang mendasari kejang
demam; indeks antropometri : berat badan, panjang/tinggi badan; pemeriksaan
laboratorium : nilai hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, gula darah
sewaktu.
Indeks antropometri selanjutnya dilakukan penilaian Z-score berdasarkan
tabel standar antropometri dan aplikasi WHO Anthro untuk mendapatkan
kategori status gizi anak sesuai indikator IMT/U dan BB/PB atau BB/TB pada
anak usia 0 – 24 bulan dan usia 24 – 60 bulan sesuai dengan jenis kelamin anak
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 Tahun 2020.
45

3.8. Prosedur Penelitian


Sebelum melakukan penelitian, dilakukan persiapan administratif dan
prosedur etik untuk mendapatkan perizinan melakukan penelitian di RSUD
Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar dengan rekomendasi izin penelitian
oleh Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Penelitian dimulai dengan
pengambilan data rekam medis subjek penelitian, yaitu pasien rawat inap
kejang demam anak periode Januari – Desember 2019 di RSUD Prof. Dr. M.
A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
Pengambilan data dilakukan di Unit Rekam Medis RSUD Prof. Dr. M. A.
Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat berupa data usia saat kejang
demam pertama dan data antropometri panjang badan / tinggi badan serta berat
badan anak. Data antropometri dengan menggunakan Tabel Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak berdasarkan indikator IMT/U dan
BB/PB atau BB/TB pada anak usia 0 – 24 bulan dan usia 24 – 60 bulan sesuai
dengan jenis kelamin anak, kemudian dilakukan penilaian Z-score untuk
menentukan status gizi pada anak dan dilakukan olah data dan dilanjutkan
untuk analisis data.
46

3.9. Alur Penelitian

Prosedur etik

Memperoleh surat izin penelitian dari


Universitas Syiah Kuala

Mengumpulkan data rekam medis populasi pasien rawat inap kejang


demam anak RSUD Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera
Barat periode Januari – Desember 2019

Sampel yang memenuhi kriteria


inklusi

Kriteria eksklusi

Pengambilan Data Penelitian :

• Usia kejang demam pertama


• Ada/tidak riwayat kejang dalam keluarga
• Penyakit/faktor yang mendasari kejang demam
• Hasil pemeriksaan darah rutin
• Indeks Antropometri saat kejang :
- Panjang/Tinggi Badan
- Berat Badan

Penilaian status gizi berdasarkan data indeks antropometri dan Z-score


menggunakan tabel standar antropometri IMT/U dan BB/PB atau BB/TB anak 0-
60 bulan sesuai PERMENKES No. 2 Tahun 2020

Pengolahan data

Analisis data dengan software SPSS versi 22

Kesimpulan

Gambar 3. 2 Alur Penelitian


47

3.9. Pengolahan dan Analisis Data Penelitian


Data rekam medis yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan
komputer menggunakan aplikasi Microsoft Excel, WHO anthro, dan IBM
SPSS Statistics versi 22.
Data mentah (raw data) yang dikumpulkan selanjutnya dilakukan
pengolahan berupa55,57 :
1. Editing (penyuntingan data), data yang sudah dikumpulkan diperiksa
kelengkapan dan ketersediaan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
2. Coding (pemberian kode), pemberian kode untuk masing – masing
komponen variabel memudahkan proses entry dan analisis data.
3. Data Entry (pemasukan data), data di-input kedalam kolom pada
aplikasi pengolah yang tersedia sesuai dengan kode yang ditetapkan
sebelumnya.
4. Cleaning Data, pemeriksaan kembali data yang sudah di-input untuk
mengetahui adanya kesalahan saat memasukkan data.
5. Tabulasi Data, membuat penyajian data sesuai dengan tujuan
penelitian.

3.10.1. Analisis Univariat


Analisis univariat / statistik deskriptif digunakan dalam
menganalisis data dalam bentuk deskripsi dan gambaran untuk
mengetahui distribusi frekuensi pada setiap variabel penelitian 55,57.
a) Data Kategorik
Untuk data kategorik, analisis data dalam bentuk frekuensi
persentase dari variabel yang diteliti55.

𝑓
𝑝= 𝑥 100%
𝑛
Keterangan :
p : Persentase
f : Frekuensi
n : Jumlah sampel
48

b) Data Numerik
Untuk data numerik, analisis data dalam bentuk ukuran
pemusatan data (central tendency) untuk menunjukkan ukuran
kecenderungan suatu kelompok data dalam bentuk mean/ rata –rata,
median/nilai tengah, dan modus/data yang paling sering muncul 55.

3.10.2. Analisis Bivariat


Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk menguji
hipotesis apakah terdapat hubungan status gizi dengan usia kejang
demam pertama pada anak. Uji korelasi yang digunakan adalah uji
korelasi Spearman58.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di Unit Rekam Medis Rumah Sakit Umum


Daerah Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat pada 07 s.d
21 November 2020. Jumlah pasien yang mengalami kejang demam pada
periode Januari s.d. Desember 2019 yaitu 120 pasien dengan sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian berjumlah 95 sampel.
4.1.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 4. 1 Karakteristik Sampel
Karakteristik Sampel Frekuensi (n) Persentase (%)
Jenis kelamin
Laki – laki 65 68.4
Perempuan 30 31.6
Usia kejang demam pertama
Bayi (<12 bulan) 18 18,9
Batita (12≤ usia <36 bulan) 55 57,9
Anak Pra Sekolah (36≤usia≤60 22 23,2
bulan)
Klasifikasi kejang demam
Sederhana 66 69.5
Kompleks 29 30.5
Riwayat kejang demam keluarga
Tidak ada 60 63.2
Ada 35 36.8
Kondisi penyakit yang menyertai kejang demam
Infeksi saluran napas atas 62 65.3
Infeksi saluran napas bawah 12 12.6
Gastroenteritis akut 14 14,7
Infeksi saluran kemih 2 2,1
Demam tifoid 3 3,1
Morbili 1 1,1
Sindroma steven johnson 1 1,1

49
50

Populasi penelitian ini adalah pasien rawat inap anak dengan kejang demam
pertama di RSUD Prof. Dr. M. A. Hanafiah pada periode Januari s.d. Desember
2019. Dari 120 populasi kejang demam anak, didapatkan 95 data sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, 25 data tidak memenuhi
kriteria sampel. Data yang tidak memenuhi kriteria sampel dikarenakan usia
kejang demam pertama kurang dari 6 bulan atau lebih dari 60 bulan (kejang
demam plus), data rekam medis tidak lengkap untuk beberapa penilaian dalam
penelitian, serta dokumen rekam medis yang tidak layak baca dan basah
disebabkan terkena rembesan hujan dari salah satu sudut atap ruangan yang
bocor.
Karakteristik umum sampel penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin, kelompok usia, klasifikasi kejang demam, riwayat kejang demam
keluarga, dan kondisi penyakit yang menyertai kejang demam. Tabel 4.1
menunjukkan sebagian besar sampel pada penelitian ini berjenis kelamin laki
– laki dengan jumlah 65 sampel (68,4 %), dan sisanya adalah 30 sampel
perempuan (31,6 %). Usia kejang demam pertama pada penelitian ini sebagian
besar berada pada kelompok usia batita (12≤ usia <36 bulan) sebanyak 57,9 %,
diikuti kelompok usia anak pra sekolah sebanyak 23,2%, dan kelompok usia
bayi (<12 bulan) sebanyak 18,9%. Klasifikasi kejang demam pada penelitian
ini mendapatkan 66 sampel (69,5 %) mengalami kejang demam sederhana dan
29 sampel (30,5 %) mengalami kejang demam kompleks. Kategori riwayat
kejang demam pada keluarga, didapatkan 60 sampel (63,2 %) tidak memiliki
riwayat dan 35 sampel (36,8 %) memiliki riwayat kejang demam pada
keluarga. Penelitian ini mendapatkan sebagian besar infeksi yang menyertai
anak dengan kejang demam adalah infeksi saluran napas atas dengan jumlah
62 kasus (65,3 %), 14 kasus (14,7 %) gastroenteritis akut, dan 12 kasus (12,6
%) infeksi saluran napas bawah, 3 kasus (3,1 %) demam tifoid, 2 kasus (2,1 %)
infeksi saluran kemih, 1 kasus (1,1 %) sindroma Steven Johnson, serta 1 kasus
(1,1 %) morbili.
Sebagian besar sampel pada penelitian ini merupakan anak laki – laki, yaitu
sebanyak 65 sampel (68,4 %). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Kakalang,
dkk. pada tahun 2016 di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, yang
51

mendapatkan 66 persen kasus anak kejang demam merupakan laki – laki13.


Selain itu, penelitian oleh Presto, dkk.59 pada tahun 2020 menunjukkan rata –
rata ukuran foramen parietal pada anak laki – laki cenderung lebih sempit
dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini dimungkinkan disebabkan
adanya dimorfisme seksual pada anak laki – laki pada proses osifikasi parietal
yang menyebabkan ukuran foramen parietalnya lebih sempit dibandingkan
anak perempuan59. Keterkaitan ukuran foramen dengan kejadian kejang
demam dinilai dari ukuran foramen parietal yang sempit mempengaruhi
drainase vena otak59. Foramen parietal dan kanalis kondilaris berperan sebagai
tempat lewat vena emissaria parietal dan vena emissaria oksipital 59. Vena
emissaria memiliki katup yang sedikit, yang memungkinkan peranan penting
mereka dalam mekanisme pendinginan otak selektif melalui aliran dua arah
dari permukaan evaporasi pada kepala59. Adanya apertura kranium yang sempit
menyebabkan aliran keluar vena serebral berkurang sehingga mekanisme
pendinginan otak menjadi tertunda, sehingga kondisi ini memungkinkan
demam untuk bertahan dan dapat menyebabkan terjadinya kejang demam pada
anak59.
Kategori klasifikasi kejang demam dalam penelitian ini menunjukkan
sebagian besar anak yang mengalami kejang demam pertama mengalami
kejang demam sederhana (69,5 %), sementara sisanya mengalami kejang
demam kompleks. Penentuan klasifikasi kejang demam anak pada penelitian
ini sesuai dengan yang tertera dalam status rekam medis anak. Penentuan
klasifikasi dimungkinkan berdasarkan anamnesis keluarga dan keadaan anak
saat dirawat pada hari pertama kejang demam berupa sifat kejang demam
(fokal / general), durasi kejang (<15 menit / >15 menit), kejang berulang dalam
24 jam atau tidak. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian oleh
Kakalang13, dkk. yang mendapatkan kejang demam kompleks lebih banyak
yaitu 91 anak (60,7 %) dibanding kejang demam sederhana yaitu 59 anak (39,3
%).
Berdasarkan ada atau tidaknya riwayat keluarga, penelitian ini
menunjukkan sebagian besar sampel, 60 sampel (63,2 %), tidak memiliki
riwayat kejang demam pada keluarga. Hal ini berbeda dengan penelitian oleh
52

Arifuddin, dkk.60 tahun 2016, 60,8 % sampel anak dengan kejang demam pada
penelitian tersebut memiliki riwayat kejang pada keluarga. Hal tersebut
disebabkan karena adanya peranan mutase gen yang diturunkan oleh keluarga
yang mempengaruhi eksitabilitas ion pada membran sel pada anak yang
kemudian dapat memicu terjadinya kejang demam 60. Penelitian oleh Chung,
dkk61 juga menjelaskan bahwa riwayat kejang pada keluarga memiliki peranan
yang menentukan kemungkinan kejang demam berulang pada anak dan
kemungkinan berkembang menjadi kejang tanpa demam / epilepsi di masa
depan. Perbedaan pada hasil penelitian ini dimungkinkan disebabkan adanya
faktor lain yang lebih dominan yang memicu terjadinya kejang demam
dibandingkan riwayat keluarga.
Penyebab yang mendasari kejang demam biasanya bersifat sekunder
terhadap suatu episode demam. Hal ini terkait dengan baik infeksi virus
ataupun infeksi bakteri yang berasal dari suatu proses ekstrakranial 62. Kondisi
penyakit yang menyertai kejang demam pada penelitian ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi saluran napas atas dengan jumlah 62 kasus (65,3 %),
diikuti 14 kasus (14,7 %) gastroenteritis akut, 12 kasus (12,6 %) infeksi saluran
napas bawah, dan sebagian kecilnya disebabkan oleh demam tifoid, sindroma
Steven Johnson, dan morbili. Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian
Kavanagh, dkk.62 bahwa infeksi yang paling sering terjadi pada anak dengan
kejang demam adalah infeksi virus pada traktur respiratorius bagian atas dan
infeksi lainnya yang umum terjadi pada masa kanak – kanak seperti herpes dan
infeksi virus lainnya, termasuk infeksi bakteri pada traktus respiratorius bagian
atas dan bawah, serta gastroenteritis62. Kejang demam terjadi pada anak pada
masa perkembangan ketika ambang batas terhadap kejang masih tergolong
rendah16. Lebih lanjut, anak pada usia balita cenderung rentan mengalami
berbagai infeksi yang sering terjadi pada masa kanak berupa infeksi saluran
napas bagian atas, otitis media, dan infeksi virus lainnya 16. Berdasarkan studi
pada hewan, adanya kombinasi faktor – faktor sebelumnya berperan dalam
mempengaruhi faktor pirogen endogen, seperti interleukin1beta, dimana
dengan meningkatnya eksitabilitas neuronal, menghubungkan terjadinya
demam dengan aktivitas kejang16. Penelitian pada anak belum menemukan
53

kejelasan signifikansi peranan klinis dan patologis sitokin teraktivasi dan


peranannya terhadap patogenesis dari kejang demam 16.
Rata – rata lama rawat inap pasien kejang demam anak di RSUD Prof. Dr.
M. A. Hanafiah pada tahun 2019 adalah 3,77 hari. Hal ini dimungkinkan
bertujuan untuk observasi kemungkinan terjadinya kejang berulang dalam 24
jam untuk membedakan terjadinya kejang demam kompleks dengan kejang
demam sederhana, dan untuk menurunkan demam serta memulihkan infeksi
yang mendasari terjadinya kejang demam pada anak.
Tabel 4. 2 Distribusi Hasil Pemeriksaan Tanda Vital dan Hitung Darah Rutin
Indikator Penilaian Frekuensi (n) Persentase (%)
Laju Napas (x/i)
Tidak takipnea 75 78.9
Takipnea 20 21.1
Denyut Nadi (x/i)
Tidak takikardi 81 85.3
Takikardi 14 14.7
Kadar Hb (gr/dL)
Anemia 49 51.6
Tidak Anemia 46 48.4
Kadar Ht (%)
Kurang 62 65.3
Normal 33 34.7
Kadar Leukosit (/µL)
Leukopenia 1 1.0
Normal 51 53.7
Leukositosis 43 45.3
Kadar Trombosit (/µL)
Trombositopenia 1 1.1
Normal 90 94.7
Trombositosis 4 4.2
Kadar Gula Darah Sewaktu
(gr/dL)
Kurang 33 34.7
Normal 62 65.3
54

Pada observasi anak dengan kejang demam, perlu dilakukan penilaian


terhadap tanda vital dan hitung darah rutin. Tabel 4.2 diatas menggambarkan
hasil pemeriksaan tanda vital dan hitung darah rutin sampel penelitian.
Berdasarkan data tabel tersebut didapatkan penilaian laju napas, didapatkan 75
anak (78,9 %) tidak bernapas cepat/ takipnea, dan 20 anak (21,1 %) mengalami
takipnea. Berdasarkan penilaian denyut nadi, didapatkan 81 anak (85,3 %)
tidak mengalami takikardi, dan 14 anak (14,7 %) mengalami takikardi.
Berdasarkan penilaian kadar hemoglobin, didapatkan 49 anak (51,6 %)
mengalami anemia dan 46 anak (48,4 %) tidak mengalami anemia.
Berdasarkan penilaian kadar hematokrit, didapatkan 62 anak (65,3 %) dengan
kadar hematokrit kurang, dan 33 anak (34,7 %) dengan hematokrit normal.
Berdasarkan penilaian kadar leukosit, didapatkan 51 anak (53,7 %) dengan
kadar leukosit normal, 43 anak (45,3 %) mengalami leukositosis, dan 1 anak
(1,0 %) mengalami leukositopenia. Berdasarkan penilaian kadar trombosit,
didapatkan 90 anak (94,7 %) dengan kadar trombosit normal, 4 anak (4,2 %)
dengan trombositosis, dan 1 anak (1,0 %) dengan trombositopenia.
Berdasarkan penilaian kadar gula darah sewaktu, didapatkan 62 sampel (65,3
%) dalam kategori normal, 33 sampel (34,7 %) dalam kategori kurang.
Pemeriksaan dasar (termasuk glukosa darah, hitung darah lengkap,
elektrolit, C-Reactive Protein, kultur darah, urine dipstick dan kultur urin)
diperlukan pada anak pada usia ekstrim ketika kejang demam sering terjadi
ataupun terjadi pada sumber infeksi yang belum teridentifikasi62. Pada
penelitian ini, berdasarkan kategori kadar hemoglobin didapatkan 49 anak
(51,6 %) mengalami anemia dan 46 anak (48,4 %) tidak mengalami anemia,
dengan rata – rata nilai hemoglobin 13,46 gr/dL (p=0,010). Dasmayanti,dkk.15
tahun 2015 mengatakan bahwa kadar hemoglobin yang rendah pada anemia
akan menyebabkan penurunan kemampuan sel darah merah dalam mengikat
oksigen. Kurangnya oksigen yang diikat oleh hemoglobin mengganggu proses
transport aktif ion Na-K menyebabkan kestabilan membran sel saraf terganggu
dengan peningkatan konsentrasi ion Na intrasel sehingga merangsang
terjadinya depolarisasi15. Rangsangan depolarisasi yang berlebihan pada
neuron sistem saraf pusat disertai rangsangan yang kuat seperti dalam keadaan
55

demam dan kondisi anemia, terutama anemia defisiensi zat besi, menyebabkan
terjadinya kejang15.
Berdasarkan penilaian kadar hematokrit, didapatkan 62 anak (65,3 %)
dengan kadar hematokrit kurang, dan 33 anak (34,7 %) dengan hematokrit
normal, dengan rata – rata hematokrit 33,54 %. Kedua indikator hemoglobin
dan hematokrit menunjukkan mayoritas sampel mengalami anemia.

4.1.2 Gambaran Status Gizi pada Anak saat Kejang Demam Pertama
Penilaian status gizi pada balita pada penelitian ini ditentukan sesuai dengan
Permenkes No. 2 Tahun 2020 berdasarkan indeks IMT/U dan indeks BB/PB
atau BB/TB digambarkan pada tabel 4.3 dan tabel 4.4. Data tinggi badan, berat
badan, dan usia dalam bulan penuh diolah dengan menggunakan aplikasi WHO
Anthro untuk mendapatkan nilai z-score dan status gizi diinterpretasikan sesuai
dengan Permenkes No. 2 Tahun 2020 berdasarkan indeks IMT/U dan indeks
BB/PB atau BB/TB menggunakan formula pada Microsoft Excel.
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Status Gizi berdasarkan Indeks IMT/U

Status Gizi IMT/U Frekuensi (n) Persentase (%)


Gizi buruk 4 4,2
Gizi kurang 32 33,7
Gizi baik 48 50,5
Berisiko gizi lebih 7 7,4
Gizi lebih 4 4,2
Obesitas 0 0,0
Total 95 100

Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Status Gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB
Status Gizi BB/PB atau BB/TB Frekuensi (n) Persentase (%)
Gizi buruk 3 3,2
Gizi kurang 32 33,7
Gizi baik 49 51,6
Berisiko gizi lebih 9 9,5
Gizi lebih 2 2,0
Obesitas 0 0,0
Total 95 100
56

Berdasarkan indeks IMT/U pada tabel 4.3, didapatkan 48 sampel (50,5 %)


dengan gizi baik, 32 sampel (33,7 %) dengan gizi kurang, 7 sampel (7,4 %)
berisiko gizi lebih, 4 sampel (4,2 %) dengan gizi lebih, 4 sampel (4,2 %) dengan
gizi buruk, dan tidak ditemukan sampel dengan obesitas. Berdasarkan indeks
BB/PB atau BB/TB pada tabel 4.4, didapatkan 49 sampel (51,6 %) dengan gizi
baik, 32 sampel (33,7 %) dengan gizi kurang, 9 sampel (9,5 %) berisiko gizi
lebih, 3 sampel (3,2 %) dengan gizi buruk, 2 sampel (2,0 %) dengan gizi lebih,
dan tidak ditemukan sampel dengan obesitas.
Secara umum hasil penilaian status gizi berdasarkan indeks IMT/U
memiliki kesamaan dengan indeks BB/PB atau BB/PB, kecuali terdapat
perbedaan pada beberapa penggolongan kategori status gizi anak yang
mencakup : terdapat 1 anak termasuk kategori kondisi status gizi buruk
berdasarkan indeks IMT/U, tetapi tergolong gizi kurang berdasarkan indeks
BB/PB atau BB/TB; 1 anak termasuk status gizi kurang berdasarkan indeks
IMT/U, tetapi tergolong status gizi baik berdasarkan indeks BB/PB atau
BB/TB; 1 anak termasuk berisiko gizi lebih berdasarkan indeks IMT/U, tetapi
tergolong status gizi baik berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB; serta
terdapat 2 anak dengan status gizi lebih berdasarkan indeks IMT/U, tetapi
termasuk berisiko gizi lebih berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB.
Perbedaan ini dimungkinkan karena tingkat sensitivitas masing – masing
indeks yang berbeda. Indeks IMT/U lebih sensitif untuk penilaian anak dengan
gizi lebih dan obesitas, sementara indeks BB/PB atau BB/TB sensitif untuk
identifikasi anak dengan gizi kurang, gizi buruk, dan risiko gizi lebih 42.
Berdasarkan tabel 4.3 dan 4.4, dapat disimpulkan mayoritas anak yang
mengalami kejang demam memiliki status gizi yang baik. Hal ini didukung
oleh penelitian oleh Kakalang, dkk.13 pada tahun 2016 yang mendapatkan 67,3
% anak dengan kejang demam memiliki status gizi yang normal / baik. Hasil
berbeda terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Hussain, dkk.14 yang
mendapatkan mayoritas anak dengan kejang demam mengalami malnutrisi
dengan persebaran 47 anak dengan kejang demam sederhana dan 17 anak
kejang demam kompleks.
57

4.1.3 Gambaran Usia Kejang Demam Pertama pada Anak


Usia kejang demam pertama pada anak ditentukan berdasarkan usia bulan
penuh yang dihitung berdasarkan tanggal masuk pasien ke rumah sakit.
Distribusi usia kejang demam pada penelitian ini berada pada rentang usia 7
bulan hingga 56 bulan.
Penelitian ini mendapatkan rata - rata usia kejang demam pertama pada
anak adalah 24,42 bulan, dengan nilai median 22 bulan, dan nilai modus 8
bulan (Lampiran 10). Berdasarkan distribusi menurut kelompok umur pada
tabel 4.1, didapatkan 55 sampel (57,9 %) yang mengalami kejang demam
berada pada kelompok usia batita, 22 sampel (23,2 %) berada pada kelompok
usia anak pra sekolah, dan 18 sampel (18,9 %) berada pada kelompok usia bayi,
sehingga dapat disimpulkan mayoritas usia kejang demam pertama terjadi pada
rentang usia batita (12 bulan ≤ usia < 36 bulan). Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Saheb, dkk63 yang menyatakan bahwa kejadian
infeksi lebih sering terjadi pada kelompok umur 13 s.d 24 bulan karena
aktivitas imunologi yang belum matang. Meningkatnya kejadian infeksi
cenderung meningkatkan kejadian demam yang apabila tidak tertangani
dengan baik akibat belum matangnya aktivitas imunologi dapat menimbulkan
kejang demam. Demam merupakan respon tubuh yang normal terhadap infeksi,
dan lepasnya sitokin dalam jumlah banyak selama demam dapat mengubah
aktivitas otak normal sehingga dapat memicu terjadinya kejang 64. Seiring
dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan kejadian kejang demam yang
dapat dijelaskan dengan fakta bahwa kematangan dan myelinisasi pada otak
meningkat secara progresif seiring dengan meningkatnya usia63. Hasil
penelitian oleh Birua65 dkk, juga mendukung penelitian ini dengan
mendapatkan usia kejang demam pertama pada anak cenderung terjadi pada
usia 13 s.d 24 bulan. Birua65 dkk. menyimpulkan bahwa dengan bertambahnya
usia, prevalensi kejang demam mengalami penurunan, dan penurunan terutama
terjadi setelah usia 59 bulan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
insidensi kejang demam menurun secara nyata setelah usia empat tahun dan
jarang terjadi pada anak dengan usia yang lebih tua dari 7 tahun dan kejadian
puncak kejang demam berada pada usia sekitar 18 bulan65. Jadi, usia berperan
58

penting dalam menentukan kerentanan seorang anak mengalami kejang


demam, dan risiko kekambuhan kejang demam menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Walaupun mekanisme peningkatan kerentanan
berdasarkan usia masih belum jelas, penelitian dengan model hewan
menunjukkan adanya peningkatan eksitabilitas neuronal selama proses
pematangan otak yang normal65.

4.1.4 Hubungan Status Gizi dengan Usia Kejang Demam Pertama pada Anak
Variabel pada penelitian ini adalah status gizi (variabel independen) dan
usia kejang demam pertama (variabel dependen) . Uji korelasi yang digunakan
adalah uji korelasi Spearman. Hasil uji statistik hubungan status gizi terhadap
usia kejang demam pertama pada anak terdapat pada tabel 4.5 untuk penilaian
berdasarkan indeks IMT/U dan tabel 4.6 untuk penilaian berdasarkan indeks
BB/PB atau BB/TB.

4.1.4.1 Hubungan Status Gizi berdasarkan indeks IMT/U terhadap Usia


Kejang Demam Pertama pada Anak
Berdasarkan uji korelasi Spearman yang dilakukan terhadap status gizi
berdasarkan indeks IMT/U dengan usia kejang demam pertama didapatkan
nilai p – value = 0,260 (p > α ; α = 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara status gizi berdasarkan indeks IMT/U terhadap
usia kejang demam pertama pada anak sesuai tabel 4.5.
Tabel 4. 5 Hubungan Status Gizi berdasarkan Indeks IMT/U terhadap Usia
Kejang Demam pada Anak
Status Gizi IMT/U Usia Kejang Demam Pertama Total P-Value
Bayi Batita Anak Pra
Sekolah
Gizi buruk 0 3 1 4
Gizi kurang 5 24 3 32
Gizi baik 11 24 13 48
0,260
Berisiko gizi lebih 2 3 2 7
Gizi lebih 0 1 3 4
Obesitas 0 0 0 0
Total 18 55 22 95
59

4.1.4.2 Hubungan Status Gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB terhadap
Usia Kejang Demam Pertama pada Anak

Berdasarkan uji korelasi Spearman yang dilakukan terhadap status gizi


berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB dengan usia kejang demam pertama
didapatkan nilai p – value = 0,386 (p > α ; α = 0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi berdasarkan
indeks BB/PB atau BB/TB terhadap usia kejang demam pertama pada anak
sesuai tabel 4.6.
Tabel 4. 6 Hubungan Status Gizi berdasarkan Indeks BB/PB atau BB/TB
terhadap Usia Kejang Demam Pertama pada Anak
Usia Kejang Demam Pertama
Status Gizi BB/PB Total P-Value
atau BB/TB Bayi Batita Anak Pra
Sekolah
Gizi buruk 0 2 1 3
Gizi kurang 4 25 3 32
Gizi baik 12 24 13 49
0,386
Berisiko gizi lebih 2 4 3 9
Gizi lebih 0 0 2 2
Obesitas 0 0 0 0
Total 18 55 22 95

Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik yang dilakukan yaitu uji
korelasi Spearman dapat disimpulkan tidak ditemukan adanya perbedaan umur
dan kelompok status gizi yang signifikan pada anak dengan kejang demam
pertama, dan tidak ditemukan adanya hubungan status gizi terhadap usia kejang
demam pertama pada anak (Ha ditolak).
Penelitian ini didukung oleh studi yang dilakukan Oseni, dkk 54 pada tahun
2002 di Nigeria yang menyatakan bahwa kejang demam lebih umum terjadi
pada anak dengan status gizi yang baik, dan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p > 0,05) pada uji beda yang dilakukan terhadap status gizi pada
anak yang mengalami kejang demam. Penelitian ini juga belum mampu
menjelaskan hubungan sebab akibat antara status gizi terhadap kejang demam 54.
Hasil yang sejalan ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Hussain,
60

dkk.14 yang walaupun mendapatkan mayoritas anak dengan kejang demam


mengalami kondisi malnutrisi (64 %) yaitu 64 dari 100 sampel anak dengan
kejang demam dan menyimpulkan adanya kondisi malnutrisi, anemia, dan
peningkatan hitung jumlah leukosit sebagai faktor risiko terjadinya kejang
demam, nilai hubungannya tidak signifikan yaitu p = 0,13114. Perbedaan hasil
penelitian yang terjadi dapat disebabkan oleh variasi perbedaan ukuran,
kecenderungan, etnis, dan kondisi sosioekonomi dari sampel kejang demam 14.
Berdasarkan penelitian oleh Fuadi, dkk.66 di Semarang, usia kejang demam
pertama dipengaruhi oleh maturasi otak yang belum sempurna terutama pada
usia kurang dari dua tahun. Pada penelitian tersebut didapatkan sebagian besar
anak mengalami kejang demam pertama pada usia kurang dari dua tahun dan
berdasarkan hasil uji statistik menyimpulkan bahwa anak dengan usia kurang
dari dua tahun berisiko 3,4 kali lebih besar mengalami bangkitan kejang demam
dibanding anak dengan usia lebih dari dua tahun (CI 1,39-8,30, p = 0,006) 66.
Anak dengan kejang demam pertama pada penelitian ini sebagian besar berada
pada kelompok usia batita (12 bulan ≤ usia < 36 bulan), dengan usia rata – rata
24,42 bulan, nilai median 22 bulan, dan nilai modus 8 bulan66.
Maturasi otak yang belum sempurna pada usia kurang dari dua tahun, pada
kondisi ini reseptor otak untuk neurotransmitter eksitatorik dan inhibitorik
belum seimbang66. Reseptor neurotransmitter eksitatorik asam glutamat baik
ionotropik maupun metabotropik cenderung lebih aktif dibanding
neurotransmitter inhibitorik GABA sehingga terjadi dominansi eksitasi pada
otak yang belum matang66. Juga, pada otak yang belum matang terdapat
tingginya kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) yang merupakan
neuropeptid eksitator yang berpotensi sebagai prokonvulsan, sehingga dapat
mendukung terjadinya bangkitan kejang pada anak ketika terjadi demam 66.
Selain itu, usia kejang demam pertama dapat dipengaruhi oleh riwayat
kejang demam pada keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Vebriasa,dkk.4
menyimpulkan bahwa kejang demam pertama pada anak terjadi pada usia yang
lebih dini pada anak yang memiliki riwayat kejang pada keluarga, dengan nilai
median 13,0 (11,0 – 18,0) bulan, dibandingkan anak tanpa riwayat kejang pada
keluarga, dengan nilai median 17,0 (11,0-29,0) bulan.
61

Hal ini menunjukkan terdapat kondisi yang bersifat multifaktorial yang


dapat memicu terjadinya kejang demam pertama, bahwa usia kejang demam
pertama tidak dapat dinilai hanya dari status gizi saat anak mengalami kejang.
Adanya status gizi dimungkinkan berperan menyertai kondisi anak dengan
kejang demam, tetapi bukan sebagai faktor risiko utama yang mempengaruhi
secara langsung kejang demam pertama pada anak. Gizi anak tetap harus dijaga
dengan baik untuk pertumbuhan, perkembangan, serta imunitas yang optimal,
agar anak terhindar dari infeksi dan demam, sehingga dapat terhindar dari
kejang demam.

4.2.Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah terdapat beberapa data dan keterangan


klinis yang kurang lengkap pada dokumen rekam medis sehingga tidak seluruh
data pasien dapat digunakan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di unit rekam medis Rumah Sakit


Umum Daerah Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar, Sumatera Barat pada
07 s.d 21 November 2020, didapatkan kesimpulan :

1. Anak dengan kejang demam pertama memiliki kondisi gizi yang baik
(50,5 % berdasarkan indeks IMT/U dan 51,6% berdasarkan indeks
BB/PB atau BB/TB).
2. Anak dengan kejang demam pertama paling banyak berada dalam
kelompok usia batita dengan persentase 57,9% dengan nilai rata – rata
usia kejang demam pertama 24,42 bulan.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan usia
kejang demam pertama pada anak.

5.2.Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :

1. Bagi institusi kesehatan agar melakukan sosialisasi berkala terkait


penanganan anak yang mengalami kejang demam di rumah agar orang
tua tidak panik dan melakukan langkah yang tepat ketika anak kejang
demam.
2. Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian multifaktorial
untuk mengetahui faktor risiko lainnya dari kejang demam agar
kejadian kejang demam dapat diminimalisir.
3. Bagi institusi pendidikan agar penelitian selanjutnya terkait hubungan
status gizi terhadap kejang demam pada anak diharapkan dilakukan
pengembangan lebih lanjut terhadap penilaian mikronutrien dan pola
konsumsi gizi anak.

62
DAFTAR PUSTAKA

1. Deng L, Gidding H, Macartney K, Crawford N, Buttery J, Gold M, et al.


Postvaccination Febrile Seizure Severity and Outcome. PEDIATRICS.
2019;143(5).

2. Leung A, Hon K, Leung T. Febrile seizures: an overview. Drugs in Context


Peer Reviewed Journal. 2018;7:2.

3. Patel N, Choudhary S MS. The Association between Iron Deficiency Anemia


and Febrile Convulsion. Journal of Medical Science Clinical Research.
2017;05(09):27478–81.

4. Vebriasa A, Herini ES, Triasih R. Hubungan antara Riwayat Kejang pada


Keluarga dengan Tipe Kejang Demam dan Usia Saat Kejang Demam
Pertama. Sari Pediatri. 2013;15(3):137–40.

5. Aswin A, Muhyi A, Hasanah N. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan


Kejang Demam pada Anak yang Disebabkan Infeksi Saluran Pernapasan
Akut: Studi Kasus Kontrol. Sari Pediatri. 2019;20(5):270.

6. Fredlina J, Malik R. Hubungan Status Gizi terhadap Anemia pada Balita di


Kelurahan Tomang Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta Barat periode
Januari 2015. Tarumanagara Medical Journal. 2018;1(1):110–5.

7. Pratama HA. Hubungan Anemia Defisiensi Besi dengan Status Gizi pada
Balita di RSUD Kardinah. Undergraduate Thesis UNIMUS. 2016;

8. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian RI; 2018.

9. Rohimah E, Kustiyah L, Hernawati N. Pola Konsumsi, Status Kesehatan dan


Hubungannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Balita. Jurnal Gizi
Pangan. 2015;10(2):93–100.

10. Simbolon D. Pencegahan Stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik pada Ibu
Menyusui Anak Usia 0-24 Bulan. Azizah N, editor. Media Sahabat

63
64

Cendekia; 2019.

11. Hairunis MN, Salimo H, Dewi YLR. Hubungan Status Gizi dan Stimulasi
Tumbuh Kembang dengan Perkembangan Balita. Sari Pediatri.
2018;20(3):146.

12. El-Radhi AS. Clinical Manual of Fever in Children : Febrile Seizures. In


Springer, Cham; 2018. p. 179–92.

13. Kakalang JP, Masloman N, Manoppo JIC. Profil Kejang Demam di Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou Manado. 2016;4:0–
5.

14. Hussain S, Tarar SH, Sabir MUD. Febrile Seizures : Demographic , Clinical
and Etiological Profile of Children Admitted with Febrile Seizures in a
Tertiary Care Hospital. Journal of Pakistan Medical Association.
2015;65(9):1008–10.

15. Dasmayanti Y, Anidar, Imran, Bakhtiar, Rinanda T. Hubungan Kadar


Hemoglobin dengan Kejang Demam pada Anak Usia Balita. Sari Pediatri.
2015;16(5):351–5.

16. Kumari L, Agrawal SD. Low Zinc and Iron Status : A Possible Risk Factor
for Febrile Seizure. Journal of Medical Science and Clinical Research.
2019;07(02):256.

17. Permatasari SPY, Gurnida DA, Chairulfatah A. Kemampuan Alat Deteksi


Dini Risiko Malnutrisi Menurut American Society for Parenteral and Enteral
Nutrition pada Anak 6-60 Bulan oleh Orang Tua. 2019;21(1).

18. Rampure DM, Rajhounsh, Rakesh RR, Swetha D. Seizure Semiology and
Imaging Correlation. Journal of Medical Science and Clinical Research.
2015;3(10):7732–5.

19. Kaur A, Tali SH, Yousuf S. Clinical Spectrum and Etiology of Seizures in
Children in Age Group of Two Months to Twelve Years : A Cross Sectional
Observational Study Authors. Journal of Medical Science and Clinical
65

Research. 2017;05(07):24363–6.

20. Mukhi DS, Salooja DB. A Study on Clinico-Radiological Profile of Children


Presenting with Seizure in a Tertiary Care Hospital in Nepal: A Cross-
Sectional Study. Journal of Medical Science and Clinical Research.
2017;05(07):25701–5.

21. El-Radhi A (eds) Fever in Clinical Manual of Fever in Children [Internet].


Springer International Publishing AG, part of Springer Nature 2018; 2018.

22. Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2017.

23. Aziz KT, Ahmed N, Nagi AG. Iron Deficiency Anaemia as Risk Factor for
Simple Febrile Seizures : A Case Control Study. Journal of Ayub Medical
College of Abbottabad. 2017;29(2):316–9.

24. Hubaira, Wani ZA, Qadri SMR. Relationship between Serum Zinc Levels
and Simple Febrile Seizures : Hospital Based Case Control Study.
International Journal of Contemporary Pediatrics. 2018;5(1):42–5.

25. Santappanawar MP, Khan HU, Devdas JM, John S, Hegde P. Serum zinc
levels in children with simple febrile seizures. International Journal
Contemporary Pediatric. 2019;6(4):1480–4.

26. Patel N, Ram D, Swiderska N, Mewasingh LD, Newton RW, Offringa M.


Febrile seizures. British Journal Medical. 2015;4240(August):1–7.

27. Arief RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. Cermin Dunia Kedokteran-232


[Internet]. 2015;42(9):659.

28. Hardika MSDP, Mahalini DS. Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Kejang Demam Berulang pada Anak di RSUP Sanglah Denpasar.
E-JURNAL Medicine [Internet]. 2019;8(4). Available from:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum

29. Yunita VE, Afdal, Syarif I. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan
Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik
66

Anak RS . DR . M . Djamil Padang Periode Januari 2010 – Desember 2012.


Jurnal Kesehatan Andalas. 2016;5(3):705–9.

30. Deng L, Gidding H, Macartney K, Crawford N, Buttery J, Gold M, et al.


Postvaccination Febrile Seizure Severity and Outcome. Pediatrics.
2019;143(5).

31. Jang HN, Yoon HS, Lee EH. Prospective case control study of iron
deficiency and the risk of febrile seizures in children in South Korea. BMC
Pediatrics. 2019;19(1):1–8.

32. Azam M, Shokoufeh A, Khatereh A, Mahnaz M, Korosh S, Amin H, et al.


Relationship between serum selenium level and febrile seizure in children.
Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 2015;7(12):13–8.

33. Shah PB, James S ES. EEG for children with complex febrile seizures (
Review ). Cochrane Database Systematic Review Wiley Sons, Ltd. 2020;1–
25.

34. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S.


Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. 1st ed. Unit Kerja
Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016. Badan Penerbit

35. Irnani H, Sinaga T. Pengaruh pendidikan gizi terhadap pengetahuan , praktik


gizi seimbang dan status gizi pada anak sekolah dasar. J Gizi Indones (The
Indones Journal Nutrition. 2017;6(1):58–64.

36. Puspitasari M. Status Gizi Anak dan Faktor yang Mempengaruhi. 1st ed.
Amalia S, editor. Yogyakarta: UNY Press; 2018. 9 p.

37. Hidayati T, Hanifah I, Sary YNE. Pendamping Gizi pada Balita. Yogyakarta:
Deepublish Publisher; 2019.

38. Bening S, Margawati A, Rosidi A. Asupan Gizi Makro dan Mikro Sebagai
Faktor Risiko Stunting Anak Usia 2–5 Tahun di Semarang. Medica
Hospitalia. 2016;4(1):45–50.
67

39. Hardianti R, Dieny FF, Wijayanti HS. Picky eating dan status gizi pada anak
prasekolah. J Gizi Indones The Indonesian Journal of Nutrition. 2018;6(2).

40. Sudargo T, Kusmayanti NA, Hidayati NL. Defisiensi Yodium, Zat Besi, dan
Kecerdasan. Hakimi M, editor. Gajah Mada University Press; 2018.

41. Sitoayu L, Pertiwi DA, Mulyani EY. Kecukupan zat gizi makro, status gizi,
stres, dan siklus menstruasi pada remaja. Jurnal Gizi Klinis Indonesia.
2017;13(3):121–8.

42. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. In


2020. p. 1–78.

43. Par’i HM, Wiyono S, Harjatmo TP. Penilaian Status Gizi [Internet].
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2017. 1–317 p.

44. Sholikah A, Rustiana ER, Yuniastuti A. Faktor - Faktor yang Berhubungan


dengan Status Gizi Balita di Pedesaan dan Perkotaan. Public Health
Perspective Journal. 2017;2(1):9–18.

45. Byung O, Kyungmin K, Soo-nyung K, Ran L. Relationship between iron


deficiency anemia and febrile seizures in children : A systematic review and
meta-analysis. Seizure European Journal of Epilepsy [Internet]. 2017;52:27–
34.

46. Kamalammal R, M D B. Association between iron deficiency anemia and


various red cell parameters with febrile convulsions in children of age group
3 to 60 months. International Journal of Contemporary Pediatric.
2016;3(2):559–62.

47. Naseer MR, Patra KC. Correlation of serum iron and serum calcium levels
in children with febrile seizures. International Journal of Contemporary
Pediatric. 2015;2(4):406–10.

48. Kiran U, Suresh R. Reduced serum calcium is a risk factor for febrile
seizures. International Journal of Contemporary Pediatric. 2017;4(4):1506.
68

49. Borji M, Moradi M, Otaghi M, Tartjoman A. Relationship between


Nutritional Status , Food Insecurity , and Causes of Hospitalization of
Children with Infectious Diseases. Journal of Comprehensive Pediatric.
2018;9(2):4–9.

50. Novayanti NPY, Mahalini DS, Suwarba IGNM. Recurrence Related Factors
of Febrile Seizure. International Journal of Health Science (Qassim).
2018;2(2):37–45.

51. Ahmed E, Tiwari S, Verma DK, Bajpai M, Koonwar S, Kumar N.


Physiology Anthropometric Profile and Nutritional Status in Children with
Generalized Epilepsy Section : Physiology. International Journal of
Contemporary Medical Research. 2019;6(5):4–7.

52. Gupta A. Febrile Seizures. Continuum Journal. 2016;22(1):51–9.

53. Malla T, Malla KK, Sathian B, Chettri P, Singh S, Ghimire A. Simple Febrile
Convulsion and Iron Deficiency Anemia A Co-relation in Nepalese
Children. American Journal of Public Health Research. 2015;3(5):11–6.

54. Oseni SBA, Esimai C, Oyedeji GA, Adelekan DA. Indices of Nutritional
Status in Children with Febrile Convulsion. Nutrition and Health.
2002;16:143–4.

55. Masturoh I, T NA. Metodologi Penelitian Kesehatan. I. Priyati RY,


Darmanto BA, Suwarno N, editors. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2018. 182 p.

56. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Jakarta: Sagung Seto; 2010.

57. Hulu VT, Sinaga TR. Analisis Data Statistik Parametrik Aplikasi SPSS dan
STATCAL. I. Simarmata J, editor. Yayasan Kita Menulis; 2019.

58. Jaykaran. How to Select Appropriate Statistical Test? Journal of


Pharmaceutical Negative Results. 2010;1(2).
69

59. Presto P, D’Souza P, Kopacz A, Hanson KA, Nagy L. Association between


Foramen Size and Febrile Seizure Status in the Pediatric Population: A Two-
Center Retrospective Analysis. Journal of Neuroscience in Rural Practice.
2020;11(3):430–5.

60. Arifuddin A. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam. Journal of


Chemical Information and Modelling. 2016;2(2):60–72.

61. Chung S. Febrile seizures. Korean Journal of Pediatrics. 2014;57(9):384–95.

62. Kavanagh FA, Heaton PA, Cannon A, Paul SP. Recognition and
management of febrile convulsions in children. British Journal of Nursing.
2018;27(20):1156–62.

63. Saheb SA. A study of febrile convulsions with a bacteremia incidence in a


tertiary care teaching hospital in Andhra Pradesh. International Journal of
Contemporary Pediatric. 2020;7(9):1885.

64. Laino D, Mencaroni E, Esposito S. Management of Pediatric Febrile


Seizures. International Journal of Environmental Research and Public
Health. 2018;15(10).

65. Birua S, Sarkar S, Bera A, Khan K. Clinico-demographic profile of febrile


seizure and its association with iron deficiency. Journal of Nepal Paediatric
Society. 2019;39(2):72–8.

66. Fuadi F, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam


pada Anak. Sari Pediatri. 2016;12(3):142.
70

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No. Kegiatan Waktu (Bulan)


4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Studi kepustakaan
2. Penyusunan proposal
3. Survey awal
4. Seminar proposal
5. Perbaikan proposal
6. Protokol Etik
7. Pengumpulan data
8. Pengolahan data
9. Penyusunan laporan
dan hasil penelitian
10. Sidang skripsi
71

Lampiran 2

Surat Izin Survey Awal


72

Lampiran 3

Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran


73

Lampiran 4

Surat Persetujuan Etik (Ethical Approval)


74

Lampiran 5

Surat Rekomendasi Penelitian Kesbangpol


75

Lampiran 6

Surat Disposisi Penelitian RSUD Prof. MA Hanafiah


76

Lampiran 7

Surat Keterangan Selesai Penelitian


77

Lampiran 8

Lembar Pengumpulan Data


Hubungan Status Gizi dengan Usia Kejang Demam Pertama pada Anak
Pasien Rawat Inap Anak Periode Januari – Desember 2019
RSUD Prof. Dr. M. A. Hanafiah SM Batusangkar
Identitas Responden
1 No. Registrasi Penelitian :
2 No. Rekam Medis :
3 Nama Pasien :
4 Nama Orang Tua / Wali :
5 No. HP Orang Tua / Wali :
6 Alamat :
7 Tanggal Masuk RS : ….Bulan ….Tahun
8 Tanggal Keluar RS : ….Bulan ….Tahun
9 Lama Dirawat : ….Hari
10 Tanggal Lahir :
11 Usia Kejang Demam Pertama : ….Tahun ….Bulan ….Hari
12 Usia Bulan Penuh : ….Bulan
13 Jenis Kelamin : L / P
Penyakit/Faktor yang Menyertai Kejang
14 Demam :
15 Riwayat Kejang Demam Keluarga :+/- :
16 Indeks Antropometri :
1. Berat Badan : ….Kg
2. Panjang Badan / Tinggi Badan : ….cm
Panjang Badan (0-24 bulan) : cm
Tinggi Badan (>24-60 bulan) : cm

3. Z - score : 𝐵𝐵 𝐻𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 − 𝑀𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑢 𝑅𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛 =


𝑆𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑢 𝑅𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛

4. Status Gizi : 1. Gizi Buruk


2. Gizi Kurang
3. Gizi Baik
4. Berpotensi Gizi Lebih
5. Gizi Lebih
6. Obesitas

17 Klasifikasi Kejang Demam : 1. Sederhana


2. Kompleks
78

19 Keterangan
1. Anamnesis :

2. Pemeriksaan Fisik :

3. Pemeriksaan Penunjang :
79

Lampiran 9

Master Tabel Pengumpulan Data

Usia PB/ IMT Status Status HB GDR


Nama Lama Dx. Penyebab Riw. Z-score Z-score KDS/ HT Leu Trom
No JK Bln BB (Kg) TB (Kg/ Gizi IMT Gizi RR HR (gr/dL (mg/d
Pasien rawat kejang demam Klg IMT/U BB/TB KDK (%) (/µL) (/µL)
Penuh (cm) m2) /U BB/TB ) L)

1 SR L 6 18 Faringitis Akut - 9,82 87 12,97 -2,95 -2,55 Kurang Kurang KDS 24 157 10.7 32.2 12500 268000 164

2 MNR L 8 42 Demam Tifoid + 15,00 103 14,14 -1,11 -0,95 Baik Baik KDS 22 105 11.9 34.4 8520 203000 95
Tonsilofaringitis
3 IF L 4 32 + 15,64 100 15,64 KDK 30 104 10.9 33.1 4900 246000 91
Akut -0,05 0,22 Baik Baik
4 HAH L 3 24 Gastroenteritis Akut - 9,74 86 13,17 -2,63 -2,57 Kurang Kurang KDS 28 112 10.8 35.4 5600 414000 159
Tonsilofaringitis Berisiko
5 HS L 4 40 + 12,00 79 19,23 KDS 24 147 9.0 28.6 10700 224000 157
Akut 2,62 1,69 Lebih Lebih
Berisiko Berisiko
6 RA L 2 21 Gastroenteritis Akut - 13,60 88 17,56 KDS 26 113 11.2 32.3 9700 291000 136
1,24 1,28 Lebih Lebih
7 HF L 3 17 Faringitis Akut - 10,90 82 16,21 0,04 0,08 Baik Baik KDK 24 120 9.5 28.8 5800 230000 138
Tonsilofaringitis Berisiko Berisiko
8 RAR L 3 37 - 13,00 86 17,58 KDS 28 156 11.2 35.5 9300 249000 180
Akut 1,50 1,05 Lebih Lebih
9 AAH P 3 8 Gastroenteritis Akut - 7,82 76 13,54 -2,49 -2,04 Kurang Kurang KDS 40 120 10.2 29.2 12870 246000 103
Tonsilofaringitis Berisiko Berisiko
10 RA L 4 8 - 6,90 60 19,17 KDS 26 120 10.6 30,0 15400 414000 88
Akut 1,31 1,65 Lebih Lebih
11 KAA P 4 43 Rhinitis Akut - 14,98 89 18,91 2,25 2,05 Lebih Lebih KDS 28 136 11.1 32.2 9430 211000 170

12 U L 5 11 ISK - 8,45 77 14,25 -2,14 -1,95 Kurang Baik KDS 32 136 12.2 36.3 8800 225000 78

13 NAF P 5 23 Faringitis Akut - 10,20 89 12,88 -2,23 -2,10 Kurang Kurang KDK 24 110 10.3 33.7 22180 438000 190
Berisiko
14 FAH L 4 14 Faringitis Akut - 8,94 67 19,92 KDS 24 112 11.4 31.3 6710 212000 95
2,29 1,72 Lebih Lebih
15 BRAA L 5 29 ISK + 11,24 94 12,72 -2,90 -2,67 Kurang Kurang KDK 24 112 11.3 26,0 18490 309000 137

16 MF L 5 56 Faringitis Akut + 13,47 98 14,03 -0,98 -1,19 Baik Baik KDS 22 118 10.8 31.2 6190 242000 89
80

17 FNA L 6 25 Bronko Pneumonia + 10,67 89 13,47 -2,30 -2,18 Kurang Kurang KDK 28 120 10.6 31.4 5060 179000 97

18 FBV L 3 40 Faringitis Akut + 12,80 93 14,80 -0,56 -0,75 Baik Baik KDS 26 108 12.6 38.3 7900 435000 89
Tonsilofaringitis
19 A L 3 18 + 9,27 73 17,40 KDS 28 122 10.7 35.8 9500 185000 117
Akut 0,96 0,24 Baik Baik
Berisiko Berisiko
20 QR P 5 9 Faringitis Akut - 7,82 64 19,09 KDK 30 128 11.2 35.5 19400 517000 93
1,53 1,41 Lebih Lebih
21 NAK P 6 49 Demam Tifoid + 11,50 88 14,85 -0,29 -0,62 Baik Baik KDS 24 107 12.3 40.5 5300 377000 95

22 AF P 4 7 Rhinitis Akut + 6,44 63 16,23 -0,45 -0,29 Baik Baik KDK 24 128 10.7 31.2 10700 198000 104

23 RAK P 3 24 Faringitis Akut - 8,65 81 13,18 -2,14 -2,20 Kurang Kurang KDS 26 119 10.8 33,0 9400 350000 143

24 ASF L 3 10 Faringitis Akut + 8,83 70 18,02 0,75 0,57 Baik Baik KDK 22 146 10.3 30.9 10000 309000 218

25 MF L 2 30 Gastroenteritis Akut + 13,00 88 16,79 0,79 0,57 Baik Baik KDK 24 102 10.4 31,0 9500 334000 75
Berisiko Berisiko
26 MAAH L 3 43 Rhinofaringitis Akut + 17,00 100 17,00 KDS 24 100 12,0 36.23 4900 246000 88
1,20 1,21 Lebih Lebih
27 ARI L 4 11 Tonsilitis Akut + 7,76 74 14,17 -2,21 -2,25 Kurang Kurang KDK 28 135 11.6 33.5 11900 249000 110

28 KD P 4 48 Demam Tifoid - 19,00 99 19,39 2,43 2,53 Lebih Lebih KDK 35 110 12.7 37,0 10300 402000 81

29 RK L 4 30 Gastroenteritis Akut + 10,00 88 12,91 -2,68 -2,78 Kurang Kurang KDK 30 156 10.8 32,0 13000 235000 170

30 HA P 4 27 Bronko Pneumonia + 9,60 88 12,40 -2,91 -2,77 Kurang Kurang KDS 30 128 10.9 33.7 17500 316000 101

31 GK L 6 14 Morbili - 7,70 80 12,03 -4,13 -3,80 Buruk Buruk KDS 26 100 10.9 32,0 8800 493000 172

32 ZA L 7 30 Gastroenteritis Akut - 10,36 80 16,19 0,33 -0,25 Baik Baik KDK 30 122 13.9 36.8 7100 292000 99

33 NDA L 3 28 Rhinofaringitis Akut + 11,50 87 15,19 -0,55 -0,70 Baik Baik KDS 32 110 10.3 30.4 7800 276000 99
Tonsilofaringitis
34 CS P 4 21 + 9,01 80 14,08 KDK 32 132 12.1 37.8 11000 376000 157
Akut -1,14 -1,29 Baik Baik
35 AAP L 3 21 Bronko Pneumonia - 12,22 97 12,99 -2,72 -2,07 Kurang Kurang KDS 30 120 10.5 30,0 15100 261000 137

36 MZ L 3 14 Gastroenteritis Akut - 8,40 78 13,81 -2,31 -2,27 Kurang Kurang KDS 24 100 10.6 34.4 10400 309000 89
Tonsilofaringitis
37 LSZ L 4 23 - 10,40 88 13,43 KDS 30 140 10.2 33,0 15800 273000 101
Akut -2,16 -2,07 Kurang Kurang
38 SO P 5 20 Faringitis Akut - 9,54 79 15,29 -0,21 -0,41 Baik Baik KDS 26 109 11.8 39,0 21770 433000 131

39 NA L 5 50 Bronko Pneumonia - 11,50 98 11,97 -3,09 -3,24 Buruk Buruk KDK 30 120 10.8 31.6 14700 274000 112
81

Tonsilofaringitis
40 AA L 4 41 2 13,92 100 13,92 KDS 28 118 12.3 34.6 17400 305000 104
Akut -1,32 -1,22 Baik Baik
41 HG L 2 17 Faringitis Akut - 10,10 87 13,34 -2,61 -2,18 Kurang Kurang KDS 30 115 10.4 28.4 11100 407000 168

42 MAW L 3 22 Rhinofaringitis Akut - 11,60 85 16,06 0,20 0,10 Baik Baik KDS 28 108 10.1 31.6 5800 315000 116

43 AZA P 5 22 Bronko Pneumonia 2 9,37 85 12,97 -2,16 -2,10 Kurang Kurang KDK 45 178 12,0 34,0 13600 309000 168

44 NPP L 1 8 Bronko Pneumonia - 9,20 73 17,26 0,04 0,15 Baik Baik KDS 40 184 11.2 35,0 16500 515000 182

45 RAA L 4 24 Bronko Pneumonia 2 10,01 86 13,53 -2,28 -2,21 Kurang Kurang KDK 42 140 10.8 31,0 12700 279000 180

46 CSY P 4 9 Gastroenteritis Akut - 9,43 78 15,50 -0,87 -0,32 Baik Baik KDK 28 112 10.4 30.7 11400 393000 167

47 SQN P 3 8 Gastroenteritis Akut - 7,54 67 16,80 -0,02 0,02 Baik Baik KDS 42 147 10.3 32.4 5800 253000 90

48 RAAS L 3 17 Rhinofaringitis Akut - 8,22 77 13,86 -2,07 -2,31 Kurang Kurang KDK 25 108 9.7 29.9 9800 906000 75
Tonsilofaringitis
49 MAL L 3 43 - 13,40 104 12,39 KDS 24 130 12.2 33.9 6416 215000 76
Akut -2,79 -2,59 Kurang Kurang
Tonsilofaringitis
50 AAA L 3 13 2 8,80 74 16,07 KDK 30 126 11.3 31.6 11600 204000 144
Akut -0,45 -0,67 Baik Baik
Tonsilofaringitis
51 AAR L 3 26 2 10,20 87 13,48 KDS 26 123 10.7 34.2 17810 281000 101
Akut -2,22 -2,25 Kurang Kurang
52 SOR P 3 22 Rhinofaringitis Akut 2 9,50 83 13,79 -1,37 -1,41 Baik Baik KDS 24 100 14.2 40.8 7420 315000 100

53 GR P 3 20 Gastroenteritis Akut 2 7,80 77 13,16 -2,04 -2,30 Kurang Kurang KDS 24 117 12.7 37,0 6700 232000 71
Tonsilofaringitis
54 NS P 3 33 - 12,62 90 15,58 KDS 28 150 12.6 37,0 15700 403000 142
Akut 0,11 -0,02 Baik Baik
Tonsilofaringitis
55 MAM L 3 9 - 8,11 72 15,64 KDS 32 121 10.8 34.4 11840 241000 81
Akut -1,10 -1,10 Baik Baik
56 SSM L 5 34 Faringitis Akut - 10,10 87 13,34 -2,07 -2,38 Kurang Kurang KDS 28 138 11.9 34.2 12920 284000 104
Tonsilofaringitis
57 AS P 3 19 + 10,06 83 14,60 KDS 30 120 10.9 30.5 13200 331000 119
Akut -0,81 -0,74 Baik Baik
Tonsilofaringitis
58 AF L 3 24 - 9,70 87 12,82 KDS 23 103 10.5 34.8 24160 392000 102
Akut -3,05 -2,91 Buruk Kurang
59 KAF P 5 35 Faringitis Akut + 13,54 98 14,10 -1,07 0,90 Baik Baik KDK 24 130 11.4 30.5 6800 368000 103
Tonsilofaringitis
60 NF P 5 55 + 11,83 85 16,37 KDS 22 129 12.6 35.5 17900 291000 62
Akut 0,72 0,42 Baik Baik
61 FDA P 2 18 Faringitis Akut - 8,80 84 12,47 -2,80 -2,59 Kurang Kurang KDS 24 112 10.5 32.9 5900 302000 157

62 OLL P 4 13 Gastroenteritis Akut - 6,77 72 13,06 -2,52 -2,73 Kurang Kurang KDK 40 134 10.3 30.5 7510 386000 146
82

Tonsilofaringitis
63 KJ L 5 42 + 11,27 85 15,60 KDS 24 126 11.8 33.3 6500 329000 93
Akut 0,13 -0,43 Baik Baik
64 FR L 3 15 Faringitis Akut + 9,15 79 14,66 -1,41 -1,41 Baik Baik KDS 28 150 10.4 24.1 18600 240000 113
Tonsilofaringitis
65 EA L 3 16 - 8,66 76 14,99 KDS 24 110 12.9 33.9 4100 207000 75
Akut -1,06 -1,40 Baik Baik
66 ARD L 4 17 Gastroenteritis Akut - 8,90 75 15,82 -0,26 -0,80 Baik Baik KDS 30 110 11.6 36.1 10800 293000 106
Tonsilofaringitis
67 KH P 5 9 - 7,12 72 13,73 KDS 30 128 10.4 31,0 15400 267000 142
Akut -2,24 -2,12 Kurang Kurang
Tonsilofaringitis Berisiko Berisiko
68 MAAL L 5 21 - 12,07 82 17,95 KDS 24 140 13.4 36,0 11900 168000 185
Akut 1,51 1,28 Lebih Lebih
69 JZ P 2 41 Rhinofaringitis Akut - 13,00 91 15,70 0,27 0,09 Baik Baik KDS 30 138 10.9 31.3 9870 293000 107

70 ZA L 5 37 Bronko Pneumonia + 12,46 90 15,38 -0,15 -0,42 Baik Baik KDK 22 126 10.8 32 9000 222000 98
Tonsilofaringitis
71 ASS P 5 52 - 15,36 110 12,69 KDS 26 117 12.4 43 15040 205000 181
Akut -2,05 -2,11 Kurang Kurang
72 NFA P 4 22 Rhinitis Akut + 10,00 79 16,02 0,42 0,12 Baik Baik KDK 22 120 12.6 35.2 7200 262000 84

73 FSAK L 4 9 Rhinitis Akut - 8,02 75 14,26 -2,31 -2,11 Kurang Kurang KDS 32 110 12.6 41.4 26700 334000 128
Tonsilofaringitis
74 SS P 3 53 - 13,45 99 13,72 KDK 29 150 10.8 34.3 6400 276000 79
Akut -1,15 -1,19 Baik Baik
Tonsilofaringitis
75 MM L 5 40 - 10,15 85 14,05 KDS 26 126 11.8 37.2 16000 275000 198
Akut -1,23 -1,75 Baik Baik
Tonsilofaringitis
76 ZA L 3 10 - 8,00 68 17,30 KDS 30 112 9.3 29.3 11800 297000 121
Akut 0,20 0,05 Baik Baik
77 KAA P 4 16 Bronko Pneumonia - 9,06 76 15,69 -0,14 -0,33 Baik Baik KDK 30 143 12.2 37.4 16800 367000 85

78 RN L 3 8 Rhinofaringitis Akut + 9,89 80 15,45 -1,35 -0,67 Baik Baik KDS 22 164 9.2 29.4 16800 488000 195
Tonsilofaringitis
79 RMA L 2 52 + 13,80 101 13,53 KDS 22 120 11.3 33.1 5800 212000 111
Akut -1,48 -1,55 Baik Baik
Tonsilofaringitis
80 IAG L 3 22 - 11,08 85 15,34 KDS 26 130 10.4 30.2 14500 350000 93
Akut -0,42 -0,46 Baik Baik
Tonsilofaringitis
81 JM L 3 39 - 13,38 102 12,86 KDS 28 108 11.7 36.6 13000 302000 143
Akut -2,40 -2,16 Kurang Kurang
Tonsilofaringitis
82 AS L 1 12 - 9,75 78 16,03 KDS 26 128 9.7 30.2 8100 241000 80
Akut -0,59 -0,41 Baik Baik
Berisiko Berisiko
83 RZ L 3 22 Gastroenteritis akut - 11,20 78 18,41 KDS 30 128 9.6 30.3 8200 338000 157
1,86 1,24 Lebih Lebih
84 GAG L 5 24 Bronko Pneumonia - 11,00 90 13,58 -2,23 -2,03 Kurang Kurang KDS 28 150 12.9 33.4 8900 182000 183
Tonsilofaringitis
85 MR L 3 14 + 10,00 82 14,87 KDS 32 114 12.5 38.7 5900 280000 94
Akut -1,31 -0,98 Baik Baik
83

86 MK L 2 14 Rhinitis Akut - 9,05 78 14,88 -1,30 -1,32 Baik Baik KDS 29 189 10.8 41.3 11700 711000 188

87 MAR L 4 8 Faringitis Akut - 7,80 71 15,47 -1,34 -1,28 Baik Baik KDS 36 168 9.9 31 8700 191000 92

88 MA P 4 17 Rhinofaringitis Akut - 8,56 76 14,82 -0,72 -0,98 Baik Baik KDK 26 124 12.1 37.5 12400 406000 106

89 MR L 4 25 Bronko Pneumonia - 9,30 90 11,48 -4,42 -4,16 Buruk Buruk KDK 28 124 11.3 37 16700 352000 152

90 OSA L 4 7 Faringitis Akut - 8,83 71 17,52 0,17 0,25 Baik Baik KDS 30 130 9.7 29.4 6100 240000 106

91 HS L 5 15 Bronko Pneumonia - 8,57 78 14,09 -2,02 -2,01 Kurang Kurang KDS 30 141 8.5 27.8 9100 116000 86
Steven Johnson
92 HAD L 3 18 - 10,16 87 13,42 KDK 29 110 11.6 35.5 11800 320000 177
Syndrome -2,45 -2,10 Kurang Kurang
93 NA L 3 29 Gastroenteritis Akut - 11,77 94 13,32 -2,29 -2,06 Kurang Kurang KDS 30 124 11.6 35 3700 316000 118

94 AS P 5 9 Rhinofaringitis Akut - 8,45 72 16,30 -0,29 -0,15 Baik Baik KDS 36 182 12.5 38.8 26300 595000 100
Tonsilofaringitis
95 YV L 2 38 - 13,21 92 15,61 KDS 26 144 12.1 35.6 4310 237100 114
Akut 0,05 -0,14 Baik Baik
84

Lampiran 10

Hasil Uji Statistik

Frequency Table
Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki – laki 65 68.4 68.4 68.4

Perempuan 30 31.6 31.6 100.0

Total 95 100.0 100.0

Kelompok Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Bayi 18 18.9 18.9 18.9

Batita 55 57.9 57.9 76.8

Anak Pra Sekolah 22 23.2 23.2 100.0

Total 95 100.0 100.0

Klasifikasi Kejang Demam

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid KDS 66 69.5 69.5 69.5

KDK 29 30.5 30.5 100.0

Total 95 100.0 100.0

Riwayat Keluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Ada 60 63.2 63.2 63.2

Ada 35 36.8 36.8 100.0

Total 95 100.0 100.0


85

Penyakit yang Menyertai Kejang Demam

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Faringitis Akut 17 17.9 17.9 17.9

Demam Tifoid 3 3.2 3.2 21.1

Tonsilofaringitis Akut 30 31.6 31.6 52.6

Gastroenteritis Akut 14 14.7 14.7 67.4

Rhinitis Akut 5 5.3 5.3 72.6

Infeksi Saluran Kemih 2 2.1 2.1 74.7

Bronkopneumonia 12 12.6 12.6 87.4

Rhinofaringitis 9 9.5 9.5 96.8

Tonsilitis Akut 1 1.1 1.1 97.9

Morbili 1 1.1 1.1 98.9


Steven Johnson Syndrome 1 1.1 1.1 100.0

Total 95 100.0 100.0

Diagnosis Penyerta

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Infeksi Saluran Napas Atas 62 65.3 65.3 65.3

Infeksi Saluran Napas


12 12.6 12.6 77.9
Bawah

Infeksi Saluran Kemih 2 2.1 2.1 80.0

Demam Tifoid 3 3.2 3.2 83.2

Gastroenteritis Akut 14 14.7 14.7 97.9

Morbili 1 1.1 1.1 98.9

Steven Johnson Syndrome 1 1.1 1.1 100.0

Total 95 100.0 100.0

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean

Lama Rawat Inap 95 1 8 3.77


Valid N (listwise) 95
86

Interpretasi Laju Napas

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Takipnea 75 78.9 78.9 78.9

Takipnea 20 21.1 21.1 100.0

Total 95 100.0 100.0

Interpretasi Denyut Nadi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Takikardi 81 85.3 85.3 85.3

Takikardi 14 14.7 14.7 100.0

Total 95 100.0 100.0

Interpretasi Kadar Hb

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Anemia 49 51.6 51.6 51.6

Tidak Anemia 46 48.4 48.4 100.0

Total 95 100.0 100.0

Interpretasi Kadar Ht

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kurang 62 65.3 65.3 65.3

Normal 33 34.7 34.7 100.0

Total 95 100.0 100.0

Interpretasi Kadar Leukosit


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Leukopenia 1 1.1 1.1 1.1

Normal 51 53.7 53.7 54.7

Leukositosis 43 45.3 45.3 100.0

Total 95 100.0 100.0


87

Interpretasi Kadar Trombosit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Trombositopenia 1 1.1 1.1 1.1

Normal 90 94.7 94.7 95.8

Trombositosis 4 4.2 4.2 100.0

Total 95 100.0 100.0

Interpretasi Kadar GDR

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kurang 33 34.7 34.7 34.7

Normal 62 65.3 65.3 100.0

Total 95 100.0 100.0

Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum

Usia Kejang Demam Pertama 95 7 56


Lama Rawat Inap 95 1 8
RR 95 22 45
Denyut Nadi per Menit 95 100 189
Kadar Hb (gr/dL) 95 8.5 120.0
Kadar Ht (%) 95 24.1 43.0
Kadar Leukosit (mcL) 95 3700 26700
Kadar Trombosit (mcL) 95 116000 711000
Kadar GDR (mg/dL) 95 62 218
Valid N (listwise) 95
88

Gambaran Status Gizi Anak saat Kejang Demam Pertama

Status Gizi IMT/U

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Gizi Buruk 4 4.2 4.2 4.2

Gizi Kurang 32 33.7 33.7 37.9

Gizi Baik 48 50.5 50.5 88.4

Berisiko Gizi Lebih 7 7.4 7.4 95.8

Gizi Lebih 4 4.2 4.2 100.0

Total 95 100.0 100.0

Status Gizi BB/PB atau BB/TB

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Gizi Buruk 3 3.2 3.2 3.2

Gizi Kurang 32 33.7 33.7 36.8

Gizi Baik 49 51.6 51.6 88.4

Berisiko Gizi Lebih 9 9.5 9.5 97.9

Gizi Lebih 2 2.1 2.1 100.0

Total 95 100.0 100.0


89

Gambaran Usia Kejang Demam Pertama

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Usia Kejang Demam


95 7 56 24.42 13.258
Pertama
Valid N (listwise) 95

Statistics
Usia Kejang Demam Pertama

N Valid 95

Missing 0
Mean 24.42
Median 22.00
Mode 8a
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Kelompok Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Bayi 18 18.9 18.9 18.9

Batita 55 57.9 57.9 76.8

Anak Pra Sekolah 22 23.2 23.2 100.0

Total 95 100.0 100.0


90

Analisis Bivariat

Kadar Hb terhadap usia kejang demam pertama

Interpretasi Kadar Hb * Kelompok Usia Crosstabulation


Count

Kelompok Usia

Anak Pra
Bayi Batita Sekolah Total

Interpretasi Kadar Hb Anemia 12 31 6 49

Tidak Anemia 6 24 16 46
Total 18 55 22 95

Correlations

Interpretasi Kelompok
Kadar Hb Usia

Spearman's rho Interpretasi Kadar Hb Correlation Coefficient 1.000 .264**

Sig. (2-tailed) . .010

N 95 95

Kelompok Usia Correlation Coefficient .264** 1.000

Sig. (2-tailed) .010 .

N 95 95

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


91

Status gizi IMT/U terhadap usia kejang demam pertama

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status Gizi IMT/U *


95 100.0% 0 0.0% 95 100.0%
Kelompok Usia

Status Gizi IMT/U * Kelompok Usia Crosstabulation


Count

Kelompok Usia
Anak Pra
Bayi Batita Sekolah Total
Status Gizi IMT/U Gizi Buruk 0 3 1 4

Gizi Kurang 5 24 3 32

Gizi Baik 11 24 13 48

Berisiko Gizi Lebih 2 3 2 7

Gizi Lebih 0 1 3 4
Total 18 55 22 95

Uji korelasi Spearman Status Gizi IMT/U terhadap Usia Kejang Demam Pertama
pada Anak
Correlations

Status Gizi
IMT/U Kelompok Usia

Spearman's rho Status Gizi IMT/U Correlation Coefficient 1.000 .117

Sig. (2-tailed) . .260

N 95 95

Kelompok Usia Correlation Coefficient .117 1.000

Sig. (2-tailed) .260 .

N 95 95

Kesimpulan : tidak terdapat hubungan status gizi IMT/U terhadap usia kejang
demam pertama
92

Status Gizi BB/PB atau BB/TB terhadap Usia Kejang Demam Pertama pada Anak

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status Gizi BB/PB atau


95 100.0% 0 0.0% 95 100.0%
BB/TB * Kelompok Usia

Status Gizi BB/PB atau BB/TB * Kelompok Usia Crosstabulation


Count

Kelompok Usia

Anak Pra
Bayi Batita Sekolah Total

Status Gizi BB/PB atau Gizi Buruk 0 2 1 3


BB/TB Gizi Kurang 4 25 3 32

Gizi Baik 12 24 13 49

Berisiko Gizi Lebih 2 4 3 9

Gizi Lebih 0 0 2 2
Total 18 55 22 95

Uji korelasi Spearman Status Gizi BB/PB atau BB/TB terhadap Usia Kejang
Demam Pertama pada Anak

Correlations

Status Gizi
BB/PB atau Kelompok
BB/TB Usia
Spearman's rho Status Gizi BB/PB atau Correlation
1.000 .090
BB/TB Coefficient

Sig. (2-tailed) . .386

N 95 95

Kelompok Usia Correlation


.090 1.000
Coefficient

Sig. (2-tailed) .386 .

N 95 95

Kesimpulan : tidak terdapat hubungan status gizi BB/PB atau BB/TB terhadap
usia kejang demam pertama
93

Lampiran 11
Dokumentasi Penelitian
94

Lampiran 12

Biodata Peneliti

Nama : Ririn Intania


Tempat/Tanggal Lahir : Batusangkar, 08 Oktober 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Tgk. Deyah No. A 35 Limpok, Darussalam
No. HP : 081364603606
Email : ririnintania10@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
TK : TK Pertiwi Batusangkar
SD : SD Negeri 11 Kampung Baru, Batusangkar
SMP : SMP Negeri 5 Batusangkar
SMA : SMA Negeri 1 Sumatera Barat

Tahun Masuk Universitas : 2017


Nomor Induk Mahasiswa : 1707101010073
Orang Tua :
Ayah : (Alm) Zahrial
Pekerjaan :-
Ibu : Asniwati
Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat Orang Tua : Jl. Hamka No. 112 A Parak Juar, Batusangkar

Anda mungkin juga menyukai