Anda di halaman 1dari 99

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY
FOR EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR

TESIS

IZATI RAHMI
0806485032

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY FOR
EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SPESIALIS-1 NEUROLOGI

IZATI RAHMI
0806485032

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


ii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


iii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


iv

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam
selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,
Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh
jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada
saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.
2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,
dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk
mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.
3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah
memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama
saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya
ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan
Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar
lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana
dan prasarana selama proses pendidikan saya.
4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),
M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima
kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam
pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


Anindhita,SpS(K) terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan
dalam pengerjaan tesis ini.
5. DR. dr. Yetty Ramli,SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu mengingatkan dan memberikan dorongan untuk dapat menjalankan
dan melaksanakan semua tugas-tugas selama pendidikan di neurologi, dan
seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan
dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit
saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua
itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat
dan memajukan bidang Neurologi.
6. Para pembimbing, dr. Diatri Nari Lastri,SpS(K), terima kasih sedalam-
dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian ini dan kesediaan
untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan
saya pada penyusunan tesis ini. dr. Astri Budikayanti,SpS terima kasih
banyak dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu, perhatian,
kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya hingga dapat
melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Dr.dr. Herqutanto,
MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan rasa hormat
atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu saya selama
proses penelitian.
7. dr. Zakiah Syeban,SpS(K); DR.dr. Yetty Ramli,SpS(K) dan dr. Adre
Mayza,SpS(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan
pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. dr. Pukovisa
Prawiroharjo,SpS selaku moderator yang juga banyak memberikan
banyak masukan.
8. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga saya haturkan
kepada guru-guru saya: Dr. dr. Siti Airiza Achmad, SpS(K); dr. Silvia
F. Lumempouw, SpS(K); dr. Salim Haris, SpS(K), FICA; dr. Adre
Maya, SpS(K); dr. Manfaluthy Hakim, SpS(K); dr. Mursyid Bustami,
SpS-KIC; dr. Fitri Octaviania, SpS(K), Mpd. Ked; dr. Eka
Musridharta, SpS-KIC; dr. Amanda Tiksnadi, SpS; dr. Taufik
Mesiano, SpS; dr. Ahmad Yanuar, SpS; dr. Nurul Komari, SpS; dr.

vi

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


Rakhmat Hidayat; SpS, dan dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS. Terima
kasih atas segala bimbingan selama menjalani pendidikan.
9. Kepada dr. Fitri Octaviana,SpS(K), MPd.Ked terima kasih banyak atas
saran dan masukannya, dan kepada perawat di poliklinik epilepsi dan
ruang EEG Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Zr. Eni, Zr. Renita, Zr.
Rika dan Bapak Wahyu terima kasih banyak atas bantuan dan
kerjasamanya. Kepada pegawai neurologi yang sangat banyak membantu
saya dalam menjalani pendidikan selama di neurologi, bu Ning, mbak
Diana, mbak Rini, mbak Wiwied, mbak Wiwi, mbak Ade, mbak Dini, mas
Anto, pak Edi dan Bu Kamtinah terima kasih yang sebesar-besarnya.
10. Para pasien rawat jalan poliklinik neurologi-epilepsi Rumah Sakit
CiptoMangunkusumo, terima kasih tidak terhingga atas kesediaannya
meluangkan waktu berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran
hidup yang amat berharga yang saya dapatkan.
11. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Sri Utami,SpS, dr. Dian Cahyani, SpS,
dr. Winnugroho Wiratman, SpS, dr. Linda Suryakusuma, SpS, dr.
Aldi Novriansyah, dr. Uly Indrasari, dr. Asri Saraswati, dr. Karolina
Margaretha, dukungan dan kerjasamanya selama ini, dan tak lupa terima
kasih sebesar-besarnya kepada dr. Sekar Sunan atas ide penelitian yang
sangat menarik ini. Terima kasih juga buat teman lama dr. Rahmat Syah,
SpS dan juga buat sahabatku dr. Liesya Hartiansyah. Tim OSCE
Yogyakarta, dr. Uly Indrasari, terima kasih banyak untuk bimbingan,
kerjasama dan jembatan-jembatan keledainya itu, dr. Aldy Novriansyah,
dr. Asri Saraswati, dr. Yusi Amalia, dr. Marlon Tua, dr. Shinta
Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima kasih banyak
atas bantuan, kerjasama dan waktu-waktu kebersamaan yang luar biasa,
menegangkan dan juga menyenangkan selama menghadapi persiapan dan
ujian OSCE serta ujian mental di Yogyakarta. Rekan-rekan dan senior
yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis ini dr. Cut Antara
Keumala, dr. Donna Octaviani, dr. Mery Krismato, dan dr. Allan
terima kasih untuk sama-sama saling membantu dan mengingatkan, dan
seluruh rekan–rekan junior dan senior kerukunan PPDS Neurologi, terima

vii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


kasih untuk persahabatan, kebersamaan serta bantuannya. Semoga
persahabatan dan persaudaraan senantiasa terjalin dalam hubungan
kesejawatan sepanjang hidup kita.
12. Kedua orang tua saya, dr.H. Zulfarman, Mkes dan dr. Hj. Anna Murty
Z, tiada kalimat yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih
dan dukungan yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa,
pengorbanan, bimbingan, dorongan dan teladan yang diberikan sejak kecil
membuat saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada mertua saya drs.H.
Mahferi Junas dan Hj. Sylvia Nirwani, terima kasih dan salam hormat
atas segala dukungan yang diberikan selama ini.
13. Suami tercinta Ferdi Mirza Octavian, ST,MM putri tersayang dan
belahan jiwa Farah Aqila Putri; terima kasih atas segala pengorbanan,
cinta kasih, kesabaran, pengertian dan dukungan selama menempuh masa
pendidikan ini. Puji syukur selalu saya panjatkan kepada Allah atas
keluarga yang sangat menyayangi dan mendukung saya setiap waktu. Adik
saya tersayang dr. Diana Rahmi, MKes, dan kakak saya Hecky Firman,
ST, MM terima kasih banyak atas dukungannya yang tiada henti, nasehat
dan kesabarannya dan semangat. Juga kepada adik ipar saya dr. Eldy M
Noor, drg. Yuri Deswita, Vira Nisfisari, SPd,MH dan Muhammad
Firnanda,SE yang juga selalu memberikan dorongan dan semangat untuk
menyelesaikan tesis ini.
14. Sahabat setia saya dr. Yetty Rahmawati yang selalu sabar menyediakan
waktu dan tak bosan memberikan nasehat dan dorongan selama saya
menjalani pendidikan di neurologi.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan
pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima
kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan
pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.

Jakarta, 23 Desember 2013


Penulis

viii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


ix

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Izati Rahmi


Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi
Judul : Uji diagnostik The Neurological Disorders Depression
Inventory for-Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia pada
pasien epilepsi dewasa dengan gangguan depresi mayor

Latar belakang. Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri yang sering
terjadi pada pasien epilepsi. Prevalensinya adalah 20-80%. Depresi bukan
merupakan suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan di poliklinik neurologi karena
membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga banyak pasien yang tidak
terdiagnosis dan akhirnya tidak terobati, untuk itu diperlukan pemeriksaan yang
singkat. The Neurological Disorders Depression Inventory for-Epilepsi (NDDI-E)
merupakan pemeriksaan skrining depresi yang terdiri dari 6-aitem.

Tujuan. Menentukan akurasi dan titik potong NDDI-E versi Indonesia sebagai
skrining depresi pada pasien epilepsi dewasa.

Metode. Penelitian uji diagnostik yang dilakukan di poliklinik epilepsi RSCM.


Pemeriksaan dilakukan pada semua pasien epilepsi yang memenuhi kriteria
inklusi. Pasien mengisi sendiri formulir NDDI-E tanpa bantuan orang lain.
Kemudian dilakukan pemeriksaan the International Neuropsychiatric Interview
Mini ICD-10 (MINI-ICD10) sebagai standar baku.

Hasil. Dari 105 orang subyek penelitian terdapat 23 orang mengalami gangguan
depresi mayor berdasarkan MINI-ICD 10. Didapatkan kurva Receiver Operating
Characteristic (ROC) yang mendekati 100%, titik potong 11, dengan Sensitifitas
91,3% Spesifisitas 89% PPV 70% dan NPV 97,3%. Secara statistik NDDI-E versi
Indonesia masuk dalam klasifikasi yang kuat, karena nilai Area Under the Curve
(AUC) 97,5% dengan interval kepercayaan (95%CI 95%-99%).

Kesimpulan. NDDI-E versi Indonesia memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk
menentukan gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa pada titik
potong 11.

Kata Kunci. Epilepsi, gangguan depresi mayor, NDDI-E versi Indonesia.

Universitas Indonesia
x

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Izati Rahmi


Program Studi : Neurology Specialization Educational Programme
Judul : Diagnostic test study of Indonesian version of The
Neurological Disorders Depression Inventory for epilepsy
in adult epilepsy patients with major depression disorders

Background. Depression is a common psychiatric disorder in epilepsy. The


prevalence is 20-80%. The depression is not a routinely assessed in neurology
clinics, because the assestment takes a long time. So, many patients are under
diagnosed and untreated. The Neurological Disorders Depression Inventory for-
Epilepsy (NDDI-E) is a depression screening examination consist of only 6-aitem.

Purpose. To determine the accuracy and cut-off point of NDDI-E Indonesian


version as a screening depression examination for adult epilepsy patients.

Method. Diagnostic test study was conducted at epilepsy clinic on RSCM. All the
epilepsy patient who met the inclusion criteria was examined. The patient took the
NDDI-E Indonesian version as a self assesment. Then there were assest with used
the International Neuropsychiatric Interview Mini ICD-10 (MINI-ICD10) as a
gold standar.

Results. From the 105 subjects, there were 23 people suffered from major
depression by MINI-ICD10. Receiver Operating Characteristic (ROC) curve
obtained which is close to 100%, cut-off point at 11, with Sensitivity 91.3%
Specificity 89% PPV 70% and NPV of 97.3%. It was statistically classified as
strong because the value of Area Under the Curve (AUC) is 97.5% with a
confidence interval (95% CI 95% -99%).

Conclusion. NDDI-E Indonesian version has a high accuracy to determine major


depressive disorder in adult epilepsy patients with the cut-off point at 11.

Keywords. Epilepsy, major depressive disorder, NDDI-E Indonesian version.

Universitas Indonesia
xi

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... ix
ABSTRAK........................................................................................................ x
ABSTRACT..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI…………….……………………………………………........... xii
DAFTAR TABEL………..………………………………………….............. xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………................ 1
1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3 Hipotesa Penelitian................................................................ 3
1.4 Tujuan penelitian .................................................................. 4
1.5 Manfaat penelitian ................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
2.1 Epilepsi.................................................................................. 5
2.1.1 Definisi Epilepsi........................................................ 5
2.1.2 Klasifikasi Epilepsi ................................................... 5
2.1.3 Patofisiologi Epilepsi................................................. 7
2.1.4 Gejala psikiatri pada epilepsi .................................... 8
2.1.4.1. Fenomena Psikiatri pre-iktal ........................ 9
2.1.4.2. Fenomena Psikiatri iktal .............................. 9
2.1.4.3. Fenomena Psikiatri post-iktal ...................... 9
2.1.4.4. Fenomena Psikiatri inter-iktal ..................... 10
2.2 Depresi .................................................................................. 10
2.2.1 Definisi Depresi ........................................................ 10
2.2.2 Klasifikasi Depresi .................................................... 11
2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR ............... 11
2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10 ....................... 14
2.2.2.3. Perbandingan depresi berdasarkan DSM –
IV dan ICD-10 ............................................ 16
2.3 Depresi pada epilepsi............................................................. 18
2.3.1 Epidemiologi Depresi pada Epilepsi ........................ 18
2.3.2 Patofisiologi Depresi pada Epilepsi .......................... 21
2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada pasien ……........ 21
2.3.2.2. Faktor Psikososial pada epilepsi dengan
depresi…....................................................... 31
2.3.2.3. Faktor lain yang mempengaruhi depresi
pada Epilepsi ............................................... 32

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


2.4
Instrumen pemeriksaan gangguan depresi mayor pada
epilepsi .................................................................................. 34
2.4.1 The Mini International Neuropsychiatric Interview
xi
ICD 10 (MINI ICD 10) ............................................. 34
2.4.2 The Neurological Disorder Depression Inventory
for Epilepsy (NDDI-E).............................................. 35
2.4.2.1. Sejarah NDDI-E .......................................... 36
2.4.2.2. Validitas dan Reabilitas NDDI-E untuk
diagnosis Depresi Mayor pada epilepsi ....... 37
2.4.2.3. Penelitian mengenai depresi mayor pada
pasien epilepsi menggunakan NDDI-E ..... 37
2.5 Uji Diagnostik....................................................................... 41
2.5.1 Langkah-langkah Uji Diagnostik............................ 41
2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) 43
2.6 Kerangka teori ...................................................................... 45
2.5 Kerangka konsep…............................................................... 46
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………………………………… 47
3.1 Desain Penelitian…………………………………………... 47
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................... 47
3.3 Populasi Penelitian................................................................ 47
3.4 Kriteria Inklusi....................................................................... 47
3.5 Kriteria Eksklusi ................................................................... 47
3.6 Estimasi besar sampel ........................................................... 48
3.7 Sampel dan pemilihan sampel .............................................. 48
3.8 Ijin subyek penelitian ........................................................... 48
3.9 Cara Kerja.............................................................................. 48
3.10 Jenis variabel ........................................................................ 49
3.11 Batasan operasional............................................................... 49
3.12 Pengolahan dan Analisa Data................................................ 51
3.13 Kerangka operasional ........................................................... 53
BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 54
4.1 Karakteristik Demografis Subyek Penelitian….................... 54
4.2 Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)................................................................... 55
4.3 Penentuan titik potong ......................................…………… 56
BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………….............. 59
5.1 Karakteristik Demografis Subyek Penelitian….................... 59
5.2 Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)................................................................... 62
5.3 Penentuan titik potong ......................................…………… 62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN…………………......……………. 65
6.1 Kesimpulan…………..………………………….………..... 65
6.2 Saran…………………………………………..…………… 65
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 66
LAMPIRAN..................................................................................................... 72

Universitas Indonesia

xiii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe banfkitan epilepsi ................. 5
Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi ...... 6
Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresi mayor berdasarkan DSM-IV ....... 11
Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-
IV ................................................................................................ 12
Tabel 2.5. Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor episode tunggal
berdasarkan DSM-IV................................................................... 13
Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ-III ................................... 15
Tabel 2.7. Gangguan depresi mayor berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV .... 17
Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilepsi ............... 33
Tabel 2.9. The Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy
(NDDI-E) .................................................................................... 38
Tabel 2.10. NDDI-E versi Indonesia ........................................................... 41
Tabel 2.11. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ......................................................... 43
Tabel 4.1. Sebaran karakteristik subyek berdasarkan gangguan depresi 56
mayor ..........................................................................................
Tabel 4.2. Tabel AUC ................................................................................. 55
Tabel 4.3. Tabel koordinat kurva ................................................................ 56
Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik gangguan depresi mayor dengan NDDI-E
versi Indonesia berdasarkan MINI-ICD 10.................................. 57
Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia
untuk diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10
versi Indonesia ............................................................................ 58

Universitas Indonesia
xiv

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Korteks limbik ....................................................................... 22


Gambar 2.2.Sirkuit Papez ........................................................................... 22
Gambar 2.3. Mekanisme terjadinya depresi ............................................... 30
Gambar 4.1. Kurva ROC ............................................................................ 55
Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitifitas dan spesifisitas ...................... 57

xv Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. The Neurological Depression Disorders Inventory for


Epilepsy (NDDI-E) versi Indonesia ...................................... 72
Lampiran 2. Lembar informasi subyek penelitian ..................................... 73
Lampiran 3. Formulir persetujuan ............................................................. 74
Lampiran 4. Daftar pertanyaan pasien ....................................................... 75
Lampiran 5. Formulir Pengisian pasien ..................................................... 76
Lampiran 6. Lembar Kuesioner MINI-ICD 10 .......................................... 77
Lampiran 7. Anggaran Penelitian .............................................................. 78
Lampiran 8. Jadwal Penelitian ................................................................... 79
Lampiran 9. Keterangan lolos kaji etik ...................................................... 80

Universitas Indonesia

xvi
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN

NDDI-E : The Neurological Disorders Depression Inventory for


Epilepsi
WHO : World Health Organization
PPV : positive predictive value
NPV : negative predictive value
ILAE : International League Against Epilepsi
DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
Text Revision
ICD-10 : International Classification of Dissease
PPDGJ III : Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III
BSIS : Beck Suicide Intent Scale
QOLIE 31 : Quality of life 31
HPA axis : Hypotalamic pituitary adrenal axis
5-HT1A : 5-Hydroxytryptamine 1A
5-HT2A : 5-Hydroxytryptamine 1A
5-HIAA : hydroxyindolacetic acid).
EEG : Elektroencephalograph
LC : locus cerulues
MHPG : 3-methoxy- 4-hydroxy -phenylglycol
CRH : corticotrophin-releasing hormone
fMRI : functional Magnetic Ressonance Imaging
GABA : Gamma-aminobutyric-acid
NMDA : N-Methyl-D-Aspartate
AMPA : α-amino-3 hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid
L-AP4 : L-2 amino-4 phosphorobutyrate
ACPD : trans-1-aminocyclopentane-1, 3-dicarboxylic acid
CSF : Cerebro spinal fluid
BDNF : brain-derived neurotrophic factor
ACTH : adrenocorticotropic hormone
DST : dexamethasone suppression test
MTS : sklerosis temporal mesial
MRS : magnetic resonance spectroscopy
TLE : Temporal Lobe Epilepsi
PET : Positron Emission Tomography
SPECT :Single Photon Emission Computed Tomography
PVN : paraventricular nucleus
IL-1β : Interleukin 1β
TNFα : Tumor necrosing factor α
OAE : obat antiepilepsi
PB : Phenobarbital
PRM : pirimidone
TPM : topiramate
LEV : levetiracetam

Universitas Indonesia
xvii

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


ZNS : zonisamide
LTG : lamotrigine
MINI : Mini International Neuropsychiatric Interview
SCID : Structural Clinical Interview for DSM-IV
CIDI : Composite International Diagnostic Interview
BDI : Beck Depression Inventory
CES-D : Center for Epidemiological Studies Depression

xviii Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.1,2,3
Sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik
otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. 2,3 Manifetasi klinik
ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara, berupa gangguan perilaku yang
stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik,
autonom ataupun psikis.1,2,3 Penegakkan diagnosis menjadi sulit jika ditemukan
adanya perubahan perilaku antar kejang atau gejala komorbid psikiatri seperti:
depresi, ansietas, psikosis, gangguan obsesif-konpulsif, gangguan atensi,
gangguan kepribadian menjadi lebih agresif dan keinginan bunuh diri.4 Walaupun
perubahan prilaku antar kejang sering terjadi ringan dan bersifat reversibel,
beberapa pasien dengan epilepsi refrakter gejalanya bisa menetap sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup pasien.2,5,6
Terdapat beberapa gejala komorbid yang sering terjadi pada pasien
epilepsi. dibandingkan populasi umum, antara lain depresi (11-80%), gangguan
atensi dan hiperaktif (12-37%), ansietas (15-25%), gangguan panik (4,9-21%),
dan psikosis (2-9%).7
Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa
disebut depresi mayor, merupakan satu atau lebih episode depresi mayor yang
dialami sekurang-kurangnya 2 minggu, terdapat suasasana perasaan yang
terdepresi atau kehilangan minat atau kesenangan terhadap aktifitas yang biasa
dilakukan. Terdapat minimal empat gejala tambahan dari beberapa gejala berikut,
yaitu perubahan nafsu makan, pola tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan
energi, perasaan bersalah atau tidak berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi
atau untuk membuat keputusan; pemikiran berulang tentang kematian atau
ide/rencana/percobaan untuk bunuh diri.8
Beberapa penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah
dilakukan dengan hasil yang cukup bervariasi. Diantaranya Gilliam (2006),
melaporkan gangguan depresi terjadi lebih dari 30% pada komunitas epilepsi,

1 Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


2

menurut Hamed SA 20-80%, dan beberapa penelitian lainnya dengan rentang


persentase yang hampir sama. 9,10,11
Diagnosis depresi mayor pada klinik non-psikiatrik mendapat cukup
banyak perhatian beberapa tahun terakhir. WHO dan beberapa badan kesehatan
nasional dan internasional telah memiliki guideline untuk diagnosis dan
pengobatan depresi mayor. Berdasarkan beberapa bukti yang ada, menunjukkan
bahwa penilaian depresi mayor bukan pemeriksaan rutin pada klinik-klinik
neurologi, dan fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
mengalami depresi mayor akhirnya tidak diobati. Disini terdapat kesempatan
besar untuk meningkatkan kualitas perawatan untuk pasien epilepsi. 10
Depresi tidak hanya memberikan efek negatif pada kesehatan pasien,
tetapi juga berpotensi untuk menyebabkan hal-hal yang mengancam nyawa, yang
berhubungan dengan bunuh diri. Dari penelitian yang dilakukan Isometsa dkk
dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang
tidak mendapatkan pengobatan atau telah mendapatkan pengobatan namun tidak
adekuat untuk depresinya. Danish juga menyebutkan bahwa pasien epilepsi
memiliki risiko bunuh diri sampai 3kali lipat dibandingkan populasi umum. Dan
dari penelitain lain, Doris mengatakan bahwa tingkat gagasan bunuh diri pada
depresi mayor adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity
Survey, probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri
sekitar 34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan
gagasan bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah
26%.9,12,13,14,15
Deteksi depresi pada pasien epilepsi ini cukup sulit dilakukan pada poli
rawat jalan, mengingat waktu yang diperlukan untuk pemeriksaan depresi
memerlukan waktu yang cukup lama (15-20 menit), sehingga pemeriksaan
seringkali tidak dilakukan dan diagnosisnya menjadi terlewatkan, karena itu
diperlukan pemeriksaan yang lebih singkat dan sederhana. Salah satu instrumen
yang dapat digunakan untuk mendeteksi depresi pada epilepsi adalah The
Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Instrumen
ini terdiri dari 6-aitem kuesioner, dapat digunakan dengan cepat dan dapat
diandalkan untuk mendeteksi depresi mayor pada klinik rawat jalan. NDDI-E

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


3

sudah divalidasi dan diuji diagnostik di beberapa negara seperti Spanyol, Jerman,
Korea, Jepang, Brazil dan Italia. 12 Termasuk di Indonesia oleh Rahmi (2013).
Deteksi depresi mayor meningkat hampir 10 kali lipat dengan
menggunakan instrumen NDDI-E ini. Meskipun NDDI-E tidak dimaksudkan
untuk menggantikan evaluasi definitif, seperti wawancara psikiatri yang
terstruktur, pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang
mungkin berisiko dan sebagai alat untuk evaluasi depresi pada pasien epilepsi di
poli rawat jalan. Hal ini sangat membantu pada poli rawat jalan dimana
keterbatasan waktu seringkali membatasi identifikasi depresi. 12
Terdapat perbedaan nilai cut-off point untuk diagnosis gangguan depresi
mayor di berbagai negara, karena itu dirasa sangat penting untuk melakukan uji
diagnostik NDDI-E di Indonesia untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas,
positif prediktif value dan negatif prediktif value sesuai dengan nilai cut-off point
pada populasi pasien epilepsi di Indonesia, untuk menilai apakah pemeriksaan ini
memiliki tingkat akurasi yang hampir sama atau lebih baik dibandingkan
pemeriksaan standar yang biasa dilakukan yaitu MINI-ICD 10 sehingga mampu
diterapkan pada populasi pasien epilepsi di Indonesia.

1.2. Rumusan masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
a. Seberapakah keakuratan NDDI-E versi Indonesia untuk mendeteksi
gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa?
b. Berapakah cut-off point NDDI-E versi Indonesia untuk gangguan depresi
mayor?

I.3. Hipotesa penelitian


NDDI-E memiliki sensitivitas yang lebih baik dan spesifisitas yang sama
dibandingkan pemeriksaan MINI-ICD 10.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


4

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mendapatkan instrumen NDDI-E dalam bahasa Indonesia yang akurat
untuk mendeteksi gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mendapatkan nilai Sensitivitas, Spesifisitas, positive predictive value
(PPV) dan negative predictive value (NPV) NDDI-E dalam bahasa
Indonesia untuk mendeteksi depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa.
b. Mendapatkan cut-off point skor NDDI-E untuk gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi dewasa.

1.4. Manfaat penelitian


1.4.1 Bidang penelitian
Hasil penelitian dapat dipakai sebagai instrumen pemeriksaan deteksi
depresi mayor yang lebih sederhana, lebih mudah dan membutuhkan
waku yang cukup singkat terhadap pasien epilepsi dewasa.
1.4.2 Bidang pendidikan
Penelitian ini merupakan sarana dalam melatih berpikir dan melakukan
penelitian dengan mengikuti aturan yang sesuai dengan metodologi
penelitian.
1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan suatu
instrumen yang lebih sederhana untuk mendeteksi terjadinya gangguan
depresi mayor pada pasien epilepsi di poliklinik rawat jalan, yang dapat
dilakukan oleh ahli saraf maupun dokter umum.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. EPILEPSI
2.1.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan
1,2,3
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.2,3 Manifetasi klinis ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara
berupa gangguan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom ataupun psikis.1,2,3

2.1.2. Klasifikasi Epilepsi


Klasifikasi epilepsi yang ditetapkan oleh International League Against
Epilepsy (ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis
sawan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi : 3,16,17,18

1. Bangkitan parsial/fokal
1.1. Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somato-sensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2. Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum
2.1. Lena (absence)
2.1.1. Tipikal lena
2.1.2. Atipikal lena
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik/astatik
3. Bangkitan yang tidak tergolongkan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


6

Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :3,16,17,18

1. Fokal/partial (localized related)


1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentro-temporal (childhood
epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak (Kojenikow’s
syndrome)
1.2.2. Syndrome dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alkohol, obat-obatam, hiperventilasi, reflex epilepsy, stimulasi fungsi kortikal
tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga.
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik yang lain yang tidak termasuk salah satu diatas.
2.1.9. Epilepsi tonik-klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik.
2.2. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lennox-Gestaut
2.2.3. Epilepsi mioklonik astatik
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena.
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
2.3.1.1. Ensefalopati mioklonik dini.
2.3.1.2. Ensefalopati pada infantile dini dengan burst supresi
2.3.1.3. Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk diatas
2.3.2. Sindrom spesifik
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat ( Sindrom Landau-Kleffner)
3.1.5. Epilepsy yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas.
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, toksis, alkohol,
obat-obatan, eklamsia, hipeglikemi non-ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


7

2.1.1. Patofisiologi Epilepsi


Terdapat beberapa hal yang diketahui dapat memicu terjadinya epilpesi,
yaitu peningkatan eksitabilitas membrane neuron, gangguan mekanisme inhibisi
dan peningkatan sinkronisasi pada sekelompok neuron sehingga terjadi cetusan
yang mendadak dan berlebihan. Sinkronisasi adalah pengaturan respon neural
secara tepat sehingga dihasilkan keluaran yang efektif, dan eksitabilitas adalah
kemampuan neuron untuk melepaskan muatan setelah diberi rangsangan.1
Sementara itu dari sudut pandang biologi molekuler sawan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan
inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmitter dari
presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor
NMDA atau AMPA di post-sinaptik.18 Neurotransmitter merupakan substansi
yang dilepaskan oleh saraf presinaps ke dalam sinaps kemudian substansi ini
terikat kepada reseptor yang spesifik pada paska sinaps. Neurotransmitter utama
di otak adalah glutamat, gamma-amino-butyric acid (GABA), asetilkolin,
norepinefrin, dopamin, serotonin dan histamin. Neurotransmitter inhibitor utama
adalah GABA, sedangkan neurotransmiter eksitatorik utama adalah glutamat.
Sel neuron normalnya memiliki potensial membran yang merupakan hasil
dari beda potensial ion-ion di dalam dan luar sel, yang dapat berpindah melalui
kanal ion. Bagian luar membran didominasi oleh ion Na+ dan Cl-, sedangkan
intrasel didominasi oleh K+. Dua macam reseptor yang dapat mengaktifkan kanal
ion, yaitu alpha-amino-2,3-dihydro-5-methyl-3-oxo-4-isoxazolepropanoic acid
(AMPA), reseptor kainat, N-methyl-D-Aspartat (NMDA) serta reseptor γ-
amynobutyric acid (GABAa) yang langsung berhubungan dengan kanal ion, serta
reseptor metobotropik yang berfungsi sebagai second messenger untuk
mengaktifkan kanal ion adalah reseptor GABAb, peptida, katekolamin, dan
glutamat.
Ikatan neurotransmitter pada reseptor yang mencapai ambang rangsang
tertentu menyebabkan terbukanya kanal Na +, Na+ masuk ke intrasel sehingga
muatan intrasel berkurang kenegatifannya (depolarisasi). Pada saat yang
bersamaan, kanal K+ juga terbuka dan K+ keluar ke ekstrasel secara lambat
sehingga muatan intrasel menjadi kembali negatif dibandingkan saat istirahat

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


8

(hiperpolarisasi). Selain itu depolarisasi juga menyebabkan terbukanya kanal Ca ++,


Ca++ masuk intrasel dan menghasilkan depolarisasi yang lebih lama, juga disertai
hiperpolarisasi yang lebih lama.19 Pada saat terjadi depolarisasi, muncul potensial
aksi di paska sinaps, sedangkan pada saat hiperpolarisasi terjadi mekanisme
inhibisi yang diakibatkan karena menurunnya kemampuan eksitasi membran.
Penjumlahan dari kedua keadaan ini pada dendrit dan badan sel akan mengalami
sinkronisasi ke seluruh permukaan neuron, dan jika sudah mencapai ambang
potensialnya, akan dihantarkan sepanjang akson menuju organ target atau dendrit
lainnya. Hal-hal yang menyebabkan kanal Na+ dan Ca++ terbuka dan terjadi
depolarisasi membran disebut sebagai kemampuan eksitasi, sedangkan terbukanya
kanal K+ dan Cl- sehingga terjadi hiperpolarisasi yang disebut sebagai
kemampuan inhibisi. 21
Proses patofisiologi yang mendasari terjadinya bangkitan dapat berupa
gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmiter
eksitatorik yang berlebihan atau kurangnya inhibitorik. Perubahan ini tidak hanya
melibatkan satu neuron, tapi akan melibatkan neuron yang lebih jauh melalui
mekanisme sinaps, sehingga aktivitas epileptik dapat terjadi pada sekelompok
neuron yang kemudian menyebar ke seluruh permukaan melalui serabut
talamokortikal. 22

2.1.4. Gejala Psikiatri pada Epilepsi


Gejala psikiatri pada epilepsi diklasifikasikan berdasarkan hubungannya
dengan terjadinya kejang. Hal ini dibagi atas 2 kelompok besar : interiktal dan
peri-iktal. Gejala interiktal tidak tergantung pada waktu terjadinya kejang. Peri-
iktal berhubungan dengan terjadinya kejang dan dibagi lagi atas gejala yang
mendahului kejang (pre-iktal), mengikuti kejang (post-iktal), atau yang yang
merupakan ekspresi dari kejang itu sendiri (iktal).23
Pengertian pre-iktal adalah periode dimana terjadi perubahan klinis yang
subjektif maupun objektif yang timbul pada saat akan terjadinya serangan
epilepsi, tetapi bukan merupakan bagian dari serangan. Iktal adalah periode
terjadinya kejang. Post-iktal adalah periode dimana terjadi abnormalitas klinis
yang sementara pada sistem saraf pusat yang muncul pada saat tanda klinis kejang

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


9

berakhir, dapat terjadi dalam waktu beberapa menit sampai jam. Interiktal adalah
periode antara terjadinya kejang. Aura adalah fenomena iktal yang subjektif yang
dapat mendahului kejang yang terlihat, atau bila berdiri sendiri dapat berupa
kejang parsial sederhana sensorik.24

2.1.4.1. Fenomena psikiatri pre-iktal


Gejala psikiatri pre-iktal dapat mendahului kejang beberapa jam samapi 3
hari sebelumnya. Hal ini dapat meningkatkan kewaspadaan pasien dan anggota
keluarga lainnya, namun prevalensi secara aktual masih belum dapat diketahui
secara pasti. Pada satu studi yang dilakukan oleh Mula dkk yang mengidentifikasi
pre-iktal dysphoric like symptoms, terjadi pada 9 dari 143 pasien epilepsi (Mula
2008), studi lain yang dilakukan oleh Blanchet dan Frommer yang menilai
karakteristik klinis gejala psikiatri pre-iktal pada pasien dengan epilepsi,
mengatakan bahwa terjadi peningkatan suasana hati yang menuju ke keadaan
disforik (kehilangan kegembiraan atau gairah) 3 hari sebelum kejang pada
sebagian pasien. Perubahan mood ini lebih ditekankan pada 24 jam sebelum
kejang. 23

2.1.4.2. Fenomena psikiatri iktal


Ekspresi klasik dari gejala iktal psikitari adalah “aura”, berupa perasaan
takut, sedih, atau euphoria. Dari satu penelitian dikatakan bahwa 25% aura terdiri
dari gejala psikiatri, 60% terdiri dari iktal ketakutan atau panik dan 15% gejala
mood. Penelitian lain yang dilakukan oleh Mintzer dan Lopez melaporkan bahwa
dari 12 pasien dengan TLE, 8 orang diantaranya mengalami dengan gangguan
depresi. Gejala depresi iktal adalah gejala iktal yang cukup sering terjadi;
durasinya singkat, berulang, terjadi diluar konteks, dan berhubungan dengan
fenomena iktal lainnya.gejala yang paling sering muncul adalah perasaan
anhedonia, resah dan ide untuk bunuh diri. 23

2.1.4.3. Fenomena psikiatri post-iktal


Periode post-iktal terbagi atas 2 fase : fase segera (immediate) dan fase
tertunda (delayed). Fase postiktal yang segera merupakan periode yang mengikuti

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


10

kejang dan biasanya berlangsung beberapa menit sampai 2 jam tetapi dapat juga
terjadi sampai 48 bahkan 72 jam. Gangguan kognitif dan sakit kepala merupakan
gejala pada periode post-iktal yang segera. Gejala psikiatri post-iktal terjadi pada
fase tertunda, dimana terjadi setelah bebas gejala selam 8 jam sampai 7 hari
setelah kejang. Biasanya postiktal periode tertunda akan berakhir antara 12 jam
sampai 7 hari.
Fenomena psikiatri post-iktal dapat berupa : Gejala psikiatri post-iktal
berat yang menyerupai depresi, ansietas, atau episode psikotik. Prevalensi pasien
dengan Post-iktal depressive episode telah dilaporkan pada studi Kanner dkk pada
tahun 2004, pada 18 pasien yang mengalami gejala depresi post-iktal pada
periode kurang dari 24 jam; gambaran ini menyerupai gejala Major depressive
Episode. Pada studi lain yang dilakukan di pusat epilepsi Rush, dapat
diidentifikasi 20 pasien dengan episode depresi post iktal paling kurang 24 jam
mengalami episode yang menyerupai depresi mayor. 23

2.1.4.4. Gejala interiktal


Gangguan suasana perasaan depresi merupakan salah satu gangguan
neuropsikiatri yang paling sering muncul pada pasien epilepsi, selanjutnya akan
dibahas lebih lanjut tentang depresi yang terjadi pada pasien epilepsi. 23

2.2. DEPRESI
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan suasana perasaan yang
terjadi sebagai kelanjutan dari keadaan normal ke bentuk patologis dan pada
beberapa pasien gejalanya bisa berupa psikotik. Gejala ringan dapat merupakan
perluasan kesedihan yang normal, sedangkan gejala berat dikaitkan dengan
sindrom yang jelas (gangguan mood).25 Sindrom klinis ini berkaitan dengan
penurunan atau hambatan dalam alam perasaan, alam pikiran, dan tingkah laku
motorik yang berupa suasana perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan
minat atau gairah untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari disertai
gejala-gejala gangguan fungsional yang berkaitan dengan suasana sedih, misalnya
gangguan tidur, makan, aktifitas seksual dan lain-lain. 26,27

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


11

Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling
sering terjadi. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3–8%
dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20–50 tahun. World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan
ke-4 penyakit di dunia. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10-25% dan
pada laki-laki 5-12%. 28,29
Perkembangan klasifikasi gangguan depesif makin berkembang dari tahun
ke tahun. Dari masa Hippocrates (460-370 SM) sampai disusunnya DSM IV edisi
terbaru yang pada awalnya dirancang sesuai dengan ICD-10. Pada dasarnya ICD-
10 dan DSM IV memiliki orientasi yang sama, meskipun berbeda, terutama pada
terminologi, dapat digunakan secara bergantian dalam praktek sehari-hari.
Dikenal istilah “Episode depresif” pada ICD-10 dan “Episode Depresi Mayor”
pada DSM-IV. 30

2.2.2. Klasifikasi Depresi


2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Text
Revision (DSM-IV-TR) dikenal istilah gangguan depresi mayor (Major
depression disorder) yang merupakan bagian dari gangguan mood, dan
merupakan salah satu bagian dari gangguan depresif, seperti klasifikasi DSM-IV-
TR dibawah ini :

Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresif berdasarkan DSM-IV-TR 8,25

296.xx.Gangguan Depresi Mayor


2x. Episode tunggal
3x. Berulang
300.4 Gangguan Distimia
Khususnya : early onset / late onset
Khususnya : dengan gambaran yang atypical
311. Gangguan Depresif yang tidak spesifik

Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) atau juga biasa


disebut depresi klinis, depresi mayor, depresi unipolar, didefinisikan sebagai satu
atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat episode manik, campuran
atau hipomanik. Suatu episode depresi mayor harus dialami sekurang-kurangnya 2

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


12

minggu, terdapat suasana perasaan yang terdepresi atau kehilangan minat atau
kesenangan terhadap aktifitas yang biasa dilakukan. Juga terdapat minimal empat
gejala tambahan dari beberapa gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan, pola
tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan energi, perasaan bersalah atau tidak
berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi atau untuk membuat keputusan;
pemikiran berulang tentang kematian atau ide/rencana/percobaan untuk bunuh
diri. Gejala ini menetap, hampir setiap hari dalam 2 minggu berturut-turut. 8 Untuk
menegakkan diagnosis satu episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV 8

A. Lima atau lebih gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan
menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling kurang satu gejala dari salah
satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan
baik oleh laporan subjektif (misalnya perasaan sedih atau kosong) maupun
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya tampak sedih)
2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir semua,
aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik
oleh laporan subjektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan
berat badan (misalnya peubahan berat badan 5% sebulan) atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain,
bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya kegelisahan atau menjadi lamban)
6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai
(yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri
sendiri atau bersalah karena sakit)
8. Penurunan kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan,
hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif maupun yang diamati orang lain).
9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan kematian), ide
bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau percobaan bunuh diri
atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode campuran
C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting lainnya.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat,
pengobatan), atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipotiroidisme)
E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka, yaitu setelah kehilangan orang yang
dicintai, gejala menetap lebih lama, lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan
fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri,
gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 355.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


13

Sedangkan untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi mayor episode


tunggal berdasarkan DSM-IV-TR, setelah memenuhi kriteria episode depresi
mayor diatas, harus dapat memenuhi kriteria pada tabel berikut.

Tabel 2.5. Kriteria diagnostik Gangguan Depresif Mayor episode tunggal


berdasarkan DSM-IV-TR:

A. Adanya suatu episode depresif mayor tunggal


B. Episode depresif mayor tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan skizoafektif dan tidak
bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan waham atau
gangguan psikotik yang tak tergolongkan
C. Tidak pernah terdapat suatu episode manik, episode campuran atau episode hipomanik.
(Catatan : penyingkiran ini tidak berlaku jika semua episode mirip manik, mirip campuran atau
mirip hipomanik adalah diinduksi oleh zat atau pengobatan atau oleh efek fisiologis langsung
dari suatu kondisi medis umum.)
Jika kriteria lengkap memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dan atau
gambaran sekarang:
Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik, berat dengan ciri psikotik
Kronis
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset postpartum
Jika kriteria lengkap tidak memenuhi suatu Episode Depresif Mayor, tentukan status klinis dari
Gangguan Depresif Mayor sekarang atau gambaran dari episode paling akhir
Dalam partial Remission, full remission
Kronis
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan onset postpartum

Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 375.

Disamping depresi mayor juga dikenal istilah depresi minor dan distimia,
merupakan gangguan afektif yang cukup sering terjadi. Keduanya dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya episode depresi mayor. Depresi minor
adalah gangguan mood yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan depresi
mayor, paling kurang terdapat dua gejala depresi yang terjadi selama minimal 2
minggu. Walaupun namanya minor namun dampaknya cukup mempengaruhi
kehidupan dan fungsi sosial yang nantinya akan menurunkan kualitas hidup.
Depresi ini sering terlewatkan sehingga tidak tertangani. Gejala depresi minor
yang menetap dan berlangsung lama dikenal dengan “distimia”. Distimia
berdasarkan DSM-IV terdiri dari minimal 2 gejala depresi yang menetap dan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


14

berlangsung lama, paling kurang 2 tahun, biasanya tanpa perbaikan atau terdapat
perbaikan hanya pada waktu yang singkat (beberapa hari atau minggu), pada
sebagian besar waktunya pasien akan terlihat murung, sedih, lelah, anhedonia,
perasaan tidak mampu, sering menuntut dan mengeluh, merendahkan diri dan
pada saat yang sama mencela orang lain. Pasien dengan distimia sangat tidak
ramah dan hubungan dengan orang lain tidak stabil dan tidak empati. 31
Berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV, untuk membedakan kesedihan yang
normal dan patologis dinilai dari intensitas minimum (yang diukur dengan jumlah
gejala) dan minimum waktu gejala tersebut. Sedangkan pengaruh gangguan mood
dengan fungsi sosial tidak cukup akurat. Pendekatan secara kualitatif tersebut
bersifat cukup subjektif dan hanya sebagian saja yang dapat dikomunikasikan
dengan objektif. Untuk itu terdapat guideline untuk membedakan kesedihan yang
normal dan mood yang terdepresif, pada mood yang terdepresif terjadi : a) tidak
berhubungan dengan suatu peristiwa merugikan yang nyata dan bila memang
terdapat “kehilangan” biasanya akan dilebih-lebihkan; b) sangat menyakitkan,
mendalam, dan menetap, menolak semua upaya untuk mengatasinya; c)
berhubungan dengan perasaan tidak berharga, rendahnya percaya diri; d) sering
berhubungan dengan waktu dan hubungan interpersonal dan fungsi sosial; e)
berhubungan dengan perasaan bersalah dan keinginan untuk mati; f) bila cukup
berat terdapat gangguan vegetatif somatik dan ide-ide delusional; g) lebih sering
berhubungan dengan disregulasi hormonal.30 Sedangkan pada kesedihan yang
fisiologis atau ketidak-bahagiaan yang dapat terjadi pada semua orang dari waktu
ke waktu, penyebabnya biasanya jelas, reaksinya tidak dapat dimengerti dan akan
terjadi perbaikan setelah penyebabnya hilang.

2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10


Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (PPDGJ-III) yang disusun berdasarkan ICD-10, dikenal istilah
gangguan depresif yang merupakan bagian dari Gangguan Suasana Perasaan
(Mood [afektif])(F30-F39).

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


15

Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ III 32


F 32. Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F 32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F 32.8 Episode depresif lainnya
F 32.9 Episode depresif yang tak tergolongkan (YTT)

Pada tiga variasi episode depresif yang khas yang tercantum diatas : ringan
(F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3), individu biasanya menderita
suasana perasaan yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktifitas. Biasanya rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.
Gejala lazim lainnya adalah :
a. Konsentrasi dan perhatian yang berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Padangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Untuk episode depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya


diperlukan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis,
akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejalanya berat dan
berlangsung cepat.32
Pada episode depresif ringan terdapat suasana perasaan yang depresif,
kehilangan minat dan kesenangan, dan mudah lelah yang biasanya dipandang
sebagai gejala depresi yang paling khas; dan sekurang-kurangnya dua dari itu,
ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lain yang dicantumkan diatas, harus ada
untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.32
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


16

Pada episode deresif sedang,sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga


gejala paling khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan (F32.0),
ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.
Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila
secara keseluruhan ada cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode
berlangsung minimal 2 minggu.32
Pada episode depresif berat, semua gejala khas yang ditemukan pada
episode depresif ringan dan sedang (F32.0, F32.1) harus ada, ditambah sekurang-
kurangnya empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintesinsitas
berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok,
maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak
gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam
subkategori episode berat masih dapat dibenarkan. Episode deresif biasanya
seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala
amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk
menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu. 32

2.2.2.3. Perbandingan depresif berdasarkan DSM-IV-TR dan ICD-10


Terdapatnya klasifikasi dan kriteria yang berbeda untuk depresi antara
ICD-10 yang dipergunakan pada PPDGJ III dan DSM-IV-TR. Namun pada
dasarnya prinsip klasifikasi keduanya sama, berikut perbandingan antara kriteria
depresi pada ICD-10 dan DSM-IV-TR.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


17

Tabel 2.7. Gangguan Depresif berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV

F32 Episode depresif (tunggal) 296.2x Gangguan Depresi Mayor


episode tunggal
F32.0 episode depresi ringan
.00 tanpa gejala somatik
.01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F32.1 episode depresi sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F32.2 episode depresi berat tanpa gejala psikotik
F32.3 episode depresi berat dengan gejala psikotik
F32.8 episode depresi lainnya dengan gambaran katatonik
/atypical
F32.9 episode depresi yang tidak spesifik .20 Tidak spesifik

F33 Gangguan depresi berulang 296.3x Gangguan depresi mayor berulang


F33.0 gambaran gangguan depresi berulang,
episode ringan
.00 tanpa gejala somati
.01 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F33.1 gangguan depresi berulang,
episode sedang
.10 tanpa gejala somatik
.11 dengan gejala somatik dengan gambaran melankolis
F33.2 gangguan depresi berulang,
episode berat tanpa gejala psikotik
F33.3 gangguan depresi berulang,
episode berat dengan gejala psikotik
F33.4 gangguan depresi berulang, dalam remisi
F33.8 gambaran gangguan depresi berulang lainnya dengan katatonik/atypical
F33.9 gangguan depresi berulang, unspecified .30 Unspecified

F34 gangguan mood (affective) menetap


F34.0 Siklotimia 301.13 gangguan siklotimia
F34.1 Distimia 300.4 gangguan distimia
F34.8 gangguan mood menetap lainnya 300.4 gangguan distimia dengan gambaran
atipikal
F34.9 gangguan mood (afektif) menetap,
Unspecified

F38 gangguan mood (affective) lainnya


F38.0 gangguan mood (afektif) tunggal lainnya
.00 episode afektif campuran 296.0x gangguan Bipolar I, episode tunggal
.01 ringan
. .02 sedang
.03 berat tanpa gejala psikotik
.04 berat dengan gejala psikotik
F38.1 gangguan mood (afektif) berulang lainnya
.10 gangguang depresi berulang singkat Lihat Appendix B: gangguan depresi
berulang singkat

F38.8 gangguan mood (afektif) spesifik lainnya

F39 gangguan mood (afektif) tidak spesifik 296.90 gangguan mood NOS

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


18

Pada tabel diatas episode depresif dan gangguan depresi mayor ditentukan
berdasarkan tingkat keparahannya (ringan, sedang dan berat) dan frekuensinya
(tunggal atau berulang). Selain itu kedua sistem klasifikasi ini memiliki dua fitur
dasar untuk mengidentifikasi episode depresif : a) jumlah minimum gejala khas
dan berhubungan; b) durasi waktu minimal gejala selama 2 minggu.31
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala
klinis yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Bila
manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan
suasana perasaan (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dengan
mudah dapat ditegakkan. Tetapi, bila gejala depresi muncul dalam keluhan
psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit
kepala yang terus-menerus, adanya depresi yang melatar belakangi sering tidak
terdiagnosis.28

2.3. DEPRESI PADA EPILEPSI


2.3.1. Epidemiologi Depresi pada Epilepsi
Depresi dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya epilepsi dan
merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi pada penderita epilepsi.
Depresi pada epilepsi seringkali tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Baik yang
timbul pada saat awitan epilepsi maupun selama rangkaian epilepsi. Beberapa
penelitian tentang gangguan psikiatri pada epilepsi telah dilakukan. Diantaranya
Gilliam (2006), dalam penelitiannya menyatakan bahwa depresi merupakan
kelainan komorbiditas umum pada epilepsi dengan prevalensi gangguan depresi
dilaporkan lebih dari 30% pada komunitas epilepsi, dan 20-55% pada klinik
epilepsi.10,11 Menurut Hamed SA, depresi merupakan gangguan psikiatri yang
paling sering terjadi pada pasien epilepsi, dengan angka prevalensi 20-80%,
dibanding 1½-19% pada populasi umum.5 Depresi merupakan penyakit kronik
yang mempengaruhi kualitas hidup penderita epilepsi. Perkiraan prevalensi
depresi pada penderita epilepsi bervariasi antara 11%- 62% (Barry dkk, 2000),
sedangkan menurut Jackson dkk (2005) prevalensinya berkisar antara 50-55%.
Laporan lain menyebutkan gejala depresi pada penderita epilepsi berkisar antara

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


19

40-60% (Jones dkk, 2005), sementara itu Baki dkk (2004) melaporkan prevalensi
depresi pada remaja penderita epilepsi terus meningkat dengan rentang 34-78%.9
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat depresi mayor
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk berkembangnya kejang yang tidak
terprovokasi (unprovoked seizure). Pada penelitian awal yang bersifat kasus
kontrol untuk melihat terjadinya depresi sebelum timbulnya epilepsi, Forsgren dan
Nystrom (1990) menemukan bahwa riwayat depresi berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya epilepsi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Hesdofffer (2000) menunjukkan bahwa riwayat depresi, berdasarkan kriteria
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), meningkatkan
risiko terjadinya kejang tanpa provokasi (unprovoked seizure). Pada pasien
dewasa dengan usia lebih tua yang berada di Rochester Minnesota, riwayat
depresi berhubungan bermakna dengan 6 kali peningkatan risiko terjadinya kejang
pertama yang idiopatik/kriptogenik tanpa provokasi. Pada penelitian kasus kontrol
lebih lanjut pada populasi di Iceland Hesdorffer dkk menyatakan bahwa riwayat
depresi mayor berdasarkan kriteria DSM-IV berhubungan dengan 1,7 kali
peningkatan risiko terjadinya epilepsi. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh
penelitian Nilsson dkk (2003).33
Dari segi psikiatri, gangguan psikologik yang terjadi pada sekitar 30%
pasien epilepsi, mempunyai beberapa penyebab, termasuk kerusakan otak, faktor
psikososial dan efek obat anti kejang. Sekitar 20% pasien epilepsi, termasuk anak-
anak, menderita ansietas ringan dan kadang-kadang terdapat gejala depresi. Angka
bunuh diri meningkat tiga kali dan angka keinginan bunuh diri juga meninggi. 34
Depresi berpotensi untuk menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa,
berhubungan dengan kebiasaan bunuh diri bila dibandingkan dengan populasi
umum. Berdasarkan penelitian yang dilakuakn Isometsa dkk (1994) di Finlandia
dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang
mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat atau tidak mendapatkan pengobatan
sama sekali untuk depresinya. Nielson dkk (2002) juga mengatakan bahwa depresi
pada epilepsi merupakan faktor risiko bunuh diri dan perkiraan risiko relatif
bunuh diri adalah 16 kali untuk epilepsi dengan awitan lebih muda dari 18 tahun
dibandingkan setelah 29 tahun. Risiko bunuh diri pada pasien epilepsi dengan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


20

depresi juga dilaporkan oleh Jakson dkk dan Danish juga menyebutkan bahwa
pasien epilepsi memiliki risiko bunuh diri sampai 3 kali lipat dibandingkan
populasi umum. Dari beberapa penelitain lain, seperti Doris yang melakukan
penelitian di RSUD Haji Adam Malik Medan mengatakan bahwa tingkat gagasan
bunuh diri pada depresi mayor berdasarkan skor BSIS (Beck Suicide Intent Scale)
adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity Survey,
probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri sekitar
34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan gagasan
bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah 26%.
Komorbiditas epilepsi dengan depresi menimbulkan berbagai konsekuensi baik
berkaitan dengan risiko bunuh diri maupun kualitas hidup penderita. 9,12,13,14
Herman dkk mendapatkan prevalensi depresi mayor pada epilepsi berkisar
antara 8-48% dengan rata-rata 30%, dan juga menunjukkan bahwa beratnya
depresi akan menurunkan kualitas hidup penderita epilepsi. Penelitian yang
dilakukan Martinovic dkk (2006) menyimpulkan bahwa nilai total QOLIE 31
(quality of life, 31) berkorelasi secara signifikan dengan perbaikan suasana
perasaan dan status bebas sawan. Djibuti dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa
kualitas hidup yang buruk bermakna secara signifikan dengan kenaikan frekuensi
sawan. Depresi juga dapat memperburuk medikasi pada epilepsi.9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Souza dkk.(2005) bahwa 63,4%
depresi pada penderita epilepsi berhubungan dengan jenis sawannya. Dari
penelitian oleh Lazuardi (1994) di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta di
dijumpai data sebagai berikut, 64% penderita epilepsi merasa malu bahwa dirinya
menderita epilepsi dan 42% mengalami depresi. Sementara itu Marpaung (2003)
menemukan bahwa pasien epilepsi 70,5% mengalami depresi terutama pada
epilepsi umum dengan bangkitan tonik klonik (82,4%) dan kelompok epilepsi
parsial sederhana (58,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Gribz dkk (2005)
menunjukkan bahwa dari 49,2% pasien epilepsi yang mengalami depresi 37,4%
depresi berat dan 11,8% depresi sedang. Ia juga mengemukakan bahwa kejang
parsial \kompleks, absans dari epilepsi umum dengan sawan tonik klonik sebagai
faktor risiko terjadinya depresi.9

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


21

Penelitian untuk menilai hubungan antara frekuensi kejang dengan depresi


telah banyak dilakukan. Pada studi epidemiologi Jacoby dkk menulis bahwa
depresi terjadi pada 4% pasien yang telah bebas kejang dan 10% pada pasien
dengan frekuensi kejang satu kali tiap bulannya dan 21% pada pasien dengan
kejang yang lebih dari itu. O’Donoghue dkk juga mengatakan bahwa pasien
dengan kejang yang tidak terkendali meningkatkan kemungkinan terjadinya
depresi hampir 33%.35
Penelitian lain yang dilakukan oleh Victoroff dkk pada 60 pasien dengan
intractable complex partial seizure, menyatakan bahwa 58% pernah didiagnosis
depresi selama hidupnya. Jones dkk, menyatakan 19% pasien dengan epilepsi
mengalami depresi mayor, dari penelitian Ring dkk dikatakan 21% epilepsi lobus
temporal mengalami depresi mayor.35
Hubungan antara kejang, timbulnya gejala psikiatri, dan lobus mediobasal
temporal yang menyebabkan banyak perubahan perilaku merupakan sesuatu hal
yang kompleks dan masih terus menjadi bahan penelitian para ahli. Studi dengan
stimulasi dan ablasi pada manusia dan hewan menunjukkan adanya hubungan
struktur limbik temporal dengan perilaku emosional. Sebagai contoh stimulasi
temporal limbik pada manusia menimbulkan gejala psikis aura dan automatisme,
stimulasi dan ablasi amigdala pada hewan menghasilkan agresi dan plasiditas.
Juga timbulnya fenomena kindling pada kucing ketika struktur limbik nya
diangkat. Secara garis besar gangguan psikiatri pada epilepsi dapat disebabkan
oleh berbagai faktor biopsikososial.36,37,38,39

2.3.2. Patofisiologi Depresi pada pasien epilepsi


2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada epilepsi
Beberapa alasan dapat menjelaskan hubungan yang bidireksional antara
epilepsi dan depresi, termasuk perkembangan epilepsi yang diikuti oleh upaya
bunuh diri. Hubungan yang bidireksional ini tidak berarti kausalitas, tetapi bahwa
mekanisme patogenesis umum yang berhubungan dengan kedua kondisi tersebut,
dimana ganggauan salah satunya akan menfasilitasi terjadinya keadaan lainnya.
Penelitian terbaru Andres Kanner dkk, meyatakan bahwa terdapat
beberapa mekanisme patogenesis neurobiologi gangguan depresi pada epilepsi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


22

Terdapat empat kategori yang memilki dampak hipereksitabiliti di korteks dan


proses epileptogenik, yaitu :39
1. abnormalitas fungsi dan struktur kortikal dan subkortikal
2. abnormalitas neurotransmitter
3. abnormalitas endokrin
4. abnormalitas immunologis.

2.3.2.1.1. Abnormalitas struktur dan fungsi kortikal dan subkortikal


A. Perubahan struktur pada pasien epilepsi dengan depresi

Gambar 2.1. Korteks Limbik


(Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,
Symtoms)

Gambar 2.2. Sirkuit papez (hipokampus-forniks-korpus mamilare-nukleus anterior


talami-girus cinguli -cingulum-hipokampus)
(Dikutip dari “Duus Topical Diagnosis in Neurology : Anatomy, Physiology, Sign,
Symtoms)
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


23

Peranan Lobus temporal pada epilepsi dengan depresi


Beberapa penelitian menunjukkan pasien dengan epilepsi lobus temporal
lebih cenderung mengalami depresi dibandingkan kelompok lain, tetapi beberapa
percobaan lain gagal mengkonfirmasi kebenaran pengamatan ini. Secara umum,
pasien dengan kompleks parsial seizure, atau sklerosis di temporal mesial akan
lebih banyak mengalami gejala depresi. Menariknya, beberapa studi literatur dari
bagian psikiatri menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara berkurangnya
volume hipokampus dengan gangguan suasana perasaan (mood). Pada tahun
1996, Sheline dkk menemukan bahwa volume hipokampus lebih kecil, bilateral,
pada 10 orang pasien dengan riwayat depresi mayor, dibandingkan dengan
volume hipokampus pada 10 orang pasien dengan umur, jenis kelamin, dan tinggi
yang sama pada pasien sehat.35
Atrofi hipokampus pada depresi mayor primer memiliki 2 mekanisme
patogenesis : (1) perubahan faktor neurotropik hasil dari gangguan mood dan (2)
paparan glukokortikoid yang tinggi.41
Stress akut dan kronik akan menurunkan level brain-derived neurotrophic
factor (BDNF) para girus dentata, pada lapisan sel piramidal hipokampus,
amigdala dan neokorteks, dimana dapat menyebabkan perubahan struktur
hipokampus. Perubahan diperantarai oleh glukokortikoid dan dapat dibalikkan
(overturned) dengan terapi antidepresan. Pemberian antidepresan jangka panjang
akan meningkatkan ekpresi BDNF dan juga melindungi stress yang menyebabkan
menurunnya level BDNF. Hal ini menjadi dasar bahwa obat-obat antidepresan
dapat meningkatkan level BDNF hipokampus pada manusia. Data ini
menunjukkan antidepresan akan merangsang peningkatan regulasi BDNF yang
diperkirakan akan memperbaiki kerusakan neuron hipokampus dan melindungi
neuron tersebut dari kerusakan lebih lanjut.41
Paparan glukokortikoid yang tinggi ini akan memediasi atrofi hipokampus
berdasarkan aktivasi yang berlebihan dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis
(HPA aksis) yang ditemukan pada sebagian besar pasien dengan depresi
mengakibatkan gangguan dexamethasone suppression pada adrenocorticotropic
hormone (ACTH) dan kortisol. Perubahan ini akan pulih dengan pengobatan
antidepresan. Pada studi eksperimental pada tikus dan monyet, peningkatan
konsentrasi kortikosteroid yang lama akan menyebabkan kerusakan neuron
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


24

hipokampus, terutama neuron piramidal CA3, kemungkinan berkurangnya cabang


dendrit dan dendritik spines yang termasuk pada input sinaptik glutamatergik.
Hiperkortisolemia juga akan mengganggu perkembangan sel neuron yang baru
pada girus dentata hipokampus pasien dewasa. Efek yang merusak dari paparan
glukokortikoid yang lama dapat menyebabkan awal atrofi yang sementara dan
reversibel pada pohon dendritik CA3 dan meningkatkan kerentanan yang pada
akhirnya menyebabkan kematian sel pada kondisi yang ekstrem dan lama.41
Abnormalitas struktur mesial temporal adalah kelainan yang paling sering
ditemukan pada pasien epilepsi dengan komorbid depresi. Pada tiga studi pasien
dengan TLE, nilai tertinggi depresi berhubungan dengan gambaran sklerosis
temporal mesial (MTS), penurunan perfusi lobus temporal dan frontal. 41
Literatur yang lebih lama mencoba menetapkan efek “lateralitas” depresi,
yang berarti bahwa pasien dengan epilepsi lobus temporal kanan atau kiri lebih
banyak berkembang menjadi gangguan mood. Banyak penulis telah berusaha
mengkonfirmasi hipotesis, dengan hasil yang sangat beragam dan secara
keseluruhan terdapat ketidakseimbangan antara otak kanan maupun kiri. Hipotesis
lateralisasi yang modern berhubungan dengan konektifitas lobus mesial temporal
dan pengamatan bahwa epilepsi lobus temporal yang kronik dan aktif, yang
mungkin saja berhubungan dengan hipoaktifitas dan disfungsi anatomi
berhubungan dengan jauhnya daerah dari fokus epileptiform primer. Dalam hal
ini, epilepsi lobus temporal dapat meyebabkan penurunan aktifitas pada lobus
frontal dan juga hipoaktifitas, dan dikenal sebagai hipofrontality, dan
berhubungan dengan depresi endogen. Beberapa studi yang menggunakan teknik
neuroimaging atau pemeriksaan neurofisiologi menyatakan bahwa terdapat
hubungan antar disfungsi lobus frontal, depresi dan epilepsi lobus temporal. 35

Peranan Lobus frontal terhadapdepresipada epilepsi


Perubahan struktur ditemukan pada orbitofrontal dan korteks prefrontal
dan girus singuli, pada white matter, termasuk volume korteks orbitofrontal yang
lebih kecil pada dewasa muda dan geriatri dengan gangguan depresi mayor.
Sebagai catatan, besarnya perubahan volume prefrontal berhubungan dengan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


25

beratnya depresi, pada pasien usi tua, dan dengan depresi minor memiliki
perubahan yang lebih sedikit dibandingkan depresi mayor. 41
Studi neuropatologi juga mengdokumentasikan bahwaterjadi perubahan
struktur korteks lobus frontal pada pasien depresi. Raj-kowska dkk menemukan
bahwa terjadi ketebalan kortikal, ukuran neuron, dan densitas neuronal lapisan II,
III dan IV dari regio rostral orbitofrontal pada otak pasien depresi. Pada korteks
orbitofrontal bagian kaudal, terdapat pengurangan yang bermakna pada densitas
glial lapisan kortikal V dan VI yang juga berhubungan dengan penurunan ukuran
neuronal. Akhirnya, pada korteks prefrontal dorsolateral, terdapat penurunan
densitas neuronal dan glial dan ukuran di semua lapisan kortikal. 41

B. Perubahan fungsi pada pasien epilepsi dengan depresi .


Keterlibatan lobus frontal pada depresi primer terlihat pada neuroimaging
fungsional (PET, SPECT) dan studi neurofisiologi.Salah satunyaadalah pada
gangguan fungsi eksekutifdan lebih nyata pada gangguan depresi yang berat.
Gangguan pada pemeriksaan neurofisiologi ini berhubungan dengan penurunan
aliran darah pada korteks mesial prefrontal. Selanjutnya, pada pemeriksaan fungsi
eksekutif, korteks singuli dan striatum tidak aktif pada pasien dengan depresi
mayor. Gangguan fungsi pada struktur lobus frontalis terjadi pada TLE dan
khususnya pada TLE dengan komorbid depresi, dimana ditemukan penurunan
metabolisme inferofrontal bilateral. Sebagai catatan, korteks frontal inferior
adalah sasaran utama neuron dopaminergik mesolimbik dan memberikan asupan
kepada neuron serotonergik pada nukleus dorsal rafe. 41

2. 3. 1. 1. Abnormalitas Neurotransmitter
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang
menyebabkan berkurangnya monoamin seperti reserpin dapat menyebabkan
depresi. Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya
ketersediaan neurotransmiter monoamin terutama norepinefrin dan serotonin
dapat menyebakan depresi.Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-
obat seperti antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


26

meningkatkan dalam jangka pendek monoamin di sinaps.Peningkatan monoamin


ini berkaitan dengan terjadinya perbaikan depresi.28,42

Gamma-aminobutyric-acid (GABA)
GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada sistem
mesokorteks, dan mesolimbik. Pada penderita depresi terjadi penurunan GABA
terlihat pada plasma dan cairan serebro spinal. Stressor kronik dapat mengurangi
kadar GABA.28
Pada epilepsi GABA juga dikenal sebagai neurotransmitter inhibitorik.
Bangkitan berulang menyebabkan berkurangnya GABA yang berfungsi sebagai
inhibitor sehingga terjadi penurunan inhibisi, yang menyebabkan
hipereksitabilitas patologis dari neuron.

Glutamat
Asam amino glutamat dan glisin merupakan neurotransmitter eksitatori
utama di SSP. Ia terdistribusi hampir di seluruh otak (neuron dan sel glia). Ada
lima resptor glutamat yaitu NMDA, kainat, AMPA (α-amino-3 hydroxy-5-
methylisoxazole-4-propionic acid), L-AP4 (L-2 amino-4 phosphorobutyrate) dan
ACPD (trans-1-aminocyclopentane-1, 3-dicarboxylic acid). Reseptor AMPA dan
kainat disebut non-NMDA. Apabila berlebihan, glutamat dapat menimbulkan
neurotoksik dan juga berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai activator
terhadap reseptor NMDA dan resetor AMPA. Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperbolehkan ion kalsium masuk ke dalam sel,
sehingga menyebabkan peningkatan Ca++ intrasel yang berlebihan. Hal ini
merupakan salah satu mekanisme bangkitan parsial dengan penyebab paling
seringnya berasal dari lobus mesial temporal, terutama akibat sklerosis
hipokampus. Pada keadaan tersebut terjadi hilangnya neuron-neuron pada hilus
dentata dan gliosis yang menyebabkan terjadinya percabangan baru ke dendrit
sel-sel sebelahnya sehingga terjadi sirkuit eksitatori rekuren dan percabangan baru
ke inhibisi interneuron. Neurogenesis ini terjadinya terus-menerus sehingga
menimbulkan sirkuit baru yang abnormal dan menyebabkan terjadinya
bangkitan.22

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


27

Aktifitas glutamat yang berlebihan memegang peranan penting pada


patogenesis depresi mayor. Selanjutnya juga diperkirakan terdapat hubungan
antara konsentrasi glutamat plasma dan beratnya depresi. Walaupun hubungan
antara CSF dan plasma cukup kuat, tingginya konsentrasi glutamat di CSF berarti
bahwa terjadinya abnormalitas pada siklus glutamine-glutamat glial-neuronal
yang berhubungan dengan sistem NMDA reseptor di otak pasien dengan depresi.
Abnormalitas sistem transport glutamat ini dapat menyebabkan hipereksitabilitas
dan kematian sel. Obat-obat yang bersifat antagonis terhadap NMDA mempunyai
efek antidepresan 40

Serotonin
Neuron serotoninergik berproyeksi dari nucleus rafe dorsalis batang otak
ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum dan
hipokampus.Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatan pada gangguan
psikiatrik.28,43
Terdapat 14 reseptor serotonin, yang terletak pada lokasi yang berbeda di
susunan saraf pusat.Walaupun begitu banyak reseptor serotonin, satu
neurotransmitter dapat saja memberikan efek ke berbagai struktur otak. Kerja
serotonin pada berbagai proses fisiologik dan perilaku terlihat sangat kompleks.
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem
serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi
mengatur ritmik sirkadian (misalnya siklus tidur bangun, temperatur tubuh dan
fungsi Hypotalamic pituitary adrenal axis (HPA axis). Serotonin bersama-sama
dengan norepinefrin dan dopamine menfasilitasi motorik yang terarah dan
bertujuan.28
Dari beberapa penelitian neurotransmiter yang terbukti terganggu pada
depresi adalah 5-HT1A dan 5-HT2A. Pada alat pencitraan otak terdapat
penurunan jumlah reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi
berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi penanda kerentanan terhadap
kekambuhan depresi.28,44
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hydroxyindolacetic acid).
Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


28

Penurunan ini lebih sering terlihat pada penderita depresi yang melakukan usaha
bunuh diri. Hipofrontalis aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa
otak, sesuai dengan penurunan serotonin. 28,43

Noradrenergik
Badan sel neuron noradrenergic terletak di locus cerulues (LC) batang
otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus
dan talamus.Ia berperan dalam memulai dan mempertahankan keterjagaan
(proyeksi ke limbik dan korteks). Proyeksi noradrenergic ke hipokampus terlihat
dalam sensititasi perilaku terhadap stressor, dan pemanjangan aktivasi LC dan
juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. LC juga
tempat asal neuron-neuron yang berproyeksi ke medulla adrenal dan sumber
utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer. 28
Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi
fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan maupun tidur menurun. Persepsi
terhadap stresor ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus
diteruskan ke LC, dan selanjutnya ke komponen simpato-adrenal sebagai respon
stresor akut. Proses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon
simpato-adrenal terhadap stresor tersebut. Stresor yang menetap dapat
menurunkan kadar norepinefrin di forebrain medial. Penurunan ini dapat
menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada depresi. 28

Dopamin
Terdapat empat jaras dopamin di otak :
1. Sistem tuberoinfundibular berproyeksi dari badan sel di hipotalamus ke
hipofisis dan bekerja menghambat sekresi prolaktin.
2. Sistem nigrostriatal berasal dari badan sel di substansia nigra dan berproyeksi
ke basal ganglia dan berfungsi mengatur aktivitas motorik.
3. Sistem mesolimbik yaitu badan sel terletak di ventral tegmentum yang
berproyeksi hampir ke seluruh regio limbik seperti nukleus akumbens,
amigdala, hipokampus, nukleus dorsalis media talamus, dan girus singulata.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


29

Sistem ini mengatur ekspresi emosi, belajar, dan penguatan, dan kemampuan
hedonia.
4. Sistem mesokorteks-mesolimbik juga berasal dari ventral tegmentum
mesokorteks yang berproyeksi ke regio korteks orbitofrontal dan prefrontal.
Sistem ini berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas
bertujuan, terarah, dan kompleks serta tugas-tugas fungsi eksekutif.
Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan
kognitif, motorik dan hedonia yang merupakan manifestasi simtom depresi. 28
Dengan mengetahui bahwa aktifitas dopamin adalah mekanisme
patogenesis yang biasa terjadi, Tremblay dkk baru-baru ini menunjukkan fungsi
abnormal dopaminergik di otak pada pasien dengan depresi mayor. Dengan
menggunakan fungsional-MRI level oksigen darah tergantung pada aktifasi
selama pengendalian dan efek subjektif pengukuran dekstroamphetamin, pasien
dengan depresi mayor mengalami peningkatan respon dua kali lipat terhadap
efek dekstrometorfan, dibandingkan kelompok kontrol yang sehat. Aktivasi otak
yang abnormal di temukan pada korteks ventrolateral prefrontal dan korteks
orbitofrontal dan hal yang sama juga terjadi pada putamen dan nukleus
kaudatus.41

2. 3. 1. 3. Abnormalitas endokrin
Salah satu gambaran depresi adalah terjadinya peningkatan aktivitas aksis
HPA yang ditandai dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH)
dalam cairan serebro-spinal, hipersekresi adrenocorticotropin (ACTH),
meningkatnya episode sekresi ACTH dan berkurangnya respon ACTH terhadap
CRH, peningkatan pelepasan kortisol dari korteks adrenal, penambahan volume
hipofisis dan korteks adrenal, dan hasil pemeriksaan dexamethasone suppression
test (DST) postif.28,45 Mekanisme yang mendasari perubahan ini belum diketahui
secara pasti. Ada dugaan gangguan aksis HPA ini terjadi akibat disregulasi sistem
umpan balik glukokortikoid yang tidak efisien, baik terhadap kortikotropin
hipofisis, maupun terhadap neuron CRH paraventricular nucleus (PVN)
hipotalamus, atau terhadap area otak di luar hipotalamus. Hal ini disebabkan oleh

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


30

gangguan interaksi glukokortikoid dengan reseptor kortikosteroid otak atau daerah


yang mengatur CRH.
Dari satu studi jelas diperlihatkan hubungan antara tingginya konsentrasi
kortikosteron dan hal yang mendukung kindling process. Pada pasien dengan
epilepsi lobus temporal, terjadi hiperaktifitas HPA aksis, dengan dexamethasone
suppression test (DST), yang sebanding dengan pasien dengan depresi mayor
primer.40
Mekanisme dari Depresi dapat dijelaskan melalui bagan berikut 45 :

Gambar 2.3.Mekanisme terjadinya depresi pada pasien epilepsi46


Dikutip dari : jurnal Epilepsia Juli 2010 dalam judul “Comorbidity between epilepsy and
depression for the involvement of serotonergic, glucocorticoid and neuroinflammatory
mechanism”

Mekanisme depresi sebagai komorbiditas epilepsi lobus temporal adalah


berupa: epilepsi kronis menyebabkan disregulasi dari axis HPA melalui beberapa
mekanisme putatif, salah satunya adalah aktivasi menjadi IL-1β dalam
hipokampus. Salah satu konsekuensi yang mungkin dari disregulasidari sumbu
HPA adalah peningkatan regulasi reseptor 5-HT1A somato dendritik diraphe
dorsal dan selanjutnya terjadi peningkatan auto inhibisi pelepasan serotonin dalam
jalur raphe-hipokampus. Transmisi raphe-hippocampal serotonergic ini
menyebabkan gejala perilaku depresi.47

2.3.1.4. Abnormalitas immunologis


Sitokin pro-inflamasi, khususnya interleukin 1β (IL-1β), IL-2, IL-6,
interveron-γ, dan faktor nekrosis tumor α (TNFα), diketahui mempunyai peranan
pada mekanisme patogenesis depresi pada hewan coba dan pada pasien dengan
gangguan mood. Diantara semuanya IL-1β memiliki komponen prokonvulsan.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


31

Selanjutnya IL-1β, reseptor tipe1 (IL-1RI) dan IL-IRA akan diregulasi di otak dan
secara elektrik dan kimia akan merangsang kejang, dan semuanya akan
tergambarkan pada otak pasien dengan epilepsi lobus temporal, displasia kortikal,
sklerosis tuberosa. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk pro-konvulsan IL-
1β, melibatkan penurunan asupan glutamat oleh sel glial atau pelepasan glutamat
dari sel-sel, yang diperantarai oleh TNFα. Mekanisme lain diperkirakan
memediasi aktivasi IL-IRI, yang akan menghasilkan peningkatan aktivasi
glutaminergik.40

2.3.2. Faktor psikososial pada epilepsi dengan depresi.


Telah bertahun-tahun, klinisi dan pasien, telah keliru, karena menganggap
gangguan mood depresi sebagai suatu reaksi yang normal terhadap hambatan
sosial dan pribadi akibat epilepsi. Hal ini termasuk :41
a. pasien dan atau keluarga yang tidak dapat menerima bahwa dirinya
menderita epilepsi
b. stigma yang berhubungan dengan diagnosis epilepsi dan diskriminasi
terhadap pasien yang bersangkutan
c. kurang terkontrolnya kehidupan sesorang akibat bangkitan serangan
kejang yang tidak dapat diperkirakan
d. kurangnya dorongan sosial kebutuhan untuk penyesuaian gaya hidup,
seperti menghindari mengemudi atau mengganti pekerjaan untuk
memaksimalkan pencegahan kejang.
Salah satu, atau kombinsai dari beberapa faktor tersebut akan menghasilkan
awal reaksi penyesuaian berupa gambaran depresi dan ansietas, tetapi hal tersebut
saja tidak cukup untuk menghasilkan gangguan depresi kronis. Dan juga, pasien
dengan komorbid depresi dapat saja memiliki kemampuan yang kurang untuk
mengatasi hambatan tersebut. Selain itu walaupun pasien epilepsi dengan
inteligensi yang normal akan menunjukkan tingkat kemampuan yang rendah
dalam hal fleksibilitas proses mental dibandingkan orang normal. Tetapi tetap
saja, status depresi yang menetap setelah beberapa bulan dapat saja tidak
terdiagnosis dari penilaian klinis karena dianggap sebagai reaksi yang normal,
sehingga dibutuhkan evaluasi yang lebih rinci.41

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


32

2.3.3. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi depresi pada epilepsi


2.3.3.1. Pengaruh obat antiepilepsi terhadap depresi pada pasien epilepsi
Setiap obat antiepilepsi (OAE), dapat memberikan efek psikotropik, dan
sekaligus menjadi pemicu gejala depresif pada pasien epilepsi pada beberapa
kasus. Phenobarbital (PB) dapat menyebabkan depresi dan ide untuk bunuh diri;
pirimidone (PRM), tiagabine, vigabatrin, felbamate, topiramate (TPM),
levetiracetam (LEV) dan zonisamide (ZNS) juga berhubungan dengan gejala
depresi.35,41
Obat antiepilepsi juga berkontribusi terhadap depresi. Pada satu penelitian
kohort, penggunaan Topiramat (TPM) dianggap sebagai faktor risiko terjadinya
depresi dan Lamotrigine sebagai pelindung. Walaupun data ini berdasarkan pada
penilaian cross-sectional dan bukan randomized trial, hal ini hampir sama dengan
laporan penelitian terdahulu. TPM’s memberikan efek negatif terhadap mood
pada pasien epilepsi seperti yang sudah diketahui. Both Kanner dan Mula
menyatakan bahwa pasien dengan riwayat depresi sebelumnya menjadi faktor
risiko yang kuat untuk berkembangnya depresi sebagai efek samping obat. LTG
secara konsisten menunjukkan efek psikiatri positif pada pasien. LTG
sebagaitherapi tambahan akan membalikkan efek samping depresi penggunaan
TPM. LTG terapi tunggal menunjukkan perbaikan gejala depresi pada pasien
epilepsi, dengan efek yang terus berlanjut selama minimal 8 bulan. LTG juga
telah terbukti menyebabkan peningkatan mood pada pasien dengan epilepsi umum
tonik-klonik.35
Obat anti epilepsi sangat sering berhubungan dengan terjadinya gejala
depresi, sepertinya terjadi akibat adanya aktifas pada benzodiazepine-GABA
reseptor complex dan termasuk barbiturate, tiagabine, topiramate dan vigabatrin.
Seperti diketahui bahwa benzodiazepine dan agonis GABA lainnya secara klinis
berhubungan dengan depresi, sehingga penah dilaporkan bahwa terdapat
abnormalitas GABA pada LCS pasien dengan depresi. 35

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


33

Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilpepsi 35
Negatif Positif
Barbiturate Depresi, hiperaktifitas Anxiolytic, hipnotic
Carbamazepine – Iritabilitas stabilisasi mood, antimania
Oxcarbazepine
Ethosuximide Gangguan perilaku, psikosis -
Felbamate Depresi, ansietas, iritabilitas -
Gabapentine Gangguan perilaku pada anak -
Lamotrigine Insomnia, agitasi Stabilisasi mood, antidepresan
Levetiracetam Iritabilitas, emosional yang labil Antimania ?
Phenytoin Ensefalopati Antimania ?
Pregabalin ? Anxyolitic
Tiagabine Depresi (non-convulsive status Anti-ansietas ?
epilepticus)
Topiramate Depresi, perlambatan psikomotor, Stabilisasi mood
psikosis
Valproate Ensefalopati Stabilisasi mood, antimania
(anxiolytic)
Vigabatrin Depresi, agresif, psikosis -
Zonisamide Agitasi, depresi, psikosis Antimania
Dikutip dari : review atrikel Therapeutic Advance in Neurological Disorder, September
2009 dengan judul “Depressiom in epilepsy ; mechanism and therapeutic approach”

2.3.3.2. Riwayat depresi


Riwayat depresi selama hidupnya berhubungan dengan kejang.Seperti
pada satu studi tehadap 780 pasien dengan awitan baru epilepsi, riwayat gangguan
psikiatri dan riwayat depresi meningkatkan dua kali lipat risiko resistensi terhadap
pengobatan epilepsi dibandingkan pasien epilepsi tanpa riwayat gangguan
psiakitri dan depresi. Sama halnya dengan studi terhadap 138 pasien dengan
awitan awal epilepsi yang baru saja memulai pengobatan epilepsi, yang diketahui
memiliki gejala depresi dan ansietas berdasarkan penilaian neuropsikologikal
sebelum memulai pengobatan menunjukkan kemungkinan yang lebih kecil untuk
bebas kejang setelah 12 bulan pengobatan dibandingkan pasien yang tidak
memiliki riwayat depresi. Disamping itu pada satu studi pada 100 orang pasien
yang menjalani lobektomi temporal anterior karena epilepsi lobus temporal yang
refrakter, riwayat depresi berhubungan dengan memburuknya kontrol kejang
paska operasi dibandingkan pasien tanpa riwayat depresi.40

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


34

2.3.2.3.3. Pengaruh faktor genetik terhadap depresi pada pasien epilepsi.


Faktor risiko yang lazim berkembang menjadi gangguan depresi pada
pasien dengan atau tanpa epilepsi adalah riwayat depresi pada keluarga. Pada
kenyataanya, lebih dari 50% pasien epilepsi menderita depresi dan menunjukkan
riwayat keluraga yang memiliki penyakit psikiatri, gangguan afektif adalah
kondisi yang paling sering terjadi.41

2.4. Instrumen pemeriksaan depresi mayor pada epilepsi


Skala depresi mulai dikembangkan sekitar tahun 1960an terutama untuk
pengukuran yang objektif dan akurat, yang akan mengubah tatalaksana
psikofarmakologinya. Penilaian tingkatan beratnya dibuat dengan angka dan
intensitas dari gejala.Instrumen yang digunakan harus spesifik, valid, sensitif dan
reliabel. Terdapat dua macam skala penilaian :observer dan self reporting. Bentuk
yang pertama lebih objektif, termasuk aitems perilaku yang diamati, yang pasien
sendiri mungkin tidak dapat menilai. Dan bentuk yang selanjutnya, lebih tepat
untuk menilai pengalaman pasien dan persepsi pasien terhadap dirinya.

2.4.1. The Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI-ICD


10)
The Mini International Neuropsychiatric Interview adalah wawancara
diagnostik singkat yang terstruktur, yang dikembangkan oleh ahli psikiatri dan
klinisi di AS dan Eropa, yaitu David V Sheehan, MD, MBA seorang Profesor
psikiatri dan dari Fakultas Kedokteran University South Florida, dan Yves
Lecrubier, MD dari Rumah Sakit Santa-Anna Paris, Perancis (1990) dan dialih
bahasakan oleh Yayasan Depresi Indonesia bekerjasama dengan Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik (2002). Departemen Kesehatan RI, Direktorat
Jenderal Pelayanan Medik juga telah menerbitkan Modul Anxietas dan Gangguan
depresif bagi Dokter, dimana di dalamnya terdapat algoritma MINI (Mini
International Neuropsychiatric Interview). 29,48,49,50
MINI digunakan penegakkan diagnosis untuk gangguan kejiwaan
berdasarkan DSM IV dan ICD 10. Dengan waktu kurang lebih 15 menit,
instrument ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan wawancara

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


35

psikiatri yang terstruktur, singkat namun akurat serta tidak menimbulkan bias
kultural untuk keperluan uji klinis multisenter yang dapat digunakan sebagai
langkah pertama dalam menyaring pada praktek sehari-hari.47,48 Validasi dan
reliabilitas sudah dilakukan terhadap Structural Clinical Interview for DSM-IV
Axis I disorder (SCID)(DSM IV) dan Composite International Diagnostic
Interview (CIDI)(ICD-10) dengan hasil validasi yang tinggi dan skor reliabilitas
yang akseptabel dan dapat digunakan oleh klinisi dan pewawancara awam dengan
pelatihan. Pertanyaannya cukup dijawab “ya” dan “tidak”. 51
Pada studi uji validitas MINI-CR (Mini International Neuropsychiatric
Interview-Clinician Rate) terhadap SCID di US, secara umum diagnosis
berdasarkam MINI memiliki nilai kappa yang sangat baik. Sensitivitasnya lebih
dari 0,70 untuk semua gangguan, kecuali distimia, obsesif konvulsif dan
ketergantungan obat. Untuk depresi mayor sendiri didapatkan nilai kappa 0,84,
Sensitivitas 96%, spesifisitasnya 88%, PPV 87% dan NPV 97%. Sedangkan pada
uji validitas MINI-CR dan CIDI juga memilik nilai kappa yang cukup tinggi yaitu
0,73, Sensitivitasnya 94%, spesifitasnya 79%, PPV 82% dan NPV 93% untuk
diagnosis depresi mayor.48

2.4.2. The Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)


The Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
adalah alat skrining yang divalidasi untuk depresi pada pasien dengan epilepsi
yang terdiri dari 6-aitem kuesioner. Dapat digunakan untuk dengan cepat dan
dapat diandalkan untuk mendeteksi depresi dalam suatu klinis yang sibuk dan
juga dapat membedakan gejala depresi dari toksisitas obat dan efek kognitif
epilepsi.25
Penggunaan NDDI-E menghasilkan peningkatan hampir 10 kali lipat
dalam tingkat deteksi depresi pada pasien epilepsi. Penggunaan NDDI-E
diperbolehkan untuk pengakuan peningkatan terjadinya depresi, sehingga
meningkatkan kualitas evaluasi rawat jalan. Gejala depresi adalah komponen
penting pada evaluasi pasien dengan epilepsi. Walaupun instrumen screening
tersebut tidak dimaksudkan untuk menggantikan diagnosis klinis pada pasien
dengan depresi mayor, tapi cukup direkomendasikan oleh tenaga professional dan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


36

organisansi kesehatan pemerintahan untuk membantu mengidentifikasi. Hal ini


sangat membantu di poli rawat jalan yang tingkat kesibukannya cukup tinggi,
dimana keterbatasan waktu seringkali membatasi identifikasi depresi. Sistem
skrining dengan metode yang tepat dapat menggandakan sensitivitas untuk
diagnosis depresi mayor tanpa harus mengorbankan spesifisitas pada pengaturan
di klinik kesehatan. Digunakan instrument dengan spesifisitas yang cukup adekuat
dengan batas skor yang menunjukkan sensitivitas yang tinggi untuk
10,11
meminimumkan false negative dan false positive diagnosis.
Deteksi dini depresi pada pasien epilepsi berhubungan dengan pencegahan
terjadinya bunuh diri. Dari studi populasi oleh Danish dikatakan bahwa pada
pasien epilepsi memiliki risiko bunuh diri cukup tinggi sampai tiga kali lipat, dan
pada studi itu dikatakan juga bahwa risiko bunuh diri terbesar ditemukan pada
pasien epilepsi disertai gangguan psikiatri terutama gangguan mood. Hal ini juga
diperkuat oleh Jones yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
episode depresi mayor dengan riwayat percobaan bunuh diri. Kewaspadaan sejak
dini mengenai gangguan mood sangat diperlukan, karena risiko bunuh diri akan
meningkat pada 6 bulan pertama setelah diagnosis epilepsi ditegakkan, dan bunuh
diri cenderung terjadi pada fase awal depresi.13

2.4.2.1. Sejarah NDDI-E


NDDI-E pertama kali dikembangkan pada tahun 2006 oleh Frank Gilliam
dkk di New York. NDDI-E dikembangkandari 46 items gejala depresi yang
terpisah dari gangguan kognitif atau efek samping dari OAE. Instrumen ini
merupakan awal dari beberapa instrument yang dapat diandalkan dan berlaku
untuk diagnosisdepresi berdasarkan kriteria DSM-IV, keparahan gejala depresi,
status kesehatan, dan efek toksik dari pengobatan yang dinilai pada 205 pasien
dewasa dengan epilepsi. Digunakan analisis diskriminasi fungsi untuk
mengidentifikasi dengan efisien dan mengatur items untuk klasifikasi depresi.
Berdasarkan data demografi yang sama pada 229 pasien yang terdaftar pada dua
studi klinis lainnya digunakan sebagai verifikasi pada observasi awal. 10

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


37

2.4.2.2. Validitas dan Reliabilitas NDDI-E untuk diagnosis Depresi Mayor


pada epilepsi
Pembagian fungsi untuk NDDI-E meliputi 6 items. Konsistensi reliabilitas
internal NDDI-E ini 0,85 dan test-retest reliabilitas 0,78. Skor NDDI-E yang lebih
dari 15 memiliki spesifisitas 90%, sensitivitas 81%, dan positive predictive value
62% untuk diagnosis depresi mayor. Regresi logistic menunjukkan hubungan
depresi mayor dan NDDI-E tidak dipengaruhi efek samping OAE. Tingkat
keparahan gejala depresi dan efek toksik obat berhubungan secara terpisah dengan
status kesehatan, yang menerangkan 72% varian. Hasil dari pemisahan sampel
tersebut terlihat pada sensitivitas, spesifisitas dan prediktif skor yang optimum
pada skor lebih dari 15.10

2.4.2.3. Penelitian mengenai depresi mayor pada epilepsi menggunakan


NDDI-E
Penelitian pertama dilakukan di 5 pusat kesehatan (Stanford University,
University of Wisconsin-Madison, Rush University, Georgetown University, and
Washington University). Instrumen awal terdiri dari 46 items. Langkah
selanjutnya untuk analisis diskriminan (SPSS versi 11.0.1) digunakan untuk
memastikan susunan aitem dengan klasifikasi yang benar pada pasien dengan
depresi mayor berdasarkan the mini international neuropsychiatric interview
(MINI). MINI sebelumnya telah divalidasi secara wawancara administratif,
terstruktur, diagnostik, dan wawancara psikiatri yang menghasilkan dikotom
klasifikasi pada gangguan depresi mayor. 10
Test-retest dinilai dengan membandingkan skor NDDI-E pada awal dan 14
hari kemudian. Spearman correlation digunakan untuk memastikan reliabilitas
test-retest. Dan hasilnya reliabilitas konsistensi internal dari NDDI-E adalah 0.85
dan test-retest adalah 0.78. Skor NDDI-E lebih dari 15 memiliki spesifisitas 90%,
sensitivitas 81% dan PPV 62% untuk diagnosis depresi mayor. Hubungan antara
depresi mayor dan NDDI-E tidak dipengaruhi oleh efek samping pengobatan
epilepsi. 10
Hasilnya, tidak terdapat perbedaan antar senter untuk umur, jenis kelamin,
lama menderita epilepsi, status perkawinan atau status pekerjaan, tetapi proporsi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


38

pasien dengan depresi berbeda di setiap tempat.. Aitems dan format NDDI-E
ditunjukkan pada tabel berikut. Tidak ada korelasi antar item yang ≥0.7.
Cronbach’s alpha untuk ke-6 item NDDI-E adalah 0.85, yang berarti konsistensi
reliabilitas internalnya dapat diterima. Regresi logistic dengan diagnosis SCID
untuk depresi mayor sebagai variabel dependen menunjukkan bahwa NDDI-E
memiliki odds ratio yang tinggi dibandingakan BDI atau CES-D. 10

Tabel 2.9. The Neurological Disorders Depression Inventory For Epilepsy (NDDI-
E)10
Always or Sometimes Rarely Never
often
Everything is a struggle 4 3 2 1
Nothing I do is right 4 3 2 1
Feel guilty 4 3 2 1
I’d better off dead 4 3 2 1
Frustrated 4 3 2 1
Difficulty finding pleasure 4 3 2 1
For the statements in the table, patients are asked to circle the number that best describes
them over the past 2 weeks including the day of assessments
Dikutip dari : artikel review neurology the lancet, dengan judul “Rapid detection of major
epilepsy : a multicentre study”

Tidak terdapatnya aitems kesedihan dan iritabilitas pada NDDI-E, berarti


bahwa terdapat analisis pemisahana fungsi, untuk kepentingan klinis dan
neurobiologi. Pada studi awal ini juga memiliki laporan tetang peningkatan rata-
rata kejadian depresi, anhedonia, dan hopeless dibandingakan dengan kesedihan
dan mood depresi. Kemungkinan temuan biologik ini di dukung oleh
neuroimaging fungsional yang menunjukkan aktivasi di lobus temporal anterior
selama kesedihan dan aktivasi di lobus frontal saat perasaan tertekan selama
kesedihan; gangguan fungsi kortikal pada epilepsi lobus temporal dengan fungsi
lobus frontal yang masih intak merupakan hasil dari berkurangnya episode
kesedihan selama keadaan depresi. Bila pendapat ini benar, gejala dan kesedihan
(sadness) atau mood depresi dapat saja tidak berguna pada skrining untuk depresi
pada beberapa sindrom yang biasa terjadi, contohnya epilepsi lobus temporal.10
Beberapa penelitian dan Validasi mengenai NDDI-E juga telah dilakukan
di beberapa Negara di dunia dengan hasil yang bervariasi sesuai dengan budaya di
negara masing-masing.DiantaranyaUSA, Brazil, Itali, Spanyol, Jepang, Korea dan
terakhir di Jerman.
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


39

Di USA, penelitian yang dilakukan oleh Davis E. Friedman pada tahun


2009. Pada penelitian ini nilai NDDI-E di atas 15 dianggap positif untuk depresi,
dengan spesifisitas 90%, sensitivitas 81%, dan positif prediktive value62% untuk
diagnosis depresi berdasarkan MINI. Total skor NDDI-E, tidak tergantung pada
efek samping pengobatan, prediksi subjektif kesehatan pasien berdasarkan total
score the quality of life in epilepsy inventory-89 (QOLIE-89). Korelasi koefisien
antara NDDI-E dan Beck Depression Inventory (BDI) adalah 78% dan 77%
antara NDDI-E dan Center for Epidemiological Studies Depression (CES-D)
scale.12
Faktor risiko yang berhubungan dengan diagnosis depresi dan NDDI-E
adalah riwayat depresi, mendapatkan OAE 3 macam atau lebih dan penggunaan
topiramate (TPM). Sedangkan frekuensi kejang tidak berhubungan bermakna
dengan depresi pada model univariate, dan bila disesuaikan dengan jumlah OAE
pada analisis multivariat, akan menjadi bermakna. Faktor independen yang
berhubungan dengan depresi bila dianalisa dengan regersi logistik multipel
adalah: riwayat depresi, frekuensi kejang dan penggunaan TPM. Sedangkan
penggunaan lamotrigine (LTG) secara independen melindungi dari terjadinya
depresi.12
Di Brazil, penelitian tentang validasi NDDI-E dilakukan oleh Guilherme
Nogueira M de Oliveira dkk, pada tahun 2010. Dan didapatkan hasil yang sama
hal-nya dengan 2 penelitian sebelumnya dengan batas skor NDDI-E diatas 15
dapat ditegakkan diagnosa depresi mayor, dengan sensitivitas 81,5% dan
spesifisitas 83,1% dan NPV 92,2%. Dan dengan reliabilitas konsistensi
internalnya 0.79 dan juga terdapat korelasi positif antara NDDI-E dan HAM-D.
Dari total 98 pasien , 27 orang (27%) didiagnosis depresi mayor berdasarkan
kriteria MINI-plus. Kelompok depresi maupun tanpa depresi tidak berpengaruh
pada jenis kelamin, umur, suku bangsa, status pernikahan dan status pekerjaan,
lamanya menderita epilepsi dan jenis kejangnya. Pasien dengan depresi memiliki
frekuensi kejang yang lebih tinggi, dan tidak terkontrol dalam 6 bulan terakhir,
dan memiliki nilai HAM-D dan NDDI-E Tidak ada hubungan bermakna antara
depresi dan jumlah OAE yang digunakan, dimana sebagian besar pasien mendapat
2 macam OAE. 13

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


40

Penelitian selanjutnya dilakukan di Spanyol oleh Danila Di Capua dkk,


pada April 2012.Dari karakteristik subjek, jenis kelamin, umur, etiologi, jenis
kejangnya, tipe kejang, waktu serangan, jumlah OAE yang dikonsumsi tidak
mempengaruhi terjadinya depresi padapasien epilepsi. Sedangkan median umur
awitan munculnya epilepsi dan penggunaan obat antidepresan mempengaruhi
bermaka terjadinya depresi. Dari analisis ROC (Receiver Operator Characteristik)
didapatkan cut-off point 13 dengan potensi yang lebih akurat, sensitivitas 84%,
spesifisitas 78%, PPV 64.7% dan NPV 92.2%. Dengan menggunakan cut-off point
13, didapatkan mean skor pasien depresi adalah 17.52
Penelitian di Jepang yang dilakukan oleh Yukari Tadokoro dkk, pada
bulan Agustus sampai Semptember 2011. Berdasarkan karakteristik subjek, tidak
ada perbedaan bermakna jenis kelamin, umur, status perkawinan status pekerjaan,
tipe kejang, lamanya menderita epilepsi dan riwayat pemakaian anti depresan,
jumlah OAE yang sedang dikonsumsi pada kelompok depresi mayor dan
kelompok non-depresi mayor. Dari penelitian ini didapatkan bahwa pasien dengan
depresi memiliki frekuensi kejang lebih tinggi. Didapatkan cut-off point NDDI-E
versi Jepang lebih dari 16, dengan sensitivitas 92% spesifisitas 89%, PPV 41%
dan NPV 99%.53
Di Korea penelitian mengenai validasi NDDI-E juga dilakukan oleh Pan-
Woo Ko dkk disuatu klinik epilepsi, pada tahun 2012. Dengan prosedur yang
sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan hasil cut-off point yaitu
>11, dengan sensitivitas 84.6%, spesifisiyas 85.3%, PPV 61,1% dan NPV 95.3%.
Dan berhubungan bermakna dengan BDI.
Di Indonesia NDDI-E sudah divalidasi oleh Rahmi (2013). Dengan
prosedur yang sama dengan penelitian sebelumnya. Pada awalnya dari validasi
transkultural didapatkan hasil yang tidak valid pada aitem pertanyaan pertama
“Everything is a struggle” dan setelah divalidai ulang, didapatkan kalimat “Semua
persoalan sukar diatasi” dan dengan Korelasi Pearson’s didapatkan hasil yang
valid. Pada uji reabilitas test-retest dan konsistensi internal dengan mencari nilai
Crobach alpha didapatkan hasil bahwa semua aiten NDDI-E reliable dan
konsisten dari waktu ke waktu.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


41

Tabel.2.10. NDDI-E versi Indonesia


Selalu atau Kadang- Jarang Tidak
Sering kadang pernah
Semua persoalan sukar diatasi 4 3 2 1
Tidak satupun yang 4 3 2 1
kukerjakan benar
Merasa bersalah 4 3 2 1
Lebih baik saya mati 4 3 2 1
Frustasi 4 3 2 1
Sulit menemukan kesenangan 4 3 2 1
Untuk pertanyaan-pertanyaan yang ada pada tabel, pasien diminta untuk melingkari nomor yang
paling cocok mendeskripsikan pernyataan-pernyataan tersebut selama 2 minggu terakhir, termasuk
hari ketika penilaian dilakukan

2.5. Uji Diagnostik


Uji diagnostik merupakan teknik untuk menilai keakuratan modalitas
diagnostik baru dibandingkan dengan modalitas diagnostik standar, yang disebut
sebagai baku emas. Berdasarkan kegunaanya uji diagnostik dibagi atas yang
berfungsi sebagai skrining, untuk memastikan atau menyingkirkan diagnosis,
untuk memantau perjalanan penyakit, dan menentukan prognosis 54
Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang
memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil
negative pada semua subyek yang tidak sakit. Dalam bahasa evidence-based
medicine pertanyaan yang harus dijawab apakah penelitian uji diagnostik tersebut
sahih (valid), hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam praktek. 54

2.5.1. Langkah-langkah Uji Diagnostik


2.5.1.1. Menentukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru
Suatu uji diagnostik baru diharapkan memberikan manfaat yang lebih
dibandingkan uji yang sudah ada. Namun tidak jarang penelitian dilakukan untuk
memperoleh uji diagnostik yang nilainya tidak lebih dari uji diagnostik yang
sudah ada dengan catatan:
- nilai diagnostik tidak jauh berbeda
- lebih nyaman bagi pasien (misalnya tidak invasif)
- lebih mudah dan lebih sederhana
- lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase dini.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


42

2.5.1.2. Menetapkan tujuan utama uji diagnostik


Tentukan apakah uji diagnostik yang baru akan digunakan untuk keperluan
skrining, diagnostik, atau untuk menyingkirkan suatu penyakit. Uji diagnostik
untuk skrining memerlukan sensitivitas yang tinggi; bila uji diagnostik untuk
skrining memberikan hasil positif, maka perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
lain. Uji diagnostik untuk konfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai sensitivitas
yang tinggi dengan spesifisitas yang cukup, sedangkan untuk menyingkirkan
penyakit, diperlukan uji dengan spesifisitas yang tinggi.

2.5.1.3. Menetapkan subjek penelitian


Subjek yang direkrut untuk keperluan penelitian uji diagnostik sangat
ditentukan oleh tujuan uji diagnostik tesrbut. Peserta dapat direkrut dari relawan
(skrining), pasien yang berobat untuk penyakit lain (case finding), atu pasien yang
datang dengan keluhan tertentu (diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostik
dilakukan, apakah dilakukan di masyarakat, puskesma, atau rumah sakit rujukan.

2.5.1.4. Menetapkan baku emas


Baku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam setiap penelitian uji
diagnostif. Telah disebutkan bahwa baku emas merupakan suatu uji diagnostik
terbaik yang tersedia. Kadang suatu alat diagnosis secare teoritis ideal dipakai
sebagai baku emas, namun kenyataanya tidak baik dipakai karena memberikan
hasil yang salah. Dalam prektek sehari-hari hanya sedikit baku emas yang ideal,
sehingga kita harus memakai uji diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas.
Kata terbaik disini berarti uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tertinggi. Baku emas dapat berupa uji diagnostik lain. Beberapa syarat
umum baku emas, yaitu :
1. Baku emas yang dipakai sebagai pembanding tidak boleh mengandung
unsur atau komponen yang diuji.
2. Baku emas tidak boleh mempunyai sensitivitas dan atau spesifisitas yang
lebih rendah dari pada uji diagnostik yang akan diteliti, atau paling tidak
54
sama dengan uji diagnostik yang akan diteliti

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


43

2.5.1.4. Melaksanakan pengukuran


Pengukuran terhadap variable prediktor (alat diagnostik yang diuji)
maupun variable efek (baku emas) harus dilakukan dengan cara standar, dan harus
diusahakan pengukuran dilakukan secara tersamar (masked, blinded), yakni
pemeriksa variable perdiktor (uji) tidak boleh mengetahui hasil pemeriksaan
variable efek (baku emas), dan sebaliknya. Karena itu sebaiknya ada 2 peneliti
atau lebih, satu untuk menentukan hasil positif atau negatif. Dapat saja peneliti
hanya satu orang, tetapi harus didesain sedemikian sehingga ia tidak mengetahui
hasil alat diagnostik yang diuji pada saat ia melakukan pemeriksaan dengan baku
emas, dan sebaliknya.

2.5.1.5. Melakukan Analisis


Hasil yang diperoleh dari suatu uji diagnostik adalah Sensitivitas,
Spesifisitas, nilai prediksi positif dan negative, serta rasio kemungkinan positif
dan negative.54
Sensitivitas dalam uji diagnostik adalah kemampuan suatu uji untuk
menentukan kelainan bila kelainan tersebut ada (positif benar), sedangkan
Spesifisitas adalah kemampuan uji untuk menyingkirkan suatu kelainan bila
kelaianan tersebut tidak ada (negative benar). PPV (positf prediktif value)
seberapa besar kemungkinan suatu hasil positif benar-benar positif, NPV
(negative predictive value) adalah seberapa besar kemungkinan suatu hasil negatif
54
adalah benar-benar negatif.

Tabel 2.11. Tabel Uji diagnostik 2x2


Baku emas
Positif Negatif Jumlah
Uji Positif A B a+b
Negatif C D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Sensitivitas = a : (a+c) Spesifisitas = d : (b+d)
Nilai Prediktif Positif = a : (a+b) Nilai Prediktif negatif = d : (c+d)

2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC)


Receiver Operator Curve (ROC) merupakan suatu cara menetukan titik
potong dalam uji diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar-menawar
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


44

antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y


sedangkan (1 – Spesifitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggi nilai
sensitivitas akan makin rendah nilai spesifisitas, dan sebaliknya.54 Dari prosedur
ROC, akan didapatkan nilai Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC secara
teoritis berada antara 50% sampai 100%. Nilai 50% merupakan nilai AUC
terburuk sementara 100% merupakan nilai AUC terbaik. Bila suatu pemeriksaan
diagnostik mempunyai nilai AUC sebesar 50% artinya bila pemeriksaan tersebut
dilakukan terhadap 100 orang pasien maka pemeriksaan tersebut akan
memberikan kesimpulan yang benar dalam menentukan ada atau tidaknya
penyakit pada 50 orang pasien. Selain itu juga didapatkan nilai interval
kepercayaan.
Selanjutnya perlu ditentukan titik potong (cut-off point), yaitu batas antara
normal dan abnormal, atau batas hasil positif dan hasil uji negatif. Bila
pengukuran variable prediktor (hasil uji) maupun efek (hasil baku emas)
dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan
titik potong. Bila skala hasil bersakala numerik, harus ditetapkan terlebih dahulu
titik potongnya. 54
Terdapat dua cara untuk menentukan titik potong. Pertama, titik potong
ditentukan secara klinis. Kedua titik potong ditentukan secara statistik. Penentuan
titik potong secara klinis merupakan penentuan titik potong yang ditetapkan oleh
peneliti sesuai dengan harapan peneliti dan kepentingan klinis. Apabila skor
pemeriksaan digunakan untuk tujuan skrining, titik potong yang dipilih adalah
yang memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. tetapi, bila skor pemeriksaan
digunakan untuk tahap akhir pemeriksaan akan ditentukan titik potong dengan
spesifisitas yang tinggi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


45

2.6. Kerangka Teori

Pengggunaan OAE

Faktor psikososial Genetik

EPILEPSI DEPRESI

memilki dampak Gangguan interaksi


hipereksitabiliti di gkukokortikoid
korteks dan proses Neurobiologi dengan reseptor
epileptogenik reseptor otau dengna
daerah yang mengatur
CRH

Abnormalitas Abnormalitas Abnormalitas Abnormalitas


neuro- struktur dan
HPA-aksis Immunologis
transmitter fungsi

Penurunan Abnormalitas Abnormalitas Peningkatan Sitokin pro-


Serotonin struktur fungsi CRH dalam LCS inflamatori (IL-
(5HTA1 dan
5HTA2) 1β)

Hipersekresi
Lobus gangguan fungsi ACTH
Penurunan temporal eksekutif yang
kadar Atrofi lobus nyata pada
norepinefrin temporal depresi berat
mesial
Peningkatan
episode sekresi
Lobus frontal : ACTH
Penurunan Atrofi lobus
aktivitas frontal
dopamine
Berkurangnya
respon ACTH
Paska antero- terhadap CRH
temporal
Penurunan lobektomi
GABA pada
plasma dan
LCS Peningkatan
pelepasan
kortisol dari
korteks adrenal
Peningkatan
glutanat

DST (+)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


46

2.7. Kerangka Konsep

MINI ICD 10

Sensitivitas
DEPRESI MAYOR Spesifisitas
pada pasien NPV
EPILEPSI PPV
Cut-off point

NDDI-E versi Indonesia

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


47

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian


Penelitian ini dilakukan menggunakan disain potong lintang untuk uji
diagnostik.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Poli Neurologi bagian epilepsi, lantai III poli rawat
jalan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, Jakarta.Pada bulan Juli 2013, setelah
mendapat izin dari komisi etik sampai jumlah sample penelitian terpenuhi.

3.3. Populasi Penelitian


Populasi penelitan adalah semua pasien epilepsi yang datang ke poli
neurologi-epilepsi lantai 3 Rumah Sakit Ciptomangunkusumo yang masuk dalam
kriteria inklusi selama periode penelitian.

3.4. Kriteria inklusi


1. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.
2. Usia diatas 18 tahun
3. Mendapat terapi obat antiepilepsi dengan dosis yang tetap minimal 1 bulan
terakhir.
4. Dapat membaca, menulis dan tidak tergantung orang lain untuk menjawab
5. Dapat berbahasa Indonesia

3.5. Kriteria eksklusi


1. Pernah didiagnosis gangguan psikiatri lainnya (episode manik, campuran
atau hipomanik, gangguan skizoafektif, skizofrenia, gangguan waham atau
gangguan psikotik lainnya)
2. Penyandang dengan gangguan pendengaran atau gangguan visus berat.
3. Pasien dengan keterbelakangan mental.
4. Menolak ikut penelitian

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


48

3.6. Estimasi Besar Sampel


Sampel untuk uji diagnostik :54
N = Zα2 sen (1-sen)
d2P
= (1,96)2 x 0,92 x 0,08 = 94,24 ~ 95
(0,1)2 x 0,30
N = jumlah sampel
Zα = Z pada tingkat kemaknaan α (α=0,05 Zα=1,96)
Sen = sensitivitas yang diinginkan, ditetapkan oleh peneliti 92% (0,92)
P = prevalensi penyakit berdasarkan kepustakaan 30% (P =0,30)10,12
d = tingkat kemaknaan absolut yang dikehendaki (0,1)

3.7. Sampel dan Pemilihan Sampel


Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-random
sampling jenis konsekutif. Sampel penelitan adalah subyek yang masuk kriteria
inklusi dan eksklusi.

3.8. Ijin Subyek penelitian


Semua calon sampel penelitian terlebih dahulu mendapat penjelasan secara
lisan tentang tujuan, cara kerja, dan manfaat penelitian, bila memahami dan setuju
untuk ikut penelitian kemudian mereka diminta menandatangani ijin penelitan
secara tertulis.

3.9. Cara Kerja


Penelitian mulai dilakukan pada sampel inklusi, dan data penelitian
dicatat pada formulir penelitian yang telah diuji coba. Terhadap semua subyek
penelitian dilakukan anamnesis untuk mengidentifikasi kriteria inklusi dan
eksklusi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan depresi dengan MINI-ICD 10,
kemudian dilanjukan dengan pemeriksaan NDDI-E oleh 2 orang pemeriksa yang
berbeda,

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


49

Pemeriksaan MINI - ICD 10 :


Pasien diwawancara oleh pemeriksa dengan mengisikan setiap jawaban ke
lembar kuesionaire MINI-ICD 10 sub-bagian derpesif.

Pemeriksaan NDDI-E :
Pasien disuruh mengisi sendiri tanpa bantuan pada lembar kuesionaire
NDDI-E yang terdiri dari 6 pertanyaan.

Kedua hasil diserahkan oleh peneliti dan disimpulkan oleh peneliti. Hasil
dari pengumpulan data penelitian setelah melalui proses editing dan koding, data
penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan
data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan
disusun dalam bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan
penelitian menggunakan perangkat SPSS versi 17.

3.10. Jenis Variabel


3.10.1. Variabel yang akan diuji :
 Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E) versi
Indonesia
3.10.2. Variabel pembanding :
 Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI ICD10) versi
Indonesia

3.11.Batasan operasional
 Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi
 Bangkitan epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh manifestasi
klinik yang berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat
menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom
ataupun psikis, yang terjadi secara tiba-tiba dan sementara yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


50

 Gangguan depresi mayor (Major Depression Disorder) didefinisikan


sebagai satu atau lebih episode depresi mayor tanpa adanya riwayat
episode manik, campuran atau hipomanik.
 Episode depresi mayor atau Episode depresif berdasarkan MINI-ICD10
diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan 2 gejala utama depresi
ditambah minimal 2 gejala penyerta depresi lainnya yang dirasakan selama
2 minggu terakhir.
 Episode manik, adalah suasana perasaan meninggi yang tidak sebanding
dengan keadaan individu, dapat bervariasi antara keriangan sampai
keadaan eksitasi yang hampir tidak terkendali, berlangsung sekurang-
kurangnya satu minggu dan cukup berat sehingga mengacaukan seluruh
atau hampir seluruh pekerjaan biasa dan aktivitas sosial.
 Episode hipomanik, adalah bentuk ringan dari mania, yang terdapat
peningkatan ringan suasana perasaan, menetap (sekurang-kurangnya
selama beberapa hari berturut-turut), peningkatan energi dan aktivitas, dan
biasanya perasaan sejahtera yang mencolok dan efisiensi baik fisik
maupun mental.
 Episode campuran, yaitu pasien yang menunjukkan gejala manik,
hipomanik dan depresif yang tercampur atau bergantian dengan cepat, dari
hari ke hari bahkan jam ke jam. Diagnosis dapat ditegakkan hanya jika
kedua kelompok gejala sama-sama mencolok selama masa terbesar dari
episode penyakit sekarang, dan jika episode ini berlangsung sekurang-
kurangnya 2 minggu.
 Gangguan skizoafektif adalah apabila gejala-gejala definitif adanya
skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang
bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lainnya,
dalam satu episode penyakit yang sama dan sebagai konsekuensinya,
episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode
manik atau deprsif.
 Skizofrenia ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan
khas, dan afek yang tidak wajar atau tumpul. Gangguan ini melibatkan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


51

fungsi yang paling mendasar yang memberikan orang normal suatu


perasaan kepribadian (individuality) yang unik.
 Gangguan waham ditandai secara khas oleh berkembangnya waham baik
tunggal maupun sebagai suatu sistem waham yang umumnya menetap dan
kadang-kadang bertahan seumur hidup, sedikitnya 3 bulan dan bersifat
khas pribadi dan bukan kultural.
 Obat anti epilepsi, adalah obat yang digunakan untuk mengatasi bangkitan
epilepsi (fenitoin, carbamazepin, asam valproat, fenobarbital, gabapentin,
lamotrigine, topiramate, zonisamide, levetiracetam dan oxcarbamazepine)
 Keterbelakangan mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hendaya
keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada
semua tingkat intelijensia, yaitu kemapuan kognitif, bahasa, motorik, dan
sosial.
 Gangguan pendengaran berat bila gangguan pendengarannya tersebut telah
menimbulkan hendaya dalam percakapan sehari-hari.
 Gangguan penglihatan berat berarti bahwa gangguan penglihatan yang
dialaminya menyebabkan keterbatasan pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari, sehingga membutuhkan bantuan orang lain.
 Plihan jawaban :
o Tidak pernah : 0
o Jarang : 3 kali atau kurang dalam dua minggu
o Kadang-kadang : 4-10 kali dalam dua minggu
o Selalu/sering : delapan kali atau lebih dalam dua minggu
 Riw. Depresi dlm keluarga, berarti terdapat gejala depresi atau pernah
didiagnosa depresi oleh ahli psikiatri pada salah satu anggota keluarga
yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan pasien.

3.12. Pengolahan data dan analisis data


Setelah melalui proses editing dan koding, data penelitian direkam dalam
cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan data secara elektronik.
Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel
distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian menggunakan
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


52

perangkat SPSS versi 17.


Setelah melalui proses editing dan koding, data penelitian direkam dalam
cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan data secara elektronik.
Didapatkan kurva ROC dari data yang telah di-input, dan dari kurva ROC
tersebut dapat ditentukan nilai AUC dan Confident Interval. Dari kurva ROC
juga dapat ditentukan titik potong hasil tawar menawar nilai sensitivitas dan
spesifisitas dari beberapa titik potong. Berdasarkan titik potong NDDI-E yang
telah ditentukan dan pemeriksaan standar MINI-ICD10 didapatkan tabel uji
diagnostik 2x2 yang dari sana dapat ditentukan nilai Sensitivitas, Spesifisitas,
NPV dan PPV.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


53

3.12. Kerangka Operasional

Kriteria eksklusi Pasien epilepsi

Kriteria inklusi

Tidak bersedia Informed consent

Bersedia

NDDI-E yang MINI-


valid dan reliabel ICD10

Analisis Hasil :
Sensitivitas,
Spesifisitas, NPP, NPV

ROC

Cut-off point

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


54

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Demografik Subyek Penelitian


Telah dilakukan penelitian terhadap seratus lima (105) penderita epilepsi
yang berobat ke poliklinik neurologi RSCM antara bulan Agustus sampai
September 2013 yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebaran
karakteristik demografik subyek penelitian diuraikan dalam tabel 4.1. Dari 105
subyek penelitian didapatkan 50 orang (47,6%) laki-laki dan 55 orang (52,4%)
pasien perempuan. Didapatkan 23 subyek penelitian yang mengalami gangguan
depresi mayor berdasarkan pemeriksaan standar baku MINI-ICD10 9 orang
(39,1%) laki-laki dan 14 orang (60,9%) pasien perempuan. Rata-rata umur 34,7
tahun. Pada tingkat pendidikan, didapatkan 90 (85,3%) pasien yang dapat
menyelesaikan SMU, dari 23 orang pasien dengan gangguan depresi mayor
pasien dengan pada kelompok yang dapat menyelesaikan SMU berjumlah 20
orang (86,9%). Untuk status pekerjaan, dari seluruh sampel penelitian terdapat 55
orang (52,4%) pasien yang memiliki pekerjaan dan 50 orang (47,6%) tidak
memiliki pekerjaan, dari 23 orang pasien dengan gangguan depresi mayor 13
orang (56,5%) tidak memiliki perkerjaan. Tidak ditemukan adanya riwayat
depresi keluarga pada seluruh subyek penelitian.
Tabel 4.1. Sebaran karakteristik subyek berdasarkan gangguan depresi mayor
Jumlah, Persen (%)
Karakteristik demografik Gangguan Non – Depresif Jumlah
depresi mayor (n = 82) Total
(n = 23 )
Jenis kelamin
 Laki-laki 9 (39,1%) 41 (50%) 50 (47,6%)
 Perempuan 14 (60,9%) 41 (50%) 55 (52,4%)
Umur rata-rata (tahun) 34,48 ± 10,82 34,79 ± 12,86 34,7±12,3
Pendidikan :
 < SMU 3 (13,1%) 12 (14,7%) 15 (14,3%)
 ≥SMU 20 (86,9%) 70 (85,3%) 90 (85,3%)
Pekerjaan :
 Bekerja 10 (43,5%) 45 (54,9%) 55 (52,4%)
 Tidak bekerja 13 (56,5%) 37 (45,1%) 50 (47,6%)
Riwayat depresi dalam keluarga
 ada 0 0 0
 tidak ada 23 (21,90%) 82 (78,10%) 105 (100%)
Skor NDDI-E rata-rata 14,5 ± 3,5 7,3 ± 1,3

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


55

4.2. Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under the Curve
(AUC)
Metode ROC adalah suatu metode statistik yang merupakan hasil tarik
ulur antara nilai sensitivitas dengan spesifisitas pada berbagai alternatif titik
potong yang disajikan dalam bentuk grafik. Sensitivitas digambarkan pada ordinat
Y, sedangkan (1-Sensitivitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggi nilai
sensitivitas maka akan makin rendah spesifisitasnya dan sebaliknya. Dari prosedur
ROC akan didapatkan nilai AUC.

Gambar. 4.1. Kurva ROC


Dari Kurva ROC, menunjukkan bahwa skor NDDI-E mempunyai nilai
diagnostik yang baik karena kurva ROC jauh dari garis 50% dan mendekati
100%.

Tabel. 4.2. Tabel AUC


Area Std. Asymptotic Asymptotic 95%
Error(a) Sig.(b) Confidence Interval
Lower Upper
Bound Bound
0,975 0,013 0,000 0,950 0,999

Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC adalah sebesar 97,5% (95%
IK 95%-99%), dengan p < 0,001. Secara statistik nilai AUC sebesar 97,5%
tergolong kuat.
Nilai AUC sebesar 97,5% artinya apabila skor NDDI-E digunakan untuk
mendiagnosis ada atau tidaknya gangguan depresi mayor pada 100 orang pasien
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


56

epilepsi, maka kesimpulan yang tepat akan diperoleh pada 97 orang pasien. Dan
berdasarkan interval kepercayaan (IK), diketahui bahwa nilai AUC skor NDDI-E
pada populasi epilepsi berkisar antara 95% sampai 99%.
Selanjutnya dari kurva ROC didapatkan beberapa alternatif nilai titik
potong, sensitivitas dan spesifisitas seperti yang ditampilkan pada tabel.13 berikut
ini.

Tabel. 4.3. Tabel koordinat kurva


No. Titik potong Sensitivity 1– Specificity
Specificity
1 ≥ 5,00 1,000 1.000 0
2 ≥ 6,50 1,000 0,707 0,293
3 ≥ 7,50 1,000 0,402 0,598
4 ≥ 8,50 1,000 0,244 0,756
5 ≥ 9,50 1,000 0,171 0,829
6 ≥ 10,50 0,913 0,110 0,89
7 ≥ 11,50 0,826 0,061 0,939
8 ≥ 12,50 0,739 0,024 0,976
9 ≥ 13,50 0,565 0,000 1
10 ≥ 15,50 0,478 0,000 1
11 ≥ 16,50 0,391 0,000 1
12 ≥ 17,50 0,304 0,000 1
13 ≥18,50 0,217 0,000 1
14 ≥19,50 0,130 0,000 1
15 ≥ 20,50 0,087 0,000 1
16 ≥ 22,50 0,043 0,000 1
17 ≥ 25,00 0,000 0,000 1

4.3. Penentuan Titik Potong


Pada penentuan titik potong secara statistik bila bertujuan sebagai
skrining, akan dipilih titik potong yang mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi.
Dari tabel koordinat kurva (tabel.4.3) didapatkan kurva garis sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


57

1,2

1
0,89
0,8
Sensitivity
0,6
Sensitivity
0,4 Specivicity

0,2

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitivitas dan spesifisitas

Titik potong optimal berada pada titik antara nomor 6 dan 7 atau pada
pada skor 10,5 dan 11,5. Berdasarkan tabel 4.3 skor NDDI-E 10,5 memiliki
sensitivitas 91,3% dan spesifisitas 89%, sedangkan skor NDDI-E 11,5 memiliki
sensitivitas 82,6% dan spesifisitas 93,9%. Titik potong ke 6 atau skor NDDI-E
≥10,5 yang memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi, lebih sesuai dengan
tujuan penggunaan instrumen NDDI-E tersebut pada penelitian ini, yaitu sebagai
skrining gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi. Hal ini berarti bahwa
pasien yang memiliki skor NDDI-E ≥ 10,5 atau ≥ 11 akan didiagnosis gangguan
depresi mayor.
Berikut adalah tabel uji Diagnostik Gangguan Depresi Mayor berdasarkan
NDDI-E versi Indonesia dengan standar baku yang biasa digunakan yaitu MINI-
ICD10

Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik Gangguan Depresi Mayor dengan NDDI-E versi
Indonesia berdasarkan MINI ICD-10 versi Indonesia
Gangguan Depresi Gangguan Depresi mayor
Mayor (MINI – ICD10)
(NDDI-E) Ya Tidak Total
Ya 21 9 30
Tidak 2 73 75
Total 23 82 105

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


58

Berdasarkan tabel uji diagnostik 2x2 diatas, dengan cut-off point atau titik
potong adalah ≥11 dengan sensitivitas 91,3% dan spesifisitasnya 89% dapat
ditentukan nilai prediktif positif (PPV) dan nilai prediktif negatif (NPV)
Sensitivitas = a : (a + c) = 21 : (21 + 2) = 21 : 23 = 0,913 (sesuai seperti pada
tabel 4.4)
Spesifisitas = d : (b + d) = 73 : (73 + 9) = 73 : 82 = 0,890 (sesuai seperti pada
tabel 4.4)
PPV = a : (a + b) = 21 : (21 + 9) = 21 : 30 = 0,7
NPV = d : (c + d) = 73 : (2 + 73) = 73 : 75 = 0,973

Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia untuk
diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10 versi Indonesia
Cut of NPV PPV Spec Sen AUC SE 95% CI P
score
≥ 10 1,000 0,829
≥ 11 0,973 0,70 0,890 0,913 0,975 0,13 (95% IK 0,000
95%-99%)
≥ 12 0,939 0,826
≥ 13 0,976 0,739

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


59

BAB 5
PEMBAHASAN

Saat ini, penilaian gangguan depresi mayor bukan merupakan pemeriksaan


rutin pada klinik-klinik neurologi, dan fakta yang ada juga membuktikan bahwa
sebagian pasien yang mengalami gangguan depersi mayor tidak terdeteksi
sehingga akhirnya tidak terobati. Hal ini dikarenakan deteksi depresi pada pasien
epilpsi cukup sulit dilakukan poli rawat jalan mengingat waktu yang diperlukan
cukup lama. Diperlukan pemeriksaan yang singkat, sederhana namun dapat
diandalkan untuk mendeteksi gangguan depresi mayor pada pasien epilpesi.
Pada penelitian ini dilakukan uji diagnostik NDDI-E versi Indonesia,
untuk mendapatkan nilai sensitivitas, spesifistas dan cut-off score NDDI-E versi
Indonesia yang dapat diaplikasikan pada populasi pasien epilepsi di Indonesia.

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian


Pada penelitian ini dalam kurun waktu 2 bulan didapatkan 105 penderita
epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Dari jumlah tersebut
berdasarkan pemeriksaan standar baku MINI-ICD 10 didapatkan 23 orang
(21,9%) diantaranya mengalami gangguan depresi mayor. Angka ini sesuai
dengan beberapa penelitian sebelumnya yaitu menurut Gilliam (2006) bahwa pada
klinik epilepsi didapatkan 20-55% pasien yang mengalami gangguan depresi,
sedangkan menurut Hamed SA menyatakan bahwa depresi merupakan gangguan
psikiatri yang paling sering terjadi pada pasien epilepsi dengan angka prevalensi
5,10,31
20-80%, dan juga beberapa penelitian lainnya. Dari 23 orang pasien yang
mengalami gangguan depresi mayor, terdiri dari perempuan 14 orang (60,9%) dan
laki-laki 9 orang (39,13%). Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya
yang juga menyatakan bahwa gangguan depresi mayor pada epilepsi lebih tinggi
pada wanita yaitu 71%, dan penelitian Daniela Di Capua (2012) di Spanyol 72%
perempuan, Yukari Todokoro (2012) di Jepang mendapatkan 58,3% dan De
oliveira di Brazil (2010) 70%.
Umur rata-rata gangguan depresi mayor dan non depresi pada epilepsi
sama yaitu 34 tahun, berkisar antara 23-45 tahun, dengan umur termuda 18 tahun
dan tertua 65 tahun. Rata-rata umur pada subyek populasi pasien epilepsi ini
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


60

hampir sama dengan penelitian Yukari Tadokoro di Jepang (2011), yaitu 34


tahun. Sedangkan kelompok non-depresi berumur rata-rata 38,5 tahun.
Untuk tingkat pendidikan, dari 23 pasien epilepsi yang mengalami
gangguan depresi mayor didapatkan persentase tertinggi pada kelompok pasien
dengan pendidikan terakhir SMU yaitu 15 orang (65,2%) dan yang terendah
adalah kelompok yang tidak menyelesaikan SMU yaitu 3 orang (13,1%) Hal ini
berbeda dengan penelitian Pan Woo Ko di Korea (2012) yang menyatakan
rendahnya tingkat pendidikan yang didapat juga mempengaruhi terjadinya depresi
pada pasien epilepsi. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pasien epilepsi tanpa
depresi dengan masa pendidikan rata-rata 13 tahun yang bila disetarakan dengan
pendidikan di Indonesia yaitu telah dapat menyelesaikan SMU. Pasien epilepsi
dengan depresi rata-rata masa pendidikannya adalah 10 tahun, yang bila
disetarakan dengan pendidikan di Indonesia yaitu yang belum dapat
menyelesaikan pendidikan SMU nya, sedangkan bila dihitung persentase
berdasarkan kelompok gangguan depresi mayor dan non-depresi pada tingkat
pendidikan terakhir SMU, dari 73 orang pasien yang berpendidikan terakhir SMU
terdapat 15 orang (20,55%) pasien mengalami gangguan depresi mayor, dan 58
orang (79,5%) tidak mengalami gangguan depresi. Hal ini juga berbeda dengan
penelitian M. Mula di Italy (2012) menyatakan bahwa tingkat depresi lebih tinggi
pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan pasien
tanpa depresi. Dari penelitian tersebut didapatkan pasien epilepsi dengan depresi
yang menyelesaikan senior high / SMU adalah 24,1% sedangkan pasien epilepsi
tanpa depresi yang dapat menyelesaikan senior high / SMU adalah 49,5%.
Perbedaan ini disebabkan karena tidak homogennya sampel subyek penelitian
berdasarkan tingkat pendidikan, dimana pada penelitian ini kelompok dengan
jumlah subyek terbanyak adalah kelompok yang dapat menyelesaikan SMU yaitu
73 orang (69,5%), sehingga persentase gangguan depresi mayor yang tertinggi-
pun adalah pada kelompok tingkat pendidikan ini.
Pada kategori status pekerjaan, dari 23 orang pasien epilepsi dengan
gangguan depresi mayor 13 orang (56,5%) diantaranya tidak memiliki pekerjaan,
dan 10 orang (43,5%) adalah pekerja Hasil ini sama dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa jumlah terbanyak pasien epilepsi dengan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


61

gangguan depresi mayor sebagian besar adalah pada kelompok yang tidak
memiliki pekerjaan. Diantaranya penelitian Gilliam (2006), dengan persentase
tertinggi gangguan depresi mayor terjadi pada kelompok yang tidak memiliki
pekerjaan (unemployed) yaitu 34% dan penelitian Yukari Tadokoro (2012)
dengan metode yang sama yaitu 25%.
Pada kelompok riwayat depresi pada keluarga tidak didapatkan data yang
menyatakan bahwa memang terdapat riwayat depresi keluarga pada pasien
epilepsi dengan gangguan depresi mayor maupun tanpa depresi mayor. Kanner
pada penelitiannya menyatakan bahwa faktor risiko yang lazim berkembang
menjadi gangguan depresi pada pasien dengan atau tanpa epilepsi adalah riwayat
depresi pada keluarga. Hal ini dapat disebabkan karena tidak diperiksa secara
langsung anggota keluarga pasien epilepsi tersebut.

5.2. Receiver Operating Characteristic dan Area Under the Curve


Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC pada penelitian ini adalah
97,5%. Yang berarti bahwa skor NDDI-E yang digunakan untuk mendiagnosis
ada atau tidaknya ganggun depresi mayor pada 100 orang pasien epilepsi,
kesimpulan tepat akan diperoleh pada 97 pasien. Berdasarkan kurva ROC
ditunjukkan bahwa skor NDDI-E memiliki nilai diagnostik yang baik karena
kurva ROC jauh dari garis 50% dan mendekati 100%. Selain itu berdasarkan
metode ROC tersebut juga didapatkan nilai interval kepercayaan (IK) yaitu (95%
IK 95-99%), yang berati bahwa nilai AUC skor NDDI-E pada populasi epilepsi
berkisar antara 95% sampai 99%, dengan nilai p < 0,001.
Hasil penelitian ini hampir sama dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan metode dan standar baku yang sama, yaitu
penelitian Pan Woo Ko (2012) di Korea dengan hasil AUC 93,5% pada titik
potong 11 dengan IK 95% 87,5-97,2% dan nilai p < 0,001. Selain itu penelitian
Gilliam (2006) di New York dengan AUC 94% dengan IK 95% 90-98% dan nilai
p < 0,001 pada titik potong 15, dan penelitian Guilherme (2010) di Brazil dengan
titik potong yang sama didapatkan nilai AUC 89% dengan IK 95% 83-96% dan p
< 0,001. Di Spanyol penelitian oleh Di Capua (2012) dengan nilai AUC 89%
dengan IK 95% 84-95% dan p <0,001 dan penelitian Mula di Italy (2012) dengan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


62

AUC 94,3% dengan KI 95% 90-98,5% dan p < 0,001 pada titik potong 13. Hasil
penelitian lain yang juga tidak jauh berbeda adalah penelitian Yukari Tadokoro
(2011) di Jepang dengan AUC 96% dengan KI 92-99,5% dan p < 0,001 pada titik
potong tertinggi yaitu 16. .

5.3. Penentuan titik potong


Selanjutnya perlu ditentukan titik potong (cut-off score), yaitu batas antara
normal dan abnormal atau batas hasil positif dan negatif. Pada penentuan titik
potong secara statistik yang bertujuan sebagai skrining, akan dipilih titik potong
yang mempunyai nilai sensitivitas tertinggi.
Titik potong optimal berada pada titik antara nomor 6 dan 7 atau pada
pada skor ≥10,5 dan ≥11,5. Berdasarkan tabel.4.6 skor NDDI-E 10,5 memiliki
sensitivitas 91,3% dan spesifisitas 89%. Sedangkan skor NDDI-E memiliki
sensitivitas 82,6% dan spesifisitas 93,9%. Titik potong ke 6 dengan skor NDDI-E
≥10,5 yang memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi, dan lebih sesuai dengan
tujuan penggunaan instrumen NDDI-E sebagai skrining depresi pada pasien
epilepsi. Hal ini berarti bahwa pasien yang memiliki skor NDDI-E ≥ 10,5 atau ≥
11 akan didiagnosis mengalami gangguan depresi mayor.
Dari tabel uji Diagnostik Gangguan Depresi Mayor NDDI-E versi
Indonesia berdasarkan standar baku yang biasa digunakan yaitu MINI-ICD10
didapatkan hasil bahwa dari 105 pasien epilepsi yang mengikuti penelitian
terdapat 21(91,3%) pasien mengalami gangguan depresi mayor berdasarkan
NDDI-E dan MINI-ICD10, dan 2 orang (8,7%) dinyatakan mengalami gangguan
depresi mayor berdasarkan MINI-ICD 10 namun tidak terdeteksi dengan
menggunakan NDDI-E versi bahasa Indonesia. 73 orang (89,02%) dinyatakan
tidak mengalami gangguan depresi mayor berdasarkan NDDI-E dan MINI-ICD10
dan 9 orang (10,98%) dinyatakan tidak mengalami gangguan depresi namun
sebaliknya berdasarkan NDDI-E versi Indonesia.
Berdasarkan tabel uji diagnostik 2x2 diatas, dengan cut-off point atau titik
potong adalah ≥11 yang berarti bahwa skor NDDI-E 11 merupakan batas
terdapatnya gangguan depresi mayor dan yang tidak. Skor NDDI-E ≥11
dinyatakan positif terdapat gangguan depresi mayor. Nilai sensitivitas 91,3%

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


63

yang berarti bahwa dengan instrumen NDDI-E dapat menentukan sebesar 91,3%
gangguan depresi mayor bila gangguan tersebut memang benar ada (postif benar),
dan nilai ini lebih baik dibandingkan cut-off score ≥11,50 yang memiliki
sensitivitas 82,6% walaupun dengan spesifisitas yang lebih tinggi yaitu 93,9%.
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu uji diagnostik terhadap instrumen NDDI-E
sebagai skrining depresi pada epilepsi, sehingga yang lebih di pilih adalah yang
memiliki sensitivitas yang lebih baik. Spesifisitasnya instrumen NDDI-E ini
adalah 89%, yang berati bahwa dengan instrumen NDDI-E dapan menyingkirkan
sebesar 89% gangguan depresi mayor bila gangguan tersebut tidak ada (negatif
benar). Selain itu juga dapat ditentukan nilai prediktif positif (PPV) sebesar 70%
yang berarti bahwa instrumen NDDI-E dapat menentukan 70% kemungkinan
gangguan depresi mayor ada (postif) bila benar-benar ada. Nilai prediktif negatif
(NPV) sebesar 97,3% yang berarti bahwa instrumen NDDI-E dapat menentukan
97,3% gangguan depresi mayor tidak ada (negatif) bila memang tidak ada.
Hasil uji diagnostik instrumen NDDI-E pada penelitian ini hampir sama
bahkan lebih baik dibandingkan dengan hasil uji diagnostik di negara asalnya
USA, penelitian yang dilakukan Frank Gilliam dkk menghasilkan nilai sensitivitas
sebesar 81%, spesifisitas 90%, PPV 62% pada titik potong >15 dengan standar
baku MINI-DSM IV. Hasil penelitian ini juga lebih baik dibandingkan hasil
penelitian di beberapa negara lainnya dengan titik potong yang berbeda. Seperti di
penelitian di Brazil oleh Guilherme Nogueira M de Olivera dkk (2010) dengan
titik potong skor NDDI-E 15 untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi
mayor, didapatkan nilai Sensitivitas 81,5% Spesifisitas 83,1% dan NPV 92,2%
dengan standar baku MINI-SCID.13 Penelitian di Spanyol oleh Danila Di Capua
dkk (April 2012) dengan cut-off point 13 sensitivitas 84%, spesifisitas 78%, PPV
64.7% dan NPV 92.2% dengan standar baku MINI-DSM IV.51 Penelitian di
Jepang yang dilakukan oleh Yukari Tadokoro dkk, (2011) didapatkan cut-off point
NDDI-E versi Jepang lebih dari 16, dengan sensitivitas 92% spesifisitas 89%,
52
PPV 41% dan NPV 99% dengan standar baku MINI-DSM IV dan ICD 10. Di
Korea penelitian mengenai validasi NDDI-E juga dilakukan oleh Pan-Woo Ko
dkk disuatu klinik epilepsi, pada tahun 2012. Menggunakan prosedur yang sama
dengan penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan hasil cut-off score yaitu >11,

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


64

dengan sensitivitas 84.6%, spesifisiyas 85.3%, PPV 61,1% dan NPV 95.3%
dengan standar baku MINI DSM IV dan ICD 10. Penelitian di Italia oleh Mula
dkk (2012) dengan cut-off point 13, dengan sensitivitas 86,2% spesifisitas 89%
PPV 71,4% dan NPV 95,3% dengan standar baku MINI DSM IV dan ICD 10.
Perbedaan titik potong antar negara yang menghasilkan nilai sensitivitas,
spesifisitas, NPV dan PPV yang berbeda disebabkan karena beberapa hal. Nilai
titk potong skor NDDI-E pada populasi pasien epilepsi di Indonesia sama dengan
tititk potong di Korea, batas ini merupakan titik potong terendah dibandingkan
negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti
gambaran demografik, klinis serata budaya yang berbeda-beda. Lebih ringannya
gejala gangguan depresi mayor dapat menyebabkan cut-off point yang lebih
rendah pula. Dari nilai rata-rata skor NDDI-E versi Indonesia yaitu 14,5 (± SD
3,5) yang hampir sama dengan nilai rata-rata skor NDDI-E versi Korea yaitu 15,3
(±4,5) pada cut-off score 11. Sedangkan pada cut-off score yang lebih tinggi yaitu
pada NDDI-E versi Italia dengan cut-off score 13 didapatkan rata-rata skor NDDI-
E 16,8 (± SD 3,1), pada NDDI-E versi Jerman dengan cut-off yang lebih tinggi
yaitu 14 didapatkan skor rata-rata NDDI-E nya 16,7 (± SD 3,2), pada NDDI-E
versi Brazil dengan cut-off 15 didapatkan rata-rata skor NDDI-E 18 (± SD 3). Dan
pada cut-off score tertinggi yaitu pada NDDI-E versi Jepang dengan cut-off score
16 didapatkan skor rata-rata yang juga lebih tinggi yaitu 19,2 (± SD 2,3). Dari
perbandingan rata-rata skor NDDI-E ini menunjukkan bahwa makin tingginya
rata-rata skor NDDI-E maka makin tinggi pula cut-off score NDDI-E, yang berarti
bahwa makin berat gejala gangguan depresi yang terjadi, dan sebaliknya.
Penyebab lainnya adalah pengaruh lintas budaya yang tidak dapat
dikesampingkan, dimana masyarakat Indonesia tidak menyadari dan menganggap
gejala-gejala depresi tersebut merupakan bagian dari penyakit epilepsinya,
sehingga subyek pasien epilepsi pada penelitian ini merasa tidak terlalu penting
untuk menunjukkan gejala mereka pada pemeriksaan NDDI-E. Dan dikatakan
juga oleh Khairani bahwa masih terdapat stigma yang buruk terhadap epilepsi
pada masyarakat Indonesia, sehingga penderita epilepsi sendiri terkadang malu
untuk mengakui penyakit yang dideritanya. 58

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


65

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
a. The Neurological Disorder Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
versi bahasa Indonesia akurat dalam mendeteksi gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi, dengan nilai Sensitivitasnya 91,3% dan
Spesifisitanya 89%.
b. NDDI-E versi bahasa Indonesia dapat mendeteksi gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi pada titik potong 11.

6.2. Saran
a. NDDI-E dapat membantu mendeteksi gangguan depresi mayor pada
pasien epilepsi, dan dapat dijadikan pemeriksaan rutin yang dilakukan di
poliklinik rawat jalansehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap pasien epilepsi dan pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hidup pasien epilepsi.
b. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari prevalensi gangguan depresi
mayor pada pasien epilepsi dewasa serta faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya gangguan depresi mayor tersebut.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014


66

DAFTAR PUSTAKA

1. Engel J, Pedley TA. Introduction : what is epilepsy. In Engel J PT. Epilepsy a


comprehensive Textbook. 2nd ed. USA: Lippincott Williams & Willeins;
2008. p. 1-7.
2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. In Epilepsi KS, editor. Pedoman
tatalaksana epilepsi. 4th ed. Jakarta: PERDOSSI; 2012. p. 1-2.
3. Panayiotopolus C. Syndromes and management. In The Epilepsi seizure. UK:
Blandom medical Publishing; 2005. p. 1-26.
4. Kanner AM, Steven C, Schachter, Barry JJ, Hersdorrfer DC, Mula M, Trimble
M, et all. Depression and epilepsy, pain, and psychogenic non-epileptic
seizure : Clinical and therapeutic perspective. In Epilepsy and Behavior.:
Elsevier; 2012. p. 196-181.
5. Hamed SA, Metwaly NAH, Hassan MM.. Deppession in adult with epilepsy :
Relation to psychobiological variable. In. In World Journal of Neurology.
Egypt; 2012. p. 1-10.
6. Benerjeen PN, Hauser WA. Incidence and Prevalence. In Engel J PT. Epilepsy
a comprehensive Textbook. USA: Lippincott Williams & Willeins; 2008. p.
45-56.
7. Kanner AM, Frey M. Treatment of common comorbid psychiatric disorder in
epilepsy : a review of practical strategies. In Theraupetic Strategies in
Epilepsy. England: Atlas medical publishing - Oxford; 2009. p. 281-304.
8. Association AP. mood disorder. In Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder DSM-IV-TR. Washington: American Psychiatric
Association; 2000. p. 345-356.
9. Rochmawati I. Bobot pengaruh tipe bangkitan terhadap kejadian depresi pada
penderita epilepsi di poliklinik saraf RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
Yogyakarta: fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2008.
10. Gilliam FG, Barry JJ, Herman BP, Meador KJ, Vahle V, Kanner AM. Rapid
detection of major depression in epilepsy : a multicentre study. In.: Lancet
Neurology; 2006. p. 399-405.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
67

11. Friedman DE, Kung DH, LaowattanaS, Kass JS, Hrachovy RA, Levin HS.
Identifying depression in epilepsy in a busy clinical setting is enhanced with
systematic screening. seizure. 2009.
12. Friedman DE, Kung HD, Laowattana S. Identifying depression in epilepsy in
a busy clinical setting enhanced with systemic screening. In Seizure. British:
Elseiver; 2009.
13. de Oliveira GNM, Kummer A, Salgado JV, Portela EJ, David AS, Kanner
AM, Teixeira AL. Brazilian version of the Neurological Disorders Depression
Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. 2010 Juni.
14. Siregar T. Gambaran Tingkat Risiko Gagasan bunuh diri pada pasien dengan
gangguan depresi mayor Medan: Departemen Kesehatan Jiwa, Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara Medan; 2012.

15. Dodson W. Definition and clasification of epillepsy. In Sorvon S PEFDDW.


the treatment of epilepsy. 2nd ed. USA: Blackwell Science Ltd.; 2004. p. 3-20.
16. Engel J, Willimson PD, Bergt AT, Wolf P. Classification of Epileptic Seizure.
In Engel J PT. Epilepsy a Comprehensive textbook. 2nd ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins ; 2008. p. 511-519.
17. Engel J, Fejerman N, Bergt AT, Wolf P. Classification of Epilepsy. In Engel J
PT. Epilepsy a Comprehensive textbook. 2nd ed. USA: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008. p. 767-772.
18. JS P. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicinus.
2008 November; 21.
19. Bear D. The Comprehensive Evaluation and Treatment of Epilepsy. American
Press. 1997.
20. Shorvon S. The treatment of Epilpsy. London: Oxford University Press; 2009.
21. McNamara J. Mechanism of epilepsy. Annu.Rev.Med. 1994; 45: p. 379-89.
22. Kanner A. Peri-ictal Psychiatric phenomena. In The Neuropsychiatry of
Epilepsy.; 2011.
23. Blume WT, Luders HO, Mizrahi E, Tassinari C. Glossary of Description

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
68

Terminology for Ictal Semiology : Report of the ILAE Task Force on


Classification and Terminology. Epilepsia. 2001; 42 (9).
24. Tomb D. Gangguan mood. In Mahatmi T, editor. Buku saku psikiatri. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2004. p. 47-65.
25. Newport DJ, Nemeroff CB. Assesment and treatment of depression in the
cancer patient. In.: J Psychosom; 1998. p. 215-237.
26. Kaplan HI, Saddock BJ. mood disorder. In Synopsis of Psychiatric Behavioral
Science, Clinical Psychiatric. 7th ed.: Baltimore : Williams & Wilkins; 1994.
p. 539-552; 568-571.
27. Amir N. Gangguan Mood. In Depresi : aspek neurobiologi diagnosis dan
tatalaksana. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2005. p. 5-22.
28. Republik Indonesia D. Pharmaceutical care untuk penderita epilepsi: Bhakti
Husada; 2007.
29. Stefanis C. Diagnosis of Depressive Disorders: A Review. In Evidence and
Experience in Psychiatric. England: John Wiley & Sons; 2002. p. 1-51.
30. Costas N, Nicholas C. Diagnosis of Depression Disorders : a review. In
Psychiatric EaEi. Depressive Disorders. Inggris: Wiley; 2002. p. 1-42.
31. Departemen Kesehatan R. gangguan suasana perasaan (mood[afektif]). In RI
DK. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1st ed. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 1993. p. 137-166.
32. Hesdorffer DC, Krishnamoorthy ES. Neuropsychiatric disorders in epilepsy :
epidemiology and classification. In Trimble MR SB. The Neuropsychiatry of
Epilepsy. 2nd ed. New York: Cambridge University; 2011. p. 3-13.
33. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Epilepsi dan penyakiy organik. In
Anugerah dP, editor. catatan kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta: EGC; 1995.
34. Mula M, Schmitz B. Depression in Epilepsy : Mechanism and therapeutic
approach. Therapeutic advances in neurological disorders. 2009 september: p.
337.
35. mendez MF. Neuropsychiatric Aspect of Epilepsy. In Saddock BJ SVRP.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
69

Comrehensive Textbook of Psychiatry. 9th ed. Philladelphia: Lippincot


Williams & Wilkins; 2009. p. 451-463.
36. Cummings ea. Epilepsy and Temporal-limbic Syndromes. In Cummings JL
MM. Neuropsychiatry and Behavioral Neuroscience. 1st ed.: Oxford
University Press; 2003. p. 314-332.
37. Saddock ea. Mental Disorder Due to a General Medical Conditions. In Sadock
BJ SV. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry.
10th ed. Philladelphia: Lippincot, Williams & Wilkins; 2007. p. 360-363.
38. Jones ea. Clinical Assesment of Axis I Psychiatric Morbidity in Chronic
Epilepsy: A Multicenter Investigation. The Journal of Neuropsychiatry and
Clinical Neurosciences. 2005;: p. 172-179.
39. Kanner A. Can Neurobiological pathogenic mechanism of depression facilitate
the development of seizure disorsers? Lancet Neurology. 2012.
40. Duman RS, Heninger GR, Nestler EA. a molecular and cellular theory of
depression. In.: Arch gen psychiatric; 1997. p. 597-606.
41. Thase M. Mood disorder : Neurobiology. In Saddock BJ SV. Comprehensive
Textbook of Psychiatry.: Lippicott Williams & Wilkins; 2000. p. 1318-1327.
42. Bhagwagar ZB, Whale R, Cowen PJ. State and trait abnormalities in serotonin
function in major depression. Br Journal Psychiatry. 2002;: p. 24-28.
43. Kanner A. Affective disorder. In Engel JJ PT. Epilepsy a comprehensive
textbook. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p.
4216-4235.
44. Green AI, Mooney JJ, Ponsener JA, Schildraut JJ. mood disorder :
biochemical aspect. In Kaplan HI SB. Comprehensive textbook of Psychiatry.
Maryland: Baltimore, Williams & Wilkins; 1995. p. 1089-1102.
45. Mazarati, MA. Sankar, R. Shin,D. comorbidity between epilepsy and
depression : Experimental evidence for the involvement of serotonergic,
glucocorticoid, and neuroinflammmatory mechanism. Epilepsia. 2010 July.
46. Baehr M, Frotscher M. Sistem Limbik. In WJ S, editor. Diagnosis topik
neurologi : anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010. p.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
70

276-285.
47. Sheehan DV, Lecrubier Y, Sheehan H, Ammorium P, Janac J. the Mini
International Neurpsychiatric Interview (MINI) : the development and
Validation of a Structrured Diagnostic Psychiartrics Interview for DSM IV
and ICD 10. J Clin Psychiatry. 1998;: p. 22-33.
48. Anfasha F, Primastari E, Runtulalo F, Irdam GA, Priyonigroho G,
Hastiningsih W, Adjie JMS, Wawolumaya C. Uji Tapis depresi menggunakan
MINI ICD-10 dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien dengan
keganasan ginekologi di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Majalah Obstetric dan Ginekologic Indonesia. 2008 Juli; 32.
49. medical outcome system. [Online].; 2012 [cited 2013 april. Available from:
https://medical-outcomes.com/index/mini.
50. Hidayat D, Ingkiriwang E, Andri, Asnawi E, Widya RS, Susanto DH.
Penggunaan Metode Dua Menit (M2M) dalam menentukan prevalensi
gangguan jiwa di pelayanan primer. majalah kedokteran Indonesia. 2010
Oktober; 60.
51. Capua DD, Garcia ME, Ferrer AR, Ferrer MF, Toledo R, Nagel AG, Ptaceck
SG, Kanner AM, Morales IG. Validation of the Spanish version of the
Neurology Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy
and Behaviour. 2012 April.
52. Tadokoro Y, Oshima T, Fukuchi T, Kanner AM, Kanemoto K. Screening for
major depressive episode in Japanese Patient with epilepsy : Validation and
translation of the Japanese version of Neurological Disorders Depression
Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behavior. 2012 April.
53. Pusponegoro HD, Wirya IGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SJ. Uji
Diagnostik. In Sastroasmoro S ID. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Sagung Seto; 2008. p. 193-216.
54. Dahlan M. penelitian diagnostik, dasar-dasar teoritis dan aplikasi dengan
program SPSS dan Stata Jakarta: Salemba Medika; 2009. 5

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
71

55. Woo Ko P, Hwang J, Won Lim H,. Reability and Validity of the Korean
version of the Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (K-
NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. Korea July, 2012
56. Mula M, Iudice A, La Neve A, Mazza S, Kanner AM,. Validation of the
Italian Version of the Neurological Disorder Depression Inventory for
Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. Italy, April 2012.
57. Metternich B, Wagner K, Buschman F,. Validation of the German version of
the Neurological Disorder Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E).
Epilepsy and Behaviour. Germany, July 2012.
58. Khairani A,. Pengetahuan, Persepsi dan sikap masyarakat Terhadap Epilepsi
(sebuah studi mixed method). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Syaraf. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
72

Lampiran 1.

The Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy


(NDDI-E)
Versi Indonesia

Selalu atau Kadang- Jarang Tidak


Sering kadang pernah
Semua persoalan sukar 4 3 2 1
diatasi
Tidak satupun yang 4 3 2 1
kukerjakan benar
Merasa bersalah 4 3 2 1
Lebih baik saya mati 4 3 2 1
Frustasi 4 3 2 1
Sulit menemukan 4 3 2 1
kesenangan
Untuk pertanyaan-pertanyaan yang ada pada tabel, pasien diminta untuk melingkari
nomor yang paling cocok mendeskripsikan pernyataan-pernyataan tersebut selama 2
minggu terakhir, termasuk hari ketika penilaian dilakukan

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
73

Lampiran 2

Lembar Informasi Subyek Penelitian

Nama Peneliti : dr. Izati Rahmi


Departemen Neurologi FKUI / RSCM JI. Diponegoro Jakarta Pusat

Bapak / ibu yth , saat ini kami dari bagian Neurologi sedang melakukan
penelitian dengan judul "Uji Diagnostik the Neurological Depression Disorders
Inventory for Epilepsy pada pasien Epilepsi dengan Gangguan Depresi
Mayor” untuk skrining gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi.
Gangguan depresi merupakan kelainan yang sering terjadi pada pasien
epilepsi, keadaan depresi yang berlanjut dan makin memburuk akan
menyebabkan penurunan kualitas hidup dan berpeluang untuk menimbulkan ide-
ide untuk bunuh diri, sehingga diperlukan deteksi yang lebih awal.
Bila anda berusia ≥ 18 tahun, diharapkan ikut dalam penelitian ini. Bila
besedia maka dokter akan melakukan wawancara. Apabila telah memenuhi
persyaratan akan dilakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis, dan
pemeriksaan NDDI-E dan MINI-ICD 10. Pemeriksaan diatas tidak memerlukan
sedasi (obat tidur), tidak memerlukan pembiusan dan gratis.
Anda bebas menolak ikut penelitan ini tanpa mengurangi kualitas
pelayanan dokter terhadap anda. Bila Anda bersedia ikut, mohon membubuhkan
tanda tangan di bawah ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara
rahasia sehingga tidak memungkinkan orang lain untuk mengetahui.
Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas
sehubungan dengan perelitian ini. Jika dibutuhkan penjelasan lebih lanjut dapat
menghubungi dr. Izati Rahmi, Departemen Neurologi FKUI/RSUPN-CM
Jakarta.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
74

Lampiran 3
Formulir Persetujuan

Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo
Jakarta

LEMBAR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Bersama ini saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :

Telah mendapat keterangan secukupnya dan mengerti manfaat penelitian tersebut


di bawah ini dengan judul :

"Uji Diagnostik the Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy


(NDDI-E) versi Indonesia pada pasien Epilepsi dengan Gangguan Depresi
Mayor”

Dengan menandatangani formulir ini saya setuju ikut dalam penelitian ini secara
sukarela dengan catatan bila sewaktu-waktu dirugikan dalam bentuk apapun, saya
berhak membatalkan keikutsertaan saya dalam penelitian ini.

Jakarta, …………… 2013


Mengetahui,
Yang Memberi Penjelasan Yang menyetujui

(…………………………) (…………………………..)

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
75

Lampiran 4

DAFTAR PERTANYAAN PASIEN

1. Usia subjek
2. Apakah pasien mengalami gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan
yang berat ?
3. Apakah pasien dengan keterbelakangan mental ?
4. Apakah pasien dapat berbahasa Indonesia ?
5. Apkaha pasien dapat membaca, menulis ?
6. Apakah anda saat ini sedang mengkonsumsi obat anti epilepsi ? sejak kapan ?
7. Apakah pernah didiagnosa gangguan psikiatri lainnya?

Jika pasien menjawab ya pada nomor 2-3, maka pasien tidak diikutkan dalam
penelitian.

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
76

Lampiran 5

FORMULIR PENGISIAN DATA PASIEN

Identitas Pasien
Nomor Pasien :
Nomor Rekam Medis :
Nama :
Alamat/No. Telepon :

Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan


Umur : …………..tahun
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Status perkawinan : belum menikah / menikah / pernah menikah
(cerai/meninggal)

Anamnesis kejang
Lama menderita epilepsi :
Frekuensi kejang tiap bulan : kali
Kontrol kejang (6 bulan terakhir) : baik / buruk
Kejang terakhir :
Pencetus kejang : ada / tidak ada (jika ada : ...........................)
Riwayat depresi sebelumnya : ada / tidak ada (jika ada, kapan? ................)
Riwayat depresi dalam keluarga : ada / tidak ada (jika ada, siapa? .................)

Data pasien :
Tipe bangkitan epilepsi :
Sindroma Epilepsi :
Gambaran EEG :

Gambaran MRI :

Obat Anti Epilepsi yang dikonsumsi saat ini : 1.


2.
3.

Lama penggunaan obat-obat tersebut :


Obat Anti Epilepsi yang pernah dikonsumsi :
Penyakit penyerta lainnya :

Skor NDDI-E : .………...........

Kriteria berdasarkan MINI-ICD10 : 1. Gangguan depresi mayor


2. Non-Gangguan Depresi Mayor

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
77

Lampiran 6
Lembar Kuesioner
MINI-ICD 10
(Sub-bagian Episode Depresif)

A1. Selama 2 minggu terakhir :


a. Apakah anda secara terus menerus merasa sedih, depresif, atau murung; hampir
sepanjang hari, hampir setiap hari ? ( tidak / ya )
b. Apakah anda hampir sepanjang waktu kurang berminat terhadap banyak hal atau
kurang bisa menikmati hal-hal yang biasanya anda nikmati ? ( tidak / ya )
c. Apakah anda merasa lelah atau tidak bertenaga, hampir sepanjang waktu ?
( tidak / ya )

JIKA KURANG DARI 2 “YA” PADA A1 STOP

A2. Selama 2 minggu terakhir, ketika anda merasa sedih/depresif/tak berminat/lelah :


a. Apakah nafsu makan anda berubah secara mencolok atau apakah berat badan anda
meningkat atau menurun tanpa upaya yang disengaja ? ( tidak / ya )
b. Apakah anda mengalami kesulitan tidur hampir setiap malam (kesulitan untuk mulai
tidur, terbangun tengah malam atau terbangun lebih dini, tidur berlebihan)?
( tidak / ya )
c. Apakah anda berbicara atau bergerak lebih lambat daripada biasanya, gelisah, tidak
tenang atau mengalami kesulitan untuk tetap diam? ( tidak / ya )
d. Apakah anda kehilangan kepercayaan diri, atau apakah anda merasa tak berharga atau
bahkan lebih rendah daripada orang lain ? ( tidak / ya )
e. Apakah anda merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri ? ( tidak / ya )
f. Apakah anda mengalami kesulitan berpikir atau berkonsentrasi, atau apakah anda
mempunyai kesulitan untuk mengambil keputusan ? ( tidak / ya )
g. Apakah anda berniat untuk menyakiti diri sendiri, ingin bunuh diri atau berharap bahwa
anda mati ? ( tidak / ya )

APAKAH 4 AITEM ATAU LEBIH SEJAK A1 DIBERI KODE “YA” F TIDAK YA


3 EPISODE
2 DEPRESIF

A3. Jika pasien memenuhi kriteria untuk episode depresif


a. Selama hidup anda, pernahkah anda selama dua minggu atau lebih merasa depresi dan
mengalami hal-hal yang baru kita bicarakan ? ( tidak / ya )
b. Sebelum anda merasakan depresi ini, apakah anda merasa baik saja selama sekurangnya
dua bulan ? ( tidak / ya )

APAKAH A3b DIBERI KODE “YA” ? F TIDAK YA


GANGGUAN
3
DEPRESIF
BERULANG

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
78

Lampiran 7

Anggaran Penelitian

Keterangan Jumlah
Pengumpulan literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp. 1.500.000,-
Pembuatan makalah
 Referat 30 eks @ Rp15.000,- Rp. 450.000,-
 Pra proposal 10 eks @ Rp. 20.000,- Rp. 200.000,-
 Proposal penelitian 20 eks @ Rp.20.000,- Rp. 400.000,-
 Hasil penelitian 10 eks @ Rp 30.000,- Rp. 300.000,-
 Pengurusan Etik Penelitian Rp. 300.000,-
Tinta Printer Rp. 750.000,-
Kertas 5 rim Rp. 200.000,-
Pengumpulan Subjek
 Lembar kuesionaire 150 eks @ 3000 Rp. 450.000,-
Konsultasi Statistik Rp. 2.000.000,-
Konsumsi Penyajian Penelitian
 Pra Proposal Rp. 1.000.000,-
 Proposal Rp. 1.500.000,-
 Hasil Rp. 1.500.000,-
Jilid Hard cover akhir 18 eks @ Rp 40.000,- Rp. 720.000,-
Total Rp.11.270.000,-

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
79

Lampiran 8
Jadwal Penelitian

2013
Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
Referat Penelitian
Praproposal
Penelitian
Proposal Penelitian
Pengurusan etik
penelitian
Pengumpulan
sampel
Pengolahan data
Seminar hasil
penelitian

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
80

Lampiran 9

Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai