UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY
FOR EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR
TESIS
IZATI RAHMI
0806485032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013
UJI DIAGNOSTIK
THE NEUROLOGICAL DISORDERS DEPRESSION INVENTORY FOR
EPILEPSY VERSI INDONESIA
PADA PASIEN EPILEPSI DEWASA DENGAN
GANGGUAN DEPRESI MAYOR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SPESIALIS-1 NEUROLOGI
IZATI RAHMI
0806485032
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
DESEMBER 2013
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam
selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,
Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh
jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada
saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.
2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,
dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk
mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.
3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah
memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama
saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya
ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan
Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar
lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana
dan prasarana selama proses pendidikan saya.
4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),
M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima
kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam
pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara
vi
vii
viii
Latar belakang. Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatri yang sering
terjadi pada pasien epilepsi. Prevalensinya adalah 20-80%. Depresi bukan
merupakan suatu pemeriksaan yang rutin dilakukan di poliklinik neurologi karena
membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga banyak pasien yang tidak
terdiagnosis dan akhirnya tidak terobati, untuk itu diperlukan pemeriksaan yang
singkat. The Neurological Disorders Depression Inventory for-Epilepsi (NDDI-E)
merupakan pemeriksaan skrining depresi yang terdiri dari 6-aitem.
Tujuan. Menentukan akurasi dan titik potong NDDI-E versi Indonesia sebagai
skrining depresi pada pasien epilepsi dewasa.
Hasil. Dari 105 orang subyek penelitian terdapat 23 orang mengalami gangguan
depresi mayor berdasarkan MINI-ICD 10. Didapatkan kurva Receiver Operating
Characteristic (ROC) yang mendekati 100%, titik potong 11, dengan Sensitifitas
91,3% Spesifisitas 89% PPV 70% dan NPV 97,3%. Secara statistik NDDI-E versi
Indonesia masuk dalam klasifikasi yang kuat, karena nilai Area Under the Curve
(AUC) 97,5% dengan interval kepercayaan (95%CI 95%-99%).
Kesimpulan. NDDI-E versi Indonesia memiliki nilai akurasi yang tinggi untuk
menentukan gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi dewasa pada titik
potong 11.
Universitas Indonesia
x
Method. Diagnostic test study was conducted at epilepsy clinic on RSCM. All the
epilepsy patient who met the inclusion criteria was examined. The patient took the
NDDI-E Indonesian version as a self assesment. Then there were assest with used
the International Neuropsychiatric Interview Mini ICD-10 (MINI-ICD10) as a
gold standar.
Results. From the 105 subjects, there were 23 people suffered from major
depression by MINI-ICD10. Receiver Operating Characteristic (ROC) curve
obtained which is close to 100%, cut-off point at 11, with Sensitivity 91.3%
Specificity 89% PPV 70% and NPV of 97.3%. It was statistically classified as
strong because the value of Area Under the Curve (AUC) is 97.5% with a
confidence interval (95% CI 95% -99%).
Universitas Indonesia
xi
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.................... ix
ABSTRAK........................................................................................................ x
ABSTRACT..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI…………….……………………………………………........... xii
DAFTAR TABEL………..………………………………………….............. xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………................ 1
1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3 Hipotesa Penelitian................................................................ 3
1.4 Tujuan penelitian .................................................................. 4
1.5 Manfaat penelitian ................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
2.1 Epilepsi.................................................................................. 5
2.1.1 Definisi Epilepsi........................................................ 5
2.1.2 Klasifikasi Epilepsi ................................................... 5
2.1.3 Patofisiologi Epilepsi................................................. 7
2.1.4 Gejala psikiatri pada epilepsi .................................... 8
2.1.4.1. Fenomena Psikiatri pre-iktal ........................ 9
2.1.4.2. Fenomena Psikiatri iktal .............................. 9
2.1.4.3. Fenomena Psikiatri post-iktal ...................... 9
2.1.4.4. Fenomena Psikiatri inter-iktal ..................... 10
2.2 Depresi .................................................................................. 10
2.2.1 Definisi Depresi ........................................................ 10
2.2.2 Klasifikasi Depresi .................................................... 11
2.2.2.1. Depresi berdasarkan DSM-IV-TR ............... 11
2.2.2.2. Depresi berdasarkan ICD-10 ....................... 14
2.2.2.3. Perbandingan depresi berdasarkan DSM –
IV dan ICD-10 ............................................ 16
2.3 Depresi pada epilepsi............................................................. 18
2.3.1 Epidemiologi Depresi pada Epilepsi ........................ 18
2.3.2 Patofisiologi Depresi pada Epilepsi .......................... 21
2.3.2.1. Neurobiologi depresi pada pasien ……........ 21
2.3.2.2. Faktor Psikososial pada epilepsi dengan
depresi…....................................................... 31
2.3.2.3. Faktor lain yang mempengaruhi depresi
pada Epilepsi ............................................... 32
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
xiii
Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe banfkitan epilepsi ................. 5
Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi ...... 6
Tabel 2.3. Klasifikasi gangguan depresi mayor berdasarkan DSM-IV ....... 11
Tabel 2.4. Kriteria diagnostik episode depresi mayor berdasarkan DSM-
IV ................................................................................................ 12
Tabel 2.5. Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor episode tunggal
berdasarkan DSM-IV................................................................... 13
Tabel 2.6. Episode depresif berdasarkan PPDGJ-III ................................... 15
Tabel 2.7. Gangguan depresi mayor berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV .... 17
Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilepsi ............... 33
Tabel 2.9. The Neurological Depression Disorders Inventory for Epilepsy
(NDDI-E) .................................................................................... 38
Tabel 2.10. NDDI-E versi Indonesia ........................................................... 41
Tabel 2.11. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ......................................................... 43
Tabel 4.1. Sebaran karakteristik subyek berdasarkan gangguan depresi 56
mayor ..........................................................................................
Tabel 4.2. Tabel AUC ................................................................................. 55
Tabel 4.3. Tabel koordinat kurva ................................................................ 56
Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik gangguan depresi mayor dengan NDDI-E
versi Indonesia berdasarkan MINI-ICD 10.................................. 57
Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia
untuk diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10
versi Indonesia ............................................................................ 58
Universitas Indonesia
xiv
xv Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
xvi
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN
Universitas Indonesia
xvii
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sudah divalidasi dan diuji diagnostik di beberapa negara seperti Spanyol, Jerman,
Korea, Jepang, Brazil dan Italia. 12 Termasuk di Indonesia oleh Rahmi (2013).
Deteksi depresi mayor meningkat hampir 10 kali lipat dengan
menggunakan instrumen NDDI-E ini. Meskipun NDDI-E tidak dimaksudkan
untuk menggantikan evaluasi definitif, seperti wawancara psikiatri yang
terstruktur, pemeriksaan ini dapat membantu untuk mengidentifikasi pasien yang
mungkin berisiko dan sebagai alat untuk evaluasi depresi pada pasien epilepsi di
poli rawat jalan. Hal ini sangat membantu pada poli rawat jalan dimana
keterbatasan waktu seringkali membatasi identifikasi depresi. 12
Terdapat perbedaan nilai cut-off point untuk diagnosis gangguan depresi
mayor di berbagai negara, karena itu dirasa sangat penting untuk melakukan uji
diagnostik NDDI-E di Indonesia untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas,
positif prediktif value dan negatif prediktif value sesuai dengan nilai cut-off point
pada populasi pasien epilepsi di Indonesia, untuk menilai apakah pemeriksaan ini
memiliki tingkat akurasi yang hampir sama atau lebih baik dibandingkan
pemeriksaan standar yang biasa dilakukan yaitu MINI-ICD 10 sehingga mampu
diterapkan pada populasi pasien epilepsi di Indonesia.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPILEPSI
2.1.1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh sawan
1,2,3
epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan sawan epilepsi adalah manifestasi klinik yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.2,3 Manifetasi klinis ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara
berupa gangguan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan
kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom ataupun psikis.1,2,3
Tabel 2.1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi : 3,16,17,18
1. Bangkitan parsial/fokal
1.1. Bangkitan parsial sederhana
1.1.1. Dengan gejala motorik
1.1.2. Dengan gejala somato-sensorik
1.1.3. Dengan gejala otonom
1.1.4. Dengan gejala psikis
1.2. Bangkitan parsial kompleks
1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
1.2.2. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
1.3. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum
1.3.2. Parsial kompleks menjadi umum
1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum
2.1. Lena (absence)
2.1.1. Tipikal lena
2.1.2. Atipikal lena
2.2. Mioklonik
2.3. Klonik
2.4. Tonik
2.5. Tonik-klonik
2.6. Atonik/astatik
3. Bangkitan yang tidak tergolongkan
Universitas Indonesia
Tabel 2.2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi :3,16,17,18
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
berakhir, dapat terjadi dalam waktu beberapa menit sampai jam. Interiktal adalah
periode antara terjadinya kejang. Aura adalah fenomena iktal yang subjektif yang
dapat mendahului kejang yang terlihat, atau bila berdiri sendiri dapat berupa
kejang parsial sederhana sensorik.24
Universitas Indonesia
kejang dan biasanya berlangsung beberapa menit sampai 2 jam tetapi dapat juga
terjadi sampai 48 bahkan 72 jam. Gangguan kognitif dan sakit kepala merupakan
gejala pada periode post-iktal yang segera. Gejala psikiatri post-iktal terjadi pada
fase tertunda, dimana terjadi setelah bebas gejala selam 8 jam sampai 7 hari
setelah kejang. Biasanya postiktal periode tertunda akan berakhir antara 12 jam
sampai 7 hari.
Fenomena psikiatri post-iktal dapat berupa : Gejala psikiatri post-iktal
berat yang menyerupai depresi, ansietas, atau episode psikotik. Prevalensi pasien
dengan Post-iktal depressive episode telah dilaporkan pada studi Kanner dkk pada
tahun 2004, pada 18 pasien yang mengalami gejala depresi post-iktal pada
periode kurang dari 24 jam; gambaran ini menyerupai gejala Major depressive
Episode. Pada studi lain yang dilakukan di pusat epilepsi Rush, dapat
diidentifikasi 20 pasien dengan episode depresi post iktal paling kurang 24 jam
mengalami episode yang menyerupai depresi mayor. 23
2.2. DEPRESI
2.2.1. Definisi Depresi
Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan suasana perasaan yang
terjadi sebagai kelanjutan dari keadaan normal ke bentuk patologis dan pada
beberapa pasien gejalanya bisa berupa psikotik. Gejala ringan dapat merupakan
perluasan kesedihan yang normal, sedangkan gejala berat dikaitkan dengan
sindrom yang jelas (gangguan mood).25 Sindrom klinis ini berkaitan dengan
penurunan atau hambatan dalam alam perasaan, alam pikiran, dan tingkah laku
motorik yang berupa suasana perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan
minat atau gairah untuk melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari disertai
gejala-gejala gangguan fungsional yang berkaitan dengan suasana sedih, misalnya
gangguan tidur, makan, aktifitas seksual dan lain-lain. 26,27
Universitas Indonesia
Gangguan depresi adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang paling
sering terjadi. Prevalensi gangguan depresi pada populasi dunia adalah 3–8%
dengan 50% kasus terjadi pada usia produktif yaitu 20–50 tahun. World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa gangguan depresif berada pada urutan
ke-4 penyakit di dunia. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10-25% dan
pada laki-laki 5-12%. 28,29
Perkembangan klasifikasi gangguan depesif makin berkembang dari tahun
ke tahun. Dari masa Hippocrates (460-370 SM) sampai disusunnya DSM IV edisi
terbaru yang pada awalnya dirancang sesuai dengan ICD-10. Pada dasarnya ICD-
10 dan DSM IV memiliki orientasi yang sama, meskipun berbeda, terutama pada
terminologi, dapat digunakan secara bergantian dalam praktek sehari-hari.
Dikenal istilah “Episode depresif” pada ICD-10 dan “Episode Depresi Mayor”
pada DSM-IV. 30
Universitas Indonesia
minggu, terdapat suasana perasaan yang terdepresi atau kehilangan minat atau
kesenangan terhadap aktifitas yang biasa dilakukan. Juga terdapat minimal empat
gejala tambahan dari beberapa gejala berikut, yaitu perubahan nafsu makan, pola
tidur, dan aktifitas psikomotor; penurunan energi, perasaan bersalah atau tidak
berguna; kesulitan berfikir berkonsentrasi atau untuk membuat keputusan;
pemikiran berulang tentang kematian atau ide/rencana/percobaan untuk bunuh
diri. Gejala ini menetap, hampir setiap hari dalam 2 minggu berturut-turut. 8 Untuk
menegakkan diagnosis satu episode depresi mayor berdasarkan DSM-IV dapat
dilihat pada tabel berikut.
A. Lima atau lebih gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang sama dan
menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling kurang satu gejala dari salah
satu (1) mood terdepresi atau (2) kehilangan minat atau kesenangan
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti yang ditunjukkan
baik oleh laporan subjektif (misalnya perasaan sedih atau kosong) maupun
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain (misalnya tampak sedih)
2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir semua,
aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang ditunjukkan baik
oleh laporan subjektif maupun pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet atau penambahan
berat badan (misalnya peubahan berat badan 5% sebulan) atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diamati oleh orang lain,
bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya kegelisahan atau menjadi lamban)
6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai
(yang dapat berupa waham) hampir setiap hari (bukan hanya menyalahkan diri
sendiri atau bersalah karena sakit)
8. Penurunan kemampuan untuk berfikir atau berkonsentrasi, atau keragu-raguan,
hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif maupun yang diamati orang lain).
9. Pikiran tentang kematian yang berulang (tidak hanya ketakutan akan kematian), ide
bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang spesifik, atau percobaan bunuh diri
atau rencana khusus untuk melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode campuran
C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi
sosial, pekerjaan atau fungsi bidang penting lainnya.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat,
pengobatan), atau suatu kondisi medis umum (misalnya hipotiroidisme)
E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka, yaitu setelah kehilangan orang yang
dicintai, gejala menetap lebih lama, lebih dari 2 bulan atau ditandai oleh gangguan
fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak berharga, ide bunuh diri,
gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 355.
Universitas Indonesia
Dikutip dari : American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. Fourth edition. Text Revision. Washington DC:2000: hal. 375.
Disamping depresi mayor juga dikenal istilah depresi minor dan distimia,
merupakan gangguan afektif yang cukup sering terjadi. Keduanya dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya episode depresi mayor. Depresi minor
adalah gangguan mood yang tidak memenuhi kriteria untuk gangguan depresi
mayor, paling kurang terdapat dua gejala depresi yang terjadi selama minimal 2
minggu. Walaupun namanya minor namun dampaknya cukup mempengaruhi
kehidupan dan fungsi sosial yang nantinya akan menurunkan kualitas hidup.
Depresi ini sering terlewatkan sehingga tidak tertangani. Gejala depresi minor
yang menetap dan berlangsung lama dikenal dengan “distimia”. Distimia
berdasarkan DSM-IV terdiri dari minimal 2 gejala depresi yang menetap dan
Universitas Indonesia
berlangsung lama, paling kurang 2 tahun, biasanya tanpa perbaikan atau terdapat
perbaikan hanya pada waktu yang singkat (beberapa hari atau minggu), pada
sebagian besar waktunya pasien akan terlihat murung, sedih, lelah, anhedonia,
perasaan tidak mampu, sering menuntut dan mengeluh, merendahkan diri dan
pada saat yang sama mencela orang lain. Pasien dengan distimia sangat tidak
ramah dan hubungan dengan orang lain tidak stabil dan tidak empati. 31
Berdasarkan ICD-10 dan DSM-IV, untuk membedakan kesedihan yang
normal dan patologis dinilai dari intensitas minimum (yang diukur dengan jumlah
gejala) dan minimum waktu gejala tersebut. Sedangkan pengaruh gangguan mood
dengan fungsi sosial tidak cukup akurat. Pendekatan secara kualitatif tersebut
bersifat cukup subjektif dan hanya sebagian saja yang dapat dikomunikasikan
dengan objektif. Untuk itu terdapat guideline untuk membedakan kesedihan yang
normal dan mood yang terdepresif, pada mood yang terdepresif terjadi : a) tidak
berhubungan dengan suatu peristiwa merugikan yang nyata dan bila memang
terdapat “kehilangan” biasanya akan dilebih-lebihkan; b) sangat menyakitkan,
mendalam, dan menetap, menolak semua upaya untuk mengatasinya; c)
berhubungan dengan perasaan tidak berharga, rendahnya percaya diri; d) sering
berhubungan dengan waktu dan hubungan interpersonal dan fungsi sosial; e)
berhubungan dengan perasaan bersalah dan keinginan untuk mati; f) bila cukup
berat terdapat gangguan vegetatif somatik dan ide-ide delusional; g) lebih sering
berhubungan dengan disregulasi hormonal.30 Sedangkan pada kesedihan yang
fisiologis atau ketidak-bahagiaan yang dapat terjadi pada semua orang dari waktu
ke waktu, penyebabnya biasanya jelas, reaksinya tidak dapat dimengerti dan akan
terjadi perbaikan setelah penyebabnya hilang.
Universitas Indonesia
Pada tiga variasi episode depresif yang khas yang tercantum diatas : ringan
(F32.0), sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3), individu biasanya menderita
suasana perasaan yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktifitas. Biasanya rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja.
Gejala lazim lainnya adalah :
a. Konsentrasi dan perhatian yang berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Padangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Universitas Indonesia
F39 gangguan mood (afektif) tidak spesifik 296.90 gangguan mood NOS
Universitas Indonesia
Pada tabel diatas episode depresif dan gangguan depresi mayor ditentukan
berdasarkan tingkat keparahannya (ringan, sedang dan berat) dan frekuensinya
(tunggal atau berulang). Selain itu kedua sistem klasifikasi ini memiliki dua fitur
dasar untuk mengidentifikasi episode depresif : a) jumlah minimum gejala khas
dan berhubungan; b) durasi waktu minimal gejala selama 2 minggu.31
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala
klinis yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Bila
manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan
suasana perasaan (seperti murung, sedih, rasa putus asa), diagnosis depresi dengan
mudah dapat ditegakkan. Tetapi, bila gejala depresi muncul dalam keluhan
psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit
kepala yang terus-menerus, adanya depresi yang melatar belakangi sering tidak
terdiagnosis.28
Universitas Indonesia
40-60% (Jones dkk, 2005), sementara itu Baki dkk (2004) melaporkan prevalensi
depresi pada remaja penderita epilepsi terus meningkat dengan rentang 34-78%.9
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat depresi mayor
berhubungan dengan peningkatan risiko untuk berkembangnya kejang yang tidak
terprovokasi (unprovoked seizure). Pada penelitian awal yang bersifat kasus
kontrol untuk melihat terjadinya depresi sebelum timbulnya epilepsi, Forsgren dan
Nystrom (1990) menemukan bahwa riwayat depresi berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya epilepsi. Penelitian selanjutnya yang dilakukan
oleh Hesdofffer (2000) menunjukkan bahwa riwayat depresi, berdasarkan kriteria
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), meningkatkan
risiko terjadinya kejang tanpa provokasi (unprovoked seizure). Pada pasien
dewasa dengan usia lebih tua yang berada di Rochester Minnesota, riwayat
depresi berhubungan bermakna dengan 6 kali peningkatan risiko terjadinya kejang
pertama yang idiopatik/kriptogenik tanpa provokasi. Pada penelitian kasus kontrol
lebih lanjut pada populasi di Iceland Hesdorffer dkk menyatakan bahwa riwayat
depresi mayor berdasarkan kriteria DSM-IV berhubungan dengan 1,7 kali
peningkatan risiko terjadinya epilepsi. Hasil yang hampir sama dilaporkan oleh
penelitian Nilsson dkk (2003).33
Dari segi psikiatri, gangguan psikologik yang terjadi pada sekitar 30%
pasien epilepsi, mempunyai beberapa penyebab, termasuk kerusakan otak, faktor
psikososial dan efek obat anti kejang. Sekitar 20% pasien epilepsi, termasuk anak-
anak, menderita ansietas ringan dan kadang-kadang terdapat gejala depresi. Angka
bunuh diri meningkat tiga kali dan angka keinginan bunuh diri juga meninggi. 34
Depresi berpotensi untuk menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa,
berhubungan dengan kebiasaan bunuh diri bila dibandingkan dengan populasi
umum. Berdasarkan penelitian yang dilakuakn Isometsa dkk (1994) di Finlandia
dikatakan bahwa sebagian besar korban bunuh diri memiliki depresi mayor yang
mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat atau tidak mendapatkan pengobatan
sama sekali untuk depresinya. Nielson dkk (2002) juga mengatakan bahwa depresi
pada epilepsi merupakan faktor risiko bunuh diri dan perkiraan risiko relatif
bunuh diri adalah 16 kali untuk epilepsi dengan awitan lebih muda dari 18 tahun
dibandingkan setelah 29 tahun. Risiko bunuh diri pada pasien epilepsi dengan
Universitas Indonesia
depresi juga dilaporkan oleh Jakson dkk dan Danish juga menyebutkan bahwa
pasien epilepsi memiliki risiko bunuh diri sampai 3 kali lipat dibandingkan
populasi umum. Dari beberapa penelitain lain, seperti Doris yang melakukan
penelitian di RSUD Haji Adam Malik Medan mengatakan bahwa tingkat gagasan
bunuh diri pada depresi mayor berdasarkan skor BSIS (Beck Suicide Intent Scale)
adalah 72,5%. Sementara itu berdasarkan National Comorbidity Survey,
probabilitas kumulatif transisi dari gagasan ke perencanaan bunuh diri sekitar
34%, dari perencanaan bunuh diri ke percobaan bunuh diri 72%, dan gagasan
bunuh diri dengan percobaan bunuh diri yang tidak terencana adalah 26%.
Komorbiditas epilepsi dengan depresi menimbulkan berbagai konsekuensi baik
berkaitan dengan risiko bunuh diri maupun kualitas hidup penderita. 9,12,13,14
Herman dkk mendapatkan prevalensi depresi mayor pada epilepsi berkisar
antara 8-48% dengan rata-rata 30%, dan juga menunjukkan bahwa beratnya
depresi akan menurunkan kualitas hidup penderita epilepsi. Penelitian yang
dilakukan Martinovic dkk (2006) menyimpulkan bahwa nilai total QOLIE 31
(quality of life, 31) berkorelasi secara signifikan dengan perbaikan suasana
perasaan dan status bebas sawan. Djibuti dkk (2003) mendapatkan hasil bahwa
kualitas hidup yang buruk bermakna secara signifikan dengan kenaikan frekuensi
sawan. Depresi juga dapat memperburuk medikasi pada epilepsi.9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Souza dkk.(2005) bahwa 63,4%
depresi pada penderita epilepsi berhubungan dengan jenis sawannya. Dari
penelitian oleh Lazuardi (1994) di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta di
dijumpai data sebagai berikut, 64% penderita epilepsi merasa malu bahwa dirinya
menderita epilepsi dan 42% mengalami depresi. Sementara itu Marpaung (2003)
menemukan bahwa pasien epilepsi 70,5% mengalami depresi terutama pada
epilepsi umum dengan bangkitan tonik klonik (82,4%) dan kelompok epilepsi
parsial sederhana (58,8%). Penelitian yang dilakukan oleh Gribz dkk (2005)
menunjukkan bahwa dari 49,2% pasien epilepsi yang mengalami depresi 37,4%
depresi berat dan 11,8% depresi sedang. Ia juga mengemukakan bahwa kejang
parsial \kompleks, absans dari epilepsi umum dengan sawan tonik klonik sebagai
faktor risiko terjadinya depresi.9
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
beratnya depresi, pada pasien usi tua, dan dengan depresi minor memiliki
perubahan yang lebih sedikit dibandingkan depresi mayor. 41
Studi neuropatologi juga mengdokumentasikan bahwaterjadi perubahan
struktur korteks lobus frontal pada pasien depresi. Raj-kowska dkk menemukan
bahwa terjadi ketebalan kortikal, ukuran neuron, dan densitas neuronal lapisan II,
III dan IV dari regio rostral orbitofrontal pada otak pasien depresi. Pada korteks
orbitofrontal bagian kaudal, terdapat pengurangan yang bermakna pada densitas
glial lapisan kortikal V dan VI yang juga berhubungan dengan penurunan ukuran
neuronal. Akhirnya, pada korteks prefrontal dorsolateral, terdapat penurunan
densitas neuronal dan glial dan ukuran di semua lapisan kortikal. 41
2. 3. 1. 1. Abnormalitas Neurotransmitter
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa zat-zat yang
menyebabkan berkurangnya monoamin seperti reserpin dapat menyebabkan
depresi. Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya
ketersediaan neurotransmiter monoamin terutama norepinefrin dan serotonin
dapat menyebakan depresi.Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-
obat seperti antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja
Universitas Indonesia
Gamma-aminobutyric-acid (GABA)
GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada sistem
mesokorteks, dan mesolimbik. Pada penderita depresi terjadi penurunan GABA
terlihat pada plasma dan cairan serebro spinal. Stressor kronik dapat mengurangi
kadar GABA.28
Pada epilepsi GABA juga dikenal sebagai neurotransmitter inhibitorik.
Bangkitan berulang menyebabkan berkurangnya GABA yang berfungsi sebagai
inhibitor sehingga terjadi penurunan inhibisi, yang menyebabkan
hipereksitabilitas patologis dari neuron.
Glutamat
Asam amino glutamat dan glisin merupakan neurotransmitter eksitatori
utama di SSP. Ia terdistribusi hampir di seluruh otak (neuron dan sel glia). Ada
lima resptor glutamat yaitu NMDA, kainat, AMPA (α-amino-3 hydroxy-5-
methylisoxazole-4-propionic acid), L-AP4 (L-2 amino-4 phosphorobutyrate) dan
ACPD (trans-1-aminocyclopentane-1, 3-dicarboxylic acid). Reseptor AMPA dan
kainat disebut non-NMDA. Apabila berlebihan, glutamat dapat menimbulkan
neurotoksik dan juga berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai activator
terhadap reseptor NMDA dan resetor AMPA. Ikatan glutamate dengan reseptor
NMDA dan AMPA akan memperbolehkan ion kalsium masuk ke dalam sel,
sehingga menyebabkan peningkatan Ca++ intrasel yang berlebihan. Hal ini
merupakan salah satu mekanisme bangkitan parsial dengan penyebab paling
seringnya berasal dari lobus mesial temporal, terutama akibat sklerosis
hipokampus. Pada keadaan tersebut terjadi hilangnya neuron-neuron pada hilus
dentata dan gliosis yang menyebabkan terjadinya percabangan baru ke dendrit
sel-sel sebelahnya sehingga terjadi sirkuit eksitatori rekuren dan percabangan baru
ke inhibisi interneuron. Neurogenesis ini terjadinya terus-menerus sehingga
menimbulkan sirkuit baru yang abnormal dan menyebabkan terjadinya
bangkitan.22
Universitas Indonesia
Serotonin
Neuron serotoninergik berproyeksi dari nucleus rafe dorsalis batang otak
ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum dan
hipokampus.Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatan pada gangguan
psikiatrik.28,43
Terdapat 14 reseptor serotonin, yang terletak pada lokasi yang berbeda di
susunan saraf pusat.Walaupun begitu banyak reseptor serotonin, satu
neurotransmitter dapat saja memberikan efek ke berbagai struktur otak. Kerja
serotonin pada berbagai proses fisiologik dan perilaku terlihat sangat kompleks.
Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem
serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi
mengatur ritmik sirkadian (misalnya siklus tidur bangun, temperatur tubuh dan
fungsi Hypotalamic pituitary adrenal axis (HPA axis). Serotonin bersama-sama
dengan norepinefrin dan dopamine menfasilitasi motorik yang terarah dan
bertujuan.28
Dari beberapa penelitian neurotransmiter yang terbukti terganggu pada
depresi adalah 5-HT1A dan 5-HT2A. Pada alat pencitraan otak terdapat
penurunan jumlah reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi
berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi penanda kerentanan terhadap
kekambuhan depresi.28,44
Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hydroxyindolacetic acid).
Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi.
Universitas Indonesia
Penurunan ini lebih sering terlihat pada penderita depresi yang melakukan usaha
bunuh diri. Hipofrontalis aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa
otak, sesuai dengan penurunan serotonin. 28,43
Noradrenergik
Badan sel neuron noradrenergic terletak di locus cerulues (LC) batang
otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus
dan talamus.Ia berperan dalam memulai dan mempertahankan keterjagaan
(proyeksi ke limbik dan korteks). Proyeksi noradrenergic ke hipokampus terlihat
dalam sensititasi perilaku terhadap stressor, dan pemanjangan aktivasi LC dan
juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. LC juga
tempat asal neuron-neuron yang berproyeksi ke medulla adrenal dan sumber
utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer. 28
Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi
fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan maupun tidur menurun. Persepsi
terhadap stresor ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus
diteruskan ke LC, dan selanjutnya ke komponen simpato-adrenal sebagai respon
stresor akut. Proses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon
simpato-adrenal terhadap stresor tersebut. Stresor yang menetap dapat
menurunkan kadar norepinefrin di forebrain medial. Penurunan ini dapat
menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada depresi. 28
Dopamin
Terdapat empat jaras dopamin di otak :
1. Sistem tuberoinfundibular berproyeksi dari badan sel di hipotalamus ke
hipofisis dan bekerja menghambat sekresi prolaktin.
2. Sistem nigrostriatal berasal dari badan sel di substansia nigra dan berproyeksi
ke basal ganglia dan berfungsi mengatur aktivitas motorik.
3. Sistem mesolimbik yaitu badan sel terletak di ventral tegmentum yang
berproyeksi hampir ke seluruh regio limbik seperti nukleus akumbens,
amigdala, hipokampus, nukleus dorsalis media talamus, dan girus singulata.
Universitas Indonesia
Sistem ini mengatur ekspresi emosi, belajar, dan penguatan, dan kemampuan
hedonia.
4. Sistem mesokorteks-mesolimbik juga berasal dari ventral tegmentum
mesokorteks yang berproyeksi ke regio korteks orbitofrontal dan prefrontal.
Sistem ini berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas
bertujuan, terarah, dan kompleks serta tugas-tugas fungsi eksekutif.
Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan
kognitif, motorik dan hedonia yang merupakan manifestasi simtom depresi. 28
Dengan mengetahui bahwa aktifitas dopamin adalah mekanisme
patogenesis yang biasa terjadi, Tremblay dkk baru-baru ini menunjukkan fungsi
abnormal dopaminergik di otak pada pasien dengan depresi mayor. Dengan
menggunakan fungsional-MRI level oksigen darah tergantung pada aktifasi
selama pengendalian dan efek subjektif pengukuran dekstroamphetamin, pasien
dengan depresi mayor mengalami peningkatan respon dua kali lipat terhadap
efek dekstrometorfan, dibandingkan kelompok kontrol yang sehat. Aktivasi otak
yang abnormal di temukan pada korteks ventrolateral prefrontal dan korteks
orbitofrontal dan hal yang sama juga terjadi pada putamen dan nukleus
kaudatus.41
2. 3. 1. 3. Abnormalitas endokrin
Salah satu gambaran depresi adalah terjadinya peningkatan aktivitas aksis
HPA yang ditandai dengan peningkatan corticotrophin-releasing hormone (CRH)
dalam cairan serebro-spinal, hipersekresi adrenocorticotropin (ACTH),
meningkatnya episode sekresi ACTH dan berkurangnya respon ACTH terhadap
CRH, peningkatan pelepasan kortisol dari korteks adrenal, penambahan volume
hipofisis dan korteks adrenal, dan hasil pemeriksaan dexamethasone suppression
test (DST) postif.28,45 Mekanisme yang mendasari perubahan ini belum diketahui
secara pasti. Ada dugaan gangguan aksis HPA ini terjadi akibat disregulasi sistem
umpan balik glukokortikoid yang tidak efisien, baik terhadap kortikotropin
hipofisis, maupun terhadap neuron CRH paraventricular nucleus (PVN)
hipotalamus, atau terhadap area otak di luar hipotalamus. Hal ini disebabkan oleh
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Selanjutnya IL-1β, reseptor tipe1 (IL-1RI) dan IL-IRA akan diregulasi di otak dan
secara elektrik dan kimia akan merangsang kejang, dan semuanya akan
tergambarkan pada otak pasien dengan epilepsi lobus temporal, displasia kortikal,
sklerosis tuberosa. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk pro-konvulsan IL-
1β, melibatkan penurunan asupan glutamat oleh sel glial atau pelepasan glutamat
dari sel-sel, yang diperantarai oleh TNFα. Mekanisme lain diperkirakan
memediasi aktivasi IL-IRI, yang akan menghasilkan peningkatan aktivasi
glutaminergik.40
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.8. Efek psikotropik positif dan negatif obat anti epilpepsi 35
Negatif Positif
Barbiturate Depresi, hiperaktifitas Anxiolytic, hipnotic
Carbamazepine – Iritabilitas stabilisasi mood, antimania
Oxcarbazepine
Ethosuximide Gangguan perilaku, psikosis -
Felbamate Depresi, ansietas, iritabilitas -
Gabapentine Gangguan perilaku pada anak -
Lamotrigine Insomnia, agitasi Stabilisasi mood, antidepresan
Levetiracetam Iritabilitas, emosional yang labil Antimania ?
Phenytoin Ensefalopati Antimania ?
Pregabalin ? Anxyolitic
Tiagabine Depresi (non-convulsive status Anti-ansietas ?
epilepticus)
Topiramate Depresi, perlambatan psikomotor, Stabilisasi mood
psikosis
Valproate Ensefalopati Stabilisasi mood, antimania
(anxiolytic)
Vigabatrin Depresi, agresif, psikosis -
Zonisamide Agitasi, depresi, psikosis Antimania
Dikutip dari : review atrikel Therapeutic Advance in Neurological Disorder, September
2009 dengan judul “Depressiom in epilepsy ; mechanism and therapeutic approach”
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
psikiatri yang terstruktur, singkat namun akurat serta tidak menimbulkan bias
kultural untuk keperluan uji klinis multisenter yang dapat digunakan sebagai
langkah pertama dalam menyaring pada praktek sehari-hari.47,48 Validasi dan
reliabilitas sudah dilakukan terhadap Structural Clinical Interview for DSM-IV
Axis I disorder (SCID)(DSM IV) dan Composite International Diagnostic
Interview (CIDI)(ICD-10) dengan hasil validasi yang tinggi dan skor reliabilitas
yang akseptabel dan dapat digunakan oleh klinisi dan pewawancara awam dengan
pelatihan. Pertanyaannya cukup dijawab “ya” dan “tidak”. 51
Pada studi uji validitas MINI-CR (Mini International Neuropsychiatric
Interview-Clinician Rate) terhadap SCID di US, secara umum diagnosis
berdasarkam MINI memiliki nilai kappa yang sangat baik. Sensitivitasnya lebih
dari 0,70 untuk semua gangguan, kecuali distimia, obsesif konvulsif dan
ketergantungan obat. Untuk depresi mayor sendiri didapatkan nilai kappa 0,84,
Sensitivitas 96%, spesifisitasnya 88%, PPV 87% dan NPV 97%. Sedangkan pada
uji validitas MINI-CR dan CIDI juga memilik nilai kappa yang cukup tinggi yaitu
0,73, Sensitivitasnya 94%, spesifitasnya 79%, PPV 82% dan NPV 93% untuk
diagnosis depresi mayor.48
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pasien dengan depresi berbeda di setiap tempat.. Aitems dan format NDDI-E
ditunjukkan pada tabel berikut. Tidak ada korelasi antar item yang ≥0.7.
Cronbach’s alpha untuk ke-6 item NDDI-E adalah 0.85, yang berarti konsistensi
reliabilitas internalnya dapat diterima. Regresi logistic dengan diagnosis SCID
untuk depresi mayor sebagai variabel dependen menunjukkan bahwa NDDI-E
memiliki odds ratio yang tinggi dibandingakan BDI atau CES-D. 10
Tabel 2.9. The Neurological Disorders Depression Inventory For Epilepsy (NDDI-
E)10
Always or Sometimes Rarely Never
often
Everything is a struggle 4 3 2 1
Nothing I do is right 4 3 2 1
Feel guilty 4 3 2 1
I’d better off dead 4 3 2 1
Frustrated 4 3 2 1
Difficulty finding pleasure 4 3 2 1
For the statements in the table, patients are asked to circle the number that best describes
them over the past 2 weeks including the day of assessments
Dikutip dari : artikel review neurology the lancet, dengan judul “Rapid detection of major
epilepsy : a multicentre study”
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengggunaan OAE
EPILEPSI DEPRESI
Hipersekresi
Lobus gangguan fungsi ACTH
Penurunan temporal eksekutif yang
kadar Atrofi lobus nyata pada
norepinefrin temporal depresi berat
mesial
Peningkatan
episode sekresi
Lobus frontal : ACTH
Penurunan Atrofi lobus
aktivitas frontal
dopamine
Berkurangnya
respon ACTH
Paska antero- terhadap CRH
temporal
Penurunan lobektomi
GABA pada
plasma dan
LCS Peningkatan
pelepasan
kortisol dari
korteks adrenal
Peningkatan
glutanat
DST (+)
Universitas Indonesia
MINI ICD 10
Sensitivitas
DEPRESI MAYOR Spesifisitas
pada pasien NPV
EPILEPSI PPV
Cut-off point
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pemeriksaan NDDI-E :
Pasien disuruh mengisi sendiri tanpa bantuan pada lembar kuesionaire
NDDI-E yang terdiri dari 6 pertanyaan.
Kedua hasil diserahkan oleh peneliti dan disimpulkan oleh peneliti. Hasil
dari pengumpulan data penelitian setelah melalui proses editing dan koding, data
penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan
data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan
disusun dalam bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan
penelitian menggunakan perangkat SPSS versi 17.
3.11.Batasan operasional
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi
Bangkitan epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh manifestasi
klinik yang berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat
menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom
ataupun psikis, yang terjadi secara tiba-tiba dan sementara yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari
sekelompok neuron.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kriteria inklusi
Bersedia
Analisis Hasil :
Sensitivitas,
Spesifisitas, NPP, NPV
ROC
Cut-off point
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Universitas Indonesia
4.2. Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under the Curve
(AUC)
Metode ROC adalah suatu metode statistik yang merupakan hasil tarik
ulur antara nilai sensitivitas dengan spesifisitas pada berbagai alternatif titik
potong yang disajikan dalam bentuk grafik. Sensitivitas digambarkan pada ordinat
Y, sedangkan (1-Sensitivitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggi nilai
sensitivitas maka akan makin rendah spesifisitasnya dan sebaliknya. Dari prosedur
ROC akan didapatkan nilai AUC.
Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC adalah sebesar 97,5% (95%
IK 95%-99%), dengan p < 0,001. Secara statistik nilai AUC sebesar 97,5%
tergolong kuat.
Nilai AUC sebesar 97,5% artinya apabila skor NDDI-E digunakan untuk
mendiagnosis ada atau tidaknya gangguan depresi mayor pada 100 orang pasien
Universitas Indonesia
epilepsi, maka kesimpulan yang tepat akan diperoleh pada 97 orang pasien. Dan
berdasarkan interval kepercayaan (IK), diketahui bahwa nilai AUC skor NDDI-E
pada populasi epilepsi berkisar antara 95% sampai 99%.
Selanjutnya dari kurva ROC didapatkan beberapa alternatif nilai titik
potong, sensitivitas dan spesifisitas seperti yang ditampilkan pada tabel.13 berikut
ini.
Universitas Indonesia
1,2
1
0,89
0,8
Sensitivity
0,6
Sensitivity
0,4 Specivicity
0,2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Titik potong optimal berada pada titik antara nomor 6 dan 7 atau pada
pada skor 10,5 dan 11,5. Berdasarkan tabel 4.3 skor NDDI-E 10,5 memiliki
sensitivitas 91,3% dan spesifisitas 89%, sedangkan skor NDDI-E 11,5 memiliki
sensitivitas 82,6% dan spesifisitas 93,9%. Titik potong ke 6 atau skor NDDI-E
≥10,5 yang memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi, lebih sesuai dengan
tujuan penggunaan instrumen NDDI-E tersebut pada penelitian ini, yaitu sebagai
skrining gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi. Hal ini berarti bahwa
pasien yang memiliki skor NDDI-E ≥ 10,5 atau ≥ 11 akan didiagnosis gangguan
depresi mayor.
Berikut adalah tabel uji Diagnostik Gangguan Depresi Mayor berdasarkan
NDDI-E versi Indonesia dengan standar baku yang biasa digunakan yaitu MINI-
ICD10
Tabel 4.4. Tabel Uji Diagnostik Gangguan Depresi Mayor dengan NDDI-E versi
Indonesia berdasarkan MINI ICD-10 versi Indonesia
Gangguan Depresi Gangguan Depresi mayor
Mayor (MINI – ICD10)
(NDDI-E) Ya Tidak Total
Ya 21 9 30
Tidak 2 73 75
Total 23 82 105
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel uji diagnostik 2x2 diatas, dengan cut-off point atau titik
potong adalah ≥11 dengan sensitivitas 91,3% dan spesifisitasnya 89% dapat
ditentukan nilai prediktif positif (PPV) dan nilai prediktif negatif (NPV)
Sensitivitas = a : (a + c) = 21 : (21 + 2) = 21 : 23 = 0,913 (sesuai seperti pada
tabel 4.4)
Spesifisitas = d : (b + d) = 73 : (73 + 9) = 73 : 82 = 0,890 (sesuai seperti pada
tabel 4.4)
PPV = a : (a + b) = 21 : (21 + 9) = 21 : 30 = 0,7
NPV = d : (c + d) = 73 : (2 + 73) = 73 : 75 = 0,973
Tabel 4.5. Kurva ROC dan efisiensi statistik NDDI-E versi Indonesia untuk
diagnostik depresi mayor berdasarkan MINI ICD 10 versi Indonesia
Cut of NPV PPV Spec Sen AUC SE 95% CI P
score
≥ 10 1,000 0,829
≥ 11 0,973 0,70 0,890 0,913 0,975 0,13 (95% IK 0,000
95%-99%)
≥ 12 0,939 0,826
≥ 13 0,976 0,739
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
gangguan depresi mayor sebagian besar adalah pada kelompok yang tidak
memiliki pekerjaan. Diantaranya penelitian Gilliam (2006), dengan persentase
tertinggi gangguan depresi mayor terjadi pada kelompok yang tidak memiliki
pekerjaan (unemployed) yaitu 34% dan penelitian Yukari Tadokoro (2012)
dengan metode yang sama yaitu 25%.
Pada kelompok riwayat depresi pada keluarga tidak didapatkan data yang
menyatakan bahwa memang terdapat riwayat depresi keluarga pada pasien
epilepsi dengan gangguan depresi mayor maupun tanpa depresi mayor. Kanner
pada penelitiannya menyatakan bahwa faktor risiko yang lazim berkembang
menjadi gangguan depresi pada pasien dengan atau tanpa epilepsi adalah riwayat
depresi pada keluarga. Hal ini dapat disebabkan karena tidak diperiksa secara
langsung anggota keluarga pasien epilepsi tersebut.
Universitas Indonesia
AUC 94,3% dengan KI 95% 90-98,5% dan p < 0,001 pada titik potong 13. Hasil
penelitian lain yang juga tidak jauh berbeda adalah penelitian Yukari Tadokoro
(2011) di Jepang dengan AUC 96% dengan KI 92-99,5% dan p < 0,001 pada titik
potong tertinggi yaitu 16. .
Universitas Indonesia
yang berarti bahwa dengan instrumen NDDI-E dapat menentukan sebesar 91,3%
gangguan depresi mayor bila gangguan tersebut memang benar ada (postif benar),
dan nilai ini lebih baik dibandingkan cut-off score ≥11,50 yang memiliki
sensitivitas 82,6% walaupun dengan spesifisitas yang lebih tinggi yaitu 93,9%.
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu uji diagnostik terhadap instrumen NDDI-E
sebagai skrining depresi pada epilepsi, sehingga yang lebih di pilih adalah yang
memiliki sensitivitas yang lebih baik. Spesifisitasnya instrumen NDDI-E ini
adalah 89%, yang berati bahwa dengan instrumen NDDI-E dapan menyingkirkan
sebesar 89% gangguan depresi mayor bila gangguan tersebut tidak ada (negatif
benar). Selain itu juga dapat ditentukan nilai prediktif positif (PPV) sebesar 70%
yang berarti bahwa instrumen NDDI-E dapat menentukan 70% kemungkinan
gangguan depresi mayor ada (postif) bila benar-benar ada. Nilai prediktif negatif
(NPV) sebesar 97,3% yang berarti bahwa instrumen NDDI-E dapat menentukan
97,3% gangguan depresi mayor tidak ada (negatif) bila memang tidak ada.
Hasil uji diagnostik instrumen NDDI-E pada penelitian ini hampir sama
bahkan lebih baik dibandingkan dengan hasil uji diagnostik di negara asalnya
USA, penelitian yang dilakukan Frank Gilliam dkk menghasilkan nilai sensitivitas
sebesar 81%, spesifisitas 90%, PPV 62% pada titik potong >15 dengan standar
baku MINI-DSM IV. Hasil penelitian ini juga lebih baik dibandingkan hasil
penelitian di beberapa negara lainnya dengan titik potong yang berbeda. Seperti di
penelitian di Brazil oleh Guilherme Nogueira M de Olivera dkk (2010) dengan
titik potong skor NDDI-E 15 untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi
mayor, didapatkan nilai Sensitivitas 81,5% Spesifisitas 83,1% dan NPV 92,2%
dengan standar baku MINI-SCID.13 Penelitian di Spanyol oleh Danila Di Capua
dkk (April 2012) dengan cut-off point 13 sensitivitas 84%, spesifisitas 78%, PPV
64.7% dan NPV 92.2% dengan standar baku MINI-DSM IV.51 Penelitian di
Jepang yang dilakukan oleh Yukari Tadokoro dkk, (2011) didapatkan cut-off point
NDDI-E versi Jepang lebih dari 16, dengan sensitivitas 92% spesifisitas 89%,
52
PPV 41% dan NPV 99% dengan standar baku MINI-DSM IV dan ICD 10. Di
Korea penelitian mengenai validasi NDDI-E juga dilakukan oleh Pan-Woo Ko
dkk disuatu klinik epilepsi, pada tahun 2012. Menggunakan prosedur yang sama
dengan penelitian-penelitian sebelumnya didapatkan hasil cut-off score yaitu >11,
Universitas Indonesia
dengan sensitivitas 84.6%, spesifisiyas 85.3%, PPV 61,1% dan NPV 95.3%
dengan standar baku MINI DSM IV dan ICD 10. Penelitian di Italia oleh Mula
dkk (2012) dengan cut-off point 13, dengan sensitivitas 86,2% spesifisitas 89%
PPV 71,4% dan NPV 95,3% dengan standar baku MINI DSM IV dan ICD 10.
Perbedaan titik potong antar negara yang menghasilkan nilai sensitivitas,
spesifisitas, NPV dan PPV yang berbeda disebabkan karena beberapa hal. Nilai
titk potong skor NDDI-E pada populasi pasien epilepsi di Indonesia sama dengan
tititk potong di Korea, batas ini merupakan titik potong terendah dibandingkan
negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti
gambaran demografik, klinis serata budaya yang berbeda-beda. Lebih ringannya
gejala gangguan depresi mayor dapat menyebabkan cut-off point yang lebih
rendah pula. Dari nilai rata-rata skor NDDI-E versi Indonesia yaitu 14,5 (± SD
3,5) yang hampir sama dengan nilai rata-rata skor NDDI-E versi Korea yaitu 15,3
(±4,5) pada cut-off score 11. Sedangkan pada cut-off score yang lebih tinggi yaitu
pada NDDI-E versi Italia dengan cut-off score 13 didapatkan rata-rata skor NDDI-
E 16,8 (± SD 3,1), pada NDDI-E versi Jerman dengan cut-off yang lebih tinggi
yaitu 14 didapatkan skor rata-rata NDDI-E nya 16,7 (± SD 3,2), pada NDDI-E
versi Brazil dengan cut-off 15 didapatkan rata-rata skor NDDI-E 18 (± SD 3). Dan
pada cut-off score tertinggi yaitu pada NDDI-E versi Jepang dengan cut-off score
16 didapatkan skor rata-rata yang juga lebih tinggi yaitu 19,2 (± SD 2,3). Dari
perbandingan rata-rata skor NDDI-E ini menunjukkan bahwa makin tingginya
rata-rata skor NDDI-E maka makin tinggi pula cut-off score NDDI-E, yang berarti
bahwa makin berat gejala gangguan depresi yang terjadi, dan sebaliknya.
Penyebab lainnya adalah pengaruh lintas budaya yang tidak dapat
dikesampingkan, dimana masyarakat Indonesia tidak menyadari dan menganggap
gejala-gejala depresi tersebut merupakan bagian dari penyakit epilepsinya,
sehingga subyek pasien epilepsi pada penelitian ini merasa tidak terlalu penting
untuk menunjukkan gejala mereka pada pemeriksaan NDDI-E. Dan dikatakan
juga oleh Khairani bahwa masih terdapat stigma yang buruk terhadap epilepsi
pada masyarakat Indonesia, sehingga penderita epilepsi sendiri terkadang malu
untuk mengakui penyakit yang dideritanya. 58
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
a. The Neurological Disorder Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E)
versi bahasa Indonesia akurat dalam mendeteksi gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi, dengan nilai Sensitivitasnya 91,3% dan
Spesifisitanya 89%.
b. NDDI-E versi bahasa Indonesia dapat mendeteksi gangguan depresi mayor
pada pasien epilepsi pada titik potong 11.
6.2. Saran
a. NDDI-E dapat membantu mendeteksi gangguan depresi mayor pada
pasien epilepsi, dan dapat dijadikan pemeriksaan rutin yang dilakukan di
poliklinik rawat jalansehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan terhadap pasien epilepsi dan pada akhirnya akan meningkatkan
kualitas hidup pasien epilepsi.
b. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mencari prevalensi gangguan depresi
mayor pada pasien epilepsi dewasa serta faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya gangguan depresi mayor tersebut.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
67
11. Friedman DE, Kung DH, LaowattanaS, Kass JS, Hrachovy RA, Levin HS.
Identifying depression in epilepsy in a busy clinical setting is enhanced with
systematic screening. seizure. 2009.
12. Friedman DE, Kung HD, Laowattana S. Identifying depression in epilepsy in
a busy clinical setting enhanced with systemic screening. In Seizure. British:
Elseiver; 2009.
13. de Oliveira GNM, Kummer A, Salgado JV, Portela EJ, David AS, Kanner
AM, Teixeira AL. Brazilian version of the Neurological Disorders Depression
Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. 2010 Juni.
14. Siregar T. Gambaran Tingkat Risiko Gagasan bunuh diri pada pasien dengan
gangguan depresi mayor Medan: Departemen Kesehatan Jiwa, Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara Medan; 2012.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
68
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
69
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
70
276-285.
47. Sheehan DV, Lecrubier Y, Sheehan H, Ammorium P, Janac J. the Mini
International Neurpsychiatric Interview (MINI) : the development and
Validation of a Structrured Diagnostic Psychiartrics Interview for DSM IV
and ICD 10. J Clin Psychiatry. 1998;: p. 22-33.
48. Anfasha F, Primastari E, Runtulalo F, Irdam GA, Priyonigroho G,
Hastiningsih W, Adjie JMS, Wawolumaya C. Uji Tapis depresi menggunakan
MINI ICD-10 dan faktor-faktor yang berhubungan pada pasien dengan
keganasan ginekologi di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Majalah Obstetric dan Ginekologic Indonesia. 2008 Juli; 32.
49. medical outcome system. [Online].; 2012 [cited 2013 april. Available from:
https://medical-outcomes.com/index/mini.
50. Hidayat D, Ingkiriwang E, Andri, Asnawi E, Widya RS, Susanto DH.
Penggunaan Metode Dua Menit (M2M) dalam menentukan prevalensi
gangguan jiwa di pelayanan primer. majalah kedokteran Indonesia. 2010
Oktober; 60.
51. Capua DD, Garcia ME, Ferrer AR, Ferrer MF, Toledo R, Nagel AG, Ptaceck
SG, Kanner AM, Morales IG. Validation of the Spanish version of the
Neurology Disorders Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy
and Behaviour. 2012 April.
52. Tadokoro Y, Oshima T, Fukuchi T, Kanner AM, Kanemoto K. Screening for
major depressive episode in Japanese Patient with epilepsy : Validation and
translation of the Japanese version of Neurological Disorders Depression
Inventory for Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behavior. 2012 April.
53. Pusponegoro HD, Wirya IGN, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SJ. Uji
Diagnostik. In Sastroasmoro S ID. Dasar-dasar metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Sagung Seto; 2008. p. 193-216.
54. Dahlan M. penelitian diagnostik, dasar-dasar teoritis dan aplikasi dengan
program SPSS dan Stata Jakarta: Salemba Medika; 2009. 5
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
71
55. Woo Ko P, Hwang J, Won Lim H,. Reability and Validity of the Korean
version of the Neurological Disorders Depression Inventory for Epilepsy (K-
NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. Korea July, 2012
56. Mula M, Iudice A, La Neve A, Mazza S, Kanner AM,. Validation of the
Italian Version of the Neurological Disorder Depression Inventory for
Epilepsy (NDDI-E). Epilepsy and Behaviour. Italy, April 2012.
57. Metternich B, Wagner K, Buschman F,. Validation of the German version of
the Neurological Disorder Depression Inventory for Epilepsy (NDDI-E).
Epilepsy and Behaviour. Germany, July 2012.
58. Khairani A,. Pengetahuan, Persepsi dan sikap masyarakat Terhadap Epilepsi
(sebuah studi mixed method). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis
Syaraf. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
72
Lampiran 1.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
73
Lampiran 2
Bapak / ibu yth , saat ini kami dari bagian Neurologi sedang melakukan
penelitian dengan judul "Uji Diagnostik the Neurological Depression Disorders
Inventory for Epilepsy pada pasien Epilepsi dengan Gangguan Depresi
Mayor” untuk skrining gangguan depresi mayor pada pasien epilepsi.
Gangguan depresi merupakan kelainan yang sering terjadi pada pasien
epilepsi, keadaan depresi yang berlanjut dan makin memburuk akan
menyebabkan penurunan kualitas hidup dan berpeluang untuk menimbulkan ide-
ide untuk bunuh diri, sehingga diperlukan deteksi yang lebih awal.
Bila anda berusia ≥ 18 tahun, diharapkan ikut dalam penelitian ini. Bila
besedia maka dokter akan melakukan wawancara. Apabila telah memenuhi
persyaratan akan dilakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan neurologis, dan
pemeriksaan NDDI-E dan MINI-ICD 10. Pemeriksaan diatas tidak memerlukan
sedasi (obat tidur), tidak memerlukan pembiusan dan gratis.
Anda bebas menolak ikut penelitan ini tanpa mengurangi kualitas
pelayanan dokter terhadap anda. Bila Anda bersedia ikut, mohon membubuhkan
tanda tangan di bawah ini. Semua data penelitian akan diperlakukan secara
rahasia sehingga tidak memungkinkan orang lain untuk mengetahui.
Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas
sehubungan dengan perelitian ini. Jika dibutuhkan penjelasan lebih lanjut dapat
menghubungi dr. Izati Rahmi, Departemen Neurologi FKUI/RSUPN-CM
Jakarta.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
74
Lampiran 3
Formulir Persetujuan
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo
Jakarta
Dengan menandatangani formulir ini saya setuju ikut dalam penelitian ini secara
sukarela dengan catatan bila sewaktu-waktu dirugikan dalam bentuk apapun, saya
berhak membatalkan keikutsertaan saya dalam penelitian ini.
(…………………………) (…………………………..)
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
75
Lampiran 4
1. Usia subjek
2. Apakah pasien mengalami gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan
yang berat ?
3. Apakah pasien dengan keterbelakangan mental ?
4. Apakah pasien dapat berbahasa Indonesia ?
5. Apkaha pasien dapat membaca, menulis ?
6. Apakah anda saat ini sedang mengkonsumsi obat anti epilepsi ? sejak kapan ?
7. Apakah pernah didiagnosa gangguan psikiatri lainnya?
Jika pasien menjawab ya pada nomor 2-3, maka pasien tidak diikutkan dalam
penelitian.
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
76
Lampiran 5
Identitas Pasien
Nomor Pasien :
Nomor Rekam Medis :
Nama :
Alamat/No. Telepon :
Anamnesis kejang
Lama menderita epilepsi :
Frekuensi kejang tiap bulan : kali
Kontrol kejang (6 bulan terakhir) : baik / buruk
Kejang terakhir :
Pencetus kejang : ada / tidak ada (jika ada : ...........................)
Riwayat depresi sebelumnya : ada / tidak ada (jika ada, kapan? ................)
Riwayat depresi dalam keluarga : ada / tidak ada (jika ada, siapa? .................)
Data pasien :
Tipe bangkitan epilepsi :
Sindroma Epilepsi :
Gambaran EEG :
Gambaran MRI :
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
77
Lampiran 6
Lembar Kuesioner
MINI-ICD 10
(Sub-bagian Episode Depresif)
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
78
Lampiran 7
Anggaran Penelitian
Keterangan Jumlah
Pengumpulan literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp. 1.500.000,-
Pembuatan makalah
Referat 30 eks @ Rp15.000,- Rp. 450.000,-
Pra proposal 10 eks @ Rp. 20.000,- Rp. 200.000,-
Proposal penelitian 20 eks @ Rp.20.000,- Rp. 400.000,-
Hasil penelitian 10 eks @ Rp 30.000,- Rp. 300.000,-
Pengurusan Etik Penelitian Rp. 300.000,-
Tinta Printer Rp. 750.000,-
Kertas 5 rim Rp. 200.000,-
Pengumpulan Subjek
Lembar kuesionaire 150 eks @ 3000 Rp. 450.000,-
Konsultasi Statistik Rp. 2.000.000,-
Konsumsi Penyajian Penelitian
Pra Proposal Rp. 1.000.000,-
Proposal Rp. 1.500.000,-
Hasil Rp. 1.500.000,-
Jilid Hard cover akhir 18 eks @ Rp 40.000,- Rp. 720.000,-
Total Rp.11.270.000,-
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
79
Lampiran 8
Jadwal Penelitian
2013
Kegiatan Maret April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
Referat Penelitian
Praproposal
Penelitian
Proposal Penelitian
Pengurusan etik
penelitian
Pengumpulan
sampel
Pengolahan data
Seminar hasil
penelitian
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014
80
Lampiran 9
Universitas Indonesia
Uji diagnostik…., Izati Rahmi, FK UI, 2014