Anda di halaman 1dari 95

UNIVERSITAS INDONESIA

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM


TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI
KEMOTERAPI

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SPESIALIS-1 NEUROLOGI

ALDY NOVRIANSYAH
0806485000

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI
JAKARTA
JANUARI 2014

i
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
ii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
iii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
iv
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat dan salam
selalu saya panjatkan kepada junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Spesialis Neurologi pada Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Rektor Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Direktur Utama RSCM, Direktur Instalasi Rawat Jalan RSCM,
Koordinator Pendidikan Dokter Spesialis FKUI/RSCM beserta seluruh
jajarannya, terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan kepada
saya untuk menempuh pendidikan spesialis di FKUI/RSCM.
2. Ketua Departemen Neurologi dr. Diatri Nari Lastri, SpS(K), saya
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan, bimbingan,
dorongan, bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada saya untuk
mengeyam pendidikan di bawah naungan Departemen yang beliau pimpin.
3. Ketua Program Studi PPDS Neurologi dr. Eva Dewati,SpS(K), yang telah
memberikan kepercayaan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama
saya menjalani masa studi di Departemen Neurologi. Tak lupa saya
ucapkan terima kasih yang mendalam kepada para Staf Program Studi dan
Koordinator Pendidikan, seluruh Ketua Divisi dan staf Pengajar
lingkungan Departemen Neurologi yang telah memberi dukungan, sarana
dan prasarana selama proses pendidikan saya.
4. Kepada Koordinator penelitian terdahulu, dr. Lyna Soertidewi,SpS(K),
M.Epid dan wakil koordinator penelitian dr. Al Rasyid,SpS(K); terima
kasih untuk inspirasi, waktu, bimbingan, motivasi, dan arahan dalam
pengerjaan tesis ini. Kepada Koordinator penelitian saat ini, DR.dr. Tiara

v
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
Anindhita,SpS(K) terima kasih untuk arahan, bantuan, dan bimbingan
dalam pengerjaan tesis ini.
5. DR. dr. Yetty Ramli,SpS(K) selaku dosen pembimbing akademik yang
selalu mengingatkan dan memberikan dorongan untuk dapat menjalankan
dan melaksanakan semua tugas-tugas selama pendidikan di neurologi, dan
seluruh guru saya di Departemen Neurologi FKUI, atas bimbingan dan
dukungan yang diberikan untuk memahami segala seluk beluk penyakit
saraf dan pemahaman terhadap kondisi pasien yang komprehensif. Semua
itu kelak akan menjadi bekal saya dalam pelayanan terhadap masyarakat
dan memajukan bidang Neurologi.
6. Para pembimbing, dr. Manfaluthy Hakim,SpS(K), terima kasih sedalam-
dalamnya atas kesempatan melaksanakan penelitian ini dan kesediaan
untuk membimbing dan saran-saran yang diberikan dalam mengarahkan
saya pada penyusunan tesis ini. DR. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM
terima kasih banyak dan penghargaan yang tidak terhingga atas waktu,
perhatian, kesabaran, motivasi dan nasihat yang diberikan kepada saya
hingga dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. DR.dr.
Herqutanto, MPH, MARS selaku pembimbing statistik, terima kasih dan
rasa hormat atas waktu dan pikiran yang telah diberikan dalam membantu
saya selama proses penelitian.
7. DR. dr. Siti Airiza,Sp.S(K); dr. Al Rasyid,Sp.S(K) dan DR. dr. Tiara
Anindhita ,Sp.S(K) selaku penguji yang telah memberikan saran dan
pemikiran dalam tiap tahap ujian tesis ini. dr. Fitri
Octaviana,Sp.S(K),Mpd.Ked selaku moderator yang juga banyak
memberikan banyak masukan.
8. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga saya haturkan
kepada guru-guru saya: dr. Silvia F. Lumempouw, SpS(K); dr. Salim
Haris, SpS(K), FICA; dr. Adre Mayza, SpS(K); dr. Freddy Sitorus,
Sp.S(K); dr. Mursyid Bustami, SpS-KIC; dr. Darma Imran, Sp.S(K);
dr. Riwanti Estiasaridr. Fitri Octaviania, SpS(K), Mpd. Ked; dr. Eka
Musridharta, SpS-KIC; dr. Amanda Tiksnadi, SpS; dr. Taufik
Mesiano, SpS; dr. Ahmad Yanuar, SpS; dr. Nurul Komari, SpS; dr.

vi
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
Rakhmat Hidayat; SpS, dan dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS. Terima
kasih atas segala bimbingan selama menjalani pendidikan.
9. Kepada dr. Fitri Octaviana,SpS(K), MPd.Ked terima kasih banyak atas
saran dan masukannya, dan kepada perawat di ruang pemeriksaan EMG
dan juga kepada seluruh pegawai Unit Rawat Jalan Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Ciptomangunkusumo, terima kasih banyak atas bantuan dan
kerjasamanya.
10. Kepada para perawat dan post unit rawat jalan kemoterapi lantai 4 dan
ruang perawatan kemoterapi gedung A lantai 8 RSCM, terima kasih
banyak atas kesabaran dan bantuannya.
11. Kepada pegawai neurologi yang sangat banyak membantu saya dalam
menjalani pendidikan selama di neurologi, bu Ning, mbak Diana, mbak
Rini, mbak Wiwied, mbak Wiwi, mbak Ade, mbak Dini, mas Anto, pak
Edi dan Bu Kamtinah terima kasih yang sebesar-besarnya.
12. Para pasien rawat jalan unit kemoterapi lantai 4 dan pasien rawat inap
ruang perawatan kemoterapi gedung A lantai 8 Rumah Sakit
CiptoMangunkusumo, terima kasih tidak terhingga atas kesediaannya
meluangkan waktu berpartisipasi dalam penelitian ini dan atas pelajaran
hidup yang amat berharga yang saya dapatkan.
13. Rekan-rekan satu angkatan, dr. Sri Utami,SpS, dr. Dian Cahyani, SpS,
dr. Winnugroho Wiratman, SpS, dr. Linda Suryakusuma, SpS, dr.
Izati Rahmi, dr. Uly Indrasari, dr. Asri Saraswati, dr. Karolina
Margaretha, terima kasih atas dukungan, kerjasama dan kebersamaan kita
selama ini, dan tak lupa terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.
Winnugroho Wiratman, Sp.S atas ide penelitian dan bantuan yang tak
terhingga atas keberlangsungan penelitian ini. Terima kasih juga buat
teman lama dr. Rahmat Syah, SpS dan juga buat sahabatku dr. Liesya
Hartiansyah. Tim OSCE Yogyakarta, dr. Uly Indrasari, terima kasih
banyak untuk bimbingan, kerjasama dan jembatan-jembatan keledainya
itu, dr. Izati Rahmi, dr. Asri Saraswati, dr. Yusi Amalia, dr. Marlon
Tua, dr. Shinta Wulandhari, dr. Meidy Camelia, dr. Hadio Ali, terima
kasih banyak atas bantuan, kerjasama dan waktu-waktu kebersamaan yang

vii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
luar biasa, menegangkan dan juga menyenangkan selama menghadapi
persiapan dan ujian OSCE serta ujian mental di Yogyakarta. Rekan-rekan
dan senior yang sama-sama berjuang menyelesaikan tesis ini dr. Cut
Antara Keumala, dr. Donna Octaviani, dr. Mery Krismato, dr. Allan,
dr. Marlon Tua, dr. Meidy Camelia dan dr. Shinta Wulandhari, terima
kasih untuk sama-sama saling membantu dan mengingatkan, kepada dr.
Rahmi Ulfa, dr. Rima Anindita Primandari, dr. Andira Larasari,
dr.Teuku Reyhan Gamal, dr. Andre, dr. Hendra Samanta, dr. Lilir
Amalini, terima kasih banyak atas segala bantuannya sehingga penelitian
ini dapat berjalan dengan baik dan seluruh rekan–rekan junior dan senior
kerukunan PPDS Neurologi, terima kasih untuk persahabatan,
kebersamaan serta bantuannya. Semoga persahabatan dan persaudaraan
senantiasa terjalin dalam hubungan kesejawatan sepanjang hidup kita.
14. Kedua orang tua saya, Ir. Rizal Ismael dan Wirda Mansur, tiada kalimat
yang cukup untuk melukiskan betapa besarnya cinta kasih dan dukungan
yang telah kalian berikan kepada saya hingga detik ini. Doa, pengorbanan,
bimbingan, dorongan dan teladan yang diberikan sejak kecil membuat
saya bisa melangkah sejauh ini. Kepada kakak-kakak tercinta, Astrid
Febrina dan Nuzirman Nurdin, Arif Marendra dan Dyah Mardiasih,
terima kasih atas semua cinta kasih, doa, dukungan, dan bantuan kalian
yang tiada henti.
15. Kepada sahabat-sahabat terdekat, zulfan, lidya, rondang, fresti, husni,
kiky, dhany, nugi, ressa, leo dan vera, terima kasih atas dukungan,
keceriaan dan kebersamaan yang telah kalian berikan, sehingga saya dapat
menjalani pendidikan spesialis ini dengan baik dan penuh semangat.
Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu mnyelesaikan
pendidikan Spesialis dan penerbitan tesis ini, setulus hati saya ucapkan terima
kasih dan penghargaan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan
pahala yang berlipat ganda. Semoga tesis ini dengan segala kekurangannya dapat
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan.
Jakarta, 20 Januari 2014
Penulis

viii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
ix
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Aldi Novriansyah


Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi
Judul : Uji diagnostik Toronto Clinical Scoring System terhadap
diagnosis neuropati perifer terinduksi kemoterapi

Latar belakang: Neuropati perifer terinduksi kemoterapi (NPTK) merupakan


efek samping kemoterapi neurotoksik yang menurunkan kualitas hidup penderita
dan menghalangi pemberian kemoterapi yang optimal. Suatu alat skrining dengan
tingkat akurasi mendekati alat elektroneurografi (ENG) dibutuhkan untuk
mendeteksi NPTK secara dini. Skor Toronto clinical scoring system (TCSS)
merupakan alat skrining sederhana dan terbukti unggul untuk pemeriksaan
neuropati pada diabetes melitus (DM). Kesamaan gambaran klinis antara
neuropati DM dengan NPTK dapat menjadikan TCSS sebagai alat skrining untuk
NPTK.

Tujuan: Mencari nilai ROC, senstivitas dan spesifisitas TCSS dibandingkan


dengan standar baku pemeriksaan ENG

Metode penelitian: Penelitian berupa uji diagnostik skor TCSS pada penderita
keganasan yang mendapat kemoterapi cisplatin di poli hematoonkologi dan ruang
perawatan kemoterapi RS Ciptomangunkusumo. Pemeriksaan ENG dan skor
TCSS dilakukan pada setiap subjek. Hasil dianalisa untuk mendapatkan kurva
ROC, sensitivitas dan spesifisitas.

Hasil: Dari 77 subjek, terdapat 66 yang dapat dianalisa. Diagnosis polineuropati


dengan menggunakan ENG sebanyak 34 (51,5%), begitu juga dengan
menggunakan TCSS (51,5%). Komponen abnormal TCSS terbanyak adalah
komponen pemeriksaan refleks tendon (78,8%). Dari analisa uji diagnostik
didapatkan nilai AUC 75,4%, sensitivitas 79,4%, spesifisitas 59,4%, nilai prediksi
positif 67,5% dan nilai prediksi negatif 73,1%, dengan titik potong optimal ≥ 5.

Kesimpulan: Skor TCSS memiliki nilai diagnostik yang cukup baik sebagai alat
skrining pada NPTK. Skor ini juga memiliki nilai titik potong optimal yang sesuai
dengan karakteristik klinis NPTK dan komponen yang dapat digunakan untuk
mendeteksi gejala awal NPTK.

Kata Kunci : ENG; kemoterapi; NPTK; TCSS

Universitas Indonesia
x

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Aldi Novriansyah


Program Studi : Neurology Specialization Educational Programme
Judul : Diagnostic test study of The Toronto clinical scoring
system for the diagnosis of Chemotherapy induced
peripheral neuropathy.

Background: Chemotherapy induced peripheral neuropathy (CIPN) is an


adverse effect of neurotoxic chemotherapy that lower the patient’s quality of life
and prevent optimal chemotherapy. Early detection by a screening tool that have a
near accuracy to electroneurography (ENG) is needed. The Toronto clinical
scoring system (TCSS) is a simple and superior tool for screening diabetic
neuropathy. Similarity between diabetic neuropathy and CIPN’s clinical picture
could make the TCSS as screening tool for CIPN.

Purpose: to discover the ROC, sensitivity and specificity of TCSS compared to


the ENG as gold standard

Methodology: the study is a diagnostic test of TCSS in cancer patients with


cisplatin from Hematooncology clinic and chemotherapy ward of RSCM. ENG
test and TCSS examination were done for each subject. Results were analyzed for
ROC, sensitivity and specificity.

Result: out of 77 subjects, only 66 were analyzed. CIPN were diagnosed in 34


(51,5%) by ENG, and also in 34 (51,5%) by TCSS. The most abnormal
component of TCSS is the tendon reflex examination (78,8%). The diagnostic
analysis acquire the AUC 75,4%, 79,4% sensitivity, 59,4% specificity, positive
predictive value of 67,5% and negative predictive value of 73,1%. The optimal
cut off point is ≥ 5.

Conclusion: The TCSS is a passable screening tool for CIPN. It also have optimal
cut-off point which resemble CIPN’s clinical characteristics and component
which can be use to detect early signs.

Keywords : ENG; chemoterapy; NPTK; TCSS

Universitas Indonesia
xi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... x
ABSTRACT..................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang masalah ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3 Tujuan penelitian .................................................................. 3
1.4 Manfaat penelitian ................................................................ 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
2.1 Neuropati perifer................................................................... 5
2.1.1 Definisi ..................................................................... 5
2.2 Neuropati perifer terinduksi kemoterapi .............................. 8
2.2.1 Epidemiologi ............................................................. 8
2.2.2 Patofisiologi .............................................................. 9
2.2.3 Gambaran klinis ........................................................ 13
2.2.2.1. Golongan Platinum ..................................... 13
2.2.4 Diagnosis banding .................................................... 16
2.2.4.1 Neuropati sensorik paraneoplastik………..... 16
2.2.4.2 Neuropati sensorik diabetikum…………….. 17
2.2.4.3 Neuropati sensorik akibat toksisitas obat...... 18
2.2.4.4 Neuropati sensorik akibat hipotiroidisme...... 18
2.2.5 Metode diagnosis ...................................................... 19
2.2.5.1 Pemeriksaan Elektroneurofisiologi ............... 19
2.2.5.2 Pemeriksaan neuropatologis ......................... 21
2.2.5.3 Penilaian dengan skala 22
2.5 Uji Diagnostik....................................................................... 30
2.5.1 Langkah-langkah Uji Diagnostik............................ 31
2.5.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) 33
2.6 Kerangka teori ...................................................................... 35
2.5 Kerangka konsep…............................................................... 36
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 37
3.1 Rancangan Penelitian ........................................................... 37
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................... 37
3.3 Populasi Penelitian................................................................ 37
3.3.1. Kriteria Inklusi............................................................. 37

Universitas Indonesia

xii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
3.3.2. Kriteria Eksklusi ......................................................... 37
3.3.3. Sampel dan pemilihan sampel ................................... 38
3.4 Estimasi besar sampel ........................................................... 38
3.5 Cara Kerja.............................................................................. 39
3.6 Variabel penelitian ............................................................... 41
3.7 Definisi operasional .............................................................. 42
3.8 Ijin subyek penelitian............................................................ 49
3.9 Kerangka operasional ........................................................... 50
BAB 4 HASIL PENELITIAN……………………………………………. 51
4.1 Karakteristik Demografis Subyek Penelitian….................... 51
4.2 Karakteristik subjek berdasarkan klinis ................................ 52
4.3 Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)................................................................... 53
4.4 Penentuan titik potong ......................................…………… 54
BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………….............. 56
5.1 Dinamika Penelitian.............................................................. 56
5.2 Karakteristik Demografis Subyek Penelitian….................... 56
5.3 Karakteristik klinis subjek penelitian ................................... 56
5.4 Receiver Operating Characteristic (ROC) dan Area Under
the Curve (AUC)................................................................... 58
5.5 Penentuan titik potong, Sensitivits, Spesifisitas, NPP dan
NPN ......................................……………............................ 59
5.6 Keterbatasan penelitian ........................................................ 62

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN....................................................... 64


6.1 Kesimpulan…………..………………………….………..... 64
6.2 Saran…………………………………………..…………… 64
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 65
LAMPIRAN..................................................................................................... 68

xiii
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Beberapa kumpulan gejala NPTK sesuai agen kemoterapi ....... 15
Tabel 2.2. Karakteristik elektroneurografi neuropati perifer ...................... 20
Tabel 2.3. Nilai normal KHS motorik dan sensorik ................................... 21
Tabel 2.4 Skala Common Toxicity Criteria ................................................ 24
Tabel 2.5. Total Neuropathy Score ............................................................. 27
Tabel 2.6. Toronto Clinical Scoring System ............................................... 29
Tabel 2.7. Tabel Uji Diagnostik 2x2 ........................................................... 33
Tabel 4.1. Sebaran subjek menurut karakteristik demografis...................... 51
Tabel 4.2. Sebaran subjek menurut diagnosis polineuropati berdasarkan
ENG dan TCSS........................................................................... 52
Tabel 4.3. Tabel kooridnat titik kurva.......................................................... 54
Tabel 4.4. Uji diagnostik Polineuropati perifer menurut TCSS
berdasarkan pemeriksaan menggunakan alat ENG..................... 55
Tabel 4.5. kurva ROC dan efisiensi statistik TCSS untuk diagnosa
polineuropati perifer berdasarkan pemeriksaan dengan alat
ENG............................................................................................ 55

Universitas Indonesia
xiv

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Mekanisme Umum NPTK ..................................................... 22


Gambar 4.1. Kurva ROC ............................................................................ 53
Gambar 4.2. Grafik titik potong sensitifitas dan spesifisitas ...................... 54

xv Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuosioner Penelitian dan Skor Toronto Clinical Scoring


System.................................................................................... 68
Lampiran 2. Lembar informasi subyek penelitian ..................................... 71
Lampiran 3. Lembar persetujuan ............................................................. 74
Lampiran 4. Anggaran Penelitian .............................................................. 75
Lampiran 5. Jadwal Penelitian ................................................................... 76
Lampiran 6. Keterangan lolos kaji etik ...................................................... 77

Universitas Indonesia
xvi

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


DAFTAR SINGKATAN

KNF Karsinoma Nasofaring


NPTK Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi
ENG Elektroneurografi
CTC Common Toxicity Criteria
WHO World Health Organiozation
ECOG Eastern Cooperative Oncology Group
NCI National Cancer Institute
TNS Total Neuropathy Score
TCSS Toronto Clinical Scoring System
DM Diabetes Mellitus
ROC Receiver Operating Characteristic
AIDP Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculopathy
DRG Dorsal Root Ganglion
NMDA N-Metyl D-Aspartate
TRPV Transient Receptor Potential Vanilloid
mPTP mitochondrial permeability transition pore
TNF-α Tumor Necrosis Factor – α
IL-1, IL-6 Interleukin
PKC\ Protein Kinase C
GTP Guanosine triphosphate
LMN Lower Motor Neuron
SCLC Small cell lung cancer
SSN Subacute sensoric neuropathy
KHS Kecepatan hantar saraf
Ig Immunoglobulin
HIV Human Immunodeficiency Virus
TSH Thyroid stimulating hormone
CMAP Compound motoric action potential

xvii Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


SNAP Sensory nerve action potential
IENF Intra epidermal nerve fiber
TNSr reduced Total neuropathy score
TNSc clinical Total neuropathy score
PPV Positive predictive value
NPV Negative predictive value
AUC Area under the curve
IPD Ilmu penyakit dalam
RSUPN Rumah sakit umum pusat nasional
KTP Kartu tanda penduduk
CI Confidence Interval
MNSI Michigan neuropathy screening instrument

Universitas Indonesia

xviii
Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Neuropati perifer merupakan gangguan yang terjadi pada struktur saraf
perifer atau tepi terutama pada akson dan myelin.1 Gangguan tersebut dapat
bermanifestasi sebagai rasa nyeri, panas, kebas dan tertusuk-tusuk pada keempat
ekstremitas dengan etiologi yang bervariasi mulai dari gangguan metabolik
(diabetes mellitus, hipotiroidisme, uremia), defisiensi vitamin, hingga kelainan
genetik.2 Salah satu penyebab neuropati perifer adalah toksisitas sebagai akibat
pemakaian agen kemoterapi pada keganasan.2
Kemajuan dalam tatalaksana pada penyakit keganasan telah membuahkan
agen-agen kemoterapi yang semakin beragam seperti vincristin, taxane, dan zat
platinum beserta turunannya (cisplatin, carboplatin dan oxaliplatin). Agen-agen
tersebut telah lama dipakai secara luas dan terbukti efektif dalam mengatasi
berbagai jenis keganasan, namun di sisi lain efek samping pada saraf tepi yang
terjadi karena toksisitas juga sudah dikenal luas. Hal tersebut dapat terjadi pada
30% hingga 70% penderita yang menjalani kemoterapi dan sangat bergantung
pada jenis agen yang digunakan dan total dosis yang diberikan. Cisplatin
merupakan agen kemoterapi tertua dan paling toksik terutama pada pemakaian
kombinasi.3 Cisplatin juga banyak digunakan pada terapi Karsinoma Nasofaring
(KNF), salah satu jenis keganasan kepala dan leher yang paling banyak terdapat di
Indonesia.4, 5
Neuropati perifer yang disebabkan toksisitas anti keganasan merupakan
efek samping yang jika diabaikan dapat menurunkan kualitas hidup penderita dan
menjadi faktor penghambat dalam pemberian dosis optimal dari agen-agen
kemoterapi tersebut. Karena itu, deteksi dini menjadi hal yang penting
dilakukan.3, 6
Diagnosis penderita yang mengalami Chemotherapy Induced Peripheral
Neuropathy atau Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi (NPTK) sebagian besar
dibuat berdasarkan gambaran klinis yang muncul. Gejala yang timbul dapat
murni sensorik ataupun predominan sensorik seperti rasa baal, kesemutan dan
bahkan dapat menjadi nyeri neuropatik. Gejala neuropati motorik dan neuropati
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


2

otonom dapat muncul namun sangat jarang bahkan tidak ada.3, 7 Gejala tersebut
dapat membaik (reversible) maupun tidak tergantung pada jenis agen yang
diberikan.8 Eksklusi penyebab neuropati lain seperti diabetes mellitus,
alkoholisme, defisiensi vitamin B, dan gangguan tiroid dapat lebih mendukung
diagnosis neuropati yang diinduksi oleh kemoterapi, walaupun hal-hal tersebut
dapat pula menjadi faktor risiko terjadinya NPTK.3,6,8 Pemeriksaan menggunakan
alat elektroneurografi (ENG) masih merupakan baku emas dalam mendiagnosis
neuropati perifer, terutama untuk menentukan jenis neuropati yang terjadi seperti
aksonal atau demielinisasi.3, 9
Pada beberapa kasus, ENG dapat mendeteksi
neuropati perifer pada penderita dengan gejala yang belum jelas (sub klinis).10
Kenyataannya, alat ENG masih belum merupakan pemeriksaan rutin. Hal
ini dapat disebabkan kurangnya kewaspadaan dari klinisi, gejala neuropati yang
belum jelas dan ketersediaan alat yang masih terbatas.8,9 Dengan demikian
dibutuhkan suatu perangkat diagnostik secara klinis yang memiliki tingkat akurasi
yang mendekati dengan pemeriksaan ENG. Salah satu dari perangkat tersebut
adalah penilaian secara scoring atau skala. Termasuk kedalam skala-skala tersebut
adalah skala yang sering digunakan pada NPTK seperti skala common toxicity
criteria (CTC) dari World Health Organization (WHO), Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG) dan National Cancer Institute (NCI), dan Total
Neuropathy Score. (TNS). 3, 9 Skala-skala tersebut dapat dengan akurat menilai
beratnya gejala NPTK terutama pada tahap awal perjalanan penyakit, namun
penggunaannya tidak cukup praktis dan memakan waktu sehingga penggunaannya
sebagian besar masih terbatas pada studi klinis. 3, 9
Toronto Clinical Scoring System (TCSS) adalah skala penilaian neuropati
yang terdiri atas penilaian gejala, refleks tendon dan tes sensoris.11 Skala ini telah
terbukti efektif dalam mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati
yang disebabkan oleh Diabetes Mellitus (DM) dan juga berhubungan erat dengan
pemeriksaan ENG pada penderita neuropati perifer DM. Polinueropati perifer
yang disebabkan oleh DM merupakan suatu polineuropati simetrik distal yang
memiliki kesamaan manifestasi klinis dengan NPTK, sehingga TCSS diharapkan
juga dapat mendeteksi gangguan neuropati tersebut. Selain itu, penggunaannya

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


3

sederhana dan dapat digunakkan baik untuk studi klinis maupun pada keadaan
praktek sehari-hari.11
Penilaian terhadap adanya NPTK terutama yang dapat dideteksi secara
dini dapat dijadikan pertimbangan dalam keputusan untuk pemberian kemoterapi
sehingga penderita dapat terhindar dari efek samping yang dapat menurunkan
kualitas hidup. TCSS diduga dapat menjadi suatu alternatif dalam mendiagnosis
NPTK dengn cara yang lebih sederhana, cepat, dan dengan tingkat akurasi yang
mendekati dengan alat ENG
Sampai saat ini, belum dilakukan suatu studi yang menggunakan TCSS
untuk mendiagnosis NPTK dibandingkan dengan pemeriksaan ENG. Oleh karena
itu, penelitian ini dilakukan sebagai uji diagnostik TCSS guna mendeteksi NPTK
pada penderita KNF yang mendapatkan kemoterapi Cisplatin.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dirumuskan masalah yang
akan diteliti, yaitu: bagaimanakah tingkat sensitivitas, spesifitas dan nilai
Receiver Operating Characteristic (ROC) TCSS dalam mendiagnosis NPTK?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Melakukan Uji Diagnostik TCSS sebagai alat dalam mendiagnosis NPTK
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendapatkan nilai ROC dari TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK
2. Mendapatkan nilai sensitivitas TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK
3. Mendapatkan nilai spesifisitas TCSS sebagai alat dalam mendiagnosa NPTK

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Bidang Penelitian
Mengetahui cara penelitian, pengumpulan data, pengolahan dan analisis
data, serta meningkatkan wawasan dalam bidang saraf tepi dan
elektroneurofisiologi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


4

1.4.2 Manfaat Bidang Pendidikan


1. Meningkatkan pengetahuan mengenai peran pemeriksaan klinis dengan
menggunakan TCSS dalam mendiagnosa NPTK
2. Meningkatkan pengetahuan tentang peranan elektroneurografi (ENG) pada
pasien tumor dengan kemoterapi cisplatin yang mengalami polineuropati.
1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan peran TCSS sebagai
alat dalam diagnosis NPTK, terutama di rumah sakit yang tidak memiliki fasilitas
elektroneurografi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Neuropati Perifer


2.1.1 Definisi
Neuropati perifer dapat didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada
struktur sistem saraf tepi terutama yang terjadi pada badan sel, akson dan
selubung myelinnya.12
Sistem saraf tepi adalah susunan struktur serabut saraf yang tersebar keluar
dari medulla spinalis dan batang otak dengan pengecualian N Olfactorius dan N
Optikus.12 Sebagian besar dari serabut saraf ini (dengan pengecualian Nervus
kranialis) terbagi menjadi serabut saraf sensorik yang keluar dari radiks posterior
medulla spinalis lalu berkumpul di ganglia posterior sebelum ke reseptor terminal,
saraf motorik dari radiks anterior medulla spinalis dan ganglia saraf simpatis dan
parasimpatis.12 Struktur saraf tepi terutama terdiri atas akson-akson yang
merupakan perpanjangan dari badan sel saraf motorik maupun sensorik. Akson-
akson tersebut terbagi menjadi dua jenis, yang memiliki selubung myelin dan
tidak terselubung myelin dimana hal ini akan berhubungan erat dengan kecepatan
hantar sinyal dari serabut saraf tersebut.12
Beberapa mekanisme mendasari terjadinya gangguan pada saraf tepi:
- Degenerasi Wallerian
Degenerasi Wallerian adalah terdapatnya kematian atau degenerasi pada
struktur akson setelah terjadinya suatu cedera, dalam hal ini adalah adanya
suatu transeksi dari serabut saraf. Struktur akson distal dari transeksi
tersebut akan mengalami degenerasi yang akan diikuti oleh struktur myelin
yang melingkupinya.12
- Demyelinisasi segmental
Gangguan ini terjadi pada kerusakan yang mengenai langsung kepada
selubung myelin maupun sel Schwann. Pada demyelinisasi segmental,
serabut akson dapat tidak terpengaruh sehingga sebagian besar tidak
menimbulkan atrofi otot.12
- Degenerasi neuronal (aksonal)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


6

Degenerasi ini terjadi sebagai akibat dari gangguan yang terjadi pada
badan sel, dimana pada akhirnya serabut akson yang paling distal akan
mulai mengalami degenerasi dan akan diikuti oleh degenerasi dari
selubung myelin.12

Neuropati perifer juga dapat diklasifikasikan menurut distribusi anatomisnya:


1. Neuropati Generalisata Simetris (Polineuropati)
- Degenerasi aksonal distal
Tipe gangguan ini paling umum terjadi pada saraf perifer. Pada tipe ini
terjadi suatu abnormalitas pada metabolisme badan sel, dimana terjadi
gangguan pada transport retrograde neurofilamen dari akson terminal ke
badan sel sehingga jika berlanjut akan terjadi gangguan metabolism secara
keseluruhan. Bagian distal akson adalah struktur yang paling pertama kali
terkena dan akan berlanjut ke arah proksimal (dying back). Diameter dan
panjang serabut mempengaruhi beratnya gangguan ini. Beberapa keadaan
dengan mekanisme tersebut adalah pada keadaan gangguan metabolik
umum seperti uremia dan diabetes mellitus.13,14
- Myelinopati segmental (non-uniformis)
Pada myelinopati segmental, kerusakan secara primer terjadi pada
selubung myelin dan juga terhadap sel Schwann. Gangguan ini terjadi
secara segmental terutama pada selubung myelin intermodal (di antara dua
nodus ranvier). Diduga penyebab dari gangguan ini adalah proses
inflamasi yang disebabkan mekanisme autoimun seperti yang terjadi pada
Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculopathy (AIDP).13,14
- Myelinopati Difus (Uniformis)
Pada tipe ini, kerusakan terjadi secara difus atau menyeluruh pada seluruh
sel Schwann, dimana terjadi suatu demyelinisasi yang progresif dan secara
lambat. Gangguan ini terutama disebabkan oleh kelainan neuropati
sensorik dan motorik herediter seperti Charcot marie-Tooth dan juga
gangguan dari metabolism lipid herediter seperti leukodistrofi.13,14
- Neuronopati (Gangliopati)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


7

Kerusakan yang terjadi pada tipe ini secara primer terjadi di badan sel.
Gangguan saraf tepi yang terjadi sesuai dengan segmen yang dipersarafi
oleh badan sel tersebut, hal ini dapat terjadi secara fokal (herpes zoster),
multiple segmen motorik (poliomilelitis) ataupun secara difus sensorik
(toksisitas obat kemoterapi). Pada tipe ini terjadi degenerasi pada
keseluruhan akson dari badan sel yang terkena namun sel Schwann relatif
tidak terkena.13,14

2. Neuropati fokal dan multifokal


- Iskemia
Iskemia dapat terjadi pada saraf tepi jika terdapat suatu gangguan yang
merata dari arteri medium hingga kecil. Gangguan ini terutama disebabkan
oleh mekanisme autoimun yang menyebabkan suatu inflamasi atau
vaskulitis secara fokal pada komponen dinding pembuluh darah. Beberapa
contoh untuk keadaan ini adalah vaskulitis yang disebabkan imunitas dan
juga diabetes mellitus.13,14
- Infiltrasi
Keadaan ini disebabkan oleh adanya infiltrasi dari struktur patologis
seperti granuloma yang akan mendesak serabut saraf tepid dan jaringan
sekitarnya sehingga akhirnya akan merusak keseluruhan struktur dari saraf
tepi. Lepra, amyloidosis, sarkoidosis, infiltrasi leukemik dan limfomatosa,
perineural xanthoma dan schwannoma merupakan contoh dari keadaan
tersebut.13,14
- Traumatik
Saraf tepi diketahui sangat rentan terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh cedera traumatik. Beratnya kerusakan yang ditimbulkan oleh cedera
traumatik berbanding lurus dengan besarnya kekuatan dan durasi yang
ditimbulkan oleh penyebab trauma. Kerusakan yang ditimbulakn oleh
trauma dapat diklasifikasikan menurut struktur yang paling rentan terkena
sesuai beratnya trauma yaitu myelin, akson dan jaringan ikat
sekitarnya.13,14

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


8

2.2 Neuropati Perifer Terinduksi Kemoterapi (NPTK)


NPTK adalah gangguan saraf tepi pada penderita yang menerima
kemoterapi dengan menggunakan agen kemoterapi yang diketahui memiliki efek
neurotoksik atau dapat juga dikatakan bahwa NPTK merupakan efek samping
neurotoksik yang diakibatkan oleh terapi kemoterapi anti keganasan.3 6,15
Seperti diketahui, keganasan merupakan penyakit yang menjadi penyebab
kematian utama di Negara maju dan penyebab kematian kedua di Negara-negara
berkembang.5 Walaupun insidensi tampak lebih rendah pada negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju, namun tingkat mortalitas tetaplah sama, hal ini
dikatakan dapat diturunkan dengan pencegahan faktor resiko, vaksinasi, diagnosis
dan tatalaksana pada stadium yang lebih dini.5 Dari beberapa jenis keganasan
yang memiliki tingkat mortalitas tinggi, Karsinoma Nasofaring (KNF)
merupakan salah satu jenis keganasan yang memiliki tingkat insidensi tinggi di
asia tenggara dengan Indonesia menjadi salah satu Negara dengan tingkat
insidensi KNF tertinggi bersama Malaysia dan Singapura.5 Hal ini juga
menggambarkan suatu paparan yang tinggi terhadap penderita oleh salah satu dari
cara tatalaksana penyakit ini yaitu kemoterapi. Kemoterapi pada keganasan masih
merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam menurunkan tingkat
mortalitas, namun di sisi lain, zat yang digunakan pada kemoterapi juga dapat
menimbulkan efek samping dan komplikasi yang tidak jarang dapat menghambat
pemberian kemoterapi itu sendiri dan bahkan dapat lebih menurunkan kualitas
hidup penderita.3, 6

2.2.1 Epidemiologi
Angka kejadian dari NPTK belum dapat diterapkan secara universal, hal
ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dari cara penilaian dan pelaporan
dalam studi klinis dan praktek sehari-hari.3 Pada dasarnya, insidensi dari NPTK
dapat dibedakan menurut tipe dan dosis dari agen kemoterapi yang digunakan,
komorbiditas dan beberapa faktor resiko lain yang belum dapat di identifikasi.3 6, 8
Pada penggunaan agen platinum, terdapat tiga yang sering digunakan yaitu
cisplatin, carboplatin dan oxaliplatin. Insidensi NPTK pada pemakaian cisplatin
sangat tergantung pada intensitas dosis yang diberikan dimana terdapat kejadian

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


9

24% hingga 92% pada pemberian dosis total melebihi 300 mg/m 2 dan pada long
survivor dapat terjadi sebesar 61%.7 Hal ini juga berlaku untuk agen yang lebih
baru dimana terdapat angka kejadian sebanyak 18% hingga 60% pada pemakaian
oxaliplatin yang sangat bergantung pada jumlah dosis yang diberikan.6 Pada
penggunaan Taxane (paclitaxel, docetaxel), pemberian dosis kumulatif yang
tinggi (> 1000 mg/m2 untuk paclitaxel dan > 370 mg/m2 untuk docetaxel)
dihubungkan dengan insidensi NPTK yang meningkat dan pada pemakaian
kombinasi dengan cisplatin atau carboplatin, angka kejadian dapat meningkat
hingga 70%.6 Pada penggunaan epothilones, angka kejadian NPTK berkisar antara
13% hingga 20%, dan insidensi neurotoksisitas secara keseluruhan dapat
mencapai di atas 70%.3 Kelompok agen vinca alkaloid seperti vincristine dapat
menyebabkan NPTK pada sekitar 30% penderita. Bortezomib juga dapat
menyebabkan NPTK pada 30% penderita dan pada penderita yang mendapatkan
thalidomide, NPTK dapat terjadi sebanyak 10% jika dosis kumulatif kurang dari
20 gr, namun angka tersebut akan meningkat sejalan dengan penambahan dosis.3

2.2.2 Patofisiologi
Mekanisme utama dari kemoterapi pada keganasan adalah dengan
mempengaruhi salah satu fase dari siklus replikasi sel ataupun dengan cara
mempengaruhi integritas dari struktur sel sehingga akan terjadinya kerusakan
ataupun kematian sel.16 Sebagian besar dari agen kemoterapi yang menyebabkan
NPTK merupakan agen non-spesifik siklus atau agen yang memiliki efek
sitotoksik terhadap sel tumor tanpa mempengaruhi siklus replikasi sel, namun
dengan cara mempengaruhi struktur di dalam sel sehingga akan terjadi kerusakan.
Efek sitotoksik dari agen-agen tersebut sangat bergantung terhadap dosis yang
diberikan dimana semakin besar besar dosis yang diberikan maka semakin besar
pula efek sitotoksiknya.16 Cara pemberian ini pada akhirnya berpengaruh terhadap
meningkatnya kejadian NPTK, dimana telah dijelaskan bahwa kejadian NPTK
berbanding lurus dengan besar dan intensitas dosis yang diberikan.3, 6, 8 Beberapa
agen kemoterapi yang sering menimbulkan NPTK adalah golongan platinum
(Cisplatin, Carboplatin, Oxaliplatin), Taxane (paclitaxel, Docetaxel), Vinca
Alkaloid (Vincristine), Bortezomib, Suramin dan Thalidomide.3, 6, 8, 9

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


10

Secara umum, agen kemoterapi dapat menimbulkan NPTK dengan jalan


mengganggu metabolisme pada badan sel neuron yang terletak di Dorsal Root
Ganglion (DRG). Mekanisme gangguan ini antara lain adalah: 17
- Peningkatan pembukaan pada kanal Na pada sel DRG sehingga
meningkatkan konsentrasi ion Na intraseluler yang akan meningkatkan
pembukaan dari kanal Ca
- Peningkatan Ca intraseluler juga dapat disebabkan oleh aktivasi dari
reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartat) oleh karena peningkatan pelepasan
glutamate pre-sinaptik
- Peningkatan Ca intraseluler akan berperan sebagai pemicu lepasnya
penyimpanan Ca intraseluler di mitokondria
- Peningkatan Ca intraseluler juga mengaktivasi protein kinase C yang akan
menfosforilasi dan mengaktivasi dari TRPV (Transient Receptor Potential
Vanilloid), TRPV berpengaruh langsung terhadap perubahan
hiperrensponsif pada neuron sensorik
- Produksi dari nitrat oksida dan radikal bebas juga di cetuskan oleh
peningkatan Ca intraseluler dan hal ini akhirnya akan menimbulkan
sitotoksisitas pada akson terminal dan badan sel
- Terjadi pembukaan dari mPTP pada mitokondria yang akan melepaskan
sitokrom C dan akan memulai kaskade apoptosis dengan pengaktivasian
calpains/caspases.
- Sitokin inflamasi yang dilepaskan oleh sel glial akibat respon terhadap
agen kemoterapi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 juga berpatisipasi dalam
kaskade apoptosis dengan berikatan dengan reseptor sitokin yang akan
mengaktivasi Protein Kinase C (PKC) dan MAP Kinase.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


11

Gambar 2.1 Mekanisme umum NPTK 17

Selain menyebabkan neurotoksisitas pada DRG, beberapa studi terakhir


menyimpulkan bahwa NPTK juga disebabkan karena terdapatnya gangguan pada
mikrotubuli aksonal. Beberapa mekanisme diketahui sehubungan dengan
gangguan terhadap struktur mikrotubuli tersebut, yaitu dengan jalan inhibisi dari
pengumpulan (assembly) mikrotubuli (depolimerisasi) dan polimerisasi
mikrotubuli. Pada badan sel DRG, mikrotubuli di sintesa oleh poliribosom bebas
dan akan ditransport secara anterograde sepanjang akson. Pada serabut saraf,
mikrotubuli berfungsi sebagai transpor nutrisi ke sepanjang akson.3,8,18
mikrotubuli sendiri terdiri atas dimer dari subunit αβ tubulin, dimana masing-
masing subunit terikat pada satu molekul GTP yang akan berperan dalam proses
elongasi dan hidrolisa mikrotubuli itu sendiri.18
- Agen kemoterapi yang menghambat pembentukan mikrotubuli diduga
bekerja dengan jalan berikatan langsung dengan GTP sehingga pada
akhirnya akan menyebabkan penghambatan dari proses elongasi atau
penambahan subunit baru pada mikrotubuli.18 Agen kemoterapi yang
diduga menyebabkan NPTK dengan mekanisme tersebut adalah dari
golongan platinum terutama cisplatin.18
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


12

- Agen kemoterapi taxane (paclitaxel dan Docetaxel) dan Vinca Alkaloid


berikatan dengan subunit tubulin β dan akan meningkatkan interaksi
diantara subunit tubulin. Peningkatan interaksi ini akan menstabilisasi
mikrotubuli sehingga dinamika pemendekan dan pemanjangan yang
seharusnya terjadi akan dihambat. Hal ini pada akhirnya akan
mengakibatkan suatu aggregasi dari mikrotubuli.18
Golongan suramin masih merupakan agen kemoterapi eksperimental yang
banyak digunakan sebagai anti neoplastik pada sejumlah studi klinis. Mekanisme
neurotoksisitas suramin pada saraf perifer belum secara pasti diketahui, namun
diduga bahwa suramin dapat menjadi zat antagonis untuk reseptor purinergik P2X
dan P2Y. Pada saraf perifer, reseptor tersebut terdapat pada sel DRG (P2X) dan
pada sel Schwann (P2Y). Reseptor tersebut jika diaktivasi, dapat memulai suatu
influks ion Ca ke intraseluler yang akan berpengaruh terhadap konduksi sinyal.
Inhibisi terhadap reseptor tersebut dapat menyebabkan gangguan terhadap
konduksi dan pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan sel.6, 19
Bortezomib bekerja dengan jalan menurunkan ekspresi atau produksi protein
yang digunakan untuk replikasi sel. Mekanisme neurotokisitas saraf perifer pada
penggunaan bortezomib belum dapat diketahui dengan pasti namun diduga terjadi
karena terjadinya peningkatan polimerisasi intraseluler dan aksonal.6
Beberapa mekanisme juga dikemukakan sehubungan dengan gejala klinis
NPTK yang merupakan predominan sensorik dan jarang mengenai motorik
maupun otonom.8
1. Sebagian besar agen kemoterapi yang dapat menyebabkan NPTK
diketahui tidak dapat menembus sawar darah otak, sehingga tidak
memungkinkan adanya keterlibatan sistem saraf pusat dalam patogenesis
NPTK
2. Badan sel dari Lower Motor Neuron (LMN) terletak di dalam bagian
anterior dari medulla spinalis yang sangat terlindungi oleh sawar darah
otak, sehingga hanya sedikit atau bagian perifer dari akson saraf motorik
saja yang dapat terpapar oleh agen kemoterapi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


13

3. Badan sel dari saraf sensorik terletak di luar dari medulla spinalis yaitu di
DRG, sehingga semua struktur anatomis dari saraf sensorik dapat terpapar
oleh efek neurotoksik dari agen kemoterapi
4. Serabut saraf motorik merupakan serabut saraf dengan diameter besar dan
dengan myelin yang tebal (tipe A-α) sehingga diduga lebih memiliki
ketahanan terhadap efek neurotoksik dibandingkan dengan serabut saraf
sensorik yang lebih kecil dan dengan myelin yang lebih tipis atau tanpa
myelin sama sekali (tipeA-β -ɤ dan –δ dan tipe B dan C).8

2.2.3 Gambaran Klinis


Gambaran klinis pada NPTK dapat ditemukan secara berbeda tergantung
pada agen kemoterapi, dosis dan lama pemberian, namun terdapat beberapa
prinsip dalam mendiagnosis suatu NPTK.3,6,8, yaitu:
- Gambaran distribusi yang tergantung dengan panjang akson (distribusi
stocking dan glove)
- Gambaran penyebaran yang simetris
- Onset dari NPTK yang sangat berhubungan dengan pemberian kemoterapi,
dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua:
a. Onset progresif dengan remisi sementara ataupun terjadi perburukan
secara progresif (aksonopati)
b. Onset yang segera setelah beberapa saat pemberian kemoterapi
(neuronopati)
- Terdapatnya gejala dan tanda gangguan sensorik seperti parestesia,
disestesia, hipestesi, hiperestesia, hipoestesia dan nyeri.
- Gejala kelemahan motorik yang cenderung ringan sedang bila
dibandingkan dengan gejala sensorik yang terjadi dan dapat terdistribusi
bersama dengan gejala sensorik.

2.2.3.1 Golongan Platinum


Gambaran klinis pada penggunaan golongan platinum (cisplatin,
carboplatin dan oxaliplatin) seperti telah dijelaskan sebelumnya sangat
dipengaruhi oleh total dosis dan intensitas dosis yang diberikan, dalam hal ini

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


14

diketahui bahwa NPTK dapat muncul pada pemberian cisplatin dengan dosis
kumulatif melebihi 300 mg/m2, ataupun dosis sekali pemberian sekitar 100
mg/m2. Gangguan sensorik merupakan gejala klinis utama yang terjadi pada
NPTK karena pemberian platinum, dengan bentuk parestesia atau kesemutan
dan rasa baal dengan distribusi simetris kaus kaki dan sarung tangan, terutama
pada pemakaian oxaliplatin, neuropati sensorik dapat terjadi pada 85%-95%
penderita.8 Gejala ini dapat disertai dengan penurunan refleks tendon pada
anggota gerak yang terkena. Selain gejala sensorik, cisplatin juga dapat
menyebabkan kelemahan motorik, dan juga beberapa temuan neuropati
otonom seperti lhermitte’s sign, mielopati kolumna dorsalis dan nyeri rahang
bilateral.8 Gejala-gejala tersebut umumnya terjadi setelah beberapa kali
pemberian (dosis akumulatif) namun dapat juga terjadi secara cepat setelah
pemberian sekali dosis yang tinggi. Gejala masih dapat terjadi dan dapat
memburuk 6 bulan setelah dosis terakhir diberikan.3,6,8,20,21 Sebagian besar
dari gejala NPTK pada cisplatin akan menjadi reversibel walaupun diketahui
bahwa konsentrasi cisplatin di DRG berkurang dengan lambat sejalan dengan
waktu.21 Cisplatin dan carboplatin memiliki karakteristik gambaran klinis
yang serupa walau dikatakan bahwa Carboplatin memiliki toksisitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan cisplatin. Oxaliplatin memiliki manifestasi
gejala yang sedikit berbeda dimana gejala sensorik yang terjadi dapat
diperparah dengan suhu yang rendah.6,20

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


15

Tabel 2.1 Beberapa Kumpulan Gejala NPTK sesuai Agen Kemoterapi 6


Jenis Zat Dosis Gejala Klinis
neurotoksik Sensorik Motorik Autonom
Vincristine Lebih dari 4 mg Selalu ada Jarang Sering
dosis kumulatif Manifestasi awal Rasa kram dan Ileus paralitik,
dari rasa kebas kelemahan pada hipotensi
dan kesemutan otot distal postural,
pada kaki dan disfungsi
tangan, urogenital
hilangnya refleks
tendon dan rasa
nyeri
Taxane (Taxol, >175-200 mg/m2 Sering Kurang sering
Docetaxel) dosis kumulatif Parestesia Kelemahan distal
simetris distal, dan/atau Jarang
hipestesia, proksimal Ileus paralitik,
hilangnya rasa progresif, Hipotensi
posisi, diestesia mialgia dan postural, aritmia
yang nyeri, tanda kasus jarang
lhermitte, rasa miopati
nyeri

Cisplatin >300 mg/m2 Sering Hampir tidak Jarang


dosis kumulatif Rasa kesemutan pernah Disregulasi
pada tangan dan Kelemahan otot ortostatik
kaki, hilangnya yang sangat
refleks tendon, jarang
gangguan dari
rasa posisi dan
sendi, ataksia,
tanda lhermitte

Carboplatin >400 mg/m2 Kurang sering Tidak pernah Tidak diketahui


dosis kumulatif Rasa kesemutan
pada tangan dan
kaki, hilangnya
refleks tendon,
gangguan dari
rasa posisi dan
sendi, ataksia,
tanda lhermitte

Oxaliplatin Tidak ada Selalu ada Kurang sering Tidak diketahui


ambang dosis Parestesia, Miotonia, rasa
untuk gejala diestesia dan keram, spasme
awal, >300 nyeri yang tetanik,
mg/m2 dosis dicetuskan dan di kelemahan otot
kumulatif onset perberat oleh yang jarang
lambat suhu dingin,
gejala lanjut
sama dengan
Cisplatin

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


16

2.2.4 Diagnosis Banding


Gejala neuropati pada NPTK juga dapat disebabkan oleh kelainan lain dan
hal ini dapat dibedakan mulai dari riwayat penyakit dan perbandingannya dengan
temuan dasar (baseline) dan juga onset dari gejala neurosensorik yang baru.3
Neuropati paraneoplastik, neuropati diabetikum dan neuropati metabolik lainnya
dapat menjadi diagnosis differensial untuk NPTK, namun pada keganasan dengan
sumber neoplasma yang jelas, neuropati sensorik paraneoplastik dapat menjadi
diagnosis diffrensial utama.22

2.2.4.1 Neuropati Sensorik Paraneoplastik


Neuropati yang disebabkan oleh paraneoplastik merupakan salah satu dari
komplikasi neurologis yang dapat terjadi pada keganasan. Neuropati ini
kemungkinan disebabkan oleh kelainan autoimun, dimana pada sel tumor terdapat
antigen onkoneural yang memiliki kesamaan antigenitas dengan beberapa molekul
yang di paparkan oleh sel saraf tepi yang normal, sehingga antibodi anti tumor
yang terbentuk dapat pula menyerang sel saraf tepi yang memiliki kemiripan
antigenitas dengan antigen onkoneural tersebut.22, 23
Neuropati paraneoplastik dapat terjadi pada sekitar 17% penderita yang
mengalami gejala neurologis disebabkan oleh keganasan.22,23 Small Cell Lung
Cancer (SCLC) merupakan keganasan yang paling banyak terkait dengan
kejadian neuropati paraneoplastik dengan angka kejadian sekitar 1,7% hingga
16% dimana neuropati sensorik merupakan jenis neuropati yang tersering pada
paraneoplastik.22, 23
Neuropati sensorik pada paraneoplastik dapat juga disebut dengan
Subacute Sensoric Neuropathy (SSN). Sebagian besar (71% hingga 88%) awitan
dari gejala SSN terjadi jauh sebelum diagnosis tumor ditegakkan (1 hingga 47
bulan). Gejala awal dari kelainan ini adalah rasa baal dan parestesia yang tersebar
secara acak atau asimetris dan sering melibatkan anggota gerak proksimal, wajah
dan batang tubuh. Diestesia dengan rasa terbakar dan rasa nyeri yang berat dan
tajam merupakan hal yang umum terjadi dan merupakan hal yang memberatkan
pada kelainan ini. Sebagian besar penderita juga mengalami keterlibatan
multifokal dari sistem limbik, serebellum, batang otak dan medulla spinalis.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


17

Gejala tersebut terjadi secara cepat dan progresif (subakut).22,23 Pada pemeriksaan
dapat ditemukan ataksia sensorik yang berat, gangguan dari sensasi getar dan
propioseptif, pseudoathetosis, dan juga reflex tendon yang berkurang atau hilang
sama sekali.22, 23
Pada pemeriksaan neurofisiologi didapatkan penurunan amplitudo
sensorik atau menghilangnya aksi potensial sensorik, dengan kecepatan hantar
saraf (KHS) yang normal atau sedikit menurun. Pada sebagian penderita dapat
juga ditemukan penurunan dari KHS motorik walaupun tanpa adanya gejala
motorik.22, 23
Ditemukannya antibody (IgG) anti-Hu pada keganasan SCLC lebih
mengarahkan kepada diagnose SSN, karena sebanyak 90% penderita SSN yang
ditemukan antibodi anti Hu mengalami SCLS, dengan sisanya diketahui
mengalami neuroblastoma, non SCLC, karsinoma mammae, prostat atau
tymoma.22, 23

2.2.4.2 Neuropati Sensorik Diabetikum


Diabetes mellitus merupakan penyebab terbanyak daripada neuropati
perifer dengan prevalensi yang semakin meningkat sejalan dengan lamanya
perjalanan penyakit, yaitu 10% hingga 50%. Dari semua jenis neuropati pada
diabetes, sekitar 90% penderita mengalami neuropati sensorik diabetes dengan
bentuk polineuropati sensorimotor distal kronis.12
Gejala umum dari neuropati sensorik ini berawal dari jari pertama tungkai
bawah secara bilateral, dengan sensasi akan nyeri dan temperatur yang terkena
lebih dahulu. Hilangnya sensasi tersebut memiliki penyebaran dari distal ke
proksimal (sesuai dengan panjang akson) dan sebagian besar akan berakibat pada
meningkatnya kejadian ulkus diabetikum dan juga terjadinya gangguan
keseimbangan.12 Gejala sensoris lainnya juga dapat terjadi seperti parestesia,
hiperestesia, nyeri rasa terbakar, tersetrum maupun nyeri yang dalam.12
Penegakkan diabetes pada penderita yang mengalami gejala neuropati
seperti poliuri, polidipsi, polifagi dan juga beberapa pemeriksaan penunjang lain
(Glukosa darah puasa > 7 mmol atau 126 mg/dl dan Gula darah 2 jam Post

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


18

Prandial > 11 mmol atau 200 mg/dl) , dapat lebih menunjukkan neuropati yang
disebabkan oleh diabetes.24
Pada keganasan, Diabetes Mellitus diketahui dapat meningkatkan tingkat
mortalitas pada penderita yang menjalani kemoterapi. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai macam faktor dimana salah satunya adalah bahwa
diabetes mellitus dapat meningkatkan toksisitas yang diakibatkan oleh agen
kemoterapi, salah satunya adalah toksisitas pada saraf tepi.25

2.2.4.3. Neuropati sensorik akibat toksisitas obat


Beberapa obat telah diketahui dapat menyebabkan toksisitas pada sistem saraf
perifer. Sebagian dari obat-obatan tersebut menimbulkan neuropati perifer dengan
gejala sensorik distal ataupun sensorimotor distal. Gejala – gejala tersebut
umumnya muncul pada pemakaian jangka panjang atau pada dosis yang tinggi.
Termasuk dalam golongan obat terseut adalah fenitoin (anti epilepsi), colcichine
(anti gout), isoniazid (anti tuberculosis), ethambutol (anti tuberculosis),
amiodaron (anti aritmia jantung), metronidazol (anti biotik) dan stavudin (anti
HIV).12,26

2.2.4.4. Neuropati sensorik akibat hipotiroidisme


Hipotiroidisme merupakan kelainan yang terjadi pada kelenjar tiroid
sehingga terjadi penurunan dari sekresi hormon tiroid. Keadaan ini dapat terjadi
secara kongenital ataupun autoimun. Beberapa gejala klinis umum yang dapat
terjadi pada hipotiroid adalah berdebar-debar dan keringat berlebih, atau keluhan
lain seperti berat badan turun, tremor dan massa pada leher. Diagnosis hipotiroid
dapat ditegakkan dengan memeriksa kadar dari hormon Thyroid Stimulating
Hormone (TSH) dan juga kadar hormon bebas T4.27 Neuropati perifer merupakan
salah satu gejala yang dapat timbul akibat hipotiroidisme. Gejala neuropati perifer
tersering pada hipotiroidisme adalah gejala polineuropati sensorik distal dimana
terdapat penurunan dari sensasi raba, vibrasi dan posisi pada ekstremitas distal. 28

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


19

2.2.5 Metoda Diagnosis


Sebagian besar gejala pada NPTK merupakan gejala sensorik yang
subjektif atau hanya dapat dirasakan beratnya oleh penderita, sehingga penilaian
dari NPTK itu sendiri banyak bergantung kepada laporan penderita, walau ada
beberapa hal yang dapat dinilai secara obyektif.9 Beberapa metode telah
diciptakan untuk dapat membantu menegakkan diagnosa NPTK dan juga
sekaligus menilai beratnya gejala tersebut, namun belum terdapat satu metode
yang dapat dijadikan sebagai acuan standar.9 Meskipun begitu, metode-metode
tersebut tetap memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing dan tetap
secara luas digunakan baik dalam studi klinis maupun praktek sehari-hari.9

2.2.5.1 Pemeriksaan Elektroneurofisiologi


Pemeriksaan elektroneurofisiologi merupakan baku emas (golden
standard) yang digunakan untuk mendeteksi adanya suatu neropati perifer.
Pemeriksaan ini menggunakan aliran listrik untuk mengetahui keutuhan dari
serabut saraf perifer dan abnormalitas yang ditemukan dapat berupa tipe aksonal,
demyelinisasi atau tipe campuran.3, 6
Pada neuropati perifer, terutama jika kerusakan yang dicurigai adalah
suatu demyelinisasi (Sindroma Guilain Barre), maka pemeriksaan ini sangatlah
penting karena berhubungan erat dengan keputusan diberikannya terapi.29
Pada NPTK, elektroneurofisiologi digunakan terutama untuk mengetahui
tipe dari kerusakan yang terjadi, namun dikatakan bahwa pemeriksaan ini tidak
dianjurkan untuk digunakan secara rutin untuk penilaian NPTK jika dibandingkan
dengan penilaian secara klinis. Beberapa penjelasan atas keterbatasan ini adalah
sebagai berikut:
- Hasil pemeriksaan elektroneurofisiologi mencerminkan keadaan dari
serabut saraf yang paling dapat bertahan, sehingga jika hanya sedikit dari
serabut yang terkena, maka hasil akan terlihat normal.29
- Pemeriksaan rutin dari elektroneurofisoliogi cenderung memiliki area
anatomis pemeriksaan yang cenderung lebih proksimal dibandingkan
distribusi stocking and gloves pada NPTK.29

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


20

- Pemeriksaan elektroneurofisiologi yang standar tidak dapat menilai


neuropati pada serabut yang kecil.29
- Pemeriksaan elektorneurofisiologi sulit untuk menilai kelainan yang
terjadi pada DRG, dimana DRG berperan penting pada patogenesis
NPTK.29
Walau dengan segala keterbatasan tersebut, elektroneurofisiologi masih sangat
penting untuk dilakukan terutama untuk gejala polineuropati dengan etiologi yang
belum jelas, untuk menentukan diagnosis pada neuropati dengan gejala murni
neuropati sensorik dan khusus pada NPTK, elektroneurofisiologi dapat digunakan
sebagai penilaian kuantitatif dalam mengkonfirmasi beratnya gejala NPTK yang
telah dinilai secara klinis.3, 6, 29
Beberapa komponen yang diukur pada pemeriksaan elektroneurografi (ENG)
dalam menentukan suatu neuropati perifer adalah Latensi distal, Amplitudo
Gelombang Motorik (Compound Motoric Action Potential (CMAP)) maupun
sensorik (Sensori Nerve Action Potential (SNAP)), F-Wave dan Kecepatan Hantar
Saraf (KHS) baik motorik maupun sensorik.30 Dari pengukuran tersebut dapat
diketahui beberapa jenis neuropati yaitu yang disebakan karena degenerasi
aksonal atau karena demielinisasi.30

Tabel 2.2 Karakteristik elektroneurografi neuropati perifer 30


Degenerasi Aksonal Segmental Demielinisasi
Konduksi Hantaran Saraf Sensorik
Amplitudo SNAP Menurun Normal
Latensi distal Normal Memanjang
Kecepatan Hantar Saraf Normal Melambat
Konduksi Hantaran Saraf Motorik
Amplitudo CMAP Menurun Normal (kecuali Blok Konduksi)
Latensi distal Normal Memanjang
Kecepatan Hantar Saraf Normal Melambat
Blok konduksi Menghilang Ada
Dispersi temporal Menghilang Ada
F wave Normal Memanjang atau menghilang
H refleks Normal Memanjang atau menghilang

Dasar diagnosis polineuropati perifer adalah adanya defisit neurologis


sistem saraf perifer motorik maupun sensorik yang relatif simetris pada minimal
tiga dari empat ekstremitas, sehingga diagnosis polineuropati perifer secara

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


21

elektrodiagnostik dapat ditegakkan bila terdapat gambaran abnormal pada lebih


dari 2 segmen saraf pada minimal 3 dari 4 ekstremitas yang diperiksa.30

Tabel 2.3 Nilai Normal KHS Motorik dan Sensorik 30

Saraf 10–35 tahun 36–50 th 51–80 th


Sensorik Motorik Sensorik Motorik Sensorik Motorik
Medianus

Digit-wrist 67.5±4.7 65.8±5.7 59.4±4.9

Wrist-elbow 67.7±4.4 59.3±3.5 65.8±3.1 55.9±2.6 62.8±5.4 54.5±4.0


Elbow-axilla 70.4±4.8 65.9±5.0 70.4±3.4 65.1±4.2 66.2±3.6 63.6±4.4
Ulnaris

Digit-wrist 64.7±3.9 66.5±3.4 57.5±6.6

Wrist-elbow 64.8±3.8 58.9±2.2 67.1±4.7 57.8±2.1 56.7±3.7 53.3±3.2


Elbow-axilla 69.1±4.3 64.4±2.6 70.6±2.4 63.3±2.0 64.4±3.0 59.9±0.7
Peroneus

Ankle-knee 53.0±5.9 49.5±5.6 50.4±1.0 43.6±5.1 46.1±4.0 43.9±4.3


Tibialis Posterior

Ankle-knee 56.9±4.4 45.5±3.8 49.0±3.8 42.9±4.9 48.9±2.6 41.8±5.1


*
Latensi dalam milisekon, dalam rerata + 1SD

2.2.5.2 Penilaian Neuropatologis


Penilaian neuropatologis pada NPTK dapat dilakukan dengan melakukan
biopsi pada nervus suralis. Tindakan ini diketahui dapat memberikan informasi
yang berguna mengenai perubahan patologis yang terjadi pada NPTK, namun
sampai saat ini biopsi nervus suralis belum direkomendasikan sebagai
pemeriksaan rutin. Pemeriksaan neuropatologis lainnya adalah pemeriksaan biopsi
kulit yang telah dilakukan pada studi hewan dengan neuropati toksik, dimana pada
studi tersebut ditemukan berkurangnya Intra Epidermal Nerve Fiber (IENF) pada
hewan yang mengalami neuropati dibandingkan dengan kontrol dan hal ini
sebanding dengan pemeriksaan KHS yang dilakukan.31 Hasil dari studi tersebut
menunjukkan bahwa biopsi kulit merupakan pemeriksaan yang dapat memberikan
gambaran yang lebih mengenai NPTK , selain biopsi kulit juga merupakan
pemeriksaan dengan minimally invasive. Dengan segala kelebihannya, biopsi kulit
masih merupakan prosedur yang mahal dan sangat memakan waktu sehingga
penggunaan rutin belum dapat dianjurkan.3, 6

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


22

2.2.5.3 Penilaian dengan skala


Dengan segala keterbatasan akan pemeriksaan objektif untuk diagnosis
dari NPTK, maka telah dibuat beberapa perangkat diagnosis yang berdasarkan
dari gejala klinis yang ada. Beberapa dari perangkat tersebut dibuat dalam bentuk
scoring atau skala. Skala-skala tersebut telah banyak digunakan oleh klinisi untuk
mendeteksi dan menilai progresifitas gejala dari NPTK dan tiap skala memiliki
kelebihan dan kelemahannya masing-masing.9

2.2.5.3.1 Common Toxicity Criteria (CTC) Scale


Skala CTC pertama kali dikembangkan oleh World Health Organization
(WHO) untuk mencatat data mengenai toksisitas yang dapat terjadi pada saat
terapi keganasan. Pencatatan data tersebut juga mencakup mengenai toksisitas
yang dapat terjadi pada sistem saraf perifer seperti terdapatnya gejala parestesia,
hilangnya refleks tendon dalam dan gejala kelemahan motorik. Beberapa
kelompok lain seperti Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) dan
National Cancer Institute (NCI) juga mengembangkan CTC tersebut yang
didasarkan pada CTC dari WHO namun dengan pengembangan masing-masing
seperti gejala autonom dan kriteria disabling sensory loss pada ECOG, dan
penambahan penilaian neuropati pada saraf kranial pada NCI . Skala Ajani
dikembangkan oleh grup studi neuroonkologi di Houston Cancer Centre dengan
mengembangkan CTC dari WHO sehingga juga memiliki suatu penialaian
morbiditas spesifik yang dapat dijadikan acuan untuk terapi selanjutnya,
sedangkan untuk penialaian saraf perifer skala Ajani mengembangkan penilaian
gejala sensorik dan motorik, dan juga penilaian abnormalitas dari fungsi penderita
untuk ambulasi.3, 9
Beberapa studi menggunakan skala CTC pada pasien yang menjalani
kemoterapi dan diduga mengalami suatu gejala neuropati (dengan mengeksklusi
pasien tanpa gejala neuropati dari pemeriksaan fisik), studi tersebut membuktikan
bahwa terdapat perbedaan penilaian yang signifikan diantara para pemeriksa yang
menggunakan beberapa skala CTC yang berbeda, hal ini kemungkinan
dikarenakan beberapa parameter dari skala CTC tersebut yang cukup sulit untuk
diintepretasi secara obyektif maupun seragam seperti “abnormalitas fungsional

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


23

berat” pada skala Ajani, “keadaan cacat pada hilangnya fungsi sensorik” pada
skala ECOG, “parestesia yang tidak dapat ditoleransi” pada WHO dan “ hilangnya
fungsi sensorik objektif berat atau parestesia yang mengganggu fungsi” pada
NCI.9, 32 Dapat disimpulkan bahwa skala CTC adalah skala yang dapat digunakan
dengan cepat dan mudah, namun karena banyaknya variabilitas interpretasi
diantara parameter yang digunakan, maka skala tersebut lebih tepat digunakan
untuk menskrining pasien kemoterapi yang kemungkinan membutuhkan
pemeriksaan neurologis lebih lanjut dibandingkan untuk benar-benar mendeteksi
dan menilai beratnya gejala pada NPTK.9, 32

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


24

Tabel 2.4 Skala Common Toxicity Criteria 32


Skala Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4
WHO Tidak ada Parestesia Paresetsia berat Parestesia Paralisis
dan/atau dan/atau yang tidak
berkurangnya kelemahan dapat
refleks tendon ringan ditoleransi
dan/atau
gangguan
motorik
signifikan
ECOG Tidak ada Refleks Refleks tendon Gangguan Disfungsi
tendon yang menghilang, sensorik yang respiratorik
berkurang, parestesia membuat karena
parestesia berat, kecacatan, kelemahan,
ringan, konstipasi nyeri obstipasi yang
konstipasi berat, neuropatik membutuhkan
ringan kelemahan berat, operasi,
ringan obstipasi, paralisis yang
kelemahan menyebabkan
berat, harus di
disfungsi tempat
kandung tidur/kursi
kemih roda

NCI-CTC Tidak ada Parestesia Gangguan Gangguan -


Neurosensorik atau tanpa ringan dan sensorik sensorik
perubahan hilangnya obyektif ringan obyektif berat
refleks tendon atau sedang, atau
parestesia parestesia
sedang yang
menggannggu
fungsional

Neuromotorik Tidak ada Kelemahan Gangguan Parestesia, Paralisis


atau tanpa subjektif, motorik abnormalitas
perubahan tidak ada obyektif ringan obyektif
temuan namun tanpa sedang,
obyektif gangguan gangguan
fungsional fungsional
signifikan berat

Ajani Tidak ada Parestesia, Abnormalitas Parestesia Hilangnya


Sensorik penurunan obyektif berat, fungsi
refleks tendon ringan, abnormalitas sensorik
dalam menghilangnya obyektif
refleks tendon, sedang,
abnormalitas abnormalitas
fungsional fungsional
ringan hingga berat
sedang

Motorik Kelemahan Kelemahan Tidak dapat Paralisis


otot ringan sedang ambulasi komplit
persisten
namun masih
dapat ambulasi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


25

2.2.5.3.2 Total Neuropathy Score (TNS)


Beberapa skala pengukuran neuropati telah dikembangkan untuk menilai
gejala neuropati secara efektif dan akurat. Salah satu skala yang telah banyak
dipelajari dalam penilaian NPTK adalah total neuropathy score (TNS). Skala ini
terdiri dari penialaian gejala dan tanda sensorik maupun motorik, pengukuran
kecepatan hantar saraf menggunakan alat elektroneurofisiologi dan pengukuran
ambang vibrasi dengan menggunakan alat Vibrothesiometer.33 Parameter-
parameter tersebut dapat diperiksa oleh seorang ahli saraf maupun perawat dengan
rentang total skor 0 hingga 44. Beberapa studi telah mengembangkan versi yang
lebih sederhana dari TNS yaitu TNSr (reduced Total Neuropathy Score) dengan
rentang skor 0 hingga 36 (tanpa mengukur ambang vibrasi) dan TNSc (clinical
Total Neuropathy Score) dengan rentang 0 hingga 28 (dengan hanya menilai
gejala dan tanda sensorik maupun motorik).3,9,33 34
Studi untuk menguji efektivitas dan keakuratan TNS telah banyak
dilakukan, beberapa diantaranya adalah studi yang dilakukan dengan
membandingkan TNS dengan skala CTC dari NCI, ECOG dan Ajani. Studi ini
membuktikan bahwa penilaian progresifitas gejala NPTK dengan menggunakan
TNS memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil penilaian yang dilakukan
dengan menggunakan CTC. Skala TNSr yang dikembangkan pada studi ini
diketahui juga memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil dari TNS dan
dianggap lebih sederhana untuk digunakan.9,33 Pada studi lainnya, skala TNS dan
TNSc digunakan dan dibandingkan dengan skala CTC NCI 2.0 untuk menilai
pasien dengan NPTK pada saat baseline dan selama kemoterapi. Pada studi ini
disimpulkan bahwa skala TNS dan TNSc dapat lebih sensitif dan akurat dalam
mendeteksi dan menilai perubahan yang terjadi pada tingkat beratnya NPTK yang
terjadi, dimana TNSc dianggap lebih sederhana untuk digunakan namun dengan
tingkat akurasi yang sama.9,35 Pada semua studi yang pernah dilakukan, subjek
yang diperiksa merupakan pasien yang menjalani kemoterapi dengan
mengeksklusi semua kemungkinan penyebab neuropati yang lain dengan jalan
wawancara dan pemeriksaan laboratorium.33, 34, 35
Kelebihan dari TNS dan semua versinya adalah bahwa skala ini memiliki
parameter penilaian yang cukup detil secara klinis dalam menilai dan mendeteksi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


26

neuropati perifer (membedakan antara tipe gangguan sensorik yang berbeda,


memberikan lokalisasi pada gejala dan tanda yang dirasakan, memungkinkan
untuk melakukan pendekatan multimodal termasuk dengan menanyakan gejala
penderita, menyediakan pemeriksaan yang obyektif bagi pemeriksa, dan juga
tambahan evaluasi dengan pemeriksaan penunjang).9 Kekurangan dari skala ini
kemungkinan adalah bahwa walau TNS dan skala turunannya telah dibandingkan
dengan beberapa skala neuropati lain dan juga skala CTC dan terbukti merupakan
skala yang lebih akurat, namun skala tersebut lebih banyak digunakan untuk
menilai beratnya gejala dan mendeteksi perubahan yang terjadi dibandingkan
dengan mendeteksi ada atau tidaknya neuropati. Selain itu, parameter klinis yang
digunakan dalam TNS masih dianggap terlalu rumit dan cukup memakan waktu,
penggunaan pemeriksaan penunjang pada skala ini juga membatasi penggunaan
skala ini pada praktek sehari-hari.9

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


27

9
Tabel 2.5 Total Neuropathy Score

Parameter Skor
0 1 2 3 4
Gejala Tidak ada terbatas pada Hingga Hingga Diatas lutut
Sensorik jari atau ibu jari setinggi tumit setinggi lutut atau lengan
kaki atau atau sikut atau
pergelangan menganggu
tangan secara
fungsional
Gejala Tidak ada kesulitan ringan Kesulitan Membutuhkan Paralisis
motorik sedang bantuan
0 1 2 3 4 atau 5
Gejala Normal Berkurang di Berkurang Berkurang Berkurang
Autonom jari atau ibu jari hingga tumit hingga lutut hingga diatas
Sensibilitas kaki atau atau sikut lutut atau
Pin pergelangan sikut
tangan

Sensibilitas Normal Berkurang di Berkurang Berkurang Berkurang


vibrasi jari atau ibu jari hingga tumit hingga lutut hingga diatas
kaki atau atau sikut lutut atau
pergelangan sikut
tangan
Kekuatan Normal Kelemahan Kelemahan Kelemahan Paralisis
ringan sedang berat
Vibrasi Normal 126%-150% 151%-200% 201%-300% >300% BAN
(QST) hingga BAN BAN BAN
125% dari
BAN
Amplitudo Normal/ 76%-95% BBN 51%-75% 26%-50% 0-25% BBN
Suralis <5% dari BBN BBN
BBN
Amplitudo Normal/ 76%-95% BBN 51%-75% 26%-50% 0-25% BBN
Peroneal <5% dari BBN BBN
BBN

QST : Quantitative Sensory Testing; BAN: Batas Atas Normal; BBN: Batas Bawah
Normal

2.2.5.3.3 Toronto Clinical Scoring System (TCSS)


Seperti telah dijelaskan sebelumnya, telah banyak metode yang
dikembangkan untuk mendeteksi dan menilai beratnya gejala suatu neuropati
perifer khususnya pada NPTK dimana berbagai metode tersebut memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing, namun pada sebagian besar
kegunaannya masih terbatas pada penyaringan untuk studi klinis dan juga masih
memakan waktu yang lama.3,6 8, 9

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


28

Toronto Clinical Scoring System (TCSS) pertama kali digunakan pada


sebuah studi untuk menemukan tes penyaring yang sederhana pada neuropati
sensorik diabetikum. Pada studi tersebut, TCSS digunakan sebagai cara sederhana
untuk menstratifikasi subjek penelitian guna memastikan populasi studi yang
beragam dengan spektrum neuropati sensorik diabetikum yang luas dapat
diikutsertakan pada studi tersebut dengan jumlah minimum tiap grup sekitar 50
orang.36 TCSS dibuat berdasarkan tehnik anamnesa dan pemeriksaan fisik
neurologis klasik dan dirancang untuk menjadi metode yang sederhana dan
relevan kepada para klinisi.36 Hampir seluruh variabel yang terdapat pada TCSS
dibuat secara dikotomus terkecuali untuk penilaian refleks tendon dan semua
elemen tersebut berasal dari pendapat para ahli yang berdasarkan consensus ahli
neurologi dan diabetologi.36
Pada studi yang dilakukan oleh Bril dan Perkin, TCSS digunakan untuk
mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati sensorik dan
membandingkannya dengan hasil pemeriksaan neuroelektrofisiologi dan hasil
pemeriksaan biopsy nervus suralis.37 Subjek pada studi tersebut adalah penderita
dengan Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2, memiliki HbA1C ≥ 5,9 %, dan memenuhi
kriteria untuk neuropati perifer yang ditentukan dengan pemenuhan atas 2 dari 4
kategori (Gejala, Tanda, pemeriksaan elektroneurofisiologi dan pemeriksaan
kuantitatif ambang vibrasi). Pada semua subjek dilakukan pemeriksaan TCSS
yang terdiri atas skor gejala (ada atau tidaknya gejala nyeri, rasa kebas,
kesemutan, kelemahan pada kaki, rasa tidak seimbang dan gejala pada anggota
gerak atas), skor refleks (refleks patella dan achiles yang dinialai dengan ada,
berkurang ataupun tidak ada) dan skor pemeriksaan sensorik (rasa tusuk, suhu,
raba ringan, vibrasi dan posisi). Rentang nilai dari TCSS adalah dari 0 hingga 19
dengan pembagian 0-5 tidak ada neuropati, 6-8 neuropati ringan, 9-11 neuropati
sedang dan 12-19 neuropati berat.37 Untuk membuktikan penggunaan ulang
(reproducibility) dari TCSS, maka pemeriksaan dilakukan pada 10 subjek pada
hari yang sama dengan 3 pemeriksa yang berbeda, dan setiap subjek melakukan
pemeriksaan yang sama selama 3 hari yang berbeda dengan pemeriksa yang sama.
Dari hasil tersebut didapatkan variabilitas dari intra-observer (1 subjek diperiksa
pada hari berbeda dengan pemeriksa yang sama) adalah 7,3% dan variabilitas

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


29

inter-observer (1 subjek diperiksa pada hari yang sama dengan pemeriksa yang
berbeda) 6,3%. Pemeriksaan elektroneurofisologi dan pemeriksaan biopsi nervus
suralis juga dilakukan pada semua subjek studi.37

Tabel 2.6 Toronto Clinical Scoring System37

SKOR KETERANGAN
Gejala
1. Kaki a. Nyeri 0 1 0 : tidak ada keluhan
b. Rasa baal 0 1 1 : ada keluhan
c. Kesemutan 0 1
d. Kelemahan 0 1
2. Ataksia 0 1
3. Lengan 0 1

Refleks
Kanan a. Patella 0 1 2 0 : normal
b. Achilles 0 1 2 1 :Menurun
Kiri a. Patella 0 1 2 2 : Negatif
b. Achilles 0 1 2

Sensorik a. Nyeri tusuk 0 1 0: Normal


b. Suhu 0 1 1: Abnormal
c. Raba 0 1
d. Vibrasi 0 1
e. Posisi 0 1
Penentuan ada tidaknya dan beratnya neuropati perifer yaitu: 0-5 tidak ada neuropati; >5 :
Neuropati : 6-8: neuropati ringan; 9-11: Neuropati Sedang: 12-19: neuropati Berat

Hasil dari studi tersebut adalah bahwa pemeriksaan TCSS memiliki


korelasi yang negativ dengan hasil biopsi nervus suralis (R2 = 0,256, P < 0,0001),
dan hasil pemeriksaan biopsy dan TCSS berkorelasi erat dengan hasil
pemeriksaan elektroneurofisiologi dalam hal nilai rerata amplitudo dan kecepatan
hantar saraf.37 Hal ini menyatakan bahwa TCSS dapat menjadi instrumen atau
metode yang valid dalam mendeteksi dan menilai beratnya gejala pada neuropati
sensorik diabetikum sebagaimana yang telah diperiksakan dengan menggunakan
biopsi maupun elektornneurofisiologi.37
TCSS juga pernah digunakan pada studi lainnya yang juga menggunakan
metode ini untuk mendapatkan nilai diagnostik pada penderita neuropati
diabetikum. Pada studi tersebut, semua subjek dinilai dengan menggunakan TCSS
dan hasil tersebut dibandingkan hasil pemeriksaan elektroneurofisiologi pada
subjek yang sama. Didapatkan hasil nilai diagnostik (sensitivitas dan spesifisitas)
terutama untuk skor 4, skor 5 dan skor 6, dimana nilai masing-masing adalah
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


30

untuk skor 4 memiliki sensifisitas 96% dan spesifisitas 58,8%, skor 5 dengan
sensifisitas 92% dan spesifisitas 70,6% dan skor 6 dengan sensifisitas 86,6% dan
spesifisitas 88,0%. Kesimpulan pada studi tersebut adalah bahwa TCSS memiliki
sensifisitas dan spesifisitas yang cukup tinggi untuk penilaian pada neuropati
diabetikum dimana skor 4 dikatakan paling baik untuk skrining dan skor 6 paling
baik untuk diagnostik.38
Skala ini memang belum pernah digunakan untuk mendeteksi neuropati
perifer pada kemoterapi, namun skala ini dapat mendeteksi dengan baik gangguan
yang terjadi pada neuropati pada DM yang juga memiliki gambaran klinis sama
dengan NPTK yaitu polineuropati distal simetris.3,6,8 Selain dapat mendeteksi
neuropati perifer dengan nilai diagnostik yang cukup tinggi, skala TCSS dapat
juga dipakai untuk menilai beratnya gejala dan menilai perubahan yang
terjadi.37,38 Parameter yang digunakan pada TCSS dibuat secara dikotomus
sehingga diharapkan dapat menjadi skala alternativ yang lebih sederhana dan
tidak terlalu menghabiskan banyak waktu jika dibandingkan dengan skala yang
lebih sering digunakan seperti TNS.

2.3. Uji Diagnostik


Uji diagnostik merupakan teknik untuk menilai keakuratan modalitas
diagnostik baru dibandingkan dengan modalitas diagnostik standar, yang disebut
sebagai baku emas. Berdasarkan kegunaanya uji diagnostik dibagi atas yang
berfungsi sebagai skrining, untuk memastikan atau menyingkirkan diagnosis,
untuk memantau perjalanan penyakit, dan menentukan prognosis.39

Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang
memberikan hasil positif pada semua subjek yang sakit dan memberikan hasil
negative pada semua subjek yang tidak sakit. Hampir pada semua jenis penyakit
atau keadaan abnormal dilakukan penelitian untuk memperoleh uji diagnostik
baru. Pertanyaanya adalah apakah penelitian tersebut telah dilaksanakan dengan
baik, hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam tata laksana pasien. Dalam
bahasa evidence-based medicine pertanyaan yang harus dijawab apakah penelitian
uji diagnostik tersebut sahih (valid), hasilnya penting, dan dapat diterapkan dalam
praktek.39
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


31

2.3.1. Langkah-langkah Uji Diagnostik

a. Menentukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru


Suatu uji diagnostik baru diharapkan memberikan manfaat yang lebih
dibandingkan uji yang sudah ada. Namun tidak jarang penelitian dilakukan untuk
memperoleh uji diagnostik yang nilainya tidak lebih dari uji diagnostik yang
sudah ada dengan catatan :
- nilai diagnostik tidak jauh berbeda
- lebih nyaman bagi pasien (misalnya tidak invasif)
- lebih mudah dan lebih sederhana
- lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase dini.
b. Menetapkan tujuan utama uji diagnostik
Tentukan apakah uji diagnostik yang baru akan digunakan untuk keperluan
skrining, diagnostik, atau untuk menyingkirkan suatu penyakit. Uji diagnostik
untuk skrining memerlukan sensitivitas yang tinggi; bila uji diagnostik untuk
skrining memberikan hasil positif, maka perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan
lain. Uji diagnostik untuk konfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai sensitivitas
yang tinggi dengan spesifisitasb yang cukup, sedangkan untuk menyingkirkan
penyakit, diperlukan uji dengan spesifisitas yang tinggi.
c. Menetapkan subjek penelitian
Subjek yang direkrut untuk keperluan penelitian uji diagnostik sangat
ditentukan oleh tujuan uji diagnostik tesrbut. Peserta dapat direkrut dari relawan
(skrining), pasien yang berobat untuk penyakit lain (case finding), atu pasien yang
datang dengan keluhan tertentu (diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostic
dilakukan, apakah dilakukan di masyarakat, puskesma, atau rumah sakit rujukan.
Subjek harus terdiri dari orang sehat, mereka yang sakit ringan, dan sakit berat
d. Menetapkan baku emas
Baku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam setiap penelitian uji
diagnostif. Telah disebutkan bahwa baku emas merupakan suatu uji diagnostik
terbaik yang tersedia. Kadang suatu alat diagnosis secare teoritis ideal dipakai
sebagai baku emas, namun kenyataanya tidak baik dipakai karena memberikan
hasil yang salah. Dalam prektek sehari-hari hanya sedikit baku emas yang ideal,
sehingga kita harus memakai uji diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas.
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


32

Kata terbaik disini berarti uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas tertinggi. Baku emas dapat berupa uji diagnostik lain. Dalam kaitan
dengan baku emas, bila ingin menguji suatu uji diagnostik baru diperlukan
beberapa syarat umum, yaitu :
1. Baku emas yang dipakai sebagai pembanding tidak boleh mengandung
unsure atau komponen yang diuji.
2. Baku emas tidak boleh mempunyai sensitivitas dan atau spesifisitas yang
lebih rendah dari pada uji diagnostik yang akan diteliti, atau paling tidak
sama dengan uji diagnostik yang akan diteliti 39

b. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran terhadap variabel prediktor (alat diagnostik yang diuji)
maupun variabel efek (baku emas) harus dilakukan dengan cara standar, dan harus
diusahakan pengukuran dilakukan secara tersamar (masked, blinded), yakni
pemeriksa variable perdiktor (uji) tidak boleh mengetahui hasil pemeriksaan
variable efek (baku emas), dan sebaliknya. Karena itu sebaiknya ada 2 peneliti
atau lebih, satu untuk menentukan hasil positif atau negatif. Dapat saja peneliti
hanya satu orang, tetapi harus didesain sedemikian sehungga ia tidak mengetahui
hasil alat diagnostik yang diuji pada saat ia melakukan pemeriksaan dengan baku
emas, dan sebaliknya.

c. Melakukan Analisis
Hasil yang dipeoleh dari suatu uji diagnostik adalah Sensitivitas,
Spesivisitas, nilai prediksi positif dan negative, serta rasio kemungkinan positif
dan negative.39
Sensitivitas dalam uji diagnostik adalah kemampuan suatu uji untuk
menentukan kelainan bila kelainan tersebut ada (positif benar), sedangkan
Spesivisitas adalah kemampuan uji untuk menyingkirkan suatu kelainan bila
kelaianan tersebut tidak ada (negative benar). PPV (positf prediktif value) atau
nilai prediksi positif seberapa besar kemungkinan suatu hasil positif benar-benar
positif, NPV (negative predictive value) atau nilai prediksi negative adalah
seberapa besar kemungkinan suatu hasil negatif adalah benar-benar negatif. 39

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


33

Tabel 2.7 Tabel Uji diagnostik 2x239

Baku Emas
Positif Negatif Jumlah
Uji
Positif A B a+b
Negatif C D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Sensitivitas = a : (a+c); Spesifisitas= d : (b+d); Nilai Prediktif Positif = a : (a+b)Nilai ;


Prediktif negatif= d : (c+d)

2.3.2. Kurva Receiver Operating Characteristic (ROC)


Receiver Operator Curve (ROC) merupakan suatu cara menetukan titik
potong dalam uji diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar-menawar
antara sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y
sedangkan (1 – Spesifitas) digambarkan pada absis X. Makin tinggi nilai
sensitivitas akan makin rendah nilai spesifisitas, dan sebaliknya. 39 Dari prosedur
ROC, akan didapatkan nilai Area Under the Curve (AUC). Nilai AUC secara
teoritis berada antara 50% sampai 100%. Nilai 50% merupakan nilai AUC
terburuk sementara 100% merupakan nilai AUC terbaik. Bila suatu pemmeriksaan
diagnostik mempunyai nilai AUC sebesar 50% artinya bila pemeriksaan tersebut
dilakukan terhadap 100 orang pasien maka pemeriksaan tersebut akan
memberikan kesimpulan yang benar dalam menentukan ada atau tidaknya
penyakit pada 50 orang pasien. Selain itu juga didapatkan nilai interval
kepercayaan.
Selanjutnya perlu ditentukan titik potong (cut-off point), yaitu batas antara
normal dan abnormal, atau batas hasil positif dan hasil uji negatif. Bila
pengukuran variable prediktor (hasil uji) maupun efek (hasil baku emas)
dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan
titik potong. Bila skala hasil pemeriksaan berbentuk ordinal, misalnya +, ++, +++,
maka dapat ditentukan titik potongnya, misalnya sampai ++ dianggap normal, dan
+++ adalah abnormal. Demikian pula bila hasil pemeriksaan bersakala numerik,
harus ditetapkan terlebih dahulu titik potongnya.39

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


34

Terdapat dua cara untuk menentukan titik potong. Pertama, titik potong
ditentukan secara klinis. Kedua titik potong ditentukan secara statistik. Penentuan
titik potong secara klinis merupakan penentuan titik potong yang ditetapkan oleh
peneliti sesuai dengan harapan peneliti dan kepentingan klinis. Apabila skor
pemeriksaan digunakan untuk tujuan skrining, titik potong yang dipilih adalah
yang memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. tetapi, bila skor pemeriksaan
digunakan untuk tahap akhir pemeriksaan akan ditentukan titik potong dengan
spesifisitas yang tinggi.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


35

2.4 Kerangka Teori 8, 17, 18

Kemoterapi (Cisplatin)

Pembentukan Apoptosis Sitokin


Gangguan
Radikal Bebas inflamasi dari
struktur
sel Glial
mikrotubulus

Toksisitas sel
Gangguan DRG
Transport
aksonal

Gangguan
akson

NEUROPATI PERIFER
TERINDUKSI
KEMOTERAPI

Gejala Sensorik Penurunan


(parestesia, amplitudo CMAP
hipoestesia, nyeri) dan SNAP

Penurunan refleks Perlambatan KHS


tendon

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


36

2.5 Kerangka Konsep

Usia, tinggi
badan, jenis
kelamin

Dosis
Elektroneurografi
kemoterapi
Sensitivitas
Kemoterapi Neuropati perifer
terinduksi Spesifisitas
Cisplatin
kemoterapi
Nilai ROC

Toronto Clinical
Scoring System

Diabetes
Mellitus

Trauma
langsung
= variabel yang diteliti
saraf
= variabel yang tidak diteliti
Gangguan
sistim saraf
pusat

Gangguan
Tiroid

Obat-
obatan lain

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


37

BAB 3
METODE PENELITIAN

3. 1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan uji diagnostik untuk mencari
tingkat sensitivitas, spesifisitas dan nilai ROC Toronto Clinical Scoring System
untuk diagnosis Polineuropati perifer yang diinduksi kemoterapi di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo.

3.2. Tempat dan waktu penelitian


Penelitian dilakukan di Poliklinik Elektroneurografi Departemen
Neurologi, Poliklinik Hemato-Onkologi dan ruang rawat Departemen Ilmu
Penyakit Dalam (IPD), RS Cipto Mangunkusumo. Pengumpulan data dimulai
setelah memperoleh ijin komisi Etik sampai jumlah sampel penelitian terpenuhi.
Penelitian dilakukan dari bulan Juli – November 2013.

3.3. Populasi penelitian


Populasi penelitian adalah semua pasien penderita penyakit KNF dan jenis
keganasan lain pasca kemoterapi cisplatin yang datang ke Poliklinik Hemato-
Onkologi dan ruang rawat Ilmu Penyakit Dalam (IPD), RS Cipto Mangunkusumo.

3.3.1. Kriteria inklusi


1. Pasien dengan penyakit KNF yang dikemoterapi dengan cisplatin, baik
tunggal sebagai adjuvan, maupun kombinasi dengan agen lain yang tidak
menyebabkan neuropati perifer (selain golongan Taxane, Vinca Alkaloid,
Bortezomib, Suramin , Thalidomide) sesuai kepustakaan.
2. Telah dilakukan kemoterapi dengan dosis total minimal 300 mg/m2.
3. Telah dilakukan kemoterapi hingga maskimal 6 bulan dari dosis terakhir.
4. Usia 19 - 60 tahun.

3.3.2. Kriteria eksklusi


1. Pasien dengan penyakit neurologis yang melibatkan sistim saraf pusat
maupun perifer yang menyebabkan gejala sisa berupa gangguan sensorik,
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


38

motorik maupun otonom (stroke, tumor, trauma atau infeksi yang


melibatkan intrakranial, medulla spinalis maupun sistem saraf perifer).
2. Deformitas yang mengakibatkan salah satu ekstremitas diamputasi.
3. Pasien Diabetes Mellitus.
4. Pasien dengan gejala neuropati paraneoplastik
5. Pasien dengan riwayat gangguan tiroid atau memiliki gejala dan tanda
gangguan tiroid.
6. Pasien yang sedang menggunakan obat-obatan yang dapat menimbulkan
neuropati: Colchicine, stavudin, fenitoin, isoniazid, ethambutol,
metronidazol atau amiodaron.

3.3.3. Sampel dan pemilihan sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari pasien kemoterapi yang memenuhi


syarat penelitian. Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-
random sampling jenis konsekutif, yaitu subjek yang memenuhi syarat penelitian
diambil menjadi subjek penelitian, sehingga tercapai jumlah sampel yang
diperlukan sesuai dengan perhitungan.

3.4. Estimasi Besar Sampel


N = Zα2 Sen (1 – Sen)/d2P
N = jumlah sampel
Zα = Z pada tingkat kemaknaan α (α=0,05 Zα=1,96)
Sen = Sensitivitas yang diinginkan, ditetapkan sebesar 80%
d = presisi penelitian ditetapkan sebesar 10%
P = Prevalensi NPTK = 80% 7, 8 (kepustakaan)
N = 1,962x0,8x0,2/0,102x0,8
= 76,83 ~ 77
Untuk mengantisipasi terjadinya suatu drop-out, maka jumlah sampel akan
ditambahkan dengan 10% dari jumlah total yaitu 77 + (77x10%) = 84,7 ~ 85

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


39

3.5. Cara kerja


Penelitian dilakukan dengan urutan langkah sebagai berikut:
1. Dilakukan pencatatan pasien kemoterapi di poli hemato-onkologi RSCM
dan ruang rawat IPD secara singkat mengenai nama, usia, jenis kelamin,
pendidikan, status perkawinan, alamat dan nomor telepon.
2. Dilakukan pemeriksaan kesesuaian pasien dengan kriteria inklusi.
3. Dilakukan pemeriksaan faktor-faktor yang membuat pasien tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian (berdasarkan kriteria eksklusi).
4. Pasien kemudian diperiksa dengan menggunakan metode yang terdapat
pada Toronto Clinical Scoring System.
5. Metode pemeriksaan dengan menggunakan Toronto Clinical Scoring
System sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Skor gejala pada tungkai bawah (nyeri, kesemutan,
rasa baal dan kelemahan) dilakukan dengan jalan menanyakan
gejala-gejala tersebut yang terjadi pada bagian ekstremitas distal
kepada subjek dan skor dinilai untuk tiap masing-masing gejala
dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)
b. Pemeriksaan skor gejala ataksia dilakukan dengan cara
menanyakan kepada subjek mengenai rasa goyah atau tidak
seimbang yang dialami semenjak mendapatkan kemoterapi,
terutama pada saat berdiri atau berjalan dan atau pada saat menutup
mata. Skor dinilai dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada
keluhan)
c. Pemeriksaan skor gejala pada tungkai atas (nyeri, kesemutan, rasa
baal dan kelemahan) dilakukan dengan jalan menanyakan kepada
subjek mengenai gejala tersebut yang terjadi pada ekstremitas
distal dan skor dinilai jika terdapat salah satu dari keempat gejala
tersebut, dinilai dengan 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)
d. Pemeriksaan skor refleks tendon tungkai bawah dilakukan dengan
cara memukulkan palu refleks kepada tendon patella dan achilles
tungkai kiri dan kanan. Skor dinilai untuk masing – masing refleks

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


40

yang didapatkan pada kedua tungkai. Skor dinilai dengan normal


(0), menurun (1) atau negatif (2)
e. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik raba dilakukan dengan
cara menyentuhkan monofilamen 10-g Semmes Weinstein kepada
dorsum ibu jari kaki tungkai bawah dan menanyakan kepada
subjek mengenai sensasi yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0
(normal) atau 1 (abnormal)
f. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik suhu dilakukan dengan
cara menyetuhkan tabung reaksi yang diisi air dingin atau ujung
garputala kepada dorsum ibu jari kaki tungkai bawah dan
menanyakan kepada subjek sensasi yang dirasakan. Skor dinilai
dengan 0 (ada rasa perubahan suhu) atau 1 (tidak ada rasa
perubahan suhu)
g. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik nyeri dilakukan dengan
cara menyetuhkan ujung neurotip® kepada dorsum ibu jari kaki
tungkai bawah dan menanyakan kepada subjek mengenai sensasi
yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0 ( ada nyeri) atau 1 (tidak
ada nyeri)
h. Pemeriksaan skor pemeriksaan sensorik vibrasi dilakukan dengan
cara menggunakan garputala 128 Hz yang digetarkan dan
meletakkan ujung garputala tersebut diatas maleolus medialis
tungkai bawah dan menanyakan kepada subjek mengenai sensasi
getar yang dirasakan. Skor dinilai dengan 0 (ada rasa getar) atau 1
(tidak ada rasa getar)
i. Pemeriksaan skor sensorik posisi dilakukan dengan cara
memegang jari kedua tungkai bawah dengan satu tangan dan
memisahkan ibu jari dan jari tengah dengan cara meregangkannya
menggunakan tangan yang lain, pemeriksa lalu menggerakkan jari
kedua ke atas dan ke bawah dan menanyakan kepada subjek posisi
dari jari yang tengah digerakkan. Skor dinilai dengan ada 0 (bila
subjek dapat dengan benar menebak 2 dari 3 posisi yang

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


41

ditnujukkan pemeriksa) atau 1 (bila subjek tidak dapat menebak


posisi yang ditunjukkan oleh pemeriksa).
6. Pasien didatangkan ke laboratorium elektrofisiologi departemen neurologi
RSUPN Ciptomangunkusumo untuk dilakukan pemeriksaan
elektroneurografi pada ekstremitas dengan menggunakan mesin XLTEK
7. Prosedur pemeriksaan ENG adalah sebagai berikut:
a. KHS motorik diperiksa pada empat saraf bilateral yaitu ulnaris,
medianus, peroneus dan tibialis anterior. Stimulasi listrik
supramaksimal diberikan di permukaan kulit dengan stimulator pada
dua titik yang berbeda, yaitu distal dan proksimal. Elektroda perekam
menggunakan elektroda tempel, diletakkan pada belly dan tendon otot
yang dipersarafi. Nilai KHS didapatkan dengan mengukur jarak
antara titik stimulasi distal dan proksimal, kemudian membagi jarak
tersebut dengan selisih latensi proksimal dan distal. Suhu permukaan
kulit harus dipertahankan 32-340 C.
b. KHS sensorik diperiksa pada tiga saraf bilateral yaitu ulnaris,
medianus, dan suralis. Stimulasi listrik diberikan di permukaan kulit
dengan stimulator pada satu titik secara antidromik untuk saraf
ulnaris dan medianus, dan secara orthodromik untuk saraf suralis.
Elektroda perekam diletakkan pada Digiti II, V dan 14 cm proksimal
dari maleolus lateralis. Nilai KHS didapatkan dengan mengukur jarak
antara titik stimulasi dan elektroda perekam, kemudian membagi
jarak tersebut dengan latensi saraf. Suhu permukaan kulit harus
dipertahankan 32-340 C.
8. Hasil anamnesis, pemeriksaan TCSS dan ENG dicatat dalam formulir
penelitian.

3.6. Variabel Penelitian


1. variabel dependen: Sensitivitas, Spesifisitas dan nilai ROC TCSS
2. variabel independen:
 Elektroneurografi (baku emas)
 Toronto Clinical Scoring System (instrumen yg sedang diuji)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


42

3.7. Definisi Operasional


Definisi Operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Usia
Usia merupakan usia subjek pada saat pemeriksaan, dapat diketahui
dengan menghitung dari tahun kelahiran subjek yang terdapat pada Kartu
Tanda Penduduk (KTP), dinyatakan dalam tahun.
2. Dosis Kemoterapi
Dosis adalah jumlah dosis total kemoterapi cisplatin yang diterima pasien
sampai pemeriksaan ENG dan TCSS. dosis total yang diterima pasien
minimal 300 mg/m2.
3. Diabetes Mellitus
Neuropati perifer yang disebabkan oleh DM didapatkan melalui
anamnesis keluhan polidipsi, polifagi dan poliuri dan penurunan berat
badan yang tak dapat dijelaskan penyebabnya serta riwayat DM pada
keluarga, atau jika ditemukan abnormalitas sesuai kriteria DM pada
pemeriksaan gula darah puasa (GDP) dan gula darah 2 jam post prandial
(GD2JPP)
4. Neuropati paraneoplastik
Neuropati karena paraneoplastik didapatkan dengan cara anamnesa
mengenai gejala rasa baal dan parestesia yang tersebar secara acak atau
asimetris dan sering melibatkan anggota gerak proksimal, wajah dan
batang tubuh, dan juga dari awitan gejala yang terjadi sebelum diagnosis
tumor ditegakkan dan tidak berhubungan dengan awitan pemberian
kemoterapi.
5. Trauma langsung saraf
Neuropati perifer karena trauma langsung didapatkan dengan cara
anamnesis keluhan nyeri, baal, kesemutan, kelemahan setelah adanya
trauma.
6. Gangguan Sistem Saraf Pusat
Pasien dengan gangguan saraf yang dapat menyebabkan gejala yang
menyerupai neuropati, didapatkan berdasarkan anamnesis pernah
didiagnosa stroke, tumor, infeksi dan trauma yang melibatkan otak,

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


43

medulla spinalis dan sistem saraf perifer yang masih memiliki gejala sisa
gangguan kekuatan otot, sensorik dan otonom
7. Gangguan tiroid
Neuropati perifer akibat gangguan tiroid didapatkan melalui anamnesis
adanya keluhan gejala menyerupai gangguan sistim saraf otonom, seperti
berdebar-debar dan keringat berlebih, atau keluhan lain seperti berat
badan turun, tremor dan massa pada leher, atau jika ada catatan rekam
medis yang menyatakan mengalami gangguan tiroid.
8. Penggunaan obat-obat lain
Neuropati perifer karena penggunaan obat-obatan dalam jangka lama
seperti colcichine, fenitoin, stavudin, amiodaron, metronidazol,
ethambutol dan isoniazid didapatkan melalui anamnesis mengenai obat-
obat yang pernah dikonsumsi pasien dalam waktu lama.
9. Alat Elektroneurografi
Alat Elektroneurografi (ENG) merupakan alat diagnostik yang digunakan
untuk mengetahui fisiologi saraf tepi dan merupakan standar baku untuk
mendiagnosa suatu neuropati perifer. Keluaran dari pemeriksaan ENG
dalam mendiagnosa neuropati perifer adalah dalam bentuk Kecepatan
Hantar Saraf (KHS), Latensi dan Amplitudo
9.1. KHS (Kecepatan Hantar Saraf)
Kecepatan hantar saraf (KHS) adalah jarak yang ditempuh suatu
stimulus pada saraf tiap satuan waktu (milisekon). Didapatkan dari hasil
pembagian jarak dengan selisih latensi proksimal dan distal
9.2. Latensi
Latensi (ms) adalah waktu yang diukur dari stimulus artefak
sampai defleksi pertama dari garis dasar
9.3. Amplitudo
Amplitudo (mV) adalah voltase yang diukur dari garis dasar
(baseline) sampai puncak negatif
9.4. Diagnosis Polineuropati perifer
Diagnosis NPTK secara Elektroneurografi (ENG) ditegakkan bila
ditemukan gambaran abnormal lebih dari 2 segmen saraf pada minimal 3

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


44

dari 4 ekstremitas yang diperiksa, pada penderita KNF yang mendapatkan


kemoterapi cisplatin. Dibagi menjadi neuropati motorik dan neuropati
sensorik berdasarkan segmen saraf yang diperiksa.
9.5. Neuropati tipe Demielinisasi
Diagnosis neuropati tipe demielinisasi ditegakkan bila didapatkan
peningkatan latensi saraf atau perlambatan KHS dibandingkan nilai
normal masing-masing. Nilai normal latensi (dalam milisecond (ms)) dan
KHS (dalam meter per second (m/s)) untuk masing-masing saraf (rentang
usia 11- 74 tahun) sebagai berikut: 35
a. N. Medianus
Motorik
Palm : Latensi 1,86 ± 0,28 (2,4)
Wrist : Latensi 3,49 ± 0,34 (4,2) , KHS 48,8 ± 5,3 (38)
Elbow : Latensi 7,39 ± 0,69 (8,8) , KHS 57,7 ± 4,9 (48)
Axilla : Latensi 9,81 ± 0,89 (11,6), KHS 63,5 ± 6,2 (51)
Sensorik
Digit : KHS 58,8 ± 5,8 (47)
Palm : Latensi 1,37 ± 0,24 (1,39), KHS 58,8 ± 5,8 (47)
Wrist : Latensi 2,84 ± 0,34 (3,5), KHS 61,9 ± 4,2 (53)
Elbow : Latensi 6,46 ± 0,21 (0,7)
b. N. Ulnaris
Motorik
Wrist : Latensi 2,59 ± 0,39 (3,4)
Below Elbow : Latensi 6,10 ± 0,69 (7,5), KHS 58,7 ± 5,1 (49)
Above Elbow : Latensi 8,04 ± 0,76 (9,6), KHS 61,0 ± 5,5 (59)
Axilla : Latensi 9,90 ± 0,91 (11,7), KHS 66,5 ± 6,3 (54)
Sensorik
Digit : KHS 54,8 ± 5,3 (44)
Wrist : Latensi 2,54 ± 0,29 (3,1), KHS 64,7 ± 5,4 (53)
Below Elbow : Latensi 5,67 ± 0,59 (6,9), KHS 66,7 ± 6,4 (54)
Above Elbow : Latensi 7,46 ± 0,64 (8,7)
c. N. Tibialis

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


45

Ankle : Latensi 3,96 ± 1,00 (6,0), KHS 48,5 ± 3,6 (41)


Knee : Latensi 12,05 ± 1,53 (15,1)
d. N. Peroneus
Ankle : Latensi 3,77 ± 0,86 (5,5), KHS 48,3 ± 3,9 (40)
Below Knee : Latensi 10,79 ± 1,06 (12,9), KHS 52,0 ± 6,2 (40)
Above Knee : Latensi 12,51 ± 1,17 (14,9)
9.6. Neuropati tipe aksonal
Diagnosis neuropati tipe aksonal ditegakkan bila didapatkan
penurunan amplitudo dibandingkan nilai normal masing-masing saraf.
Nilai normal amplitudo ( motorik dalam miliVolt (mV) dan sensorik
dalam mikroVolt (µV)) untuk masing-masing saraf (rentang usia 11 – 78
tahun) sebagai berikut:
a. N. Medianus
Motorik
Palm : 6,9 ± 3,2 (3,5)
Wrist : 7,0 ± 3,0 (3,5)
Elbow : 7,0 ± 2,7 (3,5)
Axilla : 7,2 ± 2,9 (3,5)
Sensorik
Palm : 39,0 ± 16,8 (20)
Wrist : 38,5 ± 15,6 (19)
Elbow : 32,0 ± 15,5 (16)
b. N.Ulnaris
Motorik
Wrist : 5,7 ± 2,0 (2,8)
Below Elbow : 5,5 ± 2,0 (2,7)
Above Elbow : 5,5 ± 1,9 (2,7)
Axilla : 5,6 ± 2,1 (2,7)
Sensorik
Wrist : 35,0 ± 14,7 (18)
Below Elbow : 28,8 ± 12,2 (15)
Above Elbow : 28,3 ± 11,8 (14)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


46

c. N. Tibialis
Ankle : 5,8 ± 1,9 (2,9)
Knee : 5,1 ± 2,2 (2,5)
d. N. Peroneus
Ankle : 5,1 ± 2,3 (2,5)
Below Knee : 5,1 ± 2,0 (2,5)
Above Knee : 5,1 ± 1,9 (2,5)
9.7. Neuropati tipe campuran
Diagnosis neuropati tipe campuran ditegakkan bila didapatkan
kombinasi antara neuropati tipe demielinisasi dan tipe aksonal pada satu
segmen saraf secara bersamaan
10. Toronto Clinical Scoring System (TCSS)
Toronto Clinical Scoring System merupakan sistem skor yang digunakan
untuk mendeteksi dan mengukur derajat berat suatu neuropati perifer
dalam hal ini yang disebabkan oleh kemoterapi. Pada TCSS neuropati di
diagnosis dengan menggunakan sistem skor yang terdiri dari 4 skor gejala
(rasa nyeri, baal, kesemutan dan kelemahan) yang dirasa pada tungkai
bawah, 1 skor gejala ataksia, 1 skor salah satu dari 4 gejala tersebut yang
dirasa pada tungkai atas, 4 skor pemeriksaan refleks patella dan achilles
untuk tungkai kiri dan kanan, dan 5 skor untuk pemeriksaan sensorik
(raba, suhu, nyeri, posisi dan vibrasi). Diagnosis NPTK dengan TCSS
ditegakkan bila terdapat total skor > 5 pada penderita KNF yang
mendapatkan kemoterapi cisplatin, dimana skor < 5 dinyatakan bukan
neuropati.
10.1. Skor Gejala
Skor Gejala merupakan Gejala subjektif seperti rasa nyeri, baal,
kesemutan dan kelemahan yang dirasakan subjek penelitian pada tungkai
bawah maupun tungkai atas, diketahui dengan jalan wawancara dan
dinyatakan dalam bentuk skor 0 (tidak ada keluhan) atau 1 (ada keluhan)
10.2. Skor Ataksia
Skor Ataksia adalah gejala ataksia yang merupakan ataksia
sensorik, disebabkan oleh gangguan dari serabut besar saraf sensorik.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


47

Diketahui dengan menanyakan mengenai gejala rasa tidak seimbang atau


goyah yang dialami subjek terutama pada saat mereka menutup mata.
Dinyatakan dengan 1 (ada keluhan) atau 0 (tidak ada keluhan)
10.3. Skor Pemeriksaan Refleks
Skor Pemeriksaan Refleks adalah Hasil Pemeriksaan Refleks
Patella dan Achilles pada kedua tungkai. Diketahui dengan cara
memeriksa refleks menggunakan palu refleks pada tendon patella dan
akhilles, dan dibandingkan pada kedua tungkai. Dinyatakan dengan skor 0
(normal), 1 (menurun) atau 2 (negatif).
10.4. Skor Sensorik
Skor Sensorik adalah hasil pemeriksaan 5 modalitas sensorik yaitu
nyeri, suhu, posisi, raba dan vibrasi. Pemeriksaan raba menggunakan
monofilamen 10-g Semme Wenstein pada dorsum ibu jari tungkai bawah,
pemeriksaan nyeri dengan menggunakan jarum neurotip® dan
menyentuhkan ke dorsum ibu jari, pemeriksaan suhu dengan
menggunakan tabung reaksi yang diisi air dingin atau dengan
menggunakan garputala dan menyentuhkannya pada dorsum ibu jari
tungkai bawah, pemeriksaan vibrasi dengan menggunakan garputala 128
Hz yang diletakkan pada tonjolan tulang tungkai bawah tepatnya di
maleolus medialis, Pemeriksaan Posisi dengan cara menggerakan jari
kedua tungkai bawah keatas dan kebawah. Hasil pemeriksaan dinyatakan
dengan skor 0 (normal) atau 1 (abnormal).
11. Uji Diagnostik
Uji diagnostik merupakan uji yang dilakukan untuk menilai tingkat
keakuratan teknik pemeriksaan baru dibandingkan dengan teknik
pemeriksaan yang sudah dianggap sebagai baku emas. Uji ini dilakukan
dengan cara melakukan perhitungan dengan menggunakan tabel 2x2.
Hasil dari uji ini dinyatakan dalam nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai
prediksi positif, nilai prediksi negatif dan nilai ROC.
12. Sensitivitas
Sensitivitas merupakan kemampuan dari suatu pemeriksaan (TCSS) untuk
menghasilkan suatu hasil positif. Diketahui dengan membagi jumlah hasil

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


48

positif oleh pemeriksaan standar baku (ENG) dan alat pemeriksaan


(TCSS) dengan jumlah total dari hasil positif oleh standar baku dan alat
pemeriksaan, dan hasil positif oleh standar baku dan negatif oleh alat
pemeriksaan . Dinyatakan dalam bentuk persentase
13. Spesifisitas
Spesifistas merupakan kemampuan suatu pemeriksaan (TCSS) untuk
menghasilkan suatu hasil negatif. Diketahui dengan membagi jumlah hasil
negatif oleh standar baku (ENG) dan alat pemeriksaan (TCSS) dengan
jumlah total hasil negatif oleh standar baku dan alat pemeriksaan, dan
hasil negatif oleh standar baku dan positif oleh alat pemeriksaan.
Dinyatakan dalam bentuk persentase.
14. Nilai prediksi positif
Nilai prediksi positif adalah nilai yang menyatakan seberapa besar hasil
pemeriksaan yang positif benar-benar positif. Nilai ini didapatkan dengan
cara membagi jumlah hasil pemeriksaan yang positif oleh baku emas dan
baku uji dengan total jumlah yang positif oleh baku uji. Hasil dinyatakan
dalam bentuk presentase
15. Nilai prediksi negatif
Nilai prediksi negatif adalah nilai yang menyatakan seberapa besar hasil
pemeriksaan yang negatif adalah benar-benar negatif. Nilai ini didapatkan
dengan cara membagi jumlah hasil yang negatif dengan pemeriksaan baku
emas maupun baku uji dengan total jumlah hasil yang negatif oleh baku
uji. Hasil dinyatakan dalam bentuk presentase.
16. Nilai ROC
Nilai ROC merupakan suatu nilai yang ditentukan guna mendapatkan
sensitivitas dan spesifisitas suatu pemeriksaan. Diketahui dengan cara
melakukan perhitungan dengan menggunakan kurva receiver operating
characteristic (ROC). Dinyatakan dalam bentuk rentang nilai.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


49

3.8. Izin subjek penelitian


Semua calon sampel penelitian terlebih dahulu mendapat penjelasan secara
lisan mengenai tujuan, cara kerja, dan manfaat penelitian. Bila memahami dan
setuju untuk ikut penelitian kemudian mereka diminta menandatangani izin
penelitian secara tertulis. Dan selanjutnya akan didaftarkan ke Komite Etik
Kedokteran.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


50

3.9. Kerangka Operasional

Pasien keganasan + Eksklusi


Cisplatin

Kriteria Inklusi

Informed consent Tidak bersedia

Bersedia

Anamnesis + Pemeriksaan
fisik (66 subjek)

Pemeriksaan Elektroneurografi Pemeriksaan Toronto


Clinical Scoring System

Bandingkan

Penyajian Hasil Penelitian

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


51

BAB 4
HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik demografik subjek penelitian


Telah dilakukan penelitian terhadap 66 penderita penyakit keganasan yang
mendapatkan kemoterapi Cisplatin di Poliklinik kemoterapi dan ruang perawatan
kemoterapi Ilmu Penyakit Dalam RSCM antara bulan September 2013 hingga
Januari 2014. Sebaran subjek menurut karakteristik demografik diuraikan dalam
tabel 4.1. Dari 66 subjek penelitian didapatkan 43 pria (65,2%) dan 23 wanita
(34,8%) dengan rerata usia 45,76 ± 10,53 tahun. Sebagian besar subjek memiliki
tingkat pendidikan sedang (54,5%) dan sebagian besar masih memiliki pekerjaan
(57,6%). Jenis keganasan terbanyak adalah KNF (65,2%) diikuti karsinoma
mammae (16,7%).

Tabel 4.1 Sebaran subjek menurut karateristik demografik


Karakteristik Demografis Jumlah (N) %
Jenis kelamin
Pria 43 65,2
Wanita 23 34,8

Usia (rerata) (± SD) 45,76 ± 10,53

Tingkat Pendidikan
Rendah 19 28,8
Sedang 36 54,5
Tinggi 11 16,7

Status pekerjaan
Bekerja 38 57,6
Tidak bekerja 28 42,4

Jenis keganasan
KNF 43 65,2
Karsinoma mammae 11 16,7
Kasinoma sinonasal 4 6,1
Limfoma maligna non-hodgkin 2 3,0
Karsinoma lidah 2 3,0
Karsinoma parotis 2 3,0
Karsinoma tonsil 1 1,5
Karsinoma prostat 1 1,5

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


52

4.2 Karateristik subjek berdasarkan klinis


Semua subjek penelitian mendapatkan terapi kemoterapi cisplatin baik
secara tunggal maupun kombinasi dengan rerata dosis maksimal saat subjek
diperiksa 442,1 ± 80,098 mg dan rerata durasi saat subjek diperiksa setelah
mendapatkan dosis > 300 mg/m2 adalah 31,81 ± 36,734 hari.
Dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat ENG dan skor TCSS
terhadap 66 subjek penelitian, diagnosis polineuropati ditegakkan pada 34
(51,5%) subjek dengan pemeriksaan alat ENG, pria lebih banyak daripada wanita
(73,5% vs 26,5%) dan polineuropati campuran (motorik dan sensorik) merupakan
jenis polineuropati yang terbanyak (47,1%) . Hasil yang sama juga didapatkan
dengan menggunakan skor TCSS, yaitu pada 34 (51,5%) subjek, pria lebih banyak
daripada wanita (67,65% vs 32,35%) dengan hasil terbanyak pada tingkat
polineuropati ringan (64,7%). Sebaran subjek menurut diagnosis polineuropati
dengan menggunakan pemeriksaan alat ENG dan skor TCSS dijelaskan pada tabel
4.3. Komponen dengan abnormalitas terbanyak yang didapatkan dari hasil
pemeriksaan skor TCSS adalah komponen refleks (tendon patella dan achilles)
(78,8%), diikuti oleh komponen pemeriksaan sensorik (68,2%) dan komponen
gejala (48,5%).

Tabel 4.2 Sebaran subjek berdasarkan diagnosis polineuropati menggunakan ENG dan
TCSS
Karakteristik neuropati Berdasarkan ENG Berdasarkan TCSS
(n= 66) (n= 66)

Polineuropati 34 (51,5%) 34 (51,5%)


Pria 25 (73,5%) 23 (67,65%)
Wanita 9 (26,5%) 11 (32,35%)

Bukan Polineuropati 32 (48,5%) 32 (48,5%)


Pria 18 (56,25%) 20 (62,5%)
Wanita 14 (43,75%) 12 (37,5%)

Jenis Neuropati (n=34)


Sensorik 11 (32,3%)
Motorik 7 (20,6%)
Sensorik dan motorik 16 (47,1%)

Tingkat neuropati (n=34)


Ringan (6-8) 22 (64,7%)
Sedang (9-11) 11 (32,3%)
Berat (12-19) 1 (2,9%)

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


53

4.3 receiver operating characteristic (ROC) dan area under the curve (AUC)
Metode ROC adalah metode statistik yang merupakan hasil tarik ulur
antara nilai sensitivitas dengan spesifisitas pada berbagai alternatif titik potong
yang disajikan dalam bentuk grafik. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y,
sedangkan (1-Sensitivitas) digambarkan pada aksis X. Makin tinggi nilai
sensitivitas maka akan makin rendah spesifisitasnya dan sebaliknya. Dari prosedur
ROC akan didapatkan nilai AUC.

Gambar 4.1 Kurva ROC

Dari kurva ROC, didapatkan bahwa skor TCSS memiliki nilai diagnostik
yang cukup baik karena sebagian besar kurva ROC menjauhi 50% dan mendekati
100%.
Nilai AUC yang diperoleh dengan metode ROC adalah sebesar 75,4%
(95% CI 62,9%-87,9%), dengan p < 0,001. Secara statitsik nilai 75,4% termasuk
sedang. Nilai AUC sebesar 75,4% artinya adalah apabila skor TCSS digunakan
untuk mendiagnosa polineuropati pada 100 penderita keganasan yang
mendapatkan kemoterapi cisplatin, maka kesimpulan yang tepat didapatkan pada
sekitar 75 orang. Berdasarkan interval kepercayaan, diketahui bahwa nilai AUC
skor TCSS pada populasi penderita keganasan yang mendapatkan kemoterapi
cisplatin berkisar antara 62,9%-87,9%.
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


54

Selanjutnya dari kurva ROC didapatkan beberpa nilai titik potong,


sensitivitas dan spesifisitas seperti yang ditampilkan pada tabel 4.5 berikut

Tabel 4.3 Tabel koordinat kurva


no Titik potong sensitivity specificity
1 ≥ -1,0 1,000 0,000
2 ≥ 0,5 0,971 0,125
3 ≥ 1,5 0,882 0,125
4 ≥ 2,5 0,824 0,187
5 ≥ 3,5 0,794 0,344
6 ≥ 4,5 0,794 0,594
7 ≥ 5,5 0,735 0,719
8 ≥ 6,5 0,588 0,937
9 ≥ 7,5 0,500 0,937
10 ≥ 8,5 0,294 0,937
11 ≥ 9,5 0,206 0,969
12 ≥ 10,5 0,088 1,000
13 ≥ 11,5 0,029 1,000
14 ≥ 13 0,000 1,000

4.4. Penentuan titik potong


Pada penentuan titik potong, bila bertujuan sebagai skrining, maka akan
dipilih titik potong dengan nilai sensitivitas yang tinggi. Dari tabel titik potong
kurva (tabel 4.4), didapatkan kurva sebagai berikut:

1,2
1
0,8
0,6 Sensitivity

0,4 specificity

0,2
0
1 3 5 7 9 11 13

Gambar 4.2 Grafik titik potong sensitivitas dan spesifisitas


Titik potong optimal berada pada angka 6 dan 7 atau pada skor 4,5 dan
5,5. Berdasarkan tabel 4.5, skor TCSS 4,5 memiliki sensitivitas 79,4% dan
spesifisitas 59,4%, dan skor TCSS 5,5 memiliki sensitivitas 73,5% dan spesifisitas
71,9%. Skor 4,5 memiliki sensitivitas lebih tinggi sesuai dengan tujuan skor TCSS
untuk skrining polineuropati pada penderita keganasan yang mendapat kemoterapi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


55

cisplatin. Hal ini berarti penderita dengan skor TCSS ≥ 4,5 atau ≥ 5 akan
didiagnosa sebagai Polineuropati perifer.
Berikut adalah tabel uji diagnostik polineuropati perifer berdasarkan TCSS
dengan standar baku yang biasa digunakan yaitu menggunakan alat ENG.

Tabel 4.4 Uji Diagnostik Polineuropati perifer menurut TCSS berdasarkan pemeriksaan
menggunakan alat ENG

Polineuropati perifer dengan ENG


Polineuropati perifer
dengan TCSS Ya Tidak Total
Ya 27 13 40
Tidak 7 19 26
Total 34 32 66

Berdasarkan tabel 2x2 diatas, dengan cut-off point atau titik potong adalah
≥ 5, didapatkan subjek yang didiagnosis polineuropati oleh ENG dan TCSS
sebanyak 27 orang, subjek yang didiagnosis polineuropati oleh ENG namun tidak
dengan TCSS sebanyak 7 orang, subjek yang didiagnosis polineuropati oelh
TCSS namun tidak dengan ENG sebanyak 13 orang dan subjek yang tidak
didiagnosis polieneuropati baik oleh ENG maupun TCSS sebanyak 19 orang.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan tabel 2x2, maka didapatkan
sensitivitas 79,4% dan spesifisitas 59,4%, dan juga dapat ditentukan nilai prediksi
positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN) sebagai berikut:
Sensitivitas = a : (a + c) = 25 : (27 + 7) = 25 : 34 = 0,794 (sesuai pada tabel 4.5)
Spesifisitas = d : (b + d) = 19 : (13 + 19) = 19 : 32 = 0,594 (sesuai seperti pada tabel
4.5)
NPP = a : (a + b) = 27 : (27 + 13) = 27 : 40 = 0,675
NPN = d : (c + d) = 19 : (7 + 19) = 19 : 26 = 0,731

Tabel 4.5 kurva ROC dan efisiensi statistik TCSS untuk diagnosa polineuropati perifer
berdasarkan pemeriksaan dengan alat ENG

Titik NPN NPP Spec Sen AUC SE 95% CI p


potong
≥4 0,344 0,788
≥5 0,731 0,675 0,594 0,794 0,754 0,064 95% CI < 0,001
(62,9%-
87,9%)
≥6 0,735 0,719

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


56

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1. Dinamika Penelitian


Pada penelitian ini didapatkan beberapa perubahan yang menyebabkan
penyajian penelitian kurang sesuai dengan rencana awal. Beberapa dari hambatan
tersebut adalah sulitnya mendapatkan penderita KNF yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi, sehingga diputuskan untuk memperluas kriteria inklusi
sehingga mencakup seluruh keganasan.
5.2. Karateristik demografik subjek penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap 66 penderita
keganasan yang mendapatkan kemoterapi cisplatin selama bulan September 2013
hingga Januari 2014. Pada sebaran subjek menurut karakteristik demografik
didapatkan subjek pria (n=43) lebih banyak dibandingkan wanita (n=23). Hal ini
dapat sesuai dengan angka kejadian keganasan terutama pada negara-negara
berkembang menurut global cancer statistic dimana angka kejadian pada pria
untuk seluruh jenis keganasan (160 per 100.000) lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita (138 per 100.000).5 Rentang usia subjek pada penelitian ini adalah
19 hingga 60 tahun dengan rerata usia 45,76 ± 10,53 tahun. Rentang usia tersebut
adalah rentang usia tersering pada insidensi keganasan. Penelitian yang dilakukan
Roezin pada penderita KNF di RSCM mendapatkan subjek dengan rentang usia
termuda 14 tahun dan tertua 74 tahun, begitu juga pada penelitian Hilkens,
didapatkan rentang subjek populasi keganasan dengan neuropati dengan rentang
usia 18 hingga 74 tahun.7, 40, 41

5.3. Karateristik klinis subjek penelitian


Penelitian ini menggunakan pemeriksaan dengan alat ENG sebagai standar
baku dan skor TCSS untuk mengetahui adanya polineuropati perifer pada subjek
penelitian. Berdasarkan pemeriksaan menggunakan alat ENG, didapatkan
diagnosis polineuropati perifer pada 34 (51,5%) subjek, dengan jumlah pria lebih
banyak dari wanita (73,5% vs 26,5%). Hal ini dapat sesuai dengan prevalensi
NPTK yang terjadi pada penderita keganasan yang mendapatkan cisplatin
melebihi dosis 300 mg/m2 , yaitu sebesar 24% hingga 92%.7 Prevalensi pria yang
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


57

lebih banyak kemungkinan disebabkan pengaruh dari jenis kelamin terhadap


hantaran saraf, dimana diketahui wanita memiliki KHS dan amplitudo yang lebih
tinggi daripada pria.30, 41
Meskipun begitu, hal tersebut kemungkinan juga
disebabkan oleh prevalensi subjek pria yang lebih banyak.
Pada pemeriksaan ENG, dari 34 subjek yang mengalami polineuropati
perifer didapatkan jenis polineuropati campuran antara sensorik dan motorik
merupakan jenis polineuropati terbanyak (47,1%) diikuti polineuropati sensorik
murni sebesar 32,3%. Neuropati sensorik merupakan jenis neuropati yang paling
banyak terjadi pada pemakaian cisplatin, baik yang terjadi secara klinis maupun
secara sub-klinis.3,6,9,41 Terdapatnya komponen motorik kemungkinan disebabkan
stadium klinis yang lebih lanjut, dimana diketahui bahwa neuropati motorik
dengan tanda denervasi pada pemeriksaan elektrofisiologi dapat ditemukan saat
stadium lanjut pada neuropati yang disebabkan pemberian cisplatin.21
Pada pemeriksaan dengan menggunakan TCSS didapatkan polineuropati
pada 34 (51,5%) subjek dengan derajat neuropati terbanyak yaitu derajat neuropati
yang ringan (64,7%). Belum ada studi lain yang diketahui menggunakan TCSS
sebagai alat diagnosa terhadap NPTK, sehingga prevalensi neuropati yang lebih
banyak kemungkinan juga disebabkan karena prevalensi NPTK secara
keseluruhan yang tinggi, seperti pada penelitian Hilkens yang berkisar antara 24%
hingga 92% dan juga pada penelitian Wiratman (2013) yang mendapatkan
prevalensi NPTK hingga 76%.7, 41
Jika ingin dibandingkan penggunaan skor
TCSS pada studi serupa namun digunakan pada populasi DM, maka didapatkan
hasil yang mendekati, dimana pada studi oleh Supriyanta didapatkan prevalensi
neuropati perifer berdasarkan TCSS sebanyak 71,7 %.38 Tingkat neuropati ringan
didapatkan paling banyak, hal ini kemungkinan disebabkan banyak subjek yang
baru merasakan gejala awal pada NPTK, dimana gejala awal ini umumya terjadi
pada 3 bulan pertama setelah dosis > 300 mg/m2 dan rerata durasi (± SD) dari
sejak dosis mencapai > 300 mg/m 2 hingga pemeriksaan pada penelitian ini adalah
31,27 ± 36,73 hari.41 Hilkens juga menggunakan metode pemeriksaan neurologis
klinis dan pemeriksaan getar kuantitatif untuk memeriksa tingkat keparahan pada
NPTK setelah penggunaan cisplatin dan menemukan sebanyak 71% subjek berada
pada tingkat neuropati ringan hingga sedang.7 Perbandingan antara prevalensi

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


58

pada subjek yang terdiagnosis polineuropati dengan ENG dan TCSS sama (n=34).
Hal tersebut dapat memperlihatkan secara sederhana kemampuan skor TCSS
dalam mendiagnosis polineuropati sebaik kemampuan ENG.
Pada NPTK karena cisplatin, penurunan refleks tendon merupakan salah
satu gejala awal yang dapat terjadi karena cisplatin lebih banyak mempengaruhi
fungsi serabut saraf diameter besar bermielin. Komponen yang terdapat dalam
skor TCSS terdiri dari komponen gejala, pemeriksaan sensorik dan komponen
refleks tendon. Komponen tersebut mewakili pemeriksaan terhadap fungsi serabut
saraf dengan diameter besar dan kecil, bermielin dan tanpa mielin. 2,37 Studi oleh
Perkins menemukan bahwa komponen pemeriksaan refleks tendon skor TCSS
pada penderita polineuropati DM berkorelasi erat dengan tingkat keparahan
polineuropati yang didapatkan dari pemeriksaan ENG.37 Pada penelitian ini
didapatkan komponen abnormal terbanyak pada komponen pemeriksaan refleks
tendon (78,8%), hal ini dapat membuktikan bahwa skor TCSS memiliki
komponen pemeriksaan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan pada NPTK
karena cisplatin, khususnya untuk menilai gejala awal.

5.4 Reciever operating curve (ROC) dan area under the curve (AUC)
Pada perhitungan menggunakan metode ROC pada penelitian ini,
didapatkan nilai AUC yaitu sebesar 75,4%. Hal ini berarti bahwa TCSS
digunakan untuk mendiagnosa polineuropati pada 100 orang penderita keganasan
yang mendapatkan cisplatin, maka kesimpulan yang tepat dapat diambil pada 75
orang. Berdasarkan kurva ROC, skor TCSS memiliki nilai diagnostik yang cukup
baik karena sebagian besar kurva menjauhi 50% dan mendekati 100%. Selain itu
berdasarkan metode ROC juga didapatkan nilai Confidence Interval (CI) yaitu
(95% IK 62,9%-87,9%), hal ini berarti bahwa nilai AUC skor TCSS pada
populasi keganasan berkisar antara 62,9% - 87,9%, dengan nilai p < 0,001.
Beberapa studi lain yang menggunakan TCSS sebagai alat diagnostik
adalah studi uji diagnostik TCSS terhadap diagnosis polineuropati pada DM,
dimana terdapatnya kesamaan akan pola neuropati (polineuropati sistemik) dan
gejala (polineuropati simetrik distal) dengan NPTK membuat skor TCSS
diharapkan memiliki kemampuan yang sama terhadap diagnosis NPTK.12

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


59

Supriyanta (2004) telah melakukan studi uji diagnostik menggunakan TCSS


dibandingkan denga standar baku ENG pada penderita DM, pada studi tersebut
didapatkan nilai AUC sebesar 88,0% dengan interval IK 95% 81,4%- 94,6%.
Kurva ROC yang didapatkan menjauhi 50% dan mendekati 100%.38, 42 Hal ini
membuktikan bahwa TCSS memiliki tingkat akurasi yang tinggi pada populasi
DM. Tingkat akurasi TCSS pada studi ini tampak kurang kuat jika dibandingkan
dengan studi serupa pada DM, namun nilainya cukup mendekati dan memiliki
kekuatan sedang.39

5.5 Penentuan titik potong, sensitivitas, spesifisitas, NPP dan NPN


Setelah dilakukan metode ROC, maka selanjutnya akan ditentukan nilai
titik potong atau cut-off point yang akan menentukan batas antara normal dan
abnormal, atau batas antara hasil positif dan negatif. Pada penentuan titik potong
secara statistik yang bertujuan untuk skrining, maka akan diambil titik potong
dengan nilai sensitivtas yang tertinggi.
Pada penelitian ini didapatkan titik potong optimal berada pada angka 6
dan 7 (lihat tabel 4.4), dimana didapatkan titik potong ≥ 4,5 dan ≥ 5,5. Titik
potong pada ≥ 4,5 atau ≥ 5 diketahui memiliki sensitivtas 79,4% dan spesifisitas
59,4%, dan titik potong ≥ 5,5atau ≥ 6 memiliki sensitivtas 73,5% dan spesifisitas
71,9%. Titik potong skor TCSS ≥ 5 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi
sehingga lebih cocok untuk tujuan skrining. Hal ini berarti penderita yang
memiliki skor TCSS ≥ 5 akan didiagnosa sebagai polineuropati perifer.
Dari tabel uji diagnostik polineuropati perifer menggunakan skor TCSS
dengan pembanding standar baku menggunakan alat ENG dan menggunakan titik
potong skor TCSS ≥ 5 terhadap 66 subjek, dua puluh tujuh subjek terdiagnosa
polineuropati baik dengan ENG ataupun dengan skor TCSS. Sebanyak 13 subjek
terdiagnosa polineuropati dengan skor TCSS namun tidak dengan pemeriksaan
ENG, 7 subjek terdiagnosa polineuropati oleh pemeriksaan ENG, namun tidak
dengan skor TCSS dan 19 tidak terdiagnosa polineuropati baik dengan ENG
maupun dengan skor TCSS.
Dari hasil uji diagnostik tabel 2x2 diatas, maka didapatkan sensitivtas dan
spesifisitas untuk titik potong ≥ 5. Sensitivitas sebesar 79,4%, yang berarti bahwa

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


60

skor TCSS dapat menentukan sebesar 79,4% gangguan polineuropati perifer bila
gangguan tersebut memang benar ada (positif benar). Spesifisitas dari titik potong
ini adalah 59,4%, yang berarti bahwa skor TCSS dapat menyingkirkan sebesar
59,4% gangguan polineuropati perifer bila memang gangguan tersebut benar-
benar tidak ada (negatif benar). Selain itu didapatkan pula NPP sebesar 67,5%,
yang berarti bahwa skor TCSS dapat menentukan 67,5% kemungkinan
polineuropati perifer ada (positif) bila memang benar-benar ada. Terdapat pula
NPN sebesar 73,1%, yang berarti skor TCSS dapat menentukan sebesar 73,1%
bahwa polineuropati perifer tidak ada (negatif) bila memang benar-benar tidak
ada.
Secara statistik, nilai sensitivitas dan spesifisitas dengan titik potong
optimal pada penelitian ini cukup baik. Namun nilai ini belum cukup untuk
menjadikan skor TCSS sebagai alat diagnostik yang unggul terutama untuk
skrining NPTK.
Pada Polineuropati perifer yang disebabkan oleh DM, skor TCSS
merupakan salah satu alat skrining yang baik jika dibandingkan dengan alat
skrining berdasar skor lainnya. Alat skrining lain yang telah dilakukan uji
diagnostik terhadap polineuropati DM dengan ENG sebagai standar baku adalah
skor Michigan neuropathy screening instrument (MNSI). MNSI merupakan alat
skrining yang terdiri dari komponen pemeriksaan refleks tendon, pemeriksaan
sensasi getar dan pemeriksaan status vaskular perifer (ulkus).42 Pada studi MNSI
yang dilakukan oleh Moghtaderi (2005), didapatkan sensitivitas sebesar 65% dan
spesifisitas sebesar 83% dengan titik potong optimal skor ≥ 2 (maksimal 8).42
Pada studi oleh Supriyanta, skor TCSS memiliki sensitivitas sebesar 86,6% dan
spesifisitas 94,1% dengan titik potong optimal pada skor ≥ 6. 38 Perbandingan dari
dua hasil studi tersebut menerangkan bahwa skor TCSS lebih unggul sebagai alat
skrining untuk polineuropati pada DM.
Jika dibandingkan dengan studi tersebut, maka kekuatan diagnostik skor
TCSS pada studi ini belum mencapai nilai yang maksimal, meskipun begitu, harus
diingat bahwa penelitian ini menggunakan TCSS untuk populasi yang berbeda.
Perbedaan ini dapat terlihat pada perbedaan titik potong yang diperoleh.
Supriyanta mendapatkan nilai sensitivitas tertinggi pada titik potong optimal ≥ 6

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


61

dengan sensitivitas 86,6% dan spesifisitas 94,1%, sedangkan penelitian ini


mendapatkan sensitivitas tertinggi pada titik potong optimal ≥ 5 dengan
sensitivitas 79,4% dan spesifisitas 59,4%. Titik potong yang optimal didapatkan
berdasar dari perhitungan kurva ROC dan tarik menarik antara sensitivitas dan
spesifisitas. Titik potong dengan nilai sensitivitas tertinggi kemudian dipilih untuk
dijadikan sebagai acuan diagnosis untuk alat yang diuji. 39 Perbedaan titik potong
yang terjadi untuk skor TCSS tersebut kemungkinan lebih berhubungan dengan
beratnya gambaran klinis polineuropati yang muncul, semakin rendah titik potong
maka semakin tinggi sensitivitas untuk mendapatkan diagnosis polineuropati.39
Hal ini terbukti pada studi TCSS yang dilakukan oleh Supriyanta pada populasi
DM, didapatkan tingkat keparahan neuropati terbanyak dengan menggunakan
TCSS adalah tingkat neuropati yang berat (54,1%), sedangkan pada populasi
NPTK di penelitian ini, tingkat keparahan neuropati terbanyak adalah yang ringan
(64,7%).38
Tingkat keparahan dari suatu polineuropati bergantung pada beberapa
faktor yang berbeda. Pada polineuropati yang disebabkan DM, Hiperglikemi
merupakan faktor utama penyebab kerusakan saraf. Hiperglikemi dapat
menyebabkan penurunan konduksi saraf dengan peningkatan kadar sorbitol dalam
sel, menyebakan peningkatan radikal bebas dan juga menyebabkan iskemi pada
serabut saraf yang disebabkan oleh perubahan mikrovaskularisasi.43 Gangguan
pada serabut saraf tersebut dapat terjadi pada serabut saraf yang bermielin maupun
tidak bermielin, dan semakin lama hal ini berlangsung, maka semakin luas
kerusakan yang terjadi.43 Gejala klinis yang terjadi sebanding dengan kerusakan
saraf yang ada, semakin lama penderita mengalami keadaan hiperglikemi, maka
semakin parah gejalanya. Tingkat keparahan gejala pada akhirnya sangat
berhubungan erat dengan kontrol dari kadar glukosa penderita. Pengaturan kadar
gula dikatakan dapat memperlambat perburukan gejala namun tidak dapat
memperbaikinya, terutama pada penderita DM tipe 2. 28,43 Selain dari terdapatnya
persistensi gejala polineuropati, tingkat keparahan polineuropati DM juga dapat
dipengaruhi dari kurang tepatnya tatalaksana terhadap kadar gula darah. Studi dari
The international diabetes management practices study menjelaskan bahwa
sebagian besar penderita DM di Indonesia belum mendapatkan tatalaksana

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


62

pengendalian gula darah yang sesuai dengan konsensus yang ada. 44 Terakhir,
gejala klinis yang dialami penderita berjalan secara progresif dengan hasil variatif
namun dengan 81% tidak mengalami perbaikan dan 10% bahkan akan terus
memburuk.28,43
Pada NPTK, beratnya gejala klinis bergantung pada jenis agen kemoterapi
dan dosis yang diberikan. Cisplatin merupakan jenis agen kemoterapi yang paling
banyak menyebabkan neuropati, meskipun begitu gejala klinis yang ditimbulkan
tidak seberat bila dibandingkan dengan agen kemoterapi lain seperti taxane dan
vincristine.7,9,21 Gejala klinis yang timbul umumnya terjadi saat 1 hingga 3 bulan
setelah dosis akumulasi mencapai > 300 mg/m 2 dan gejala ini dapat terus
dirasakan hingga 6 bulan setelah kemoterapi dihentikan, meskipun demikian
gejala dapat mengalami perbaikan setelah 12 bulan dan akan terus membaik
hingga 48 bulan.21 Rerata durasi pada penelitian ini adalah 31,27 ± 36,73 hari
setelah tercapai dosis kumulatif > 300 mg/m2 dengan rerata usia 45,76 ± 10,53
tahun. Kedua faktor tersebut kemungkinan dapat mempengaruhi derajat neuropati
yang ada pada penelitian ini, namun terdapat beberapa studi lain yang mendukung
ringannya gejala NPTK yang ditimbulkan oleh cisplatin. Wiratman menemukan
bahwa semua penderita NPTK dengan usia dibawah 50 tahun sama sekali tidak
mengalami gejala klinis dan kurang lebih setengah (51,02%) dari penderita yang
berusia diatas 50 yang mengalami gejala klinis setelah dosis akumulasi > 300
mg/m2.41 Hilkens juga menemukan derajat NPTK yang ringan hingga sedang pada
71% subjek bahkan setelah kemoterapi dihentikan hingga 6 bulan. 7 Hal ini dapat
menunjukkan bahwa walaupun kekuatan diagnostik TCSS pada NPTK belum
mencapai nilai yang maksimal, telah didapatkan titik potong optimal untuk tujuan
skrining yang sesuai dengan karakteristik klinis dari populasi NPTK, khususnya
yang mendapat kemoterapi cisplatin.

5.6 Keterbatasan penelitian


Kemungkinan terbesar dari kurang maksimalnya nilai diagnostik dari
penelitian ini adalah tidak tercapainya jumlah sampel yang diinginkan (66 dari
total 77 subjek). Hal ini disebabkan hambatan dalam pengumpulan sampel,
seperti kesulitan menemukan penderita KNF yang memenuhi syarat inklusi dan

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


63

eksklusi. Diputuskan oleh peneliti dan para pembimbing untuk memperluas


kriteria inklusi dengan memasukan semua jenis penderita keganasan. Hambatan
lainnya adalah kesulitan dalam mendatangkan subjek untuk diperiksa; banyak
subjek yang sudah memenuhi kriteria tidak dapat dimasukan ke dalam
perhitungan penelitian.
Beberapa keterbatasan tersebut memang membuat kekuatan diagnostik
skor TCSS kurang maksimal dalam mendiagnosa NPTK. Skor TCSS tetap dapat
diusulkan untuk dipakai sebagai salah satu alat skrining terhadap NPTK karena
skor tersebut memiliki sensitivitas yang cukup baik dan belum ada studi uji
diagnostik lain yang menggunakan skor untuk mendiagnosis NPTK.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


64

BAB 6
KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan nilai diagnostik untuk skor TCSS berupa
1. Didapatkan titik potong optimal ≥ 5 yang sesuai dengan karakteristik
gambaran klinis NPTK
2. Sensitivitas sebesar 79,4%
3. Spesifisitas sebesar 59,4%.
4. Komponen skor dalam TCSS juga dianggap mampu untuk menilai gejala
awal yang terjadi pada NPTK
5. Nilai diagnostik yang didapatkan cukup baik. Skor TCSS dapat digunakan
sebagai alternatif dalam skrining NPTK karena skor TCSS memiliki nilai
titik potong yang sesuai dengan karakteristik klinis NPTK dan belum ada
studi uji diagnostik lain yang diketahui menggunakan sistem skor terhadap
diagnosis NPTK.

6.2. Saran
1. Penelitian ini mengalami keterbatasan dalam hasil karena sampel yang kurang
mencukupi, karena itu diperlukan suatu penelitian lanjutan dengan metode yang
sama, namun dengan jumlah sampel yang mencukupi, sehingga diharapkan nilai
diagnostik yang didapatkan dapat lebih tinggi dan lebih baik.
2. Menggunakan skor TCSS sebagai alat skrining NPTK pada kegiatan praktek
sehari-hari.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


65

DAFTAR PUSTAKA
1. NL. Peripheral neuropathy: when the numbness, weakness and pain won’t
stop New York. Demos. MedPub; 2007.
2. Harati Y, Kwan J, Smyth S. Peripheral neuropathies and motor neuron
disease. Dalam Neurology secrets. Philadelphia: Elsevier; 2010.p. 97-120.
3. Al Cge. Chemotherapy induced neuropathy. Current treatment in
neurology. 2011; 13. p. 180-190.
4. Moould RF, Thai THP. Nasopharyngeal carcinoma: treatment and
outcome in the 20th century. British journal of radiology. 2002; 75:p. 307-
339.
5. Al Jae. Global cancer statistic. Cancer J Clin 2011;61: p. 69-90.
6. Quasthoff. Hartung HP. Chemotherapy induced peripheral neuropathy. J
neurol. 2002;249:p. 9-17.
7. Hilkens PHE, Van de ben MJ. Chemotherapy-induced peripheral
neuropathy. Journal of peripheral nervous system 2. 1997;:p. 350-361.
8. Hausheer FH, Schilsky RL. Bain S, Berghron EJ, Lieberman F. Diganosis,
management and evaluation of chemotherapy induced peripheral
neuropathy. Semin oncol. 2006; 33: p. 15-49.
9. Al Cge. Chemotherapy induced peripheral neurotoxicity assessment: a
critical revision of the currently available tools. EJCA. 2010; 46:p. 479-
494.
10. Al Hae. Neuroal involvement in cisplatin neuropathy: prospective clinical
and neurophysiological studies. Brain. 2007; 130:p.1076-1088.
11. Brill V, Tomioka S, Buchanan RA, Perkins BA. Reliability and validity of
the modified Toronto clinical neuropathy score in diabetic sensorimotor
neuropathy. Diabet Med. 2009; 26:p.240-6.
12. Davis LE, King MK, Schultz JL. Disorders of peripheral neuropathy.
Dalam Davis LE. Neurology in clinical practice. New york: Demos Pub;
2010. P.9-23.
13. HH S. Anatomic classification of peripheral nervous disorders. Dalam
Dyck. Peripheral neuropathy in clinical practice. New york: Oxford; 2010.
P.9-23
14. Thompson PD TP. Clinical patterns of peripheral neuropathy. Dalam
Dyck. Peripheral neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.1137-1163.
15. Wampler MA, Rosenbaum MH.Chemotherapy induced peripheral
neuropathy fact sheet. [Online}.;2006. Available
from:www.cancersupportivecare.com/nervepain.php.
16. Takimono CH CE. Principle of oncologic pharmacotherapy. Cancer
management. 2009;:p. 1-9.
17. Jaggis AS SN. Mechanism in cancer chemotherapic drug-induced
peripheral neuropathy. Toxicology. 2012; 291:p.1-9.
18. Sing P RKMRPD. Microtubule assembly dynamics: an attractive target for
anti cancer drugs. IUMBlife. 2008;6096):p.368-375.
19. Herskovitz S SH. Neuropathy caused by drugs. Dalam Dyck. Peripheral
neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.2553-2583.
20. JAW. Metal neuropathy. Dalam Dyck. Peripheral neuropathy. Phiadelphia:
Elsevier; 2005.p.2527-2551.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


66

21. A F. Peripheral neuropathy: symptoms secondary to cancer and its


treatment.
22. EJ D. Remote neurologic manifestation of cancer. Neurolo clin.
2002;2091):p.85-122.
23. Spies JM M. Paraneoplastic neuropathy. Dalam Dyck. Peripherl
neuropathy. Philadelphia: Elsevier; 2005.p.2471-2487
24. World Health Organization. Definition, diagnosis and classification of
diabetes mellitus and its complications; 1999.
25. Srowkosky TP FSHGGS. Impact of diabtes mellitus on cimplications and
outcome of adjuvant chemotherapy in older patients with breast cancer. J
Clin Onc. 2009; 7:p.2170-2176.
26. HH S. The toxic neuropathy: principle of general and peripheral
neurotoxicology agents. Dalam peripheral neuropathy in clinical practice.
New york: Oxford; 2010.p.287-300.
27. Jameson JL WA. Disorders of the thyroid gland. Dalam Harrison;s
principle of internal medicine. USA: McGraw Hill; 2005.p.2104-2127.
28. HH S. Diabetic and other endocrine neuropathies. Dalam Gilamn S.
Peripheral neuropathy in clinical practice. New york : Oxford; 2010.p.159-
168.
29. Rosenberg NH PPVMVM. Diagnostic investigationwith chronic
polyneuropathy: evaluation of clinical guideline. J Neurol Neurosurg
Psychiatri. 2001; 71:p. 205-209.
30. JK. Nerve conduction and needle electromyography. Dalam Dyck.
Peripheral neuropathy. Philadelphia; 2005.p.899-969.
31. aL Lge. Intraepidermal nerve fiber density in rat footpad: neuropathologic-
neurophysiologic correlation. JPNS.2005; 10:p. 202-208.
32. Al Pte. Pitfall in grading chemotherapy-induced peripheral neuropathy.
Ann of onc. 1998;9: p.739-744.
33. Cavaletti G BGML. Grading of chemotherapy induced peripheral
neurotoxicity using the total neuropathy scale. Neurology. 2003; 61:
p.1297
34. al Cge. Multi-centre assessment of the total neuropathy score for
chemotherapy induced peripheral neurotoxicity. JPNS.2006; 11:p. 135-
141.
35. al Cge. The total neuropathy score as an assessment tool for grading the
course of chemotherapy-induced peripheral neurotoxicity: comparison
with the national cancer institute- common toxicity criteria. Journal of
peripheral nerve. 2007;12:p. 210-215.
36. Perkin BA OID. Simple screening test for peripheral neuropathy in the
diabetes clinics. Diabetic care. 2001;24:p. 250-256.
37. Bril V PB. Validation of the toronto clinical scoring system for diabetic
polyneuropathy. Diabetic care. 2002;25: p. 2048-2052.
38. A S. Nilai diagnostik toronto clinical scoring system pada neuropati
perifer Semarang: Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Diponegoro;
2004.
39. Pusponegoro HD WIPABJZS. Uji diagnostik. Dalam ID SS. Dasar-dasar
metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung seto; 2008.p. 193-216.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


67

40. Roezin A. Deteksi dan pencegahan karsinoma nasofaring. Perhimpunan


onkologi indonesia pencegahan dan deteksi dini penyakit keganasan. UI
Press.1996: p.286-292.
41. Wiratman W. Neuropati perifer pada karsinoma nasofaring yang mendapat
kemoterapi cisplatin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tesis.
Jakarta: Departemen Neurologi FK Universitas Indonesia; 2013.
42. Moghtaderi A et al. Validation of Michigan neuropathy screening
instrument for diabetic peripheral neuropathy. Clin Neuro and
Neurosurg.2006;108:p.477-481.
43. Llewelyn JG. Thomlinson DR.Thomas PK. Diabetic neuropathies. Dalam
Dyck. Peripheral neuropathy. Philadelphia; 2005:p. 1951-91.
44. Suwondo P.Current practice in the management of type 2 diabetes in
Indonesia: results from the international diabtes management practices
study. J Indon Med Assoc.2011;61:p.12.

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


68

Lampiran 1

KUISIONER PENELITIAN

Judul Penelitian:

“Uji diagnostik Toronto Clinical Scoring System terhadap diagnosis neuropati perifer
terinduksi kemoterapi”

Instruksi:
1. Isilah titik-titik sesuai dengan jawaban respoden
2. Tuliskan jawaban yang tidak ada dalam pilihan, di tempat yang tersedia
3. Cek kembali jawaban responden, jangan ada yang terlewat
Nomer Kuisioner:

Tanggal Wawancara:

I. IDENTITAS
1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Usia :
4. Alamat :
5. Pendidikan :
6. Pekerjaan :
7. Status pernikahan :
8. No. Telepon :

II. RIWAYAT KEBIASAAN & PENYAKITSELAIN KNF (EKSKLUSI)


Keluhan Tidak Keterangan
Pernah didiagnosa Diabetes Mellitus atau memiliki riwayat DM
di keluarga (orang tua, kakek atau nenek, paman atau bibi)

Pernah mengalami deformitas yang mengakibatkn salah satu


ekstremitas di amputasi (atas atau bawah)

Pernah mengalami penyakit saraf karena stroke, infeksi, tumor


yang melibatkan saraf pusat dan saraf perifer dengan gejala sisa

Pernah keluhan nyeri, baal, kesemutan, kelemahan setelah


adanya trauma pada tulang

Pernah mengalami rasa baal, kesemutan yang melibatkan


anggota gerak proksimal, wajah dan batang tubuh dengan onset
sebelum pemberian kemoterapi

Pernah mengalami rasa berdebar serta keringat berlebih,


penurunan berat badan dan massa pada leher atau pernah
didiagnosa dengan gangguan tiroid

Sedang dalam pengobatan Colchicine, stavudin, fenitoin,


Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


69

isoniazid, ethambutol, metronidazol atau amiodaron untuk


jangka panjang.
Nilai GDP :

Nilai GD2JPP :

III. RIWAYAT KNF


1. Tipe KNF : WHO
a. Tipe 1 (keratinizing squamous cell carcinoma)
b. Tipe 2 (non-keratinizing)
c. Tipe 3 (undifferentiated)
2. Timbul keluhan KNF
pertama kali :
3. Total dosis cisplatin :
4. Regimen terapi : a. Cisplatin 40 mg/m2/minggu selama 7 minggu
(dosis total 280 mg/m2)+ Concurrentradioterapi
b. Cisplatin 100 mg/m2 hari 1, 22, 43 (dosis total 300
mg/m2) + radioterapi
c. Kemoterapi adjuvant: Cisplatin 80 mg/m2hari 71,
99, 127 (dosis total 240 mg/m2)
d. Kombinasi cisplatin lainnya (jenis, dosis)
5. Mulai kemoterapi (tgl) :
6. Selesai kemoterapi (tgl) :
7. Dosis mencapai ≥ 300
mg/m2 (tgl) :

Hasil Pemeriksaan TCSS

Komponen Hasil Keterangan


Pemeriksaan Ada ( 1 ) Tidak ( 0 )
Tungkai bawah:
Rasa nyeri Gejala yang
Rasa baal ditanyakan terjadi
Rasa kesemutan pada kedua
GEJALA Kelemahan ekstremitas dan
terutama pada
Tungkai atas: daerah distal
Rasa nyeri/ baal/
kesemutan/
kelemahan
Rasa goyah pada
Ataksia saat berdiri atau
jalan dan pada saat
menutup mata
Abnormal (1) Normal (0) raba menggunakan
Pemeriksaan nyeri monofilamen 10 g,
nyeri
Pemeriksaan suhu

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


70

Pemeriksaan raba menggunakan


Pemeriksaan neurotip, suhu
Sensorik Pemeriksaan vibrasi menggunakan air
dingin; dilakukan
pada dorsum ibu
jari
Vibrasi dengan
Pemeriksaan posisi garputala 128 Hz
pada maleolus
medialis
Posisi dengan
menggerakan
dengan
menggerakan jari
kedua ke atas dan
ke bawah dan
menanykan kepada
subjek posisi dari
jari tsb
Negatif Menurun Normal
(2) (1) (0)
Tungkai kanan:
Pemeriksaan Tendon patella
Refleks
tendon Tendon achilles

Tungkai kiri:
Tendon patella
Tendon achilles

Total skor

Interpretasi: skor ≤ 5 : bukan neuropati; skor > 5 : neuropati; (6-8): neuropati ringan; (9-
11): neuropati sedang; (12-19) : neuropati berat

Pemeriksaan dilakukan tanggal :

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


71

Lampiran 2
LEMBAR INFORMASI SUBJEK PENELITIAN

Peneliti Utama : dr. Aldy Novriansyah *


Peneliti Lain : dr.Manfaluthy Hakim, SpS(K)**
Dr. dr. Aru W Sudoyo, SpPD, KHOM***
Dr. dr. Herqutanto, MPH****
Alamat : Departemen Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo
Jl. Salemba 6, Jakarta Pusat
Telepon : 021-31935044

Bapak/Ibu Yth,
Saat ini kami dari Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia /RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo sedang melakukan penelitian
mengenai

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM


TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI
KEMOTERAPI

Penjelasan kepada calon peserta penelitian


Polineuropati perifer merupakan salah satu gangguan pada serabut saraf tepi
ditandai diantaranya dengan rasa kesemutan, baal, nyeri, pada ujung-ujung kaki
dan tangan atau kelemahan otot-otot ujung tangan dan kaki, atau gangguan
berkeringat atau gangguan buang air besar maupun berkemih. Polineuropati
perifer dapat terjadi pada pasien yang mendapat regimen kemoterapi cisplatin,
penyakit ini jarang sekali fatal, namun bila lambat terdeteksi kecacatan serius dan
rasa nyeri kronis dapat terjadi.
Polineuropati perifer karena kemoterapi cisplatin penting dinilai karena
melibatkan saraf pada kaki dan tangan, dapat menjadi penyebab kecacatan atau
nyeri yang kronis sehingga menurunkan kualitas hidup. Cara untuk menilai ada
atau tidaknya gangguan adalah melalui pemeriksaan klinis neurologis dan
pemeriksaan elektroneurografi (ENG). Penilaian ini idealnya dilakukan pada
semua pasien yang mendapat kemoterapi cisplatin karena gangguan saraf pada
pasien dapat terjadi selama atau bahkan setelah kemoterapi cisplatin yang efektif.
Pemeriksaan ENG untuk gangguan saraf tepi pada pasien yang diterapi dengan
kemoterapi cisplatin telah dilaporkan sejak tahun 1990an. Alat tersebut masih
merupakan alat yang utama dalam mendeteksi polineuropati perifer, namun
karena ketersediaan yang terbatas, maka pemeriksaan ENG belum menjadi suatu
pemeriksaan yang rutin. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan suatu instrumen
pemeriksaan klinis dengan nama Toronto Clinical Scoring System (TCSS) yang
menggunakan cara pemeriksaan klinis yang lebih sederhana dan lebih cepat
dengan tingkat akurasi yang mendekati alat ENG dalam mendeteksi polineuropati
perifer. TCSS sendiri merupakan instrumen pemeriksaan berdasarkan skoring
yang terdiri dari wawancara mengenai gejala penderita, pemeriksaan refleks kaki
Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


72

dan pemeriksaan saraf indera perasa/sensorik seperti rasa nyeri, raba, suhu, getar
dan posisi tanpa membuat perlukaan (non-invasif).
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui tingkat akurasi dari instrumen
TCSS dibandingkan dengan alat ENG dalam mendeteksi adanya polineuropati
perifer khususnya pada penderita Karsinoma Nsofaring (KNF) yang mendapatkan
kemoterapi cisplatin. Dengan hasil penelitian ini diharapkan TCSS dapat
digunakan sebagai instrumen diagnostik alternatif untuk mendeteksi secara dini
polineuropati perifer pada penderita yang mendapatkan kemoterapi cisplatin
dengan cara yang lebih sederhana, cepat dan nyaman, sehingga penderita dapat
terhindar dari komplikasi kecacatan ataupun nyeri kronis yang tidak diinginkan.
Penelitian ini meliputi: wawancara, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan saraf
dan pemeriksaan fungsi saraf tepi dengan menggunakan instrumen TCSS dan
mesin XLtec. Pemeriksaan ini tidak dipungut biaya.Biaya pemeriksaan
sepenuhnya ditanggung oleh peneliti.
Bapak/ ibu berhak menolak untuk ikut dalam penelitian ini tanpa mengurangi
kualitas pelayanan dokter terhadap anda. Semua data penelitian ini akan
diperlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan orang lain untuk
mengetahuinya. Bila anda bersedia ikut serta, mohon membubuhkan tanda tangan
di formulir persetujuan yang telah disediakan.
Bapak/ ibu berhak untuk menanyakan semua hal yang belum jelas sehubungan
dengan penelitian ini. Jika dibutuhkan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi
dr. Aldy Novriansyah, Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Nomor telpon yang dapat dihubungi: 08111014724.
Bila Bapak/ibu telah memahami isi lembar informasi ini dan bersedia
diikutsertakan dalam penelitian ini, Bapak/ibu dapat menandatangani lembar
persetujuan mengikuti penelitian.
Terima kasih.

Hormat saya,
Jakarta 2013

dr. Aldy Novriansyah

*Dokter yang sedang mengambil Pendidikan Program Spesialis-I di Departemen


Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
**Konsultan ahli di Departemen Neurologi FKUI/RSUPN dr.Cipto
Mangunkusumo dan staf pengajar di Program Spesialis-I iImu Penyakit Saraf

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


73

***Konsultan ahli di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr.Cipto


Mangunkusumo dan staf pengajar di Program Spesialis-I Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
****Konsultan ahli statistik di Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI/
RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


74

Lampiran 3
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
LEMBAR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

Alamat :

No. Responden :

Setelah mendapat keterangan secukupnya dan mengerti manfaat dan tujuan


penelitian tersebut di bawah ini dengan judul:

UJI DIAGNOSTIK TORONTO CLINICAL SCORING SYSTEM


TERHADAP DIAGNOSIS NEUROPATI PERIFER TERINDUKSI
KEMOTERAPI

Dengan ini saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini secara sukarela

Jakarta, 2013

Yang memberi penjelasan Yang menyetujui,

(___________________) (__________________

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


75

Lampiran 4

Anggaran Penelitian

1. Pencarian literatur (internet, jurnal bebayar, penggandaan) Rp.


500.000
2. Penggandaan referat penelitian 30 eks @ Rp. 5000 Rp.
150.000
3. Penggandaan praproposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp.
100.000
4. Penggandaan proposal penelitian 10 eks @ Rp. 10.000 Rp.
100.000
5. Penggandaan formulir isian penelitian 85 eks @ Rp. 1000 Rp.
85.000
6. Penggandaan hasil penelitian 40 eks @ Rp. 25.000 Rp.
1.000.000
7. Administrasi dan penggandaan untuk perizinan komite etik Rp.
250.000
8. Biaya alat penelitian Rp.
750.000
9. Biaya presentasi referat penelitian Rp.
100.000
10. Biaya presentasi praproposal penelitian Rp.
700.000
11. Biaya presentasi proposal penelitian Rp.
700.000
12. Biaya presentasi seminar hasil penelitian Rp.
2.000.000
13. Biaya konsultasi dan transportasi ahli statistik Rp.
2.000.000
Total Rp.
8.455.000

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


76

Lampiran 5

Jadwal penelitian

Bulan April Mei Juni Juli Agustus Sept Okt Nov Des
2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013 2013

Referat Penelitian

Inisiasi rencana
Penelitian

Proposal penelitian

Pengurusan Etik
penelitian

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Seminar Hasil
Penelitian

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014


77

Lampiran 6

Universitas Indonesia

Uji diagnostik…, Aldi Novriansyah, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai