Anda di halaman 1dari 50

PSIKIATRI FORENSIK

dr Andrian Fajar Kusumadewi, MSc, SpKJ


Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa
FK-KMK Universitas Gadjah Mada
2019
Psikiatri Forensik
• Sub spesialisasi ilmu kedokteran yang menelaah mental manusia dan
berfungsi membantu hukum dan peradilan.
• Penggunaan keilmuan & ekspertise psikiatri pada konteks hukum
(baik pidana, perdata, administratif, dan terutama pada konsultasi
klinis dalam area penilaian tingkat risiko / masalah ketenagakerjaan).
(American Academy of Psychiatry and The Law)
Kasus 1
• Seorang terdakwa didakwa melakukan pembunuhan terhadap
seorang pembantunya diajukan ke pengadilan. Pada siding tersebut
pengacara mengajukan saksi ahli di bidang kedokteran jiwa yang
menyampaikan kepada para hakim bahwa terdakwa mengalami
gangguan jiwa. Pengadilan kemudian memutuskan bahwa terdakwa
walau telah melakukan tindak pidana, tetapi tidak dapat dihukum.
• Keputusan ini sesuai dengan pasal 44 KUHP yang melepaskan
tanggung jawab seseorang yang mengalami gangguan jiwa.
Kasus 2
• Seorang lelaki dewasa terbukti melakukan pemaksaan hubungan
seksual dan lalu pembunuhan terhadap sejumlah anak laki-laki.
• Walaupun diakui terdakwa tersebut mengalami gangguan kejiwaan,
pengadilan tetap menjatuhkan pidana penjara yang berat padanya.
• Kasus-kasus di atas diputus oleh pengadilan dengan pertimbangan
yang berbeda, walau keduanya sama-sama mengalami gangguan
kejiwaan.
Pertanyaan
1) Sejauh manakah “gangguan jiwa” dapat dijadikan alasan melepaskan
terdakwa dari tuntutan hukum pidana?
2) Apabila dia dilepaskan dari tuntutan, kapan hakim berkewajiban untuk
memerintahkan perawatan di rumah sakit jiwa?
3) Kapan seseorang yang telah dalam status terdakwa dapat dikatakan “
tidak kompetan secara kejiwaan” untuk menghadapi proses
persidangan?
4) Bagaimana peran saksi ahli psikiatri forensic memberikan kontribusi
pemikirannya bagi hakim untuk memutus suatu perkara?
5) Sejauh mana para ahli hukum berupaya memahami konsep-konsep yang
dianut para ahli psikiatri forensik?
Pasal 44 KUHP
• Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal, tidak boleh dihukum.
Saksi ahli
• Seseorang yang sebenarnya tidak terlibat dalam suatu perkara, tetapi
mempunyai ilmu yang dapat dipakai untuk menganalisis perkara dan
mengemukakannya kepada hakim sebagai bahan untuk pengambilan
keputusan.
• Ia lebih mengemukakan pendapat (opini) tentang perkaranya yang
telah dianalisis sesuai dengan konsep-konsep ilmunya.
• Kesaksian ahli psikiatri akan dimintakan apabila pada salah satu pihak
yang berperkara diduga terdapat gangguan jiwa.
Konsep normalitas
• Patokan masyarakat Indikator lemah,
hanya berlaku pada masyarakat tersebut,
• Patokan individu kebiasaan

• Patokan klinis
• Patokan-patokan melalui pemeriksaan tambahan
Patogenesis gangguan jiwa
• Konsep demonologikkonsep lama, masih ada penganutnya
• Konsep organobiologik
• Konsep psikoedukatif
• Konsep sosiokultural
• Konsep holistik eklektik (multifaktorial)dijadikan pegangan psikiater
di Indonesia
Hypothetical
Hypothetical path
Path from
from gene
Gene to to behavior
Behavior
Stress-Diathesis Model of model
Stress-diathesis Psychiatric Symptoms:
of psychiatric symptoms
too many genetic biases combined with too many
stressors results in psychiatric symptoms
Stress-Diathesis Model Part 1:
Normal
no risk gene, normal function

no stressor normal function normal function


Stress-Diathesis Model Part 2:
one risk gene, normal function
Rentan

no stressor normal function normal function


Stress-Diathesis Model Part 3:
two risk genes, slowingRentan
of function but compensation
and no breakdown

no stressor normal function slowing of function


ManifestasiModel
Stress-Diathesis gejalaPart 4:
multiple risk genes, slowing of function with mild stressor,
but decompensation and breakdown with severe stressor

no stressor slowing of function breakdown


Perkembangan hukum pada perkembangan
kepribadian
• Bayi: belum ada pemahaman terhadap peraturan
• Balita: mulai memahami apa yang merupakan hak dia dan apa hak
orang lain
• Usia sekolah: mulai terlatih mentaati peraturan yang berlaku di
sekolah
• Fase pubertas: merupakan fase awal lepas dari orang tua, mulai
masuk dalam masyarakat dengan jati dirinya. Sudah memahami
sanksi, tetapi kadang kurang mengindahkan
• Fase dewasa: fase saat seharusnya seseorang sudah mampu
memahami berbagai peraturan dengan sanksinya, serta nilai social
tindakannya.
Perkembangan moral Lawrence Kohlberg
 Perkembangan berdasarkan
kepada bagaimana manusia
menggunakan asas moral bagi
mendasari tingkah laku mereka.
• Tiga tahap perkembangan moral
• Prakonvensional
• Konvensional
• Pascakonvensional (prinsipal)
Insight dan judgement
• Insight (tilikan)
• Pemahaman individu tentang apa yang dialami, bagaimana ia akan berespons
serta bagaimana ia mengembangkan respons terhadap sesuatu/ stimulus.
• Judgement (daya pengambilan keputusan)
• Kemampuan pengembangan respons alternative dan pemilihan respons
untuk tindakan melalui pertimbangan-pertimbangan nilai sosial.
• Manusia mempunyai kemampuan untuk memilih, menentukan serta
mengarahkan tindakan yang dilakukannya, dengan demikian ia harus
mempertanggungjawabkan atas tindakan tersebut.
• Seseorang dianggap mampu bertanggung jawab apabila ia mampu
memahami nilai perbuatannya, nilai risiko perbuatannya, serta
mampu memilih, menentukan dan mengarahkan kemauannya.
• Menurut Roeslan Saleh, orang yang mampu bertanggung jawab harus
memenuhi tiga syarat sebagai mana telah diuraikan:
• Dapat menginsyafi bahwa makna daripada perbuatannya.
• Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat.
• Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan
perbuatan.
Gangguan jiwa
• PPDGJ-III merujuk pada DSM-IV.
Mental Disorder is conceptualized as clinically significant behavioural
or psychological syndrome or patern that occurs in an individual and
that is associated with present distress (eq., a painfull symptom) or
disability (ie., impairment in one or more important areas of
functioning) or with a significant increased risk of suffering death,
pain, disability, or an important loss of freedom.
Proses diagnosis

• Anamnesis • Sosial
• Allo-anamnesis • Spiritual
• Auto-anamnesis • Diagnosis
• Pemeriksaan • Terapi
• Fisik • Prognosis/evaluasi
• Psikis
• Signs simtom sindrom 
Diagnosis
• Sign (tanda) : banyak bicara, sulit tidur
• Simtom (gejala) : logore, insomnia
• Sindrom (kumpulan gejala) : skizofrenia, paranoid, kataton, depresi
• Diagnosis : Skizofren tak terinci
Visum et Repertum Psychiatricum
• Hasil pemeriksaan medis di bidang psikiatri yang dilakukan oleh
seorang dokter atau sebuah tim dokter dan ditujukan untuk
kepentingan peradilan sebagai sarana pembuktian.
• Umumnya dibuat setelah seorang dokter memeriksa obyek (pasien,
terperiksa, orang dan barang bukti)bersifat post facto.
• Dari hasil pemeriksaan ini kemudian dilakukan semacam rekonstruksi
ilmiah untuk mengusahakan kemungkinan korelasi antara keadaan
terperiksa dengan peristiwa hukumnya.
• Juga dipakai untuk membuat gambaran tentang kemungkinan
hubungan antara keadaan terperiksa dengan peristiwa hukum.
• VeRP diterbitkan hanya atas suatu permintaan dan yang berhak
meminta adalah hakim, jaksa, polisi, dan yang bersangkutan (pelaku,
korban atau walinya).
• Dokter yang mempunyai kaitan keluarga, kaitan dengan sengketa
hukum, pernah mempunyai sengketa hukum atau pernah memiliki
hubungan dokter-pasien dengan terperiksa, dapat mengajukan
keberatan untuk membuat VeRP atau memberikan kesaksian ahli.
• Yang dibutuhkan:
• Syarat administratif (surat permintaan penyidik, berita acara)
• Selanjutnya terperiksa dapat dimasukkan ke dalam ruang perawatan untuk
diobservasi untuk diperiksa dan diobservasi dalam jangka waktu tertentu.
• Pedoman pembuatan14 hari.
• Dapat diperpanjang 14 hari lagi seizing peminta pembuatan VeRP.
• Setelah jangka waktu ini VeRP harus sudah diterbitkan, walaupun barangkali
belum dapat diambil suatu kesimpulan.
• UU kesehatan Jiwa (1965): waktu observasi 3 minggu sd 6 bulan
• KUHAP, berdasar HAM masa penahanan tidak melebihi 90 hari, jadi harus
menyesuaikan
• Selama waktu observasi, terperiksa tidak diberi terapi kecuali dalam
keadaan tertentu yang bersifat darurat:
• Agresif
• Destruktif
• Kecenderungan bunuh diri
• Sakit fisik yang gawat dll.
• Pemberian terapi harus dilaporkan kepada pihak yang meminta visum
dan ditulis di VeRP.
• Bentuk baku VeRP disusun sesuai yang telah ditetapkan oleh
pedoman pembuatan VeRP Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen
Kesehatan.
• Merupakan dokumen hukum, sehingga harus ditulis seperti dokumen
hukum lainnya:
• Penggunaan bahasa kedokteran disarankan dapat dimodifikasi menjadi
bahasa hukum atau setidak-tidaknya bahasa umum yang lebih dapat
dipahami oleh ahli hukum.
• Pertanyan permintaan tidak jelas:
• Apakah terdakwa menderita gangguan jiwa?
• Bagaimana keadaan mental tergugat?
• Pertanyaan jelas, terarah dan sangat diharapkan oleh psikiater:
• Bagaimanakah kemampuan bertanggung jawab terdakwa?
• Dapatkah saksi diajukan dalam siding pengadilan?
• Apakah orang yang dimintakan untuk diperiksa cakap atau kompeten dalam
hukum?
• Bagian terpenting dalam VeRP adalah kesimpulan
• Kesimpulan merupakan jawaban dari pertanyaan yang tercantum di
dalam surat permintaan.
• Seharusnya kesimpulan selalu ada, tetapi dapat juga suatu rangkaian
pemeriksaan tidak menghasilkan apa-apa. Dengan demikian, masih
dimungkinkan pada kesimpulan disebutkan: tidak dapat ditarik
kesimpulan.
Visum et Repertum Psychiatricum Pro Justitia
• Identitas pemeriksa
• Identitas peminta
• Identitas terperiksa
• Laporan hasil pemeriksaan (anamnesis, status internus, status
neurologik, status psikiatrik, pemeriksaan tambahan, diagnosis)
• Kesimpulan
Kasus-kasus hukum yang sering dimintakan VetR.
Psychiatricum:
1.Kasus pidana
a.terperiksa sebagai pelaku
b.terperiksa sebagai korban
2.Kasus perdata
a.pembatalan kontrak
b.pengampuan atau curatelle
c.hibah
d.perceraian
e.adopsi
3.Kasus-kasus lain
a.kompentensi untuk diinterview
b.kelayakan utk diajukan di sidang pengadilan
Di persidangan
• Pemanggilan untuk duduk di kursi saksi oleh hakim ketua.
• Jelaskan tentang data pribadi yang diminta.
• Sumpah/ janji diambil menurut agama/kepercayaan masing-masing di
hadapan hakim, jaksa penuntut, pengacara dan peserta sidang.
• Menjawab pertanyaan sesuai yang tertulis dalam VeRP.
• Sebaiknya tidak mengemukakan pendapat pribadi.
• Prediksi obyektif berdasarkan data yang ada.
• Patuhi tata tertib sidang.
Keamanan saksi ahli

• Pendampingan dalam perjalanan.


• Untuk kasus-kasus tertentu perlu pengawalan petugas
• Setiap sarana pelayanan kesehatan jiwa harus
memiliki Prosedur Tetap Pendampingan dan
Pengamanan Saksi Ahli.
Hak dan Kewajiban Saksi Ahli
• Hak Saksi Ahli
• Hak undur diri : ada hubungan keluarga, suami/isteri, ada
kepentingan dalam perkara
• Hak untuk mendapatkan pengamanan/perlindungan diri.
• Hak untukmendapatkan honorarium.
Hak dan Kewajiban Saksi Ahli
• Kewajiban saksi ahli
a. Menjaga rahasia jabatan.
Rahasia kedokteran adalah rahasia jabatan.
b. Membuka rahasia jabatan (memberikan keterangan ahli
demi keadilan). Pasal 179 KUHAP & Pasal 48 ayat (2) UU
Nomor 20 tahun 2004 ttg Praktik Kedokteran.
Pemeriksaan kemampuan bertanggung jawab
• Berdasarkan skema stimulus-konklusi-alternatif respons-tindakan,
untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab kita harus
melihat beberapa tahap:
• Tahap kemampuan menyadari tindakan
• Seseorang seharusnya dapat mempersepsi, menginterpretasi dan mengambil konklusi
dari stimulus pemeriksaan tingkat kesadaran (Kualitatif, kuantitatif).
• Tahap memahami tindakan
• Setelah menarik kesimpulan terhadap stimulus yang diterima, harus mengembangkan
respons dan mencoba menelaah nilai/ value respon terhadap
masyarakatdiscriminative insight (apa, mengapa dan bagaimana).
• Memilih respon berdasar pertimbangan nilai sosial, baik buruk, benar salah, dosa
pahaladiscriminative judgement
• Tahap pemilihan dan pengarahan tindakan
• Seseorang yang normal dan mampu bertanggung jawab akan bebas memilih respons dan
bebas mengarahkan respons yang dipilih sebagai suatu tindakan.
Dalam penentuan kemampuan bertanggung jawab, kita harus
menentukan hal-hal berikut
• Diagnosis: adanya gangguan jiwa saat pemeriksaan
• Diagnosis: dugaan adanya gangguan jiwa pada saat pelanggaran
hukum
• Dugaan bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagian atau
gejala dari gangguan jiwanya
• Penentuan kemampuan bertanggung jawab
• Tingkat kesadaran pada saat melakukan pelanggaran hukum
• Kemampuan memahami nilai perbuatannya, nilai risiko perbuatannya
dan kemampuan memilih dan mengarahkan kemauannya
Tingkatan kemampuan bertanggung jawab
• Tidak mampu bertanggung jawab
• Tidak menyadari, tidak memahami dan tidak dapat memilih dan mengarahkan
kemauannya (contoh: epilepsi lobus temporalis, trauma lobus frontalis pineas
cage)
• Tidak menyadari, tetapi tidak memahami dan tidak mampu memilih dan
mengarahkan kemauannya (contoh: psikosis)
• Mampu bertanggung jawab sebagian:
• Yang menyadari, memahami, tetapi tidak mampu memilih dan mengarahkan
kemampuannya (contoh: penderita kompulsi)
• Yang menyadari, memahami dan sebenarnya mampu memilih dan
mengarahkan tindakannya tetapi tidak punya kesempatan (contoh: impulsive,
gelap mata)
• Mampu bertanggung jawab penuh:
• Yang melakukan suatu pelanggaran hukum tanpa direncanakan terlebih
dahulu
• Yang melakukan pelanggaran hukum dengan suatu perencanaan terlebih
dahulu
Durham rule
• Apakah terdakwa mengalami sakit jiwa?
• Apakah tindakan/ pelanggaran terdakwa merupakan produk dari
penyakit jiwanya dan itu penting dalam sebab musabab peristiwa
pelanggaran tersebut?
• Penjelasan istilah dalam bidang keahliannya tentang bagaimana
penyakit jiwa itu telah menyebabkan terdakwa melakukan pidana.
• Penetapan gangguan mental saja belum cukup untuk menetapkan
seseorang tidak kompeten, tetapi harus dapat diperlihatkan bahwa
gangguan mental tersebut menyebabkan gangguan penilaian
(impairment of judgement).
• Defek terhadap judgement tersebut merupakan hal yang
menyebabkan ketidaksanggupan yang berhubungan dengan hal yang
dipermasalahkan.
Referensi
• Darmabrata, W; Nurhidayat, A.W. 2003. Psikiatri Forensik. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai