Anda di halaman 1dari 20

READING

PERAN TRAUMA MASA KANAK DALAM

GANGGUAN BIPOLAR
Pembimbing:

Dr. M Riza Syah, SpKJ

Disusun oleh:

Agangguan bipolarurrahman Samarqandy Rasta, S. Ked

030.15.003

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

RUMAH SAKIT JIWA DR. SOEHARTO HEERDJAN JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 23 SEPTEMBER 2019 - 19 OKTOBER 2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
kasih sayang serta nikmat-Nya, sehingga penulis sebagai dokter muda Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan Tugas Reading dengan judul
“Peran Trauma Masa Kanak Dalam Gangguan bipolar”.

Tugas Reading ini dibuat untuk memenuhi tugas dan pembelajaran dalam menempuh
kepanitieraan klinik ilmu kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto Heerjan
Jakarta. Penyusunan Tugas Reading ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. M Riza Syah, SpKJ
sebagai pembimbing dalam penyusunan Tugas Reading ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan Tugas Reading ini masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas kekurangannya. Kritik dan
saran dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperbaiki kekurangan yang
ada. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan semoga Tugas
Reading ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis
HALAMAN PENGESAHAN
READING

Judul:

PERAN TRAUMA MASA KANAK DALAM

GANGGUAN BIPOLAR

Aas M, Henry C, Andreassen A, Bellivier F, Melle I, Etain B


Aas et al. Int J Bipolar Disord (2016) 4:2
DOI 10.1186/s40345-015-0042-0

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa
Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Periode 23 September – 14 Oktober 2019 2019

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing


Ilmu Kesehatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta

Jakarta, Oktober 2019


Pembimbing

Dr. M Riza Syah, SpKJ


Peran Trauma Masa Kanak Dalam Gangguan bipolar

Abstrak
Ulasan ini akan membahas peran trauma masa kanak pada gangguan bipolar.
Studi yang relevan diidentifikasi melalui Medline (PubMed) dan basis data PsycINFO
diterbitkan hingga dan Juli 2015. Review ini bertujuan untuk memahami konsekuensi
negative stress pada masa kanak, serta kejadian trauma masa kanak-kanak dalam
konteks kekerasan biologis dan membahas konsekuensi patofisiologis jangka panjang
pada gangguan bipolar. Peristiwa traumatis pada masa kanak adalah faktor risiko dalam
terjadinya gangguan bipolar, di samping manifestasi klinis yang lebih parah seiring
waktu (terutama pada onset usia dini dapat peningkatan risiko percobaan bunuh diri
dan penyalahgunaan zat zat adiktif). Trauma masa kanak-kanak menyebabkan
perubahan fisiologis tubuh seperti menurunnya kontrol impuls, dan fungsi kognitif
yang mungkin menurun, serta kemampuan untuk mengatasi stresor pada masa dewasa
kelak. Trauma masa kanak-kanak berinteraksi dengan beberapa gen pathway biologis
[ Seperti axis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), transmisi serotonergik,
neuroplastisitas, imunitas, dan ritme sirkadian] untuk mengurangi onset timbulnya
gangguan pada usia muda atau meningkatkan risiko bunuh diri. Faktor epigenetik juga
dapat terlibat dalam konsekuensi neurobiologis trauma masa kanak-kanak pada
gangguan bipolar. Sekuele biologis seperti peradangan kronis, gangguan tidur, atau
pemendekan telomer sebagai mediator yang sangat potensial akan timbul dari efek
negatif trauma masa kanak-kanak pada gangguan bipolar, khususnya yang berkaitan
dengan kesehatan fisik. Implikasi klinis utama adalah menilai trauma masa kanak-
kanak secara sistematis pada pasien dengan gangguan bipolar, atau setidaknya pada
mereka dengan yang parah atau tidak stabil. Tantangan untuk tahun-tahun berikutnya
adalah mengisi kesenjangan antara klinis dan penelitian mendasar dan praktik rutin,
karena rekomendasi untuk menatalaksana gangguan bipolar ini masih kurang. Secara
khusus, sedikit yang diketahui tentang psikoterapi mana yang harus disediakan atau
target terapi mana yang harus difokuskan pada, serta bagaimana trauma masa kanak
bisa menjelaskan resistensi terhadap mood stabilizer.

Trauma masa kanak sebagai faktor risiko gangguan kejiwaan


WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa seperempat dari
semua orang dewasa dilaporkan telah mengalami siksaan secara fisik pada saat masa
kanak, dengan kekerasan seksual masa kanak-kanak dilaporkan pada satu dari 5 wanita
dan satu dari 13 pria (WHO Cataloging-in-Publication Data 2006). Pada individu yang
menderita gangguan mental berat, dilaporkan lebih sering mengalami trauma masa
kanak. Misalnya, dari survey Epidemiologi Nasional tentang Alkohol dan Kondisi
Terkait (National Epidemiologic Survey on Alcohol and
Related Conditions; NESARC) telah menyelidiki risiko gangguan kejiwaan pada
DSM-IV jika terjadi penganiayaan fisik masa kanak. Paparan seperti itu dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk gangguan penggunaan narkoba (OR = 1,24 [1,07,
1,44]), gangguan psikotik (OR = 1,27 [1,00, 1,61]), semua gangguan mood (OR = 1,41
[1,25, 1,60]), setiap gangguan kecemasan (OR = 1,56 [1,38, 1,77]), dan percobaan
bunuh diri (OR = 1,57 [1,26, 1,96]) (Sugaya et al. 2012).
Tiga ulasan literatur sebelumnya tentang trauma masa kanak pada gangguan
bipolar telah dipublikasikan dalam periode waktu yang singkat (Etain et al. 2008;
Fisher dan Hosang 2010; Daruy-Filho et al. 2011), semua menunjukkan asosiasi antara
trauma masa kanak-kanak dan kekerasan / keparahan gangguan bipolar. Selanjutnya,
masalah tentang trauma secara keseluruhan, dibandingkan dengan trauma subtipe
(trauma emosional, fisik dan seksual) atau gender, akan dibahas dalam ulasan ini.
Sejumlah besar literatur juga telah ditambahkan untuk menyelidiki psikologis (dimensi
psikopatologi) dan jalur biologis (khususnya, gen / studi interaksi lingkungan) trauma
sejak kecil terhadap kekerasan dan keparahan gangguan bipolar.

Trauma masa kanak sebagai faktor risiko pada gangguan bipolar


Pada 2010, Fisher mengidentifikasi hanya enam studi kuat yang
mengeksplorasi trauma masa kanak-kanak pada gangguan bipolar. (Alvarez et al. 2011;
Etain et al. 2010; Janiri et al. 2015; Watson et al. 2013). Untuk contoh, studi kasus-
kontrol menilai 206 pasien dengan gangguan bipolar dibandingkan dengan 94 kontrol
menggunakan Angket Trauma masa kanak (Childhood Trauma
Questionnaire; CTQ) (Bernstein et al. 1994) menunjukkan trauma lebih sering terjadi
pada pasien dengan gangguan bipolar daripada di kontrol (63 dan 33%). Selain itu, di
antara subtipe trauma (kekerasan emosional, fisik, dan seksual), hanya kekerasan
emosional yang memiliki efek sugestif pada gangguan bipolar (Alvarez et al. 2011;
Etain et al. 2010). Replikasi hasil ini menggunakan sampel yang lebih kecil dari 60
pasien dengan gangguan bipolar dan 55 kontrol, dinilai dengan CTQ, menunjukkan
hubungan antara skor total gangguan bipolar dan CTQ. Semua skor subskala secara
signifikan lebih tinggi pada pasien dengan gangguan bipolar dibandingkan dengan
kontrol, terlepas dari kekerasan seksual (Watson et al. 2013). Janiri et al. (2015) Pasien
gangguan bipolar tipe I menunjukkan perbedaan secara signifikan dari kontrol sehat
untuk kekerasan seksual, dan pasien tipe gangguan bipolar berbeda dari kontrol sehat
untuk pengabaian emosional. Maniglio (2013) juga meninjau 20 studi, termasuk 3407
muda dan dewasa pasien dengan gangguan bipolar di 10 negara dan tiga benua,
menyimpulkan bahwa, dibandingkan dengan orang sehat, pasien dengan gangguan
bipolar memiliki kemungkinan tinggi mengalami trauma seksual pada masa anak.
Oleh karena itu, trauma masa kanak di semua subkomponennya tampaknya
sangat terkait dengan gangguan bipolar, meskipun peran dari masing-masing subtipe
trauma (emosional, fisik atau kekerasan seksual) tetap menjadi bahan perdebatan.

Trauma masa kanak dan keparahan klinis gangguan bipolar


Ada indikasi yang konsisten bahwa peristiwa traumatis masa kanak-kanak
dikaitkan dengan berbagai klinis karakteristik gangguan bipolar yang parah, termasuk
onset awal penyakit (Garno et al. 2005), fitur psikotik (Bebbington et al. 2004;
Hammersley et al. 2003; Janssen et al. 2004; Shevlin et al. 2007), jumlah episode mood
yang tinggi (Brown et al. 2005; Nemeroff, 2004; Weber et al. 2008), dan ide serta upaya
bunuh diri (Alvarez et al. 2011), potensi bias ini diperhitungkan oleh besar studi pasien
dengan gangguan bipolar (n = 587), dengan demikian trauma masa kanak dapat
dikaitkan dengan gambaran klinis gangguan bipolar yang parah, termasuk usia onset
yang lebih dini, peningkatan risiko setidaknya satu upaya bunuh diri seumur hidup,
peningkatan jumlah episode suasana hati dan penyalahgunaan zat (Etain et al. 2013a).
Tiga hasil muncul secara konsisten direplikasi studi dalam gangguan bipolar:
(1) hubungan antara trauma pada masa kanak-kanak dan onset pada usia yang lebih
dini; (2) peningkatan risiko untuk upaya bunuh diri; dan (3) komorbid penyalahgunaan
zat . Daruy-Filho et al. (2011).
Kami telah menunjukkan efek paparan trauma dengan onset usia dini saat
gangguan bipolar (Etain et al. 2013a). sebuah Studi terbaru terhadap 132 pasien
penderita gangguan bipolar dari Tiongkok melaporkan asosiasi antara kekerasan
emosional, pengabaian dan onset usia yang lebih dini (Li et al. 2014). Post et al. (2015)
juga mereplikasi temuan ini, menunjukkan perbedaan usia pada timbul sesuai dengan
tidak adanya / adanya kekerasan verbal, fisik, dan seksual. Karena itu, paparan stres
pada masa kanak tampaknya secara konsisten menurunkan ambang batas terjadinya
gangguan bipolar.
Temuan replikasi lain telah diperoleh untuk hubungan antara trauma masa
kanak, upaya bunuh diri, dan penyalahgunaan zat dalam gangguan bipolar, setelah
temuan awal ditinjau oleh Daruy-Filho et al. (2011). Dalam sampel FrenchNorwegian
pasien dengan gangguan bipolar, kekerasan emosional dan seksual adalah prediktor
independen untuk upaya bunuh diri (OR = 1,60 [95% CI 1,07-2,39] dan OR = 1,80
[95% CI 1,14-2,86], masing-masing) (Etain et al. 2013a). Sebuah Ulasan terakhir oleh
Maniglio (2013) juga menyoroti pengaruh kekerasan seksual di masa kanak pada
tingkat keparahan gangguan bipolar, termasuk asosiasi dengan upaya bunuh diri ,
alkohol dan atau penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba. Hubungan antara
trauma masa kanak dan upaya bunuh diri atau penyalahgunaan zat mungkin tidak
spesifik untuk gangguan bipolar. sebuah studi prospektif 25 tahun yang meneliti
penggunaan obat-obatan terlarang dari 1265 Anak-anak Selandia Baru, menemukan
bahwa kekerasan seksual dan kekerasan fisik pada masa kanak adalah prediktor utama
untuk penggunaan obat-obatan terlarang pada usia 16-25 (Fergusson et al. 2008).
Temuan ini konsisten dengan temuan yang diperoleh oleh NESARC, dengan asosiasi
antara kekerasan fisik dan peningkatan risiko untuk penyalah gunaan narkoba (Sugaya
et al. 2012). Oleh karena itu dapat mengasumsikan bahwa trauma masa kanak dapat
meningkatkan risiko upaya bunuh diri dan penyalahgunaan zat dalam gangguan
bipolar.

Masalah gender dan subtipe trauma


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan gangguan bipolar
lebih sering mendapat trauma masa kanak-kanak dibanding pria (Etain et al. 2013a;
Fisher et al. 2009). Etain dan rekan (Etain et al. 2013a) menunjukkan tingkat trauma
masa kanak-kanak yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki (skor
total CTQ wanita 43,5 ± 14,8; laki-laki 40,1 ± 12,5 P = 0,025). Dalam populasi yang
sehat, trauma masa kanak juga lebih sering dialami oleh perempuan daripada laki-laki,
terutama untuk kekerasan seksual, sementara kekerasan fisik lebih sering dilaporkan
oleh laki-laki (Fisher et al. 2009). Selain itu, hubungan antara trauma dan karakteristik
klinis pada gangguan bipolar dilaporkan lebih tinggi pada wanita. Penelitian ini
termasuk asosiasi yang lebih tinggi akan timbulnya penyakit dini, meningkat risiko
untuk setidaknya satu upaya bunuh diri dan depresi episode yang lebih dibandingkan
pada pria dengan trauma masa kanak.
Masalah penting lainnya menyangkut subtipe trauma masa kanak
(dibandingkan dengan trauma pada umumnya). Kekerasan fisik dan seksual masa
kanak-kanak diindikasikan sebagai prediktor terkuat dari karakteristik klinis gangguan
bipolar. Kekerasan fisik dan seksual juga merupakan subtipe yang paling sering terjadi
trauma masa kanak-kanak, dan hanya sedikit penelitian yang telah memperhatikan
kekeasan emosional atau pengabaian (Daruy-Filho et al. 2011). Studi selama beberapa
tahun terakhir dapat menunjukkan bukti kekerasan emosional sebagai faktor risiko
yang lebih spesifik pada penderita gangguan bipolar (Etain et al. 2008, 2010)
dibandingkan subtipe trauma lainnya. Studi semacam itu telah menemukan prevalensi
kekerasan emosional yang lebih tinggi pada pasien dengan gangguan bipolar
dibandingkan dengan kontrol yang sehat, bahkan setelah dibandingkan dengan jenis
kekerasan lainnya. Sebuah penelitian oleh Martins et al. (2014) menegaskan kekerasan
emosional sebagai faktor risiko gangguan mood, termasuk pasien dengan gangguan
bipolar. Apalagi pasien dengan riwayat kekerasan emosional memiliki skor tingkat
keparahan yang lebih tinggi pada semua gejala, termasuk depresi, keputusasaan, ide
bunuh diri, kecemasan, dan impulsif. Data ini dapat menyarankan kekerasan emosional
sebagai faktor risiko spesifik untuk gangguan kejiwaan tertentu (mungkin dengan fitur
inti cemas, depresi, dan emosional). Perlu juga disebutkan di sini bahwa ini adalah
tantangan untuk memisahkan ke berbagai subtipe trauma, karena sering terjadi
bersamaan (untuk subtipe yang umum diselidiki dari trauma masa kanak, dinilai oleh
CTQ pada Tabel 1). Studi selanjutnya harus mengklarifikasi peran spesifik dari
masing-masing subtipe trauma.

Tabel 1. Subtipe trauma yang dinilai oleh CTQ


Subtipe trauma Definisi
Pengabaian emosional Kegagalan pengasuh untuk memenuhi kebutuhan
emosional dan psikologis dasar pada anak-anak, termasuk
perhatian, pengasuhan, dan dukungan
Kekerasan emosional Kekerasan verbal terhadap rasa harga diri anak atau
perilaku yang memalukan atau merendahkan yang
diarahkan pada anak oleh orang yang lebih dewasa atau
orang tua
Pengabaian fisik Kegagalan pengasuh untuk memenuhi kebutuhan fisik
dasar anak, termasuk makanan, tempat tinggal, pakaian,
keselamatan, dan perawatan kesehatan.
Kekerasan fisik Penyerangan pada tubuh anak oleh orang yang lebih
dewasa atau orang tua yang berisiko atau mengakibatkan
cedera
Kekerasan seksual Kontak atau perilaku seksual antara anak yang lebih muda
dari 18 tahun dan orang tua atau orang yang lebih dewasa.
Trauma masa kanak, dimensi psikologis, kognisi, dan kelainan pencitraan otak
pada gangguan bipolar
Afek labil dapat dikatakan sebagai ciri inti dari gangguan bipolar (Aminoff
et al. 2012; Goodman et al. 2003; Henry et al. 2008). Yang bermanifestasi Dalam afek
yang fluktuatif sebagai respon terhadap kejadian yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan, bagi penderita gangguan bipolar, peneliti telah menemukan labilitas
afektif yang meningkat pada episode manik dan campuran (Henry et al. 2003), serta
ciri-ciri selama periode euthymic (Henry et al. 2008). Sebuah studi sebelumnya telah
dikaitkan trauma masa kanak (khususnya kekerasan emosional) untuk labilitas afektif
kemudian dalam gangguan kepribadian dan gangguan bipolar (Goodman et al. 2003).
Dalam satu penelitian telah menunjukkan bahwa paparan trauma masa kanak-kanak
terkait pada labilitas afektif, dengan asosiasi terkuat kekerasan emosional (Aas et al.
2014a; Etain et al. 2008). pasien dengan gangguan bipolar dan pengabaian emosional
pada masa kanak memiliki kinerja yang berkurang dalam mengenali kemarahan,
dibandingkan dengan subyek tanpa trauma (Russo et al. 2015). Menariknya, trauma
masa kanak-kanak dikaitkan dengan peningkatan aktivasi amigdala (van Harmelen et
al. 2013), wilayah otak yang penting untuk mengatur ketakutan dan emosi (Aas et al.
2012; Gallagher dan Chiba 1996), dengan demikian memperkuat hubungan potensial
antara trauma masa kanak, perubahan emosi atau mempengaruhi aktivitas dan kelainan
pencitraan otak (sistem limbik).
Trauma masa kanak juga merupakan faktor yang berkontribusi terhadap sifat-
sifat agresi dalam gangguan bipolar (Garno et al. 2008), menunjukkan bahwa Trauma
masa kanak-kanak dapat mempengaruhi, di samping regulasi emosional, atau impulsif,
yang ternyata juga dapat meningkatkan risiko percobaan bunuh diri atau
penyalahgunaan zat (Etain et al. 2013b; Parmentier et al. 2012). Ini bisa terkait dengan
efek masa kanak trauma pada jaringan kontrol inhibitor pada otak (Elton et al. 2014),
dan harus diselidiki lebih lanjut dalam gangguan bipolar.
Pasien gangguan bipolar juga mengalami defisit dalam fungsi kognitif,
terutama di bidang memori kerja, fungsi eksekutif, perhatian, dan kecepatan
pemrosesan (Bourne et al. 2013). Mekanisme di balik gangguan ini kurang dapat
dipahami, dan berpotensi berdasarkan faktor turunan dan lingkungan. beberapa
penelitian telah menyelidiki peran potensial trauma masa kanak-kanak pada gangguan
kognitif dengan gangguan bipolar. Studi gangguan bipolar menunjukkan bahwa pasien
dengan trauma masa kanak memiliki skor IQ, perhatian, verbal memori dan fungsi
memori yang buruk (Bucker et al. 2013).

Interaksi antara trauma masa kanak dan stressor dalam gangguan bipolar
Secara singkat, paparan stres berinteraksi dengan faktor genetik otak, yang
mengarah pada kekerasan yang diukur dengan perubahan fungsi otak atau biomarker
lainnya. Stresor lebih lanjut selama masa remaja atau dewasa muda (penyalahgunaan
zat, peristiwa stres). Efek tambahan dari trauma masa kanak-kanak telah ditunjukkan
oleh peningkatan angka untuk upaya bunuh diri (Aas et al. 2014b)
Beberapa penelitian telah meneliti peran stres pada kehidupan dewasa dan
kekambuhan episode gangguan bipolar (Cohen et al. 2004; Johnson dan Roberts 1995;
Swendsen et al. 1995). Tidak ada studi yang secara khusus menyelidiki interaksi antara
trauma masa kanak-kanak dan peristiwa kehidupan dewasa untuk keparahan gangguan
bipolar.

Sistem biologis terlibat dalam asosiasi antara trauma masa kanak dan gangguan
bipolar
Mekanisme yang menghubungkan trauma masa kanak dengan gangguan
bipolar kekerasan bergantung pada mekanisme neuroplastisitas, pada BDNF ( Brain-
derived neurotrophic factor) tertentu. yang merupakan neurotropik penting untuk
pertumbuhan dan diferensiasi neuron selama perkembangan otak dan pemeliharaan
neuron pada saat dewasa. Penurunan kadar serum atau mRNA BDNF (Aas et al. 2014c;
Kauer-Sant’Anna et al. 2007) telah diamati setelah paparan peristiwa traumatis pada
gangguan bipolar. Kedua, terlepas dari diagnosa psikiatrik, Trauma pada masa kanak-
kanak menyebabkan perubahan jangka panjang pada proses peradangan (Baumeister
et al. 2015; Coelho et al. 2014; Tursich et al. 2014). Hal ini harus dipelajari pada pasien
dengan gangguan bipolar yang menunjukkan kelainan CRP (Dargel et al. 2015), dan
berbagai sitokin seperti reseptor Interleukin (IL) -2, tumor necrosis factor-α, faktor
necrosis tumor terlarut reseptor tipe 1, IL-6, dan IL-4 (Munkholm et al. 2013).
Menariknya, beberapa penulis telah mengusulkan potensi interaksi antara peningkatan
BDNF dan kadar sitokin pro-inflamasi setelah trauma (Bucker et al. 2015), dengan
peningkatan level BDNF menjadi upaya yang mungkin untuk menetralisir efek negatif
CT pada otak.
Gangguan tidur diamati pada gangguan bipolar (Geoffroy et al. 2015; Ng et
al. 2015) juga harus dipelajari dalam konteksnya trauma masa kanak. dalam populasi
umum, kesulitan masa kanak adalah faktor risiko untuk gangguan tidur orang dewasa.
Meta-analisis oleh Norman et al. (2012) mengeksplorasi konsekuensi jangka panjang
dari kekerasan dan penelantaran pada masa kanak, dan menemukan asosiasi tidak
hanya dengan kejiwaan, tetapi juga dengan gangguan fisik.

Mekanisme molekuler yang mendasari dalam gangguan bipolar


Beberapa mekanisme kemungkinan terlibat dalam memediasi konsekuensi
trauma masa kanak-kanak di tingkat molekuler, dengan interaksi antara trauma masa
kanak-kanak dan varian genetik, mekanisme epigenetik, dan panjang telomer yang
memendek.
Interaksi gen-lingkungan dalam gangguan bipolar
Paparan trauma masa kanak dianggap berinteraksi dengan berbagai
kekerasan gen untuk meningkatkan risiko gangguan bipolar. Mekanisme ini disebut
"interaksi gen-lingkungan," di mana respons fenotipik terhadap sebuah faktor
lingkungan dikondisikan oleh genotipe individu. interaksi antara trauma masa kanak
dan kandidat gen (BNDF, 5HTTLPR, TLR2, gen yang berhubungan dengan kalsium,
gen sirkadian) telah dilaporkan memengaruhi usia saat risiko serangan atau bunuh diri.
Miller et al. (2013) menunjukkan perbedaan dalam varian val66met BDNF dan
kekerasan seksual pada usia dini dalam gangguan bipolar; hanya pembawa Met yang
terpapar kekerasan seksual pada masa kanak-kanak yang memiliki usia lebih dini.
Benedetti et al. (2014) menunjukkan interaksi antara trauma dan 5HTTLPR tentang
bunuh diri dan onset usia dini pada gangguan bipolar. homozygotes untuk sedikit
varian 5HTTLPR dan trauma telah meningkatkan risiko upaya bunuh diri dan usia
lebih awal terjadi gangguan bipolar dibandingkan dengan semua kelompok lain. Etain
et al. (2015) juga mendukung interaksi antara trauma emosional dan 5HTTLPR pada
usia dini terjadi gangguan seksual (Etain et al. 2015). Oliveira et al. (2015)
menunjukkan interaksi antara kekerasan seksual dan varian TLR2 (Toll-Like Receptor
2 yang termasuk jalur imuninflamasi) pada usia saat onset gangguan bipolar.
Mekanisme molekuler epigenetik
Satu mekanisme adaptif untuk membantu memodulasi stres responsnya
adalah bertindak melalui modifikasi gen, terutama melalui mekanisme epigenetik
seperti modifikasi methylone dan histone. Keduanya pra (Seckl dan Meaney 2004) dan
perinatal (Fish et al. 2004) stres memiliki efek jangka panjang pada sumbu HPA
(Herbert et al. 2006) dalam model hewan pengerat dan manusia. Perubahan sumbu
HPA pada manusia dewasa saat terpapar trauma pada masa kanak mungkin terkait
dengan perubahan epigenetik dari regulasi stres gen, seperti gen reseptor
glukokortikoid (GR), juga disebut “gen NR3C1,” atau gen FKBP5 (Klengel et al. 2013)
(co-chaperone reseptor glukokortikoid).
Panjang telomer
Telomer adalah penutup berbasis DNA dan struktur protein di ujung
kromosom, yang kemudian diperpendek setiap pembelahan sel, panjangnya digunakan
sebagai penanda penuaan biologis (Shalev et al. 2013), serta terkait dengan diabetes
mellitus tipe II, jantung koroner penyakit dan kanker pada populasi umum (Haycock et
al. 2014; Ma et al. 2011; Wentzensen et al. 2011; Willeit et al. 2014). Panjang telomer
yang lebih pendek mungkin sebagian terkait dengan kejadian stresor awal. Ulasan
artikel menunjukkan bahwa trauma masa kanak adalah faktor dari berkurangnya
Panjang telomer (Harga et al. 2013; Shalev et al. 2013). Ada dua studi juga
menunjukkan panjang telomer yang berkurang dalam gangguan bipolar dibandingkan
untuk kontrol (Elvsashagen et al. 2011; Lima et al. 2014), sedangkan yang lain
menemukan hasil negatif.

Implikasi untuk penilaian dan perawatan klinis


Pertama, penilaian trauma masa kanak pada kasus gangguan bipolar yang
seharusnya dilakukan karena terdapat risiko meningkatnya penyakit yang makin
meningkat dari waktu ke waktu. Saat di klinik psikiatris penialian mengenai kekerasan
pada masa kanak sering terlewat (Read and Fraser 1998), aspek yang harus
diperhatikan dipertimbangkan dalam proses penilaian keseluruhan. Penilaian trauma
masa kanak sangat diperlukan untuk subkelompok pasien dengan gangguan bipolar
dengan onset dini, komorbiditas dengan upaya bunuh diri atau penyalahgunaan zat,
tingkat kekambuhan suasana hati atau ketidakstabilan suasana hati yang lebih tinggi.
Dalam praktik rutin, penilaian harus dilakukan dengan menggunakan wawancara
klinis, yang juga akan mendapat manfaat dari penggunaan kuesioner sistematis.
Laporan tentang kekerasan sering tidak memadai di klinik psikiatris (Read
and Fraser 1998), Penilaian trauma masa kanak sangat diperlukan untuk subkelompok
pasien dengan gangguan bipolar dengan onset dini, komorbiditas dengan upaya bunuh
diri atau menyalahgunakan menggunakan zat, tingkat kekambuhan ketidakstabilan
suasana hati meningkat, Dalam praktik rutin, Penilaian harus dilakukan dengan
menggunakan wawancara klinis, yang juga akan mendapat manfaat dari penggunaan
kuesioner sistematis. penggunaan CTQ mungkin relevan, dapat dilakukan dalam
penelitian klinis pada penderita gangguan bipolar, sementara juga membahas berbagai
subtipe trauma dan tidak hanya kekerasan fisik atau seksual.
Kedua, mengatasi trauma masa kanak bisa menjadi fokus tentang strategi dan
pembaharuan awal untuk membahas bagaimana mencegah individu-individu ini
mengembangkan penyakit kronis yang tidak dapat diubah melalui waktu; namun ini
hanya spekulasi. Seperti yang dibahas dalam Thompson et al. (2014). Meskipun data
yang ada mendukung beberapa intervensi psikologis dalam secara efektif mencegah
atau mengobati konsekuensi negatif dari trauma masa kanak di Indonesia umum
(desensitisasi momen mata dan pemrosesan ulang [(eye moment desensitization and
reprocessin; EMDR], trauma dengan fokus Terapi perilaku kognitif [CBT] untuk anak-
anak yang mengalami kekerasan seksual). Landin-Romero et al. (2013) dan Mueser et
al. (2008) menilai sampel dari 108 pasien dengan PTSD dan baik gangguan mood
utama (85%), gangguan skizoafektif atau skizofrenia (15%), di antaranya 25% juga
memiliki gangguan kepribadian borderline dengan menggunakan CBT.gangguan
bipolar (Aas et al. 2014a) dan impulsif (Etain et al. 2013b), psikososial tidak hanya
pengalaman traumatis, tetapi juga cacat kognitif atau disregulasi emosional terkait
dengan pengalaman traumatis..
Studi yang mengeksplorasi resistensi pengobatan pada gangguan bipolar
seharusnya juga mengintegrasikan trauma masa kanak sebagai prediktor potensial non-
respons, trauma masa kanak telah terjadi terkait dengan respon yang lebih buruk pada
resistansi-depresi (Douglas dan Porter 2012; Shamseddeen et al. 2011), gangguan
obsesif-kompulsif dan skizofrenia (Hassan dan de Luca 2015; Semiz et al. 2014), tetapi
tidak pernah diselidiki dalam gangguan bipolar.

Perspektif dan kesenjangan penelitian


Peristiwa traumatis anak adalah faktor risiko potensial, penyakit gangguan
bipolar dan makin parah dari waktu – ke waktu. Asosiasi ini mungkin tidak spesifik
gangguan bipolar, dengan trauma masa kanak-kanak yang menjadi indikator keparahan
transnosografis, seperti upaya bunuh diri atau penyalahgunaan zat. Trauma masa
kanak-kanak dapat menyebabkan kelainan dalam mempengaruhi aktifitas, kontrol
impuls dan fungsi kognitif yang dapat mengurangi kemampuan untuk mengatasi faktor
risiko lingkungan di kemudian hari (penyalahgunaan ganja, peristiwa kehidupan yang
menakutkan). Ini mengarah dengan rekomendasi absolut bahwa dokter harus menilai
trauma masa kanak, idealnya untuk setiap pasien dengan gangguan bipolar, tetapi
setidaknya untuk mereka yang lebih parah, tidak stabil atau kambuh saja.
Beberapa jalur biologis (termasuk neuroplastisitas, peradangan, sistem
sirkadian, dan sumbu HPA) memainkan peran dalam konsekuensi jangka panjang
trauma masa kanak-kanak pada risiko untuk gangguan bipolar (parah), di samping
tingginya tingkat komorbiditas somatik. Hasil awal menunjukkan bahwa gen-gen
kandidat termasuk di dalamnya untuk jalur ini membantu memoderasi pengaruh masa
kanak trauma pada onset usia dini dan bunuh diri di gangguan bipolar.
Akhirnya, ada kesenjangan besar antara pengamatan klinis tentang peran
trauma masa kanak pada gangguan bipolar, dan tidak adanya pedoman pengobatan
untuk populasi ini. Intervensi psikososial, dan implikasi trauma masa kanak di
Indonesia resistensi pengobatan (psikoterapi atau obat-obatan) adalah sama sekali tidak
ada dalam literatur. Oleh karena itu, dokter dan peneliti harus berkumpul untuk
mendorong refleksi ini akan berkontribusi pada rencana perawatan yang lebih personal
untuk mereka yang terkena trauma. Mengingat pentingnya trauma dalam prognosis dan
perjalanan pada pasien dengan gangguan bipolar, kita harus tidak hanya konten diri
kita sendiri dengan hanya memperkirakan Literatur PTSD dalam hal manajemen, tetapi
juga harus memberikan intervensi trauma berbasis bukti di gangguan bipolar.
Referensi

Anda mungkin juga menyukai