DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor
Oleh:
HASNIATI
NIM: 0430500010
i
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Motto :
vi
Kupersembahkan dengan setulus hati kepada:
Guru-guruku
Saudara-saudaraku
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
sebagai tanda rasa syukur yang tiada taranya kekhadirat Allah SWT atas segala
karunia yang telah diberikan kepada saya, baik itu berupa nikmat iman, rezeki,
baik. Saya yakin bahwa hanya dengan pertolongan Allah jualah sehingga karya
kepada semua pihak yang telah berperan penting dalam keseluruhan proses
studi saya hingga penyelesaian disertasi ini. Pertama-tama, secara khusus saya
ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga disertai rasa hormat
saya kepada kedua orang tua tercinta atas segala pengorbanan yang telah
diberikan kepada saya untuk membesarkan dan mendidik saya dengan penuh
saya yakin beliau di alam sana turut bahagia melihat anaknya ini telah berhasil
kedua mertua saya H. Syaharuddin dan Hj. Becce atas segala bantuan morilnya
kepada kami.
kepada suami saya tercinta, atas motivasi yang tak henti-hentinya diberikan
viii
kepada saya, terutama ketika saya mengalami masa-masa sulit, dia senantiasa
hadir untuk memberikan kesejukan dan menghibur hati saya sehingga memiliki
kekuatan kembali untuk melanjutkan pendidikan ini. Saya rasa, justru yang lebih
pantas mendapat gelar ini adalah dia. Terimakasih banyak papa... Dan kepada
buah hati tersayang atas keceriaan dan keluguannya yang senantiasa memberi
semangat dan inspirasi kepada saya sehingga disertasi ini dapat selesai.
berturut-turut kepada Bapak Prof. Dr. M. Irfan Islamy, MPA. Sebagai Promotor,
disamping beliau banyak memberikan ilmu dan keteladanan kepada saya, beliau
pulalah yang telah banyak memberi motivasi kepada saya terutama saat ayah
saya meninggal, beliau berkata: ”mengabdi kepada orang tua adalah suatu
ibadah tetapi menempuh pendidikan juga adalah ibadah, oleh karena itu Ibu
menyelesaikan studi ini”. Bapak Prof. Dr. Jacob Warella, MPA selaku Ko-
Promotor I, dengan tulus ikhlas telah menerima saya untuk konsultasi ketika
beliau berada di Malang dan meskipun saya mengirim naskah melalui paket pos
beliau bersedia menerima dengan baik, dan kepada Bapak Prof. Dr. Sumartono,
MS, sebagai ko-promotor II, yang juga telah meluangkan waktunya dan dengan
pula saya ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Rektor Unhas, Dekan
Fisip Unhas, Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fisip Unhas yang telah
ix
memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Universitas
Brawijaya.
sampaikan pula kepada Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi Unibraw, Prof.
Dr. Susilo Zauhar, MS dan semua dosen yang telah mengajar saya masing-
masing: Prof. Dr.M. Irfan Islamy, MPA, Prof. Drs. Solichin Abdul Wahab, MA.
Ph.D. Prof. Dr. Z.A. Achmady, MPA., Prof. Dr. Riyadi Suprapto, MS. (alm.), Prof.
Drs. Ismani, HP, MA., Prof. Dr. Syamsiar Sjamsuddin, Prof. Dr. Ir. Sumarno,
MS., Prof. Dr. Sumartono, MS.. Dan dosen tamu masing-masing: Prof. Dr. Jacob
Warella, MPA (UNDIP Semarang), Prof. Dr. Ichlasul Amal, Prof. Dr. Mochtar
Mas’oed dan Dr.Pratikno yang semuanya berasal dari UGM Yogyakarta, serta
semua pegawai PDIA FIA Unibraw khususnya kepada Sdri. Evi Hayati, S.Eg,
membantu saya mulai dari proses penerbitan surat izin penelitian sampai kepada
beserta staf yang telah membantu proses penyelesaian surat izin penelitian saya.
beserta staf yang telah meluangkan waktunya untuk saya wawancarai, yang
telah banyak membantu saya dalam memperoleh data yang saya butuhkan
Jumariah Dg. Kinang, Abd. Jabbar Dg. Ngasa, Hajrah, Spd., Sahara, Spd.
Hasmawati, SP, dan Haerati, serta saudara ipar saya Dr. Hasmawati, M.Si.
x
beserta suaminya, terimakasih saya ucapkan atas segala bantuan dan
dukungan yang telah diberikan baik berupa dukungan moril maupun material
masing kepada:, Dra. Tri Sulistianingsih, M.Si,. Dra. Etty Susilowati, M.Si,. Dra.
Suhelmi Helia, Msi., DR. Ir. H. Manggaukang Raba, MM., Dr. Hary Supriadi,SH,
MA., Drs. Heru Puji Winarso, Msi, MAP., Drs. Fadillah Amin, MAP., DR. Muklir,
SH, MAP., DR. Edwar Juliartha, S.Sos, MM., Drs. Asyhar, MM., Drs. Achmadi,
MAP., Yanuar Ramdhani, M.Ed., Drs. Imam Harjanto, MAP., Drs. Widi Harsono,
SE., M.Si., Drs. M. Aswan, M.Si., Khoiruddin, Sag. M.Si., Dr. Hasanuddin
Buchory, M.Si., Drs. Burhanuddn Noor, SE., M.Si., dan Mulyono, S.Sos., M.Si.
dan juga kepada mahasiswa PDIA lainnya yang tidak sempat penulis sebutkan
satu per satu, terimakasih saya ucapkan atas kerjasama dan dukungannya
selama ini, semoga kita semua senantiasa mengembangkan diri untuk bisa
Dan terakhir kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
proses penyelesaian studi ini, yang tidak sempat saya sebutkan namanya, saya
saya selama ini mendapat balasan berupa amal yang berlipat ganda dari Allah
SWT. Amin.
Ttd
Penulis
xi
RINGKASAN
xiii
memperoleh pelayanan SIM, sehingga muncul banyak calo dalam pengurusan
SIM. Hasil temuan penelitian ini menawarkan sebuah model perilaku pelayanan
publik yang menekankan perlunya kesetaraan antara BGD dan WM dalam
pelayanan publik. Sehingga perlu upaya pemberdayaan masyarakat dalam
pelayanan publik melalui model Citizens’ Charter. Dengan demikian, maka
temuan ini mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang New
Public Service yang menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam
pelayanan publik, karena pemilik pelayanan publik yang sesungguhnya adalah
warga masyarakat.
Akhirnya, hasil penelitian ini dapat mendorong penelitian lebih mendalam
tentang perilaku BGD dalam pelayanan publik. Sebab sebagaimana
disumbangkan oleh hasil penelitian ini, bahwa setiap perilaku yang terjadi dari
interaksi antara BGD dan WM ternyata berlangsung sangat dinamis.
Meskipun dari segi struktur, peraturan atau prosedur yang ada dapat
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu BGD dan WM, namun dalam
kenyataannya perilaku yang ada sangat ditentukan oleh etika, moral dan
kesadaran para pelaku interaksi (mutual awareness) untuk mematuhi peraturan
dan prosedur yang berlaku.
xiv
SUMMARY
xv
important society enableness in public service, because public service owner
truthfully is the citizens them selves.
Finally, results of this research can push the research more
circumstantially about SLB behavior in public service. As rendered by this
research results, each behavior resulted from an interaction between SLB and
CTs in reality takes place dynamically. Though from the structural aspects,
existing procedure or regulation can influence and direct the individual behavior
of SLB and CTs, but in reality the behavior is dominantly determined by ethics,
moral and awareness of SLB and CTs.
xvi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ii
IDENTITAS PENGUJI iii
PENGESAHAN TIM PROMOTOR iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI v
MOTTO vi
PERSEMBAHAN vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS viii
UCAPAN TERIMA KASIH ix
RINGKASAN xiii
SUMMARY xv
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR TABEL xxi
DAFTAR GAMBAR xxiii
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN, DAN AKRONIM xxv
BAB I PENDAHULUAN 1
xvii
2.6.8 Ruang Lingkup Pelayanan dan Tujuan 87
Kepolisian
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu 92
2.7.1 Penelitian tentang Gaya-Gaya Negosiasi 92
2.7.2 Penelitian tentang Bentuk-bentuk Perilaku 97
Pelayanan
xviii
5.2.1.4 Perilaku Mempersulit 200
5.2.1.5 Perilaku Mogok 203
5.2.2 Perilaku Diferensial yang Cenderung 205
Menguntungkan WM
5.2.2.1 Perilaku Menolak Membayar 205
5.2.2.2 Perilaku Mencari Gampang (Short 208
Cut)
5.2.3 Perilaku Diferensial yang Cenderung 210
Menguntungkan Pelaku Interaksi (Mutual
Benefit)
5.2.3.1 Perilaku Melayani (Serving) 211
5.2.3.2 Perilaku Memperlakukan Khusus 212
(Customization) Korps Tertentu
5.2.3.3 Perilaku Menyogok 216
xix
BAB VIII PENUTUP 334
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Warga Masyarakat yang Mengurus SIM Tiga 104
Tahun Terakhir (Periode 01-01 2004 s/d 31-12-2006)
Tabel 3.2 Nama Informan dari Warga Masyarakat dan Jenis SIM 112
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Makassar Dirinci Menurut Jenis 123
Kelamin dan Wilayah Kecamatan di Kota Makassar
Tahun 2002-2004
Tabel 4.3 Birokrat Garis-Depan yang Bertugas pada Unit Satlantas 131
Polwiltabes Makassar (Periode April 2007)
Tabel 4.4 Daftar Gaji Pokok Anggota Polri Golongan III Dengan 132
Pangkat Perwira Pertama (TMT Mulai tgl 1 Januari 2007)
Tabel 4.5 Daftar Gaji Pokok Anggota Polri Golongan II Pangkat 133
Bintara (TMT Mulai Tanggal 1 Januari 2007)
xxi
No. Tabel Judul Tabel Halaman
xxii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.4 Foto Lapangan Ujian Praktek Lingkaran dan Tanjakan 191
Gambar 7.1 Bagan Gaya-Gaya Negosiasi BGD dan WM, Bentuk- 298
bentuk Perilaku Diferensial, Dominasi Perilaku
Diferensial, dan Aktor Dominan Penentu Perilaku
Diferensial
Gambar 7.2 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FBGD Dominan 299
(Existing Model)
Gambar 7.3 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FWM Dominan 301
(Existing Model)
xxiii
No. Gambar Judul Gambar Halaman
xxiv
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN, DAN AKRONIM
xxv
persyaratan administrasi dan atau prosedur yang terabaikan akibat perilaku
diferensial. Misalnya perilaku sebagai calo adalah contoh perilaku diferensial
yang dapat mengakibatkan malprosedur karena warga masyarakat yang
mengurus SIM tidak diwajibkan untuk mengikuti semua prosedur pelayanan
SIM, terutama ujian teori ataupun ujian praktek. Dengan demikian, maka
perilaku tersebut dianggap menyebabkan malprosedur yang akhirnya dapat
menghancurkan kredibilitas institusi.
Memaknai Obyek Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada bagaimana pelaku interaksi mempersepsi obyek pelayanan yang
diberikan (dalam hal ini adalah BGD) atau yang diterimanya (dalam hal ini
adalah WM).
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Pelaksanaan Aturan adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang memandang
bahwa pelayanan yang diberikan hendaknya didasarkan pada aturan dan
prosedur yang berlaku.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Tugas Dari Atasan adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang mempersepsi
bahwa pelayanan yang diberikan adalah merupakan tugas dari atasan
mereka, sehingga dalam prakteknya, BGD yang memaknai pelayanan
seperti ini cenderung menomorduakan peraturan, sehingga kemudian
muncul pemeo dalam pelayanan publik yang mengatakan Asal Bapak
Senang (ABS).
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Sarana Kepentingan Pribadi adalah suatu
pemaknaan yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang
memandang bahwa pelayanan yang diberikan dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi terutama berupa uang. BGD yang
memaknai obyek pelayanan seperti ini cenderung berperilaku yang
mengakibatkan malprosedur.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Hak Warga adalah suatu pemaknaan yang
diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
pelayanan yang diterimanya adalah merupakan hak warga, sehingga WM
yang memaknai seperti ini cenderung menuntut pelayanan yang baik dari
BGD.
xxvi
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Kewajiban Warga adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
obyek pelayanan (dalam hal ini adalah SIM) adalah merupakan kewajiban
warga. Kepemilikan SIM adalah sesuatu hal yang wajib bagi setiap
pengendara sepeda motor, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 14
Tahun 1999 tentang LLAJ.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Jasa Terbeli adalah suatu pemaknaan yang
diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
untuk mendapatkan sebuah produk pelayanan dapat dilakukan dengan jalan
membeli pelayanan yakni dengan melalui jalan pintas seperti melalui calo,
menyogok petugas. Oleh karena itu, WM yang memaknai OP seperti ini
cenderung mencari jalan pintas untuk memperoleh pelayanan.
Metoda GGN adalah metoda yang digunakan dalam mengidentifikasi perilaku
diferensial yang muncul dalam interaksi antara SLB dengan warga kota.
OP, Obyek Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
jenis pelayanan yang diberikan, dengan mana dalam penelitian ini adalah
SIM.
Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah sebuah lembaga pemerintahan
yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
PNBP, Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah suatu jenis penerimaan yang
diperoleh negara yang berasal dari sektor non-pajak, misalnya dari biaya
administrasi pengurusan SIM.
PDf, Perilaku Diferensial, adalah suatu istilah yang dibuat oleh peneliti untuk
menunjuk kepada perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara gaya-gaya
negosiasi birokrat garis-depan dengan warga masyarakat, jadi mencakup
semua perilaku yang menjadi temuan penelitian ini, baik itu perilaku
menyimpang maupun prosedural. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diferensial diartikan sebagai “bersangkutan dengan, menunjukkan, atau
menghasilkan perbedaan”. Jadi hasil interaksi atau perkawinan dari 8 gaya
negosiasi (kerjasama, pertukaran, intimidasi, percekcokan, kompensasi,
kolusi, kecurangan, dan kompromi) melahirkan sepuluh bentuk perilaku
xxvii
diferensial (turunan) yang diberi nama: perilaku superior, mengabaikan,
sebagai calo, mempersulit, mogok, menolak membayar, mencari gampang,
melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan perilaku menyogok.
PDf-BGD, Perilaku diferensial yang titik beratnya pada BGD adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menunjuk pada setiap bentuk perilaku diferensial yang
menguntungkan birokrat garis-depan, dilihat dari segi waktu, biaya, dan
ketertekanan psikologis.
PDf-WM, Perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah pada WM adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjuk pada setiap bentuk perilaku
diferensial yang menguntungkan warga masyarakat, dilihat dari segi waktu,
biaya dan ketertekanan psikologis.
Perilaku diferensial yang interaktif adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada perilaku diferensial yang menguntungkan kedua belah pihak.
Meskipun demikian, hal ini bukan menjadi ukuran kualitas pelayanan SIM,
karena ternyata terdapat perilaku diferensial yang interaktif tetapi justru
dianggap dapat mengakibatkan maladministrasi. Contohnya perilaku kolusi,
sama-sama menguntungkan pelaku interaksi, tetapi melanggar aturan yang
berlaku atau merugikan institusi dan bahkan warga masyarakat lainnya.
Perilaku Ideal dalam pelayanan publik adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk kepada suatu perilaku dimana semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan publik tidak merasa dirugikan.
Perilaku Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku organisasi dalam memberikan pelayanan publik, yang dapat dilihat
dari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam
organisasi. Dengan mengetahui bagaimana perilaku pelayanan yang ada,
maka dapat diketahui tingkat keefektifan organisasi tersebut. Apabila
perilaku pelayanan buruk, berarti organisasi tidak efektif dalam menjalankan
tugas pelayanan kepada masyarakat. Demikian sebaliknya, apabila perilaku
pelayanan memuaskan, berarti organisasi sangat efektif dalam menjalankan
tugas pelayanannya kepada masyarakat. Jadi dengan demikian, perilaku
pelayanan tidak lain adalah perilaku organisasi itu sendiri.
Perilaku Mencari Gampang adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku WM yang berusaha mencari cara yang mudah untuk
xxviii
memperoleh SIM, misalnya dengan membayar petugas yang berperilaku
sebagai calo atau melalui calo sipil. Warga yang cenderung berperilaku
seperti ini adalah mereka memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari
sehingga tidak ingin mengikuti semua prosedur pengurusan SIM.
Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada perilaku BGD yang
memperlakukan secara khusus terhadap WM yang berasal dari golongan
tertentu seperti anggota TNI, anggota DPRD, atau wartawan. WM yang
berasal dari golongan tersebut tidak diwajbkan untuk mengikuti semua
prosedur yang ditentukan, terutama tes teori dan tes praktek. Perilaku
seperti ini akan melahirkan pelayanan yang diskriminatif dalam pelayanan
publik.
Perilaku Melayani (Serving) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku BGD yang memberikan pelayanan yang baik kepada WM
sepanjang WM telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan.
Perilaku Mempersulit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang biasanya mencari-cari alasan untuk mempersulit WM
yang ingin mengurus SIM dengan tujuan akhir agar warga tersebut bisa
mengikuti keinginan petugas.
Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk kepada perilaku BGD yang secara sengaja dan sadar menunda-
nunda untuk menyelesaikan berkas WM, dan mendahulukan mengerjakan
atau melayani WM yang dinilainya dapat memberikan keuntungan pribadi.
Perilaku mengabaikan terutama dilakukan terhadap WM yang mengurus
sendiri SIMnya. Dikatakan sebagai mengabaikan (playing ignorant) karena
BGD yang berperilaku seperti ini seolah-olah bermain-main (sistem coba-
coba) untuk mengabaikan WM yang mengurus SIM sendiri, artinya ketika
WM tidak berusaha mendesak BGD atau mencari upaya lain, maka berkas
tersebut tidak akan diperdulikan.
Perilaku Menolak Membayar adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku WM yang menolak permintaan BGD atas sejumlah uang
diluar ketentuan resmi (aturan). Warga yang berperilaku seperti ini biasanya
xxix
dari WM yang terpelajar, mengetahui dan mampu memenuhi semua
persyaratan dan prosedur pelayanan SIM dengan baik.
Perilaku Mogok adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku WM yang tidak lagi berkeinginan untuk melanjutkan proses
pengurusan SIM melalui prosedur resmi, karena terkendala oleh prosedur
yang berbelit-belit dan sulit terutama tes praktek yang tidak mampu
dilulusinya. Beberapa warga yang mogok seperti ini kemudian melanjutkan
mengurus SIM, tetapi kali ini tidak melalui prosedur resmi, tetapi melalui jasa
calo baik calo sipil maupun BGD yang berperilaku sebagai calo. Hal ini
dilakukan mengingat kewajiban setiap pengendara sepeda motor untuk
memiliki SIM adalah hal yang mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal
18 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Perilaku Menyimpang adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
semua perilaku diferensial yang tidak sesuai dengan aturan dan prosedur
pelayanan SIM.
Perilaku Menyogok adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku WM yang memberikan sejumlah uang kepada BGD dengan tujuan
untuk memudahkan urusannya.
Perilaku Sebagai Calo adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang menjadi perantara bagi WM untuk mendapatkan SIM
diluar prosedur standar, dengan kompensasi sejumlah uang. BGD yang
berperilaku sebagai calo ini umumnya mondar-mandir di luar ruangan
pelayanan untuk mencari WM yang ingin mengurus SIM. Setelah terjadi
kesepakan harga yang harus dibayar oleh WM, maka petugas tadi yang
mengurus semua prosedur untuk memperoleh SIM, termasuk menjawab
soal-soal untuk ujian teori.
Perilaku Superior adalah suatu isitilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang menggunakan kekuasaannya secara negatif untuk
memperoleh keuntungan pribadi dengan menerapkan aturan dengan ketat,
terutama tes praktek mengendarai yang formatnya dirasakan oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.
xxx
Warga Masyarakat adalah warga Kota Makassar baik yang sedang mengurus SIM
yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian maupun calon pengguna
jasa layanan dimasa yang akan datang.
SIM, Surat Izin Mengemudi adalah sebuah surat izin yang wajib dimiliki oleh
pengendara sepeda motor, yang diberikan oleh lembaga kepolisian kepada
warga masyarakat yang telah memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 tentang SIM.
xxxi
Scanned by CamScanner
BAB I
PENDAHULUAN
maka birokrat garis-depan yang berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat
publik, idealnya harus memiliki integritas yang tinggi, yang tercermin dari perilaku
ramah, efisien, adil, sopan santun, cepat tanpa prasangka atau salah urus. Dia
juga harus bisa memastikan bahwa uang publik dapat digunakan dengan wajar,
efektif dan efisien (Saleh, 2004), sehingga pelayanan publik dapat akuntabel.
manajemen publik di negara demokratis. Lebih dari dua dekade yang lalu,
negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terjadi di negara maju seperti
Amerika Serikat dan Swedia. Akibat dari menonjolnya perilaku birokrasi seperti
ini, maka sejak tahun 1809 di Swedia dibentuk Parliamentary Ombudsman, yang
membela hak-hak sipil (civil rights) dan hak-hak kewarganegaraan (civic rights).
selama ini birokrasi publik hanya menjadi instrumen atau alat bagi penguasa
maupun militer, dalam rezim Orde Baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai
cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Ini
ditandai dari setiap kebijakan publik yang diambil pada dasarnya hanya
berhubungan dengan jabatannya yang disusun dalam bentuk hirarki dari atas ke
bawah.
masyarakat semakin buruk terhadap birokrasi publik. KKN tidak hanya telah
membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh
membayar lebih mahal, tidak hanya ketika menyelesaikan urusan KTP, SIM,
paspor, dan berbagai perizinan, tetapi juga ketika mereka mengkonsumsi barang
dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti jalan tol, semen,
transportasi, dan komoditas lainnya. KKN diyakini oleh publik menjadi sumber
dari bureaucratic costs dan distorsi dalam mekanisme pasar seperti praktik
monopoli dan oligopoli yang amat merugikan kepentingan publik (Dwiyanto, dkk.
2002).
“tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi, sebaliknya
4
tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus” (Siagian,
Pelayanan Umum.
oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik. Hal ini
khususnya birokrat garis depan mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara
akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan yang masih perlu
Kementerian PAN telah bekerja sama dengan BPS untuk mengetahui unsur
penting yang mencakup berbagai sektor layanan yang sangat bervariasi. Dari
hasil penelitian diperoleh 48 (empat puluh delapan) unsur penting, namun dari
saja untuk pelayanan publik yang diberikan oleh lembaga kepolisian masih saja
lembaga kepolisian banyak kita jumpai baik melalui media massa seperti televisi,
radio, dan surat kabar, maupun keluhan yang dapat kita dengar langsung dari
selama ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat akibat perilaku dari aparat
PERC (Political and Economic Risk Consultancy) beberapa waktu lalu pernah
menilai citra polisi Indonesia sangat buruk dibanding polisi di negara lain (Khoidin
dan Sadjijono, 2006). Hal senada juga pernah dilontarkan oleh Ketua Lembaga
bahwa Polri merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia, selain DPR,
Jika dilihat dari tugas pokok kepolisian yakni untuk memelihara keamanan
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU No. 2 Tahun 2002 pasal
13), maka dapat dikatakan bahwa polisi mengemban tugas yang sangat mulia
yang harus melayani polisi. Semestinya masyarakat merasa aman dan tenteram
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Namun karena
dari aturan menjadi kontroversi saat ini. Secara empirik, banyak kalangan
menilai bahwa istilah oknum dapat digunakan jika persentase dari jumlah polisi
7
yang melakukan itu sangat rendah, tetapi jika persentasenya sangat tinggi maka
tidak dapat lagi dikatakan sebagai oknum. Dalam sebuah acara diskusi interaktif
yang dilakukan Pro 3 RRI Banjarmasin pada tanggal 12 September 2007, yang
mengambil tema tentang Citra Polisi dimata masyarakat, pada umumnya warga
masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam acara interaktif tersebut menilai bahwa
samping itu pula polisi nampaknya “bermain”. Selain terdapat calo sipil, maka
polisi juga menjadi calo dalam pengurusan SIM, sehingga warga masyarakat
yang dirugikan karena harus membayar mahal biaya pelayanan SIM. Dari
kinerja kepolisian masih sangat rendah, termasuk dalam hal pengurusan SIM.
mantan Kepala Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Makassar Ajun Komisaris Polisi
Irianto, pelayanan surat izin mengemudi (SIM) setiap hari menerima kurang lebih
tenaga dan prasarana alat yang dimiliki Polwiltabes Makassar sangat terbatas
akibatnya terjadi antrean panjang setiap hari. Kondisi demikian memberi peluang
(tujuh puluh lima ribu) untuk SIM Baru dan Rp 60.000,- (enam puluh ribu) untuk
cara membayar lebih besar yakni sekitar Rp 200 ribu untuk SIM C dan Rp 300
faktor internal organisasi seperti sarana dan prasarana pelayanan serta kualitas
moral SDM yang rendah, akan tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor eksternal
organisasi seperti pengguna jasa dalam hal ini adalah warga masyarakat yang
tidak kooperatif. Bahkan terdapat pula pengguna jasa layanan yang cenderung
ingin mencari jalan pintas dengan menampilkan perilaku sebagai “pembeli” jasa
membayar dua kali lipat biaya pelayanan dari harga yang ditetapkan (dalam
yang berperilaku sebagai “pembeli” jasa ini biasanya disebabkan karena tidak
ingin antri terlalu lama, dan tidak ingin mengikuti berbagai prosedur yang ada
seperti mengikuti tes teori dan tes praktek yang dinilainya hanya membuang-
kasus suap atau kolusi, kadang justru masyarakatlah yang menawarkan kepada
gampangnya saja dalam menyelesaikan suatu perkara. Jadi, ada sikap tahu
sama tahu antara masyarakat dengan polisi (Khoidin dan Sadjijono (2006: 12).
Dengan demikian, nampak bahwa kualitas pelayanan publik tidak saja ditentukan
9
oleh birokrat garis-depan sebagai pihak yang melayani tetapi juga sangat
kepolisian merupakan aparat pemerintah yang paling langsung dan paling sering
hubungan atau interaksi antara birokrasi garis-depan dengan warga kota perlu
Peran birokrat garis-depan (BGD) dalam hal ini adalah birokrat kepolisian
atau petugas kepolisian (istilah ini digunakan silih berganti dalam penelitian ini)
kebijakan dalam sistem pelayanan publik telah dirancang, dalam hal ini adalah
standar pelayanan publik, namun apabila birokrat yang bertugas untuk melayani
tidak mampu menjabarkan kebijakan itu secara tepat dan benar, maka pelayanan
Thoha, 1998, dan Robbins, 1999), maka perilaku seseorang itu tidak hanya
10
interaksi garis-depan dan warga masyarakat dalam pelayanan publik, antara lain
adalah yang telah dilakukan oleh Soedarmo. Hasil penelitian yang dilakukan
pelayanan izin usaha (SIUP), pelayanan izin bangunan (IMB), pelayanan akta
adanya 5 (lima) sifat yang dominan pada birokrat garis-depan yang disebutnya
sebagai orientasi individu. Kelima sifat dominan tersebut adalah sebagai berikut:
Sedangkan sifat-sifat dominan yang ada pada warga berhasil diidentifikasi oleh
Soedarmo ada 3 (tiga) yakni: penuntut, pembeli dan penurut. Hasil interaksi dari
sifat yang dominan dari birokrat garis-depan dengan warga kota menghasilkan 8
kompensasi, kolusi, kecurangan, dan kompromi (lihat tabel 1.1). Penelitian ini
penelitian ini adalah bagaimana bentuk perilaku yang muncul ketika gaya-gaya
tindakan atau respons. Respons atau tindakan inilah yang selanjutnya penulis
faktor-faktor perilaku dan psikologik yang umum ditemukan pada birokrasi garis-
depan, khususnya pada pekerja sosial. Oleh karena itu, teori yang
dikembangkan oleh Lipsky (1985) lebih relevan untuk birokrat garis-depan yang
mengkaji bagaimana perilaku yang muncul dalam interaksi antara birokrat garis-
12
1.2.2 Pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan dari setiap
1.2.3 Siapa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan dalam
1.3.1 Bentuk-bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi antara
warga masyarakat.
1.3.2 Pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan dari setiap bentuk
warga masyarakat.
1.3.3 Aktor dominan penentu perilaku pelayanan dalam pelayanan SIM di Kota
Makassar.
13
(grounded theory).
memuaskan masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
pada bagian awal tinjauan pustaka ini diuraikan secara singkat tentang birokrasi
sehingga membutuhkan waktu yang lama, biaya yang lebih besar, serta dapat
birokrasi menjadi sesuatu yang dianggap tidak efisien, tidak efektif, dan bahkan
tidak adil. Namun demikian, anggapan seperti itu tidaklah semuanya benar,
mempunyai ciri-ciri yang ideal dipandang dari aspek formalnya (Ismani, 2001).
(1) Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-
tugas impersonal jabatan mereka; (2) Ada hirarki jabatan yang jelas; (3)
Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas; (4) Para pejabat diangkat
berdasarkan suatu kontrak; (5) Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi
profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh
melalui ujian; (6) Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun,
gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posisinya dan dalam keadaan tertentu ia dapat diberhentikan;
(7) Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya; (8) Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan
berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan
keunggulan (superior); (9) Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya
maupun dengan sumber yang tersedia di posnya tersebut, dan (10) Ia
tunduk pada sistem disiplin dan kontrol seragam (dalam Albrow, 1989).
umum. Defenisi birokrasi Weberian memang tidak membuat batas yang jelas
antara birokrasi publik dan birokrasi privat, meskipun sebenarnya Weber lebih
banyak menyinggung birokrasi publik. Hal ini tergambar dari karakteristik yang
dikemukakan oleh Weber di atas, cenderung lebih cocok dengan birokrasi publik,
misalnya pada karakteristik nomor 6 tentang sistem penggajian dan hak pensiun,
yang mana pada birokrasi privat sistem penggajian terutama didasarkan pada
kinerja seseorang, dengan mana semakin baik kinerjanya, maka semakin tinggi
gaji yang diterima. Demikian pula hak pensiun, dalam birokrasi privat tidak
dikenal adanya hak pensiun bagi pegawai yang telah habis masa tugasnya,
tetap pemerintahan, yang dalam hal ini adalah pegawai negeri baik sipil maupun
16
yang dilayani. Dalam perilaku birokrasi tingkat bawah atau birokrasi garis-depan
inilah banyak kita jumpai watak asli kekuasaan negara, karena pada birokrasi
jasa layanan publik yang dalam hal ini adalah warga masyarakat.
oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik (Saleh
dan Muluk, 2005). Dan hingga sekarang menurut Denhardt & Denhardt
new public management dan new public service. Perspektif pertama yang
merupakan perspektif klasik, berkembang sejak tulisan Wilson tahun 1887 yang
administrasi. Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam
profesional.
organisasi terpadu dan bersifat hirarkhis. Gagasan ini terus berkembang melalui
17
para pakar seperti Taylor (1923) dengan “scientific management”, White (1926)
efisien, dan Gullick $ Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronim
POSDCORB-nya.
keterlibatan warga negara dalam pemerintahan perlu dibatasi; (2) peran utama
prinsip didalam ajaran birokrasi klasik tersebut. Dalam model “ideal type” (tipe
ideal) Weber, disebutkan adanya lima prinsip tata hubungan organisasi yang
rasional yakni (1) kepastian hukum, (2) tata jenjang dalam kedinasan (hirarki), (3)
Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh cirinya yang telah disebutkan
dan bernegara. Misalnya saja jika sistem promosi yang betul-betul didasarkan
18
pada sistem merit (keahlian) maka pegawai yang akan menempati posisi tertentu
akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena sesuai dengan latar
belakang keahlian yang dimilikinya, dan ini sesuai dengan prinsip the right man
on the right place. Dengan demikian, maka proses rekrutmen seperti ini akan
jauh dari praktek nepotisme. Sistem seperti ini sebenarnya telah diterapkan
Meskipun demikian, tipe ideal dari Weber di atas bukan tanpa masalah
apabila ingin diterapkan secara tegas. Hal ini terutama pada penerapan prinsip
hirarki, dimana administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada
organisasi dibuat terlalu kaku, maka dalam menjalankan tugasnya para birokrat
yang duduk dalam struktur tersebut tidak dapat mengambil diskresi sebagai
sesama anggota organisasi atau dengan pihak eksternal organisasi akan sulit
organisasi pemerintahan itu berada. Kondisi semacam ini tidak sesuai zaman
organisasi publik harus selalu melakukan kerjasama atau link and match dengan
(2000) lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya kekakuan
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal
langsung terhadap bentuk hirarki birokrasi ala Weber tersebut yang banyak
juga datang dari Warren Bennis, ia adalah salah seorang teoritisi dari aliran
menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang
baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20 (Thoha, 1984).
birokrasi klasik telah wafat. Ada berbagai aspek yang kurang diperhitungkan
didalam ajaran birokrasi klasik, seperti: proses kematangan yang terjadi pada diri
Kritikan Bennis itu didasarkan atas suatu prinsip evolusi bentuk tatanan
sistem organisasi yang sesuai dengan zamannya. Dikatakan oleh Bennis bahwa
bentuk hirarki piramida yang dikenal dalam sosiologi sebagai birokrasi dianggap
bahwa bentuk birokrasi yang organik diperlukan untuk situasi lingkungan yang
selama ini terjadi hanya untuk hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Birokrasi
lingkungan yang selalu berubah. Oleh karena itu maka dalam penyelenggaraan
21
Denhardt, 2003).
pandangan utama lainnya, yang turut berpengaruh terhadap ajaran ini. Pertama
pada dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi
juga dengan berbagai standar lainnya. Konsep utama yang ditampilkan oleh
lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama
organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilakunya selalu mengikuti
langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini, posisi
Denhardt & Denhardt (2003) bahwa “for what Simon called „administrative man,‟
the most rational behavior is that which moves an organization efficiency toward
its objective.”
22
adalah public choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru
atas perilaku administrasinya Simon (1957), dan yang lebih dekat dengan
pandangan economic man. Teori pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi
kunci. Pertama, teori ini memusatkan perhatian pada individu dengan asumsi
yang mereka putuskan. Kedua, teori ini memusatkan perhatian pada public
goods (komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik. Ketiga, teori
ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan
swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik. Selain berbasis pada teori
pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari public policy
publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat dalam
ilmu ekonomi, sehingga para analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti
23
evaluasi kebijakan sangat terlatih dengan konsep market economics, costs and
antara public administration dan public management adalah dua istilah yang
pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik tergantung pada kualitas
produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui
disiplin yang ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi pada efisiensi dan
produktivitas Untuk memainkan peran penting ini, para manajer harus diberi
kebebasan dalam mengelola (the freedom to manage) dan bahkan hak untuk
dalam gerakan di Inggris adalah dari Savas (2000) dalam karyanya “Privatization
24
berpengaruh dalam proses reformasi administrasi publik antara lain adalah karya
terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer publik berubah karena
Dengan cara seperti ini, maka manajer publik dapat memusatkan perhatiannya
NPM ini bukannya tanpa kritik. Kritik yang keras berasal dari banyak pakar
seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird &
25
Loffler (2003), dan terakhir dari Denhardt & Denhardt (2003). Mereka
warga negara (citizen), jadi selayaknyalah warga negara tidak hanya dipandang
melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Oleh karena
itu, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai customer tetapi sebagai citizen.
perspektif baru administrasi publik yang disebut dengan New Public Service
(NPS). Dalam perspektif NPS ini, posisi warga negara harusnya ditempatkan di
Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public
yang dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt sebagai berikut: (1) serve citizens,
not customers; (2) seek the public interest; (3) value citizenship over
accountability is not simple. (6) serve rather than steer, dan (7) value people, not
Dalam menjalankan tugasnya, service man atau civil servant atau public
tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk
menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai
yang mana dalam melakukan tugasnya seringkali para SLB mengambil kebijakan
yang memberikan pelayanan SIM juga termasuk dalam konsep birokrat garis-
yang bekerja pada beberapa sektor publik yang penting dalam berbagai sektor
(Winter, 2002). Mereka yang tergolong kedalam SLB menurut Lipsky adalah
guru, polisi, dokter, perawat, pengacara, hakim, pekerja sosial, dan lain-lain.
merupakan bagian dari organisasi dan sekaligus sebagai agen publik yang
berfungsi sebagai pendorong atau terdepan dan turut memberikan andil terhadap
aktor yang sangat penting dalam proses kebijakan dan para birokrat garis-depan
masyarakat. Menurutnya bahwa sikap dan perilaku SLB dipengaruhi oleh norma
pekerjaan mereka cenderung mempunyai pola yang sama dan bersifat rutin,
misalnya guru atau pengajar, datang pagi mengajar sampai jamnya pulang,
demikian pula dokter, polisi, dan lainnya. Para petugas ini, tingkat
yang berada pada level paling dasar dari suatu struktur organisasi birokrasi,
kelompok birokrasi seperti ini adalah pada umumnya memiliki keahlian yang
cukup strategis dan bukan hanya melaksanakan tugas formal rutin, tetapi juga
umum. Kinerja organisasi oleh karena itu dalam perspektif dan lingkup
publik.
menyangka bahwa apa yang dilakukan dan diputuskan oleh birokrat garis-depan
dari apa yang telah dirumuskan sebelumnya. Biasanya disinilah peran dari
berkaitan dengan dua hal: (1) berkaitan dengan tugas mereka dalam melayani
karena pedoman yang tidak akurat, tidak jelas, dan bahkan tidak konsisten.
Diskresi ini bisa langsung dilaksanakan atau dengan jalan membuat petunjuk
lebih lanjut yang ditujukan kepada birokrat garis depan (Edwards, 1980). Oleh
karena itu, menurut Lipsky (1980) bahwa meskipun birokrat garis depan memiliki
tidak dapat dikatakan sebagai pekerja yang terbebas dari aturan, perundangan
dan arahan dari atas, atau norma-norma dan praktek-praktek dari kelompok
yang baik maka diskresi ini akan memunculkan disposisi. Namun disatu sisi,
aspek seperti jumlah dan variasi kelompok masyarakat yang dilayani, reaksi
kelompok sasaran yang demikian cepat, masalah yang berkaitan dengan sistem
kontrol program. Namun pada sisi lain, pada umumnya para birokrat garis-depan
merasa bahwa sumber daya yang tersedia tidak mampu untuk mencukupi
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, para birokrat garis
memaksakan berbagai biaya prikologis yang lain bagi klien (Winter, 2002).
dan tidak bisa dicapai, atau kegiatan-kegiatan yang memerlukan tindak lanjut.
Dengan demikian, maka pada dasarnya birokrasi garis depan tidak ingin
lebih serius.
Lebih lanjut teori ini berpendapat bahwa untuk tidak memperlakukan klien
rutin melalui pola prioritas diantara klien. Mereka melakukan pembagian klien
kedalam kategori standar yang agak sulit dan menggunakan aturan yang kaku
sebagai konsep terapan yang seringkali dipilih oleh birokrat garis depan (atau
Perilaku coping yang lain adalah menguasai klien dalam rangka membuat
yang lebih sinis, dan memodifasi tujuan-tujuan program agar lebih mudah
menguraikan argumen teoritisnya. Oleh karena itu, maka teorinya tersebut tidak
tersebut dapat terjadi, dan mengapa dendam atau hujatan terhadap pelaku
coping juga ditemukan pada beberapa birokrat yang tidak melakukannya. Dalam
birokrasi pemerintah atas pelayanan yang mereka lakukan, padahal tidak semua
yang dilayaninya. Masih banyak juga birokrat garis depan yang menjalankan
Secara empirik, dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan peran
peningkatan pelayanan;
depan kita tersebut, telah mendorong berbagai pihak terutama pimpinan birokrasi
pelayanan publik.
suatu proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak
mempunyai kepentingan pada organisasi sesuai dengan aturan pokok dan tata
publik, dalam hal ini adalah pegawai pemerintah atau pegawai publik atau juga
pengguna jasa pelayanan publik itu sesungguhnya tidak hanya mereka yang
pelayanan publik di masa datang termasuk kategori ini (Abdul Wahab, 1977
Kotler (1992) dalam Jurnal Litbang Jawa Timur, (2003). membuat beberapa
pelayanan publik sebagai berikut: (1) sesuatu yang tidak berwujud (intangible),
(2) satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sama dengan bentuk
pelayanan kepada orang lain ((variability), (3) proses produksi dan distribusi
nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli, (5)
suatu benda.
dikutip oleh Zauhar (1996) dalam Wibisono (2002) adalah sebagai berikut:
harga pasar.
responsif dan adaptif sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti
masa depannya sendiri (Effendi, dalam Widodo, 2001). Pelayanan publik yang
layanan.
berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status
pelayanan publik agar dapat berkualitas. Islamy (2000) dalam Wibisono (2002)
masyarakat, yakni:
dijangkau oleh setiap pengguna pelayanan baik dari segi tempat, jarak dan
sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat dan mudah dijangkau oleh
pengguna layanan.
5. Prinsip akuntabilitas, yakni bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang
keluhan dan keinginan mereka, (e) wujud fisik (tangibility) yakni penampilan dan
Zeithaml (1990), yakni terdiri atas: (1) tangible, kondisi fisik sebagai
layanan yang tepat dan dapat diandalkan; (3) Responsiveness, tanggung jawab
keterampilannya; (5) Courtesy, daya tangkap dan sikap aparat yang baik
sehingga memenuhi kepuasan pelanggan; (6) Credibility, sikap jujur dan dapat
dipercaya; (7) Security, jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan; (8)
masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma
terdiri dari:
4. Asas keterbukaan;
39
5. Asas proporsionalitas;
7. Asas akuntabilitas.
1. Transparansi, yakni terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak
dimengerti.
peraturan perundang-undangan;
5. Kesamaan hak, yakni tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku,
4. Akurasi, yakni produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan
sah.
8. Kemudahan akses, yakni tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang
dengan ikhlas.
41
ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang
tugas dan fungsinya secara profesional, produktif, transparan dan bebas dari
dan dipahami oleh setiap penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini adalah
(1970) dalam Parsons (2001) dapat dilihat dari apakah warga masyarakat puas
dengan barang dan jasa yang diberikan oleh sistem birokrasi, yakni sejauh mana
oleh warga masyarakat atas pelayanan yang tidak sesuai dengan harapannya,
yakni: exit, voice, dan loyalty. Respons exit dilakukan ketika konsumen tidak
42
puas dengan pelayanan barang atau jasa yang diperolehnya dengan jalan
tetapi, apabila pelayanan itu bersifat monopoli seperti pelayanan yang menjadi
obyek penelitian ini, respons exit (menghindari) semacam ini tidak akan
mungkin dilakukan karena tidak ada pilihan lain dari warga untuk memperoleh
Menurut Hirschman, bersuara bagi warga masyarakat atau konsumen ini adalah
bertujuan untuk mengubah praktek, kebijakan dan output dari perusahaan yang
produk atau jasanya mereka beli, atau mengubah organisasi tempat mereka
mungkin beralasan bahwa jika “setiap orang” keluar dari pelayanan, masyarakat
dan karenanya mereka memilih opsi voice ketimbang opsi exit dan tetap loyal
pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan
dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk menilai
keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem
Salah satu pendekatan untuk memahami kualitas pelayanan publik dari sisi
mempengaruhi ketiga dimensi tersebut secara lebih rinci disajikan dalam gambar
2.1.
44
Dimensi Kognitif:
1. Kesadaran akan masalah
2. Kesadaran akan sumber yang
diperlukan
3. Pengetahuan akan terse-
dianya sumber
4. Pengetahuan tentang
bagaimana mendapatkan
sumber
5. Derajat kepercayaan diri
untuk memperoleh sumber
Struktur Sosial:
Jenis kelamin
Umur Dimensi Perilaku:
Status 1. Kemampuan berkomunikasi
Ekonomi 2. Pola perilaku yang sesuai AKSES
Pekerjaan 3. Dinamika transaksi sosial
4. Keberhasilan peranan
Kultur politik
Kelas sosial
Struktur politik Dimensi Institusional:
1. Kekakuan prosedur
2. Persamaan perilaku
3. Orientasi thd klien
4. Tujuan program
5. Derajat sentralisasi
Sumber: Hassan, Riaz, (1986) dalam Jurnal Litbang Jawa Timur (2003)
Dari gambar 2.1 di atas, nampak bahwa salah satu dimensi yang
inilah yang telah dikaji dalam penelitian ini karena dari berbagai hasil penelitian
yang telah dilakukan, dimensi inilah yang sangat menentukan kualitas pelayanan
publik yang diterima oleh masyarakat. Dimensi perilaku yang digunakan dalam
kajian ini akan dikembangkan lagi berdasarkan teori perilaku yang dikemukakan
oleh berbagai ahli, sebagaimana yang akan kami uraikan pada bagian berikut ini.
45
menganalisis perilaku individu birokrat garis-depan dalam hal ini adalah birokrat
dalam menjelaskan tentang perilaku birokrat kepolisian ini adalah teori perilaku
oleh beberapa ahli. Oleh karena itu, maka dalam subbagian ini akan diuraikan
secara lebih rinci tentang perilaku individu dalam organisasi sebagai salah satu
studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku
analisis yakni pada level: individu, kelompok, dan organisasi formal (Ivancevich,
dkk. 1996).
perorangan, kelompok, dan efek dari struktur pada perilaku agar organisasi
yang sangat penting bagi seorang pimpinan organisasi. Atas dasar tersebut dan
mengacu kepada tingkatan atau level analisis perilaku organisasi, maka dalam
penelitian ini menekankan pada analisis individu yakni perilaku birokrat kepolisian
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi atau birokrasi.
pelayanan SIM ini, tidak akan terlepas dari variabel lingkungan internal
organisasi dan juga variabel lingkungan eksternal organisasi sebagai faktor yang
pelayanan publik, maka dalam interaksi ini terdapat dua pihak yang terlibat yakni
birokrat garis-depan dan warga kota selaku pengguna jasa pelayanan. Oleh
karena itu, maka perilaku birokrat garis-depan yang melayani masyarakat bukan
saja ditentukan oleh internal individu birokrat, akan tetapi juga sangat
dipengaruhi oleh faktor eksternal yakni masyarakat itu sendiri. Disamping itu,
dalam interaksi ini juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi kedua pihak
itu, keduanya (baik birokrat maupun masyarakat) juga tidak dapat mengabaikan
Gibson, dkk. (1996) berpendapat bahwa: (1) perilaku adalah akibat, (2)
perilaku diarahkan oleh tujuan, (3) perilaku yang bisa diamati dapat diukur, (4)
perilaku yang tidak dapat secara langsung diamati (misalnya berpikir dan
dimotivasi/didorong.
Secara umum, faktor yang dapat mempengaruhi perilaku individu ada dua
yang eksak sama sekalipun melakukan pekerjaan yang sama. Terlebih lagi
sama. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa dimensi individu
atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan
dkk. 1996).
seorang abdi, bukannya seorang tuan. Persepsi tersebut selama ini tidak
seperti merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan oleh orang banyak,
demikian, maka kepribadian dapat dimaknai sebagai jumlah total dari cara-
berinteraksi dengan yang lain. Hal tersebut paling sering digambarkan dari
itu, maka kita hendaknya tidak melihat pada pola-pola kepribadian secara
sendiri-sendiri.
pemberian SIM, maka telah dibuat beberapa aturan yang bertujuan untuk
pelayanan publik dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparat birokrasi
tersebut memiliki ciri rasional, obyektif, tanpa pamrih, dan netral. Aparat
perilaku yang lebih intens sebagai hasil dari tingkat motivasi yang lebih
pula sistem dokumentasi yang formal yang dimiliki oleh hampir semua
yang dimainkannya.
Demikian pula imbal jasa atau insentif dan penghargaan. Satu hal
sistem insentif atau penggajian ini dapat bertujuan untuk: (1) menarik orang
untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Yukl (1989) dalam Setyorini
tingkat lokal, dan budaya masyarakat. Dalam level makro (nasional) yakni aturan-
aturan normatif dan kebijakan seperti melalui TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan
UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Kolusi Korupsi dan Nepotisme, UU No. 2/2002 tentang Polri, Keputusan Menteri
Sedangkan dalam level mikro (lokal) seperti mekanisme pelayanan SIM yang
organisasi.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa perilaku individu birokrat garis-
kepada masyarakat sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang bukan saja
orang yang berada di dalamnya (Thoha, 1991). Aliran kebudayaan (kultur) ini
menganalisa organisasi.
dalam sejumlah literatur oleh berbagai penulis (Mallak dan Kurstedt, 1994;
Morris, 1992; Ouchi, 1981; Rogers and Ferketish, 1993, Westbrook, 1993) dalam
Park, Rieberre dan Schulte (2004). Dua contoh defenisi sebagai berikut:
“Routinezed ways of doing things that people accept and live by.
Organizations have norms and values that influence how members
conduct themselves. These norms may prevent members from
applying a maximum effort or may encourage them to do so” (Blake
and Mouton, 1985).
“the ways things are done in an organization” (Park, Rieberre dan Schulte, 2004).
Jadi sebenarnya tata cara yang selalu dilakukan oleh anggota suatu organisasi
dalam organisasi tersebut. Dengan demikian maka budaya organisasi tidak lain
organisasi.
kelompok dalam organisasi (Gardner, 1999, Kilmann, dkk., 1985). Budaya bagi
pengarahan, dan mobilisasi. Oleh karena itu maka budaya organisasi perlu
tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada didalamnya dan
(Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu
kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian
sikap, nilai, dan kepercayaan (Haugh and McKee, 2004). Thoha menambahkan
lagi dengan asumsi, persepsi, norma, dan pola sikap (Thoha, 1991). Jadi
kebudayaan ini terdiri dari segala sesuatu yang tidak bisa diraba (intangible
things). Kesemuanya itu tidak dapat dilihat dan diamati secara kasat mata, akan
dan aktivitas organisasi yang dapat dilihat dan diamati oleh mata kepala kita,
baik secara sadar atau tidak sadar, dan akhirnya dapat pula mempengaruhi
1989; Schein, 1990 dalam Lock and Crawford, 2004). Deal dan Kennedy (dalam
sekali dalam area seperti komitmen dan kinerja organisasi. Para peneliti tentang
budaya organisasi juga telah mengusulkan kajian pada jenis dan bentuk budaya
yang berbeda.
berbeda (Lock, and Crawford, 2004). Nilai, sikap, dan kepercayaan pribadi
merupakan refleksi dari budaya dimana orang tersebut berada, sehingga mereka
57
yang memiliki wilayah tempat tinggal yang berbeda akan mempunyai budaya
wilayah Barat dan Timur (Chen, 2001; El Kahal, 2001; Hofstede, 1980, 1991
Dalam konteks yang lebih mikro, yakni organisasi, maka hal ini senada
kebudayaan, disebabkan karena : pertama, sesuatu yang telah hidup dan selalu
berulang aktivitasnya bagi satu organisasi, belum tentu bisa timbul dan terjadi
Kedua, suatu budaya dalam budaya organisasi dibentuk oleh banyak faktor
Deal dan Kennedy (1982) dan Peters dan Waterman (1982) dalam (Lock,
Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada
generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya
organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun
dapat membedakan status sosial seseorang seperti “karaeng” atau “puang” yang
adanya bentuk atau tipe budaya yang berbeda. Sebagai contoh Goffee dan
terdapat tiga tipe utama dari budaya organisasi (yaitu bureaucratic, supportive
dan innovative). (dalam Lock, dkk., 2004). Dalam kajian ini secara khusus
hanya akan mengkaji budaya birokratik, terutama budaya pelayanan yang telah
akan berbeda dengan daerah lainnya, sehingga pada akhirnya akan berbeda
yang sama dengan tugas pokok kepolisian, sehingga fungsi kepolisian juga
pemerintahan dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem
ketatanegaraan.
undangan lainnya. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara hukum,
Kedudukan kepolisian tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, lain
halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang diatur
dalam pasal 10 UUD 1945, yakni “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
61
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Akan tetapi
ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dimana dalam Undang-undang ini lembaga
sesudah pengakuan kedaulatan timbul dua persoalan yang saling berkait tentang
berwenang atas angkatan kepolisian. Dalam hal ini Kementerian Kehakiman dan
bawah wewenangnya.
Kementerian Keamanan yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Tarik menarik terjadi
62
sejajar dan dalam satu tingkatan dengan lembaga-lembaga lain, seperti Majelis
yang satu dengan yang lain. Disisi lain, kedudukan kepolisian di bawah presiden
tanggung jawab Presiden, karena fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
UUD 1945
PRESIDEN (Eksekutif)
POLRI
Presiden sebagaimana digambarkan dalam bagan di atas, hingga saat ini masih
terus berlanjut. Perdebatan tersebut masih mencari format yang tepat untuk
memposisikan lembaga kepolisian pada tempat yang ideal sesuai dengan sistem
tersebut diposisikan.
pada konstitusi, yakni diatur dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, dan
kesatuan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Landasan yuridis susunan
64
kepolisian ini diatur dalam pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Keputusan
wilayahan;
Kapolri No. Pol.: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 dan No. Pol:
seperti di Yunani istilah polisi disebut sebagai “politeia”, di Inggris disebut “police”
adalah merupakan suatu nama pos polisi di wilayah kota dan chuzaisho adalah
Dalam bahasa Yunani, istilah polisi telah lama dikenal dengan nama
“politeia”. Istilah tersebut digunakan sebagai titel buku pertama Plato, yakni
“Politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai
dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus
dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari, 1995). Istilah tersebut
bentuk negara, yaitu negara polisi (polizeistaat) yang artinya negara yang
negara polisi ini kemudian dijalankan secara absolut. Di dalam negara polisi
tersebut dikenal dua konsep polisi (polizei), yakni sicherheit polizei yang
berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan verwaltung polizei atau
Azhary, 1995). Negara polisi ini sebagai awal timbulnya pemikiran negara
hampir menyeluruh di dunia Eropa. Sehingga dalam negara polisi ini dikenal
dengan slogan berbunyi “sallus publica suprema lex princep legibus solutus est”
ditangan raja. Hal ini dapat dicermati dari konsep L‟etat c‟est moi, negara adalah
menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh
dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negara Indonesia
sebagai:
Dari defenisi tersebut satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa polisi
dimaknai sebagai bagian dari organisasi pemerintah dan sebagai alat pemerintah
yang menjalankan tugas pengawasan dan secara aktif mencari pihak-pihak yang
Sementara itu, menurut Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of
History, bahwa “police in the English Language came to mean any kind of
istilah Polisi mempunyai dua arti, yakni polisi dalam arti formal yang mencakup
perundang-undangan.
promotion of public safety, and the prevention and detection of crime” (Garner,
which is charged with the preservation of public order and transquality, the
promotion of the public health, safety and morals and the prevention, detection,
kejahatan.
tersebut bahwa polisi sebagai badan pemerintah yang diberi tugas memelihara
68
lembaga atau badan yang harus menjalankan tugas pemerintahan, dan sebagai
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal
1 ayat 1 menyatakan : “kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
fungsi polisi dan lembaga polisi. Jika dicermati fungsi polri sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri tersebut fungsi
kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan
tentang fungsi dan lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini
(dalam Khoidin dan Sadjijono, 2006), polisi adalah aparat penegak hukum
Pengertian ini lebih menekankan kepada makna bahwa polisi sebagai penjaga
simbiosa yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, laksana ikan dengan
airnya. Begitu erat dan mesranya hubungan tersebut, sampai ada beberapa
masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perilaku dari segelintir “oknum”
mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau
lembaga pemerintah yang ada dalam negara, dan istilah “kepolisian” adalah
sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga
sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab
depan, maka dirasa perlu untuk memberikan paparan singkat tentang kedudukan
berada dalam satu atap yakni birokrasi pemerintahan. Blau dan Meyer (2000)
70
didalamnya pejabat tentara dan birokrasi militer. Dengan demikian dapat ditarik
birokrasi. Oleh karena itu lembaga kepolisian karena menerima gaji dari
bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
ini lebih menekankan pada fungsi yang terakhir yakni pelayanan kepada
sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (2) point c UU No. 2/2002. Pasal
kendaraan bermotor.
71
dibentuk satuan yang khusus menangani pelayanan SIM. Untuk kondisi Kota
lalu lintas) yang berada dibawah birokrasi Polwiltabes (Kepolisian Wilayah Kota
Makassar.
keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum ini merupakan salah satu fungsi
karena itu, maka lembaga kepolisian yang ada di daerah sebenarnya tidak
ketertiban karena tugas tersebut juga menjadi kewajiban dari pemerintah daerah.
Kecamatan. Walaupun ada level yang tidak dapat digambarkan karena sebagai
pemegang kendali dan koordinasi, yakni Kepolisian Wilayah (Polwil) serta level
yang terdapat pada kota besar seperti Kepolisian Wilayah Kota Besar
Polwil/Polwiltabess
2002 tentang Polri, bahwa “hubungan dan kerjasama di dalam negeri dilakukan
kedalam MOU No. 119/1527/SJ Tahun 2002 dan No. Pol.: B/2300/VII/2002
Jika dilihat dari segi kewajibannya, maka salah satu kewajiban Kepala
Republik Indonesia. Masyarakat disini meliputi semua orang yang tinggal dan
melibatkan dua unsur lembaga ini dapat tertuang secara jelas dalam satu visi
Peraturan Daerah;
menjadi anggota Polri yang dimaksud adalah orang per orang yang telah
adalah badan atau lembaga pemerintah yang merupakan bagian dari organisasi
tentang Kepegawaian, dimana Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil,
Tahun 2002 tentang Polri, bahwa anggota kepolisian adalah pegawai negeri
pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di sisi lain pegawai negeri pada
yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh yang berwenang dan
diserahi tugas dalam jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan
76
pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, setiap
anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak, dimana
besar kecilnya gaji anggota kepolisian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 14
Bripda, dengan gaji berkisar antara 1,5 juta rupiah sampai dengan 2 juta rupiah.
2.6.5 Recruitment
anggota yang dinilai masih kurang atau belum mencukup rasio kepolisian atau
didasarkan pada asumsi bahwa dalam batas waktu tertentu anggota kepolisian
akan mengalami masa pensiun (purna bhakti) ataupun berhenti dari dinas
77
personil secara kuantitatif dan menambah kekurangan yang ada, maka perlu
hal ini dilihat dari segi adanya sistem pengakhiran dinas (purna bhakti).
anggota sebagai suatu keharusan dan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan.
berikut:
mengenai usia minimum untuk diperbolehkan kerja (vide: pasal 2 ayat (3) dan
pasal 3 ayat (1) UU No. 20/1999), calon berusia 17 tahun 7 bulan. Persyaratan
dalam pekerjaan dan jabatan yang disahkan dalam UU No. 21 Tahun 1999 dan
2006).
Kapolda, sedangkan untuk AKPOL dan PPSS ditentukan melalui bidang Komisi
Untuk pemilihan untuk menjadi anggota Polri yang tepat untuk bertugas di
kepada Kapolda dengan prinsip “local boy for local job” untuk calon anggota Polri
yang merupakan bibit unggul warga masyarakat untuk dididik melalui pendidikan
Brigadir Poliri.
Akpol untuk diangkat menjadi anggota Polri berpangkat Inspektur Polisi Dua; (3)
Untuk dapat diterima dan diangkat menjadi anggota Polri, setiap warga
sama sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan pembentukan yang diikutinya.
Polri.
80
2.6.6 Reward
negara dan bangsa. Bentuk reward ini menjadi salah satu model yang dinilai
1. Bintang, terdiri dari: (a) bintang Gerilya, (b) bintang Bhayangkara Nararya
Pembela Timor-Timur.
a. Bintang Gerilya
kepada tanah air dan bangsa selama agresi Belanda I dan ke II dengan
terlibat dalam gerakan ekstrim kiri atau ekstrim kanan dan ekstrim lainnya.
b. Bintang Bhayangkara
menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, dan Anggota Polri
yang telah mengabdikan diri dalam dinas Polri selama 24 tahun terus menerus
c. Satyalencana Bhakti
prajurit Polri yang gugur dalam menjalankan tugasnya sebagai akibat langsung
d. Satyalencana Teladan
82
dalam waktu perang atau dalam operasi selama satu tahun berturut-turut, atau
yang lain.
e. Satyalencana Kesetiaan
prestasi kerja serta berkelakuan baik selama 2 (dua) tahun terus-menerus atau 3
g. Satyalencana Seroja
Tenggara Timur khususnya dan kestabilan wilayah Republik Indonesia, dan atau
diberikan kepada anggota Polri semasa periode antara tanggal 21 Mei 1975
Komando) dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur sampai selesai tugas.
Diberikan kepada anggota Polri yang berjasa dalam tugas kepolisian dan
Diberikan kepada anggota Polri yang aktif turut serta dalam kejadian-
kebijaksanaan.
tahun dan 30 tahun lebih secara terus menerus terhadap Negara Republik
Daerah berwenang memberi penghargaan kepada anggota Polri atau PNS yang
memiliki loyalitas yang tinggi, dedikasi tinggi, disiplin dan tekun dalam
maupun secara Tim/kelompok. Selain itu, penghargaan dari Kapolda ini dapat
pula diberikan kepada anggota Polri dan PNS yang berhasil memajukan dan
Daerah (Kapolda) tersebut tidak secara reguler, namun secara insidentil, artinya
diberikan sewaktu-waktu ada prestasi dari anggota Polri maupun PNS Polri.
2.6.7 Punishment
b. Pelanggaran Kode Etik Profesi, adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh
kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun, mutasi yang bersifat demosi,
Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni penjatuhan Hukum Disiplin diputus melalui
sidang disiplin dan merupakan kewenangan Ankum dan atau Atasan Ankum
Jika penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat
Polri sesuai degnan lingkup tugas dan kewenangannya. Jenis sanksi hukuman
yakni pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang diatur dalam pasal 3, pasal
tanggal 1 Juli 2003 tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Polri. Norma
etika Polri dirumuskan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/32/VII/2003
tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Profesi Polri. Di dalam Kode Etik Profesi
Sanski pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri adalah sanksi moral
yang dirumuskan dalam pasal 17 Kep Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003, berupa:
kepolisian.
melalui sidang Komisi Kode Etik. Komisi Kode Etik dibentuk di lingkungan Polri
Polri yang memiliki sifat otonom yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dengan
surat keputusan oleh pejabat Polri yang berwenang. Sidang Komisi Kode Etik
2003 tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
yang melanggar akan dijatuhi hukuman atau sanksi melalui Peradilan Umum. Hal
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dengan demikian setelah keluarnya TAP
MPR dan Undang-undang Kepolisian dimaksud, maka anggota Polri tunduk pada
yuridis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri dirumuskan dalam pasal
Umum bagi anggota Polri tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 3
Anggota Polri.
negara kita, mandat (tugas) yang dibebankan kepada lembaga kepolisian sejak
Kendatipun ada tugas lain yang dibebankan kepada kepolisian, namun tidak
akan pernah terlepas dari kedua tugas pokok tersebut. Misalnya saja tugas
yang tidak jauh berbeda dengan konsep pelayanan masyarakat yang biasa
lembaga kepolisian adalah juga salah satu unsur pelayan masyarakat (public
servant), namun ketika kita berbicara tentang tugas Polri, istilah public servant
obyek yang dilayani (masyarakat), tanpa memberikan batasan pada apa yang
pelayanan masyarakat, maka Polri bisa dituntut oleh setiap warga masyarakat
untuk melayani segala sesuatu yang mungkin diluar bidang tugas dan
misalnya mereka harus menghabiskan sekitar dua pertiga waktu dan tenaganya
untuk pekerjaan yang bukan menjadi kewenangannya atau tugas pokoknya yang
2000). Istilah demikian juga disalahartikan oleh anggota Polri di lapangan, yang
yang berbeda tentang peranan antara melayani (polisi) dan yang dilayani (warga
masyarakat).
adalah “jasa” (fungsi kepolisian). Ini berarti bahwa pelayanan oleh polisi kepada
89
tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan wewenang
kepolisian.
ayat (1) lebih rinci disebutkan bahwa tugas pokok kepolisian adalah:
peraturan perundang-undangan.
pengamanan swakarsa;
pasal 13 dan 14 ayat (1) di atas, maka dalam Pasal 15 ayat (1) disebutkan
kepolisian;
masyarakat lainnya;
internasional;
kepolisian.
kepolisian sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 15 ayat (2) di atas,
maka yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah point c yakni pelayanan
terdapat ada dua penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan gaya-gaya
pelayanan masyarakat di Kota Malang yakni pelayanan ijin usaha, pelayan Kartu
Kelahiran. Berdasarkan pihak mana yang lebih dominan dalam proses interaksi
maka Soedarmo (1998) berhasil mengidentifikasi tujuh tertib hasil negosiasi yang
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) gaya negosiasi yang relatif
berpusat pada petugas, mencakup intimidasi, kolusi, dan kompensasi, (2) gaya
kecurangan dan percekcokan, dan (3) gaya negosiasi yang bersifat interaktif,
kewenangan yang dimiliki serta pengetahuan akan “kelemahan” pada diri warga
secara keorganisasian tidak disetujui dan tidak sah. Secara empiris, gaya
pantas untuk mereka tolak. Berbeda dengan gaya negosiasi korupsi, pada gaya
ketentuan retribusi resmi, akan diterima dengan baik oleh petugas. Jadi,
1998).
yang bertujuan mendorong, mengganggu, dan bahkan memaksa orang lain. Bila
orang yang terganggu tersebut memilih jalan penyelesaian yang paling pintas
(Soedarmo, 1998).
melalui tawar-menawar atau semacam jual-beli atas dasar penilaian yang setara
(Soedarmo, 1998).
yang dilakukan Soedarmo (1998) dengan mengambil latar kajian pada empat
bangunan IMB), ijin usaha, dan kartu tanda penduduk (KTP) di Kotamadya Dati II
belum sampai pada kajian tentang bagaimana bentuk perilaku yang muncul dari
interaksi gaya negosiasi tersebut, sehingga dalam penelitian ini ingin mengkaji
pertukaran atau tawar menawar, persuasif, dan paksaan serta intimidasi dapat
kepentingan
(2) pola perilaku pelayanan polantas yaitu pola perilaku yang mendasarkan
rasional dan interpretasi individual yang mengarah pada tampolan pola perilaku
di luar prosedur resmi yang antara lain mencakup perilaku solider atau toleran;
Banjarmasin Barat, dengan fokus penelitian adalah: (a) bagaimana nilai dan kode
etik yang dianut dan berkembang di kalangan perangkat kelurahan; (b) apa yang
bahwa nilai dan kode etik yang berkembang dikalangan perangkat kelurahan
98
masyarakat karena hal itu tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah. Pada
tradisional yang ditandai oleh kuatnya nilai-nilai primordial yang menjadi sumber
keputusan.
centered development.
Sedangkan penelitian yang baru saja dilakukan oleh Teruna (2007) yang
perilaku patologi dalam (1) proses perencanaan, seperti perilaku: merasa paling
transparan), meminta imbal jasa (ikut atau titip proyek), lepas tanggung jawab,
Apabila kita cermati, penelitian yang dilakukan oleh Sadhana (1989) dan
Budihardjo (2003) memiliki latar kajian yang sama yakni menggunakan kasus
maupun antar warga dengan perangkat desa atau kelurahan. Sementara itu
penelitian yang dilakukan oleh Mada Teruna (2007) mengambil latar proses
100
Kesemua penelitian ini mengkaji tentang perilaku individu birokrat tetapi memiliki
latar yang berbeda dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini secara khusus
dipublikasikan pertama kali pada Jurnal Polisi tahun 1999)) mengenai Perilaku
mengkaji tentang perilaku birokrat polantas dalam pelayanan publik, hanya saja
dalam penelitian ini mengambil latar yang lain yakni pada Kantor Satlantas
Polwiltabes Makassar, dengan studi kasus pada pelayanan SIM. Kita bisa
birokrat yang bekerja pada kantor yang sama dengan peraturan yang sama serta
lingkungan budaya yang juga sama, namun dapat menampilkan perilaku yang
dilayaninya. Terlebih lagi jika birokrat tersebut bekerja pada kantor yang berbeda
dan lingkungan budaya yang berbeda pula, maka tentunya perilaku yang
ditampilkannya akan berbeda pula dengan birokrat lainnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa perilaku birokrat garis-
101
Dengan demikian, maka penelitian ini dapat lebih memperbaiki keakuratan dan
birokrat polantas.
Scanned by CamScanner
102
BAB III
METODE PENELITIAN
antara birokrat garis-depan dan warga kota dalam pelayanan SIM di Kota
Pendekatan kualitatif ini merupakan pilihan yang tepat karena lebih mampu
dengan responden, dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adaptif
situasi yang tak menentu, dapat membangun dari suasana yang tak terkatakan,
perilaku diferensial yang muncul dari gaya-gaya negosiasi antara birokrat garis-
depan sebagai pelayan dan warga masyarakat sebagai yang dilayani dalam
substantif dan teoritik maka dapat dijadikan sebagai situs penelitian. Meskipun
demikian, harus diakui bahwa lebih mudah untuk mengetahui minat substantif
peneliti, daripada memilih latar yang memenuhi minat teoritiknya. Oleh karena
penelitian disertasi ini lebih didorong oleh minat teoretik, maka argumentasi atas
teoretik.
yang perlu diketahui perbedaan dimensi dan strateginya, serta bisa memberikan
apa hal itu dilakukan? Sehingga proses pengumpulan data ini dikendalikan oleh
situsnya pada pelayanan SIM di Kota Makassar yakni pada Kantor Satlantas
merupakan kota metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa.
kepadatan lalu lintas sehingga kondisi lalu lintas menjadi rawan. Hal ini
menggunakan sepeda motor. Sweeping ini dilakukan selain sebagai upaya untuk
pengendara sepeda motor (mereka yang belum memiliki SIM), juga karena
untuk mengurus SIM sangat tinggi yang mencapai lebih dari 100 orang perhari
(Tribun Timur, 12 Juni 2006). Tabel berikut ini dapat menunjukkan jumlah warga
Tabel 3.1 Jumlah Warga Masyarakat yang Mengurus SIM Tiga Tahun Terakhir
(Periode 01-01 2004 s/d 31-12-2006)
JENIS SIM
TAHUN TOTAL
A A B1 B1 B2 B2 C
Umum Umum Umum
RATA-
RATA
47 3 8 7 1 2 152 220
PER
HARI
RATA-
RATA
PER
44 3 8 7 1 3 137 203
HARI
RATA-
RATA
56 2 12 7 1 3 162 243
PER
HARI
Sumber: Diolah dari Data Sekunder yang Berasal Dari Kaur Regident Satlantas
Polwiltabes Kota Makassar, 2007 (Lihat Lampiran 1).
105
pelayanan SIM. Hal ini menarik untuk diteliti karena banyaknya keluhan
masyarakat yang muncul di berbagai media baik elektronik maupun media cetak
Bab I, maka data-data yang telah diambil di lokasi penelitian adalah sebagai
pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari perilaku diferensial, dan (3) data yang
menggunakan metode GGN. GGN adalah gaya negosiasi dari BGD dan WM
dalam pelayanan publik yang ditemukan oleh Soedarmo (1998) dalam penelitian
sebagai pelaksanaan aturan, tugas dari atasan, dan sarana kepentingan pribadi.
106
warga, dan jasa terbeli. Hasil penelitian Soedarmo tentang GGN ini selanjutnya
diadopsi menjadi metode dalam penelitian ini, yang selanjutnya disebut sebagai
Metode GGN.
Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar adalah karena GGN yang dihasilkan
oleh Soedarmo telah dikaji melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan struktural
(baik makro struktural dan meso prosedural), pemaknaan individu (birokrat dan
penulis, ketiga hal tersebut memiliki transferabilitas yang tinggi pada semua jenis
pelayanan publik, sehingga dengan demikian maka GGN yang dihasilkan oleh
penelitian ini, baik karena keengganan dan kecurigaan para birokrat untuk
data collection) dan pengumpulan data secara terbuka (overt data collection).
Ada saat-saat tertentu peneliti harus terbuka atau berterus terang kepada
data.
memiliki SIM C. Hal ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data-data secara
proses yang dilalui oleh warga yang mengurus SIM dapat peneliti pelajari dengan
sebagai warga yang penurut, namun disaat-saat tertentu peneliti menjadi warga
dimaksudkan untuk mengungkap dunia batin mereka, karena hal seperti itu
teramat sulit diperoleh hanya dengan melalui wawancara dan pengamatan saja,
tetapi perlu dilakukan dengan cara pengamatan partisipatif yakni dengan ikut
menyeluruh terhadap situasi dan kondisi pelayanan SIM ini, peneliti kemudian
108
Ada tiga sumber data dalam penelitian ini, yakni informan, peristiwa, dan
dokumen. Data yang diperoleh dari informan dan peristiwa yang terjadi dalam
yang ada. Misalnya data tentang jumlah warga yang telah mengurus SIM untuk
kurun waktu tiga tahun terakhir, penulis peroleh print out-nya dari Kaur Regident,
sejumlah dokumen yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan SIM, dan data
diperoleh tanpa kepercayaan dari pihak birokrat bahwa data tersebut tidak
kemudian dipanggil oleh Wakasat Lantas dan sempat ditanyai untuk kepentingan
apa, peneliti lalu menjelaskan seperlunya. Ketika itu, sebenarnya peneliti telah
pada saat itulah peneliti sempat memotret foto-foto kegiatan tersebut, tetapi
peneliti sangat hati-hati ketika ingin memperoleh suatu data. Apabila pihak
birokrat tidak ingin di foto kopi, maka peneliti cukup membaca dan mencatat
secara ringkas isi dokumen. Bila cara seperti ini tidak memungkinkan, maka
pengumpulan data ini dimaksudkan agar data yang diperoleh lebih akurat. Hal
ini sejalan dengan trianggulasi metode sebagai salah satu bentuk trianggulasi
diluar sistem. Selain itu, dengan pengamatan partisipatif maka peneliti dapat
yang teramati tetap obyektif. Prosedur pengambilan data dan analisis data yang
digunakan oleh BGD dan gaya negosiasi apa yang digunakan WM. Setelah
dari interaksi gaya negosiasi yang digunakan oleh BGD dan gaya negosiasi yang
gaya negosiasi apa yang digunakan BGD dan gaya negosiasi apa yang
digunakan WM dan perilaku diferensial apa yang terjadi. Selain itu, akan sulit
dilakukan analisis jika gaya negosiasi para aktor tidak jelas. Dalam prakteknya di
dalam proses tanya-jawab, baik itu terhadap BGD maupun terhadap WM.
Sengaja peneliti tidak mencatat langsung semua kata-kata yang diucapkan oleh
berlangsung wajar sehingga data yang diberikan oleh informan dapat optimal.
Disini penulis mengandalkan ingatan dan mimik para birokrat ataupun warga
111
data, diantaranya adalah mencari waktu yang tepat untuk melakukan wawancara
mendalam dengan para informan yang dianggap memiliki informasi kunci. Oleh
karena itu, peneliti mencari waktu untuk menemui informan di rumahnya seperti
yang dilakukan terhadap Junubi Dg. Ngerang. Sedangkan untuk birokrat garis-
depan yang melayani, sangat sulit untuk diwawancarai ketika sedang melakukan
tugasnya. Oleh karena itu, peneliti mencari waktu yang tepat untuk
Kendala lain berkaitan dengan sifat dasar manusia yang tidak ingin
berterus terang terhadap hal-hal yang dianggap dapat merusak nama baiknya.
Para BGD cenderung menutup diri dan menghindar bila dimintai informasi
melalui wawancara. Bila hal ini terjadi, peneliti harus rela kehilangan
kesempatan untuk mengungkap secara utuh interaksi pelayanan warga kota ini.
Tidak bisa dihindari peneliti harus mencari kejadian lain lagi karena tidak berhasil
Hal yang menjadi hambatan lagi adalah penggunaan alat rekam ketika
stenografi ini cukup membantu penulis dalam mencatat secara cepat informasi
112
yang peneliti peroleh. Dengan demikian maka hambatan ini dapat sedikit
teratasi.
3.5 Informan
maka telah dipilih beberapa informan yang dianggap memiliki informasi kunci
yang dapat membantu mengungkap semua data yang diperlukan. Ada dua jenis
informan yang telah diamati dan diwawancarai, yakni birokrat garis-depan dalam
hal ini adalah aparat kepolisian yang bertugas melayani warga masyarakat yang
mengurus SIM, dan kedua adalah warga masyarakat yang sedang mengurus
SIM. Adapun jumlah informan dari WM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.2 Nama Informan dari Warga Masyarakat dan Jenis SIM
pelayanan SIM) baik yang berada di loket maupun BGD yang berperilaku
sebagai calo yang turut berinteraksi dengan WM. Sedangkan teknik penentuan
113
masyarakat yang sedang mengurus SIM yang kebetulan ditemui oleh penulis
ketika melakukan penelitian lapangan. Hal ini dimaksudkan agar data yang
langsung juga dapat dilakukan wawancara mendalam untuk menggali lebih jauh
ada yang bersedia ditulis lengkap namun ada yang hanya memberikan nama
panggilan saja, demikian pula halnya dengan alamat, ada sebagian warga yang
terhadap beberapa warga, dan ketika suatu informasi yang diperoleh dari WM
dianggap telah memiliki jawaban yang relatif sama (saturated) maka data
tersebut telah dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi, sehingga data atau
penelitian ini? Ada beberapa pertimbangan: (1) karena penelitian ini sifatnya
sensitif yakni penelitian tentang perilaku, maka penulis harus berhati-hati jangan
sampai keterangan yang diperoleh dari warga hanya merupakan kasuistis saja,
dan bukan merupakan perilaku dominan yang terjadi dalam interaksi antara BGD
dan WM. Bila hal ini terjadi, maka data yang diperoleh akan bias, sehingga