Anda di halaman 1dari 147

PERILAKU PELAYANAN BIROKRAT GARIS-DEPAN

STUDI TENTANG INTERAKSI BIROKRAT KEPOLISIAN


DENGAN WARGA MASYARAKAT
DALAM PELAYANAN SURAT IZIN MENGEMUDI
DI KOTA MAKASSAR

DISERTASI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:

HASNIATI
NIM: 0430500010

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI


KEKHUSUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2008

i
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Motto :

“Bekerja Untuk Meningkatkan Kualitas Diri”

vi
Kupersembahkan dengan setulus hati kepada:

Kedua orang tuaku yang telah mendidik dan membesarkanku

Guru-guruku

Saudara-saudaraku

Suami tercinta dan anak-anakku tersayang


yang selalu menjadi sumber inspirasiku

vii
UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama saya ingin memanjatkan “Alhamdulillahirabbil’alamin”

sebagai tanda rasa syukur yang tiada taranya kekhadirat Allah SWT atas segala

karunia yang telah diberikan kepada saya, baik itu berupa nikmat iman, rezeki,

kesehatan, dan kemudahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan

baik. Saya yakin bahwa hanya dengan pertolongan Allah jualah sehingga karya

ini dapat berwujud seperti sekarang ini.

Kemudian pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, saya

menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak yang telah berperan penting dalam keseluruhan proses

studi saya hingga penyelesaian disertasi ini. Pertama-tama, secara khusus saya

ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga disertai rasa hormat

saya kepada kedua orang tua tercinta atas segala pengorbanan yang telah

diberikan kepada saya untuk membesarkan dan mendidik saya dengan penuh

kesabaran dan cinta kasih. Khusus kepada ayahanda yang telah

menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika saya menempuh pendidikan ini,

saya yakin beliau di alam sana turut bahagia melihat anaknya ini telah berhasil

menyelesaikan pendidikan ini. Do’a kami selalu menyertai ayahanda agar

tenang dalam keharibaanNya. Ucapan terimakasih juga saya khaturkan kepada

kedua mertua saya H. Syaharuddin dan Hj. Becce atas segala bantuan morilnya

kepada kami.

Selanjutnya rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada suami saya tercinta, atas motivasi yang tak henti-hentinya diberikan

viii
kepada saya, terutama ketika saya mengalami masa-masa sulit, dia senantiasa

hadir untuk memberikan kesejukan dan menghibur hati saya sehingga memiliki

kekuatan kembali untuk melanjutkan pendidikan ini. Saya rasa, justru yang lebih

pantas mendapat gelar ini adalah dia. Terimakasih banyak papa... Dan kepada

buah hati tersayang atas keceriaan dan keluguannya yang senantiasa memberi

semangat dan inspirasi kepada saya sehingga disertasi ini dapat selesai.

Selanjutnya ucapan terimakasih saya tujukan kepada tim promotor saya,

berturut-turut kepada Bapak Prof. Dr. M. Irfan Islamy, MPA. Sebagai Promotor,

disamping beliau banyak memberikan ilmu dan keteladanan kepada saya, beliau

pulalah yang telah banyak memberi motivasi kepada saya terutama saat ayah

saya meninggal, beliau berkata: ”mengabdi kepada orang tua adalah suatu

ibadah tetapi menempuh pendidikan juga adalah ibadah, oleh karena itu Ibu

jangan terlalu larut dalam kesedihan bangkitlah kembali agar dapat

menyelesaikan studi ini”. Bapak Prof. Dr. Jacob Warella, MPA selaku Ko-

Promotor I, dengan tulus ikhlas telah menerima saya untuk konsultasi ketika

beliau berada di Malang dan meskipun saya mengirim naskah melalui paket pos

beliau bersedia menerima dengan baik, dan kepada Bapak Prof. Dr. Sumartono,

MS, sebagai ko-promotor II, yang juga telah meluangkan waktunya dan dengan

sabar membimbing saya hingga tulisan ini selesai.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan pula kepada

Pemerintah Republik Indonesia utamanya kepada Dirjen Dikti Depdiknas yang

telah memberikan kesempatan untuk mendapatkan beasiswa BPPS. Tak lupa

pula saya ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Rektor Unhas, Dekan

Fisip Unhas, Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Fisip Unhas yang telah

ix
memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Universitas

Brawijaya.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya

sampaikan pula kepada Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi Unibraw, Prof.

Dr. Susilo Zauhar, MS dan semua dosen yang telah mengajar saya masing-

masing: Prof. Dr.M. Irfan Islamy, MPA, Prof. Drs. Solichin Abdul Wahab, MA.

Ph.D. Prof. Dr. Z.A. Achmady, MPA., Prof. Dr. Riyadi Suprapto, MS. (alm.), Prof.

Drs. Ismani, HP, MA., Prof. Dr. Syamsiar Sjamsuddin, Prof. Dr. Ir. Sumarno,

MS., Prof. Dr. Sumartono, MS.. Dan dosen tamu masing-masing: Prof. Dr. Jacob

Warella, MPA (UNDIP Semarang), Prof. Dr. Ichlasul Amal, Prof. Dr. Mochtar

Mas’oed dan Dr.Pratikno yang semuanya berasal dari UGM Yogyakarta, serta

semua pegawai PDIA FIA Unibraw khususnya kepada Sdri. Evi Hayati, S.Eg,

yang begitu tulus membantu kelancaran proses administrasi saya.

Terimakasih saya ucapkan pula kepada semua pihak yang telah

membantu saya mulai dari proses penerbitan surat izin penelitian sampai kepada

proses pengumpulan data di lapangan. Pertama-tama kepada Bapak Drs. Kahar

Chambolong selaku Kepala Seksi Hubungan Antar Lembaga Pemkot Makassar

beserta staf yang telah membantu proses penyelesaian surat izin penelitian saya.

Kepada Bapak M. Pratama, SH, SIK. Selaku Kasatlantas Poltabes Makassar

beserta staf yang telah meluangkan waktunya untuk saya wawancarai, yang

telah banyak membantu saya dalam memperoleh data yang saya butuhkan

berkaitan dengan pelayanan SIM.

Kepada Saudara-saudara saya berturut-turut: Drs. H. Nurdin Ramma, Hj.

Jumariah Dg. Kinang, Abd. Jabbar Dg. Ngasa, Hajrah, Spd., Sahara, Spd.

Hasmawati, SP, dan Haerati, serta saudara ipar saya Dr. Hasmawati, M.Si.

x
beserta suaminya, terimakasih saya ucapkan atas segala bantuan dan

dukungan yang telah diberikan baik berupa dukungan moril maupun material

terutama ketika saya mengikuti pendidikan doktor ini.

Kepada semua teman-teman PDIA angkatan 2004 baik yang telah

menyelesaikan studi maupun yang masih berstatus mahasiswa PDIA, masing-

masing kepada:, Dra. Tri Sulistianingsih, M.Si,. Dra. Etty Susilowati, M.Si,. Dra.

Suhelmi Helia, Msi., DR. Ir. H. Manggaukang Raba, MM., Dr. Hary Supriadi,SH,

MA., Drs. Heru Puji Winarso, Msi, MAP., Drs. Fadillah Amin, MAP., DR. Muklir,

SH, MAP., DR. Edwar Juliartha, S.Sos, MM., Drs. Asyhar, MM., Drs. Achmadi,

MAP., Yanuar Ramdhani, M.Ed., Drs. Imam Harjanto, MAP., Drs. Widi Harsono,

SE., M.Si., Drs. M. Aswan, M.Si., Khoiruddin, Sag. M.Si., Dr. Hasanuddin

Buchory, M.Si., Drs. Burhanuddn Noor, SE., M.Si., dan Mulyono, S.Sos., M.Si.

dan juga kepada mahasiswa PDIA lainnya yang tidak sempat penulis sebutkan

satu per satu, terimakasih saya ucapkan atas kerjasama dan dukungannya

selama ini, semoga kita semua senantiasa mengembangkan diri untuk bisa

menjadi lebih expert dan bertanggung jawab di bidangnya masing-masing.

Dan terakhir kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam

proses penyelesaian studi ini, yang tidak sempat saya sebutkan namanya, saya

ucapkan banyak terimakasih. Semoga bantuan yang telah diberikan kepada

saya selama ini mendapat balasan berupa amal yang berlipat ganda dari Allah

SWT. Amin.

Malang, 18 Maret 2008

Ttd

Penulis

xi
RINGKASAN

Hasniati, Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi


Universitas Brawijaya Malang, 2008. PERILAKU PELAYANAN BIROKRAT
GARIS-DEPAN (Studi tentang Interaksi Birokrat Kepolisian dengan Warga
Masyarakat Dalam Pelayanan Surat Izin Mengemudi di Kota Makassar).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik di Indonesia, namun dalam kenyataannya sampai
sekarang pelayanan publik masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Kualitas
pelayanan publik sangat ditentukan oleh perilaku Birokrat Garis-Depan (BGD)
dan Warga Masyarakat (WM) pengguna jasa layanan. Khoidin dan Sadjijono
mengatakan (2006) bahwa kondisi masyarakat dapat menjadi penyebab kualitas
pelayanan buruk. Dalam banyak kasus suap atau kolusi, kadang justru
masyarakatlah yang menawarkan kepada polisi. Dengan demikian, maka
sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan, apabila tidak didukung oleh perilaku
yang baik dari birokrat garis-depan maupun warga masyarakat yang dilayani,
maka pelayanan publik tidak akan pernah berkualitas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan
menginterpretasikan perilaku pelayanan birokrat garis-depan khususnya dalam
pelayanan surat izin mengemudi di Kota Makassar, dengan fokus penelitian
yaitu: (1) bentuk-bentuk perilaku diferensial dari interaksi antara birokrat garis-
depan dengan warga masyarakat; (2) pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh
perilaku tersebut, dan (3) aktor dominan yang menjadi penentu perilaku
diferensial.
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologis dengan
format studi kasus, yang telah mengkaji berbagai macam fenomena yang
muncul dalam pelayaan SIM di Kantor Satlantas Polwiltabes Makassar. Teknik
pengumpulan data adalah pengamatan dan wawancara mendalam untuk data
primer, dan teknik dokumenter untuk data sekunder. Metode analisis yang
digunakan mengacu kepada metode yang disarankan oleh Lincoln dan Guba
(1985) yakni analisis data induktif untuk membangun teori dari dasar (grounded
theory).
Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) setidaknya terdapat sepuluh bentuk
perilaku diferensial dari hasil interaksi antara gaya-gaya negosiasi BGD dan WM,
yang mencakup perilaku superior, mengabaikan, sebagai calo, mempersulit,
mogok, menolak membayar, mencari gampang, melayani, memperlakukan
khusus korps tertentu, serta perilaku menyogok. (2) Dari sepuluh bentuk
perilaku diferensial tersebut, setidaknya terdapat 5 (lima) bentuk perilaku
diferensial yang cenderung menguntungkan BGD yakni perilaku superior,
mengabaikan, sebagai calo, mempersulit, dan mogok. Dua bentuk perilaku
diferensial yang cenderung menguntungkan WM yakni perilaku menolak
membayar dan mencari gampang. Sedangkan 3 (tiga) perilaku yang sifatnya
cenderung menguntungkan pelaku interaksi (mutual benefit) mencakup perilaku
melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan menyogok. Dan (3) aktor
dominan penentu perilaku pelayanan adalah BGD, sedangkan WM berada dalam
kondisi resesif (lemah).
Temuan lain dalam penelitian ini adalah prosedur dan aturan dalam
pelayanan SIM dipersepsi oleh WM sebagai sesuatu yang sangat berbelit-belit.
Prosedur yang sangat berbelit-belit dan format tes yang tidak sesuai dengan
kebutuhan WM. Kondisi ini membuat banyak WM mencari jalan pintas untuk

xiii
memperoleh pelayanan SIM, sehingga muncul banyak calo dalam pengurusan
SIM. Hasil temuan penelitian ini menawarkan sebuah model perilaku pelayanan
publik yang menekankan perlunya kesetaraan antara BGD dan WM dalam
pelayanan publik. Sehingga perlu upaya pemberdayaan masyarakat dalam
pelayanan publik melalui model Citizens’ Charter. Dengan demikian, maka
temuan ini mendukung pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) tentang New
Public Service yang menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam
pelayanan publik, karena pemilik pelayanan publik yang sesungguhnya adalah
warga masyarakat.
Akhirnya, hasil penelitian ini dapat mendorong penelitian lebih mendalam
tentang perilaku BGD dalam pelayanan publik. Sebab sebagaimana
disumbangkan oleh hasil penelitian ini, bahwa setiap perilaku yang terjadi dari
interaksi antara BGD dan WM ternyata berlangsung sangat dinamis.
Meskipun dari segi struktur, peraturan atau prosedur yang ada dapat
mempengaruhi dan mengarahkan perilaku individu BGD dan WM, namun dalam
kenyataannya perilaku yang ada sangat ditentukan oleh etika, moral dan
kesadaran para pelaku interaksi (mutual awareness) untuk mematuhi peraturan
dan prosedur yang berlaku.

Kata Kunci: Birokrat garis-depan, perilaku pelayanan publik, New Public


Service.

xiv
SUMMARY

Hasniati, Post Graduate Program, Administrative Science Faculty of Brawijaya


University, 2008. Service Behavior of Street-Level Bureaucrats (A Study of
Interactions Between Police Bureaucrats and Citizens at Driver’s License (SIM)
Service in Makassar City.
Various efforts have been conducted by the government to improve the
public service quality in Indonesia, but in reality, public service is still complaint
by the society. Public Service quality is very determined by behavior of Street-
Level Bureaucrats (SLB) being the civil servants and Citizens (CTs) being the
service user. Khoidin and Sadjijono (2006) emphasize that sometimes citizens
condition can made the quality public service bad. Sometimes in most cases,
CTs ancouraging to police by bribing or collusion. Thereby, even if the rule have
been well standardized, if not supported by good behavior from SLB and CTs,
hence public service will never be qualified.
The purpose of this research is to describe, analyze, and interpret the
service behavior of SLB especially at drivers' licence service in Makassar City,
with research focus are: (1) differential behavior forms resulting from interaction
between street-level bureaucrats and citizens; (2) Who is benefitting and who is
harmed by this differential behavior, and (3) the dominant actor becoming
determinant of this differential behavior.
As qualitative research, approach used in this research is phenomenal by
studying assorted of phenomenon which result in the field during interaction
between SLB and CTs. Data collecting used interviews, observations, and
documentary. Analysis method used relate to method suggested by Lincoln and
Guba (1985) namely inductive data analysis to find the grounded theory.
The results of this research revealed that: (1) at least there are ten
differential behavior form interaction result style of negotiation between SLB and
CTs, that is behavior superiority, playing ignorant, as broker, complicating,
stopped, resistance, short cut, serving, special treatment (customization) to
certain corps, and bribery. (2) From the ten differential behavior, at least there are
five differential behavior form which tend to benefit the SLB namely superiority,
playing ignore, as broker, complicating, and stopped. Two differential behavior
form which tend to benefit to the CTs namely behavior of short cut to obtain the
service and resistance. While at least there are three differential behavior which
mutually benefit both parties, including serving, special treatment (customization)
to certain corps, and bribery behavior. And (3) The dominant actor of behavioral
service determinant is SLB, while CTs stays in the recessive condition.
Other findings in this research are the procedure and rules in service of
SIM, which were sometimes considered red tape by CTs. A very circumlocutary
procedure and test form which is not in line with the need of CTs, make a lot of
CTs seek a short cut to obtain the service SIM, this will cause a lot of brokers
existed in public service. The findings of this research offers a behavioral model
of public service emphasizing the importance of equivalence between SLB and
CTs in public service. It is neccessary to involve the citizens to participate in
public service through the Citizens’ Charter model. This finding support the view
of Denhardt and Denhardt (2003) about New Public Service by emphasizing its

xv
important society enableness in public service, because public service owner
truthfully is the citizens them selves.
Finally, results of this research can push the research more
circumstantially about SLB behavior in public service. As rendered by this
research results, each behavior resulted from an interaction between SLB and
CTs in reality takes place dynamically. Though from the structural aspects,
existing procedure or regulation can influence and direct the individual behavior
of SLB and CTs, but in reality the behavior is dominantly determined by ethics,
moral and awareness of SLB and CTs.

Keywords: Street-Level Bureaucrats, Public Service Behavior, and New Public


Service.

xvi
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ii
IDENTITAS PENGUJI iii
PENGESAHAN TIM PROMOTOR iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI v
MOTTO vi
PERSEMBAHAN vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS viii
UCAPAN TERIMA KASIH ix
RINGKASAN xiii
SUMMARY xv
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR TABEL xxi
DAFTAR GAMBAR xxiii
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN, DAN AKRONIM xxv
BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1


1.2 Perumusan Masalah Penelitian 9
1.3 Tujuan Penelitian 12
1.4 Manfaat Penelitian 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14

2.1 Birokrasi dan Administrasi Publik 14


2.2 Teori Street-Level Bureaucracy 27
2.3 Teori Pelayanan Publik 33
2.4 Perilaku Individu Dalam Organisasi 45
2.5 Budaya Organisasi 54
2.6 Lembaga Kepolisian 59
2.6.1 Pengertian Polisi dan Kepolisian 64
2.6.2 Lembaga Kepolisian sebagai Lembaga Birokrasi 69
2.6.3 Hubungan Kepolisian dan Pemerintahan Daerah 71
2.6.4 Anggota Kepolisian 75
2.6.5 Recruitment 76
2.6.6 Reward 80
2.6.7 Punishment 84

xvii
2.6.8 Ruang Lingkup Pelayanan dan Tujuan 87
Kepolisian
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu 92
2.7.1 Penelitian tentang Gaya-Gaya Negosiasi 92
2.7.2 Penelitian tentang Bentuk-bentuk Perilaku 97
Pelayanan

BAB III METODE PENELITIAN 102

3.1 Pendekatan Penelitian 102


3.2 Pemilihan Situs Penelitian 103
3.3 Fokus Penelitian 105
3.4 Jenis, Sumber, dan Teknik Pengumpulan Data 106
3.5 Informan 112
3.6 Instrumen Pengumpulan Data 114
3.7 Teknik Analisis Data 115
3.8 Keabsahan Data 116

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 120

4.1 Gambaran Umum Kota Makassar 120


4.1.1 Kondisi Geografis 120
4.1.2 Kondisi Demografis dan Sosial Budaya 123
4.2 Profil Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar 126
4.3 Aturan Normatif Pelayanan Surat Izin Mengemudi 135

BAB V DESKRIPSI HASIL PENELITIAN 142

5.1 Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial 142


5.1.1 Perilaku Superior 145
5.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant) 148
5.1.3 Perilaku Sebagai Calo 151
5.1.4 Perilaku Mempersulit 157
5.1.5 Perilaku Mogok 160
5.1.6 Perilaku Menolak Membayar 162
5.1.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut) 165
5.1.8 Perilaku Melayani (Serving) 168
5.1.9 Perilaku Memperlakukan Khusus 173
(Customization) Korps Tertentu
5.1.10 Perilaku Menyogok 177

5.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Masing- 183


Masing Perilaku Diferensial
5.2.1 Perilaku Diferensial yang Cenderung 188
Menguntungkan BGD
5.2.1.1 Perilaku Superior 188
5.2.1.2 Perilaku Mengabaikan (Playing 193
Ignorant)
5.2.1.3 Perilaku Sebagai Calo 197

xviii
5.2.1.4 Perilaku Mempersulit 200
5.2.1.5 Perilaku Mogok 203
5.2.2 Perilaku Diferensial yang Cenderung 205
Menguntungkan WM
5.2.2.1 Perilaku Menolak Membayar 205
5.2.2.2 Perilaku Mencari Gampang (Short 208
Cut)
5.2.3 Perilaku Diferensial yang Cenderung 210
Menguntungkan Pelaku Interaksi (Mutual
Benefit)
5.2.3.1 Perilaku Melayani (Serving) 211
5.2.3.2 Perilaku Memperlakukan Khusus 212
(Customization) Korps Tertentu
5.2.3.3 Perilaku Menyogok 216

5.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan 222


5.3.1 Perilaku Superior 222
5.3.2 Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant) 224
5.3.3 Perilaku Sebagai Calo 226
5.3.4 Perilaku Mempersulit 229
5.3.5 Perilaku Mogok 230
5.3.6 Perilaku Menolak Membayar 232
5.3.7 Perilaku Mencari Gampang (Short Cut) 233
5.3.8 Perilaku Melayani (Serving) 235
5.3.9 Perilaku Memperlakukan Khusus 236
(Customization) Korps Tertentu
5.3.10 Perilaku Menyogok 237

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 240

6.1 Bentuk-bentuk Perilaku Diferensial 240


6.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Perilaku 263
Diferensial
6.3 Aktor Dominan yang Menjadi Penentu Perilaku 271
Pelayanan

BAB VII TEMUAN, MODEL DAN PROPOSISI HASIL PENELITIAN 281

7.1 Temuan Penelitian 281


7.1.1 Bentuk-Bentuk Perilaku Diferensial 281
7.1.2 Pihak yang Diuntungkan dan Dirugikan dari 292
Masing-masing Perilaku Diferensial
7.1.3 Aktor Dominan Penentu Perilaku Pelayanan 295
7.2 Model Perilaku Diferensial 299
7.2.1 Existing Model 299
7.2.2 Recommended Model 312
7.3 Proposisi Hasil Penelitian 325
7.3.1 Proposisi Minor 325
7.3.2 Proposisi Mayor 328

xix
BAB VIII PENUTUP 334

8.1 Kesimpulan 334


8.2 Rekomendasi Teoretis dan Praktis 337
8.2.1 Rekomendasi Teoretis 337
8.2.2 Rekomendasi Praktis 341

DAFTAR PUSTAKA 350


LAMPIRAN 360

xx
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 1.1 Gaya Negosiasi Dominan Berdasar Pemaknaan Obyek 11


Pelayanan Oleh Pelaku Interaksi (Petugas dan Warga
Masyarakat)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Tentang Gaya-gaya Negosiasi dan 96


Hasil Penelitian Sekarang

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu tentang Bentuk-bentuk Perilaku 99


Birokrasi Garis-Depan

Tabel 3.1 Jumlah Warga Masyarakat yang Mengurus SIM Tiga 104
Tahun Terakhir (Periode 01-01 2004 s/d 31-12-2006)

Tabel 3.2 Nama Informan dari Warga Masyarakat dan Jenis SIM 112

Tabel 4.1 Deskripsi Umum Kota Makassar Tahun 2004 122

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Makassar Dirinci Menurut Jenis 123
Kelamin dan Wilayah Kecamatan di Kota Makassar
Tahun 2002-2004

Tabel 4.3 Birokrat Garis-Depan yang Bertugas pada Unit Satlantas 131
Polwiltabes Makassar (Periode April 2007)

Tabel 4.4 Daftar Gaji Pokok Anggota Polri Golongan III Dengan 132
Pangkat Perwira Pertama (TMT Mulai tgl 1 Januari 2007)

Tabel 4.5 Daftar Gaji Pokok Anggota Polri Golongan II Pangkat 133
Bintara (TMT Mulai Tanggal 1 Januari 2007)

Tabel 4.6 Tunjangan Jabatan Struktural di Lingkungan Polri 134


Berdasarkan Eselon dan Pangkat (TMT Mulai tanggal 1
Januari 2007)

Tabel 5.1 Matriks Gaya-Gaya Negosiasi BGD dengan Gaya-Gaya 144


Negosiasi WM serta Perilaku Diferensial yang Terjadi
Dari Hasil Interaksi Keduanya

Tabel 5.2 Perkiraan Waktu Pelayanan Untuk Masing-masing 185


Tahapan Pelayanan Dalam Pengurusan SIM

xxi
No. Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 5.3 Karakteristik dari Masing-masing Perilaku Diferensial 219

Tabel 5.4 Aktor Dominan Penentu Dari Masing-masing Bentuk 238


Perilaku Diferensial

Tabel 7.1 Matriks Fokus Penelitian, Temuan Penelitian, Proposisi 329


Minor dan Mayor, Rekomendasi Teoritis, dan
Rekomendasi Praktis

xxii
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Pendekatan Holistik Terhadap Aksessibilitas Pelayanan 44


Publik

Gambar 2.2 Kedudukan Polri dalam Struktur Ketatanegaraan 62

Gambar 2.3 Hubungan antara Kepolisian Propinsi dengan Pemerintah 73


Daerah

Gambar 3.1 Mekanisme Penelitian 119

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Polwiltabes Makassar 127

Gambar 4.2 Bagan Mekanisme Penerbitan SIM Baru dan 138


Peningkatan Golongan

Gambar 5.1 Proses Terbentuknya Perilaku Diferensial 143

Gambar 5.2 Foto Loket Pembayaran PNBP 153

Gambar 5.3 Foto Lapangan Ujian Praktek Secara Ziq-zaq 190

Gambar 5.4 Foto Lapangan Ujian Praktek Lingkaran dan Tanjakan 191

Gambar 7.1 Bagan Gaya-Gaya Negosiasi BGD dan WM, Bentuk- 298
bentuk Perilaku Diferensial, Dominasi Perilaku
Diferensial, dan Aktor Dominan Penentu Perilaku
Diferensial

Gambar 7.2 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FBGD Dominan 299
(Existing Model)

Gambar 7.3 Model Arah Perilaku Diferensial dengan FWM Dominan 301
(Existing Model)

Gambar 7.4 Mekanisme Pengurusan SIM (Existing Model) 304

Gambar 7.5 Model Arah Perilaku Diferensial yang Menunjukkan 312


Perilaku Ideal (Recommended Model)

Gambar 7.6 Mekanisme Pengurusan SIM Bagi Pemohon Baru 315


(Recommended Model).

xxiii
No. Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 7.7 Mekanisme Pengurusan SIM Perpanjangan 318


(Recommended Model)

Gambar 8.1 Konstruk Teoritik Perilaku Pelayanan Publik 349

xxiv
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN, DAN AKRONIM

BGD, Birokrat Garis-Depan adalah birokrat kepolisian yang berhadapan langsung


dengan warga masyarakat untuk memberikan pelayanan SIM.
CC, Citizens’ Charter adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai pusat perhatian.
Artinya, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi
pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan
publik. CC biasa juga disebut dengan istilah kontrak pelayanan. Disebut
sebagai kontrak pelayanan karena antara penyedia layanan dan pengguna
layanan serta pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) lainnya
membuat kesepakatan mengenai jenis, prosedur, waktu, biaya, serta cara
pelayanan.
GGN, Gaya-Gaya Negosiasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan gaya penyiasatan dalam tertib interaksi antara birokrat
garis-depan dengan warga masyarakat dalam pelayanan publik, yang
mencakup delapan gaya negosiasi kerjasama, pertukaran, kompromi,
percekcokan, kecurangan, kolusi, kompensasi, dan intimidasi (Soedarmo,
1998).
GGN-BGD, Gaya-gaya Negosiasi Birokrat Garis-Depan adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan gaya penyiasatan yang diambil oleh
birokrat garis-depan ketika berinteraksi dengan warga masyarakat.
GGN-WM, Gaya-gaya Negosiasi Warga Masyarakat adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menggambarkan gaya penyiasatan yang diambil oleh warga
masyarakat ketika berinteraksi dengan birokrat garis-depan.
Kantor Kesbang Pemkot Makassar, Kantor Kesatuan Bangsa Pemerintah Kota
Makassar
Kapolri, Kepala Kepolisian Repiblik Indonesia
Kaur Regident, Kepala Urusan Registrasi dan Identifikasi
Kapolda, Kepala Kepolisian Daerah, adalah jabatan tertinggi di lembaga kepolisian
daerah.
Malprosedur (malprocedure) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada terjadinya cacat prosedur dalam pelayan SIM, dalam arti bahwa ada

xxv
persyaratan administrasi dan atau prosedur yang terabaikan akibat perilaku
diferensial. Misalnya perilaku sebagai calo adalah contoh perilaku diferensial
yang dapat mengakibatkan malprosedur karena warga masyarakat yang
mengurus SIM tidak diwajibkan untuk mengikuti semua prosedur pelayanan
SIM, terutama ujian teori ataupun ujian praktek. Dengan demikian, maka
perilaku tersebut dianggap menyebabkan malprosedur yang akhirnya dapat
menghancurkan kredibilitas institusi.
Memaknai Obyek Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada bagaimana pelaku interaksi mempersepsi obyek pelayanan yang
diberikan (dalam hal ini adalah BGD) atau yang diterimanya (dalam hal ini
adalah WM).
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Pelaksanaan Aturan adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang memandang
bahwa pelayanan yang diberikan hendaknya didasarkan pada aturan dan
prosedur yang berlaku.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Tugas Dari Atasan adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang mempersepsi
bahwa pelayanan yang diberikan adalah merupakan tugas dari atasan
mereka, sehingga dalam prakteknya, BGD yang memaknai pelayanan
seperti ini cenderung menomorduakan peraturan, sehingga kemudian
muncul pemeo dalam pelayanan publik yang mengatakan Asal Bapak
Senang (ABS).
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Sarana Kepentingan Pribadi adalah suatu
pemaknaan yang diberikan oleh BGD terhadap obyek pelayanan yang
memandang bahwa pelayanan yang diberikan dapat dimanfaatkan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi terutama berupa uang. BGD yang
memaknai obyek pelayanan seperti ini cenderung berperilaku yang
mengakibatkan malprosedur.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Hak Warga adalah suatu pemaknaan yang
diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
pelayanan yang diterimanya adalah merupakan hak warga, sehingga WM
yang memaknai seperti ini cenderung menuntut pelayanan yang baik dari
BGD.

xxvi
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Kewajiban Warga adalah suatu pemaknaan
yang diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
obyek pelayanan (dalam hal ini adalah SIM) adalah merupakan kewajiban
warga. Kepemilikan SIM adalah sesuatu hal yang wajib bagi setiap
pengendara sepeda motor, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 14
Tahun 1999 tentang LLAJ.
Memaknai Obyek Pelayanan sebagai Jasa Terbeli adalah suatu pemaknaan yang
diberikan oleh WM terhadap obyek pelayanan yang memandang bahwa
untuk mendapatkan sebuah produk pelayanan dapat dilakukan dengan jalan
membeli pelayanan yakni dengan melalui jalan pintas seperti melalui calo,
menyogok petugas. Oleh karena itu, WM yang memaknai OP seperti ini
cenderung mencari jalan pintas untuk memperoleh pelayanan.
Metoda GGN adalah metoda yang digunakan dalam mengidentifikasi perilaku
diferensial yang muncul dalam interaksi antara SLB dengan warga kota.
OP, Obyek Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
jenis pelayanan yang diberikan, dengan mana dalam penelitian ini adalah
SIM.
Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah sebuah lembaga pemerintahan
yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
PNBP, Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah suatu jenis penerimaan yang
diperoleh negara yang berasal dari sektor non-pajak, misalnya dari biaya
administrasi pengurusan SIM.
PDf, Perilaku Diferensial, adalah suatu istilah yang dibuat oleh peneliti untuk
menunjuk kepada perilaku yang muncul dari hasil interaksi antara gaya-gaya
negosiasi birokrat garis-depan dengan warga masyarakat, jadi mencakup
semua perilaku yang menjadi temuan penelitian ini, baik itu perilaku
menyimpang maupun prosedural. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diferensial diartikan sebagai “bersangkutan dengan, menunjukkan, atau
menghasilkan perbedaan”. Jadi hasil interaksi atau perkawinan dari 8 gaya
negosiasi (kerjasama, pertukaran, intimidasi, percekcokan, kompensasi,
kolusi, kecurangan, dan kompromi) melahirkan sepuluh bentuk perilaku

xxvii
diferensial (turunan) yang diberi nama: perilaku superior, mengabaikan,
sebagai calo, mempersulit, mogok, menolak membayar, mencari gampang,
melayani, memperlakukan khusus korps tertentu, dan perilaku menyogok.
PDf-BGD, Perilaku diferensial yang titik beratnya pada BGD adalah suatu istilah
yang digunakan untuk menunjuk pada setiap bentuk perilaku diferensial yang
menguntungkan birokrat garis-depan, dilihat dari segi waktu, biaya, dan
ketertekanan psikologis.
PDf-WM, Perilaku diferensial yang titik beratnya mengarah pada WM adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjuk pada setiap bentuk perilaku
diferensial yang menguntungkan warga masyarakat, dilihat dari segi waktu,
biaya dan ketertekanan psikologis.
Perilaku diferensial yang interaktif adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada perilaku diferensial yang menguntungkan kedua belah pihak.
Meskipun demikian, hal ini bukan menjadi ukuran kualitas pelayanan SIM,
karena ternyata terdapat perilaku diferensial yang interaktif tetapi justru
dianggap dapat mengakibatkan maladministrasi. Contohnya perilaku kolusi,
sama-sama menguntungkan pelaku interaksi, tetapi melanggar aturan yang
berlaku atau merugikan institusi dan bahkan warga masyarakat lainnya.
Perilaku Ideal dalam pelayanan publik adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk kepada suatu perilaku dimana semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan publik tidak merasa dirugikan.
Perilaku Pelayanan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku organisasi dalam memberikan pelayanan publik, yang dapat dilihat
dari dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku dalam
organisasi. Dengan mengetahui bagaimana perilaku pelayanan yang ada,
maka dapat diketahui tingkat keefektifan organisasi tersebut. Apabila
perilaku pelayanan buruk, berarti organisasi tidak efektif dalam menjalankan
tugas pelayanan kepada masyarakat. Demikian sebaliknya, apabila perilaku
pelayanan memuaskan, berarti organisasi sangat efektif dalam menjalankan
tugas pelayanannya kepada masyarakat. Jadi dengan demikian, perilaku
pelayanan tidak lain adalah perilaku organisasi itu sendiri.
Perilaku Mencari Gampang adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku WM yang berusaha mencari cara yang mudah untuk

xxviii
memperoleh SIM, misalnya dengan membayar petugas yang berperilaku
sebagai calo atau melalui calo sipil. Warga yang cenderung berperilaku
seperti ini adalah mereka memiliki kesibukan dalam pekerjaannya sehari-hari
sehingga tidak ingin mengikuti semua prosedur pengurusan SIM.
Perilaku Memperlakukan Khusus (Customization) Korps Tertentu adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada perilaku BGD yang
memperlakukan secara khusus terhadap WM yang berasal dari golongan
tertentu seperti anggota TNI, anggota DPRD, atau wartawan. WM yang
berasal dari golongan tersebut tidak diwajbkan untuk mengikuti semua
prosedur yang ditentukan, terutama tes teori dan tes praktek. Perilaku
seperti ini akan melahirkan pelayanan yang diskriminatif dalam pelayanan
publik.
Perilaku Melayani (Serving) adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku BGD yang memberikan pelayanan yang baik kepada WM
sepanjang WM telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan.
Perilaku Mempersulit adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang biasanya mencari-cari alasan untuk mempersulit WM
yang ingin mengurus SIM dengan tujuan akhir agar warga tersebut bisa
mengikuti keinginan petugas.
Perilaku Mengabaikan (Playing Ignorant) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjuk kepada perilaku BGD yang secara sengaja dan sadar menunda-
nunda untuk menyelesaikan berkas WM, dan mendahulukan mengerjakan
atau melayani WM yang dinilainya dapat memberikan keuntungan pribadi.
Perilaku mengabaikan terutama dilakukan terhadap WM yang mengurus
sendiri SIMnya. Dikatakan sebagai mengabaikan (playing ignorant) karena
BGD yang berperilaku seperti ini seolah-olah bermain-main (sistem coba-
coba) untuk mengabaikan WM yang mengurus SIM sendiri, artinya ketika
WM tidak berusaha mendesak BGD atau mencari upaya lain, maka berkas
tersebut tidak akan diperdulikan.
Perilaku Menolak Membayar adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk
kepada perilaku WM yang menolak permintaan BGD atas sejumlah uang
diluar ketentuan resmi (aturan). Warga yang berperilaku seperti ini biasanya

xxix
dari WM yang terpelajar, mengetahui dan mampu memenuhi semua
persyaratan dan prosedur pelayanan SIM dengan baik.
Perilaku Mogok adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku WM yang tidak lagi berkeinginan untuk melanjutkan proses
pengurusan SIM melalui prosedur resmi, karena terkendala oleh prosedur
yang berbelit-belit dan sulit terutama tes praktek yang tidak mampu
dilulusinya. Beberapa warga yang mogok seperti ini kemudian melanjutkan
mengurus SIM, tetapi kali ini tidak melalui prosedur resmi, tetapi melalui jasa
calo baik calo sipil maupun BGD yang berperilaku sebagai calo. Hal ini
dilakukan mengingat kewajiban setiap pengendara sepeda motor untuk
memiliki SIM adalah hal yang mutlak sebagaimana yang diatur dalam pasal
18 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Perilaku Menyimpang adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
semua perilaku diferensial yang tidak sesuai dengan aturan dan prosedur
pelayanan SIM.
Perilaku Menyogok adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku WM yang memberikan sejumlah uang kepada BGD dengan tujuan
untuk memudahkan urusannya.
Perilaku Sebagai Calo adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang menjadi perantara bagi WM untuk mendapatkan SIM
diluar prosedur standar, dengan kompensasi sejumlah uang. BGD yang
berperilaku sebagai calo ini umumnya mondar-mandir di luar ruangan
pelayanan untuk mencari WM yang ingin mengurus SIM. Setelah terjadi
kesepakan harga yang harus dibayar oleh WM, maka petugas tadi yang
mengurus semua prosedur untuk memperoleh SIM, termasuk menjawab
soal-soal untuk ujian teori.
Perilaku Superior adalah suatu isitilah yang digunakan untuk menunjuk kepada
perilaku BGD yang menggunakan kekuasaannya secara negatif untuk
memperoleh keuntungan pribadi dengan menerapkan aturan dengan ketat,
terutama tes praktek mengendarai yang formatnya dirasakan oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan.

xxx
Warga Masyarakat adalah warga Kota Makassar baik yang sedang mengurus SIM
yang menjadi obyek pengamatan dalam penelitian maupun calon pengguna
jasa layanan dimasa yang akan datang.
SIM, Surat Izin Mengemudi adalah sebuah surat izin yang wajib dimiliki oleh
pengendara sepeda motor, yang diberikan oleh lembaga kepolisian kepada
warga masyarakat yang telah memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1999 tentang SIM.

xxxi
Scanned by CamScanner
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kajian tentang perilaku birokrasi khususnya terhadap Birokrasi Garis-

Depan selanjutnya disingkat BGD (front-line bureaucracy) yang dikenal pula

dengan istilah street-level bureaucracy (Lipsky, 1980) merupakan hal yang

sangat penting. Hal ini disebabkan karena kualitas penyelenggaraan pelayanan

publik sangat ditentukan oleh birokrasi garis-depan yang berinteraksi langsung

dengan masyarakat guna melaksanakan pelayanan publik. Oleh karena itu,

maka birokrat garis-depan yang berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat

publik, idealnya harus memiliki integritas yang tinggi, yang tercermin dari perilaku

yang ditampilkan dalam menjalankan tugas pelayanan publik, seperti jujur,

ramah, efisien, adil, sopan santun, cepat tanpa prasangka atau salah urus. Dia

juga harus bisa memastikan bahwa uang publik dapat digunakan dengan wajar,

efektif dan efisien (Saleh, 2004), sehingga pelayanan publik dapat akuntabel.

Akuntabilitas birokratis adalah sebuah persyaratan yang esensial dari

manajemen publik di negara demokratis. Lebih dari dua dekade yang lalu,

penelitian street-level bureaucracy telah mulai muncul sebagai sebuah strategi

untuk menguji praktek dan akuntabilitas organisasi dan manajemen publik

(Brodkin, 2001). Semakin demokratisnya pemerintahan akibat adanya perubahan

struktur politik menyebabkan masyarakat semakin berani melakukan koreksi

terhadap perilaku birokrasi yang lebih berorientasi kepada kelompok kepentingan

tertentu di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.


2

Perilaku birokrasi yang lebih berorientasi kepada kelompok kepentingan

tertentu, nampaknya bukan hanya menjadi permasalahan di hampir semua

negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga terjadi di negara maju seperti

Amerika Serikat dan Swedia. Akibat dari menonjolnya perilaku birokrasi seperti

ini, maka sejak tahun 1809 di Swedia dibentuk Parliamentary Ombudsman, yang

merupakan lembaga Ombudsman pertama di dunia, dengan tujuan untuk

membela hak-hak sipil (civil rights) dan hak-hak kewarganegaraan (civic rights).

Dari sekian prestasinya, rata-rata dalam setahun 35 persen sampai 40 persen

keluhan masyarakat bisa ditangani dan diperbaiki berkat campur tangan

ombudsman. Di Indonesia, lembaga semacam ini pertama kali dibentuk pada

saat pemerintahan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, melalui Keppres No. 44

Tahun 2000, dan diberi nama Komisi Ombudsman Nasional (KON).

Krisis kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik muncul karena

selama ini birokrasi publik hanya menjadi instrumen atau alat bagi penguasa

Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil

maupun militer, dalam rezim Orde Baru telah menempatkan dirinya lebih sebagai

alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya. Kepentingan penguasa

cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Ini

ditandai dari setiap kebijakan publik yang diambil pada dasarnya hanya

mendahulukan kepentingan penguasa, sedangkan kepentingan masyarakat

menjadi nomor dua. Demikian pula, dalam proses perumusan kebijakan,

masyarakat dibatasi ruang geraknya untuk berpartisipasi sehingga banyak

kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif terhadap

kebutuhan masyarakat, sehingga akhirnya kebijakan dan program-program


3

tersebut gagal di lapangan karena tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat

yang menjadi target group dari kebijakan tersebut.

Sedangkan dari segi pelayanan publik, muncul officialdom (kerajaan

pejabat) sebagai akibat dari penerapan prinsip hirarki dalam birokrasi

pemerintahan. Pejabat dalam sistem “officialdom” adalah orang yang menduduki

jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah, dimana kekuasaannya amat

menentukan model pelayanan terhadap publiknya, karena segala urusan yang

berhubungan dengan jabatannya yang disusun dalam bentuk hirarki dari atas ke

bawah.

Disamping itu, meluasnya praktek-praktek KKN (kolusi, korupsi, dan

nepotisme) dalam kehidupan birokrasi publik menjadikan image (penilaian)

masyarakat semakin buruk terhadap birokrasi publik. KKN tidak hanya telah

membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh

masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal

pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah. Masyarakat harus

membayar lebih mahal, tidak hanya ketika menyelesaikan urusan KTP, SIM,

paspor, dan berbagai perizinan, tetapi juga ketika mereka mengkonsumsi barang

dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta, seperti jalan tol, semen,

transportasi, dan komoditas lainnya. KKN diyakini oleh publik menjadi sumber

dari bureaucratic costs dan distorsi dalam mekanisme pasar seperti praktik

monopoli dan oligopoli yang amat merugikan kepentingan publik (Dwiyanto, dkk.

2002).

Buruknya kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia selama ini

diakibatkan oleh berbagai patologi birokrasi, sehingga muncul ungkapan bahwa

“tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi, sebaliknya
4

tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus” (Siagian,

1994: 35). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa sebaik-baik sebuah birokrasi

pasti ada kelemahannya, namun juga pasti ada sisi baiknya.

Demikian buruknya kinerja birokrasi pelayanan publik, maka berbagai

upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik. Beberapa

diantaranya dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru yakni melalui

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan

Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat, yang kemudian

ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

(Kepmenpan) Nomor 81/1993 yang mengatur tentang Pedoman Tatalaksana

Pelayanan Umum.

Pada masa reformasi berbagai peraturan perundangan juga telah dibuat

oleh pemerintah dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik. Hal ini

tercermin dari dikeluarkannya Kepmenpan No. 63/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai pengganti dari Kepmenpan Nomor

81/1993. Pedoman ini dapat mendukung terwujudnya good governance, karena

didalamnya memuat prinsip atau azas seperti transparansi, akuntabilitas,

kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban,

kesederhanan prosedur, kejelasan, kepastian waktu, akurat, keamanan, dan

tanggung jawab. Dengan demikian, pemerintah berharap agar aparatur negara

khususnya birokrat garis depan mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara

profesional, produktif, transparan, dan bebas dari KKN.

Upaya lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik maka pemerintah

telah mengeluarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan


5

Masyarakat terhadap Unit Pelayanan Instansi Pemerintah dan Kepmenpan No.

26/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Indeks kepuasan masyarakat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai

tingkat kualitas pelayanan. Disamping itu, data indeks kepuasan masyarakat

akan dapat menjadi bahan penilaian terhadap unsur pelayanan yang masih perlu

perbaikan dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan untuk

meningkatkan kualitas pelayanannya. Untuk menentukan unsur penilaian maka

Kementerian PAN telah bekerja sama dengan BPS untuk mengetahui unsur

penting yang mencakup berbagai sektor layanan yang sangat bervariasi. Dari

hasil penelitian diperoleh 48 (empat puluh delapan) unsur penting, namun dari

hasil pengujian akademis/ilmiah diperoleh 14 (empat belas) unsur yang dapat

diberlakukan untuk semua jenis pelayanan, untuk mengukur Indeks kepuasan

masyarakat unit pelayanan.

Meskipun telah banyak aturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia, namun nampaknya kinerja pelayanan publik yang

dilaksanakan oleh birokrat garis-depan tetap saja belum maksimal. Misalnya

saja untuk pelayanan publik yang diberikan oleh lembaga kepolisian masih saja

menuai banyak kritikan dari masyarakat. Keluhan masyarakat terhadap kinerja

lembaga kepolisian banyak kita jumpai baik melalui media massa seperti televisi,

radio, dan surat kabar, maupun keluhan yang dapat kita dengar langsung dari

warga masyarakat yang telah berinteraksi dengan birokrat kepolisian dalam

rangka memperoleh sebuah jenis pelayanan dari lembaga tersebut.

Lembaga kepolisian sebagai salah satu lembaga birokrasi pemerintah yang

berinteraksi langsung dengan warga masyarakat dalam memberikan pelayanan


6

selama ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat akibat perilaku dari aparat

kepolisian yang menyakiti rakyat. Sebuah lembaga riset di Hongkong, yakni

PERC (Political and Economic Risk Consultancy) beberapa waktu lalu pernah

menilai citra polisi Indonesia sangat buruk dibanding polisi di negara lain (Khoidin

dan Sadjijono, 2006). Hal senada juga pernah dilontarkan oleh Ketua Lembaga

Tranparansi Internasional Indonesia (TII), Todung Mulya Lubis, ketika

menyampaikan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya

bahwa Polri merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia, selain DPR,

Partai Politik dan Lembaga Peradilan (Kompas 6 Januari 2007).

Jika dilihat dari tugas pokok kepolisian yakni untuk memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (UU No. 2 Tahun 2002 pasal

13), maka dapat dikatakan bahwa polisi mengemban tugas yang sangat mulia

sebagai pelayan umum (public servant). Oleh karenanya, polisi berkewajiban

melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, masyarakat

yang harus melayani polisi. Semestinya masyarakat merasa aman dan tenteram

bersama polisinya. Bukannya justru keberadaan polisi malah menakutkan

masyarakat. Hal itu didasarkan pada kenyataan masih banyaknya perilaku

menyimpang oleh polisi yang nakal. Penyimpangan perilaku sebenarnya dapat

dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Namun karena

keberadaan polisi amat dekat dengan masyarakat, maka penyimpangan oleh

oknum polisi akan sangat menyakitkan dan membekas di hati masyarakat.

Penggunaan istilah oknum terhadap polisi yang berperilaku menyimpang

dari aturan menjadi kontroversi saat ini. Secara empirik, banyak kalangan

menilai bahwa istilah oknum dapat digunakan jika persentase dari jumlah polisi
7

yang melakukan itu sangat rendah, tetapi jika persentasenya sangat tinggi maka

tidak dapat lagi dikatakan sebagai oknum. Dalam sebuah acara diskusi interaktif

yang dilakukan Pro 3 RRI Banjarmasin pada tanggal 12 September 2007, yang

mengambil tema tentang Citra Polisi dimata masyarakat, pada umumnya warga

masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam acara interaktif tersebut menilai bahwa

lembaga kepolisian di Indonesia citranya sangat jelek, termasuk dalam hal

pengurusan SIM. Salah seorang warga masyarakat Jambi bernama Nurdin

mengatakan bahwa dalam pengurusan SIM birokrasinya sangat berbelit-belit di

samping itu pula polisi nampaknya “bermain”. Selain terdapat calo sipil, maka

polisi juga menjadi calo dalam pengurusan SIM, sehingga warga masyarakat

yang dirugikan karena harus membayar mahal biaya pelayanan SIM. Dari

beberapa warga masyarakat yang berpartisipasi, pada umumnya menilai bahwa

kinerja kepolisian masih sangat rendah, termasuk dalam hal pengurusan SIM.

Kenyataan yang sama juga dapat ditemui di Kota Makassar, menurut

mantan Kepala Satuan Lalu Lintas Polwiltabes Makassar Ajun Komisaris Polisi

Irianto, pelayanan surat izin mengemudi (SIM) setiap hari menerima kurang lebih

200-an orang yang mengurus dan memperpanjang SIM-nya, sementara jumlah

tenaga dan prasarana alat yang dimiliki Polwiltabes Makassar sangat terbatas

akibatnya terjadi antrean panjang setiap hari. Kondisi demikian memberi peluang

terjadinya praktek-praktek percaloan yang merugikan masyarakat. Biaya

administrasi yang ditetapkan berdasarkan aturan yaitu sebesar Rp 75.000,-

(tujuh puluh lima ribu) untuk SIM Baru dan Rp 60.000,- (enam puluh ribu) untuk

perpanjangan, namun dalam kenyataannya untuk mempercepat proses

pembuatan SIM biasanya seseorang menggunakan jasa pihak ketiga dengan


8

cara membayar lebih besar yakni sekitar Rp 200 ribu untuk SIM C dan Rp 300

ribu untuk SIM B (Tribun Timur, 12 Juni 2006).

Rendahnya kualitas pelayanan publik tidak saja disebabkan oleh karena

faktor internal organisasi seperti sarana dan prasarana pelayanan serta kualitas

moral SDM yang rendah, akan tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor eksternal

organisasi seperti pengguna jasa dalam hal ini adalah warga masyarakat yang

tidak kooperatif. Bahkan terdapat pula pengguna jasa layanan yang cenderung

ingin mencari jalan pintas dengan menampilkan perilaku sebagai “pembeli” jasa

layanan (Soedarmo, 1998). Hal yang sama terungkap dalam penelitian

pendahuluan pada Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar, salah seorang

anggota masyarakat yang mengurus SIM mengatakan bahwa dirinya rela

membayar dua kali lipat biaya pelayanan dari harga yang ditetapkan (dalam

istilah Soedarmo, 1998 disebut sebagai warga “pembeli”). Warga masyarakat

yang berperilaku sebagai “pembeli” jasa ini biasanya disebabkan karena tidak

ingin antri terlalu lama, dan tidak ingin mengikuti berbagai prosedur yang ada

seperti mengikuti tes teori dan tes praktek yang dinilainya hanya membuang-

buang waktu (Hasil wawancara pendahuluan, 14 April 2006).

Sejalan dengan itu, Khoidin dan Sadjijono mengemukakan bahwa kondisi

masyarakat dapat menjadi penyebab kualitas pelayanan buruk. Dalam banyak

kasus suap atau kolusi, kadang justru masyarakatlah yang menawarkan kepada

polisi. Masyarakat menghendaki penyelesaian suatu kasus/perkara secara

dibawah tangan dengan membayar sejumlah uang. Masyarakat mau

gampangnya saja dalam menyelesaikan suatu perkara. Jadi, ada sikap tahu

sama tahu antara masyarakat dengan polisi (Khoidin dan Sadjijono (2006: 12).

Dengan demikian, nampak bahwa kualitas pelayanan publik tidak saja ditentukan
9

oleh birokrat garis-depan sebagai pihak yang melayani tetapi juga sangat

ditentukan oleh warga masyarakat sebagai pihak yang dilayani.

Secara empirik, birokrasi garis-depan dalam hal ini adalah lembaga

kepolisian merupakan aparat pemerintah yang paling langsung dan paling sering

berhadapan dengan warga masyarakat. Karena dekatnya hubungan antara

polisi dengan masyarakat yang demikian, sehingga sangat memungkinkan

terjadinya gesekan dan perilaku menyimpang. Karena itu, permasalahan sekitar

hubungan atau interaksi antara birokrasi garis-depan dengan warga kota perlu

mendapat kajian yang lebih tajam.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Peran birokrat garis-depan (BGD) dalam hal ini adalah birokrat kepolisian

atau petugas kepolisian (istilah ini digunakan silih berganti dalam penelitian ini)

yang berinteraksi langsung dengan masyarakat sangat penting artinya dalam

penyelenggaraan pelayanan publik, karena bagaimana pun baiknya sebuah

kebijakan dalam sistem pelayanan publik telah dirancang, dalam hal ini adalah

standar pelayanan publik, namun apabila birokrat yang bertugas untuk melayani

tidak mampu menjabarkan kebijakan itu secara tepat dan benar, maka pelayanan

yang diberikan tidak akan memuaskan masyarakat yang dilayani. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan publik sangat ditentukan

oleh perilaku birokrat garis-depan yang berinteraksi langsung dengan

masyarakat dalam memberikan pelayanan.

Apabila merujuk kepada pengertian perilaku yakni suatu fungsi dari

interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya (Gibson, dkk. 1996,

Thoha, 1998, dan Robbins, 1999), maka perilaku seseorang itu tidak hanya
10

ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan ditentukan sampai sejauhmana

interaksi dirinya dengan lingkungannya (Robbins, 1999). Dalam Interaksi antara

birokrat garis-depan dengan warga kota diasumsikan membawa nilai-nilai, sifat

dan karakternya masing-masing yang pada akhirnya akan membentuk perilaku

keduanya (birokrat dan warga masyarakat).

Sebenarnya telah ada beberapa penelitian yang telah mengkaji antara

interaksi garis-depan dan warga masyarakat dalam pelayanan publik, antara lain

adalah yang telah dilakukan oleh Soedarmo. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Soedarmo (1998) terhadap empat kantor pelayanan masyarakat yakni

pelayanan izin usaha (SIUP), pelayanan izin bangunan (IMB), pelayanan akta

kelahiran, dan pelayanan kartu tanda penduduk berhasil mengidentifikasi

adanya 5 (lima) sifat yang dominan pada birokrat garis-depan yang disebutnya

sebagai orientasi individu. Kelima sifat dominan tersebut adalah sebagai berikut:

orientasi kepada masyarakat, orientasi kepada prestise, orientasi kepada

peraturan, orientasi kepada atasan, dan orientasi kepada keuntungan.

Sedangkan sifat-sifat dominan yang ada pada warga berhasil diidentifikasi oleh

Soedarmo ada 3 (tiga) yakni: penuntut, pembeli dan penurut. Hasil interaksi dari

sifat yang dominan dari birokrat garis-depan dengan warga kota menghasilkan 8

(delapan) gaya negosiasi, yakni: kerjasama, pertukaran, intimidasi, percekcokan,

kompensasi, kolusi, kecurangan, dan kompromi (lihat tabel 1.1). Penelitian ini

sebenarnya telah melanjutkan hasil penelitian Soedarmo (1998), dengan fokus

penelitian ini adalah bagaimana bentuk perilaku yang muncul ketika gaya-gaya

negosiasi itu berinteraksi. Interaksi antara gaya-gaya negosiasi yang ditempuh

baik oleh birokrat garis-depan maupun warga masyarakat akan menghasilkan


11

tindakan atau respons. Respons atau tindakan inilah yang selanjutnya penulis

defenisikan sebagai perilaku diferensial (disingkat PDf).

Tabel 1.1 Gaya Negosiasi Dominan Berdasar Pemaknaan Objek Pelayanan


oleh Pelaku Interaksi (Petugas dan Warga Masyarakat)

Petugas Pelayanan Pelayanan Pelayanan


Sebagai Sebagai Sebagai Sarana
Warga Kota Pelaksanaan Tugas Dari Kepentingan
Aturan Atasan Pribadi
Pelayanan Kerjasama Kompromi Kecurangan
Sebagai
Hak Warga Kota
Kompromi Percekcokan Percekcokan
Obyek Kompromi Intimidasi
Pelayanan
Sebagai
Kewajiban Warga Kompromi Kecurangan

Pelayanan Percekcokan Kompromi Kolusi


Sebagai
Jasa Terbeli
Kecurangan Kompensasi Pertukaran
Sumber: Soedarmo, 1998.

Disamping itu, memang telah ada upaya untuk mengembangkan teori

tentang birokrasi garis-depan sebelum Soedarmo (1998). Seperti yang

dikemukakan oleh Lipsky (1985) dalam bukunya yang berjudul “Street-Level

Bureaucracy: Dilemmas of the Individual in Public Service”. Namun Lipsky

mengakui bahwa kajiannya hanya mencari jawaban atas pertanyaan tentang

faktor-faktor perilaku dan psikologik yang umum ditemukan pada birokrasi garis-

depan, khususnya pada pekerja sosial. Oleh karena itu, teori yang

dikembangkan oleh Lipsky (1985) lebih relevan untuk birokrat garis-depan yang

mengimplementasikan kebijakan-kebijakan sosial. Dengan demikian maka

penelitian ini mengembangkan teori Lipsky, dengan mana secara khusus

mengkaji bagaimana perilaku yang muncul dalam interaksi antara birokrat garis-
12

depan dengan warga masyarakat yang berlangsung dalam suatu institusi

pelayanan publik, seperti dalam pelayanan SIM.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian disertasi ini

memfokuskan pada beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah bentuk perilaku diferensial yang terjadi dalam interaksi

antara gaya-gaya negosiasi birokrat garis-depan dengan gaya-gaya

negosiasi warga masyarakat?

1.2.2 Pihak mana yang diuntungkan dan pihak mana yang dirugikan dari setiap

bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi tersebut?

1.2.3 Siapa aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan dalam

pelayanan SIM di Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi:

1.3.1 Bentuk-bentuk perilaku diferensial yang muncul dari hasil interaksi antara

gaya-gaya negosiasi birokrat garis-depan dengan gaya-gaya negosiasi

warga masyarakat.

1.3.2 Pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan dari setiap bentuk

perilaku diferensial dalam interaksi antara birokrat garis-depan dengan

warga masyarakat.

1.3.3 Aktor dominan penentu perilaku pelayanan dalam pelayanan SIM di Kota

Makassar.
13

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik akademis

maupun praktis sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Akademis:

a. Memberi kontribusi akademis bagi pengembangan teori perilaku

berupa model dan proposisi tentang perilaku pelayanan publik

(grounded theory).

b. Dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti lanjutan yang ingin

mengkaji tentang perilaku birokrat garis-depan dalam interaksi

dengan warga masyarakat dalam pelayanan publik.

1.4.2 Manfaat Praktis:

a. Sebagai bahan pertimbangan praktis bagi pimpinan organisasi

Satlantas Polwiltabes Makassar terutama pada pengambilan

keputusan dalam upaya pembenahan terhadap aspek yang berkaitan

dengan “keperilakuan” sehingga dapat mengarahkan perilaku

anggotanya kepada upaya perbaikan pelayanan yang dapat

memuaskan masyarakat.

b. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan yang

berkaitan dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pelayanan

publik, sehingga dapat mendukung terciptanya pelayanan publik yang

sesuai dengan kebutuhan masyarakat.


Scanned by CamScanner
II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Birokrasi dan Adminisrtasi Publik

Berbicara tentang administrasi publik maka tidak lain adalah berbicara

tentang penyelenggaraan administrasi pemerintahan, dimana salah satu ruang

lingkupnya adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, maka

pada bagian awal tinjauan pustaka ini diuraikan secara singkat tentang birokrasi

dan administrasi publik.

Istilah birokrasi seringkali diasumsikan sebagai ciri organisasi modern.

Birokrasi selalu disamakan dengan proses administrasi yang berbelit-belit,

sehingga membutuhkan waktu yang lama, biaya yang lebih besar, serta dapat

menimbulkan ongkos-ongkos psikologis. Anggapan demikian menjadikan makna

birokrasi menjadi sesuatu yang dianggap tidak efisien, tidak efektif, dan bahkan

tidak adil. Namun demikian, anggapan seperti itu tidaklah semuanya benar,

karena secara obyektif sebenarnya dapat diakui bahwa birokrasi juga

mempunyai ciri-ciri yang ideal dipandang dari aspek formalnya (Ismani, 2001).

Hal tersebut juga disadari oleh Weber bahwa meskipun banyak

kelemahan-kelemahan yang muncul dalam birokrasi, namun ia tetap percaya

bahwa kebaikan-kebaikan yang dihasilkan oleh birokrasi lebih banyak apabila

dibandingkan dengan keburukan yang ditimbulkannya. Dengan dilatarbelakangi

oleh semangat kapitalisme, Weber berusaha memformulasikan struktur birokrasi

yang diorientasikan untuk menciptakan efisiensi dan rasionalitas sesuai dengan

tuntutan masyarakat kapitalistik.


15

Meskipun Weber tidak memberikan defenisi tentang birokrasi, namun

sebuah organisasi yang rasional menurut Weber harus memiliki sedikitnya

karakteristik berikut ini

(1) Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-
tugas impersonal jabatan mereka; (2) Ada hirarki jabatan yang jelas; (3)
Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas; (4) Para pejabat diangkat
berdasarkan suatu kontrak; (5) Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi
profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh
melalui ujian; (6) Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun,
gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu
menempati posisinya dan dalam keadaan tertentu ia dapat diberhentikan;
(7) Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja
pokoknya; (8) Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan
berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan
keunggulan (superior); (9) Pejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya
maupun dengan sumber yang tersedia di posnya tersebut, dan (10) Ia
tunduk pada sistem disiplin dan kontrol seragam (dalam Albrow, 1989).

Dari karakteristik organisasi rasional yang dikemukakan oleh Weber di

atas, lebih memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi yang bersifat

umum. Defenisi birokrasi Weberian memang tidak membuat batas yang jelas

antara birokrasi publik dan birokrasi privat, meskipun sebenarnya Weber lebih

banyak menyinggung birokrasi publik. Hal ini tergambar dari karakteristik yang

dikemukakan oleh Weber di atas, cenderung lebih cocok dengan birokrasi publik,

misalnya pada karakteristik nomor 6 tentang sistem penggajian dan hak pensiun,

yang mana pada birokrasi privat sistem penggajian terutama didasarkan pada

kinerja seseorang, dengan mana semakin baik kinerjanya, maka semakin tinggi

gaji yang diterima. Demikian pula hak pensiun, dalam birokrasi privat tidak

dikenal adanya hak pensiun bagi pegawai yang telah habis masa tugasnya,

tetapi hanya berupa pemberian pesangon.

Dalam perspektif lain, birokrasi diartikan sebagai personil atau pegawai

tetap pemerintahan, yang dalam hal ini adalah pegawai negeri baik sipil maupun
16

militer. Pada administrasi tingkat bawah (street-level bureaucracy) kekuasaan

negara tergambar dari adanya hubungan langsung dengan warga masyarakat

yang dilayani. Dalam perilaku birokrasi tingkat bawah atau birokrasi garis-depan

inilah banyak kita jumpai watak asli kekuasaan negara, karena pada birokrasi

garis-depan inilah kebijakan negara diterima secara langsung oleh pengguna

jasa layanan publik yang dalam hal ini adalah warga masyarakat.

Kajian tentang administrasi publik di berbagai negara terus berkembang.

Berbagai perubahan telah terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas

persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi

oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan ilmu administrasi publik (Saleh

dan Muluk, 2005). Dan hingga sekarang menurut Denhardt & Denhardt

(2003) terdapat 3 perspektif administrasi publik yakni old public administration,

new public management dan new public service. Perspektif pertama yang

merupakan perspektif klasik, berkembang sejak tulisan Wilson tahun 1887 yang

berjudul “The Study of Administration.” Terdapat dua gagasan utama dalam

perspektif klasik ini. Gagasan pertama menyangkut pemisahan politik dan

administrasi. Administrasi publik tidak secara aktif dan ekstensif terlibat dalam

pembentukan atau perumusan kebijakan karena tugas utamanya adalah

implementasi kebijakan dan sebagai penyedia layanan publik. Dalam

menjalankan tugasnya, administrator publik hendaknya berlaku adil, dan

profesional.

Gagasan kedua adalah menyangkut nilai yang ingin dikedepankan dalam

perspektif ini, yakni bahwa administrasi publik seharusnya berusaha sekeras

mungkin untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya melalui struktur

organisasi terpadu dan bersifat hirarkhis. Gagasan ini terus berkembang melalui
17

para pakar seperti Taylor (1923) dengan “scientific management”, White (1926)

dan Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat

efisien, dan Gullick $ Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronim

POSDCORB-nya.

Dengan mengacu kepada dua gagasan utama tersebut, perspektif klasik

memberikan perhatian yang besar terhadap fokus pemerintahan dengan

penyediaan layanan secara langsung kepada masyarakat melalui badan-badan

publik atau birokrasi pemerintahan.

Perspektif old public administration berpandangan bahwa (1) organisasi

publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga

keterlibatan warga negara dalam pemerintahan perlu dibatasi; (2) peran utama

administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan,

pengorganisasian, pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian,

pelaporan, dan penganggaran (Saleh dan Muluk, 2005).

Untuk menghindari terjadinya penyelenggaraan pemerintahan yang

berorientasi kepentingan tertentu, maka secara tegas harus diterapkan berbagai

prinsip didalam ajaran birokrasi klasik tersebut. Dalam model “ideal type” (tipe

ideal) Weber, disebutkan adanya lima prinsip tata hubungan organisasi yang

rasional yakni (1) kepastian hukum, (2) tata jenjang dalam kedinasan (hirarki), (3)

dokumentasi; (4) spesialisasi, dan (5) hubungan kerja diantara orang-orang

dalam organisasi didasarkan atas prinsip impersonal (Thoha, 1991).

Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh cirinya yang telah disebutkan

sebelumnya dapat diterapkan dengan baik dalam organisasi khususnya dalam

birokrasi pemerintahan, maka akan berdampak positif bagi kehidupan berbangsa

dan bernegara. Misalnya saja jika sistem promosi yang betul-betul didasarkan
18

pada sistem merit (keahlian) maka pegawai yang akan menempati posisi tertentu

akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karena sesuai dengan latar

belakang keahlian yang dimilikinya, dan ini sesuai dengan prinsip the right man

on the right place. Dengan demikian, maka proses rekrutmen seperti ini akan

jauh dari praktek nepotisme. Sistem seperti ini sebenarnya telah diterapkan

pada organisasi-organisasi seperti perbankan yang sangat mementingkan

profesionalitas dari pegawai yang direkrutnya.

Meskipun demikian, tipe ideal dari Weber di atas bukan tanpa masalah

apabila ingin diterapkan secara tegas. Hal ini terutama pada penerapan prinsip

hirarki, dimana administrasi publik diawasi oleh dan bertanggung jawab kepada

pejabat politik yang dipilih, sehingga sulit terjadi penyimpangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi masalahnya kemudian ialah ketika

prinsip tersebut ingin diterapkan sepenuhnya di lapangan, beberapa dari prinsip

tersebut kenyataannya sulit. Misalnya saja, apabila struktur atau hirarki

organisasi dibuat terlalu kaku, maka dalam menjalankan tugasnya para birokrat

yang duduk dalam struktur tersebut tidak dapat mengambil diskresi sebagai

wujud responsivitasnya terhadap kepentingan dan tuntutan masyarakat yang

dilayaninya. Demikian pula halnya dalam usaha menciptakan kolaborasi antar

sesama anggota organisasi atau dengan pihak eksternal organisasi akan sulit

dilaksanakan, sehingga dengan demikian akan menyebabkan birokrasi menjadi

kurang kreatif dan kurang responsif terhadap tuntutan lingkungan di mana

organisasi pemerintahan itu berada. Kondisi semacam ini tidak sesuai zaman

demokrasi sekarang, yang menuntut organisasi publik untuk senantiasa berpacu

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat memberikan

pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat, sehingga mau tidak mau


19

organisasi publik harus selalu melakukan kerjasama atau link and match dengan

pihak eksternal organisasi agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal

kepada warga masyarakat yang semakin hari semakin kritis.

Akibat adanya kecenderungan kekakuan itulah, maka Blau dan Meyer

(2000) lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya kekakuan

(inflexibility) dan kemandeqan struktural (structural static), tata cara yang

berlebihan (ritualism), pengabaian (alienation), dan menutup diri terhadap

perbedaan pendapat (constrain of dissert). Kondisi seperti ini mengakibatkan

birokrasi cenderung kurang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat dan

jauh dari nilai-nilai demokrasi (democracy values). Sebagai contoh, Islamy

(1998) menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik disektor pemerintahan,

pendidikan, kesehatan, dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal

dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas

pelayanan yang diberikannya.

Denhardt (1991) sebenarnya telah memberikan koreksi secara tidak

langsung terhadap bentuk hirarki birokrasi ala Weber tersebut yang banyak

dianut oleh birokrasi pemerintahan, dengan banyak memperlihatkan praktek-

praktek officialdom. Pejabat birokrasi pemerintahan adalah sentra dari

pelayanan terhadap publik. Publik atau masyarakat sangat tergantung pada

pejabatnya dalam memberikan pelayanan, bukannya sebaliknya. Kritikan lain

juga datang dari Warren Bennis, ia adalah salah seorang teoritisi dari aliran

behavioral (hubungan kemanusiaan) yang banyak memberikan kritik kepada

aliran birokrasi klasik. Didalam karyanya yang berjudul: Beyond Bureaucracy:

Essay on the Development and Evolution of Human Organization (Bennis, 1975).

Bennis menulis bahwa birokrasi Weberian sekitar 25 s/d 50 tahun yang


20

akan datang (dihitung sejak tulisan tersebut) kita bersama-sama akan

menyaksikan jatuhnya birokrasi Weber dan diganti dengan sistem sosial yang

baru yang sesuai dengan harapan masyarakat pada abad ke-20 (Thoha, 1984).

Dalam tulisan tersebut, Bennis menyatakan bahwa berbagai prinsip di dalam

birokrasi klasik telah wafat. Ada berbagai aspek yang kurang diperhitungkan

didalam ajaran birokrasi klasik, seperti: proses kematangan yang terjadi pada diri

individu sebagai anggota organisasi, manfaat yang diperolah dari terjadinya

hubungan informal di dalam organisasi. Ajaran dalam birokrasi klasik kurang

memprediksikan kemajuan yang terjadi di berbagai bidang, seperti kemajuan

teknologi dan pendidikan, pertumbuhan jumlah penduduk, pertambahan wanita

aktif dalam kegiatan ekonomi. Perubahan dari berbagai aspek tersebut

semuanya mempengaruhi proses pelaksanaan organisasi besar seperti

organisasi pemerintahan atau birokrasi.

Kritikan Bennis itu didasarkan atas suatu prinsip evolusi bentuk tatanan

sistem organisasi yang sesuai dengan zamannya. Dikatakan oleh Bennis bahwa

bentuk hirarki piramida yang dikenal dalam sosiologi sebagai birokrasi dianggap

telah ketinggalan zaman, karena kurang mampu untuk mengikuti perkembangan

teknologi yang turut mempengaruhi kinerja organisasi pemerintahan.

Bersamaan dengan Bennis, Lawrence dan Lorsch (1967) menyatakan

bahwa bentuk birokrasi yang organik diperlukan untuk situasi lingkungan yang

kompleks dan turbulence, bukannya birokrasi yang berbentuk mekanik yang

selama ini terjadi hanya untuk hal-hal yang bersifat rutin dan stabil. Birokrasi

yang organik senantiasa dapat mengikuti dinamika perkembangan yang ada di

dalam masyarakat sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan

lingkungan yang selalu berubah. Oleh karena itu maka dalam penyelenggaraan
21

pemerintahan perlu mengedepankan nilai-nilai demokrasi (democratic values)

dan mendahulukan kepentingan masyarakat (public interest) (Denhardt &

Denhardt, 2003).

Selama periode perspektif old public administration ini, terdapat dua

pandangan utama lainnya, yang turut berpengaruh terhadap ajaran ini. Pertama

adalah pandangan Simon (1957) yang tertuang dalam karya klasiknya

“administrative behavior”. Simon mengungkapkan bahwa preferensi individu dan

kelompok seringkali berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Organisasi

pada dasarnya tidak sekedar berkenaan dengan standar tunggal efisiensi, tetapi

juga dengan berbagai standar lainnya. Konsep utama yang ditampilkan oleh

Simon adalah rasionalitas. Manusia pada dasarnya dibatasi oleh derajat

rasionalitas tertentu yang dapat dicapainya dalam menghadapi suatu persoalan,

sehingga untuk mempertipis batas tersebut manusia bergabung dengan yang

lainnya guna mengatasi segala persoalannya secara efektif. Meski nilai utama

yang hendak dijadikan dasar bertindak manusia adalah rasionalitasnya, namun

Simon mengungkapkan bahwa dalam organisasi manusia yang rasional adalah

yang menerima tujuan organisasi sebagai nilai dasar bagi pengambilan

keputusannya. Dengan demikian orang akan berusaha mencapai tujuan

organisasi dengan cara yang rasional dan menjamin perilakunya selalu mengikuti

langkah yang paling efisien bagi organisasi. Dengan pandangan ini, posisi

rasionalitas dipersamakan dengan efisiensi. Hal ini tampak dalam pandangan

Denhardt & Denhardt (2003) bahwa “for what Simon called „administrative man,‟

the most rational behavior is that which moves an organization efficiency toward

its objective.”
22

Pandangan berbeda kedua dalam perspektif old public administration

adalah public choice (pilihan publik). Pandangan ini merupakan penafsiran baru

atas perilaku administrasinya Simon (1957), dan yang lebih dekat dengan

pandangan economic man. Teori pilihan publik ini didasarkan pada tiga asumsi

kunci. Pertama, teori ini memusatkan perhatian pada individu dengan asumsi

bahwa pengambil keputusan perorangan adalah orang yang rasional,

mementingkan dirinya sendiri, dan berusaha memaksimalkan manfaat yang

diperolehnya. Dengan demikian, seseorang senantiasa berusaha mencari

keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya dari apa

yang mereka putuskan. Kedua, teori ini memusatkan perhatian pada public

goods (komoditas publik) sebagai output dari badan-badan publik. Ketiga, teori

ini didasarkan pada asumsi bahwa situasi keputusan yang berbeda akan

menghasilkan pendekatan yang berbeda dalam penentuan pilihan. Dengan

alasan ini, teori pilihan publik berupaya menstrukturasi proses pembuatan

keputusan sehingga dapat mempengaruhi pilihan-pilihan manusia. Hal ini

merupakan kunci beroperasinya badan-badan publik. Teori pilihan publik inilah

yang merupakan jembatan penghubung antara the old public administration

dengan new public management.

Perspektif administrasi publik yang kedua adalah New public management

(NPM). New public management berusaha menggunakan pendekatan sektor

swasta dan pendekatan bisnis dalam sektor publik. Selain berbasis pada teori

pilihan publik, dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari public policy

schools (aliran kebijakan publik) dan managerialism movement. Aliran kebijakan

publik dalam beberapa dekade sebelum ini memiliki akar yang cukup kuat dalam

ilmu ekonomi, sehingga para analis kebijakan dan para ahli yang menggeluti
23

evaluasi kebijakan sangat terlatih dengan konsep market economics, costs and

benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya, perspektif ini, mengalihkan

perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang kemudian mereka sebut

sebagai public management. Penggunaan istilah public management ini

dilakukan untuk membedakannya dari public administration dengan

mengabaikan fakta bahwa keduanya memiliki perhatian yang sama, yakni

implementasi kebijakan publik. Denhardt & Denhardt (2003) mengakui bahwa

antara public administration dan public management adalah dua istilah yang

sama. Namun apabila ada yang berusaha membedakannya, maka public

management lebih kepada makna atau interpretasi ekonomi terhadap perilaku

manajerial, sementara istilah public administration cenderung digunakan dalam

ilmu politik, sosiologi, atau analisis organisasi.

Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari

pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik tergantung pada kualitas

dan profesionalitas para manajernya. Kemajuan dapat dicapai melalui

produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui

disiplin yang ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi pada efisiensi dan

produktivitas Untuk memainkan peran penting ini, para manajer harus diberi

kebebasan dalam mengelola (the freedom to manage) dan bahkan hak untuk

mengelola (the right to manage) (Saleh dan Muluk: 2005).

Gerakan manajerialis ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam

upaya reformasi administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia

Baru, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi

publik dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Karya yang berpengaruh

dalam gerakan di Inggris adalah dari Savas (2000) dalam karyanya “Privatization
24

and Public-Private Partnerships”, Flynn (1990) dengan “Public Sector

Management”, Sedangkan di Amerika Serikat, karya terbesar yang juga

berpengaruh dalam proses reformasi administrasi publik antara lain adalah karya

Osborne dan Gaebler (1991) dengan judul “Reinventing Government”. Gerakan

manajerialis ini sangat cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia sehingga

menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi

publiknya baik melalui gaya privatisasi Inggris maupun dengan gaya

mewirausahakan birokrasi ala Amerika Serikat.

Perspektif New Public Management (NPM) ini menekankan penggunaan

mekanisme dan terminologi pasar sehingga memandang hubungan antara

badan-badan publik dengan pelanggannya sebagai layaknya transaksi yang

terjadi antara penjual dan pembeli. Peran manajer publik berubah karena

ditantang untuk selalu menemukan cara-cara baru yang inovatif dalam

melaksanakan tugasnya, misalnya dengan menswastakan berbagai fungsi yang

semula dijalankan oleh pemerintah. Manajer publik didesak untuk “mengarahkan

bukannya mengayuh,” yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak

sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah tetapi bagaimana mendorong pihak lain

melalui mekanisme pasar untuk mengambil bagian dalam pelayanan publik.

Dengan cara seperti ini, maka manajer publik dapat memusatkan perhatiannya

pada aspek akuntabilitas kepada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi

badan-badan publik, mendefenisi ulang misi organisasi, menyederhanakan

proses administrasi, dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.

Meskipun demikian, gerakan manajerialis yang diajarkan dalam perspektif

NPM ini bukannya tanpa kritik. Kritik yang keras berasal dari banyak pakar

seperti Wamsley & Wolf (1996), Box (1998), King & Stivers (1998), Bovaird &
25

Loffler (2003), dan terakhir dari Denhardt & Denhardt (2003). Mereka

memandang bahwa perspektif old public administration (dengan sistem

hirarkinya) dan new public management (dengan mekanisme pasar dan

networking system-nya), keduanya hanya mementingkan efisiensi, rasionalitas,

produktivitas, dan ekonomis (bisnis), sehingga dengan demikian dalam

penyelenggaraan pelayanan publik seringkali bertentangan dengan nilai-nilai

demokrasi dan mengabaikan kepentingan publik. Padahal menurut Denhardt &

Denhardt (2003) kepentingan publik sebenarnya adalah milik masyarakat atau

warga negara (citizen), jadi selayaknyalah warga negara tidak hanya dipandang

sebagai semata persoalan kepentingan pribadi (self interest) namun juga

melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Oleh karena

itu, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai customer tetapi sebagai citizen.

Lebih lanjut Denhardt & Denhardt (2003) mengatakan bahwa karena

pemilik kepentingan publik adalah masyarakat maka administrator publik

seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan

memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan

implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga

negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan

perspektif baru administrasi publik yang disebut dengan New Public Service

(NPS). Dalam perspektif NPS ini, posisi warga negara harusnya ditempatkan di

depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan

mengayuh tetapi lebih kepada bagaimana membangun institusi publik yang

didasarkan pada integritas dan responsivitas.

Dengan demikian, maka dalam perspektif new public service, menghendaki

peran administrator publik (birokrat garis-depan) untuk melibatkan masyarakat


26

dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat (service man),

dan bukannya sebagai “administrative man” (dalam perspektif old public

administration) atau “economic man” (dalam persektif new public management).

Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public

administration in the governance system that place public service, democratic

governance, and civic engagement at the centre.” Dengan beberapa prinsip

yang dilontarkan oleh Denhardt & Denhardt sebagai berikut: (1) serve citizens,

not customers; (2) seek the public interest; (3) value citizenship over

entrepreneurship; (4) think strategically, act democratically. (5) recognize that

accountability is not simple. (6) serve rather than steer, dan (7) value people, not

just productivity (Denhardt & Denhardt, 2003).

Dalam menjalankan tugasnya, service man atau civil servant atau public

servant menyadari adanya beberapa lapisan kompleks tanggung jawab, etika,

dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang

bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam

perencanaan, akan tetapi juga dalam pelaksanaan program guna mencapai

tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk

menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai

demokrasi (Saleh dan Muluk, 2005). Dengan demikian, maka pekerjaan

administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi

memberikan pelayanan kepada masyarakat.


27

2.2 Teori Street-Level Bureaucracy

Istilah birokrasi garis-depan (street-level bureaucracy) dikemukakan oleh

Lipsky (1980) dalam bukunya yang berjudul “Street-Level Bureaucracy:

Dilemmas of the Individual in Public Services.” Lipsky (1980) mendefinisikan

street-level bureaucrats sebagai pegawai publik yang berinteraksi secara

langsung dengan masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan publik

yang mana dalam melakukan tugasnya seringkali para SLB mengambil kebijakan

atau diskresi. Mengacu kepada pengertian tersebut, maka aparat kepolisian

yang memberikan pelayanan SIM juga termasuk dalam konsep birokrat garis-

depan, karena dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, mereka berhadapan

langsung dengan masyarakat yang dilayaninya.

Defenisi tersebut menunjukkan bahwa SLB pada dasarnya adalah mereka

yang bekerja pada beberapa sektor publik yang penting dalam berbagai sektor

(Winter, 2002). Mereka yang tergolong kedalam SLB menurut Lipsky adalah

guru, polisi, dokter, perawat, pengacara, hakim, pekerja sosial, dan lain-lain.

Para pengajar, petugas kesejahteraan sosial, petugas kepolisian dan lain-lain,

merupakan bagian dari organisasi dan sekaligus sebagai agen publik yang

berfungsi sebagai pendorong atau terdepan dan turut memberikan andil terhadap

kualitas penilaian warga terhadap aktivitas mereka.

Lipsky (1980) menggambarkan bahwa “birokrat garis-depan” merupakan

aktor yang sangat penting dalam proses kebijakan dan para birokrat garis-depan

ini mempunyai banyak pola perilaku dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Menurutnya bahwa sikap dan perilaku SLB dipengaruhi oleh norma

dan budaya masyarakat dimana para birokrat garis-depan tersebut bekerja.


28

Dalam melakukan pekerjaannya, umumnya mempunyai tugas-tugas yang lebih

mengutamakan technical skill daripada tugas-tugas manajerial. Tugas atau

pekerjaan mereka cenderung mempunyai pola yang sama dan bersifat rutin,

misalnya guru atau pengajar, datang pagi mengajar sampai jamnya pulang,

demikian pula dokter, polisi, dan lainnya. Para petugas ini, tingkat

kebersamaannya dengan warga masyarakat sangat dekat sekali dan bahkan

terus bersentuhan langsung setiap hari.

Dari pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ruang

lingkup (scope) birokrasi garis-depan adalah mencakup semua level organisasi

yang berada pada level paling dasar dari suatu struktur organisasi birokrasi,

dimana substansi layanan yang diberikan selalu “bersentuhan langsung”

dengan masyarakat yang dilayaninya, sehingga mereka yang berada dalam

kelompok birokrasi seperti ini adalah pada umumnya memiliki keahlian yang

cukup strategis dan bukan hanya melaksanakan tugas formal rutin, tetapi juga

menjadi mediator antara masyarakat dengan organisasi pemberi layanan secara

umum. Kinerja organisasi oleh karena itu dalam perspektif dan lingkup

pelayanan publik sangatlah ditentukan oleh sejauhmana birokrasi garis-depan ini

mampu menterjemahkan berbagai kepentingan dan keinginan serta kebutuhan

masyarakat terhadap organisasi dan mesin birokrasi selaku penyedia layanan

publik.

Teori ini juga berpendapat bahwa umumnya masyarakat tidak membaca

aturan perundangan dari suatu kebijkan, sehingga masyarakat sering

menyangka bahwa apa yang dilakukan dan diputuskan oleh birokrat garis-depan

dalam memberikan pelayanan adalah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Birokrasi garis-depan dianggapnya hanya sebatas melaksanakan aturan, dan


29

oleh karenanya masyarakat menilai bahwa perilaku birokrasi garis-depan itulah

sebenarnya hukum atau aturan yang berlaku. Meskipun demikian, dalam

kenyataannya, sebuah kebijakan seringkali mengalami perubahan atau distorsi

dari apa yang telah dirumuskan sebelumnya. Biasanya disinilah peran dari

birokrasi garis-depan menjadi pengambil keputusan (policy maker) yang penting

(Lipsky, 1980). Sebagai pengambil keputusan, street-level bureaucrat seringkali

harus mengambil diskresi ketika menghadapi suatu masalah yang berkaitan

dengan tugas pekerjaannya.

Peran street-level bureaucrats sebagai pengambil kebijakan (diskresi),

berkaitan dengan dua hal: (1) berkaitan dengan tugas mereka dalam melayani

masyarakat dimana mereka berinteraksi; dan (2) berkaitan dengan kebijakan

yang diambil oleh agen yang diwakilinya (Lipsky, 1980).

Peluang birokrat untuk membuat diskresi menurut Edwards disebabkan

karena pedoman yang tidak akurat, tidak jelas, dan bahkan tidak konsisten.

Diskresi ini bisa langsung dilaksanakan atau dengan jalan membuat petunjuk

lebih lanjut yang ditujukan kepada birokrat garis depan (Edwards, 1980). Oleh

karena itu, menurut Lipsky (1980) bahwa meskipun birokrat garis depan memiliki

kewenangan yang luas dalam mengambil keputusan, namun pekerja garis-depan

tidak dapat dikatakan sebagai pekerja yang terbebas dari aturan, perundangan

dan arahan dari atas, atau norma-norma dan praktek-praktek dari kelompok

pekerjaan mereka. Menurut Edwards (1980), apabila tidak tercipta komunikasi

yang baik maka diskresi ini akan memunculkan disposisi. Namun disatu sisi,

apabila komunikasi terlalu rinci maka akan mempengaruhi independensi dan

kreativitas birokrat garis-depan, bergesernya tujuan dan terjadinya pemborosan

sumberdaya seperti keterampilan, dan kemampuan adaptasi (Edwards, 1980).


30

Penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya terkait dengan berbagai

aspek seperti jumlah dan variasi kelompok masyarakat yang dilayani, reaksi

kelompok sasaran yang demikian cepat, masalah yang berkaitan dengan sistem

kontrol program. Namun pada sisi lain, pada umumnya para birokrat garis-depan

merasa bahwa sumber daya yang tersedia tidak mampu untuk mencukupi

kebutuhan permintaan yang ditujukan kepadanya (Weatherley dan Lipsky, 1977).

Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut, para birokrat garis

depan membuat sejumlah kesepakatan untuk mengatasi kekurangan tersebut

dengan menggunakan trik seperti mencoba untuk mengurangi permintaan atas

layanan mereka dengan pembatasan informasi tentang pelayanan, membiarkan

klien menunggu, membuat akses terhadap pelayanan menjadi sulit, dan

memaksakan berbagai biaya prikologis yang lain bagi klien (Winter, 2002).

Strategi coping yang lain adalah menjatah pelayanan dengan memberikan

prioritas kegiatan yang dikonsentrasikan pada pembatasan jumlah klien yang

dipilih, kasus-kasus, dan solusi (Lipsky, 1980). Winter (1986) menambahkan

teori Lipsky dengan menggabungkannya dengan gagasan yang dikemukakan

oleh March dan Simon (1958) tentang Hukum Gresham, yakni

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang lebih dikuasai dan telah diprogram

dengan baik melalui perencanaan yang matang (Winter, 2002).

Menurut Lipsky (1980) birokrat garis depan cenderung memberi prioritas

bagi kegiatan yang mudah dilaksanakan, kasus-kasus rutin yang telah

diprogramkan dengan mengorbankan kegiatan yang lebih kompleks, yang tidak

diprogramkan, dan kasus-kasus yang memakan waktu yang banyak. Demikian

pula untuk program-program kegiatan yang dianggap mendesak dan sangat

dibutuhkan oleh masyarakat, biasanya lebih diprioritaskan dibandingkan dengan


31

kegiatan-kegiatan preventif atau pencegahan, kegiatan yang tidak terjangkau

dan tidak bisa dicapai, atau kegiatan-kegiatan yang memerlukan tindak lanjut.

Dengan demikian, maka pada dasarnya birokrasi garis depan tidak ingin

mengambil resiko yang terlalu besar terhadap apa yang dilakukannya.

Umumnya mereka melakukan kegiatan yang tidak memerlukan perhatian yang

lebih serius.

Lebih lanjut teori ini berpendapat bahwa untuk tidak memperlakukan klien

secara perseorangan, maka para pekerja membuat standardisasi bagi pekerjaan

rutin melalui pola prioritas diantara klien. Mereka melakukan pembagian klien

kedalam kategori standar yang agak sulit dan menggunakan aturan yang kaku

bagi perlakuan selanjutnya dari setiap kategori. Berkaitan dengan perilaku

coping maka diterapkan “creaming” (mengambil kegiatan yang dianggap terbaik),

sebagai konsep terapan yang seringkali dipilih oleh birokrat garis depan (atau

menyaring yang terbaik) bagi klein yang nampaknya kebanyakan berhasil

dipandang dari segi kriteria suksesnya birokratis (Lipsky, 1980).

Perilaku coping yang lain adalah menguasai klien dalam rangka membuat

proses menjadi gampang, secara berangsur-angsur membangun persepsi klien

yang lebih sinis, dan memodifasi tujuan-tujuan program agar lebih mudah

dicapai. Sebaliknya perilaku-perilaku coping yang fungsional dapat membuat

lingkungan kerja dapat dikendalikan, menurut Lipsky, coping yang tidak

fungsional yang secara sistematis menyimpang dan menghambat implementasi

dan keberhasilan mencapai tujuan kebijakan.

Teori street-level bureaucracy yang dikemukakan oleh Lipsky ini tidak

dibangun berdasarkan hasil penelitian empirik yang sistematis, tetapi hanya

menggunakan contoh-contoh empiris dan literatur penunjang dalam rangka


32

menguraikan argumen teoritisnya. Oleh karena itu, maka teorinya tersebut tidak

sepenuhnya berhasil dalam menjelaskan mengapa perilaku-perilaku coping

tersebut dapat terjadi, dan mengapa dendam atau hujatan terhadap pelaku

coping juga ditemukan pada beberapa birokrat yang tidak melakukannya. Dalam

kenyataannya memang seringkali masyarakat memberikan stigma terhadap

birokrasi pemerintah atas pelayanan yang mereka lakukan, padahal tidak semua

birokrat garis depan melakukan perilaku-perilaku yang merugikan masyarakat

yang dilayaninya. Masih banyak juga birokrat garis depan yang menjalankan

tugasnya dengan baik dan mengikuti aturan yang berlaku.

Secara empirik, dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan peran

birokrasi garis-depan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di

Indonesia menunjukkan adanya patologi dan stigma birokrasi pelayanan publik

yaitu antara lain (Islamy, 1999):

a. Aparat birokrasi garis depan (pelayanan) lebih menampilkan diri sebagai

majikan daripada aparat pelayanan;

b. Aparat pelayanan lebih berorientasi pada status quo daripada

peningkatan pelayanan;

c. Aparat pelayanan lebih memusatkan pada kekuasaan dairipada keinginan

untuk melakukan perubahan (terutama kapasitas diri);

d. Aparat pelayanan lebih mementingkan prosedur dari pada substansi;

e. Aparat pelayanan lebih mementingkan diri sendiri daripada masyarakat

yang harus dilayani.

Munculnya berbagai tuntutan dan masalah yang menimpa birokrasi garis

depan kita tersebut, telah mendorong berbagai pihak terutama pimpinan birokrasi

pemerintah itu sendiri untuk melakukan redefenisi, reposisi, dan reaktualisasi


33

peran birokrasi publik dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya

kepada masyarakat. Usaha itu biasanya dikenal dengan istilah profesionalisasi

pelayanan publik.

2.3 Teori Pelayanan Publik

Salah satu tugas utama dari birokrasi pemerintahan adalah memberikan

pelayanan publik. Pengertian pelayanan publik (public service) selalu terkait

dengan pengertian “publik”, khususnya dalam kaitannya dengan kajian public

administration. Public Administration tidak lagi secara tradisional diartikan

semata-mata bersifat kelembagaan misalnya negara, akan tetapi dalam

hubungan dengan seberapa besar pengaruh atau kaitan lembaga tersebut

dengan kepentingan publik (Islamy, 1998, dalam Wibisono, 2002).

Pelayanan merupakan proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas

orang lain secara langsung. Membicarakan pelayanan berarti membicarakan

suatu proses kegiatan yang konotasinya lebih kepada hal yang abstrak

(intangible). Widodo (2001) mendefenisikan pelayanan publik sebagai

pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang

mempunyai kepentingan pada organisasi sesuai dengan aturan pokok dan tata

cara yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam hukum administrasi negara

Indonesia, berdasarkan pengertian umum yang dimuat di dalam Lampiran 3

Keputusan Menpan No. 63/Kep/M.PAN/7/2003, pada paragraf I butir C, istilah

“pelayanan publik” diartikan sebagai: “segala kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan

orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Kepmenpan 63/2003).


34

Dengan demikian maka tekanan pengertian dari “publik” lebih diarahkan

kepada “penggunaan jasa pelayanan” yang dilakukan oleh seorang pelayan

publik, dalam hal ini adalah pegawai pemerintah atau pegawai publik atau juga

dikenal dengan istilah birokrat garis-depan. Pengguna jasa pelayanan publik

adalah orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum (Kepmenpan

63/2003). Sekalipun demikian, secara konseptual pihak yang disebut sebagai

pengguna jasa pelayanan publik itu sesungguhnya tidak hanya mereka yang

langsung menikmatinya. Para calon pengguna dan para pengguna jasa

pelayanan publik di masa datang termasuk kategori ini (Abdul Wahab, 1977

dalam Wibisono, 2002).

Kotler (1992) dalam Jurnal Litbang Jawa Timur, (2003). membuat beberapa

karakteristik yang dapat digunakan untuk menjelaskan makna intangible dari

pelayanan publik sebagai berikut: (1) sesuatu yang tidak berwujud (intangible),

(2) satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sama dengan bentuk

pelayanan kepada orang lain ((variability), (3) proses produksi dan distribusi

pelayanan berlangsung bersamaan pada saat dikonsumsi (inseparability), (4)

nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli, (5)

tidak dapat disimpan (perishability), (6) tidak menimbulkan kepemilikan terhadap

suatu benda.

Sementara itu, karakteristik pelayanan publik menurut Stahl (1984) yang

dikutip oleh Zauhar (1996) dalam Wibisono (2002) adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan yang diberikan oleh administrasi publik lebih bersifat urgen

atau mendesak daripada yang dilaksanakan oleh privat;

b. Pelayanan yang ditangani oleh administrasi publik pada umumnya

bersifat monopoli atau semi monopoli;


35

c. Kegiatan administrasi publik terikat oleh hubungan hukum formal

d. Perbuatan administasi publik berada di bawah pengamatan masyarakat.

e. Pelayanan publik yang diberikan oleh administrasi publik tidak terikat

harga pasar.

Karakteristik tersebut di atas menggambarkan bahwa kegiatan pelayanan

publik harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin sehingga dapat memberikan

kepuasan kepada masyarakat yang dilayani. Dalam kondisi masyarakat yang

demokratis, pemerintah harus dapat memberikan pelayanan publik yang lebih

professional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,

responsif dan adaptif sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti

meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat yang secara aktif menentukan

masa depannya sendiri (Effendi, dalam Widodo, 2001). Pelayanan publik yang

professional harus memiliki ciri-ciri akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi

layanan.

Adapun jenis-jenis pelayanan publik menurut Kepmenpan Nomor 63 Tahun

2003 dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Kelompok pelayanan administratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status

kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan

terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain

Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte

Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), SIM, STNK, IMB,

Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah, dsb.


36

2. Kelompok pelayanan barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai

bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon,

penyediaan tenaga listrik, air bersih, dsb.

3. Kelompok pelayanan jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai

bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan

kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dsb. (Kepmenpan 63/2003).

Meskipun suatu pelayanan publik dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah

(monopoli) namun tentunya tidak dapat mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam

pelayanan publik agar dapat berkualitas. Islamy (2000) dalam Wibisono (2002)

mengemukakan beberapa prinsip pokok dalam pemberian pelayanan kepada

masyarakat, yakni:

1. Prinsip aksessibilitas, yakni pada hakekatnya setiap jenis pelayanan harus

dijangkau oleh setiap pengguna pelayanan baik dari segi tempat, jarak dan

sistem pelayanan harus sedapat mungkin dekat dan mudah dijangkau oleh

pengguna layanan.

2. Prinsip kontinuitas, yakni bahwa setiap pelayanan harus secara terus

menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan

ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut;

3. Prinsip teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan, proses pelayanannya

harus ditangani oleh tenaga yang benar-benar memahami secara teknis

pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketetapan dan kemantapan

sistem, prosedur dan instrumen pelayanan;

4. Prinsip profitabilitas, yakni proses pelayanan pada akhirnya harus dapat

dilaksanakan secara efektif dan efisien serta memberikan keuntungan

ekonomi dan sosial bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.


37

5. Prinsip akuntabilitas, yakni bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang

telah diberikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat

karena aparat pemerintah pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Sementara itu menurut Lovelock (1992) harapan-harapan konsumen atau

pengguna jasa tentang kualitas pelayanan pada dasarnya didasari oleh 5

dimensi yaitu: (a) kehandalan (reliability) yakni kemampuan untuk memberikan

jasa dengan akurat dan professional, (b) ketanggapan (responsiveness) yakni

kemampuan untuk menangkap keinginan konsumen dan memberikan pelayanan

yang dibutuhkan dengan cepat, (c) kepastian (assurance) yakni kemampuan

untuk meyakinkan konsumen untuk mendapatkan pelayanan yang tepat dan

dapat dipercaya, (d) empati (emphaty) yakni memberikan perhatian kepada

konsumen secara personal dan istimewa serta selalu berusaha memahami

keluhan dan keinginan mereka, (e) wujud fisik (tangibility) yakni penampilan dan

kemampuan sarana dan prasarana yang bersifat fisik.

Kriteria kualitas pelayanan publik yang lebih detail dikemukakan oleh

Zeithaml (1990), yakni terdiri atas: (1) tangible, kondisi fisik sebagai

penunjang/pendukung pelayanan; (2) Reliable, kemampuan menyediakan

layanan yang tepat dan dapat diandalkan; (3) Responsiveness, tanggung jawab

aparat penyedia pelayanan terhadap kualitas pelayanannya; (4) Competence,

kemampuan aparat sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan

keterampilannya; (5) Courtesy, daya tangkap dan sikap aparat yang baik

sehingga memenuhi kepuasan pelanggan; (6) Credibility, sikap jujur dan dapat

dipercaya; (7) Security, jaminan rasa aman dan bebas dari resiko pelayanan; (8)

Accessibility, kemudahan untuk memperoleh layanan dengan adil, dan tidak


38

memihak; (9) Communication, kemampuan memahami, mendengarkan dan

menyampaikan pesan/informasi tentang pelayanan yang baik; (10)

Understanding the customer, berusaha untuk memahami kebutuhan konsumen

atau masyarakat yang dilayani.

Hal yang penting mendapat perhatian dari pihak penyelenggara pelayanan

publik adalah sejauh mana lembaga tersebut dapat akuntabel terhadap

masyarakat yang dilayaninya. Akuntabilitas disini diartikan sebagai suatu ukuran

yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan

pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di

masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma

pelayanan yang berkembang dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi

transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi

manusia, dan orientasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat

pengguna jasa (Dwiyanto, dkk. 2002).

Untuk terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang akuntabel dan

transparan, maka perlu ditunjang oleh beberapa peraturan perundangan yang

didasarkan pada Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Pasal 3 Undang-

undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut UU KKN) menyebutkan

asas-asas yang menjadi landasan penyelenggaraan pelayanan publik yang

terdiri dari:

1. Asas kepastian hukum;

2. Asas tertib penyelenggaraan negara;

3. Asas kepentingan umum;

4. Asas keterbukaan;
39

5. Asas proporsionalitas;

6. Asas profesionalitas; dan

7. Asas akuntabilitas.

Untuk pelaksanaannya sehari-hari, maka pemerintah melalui Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan Kepmenpan

63/KEP/M.PAN/2003 tanggal 10 Juli 2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik, dimana dalam lampiran Kepmenpan

tersebut menyebutkan asas-asas pelayanan publik adalah:

1. Transparansi, yakni terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak

yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah

dimengerti.

2. Akuntabilitas, yakni dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

3. Kondisional, yakni sesuai kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima

pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas;

4. Partisipatif, yakni mendorong peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi,

kebutuhan dan harapan masyarakat;

5. Kesamaan hak, yakni tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku,

ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi, dan

6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yakni pemberi dan penerima pelayanan

publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Lebih lanjut dalam Kepmenpan No. 63/2003 tersebut disebutkan ada 10

(sepuluh) prinsip pelayanan publik yakni sebagai berikut:


40

1. Kesederhanaan, yakni bahwa prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit,

mudah dipahami dan mudah dilaksanakan;

2. Kejelasan, yakni berkaitan dengan (a) persyaratan teknis dan administratif

pelayanan publik; (b) unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung

jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian

keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; dan (c)

rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

3. Kepastian waktu, yakni pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan

dalam kurun waktu yang telah ditentukan;

4. Akurasi, yakni produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan

sah.

5. Keamanan, yakni proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa

aman dan kepastian hukum.

6. Tanggung jawab, yakni pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau

pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan

dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

7. Kelengkapan sarana dan prasarana, yakni tersedianya sarana dan prasarana

kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk

penyediaan sarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan akses, yakni tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang

memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan

teknologi telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni pemberi pelayanan harus

bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan

dengan ikhlas.
41

10. Kenyamanan, yakni lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan

ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat

serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet,

tempat ibadah, dan lain-lain.

Kesepuluh prinsip tersebut pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur

pemerintah, sehingga dapat tercipta good governance sebagaimana yang

diamanatkan oleh TAP MPR-RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang

mengamanatkan agar setiap penyelenggara pelayanan publik dapat menjalankan

tugas dan fungsinya secara profesional, produktif, transparan dan bebas dari

KKN. Prinsip-prinsip tersebut di atas hendaknya dapat benar-benar diperhatikan

dan dipahami oleh setiap penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini adalah

birokrat garis-depan, karena kepada pundak merekalah baik buruknya mutu

pelayanan publik diletakkan. Masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan akan

menilai dan mengharapkan agar para birokrat garis-depan tersebut dapat

mewujudkan prinsip pelayanan di atas sehingga kinerja pelayanan publik akan

semakin baik dari waktu ke waktu.

Untuk mengevaluasi sistem pemberian pelayanan, menurut Hirschman

(1970) dalam Parsons (2001) dapat dilihat dari apakah warga masyarakat puas

dengan barang dan jasa yang diberikan oleh sistem birokrasi, yakni sejauh mana

respons yang diberikan oleh warga masyarakat terhadap ketidakpuasan tersebut.

Hirschman mengemukakan adanya 3 (tiga) bentuk respons yang dapat diambil

oleh warga masyarakat atas pelayanan yang tidak sesuai dengan harapannya,

yakni: exit, voice, dan loyalty. Respons exit dilakukan ketika konsumen tidak
42

puas dengan pelayanan barang atau jasa yang diperolehnya dengan jalan

mencari alternatif pelayanan dari perusahaan atau organisasi lainnya. Akan

tetapi, apabila pelayanan itu bersifat monopoli seperti pelayanan yang menjadi

obyek penelitian ini, respons exit (menghindari) semacam ini tidak akan

mungkin dilakukan karena tidak ada pilihan lain dari warga untuk memperoleh

pelayanan Surat Izin Mengemudi seperti ini. Namun demikian, warga

masyarakat dapat menggunakan bentuk respons kedua yakni voice ketika

merasa bahwa pelayanan yang diterimanya tidak sesuai dengan harapannya.

Respons voice (bersuara) dapat dilakukan melalui keluhan-keluhan atau

komplain terhadap birokrasi pelayanan apakah langsung kepada birokrasi

pelayanan atau saluran-saluran bersuara lainnya seperti melalui Komisi

Ambudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, media massa, dan lain-lainnya.

Menurut Hirschman, bersuara bagi warga masyarakat atau konsumen ini adalah

bertujuan untuk mengubah praktek, kebijakan dan output dari perusahaan yang

produk atau jasanya mereka beli, atau mengubah organisasi tempat mereka

berada (Hirschman dalam Parsons, 2001). Sedangkan loyalty (loyalitas) adalah

merupakan bentuk kesetiaan terhadap birokrasi yang memberikan pelayanan,

meskipun seorang warga masyarakat memiliki kemampuan untuk “exit”. Mereka

mungkin beralasan bahwa jika “setiap orang” keluar dari pelayanan, masyarakat

secara keseluruhan, termasuk dirinya, akan bertambah buruk kinerja pelayanan

dan karenanya mereka memilih opsi voice ketimbang opsi exit dan tetap loyal

terhadap service provider.

Dilain pihak, Salim dan Woodward (1992) dalam Dwiyanto (2002)

mengemukakan bahwa untuk menilai kinerja pelayanan publik dapat dilihat

berdasarkan pertimbangan ekonomis, efisiensi, efektivitas, dan persamaan


43

pelayanan. Aspek ekonomi dalam kinerja diartikan sebagai strategi untuk

menggunakan sumber daya yang seminimal mungkin dalam proses

penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja pelayanan publik

juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya perbandingan

terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output pelayanan. Demikian

pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan

dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk menilai

seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek

keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem

pelayanan yang ditawarkan.

Salah satu pendekatan untuk memahami kualitas pelayanan publik dari sisi

keadilan sosial (social equity) adalah kerangka konseptual yang dikemukakan

oleh Riaz Hasan. Kerangka konseptual tersebut menawarkan pemahaman yang

holistic terhadap aksessibilitas pelayanan publik yang mencakup tiga dimensi

yakni (kognitif); (2) perilaku, dan (3) birokrasi-administrasi. Struktur sosial

mempengaruhi ketiga dimensi tersebut secara lebih rinci disajikan dalam gambar

2.1.
44

Dimensi Kognitif:
1. Kesadaran akan masalah
2. Kesadaran akan sumber yang
diperlukan
3. Pengetahuan akan terse-
dianya sumber
4. Pengetahuan tentang
bagaimana mendapatkan
sumber
5. Derajat kepercayaan diri
untuk memperoleh sumber
Struktur Sosial:
 Jenis kelamin
 Umur Dimensi Perilaku:
 Status 1. Kemampuan berkomunikasi
 Ekonomi 2. Pola perilaku yang sesuai AKSES
 Pekerjaan 3. Dinamika transaksi sosial
4. Keberhasilan peranan
 Kultur politik
 Kelas sosial
 Struktur politik Dimensi Institusional:
1. Kekakuan prosedur
2. Persamaan perilaku
3. Orientasi thd klien
4. Tujuan program
5. Derajat sentralisasi

Sumber: Hassan, Riaz, (1986) dalam Jurnal Litbang Jawa Timur (2003)

Gambar 2.1. Pendekatan Holistic Terhadap Aksessibilitas Pelayanan Publik

Dari gambar 2.1 di atas, nampak bahwa salah satu dimensi yang

menentukan aksessibilitas pelayanan publik adalah dimensi perilaku. Dimensi

inilah yang telah dikaji dalam penelitian ini karena dari berbagai hasil penelitian

yang telah dilakukan, dimensi inilah yang sangat menentukan kualitas pelayanan

publik yang diterima oleh masyarakat. Dimensi perilaku yang digunakan dalam

kajian ini akan dikembangkan lagi berdasarkan teori perilaku yang dikemukakan

oleh berbagai ahli, sebagaimana yang akan kami uraikan pada bagian berikut ini.
45

2.4 Perilaku Individu Dalam Organisasi

Berdasarkan fokus kajian penelitian disertasi ini yang secara khusus

menganalisis perilaku individu birokrat garis-depan dalam hal ini adalah birokrat

kepolisian dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka teori yang digunakan

dalam menjelaskan tentang perilaku birokrat kepolisian ini adalah teori perilaku

organisasi khususnya perilaku individu dalam organisasi yang dikembangkan

oleh beberapa ahli. Oleh karena itu, maka dalam subbagian ini akan diuraikan

secara lebih rinci tentang perilaku individu dalam organisasi sebagai salah satu

faktor yang membentuk perilaku organisasi atau birokrasi.

Perilaku organisasi atau sering disingkat sebagai OB adalah suatu bidang

studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok, dan struktur pada perilaku

dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan tentang hal-hal

tersebut demi memperbaiki keefektifan organisasi (Robbins, 2003). Oleh

karenanya maka perilaku organisasi dapat dianalisis melalui tiga tingkatan

analisis yakni pada level: individu, kelompok, dan organisasi formal (Ivancevich,

dkk. 1996).

Sebagai suatu bidang studi, OB mempelajari tiga determinan perilaku

dalam organisasi, yakni: perorangan (individu), kelompok, dan struktur.

Disamping itu, OB menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai

perorangan, kelompok, dan efek dari struktur pada perilaku agar organisasi

bekerja dengan lebih efektif. Secara singkat, OB dapat didefenisikan sebagai

studi mengenai (yang memperhatikan) apa yang dilakukan orang-orang dalam

suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja dari

organisasi itu (Robbins, 2003).


46

Dengan demikian, maka pemahaman terhadap perilaku individu adalah hal

yang sangat penting bagi seorang pimpinan organisasi. Atas dasar tersebut dan

mengacu kepada tingkatan atau level analisis perilaku organisasi, maka dalam

penelitian ini menekankan pada analisis individu yakni perilaku birokrat kepolisian

sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi atau birokrasi.

Meskipun demikian, dalam upaya mengkaji perilaku birokrat garis-depan dalam

pelayanan SIM ini, tidak akan terlepas dari variabel lingkungan internal

organisasi dan juga variabel lingkungan eksternal organisasi sebagai faktor yang

sedikit banyaknya mempengaruhi perilaku individu birokrat garis-depan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik.

Perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu

dengan lingkungannya (Gibson, 1996, Thoha, 1991, Suprihanto, 2003).

Pengertian tersebut bermakna bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya

ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan ditentukan sampai seberapa jauh

interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Dalam hal penyelenggaraan

pelayanan publik, maka dalam interaksi ini terdapat dua pihak yang terlibat yakni

birokrat garis-depan dan warga kota selaku pengguna jasa pelayanan. Oleh

karena itu, maka perilaku birokrat garis-depan yang melayani masyarakat bukan

saja ditentukan oleh internal individu birokrat, akan tetapi juga sangat

dipengaruhi oleh faktor eksternal yakni masyarakat itu sendiri. Disamping itu,

dalam interaksi ini juga terdapat faktor lain yang mempengaruhi kedua pihak

yang saling berinteraksi. Faktor tersebut adalah faktor keorganisasian dimana

kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik tersebut berlangsung. Oleh karena

itu, keduanya (baik birokrat maupun masyarakat) juga tidak dapat mengabaikan

faktor keorganisasian dimaksud.


47

Gibson, dkk. (1996) berpendapat bahwa: (1) perilaku adalah akibat, (2)

perilaku diarahkan oleh tujuan, (3) perilaku yang bisa diamati dapat diukur, (4)

perilaku yang tidak dapat secara langsung diamati (misalnya berpikir dan

mengawasi) juga penting dalam mencapai tujuan, dan (5) perilaku

dimotivasi/didorong.

Secara umum, faktor yang dapat mempengaruhi perilaku individu ada dua

yakni variabel internal individu dan variabel eksternal.

(1) Variabel internal individu

Yang termasuk variabel internal individu atau sering disebut sebagai

variabel individual adalah kemampuan, kecakapan, latar belakang, dan

variabel demografis (Gibson, dkk. 1996). Sedangkan Robbins (2003) lebih

rinci lagi mengemukakan variabel individual, seperti usia, jenis kelamin,

status perkawinan, masa kerja, kemampuan (intelektual dan fisik),

kepribadian, sikap, emosi, persepsi, kebutuhan, dan motivasi. Sementara

itu Ivancevich, dkk (1997) mengemukakan bahwa dimensi individu adalah

kepribadian (personality), sikap (attitude), persepsi (perception), dan

motivasi (motivation). Penulis menambahkan sistem nilai yang dianut atau

kepercayaan juga turut mempengaruhi perilaku individu.

Variabel individu ini menyebabkan perilaku setiap individu tidak ada

yang eksak sama sekalipun melakukan pekerjaan yang sama. Terlebih lagi

apabila kita lihat bahwa pada dasarnya semua pekerjaan memberikan

sesuatu otonomi. Dan otonomi inilah yang memungkinkan orang-orang

yang berbeda melakukan hal-hal yang berlainan dalam pekerjaan yang

sama. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas beberapa dimensi individu

yang dianggap paling relevan dalam kajian ini.


48

Kemampuan dan keterampilan sebagai salah satu variabel internal

individu, keduanya memainkan peran penting dalam perilaku dan kinerja

individu. Sebuah kemampuan adalah sebuah trait (bawaan atau dipelajari)

yang mengijinkan seseorang mengerjakan sesuatu mental atau fisik.

Keterampilan adalah kompetensi yang berhubungan dengan tugas, seperti

keterampilan mengoperasikan komputer, atau keterampilan berkomunikasi

dengan jelas untuk tujuan dan misi kelompok.

Sikap adalah determinan perilaku, sebab sikap berkaitan dengan

persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sebuah sikap adalah perasaan positif

atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan

diatur melalui pengalaman, yang memberikan pengaruh khusus pada

respon seseorang terhadap orang, obyek-obyek, dan keadaan (Gibson,

dkk. 1996).

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, terdapat dua pihak yang

berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi

sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai

pengguna jasa layanan, antara keduanya, seringkali terdapat perbedaan

kepentingan yang mencolok. Aparat birokrasi pada dasarnya adalah

seorang abdi, bukannya seorang tuan. Persepsi tersebut selama ini tidak

pernah ditanamkan secara sistematis kepada aparat birokrasi. Hal tersebut

membawa konsekuensi pada masih munculnya sikap arogansi birokrasi,

seperti merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan oleh orang banyak,

atau bersikap seenaknya kepada masyarakat. Sikap yang ditunjukkan oleh

sebagian besar aparat birokrasi tersebut membuat masyarakat merasa

tidak memperoleh pelayanan seperti yang diharapkan, bahkan masyarakat


49

seringkali merasa disepelekan dan tidak diorangkan oleh birokrasi.

Kecenderungan yang justru terjadi adalah abdi masyarakat dibalikkan

artinya menjadi masyarakat menjadi abdi birokrat (Dwiyanto, dkk. 2002).

Kepribadian (personality). Semua perilaku individu sedikit banyaknya

dibentuk oleh kepribadian individu itu sendiri (Robbins, 2003). Gordon

Allport (dalam Robbins, 2003) mendefinisikan kepribadian sebagai

“organisasi dinamik dari sistem-sistem psikologis dalam individu yang

menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya.” Dengan

demikian, maka kepribadian dapat dimaknai sebagai jumlah total dari cara-

cara yang ditempuh seorang individu untuk bereaksi terhadap dan

berinteraksi dengan yang lain. Hal tersebut paling sering digambarkan dari

segi ciri-ciri yang dapat diukur yang diperlihatkan seseorang. Faktor

penentu kepribadian seseorang ada tiga yakni keturunan, lingkungan, dan

situasi. (Robbins, 2003). Rasa malu yang dimiliki oleh seseorang

merupakan kepribadian yang dibawa sejak lahir (faktor genetik). Faktor

lingkungan seperti budaya dimana seseorang dibesarkan, norma di tengah

keluarga, teman, dan kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang

dialami seseorang merupakan faktor yang dapat membentuk kepribadian

seseorang. Kepribadian seorang individu, walaupun umumnya stabil dan

konsisten, justru berubah dalam situasi-situasi yang berbeda. Oleh karena

itu, maka kita hendaknya tidak melihat pada pola-pola kepribadian secara

sendiri-sendiri.

Hal yang sangat berkaitan dengan kepribadian ini adalah etika.

Dalam konteks birokrasi, etika birokrasi digambarkan sebagai suatu

panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan


50

kepada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan

publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika

birokrasi harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar

mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Dalam hal pelayanan

pemberian SIM, maka telah dibuat beberapa aturan yang bertujuan untuk

menghindarkan polisi pada perilaku menyimpang dalam menjalankan

tugasnya, antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 2/2003 tentang

Peraturan Disiplin Anggota Polri, Peraturan Pemerintah Nomor 3/2003

tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota

Polri, dan Keputusan Kapolri Nomor: Kep/32/VII/2003 tanggal 1 Juli 2003

tentang Kode Etik Profesi Polri.

Menurut Dwiyanto, dkk. (2002) bahwa etika dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dapat dilihat dari sudut apakah seorang aparat birokrasi

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat merasa mempunyai

komitmen untuk menghargai hak-hak dari konsumen untuk mendapatkan

pelayanan secara transparan, efisien, dan adanya jaminan kepastian

pelayanan. Perilaku aparat birokrasi yang memiliki etika dapat tercermin

pada sikap sopan dan keramahan dalam menghadapi masyarakat

pengguna jasa. Etika juga mengandung unsur moral, sedangkan moral

tersebut memiliki ciri rasional, obyektif, tanpa pamrih, dan netral. Aparat

birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik sudah sepantasnya

untuk tidak melakukan berbagai bentuk tindakan diskriminatif yang

merugikan pengguna jasa yang lain.

Kebutuhan dan Motivasi. Kebutuhan dan motivasi bagaikan dua sisi

mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan adalah kekurangan


51

yang dialami individu pada suatu waktu tertentu. Kekurangan tersebut

dapat bersifat fisik (misalnya: kebutuhan akan makanan), psikologis

(misalnya: kebutuhan untuk beraktualisasi diri), atau sosiologis (misalnya:

kebutuhan untuk interaksi sosial). Kebutuhan-kebutuhan merupakan

pemicu dari respon perilaku. Semakin besar kebutuhan yang dirasakan

seseorang, maka semakin besar pula motivasi orang tersebut untuk

mencapai kebutuhannya. Dengan demikian, maka motivasi adalah

merupakan kekuatan yang mendorong seseorang karyawan yang

menimbulkan dan mengarahkan perilakunya (Gibson, dkk. 1996) untuk

memenuhi kebutuhannya. Konsep motivasi ini dapat digunakan untuk

menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku (mengenai

perilaku yang lebih intens sebagai hasil dari tingkat motivasi yang lebih

tinggi), dan juga untuk menunjukkan arah tindakan (misalnya seorang

birokrat garis-depan yang mempunyai kebutuhan yang besar akan uang,

maka akan mengarahkan perilakunya untuk memperoleh keuntungan

pribadi atas tugas pelayanan yang diberikannya).

(2) Variabel eksternal individu

Variabel eksternal yang dapat mempengaruhi perilaku individu adalah

variabel organisasi dan variabel lingkungan atau budaya setempat.

Variabel organisasi yakni karakteristik dari organisasi seperti bentuk

hirarki, tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem insentif dan

penghargaan, komunikasi, kepemimpinan, dan sistem kontrol.

Kesemuanya itu turut berpengaruh terhadap perilaku anggota organisasi

dalam melaksanakan tugasnya. Organisasi muncul dengan sejumlah

mekanisme pengendalian yang formal dan informal, membentuk,


52

mengarahkan dan menghambat perilaku anggota-anggotanya. Demikian

pula sistem dokumentasi yang formal yang dimiliki oleh hampir semua

organisasi, secara tidak langsung membatasi dan membentuk perilaku

para pekerjanya, seperti kebijakan, prosedur, aturan, uraian tugas, dan

instruksi tugas (Robbins, 2003). Sedangkan sistem hirarki baik horisontal

maupun vertikal yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan departemen-

departemen yang unik, secara otomatis akan berpengaruh terhadap

perilaku dari orang-orang yang menduduki peran atau pekerjaan tersebut,

yang senantiasa harus menyesuaikan perilakunya dengan tuntutan peran

yang dimainkannya.

Demikian pula imbal jasa atau insentif dan penghargaan. Satu hal

yang dapat mengarahkan perilaku individu ke arah peningkatkan kinerja

adalah sistem balas jasa dalam organisasi. Sistem insentif merupakan

elemen penting dalam suatu organisasi untuk memotivasi karyawan

mencapai prestasi kerja yang diinginkan (Dwiyanto, dkk. 2002). Insentif

yang diberikan kepada karyawan yang berprestasi berupa penghargaan

materi maupun nonmateri, sedangkan karyawan yang tidak berprestasi

mendapatkan disinsentif berbentuk teguran. Menurut Gibson, dkk. (1996)

sistem insentif atau penggajian ini dapat bertujuan untuk: (1) menarik orang

yang berkualifikasi untuk bergabung dalam organisasi; (2)

mempertahankan karyawan untuk tetap bekerja; dan (3) memotivasi

karyawan mencapai prestasi tinggi.

Berkaitan dengan faktor kepemimpinan, seorang pemimpin sangat

berperan dalam mengarahkan perilaku para anggotanya. Fiedler (1967)

adalah salah seorang ahli yang banyak meneliti mengenai kepemimpinan


53

menyatakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola

hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan

pengaruhnya terhadap sekelompok orang agar bekerja bersama-sama

untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, Yukl (1989) dalam Setyorini

(tanpa tahun) menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang efektif adalah

sejauhmana pemimpin tersebut dapat mempengaruhi perilaku pengikutnya

dan agar mereka mencapai sasaran kelompoknya.

Variabel eksternal organisasi dan budaya setempat. Variabel lingkungan

eksternal organisasi yang dapat mempengaruhi perilaku birokrasi garis-depan

dalam memberikan pelayanan publik dapat berupa lingkungan makro (nasional),

tingkat lokal, dan budaya masyarakat. Dalam level makro (nasional) yakni aturan-

aturan normatif dan kebijakan seperti melalui TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan

UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Kolusi Korupsi dan Nepotisme, UU No. 2/2002 tentang Polri, Keputusan Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman

Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Unit Pelayanan

Instansi Pemerintah dan Kepmenpan No. 26/2004 tentang Petunjuk Teknis

Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, serta

Keputusan Kapolri Nomor 32/VII/2003 tentang Kode Etik Profesi Polri.

Sedangkan dalam level mikro (lokal) seperti mekanisme pelayanan SIM yang

dikeluarkan oleh Satlantas Polwiltabes Kota Makassar. Demikian halnya

dengan nilai-nilai budaya lokal (kesukuan) yang dianut oleh masyarakat

setempat, turut pula mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Thoha, 1987) bahwa budaya dari

lingkungan eksternal organisasi dibawa serta masuk kedalam organisasi, dan


54

mempengaruhi perilakunya dalam menjalankan peranannya sebagai anggota

organisasi.

Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa perilaku individu birokrat garis-

depan dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang bukan saja

faktor internalnya tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal individu.

2.5 Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan salah satu aliran dalam teori organisasi.

Teori-teorinya berlandaskan pada asumsinya tentang organisasi dan orang-

orang yang berada di dalamnya (Thoha, 1991). Aliran kebudayaan (kultur) ini

sangat mengandalkan analisis kualitatif, dan tidak percaya pada bentuk-bentuk

eksperimen dan metode riset yang sejenis. Menurut teori kebudayaan

organisasi, metode kuantitatif belum tentu bermanfaat dan sesuai untuk

menganalisa organisasi.

Istilah budaya organisasi (organizational culture) telah banyak didefenisikan

dalam sejumlah literatur oleh berbagai penulis (Mallak dan Kurstedt, 1994;

Morris, 1992; Ouchi, 1981; Rogers and Ferketish, 1993, Westbrook, 1993) dalam

Park, Rieberre dan Schulte (2004). Dua contoh defenisi sebagai berikut:

“Routinezed ways of doing things that people accept and live by.
Organizations have norms and values that influence how members
conduct themselves. These norms may prevent members from
applying a maximum effort or may encourage them to do so” (Blake
and Mouton, 1985).

“A pattern of shared basic assumtions that the group learned as it


solved its problems of external adaptation and internal integration,
that had worked well enough to be considered valid, and therefore, to
be taught to new members as the correct way to perceive, think and
feel in relation to those problems” (Schein, 1999).
55

Budaya organisasi dapat lebih sederhana didefenisikan sebagai karakter

dari personality organisasi. Budaya organisasi seringkali digambarkan sebagai

“the ways things are done in an organization” (Park, Rieberre dan Schulte, 2004).

Jadi sebenarnya tata cara yang selalu dilakukan oleh anggota suatu organisasi

dalam melaksanakan tugasnya adalah merupakan budaya yang berkembang

dalam organisasi tersebut. Dengan demikian maka budaya organisasi tidak lain

adalah penjelmaan dari budaya-budaya yang dimiliki oleh setiap anggota

organisasi.

Budaya organisasi sangat berdampak pada aspek-aspek fundamental dari

kinerja organisasi. Budaya organisasi sebagai energi sosial yang menggerakkan

orang untuk bekerja, sangat berpengaruh terhadap perilaku individu dan

kelompok dalam organisasi (Gardner, 1999, Kilmann, dkk., 1985). Budaya bagi

organisasi laksana kepribadian bagi manusia, sesuatu yang tersembunyi, akan

tetapi merupakan tema yang menyatukan dan yang memberikan arti,

pengarahan, dan mobilisasi. Oleh karena itu maka budaya organisasi perlu

dikelola dengan baik. Untuk mengelolanya, budaya organisasi perlu dipahami

secara jelas agar dapat mencapai tujuan organisasi (Gardner, 1999).

Sementara itu, Turner (1994) berdapat bahwa budaya dalam suatu

organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap

tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada didalamnya dan

mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigue

(Turner, 1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu

yang terlibat didalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi

kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian

tujuan yang diharapkan.


56

Dalam arena organisasi, terdapat beragam komponen yang biasanya

dikaitkan dengan budaya, seperti simbol-simbol, bahasa, perilaku, dress codes,

sikap, nilai, dan kepercayaan (Haugh and McKee, 2004). Thoha menambahkan

lagi dengan asumsi, persepsi, norma, dan pola sikap (Thoha, 1991). Jadi

kebudayaan ini terdiri dari segala sesuatu yang tidak bisa diraba (intangible

things). Kesemuanya itu tidak dapat dilihat dan diamati secara kasat mata, akan

tetapi semuanya merupakan kekuatan yang selalu berada dibelakang kegiatan

dan aktivitas organisasi yang dapat dilihat dan diamati oleh mata kepala kita,

sehingga dapat dirasakan keberadaan dan pengaruhnya.

Budaya organisasi dapat mempengaruhi bagaimana orang-orang

menetapkan tujuan profesional dan pribadi, melaksanakan tugas dan mengurus

sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya organisasi dapat

mempengaruhi cara yang ditempuh oleh orang-orang dalam membuat keputusan

baik secara sadar atau tidak sadar, dan akhirnya dapat pula mempengaruhi

mereka dalam mempersepsi, merasakan dan bertindak (Hansen dan Wernerfelt,

1989; Schein, 1990 dalam Lock and Crawford, 2004). Deal dan Kennedy (dalam

Lock and Crawford, 2004) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat

memberikan pengaruh yang patut dipertimbangkan didalam organisasi terutama

sekali dalam area seperti komitmen dan kinerja organisasi. Para peneliti tentang

budaya organisasi juga telah mengusulkan kajian pada jenis dan bentuk budaya

yang berbeda.

Ketika individu membawa nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan pribadi mereka

ke tempat kerja, maka tingkat komitmen mereka terhadap organisasi akan

berbeda (Lock, and Crawford, 2004). Nilai, sikap, dan kepercayaan pribadi

merupakan refleksi dari budaya dimana orang tersebut berada, sehingga mereka
57

yang memiliki wilayah tempat tinggal yang berbeda akan mempunyai budaya

yang berbeda pula. Dalam penelitian antar-budaya (cross-cultural), diakui bahwa

terdapat perbedaan yang signifikan dalam karakteristik budaya nasional antara

wilayah Barat dan Timur (Chen, 2001; El Kahal, 2001; Hofstede, 1980, 1991

dalam Lock and Crawford, 2004).

Dalam konteks yang lebih mikro, yakni organisasi, maka hal ini senada

dengan teori kebudayaan yang mengatakan bahwa setiap organisasi berbeda

budayanya satu sama lain. Perbedaan tersebut menurut aliran teori

kebudayaan, disebabkan karena : pertama, sesuatu yang telah hidup dan selalu

berulang aktivitasnya bagi satu organisasi, belum tentu bisa timbul dan terjadi

bersamaan dalam organisasi lain. Jadi asumsi dasarnya memang berlainan.

Kedua, suatu budaya dalam budaya organisasi dibentuk oleh banyak faktor

antara lain budaya masyarakat, teknologi, suasana pasar, persaingan,

kepribadian pendirinya, dan kepribadian/gaya kepemimpinan dari para pemimpin

organisasi. Kadang-kadang kebudayaan organisasi yang satu sangat kuat

pengaruhnya, yang lain lemah sekali (Thoha, 1991).

Deal dan Kennedy (1982) dan Peters dan Waterman (1982) dalam (Lock,

dkk, 2004) mengemukakan bahwa “organizational culture can exert considerable

influence in organizations particularly in areas such as performance and

commitmen”. Atau dengan kata lain bahwa budaya organisasi sangat

berpengaruh terhadap komitmen dan kinerja dari setiap anggota organisasi.

Lebih lanjut Deal dan Kennedy (1982) mengatakan bahwa budaya pada

hakekatnya merupakan pola yang terintegrasi dari perilaku manusia yang

mencakup pikiran, ucapan, tindakan, artifak-artifak dan bergantung pada

kapasitas manusia untuk belajar dan mentransmisikannya bagi keberhasilan


58

generasi yang ada. Dari pengertian ini dapat ditangkap bahwa budaya

organisasi tidak bisa begitu saja ditangkap dan dilihat oleh orang luar, namun

dapat dipahami dan dirasakan melalui perilaku-perilaku anggotanya serta nilai-

nilai yang mereka anut.

Dalam kaitan antara pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku

anggota organisasi, seperti dikenal di Sulawesi Selatan adanya konsep

sipakatau, yang berarti saling menghargai atau menghormati diantara sesama

manusia tanpa membedakan status sosialnya, namun membimbing dan

mengembangkan potensi untuk tujuan kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam

kehidupan birokrasi pemerintahan di Sulawesi Selatan khususnya di Kota

Makassar, hendaknya tidak perlu terjadi adanya simbol-simbol panggilan yang

dapat membedakan status sosial seseorang seperti “karaeng” atau “puang” yang

hanya akan menimbulkan perbedaan perlakuan diantara anggota organisasi.

Para peneliti dalam bidang budaya organisasi telah mengemukakan

adanya bentuk atau tipe budaya yang berbeda. Sebagai contoh Goffee dan

Jones (1998) mengidentifikasi adanya empat bentuk budaya organisasi (yaitu

network, mercenary, fragmented dan communal). Sedangkan Martin (1992)

melihat budaya organisasi dari tiga perspektif (yakni, integration, differentiation

dan fragmentation). Sementara itu Wallach (1983) mengemukakan bahwa

terdapat tiga tipe utama dari budaya organisasi (yaitu bureaucratic, supportive

dan innovative). (dalam Lock, dkk., 2004). Dalam kajian ini secara khusus

hanya akan mengkaji budaya birokratik, terutama budaya pelayanan yang telah

berkembang selama ini dalam birokrasi pemerintahan kita. Dengan asumsi

bahwa budaya organisasi relatif mempunyai keunikannya masing-masing, yang

dibangun oleh konsep-konsep sosial dimana birokrasi itu beroperasi. Budaya


59

organisasi ini merupakan pelatuk yang amat berpengaruh dalam mengarahkan

perilaku organisasi. Dengan demikian maka budaya birokrasi suatu daerah

akan berbeda dengan daerah lainnya, sehingga pada akhirnya akan berbeda

pula perilaku pelayanannya.

2.6 Lembaga Kepolisian

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pada

pasal 2 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat. Fungsi kepolisian disebut menjadi tugas pokok kepolisian

sebagaimana dirumuskan dalam pasal 13 UU No. 2/2002 adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. menegakkan hukum, dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Salah satu fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2

dikaitkan dengan rumusan pasal 13 UU No. 2/2002 tersebut mengandung makna

yang sama dengan tugas pokok kepolisian, sehingga fungsi kepolisian juga

sebagai tugas pokok kepolisian (Sadjijono, 2006). Dengan demikian, tugas

pokok kepolisian dapat dimaknai sebagai fungsi utama kepolisian yang

merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Istilah pemerintah disini

mengandung arti sebagai organ/badan/alat perlengkapan negara yang diserahi

pemerintahan, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat serta menyelenggarakan kepentingan

umum (public servant), sehingga fungsi pemerintahan adalah fungsi dari


60

lembaga pemerintah yang dijalankan untuk mendukung tujuan negara, karena

pemerintahan dalam arti sempit merupakan salah satu unsur dari sistem

ketatanegaraan.

Sementara dari aspek tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai

fungsi utama kepolisian sebagai dijelaskan di atas, bertujuan untuk terciptanya

keamanan dan ketertiban masyarakat yang merupakan salah satu fungsi

pemerintahan. Dengan mengacu pada teori pembagian kekuasaan dan sistem

pemerintahan presidensiil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga

eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, sehingga presiden bertanggung jawab

atas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, maka dalam mengkaji

tentang kedudukan kepolisian didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat

dipisahkan dengan fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh Presiden.

Sedangkan kewenangan kepolisian bersumber dari Undang-Undang

Dasar 1945, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, dan Peraturan Perundang-

undangan lainnya. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara hukum,

supremasi hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensiil yang

harus menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945,

seperti dikemukakan oleh Soewoto Mulyosudarmo (dalam Sadjijono, 2006: 55),

bahwa konsekuensi dari sistem presidensil, yaitu sebagai sistem yang

menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945. Selain

itu dalam sistem pemerintahan presidensil, Presiden bertanggungjawab atas

penyelenggaraan keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum.

Kedudukan kepolisian tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, lain

halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang diatur

dalam pasal 10 UUD 1945, yakni “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
61

atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Akan tetapi

ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 mensyaratkan adanya tindak lanjut

pembentukan undang-undang yang mengatur tentang susunan dan kedudukan,

hubungan kewenangan Polri dalam menjalankan tugasnya. Sehingga

konsekuensi logis dari ketentuan tersebut, maka telah dibentuk Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dimana dalam Undang-undang ini lembaga

kepolisian diposisikan dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada

Presiden. Disamping itu adanya beberapa instrumen hukum yang sebelum

lahirnya UU No. 2/2002 telah mengatur tentang kedudukan lembaga Polri di

bawah Presiden, seperti Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2000 dan

Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Dilihat dari sejarah perkembangan pemikiran dan upaya untuk

memposisikan kepolisian, melalui suatu proses perjuangan dan pertentangan

yang serius antar beberapa lembaga yang menginginkan kepolisian berada di

bawah lembaganya, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman

dan Jaksa Agung, sebagaimana digambarkan oleh Daniel S. Lev. bahwa

sesudah pengakuan kedaulatan timbul dua persoalan yang saling berkait tentang

posisi kepolisian nasional (dikutip dari Sardjijono, 2006).

Pertama, adalah tentang Kementerian manakah yang seharusnya

berwenang atas angkatan kepolisian. Dalam hal ini Kementerian Kehakiman dan

Kementerian Dalam Negeri masing-masing ingin memasukkan kepolisian di

bawah wewenangnya.

Kedua, pihak-pihak lain yang mengusulkan agar kepolisian tetap di

bawah kekuasaan Perdana Menteri atau dibentuk kementerian baru, yakni

Kementerian Keamanan yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Tarik menarik terjadi
62

karena adanya suatu anggapan bahwa membawahi kepolisian akan memperkuat

kekuasaan dan prestise Kementerian bersangkutan yang berhasil

memenangkannya, sehingga persaingan untuk itu semakin sengit.

Pergulatan memposisikan lembaga kepolisian tetap berlanjut, dan terakhir

adalah pada era reformasi dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No.

VI/MPR/2000, TAP MPR No. VII/MPR/2000 dan dibentuknya Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002, sehingga Polri dipoisisikan kedudukannya di bawah

Presiden, namun demikian perdebatan ini pun juga belum berakhir.

Berikut dikemukakan bagan tentang kedudukan kepolisian dalam struktur

ketatanegaraan setelah amandemen UUD 1945, dimana kedudukan Presiden

sejajar dan dalam satu tingkatan dengan lembaga-lembaga lain, seperti Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR dan DPD, Mahkamah Agung, Komisi

Yudisial, Badan Pengawas Keuangan. Dari struktur demikian, nampak bahwa

ada chek and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan antara lembaga

yang satu dengan yang lain. Disisi lain, kedudukan kepolisian di bawah presiden

memiliki implikasi bahwa tanggung jawab penyelenggaraan kepolisian menjadi

tanggung jawab Presiden, karena fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden.

UUD 1945

PRESIDEN (Eksekutif)

POLRI

Sumber: Sadjijono, 2006

Gambar 2.2 Kedudukan Polri dalam Struktur Ketatanegaraan


63

Namun demikian perdebatan tentang kedudukan kepolisian di bawah

Presiden sebagaimana digambarkan dalam bagan di atas, hingga saat ini masih

terus berlanjut. Perdebatan tersebut masih mencari format yang tepat untuk

memposisikan lembaga kepolisian pada tempat yang ideal sesuai dengan sistem

ketatanegaraan di Indonesia. Dalam berbagai wacana dan pertimbangan dalam

menempatkan kepolisian pada kedudukan yang ideal, dikemukakan beberapa

pertimbangan, sebagai berikut:

a. Secara filosifis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada sebelum

dibentuknya organ kepolisian, karena fungsi kepolisian melekat pada

kehidupan manusia, yakni menciptakan rasa aman, tenteram dan tertib

dalam kehidupan sehari-harinya.

b. Secara teoritis, bahwa kepolisian sebagai alat negara yang menjalankan

salah satu fungsi pemerintahan bidang keamanan dan ketertiban

masyarakat. Kepolisian sebagai alat negara dapat dimaknai sebagai sarana

penyelenggaraan negara yang penekanannya pada sumber daya manusia

(orang) yang dalam operasionalnya sangat dipengaruhi dimana lembaga

tersebut diposisikan.

c. Secara yuridis, bahwa wewenang kepolisian diperoleh secara atributif, karena

tugas dan wewenang penyelenggaraan kepolisian telah diatur dan bersumber

pada konstitusi, yakni diatur dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, dan

penjabarannya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 dan

Peraturan Pemerintah RI Nomor 12 Tahun 2007 tentang Kepolisian.

Dalam menjalankan tugasnya, kepolisian dibagi kedalam beberapa jenjang

kesatuan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Landasan yuridis susunan
64

kepolisian ini diatur dalam pasal 3 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Keputusan

Presiden No. 70 Tahun 2002 yang substansinya sebagai berikut:

a. Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke

wilayahan;

b. Organisasi Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara

Republik Indonesia disingkat Mabes Polri;

c. Organisasi Polri ditingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik

Indonesia Daerah disingkat Polda.

Penjenjangan ini kemudian ditindaklanjuti dan dirinci dalam Keputusan

Kapolri No. Pol.: Kep/53/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002 dan No. Pol:

Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002. Untuk menuju kepolisian yang modern

lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani, maka penjenjangan

organisasi kepolisian perlu disederhanakan sehingga tidak terkesan birokratis

dan berbelit-belit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Suatu

langkah yang telah dilakukan kepolisian dengan memvalidasi beberapa

Kepolisian Wilayah (Polwil) dan mengurangi tugas dan wewenang operasional,

dapat dipandang sebagai penyederhanaan jenjang kesatuan.

2.6.1 Pengertian Polisi dan Kepolisian

Secara etismologis istilah polisi di beberapa negara memiliki perbedaan,

seperti di Yunani istilah polisi disebut sebagai “politeia”, di Inggris disebut “police”

juga dikenal istilah “constable”, di Jerman disebut “polizei”, di Amerika dikenal

dengan istilah “sheriff”, di Belanda dikenal dengan sebutan “politie”, di Jepang

dengan istilah “koban”, dan “chuzaisho walaupun sebenarnya istilah koban


65

adalah merupakan suatu nama pos polisi di wilayah kota dan chuzaisho adalah

pos polisi di wilayah pedesaan (Sadjijono, 2006).

Dalam bahasa Yunani, istilah polisi telah lama dikenal dengan nama

“politeia”. Istilah tersebut digunakan sebagai titel buku pertama Plato, yakni

“Politeia” yang mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai

dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus

dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari, 1995). Istilah tersebut

kemudian dijadikan sebagai nama suatu organ yang diharapkan menjadi

pemelihara Kamtibmas yakni polisi.

Perkembangan selanjutnya istilah polisi kemudian dikenal sebagai suatu

bentuk negara, yaitu negara polisi (polizeistaat) yang artinya negara yang

menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau perekonomian, meskipun

negara polisi ini kemudian dijalankan secara absolut. Di dalam negara polisi

tersebut dikenal dua konsep polisi (polizei), yakni sicherheit polizei yang

berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan, dan verwaltung polizei atau

wohlfart polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara perekonomian atau

penyelenggara semua kebutuhan hidup warga negara (Hans Nawiasky dalam

Azhary, 1995). Negara polisi ini sebagai awal timbulnya pemikiran negara

hukum di Barat sebagai reaksi terhadap pemerintah raja-raja absolut yang

hampir menyeluruh di dunia Eropa. Sehingga dalam negara polisi ini dikenal

dengan slogan berbunyi “sallus publica suprema lex princep legibus solutus est”

yang maknanya adalah “kepentingan umum sebagai yang harus diutamakan”.

Namun demikian timbul reaksi keras terhadap konsep penyelenggaraan negara

polisi, karena dijalankan secara absolut dimana semua kehidupan bernegara


66

ditangan raja. Hal ini dapat dicermati dari konsep L‟etat c‟est moi, negara adalah

aku (raja) (Hans Nawiasky, dalam Azhari, 1995)

Dari segi historis, istilah “polisi” di Indonesia tampaknya mengikuti dan

menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh

dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negara Indonesia

sebagai negara bekas jajahan Belanda.

Menurut Van Vollenhoven dalam bukunya “Politie Overzee”

sebagaimana dikutip oleh Kelana (1984) memberikan pengertian “politie”

sebagai:

“Organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas


mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah
menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan perintah. Fungsi
dijalankan atas kewenangan dan kewajiban untuk mengadakan
pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara
memerintah untuk melaksanakan kewajiban umum, mencari secara aktif
perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban umum, memaksa yang
diperintah untuk melakukan kewajiban umum dengan perantara
pengadilan, dan memaksa yang diperintah untuk melaksanakan
kewajiban umum tanpa perantara pengadilan (Kelana, 1984).

Dari defenisi tersebut satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa polisi

termasuk organ pemerintahan (regeeringorganen) yang diberi wewenang dan

kewajiban menjalankan pengawasan. Dengan demikian istilah polisi dapat

dimaknai sebagai bagian dari organisasi pemerintah dan sebagai alat pemerintah

yang menjalankan tugas pengawasan dan secara aktif mencari pihak-pihak yang

melanggar aturan umum yang telah ditetapkan.

Sementara itu, menurut Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of

History, bahwa “police in the English Language came to mean any kind of

planning for improving or ordering communal existence” yang maknanya “polisi”

sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan tata susunan

kehidupan masyarakat (Charles Reith, dalam Kelana, 1984). Lebih lanjut


67

Momo Kelana mengambil terjemahan dari Polizeirecht mengatakan, bahwa

istilah Polisi mempunyai dua arti, yakni polisi dalam arti formal yang mencakup

penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan

kedua dalam arti materiil, yakni memberikan jawaban-jawaban terhadap

persoalan-persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya

atau gangguan keamanan dan ketertiban, baik dalam rangka kewenangan

kepolisian umum melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Didalam Black‟s Law Dictionary disebutkan, “police” adalah “The

governmental department charged with the preservation of public order, the

promotion of public safety, and the prevention and detection of crime” (Garner,

1999). Dalam terbitan lain disebutkan “Police is a branch of the government

which is charged with the preservation of public order and transquality, the

promotion of the public health, safety and morals and the prevention, detection,

and punishment of crimes” (Cambell Black, 1979). Arti kepolisian disini

ditekankan pada tugas-tugas yang harus dijalankan sebagai departemen

pemerintahan atau bagian dari pemerintahan, yakni memelihara keamanan

ketertiban, ketenteraman masyarakat, mencegah dan menindak pelaku

kejahatan.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, polisi diartikan

sebagai: (1) badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan

ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dsb.) (2)

anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan

dsb). Berdasarkan pengertian polisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

tersebut bahwa polisi sebagai badan pemerintah yang diberi tugas memelihara
68

keamanan dan ketertiban umum, maka penekanannya adalah polisi sebagai

lembaga atau badan yang harus menjalankan tugas pemerintahan, dan sebagai

sebagai sebutan anggota dari lembaga.

Pengertian lain sebagaimana dikemukakan dalam Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal

1 ayat 1 menyatakan : “kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan

fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Istilah kepolisian dalam UU Polri tersebut mengandung dua pengertian, yaitu

fungsi polisi dan lembaga polisi. Jika dicermati fungsi polri sebagaimana

disebutkan dalam pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri tersebut fungsi

kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, sedangkan lembaga

kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan

diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian berbicara kepolisian berarti berbicara

tentang fungsi dan lembaga kepolisian. Pemberian makna dari kepolisian ini

dipengaruhi oleh konsep fungsi kepolisian yang diembannya dan dirumuskan

dalam tugas dan wewenangnya.

Pengertian lain tentang polisi juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardo

(dalam Khoidin dan Sadjijono, 2006), polisi adalah aparat penegak hukum

jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat.

Pengertian ini lebih menekankan kepada makna bahwa polisi sebagai penjaga

keamanan. Dalam makna seperti ini maka keberadaan polisi ditengah

masyarakat sangat urgen dan krusial. Polisi dan masyarakat merupakan


69

simbiosa yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, laksana ikan dengan

airnya. Begitu erat dan mesranya hubungan tersebut, sampai ada beberapa

golongan masyarakat tertentu yang menjadikan polisi sebagai figur panutan,

segala gerak-geriknya dijadikan contoh dalam perilaku masyarakat. Namun tidak

jarang pula masyarakat memandang polisi sebagai ancaman bagi keselamatan

masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya perilaku dari segelintir “oknum”

polisi yang menyakitkan masyarakat.

Dari beberapa pengertian tentang polisi yang dikemukakan di atas, maka

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa istilah “polisi” dan “kepolisian”

mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “polisi” adalah sebagai organ atau

lembaga pemerintah yang ada dalam negara, dan istilah “kepolisian” adalah

sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga

pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara,

sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab

lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara

lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

pelindung, pengayom, dan pelayanan kepada masyarakat.

2.6.2 Lembaga Kepolisian Sebagai Lembaga Birokrasi

Mengingat kajian ini adalah tentang perilaku pelayanan birokrasi garis-

depan, maka dirasa perlu untuk memberikan paparan singkat tentang kedudukan

lembaga kepolisian sebagai lembaga birokrasi.

Lembaga kepolisian dan institusi pemerintahan yang lain memiliki suatu

kesamaan, terutama dalam menjalankan fungsi pemerintahan, dan sama-sama

berada dalam satu atap yakni birokrasi pemerintahan. Blau dan Meyer (2000)
70

berpendapat bahwa birokrasi adalah organisasi yang dirancang untuk

menyelesaikan tugas-tugas administrasi dalam skala besar dengan cara

mengkoordinasikan pekerjaan banyak orang secara sistematis. Sementara itu,

Castles (1997) berpendapat bahwa birokrasi diartikan sebagai “orang-orang

yang bergaji yang menjalankah fungsi-fungsi pemerintah, termasuk

didalamnya pejabat tentara dan birokrasi militer. Dengan demikian dapat ditarik

pemahaman bahwa bagi orang-orang atau badan-badan pemerintah yang

menjalankan fungsi pemerintahan dan penyelenggaranya menerima gaji

dari pemerintah dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah dan sebagai

birokrasi. Oleh karena itu lembaga kepolisian karena menerima gaji dari

pemerintah dan juga menjalankan salah satu fungsi pemerintahan sebagaimana

disebutkan dalam UU No. 2/2002 maka juga merupakan lembaga birokrasi.

Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa berdasarkan UU Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dalam pasal 2 disebutkan

bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kajian

ini lebih menekankan pada fungsi yang terakhir yakni pelayanan kepada

masyarakat dalam hal pelayanan Surat Izin Mengemudi kendaraan bermotor,

sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (2) point c UU No. 2/2002. Pasal

pasal 15 tersebut secara tegas dikemukakan bahwa salah satu kewenangan

Kepolisian Negera Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-

undangan lainnya, maka Polri berwenang memberikan surat izin mengemudi

kendaraan bermotor.
71

Untuk memudahkan masyarakat mengakses pelayanan surat izin

mengemudi kendaraan bermotor, maka dalam lembaga birokrasi kepolisian

dibentuk satuan yang khusus menangani pelayanan SIM. Untuk kondisi Kota

Makassar, birokrasi yang menangani pelayanan SIM adalah Satlantas (satuan

lalu lintas) yang berada dibawah birokrasi Polwiltabes (Kepolisian Wilayah Kota

Besar), sehingga lembaga birokrasi ini disebut sebagai Satlantas Polwiltabes

Makassar.

2.6.3 Hubungan Kepolisian dan Pemerintahan Daerah

Pemeliharaan sistem keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum

dalam negara kesatuan disusun dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat

yang secara fungsional didekonsentrasikan kepada pejabat pada unit-unit

pemerintahan daerah ataupun disentralisasikan kepada Pemerintah Daerah

Otonom (Wasistiono dalam Sadjijono, 2006). Fungsi penyelenggaraan

keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum ini merupakan salah satu fungsi

pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian, sebagaimana dirumuskan dalam

pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002. Penyelenggaraan pembinaan

keamanan, ketenteraman dan ketertiban yang dijalankan oleh kepolisian

didelegasikan dan atau dimandatkan secara berjenjang kepada Kepolisian

Propinsi sampai dengan tingkat Kepolisian Sektor.

Perbedaan yang sangat mendasar antara kepolisian dan pemerintahan

daerah terletak pada kewenangan yang otonom, dimana masing-masing daerah

mempunyai kewenangan untuk menentukan rumah tangganya sendiri,

sedangkan lembaga kepolisian merupakan kepolisian nasional yang berpusat di

Markas Besar Kepolisian (Mabes Polri), adanya penentuan daerah sebagai


72

upaya mengefektifkan mekanisme dan sistem operasional kepolisian. Oleh

karena itu, maka lembaga kepolisian yang ada di daerah sebenarnya tidak

memiliki kewajiban pertanggungjawaban tugas-tugasnya terhadap pemerintah

daerah setempat di mana ia beroperasi. Meskipun demikian, secara fungsional,

lembaga kepolisian perlu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah

didalam menjalankan tugasnya terutama tugas memelihara keamanan dan

ketertiban karena tugas tersebut juga menjadi kewajiban dari pemerintah daerah.

Gambar bagan 2.3 menunjukkan bahwa Kepolisian Daerah (Polda) setingkat

dengan Pemerintah Daerah Propinsi, Kepolisian Resort (Polres) setingkat

dengan Kabupaten, dan Kepolisian Sektor (Polsek) setingkat dengan

Kecamatan. Walaupun ada level yang tidak dapat digambarkan karena sebagai

pemegang kendali dan koordinasi, yakni Kepolisian Wilayah (Polwil) serta level

yang terdapat pada kota besar seperti Kepolisian Wilayah Kota Besar

(Polwiltabes) dan Kepolisian Resort Kota (Polresta). Dengan demikian terdapat

persinggungan antara Polri dan pemerintahan daerah dalam menjalankan fungsi

keamanan, ketenteraman dan ketertiban, tentang mekanisme dan

pertanggungjawaban penyelenggaraan pembinaan keamanan dan ketertiban.

Visualisasi tingkatan atau level penjenjangan kepolisian di tingkat propinsi

dan pemerintah daerah dapat dilihat pada bagan berikut ini:


73

Kepolisian Daerah (Polda) Pemerintah Propinsi

Polwil/Polwiltabess

Kepolisian Kota (Polresta) Pemerintah Kota (Pemkot)

Kepolisian Kab.(Polres) Kabupaten

Polsek/Polsek Kota Pemerintah Kecamatan

Sumber: Sadjijono, 1996.

Gambar 2.3. Hubungan antara Kepolisian Propinsi dengan Pemerintah Daerah

Berdasarkan ketentuan pasal 42 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun

2002 tentang Polri, bahwa “hubungan dan kerjasama di dalam negeri dilakukan

terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan

lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas

partisipasi dan subsidiaritas”. Hubungan kerjasama tersebut didasarkan atas

sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu,

mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hirarki.”

Sebagai penjabaran dari pasal 42 tersebut, maka telah dilakukan

Kesepakatan Bersama antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) tentang Penyelenggaraan dan

pembinaan keamanan, ketenteraman dan ketertiban umum yang dituangkan

kedalam MOU No. 119/1527/SJ Tahun 2002 dan No. Pol.: B/2300/VII/2002

tanggal 17 Juli 2002, dimana MOU dimaksud diinstruksikan untuk ditindaklanjuti

oleh Gubernur dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda).


74

Jika dilihat dari segi kewajibannya, maka salah satu kewajiban Kepala

Daerah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 22 huruf a Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah melindungi

masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disisi lain, Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas pokok memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, sebagaimana dirumuskan

dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Masyarakat disini meliputi semua orang yang tinggal dan

atau berada dalam daerah dimana Kepala Daerah ditugaskan.

Dengan demikian, apa yang menjadi tugas pokok kepolisian dalam

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang ada di daerah tersebut

juga menjadi kewajiban Kepala Daerah untuk menjalankannya. Disinilah letak

persinggungannya, yakni salah satu kewajiban Kepala Daerah menjadi salah

satu tugas pokok kepolisian, terutama berkaitan dengan pemeliharaan keamanan

dan ketertiban masyarakat. Titik persinggungan ini perlu dikoordinasikan dengan

baik sehingga pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang

melibatkan dua unsur lembaga ini dapat tertuang secara jelas dalam satu visi

dan persepsi, sehingga dapat berjalan secara efektif dan lancar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan lembaga

kepolisian dengan pemerintah daerah merupakan hubungan bantuan dan

kemitraan secara fungsional. Jika dicermati bantuan dimaksud dapat

dikategorikan ke dalam dua kelompok, yakni:


75

1. Bantuan personil yang bersifat permanen dalam rangka penegakan

Peraturan Daerah;

2. Bantuan personil yang bersifat sewaktu-waktu terutama dalam keadaan

genting dan memaksa.

2.6.4 Anggota Kepolisian

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selanjutnya disingkat

menjadi anggota Polri yang dimaksud adalah orang per orang yang telah

diangkat menjadi anggota Polri melalui persyaratan yang ditentukan guna

mengisi dan mengoperasionalkan organisasi kepolisian. Organisasi kepolisian

adalah badan atau lembaga pemerintah yang merupakan bagian dari organisasi

pemerintah yang menjalankan organisasi kepolisian sesuai tugas dan wewenang

dan tujuan lembaga kepolisian (Sadjijono, 2006).

Oleh karenanya, anggota kepolisian merupakan bagian dari pegawai

negeri, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor

43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974,

tentang Kepegawaian, dimana Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil,

Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia, dan ditegaskan lagi dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 2

Tahun 2002 tentang Polri, bahwa anggota kepolisian adalah pegawai negeri

pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di sisi lain pegawai negeri pada

Polri terdiri dari anggota Polri dan Pegawai Negeri Sipil.

Pegawai negeri, maksudnya setiap warga negara Republik Indonesia

yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh yang berwenang dan

diserahi tugas dalam jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan
76

digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan

pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, setiap

anggota Polri memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak, dimana

besar kecilnya gaji anggota kepolisian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 14

Tahun 2003 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri.

Anggota kepolisian yang bertugas dalam pelayanan SIM di Kota

Makassar memiliki kepangkatan antara Aiptu, Aipda, Bripka, Brigpol, Briptu,

Bripda, dengan gaji berkisar antara 1,5 juta rupiah sampai dengan 2 juta rupiah.

Di dalam sistem organisasi, anggota organisasi merupakan salah satu

unsur yang dominan untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga sangat

menentukan keberlanjutan hidup organisasi. Oleh karena itu, anggota kepolisian

menjadi unsur dominan tercapainya tujuan lembaga kepolisian serta terhadap

perkembangan kepolisian. Dengan demikian maka diperlukan anggota

kepolisian yang mampu untuk menjalankan tugas dan wewenang lembaga

secara profesional dan proporsional.

2.6.5 Recruitment

Rekrutmen anggota merupakan salah satu langkah regenerasi personil

dalam organisasi kepolisian. Selain rekrutmen sebagai langkah untuk

regenerasi anggota, juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kuantitatif

anggota yang dinilai masih kurang atau belum mencukup rasio kepolisian atau

quota, atau dengan tujuan dan kepentingan-kepentingan lain berkaitan dengan

peningkatan kualitas personil kepolisian. Pertimbangan logis regenerasi anggota

didasarkan pada asumsi bahwa dalam batas waktu tertentu anggota kepolisian

akan mengalami masa pensiun (purna bhakti) ataupun berhenti dari dinas
77

kepolisian karena sebab-sebab lain, seperti mengundurkan diri, alih tugas

maupun meninggal dunia, sehingga untuk menjaga keseimbangan jumlah

personil secara kuantitatif dan menambah kekurangan yang ada, maka perlu

dilakukan rekrutmen anggota, baik melalui pembentukan maupun alih golongan.

Rekrutmen anggota kepolisian adalah merupakan suatu siklus dalam

pembinaan organisasi kepolisian khususnya pembinaan sumber daya manusia,

hal ini dilihat dari segi adanya sistem pengakhiran dinas (purna bhakti).

Pengakhiran dinas bermula dari adanya pengangkatan atau penerimaan

(rekrutmen), dan pengangkatan akan bermuara pada pengakhiran dinas,

sehingga untuk menjaga solidaritas dan kelestarian organisasi rekrutmen

anggota sebagai suatu keharusan dan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 21 ayat (1)

dijelaskan bahwa untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia seorang calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai

berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

d. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;

e. berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;

h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela,dan

i. lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.


78

Beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi, termasuk

persyaratan yang bercorak kedaerahan. Syarat-syarat pokok maupun tambahan

diterapkan dengan memperhatikan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh

pemerintah Indonesia, seperti yang berkaitan dengan persyaratan umum

disesuaikan dengan UU No. 20/1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO

mengenai usia minimum untuk diperbolehkan kerja (vide: pasal 2 ayat (3) dan

pasal 3 ayat (1) UU No. 20/1999), calon berusia 17 tahun 7 bulan. Persyaratan

tidak diskriminasi dengan memperhatikan Konvensi ILO mengenai diskriminasi

dalam pekerjaan dan jabatan yang disahkan dalam UU No. 21 Tahun 1999 dan

Konvensi International dengan UU No. 29 Tahun 1999, dan lain-lain (Sadjijono,

2006).

Berkaitan dengan kewenangan rekrutmen anggota Polri dilakukan

berdasarkan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/74/XI/2003 tanggal 10November

2003 tentang Pokok-pokok Penyusunan Lapis-lapis Pembinaan SDM Polri. DI

dalam Keputusan Kapolri tersebut adanya bentuk pelimpahan kewenangan

khususnya dalam penentuan kelulusan seleksi (rekrutmen) SDM Polri. Untuk

pendidikan pembentukan (diktuk) Bintara Polri kewenangan dilimpahkan kepada

Kapolda, sedangkan untuk AKPOL dan PPSS ditentukan melalui bidang Komisi

Persiapan Penetapan Peserta Pendidikan (K4P) dan penetapannya oleh Kapolri.

Untuk pemilihan untuk menjadi anggota Polri yang tepat untuk bertugas di

wilayahnya diserahkan kepada Kapolda. Kebijakan Kapolri yang dituangkan ke

dalam Surat Keputusan dimaksud sebagai upaya untuk percepatan implementasi

perubahan kultural dilingkungan Polri termasuk perubahan kebijakan yang serta

sentralistik menuju desentralisasi yang seirama dengan semangat otonomi


79

daerah, perkembangan wilayah dan sistem pemerintahan negara. Dengan

demikian penerimaan (rekrutmen) SDM Polri dipimpin langsung oleh Kapolda.

Pelaksanaan penerimaan calon anggota Polri dimulai dari tahap

kampanye (pengumuman), pendaftaran, pemeriksaan/pengujian, penentuan

kelulusan dilaksanakan secara desentralisasi, yakni kewenangan dilimpahkan

kepada Kapolda dengan prinsip “local boy for local job” untuk calon anggota Polri

yang merupakan bibit unggul warga masyarakat untuk dididik melalui pendidikan

Brigadir Poliri.

Rekrutmen dilakukan melalui tiga jalur, yakni: (1) melalui seleksi

pendidikan pembentukan Bintara, untuk diangkat menjadi anggota Polri

berpangkat Brigadir Polisi Dua; (2) melalui seleksi pendidikan pembentukan

Akpol untuk diangkat menjadi anggota Polri berpangkat Inspektur Polisi Dua; (3)

melalui seleksi pendidikan pembentukan Perwira Polri Sumber Sarjana untuk

diangkat menjadi anggota Polri berpangkat Inspektur Polisi Dua.

Untuk dapat diterima dan diangkat menjadi anggota Polri, setiap warga

masyarakat diwajibkan memenuhi persyaratan dan memperoleh perlakuan yang

sama sesuai dengan tingkat dan jenis pendidikan pembentukan yang diikutinya.

Di dalam rekrutmen anggota Polri selain memperhatikan ketentuan yang di atur

dalam Keputusan Kapolri No. Pol: Kep/74/XI/2003 tanggal 10 Nopember 2003

tentang Pokok-pokok Penyusunan Lapis-lapor Pembinaan SDM Polri, juga

berpedoman Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/1542/X/2001 tanggal 26

Oktober 2001 tentang Pendelegasian Wewenang Dalam Sumber Daya Manusia

Polri.
80

2.6.6 Reward

Pemberian Reward (penghargaan) adalah merupakan sarana

pembinaan moril terhadap anggota kepolisian yang anggap berjasa kepada

negara dan bangsa. Bentuk reward ini menjadi salah satu model yang dinilai

masih efektif. Bentuk-bentuk reward yang diartikan ganjaran atau penghargaan

diberikan secara periodek maupun insidentil. Penghargaan ini diberikan oleh

pemerintah dengan maksud untuk memberi motivasi guna memelihara kesetiaan,

semangat kerja dan kepahlawanan.

Jenis atau macam penghargaan atau tanda kehormatan dibagi menjadi

tiga kelompok, yaitu”

1. Bintang, terdiri dari: (a) bintang Gerilya, (b) bintang Bhayangkara Nararya

(Utama, Pratama, Nararya).

2. Satyalencana, terdiri dari: (a) saryalencana Yana Utama, (b)

Satyalencana Prasetya Panca Warsa, (c) Satyalencana Bhakti, (d)

Satyalencana Karya Bhakti, (e) Satyalencana Teladan, (f) Satyalencana

Kesetiaan, (g) Satyalencana Dwidya Sistha, (h) Satyalencana Ksatria

Tamtama, dan (i) Satyalencana Karya Satya.

3. Veteran Republik Indonesia, terdiri dari: (a) Veteran Pejuang

Kemerdekaan RI, (b) Veteran Pembela Kemerdekaan RI, terdiri dari:

Veteran Pembela Trikora, Veteran Pembela Dwikora, dan Veteran

Pembela Timor-Timur.

Landasan yuridis pemberian penghargaan atau ganjaran kepada anggota

Polri di dasarkan pada Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kapolri No. Pol.:

Juklak/03/II/1991 tanggal 5 Februari 1991 tentang Penganugerahan Tanda-tanda

Kehormatan/Penghargaan untuk Polri. Jenis atau macam tanda-tanda


81

kehormatan atau penghargaan tersebut diberikan kepada anggota Polri yang

memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut:

a. Bintang Gerilya

Diberikan kepada warga negara Indonesia yang berjuang dan berbakti

kepada tanah air dan bangsa selama agresi Belanda I dan ke II dengan

menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetiaan yang luar biasa dengan

tidak mengingat golongan, jabatan dan kedudukan. Selama periode tersebut

bertempur secara langsung atau mengikuti pertempuran menghadapi musuh

dengan menunjukkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetiaan, dan tidak

terlibat dalam gerakan ekstrim kiri atau ekstrim kanan dan ekstrim lainnya.

b. Bintang Bhayangkara

Diberikan kepada anggota Polri yang dibidang tugasnya menunjukkan

keberanian dan kebijaksanaan serta martabat luar biasa yang melampaui

panggilan kewajiban, tanpa merugikan tugas pokok dengan senantiasa

menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, dan Anggota Polri

yang telah mengabdikan diri dalam dinas Polri selama 24 tahun terus menerus

dengan menunjukkan kesetiaan tanpa cacat.

c. Satyalencana Bhakti

Diberikan kepada anggota Polri yang mendapat luka-luka sebagai akibat

langsung kegiatan musuh dan di luar kesalahannya, sehingga memerlukan

perawatan kedokteran, dan atau di anugerahkan secara anumerta kepada

prajurit Polri yang gugur dalam menjalankan tugasnya sebagai akibat langsung

kegiatan lawan dan di luar kesalahannya sendiri.

d. Satyalencana Teladan
82

Diberikan kepada anggota Polri yang termasuk golongan prajurit yang

dalam waktu perang atau dalam operasi selama satu tahun berturut-turut, atau

dalam waktu di luar keadaan itu sedikit-dikitnya tiga tahun berturut-turut

menjalankan tugasnya dengan berkelakuan baik, setia sungguh-sungguh

sehinga dapat menjadi teladan dalam memelihara sifat-sifat keprajuritan bagi

yang lain.

e. Satyalencana Kesetiaan

Diberikan kepada anggota Polri yang telah melakukan kewajiban dinas

selama 8 tahun, 16 tahun atau 24 tahun penuh tidak terputus-putus, berkelakuan

baik, setia dan bekerja dengan sungguh-sungguh.

f. Satyalencana Dwidya Sistha

Diberikan kepada anggota Polri yang karena jabatannya selaku

Guru/Instruktur pada lembaga pendidikan Polri, telah menunjukkan kesetiaan,

prestasi kerja serta berkelakuan baik selama 2 (dua) tahun terus-menerus atau 3

(tiga) tahun terputus-putus.

g. Satyalencana Seroja

Diberikan kepada anggota Polri yang berjasa dalam melaksanakan tugas

negara untuk menanggulangi gangguan keamanan oleh gerombolan-gerombolan

pengacau di luar perbatasan, terhadap kestabilan wilayah Propinsi Nusa

Tenggara Timur khususnya dan kestabilan wilayah Republik Indonesia, dan atau

diberikan kepada anggota Polri semasa periode antara tanggal 21 Mei 1975

sampai 30 Agustus 1975 pernah melakukan tugas Pertahanan Keamanan (Ops

Komando) dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur sampai selesai tugas.

h. Satyalencana Ksatria Tamtama


83

Diberikan kepada anggota Polri yang berjasa dalam tugas kepolisian dan

memenuhi syarat keberanian, ketaatan disertai dengan hikmat kebijaksanaan.

i. Satyalencana Karya Bhakti

Diberikan kepada anggota Polri yang aktif turut serta dalam kejadian-

kejadian yang patut dikenakan demi kemajuan perkembangan Polri.

j. Satyalencana Prasetya Panca Warsa

Diberikan kepada anggota Polri yang melakukan Dinas Kepolisian selama

5 (lima) tahun terus menerus dan memenuhi syarat kesetiaan dan

kebijaksanaan.

k. Satyalencana Karya Satya

Diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil Polri (PNS di lingkungan Polri)

sebagai penghargaan atas pengabdiaannya, kesetiaan, kejujuran, kecakapan

dan disiplinnya dalam melaksanakan tugas sebagai PNS selama 10 tahun, 20

tahun dan 30 tahun lebih secara terus menerus terhadap Negara Republik

Indonesia, sehingga dapat lebih memotivasi PNS Polri.

Selain jenis-jenis penghargaan di atas masing-masing Kepala Kepolisian

Daerah berwenang memberi penghargaan kepada anggota Polri atau PNS yang

memiliki loyalitas yang tinggi, dedikasi tinggi, disiplin dan tekun dalam

menjalankan tugasnya. Penghargaan juga dapat diberikan kepada anggota yang

berhasil mengungkap dan menangkap pelaku tindak kejahatan baik perorangan

maupun secara Tim/kelompok. Selain itu, penghargaan dari Kapolda ini dapat

pula diberikan kepada anggota Polri dan PNS yang berhasil memajukan dan

mengembangkan kesatuannya sehingga memperoleh predikat baik oleh

masyarakat maupun pimpinannya.


84

Jenis penghargaan yang diberikan oleh masing-masing Kepala Kepolisian

Daerah (Kapolda) tersebut tidak secara reguler, namun secara insidentil, artinya

diberikan sewaktu-waktu ada prestasi dari anggota Polri maupun PNS Polri.

2.6.7 Punishment

Punishment (hukuman) adalah merupakan hukuman bagi anggota yang

melakukan pelanggaran hukum. Berdasarkan sifat, bentuk, jenis dan sistem

penjatuhan sanksi, pelanggaran hukum bagi anggota Polri diklasifikasikan

menjadi tiga jenis, antara lain:

a. Pelanggaran Peraturan disiplin, yakni ucapan, tulisan atau perbuatan

anggota Polri yang melanggar peraturan disiplin;

b. Pelanggaran Kode Etik Profesi, adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh

anggota Polri yang bertentangan dengan Kode Etik Profesi, dan

c. Pelanggaran Pidana, adalah suatu tindakan atau perbuatan yang

bertentangan dengan unsur-unsur yang dirumuskan dalam KUHP maupun

peraturan perundang-undangan lain yang memiliki sanksi pidana.

Pelanggaran disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun

2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri. Di dalam penjatuhan hukuman

disiplin dilakukan oleh atasan yang berwenang menghukum (Ankum) melalui

sidang disiplin yang sanksinya sebagaimana diatur dalam pasal 9 Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni berupa: teguran, penundaan mengikuti

pendidikan paling lama 1 (satu) tahun, penundaan gaji berkala, penundaan

kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun, mutasi yang bersifat demosi,

pembebeasan dari jabatan, penempatan dalam tempat khusus paling lama 21

(dua puluh satu) hari.


85

Terdapat dua istilah yang memiliki perbedaan mendasar dalam Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 2003, yakni penjatuhan Hukum Disiplin diputus melalui

sidang disiplin dan merupakan kewenangan Ankum dan atau Atasan Ankum

yang dalam lingkungan Polri secara berjenjang meliputi: Ankum berwenang

penuh, Ankum berwenang terbatas, dan Ankum berwenang sangat terbatas.

Jika penjatuhan tindakan disiplin dilaksanakan seketika dan langsung pada saat

diketahuinya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Polri, dan

merupakan kewenangan: atasan langsung, tidak langsung dan anggota Provos

Polri sesuai degnan lingkup tugas dan kewenangannya. Jenis sanksi hukuman

yang dijatuhkan dalam penjatuhan tindakan disiplin berupa: teguran lisan

dan/atau tindakan phisik, dimana tindakan disiplin dimaksud tidak menghapus

kewenangan Angkum untuk menjatuhkan hukuman disiplin.

Beberapa perbuatan anggota polri yang mengandung sanksi disiplin,

yakni pelanggaran atas kewajiban dan larangan yang diatur dalam pasal 3, pasal

4, pasal 5, dan pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang

Peraturan Disiplin Anggota Polri.

Berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, penjatuhan

hukumannya diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/33/VII/2003

tanggal 1 Juli 2003 tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Polri. Norma

etika Polri dirumuskan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/32/VII/2003

tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Profesi Polri. Di dalam Kode Etik Profesi

Polri mengandung tiga etika yang tercermin dalam perilakunya, sehingga

terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang Ketiga etika

dimaksud, yaitu etika pengabdian, etika kelembagaan, dan etika kenegaraan

yang disusun ke dalam Kode Etik Profesi Polri.


86

Sanski pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri adalah sanksi moral

yang dirumuskan dalam pasal 17 Kep Kapolri No. Pol.: Kep/32/VII/2003, berupa:

a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf

secara terbatas atau terbuka;

c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;

d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi

kepolisian.

Penjatuhan sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dilaksanakan

melalui sidang Komisi Kode Etik. Komisi Kode Etik dibentuk di lingkungan Polri

bertugas untuk memeriksa dan menyidangkan pelanggaran Kode Etik Profesi

Polri yang memiliki sifat otonom yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dengan

surat keputusan oleh pejabat Polri yang berwenang. Sidang Komisi Kode Etik

Profesi diatur dalam Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/33/VII/2003 tanggal 1 Juli

2003 tentang Tata Cara Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Sedangkan untuk Pelanggaran/Perbuatan Pidana, maka anggota Polri

yang melanggar akan dijatuhi hukuman atau sanksi melalui Peradilan Umum. Hal

ini dilaksanakan setelah pisahnya TNI dan Polri secara kelembagaan

berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri dan keluarnya Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Dengan demikian setelah keluarnya TAP

MPR dan Undang-undang Kepolisian dimaksud, maka anggota Polri tunduk pada

peradilan umum yang sebelumnya tunduk pada Undang-undang Nomor 31

Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.


87

Proses penjatuhan sanksi pidana, bagi anggota Polri yang diduga

melakukan perbuatan pidana berlaku Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang KUHP, dimana penyidikannya dilakukan oleh penyidik Polri terhadap

pelanggaran pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan memungkinkan

diperiksa oleh PPNS dalam pelanggaran tindak pidana tertentu/khusus.

Kemudian proses persidangan dilaksanakan di Pengadilan Umum. Landasan

yuridis berlakunya Peradilan Umum bagi anggota Polri dirumuskan dalam pasal

29 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang

menyebutkan, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk

pada kekuasaan peradilan umum”. Pengaturan teknis berlakunya Peradilan

Umum bagi anggota Polri tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 3

Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Instituional Peradilan Umum bagi

Anggota Polri.

2.6.8 Ruang Lingkup Pelayanan dan Tujuan Kepolisian

Terlepas dari rumusan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

negara kita, mandat (tugas) yang dibebankan kepada lembaga kepolisian sejak

kelahirannya adalah menegakkan hukum (law enforcement) dan “memelihara”

keamanan dan ketertiban umum (public order maintenance). Tugas

“memelihara” keamanan dan ketertiban umum ini, karena dipandang reaktif

sehingga berkembang menjadi “membina” (proaktif) (Muhammad, 2000).

Kendatipun ada tugas lain yang dibebankan kepada kepolisian, namun tidak

akan pernah terlepas dari kedua tugas pokok tersebut. Misalnya saja tugas

pencarian dan penyelamatan (search and rescue, SAR), penyelesaian pertikaian


88

dan pemberian surat izin/keterangan, dan lain-lain. Dengan demikian maka

ruang lingkup pelayanan kepolisian mencakup kedua bidang tugas tersebut.

Konsep pelayanan kepolisian pada dasarnya mengandung pengertian

yang tidak jauh berbeda dengan konsep pelayanan masyarakat yang biasa

digunakan oleh Polri. Tanpa menafikan bahwa sebagai aparat pemerintahan,

lembaga kepolisian adalah juga salah satu unsur pelayan masyarakat (public

servant), namun ketika kita berbicara tentang tugas Polri, istilah public servant

dapat menimbulkan pengertian keliru, karena memberikan penekanan pada

obyek yang dilayani (masyarakat), tanpa memberikan batasan pada apa yang

dilayani (“jasa” kepolisian). Oleh karena itu, dengan menggunakan konsep

pelayanan masyarakat, maka Polri bisa dituntut oleh setiap warga masyarakat

untuk melayani segala sesuatu yang mungkin diluar bidang tugas dan

wewenangnya. Kondisi demikian dialami oleh kepolisian Amerika Serikat,

misalnya mereka harus menghabiskan sekitar dua pertiga waktu dan tenaganya

untuk pekerjaan yang bukan menjadi kewenangannya atau tugas pokoknya yang

paling mendasar yaitu penanggulangan kejahatan (Walker, dalam Muhammad,

2000). Istilah demikian juga disalahartikan oleh anggota Polri di lapangan, yang

mengartikan bahwa tugas utama mereka adalah memberikan pelayanan

masyarakat sehingga kurang memperdulikan pelanggaran hukum yang terjadi

(Muhammad, 1998). Oleh karenanya istilah ini sering menimbulkan persepsi

yang berbeda tentang peranan antara melayani (polisi) dan yang dilayani (warga

masyarakat).

Pelayanan kepolisian (police service) mengandung pengertian yang

menekankan pada subyek (polisi) dan sekaligus membatasi bahwa layanannya

adalah “jasa” (fungsi kepolisian). Ini berarti bahwa pelayanan oleh polisi kepada
89

masyarakat tidak mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat

tetapi terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan tugas dan wewenang

kepolisian.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, pada Bab III

mengatur secara jelas Tugas dan Wewenang Kepolisian. Pasal 13 dijelaskan

tugas pokok kepolisian Republik Indonesia sebagai berikut:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

b. Menegakkan hukum, dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut di atas, maka dalam pasal 14

ayat (1) lebih rinci disebutkan bahwa tugas pokok kepolisian adalah:

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban

dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran

hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan

peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.


90

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium

forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan

hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan

bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani

oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian, serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13 dan 14 ayat (1) di atas, maka dalam Pasal 15 ayat (1) disebutkan

bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbutkan perpecahan atau mengancam

persatuan dan kesatuan bangsa;

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif

kepolisian;

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian

dalam rangka pencegahan;

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;


91

i. Mencari keterangan dan barang bukti;

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam

rangka pelayanan masyarakat;

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan

pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Pasal 15 ayat (2) berbunyi “Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai

dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan

masyarakat lainnya;

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;

c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,

dan senjata tajam;

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan

usaha di bidang jasa pengamanan;

g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan

petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;

h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan

memberantas kejahatan internasional;

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang

berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;


92

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

internasional;

k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian.

Dari sejumlah kegiatan pelayanan publik yang menjadi kewenangan

kepolisian sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 15 ayat (2) di atas,

maka yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah point c yakni pelayanan

surat izin mengemudi kendaraan bermotor.

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu

2.7.1 Penelitian tentang Gaya-gaya Negosiasi

Dari hasil penelusuran hasil-hasil penelitian terdahulu, setidaknya telah

terdapat ada dua penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan gaya-gaya

negosiasi. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Soedarmo (1998)

dan Rosidi (1998).

Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Soedarmo berjudul Birokrasi

Pelayanan Masyarakat Kota, Studi Pembentukan Tertib Interaksi Birokrasi Garis-

Depan dengan Warga Kota, dengan mengambil beberapa kasus kegiatan

pelayanan masyarakat di Kota Malang yakni pelayanan ijin usaha, pelayan Kartu

Tanda Penduduk, pelayanan Izin Mendirikan Bangunan, dan pelayanan Akta

Kelahiran. Berdasarkan pihak mana yang lebih dominan dalam proses interaksi

maka Soedarmo (1998) berhasil mengidentifikasi tujuh tertib hasil negosiasi yang

dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) gaya negosiasi yang relatif

berpusat pada petugas, mencakup intimidasi, kolusi, dan kompensasi, (2) gaya

negosiasi yang relatif berpusat pada warga masyarakat, yang mencakup


93

kecurangan dan percekcokan, dan (3) gaya negosiasi yang bersifat interaktif,

mencakup pertukaran, kompromi dan kerjasama.

Gaya negosiasi intimidasi menunjuk pada usaha menciptakan rasa takut

atau memberikan ancaram kepada pasangan interaksi, sehingga tercapai

tujuannya. Intimidasi bisa dilakukan baik oleh petugas maupun warga

masyarakat yang dilayani. Kalau intimidasi oleh petugas didasarkan pada

kewenangan yang dimiliki serta pengetahuan akan “kelemahan” pada diri warga

masyarakat yang dilayani, maka intimidasi oleh warga masyarakat didasarkan

pada kedekatan hubungan mereka dengan pihak-pihak lain yang mampu

mengontrol nasib petugas (Soedarmo, 1998)

Gaya negosiasi korupsi menunjuk pada segala kegiatan partisipan yang

secara keorganisasian tidak disetujui dan tidak sah. Secara empiris, gaya

korupsi mencakup dua jenis kegiatan, yaitu persekongkolan, penyuapan dan

pemberian imbalan (Soedarmo, 1998)

Gaya negosiasi kompensasi menunjuk pada upaya yang dilakukan oleh

warga kota untuk menunjukkan rasa terimakasihnya kepada birokrat yang

melayaninya. Jadi pada dasarnya merupakan ungkapan “terimakasih” yang tidak

pantas untuk mereka tolak. Berbeda dengan gaya negosiasi korupsi, pada gaya

negosiasi kompensasi ini tidak terdapat harga yang disepakati. Artinya,

berapapun warga masyarakat menghargai pelayanan, asalkan sudah lebih dari

ketentuan retribusi resmi, akan diterima dengan baik oleh petugas. Jadi,

walaupun petugas pelayanan sudah menduga akan ada kompensasi,

pengambilan keputusan untuk memberikan sejumlah uang kompensasi, tetap di

tangan warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam gaya kompensasi ini,


94

petugas pelayanan tidak tampak mengendalikan, tetapi menawar peraturan

resmi (Soedarmo, 1998)

Gaya negosiasi kecurangan menunjuk pada segala kegiatan untuk

mencapai tujuan melalui semacam penipuan. Dalam pelayanan masyarakat,

penipuan dilakukan misalnya, dengan memanipulasi data sehingga tidak sesuai

dengan realitas sebenarnya. Karena itu, gaya negosiasi kecurangan cenderung

menuntut keberanian warga masyarakat yang melakukannya (Soedarmo,

1998).

Gaya negosiasi percekcokan menunjuk pada perilaku provokatif kecil

yang bertujuan mendorong, mengganggu, dan bahkan memaksa orang lain. Bila

orang yang terganggu tersebut memilih jalan penyelesaian yang paling pintas

dengan menuruti kemauannya, berarti percekcokan telah berhasil menciptakan

suatu tertib sosial yang bersifat khas (Soedarmo, 1998: 229-230).

Gaya negosiasi kerjasama (cooperation) menunjuk pada cara

penyelesaian perbedaan dengan menghindari konflik dan saling menguntungkan.

Berbeda dengan kompromi yang berlangsung seolah-olah mengabaikan aspek

struktural peraturan, maka dalam kerjasama berlangsung masih dalam kerangka

struktur peraturan yang berlaku. Dari segi warga masyarakat, kerjasama

menunjuk pada prosedur normal dari upaya mereka untuk memperoleh

pelayanan sebagai mestinya. Sedangkan dari segi petugas pelayanan,

kerjasama berarti juga menunjuk pada prosedur pelayanan normal yang

mengacu pada keberlakuan peraturan yang telah ditetapkan secara formal

(Soedarmo, 1998).

Gaya negosiasi kompromi mengacu pada penghindaran atau

penyelesaian perbedaan melalui kesepakatan (concession) saling


95

menguntungkan. Gaya negosiasi kompromi juga bisa berlangsung karena

“pemakluman” yang diberikan oleh warga masyarakat. Sedangkan gaya

negosiasi pertukaran (exchange) mengacu pada cara penyelesaian konflik

melalui tawar-menawar atau semacam jual-beli atas dasar penilaian yang setara

(Soedarmo, 1998).

Kedua, penelitian yang dilakukan Rosidi (1998) mengkaji tentang perilaku

tertib-tersiasati yang terbentuk antara pemilik pabrik pelaku pencemaran, pelaku

pemerintah setempat, dan warga sekitar pabrik. Rosidi (1998) mengemukakan

implikasi teoritiknya sebagai berikut:

Kalau penelitian pada lembaga total seperti penjara menemu-kenali enam


gaya penyiasatan yang mencakup kompromi (compromise), pertukaran
(exchange), korupsi (corruption), penipuan (conning), percekcokan
(hassling), dan intimidasi (intimidation), penelitian dengan latar keseharian
ini menambahkan gaya pemberian ganti-rugi (compensation),
persekongkolan (collusion), pelanggaran aturan (transgression), dan
pemberian ancaman (threatening).

Kendati kedua penelitian terdahulu, yaitu Soedarmo (1998) dengan latar

pelayanan-masyarakat, dan Rosidi (1998) dalam latar sosial berciri perbenturan

kepentingan terbuka, keduanya sama-sama menyimpulkan bahwa tertib sosial

yang berlangsung tidak semata-mata didasarkan pada aturan (regulated-order),

melainkan suatu tertib berdasar penyiasatan (negotiated-order).


96

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu tentang Gaya-Gaya Negosiasi dan Hasil


Penelitian Sekarang

No. Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian Hasil Penelitian Sekarang


Peneliti Terdahulu
1. Soedarmo Birokrasi Pelayanan Menemukan delapan gaya Dengan mengadopsi GGN hasil
(1998) Masyarakat Kota: Studi negosiasi yg dikelompok- temuan Soedarmo untuk
Pembentukan Tertib kan menjadi tiga kategori: mengidentifikasi bentuk-bentuk
Interaksi Birokrasi Garis- (1) berpusat pada petugas, perilaku yang muncul dalam
Depan dengan Warga mencakup intimidasi, interaksi antara BGD dan WM,
Kota kolusi dan kompensasi; (2) maka penelitian ini berhasil
berpu-sat pada warga menemukan 11 bentuk perilaku
masyarakat, yang diferensial dalam pelayanan SIM,
mencakup kecurangan dan yang dikelompokkan menjadi 3
percekcokan, dan (3) tertib yakni (1) perilaku yang cenderung
hasil negosiasi yang menguntungkan BGD mencakup:
bersifat interaktif, perilaku ajimumpung, superior,
mencakup pertukaran, pengabaian, sebagai calo, putus
kompromi dan kerjasama asa, (2) perilaku yang cenderung
2. Sakban Rosidi Pencemaran Masuk Menemukan beberapa menguntungkan WM, mencakup:
(1998) Desa Ladang: Kajian gaya negosiasi yakni: perilaku perlawanan, cari
Anatomik Perbenturan ganti-rugi, persekongkolan, gampang, dan (3) perilaku yang
Kepentingan dan pelanggaran aturan, dan cenderung menguntungkan kedua
Pembentukan Tertib pemberian ancaman. belah pihak yang berinteraksi,
Tersiasati antara Pemilik mencakup perilaku melayani,
Pabrik Pupuk Cair, perlakuan khusus terhadap korps
Pelaku Pemerintah tertentu, dan sogok-menyogok.
Setempat, dan Warga
Sekitar
Sumber: Diolah dari hasil penelitian Soedarmo (1998) dan Rosidi (1998).

Apabila kita cermati, penelitian yang dilakukan Rosidi (1998) secara

khusus meneliti pembentukan tertib-tersiasati dalam latar perbentukan

kepentingan bersebab pencemaran lingkungan. Sedangkan penelitian Disertasi

yang dilakukan Soedarmo (1998) dengan mengambil latar kajian pada empat

kantor pelayanan masyarakat yakni pelayanan Akta Kelahiran, ijin mendirikan

bangunan IMB), ijin usaha, dan kartu tanda penduduk (KTP) di Kotamadya Dati II

Malang. Keduanya mengkaji tentang gaya-gaya negosiasi yang diambil oleh

birokrat garis-depan ketika berinteraksi dengan warga masyarakat yang ingin

memperoleh pelayanan publik. Meskipun demikian, kedua penelitian tersebut

belum sampai pada kajian tentang bagaimana bentuk perilaku yang muncul dari

interaksi gaya negosiasi tersebut, sehingga dalam penelitian ini ingin mengkaji

ruang yang kosong tersebut.


97

2.7.2 Penelitian tentang Bentuk-bentuk Perilaku Pelayanan

Penelitian yang dilakukan oleh Sadhana (1989) memilih interaksi sosial

antara penguasa formal dengan pelaku-pelaku masyarakat sebuah desa di

Kabupaten Dati II Malang. Hasil penelitian Sadhana (1989) menyimpulkan

secara proposisional bahwa perilaku negosiasi yang bersifat kompromi,

pertukaran atau tawar menawar, persuasif, dan paksaan serta intimidasi dapat

menentukan kualitas adaptasi kepala desa sebagai penyeimbang dari berbagai

kepentingan

Penelitian yang dilakukan oleh Wantoro (1999) secara khusus mengkaji

tentang Perilaku Petugas Polantas Dalam Pelayanan Pendaftaran Kendaraan

Bermotor di Samsat Jakarta. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat dua

(2) pola perilaku pelayanan polantas yaitu pola perilaku yang mendasarkan

kepada aturan/ketentuan formal, selanjutnya disebut sebagai perilaku prosedural,

serta model perilaku yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

rasional dan interpretasi individual yang mengarah pada tampolan pola perilaku

di luar prosedur resmi yang antara lain mencakup perilaku solider atau toleran;

perilaku saling menguntungkan, perilaku diskriminatif, perilaku penghindaran dan

perilaku tidak bertanggung jawab.

Penelitian yang dilakukan oleh Budihardjo (2003) bertujuan untuk mengkaji

perilaku birokrasi perangkat kelurahan di Kelurahan Teluk Tiran Kecamatan

Banjarmasin Barat, dengan fokus penelitian adalah: (a) bagaimana nilai dan kode

etik yang dianut dan berkembang di kalangan perangkat kelurahan; (b) apa yang

menjadi sumber otoritas; dan (c) bagaimana pengaruh perilaku perangkat

kelurahan terhadap mutu pelayanan publik. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai dan kode etik yang berkembang dikalangan perangkat kelurahan
98

cenderung mengacu kepada kepentingan organisasi sehingga tidak jarang

dengan berat hati perangkat kelurahan terpaksa menafikan kepentingan

masyarakat karena hal itu tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah. Pada

sisi lain, perilaku perangkat birokrasi kelurahan menunjukkan nilai birokrasi

tradisional yang ditandai oleh kuatnya nilai-nilai primordial yang menjadi sumber

otoritas perangkat kelurahan lainnya, sedangkan lurah sendiri tunduk pada

petunjuk dan arahan dari camat sebagai atasannya dalam pengambilan

keputusan.

Kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Budihardjo (2003)

mengungkapkan bahwa perilaku birokrasi perangkat kelurahan di Teluk Tiran

bersifat formalistik, primordial, dan masih belum menempatkan sosok sebagai

birokrasi modern dan berpihak terhadap kepentingan masyarakat (people

centered development.

Sedangkan penelitian yang baru saja dilakukan oleh Teruna (2007) yang

juga bertujuan untuk mengkaji perilaku birokrat garis-depan khususnya perilaku

yang menyimpang atau patologi yang dilakukan oleh birokrat dalam

melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa bentuk

perilaku patologi dalam (1) proses perencanaan, seperti perilaku: merasa paling

mengerti, arogan (merasa berkuasa), diskriminatif, subyektif, tertutup (tidak

transparan), meminta imbal jasa (ikut atau titip proyek), lepas tanggung jawab,

mempercayai segelintir orang dalam menyortir lembar kegiatan, menerima order,

(2) pelaksanaan kegiatan, seperti perilaku: mementingkan angka, mencari aman

dan orang yang bisa mengamankan, memainkan administrasi, meminta komisi,

arogan, dan (3) evaluasi kegiatan: seperti perilaku: arogan, diskriminatif,

lamban, ingin mudah, dan diskriminatif.


99

Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu tentang Bentuk-bentuk Perilaku Birokrasi Garis-


Depan

N Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian Hasil Penelitian


o Penelitian Terdahulu Sekarang
.
1 Kridhawati Sadhana Perilaku Perilaku negosiasi yang Penelitian ini berhasil
. (1989) Negosiasi bersifat kompromi, mengidentifikasi 11 bentuk
sebagai pertukaran atau tawar- perilaku diferensial dalam
Upaya menawar, persuasif, dan pelayanan SIM, yang
Strategi paksaan serta intimidasi dikelompokkan menjadi 3
Adaptif Kepala dapat menentukan kualitas yakni (1) perilaku yang
Desa dalam adaptasi kepala desa cenderung menguntungkan
Struktur sebagai penyeimbang dari BGD mencakup: perilaku
Birokrasi berbagai kepentingan ajimumpung, superior,
Pemerintahan pengabaian, sebagai calo,
Desa putus asa, (2) perilaku yang
2 Agus Wantoro (1999) Perilaku Mengelompokkan ke cenderung menguntungkan
. Petugas dalam 2 (dua) pola WM, mencakup: perilaku
Polantas perilaku, yaitu pola perilaku perlawanan, cari gampang,
Dalam prosedural dan pola dan (3) perilaku yang
Pelayanan perilaku diluar prosedur cenderung menguntungkan
Pendaftaran resmi yang mencakup kedua belah pihak yang
Kendaraan toleran atau solider, saling berinteraksi, mencakup
Bermotor di menguntungkan, perilaku melayani, perlakuan
Samsat diskriminatif, penghindaran khusus terhadap korps
Jakarta dan tidak bertanggung tertentu, dan sogok-
jawab. menyogok.
3 Sukadji Budihardjo Perilaku Nilai dan kode etik yang
. (2003) Birokrasi berkembang di kalangan Penelitian ini juga berhasil
dalam perangkat kelurahan menemukan bahwa aktor
Pelayanan cenderung mengacu dominan yang menjadi
Publik (Studi kepada kepentingan penentu perilaku pelayanan
Kasus organisasi, dan perilaku adalah BGD, dengan
Perilaku perangkat birokrasi beberapa bentuk perilaku
Birokrasi kelurahan masih yang cenderung bertujuan
Pemerintahan tradisional yg ditandai oleh untuk mendapatkan
Kelurahan kuatnya nilai-nilai keuntungan pribadi. Dipihak
Teluk Tiran primordial yang menjadi lain, WM juga seringkali
Kecamatan sumber otoritas perangkat berupaya untuk mencari
Banjarmasin kelurahan, sedangkan jalan pintas dalam
Barat Kota lurah sendiri tunduk pada pelayanan publik, sehingga
Banjarmasin) petunjuk dan arahan dari perilaku seperti ini dapat
camat. mengaburkan peraturan dan
4 Mada Teruna Patologi Berhasil mengidentifikasi prosedur pelayanan SIM
. (2007) Birokrasi beberapa bentuk patologi yang sebenarnya.
dalam birokrasi seperti intimidasi,
Penyelenggar arogan, meminta komisi,
aan ingin mudah, diskriminatif
Pemerintahan
Di Daerah
Sumber: Diolah dari hasil penelitian Sadhana (1989), Wantoro (1999), Budihardjo
(2003), dan Teruna (2007).

Apabila kita cermati, penelitian yang dilakukan oleh Sadhana (1989) dan

Budihardjo (2003) memiliki latar kajian yang sama yakni menggunakan kasus

pengelolaan pembangunan desa, dan keragaman kepentingan antar warga

maupun antar warga dengan perangkat desa atau kelurahan. Sementara itu

penelitian yang dilakukan oleh Mada Teruna (2007) mengambil latar proses
100

pengadaan barang/jasa di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Banjar.

Kesemua penelitian ini mengkaji tentang perilaku individu birokrat tetapi memiliki

latar yang berbeda dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini secara khusus

mengkaji tentang bentuk-bentuk perilaku pelayanan, faktor pembentuk perilaku

sampai kepada aktor dominan yang membentuk perilaku pelayanan dalam

penyelenggaraan pelayanan SIM.

Sementara itu, penelitian untuk Thesis Program Pascasarjana Kajian Ilmu

Kepolisian Universitas Indonesia yang dilakukan oleh Wantoro (telah

dipublikasikan pertama kali pada Jurnal Polisi tahun 1999)) mengenai Perilaku

Polantas dalam pelayanan pendaftaran kendaraan bermotor di Samsat Jakarta

pada dasarnya memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama

mengkaji tentang perilaku birokrat polantas dalam pelayanan publik, hanya saja

dalam penelitian ini mengambil latar yang lain yakni pada Kantor Satlantas

Polwiltabes Makassar, dengan studi kasus pada pelayanan SIM. Kita bisa

memahami bahwa betapapun seorang birokrat garis-depan perilakunya

ditentukan oleh aturan-aturan yang berlaku dalam memberikan pelayanan,

namun sedikit banyaknya ia pasti memiliki “ruang kebebasan” dimana ia tidak

selalu harus tunduk pada aturan-aturan tersebut. Dari sinilah memungkinkan

birokrat yang bekerja pada kantor yang sama dengan peraturan yang sama serta

lingkungan budaya yang juga sama, namun dapat menampilkan perilaku yang

berbeda dengan birokrat lainnya, manakala ia berinteraksi dengan warga yang

dilayaninya. Terlebih lagi jika birokrat tersebut bekerja pada kantor yang berbeda

dan lingkungan budaya yang berbeda pula, maka tentunya perilaku yang

ditampilkannya akan berbeda pula dengan birokrat lainnya. Hal ini sejalan

dengan pendapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa perilaku birokrat garis-
101

depan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana birokrat tersebut berada.

Dengan demikian, maka penelitian ini dapat lebih memperbaiki keakuratan dan

ruang lingkup eksplanasi-eksplanasi atas berbagai fenomena dalam

penyelenggaraan pelayanan publik khususnya pelayanan yang diberikan oleh

birokrat polantas.
Scanned by CamScanner
102

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif dan termasuk jenis

penelitian fenomenologis dengan format studi kasus, karena pada dasarnya

bertujuan untuk memahami fenomena-fenomena yang muncul dalam interaksi

antara birokrat garis-depan dan warga kota dalam pelayanan SIM di Kota

Makassar. Penelitian ini lebih mengedepankan pemberian pemaknaan

(verstehen) terhadap fenomena-fenomena yang di kaji dan berusaha untuk

menemukan teori yang didasarkan pada data di lapangan (grounded theory).

Pendekatan kualitatif ini merupakan pilihan yang tepat karena lebih mampu

mengungkap realitas ganda, lebih mengungkap hubungan wajar antara peneliti

dengan responden, dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan adaptif

terhadap peran berbagai pengaruh timbal-balik (Lincoln dan Guba, 1985).

Dengan demikian, maka dalam penelitian fenomenologis ini menuntut manusia

sebagai instrumen penelitian, karena lebih mampu menyesuaikan diri dengan

situasi yang tak menentu, dapat membangun dari suasana yang tak terkatakan,

mampu menangkap nilai-nilai yang tersembunyi.

Dengan pendekatan dan strategi ini, peneliti memusatkan perhatian pada

perilaku diferensial yang muncul dari gaya-gaya negosiasi antara birokrat garis-

depan sebagai pelayan dan warga masyarakat sebagai yang dilayani dalam

pelayanan SIM di Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar.


103

3.2 Pemilihan Situs Penelitian

Taylor (1975) mengemukakan bahwa setiap latar yang memenuhi minat

substantif dan teoritik maka dapat dijadikan sebagai situs penelitian. Meskipun

demikian, harus diakui bahwa lebih mudah untuk mengetahui minat substantif

peneliti, daripada memilih latar yang memenuhi minat teoritiknya. Oleh karena

penelitian disertasi ini lebih didorong oleh minat teoretik, maka argumentasi atas

pemilihan situs penelitian juga didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

teoretik.

Secara operasional, pertimbangan ini tercermin pada pengambilan

sampel teoretik (theoretical sampling), yang berbeda dengan sampel

representatif (yang umumnya digunakan untuk penelitian kuantitatif). Dimana

dalam sampel teoritik yang menjadi penekanan adalah bagaimana menjawab

hal-hal yang berkaitan dengan: kelompok populasi, peristiwa, kegiatan mana

yang perlu diketahui perbedaan dimensi dan strateginya, serta bisa memberikan

gambaran tentang pengumpulan data selanjutnya? Dan untuk maksud teoretik

apa hal itu dilakukan? Sehingga proses pengumpulan data ini dikendalikan oleh

teori yang muncul (Glaser & Strauss, 1967).

Atas dasar keinginan untuk mengembangkan teori dari lapangan tentang

perilaku diferensial dalam pelayanan publik, maka penelitian ini menetapkan

situsnya pada pelayanan SIM di Kota Makassar yakni pada Kantor Satlantas

Polwiltabes Kota Makassar.

Pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan:

Pertama, Kota Makassar adalah Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dan

merupakan kota metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa.

Perkembangan Kota Makassar yang semakin pesat tentunya dibarengi dengan


104

kepadatan lalu lintas sehingga kondisi lalu lintas menjadi rawan. Hal ini

menyebabkan sehingga hampir setiap hari kita jumpai petugas kepolisian

melakukan sweeping di pinggir-pinggir jalan terutama kepada mereka yang

menggunakan sepeda motor. Sweeping ini dilakukan selain sebagai upaya untuk

mencegah kecelakaan lalu lintas yang disebabkan karena kekurangmahiran

pengendara sepeda motor (mereka yang belum memiliki SIM), juga karena

seringnya terjadi tindak pidana pencurian kendaraan bermotor khususnya roda

dua. Dengan semakin seringnya dilakukan sweeping, maka animo masyarakat

untuk mengurus SIM sangat tinggi yang mencapai lebih dari 100 orang perhari

(Tribun Timur, 12 Juni 2006). Tabel berikut ini dapat menunjukkan jumlah warga

masyarakat yang mengurus SIM setiap tahunnya.

Tabel 3.1 Jumlah Warga Masyarakat yang Mengurus SIM Tiga Tahun Terakhir
(Periode 01-01 2004 s/d 31-12-2006)

JENIS SIM
TAHUN TOTAL
A A B1 B1 B2 B2 C
Umum Umum Umum

2004 17.150 1.215 2.755 2.600 323 907 55.438 80.388

RATA-
RATA
47 3 8 7 1 2 152 220
PER
HARI

2005 16.114 1.136 3.001 2.515 309 922 50.173 74.170

RATA-
RATA
PER
44 3 8 7 1 3 137 203
HARI

2006 20.538 875 4.210 2.382 248 1.030 59.229 88.512

RATA-
RATA
56 2 12 7 1 3 162 243
PER
HARI

Sumber: Diolah dari Data Sekunder yang Berasal Dari Kaur Regident Satlantas
Polwiltabes Kota Makassar, 2007 (Lihat Lampiran 1).
105

Kedua, meskipun telah banyak kajian terhadap perilaku birokrat di

Indonesia, namun masih sedikit penelitian yang memusatkan perhatian pada

birokrat kepolisian khususnya terhadap birokrat kepolisian yang memberikan

pelayanan SIM. Hal ini menarik untuk diteliti karena banyaknya keluhan

masyarakat yang muncul di berbagai media baik elektronik maupun media cetak

mengenai perilaku birokrat kepolisian dalam pelayanan SIM.

3.3 Fokus Penelitian

Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan pada

Bab I, maka data-data yang telah diambil di lokasi penelitian adalah sebagai

berikut: (1) data-data tentang bentuk-bentuk perilaku diferensial yang muncul

dalam interaksi antara birokrat garis-depan dengan warga masyarakat dalam

proses penyelenggaraan pelayanan SIM. (2) data-data yang berkaitan dengan

pihak yang diuntungkan dan dirugikan dari perilaku diferensial, dan (3) data yang

berkaitan dengan aktor dominan yang menjadi penentu perilaku pelayanan.

Cara untuk mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk perilaku

diferensial yang dimuncul dalam interaksi antara BGD dan WM adalah

menggunakan metode GGN. GGN adalah gaya negosiasi dari BGD dan WM

dalam pelayanan publik yang ditemukan oleh Soedarmo (1998) dalam penelitian

disertasinya. Gaya-gaya negosiasi tersebut adalah gaya negosiasi kerjasama,

pertukaran, kompromi, percekcokan, kecurangan, kolusi, kompensasi dan

intimidasi (Soedarmo, 1998). Gaya-gaya negosiasi BGD dan WM sesuai hasil

penelitian Soedarmo di atas, muncul berdasarkan pemaknaan individu (BGD dan

WM) terhadap obyek pelayanan masyarakat. BGD memaknai pelayanan

sebagai pelaksanaan aturan, tugas dari atasan, dan sarana kepentingan pribadi.
106

Sedangkan WM memaknai obyek pelayanan sebagai hak warga, kewajiban

warga, dan jasa terbeli. Hasil penelitian Soedarmo tentang GGN ini selanjutnya

diadopsi menjadi metode dalam penelitian ini, yang selanjutnya disebut sebagai

Metode GGN.

Pertimbangan menggunakan hasil penelitian Soedarmo (1998) ini

sebagai metode dalam mengkaji perilaku diferensial dalam pelayanan SIM di

Kantor Satlantas Polwiltabes Kota Makassar adalah karena GGN yang dihasilkan

oleh Soedarmo telah dikaji melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan struktural

(baik makro struktural dan meso prosedural), pemaknaan individu (birokrat dan

warga masyarakat) terhadap obyek pelayanan, serta orientasi pribadi dari

masing-masing aktor yang terlibat dalam pelayanan publik. Dalam pandangan

penulis, ketiga hal tersebut memiliki transferabilitas yang tinggi pada semua jenis

pelayanan publik, sehingga dengan demikian maka GGN yang dihasilkan oleh

Soedarmo (1998) dianggap cukup memadai untuk dijadikan metode dalam

mengidentifikasi perilaku-perilaku yang muncul dari interaksi GGN BGD dan WM

dalam pelayanan SIM di Kota Makassar.

3.4 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian semacam ini akan sulit

untuk mengungkap semua data yang diperlukan untuk menunjang hasil

penelitian ini, baik karena keengganan dan kecurigaan para birokrat untuk

memberikan data yang otentik kepada setiap orang yang melakukan

pengumpulan data, maupun karena kemampuan peneliti untuk mengungkap

dunia batin mareka.


107

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, maka peneliti menerapkan

strategi pengumpulan data dengan cara terselubung atau tersembunyi (covert

data collection) dan pengumpulan data secara terbuka (overt data collection).

Ada saat-saat tertentu peneliti harus terbuka atau berterus terang kepada

informan, dan ada saat-saat tertentu peneliti harus terselubung atau

menyembunyikan identitasi sebagai peneliti dalam melakukan pengumpulan

data.

Strategi yang digunakan oleh peneliti dalam menerapkan kedua metode

pengumpulan data tersebut adalah memasuki lapangan terlebih dahulu tanpa

membawa surat izin penelitian. Peneliti langsung mengadakan pengamatan

partisipatif dengan cara mengurus SIM C, karena kebetulan peneliti belum

memiliki SIM C. Hal ini dimaksudkan agar dapat memperoleh data-data secara

wajar di lapangan. Nampaknya strategi ini sangat membantu, karena semua

proses yang dilalui oleh warga yang mengurus SIM dapat peneliti pelajari dengan

baik. Peneliti dengan mudah dapat melihat dan merasakan bagaimana

pelayanan yang terjadi di lokasi penelitian. Suatu ketika peneliti berperan

sebagai warga yang penurut, namun disaat-saat tertentu peneliti menjadi warga

yang tidak mau berkompromi dengan permintaan mereka. Kesemuanya itu

dimaksudkan untuk mengungkap dunia batin mereka, karena hal seperti itu

teramat sulit diperoleh hanya dengan melalui wawancara dan pengamatan saja,

tetapi perlu dilakukan dengan cara pengamatan partisipatif yakni dengan ikut

langsung mengurus SIM, sambil mengamati pula jalannya pelayanan SIM

terhadap warga kota lainnya yang kebetulan bersamaan dengan peneliti.

Setelah peneliti merasa telah mendapatkan gambaran dan pemahaman

menyeluruh terhadap situasi dan kondisi pelayanan SIM ini, peneliti kemudian
108

mengurus surat izin penelitian di Kantor Kesbang Pemkot Makassar. Setelah

surat izin selesai peneliti menyerahkan surat izin penelitian ke Kantor

Polwiltabes Kota Makassar sebagai induk dari kantor Satlantas, selanjutnya

Kapolwiltabes membuat disposisi ke Kantor Satlantas sebagai lembaga yang

berwenang mengeluarkan Surat Izin Mengemudi kendaraan bermotor. Baru

setelah mendapat persetujuan dari Kasatlantas, peneliti diperbolehkan untuk

mengumpulkan data-data yang diperlukan.

Ada tiga sumber data dalam penelitian ini, yakni informan, peristiwa, dan

dokumen. Data yang diperoleh dari informan dan peristiwa yang terjadi dalam

interaksi antara BGD dan WM dalam penyelenggaraan pelayanan SIM

merupakan data primer, sedangkan data yang diperoleh dari dokumen

merupakan data sekunder.

Data sekunder diperoleh dengan teknik dokumenter, dengan meminta

langsung kepada petugas yang berwenang atau mencatat dari sumber-sumber

yang ada. Misalnya data tentang jumlah warga yang telah mengurus SIM untuk

kurun waktu tiga tahun terakhir, penulis peroleh print out-nya dari Kaur Regident,

sejumlah dokumen yang berkaitan dengan kegiatan pelayanan SIM, dan data

monografik wilayah dan masyarakat. Data tersebut dirasakan cukup sulit

diperoleh tanpa kepercayaan dari pihak birokrat bahwa data tersebut tidak

digunakan untuk menjatuhkan atau menyudutkan mereka. Dalam pengalaman

lapangan, peneliti sempat memotret foto-foto kegiatan yang berkaitan dengan

pelayanan SIM yang ditempel pada sebuah papan pengumuman, peneliti

kemudian dipanggil oleh Wakasat Lantas dan sempat ditanyai untuk kepentingan

apa, peneliti lalu menjelaskan seperlunya. Ketika itu, sebenarnya peneliti telah

memperoleh persetujuan atau izin dari Kapolwiltabes untuk melakukan penelitian


109

di Satlantas, namun surat persetujuan tersebut masih berada di meja

Kasatlantas, dan menurut ajudan Kasatlantas, peneliti diminta bertemu

Kasatlantas sebelum mengumpulkan data. Sambil menunggu Kasatlantas yang

sedang berada di lapangan untuk mengamankan demonstrasi buruh ketika itu,

pada saat itulah peneliti sempat memotret foto-foto kegiatan tersebut, tetapi

nampaknya mendapat teguran dari Wakasat Lantas. Dari pengalaman itu,

peneliti sangat hati-hati ketika ingin memperoleh suatu data. Apabila pihak

birokrat tidak ingin di foto kopi, maka peneliti cukup membaca dan mencatat

secara ringkas isi dokumen. Bila cara seperti ini tidak memungkinkan, maka

peneliti cukup memperoleh informasi dari pihak yang berwenang.

Data primer diperoleh melalui cara pengamatan (pengamatan partisipatif

dan pengamatan lapangan), dan wawancara mendalam. Penggunaan teknik

pengumpulan data ini dimaksudkan agar data yang diperoleh lebih akurat. Hal

ini sejalan dengan trianggulasi metode sebagai salah satu bentuk trianggulasi

yang digunakan untuk memperkuat hasil atau data yang diperoleh.

Teknik pengamatan partisipatif adalah teknik yang digunakan oleh peneliti

dengan terlibat langsung dalam pengurusan SIM. Teknik pengamatan partisipatif

ini lebih akurat dibandingkan dengan pengamatan langsung karena pengamatan

partisipatif peneliti mengalami langsung proses pelayanan SIM, sedangkan

pengamatan langsung peneliti tidak mengalami proses pelayanan atau berada

diluar sistem. Selain itu, dengan pengamatan partisipatif maka peneliti dapat

merekayasa gaya negosiasi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan peneliti

untuk menyelami sejauh mana perilaku BGD dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat. Kelemahan teknik ini adalah peneliti harus

menyembunyikan identitas (covert data collection) sebagai peneliti sehingga data


110

yang teramati tetap obyektif. Prosedur pengambilan data dan analisis data yang

dilakukan pada pengamatan langsung sama dengan prosedur pengambilan data

dan analisis data yang dilakukan pada pengamatan partisipatif.

Teknik pengamatan lapangan adalah teknik pengumpulan data yang

dilakukan dengan mengamati secara langsung gaya negosiasi apa yang

digunakan oleh BGD dan gaya negosiasi apa yang digunakan WM. Setelah

mengetahui gaya negosiasi yang digunakan oleh masing-masing aktor maka

pengamatan selanjutnnya adalah mengamati perilaku diferensial apa yang terjadi

dari interaksi gaya negosiasi yang digunakan oleh BGD dan gaya negosiasi yang

digunakan WM. Selanjutnya, perilaku diferensial yang terjadi dianalisis untuk

mengetahui siapa yang lebih diuntungkan oleh perilaku differenasil tersebut.

Wawancara mendalam dilakukan apabila teknik pengamatan lapangan

dirasa kurang memberikan informasi yang diinginkan sehingga sulit menentukan

gaya negosiasi apa yang digunakan BGD dan gaya negosiasi apa yang

digunakan WM dan perilaku diferensial apa yang terjadi. Selain itu, akan sulit

dilakukan analisis jika gaya negosiasi para aktor tidak jelas. Dalam prakteknya di

lapangan, peneliti membuat panduan wawancara kemudian dikembangkan

dalam proses tanya-jawab, baik itu terhadap BGD maupun terhadap WM.

Semua hasil pengamatan lapangan dan wawancara mendalam

direkonstruksi berdasarkan ingatan dan catatan-catatan lapangan (field-notes).

Sengaja peneliti tidak mencatat langsung semua kata-kata yang diucapkan oleh

informan ketika melakukan wawancara dan pengamatan, tetapi hanya berupa

catatan-catatan ringkas, agar proses wawancara ataupun pengamatan bisa

berlangsung wajar sehingga data yang diberikan oleh informan dapat optimal.

Disini penulis mengandalkan ingatan dan mimik para birokrat ataupun warga
111

yang diwawancarai. Setelah catatan lapangan dibuat, peneliti membaca kembali

secara cermat, menyusun serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitik baik

untuk mempertajam permasalahan penelitian, maupun untuk kepentingan

analisis lebih lanjut.

Beberapa kendala yang peneliti alami selama dalam proses pengumpulan

data, diantaranya adalah mencari waktu yang tepat untuk melakukan wawancara

mendalam dengan para informan yang dianggap memiliki informasi kunci. Oleh

karena itu, peneliti mencari waktu untuk menemui informan di rumahnya seperti

yang dilakukan terhadap Junubi Dg. Ngerang. Sedangkan untuk birokrat garis-

depan yang melayani, sangat sulit untuk diwawancarai ketika sedang melakukan

tugasnya. Oleh karena itu, peneliti mencari waktu yang tepat untuk

mewawancarai yang bersangkutan.

Kendala lain berkaitan dengan sifat dasar manusia yang tidak ingin

berterus terang terhadap hal-hal yang dianggap dapat merusak nama baiknya.

Para BGD cenderung menutup diri dan menghindar bila dimintai informasi

melalui wawancara. Bila hal ini terjadi, peneliti harus rela kehilangan

kesempatan untuk mengungkap secara utuh interaksi pelayanan warga kota ini.

Tidak bisa dihindari peneliti harus mencari kejadian lain lagi karena tidak berhasil

mengungkap isi hati pelaku berdasarkan wawancara mendalam.

Hal yang menjadi hambatan lagi adalah penggunaan alat rekam ketika

melakukan wawancara ternyata mengganggu kewajaran proses pengumpulan

data. Karena itu, peneliti terpaksa merekonstruksi hasil pengumpulan data

berdasarkan ingatan dan catatan yang teramat ringkas dengan menggunakan

tulisan stenografi yang kebetulan penulis kuasai. Rupanya keterampilan

stenografi ini cukup membantu penulis dalam mencatat secara cepat informasi
112

yang peneliti peroleh. Dengan demikian maka hambatan ini dapat sedikit

teratasi.

3.5 Informan

Dalam rangka memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini,

maka telah dipilih beberapa informan yang dianggap memiliki informasi kunci

yang dapat membantu mengungkap semua data yang diperlukan. Ada dua jenis

informan yang telah diamati dan diwawancarai, yakni birokrat garis-depan dalam

hal ini adalah aparat kepolisian yang bertugas melayani warga masyarakat yang

mengurus SIM, dan kedua adalah warga masyarakat yang sedang mengurus

SIM. Adapun jumlah informan dari WM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.2 Nama Informan dari Warga Masyarakat dan Jenis SIM

No. Nama Warga Masyarakat Jenis SIM Keterangan


1. Junubi Dg. Ngerang C SIM Baru
2. Ardi C SIM Baru
3. Ridwan C Perpanjangan
4. Basyir A SIM Baru
5. Burhanuddin C SIM Baru
6. Nurdin A SIM Baru
7. Rahim C Perpanjangan
8. Ahmad C SIM Baru
9. Arfan A SIM Baru
10. Yanto C SIM Baru
11. Anggota TNI Kariango C SIM Baru
12. Bd (Wartawan) C Perpanjangan
13. Asma C SIM Baru
14. Ani C SIM Baru
15. Erna C SIM Baru
16. Drs. Ibrahim C SIM Baru
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2007.

Teknik penentuan infoman dari pihak BGD adalah secara purposif

sampling (atau mengambil secara sengaja mereka yang bertugas dalam

pelayanan SIM) baik yang berada di loket maupun BGD yang berperilaku

sebagai calo yang turut berinteraksi dengan WM. Sedangkan teknik penentuan
113

informan dari WM adalah dengan cara aksidental, artinya memilih warga

masyarakat yang sedang mengurus SIM yang kebetulan ditemui oleh penulis

ketika melakukan penelitian lapangan. Hal ini dimaksudkan agar data yang

diperoleh memiliki keakuratan yang tinggi, karena disamping melalui pengamatan

langsung juga dapat dilakukan wawancara mendalam untuk menggali lebih jauh

hal-hal yang mendasari perilakunya.

Untuk memberikan rasa aman dan untuk menumbuhkan kepercayaan

informan terhadap pengamat, maka identitas informan birokrat kepolisian dalam

penelitian ini hanya menggunakan inisial sedangkan informan warga masyarakat

ada yang bersedia ditulis lengkap namun ada yang hanya memberikan nama

panggilan saja, demikian pula halnya dengan alamat, ada sebagian warga yang

memberikan alamatnya, dan ada pula yang minta dirahasiakan.

Dalam rangka mendapatkan data yang valid, maka wawancara di lakukan

terhadap beberapa warga, dan ketika suatu informasi yang diperoleh dari WM

dianggap telah memiliki jawaban yang relatif sama (saturated) maka data

tersebut telah dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi, sehingga data atau

informasi yang demikian tidak lagi dilanjutkan untuk ditanyakan ke informan

lainnya. Dengan demikian maka penulis berkesimpulan bahwa keterangan

yang diberikan oleh warga tersebut sudah layak dipercaya.

Mengapa penulis perlu hati-hati dalam membuat pernyataan dalam

penelitian ini? Ada beberapa pertimbangan: (1) karena penelitian ini sifatnya

sensitif yakni penelitian tentang perilaku, maka penulis harus berhati-hati jangan

sampai keterangan yang diperoleh dari warga hanya merupakan kasuistis saja,

dan bukan merupakan perilaku dominan yang terjadi dalam interaksi antara BGD

dan WM. Bila hal ini terjadi, maka data yang diperoleh akan bias, sehingga

Anda mungkin juga menyukai