Anda di halaman 1dari 342

PENGELOLAAN LAHAN UNTUK MENINGKATKAN POTENSI USAHATANI BERKELANJUTAN

Kasus Usahatani Lereng Barat Gunungapi Lawu Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah

Oleh:

Dina Ruslanjari
02/1151/PS

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2006

ii

14 Oktober 2006

iii

iv

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan hidayah-Nya, promovendus telah menyelesaikan disertasi yang berjudul Pengelolaan Lahan untuk Meningkatkan Potensi Usahatani Berkelanj utan, Kasus Usahatani Lereng Barat Gunungapi Lawu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Disertasi ini merupakan persyaratan dalam memperoleh gelar Doktor Ilmu Lingkungan, Program Studi Antar Bidang pada Universitas Gadjah Mada. Promovendus sangat menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, tidak akan dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini. Dalam kesempatan ini,

promovendus ingin menyampaikan ucapan terima kasih dengan ketulusan hati yang terdalam, kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Sofyan Effendi selaku Rektor Universitas Gadjah Mada, yang memberikan kesempatan mengikuti tahapan untuk menuju ujian terbuka serta Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A., selaku Rektor Universitas Gadjah Mada periode 1999-2004 yang telah memberi kesempatan promovendus untuk studi program doktoral di Universitas Gadjah Mada. 2. Prof. Dr. Irwan Abdullah selaku Direktur Program Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, beserta staf atas bantuannya dalam memberikan kemudahan kepada promovendus melalui tahapan dalam menempuh

pendidikan di program doktoral serta Prof. Dr. Mulyadi, Apt., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada periode 2001-2005,

memberikan kesempatan mengikuti program pendidikan sekolah pascasarjana.

3. Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, MSc., selaku Ketua Bidang Ilmu Antar Bidang yang telah memberikan fasilitas dalam kelancaran proses belajar dan menyelesaikan studi pada program doktor hingga selesai. 4. Dr. Hartono, DEA, DESS selaku Dekan Fakultas Geografi dan

Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc., selaku Dekan Fakultas Geografi periode 2001-2004. 5. Dr. Sudibyakto, MS., selaku Pengelola Program S3 Ilmu Lingkungan, yang membantu fasilitas pendidikan di Program Studi Ilmu Lingkungan. 6. Prof. Dr. A.J. Suhardjo, MA., selaku promotor sekaligus sebagai seorang bapak yang memberikan rasa tenang pada promovendus dalam menjalani program pendidikan S3. Dengan penuh dedikasi, kesabaran dan ketulusan hati, beliau telah memberikan dorongan, dukungan, bimbingan, arahan serta menyediakan waktu sebanyak-banyaknya bagi setiap langkah promovendus dari semenjak pembuatan proposal sampai dapat menyelesaikan program S3. 7. Dr. Slamet Hartono, M.Sc. dan Dr. HA. Sudibyakto, MS., selaku ko-promotor, di tengah-tengah kesibukan dengan berbagai jabatan, berbagai kegiatan dan berbagai tugas. Beliau berdua telah memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk membimbing, memberikan arahan serta wawasan kepada promovendus, sehingga sangat bermanfaat bagi selesainya disertasi ini. 8. Prof. Dr. Sutikno, selaku Ketua Tim Penilai, diantara kesibukan dan berbagai tugas beliau, telah menyempatkan untuk mengoreksi dengan cermat pada kesalahan yang dilakukan promovendus dalam pembuatan disertasi untuk menyempurnakan naskah disertasi. 9. Prof. Dr. Dibyo Prabowo, M.Sc dan Prof. Dr. Chafid Fandeli, MS, selaku anggota Tim Penilai, diantara kesibukannya memberikan waktu untuk

vi

berdiskusi dan mengoreksi disertasi serta memberikan arahan terhadap disertasi ini. 10. Prof. Dr. H. Hadi Sabari Yunus, M.A, selaku penguji, yang sejak awal telah memberikan bimbingan dalam metode penelitian, dan koreksi terhadap disertasi, sungguh merupakan bantuan yang tak terhingga bagi promovendus. Prof. Dr. Wuryadi, selaku penguji dari UNY, atas arahan dan bimbingan dalam penyempurnaan disertasi ini. 11. Ibu Hajjah Sukarti Marinoadi, ibunda tersayang yang memberikan dorongan moril dan materi yang tak terhingga besarnya. Kasih sayang beliaulah, yang menghantarkan promovendus dapat tegar menyelesaikan pendidikan di

jenjang S3 serta menyelesaikan pendidikan ini, yang demikian banyak rintangan, kesulitan dan kendalanya. Bapak Drs. Marinoadi, BSc., doa selalu promovendus panjatkan ke Hadirat Allah Swt, agar almarhum diterima disisiNya. Semangat beliaulah yang telah mendorong promovendus untuk menggapai ilmu setinggi-tingginya, seperti bintang di langit. 12. Drs. Rony Teja Sukmana, suamiku yang tercinta, dengan penuh kasih sayang dan kebesaran hati memberikan dorongan, semangat, moril dan materi, agar promovendus dapat menyelesaikan studi S3. Raras Cynanthia dan Radhyaksa Ardaya, anak-anakku tercinta, yang telah banyak kehilangan waktu

kebersamaan dengan mama, selama mam melakukan penelitian. Mam telah banyak meninggalkan kalian berdua saat menempuh pendidikan S3 dan pembuatan disertasi ini. Berkat dorongan dan semangat ananda berdualah, mam dengan penuh semangat menyelesaikan program doktoral. Semoga ini menjadi suri tauladan bagi ananda berdua. 13. Adik-adikku tercinta, Ir. Dwi Herminingsih dan suami Ir. Indra Pryatna, yang telah banyak memberikan dukungan material dalam tercapainya disertasi ini,

vii

serta secara khusus untuk adikku drg. Tri Hartati dan suami Ir. Muh. Rusdi yang banyak memberikan dukungan moril, berupa nasihat dan doa disaat promovendus mengalami saat-saat berat dalam menempuh program S3 serta pembuatan disertasi. Tak lupa adik-adikku dr. Tunjung Respati, Pramono, Budi Prayitno, SE., serta Apridita Ariastuti, SE. 14. Drh. Eriana, M.Si., dan Ir. Dian Fauzia Dachlan, sobat-sobatku yang banyak memberikan dukungan moril dan mengobarkan semangat, juga sahabatku Daru yang telah banyak memberikan bantuan serta fasilitas dengan keahliannya dalam bidang komputer. Sobatku Drs. Edi Slamet Irianto, M.Si dan sobatku Djalaludin Salampessy, S.P i, M.Si., yang selalu memberikan dukungan moril dan mengobarkan semangat serta dorongan yang tak hentihentinya di saat promovendus mengalami keputus-asaan. Sri Sulasmi, S.Si., yang menemani promovendus dari pagi hingga malam hari dalam dr. Sigit

penyelesaian disertasi ini, tak lupa Septie Budiastuti,A.Md. Semoga kalian berdua dapat menyusul jejak ibu. 15. Secara khusus, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Adi Sasono, yang telah memberikan dorongan dan semangat agar promovendus cepat mencapai gelar doktor, sehingga ilmu yang diperoleh segera dapat dimanfaatkan dan disumbangkan untuk kemanusiaan. Sebab disitulah makna hidup terletak, bukan sekedar pandai dan memperoleh gelar keilmuan yang tinggi. Tak lupa kepada Bapak Drs. Rizal dan Bapak Drs. Yholak Dali

Munthe, MM., rekan-rekan yang telah memberikan dorongan semangat dan bantuan yang tidak dapat dinilai dengan materi. 16. Teman-teman TNI Polri di Bakornas Aju: Bridjen Tarigan, Brigjen Tanjung, dan Brigjen Edi Wibowo, atas semangat kebersamaan dalam membangun rasa kemanusiaan terhadap masyarakat yang tertimpa bencana.

viii

17. Bapak Drs. Budi Purnomo, MA, sebagai teman diskusi mengenai banyak hal tentang kajian ilmu lingkungan. Telah banyak memberikan arahan serta bantuan yang tak dapat dihitung secara materi, semenjak pembuatan proposal hingga selesainya disertasi ini. Rekan Sigit Heru Mur ti, S.Si, M.Si, yang banyak memberikan gambaran dalam pembuatan proposal. 18. Teman-teman Program Doktor Program Studi Ilmu Lingkungan serta Program Studi Geografi - UGM yang telah memberikan dorongan serta semangat kebersamaan dalam mencapai cita-cit a. 19. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan, kerjasama dan saran-saran, promovendus mengucapkan terimakasih sebesarbesarnya. Semoga semua pengorbanan, bantuan, kebaikan, dorongan dan kobaran semangat kepada promovendus selama mengikuti Program Doktor di Universitas Gadjah Mada, mendapatkan ridho dan balasan yang sebaikbaiknya dan sebesar-besarnya dari Allah SWT.

Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait dengan kebijakan di daerah pene litian, sehingga akan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat petani di lereng Gunungapi Lawu, Amin.

Yogyakarta, Oktober 2006

Dina Ruslanjari

ix

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... . i HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii PERNYATAAN .............................................................................................. iii KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xix INTISARI ....................................................................................................... xx ABSTRACT .................................................................................................... xxi I. PENGANTAR ......................................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1.2. Permasalahan ...................................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 1.5. Keaslian Penelitian ............................................................................. II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1. Penelitian Sebelumnya ........................................................................ 2.1.1. Pengelolaan Tanah Berkelanjutan, Usahatani Konservasi dalam Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan, dan Sistem Usahatani Berkelanjutan............................................ 2.1.2. Usahatani, Konservasi, Erosi Tanah, dan Pengelolaan Erosi ...................................................................................... 2.2. Landasan Teori .................................................................................. 2.2.1. Pengelolaan Lahan ............................................................... 2.2.2. Lereng Gunungapi . ............................................................... 2.2.3. Pertanian dan Usahatani Berkelanjutan................................. 2.2.4. Degradasi Tanah dan Lahan Pertanian ................................. 2.2.5. Konservasi dan Preservasi..................................................... 2.2.6. Arahan Fungsi Pemanfaatan Lahan ...................................... 2.2.7. Satuan Lahan ........................................................................ 2.2.8. Kesesuaian Lahan ................................................................. 2.2.9. Perundangan Konservasi Sumberdaya Alam dan Hutan ...... 2.2.10. Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani ................... 2.3. Kerangka Teori ................................................................................... 2.4. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 1 1 13 13 14 14 22 22

22 35 39 39 41 43 48 50 55 56 57 58 62 64 68

Halaman III. METODE PENELITIAN........................................................................ 3.1. Metode Pengambilan Data ................................................................. 3.1.1. Jenis Data, Faktor, Variabel dan Parameter Penelitian .......... 3.1.2. Pengambilan Sampel Faktor Abiotik (Fisik Lahan) .............. 3.2. Prosedur Pengambilan Data Abiotik ,Biotik, dan Kultural................. 3.2.1. Data Primer Abiotik ............................................................... 3.2.2. Pengambilan Data Primer Kultural (Petani Sampel) .............. 3.3. Mengukur Faktor Abiotik ................................................................... 3.3.1. Mengukur Variabel pada Faktor Abiotik ............................... 3.3.1.1. Mengukur Kesuburan Lahan ................................... 3.3.1.2. Mengukur Kehilangan Tanah ( Erosi) ...................... 3.3.1.3. Mengukur Kesesuaian Lahan................................... 3.3.1.4. Mengukur Pemupukan ............................................ 3.3.1.5. Mengukur Persentase Produktivitas Lahan ............ 3.3.2. Mengukur Variabel pada faktor Kultural ............................... 3.3.2.1. Mengukur Variabel Ekonomi................................... 3.3.2.1 Mengukur Variabel Sosial Budaya Petani ............... 3.3.3.1. Tingkat Pendidikan Petani ...................................... 3.3.3.2. Status Lahan atau Tradisi Pembagian Warisan........ 3.3.3.3. Luas Lahan Kepemilikan ........................................ 3.3.3.4. Swadaya Konservasi ............................................... 3.3.3.5. Pemahaman Konservasi .......................................... 3.3.3.6. Intensitas Penggunaan Lahan .................................. 3.3.4. Menganalisis Variabel Sosial E konomi Penyebab Perambahan.............................................................. 3.3.4.1. Pendidikan Petani ..................................................... 3.3.4.2. Status Kepemilikan Lahan ....................................... 3.3.4.3. Pemahaman Makna Konservasi ............................... 3.3.4.4. Beban Tanggungan Keluarga ................................... 3.3.4.5. Intensitas Penggunaan Lahan................................... 3.3.4.6. Luas Kepemilikan Lahan Sendiri............................. 3.3.4.7. Pendapatan Usahatani Lahan Sendiri....................... 3.4. Metode Analisis Data ......................................................................... 3.5. Konseptualitas ..................................................................................... IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN.................................................. 4.1. Keadaan Fisik Kecamatan Tawangmangu .......................................... 4.1.1. Letak dan Luas Daerah ........................................................... 4.1.2. Keadaan Iklim ......................................................................... 4.1.3. Topografi ................................................................................. 4.1.4. Kondisi Geologi dan Geomorfologi........................................ 4.1.4.1. Kondisi geologi ........................................................ 4.1.4.2. Kondisi geomorfologi .............................................. 4.1.5. Keadaan Tanah........................................................................ 69 69 70 71 73 74 75 79 79 79 83 89 89 90 92 92 93 93 94 94 94 95 97 98 102 103 104 105 106 106 107 108 112 116 116 116 119 125 128 128 132 135

xi

Halaman 4.1.6. Kondisi Hidrologi.................................................................... 137 4.1.7. Penggunaan Lahan .................................................................. 141 4.1.8. Tanaman yang Dibudidayakan................................................ 143 4.1. 9. Keadaan Penduduk dan Petani .............................................. 144 4.1.10. Luas Berbagai Penggunaan Lahan........................................ 145 4.1.11. Luas Panen dan Jenis Komoditas.......................................... 147 4.1.12. Tingkat Pendidikan ............................................................... 147 4.2. Profil Rumahtangga Petani.................................................................. 149 4.2.1. Tingkat Pendidikan Petani Sampel ......................................... 149 4.2.2. Kepemilikan Lahan Petani Sampel ........................................ 149 4.2.2.1. Status dan asal kepemilikan lahan petani sampel ...................................................................... 150 4.2.2.2. Lama kepemilikan lahan petani sampel .................. 151 4.2.2.3. Klas luas lahan petani sampel ................................. 152 4.2.2.4. Jumlah petani sampel yang pernah menjual lahan ......................................................................... 153 4.2.3. Beban Ta nggungan Kepala Keluarga ..................................... 154 4.2.4. Keadaan Tanaman dan Sistem Tanam ................................... 157 4.3. Kebijakan Pemerintah Daerah dan Implementasi .............................. 159 V. HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ................................ 5.1. Faktor Abiotik Sebagai Penentu Satuan Lahan Potensial untuk Usahatani Berkelanjutan ................................................................... 5.1.1. Tingkat Erosi ........................................................................... 5.1.2. Tingkat Kesuburan ................................................................. 5.1.3. Persentase Produktivitas.......................................................... 5.1.3. Faktor Abiotik pada Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Lindung dan Kawasan Fungsi Penyangga ............................. 5.1.4. Satuan Lahan yang Berada di Kawasan Fungsi Penyangga .............................................................................. 5.1.5. Satuan Lahan yang Berada di Kawasan Fungsi Budidaya ..... 5.1.6. Kondisi Air ............................................................................. 5.1.7. Satuan Lahan yang Potensial untuk Usahatani Berkelanjutan dan Usahatani Tidak Berkelanjutan di Berbagai Fungsi Kawasan ................................................... 5.2. Faktor Kultural (Ekonomi, Sosial, Budaya dan Teknologi) Pembeda Antara Satuan Lahan yang Potensial Untuk Usahatani Berkelanjutan Dengan Satuan Lahan untuk Usahatani Tidak Berkelanjutan .................................................................................... 5.3. Pengelolaan Berbagai Fungsi Kawasan di Lereng Barat Gunungapi Lawu agar Berkelanjutan................................................ 5.3.1 Pengelolaan Lahan yang Potensial untuk Mencapai Usahatani Berkelanjutan ....................................................... 5.3.1.1. Satuan lahan V19a_Qvl_III_La_Tgl (27) .............. 5.3.1.2. Satuan lahan V8_Qlla_III_La_Swh (19)................ 5.3.1.3. Satuan lahan V8_Qvl_II_La_Swh (22).................. 165 165 166 169 176 182 190 192 197

200

205 214 217 218 219 221

xii

Halaman 5.3.1.4. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25 K)........... 5.3.1.5. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25 B) ........... 5.3.1.6. Satuan lahan V19b_Qval_III_La_Tgl (15) ............ 5.3.1.7. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26) ................ 5.3.1.8. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Tgl (21 N)............... 5.3.1.9. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Tgl (21 K)............... 5.3.1.10. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20 N)............. 5.3.1.11. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20 K)............. 5.3.1.12. Satuan lahan V19b_Qvl_III_La_Tgl (29) .............. 5.3.2. Usahatani di Satuan Lahan yang Tidak Berkelanjutan ........ 5.3.2.1. Satuan laha n V5_Qvcl_III_Anli_Tgl (2) ............... 5.3.2.2. Satuan lahan V5_Qlla_III_La_Tgl (13) ................. 5.3.2.3. Satuan lahan V5_Qvl_III_Anli_Tgl (7) ................. 5.3.2.4. Satuan lahan V5_Qval_III_Anli_Tgl (9) ............... 5.3.2.5. Satuan lahan V5_Qvl_III_La_Tgl (10)................. 5.3.3. Perilaku Petani Merambah Lahan Negara yang Tidak Mendukung Usahatani Berkelanjutan ................................... 5.3.4. Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Perambahan Lahan Negara .................................................................................... 5.4. Lahan Kritis ........................................................................................ 222 223 225 226 227 228 230 231 232 234 234 235 236 238 239 256 259 263

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ............................... 267 6.1. Kesimpula n.......................................................................................... 267 6.2. Implikasi Kebijakan ............................................................................ 274 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 275 LAMPIRAN .................................................................................................... 287

xiii

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1.1. Luas Lahan Kritis pada Awal Tahun 1999/2000 dan Hasil Rehabilitasi Sampai Tahun 2002.......................................................... 3 1.2. Kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang Terletak di Lereng Barat Gunungapi...................................................................... 4 1.3. Luas Lahan Kritis dan Persentase Penambahan Luas Lahan Kritis di Kecamatan Tawangmangu Tahun 1997-2000 ....................... 6 1.4. Perkembangan Produksi Tanaman (ku/ha) di Kecamatan Tawangmangu Tahun 1997 2003 ..................................................... 8 1.5. Perkembangan Produktivitas Tanaman (ku/ha) di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2000 2003 .................................. 9 1.6. Penelitian Mengenai Usahatani dan Konservasi Lahan ....................... 15 2.1. Kehilangan Bahan Organik, Phosphor dan Ketersediaan Air dalam Tanah di Berbagai Tingkat Erosi............................................... 23 2.2. Erosi Sebelum dan Sesudah Proyek Konservasi.............. ................ 24 2.3. Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Proyek Konservasi............................................................................................ 25 2.4. Indikator Pertanian Berkelanjutan pada Ekosistem Upland di Tingkat Rumahtangga Tani.............................................................. 46 2.5. Klasifikasi dan Klas Kemiringan Lereng............................................ 55 3.1. Jenis Data, Variabel, dan Parameter Penelitian ................................... 70 3.2. Jumlah Sampel Rumahtangga Tani Berdasarkan Luas Satuan Lahan di Kecamatan Tawangmangu ....................................... 78 3.3. Kriteria Unsur Kimia Tanah................................................................. 80 3.4. Kombinasi Kesuburan Kimia Tanah (Kesuburan Potensial) ............... 81 3.5. Kriteria Pengelompokan (Klas) Beberapa Sifat Fisika Tanah ................................................................................................... 82 3.6. Kombinasi Kesuburan Fisika Tanah .................................................... 82 3.7. Kombinasi Kesuburan Total Tanah ..................................................... 83 3.8. Tingkat Erosi Tanah............................................................................. 84 3.9. Klasifikasi Harkat Struktur Tanah........................................................ 86 3.10. Klasifikasi Harkat Permeabilitas Tanah............................................... 86 3.11. Nilai C Berbagai Jenis Tanaman dan Pengelolaan Tanaman............... 87 3.12. Nilai P Berbagai Aktivitas Konservasi Tanah di Jawa ........................ 88 3.13. Dosis Pupuk untuk Berbagai Jenis Tana man di Kecamatan Tawangmangu............................................................... 90 3.14. Produksi Tanaman................................................................................ 91 3.15. Tingkat Pendidikan Petani Penentu Keberlanjutan Usahatani .............................................................................................. 93 3.16. Tradisi Pembagian Warisan Penentu Keberlanjutan Usahatani .............................................................................................. 94 3.17. Luas Lahan Kepemilikan Penentu Keberlanjutan Usahatani............... 94 3.18. Jenis Konservasi yang Dilakukan Petani Penentu Keberlanjutan Usahatani ........................................................ 95

xiv

Tabel Halaman 3.19. Daftar Parameter Swadaya Konservasi yang Dilakukan Petani.................................................................................................... 96 3.20. Mengetahui Makna Konservasi.............................................................. 97 3.21. Penggunaan Lahan untuk Usahatani .................................................... 97 3.22. Tingkat Pendidikan Petani Penyebab Perambahan Lahan Negara .................................................................................................. 103 3.23. Tingkat Pendidikan Petani yang Mendukung Perilaku Perambahan .......................................................................................... 103 3.24. Status Kepemilikan Lahan .................................................................... 104 3.25. Mengetahui Makna Konservasi.............................................................. 104 3.26. Jumlah Beban Tanggungan.................................................................... 105 3.27. Penggunaan Lahan untuk Usahatani....................................................... 106 3.28. Luas Lahan Kepemilikan Petani............................................................. 107 3.29. Pendapatan Usahatani dari Lahan Sendiri .............................................. 108 3.30. Variabel Produktivitas .......................................................................... 109 3.31. Variabel Tingkat Erosi......................................................................... 109 3.32. Variabel Tingkat Kes uburan Tanah........................................................ 110 3.33. Variabel Produktivitas, Tingkat Erosi dan Tingkat Kesuburan............................................................................................. 111 4.1. Luas Desa/Kelurahan yang Terletak di Kecamatan Tawangmangu ...................................................................................... 118 4.2. Curah Hujan Rerata 10 Tahun (1994 2003) di Stasiun Penakar Hujan Tawangmangu dan Sekitarnya ................................... 120 4.3. Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt Ferguson.................................. 122 4.4. Zona Agroklimat Utama Berdasarkan Klasifikasi Oldeman................ 123 4.5. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kecamatan Tawangmangu ................ 128 4.6. Jenis Tanah di Kecamatan Tawangmangu........................................... 137 4.7. Debit mataair di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003 ................... 139 4.8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Tawangmangu ............................... 142 4.9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencahariannya di Kecamatan Tawangmangu............................................................... 144 4.10. Luas Berbagai Penggunaan Lahan di Kecamatan Tawangmangu............................................................... 145 4.11. Luas Panen dari Berbagai Komoditas di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003 ........................................... 147 4.12. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Tawangmangu............................................................... 148 4.13. Tingkat Pendidikan Petani Sampel ..................................................... 149 4.14. Status Kepemilikan Lahan Petani Sampel ........................................... 150 4.15. Asal Kepemilikan Lahan Petani Sampel.............................................. 151 4.16. Lama Kepemilikan Lahan Petani Sampel ............................................ 152 4.17. Luas Lahan Petani Sampel................................................................... 153 4.18. Petani Sampel yang Pernah Menjual Lahan......................................... 154 4.19. Penambahan Kepemilikan Lahan Petani Sampel................................. 154 4.20. Anggota Keluarga Sudah Bekerja ........................................................ 155

xv

Tabel Halaman 4.21. Anggota Keluarga Belum Bekerja ....................................................... 156 4.22. Sistem Tanam....................................................................................... 157 4.23. Pergiliran Tanaman di Kecamatan Tawangmangu dalam 1 (satu) Tahun.......................................................................................... 158 4.24. Jenis Tanaman dan Jumlah Tanaman dalam GNRHL Tahun 2004 di Luar Kawasan Hutan di Kecamatan Tawangmangu ...................................................................................... 162 4.25. Petani yang Mendapat Bantuan dari Pemerintah ................................. 162 4.26. Jenis Bantuan dari Pemerintah............................................................. 163 4.27. Petani yang Mendapat Bantuan Kredit dari Pemerintah...................... 164 4.28. Jumlah Petani yang Mendapat Informasi tentang Konservasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL)............................ 164 5.1. Tingkat Erosi Satuan Lahan di Berbagai Fungsi Kawasan................. 167 5.2. Tingkat Kesuburan Kimia Tanah di Lokasi Penelitian........................ 170 5.3. Tingkat Kesuburan Fisika Tanah di Lokasi Penelitian ........................ 173 5.4. Tingkat Kesuburan Total Tanah di Lokasi Penelitian.......................... 175 5.5. Rata-rata Persentasi Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Lindung................................................................. 176 5.6. Rata-rata Persentasi Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Penyangga ............................................................. 177 5.7. Rata-rata Persentasi Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Budidaya ............................................................... 178 5.8. Rata-rata Persentasi Produktivitas Berbagai Tanaman Palawija yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Budidaya ........................................ 179 5.9. Variabel Faktor Abiotik Sebagai Penentu Terhadap Keberlanjutan Usahatani di Berbagai Satuan Lahan dalam Berbagai Fungsi Kawasan.................................................................... 181 5.10. Uji- T Test Faktor Abiotik di Satuan Lahan yang Berlanjut dan Satuan Lahan yang Tidak Berlanjut ............................................. 195 5.11. Uji- T Test Faktor Kultural Antara Satuan Lahan yang Potensial untuk Usahatani Berkelanjutan dengan Satuan Lahan yang Potensial untuk Usahatani Tidak Berkelanjutan Secara Abiotik ...................................................................................... 205 5.12. Persentase Jumlah Petani Menurut Komoditas yang Menguntungkan.................................................................................... 211 5.13. Persentase Petani yang Menyatakan Keadaan Tanah Saat Dicangkul ............................................................................................. 212 5.14. Persentase Petani yang Merasakan Terjadinya Pengkikisan Tanah Lapisan Atas pada Usahatani Berkelanjutan dan Tidak Berkelanjutan............................................................................. 212

xvi

Tabel Halaman 5.15. Persentase Jumlah Petani yang Menambah Pemakaian Pupuk Anorganik Satu Tahun Lalu...................................................... 213 5.16. Persentase Jumlah Petani yang Menambah Pemakaian Pupuk Anorganik Dua Tahun Lalu ...................................................... 213 5.17. Persentase Jumlah Petani yang Menambah Pemakaian Pupuk Organik Satu Tahun Lalu.......................................................... 214 5.18. Persentase Jumlah Petani yang Menamba h Pemakaian Pupuk Organik Dua Tahun Lalu .......................................................... 214 5.19. Penambahan dan Pengurangan Dosis Pupuk untuk Berbagai Jenis Tanaman pada Satuan Lahan yang Berlanjut .............................. 241 5.20. Penambahan dan Pengurangan Dosis Pupuk untuk Berbagai Jenis Tanaman pada Satuan Lahan yang Tidak Berlanjut .................... 243 5.21. Kepemilikan Lahan di Hutan Negara ................................................... 256 5.22. Luas Kepemilikan Lahan di Hutan Negara.......................................... 258 5.23. Variabel-variabel Penyebab Petani Melakukan Perambahan ......................................................................................... 259

xvii

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1.1. Vila di Atas Bukit diantara Lahan Pertanian yang mengakibatkan Longsor................................................................................................. 4 1.2. Hubungan Antara Komponen Lingkungan Abiotik, Biotik dan Kultural pada Penelitian Pengelolaan Lahan di Lereng Barat Gunungapi Lawu.................................................................................. 12 2.1. Analisis Sistem Aplikasi Pertanian ...................................................... 44 2.2. Usahatani Berkelanjutan ..................................................................... 48 2.3. Teras Gulud Sesuai dengan Konservasi Tanah ................................... 53 2.4. Teras Bangku Sesuai dengan Konservasi Tanah ................................. 54 2.5. Teras Kredit Sesuai dengan Konservasi Tanah ................................... 54 2.6. Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 67 3.1. Diagram Alir Pembuatan Peta Satuan Lahan ...................................... 72 4.1. Peta Administrasi Lokasi Penelitian ................................................... 117 4.2. Grafik Curah Hujan Tahunan Kecamatan Tawangmangu dan Sekitarnya ............................................................................................ 121 4.3. Segitiga Klasifikasi Iklim Schmidt Ferguson ................................... 122 4.4. Segitiga Klasifikasi Iklim Oldeman ..................................................... 123 4.5. Peta Isohyet Lokasi Penelitian ............................................................ 124 4.6. Tegalan Teras Gulud di Klas Kemiringan Lereng III di Desa Tengklik .............................................................................................. 126 4.7. Tegalan dengan Metode Strip di Klas Kemiringan Lereng V di Desa Blumbang ............................................................................................. 126 4.8. Lereng Bawah Perbukitan di Klas II-III di Desa Bandardawung ....... 126 4.9. Peta Klas Kemiringan Lereng Lokasi Penelitian ................................. 127 4.10. Patahan (Sesar) Arah Selatan-Barat yang Memisahkan Lawu Tua dan Lawu Muda .................................................................................. 129 4.11. Sket Topografi Lereng Barat Gunungapi Lawu Hasil Pengamatan Lapangan dan Analisis Tahun 2004 ..................................................... 129 4.12. Peta Geologi Lokasi Penelitian ............................................................ 130 4.13. Peta Bentuk Lahan Lokasi Penelitian ................................................. 134 4.14. Peta Tanah Lokasi Penelitian ............................................................... 136 4.15. Peta Persebaran Mataair Lokasi Penelitian .......................................... 140 4.16. Penggunaan Lahan untuk Tegalan di Lereng Perbukitan di Desa Tengklik ............................................................................................. 142 4.17. Penggunaan Lahan untuk Sawah di Desa Karanglo ............................. 142 4.18. Hutan Milik Negara dan Bentuk Pemukiman di Blumbang .............. 143 4.19. Peta Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian........................................... 146 5.1. Tanaman Sawi Produktivitas Rendah pada Satuan Lahan V19b_Qvl_IV_La_Tgl (30) ................................................................ 183 5.2. Batu Kerikil Terlihat Muncul ke Permukaan Tanah................. 185 5.3. Kenampakan Pedestals Akibat Erosi Percik dan Erosi Lembar .......... 186 5.4. Teknologi Sejajar Kontur untuk Tanaman Semusim ................... 188 5.5. Kondisi Lahan Pada Berbagai Titik Pengambilan Sampel ................. 189

xviii

Gambar Halaman 5.6. Satuan Lahan dengan Produktivitas Tinggi di Kawasan Budidaya .... 192 5.7. Tanaman Ubi Jalar Produktivitas Tinggi di Satuan Lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26) ................................................................... 193 5.8. Usahatani Berkelanjutan di Satuan Lahan V19b_Qvl_III_La_Tgl(29) 194 5.9. Peta Tingkat Erosi Tanah Lokasi Penelitian ....................................... 198 5.10. Kecenderungan Hujan Bulanan di Kecamatan Tawangmangu............ 199 5.11. Peta Satuan Lahan Berkelanjutan dan Tidak Berkelanjutan ............... 204 5.12. Longsoran di Kawasan Fungsi Lindung......................................... 216 5.13. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Wortel dan Produktivitasnya 244 5.14. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Ubi Kayu dan Produktivitasnya .................................................................................. 245 5.15. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Ubi Jalar dan Produktivitasnya .................................................................................. 246 5.16. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Tomat dan Produktivitasnya 247 5.17. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Strawberi dan Produktivitasnya ................................................................................... 248 5.18. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Sawi dan Produktivitasnya ... 249 5.19. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Padi dan Produktivitasnya ... 250 5.20. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kapri dan Produktivitasnya.. 251 5.21. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jagung dan Produktivitasnya 252 5.22. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Cabai dan Produktivitasnya .. 253 5.23. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Buncis dan Produktivitasnya.. 254 5.24. Peta Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Bawang dan Produktivitasnya .................................................................................. 255 5.25. Peta Titik Sampel Perambahan ........................................................... 257 5.26. Peta Tingkat Kekritisan Lahan Kecamatan Tawangmangu ................ 265 5.27. Peta Satuan Lahan di Berbagai Fungsi Kawasan ................................ 266 6.1. Pengelolaan Lahan Potensial Usahatani Berkelanjutan di Lereng Barat Gunung Lawu ............................................................................. 267

xix

Daftar Lampiran

Lampiran Halaman 1. Data Kandungan Unsur Kimia Tanah Atas dan Tanah Bawah di tiap Satuan Lahan ............................................................................................. 289 2. Data Sifat Fisika Tanah tiap Satuan Lahan ............................................... 291 3. Nilai Erosivitas tiap Satuan Lahan ............................................................ 292 4. Nilai Erodibilitas Tanah di tiap Satuan Lahan .......................................... 293 5. Nilai Indeks Kemiringan dan Panjang Lereng Erosi di tiap Satuan Lahan ......................................................................................................... 294 6. Nilai Indeks Pengelolaan Tanaman dan Pengolahan Lahan di tiap Satuan Lahan ............................................................................................. 295 7. Kesesuaian Lahan Berbagai Macam Tanaman tiap Satuan Lahan ........... 296 8. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang Daun ............... 297 9. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang Merah ............. 298 10. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang Putih ............... 299 11. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Buncis ........................... 300 12. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Cabai ............................. 301 13. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Jagung .......................... 302 14. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Kapri ............................. 303 15. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Padi ............................... 304 16. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Sawi .............................. 305 17. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Strawberi ...................... 306 18. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Tomat ........................... 307 19. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Ubi Jalar ....................... 308 20. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Ub i Kayu ...................... 309 21. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Wortel ........................... 310 22. Hasil Analisis Faktor Fisik Lahan yang Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Usahatani dengan Metode T-Test ...................................... 311 23. Hasil Analisis Faktor Sosial Ekonomi yang Berpengaruh terhadap Keberlanjutan Usahatani dengan Metode T-Test ...................................... 312 24. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perambahan Lahan Negara dengan Metode Diskriminan ......................................................... 313

xx

INTISARI Penelitian ini bermaksud mengungkapkan pengelolaan lahan untuk meningkatkan potensi usahatani berkelanjutan, kasus usahatani di lereng gunungapi, dengan tujuan : 1) menganalisis faktor abiotik sebagai penentu terhadap keberlanjutan usahatani di tiap satuan lahan di berbagai fungsi kawasan, 2) menguji perbedaan faktor kultural antara dua kelompok petani pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dengan usahatani tidak berkelanjutan, 3) menyusun pola pengelolaan usahatani berkelanjutan di lereng barat Gunungapi Lawu di Kecamatan Tawangmangu. Peneliti memilih lahan di lereng Gunungapi Lawu, Kecamatan Tawangmangu guna mencapai sasaran, dengan mempergunakan pendekatan ekologikal. Penelitian ini menggunakan metode survai, dengan obyek satuan lahan sebagai unit analisis faktor abiotik lahan. Obyek untuk analisis faktor kultural menggunakan rumahtangga tani pemilik dan penggarap lahan sebagai unit analisis, yang dipilih secara purposive. Penelitian ini menggunakan data kualitatif dan kuantitatif, sifat uraian secara deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan aktual dari obyek penelitian berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Hasil penelitian yang didapatkan: a). usahatani berkelanjutan pada budidaya tanaman semusim tidak dapat dilakukan di seluruh satuan lahan di kawasan fungsi lindung, karena telah mengakibatkan dampak negatif pada lingkungan, yaitu terjadinya longsor di Desa Gondosuli dan Desa Plumbon serta pertambahan lahan kritis di Desa Sepanjang; b). usahatani berkelanjutan tidak dapat dilakukan di kawasan fungsi penyangga di seluruh satuan lahan di Desa Gondosuli dan Desa Plumbon yang terletak pada lahan dengan kemiringan lereng antara 2540% dan mempunyai fungsi sebagai kawasan recharge area; c). usahatani berkelanjutan tidak dapat dilakukan di kawasan fungsi budidaya yang terletak di Kelurahan Tawangmangu, Desa Blumbang, Kelurahan Kalisoro dan Desa Gondosuli. Tingkat erosi melebihi ambang batas yang dapat ditolelir. Usahatani berkelanjutan untuk budidaya tanaman semusim tidak dapat dilakukan di lahan pada kemiringan lereng >20%. Usahatani berkelanjutan yang terdapat di kawasan fungsi budidaya, terletak pada satuan lahan kemiringan lereng =20%. 2. faktor kultural sebagai pembeda satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan tidak berkelanjutan adalah, yaitu: a). status kepemilikan lahan, b). luas lahan kepemilikan, c). pemahaman konservasi, d). pendapatan usahatani, e). intensitas penggunaan lahan, dan f). swadaya teknologi konservasi. 3. Pola pengelolaan usahatani berkelanjutan di lereng barat Gunungapi Lawu pada Kawasan Fungsi Budidaya adalah dengan cara: peningkatan dosis pupuk organik, efisiensi dosis pupuk anorganik, dan menanggulangi faktor pembatas pada kesesuaian tanaman terhadap kondisi fisik lahan. Penanggulangan faktor pembatas dilakukan dengan cara: perubahan sistem tanam, perubahan waktu tanam, perubahan ukuran teras, mempertinggi guludan, pemberian mulsa jerami serta plastik untuk komoditas tertentu. Beberapa komoditas sayuran yang dibudidayakan petani telah mencapai produktivitas tinggi, walau tidak sesuai syarat tumbuh dengan kondisi fisik lahan. Tanaman tersebut secara ekonomi menguntungkan. Aktivitas usahatani untuk mencapai keberlanjutan, dilandasi dengan pemahaman akan makna konservasi oleh petani dan swadaya konservasi yang dilakukan berbasis konservasi sumberdaya lahan yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat.

Kata kunci: pengelolaan lahan, usahatani berkelanjutan

ABSTRACT This research aims to explore the land management to improve the sustainable farming, case of the farming in a volcano slope. Its purposes are 1) to analyze the land physical factors as the determinant of the continuing farming by measuring the land fertility, the level of erosion and land productivity in every land unit among the various functions of area, 2) to examine differences of cultural factors of farmers cultivating land units which are potentially sustainable and unsustainable, 3) to design the pattern of the sustainable farming on the slope of Lawu volcano in Tawangmangu district. The research belongs to the Study of Environment Science. The researcher selected the area using ecologycal approaches in order to achieve the purposes. The research applies survey method, in which the land unit as analyses unit of the physical factors. The land unit used to analyze the social economic factors is farming households, selected purposively from the households both the owner and the processor of the land. The research use quantitative and qualitative data, the descriptive note is the research elaborating the actual condition of the object based on the fact in the field. The results of the research show that the farming activities conducted by the households hereditary in the area above effect 1. a) sustainable farming in seasonal plant cultivation cannot be implemented on all unit of land in the conservation area, for it brings negative impacts to environment such as causing land-slide in Gondosuli and Plumbon villages and critical land in Sepanjang village; b) sustainable farming cannot be implemented in buffer area in Gondosuli and Plumbon villages. The land locate on a slope with 25-40% gradients, witch functions as recharge area; c) sustainable farming cannot be implemented on cultivation area located in Tawangmangu, Blumbang, Kalisoro, and Gondosuli villages. The evidence is a high level of erosion which exceeds the tolerable maximum level. Sustainable farming implemented in cultivation area shall locate on land with = 20 gradient. The cultural factors supporting the continuing farming are: a). the narrow land wide posed by the farmer, b). the income of the farming, c). the farmers understanding about conservation, d). self supporting technology of conservation, and e). intensity of the land use. The management pattern of the sustainable farming on the western slope of Lawu volcano in Tawangmangu district, on both sustainable and unsustainable land units in cultivation function area by increasing organic fertilizer dosage, making use of more efficient anorganic fertilizer dosage, and controling the limiting factor in plan properness to land physic. Controlling limiting factor in plant properness to land physic can be done in several ways such as changing the planting system, changing the planting time, changing terrace size, elevating bedding, adding straw mulch and plastic to certain commodity. A number of vegetable commodities planted by farmers have reached high productivity despite the unappropriateness to land physical condition. As the result, they can be economically profittable crops. Farming activity to achieve sustainability is based on the awareness of the importance of conservation by farmer and self funded conservation performed on the basis of land conservation socially acceptable for the society. Key word: land management, sustainable farming

BAB I PENGANTAR

1.1.

Latar Belakang

Indonesia mempunyai 500 gunungapi, sejumlah 129 diantaranya merupakan gunungapi aktif yang tersebar di Pulau Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara. Jumlah gunungapi di Indonesia merupakan 13% dari jumlah seluruh gunungapi di dunia (Kementrian Lingkungan Hidup, 2002:2; Alzwar dkk., 1988:89). Wilayah gunungapi merupakan daerah yang subur untuk pertanian. Kondisi ini disebabkan mineral batuan yang berasal dari hasil erupsi gunungapi, sehingga wilayah ini sangat potensial untuk budidaya tanaman semusim

(Alzwar dkk., 1988:212). Hal lain yang mendukung keberhasilan usahatani adalah curah hujan yang tinggi. Kedua hal tersebut menjadi alasan bagi petani untuk memanfaatkan lahan di lereng atas gunungapi. Di sisi lain, lereng atas gunungapi berfungsi sebagai recharge area (kawasan resapan air) yang merupakan sumber air bagi wilayah tersebut dan wilayah di bawahnya. Atas dasar hal ini, pemerintah membuat berbagai perundangan dan peraturan yang menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan fungsi lindung untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Lahan pertanian yang terletak pada topografi berbukit-bergunung, dan secara terus- menerus dipergunakan untuk budidaya tanaman semusim, mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu terjadinya erosi. Erosi secara cepat ataupun lambat akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, sementara itu

sumberdaya lahan merupakan unsur penentu dalam keberhasilan usahatani, disamping unsur- unsur fisik lain dalam menghasilkan produksi tanaman. Lereng gunungapi yang tidak aktif, tanah berkembang lanjut karena adanya iklim yang mendukung. Tanah berkembang dicirikan oleh kandungan lempung yang tinggi pada lapisan tanah bawah (subsoil). Kandungan lempung yang tinggi tersebut membentuk lapisan kedap air dan terjadi penjenuhan lapisan lempung yang berfungsi sebagai bidang gelincir. Kawasan tersebut mempunyai potensi untuk terjadinya longsor, karena terletak pada wilayah berbukit sampai bergunung, lereng curam (> 40%) dan hujan terjadi mempunyai intensitas cukup tinggi dan lama. Tanah longsor yang merupakan bentuk dari kerusakan lingkungan sebagai akibat penggunaan lahan tidak sesuai dengan potensinya. Kegiatan manusia yang menebang pohon-pohonan berakar sangat dalam pada lereng yang curam dan usahatani tanaman semusim di kawasan rawan longsor merupakan pengelolaan lahan yang tidak memakai teknik atau kaidah konservasi (pengawetan) tanah dan air yang memadai. Sumberdaya lahan tidak mampu lagi melakukan perbaikan diri-sendiri (self renewable ) secara alamiah, keadaan ini menjadikan lahan juga berpotensi menjadi lahan kritis. Berdasarkan data BPS (2003:220-221), daratan Indonesia seluas 192 juta ha dan 23,2 juta ha atau sebesar 12,1% merupakan lahan kritis. Jumlah tersebut merupakan total luasan lahan kritis yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan. Luas lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 65% dari total luas lahan kritis di Indonesia. Lahan yang berada di luar

kawasan hutan sebagian besar merupakan lahan pertanian dan mempunyai kemiringan lereng tinggi. Tabel 1.1 memperlihatkan rencana rehabilitasi lahan sebesar 8,5% dari total luas lahan kritis, namun hanya terealisasi sebesar 35,4% dari rencana rehabilitasi, jika kondisi ini terjadi secara kontinyu, maka luasan lahan kritis akan terus bertambah. Sebagian besar lahan kritis berada di luar kawasan hutan mempunyai topografi berbukit hingga bergunung, pada saat ini masih digunakan untuk budidaya pertanian. Atas dasar hal tersebut, upaya pencegahan terhadap bertambah luasnya lahan kritis sangatlah diperlukan, salah satu cara dengan pengelolaan lahan yang konservasif agar usahatani dapat berlanjut.

Tabel 1.1. Luas Lahan Kritis pada Awal Tahun 1999/2000 dan Hasil Rehabilitasi Sampai Tahun 2002 Awal Tahun 1999/2000 Nama Pulau Dalam Kawasan Hutan (ha) 1.988.869 366.985 363.764 2.612.971 974.713 1.829.345 8.136.647 Luas Kawasan Hutan (ha) 4.352.999 1.699.682 1.305.116 4.565.755 948.213 2.234.469 15.106.234 Jumlah (ha) Hasil Rehabilitsi Tahun 2002 Total Total Perencanaan realisasi (ha) (ha) 529.636 532.673 147.393 107.818 651.178 14.038 1.982.736 158.612 260.615 75.842 76.618 118.321 11.973 702.044

Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Indonesia

6.341.868 2.066.667 1.668.880 7.178.726 1.922.926 4.063.814 23.242.881

Sumber : BPS, 2003:220-221

Penelitian ini memilih lereng barat Gunungapi Lawu dengan batas administrasi Kecamatan Tawangmangu, dikarenakan kecamatan ini merupakan wilayah yang mempunyai lahan untuk penggunaan usahatani terluas di Kabupaten Karanganyar (lihat Tabel 1.2).

Tabel 1.2. Kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang Terletak di Lereng Barat Gunungapi No 1 2 3 4 5 Kecamatan Ngargoyoso Tawangmangu Jatiyoso Karangpandan Matesih Luas Wilayah (ha) 6.533,9 7.003,2 6.716,5 3.411,1 2.626,6 Tanah Sawah (ha) 689,7 711,9 1.316,4 1.552,1 1.293,1 Tanah Kering (ha) 5.844,3 6.291,3 5.400,1 1.895,0 1.333,5

Sumber: BPS Kabupaten Karanganyar, 2003

Selain daripada hal tersebut di atas, Kecamatan Tawangmangu merupakan daerah tujuan wisata. Sempitnya kepemilikan lahan pertanian (Tabel 1.2) dikarenakan perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian sebagai pendukung sarana wisata, seperti penggunaan untuk perumahan dan vila (Gambar 1.1). Pembangunan rumah di kemiringan lereng curam telah mengakibatkan terjadinya longsor.

Gambar.1.1. Vila di atas Bukit diantara Lahan Pertanian yang mengakibatkan longsor Lereng barat Gunungapi Lawu dengan batas administrasi Kecamatan Tawangmangu, mempunyai kemiringan lereng klas II sampai klas V. Kemiringan

lereng klas terletak di ketinggian lebih dari 2.000 m dpal, sebagian difungsikan untuk kawasan hutan lindung, dan menempati sebesar 56,91% dari seluruh luas lahan di Kecamatan Tawangmangu. Klas kemiringan IV yang merupakan kawasan fungsi penyangga, difungsikan untuk budidaya tanaman semusim. Klas kemiringan lereng II dan klas kemiringan lereng III merupakan kawasan fungsi budidaya untuk penggunaan tanaman semusim dan sawah, di beberapa tempat terdapat permukiman. Di beberapa tempat di kawasan fungsi lindung digunakan petani untuk budidaya tanaman semusim yang telah dilakukan secara turun temurun. Keadaan ini sudah terjadi sebelum berlakunya UU No. 54 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Kendala yang ada adalah pelarangan penggunaan lahan di kawasan fungsi lindung untuk usahatani seakan tidak berlaku, walau sudah ditetapkannya Undang-undang baru tersebut. Oleh karena itu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Karanganyar, perlu pengelolaan lahan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga untuk konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, serta memaksimalkan potensi lahan di kawasan fungsi budidaya agar dapat meningkatkan pendapatan petani. Kondisi ini diperkirakan telah memicu adanya pertambahan luas lahan kritis. Luas lahan kritis di Kecamatan Tawangmangu saat ini telah mencapai 1.091 ha atau sebesar 15,6% dari total luas lahan sebesar 7.003 ha, atau 3,5% lebih besar

dari perbandingan luas lahan kritis nasional dengan jumlah lahan di Indonesia sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.3. Tabel 1.3. Luas Lahan Kritis dan Persentase Penambahan Luas Lahan Kritis di Kecamatan Tawangmangu Tahun 1997-2000
Luas Lahan Kritis Tahun 1997 1998 1998 1999 1999 2000
Sumber: BPS, 2001:5

(ha) 619 1.085 1.091

Persentase Penambahan Luas Lahan Kritis (%) 0 75,28 0,97

Harapan akan peningkatan pendapatan oleh petani telah menghadapi salah satu kendala yang nyata, yakni penyempitan lahan pertanian. Penyempitan lahan pertanian diakibatkan oleh perubahan peruntukan lahan dari pertanian ke non-pertanian maupun akibat penurunan kepemilikan lahan karena pembagian warisan dari generasi ke generasi. Keadaan ini terlihat dari data BPS, dimana rumahtangga tani yang memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha berjumlah 8.726.434 rumahtangga tani (BPS, 1993:6), sedangkan pada tahun 2003 jumlah rumahtangga tani yang memiliki luas lahan kurang dari 0,5 ha berjumlah 13.253.310 rumahtangga tani (BPS, 2003:3), sehingga pada kurun waktu sepuluh tahun, petani subsisten (gurem) di Indonesia bertambah sebesar 51,88%. Pendapatan petani subsisten dari hasil usahatani yang dijalankan hanya dapat menutup biaya produksi saja. Apabila usahataninya merugi, kebanyakan dari mereka terpaksa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencari sumber pendapatan tambahan di luar sektor pertanian (off farm ). Di Indonesia, pendapatan sektor luar usahatani mencapai 80% dibanding pendapatan dari usahatani.

Pekerjaan luar sektor pertanian yang ditekuni para petani antara lain menjadi kuli bangunan, tukang ojek, membuka toko, atau berjualan di pasar

(Yustika, 2003:27). Saat ini rata-rata kepemilikan lahan di Kecamatan Tawangmangu untuk usahatani seluas 0,075 ha tiap petani. Lebih dari 95% petani atau sejumlah 6.010 orang memiliki luas lahan untuk usahatani kurang dari 0,5 ha, serta selebihnya sekitar 5% atau sejumlah 316 orang yang memiliki lahan lebih dari 0,5 ha (BPS, 2003:22). Sempitnya luas lahan yang dimiliki telah mengakibatkan petani melakukan eksploitasi terhadap lahan pertaniannya, untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Budidaya tanaman sayuran di Kecamatan Tawangmangu, dilakukan hingga kawasan fungsi lindung yang terletak di antara hutan negara dan kawasan fungsi penyangga. Kawasan fungsi lindung berada pada ketinggian = 2.000 m dapl dengan kemiringan lereng antara 40% - 55%. Sebagian besar kawasan fungsi lindung merupakan hutan produksi, yang ditanami pohon pinus dan dikelola oleh Perhutani. Kawasan fungsi penyangga seluruhnya merupakan area budidaya tanaman sayuran. Kawasan fungsi penyangga mempunyai kemiringan lereng 25%-40%, dan terletak di bawah hutan lindung dengan area usahatani masyarakat di kawasan fungsi lindung. Kawasan fungsi budidaya terletak di bawah kawasan fungsi penyangga, yang sebagian besar area ditanami dengan tanaman padi, palawija dan diselingi dengan tanaman sayuran. Daerah ini merupakan penghasil sayuran potensial bagi daerah sekitarnya, namun dalam beberapa tahun te rakhir terlihat penurunan produksi dan luasan lahan panen untuk sayuran kubis, bawang

putih, bawang merah dan buncis yang sebelumnya merupakan tanaman unggulan (Tabel 1.4). Tabel 1.4 dapat dilihat bahwa tanaman kubis, pada tahun 1980 an merupakan tanaman unggulan, namun pada tahun 1997, luas panen 146 ha dan produksi sebesar 37.847 ku, tetapi pada tahun 2003 luas panen turun sebesar 84%, sedangkan produksinya turun 79%. Demikian pula untuk tanaman sayuran lainnya, telah terjadi penuruna n yang signifikan.

Tahun Tanaman

Kubis Wortel Buncis Bawang merah

Tabel 1.4. Perkembangan Produksi Tanaman (ku/ha) di Kecamatan Tawangmangu Tahun 1997 2003 Persentase 1997 2003 Penurunan Produksi 1997-2003 Luas Produksi Luas Produksi Luas panen Produksi panen (ha) (ku) panen (ku) (%) (ku) (ku) 146 37.847 23 7.740 84 79 633 147.907 446 121.930 29,5 17,5 212 7.515 89 2820 58 62 184 16.459 53 7570 71 54
37.847 7.740 37.847

Persentase penurunan produksi =


Sumber: Analisis data sek under

X 100%

Ketidakmengertian petani akan pentingnya peranan pengelolaan tanah terutama aspek konservasi yang terkait dengan masalah erosi, pelapukan dan pencucian hara mineral yang intensif di bawah iklim tropika, telah menyebabkan meluasnya tanah-tanah yang rusak, miskin hara dan tidak subur. Di sisi lain

budidaya tanaman semusim yang tidak memperhatikan potensi lahan merupakan pengelolaan lahan yang salah, sehingga berakibat menurunnya produktivitas lahan. Penurunan produktivitas merupakan salah satu indikasi telah terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi yang telah mengubah lahan subur menjadi lahan kritis. Penurunan produktivitas selama tiga tahun terlihat sangat nyata, sebagai contoh tanaman Tomat dan Cabai mencapai 183,42 ku/ha dan 163,78 ku/ha, keadaan ini tidak akan mendukung tercapainya usahatani berkelanjutan (Tabel 1.5) Tabel 1.5. Perkembangan Produktivitas Tanaman (ku/ha) di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2000 2003
Tahun Komoditi 2000 Luas Produksi Produktivitas panen (ku) (ku/ha) (ha) 2003 Luas panen (ha) Produksi (ku) Produktivitas (ku/ha) Penurunan Produktivitas 2000-2003 (ku/ha)

Jagung 704 35.800 Sawi 291 46.659 Cabai 48 8.973 Buncis 165 16.631 Tomat 38 7.580 Ubi jalar 249 3.720 Sumber: Analisis data sek under

5,10 160,34 189,94 100,79 199,47 14,94

241 123 19 89 38 38

868 11.590 497 2.820 610 555

3,60 94,23 26,16 31,69 16,05 14,60

1,50 66,10 163,78 69,10 183,42 0,34

Degradasi lahan (Notohadiprawiro, 1999:60) dinyatakan dalam indikator dan kriteria sebagai berikut. 1) Adanya tekanan atas sumberdaya lahan akibat kegiatan manusia seperti perambahan hutan untuk pertanian, perambahan lahan curam untuk budidaya atau permukiman. 2) Kondisi sumberdaya alam dan perubahannya menurut waktu (pemerian keadaan sekarang, misalnya kawasan hutan) atau dinyatakan dengan perubahan waktu (berkurangnya areal hutan); indikator kondisi juga dinyatakan secara tidak langsung menurut kinerja, misalnya hasil panen sebagai indikator kesuburan.

3)

Tanggapan masyarakat terhadap tekanan atas mutu lahan dan perubahan kondisi di berbagai kelompok masyarakat dari berbagai tingkatan, misalnya pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan konservasi atau tidak.

Manusia berperan terhadap terjadinya perubahan pada lahan, terutama terkait dengan penggunaannya. Lahan merupakan sumberdaya alam dan merupakan bagian dari sistem kehidupan di bumi. Manusia mempunyai potensi mengubah komponen sistem kehidupan secara drastis, sehingga menjadi permasalahan lingkungan penghidupan. hidup Studi yang berakibat dampak lingkungan adalah negatif bagi kehidupan dan ilmu yang mempelajari

disiplin

sumberdaya manusia tidak dapat dipisahkan dengan sumberdaya buatan. Kedua komponen tersebut disebut sebagai sumberdaya kultural. Sumberdaya buatan adalah hasil karya manusia karena manusia dinilai dari apa yang dilakukannya. Lingkungan hidup disusun oleh tiga komponen (Tandjung, 2001:9), yaitu: a. A-Abiotic environment atau lingkungan fisik terdiri dari unsur- unsur air, udara, lahan, dan energi serta bahan mineral yang terkandung di dalamnya. b. B-Biotic environment atau lingkungan hayati terdiri dari unsur-unsur hewan, tumbuhan dan margasatwa lainnya serta bahan baku hayati industri. c. C-Cultural environment atau lingkungan kultural SOSEKBUD terdiri dari unsur-unsur sistem-sistem sosial, ekonomi, dan budaya serta kesejahteraan.

11

Pengelolaan lahan untuk usahatani yang dilakukan petani di lereng barat Gunungapi Lawu dalam kasus usahatani tanaman semusim diindikasikan telah menyebabkan degradasi lahan dan kerusakan lingkungan. Lahan, air, iklim serta energi sinar matahari merupakan sumberdaya alam sekaligus komponen abiotik yang digunakan manusia untuk usahatani. Usahatani tanaman semusim di lereng barat Gunungapi Lawu merupakan budaya (culture) yang telah dilakukan petani secara turun temurun guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanaman semusim yang diberdayakan yaitu sayuran, palawija dan padi merupakan komponen biotik. Pengelolaan lahan pada usahatani tanaman semusim berpengaruh terhadap kondisi lingkungan fisik, sehingga terjadi hubungan timbal balik dan saling

ketergantungan yang dinamis antara komponen lingkungan abiotic, biotic dan cultural (Tandjung, 2001:10). Keadaan tersebut merupakan kajian bidang Ilmu Lingkungan, sehingga penelitian ini menempatkan pada Ilmu Lingkungan, dengan pendekatan lingkungan (Gambar 1.2). Dalam studi geografi terdapat tiga pendekatan (Geographicy Approaches), yaitu pendekatan keruangan (Spatial approach), pendekatan ekologikal

(Ecological Approach), dan pendekatan kompleks wilayah (Regional Complex Approach). Berdasarkan Yunus (2005: 14) pendekatan ekologikal dalam studi Ilmu Geografi, menekankan pada hubungan: 1) Man (behaviour) Environment Relationship Analysis (analisis perilaku manusia lingkungan), 2) Human Activity (performance) Environment Relationship Analysis (analisis aktivitas manusia lingkungan), 3) Physico Artificial Features (performance) Environment Relationship Analysis, dan 4) Physico National Features (performance) Environment Relationship Analysis.

12

Lingkungan Abiotik (A)

AB
ABC

Lingkungan Biotik (B)

Lahan Lereng Barat di AB Gunungapi ABC Lawu (A)


AC BC

Tanaman Semusim (B)

Lingkungan Kultural (C)

Usahatani (Sosial, Ekonomi, Teknologi) (C)

Keterangan : AB : Interaksi lingkungan abiotik dan biotik (tanaman semusim di lereng barat Gunungapi Lawu) AC : Interaksi lingkungan abiotik dan kultural (usahatani di lahan lereng barat Gunungapi Lawu) BC ABC : Interaksi lingkungan biotik dan kultural (usahatani tanaman semusim) : Interaksi lingkungan abiotik, biotik dan kultural (usahatani tanaman semusim pada lahan di lereng barat Gunungapi Lawu)

Gambar 1.2. Hubungan antara Komponen Lingkungan Abiotik, Biotik dan kultural pada Penelitian Pengelolaan Lahan di Lereng Barat Gunungapi Lawu

Di dalam penelitian yang akan dilakukan, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekologikal dalam Ilmu Geografi, yaitu man behaviour environment relationship analysis dan human activity environment relationship analysis. Kedua pendekatan dalam Studi Geografi tersebut adalah untuk mengkaji hubungan manusia, yaitu perilaku serta aktivitas manusia yang terkait dengan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga sesuai dengan kajian dalam bidang lingkungan, penelitian ini menggunakan juga pendekatan keruangan (spatial).

13

1.2.

Permasalahan

Di daerah lereng barat Gunungapi Lawu di Kecamatan Tawangmangu, jumlah lahan pertanian di kawasan budidaya seluas 2.440 ha, tidak dapat mencukup i kebutuhan penduduk yang bekerja dalam lapangan pertanian, yaitu berjumlah 9.660 orang. Kepadatan agrarisnya yaitu 3,61 orang per-ha lahan pertanian, sehingga petani melakukan usahatani tanaman semusim di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga. Kegiatan usahatani ini telah melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah serta telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, yaitu longsor di beberapa tempat pada lahan usahatani yang terletak di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga, serta terjadinya degradasi lahan, yang semula subur menjadi lahan kritis (Lihat Tabel 1.3). Atas dasar hal tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti, yaitu: 1. Sejauhmana faktor abiotik di tiap satuan lahan pada berbagai fungsi kawasan menentukan terhadap keberlanjutan usahatani ? 2. Apakah ada perbedaan faktor kultural antara petani di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan satuan lahan tidak

berkelanjutan?

1.3.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis faktor abiotik sebagai penentu terhadap keberlanjutan usahatani di tiap satuan lahan pada berbagai fungsi kawasan. 2. Menguji perbedaan faktor kultural antara petani di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan usahatani tidak berkelanjutan. 3. Menyusun pola pengelolaan lahan yang berpotensi berkelanjutan pada lereng barat Gunungapi Lawu di Kecamatan Tawangmangu.

1.4.

Kegunaan Penelitian

Temuan yang akan dihasilkan dalam penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut. 1. Memberikan sumbangan teoritis dalam pengelolaan lahan yang mempunyai potensi terhadap keberlanjutan usahatani di lahan lereng barat Gunungapi Lawu. 2. Model secara operasional tentang Dinas Pertanian, Dinas bagaimana memperbaiki kinerja dan Bappeda, agar

Kehutanan,

terkoordinasi dalam pelaksanaan konservasi secara terpadu.

1.5.

Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai pembangunan pertanian dalam usahatani dan konservasi telah banyak dilakukan, baik oleh para ahli secara perorangan maupun oleh lembaga penelitian (Tabel 1.6), namun penelitian mengenai pengelolaan lahan di lereng barat Gunungapi Lawu dalam kajian usahatani di Kecamatan

Tawangmangu yang terkait dengan kebijakan, implementasi kebijakan Pemda dan upaya konservasi lahan belum pernah dilakukan sebelumnya.

Tabel 1.6 Penelitian Mengenai Usahatani dan Konservasi Lahan

No

Nama peneliti & Tahun Nitisapto 1990

Judul penelitian & Daerah Penelitian Pelaksanaan Pengendalian Hama Terpadu pada Budidaya Tanaman Sayuran di Kecamatan Tawangmangu , Jawa Tengah Usahatani Konservasi dalam Pembangunan Pertanian Berkesinambungan di DAS Serang, Jawa Barat

Klasifikasi Penelitian Tesis

Tujuan Penelitian

Metode Penelitin Survei Samplin g Kualitatif Kuantitatif

Hasil Penelitian

Meneliti pelaksanaan pengendalian hama pada budidaya tanaman sayuran.

Prinsip pengelolaan hama terpadu pada tanaman sayuran di Tawangmangu belum dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya, petani memprioritaskan pada adanya gejala serangan.

Sinukaban dan Sihit 1993

Laporan Penelitian Ilmiah

Mengetahui hubungan penurunan tingkat erosi terhadap peningkatan pendapatan petani. Mengetahui faktor kondisi ekonomi petani yang berpengaruh terhadap pemanfaatan usahatani. Mengetahui upaya yang dilakukan untuk memelihara pengendalian erosi.

Eksperimental Kuantitatif

Pelaksanaan usahatani konservasi di Daerah Aliran Sungai Serang bagian hulu belum menjamin tercapainya pembangunan pertanian di Daerah Aliran Sungai yang lestari terutama karena adanya laju erosi tanah yang cukup besar dan adanya persepsi petani yang dapat menghambat perbaikan kualitas bangunan konservasi. Penggunaan usahatani konservasi telah mampu menurunkan laju erosi dan meningkatkan pendapatan p etani. Kesinambungan usahatani konservasi ditentukan oleh kemampuanpetani membiayai pemeliharaan sistem usahatani tersebut disamping kemampuan melaksanakan pengendalian erosi secara teknis. Petani miskin tidak mampu mengelola usahatani konservasi secara swadaya dan masih memerlukan subsidi.

Tabel 1.6. (Lanjutan)


No. Nama Peneliti & Tahun Gitoasmoro 1997 Judul Penelitian & Daerah Penelitian Perilaku Petani dalam Pengelolaan Lahan Bonoworo, Jawa Timur Klasifikasi Penelitian Disertasi Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Mengetahui perilaku petani dalam pengelolaan lahan terhadap kesesuaian lahan. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pengelolaan lahan oleh petani.

Survei Sampling Kualitatif

Cara pengelolaan lahan untuk budidaya tanaman yang dilakukan petani tidak berdasarkan atas kesesuaian lahan, namun tingkat sosial ekonomi petani berpengaruh terhadap cara pengelolaan.

Sundari 1997

Kajian Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya di Kawasan Hutan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu , Jawa T engah

Tesis

M engetahui upaya yang dilakukan p emerintah dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta mas yarakat dalam konservasi sumberdaya hayati di kawasan hut an Tawangmangu

Survei Sampling Kualitatif

Pemerintah belum pernah memberikan penyuluhan tentang perlindungan dan pelestarian kawasan hutan kepada masyarakat setempat, sehingga p emerintah belum melaksanakan pengelolaan peran serta masyarakat sektor kawasan hutan. Program yang baru akan dilaksanakan adalah mobilisasi masyarakat dalam mendukung konservasi sumberdaya hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam artian yang masih sempit.

17

Tabel 1.6. (Lanjutan)


No. Nama Peneliti & Tahun Dina Ruslanjari 1998 Judul Penelitian & Daerah Penelitian Pengaruh Residu Pestisida Profenofos pada Tanaman Kubis, Cacing Tanah, Nematoda dan Airtanah. Kecamatan Tawangmangu , Jawa Tengah Klasifikasi Penelitian Tesis Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Melihat pengaruh residu Survei profenofos pada tanaman kubis, Sampling populasi cacing tanah, populasi Kuantitatif nematoda parasit dan airtanah.

Pemberian dosis di atas rekomendasi telah mengakibatkan residu profenofos pada tanaman kubis, berkurangnya populasi cacing tanah, membunuh nematode parasit dan residu pada airtanah, sehingga merusak lingkungan fisik pada lahan usahatani.

PSBA UGM dengan BAPPEDA 1999

Laporan Pengelolaan Kawasan Konservasi Penelitian Gunung Sindoro dan Ilmiah Gunung Sumbing, Jawa Tengah

M engetahui apakah usahatani di wilayah tersebut sudah mendukung pencegahan erosi dan sedimentasi.

Survei Sampling Kualitatif Kuantitatif

Sistem usahatani yang dilakukan oleh petani di wilayah tersebut belum mendukung pada pencegahan erosi dan sedimentasi akibat dari cara pengelolaan tanah dalam pembuatan teras dan penanaman yang tidak/belum mengikuti konservasi tanah dan air.

Her Riyadi, Al Sentot Sudarwant o, Setya Nugraha 2000

Penggunaan Lahan yang Berwawasan Lingkungan sebagai Upaya Pencegahan Terjadinya Lahan Kritis. Kec. Tawangmangu, Jawa Tengah

Laporan Penelitian Ilmiah

Mengetahui p encegahan dan p Eksperimental enanggulanagan terciptanya Kuantitatif lahan kritis di Tawangmangu.

Metode yang digunakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terciptanya lahan kritis di Tawangmangu adalah dengan konversi dan intensifikasi dan konservasi.

18

Tabel 1.6. (Lanjutan)


No. Nama Peneliti & Tahun Riyadi 2000 Judul Penelitian & Daerah Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Konservasi Lahan Kritis di Kecamatan Tawangmangu, Jawa Tengah Klasifikasi Penelitian Kegiatan Laporan Ilmiah Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian

Memberikan pengertian kepada petani arti pentingnya konservasi serta pemeliharaan lahan yang telah dikonservasi, serta alternatif konservasi berupa pembuatan teras.

Survei Sampling Kualitatif Kuantitatif

Dengan pelatihan dan memberikan contoh kasus dapat meningkatkan kesadaran petani dalam pengelolaan lingkungan, sehingga perlu mengikutsertakan masayarakat sebagai basis dalam menangani masalah yang dihadapi bersama,mengaktifkan kelembagaan yang ada di masyarakat serta menyediakan fasilitas untuk transfer teknologi kepada masyarakat.

Undang Kurnia 2001

Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng dan Terdegradasi untuk Peningkatan Produktivitas Tanah di Darmaya, Citayam, Jasinga (Bogor), Pacet, (Sukaresmi Cianjur), Pangalengan (Bandung).

Laporan Penelitian Ilmiah

Menentukan tindakan konservasi tanah yang tepat dan akurat dalam memperbaiki atau mencegah terjadinya kerusakan lahan.

Eksperimental Kualitatif Kuantitatif

Kemunduran produktivitas lahan (degradasi lahan) akan terjadi dan berlanjut apabila pengelolaan usahatani tanaman pangan pada lahan kering berlereng tidak disertai penerapan teknik konservasi tanah. Pengelolaan lahan usahatani yang tidak tepat dan tanpa menerapkan teknik konservasi tanah dapat mengakibatkan terjadinya erosi dalam jumlah besar, sehingga terjadi penurunan produktivitas tanah. Penanggulangan kerusakan tanah tidak hanya cukup dengan mengendalikan laju erosi, melainkan harus bersamasama dengan pemulihan (rehabilitasi) kualitas tanah.

Tabel 1.6. (Lanjutan)


Nama Peneliti & Tahun Harsono 2001 Judul Penelitian & Daerah Penelitian Diversifikasi Tanaman Pekarangan Petani Pedesaan di Lereng Barat Gunungapi Lawu Kecamatan Tawangmangu , Jawa Tengah

No.

Klasifikasi Penelitian Tesis

Tujuan Penelitian

Metode Penelit ian

Hasil Penelitian

10

M elihat diversifikasi jenis tanaman yang berada di pekarangan antara ketinggian 200-1.000 mdpl.

Survei Sampling Kualitatif Kuantitatif

- Jenis tanaman yang berada di pekarangan antara ket inggian 2001.000 m dpl semakin menurun, begitu pula ketinggian ukuran tanaman keras makin menurun. - Parameter fisik yaitu kelembaban udara dan tebal lapisan tanah mempunyai hubungan dengan diversitas tanaman tersebut.

11

Widiarto 2001

Pertimbangan Daya Tesis Dukung Lingkungan terhadap Pengembangan Kawasan Wisata Alam Kecamatan Tawangmangu , Jawa Tengah

- Menginventarisasi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan dan pengembangan kawasan wisata daerah Tawangmangu . - M emasukkan aspek lingkungan hidup dalam perencanaan pengembangan kawasan wisata Tawangmangu . - M elakukan evaluasi dan monitoring UU Tata Ruang dalam pengembangan kawasan wisata alam Tawangmangu serta alternatif model pengembangan kawasan wisata.

Survei Sampling Kualitat if Kuantitatif

- Hasil parameter fisik yang dikumpulkan menunjukkan bahwa terdapat beberapa kawasan yang mempunyai potensi yang dapat digunakan untuk ekowisata. - Di dalam pengembangan kawasan wisata alam, Pemda tidak memperhatikan UU Tata Ruang.

Tabel 1.6. (Lanjutan)

No 12.

Nama Peneliti & Tahun Sinukaban 2002

Judul Penelitian & Daerah Penelitian Usahatani di Dataran Tinggi, Indonesia

Klasifikasi Penelitian Laporan Penelitian Ilmiah

Tujuan Penelitian

Metode Penelitian Survei Sampling Kualitatif Kuantitatif

Hasil Penelitian

Memberi kredit untuk upaya konservasi (rotasi tanam dan terasering dengan penutup rumput) kepada petani dan melihat pengaruhnya terhadap pendapatan.

Pemberian kredit kepada petani untuk melakukan konservasi (rotasi tanam dan terasering dengan penutup rumput) pada usahatani di pertanian dataran tinggi dengan masalah utama terjadinya degradasi lahan dalam upaya menaikkan pendapatan di lahan kritis. Upaya konservasi tersebut ternyata dapat menaikkan pendapatan petani. Kebiasaan bertanam di Blumbang adalah tanaman ganda dan beranting dengan pola tanam di satu lahan dapat ditanam 4 -5 tanaman/ tahun, dimana tumpangsari merupakan pola tanam yang lazim dipraktekkan di Blumbang Identitas pertanaman menjadi sangat tinggi bila pola tanam berebutan diterapkan. Penggunaan pupuk dan obat -obatan sangat ekstensif pada pertanian sayur- sayuran begitu pula dengan pupuk organik (pupuk kandang). Kegiatan pertanian menyerap 65% total kebutuhan tenaga kerja, dimana tenaga kerja wanita wanita lebih banyak daripada tenaga kerja pria. Pemasaran hasil pertanian dilakukan dengan meletakkan di pinggir jalan untuk dijajakan. Pemasaran dilakukan juga den gan cara tebasan, dimana seorang pembeli (biasanya juga tengkulak) menaksir harga/memilih tanaman yang masih di kebun.

13

Dibyo Prabowo 1988

Sistem Usahatani Kasus Desa Blumbang Kecamatan Tawangmangu, Jawa Tengah

Laporan Penelitian Ilmiah

Melihat perubahan yang terjadi dalam sistem usahatani setelah 14 tahun penelitian yang dilakukan oleh MoConnell (1974) Memperkenalkan sistem usahatani di Indonesia.

Survei Sampling Kualitatif kuantitatif

Nama Peneliti & Tahun

Judul Penelitian & Daerah Penelitian Pengelolaan Lahan yang Berkelanjutan Kasus Usahatani pada Lereng Gunungapi Lawu Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah

Klasifikasi Penelitian Disertasi o o

Tujuan Penelitian Menganalisis faktor fisik lahan. Menanalisis faktor sosial ekonomi petani yang berpengaruh terhadap usahatani berlanjut . Menyusun pola pengelolaan lahan yang berkelanjutan pada lereng Gunungapi Lawu.

Metode Penelitian Survei Sampling Kualitatif kuantitatif -

Hasil Penelitian

No 14

Dina Ruslanjari 2004

Varibel pada fakt or fisik yang berpengaruh terhadap usahatani berkelanjutan adalah tingkat erosi, tingkat kesuburan, dan persentase produktivitas lahan. Faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan usahatani yaitu, a) status lahan, b) luas lahan, c) penerimaan usahatani, d) biaya usahatani, e) pendapatan usahatani, f) intensitas penggunaan lahan, g) pemahaman konservasi, h) swadaya konservasi. Mengembalikan kawasan sesuai dengan fungsinya. Efektifitas kebijakan pemerintah dalam tata ruang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Penelitian Sebelumnya

2.1.1. Pengelolaan tanah berkelanjutan, usahatani konservasi dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan, dan sistem usahatani berkelanjutan
Schertz (1984:9-17) dalam pene litian Evaluasi Lapangan Terhadap Efek dari Erosi Tanah Terhadap Produktivitas dalam Pengelolaan Tanah Berkelanjutan di Indiana, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa biaya terbesar dari kegiatan pertanian adalah kehilangan tanah yang diakibatkan oleh erosi yang memindahkan unsur hara dan menurunkan kemampuan mengikat air, sehingga menurunkan 50-70% produktivitas. Unsur hara yang terbawa akibat erosi tiga kali lebih besar dari unsur hara yang tertinggal di tanah. Bahan organik yang terbawa erosi 1,5 5 kali lebih besar daripada bahan organik yang tertinggal di dalam tanah. Bahan organik yang hilang diikuti oleh berkurangnya kemampuan mengikat air, begitu juga kehilangan unsur hara tanah dan degradasi tanah. Tingkat erosi mempengaruhi kehilangan kand ungan bahan organik, phospor dan ketersediaan air dalam tanah dengan tekstur geluh berdebu yang berbeda (Tabel 2.1). Lahan pertanian di Indiana tersebut mengalami erosi tanah rata-rata sebesar 7 ton/ha. Erosi yang dapat ditoleransi sebesar 5 ton/ha, dimana tanah tersebut mengandung 50 kg N; 30 kg P; 1 kg Ca; 5 kg Mg; dan 4 kg S di lapisan tanah atas.

23 Tabel 2.1. Kehilangan Bahan Organik, Phosphor dan Ketersediaan Air dalam Tanah di Berbagai Tingkat Erosi No Tingkat erosi Bahan organic Phosphor Ketersediaan air di (%) ( Ibs/acre) dalam tanah (%) 1 2 3 Ringan Sedang Berat 3,0 2,5 1,9 62 61 40 7,4 6,2 3,6

Sumber: Schertz (1984)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat erosi ringan mengakibatkan persentase kehilangan bahan organik dan unsur phospor terbesar. Tingkat erosi berat mengakibatkan persentase ketersediaan air di dalam tanah terendah (Schertz, 1984: 9-17). Hasil penelitian Schertz tentang pengelolaan tanah berkelanjutan, mengkaji tingkat erosi terhadap kehilangan bahan organik, phospor, dan ketersediaan air dalam tanah yang berbeda, serta turunnya produktivitas lahan. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu mengukur tingkat erosi, yang terjadi di setiap satuan lahan. Penelitian yang akan dilakukan juga akan mengukur tingkat kesuburan lahan, baik kesuburan kimia dan kesuburan fisik. Hasil pengukuran kesuburan kimia akan diketahui besarnya unsur-unsur hara makro dan mikro pada berbagai tingkat erosi, namun peneliti tidak membandingkan besarnya unsur hara makro dan mikro pada berbagai tingkat erosi. Penelitian Schertz juga berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, terkait dengan analisis biaya. Schertz mengkaji biaya dari kegiatan usahatani yang diakibatkan kehilangan tanah oleh erosi, sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah menghitung pendapatan keseluruhan usahatani dalam satu tahun, yang merupakan salah satu variabel dari lingkungan kultural, sebagai pembeda antara satuan lahan berlanjut dan satuan lahan tidak berlanjut.

24

Penelitian Schertz mengukur besarnya pengaruh tingkat erosi terhadap besarnya produktivitas lahan. Penelitian yang akan dilakukan mengukur produktivitas lahan relatif, tingkat erosi, kesuburan lahan untuk menentukan keberlanjutan usahatani. Sinukaban dan Sihite (1993) dalam penelitiannya tentang Usahatani Konservasi dalam Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan di DAS Serang, Jawa Barat, menerapkan sistem usahatani konservasi yaitu sistem usahatani yang mempertimbangkan aspek peningkatan produktivitas lahan dan aspek kualitas lingkungan secara bersamaan, guna memperkecil erosi dan meningkatkan produktivitas lahan atau pendapatan petani dengan kegiatan Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) dengan hasil sebagai berikut. 1. Kegiatan ini membantu petani dalam melaksanakan usahatani konservasi. Kegiatan ini telah berhasil mengurangi laju erosi yang cukup besar dan memperbaiki produktivitas lahan. Penurunan erosi yang terjadi berkisar antara 66-89%. Penurunan erosi yang terjadi akibat proyek konservasi yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan 2.3. Tabel 2.2. Erosi Sebelum dan Sesudah Proyek Konservasi
No K Keterangan Erosi Sebelum Proyek Konservasi (ton/ha/th) a b 300 466 483 671 Erosi Sesudah proyek Konservasi (ton/ha/th) a b 96 51 193 180 Persentase Efektivitas Penurunan (%) a b 89 77 66 86

e t 1 e Demplot 2 r Dampak keterangan : Erosi dalam ton/ha/th a : Bila kondisi awal lahan belum memiliki teras bangku b : Bila kondisi awal lahan sudah memiliki teras bangku
Sumber: Sinukaban dan Sihite (1993:4)

25

2. Pelaksanaan usahatani konservasi di Daerah Aliran Sungai Serang bagian hulu belum menjamin tercapainya pembangunan pertanian di Daerah Aliran Sungai yang lestari terutama karena adanya laju erosi tanah yang cukup besar dan adanya persepsi petani yang dapat menghambat perbaikan kualitas bangunan konservasi.

Tabel 2.3. Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Proyek Konservasi Pendapatan Petani (Rp/ha) Persentase Kategori Peningkatan No. Tipe Pendapatan Sebelum Sesudah Petani (%) 1 Tipe A 355.825 409.015 14 2 Tipe B 340.994 1.062.079 211 3 Tipe C 522.344 1.048.242 100 4 Tipe D 1.052.743 1.347.043 28
Keterangan : Tipe A : Petani yang tidak punya sumber pendapatan dari sawah dan luar usahatani Tipe B : Petani yang tidak punya sumber pendapatan dari luar usahatani Tipe C : Petani yang tidak punya sumber pendapatan dari lahan sawah Tipe D : Petani yang mempunyai sumber pendapatan dari luar usahatani dan sawah
Sumber : Sinukaban dan Sihite (1993 :5)

3. Penggunaan usahatani konservasi telah mampu menurunkan laju erosi dan meningkatkan pendapatan petani, kesinambungan usahatani konservasi ditentukan oleh kemampuan petani membiayai pemeliharaan sistem usahatani tersebut, disamping kemampuan melaksanakan pengendalian erosi secara teknis. 4. Petani miskin tidak mampu mengelola usahatani konservasi secara swadaya dan masih memerlukan subsidi. Sinukaban dan Sihite (1993) meneliti pelaksanaan konservasi di daerah DAS, menerapkan sistem usahatani yang mempertimbangkan aspek peningkatan

26

produktivitas lahan dan aspek kualitas lingkungan dengan m emperkecil erosi. Berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu mengkaji sistem usahatani yang dilakukan petani, Sihite dan Sinukaban melakukan percobaan di lapangan, untuk melihat perubahan pendapatan, dengan memperkecil erosi. Basri dan Hoesoen (1991) dalam penelitiannya tentang Strategi

pengembangan sistem usahatani berkelanjutan di lahan kering dengan alley cropping di Sukarani, Jawa Barat. Penelitian ini mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Tanaman penyangga erosi (hedgerow) sangat efektif dalam mengurangi erosi dalam alley cropping system . Tanaman ini berkompetisi dengan tanaman pangan, namun pengembalian bahan pangkasan akan

menyumbangkan nitrogen, kalium dan kalsium. 2. Pemberian bahan hijauan yang diaduk dengan tanah ataupun dipakai sebagai mulsa untuk memperbaiki sifat kimia tanah dan hasil tanaman pangan yang ditanam di lorong. Tanaman hedgerow tidak mempunyai nilai ekonomis yang berarti, sehingga minat petani sangat rendah terhadap alley cropping. 3. Untuk meningkatkan adopsi petani terhadap alley cropping diupayakan melalui on farm research dengan menggunakan jenis tanaman yang tersedia setempat sebagai tanaman hedgerow dan memperluas ruang lingkup alley cropping menjadi agroforestry dan pagar hidup. Pelaksanaan di lapangan memerlukan adanya kerjasama antara peneliti, penyuluh, dan petani pelaksana. Penelitian Basri dan Hoesoen dalam strategi pengembangan sistem usahatani berkelanjutan di lahan kering, Sukarani, Jabar, mengkaji penggunaan sistem

27

tanaman alley cropping, yaitu suatu sistem tanam yang terdiri dari tanaman kayu sebagai pagar (lorong), diantara tanaman pangan. Penelitian ini mengkaji sistem tanam tersebut dikombinasikan dengan pemberian mulsa, ternyata dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Penelitian yang akan dilakukan adalah me ngkaji sistem usahatani: pergiliran tanaman, tumpang gilir, dan pemberian mulsa yang dilakukan petani di lapangan, yang dikaitkan dengan kesuburan kimia tanah. Penelitian Basri dan Hoesoen ini memberikan rekomendasi terhadap penelitian yang akan dilakukan, tentang bagaimana mencapai sistem usahatani

berkelanjutan, dengan cara tanam alley cropping. Penerapan sistem tanam ini agar dapat mencapai usahatani berkelanjutan memerlukan keterlibatan peneliti, penyuluh, dan petani pelaksana. Kurnia, dkk (1989) dalam penelitiannya mengenai Pengkajian Metode Prediksi Erosi pada Tanah Mergel di Sub DAS Ciseel, Jawa Barat, mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Tingkat bahaya erosi umumnya tergolong ringan-sangat ringan (64%), selebihnya tergolong sedang-sangat berat. Tanah umumnya peka erosi dan solumnya dangkal serta lahan tersebut di waktu-waktu tertentu sering terbuka (saat pengolahan tanah, penyiangan, dan panen) sehingga butir-butir hujan yang jatuh di atas permukaan tanah langsung menghancurkan butirbutir tanah, yang akhirnya dapat menyebabkan erosi. Tingkat bahaya erosi sangat ringan dijumpai di lahan di daerah datar dengan penggunaan lahan sawah.

28

2. Tingkat bahaya erosi ringan kebanyakan dijumpai di daerah datar-berombak dengan kemiringan 0-8%, dan sebagian kecil di lahan dengan kemiringan lereng 8-25% dengan penggunaan lahan secara umum tanaman pangan semusim dengan pola tumpang gilir: padi gogo + ketela pohon + jagung + kacang tanah dan monokultur ketela pohon. 3. Tingkat bahaya erosi sedang dijumpai di daerah berkemiringan lereng < 25%, tetapi sebagian besar di lereng 8-15% dengan penggunaan lahan tanaman pangan/semusim dengan pola tumpang gilir, tanaman tahunan campuran, monokultur, kelapa dan ketela pohon. 4. Tingkat bahaya erosi berat dan sangat berat sebagian besar dijumpai di lahan yang mempunyai kemiringan lereng 25%-40% dengan penggunaan lahan untuk tanaman pangan semusim dengan pola tanam tumpang gilir, monokultur kelapa dan ketela pohon. 5. Lahan dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan, produktivitas tanah dapat menurun karena hilangnya unsur hara pada saat melakukan panen. Usaha konservasi tanah dapat dilakukan dengan pemupukan organik dan anorganik, pengolahan tanah yang baik dan pengembalian sisa padi sebagai mulsa. Untuk menanggulangi kemungkinan tersebut, dilakukan pembuatan teras gulud atau strip rumput dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang konservasif serta pengembalian sisa tanaman sebagai mulsa. 6. Di daerah dengan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat, produktivitas lahan akan cepat menur un bila tidak dilakukan usaha pencegahan erosi, tindakan pencegahan erosi yang dilakukan sebagai

29

prioritas utama adalah tanaman tahunan atau pohon-pohonan dan tanaman penghijauan. Pada saat awal penanaman agar dikombinasikan dengan tanaman pangan, dengan prinsip penutupan tanah semaksimal mungkin. 7. Di Sub DAS Ciseel terdapat tanaman tahunan, kebun campur seluas 18,6 ha dengan potensi erosi sangat ringan sampai berat. Produktivitas lahan tersebut akan cepat menurun apabila penebangan pohon-pohon tetap berlangsung dan tidak dilakukan penanaman kembali.

Penelitian Kurnia, dkk (1989) pada tanah mergel di Sub DAS Ciseel, Jawa Barat meneliti pengaruh berbagai tingkat bahaya erosi pada kemiringan lereng berbeda pada daerah sub DAS, sedangkan penelitian yang akan dilakukan adalah mengukur tingkat erosi pada berbagai kemiringan lereng di tiap satuan lahan. Kurnia mengkaji tingkat bahaya erosi terhadap kemiringan lereng dan pengaruhnya terhadap produktivitas, sedangkan peneliti akan mengukur

produktivitas lahan relatif, sebagai salah satu variabel untuk menentukan usahatani berlanjut. Kurnia mengkaji bagaimana konservasi tanah telah dilakukan untuk

mengurangi laju erosi, peneliti mengkaji sejauhmana teknologi yang dilakukan petani, telah dapat mengurangi laju erosi. Hasil rekomendasi Kurnia bagaimana upaya konservasi tanah, dapat mendukung rekomendasi penelitian yang akan dilakukan. Adiningsih, dkk. (1992) dalam penelitiannya yang berjudul Sistem Usahatani pada Lahan Elevasi Tinggi untuk Indonesia (Jawa Barat dan Sumatra Barat), menjelaskan pengelolaan lahan elevasi tinggi (>100 m, tidak terjangkau air

30

irigasi) merupakan kunci utama di dalam suksesnya kemampuan sumberdaya lahan di Indonesia. Masalah yang menyertai usahatani lahan elevasi tinggi (>100 m) adalah erosi dan cadangan air, rendahnya kesuburan tanah, rendahnya produktivitas dan rendahnya faktor produksi sama seperti kebutuhan akan bibit dan kredit. Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan teknologi yang terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu konservasi serta pengelolaan air dan tanah; sistem tanam; ternak; jenis tanaman; dan evaluasi ekonomi. Hasil yang ditemukan adalah sebagai berikut. 1. Problem utama mengenai unsur hara pada usahatani di lahan elevasi tinggi (>100 m) adalah kekurangan unsur hara makro, yaitu phospor, kemudian diikuti dengan kekurangan potasium. Keasaman tanah merupakan pembatas pada tanah di lahan elevasi tinggi (>100 m), karena peristiwa aluminium toxic (kandungan aluminium tinggi, sehingga meracuni tanaman). 2. Penurunan produktivitas merupakan akibat dari penurunan kandungan bahan organik tanah. 3. Sistem tanam harus berdasar pada konservasi tanah, yaitu tajuk tanaman dapat menutupi permukaan tanah, sehingga dapat mengurangi kekuatan air hujan, limpasan air dan kehilangan lapisan tanah atas. 4. Praktek konservasi tanah dengan cara: pemberian mulsa + tanaman kacangkacangan, terasering + tepinya ditanami rumput, dan tanaman tumpang sari + tanaman kacang-kacangan, merupakan prioritas utama penanaman sistem usahatani di upland.

31

5. Kredit dan subsidi sangat diperlukan dalam usahatani, terutama untuk mengubah dari teknologi teras tradisional menjadi teknologi yang konservasif, sesuai dengan ukuran kemiringan lereng. 6. Erosi yang diakibatkan oleh pengelolaan tanah yang buruk menurunkan produktivitas pada lahan elevasi tinggi (>100 m). Usahatani pada lahan elevasi tinggi (>100 m) akan stabil dengan teknologi terasering dan sistem tanam alley crooping + tanaman kacang-kacangan + penguat teras ditanam dengan rumput. Sementara menunggu tanaman utama panen, rumput dapat dipanen, digunakan untuk makanan ternak. Tanaman kacang-kacangan dapat digunakan untuk sumber unsur hara, sekaligus dapat dijadikan mulsa yang dapat mengurangi erosi. Peran pemerintah sangat diperlukan pada 1-2 tahun pertama, sampai usahatani dapat menghasilkan keuntungan. 7. Keuntungan penggunaan teras yang konservasif 5 kali lebih besar dibanding dengan teras tradisional, karena dapat mengurangi laju erosi. Adiningsih, dkk (1992), di Jawa Barat dan Sumatra Barat, meneliti tentang pengaruh erosi terhadap keberadaan unsur hara tanah; pengaruh erosi pada berbagai sistem tanam; pengaruh erosi terhadap produktivitas lahan; menghitung keuntungan usahatani pada berbagai macam teknologi mekanik yang dilakukan petani. Penelitian Adiningsih berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Peneliti akan mengukur berbagai tingkat erosi dan kesuburan tanah, namun kedua variabel hasil pengukuran tersebut tidak dikaitkan untuk mengetahui pengaruh variabel satu dengan yang lain, namun secara bersama dilakukan untuk mengetahui potensi keberlanjutan usahatani.

32

Penelitian yang akan dilakukan mengukur juga produktivitas lahan yang merupakan salah satu variabel abiotik (fisik lahan) sebagai penentu keberla njutan usahatani, sehingga berbeda dengan penelitian Adiningsih. Penelitian ini akan menghitung pendapatan usahatani, namun tidak terkait dengan teknologi yang dilakukan. Pendapatan merupakan satu variabel pada faktor kultural yang mendukung keberlanjutan usahatani. Proyek Kerjasama tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing antara Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Daerah Tingkat I - Jawa Tengah dengan Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada (1999), mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Sistem usahatani di kedua wilayah tersebut, belum mendukung

pencegahan erosi dan sedimentasi, akibat cara pengelolaan tanah dalam pembuatan teras dan penanaman yang tidak/belum mengikuti konservasi tanah dan air. 2. Keterbatasan teknologi dalam sistem usahatani di daerah konservasi belum dipahami secara utuh, maka upaya pengelolaan kawasan masih mengandalkan upaya teknis, sedangkan upaya vegetatif sangat tergantung pada pengembangan peternakan. Pengembangan peternakan berwawasan usahatani konservasi akan dapat lebih menjamin kelestarian alam di kawasan Sundoro-Sumbing. 3. Pengelolaan kawasan konservasi Sundoro-Sumbing tidak mungkin hanya mengandalkan kegiatan usahatani, namun juga dikembangkan sektor lain

33

Kegiatan

pariwisata

merupakan

peluang

diversifikasi

pendapatan

masyarakat setempat. Kegiatan pariwisata dapat menyerap tenaga kerja sehingga dapat mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan (sektor pertanian).

Penelitian tersebut mengkaji pengaruh sistem usahatani (pengelolaan tanah dan teras) yang dilakukan terhadap erosi dan sedimentasi; mengukur diversifikasi pada kawasan wisata dan pengaruhnya terhadap tekanan penduduk; sejauhmana sistem usahatani berpengaruh terhadap pengelolaan kawasan konservasi SundoroSumbing. Penelitian ini di berbeda dengan yang akan dilakukan peneliti, yaitu mengukur erosi, kesuburan tanah dan produktivitas untuk menentukan

keberlanjutan usahatani. Peneliti juga mengkaji teknologi serta sistem usahatani yang dilakukan oleh petani pada berbagai fungsi kawasan dengan membagi daerah administrasi menjadi satuan lahan. Kurnia (2001) dalam penelitiannya tentang Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng dan Terdegradasi untuk Peningkatan Produktivitas Tanah di Bogor (Darmaya, Citayam, Jasinga), Cianjur (Pacet, Sukaresni), Bandung (Pangalengan), mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Upaya rehabilitasi lahan atau pemulihan kualitas tanah dengan cara penggunaan pupuk kandang, mulsa jerami, sisa-sisa tanaman/panen, bahan hijauan Flemingia congesta dan Mucuna sp, dapat memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Penggunaan bahan-bahan tersebut dapat berfungsi juga mengendalikan jumlah hara yang hilang terangkut oleh aliran permukaan.

34

2. Pengaruh rehabilitasi lahan, yakni: a). Menggunakan mulsa sisa tanaman ( padi) dapat menambah pori aerasi sebesar 7% volume, menaikkan sebesar 9% stabilitas agregat, menaikkan sebesar 0,4% C-organik; 0,03 N-total; 14 mg/100g kandungan P dan 7 mg/100g kandungan K; b). Penggunaan pupuk kandang dapat menaikkan pori aerasi sebesar 6% volume; 0,3 % C-organik; 0,03% N-total; 13 mg/100g kandungan P dan 10 mg/100g kandungan K dalam tanah; c). Teknik konservasi tanah secara mekanis yang dilakukan berpengaruh terhadap turunnya erosi dan kehilangan C-organik dan beberapa unsur hara makro di lahan pertanian tanaman pangan dan sayuran; d). Penggunaan mulsa jerami padi dapat menurunkan erosi sebesar 1.960 kg/ha; kehilangan C-organik sebesar 158 kg/ha; N sebesar 38,4 kg/ha; P2O5 sebesar 5,5 kg/ha; K2O sebesar 8,9 kg/ha dibandingkan tanah tanpa tindakan konservasi; e). Mulsa Mucuna sp. dapat menurunkan erosi sebesar 14.190 kg/ha; kehilangan C-organik sebesar 1.105 kg/ha; N sebesar 196,5 kg/ha; P2O5 sebesar 29,1 kg/ha; K2O sebesar 45,2 kg/ha dibandingkan tanah tanpa tindakan konservasi; f). Bedengan searah lereng, setiap 4,5 m dipotong guludan dapat menurunkan erosi sebesar 40.200 kg/ha; menurunkan kehilangan N sebesar 145 kg/ha; P2O5 sebesar 56 kg/ha; K2O sebesar 11 kg/ha dibandingkan tanah tanpa tindakan konservasi. Bedengan searah kontur

35

dapat menurunkan erosi sebesar 4.500 kg/ha; menurunkan kehilangan N sebesar 146 kg/ha; P2O5 sebesar 58 kg/ha; K2O sebesar 13 kg/ha; g). Tanah tanpa tindakan konservasi mengalami kehilangan tanah yang diakibatkan erosi sebesar 91.480 kg/ha; kehilangan C-organik sebesar 5.974 kg/ha; kehilangan N sebesar 1.065,8 kg/ha; kehilangan P2O5 sebesar 108,5 kg/ha; K2O sebesar 197,8 kg/ha. Penelitian Kurnia (2001) meneliti tentang upaya rehabilitasi lahan di Darmaya, Citayam, Jasinga, Pacet, Sukaresni, dan Pangalengan, terkait dengan pemulihan tanah yang diakibatkan oleh erosi dengan berbagai perlakuan. Sifat fisik dan kimia tanah, diukur sebelum dan sesudah perlakuan rehabilitasi lahan, untuk mengetahui apakah dapat memperbaiki tanah yang rusak. Penelitian y ang akan dilakukan berbeda dengan penelitian Kurnia, karena mengukur sifat fisik tanah dan kimia tanah yang diakibatkan oleh erosi, untuk mengetahui potensi keberlanjutan usahatani.

2.1.2. Usahatani, konservasi, erosi tanah, dan pengelolaan erosi Hasil penelitian Sajogyo (1978) di Jawa Barat menjelaskan bahwa semakin sempit lahan yang dikuasai, persentase pendapatan yang diterima dari kegiatan usahatani semakin kecil, tetapi sebaliknya untuk buruh tani semakin luas lahan digarap pendapatan semakin besar. Variabel luas garapan, jumlah tenaga kerja dan besarnya modal berpengaruh nyata secara positif terhadap produksi usahatani, sedangkan pendidikan berpengaruh negatif.

36

Menurut penelitian Sadikin dkk. (1997) tentang Analisis Ekonomi Pengembangan Usahatani Tanaman Pangan di Lahan Kering Marginal yang Berwawasan Konservasi di Desa Sekarwangi Kabupaten Garut mendapatkan hasil analisis data finansial yang menunjukkan bahwa: 1. Pola tumpangsarijagung, padi gogo (varietas sentani) dan ubikayu dipandang paling menguntungkan dikelola petani kooperator, yaitu masingmasing mencapai Rp. 614.130 /ha/tahun dan Rp. 2.640.130/ha/tahun. 2. Analisis B/C ratio menunjukkan kisaran 1,46 dan 1,24. Penelitian Sadikin dkk. (1997), B/C ratio dan analisis ekonomi dengan menghitung

pendapatan per-tahun dari masing- masing sistem usahatani.

Sayogyo (1978), meneliti luas petani penggarap dan buruh tani berpengaruh terhadap persentase pendapatan dari usahatani serta meneliti variabel luas garapan, jumlah tenaga kerja dan besarnya modal, dan pendidikan yang berpengaruh terhadap produksi usahatani. Kedua penelitian tersebut berbeda dengan analisis lingkungan kultural yang akan dilakukan oleh peneliti dalam kaitannya dengan kajian faktor sosial, ekonomi, dan budaya sebagai faktor pembeda pada usahatani berlanjut dengan usahatani yang tidak berlanjut. Penelitian yang dilakukan Sinukaban (2002) tentang Kredit untuk Usahatani Konservasi Strategi Baru dalam Program Konservasi Tanah dan Air di Indonesia, mendapatkan hasil bahwa pemberian kredit kepada petani untuk melakukan konservasi (rotasi tanam dan terasering dengan penutup rumput) dalam sistem usahatani dengan upaya menaikkan pendapatan di lahan kritis pertanian

37

upland (dataran tinggi) dengan masalah utama terjadinya degradasi lahan, telah berhasil menaikkan pendapatan petani antara 29,36 % hingga 104,78 %. Maglinao (2002) dalam penelitiannya tentang Pendekatan Tangkapan Air untuk Pengelolaan Erosi Tanah di Semarang, Jawa Tengah mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Erosi mencapai 54 ton/ha/tahun, sedangkan erosi yang dapat ditoleransi adalah sebesar 2 ton/ha/tahun. Untuk menggantikan unsur hara yang terbuang diakibatkan oleh erosi diperlukan pemupukan seharga

US$ 68 per-ha/tahun (kurang lebih Rp 600.000,-/ha/tahun) dengan pendapatan petani yang rendah US$ 296 per- ha/tahun (kurang lebih Rp 2.664.000,-/ha/tahun); 2. Pengelolaan praktis lahan sangat dipengaruhi perilaku hidrologi dan erosi tanah, dengan proporsi area yang ditanami untuk tanaman tahunan menghasilkan prakiraan yang baik terhadap sedimen. Kehilangan tanah akan berkurang dengan kenaikan luas daerah tangkapan area; 3. Membangun Model untuk simulasi dan memprediksi erosi tanah

memperlihatkan empat kali kenaikan dalam erosi tanah dengan kenaikan proporsi tanaman dari 9% menjadi 60%. Sutono dkk. (2003) dengan penelitiannya tentang Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Citarum, Jawa Barat mendapatkan hasil sebagai berikut. 1. Lahan sawah sebagai lahan pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibanding dengan lereng lahan kering. Berdasarkan

38

pendugaan

erosi,

potensi

erosi

lahan

sawah

lebih

rendah

(0,31,5 ton/ha/tahun). 2. Erosi terjadi di setiap penggunaan lahan terendah adalah di lahan hutan, diikuti sawah, semak belukar, kebun karet, kebun teh, kebun campuran dan tegalan. 3. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan tingkat erosi. Peningkatan erosi diduga terjadi di lahan kebun campuran yang semula berupa lahan sawah serta lahan hutan. Sebaliknya terjadinya penurunan jumlah erosi apabila kebun campuran dan karet dijadikan lahan sawah.

Riyadi (2000) dalam kegiatan Pendidikan dan Pengajaran Konservasi Lahan Kritis di Kecamatan Tawangmangu - Jawa Tengah, mempunyai tujuan untuk memberikan pengertian kepada para petani terutama petani penggarap lahan, akan arti pentingnya konservasi lahan pertaniannya serta memberikan pengertian arti pentingnya pemeliharaan lahan yang telah dikonservasi. Pendidikan dan pengajaran ini juga memberikan beberapa contoh alternatif konservasi diantaranya adalah pembuatan teras serta menunjukkan kepada para petani beberapa contoh kerusakan lahan yang menjurus ke arah lahan kritis. Kegiatan pengajaran tersebut menunjukkan hasil meningkatnya kesadaran dalam pengelolaan lingkungan, sehingga perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai basis dalam menangani masalah- masalah yang dihadapi bersama, mengaktifkan kelembagaan yang ada di masyarakat serta menyediakan fasilitas untuk transfer teknologi kepada masyarakat. Dari hasil penelitian tersebut yang dapat diacu untuk mendukung penelitian adalah perlunya memberikan pendidikan

39

dan pengajaran kepada petani tentang arti pentingnya konservasi agar dapat menghindari terjadinya lahan kritis. Penelitian Sinukaban (2002), meneliti perlunya kredit (bantuan) bagi

petani untuk biaya konservasi melakukan konservasi (rotasi tanam dan terasering dengan penutup rumput) untuk menaikkan pendapatan petani. Maglinao (2002), meneliti besarnya biaya pemupukan dibandingkan dengan besarnya biaya dalam kegiatan usahatani yang diakibatkan oleh erosi. Sutono dkk. (2003) di Citarum, melakukan penelitian tentang berbagai land used yang berpengaruh terhadap

tingkat erosi. Ketiga penelitian tersebut memberi rekomendasi terhadap sistem usahatani dan teknologi usahatani untuk mencapai keberkelanjutan yang akan dilakukan oleh peneliti.

2.2.

Landasan Teori

2.2.1. Pengelolaan lahan Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang dilaksanakan hakekatnya merupakan suatu usaha pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses memanfaatkan sumber alam yang ada untuk menjadi barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Pengelolaan merupakan usaha sadar dan terencana (Fandeli, 1988:1). Konsep tersebut sesuai dengan UU RI No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya

40

sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Menurut FAO dalam Chudhury dan Jansen (1998:31) lahan ialah suatu wilayah permukaan bumi daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal ( ttribute) biosfer, atmosfer, di dalam dan di atas permukaan bumi, a termasuk iklim, tanah dan bentuk permukaan lahan, hidrologi termasuk sungai, danau, rawa, tanah rawa, populasi tumbuhan dan hewan, pola permukiman manusia serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini (teras, waduk, drainase, jalan, bangunan). Pengelolaan lahan berkelanjutan (Sustainable land management = SLM) didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya lahan yaitu tanah, air, hewan dan tanaman untuk memproduksi barang, dalam memenuhi kebutuhan manusia, dengan menjamin potensi produksi jangka panjang dari sumberdaya, dan memelihara fungsi lingkungan (FAO, 1993:27). Dalam konteks lokal,

Sustainable Land Management mengkombinasikan kebijakan (policy), teknologi (technology) dan aktivitas (activity) yang ditujukan untuk menggabungkan prinsip sosial dan ekonomi dengan memperhatikan lingkungan (environment ) agar dapat berlanjut. Dari dokumen FAO (1993: 29), berlanjut dalam konteks pengelolaan lahan berlanjut, adalah memelihara atau menambah produksi (produktivity);

mengurangi tingkat risiko produksi ( security); melindungi sumberdaya alam dan

41

mencegah degradasi (protection); secara ekonomi mampu, dan secara sosial dapat diterima.

2.2.2. Lereng gunungapi Vulkanisme diartikan juga sebagai proses keluarnya magma ke permukaan bumi (Alzwar, 1988:211). Hasil proses vulkanisme membentuk vulkan (gunungapi). Aktivitas vulkanisme meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, terbukti dengan adanya deretan gunungapi di jalur tengah Pulau Jawa yang membentang dari barat ke timur (Bammelen, 1949:546). Gunungapi mempunyai pengertian yang cukup kompleks, yaitu; 1) merupakan bentuk timbulan di permukaan bumi yang dibangun oleh timbulan rempah gunungapi, 2) dapat diartikan sebagai jenis atau kegiatan magma yang sedang berlangsung, atau 3) merupakan tempat munculnya batuan leleran dan rempah lepas ya ng berasal dari dalam bumi (Alzwar, 1988:1). Daerah penelitian terbentuk oleh aktivitas gunungapi dengan berbagai bentuk lahannya. Bentuk lahan merupakan bagian permukaan bumi yang dicirikan oleh konfigurasi permukaan (topografi), proses geomorfologi dan material penyusunnya dalam suatu susunan keruangan tertentu. Bentuk lahan pada gunungapi di daerah penelitian terdiri dari kerucut gunungapi, lereng atas

gunungapi, lereng tengah gunungapi dan lereng bawah gunungapi. Kerucut gunungapi, merupakan bagian teratas dari gunungapi. Kerucut Gunungapi Lawu berada di ketinggian > 3.000 m dengan kemiringan lereng > 45%. Bentuklahan ini tersusun atas selang-seling endapan lava dan material piroklastik hasil letusan gunungapi. Proses pelapukan menghasilkan material

42

endapan bersifat lepas. Tanah yang berkembang di bentuklahan ini adalah litosol dan regosol, tanah bersifat sarang dengan infiltrasi tinggi. Lereng atas gunungapi, merupakan daerah yang berada di bawah bentuklahan kerucut gunungapi, mempunyai topografi bergunung dengan kemiringan lereng berkisar antara 25%-55%. Proses degradasi berjalan intensif sehingga terbentuk lembah V yang dalam dan berdinding terjal. Material penyusun bentuklahan ini adalah endapan piroklastis dengan berbagai ukuran. Tanah y ang berkembang di daerah ini adalah litosol dan regosol, dan di daerah-daerah tertentu terbentuk tanah andosol. Sifat tanah tersebut peka terhadap erosi dengan kemiringan lereng yang besar. Lereng tengah gunungapi, bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng antara 15%-25%, topografi bergunung hingga berbukit. Material merupakan hasil endapan lahar dengan ukuran lebih halus dibandingkan dengan lereng di atasnya. Tanah lebih tebal karena proses pelapukan lebih intensif, di daerah-daerah tertentu dengan tutupan vegetasi yang baik, terbentuk tanah andosol. Pada bentuklahan ini ditemukan lahan yang digunakan oleh masyarakat untuk usahatani lahan kering/tegalan. Lereng bawah gunungapi, bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 8-15%. Bentuklahan ini tersusun oleh endapan piroklastis laharik dengan ukuran material endapan halus. Tingkat pelapukan lebih lanjut, hingga tanah lebih tebal, mulai terbentuk tanah latosol. Pada bentuklahan ini ditemukan pemukiman dan lahan sawah. 2.2.3. Pertanian dan Usahatani Berkelanjutan

43

Pertanian

adalah

mencakup

semua

kegiatan

manusia

di

dalam

menghasilkan komoditas bahan pangan dan

usahatani merupakan inti dari

pertanian. Usahatani adalah hal- hal yang berkaitan dengan pilihan terhadap penggunaan sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan tanaman dan ternak untuk pangan. Petani adalah seseorang yang mengelola ekosistem usahatani dan proses biologi yang dibutuhkan untuk produksi tanaman dan ternak (Prabowo, 1991:3). Berdasarkan Center Germany International Agriculture Research (1978) dalam Reijntjes dkk (1999:26), usahatani adalah suatu jalinan yang kompleks terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seseorang yang disebut petani. Petani dalam mengelola sumberdaya sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Usahatani yang dilakukan oleh suatu masyarakat tidak terlepas dari budaya dan sejarah. Peluang dan hambatan ekologis dan geografis (lokasi, iklim, tanah, tumbuhan dan hewan setempat) dicerminkan dalam budaya setempat. Pertanian di suatu tempat merupakan hasil dari suatu proses interaksi antara manusia dan sumberdaya setempat. Nilai- nilai sosial yang ada di masyarakat pedesaan, juga pengetahuan, keterampilan, teknologi dan institusi sangat mempengaruhi jenis budaya pertanian yang telah, sedang dan terus berkembang. Sejalan dengan hal tersebut, Whynne dan Hammond (1979:63-64) menyatakan bahwa karakter pertanian merupakan hasil interaksi yang kompleks dari unsur fisik dan unsur manusia. Kombinasi kedua unsur tersebut menghasilkan pembelajaran untuk bereaksi, diantaranya berupa tindakan petani dalam membuat keputusan yang dipengaruhi oleh unsur perilaku dan unsur kesempatan. Unsur fisik yang berpengaruh terhadap penggunaan lahan yaitu hujan, temperatur,

44

batuan, sungai, mataair dan unsur hara, sedangkan unsur manusia yang berpengaruh terhadap penggunaan lahan adalah budaya dan sejarah, serta kondisi ekonomi dan situasi politik, yang digambarkan dalam Gambar 2.1.

Unsur Fisik Iklim hujan temperatur Relief batuan sungai mata air Tanah Air unsur hara Unsur Kebiasaan Inovasi

Arus Balik Positif

Kekayaan

POLA PERTANIAN Kemungkinan penggunaan lahan hasil panen, ternak persediaan Pengambilan Keputusan makanan bibit pupuk Unsur Manusia Budaya & Sejarah t enaga kerja teknologi transportasi tradisi pendidikan persepsi Ekonomi modal penawaran permintaan harga Politik pemerintah kebijakan blok perdagangan pembatasan strategi pertimbangan unsur Kesempatan Stagnasi
Arus Balik Negatif

organisasi tenaga kerja mesin bangunan Pendapatan yang Memuaskan

Kemiskinan

Gambar 2.1.

Analisis Sistem Aplikasi Pertanian (Whynne dan Hammond, 1979:7.5)

Pertanian berkelanjutan mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, yang dicetuskan pada tahun 1987 oleh World Comission on Environment and Development (WCED) atau komisi dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, dalam dokumen berjudul Our Common Future, diketuai oleh Gro Brundtland. Pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan

45

generasi saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pertanian berkelanjutan dan pembangunan perdesaan yaitu pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam berdasarkan orientasi terhadap perubahan teknologi dan perubahan institusi, untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Pertanian berkelanjutan meliputi sektor pertanian, sektor kehutanan dan sektor perikanan harus memperhatikan konservasi tanah, air, sumber genetik tanaman dan hewan, lingkungan tidak terdegradasi, teknologi dapat diterima, mampu secara ekonomi dan secara sosial dapat diterima (F.A.O, 1998 dalam Chudhury dan Jansen, 1998: 53; FAO, 1995:9). Kata sustainable dari sustainable agriculture mengandung dua makna, yaitu maintenance dan prolong. Artinya, pertanian berkelanjutan harus mamp u merawat atau menjaga (maintenance) untuk jangka waktu yang panjang (prolong). Dalam bahasa Indonesia, sustainable diterjemahkan dengan kata berkelanjutan. Otto Soemarwoto menggunakan istilah yang lebih tepat, yaitu pertanian lumintu (terusmenerus), sempulur (lestari, langgeng), atau milimintir. Delapan ciri spesifik agar suatu pertanian dikatakan berkelanjutan, meliputi : bernuansa ekologi ( cologically sound), berjiwa sosial ( ocially just ), bernilai e s ekonomis (economically viable), berbasis ilmu holistik (based on holistic), berketepatan teknik (echnically appropriate); berketepatan budaya ( ulturally t c appropriate), dinamis (dynamic), dan peduli keseimbangan gender (committed to gender balance) (Zamora, 1995:2). Indikator pertanian berkelanj utan di ekosistem upland dalam skala rumahtangga tani digambarkan pada Tabel 2.4.

46

Tabel 2.4. Indikator Pertanian Berkelanjutan pada Ekosistem Upland di Tingkat Rumahtangga Tani

Indikator biofisik 1. Kesuburan tanah : - bahan organik - pH tanah - mudahnya dicangkul 2. Kehilangan tanah : - ketebalan solum - kenampakan batuan permukaan - run off water 3. Penggarapan tanah yang konservasif

Ukuran warna tanah (gelap banyak bahan organik) basa - asam sangat mudah sangat berat

cm tidak ada banyak batuan warna tanah (coklat makin erosi) penggunaan kontur penggunaan mulsa pengolahan tanah minimun tanpa pengolahan terasering Ukuran

Indikator Sosial, Ekonomi dan Budaya 1. Pendapatan 2. Adapsi terhadap teknologi 3. Kepemilikan lahan : status lahan 4. Pendidikan 5. Kesehatan

besarnya pendapatan persen jumlah petani jumlah petani memiliki lahan sendiri jumlah proporsi petani dengan pendidikannya kondisi kesehatan rumahtangga tani

tingkat

Sumber: Searca (Zamora,1995:2)

Menurut Salikin, terdapat lima definisi tentang pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut. 1. Management and conservation of the natural resource base, and the orientation of technological and institusional change in such a manner to ensure the attainment of and continued satisfication of human needs for present and future generation. (FAO, 1989).

47

2. Any agricultural principle, method, practice, and philosophy that aims to make agriculture economically viable, ecologically sound, socially just, and culturally appropriate and ground ontic approach (Fortes, 1993). 3. Containing productivity of agriculture while maintaining the resource base and minimizing adverse impact on the resource base (Hamlin, 1994). 4. Pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Reintjes, C. et al, 1999). 5. Kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial dari pengelolaan sumberdaya biologis dengan syarat memelihara

produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara kualitas lingkungan hidup, dan produktivitas sumberdaya sepanjang masa (Nasution, 1995).

Usahatani berkelanjutan dalam penelitian ini mengacu pada indikator keberlanjutan biofisik dan ekonomi, sosial dan budaya, yang dilakukan dalam skala rumahtangga petani dari SEARCA. Ukuran tingkat kesuburan tanah, tingkat erosi serta cara pengolahan tanah yang konservasif, merupakan indikator biofisik untuk usahatani berkelanjutan. Keadaan biofisik untuk mencapai usahatani berlanjut, didukung oleh pendapatan, adapsi terhadap teknologi, kepemilikan

lahan: status lahan dan pendidikan, sebagai indikator ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai dengan ciri spesifik usahatani berkelanjutan dari Zamora, yaitu usahatani bernuansa ekologi atau memperhatikan konservasi sumberdaya alam. Usahatani yang berjiwa sosial yaitu dapat diterima oleh masyarakat dan bernilai ekonomis yang berarti menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan petani dan

48

rumahtangganya. Usahatani berbasis pada berbagai ilmu yang terkait dengan teknologi yang tepatguna dan secara budaya tepat dan bersifat dinamis, mengikuti perkembangan keilmuan. Usahatani berkelanjutan dalam aplikasi pelaksanaan oleh petani dapat di gambarkan dalam Gambar 2.2.

Keterangan: RTRW: Rencana Tata Ruang Wilayah

Gambar 2.2. Usahatani Berkelanjutan

2.2.4. Degradasi tanah dan lahan pertanian Problem degradasi lahan di steep land, yaitu adanya: 1) erosi tanah oleh air, 2) penurunan tebalnya lapisan tanah, 3) penyusutan unsur hara/kehilangan bahan organik dan pengasaman (FAO, 1993: 30). Tanah subur atau produktivitas tinggi yaitu tanah yang dapat menyediakan unsur hara sesuai dengan tuntutan tanaman, sehingga produksinya optimum. Unsur hara tanaman di dalam tanah paling banyak terdapat di lapisan atas atau lapisan olah tanah yang diserap oleh partikel-partikel liat dan humus. Degradasi tanah adalah berkurangnya kualitas dan kuantitas tanah, meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah.

49

Tanah yang tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman dengan normal, akan mengakibatkan produktivitasnya menjadi sangat rendah. Kerusakan tanah bentuk ini terjadi sebagai akibat perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian unsur hara yang berlangsung dengan cepat di bawah iklim tropika yang diakibatkan erosi (Arsyad, 1989:2). Pieri dan Steiner (1997:22) menggambarkan penyusutan unsur hara dalam tanah akan mengakibatkan penurunan produksi, selanjutnya mengakibatkan penurunan pendapatan petani, diikuti dengan terjadinya degradasi lahan. Pendapatan petani yang turun, mengakibatkan kemampuan untuk mendapatkan input untuk produksi akan menurun juga. Menurut Barrow (1991:21) penyebab terjadinya degradasi lahan yaitu: a) adanya kemiskinan, b) kepemilikan lahan yang sempit, c) politik yang tidak stabil, d) perubahan populasi atau pertambahan penduduk, e) penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dalam pertanian, f) masalah kesehatan, dan g) kondisi ekonomi dan sosial. Degradasi lahan yang digunakan untuk operasionalisasi penelitian ini adalah dari FAO (1993), degradasi lahan yang diakibatkan oleh erosi tanah oleh air, sehingga terjadi penurunan tebalnya lapisan tanah, penyusutan unsur

hara/kehilangan bahan organik, dan terjadinya pengasaman. Curah hujan tinggi yang intensif terjadi di daerah penelitian mengakibatkan erosi. Erosi membawa lapisan tana h atas serta mengakibatkan kehilangan bahan organik. Curah hujan tinggi mengakibatkan terjadinya proses pengasaman atau penurunan pH tanah.

50

Arsyad menyatakan proses degradasi lahan dimulai dari peristiwa hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran, sehingga menyebabkan turunnya kesuburan tanah. Tanah berkurang kualitas dan

kuantitasnya, yaitu meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Menurut Pieri dan Steiner, berkurangnya kualitas dan kuantitas tanah berarti telah terjadi penyusutan unsur hara dan berakibat terjadinya penurunan produksi. Penurunan produksi akan menurunkan penjualan hasil usahatani, sehingga pendapatan petani akan turun. Pendapatan rendah dari petani berakibat daya beli terhadap input untuk usahatani terbatas. Kondisi tersebut, bila terjadi secara terus menerus, akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Sejalan dengan pernyataan Barrow bahwa degradasi lahan diakibatkan oleh adanya kemiskinan, kepemilikan lahan yang sempit, perubahan populasi atau pertambahan penduduk serta kondisi ekonomi dan sosial petani merupakan indikasi keadaan kultural yang terjadi di daerah penelitian. Kondisi politik yang tidak stabil, dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung upaya konservasi telah mendorong terjadinya degradasi lahan di daerah penelitian.

2.2.5. Konservasi dan Preservasi Konservasi berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu pemeliharaan dan perlindungan sesuatu yang teratur untuk mencegah kerusakan dan pemusnahan dengan cara mengawetkan. Upaya konservasi dalam usahatani berarti mencegah kerusakan dari dalam, antara lain dengan perlakuan pemupukan,

51

pemberian mulsa. Presevasi yaitu pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan (Departemen Pendidikan Nasional, 2002:589). Preservasi dalam usahatani yaitu pemeliharaan, perlindungan dari pengaruh luar agar tidak terjadi kerusakan. Contoh preservasi yaitu mencegah terjadinya erosi oleh hujan, dengan penggunaan teknologi terasering dan kontur. Konservasi dan preservasi dalam konteks operasionalisasi sudah tidak lagi dipisahkan. Konservasi (conservation) sumberdaya alam yaitu tindakan

perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumberdaya alam berdasarkan prinsip keyakinan ekonomi yang lebih baik atau keuntungan sosial manusia dan lingkungannya sekarang dan akan datang (Sosial Conservation Society of

America, 1982 dalam Chudhury dan Jansen, 1998:15). Pengertian yang lebih operasional tentang konservasi telah didefinisikan oleh IUCN (International

Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 1980:1) yaitu pengelolaan penggunaan oleh manusia terhadap biosphere untuk menghasilkan keuntungan besar yang berlanjut untuk generasi saat ini dengan memelihara potensi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan generasi mendatang. Fandeli (2004:141) menyatakan bahwa definisi tersebut mengandung beberapa hal penting yang perlu ditekankan yaitu sebagai berikut. 1) Konservasi berarti menjamin kelestarian pemanfaatan untuk generasi kini maupun generasi mendatang. Peluang pemanfaatan oleh generasi anak cucu, tidak dieksploitasi dipergunakan saat ini saja. 2) Konservasi berarti memelihara potensi sumberdaya agar kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang dapat tercukupi.

52

Arsyad (1989:29) membuat definisi konservasi lahan adalah penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan lahan dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Konservasi dan preservasi ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan lahan yang diakibatkan oleh erosi, (2) memperbaiki lahan yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas agar dapat dipergunakan secara lestari. Konservasi tidak hanya mencegah kerusakan lahan akibat erosi, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan lahan dalam jangka waktu yang tidak terbatas (Suripin, 2002:27). Konservasi dan preservasi lahan dalam operasionalisasi penelitian ini adalah: penempatan lahan dalam cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan lahan; memperlakukan lahan sesuai denga n syarat-syarat yang diperlukan; tindakan perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumberdaya alam (lahan); memelihara potensi lahan; mencegah kerusakan lahan akibat erosi dan mengoptimalkan penggunaan lahan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Menurut Arsyad (1989:115) metode vegetatif untuk konservasi tanah dilakukan dengan cara: (1) penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terusmenerus, (2) penanaman dalam strip (strip cropping), (3) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation), (4) sistem pertanian hutan (agroforestry), (5) pemanfaatan sisa tananam atau tumbuhan (residue management), (6) penanaman saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways) serta (7) penanaman tanaman penguat teras. Metode mekanik/teknis meliputi usaha-usaha: (1) pembuatan sengkedan atau terasering di lahan- lahan miring, (2) pembuatan jalur-jalur air, (3) pembuatan

53

selokan dan lubang di tempat-tempat tertentu, dan (4) mengadakan pengolahan tanah yang tepat yaitu menuruti arah contoh atau memotong arah kemiringan lereng. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong arah lereng. Tinggi tumpukan tanah 25-30 cm dengan lebar dasarnya 25-30 cm, tanah dengan kepekaan erosi rendah dapat dibuat gulud dengan kemiringan lereng sampai 6% (Gambar 2.3). Guludan bersaluran adalah guludan yang di sertai dengan saluran-saluran yang memanjang di atas gulud. Teras gulud dapat dibuat di lahan dengan kemiringan 10%-30%, kedalaman tanah agak dangkal (>20cm) dan permeabilitas tinggi.

Gambar 2.3. Teras Gulud Sesuai dengan Konservasi Tanah

Teras bangku (Gambar 2.4) dibuat di lahan dengan kemiringan 10%-40%, kedalaman tanah lebih dari 60 cm, stabil dan tidak mudah longsor, tanah tidak mengandung unsur beracun seperti aluminium dan besi dengan konsentrasi tinggi (Agus dan Widianto, 2004:58).

54

Gambar 2.4. Teras Bangku Sesuai dengan Konservasi Tanah

Teras kredit adalah teras yang terbentuk secara bertahap karena tertahannya tanah yang tererosi oleh guludan (Gambar 2.5). Teras ini dapat dib uat di lahan dengan kemiringan 5%-40%, struktur tanah remah dan permeabilitas tinggi, kedalaman tanah agak dangkal kira-kira 40 cm (Agus dan Widianto, 2004:60).

Gambar 2.5. Teras Kredit Sesuai dengan Konservasi Tanah Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dapat dilakukan petani dengan hasil produksi yang maksimal, dan secara ekonomi dapat menguntungkan. 2.2.6. Arahan fungsi pemanfaatan lahan

55

Arahan fungsi pemanfaatan lahan ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980, No.686/Kpts/Um/8/1991, dan No.683/Kpts/Um/8/1993. Kriteria dan tata cara penetapan fungsi kawasan didasarkan dari klas kemiringan lerengnya (Tabel 2.4). Lereng dengan kemiringan besar merupakan daerah yang rawan terhadap adanya kerusakan, sehingga perlu konservasi untuk menjaga kelestariannya. Pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi kawasan terbagi menjadi empat, yaitu: 1. Kawasan Fungsi lindung Kawasan fungsi lindung adalah suatu wilayah yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai fungsi lindung untuk kelestarian sumberdaya alam, air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sumber mataair dan alur sungai, serta kawasan lindung lainnya. Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung apabila mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 40% serta mempunyai ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut atau lebih.

Tabel 2.4. Klas I II III IV V

Klasifikasi dan Klas Kemiringan Lereng Kemiringan (%) 0,00 - 8,00 8,01-15,00 15,01- 25,00 25,01- 40,00 40,01 atau lebih

Klasifikasi Datar Landai Agak Curam Curam Sangat curam

Sumber: Asdak, 1995:512

2. Kawasan Fungsi Penyangga

56

Kawasan fungsi penyangga adalah suatu wilayah yang dapat berfungsi lindung dan berfungsi budidaya, letaknya diantara kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi budidaya seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras), kebun campur dan lain- lainnya yang sejenis. 3. Kawasan Fungsi Budidaya Kawasan f ungsi budidaya tanaman tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan letaknya antara kawasan penyangga dan kawasan budidaya tanaman semusim. 4. Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Semusim dan Pemukiman Kawasan fungsi budidaya tanaman semusim dan pemukiman adalah kawasan yang mempunyai fungsi budidaya dan diusahakan dengan budidaya tanaman semusim dan pemukiman, terutama tanaman pangan. Kawasan pemukiman, disamping memenuhi kriteria tersebut, secara mikro lahannya mempunyai kemiringan tidak lebih dari 8%.

2.2.7. Satuan lahan Satuan lahan merupakan area terkecil yang dapat dibatasi dalam suatu peta, berdasarkan karakteristik kemiripan dan kualitas lahannya (Interdepartmental Working Group on Land Use Planning Subgroup-FAO, 1994 dalam Choudhury dan Jansen, 1998:15). Perencanaan terhadap penggunaan dan pengelolaan

sumberdaya lahan memerlukan keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses pembuat keputusan terhadap masa depan lahan dengan cara identifikasi dan evaluasi seluruh sifat-sifat biofisik serta ekonomi sosial dari satuan lahan (FAO, 1995:1).

57

2.2.8. Kesesuaian lahan Menurut FAO (1976) dalam Puslittanak (1993:32) kesesuaian lahan (land suitability) adalah sistem klasifikasi kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan adalah aplikasi yang diberikan pada tipe lahan untuk jenis penggunaan yang spesifik (Verheye, 1996 dalam Choudhury dan Jansen, 1998:32). Kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi dalam peruntukan lahan bagi suatu keperluan tertentu dengan mengutamakan pertimbangan nilai optimum masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan. Keadaan optimum ini direncanakan menurut konsep ekologi (adaptasi) dan menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik dalam hal konservasi lahan maupun dalam hal peningkatan kapasitas produktif. Kesesuaian lahan menggunakan metode FAO yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993:2), metode ini menekankan pemilihan jenis tanaman semusim, sesuai dengan usahatani yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian. Analisis kesesuaian lahan prinsipnya dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub klas dari klasifikasi kesesuaian mencerminkan faktor

hambatannya. Beberapa jenis faktor penghambat yang dikenal, yaitu erosi (e), drainase (d), tanah (s), keasaman (a), kelerengan (L), kedalaman sulfidik tanah

58

(sd) dan iklim (c). Perubahan klasifikasi setingkat lebih baik apabila seluruh hambatan yang ada dapat diperbaiki, namun terdapat faktor penghambat yang sulit diperbaiki, yaitu iklim (c) dan tanah (s). Klasifikasi kesesuaian lahan didasarkan dari klas yang paling buruk, yaitu dengan memberikan seluruh faktor penghambatnya. Kategori klas kesesuaian lahan diputuskan sesuai dengan klas kesesuaian terendah (Puslittanak, 1983 dalam Puslittanak 1993:8). Kesesuaian lahan yaitu 1) sistem klasifikasi kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, 2) penggunaan lahan yang mengutamakan pertimbangan nilai optimum masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan, 3) peruntukan lahan bagi suatu keperluan tertentu yang direncanakan menurut konsep ekologi (adaptasi) dan menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik untuk konservasi lahan maupun untuk peningkatan kapasitas produktif. Definisi diatas digunakan untuk operasionalisasi dalam penelitian ini. Kesesuaian lahan adalah penting untuk mendapatkan

2.2.9. Perundangan konservasi sumberdaya alam dan hutan


Usaha konservasi sumberdaya alam dan hutan yang lestari, secara hirarki diatur dengan perundang- undangan nasional. Perundang-undangan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Lingkungan Hidup. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pokok

59

3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1993 tentang Penataan Ruang. 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 5. Tap MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyele nggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. 7. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. 8. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Buang Nasional. 9. Tingkat Perundang-undangan nasional lainnya yang berlaku di pusat maupun di daerah, mengenai aturan pengelolaan dan perlindungan kelestarian hutan. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan konservasi dan pengelolaan lahan, yaitu sebagai berikut. 1). Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 5 a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik).

50

Arsyad menyatakan proses degradasi lahan dimulai dari peristiwa hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran, sehingga menyebabkan turunnya kesuburan tanah. Tanah berkurang kualitas dan

kuantitasnya, yaitu meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah. Menurut Pieri dan Steiner, berkurangnya kualitas dan kuantitas tanah berarti telah terjadi penyusutan unsur hara dan berakibat terjadinya penurunan produksi. Penurunan produksi akan menurunkan penjualan hasil usahatani, sehingga pendapatan petani akan turun. Pendapatan rendah dari petani berakibat daya beli terhadap input untuk usahatani terbatas. Kondisi tersebut, bila terjadi secara terus menerus, akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Sejalan dengan pernyataan Barrow bahwa degradasi lahan diakibatkan oleh adanya kemiskinan, kepemilikan lahan yang sempit, perubahan populasi atau pertambahan penduduk serta kondisi ekonomi dan sosial petani merupakan indikasi keadaan kultural yang terjadi di daerah penelitian. Kondisi politik yang tidak stabil, dan kebijakan pemerintah yang tidak mendukung upaya konservasi telah mendorong terjadinya degradasi lahan di daerah penelitian.

2.2.5. Konservasi dan Preservasi Konservasi berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu pemeliharaan dan perlindungan sesuatu yang teratur untuk mencegah kerusakan dan pemusnahan dengan cara mengawetkan. Upaya konservasi dalam usahatani berarti mencegah kerusakan dari dalam, antara lain dengan perlakuan pemupukan,

51

pemberian mulsa. Presevasi yaitu pengawetan; pemeliharaan; penjagaan; perlindungan (Departemen Pendidikan Nasional, 2002:589). Preservasi dalam usahatani yaitu pemeliharaan, perlindungan dari pengaruh luar agar tidak terjadi kerusakan. Contoh preservasi yaitu mencegah terjadinya erosi oleh hujan, dengan penggunaan teknologi terasering dan kontur. Konservasi dan preservasi dalam konteks operasionalisasi sudah tidak lagi dipisahkan. Konservasi (conservation) sumberdaya alam yaitu tindakan

perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumberdaya alam berdasarkan prinsip keyakinan ekonomi yang lebih baik atau keuntungan sosial manusia dan lingkungannya sekarang dan akan datang (Sosial Conservation Society of

America, 1982 dalam Chudhury dan Jansen, 1998:15). Pengertian yang lebih operasional tentang konservasi telah didefinisikan oleh IUCN (International

Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 1980:1) yaitu pengelolaan penggunaan oleh manusia terhadap biosphere untuk menghasilkan keuntungan besar yang berlanjut untuk generasi saat ini dengan memelihara potensi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan generasi mendatang. Fandeli (2004:141) menyatakan bahwa definisi tersebut mengandung beberapa hal penting yang perlu ditekankan yaitu sebagai berikut. 1) Konservasi berarti menjamin kelestarian pemanfaatan untuk generasi kini maupun generasi mendatang. Peluang pemanfaatan oleh generasi anak cucu, tidak dieksploitasi dipergunakan saat ini saja. 2) Konservasi berarti memelihara potensi sumberdaya agar kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang dapat tercukupi.

52

Arsyad (1989:29) membuat definisi konservasi lahan adalah penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan lahan dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Konservasi dan preservasi ditujukan untuk (1) mencegah kerusakan lahan yang diakibatkan oleh erosi, (2) memperbaiki lahan yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas agar dapat dipergunakan secara lestari. Konservasi tidak hanya mencegah kerusakan lahan akibat erosi, tetapi juga mengoptimalkan penggunaan lahan dalam jangka waktu yang tidak terbatas (Suripin, 2002:27). Konservasi dan preservasi lahan dalam operasionalisasi penelitian ini adalah: penempatan lahan dalam cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan lahan; memperlakukan lahan sesuai denga n syarat-syarat yang diperlukan; tindakan perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumberdaya alam (lahan); memelihara potensi lahan; mencegah kerusakan lahan akibat erosi dan mengoptimalkan penggunaan lahan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Menurut Arsyad (1989:115) metode vegetatif untuk konservasi tanah dilakukan dengan cara: (1) penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terusmenerus, (2) penanaman dalam strip (strip cropping), (3) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation), (4) sistem pertanian hutan (agroforestry), (5) pemanfaatan sisa tananam atau tumbuhan (residue management), (6) penanaman saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways) serta (7) penanaman tanaman penguat teras. Metode mekanik/teknis meliputi usaha-usaha: (1) pembuatan sengkedan atau terasering di lahan- lahan miring, (2) pembuatan jalur-jalur air, (3) pembuatan

53

selokan dan lubang di tempat-tempat tertentu, dan (4) mengadakan pengolahan tanah yang tepat yaitu menuruti arah contoh atau memotong arah kemiringan lereng. Guludan adalah tumpukan tanah yang dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong arah lereng. Tinggi tumpukan tanah 25-30 cm dengan lebar dasarnya 25-30 cm, tanah dengan kepekaan erosi rendah dapat dibuat gulud dengan kemiringan lereng sampai 6% (Gambar 2.3). Guludan bersaluran adalah guludan yang di sertai dengan saluran-saluran yang memanjang di atas gulud. Teras gulud dapat dibuat di lahan dengan kemiringan 10%-30%, kedalaman tanah agak dangkal (>20cm) dan permeabilitas tinggi.

Gambar 2.3. Teras Gulud Sesuai dengan Konservasi Tanah

Teras bangku (Gambar 2.4) dibuat di lahan dengan kemiringan 10%-40%, kedalaman tanah lebih dari 60 cm, stabil dan tidak mudah longsor, tanah tidak mengandung unsur beracun seperti aluminium dan besi dengan konsentrasi tinggi (Agus dan Widianto, 2004:58).

54

Gambar 2.4. Teras Bangku Sesuai dengan Konservasi Tanah

Teras kredit adalah teras yang terbentuk secara bertahap karena tertahannya tanah yang tererosi oleh guludan (Gambar 2.5). Teras ini dapat dib uat di lahan dengan kemiringan 5%-40%, struktur tanah remah dan permeabilitas tinggi, kedalaman tanah agak dangkal kira-kira 40 cm (Agus dan Widianto, 2004:60).

Gambar 2.5. Teras Kredit Sesuai dengan Konservasi Tanah Teknologi tepat guna adalah teknologi yang dapat dilakukan petani dengan hasil produksi yang maksimal, dan secara ekonomi dapat menguntungkan. 2.2.6. Arahan fungsi pemanfaatan lahan

55

Arahan fungsi pemanfaatan lahan ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara Penetapan Hutan Lindung dan Hutan Produksi sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980, No.686/Kpts/Um/8/1991, dan No.683/Kpts/Um/8/1993. Kriteria dan tata cara penetapan fungsi kawasan didasarkan dari klas kemiringan lerengnya (Tabel 2.4). Lereng dengan kemiringan besar merupakan daerah yang rawan terhadap adanya kerusakan, sehingga perlu konservasi untuk menjaga kelestariannya. Pemanfaatan lahan berdasarkan fungsi kawasan terbagi menjadi empat, yaitu: 1. Kawasan Fungsi lindung Kawasan fungsi lindung adalah suatu wilayah yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai fungsi lindung untuk kelestarian sumberdaya alam, air, flora dan fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah sumber mataair dan alur sungai, serta kawasan lindung lainnya. Suatu satuan lahan ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung apabila mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 40% serta mempunyai ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut atau lebih.

Tabel 2.4. Klas I II III IV V

Klasifikasi dan Klas Kemiringan Lereng Kemiringan (%) 0,00 - 8,00 8,01-15,00 15,01- 25,00 25,01- 40,00 40,01 atau lebih

Klasifikasi Datar Landai Agak Curam Curam Sangat curam

Sumber: Asdak, 1995:512

2. Kawasan Fungsi Penyangga

56

Kawasan fungsi penyangga adalah suatu wilayah yang dapat berfungsi lindung dan berfungsi budidaya, letaknya diantara kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi budidaya seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras), kebun campur dan lain- lainnya yang sejenis. 3. Kawasan Fungsi Budidaya Kawasan f ungsi budidaya tanaman tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan letaknya antara kawasan penyangga dan kawasan budidaya tanaman semusim. 4. Kawasan Fungsi Budidaya Tanaman Semusim dan Pemukiman Kawasan fungsi budidaya tanaman semusim dan pemukiman adalah kawasan yang mempunyai fungsi budidaya dan diusahakan dengan budidaya tanaman semusim dan pemukiman, terutama tanaman pangan. Kawasan pemukiman, disamping memenuhi kriteria tersebut, secara mikro lahannya mempunyai kemiringan tidak lebih dari 8%.

2.2.7. Satuan lahan Satuan lahan merupakan area terkecil yang dapat dibatasi dalam suatu peta, berdasarkan karakteristik kemiripan dan kualitas lahannya (Interdepartmental Working Group on Land Use Planning Subgroup-FAO, 1994 dalam Choudhury dan Jansen, 1998:15). Perencanaan terhadap penggunaan dan pengelolaan

sumberdaya lahan memerlukan keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses pembuat keputusan terhadap masa depan lahan dengan cara identifikasi dan evaluasi seluruh sifat-sifat biofisik serta ekonomi sosial dari satuan lahan (FAO, 1995:1).

57

2.2.8. Kesesuaian lahan Menurut FAO (1976) dalam Puslittanak (1993:32) kesesuaian lahan (land suitability) adalah sistem klasifikasi kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan adalah aplikasi yang diberikan pada tipe lahan untuk jenis penggunaan yang spesifik (Verheye, 1996 dalam Choudhury dan Jansen, 1998:32). Kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi dalam peruntukan lahan bagi suatu keperluan tertentu dengan mengutamakan pertimbangan nilai optimum masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan. Keadaan optimum ini direncanakan menurut konsep ekologi (adaptasi) dan menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik dalam hal konservasi lahan maupun dalam hal peningkatan kapasitas produktif. Kesesuaian lahan menggunakan metode FAO yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993:2), metode ini menekankan pemilihan jenis tanaman semusim, sesuai dengan usahatani yang dilakukan oleh petani di daerah penelitian. Analisis kesesuaian lahan prinsipnya dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat, yaitu: sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub klas dari klasifikasi kesesuaian mencerminkan faktor

hambatannya. Beberapa jenis faktor penghambat yang dikenal, yaitu erosi (e), drainase (d), tanah (s), keasaman (a), kelerengan (L), kedalaman sulfidik tanah

58

(sd) dan iklim (c). Perubahan klasifikasi setingkat lebih baik apabila seluruh hambatan yang ada dapat diperbaiki, namun terdapat faktor penghambat yang sulit diperbaiki, yaitu iklim (c) dan tanah (s). Klasifikasi kesesuaian lahan didasarkan dari klas yang paling buruk, yaitu dengan memberikan seluruh faktor penghambatnya. Kategori klas kesesuaian lahan diputuskan sesuai dengan klas kesesuaian terendah (Puslittanak, 1983 dalam Puslittanak 1993:8). Kesesuaian lahan yaitu 1) sistem klasifikasi kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, 2) penggunaan lahan yang mengutamakan pertimbangan nilai optimum masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan, 3) peruntukan lahan bagi suatu keperluan tertentu yang direncanakan menurut konsep ekologi (adaptasi) dan menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik untuk konservasi lahan maupun untuk peningkatan kapasitas produktif. Definisi diatas digunakan untuk operasionalisasi dalam penelitian ini. Kesesuaian lahan adalah penting untuk mendapatkan

2.2.9. Perundangan konservasi sumberdaya alam dan hutan


Usaha konservasi sumberdaya alam dan hutan yang lestari, secara hirarki diatur dengan perundang- undangan nasional. Perundang-undangan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Lingkungan Hidup. 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pokok

59

3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1993 tentang Penataan Ruang. 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 5. Tap MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyele nggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. 7. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. 8. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Buang Nasional. 9. Tingkat Perundang-undangan nasional lainnya yang berlaku di pusat maupun di daerah, mengenai aturan pengelolaan dan perlindungan kelestarian hutan. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan konservasi dan pengelolaan lahan, yaitu sebagai berikut. 1). Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 5 a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan. b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (baik fisik maupun nonfisik).

60

c.

Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pembatasan pada dalam hakikatnya pemanfaatan merupakan sumberdaya usaha alam pengendalian/ hayati dan

ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilaksanakan secara terus- menerus di masa mendatang (Departemen Kehutanan, 2004 :98-99). 2). UU RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup Pasal 1 Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan

sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Departemen Kehutanan, 2004 :362). Pasal 9 Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut. a. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai- nilai agama, adat- istiadat, dan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat. b. Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masingmasing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan

61

memperhatikan keterpaduan pelaku perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasio nal pengelolaan lingkungan hidup. c. Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumberdaya alam nonhayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. d. Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinasikan oleh menteri (Departemen Kehutanan, 2004 :366-367). 3). UU RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 7 (1) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya (Departemen Kehutanan, 2004 :182). Pasal 10 (2) Penataan ruang kawasan perdesaan dan perkotaan diselenggarakan untuk: a. Mencapai tata ruang kawasan pedesaan dan kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kehidupan manusia; b. Meningkatkan fungsi kawasan pedesaan dan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat; c. Mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap

62

lingkungan 2004 :183).

alam,

buatan,

dan

sosial (Departemen

Kehutanan,

Undang Undangan tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan UU tentang lingkungan hidup, pada dasarnya bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam hayati , baik fisik dan non fisik. Undang Undang tersebut. 2.2.10. Penerimaan, biaya dan pend apatan usahatani

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995:54). (1) TRi = Yi . Pyi Keterangan: TR = total penerimaan; Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani; Py = harga Y. Bila tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus (1) berubah menjadi: (2) TR = Y . Py
i=1 n

Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost); dan biaya tidak tetap (variabel cost). Biaya tetap ini didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, contohnya sewa tanah, pajak, alat pertanian dan iuran irigasi. Biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, contohnya bila menginginkan produksi tinggi, maka tenaga kerja perlu ditambah, pupuk juga perlu ditambah dan sebagainya, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah

63

tergantung dari produksi yang diinginkan. Cara menghitung biaya tetap adalah sebagai berikut. n (3) FC =
i=1

Xi.Pxi

Keterangan: FC = biaya tetap; Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap; Pxi = harga input; n = macam input. Rumus tersebut juga dapat dipakai untuk menghitung biaya variabel. Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) = K, dan biaya tidak tetap (VC). (4) TC = K + VC Keterangan: Perhitungan biaya mempergunakan perhitungan finansial, yaitu data biaya yang dipakai adalah data riil yang sebenarnya dikeluarkan, sebagai contoh bila mempergunakan tenaga keluarga, maka tidak dihitung besarnya biaya (Soekartawi, 1995:56-57). Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya riil. Rumus pendapatan adalah sebagai berikut. (5) Pd = TR - TC Keterangan: Pd = pendapatan usahatani, TR = total penerimaan dan TC = total biaya. Pendapatan usahatani tidak menghitung tenaga keluarga, terlebih dahulu menghitung penerimaan dari seluruh hasil tanaman yang diproduksi selama satu tahun, dikurang dengan semua biaya yang telah dikeluarkan untuk usahatani selama setahun, sehingga mendapatkan data riil dari pendapatan petani (Soekartawi, 1995:57-58).

2.3.

Kerangka Teori

64

Pertambahan penduduk di satu sisi dan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian di sisi lain mengakibatkan tekanan terhadap lahan pertanian. Sempitnya kepemilikan lahan untuk usahatani telah mendorong petani untuk memanfaatkan lahan untuk usahatani tanaman semusim di kawasan fungsi lindung. Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan manusia yang telah melanggar kaidah konservasi sumberdaya alam. Penggunaan lahan yang melebihi batas potensinya akan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, seperti degradasi lahan dan tanah longsor. Penggunaan lahan untuk usahatani berkelanjutan haruslah mampu merawat atau menjaga sumberdaya lahan untuk jangka waktu yang panjang, secara terus-

menerus, lestari dan langgeng. Tingkat kesuburan tanah, tingkat erosi serta cara pengolahan tanah yang konservasif, merupakan indikator biofisik (biotik dan abiotik) untuk usahatani berkelanjutan. Keadaan lingkungan biotik dan abiotik untuk mencapai usahatani

berkelanjutan, sangat diperlukan dukungan dari lingkungan kultural (ekonomi, sosial dan budaya, dan teknologi). Keadaan tersebut sesuai dengan ciri spesifik usahatani berkelanjutan yaitu usahatani bernuansa ekologi yang berbasis konservasi sumberdaya alam. Usahatani berkelanjutan yang berjiwa sosial akan dapat diterima oleh masyarakat dan bernilai ekonomis yang berarti menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan petani dan rumahtangganya. Usahatani berkelanjutan haruslah berbasis pada berbagai ilmu yang terkait dengan teknologi tepatguna dan secara budaya tepat dan bersifat dinamis, mengikuti perkembangan keilmuan.

65

Degradasi lahan disebabkan oleh adanya kemiskinan penduduk, kepemilikan lahan yang sempit, politik yang tidak stabil, perubahan populasi atau pertambahan penduduk, penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dalam pertanian, dan kondisi ekonomi dan sosial. Erosi tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal, sehingga produktivitas tanah menjadi sangat rendah. Petani secara teori tidak mengerti terhadap pentingya masalah erosi, pelapukan dan pencucian hara mineral yang intensif di bawah iklim tropis telah menyebabkan meluasnya tanah-tanah yang rusak dan terjadinya pertambahan lahan kritis. Erosi dengan fenomena kemerosotan produktivitas telah memerlukan pengendalian kerusakan lahan yang ditekankan dalam upaya pencegahan dan pemulihan. Penggunaan teknologi yang selama ini telah dikuasai petani secara turun temurun, memerlukan pengembangan teknologi baru untuk mengembalikan fungsi tanah yang telah rusak, sehingga dapat mencapai usahatani berlanjut. Keberlanjutan usahatani harus senantiasa memperhatikan keberlangsungan sumberdaya alam untuk pertanian yaitu tanah dan air. Sumberdaya lahan dan air merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbarui, sehingga keberlangsungan pemanfaatannya tergantung bagaimana cara pengelolaannya oleh manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam dengan teknologi appropriate (tepat guna) yaitu denga n cara mempertahankan kesuburan lahan dalam upaya menekan terjadinya laju erosi. Bila laju erosi dapat ditanggulangi, maka kegiatan usahatani diharapkan dapat menguntungkan dan menyediakan penghidupan layak bagi petani.

66

Kerusakan lahan mengakibatkan kandungan unsur hara dalam tanah tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Sejalan dengan rendahnya hasil produksi, pendapatan petani akan turun, sehingga usahatani tersebut secara ekonomis tidak lagi menguntungkan. Sementara itu, petani sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarganya. Petani dalam menghasilkan produk pertanian sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam menentukan pilihan-pilihan sebagai modal dalam usahatani. Pilihan-pilihan dalam memilih input yang akan digunakan dalam usahatani tergantung kepada pengalaman, pendidikan, dan kemampuan petani mengadopsi teknologi, dengan tujuan dapat mengurangi risiko kerugian. Petani dalam mengambil keputusan juga dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, budaya dan interaksinya dengan lingkungan fisik tempat tinggalnya. Peran kelembagaan pemerintah dalam menyusun kebijakan pengendalian terhadap kerusakan lahan, mencakup sumberdaya tanah, air dan hutan sangatlah penting. Pemerintah mempunyai tanggung jawab mencegah terjadinya kerusakan lahan, memulihkan lahan yang rusak agar menjadi normal kembali sesuai fungsi tatanan lingkungan (natural environmental setting) dan peruntukan berdasarkan rencana tata ruang (Gambar 2.6).

67

Kebijakan Pemerintah

Pertimbangan Ekonomi

Tekanan Lahan Pertanian

Usahatani Lahan Milik Negara

Usahatani Lahan Milik Sendiri di Kawasan Fungsi Lindung, Penyangga dan Budidaya

Satuan Lahan
Faktor fisik lahan Tingkat kesuburan Produktivitas Tingkat erosi tingkat erosi

buruk

baik

Usahatani tidak Berkelanjutan


Faktor Ekonomi pendapatan
Faktor Sosial pemahaman makna konservasi tradisi pembagian warisan (status lahan) tingkat pendidikan luas lahan swadaya konservasi

Usahatani Berkelanjutan

Kebijakan Pemerintah dan Imp lementasi dalam Konservasi

Mengembangkan teknologi Mengatasi faktor pembatas kesesuaian lahan

Pola Pengelolaan Lahan Lereng Gunungapi untuk Us ahatani Berkelanjutan


Keterangan : : proses positif : proses negatif

Gambar 2.6. Kerangka P ikir Penelitian 68

2.4. Pertanyaan Penelitian Perumusan masalah, tujuan dan tinjauan pustaka telah mendasari disusunnya pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Sejauhmana faktor abiotik mempengaruhi keberlanjutan usahatani tiap satuan lahan di berbagai fungsi kawasan dan faktor abiotik apa yang menjadi penentunya ? 2. Faktor kultural apa saja yang membedakan antara usahatani berlanjut dengan usahatani tidak berkelanjutan di tiap satuan lahan pada berbagai fungsi kawasan dan sejauh mana peranan masing- masing variabel ? 3. Bagaimana pola pengelolaan lahan berkelanjutan di lereng barat Gunungapi Lawu? a) Bagaimana kesesuaian lahan dan faktor pembatasnya, serta dosis pemupukan yang tepat dan efisien untuk mencapai usahatani yang berkelanjutan? b) Bagaimana kebijakan pemerintah daerah dan implementasinya dalam upaya konservasi lahan?

BAB III METODE PENELITIAN Bab tiga ini secara rinci menerangkan metode penelitian yang digunakan, yaitu terdiri dari: 1) metode pengambilan data, dan 2) metode analisis data. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat dengan pekerjaan utama sebagai petani pemilik dan penggarap yang terdapat di seluruh Kecamatan Tawangmangu. Obyek penelitian menggunakan metode survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Masri, 1995). A nalisis data yaitu kualitatif dan kuantitatif, sifat uraian yang digunakan adalah deskriptif yaitu penelitian

yang menggambarkan keadaan obyek berdasarkan fakta yang aktual di lapangan.

3.1.

Metode Pengambilan Data

Data dibagi dalam tiga kategori sesuai dengan kajian bidang ilmu lingkungan, yaitu data lingkungan biotik, data lingkungan abiotik dan data lingkungan kultural. Pengambilan data diambil berdasarkan tahapan sebagai berikut. 1) Pengambilan data sampel tanah yang merupakan lingkungan abiotik untuk sampel tanah dari tiap satuan lahan sebagai unit analisis. 2) Pengambilan data sosial ekonomi dari sampel rumahtangga petani yang berada pada tiap satuan lahan guna mewakili lingkungan kultural, dan 3) Pengambilan data tanaman yang diusahakan oleh petani sampel di tiap satuan lahan, merupakan lingkungan biotik.

3.1.1. Jenis data, faktor, variabel dan parameter penelitian Penelitian ini menggunakan dua jenis data, primer dan sekunder, yang dibagi dalam tiga faktor penelitian. Masing- masing terdiri dari beberapa variable dan parameter sebagaimana terlihat dari Tabel 3.1. Tabel 3.1. Jenis data, Faktor, Variable dan Parameter.
No 1 Jenis Primer Faktor Abiotik (Fisik lahan) Variable Tingkat kesuburan total (fisika dan kimia) Tingkat erosi Produktivitas Biotik Kultural (ekonomi, sosial, budaya dan teknologi) Jenis tanaman Pendapatan usahatani Pendidikan Status asal lahan Luas lahan kepemilikan Pemahaman akan makna konservasi Swadaya konservasi Iklim Parameter Kandungan KPK total, kandungan Nitrogen (N), kandungan phospor dan kalium, kejenuhan basa, bahan organik, keasaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas Panjang dan kemiringan lereng, pengelolaan tanaman dan pengelolaan lahan. Persentase jumlah tanaman yang mempunyai potensi tingkat produktivitas tinggi. dosis pemupukan, sistem tanam, waktu tanam, produksi/ha, umur tanaman. Penerimaan dan pengeluaran usahatani dan penerimaan di luar usahatani Tingkat pendidikan formal Asal status: tanah warisan, atau warisan dan membeli Klas luas lahan kepemilikan Paham/tidak terhadap makna konservasi dan manfaat konservasi Teknik konservasi yang dilakukan, sesuai dengan teknologi konservasi yang diajurkan dinas pertanian Curah hujan, jenis dan struktur batuan, air permukaan, sifat fisik dan kimia tanah, jemis tanah. Produktivitas lahan Kec. Tawangmangu, Dosis p upuk rekomendasi Dinas Pertanian Upah Minimum Regional (UMR) Jumlah penduduk, luas lahan pertanian, penggunaan lahan, jumlah petani, jumlah rumahtangga tani, mata air dan debit, teknologi konservasi yang dipergunakan.

Sekunder

Abiotik (Fisik lahan) Biotik Kultural (ekonomi, sosial, budaya dan teknologi)

Jenis tananam Pendapatan Sosial dan budaya

71

3.1.2. Pengambilan sampel faktor abiotik (fisik lahan) Populasi untuk lingkungan abiotik (faktor fisik lahan) adalah seluruh lahan untuk penggunaan usahatani, baik lahan tegalan maupun lahan sawah yang terdapat di Kecamatan Tawangmangu. Dalam pengambilan data untuk analisis faktor lingkungan abiotik dan biotik (fisik lahan) menggunakan unit analisis satuan lahan. Satuan lahan merupakan area terkecil yang dibatasi dalam suatu peta berdasarkan kemiripan karakter dan kualitas lahannya. Satuan lahan didapatkan dengan cara tumpangsusun antara Peta Bentuk Lahan, Peta Geologi, Peta Lereng, Peta Tanah, dan Peta Penggunaan Lahan. Urutan kerja pembuatan peta satuan lahan dapat dilihat dalam Gambar 3.1. Menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, penetapan penggunaan lahan setiap satuan lahan ke dalam suatu kawasan fungsional dilakukan dengan melihat kemiringan lerengnya, kepekaan tanahnya, dan intensitas hujan harian rata-rata. Kawasan tersebut dibagi dalam tiga fungsi, yaitu kawasan fungsi lindung, kawasan fungsi penyangga, dan kawasan fungsi budidaya. 1. Kawasan Fungsi Lindung adalah lahan yang memenuhi salah satu atau beberapa syarat di bawah ini. a. Mempunyai kemiringan lereng > 45%. b. Tanah dengan klasifikasi sangat peka terhadap erosi. c. Merupakan jalur pengaman aliran sungai, sekurang-kurangnya 100 m dari kiri-kanan alur sungai.

72

d. Merupakan pelindung mataair, area yang terletak 200 m dari pusat mataair. e. Berada di ketinggian = 2.000 m di atas permukaan laut. f. Guna kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan lindung.
Foto Udara Skala 1: 25.000 Th. 1995 Peta Jenis Tanah Skala 1: 100..000 Th. 1992 Peta Geologi Skala 1: 100.000 Th. 1997

interpretasi

Zonasi batuan dengan jenis tanah

Peta Penggunaan Lahan tentatif Skala 1: 25.0000 Peta Bentuklahan Skala 1: 25.0000

Peta Klas Kemiringan Lereng Skala 1: 25.0000

Checking lapangan

Peta Kontur Skala 1: 25.0000

Peta Penggunaan Lahan Skala 1: 25.0000 Peta Satuan Lahan Skala 1: 25.0000

Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1: 25.000 Th. 2001

Gambar 3.1. Diagram Alir Pembuatan Peta Satuan Lahan

2. Kawasan Fungsi Penyangga adalah lahan yang memenuhi kriteria umum sebagai berikut. a. Keadaan fisik area memungkinkan untuk dilakukan budidaya pertanian secara ekonomi. b. Lokasinya secara ekonomi mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga. c. Tidak merugikan dari segi ekologi/lingkungan hidup.

73

3. Kawasan Fungsi Budidaya, meliputi budidaya tanaman tahunan maupun budidaya tanaman semusim. Kawasan budidaya tanaman tahunan adalah lahan yang sesuai dengan potensi untuk dikembangkan usahatani tanaman tahunan (perkebunan, tanaman industri) dan memenuhi kriteria umum untuk kawasan budidaya. Kawasan budidaya tanaman semusim adalah lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman tahunan serta terletak di tanah milik, tanah adat, dan tanah negara yang seharusnya dikembangkan usahatani tanaman semusim.

Pembagian daerah penelitian menurut fungsi kawasan dalam penelitian ini didasarkan pada kemiringan lerengnya (Keputusan Menteri Pertanian

No.837/Kpts/Um/11/1980, No.686/Kpts/Um/8/1991, dan No.683/Kpts/Um/8/1993 (Asdak, 1995:512). Kriteria dan tata cara penetapan fungsi kawasan didasarkan dari klas kemiringan lerengnya. Daerah dengan kemiringan lereng = 40% termasuk ke dalam kawasan fungsi lindung, lereng dengan kemiringan = 25% 40%, termasuk dalam kawasan fungsi penyangga, dan lereng dengan kemiringan = 25% masuk ke dalam kawasan fungsi budidaya.

3.2.

Prosedur Pengambilan Data Abiotik, Biotik dan Kultural

Prosedur pengambilan data, dalam tiga: yaitu data primer abiotik, biotik yaitu fisik lahan, dan pengambilan data primer kultural (sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi) yaitu sampel petani.

74

3.2.1. Data primer abiotik (fisik lahan) Pengambilan data primer fisik lahan, yaitu berupa tanah sampel yang digunakan untuk mewakili satuan lahan. Sampel tanah diambil untuk pengamatan di lokasi, maupun diambil untuk analisis laboratorium. Pengamatan sampel tanah di lokasi untuk melihat struktur dan ketebalan tanah, sedangkan pengambilan sampel tanah digunakan untuk analisis kimia tanah, permeabilitas dan tekstur (fisik tanah) di laboratorium. Metode pengambilan tanah adalah sebagai berikut. 1. Observasi ke lapangan, untuk cheking peta satuan lahan tentatif dengan kondisi yang ada di lapangan. 2. Apabila terdapat perbedaan, satuan lahan dalam peta tentatif dibuat perubahan, agar sesuai dengan kondisi lapangan, sehingga menjadi peta satuan lahan. 3. Pengambilan titik sampel tanah ditentukan pada tiga tempat di tiap satuan lahan berdasarkan bagian lereng, yaitu bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah. 4. Masing- masing titik sampel diambil sampelnya sebesar 1 kg. 5. Ketiga sampel tiap titik tersebut (3 kg) dicampur secara komposit, dan kemudian diambil 1 kg untuk analisis di laboratorium. 6. Sampel dikemas dalam plastik, diikat erat, untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis dan diberi label. 7. Di laboratorium dilakukan perhitungan terhadap kandungan unsur N total, P tersedia, K tersedia, Na tertukar, Mg tertukar, Ca tertukar, KPK total, pH

75

H20, kejenuhan basa, bahan organik, salinitas, permeabilitas (klas permeabilitas), dan tekstur tanah. 8. Berdasarkan data tersebut, dapat dilakukan pengukuran tingkat kesuburan tanah, baik kesuburan kimia maupun kesuburan fisika. 9. Menghitung kehilangan tanah (erosi) di tiap satuan lahan. Observasi di lapangan dilakukan oleh peneliti dengan dua tenaga bantu sarjana (S1) dari Jurusan Geografi Fisik Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.

3.2.2. Pengambilan data primer kultural (petani sampel) Populasi untuk analisis lingkungan kultural (faktor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi) adalah petani pemilik dan penggarap yang terdapat di seluruh Kecamatan Tawangmangu. Pengambilan obyek dalam penelitian ini

menggunakan metode survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Masri, 1995:3). Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu menyeleksi anggota-anggota yang diputuskan atau

dianggap sebagai yang mendekati tujuan penelitian (Suhardono, 2001:3). Petani sebagai objek (responden) dipilih berdasarkan kriteria yang mempunyai karakteristik sebagai berikut. 1) Petani membudidayakan jenis tanaman yang sama dan merupakan tanaman yang dominan dibudidayakan pada tiap-tiap satuan lahan; 2) Mempunyai teknologi budidaya yang sama, dan teknologi budidaya petani hampir homogen pada tiap-tiap satuan lahan;

76

3)

Agar dapat mewakili kemiringan lereng berbagai fungsi kawasan, sampel petani harus mempunyai lahan yang terletak di kemiringan lereng yang sesuai untuk dapat mewakili tiap-tiap kemiringan lereng. Petani yang terdapat di Kecamatan Tawangmangu berjumlah 9.660 orang,

sedangkan petani penggarap dan pemilik lahan berjumlah 6.327 orang, yang terdiri dari 2.155 rumahtangga tani. Total luas lahan untuk penggunaan pertanian, yaitu tegal dan sawah seluas 2.666 ha, yang terdapat di sepuluh desa/kelurahan. Di Kecamatan Tawangmangu terdiri dari tiga kelurahan dan tujuh desa. Penentuan jumlah sampel rumah tangga, adalah sebagai berikut. 1. Wilayah Kecamatan Tawangmangu dibagi berdasarkan satuan lahan sebagai unit analisis fisik lahan. Satuan lahan merupakan satuan terkecil lahan yang memiliki kemiripan dalam kualitas dan karakteristik lahan, sehingga mempunyai homogenitas tinggi, demikian juga teknologi budidaya yang dilakukan oleh petani sampel. 2. Berdasarkan pembagian tiap-tiap satuan lahan, terdapat 26 satuan lahan sebagai unit analisis pengambilan sampel rumahtangga tani yang tersebar di sepuluh desa/kelurahan. 3. Dari hasil penempatan berbagai satuan lahan di sepuluh desa, jumlah sampel tiap desa dibagi dengan proposional sesuai luas lahan. 4. Pengambilan jumlah sampel (size of sampling) berdasarkan rumus: (Za/2 )2 . 0,25 E2

n= Keterangan: n

= jumlah sampel

77

Za/2 = nilai tabel kurva normal baku pada tingkat kepercayaan 0,95% 0,25 = nilai proporsi terbesar = 50% E = kesalahan subyektivitas yang dapat diterima

Atas dasar rumus tersebut, maka dihitung besarnya sampel dari populasi, dengan tingkat kepercayaan 0,95% dan persentase kesalahan subyektivitas yang dapat diterima sebesar 7% (F. Mario, 2003: 308). (1,96)2 . 0,25 (0,07)2 0,96 0,0049 196

n=

n= n=

5.

Jumlah sampel rumahtangga petani yang dapat mewakili sesuai dengan tujuan penelitian sebesar 196 orang (Tabel 3.2).

6.

Dari hasil 196 petani sampel yang dipilih, jumlah seluruh luas lahan rumah tangga petani sampel = 2.665 ha.

Kegiatan yang dilaksanakan adalah pengumpulan data primer dari responden, informan maupun key-persons. Data primer dikumpulkan melalui wawancara (interview) dengan menggunakan alat bantu kuesioner guna mendapatkan data sosial dan ekonomi petani. Peneliti membutuhkan materi wawancara yang mendalam, sehingga di dalam pengisian kuestioner dilakukan oleh tenaga bantu sebanyak sepuluh orang yang telah cukup berpengalaman sebagai pengumpul data dalam penelitian-penelitian sosial terhadap kehidupan sosial petani.

78

Tabel 3.2. Jumlah Sampel Rumahtangga Tani Berdasarkan Luas Satuan Lahan di Kecamatan Tawangmangu
N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 5 11 12 13 14 15 16 17 118 1 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Kode Area 3 7 8 2 5 6 10 11 27 28 29 9 13 14 15 16 17 18 19 20 21 20 21 25 22 30 21 25 26 Satuan Lahan
V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qvl_II_La_Swh V19b_Qvl_IV_La_Tgl V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl

Luas Desa
Blumbang Blumbang Blumbang Gondosuli Gondosuli Gondosuli Tengklik Tengklik Tengklik Tengklik Tengklik Kalisoro Tawangmangu Tawangmangu Sepanjang Sepanjang Sepanjang Sepanjang Nglebak Nglebak Nglebak Karanglo Karanglo Karanglo Plumbon Plumbon Plumbon Bandardawung Bandardawung

Lahan (ha) 20 51 87 7 53 117 97 55 78 11 53 134 36 148 233 170 125 29 25 149 50 93 28 63 80 170 216 195 91 2.666

Jumlah (ha)

Jumlah Responden (Rumahtangga Tani) 4 4 4 4

Jumlah

1258 1

1377 1 5 4 4 2294 2 5

134 1384 1

10 6 7 10

10

4158 5

10 10

5 1625 2 6 5 1484 1 5 10 3466 4 12 12 2186 2 10 11 196 4 5

Total

Sumber : Analisis data primer Tahun 2004

Data kuesioner yang terkait dengan kebijakan pemerintah dilakukan oleh peneliti dengan wawancara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan konservasi dan usahatani, yaitu Kepala Bappeda, Staf Bappeda, Kepala Dinas

79

Pertanian Kabupaten, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten, Camat, Kepala Pertanian Kecamatan, Penyuluh Lapangan dan Lurah. 3.3. Mengukur Faktor Abiotik Pengukuran data kuantitatif digunakan untuk sifat fisik tanah, dengan menggunakan skala interval, seperti tingkat erosi, tingkat kesuburan, dan persentase jumlah tanaman yang mempunyai produktivitas kategori tinggi. Pengukuran data kualitatif dengan skala interval digunakan untuk mengukur fenomena/gejala sosial dan aspek ekonomi. 3.3.1. Mengukur variabel pada faktor abiotik 3.3.1.1. Mengukur kesuburan lahan Nilai kesuburan tanah merupakan gabungan dari kesuburan fisik dan kesuburan kimia. Kesuburan fisik tanah diperoleh dari hasil pengukuran sifat-sifat fisik tanah ya ng meliputi kedalaman tanah (solum tanah), kedalaman efektif tanah, struktur tanah, tekstur tanah dan nilai permeabilitas tanah. Kesuburan kimia ditentukan dengan nilai hasil pengukuran unsur- unsur kimia tanah di

laboratorium. Unsur-unsur tersebut meliputi: Nitrogen (N), Phospor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), daya tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), dan kandungan bahan organik (BO). Kesuburan tanah tinggi berarti kombinasi antara kesuburan kimia dan fisik tanah juga tinggi. Kesuburan kimia tinggi berarti kandungan unsur hara juga tinggi. Kesuburan fisik tinggi berarti kondisi fisik tanah sangat potensial untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kesuburan kimia merupakan kombinasi dari berbagai jenis unsur-unsur kimia tanah. Kandungan unsur-unsur kimia tanah dikenal dengan unsur hara tanah. Tanah dikatakan subur apabila kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman tercukupi. Kebutuhan unsur hara antar tanaman 80

berbeda, namun pada umumnya apabila kandungan unsur hara dalam tanah memiliki komposisi yang seimbang, maka tanah dikatakan subur. Kelebihan atau kekurangan salah satu unsur akan berakibat ketidakseimbangan pertumbuhan tanaman. Kriteria kandungan unsur hara tanah dapat dilihat dalam Tabel 3.3. Tabel 3.4. Kombinasi Kesuburan Kimia Tanah (Kesuburan Potensial)

Kandungan C-Organik dan Nitogen total Kandungan Bahan Organik* klas Criteria (% B.O) < 2,0 Sangat Rendah 2,0 3,5 Rendah > 3,5 -5,0 Sedang > 5,0 -8,5 Tinggi > 8,5 Sangat Tinggi

Nitrogen Klas Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Criteria (% N) < 0 10 0,10 0,20 > 0,20 0,50 > 0,50 0,75 > 0,50

Kandungan P2O5 menurut pengekstratnya P2O5 (Bray) P (Bray + Kurtz) P2O5 (Olsen) Klas ........................................................ppm.. < 10 <3 4,5 Sangat Rendah 10-15 3-7 > 4,5 11,5 Rendah > 15 25 > 7-20 > 11,5 22,8 Sedang > 25 -35 > 20 > 22,8 Tinggi > 35 Sangat Tinggi Kandungan K2O menurut pengekstratnya H2SO4 Klas (m.g) Sangat Rendah <5 Rendah 5-10 Sedang > 10-15 Tinggi > 15 -25 Sangat Tinggi > 25

NH4Oac (m.e) < 0,2 0,2 0,3 > 0,3 0,5 > 0,5 -1,0 > 1,0

Total K2O HCl 25 % (ppm) < 10 10-20 > 20-40 > 40 -60 > 60

Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) Klas KTK Kriteria (m.e) Klas KB Sangat Rendah <5 Sangat Rendah Rendah 5-16 Rendah Sedang > 16-24 Sedang Tinggi > 24 -40 Tinggi Sangat Tinggi > 40 Sangat Tinggi

Kriteria (%) < 20 20-35 > 35-60 > 60 -75 > 75

Kandungan unsure Ca tersedia dan Mg tersedia Klas Ca Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Kriteria (m.e) <2 2-5 6-10 11-20 > 20 Klas Mg Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi < 0.4 0.4-1 1.1-2 2.1-8 >8 Kriteria (%)

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1983

81

Kesuburan kimia tanah didasarkan kandungan basa-basa dalam tanah, kandungan bahan organik, kalium, fosfor, dan daya tukar kation dalam tanah. Kriteria pengelompokan sifat kimia tanah berdasarkan kombinasi kategori beberapa sifat kimia tanah, seperti dalam Tabel 3.4. Tabel 3.4. Kombinasi Kesuburan Kimia Tanah (Kesuburan Potensial) Kemampuan Tukar Kejenuhan Kation Basa 1 T T 2 T T 3 T T 4 T T 5 T T 6 T T 7 T T 8 T S 9 T S 10 T S 11 T S 12 T R 13 T R 14 T R 15 S T 16 S T 17 S T 18 S S 19 S S 20 S S 21 S R 22 S R 23 R T 24 R T 25 R T 26 R T 27 R S 28 R S 29 R R 30 SR T.S.R Sumber: Soepraptohardjo, 1981 No. P2O5 potensial, K2O potensial, C-organik 2T tanpa R 2T dengan R 2S tanpa R 2S dengan R T.S.R 2R denganT 2R dengan S 2T tanpa R 2T dengan R 2S Kombinasi lain 2T tanpa R 2T dengan R Kombinasi lain 2T tanpa R 2S tanpa R Kombinasi lain 2T tanpa R 2S tanpa R Kombinasi lain 3T Kombinasi lain 2T tanpa R 2T dengan R 2S tanpa R Kombinasi lain 2T tanpa R Kombinasi lain Semua kombinasi Semua kombinasi Total T S T S S S R T S S R S R R S S R S S R S R S R S R S R R SR

Keterangan: T : Tinggi; S : Sedang; R : Rendah; SR : Rendah

82

Kriteria pengelompokan sifat fisik tanah berdasarkan kombinasi kategori sifat fisik tanah, seperti dalam Tabel 3.5. Kombinasi kesubura n fisik tanah menyatakan apabila kedalaman efektif, tekstur tanah, dan permeabilitas tanah termasuk klas tinggi, maka kesuburan tanah juga tinggi. Tabel 3.5. Kriteria Pengelompokan (Klas) Beberapa Sifat Fisika Tanah Kriteria Kedalaman efektif tanah (cm) Tekstur Rendah < 25 Sedang 25 50 geluh lempung debuan, geluh lempung pasiran, pasir bergeluh, debu, geluh lempungan agak lambat agak cepat atau 0,5 2 atau 6,2512,5 Tinggi > 50 cm geluh, geluh berpasir

Permeabilitas (cm/dtk)

pasir, lempung berdebu, lempung lambat sangat lambat atau cepat sangat cepat <0, 5 atau >12,5

sedang 2 6,25

Apabila

kombinasi

ketiganya

mempunyai

variasi

terdapat

kategori

rendahnya, maka klas kesuburan menjadi turun. Kombinasi kesuburan tanah berdasar ketiga sifat fisik tanah tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3.6.

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Tabel 3.6. Kombinasi Kesuburan Fisika Tanah Kedalaman Efektif Tanah Tekstur Permeabilitas Kesuburan total Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Rendah Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Rendah Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Tinggi Sedang

No 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Kedalaman Efektif Tanah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

Tabel 3.6 ( lanjutan ) Tekstur Permeabilitas Rendah Sedang Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Sedang

Kesuburan total Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah

Sumber: Soepraptohardjo, 1981 Nilai hasil pengukuran sifat-sifat fisik dan sifat-sifat kimia tanah

dikelompokkan dalam klas tertentu. Kesuburan tanah potensial ditentukan dengan menggabungkan antara kesuburan fisik dan kesuburan kimia yang dinyatakan sebagai kesuburan total tanah. Metode yang dipakai dalam menentukan kesuburan total dengan menggunakan tabel kombinasi kesuburan fisik dan kimia (Tabel 3.7).

Tabel 3.7. Kombinasi Kesuburan Total Tanah Kesuburan fisik Kesuburan kimia Total
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Rendah Sedang Rendah Rendah

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1983

3.3.1.2. Mengukur kehilangan tanah (erosi) Kehilangan tanah diketahui dengan melakukan perhitungan terhadap penyebab erosi yaitu iklim, topografi, tanah, pengelolaan tanaman dan lahan. Iklim dinyatakan dalam nilai besarnya energi kinetik hujan yang menyebabkan terjadinya erosi. Topografi dinyatakan dengan indeks kemiringan lereng dan

84

panjang lereng. Kehilangan tanah dinyatakan dengan nilai erodibilitas tanah atau tingkat kepekaan tanah terhadap erosi. Aktivitas manusia yang berpengaruh paling besar terhadap erosi adalah dalam pengelolaan lahan. Besarnya kehilangan tanah dihitung dengan menggunakan formula USLE dari Wischmeier and Smith (Morgan:117), yaitu: A = R.K.LS.C.P Keterangan: A = Besar tanah yang hilang (ton/ha/th) LS = Indeks lereng R = Erosivitas hujan (kj) K = Erodibilitas tanah C = Pengelolaan tanaman P = Pengelolaan lahan Besarnya kehilangan tanah (erosi) dinyatakan ke dalam lima klas kehilangan tanah (Tabel 3.8). Tingkat erosi sangat berat apabila kehilangan tanah yang terjadi lebih dari 480 ton/ha/th. Kehilangan tanah sebesar 480 ton/ha/th sebanding dengan hilangnya lapisan tanah setebal 48 mm, apabila berat jenis tanah sebesar 10 gr /ml.

Tabel 3.8. Tingkat Erosi Tanah No 1 2 3 4 5 Tingkat Erosi Tanah Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat Kehilangan Tanah (ton/ha/th) < 15 15 60 60 180 180 480 = 480 Klas 5 4 3 2 1

Sumber: Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, 1997

Nilai erosivitas hujan (R) dihitung dengan menggunakan formula yang dikemukakan oleh Bols (1978) dalam Suripin (2002) yaitu:
1,211

.N -0,474.Pmax 0,526 30 = 6,119 P EI


b

Notasi EI30 adalah indeks erosi hujan bulanan (Kj/ha), Pb adalah curah hujan bulanan (cm), N adalah jumlah hari hujan perbulan, Pmax adalah hujan maksimum

85

harian (24 jam), EI30 tahunan adalah jumlah EI30 bulanan. Data yang diperlukan adalah curah hujan rata-rata bulanan, jumlah hari hujan rerata bulanan, dan curah hujan maksimum dalam satu bulan. Curah hujan yang digunakan adalah data selama 10 tahun (tahun 1994-2003) yang terukur di stasiun Tawangmangu, Karangpandan, Matesih, Ngargoyoso, dan stasiun Jatiyoso. Nilai erodibilitas tanah (K) menyatakan kepekaan tanah terhadap erosi. Erodibilitas tanah merupakan hasil kali antara faktor permeabilitas tanah, struktur tanah, kandungan bahan organik dan susunan fraksi tanahnya. Nilai erodibilitas tanah dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh Wischmeier et al, 1971 (Asdak, 1995).

K=

2,713 M1,14 (10-4)(12-a)+3,25(b-2)+2,5(c-3) 100

Notasi K adalah erodibilitas tanah, M adalah hasil kali antara persen debu dan pasir sangat halus dengan nilai 100 dikurangi persen lempung, dalam notasi dituliskan (%debu+%pasir sangat halus)(100-%lempung). Notasi a menyatakan kandungan bahan organik tanah (%Cx1,724). Notasi b merupakan harkat dari struktur tanah (dapat dilihat dalam Tabel 3.9). Struktur adalah ikatan butir primer ke dalam butir sekunder atau agregat. Susunan butir primer tersebut menentukan tipe struktur, terkait dengan erosi, yaitu tanah yang berstruktur granuler lebih terbuka dan lebih sarang akan menyerap air lebih cepat daripada berstruktur mantap.

86

Klas 1 2 3 4

Tabel 3.9. Klasifikasi Harkat Struktur Tanah Keterangan Granuler sangat halus (<1 mm) Granuler halus ( : 1-2 mm) Granuler sedang kasar ( : 2-10 mm) Masif, lempeng, kubus, gumpal

Sumber: Arsyad, 1989: 7.7

Notasi C berarti harkat dari tingkat permeabilitas tanah (dapat dilihat dalam Tabel 3.10). Permeabilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, dan struktur tanah. Permeabilitas tanah akan berpengaruh terhadap air limpasan yang terjadi.

Tabel 3.10. Klasifikasi Harkat Permeabilitas Tanah Klas Keterangan Permeabilitas (cm/jam) 1 Cepat > 12,5 2 Agak cepat 6,25 12,5 3 Sedang 2,00 6,25 4 Agak lambat 0,50 2,00 5 Lambat 0,125 0,50 6 Sangat lambat < 0,125
Sumber: Arsyad, 1989:7.8

Indeks lereng (LS) diperoleh dari indeks kemiringan lereng aktual dengan indeks panjang lereng erosi. Indeks LS dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini (Foster dan Wischmeier, 1973 dalam Asdak, 1995).

LS = (/22)m C(cos)1,503 [0,5 (sin)1,249+(sin)2,249 ] Notasi LS = indeks lereng, = panjang lereng hasil pengukuran di lapangan, m = notasi indeks untuk kemiringan lereng, lereng dengan kemiringan 5% atau

87

lebih menggunakan nilai m = 0,5. Notasi merupakan besarnya kemiringan lereng aktual hasil pengukuran lapangan. Indeks vegetasi (C), merupakan faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman. Indeks vegetasi dapat dilihat dalam Tabel 3.11.

Tabel 3.11. Nilai C untuk Berbagai Jenis Tanaman dan Pengelolaan Tanaman
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Jenis tanaman/tataguna lahan Tanaman rumput (Brachiaria sp.) Tanaman kacang jogo Tanaman gandum Tanaman ubi kayu Tanaman kedelai Tanaman serai wangi Tanaman padi lahan kering Tanaman padi lahan basah Tanaman jagung Tanaman jahe, cabe Tanaman kentang ditanam searah lereng Tanaman kentang ditanam searah kontur Pola tanam tumpang gilir + mulsa jerami (6 ton/ha/th) Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman Pola tanam berurutan Pola tanaman tumpang gilir + mulsa sisa tanaman Kebun campuran Ladang berpindah Tanah kosong diolah Tanah kosong tidak diolah Hutan tidak terganggu Semak tidak terganggu Alang-alang permanent Alang-alang dibakar Sengon dengan semak Sengon tidak disertai semak dan tanpa seresah Pohon tanpa semak Nilai C 0,290 0,161 0,242 0,363 0,399 0,434 0,560 0,010 0,637 0,900 1,000 0,350 0,079 0,347 0,398 0,357 0,200 0,400 1,000 0,950 0,001 0,010 0,020 0,700 0,012 1,000 0,320

Sumber: Abdurachman, 1984 dalam Asdak, 1995:9.6

88

Indeks pengelolaan lahan (P), merupakan tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik. Indeks pengelolaan lahan dapat dilihat dalam Tabel 3.12.

No. 1

2 3 4 5 6 7 8 9

10 11

12

13

Tabel 3.12. Nilai P Berbagai Aktivitas Konservasi Tanah di Jawa Jenis Konservasi Tanah Nilai P Teras bangku: 0,200 a. baik b. jelek 0,350 Teras bangku : jagung-ubi kayu/kedelai 0,056 Teras bangku : sorghum-sorghum 0,024 Teras tradisional 0,400 Teras gulud : padi-jagung 0,013 Teras gulud : ketela pohon 0,064 Teras gulud : jagung-kacang + mulsa sisa tanaman 0,006 Teras gulud : kacang kedelai 0,105 Tanaman dalam kontur: a. kemiringan lereng 0-8% 0,500 b. kemiringan 9-20% 0,750 c. kemiringan >20% 0,900 Tanaman dalam jalur-jalur: jagung-kacang tanah+mulsa 0,050 Mulsa limbah jerami: a. 6 ton/ha/th 0,300 0,500 b. 3 ton/ha/th c. 1 ton/ha/th 0,800 Tanaman perkebunan: 0,100 a. dengan penutup tanah rapat 0,500 b. dengan penutup tanah sedang Padang rumput: a. baik 0,040 b. jelek 0,400
Sumber: Abdurachman, 1984, dalam Asdak, 1995:9.7

89

3.3.1.3. Mengukur kesesuaian lahan Kesesuaian lahan menggunakan metode FAO yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), metode ini menekankan pemilihan jenis tanaman semusim, sesuai dengan usahatani yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Tawangmangu. Pengukuran kesesuaian lahan secara prinsip dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Kesesuaian lahan terbagi menjadi empat tingkat (klas), yaitu: sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub klas klasifikasi kesesuaian mencerminkan faktor hambatannya. Beberapa jenis faktor penghambat yang dikenal, yaitu; erosi (e), drainase (d), tanah (s), keasaman (a), kelerengan (L), kedalaman tanah (sd), dan iklim (c). Perubahan klasifikasi setingkat lebih baik apabila seluruh hambatan yang ada dapat diperbaiki, namun terdapat faktor penghambat yang sulit diperbaiki, yaitu iklim (c) dan tanah (s). Klasifikasi kesesuaian lahan didasarkan klas yang paling buruk, yaitu dengan memberikan seluruh faktor penghambatnya. Kategori klas kesesuaian diputuskan sesuai dengan klas kesesuaian terendah (Puslittanak, 1983 dalam Puslittanak 1993:8). Metode yang digunakan adalah matcing. Matching merupakan penilaian kesesuaian lahan berdasarkan syarat kesesuaian lahan (lampiran) yang telah di tetapkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

3.3.1.4. Mengukur pemupukan Tanaman memerlukan unsur hara untuk pertumbuhannya. Unsur hara alami yang ada di dalam tanah tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman untuk

90

tumbuh optimal sehingga diperlukan suplai unsur hara dari luar yaitu berupa pupuk. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos (kandang) maupun pupuk buatan, yang masing- masing dosisnya dapat dilihat pada Tabel 3.13. Pemberian pupuk berfungsi untuk menyediakan hara organik bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah, dan menaha n air dalam tanah.

Tabel 3.13. Dosis Pupuk untuk Berbagai Jenis Tanaman di Kecamatan Tawangmangu
Jenis Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum) Cabai (Capisicum annuum) Sawi (Brassica juncea) Wortel (Daucus carota ) Bawang merah (Allium cepa) Bawang putih (Allium sativum) Bawang daun (Allium fistulosum) Buncis (Phaseolus vulgaris) Kapri (Pisum sp) Ubi kayu (Manihot esculenta) Ubi jalar (Ipomea batatas) Jagung (Zea mays) Padi (Oryza sativa) Strowberi (Fragaria vesca) Dosis Pemupukan Kandang Urea (ton/ha) (ku/ha) 20 2 15 1,5 10 2 15 2 10-20 6 10-20 3 10-20 6 5-10 1 5-10 2 5 1,3- 2 20 1,5 2,5 3 20 1,5 2-3 2,5 TSP (ku/ha) 3 3 1 3 2 2 4 0,6- 1 1,2 1 1,35 2,5 KCl (ku/ha) 1 1,5 1 1 2 1 1 1 2 1,2- 2 0,5 0,5- 1 0,6 1

Sumber: Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003

3.3.1.5. Mengukur persentase produktivitas lahan Produktivitas adalah besarnya potensi produksi (ku) dalam tiap satuan luas lahan (ha) dari masing- masing tanaman dalam waktu satu tahun. Dalam penelitian ini mengukur persentase jumlah tanaman yang berpotensi memiliki produktivitas kategori tinggi dari seluruh tanaman yang dibudidayakan di tiap satuan (ha), untuk selanjutnya disebut PPE. Persentase produktivitas tiap jenis tanaman diperoleh

91

dengan membandingkan antara produktivitas aktual (yang diperoleh dari hasil wawancara dengan petani) dengan produktivitas tanaman dalam kondisi optimal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak, 1997) dikali 100%, dapat dilihat dalam Tabel 3.14.
produktivitas tiap tanaman di satuan lahan (ton/ha/thn) PPE tiap tanaman = produktivitas menurut Puslittanak (ton/ha/thn) x 100 %

PPE rata-rata = S PPE tiap tanaman (%) jumlah tanaman

Apabila nilai PPE rata-rata tanaman (%) > 100%, maka produktivitas dikatakan tinggi, bila PPE rata-rata tanaman (%) < 100%, maka produktivitas dikatakan rendah.

Tabel 3.14. Produksi Tanaman Jenis Tanaman Padi (Oryza sativa) Jagung (Zea mays) Ubi kayu (Manihot esculenta) Ubi jalar (Ipomea batatas) Strawberi (Fragaria vesca) Wortel (Daucus carota) Sawi (Brassica juncea) Bawang daun (Allium fistulosum) Bawang putih (Allium sativum) Bawang merah (Allium cepa) Buncis (Phaseolus vulgaris) Tomat (Lycopersicum esculentum) Kapri (Pisum sp) Cabai (Capsicum annuum)
Sumber: Dinas Kecamatan Tawangmangu, 2003

Rendah (ton/ha) <5 <6 < 18 < 12 < 10 < 18 < 10 < 10 < 7,5 <5 <6 < 10 < 1,4 < 10

Tinggi (ton/ha) >5 >9 > 29 > 18 > 15 >20 >15 >10 >10 >10 >8 >10 >3 >15

92

3.3.2. Mengukur variabel kultural 3.3.2.1. Mengukur variabel ekonomi Faktor ekonomi yang diukur adalah pendapatan usahatani. Pendapatan usahatani yaitu pengurangan antara penerimaan dan biaya. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut. (1) TRi = Yi.Pi Keterangan: TR = total penerimaan; Y = produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani; dan Py = harga Y. Bila tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus (1) berubah menjadi:
n

(2)
i=1 n

TR =

Y. Py Xi. Pxi

(3) VC =
i=1

Keterangan: FC = biaya tetap; Xi = jumlah input fisik; dan Pxi = harga input; n = macam input. Rumus (3) VC = biaya variabel. Total biaya (TC)

adalah jumlah dari biaya tetap (FC) = K,ditambah dengan biaya tidak tetap (VC). (4) TC = K + VC Biaya mempergunakan perhitungan finansial, yaitu data biaya yang dipakai adalah data riil yang sebenarnya dikeluarkan, sebagai contoh bila mempergunakan tenaga keluarga, maka tidak dihitung besarnya biaya. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Rumus pendapatan adalah sebagai berikut.

93

(5) Pd = TR TC, Keterangan: Pd = pendapatan usahatani; TR = total TC = total biaya. penerimaan, dan

3.3.3. Mengukur variabel sosial budaya petani Faktor sosial petani terdiri dari: a) tingkat pendidikan petani; b) status asal kepemilikan lahan atau pembagian warisan; c) luas lahan kepemilikan; d) pemahaman konservasi; e) intensitas penggunaan lahan, dan f) swadaya konservasi. 3.3.3.1. Tingkat pendidikan petani Tingkat pendidikan menentukan perilaku seseorang dalam menghadapi lingkungan, baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Semakin tinggi pendidikan, maka makin banyak pengetahuan yang dapat diterima oleh akal pikiran, dan direfleksikan dalam tindakan. Tingkat pendidikan petani, dibagi dalam sembilan kategori, dan untuk analisis data diberi nilai angka 1 (satu) hingga 9 (sembilan) sesuai dengan data Badan Pusat Statistik, seperti dalam Tabel 3.15.

Tabel 3.15. Tingkat Pendidikan Petani Penentu Keberlanjutan Usahatani


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pendidikan Petani Tidak sekolah Tidak tamat Sekolah Dasar Tamat Sekolah Dasar Tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Akademi Universitas Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9

94

3.3.3.2. Status lahan atau tradisi pembagian warisan


Tradisi pembagian warisan yang dimaksud adalah pembagian lahan yang dilakukan oleh petani kepada anaknya. Pembagian lahan berdasar warisan merupakan tradisi yang dimiliki petani di Pulau Jawa. Petani yang mempunyai lahan usahatani dari hasil warisan, diberi nilai 1 (satu), sedangkan yang tidak berkelanjutan diberi nilai 2 (dua), dapa t dilihat dalam Tabel 3.16.

Tabel 3.16. Tradisi Pembagian Warisan Penentu Keberlanjutan Usahatani


No 1 2 Mengikuti Tradisi Pembagian Warisan Mengikuti tradisi (warisan) Tidak mengikuti tradisi + membeli sendiri Nilai 1 2

3.3.3.3. Luas lahan kepemilikan Luas kepemilikan petani, dibagi dalam tujuh kategori, untuk analisis data diberi nilai angka 1 (satu) hingga 7 (tujuh), sesuai kategori dari data Badan Pusat Statistik, seperti dalam Tabel 3.17. Petani dengan kepemilikan lahan > 0,25 m2 merupakan kategori petani gurem. Tabel 3.17. Luas Lahan Kepemilikan Penentu Keberlanjutan Usahatani Luas lahan (m2) Nilai < 0.1 1 0,01 0,24 2 0,25 0,49 3 0,50 0,99 4 1,00 2,99 5 3,00 4,9 6 = 5.00 7

No 1 2 3 4 5 6 7

3.3.3.4. Swadaya konservasi Swadaya dalam melakukan konservasi yaitu tindakan penerapan teknologi konservasi yang dilakukan petani. Teknologi yang dilakukan dapat terdiri dari perlakuan mekanik, vegetatif dan kimia. Perlakuan konservasi sebagai tolak ukur

95

adalah tindakan konserva si di lapangan sesuai dengan kaidah konservasi secara ilmiah. Tiap jenis teknologi yang dilakukan oleh petani secara swadaya diberi nilai 1 (satu), sehingga bila melakukan empat jenis teknologi, maka diberi nilai 4 (empat), demikian seterusnya sebagaimana dalam Tabel 3.18. Tabel 3.18. Jenis Konservasi yang Dilakukan Petani Penentu Keberlanjutan Usahatani Jenis konservasi Nilai
Pembuatan sengkedan Pembuatan jalur- jalur air Pembuatan selokan dan lubang Penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terus-menerus Penanaman dalam strip (strip cropping) Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman Penutup tanah (conservation rotation) Pemanfaatan sisa tananam atau tumbuhan (residue management) Penanaman saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways) Penanaman tanaman penguat teras Pemberian pupuk kandang Pemberian pupuk anorganik 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jumlah nilai 12 Apabila petani melakukan 3 jenis swadaya konservasi, maka diberi nilai 3, apabila melakukan 4 jenis, diberi nilai 4, demikian seterusnya, sehingga apabila petani melakukan 12 swadaya konservasi, maka akan diberi nilai 12.

3.3.3.5. Pemahaman konservasi Pemahaman terhadap konservasi merupakan variabel utama dalam kaitan dengan usahatani berkelanjutan. Petani yang paham terhadap makna konservasi dapat mempertahankan tanah agar tidak rusak dan mencegah terjadinya erosi agar dapat mempertahankan kesuburan lahan. Petani yang tidak paham terhadap makna konservasi, melakukan teknologi berdasarkan pengetahuan turun temurun, tanpa memperhatikan kaidah konservasi dalam upaya konservasi tanah.

96

Pemahaman konservasi dibagi dari dua kategori yaitu petani yang tidak paham akan makna konservasi dan petani yang paham terhadap makna konservasi. Untuk analisis data, pemahaman terhadap konservasi, dijabarkan dalam pengetahuannya dalam swadaya konservasi.
Dari daftar swadaya konservasi, maka ditanyakan mulai nomor urut 1 kepada

petani, teknologi konservasi yang telah dilakukan, berapa ukuran teknologi yang dilakukan, kemudian dibandingkan sesuai ukuran ilmiah, bila benar diberi nilai 1 (satu), bila jawaban tidak sesuai (salah) diberi nilai 0 (nol). Tahap kedua, petani ditanya apakah tujuan dari pembuatan teknologi tersebut?, apabila jawabannya ternyata benar, maka diberi nilai 1 (satu), bila salah diberi nilai 0 (nol). Apabila jawaban petani benar semua, maka petani akan mendapatkan nilai 24, sedangkan apabila salah semua, maka nilai terendah adalah 0, lihat Tabel 3.19.
Tabel 3.19. Daftar Parameter Swadaya Konservasi yang Dilakukan Petani

No

Jenis Teknologi

1 2 3 4

5 6 7 8 9

10 11 12

Pembuatan sengkedan Pembuatan jalur-jalur air Pembuatan selokan dan lubang Penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terus-menerus Penanaman dalam strip (strip cropping) Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman Penutup tanah (conservation rotation) Pemanfaatan sisa tananam atau tumbuhan (residue management) Penanaman saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways) Penanaman tanaman penguat teras Pemberian pupuk kandang Pemberian pupuk anorganik Jumlah

Ukuran teknologi yang dibuat petani Nilai Apabila Apabila benar salah 1 0 1 0 1 0 1 0

Tujuan dari teknologi Yang dibuat petani Nilai Apabila Apabila benar salah 1 0 1 0 1 0 1 0

1 1 1 1 1

0 0 0 0 0

1 1 1 1 1

0 0 0 0 0

1 1 1 12

0 0 0 0

1 1 1 12

0 0 0 0

97

Maka dibuat berdasarkan nilai tengah, bila nilai 0- 11, maka berarti tidak paham makna konservasi, hanya sekedar melakuka n teknologi berdasarkan pengetahuan tradisional, diberi nilai 1 (satu), bila nilai antara 12 24, maka terhadap makna konservasi diberi nilai 2 (dua), lihat Tabel 3.20. petani paham

Tabel 3.20. Mengetahui Makna Konservasi No. Mengetahui makna konservasi Nilai 1 Tidak paham makna konservasi 1 2 Paham makna konservasi 2

3.3.3.6. Intensitas penggunaan lahan Intensitas penggunaan lahan untuk usahatani tiap tahunnya (Tabel 3.21) akan berpengaruh sifat fisik dan kimia tanah, sumberdaya lahan yang digunakan secara terus menerus, tanpa masa bero (kosong), apalagi tanpa diikuti input yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Apabila kebutuhan tersebut tercukupi, maka untuk tanaman sayuran, dengan masa panen rata-rata 4 (empat) bulan, maka dalam satu tahun, dapat ditanami hingga 3 (tiga) kali. Penggunaan lahan 1 3 kali/tahun, diberi nilai 1 (satu), bila penggunaan lahan 4 6 kali/tahun, diberi nilai 2 (dua).
No 1 2 Tabel 3.21. Penggunaan Lahan untuk Usahatani Penggunaan Lahan (kali/tahun) Nilai 1 2

1-3 4-6

Variabel-varibel dari faktor sosial dan faktor ekonomi diatas yang terkait terhadap keberlanjutan usahatani, dianalisis dengan Uji t dua rata-rata, apakah ada beda nyata (significant), bila ada beda berarti variabel tersebut merupakan penentu terhadap keberlanjutan usahatani.

98

3.3.4. Menganalisis variabel sosial ekonomi penyebab perambahan Berdasarkan jawaban kuesioner terhadap petani sampel, diketahui terdapat beberapa petani yang melakukan perambahan lahan di lahan milik negara yang digunakan sebagai hutan lindung. Perambahan lahan telah mengakibatkan terjadinya percepatan kerusakan lahan, karena lahan terletak pada kemiringan lereng >45%. Untuk mendukung temuan tersebut, maka perlu menganalisis factor sosial ekonomi yang menyebabkan mereka merambah lahan. Analisis yang dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan dua faktor. Analisis diskriminan adalah teknik multivariat yang termasuk Dependence Method, yakni adanya variabel dependen dan independen. Variabel dependen adalah data kategorikal atau nominal. Variabel independent (x1,x2,, xn) adalah data matrik, yakni data berjenis interval atau rasio. Model dari analisis diskriminan dibedakan berdasarkan kategori yang dipakai, jika kode hanya dua model disebut Two-Group Discriminant Analysis, kode lebih dari dua kategori disebut dengan Multiple Diskriminant Analysis (Santoso, 2003:150). Statistik yang relevan dengan analisis diskriminan (Supranto, 2004:80), meliputi: korelasi kanonika l, Centroid , matrik klasifikasi, koefisien fungsi
diskriminan, skor diskriminan, eigenvalue, nilai F, rata -rata kelompok dan simpangan baku, matriks korelasi dalam kelompok yang digabung, koefisien fungsi diskriminan yang dibakukan, korelasi struktur, matr ik korelasi menyeluruh, dan Wilks. Korelasi kanonikal (canonical correlation), mengukur seberapa kuat asosiasi antara skor diskriminan dan kelompok, merupakan ukuran antara fungsi diskriminan tunggal dan set variable dummy yang membentuk anggota kelompok merambah dan tidak merambah. Centroid ialah rata-rata nilai skor fungsi diskriminan untuk suatu kelompok tertentu, banyaknya centroid sebanyak kelompok yang ada. Matrik

99

klasifikasi (confusion or prediction metric ), jumlah obyek yang secara benar terklasif ikasi dan yang salah terklasifikasi. Koefisien fungsi diskriminan yang tidak dibakukan (unstandardized), merupakan pengganda variabel ketika variabel masih dalam satuan ukuran yang asli. Variabel dibakukan disebut koefisien beta. Skor diskriminan diperole h dari nilai koefisien yang tidak dibakukan dikalikan dengan nilai variabel, dijumlahkan kemudian ditambahkan dengan konstan. Eigenvalue dalam setiap fungsi diskriminan merupakan rasio sum of squares (SS) antara kelompok dengan (SS) dalam kelompok (SSh/SS w). Semakin besar nilai eigenvalue , semakin bagus fungsi diskriminan (Supranto, 2004:82).

Nilai F dihitung dari tabel anova satu arah dengan pengelompokan variabel sebagai variabel bebas yang kategorikal (kualitatif). Nilai F digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam suatu pengamatan. Nilai F berkaitan erat dengan nilai signifikan (a), hipotesis diterima apabila nilai F0 < Fa ditolak apabila nilai F0 = Fa
(V1,V2); (V1,V2)

dan

Fa

(V1,V2)

diperoleh dari tabel F dengan

df = V1,V2. Rerata kelompok dan simpangan baku (standar deviasi/S) dihitung dengan rumus: S2j = ? (Xij Xj)2 / (n 1) atau Sj = vS2j (Supranto, 2004:82).
Matrik korelasi dalam kelompok yang digabung (pooled within group correlation matric ), dihitung dengan merata-ratakan matrik kovarian yang terpisah untuk seluruh kelompok. Koefisien fungsi diskriminan yang dibakukan

(standardized ), ialah koefisien yang dipergunakan sebagai pengganda (multipliers), kalau semua variabel telah dibakukan sehingga masing- masing variabel mempunyai rata-rata nol dan standar deviasinya satu (0 dan 1). Korelasi struktur ( tructure s correlation) disebut juga discriminant loading, merupakan korelasi linier sederhana (bivariate ) antar variabel bebas (prediktor) dengan fungsi diskriminan. Matrik korelasi menyeluruh (total correlation matrik ), apabila obyek diperlakukan seolah-

100

olah berasal dari satu sampel, kemudian korelasi dihitung, maka akan diperoleh total correlation matric . Wilks (disebut statistik), untuk setiap prediktor, merupa kan rasio dari within group sum of squares dengan total sum squares, yang nilainya antara 0 dan 1 (Supranto, 2004:83).

Kalau nilainya besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa rata-rata antar kelompok tidak berbeda, sebaliknya kalau angkanya kecil (mendekati 0), rata-rata kelompok diskriminan sangat yang berbeda, artinya bisa peneliti untuk berhasil memperoleh yaitu fungsi untuk

benar-benar

mendiskriminasi

menentukan suatu obyek akan masuk kelompok merambah atau tidak merambah. Asumsi dalam analisis diskriminan adalah bahwa setiap kelompok/grup
merupakan suatu sampel dari multivariate normal population dan setiap populasi mempunyai matrik kovarian yang sama (Supranto, 2004:83). Model analisis diskriminan berkenaan dengan kombinasi linier (Supranto, 2004) dirumuskan sebagai berikut: Di = bo + bi Xi1 + b2 Xi2 + .... + bj Xij + .... + bk Xik Keterangan: Di i Xij : nilai (skor) diskriminan dari responden (obyek) ke - i, : 1, 2, 3, .... , n; D merupakan variabel tidak bebas : variabel (atribut) ke - j dari responden ke- i, varibel bebas/prediktor ke - j dari responden ke - i, juga disebut atribut bj : koefisien atau timbangan diskriminan dari variabel atau atribut ke - j Estimasi koefisien fungsi diskriminan, dengan masing- masing kelompok terdapat sebanyak n obyek/responden (Supranto, 2004), dituliskan dengan rumus:
G

= ? ni
i=1

ni Wi = ? ( Xij Xi) (Xij Xi)


i=1 G ni

(within group)

T =?
i =1

. ? (Xij X) (Xij X)
i=1

101

Keterangan: n : banyaknya elemen (obyek) seluruh sampel; i: 1, 2, 3, .... , G

W : W1 + W2 + W3 + ... + Wi + ... + WG Wi : matrix jumlah kuadrat dan jumlah cross produts dikoreksi dengan rata -rata untuk grup/kelompok i Xi X T : vektor rata-rata observasi dalam kelompok ke i : vektor grand mean untuk seluruh n : matrix jumlah kuadrat dan jumlah cross products secara menyeluruh (total) untuk seluruh n B : matrix jumlah kuadrat dan jumlah cross produts antar grup/kelompok (between group); B = T W Skor diskriminan sama dengan nilai fungsi diskriminan (Supranto, 2004:81), dituliskan dengan rumus: Di = bo + ? b j . Xij Nilai D didefinisikan dalam komposit linier adalah D = bT X bT transpose b; b = (b0 , b1 , b2, b3 , ... , bk) sebagai vektor kolom dan bT vektor baris. 1 X1 X2 = b0 + b1.X1+b2.X2+b3.X3+ ... +bk.Xk . . Xk

D = (b0, b1, b2, b3, ... , bk)

Nilai Di dengan menggunakan referensi D, sum of squares antara kelompok dan dalam kelompok masing- masing ditulis bT , Bb dan bT Wb. Agar bisa mendiskriminasi kelompok secara maksimal, fungsi diskriminan D harus diestimasi untuk memaksimumkan variabilitas antar kelompok. Koefisien b dihitung dengan membuat ? (lambda, rasio antara jumlah kuadrat antara kelompok dengan jumlah kuadrat dalam
T kelompok) maksimum, yaitu: Mak ? = b Bb / bT Wb , dengan mengambil partial

derivative menurut ? kemudian menyamakannya dengan nol. Diperoleh persamaan: (B ? W ) b = 0. Nilai b (vektor koefisien diskriminan atau timbangan (weight) diperoleh dengan mengalikan dengan W-1 (invererse metrik W), sehingga diperoleh

102

persamaan karakteristik (characteristic equation), yaitu: (W -1 B ?)b = 0. Nilai maksimum merupakan eigen value terbesar dari matrik W-1 B dan b adalah assiated eigenvector. Elemen b (b1 ,b2 , ... , bk ) merupakan koefisien fungsi diskriminan atau timbangan (weight), berasosiasi dengan fungsi diskriminan pertama. Faktor-faktor sosial dan ekonomi yang diduga mendukung perilaku petani melakukan perambahan lahan negara, yaitu sebagai berikut.

3.3.4.1. Pendidikan petani Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam menghadapi lingkungan, baik lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Tingkat pendidikan diasumsikan berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang, semakin tinggi

pendidikan, maka makin banyak pengetahuan yang dapat diterima oleh akal pikiran, dan akan direfleksikan dalam tindakan. Persepsi oleh seseorang akan mendukung terhadap perilakunya. Dalam penelitian ini diasumsikan petani dengan tingkat pendidikan rendah, tidak cukup pengetahuannya untuk mengerti tentang baik atau buruk tindakannya bila dikaitkan dengan pelanggaran peraturan dan hukum. Petani yang tidak pernah sekolah hingga tidak tamat Sekolah Dasar (SD) mendukung perilaku perambahan lahan negara. Petani mempunyai persepsi terhadap penggunaan lahan dari perambahan untuk usahatani merupakan cara mudah dan murah untuk mendapatkan tambahan penghasilan, sehingga petani melakukan tindakan perambahan (Tabel 3.22). Sebaliknya, petani dengan pendidikan yang lebih tinggi diasumsikan mengerti akan pelanggaran hukum terhadap penggunaan lahan negara, sehingga mendukung tidak terjadinya perilaku perambahan lahan negara.

103

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tabel 3.22. Tingkat Pendidikan Petani Penyebab Perambahan Lahan Negara Pendidikan Petani Nilai Tidak sekolah 1 Tidak tamat Sekolah Dasar 2 Tamat Sekolah Dasar 3 Tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 4 Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 5 Tidak tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 6 Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 7 Akademi 8 Universitas 9

Tabel 3.22 di atas, dikaitkan dengan perilaku perambahan, maka petani yang tidak sekolah hingga tidak tamat sekolah dasar, dikatakan mendukung perilaku merambah, diberi kode 2 (dua), sedangkan pendidikan yang lebih tinggi diberi kode 1 (satu), tidak mendukung terhadap perilaku perambahan, Tabel 3.23.

No 1 2

Tabel 3.23. Tingkat Pendidikan Petani yang Mendukung Perilaku Perambahan Pendidikan Petani Nilai Pendidikan tinggi (3- 9) 1 Pendidikan rendah (1- 2) 2

3.3.4.2. Status kepemilikan lahan

Tradisi pembagian warisan yang dimaksud adalah pembagian lahan yang dilakukan oleh petani kepada anaknya. Pembagian laha n usahatani berdasarkan warisan merupakan budaya yang dimiliki petani di perdesaan Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Diasumsikan, bahwa petani yang mempunyai lahan hanya berasal dari hasil warisan adalah petani yang mempunyai persepsi bahwa lahan warisan untuk usahatani sebagai sumber pendapatan, merupakan kewajiban orangtua terhadap anak. Petani ini tidak terdorong untuk mengembangkan usahatani dengan cara bekerja keras. Atas dasar pemikiran tersebut, petani melakukan tindakan

104

perambahan lahan negara tambahan penguasaan lahan.

yaitu dengan tanpa bersusah payah mendapatkan

Petani yang mempunyai lahan dari hasil warisan dan dapat membeli sendiri, adalah petani yang mempunyai persepsi bahwa lahan dari warisan pusaka orangtua yang harus dijaga kelestariannya, sehingga tidak perlu merambah hutan negara. Apabila petani mendapatkan dari warisan dan mampu membeli sendiri, maka petani tidak akan merambah lahan negara, maka diberi nilai 1 (satu), sedangkan petani yang mendapatkan lahan hanya dari hasil warisan, diberi nilai 2 (dua),

seperti pada Tabel 3.24.

No. 1 2

Tabel 3.24. Status Kepemilikan Lahan Status Kepemilikan Lahan Lahan dari warisan dan lahan yang membeli sendiri Lahan dari hasil warisan 3.3.4.3. Pemahaman makna konservasi

Nilai 1 2

Pemahaman terhadap makna konservasi dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: paham dan tidak paham akan makna konservasi (Tabel 3.25). Pemahaman terhadap konservasi sangat penting artinya bagi petani dalam melakukan upaya swadaya konservasi. Petani yang secara benar telah melakukan swadaya konservasi, tidak akan berperilaku merambah lahan negara.

No. 1 2

Tabel 3.25. Mengetahui Makna Konservasi Mengetahui makna konservasi Paham makna konservasi Tidak paham makna konservasi

Nilai 1 2

105

3.3.4.4. Beban tanggungan keluarga Beban tanggungan adalah jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan bagi kepala keluarga. Anggota keluarga yang masih sekolah, atau belum bekerja dan belum menghasilkan uang dihitung sebagai beban tanggungan. Beban tanggungan dibagi dalam sembilan kategori, sesuai dengan sampel yang terdapat di semua petani sampel dan diberi nilai sebagaimana dalam Tabel 3.26 untuk mempermudah analisis data.

No. 1 2

Tabel 3.26. Jumlah Beban Tanggungan Jumlah beban tanggungan (orang) 13 49

Nilai 1 2

Dari tabel tersebut, diasumsikan bahwa petani dengan beban tanggungan kurang dari 3 (tiga) orang (termasuk istri) mendukung terhadap perilaku tidak

merambah lahan negara, diberi nilai 1 (satu). Beban tanggungan dua anak dan seorang istri, petani masih mendapatkan sisa pendapatan dari hasil usahataninya untuk investasi, karena biaya untuk hidup lebih rendah. Berdasarkan Data BPS (1998) keberhasilan keluarga berencana agar menjadi keluarga yang sejahtera adalah mempunyai 2 (dua ) anak orang. Petani dengan beban tanggungan lebih dari tiga orang, akan mendukung perilaku merambah lahan negara, diberi nilai 2 (dua), karena harapan yang besar untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, yang tidak cukup dengan usahatani sendiri. Beban tanggungan kurang dari tiga orang, diberi nilai 1 (satu), yaitu petani yang tidak melakukan perambahan.

106

3.3.4.5. Intensitas penggunaan lahan sendiri

Intensitas penggunaan lahan untuk usahatani tiap tahunnya (Tabel 3.27) akan berpengaruh sifat fisik dan kimia tanah, sumberdaya lahan yang digunakan secara terus menerus, tanpa masa bero (kosong), apalagi tanpa diikuti input yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, akan mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Apabila kebutuhan tersebut tercukupi, maka untuk tanaman sayuran, dengan masa panen rata-rata 4 (empat) bulan, maka dalam satu tahun, dapat ditanami hingga 3 (tiga) kali. Penggunaan lahan dengan intensitas 1 3 kali/tahun, diberi nilai 1 (satu), karena mendukung perilaku tidak merambah, petani telah mengetahui perlunya pengelolaan tanah yang baik (konservasif), agar dapat mengembalikan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Penggunaan lahan 4 6 kali/tahun. dengan intensitas

Tabel 3.27. Penggunaan Lahan untuk Usahatani


No 1 2 Penggunaan Lahan (kali/tahun) 1-3 4-6 Nilai 1 2

Petani yang tidak berpikir konservasif, akan mencari lahan baru untuk budidaya tanaman semusim, dengan menambah lahan di kawasan fungsi lindung secara mudah dengan merambah lahan negara. Petani yang mendukung perilaku perambahan lahan, diberi nilai 2, yaitu yang mempunyai intensitas penggunaan lahan tinggi.

3.3.4.6. Luas kepemilikan lahan sendiri Luas kepemilikan lahan sendiri adalah luas lahan yang dimiliki oleh petani sampel yang secara sah telah menjadi hak milik dan mempunyai sertifikat ataupun

107

girik. Luas lahan sangat menentukan terhadap besarnya pendapatan petani, dengan makin luas lahan untuk usahatani, maka produksi makin besar, sehingga pendapatan juga makin tinggi. Pendapatan petani yang tinggi telah dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga tidak akan melakukan perambahan lahan. Sebaliknya kepemilikan lahan yang sempit tidak akan dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Luas kepemilikan lahan < 0,25 ha, akan mendorong petani untuk mendapatkan tambahan lahan dengan cara merambah lahan. Luas lahan kepemilikan berdasarkan pembagian Balai Pusat Statistik (BPS), luas lahan kepemilikan > 0,25 ha (petani gurem), diberi nilai 1 yaitu tidak mendukung perilaku perambahan lahan negara, sedangkan luas lahan kepemilikan = 0,25 ha, diberi nilai 2 yaitu mendukung perilaku perambahan, dapat dilihat pada Tabel 3.28. Tabel 3.28. Luas Lahan Kepemilikan Petani
No. 1 2 Luas Lahan Kepemilikan (ha) > 0,2500 = 0,2500 Nilai 1 2

3.3.4.7. Pendapatan usahatani lahan sendiri Pendapatan dari usahatani digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Diasumsikan pendapatan usahatani lebih tinggi dibanding dengan nilai UMR (Upah Minimum Regional) yaitu sebesar Rp. 420.000,- tiap bulan atau Rp. 5.040.000,- tiap tahun. Pendapatan usahatani dengan nilai = dari UMR, maka petani dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga petani tidak akan merambah lahan negara diberi nilai 1, yaitu tidak mendukung perilaku perambahan lahan negara (Tabel 3.29).

108

Tabel 3.29. Pendapatan Usahatani dari Lahan Sendiri No. Pendapatan Usahatani Dari Lahan Sendiri (Rp/tahun) 1 > Rp 420.000 2 = Rp 420.000 Nilai 1 2

3.4

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian, adalah sebagai berikut. 1. Tujuan pertama Analisis faktor f isik lahan sebagai penentu terhadap usahatani berkelanjutan, dengan menggunakan analisis skoring. Variabel- varibel faktor abiotik, yaitu: produktivitas (persentase tanaman yang mempunyai potensi produktivitas tinggi), tingkat erosi, dan tingkat kesuburan lahan di tiap satuan lahan dilakukan skoring. Skor dibuat untuk mengetahui keberlanjutan usahatani. Hasil analisis skoring, dibuktikan dengan analisis statistik uji t, beda dua rata-rata. Skor merupakan skala ordinal, digunakan untuk memberi simbol guna mengetahui keberlanjutan usahatani, nilai 0 (nol) berarti tidak berkelanjutan, sedangkan 1 (satu) berarti berkelanjutan. a) Diasumsikan bila rata -rata persentase produktivitas tanaman > 100%, maka usahatani akan dapat berkelanjutan, dikarenakan ketersediaan unsur hara dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Rata -rata persentase produktivitas tanaman > 100%, berarti bahwa rata -rata produktivitas dalam satu satuan lahan berbagai tanaman yang dibudidayakan mempunyai produktivitas tinggi

109

(Tabel 3.30). Produktivita s tinggi apabila rata -rata persentase produktivitas lebih besar dibanding dengan produktivitas Kecamatan Tawangmangu.

No. 1 2

Tabel 3.30. Variabel Produktivitas Persentase tanaman yang mempunyai Penilaian produktivitas potensi tinggi (%) tidak < 100 berkelanjutan = 100 Berkelanjutan

Nilai 0 1

b) Diasumsikan bahwa bila erosi sangat ringan, lebih kecil dari tingkat erosi yang dapat ditolelir sebesar 37,5 ton/ha/th, didasarkan pada rata -rata berat volume tanah sebesar 1,2 gr/ml, kedalaman efektif tanah 25 cm, faktor kedala man 1 (satu), untuk penggunaan lahan selama 100 tahun, maka usahatani berkelanjutan adalah yang memiliki tingkat erosi sangat ringan dan tingkat erosi ringan dengan syarat kehilangan tanah lebih kecil dari erosi yang diperbolehkan/ditolerir (Tabel 3.31).

No 1 2 3 4 5

Tingkat Erosi Tanah Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat

Tabel 3.31. Variabel Kehilangan Tanah (ton/ha/th) < 15 15 60 60 180 180 480 = 480

Tingkat Erosi Keberlanjutan Usahatani Berkelanjutan Berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan tidak berkelanjutan

Nilai 5 4 3 2 1

Berdasarkan tabel tingkat kesuburan tanah, diasumsikan bila kesuburan rendah, maka unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak dapat tercukupi kebutuhan, sehingga tidak dapat mencapai us ahatani berkelanjutan (Tabel 3.32).

110

Tabel 3.32. Variabel Tingkat Kesuburan Kesuburan fisik Total kimia T T T T S T T R S S T T S S S S R R R T S R S R R R R Keterangan: T : Tinggi S : Sedang

Kesuburan Tanah Keberlanjutan Usahatani Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan tidak berke lanjutan Berkelanjutan tidak berke lanjutan tidak berke lanjutan R : Rendah

N ilai 1 1 1 1 1 0 1 0 0

Hasil skoring dari tiga faktor fisik, dengan mengkombinasikan berbagai tingkat produktivitas, tingkat erosi dan tingkat kesuburan, dapat dilihat dalam Tabel 3.33, sebagai dasar untuk menentukan satuan lahan yang mempunyai usahatani berkelanjutan dan satuan lahan yang mempunyai usahatani tidak berkelanjutan.

2.

Tujuan kedua
Untuk menjawab tujuan 2, yaitu dengan melakukan uji t seluruh variabel faktor sosial ekonomi, dengan tingkat kepercayaan 95%. Bila ada perbedaan yang significant (jelas dan nyata), berarti variabel tersebut merupakan penentu terhadap keberlanjutan usahatani. Rumus t- test (Hadi, 2004:226), dapat ditulis:

Keterangan : 1 : kelompok 1 f : frekuensi

111

2 X X1 X2 Sd n/N

: kelompok 2

: nilai (sampel)

: mean (nilai rata -rata) dari sampel : mean dari kelompok tidak berkelanjutan : mean dari kelompok berkela njutan : standar kesalahan perbe daan mean : jumlah subyek

Ho = 1 = 2 (: nilai signifikansi) Ha = 1 ? 2, (dengan nilai signifikansi 5%)

Tabel 3.33. Variabel Produktivitas, Tingkat Erosi dan Tingkat Kesuburan


No Persentase Produktivitas tanaman potensi tinggi (%) Tingkat erosi (ton/ha/th) Sangat ringan (berlanjut) Ringan (berlanjut) Tinggi (= 100%) Berlanjut Sedang (tidak berlanjut) Berat (tidak berlanjut) Sangat berat (tidak berlanjut) Sangat ringan (berlanjut) Ringan (tidak berla njut) Sedang (tidak berlanjut) Berat (tidak berlanjut) Sangat berat (tidak berlanjut) Tingkat Kesuburan T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) T (berlanjut) S (berlanjut) R (tidak berlanjut) Penilaian Berlanjut Berlanjut Berlanjut Berlanjut Berlanjut Berlanjut Berlanjut Berlanjut Tidak berlanjut Berlanjut Berlanjut Tidak berlanjut Berlanjut Berlanjut Tidak berlanjut Berlanjut Berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut Tidak berlanjut

Rendah (< 100%) Tidak berlanjut

3.

Tujuan ketiga

112

Untuk menjawab tujuan ketiga, dianalisis dengan analisis deskriptif, dengan cara mengevaluasi kesesuaian lahan dan kebutuhan pemupukan dibanding dengan dosis pupuk rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan, agar dapat mengetahui bagaimana mengatasi faktor pembatas di satuan lahan berlanjut dan satuan lahan tidak berlanjut serta dapat mengetahui kebutuhan dosis pupuk untuk berbagai tanaman sayuran, padi dan palawija yang

dibudidayakan. Dari hasil analisis tujuan 1, 2 dan 3 dapat ditemukan pengelolaan lahan lereng barat Gunungapi Lawu serta pengelolaan usahatani berkelanjutan.

3.5 Konseptualitas Konsepsi atau batasan dikemukakan agar memperoleh kesamaan pandangan atau pengertian terhadap variabel- variabel penelitian. a) Sustainable Land Management adalah pengelolaan lahan yang

mengkombinasikan kebijakan (policy), teknologi (echnology) dan aktivitas t (activity) yang ditujukan untuk menggabungkan prinsip sosial dan ekonomi dengan memperhatikan lingkungan (environment) agar dapat berlanjut (FAO, 1993:27). b) Berlanjut dalam konteks lokal pengelolaan lahan berlanjut, adalah

mengurangi tingkat risiko produksi (security); memelihara atau menambah produktivitas (productivity); melindungi sumberdaya alam dan mencegah degradasi (protection); mampu secara ekonomi, dan secara sosial dapat diterima (FAO, 1993: 29). c) Kerusakan lahan yaitu kerusakan sebagai akibat perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian unsur hara yang berlangsung dengan

113

cepat di bawah iklim tropika akibat erosi (Arsyad, 1989:2). Kerusakan lahan (land degradation) adalah erosi tanah oleh air yang mengakibatkan penurunan tebalnya lapisan tanah, dan penyusutan unsur hara atau kehilangan bahan organik dan pengasaman (FAO, 1993: 30). d) Kerusakan tanah adalah berkurangnya kualitas dan kuantitas tanah, meliputi sifat fisik dan sifat kimia tanah (Arsyad, 1989:2). e) Konservasi telah didefinisikan oleh yaitu pengelolaan penggunaan oleh manusia terhadap biosphere untuk menghasilkan keuntungan besar yang berlanjut untuk generasi saat ini dengan memelihara potensi guna memenuhi kebutuhan dan keinginan generasi mendatang (IUCN/ Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 1980:1). f) Konservasi (conservation) sumberdaya alam yaitu tindakan perlindungan, perbaikan dan penggunaan sumberdaya alam berdasarkan prinsip keyakinan ekonomi yang lebih baik atau keuntungan sosial manusia dan lingkungannya sekarang dan akan datang ( osial Conservation Society of America, 1982 S dalam Chudhury dan Jansen, 1998:15). g) Rumahtangga adalah sekelompok orang yang hidup dalam suatu rumah dan makan dari satu dapur yang sama, sedangkan keluarga adalah sekelompok orang yang terikat oleh adanya hubungan darah atau perkawinan (Balai Pusat Statistik, 2003:59). h) Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air ke tempat lain (Arsyad, 1989:3).
i)

Hutan lindung adalah kawasan hutan berdasarkan keadaan dan sifat fisik wilayahnya, perlu dibina dan dipertahankan sebagian dengan penutupan vegetasi secara tetap, guna kepentingan hidrologi, yaitu mengatur tata air, mencegah erosi serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam

114

kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan yang saling dipengaruhi (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karanganyar, 2002:VI- 3). j) Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur-unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa yang dapat dimanfaatkan tanaman, dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu apabila suhu dan faktor- faktor pertumbuhan lainnya mendukung pertumbuhan normal tanaman. (Winarso, 2005:6) k) Produktivitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tertentu suatu tanaman setiap satuan lahannya di bawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu (Winarso, 2005:6). l) Tanah subur atau yang produktivitasnya tinggi, yaitu tanah yang dapat menyediakan unsur hara yang sesuai dengan tuntutan tanaman, sehingga produksinya optimum. Unsur hara tanaman di dalam tanah paling banyak terdapat di lapisan atas atau lapisan olah tanah yang diserap oleh partikelpartikel liat dan humus. Tanah dengan kandungan kompleks liat dan humusnya tinggi yang masih belum terkena erosi adalah tana h yang masih subur (Suripin, 2002:23). m) Pendapatan usahatani adalah pendapatan petani yang berasal dari aktivitas produksi pertanian yang dilaksanakan, seperti penggunaan lahan, tenaga kerja, modal dan input lainnya serta aktivitas lainnya yang berhubungan dengan usahatani dalam rupiah (Soekartawi, 1995:57).
n) UMR (Upah Minimum Regional) yaitu upah minimum buruh/tenaga kerja yang berlaku di Kabupaten Karanganyar, mengacu terhadap upah minimum buruh di Jawa Tengah.

115

o)

Delapan ciri spesifik agar suatu pertanian dikatakan berkelanjutan, meliputi:

bernuansa ekologi (ecologically sound), berjiwa sosial (socially just ), bernilai ekonomis (economically viable), berbasis ilmu holistik ( ased on holistic), b berketepatan teknik (technically appropriate); berketepatan budaya

(culturally appropriate), dinamis (dynamic), dan peduli keseimbangan gender/ committed to gender balance (Zamora, 1995:2).
p)

The definition of sustainable farming is a management and conservation of the natural resource base, and the orientation of technol ogical and institusional change in such a manner to ensure the attainment of and continued satisfication of human needs for present and future generation (FAO, 1989).

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Daerah penelitian merupakan ekosistem pegunungan dengan karakteristik yang khas. Kondisi alam yang bergunung-gunung berpengaruh terhadap perilaku dan adaptasi masyarakat petani terhadap biogeofisik yang ada. Deskripsi daerah penelitian ini untuk memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang keadaan daerah penelitian yang meliputi keadaan fisik, sosial dan ekonomi serta kondisi pertanian.

4.1.

Keadaan Fisik Kecamatan Tawangmangu

Kondisi fisik merupakan pendukung dan merupakan sumber potensi bagi kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani, sehingga sangat penting untuk mengetahui kondisi fisik daerah penelitian untuk mendukung data sosial ekonomi. 4.1.1. Letak dan luas daerah Kecamatan Tawangmangu terletak di posisi 7o28 7o46 LS dan 111o0000 111o0730 BT atau dalam koordinat UTM terletak di 0508000 0521500 mT dan 9156800 9149800 mU. Kecamatan Tawangmangu terletak di lereng barat Gunungapi Lawu, dengan ketinggian antara

800 m 2.000 m dpal, dan mempunyai rata-rata ketinggian 1.200 m dpal. Kecamatan Tawangmangu secara administrasi terletak di Kabupaten

Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 4.1.

117

PETA ADMINISTRASI LOKASI P ENE LITIAN


510 0 00 51 3 000 516 00 0 51 9 000 52 2 000

Kecamatan K ar angpandan

Kecamatan Ngar goyos o

Plumb # on

Tengk lik
#

Provi nsi Jawa T imur


# # #

Ngleb ak
# #

Karanglo
# Y Tawangmang # u

Kalis oro Blumbang Gondos uli

Bandardaw ung
# #

Sepanjang

Ke ca matan Tawa ng ma ng u

K ecamatan Matesi h Kecamatan Jatiy os o


510 0 00 mT 51 3 000 mT 516 00 0 mT 51 9 000 mT 52 2 000 mT

Lege nda :
U Y # (
Su mbe r ;
N 370 00 5 3 5 800 3 5 900 5 000 0 4

0 1

3 Km

Kant or Keca mat an Kant or Desa /Kel uraha n Sunga i Ja lan Ba tas Provi ns i Ba tas Kec ama tan Ba tas Des a

3km
LAUT JAW A

1 Pe ta RB I ska la 1 : 25.0 ta hun 2 . 00 001 Zone 49 S,Sis te mK oordina UT M t 2 Ha sil pe n ma a la pa n ta . ga t n nga hun2004/2005 D i u a Ole h: b t Ir .D ina R u la r i,M.Si s nja Pr g a mPa sc a Sa r j na or a Univ r si a G dja hMa da e t s a

Jaw a B at ar Jaw T e gah a n Jaw a T m ur

D IY U SAM

D A ND O ES A ER N

Lokas P ene t an

370 00 5

3 80 0 5

9 3 500

40 00 0 5

Gam bar 4 .1. Peta Administrasi Lokasi Peneliti an

118

Kecamatan Tawangmangu berbatasan dengan Kecamatan Ngargoyoso di sebelah utara dan di bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Jatiyoso. Kecamatan Matesih dan Kecamatan Karangpandan terletak di bagian barat Kecamatan Tawangmangu, bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Magetan Provinsi Jawa Timur. Kecamatan Tawangmangu mempunyai luas lahan sebesar 7003 ha, terdiri atas tujuh desa dan tiga kelurahan. Ketujuh desa tersebut adalah Desa Bandardawung, Desa Tengklik, Desa Gondosuli, Desa Sepanjang, Desa Plumbon, Desa Karanglo, dan Desa Nglebak. Ketiga kelurahan tersebut adalah Kelurahan Kalisoro, Kelurahan Blumbang, dan Kelurahan Tawangmangu. Luas tiap desa/kelurahan dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Desa Gondosuli merupakan desa yang paling luas di Kecamatan Tawangmangu, sedangkan yang paling kecil luasnya adalah Desa Karanglo.

Tabel 4.1. Luas Desa/Kelurahan yang Terletak di Kecamatan Tawangmangu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Desa/Kelurahan Gondosuli Blumbang Kalisoro Tawangmangu Tengklik Plumbon Nglebak Karanglo Bandardawung Sepanjang Total Luas Ha 1.925,40 1.111,90 1.057,60 337,40 810,80 474,10 234,40 185,90 301,20 564,50 7003,20 Persentase % 27,50 15,80 15,10 4,80 11,60 6,80 3,30 2,70 4,30 8,10 100,00

Sumber: Monografi desa Kecamatan Tawangmangu 2002 dan analisis peta administrasi Kecamatan Tawangmangu

Desa Gondosuli merupakan desa yang berada paling timur dan berbatasan dengan Jawa Timur. Sebelah baratnya adalah Kelurahan Blumbang. Bagian paling utara dan berbatasan dengan Kecamatan Ngargoyoso adalah Desa Tengklik. Desa

119

Plumbon berbatasan dengan Kecamatan Karangpandan. Desa Bandardawung dan Karanglo, berada dibagian sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Matesih. Desa Sepanjang dan Kelurahan Tawangmangu, merupakan daerah yang terletak di bagian selatan, berbatasan dengan Kecamatan Jatiyoso. 4.1.2. Keadaan iklim

Suhu udara yang tercatat di Landasan Udara Adi S umarmo dan dalam monografi Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003, suhu udara maksimum 27C dan suhu udara minimum 10C dan kelembaban udara rata-rata 87%. Udara cukup sejuk pada waktu pagi hari dan pada waktu sore hari sering terdapat kabut. Hasil pengukuran curah hujan di stasiun Tawangmangu dan sekitarnya dapat dilihat dari Tabel 4.2. Data yang digunakan adalah rerata curah hujan selama sepuluh tahun (Tahun 1994-2003) di stasiun pengukuran Tawangmangu, stasiun Jatiyoso, stasiun Matesih, stasiun Karangpandan, dan stasiun

Ngargoyoso. Tawangmangu merupakan daerah dengan curah hujan paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lain disekitarnya, dapat dilihat dalam Gambar 4.2. Curah hujan bulanan rerata sebesar 263 mm dan curah hujan rerata tahunan sebesar 3.152 mm. Curah hujan yang turun di suatu daerah tidak selalu sama, intensitasnya maupun durasinya. Pengukuran curah hujan hanya dilakukan oleh stasiun khusus pengukuran curah hujan. Kecamatan Tawangmangu memiliki dua dan stasiun pengukur curah hujan, yaitu di Kelurahan Tawangmangu

Kelurahan Blumbang. Stasiun curah hujan yang sekarang masih dapat adalah stasiun pengukur hujan Tawangmangu, sedangkan stasiun

digunakan

hujan Blumbang tidak dapat digunakan lagi karena peralatan rusak.

Tabel 4.2. Curah Hujan Rerata 10 Tahun (1994 2003) di Stasiun Penakar Hujan Tawangmangu dan Sekitarnya Stasiun Tawangmangu (mm) Karangpandan (mm) Matesih (mm) Jumantono (mm)

Jumapolo (mm) 300 349 308 395 250 85 45 2 28 18 139 276 267 2.157

Bulan

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September oktober November Desember Rerata (mm/th)

1325 584 548 412 333 107 100 19 30 31 164 400 425 3.152

525 420 424 494 316 131 63 14 27 19 143 296 284 2.632

Elevasi (mdpl) 425 325 496 415 488 485 471 46 331 259 105 82 66 48 18 2 15 16 15 7 120 129 322 336 277 331 2.726 2.157

Sumber : Analisis data curah hujan tahun 1994-2003

Tipe

iklim

di

Kecamatan

Tawangmangu

menggunakan

klasifikasi

Jatiyoso (mm) 750 410 403 422 235 69 24 10 15 16 146 290 269 2.308

iklim

Schmidt-Ferguson dan Oldeman. Menurut Schmidt-Ferguson, penggolongan iklim didasarkan atas persyaratan tertentu, yaitu perbandingan antara bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) yang dikemukakan oleh Mohr. Klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh Schmidt-Ferguson mendasarkan perbandingan jumlah rata-rata bulan basah dan ratarata bulan kering yang dinyatakan dalam nilai Q.

Jumlah rata-rata bulan kering (BK) Q = Jumlah rata-rata bulan basah (BB)

121

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0

Tawangmangu

Karangpandan

Jumantono

Stasiun Pengukur Hujan

Gambar 4.2. Grafik Curah Hujan Tahunan Kecamatan Tawangmangu dan Stasiun Sekitarnya Kriteria yang digunakan untuk menentukan bulan basah dan bulan kering yang dikemukakan oleh Mohr adalah jumlah curah hujan bulanan, yakni sebagai berikut. 1) 2) 3) Bulan Kering, apabila curah hujan dalam 1 bulan < 60 mm Bulan Lembab, apabila curah hujan dalam 1 bulan 60100 mm Bulan Basah, apabila curah hujan dalam 1 bulan >100 mm

Berdasarkan klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh Schmidt Ferguson, maka daerah Tawangmangu memiliki tipe iklim C beriklim agak basah, dapat dilihat dari Tabel 4.3. Jumlah rerata bulan basah adalah delapan dan rerata bulan kering adalah tiga, sehingga nilai Q = 33,3%.

Jumanpolo

Jatiyoso

Matesih

122

Tabel 4.3. Klasifikasi Iklim Menurut SchmidtFerguson Klas Iklim A B C D E F G H


Sumber: Lakitan, 1997:4.2

Jumlah rata-rata BK/BB (Q) 0 = Q < 0,143 0,143 = Q < 0,333 0,333 = Q < 0,666 0,600 = Q < 1,000 1,000 = Q < 1,670 1,670 = Q < 3,000 3,000 = Q < 7,000 Q = 7,000

Keterangan Sangat Basah Basah Agak Basah Sedang Agak Kering Kering Sangat Kering Luar Biasa Kering

Berdasarkan klasifikasi iklim yang dikemukakan oleh Schmidt Ferguson, maka daerah Tawangmangu memiliki tipe iklim C beriklim agak basah, (Gambar 4.3). Jumlah rerata bulan basah adalah delapan dan rerata bulan kering adalah tiga, sehingga nilai Q = 33,3%.

Gambar 4.3. Segitiga Klasifikasi Iklim Schmidt Ferguson

Tipe iklim Kecamatan Tawangmangu berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman, Tawangmangu merupakan daerah yang mempunyai tipe iklim C3. Tipe iklim menurut Oldeman berdasarkan jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut. Klasifikasi bulan basah berdasarkan bulan dengan total curah hujan

123

kumulatif lebih dari 200 mm, dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm. Kriteria bulan basah ma upun bulan kering dikaitkan dengan kebutuhan air konsumtif untuk tanaman padi, sehingga tipe iklim ini banyak dipergunakan dalam bidang pertanian.

Gambar 4.4. Segitiga K lasifikasi Iklim Oldeman Oldeman membagi iklim menjadi lima zone agroklimat utama berdasarkan jumlah bulan basah, dapat dilihat dalam Tabel 4.4 dan menjadi beberapa subzone berdasarkan bulan kering yang berlangsung berturut-turut, dapat dilihat dari Gambar 4.4. Tipe iklim C menunjukkan periode bulan kering sedang-panjang yang akan menentukan keberhasilan kegiatan budidaya pertanian. Jumlah bulan kering dan bulan basah yang seimbang akan mempengaruhi sistem tanam yang dilakukan. Tabel 4.4. Zona Agroklimat Utama Berdasarkan Klasifikasi Oldeman Zona A B C D E
Sumber: Lakitan, 1997:4.3

Jumlah bulan basah berturut-turut >9 79 56 34 <3

124

P ETA IS OHYET DI LOKAS I P ENELITIAN


50 7 000 5 10 00 0 5 13 000 5 16 00 0 5 19 00 0 522 00 0

Kecamatan K ar angpandan

K ec amatan Ngargoyos o

Pl um bon
K li S min a a
#

Tengklik
#

Pr ov insi Jawa Ti mur


350

Ngl e a b k
#

# #

Karanglo

3 00

Tawa gmangu n # Y d
3 cm 15

Ka l soro i

B # l umbang Gondosul i

Bandardaw ng u
#

Se pa jan # n g
K li Ge mb on g a

Kecamatan Tawangmangu K ec amatan Matesih Kecamatan Jatiy os o


50 7 000 mT
U

5 10 00 0 mT

5 13 000 mT

5 16 00 0 mT

5 19 00 0 mT
0 2 4 k m A U T A A W A AA JW B RA T

522 00 0 mT

Legenda:
Y

Kantor Kec amat an


300cm

3 Km

Sungai G ris Kontur a G ris Isohye t a Jal an

Su mbe r: D taC urah H nT a a uja hun 199 - 2 4 003 K c ma n Ta wa e a ta ngma n da s e k rnya gu n ita Dibu a le h to : Ir. Dina Ru slanja ri,M.Si Progra m Pa sc Sa rjana Univ e s Ga a rsita d ja h Ma d a

J A WA T M UR

JA WA T N G A H E

Kantor De s / K lura han a e d Sta siun Penaka r Huj an


#

S M D R A U E A DY DA E HP E N E L T A N RA m T

N O E S A D N

m T

m T

Gam bar 4.5. Peta Isoh yet Lok asi Pe nelitian

125

Pembagian daerah hujan di Kecamatan Tawangmangu menggunakan metode isohyet. Isohyet merupakan garis yang menunjukkan daerah-daerah dengan curah hujan yang sama. Kecamatan Tawangmangu terbagi menjadi tiga daerah hujan, daerah dengan curah hujan lebih dari 3.500 mm/tahun, antara 3.000 hingga 3.500 mm/tahun, dan kurang dari 3.000 mm/tahun. Pembagian Kecamatan

Tawangmangu berdasarkan isohyet, dapat dilihat dalam Gambar 4.5.

4.1.3. Topografi Kecamatan Tawangmangu didominasi oleh daerah dengan topografi berbukit bergunung. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh material vulkan yang terendapkan mengalami pengikisan dan proses pelapukan yang berbeda. Tawangmangu termasuk daerah yang mempunyai topografi bergelombang hingga bergunung. Topografi bergunung, meliputi Desa Gondosuli, Kelurahan

Blumbang, Desa Tengklik, dan Kelurahan Tawangmangu bagian selatan. Topografi Berbukit, meliputi daerah Kelurahan Tawangmangu, Keluraha n Kalisoro, Desa Plumbon, dan Desa Sepanjang. Topografi bergelombang, meliputi Desa Plumbon, Desa Nglebak, Desa Karanglo, dan Desa Bandardawung. Topografi bergunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40% menjadi karakteristik yang khas di Kecamatan Tawangmangu. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap keragaman teknologi budidaya pertanian yang diusahakan petani di daerah Tawangmangu. Desa satu dengan desa lain yang berbeda kondisi fisiknya, mempunyai teknik berbeda dalam pengelolaan lahan dapat dilihat Gambar 4.6, 4.7 dan, 4.8. Persebaran klas kemiringan lereng di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Gambar 4.9 dan besarannya dalam Tabel 4.5.

126

Foto: Bulan Juni 2004, Posisi: 49 9154500mU 0513000mT

Gambar 4.6 Tegalan Teras-Gulud di Klas Kemiringan Lereng III Desa Tengklik

Foto: Bulan Juni 2004, Posisi: 49 - 9152894mU 0516990mT

Gambar 4.7. Tegalan dengan Metode Strip di Klas Kemiringan Lereng V di Desa Blumbang

Foto: Bulan Juni 2004, Posisi: 49 - 9152715mU 0510962mT

Gambar 4.8. Lereng Bawah Perbukitan di Klas Kemiringan Lereng II-III di Desa Bandardawung

127

PET A KLAS KEMIR INGAN LERENG LOKASI PENELITIAN


51 0 000 513 0 00 516 00 0 51 90 00 522 0 00

Ke cam atan N ga rg oyo so Ke ca mata n Ka ran gp and an


IV III III V

Pl um bon
Kal i Sami n
#

Tengkl ik
#

III

Prov ins i Jaw a Timu r


I V

Ng ebak l Kara nglo


#
V II

# # # Tawangm a gu n # Y # #
III

Kalisoro Bl umba ng Gondosuli

# # Bandarda wung

Sepanjang

Kal i Gembo ng
V Ke cama tan Ta wa ngm an gu

III

Keca mata n Ma tesi h

Ke ca matan Ja tiy oso


51 0 000 mT 513 0 00 mT 516 00 0 mT 51 90 00 mT
S umbe ; r 1 Foto uda skala 1: 25 . ra .000 t hun 1995 a
750 0 3

522 0 00 mT

L genda : e
U

[ %

Kantor Kec ama ta n

Kl as L ereng

5 800 0 3 3

5 900 0 4

5 000

3 Km

Kantor Des a/ K lurahan e Sungai Gari s Kont ur Jal an

I II III

Ke m ringan l ereng 0 - 8 % i Ke m ringan l ereng 8 - 15 % i Ke m ringan l ereng 15 - 25 % i

2 Pe ta R B Is ka la 1:25.0 ta hun 2 . 00 001 Zone 49 S Sis te K oordin t U TM , m a 3 H asil pen . gukura l a n n ta hu 200 n pa ga n 4 D ibua t O h : le

Jawa B ar t a
k m LAUT J W A A

Jawa Ti mur

Jawa T e ngah

Bata s Provi nsi Bata s Ke cam ata n Bata s De sa

IV V

Ke m ringan l ereng 25 - 40 % i Ke m ringan l ereng > 40 % i

Ir D in aR uslan jar M .Si . i, Pr ogr amP asc a Sar ana j U nive r tas Gadj a M ada si h

SAM D R ND O ES A U E A N

DI Y
3 5 00 9 40 00 5

Lo ka si P en eli t ia n
370 00 5 38 0 00 5

Gam ar 4.9. Pet Kl s K m r ng a Lere g Lok si Pe e iti n

128

Tabel 4.5. Klasifikasi Kemiringan Lereng Kecamatan Tawangmangu Kemiringan Lereng (%) 08 8 15 15 25 25 40 > 40 Total
Sumber: Analisis data pri mer, 2004

Topografi Datar Bergelombang Berombak Berbukit Bergunung

Luasan (m2) 1068,69 1600,93 1106,51 3227,07 7003,20

Persen (%) 15,26 22,86 15,80 46,08 100,00

4.1.4. 4.1.4.1.

Kondisi geologi dan geomorfologi Kondisi geologi.

Kecamatan Tawangmangu merupakan daerah dengan material (endapan) hasil erupsi Gunungapi Lawu. Gunungapi Lawu merupakan salah satu gunungapi Kuarter yang masih mempunyai kemungkinan aktif kembali. Batuan gunungapi Kuarter kompleks Lawu yang bersusunan andesit menindih tak selaras satuan yang lebih tua. Kumpulan batuan dari Gunungapi Lawu dibedakan menjadi Kelompok Jobolarangan atau Lawu Tua dan Kelompok Lawu Muda. Kelompok Lawu Tua yang berumur Plistosen meliputi Qvjt (Tuf Jobolarangan), Qvbt (Tuf Butak), Qvbl (Lava Butak), Qvtt (Tuf Tambal), Qvjb (Breksi Jobolarangan), Qvsl (Lava Sidoramping), dan Qvjl (Lava Jobolarangan). Kelompok Lawu Muda berumur Holosen meliputi Qvl (Batuan Gunungapi Lawu), Qval (Lava Gunung Anak), Qvcl (Lava Condrodimuko), dan Qlla (Lahar Lawu). Lawu Tua dan Lawu Muda dipisahkan oleh suatu patahan/sesar yang memanjang keselatan-barat, dapat dilihat dalam Gambar 4.10.

129

Batuan hasil erupsi Lawu Tua yang masih dapat ditemukan di Kecamatan Tawangmangu adalah Lava Jobolarangan (Qvjl). Batuan ini dapat ditemukan di lereng sebelah selatan Gunungapi Lawu. Fisiografi lereng barat Gunungapi Lawu dapat dilihat dari Gambar 4.11. Sebaran litologi di Kecamatan Tawangmangu ditunjukkan dalam Gambar 4.12.

Gambar 4.10.

Patahan (Sesar) Arah Selatan-Barat yang Memisahkan Lawu Tua dan Lawu Muda

Kecamatan Tawangmangu

Gambar 4.11. Sket Topografi Lereng Barat Gunungapi Lawu Hasil Pengamatan Lapangan dan Analisis Tahun 2004

130

P ET A GEOLOGI LOKASI PENELITIAN

L genda: e
Y # U #

K ntor K cam ata n a e K ntor Desa /Kel uraha n a S unga i G ris Kontur a S sar e J la n a Bat as Provinsi Bat as Keca mat an Bat as Desa

Ql la (Lahar L awu) Qval (La va Anak) Qvcl (Lava Condrodimuko) Qvj l (Lava Jobola rangan) Qvl (Bat uan Gununga pi L awu) T ma (Andesit ) T mw (Form si Wonosari ) l a

4 km
L A UT J WA A

S umbe : r 1 Pe ta Ge ol gi ska 1 : 100 . o la .000 Ta hun 19 97 2 Pe ta R B Is ka la 1 : 25 . .000 Ta hun2001 Zone 49 S Sis te K oordin t UTM , m a Dibu to le h a : Ir. Din Ru slanja r, M.S a i i Pro gr m Pa sca Sa n a rja a U n e ita Ga djah Ma d iv rs s a
J A WA B A RA T

J A WA T M UR

J A W T N GA H A E

S A MU E R A N D O NE A D S

DY

DA E RA HP N E L T A N E

m T

m T

m T

Gam bar 4.12. Peta Geo logi L okasi Penelitian

131

Berdasarkan Peta Geologi lembar Ponorogo skala 1:100.000 Tahun 1997, litologi yang ada di Kecamatan Tawangmangu, adalah sebagai berikut. 1) Lahar Lawu (Qlla) Komponen andesit, basalt dan sedikit batuapung beragam ukuran yang bercampur dengan pasir gunungapi. Sebarannya terutama mengisi wilayah di kaki gunungapi atau membentuk perbukitan rendah. 2) Lava Condrodimuko (Qvcl) Lava andesit yang dilelerkan dari kawah Condrodimuko ke arah baratdaya. Pelemparannya ke arah baratlaut dibatasi oleh sesar turun yang memotong puncak Gunung Lawu, ke selatan oleh sesar Cemorosewu. 3) Lava Anak (Qval) Lava andesit yang mengalir dari pusatnya di Gunung Anak. Lava berwarna kelabu tersusun oleh plagioklas, sedikit kuarsa, felspar, dan amfibol. Aliran lava ini ke timur laut membentuk pematang rendah hingga kerucut parasiter Gunung Mijil. 4) Batuan Gunungapi Lawu (Qvl) Terdiri dari tuf dan breksi gunungapi, bersisipan lava, umumnya andesit. Tuf berbutir kasar hingga sangat kasar mengandung fragmen andesit, batuapung, kuarsa, feldspar serta sedikit piroksin dan amfibol. Sebagian feldspar terubah menjadi lempung dan klorit. Tebal lapisan lebih dari dua meter. Breksi gunungapi berwarna kelabu hitam terdiri dari andesit berukuran 520 cm, terpilah buruk, butiran menyudut, masa dasar berupa batupasir gunungapi kasar yang bersifat tufan. Tebalnya lebih dari 5 m. Lava berwarna hitam kelabu bersusunan andesit, terdiri dari plagioklas, feldspar, sedikit mineral mafik dan gelas gunungapi, merupakan sisipan dengan ketebalan rerata 1 m.

132

5) Lava Jobolarangan (Qvjl) Lava andesit yang mengandung andesin, kuarsa, feldspar dan hornblende. Aliran lava ke baratdaya berasal dari Gunung Jobolarangan yang merupakan puncak tertinggi di Kompleks Lawu Tua. 6) Andesit (Tma) Terobosan andesit dengan tekstur porfiritik. 7) Formasi Wonosari (Tmwl) Tersusun dari batugamping dan kalkarenit, bersisipan dengan batu gamping konglomeratan dan napal. Batu gamping terumbu berwarna kelabu atau kelabu kecoklatan, pejal dan kompak, mengandung foraminifera, moluska, ganggang, dan koral.

4.1.4.2.

Kondisi geomorfologi

Aktivitas vulkanik meliputi hampir seluruh Pulau Jawa. Aktivitas vulkanik ini meninggalkan deretan gunungapi yang membujur di bagian tengah Pulau Jawa. Gunungapi Lawu merupakan salah satu gunungapi yang berada di jalur ini. Kecamatan Tawangmangu merupakan salah satu daerah yang berada di lereng Gunungapi Lawu. Gunungapi Lawu dibedakan dalam kelompok gunungapi tua dan gunungapi muda. Kelompok kerucut muda dari Gunungapi Lawu dibangun di atas struktur yang lebih tua. Sebagian dari substruktur yang lebih tua ini terlihat pada lerengnya yang tersingkap. Separuh besar terletak di sebelah selatan telah terpotong oleh suatu celah, sehingga bahan-bahan vulkanik dari titik pusat letusan mengalir ke arah bawah lewat celah ini (Pannekoek, 1989). Berdasarkan genesa dan proses pembentukannya, Kecamatan Tawangmangu dibedakan ke dalam beberapa bentuklahan. Bent uklahan yang ada di Kecamatan

133

Tawangmangu ditunjukkan dalam Gambar 4.13, dibedakan menjadi enam bentuk lahan, yaitu: a. Kerucut gunungapi (V2), merupakan daerah yang berada dekat dengan sumber erupsi. Luasannya sempit, kemiringan lerengnya terjal, material kompak, daerah gersang tanpa vegetasi (rumput). b. Lereng atas gunungapi (V3), merupakan daerah yang berada di bawah kerucut gunungapi. Lereng atas merupakan bagian dari strata lereng gunungapi yang berada pada bagian atas. c. Lereng tengah gunungapi (V4), merupakan lereng bagian tengah pada morfologi lereng gunungapi yang berbatasan langsung dengan lereng atas dan lereng bawah. Lereng atas dengan lereng tengah maupun lereng bawah dibedakan berdasarkan karakternya maupun berdasarkan letaknya.

Pergantian antara lereng atas, lereng tengah maupun lereng bawah ditandai oleh adanya tekuk lereng, kebanyakan ditandai dengan pemunculan mataair. d. Lereng bawah gunungapi (V5), merupakan daerah bagian bawah dalam morfologi lereng gunungapi. e. Dataran kaki gunungapi (V8), merupakan daerah dengan kemiringan lereng antara 0 % 15 % yang berada di bagian kaki gunungapi. f. Perbukitan gunungapi terdenudasi (V19), merupakan deretan pegunungan yang berada di lereng kaki gunungapi. Terdenudasi berarti perbukitan tersebut telah mengalami proses-proses pengikisan. Berdasarkan proses pengikisannya dibedakan kedalam tiga kelompok, yaitu (a) terkikis kuat, (b) terkikis sedang dan (c) terkikis lemah. g. Bukit terisolasi (D4), merupakan terobosan andesit. Bentukan lain yang dapat diamati adalah bukit gamping (K4), dengan material berupa batugamping.

134

PETA BENT UK LAHAN LOKA SI PENELITIAN


507000 5 10000 5 0 13 00 51 00 6 0 51 00 9 0 522000

Kecamat an K arangpandan

Kecamatan Ngargoyos o

Plu mbon
Kali Sam in
#

Ten gkli k
#

Provinsi Jawa Timur


Kal iso ro Blumb ang
# #

Ngle ba k
#

# #

Kara nglo

Tawan gman gu
# Y

Ban dar dawu ng


#

Gondo sul i

Se anj ang # p
Kal i Gem b g on

Kecamatan Tawangmangu Kecamatan Matesih Kecamat an Jatiyoso


507000 m T 5 10000 m T 5 0 mT 13 00 51 00 m T 6 0
Bukit Ter iso lasi da ri B tu an And es it a

51 00 mT 9 0
Su mber : 1. F oto U ar aska la1 :25. 000 t ahun 1995 d 2. P e a Geolo gi Lem bar P onor og o skala t 1 : 1 00.000 t ahun 1997 3. P e a RBI ska la 1 : 25 .000 tahu n 200 1 t Zone 49S, Sistem Koor dinat UTM 4. Ha sil Peng a atan di La pangan tahun 2 004 m 5. S istem p e amaan berdasarka n Van Zu idam, 19 85 n Dib uat o leh: I r. Di na Ruslanj ari, M.S i Pr ogra m Pa sca S arjan a Unive rsi tas Gad ja Mada h

522000 mT

Legenda:
U # Y #

3 Km

Kantor Ke ca matan Kantor D e a/Kelu rahan s Sung ai Garis Kon tu r Jal an Batas Provi nsi Batas Keca matan Batas Des a

Bukit Ter iso lasi da ri Fo rmas i Wo n osa ri Per bu kita n Gu nun ga pi Te rd en ud as i ku at Per bu kita n Gu nun ga pi Te rd en ud as i Sed an g Per bu kita n Gu nun ga pi Te rd en ud as i lema h Ker ucu t G u nu ng api Le ren g Atas G un un gap i Le ren g Te n ga h Gun un ga pi Le ren g Baw ah Gu nu ng ap i Da tar an Ka ki Gu nu n ga pi

30 08

3 0 0 9

4 0 0 0

0 2
J AW A BARAT

4 km
L WT A J U A A

J AW A TM R U

DY J AW T A ENGA H

30 0 0 m T 9

4 0 0 0 m T

S A M O E U N E A N D R D S A DAERAH PENEL T AN

30 T 08m0

Gambar 4.13. Peta Bentuklahan Lokasi Peneli tian

135

4.1.5. Keadaan tanah Tanah yang terbentuk di daerah Tawangmangu berasal dari bahan induk Gunungapi Lawu. Bahan induk tersebut merupakan hasil erupsi gunungapi yang berupa abu vulkanik, bahan-bahan piroklastik, dan lava yang membeku kemudian melapuk. Menurut sistem klasifikasi tanah Supraptohardjo (1961 dalam Harjowigeno, 1993), jenis tanah di Kecamatan Tawangmangu dibedakan dalam andosol, latosol, dan litosol (Peta Jenis Tanah Kabupaten Karanganyar skala 1:100.000 tahun 1995). Andosol yang berkembang di lereng Gunungapi Lawu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; solum tanah sedang, lapisan tanah atas berwarna kelabu tua, tekstur lempung berdebu, konsistensi sangat gembur, struktur remah, kaya akan bahan organik, permeabilitas cepat (Darmawijaya, 1997:319). Latosol yang ada memiliki ciri tekstur lempung, struktur remah sampai gumpal, permeabilitas cepat, kandungan bahan organik rendah, peka terhadap erosi (Darmawijaya, 1997:297). Persebaran tanah di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat pada Gambar 4.14. Persebaran jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Tawangmangu adalah sebagai berikut. 1) Andosol coklat kekuningan dan litosol terletak di wilayah Kecamatan Tawangmangu bagian atas yang meliputi Desa Gondosuli, Desa Tengklik, Kelurahan Blumbang, Kalisoro, dan Kecamatan Tawangmangu. 2) Latosol dapat ditemukan di beberapa desa, diantaranya adalah Desa Plumbon, Desa Nglebak, Desa Karanglo, Desa Bandardawung dan Desa Sepanjang.

136

PETA TANA H LOKASI PENELITI AN


5 10 00 0 51 30 0 0 516 00 0 5 19 00 0 5 22 00 0

Kecamatan Karangpandan

Kecamatan Ngargoy o os

Plum bon
Kali Samin # #

Ten gkli k

Provinsi Jawa Timur


Gon d su li o
# # #

r # Ka an glo Ba da rda # un g n w

Ng leb ak Ta wan gma ng u #


Y #

Kalis oro Blum bang

Sep an ja # g n
Kali Gembong

Kecamatan Matesi h

Kecamatan Tawangmangu

Kecamatan J ati yos o


5 10 00 0mT 51 30 0 0mT 516 00 0 mT 5 19 00 0mT 5 22 00 0mT

37 00 5

38 0 00 5

39 0 00 5

40 0 00 5

Legenda :
U Y # #

Jenis Tanah
Ko mplek A n sol CoklatK ek un do ingan Ko mplek A n sol Coklatdan Lito ol do s Latos olC oklat Latos olC oklat K emer ahan Litos o l

Kanto r Kecamatan Kanto r Desa/Kelurahan Sungai Jalan Batas Pro vin si Batas Kecamatan Batas Desa

S umb e ; r 1. F o to ud a a skala 1 :2 5 00 t ahun 199 5 r .0 2. P et a Je nis Ta ah Ka bupate n Kara nganya r tahu n n 19 90 skala 1:10 0.00 0 3. P et a R I skal a1 : 25 .000 tah un 2 001 B Zo ne 4 9 S, Sistem Koo rdin at U TM D buat Oleh : i Ir. D in a Ru slan jar i, M .Si Pr ogra mPasca Sa rja na Un iversi tas G adj ah Ma da
J wa a Ba ra t

k 1m

LA UT JA W A

J wa Ten ah a g Ja a w Ti m u r

3 Km

S A U E I NDON S I M D RA E A L k a sP e el ti a o i n i n

D IY

7 3 50 00

38 0 0 0 5

3 5 00 0 9

40 0 0 5

Gam ba 4.14. Peta Tanah L k as Penelit ian

137

Distribusi

jenis

tanah

di

berbagai

desa/kelurahan

di

Kecamatan

Tawangmangu, dapat dilihat dalam Tabel 4.6. Desa Gondosuli, Kelurahan Blumbang serta Kelurahan Kalisoro mempunyai jenis tanah Andosol coklat dan Litosol, sedangkan Desa Nglebak, Desa Plumbon dan Tawangmangu seluruhnya mempunyai jenis tanah seragam, yaitu latosol coklat.

Tabel 4.6. Jenis Tanah di Kecamatan Tawangmangu Jenis Tanah ( % ) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Desa/Kelurahan Desa Bandardawung Desa Gondosuli Desa Karanglo Desa Nglebak Desa Plumbon Desa Sepanjang Desa Tengklik Kelurahan Blumbang Kelurahan Kalisoro Kelurahan Tawangmangu
Andosol Coklat dan Litosol Andosol Coklat Kekuningan Latosol Coklat Latosol Coklat Kemerahan

100,00 100,00 100,00 -

17,60 -

19,42 68,90 100 100 64,80 82,40 100,00

80,58 31,10 35,20 -

Sumber: Kecamatan Tawangmangu dalam angka 2003

4.1.6. Kondisi hidrologi Sumber air di Tawangmangu berasal dari air sungai, mataair dan yang utama adalah air hujan. Sungai utama yang menjadi muara dari berbagai sungai-sungai kecil adalah Kali Samin untuk bagian utara dan Kali Gembong untuk bagian selatan. Aliran air dari lereng atas, lereng tengah dan lereng bawah terkumpul menjadi satu aliran Kali Samin, sedangkan Kali Gembong merupakan muara dari aliran air yang berasal dari perbukitan di bagian selatan Tawangmangu. Kondisi

138

sungai-sungai yang ada di Tawangmangu sempit dan curam, hal ini merupakan bukti bahwa erosi vertikal sangat aktif dengan tenaga aliran yang besar. Kali Samin dan Kali Gembong merupakan sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun, dengan pasokan yang berasal dari mataair. Kali Samin mendapatkan pasokan air dari mataair- mataair yang berada di Kelurahan Blumbang, Desa Gondosuli, Desa Tengklik, Desa Plumbon, Desa Karanglo, Desa Nglebak, dan Kelurahan Tawangmangu. Kali Gembong mendapatkan pasokan dari mataair yang berada di Kelurahan Kalisoro, Desa Sepanjang, dan Desa Bandardawung. Persebaran mataair yang ada di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Gambar 4.15. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian, mataair yang ada di Kecamatan Tawangmangu memiliki debit maksimum 40 liter/detik dan debit minimum sebesar 1 liter/detik. Di Kelurahan Blumbang ditemukan paling banyak mataair dengan debit rata-rata 15 liter/detik (Tabel 4.7). Di Desa Gondosuli ditemukan tiga mataair dengan debit lebih besar dari 10 liter/detik, dan dua mataair dengan debit kurang dari 10 liter/detik. Di Desa Nglebak ditemukan tiga mataair dengan debit lebih dari 10 liter/detik, di Kelurahan Kalisoro dan Kelurahan Tawangmangu ditemukan tiga mataair yang memiliki debit lebih dari 10 liter/detik. Di Desa Plumbon ditemukan dua mataair yang memiliki debit lebih dari 10 liter/detik dan di Desa Tengklik dan Desa Sepanjang ditemukan satu mataair dengan debit lebih dari 10 liter/detik.

139

Tabel 4.7. Debit Mataair di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003


No. Desa/Kelurahan Nama Mataair Cabuk Tambi Sumber sirah Puntopapon Genting Dandang Nglembel Lanang Pringgodani Kepuh Tritik Setro Cabuk Nyableng Klinggan Plangrong Limbaran Sinan Watulawang Srupan Sekardjinggo Semanggi Sajenan Dem Dadap Batur Pringapus Kramat Ngedok Kempuh Tlaga Guyon Sedayu Dempul Semo yo Nglebuk Ngudal Jemberan Gondang Cumpleng Salenggar Satugu Plaboan Pucung Lampus Seloyo Doplang S - ekajar S - uruhan S - apiburang P - orong N - genengan Debit (liter/dt) 30 20 4 10 2 10 20 15 10 15 20 15 30 15 20 5 10 10 5 3 10 15 15 10 4 15 7 3 10 10 10 2 2 1 1 10 40 30 1 10 10 5 5 5 3 3 3 10 2 2 1 1 Ketinggian (mdpal) 1200 1200 1000 1500 1200 1200 900 975 1000 1200 1200 1000 1000 750 1200 1000 1200 1200 1200 750 750 725 -

Desa Gondosuli

Kelurahan Blumbang

Kelurahan Kalisoro

Kelurahan Tawangmangu

Desa Tengklik

Desa Nglebak

Desa Plumbon

8 9

Desa Karanglo Desa Bandardawung

10

Desa Sepanjang

Sumber: Dinas Pertanian Tahun 2002 dan Pengamatan Lapangan Tahun 2005

140

PETA SEB ARAN MATAAIR DI LOKASI PENELITIAN


510000 513000 516000 519000 522000

Kecamat an Ngargoyos o Kecamat an Karangpandan

Plum # bon
#

Tengkli k

Gondos uli

Provin si Jawa Tim u r

K aranglo

ak Ngleb #
# # Tawangmangu # Y #

K ali soro Blum bang

B andardawung

Sepanj ang

Kecamat an T awangmangu

Kecamatan Matesih

Kecamat an Jatiyoso
510000mT 513000mT 516000mT 519000m T 522000mT

Legenda :


0 1 2 3 K m

Mataair Panas Per ennial

Sungai Garis Kontur Ja lan Batas Provinsi

Su mb er; 1 Pet a Geo log i lemba r Po no rog oska . la 1:1 00 .00 0 t ahun 1 99 7 2 Pet a RB I ska la 1 : 2 5.0 00 ta hu n 2 00 1 . Zon e 49 S, Sis tem Ko or din at UTM

75 0 00 N

38 0 0 50

3 95 0 0

40 0 00 5

Ja wa

3 m k
LA U JA WA T

Mataair Perennia l (Q>10l iter/dtk)

3 D ina s Pe rt ania n Kec. Ta wan gmang u, 20 02 . 4 H asil pe n amat an la pan ga n tah un 20 05 . g


Ba t ra

Ja wa T n g h e a Ja wa T im u r DI Y

# Y (

Kantor Kecamatan Kantor Desa/Kelur ahan

Batas Kecama tan Batas Desa

Dib ua t O leh : Ir. D ina Rusla njar i, M. Si Pro gr am Pa sca Sa rj ana Unive rsit as Ga dj a hMa da

S MU D R I D O E I A E A N N SA

L o a i Pe e l iti a k s n n
3 750 00 38 0 0 5 3 00 0 95 40 0 0 5

Gamb ar 4 .15 . Peta Sebaran Mataa ir Lok as i Penelitian

141

Sumber air dimanfaatkan untuk berbagai keperluan masyarakat Tawangmangu dan sekitarnya yaitu untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian. Keberadaan air untuk keperluan rumah tangga dan industri dikelola oleh perusahaan air minum (PAM) maupun oleh kelompok masyarakat, sedangkan kebutuhan air untuk irigasi sepenuhnya dikelola oleh masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu. Kelompok yang merupakan kumpulan dari para pemakai air tersebut berfungsi untuk mengelola dan membagi distribusi pemakaian air agar dapat merata di seluruh lahan petani.

4.1.7. Penggunaan lahan Penggunaan lahan di Kecamatan Tawangmangu adalah untuk: usahatani, semak belukar, pekarangan dan permukiman, ladang penggembalaan, hutan produksi dan sawah. Hutan produksi yang diusahakan oleh negara menempati 59,49% dari luas Kecamatan Tawangmangu. Penggunaan lahan tegalan menempati sebesar 18,68%, sawah sebesar 10%, sedangkan permukiman sebesar 8,7% dari seluruh luas lahan di Kecamatan Tawangmangu. Luas penggunaan lahan dan persentasenya secara lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 4.8. Hutan menempati daerah bagian atas, tegalan tersebar di seluruh daerah dengan sistem pengelolaan yang berbeda. Sawah terletak di daerah bawah dengan klas kemiringan lereng II-III. Berbagai jenis penggunaan lahan di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Gambar 4.16, 4.17 dan 4.18.

142

Tabel 4.8. Penggunaan Lahan di Kecamatan Tawangmangu No 1 2 3 4 5 6 Penggunaan Lahan Tanah sawah Perkarangan/bangunan Tegal/kebun Ladang pengembalaan Hutan (lindung, produksi) Lain- lain Total Luas Lahan (ha) 713,39 619,20 1.328,88 4,00 4.187,34 112,22 7.003,20 Persentase (%) 10,03 8,70 18,68 0,06 59,49 3,15 100,00

Sumber: BPS, 2003:1.3 -1.6

Foto: 2 Juli 2005, Posisi: 49 - 9154463mU 0514751mT

Gambar 4.16. Penggunaan Lahan untuk Tegalan di Le reng Perbukitan di Desa Tengklik

Foto: Bulan Juli 2004, Posisi: 49 - 9152715mU 0510962mT

Gambar 4.17. Penggunaan Lahan untuk Sawah di Desa Karanglo

143

Foto: 2 Januari 2005, Posisi: 49 - 9152431mU 0518293mT

Gambar 4.18. Hutan Milik Negara dan Bentuk Permukiman di Blumbang

4.1.8.

Tanaman yang dibudidayakan

Tanaman yang dibudidayakan di daerah penelitian terdiri dari tanaman pangan, tanaman keras, sayuran dan holtikultura, antara lain: a. tanaman pangan terdiri dari: padi, jagung, dan ketela; b. tanaman keras terdiri dari: tembakau, jahe dan cengkeh; c. tanaman sayuran terdiri dari: wortel, sawi, kapri, bawang daun, bawang merah, bawang putih, buncis, koro, slada, tomat, cabai dan brokoli; dan d. tanaman holtikultura, terdiri dari: jeruk, strawberi, stepia, pisang dan salak. Komoditi utama di Kecamatan Tawangmangu adalah jenis sayuran, seperti: wortel, sawi, buncis, cabai, bawang daun, bawang putih, dan bawang merah. Beberapa jenis tanaman palawija juga dibudidayakan di Kecamatan Tawangmangu, seperti: ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan padi. Jenis tanaman keras (tahunan) yang diusahakan adalah sengon, cengkih, petai, dan beberapa pohon yang bisa diambil manfaat dari buah, daun, dan batangnya.

144

4.1.9. Keadaan penduduk dan petani Keadaan penduduk dan petani menurut data monografi desa Tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Tawangmangu berjumlah 43.065 orang. Komposisi penduduk adalah 21.067 orang laki- laki dan 21.770 orang perempuan. Kepadatan penduduk 621 penduduk/km, pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,93. Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Tabel 4.9. Persentase mata pencaharian penduduk terbesar sebagai petani, yaitu sebesar 61%, dengan demikian usahatani masih menjadi tumpuan harapan penghidupan bagi sebagian besar penduduk di Kecamatan Tawangmangu, seperti layaknya fenomena yang terjadi pada sebagian besar perdesaan di Pulau Jawa.

Tabel 4.9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencahariannya di Kecamatan Tawangmangu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jenis Mata Pencaharian Petani pemilik tanah Petani penggarap tana h Petani penyakap Nelayan Pengusaha sedang/besar Pengrajin industri kecil Buruh tani Buruh Industri Buruh bangunan Buruh pertambangan Perkebunan besar kecil Perdagangan Pengangkutan PNS ABRI Pensiunan (PNS/ABRI) Total Jumlah (orang) 6.327 3.233 0 0 85 12 0 687 1.958 0 0 1.846 324 740 96 428 15.646 Persentase (%) 40 21 0 0 1 0 0 4 12 0 0 12 2 5 1 3 100

Sumber: Monografi Kecamatan Tawangmangu, 2003

145

4.1.10. Luas berbagai penggunaan lahan Keadaan pertanian yang dikaji adalah penggunaan lahan, jenis tanaman, dan luas panen dari berbagai komoditas pertanian pada berbagai desa/kelurahan. Luas penggunaan lahan di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Tabel 4.10 dan secara spasial dapat dilihat dalam Gambar 4.19. Sawah yang terluas dimiliki oleh Desa Nglebak, kondisi ini dilakukan karena Desa Nglebak terletak pada lereng klas II, dengan kemiringan lereng antara 8,01% - 15%, pembuatan teras untuk penggunaan sawah dapat dilakukan. Pada lahan dengan kemiringan lereng I dan II memungkinkan lebih banyak pengelolaan yang sesuai dengan potensi lahan. Letak satuan lahan pada lereng kaki mendukung ketersediaan air irigasi yang cukup melimpah.

Tabel 4.10. Luas Berbagai Penggunaan Lahan di Kecamatan Tawangmangu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Komoditi Padi Jagung Ubi kayu Ubi jalar Sawi Tomat Wortel Buncis Cabai Bawang merah Bawang putih Luas Panen (ha) 442 241 169 38 123 38 446 89 19 53 67 Produksi (ton) 2.519 868 2.974 555 11.590 610 121.930 2.820 497 7.570 11.010

Sumber : Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu, 2003

146

PETA PENGGUNA AN LAHAN LOKASI PENELITI AN


5 10 00 0 513 0 00 516 00 0 51 9 00 0 5 22 00 0

Kecamatan Karangpandan

Kecamatan Ngargoyoso

Plu mbo n
#

Te ng klik
#

Provinsi Jawa Timur


# # #

Ngle ba k Kar ang lo


#

a wan gma ng u T #
Y #

Kalis oro Blu mba ng Gon dosu li

Ba da rdaw un g n

Sepa nj a# ng

Kecam atan Tawangm ang u

Kecamatan Mat esih Kecamatan Jat iyoso


5 10 00 0mT 513 0 00 mT 516 00 0mT 51 9 00 0mT 5 22 00 0mT

Legend a : [ % Kantor Kecamatan Kantor Desa/Kelu rahan (

3 75 0 0

38 0 0 0 5

3 95 00

4 50 00 0

Jenis Penggu naan Lah an Hutan

Su mber ; 1. F oto udar a sk ala 1: 25.00 0 ta hun 1995 2. P eta RB I skala 1: 25.0 00 ta hun 200 1 Zon e 49 S, S istem K oor dina t UTM

U
LA U JA T WA

J wa a Ba t ra
1 0 1 km

J wa Ten ah a g

3Km

Su ng ai Jalan Batas Pro vin si Batas Kecamatan Batas Desa

Tegalan Sawah Pemukiman

3. H asil pe n ukur an l apanga n tah u 200 4 g n D buat Oleh : i Ir. D in a Ru slan jar i, M .Si Pr ogra mPasca Sa rja na Un iversi tas G adj ah Ma da
S M UE R I D O E I A D A N N SA

J wa a Ti u m r DIY

L k a i Pe n el ti n o s ia

3 75 0 0

38 0 0 0 5

350 0 9

4 05 00

Gam bar 4.19. Peta Penggunaan Lahan Lokas i Penelitian

147

4.1.11. Luas panen dan jenis komoditas Luas panen merupakan luasan untuk usahatani dan jenis komoditas yang ditanam di Kecamatan Tawangmangu. Luas panen beberapa jenis komoditi dari beberapa desa/kelurahan di Kecamatan Tawangmangu ( Tabel 4.11). Di Desa Plumbon dengan luas area 115 ha banyak dibudidayakan tanaman padi, disebabkan Desa Plumbon memiliki klas kemiringan lereng II (kemiringan antara 8,01 15,00%), sehingga memungkinkan penggunaan lahan untuk sawah irigasi dengan teknologi konservasi terasering.

Tabel 4.11. Luas Panen dari Berbagai Komoditas di Kecamatan Tawangmangu Tahun 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Komoditi Padi Jagung Ubi kayu Ubi jalar Sawi Tomat Wortel Buncis Cabai Bawang merah Bawang putih Luas Panen (ha) 442 241 169 38 123 38 446 89 19 53 67 Produksi (ton) 2.519 868 2.974 555 11.590 610 121.930 2.820 497 7.570 11.010

Sumber : Dinas Pertanian Karanganyar, 2003

4.1.12. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Tawangmangu masih tergolong rendah, hal ini dapat dilihat dari data banyaknya penduduk yang tidak sekolah dan tidak lulus Sekolah Dasar (SD) (Tabel 4.12). Rendahnya kesadaran masyarakat

148

terhadap pentingnya pendidikan dan tidak adanya biaya untuk sekolah, merupakan dua hal penyebab keadaan tersebut. Petani beranggapan bahwa sekolah merupakan kegiatan sebatas mendapatkan pelajaran baca dan tulis. Seorang anak petani lebih dituntut untuk dapat mengerjakan lahan pertanian yang dimiliki, serta meneruskan pekerjaan orangtua sebagai petani.

Tabel 4.12.
No Bandardawung

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Tawangmangu


Tawangmangu

Gondosuli

Sepanjang

Blumbang

Karanglo

Tengklik

Plumbon

Kalisoro

ngeblak

Tingkat pendidikan 1 Tidak/ belum sekolah SD SMP SMA Akademi/sarjana Total

565

486

350

863

267

365

287

789

282

652

4096

2 3 4 5

1497 569 245 63 2939

2368 646 224 21 3745

2684 332 156 39 3561

4253 354 232 62 5764

3568 321 495 8 4659

2685 359 256 25 3690

2166 448 198 5 3104

1856 320 111 67 3143

2365 345 362 94 3448

5321 623 542 112 7250

28.763 4.317 2.821 496 40.493

Sumber: Monografi desa/kelurahan di Kecamatan Tawangmangu, 2002

Berdasarkan tersebut di atas, sebesar 81% penduduk di Kecamatan Tawangmangu belum menjalani program pendidikan Sekolah Dasar (SD) selama sembilan tahun. Sepersepuluh penduduk yang berhasil lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP); tujuh persen berhasil lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sebesar satu persen lulus akademi dan lulus perguruan tinggi. Dari data tersebut, penduduk Kecamatan Tawangmangu masih belum mendapatkan pendidikan yang layak untuk saat ini. Pendidikan menengah atas dan pergurua n tinggi merupakan kesempatan yang langka.

Jumlah

149

4.2.

Profil Rumahtangga Petani

Profil rumahtangga petani merupakan gambaran kondisi dan sosial ekonomi petani di Kecamatan Tawangmangu. Gambaran kondisi tersebut didapatkan dari petani sampel. Kondisi rumatangga tani, meliputi: pendidikan petani, kepemilikan lahan petani, dan beban tanggungan petani.

4.2.1. Tingkat pendidikan petani sampel Tingkat pendidikan petani sampel sebagai responden di berbagai desa dapat dilihat dalam Tabel 4.13. Separuh petani sampel perna h sekolah, namun tidak lulus Sekolah Dasar. Sebesar seperlima petani yang tidak pernah bersekolah dan sebesar 15,5% petani sampel berhasil lulus Sekolah Dasar. Dari persentase tersebut terlihat pendidikan sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi, merupakan kesempatan yang langka bagi petani. Tabel 4.13. Tingkat Pendidikan Petani Sampel No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Tidak lulus SD Lulus Sekolah Dasar Tidak Lulus SMP Lulus SMP Tidak lulus SMA Lulus SMA Akademi/ Sarjana Jumlah Persentase (%) 20,40 51,90 15,50 0,55 5,50 3,90 1,70 0,55 100,00

Sumber: Analisis data primer tahun 2004-2005

4.2.2. Kepemilikan lahan petani sampel Status kepemilikan lahan petani sampel dalam penelitian ini adalah lahan milik sendiri. Kepemilikan lahan dengan cara membeli maupun warisan dari orangtua, yang berasal dari warisan turun-temurun. Berdasarkan fakta yang 150

didapatkan dari koesioner, beberapa petani sampel mempunyai lahan di hutan negara, denga n status kepemilikan lahan tidak jelas. Lahan tersebut didapat dari perambahan lahan negara, dan sebagian lagi didapatkan dari pembelian secara tidak resmi dari aparat desa. Pendataan keadaan kepemilikan lahan petani sampel dilakukan agar didapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai seberapa jauh kepemilikan lahan berakibat terhadap aktivitas pengelolaan usahatani. Pendataan tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu: 1) status kepemilikan lahan, dari warisan atau membeli sendiri; 2) apakah terdapat kepemilikan yang berasal dari merambah

lahan; 2) lama kepemilikan lahan petani; 3) luas lahan petani; 4) petani sampel yang pernah menjual lahan; dan 5) pertambahan luas lahan petani sampel.

4.2.2.1. Status dan asal kepemilikan lahan petani sampel Status kepemilikan lahan petani sampel adalah lahan milik sendiri yang diperoleh dari membeli sendiri; warisan; warisan dan membeli/merambah lahan negara. Lahan dengan status milik sendiri dari petani sampel sebesar 92,27% dan yang milik sendiri namun merupakan tanah negara sebesar 7,34%, dapat dilihat Tabel 4.14. Tabel 4.14. Status Kepemilikan Lahan Petani Sampel Status Lahan Milik sendiri, tidak mempunyai lahan di hutan negara Milik sendiri, mempunyai lahan di hutan negara Total Sampel
Sumber: Analisis data primer, 2004

Persentase (%) 92,27 7,34 100,00

Petani yang dipilih sebagai sampel adalah

petani yang mempunyai lahan

milik sendiri. Lahan milik sendiri diperoleh berasal dari warisan orangtua maupun

151

dengan cara membeli sendiri, namun sebagian besar merupakan warisan dari orangtua, dapat dilihat dalam Tabel 4.15.

Tabel 4.15. Asal Kepemilikan Lahan Petani Sampel Status asal lahan Beli Warisan / Hibah Total Tanah Milik Sendiri
Sumber : Analisis data primer, 2004

Persentase luas lahan (%) 28,14 71,86 100,00

Dari seluruh petani sampel, sebesar 71,86% luas lahan berasal dari warisan, sisanya sebesar 28,14% merupakan hasil dari membeli sendiri. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa sistem warisan merupakan feno mena yang terjadi di dalam masyarakat tani, dan mengakibatkan terjadinya fragmentasi lahan pertanian dan sempitnya kepemilikan lahan petani.

4.2.2.2. Lama kepemilikan lahan petani sampel Lama kepemilikan lahan petani sangat terkait dengan cara pengelolaan usahatani yang dilakukan. Kepemilikan lahan yang telah lama, berarti telah lama petani melakukan kegiatan usahatani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lahan merupakan tempat bergantung dalam mempertahankan kehidupan petani dan keluarganya, lahan menjadi modal utama bagi petani. Petani merupakan profesi yang bersifat turun-temurun. Lamanya kepemilikan lahan didasarkan pada waktu penyerahan tanggungjawab lahan dari orangtua kepada anak melalui pembagian warisan, dengan memakai dokumen resmi berupa sertifikat tanah.

152

Pada Tabel 4.16 dapat dilihat berapa lama petani sampel memiliki lahan yang diusahakannya.

Tabel 4.16. Lama Kepemilikan Lahan Petani Sampel No. 1 2 3 4 Klas Lama Kepemilikan Lahan < 10 tahun >10 20 tahun >20 30 tahun > 30 tahun Total Persentase (%) 49,7 23,8 11,0 15,5 100,0

Sumber : Analisis data primer, 2004

Kepemilikan lahan dibuktikan oleh adanya surat kepemilikan lahan atas nama petani. Pemilikan lahan terbanyak sebesar 49,7% dari petani sampel adalah kurang dari 10 tahun. Sebesar 15,5% petani sampel memiliki lahan sudah lebih dari 30 tahun.

4.2.2.3. Klas luas lahan petani sampel Luas lahan petani berdampak langsung terhadap besarnya pendapatan yang diperoleh. Semakin luas lahan yang diusahakan, produksinya semakin besar, sehingga pendapatan yang didapat akan semakin besar. Petani yang memiliki lahan yang luas (>2.500m2), dapat lebih leluasa memilih sistem usahatani yang dilakukan, jenis tanaman yang dibudidayakan, serta lebih memperhatikan usahatani yang digelutinya. Petani melakukan pengelolaan lahan lebih

konservasif. Pengelolaan lahan yang memberikan produksi yang besar.

sesuai dengan kaidah konservasi, akan

Luasan kepemilikan lahan petani sampel, dapat dilihat dari Tabel 4.17, sebesar 38,9 % petani sampel memiliki lahan seluas 0,10 ha-0,24 ha Sebanyak 0,6%

153

merupakan jumlah terkecil, yaitu petani yang mempunyai luas lahan antara 1,00 ha - 2,99 ha. Dari data tersebut diketahui bahwa sebesar 58,1% petani sampel mempunyai kepemilikan lahan sempit denga n luas lahan < 2.500 m2.

Tabel 4.17. Luas Lahan Petani Sampel No. 1 2 3 4 5 6 Klas Luas Lahan <0,10 ha 0,10 ha - 0,24 ha 0,25 ha - 0,49 ha 0,50 ha - 0,99 ha 1,00 ha - 2,99 ha 3,00 ha - 4,99 ha Persentase (%) 19,2 38,9 30,5 10,2 0,6 0,6

Sumber : Analisis data primer tahun 2005

4.2.2.4. Jumlah petani sampel yang pernah menjual lahan Jumlah petani sampel yang pernah menjual lahannya perlu diketahui untuk melihat seberapa besar makna lahan bagi petani. Lahan bagi petani, adalah merupakan modal dalam mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Bila petani menjual lahan, maka petani mempunyai alasan yang cukup kuat, untuk melepas modal utama. Alasan petani menjual lahan karena adanya kepentingan yang mendesak dan memerlukan biaya yang besar untuk segera dipenuhi. Tabel 4.18 memperlihatkan seberapa besar petani sampel yang pernah menjual lahan miliknya. Dari tabel dapat dilihat petani cukup dapat mempertahankan kepemilikan lahan pertaniannya. Terbukti sebesar 97,96% petani tidak pernah menjual lahannya. Sebanyak 2,04% pernah menjual lahan miliknya untuk keperluan pribadi yang dirasakan mendesak, yaitu digunakan untuk biaya hajatan (perkawinan anak), dan untuk membiayai sekolah anak.

154

Tabel 4.18. Petani Sampel yang Pernah Menjual Lahan No 1 2 3 Petani yang pernah menjual lahan Tidak Pernah Pernah Total Frekuensi 192 4 196 Persentase (%) 97, 96 2,04 100,00

Sumber : Analisis data primer, tahun 2005

Komposisi jumlah petani yang dapat mempertahankan atau tidak dapat mempertahankan atau bahkan dapat menambah luas lahannya, perlu diketahui agar dapat menganalisis perkembangan lahan. Dari Tabel 4.19 dapat dilihat Penambahan kepemilikan lahan dari petani sampel.

Tabel 4.19. Penambahan Kepemilikan Lahan Petani Sampel No. 1 2 3 Berkurang Tetap Bertambah Total
Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

Luas Kepemilikan Lahan Petani Sampel

Persentase (%) 2,8 96,7 0,6 100,0

Petani tidak dapat melakukan investasi dengan menambah lahan, dikarenakan hasil dari usahatani tidak tersisa untuk dapat ditabung. Sebesar 96,7% petani sampel mempunyai luas lahan tetap, sisanya sebesar 0,6% saja yang dapat menambah luas kepemilikan lahan dengan cara membeli sendiri atau melakukan perambahan lahan hutan negara.

4.2.3. Beban tanggungan kepala keluarga Satu hal yang penting dalam melihat profil rumahtangga tani adalah mengetahui seberapa besar beban tanggungan kepala keluarga, terkait dengan kebutuhan keluarga dalam mencukupi kebutuhan sehari- hari. Banyaknya anggota keluarga akan berdampak terhadap besarnya biaya yang harus dipenuhi oleh

155

kepala keluarga. Anggota keluarga belum bekerja dan belum mandiri, masih menjadi tanggungan kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberhasilan program KB (Keluarga Berencana) yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya mengurangi laju pertumbuhan penduduk, telah berhasil dilaksanakan di Kecamatan Tawangmangu. Hal ini terbukti dari jumlah anak dari penduduk di seluruh Kecamatan Tawangmangu berdasar data monografi serta data dari petani sampel. Tidak se iring dengan besarnya jumlah anak, besar beban tanggungan makin bertambah karena didalamnya termasuk anak, menantu dan cucu yang bertempat tinggal dalam satu rumah. Kondisi ini dikarenakan anaknya belum mandiri dan belum dapat membangun rumah untuk keluarganya. Jumlah anggota keluarga yang sudah bekerja dan bukan tanggungan kepala keluarga dapat dilihat dalam Tabel 4.20. Tabel 4.20. Anggota Keluarga Sudah Bekerja No. 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Anggota Keluarga Sudah Bekerja 0 1 2 3 4 5 6 7 Total Persentase (%) 32,3 13,8 18,6 13,8 13,2 4,8 2,4 1,2 100,0

Sumber : Analisis data primer tahun 2004

Jumlah anggota keluarga yang belum bekerja dapat dilihat pada Tabel 4.21. Dari data beban tanggungan petani sampel, dapat diketahui bahwa di dalam rumahtangga tani, kekeluargaan masih dianggap penting. Anak yang sudah dapat bekerja sendiri dan dapat menghidupi diri sendiri serta bukan tanggungan

156

keluarga, masih menjadi satu rumahtangga. Sisi lain yang didapat dari hasil wawancara dan observasi ditemukan bahwa anak yang sudah berkeluarga tidak pindah rumah karena belum dapat membangun rumah sendiri.

Tabel 4.21. Anggota Keluarga Belum Bekerja No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Anggota Belum/Tidak Bekerja 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Total Persentase (%) 14,9 26,0 37,0 14,4 4,4 1,7 0,6 0,6 0,6 100,0

Sumber : Analisis data primer,2004

Beban tanggungan keluarga adalah istri dan anak-anak yang terdiri dari tanggungan belum bekerja dan tanggungan sudah bekerja. Jumlah persentase tanggungan terbesar sebanyak dua orang, yaitu sebesar 37% dikarenakan anaknya masih sekolah. Satu rumahtangga tani, terdiri dari bapak, ibu dan anak dengan jumlah anak sebanyak 1-2 orang. Sebagian besar ibu melakukan kegiatan off farm untuk mendatangkan penghasilan tambahan bagi keluarga, yaitu jualan makanan kecil atau bahan pangan di pasar, jualan sate kelinci, dan dagang berbagai macam hasil pertanian di pasar. Petani mengerti betapa besar biaya membesarkan anak sebagai beban tanggungan. Petani menyadari hal tersebut, sehingga membatasi kelahiran anak.

157

4.2.4. Keadaan tanaman dan sistem tanam Keadaan tanaman dapat mendukung terhadap keberlanjutan usahatani. Keadaan tanaman dapat dikaji dengan mengetahui jenis tanaman yang ada serta penggunaan sistem tana m. Petani mempunyai pilihan-pilihan terhadap input yang digunakan untuk berproduksi. Pilihan-pilihan terhadap input yang dilakukan, dapat mencerminkan dukungan keberlanjutan usahatani yang dilakukan. Variasi jenis tanaman sayuran yang dibudidayakan di tanah tegalan oleh petani di Kecamatan Tawangmangu sangat bervariasi, demikian pula untuk tanah sawah, varietas padi ditanam bergantian dengan ketela rambat ( Ipomea batatas sp). Lahan tegalan dibudidayakan tanaman sayuran, antara lain: wortel (Daucus carota), kapri (Pisum arvense), cabai (Capisicum annum L), sawi (Brassica juncea), bawang daun (Allium fistulosum), bawang putih ( Allium cepa), bawang merah (Allium sativum), tomat (Lycopersicum Esculentum). Tanaman keras yang dibudidayakan a dalah cengkeh, sengon laut, durian, pisang dan tanaman buah lainnya. Sistem tanam yang dilakukan oleh petani sampel ada berbagai jenis, dapat dilihat dalam Tabel 4.22. Pergiliran tanaman yang dilakukan sebagian besar petani di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Tabel 4.23. Tabel 4.22. Sistem Tanam No. 1 2 3 4 Sistem Tanam Monokultur Tumpang Sari Tumpang gilir Tumpangsari + Tumpanggilir Total Persentase (%) 14,4 13,7 12,0 59,9 100,0

Sumber : Analisis data primer tahun 2004

158

159

Sistem tanam yang terbanyak dilakukan di Kecamatan Tawangmangu adalah tumpangsari dan tumpang gilir yang dilakukan dalam satu petak lahan, yaitu sebesar 59,9% dari seluruh petani sampel. Tanaman monokultur dilakukan oleh petani yang mempunyai lahan sawah dan ditanam dengan tanaman padi. Petani beranggapan menanam padi di lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan dengan menanam jenis tanaman lain.

4.3. Kebijakan Pemerintah Daerah dan Implementasi Pemerintah kian dituntut untuk lebih memperhatikan masalah pelestarian lingkungan (environmental proctection). Pembangunan tidak lagi semata- mata dilihat sebagai persoalan perbaikan (mprovement) terhadap struktur ekonomi i

masyarakat, tetapi sekaligus memikirkan bagaimana pembangunan ekonomi dapat dicapai seiring dengan pelestarian lingkungan hidup. Konsep pertumbuhan harus berjalan seiring dengan konsep environmentally sustainable development , sehingga lingkungan alam sebagai the supporting structure for economic

activities, mengutamakan tindakan konservasi. Pertumbuhan ekonomi harus diukur berdasarkan membaiknya kualitas hidup (quality of life) masyarakat

(Wahab, 2004:46). Pemerintah telah melindungi sumberdaya alam agar dapat lestari, dengan membuat berbagai kebijakan, yaitu Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, hingga Peraturan Daerah. Berdasarkan Keppres Republik Indonesia No. 32 tahun 1990 pasal 8 tentang fungsi kawasan hutan lindung. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup

sumberdaya alam, buatan, nilai sejarah serta budaya.

Kawasan budidaya merupakan kawasan yang kondisi fisik dan potensi sumberdaya alam dapat dan perlu dimanfaatkan untuk kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Penetapan kawasan budidaya didasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 683/KPTS/Um/8/1990 dan No. 837/KPTS/Um/11/1980. Pengelolaan kegiatan budidaya yang diperkenankan adalah: a). kegiatan yang tidak mengolah permukaan tanah seperti hutan atau tanaman keras yang panennya tidak atas dasar penebangan pohon atau merubah bentang alam; dan b). kegiatan yang sudah ada dan tidak menjamin fungsi lindung, secara bertahap dikembalikan ke fungsinya dimana pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi fisik, sosial ekonomi setempat dan kemampuan pemerintah disertai dengan penggantian yang layak. Makna dari pernyataaan di atas adalah bahwa pemerintah dengan tegas menjelaskan tentang kriteria hutan lindung dan fungs i hutan lindung sebagai kawasan hutan. Apabila kegiatan budidaya yang dilakukan di kawasan tersebut tidak dapat menjamin fungsi lindung, maka harus dikembalikan sebagaimana fungsinya berdasarkan potensi. Dalam usulan review Rencana Tata Ruang Wilayah Karanganyar 1997-2006, dicantumkan secara tegas bahwa apabila kegiatan usahatani yang dilakukan di kawasan fungsi lindung tidak mengindahkan azas konservasi, hendaklah dikembalikan kepada fungsinya dan disesuaikan dengan kondisi fisik. Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Karanganyar juga mencantumkan bahwa

pengelolaan kawasan lindung agar lestari. Rencana Tata Ruang Wilayah Karanganyar direvisi setiap 10 tahun, 1997-2006. Draft review untuk tahun 2006 belum dijadikan Perda ataupun

161

penetapan Surat Keputusan (SK) Bupati. Rencana Tata Ruang Wilayah Karanganyar belum mempunyai kejelasan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Karanganyar tahun 2006-2015 harus secara rinci memuat bagaimana bentuk pengelolaan la han yang dapat berkelanjutan di kawasan konservasi yaitu kawasan hutan lindung yang pada saat ini dipergunakan untuk usahatani tanaman semusim. Rincian bagaimana pengelolaan lahan dalam upaya konservasi akan dapat menghindari dari kerancuan terhadap implikasi kebijakan yang dilakukan di lapangan. Rincian tersebut juga akan menjadi acuan Dinas terkait untuk membuat program yang sejalan dengan peraturan yang ada. Pada tahun 2000-2003, Pemerintah melalui Dinas Kehutanan Kabupaten tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan konservasi. Pada tahun 2004, dimulai upaya konservasi melalui program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Kegiatan GNRHL adalah pemberian bibit tanaman kayu melalui kelompok tani. Bantuan pemerintah untuk mendukung swadaya konservasi yang dilakukan petani di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Tabel 4.24. Tabel 4.24 tersebut memperlihatkan jumlah tanaman yang diberikan terhadap petani di empat desa di Kecamatan Tawangmangu. Data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Karanganyar diketahui bahwa tingkat keberhasilan mencapai 50%, karena separuh dari tanaman kayu yang budidayakan tidak berhasil hidup. Hasil observasi di lapangan terkait dengan bantuan pemerintah terhadap upaya konservasi sangat diperlukan untuk mengkaji efektivitas bantuan dari Pemerintah, dengan menghitung: a) persentase petani yang mendapatkan bantuan pemerintah,

162

b) persentase jenis bantuan pemerinta h yang sampai kepada petani, c) persentase bantuan kredit yang diberikan pemerintah, dan d) persentase petani yang mendapatkan penyuluhan mengenai konservasi.

Tabel 4.24. Jenis Tanaman dan Jumlah Tanaman dalam GNRHL Tahun 2004 di Luar Kawasan Hutan Kecamatan Tawangmangu
Target kegiatan (ha) 50 50 50 25 225 Jumlah Penyediaan bibit (batang) 27.500 27.500 55.000 13.750 125.750 Jenis bibit tanaman kayukayuan Suryan Mahoni Suryan Mahoni Suryan Mahoni Suryan Mahoni Jumlah (batang) 13.750 5.500 13.750 5.500 27.500 11.000 6.600 3.025 86.625 Jenis (batang) Alpukat Petai Alpukat Petai Alpukat Petai Alpukat Petai Jumlah (batang) 2.750 5.500 2.750 5.500 5.500 11.000 1.950 2.200 37.125

Nama Desa

Desa Tengklik Desa Plumbon Desa Sepanjang Desa Nglebak Jumlah

Sumber: Analisis data primer 2004

Upaya konservasi yang dilakukan oleh petani sebesar 89% merupakan swadaya petani sendiri, sedangkan sisanya sebesar 11% mendapatkan bantuan dari pemerintah. Keadaan ini menunjukkan bahwa diperlukan peran pemerintah yang lebih besar terhadap upaya konservasi (Tabel 4.25).

Tabel 4.25. Petani yang Mendapat Bantuan dari Pemerintah No. 1 2 Petani yang mendapat bantuan dari pemerintah Tidak mendapatkan bantuan Mendapatkan bantuan Total Persentase (%) 89,0 11,0 100,0

Sumber: Analisis data primer tahun 2004-2005

163

Dari sebesar 11% bantuan pemerintah, sebesar 70% merupakan bantuan bibit tanaman keras, sebesar 24% mendapatkan pupuk organik, dan sebesar 6% merupakan sarana jalur irigasi. Tidak seluruh petani dapat menggunakan sarana jalur irigasi karena di lahan usahatani terletak pada ketinggian > 2.000 mdpl, jauh di atas jalur irigasi, sehingga tidak dapat mengakses air irigasi (Tabel 4.26).

Tabel 4.26. Jenis Bantuan dari Pemerintah No. 1 2 3 Jenis Bantuan dari Pemerintah Bantuan bibit tanaman keras Bantuan pupuk Bantuan jalur irigasi Total Persentase (%) 70,0 24,0 6,0 100,0

Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

Bantuan

berupa bibit tanaman keras, dirasa merugikan bagi petani bila

dibudidayakan di lahan tegalan tanaman semusim. Petani berpendapat bahwa lebih baik menanam tanaman semusim yang produktif dibanding menanam tanaman keras (pohon alpokat, petai, mahoni dan suryan). Tajuk tanamantanaman keras tersebut menaungi tanaman semusim dari sinar matahari, dan akarnya mengganggu perakaran tanaman semusim, sehingga mengurangi produksi tanaman budidaya, dan merugikan petani. Sebesar 2% mendapat bantuan kredit dari pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang diberikan dalam bentuk uang tunai, dengan masa pengembalian 5 (lima) tahun. Bantuan kredit ini disertai adanya pendampingan 164

dari Petugas Penyuluh Lapangan. Bantuan kredit dipergunakan untuk pembelian saprodi dan kegiatan produksi (Tabel 4.27).

Tabel 4.27. Petani yang Mendapat Bantuan Kredit dari Pemerintah No. 1 2 Petani yang mendapat Bantuan kredit dari pemerintah Petani mendapat bantuan kredit Petani yang tidak mendapat bantuan kredit Total
Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

Persentase (%) 2,0 98,0 100,0

Sebesar 15,5% petani

sampel pernah mendapatkan penyuluhan mengenai

konservasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), sedangkan sebesar 84,5% tidak pernah mendapatkan penyuluhan mengenai konservasi (Tabel 4.28). Petani tidak mengerti tentang makna konservasi, sehingga swadaya konservasi yang dilakukan tidak mendapatkan hasil maksimal. Teknologi konservasi yang dilakukan hanya berdasarkan pengetahuan turun temurun, sehingga petani mengetahui manfaat yang didapatkan dari penggunaan teknologi. tidak

Tabel 4.28. Jumlah Petani yang Mendapat Informasi tentang Konservasi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) No 1 2 Jumlah petani yang mendapat informasi tentang konservasi dari PPL Mendapat informasi Tidak mendapat informasi tentang konservasi Total Persentase (%) 15,50 84,50 100,00

Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab V ini mengungkapkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, yang terdiri dari: a) hasil analisis lingkungan abiotik (faktor fisik lahan), b) hasil analisis lingkungan kultural (faktor sosial, ekonomi, budaya dan teknologi), dan c) hasil analisis lingkungan biotik (tanaman yang dibudidayakan). Hasil analisis lingkungan abiotik (faktor fisik lahan), terdiri dari variabel tingkat erosi, variabel tingkat kesuburan dan variabel presentase produktivitas lahan. Ketiga variabel merupakan penentu bagi satuan lahan yang potensial untuk usahatani

berkelanjutan. Hasil analisis lingkungan kultural (sosial, ekonomi, budaya dan teknologi), yang terdiri dari: status asal lahan; luas lahan; pendapatan usahatani; intensitas penggunaan lahan; pemahaman terhadap makna konservasi; swadaya konservasi, merupakan pembeda antara satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan satuan lahan usahatani tidak berkelanjutan.

5. 1. Faktor Abiotik sebagai Penentu Satuan Lahan Potensial untuk Usahatani Berkelanjutan Faktor abiotik merupakan penentu terhadap satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan. La han merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui, sehingga pengelolaan lahan akan berakibat terhadap keberlangsungan penggunaannya. Kunci utama dalam mencapai usahatani berkelanjutan secara fisik adalah mempertahankan kesuburan lahan dan mencegah terjadinya erosi

166

yang mengikis lapisan tanah atas. Kedua variabel tersebut akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Upaya pengelolaan lahan dengan menjaga agar kesuburan tanah tetap dapat dipertahankan dan melakukan pencegahan agar kehilangan tanah akibat erosi tetap di bawah ambang batas yang diperkenankan (maximum acceptable limit) merupakan kegiatan konservasi. Upaya konservasi yang dilakukan petani merupakan bagian adaptasi petani terhadap perkembangan teknologi.

5.1.1. Tingkat erosi Tingkat erosi yang terjadi pada satuan lahan di kawasan fungsi lindung yaitu sedang, berat, dan sangat berat. Di kawasan fungsi penyangga, seluruh satuan lahan mempunyai tingkat erosi sedang. Di kawasan fungsi budidaya,

tingkat erosi yang terjadi adalah sangat ringan, ringan, dan sedang (Tabel 5.1). Di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga,

dengan kemiringan lereng antara 20%- 45%, kehilangan tanah oleh erosi sangat besar, disebabkan oleh nilai LS (indeks lereng) yang tinggi, yaitu faktor kemiringan lereng kecepatan kikisnya dan panjang lereng. Semakin panjang lerengnya, daya

aliran permukaan akan makin besar dan kuat, sehingga

terhadap tanah makin besar pula. Hasil dari penelitian ini sama

dengan hasil penelitian yang dilakukan Kurnia, dkk (1989) di Jawa Barat, bahwa tingkat bahaya erosi ringan- sangat ringan terdapat pada daerah berombak dengan kemiringan 0%-8%; tingkat bahaya erosi sedang dijumpai pada daerah dengan kemiringan lereng 8%-15%; tingkat erosi berat dan sangat berat dijumpai pada kemiringan lereng 25%-40%. Kurnia melakukan penelitian pada lahan dengan kemiringan lereng 0%-8%, sedangkan yaitu pengukuran erosi pada lahan penelitian yang dilakukan

167

kemiringan lereng 8%-11%. Hasil yang didapat yaitu satuan lahan yang berada pada kemiringan lereng tersebut mempunyai tingkat erosi ringan - erosi sangat ringan (Tabel 5.1). Hasil pengamatan dan pengukuran variabel erosi di lapangan dapat dilihat dalam Lampiran 3 sampai Lampiran 6. Tabel 5.1. Tingkat Erosi Satuan Lahan di Berbagai Fungsi Kawasan
SL
3 8 11 14 16 17 18 28 5 6 30 2 7 9 10 13 15 19 20 21 22 25 26 27 29

Satuan Lahan
V5_Qvl_V_AnLi_Tgl V19c_Qvl_V_AnLi_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V5_Qvcl_IV_AnLi_Tgl V5_Qvl_IV_AnLi_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl V5_Qvcl_III_AnLi_Tgl V5_Qvl_III_AnLi_Tgl V5_Qval_III_AnLi_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl

LS

CP

A
(ton/ha/th)

Klas erosi
Sangat berat Sedang Sangat berat Berat Berat Sedang Berat Berat Sedang Sedang Sedang Ringan Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Ringan Ringan

Fungsi Kawasan Lindung 232,33 0,43 15,30 0,321 232,33 0,16 12,13 0,321 232,33 0,53 14,8 4 0,321 232,33 0,26 12,00 0,360 232,33 0,20 13,71 0,360 232,33 0,13 15,45 0,360 232,33 0,19 14,07 0,360 232,33 0,24 13,96 0,321 Fungsi Kawasan Penyangga 232,33 0,11 7,52 0,321 232,33 0,15 7,53 0,321 232,33 0,12 14,92 0,180 Fungsi Kawasan Budidaya 232,33 0,12 6,11 0,321 232,33 0,13 6,28 0,321 232,33 0,16 6,28 0,321 232,33 0,45 5,00 0,321 232,33 0,40 7,64 0,143 232,33 0,13 6,97 0,160 232,33 0,64 9,94 0,002 232,33 0,26 4,55 0,002 232,33 0,25 2,88 0,069 232,33 0,24 3,35 0,002 202,17 0,33 1,78 0,040 202,17 0,23 5,79 0,040 232,33 0,40 4,49 0,071 232,33 0,48 4,16 0,069

490,65 144,74 586,57 260,95 229,34 167,99 223,59 249,87 61,69 84,24 74,87 54,68 60,89 74,94 167,80 101,53 33,68 2,96 0,55 11,54 0,37 4,75 10,77 29,88 32,19

Keterangan: Tingkat erosi tanah Sangat ringan Sedang Sangat berat : = 15 ton/ha/th : > 60 180 ton/ha/th : > 480 ton/ha/th Ringan Berat : > 15 60 ton/ha/th : > 180 480 ton/ha/th

168

Di lahan dengan kemiringan lereng yang landai, petani melakukan upaya teknologi konservasi secara mekanik dengan ukuran yang sesuai dengan rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan. Teknologi terasering telah dapat mencegah terjadinya erosi di bawah tingkat erosi yang dapat ditolerir. Berbeda dengan hasil penelitian Pusat Studi Bencana Alam, Universitas

Gadjah Mada (1999) di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, bahwa sistem pengolahan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan yang dilakukan petani belum mendukung pencegahan erosi, karena cara pengelolaan tanah dalam pembuatan teras dan penanaman yang tidak/belum mengikuti konservasi tanah dan air. Sutono dkk. (2003) di DAS Citarum, Jawa Barat, mengungkapkan bahwa lahan sawah lebih mampu mengendalikan erosi dibanding dengan lahan tegalan. Lahan untuk penggunaan sawah, seperti yang terdapat di daerah penelitian terletak pada kaki lereng gunungapi Lawu, dengan kemiringan lereng II (%%-15%) dan kemiringan lereng III (15%-25%). Kemiringan lereng pada lahan tersebut lebih landai diband ingkan dengan penggunaan lahan untuk tanaman semusim pada kemiringan lereng IV (25%-40% dan kemiringan lereng V (>40%). Keadaan ini telah mendukung tercapainya pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan, karena teknologi terasering yang dilakukan petani telah sesuai ukurannya dengan ketentuan dari Dinas Pertanian Tawangmangu. Di Kecamatan Tawangmangu penggunaan lahan untuk sawah telah

membudaya selama lebih dari tiga dasawarsa, seperti halnya di daerah lain yang berada di Pulau Jawa. Pengetahuan budidaya tanaman padi telah dikembangkan dibanding dengan tanaman sayuran, karena merupakan makanan pokok bagi

penduduk. Budidaya tanaman padi dapat menghasilkan keuntungan yang lebih

169

besar dibanding dengan budidaya tanaman sayuran. Tanaman padi juga sebagai penyedia bahan pangan bagi petani dan keluarganya. Sejalan dengan penelitian Kurnia, di daerah penelitian didapatkan hasil: satuan lahan V8_Qlla_III_La_Swh, satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh, satuan lahan V8_Qvl_II_La_Swh, dan satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh mempunyai tingkat erosi sangat ringan, karena teknologi terasering yang dilakukan di lahan sawah telah dapat menanggulangi erosi.

5.1.2. Tingkat kesuburan Tingkat kesuburan adalah total dari kesuburan kimia dan kesuburan fisik. Seluruh satuan lahan di kawasan fungsi lindung, mempunyai kandungan phospor (P2O5) kategori rendah, terkecuali satuan lahan V19c_Qvl_V_Anli_Tgl (11) mempunyai kelas kesuburan kategori sedang. Seluruh satuan lahan di kawasan fungsi penyangga, mempunyai kelas kesuburan kategori rendah. Nilai hasil pengukuran sifat fisik dan kimia tanah di laboratorium dan di lapangan dapat dilihat dalam Lampiran 1 dan 2. Seluruh satuan lahan mempunyai Kapasitas Tukar Kation (KTK) kategori tinggi. N ilai KTK menunjukkan adanya kadar liat tinggi dan bahan organik tinggi. Petani di kawasan fungsi lindung pada umumnya memberikan pupuk organik dalam dosis yang tinggi pada lahan usahataninya. Pemupukan ini tidak didukung dengan pengelolaan lahan yang konservasif. Penggunaan teknologi mekanik dengan cara penanaman searah kontur, belum dapat mengurangi besarnya laju erosi. Erosi membawa serta bahan organik di lapisan tanah atas, sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat kesuburan tanah. B ahan organik tinggi sangat menguntungkan bagi pengelolaan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan, karena bahan organik akan memperbaik i sifat-sifat kimia tanah.

170

Tabel 5.2 Tingkat Kesuburan Kimia Tanah di Lokasi Penelitian

No. SL

3 8 11 14 16 17 18 28 5 6 30 2 7 9 10 13 15 19 20 21 22 25 26 27 29

Kesuburan Kimia Tanah Satuan Lahan Klas Klas Klas Klas Klas KTK KB P2O5 K2O %C Kawasan Fungsi Lindung V5_Qvl_V_AnLi_Tgl T R R T S V19c_Qvl_V_AnLi_Tgl T R R S T V5_Qvl_V_La_Tgl T T R T R V19b_Qval_V_La_Tgl T R R T R V19b_Qval_V_Lck_Tgl T R R S R V19c_Qval_V_La_Tgl T R R S R V19c_Qval_V_Lck_Tgl T R R S R V19a_Qvl_V_La_Tgl T T R S R Kawasan Fungsi Penyangga V5_Qvcl_IV_AnLi_Tgl T R R S T V5_Qvl_IV_AnLi_Tgl T R R S T V19b_Qvl_IV_La_Tgl T S R S R Kawasan Fungsi Budidaya V5_Qvcl_III_AnLi_Tgl T R S T T V5_Qvl_III_AnLi_Tgl T R S S T V5_Qval_III_AnLi_Tgl T R S S T V5_Qvl_III_La_Tgl T T S T R V5_Qlla_III_La_Tgl T T S T S V19b_Qval_III_La_Tgl T R S T R V8_Qlla_III_La_Swh T S S S T V8_Qlla_II_La_Swh T S S S R V8_Qlla_II_La_Tgl T T S R R V8_Qvl_II_La_Swh T T S T R V8_Qlla_II_Lck_Swh T T S S R V8_Qlla_II_Lck_Tgl T T S T R V19a_Qvl_III_La_Tgl T S S T S V19b_Qvl_III_La_Tgl T T S T R
Keterangan : T S R : Klas kesuburan tinggi : Klas kesuburan sedang : Klas kesuburan rendah

Klas Kesuburan R R S R R R R R R R R R R R S S R R R R S R S R S

171

Bahan organik mengandung semua unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam perbandingan yang relatif seimbang, namun dalam kadar sangat kecil. Kandungan bahan organik tinggi dalam tanah yang dapat dipertahankan dalam jangka panjang dapat mencapai usahatani berkelanjutan. Intensitas hujan tinggi telah mengakibatkan proses leaching (pencucian), dimana unsur hara yang semula dalam bentuk mineral, karena adanya proses hidrolisa, menjadi terbebaskan dalam bentuk unsur. Proses tersebut membebaskan ion H+ dan mengakibatkan pH tanah turun dan menjadi masam, serta rendahnya Kejenuhan Basa (KB) Satuan lahan di kawasan fungsi lindung mempunyai kelas kesuburan kimia tanah 87,5% kategori rendah, demikian pula seluruh satuan lahan di kawasan fungsi penyangga mempunyai kelas kesuburan kategori rendah. Satuan lahan di kawasan fungsi budidaya, sebesar 64% satuan lahan mempunyai kelas kesuburan kategori rendah. Tingkat erosi sedang-berat-sangat berat di kawasan fungsi lindung telah mengakibatkan kesuburan rendah. Upaya konservasi teknologi mekanik tidak sesuai dengan ukuran yang ditentukan berdasarkan kemiringan lereng. Petani melakukan teknologi mekanik secara tradisional yang didapatkan dari warisan orangtua. Seluruh satuan lahan yang terletak di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga, mempunyai tingkat erosi sedang, berat, dan sangat berat mempunyai kandungan phospor rendah (Tabel 5.2). Unsur (P) phospor berguna untuk: a). mempercepat pertumbuhan akar semai, b). memacu dan mempercepat

172

pertumbuhan tanaman dewasa pada umumnya, c). meningkatkan produksi biji-bijian (Sutedjo, dkk., 2002). Rendahnya kandungan phospor (P) di dalam tanah akibat proses leaching, dapat diatasi dengan menambahkan kapur dalam pengelolaan lahan. Petani tidak melakukan penambahan kapur, dikarenakan ketidak mengertian terhadap pengetahuan ini. Kekurangan unsur phospor di daerah penelitian telah mengakibatkan tanaman berproduksi rendah. Sejalan dengan penelitian

Adiningsih dan Karama (1992) di Jawa Barat dan Sumatra Barat membuktikan bahwa erosi pada upland telah mengakibatkan defisiensi unsur phospor. Di kawasan fungsi budidaya, satuan lahan dengan tingkat erosi ringan - sangat ringan, mempunyai kandungan phospor (P) kategori sedang. Sejalan dengan penelitian Schertz (1984) dalam Sullivan (2004:8) bahwa tingkat erosi yang berbeda akan mengakibatkan kehilangan bahan organik, phospor dan ketersediaan air dalam tanah dalam jumlah yang berbeda pula. Petani yang mempunyai usahatani di kawasan fungsi budidaya telah menggunakan teknologi terasering yang dapat mengatasi besarnya laju erosi. Tanah di daerah penelitian berasal dari abu vulkanis (terkecuali di Desa Blumbang dan Desa Gondosuli) merupakan jenis tanah seperti halnya tanah latosol, tanah latosol coklat dan tanah latosol coklat kemerahan. Jenis tanah tersebut memiliki ciri sebagai berikut: kesuburan kimiawi rendah atau miskin akan zat- zat hara tanaman, reaksi tanah masam, solumnya dangkal dengan lapisan top soil tipis, mudah tererosi serta sifat-sifat fisiknya buruk, produktivitasnya berkisar dari tingkatan rendah-sedang (Kartasapoetra, 2005). Ciri tanah tersebut,

173

terbukti dengan 24% kesuburan fisik tanah di daerah penelitian masuk dalam kategori rendah.

Tabel 5.3. Tingkat Kesuburan Fisika Tanah di Lokasi Penelitian


No. SL Satuan Lahan Fungsi Kawasan Lindung V5_Qvl_V_Anli_Tgl V19c_Qvl_ V_Anli_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl Fungsi Kawasan Penyangga V5_Qvcl_IV_ Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl Fungsi Kawasan Budidaya V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qlla_III_ La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl Kedalaman Efektif Tanah Kesuburan Fisik Tanah Tekstur Permeabilitas Klas Kesuburan Fisik S S R R R R R R S S R S S S R R R R R R R R R R R

3 8 11 14 16 17 18 28 5 6 30 2 7 9 10 13 15 19 20 21 22 25 26 27 29

T T R R R R R R S T T T T T R R R S R R T T R S T

T S S R R R R S T S R S S S S S R S S S R S R S S

R R R R R R S T R R R R R R R R S R R R R R R R T

Keterangan : T S R : Klas kesuburan fisik tinggi : Klas kesuburan fisik sedang : Klas kesuburan fisik rendah

174

Di lahan pertanian dengan jenis tanah seperti diatas, sangat memerlukan pemupukan NPK secara lengkap, pengapuran dan pengendalian erosi yang konservasif. Apabila tetap dilakukan pengelolaan lahan seperti di daerah penelitian, maka lahan- lahan untuk usahatani yang ada akan berpotensi menjadi lahan kritis. Berdasarkan gabungan hasil analisis sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah, maka didapatkan hasil bahwa seluruh satuan lahan di kawasan fungsi lindung, kawasan fungsi penyangga dan kawasan fungsi budidaya mempunyai tingkat kesuburan rendah (Tabel 5.4). Tingkat kesuburan rendah tersebut disebabkan karena: 1. Di kawasan fungsi lindung: tanah yang terbawa air hujan sebesar 148,22 ton/ha 596,27 ton/ha . Lapisan tanah atas mengandung berbagai unsur hara yang dibutuhkan tanaman. lapisan tanah atas terkikis oleh tingkat erosi sedang, berat hingga sangat berat. 2. Di kawasan fungsi penyangga: tanah yang terbawa air hujan sebesar 60,31 86,84 ton/ha. Lapisan tanah atas yang mengandung unsur hara untuk kebutuhan tanaman terbawa oleh tingkat erosi sedang yang terjadi di kawasan ini. 3. Di kawasan fungsi budidaya: terdapat tiga kategori tingkat erosi, yaitu tingkat erosi sedang, ringan, dan sangat ringan. Tingkat erosi sedang yang terjadi telah membawa lapisan tanah atas sebesar 60,68 - 169,61 ton/ha. Tingkat erosi ringan sangat ringan yang terjadi, membawa lapisan tanah

175

10,55 34,12 ton/ha, masih di bawah ambang batas erosi yang dapat ditolelir. Teknologi konservasi mekanik yang dilakukan telah dapat menanggulangi erosi yang terjadi. Tabel 5.4. Tingkat Kesuburan Total Tanah di Lokasi Penelitian
No. SL Satuan Lahan Klas Kesuburan Kimia Klas Kesuburan Fisik Klas Kesuburan Total

Fungsi Kawasan Lindung 3 8 11 14 16 17 18 28 V5_Qvl_V_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

Fungsi Kawasan Penyangga 5 6 30 V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah

Fungsi Kawasan Budidaya 2 7 9 10 13 15 19 20 21 22 25 26 27 29 V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

176

5.1.3. Persentase Produktivitas Seluruh satuan lahan yang berada di kawasan fungsi lindung mempunyai rata-rata persentase potensi produktivitas rendah (<100%), dapat dilihat dalam Tabel 5.5. Sejalan dengan penelitian Adiningsih dan Karama (1992) yang dilakukan di Jawa Barat dan di Sumatra Barat, penurunan produktivitas lahan disebabkan oleh penurunan bahan organik akibat erosi yang terjadi. Tabel 5.5. Rata-rata Persentase Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Lindung
No 3 8 11 14 16 17 18 28 Satuan Lahan V5_Qvl_V_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl Bawang daun 9,2 (R) 5,7 (R) 2,2 (R) 2,9 (R) Bawang merah 6 (R) Bawang putih 5 (R) 2,5 (R) Produktivitas (ton/ha) Tom Buncis Sawi at 8,7 (R) 5 (R) 1 4 (R) (R) 8,3 5,6 (R) (R) 6,7 (R) 7,1 (R) Ubi kayu 6 (R) 4,5 (R) 13,1 (R) 12,5 (R) PPT /R (%) 87 81 55 57 27 45 51 68

Wortel 18,5 (S) 20 (S) 18,5 (S) 4,8 (R) 18,6 (S)

Jagung 1,8 (R) 1(R) 2(R) -

Keterangan : (R) : Produktivitas rendah (S) : Produktivitas sedang (T) : Produktivitas tinggi PPT/R : Rata-rata persentase produktivitas tanaman yang berpotensi tinggi/rendah (%)

Penelitian oleh Schertz (1984) dalam Sullivan (2004) di Indiana, mendapatkan hasil bahwa erosi telah mengakibatkan turunnya produktivitas. Sejalan dengan penelitian Kurnia, dkk (1989) di Sub DAS Ciseel, Jawa Barat, bahwa produktivitas akan cepat menurun bila tidak dilakukan pencegahan erosi dengan menanam tanaman tahunan. Petani yang mempunyai usahatani di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga tidak menanam tanaman tahunan diantara lahan tanaman sayuran. Petani beranggapan tanaman kayu akan

177

mengurangi luasan lahan untuk budidaya sayuran, karena naungan tajuk pohon kayu mengganggu sinar matahari dan perakaran mengganggu pertumbuhan tanaman semusim.
Tabel

5.6.

Rata-rata Persentase Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Penyangga
Produktivitas (ton/ha)

No
5 6 30

Satuan Lahan
V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl

Bawang daun 6,5 (R) 10,9 (R) -

Bawang putih 5,3 (R) 5,6 (R) Buncis 4,9 (R) Kapri 2 (S) Sawi 7,6 (R) 5,6 (S) Wortel 20 (S) 17,7 (R) Jagung 1,3 (R)

Ubi kayu 20,7 (S) Padi 1 (R)

PPT /R (%) 81 96 60

Keterangan : (R) (S) (T)

: produktivitas rendah (ton/ha) : produktivitas sedang (ton/ha) : produktivitas tinggi (ton/ha)

PPT/R : rata-rata persentase produktivitas tanaman yang berpotensi tinggi/rendah (%)

Seluruh satuan lahan yang berada di kawasan fungsi penyangga mempunyai rata-rata persentase produktivitas tanaman berpotensi kategori rendah

(60%-96%), dapat dilihat pada Tabel 5.6. Sebanyak 64% satuan lahan yang berada di kawasan fungsi budidaya mempunyai rata-rata persentase tanaman berpotensi produktivitas kategori tinggi (>100%). Hal ini dikarenakan sebesar 64% satuan lahan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20%, dengan teknologi terasering yang belum dapat mengatasi besarnya laju erosi. Selebihnya sebesar 36% satuan lahan mempunyai rata-rata persentase tanaman berpotensi produktivitas rendah (83-95%), dapat

dilihat pada Tabel 7.7 dan Tabel 7.8.

178

Tabel 5.7. Rata-rata Persentase Produktivitas Berbagai Tanaman yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Budida ya

Satuan Lahan kode


2 7 9 10 13 15 19 20N 20K V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh Desa Nglebak V8_Qlla_II_La_Swh Desa Karanglo V8_Qlla_II_La_Tgl Desa P lumbon 21N 21K V8_Qlla_II_La_Tgl Desa Nglebak V8_Qlla_II_La_Tgl Desa Karanglo 22 25K 25B V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_ Swh Desa Karanglo V8_Qlla_II_Lck_Swh Desa Bandardawung 26 27 29 V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl Jumlah Satuan Lahan yang menanan Persentase dari Total Jumlah Satuan Lahan (%) 10(S) 8,3(R) 10 3 1 6,3(S) 8,6(T) 7,2(S) 8 6,2(S) 10(T) 6,5(S) 6 (S)

Bd
9,2(R) 5,9(R) 9,7(R) 4,7(R) 8,1(R) 8,5 (R) -

Bm
3,5(R) 3,7(R) -

Bp
5,3 (R) -

B
4,3(S)

Produktivitas C K
5,9(R) 7,3(R) 12(S) -

S
8,7(R) 10(S) 9,8(R) 8,3(R) 9,4(R) 12,2(S) 11,9(S) 12(S)

T
8(R) 10( S) 8(R) 8,3(R)

W
20(S) 20(S) 18,6(S) 20,9(S) 16(R) 20(S) 18(S) 20(S) 20(S)

PPT/R(%)
90 85 95 83 108 100 105 102 103

1,3(R) 1.2(R) -

21P

4(R)

10(S)

10(S)

12,6(R)

116

12 (T)

16 (S)

96 118

5,4(R)

1,5(S) 1,8(S) 4

11,5(S) 7,5(R) 11,72(S) 12,6(S) 12

10(S) 6

16,7(R) 19,2(S) 20(S) 13,5(R) 17,9(R) 19(S) 13

123 120 119 108 115 104

71

21

7,1

57

21

28

85

42

92

Keterangan : Bd : Bawang daun Bm : Bawang merah C : Cabai Bp : Bawang putih B : Buncis K : Kapri S : Sawi T : Tomat W : Wortel (R) : produktivitas rendah; (S) : produktivitas sedang; (T) : produktivitas tinggi PPT/R : rata-rata persentase tanaman yang mempunyai potensi produktivitas tinggi/rendah (%)

179

Tabel 5.8. Rata-rata Persentase Produktivitas Berbagai Tanaman Palawija yang Mempunyai Potensi Tinggi/Rendah di Tiap Satuan Lahan di Kawasan Fungsi Budidaya
No 2 7 9 10 13 15 19 20 20 21 Satuan Lahan Jagung V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh Desa Nglebak V8_Qlla_II_La_Swh Desa Karanglo V8_Qlla_II_La_Tgl Desa Plumbon V8_Qlla_II_La_Tgl Desa Nglebak V8_Qlla_II_La_Tgl Desa Karanglo V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh Desa Karanglo V8_Qlla_II_Lck_Swh Desa Bandardawung V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl 5 (R) 16(S) 16(S) 19,6(T) Produktivitas (ton/ha) Ubi jalar Ubi kayu 20,8(T) Padi 5,2(T) 5(S) 5(S) Strawberi 12(S) 16.7(T) PPT/R (%) 90 85 95 83 108 100 105 102 103
116

21 21 22 25 25 26 27 29

10,2(T)

18,2 (T) 21(T) 19,3(S) -

21(S) -

6,17(T) 6,84(T) 5,37(T) -

96 118 123 120 119 108 115 104

Keterangan : (R) (S) (T) : Produktivitas rendah : Produktivitas sedang : Produktivitas tinggi tanaman yang berpotensi produktivitas kategori tinggi/rendah (%)

PPT/R : Rata-rata persentase

180

Seluruh satuan lahan sawah, yaitu: satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20) di Desa Nglebak dan Desa karanglo, satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (21), di Desa Plumbon, Desa Nglebak, dan Desa karanglo, satuan lahan

V8_Qlla_II_Lck_Swh (22), di Desa Karanglo da n Bandardawung, mempunyai rata-rata persentase tanaman yang mempunyai potensi produktivitas tinggi (> 100%). Rata-rata persentase tanaman yang mempunyai potensi produktivitas tinggi, disebabkan karena sebesar 100% petani telah menggunakan teknologi konservasi terasering yang dapat menanggulangi laju erosi. Satuan lahan tersebut mempunyai tingkat erosi ringan hingga sangat ringan, lapisan tanah yang dipindahkan sebesar 0,38 - 54,34 ton/ha. Kombinasi analisis ketiga variabel faktor abiotik (fisik lahan) yaitu kesuburan, tingkat erosi tanah, dan tingkat produktivitas lahan dianalisis dengan tabel skoring untuk menentukan satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan (Tabel 5.9). Variabel tingkat kesuburan di seluruh satuan lahan mempunyai nilai sama, yaitu kesuburan rendah, sehingga didalam penentuan keberlanjutan tidak berpengaruh terhadap hasil dua variabel lainnya. Kombinasi kedua variabel merupakan dasar untuk menentukan satuan lahan yang potensial berkelanjutan dan tidak berkelanj utan. Satuan lahan yang potensial mencapai usahatani berkelanjutan, yaitu mempunyai hasil dengan salah satu variabel bernilai rendah. Keterkaitan kedua variabel, adalah arena produktivitas tanaman tergantung dari besarnya tingkat erosi lahan.

181

Tabel 5.9. Variabel Faktor Abiotik Sebagai Penentu Terhadap Keberlanjutan Usahatani di Berbagai Satuan Lahan dalam Berbagai Fungsi Kawasan
Berkelanjutan atau Tidak Berkelanjutan
Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tida k Berkelanjutan

No

Kode SL

Satuan Lahan

Tingkat Kesuburan

Tingkat Erosi

Produktivitas Lahan

Kawas an Fungsi Lindung


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 3 8 28 11 14 16 17 18 5 6 30 V5_Qvl_V_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck _Tgl V5_Qvcl_IV_AnLi_Tgl V5_Qvl_IV_AnLi_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sangat berat Berat Berat Sangat berat Berat Berat Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah

Kawasan Fungsi Penyangga

Kawasan Fungsi Budidaya


12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 2 13 29 27 19 22 25K 25B 7 9 10 15 26 21N 21K 20N 20K V5_Qvcl_III_AnLi_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V5_Qvl_III_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V8_Qlla_II_Lck_Tgl V8_ Qlla _II_La_Tgl V8_ Qlla _II_La_Tgl V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Ringan Sedang Ringan Ringan Sangat ringan Sangat r ingan Sangat ringan Sangat ringan Sedang Sedang Sedang Ringan Sangat r ingan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Sangat ringan Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Berkelanjutan Tidak Be rkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan Berkelanjutan

Keterangan: Tingkat kesuburan tanah : Rendah : sifat kimia sedang - sifat fisika rendah sifat kimia rendah - sifat fisika sedang sifat kimia rendah - sifat fisika rendah Tingkat produktivitas : Rendah : persentase produktivitas tanaman < 100% Tinggi : persentase produktivitas tanaman = 100%

Tingkat erosi tanah : Sangat ringan : < 15 ton/ha/th Ringan : 15 - 60 ton/ha/th Sedang : 60 - 180 ton/ha/th Berat : 180 - 480 ton/ha/th Sangat berat : 480 ton/ha/th

182

5.1.3. Faktor abiotik pada satuan lahan di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga Seluruh satuan lahan yang terletak di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga, tidak dapat mencapai usahatani berkelanjutan secara fisik, dikarenakan sebagai berikut. 1. Tingkat kesuburan tanah seluruh satuan lahan rendah Tingkat kesuburan tanah rendah, akibat tingkat erosi sedang, berat, dan sangat berat telah mengakibatkan lapisan tanah atas terkikis oleh air serta membawa unsur hara dan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Arsyad (1989:2) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah berkurangnya kualitas dan kuantitas tanah, meliputi sifat-sifat fisik dan sifat kimia tanah. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah. Tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman normal, sehingga produktivitas tanah menjadi sangat rendah. Kerusakan bentuk ini terjadi sebagai akibat perombakan bahan organik yang terdiri dari mineral dalam tanah menjadi unsur yang lepas akibat proses hidrolisa pencucian (leaching) oleh air hujan yang intensif di bawah iklim tropika. Seluruh satuan lahan yang digunakan untuk pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga telah mengalami degradasi lahan, yaitu: tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal.

183

2. Rata-rata persentase tanaman mempunyai potensi produktivitas rendah Seluruh tanaman yang dibudidayakan pada satuan lahan di kawasan fungsi lindung dan di kawasan fungsi penyangga mempunyai rata-rata persentase tanaman dengan produktivitas kategori rendah, sehingga tidak dapat mencapai hasil produktivitas seperti yang diharapkan. Produktivitas rendah merupakan indikator terjadinya degradasi lahan (Notohadiprawiro, 1999:59), degradasi lahan tidak akan dapat mencapai pertanian berkelanjutan (Pieri dan Steiner, 1997:22).

Foto: 2 Januari 2005, Posisi: 49 0513574mU 9153151mU

Gambar 5.1 Tanaman Sawi Produktivitas Rendah pada Satuan Lahan V19b_Qvl_IV_La_Tgl (30) Berdasar Arsyad, (1989:2), tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup seimbang untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang normal, sehingga produktivitas tanah menjadi sangat rendah, dapat dilihat di satuan lahan pada kawasan lindung (Gambar 5.1.). Kerusakan bentuk ini terjadi sebagai akibat perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian unsur hara yang berlangsung dengan cepat di bawah iklim tropika akibat erosi intensif. Erosi tanah berpengaruh negatif terhadap produktivitas lahan melalui pengurangan ketersediaan nutrisi, bahan organik dan menghambat kedalaman

184

perakaran (Owoputi dan Stolte, 1995 dalam Suripin, 2002:3). Baver dkk. (1972) dalam Suripin (2002:13) menyatakan bahwa terjadinya erosi tanah tergantung dari: a). sifat hujan, b). kemiringan lereng, c). tanaman penutup tanah dan, d). kemampuan tanah untuk menahan dispersi dan untuk menghisap kemudian merembeskan air ke lapisan yang lebih dalam. Lahan dengan kemiringan lereng >40-55% terletak di kawasan fungsi lindung, dan lahan dengan kemiringan lereng >38%-40% terletak di kawasan fungsi penyangga, serta mempunyai curah hujan tinggi (>3.000 mm/tahun). Kemiringan lereng dan curah hujan yang tinggi, didukung dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensinya, telah mengakibatkan berkurangnya kemampuan lahan untuk menahan penyebaran (dispertion) air. Hal ini merupakan penyebab utama terjadinya erosi berat dan sangat berat. Air limpasan lebih besar dibanding dengan kemampuan tanah untuk menginfiltrasikan air ke lapisan yang lebih dalam, sehingga porositas tanah menurun karena sebagian pori tertutup oleh partikel tanah halus. Selanjutnya laju infiltrasi akan makin berkurang dan aliran air permukaan akan makin bertambah banyak, lebih lanjut akan menimbulkan lapisan tanah keras (crust formation) di permukaan tanah, serta menghentikan laju infiltrasi. Aliran permukaan makin berlimpah, sehingga menimbulkan kemerosotan kesuburan fisik lahan. Aliran permukaan mengangkut lapisan atas tanah yang banyak mengandung unsur hara, sehingga tanah miskin dengan kandungan unsur hara dan menimbulkan kemerosotan kesuburan kimia tanah.

185

3. Tingkat erosi berat hingga sangat berat Tingkat erosi yang berat-sangat berat telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan. Degradasi lahan terlihat dengan terkuaknya lapisan tanah atas dan terlihatnya batu-batuan di permukaan tanah, di lapangan dapat dilihat batubatuan diantara tanaman bawang daun (Gambar 5.2.).

Foto: 2 Januari 2005, Posisi: 49 - 05 20574mT 9153151mU

Gambar 5.2 Batu Kerikil Terlihat Muncul ke Permukaan

Tanah

Erosi

yang

terjadi

di

kawasan

fungsi

lindung

berkisar

antara

148,22 - 596,27 ton/ha/tahun, sedangkan erosi yang terjadi di kawasan fungsi penyangga berkisar antara 60,31-86,84 ton/ha/tahun. Nilai tersebut sangat tinggi bila dibanding dengan nilai erosi yang dapat ditolelir dalam hubungannya dengan pembentukan tanah, yaitu sebesar 25 ton/ha/tahun (Arsyad, 1989:244);

5 ton ha/tahun (USDA dalam Sullivan, 2003:8); 2,5 12,5 ton/ha/tahun (Bennet, 1939) dan (Hudson, 1976) dalam Kartasaputra, dkk., (2005:60). Hudson dan Bennet menyatakan bahwa perkiraan yang baik mengenai pembentukan lapisan tanah permukaan setebal 25 mm atau 375 ton per hektar di bawah kond isi alami akan berlangsung sekitar 300 tahun, tetapi apabila disertai dengan usaha- usaha pemeliharaan tanah yang baik (pengelolaan tanah yang

186

konservatif, yaitu memperhatikan tata air, tata udara serta memperhatikan penambahan bahan-bahan organik). Jangka waktu 300 tahun dapat dipersingkat menjadi sekitar 30 tahun. Dengan demikian dapat dilakukan perhitungan perkiraan, yaitu jika pembentukan tanah setebal 25 mm dalam 30 tahun, maka sama dengan 375 ton per hektar. Besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan dalam setahunnya yaitu apabila kurang dari 12,5 ton per hektar per tahun, itupun harus disertai dengan usaha- usaha pengawetan tanah, air serta pengolahanpengolahan tanah yang konservatif dan penambahan bahan-bahan organik dilakukan secara terus menerus menurut ketentuan-ketentuan yang semestinya. Gambar 5.3 menunjukkan pedestals akibat erosi berat-sangat berat dan tahap berikutnya lapisan kerikil muncul ke permukaan tanah telah menandakan berkurangnya lapisan tanah atas. Teknologi konservasi mekanik yang dilakukan di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga yaitu penanaman sejajar kontur merupakan pengolahan tanah dengan alur-alur memanjang searah kontur (memotong lereng) dan penanaman searah kontur atau contouring (Arsyad, 1989:119). Kedua teknologi konservasi secara mekanik tersebut, belum dapat menahan besarnya laju erosi.

Foto: 2 Januari 2005, Posisi: 49 - 0520574mT 9153151mU

Gambar 5.3. Kenampakan Pedestals Akibat Erosi Percik dan Erosi Lembar

187

Teknologi

tradisional

yang

dilakukan

petani

tidak

memperhitungkan

kemiringan lereng serta ukuran yang standar dari Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu, sehingga belum dapat menahan besarnya laju erosi (Gambar 5.4). Tanaman semusim yang dibudidayakan di kawasan fungsi lindung dan di kawasan fungsi penyangga tidak sesuai dengan kondisi fisik lahan, dengan faktor pembatas yaitu: a). Kemiringan lereng Kemiringan lereng > 40-55% di kawasan fungsi lindung, dan kemiringan lereng > 38%-40% di kawasan fungsi penyangga, laju erosi tidak dapat ditanggulangi dengan teknologi mekanik maupun dengan teknologi vegetatif seperti yang tela h dilakukan petani. Teknologi mekanik yang dilakukan petani yaitu penanaman sejajar kontur; pembuatan selokanselokan yang ditanami rumput di sepanjang parit dari atas ke arah bawah; serta pemberian mulsa jerami. Teknologi vegetatif yaitu penanaman dengan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir. Teknologi mekanik dan vegetatif yang telah dilakukan petani pada lahannya perlu ditingkatkan dalam upaya konservasi untuk mencegah terjadinya kerusakan lahan. Kondisi lahan pada berba gai titik pengambilan sampel di Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Gambar 5.5. b). Tingkat erosi berat-sangat berat, telah mengakibatkan pengikisan lapisan tanah atas dan berkurangnya ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh

188

tanaman. Petani memberikan mulsa plastik pada gulud untuk tanaman sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti cabai dan tomat, yang diharapkan dapat mengurangi tingkat erosi serta dapat mencegah pertumbuhan gulma. Pemberian mulsa dari jerami tanaman padi di tanah bedengan, searah lereng dan bergulud dapat menurunkan erosi,

menurunkan kehilangan C, N, P, dan K, sesuai dengan penelitian Kurnia (2001).

Foto: 2 Januari 2005, Posisi: 49 0515574mT 9154151mU

Gambar 5.4. Teknologi Sejajar Kontur untuk Tanaman Semusim, Usahatani Tidak Berlanjut pada Satuan Lahan V19a_Qvl_V_La_Tgl

c). Batuan permukaan Erosi yang terjadi telah mengakibatkan pengikisan lapisan tanah atas dan tersingkapnya lapisan tanah atas, sehingga menyebabkan batu-batuan kecil yang berada dalam tanah muncul di permukaan. Keadaan ini menganggu perakaran tanaman untuk tumbuh dengan baik.

189

PETA LOKASI TITIK SAMP EL KECAMATAN TAWANGMANGU KABUP ATEN KARANGA NYAR PROVINSI JAWA TENGAH
51 00 00 5 130 00 5 160 00 5 190 00 522 000

Kecamatan Kar angpandan

Kecamatan Ngargoyoso

Pl umbon
#

Tengkli k
# # # # # #Tawangmangu Y # #

Provinsi Jawa Timur

N k gleba Karanglo
#

Kal is oro Blumbang


#

Bandardawung
#

# #

Gondos uli

Sepanj ang

Keca matan Tawangm angu

Kecamatan Matesih

Kecama tan Jatiyoso


51 00 00 mT 5 130 00 mT 5 160 00 mT 5 190 00 mT 522 000 mT

Legenda : Kantor Kec ama ta n [ % Titik Sa mpel Kantor Des a/Kelur ahan Sungai Jalan Batas Pr ovinsi Batas Kec ama ta n

Sumb er ;

75000

385000

3950 0

0 4 5000 N

3 km
A L U T JA W A

( (

1. Pet a RB Isk ala 1 : 25 .0 00 ta hu n 20 01 Zon e 49 S, Sist e Ko ordin at UTM m 2. Ha sil pe nga mat an la pan ga n t a u h n 2 00 4/ 20 05
Dibuat O leh : Ir. Di na R usla nja ri, M Si . Pro gram Pasca S arja na

Ja wa Ba t ra J a Te g a h wa n Ja wa T mu r i

S M DE A I N O E I A A U R D N S

L o a i Pe e i t a n k s n l i D IY

Km Un iversi t a Gad ja h Ma da s
375000 8 3 5000

9 3 5000

0 4 5000

Batas Des a

Gambar 4.1. Pet a Administrasi Lokasi Penelitian

190

5.1.4. Satuan lahan yang berada di kawasan fungsi penyangga Tanaman yang dibudidayakan di kawasan fungsi penyangga: sesuai sesuai marginal tidak sesuai syarat tumbuhnya dengan kondisi fisik lahan. Faktor pembatasnya yaitu: pH tanah, kemiringan lereng, kejenuhan basa, tingkat erosi, batuan permukaan dan curah hujan. a). pH tanah pH tanah lebih masam di daerah yang mempunyai curah hujan tinggi. Air berasal dari hujan yang melewati tanah, akan mengakibatkan kation basa seperti Ca dan Mg tercuci. Kation-kation yang hilang akan diganti oleh kation-kation masam seperti Al, H dan Mn. Tanah yang mendapatkan curah hujan tinggi, kemasamannya meningkat sesuai dengan kedalama n tanah, sehingga kehilangan top soil oleh erosi juga mengakibatkan tanah didominasi oleh lapisan sub soil yang bersifat lebih masam. b). Kemiringan lereng Kemiringan lereng lahan curam, antara 25-45% dan >45%, tidak sesuai dengan potensinya apabila ditanam dengan tanaman semusim. Teknologi yang konservasif sesuai kemiringan lereng sangat diperlukan untuk mengubah teras tradisional yang telah ada dan tidak dapat mengurangi laju erosi, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiningsih dan Karama (1992). c). Kejenuhan basa Kejenuhan basa rendah, ini menunjukkan tingkat pencuciannya tinggi. Pencucian diakibatkan oleh intensitas curah hujan tinggi. Keadaan ini

191

tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman, dikarenakan nilai KTK tinggi, sehingga kejenuhan basa rendah tidak menghambat penyerapan unsur hara. d). Tingkat erosi Tingkat erosi berat-sangat berat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara yang terdapat dalam tanah. Tingkat erosi yang membawa tanah >180 ton/ha/th hingga >480 ton/ha/tahun, sehingga membawa unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Adiningsih dan Karama (1992) dalam penelitiannya sistem tanam harus berdasar pada konservasi tanah, yaitu tajuk tanaman dapat menutupi permukaan tanah, sehingga dapat mengurangi kekuatan air hujan, limpasan air dan kehilangan lapisan

tanah atas. Praktek konservasi tanah dengan cara: pemberian mulsa + tanaman kacang-kacangan, terasering + tepinya ditanami rumput, dan tanaman tumpang sari + tanaman kacang-kacangan, merupakan prioritas utama penanaman sistem usahatani di upland. e). Batuan permukaan Batuan yang muncul di permukaan tanah, dikarenakan adanya erosi berat hingga sangat berat yang membawa lapisan atas (top soil) tanah >180 hingga 480 ton/ha/th, sehingga mengakibatkan batuan kecil yang berada di lapisan bawah terangkat keluar. f). Curah hujan Air adalah suatu unsur yang menentukan hidup matinya suatu tanaman, karena tanaman hanya dapat menghisap garam- garam mineral dari larutan

192

di dalam tanah melalui air. Curah hujan tinggi akan berakibat tidak baik bagi tanaman, karena air tidak dapat tersimpan dalam tanah, tetapi akan menjadi air limpasan. Tanaman membutuhkan banyak air pada masa pertumbuhan vegetatif, kemudian besarnya kebutuhan air akan berbeda untuk jenis tanaman yang berbeda.

5.1.5. Satuan lahan yang berada di kawasan fungsi budidaya Kawasan fungsi budidaya, terletak di kemiringan lereng 9%-25%, tingkat erosi berkisar antara sedang-ringan-sangat ringan, akan tetapi tingkat

kesuburannya tanah rendah. Tanah yang terbawa erosi berkisar antara 0,38-169,61 ton/ha (Tabel 5.1). Satuan lahan di kawasan fungsi budidaya mempunyai rata-rata persentase tanaman yang berpotensi produktivitas kategori tinggi (>100%). Kemiringan lereng bukan merupakan faktor pembatas di dalam penggunaan lahan untuk usahatani tanaman semusim. Teknologi konservasi yang dilakukan petani pada lahan dengan kemiringan lereng 8-15% di satuan lahan

yang berada di kawasan fungsi budidaya, telah dapat menanggulangi erosi yang ditimbulkan sebagaimana dalam Gambar 5.6.

Foto : 2 Januari 2005 Posisi : 49- 0509574mT 9153151mU

Gambar 5.6. Satuan Lahan dengan Produktivitas Tinggi di Kawasan Budidaya

193

Di kawasan fungsi budidaya, terdapat tiga kategori sifat fisik lahan, yaitu sebagai berikut. 1. Satuan lahan V8_Qlla_III_La_Swh (19); satuan lahan V8_Qvl_II_La_Swh (22); satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25K) di Desa Karanglo; satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25B) di Desa Bandardawung; satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20N) di Desa Nglebak; satuan lahan

V8_Qlla_II_La_Swh (20K) di Desa Karanglo. Hasil pengukuran yang didapat adalah: tingkat kesuburan rendah, tingkat erosi sangat ringan, rata-rata presentase tanaman mempunyai potensi produktivitas tinggi (>100%), sebagaimana dalam Tabel 5.7 (Gambar 5.7). Sejalan dengan

penelitian Kurnia (2001), teknologi mekanik yang sesuai dengan kemiringan lereng dapat mengurangi kehilangan tanah dan unsur hara yang diakibatkan erosi.

Foto

: 5 Juli 2004 Posisi : 49 0510574mT 9152151mU

Gambar 5.7. Tanaman Ubi Jalar Produktivitas Tinggi di Satuan Lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26)

194

2. Satuan

lahan

V19a_Qvl_III_La_Tgl

(27);

satuan

lahan

V19b_Qvl_III_La_Tgl (29); satuan lahan V19b_Qval_III_La_Tgl (15); satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26); satuan lahan V8_Qvl_II_La_Tgl (21 N) di Desa Nglebak; satuan lahan V8_Qvl_II_La_Tgl (21) di Desa Karanglo dan V8_Qvl_II_La_Tgl (21) di Desa Plumbon. 3. Hasil pengukuran yang didapat adalah: tingkat kesuburan rendah, tingkat erosi ringan, rata-rata persentase tanaman mempunyai potensi produktivitas tinggi (> 100%), sebagaimana pada Tabel 5.7 (Gambar 5.8.).

Foto: 6 Desemberi 2004 Posisi: 49 0514574mT 9154151mU

Gambar 5.8. Usahatani Berkelanjutan di Satuan LahanV19b_Qvl_III_La_Tgl (29)

4. Satuan lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl (2), satuan lahan V5_Qvl_III_Anli_Tgl (7), satuan lahan V5_Qval_III_Anli_Tgl (10), hasil pengukuran (9) dan satuan lahan lahan tersebut,

V5_Qvl_III_La_Tgl

satuan

did apatkan hasil; tingkat erosi sedang, rata-rata persentase tanaman mempunyai produktivitas rendah (<100%). Tingkat erosi sedang tidak dapat ditanggulangi dengan teknologi terasering. Erosi yang terjadi pada lahan tersebut, telah membawa serta lapisan tanah atas, yang mengakibatkan menurunnya keberadaan unsur hara dalam tanah (Tabel 5.1).

195

Usahatani yang masuk pada satuan lahan tersebut merupakan usahatani berkelanjutan. Hasil analisis faktor abiotik (fisik lahan) didapatkan bahwa variabel tingkat erosi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman terkait dengan ketersediaan hara yang berada di dalam tanah. Satuan lahan dengan tingkat erosi ringan-sangat ringan dikarenakan teknologi konservasi yang digunakan, yaitu teras gulud dengan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir, telah dapat mengurangi air limpasan di atas permukaan tanah. Keberadaan unsur hara tanah bagi tanaman dapat dipertahankan (Sinukaban dan Sihite, 1993). Hasil analisis pengukuran faktor abiotik (fisik lahan) dengan skoring dan ujiT menunjukkan bahwa penentu terhadap pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan adalah tingkat erosi dan rata-rata persentase produktivitas tanaman. Data kesuburan tidak dapat dilihat pada tabel, karena datanya mempunyai nilai yang sama, yaitu seluruh satuan lahan mempunyai tingkat kesuburan rendah, dapat dilihat pada Tabel 5.10. Hasil analisis keberlanjutan dengan menggunakan uji -t secara detil dapat dilihat dalam Lampiran 22.

Tabel 5.10. Uji- t Test Faktor Abiotik di Satuan Lahan yang Berlanjut dan Satuan Lahan yang Tidak Berlanjut
No. Berkelanjutan Variabel fisik lahan Tingkat Kesuburan Tingkat erosi Rata-rata persentase produktivitas 1,00 1,43 108,3066 Tidak Berkelanjutan Sig
a

Hasil Uji t

Hasil t -Tabel 1,96 1,96 1,96

1. 2. 3.

1,00 3,35 72,4993

,000

-22,244 -26,804

0,09 0,00

196

Hasil analisis menunjukkan bahwa: a) Tingkat erosi Rata-rata tingkat erosi di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan mempunyai beda nyata dengan rata-rata tingkat erosi pada satuan lahan tidak berkelanjutan. Rata-rata tingkat erosi pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan sebesar 1,43; yaitu tingkat erosi sangat ringan hingga ringan. Sedangkan rata-rata tidak berkelanjutan tingkat erosinya sebesar 3,35; yaitu antara tingkat erosi sedang hingga berat. Tingkat erosi tanah menunjukkan banyaknya tanah (ton) yang hilang tiap tahun yang diakibatkan oleh intensitas dan curah hujan yang tinggi. Tanah yang hilang merupakan tanah lapisan atas, makin besar intensitas terjadinya erosi, maka lapisan tanah atas akan makin menipis. Lapisan tanah atas makin menipis akibat terangkutnya partikel-partikel tanah oleh air hujan yang intensif. Kondisi tersebut ditandai dengan munculnya batu-batu kecil sebagai bahan kasar di permukaan tanah. Tingkat erosi merupakan penentu terhadap usahatani berkelanjutan, dikarenakan tanah sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. b) Rata-rata persentase produktivitas tanaman, mempunyai beda nyata antara satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dengan usahatani tidak berkelanjutan. Satuan lahan dengan usahatani berkelanjutan mempunyai rata-rata persentase produktivitas tanaman kategori tinggi, yaitu sebesar 108,30% (>100%), sedangkan untuk satuan lahan tidak berkelanjutan rata-rata persentase produktivitas tanaman kategori rendah, yaitu sebesar 72,50% (<100%).

197

Unsur hara di lapisan tanah atas terangkut bersama dengan proses terjadinya erosi, telah mengakibatkan kesuburan hilang dan menurunnya produktivitas lahan. Di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga, ketebalan lapisan tanah atas berkisar antara 15-20 cm. Tingkat erosi sedang-berat-sangat berat mengakibatkan lapisan tanah atas terkikis oleh air hujan, dan menghanyutkan humus, bahan organik tanah, unsur makro dan mikro serta zat hara mineral tanah, mikro flora dan mikro fauna, unsur-unsur yang berada pada lapisan tanah tersebut.

5.1.6. Kondisi air Sumberdaya alam utama di dalam pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan adalah tanah dan air. Tanah merupakan media untuk tanaman tumbuh, sedangkan air merupakan zat untuk kehidupan tanaman, sehingga kondisi sumberdaya tanah dan kondisi sumberdaya air mendukung keberlanjutan usahatani. Sumberdaya air meliputi ketersediaan air tanah maupun air permukaan. Air tanah di lereng barat Gunungapi Lawu sebagian besar muncul sebagai mataair dan di tempat-tempat tertentu di dataran dapat ditemukan adanya sumur. Air permukaan yang berada di daerah penelitian meliputi air sungai yaitu Sungai Kali Samin dan Kali Gembong merupakan air permukaan yang ada. Peta tingkat erosi di berbagai satuan lahan dapat dilihat dalam Gambar 5.9 Sumberdaya air di lereng Gunungapi Lawu dipengaruhi oleh besarnya curah hujan setiap tahunnya. Intensitas curah hujan akan mempengaruhi besarnya air yang terserap ke tanah dalam proses infiltrasi. 198

PETA TINGKAT EROSI TANAH DI LOKAS I P ENELITIAN


50 70 0 0 510 0 00 513 00 0 516 00 0 5 19 00 0 5 22 00 0

Kecama ta Ka ran g an dan n p

22

Kecama tan N gargo yoso

30

11 2 8 2 7

Plu mbon
# 2 1

29

Ten gkli k
# 11

10 3 3

Pro v nsi i Ja wa Timur

Ngeb lak
25

Kara nglo
# 2 6 20

# # 13 # Y

7 Blumb ang # # 8

Gondo suli
# 6 5

Ka is oro l
9

1 4 25

# Ban dar dawu ng

Sepa nj ang 19
#

K 2 ecama tan Ta wang mangu

1 7 14

Ke ama tan Mate s h c i


18

17

15

16
50 70 0 0mT 510 0 00 mT 513 00 0mT

Kecama tan J atiyoso


516 00 0mT 5 19 00 0mT 5 22 00 0mT

Legen da :
U
[ %

Sat uan Lahan:

75 00 0

3 5 00 0 8

3 50 0 9

450 0 0

1 6

V 19b_Qva V_ ck Tgl l_ L _

Sumbe ; r

Kecamatan

Tingkat Erosi Tanah:

2 3 5

V5_Qv cl_IV_ A nLi_ Tgl V5_Qv V l_ _AnLi _Tgl V5_Qv al_IV_ A nLi_ Tgl

1 V 7 19c_Q a _ v l_V La_T gl 1 V 8 19c_Q al_V _ v Lck_T gl 1 V8_Qlla_ II_L a 9 I _Swh

1. F to uda as kala 1 5 0 0 tahun 1995 o r :2 .


Jw a a

1k m LA UT JA W A

2. PetaGeologi lembar Ponorogo skala

3Km

Desa/Kelurahan Sungai J alan Batas Pr ovin s i Batas Kecamatan Batas Des a

V IV III I I

S angat Ber at Berat S edang R ingan S angat Ringan

6 7 8 9 10 11 13 15

V5_Qv IV_An i_Tgl l_ L 2 V8_Qlla_ I_La_Swh 0 I V5_Qv III_AnL i_ gl l_ T 2 V 1 8_Qlla_II_La _ gl T V19c _Qvl_V_AnLi_T gl 2 V 8_Qvl_II_ La_ Swh V5_Qv al_II I_AnLi_T gl 2 V 5 8_Qlla_II_Lc k Swh _ V5_Qv III_L a gl l_ _T 2 V 6 8_Qlla_II_Lc k Tg _ l 2 V19a_ 7 Qvl_I II_La_T g l V5_Qv V _ gl l_ _La T 2 V19a_ 8 Qvl_V_La_Tg l V5_Qlla_ II_L a g I _T l V19b Qv _ al_II I_La_Tg l 2 V19b_Qv III_La_T gl 9 l_

1 10 . 0 0 ta 1997 : 0 hun 3. PetaR BI s k 1 : 25.000 ta u 2 0 ala h n 0 1 Z one 4 S Sis t mKoord i at UTM 9 , e n 4. Ha i a a sis la s l n li pangan tahu 2 0 5 n
Dbuat O l h : i e Ir. Di n a Ru sla n r i, M. S ja i Pro ra m Pa a S a rjan a g sc

Bar t a J wa Te n a h a g Jw a a Tm u i r

S MU E A I N D O E S I A D R N A

DIY

Lk a s Pe el ti a o i n i n
37 0 0 0 5 38 0 00 5 3 50 0 9 40 00 0 5

14 V19b Qv _ al_V_L a g _T l

3 0

V19b_Qv IV_La_ gl l_ T

Un v ers ita Ga d j h Ma d i s a a

Gambar 5. 9. Pet a Tingkat Erosi Tanah Lokasi Peneli tian

199

Pengukuran besarnya (intensitas) curah hujan bulanan dalam jangka waktu satu tahun (selama 10 tahun) dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan hujan yang ada. Kurva kecenderungan hujan rerata bulanan selama 10 tahun dapat dilihat dalam Gambar 5.10. Intensitas hujan paling tinggi terjadi pada bulan Januari, intensitas hujan terendah dimulai pada pertengahan Juli hingga pertengahan September. Budidaya tanaman sayuran pada musim hujan (Oktober-Maret) mendapatkan penyiraman dari air hujan. Pada saat musim hujan intensitas hujan sangat tinggi, sehingga tanaman dapat tercukupi kebutuhan airnya. Tanaman yang dibudidayakan pada saat musim hujan, dipilih tanaman yang membutuhkan air banyak dalam pertumbuhannya, yaitu tanaman padi, sawi, kubis, kapri dan buncis.
800 600 mm 400 200

0
Januari Maret Mei Juli September November Januari

Bulan

Gambar 5.10. Kecenderungan Hujan Bulanan di Kecamatan Tawangmangu

Intensitas hujan yang tinggi telah mengakibatkan satuan lahan yang terletak pada kemiringan lereng curam mempunyai tingkat erosi berat-sangat berat. Lahan

200

dengan kemiringan lereng yang relatif landai mempunyai tingkat erosi yang sangat ringan. Pada saat musim kemarau (Maret-September), air berasal dari sumber air alam (mataair) terdekat. Petani membawa air ke tempat budidaya tanaman di daerah ketinggian yang tidak terjangkau oleh saluran air. Petani memilih jenis tanaman yang tidak membutuhkan banyak air dalam pertumb uhannya pada saat musim kemarau, yaitu: bawang putih, bawang merah, tomat cabai, dan wortel. Ketersediaan air dan kemampuan sumberdaya air yang ada di seluruh Kecamatan Tawangmangu meliputi ketersediaan air tanah maupun air permukaan di lereng barat Gunungapi Lawu dapat mendukung tercapainya pengelolaan lahan potensial untuk usahatani yang berlanjut.

5.1.7. Satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan usahatani tidak berkelanjutan di berbagai fungsi kawasan Hasil analisis variabel pada abiotik (fisik lahan), yaitu tingkat erosi, tingkat kesuburan, dan persentase jumlah tanaman yang mempunyai potensi produktivitas tinggi, terdapat pada satuan lahan-satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan untuk usahatani tidak berkelanjutan di berbagai fungsi kawasan. Satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan di kawasan budidaya, adalah sebagai berikut. 1) Satuan lahan V19a_Qvl_III_La_Tgl (27); 2) Satuan lahan V8_Qlla_III_La_Swh (19); 3) Satuan lahan V8_Qvl_II_La_Swh (22); 4) Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25), di Desa Karanglo;

201

5) Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25), di Desa Bandardawung; 6) Satuan lahan V19b_Qval_III_La_Tgl (15); 7) Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26); 8) Satuan lahan V8_ Qvl _II_La_Tgl (21), di Desa Nglebak; 9) Satuan lahan V8_Qvl_II_La_Tgl (21), di Desa Karanglo; 10) Satuan lahan V8_Qvl_II_La_Tgl (21), di Desa Plumbon; 11) Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20), di desa Nglebak; 12) Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh (20), di desa Karanglo; 13) Satuan lahan V19b_Qvl_III_La_Tgl (29).

Satuan lahan yang mempunyai pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan terletak di Desa Nglebak, Desa Tengklik, Desa Bandardawung, Desa Karanglo, Desa Sepanjang, dan Desa Plumbon pada lahan dengan kemiringan lereng =20%. Satuan lahan berkelanjut an mempunyai tingkat erosi ringan hingga sangat ringan, tingkat kesuburan rendah dan rata-rata persentase tanaman berpotensi produktivitas tinggi. Satuan lahan yang mempunyai potensial untuk usahatani tidak berkelanjutan di kawasan fungsi lindung adalah sebagai berikut. 1) Satuan lahan V5_Qvl_V_Anli_Tgl (3); 2) Satuan lahan V19c_Qvl_V_Anli_Tgl (8); 3) Satuan lahan V19a_Qvl_V_La_Tgl (28); 4) Satuan lahan V5_Qvl_V_La_Tgl (11); 5) Satuan lahan V19b_Qval_V_La_Tgl (14); 6) Satuan lahan V19b_Qval_V_Lck_Tgl (16); 7) Satuan lahan V19c_Qval_V_La_Tgl (17); 8) Satuan lahan V19c_Qval_V_Lck_Tgl (18).

202

Di kawasan fungsi lindung terdapat delapan satuan lahan, dan seluruh satuan lahan tidak dapat berkelanjutan secara fisik. Seperempatnya terletak di Desa Blumbang, seperempat lagi terletak di Desa Tengklik. Sebesar 37,5% satuan lahan terletak di Desa Sepanjang, dan sisanya, seperdelapan terletak di Kelurahan Tawangmangu. Satuan lahan-satuan lahan tersebut mempunyai kemiringan lereng antara 40%-55%. Dengan kemiringan lereng >40%, penggunaan lahan tidak sesuai dengan potensinya, dan berakibat terjadinya degradasi lahan. Terbukti dengan tingkat erosi berat-sangat berat, tingkat kesuburan rendah, dan rata-rata persentase tanaman berpotensi produktivitas kategori rendah. Satuan lahan yang potensial untuk pengelolaan usahatani tidak berkelanjutan di kawasan fungsi penyangga, adalah sebagai berikut. 1) Satuan lahan V5_Qvcl_IV_AnLi_Tgl (5); 2) Satuan lahan V5_Qvl_IV_AnLi_Tgl (6); 3) Satuan lahan V19b_Qvl_IV_La_Tgl (30). Seluruh satuan lahan yang berada di kawasan fungsi penyangga mempunyai usahatani tidak berkelanjutan. Sebesar 66% diantaranya terletak di Desa Gondosuli. Selebihnya terletak di Desa Plumbon pada lahan denga n kemiringan lereng 25%-40%. Satuan lahan tersebut mempunyai potensi sebagai kawasan recharge area. Alih fungsi lahan pada kawasan fungsi penyangga dengan kemiringan lereng =35% di desa Plumbon, dari lahan usahatani semusim menjadi hutan produksi, untuk mencegah kerusakan lahan lebih lanjut dan menghindari

203

terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan lahan untuk budidaya tanaman semusim yang terletak pada lahan dengan kemiringan lereng 25%-30% di Desa Plumbon perlu mengubah dari teknologi tradisional menjadi teknologi berbasis konservasi tanah berdasarkan kemiringan lereng. Satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan di kawasan fungsi budidaya, adalah sebagai berikut. 1) Satuan lahan V5_Qvcl_III_AnLi_Tgl (2); 2) Satuan lahan V5_Qlla_III_La_Tgl (13); 3) Satuan lahan V5_Qvl_III_Anli_Tgl (7); 4) Satuan lahan V5_Qval_III_Anli_Tgl (9); 5) Satuan lahan V5_Qvl_III_La_Tgl (10). Sebesar 36% satuan lahan yang terletak di kawasan fungsi budidaya mempunyai usahatani tidak berkelanjut an. Satuan lahan tersebut berada di Kelurahan Tawangmangu, Kelurahan Blumbang, Kelurahan Kalisoro, dan Desa Gondosuli pada lahan dengan kemiringan lereng =20%. Satuan lahan yang mempunyai potensial usahatani berkelanjutan, mempunyai tingkat erosi sedang, tingkat kesuburan rendah dan mempunyai rata-rata persentase tanaman potensi tingkat produktivitas tinggi. Satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dan satuan lahan tidak berkelanjutan secara fisik ditunjukkan oleh Gambar 5.11.

204

PET A SATUAN LAHAN BERKE LANJUTAN D AN TI DAK BERKELANJUTAN DI LOKASI P ENELITIAN


50 7 00 0 51 00 0 0 51 30 00 516 0 00 519 00 0 52 2 00 0

Kecamatan K arangpandan

22

Kecamatan Ngargoyos o
30

11 2 8 2 7

Plum bon
Ka 2 1 2 5 # #

29

Tengkli k
# 11

10 3 7 3

Provinsi Jawa T imur

Karanglo
20

Nglebak

# #

Kalis or o
#

Blumbang
# # 8 6 5 2

awung andar d B
26

Tawangm
Y #

13 9

angu Gondosul i
14

# 2 5

Sepanja 1 9 ng
# n

1 7 1 4

Kecamat an Tawangmangu

Kecamatan Mat esih

18

17

15

1 6 50 7 00 0mT 51 00 0 0mT 51 30 00 mT [ %
(

K ecamatan Jatiyoso
516 0 00 mT Sat uan Lahan: 2 V _Qv c IV _AnLi_Tg l 5 l_ 3 V _Qv l_V_ AnLi_Tgl 5 5 V _Qv a IV _AnLi_Tg l 5 l_ 6 7 8 9 1 0 11 13 15 14 V _Qv l_IV _An Li _Tgl 5 V _Qv l_II I_A nLi_Tgl 5 V 9c_ Q l_V_ AnLi_ Tgl 1 v V _Qv a II I_ AnLi_Tgl 5 l_ V _Qv l_II I_La_ Tgl 5 V _Qv l_V_ La_ Tg l 5 V5_ Qlla_ II I_La_Tgl V19 b_Qv a _I II_ La l l _Tg V19 b_Qv a _V_ La_Tgl l 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 V19b_ Qval_V _Lck_Tgl V19c_ Q al_V _La _Tgl v V19c_ Q al_V _Lc k_Tgl v V8_Ql la_II I_ La_S wh V8_Ql la_II _La_Sw h V8_Ql la_II _La_Tgl V8_Qv l_II _La_Sw h V8_Ql la_II _Lck_S wh V8_Ql la_II _Lck_Tg l V19 a_Qvl_ II I_ La_Tgl V19 a_Qvl_ V_La_Tgl V19 b_Q vl_II I_ La _Tgl V19 b_Q vl_IV _La_Tgl
Sm e ; u b r 1 F to uda as kala 1:25.0 0 ta u 1 99 . o r h n 5 2 PetaGeologi lembar Ponor ogo skala . 1 10 . 00 tah n1 9 7 : 0 u 3 PetaR BI s k 1 : 25.000 tahun 2001 . ala Zone 4 S Sis t m Ko r di a UTM 9 , e n t 4 H i a a sis lap n a tahun 2005 . as l n li a g n Dib a O l h : u t e Ir. Dina Rus lanj ari, M.S i Program Pasc aS arjana Universit as G djah Mad a a
37 0 00 5 75 0 3 0 85 0 3 0 39 0 0 5 4 05 0 0 0

519 00 0 mT

52 2 00 0mT

Leg en da :
U

Kecamatan Desa/Kelurahan Su ngai Jalan Batas Pr ovinsi Batas Kecamatan Batas Desa

U
1 0 1km

LA UT JAW A Jaw a Bara t Jaw aT en g h a Ja w a T r imu DI Y

3K m

Keberlanjutan: Berlanjut Tidak Berlanjut

SAMUDER A IN D ES IA ON Lo asi P e n k en litia


38 0 0 0 5

39 00 0 5

00 45 00

Gamba r 5.11. P eta Sa tuan Lahan Be rkelanjutan da n Tidak Be rkelanjutan Di Loka si P ene litian

205

5.2. Faktor Kultural (Ekonomi, Sosial, Budaya dan Teknologi) Pembeda antara satuan lahan yang potensial untuk Usahatani Berkelanjutan dengan satuan lahan untuk Usahatani Tidak Berkelanjutan Faktor kultural (ekonomi, sosial, budaya dan teknologi) petani merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan faktor abiotik dalam mencapai keberlanjutan usahatani. Keberlanjutan usahatani haruslah didukung dengan lingkungan kultural petani sebagai pelaku kegiatan usahatani. Terdapat variabelvariabel pada faktor kultural yang merupakan variabel pembeda terhadap satuan lahan yang berkelanjutan dan satuan lahan yang tidak berkelanjutan secara abiotik, dapat dilihat dalam Tabel 5.11 (analisis terdapat pada Lampiran 24).

Tabel 5.11. Uji- t Test Faktor Kultural antara Satuan Lahan yang potensial untuk usahatani Berkelanjutan dengan Satuan Lahan yang potensial untuk usahatani Tidak Berkelanjutan secara abiotik
Faktor sosial dan ekonomi penentu terhadap Berkelanjutan berkelanju tan (rata-rata) usahatani 1. Tingkat pendidikan 2,40 formal petani (0, SD, SMP, SMA, D3 ) 2. Status asal lahan atau 1,63 tradisi pembagian warisan (hasil warisan) 3. Luas lahan 0,2758 kepemilikan (ha) 4. Pemahaman 1,33 konservasi (1= paham akan makna konservasi dan, 2 = tidak paham) 5. Pendapatan usahatani 1.315.720,00 (Rupiah/bln) 6. Intensitas 2,76 penggunaan lahan (kali/tahun) 7. Swadaya konservasi 4,89 (jenis teknologi) Sumber : Analisis Data Primer No. Tidak Berkelanjutan (rata-rata) 2,45

Sig ,765

Hasil Uji - t - ,259

Hasil t - Tabel 1,96

1,25

,000

- 3,588

1,96

0,2030

,012

-3,782

1,96

1,18

,000

-2,278

1,96

243.377,00 3,18

,000 ,013

-12,416 - 4,860

1,96 1,96

5,86

,013

6,078

1,96

206

Uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%, didapatkan hasil bahwa variabelvariabel pada lingkungan kultural sebagai pembeda pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan sebagai pembeda untuk lahan potensil untuk usahatani tidak berkelanjutan, yaitu: a) status lahan atau pembagian warisan; b) luas lahan kepemilikan; c) pemahaman konservasi; d) pendapatan usahatani; e) intensitas penggunaan lahan, dan f) swadaya konservasi. Dari hasil analisis Uji-t, didapatkan bahwa ada beda nyata (signifikansi) antara satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan yang tidak berkelanjutan. Variabel-variabel sosial ekonomi petani yang merupakan penentu dalam mencapai pengelolaan lahan potensial untuk usahatani berkelanjutan, yaitu sebagai berikut. a) Status asal kepemilikan lahan Petani sampel pada usahatani berkelanjutan mempunyai nilai rata-rata sebesar 1,63, yang berarti mendapatkan tanah hasil warisan dan dapat membeli sendiri. Petani sampel pada usahatani berkelanjutan mempunyai nilai rata-rata sebesar 1,25, berarti mempunyai lahan berasal dari warisan saja. Jumlah petani dengan kepemilikan lahan berasal dari warisan orangtua adalah sebesar tigaperempat dari seluruh petani sampel. Petani yang mempunyai lahan hanya berasal dari warisan saja, mempunyai persepsi terhadap kemudahan untuk mendapatkan sumber pendapatan, sehingga berperilaku tidak giat bekerja, merupakan mendukung tidak tercapainya usahatani berkelanjutan.

207

Di kelompok petani sampel yang mempunyai lahan warisan dan mampu membeli lahan sendiri, merupakan petani yang giat bekerja dan mempunyai pemikiran untuk dapat mempertahankan warisan orangtua, sehingga bisa mendukung keberlanjutan usahatani. b) Luas lahan usahatani Jumlah petani dengan kepemilikan lahan berasal dari w arisan orangtua adalah sebesar hampir tigaperempat dari seluruh petani sampel. Budaya yang terdapat di masyarakat petani mengenai pembagian lahan berdasar sistem warisan telah mengakibatkan terjadinya fragmentasi lahan. Sebanyak 60% petani sampel mempunyai usahatani berkelanjutan, mempunyai rata-rata kepemilikan luas lahan 0,2758 ha, sedangkan petani yang mempunyai usahatani tidak berkelanjutan mempunyai rata-rata kepemilikan lahan 0,2030 ha. Sempitnya kepemilikan lahan, mengakibatkan petani melakukan ekplo itasi terhadap lahan pertaniannya guna mencukupi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Petani melakukan pengelolaan lahan tanpa mengindahkan asas konservasif, yaitu pengelolaan lahan berkelanjutan yang berbasis pada konservasi tanah. Kepemilikan laha n yang sempit mengakibatkan petani menggunakan sepetak tanah untuk menanam berbagai jenis tanaman yang diharapkan dapat memberi hasil yang dapat mencukupi kebutuhan bagi petani dan keluarganya. Indikasi terjadinya eksploitasi lahan untuk usahatani adalah kesuburan rendah dan tingkat erosi berat-sangat berat.

208

c) Pemahaman makna konservasi Sebesar 87% petani sampel tidak paham terhadap makna konservasi. Rata-rata pemahaman petani di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan sebesar 1,33% paham. Sedangkan petani sampel yang terdapat di satuan lahan dengan usahatani tidak berkelanjutan mempunyai nilai kepahaman sebesar 1,18% paham. Hal ini membuktikan bahwa petani tersebut melakukan teknologi konservasi tanpa dilandasi adanya pemahaman bahwa konservasi untuk mencegah kerusakan lahan dan mempertahankan kesuburan. Teknologi yang diterapkan hanyalah sekedar tindakan yang biasa dilakukan dalam pengolahan tanah tanpa didasari dengan pengetahuan konservasi. Terbukti separuh lebih petani sampel menggunakan teknologi tradisonal yang berasal dari orangtua. Aplikasi di lapangan menunjukkan bahwa petani tidak menggunakan metode konservasi mekanis yang sesuai dengan kondisi lahan. Tingkat kesuburan rendah sebagai bukti teknologi konservasi yang digunakan belum dapat mengatasi besarnya laju erosi, terutama pada lahan dengan kemiringan lereng >25%. d) Pendapatan usahatani/bulan Separuh lebih petani sampel mempunyai pendapatan rendah, yaitu dibawah nilai Upah Minimal Regional Kabupaten Karanganyar. Rata-rata pendapatan petani sampel yang berada pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan adalah sebesar Rp. 1.315.720,--/bulan., sedangkan rata-rata pendapatan petani sampel pada usahatani tidak berkelanjutan adalah sebesar Rp. 243.377,--/bulan Pendapatan rendah mengakibatkan petani mempunyai keterbatasan dalam penggunaan input untuk produksi, juga keterbatasan dalam

209

penggunaan teknologi untuk mengatasi laju erosi. Terbukti dengan masih tingginya tingkat erosi yang terjadi, sehingga mengakibatkan penyusutan unsur hara. Penyusutan unsur hara berakibat langsung terhadap rendahnya tingkat kesuburan dan penurunan pendapatan. Akibat lanjut dari penurunan pendapatan adalah terhadap degradasi lahan. e) Intensitas penggunaan lahan Lahan yang secara terus menerus digunakan tanpa masa bero, akan mengakibatkan kesuburan fisik dan kesuburan kimia tanah menurun. Rata-rata intensitas penggunaan lahan pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan sebesar 2,76 kali/tahun, sedangkan rata-rata intensitas penggunaan lahan pada satuan lahan untuk usahatani tidak berlelanjutan adalah sebesar 3,18 kali/tahun. Sistem tanam pola tumpang gilir dan tumpang sari, memungkinkan intensitas penggunaan lahan menjadi sangat tinggi, bila penggunaan satu
2 petak lahan dengan luas 0,02030 ha (<2.500 m ), ditanam hingga lebih

dari tiga jenis tanaman. Pertanaman yang demikian bukanlah pengelolaan berbasis konservasi tanah, sehingga tidak menuju keberlanjutan usahatani. Makin besar intensitas penggunaan lahan dalam satu tahun, maka tidak ada upaya konservasi lahan yang dilakukan petani untuk mempertahankan kesuburan, terbukti bahwa tingkat kesuburan lahan rendah. Masa bero dengan pemberian mulsa sisa tanaman sebagai bahan organik di lahan, akan dapat menyediakan unsur hara ya ng dibutuhkan tanaman pada musim tanam berikutnya. Usahatani semusim yang intensif (tanpa masa bero) akan mengakibatkan degradasi lahan. Petani berpikir

210

hanya

pada

aspek

ekonomi,

yaitu

keuntungan

semata,

tanpa

memperhatikan aspek ekologis yaitu konservasi sumberdaya lahan. f) Swadaya teknologi konservasi Swadaya konservasi yang dilakukan oleh petani pada satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan rata-rata sebesar lima jenis teknologi, sedangkan petani yang berada di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan melakukan swadaya konservasi rata-rata sebesar 6 jenis teknologi. Usahatani yang potensial berkelanjutan terdapat di kawasan fungsi budidaya dengan kemiringan lereng < 25%, sehingga teknologi yang dilakukan tidak sebanyak dibandingkan dengan teknologi yang dilakukan pada kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga, dengan kemiringan lereng = 25%. Teknologi yang diterapkan pada kemiringan lereng =25% membutuhkan teknik konservasi dalam swadaya yang lebih besar, namun terbukti gagal, karena tingkat erosi berat sangat berat.

Sesuai dengan Barrow (1991:21), penyebab terjadinya degradasi lahan yaitu: a) adanya kemiskinan, b) kepemilikan lahan yang sempit, c) politik yang tidak stabil, d) perubahan populasi atau pertamb ahan penduduk, e) penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dalam pertanian, f) kondisi ekonomi dan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan petani yang rendah (miskin), kepemilikan lahan sempit, pertambahan penduduk, teknologi tradisiona l yang tidak tepat guna dalam usahatani yang dilakukan petani, serta kondisi sosial ekonomi, telah mengakibatkan degradasi lahan. Degradasi lahan yang terjadi

211

adalah penurunan kesuburan, rendahnya persentase produktivitas lahan dan tingginya tingkat erosi. Ketiga variabel tersebut, tidak mendukung keberlanjutan usahatani. Keberlanjutan usahatani, ditentukan oleh pengelolaan usahatani yang konservasif. Hasil dari quesioner yang dapat mendukung keberlanjutan usahatani yang dilakukan secara petani, adalah sebagai berikut. Petani yang menyatakan komoditas yang menguntungkan adalah tanaman wortel dan padi. Petani yang menaman padi di satuan lahan berlanjut sebesar 43,87% dari seluruh petani sampel, sedangkan dari satuan lahan tidak berlanjut sebesar 43,58% dari seluruh petani sampel. Petani yang menanam wortel, di satuan lahan berlanjut sebesar 43,87%, sedangkan petani menanam wortel di satuan lahan tidak berlanjut sebesar 43,58% (Tabel 5.12).

Tabel 5.12. Persentase Jumlah Petani Menurut Komoditas yang Menguntungkan No. 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Jenis Tanaman Bawang Putih Bawang Merah Loncang Buncis Cabai Ketela Loncang Padi Sawi Strawberi Tomat Wortel Wortel dan Bawang Wortel dan Padi Wortel dan Cabai Wortel dan Sawi Total Usahatani Berkelanjutan 3,01 3,61 0,60 4,22 3,01 7,23 4,82 18,67 4,82 1,81 1,20 43,87 1,81 0,60 1,20 1,20 100 Usahatani Tidak Berkelanjutan 2,99 3,59 0,60 4,19 2,99 7,18 4,79 18,55 4,79 1,79 1,20 43,58 1,79 0,60 1,20 1,20 100

212

Pengelolaan lahan yang mendukung keberlanjutan usahatani dapat dilihat dari data jumlah petani yang menyatakan keadaan tanah saat dicangkul. Di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan, petani yang menyatakan sama sebesar 50,83%, berarti struktur tanah tidak mengalami perubahan yaitu makin keras. Struktur keras merupakan indikasi terjadinya degradasi lahan.

Tabel 5. 13. Persentase Petani yang Menyatakan Keadaan Tanah Saat Dicangkul No. 1 2 3 Keadaan Tanah Semakin Keras Sama Semakin Gembur Usahatani Berkelanjutan 23,95 50,83 25,61 Usahatani Tidak Berkelanjutan 55,46 18,82 25,44

Satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan, separuh lebih petani merasakan struktur tanah makin keras ketika dicangkul (Tabel 5.13). Terkait dengan erosi, sebesar 64% petani tidak merasakan terjadi pengikisan atas tanah lapisan atas, sedangkan sebesar 70% petani merasakan terjadinya pengikisan lapisan tanah atas pada lahannya meningkat (Tabel 5.14).

Tabel 5.14. Persentase Petani yang Merasakan Terjadinya Pengikisan Tanah Lapisan Atas pada Usahatani Berkelanjutan dan Tidak Berkelanjutan No. 1 2 3 4 Pengikisan Tanah Lapisan Atas Tidak ada Menurun Sama Meningkat Usahatani Berkelanjutan 64,00 5,00 1,00 29,00 Usahatani Tidak Berkelanjutan 1,00 5,00 24,00 70,00

Petani yang terdapat di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan merasakan pengikisan lapisan tanah atas, dan dapat dibuktikan dengan

213

penambahan pupuk anorganik yang dilakukan pada satuan lahan tidak berlanjut setiap tahunnya semakin besar. Tabel 5.15. Persentase Jumlah Petani yang Menambah Pemakaian Pupuk Anorganik Satu Tahun Lalu No. 1 2 3 Pemakaian Pupuk Anorganik Berkurang Tetap Bertambah Usahatani Berkelanjutan 20,00 60,00 20,00 Usahatani Tidak Berkelanjutan 12,00 10,80 77,20

Sebesar 77% petani menambah pupuk di satuan lahan tidak berkelanjutan dibandingkan tahun lalu, sedangkan petani di satuan lahan berkelanjutan hanya sebesar 20% yang menambah pupuk organik. Petani di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan menambah pupuk anorganik, pada dua tahun lalu sebesar 74 % lebih rendah dibanding tahun berikutnya (Tabel 5.15 dan 5.16).

Tabel 5.16. Persentase Jumlah Petani yang Menambah Pemakaian Pupuk Anorganik Dua Tahun Lalu No. 1 2 3 Pemakaian Pupuk Anorganik Berkurang Tetap Bertambah Usahatani Berkelanjutan 25,30 45,20 19,50 Usahatani Tidak Berkelanjutan 15,00 10,70 74,30

Petani merasakan telah terjadi pengikisan lapisan atas tanah, sehingga berkeyakinan untuk menambah pupuk organik. Sebesar 66% petani di satuan lahan untuk usahatani tidak bekelanjutan, menambah pupuk organiknya, sedangkan di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan hanya sebesar seperempat petani sampel yang menambah pupuk organik.

214

Sebesar 58% petani yang berada di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan, pada dua tahun lalu menambah dosis pupuk organik, sedangkan di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan hanya sebesar 29% petani yang menambah dosis pupuk orga niknya. Tabel 5.17. Persentase Jumlah Petani yang Memakai Pupuk Organik Satu Tahun Lalu Usahatani Berkelanjutan 35,00 40,00 25,00 Usahatani Tidak Berkelanjutan 12,00 22,00 66,00

No. 1 2 3

Dosis Pemakaian Pupuk Organik Berkurang Tetap Bertambah

Terbukti bahwa dengan berjalannya waktu, di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan, pemberian dosis pupuk organik semakin tinggi. Terjadinya erosi telah mengakibatkan petani menambah biaya yang dikeluarkan tiap tahunnya untuk pembelian pupuk ( Tabel 5.17 dan 5.18).

Tabel 5.18.

Persentase Jumlah Petani yang Memakai Pupuk Organik Dua Tahun Lalu Usahatani Berkelanjutan 31,00 40,00 29,00 Usahatani Tidak Berkelanjutan 17,00 25,00 58,00

No. 1 2 3

Dosis Pemakaian Pupuk Organik Berkurang Tetap Bertambah

5.3. Pengelolaan Lahan Berbagai Fungsi Kawasan di Lereng Barat Gunungapi Lawu agar Berkelanjutan Pengelolaan lahan untuk di lereng barat Gunungapi Lawu, adalah sebagai berikut. 1. Kegiatan usahatani untuk mencapai keberlanjutan tidak dapat dilakukan di kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga. Faktor fisik kedua

215

fungsi

kawasan

ini

tidak

dapat

mendukung

tercapainya

usahatani

berkelanjutan. Tingkat kesuburan rendah, diakibatkan oleh tingkat erosi sedang-berat-sangat berat, telah mengakibatkan persentase jumlah tanaman yang berpotensi produktivitas kategori tingginya tergolong rendah. Ini membuktikan bahwa ketiga variabel tersebut menjadi pembatas untuk mencapai usahatani berlanjut. Teknologi teras kontur dan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir tidak dapat mengatasi laju erosi yang terjadi, akibat kemiringan lereng tinggi (> 25%). Hasil pengukuran faktor fisik lahan telah membuktikan terjadinya degradasi lahan. Indikator lain yaitu adanya tekanan atas sumberdaya lahan karena kegiatan manusia yang melakukan perambahan kawasan hutan dan perambahan lahan curam untuk pertanian tanaman semusim. 2. Lahan yang berada di kawasan fungsi lindung dikembalikan kepada fungsinya; yaitu untuk kelestarian sumberdaya alam, air, flora dan fauna, serta kawasan tangkapan air (recharge area). Daerah tangkapan air merupakan penyedia air bagi kawasan tersebut serta kawasan yang terletak dibawahnya. Kawasan fungsi penyangga digunakan untuk hutan produksi terbatas, perkebunan tanaman keras dan kebun campur. Penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan dan memperlakukan sesuai syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. 3. Kawasan fungsi lindung dan kawasan fungsi penyangga yang tetap dipergunakan untuk usahatani tanaman semusim intensif, akan

mengakibatkan erosi yang terjadi semakin meningkat. Akhirnya akan terjadi kerusakan lingkungan, yaitu terjadinya lahan kritis, longsor dan terjadi ketidakseimbangan antara suplai air pada saat musim hujan dan pada saat musim kemarau. Pengelolaan lahan ya ng tidak memperhitungkan

216

kemiringan lereng yang besarnya > 40%, akan mengakibatkan longsor pada saat curah hujan tinggi (Gambar 5.12).

Foto: 2 Januari 2005 Posisi: 9152700mU 519820mT

Gambar 5.12. Longsoran di Kawasan Fungsi Lindung 4. Konservasi (conservation) lahan dengan tujuan pemulihan s umberdaya alam harus dilakukan bagi lahan yang telah mengalami degradasi. Lahan subur berubah menjadi lahan kritis yang tidak produktif. Lahan yang telah rusak dan kritis, apabila tidak dikembalikan kesuburan kimia dan kesuburan fisiknya, tidak akan dapat digunakan lagi untuk usahatani. Kondisi ini menyebabkan makin berkurangnya luasan lahan yang produktif untuk tanaman pangan. Di sisi lain, adanya laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak akan dapat diimbangi dengan kebutuhan pangan bagi generasi yang akan datang. 5. Satuan lahan yang terletak di kawasan fungsi budidaya, harus

dimaksimalkan penggunaannya untuk budidaya tanaman pangan dan tanaman semusim. Tingkat erosi sedang-ringan-sangat ringan dapat ditanggulangi dengan memaksimalkan teknologi konservasi yang telah ada. Teknologi yang terdapat di kawasan fungsi budaya yaitu teras gulud dengan

217

sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari akan dapat mengurangi faktor pembatas, sehingga diharapkan produktivitasnya tinggi. Pengelolaan lahan potensial untuk usahatani yang berkelanjutan dapat dicapai di lereng Gunungapi Lawu dengan cara memaksimalkan penggunaan kawasan budidaya untuk usahatani disertai pengelolaan lahan berbasis konservasi tanah.

5. 3. 1

Pengelolaan lahan yang potensial untuk mencapai usahatani berkelanjutan

Pengelolaan usahatani tiap satuan lahan yang berkelanjutan harus dilakukan berdasar pengelolaan lahan yang berbasis konservasi. Pengelolaan usahatani agar dapat mencapai keberlanjutan, yaitu: pemilihan jenis tanaman, sistem tanam serta pemupukan. Pemilihan jenis tanaman akan menghasilkan produksi yang tinggi, bila mengetahui data kesesuaian lahan dan produktivitas lahan. Pengelolaan usahatani untuk mencapai keberlanjutan di tiap satuan lahan agar dapat dipertahankan, adalah sebagai berikut. 5.3.1.1. Satuan lahan V19a_Qvl_III_La_Tgl (27) a. Pemupukan

1) Pemberian pupuk organik oleh petani untuk budidaya tanaman buncis sudah sesuai dengan dosis Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu, sedangkan untuk tanaman yang perlu penambahan dosis pemupukan masing- masing sebesar 818 ton/ha untuk bawang daun, sebesar 5 ton/ha untuk sawi, dan 13 ton/ha untuk tanaman wortel. 2) Pemberian pupuk anorganik urea untuk tanaman sawi dan wortel sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu, untuk tanaman bawang daun perlu penambahan dosis

218

sebesar 3,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman buncis perlu pengurangan dosis sebesar 1,5 ku/ha. 3) Dosis pupuk anorganik TSP dan KCl memerlukan pengurangan dosis kira-kira 0,5 ku/ha, kecuali untuk tanaman wortel yang membutuhkan pengurangan sebesar 1 ku/ha pupuk TSP untuk efisiensi pemupukan. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh untuk budidaya tanaman bawang daun, buncis dan wortel, dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan curah hujan. 2) Tanaman wortel, jenis tanaman ini memiliki kesesuaian lahan marjinal dengan faktor pembatas temperatur dan kemiringan lereng. Faktor pembatas temperatur/suhu untuk tanaman wortel akan menjadi kendala apabila ditanam pada musim hujan dengan suhu terdingin (temperatur terendah adalah 140C). Bila tanaman wortel ditanam pada bulan MaretApril dan panen pada bulan Juni-Juli, akan dapat mengatasi faktor pembatas. 3) Faktor pembatas kemiringan lereng untuk tanaman bawang daun, buncis dan sawi dapat ditanggulangi melalui teknologi teras gulud. Faktor pembatas curah hujan dengan sistem tanam secara tumpang sari dan tumpang gilir yang dilakukan petani.

219

5.3.1.2. Satuan lahan V8_Qlla_III_La_Swh (19) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik oleh petani untuk budidaya tanaman bawang daun, cabai, padi, sawi, tomat dan wortel perlu penambahan dosis pemupukan, masing- masing sebesar 7,5-17,5 ton/ha; 12,5 ton/ha; 20 ton/ha; 7,5 ton/ha; 17,5 ton/ha dan 12,5 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk anorganik urea untuk budidaya tanaman bawang daun, cabai, padi, sawi, tomat dan wortel perlu pengurangan dosis pemupukan masing- masing sebesar 1,5 ku/ha; 1 ku/ha; 1 ku/ha; 0,5 ku/ha; 0,5 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman cabai dan tomat perlu penambahan sebesar 0,5 dan 1 ku/ha, sedangkan untuk tanaman padi, sawi, dan wortel perlu pengurangan dosis pemupukan masing- masing 0,65 ku/ha; 0,5 ku/ha, dan 2 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk anorganik KCl untuk budidaya tanaman padi, sawi, tomat dan wortel perlu pengurangan dosis pemupukan masingmasing 0,9 ku/ha; 0,5 ku/ha; 0,5 ku/ha, dan 0,3 ku/ha. 5) Pemberian pupuk anorganik untuk bawang daun TSP dan KCl, serta KCl untuk tanaman cabai sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu.

220

b. Kesesuaian lahan 1) Tanaman di satuan lahan ini mempunyai syarat tumbuh tanaman sesuai marjinal dengan kondisi fisik lahan, dengan faktor pembatas adalah kemiringan lereng. Tanaman cabai faktor pembatas kemiringan lereng, temperatur dan drainase. Ketiga faktor pembatas telah dapat ditanggulangi dengan teknologi yang dilakukan petani, yaitu waktu tanam, pergiliran tanam, pemberian mulsa jerami di atas gulud dan pembuatan teras gulud. 2) Faktor pembatas kemiringan lereng untuk tanaman wortel, perlu penambahan tinggi gulud, pemberian jerami di atas gulud dapat mengurangi besarnya terpaan air hujan yang intensif. 3) Tanaman cabai sesuai marginal syarat tumbuh tanaman dengan kondisi fisik lahan. Faktor pembatasnya yaitu kemiringan lereng temperatur, dan drainase telah dapat ditanggulangi oleh cara budidaya tanam yang dilakukan petani. Kemiringan lereng dapat ditanggulangi dengan teras gulud yang ada. Mulsa dari plastik penutup gulud untuk tanaman cabai dapat mengurangi pengikisan tanah dan perbaikan draina se tanah. Faktor pembatas temperatur dapat ditanggulangi dengan mengganti waktu tanam pada saat musim panas.

221

5.3.1.3. Satuan lahan V8_Qvl_II_La_Swh (22) a. Pemupukan 1) Tanaman yang dibudidayakan adalah padi dengan intensitas dua kali dalam satu tahun. Padi yang dibudidayakan mempunyai varietas berbeda. Walaupun demikian keduanya memerlukan penambahan dosis pemberian pupuk organik (pupuk kandang) sebesar 20 ton/ha. Pupuk organik tidak diberikan di lahan sawah untuk tanam padi. Petani menggunakan pupuk jenis anorganik untuk lahan sawah. Pemupukan anorganik yang dilakukan dalam jangka panjang tanpa diikuti pemberian pupuk organik akan mengakibatkan rusaknya struktur tanah. 2) Pengurangan dosis pemberian pupuk urea sebesar 0,5 ku/ha; pupuk TSP 0,15 ku/ha dan pupuk KCL sebesar 0,4 ku/ha serta pemberian pupuk organik, merupakan tindakan yang tepat untuk budidaya tanaman padi sawah. b. Kesesuaian lahan Padi mempunyai syarat tumbuh tanaman sesuai dengan kondisi fisik lahan, dengan faktor pembatas adalah kemiringan lereng. Teknologi terasering yang ada telah dapat mengatasi faktor pembatas tersebut.

5.3.1.4. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25 K) a. Pemupukan

1) Pemberian pupuk organik oleh petani untuk budidaya tanaman ubi jalar sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas Pertanian

222

Kecamatan Tawangmangu. Tanaman bawang daun, buncis, kapri, padi, dan wortel perlu ditambahkan dosis pemupukan masing- masing sebesar 1020 ton/ha; 2,5-7,5 ton/ha; 2,5-7,5 ton/ha; 17,5 ton/ha, dan 12,5 ton/ha. 2) Dosis pupuk urea yang diberikan untuk tanaman bawang daun dan ubi jalar diberi penambahan masing- masing menjadi sebesar 3 ku/ha dan 2 ku/ha. Tanaman buncis, kapri dan padi memerlukan pengurangan dosis pupuk masing- masing sebesar 1,2 ku/ha; 0,2 ku/ha dan 0,5ku/ha. 3) Dosis pupuk TSP untuk tanaman kapri perlu ditingkatkan sebesar 0,9 ku/ha. Tanaman bawang daun, buncis, padi, dan ubi jalar memerlukan pengurangan dosis masing- masing sebesar 1 ku/ha; 1,1 ku/ha; 0,15 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 4) Dosis pupuk KCl untuk tanaman kapri perlu ditingkatkan sebesar 0,5 ku/ha. Tanaman buncis, padi dan wortel memerlukan pengurangan dosis sebesar 0,5 ku/ha; 0,2 ku/ha dan 0,5 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman bawang daun, buncis, kapri, dan wortel. Faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng. Teknologi teras gulud dengan sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari yang dilakukan petani telah dapat menanggulangi faktor pembatas.

223

2) Kondisi fisik lahan tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman padi. Faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng. Teknologi teras gulud telah dapat menanggulangi faktor pembatas.

5.3.1.5. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Swh (25 B) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik oleh petani untuk budidaya tanaman ubi jalar sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu. Tanaman buncis, kapri, padi, tomat dan wortel ditambahkan dosis pupuk masing- masing sebesar 5-10 ton/ha; 5-10 ton/ha; 20 ton/ha; 17,5 ku/ha dan 12,5 ton/ha. 2) Dosis pupuk urea yang diberikan untuk tanaman buncis, kapri, tomat dan ubi jalar memerlukan pengurangan dosis pupuk masing- masing sebesar 1,4 ku/ha; 0,4 ku/ha; 0,5 ku/ha dan 0,5ku/ha. 3) Dosis pupuk TSP untuk tanaman kapri dan tomat perlu ditingkatkan sebesar 1 ku/ha. Ta naman buncis, padi dan ubi jalar memerlukan pengurangan dosis sebesar 1 ku/ha;0,15 ku/ha dan 1 ku/ha. 4) Dosis pupuk KCl untuk tanaman buncis, kapri dan padi memerlukan pengurangan dosis sebesar 0,5 ku/ha; 0, 5 ku/ha dan 0,4 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan untuk tanaman buncis, kapri, tomat dan wortel sesuai dengan syarat tumbuh untuk budidaya tanaman di satuan lahan ini. Teras gulud dengan sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari telah dapat menanggulangi faktor pembatas kemiringan lereng.

224

2) Tanaman ubi jalar yang memiliki faktor pembatas curah hujan, perubahan waktu tanam yang dilakukan petani saat ini sudah dapat mengatasi faktor pembatas tersebut. 3) Kondisi fisik lahan untuk tanaman padi tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman, dengan faktor pembatas kemiringan lereng, teknologi terasering yang dilakukan petani telah dapat mengatasi faktor pembatas ini. 5.3.1.6. Satuan lahan V19b_Qval_III_La_Tgl (15) a. Pemupukan 1) Dosis pupuk organik yang diberikan untuk tanaman ubi kayu telah sesuai dengan dosis rekomendasi Puslittanak, sedangkan untuk tanaman cabai, sawi, tomat dan wortel memerlukan penambahan dosis pupuk masing- masing sebesar 10 ton/ha; 5 ton/ha; 15 ton/ha dan 10 ton/ha. 2) Dosis pupuk urea yang diberikan untuk tanaman cabai, sawi, tomat dan wortel memerlukan pengurangan masing- masing sebesar 0,5 ku/ha; 0,1 ku/ha; 0,1 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pupuk TSP untuk tanaman cabai dan tomat memerlukan penambahan dosis sebesar 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi, ubi kayu dan wortel memerlukan pengurangan dosis masing- masing sebesar 0,5 ku/ha; 0,5 ku/ha dan 1,5 ku/ha. 4) Dosis pupuk KCl untuk tanaman sawi dan tomat memerlukan pengurangan sebesar 0,5 ku/ha agar penggunaan pupuk efisien.

225

b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik laha n sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman cabai, sawi, tomat, ubi kayu, dan wortel. Faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng dan curah hujan. Kemiringan lereng dapat ditanggulangi dengan teknologi konservasi teras gulud dan sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari. 2) Curah hujan sebagai faktor pembatas untuk tanaman tomat dan cabai akan dapat ditanggulangi dengan cara memberikan mulsa plastik diatas gulud dan pemindahan waktu tanam pada musim kemarau.

5.3.1.7. Satuan lahan V8_Qlla_II_Lck_Tgl (26) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan untuk tanaman buncis sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu. Tanaman jagung, ubi kayu, sawi, dan wortel perlu penambahan dosis pupuk masing- masing sebesar 10 ton/ha; 4 ton/ha; 9 ton/ha, dan 14 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman jagung perlu penambahan sebesar 1,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman buncis, sawi dan wortel memerlukan pengurangan dosis masing- masing sebesar 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk semua tanaman memerlukan pengurangan sebesar 0,5 ku/ha, terkecuali untuk tanaman wortel dikurangi sebesar 1,5 ku/ha.

226

4) Dosis pemberian pupuk KCl untuk seluruh tanaman memerlukan pengurangan sebesar 0,5 ku/ha, kecuali untuk tanaman ubi kayu karena sudah sesuai dengan rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu. 5) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman buncis, TSP dan KCl untuk ubi kayu sudah sesuai dengan rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu. b. Kesesuaian lahan 1) Tanaman buncis, ubi kayu, sawi dan wortel cukup sesuai syarat tumbuh dengan kondisi fisik lahan. Faktor pembatasnya yaitu kemiringan lereng. Kemiringan lereng dapat ditanggulangi dengan teknologi konservasi teras gulud dengan sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari yang telah dilakukan petani. 2) Gulud untuk tanaman sawi dan wortel dibuat dengan ukuran yang lebih tinggi, agar dapat mengurangi faktor pembatas dan menghasilkan produksi yang lebih baik. 3) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman jagung. Faktor pembatasnya adalah curah hujan tinggi, telah dapat ditanggulangi oleh petani dengan penanaman jagung pada musim kemarau.

5.3.1.8. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Tgl, di desa Nglebak (21 N) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan untuk tanaman buncis sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas

227

Pertanian Kecamatan Tawangmangu. Tanaman bawang merah, tomat, ubi jalar, dan wortel perlu penambahan dosis pemupukan masingmasing sebesar 5-15 ton/ha; 15 ton/ha; 15 ton/ha; dan 10 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang merah perlu penambahan dosis pupuk sebesar 2 ku/ha, sedangkan untuk tanaman buncis dan ubi jalar memerlukan pengurangan dosis pupuk masingmasing sebesar 1 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP memerlukan penambahan untuk tanaman tomat sebesar 1 ku/ha serta pengurangan sebesar 1,5 ku/ha untuk tanaman bawang merah dan 0,05 ku/ha untuk tanaman ubi jalar. 4) Dosis pemberian pupuk KCl untuk semua tanaman memerlukan pengurangan sebesar 0,5 ku/ha, terkecuali untuk ubi jalar dikurangi sebesar 0,2 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan cukup sesuai dengan syarat tumbuh tanaman buncis, tomat, bawang merah, ubi jalar dan wortel, faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng. 2) Tanaman wortel dan bawang merah, faktor pembatas belum dapat ditanggulangi dengan teras gulud yang ada. Gulud untuk tanaman wortel dan bawang merah diberi mulsa jerami untuk melindungi tanah dari energi kinetik air hujan yang intensif.

5.3.1.9. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Tgl, di desa Karanglo (21 K) a. Pemupukan

1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan perlu penambahan dosis pemupukan masing- masing sebesar 7,5-17,5 ton/ha

228

untuk buncis; sebesar 7,5-17,5 ton/ha untuk sawi; sebesar 17,5 ton/ha untuk ubi jalar dan 12,5 ton/ha untuk wortel. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman buncis dan wortel perlu penambahan sebesar 1 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk buncis, sawi, ubi jalar, dan wortel dikurangi masing- masing sebesar 1,5 ku/ha; 0,5 ku/ha; 1,05 ku/ha dan sebesar 1,5 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl perlu penambahan sebesar 1 ku/ha untuk tanaman buncis. Tanaman sawi dikurangi sebesar 0,5 ku/ha dan tanaman ubi jalar 0,2 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan cukup sesuai dengan syarat tumbuh tanaman sawi dan wortel yang dibudidayakan di satuan lahan ini, faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng untuk tanaman sawi sudah dapat dapat ditanggulangi dengan teras gulud, sedangkan untuk tanaman wortel, perlu pemberian mulsa jerami dan meninggikan gulud agar dapat menanggulangi faktor pembatas. 2) Tanaman buncis syarat tumbuh tanamannya sesuai marjinal dengan kondisi fisik lahan, faktor pembatasnya adalah curah hujan. Faktor pembatas akan dapat ditanggulangi dengan pemindahan waktu tanam pada musim kemarau. 3) Ubi jalar syarat tumbuh tanamannya sesuai marjinal dengan kondisi fisik lahan, faktor pembatasnya adalah curah hujan. Faktor pembatas

229

ini telah dapat ditanggulangi oleh petani dengan penanaman dilakukan pada waktu musim kemarau. 5.3.1.10. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh, di Desa Nglebak (20 N) b. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan untuk tanaman kapri sudah sesuai dengan dosis rekomendasi Dinas

Pertanian Kecamatan Tawangmangu. Tanaman padi, tomat, ubi jalar, dan wortel perlu penambahan dosis pemupukan masing- masing

sebesar 20 ton/ha; 15 ton/ha; 15 ton/ha dan 10 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman kapri, tomat, ubi jalar dan wortel, dikurangi masing- masing sebesar 0,25 ku/ha; 1 ku/ha; 0,5 ku/ha; 1 ku/ha; dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP memerlukan penambahan untuk tanaman kapri sebesar 0,5 ku/ha serta pengurangan untuk tanaman padi dan ubi jalar, masing- masing sebesar 0,65 ku/ha dan 0,8 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl untuk tanaman kapri, padi, dan ubi jalar sebaiknya dikurangi masing- masing sebesar 0,5 ku/ha; 0,4 ku/ha dan 0,5 ku/ha. c. Kesesuaian lahan

1) Kondisi fisik tanaman tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman tomat dan padi. Faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng, untuk tanaman padi, faktor pembatas sudah dapat ditanggulangi dengan terasering. Tanaman tomat, faktor pembatas akan dapat

230

ditanggulangi dengan mempertinggi ukuran guludan dan pemberian mulsa jerami diatas gulud. 2) Kondisi fisik tanaman sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman kapri dan ubi jalar, dengan faktor pembatas curah hujan. Faktor pembatas ini dapat ditanggulangi dengan penanaman pada musim kemarau. 3) Kondisi fisik tanaman sesuai marjinal dengan syarat tumbuh

tanaman wortel, dengan faktor pembatas lereng. Faktor pembatas akan dapat ditanggulangi dengan mempertinggi ukuran guludan dan pemberian mulsa jerami diatas gulud.

5.3.1.11. Satuan lahan V8_Qlla_II_La_Swh, di Desa Karanglo (20 K) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan untuk tanaman buncis, padi, tomat, ubi jalar dan wortel memerlukan penambahan masing- masing sebesar 510 ton/ha; 10-20 ton/ha; 20 ton/ha; 17,5 ton/ha dan 12,5 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk semua jenis tanaman buncis padi, tomat, ubi jalar, dan wortel, perlu dikurangi masing- masing sebesar 0,25 ku/ha; 1 ku/ha; 0,5 ku/ha; 1 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP memerlukan penambahan untuk tanaman tomat sebesar 1 ku/ha serta pengurangan untuk tanaman buncis, padi, dan ubi jalar masing- masing sebesar 1 ku/ha; 0,15 ku/ha; dan 0,3 ku/ha.

231

4) Dosis pemberian pupuk KCl dikurangi untuk tanaman buncis dan ubi jalar masing- masing sebesar 0,5 ku/ha serta untuk tanaman padi sebesar 0,4 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan cukup sesuai dengan syarat tumbuh tanaman padi, buncis, tomat dan wortel. Faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng, untuk tanaman buncis dan padi telah dapat ditanggulangi dengan teknologi teras yang telah ada. Faktor pembatas untuk tanaman wortel dan tomat belum dapat

ditanggulangi, sehingga harus meningkatkan teknologi terasering sederhana yang telah dilakukan petani, dengan menambah tinggi gulud dan pemberian mulsa jerami di atas gulud. 2) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman ubi jalar. Faktor pembatasnya adalah curah hujan, telah dapat ditanggulangi oleh petani dengan penanaman pada waktu panen pada musim kemarau.

5.3.1.12. Satuan lahan V19b_Qvl_III_La_Tgl (29) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik (pupuk kandang) yang diberikan untuk tanaman buncis sudah sesuai dengan rekomendasi Dinas Pertanian Kecamatan Tawangmangu. Tanaman bawang daun, jagung, sawi dan wortel memerlukan penambahan masing- masing sebesar 515 ton/ha; 14 ton/ha ; 9 ton/ha dan 14 ton/ha.

232

2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun perlu ditambah sebesar 2 ku/ha, sedangkan untuk tanaman buncis, jagung dan wortel perlu dikurangi sebesar 1 ku/ha; 1 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP dikurangi masing- masing sebesar 0,5 ku/ha untuk tanaman bawang daun, buncis, dan sawi. Tanaman wortel dikurangi sebesar 2,5 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl dikurangi sebesar 0,5 ku/ha untuk tanaman buncis, jagung dan sawi serta sebesar 0,3 ku/ha untuk tanama n bawang daun dan wortel. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman buncis, jagung dan sawi, dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan erosi. Kemiringan lereng dan erosi untuk tanaman buncis dan sawi telah dapat ditanggulangi dengan teknologi teras gulud, terkecuali untuk tanaman jagung perlu diberi mulsa jerami di tanah disekitar pertanaman agar dapat mengurangi daya rusak tanah oleh air hujan dengan intensitas tinggi. Penanaman rumput sepanjang

parit sejajar lereng, dapat mengurangi tingkat erosi ringan-sangat ringan dan erosi dapat ditanggulangi dengan teknologi teras gulud. 2) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal untuk budidaya tanaman bawang daun, faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng dan pH. Faktor pembatas kemiringan lereng akan dapat ditanggulangi dengan teras gulud diperkuat dengan penanaman rumput, serta pemberian mulsa jerami diatas gulud. Faktor pembatas pH dapat ditanggulangi

233

dengan pemberian kapur (dolomite), dosis pemberian sebesar 4 ton/ha pada saat pengolahan tanah agar pH tidak asam. 3) Tanaman wortel faktor pembatasnya adalah kemiringan lereng, pH dan temperatur. Faktor pembatas kemiringan lereng telah dapat ditanggulangi dengan teras gulud yang dilakukan petani. Faktor pembatas pH telah dapat ditanggulangi dengan pemberian kapur (dolomite), dosis pemberian sebesar 4 ton/ha di saat pengolahan tanah agar pH tidak asam. Demikian juga wortel telah ditanam pada waktu yang tepat untuk menanggulangi faktor pembatas.

5.3.2. Pengelolaan satuan berkelanjutan

lahan

yang

potensial

untuk

usahatani

Pengelolaan satuan lahan yang mempunyai usahatani tidak berkelanjutan adalah sebagai berikut. 5.3.2.1. Satuan lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl (2) a. Pemupukan 1) Pupuk organik yang diberikan untuk tanaman bawang daun, bawang putih, sawi dan wortel memerlukan penambahan dosis pupuk masingmasing sebesar 7,517,5 ton/ha; 7,517,5 ton/ha; 8 ton/ha dan 13 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun perlu ditambah sebesar 2 ku/ha dan untuk bawang putih sebesar 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi dan wortel perlu dikurangi sebesar 0,5 ku/ha.

234

3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman bawang putih perlu ditambah sebesar 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi dan wortel dikurangi sebesar 0,5 ku/ha dan 1,5 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl ditambah sebesar 0,6 ku/ha untuk bawang daun serta dikurangi sebesar 0,5 ku/ha untuk tanaman bawang putih, sawi dan wortel. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tana man bawang merah, wortel, bawang daun, dan sawi, dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan erosi. 2) Kemiringan lereng dan erosi untuk tanaman bawang putih dan wortel telah dapat ditanggulangi dengan teknologi teras gulud, sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari. Tanaman bawang daun dan sawi akan dapat ditanggulangi dengan teras gulud diperkuat penanaman rumput, serta pemberian mulsa jerami diatas gulud.

5.3.2.2. Satuan lahan V5_Qlla_III_La_Tgl (13) a. Pemupukan

1) Pemberian pupuk organik yang diberikan untuk tanaman bawang daun, sawi dan wortel memerlukan penambahan masing- masing sebesar 7,5-17,5 ton/ha; 7,5 ton/ha dan 13,5 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun sebaiknya dikurangi sebesar 1,5 ku/ha serta untuk sawi dan wortel sebesar 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman bawang daun dan sawi perlu dikurangi sebesar 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman wortel dikurangi sebesar 1,5 ku/ha.

235

4) Dosis pemberian pupuk KCl untuk tanaman sawi dikurangi sebesar 0,5 ku/ha dan untuk tanaman wortel sebesar 0,3 ku/ha. 5) Dosis pemberian pupuk KCl untuk bawang daun sudah sesuai dengan rekomendasi Kecamatan Tawangmangu. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman bawang daun, sawi dan wortel, dengan faktor pembatas kemiringan lereng dan erosi. 2) Kemiringan lereng akan dapat ditanggulangi dengan perbaikan teknologi teras gulud. Tingkat erosi akan dapat ditanggulangi dengan pemberian mulsa jerami diatas gulud serta sistem tanam tumpang gilir dan tumpang sari tanaman sayuran dengan tanaman leguminaceae (kacang-kacangan).

5.3.2.3. Satuan lahan V5_Qvl_III_Anli_Tgl (7) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk organik yang diberikan untuk tanaman bawang

daun, bawang merah, sawi dan wortel memerlukan penambahan masing- masing sebesar 7,517,5 ton/ha; 7,517,5 ton/ha; 7,5 ton/ha dan12,5 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun dan bawang merah ditambah masing- masing sebesar 4,2 ku/ha dan 4 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman bawang daun dan bawang merah dikurangi sebesar 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi dan wortel dikurangi sebesar 1,5 ku/ha.

236

4) Dosis pemberian pupuk KCl sebaiknya ditambah sebesar 0,25 ku/ha untuk tanaman bawang daun, serta dikurangi sebesar 1,5 ku/ha untuk bawang merah dan 0,5 ku/ha untuk tanaman sawi. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman bawang merah, wortel, bawang daun dan sawi, dengan faktor pembatas pH, kemiringan lereng dan erosi. 2) Faktor pembatas bawang merah dan wortel telah dapat ditanggulangi dengan teknologi teras gulud. Pemilihan tanaman dengan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir + tanaman kacang-kacangan (Leguminaceae) merupakan upaya mengurangi laju erosi di satua n lahan ini. Faktor pembatas pH tidak berpengaruh terhadap produksi kedua tanaman ini. 3) Faktor pembatas bawang daun dan sawi telah dapat ditanggulangi dengan teknologi teras gulud. 4) Faktor pembatas kemiringan lereng dan erosi akan dapat ditanggulangi dengan memperbaiki teknologi konservasi penanaman searah kontur yang telah ada. Pemilihan tanaman dengan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir + tanaman kacang-kacangan (Leguminaceae) merupakan upaya mengurangi laju erosi. 5) Faktor pembatas pH telah dapat d itanggulangi dengan pemberian kapur (dolomite), dosis pemberian sebesar 4 ton/ha pada saat pengolahan tanah, agar pH tanah tidak terlalu asam.

237

5.3.2.4. Satuan lahan V5_Qval_III_Anli_Tgl (9) a. Pemupukan 1) Pemberian pupuk kandang yang diberikan untuk tanaman bawang daun, cabai, sawi, strawberi dan wortel memerlukan penambaha n masing- masing sebesar 8-18 ton/ha; 14 ton/ha; 9 ton/ha;

18-28 ton/ha dan 14 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun ditambah sebesar 1 ku/ha, sedangkan dosis untuk tanaman cabai dan sawi dikurangi sebesar 1 ku/ha dan 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman bawang daun, cabai dan stawberi perlu ditambah masing- masing sebesar 1,25 ku/ha; 1 ku/ha dan 0,5 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi dikurangi sebesar 1 ku/ha dan wortel dikurangi sebesar 1,5 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl untuk tanaman cabai, sawi, strawberi dan wortel dikurangi masing- masing sebesar 1 ku/ha; 0,5 ku/ha; 0,5 ku/ha dan 0,3 ku/ha. b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman bawang daun, cabai, sawi, strawberi, wortel, dengan faktor pembatas pH dan erosi. 2) Faktor pembatas tanaman wortel telah dapat ditanggulangi oleh petani dengan teknologi teras gulud dan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir. Faktor pembatas pH untuk tanaman wortel tidak berpengaruh terhadap produksi. 3) Faktor pembatas pH untuk tanaman bawang daun, cabai, sawi, dan strawberi dapat ditanggulangi denga n pemberian kapur (dolomite),

238

dosis pemberian sebesar 4 ton/ha pada saat pengolahan tanah agar pH tidak asam. 4) Faktor pembatas erosi untuk tanaman bawang daun, cabai, sawi, dan strawberi akan dapat ditanggulangi dengan menaikkan ukuran gulud dan pemberian mulsa jerami di atas gulud.

5.3.2.5. Satuan lahan V5_Qvl_III_La_Tgl (10) a. Pemupukan 1) Dosis pemberian pupuk organik yang diberikan untuk tanaman bawang daun, bawang merah, kapri, sawi dan wortel memerlukan

penambahan masing- masing sebesar 7,517,5 ton/ha; 7,517,5 ton/ha; 2,5 - 7,5 ton/ha; 7,5 ton/ha dan 12,5 ton/ha. 2) Dosis pemberian pupuk urea untuk tanaman bawang daun dan bawang merah dikurangi sebesar 1,5 ku/ha, sedangkan dosis untuk tanaman kapri, sawi dan wortel sebaiknya dikurangi masing- masing sebesar 0,5 ku/ha. 3) Dosis pemberian pupuk TSP untuk tanaman bawang merah dan kapri perlu dikurangi sebesar 1 ku/ha, sedangkan untuk tanaman sawi sebesar 0,5 ku/ha dan wortel dikurangi sebesar 1,5 ku/ha. 4) Dosis pemberian pupuk KCl ditambah sebesar 0,5 ku/ha untuk tanaman sawi; 0,7 ku/ha untuk tanaman wortel, serta dikurangi masing- masing sebesar 0,5 ku/ha untuk bawang daun, bawang merah dan kapri.

239

b. Kesesuaian lahan 1) Kondisi fisik lahan sesuai marjinal dengan syarat tumbuh tanaman wortel, bawang daun, bawang merah, kapri dan sawi, dengan faktor pembatas pH, kemiringan lereng dan erosi. 2) Faktor pembatas pH untuk tanaman wortel dan bawang merah tidak berpengaruh terhadap kedua tanaman ini. 3) Faktor pembatas kemiringan lereng dan erosi untuk tanaman wortel dan bawang merah telah dapat ditanggulangi dengan teras gulud yang ada dan sistem tanam tumpang sari dan tumpang gilir yang dilakukan petani. 4) Faktor pembatas pH untuk tanaman bawang daun, kapri dan sawi akan dapat ditanggulangi dengan pemberian kapur (dolomite), dosis pemberian sebesar 4 ton/ha pada saat pengolahan tanah agar pH tidak asam. 5) Faktor pembatas untuk tanaman bawang daun, kapri dan sawi akan dapat ditanggulangi dengan menaikkan ukuran gulud dan pemberian mulsa jerami di atas gulud.

Penambahan dan atau pengurangan dosis pemupukan untuk berbagai jenis tanaman, kesesuaian lahan, teknologi teras, dan cara menanggulangi faktor pembatas dapat dilihat dari Tabel 5.19 dan Tabel 5.20 Peta hasil dari kesesuaian lahan dengan produktivitas berbagai tanaman yang dibudidayakan di seluruh Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat pada Gambar 5.13 sampai Gambar 5.24, untuk menentukan rencana penggunaan lahan (landuse planning).

240

241

242

243

PET A KE SE SUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN WOR TE L DAN PR ODUKTIVITASNYA DI LOKASI PENELITIAN
5 10 000
N

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an

Kecamatan N gargoyos o
1 1 2 7 2 8 3 3 7

3 0

K al S amin i

21

Plumbon #

29

Tengk lik
#
1

1 0

Ngleb ak

#
1 3

Kalis oro
# #

Gondos uli
#
6 5 2

Provinsi Jawa Ti mur

B lumba ng
9 8

2 5

2 0 Karanglo 1 9

# Y

Tawangmangu

Bandardaw ung
#
2 5

2 6

S epanj a # ng
25 K Gemb o g ali n

1 4

Ke ca ma ta Tawa ngman gu n
1 4

Kecamatan Mate sih


1 5 1 8
0 1 2 3 Km

1 6

Keca ma tan Ja tiyo so


516 0 00 mT
Sumbe : r 1 V19 c_ Qval_ V_L a_ Tgl 7 1 V19 c_ Qval_ V_Lck _Tgl 8 1 V8_ Ql l a_III_ L S wh 9 a_ 2 V8_ Ql l a_II_ L _S wh 0 a V8_ Qll a_III_ L T g 1 a_ l 2 2 V8_ Qv l II_ L a_S wh 2 _ 2 V8_ Ql l a_II_ L k_S wh 5 c 2 V8_ Ql l a_II_ L k_Tg l 6 c 2 V 9a _Qv _ III_L a_ T l 7 1 l g 1. Foto u ra 1 da :25.000 ta h 1995 un 2. Pe a Ge t ologi le m r P o ba norogo ska la 1 :100.000ta hun 1 997 3. Pe a RB I s k la 1:2 t a 5.000 ta hu 2001 n Zone 4 S, Sis te K oo 9 m rdinat UTM 4. H s il a lisis ke s ua n la n unt k ta a na se ia ha u na ma w ortel, t hun 200 n a 5
Di b at ol eh u
J a Ten ah wa g a J wa T mu

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
Sa ua Laha t n n:
2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 V5_ Qv c_ III_An L _ T g l i l V5_ Qv l V _An L _ T g _ i l V5_ Qv c_ IV_ A L i _T g l n l V5_ Qv l IV _An i_ T g _ L l V5_ Qv l III_ An i _T g l _ L V19 c_ Q l _V _AnL i _ T l v g V5_ Qv a_ III_An L _ T g l i l V5 Qv l III_ L a_T g l _ _ V5 Qv l V _L a_T g l _ _ V5 Qll a_III_ L T g _ a_ l

51 9 000 mT

5 22 00 0 mT

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a

Ti n tK esesua ia nL a n gka ha : T d k Sesua (N ) i a i S sua i Ma rgina l (S3) e CukupSes u i (S2) a Ti n tP rodu gka ktivitas: Tinggi

375 000 U
m K

38500 0

39500 0

40000 0

L a J a wa u Ja wa Ba a

Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

R nda e h

14 15 16

V1 c_ Q l _V _An i_ T l 9 v L g V1 b Qv l III_An L _T g l 9 _ a_ i V1 b Qv l V_L ck _T g 9 _ a_ l

2 V 9a _Qv _ V_ L Tgl 8 1 l a_ 2 V 9b _Q v III_ L Tgl 9 1 _ l a_ 3 V 9b _Q v IV_ L Tgl 0 1 _ l a_

r I. Di n Ru l n ari , M . S i a sa j P a S aj a n asc r a U i v si as Ga d ah M ada n er t j


S D d Y a mu e a n d o n s a e a Der ahPene an

375 000m T

38500 0m T

39500 0m T

40500 0m T

Gambar 5.13 . Peta Kese suaian Lahan Untuk T an am an Wortel Da n Pro duk tivitasnya

244

PETA KESESU AIAN LAHAN UNTUK TANAMAN UB I KAYU DAN PRO DUKTIVITASNYA DI LOKASI PENELITIAN
5 10 000
N

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Kara ngpan dan


2 2 3 0

Kecama tan N gargoyos o


11 2 7 2 8 3 3

K S m ali a in

2 1

Plumb # on

2 9

Tengkli k
#
1

10

25

K aranglo

2 0

Nglebak # T awangmangu3 1
#
19

Kal is o ro
# #

Gondos uli Blumbang


8 9 6

Provi nsi Ja wa Timur


5 2

# Y

B anda rdaw ung


#
25 2 5 26

Sepanjan # g
K Gembong ali

1 4

Kecamatan Tawan gmangu


14 1 5 1 8

Ke ca ma ta Ma tesi h n
0 1 2 3 Km

1 6

Kecamatan Jatiyoso
516 0 00 mT
V5_ Qv _ III_An L _T g l cl i V5_ Qv _V _An L_ T l l i g V5_ Qv _ IV_An L i_T l cl g V5_ Qv _IV _An i _ T l l L g V5_ Qv _III_ AnL i _T g l l

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
Sa u n La h n: t a a
2 3 5 6 7

51 9 000 mT

5 22 00 0 mT

Leg en da:
# Y #

K nt or Keca mat an a K nt or Kelurahan / Desa a

Tin gkat Kesesu aian Lahan : Tidak Sesu a (N ) i

1 V19 c_Qv al_ V L a_ T l 7 _ g 1 V19 c_Qv al_ V Lck _Tgl 8 _ 1 V8_ Ql a _III_L a_ S wh 9 2 V8_ Ql a _II_ L S wh 0 a_

S m e r: u b 1 F to u a a 1 5 .0 0 ta hu 1 9 9 5 . o d r :2 0 n 2 Pe G e lo g lem b r Po n ro o ska 1 . ta o i a o g la :1 0 . 0 0 ta u n 1 9 7 00 h 9

37500 0 U
K m

38500 0

39 000 5

400000

a Lu Ja wa

Jala n Sungai Bat as Desa Bat as Keca mat an

S es ai Mar gina l (S 3) u Cuk up S esuai ( S2 ) Tin gkat Pr oduk tiv itas: Ting gi Rend ah

8 9 10 11 13 14 15

V19 c_Qv l _V_ An i _T g l L V5_ Qv _ III_An L _T g l al i V5 Qv _III_ L _T g l _ l a V5 Qv _V _L a_T g l _ l V5 Ql a _III_L a_ T g _ l V1 c_Qv l _V_ AnL i _T g l 9 V1 b v l II_ An L _T g l 9 _Q a _ i

2 1 2 2 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9

V8_ Ql a _III_L a_ T g l V8_ Qv _II_ L _S wh l a V8_ Ql a _II_ L _S wh ck V8_ Ql a _II_ L _T g l ck V1 9a _Qv _ III L a_ Tl l _ g V1 9a _Qv _ V_L a_ T g l l V1 9b _Qv l III L a_ T g _ _ l

3 Pe RB I sk la 1 :2 .0 0 ta u n2 0 1 . ta a 5 0 h 0 Z o e 4 9 S, Sistem K o o in a UTM n rd t 4 Ha sila n a . lisis k e esu a ianla h a u ntu ta n am s n k a n u ika y , t h u n2 0 5 b u a 0


aa Jw a Ba a S mu d e a

a J wa T e g h n a

a J wa T mu

nd n es a o

DY

Dbuat ol eh i r I. Di na R ul an j r , M. Si s ai Pasca Sarj ana

Daer h Pene an a

Bat as Propi nsi

16

V1 b v l V_L ck _T g 9 _Q a _ l

3 V1 9b _Qv l_ IV_L a_ Tgl 0

U versi t asGad jah Mad a ni

37500 0m T

38500 0m T

39 000 m T 5

405000 m T

Gambar 5.14. Peta Kesesuaian L an Untu k Tanaman Ubi Kay u Dan Prod u ktivitasnya ah

245

PETA KESESUAIAN L AHAN UNTUK T ANAMAN UB I JALAR DAN PR ODUKTIVITASNYA DI LOKASI PENELITIAN
51 0 000
N

5 13 000

5 16 00 0

519 0 00

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an


2 2

Ke camatan Ngar g yo so o

3 0 2 7

11 2 8 3 3

K S min ali a

2 1

P lumb # on

2 9

Tengklik
#
1

1 0

25

Karanglo

2 0

Nglebak # Taw angmangu3 1


#
1 9

K alis oro
# #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

# Y

Bandardaw ung
#
2 5 25 26

Sepanjan# g
K aliGe m ong b

14

Kecamatan Ta wang ma ngu


1 4 1 5 1 8

Ke camatan Mate si h
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


5 16 00 0 mT
Su m er: b

51 0 000 mT

5 13 000 mT
S t a n L ah n au a : 2 V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l

519 0 00 mT

5 22 00 0 mT

Leg enda:
Tingka Kese sua ia L a n t n ha : Ti d k Sesua (N a i ) Se sua i Ma rgina l( S3) C uku Se sua i (S2) p Tingka P rod t uktivita s: Ting gi R nd h e a

Y # #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a Bat as Kec ama tan

3 5

V5 _Qv l V_An L i _T gl _ V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l

6 V5 _Qv l IV_An L i _T g _ l 7 V5 _Qv l III_An L i T g l _ _ 8 V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g l i l V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l 9 1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 V5 _Qv l V_L a_ T g 1 _ l 1 V5 _Ql l a_ III L _T g 3 _ a l 1 V1 9 Qv _ V_An L_ T g 4 c_ l i l

17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29

V1 9 Qv l _V_L a _T g c_ a l V1 9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T V8 _Qll a_ III L _S wh _ a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III L _T g _ a l V8 _Qv l II_L a_ S _ wh V8 _Qll a_ II_L k S c _ wh V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g V1 9a_ Qv _ II_ L a_T g l l V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g V1 9b Qv l II_ L a_T g l _ _

1 . F tou da 1 :2 .0 0 0 ta u n1 9 5 o ra 5 h 9 2 . Pe G e lo gi l m a rPo no r go ta o e b o

375 000 U

385 000
K m

9 35 000

400000

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

sk la 1 :1 0. 0 0 ta h n1 9 9 7 a 0 0 u 3 . Pe RBI s k la 1 :2 .0 0 ta u n 2 0 1 ta a 5 0 h 0 Zo ne 4 9 S, Site m Ko o rdin t UTM s a 4 . Ha i a n lisis k se su a nla a nu n kt n m sl a e ia h tu a a a u bi ja ta h n2 0 5 n lar, u 0 Dib a to leh u r I. D in R u lanj ri, M.Si a s a P sc S rja n a a a a Un e rsita Ga djah M da iv s a

Ja wa T mu

S a mu e a n d o n s a d e Daer ahPene an

DY

Bat as Propi ns i

1 V1 9b Qv al _III_A n i _ T g 5 _ L l 1 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T

3 0 V1 9b Qv l_ IV_L a_ T l _ g

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gambar 5.15. Peta Kesesuaian L an Untu k Tan aman Ub i Jalar Dan Pr odu ktivitasnya ah

246

PETA KESESUAIAN L AHAN UNTUK T ANAMAN UB I JALAR DAN PR ODUKTIVITASNYA DI LOKASI PENELITIAN
51 0 000
N

5 13 000

5 16 00 0

519 0 00

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an


2 2

Ke camatan Ngar g yo so o

3 0 2 7

11 2 8 3 3

K S min ali a

2 1

P lumb # on

2 9

Tengklik
#
1

1 0

25

Karanglo

2 0

Nglebak # Taw angmangu3 1


#
1 9

K alis oro
# #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

# Y

Bandardaw ung
#
2 5 25 26

Sepanjan# g
K aliGe m ong b

14

Kecamatan Ta wang ma ngu


1 4 1 5 1 8

Ke camatan Mate si h
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


5 16 00 0 mT
V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l

51 0 000 mT

5 13 000 mT
S t a n L ah n au a : 2

519 0 00 mT
Su m er: b

5 22 00 0 mT

Leg enda:
Tingka Kese sua ia L a n t n ha : Ti d k Sesua (N a i ) Se sua i Ma rgina l( S3) C uku Se sua i (S2) p Tingka P rod t uktivita s: Ting gi R nd h e a

Y # #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a Bat as Kec ama tan

3 V5 _Qv l V_An L i _T gl _ 5 V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l 6 V5 _Qv l IV_An L i _T g _ l 7 V5 _Qv l III_An L i T g l _ _ 8 V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g l i l V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l 9 1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 V5 _Qv l V_L a_ T g 1 _ l 1 V5 _Ql l a_ III L _T g 3 _ a l 1 V1 9 Qv _ V_An L_ T g 4 c_ l i l

17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29

V1 9 Qv l _V_L a _T g c_ a l V1 9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T V8 _Qll a_ III L _S wh _ a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III L _T g _ a l V8 _Qv l II_L a_ S _ wh V8 _Qll a_ II_L k S c _ wh V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g V1 9a_ Qv _ II_ L a_T g l l V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g V1 9b Qv l II_ L a_T g l _ _

1 . F tou da 1 :2 .0 0 0 ta u n1 9 5 o ra 5 h 9 2 . Pe G e lo gi l m a rPo no r go ta o e b o

375 000 U

385 000
K m

9 35 000

400000

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

sk la 1 :1 0. 0 0 ta h n1 9 9 7 a 0 0 u 3 . Pe RBI s k la 1 :2 .0 0 ta u n 2 0 1 ta a 5 0 h 0 Zo ne 4 9 S, Site m Ko o rdin t UTM s a 4 . Ha i a n lisis k se su a nla a nu n kt n m sl a e ia h tu a a a u bi ja ta h n2 0 5 n lar, u 0 Dib a to leh u r I. D in R u lanj ri, M.Si a s a P sc S rja n a a a a Un e rsita Ga djah M da iv s a

Ja wa T mu

S a mu e a n d o n s a d e Daer ahPene an

DY

Bat as Propi ns i

1 V1 9b Qv al _III_A n i _ T g 5 _ L l 1 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T

3 0 V1 9b Qv l_ IV_L a_ T l _ g

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gambar 5.15. Peta Kesesuaian L an Untu k Tan aman Ub i Jalar Dan Pr odu ktivitasnya ah

247

PETA KESESUAIAN L AHAN UNTUK T ANAMAN TOMAT DAN PR ODUKTIVITASNYA DI LO KASI PENELITIAN
5 10 00 0
N

513 00 0

5 16 00 0

519 00 0

5 22 00 0

Kecamatan Karang pand an


2 2 3 0

Keca ma tan N gargoyos o

11 2 7 2 8 3 3

P lum bon
K S min ali a 2 1

2 9

Teng lik k
#
1

1 0

25

Kara nglo

2 0

Nglebak # T angmangu aw 1 3
#
1 9

K alis oro
# #

Gon dos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

# Y

Bandardaw ung
#
2 5 2 5 2 6

Sepanja # ng
K aliGe m ong b

14

Ke camatan Taw ang ma ngu


1 4 1 5 18

Kecamatan Matesih
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


5 16 00 0 mT
Sumbe : r 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30
V1 9 Qv l _V_L a _T g c_ a l V1 9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T V8 _Qll a_ III L _S wh _ a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III L _T g _ a l V8 _Qv l II_L a_ S _ wh V8 _Qll a_ II_L k S c _ wh V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g V1 9a_ Qv _ II_ L a_T g l l V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g V1 9b Qv l II_ L a_T g l _ _ V1 9b Qv l IV_L a_ T l _ _ g

5 10 00 0 mT

513 00 0 mT
Sa n La n: tua ha
2 3 5 6 7 8 V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l V5 _Qv l V_An L i _T g _ l V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l V5 _Qv l IV_An L i _T g _ l V5 _Qv l III_An L i T g l _ _ V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g l i l

519 00 0 mT
375 000 U
m K

5 22 00 0 mT
38500 0 39500 0 40000 0

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

Ti ngk at Ke s suai an L ahan : e T da k Sesu ai (N ) i Sesu ai Mar gi nal ( S ) 3 Cuk up Sesua i ( S2) Ti ngk at Pro du kti vi tas: Tin gg i Ren d ah

1. Foto ud ra 1 a :25.000 ta h 1995 un 2. Pe a Ge t ologi le mb r P o a norogo ska la 1 :100.000t a hun 1 997 3. Pe a R BI s ka 1:2 t la 5.000 ta hun2001 Zone 4 S, Sist e K oo 9 m rdinat UTM 4. H s il a lisis ke e ua n la n untu ta a na s s ia ha k na ma toma t, ta n hun 2 005
Di b at ol eh u Ir. Di n a Ru an j ari M . S i sl , P asca S arj an a Un v ersi t as Gad j ah M ada i

L a J a wa u Ja wa Ba a

J a Ten ah wa g

9 V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l 1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 1 1 3 1 4 1 5 1 6 5 _Qv l V_L a_ T g _ lV V5 _Ql l a_ III L _T g _ a l V1 9 Qv _ V_An L_ T g c_ l i l V1 9b Qv al _III_A n i _ T g _ L l V1 9b Qv al _V_ L k g l _ c _T

a J wa T mu

DY

S a mu e a n d o n s a d e a Der ahPene an

375 000m T

38500 0m T

39500 0m T

40500 0m T

Gambar 5.16. Peta Kesesuaian L n Untu k Tanaman Tom at Dan Produ ktivitasnya aha

248

PETA KESESUAIA N LAHAN UN TU K TANAMAN STR AWBER I DAN PR ODUKTIVIT ASNYA DI LO KASI PENELITIAN
5 10 000
N

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an

Kecamatan N gargoyos o
1 1 2 7 2 8 3 3 7

3 0

K al S amin i

21

Plumbon #

29

Tengk lik
#
1

1 0

Ngleb ak

#
1 3

Kalis oro
# #

Gondos uli
#
5 2 6

Provinsi Jawa Ti mur

B lumba ng
9 8

2 5

2 0 Karanglo 1 9

# Y

Tawangmangu

Bandardaw ung
#
2 5

2 6

S epanj a # ng
25 K Gemb o g ali n

1 4

Ke ca ma ta Tawa ngman gu n
1 5 1 8

1 4 Kecamatan Mate sih

Km

1 6

Keca ma tan Ja tiyo so


516 0 00 mT 51 9 000 mT
Sumbe : r 1. Foto ud ra 1 a :25.000 ta h 1995 un 2. Pe a Ge t ologi le mb r P o a norogo ska la 1 :100.000t a hun 1 997 3. Pe a R BI s ka 1:2 t la 5.000 ta hun2001 Zone 4 S, Sist e K oo 9 m rdinat UTM 4. H s il a lisis ta a na hun 200 5
Di b a to l eh u Ir. Di n a Ru an j ari M . S i sl ,

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
2 V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l

5 22 00 0 mT

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a

Ting kat K esesua ian Lah an: Tid ak Se ai (N ) su Se suai Ma rg in al (S3) Cu kup Sesu ai ( S2) Ting kat Pro d uk tiv ita s: Ti ngg i

Sa n La n: tua ha
3 5 V5 _Qv l V_An L i _T g _ l V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l

Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

R en dah

6 V5 _Qv l IV_An L i _T g _ l 7 V5 _Qv l III_An L i T g l _ _ 8 V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g l i l 9 V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l 1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 V5 _Qv l V_L a_ T g 1 _ l 1 V5 _Ql l a_ III L _T g 3 _ a l 1 V1 9 Qv _ V_An L_ T g 4 c_ l i l 1 V1 9b Qv al _III_A n i _ T g 5 _ L l 1 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T

17 18 19 20 21 22 25 26 27

V1 9 Qv l _V_L a _T g c_ a l V1 9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T V8 _Qll a_ III L _S wh _ a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III L _T g _ a l V8 _Qv l II_L a_ S _ wh V8 _Qll a_ II_L k S c _ wh V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g V1 9a_ Qv _ II_ L a_T g l l

375 000 U
K m

385 000

9 35 000

400000

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

Ja wa T mu

DY

2 8 V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g 2 9 V1 9b Qv l_ II_ L a_Tg l _ 3 0 V1 9b Qv l_ IV_L a_ T l _ g

P asca S arj an a Un v ersi t as Gad j ah M ada i

S a mu e a n d o n s a d e Daer ahPene an

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gamb ar 5 .1 7. Peta Kese suaian Lahan Un tuk T anaman Strawbe ri d an Pro duktiv itasnya

249

PETA KESESU AIAN LAHAN UNTUK TANAMAN SAWI DAN PRODUKTI VI ASNYA DI LOKASI PE NE LIT IAN T
5 10 00 0
N

513 0 00

51 60 00

5 19 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an


2 2 3 0

Keca ma ta Ngargoyo so n

11 2 7 2 8 3 3

Plumbo n
K S amin ali 2 1

2 9

Tengklik
#
1

1 0

25

Karanglo
2 0

Ngleba k #

K al i oro s Taw angmangu 1 3


# # Y # #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

Bandardaw ung
#
25 2 5 19 26

Sepanjan# g
K ali G mbong e

14

Kecamatan Ta wang ma ngu


14 1 5 18

Kecamatan Matesih
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


51 60 00 mT
Sumbe : r V1 9 c Q v a V _ La Tgl _ l_ _ 1. Foto ud ra 1 a :25.000 ta h 1995 un 2. Pe a Ge t ologi le mb r P o a norogo ska la 1 :100.000t a hun 1 997
375 000 U
K m

5 10 00 0 mT

513 0 00 mT
Satuan L ah an:
V5 _ Qv l_ III_A n Li_ l c Tg V5 _ Qv V _ Li_ Tg l_ An l 5 V5 _ Qv l_ IV_ AnLi_Tg l c 6 V5 _ Qv IV _ An Tg l l_ Li_ 2 3

5 19 000 mT

5 22 00 0 mT

Leg enda:
# Y

Kant or Keca mat an

Ti ngk at Ke sesuai an Lah a : n

1 7 1 V1 9 c Q va V _ Lck_ g 8 _ l_ T l 1 V8 _ Qlla III_ La S h 9 _ _w

385 000

9 35 000

400000

Kant or Kelura han / Desa

Tida k Sesu ai (N )

V5 _ Qv III_ An Li_ T l l_ g

2 V8 _ Qlla II_La _ Swh 0 _

3. Pe a R BI s ka 1:2 t la 5.000 ta hun2001

Jala n

Sesu ai Ma rgi n a ( S3) l

L a J a wa u

8 9

V1 9 c Qvl_ _A nLi Tg l _ V _ V5 _ Qv l_ III_A n Li_ l a Tg

2 V8 _ Qlla III_ La Tg 1 _ _ l 2 V8 _ Qv II_ La Swh 2 l_ _

Zone 4 S, Sist e K oo 9 m rdinat UTM

a J wa a B a

Sungai Bat as Des a Bat as Kec ama tan

Cuk up Sesua i ( S2) Ti ngk at Pro du k tivi ta s : Tin gg i R e d ah n

10 11 13 14 15

V5 _ Qv III_ La Tgl l_ _ V5 _ Qv V _ _Tgl l_ La V5 _ Qlla III_ La Tg _ _ l V1 9 c Qvl_ _A n Li Tgl _ V _ V1 9 b Qva III_ An Li_ g _ l_ T l

2 5 2 6 2 7 2 8 2 9

V8 _ Qlla II_Lc k_ S h _ w V8 _ Qlla II_Lc k_ T l _ g V 1 a _ l_ III_ La g 9 Qv _T l V 1 a _ l_ V_ La Tgl 9 Qv _ V 1 b_ v III_ La Tgl 9 Q l_ _

4. H s il a lisis ke e ua n la n untu ta a na s s ia ha k na ma s a w ta h 2005 n i, un


Di b at ol eh u Ir. Di n a R sl an j ari M . S u , i P asca S arj an a
a J wa T e g h na

Ja wa T mu

S a mu e a n d o n s a d e Daer ahPene an

DY

Bat as Provins i

1 6 V1 9 b Qva V_ Lc k Tgl _ l_ _

3 V 1 b_ v IV_ La _ l 0 9 Q l_ Tg

Un v ersi t as Gad j h M ada i a

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gam bar 5.18. Peta Kesesu aian L n U ntu k Tanaman Sawi Dan Pr odu ktivita snya aha

250

PET A KE SE SUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN PADI DAN PR ODUKTIVITASNYA D I LOKASI PENELITIAN
51 0 000 5 13 000 5 16 00 0 519 0 00 5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an


2 3 0

Ke camatan Ngargo yo so
11 2 7 2 8 3 3

K S min ali a

2 1

P lumb # on

2 9

Tengklik
#
1

1 0

25

Karanglo

2 0

Nglebak # Taw angmangu3 1


#
1 9

K alis oro
# #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

# Y

Bandardaw ung
#
2 5 25 26

Sepanjan# g
K aliGe m ong b

14

Kecamatan Ta wang ma ngu


1 4 1 5 1 8

Ke camatan Mate si h
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


5 16 00 0 mT
S umbe : r 17 18 19 20 21 22 25 26 27
V1 9 Qv l _V_L a _T g c_ a l V1 9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T V8 _Qll a_ III L _S wh _ a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III L _T g _ a l V8 _Qv l II_L a_ S _ wh V8 _Qll a_ II_L k S c _ wh V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g V1 9a_ Qv _ II_ L a_T g l l

51 0 000 mT

5 13 000 mT
Sa n La n: tua ha

519 0 00 mT

5 22 00 0 mT

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a

Ti ngk at Ke s suai an Lah a : e n T da k Sesu ai (N ) i Sesu ai Mar gi nal ( S ) 3 Cuk up Sesua i ( S2) Ti ngk at Pro du kti vi tas: T ng gi i

2 3 5 6 7 8 9

V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l V5 _Qv l V_An L i _T gl _ V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l V5 _Qv l IV_An L i _T g _ l V5 _Qv l III_An L i T g l _ _ V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g l i l V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l

1 Foto uda 1:25 . ra .000 ta hun1995 2 Pe ta Ge ol gi le . o mba rP ono rogo skala 1:10 0.000t a hun 199 7 3 Pe ta R B Is ka la 1:25.0 tahun 2 . 00 001 Zone 49S, Sist e Koordi a t U TM m n 4 Ha sil a na s tingka ke se sua ia nla ha n untu t . lisi t k a ma pa ,ta hun2005 na n di
Di b a to l eh u
375 000 U
K m

385 000

9 35 000

400000

1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 V5 _Qv l V_L a_ T g 1 _ l 1 V5 _Ql l a_ III L _T g 3 _ a l

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

Ja wa T mu

Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

R en dah

1 V1 9 Qv _ V_An L_ T g 4 c_ l i l 1 V1 9b Qv al _III_A n i _ T g 5 _ L l 1 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T

2 8 V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g 2 9 V1 9b Qv l_ II_ L a_Tg l _ 3 0 V1 9b Qv l_ IV_L a_ T l _ g

Ir. Dn a Ru an j ari , M . S i i sl P asca S arj a n a Un i v t as Gad j ah M ada ersi


S D d Y a mu e a n d o n s a e Daer ahPene an

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gambar 5.19 . Peta Kesesu aian Lahan Un tu k Tanaman Pad i Dan Pro duk tivitasnya

251

PETA KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN KAPRI DAN PR ODUKTIVITASN YA DI LOKASI PENELITIAN
5 10 000
N

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an

Kecamatan N gargoyos o
1 1 2 7 2 8 3 3 7

3 0

K al S amin i

21

Plumbon #

29

Tengk lik
#
1

1 0

Ngleb ak

#
1 3

Kalis oro
# #

Gondos uli
#
5 2 6

Provinsi Jawa Ti mur

B lumba ng
9 8

2 5

2 0 Karanglo 1 9

# Y

Tawangmangu

Bandardaw ung
#
2 5

2 6

S epanj a # ng
25 K Gemb o g ali n

1 4

Ke ca ma ta Tawa ngman gu n
1 5 1 8

1 4

Kecamatan Mate sih


0 1 2 3 Km

1 6

Keca ma tan Ja tiyo so


516 0 00 mT 51 9 000 mT
375 000 385 000
K m

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
Sa t a La hn: un a 2 V 5 Qvc III_ An Li_T g _ l_ l 3 V 5 Qvl_ V_ n Li Tgl _ A _ 5 V 5 Qvc IV_ A n Tg _ l_ Li_ l 6 V 5 Qvl_ IV_ An L Tgl _ i_ 7 V 5 Qvl_ III A n L Tgl _ _ i_ 8 V 1 c Qvl_ _ An Li_ g 9_ V T l 9 V 5 Qva III_ An Li_T g _ l_ l 1 V 5 Qvl_ III La _ T l 0 _ _ g 1 V 5 Qvl_ V_ _ T l 1 _ La g 1 V 5 Qlla _ I_ La _ l 3 _ I Tg 1 V 1 c Qvl_ _ An Li_ g 4 9_ V T l 1 V 1 b Q v l III _ Li_ Tg 5 9 _ a _ An l 1 V 1 b Q v l V _ k Tgl 6 9 _ a _ Lc _

5 22 00 0 mT
9 35 000 400000

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a Bat as Kec ama tan Bat as Provins i

Ting kat K ese aian Lahan: su Tid ak Ses ai (N ) u Se suai M arg in al (S3) Cu ku p Sesu ai ( S2 ) Ting k a Pr od uk tiv it as: t T ng gi i Ren dah

1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0

V1 9 _ va V _ L _ Tgl c Q l_ a V1 9 _ va V _ L k_T g c Q l_ c l V8 _ lla III_ La Sw h Q _ _ V8 _ lla II_La _ h Q _ Sw V8 _ lla III_ La g Q _ _T l V8 _ v II_ La S h Q l_ _w V8 _ lla II_Lc k Sw h Q _ _ V8 _ lla II_Lc k Tgl Q _ _ V 1 a Qvl_I II_ L _ g 9_ a T l V 1 a Qvl_ _ La Tgl 9_ V _ V 1 b Q v III_ L _ Tgl 9 _ l_ a V 1 b Q v IV_ La Tgl 9 _ l_ _

Sum r: be 1 Foto uda a1:25.0 ta hun 19 . r 00 95 2 Pe ta G olog le . e i mba r Ponorog ska la o 1:100 .000 ta hun 1997 3 Pe ta RB I ska la 1:25.00 tahun 200 . 0 1 Zone 49S ,Sis te mK oordina UT M t 4 Ha sil a na s ta hu 2005 . lisi n
Di b u ol eh at r I. Di n Ru sl n a ri M . S a a j , i P sca S arj ana a

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

Ja wa T mu

S D d Y a mu e a n d o n s a e Daer ahPene an

Un v sit s G d a h ad a i er a a j M

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gambar 5.20 . Peta Kesesuaian Lah an Untuk Tan am an Kapr i Dan Prod uktivitasn y a

252

PETA KESESUAIAN L AHAN UNTUK T ANAMAN JAGUNG DA N PR ODUKTI VITASNYA DI LOKASI PENELITI AN
51 0 000
N

5 13 000

5 16 00 0

519 0 00

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an


2 2

Ke camatan Ngar g yo so o

3 0 2 7

11 2 8 3 3

K S min ali a

2 1

P lumb # on

2 9

Tengklik
#
1

1 0

25

Karanglo

2 0

Nglebak # Taw angmangu3 1


#
1 9

K alis oro
# #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Provin si Jawa Timur


5 2

# Y

Bandardaw ung
#
2 5 25 26

Sepanjan# g
K aliGe m ong b

14

Kecamatan Ta wang ma ngu


1 4 1 5 1 8

Ke camatan Mate si h
0 1 2 3 Km

1 6

Ke camatan Jati yoso


5 16 00 0 mT 519 0 00 mT 5 22 00 0 mT

51 0 000 mT

5 13 000 mT
S tu n L ah n: a a a 2 V 5 Qvc III_ An Li_T g _ l_ l 3 V 5 Qvl_ V_ n L Tgl _ A i_ 5 V 5 Qvc IV_ A n Tg _ l_ Li_ l 6 V 5 Qvl_ IV_ An L Tgl _ i_ 7 V 5 Qvl_ II_ A n L Tgl _ i_ 8 V 1 c Qvl_ _ An Li_ l 9_ V Tg 9 V 5 Qva III_ An Li_T g _ l_ l 1 V 5 Qvl_ II_ La _Tg l 0 _ 1 V 5 Qvl_ V_ _ T l 1 _ La g 1 V 5 Qlla _III_ La _ l 3 _ Tg

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a

Ti ngk at Ke sesuai an Lah a : n Tida k Sesu ai (N ) Sesu ai Ma rgi n a ( S3) l Cuk up Sesua i ( S2) Ti ngk at Pro du k tivi ta s :

17 18 19 20 21 22 25 26 27

V 1 c Qv a V _La Tg l 9 _ l_ _ V 1 c Qv a V _Lck_ Tg 9 _ l_ l V 8 Qlla _III_ La _ _ Swh V 8 Qlla _II_ La _Swh _ V 8 Qlla _III_ La _ l _ Tg V 8 Qvl_ II La _ _ _ Swh V 8 Qlla _II_ Lc k Swh _ _ V 8 Qlla _II_ Lc k Tg _ _ l V 1 a Qvl_I II_ L _ g 9_ a T l

Su m e b r: 1 . F tou d ra 1 :2 .0 0 0 ta u n1 9 5 o a 5 h 9 2 . P ta Ge o gile m a Po no go s a la e lo br ro k 1 00 . 00 ta h n1 9 9 :1 0 u 7 3 . P ta RBI s kla 1 :2 . 0 0 t h n 2 0 1 e a 50 au 0 Zo ne 4 S, S m Ko o rd a t UTM 9 iste in 4 . Ha i ana lisis k se su a nla a nu tu kt n m sl e ia h n a a a ja gu g ta h n2 0 5 n n, u 0


Di u t o le b a h

375 000 U
m K

38500 0

39500 0

40000 0

L a J a wa u Ja wa Ba a

J a Ten ah wa g

a J wa T mu

Bat as Kec ama tan

Tin gg i R e d ah n

1 V 1 c Qvl_ _ An Li_ l 4 9_ V Tg 1 V 1 b Q vl_ III _An Li_T g 5 9_ a l

2 8 V 1 a Qvl_ _ La Tgl 9_ V _ 2 9 V 1 b Q v III_ L _ Tgl 9 _ l_ a

r I. Di n Ru l n ari , M . S a sa j i P a S arj n asc a a Un v sit s Ga d ah M ad a i er a j

S D d Y a mu e a n d o n s a e a Der ahPene an

Bat as Provins i

1 V 1 b Q vl_ V _Lc k Tgl 6 9_ a _

3 0 V 1 b Q v IV_ La Tgl 9 _ l_ _

375 000m T

38500 0m T

39500 0m T

40500 0m T

Gambar 5.21 . Peta Kesesuaian Lah an Untuk Tanaman Jagung dan Produ ktivitasnya

253

PETA KESESU AIAN LAHAN UNTUK TANAMAN C ABAI DA N PR ODUKTI VITASNYA DI LOKASI PENELITI AN
5 10 000
N

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an

Kecamatan N gargoyos o
1 1 2 7 2 8 3 3 7

3 0

K al S amin i

21

Plumbon #

29

Tengk lik
#
1

1 0

Ngleb ak

#
1 3

Kalis oro
# #

Gondos uli
#
5 2 6

Provinsi Jawa Ti mur

B lumba ng
9 8

2 5

2 0 Karanglo 1 9

# Y

Tawangmangu

Bandardaw ung
#
2 5

2 6

S epanj a # ng
25 K Gemb o g ali n

1 4

Ke ca ma ta Tawa ngman gu n
1 5 1 8

1 4

Kecamatan Mate sih


0 1 2 3 Km

1 6

Keca ma tan Ja tiyo so


516 0 00 mT
S umbe r: 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28
V1 9 _Qv l _V_L a _T g c a l V1 9 _Qv l _V_L c k g l c a _T V8 _Qll a_ III_L _S wh a V8 _Qll a_ II_L _S wh a V8 _Qll a_ III_L _T g a l V8 _Qv l II_L a_ S h _ w V8 _Qll a_ II_L k S w c _ h V8 _Qll a_ II_L k T g c _ l V1 a_Qv l_III_L a _T l 9 g V1 a_Qv l_V_ L _T g 9 a l

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
Sa tua L a n: n ha
2 V5 _Qv cl _III_A n i _T g L l

51 9 000 mT

5 22 00 0 mT

Leg enda:
# Y #

Kant or Keca mat an Kant or Kelura han / Desa Jala n Sungai Bat as Des a

Ting kat K es a an Lahan: esu i Tid ak S esuai ( N) Sesuai M a gi nal ( S3) r C ku p Sesuai (S 2) u Ting kat P r oduk tivi tas : Tin ggi

3 V5 _Qv l V_ A L i _T g _ n l 5 V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l 6 V5 _Qv l IV_An L i _T gl _ 7 V5 _Qv l III_An L i T l _ _ g 8 V1 9c_ Qv _ V_An L i T g l _ l 9 V5 _Qv al _III_A n i _T g L l 1 V5 _Qv l III_L a_ T g 0 _ l 1 V5 _Qv l V_ L T g 1 _ a_ l 1 V5 _Ql l a_ III_L _T g 3 a l 1 V1 9 Qv _ V_An L i T g 4 c_ l _ l

1 Foto uda a1:25 . r .000 ta hun1995 2 Pe ta Ge olo le . gi mba r Ponor go ska la o 1:10 0.000t a hun 1997 3 Pe ta R B I ska la 1:25.0 tahun 20 . 00 01 Zone 49S, Sis te Koordin t UTM m a 4 Ha sil a na s ke esua n la n untuk ta na . lisi s ia ha m n c ba i,ta hun2005 a a
Di b at o l eh u r I. Di n Ru sl an a ri M S a j , . i
375 000 U
K m

385 000

9 35 000

400000

L a J a wa u a J wa a B a

a J wa T e g h na

Ja wa T mu

Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

R dah en

S D d Y a mu e a n d o n s a e

1 V1 9b Qv al _III_A n i _ T g 5 _ L l 1 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T

2 9 V19 b_Q v_ II_ L _Tgl l a 3 0 V19 b_Q v_ IV L a_ Tl l _ g

P sca S arj an a a Un v e si t s G d a h Mad a i r a a j

Daer ahPene

an

375 000m T

385 000 m T

9 35 000 m T

405000 m T

Gambar 5.22. Peta Kesesuaian L an Untu k Tanaman C ab ai Dan Pro duktivitasnya ah

254

PETA KESESU AIAN LAHAN UNTUK TANAMAN B UNCIS DAN PR ODUKTIVITASNYA DI L OKASI PENELITIAN
5 10 00 0
U

513 00 0

51 60 00

51 9 000

5 22 00 0

Ke camatan Karang panda n

22

Kecamatan N gargoyos o
3 0 2 7 1 1 2 8 3 3

K S mi ali a n

2 1

P lum b # on

2 9

T engkli k
#
1

1 0

25

K arangl o

2 0

N glebak # T angmangu3 aw 1
#
19

Kal is o ro
# #

Gondos uli Blumbang


9 8 6

Pro vi nsi Ja w Tim u a r


5 2

# Y

B anda rdawung
#
25 2 5 26

Sepanja # ng
K Gembong ali

1 4

Kecamatan Tawan gmangu


14 1 5 1 8

Ke ca ma ta Ma tesi h n
0 1 2 3 Km

1 6

Kecamatan Jatiyoso
51 60 00 mT 51 9 000 mT 5 22 00 0 mT

5 10 00 0 mT

513 00 0 mT
Sa n La n: tua ha

Leg enda:
Kant or Keca mat an ant K or Keca mat an
# Y

Ti ngk at Ke s suai an L ahan : i e T ngk at Ke s suai an L ahan : e T da k Sesu ai (N ) i da k i T Sesu ai (N ) Sesu ai Mar gi nal ( S ) 3 Cuk up Sesua i ( S2)

2 3 5

V5 _Qv cl _III_A n i T g L_ l V5 _Qv l V_An L i _T gl _ V5 _Qv cl _IV_ An i _T g L l

1 7 V1 9c_ Qva l _V_L a _Tgl 7 1 1 8 V1 9c_ Qva l _V_Lc k_Tg l 8 V1 1


9 Qv l _V_L c k g l c_ a _T 1 9 V8 _Qll a_ III L _S wh 9 V8 _Ql _ a 1 l a_ III L _S wh _ a

V5 _Qv l IV_An L i _T g _ 6 l

S m e r: u b 1 Fo u dr a 1 :2 .0 0 ta hu 1 9 9 5 . to a 5 0 n 2 Pe G e lo g lem b a Po n ro o . ta o i r o g
375 000 U
m K

38500 0

39500 0

40000 0

L a J a wa u

Kant or Kelura han / Desa ant K or Kelura han / Desa Jala n


#

7 V5 _Qv l III_An L i T g lV5 _Qv _ _ _ l III_An L i T g l _

2 0 V8 _Qll a_ II_L _S wh a 2 1 V8 _Qll a_ III L _Tgl _ a 2 2 l V8 _Qv lSwh a_ Swh 2 V8 2 _Qv _ II_L a_ _ II_L

sk a 1 0 .0 0 ta u 1 9 7 la :1 0 0 h n 9 3 Pe R BI sk a 1 :2 5 . 0 ta u n2 0 1 . ta la 00 h 0 Zo e 4 9 S, Sistem Ko o d a U T n r in t M

Ja wa Ba a

Jala n

V1 9c_ Qv _ V_An L _ T g 9c_ l i lV1

J a Ten ah wa g

Qv _ V_An L_ T g l i l 9 V5 _Qv al _III_A n i T g L_ l

Sungai un S gai Bat as Des a Bat as Kec ama tan Bat as Propi ns i

Ti ngk at Pro du kti vi tas: Tin gg i


9 1 0 V5 _Qv l III_L a_ T g _ l 1 V5 _Qv l V_L a_ T g _ l 1 V5 _Ql l a_ III L _T g 3 I _ a l 1 V1 9 Qv _ V_An L_ T g 4 c_ l i l V1 9b Qv al _III_A n i_ T g _ L l

2 5 V8 _Qll a_ II_L k Swh 5 V8 c _ 2


_Ql l a_ II_L k S c _ wh

2 6 V8 _Qll a_ II_L k T l c _ g

4 Ha sil an a k e e u ian lahan u tu ta am a . lisis s s a n k n nbunc ta h n2 0 0 is, u 5

a J wa

Ren d ah

2 7 V1 9a_ Qv _ II_ La_Tgl l 2 8 V1 9a_ Qv _ V_L a_ T l l g 2 9 V1 9b Qv l_ II_ L a_Tg l _

Dbuat ol eh i Ir. Dna R usl anj ari , M. S i i Uni versi tas Gadj ah Mada
S D d Y a mu e a n d o n s a e a D an 375 000mer ahPene38500 0m T T

3 0 V1 9b Qv l IV_L a_ T l _ _ g

39500 0m T

40500 0m T

1 5 6 V1 9b Qv al _V_ L k g l 6 _ c _T 1

Gambar 5.23 . Peta Kesesuaian Lah an Untuk Tanaman B uncis Dan Prod uktivitas

255

PETA KESESUAIAN L AHAN UNTUK T ANAMAN B AWANG DAN PRODUKT IV ITASNYA DI LOKASI PENEL I IAN T
5 10 000
U

5 13 00 0

516 0 00

51 9 000

5 22 00 0

Kecamatan Karan gpand an

Kecamatan N gargoyos o
1 1 2 7 28 3 3 7

3 0

K S m ali a in

21

Plumbon #

29

Tengk lik
#
1

1 0

Ngleb ak

#
1 3

Kalis oro
# #

Gondos uli
#
5 2 6

Provinsi Jawa Ti mur

B lumba ng
9 8

2 5

2 0 Karanglo 1 9

# Y

Tawangm angu

Bandardaw ung
#
2 5

2 6

S epanj a # ng
25 K Gemb o g ali n

1 4

Ke ca ma ta Tawa ngman gu n
1 5 1 8

1 4

Kecamatan Mate sih


0 1 2 3 Km

1 6

Keca ma tan Ja tiyo so


516 0 00 mT
1 V 1 c Qva V _ _ Tgl 7 9 _ l_ La 1 V 1 c Qva V _ _ Tg 8 9 _ l_ Lck l Sumb r: e 1 F o uda a 1:25.000ta hun 199 . to r 5

5 10 000 mT

5 13 00 0 mT
Sa ua Laha n t n : 2 V5 _ Qv c III_ An Li_ l l_ Tg 3 V5 _ Qvl V _A n Tg _ Li_ l 5 V5 _ Qv c IV_ An Li_ l l_ Tg

51 9 000 mT

5 22 00 0 mT

Legen da:
# Y

Kant or Kec ama tan

Ti ngk at Kesesuaian La an: h

37500 0 U

38500 0

39 000 5

400000

Tid k Se sua i (N ) a

Kant or Kel ura han /De sa Jal an Sungai Ba tas Des a

Se i Ma rgina l (S3) sua Cukup S s ua (S2) e i Ting t Produktivitas: ka Tin ggi

6 7 8 9 1 0 1 1 1 3

V5 _ Qvl IV _ An Tg l _ Li_ V5 _ Qvl III_ An Li_ T l _ g V1 9 c Qvl_ _A n Li_ l _ V Tg V5 _ Qv a III_ An Li_ l l_ Tg V5 _ Qvl III_ La Tgl _ _ V5 _ Qvl V _ _ l _ La Tg V5 _ Qlla III_ La Tgl _ _

1 9 2 0 2 1 2 2 2 5 2 6 2 7

V 8 Qlla _III_ La _ _ Swh V 8 Qlla _II_ La _ _ Swh V 8 Qlla _III_ La _ l _ Tg V 8 Qvl_ II La _Swh _ _ V 8 Qlla _II_ Lc k Swh _ _ V 8 Qlla _II_ Lc k Tg _ _ l V1 9 a Q vl_ La Tgl _ III_ _

aa Jw a Ba

2 P e Ge . ta ologi le mba r Ponorogo s ka la

K m

a J wa T mu a Lu Ja wa

1:100.0 ta h 1997 00 un 3 P e RB I ska la1: 2 . ta 5.000ta hun 2001 Z o 49 S, Si te m K ne s oordinat U M T 4 Ha sil a na is tingka ke ses ua n la n untuk . lis t ia ha ta ma ba w ng, ta na n a hun 2005

a J wa T e g h n a

DY

Ba tas Kec ama tan Ba tas Propi ns i

R nda h e

1 V1 9 c Qvl_ _A n Li_ l 4 _ V Tg 1 V1 9 b Qva III_ An Li_T g 5 _ l_ l 1 V1 9 b Qva V_ Lc k Tgl 6 _ l_ _

2 V1 9 a Q vl_ La Tgl 8 _ V_ _ 2 V1 9 b Qv l_ La Tgl 9 _ III_ _ 3 V1 9 b Qv l_ _ L _T g 0 _ IV a l

Di b at ol eh u Ir. Dn a Ru an j ari M .S i i sl , P asca S arj an a Un iv ersit as Gad j ah M ada


a S mu d e a nd n es a o

Daer h Pene an a

37500 0m T

38500 0m T

39 000 m T 5

405000 m T

Gamb ar 5 .2 4. Peta Kese suaian Lahan Un tuk T anaman Bawang Dan Prod uktivitasnya

256

5.3.3. Perilaku petani merambah lahan negara yang tidak mendukung usahatani berkelanjutan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan kuesioner terhadap petani sampel, ditemukan sebesar 7,9% dari sejumlah 195 petani sampel mempunyai lahan di hutan negara. Petani telah menggunakan lahan milik negara di kawasan fungsi lindung untuk kegiatan usahatani. Perambahan dilakukan dengan cara ilegal maupun yang dianggap ilegal karena membeli dari pamong desa. Petani mempunyai persepsi bahwa menggunakan lahan negara adalah cara termudah untuk menambah luas lahan kepemilikan d alam upaya meningkatkan pendapatan dari usahatani (Tabel 5.21).

Tabel 5.21. Kepemilikan Lahan di Hutan Negara No. 1 2 Kepemilikan Lahan di Hutan Negara Tidak mempunyai Mempunyai - gagasan sendiri - membeli dari pamong desa Total Persentase (%) 92,10 7,90 5,10 2,80 100,00

Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

Petani sampel yang merambah hutan negara, sebesar 5,1% diantaranya merupakan gagasan sendiri, sedangkan sebesar 2,8% mendapatkan lahan denga n membeli dari pamong desa. Lahan rambahan yang dimiliki oleh petani cukup luas, dari luas 100 m2 hingga mencapai 750 m2. Petani yang terbanyak memiliki luas
2 kepemilikan lahan di kawasan hutan negara sebesar 37% dengan luas 200 m

(Tabel 5.22). Peta perambahan lahan negara dapat dilihat dari Gambar 5.25

257

PETA TITIK SAMP EL P ER AMBAHAN DI LOKAS I P ENELITIAN


5 000 10 513000 51600 0 5 000 19 522000

Kecamatan K arangpandan

Kec amatan Ngargoy o os


c

Plumb # on N glebak
# #

Tengk lik
#

c c
#

Pr ov insi Jawa Timur


c c#
#

c
#

K aranglo
# Y

Bandardaw ung
# #

Taw angmangu

Kalis oro

Blumbang

G c ondos uli

Sepanjang

Ke ca ma ta Tawa ngman g n u

Kecamatan Matesih c Kecamatan Jatiy os o


5 000mT 10 513000mT 51600 0 T m 5 000mT 19 522000mT

Sumbe ; r U

Le ge nda :
Y #
(

Kantor Kec ama tan Kantor Des a/Ke luraha n Ti ti kS ampel Pe ra mba han

0 1

3 Km

Sunga i Ja lan Bat as Provinsi Bat as Keca mat an Bat as Desa

1. Foto uda ska la 1:25.00 ta hun 19 ra 0 95 2. Pe ta R BI s kal 1 : 2 a 5.000 ta hu 2001 n Zone 49S, Sis te Koord t UTM m ina 3. H a il a n lisi s la nga ta hun2004/2005 s a pa n Dibu tO leh : a Ir .Dina Rusla nja r M.Si i, Pr o ga m Pa sc a Sa r na r ja U niv sit a G a d h Ma da er s ja

7 350 0

38 0 00 5

39 000 5

0 4 500

3km
A T L U J AW A

Jaw a B at ar Jaw T engah a Jaw a T m ur

SAM D A N O ES A U ER D N

D IY

Lokas P ene t an
370 00 5 3 80 00 5 39 00 5 4 50 0 00

Gamb ar 5 .2 5. Peta Titik Samp el Peramb ah an

258

Tabel 5.22. Luas Kepemilikan Lahan di Hutan Negara No. 1 2 3 4 5 6 7 Luas kepemilikan lahan di hutan negara (m2) 200 250 300 400 500 750 1000 Total Persentase (%) 37,00 14,00 14,00 7,00 7,00 7,00 14,00 100,00

Sumber : Analisis data primer tahun 2004 -2005

Kepemilikan lahan ini diperoleh secara tidak resmi maupun yang dianggap resmi. Pembelian secara yang dianggap resmi adalah pembelian dari oknum aparat desa, dengan pembelian tersebut petani mendapatkan surat letter C. Petani yang mendapatkan lahan secara tidak resmi melalui berbagai tahapan, yaitu: 1. Mula- mula petani membersihkan lahan di bawah pohon pinus di hutan negara; 2. Kemudian memperluas lahan pertaniannya dengan cara menebang pohon satu demi satu; 3. Cara lain untuk mendapatkan lahan yang dilakukan oleh petani adalah dengan menyiramkan minyak tanah di bagian akar, agar tanaman mati dan kering; apabila batang menjadi kering mati, kemudian pohon ditebang, untuk selanjutnya diolah untuk ditanam tanaman semusim.

Perambahan lahan negara yang dilakukan petani telah menyebabkan kerusakan lahan. Perambahan lahan yang digunakan untuk usahatani tanaman semusim dilakukan di kawasan fungsi lindung yang mempunya i tingkat erosi berat-sangat berat. Bila hal tersebut terjadi secara terus-menerus, akan mengakibatkan degradasi lahan, yaitu perubahan lahan menjadi lahan kritis.

259

Perambahan lahan juga

mengakibatkan kerusakan lingkungan karena

penggunaan lahan usahatani yang intensif di kemiringan lereng >50% akan berpotensi mengakibatkan terjadinya tanah longsor.

5.3.4. Faktor sosial ekonomi penyebab perambahan lahan negara Fenomena terjadinya perambahan sangat menarik untuk diteliti.

Perambahan lahan ditemukan pada saat questioner dengan petani sampel. Atas dasar hal tersebut, maka peneliti menganalisis faktor sosial ekonomi yang menyebabkan perilaku petani terhadap perambahan lahan.

Tabel 5.23. Variabel- variabel Penyebab Petani Melakukan Perambahan No. Variabel-variabel penyebab petani melakukan perambahan lahan Pendapatan usahatani Intensitas penggunaan lahan Pemahaman terhadap makna konservasi Pendidikan petani Luas lahana Status lahana Tanggungan keluargaa Fungsi (Tidak merambah) Fungsi (Merambah)

1 2 3 4 5 6 7

0,074 0,185 0,006 0,074 -

0,044 0,229 0,026 0,033 -

Sumber: Analisis Data Primer

Analisis hasil menggunakan statistik uji diskriminan (Lampiran 24), dengan mengelompokkan petani yang melakukan perambahan dan petani yang tidak melakukan perambahan. Kedua kelompok diuji untuk mengetahui variabelvariabel sosial ekonomi yang menyebabkan petani melakukan perambahan terhadap lahan negara (Tabel 5.23).

260

Dari analisis data (Tabel 5.56) didapatkan bahwa penyebab perambahan adalah: pendapatan dari usahatani, intensitas penggunaan lahan, status lahan, pemahaman terhadap makna konservasi. a). Pendapatan usahatani Pendapatan dari penelolaan lahan usahatani sendiri, dapat menyebabkan petani tidak melakukan perambahan. Makin tinggi pendapatan dari usahatani, maka menyebabkan petani tidak melakukan perambahan, begitu juga sebaliknya. Kondisi tersebut disebabkan karena pendapatan usahatani dari lahan sendiri tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Terbukti bahwa 86% petani yang merambah lahan negara mempunyai pendapatan dari usahatani < nilai Upah Minimum Regional (UMR) Karanganyar, yaitu sebesar < Rp. 420.000,-/bulan. Rata-rata pendapatan petani yang merambah la han negara sebesar Rp. 206.000,-/bulan. Petani berusaha meningkatkan pendapatan dengan cara yang dirasa mudah yaitu menambah luas lahan tanpa membeli, beberapa diantara petani membeli lahan dari aparat desa dengan biaya murah. b). Intensitas penggunaan lahan Intensitas penggunaan lahan penyebab petani melakukan perambahan lahan negara. Makin tinggi intensitas penggunaan lahan di kawasan lindung, akan makin mendorong petani untuk menambah lahan rambahan. Seluruh petani sampel perambah lahan negara, mempunyai intensitas pengunaan lahannya 3 4 kali dalam satu tahun.

261

c). Pemahaman konservasi Pemahaman konservasi penyebab petani melakukan perambahan. Makin tidak paham terhadap konservasi, maka petani melakukan perambahan terhadap lahan negara. Sebesar 90% petani sampel tidak paham tentang konservasi. Petani tidak mengatahui fungsi penanaman pohon pinus guna melindungi lahan di kemiringan lereng tinggi dari erosi dan longsor. Petani mengetahui bahwa lahan negara ditanam pinus oleh pemerintah untuk diambil hasilnya untuk negara. Sehingga ketika lahan itu digunakan petani untuk budidaya tanaman semusim, mereka beranggapan layak untuk mengambil hasilnya. d). Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani penyebab tidak melakukan perambahan. Semakin rendah tingkat pendidikan, maka petani tidak melakukan perambahan lahan negara. Seluruh petani yang melakukan perambahan, mempunyai pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Rendahnya pendidikan mendukung perilaku tidak mengerti dan mentaati hukum. Petani mempunyai cara berpikir yang sempit dan kurang wawasan.

Kendala pelanggaran undang- undang yang berlaku mengenai penggunaan kawasan lindung untuk lahan usahatani tanaman semusim, yaitu sebagai berikut. a) Lahan di kawasan fungsi lindung yang telah diduduki dan dikerjakan untuk usahatani sejak dahulu kala secara turun-temurun. Lahan digunakan sebagai sumber mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga dengan usahatani tegalan.

262

b) Lahan hutan di kawasan fungsi lindung dikuasai dan dikerjakan sebelum berlakunya penetapan kawasan hutan negara. c) Lahan hutan di kawasan fungsi lindung dikuasai dan dikerjakan untuk usahatani sesudah berlakunya penetapan status merupakan kawasan

konservasi, akan tetapi tanda batas permanen hutan itu tidak ada/tidak jelas atau dipindahkan dari posisi semula.

Prinsip

pengecualian

hukum tersebut, secara tegas dinyatakan di dalam

asas-asas berlakunya hukum pidana bagi pelaku tindak pidana dan keberadaan orang atau rakyat di dalam hutan yang diakui Undang Undang Pokok Kehutanan. Bentuk tindakan penyerobotan lainnya dapat dikenakan tuntutan hukum berdasarkan ketentuan Undang Undang, Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan melalui prosedur ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan lahan untuk pelestarian lingkungan hidup dan kawasan hutan lindung telah banyak dibuat dan diberlakukan, namun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan: 1. Masyarakat belum mengetahui bahwa adanya k ebijakan atau peraturan perundangan, akibat tidak adanya sosialisasi dari pemerintah. 2. Apabila sosialisasi telah dilakukan, maka perlu tindakan yang tegas terhadap sangsi hukum bagi pihak-pihak yang melanggar. Tanpa adanya s osialisasi peraturan perundanga n, masyarakat tidak akan mengetahui bahwa

perbuatannya telah melanggar peraturan dan hukum, sehingga beranggapan kegiatan merambah merupakan bukan tindakan pelanggaran.

263

Kesadaran hukum tentang pentingnya kelestarian hutan dalam proses pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, diupayakan dengan menumbuhkan kedisiplinan dan ketaatan setiap subyek hukum untuk melaksanakan semua aturan hukum yang meliputi hak dan kewajiban sebagai warga negara. Di kawasan lahan negara perlu pengawas yang selalu menjaga batas laha n negara dengan lahan budidaya masyarakat, agar tidak terjadi perambahan lahan yang akan berakibat buruk terhadap kerusakan lingkungan, yaitu longsornya tanah di lereng >55 % dan degradasi lahan.

5.4.

Lahan Kritis

Definisi lahan kritis yang digunakan oleh data BPS Karanganyar, 2003 adalah lahan pertanian tidak produktif, yaitu hanya dapat ditanami satu kali dalam satu tahun, yaitu pada saat musim hujan. Sedangkan menurut Rukmana (1995:12) lahan kritis memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Peka terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring atau tidak tertutup tumbuh-tumbuhan (vegetasi). b. Tingkat kesuburannya rendah, baik kandungan unsur hara dan bahan organik maupun reaksi tanah (pH) serta kapasitas tukar kationnya. c. Sifat fisik tanahnya kurang baik, seperti struktur yang padat, lapisan tanah atas ( top soil ) dan lapisan bawah ( ub soil) memiliki kelembaban yang s rendah, sirkulasi udara agak terhambat, dan kemampuan menyimpan air relatif rendah. Tingkat kekritisan lahan (data sekunder) di Kecamatan Tawangmangu yang diambil dari Dinas Kehutanan Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dalam

264

Gambar 5.26. Tingkat agak kritis hingga sangat kritis menempati sebagian besar lahan yang berada di Kecamatan Tawangmangu bagian selatan. Lahan dengan tingkat potensial kritis hanya akan ditemukan di Kecamatan Tawangmangu bagian barat yang berbatasan dengan Kecamatan Matesih dan Karangpandan. Tingkat kekritisan lahan di Kecamatan Tawangmangu disebabkan oleh adanya topografi yang berbukit dan bergunung terutama daerah Tawangmangu bagian timur dan selatan. Satuan lahan yang tidak berlanjut berada di lahan dengan tingkat kekritisan agak kritis sampai sangat kritis. Sebesar 3 (tiga) satuan lahan yang berlanjut berada di lahan dengan tingkat potensial kritis (Gambar 5.26). Usahatani tana man semusim yang berlanjut tidak dapat dilakukan pada lahan agak kritis, kritis dan sangat kritis. Pengembangan usahatani hanya dapat dilakukan pada lahan potensial kritis, dengan berbasis konservasi tanah. Penggunaan lahan untuk usahatani tanaman semusim dengan kondisi curah hujan yang besar menjadi faktor pendukung semakin meningkatnya kekritisan lahan yang terjadi di Kecamatan Tawangmangu. Pengelolaan lahan untuk usahatani yang berlanjut harus menggunakan lahan yang sesuai dengan potensi lahan dan kajian Rencana Tata Ruang Wilayah dengan pendekatan satuan lahan. Peta Satuan Lahan Kecamatan Tawangmangu dapat dilihat dalam Gambar 5.27.

265

PETA TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KE CAMATAN TAWANGMANGU


5 10 00 0 5 13 000 51 60 00 519 0 00

Kecamatan K ar angpandan

Kecamatan Ngar goyoso


3 0 1 1 28 2 7 1 0

Pl um bon #
2 5 2 0 2 1

29

Tengkl ik
#

Jawa Ti mur
7

Ngleb #k a
#
19

#
13 9

#
8

G nd osul i o
#
2 6 5

#
2 6

Ka rang lo Sepanjang#

# Tawan gm angu Y

Kalisoro Blum bang

Bandard # u ng aw

1 7

Kecamatan Matesi h

1 1 45

Kecamatan Tawangmangu

18

1 6

K m

Kecamatan Jatiyoso
5 10 00 0 mT 5 13 000 mT 51 60 00 mT
S u er; mb 1 . F to u a ra sk al 1 2 50 0 t ah 1 95 o d a : . 0 un 9 2 . P t a RB sk al a 1 2 5. 00 t ah n 2 01 e I : 0 u 0 Z n e 4 S , S i st m Ko rd n at UT M o 9 e o i 3 . P t a Ti g k at E ro i T an ah Tn g at e n s ,i k K esu b ra n T an h u a 4 . P t a Ti g k at Ke j it i san L ah an Ka b K ran gan y r sk l a 1 e n r . a a a : 2 . 00 , DE P HUT , 2 0 50 01 5 . Hasi l p g k r n l ap ang an t ah u 2 4 en u u a n 00
D i uat O l h : b e

519 0 00 mT
7 350 0 3 5 00 8 1 0 1 km A T A L U J W A 39 0 0 5 40 00 5

Legenda:
U

Ti ngk at Ke kr it isan L han : a

# #

Kantor Kec ama ta n Kantor Des a/ Ke lurahan Sungai Ja lan

16

Kode S tuan L ahan a Bat as Provins i Bat as Kec amat an Bat as Des a

Pot e si a K ri ti s n l Ag ak K rit is Kr it is Sa ng at Kr it is

Jaw a Ba t a r Jaw a T e a ng h Jaw a T mur i

Ir . Di n Ru l n ja , M .S i a sa ri P og a P sca S rja n r r m a a a Un v rsi ta G a ja M a a i e s d h d

SAM D A U ER

D NES A N O

DI Y

Lo kas i P en l t i n ei a
7 350 0 38 000 5 39 00 5 0 4 50 0

Gamb ar 5 .2 6. Peta Tin gkat Kek ritisan Lahan Keca m atan Tawangm an gu

266

PETA S ATUAN LAHA N DALAM BERB AGAI FUNGSI KAWAS AN DI LOKASI PENELITIAN
5 10 00 0
U

5 13 00 0

51 60 00

51 9 000

5 22 000

Kecamatan Kar angpand an

22 30

Kecamatan Ngar goyoso


11 27 28 10 3 3

Plum bon
m

29 T e ngkli k
#

21

Ngl ebak
2 5
#

11 7 Blum bang
# #

Pr ovinsi Jawa T imur


G ndosul i o
#

Karanglo # Bandarda26 u ng w
#

20
# # # Y

1 3

Kali soro
6 2 14 5 9

Tawangm a gu n

19

25

Sepanja ng
17

Kecama tan Tawangmangu


14 1 7 15

Kecamatan Ma tesih
18
0 1 2 3 K m

1 6

Kecamatan Jatiyoso
51 60 00 mT Fu n si Kaw a : g san Kaw asan Budi daya
Sumbe ; r

5 10 00 0mT

5 13 00 0mT
1 6

51 9 000 mT
370 00 5 850 0 5 900 0

5 22 000 mT
40 000 5

Leg enda :
% [

Sat uan Lahan:


2

Kec ama tan


V 5 Qv c III_ An Li_ g _ l_ T l 3 V 5 Qvl_ V_ n Li_ l _ A Tg 1 7 V1 9 _ Qva V_ Lc _ Tg b l_ k l V19 _ v a V _ L _ Tgl c Q l_ a

Desa /Ke lura ha n Sungai Pe rm anen Jal an Ut ama Bat as Provinsi Bat as Keca mat an

5 V 5 Qvc IV_ A n Tgl _ l_ Li_ 6 V 5 Qvl_ IV_ An Li Tgl _ _ 7 V 5 Qvl_ III_A n Li Tgl _ _ V 1 c Qvl_ V_ An Li_ g 9_ T l 8 9 V 5 Qva III_ An Li_ g _ l_ T l V 5 Qvl_ III_La _ T l0 _ g1 1 V 5 Qvl_ V_ _ Tg 1 _ La l 1 V 5 Qlla _ II La _ l 3 _ I _ Tg 1 V 1 b Q v l_ _L a T g 4 9_ a V _ l

Kaw asan Pen yangg a Kaw asan L du ng in


1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0 V1 9 _ v a V _ L k_T g c Q l_ c l V8 _ lla III_ La Sw h Q _ _ V8 _ lla II_ _Sw h Q _ La V8 _ lla II_ _Tgl Q _ La V8 _ v II_ La S h Q l_ _w V8 _ lla II_ k Sw h Q _ Lc _ V8 _ lla II_ k Tgl Q _ Lc _ V1 9 _ vl III_ La Tgl aQ _ _ V1 9 _ vl V_ La Tgl aQ _ _ V1 9 _ Qvl III_ La Tgl b _ _ V1 9 _ Qvl IV _ L _T g b _ a l P m a a n Sa a n Laha n V8 Q e bca tu : _ la _ I_ _ I La Swh Pe n g naan la h : sa wa h gu an J enis tan a : La so l h to Kla s k m irn g a le re n :I I (1 5 5 e i n g -2 %)

1.F otoUda ras kal 1:25 a .000 ta hun1995 2.P e a Ge t ologi le m r Ponorogo ba s ka la 1:100.000ta hun1997 3.P e a RB I ska la 1: 25.000 ta t hun 2001 Z one 49 S, Sis te K o m ordina t U TM 4.Has ila nali is la nga ta hu 2004 s pa n n Dibu a Ole h: t Ir .D ina R u la r i M.Si s nja , Pr g a mPa sc a Sa r na or ja

Ja w a B a rt a Jaw a T e a ng h Jaw a T ur i m

D IY Lok asi P e n l i i a et n

Bat as Desa

1 5 V 1 b Q v l_III _ _ Tgl 9_ a La

Lito lo i:Q lla (La h r L w u g a a ) B ntu la a n V8 (Da ta nk aki g nu g pi) e k h : ra u na

7 350 0

8 350 0

3 5 00 9

40 0 00 5

Univ r st a G dja hMa da e i s a

Gambar 5.27 . Peta Satuan Lahan di Ber bagai Fun gsi Kawasan

BAB VI KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

6. 1. Kesimpulan 1. a) Usahatani berkelanjutan pada budidaya tanaman semusim tidak dapat dilakukan di seluruh satuan lahan pada kawasan fungsi lindung, karena telah mengakibatkan dampak negatif pada lingkungan, yaitu terjadinya longsor di Desa Gondosuli dan Kelurahan Blumbang dan pertambahan lahan kritis di Desa Sepanjang. Usahatani tanaman semusim yang telah dilakukan petani secara turun temurun pada lahan dengan kemiringan = 40% serta perambahan lahan negara di Desa Tengklik, Desa Blumbang, Desa Gondosuli dan Kelurahan Tawangmangu pada kemiringan lereng >40% telah mempercepat terjadinya degradasi lahan. Sempitnya lahan yang dimiliki, telah mendorong petani mengusahakan lahan di kawasan fungsi lindung, sehingga berpotensi terhadap terjadinya longsor. Tingkat erosi berat-sangat berat berakibat langsung terhadap

degradasi lahan, terbukti dengan rendahnya tingkat kesuburan tanah dan rendahnya rata-rata persentase produktivitas. Seluruh satuan lahan di kawasan fungsi lindung tidak dapat mencapai usahatani berkelanjutan. b) Usahatani berkelanjutan tidak dapat dilakukan di kawasan fungsi penyangga di seluruh satuan lahan di Desa Gondosuli dan Desa Plumbon. Satuan lahan tersebut terletak pada lahan dengan kemiringan lereng antara 2540% yang mempunyai fungsi sebagai kawasan recharge area. Tingkat erosi sedang, berat, sangat berat, telah berakibat langsung terhadap

268

terjadinya degradasi lahan, terbukti dengan rendahnya rata-rata persentase produktivitas lahan dan rendahnya tingkat kesuburan tanah. c) Usahatani berkelanjutan tidak dapat dilakukan di kawasan fungsi budidaya yang terletak di Kelurahan Tawangmangu, Desa Blumbang, Kelurahan Kalisoro dan Desa Gondosuli. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih tingginya tingkat erosi yang melebihi ambang batas yang dapat ditolelir. Rendahnya rata-rata persentase produktivitas lahan dan rendahnya tingkat kesuburan tanah, menjadi bukti bahwa usahatani berkelanjutan untuk budidaya tanaman semusim tidak dapat dilakukan pada kemiringan lereng >25%. Usahatani berkelanjutan yang terdapat di kawasan fungsi budidaya, terletak pada satuan lahan kemiringan lereng = 25%. 2. Faktor sosial ekonomi petani yang membedakan antara petani di satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dengan petani di satuan lahan dengan usahatani tidak berkelanjutan, adalah sebagai berikut. a) Status asal kepemilikan lahan Status asal kepemilikan lahan merupakan pembeda antara satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dan satuan lahan dengan usahatani tidak berkelanjutan. Sebesar 81,6% dari seluruh petani sampel di satuan lahan tidak berkelanjutan mempunyai kepemilikan lahan berasal dari warisan orang tua saja. Petani sampel tersebut mempunyai luas kepemilikan lahan rata-rata sebesar 2.000 m2. Sebesar 41,5% petani sampel di satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan mempunyai lahan warisan dan dapat memperluas lahan dengan cara membeli sendiri. Petani sampel tersebut mempunyai luas rata-rata kepemilikan lahan sebesar 3.200 m2. Para petani

269

ini mempunyai pemikiran bahwa usahatani sebagai suatu pekerjaan yang berasal dari budaya turun temurun dan harus dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi petani yang dilanjutkan dengan tindakan dalam mengelola usahataninya telah mendukung keberlanjutan usahatani. b) Luas kepemilikan lahan untuk usahatani Luas kepemilikan lahan untuk usahatani merupakan pembeda antara satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan dengan usahatani tidak berkelanjutan. Petani sampel di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan mempunyai rata-rata kepemilikan luas lahan 2.030 m2. Budaya yang terdapat pada masyarakat petani mengenai sistem pembagian warisan telah mengakibatkan

terjadinya fragmentasi lahan pertanian dan sempitnya kepemilikan lahan. Sempitnya kepemilikan lahan telah mengakibatkan ekploitasi terhadap lahan untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup tidak dapat dihindari lagi. Petani sampel yang berada di satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan mempunyai rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 2.758 m2. Kepemilikan lahan yang luas telah mengakibatkan

petani dapat lebih secara leluasa memilih jenis tanaman dengan pengelolaan lahan yang mempunyai potensi untuk dapat mencapai usahatani berkelanjutan. c). Pemahaman makna konservasi Pemahaman petani terhadap makna konservasi merupakan pembeda antara satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani

berkelanjutan dan satuan lahan dengan usahatani tidak berkelanjutan. Sebanyak 87% petani sampel tidak paham terhadap makna konservasi,

270

sebesar 75% diantaranya terletak pada satuan lahan

yang usahataninya

tidak berkelanjutan. Hal ini membuktikan bahwa petani melakukan teknologi tanpa adanya pemahaman terhadap manfaat dari praktek konservasi. Teknologi mekanik yang dilakukan petani untuk

mena nggulangi erosi merupakan teknologi tradisional yang berasal dari budaya turun menurun. Sebanyak 13% petani sampel dari seluruh sampel yang faham terhadap makna konservasi berada di satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan. Petani melakukan konservasi teknologi mekanik yang sesuai dengan kemiringan lereng agar tujuan konservasi dapat tercapai, yaitu dapat mengurangi besarnya laju erosi. d) Pendapatan usahatani Pendapatan petani merupakan pembeda antara satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan tidak berkelanjutan. Sebesar 87% petani yang berada di satuan lahan tidak berkelanjutan mempunyai rata-rata pendapatan sebesar Rp. 243.377,- tiap bulan. Pendapatan tersebut masuk dalam kategori pendapatan rendah karena dibawah Upah Minimum Regional. Pendapatan sebesar

Rp. 243.377,-/bulan, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi petani dan keluarganya, sehingga petani mencari pendapatan di luar usahatani. Keadaan ini tidak mendukung usahatani berkelanjutan. Sebesar 93% petani sampel di satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan mempunyai pendapatan rata-rata Rp. 1.315.720,tiap bulan. Pendapatan tersebut jauh diatas nilai Upah Minimal Regional.

271

Petani dengan pendapatan Rp. 1.315.720,-/bulan mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dan mampu mengembangkan usahataninya, sehingga mendukung usahatani berkelanjutan. e). Intensitas penggunaan lahan Intensitas penggunaan lahan merupakan pembeda antara satuan lahan yang mempunyai potensi untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan tidak berkelanjutan. Sebesar 93% petani sampel yang berada di satuan lahan berkelanjutan, intensitas penggunaan lahan sebesar 3 (tiga) dalam setahun, dengan masa bero dengan pemberian pupuk organik dan pengolahan tanah diantara dua musim tanam. Rata-rata luas kepemilikan lahan adalah 2.700 m2. Petani yang berada di satuan lahan yang potensi untuk usahatani tidak berkelanjutan, mempunyai intensitas 4 (empat) kali dalam setahun tanpa masa bero, dengan rata-rata kepemilikan luas lahan petani sebesar 1.800 m2. Kegiatan pengelolaan lahan ini tidak mendukung terhadap usahatani berkelanjutan. f) Swadaya teknologi konservasi Swadaya konservasi merupakan pembeda antara satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan dengan satuan lahan tidak berkelanjutan. Petani sampel yang berada di satuan lahan berkelanjutan melakukan swadaya konservasi sebanyak 5 (lima) jenis teknologi konservasi, yang telah dapat mengatasi besarnya laju erosi. Terbukti bahwa teknologi mekanik yang dilakukan di fungsi kawasan ini telah dapat mengatasi besarnya laju erosi.

272

Petani sampel yang berada di satuan lahan untuk usahatani tidak berkelanjutan melakukan 6 (enam) jenis teknologi konservasi, namun teknologi tersebut tidak dapat menekan besarnya laju erosi. Jenis teknologi konservasi mekanik tradisional yang dilakukan petani tidak dapat mencapai usahatani berkelanjutan, karena penggunaan biaya yang besar akibat tingkat erosi mengakibatkan penggunaan input pupuk makin besar. 3. Pengelolaan usahatani berkelanjutan di lereng barat gunungapi Lawu, dilakukan dengan cara sebagai berikut. a). Teknologi pengelolaan satuan lahan yang potensial untuk usahatani berkelanjutan maupun satuan lahan tidak berkelanjutan di Kawasan Fungsi Budidaya dilakukan dengan peningkatan dosis pupuk organik, efisiensi dosis pupuk anorganik, dan menanggulangi faktor pembatas pada kesesuaian tanaman terhadap fisik lahan. Penanggulangan faktor pembatas tersebut dapat dilakukan dengan cara : perubahan sistem tanam, perubahan waktu tanam, perubahan ukuran teras, mempertinggi guludan, pemberian mulsa jerami serta plastik untuk komoditas tertentu. dan menanggulangi faktor pembatas untuk kesesuaian lahan. Beberapa komoditas sayuran yang dibudidayakan petani telah mencapai produktivitas tinggi, walaupun tidak sesuai dengan kondisi fisik lahan. Tanaman tersebut dapat menjadi tanaman yang secara ekonomi dapat menguntungkan, sekaligus berbasis ekologis. b). Aktivitas pengelolaan lahan potensial bagi usahatani untuk mencapai keberlanjutan, dilandasi dengan pemahaman akan makna konservasi oleh petani dan swadaya konservasi yang dilakukan berbasis pada konservasi tanah yang secara sosial dapat diterima oleh masyarakat.

273

Temuan dalam penelitian ini adalah pola pengelolaan usahatani berkelanjutan, dijelaskan dengan Gambar 6.1 di bawah ini.

Keterangan : RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

Gambar 6.1. Pengelolaan Lahan untuk Usahatani Berkelanjutan di Lereng Barat Gunungapi Lawu

6.2. Implikasi Kebijakan Kebijakan yang dapat diajukan bagi Pemda Karanganyar agar tercapai pengelolaan lahan yang berkelanjutan, adalah sebagai berikut. a. Penataan ulang terhadap Tata Ruang Wilayah Kecamatan Tawangmangu harus segera dilakukan untuk menghindari pertambahan lahan kritis dan kerusakan lingkungan. 274

b. Pengembalian secara bertahap fungsi lahan dari peruntukan budidaya

tanaman semusim di kawasan fungsi lindung menjadi hutan lindung. c. Pemindahan lahan budidaya milik petani dari kawasan fungsi lindung ke lahan yang sesuai dengan potensinya di kawasan fungsi budidaya, tanpa merugikan petani. d. Penataan ulang kawasan fungsi penyangga dengan kemiringan lereng =35% di Desa Plumbon menjadi hutan produksi terbatas, untuk menghindari kerusakan lahan yang lebih lanjut. e. Penggunaan tanaman semusim yang terletak pada kemiringan lereng 25%30% di Desa Plumbon dilakukan budidaya tanaman semusim dengan terasering yang konservasif diperkuat dengan tanaman kayu

(tanaman keras).

DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1985, Dasar-Dasar Bercocok Tanam, Kanisius, Yogyakarta. Adiningsih, Karama, J. S. dan Syariffuddin, A., 1992, Sustainable Upland A Farming System for Indonesia, Center for Soil and Agroclimate Research (CSAR) Journal, Jakarta. Agus, F., dan Widianto, 2004, Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering, World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia, Bogor. Alzwar, M., Samodra, H. dan Tarigan, J.J., 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunungapi, Penerbit Nova, Bandung. Anonim, 2003, Program Pembangunan Nasional 2000 2004, Sinar Grafika Offset, Jakarta. , 2005, Bunga Rampai Perundangan Lingkungan Hidup, Pustaka Widyatama, Yogyakarta. Arifin, B., 2001, Spektrum Kebijakan Pertanian Indonesia - Telaah Struktur, Kasus, dan Alternatif Strategi, Erlangga, Jakarta. Arsyad, S., 1989, Konservasi Tanah dan Air, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asdak, C., 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dengan Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada, 1999, Draf Laporan Akhir Management Plan/Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Gunung SundoroSumbing, PSBA, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 1984, Sensus Pertanian 1983, Sensus Sampel Rumahtangga Pertanian Penggunaan Lahan, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 1994, Sensus Pertanian 1993, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik, Jakarta.

1994, Statistik Indonesia 1994, Badan Pusat

Badan Pusat Statistik (BPS), 1998, Statistik Indonesia 1998, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 2001, Sensus Penduduk Indonesia 2000, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 2001, Kabupaten Karanganyar dalam Angka 2001, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 2002, Kabupaten Karanganyar dalam Angka 2001, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statitik (BPS), 2003, Kabupaten Karanganyar dalam Angka 2003, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 1997, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 1997, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 1998, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 1998, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 1999, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 1999, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 2000, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 2000, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 2001, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 2001, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 2003, Kecamatan Tawangmangu dalam Angka 2003, Badan Pusat Statistik, Karanganyar. Badan Pusat Statistik (BPS), 2003, Statistik Indonesia 2003, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 1993, Sensus Pertanian 1993, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS), 2003, Sensus Pertanian 2003, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Bammelen, Van, 1949, The Geology of Indonesia:General Geology of Indonesia, Government Printing Office, The Hague. Barrow, C. J., 1991, Land Degradation: Development and Breakdown of Terrestrial Environments, Cambridge University Press, Canbera. Basri, I.H. dan Hoesoen, N., 1991, Strategi Pengembangan Sistem Usahatani Berkelanjutan di Lahan Kering, Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan, 29 - 31 Agustus 1991, INRES - Pusat Penelitian Universitas Brawijaya dan P2LK/BIMAS, Malang. Bayong, Tjasyono, 1986, Iklim dan Lingkungan, PT Cendekia Jaya Utama, Bandung. Beddu, A., 1994, Pembahasan Pengembangan Sistem Pangan Untuk Pemerataan dalam Sapuan dan Silitonga Pembangunan Pertanian dalam Menanggulangi Kemiskinan, Prosiding Seminar Perhimpunan Ekonomi Pertanian (PERHEPI), Jakarta. Burger, D., 1998, The Vision of Sustainable Development, Agricultural Rural Development Journal, Volume 5, No. 1, . Chudhury, K dan Jansen, L.J.M., 1998, Terminology for Integrated Resources Planning and Management, Food Agriculture Organization, Rome, Italy. Darmawijaya, Isa, 1997, Klasifikasi Tanah: Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Departemen Kehutanan, 2004, Kumpulan Peraturan Perundangan Terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Departemen Kehutanan, Jakarta. Dinas Pertanian, 2001, Pertanian dalam Angka 2001, Kantor Dinas Pertanian, Kabupaten Karanganyar.

Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kesuburan Tanah, Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Palembang. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi, 1998, Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai, Keputusan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Dumanski, Julian, 1997, Planning for Sustainable in Agricultural Development Projects, Agricultural Rural Development Journal, Volume 4, No. 1, Germany. Economic and Social Commision for Asia and the Pasific, 1979, Guidelines for Rural Center Planning, Economic and Social Commision for Asia and the Pasific, United Nation, New York. Fandeli, Chafid, 1988, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. , 2004, Peran dan Kedudukan Konservasi Hutan dalam Pengembangan Ekowisata, Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Food Agriculture Organization (FAO), 1993, An international framework for evaluating sustainable land management, World Soil Resources Report, Food and Agriculture Organization of the United Nations. , 1995, Planning for Sustainable Use of Resources:Forward a New Approach, FAO, Rome, Italy. Land

Fuller, R., 2002, A Vision for Sustainable Agriculture, Journal of the Institution of Environmental Sciences, (11) January-February, England (www.ies-uk.org.uk/Envsc-Feb 02.pdf). Gitoasmoro, 1997, Perilaku Petani dalam Pengelolaan Lahan Bonoworo, Disertasi (Tidak dipublikasikan), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Gray, C, Simanjuntak, P., Sabur, L.K, Maspaitella, P.F.L dan Varley, R.C.G., 1997, Pengantar Evaluasi Proyek, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gulo, W., 2002, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta.

279

Hadisapoetra, S., 1975, Pembangunan Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Hardjowigeno, Sarwono, 1993, Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis, Akademika Pressindo, Jakarta. Harsono, 2001, Diversifikasi Tanaman Pekarangan Petani Pedesaan di Lereng Barat Gunungapi Lawu Kecamatan Tawangmangu, Tesis (Tidak dipublikasikan), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), 1980, World Conservation Strategy, IUCN UNEP WWF, USA. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (MNLH), 1997, Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan, Kantor MNLH, Jakarta. Kantor Desa Bandardawung, 2002, Monografi Desa Bandardawung, Kantor Desa Bandardawung, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Gondosuli, 2002, Monografi Desa Gondosuli, Kantor Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Karanglo, 2002, Monografi Desa Karanglo, Kantor Desa Karanglo, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Nglebak, 2002, Monografi Desa Nglebak, Kantor Desa Nglebak, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Plumbon, 2002, Monografi Desa Plumbon, Kantor Desa Plumbon, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Sepanjang, 2002, Monografi Desa Sepanjang, Kantor Desa Sepanjang, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Desa Tengklik, 2002, Monografi Desa Tengklik, Kantor Desa Tengklik, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Kelurahan Blumbang, 2002, Monografi Kelurahan Blumbang, Kantor Kelurahan Blumbang, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Kelurahan Kalisoro, 2002, Monografi Kelurahan Kalisoro, Kantor Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu. Kantor Kelurahan Tawangmangu, 2002, Monografi Kelurahan Tawangmangu, Kantor Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu.

Lampiran 1. Data Kandungan Unsur Kimia Tanah Atas dan Tanah Bawah di tiap Satuan Lahan
No SL 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl Keterangan : ST : Sangat Tinggi T : Tinggi S : Sedang R : Rendah SR : Sangat Rendah A : Tana h atas B : Tanah bawah A 0,387 0,335 0,245 0,318 1,318 0,3 0,558 0,08 0,134 0,255 0,076 0,12 0,11 0,106 0,138 0,288 0,015 0,12 0,122 0,132 0,162 0,226 0,178 0,136 0,103 N total (%) Klas S S S S S S T SR R S SR R R R R S SR R R R R S R R R 0,32 0,47 1,47 0,16 0,29 0,06 0,05 0,06 0,09 0,06 0,06 0,09 0,06 0,26 0,13 0,05 0,2 0,17 0,09 0,26 0,1 0,11 0,09 S S S R S SR SR SR SR SR SR SR SR S R SR R R SR S R R SR B 0,49 Klas S A 4,5 9,6 15 10 11 9,7 6,3 6,6 9,5 5,5 4,1 5,7 6,2 7,7 7,3 7,6 5,5 9,6 8,4 4,8 3,9 6,9 6,6 10 5,7 P tersedia (ppm) Klas SR SR R R R SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR R SR B 6,9 8,8 8,1 9,1 5,7 5,8 6,9 6,2 7,3 5,7 5,5 8,1 7,9 7,8 8,9 7,1 10 4,9 4,9 4,5 5,9 4,3 7,7 7,6 SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR R SR SR SR SR SR SR SR Klas SR A 56,97 58,57 27,29 34,1 35,1 26,46 23,11 73,3 120,7 122,1 96,83 99,25 50,11 40,13 30,02 30,82 32,56 34,33 50,43 30,4 81,58 98,06 37,61 114,2 60,92 K tersedia (ppm) Klas T T S S S S S ST ST ST ST ST T T S S S S T S ST ST S ST ST B 29,6 27,3 16 14 15 13,5 22,8 12 78,3 43 35,1 21,8 24,8 16,7 6,22 37,5 24 11,2 68,5 17,5 18,5 40,9 26 57,7 15 Klas S S R R R R S R ST T S S S R SR S S R ST R R T S T R K tertukar (me/100gr) A 0,23 0,28 0,16 0,24 1,24 0,25 0,54 0,78 1,1 1,09 0,9 0,96 0,55 0,43 0,3 0,36 0,25 0,31 0,47 0,21 0,58 1,05 0,41 0,96 0,12 Klas R R SR R R R T T ST ST T T T S S S R S S R T ST S T R B 0,1 0,1 0,1 1,1 0,1 0,2 0,1 0,8 0,4 0,5 0,3 0,3 0,2 0 0,4 0,2 0,1 0,2 0,2 0,1 0,4 0,3 0,6 0,1 SR SR SR SR SR SR T S S S S R SR S R SR R R R S R T SR Klas SR Ca tertukar (me/100gr) A 14,8 17,1 15,2 12 13 28,2 3,13 20,5 14,2 15,9 9,54 5,62 4,57 3,15 5,08 19,9 12,2 16,9 17 10,4 13,5 13,8 16 20,7 5,23 Klas T T T T T ST R ST T T S R R R R T T T T T T T T ST R 7,04 11,7 12,7 6,83 8,83 27,4 13,7 25,3 7,01 4,55 6,55 5,83 4,57 19 12,8 16,2 17,5 17,8 13,5 10 16,7 17,6 5,23 S T T S S ST T ST S R S R R T T T T T T S T T R B 7,93 Klas S Mg tertukar (me/100gr) A 1,69 2,68 2,83 11,9 12,9 9,75 6,69 8,35 5,14 8,59 3,14 2,67 2,88 0,44 1,56 4,66 6,91 4,46 8,5 3,52 4,54 2,26 0,35 4,29 4,22 Klas S T T ST ST ST T ST T ST T T T R S T T T ST T T T R T T 1,47 0,02 1,02 0,29 0,11 9,47 5,22 5,48 2,67 2,24 0,91 2,16 1,64 0,83 6,26 3,32 4,62 4,53 1,06 2,6 3,83 7,42 5,23 S SR SR SR SR ST T T T T SR S S R T T T T S T T ST T B 0,85 Klas R

Lampiran 2. Data Sifat Fisika Tanah tiap Satuan Lahan


No SL 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl Keterangan : T : Tinggi S : Sedang R : Rendah Kedalaman Efektif Tanah (cm) Klas 60 T 50 T 30 S 60 T 50 T 60 T 60 T 15 R 20 R 20 R 15 R 20 R 20 R 20 R 20 R 25 S 20 R 20 R 50 T 50 T 15 R 40 S 15 R 60 T 50 T Tekstur Tanah Geluh berdebu Geluh berpasir Geluh Geluh berlempung Geluh berlempung Geluh berdebu Geluh berdebu Geluh lempung berdebu Geluh berdebu Geluh berdebu Lempung berdebu Lempung Lempung Lempung Lempung Debuan Geluh berdebu Geluh berd ebu Lempung Geluh berlempung Lempung Geluh berdebu Geluh Geluh berdebu Lempung Klas S T T S S S S S S S R R R R R S S S R S R S S S R Permeabilitas cm/jam Klas 0,838 R 0,373 R 1,367 R 0,373 R 0,373 R 0,103 R 0,029 R 0,635 R 1,413 R 0,635 R 1,184 R 2,841 S 1,394 R 1,669 R 3,679 S 0,226 R 0,266 R 0,173 R 0,933 R 1,334 R 0,058 R 0,266 R 8,877 T 6,653 T 1,146

Lampiran 3. Nilai Erosivitas tiap Satuan Lahan


No. 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V _Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl CH (cm/th) 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 315,9 272,59 272,59 315,9 315,9 315,9 315,9 HH 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 12,3 9,4 9,4 12,3 12,3 12,3 12,3 H Max 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 43 42 42 43 43 43 43 R 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232,33 232, 33 232,33 232,33 202,17 202,17 232,33 232,33 232,33 232,33

Lampiran 4. Nilai Erodibilitas Tanah tiap Satuan Lahan


SL 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl %pasir sgt hls %debu %lempung 24,91 53,73 21,36 54,11 31,81 14,08 29,1 2 42,29 28,59 37,5 26,8 35,7 37,5 26,8 35,7 24,83 55,81 19,36 26,42 64,98 8,6 10,69 55,3 34,01 21,26 61,11 17,63 30,82 53,53 15,65 13,4 45,86 40,74 5,53 30,46 64,01 5,9 37,23 56,87 6,39 21,83 71,78 6,88 35,95 57,17 6,3 85,46 2,84 19,57 34,34 46,09 19,57 34,34 46,09 19,57 34,34 46,09 23,26 40,3 36,44 16,14 31,03 52,83 26,82 56,46 16,72 42,96 31,73 25,31 17,65 58,22 24,13 12,19 17,42 70,39 M %BO 6184,2496 10,29 7382,2464 3,93 5099,3881 9,04 4134,49 5,59 4134,49 5,59 6502,8096 9,31 8353,96 10,01 4354,6801 1,76 6784,8169 1,65 7114,9225 4,11 3511,7476 3,39 1295,2801 2,22 1860,1969 2,91 796,3684 1,68 1834,4089 3,39 8915,4016 5,31 2906,2881 2,18 2906,2881 2,18 2906,2881 2,18 4039,8736 2,17 2225,0089 2,18 6935,5584 4,46 5578,5961 3,28 5756,2569 1,628 876,7521 1,644 Klas 40 46 30 35 25 65 25 23 60 25 40 25 47 55 65 25 12 12 9 8 15 15 65 17 38 Harkat 4 3 4 4 4 4 4 1 1 3 3 2 2 1 3 4 2 2 2 2 2 3 3 1 1 Struktur granuler sangat halus granuler sangat halus granuler sangat halus granuler sangat halus granuler sangat halus granuler sangat halus granuler sangat halus gra nuler sedang granuler kasar granuler sangat halus granuler halus granuler halus granuler halus granuler halus granuler kasar masif granuler halus masif masif tak berstruktur tak berstruktur granuler sangat halus granuler sedang granuler sedang granuler kasar Klas Permeabilitas Klas 1 0,838 6 1 0,373 6 1 1,367 5 1 0,373 6 1 0,373 6 1 0,103 6 1 0,029 6 3 0,635 6 3 14,13 2 1 0,635 6 2 1,184 5 2 28,41 1 2 1,394 5 2 1,669 5 3 36,79 1 4 0,226 6 2 0,266 6 4 0,173 6 4 0,933 6 4 1,334 5 4 0,058 6 1 0,266 6 3 8,877 3 3 6,653 3 3 11,465 3 Nilai K 0,12 0,43 0,11 0,15 0,13 0,16 0,16 0,45 0,53 0,40 0,26 0,13 0,20 0,13 0,19 0,64 0,26 0,25 0,24 0,33 0,23 0,40 0,24 0,48 0,12

Lampiran 5. Nilai Indeks Kemiringan dan Panjang Lereng Erosi tiap Satuan Lahan
SL 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan
V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl

Panjang lereng (m) 30 40 20 15 20 15 20 15 30 30 30 25 30 30 20 50 50 20 55 30 50 20 30 20 50

Indek L 1,17 1,35 0,95 0,82 0,95 0,82 0,95 0,82 1,17 1,17 1,17 1,06 1,17 1,17 0,95 1,50 1,50 0,95 1,58 1,17 1,50 0,95 1,17 0,95 1,50

Kemiringan lereng (%) 25 45 30 35 25 65 25 23 52 25 40 25 47 55 65 25 12 12 9 8 15 15 48 17 38

sin A 0,423 0,707 0,5 0,574 0,423 0,906 0,423 0,391 0,788 0,42 0,643 0,42 0,73 0,819 0,91 0,423 0,21 0,21 0,156 0,139 0,259 0,259 0,743 0,29 0,62

Indeks S 7,1064 11,3776 7,9 9,1432 6,6064 14,7208 6,6064 6,0688 12,7384 6,556 10,3024 6,556 11,764 13,2592 14,788 6,6064 3,028 3,028 2,1208 1,5312 3,8512 3,8512 11,9824 4,372 9,916

Indeks LS 6,28 15,3 1 7,52 7,53 6,28 12,1 3 6,28 4,99 14,84 7,64 12,00 6,97 13,7 1 15,4 5 14,0 7 9,94 4,55 2,88 3,35 1,78 5,79 4,49 13,96 4,16 14,9 2

Lampiran 6. Nilai Indeks Pengelolaan Tanaman dan Pengolahan Lahan tiap Satuan Lahan
SL 2 3 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 25 26 27 28 29 30 Satuan Lahan
V5_Qvcl_III_Anli_Tgl V5_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qvcl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_IV_Anli_Tgl V5_Qvl_III_Anli_Tgl V19c_Qvl_V_Anli_Tgl V5_Qval_III_Anli_Tgl V5_Qvl_III_La_Tgl V5_Qvl_V_La_Tgl V5_Qlla_III_La_Tgl V19b_Qval_V_La_Tgl V19b_Qval_III_La_Tgl V19b_Qval_V_Lck_Tgl V19c_Qval_V_La_Tgl V19c_Qval_V_Lck_Tgl V8_Qlla_III_La_Swh V8_Qlla_II_La_Swh V8_Qlla_II_La_Tgl V8_Qvl_II_La_Swh V8_Qlla_II_Lck_Swh V8_Qlla_II_Lck_Tgl V19a_Qvl_III_La_Tgl V19a_Qvl_V_La_Tgl V19b_Qvl_III_La_Tgl V19b_Qvl_IV_La_Tgl

Pengelolaan tanaman Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Ketela pohon, ubi jalar Palawija Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Sawah setengah irigasi Sawah irigasi Tanaman holtikultura(sayuran) Tanaman holtikultura(sayuran) Sawah irigasi, ketela rambat Ketela pohon, ketela rambat, kacang panjang Sawah irigasi, ketela rambat Sayuran, Sayuran, Ketela pohon

Indeks C 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,01 0,01 0,7 0,7 0,01 0,45 0,01 0,7 0,7 0,7

Pengelolaan lahan Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Teras bangku, sedang Teras bangku, sedang Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Teras bangku, sedang Penanaman menurut kontur Teras bangku, sedang Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur Penanaman menurut kontur

Indeks P 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,35 0,4 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,15 0,15 0,9 0,9 0,15 0,9 0,15 0,9 0,9 0,9

Lampiran 7. Kesesuaian Lahan Berbagai Macam Tanaman tiap Satuan Lahan


Kode Satuan lahan SL 2 V5_Qvcl_III_AnLi_Tgl 3 V5_Qvl_V_AnLi_Tgl 5 V5_Qvcl_IV_AnLi_Tgl 6 V5_Qvl_IV_AnLi_Tgl 7 V5_Qvl_III_AnLi_Tgl 8 V19c_Qvl_V_AnLi_Tgl 9 V5_Qval_III_AnLi_Tgl 10 V5_Qvl_III_La_Tgl 11 V5_Qvl_V_La_Tgl 13 V5_Qlla_III_La_Tgl 14 V19b_Qval_V_La_Tgl 15 V19b_Qval_III_La_Tgl 16 V19b_Qval_V_Lck_Tgl 17 V19c_Qval_V_La_Tgl 18 V19c_Qval_V_Lck_Tgl 19 V8_Qlla_III_La_Swh 20 V8_Qlla_II_La_Swh 21 V8_Qlla_II_La_Tgl 22 V8_Qvl_II_La_Swh 25 V8_Qlla_II_Lck_Swh 26 V8_Qlla_II_Lck_Tgl 27 V19a_Qvl_III_La_Tgl 28 V19a_Qvl_V_La_Tgl 29 V19b_Qvl_III_La_Tgl 30 V19b_Qvl_IV_La_Tgl Keterangan: N : Tidak sesuai S3 : Sesuai marginal S2 : Cukup sesuai S1 : Sangat sesuai Kesesuaian Lahan cabai tomat strawberi S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 N N N N N N N N N S3 S3 S3 S3 S2 S3 S2 S2 S2 S3 S3 S3 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 S3 S3 S3

wortel S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3 N S3 S3

sawi S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S2 S2 S3 S2 S2 S3 N S3 S3

bawang S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3 N S3 S3

kapri S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S3 S2 S3 S2 S2 S3 N S3 S3

buncis S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S2 S2 S2 S2 S2 S3 N S3 S3

jagung S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S3 S3 S3 S3 S3 S3 N S3 S3

ubi jalar S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 N S3 N N N S3 S3 S3 S3 S3 S3 S3 N S3 S3

ubi kayu S3 N S3 N S3 N S3 S3 N S3 S3 S3 N N N S3 S3 S3 S3 S3 S2 S3 N S3 S3

padi N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N

Lampiran 8. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang Daun


Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Klas Kesesuaian Lahan S2 S3

S1

20-25

25-30 18-20 600-800 300-350 Agak cepat

30-35 15-18 800-1600 250-300 Terhambat

>35 <15 > 1600 < 250 Sangat terhambat

350-600

Baik sampai agak terhambat ah,s >15 > 50 <60 <140 Saprik+

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

ak 15-35 30-50 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,8- 6,0 0,8- 1,2 2-3 20-35 50-75 8-16 r-sd -

ak 35-55 20-30 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 <5,8 >8,0 <0.8 3-5 35-50 50-30 16-30 b -

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>16 > 35 6,0- 7,8 > 1,2 <2 <20 > 75 <8 sr, F0

>5 > 50 < 30 > 30 sb > F1

<5 <5

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 9. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang Merah (Allium cepa)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) S1 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 N

20-25

25-30 18-20

30-35 15-18

>35 <15

Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase

350-600 Baik sampai agak terhambat ah,s >15 > 50 <60 <140 Saprik+ >16 > 35 6,0- 7,8 > 1,2 <2 <20 > 75 <8 sr, F0

600-800 300-350 Agak cepat

800-1600 250-300 Terhambat

> 1600 < 250 Sangat terhambat

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

ak 15-35 30-50 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,8- 6,0 0,8- 1,2 2-3 20-35 50-75 8-16 r-sd -

ak 35-55 20-30 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 <5,8 >8,0 <0.8 3-5 35-50 50-30 16-30 b -

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>5 > 50 < 30 > 30 sb > F1

<5 <5

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 10. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Bawang P utih (Allium sativum LINN)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase S1 10-25 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 25-30 5-10 30-35 2-5 >35 <2 N

350-600 Baik sampai agak terhambat ah,s >15 > 50 <60 <140 Saprik+

600-800 300-350 Agak cepat

800-1600 250-300 Terhambat

> 1600 < 250 Sangat terhambat

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

h 15-35 30-50 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,8- 6,0 7,8- 8,0 0,8- 1,2 2-3 20-35 50-75 8-16 r-sd 5-15 5-15

ak 35-55 20-30 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 <5,8 >8,0 <0.8 3-5 35-50 50-30 16-30 b 15-40 15-25

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>16 > 35 6,0- 7,8 > 1,2 <2 <20 > 75 <8 sr F0 <5 <5

>5 > 50 < 30 > 30 sb > F1 > 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 11. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Buncis (Phaseolus vulgaris)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase S1 12-24 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 24-27 10-12 27-30 8-10 >30 <8 N

350-600 42-75 Baik sampai agak terhambat h, s <15 > 75 <60 <140 Saprik+ >16 > 50 5,6- 7,6 > 1,2 <1 <5 > 75 <8 sr F0

600-1000 300-350 36-42 75-90 Agak cepat

>1000 250-300 30-36 >90 Terhambat

< 250 <30 Sangat terhambat

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

ah 15-35 50-75 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 35-50 5,4- 5,6 7,6- 8,0 0,8- 1,2 1-1,5 5-8 50-75 8-16 r-sd -

ak 35-55 20-50 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <35 >5,4 >8,0 < 0,8 1,5- 2 8-12 50-30 16-30 b -

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>2 > 12 < 30 > 30 sb > F1

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 12. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Cabai (Capsicum annum)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 27-28 16-21 500-600 1200- 1400 Agak cepat 28-30 14-16 400-500 >1400 Terhambat >30 <14 > 400

S1 21-27

600-1200

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

Baik sampai agak terhambat ah >15 > 75 <60 <140 Saprik+ >16 > 35 6,0- 7,6 > 0,8 <3 <15 > 100 <8 sr F0

Sangat terhambat Cepat k > 55 < 30 > 200 > 400 Fibrik

h,s 15-35 50-75 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,5- 6,0 7,6- 8,0 <_0,8 3-5 15-20 75-100 8-16 r-sd -

ak 35-55 30-50 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 <5,5 >7,6

5-7 20-25 40-75 16-30 b F1

>7 > 25 < 40 > 30 sb > F2

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 13. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Jagung (Zea mays)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase Klas Kesesuaian Lahan S2 S3 26-30 1200- 1600 400-500 36-42 Agak cepat 16-20 30-32 >1600 300-400 30-36 Terhambat < 16 >32

S1

20-26

500-1200 >42 Baik sampai agak terhambat h.s < 15 > 60 < 60 < 140 Saprik +

<300 <30 Sangat terhambat Cepat k > 55 < 25 >200 > 400 Fibrik

Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

ah 15-35 40-60 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_16 35-50 5,5- 5,8 7,8- 8,2 <_ 0,4 4-6 15-20 75-100 8-16 r-sd -

ak 35-55 25-40 140-200 200-400 Hemik Febrik+ <35 <5,5 >8,2

> 16 > 50 5,8- 7,8 > 0,4 <4 < 15 > 100 <8 sr F0

6-8 20-25 40-75 16-30 b F1

>8 > 25 < 40 > 30 sb >F2

<5 <5

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 14. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Kacang Kapri (Pisum sp)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 10-14 20-23 300-350 600-800 8-10 23-25 >1000 800-1000 <8 > 25 < 200 > 1000

S1 14-20

350-600

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

Baik sampai agak terhambat ah, h <15 > 60 < 60 <140 Saprik+

Agak cepat

Terhambat

Sangat terhambat

s 15-35 50-60 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,8 - 6,0 7,5 - 8,0 0,8- 1,2 2,5 3,5 15-20 75-100 8-16 r-sd -

ak 35-55 20-50 140-200 200-400 Hemik Fibrik+

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>16 >35 6,0- 7,5 > 1,2 <2,5 < 15 > 100 <8 sr, F0

<20 >5,8 >8,0 < 0,8 3,5 -6 20-25 40-75 16-30 b >6 > 25 < 40 > 30 sb > F1

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 15. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) S1 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 N

24-29

22-24 29-32

18-22 32-35

< 18 > 35

Ketersediaan Air (wa) Kelembaban (%) Media Perakaran (rc) Drainase

33-90 Agak terhambat, agak baik h,ah <3 >50 <60 <140 Saprik+

30-33 Terhambat, baik

< 30, > 90 Sangat terhambat, agak cepat ak 15-35 25-40 140-200 200-400 Hemik Febrik+ <35 < 5,0 > 8,5 < 0,8 4-6 30-40 40-75 2-4 F14, F24, F34, F44 >6 >40 <40 >4 >sd F15, F25, F35, F45 Cepat

Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan

s 3-15 40-50 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 35-50 5,0- 5,5 8,2- 8,5 0,8- 1,5 2-4 20-30 75-100 1-2 F13, F23, F33, F41, F42, F43

k > 35 < 25 >200 > 400 Fibrik

>16 >50 5,5- 8,2 > 1,5 <2 <20 >100 <1 sr F0,F11, F12, F21, F23, F31, F32

Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

<5 <5

5-15 5-15

15-40 15-25

>40 >25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 16. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Sawi (Brassica rugosa FRAIN)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase S1 16-22 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 22-28 13-16 400-600 200-250 20-40 80-90 Agak cepat 28-35 4-13 600-1000 150-200 <20 >90 Terhambat >35 <4 N

250-400 40-80 Baik sampai agak terhambat ak, ah <15 > 60 <60 <140 Saprik+

< 1000 <150 Sangat terhambat

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

s 15-35 40-60 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,7- 6,0 7,0- 7,6 0,8- 1,2 1,5- 4,5 20-35 50-75 8-16 r-sd -

h 35-55 25-40 140-200 200-400 Hemik Fibrik+

k > 55 < 25 > 200 > 400 Fibrik

>16 > 35 6,0- 7,0 > 1,2 <1,5 <20 > 75 <8 sr, F0

<20 >5,7 >7,6 < 0,8 4,5- 7 35-50 50-30 16-30 b >7 > 50 < 30 > 30 sb > F1

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 17. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Strawberi (Fragaria vesca LINN)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase S1 17-20 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 20-30 15-17 30-35 10-15 >35 <10 N

1000- 2000 > 42 Baik sampai agak terhambat s, ah <15 > 100 < 60 <140 Saprik+ >16 > 35 5,5- 7,3 > 1,2 <4 <15 > 125 <8 sr, F0

500-1000 2000- 3000 36-42 Agak cepat

250-500 3000- 4000 30-36 Terhambat

<250 < 4000 <30 Sangat terhambat

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

s 15-35 75-100 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,0- 5,5 7,3- 8,0 0,8- 1,2 4-6 15-20 100-125 8-16 r-sd -

ak 35-55 50-75 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 >8,0 >7,6 < 0,8 6-8

k > 55 < 50 > 200 > 400 Fibrik

>8 20-25 > 25 60-100 < 60 16-30 b > F1 <5 <5 5-15 5-15 15-40 15-25 > 30 sb

> 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 18. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Ta naman Tomat Sayur (Solanum lycopersicum sp)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) pada masa pertumbuhan Kelembaban udara (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase S1 18-26 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 26-30 16-18 700-800 300-400 80-90 20-24 Agak cepat 30-35 13-16 >800 200-300 > 90 < 24 Terhambat >35 <13 N

400-700

< 200 <200 Sangat terhambat

24-80 Baik sampai agak terhambat ah, s <15 > 100 <60 <140 Saprik+ >16 > 35 6,0- 7,5 > 1,2 <5 < 15 > 100 <8 sr F0

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

h 15-35 75-100 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,5- 6,0 7,5 -8,0 0,8- 1,2 5-8 15-25 75-100 8-16 r-sd -

ak 35-55 50-70 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 >5,5 >8,0 < 0,8 8-10 25-35 40-75 16-30 b -

k > 55 < 50 > 200 > 400 Fibrik

> 10 > 35 < 40 > 30 sb > F1

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 19. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Ubi Jalar (Ipomea batatas)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Lama bulan kering (bln) Kelembaban (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Baik sampai agak terhambat h, ah <15 > 75 <60 <140 Saprik+ >16 > 35 5,2- 8,2 >2 <3 <15 > 100 <8 sr F0 Agak cepat Terhambat Sangat terhambat S1 22-25 Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 25-30 20-22 600-800 1500- 2500 3-4 75-85 30-35 18-20 400-600 2500- 4000 4-6 >85 >35 <18 N

800-1500 <3 <75

>4000 >6

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alka linitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

s 15-35 50-75 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 4,8- 5,2 8,2- 8,4 1-2 3-6 15-20 75-100 8-16 r-sd -

ak 35-55 20-50 140-200 200-400 Hemik Fibrik+ <20 < 4,8 >8,4 <1 6-10 20-25 40-75 16-30 b -

k > 55 < 20 > 200 > 400 Fibrik

>10 > 25 < 40 > 30 sb > F1

<5 <5 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

5-15 5-15

15-40 15-25

> 40 > 25

Lampiran 20. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Ubi Kayu (Manihot esculenta)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) Ketersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Lama bulan kering (bln) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 20-30 28-30 600-1000 2000- 3000 5-6 18-20 30-35 500-600 3000- 5000 6-7 < 18 > 35 < 500 > 5000 >7

S1 22-28

1000- 2000 3,5- 5

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

Baik sampai agak terhambat s, ah <15 > 100 <60 <140 Saprik+

Agak cepat

Terhambat

Sangat terhambat

h 15-35 75-100 60-140 140-200 Saprik Hemik+

ak 35-55 50-75 140-200 200-400 Hemik Fibrik+

k > 55 < 50 > 200 > 400 Fibrik

>16 20 5,2- 7,0 > 0,8 <2 > 100 <8 sr, F0 <5 <5

<_ 16 < 20 4,8 -5,2 7,0- 7,6 <_0,8 2-3 75-100 8-16 r-sd 5-15 5-15

<20 < 4,8 >7,6

3-4 40-75 16-30 b 15-40 15-25

>4 < 40 > 30 sb > F1 > 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 21. Persyaratan Penggunaan Lahan untuk Tanaman Wortel ( Daucus carota)
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata (0C) sKetersediaan Air (wa) Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Ketersediaan Oksigen (oa) Drainase Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3 18-20 14-16 400-600 200-250 20-40 80-90 Agak cepat 20-23 12-14 600-1000 150-200 <20 >90 Terhambat >23 <12

S1 16-18

250-400 40-80

> 1000 <150

Media Perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) + dengan sisipan/ pengkayaan Kematangan Retensi Hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan Basa (%) pH H2O C-Organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodositas (xn) Alkalinitas /ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%)

Baik sampai agak terhambat

Sangat terhambat

ak, ah <15 > 75 <60 <140 Saprik+

s 15-35 50-75 60-140 140-200 Saprik Hemik+ <_ 16 20-35 5,7- 6,0 7,0- 7,6 0,8- 1,2 1,5- 4,5 20-35 50-75 8-16 r-sd 5-15 5-15

h 35-55 30-50 140-200 200-400 Hemik Fibrik+

k > 55 < 30 > 200 > 400 Fibrik

>16 > 35 6,0- 7,0 > 1,2 <1,5 <20 > 75 <8 sr, F0 <5 <5

<20 >5,7 >7,6 < 0,8 4,5- 7 35-50 50-30 16-30 b 15-40 15-25 >7 > 50 < 30 > 30 sb > F1 > 40 > 25

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997

Lampiran 22. Hasil Analisis Faktor F isik Lahan yang Berpengaruh Terhadap Keberlajutan Usahatani dengan Metode T-test
Group Statistics Std. Error Mean ,000 ,000 ,068 ,055 2,57406 1,35764

N kesuburan erosi prodktv 0 1 0 1 0 1 114 82 114 82 114 82

Mean 1,00 1,00 3,35 1,43 72,4993 108,3066

Std. Deviation ,000a ,000a ,728 ,498 27,48345 12,29394

a. t cannot be computed because the standard deviations of both groups are 0. Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances

t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 1,741 1,751 -42,21273 -41,55281 2,107 2,097 -29,40184 -30,06177

F erosi Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed 7,016

Sig. ,009

t 20,689 21,962

df 194 193,541 194 166,625

Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000 ,000

Mean Difference 1,924 1,924 -35,80729 -35,80729

Std. Error Difference ,093 ,088 3,24776 2,91015

prodktv

82,228

,000

-11,025 -12,304

Lampiran 23. Hasil Analisis Faktor Sosial Ekonomi yang Berpengaruh Terhadap Keberlajutan Usahatani dengan Metode T-test

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,302 -,297 -,577 -,589 -,10942 -,11084 -,267 -,271 ,636 ,655 -1218609 -1244042 ,247 ,254 ,392 ,387 -,182 -,170 -,03618 -,03476 -,023 -,019 1,302 1,284 -926078 -900645 ,609 ,602

F penddkn Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed ,090

Sig. ,765

t ,256 ,259

df 194 182,782 194 136,058 194 149,896 194 153,166 194 193,822 194 85,829 194 193,235

Sig. (2-tailed) ,799 ,796 ,000 ,000 ,000 ,000 ,020 ,024 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

Mean Difference ,045 ,045 -,380 -,380 -,07280 -,07280 -,145 -,145 ,969 ,969 -1072343 -1072343 ,428 ,428

Std. Error Difference ,176 ,173 ,100 ,106 ,01857 ,01925 ,062 ,064 ,169 ,159 74161,024 86367,899 ,092 ,088

tradisi

35,653

,000

-3,795 -3,588

lahan

6,367

,012

-3,921 -3,782

Group Statistics berlanjut 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 N 114 82 114 82 114 82 114 82 114 82 114 82 114 82 Mean 2,45 2,40 1,25 1,63 ,2030 ,2758 1,18 1,33 5,86 4,89 243377,00 1315720 3,18 2,76 Std. Deviation 1,256 1,153 ,577 ,824 ,11536 ,14428 ,389 ,473 1,316 ,916 156616,277 770732,461 ,698 ,534 Std. Error Mean ,118 ,127 ,054 ,091 ,01080 ,01593 ,036 ,052 ,123 ,101 14668,458 85113,162 ,065 ,059

paham

20,607

,000

-2,350 -2,278

penddkn tradisi lahan paham swadaya pendptn_bl intens_pl

swadaya

6,241

,013

5,742 6,078

pendptn_bl

143,822

,000

-14,460 -12,416

intens_pl

6,287

,013

4,655 4,860

Lampiran 24. Hasil Analisis Faktor Sosial Ekonomi yang Berpengaruh Terhadap Perambahan Lahan Negara dengan Metode Deskriminant
Group Statistics Valid N (listwise) Unweighted Weighted 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 182 182,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 14 14,000 196 196 196 196 196 196 196 196 196 196,000 196,000 196,000 196,000 196,000 196,000 196,000 196,000 196,000

rambah 1

Analysis Case Processing Summary Unweighted Cases Vali d Excluded Missing or out-of-range group codes At least one missing discriminating variable Both missing or out-of-range group codes and at least one missing discriminating variable Tota l Tota l N 196 0 0 Percent 100,0 ,0 ,0

pendkn stats L_mlk paham pendptn tangn intens makna konservasi pendkn stats L_mlk paham pendptn tangn intens makna konservasi pendkn stats L_mlk paham pendptn tangn intens makna konservasi

Mean 17,03 23,90 32,70 10,44 23,43 22,51 32,42 89,56 85,16 8,93 10,71 15,12 28,57 3,57 20,62 44,29 71,43 71,43 16,45 22,96 31,45 11,73 22,01 22,38 33,27 88,27 84,18

Std. Deviation 14,868 38,157 22,203 30,662 24,251 18,372 14,928 30,662 35,643 9,078 28,947 13,399 46,881 3,251 19,424 8,516 46,881 46,881 14,665 37,668 22,140 32,266 23,935 18,404 14,869 32,266 36,583

Total

0 0 196

,0 ,0 100,0

Lampiran 24. (lanjutan)


a,b,c,d Variables Entered/Removed

Min. D Squared Exact F Between Step Entered Statistic Groups Statistic df1 df2 Sig. 1 pendptn ,718 1 and 2 9,330 1 194,000 ,003 2 paham 1,106 1 and 2 7,150 2 193,000 ,001 3 intens 1,458 1 and 2 6,253 3 192,000 ,000 4 pendkn 1,807 1 and 2 5,782 4 191,000 ,000 At each step, the variable that maximizes the Mahalanobis distance between the two closest groups is entered. a. Maximum number of steps is 18. b. Maximum significance of F to enter is .05. c. Minimum significance of F to remove is .10. d. F level, tolerance, or VIN insufficient for further computation.

Variables in the Analysis Step 1 2 3 Tolerance 1,000 ,996 ,996 ,915 ,996 ,918 ,914 ,992 ,918 ,996 Sig. of F to Remove ,003 ,002 ,030 ,019 ,033 ,041 ,024 ,027 ,039 ,045 Min. D Squared ,321 ,718 ,996 1,073 1,106 1,364 1,380 1,438 1,458 Between Groups 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2 1 and 2

pendptn pendptn paham pendptn paham intens pendptn paham intens pendkn

Lampiran 24. (lanjutan)


Pairwise Group Comparisons Step 1 rambah 1 2 2 1 2 3 1 2 4 1 2 1 F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. F Sig. 5,782 ,000 6,253 ,000 5,782 ,000 7,150 ,001 6,253 ,000 9,330 ,003 7,150 ,001
a,b,c,d

2 9,330 ,003

a. 1, 194 degrees of freedom for step 1. b. 2, 193 degrees of freedom for step 2. c. 3, 192 degrees of freedom for step 3. d. 4, 191 degrees of freedom for step 4.

Wilks' Lambda Number of Variables 1 2 3 4 Exact F Lambda ,954 ,931 ,911 ,892 df1 1 2 3 4 df2 1 1 1 1 df3 194 194 194 194 Statistic 9,330 7,150 6,253 5,782 df1 1 2 3 4 df2 194,000 193,000 192,000 191,000 Sig. ,003 ,001 ,000 ,000

Step 1 2 3 4

Lampiran 24. (lanjutan)

Eigenvalues Function 1 Eigenvalue % of Variance ,121a 100,0 Cumulative % 100,0 Canonical Correlation ,329

Wilks' Lambda Test of Function(s) 1 Wilks' Lambda ,892 Chi-square 21,945 df 4 Sig. ,000

a. First 1 canonical discriminant functions were used in the analysis.

Structure Matrix Function pendptn intens L_mlk a makna a paham pendkn Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1 -,440 ,488 -,518 ,472 statsa a konservasi 1 -,630 ,605 -,499 -,421 ,421 -,414

pendkn paham pendptn intens

-,285 -,134 tangna -,112 Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant function s Variables ordered by absolute size of correlation within function. a. This variable not used in the analysis.

Lampiran 24. (lanjutan)


Canonical Discriminant Function Coefficients Function 1 pendkn paham pendptn intens (Constant) -,030 ,015 -,022 ,032 -,271

Functions at Group Centroids Function 1

Classification Processing Summary Processed Excluded 196 Missing or out-of-range group codes At least one missing discriminating variable Used in Output
b,c Classification Results

Unstandardized coefficients

-,096 2 1,248 Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means

rambah 1

0 0 196

Original

Count %

rambah 1 2 1 2 1 2 1 2

Predicted Group Membership 1 2 135 2 74,2 14,3 135 5 74,2 35,7 47 12 25,8 85,7 47 9 25,8 64,3

Total 182 14 100,0 100,0 182 14 100,0 100,0

Cross-validateda
Classification Function Coefficients

Count %

Prior Probabilities for Groups


1

rambah 2 ,033 ,026 ,044 ,229 pendkn paham pendptn intens (Constant) ,074 ,006 ,074 ,185

rambah 1 2 Total

Prior ,500 ,500 1,000

Cases Used in Analysis Unweighted Weighted 182 182,000 14 14,000 196 196,000

a. Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b. 75,0% of original grouped cases correctly classified. c. 73,5% of cross-validated grouped cases correctly classified.

-5,225 -6,364 Fisher's linear discriminant functions

Anda mungkin juga menyukai