Anda di halaman 1dari 393

UNIVERSITAS INDONESIA

MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING


MELALUI DUAL AMBIDEXTERITY PADA LIPPO KARAWACI:
APLIKASI MULTI METODOLOGI COGNITIVE MAP DAN
SOFT SYSTEMS METHODOLOGY KONTINUM DUAL
IMPERATIVES

DISERTASI

Retno Kusumastuti
NPM. 0706312664

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
DEPOK
JULI 2013

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


UNIVERSITAS INDONESIA

MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING


MELALUI DUAL AMBIDEXTERITY PADA LIPPO KARAWACI:
APLIKASI MULTI METODOLOGI COGNITIVE MAP DAN SOFT
SYSTEMS METHODOLOGY KONTINUM DUAL IMPERATIVES

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Retno Kusumastuti
0706312664

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI
DEPOK
JULI 2013

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


HALAMAN PERNYAT AAN ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Retno Kusumastuti

NPM : 0706312664

Tanda Tangan :(J~


Tanggal :~l:~3

111 Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


HALAMANPENGESAHAN
Disertasi ini diajukan oleh
Nama Retno Kusumastuti
NPM 0706312664
Program Studi Ilmu Administrasi
Judul Disertasi Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Dual
Ambidexterity pada Lippo Karawaci: Aplikasi Multi
Metodologi Cognitive Map dan Soft Systems Methodology
Kontinum Dual Imperatives.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pad a
Program Studi IImu Administrasi, Fakultas IImu Sosial dan IImu Politik
Universitas Indonesia.

DEW AN PENGUJI r?;


Promotor : Prof. Dr. Azhar Kasim, MP A ( :C )

Kopromotor : Dr. Ir. Sudarsono Hardjosoekarto, MA


Q_/\
( )

Tim Penguji
Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc

Prof. Dr. Martani Huseini

Prof. Dr. Utomo S. Putro, M. Eng

Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D

Dr.dr. Tri Edhi Budhi Soesilo, M.Si (Anggota) ( .

Ditetapkan di : Depok
Tanggal

IV Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia yang telah diberikan, khususnya kepada penulis sehingga akhirnya dapat
menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini adalah untuk memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Doktor Ilmu Administrasi pAda Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Disertasi ini merupakan bagian dari perjalanan intelektual yang penuh
warna. Penyusunan disertasi ini tidak lepas dari berbagai tantangan dan kendala
sepanjang masa studi yang sudah ditempuh. Berkat bantuan, bimbingan dan dorongan
orang-orang terdekat yang telah memberikan arahan serta saran yang membangun
maka disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis
menyatakan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA., selaku Promotor dan Dr. Ir. Sudarsono
Hardjosoekarto, SH, MA., selaku Kopromotor karena melalui bimbingan
intensifnya telah membawa penulis pada perjalanan intelektual yang
menginspirasi dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
2. Dr. Roy V. Salomo, M.Soc, Sc., selaku Ketua Dewan Penguji, beserta para
anggota yang terdiri dari Prof. Dr. Martani Huseini, PhD., Prof. Dr. Ir. Utomo
Sarjono Putro, Prof. Dr. Agus Soehadi, , Dr. dr. Budi Susilo, Sari Wahyuni M.Sc,
PhD, yang telah memberikan masukan-masukan penting yang berharga bagi
penyempurnaan disertasi ini.
3. Dr. Mochtar Riady, Dr. Ketut Budi Wijaya, Dr. Tanri Abeng, Theo Sambuaga,
Rianti, Astri Elravita yang telah membantu penulis untuk menjadi rujukan
penelitian dan nara sumber penting dalam proses penelitian yang dilakukan.
4. Prof. Bhenyamin Hoessein, Dr. Tafsir Nurchamid, Prof. Eko Prasojo,
Mag.rer.publ., Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, Edy Prasetyono, PhD, yang
telah sangat membantu baik dari sisi motivasi maupun intelektualitas peneliti.

v Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


vi

5. Dr. Muhammad Hikam, Drs. M. Riduansyah, M.Si, Dra. Sri Susilih, MSi., Drs.
Kusnar Budi, M.Buss., Adang Hendrawan, M.Si., Ir. Fia Fridayanti M.Si.,
Kuncoro Haryo Pribadi S.Sos., MSi., Pak Iwan, Pak Kimin, Budi dari Program
Vokasi yang sudah banyak membantu penulis menunaikan tugas di Program
Vokasi Universitas Indonesia.
6. Milla Sepliana Setyowati MAkSi, Drs. Ayi Mulyadi M.Si., Drs. Tridjoko, CFP.,
Agus Medya, MM. CFP., Rini Apriyanti CFP., David, CFP., Musadad, yang
sudah membantu menunaikan tugas di Insurance Center Departemen Ilmu
Administrasi. Muhammad Ikhsan, S.Sos., yang sudah membantu dalam
pengambilan data. Susatyo, M.Si yang membantu teknis dalam mengolah data
untuk penyelesaian disertasi ini.
7. Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si., Muh. Azis Muslim, S.Sos.,M.Si., Dr. Lina
Miftahuljannah M.Si., Dean Yulindra Affandi M.Soc, Sc., Eko Sakapurnama
S.Psi.,M.Sc., Nidaan Khafian, S.Sos, M.A., Elly dan tim Jurnal Bisnis dan
Birokrasi yang sangat membantu dalam menyelesaikan tugas di Jurnal Bisnis dan
Birokrasi.
8. Prof. Dr. Irfan R. Maksum, Prof. Chandra Wijaya, Prof. Dr. Ferdinand Saragih, Ir.
B. Yuliarto Nugroho, PhD, Drs. Asrori, FLMI., Fibria Indriati, S.Sos, M.Si.,
Maria Eurelia Wayan, S.Sos., MAk, Dra. Novita Ikasari, M.Comm., Erwin
Harinurdin, SE., MAk, Hendro Hartono, SE., Kuswati SE., Titin F. Nur, SE,
MM., yang sudah banyak membantu penulis dalam menunaikan tugasnya sebagai
Staf Pengajar Departemen Ilmu Administrasi.
9. Teman-temen padepokan yaitu Dr. Rachma Fitriati, Dr. Makhdum Priyatno, Dr
Djatnika, Dr. Heri Fathurrahman, Cak Wil, Dianta Sebayang, Aqil Irkham, Riris,
Iis Mariam, Irfan, Bang Tom, sebagai teman diskusi dalam menempuh perjalanan
intelektual di kampus Depok dan Salemba.
10. Tak lupa disertasi ini sekaligus sebagai upaya pemenuhan janji penulis kepada
kedua orang tua tercinta yang sudah tiada yaitu (Alm) T. Hardjono dan (Alm)
Asmarawati Subratadiningrat untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya selama
hayat di kandung badan.

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


vii

11. Segenap keluarga, suami Khairul Anwar, ibu Tati Nurhayati, adik-adikku Willy
Brillianto, Tonny Pribadi, Nurul Respati, Satrio Ramadhan dan Tiara Maharani
dan juga yang mana pendidikan ini penulis dedikasikan untuk menjadi contoh
bagi anak-anak tercinta Shabrina Alyani dan Firdaus Alghifari.
12. Rekan seperjuangan di dalam menempuh pendidikan doktor di Bidang Ilmu
Administrasi yaitu Febrina Rosinta, Pantius D. Soeling, Inayati, Umanto dan lain-
lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga menjadi semangat
dalam menyelesaikan studinya.

Akhir kata, sekali lagi tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih
disertai doa semoga Allah SWT memberikan ganjaran kebaikan yang berlipat ganda
atas berbagai dukungan dan bantuan yang penulis terima. Disertasi ini sekaligus
membuka ruang bagi kemungkinan penelitian lanjutan dapat mengisi kelemahan yang
belum dibahas secara tuntas. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ada dan
semoga disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan bagi kita
semua, amin.

Depok, Juli 2013

Retno Kusumastuti

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


HALAMAN PERNYAT AAN PERSETUJUAN PUBLlKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

=============================================================

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
im:

Nama : Retno Kusumastuti


NPM : 0706312664
Program Studi : Ilmu Administrasi
Departemen : Ilmu Administrasi
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis karya : Disertasi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Dual Ambidexterity pada Lippo


Karawaci: Aplikasi Multi Metodologi Cognitive Map dan Soft Systems Methodology
Kontinum Dual Imperatives,

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal: Juli 2013
Yang menyatakan

( Retno Kusumastuti )

V111 Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


ABSTRAK
Nama : Retno Kusumastuti
NPM : 0706312664
Departemen : Ilmu Administrasi
Judul : Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Dual Ambidexterity pada
Lippo Karawaci: Aplikasi Multi Metodologi Cognitive Map dan Soft
Systems Methodology Kontinum Dual Imperatives

Keunggulan bersaing suatu perusahaan dapat diciptakan melalui strategi penciptaan


nilai. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis strategi penciptaan nilai dengan
menggunakan konsep entrepreneurship, strategic management, strategic
entrepreneurship dan ambidexterity (strategic dan contextual ambidexterity). Kajian
ini menggunakan multimethodology (Rodriguez dan Mingers, 1997; Hardjosoekarto,
2012) karena mengaplikasikan lebih dari satu metodologi yaitu Peta Kognitif
(Cognitive Map yang dikonversi menjadi System Dynamics) dan Soft Systems
Methodology continuum dual imperatives (SSM based AR). Penggunaan aplikasi
cognitive map dan SD adalah untuk memperkaya cultural stream of analysis dari
SSM, khususnya pengungkapan situasi considered problematic di tahap ke-2 dan
analisis debating di tahap ke-5.
Disertasi ini mengambil rujukan Lippo Karawaci yang keberhasilannya tidak terlepas
dari peran pendiri sekaligus pemimpinnya, yaitu Mochtar Riady (Riady). Cognitive
map digunakan untuk menggambarkan peta pemahaman Riady di dalam merumuskan
keunggulan bersaing perusahaannya. Sedangkan SSM diaplikasikan sebagai metode
untuk membangun proses pembelajaran di Lippo Karawaci yang mengacu pada
kaidah Checkland (1990).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi proses pembelajaran yang
berlangsung secara partisipatif dan berbasis budaya untuk mewujudkan keunggulan
bersaing perusahaan yang berada dalam sistem terbuka yang rumit dan kompleks
yang berbentuk serba sistem aktivitas manusia (human activity systems) dalam bentuk
praktek ambidexterity. Implikasi CM di dalam pembelajaran memperlihatkan
pentingnya 4 (empat) arah strategis pengelolaan sumber daya perusahaan yaitu
sumber daya manusia (SDM), teknologi, keuangan perusahaan, dan aspek
entrepreneur sebagai sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan. Kajian ini
menjadi penting karena merupakan best practice tentang bagaimana perusahaan yang
besar dapat selalu menciptakan inovasi terhadap peluang baru dan sumber daya yang
ada. Aktivitas exploratory innovation dan exploitative innovation terjadi dalam
bentuk strategic dan contextual. Proses pembelajaran untuk mencapai keseimbangan
ini merupakan pembelajaran menjadi ambidextrous organization.

Kata kunci: Entrepreneurship, Resource, Strategic and Contextual Ambidexterity,


Cognitive Map, Soft System Methodology-based action research.

ix Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


x

ABSTRACT

Name : Retno Kusumastuti


Student No. : 0706312664
Department : Administrative Sciences
Title : Building Competitive Advantage through Dual Ambidexterity in
Lippo Karawaci: A Multi-Methodology Application of Cognitive
Map and Soft Systems Methodology Continuum Dual Imperatives

Competitive advantage in a company can be created through value creation


strategy. This research aims to analyze value creation strategy by using some
concepts, such as entrepreneurship, strategic management, strategic
entrepreneurship and ambidexterity (strategic dan contextual ambidexterity). This
research uses multimethodology (Rodriguez dan Mingers, 1997; Hardjosoekarto,
2012) due to apply two systems of system methodology : Cognitive Map
(subsequently converted to System Dynamics) and Soft Systems Methodology
continuum dual imperatives (SSM). Application of cognitive map is to enrich
cultural stream of analysis of SSM, especially debating analysis on the second and the
fifth step.
This research was conducted on Lippo Karawaci which is can not be seperated
from the role of its leader and founder, Mocthar Riady (Riady). Cognitive map is
used to describe Riady’s cognition in formulating his company group’s competitive
advantage. Meanwhile, SSM is a method to build learning process in Lippo Karawaci
which following to Checkland (1990).
The result of this research shows that learning process occured and ongoing
participatory based on culture to pursue the competitive advantage in an open of
complicated and complex system that forming a human activity system in
ambidexterity practice. Implication of CM shows the important of 4 (four) strategic
direction in managing the company’s strategic resources—human resource,
technology, financial, and entrepreneurial aspect are the source of competitive
advantage. This research becomes important due to it’s best practice about how the
big company is always create the new opportunities through innovation and learning
process that occured simultaneous and becoming an ambidextrous organization.

Keywords: Entrepreneurship, Resource, Strategic and Contextual Ambidexterity,


Cognitive Map, Soft System Methodology-based action research.

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


HALAMAN JUDUL........................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI ............................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH .......................................... viii
ABSTRAK .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xviii

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang... ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah…................................................................... 14
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 17
1.4 Batasan Masalah ........................................................................... 18
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 19

BAB II. KERANGKA TEORI..................................................................... 21


2.1. Tangible dan Intangibel Assets ...................................................... 22
2.2. Teori Dinamika Kapabilitas ........................................................... 27
2.3. Kapabilitas Organisasi .................................................................. 29
2.4. Entrepreneurship .......................................................................... 36
2.5. Tinjauan Literatur Penelitian Sebelumnya...................................... 41
2.6. Operasionalisasi Konsep ............................................................... 42
2.7. Strategic Entrepreneurship ........................................................... 46
2.8. Ambidexterity ................................................................................. 50
2.8.1. Strategic Ambidexterity ...................................................... 55
2.8.2. Contextual Ambidexterity .................................................... 57

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................. 69


3.1. Paradigma Penelitian ..................................................................... 69
3.2. Systems Thinking dalam Penelitian .............................................. 71
3.3. Tipologi Penelitian ......................................................................... 74
3.4. Soft Systems Methodology (SSM) sebagai Complexity Pluralist... 79
3.4.1. Tahapan Soft Systems Methodology (SSM) ......................... 79
3.5. Peta Kognitif dan Peta Kausal ...................................................... 93
3.5.1. Tahapan Penyusunan Peta Kognitif dan Peta Kausal .......... 95

xi Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xii

3.5.2. Pemodelan System Dynamics Metode NUMBER................ 103


3.6. Visualisasi Kombinasi CM dan SSM ........................................... 107
3.7. Rujukan Penelitian ........................................................................ 112
3.8. Reliabilitas dan Validitas Penelitian ........................................... 113
3.9. Etika Penelitian ........ ................................................................... 114
3.10. Peran Peneliti .......... ... ................................................................. 114

BAB IV. GAMBARAN UMUM LIPPO KARAWACI................................ 116


4.1. Profil Lippo Group ...................................................................... 116
4.2. Visi dan Misi Lippo Karawaci ...................................................... 117
4.3. Profil Moctar Riady (Riady) ......................................................... 119
4.4. PT Lippo Karawaci, Tbk (Lippo Karawaci) ................................. 121
4.5. Pengungkapan Situasi Masalah pada Lippo Karawaci ................. 132
4.5.1. Analisis Intervensi................................................................ 132
4.5.2. Analisis Sosial...................................................................... 133
4.5.3. Analisis Politik ..................................................................... 145

BAB V. ANALISIS MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING


MELALUI STRATEGIC AMBIDEXTERITY DAN CONTEXTUAL
AMBIDEXTERITY ………………………………………………… 160
5.1. Model Konseptual Strategic Ambidexterity dan Contextual
Ambidexterity …………………………………………………….. 160
5.1. 1. Model Konseptual Strategic Ambidexterity melalui
Kapabilitas Dinamis…….......…………………………….. 160
5.1. 2. Model Konseptual Strategic Ambidexterity melalui
Top Management Team Cognition…………….………….. 167
5.1. 3. Model Konseptual Contextual Ambidexterity melalui
Struktur Formal ...…………………………………………. 172
5.1. 4. Model Konseptual Contextual Ambidexterity melalui
Norma dan Nilai Budaya …….………..…………………. 177

5.2. Analisis Perbandingan Model Konseptual dengan Dunia


Nyata………………………….…………………………….……... 181
5.2.1. Analisis Perbandingan dalam Membangun Strategic
Ambidexterity melalui Kapabilitas Dinamis
dengan dunia Nyata…………………………………………183
5.2.2. Analisis Perbandingan dalam Membangun Strategic
Ambidexterity melalui Top Managemet Team Cognition
dengan Dunia Nyata….….………………………..............…192
5.2.3. Analisis Perbandingan dalam Membangun Contextual
Ambidexterity melalui Struktur Formal dengan dunia
Nyata………………………………………………............…196
5.2.3. Analisis Perbandingan dalam Membangun Contextual
Ambidexterity melalui Norma dan Nilai Budaya dengan
dunia Nyata……....………………………………..............…205

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xiii

BAB V. PETA KOGNITIF DAN SIMULASI MODEL SYSTEM


DYNAMICS RIADY DI DALAM MERUMUSKAN KEUNGGULAN
BERSAING PERUSAHAAN ........................................................... 212

6.1. Peta Kognitif Riady di dalam merumuskan Keunggulan Bersaing


Perusahaan ....................................................................................... 212
6.2. Human Capital Strategic Direction .............................................. 221
6.3. Technology Resources Strategic Direction .................................. 235
6.4. Financial Resources Strategic Direction ..................................... 237
6.5. Entrepreneurship as Business Leader Strategic Direction ........... 240
6.6. Feedback Loops ............................................................................ 247
6.7. Model System Dynamics dengan Metode NUMBER ................... 248
6.8. Normalisasi Nilai Variabel ............................................................ 251
6.9. Hasil Simulasi Model System Dynamics ....................................... 253
6.11. Keunggulan Bersaing Perusahaan ................................................. 256
6.11. Analisis VRIO ............................................................................... 257

BAB VII. IMPLIKASI COGNITIVE MAP (CM) PENDIRI PERUSAHAAN


DI DALAM PRAKTEK AMBIDEXTERITY ............................................ 273
7.1. Implikasi CM di dalam Strategic Ambidexterity Melalui Kapabilitas
Dinamis …………………………………………………………… 273
7.2. Implikasi CM di dalam Strategic Ambidexterity Melalui Top
Management Team Cognition ………………………………… 293
7.3. Implikasi CM di dalam Contextual Ambidexterity Melalui Struktur
Formal …………………………………………………………… 309
7.4. Implikasi CM di dalam Contextual Ambidexterity Norma dan Nilai
Budaya …………………………………………………………… 320

BAB VIII. PENUTUP .................................................................................... 327


8.1. Kesimpulan .................................................................................. 327
8.2. Saran.............................................................................................. 330

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 332

BIODATA SINGKAT .................................................................................... 345

LAMPIRAN ................................................................................................... 346

INDEXING .................................................................................................... 370

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Long-Lived Firm That Have Changed Industries ...................... 7


Tabel 1.2 Number of Firms and Workers in the Swiss Watch Industry ..... 8

Tabel 2.1 Perbandingan Teori Perusahaan................................................. 23


Tabel 2.2 Evaluasi Sumber Daya Perusahaan............................................ 26
Tabel 2.3 Arus Utama Studi Entrepreneurship.......................................... 36
Tabel 2.4 Ringkasan Tinjauan Literatur Terdahulu................................... 41
Tabel 2.5 Operasionalisasi Konsep ............................................................ 43
Tabel 2.6 Pengertian Ambidextrous Organization ..................................... 55
Tabel 2.7 Tinjauan Literatur Terkait Ambidexterity .................................. 63
Tabel 2.8 Exploratory Innovation and Exploitation Innovation ............... 67

Tabel 3.1 Perbedaan Umum Dua Kategori Berpikir Serba Sistem


(Hardjosoekarto)……………………………………….……… 72
Tabel 3.2 Perbedaan Umum Dua Kategori Berpikir Serba Sistem (Khisty)
……………………………………………………………….… 72
Tabel 3.3 A grouping of systems methodologies based upon the
assumption they make about problem context .......................... 74

Tabel 3.4 Framework Penelitian ................................................................. 76


Tabel 3.5 Illustrasi Elemen Aktivitas.......................................................... 77
Tabel 3.6 Karakteristik Praktik Penelitian .................................................. 78
Tabel 3.7 Root Definition Proses Pembelajaran pada Strategic
Ambidexterity di Lippo Karawaci ............................................... 86
Tabel 3.8 Root Definition Proses Pembelajaran pada Contextual
Ambidexterity di Lippo Karawaci ............................................... 86
Tabel 3.9 Tahapan dalam SSM, Deskripsi Kegiatan dan Teknik
Pengumpulan Data yang Dilakukan .......................................... 92

Tabel 4.1 Deskripsi Milestones PT. Lippo Karawaci, Tbk........................ 124


Tabel 4.2 Komposisi Anggota Dewan Komisaris Perseroan..................... 147
Tabel 4.3 Komposisi Anggota Dewan Direksi Perseroan.......................... 152

Tabel 5.1 Perbandingan Model Konseptual Sistem 1 ................................ 186


Tabel 5.2 Perbandingan Model Konseptual Sistem 2 ................................ 193
Tabel 5.3 Perbandingan Model Konseptual Sistem 3 ............................... 197
Tabel 5.4 Perbandingan Model Konseptual Sistem 4 ............................... 207

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xv

Tabel 6.1 Dua Puluh Tujuh Variabel yang Terlibat dalam


Causal Map Riady ..................................................................... 219
Tabel 6.2 Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci Tahun 2009, 2010,
dan 2011 Berdasarkan Divisi ...………………………............... 223
Tabel 6.3 Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci Tahun 2009, 2010,
dan 2011 Berdasarkan Posisi/Jabatan ........................................ 224
Tabel 6.4 Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci Tahun 2009, 2010,
dan 2011 Berdasarkan Tingkat Pendidikan................................ 224
Tabel 6.5 Sembilan Variabel Level............................................................ 249
Tabel 6.6 Rumus-rumus Transformasi Variabel yang Digunakan untuk
Normalisasi Nilai Variabel......................................................... 251
Tabel 6.7 Dua Puluh Tujuh Variabel dengan RumusTranformasi Variabel
yang Digunakan untuk Normalisasi Nilai Variabel ................... 252
Tabel 6.8 Konstanta c sebagai pengontrol besarnya IR (Increasing Rate)
dan DR (Decreasing Rate) pada simulasi sembilan variabel level
(level variable) ........................................................................... 254
Tabel 6.9 Hasil Simulasi Model System Dynamics dan Nilai Aktual
(setelah dilakukan transformasi) untuk Keunggulan Bersaing
Perusahaan ................................................................................. 256
Tabel 6.10 Neraca Keuangan Lippo Karawaci: Kapasitas Working Capital
dan Debt to Equity Ratio ............................................................ 259
Tabel 6.11 Analisis Fisik Segmen unit Bisnis Large Scale Integrated
Development .............................................................................. 260
Tabel 6.12 Analisis VRIO............................................................................ 270

Tabel 7.1 Daftar Hadir dan Agenda Pertemuan Dewan Direksi


Tahun 2011 ................................................................................ 284
Tabel 7.2 Penandatangan Kesepakatan Pada Setiap Rapat
Dewan Direksi............................................................................ 287
Tabel 7.3 Firm Level Exploitative and Exploratory Innovation ................ 289
Tabel 7.4 Framing: Senior Leader’s Articulation of Strategic Goals ....... 294
Tabel 7.5 Contoh Matriks Tahun 2010 tentang Pertemuan antara
Manajemen dengan Dewan Komisaris ...................................... 301
Tabel 7.6 Cognitive Information Processes: Differentiating and
Integrating…………………………………………………………… 307
Tabel 7.7 Top Management Team Cognition and Information
Processing ................................................................................. 309

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Framework for Impact of TMT Composition on Ambidexterity


Configuration and Firm Performance ....................................... 12
Gambar 1.2 Managerial Paradox .................................................................. 16

Gambar 2.1 Kerangka Teori yang digunakan ................................................ 21


Gambar 2.2 Hubungan antara Firm Resources, Organisasi, dan Keunggulan
Bersaing Kerangka .................................................................... 25
Gambar 2.3 Time series yang Menunjukkan Sejarah Penelitian Terkait
Ambidexterity ............................................................................. 67

Gambar 3.1 Tujuh Tahap dalam Model Konvensional SSM ........................ 80


Gambar 3.2 Contoh Struktur Peta Kognitif (Cognitive Map)........................ 99
Gambar 3.3 Analisis Data untuk Simulasi Abstrak ....................................... 106
Gambar 3.4 The Conventional Seven-Stage model of SSM ........................... 109
Gambar 3.5 Model Kombinasi SSM .............................................................. 109
Gambar 3.6 Model SSM Kombinasi lainnya ................................................. 110
Gambar 3.7 Kombinasi SSM dan SD menjadi SSDM .................................. 110
Gambar 3.8 Simulasi Kombinasi CM dan SSM penelitian ini ...................... 111

Gambar 4.1 Logo Lippo Group .................................................................... 118


Gambar 4.2 Rich Picture: Membangun Keunggulan Bersaing Perusahaan
Melalui Dual Ambidexterity pada Lippo Karawaci ................... 159

Gambar 5.1 Model Konseptual Membangun Strategic Ambidexterity


Melalui Kapabilitas Dinamis...................................................... 163
Gambar 5.2 Model Konseptual Membangun Strategic Ambidexterity
Melalui Top Management Team Cognition ............................... 170
Gambar 5.3 Model Konseptual Membangun Contextual Ambidexterity
Melalui Struktur Formal............................................................. 176
Gambar 5.4 Model Konseptual Membangun Contextual Ambidexterity
Melalui Norma dan Nilai-nilai Budaya...................................... 181

Gambar 6.1 Causal Map Riady ..................................................................... 220


Gambar 6.2 Ilustrasi Kepemilikan Silang dan Hubungan Kekerabatan
Empat Bisnis Grup ..................................................................... 242
Gambar 6.3 Development Revenue dan Recurring Revenue Lippo
Karawaci tahun 2011.................................................................. 243
Gambar 6.4 Feedback Loops ......................................................................... 248
Gambar 6.5 Model System Dynamics ............................................................ 250

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xvii

Gambar 6.6 Hasil Simulasi Model System Dynamics dan Nilai Aktual
untuk Keuggulan Bersaing Perusahaan ..................................... 257
Gambar 6.7 Beberapa Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan yang
Termasuk Portofolio Siloam ..................................................... 262
Gambar 6.8 Rantai Nilai Bisnis Lippo Karawaci .......................................... 266

Gambar 7.1 Development Revenue dan Recurring Revenue


Lippo Karawaci Periode 2008, 2009, dan 2010......................... 277
Gambar 7.2 Most Integrated Business model Lippo Karawaci ..................... 290
Gambar 7.3 Komposisi Recurring Revenue dan Development Revenue
Lippo Karawaci Tahun 2009 dan 2010...................................... 298
Gambar 7.4 Information Processing.............................................................. 299
Gambar 7.5 Struktur Organisasi Lippo Karawaci, 2012................................ 310

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xviii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran BAB I............................................................................................. 346


1.1. Aplikasi Kerangka Kerja . ................................................................346
1.2. Hubungan antara Firm Resources …. ........................................... 346
1.3. Ilustrasi Input – Proses – Output .................................................. 346

Lampiran BAB II ........................................................................................... 347


2.1. Aplikasi Kerangka Kerja . ................................................................347
2.2. Hubungan antara Firm Resources …. ........................................... 347
2.3. Ilustrasi Input – Proses – Output ................................................... 348
2.4. Cognitive Processing of external Stimulus ................................... 348
2.5. A Model of Strategic Entrepreneurship Process ......................... 349
2.6. Creating Wealth Through Entrpreneurial ................................... 349
2.7. Different types of Ambidexterity ................................................... 350
2.8. Soft Systems Methodology Basic Process...................................... 350
2.9. The Problem solving Interest in Action Research ......................... 351
2.10. The Research Interest in Action Research..................................... 351
2.11. Action Research Viewed as a Dual Process.................................. 352

Lampiran BAB III ......................................................................................... 353


3.1. Kritik Model Konseptual SSM.........................................................353
3.2. Guidelines which Help with Building Models of Purposeful
Activity…............. ........................................................................ 354
3.3. Satu Set Rangkaian Pilihan-Dampak. .............................................. 355
3.4. Beragam Cara simulasi dan Simulasi Abstrak. ................................ 355
3.5. Rumus Transformasi Variabel. ........................................................ 356
3.6. Operasi-operasi yang Aman. ............................................................ 357
3.7. Hubungan Dasar antara Variabel Level dan Variabel Laju. ............ 357
3.8. Perilaku Waktu Hubungan Dasar ................................................... 358

Lampiran BAB IV.......................................................................................... 359


4.1. Transaksi Terkait dengan Pihak yang Memiliki Hub. Istimewa......359
4.2. Bagan Organisasi LPKR. .................................................................360

Lampiran BAB V ........................................................................................... 361


5.1 Root Definition 1, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 1........361
5.2 Root Definition 2, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 2........362
5.3 Root Definition 3, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 3........363
5.4 Root Definition 4, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 4........364

Lampiran BAB VI.......................................................................................... 365

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
xix

6.1. Hasil Normalisasi Nilai Variabel. ....................................................365


6.2. Hasil Simulasi Model System Dynamics. .........................................366

Lampiran BAB VII ........................................................................................ 367


7.1. Milestones Lippo Karawaci..............................................................367
7.2. Pendapatan dibidang Healthcare .....................................................368
7.3. Ruang Lingkup 4 Pilar Utama Bisnis Lippo Karawaci ...................369

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam era globalisasi saat ini, arus informasi sangat dinamis sehingga
interaksi semakin luas. Interaksi antar bangsa di seluruh dunia dapat terjalin melalui
perdagangan, investasi, pariwisata, dan lainnya. Arena ini merupakan suatu wilayah
ekonomi tanpa batas dan tatanannya masih dicari. Masa hidup teknologi menjadi
semakin pendek (Tushman dan O’Reilly, 1997), ketidakpastian di bidang ekonomi
dan ketidakstabilan bidang politik menuntut para manajerial harus mampu
beradaptasi dan inovasi (Gibson dan Birkinshaw, 2004).
Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang dinamis maka setiap
perusahaan memerlukan strategi dalam menghadapi perubahan tersebut. Kapabilitas
yang dibutuhkan bukan semata-mata menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan tetapi juga terkait dengan menciptakan daya saing perusahaan. Huseini
(2000) menyatakan bahwa salah satu strategi untuk menciptakan keunggulan bersaing
perusahaan adalah melalui penciptaan nilai dari pengelolaan sumber daya yang
dimiliki perusahaan untuk mendapatkan disctinctive competence (resource).
Penciptaan nilai (value creation) telah menjadi tujuan pendirian organisasi
sejak zaman dahulu hingga saat ini. Pengelolaan sumber daya, baik yang berwujud
(tangible assets) maupun tidak berwujud (intangible assets), akan memberikan nilai
tambah bagi organisasi. Dengan asumsi penting, sumber daya yang dimiliki oleh
organisasi sesungguhnya unik dan tidak dapat ditiru dengan mudah maka nilai lebih
yang dihasilkan oleh tiap perusahaan juga berbeda-beda. Perusahaan dapat dikatakan
memiliki keunggulan bersaing manakala dapat menciptakan nilai lebih dari pada rata-
rata perusahaan dalam industrinya.
Penciptaan nilai di masa mendatang akan tergantung dari kemampuan dan
motivasi pemimpin organisasi dalam melakukan inovasi (Lynn dan Rathnone, 2006).
Oleh sebab itu, peranan seorang pemimpin sangat penting dalam menentukan visi dan
misi organisasi. Hal ini merupakan tantangan berat sekaligus peluang bagi para

1 Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
2

manajer, terutama wirausahawan untuk mengarahkan biduk usahanya. Seperti


dikemukakan oleh Slee (2011), setiap pemilik perusahaan harus menerapkan aturan
dan strategi baru untuk menciptakan business value yang mencakup penciptaan nilai,
keamanan dalam bekerja merupakan fungsi dari sejumlah keahlian yang dimiliki
untuk menciptakan nilai, kepemilikan atas intellectual capital-nya sendiri dan
pemanfaatan peluang antar pasar. Hal ini menunjukkan adanya urgensi penciptaan
nilai pada setiap organisasi menuju abad digitalisasi dan globalisasi ini.
Perusahaan yang berhasil membutuhkan pemimpin yang mempunyai sikap
entrepreneurial yang tinggi. Entrepreneurial yang berhasil adalah yang mampu
menggambarkan imajinasi pengembangan usaha ke depan dengan kerangka makro,
melakukan segala sesuatu tanpa terbebani dengan keterbatasan sumber daya yang
dimilikinya dan berorientasi kepada kepentingan semua pemangku kepentingan.
Perusahaan yang berorientasi entrepreneurial adalah perusahaan yang memiliki
kemampuan di dalam melakukan aktivitas pencarian peluang baru untuk melakukan
terobosan produk yang inovatif. Aktivitas seperti ini merupakan inovasi yang bersifat
eksploratif (Tushman, 2009). Sedangkan aktivitas untuk meningkatkan kinerja
produksi, pengembangan produk/jasa, ekspansi produk/jasa yang berbasis kepada
pengembangan sumber daya yang ada di dalam perusahaan dikategorikan sebagai
aktivitas inovasi yang eksploitatif (Tushman, 2009). Semakin banyak kajian
akademik yang meneliti tentang mekanisme perusahaan dalam menyeimbangkan
antara aktivitas inovasi yang bersifat eksploratif dan eksploitatif ini. Menciptakan
perusahaan yang ambidextrous dikatakan merupakan sebuah pendekatan untuk
menyeimbangkan antara aktivitas inovasi baik yang bersifat eksploratif maupun
eksploitatif (Tushman dan O’Reilly, 2009).
Hari Tanoesoedibyo (Hari Tan) adalah contoh pengusaha yang merupakan
raja muda bisnis multi media yang mahir mengelola industri elektronik, media cetak
dan bahkan radio. Tahun 2002 melejit dengan menguasai tiga stasiun TV swasta
besar yaitu RCTI, TPI dan Global. Selain itu jaringan stasiun radio Trijaya FM, radio
Dangdut, ARH Global dan Women Radio juga dikuasainya. Sedangkan media cetak
meliputi Harian Seputar Indonesia, tabloid Genie, Mom & Kiddie, Realita dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
3

majalan High End dan High End Teen (Maulana, dkk. 2009). Tahun 2005, Hari Tan
dinobatkan sebagai Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh di Indonesia oleh majalah
Warta Ekonomi. Kunci suksesnya adalah ketajaman untuk membangun visi misi
perusahaan, konsep yang kuat dan applicable dan diikuti oleh kemampuan eksekusi
yang andal serta karakter yang berani mengambil keputusan, disiplin, fokus dan think
big.
Penciptaan nilai melalui inovasi menjadi ujung tombak bagi kelompok
usaha yang dikenal masyarakat luas dengan nama Martha Tilaar Grup. Dengan
berbekal innovation center yang berfokus pada pengembangan produk kecantikan
melalui pemberdayaan para ahli dengan latar belakang yang beragam sehingga
menghasilkan produk yang inovatif (Maulana, dkk. 2009). Martha Tilaar mampu
menciptakan produknya yang terkenal dengan nama Biokos, Sariayu, Caring, Belia,
Colours dan Professional Artist Cosmetic dan mendapatkan penghargaan sebagai The
Best and Innovation Product of the Year (1998). Produk inovatifnya adalah satu
lipstick dengan dua warna sebagai produk yang mengantisipasi menurunnya daya beli
saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia saat itu sehingga mampu meningkatkan
penjualan hingga 400%.
Pada dasarnya, perusahaan merupakan badan usaha organik yang
dioperasikan oleh manusia sebagai unsur utama penentu sukses atau gagalnya usaha
tersebut. Perusahaan mengalami proses kelahiran, penuaan, sakit, dan kematian yang
tercermin melalui tiga tahap (Riady, 2004). Tahap pertama adalah tahap kelahiran,
ditandai dengan semangat kerja keras pendirinya, hidup sederhana, rajin dan
berhemat mengumpulkan modal guna perluasan usaha. Tahap kedua, yaitu tahap
pengembangan melalui upaya pendiri dengan pengalamannya berkonsentrasi
membuat rencana dan strategi kerja serta menentukan visi dan misi demi
pengembangan usaha menjadi lebih aktif dan ofensif. Sedangkan Tahap ketiga,
merupakan tahap penyesuaian dengan kebijakan bertahan dan penyesuaian secara
fleksibel, kesehatan perusahaan juga perlu dirawat agar selalu sehat dan stabil.
Lippo Karawaci adalah salah satu anak perusahaan dari kelompok usaha
Lippo, satu dari sekian banyak group bisnis berbasis etnis Tionghoa-Indonesia, yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
4

berhasil tumbuh dan berkembang bahkan survive melalui generasi ketiga. Seperti
dicatat Wall Street Journal (1994), Lippo Group menjadi group bisnis dengan
ekspansi bisnis sangat pesat dengan wilayah penyebaran dari Hongkong, China
(Provinsi Fujian, Shanghai), Singapura, Thailand, Filipina, Taiwan, Malaysia serta
Indonesia yang menjadi basis domestik group bisnis yang memulai usaha pada 1976
(Sato, 1994). Sebagai chairman Lippo Group, telah lama dikenal sebagai pengusaha
yang andal. dilahirkan pada Mei 1929 di Malang, Jawa Timur. lulus dari South East
University pada tahun 1949 dan memegang Doctor of Law dari Golden Gate
University, San Fransisco, Amerika Serikat. Menurut Usman, “ adalah salah seorang
dari manajer yang selalu preplan”. Ia mengetahui timing harus berekspansi dan
timing harus berhemat. Pengalaman pribadi mengenal sejak tahun 1980
membuktikan keyakinan akan kapabilitas pendiri Lippo Group ini membawa
perusahaan yang ia pimpin selalu dapat keluar dari krisis (Riady, 1999).
Pada era digitalisasi, globalisasi dan futurisasi disadari oleh pendiri
perusahaan sebagai proses dinamis yang menggeser persaingan antar negara menjadi
persaingan kemampuan ilmu, teknologi, dan kekuatan ekonomi terpadu. Ciri khas
pengelolaan perusahaan saat ini tentunya harus memiliki responsivitas yang tinggi
dalam menghadapi siklus hidup yang pendek, fleksibel, mudah direvisi, diubah dan
diganti per bagian tetapi tidak mengubah satu kesatuan yang utuh (Riady, 2004).
Bukti kemampuan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi
adalah bagaimana pendiri sekaligus pemilik cikal bakal kelompok perusahaan
keluarga yang kecil kemudian dapat menumbuhkembangkan perusahaannya menjadi
bentuk konglomerasi yang mengelola berbagai bidang bisnis mencakup properti,
kesehatan, teknologi, keuangan, pendidikan, dan bahkan retail. Kesuksesan
pengelolaan perusahaan ini tidak terlepas dari karakteristik pribadi yang kuat dalam
hal menerapkan filosofi bisnis Chinese tetapi juga kemauan untuk mengadopsi
pemikiran gaya manajemen modern.
Pentingnya aset perusahaan sebagai sumber keunggulan bersaing banyak
dituangkan dalam berbagai karyanya. Berbagai sumber daya yang ada di dalam
perusahaan dapat dikembangkan untuk menciptakan inovasi yang bersifat eksploitatif

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
5

tetapi dapat juga dengan melihat berbagai kemungkinan peluang baru melalui
eksplorasi. Salah satu sumber daya yang dianggap strategis adalah sumber daya
manusiayang disebut sebagai harta paling berharga. Oleh sebab itu, setiap macam
upaya peningkatan kapabalitas sumber daya manusia menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari setiap inovasi yang dilakukan dalam proses pembelajaran untuk
menghasilkan perusahaan yang mampu bersaing dalam era globalisasi.
Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan terkait dengan kemajuan
teknologi informasi maka dilakukan rekayasa gaya manajemen perusahaan.
Pengadopsian Nanotechnology dalam bidang manajemen, melalui Nanotechnology
Management Style, adalah inovasi yang diterapkan untuk menghasilkan outcome
yang lebih baik dari gaya manajemen yang sebelumnya. Taufiqu Rohman, seorang
pakar Nanotechnology dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan
bahwa pada kurun periode 2010-2020 akan terjadi percepatan luar biasa dalam
penerapan Nanotechnology di dunia industri (Rohman, 2012). Upaya yang telah
dilakukan pendiri perusahaan ini sejalan dengan kecenderungan penerapan
Nanotechnology di berbagai negara. Terkait dengan Nanotechnology Management
Style (NTMS), pendiri perusahaan menjelaskan secara filosofis bahwa sesuatu yang
mendasar dari alam semesta ini sebenarnya adalah partikel penyusun terkecilnya.
Misalnya pohon yang besar selalu mulai tumbuh dari bibit yang kecil, perjalanan
yang jauh selalu dimulai dengan langkah pertama, serta betapa canggihnya tubuh
manusia, namun terbentuk dari DNA yang tidak terlihat. Berikut adalah bagaimana
Nanotechnology diterapkan dalam manajemen perusahaan (Riady, 2004):

“... Mengatur usaha, seperti Nanotechnology, yaitu mulai dari yang terkecil
yaitu manusia sehingga harus ada cara kerja yang jelas. Setiap manusia
melaksanakan satu pekerjaan yang terdiri dari empat unsur, yaitu workflow,
job description, cara kerja, dan materi kerjaan. Jadi, bila satu orang dididik
macam-macam maka akan kacau, lebih baik diatur bahwa setiap orang ahli
di bidangnya masing-masing ....” (Wawancara Riady, 1 Juli 2010).

Jiwa dan semangat entrepreneur yang merupakan filosofi aktivitas


eksplorasi perusahaan, tercemin di dalam sejarah perkembangan kelompok

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
6

perusahaan. Bidang usaha Lippo Karawaci kian merambah ke bidang properti, retail,
pendidikan, kesehatan, teknologi informasi hingga pusat penelitian (Mochtar
Nanotechnology Institute). Jiwa entrepreneur beliau tercermin dalam petikan
wawancara sebagai berikut:
“... Filosofi yang saya terapkan, yaitu Lao Tse yang berarti semua yang ada
berasal dari tidak ada dan pohon yang besar mulai dari yang kecil. Harus
bermula dari yang kecil agar dapat bertahan dan berkembang....”
(Wawancara Riady, 1 Juli 2010).

“... Pada tahun 1950, saya sudah mulai bisnis keluarga dan terus
berkembang sampai tahun 1980 dan saat itu saya sudah langsung dapat
menangkap maksud globalisasi, yaitu globalisasi dalam tenaga kerja,
globalisasi dalam permodalan dan globalisasi dalam berbisnis....”
(Wawancara Riady, 1 Juli 2010).

Oleh sebab itu, tidaklah heran jika pendiri perusahaan telah berhasil
mengembangkan perusahaannya dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan besar
berbentuk konglomerasi yang saat ini. Pelajaran penting tentang mengapa
perusahaan ini menjadi semakin tumbuh dan berkembang adalah kesadaran akan
pentingnya penciptaan nilai melalui inovasi dan adaptasi terhadap lingkungan yang
selalu berubah melalui aktivitas inovasi baik yang bersifat eksploratif maupun
eksploitatif. Hal ini tercermin dalam pandangan Riady tentang komitmen akan
adaptasi dan perubahan cara berpikir dalam memandang perusahaan. Seperti
diungkapkan dalam pernyataannya sebagai berikut:
“... Konsep bisnis keluarga itu menurut saya sangat tawar. Saya hanya
melihat sisi negatifnya. Bagi saya, bisnis harus dibesarkan. Namun, setelah
besar, jadikan milik masyarakat. Kalau diserahkan kepada keluarga maka
akan terjadi keributan yang berakhir pada hancurnya bisnis….Pengelolaan
perusahaan harus berdasarkan pada spesialisasi dan kompetensi bahkan
terobosan. Oleh sebab itu manajemen yang profesional menjadi
keharusan….Kalau perusahaan ingin berkembang maka harus diserahkan ke
publik....” (Riady, hasil wawancara pada Juli 2010, Lippo Karawaci).

“Being large and successful at one point in time is no guarantee of


continued survival”. Demikian hasil pengujian terhadap 266 perusahaan selama tahun

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
7

1984–2004 dengan temuan bahwa hanya sedikit yang sukses secara keuangan selama
periode tersebut (Tushman dan O’Reilly, 2007). Hal ini disebabkan karena umumnya
perusahaan tersebut semakin besar dalam hal ukuran tetapi menjadi semakin resisten
untuk berubah. Tushman dan O’Reilly menyebutkan kondisi ini sebagai cultural
inertia (1997). Yang menarik adalah bahwa kenyataan adanya perusahaan dengan
umur mencapai ratusan tahun (rata-rata 105 tahun) yang dapat bertahan karena
mampu beradaptasi dengan lingkungan. Umumnya berawal dari suatu jenis industri
tetapi kemudian saat ini berkompetisi dengan teknologi yang lain, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.1.
Makin luas jenjang hirarki dan span of control maka masalah koordinasi
dan motivasi yang dihadapi oleh pendiri perusahaan semakin nyata. The entrepreneur
as a business leader atau cognitive leaderhip membantu dalam mengelola perusahaan
dan menangani konflik yang terjadi. Dalam teori cognitive leaderhip peran pendiri
perusahaan dan entrepreneur menjadi kunci pembahasan (Scheer, 2009). Hal ini juga
terjadi di dalam konteks perusahaan konglomerasi Lippo Karwaci di mana isu
utamanya adalah bagaimana menyamakan pandangan dan kesamaan visi dari semakin
banyak kelompok kepentingan perusahaan seiring dengan semakin berkembangnya
perusahaan. Hal ini merupakan perhatian utama dari teori cognitive leadership yang
menekankan pentingnya penyampaian konsepsi bisnis pendiri perusahaan kepada
pengelola perusahaan.

Tabel 1.1. Long-Lived Firm That Have Changed Industries

Company Founded Original Product Current Business


Goodrich 1870 Fire Hose Aerospace
Nokia 1865 Lumber Mobile Phones
Harris 1895 Printing Press Electronics
3M 1902 Mining Office Supplies
Allied Signal 1920 Chemicals Aerospace
American Express 1850 Express Delivery Financial Services
Armstrong 1860 Cork Floor Coverings
J&J 1885 Bandages Pharmaceutical
Black & Decker 1910 Bottle Cap Mach Power Tools

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
8

Company Founded Original Product Current Business


Carlson 1938 Gold bond Stamps Travel
W.R. Grace 1854 Bat Guano Chemicals
Hasbro 1923 Carpet Remnants Toys
Ingram 1857 Sawmills Distribution
Sunbeam 1890 Horse clippers Appliances
ITT 1920 Phone Companies Insurance
Xerox 1906 Phiti and Paper Business Equipment
Vivendi 1853 Garbage Media
Tandy 1899 Leather Retail electronics
Marriot 1927 Root Beer Hotels
Southland 1927 Ice Retails Stores
Morton Intl 1848 Salt Air Bags
Nucor 1897 Automobile Mini-mill Steel

Sumber: Tushman dan O’Reilly (2007)

Data pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa organisasi yang dapat bertahan
dan berkembang hingga mencapai di atas 60 tahun bahkan ratusan tahun adalah
organisasi yang dapat menjadi ambidextrous. Hal menarik lainnya adalah kajian yang
dilakukan oleh Han dan Celly (2008), kajian ini merupakan kajian teoritis dan
empiris pertama kali yang menguji hubungan antara ambidexterity dan kinerja
perusahaan dengan mengambil sampel 70 international new venture (INV). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini mengaplikasi kapabilitas
dinamis dari strategic ambidexterity sehingga berhasil mewujudkan kinerja yang
superior.
Selain itu proses adaptasi secara evolusioner dalam periode yang panjang
juga dapat terlihat pada kasus perusahaan jam di Jepang dengan data perbandingan
dengan Switzerland (Tabel 1.2).
Tabel 1.2. Number of Firms and Workers in the Swiss Watch Industry

Year Number of Firms Employee


1945 2.500 80.000
1950 1.863 60.239
1955 2.316 70.026

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
9

Year Number of Firms Employee


1960 2.167 74.216
1965 1.927 83.922
1970 1.618 89.448
1975 1.169 62.567
1976 1.083 55.182
1977 1.021 54.825
1978 979 52.669
1979 867 46.716
1980 861 46.998
1982 730 38.200
1985 600 32.000

Sumber: Tushman dan O’Reilly (2007)

Demikian pula halnya dengan Lippo Karawaci, sejak penggabungan usaha


tahun 2004 untuk sinergitas perusahaan, kemudian diikuti pengembangan bisnis yang
signifikan baik dalam hal jumlah anak perusahaan maupun total aset. Pertumbuhan
perusahaan ini menimbulkan potensi cultural inertia seperti dikemukakan oleh
Tushman dan O’Reilly (1997). Umumnya perusahaan yang relatif stabil dan mapan
memiliki kecenderungan untuk dengan mudahnya menguasai kompetensi yang ada
(effective in establishing competitive advantage). Bertolak belakang dengan
perusahaan kecil yang dengan mudah mengidentifikasi peluang baru (effective in
identifying opportunity). Untuk konteks strategic entrepreneurship, suatu perusahaan
dituntut untuk melaksanakan kedua aktivitas ini secara simultan (Ireland, Hitt, Simon,
2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, yang menarik adalah perusahaan tidak
hanya dihadapkan kepada eksploitasi kompetensi yang sudah ada tetapi harus selalu
mencari peluang kompetensi yang baru. Kemampuan ini hanya dapat dicapai melalui
proses pembelajaran. Menurut Dodgson (1993) dalam Nguyen, Bin Hoa (2011),
terdapat dua jenis proses pembelajaran adaptif yaitu proses pembelajaran yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan kapabilitas yang ada (exploitation) dan proses
pembelajaran untuk mencari pengetahuan dan kompetensi baru (exploration). Hal ini

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
10

sesuai dengan pernyataan Jansen (2005) yang mengemukakan pentingnya setiap


perusahaan dapat melaksanakan aktivitas baik yang bersifat exploratory maupun
exploitative.
Proses pembelajaran yang adaptif merupakan aktivitas pengelolaan aset
sebagai sumber keunggulan bersaing perusahaan melalui ekpsloitasi kapabilitas dan
distinctive competencies. Pandangan ini menitikberatkan kepada kebutuhan untuk
mengeksploitasi dan mengatur hal yang sudah ada (produk, karyawan, nilai-nilai)
yang bersifat efisiensi, berubah dengan lambat dan berpikir konvergen untuk kinerja
jangka pendek. Sedangkan proses pembelajaran yang kedua menitikberatkan kepada
kebutuhan untuk melakukan inovasi secara eksploratif yang melibatkan usaha uji
coba, cepat belajar, dan berpikir divergen untuk mencapai sukses jangka panjang
(Gibson dan Birkinshaw 2004; March 1991; Tushman dan O'Reilly 1996). Untuk
mengatur kedua hal ini, pimpinan organisasi harus mampu secara simultan mengatur
logika-logika dominan yang saling bersaing tersebut (Prahalad dan Bettis, 1986),
melihat ke depan sekaligus melihat kebelakang (Gavetti dan Levinthal 2000),
sekaligus menciptakan kesempatan, dan juga kerangka yang mengancam (Gilbert,
2006).
Pada awalnya, kajian tentang ambidexterity seringkali memandang antara
aktivitas eksploitasi dan eksplorasi sebagai suatu pertukaran (trade off) tetapi
kemudian menggambarkan bahwa organisasi yang ambidextrous adalah organisasi
yang secara simultan dapat melakukan kedua aktifitas tersebut (Levinthal dan March,
1993, March 1991 dalam Raischt dan Probst, 2009). Perspektif ini juga
mengimplisitkan bahwa antara aktivitas eksploitasi dan eksplorasi bersifat
komplementer dalam hal learning outcome tetapi mutually exclusive dalam konteks
learning approach dan bersaing dalam hal sumber daya perusahaan. Penelitian akhir-
akhir ini menunjukkan potensinya sebagai pendekatan yang tepat dalam
meningkatkan kinerja perusahaan (He dan Wong 2004; Raisch dan Birkinshaw
2008). Ambidexterity menawarkan manfaat pembelajaran yang lebih baik karena
dapat menstimulir kecepatan pembelajaran dalam koridor eksploitasi dan eksplorasi
yang dapat menghasilkan kinerja pembelajaran yang lebih tinggi baik dalam jangka

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
11

panjang maupun jangka pendek (Smith dan Tushman 2005, Raisch dan Birkinshaw
2008; Raisch et al. 2009).
Ruang lingkup kajian tentang ambidexterity di dalam organisasi memiliki
empat jenis penekanan, yaitu diferensiasi dan integrasi, tingkat individual atau tingkat
organisasional, pendekatan statis versus dinamis, dan pandangan internal versus
eksternal. Raisht et al (2009) melihat diferensiasi merujuk kepada pemisahan dari
kegiatan eksploitasi dan explorasi ke dalam unit-unit organisasi yang berbeda,
sementara integrasi merujuk kepada mekanisme yang memungkinkan organisasi
untuk menggunakan aktivitas eksploitasi dan eksplorasi pada unit organisasi yang
sama. Sementara itu untuk penekanan di tingkat individual atau organisasional,
memperlihatkan bahwa ambidexterity biasanya digunakan untuk mendeskripsikan
mekanisme organisasional yang dapat memungkinkan terjadinya penggabungan
tersebut. Sementara beberapa studi lainnya mengindikasikan bahwa ambidexterity
berakar pada kemampuan individual untuk melakukan inovasi yang bersifat
eksplorasi dan eksploitasi. Penekanan dari aspek statis dan dinamis,Raisht et al
(2009) dalam kajian ambidextrous organization juga memperlihatkan jangkauan
solusi yang memungkinkan organisasi untuk secara simultan mengejar kedua
aktivitas tersebut, baik eksplorasi dan juga eksploitasi. Kedua hal ini yang kemudian
membuat organisasi menjadi lebih dinamis. Terakhir adalah penekanan pada
pandangan internal dan eksternal organisasi, dimana penelitian ambidexterity
organization berfokus pada bagaimana organisasi menggunakan aktivitas eksplorasi
dan eksploitasi secara internal, yang kemudian diperkuat oleh adanya studi mengenai
kapabilitas dinamis yang memperlihatkan inter relasi antara proses pengetahuan
internal dan eksternal yang memainkan peranan penting dalam pembaharuan suatu
perusahaan.
Kajian empiris lainnya yang membuktikan adanya kaitan antara
ambidexterity dengan firm performance ditunjukkan dalam gambar 1.1. di bawah ini.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
12

Sumber: Ramachandran (2012)


Gambar 1.1. Framework for Impact of Top Management Team Composition
on Ambidexterity Configuration and Firm Performance

Ambidexterity dalam organisasi merupakan proses pembelajaran, karena


tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba. Peneliti memandang bahwa proses
pembelajaran ini dilakukan oleh orang-orang yang terdapat di dalam organisasi. Oleh
sebab itu penulis memandang real world sebagai human activity system. Pemilihan
Soft System Metodologi based AR continuum digunakan untuk menganalisis lebih
jauh tentang bagaimana proses pembelajaran yang terjadi dalam membangun
strategic dan contextual ambidexterity. Menurut Checkland dan Poulter (2006), Soft
System Metodologi based AR continuum berada dalam continuum of imperatives
between ssm (p) dan ssm (c). Lebih lanjut dikemukakan bahwa ssm (p) terkait dengan
bagaimana mengerjakan suatu kajian (intervention) sementara ssm (c) terkait dengan
konten situasi permasalahan (interaction). Sedangkan Checkland dan Scoles (1990)
menjabarkan posisi kedua kontinum dalam konteks memperlakukan SSM sebagai
suatu proses pembelajaran atau “proses penggunaan model” (Mode 1 = intervention
= enquiry) dan mengerjakan pekerjaan menggunakan SSM atau “konten situasi
problematik” (Mode 2 = interaction = learning). Gambar 1.1 (Lampiran) akan
mempermudah dalam melihat perbedaan antara kedua mode tersebut.
Sedangkan menurut Checkland dan Scholes, Mode 1 merupakan aplikasi
formal stage-by-stage yang digunakan untuk menginvestigasi dari bagian luar
perubahan (flux) pada struktur investigasi atau penyelidikan. Sedangkan, Mode 2

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
13

merupakan penggunaan internal mental (mental internal use) pada mode (kondisi)
pemikiran. Mode 2 dimulai dari bagian dalam perubahan (flux) yang digunakan
untuk membangun pengertian (sense) akan suatu pengalaman (Scholes, 1987). Lebih
lanjut lagi, Mode 2 dianggap tidak “mengoperasikan tahapan” dari SSM, tetapi
digunakan untuk menyediakan cara-cara yang koheren dalam keterlibatan pemecahan
masalah (problem solving involvement) pada perubahan (flux). Secara singkat,
Checkland dan Scholes (1990) menamakan Mode 1 sebagai “intervensi” dan Mode 2
sebagai “interaksi”.
Dalam konseptualisasinya, tipe ideal Mode 1 menggunakan kerangka kerja
dari suatu gagasan sistem (systems ideas) yang diwujudkan dalam SSM (the seven
stages model). Mode 1 juga menggunakan urutan (streams) logika dan budaya pada
investigasinya untuk menyelidiki dan meningkatkan beberapa bagian pada dunia
nyata (real world). Selain itu, tipe ideal Mode 2 menggunakan SSM itu sendiri
sebagai kerangka kerja gagasan (framework of ideas). Mode 2 menggunakan SSM
sebagai metodologi dan refleksi yang disadari pada perubahan gagasan dan peristiwa.
Fokus Mode 2, yaitu menyelidiki proses pembelajaran sebagai peningkatan pada
situasi problematik (problem situations).
Penelitian ini berada pada area kontinum antara kedua mode tersebut seperti
di ilustrasikan dalam Gambar 1.3 (Lampiran). Hal ini ditunjukkan dengan pertanyaan
penelitian yang mengekspresikan bahwa proses pembelajaran yang terjadi itu
melibatkan tidak hanya peneliti tetapi juga kesepakatan dengan pemangku
kepentingan yang terlibat.
Sedangkan yang dimaksud dengan multi metode dalam penelitian ini adalah
bahwa hasil dari cognitive mapping akan dipergunakan untuk memperkaya analisis
debating di tahap ke-5 dari SSM Based A/R. Penggunaan kedua metode ini terlihat
dalam debating yang menggunakan baik refleksi atas teori, cognitive mapping
maupun refleksi individual understanding peneliti sekaligus pemahaman dari
problem owner.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
14

1. 2. Perumusan Masalah
Seiring dengan semakin tumbuh dan berkembangnya perusahaan maka
semakin meningkat pula potensi structural inertia dan cultural inertia yang dapat
menjadi potensi kendala dalam mengantisipasi perubahan lingkungan (Tushman dan
O’Reilly, 1997). Seperti yang dinyatakan oleh Smith (2005), perkembangan suatu
perusahaan dipengaruhi oleh kapabilitas seorang pemimpin atau pimpinan dalam
menghadapi perubahan lingkungan yang turbulen. Oleh sebab itu, peran peneliti
memandang pentingnya pemahaman pendiri perusahaan mengenai bagaimana
merumuskan keunggulan bersaing perusahaan. Pimpinan bisnis memiliki pengaruh
dalam membentuk kapabilitas dinamis pimpinan pada tataran strategis.
Peran sebagai entrepreneur as a business leader menjadi penting manakala
perusahaan sudah mencapai tahapan pertumbuhan dan semakin besar baik dalam
jumlah maupun ukuran kekayaan. (Scheer, 2009). Pemahaman pendiri dan pemilik
perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing berperan penting dalam
perkembangan perusahaan selama ini. Pemahaman pendiri dan pemilik perusahaan
tentang perumusan keunggulan bersaing akan digambarkan dalam peta kognitif.
Penelitian ini tidak bermaksud memberikan pijakan empiris variabel-variabel tertentu
yang berperan dalam menciptakan keunggulan bersaing perusahaan dan juga mampu
memberikan jalan dalam membangun ambidexterity. Mengutip pendapat Alvarez dan
Busenitz (2001), entrepreneurship memiliki unit analisis sumber daya (resources)
dan sekaligus memiliki empat elemen yang menjadi karakteristik unik seorang
wirausahawan, yaitu: kognisi (Entrepreneur Cognition), penemuan (Entrepreneurial
Discovery), peluang pasar (Market Opportunities), dan koordinasi pengetahuan
(Coordinating Knowledge). Hal ini berbeda dengan Penrose dalam Barney (2007)
yang menyatakan bahwa entrepreneurship adalah bagian dari intangible assets
sumber daya tidak berwujud.
Seperti halnya Alvares dan Busenitz, maka Chandler & Hanks (1994)
maupun Brush et al (2001) mengeksplorasi bagaimana individu entrepreneur dapat
memisahkan serangkaian sumberdaya yang beragam (heterogen) sehingga secara

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
15

berulang-ulang perusahaan dapat menciptakan peluang entrepreneurial yang langka.


Oleh karena sumber keunggulan bersaing yang dipotret oleh peneliti adalah aset yang
dimiliki oleh perusahaan maka proses pembelajaran internal menjadi penting dalam
membangun kompetensi yang ada serta mencari peluang kompetensi yang baru.
Sumber daya perusahaan ditengarai merupakan faktor yang dapat
memoderasi efek ambidexterity dalam organisasi sehingga memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja perusahaan (Kyriakopoulos & Moorman, 2004;
Venkatraman et al., 2007). Perusahaan dengan sumber daya yang kaya memiliki
kemampuan untuk melakukan exploratory innovation dan exploitative innovation
secara simultan, sedangkan perusahaan dengan sedikit sumber daya mungkin akan
lebih sulit menerapkan strategi ini. Serupa dengan dengan apa yang dikemukakan
oleh Lubatkin et al. (2006) yang menyatakan bahwa perusahaan yang kecil “lack the
amount of slack resources and the kind of hierarchical administration systems that
can help or impede larger firms in managing their contradictory knowledge
processes and, thus, affect the attainment of ambidexterity” (2006).
Kajian serupa dilakukan oleh Ireland (2001) mengenai penciptaan
kesejahteraan yang merupakan inti dari entrepreneurship dan manajemen stratejik.
Menurutnya, para manajer dan entrepreneur yang mengintegrasikan antara
entrepreneurship dengan aksi manajemen stratejik melalui domain inovasi, network,
internalization, organizational learning, top management team and governance and
growth. Lebih jauh Ireland menyebutkan konsep Strategic Entrepreneurship (SE)
yang merupakan alignment antara entrepreneurship dengan manajemen stratejik
sehingga dalam SE maka terjadi aktifitas yang simultan antara opportunity-seeking
dan advantage seeking behaviors yang memberikan dampak kepada kinerja
perusahaan.
Pentingnya pengelolaan sumber daya secara strategis ini merupakan intisari
konsep strategic entrepreneurship yang dikemukakan oleh Ireland (2001) dan
kemudian Tushman dan O’Reilly (1996) menekankan pentingnya inovasi di dalam
pengelolaan sumber daya yang strategis tersebut secara seimbang. Hal ini sekaligus
menuntut perseroaan untuk dapat selalu dapat mengindentifikasi dan memanfaatkan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
16

peluang yang ada untuk melakukan inovasi. Inovasi yang terjadi ini kemudian harus
diinternalisasi di dalam perseroan melalui proses pembelajaran yang
berkesinambungan pada semua tataran di lingkungan perseroan.

Gambar 1.2 Managerial Paradox


Sumber : Tushman (2005)

Konsep ambidexterity yang diperkenankan oleh Duncan (1996), kemudian


diperdalam oleh Tushman dan O’Reilly (1997) tercermin melalui organisasi yang
memiliki kemampuan untuk menjadi efisien dalam manajemen bisnis saat ini dan
menjadi adaptable dalam menghadapi tantangan di masa depan. Ambidexterity
organization mensyaratkan organisasi untuk menggunakan baik kemampuan
eksplorasi maupun eksploitasi untuk meraih kesuksesan.
Terkait dengan peran pendiri perusahaan yang strategis di dalam
mewujudkan keunggulan bersaing perusahaan melalui praktek ambidexterity maka
penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembelajaran dalam bentuk;


a. strategic ambidexterity melalui dynamic capability dapat menghasilkan
penyeimbangan antara integrasi dengan diferensiasi?

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
17

b. strategic ambidexterity melalui top management team cognition yang


dapat menghasilkan rekombinasi dan rekonfigurasi aset?
c. contextual ambidexterity melalui struktur formal sehingga dapat
menghasilkan performance based culture yang kuat yang didorong oleh
penegakan peraturan?
d. contextual ambidexterity melalui sistem nilai dan budaya sehingga dapat
menghasilkan integrasi nilai budaya dan norma organisasi sebagai
referensi bersama?
Proses pembelajaran praktek ambidexterity ini berlangsung secara partisipatif
dan berbasis budaya sebagai wujud keunggulan bersaing perusahaan yang berada
dalam sistem terbuka yang rumit dan kompleks yang berbentuk serba sistem
aktivitas manusia.

2. Bagaimana dinamika implikasi cognitive map (CM) dari pendiri kelompok usaha
Lippo Karawaci dapat memperkaya praktek ambidexterity sehingga pembelajaran
yang terjadi memenuhi kriteria logis secara sistemik, dapat disepakati di antara
peneliti dan pemangku kepentingan pada Lippo Karawaci untuk mencapai
keunggulan bersaing perusahaan?

1. 3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk menganalisis proses pembelajaran pada;
a. strategic ambidexterity melalui dynamic capability yang dapat
menghasilkan penyeimbangan antara integrasi dengan diferensiasi.
b. strategic ambidexterity melalui top management team cognition yang
dapat menghasilkan rekombinasi dan rekonfigurasi aset.
c. contextual ambidexterity melalui struktur formal sehingga dapat
menghasilkan performance based culture yang kuat yang didorong oleh

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
18

penegakan peraturan.
d. contextual ambidexterity melalui sistem nilai dan budaya sehingga dapat
menghasilkan integrasi nilai budaya dan norma organisasi sebagai
referensi bersama.

2. Untuk menjelaskan tentang implikasi cognitive map (CM) dari pendiri kelompok
usaha Lippo Karawaci di dalam memperkaya praktek ambidexterity sehingga dapat
memenuhi kriteria logis secara sistemik, dapat disepakati di antara peneliti dan
pemangku kepentingan pada Lippo Karawaci untuk mencapai keunggulan bersaing
perusahaan.

1.4. Batasan Masalah


Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Kajian ini mengambil rujukan penelitian Lippo Karawaci dengan pengayaan
multimethodology melalui aplikasi soft systems methodology (SSM) dan
cognitive mapping (CM). Konsep ambidexterity perusahaan merupakan F
(conceptual framework) yang dibahas dan dipilih pada saat selecting, naming
relevant systems adalah Strategic Ambidexterity dan Contextual
Ambidexterity. SSM dilakukan dengan pentahapan secara sistematik yang
memenuhi syarat recoverability sebagaimana ditekankan oleh Checkland dan
Poulter (2006). Pemenuhan syarat recoverability ini dimaksudkan untuk
menjamin kualitas data seperti halnya triangulasi data riset arus utama ilmu
sosial. Tetapi hasil dari riset aksi berbasis SSM ini, tidak dapat digeneralisasi
dalam pengertian repeatability berdasarkan arus utama sosial science
methodologies. (Fitriati, Hardjosoekarto, 2012).
2. Pilihan kajian ini menggunakan SSM-based action research continuum dual
imperatives (Checkland, 1981, 1990, 2006; Uchiyama, 1999, Hardjosoekarto,
2012) yang menggabungkan tipe problem solving dan research interest
(Checkland dan Scholes, 1990). Pilihan ini berimplikasi kepada perubahan
systematically desirable, culturally feasible (Flood dan Jackson, 1991), yaitu

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
19

pertimbangan di antara para peneliti dan juga pada pemilik masalah (problem
owner). Peneliti terdiri dari practitioner SSM sebagai first person, bersama
academic advisors dan academic reviewers yang melakukan pemetaan
masalah dan melakukan dialog untuk menghasilkan perbaikan melalui
partisipasi pemangku kepentingan sebagai wujud serba sistem aktivitas
manusia dengan pengalaman berbasis pengetahuan (experience based
knowledge) yang bergerak antara reality dan actuality (Uchiyama, 2009).
Oleh karena itu, SSM practitioner terlibat langsung bersama objek penelitian
untuk mendapatkan some feeling dari lapangan, bukan sekedar menjadi
observer (Uchiyama, 2009).
3. Sedangkan metode yang kedua yaitu menggunakan metode peta kognitif
(cognitive map) panduan dari Ackerman (2002) yang dikonversikan menjadi
system dynamics melalui simulasi abstrak dengan metode NUMBER.
Pemahaman Riady dalam merumuskan keunggulan bersaing perusahaan
dibatasi pada keunggulan bersaing Lippo Karawaci. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar
dalam kelompok usaha terbesar yang dimiliki Riady. Lippo Grup merujuk
kelompok perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga Riady.
Keterkaitan Lippo Karawaci dengan Riady sebagai wirausahawan terletak
pada perilaku entrepreneur yang relevan dalam memberikan panduan dan
arahan kepada manajemen Lippo Karawaci.
4. Periode penelitian ini adalah sejak Juli 2010 sampai November 2012.

1. 5. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai, maka penelitian ini
diharapkan dapat memberikan dua manfaat sebagai berikut:
1. Teoritis: Penelitian ini memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang
kebijakan dan administrasi bisnis, khususnya terkait dengan membangun
ambidexterity strategis dan kontekstual di dalam perusahaan untuk
menciptakan keunggulan bersaing. Kajian tentang ambidexterity dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
20

kaitannya dengan keunggulan bersaing umumnya menggunakan pendekatan


positivist sedangkan dalam penelitian ini memperlakukan dunia nyata sebagai
human activity systems. Pendekatan yang digunakan membuat hasil kajian
bersifat experienced-based knowledge. Oleh sebab itu, kontribusi penelitian
ini adalah memberikan contoh praktek terbaik bagi perusahaan untuk
membangun ambidexterity pada ranah strategis dan kontekstual. Yang
dibangun adalah proses pembelajaran secara partisipatif sehingga menuju
keseimbangan antara exploitative innovation dan exploratory innovation.
Disertasi ini memiliki novelty yang khas karena menggunakan multi
methodology dalam analisisnya, yaitu SSM based AR dan CM sebagai bagian
continuum of imperatives between SSM (P) dan SSM (C) versi Checkland dan
Poulter atau Mode 1 (Intervention) dan Mode 2 (Interaction) versi Checkland
dan Scholes. Hal ini membuat kontribusi ilmiah dalam menyediakan jalan dan
konteks yang dapat memfasilitasi terbangunnya ambidexterity dalam
perusahaan.
2. Praktis: Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perusahaan dalam
rangka penyempurnaan praktik aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di dalam
perusahaan. Penelitian ini juga dimaksudkan sebagai best practice bagi
perusahaan lain yang memiliki karakteristik serupa dalam rangka
mengantisipasi kebutuhan dan tantangan di masa mendatang. Hasil penelitian
secara khusus memang ditujukan untuk melihat pentingnya peran pendiri
perusahaan dan organisasi ambidexterity pada perusahaan swasta, tetapi tidak
menutup kemungkinan penerapannya bagi organisasi lain umumnya. Dari sisi
manajerial, penelitian ini merupakan penelitian tindakan untuk mewujudkan
perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing melalui proses pembelajaran
yang partisipatif. Selain itu, hasil penelitian ini memberikan jalan bagi
perusahaan untuk menyediakan konteks yang memungkinkan bagi karyawan
melakukan aktivitas yang exploratory innovation dan exploitative innovation.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB II
KERANGKA TEORI

Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini tertuang di dalam


Gambar 2.1 di bawah ini. Kerangka berpikir ini dibangun untuk menganalisis tentang
keunggulan bersaing perusahaan yang dibangun berdasarkan teori dan tinjauan
literatur dari ranah entrepreneurship, strategic management, strategic
entrepreneurship dan ambidexterity.

ENTREPRENEURSHIP AMBIDEXTERITY
(Ireland, 2001; Alvarez & (Duncan, 1976; Tushman &
Busenits, 2001) O’Reilly, 1997)

Wealth
Strategic Creation
Entrepreneurial Ambidexterity
Mindset Smith, 2005;
Teece, 2009)
Managing
Resource
Strategically Competitive
(Ireland, 2001; Barney Applying Advantage
and Clark, 2007) Creativity and
Developing
Entrepreneurial Innovation
Culture

Entrepreneurial
Leadership
(Scheer, 2009) Contextual
Ambidexterity
(Guttel & Konlechner,
2009)

Sumber: Ireland (2001), Smith (2005), Barney dan Clark (2007), Teece (2009), Scheer (2009), Guttel
dan Konlechner (2009), telah diolah kembali (2012)

Gambar 2.1. Kerangka Teori yang digunakan

21 Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
22

2.1. Tangible and Intangible Assets


Keberadaan teori perusahaan disebabkan karena kebutuhan akan jawaban
mengapa perusahaan berkembang seiring masyarakat yang tumbuh, apa fungsi
perusahaan, sampai di mana batasan perusahaan hingga kinerja perusahaan. Literatur
awal yang mengkhususkan pembahasannya pada proses pertumbuhan perusahaan dan
sampai batas apa dapat bertumbuh diinisiasi oleh ekonom Edith Penrose (1959)
melalui buku klasiknya The Theory of the Growth of the Firm. Dalam
perkembangannya, jawaban Penrose melalui buku tersebut kurang memadai. Teori
perusahaan harus dapat menjelaskan mengapa suatu perusahaan menjadi lebih unggul
dari pada perusahaan lainnya sehingga dapat ditemukan implikasi praktis bagi para
manajer untuk melakukan perbaikan. Inilah yang menjadi cakupan para behavioralis.
Gambaran yang lebih detail terlihat manakala pembahasan tentang
perusahaan menggunakan kerangka solusi kontrak untuk mengelola hubungan dalam
kaitannya dengan biaya transaksi, hak kepemilikan dan biaya keagenan. Perspektif
ini sudah dapat memberikan gambaran yang jelas tentang alasan keberadaan
perusahaan, cakupannya sampai pengelolaan internal. Hal ini rupanya belum mampu
menjawab pertanyaan mengapa terjadi perbedaan kinerja di antara berbagai
perusahaan.
Perkembangan berikutnya, memberikan kontribusi yang signifikan dalam
memahami kinerja yang berbeda antar perusahaan. Perusahaan dipandang sebagai
kumpulan sumber daya sehingga konfigurasi dan sinergi berbagai sumber daya dalam
suatu perusahaan dapat menciptakan nilai yang tinggi dibandingkan jika dikelola
secara terpisah. Lebih jauh lagi, teori perusahaan untuk kepentingan analisis strategi
perusahaan harus dapat menjelaskan tentang apa yang mendorong kinerja perusahaan
secara keseluruhan. Oleh sebab itu, sangat perlu untuk mengeksplorasi sumber lain
yang berbeda untuk menghasilkan penciptaan nilai melalui peningkatan keuntungan
bagi pelanggan, inovasi, diferensiasi, efisiensi perusahaan, dan bahkan mereduksi
biaya yang dikeluarkan pelanggan. Inilah yang menjadi cakupan manajemen strategis
karena secara khusus membahas tentang pemahaman atas kinerja perusahaan dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
23

keberlangsungannya suatu perusahaan dibanding pesaingnya. Tabel 2.1 menyajikan


perbandingan beberapa teori perusahaan.

Tabel 2.1. Perbandingan Teori Perusahaan


Theory of
Definitions Role Scope Performance
the firm
Production Supply of products and Production cost
Neoclassical Technology
function services and market power
Rationally
Effectiveness of
Decision Coordination bounded
internal structure
Behavioral Making specialized units decision of
to deal with the
Process through information management
environment
coalition
Total cost,
Nexus of Governance structure of
Contracting Transaction cost especially
contract transaction
transaction cost
Resource
Collection or Relatedness
Develop and exploit characteristic
Resource resources among
available resources especially
under ome resources
uniqueness
Replicability and
Independent Value creation for Value specificity
substitutability of
Value competitive customer and its capture across resource
resource
unit by firm owner combination
combination
Sumber: Becerra, 2009.

Seperti sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa tujuan utama dari
setiap perusahaan adalah menciptakan nilai. Penciptaan nilai dapat dilihat dari
berbagai dimensi, salah satunya adalah bagaimana menciptakan nilai dari sumber
daya yang dimiliki oleh perusahaan. Perbedaan jenis sumber daya yang ada dalam
perusahaan sebenarnya dapat digambarkan dan akan sangat membantu untuk
menjelaskan luasnya cakupan berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu
perusahaan. Dalam berbagai kajian manajemen stratejik, sayangnya usaha ini
seringkali menimbulkan “efek samping” misalnya cara pandang baru dalam hal
menganalisis sumber daya dianggap sebagai teori baru dalam persistensi kinerja
superior. Dalam berbagai kajian manajemen stratejik terdapat terminologi seperti
resource based theory of superior performance, capability theories of superior firm

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
24

performance, dynamic capability theories of superior performance, competence


theories of superior performance dan knowledge based theories of superior
performance. Konsepsi tersebut sesungguhnya memiliki perbedaan cara untuk
memandang atribut perusahaan, hal ini berarti semua gagasan tersebut masih dalam
kerangka yang sama. Semuanya berfokus pada jenis atribut perusahaan yang
berfungsi sebagai variabel independen yang kritis yang akan menghasilkan kinerja
perusahaan di atas rata-rata industrinya.
Sebuah perusahaan dikatakan dapat menciptakan keunggulan bersaing
manakala dapat menciptakan nilai lebih dari pada rata-rata perusahaan dalam
industrinya. Perusahaan dikatakan memiliki keunggulan bersaing manakala
“keunggulan tersebut tidak dapat ditiru oleh perusahaan lainnya”. Hal ini tentunya
berdasarkan asumsi bahwa aset perusahaan bersifat heterogen dan stasioner.
Tentunya tidak semua aset tersebut memiliki potensi keunggulan bersaing. Aset yang
memiliki potensi untuk dapat dieksploitasi menjadi keunggulan perusahaan harus
memiliki sifat-sifat sebagai berikut (VRIO Framework) (Barney dan Clark, 2007):
a. Value (V): Bersifat berharga dalam arti sumber daya tersebut dapat membuka
peluang bagi organisasi atau bahkan menetralisasi ancaman bagi organisasi;
b. Rarity (R): Bersifat langka dalam arti sumber daya tersebut merupakan
sesuatu yang tidak biasa dibandingkan dengan sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan lainnya;
c. Immitability (I): Sangat sulit ditiru oleh perusahaan lain. Hal ini disebabkan
karena masing-masing perusahaan memiliki kondisi sejarah yang unik dan
berbeda;
d. Organization (O): Terkait dengan apakah kebijakan dan prosedur dalam
perusahaan memungkin organisasi dapat melakukan eksploitasi terhadap
sumber daya yang bernilai, langka dan sulit ditiru oleh perusahaan lain.
Keterkaitan antara semua sumber daya dalam organisasi sebagai sumber
untuk menghasilkan keunggulan bersaing digambarkan dalam kerangka VRIO seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Semua sumber daya perusahaan dengan atribut
seperti di atas ini akan menjadi sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan apabila

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
25

dapat dikelola dengan tepat. Proses pengelolaan dalam organisasi harus


mengakomodasi keempat kondisi sumber daya yang memiliki sifat-sifat seperti
tersebut di atas, sehingga dapat menghasilkan keunggulan bersaing yang diinginkan.
Menurut Barney dan Clark (2007) terdapat sejumlah komponen dalam organisasi
yang mempengaruhi proses ini antara lain: struktur organisasi formal, sistem kendali
manajemen, dan kebijakan kompensasi pegawai. Ketiga komponen ini seringkali
disebut sebagai sumber daya komplementer dan kapabilitas. Gambar 2.2
memperlihatkan kerangka yang menggambarkan hubungan antara sumber daya dalam
organisasi dan kapabilitasnya dalam mengelola sumber daya tersebut.

Sumber: Jay Barney and Delwyn Clark (2007)

Gambar 2.2. Hubungan antara Firm Resources, Organisasi, dan Keunggulan Bersaing

Untuk menganalisis bagaimana membangun keunggulan bersaing


perusahaan maka perlu untuk mengidentifikasi kondisi dasar perusahaan berdasarkan
kerangka VRIO yang terdiri atas dua hal yaitu: heterogenitas sumber daya perusahaan
dan immobility sumber daya perusahaan. Heterogenitas dan immobility adalah syarat
perlu (necessary) namun belum cukup (sufficient) bagi perusahaan memiliki
keunggulan bersaing yang sinambung (Alvarez dan Busenitz, 2001). Selanjutnya
untuk menggambarkan kaitan sumber daya perusahaan, dukungan organisasi,
implikasi kompetitif dan kinerja organisasi yang penulis ilustrasikan melalui Gambar
2.3 (Lampiran Bab 2).
Kerangka VRIO dapat digunakan untuk melakukan analisis internal untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam organisasi. Tabel 2.2 merupakan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
26

panduan untuk melakukan evaluasi sumber daya perusahaan (firm’s resources)


dengan menggunakan kerangka VRIO dari Jay Barney dan Delwyn Clark (2007).
Tabel 2.2. Evaluasi Sumber Daya Perusahaan

Tangible Resources
Firm’s cash and cash equivalents
a.
Financial Firm’s capacity to raise equity
b.
Firm’s borrowing capacity
c.
Modern plant and facilities
a.
Physical Favorable manufacturing locations
b.
State-of-the-art machinery and equipment
c.
Trade secrets
a.
Technological Innovative production processesatents, copyrights,
b.
trademarks
a. Effective strategic planning process
Organizational
b. Excellent evaluation and control systems
Intangible Resources
a. Experience and capabilities of employees
b. Trust
Human
c. Managerial skills
d. Firm-specific practices and procedures
Innovation and a. Technical and scientific skills
Creativity b. Innovation capacities
a. Brand name
b. Reputation with customers for quality and reliability
Reputation
c. Reputation with suppliers for fairness, non-zero-sum
relationships
Organizational Capabilities
a. Firm competences or skills the firm employs to transfer inputs to outputs
b. Capacity to combine tangible and intangible resources, using firm processes to
attain desired end.
Examples
a. Outstanding customer service a. Innovativeness or products and
b. Excellent product development services
capabilities b. Ability to hire, motivate, and retain
human capital
Sumber: Jay Barney and Delwyn Clark (2007).

Beberapa pertanyaan kunci yang dapat dikembangkan untuk menganalisis


internal perusahaan berdasarkan kerangka VRIO juga telah dilakukan oleh
O’Riordan digambarkan dalam Tabel 2.3 (Lampiran Bab 2).
Pembahasan dari sisi rarity terkait dengan karakteristik kemampuan
perusahaan yang terkait dengan kemampuan yang jarang dimiliki oleh perusahaan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
27

lain. Kondisi ini dapat membawa perusahaan untuk menguasai pasar di area yang
dimasukinya. Penguasaan tidak perlu bersifat monopoli tetapi kemampuan
perusahaan sulit ditemui di perusahaan pesaing lainnya. Hal ini akan menyebabkan
perusahaan ini menjadi perusahaan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Satu hal penting lainnya bahwa karakteristik kemampuan perusahaan tidak
dapat ditiru dengan sempurna oleh perusahaan lain. Hal ini berarti bahwa perusahaan
lain akan sangat sulit melakukan replikasi kecuali dengan biaya dan usaha yang extra
ordinary dan mengeluarkan biaya yang sangat besar sehingga dapat mengganggu
jalannya perusahaan. Jika kemampuan yang tidak tergantikan ini dimiliki oleh
perusahaan maka keberadaan perusahaan dalam area yang dimasukinya menjadi
sangat penting karena tidak ada yang dapat menggantikan perannya. Kondisi ini
sekaligus menjadi penghalang bagi perusahaan pesaing untuk memasuki area yang
sudah dikuasai tersebut.
Setelah karakteristik kemampuan perusahaan sudah dapat diidentifikasi
maka dimensi yang keempat yaitu organisasi berbicara tentang karakteristik
organisasi yang dilihat dari apalah insentif, struktur serta budaya organisasi bersifat
konvergen sehingga mampu memberikan dukungan bagi orang-orang yang ada untuk
mengeksploitasi sumber daya yang ada. Hal yang menarik adalah bisa saja terjadi
bahwa yang menjadi keunggulan komparatif dari suatu perusahaan adalah
karakteristik organisasinya yang diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.

2.2. Teori Dinamika Kapabilitas


Tinjauan literatur berikutnya yang menjadi bangunan teoretis penelitian ini
adalah teori dinamika kapabilitas dari Gary Hamel dan CK Prahalad (1994). Hamel
dan Prahalad melalui serangkaian makalah yang terbit pada akhir 1980an
berakumulasi pada penerbitan buku magnum opus keduanya: Competing for the
Future . Dalam artikel Prahalad dan Hamel (1990) mengelaborasi lebih jauh tentang
kompetensi inti (core competence) yaitu suatu faktor spesifik yang dimiliki
perusahaan dan sentral bagi perusahaan sendiri maupun para pekerjanya, dengan
meliputi kriteria tertentu sebagai berikut:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
28

1. Kompetensi inti tidak mudah bagi pesaing dalam mengimitasi atau


menirunya.
2. Kompetensi inti dapat dipergunakan kembali secara luas bagi banyak produk
dan pasar yang dilayani.
3. Kompetensi ini perlu dirasakan oleh konsumen akhir saat mengonsumsi
produk barang atau jasa hasil karya perusahaan.

Karakteristik kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1990) beririsan dekat
dengan adanya aspek imitabilitas atau tingkat kesulitan pesaing dalam melakukan
duplikasi produk akhir, proses bisnis maupun model bisnis yang unik sehingga
pesaing tidak mampu mengimitasi sumber keunggulan bersaing perusahaan tersebut.
Hamel dan Prahalad (1990) juga mengenalkan konsep kunci lainnya di antaranya
strategic intent, strategi sebagai bentangan (strech) dan pengungkit (leverage) yang
membangun teori dinamika kapabilitas, dimana Mintzberg et al (1998)
mengklasifikan Hamel dan Prahalad dalam mazhab pembelajar (learning school).
Strategi dalam perspektif learning school adalah proses pembelajaran kolektif yang
bertujuan untuk membangun dan memaksimalkan kompetensi distinktif yang tidak
mudah untuk ditiru.
Setiap organisasi bisnis tentunya memiliki visi yang hendak diraih melalui
misi yang implementatif sehingga mampu meraih visi yang dibuat oleh pendirinya.
Dalam konteks pencapaian visi perusahaan, strategic intent menjabarkan posisi
kepemimpinan perusahaan dalam kancah persaingan industri. Selain menjabarkan
posisi kepemimpinan perusahaan, strategic intent juga merefleksikan gambaran masa
depan perusahaan yang ingin diwujudkan di masa mendatang. Terakhir, strategic
intent memberikan panduan bagi perseroan dalam rangka menciptakan adanya suatu
kesatuan dan koheren antar unit organisasinya, sehingga sense of direction muncul di
dalam setiap anggota organisasi tentang kemana organisasi akan dibawa.
Konsep terakhir yang dikonsepsikan kedua guru manajemen tersebut adalah
bentangan (strech), yaitu kecocokan antara sumber daya yang dimiliki perusahaan
(resources) dengan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah lingkungan internal

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
29

perusahaan. Hamel dan Prahalad mencatat banyak perusahaan ingin menjadi nomor
wahid di antara para pesaingnya diberkahi oleh warisan berharga (endowment) namun
kekurangan bentangan (strech) di dalam aspirasi yang berkembang di internal
perusahaan. Adapun leverage atau pengungkit, dalam terminologi keuangan
perusahaan, dinisbahkan ke dalam konsep hutang. Namun leverage yang dimaksud
kedua penulis ini adalah upaya perusahaan mengungkit sumber daya perusahaan ke
posisi yang lebih tinggi daripada posisi yang dapat dicapai tanpa pengungkit.
Kompetensi inti yang dimiliki individu maupun organisasi, di banyak
organisasi telah memiliki kerangka kerja kompetensi yang memberikan tingkat
kemampuan individu terhadap performa (kinerja) karyawan yang dapat diukur.
Muara dari kompetensi inti adalah kapabilitas organisasional yang dinamis. Menurut
mazhab pembelajar ini, kapabilitas adalah sekumpulan keterampilan, kemampuan,
dan keahlian yang dimiliki berwujud dalam aset intangible, yang bila mana well
managed akan menjadi sumber daya berharga pembeda dari para pesaing (Stanford,
2007).
Kritik paling dominan bagi teori dinamika kapabilitas bermuara pada dua
isu diantaranya: pertama, mazhab pembelajaran ini dianggap tidak mempunyai
strategi spesifik yang membedakan perusahaan dari pesaingnya, tidak seperti strategi
generik Porter yang mempreskripsikan tiga strategi generik. Kedua, orientasi internal
melalui jargon kompetensi inti, kapabilitas dinamik, strategic intent, strategi sebagai
bentangan dan ungkitan tidak menjamin perusahaan memiliki segala jawaban
terhadap dinamika lingkungan eksternal yang berubah dengan cepat.

2.3. Kapabilitas Organisasi


Dalam resource based view, kapabilitas organisasi dapat menjadi sumber
dari keunggulan kompetitif (Barney dan Clark, 2007). Sumber keunggulan kompetitif
meliputi: 1) budaya (culture); 2) kepercayaan (trust); 3) sumber daya manusia
(human resources); dan 4) teknologi informasi (information technology).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
30

Pertama, budaya (culture) dalam suatu organisasi dapat menjadi sumber


keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Budaya perusahaan adalah suatu kumpulan
nilai yang kompleks, kepercayaan, asumsi, dan simbol-simbol yang mendefinisikan
arah bisnis perusahaan (Smircich, 1983). Dengan demikian, suatu budaya oganisasi
tidak hanya menjelaskan siapa pegawai, pemasok, pelanggan, dan pesaing yang
relevan bagi perusahaan, melainkan juga bagaimana perusahaan akan berinteraksi
dengan aktor-aktor kunci (Louis 1983; Schein 1999). Suatu perusahaan yang
memiliki keunggulan bersaing adalah pada saat perusahaan menciptakan nilai
ekonomis yang lebih besar daripada marjinal perusahaan dan akan berkelanjutan
(sustainable) pada saat usaha untuk mengulang proses penciptaan nilai tersebut tidak
ada.
Barney (1991a) mensyaratkan tiga kondisi yang harus dimiliki oleh budaya
organisasi agar menjadi sumber keunggulan bersaing yang berkelanjutan, yaitu: 1)
bernilai (valuable), 2) langka (rare), dan 3) tidak dapat ditiru (imperfectly imitable).
Menurut Barney, organisasi yang memiliki budaya dengan tiga karakteristik tersebut
akan mendapatkan konsekuensi positif. Melengkapi pendapat Barney, Peter dan
Waterman (1982) mengungkapkan kemampuan organisasi untuk mengelola fungsi-
fungsi strategis juga berpengaruh secara signifikan. Apabila organisasi gagal
mengelola fungsi strategisnya, maka organisasi tidak akan mencapai kondisi kinerja
keuangan superior yang dapat menjadi keunggulan bersaing berkelanjutan.
Budaya organisasi dianggap dapat memberikan nilai-nilai ekonomis yang
positif bagi perusahaan (Barney dan Clark, 2007). Nilai ekonomis dari budaya
organisasi dapat ditemukan dalam budaya organisasi yang memiliki core value yang
kuat, yang mendorong inovasi dan kreativitas (Peters dan Waterman 1982). Hal ini
memiliki implikasi bahwa budaya organisasi dapat mendukung produktivitas pekerja
dan dapat menjadikan organisasi menjalin hubungan baik dengan para pelanggan.
Dalam kaitannya dengan karakteristik budaya organisasi ideal yang
ditawarkan Barney, organisasi tanpa budaya yang bernilai dapat membatasi
organisasi untuk memperoleh keunggulan bersaing (Barney dan Clark, 2007). Hal ini
disebabkan oleh karena budaya organisasi menjadi penentu arah untuk menjalankan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
31

bisnis. Dengan demikian, terkadang organisasi dipaksa untuk berada dalam aktivitas
bisnis yang dapat memodifikasi budayanya, termasuk atribut budaya organisasi yang
bernilai ekonomis.
Modifikasi suatu budaya organisasi dapat menjadi sumber keunggulan
bersaing yang berkelanjutan. Barney dan Clark (2007) memberikan dua alasan
mengapa suatu modifikasi budaya dapat memberikan keunggulan bersaing. Pertama,
jika organisasi mengimitasi budaya yang bernilai dari pesaingnya dan kedua, jika
suatu organisasi dapat mengelola modifikasi budaya untuk meningkatkan nilai
organisasi dan organisasi-organisasi juga melakukan modifikasi dengan cara yang
sama. Dengan demikian, untuk mendapatkan keunggulan bersaing dari modifikasi
budaya organisasi, suatu organsisasi harus memiliki ketiga karakteristik budaya
bernilai (valuable), langka (rare), dan kemampuan mengelola budaya yang sulit ditiru
(imperfectly imitable culture management skill) (Barney dan Clark 2007).
Kedua, kepercayaan (trust) juga memberikan kontribusi untuk menciptakan
keunggulan bersaing suatu perusahaan. Kepercayaan adalah saling berkeyakinan
bahwa dalam suatu transaksi atau pertukaran tidak ada pihak yang mengeksploitasi
kelemahan pihak lain (Sabel dalam Barney dan Clark, 2007). Kepercayaan (trust)
dapat muncul dalam bentuk yang berbeda. Barney dan Clark (2007) menjelaskan
jenis kepercayaan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Bentuk kepercayaan lemah (weak form).
Kepercayaan lemah muncul karena eksistensinya tidak bergantung
pada pembentukan kontrak atau bentuk-bentuk lain dari tata kelola
pertukaran. Umumnya bentuk kepercayaan yang lemah tidak dapat menjadi
sumber keunggulan bersaing (Barney dan Clark, 2007). Hal ini terkait dengan
kemunculan bentuk kepercayaan lemah yang umumnya ditemukan pada pasar
komoditas dengan persaingan yang tinggi. Dalam pasar ini umumnya
pertukaran yang terjadi mengharapkan penerimaan dan nilai keunggulan
bersaing yang kecil (Porter, 1980).
2. Bentuk kepercayaan semi-kuat (semi strong form).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
32

Hubungan yang terjadi dalam pertukaran ini bernilai ekonomis. Dalam


bentuk ini, kepercayaan masih dapat muncul, hanya dilindungi oleh berbagai
governance device, misalnya kontrak temporer, aliansi strategis, dan lain
sebagainya. Proses pembentukan kepercayaan semi-kuat dalam pertukaran
ekonomi umumnya bergantung pada kemampuan tata kelola dan bakat yang
harus dimiliki setiap pihak (Barney dan Clark, 2007).
3. Bentuk kepercayaan kuat (strong-form trust).
Bentuk kepercayaan kuat (strong-form trust), menurut Frank (1988),
disebut dengan hard-core trust karena tidak terikat dengan kerentanan dan
mekanisme tata kelola dalam pertukaran yang terjadi. Bentuk kepercayaan
kuat dapat menjadi keunggulan bersaing apabila pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pertukaran memiliki bentuk kepercayaan yang kuat
seluruhnya. Apabila salah satu pihak bersikap oportunis, maka seluruh pihak
dalam pertukaran tersebut perlu menginvestasikan biaya untuk mekanisme
tata kelola ekonomi dan sosial sebagaimana bentuk kepercayaan semi-kuat
(Barney dan Clark, 2007). Dengan demikian, faktor kepercayaan memainkan
peranan penting bagi organisasi untuk menjadi sumber keunggulan bersaing.
Namun setiap bentuk kepercayaan yang muncul dalam organisasi memiliki
implikasi yang berbeda terhadap penciptaan keunggulan bersaing (Barney dan
Clark, 2007).

Ketiga, fungsi Sumber Daya Manusia (SDM) memainkan peran penting


dalam kinerja perusahaan. Bahkan, sebagian perusahaan dengan berani menyatakan
bahwa SDM adalah aset yang paling penting. Meskipun keyakinan ini secara luas
dipegang tapi kenyataannya sering kali ketika perusahaan sedang dalam keadaan sulit
dan butuh pemotongan biaya, karyawanlah sebagai SDM yang menjadi korban.
Ketika saat ini terjadi maka karyawan bukanlah prioritas yang harus diutamakan,
padahal mereka adalah harta yang sangat penting.
Fungsi SDM juga dapat mengadopsi fokus strategis, menerapkan kerangka
VRIO untuk mengidentifikasi spesifik SDM sebagai sumber daya sementara dan/

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
33

atau berkelanjutan bagi keunggulan bersaing. Panduan bagi eksekutif SDM tentang
bagaimana menciptakan nilai dari fungsi SDM dan bertindak sebagai mitra untuk
strategi perusahaan dapat menggunakan kerangka VRIO seperti di bawah ini (Barney
dan Clark, 2007):
1. Nilai ekonomi SDM (Terkait dengan fungsi SDM yang dapat menurunkan
biaya atau meningkatkan pendapatan).
2. Kelangkaan SDM (Perseroan melakukan pengembangan dan eksploitasi SDM
untuk mendapatkan SDM dengan karakteristik unik dan langka).
3. SDM yang tidak mudah ditiru (Pengembangan SDM melalui sejarah perseroan
yang membentuk dan mendefinisikan situasi sekarang).
4. Pengorganisasian SDM

Kerangka kerja VRIO dapat memudahkan eksekutif SDM untuk


mengevaluasi semua kegiatan terhadap kriteria nilai, kelangkaan, tidak mudah ditiru,
dan pengorganisasian SDM. Fungsi utama SDM adalah untuk menyediakan SDM
yang memberikan nilai, langka, dan tidak mudah ditiru oleh organisasi lain. Untuk
mencapai keunggulan bersaing memerlukan karyawan yang mau berkembang,
terampil dan termotivasi untuk memberikan produk berkualitas tinggi dan layanan,
dan mengelola budaya organisasi untuk mendorong kerjasama dan kepercayaan. Hal
ini juga mensyaratkan bahwa fungsi SDM memusatkan perhatian lebih pada
pengembangan koheren sistem praktik-praktik SDM yang mendukung tujuan-tujuan
ini.
Keempat, teknologi informasi (information technology – IT) juga dianggap
sebagai salah satu peran yang dapat menciptakan sustainable competitive advantage
bagi perusahaan (Clemons 1986, 1991; Clemons dan Kimbrough 1986; Clemons dan
Row 1087, 1991a; Feeny 1988; Feeny dan Ives 1990; Barney 1991a; Powell dan
Dent-Micallef 1997; Bharadwaj 2000; Ray 2000 dalam Barney dan Clark, 2007).
Barney dan Clark (2007) menyatakan bahwa beberapa kajian empiris
menemukan bahwa implementasi IT tidak memberi pengaruh signifikan pada kinerja
organisasi yang superior (unggul). Barney dan Clark (2007) juga mengemukakan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
34

bahwa IT dapat menciptakan nilai bagi perusahaan dengan meningkatkan efisiensi


koordinasi internal dan eksternal perusahaan. Perusahaan yang tidak mengadopsi
penggunaan IT akan mendapatkan struktur biaya tinggi dan ketidakbermanfaatan
pada beberapa fungsi perusahaan. Walaupun demikian, perusahaan tidak dapat
berharap sepenuhnya terhadap IT dalam penciptaan sustainable competitive
advantage. Hal tersebut disebabkan oleh aksesibilitas IT yang tersebar dimana-mana
dan tersedia bagi seluruh perusahaan (kompetitor, pembeli, supplier, dan perusahaan
baru yang akan masuk) pada pasar kompetitif (Clemons dan Row 1991a; Powell dan
Dent-Micallef 1997).
Kajian resource-based digunakan untuk mengevaluasi potensi IT sebagai
sumber sustainable competitive advantage. Barney dan Clark (2007) mengemukakan
bahwa IT dapat menciptakan nilai ekonomi dan kemampuan dalam lima atribut
(biaya peralihan pelanggan, akses modal, kepemilikan teknologi, ketrampilan IT, dan
keterampilan manajerial IT) untuk menghasilkan sustainable competitive advantage.
IT berperan untuk menciptakan nilai ekonomis bagi perusahaan dengan cara
mengurangi biaya atau diferensiasi produk dan jasa (McFarlan, 1984; Porter dan
Millar 1985; Bakos dan Treacy 1986; Wiseman 1988 dalam Barney dan Clark, 2007).
Kajian resource-based lebih berfokus pada aspek ketrampilan manajerial IT sebagai
sumber sustainable competitive advantage (Barney dan Clark, 2007). Ketrampilan
manajerial IT bersifat heterogen dalam hal pendistribusian lintas perusahaan.
Ketrampilan ini merefleksikan sejarah unik dari perusahaan dan terkadang menjadi
bagian dari rutinitas taken-for-granted organisasi. Ketrampilan manajerial IT dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan teknis IT organisasi. Manajer IT harus
mengembangkan dan memelihara kompetensi teknis organisasi. Manajer IT juga
harus mengembangkan hubungan dengan manajer dari fungsi bisnis lainnya dalam
organisasi atau bahkan dengan manajer perusahaan lain. Jenis hubungan ini akan
memungkinkan fungsi IT dalam meningkatkan kapabilitas dan sustainable
competitive advantag organisasi (Barney dan Clark, 2007).
Teknologi informasi dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan
(penurunan biaya operasional dan peningkatan pendapatan dengan diferensiasi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
35

produk dan jasa yang diberikan) tapi belum tentu merupakan sumber keunggulan
bersaing yang berkelanjutan. Terdapat 5 (lima) atribut teknologi informasi yang
dapat dikelola agar menjadi sumber keunggulan bersaing yaitu biaya perpindahan
pelanggan, akses terhadap permodalan, kepemilikan teknologi, keahlian
menggunakan teknologi informasi dan keahlian manajerial di bidang teknologi
informasi.
Terkait dengan aset yang dimilik oleh perusahaan, kajian yang dilakukan
oleh Marr, Schiuma dan Neely (2004) melengkapi apa yang sudah dilakukan
sebelumnya. Marr et al memberikan taksonomi dari organizational assets untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya yang dimiliki
oleh perusahaan.
a. Sumber daya keuangan (financial resource)
b. Sumber daya berwujud (physical resource)
c. Sumber daya hubungan (relationship resource)
d. Sumber daya manusia organisasi (human resource)
e. Sumber daya budaya organisasi (culture resource)
f. Sumber daya praktik dan rutinitas organisasi (practices and routines
resource).
g. Sumber daya hak intelektual organisasi (property rights resource).

Dalam buku Empirical Research within Resource Based Theory yang


diterbitkan tahun 2008 oleh Katja Nothnagel, menunjukkan bahwa kategori sumber
daya dalam perusahaan terdiri atas aset tangible dan intangible sebagai berikut:
(Nothnagel, 2008).
1. Tangible
a. Capital Physical yaitu modal teknologi.
b. Financial Capital.
2. Intangible
a. Routine yang terdiri atas rutin yang bersifat statis (static routine) dan rutin
yang bersifat dinamis (dynamic routine).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
36

b. Intangible assets yang terdiri atas paten (patent), reputasi (reputation),


merek (brand), jaringan (network), budaya perusahaan (culture) lainnya.
c. Capabilities meliputi kemampuan teknologi (technological capability),
kemampuan perakitan (manufacturing capabilities), kemampuan untuk
penelitian dan pengembangan (research & development capabilities),
kemampuan pemasaran (marketin capabilities), kemampuan pembelajaran
(learning capabilities), kemampuan kompetisi (competitive capabilities),
dan kemampuan melakukan aliansi (alliances capabilities).
d. Human Resource Management meliputi Presiden Direktur (Chief
Executive Officer), praktik manajemen sumber daya manusia dalam
perusahaan (HRM Practice), keahlian dan pengetahuan dari SDM (Human
Resource Skill and Knowledge).

2.4. Entrepreneurship
Artikel Nikolina Fuduric (2008), diberikan tiga definisi entrepreneurship
dari definisi statis, definisi struktural, dan definisi prosedural. Definisi statis dari
entrepreneur melahirkan pertanyaan karakteristik kondisi perseorangan apakah yang
membuat seseorang menjadi seorang entrepreneur. Definisi struktural memberikan
implikasi penting pada konteks apakah yang dapat mendorong entrepreneurship
berkembang. Definisi prosedural menghasilkan pertanyaan turunan bagaimana
entrepreneurship sebagai proses terbentuk. Fuduric (2008) selanjutnya memaparkan
penelitian-penelitian arus utama entrepreneurship, yang penulis kutipkan penulis
terpenting melalui Tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3. Arus Utama Studi Entrepreneurship


Sudut
Definisi konseptual Entrepreneur dan atau Konsep yang
Peneliti Pandang
Entrepreneurship dikenalkan
Studi
Wirausahawan adalah pemimpin dan
contributor bagi “destuksi kreatif” (creative
Schumpeter destruction). Ia membawa kombinasi baru Entrepreneur as
Individual
(1934) mencakup: innovator
1. Perkenalan produk baru atau kualitas baru
suatu produk

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
37

Sudut
Definisi konseptual Entrepreneur dan atau Konsep yang
Peneliti Pandang
Entrepreneurship dikenalkan
Studi
2. Metode produksi baru
3. Pasar baru
4. Suplai baru bahan mentah atau komponen
5. Reorganisasi industri
Wirausahawan mengidentifikasi peluang
keuntungan dan inisiasi tindakan untuk
Kirzner Entrepreneur as
memenuhi permintaan yang belum terpenuhi Individual
(1997) market equalizer
atau memperbaiki inefisiensi dan koreksi
pasar membawa keseimbangan baru.
North Aspek institusional mempengaruhi
Institusi Institusi
(1990) kewirausahawan.
Entrepreneurship thinking (identifikasi dan
eksploitasi peluang) dan strategic thinking
Hitt, Terminologi bersama
(berfokus pada keputusan dan tindakan
Ireland & et Strategic Individual
terencana dan berhasil eksekusi guna
al (2001) Entrepreneurship
mempertahankan keunggulan
kompetitif/keunggulan bersaing).
Kewirausahawan menunjukkan level tindakan
Individu, Perusahaan,
Alvarez dan individu dalam penciptaan perusahaan, level Individu,
Market-Level action
Busenitz tindakan perusahaan dalam mencapai inovasi, Institusi, dan
eksploitasi peluang
(2001) level tindakan berbasis pasar untuk Proses
(kesempatan)
mengeksploitasi kesempatan yang hadir
Sumber: Nikolina Fuduric (2008).

Entrepreneurship atau biasa disebut sebagai kewirausahawan, berdasarkan


rangkuman Tabel 2.4 di atas, berada pada tiga ranah terpenting: Pertama, ranah
individual dimana seorang pebisnis yang menjadi inovator menurut Schumpeter dan
penyeimbang pasar menurut Kirzner maupun strategic entrepreneur bagi Hitt et al.
Kedua, ranah institusional yang berdampak bagi perkembangan kewirausahawanan
berdasarkan analisis dari Douglas North. Ketiga, ranah proses yang terbagi ke dalam
level tindakan individu, tindakan perusahaan, maupun tindakan berbasis pasar.
Alvarez dan Busenitz (2001) menguji secara teoretis hubungan antara
manajemen stratejik dan entrepreneurship. Kemudian membangun insights yang
memperluas batasan manajemen stratejik seraya mendorong pertanyaan-pertanyaan
lanjutan tentang entrepreneurship. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan studi
manajemen stratejik pada konteks entrepreneurship, di mana perjumpaan manajemen
stratejik dan kewirausahaan tidak banyak ditekuni oleh para akademisi (misalnya
Peteraf 1993, Ray, Barney dan Muhanna 2004, dan studi lainnya). Studi Alvarez dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
38

Busenits bermaksud mengisi kekosongan literatur teoritis. Dari tujuan awal


makalahnya bahkan tidak bermaksud memberikan pijakan empiris variabel-variabel
tertentu. Entrepreneurship dan manajemen stratejik memiliki unit analisis sumber
daya (resources) baik tangible maupun itangible assets. Bagi Alvarez dan Busenits,
entrepreneurship memiliki empat elemen yang menjadi karakteristik unik seorang
wirausahawan, yaitu kognisi (Entrepreneur Cognition), penemuan (Entrepreneurial
Discovery), peluang pasar (Market Opportunities), dan koordinasi pengetahuan
(Coordinating Knowledge). Keempat elemen tersebut berhadapan dengan empat
kondisi manajemen stratejik dari Peteraf (1993), yaitu heterogenitas sumber daya,
limit kompetisi ex-post, mobilitas faktor yang tidak sempurna, dan limit kompetisi ex-
ante. Model konseptual dalam kajian Alvarez dan Busenits (2001) dapat
diilustrasikan seperti Gambar 2.4 (Lampiran Bab 2).
Saat ini, berkembangnya pendekatan kognitif untuk memberikan
pemahaman tentang bagaimana para wirausahawan berpikir dan membuat keputusan
menunjukkan hasil yang menjanjikan (Busenitz dan Barney 1997, Baron 1998 dan
Forbes 1999). Adapun definisi operasional dari entrepreneurial cognition adalah
penggunaan secara ekstensif individual heuristic dan keyakinan individual
(pengusaha) yang berdampak pada pengambilan keputusan (Busenitz dan Lau 1996).
Kognisi entrepreneur berbeda dari kognisi manajerial yang lebih terstruktur
dalam pengambilan keputusannya dimana manajer senantiasa dituntut berlaku
akuntabel dan sesuai skema kompensasi yang diterima. Arus riset terkini kognisi
entrepreneur mulai mendalami bahwa pebisnis sebagai wirausahawan secara intensif
menggunakan heuristic untuk mengambil keputusan, sekurangnya sebagai lanjutan
dari sisi personal sang pebisnis, seperti dijelaskan oleh studi Baron (1998) dan Wright
el al (2000). Alvarez dan Busenitz (2001) menyakini tanpa perhatian terhadap proses
kognisi entrepreneur, pemahaman terhadap entrepreneur amatlah terbatas.
Penemuan entrepreneurial dapat bersumber dari dua penjelasan utama yaitu
pertama, upaya menemukan dan memperoleh informasi bermuara pada penemuan
hal-hal baru. Kedua, mengenal proses yang mana penemuan baru tercipta. Peluang
pasar tercipta melalui dua proses penting (dalam terminologi Schumpeterian) invensi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
39

dan inovasi. Menurut Schumpeter (1934), invensi terjadi karena bertemunya


kesempatan (opportunity) dan penemuan (discovery). Sementara inovasi merupakan
eksploitasi daripada peluang-peluang yang menguntungkan (profitable opportunity).
Formasi terciptanya perusahaan pada esensinya aksi wirausahawan untuk melakukan
koordinasi dan merubah tacit knowledge yang mana koordinasi pengetahuan menjadi
penting (Alvarez dan Busenitz, 2001).
Alvaretz dan Busentitz (2001) berhasil membangun sisi entrepreneur dalam
manajemen stratejik, terutama arahan baru bagaimana sumber daya dapat tercipta dan
bagaimana individu entrepreneur dapat memisahkan serangkaian sumber daya yang
beragam (heterogen) sehingga secara berulang-ulang perusahaan dapat menciptakan
peluang entrepreneurial yang langka.
Yang menarik adalah tulisan Silkee Scheer (2009) tentang entrepreneur as a
business leader. Dijelaskan dalam bukunya bahwa seorang pimpinan perusahaan
akan menerapkan kepemimpinan kognitif sebagai pendekatan alternatif untuk
menyelesaikan masalah koordinasi dan motivasi yang harus diatasi oleh pendiri
perusahaan dalam rangka mewujudkan konsepsi bisnis (Witt, 2005 dalam Scheer,
2009). Teori ini berpusat kepada pengusaha dan pendiri perusahaan (Schneider 1987;
Casson 2000, Foss 2001 dalam Scheer, 2009). Hal ini disebabkan seorang pemdiri
perusahaan atau pengusaha tidak dapat melakukannya sendiri, dia mendirikan
perusahaan, mempekerjakan karyawan dan - akibatnya - menghadapi potensi agency
problem sebagai akibat informasi yang asimetris. Untuk mewujudkan konsepsi
usahanya dia harus mengkoordinasikan saran dari karyawannya dan untuk
memotivasi karyawannya agar memberikan usaha yang terbaik bagi pencapaian
tujuan perusahaan. Dengan kata lain, seorang pendiri perusahaan sekaligus berperan
menjadi pemimpin bagi karyawannya menerapkan kepemimpinan kognitif karena
penyampaian konsepsi bisnis itu diperdebatkan terutama tergantung pada proses
kognitif.
Entrepreneur as a business leader mengacu pada pribadi dari pengusaha yang
memiliki konsepsi bisnis yang ingin diwujudkan. Seorang pemimpin kognitif
memiliki konsepsi bisnis yang yang menjadi dasar dalam pengolahan informasi dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
40

pengambilan keputusan serta memiliki tujuan untuk menyampaikan konsep bisnisnya


kepada karyawannya melalui komunikasi personal dan pembelajaran observasional.
Dalam praktik kepemimpinan kognitif asumsi yang mendasarinya adalah bahwa jika
model ini (Gambar 2.5) berhasil diberikan, karyawan akan mengadopsi konsep bisnis
pemimpin dan menggunakannya sebagai pedoman dalam semua proses pekerjaan
yang relevan.
Efek dari kepemimpinan kognitif ada dua dan saling tergantung. Di satu sisi,
koordinasi internal perusahaan akan berjalan lancar karena karyawan semua mengacu
pada konsepsi bisnis dan referensi yang sama dalam pekerjaan yang berhubungan
dengan pengolahan informasi dan pengambilan keputusan. Hal ini memungkinkan
pemimpin kognitif untuk memberikan kebebasan kepada karyawannya. Di sisi lain,
akan tercipta kebebasan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari dan
perasaan ingin berkontribusi pada tujuan bersama meningkatkan motivasi intrinsik
dari karyawan.

2.5. Tinjauan Literatur Penelitian Sebelumnya


Berikut ini adalah Tabel 2.4 yang menginventarisir beberapa penelitian
terdahulu untuk membangun kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Tabel 2.4. Ringkasan Tinjauan Literatur Terdahulu

Peneliti Tahun Pertanyaan/Fokus Penelitian Temuan-temuan Penelitian


Penelitian yang bertajuk CEO Penelitian yang menggunakan
Maps and the Scope of paradigma positivist ini
Organization (dalam Strategic menunjukkan peta kognitif
Management Journal) ini sampel, dengan temuan antara
berasumsi bahwa CEO lain: 1) studi eksploratif
tergolong sebagai cognizers, kepada sampel pada umumnya
dimana Ia mengintegrasikan menunjukkan konfirmasi
Calori,
pandangan Tim Manajemen prinsip prasyarat
Johnson, 1994
Puncak. Kompleksitas kognisi kompleksitas kognitif. 2)
Sarnin
CEO menjadi tantangan Penelitian ini juga
metode penelitian ini. Selain membuktikan hipotesis yang
itu, tantangan lainnya adalah sesuai dengan dimensi tertentu
membuat cognitive maps dari dari cakupan perusahaan dan
26 orang CEO (sampel). Peta dimensi khusus terkait
kognitif yang dikaji meliputi: kompleksitas kognitif seorang
struktur dan dinamika industri CEO.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
41

Peneliti Tahun Pertanyaan/Fokus Penelitian Temuan-temuan Penelitian


(tingkat kompleksitas),
hubungan kedua variabel
kompleksitas itu dengan
portofolio bisnis, cakupan
geografis, dan jejaring
perusahaan dengan perusahaan
asing.
Hasil studi menunjukkan
Peneliti melakukan analisis proses penciptaan nilai di
fenomena kewirausahaan dalam komunitas etnik seakan
berbasis etnis Asia Selatan berbeda dari proses penciptaan
(Pakistan dan India) nilai di luar komunitas. Hal ini
menggunakan pendekatan disebabkan oleh perubahan
Greene 1997 Resources-Based, dengan model entrepreneur berbasis
fokus pada community etnis tradisional menuju
sponsorship sebagai community sponsorship
keunggulan bersaing yang sebagai pengorganisasi
sinambung (sustained sumber daya. Paper Green
competitive advantage). diterbitkan dalam Journal of
Small Business Management.
Peneliti berfokus pada
bagaimana anak perusahaan Hasil penelitian ini
dapat berkontribusi bagi menunjukkan subsidiari dari
keunggulan spesifik perusahaan multi nasional
perusahaan MNC. Penelitian dapat membantu penciptaan
yang dinarasikan pada firm-specific advantage
Strategic Management melalui kombinasi sumber
Journal ini berupaya daya perusahaan itu, melalui
Birkinshaw, membuka peran sentral anak inistiatif dan budaya
1998
Hood & perusahaan dengan diskusi wirausaha subsidiari. Proses
Jonsson beragam aktivitas yang terjadi ini dipercepat melalui otonomi
di dalamnya, dan proses anak perusahaan serta level
integrasi anak perusahaan. persaingan dari pesaing lokal
Dengan pemilihan satu yang rendah. Sebaliknya,
aktivitas utama (inisiatif anak hubungan natara sumber daya
perusahaan) ekspolarasi khusus dan kontribusinya
factor-faktor yang berasosiasi tidak terbukti.
dengannya
Shekar dan Li mengenalkan
Makalah studi di Organization ide absorptive capacity
Science bertajuk Knowledge menjadi prinsip pengelolaan
Search in International hubungan diantara
Cooperative Ventures (ICV), kepemilikan pengetahuan
mengajukan pertanyaan (knowledge possession) dan
penelitian apakah perusahaan pencarian pengetahuan
Shekar & Li 1999
akan mencari pengetahuan (knowledge search) diantara
pelengkap (complementary rekan bisnis yang prospektif.
knowledge) atau perusahaan Sedangkan kepemilikan
akan mencari pengetahun pengetahuan menjadi
berlandaskan kesamaan basis prasyarat bagi pencarian
pengetahuan perusahaan. pengetahuan, yang mana
perusahaan berupaya transfer

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
42

Peneliti Tahun Pertanyaan/Fokus Penelitian Temuan-temuan Penelitian


tacit knowledge serta
pemilihan mendirikan
perusahaan modal bersama
bagi transfer embedded
knowledge.
Kedua peneliti mengkaji
dampak dari Entrepreneurial
Temuan Wiklund & Shepherd
Strategic Orientation (EO),
menyarankan sumber daya
menganalisis apakah
pengetahuan (layak aplikasi
sekumpulan sumber daya
bagi penemuan dan eksploitasi
pengetahuan dapat
peluang-peluang)
diaplikasikan bagi penemuan
Wiklund & berhubungan positif dengan
2003 dan eksploitasi peluang-
Shepherd kinerja perusahaan dan bahwa
peluang yang ada guna
EO meningkatkan hubungan
perbaikan kinerja perusahaan.
tersebut. Makalah kedua
Penelitian ini juga mengkaji
peneliti diterbitkan pada
perusahaan dengan EO
Strategic Management
meningkatkan kinerja positif
Journal.
sebagai benefit dari sumber
daya berbasis pengetahuan.
Penelitian yang diterbitkan
dalam International Journal of
Penelitian Wilk & Operations & Production
Fensterseifer menggunakan Management. Tujuan
pendekatan RBV dalam penelitian adalah identifikasi
analisis kluster industri. Daya sumber daya maupun
saing perusahaan dalam kapabilitas diantara anggota
kluster yang sama ditentukan kluster dalam upayanya
De-Olivera
tidak hanya oleh sumber daya menghasilkan strategi bersaing
Wilk & 2003
dan kapabilitas individual yang berkesinambungan. Hasil
Fensterseifer
perusahaan, namun juga studi dapat memberikan
kluster keseluruhannya. kontrbusi bagi
Analisis yang dibangun peningkatan/perbaikan
menggunakan contoh kasus signifikan atas persepsi
kluster penghasil anggur (wine manajer dan ahli strategi
cluster) di Selatan Brazil. (strategist) berkaitan dengan
potensial kompetisi dalam
kluster.

Sumber: Calori, Johnson, Sarnin (1994), Greene (1997), Birkinshaw, Hood & Jonsson (1998), Shekar
dan Li (1999), Wiklund & Shepherd (2003), De-Olivera Wilk & Fensterseifer (2003), hasil olahan
penulis (2012).

2.6. Operasionalisasi Konsep


Tabel 2.5 yang berisi Operasionalisasi Konsep dari peta kognitif & peta
kausal (cognitive & causal map) Riady sebagai entrepreneur dalam merumuskan
keunggulan bersaing melalui pengelolaan aset tangible dan intangible yang dimiliki

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
43

perusahaan. Operasionalisasi konsep ini bermanfaat dalam melakukan konversi


cognitive & causal map menjadi model system dynamics.

Tabel 2.5. Operasionalisasi Konsep


Jenis
No Kategori Aset Variabel Deskripsi Variabel Isi Variabel
Aset
Ray, Barney, Muhanna
(2004). Penerapan teknologi
Applied
Tangible Physical yang standar berupa sudah Belum ada = 0
1. Information
Resource Capital adanya teknologi scanning, Sudah ada = 1
Technology
imaging, dan website resmi
perusahaan.
Ray, Barney, Muhanna
Interface
Tangible Physical (2004). Integrasi teknologi Belum ada = 0
2. Information
Resource Capital komputer. Sudah ada = 1
Technology

Employee Ray, Barney, Muhanna


Interaction (2004). Adanya jaringan
Tangible Physical Belum ada = 0
3. Through yang menghubungkan antara
Resource Capital Sudah ada = 1
Information satu karyawan dengan
Technology karyawan lainnya.
Miller & Shamsie (1997).
Property/Physi Jumlah tanah dan bangunan
Tangible Physical
4. call Based yang dimiliki dan Angka Mutlak
Resource Capital
Resources dikendalikan oleh
perusahaan per tahun.
Tangible Physical Nilai harta perusahaan per
5 Total Assets Angka Mutlak
Resource Capital tahun.
Jumlah perusahaan yang
Tangible Physical Business
6. dikendalikan dan dimiliki Angka Mutlak
Resource Capital Development
oleh perusahaan per tahun.

Helfat (1999). Kemampuan


dalam memperoleh
Tangible Financial Firm
7. keuntungan Perusahaan per Angka Mutlak
Resource Capital Profitability
tahun (Earning Before
Interest and Taxes).
Barney & Clark (2007).
Firm Capacity
Tangible Financial Kemampuan perusahaan
8. to Raise Equity Angka Mutlak
Resource Capital mendapatkan modal dari
menerbitkan saham.
Barney & Clark (2007).
Kemampuan perusahaan
Firm
mendapatkan pinjaman
Tangible Financial Borrowing
9. jangka panjang dari luar Angka Mutlak
Resource Capital Capacity
perusahaan (Nilai kewajiban
jangka panjang =long term
liabilities).
Barney & Clark (2007).
Firm Capacity
Tangible Financial Kemampuan perusahaan
10. to Raise Equity Angka Mutlak
Resource Capital mendapatkan modal dari
menerbitkan saham.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
44

Jenis
No Kategori Aset Variabel Deskripsi Variabel Isi Variabel
Aset
Barney (2004). Kemampuan
perusahaan dalam
Firm Cash and
Tangible Financial mengumpulkan uang kas
11. Cash Angka Mutlak
Resource Capital (Nilai uang kas dan setara
Equivalent
kas yang ada dalam
perusahaan).
Lee & Miller (1999). Jumlah
anggaran yang dikeluarkan
Intangible Organizational Total oleh perusahaan untuk total
12. Angka Mutlak
Resources Capabilities Compensation kompensasi termasuk
benefit, berbagai tunjangan
dan liburan per tahun.
Carnelli & Tisler (2004).
Intangible Human Human
13. Jumlah karyawan yang ada Angka Mutlak
Resources Resources Resources
dalam perusahaan per tahun.
Organizational
Delaney & Huselid (1996).
Capabilities –
Penerimaan yang
Intangible Human Recruitment
14. ditunjukkan dengan jumlah
Resource Resources Program Angka Mutlak
karyawan yang direkrut oleh
Management
perusahaan per tahun.
Practices
Ray, Barney, Muhanna
(2004). Jumlah dana per
bulan yang dialokasikan
Intangible Organizational Training and untuk pengembangan
15. Angka Mutlak
Resource Capabilities Development karyawan untuk kegiatan
pendidikan dan pelatihan
karyawan baik di dalam
maupun di luar negeri
Ray, Barney & Muhanna
(2004). Lingkungan kerja
Intangible yang kondusif dalam
Conducive
16. Resource Routines mendukung pelaksanaan Angka Mutlak
Work Climate
kerja.
Tidak kondusif = 0
Kondusif = 1
Tidak ada
keterbukaan
dalam
Ray, Barney & Muhanna berkomunikasi
Intangible (2004). Keterbukaan dalam =0
Opennes in
17. Resource Routine berkomunikasi baik antar
Communication
akaryawan maupun antara Ada
pimpinan dan bawahan. keterbukaan
dalam
berkomunikasi
=1
Tidak ada
kerjasama
Intangible Ray, Barney & Muhanna
kelompok = 0
18. Resource Routines Teamwork (2004). Kerjasama kelompok
(teamwork).
Ada kerjasama
kelompok = 1
Intangible Remuneration Total Remunerasi untuk
Organizational
19. Resource for BOC and Dewan Komisaris dan Angka Mutlak
Capabilty
BOD Dewan Direksi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
45

Jenis
No Kategori Aset Variabel Deskripsi Variabel Isi Variabel
Aset
Combs & Ketchen (1999).
Pengalaman dari Top
Intangible Top
Human Management yang
20. Resource Management Angka Mutlak
Capital ditunjukkan dari jumlah
Experience
tahun pengalaman kerja
sebagai Presiden Direktur.
Intangible Nothnagel (2008). Umur
21. Other Resource Age of the Firm Angka Mutlak
Resource Perusahaan
Telah bekerja
kurang dari 10
tahun = belum
memiliki
karakter unik
Karyawan yang memiliki perusahaan = 0
karakter yang unik (Loyalis,
Employee True Believer, Value Driven, Telah bekerja
Intangible Human
22. Competence Spiritual enriched, Creative). di Lippo
Resource Resource
and Skills Menurut Hatch & Dyer Karawaci
(2004) ditunjukkan oleh selama lebih
lama bekerja di perusahaan. dari 10 tahun
(sudah
memiliki
karater unik
perusahaan) =
1
Silke Scheer (2009) Lemah = 1
Entrepreneur
Intangible Human Pendiri perusahaan sebagai Tidak Kuat = 2
23. as a bisnis
Resource Resource pemimpin kognitif (cognitive Kuat= 3
leader
leadership). Sangat Kuat= 4
Jumlah
anggota Dewan
Komisaris
setiap tahun,
persentase
Morten Huse (2007).
Komisaris
Kompetensi Dewan
Independen
Komisaris yang dinilai
dibandingkan
Intangible Boards melalui jumlah, komposisi
24. Other Resource jumlah
Resource Competence keterwakilan semua pemilik
seluruhnya
saham dan proses yang
serta kehadiran
terjadi dalam Dewan
para anggota
Komisaris.
Dewan
Komisaris
dalam setiap
pertemuan per
setahun.
Peran pemegang saham
perusahaan dalam proses
pengambilan keputusan yang
General tercermin dalam jumlah
Intangible
25. Other Resource Meeting of keputusan yang diambil Rasio
Resource
Shareholder dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS)
baik RUPS Tahunan maupun
RUPS Luar Biasa.
Intangible Reputational Nama baik dan citra
26. Other Resource Rasio
Resource Resource perusahaan yang dinilai oleh

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
46

Jenis
No Kategori Aset Variabel Deskripsi Variabel Isi Variabel
Aset
lembaga eksternal
perusahaan yang ditunjukkan
dengan banyaknya
penghargaan yang diterima
oleh perusahaan per tahun.
Tobins Q, yaitu
rasio antara
dari
Kapitalisasi
Pasar dibagi
total harta.
Keunggulan perusahaan = Kapitalisasi
Leading and Perusahaan memiliki aset pasar
Intangible
27. Other Resource impacting lives yang memenuhi kriteris merupakan
Resource
corporation VRIA = dinilai perkalian
menggunakan Tobins Q. antara harga
pasar saham
per lembar
dikalikan
dengan jumlah
saham yang
beredar.
Sumber: Delaney & Huselid (1996), Miller & Shamsie (1997), Combs & Ketchen (1999), Helfat
(1999), Ray, Barney & Muhanna (2004), Morten Huse (2007), Menurut Hatch & Dyer (2004), dalam
Nothnagel (2009), Scheer (2009) dan hasil olahan penulis (2012)

2.7. Strategic Entrepreneurship


Perubahan-perubahan dalam dunia industri membuat para entrepreneur
(wirausaha) harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lebih agresif. Oleh
sebab itu, demikian pengusaha harus pandai membaca keinginan dan kebutuhan
konsumennya melalui berbagai cara seperti mampu menciptakan produk sesuai
kebutuhan dan keinginan konsumen secara tepat waktu, mampu mengkomunikasikan
keberadaan dan kelebihan produk dibandingkan produk lainnya dari pesaing, mampu
menarik minat dan merayu konsumen untuk terus membeli dan mengkonsumsi
produk yang ditawarkan melalui berbagai strategi.
Strategic entrepreneurship (SE), menurut Ireland (2001), melibatkan
aktivitas yang simultan terkiat dengan opportunity-seeking dan advantage seeking
behaviors yang berdampak kepada firm performance. Perusahaan kecil umumnya
efektif mengembangkan dan mengidentifiaksi peluang tetapi kurang ahli dalam
mengembangkan keunggulan kompetitif yang diperlukan untuk menciptakan nilai
dari kesempatan yang ada. Sebaliknya perusahaan yang sudah mapan, dianggap lebih

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
47

efektif dalam membangun keunggulan kompetitifnya tetapi kurang dapat


mengidentifikasi peluang yang baru.
Strategic entrepreneurship merupakan konstruk yang khusus melalui mana
perusahaan dapat menciptakan kesejahteraan. Menurut Ireland (2001), terdapat 4
(empat) dimensi unik Strategic entrepreneurship yang tertuang dalam Gambar 2.5:
1. An entrepreneurial mindset;
2. An entrepreneurial culture;
3. Entrepreneurial leadership;
4. Managing resources strategically.
Sumber daya strategis yang harus menjadi perhatian adalah financial
capital, human capital, dan social capital.

Strategic entrepreneurship merupakan suatu konsep yang unik melalui


mana kesejahteraan perusahan tercapai. Manajemen stratejik sumber daya dan
aplikasi kreativitas untuk mengembangkan inovasi sangat penting dalam Strategic
entrepreneurship. Menurut Ireland (2001), kedua hal ini bersifat komplementer.
Gambar 2.6 (Lampiran Bab 2) memperlihatkan bagaimana kaitan antara
entrepreneurial leadership, entrepreneurial culture, entrepreneurial mindset sebagai
dimensi strategic entrepreneurial, strategic management resource, dan
organizational learning.
Pentingnya tenets of entrepreneurship and strategic management
diintegrasikan dan disimpulkan oleh Hitt, Ireland, Camp, et al. (2001, 2002) dan
Ireland et al. (2001). Kajian ini menekankan bahwa entrepreneurship dan strategic
management sama-sama memiliki fokus dalam kondisi tentang bagaimana proses
yang sudah dirumuskan dapat menciptakan nilai melalui aktivitas eksploitasi dan
eksplorasi. Fokus pada bagaimana create ante change (adapt or proact) melalui
kesempatan melakukan aktivitas eksploitasi sebagai akibat dari ketidakpastian
lingkungan eksternal. Pada gilirannya, perusahaan kemudian mengidentifikasi
peluang dan kemudian membangun keunggulan bersaing (Hitt, Ireland, Camp, et al.,
2001, 2002; Ireland et al., 2001). Pada tahun 2003, Ireland meneruskan tulisannya

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
48

tentang strategic entrepreneurship yang mengutarakan bahwa ada 3 sumber daya


yang strategis yang terkait, yaitu financial capital sebagai aset tangible dan human
capital serta social capital sebagai aset yang intangible.
Strategic entrepreneurship merupakan intersection antara entrepreneurship
dengan management strategic (Ireland, 2010). Bahkan strategic entrepreneurship
merupakan kombinasi dari eksplorasi dan eksploitasi (Ireland, 2001 dalam Luke et
al., 2010). Luke et al. (2010) kemudian melakukan eksloprasi lebih jauh bahwa
strategic entrepreneurship menyediakan jalur untuk mencapai financial performance
dan growth suatu perseroan. Melengkapi apa yang diutarakan oleh Ireland (2001),
Luke et al menyajikan kerangka strategic entrepreneuship berdasarkan dua aspek
kunci sebagai berikut:
a. Strategic entrepreneurship is a distinct process, founded on bringing
something new to the market, a combination of innovation, opportunity
identification and growth.
b. Strategic entrepreneurship is a process represented by four key aspecst:
a). Entrepreneurial activity;
b). Applied in strategic context business;
c). Which develop expertise within their core skills and resources,
d). Lereverage from that by transferring and applying their knowledge of
those skills and resources to new product, services or markets.

Entrepreneurship dan manajemen stratejik merupakan proses dinamis yang


melibatkan perilaku. Dalam konteks manajemen stratejik mengharuskan perseroan
untuk melakukan eksploitasi competitive advantage dalam konteks lingkungan
tertentu. Sementara itu Entrepreneurship membutuhkan pencarian untuk competitive
advantage melalui produk, proses dan inovasi pasar. Gambar 2.7 (Lampiran Bab 2)
menunjukkan domain utama dari irisan entrepreneurship dan strategic management
dalam mencapai wealth creation, yaitu inovasi, jaringan, internasionalisasi, organisasi
pembelajar, top management team and governance, dan pertumbuhan perusahaan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
49

Fontana (2009) dan juga Schendel dan Hitt (2007) mengatakan bahwa
strategic enterpereurship adalah deal with imagination, ideas, invention, and
innovation. Focuses on the discovery on creation of new things with advance from
which society benefits through new value proposition that better serve needs of some
segment or the whole, of society.
Pengertian lain menyebutkan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan
melihat dan menilai kesempatan-kesempatan (peluang) bisnis serta kemampuan
mengoptimalisasikan sumber daya dan mengambil tindakan serta bermotivasi tinggi
dalam mengambil resiko dalam rangka mensukseskan bisnisnya. Manajemen
kewirausahaan bersifat holistik, termasuk menyangkut lingkungan internal
perusahaan. Salah satu implementasi dari hal tersebut adalah strategi kewirausahaan
yang menyangkut kesesuaian kemampuan internal dan aktivitas perusahaan dengan
lingkungan eksternal dimana perusahaan harus bersaing dengan menggunakan
keputusan-keputusan strategis. Dalam implementasi strategi usahanya, wirausaha
biasanya menggunakan dalam satu strategi dari empat strategi, sebagai yang
dijelaskan berikut ini.
Pertama, berada pertama di pasar dengan produk dan jasa baru. Strategi ini
sering dipilih oleh wirausahawan meskipun paling berisiko. Setelah strategi pertama
sukses, maka selanjutnya mempertahankan kepemimpinan pasar (market leader).
Kedua, Posisi produk dan jasa baru tersebut pada relung pasar (niche market) yang
tidak terlayani. Strategi ini menyangkut pengembangan ketrampilan untuk
menganggapi peluang yang diciptakan oleh perusahaan yang berada di pasar pertama.
Yang sering terjadi adalah banyak peniru yang kemudian memperbaiki atau
memodifikasi barang dan jasa untuk menciptakan nilai yang lebih tinggi bagi
pembeli. Untuk itu wirausaha perlu memindahkan daya saingnya ke segmen pasar
lain dengan menominasi segmen pasar kecil yang dipandangi perusahaan besar tidak
memiliki peluang. Ketiga, fokus barang dan jasa pada relung yang kecil tetapi bisa
bertahan, yaitu perusahaan karakteristik prosuk, pasar, atau industri yang berbasis
pada inovasi. Strategi ini dilakukan dengan mengubah produk dan jasa yang sudah

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
50

ada, misalnya mengubah manfaat, nilai and karakteristik ekonomi lainnya. Keempat,
mengubah karakteristik produk-produk pasar atau industri.

2.8. Ambidexterity
Kesuksesan jangka panjang sebuah organisasi tergantung dari kemampuan
organisasi untuk melakukan eksploitasi kapabilitas yang ada dan secara simultan
melakukan eksplorasi secara fundamental kompetensi yang baru (Levinthal & March,
1993; March, 1991 dalam Raisch, 2009). Aktivitas pembelajaran eksploitasi terkait
dengan mengatur hal yang sudah ada (produk, karyawan, nilai-nilai) yang mengarah
kepada efisiensi, berubah dengan lambat dan berpikir konvergen untuk kinerja jangka
pendek. Sementara aktivitas pembelajaran eksplorasi menitikberatkan kepada
kebutuhan untuk melibatkan usaha erksperimen, pembelajaran secara cepat, dan
berpikir divergen untuk mencapai sukses jangka panjang (Gibson dan Birkinshaw,
2004; March, 1991; Tushman dan O'Reilly, 1996).
Untuk mengatur kedua hal yang saling bertentangan ini, pimpinan
organisasi harus mampu secara simultan mengatur logika-logika dominan yang saling
bersaing tersebut (Prahalad dan Bettis, 1986), melihat kedepan sekaligus melihat
kebelakang (Gavetti dan Levinthal 2000), sekaligus menciptakan kesempatan, dan
juga kerangka yang mengancam (Gilbert, 2006). Oleh sebab itu, diperlukan adanya
kemampuan organisasi untuk bisa mengatur aktivitas eksplorasi dan eksploitasi
secara bersamaan. Kemampuan ini kemudian dikenal dengan nama ambidexterity.
Ambidexterity sendiri berasal dari kata latin ambi yang berarti ‘dua’ dan dexter yang
berarti ‘tepat’ atau ‘baik’, sehingga ambidexterity secara literatur berarti ‘tepat pada
kedua sisi’. Dalam ilmu biologi, orang ambidextrous adalah yang memiliki
kemampuan yang seimbang dalam menggunakan tangan kanan dan kirinya atau otak
kanan dan otak. Dalam ilmu organisasi, organisasi ambidextrous diartikan sebagai
organisasi yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam mengeksplorasi dan
mengeksploitasi secara simultan. Adapun orang yang pertama kali memperkenalkan
terminologi ambidextrous organization atau ambidexterity dalam organisasi adalah
R.B Duncan pada tahun 1976.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
51

Organisasi harus memecahkan pertentangan ini dengan menjadi


ambidextrous, yaitu bertukar peran antara dua bentuk organisasi tergantung dimana
posisi organisasi dalam proses inovasi (Duncan (1976)). Duncan mengemukakan
argumen bahwa organisasi harus menghadapi konflik yang muncul dari inisiasi dan
juga mengimplementasikan ide inovatif. Johnston (1976) menemukan bahwa sebuah
perusahaan konsultan menampilkan desain formal mekanistik sebaik sebuah desain
organik. McDonough dan Leifer (1983) menyarankan bahwa unit kerja sebaiknya
menggunakan beberapa struktur secara simultan untuk menghadapi variasi dari
kontigensi yang ada. Mereka menemukan bahwa berbagai kombinasi dari dimensi
struktural yang menyarankan bahwa penggunaan struktur tunggal yang tetap adalah
tidak tepat.
Pada studi mereka mengenai industri komputer, Brown dan Eisenhardt
(1998) juga menemukan kombinasi struktur kompleks yang sama yang disebut
semistruktur. Organisasi yang berhasil terlibat dalam perubahan yang berkelanjutan
dan memiliki semistruktur yang yang menunjukkan urutan parsial dan terletak
diantara titik eksterm yang sangat kaku dan kacau. Demikian pula, Sheremata (2000)
berpendapat bahwa struktur yang efektif untuk organisasi berkinerja tinggi yang tidak
hanya organik atau murni mekanistik. Pengembangan produk yang sukses tampaknya
memerlukan kombinasi “elemen struktur dan proses yang kompleks, beberapa
tampak organik, sementara yang lainnya mekanistik” (Sheremata, 2000: 389). Weick
(1982) mengusulkan bahwa dilema utama bagi organisasi melibatkan trade-off antara
adaptasi untuk mengeksploitasi peluang saat ini dan kemampuan beradaptasi untuk
memanfaatkan peluang masa depan. Selain itu, Weick berpendapat bahwa trade-off
antara adaptasi dan kemampuan beradaptasi sering digambarkan sebagai ketegangan
antara stabilitas dan fleksibilitas. Volberda (1996) menyatakan bahwa fleksibilitas
organisasi membutuhkan ketegangan konstruktif antara perubahan dan pelestarian.
Volberda memperkenalkan beberapa jenis fleksibilitas dan menggambarkan
bagaimana organisasi dapat mengembangkan bentuk-bentuk organisasi untuk
mengatasi perubahan dan pengembangan dengan cara tertentu. Baru-baru ini, Gilson,
Mathieu, Shalley, dan Ruddy (2005) menunjukkan bahwa lingkungan kerja tim harus

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
52

mendorong kepatuhan baik untuk standar kerja yang telah ditetapkan dan penggunaan
kreativitas sebagai pengingat situasi. Mereka menemukan bahwa tim dengan standar
lebih serta lingkungan kerja kreatif memiliki tingkatan kinerja tim yang lebih tinggi
dan memiliki dampak kepada kepuasan pelanggan. Ambidextrous Organization
adalah bentuk organisasi yang kompleks yang terdiri atas arsitektur internal yang
tidak konsisten, beberapa bersifat kolektif, mampu beroperasi secara bersamaan untuk
efisiensi jangka pendek serta inovasi jangka panjang (Bradach, 1997; O'Reilly &
Tushman, 2004; Tushman & O'Reilly, 1996). Hal ini dianalogikan oleh Tushman
seperti seorang akrobatik yang perlu untuk menangani beberapa bola pada saat yang
sama, maka organisasi harus bersaing di pasar secara bersamaan (Tushman &
O'Reilly, 1996).
Karakteristik organisasi dari beberapa organisasi ambidextrous yang
memungkinkan mereka untuk mengejar eksplorasi dan eksploitasi secara bersamaan
tanpa meningkatkan biaya koordinasi secara ekstensif, O'Reilly dan Tushman (2004).
Mereka mendefinisikan organisasi ambidextrous sebagai:

“Ambidextrous organization as business units with: (a) high levels of


differentiation reflected in distinct exploratory unit(s), each with dedicated
innovation manager(s) and dedicated staff. These units are physically
separate from the incumbent unit and the innovation manager(s) reports to
either the general manager or a member of the senior team, (b) low levels of
tactical integration between the incumbent unit and the exploratory unit(s)
reflected in targeted cross unit formal linking mechanisms, and (c) strong
senior team integration reflected in the general manager’s strong substantive
and symbolic support for both the incremental and non-incremental units and
the senior team with common fate incentives”

Mereka menemukan bahwa organisasi ambidextrous memiliki visi yang


jelas dan menarik yang terus-menerus dikomunikasikan oleh tim senior. Selain itu,
mereka menerapkan sistem insentif dengan program bonus umum berdasarkan kinerja
secara keseluruhan serta pekerjaan-rotasi eksekutif senior. Dengan cara ini, organisasi
ambidextrous dapat memperbarui diri melalui penciptaan produk terobosan, jasa, dan
proses tanpa merusak atau menghambat bisnis tradisionalnya (Gibson & Birkinshaw,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
53

2004; Tushman & O'Reilly, 1996). Membangun organisasi ambidextrous tidak berarti
mudah, mengingat adanya keharusan untuk dapat menyeimbangkan sifat paradoks,
serta melakukan sinkronisasi antara eksplorasi dan eksploitasi.
Ambidekteritas sendiri dapat terjadi di setiap tingkat dalam organisasi.
Misalnya, pada level strategik, masalah ambidexteritas muncul ketika terjadi dilema
antara manajer senior yang harus memutuskan apakah akan menggunakan
kesempatan untuk melakukan inovasi ataukah pengembangan (Smith dan Tushman,
2005), sementara, pada tingkat proyek, ambidexterity melibatkan penyusunan
karakteristik struktural seperti insentif, kepemimpinan dari tim proyek, dan struktur
tim yang memperbolehkan proyek yang terkait dengan inovasi dan pengembangan
muncul pada tempat yang sama (Cole dan Matsumiya, 2007; Carillo dan Gaimon,
2004). Ambidexterity kemudian membutuhkan adanya hubungan antara level strategik
dengan level proyek untuk mensinkronisasikan dan menyambungkan kedua tingkatan
tersebut (Gibson dan Birkinshaw, 2004).
Terdapat dua bentuk ambidexterity, yaitu structural ambidexterity dan
contextual ambidexterity. Dalam structural ambidexterity, terdapat dua bentuk
struktural yang dikemukakan oleh Duncan (1976). Argumentasi yang dikemukakan
oleh Duncan ketika itu adalah bahwa organisasi harus menempatkan kedua struktur
pada tempatnya karena menginisiasi dan mengimplementasikan inovasi memiliki
kebutuhan yang berbeda. Struktur ini dapat ditempatkan baik dalam unit bisnis yang
berbeda atau dalam grup yang berbeda di dalam satu unit bisnis. Tushman dan
O’Reilly (1996) kemudian merumuskan hal yang sama, tetapi lebih komprehensif
untuk melakukan ambidexterity. Mereka berteori bahwa organisasi dapat mengatur
tekanan antara eksplorasi dan eksploitasi melalui unit bisnis yang terpisah secara
struktural. Dalam structural ambidextrity, sub unit yang berbeda memiliki
kompetensi, sistem, insentif, proses, dan budaya yang berbeda pula yang kemudian
secara internal diselaraskan dan diatur untuk ekplorasi dan eksploitasi. Secara lebih
lanjut, mereka juga memiliki teori bahwa kemampuan manajemen senior untuk
mengintegrasikan sub unit yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada tingkatan
organisasi sangat penting untuk menhasilkan ambidexterity.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
54

Tipe lain dari ambidexterity adalah contextual ambidexterity yang


dikemukakan oleh Gibson dan Birkinshaw (2004). Gibson dan Birkinshaw memiliki
teori bahwa organisasi dapat memiliki ambidexteritas di dalam satu unit organisasi.
Mereka kemudian mendefinisikan ambidexteritas kontekstual sebagai the behavioral
capacity to simultaneously demonstrate alignment and adaptability across an entire
business unit (Gibson & Birkinshaw, 2004, p. 209). Sebuah penyelarasan yang
menggambarkan koherensi diantara semua pola aktivitas dimana adaptabilitas
merupakan kemampuan untuk merekonfigurasi aktivitas-akitivitas secara cepat untuk
menghadapi perubahan permintaan yang ada dilingkungan organisasi. Selanjutnya,
mereka juga mengajukan bahwa organisasi dengan contextual ambidextrous
memungkinkan pegawai untuk memutuskan pada cara yang terbaik untuk membagi
waktu mereka untuk menghadapi permintaan yang bertentangan untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi dalam seperangkat proses dan sistem yang khusus.
Gambar 2.8 (Lampiran Bab 2) adalah gambar yang akan membandingkan kedua tipe
ambidexterity tersebut. Terkait dengan Gambar 2.8, yang digunakan dalam disertasi
ini adalah contextual ambidexterity. Hal ini disebabkan karena ambidexterity jenis ini
banyak terlihat dalam pengambilan data saat peneliti melakukan proses finding out,
sehingga ambidexterity jenis ini menjadi perhatian pada saat selecting, naming
relevant systems yang tertuang di dalam rich picture.
Dalam perkembangannya, Chandrasekaran (2009) kemudian mengajukan
satu level lagi mengenai ambidexterity, yakni cognitive ambidexterity.
Chandrasekaran (2009) mendefinisikan cognitive ambidexterity sebagai resolving
strategic contradiction among the senior management teams by mitigating the
innovation-improvement decision risks (menyelesaikan kontradiksi strategis diantara
tim manajemen senior dengan mengurangi risiko dari adanya keputusan antara
inovasi atau pengembangan). Selain itu, Chandrasekaran juga mendefinisikan
contextual ambidexterity sebagai ensuring alignment and adaptability between
strategic and project levels (memastikan penyelarasan dan adaptabilitas antara level
strategik dan proyek) dan structural ambidexterity sebagai ensuring distinct
structural mechanisms at the project level when managing these projects

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
55

(memastikan adanya pemisahan mekanisme struktural pada tingkat proyek ketika


mengatur proyek tersebut). Pengertian ambidextrous organization dapat dirangkum
pada Tabel 2.6 berikut.
Tabel 2.6. Pengertian Ambidextrous Organization

Sumber: He dan Wang, 2004

Penelitian ini akan menggunakan strategic ambidexterity dan contextual


ambidexterity. Konsep strategic ambidexterity diperkenalkan oleh Chandrasekaran
(2009), konsep strategic ambidexterity diperkenalkan oleh Tushman dan O’Reilly
(2006) dengan mengupasnya menggunakan kapabilitas dinamis Teece (2009).
Sedangkan contextual ambidexterity diperkenalkan juga oleh Tushman dan O’Reilly
(2006), Schudy (2010), Guttel dan Konlechner (2009). Kedua jenis ambidexterity ini
dipergunakan oleh peneliti karena berdasarkan reality yang tercermin dalam Rich
Picture pada saat turun lapangan di Lippo Karawaci.

2.8.1. Strategic Ambidexterity


Strategic ambidexterity merupakan salah satu bentuk dari ambidexterity
pada level strategis, dalam konteks penelitian ini adalah pimpinan kolektif.
Chandrasekaran (2009) menyebutnya sebagai cognitive ambidexterity sebagai:

“A dynamic capability at the strategic level, facilitates choosing the right


balance of innovation and improvement. Practices such as an emphasis on a
continuous planning approach, the use of multi level planning teams,
information analysis, and customer and market focus provide cognitive
ambidexterity.”

Dengan demikian, cognitive ambidexterity merupakan kapabilitas dinamis


pada tingkat strategik yang memfasilitasi keputusan untuk memilih keseimbangan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
56

yang tepat antara inovasi dan pengembangan. Cara yang biasa digunakan untuk
menyediakan cognitive ambidexterity antara lain adalah pendekatan perencanaan
berkelanjutan, penggunaan tim perencanaan multi level, analisis infomasi, serta fokus
kepada pelanggan dan pasar.
Penelitian mengenai kognisi secara lebih lanjut menyediakan ide mengenai
pengolahan informasi yang berkaitan dengan kemampuan organisasi dalam
mengeksplorasi dan mengeksploitasi. Dua arus dari penelitian yang ada
mengidentifikasi adanya proses kognitif yang berlawanan yang berhubungan dengan
pendekatan inkonsistensi atau pilihan paradoksial, yakni diferensiasi dan integrasi
(Langer 1989; Suedfeld et al. 1992). Diferensiasi sendiri mengarah kepada
pemecahan masalah yang berhubungan dengan pilihan yang lebih banyak, solusi yang
lebih kreatif, dan pemikiran yang lebih integratif (Weick dan Sutcliffe 2001). Pada
sisi yang lain, Suedfeld dan kolega (1992) menemukan bahwa kebanyakan
pendekatan yang ada menjadi inkonsisten karena mengetahui perbedaan tersebut dan
dengan melakukan hal tersebut, telah mempolarisasi perbedaan antara kedua pilihan.
Hasilnya adalah adanya kemungkinan untuk terjadinya integrasi antara produk yang
sudah ada (eksploitasi/pengembangan) dengan inovasi (eksplorasi). Argumen yang
dikemukakan adalah bagaimanapun juga lebih banyak kompleksitas berhubungan
dengan cara berpikir yang lebih integratif. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Suedfeld et al sebagai berikut:

“The development of conceptual connections among differentiation


dimensions or perspectives. Such connections are inferred from references to
tradeoffs between alternatives, a synthesis between them, a reference to a
higher order that subsumes them, and the like” (Suedfeld et al. 1992, p. 394).

Pada penelitian ini, cognitive ambidexterity yang diambil berangkat dari


adanya kapabilitas dinamis untuk membuat suatu keputusan yang dapat
menyeimbangkan antara inovasi (eksplorasi) dengan pengembangan (eksploitasi)
serta kapabilitas dinamis dari tim manajemen puncak dalam melakukan pengolahan
informasi dan kerangka visi yang mereka miliki. Terdapat dua asumsi yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
57

mendasari mengenai kognitif ambidexterity, yang pertama adalah perilaku dan


keputusan dari tim manajemen puncak dapat berdampak pada kinerja organisasi,
bahkan keputusan yang diambil oleh pemimpin senior dapat terhambat oleh sumber
daya dan pola dependensi yang ada (Pfeffer dan Salancik, 1978), kualitas dan
karakteristik dari tim manajemen puncak berhubungan dengan variansi dari kinerja,
terutama di organisasi dengan situasi yang sangat kompleks (Michel and Hambrick
1992).
Asumsi kedua adalah perilaku dan keputusan dari tim manajemen puncak
berhubungan dengan variansi dari kerangka manajerial tim dan pembuatan keputusan
secara kognitif (Walsh, 1995). Kerangka kognitif dan manajerial pengolahan
informasi telah diperhitungkan sebagai diferensiasi dari kinerja organisasi. Kedua
kerangka ini memfokuskan perhatian dan dampak dari kerangka kerja keputusan, dan
dengan melakukan hal tersebut, maka akan berdampak pada pembuatan keputusan
akhir.

2.8.2. Contextual Ambidexterity


Contextual ambidexterity merupakan bentuk lain dari ambidexterity dalam
organisasi. Gibson dan Birkinshaw melihat contextual ambidexterity sebagai tipe
khusus dari ambidexterity yang complex, causally ambiguous, widely dispersed, and
time-consuming to develop (Gibson & Birkinshaw, 2004). Dari perspektif resource
based perusahaan contextual ambidexterity dapat dilihat sebagai sumber daya yang
bernilai, langka, dan berbiaya tinggi untuk ditiru, yang berpotensi untuk menjadi
sumber daya yang penting untuk keunggulan daya saing suatu perusahaan. Hill dan
Birkinshaw (2006) menemukan bahwa kemampuan untuk secara simultan
menggunakan kapabilitas yang sudah ada maupun yang baru dalam unit modal
ventura berhubungan secara positif dengan kinerja strategik ventura. Secara lebih
lanjut, Gibson dan Birkinshaw (2004) melihat bahwa contextual ambidexterity
didapatkan dengan membangun building a set of processes or systems (combination
of discipline, stretch, support and trust) that enable and encourage individuals to
make their own judgments about how to divide their time between conflicting

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
58

demands for alignment and adaptability (seperangkat sistem atau proses (kombinasi
dari disiplin, dukungan, kepercayaan, dan kekuatan) yang memungkinkan dan
mendukung individu-individu dalam organisasi untuk membuat penilaian mereka
sendiri mengenai bagaimana mereka membagi waktu mereka dalam menghadapi
permintaan yang bertentangan dari penyelarasan dan adaptabilitas). Beckman (2006)
berargumen bahwa tim pendiri yang berbeda dapat menjadi ambidextrous dalam
strategi mereka untuk mengembangkan kinerja perusahaan. Organisasi dapat
mengembangkan ambidexterity melalui konteks interorganisasional seperti fungsi
(pemasaran atau pengembangan riset), struktur (rekanan yang ada saat ini atau
rekanan baru) dan atribusi (rekanan yang serupa atau tidak serupa) (Lavie dan
Rosenkopf, 2006). Organisasi juga dapat membangun ambidexterity intra organisasi
melalui partisipasi dari manajer dalam menghadapi lintas fungsional dan hubungan
dari manajer dengan anggota organisasi lainnya (Mom et al., 2009).
Dalam contextual ambidexterity, terdapat beberapa antesenden yang
memiliki pengaruh terhadap ambidexteritas dari organisasi. Beberapa antesenden
tersebut diantaranya adalah budaya, kepemimpinan, dan kompetensi.

a. Budaya dan Context


Budaya merupakan salah satu hal penting dalam mendukung kapabilitas
dinamis suatu organisasi, terutama untuk memiliki keunggulan bersaing. Selain
adanya kualitas pemimpin, serta struktur dan proses yang mumpuni, kapabilitas dari
organisasi juga terdapat dalam budaya dan jaringan sosial yang dimiliki oleh
organisasi. Neo (2007) melihat pentingnya budaya dalam hal aktivitas eksplorasi dan
eksploitasi seperti dalam pernyataan sebagai berikut:
“Why is there a need to understand the cultural foundations of values, beliefs
and mental models? Because learning, development and planned change
cannot be understood or be effective without considering how culture may be
a source of resistance –since it is shaped by past experiences, culture
commonly act as an impediment to change”.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
59

Terlihat bahwa budaya dapat menjadi penghambat tidak saja kemampuan


organisasi untuk melakukan inovasi, melainkan juga kemampuan organisasi untuk
berkembang dengan yang ada. Budaya sendiri dapat diartikan sebagai kepercayaan
dan nilai-nilai yang ada pada kelompok tertentu yang kemudian dibagi dan dianut
secara umum. Schein (1992) mendefinisikan kebudayaan dalam kelompok sebagai:

“A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its
problems of external adaptation and integration, that has worked well enough
to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the
correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”

Kebudayaan merupakan sebagai produk dari masa lalu yang berhasil, Earley
dan Soon Ang (2003). Pada saat sebuah organisasi berkembang dan berevolusi,
asumsi budaya menjadi terikat ke dalamnya secara psikis yang kemudian diterima
begitu saja oleh anggotanya. Asumsi yang berdasarkan pengalaman masa lalu ini
kemudian bekerja sebagai filter dalam hal organisasi berpersepsi dan berpikir,
menentukan caranya untuk memandang dunia yang kemudian akan mempengaruhi
strategi dan pilihan yang diambil. Budaya juga berisi pola cara berpikir, merasakan,
dan bereaksi terhadap berbagai situasi dan tindakan.
Ada beberapa manifestasi dari budaya yakni misi dan nilai yang dimiliki
oleh suatu organisasi yang menyediakan inidikasi dari adanya budaya ditingkat
pertama, yang kemudian mendefinisikan alasan dari keberadaan organisasi tersebut
dan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai misi tersebut, Neo (2007). Penurunan
dari nilai-nilai tersebut adalah filosofi formal, yakni perluasan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip yang memandu tindakan untuk mencapai misi. Budaya juga terdapat dalam
peraturan dan norma berperilaku dari suatu kelompok, yakni peraturan-peraturan
yang secara implisit mengatur interaksi diantara anggota yang berbeda dalam suatu
organisasi yang bertujuan untuk memperkuat integrasi internal. Schein (1992)
kemudian berpendapat bahwa:

“The culture of an organization springs from the beliefs, values and


assumptions of the founders of the organization. Founders not only have a

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
60

high level of self confidence and determination but they typically have strong
assumptions about the nature of the world, the role that the organizations
play in the world, human nature and relationships, how truth is arrived at,
and how to manage time and space. Organizational culture is created when
leaders externalize their own assumptions and embed them gradually and
consistently into the mission, goals, structures and decision processes of the
organization”.

Beberapa penelitian tentang ambidexterity yang mengaitkan dengan


antesendennya menunjukkan bahwa budaya organisasi dan konteks organisasi itu
sendiri, dapat mempengaruhi eksplorasi, eksploitasi dan ambidexterity. Namun,
seberapa besar pengaruhnya sangat tergantung dari tipe ambidexteritas mana yang
digunakan. Organisasi yang ingin menjadi ambidextrous dalam satu unit dapat
menggunakan contextual ambdexterity melalui sebuah konteks yang
dikarakteristikkan oleh elemen keras (disiplin dan peregangan tingkat tinggi) dan
elemen lunak (dukungan dan kepercayaan tingkat tinggi) (Gibson dan Birkinshaw,
2004). Disiplin dan peregangan dikatakan dapat menginduksi daya juang pegawai
untuk menemui dan melampaui harapan yang diberikan secara sukarela, sementara
dukungan dan kepercayaan mendorong karyawan untuk saling membantu dan saling
tergantung satu dengan yang lain. Gibson dan Birkinshaw (2004) lalu merangkum
semua elemen keras ini dalam penelitian mereka sebagai “manajemen kinerja” dan
elemen lunak sebagai “konteks sosial”, dan mereka berteori bahwa sebuah konteks
yang menggabungkan kedua elemen ini dapat menginspirasi pegawai untuk
“melakukan apapun yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil”, selain itu juga
memberdayakan pegawai untuk terlibat dalam kegiatan yang mendukung
penyelarasan (eksploitasi) dan adaptabilitas (eksplorasi).
Guttel dan Konlechner (2009) juga berargumen akan pentingnya nilai dan
norma budaya. Pada penelitian mereka ditemukan dua aspek keseluruhan yang
berkontribusi pada contextual ambidexterity. Aspek pertama adalah orientasi kinerja
dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok, dan aspek kedua melibatkan
kerangka referensi yang terintegrasi. Mereka menemukan bahwa jika orientasi kinerja
diintegrasikan dalam norma-norma kelompok, pegawai akan tetap belajar dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
61

memiliki kinerja yang lebih baik karena adanya norma-norma dan tekanan sosial
yang memfasilitasi mereka. Terlebih lagi, mereka menemukan bahwa bekerja dalam
tim dengan proyek yang berkaitan dengan pelayanan dan riset memicu adanya
kerangka referensi yang terintegrasi yang memungkinkan terjadinya “ambidextrous
mindset atau pola pikir ambidextrous” yang tidak memilih antara eksplorasi dengan
eksploitasi, melainkan memperlakukan kedua hal tersebut secara sama dan seimbang.
Bierly dan Daly (2007) turut mengajukan sistem organisasi tertentu yang
turut mendukung ekplorasi dan eksploitasi secara simultan. Namun, sayangnya
mereka tidak menyelidiki secara empiris mengenai proposisi yang mereka ajukan.
Sistem ini termasuk team-based structures, an organizational culture that values and
promotes change, open communication channels, and human resource practices that
promote creativity and innovation (struktur berbasis tim, sebuah budaya organisasi
yang menghargai dan mendukung perubahan, saluran komunikasi yang terbuka, serta
praktek sumber daya manusia yang mendukung kreativitas dan inovasi).
Konteks seperti apa yang dapat memfasilitasi ambidexterity dalam sebuah
tim yang baru saja digabungkan karena adanya akuisisi sebagai aksi korporasi, telah
diteliti oleh Nemanich dan Vera (2009). Para penulis ini kemudian mengemukakan
teori bahwa budaya pembelajaran terdiri atas keamanan secara psikologis,
keterbukaan pada opini yang berbeda, dan partisipasi dalam pembuatan keputusan
untuk mendukung ambidexterity kelompok dan secara empiris telah menunjukkan
dampaknya pada konteks akuisisi. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa
budaya dan konteks kerja memiliki peranan penting untuk mendukung contextual
ambidexterity, dimana tipe kontekstual memberikan kondisi konteks tertentu yang
dapat memberdayakan dan mendukung pegawai untuk melaksanakan baik aktivitas
yang bertujuan eksplorasi dan eksploitasi serta memutuskan bagaimana cara terbaik
bagi mereka untuk membagi waktunya diantara aktivitas-aktivitas tersebut.

b. Kepemimpinan
Pada tipe contextual ambidexterity, dinamika antara kegiatan yang
berorientasi pada penyelarasan dan adaptasi tidak hanya dihadapi oleh pemimpin

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
62

puncak, tetapi juga pada tingkat pegawai. penelitian pada contextual ambidexterity
sebelumnya mengemukakan teori bahwa konteks dari organisasi akan memungkinkan
pegawai untuk bertindak untuk melakukan penyelarasan dan adaptabilitas. Dalam hal
ini, pemimpinlah yang mendapatkan tantangan untuk menciptakan sebuah konteks
yang dapat mendukung pegawai untuk menyeimbangkan ketegangan tersebut. Gibson
dan Birkinshaw (2004) melihat bahwa manajemen puncak merupakan kunci untuk
menerapkan sistem dan proses yang dapat mendukung konteks tersebut. Manajemen
puncak yang memiliki peranan disini lebih kepada pemimpin senior yang bertugas
untuk menerapkan sebuah konteks yang dapat memberdayakan setiap pegawai untuk
menggabungkan eksplorasi dan eksploitasi di tingkatannya.

c. Kompetensi
Penelitian tentang ambidexterity menekankan bahwa eksplorasi, eksploitasi
dan kombinasi diantara keduanya membutuhkan adanya pengetahuan, keterampilan,
kemampuan dan kompetensi tertentu dari setiap anggota organisasi. Pada organisasi
yang bertujuan untuk mencapai ambidexteritas melalui unit-unit eksplorasi dan
eksploitasi yang terpisah, manajer senior harus melakukan penciptaan makna dari
konteks adanya kontradiksi dan untuk mengekstraksi keuntungan yang didapatkan
yang berhubungan dengan agenda strategis yang bertentangan (Smith dan Tushman,
2005).
Sumber daya manusia seperti apa, yang kemudian didefinisikan sebagai
pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kompetensi lainnya dari anggota
organisasi yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan
pembelajaran ekplorasi dan eksploitasi telah didiskusikan oleh Kang dan Snell
(2009). Mereka kemudian membaginya dalam modal SDM spesialis dan generalis.
Modal SDM secara spesialis tampak lebih sukses untuk melakukan eksploitasi
dibandingkan eksplorasi karena spesialis biasanya memiliki tingkat pengetahuan yang
lebih dalam pada suatu area spesifik tertentu, yang tentunya akan menjadi lebih
efektif dalam mendapatkan dan mengasimiliasikan pengetahuan baru pada jangkauan
yang lebih sempit (eksploitasi). Secara berlawanan, mereka menyarankan bahwa

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
63

modal SDM yang generalis lebih mempengaruhi pembelajaran eksplorasi karena


modal SDM yang generalis memiliki jangkauan pengetahuan yang lebih luas untuk
hal-hal yang berbeda. Kang dan Snell (2009) kemudian menggabungkan kedua
pemikiran tersebut dalam sebuah model dengan konfgurasi yang spesifik dari modal
SDM (pengetahuan individual), modal sosial (pengetahuan yang terdapat dalam
jaringan relasi) dan modal organisasi (pengetahuan yang didapat dari proses, sistem
dan struktur organisasi) dan mereka juga menyarankan konfigurasi yang berbeda dari
modal intelektual ini untuk mendukung proses pembelajaran ambidextrous di dalam
satu unit.
Di dalam Tabel 2.7 berikut ini penulis menyajikan beberapa penelitian
sebelumnya yang mempunyai fokus penelitian tentang ambidextrous organization
sejak tahun 2009.
Tabel 2.7. Tinjauan Literatur Terkait Ambidexterity

Nama
No Peneliti Judul Jurnal Hasil
(Tahun)
Dalam kontekstual ambidexterity
terdapat beberapa karakteristik
yang istimewa yakni struktur
formal, model operasional bisnis
dan persetujuan target,
semistruktur, fluid project based
Continuously
structures, sistem SDM, nilai
Wolfgang H. Hanging by a Schmalenbach
budaya dan norma sosial, orientasi
Güttel/ Thread: Business Review,
pada kinerja dan norma-norma
1 Stefan W. Managing Vol. 61, pp. 150-
kelompok, dan kerangka kerja
Konlechner Contextually 171, April 2009
yang terintegrasi. Dalam mencapai
(2009) Ambidextrous
kontekstual ambidexterity sendiri
Organizations
terdapat beberapa hal yang harus
dicapai, yaitu kepemerintahan yang
strategis dan pengawasan,
pengaturan konflik dan kohesi,
serta menghubungkan antara
eksplorasi dan eksploitasi.
Hasil penelitian menunjukkan
adanya faktor-faktor yang bersifat
Contextual
sebagai variabel antesenden untuk
Ambidexterity in
Christian Disertasi mencapai organisasi yang
Organizations:
2 A.J. Schudy University of ambidextrous, yaitu norma dan
Antecedents and
(2010) Saint Gallen budaya, kompetensi,
Performance
kepemimpinan, serta mekanisme
Consequences
pertukaran pengetahuan. Norma
budaya, kompetensi dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
64

Nama
No Peneliti Judul Jurnal Hasil
(Tahun)
kepemimpinan merupakan faktor
penting untuk mendapatkan
contextual ambidexterity.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa suatu organisasi dapat
menyeimbangkan eksplorasi dan
Managing eksploitasi melalui proses kognitif
Strategic dengan melakukan pengadopsian
Ambidexterity: kerangka kerja yang lebih luas
Wendy K Research Paper
Top Teams and sebagai tujuan organisasi mereka,
3 Smith – University of
Cognitive Process melakukan diferensiasi produk
(2005) Delaware
to Explore and yakni mengenali perbedaan antara
Exploit produk yang sudah ada dengan
Simultaneously produk yang baru, serta melakukan
integrasi yakni mengidentifikasi
sinergis dan sumber daya yang
dapat dibagi bersama.
Di tengah lingkungan berubah
cepat yang ditandai dengan
hiperkompetisi dan berskala
global, keunggulan bersaing
semakin bergantung dari
kemampuan kombinasi strategi
paradoksal. Strategi paradoks
mencakup dimensi kontradiksi
Wendy K namun tetap integratif. Pengelolaan
Complex Business
Smith, Andy model bisnis yang kompleks
Models:
Binns and Long Range tergantung dari faktor
4 Managing
Michael L Planning (2010) kepemimpinan, yang dapat
Paradox
Tushman membuat keputusan dinamis,
Strategically
(2010) membangun komitmen baik
visioner maupun tujuan yang
spesifik, pembelajar aktif dari
berbagai lini/sumber, dan
mengelola konflik. Kepemimpinan
yang berfokus pada tim dan
berfokus pada sang pemimpin
menjadi kata kunci sukses
mengelola strategi paradoks
Paradigma riset organisasi yang
Sebastian muncul dewasa ini yaitu
Raisch, Organizational Organizational Ambidexterity.
Julian Ambidexterity: Orgamization Keempat penulis makalah ini
Birkinshaw, Balancing Science Vol.20, sepakat bahwa pentingnya
5 Gilbert Exploitation and No.4, July – Organizational Ambidextry bagi
Probst, dan Exploration for August 2009, kinerja jangka panjang perusahaan.
Michael L Sustained pp.685-695 Akan tetapi, masih muncul empat
Tushman Performance tekanan kunci (four fundamental
(2009) tentions) bagi Organizational
Ambidexterity: Soal diferensiasi vs

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
65

Nama
No Peneliti Judul Jurnal Hasil
(Tahun)
integrasi, inidvidu vs organisasi,
statis vs dinamis, dan internal vs
eksternal. Riset-riset tentang
Organizational Ambidexterity
menunjukkan beberapa individu,
grup maupun organisasi sukses
dalam jangka panjang. Untuk itu,
perlu dipahami tentang strategi,
struktur dan proses yang
membangun keseimbangan dan
harmonisasi syarat-syarat yang
terlihat kontradiktif.
Disertasi Heavey (2009) berpijak
dari peran penting Top
Manajement Team (TMT) bagi
orientasi organisasi ambidexter.
Lebih jauh, studi ini berupaya
mengetahui atribut-atribut khusus
A dynamic
Dissertation dari TMT yang mendorong usaha-
Ciaran managerial
University of usaha membangun Ambidextrous
6 Heavey capabilities model
Connecticut, Organization. Berdasarkan
(2009) of organizational
2009 kerangka pemikiran dinamika
ambidexterity
manajerial terdapat tiga atribut
utama: intensitas sumber daya
manusia, intensitas jejaring sosial
dan transactive memory yang
menggarisbawahi kontribusi TMT
bagi orientasi Ambidexter.
Dalam penelitian yang dilakukan
ketiga peneliti ini, peneliti
mengeksplorasi bagaimana
perusahaan-perusahaan mampu
membangun unit-unit organisasi
ambidexter sebagai respon
Exploratory kebutuhan lingkungan. Peneliti
Justin J.P innovation, menguji faktor lingkungan dan
Jansen, exploitative Schmalenbach anteseden organisasi yang
Frans AJ innovation, and Business Review, mempengaruhi suatu unit dalam
Van den ambidexterity: Vol. 57, pp. 351- organisasi ambidexter. Penelitian
7
Bosch, and The impact of 363, October memperoleh bukti bahwa
Henk environmental 2005 perusahaan multi unit dapat
W.Volberda and membangun unit-unit organisasi
(2005) organizational ambidexter guna menghadapi
antecedents kompetisi dalam lingkungan
kompetitif yang dinamis. Lebih
jauh, peneliti menunjukkan bahwa
unit organisasi dengan
desentralisasi wewenang dan
hubungan sosial yang saling
berkait dapat berlaku sebagai

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
66

Nama
No Peneliti Judul Jurnal Hasil
(Tahun)
ambidexter dan mengejar inovasi
yang eksploratif dan eksploitatif
sekaligus. Studi ini memberikan
pandangan baru tentang bagaimana
perusahaan multi unit dapat
mengatasi tekanan kontradiktif
bagi kesinambungan inovasi
Studi Datta bermaksud
menjelaskan kemampuan
An integrative
komersialiasi inovasi sebagai isu
model to explain
sentral bagi bertahan dan
the ability to
suksesnya suatu perusahaan. Datta
commercialize Journal of
mengeksplorasi literatur yang
innovations: Management and
Avimanyu membangun model integratif bagi
8 Linking networks, Strategy, Vol 2
Datta (2011) anteseden, mediator dan moderator
absorptive No.2, pp 2-22,
dari komersialisasi. Peneliti
capacity, June 2011
mendapatkan jejaring di dalam
ambidexterity and
maupun antar perusahaan serta
environmental
sumber daya yang mereka miliki
factors
sebagai pendorong utama
kemampuan komersialisasi.
Sumber: Justin J.P Jansen, Frans AJ Van den Bosch, and Henk W.Volberda (2005), Wendy K Smith (2005),
Ciaran Heavey (2009), Sebastian Raisch, Julian Birkinshaw, Gilbert Probst, dan Michael L Tushman (2009),
Wolfgang H. Güttel/ Stefan W. Konlechner (2009), Wendy K Smith, Andy Binns and Michael L Tushman (2010),
Christian A.J. Schudy (2010), Avimanyu Datta (2011), hasil olahan penulis (2012).

Untuk mempermudah di dalam melihat perkembangan penelitian terkait


dengan ambidexterity, Gambar 2.3 bawah ini menyajikan informasi time series yang
menunjukkan sejarah penelitian terkait ambidexterity sejak tahun hingga saat ini.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
67

Sumber: March (1991), O’Reilly (1996), Bradach (1997), Adler (1999), Gaventi dan Levinthal (2000), Smith dan
Tushman (2002), Benneth dan Tushman (2003), Margolis dan Walsh (2003), Gibson dan Birkinshaw (2004),
Smith (2005), Lubatkin et all (2006), Gilbert (2006), Gibson dan Birkinshaw (2007), hasil olahan penulis (2012)

Gambar 2.3.Time series yang Menunjukkan Sejarah Penelitian Terkait Ambidexterity

Sedangkan dengan lebih detail Jansen (2005) menguraikan perbedaan yang


lebih detail tentang aktifitas inovasi dalam konteks eksploitasi dan eksplorasi. Hal ini
disajikan di dalam Tabel 2.8 sebagai berikut:

Tabel 2.8. Exploratory Innovation and Exploitation Innovation

Exploratory Innovation Exploitation Innovation


Are incremental
Are radical innovations and are innovations and are
Definition designed to meet the needs of designed to meet the needs
emerging customers or needs. of existing customers or
markets.
Existing designs, curent
New design, new market and
Outcomes markets and existing
new distribution channels
distribution channels.
Require new knowledge and
Build and boraden existing
Knowledge base departure from existing
knowledge and skills.
knowledge.
Search, variation, flexibility,
Refinement, production,
Result from experimentation and risk-
effiency and execution.
taking.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
68

Exploratory Innovation Exploitation Innovation


Performance implication distant in time short-term benefit
Sumber: Jansen (2005)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian


Setiap penelitian harus memiliki paradigma agar mampu menjawab
pertanyaan dan mencapai tujuan penelitian. Creswell menggunakan istilah pandangan
dunia (worldviews) yang berarti suatu kesatuan kepercayaan dasar yang memandu
tindakan penelitian untuk menggambarkan tentang paradigma penelitian (2009).
Melalui paradigma, seorang peneliti dapat memahami fenomena yang menjadi
perhatian dan menarik untuk diteliti, baik berkaitan dengan asumsi bagaimana
memandang obyek penelitian, dan bagaimana melaksanakan proses penelitian
(Creswell, 1996).
Sementara itu, Denzin & Lincoln (1994) mendefinisikan paradigma sebagai
sistem keyakinan dasar didasari asumsi ontologi (nature of reality), epistemologi
(how we know what we know), dan metodologi (the process of research) yang
memandu peneliti dalam memilih metode dan cara-cara fundamental yang bersifat
ontologis dan epistemologis. Guba (1990) juga memiliki pandangan yang sama
terhadap signifikansi ontologi, epistomologi, dan metodologi. Ontologi mencakup
pertanyaan mengenai bentuk dan hakikat realitas. Epistemologi mencakup pertanyaan
mengenai hakikat hubungan antara peneliti atau seseorang yang akan menjadi peneliti
dan apa yang dapat diketahui. Kemudian, metodologi mencakup pertanyaan
mengenai bagaimana cara peneliti atau apa yang akan peneliti temukan untuk menjadi
sesuatu yang diyakini peneliti dapat ketahui. Sementara itu, peneliti lain
menggunakan istilah paradigma dengan mengadopsi basic belief Guba (2005),
epistemologi dan ontologi (Crotty, 1998), dan metodologi penelitian yang telah
diterima secara luas (Neuman 2000).
Empat paradigma klasik, suatu pendekatan terhadap realitas sosial
dipaparkan oleh Burrel & Morgan (1979) dan Houghton & Ledington. Banyak
kritikus, yang menggunakan Soft Metodology (SSM), memiliki tinjauan terhadap

69 Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
70

model tersebut, yaitu seperti Prevost (1976), Naughton (1979), Mingers (1980, 1984),
Checkland (1981), Jakcson (2001), dan Flood (1999). Untuk lebih memahami
perbedaan perspektif dan kerangka kerja paradigma dari SSM, Gambar 3.1
(Lampiran) menampilkan pemetaan SSM yang dilakukan oleh Burrel & Morgan
(1979). Pada gambar pertama merepresentasikan pandangan Checkland (1981).
Dalam kaitannya dengan penelitian yang menggunakan SSM, menurut
Houghton dan Ledington (2002), perspektif kontemporer terdiri atas tiga aturan
konstitutif. Pertama, harus menerima dan bertindak berdasarkan asumsi bahwa
realitas sosial dikonstruksikan secara sosial dan berkesinambungan. Kedua, harus
menggunakan intelectual device secara eksplisit untuk mengeksplorasi, mengerti, dan
mengambil tindakan dalam situasi yang penuh tanya. Ketiga, harus melibatkan
intelectual device berupa holons dalam bentuk model sistem dari tindakan bertujuan
pada basis worldviews yang digambarkan (Checkland 1999). Hal ini menyebabkan
fokus dari SSM dari humanisme menjadi paradigma interpretatif.
Selain kesamaan dengan interpretivisme, epistemologi dari SSM juga
memiliki kesamaan dengan realisme. Hal tersebut dikemukakan oleh Blaikie (1993)
dalam Rose dengan pernyataan sebagai berikut:
“Pembuatan model dari mekanisme, jika model tersebut eksis dan bertindak
dalam jalur yang diterima sebagai dalil, model tersebut akan memberikan
catatan bagi fenomena yang diperiksa. Model ini merupakan deskripsi
hipotetis, yang diharapkan dapat mengungkap mekanisme realitas, yang
hanya dapat diketahui melalui konstruksi gagasan-gagasan mengenai realitas
tersebut.”

Stowell (1995) menggunakan bentuk interpretive thinking, dalam


mengadaptasi argumen Checkland bahwa dunia yang dirasakan (perceived world)
bersifat problematik dan sistemik dalam proses penyelidikannya. Stowell dan West
dalam Holwell (2000) berargumen bahwa gagasan sistem intepretatif merupakan
gagasan filosofis yang dibandingkan dengan penggunaan praktis SSM oleh
Checkland (1994). Namun, Dahlborn dan Mathiassen (1993) menyatakan SSM
sebagai dua asumsi yang berhubungan – penggunaan sistem sebagai konstruksi dan
realitas sosial yang dirasakan (perceived social reality). Dengan perkataan lain, kedua

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
71

asumsi yang sama mendefinisikan interpretive thinking dan soft thinking sebagai
rekomendasi dua hal yang sama. Soft sytems thinking merupakan sebuah thinking
yang mengenali adanya subjektivitas (Gammack, 1995).
Berdasarkan berbagai kesamaan yang dikemukakan para ahli di atas, maka
pendekatan penelitian ini adalah post positivism berdasarkan komponen pokok teori
dan metodologisnya (Karl Popper dan Kuhn, 1970) yaitu metode penelitian:
kualitatif, sifat metode post-positive: subyektif, penalaran: induktif dan
interpretative.

3.2. Systems Thinking di dalam penelitian ini


Penelitian ini menggunakan cara berpikir serba sistem dan konsep. Menurut
Senger di dalam buku The Fifth Discipline, Thinking merupakan disiplin untuk
melihat sesuatu sebagai satu kesatuan secara utuh. Penggunaan thinking untuk
memahami suatu permasalahan, bermanfaat untuk melihat “masalah” sebagai bagian
dari sistem keseluruhan, bukan sebagai bagian terpisah yang tidak terkait dengan
elemen-elemen yang lain di sekelilingnya. Oleh sebab itu pendekatan akan melihat
sistem secara holistik dan menganalisanya melalui hubungan sebab akibat dari setiap
elemen yang terkait. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pola berpikir sistemik
merupakan hal yang mutlak dilakukan mengingat konteks manusia selalu berada pada
sebuah sistem yang kompleks dimana saling ketergantungan satu hal dengan hal yang
lain semakin meningkat. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Holwell, Essentially
problem and solution are viewed as intertwined, the typical thinking style here is
circular – starting from the problem, moving to a solution and then back to the
problem (Holwell, 2010).
Pendekatan thinking dalam perkembangannya mulai menempati posisi
sebagai pilihan bagi para pengelola perusahaan untuk memecahkan masalah-masalah
yang terjadi. Checkland memperkenalkan berpikir serba sistem yang
dikemukakannya berbeda dengan penulis yang lain. Menurut Checkland yang dikutip
dari Hardjosoekarto (2012), “Berpikir serba sistem dimulai dari pengamat atau

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
72

pemerhati dari dunia luar kita yang ingin menjelaskan sistem secara holistik, dalam
arti keseluruhan entitas terkait dalam sebuah hirarki dengan keseluruhan yang lain”.
Yang dimaksud dengan holistik disini adalah pemerhati memperhatikan tujuan,
sistem atau beberapa sistem yang dipilih, beragam properti serba sistem seperti batas,
input dan output, komponen, struktur, cara tentang bagaimana sistem tersebut
memelihara keadaannya dan juga prinsip koherensi yang dapat menjadikan sistem itu
bertahan sehingga dapat digambarkan bahwa sebuah sistem dapat dikatakan sebagai
sebuah sistem.
Adapun polarisasi dalam metodologi berpikir serba sistem terbagi atas dua
yaitu metodologi berpikir serba sistem keras (hard thinking) dan berpikir serba
sistem lunak (soft thinking). Tabel 3.1 menunjukkan dengan jelas perbedaan antara
hard dan soft methodology walaupun keduanya berbasis berpikir serba sistem dan
konsep serba sistem.

Tabel 3.1. Perbedaan Umum Dua Kategori Berpikir Serba Sistem


Hard Thinking Soft Thinking
Dunia nyata Well structured Ill Structured (strukturnya
(strukturnya berbentuk) tidak berbentuk)
Dunia nyata Simple Complexity Complexity (kompleks)
(Kompleksitas sederhana)
Orientasi riset Bersifat eksternal Bersifat internal
Contoh metodologi System Dynamics Soft Metodology
Sumber: Hardjosoekarto, 2012

Perbedaan hard methodology (HSM) dan soft methodology (SSM) ini


diperjelas oleh Khisty dalam Hardjosoekarto seperti pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Perbedaan Umum Dua Kategori Berpikir Serba Sistem (Khisty, 1995)
Attribute HSM SSM
Orientation Systematic-goal setting Systemic learning
Roots Simplicity paradigm Complexity paradigm
Believe can be engineered can be explored
Model are intellectual construct
Believe Model are of the world (ontologis)
(epistemologis)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
73

Attribute HSM SSM


Believe Closure is necessary
"Finding" accomodation to
Believe Finding solutions to problems
issue
Human context Nonexistent High
Question How What and How
Suitablity Well-structured problems Ill-structured problems
Sumber: Hardjosoekarto, 2012

Untuk memahami posisi jenis penelitian ini maka akan disajikan tentang
pengelompokkan metode sistem dan metodologi yang disusun berdasarkan perbedaan
asumsi yang mendasarinya. Perbedaan ini meliputi perbedaan cara pandang terhadap
realitas, keterkaitannya dan kondisi yang memungkinkan intervensi perubahan
dilakukan. Pengelompokkan ini merupakan pengelompokkan tipe ideal yang
memberikan karakteristik kunci (key feature) dari berbagai konteks masalah.
Pengelompokkan konteks masalah (problem context) terdiri dari dua dimensi yaitu
(Robert L. Flood and Michael C. Jackson, Creative Problem Solving, Total System
Intervention, John Wiley and Sons Ltd., 1991): sistem () dan partisipan (partisipants).
Dimensi sistem mengacu kepada kompleksitas relatif dalam suatu sistem
yang menghasilkan situasi masalah di mana masalah yang kompleks itu terjadi.
Sedangkan partisipan adalah suatu hubungan (baik kesepakatan maupun tidak
kesepakatan) antara individu dan pihak terkait yang dapat mendapatkan manfaat atau
kerugian dari suatu intervensi yang dilakukan. Secara umum sebuah sistem dapat
dikategorikan dalam sebuah kontinuum tipe sistem yang akan memudahkan
pemahaman, yaitu di satu sisinya adalah sistem yang relatif sederhana (simple)
sedangkan di sisi lain yang berlawanan adalah sistem yang relatif sangat kompleks
(complex). Menurut Flood dan Jackson, sistem yang sederhana memiliki karakteristik
sebagai berikut: a small number of element, few interaction between element,
attributes of the element are predetermined, interaction between elements is highly
organized, well-defined laws govern behavior, the doesn’t evolve over time,sub do
not pursue their own goals, the is unaffected by behavioral influences, the is
largely closed to the environment.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
74

Sedangkan sistem yang kompleks memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a large


number of elements, many iteraction between elements, attributtes of the elements are
not predetermined, interaction between elements is loosely organized, they are
probabilistic in their behavior, the evolves over times, sub are purposeful and
generate their own goals, the is subject to behavioral influences, the is largely open
to the environment.
Jadi, sebuah problem context akan disebut sebagai unitary jika seperangkat
partisipannya bersifat unitary, dan akan disebut sebagai pluralist jika bersifat plural
dan menjadi coercive jika seperangkat hubungan partisipannya menunjukkan kondisi
yang memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu (coercion). Yang menarik adalah
Flood dan Jackson menyajikan hubungan antara sistem dan partisipan dalam matrik
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3, sehingga pola kombinasinya menjadi
Simple-Unitary, Complex-Unitary, Simple-Pluralist, Complex-Pluralist, Simple-
Coercive, dan Complex-Coercive.
Tabel 3.3. A Grouping of Methodologies Based Upon
the Assumption They Make About Problem Context

Unitary Pluralist Coercive


S-U
S-P
Operational research; S-C
Social design;
Simple analysis; Critical heuristic.
Strategic assumption.
engineering;
System dynamics.
C-U 3 tahun
C-P
Viable system diagnosis; C-C
Interactive planning;
Complex general theory; ?
soft methodology.
socio-technical thinking;
contingency theory.
Sumber: Flood and Jackson, 1991

3.3. Tipologi Penelitian


Berdasarkan tipologi yang dikemukakan oleh Flood and Jackson, penelitian
ini merupakan penelitian dengan menggunakan multi methodology karena
mengaplikasikan lebih dari satu metodology, yaitu peta kognitif & peta kausal
(cognitive & causal map, selanjutnya disebut CM yang dikonversi menjadi System
Dynamics) dan SSM. Berdasarkan tipologi yang dikemukakan oleh Flood dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
75

Jackson, CM dan SD termasuk ke dalam kategori yang Unitary-Simple dengan


partisipan yang sederhana (terletak pada pojok kiri atas di dalam matriks). Sedangkan
metode SSM termasuk kategori Complex-Plural yang menggolongkan sistem berada
pada kelompok yang kompleks dengan partisipan yang majemuk (terletak pada
matriks tengah bagian bawah). Penggabungan dua metodologi sistem dalam
penelitian ini bersifat paralel dengan maksud agar tetap menjaga kemurnian SSM itu
sendiri. Hasil dari cognitive map digunakan sebagai bahan debating pada tahap ke-5
dari tahapan yang ada di SSM based Action Research (AR) continuum. Penelitian
dengan metode seperti ini berbeda dengan yang dilakukan baik oleh Mingers maupun
oleh Rodriguez. Mingers melakukan penggabungan metode ini secara serial pada
tahun 1997. Penggabungkan cognitive map dengan SSM dengan alasan bahwa
cognitive map sebagai pendekatan umum digunakan untuk memotret masalah khusus
dari cara berpikir seseorang tentang suatu hal yang kompleks (Mingers, 1997).
Dalam penelitian ini, aplikasi cognitive map dan SD ini merupakan metode
yang digunakan untuk menambah cultural stream of analysis dari SSM. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan apresiasi atas situasi masalah yang terjadi. Hal yang
berbeda dilakukan oleh Rodriguez, di mana asimilasi antara metode SD dengan SSM
menghasilkan Soft Dynamic Methodologis (SSDM). Asimilasi ini dilakukan dengan
pertimbangan untuk mengatasi berbagai kelemahan dari SSM itu sendiri. Hasilnya
adalah dibangun kerangka kerja baru yang dianggap terbukti jitu untuk memahami
dan mengatasi beragam persepsi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam situasi
masalah dunia nyata (Hardjosoekarto, 2012).
Seperti halnya Rodriguez dan Mingers, penggabungan aplikasi yang
dilakukan adalah dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Penggunaan SSM dimaksudkan untuk menentukan langkah-langkah
perubahan yang tercermin di dalam model konseptual untuk membangun
keunggulan bersaing perusahaan. Relevant yang dibangun adalah cognitive
ambidexterity dan contextual ambidexterity. Sedangkan analisis CM
dimaksudkan untuk memperkaya cultural stream yang diperoleh dari SSM
tahap pertama (analysis of intervention, sosial analysis, dan political system).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
76

Tidak ada bagian dari cultural stream of SSM yang digantikan oleh CM.
Bahkan penggunaan CM ini memperkaya kontekstual rujukan penelitian dari
sisi pendiri, pemilik modal dan sekaligus pengelola perusahaan. Analisis CM
menjadi penting karena hanya dengan teknik ini dapat digali tentang
pemahaman seorang Riady sebagai entrepreneur sekaligus business leader.
Pemikiran Riady sebagai entrepreneur dan business leader menjadi penting
untuk dipotret karena dari hasil analisis sosial dan analisis politik pada tahap
pertama SSM ditengarai adanya pengaruh yang signifikan dari pendiri
perusahaan dalam setiap proses pengambilan keputusan di tataran strategis
terkait dengan bagaimana membangun keunggulan bersaing perusahaan.
2. Teknik penggabungan dilakukan dengan pertimbangan tidak akan
mengganggu nature dari masing-masing metode yang memiliki karakteristik
berbeda. Model konseptual dibangun berdasarkan logic based sedangkan
model CM dibangun berdasarkan cultural based maka penggabungan terjadi
pada tahap ke-5 dari SSM yaitu pada saat melakukan debating yang
merupakan perbandingan antara intellectual device dengan bukti empiris.

Di dalam aplikasi SSM maka menentukan F, MR, dan A (real world


problem situation) merupakan kunci klasifikasi utama dalam research interest cycle.
McKay dan Marshall menyatakan bahwa refleksi pada F, MR, dan A dapat
melahirkan pandangan baru yang tidak pernah diantisipasi dalam pertanyaan
penelitian sebelumnya. Sedangkan, jika peneliti berpikir ke arah problem solving
cycle maka klasifikasi kuncinya menjadi F, MPS, dan P (problem situation). Penelitian
ini menggunakan prinsip riset tindakan dengan laboratorium Lippo Karawaci, maka
situasi problematik F, MPS, MR A dan P ditetapkan oleh peneliti sebagai berikut.

Tabel 3.4 Framework Penelitian

Situasi
Penjelasan
Problematik
Ambidexterity dalam perusahaan yang mengintegrasikan antara
F
eksploitasi dan eksplorasi untuk mewujudkan keunggulan bersaing

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
77

Situasi
Penjelasan
Problematik
perusahaan.
MR Soft Methodology – Based Action Research
MPS Soft Methodology – Based Action Research
A1 Upaya pembelajaran untuk membangun strategic ambidexterity
A2 Upaya pembelajaran untuk membangun contextual ambidexterity
Membangun strategic ambidexterity dalam kapabilitas dinamis dan
P1 Top Management Team cognition di Lippo Karawaci untuk
menciptakan keunggulan bersaing perusahaan.
Membangun contextual ambidexterity dalam struktur formal dan
P2 norma serta nilai-nilai di Lippo Karawaci untuk menciptakan
keunggulan bersaing perusahaan.

Peneliti memilih rujukan penelitian Lippo Karawaci (P), sedangkan upaya


pembelajaran untuk membangun ambidexterity (A) bersifat overlap dengan P. Hal ini
disebabkan karena seluruh hubungan di dalam Lippo Karawaci dan proses
pembelajaran yang ada di dalamnya, menjadi elemen-elemen yang diperlukan dalam
penelitian. Misalnya dalam hal hubungan antara sesama anggota manajemen puncak,
hubungan antara pimpinan dan karyawan, serta hubungan sesama karyawan. Proses
pembelajaran yang akan dibangun adalah proses untuk membangun strategic
ambidexterity dan contextual ambidexterity.
Walaupun memiliki kemiripan dalam pendekatan untuk pemecahan
masalah, tetapi SSM bukan penelitian tindakan karena secara eksplisit mengandung
research interest. Artinya, SSM dapat digunakan sebagai MPS untuk menjadi obyek
penelitian atau bahkan menjadi kerangka untuk menjalankan penelitian. Tabel 3.5
berikut menjelaskan proses membangun keunggulan bersaing perusahaan melalui
ambidexterity sebagai learning dengan menggunakan theoretical research practice.

Tabel 3.5. Ilustrasi Elemen Aktivitas


Elemen Pihak
Pihak yang punya niat atau
Peneliti: Retno Kusumastuti
kehendak (intentions)
Pihak yang melakukan Universitas Indonesia (UI)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
78

Elemen Pihak
tindakan (take action) Academic Advisors:
Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA.
Dr. Sudarsono Hardjosoekarto
SSM Practitioner: Retno Kusumastuti
Academic Reviewers: Tim Penguji
Pihak yang terkena dampak
Pendiri Perusahaan, Top Management Team, Karyawan.
dari tindakan
Tempat dimana tindakan
Lippo Karawaci
dilakukan
Kendala terkait dengan
tempat dan lingkungan dari Peraturan Perusahaan, masa studi praktisioner.
tempat ini
Pihak yang dapat
Pemilik perusahaan, Lippo Karawaci, Universitas
menghentikan dilakukannya
Indonesia.
tindakan itu
Sumber: Hardjosokarto (2012) (telah diolah kembali)
Adapun karakteristik praktik penelitian dalam SSM based AR kontinuum ini
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6. Karakteristik Praktik Penelitian
Penelitian membangun Keunggulan Bersaing
SSM Based AR
Perusahaan melalui Ambidexterity (Aplikasi
Continuum Research
CM dan SSM based AR pada Lippo
Practice
Karawaci)
Universitas Indonesia
1. Academic Advisors:
Academia, sometimes
Assigner Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA
external assigners
Dr. Sudarsono Hardjosoekarto
2. SSM Practitioner: Retno Kusumastuti
Membangun keseimbangan antara aktivitas
Develop new knowledge, eksploitasi dan eksplorasi perusahaan dalam
Assignment Research application/ tataran strategic ambidexterity dan contextual
Research agreement ambidexterity untuk menghasilkan keuggulan
bersaing perusahaan.
Membangun keseimbangan antara aktivitas
Established and eksploitasi dan eksplorasi perusahaan dalam
Base hypothesized research tataran strategic ambidexterity dan contextual
knowledge ambidexterity untuk menghasilkan keuggulan
bersaing perusahaan.
Financial Universities, external
Peneliti dan Universitas Indonesia
Provider funding

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
79

Penelitian membangun Keunggulan Bersaing


SSM Based AR
Perusahaan melalui Ambidexterity (Aplikasi
Continuum Research
CM dan SSM based AR pada Lippo
Practice
Karawaci)
Procedural
Research approaches and
Knowledge, SSM based Action Research
methods
instruments
Reflexive actions,
interpretative actions, Interpretative Actions: Confirm Knowledge
Actions
theory development Creation Method.
actions
Knowledge (theories,
Results Frameworks
models, frameworks)
Client Academia, practitioners Peneliti
Sumber: Cronholm dan Goldkuhl (2003) (telah diolah kembali)

3.4. Soft Methodology (SSM) sebagai Complexity Pluralist


Dalam disertasi ini, sesuai dengan tipologi dalam of methodologies (Flood
dan Jackson, 1991), peneliti menempatkan real world dalam tipologi complexity
pluralist. SSM sebagai metode untuk membangun proses pembelajaran di Lippo
Karawaci dijalankan mengikuti kaidah dari SSM konvensional yang dikemukakan
oleh Checkland (1990). Dalam praktek SSM, berlaku dua model pemikiran atau yang
dikenal dengan two modes of though. Beberapa ahli mendefinisikannya dalam
terminologi yang berbeda, yaitu cultural based of analysis vs logic based analysis,
interaction vs intervention (Checkland and Scholes, 1990); mode 1 vs mode 2
(Checkland and Scholes, 1990); Reality vs Actuality (Hardjosukarto, 2012); SSM
People Process vs SSM Content (Checkland and Poulter, 2006); perception about
real world vs feeling about real world (Uchiyama) dan Problem Solving vs Research
Interest (Kay and Marshall, 2001).

3.4.1. Tahapan Soft Methodology (SSM)


Dalam buku Checkland dan Scholes (1990), tahapan dalam SSM berbentuk
seperti sebuah siklus. Tahapan tersebut terdiri atas 7 (tujuh) tahap kegiatan yaitu: (1)
problem situation considered problematic; (2) problem situation expressed; (3) root
definitions of relevant purposeful activity ; (4) conceptual models of the named in

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
80

the root definitions; (5) comparison of models and real world; (6) changes
systematically desirable, culturally feasible; dan (7) action to improve the situation.
Ketujuh tahapan SSM tersebut dapat digambarkan dalam Gambar 3.1 berikut:

Sumber: Checkland dan Scholes (1990)


Gambar 3.1. Tujuh Tahap dalam Model Konvensional SSM

Dalam kaitannya dengan two modes of though, Checkland dan Scholes


(1990) juga membuat kategori proses SSM ke dalam dua kategori, yaitu stream of
cultural analysis, yaitu analisis berbasis kultural yang berlangsung pada tataran dunia
nyata, dalam hal ini adalah tahap kesatu, kedua, kelima, keenam, dan ketujuh; serta
logic-based stream of analysis, yaitu analisis berbasis logika yang berlangsung pada
tahap berpikir serba sistem yaitu tahap ketiga dan keempat (Hardjosoekarto, 2012).

Secara lebih rinci, tahapan dalam SSM dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Finding Out
Sebelum melakukan tahapan SSM, praktisi SSM melakukan tinjauan
literatur terkait dengan yang menjadi interestnya. Tinjauan literatur melalui studi
kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah berbagai bahan
bacaan dan sumber-sumber tertulis lainnya, seperti buku, jurnal, artikel, dan literatur
lainnya yang terkait strategic management, innovation, thinking, soft system
methodologies, resource based view, entrepreneurship, strategis entrepreneurship,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
81

ambidexterity, cognitive map & metode NUMBER for abtract simulation. Langkah
ini dilakukan karena peneliti harus memiliki theoritical framework yang kokoh untuk
menjalani two mades of though yang diperlukan dalam SSM. Dalam finding out ini,
terdiri atas dua tahap yang merupakan siklus baku SSM, yaitu:

a) Tahap pertama: Problem Situation Considered Problematic


Tahap pertama ini merupakan tahapan di mana terjadi proses penetapan
situasi dunia nyata yang dianggap problematis. Pada tahap ini mulai mengenali
situasi problematik di dunia nyata (real world) yang pada dasarnya berisi cara
pandang (worldview) yang dipikirkan setiap orang yang akan dieksplorasi sebagai
Human Activity System. Situasi yang dianggap problematis adalah tentang
pentingnya membangun keseimbangan antara aktifitas eksplorasi dan eksploitasi
dalam mengelola sumber daya untuk menciptakan keunggulan bersaing
perusahaan. Praktisi SSM akan terlibat langsung untuk mengintrepretasikan
mental model individu yang paling menonjol selama pengambilan data dengan
menggunakan kerangka teoretis yang declared in advance. Kerangka teoritis yang
digunakan adalah ambidexterity di dalam perusahaan. Penggunaan kerangka teori
inilah yang membedakan antara peneliti dengan konsultan.

b) Tahap kedua - Problem Situation Expressed


Tahap berikutnya menuangkan situasi yang dianggap problematis ke
dalam bentuk penyajian tertentu yang disebut dengan rich picture. Rich Picture
merupakan suatu penyajian dari real world yang mengandung problematic
situation. Rich picture disajikan dalam bentuk gambar yang menunjukkan peran
dan perhatian pokok dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam
membuat rich picture memang tidak ada teknik yang baku, namun untuk
membuat sebuah rich picture harus mengetahui situasi riil (real situation) yang
ada. Penyusunan rich picture dilakukan dengan mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya melalui:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
82

1) berbicara secara informal dengan orang-orang yang membentuk emergent


property (talking informally to people),
2) wawancara formal (formal interviews),
3) menghadiri rapat (attending meetings),
4) membaca dokumen (reading documents).
Semua teknik pengambilan data ini perlu dilakukan agar dapat
melihat kompleksitas dari interaksi dan hubungan antar manusia yang ada di
dalam situasi tersebut. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan wawancara mendalam yang
dilakukan terhadap narasumber yang sudah dipilih dan koding dokumen yang
dilakukan terhadap presiden direktur, anggota direksi, corporate secretary,
dan bahkan anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan.
Wawancara dilakukan secara berulang tergantung kebutuhan data, adapun
alasan pemilihan informan kunci, yaitu:
1. Presiden direktur dan anggota direksi sebagai pihak yang merupakan
organ eksekutif yang penting dalam perusahaan.
2. Pemilik perusahaan, untuk mengetahui pemahamannya dalam
mewujudkan keunggulan perusahaan serta sisi entrepreneurship-nya.
3. Dewan Komisaris sebagai supervisory board yang mengawasi jalannya
perusahaan.
4. Corporate secretary yang mengetahui agenda rapat, laporan perusahaan
baik berupa laporan tata kelola perusahaan maupun laporan keuangan
dan laporan lainnya.
5. Anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan.

Data sekunder diambil melalui kegiatan koding dokumen berupa


prasaran, kumpulan pidato, paper, catatan, buku, artikel, surat kabar, majalah,
dan website resmi perusahaan. Selain itu kumpulan tulisan, pidato, dan hasil
wawancara dengan pihak ketiga juga melengkapi data yang diperlukan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
83

Untuk memahami situasi dunia nyata tersebut, Checkland dan


Poulter (2006) menyarankan untuk melakukan 3 (tiga) jenis tahap analisis,
yaitu analisis satu, analisis dua, dan analisis tiga.
1. Analysis One (Analysis of the Intervention)
Analisis ini menjadi langkah awal penetapan situasi problematis
sehingga perlu menetapkan tiga pihak yang memiliki peranan penting
dalam situasi problematis yang dikaji. Penetapan ketiga pihak yang
berkepentingan ini, dengan pertimbangan peran (role), bukan individu
atau sekelompok orang yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena dapat
saja orang atau sekelompok orang tersebut memiliki satu peran atau lebih.
Ketiga pihak tersebut adalah (checkland and Poulter, 2006):
a. Client, orang atau kelompok yang menyebabkan terjadinya intervensi
atas situasi problematis yang dikaji. Universitas Indonesia adalah
pihak yang tanpa kehadirannya investigasi lebih lanjut tidak
dibutuhkan.
b. Practicioner, orang atau sekelompok yang melakukan investigasi atau
kajian dengan menggunakan SSM. Praktisi SSM adalah peneliti
beserta jajaran akademisi yang terlibat dalam proses pengujian hasil
penelitian ini.
c. Owner, merupakan orang atau sekelompok orang yang berkepentingan
atau yang terkena dampak dari situasi atau dampak dari hasil upaya
perbaikan atas situasi problematis. Dalam konteks penelitian kualitatif,
owner seringkali disebut sebagai narasumber.

2. Analysis Two (Social System Analysis )


Penyajian sense of social reality di analisis dua untuk mengetahui
culture dan hal-hal yang terkait di dalamnya sehingga nanti dapat membuat
gambaran yang semakin komprehensif berkenaan dengan situasi dunia nyata.
Hal ini merupakan bagian yang sangat penting dalam SSM karena merupakan
action-orriented approach, sehingga pemilihan sistem yang relevan dari

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
84

aktivitas manusia atau aktivitas yang punya maksud benar-benar relevan


dengan upaya peneliti untuk melakukan sesuatu terhadap situasi dunia nyata.
Analisis untuk perbaikan di perusahaan Lippo Karawaci dilakukan tidak
hanya semata-mata berasal dari suatu argumen yang kuat, pemikiran, dan
harapan yang secara intuitif dapat dilakukan, melainkan harus culturally
feasible. Dengan perkataan lain, harus possible for these particular people,
with their particular history and their particular ways of looking at the world
(Checkland dan Poulter, 2006). Oleh karena itu dalam tahap analisis ini, peran
(role) dari setiap stakeholder, norma (norm) yang berlaku, dan nilai (value)
yang ada merupakan elemen penting. Masing-masing stakeholder memiliki
peran yang menandai perbedaan di antara anggota-anggota kelompok atau
anggota-anggota organisasi baik pada tataran strategis maupun operasional.
Norma (norm) adalah perilaku yang diharapkan yang terkait dengan peran.
Sedangkan nilai (value) adalah standar atau kriteria ke dalam mana perilaku
yang sesuai dengan peran (behaviour-in-role) dinilai (Hardjosoekarto, 2012),
seperti yang disarankan oleh Checkland berikut ini:

“every time you interact with the situation – talking to people


informally, reading a document, sitting in a meeting, conducting an
interview, having a drink in the pub after work – ask yourself
afterwards whether that taught you anything about the roles, norms
and values which are taken seriously here and characterize this
particular group”.

3. Analysis Three (Political System Analysis)


Analisis tiga (analysis three) berfokus pada disposition of power
dalam suatu keadaan dan bagaimana suatu proses dilakukan. Bagian ini
menjadi elemen penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan
culturally feasible dan batasan-batasan suatu intervensi berada dalam ruang
lingkup culturally feasible. Beberapa komoditas yang perlu mendapat
perhatian di dalam analisis tiga (analysis three) (Hardjosoekarto (2012))
adalah:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
85

a. Terkait dengan peran, yaitu: charisma personal; keanggotaan di dalam


berbagai komisi; akses yang teratut kepada pemegang kekuasaan.
b. Terkait dengan basis pengetahuan, yaitu: otoritas dan reputasi
intelektual; reputasi membuat laporan suatu pertemuan.
c. Terkait dengan penguasaan informasi, yaitu: akses terhadap informasi
penting;akses untuk menutup akses orang lain terhadap informasi
penting.

b. Model Building atau Making Purposeful Activity Models


Setelah melakukan proses finding out yang terdiri atas proses enquiring dan
learning, maka tahap selanjutnya adalah membuat models of purposeful activity.
Model tersebut digunakan sebagai pertanyaan dasar atas situasi dunia nyata. Model
ini merupakan hal yang penting untuk memahami dunia nyata karena dalam
kenyataannya, manusia melakukan kegiatan dan berinteraksi merupakan perwujudan
dari kegiatan-kegiatan yang diharapkan memiliki tujuan. Pada siklus kedua dari SSM
ini dapat dijelaskan melalui tahap ketiga dan keempat.

a) Tahap Ketiga - Root Definitions of Relevant Purposeful Activity


Untuk membuat suatu purposeful activity model diperlukan suatu
pernyataan yang dapat menggambarkan sistem aktivitas yang akan dijadikan
sebagai model. Oleh sebab itu dilakukan pemilihan dan penamaan root definitions
dari sistem yang relevan (selecting and naming relevant ). Uchiyama
menyebutnya sebagai feeling about real world, di mana praktisi akan keluar dari
dunia nyata dan masuk ke dunia dari sistem berpikir. Praktisi mendefinisikan
kata-kata kunci yang dalam bahasa SSM yang disebut Root Definitions (RD),
yaitu suatu pernyataan yang jelas tentang aktivitas yang terjadi atau mungkin
terjadi di dalam organisasi yang tengah diteliti yang merupakan gambaran dari
core way of describing the system (Checkland dan Poulter, 2006).
Sebuah root definitions merupakan pernyataan literal tentang sebuah
sistem yang relevan dengan situasi dunia nyata, yang di dalamnya tergambar

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
86

proses transformasi dalam organisasi (Hardjosoekarto, 2012). Untuk melihat


proses transformasi dalam organisasi, dalam root definitions harus tergambar apa
(what), bagaimana (how), dan mengapa (why). Secara keseluruhan, proses
pemberian root definitionss dapat dilihat pada Gambar 3.7 (Lampiran).
Berikut ini adalah RD dan PQR pada proses pembelajaran strategic
ambidexterity di Lippo Karawaci sebagai dasar untuk menyusun model konseptual
untuk menjawab pertanyaan penelitian ini.

Tabel 3.7. Root Definition Proses Pembelajaran


pada Strategic Ambidexterity di Lippo Karawaci

Pertanyaan Penelitian Root Definition pada Strategic Ambidexterity


Bagaimana proses pembelajaran 1. Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci
dalam bentuk strategic dalam rangka membangun Strategic Ambidexterity
ambidexteriy melalui: (P) melalui kapabilitas dinamis pada tingkatan
1. dynamic capability yang strategis yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas
dapat menghasilkan ekplorasi dan eksploitasi (Q) untuk menghasilkan
penyeimbangan antara keunggulan bersaing perusahaan (R).
integrasi dan
diferensiasi. 2. Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci
2. top management team dalam rangka membangun Strategic Ambidexterity
cognition yang dapat (P) melalui Top Management Team Cognition
menghasilkan (framing organizational vision dan information
rekombinasi dan processing) yang dapat menyeimbangkan antara
rekonfigurasi aset. aktivitas eksplorasi dan eksploitasi (Q) untuk
Proses pembelajaran praktek menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R).
ambidexterity ini berlangsung
secara partisipatif dan berbasis
budaya sebagai wujud
keunggulan bersaing perusahaan
yang berada dalam sistem
terbuka yang rumit dan
kompleks yang berbentuk serba
sistem aktivitas manusia.

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Tabel 3.8. Root Definiton Proses Pembelajaran


pada Contextual Ambidexterity di Lippo Karawaci

Pertanyaan Penelitian Root Definition pada Contextual Ambidexterity


Bagaimana proses pembelajaran 3. Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
87

Pertanyaan Penelitian Root Definition pada Contextual Ambidexterity


dalam bentuk contextual dalam rangka membangun Contextual Ambidexterity
ambidexteriy melalui: (P) melalui struktur formal yang dapat membuat
c. struktur formal sehingga karyawan melakukan aktivitas eksplorasi dan
dapat menghasilkan eksploitasi baik secara organisasional, tim dan
performance based culture individual (Q) untuk menghasilkan keunggulan
yang kuat yang didorong bersaing perusahaan (R).
oleh penegakan peraturan.
d. sistem nilai dan budaya 4. Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci
sehingga dapat dalam rangka membangun Contextual Ambidexterity
menghasilkan integrasi nilai (P) melalui norma dan nilai-nilai budaya yang dapat
budaya dan norma menyeimbangkan karyawan melakukan aktivitas
organsiasi sebagai referensi ekplorasi dan eksploitasi baik secara organisasional,
bersama. tim dan individual (Q) untuk menghasilkan
Proses pembelajaran praktek keunggulan bersaing perusahaan (R).
ambidexterity ini berlangsung
secara partisipatif dan berbasis
budaya sebagai wujud
keunggulan bersaing perusahaan
yang berada dalam sistem
terbuka yang rumit dan
kompleks yang berbentuk serba
sistem aktivitas manusia.

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Formula PQR dapat digunakan untuk membantu dalam membuat Root


Definitions. The PQR Formula sendiri adalah do P, by Q in order to achive R
dimana PQR digunakan untuk menjawab pertanyaan what, how, dan why
(Checkland and Poulter, 2006). Hal ini dimulai dengan mengidentifikasikan T
(Transformation) dan mengidentifikasikan elemen kunci lainnya dalam sistem.
Agar sistem tersebut dapat relevan, maka model tersebut dapat dianalisis dengan
bantuan mnemonic CATWOE sebagaimana dijelaskan oleh Checkland dan
Scholes (1990):
C Customers, yaitu orang (semua pemangku kepentingan) dari sistem yang
ada atau pihak yang menerima dampak dari proses perubahan yang terjadi.
Customer penelitian ini adalah pemilik dan organ governance perusahaan serta
karyawan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
88

A  Actors, yaitu pihak yang memfasilitasi transformasi ke customers yaitu


manajemen perusahaan.
T  Transformation dari input ke output.
W  Weltanschauung atau worldview yang memberikan arti Transformasi (T).
O  Owner, kepada siapa sistem dapat dijawab dan/atau dapat menghentikan
transformasi.
E  Environment yang memberi pengaruh tetapi tidak mengawasi sistem.

Analisis CATWOE ini, menurut Hardjosoekarto (2012), kemudian


diukur oleh tiga kriteria (Checkland and Poulter, 2006), yaitu:
a. Efficacy, yaitu kriteria untuk mengatakan apakah transformasi T
berlangsung sesuai dengan outcome yang diharapkan.
b. Efficiency, yaitu kriteria untuk mengatakan apakah transformasi diperoleh
dengan sumber daya minimum.
c. Effectiveness, yaitu kriteria untuk mengatakan apakah transformasi cukup
membantu untuk mencapai suatu tujuan dalam jangka panjang atau high
level achievement.

b) Tahap Keempat – Conceptual Models of The Named in The Root


Definitions
Pada tahap ini terjadi pembuatan model konseptual (conceptual model)
berdasarkan root definitions yang sudah dipilih dan diberi nama pada tahap
sebelumnya. Model konseptual ini adalah model yang diturunkan dari proses
berpikir serba sistem tentang situasi dunia nyata dan berdasarkan pada sudut
pandang tertentu (a declared worldview) dan bukan wujud dunia nyata itu sendiri.
Model dimaksudkan untuk melihat real world dengan objektif atau jelas sesuai
dengan tujuannya menjawab situation considered problematik.
Model ini merupakan intelectual construct atau intelectual device, yaitu
alat intelektual peneliti yang digunakan untuk membahas dan mendiskusikan
situasi dunia nyata yang dianggap problematis. Model dipilih berdasarkan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
89

beberapa aktivitas yang memiliki maksud dan root definitions. Jika root
definitions berkenaan dengan apa sistem yang dimaksud, maka model konseptual
berkenaan dengan apa yang harus dilakukan oleh sistem tersebut supaya menjadi
seperti apa yang dinyatakan dalam root definitions (RD). Berkenaan dengan
model dalam SSM, maka Wilson (2001) dalam Hardjosoekarto (2012)
menegaskan bahwa:
a. Model bukan mewakili situasi tetapi model relevan dengan situasi.
b. Substansi RD berkaitan dengan apa sistemnya itu (what the system is),
sedangkan model konseptual berkaitan dengan apa yang harus dilakukan
oleh sistem itu (what the system must do to be the one defined)
(Hardjosoekarto, 2012)

Pemilihan jumlah aktivitas di dalam model konseptual mengikuti kaidah


magical number. Magical number menurut Checkland dan Poulter adalah 7 ± 2
aktivitas, dengan perkataan lain disarankan minimal 5 aktivitas dan maksimal 9
aktivitas. Penentuan jumlah aktivitas tersebut didasarkan pada pertimbangan
aspek psikologi pada manusia. Namun dimungkinkan lebih dari ketentuan
tersebut jika diperlukan (but do break the rule if necessary) (Hardjosoekarto,
2012).
Jadi secara ringkas, langkah-langkah logis untuk membuat model
relevan ketika proses permodelan mengalami kesulitan, dapat menggunakan
pedoman berikut (Hardjosoekarto, 2012):
a. Menyusun garis pedoman PQR, CATWOE dan RD.
b. Menuliskan 3 (tiga) kelompok aktivitas yang berhubungan dengan hal
yang akan ditransformasikan, yaitu:
1) Kelompok aktivitas yang terkait dengan sesuatu yang
ditransformasikan.
2) Kelompok aktivitas yang terkait dengan pihak yang melakukan
transformasi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
90

3) Kelompok aktivitas yang terkait dengan entitas yang mengalami


transformasi.
c. Untuk menuliskan aktivitas, gunakan kata kerja aktif dan kata benda yang
dapat diukur.
d. Menghubungkan setiap aktivitas dengan panah untuk menentukan atau
menggambarkan dependensi antara satu dengan lainnya.
e. Menambahkan monitoring dan aktivitas kontrol.
f. Melakukan pemeriksaan model dengan membandingkan pedoman dengan
menjawab pertanyaan: (a) apakah setiap kalimat dalam RD membentuk
suatu model? (b) apakah setiap aktivitas dalam model dapat dikembalikan
dalam bentuk RD, CATWOE. Jika jawabannya adalah ‘ya’, maka model
yang dibentuk adalah defensible model, yaitu model yang telah sesuai
dengan pandangan (worldview) dari setiap orang yang terlibat.

c. Discussing/Debating
Setelah melalui proses finding out dan membuat model building (model
yang relevan), selanjutnya memasuki proses diskusi dalam tahap kelima.

a) Tahap Kelima – Comparison of Models and Real World


Pada tahap ini, praktisi membandingkan model yang dibuat dengan
realitas dunia nyata mengenai relevan atau tidaknya sistem yang dipilih, yaitu
dengan mulai memasukkan pandangan (gain insights) dan ide untuk
perubahan/perbaikan (ideas for improvement). Pada dasarnya model yang dibuat
adalah merupakan model konseptual untuk memahami situasi dunia nyata, seperti
yang diungkapkan oleh Checkland, yaitu models are only a means to an end,
which is to have a well-structured and coherent debate about a problematical
situation in order to decide how to improved it (Checkland and Scholes, 1990).
Yang menarik di dalam penelitian ini adalah, dunia nyata yang cultural based
dilengkapi dengan analisis Cognitive Mapping sebagai bahan untuk perbandingan
sekaligus mengelola diskusi tentang situasi dunia nyata. Sehingga dimungkinkan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
91

munculnya berbagai sudut pandang yang selama ini tersembunyi agar muncul
perumusan suatu langkah tindakan untuk perbaikan, penyempurnaan, dan
perubahan situasi dunia nyata (Hardjosoekarto, 2012).
Dalam melakukan komparasai terdapat 4 (empat) cara yang dilakukan
yaitu informal discussion; formal questioning; scenario writing based on
operating the models; and trying to model the real world in the same structure as
the conceptual models (Checkland dan Scholes, 1990).

d. Defining Ranking Action


Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari SSM yang meliputi dua tahap
dalam model konvensional, yaitu tahap keenam dan ketujuh. Pada tahap ini, akan
dipilih tindakan perbaikan apa yang harus diambil untuk mengatasi situasi
problematis yang ada dalam dunia nyata.

a) Tahap Keenam - Changes Systemically Desirable, Culturally Feasible


Tahap ini adalah tahap perumusan saran tindak untuk perbaikan,
penyempurnaan, dan perubahan situasi dunia nyata. Pada tahap ini, peneliti
melakukan perubahan/penyesuaian (changes) yang pada umumnya
mencerminkan systemically desirable and culturally feasible (Checkland dan
Scholes, 1990). Dalam SSM tidak diperlukan validasi, tetapi yang terpenting
adalah menemukan aktivitas yang paling logis (logic based thinking) sampai ada
saran temuan yang systemically desirable (secara sistematis diterima) and
culturally feasible (secara kultural dapat dimungkinkan). Jika terdapat perbedaan,
maka dalam analisis dimungkinkan melakukan intervensi sehingga model
konseptual sesuai dengan situasi riil. Hal ini dapat dilakukan melalui model
CATWOE yang berbeda dan dengan perspektif yang berbeda. Namun dalam
tahap ini, peneliti disarankan untuk tidak bermaksud mencapai konsensus ketika
melakukan diskusi dalam melihat perbandingan antara model konseptual dengan
situasi dunia nyata. Yang diperlukan adalah adanya akomodasi di antara pihak-
pihak yang berkepentingan, di mana semua orang yang terlibat dalam situasi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
92

problematis dan proses SSM tersebut mencari format dan versi situasi baru di
mana mereka dapat hidup bersama-sama (Hardjosoekarto, 2012).
Tiga aspek yang disarankan oleh Checkland dan Poulter (2006) yang
harus dipertimbangkan untuk melakukan perbaikan, penyempurnaan, atau
perubahan adalah perubahan yang terkait struktur (making changes to structures);
perubahan yang berkaitan dengan proses atau prosedur (changing processes or
procedures); dan perubahan yang terkait dengan perilaku (changing attitudes)
(Checkland dan Poulter, 2006).

b) Tahap ketujuh - Action to improve the problem situation


Pada tahap akhir atau tahap ketujuh, peneliti melakukan perbaikan/solusi
situasi problematik dan memberikan rekomendasi perbaikan terhadap sistem yang
lama. Pada tahap ini metodologi SSM telah mencapai tahapan penuh dan
mungkin dapat memulai tahapan baru. Hal ini dikarenakan dunia nyata akan terus
berubah, sehingga situasi problematis yang ada akam terus berubah dari waktu ke
waktu. Dasar dari tindakan yang dilakukan pada tahap ketujuh ini adalah rumusan
saran tindakan yang telah dibuat pada tahap keenam.

Secara ringkas, berikut ini adalah tahapan SSM, deskripsi dan teknik
pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini.

Tabel 3.9. Tahapan dalam SSM, Deskripsi Kegiatan, dan


Teknik Pengumpulan Data yang Dilakukan

Teknik
Tahap SSM Deskripsi
Pengumpulan Data
Identifikasi masalah Mengumpulkan berbagai macam Diskusi formal dan
tidak terstruktur informasi yang berkaitan dengan situasi informal, wawancara
(unstructured problem) problematik melalui data primer dan mendalam, kajian
sekunder. Hasil dari pengumpulan ini akan literatur.
memberikan gambaran mengenai situasi
problematis pada rujukan penelitian.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
93

Teknik
Tahap SSM Deskripsi
Pengumpulan Data
Strukturisasi Menyusun gagasan mengenai situasi Diskusi formal dan
permasalahan problematis secara sistematis berdasarkan informal, wawancara
informasi yang sudah diperoleh di tahap mendalam, kajian
pertama. Peneliti kemudian akan membuat literatur.
strukturisasi permasalahan dari kondisi
unstructured menjadi structured dengan
bantuan Rich Picture.

Perumusan Root Menyusun metafora akar permasalahan Diskusi formal dan


Definition yang dapat menyampaikan dan informal, wawancara
menggambarkan sistem dalam konteks mendalam, kajian
penelitian. Root Definition literatur.
menggambarkan apa, bagaimana dan
mengapa dalam sistem dilakukan.
Penggunaan Root Defnition ini untuk
memperkaya pertanyaan mengenai situasi
problematik.

Perumusan model Peneliti membuat model berdasarkan Diskusi formal dan


konseptual penduan Root Definition, analisis PQR, informal, wawancara
CATWOE dan kriteria 3E (Eficacy, mendalam, kajian
Efficiency, Effectiveness) literatur.

Komparasi model Membandingkan hasil kajian dengan Diskusi formal dan


konseptual dengan realita dunia nyata dengan membuat tabel informal, wawancara
fakta lapangan dengan komparasi untuk memudahkan proses mendalam, kajian
dua mode pemikirian perbandingan. Hasil komparasi tersebut literatur.
(two modes of though) akan menjadi panduan bagi peneliti dalam
merancang perubahan-perubahan yang
akan meningkatkan situasi problematik.

Penentuan perubahan Menganalisis dan menginterpretasikan Diskusi formal dan


yang secara sistematis situasi problematik berdasarkan informal, wawancara
diinginkan dan secara komparasai yang telah dilakukan mendalam, kajian
budaya dapat sebelumnya. Hasil analisa ini menjadi literatur.
dilakukan dasar untuk menentukan perubahan-
perubahan bagi situasi problematik.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

3.5. Peta Kognitif dan Peta Kausal (Cognitive & Causal Map) – System Dynamics
sebagai Unitary-Simple
Cognitive map mental model berbentuk grafik yang mengekspresikan
pemahaman dan keyakinan seseorang untuk menyusun subyek yang analisis.
Menurut Alesandro Pena, cognitive map merupakan pandangan individu yang bersifat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
94

parsial dan monoton (Pena, 2007). Hal yang sama dinyatakan oleh Tversky bahwa
cognitive map merupakan representasi mental seseorang terhadap lingkungannya
(Tversky, 1993). Dengan perkataan lain, cognitive map merupakan representasi
seseorang terhadap lingkungan yang bersifat sangat personal. Setiap individu
memungkinkan untuk melakukan pengumpulan, mengorganisasikan, menyimpan
dalam ingatan, dan mengolah informasi sehingga pada saatnya dapat mengungkapkan
dan menguraikan kembali suatu obyek dalam suatu konteksnya (concept). Artinya,
setiap individu dapat memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu lingkungan
yang sama, karena hal ini dipengaruhi oleh keyakinan, pengetahuan serta pemahaman
yang dimilikinya.
Cognitive map berperan tidak hanya sebagai mental mirror yang merupakan
bagian realitas dari otak manusia tetapi juga sebagai alat yang dalam hal
memodifikasi perasaan dan gagasan tentang dunia nyata (Mls Karel, 2009).
Cognitive map berasal dari ilmu psikologi kognitif yang mempertimbangkan sisi
dinamis di dalam pikiran manusia. Pikiran manusia ini merupakan refleksi dari dunia
nyata dan akan mempengaruhi motivasi seseorang dalam pengambilan keputusan dan
berikutnya akan menciptakan atau bahkan mengubah perilaku seseorang. Selanjutnya
Karel berpendapat bahwa cognitive map sesungguhnya merupakan suatu sistem yang
terdiri atas seperangkat konsep yang memiliki hubungan sebab akibat. Setiap konsep
dapat mempengaruhi konsep yang lain baik dalam hubungan yang negatif maupun
positif dan tidak ada interaksi antara konsep yang berdiri sendiri (independent).
Cognitive map biasanya berbentuk gambar yang memiliki tanda dengan arah tertentu
dimana sebuah konsep itu ditandai dengan gambar tertentu sedangkan hubungan
sebab akibat ditandai dengan anak panah yang menghubungkan antara konsep sebab
dengan konsep akibat.
Dalam kajian lain, cognitive map seringkali juga disebut sebagai influence
diagram (ID) dan digunakan untuk simulasi dampak dari kemungkinan suatu
tindakan dilakukan terhadap elemen-elemen yang membangun dalam sistem
(Giordano, et al 2007). Hal yang sama disebutkan oleh Kim (2000) dengan istilah
peta kausal (causal map) ketika menggambarkan mental model dari seorang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
95

pengambil kebijakan. Kim berpendapat, ada kesulitan ketika peneliti hanya sebatas
memetakan pikiran (cognitive map), sebab hasil pemetaan akan bersifat statis dan
sulit untuk menggambarkan dinamika mental model pengambil kebijakan. Maka
digunakanlah causal map, yaitu sebuah skema yang menggambarkan interaksi antar
faktor-faktor yang diperhitungkan dalam membedah permasalahan sosial. Hal ini
dilakukan dengan menggambarkan relasi-relasi antara berbagai variabel sistem sosial
yang diyakini memiliki kaitan dengan permasalahan yang hendak dibedah (Hokky,
2004). Causal map dapat digunakan untuk dua tujuan, yaitu merumuskan keputusan
(decision assessment) dan diagnosis (Perusich, 2010).
Causal map memungkinkan penggunanya untuk menstrukturisasi tema-
tema tertentu sehingga dapat memberikan petunjuk berharga dalam memetakan
persepsi klien terhadap isu-isu kunci (nub) dalam tema tertentu. Tujuan dan sasaran
dapat diidentifikasi dan dieksplorasi, serta pilihan-pilihan kebijakan yang ada dapat di
periksa ulang manakah yang paling menguntungkan dan mana yang perlu dirinci
secara detail (Ackerman et al 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa causal map terdiri
atas satu set rangkaian pilihan-dampak (options-outcome) yang saling terkait.
Tuntutan lingkungan sekitar dapat berimplikasi pada strategi yang dipilih untuk
organisasi. Seringkali rangkaian ini akan menghubungkan keseluruhan tujuan yang
ditetapkan oleh organisasi dan perumus kebijakan. Untuk menyusun sebuah peta
(map), sangat penting untuk menanyakan letak suatu konsep dalam tahapan-tahapan
yang membentuk peta (map) tersebut.

3.5.1 Tahapan Penyusunan Peta Kognitif dan Peta Kausal (Cognitive & Causal
Map)
Tidak ada definisi khusus tentang bentuk peta (map) yang benar karena
masing-masing peneliti atau analis dapat membuahkan interpretasi yang berbeda-
beda terhadap data yang sama. Transkrip wawancara, dokumen pidato, dan sumber-
sumber data sekunder lainnya terdiri atas kalimat-kalimat panjang, terkadang
membuat peneliti sulit untuk menangkap ide pokok dari setiap kalimat.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
96

Data penelitian yang digunakan untuk menyusun cognitive map terdiri atas
dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
kegiatan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap narasumber yang sudah
dipilih. Terdapat 3 (tiga) teknik mendasar yang dapat digunakan untuk membangun
cognitive map, yaitu (Ulengin, Topcu, 1997): melalui wawancara mendalam, koding
dari dokumen dan survei kuesioner.
Dalam penelitian ini cognitive map dibangun berdasarkan data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan koding
dokumen yang dilakukan terhadap Mochtar Riady (selanjutnya disebut MR) sebagai
pendiri, pengelola, dan pemilik kelompok perusahaan ini. Selain itu, wawancara juga
dilakukan kepada orang-orang yang relevan yaitu:
a. Presiden direktur dan anggota direksi sebagai pihak yang merupakan organ
eksekutif yang penting dalam perusahaan.
b. Pemilik perusahaan untuk mengetahui pemahamanannya dalam mewujudkan
keunggulan perusahaan serta sisi entrepreneurship-nya.
c. Dewan Komisaris sebagai supervisory board yang berperan mengawasi
jalannya perusahaan.
d. Corporate secretary yang mengetahui agenda rapat, laporan perusahaan baik
berupa laporan tata kelola perusahaan maupun laporan keuangan dan laporan
lainnya.
e. Anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan.

Wawancara dilakukan secara berulang, bergantung pada kebutuhan data.


Data yang terkumpul juga dalam bentuk data sekunder, diambil melalui kegiatan
koding dokumen berupa prasaran, kumpulan pidato, paper, catatan, buku, artikel,
surat kabar, majalah serta website resmi perusahaan. Selain itu, kumpulan tulisan,
pidato dan hasil wawancara dengan pihak ketiga juga melengkapi data yang
diperlukan. Penyusunan cognitive map dilakukan setelah pengumpulan data selesai
dilakukan. Dalam praktiknya, penyusunan cognitive map ini dilakukan secara
bertahap karena memerlukan konfirmasi dari narasumber.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
97

Untuk memudahkan dalam penyusunan cognitive map, peneliti menggunakan


panduan yang dirumuskan oleh Ackerman, et al. (1992). Berdasarkan keterbatasan
cognitive map yang dinyatakan Kim (2000), maka digunakan peta kausal (causal
map), yaitu sebuah skema yang menggambarkan interaksi antar variabel yang
diperhitungkan untuk membedah permasalahan sosial. Causal map dibentuk dari
hubungan sebab-akibat yang ditimbulkan oleh antar variabel di cognitive map yang
dinyatakan dengan panah, lalu diberi tanda “+” yang berarti “menaikkan” (increase)
atau “–” yang berarti “menurunkan” (decrease). Causal map digunakan terutama
sebagai jembatan antara pendalaman sistem ( insights) dan pemodelan sistem (
modeling). Hal ini dilakukan dengan menggambarkan relasi-relasi antara berbagai
variabel sistem sosial yang diyakini memiliki kaitan dengan permasalahan yang
hendak dibedah (Situngkir, 2004). Causal map dapat digunakan untuk dua tujuan,
yaitu merumuskan keputusan (decision assessment) dan mendiagnosis sistem (
diagnosis) (Perusich, 2010).
Pengguna causal map dimungkinkan untuk menstrukturisasi tema-tema
tertentu sehingga dapat memberikan petunjuk berharga dalam hal memetakan
persepsi klien terhadap isu-isu kunci (nub) dalam tema tertentu. Tujuan dan sasaran
dapat diidentifikasi dan dieksplorasi, serta pilihan-pilihan kebijakan yang ada dapat
diperiksa ulang manakah yang paling menguntungkan dan mana yang perlu dirinci
secara detail (Ackerman, 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa causal map terdiri atas
satu set rangkaian pilihan-dampak (options-outcome) yang saling terkait. Tuntutan
lingkungan sekitar dapat berimplikasi pada strategi yang dipilih untuk organisasi.
Seringkali rangkaian ini menghubungkan keseluruhan tujuan yang ditetapkan oleh
organisasi dan perumus kebijakan (Eden dan Ackermann 2004), seperti yang
diperlihatkan pada Gambar Satu set rangkaian pilihan-dampak (options-outcome)
(Lampiran Bab III).
Letak suatu konsep (variabel) sangat penting untuk ditanyakan, terutama
dalam penyusunan sebuah peta (map) atau dalam tahapan-tahapan pembentukan peta
(map). Baik menurut Ackermann maupun Kim (2000), tidak ada definisi khusus
tentang bentuk peta (map) yang benar. Cognitive map atau causal map yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
98

dihasilkan oleh seorang peneliti dalam melakukan penelitian terhadap suatu unit
analisis memiliki interpretasi yang berbeda, hal ini tergantung dengan worldview dari
peneliti dan kerangka teori yang mendasarinya. Hal seperti ini terkadang membuat
peneliti mengalami kesulitan dalam menangkap ide pokok dari tahapan penyusunan
cognitive map atau causal map. Pada disertasi ini, penulis menggunakan panduan
yang dirumuskan oleh Ackermann, dkk (1992), yaitu sebagai berikut.

a. Tahap 1: Pemisahaan kalimat-kalimat dalam frasa yang berbeda.


Pemetaaan akan lebih efektif dengan cara mengelompokkan konsep-konsep
(variabel-variabel) berdasarkan tipe-tipenya, yang diistilahkan dengan nama lapisan-
lapisan (layers). Lapisan yang paling sederhana adalah tujuan (goal) di urutan teratas,
arah strategis (strategic direction) di bagian tengah, dan pilihan-pilihan potensial
(potential options) di urutan terbawah.

b. Tahap 2: Pembangunan hirarki untuk mendapatkan struktur model yang tepat.


Tujuan (goals) adalah hal yang dianggap baik oleh obyek. Pendefinisian
tujuan (goals) sangat membantu karena menjadi titik integrasi dan pembeda antar
konsep-konsep yang ada. Pendefinisian tujuan (goals) merupakan konsep
superordinat yang memudahkan untuk menuliskan turunan konsep-konsep lainnya.
Tujuan (goal) ditempatkan pada bagian atas hirarki, kemudian didukung oleh konsep
yang mengindikasikan arah strategis (strategic direction), dan terakhir adalah pilihan-
pilihan potensial (potential options) yang ada. Contoh struktur sebuah cognitive map
tentang pelayanan umum di kota Leeds, Inggris, dapat dilihat pada Gambar 3.2.

c. Tahap 3: Penentuan arah strategis (strategic direction).


Arah strategis adalah suatu konsep yang memiliki beberapa karateristik,
yaitu memiliki implikasi dalam jangka waktu yang lama, biaya tinggi, tidak dapat
diubah, memerlukan portofolio untuk melaksanakannya, dan mungkin memerlukan
perubahan budaya. Terkadang hirarki antara arah strategis berbentuk datar, namun
selalu memiliki hubungan dengan tujuan maupun dengan pilihan-pilihan potensial.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
99

d. Tahap 4: Pemerhatian kutub-kutub yang berlawanan dari sebuah konsep.


Kutub-kutub yang berlawanan dari sebuah konsep diperhatikan. Hal ini
bertujuan untuk mengklarifikasi kejelasan sebuah konsep.
e. Tahap 5: Penambahan arti pada konsep-konsep.
Arti dari konsep-konsep yang ada ditambahkan dengan menempatkannya
pada tempat yang penting dan memungkinkan, termasuk di dalamnya pelaku, dan
juga tindakan-tindakanya. Melalui langkah ini, struktur akan menjadi lebih dinamis.

Goal

Strategic Direction 1

Strategic Direction 2

Potential Option 1

Potential Option 2

Sumber: Ackermann (1992) (telah diolah kembali)

Gambar 3.2. Contoh Struktur Peta Kognitif (Cognitive Map)

f. Tahap 6: Mempertahankan keaslian konsep.


Keaslian konsep dipertahankan dengan tidak menyingkat frasa dan kata-kata
dari obyek penelitian. Jika diperlukan, aktor pemilik konsep tersebut dapat
ditambahkan.

g. Tahap 7: Pengindentifikasian pilihan dan dampak dari setiap pasangan konsep


yang ada.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
100

Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan anak panah yang
menghubungkan konsep satu dengan lainnya. Tetapkan konsep yang termasuk “alat”
(means) dan konsep yang termasuk “akhir yang diinginkan”. Setiap konsep dapat
dilihat sebagai pilihan yang mengarah pada konsep atasannya (superordinat) yang
pada gilirannya merupakan tujuan dari konsep bawahannya (subordinat).

h. Tahap 8: Pemastian konsep yang lebih umum berada pada posisi superordinat
terhadap konsep-konsep yang membentuknya.
Konsep yang lebih umum ditandai dengan adanya lebih dari satu cara untuk
mencapainya.
i. Tahap 9: Penandaan ide utama dari obyek penelitian.
Hal ini dilakukan dengan memperhatikan titik awal kalimat awal dari obyek.
Titik ini dapat menjadi titik awal untuk membaca keseluruhan peta (map). Sebagai
akibatnya, bisa saja hubungan yang terbentuk dengan konsep lain menjadi positif,
meskipun dimungkinkan untuk mengubahnya menjadi negatif.

j. Tahap 10: Pememeriksaan ulang.


Pememeriksaan ulang perlu dilakukan untuk memahami peta (map) yang
telah dibangun dan memastikan alasan mengisolasi sebuah konsep dan memilih untuk
tidak menghubungkannya dengan bagian lain.

Peneliti sepakat dengan pertimbangan Kim, untuk mendapatkan gambaran


aspek dinamis mental model pengambil keputusan, maka peneliti melakukan konversi
cognitive & causal map yang ada menjadi model system dynamics dengan
mengadopsi teknik yang dikemukakan oleh Kim. Dalam tulisannya, Kim (2000)
mengembangkan metode simulasi abstrak (abstract simulation) untuk
mentranformasikan cognitive map menjadi model system dynamics. Simulasi abstrak
digunakan untuk mengeksplorasi sisi dinamis dari cognitive & causal map tanpa
mengakibatkan distorsi. Metode simulasi abstrak yang diajukan oleh Kim ini dikenal
dengan metode NUMBER yang merupakan kepanjangan dari Normal Unit Modeling

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
101

by Elementary Relationship atau Permodelan Penormalan Satuan dengan Hubungan


Dasar.
Bagian pertama teknik analisis, baik data primer maupun data sekunder
yang sudah terkumpul dianalisis melalui 2 (dua) tahap, yaitu:
1. Tahap 1: Penyusunan cognitive & causal map secara manual (dengan panduan
dari Ackermann).
Peneliti akan merumuskan panduan dalam rangka pembentukkan peta
(map) dengan cara membuat struktur operasional dan melakukan kuantifikasi
terhadap cognitive map yang telah ada. Selanjutnya akan diperoleh cognitive
map. Kemudian peneliti menambahkan tanda-tanda yang merepresentasikan
adanya hubungan sebab akibat dari cognitive map yang sudah dibangun
tersebut sehingga menjadi causal map.
2. Tahap 2: Penerapan metode NUMBER (Normalized Unit Modeling by
Elementary Relationship) dengan panduan dari Kim.
Pada tahap ini, causal map yang sudah terbentuk akan dikonversikan
menjadi model System Dynamics dengan menambahkan adanya feedback
loops dalam sistem yang telah terbangun.

Gambar Beragam Cara Simulasi dan Simulasi Abstrak (Abstract


Simulation) (Lampiran Bab III) memperlihatkan berbagai cara simulasi dengan 2
(dua) dimensi, yaitu dimensi berorientasi parameter (parameter oriented) sampai
berorientasi struktur (structure-oriented) dan dimensi kualitatif (qualitative) sampai
kuantitatif (quantitative). Gambar ini sekaligus memperlihatkan bagaimana
penggunaan simulasi abstrak dapat menjembatani cognitive & causal map yang
merupakan sistem pandangan seseorang dengan model Dynamics. Berdasarkan
Ackermann, et al (1992), cognitive & causal map merupakan salah satu teknik dalam
disiplin System Dynamics. Untuk membangun pemodelan System Dynamics dari
causal map, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu penambahan struktur operasional
dan kuantifikasi terhadap causal map yang telah ada. Ackermann menyebutkan
proses ini sebagai kegiatan merumuskan panduan dalam rangka pembentukan peta

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
102

(map). Namun terkadang terdapat kendala dalam pengumpulan data, sehingga


dibutuhkan simulasi abstrak untuk menyelesaikannya.
Yang dimaksud dengan simulasi abstrak adalah simulasi sebuah model yang
dibangun dari abtraksi atau variabel konseptual dan hubungan sebab-akibat (Kim,
2000). Dijelaskan oleh Kim, hal ini sangat berbeda dengan model ekonometri dan
statistik karena model abstrak berdasarkan pada hubungan sebab-akibat di antara
variabel yang disajikan dalam causal map. Simulasi abstrak menyajikan suatu kondisi
dimana seseorang dapat melakukan simulasi dari sebuah causal map tanpa
membutuhkan penambahan data dalam struktur dan parameternya. Simulasi abstrak
ini dibutuhkan dengan pertimbangan beberapa alasan, yaitu:
a. Simulasi abstrak membantu mempertahankan sifat umum (generic nature)
dari causal map.
Seringkali causal map dibangun dengan variabel yang sangat abstrak
untuk mempertahankan sifat umumnya. Causal map yang sangat abstrak
seringkali digunakan untuk mendapatkan pendalaman mendasar (fundamental
insights).
b. Simulasi abstrak diperlukan untuk mempertahankan kemurnian dari causal
map.
Causal map merupakan model simulasi yang dibangun oleh peneliti
yang merefleksikan pikiran peneliti sendiri, bukannya pikiran pengambil
kebijakan yang dari pernyataannya causal map tersebut dibangun. Untuk
itulah simulasi abstrak dibangun agar dapat meminimalkan jumlah asumsi
tambahan dan memperjelas asumsi tambahan apa yang dimasukkan.
c. Simulasi abstrak akan meningkatkan kejujuran dari peneliti
Jika seseorang tidak dapat mengetahui struktur dan parameter yang
nyata, seseorang tidak perlu menyembunyikan pengabaiannya untuk
membangun model simulasi. Dengan menggunakan pendekatan simulasi
abstrak, seseorang dapat melakukan simulasi tanpa memasukkan asumsinya
sendiri.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
103

3.5.2. Permodelan System Dynamics Menggunakan Metode NUMBER


Metode yang secara langsung dapat mengkonversi causal map menjadi
model System Dynamics diperkenalkan oleh Kim (2000). Ada 3 (tiga) tahap yang
dilakukan di metode NUMBER, yaitu:
1. Beberapa variabel dalam causal map dipilih sebagai variabel level (level
variable/stock variable) berdasarkan peran variabel tersebut dalam peta
(map). Sebagai contoh, misalkan terdapat 27 variabel dalam causal map, lalu
dipilih 9 variabel untuk dijadikan variabel level. Adapun alasan pemilihan
variabel level ini berdasarkan pertimbangan peneliti dari hasil pengambilan
data dimana variabel ini merupakan variabel yang dipandang penting oleh
problem owner.
2. Nilai semua variabel dinormalisasi sehingga berada pada interval tertutup [0,
1]. Itulah sebabnya metode ini disebut sebagai Permodelan Penormalan
Satuan (Normalized Unit Modeling). Setiap variabel dimungkinkan memiliki
skala yang berbeda. Agar semua variabel dapat dibandingkan, maka
normalisasi variabel perlu dilakukan. Rumus transformasi variabel yang dapat
digunakan untuk menormalisasi nilai variabel dapat dilihat pada Tabel Rumus
Transformasi Variabel yang Dapat Digunakan untuk Normalisasi Nilai
Variabel (Lampian Bab III).
3. Variabel-variabel dalam peta (map) dihubungkan dengan hubungan dasar
(Elementary Relationships) yang dirancang untuk membatasi nilai variabel
berada pada interval tertutup [0, 1]. Khususnya variabel level dihubungkan
dengan variabel-variabel laju (rate variables) yang dimunculkan secara
otomatis oleh hubungan yang sudah didefinisikan sebelumnya. Itulah
sebabnya metode ini disebut “Dengan Hubungan Dasar” (by Elementary
Relationships).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
104

Berdasarkan tahap 2 dan 3 tersebut di atas, maka metode ini dinamakan


sebagai metode Permodelan Penormalan Satuan dengan Hubungan Dasar
(Normalized Unit Modeling By Elementary Relationships (NUMBER)). Metode
NUMBER memiliki 2 (dua) asumsi penting, yaitu:
1. Nilai semua variabel dapat dinyatakan sebagai nilai yang berada dalam interval
tertutup [0, 1]. Batasan ini membuat nilai semua variabel berada dalam kisaran
yang dapat diterima dan mencegah variabel yang satu mempengaruhi variabel
lain secara ekstrim. Sebagai contoh, variabel kemampuan perusahaan dalam
memperoleh keuntungan perusahaan per tahun (dalam rupiah) mempunyai nilai
yang sangat besar jika dibandingkan dengan nilai variabel penerimaan
karyawan perusahaan per tahun (dalam orang). Kedua variabel ini mempunyai
skala (satuan) yang berbeda, oleh sebab itu, kedua variabel ini tidak dapat
dibandingkan secara langsung, karena variabel yang satu memiliki nilai yang
sangat besar sedangkan variabel yang lain memiliki nilai yang kecil. Misalkan
ada variabel lain, yaitu kompensasi karyawan per tahun (dalam rupiah)
dipengaruhi oleh keuntungan perusahaan per tahun (dalam rupiah) dan
penerimaan karyawan perusahaan per tahun (dalam orang), maka kompensasi
karyawan per tahun (dalam rupiah) dipengaruhi secara ekstrim oleh
Keuntungan perusahaan per tahun (dalam rupiah) dibandingkan Penerimaan
karyawan perusahaan per tahun (dalam orang).
2. Hubungan dasar (elementary relationship) untuk variabel level secara otomatis
memaksa nilai variabel level tetap di dalam batas interval tertutup [0, 1].
Dengan perkataan lain, awalnya nilai variabel level sudah berada dalam
interval tertutup [0, 1], lalu dengan hubungan tersebut, nilai variabel level
tersebut dijaga sehingga tetap berada dalam interval tertutup [0, 1]. Tabel
Operasi-Operasi yang Aman yang Akan Membuat A Berada pada Interval
Tertutup [0, 1] Jika B dan C Berada pada Interval Tertutup [0, 1] (Lampiran
Bab III) menunjukkan operasi-operasi dimana nilai variabel akan
dipertahankan berada dalam interval tertutup [0, 1].

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
105

Gambar Hubungan Dasar (elementary relationship) antara Variabel Level


(level variable) dan Variabel Laju (rate variable ) (Lampiran Bab III) menunjukkan
hubungan dasar (elementary relationship) antara variabel level (level variable) dan
variabel laju (rate variable). Variabel level mempengaruhi laju kenaikan (increasing
rate) dan laju penurunan (decreasing rate) dirinya sendiri, baik langsung (lihat panah
1 dan 2) maupun tidak langsung (lihat panah 3). Feedback loop tidak langsung dari
variabel level (level variable) (lihat panah 3-4, dan 3-5), dihubungkan oleh variabel
rasio yang nilainya berubah-ubah (changing ratio). Variabel rasio yang nilainya
berubah-ubah mewakili variabel-variabel yang ikut campur dalam feedback loop.
Feedback loop berarti bahwa nilai variabel level mempengaruhi dirinya sendiri.
Persamaan yang akan menjaga nilai variabel level berada dalam interval
tertutup  0, 1  adalah;

LV  INTEGIR  DR  … (3.1)
dengan
IR  1 LV  * CR … (3.2)

DR  LV  * CR … (3.3)
dimana LV adalah variabel level (Level Variable), IR adalah laju kenaikan
(Increasing Rate), DR adalah laju penurunan (Decreasing Rate), INTEG adalah
INTEGRAL, dan CR adalah rasio yang nilainya berubah-ubah (Changing Ratio).
Untuk memastikan nilai variabel level berada dalam interval tertutup  0, 1  ,
laju kenaikan, yaitu IR, didefinisikan konvergen menuju 0 untuk nilai level variabel
dekat 1. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalikan  1  LV  ke persamaan variabel
laju, yaitu CR. Di sisi lain, laju penurunan, yaitu DR, didefinisikan konvergen menuju
0 untuk nilai level variabel menuju 0. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalikan LV
ke persamaan variabel penurun, yaitu CR. Jadi, nilai variabel level berhenti naik
ketika sampai di 1 dan berhenti turun ketika bergerak ke 0. Dengan cara ini, nilai
variabel level akan tetap berada dalam interval tertutup  0, 1  .
Gambar Perilaku Waktu Hubungan Dasar (Lampiran Bab III) merupakan
contoh yang memperlihatkan hubungan antara variabel level dengan periode waktu

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
106

pengamatan untuk melihat aspek kedinamisan sistem. Variabel level yang


didefinisikan dalam hubungan dasar, memiliki kecenderungan mempertahankan
keseimbangan. Asumsi mendasar dalam metode NUMBER adalah bahwa semua
variabel level memiliki kecenderungan bertahan dalam keseimbangan masing-
masing. Asumsi kestabilan ini dapat dibenarkan dengan dasar bahwa semua variabel
level seharusnya dapat mempertahankan nilainya selama tidak ada kekuatan untuk
mengubahnya. Jika ada kekuatan lain yang mempengaruhi variabel level itu, maka
akan mengubah nilai variabel level itu sehingga keluar dari keadaan seimbang itu.
Keseimbangan itu akan dipengaruhi oleh variabel dan feedback loop yang lain. Jika
feedback loop yang lain dominan terhadap hubungan dasar, maka variabel level itu
akan bergeser dari keseimbangan dan menunjukkan perilaku yang beragam
(fluktuatif). Feedback loop dari hubungan dasar akan memiliki pengaruh paling kuat
hanya pada titik ekstrem variabel level pada dekat 0 dan 1, maka feedback loop yang
lain dapat dengan mudah mendominasi pergerakan variabel level pada waktu-waktu
normal.

Pengumpulan data Pembuatan


berupa informasi Peta Kognitif
variabel (cognitive map)

Pembuatan Peta Kausal Pengumpulan data


(causal map) untuk nilai semua
variabel

Penerapan
Metode NUMBER

Pembuatan Model Dynamics

Perhitungan Simulasi Abstrak Normalisasi nilai


(Abstract Simulation) variabel

Hasil Simulasi Abstrak

Analisa Hasil Simulasi Abstrak

Sumber: hasil olahan penulis (2012)


Gambar 3.3. Tahapan Analisis Data untuk Simulasi Abstrak

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
107

Secara ringkas, tahapan analisis data pada penelitian ini dapat dilihat pada
diagram alir seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3 berikut. Pada tahap awal,
dibutuhkan informasi-informasi terkait variabel-variabel yang akan digunakan untuk
pembuatan cognitive map. Informasi-informasi tersebut dapat berupa tinjauan
literatur, wawancara mendalam, buku tulisan narasumber, prasaran, circular
perusahaan, majalah perusahaan, dan buletin perusahaan. Cognitive map disusun
berdasarkan panduan yang dirumuskan oleh Ackermann et al, (1992). Hubungan
sebab-akibat yang ditimbulkan oleh antar variabel di cognitive map dinyatakan
dengan panah, lalu diberi tanda “+” atau “–” sehingga terbentuk causal map. Dengan
metode NUMBER dari Kim (2000), causal map dikonversikan ke dalam model
system dynamics berdasarkan analisis. Data untuk nilai semua variabel diperoleh dari
data primer (laporan dari divisi perusahaan) dan data sekunder (data perusahaan,
laporan corporate governance, laporan keuangan perusahaan, website perusahan, dan
hasil rapat). Sebelum dilakukan simulasi abstrak, terlebih dahulu dilakukan
normalisasi nilai variabel. Rumus transformasi variabel dapat dilihat seperti Tabel
3.4. Selanjutnya perhitungan simulasi abstrak dilakukan menggunakan nilai variabel
dari data. Rumus simulasi abstrak dapat dilihat seperti pada Tabel 3.5. Kemudian
hasil simulasi abstrak dilakukan analisa untuk keperluan penelitian.

3.6. Visualisasi kombinasi CM dan SSM.


Penelitian ini mengkombinasikan antara CM dan SSM dengan pertimbangan
bahwa CM merupakan pendekatan yang penting dalam memahami entrepreneurial
way of thinking (Baron, 2004a; Baron 2004b; Mitchell, 2002a; Mitchell, 2004).
Penggunaan CM untuk menggali aspek vital entrepreurship dalam mengidentifikasi
peluang. Pemetaan pemahaman entrepreneur terkait dengan bagaimana merumuskan
keunggulan bersaing perusahaan melalui pengelolaan sumber daya secara strategis.
Entrepreneur yang dijadikan rujukan penelitian adalah Mochtar Riady (MR) sebagai
pendiri, pemilik sekaligus pengelola kelompok usaha Lippo. Sesuai dengan panduan
dari Kim dan Ackerman (2004) maka tergambarlah 4(empat) strategic direction yaitu

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
108

arah strategis sumber daya manusia, keuangan, teknologi dan entrepreneur as a


business leader.
Aplikasi pemahaman entrepreneur dalam mengelola resource secara strategis
ini menurut Ireland dan Hitt (2001) disebut sebagai strategic entrepreneurship.
Pemahaman ini kemudian diturunkan ke dalam perusahaan melalui proses
pembelajaran yang melibatkan anggota organisasi lainnya. Proses pembelajaran yang
dilakukan tentunya harus mengarah kepada tujuan perusahaan yaitu menjadi
perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing. Menurut Tushman dan O’Reilly
(1996) organisasi yang dapat memenangkan persaingan adalah yang dapat berinovasi.
Pentingnya inovasi mengharuskan terjadinya aktivitas inovasi baik yang bersifat
eksploratif (exploratory innovation) maupun eksploitatif (exploitative innovation)
(Jansen, 2009) dalam pengelolaan aset perusahaan. Organisasi yang melaksanakan
kedua aktivitas ini disebut sebagai ambidextrous organization (Tushman dan
O’Reilly, 1996). Upaya untuk menyeimbangkan kedua aktivitas ini digali oleh
Tushman dan O’Reilly (2004), Smith (2005), Sheremata (2005), Gibson dan
Birkinshaw (2005), Guthel dan Konlechner (2009), Jansen (2009), Chandrasekaran
(2009) yang dikenal dengan bentuk-bentuk ambidexteritas perusahaan.
Pentingnya ambidexterity ini kemudian dituangkan ke dalam proses
pembelajaran melalui SSM. Penggunaan SSM dapat membangun ambidexterity lebih
baik lagi untuk mencapai keunggulan bersaing yang diinginkan. Berdasarkan hasil
turun lapangan maka ambidexterity yang perlu mendapatkan perhatian untuk
ditingkatkan adalah strategic amibexterity dan contextual ambidexterity. Dalam
aplikasi SSM konvensional, dikenal 7 (tujuh) tahap (Checkland, 1990) di mana pada
tahap 1,2,5,6 dan 7 adalah tahapan cultural based. Sedangkan tahap 3 dan 4 adalah
tahapan logic based. Biasanya pada tahap 5 dilakukan perbandingan antara real world
dengan refleksi teori yang digunakan. Sinergisitas kombinasi dalam penelitian ini
adalah selain merefleksikan teori-teori yang digunakan, maka pada tahap
perbandingan akan diperkaya dengan aspek pemahaman entrepreneur melalui hasil
aplikasi Cognitive Mapping (CM). Adapun aplikasi CM yang digunakan dalam
penelitian ini mengikuti panduan dari Eden dan Ackerman (2004). Jadi masing-

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
109

masing metode memiliki alur yang berbeda untuk kemudian beririsan di tahap ke-5.
Cara penggabungan seperti ini adalah dengan maksud agar tidak akan mengganggu
nature dari masing-masing metodologi yang digunakan. Bahkan justru akan
memperdalam analisis model konseptual yang berdasarkan logic based dengan
penambahan CM secara cultural based.
Gambar-gambar di bawah ini menunjukkan visualisasi dari berbagai
kombinasi yang sudah ada sehingga menunjukkan dinamika yang terjadi dalam
perkembangan aplikasi SSM.

7
1 6

2 5
Real World

Thinking about Real World


3 4

Sumber : Chechkland dan Scholes (1990)

Gambar 3.4. The Conventional Seven-Stage model of SSM.

7
1 6

2 5
Real World

Thinking about Real World


3 4

Other
Thinking

Sumber : Flood dan Jackson (1991, hal 173)

Gambar 3.5 Model Kombinasi SSM

Dalam bukunya, Flood and Jackson memasukkan “other thinking” pada


tahap 4 dalam SSM untuk kepentingan validasi model konseptual. Hal ini sekaligus

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
110

memperlihatkan adanya kemungkinan untuk memasukkan other thinking pada tahap


4 dalam SSM. Bahkan dalam buku Checkland (1999) pada halaman 169-174
digambarkan dengan jelas bahwa selain other system thinking dapat juga
memasukkan formal system concept dengan tujuan untuk membuat dan menguji
model konseptual.
Validasi yang biasanya dilakukan pada hard model sulit dilakukan pada
model konseptual karena seperangkat model konseptual ini merupakan human
activity yang disusun berdasarkan root definition. Pada halaman 73 di buku Flood
and Jackson juga tertulis bahwa tidak ada model yang valid atau tidak valid tetapi
model dapat dipertanggungjawabkan dengan pengujian melalui model umum dari
human activity system yang disebut formal model.

1
3
Real World

2 Thinking about Real World

Sumber : Checkland dan Poulter dan Sudarsono (2012)


Gambar 3.6. Model SSM Kombinasi lainnya

7
1 6

2 5

Real World

3 4 Thinking about Real World

4*

Sumber : Rodriguez dan Paucar (2005)


Gambar 3.7. Kombinasi SSM dan SD menjadi SSDM

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
111

Sedangkan dalam penelitian ini, visualisasinya adalah seperti yang ditunjukkan


oleh Gambar 3.8

7
1 6

2a 5
2 4a

3 4
Sumber : hasil olahan peneliti (2013)
Gambar 3.8. Simulasi CM dan SSM di dalam penelitian ini
Gambar 3.8 memperlihatkan irisannya antara SSM dengan CM terjadi pada
bagian 4a atau yang menuju tahap 5. Hasil CM pada tahap 4a yang merupakan
tahapan antara tahap 4 dan tahap 5 dalam siklus tahapan SSM. Yang menarik adalah
mengenai mengapa irisannya dilakukan di bagian atas garis pemisah antara cultural
stream of analysis dan logical stream of analysis. Alasannya adalah sesuai dengan
metodologi dalam pembuatan CM sendiri yang merupakan penggambaran dari
persepsi tentang dunia nyata sang entrepreneur maka hasil dari CM tetaplah
merupakan output di ranah empiris atau cultural based . Sehingga analisis CM ini
melengkapi cultural based dari SSM.
Mengapa CM menjadi penting? Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang
ingin membangun ambidexterity dalam mencapai keunggulan bersaing perusahaan
maka CM digunakan terlebih dahulu untuk mendapatkan pemahaman pendiri dan
pemilik perusahaan yang memiliki peran yang sangat powerful dan penting dalam
pengambilan keputusan perusahaan. Pengambilan keputusan yang dimaksud adalah
yang terkait dengan bagaimana menentukan arah strategis dalam pengelolaan sumber
daya yang dimiliki untuk menciptakan keunggulan bersaing perusahaan. Dari hasil
CM diketahui sumber daya mana saja yang strategis dan menjadi prioritas dalam
melakukan aktivitas exploratory innovation dan exploitative innovation.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
112

Upaya yang dilakukan perusahaan dalam managing resources strategically ini


kemudian diidentifikasi melalui dua bentuk ambidexterity yaitu strategic
ambidexterity dan contextual ambidexterity. Untuk mencapai ambidexterity yang
dimaksud maka SSM menjadi signifikan untuk melakukan perubahan. Pemilihan
SSM berdasarkan pertimbangan bahwa maka praktisi memperlakukan dunia nyata
(perusahaan) sebagai human activity yang di dalamnya terdapat partisipasi, budaya,
proses pembelajaran dan two modes of thought.
Singkatnya, CM bersifat komplementer karena mengungkap aspek
pemahaman dari aktor penting dalam perusahaan yang menjadi rujukan penelitian
yang hanya bisa digali dengan menggunakan CM. Sehingga peran CM di SSM
dikombinasikan di dalam cultural stream of analysis dan begitu juga sebaliknya
tentunya tidak semua bagian cultural based dari SSM dapat disediakan oleh CM.

3.7. Rujukan Penelitian


Untuk menyusun cognitive & causal map, peneliti memilih peran Riady
sebagai entrepreneur sebagai rujukan penelitian dengan pertimbangan sebagai
berikut:
a. Pendiri Perusahaan merupakan figur entrepreneur yang mendirikan dan
mengembangkan perusahaan yang dahulunya merupakan perusahaan kecil
menjadi sekumpulan perusahaan (konglomerasi).
b. Pendiri Perusahaan memiliki filosofi manajemen, yang merupakan perpaduan
antara manajemen China kuno dan manajemen modern.
c. Pendiri Perusahaan merupakan figur pemimpin yang mengelola bisnisnya
dengan berbagai penghargaan yang diterima.
Untuk mengimplementasikan SSM based AR, peneliti mengambil human
activity yang terjadi di entitas Lippo Karawaci sebagai rujukan penelitian. Pemilihan
Lippo Karawaci dengan pertimbangan merupakan salah satu kelompok perusahaan
terbesar dalam Lippo Grup dengan jumlah anak perusahaan lebih dari 200 anak

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
113

perusahaan. Pertimbangan lain adalah bahwa aktivitas yang terjadi dalam sistem ini
sangat kompleks dan partisipan yang terlibat bersifat plural.

3.8. Reliabilitas dan Validitas Penelitian


Isu tentang Reliabilitas dan Validitas dalam sebuah penelitian menjadi penting
artinya terutama saat sebuah penelitian dikatakan sebagai penelitian ilmiah. Berbeda
dengan penelitian di bidang eksakta, maka penelitian di bidang sosial seperti halnya
penelitian ini, melihat manusia sebagai makhluk unik yang memiliki pemahaman
berubah-ubah. Pengetahuan yang digali dalam ilmu sosial bersifat heavily meaning-
bearing sehingga disebut sebagai experienced-based knowledge (Scholes, 1990).
Penelitian ini menggunakan SSM based AR yang memperlakukan human
activity system yang memiliki purpose wholeness. Sehingga model konseptual yang
disusun merupakan model relevant system dengan situasi problematik berdasarkan
kerangka teori yang sudah ditetapkan di awal dan bukan masalah yang terjadi
sesungguhnya.
Reliability dan Validitas data diperoleh melalui mekanisme triangulasi di
mana hasil wawancara dengan seseorang akan digali lagi kebenarannya dengan
wawancara dengan pihak lain yang setara dan juga divalidasi dengan data sekunder.
Mekanisme triangulasi dalam SSM based AR terjadi melalui recoverability yang
terjadi sepanjang proses SSM based AR (Checkland dan Poulter, 2006).
1. Finding Out merupakan proses yang terjadi sepanjang proses SSM
dilakukan (Scoles, 1990).
2. Triple Loop Learning yang dapat memperbaiki tiap langkah yang ada
dalam SSM.
3. Declared theoritical framework in advance membantu peneliti
menguraikan experienced-based knowledge secara well-organized
research action.
4. Orang luar di luar penelitian dapat melakukan “recover” untuk melihat
apa yang dilakukan dan bagaimana kesimpulan diperoleh.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
114

Untuk menjaga kemurnian SSM sendiri, peneliti melakukan kombinasi


dengan metode CM pada saat debating untuk memperkaya cultural stream of
analysis. Hal ini sesuai dengan saran Checkland dan Scholes (1990, 42) yang
menyatakan bahwa status dari holon as epistemology bukan ontology harus
dipertahankan, oleh sebab itu kombinasi yang dilakukan tidak pada tataran
logic based.

3.9 Etika Penelitian


Aspek fundamental prinsip etis juga medapatkan perhatian dari peneliti,
dimana peneliti tidak pernah memaksakan siapapun untuk terlibat dalam penelitian
ini. Keterlibatan nara sumber dalam penelitian ini bersifat sukarela. Tidaklah cukup
hanya dengan mendapatkan ijin dari partisipan untuk melakukan penelitian terhadap
human activity yang dilakukan, tetapi juga partisipan harus mendapatkan informasi
tentang apa yang akan ditanyakan (informed consent). Untuk mengatasi hal ini, maka
terlebih dahulu peneliti mengirimkan proposal dan daftar pertanyaan serta data-data
yang dibutuhkan dari pihak perusahaan. Sehingga partisipan menjadi sadar akan apa
yang menjadi haknya dan segala risiko akan keterlibatannya dalam penelitian ini.

3.10. Peran Peneliti


Peneliti adalah orang luar, artinya secara formal bukan merupakan bagian
dari perusahaan. Hal ini menyebabkan setelah masuknya peneliti, maka terbentuklah
emergent property yang baru. Oleh sebab itu, kelebihannya adalah peneliti dapat
lebih obyektif mengidentifikasi berbagai peran dan menafsirkan makna dari berbagai
aktivitas manusia yang terjadi di dalamnya. Kelemahan sebagai orang luar terkadang
dapat terjadi manakala terdapat perbedaan interpretasi data dan makna berbagai
aktivitas yang terjadi, tetapi hal ini dieliminasi dengan melakukan triangulasi. Oleh
sebab itu dalam penyusunan cognitive & causal map yang dilakukan, peneliti
berulang kali melakukan wawancara sampai pada batas pemahaman yang sama
tentang gambar dan hasil analisis yang sudah diperoleh sehingga tercapai pemahaman
yang sama tentang apa yang sudah ditulis. Terkait dengan proses SSM based AR,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
115

maka triangulasi yang diperlukan sudah embedded terjadi dalam proses atau tahapan
untuk melakukan SSM based AR itu sendiri. Hal ini memungkinkan karena proses
penelitian dalam SSM based AR bersifat cyclical sehingga jika terjadi ketidakpuasan
pada tahap berikutnya, maka peneliti dapat kembali lagi ke tahap sebelumnya untuk
mengulang dan memperbaiki apa yang sudah dilakukan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LIPPO KARAWACI DAN
PENGUNGKAPAN SITUASI MASALAH

4.1. Profil Lippo Group


Berdirinya Lippo Group bermula dari pembelian sebagian saham Bank
Perniagaan Indonesia yang milik Haji Hasyim Ning pada tahun 1981 oleh Mochtar
Riady (Riady). Padahal, ketika itu Riady masih menduduki posisi penting di Bank
Central Asia (BCA). Saat dibeli, aset Bank Perniagaan Indonesia telah merosot
sekitar 16,3 miliar rupiah. Setelah bergabung dengan Hasyim Ning pada 1987, aset
Bank Perniagaan Indonesia melonjak di atas 1.500%, yaitu menjadi 257,73 miliar
rupiah. Selanjutnya, Bank Perniagaan merger dengan Bank Umum Asia pada 1989.
Saat itulah Lippo Bank lahir dan menjadi cikal bakal Lippo Group.
Lippo Group merupakan kelompok perusahaan yang memiliki lebih dari 55
anak perusahaan dengan jumlah karyawan diperkirakan lebih dari 60.000 orang
(http://www.infobanknews.com/2010/10/jalan-lapang-mochtar-riady-besarkan-grup-
lippo/). Selain di Indonesia, Lippo Group merambah kawasan Asia Pasifik, terutama
Hong Kong, Guang Zhou, Fujian, dan Shanghai. Lippo Group merupakan suatu
kelompok bisnis terkemuka di Indonesia dengan bisnis inti di bidang jasa keuangan.
Berbagai anak perusahaan Lippo Group tersebar di kawasan Asia dan Pasifik seperti
Indonesia, Hongkong, British Virgin Islands, Singapura, Cina, Samoa, Australia,
Kanada, Cayman Island, USA (United States of America). Kantor pusat Lippo Group
bertempat di 24th Floor, Tower One, Lippo Centre, 89 Queensway, Hongkong.
Kegiatan utama Lippo Group adalah bidang investasi. Lippo Group memiliki
anak perusahaan, perusahaan asosiasi, dan jointly controlled, yang bergerak dalam
bidang investasi, investasi properti, pengembangan properti, hotel, bisnis makanan,
manajemen properti, manajemen proyek, eksplorasi mineral, manajemen dana,
underwriting, keuangan perusahaan, sekuritas, investasi sekuritas, treasury investasi,

116 Unversitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
117

peminjaman dana, perbankan dan jasa keuangan terkait. Di Indonesia, Lippo Group
memiliki 5 (lima) area bisnis utama, yaitu:
1. Jasa keuangan yang merupakan bisnis utama dari Lippo Group yang meliputi
perbankan, investasi, asuransi, sekuritas, manajemen aset dan reksadana.
2. Property dan Urban Development yang meliputi pembangunan kota satelit
terpadu, perumahan, kondominium, pusat hiburan, dan perbelanjaan,
perkantoran, dan kawasan industri.
3. Pembangunan infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, produksi gas,
distribusi, pembangunan jalan raya, pembangunan sarana air bersih, dan
prasarana komunikasi
4. Bidang industri yang meliputi industri komponen elektronik, komponen
otomotif, industri semen, porselen, batubara, dan gas bumi.
5. Bidang jasa meliputi teknologi informasi, bisnis ritel, rekreasi, hiburan, hotel,
rumah sakit Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCCC) Siloam
Hospital dan pendidikan, yaitu Sekolah Pelita Harapan.
Salah seorang tokoh penting, Billy Sindoro (mantan CEO PT Siloam Health
Care, Tbk.dan memiliki berpengalaman menduduki posisi puncak di kelompok Lippo
sejak tahun 1988) yang disebut Lippo Group secara formal sebagai institusi atau
organisasi bisnis sesungguhnya tidak ada, yang ada adalah perusahaan-perusahaan
dengan nama Lippo dalam kelompok bisnis Lippo Group. Lippo Group lebih
merupakan organisasi informal keluarga yang dipimpin oleh Riady.

4.2. Visi dan Misi Lippo Karawaci


Visi Lippo Group adalah growing in stewardship - impacting lives. Visi
tersebut dapat dielaborasikan oleh masing-masing kelompok bisnis sesuai dengan
strateginya. Inti dari visi Lippo Group, yaitu memberikan dampak yang positif bagi
orang banyak. Sedangkan misi dari Lippo Group adalah mengembangkan ekonomi
nasional di segala arah, dimana perusahaan tidak hanya membidik skala menengah ke
atas, menengah ke bawah juga dijajaki. Misalnya di sektor properti, bagaimana
membangun pemukiman baru atau kota mandiri dengan lingkungan terintregasi,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
118

termasuk untuk masyarakat perpenghasilan rendah (Theo L. Sambuaga, Presiden


Direktur Lippo Group, 2010, www.bataviase.co.id).
Sebagai salah satu kelompok perusahaan, PT. Lippo Karawaci Tbk memiliki
visi dan misi sebagai berikut:
a. Visi:
Menjadi perusahaan properti terkemuka dengan tekad untuk menyentuh
masyarakat luas di semua lini bisnis yang senantiasa menciptakan nilai
tambah bagi para pemegang saham.
b. Misi:
a) Memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia kelas menengah dan atas
di bidang perumahan, pusat perbelanjaan dan komersial, layanan
kesehatan, hiburan, infrastruktur dan jasa perhotelan.
b) Memelihara kelangsungan pertumbuuan usaha melalui pengembangan
sumber pendapatan berkesinambungan (recurring income) dan
kegiatan pengembangan yang berkelanjutan.
c) Memberikan lingkungan hidup berkualitas yang meningkatkan
pengalama sosial dan spiritual bagi para pelanggan, serta menyediakan
suasana ramah lingkungan terbaik pada setiap proyek
pengembangannya.
Pendiri dari Lippo Group, yaitu Riady. Nama dan logo Lippo Group juga
mewakili visi serta kesuksesan dari Riady. Kata-kata Cina Li yang berarti energi dan
Pao yang berarti harta karun, mewakili inti dari filosofi bisnisnya untuk menemukan
sinergi antara usaha manusia dan sumber daya keuangan. Logo dari Lippo Group
merupakan grafis bergaya huruf L dan P dalam sebuah bentuk yang terus menerus.
Bentuk tersebut mensimulasikan simbol matematika yang tidak terhingga dan
pertumbuhan yang berkelanjutan.

Sumber: www. google.com


Gambar 4.1. Logo Lippo Group

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
119

Nilai-nilai yang secara umum ada di Lippo Karawaci adalah sebagai berikut:
fokus pada pelanggan, komitmen pada pencapaian tujuan dan prestasi terbaik,
integritas, kerjasama, inovasi, dan semangat belajar.

4.3. Profil Mocthar Riady (Riady)


Mochtar Riady (Lie Mo Tie) merupakan pemimpin kelompok bisnis Lippo
Group yang lahir di Malang, Jawa Timur, pada tanggal 12 Mei 1929. Ia memperoleh
pendidikan dari Sekolah berbahasa pengantar Tionghoa di Fu Wung High School
Surabaya, Jawa Timur, dan dilanjutkan ke The Eastern College, Universitas Nanking,
Cina. Mochtar Riady bercita-cita menjadi seorang bankir sejak usia 10 tahun.
Motivasinya terbangun karena setiap hari berangkat sekolah selalu melewati gedung
megah kantor Nederlandshe Handles Bank (NHB). Riady melihat para pegawai bank
yang berpakaian rapih dan selalu sibuk. Hal ini mendorong motivasinya bahwa di saat
dewasa, Riady dapat meraih cita-citanya menjadi seorang bankir yang terkenal
bertangan dingin.
Sebelum meraih cita-citanya, Riady harus mengalami beberapa peristiwa
dimana pada tahun 1947, Riady ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan di deportasi
oleh Belanda ke Nanking, Cina, karena terlibat dalam agitasi anti Belanda. Di
Nanking, Cina, Ia menggunakan kesempatan untuk kuliah filosofi di Universitas of
Nanking. Dua tahun kemudian, Riady mengakhiri pendidikan formalnya ketika
komunis menyerbu Nanking. Setelah enam bulan di Hongkong, Ia mengajukan
permohonan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di Surabaya.
Pada tahun 1951, Riady menikahi gadis pilihannya yang berasal dari
Jember. Kemudian mertuanya memberikan tanggung jawab untuk mengurus toko
kecil. Toko tersebut dalam waktu 3 tahun sudah menjadi toko yang terbesar di
Jember. Di tahun 1954, Riady memutuskan pergi ke Jakarta untuk mencoba meraih
cita-citanya walaupun ditentang oleh keluarganya.
Pada awalnya Riady bekerja di sebuah perusahaan komanditer di Jalan
Hayam Wuruk, Jakarta, selama 6 bulan dimana Ia mengambil kesempatan waktunya
untuk membuka relasi. Kemudian Ia bekerja pada seorang importer yang menjadikan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
120

relasinya semakin berkembang. Disaat yang bersamaan Ia dengan temannya


bekerjasama untuk berbisnis kapal kecil.
Pada tahun 1960, Riady mulai meniti karir di perbankan melalui koneksi
kerabatnya yang mengetahui mimpinya untuk bekerja di bidang perbankan. Informasi
yang pada saat itu adalah Bank Kemakmuran membutuhkan pegawai karena sedang
mengalami masalah. Kondisi ini dimanfaatkan untuk menimba pengalaman dengan
melamar bekerja di tempat tersebut. Riady yang tidak mempunyai pengalaman di
bidang perbankan berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik Bank Kemakmuran, dan
Ia ditunjuk menjadi direktur.
Hanya dalam setahun Bank Kemakmuran mengalami banyak perbaikan dan
tumbuh pesat. Pada tahun 1964, Riady pindah ke Bank Buana dimana dia dapat
menyelamatkan Bank Buana dari kesulitan di tahun 1966 yang merupakan dampak
dari Indonesia mengalami masa krisis akibat perubahan ekonomi secara makro. Riady
mengambil beberapa langkah untuk menghadapi permasalahan tersebut, yaitu
pertama, Ia menurunkan suku bunga dari 20% menjadi 12%, dimana pada saat
tersebut semua bank menaikkan suku bunganya. Dengan suku bunga yang rendah
tersebut maka para nasabah yang memiliki kredit yang belum lunas segera membayar
kewajibannya. Sedangkan para usahawan yang akan meminjam diberi syarat ketat
khususnya dalam hal jaminan, namun karena bunga yang ditawarkan Bank Buana
sangat rendah dibanding bank lain maka debitur Bank Buana semakin bertambah.
Dengan cara tersebut, Bank Buana menjadi sehat padahal pada waktu itu banyak
nasabah dan bank yang bangkrut.
Pada tahun 1971, dia pindah ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari
Bank Kemakmuran, Bank Industri Jaya, dan Bank Industri Dagang Indonesia. Pada
Tahun 1975, Riady meninggalkan Bank Panin dan pindah ke Bank Central Asia yang
didirikan oleh keluarga Liem Sioe Liong. Riady menjadi orang kepercayaan Liem
Sioe Liong dan mendapatkan share sebesar 17,5% saham di BCA. Aset BCA ketika
Riady bergabung hanya 12,8 miliar rupiah, namun saat Riady keluar dari BCA pada
akhir 1990, aset BCA sudah lebih dari 5 triliun rupiah.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
121

Pada tahun 1981, Riady membeli sebagian saham di Bank Perniagaan


Indonesia milik Haji Hasyim Ning dimana harta bank milik keluarga Hasyim telah
merosot menjadi hanya sekitar 16,3 miliar rupiah. Pada saat pembelian sebagain
saham tersebut, Riady masih menduduki posisi penting di Bank Central Asia. Pada
tahun 1987, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500%
menjadi 257,73 miliar rupiah. Kenaikan aset tersebut membuat kagum kalangan
perbankan nasional dan Ia dijuluki sebagai The Magic Man of Banking Marketing.
Pada tahun 1989, Bank Perniagaan melakukan merger dengan Bank Umum Asia.
Semenjak itu lahirlah Lippo Bank yang merupakan cikal bakal Lippo Group.
Berikut ini adalah pencapaian yang telah dilakukan oleh MR (maupun anggota
keluarga Riady lainnya), dengan bukti diterimanya berbagai penghargaan dari pihak
eksternal, yaitu:
a. Riady terpilih menjadi CEO ideal yang inovatif pilihan majalah SWA karena
ide-idenya yang selalu baru dan penuh daya terobosan.
b. Pada Tanggal 17 April 2011, Yayasan Kanker Indonesia memberikan
penghargaan kepada Riady, sebagai donator yang mendukung penanganan
masalah kanker di Indonesia.
c. Pada 29 September 2011, James Riady, generasi kedua pendiri properti Lippo
Group, meraih salah satu penghargaan Grand Award untuk kategori The Most
Fave Leadership of the Year dalam acara Property and Bank Award 2011.
d. Pada 15 Desember 2010, Riady mendapat penghargaan Lifetime Achievement
Award 2008 dan 2009.
e. Pada 16 Desember 2010, aksi donor darah yang memperoleh penghargaan
rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MuRI), untuk ketegori pusat
perbelanjaan dan toko ritel modern terbanyak yang meyelenggarakan aksi
donor darah secara serentak.

4.4. PT Lippo Karawaci, Tbk (Lippo Karawaci)


Pada awalnya, perusahaan yang sekarang dikenal sebagai Lippo Karawaci
didirikan dengan nama PT Tunggal Reksakencana pada Oktober 1990, tepatnya pada

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
122

15 Oktober 1990 oleh Grup Lippo. Lippo Karawaci yang berkedudukan di Karawaci,
Tangerang Selatan, mendapatkan ketetapan hukum melalui Surat Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia No. C2.6774.HT.01.01-Th'91 tanggal 22 Nopember
1991. Visi dari perusahaan ini adalah
“Menjadi perusahaan properti terkemuka dengan tekad untuk menyentuh kehidupan
masyarakat luas di semua lini bisnis yang senantiasa menciptakan nilai tambah bagi
para pemegang saham”. Sedangkan Misi perusahaan adalah:
a. Memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia kelas menengah dan atas di
bidang perumahan, pusat perbelanjaan dan komersial, layanan kesehatan
hiburan, infrastruktur dan jasa perhotelan.
b. Memelihara kelangsungan pertumbuhan usaha melalui pengembangan sumber
pendapatan berkesinambungan (Recurring Income) dan kegiatan
pengembangan yang berkelanjutan.
c. Memberikan lingkungan hidup berkualitas yang meningkatkan pengalaman
sosial dan spiritual bagi para pelanggan, serta menyediakan suasana ramah
lingkungan terbaik pada setiap proyek pengembangannya.
Lippo Karawaci didirikan dengan visi untuk menyentuh kehidupan
masyarakat luas melalui pengembangan kawasan kota mandiri yang terencana dengan
matang dan berkesinambungan, dengan upaya untuk menciptakan lingkungan yang
asri dan bebas banjir serta didukung oleh infrastruktur yang memadai. Melalui
penggabungan usaha dari 8 (delapan) perusahaan properti terkait pada tahun 2004,
perseroan telah mengembangkan portofolio usahanya dengan merambah ke
pengembangan kawasan kota mandiri, pengembangan terpadu berskala besar, retail
mall, rumah sakit, hotel dan sarana rekreasi, serta manajemen properti dan portofolio.
Reputasi Lippo Karawaci sebagai perusahaan properti terkemuka di
Indonesia didasari oleh beberapa kekuatan besar yang selalu memastikan terwujudnya
sukses yang berkesinambungan. Dengan cadangan lahan yang sangat terdiversifikasi
di lokasi-lokasi strategis di seluruh Indonesia, perseroan memiliki model bisnis yang
terintegrasi di sektor properti yang dikelola oleh para profesional yang cakap dan
memiliki pengalaman luas.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
123

Berikut adalah data struktur governance perusahaan per 2010:


a. Dewan Komisaris:
1. Theo Sambuaga (Presiden Komisaris),
2. Suryadi Soedirdja,
3. Agum Gumelar (Komisaris Independen),
4. Tanri Abeng (Komisaris Independen),
5. Farid Harianto (Komisaris Independen),
6. Jonathan L. Parapak (Komisaris Independen),
7. Adrianus Mooy (Komisaris Independen),
8. Viven G. Setiabudi.
b. Dewan Direksi:
1. Jopy Rusli,
2. Ketut Budi Wijaya (Presiden Direktur),
3. Djoko Harjono,
4. Tjokro Libianto,
5. E. Yudhistira Susiloputro,
c. Komite Remunerasi:
1. Theo Sambuaga (Ketua),
2. Farid Harianto,
3. Jonathan L. Parapak,
4. Viven G. Setiabudi,
d. Komite Audit:
1. Adrianus Mooy (Ketua),
2. Isnandar Rachmat Ali,
3. Lie Kwang Tak,
e. Sekretaris Perusahaan: Jenny Kuistono
f. Pemegang Saham Perusahaan:
1. PT Pacific Asia Holding Limited : 7,77%
2. Fidelity Magellan Fund : 5,68%
3. Capital Bloom Investment Limited : 5,26%
4. Publik (masing-masing kurang dari 5%) : 81,29%
g. Transaksi terkait dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa ditunjukkan
pada Tabel 4.2 (Lampiran Bab 4).

Sejak pendiriannya, Lippo Karawaci sudah menorehkan sejarah yang penting dalam
perkembangan perusahaan yang menjadi baseline perkembangan selanjutnya. Tabel
Transaksi Terkait dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa (Lampiran Bab IV)
adalah deskripsi Milestones Lippo Karawaci.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
124

Tabel 4.1. Deskripsi Milestones Lippo Karawaci

Deskripsi
Okt 1990 Didirikan dengan nama PT Tunggal Reksakencana.
Dimulainya Pembangunan kota mandiri Lippo Village, berlokasi di Tangerang, sekitar
Jan 1993
30 kilometer sebelah barat Jakarta.
Dimulainya Pembangunan kota mandiri Lippo Cikarang, sebuah pengembangan real
Okt 1993 estat dan kawasan industri terpadu di Cikarang, sekitar 40 kilometer sebelah timur
Jakarta.
Penawaran Saham Perdana sejumlah 30.800.000 saham dan tercatat di Bursa Efek
Jun 1996
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia).
Dimulainya pembangunan kota mandiri Tanjung Bunga, sebuah pengembangan real
Jun 1997
estat terpadu dan terbesar di kawasan Indonesia Timur.
Penawaran Saham Terbatas Pertama sejumlah 607.796.000 saham dengan harga 500,00
Jan 1998
rupiah per saham.
Peluncuran proyek ritel dengan konsep strata-titled, WTC Matahari yang berlokasi di
barat Jakarta. Sejak itu (2002-2007), LPKR telah mengembangkan properti ritel dan
komersial Metropolis Town Square di Tangerang, GTC Makassar di Sulawesi Selatan,
Sep 2002
Depok Town Square di Depok, selatan Jakarta, Malang Town Square di Malang, Jawa
Timur, Grand Palladium Medan di Sumatera Utara, Bellanova Country Mall di Bogor
dan Mal City of Tomorrow di Surabaya
Penggabungan 8 (delapan) perusahaan properti terkait melahirkan LPKR, perusahaan
Jul 2004 properti terbesar dengan tiga pilar bisnis: Housing & Land Development, Healthcare,
dan Hospitality & Infrastructure.
Penawaran Terbatas Kedua atas 881.905.813 saham dengan harga 1.050,00 rupiah per
Jan 2005
saham.
Okt 1990 Didirikan dengan nama PT Tunggal Reksakencana.
Dimulainya Pembangunan kota mandiri Lippo Village, berlokasi di Tangerang, sekitar
Jan 1993
30 kilometer sebelah barat Jakarta.
Dimulainya Pembangunan kota mandiri Lippo Cikarang, sebuah pengembangan real
Okt 1993 estat dan kawasan industri terpadu di Cikarang, sekitar 40 kilometer sebelah timur
Jakarta.
Penawaran Saham Perdana sejumlah 30.800.000 saham dan tercatat di Bursa Efek
Jun 1996
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang Bursa Efek Indonesia).
Dimulainya pembangunan kota mandiri Tanjung Bunga, sebuah pengembangan real
Jun 1997
estat terpadu dan terbesar di kawasan Indonesia Timur.
Penawaran Saham Terbatas Pertama sejumlah 607.796.000 saham dengan harga 500,00
Jan 1998
rupiah per saham.
Peluncuran proyek ritel dengan konsep strata-titled, WTC Matahari yang berlokasi di
barat Jakarta. Sejak itu (2002-2007), LPKR telah mengembangkan properti ritel dan
komersial Metropolis Town Square di Tangerang, GTC Makassar di Sulawesi Selatan,
Sep 2002
Depok Town Square di Depok, selatan Jakarta, Malang Town Square di Malang, Jawa
Timur, Grand Palladium Medan di Sumatera Utara, Bellanova Country Mall di Bogor
dan Mal City of Tomorrow di Surabaya
Penggabungan 8 (delapan) perusahaan properti terkait melahirkan LPKR, perusahaan
Jul 2004 properti terbesar dengan tiga pilar bisnis: Housing & Land Development, Healthcare,
dan Hospitality & Infrastructure.
Penawaran Terbatas Kedua atas 881.905.813 saham dengan harga 1.050,00 rupiah per
Jan 2005
saham.
Sumber: Laporan Tata Kelola Perusahaan (2010)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
125

Beberapa proyek andalan Lippo Karawaci yang merupakan terobosan


adalah sebagai berikut:

a. Proyek Lippo Village


Lippo Village merupakan proyek unggulan pertama perseroan,
diluncurkan pada tahun 1993 dan berlokasi sekitar 30 kilometer di sebelah barat
Jakarta. Perseroan memulai pre-selling dan memasarkan produk residensial di
Lippo Village pada tahun 1992 dengan target kalangan menengah atas. Saat ini
pengembangan tersebut memiliki populasi sekitar 55.000 penduduk. Dari luas
tanah 1.200 hektar, sebagian besar telah dikembangkan. Perseroan memiliki hak
pengembangan seluas 3.066 hektar.
Lippo Village juga telah menjadi pusat bagi perkantoran, pusat belanja,
layanan kesehatan (layanan kesehatan berkualitas tinggi yang diberikan oleh
Siloam Hospitals Lippo Village), hiburan dan fasilitas rekreasi (termasuk hotel
bintang lima Aryaduta, resort dan lapangan golf), pendidikan (Universitas Pelita
Harapan dan institusi-institusi pendidikan lainnya yang memiliki akreditasi
internasional berbahasa Inggris mulai dari tingkat prasekolah hingga fasilitas
pendidikan tingkat tersier).

b. Proyek Lippo Cikarang


Melalui kepemilikan sebesar 51,6% di anak perusahaan PT Lippo
Cikarang Tbk, perseroan telah mengembangkan kawasan hunian terpadu dan
industri ringan di Cikarang, yang berada sekitar 40 kilometer sebelah timur
Jakarta. Hak pengembangan meliputi area seluas 2.940 hektar, dimana lebih dari
2.600 hektar telah dibebaskan dan sebagian besar telah dikembangkan. Pada awal
1990-an perseroan mengidentifikasi dan membebaskan sebidang tanah luas yang
belum dikembangkan dan terletak berdekatan dengan beberapa industri ringan di
Cikarang.
Saat ini Lippo Cikarang memiliki populasi lebih kurang 30.000
penduduk. Pengembangan itu sendiri memiliki sekitar 9.000 rumah yang telah

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
126

dibangun serta infrastruktur pendukung yang meliputi pusat belanja, sekolah-


sekolah, rumah sakit, dan hotel bintang lima. Sementara itu, kawasan industri
merupakan tempat bagi 632 fasilitas industri ringan, di antaranya beberapa
produsen terkenal.

c. Proyek Tanjung Bunga


Melalui 50,3% kepemilikan di anak perusahaan PT Gowa Makassar
Tourism Development Tbk (GMTD), perseroan telah mengembangkan Tanjung
Bunga, sebuah kawasan kota mandiri di Makassar, Sulawesi Selatan sejak tahun
1997. Tanjung Bunga adalah pengembangan kawasan terpadu terbesar di timur
Indonesia dan saat ini area yang dikembangkan telah mencapai sekitar 400 hektar
untuk kalangan menengah atas. Secara keseluruhan Perseroan telah membebaskan
632 hektar tanah dari 1.000 hektar tanah hak pengembangan. Tanjung Bunga
memiliki 2.200 unit rumah tinggal dengan populasi sekitar 5.000 penduduk.
Pengembangan kawasan ini sangat unik, karena termasuk pengembangan properti
yang menghadap ke laut dan sungai. Saat ini perseroan tengah mengembangkan
klaster townhouse bergaya Spanyol-Mediterania.

d. Proyek San Diego Hills Memorial Park (San Diego Hills)


San Diego Hills Memorial Park dibangun di atas lahan seluas lebih dari
100 hektar di Karawang, Jawa Barat, dan mulai beroperasi pada bulan Januari
2007. Taman pemakaman ini merupakan inovasi pertama di dunia yang
dilengkapi pusat rekreasi keluarga. San Diego Hills memiliki 14 hektar fasilitas,
meliputi sebuah bangunan serba guna dan multi denominasi, sebuah kapel,
restoran dan supermarket, toko cindera mata, dan danau buatan seluas 8 hektar.

e. Proyek City of Tomorrow (CITO)


Proyek City of Tomorrow (CITO) berlokasi di Surabaya, kota terbesar
kedua di Indonesia. Dibangun di atas lahan seluas 2,6 hektar, CITO terdiri atas
mal strata-titled dengan 1.300 unit pertokoan, kondominium The Aryaduta

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
127

Residences, 6 (enam) menara perkantoran, hotel bintang lima Aryaduta, dan


sebuah universitas. Pada akhir 2009 tahap penyelesaian menara perkantoran serta
hotel masing-masing mencapai 80% dan 50%, sedangkan mal strata-titled dan
kondominium telah selesai dibangun dan diserahterimakan kepada para pembeli
tahun sebelumnya.

f. Proyek Kemang Village


Berlokasi di daerah elit dan prestisius di Jakarta Selatan, Kemang
Village menawarkan konsep “Kota di dalam Kota”. Dibangun di atas tanah seluas
15 hektar, infrastruktur serta fasilitas kelas dunianya mentargetkan komunitas
ekspatriat dan masyarakat kelas atas di Jakarta Selatan. Proyek ini akan terdiri
atas menara kondominium, Hotel Aryaduta Kemang Village, Kemang Village
Country Club, Sekolah Pelita Harapan, Siloam Hospitals Kemang Village dan
mal Kemang Village. Pembangunan Kemang Village didukung oleh tim yang
telah teruji keahlian dan pengalamannya dalam pembangunan berbagai proyek
berkualitas tinggi di seluruh dunia.
Pengembangan tahap I Kemang Village yang terdiri atas 3 (tiga) menara
kondominium (The Ritz, The Cosmopolitan, dan The Empire) telah mencapai
tahap penyelesaian 60% pada akhir Desember 2009. Ketiga menara tersebut
dijadualkan untuk diserahterimakan kepada para pembeli pada semester kedua
tahun 2010. Penjualan menara keempat, The Tiffany, berlangsung cukup
memuaskan. Menara kondominium kelima, The Infinity, yang mulai dipasarkan
pada bulan Mei juga mendapat respon positif dari para pembeli. Menara-menara
berikutnya diharapkan dapat diselesaikan secara bertahap sebelum penyelesaian
akhir dari keseluruhan proyek yang dijadualkan pada tahun 2016. Penjualan
Kemang Village di tahun 2009 mencapai 169 miliar rupiah.

g. Proyek The St. Moritz


The St. Moritz berlokasi di atas lahan seluas 11,4 hektar dalam kawasan
sentra bisnis seluas 135 hektar di Jakarta Barat. The St. Moritz diproyeksikan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
128

sebagai pusat bisnis baru, yang dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, pendidikan,
dan hiburan. Dikembangkan sebagai jawaban atas trend baru dimana perusahaan-
perusahaan memindahkan lokasinya dari zona 3-in-1, lokasi strategis The St.
Moritz dapat secara mudah diakses dari berbagai arah melalui jalan tol.
The St. Moritz akan terdiri atas menara kondominium, hotel,
perkantoran, mal, clubhouse, pusat konvensi, rumah sakit, sekolah berskala
internasional, kapel untuk pernikahan, dan Sea World. Tiga menara kondominium
(The Presidential, The Ambassador, dan The Royal) telah diluncurkan pada tahap
pertama. Pada saat keseluruhan pembangunan selesai pada tahun 2017.

h. Proyek Retail Malls


Keberhasilan pengembangan perkotaan telah menginspirasi perseroan
untuk berekspansi lebih lanjut ke proyek-proyek properti lainnya yang diawali
dengan mal-mal komersial strata-titled di tahun 2005. Sejauh ini Perseroan telah
mengembangkan 8 (delapan) mal strata-titled yang berlokasi strategis di beberapa
kota besar di Indonesia. Kedelapan mal tersebut meliputi mal-mal di daerah
Jabodetabek, Medan, Surabaya, dan Malang. Dengan memanfaatkan cepatnya
pertumbuhan kelas menengah dan menengah atas dan juga bertumbuhnya budaya
mal, perseroan merencanakan untuk memperkuat posisinya sebagai operator mal
terbesar di Indonesia. Pada bulan Desember 2008, perseroan menyelesaikan mal
sewa pertamanya, yaitu Mal Pejaten Village yang berlokasi di daerah strategis di
Jakarta Selatan. Dibangun di atas lahan seluas 2,38 hektar, mal ini telah
berkembang menjadi tujuan gaya hidup baru di wilayah Jakarta Selatan dengan
tingkat hunian sebesar 80%.
Sebagai bagian dari strategi perseroan untuk menjadi operator mal
terbesar di Indonesia, perseroan melalui anak perusahaannya saat ini telah
mengelola 25 (dua puluh lima) mal di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 1,7
juta meter persegi Gross Floor Area (938.000 meter persegi Net Leasable Area),
lebih dari 14.000 unit pertokoan dan lahan parkir berkapasitas lebih dari 21.000
mobil. Di bawah bendera The Village, perseroan tidak hanya merupakan pemain

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
129

yang dominan di pasar retail mall tetapi juga telah berhasil mencapai tingkat rata-
rata hunian yang mengesankan melebihi 80%, dengan lebih dari 200 juta
pengunjung di tahun 2009.
Melanjutkan kesuksesan pembukaan Pejaten Village di bulan Desember
2008, perusahaan meluncurkan PX Pavilion @ The St. Moritz yang merupakan
tahap pertama dari pengembangan mal perseroan di lokasi tersebut pada bulan
Agustus 2009. Hal ini tentunya memerlukan dukungan di berbagai lini misalnya
para tenant. Untuk mendukung para penyewa, perseroan menjalin kerjasama yang
erat melalui pemberian edukasi dan saran-saran kepada penyewa untuk
meningkatkan kinerja penjualan mereka. Beberapa aktivitas seperti kampanye
midnight sale dan 24-hour sale diadakan untuk menarik lebih banyak pengunjung.
Divisi Retail Malls mencatat pendapatan sebesar 85 miliar rupiah untuk tahun ini,
yang merupakan 3% dari total pendapatan perseroan.

i. Proyek Healthcare
Kelangkaan akan rumah sakit berkualitas tinggi di Indonesia serta
peningkatan kebutuhan masyarakat Indonesia akan perawatan kesehatan yang
prima telah mendorong Lippo Karawaci untuk memasuki bisnis kesehatan dengan
membentuk jaringan rumah sakit swasta Siloam Hospitals yang memiliki layanan
standar dan fasilitas-fasilitas kelas dunia untuk masyarakat kelas menengah-atas
di Indonesia. Saat ini terdapat 4 (empat) rumah sakit di bawah pengelolaan grup
Siloam Hospitals, yaitu Siloam Hospitals Lippo Village, Siloam Hospitals Kebon
Jeruk, Siloam Hospitals Surabaya, dan Siloam Hospitals Lippo Cikarang, yang
menjadikan perseroan sebagai grup rumah sakit dan layanan kesehatan terdepan
di Indonesia.
Siloam Hospitals Lippo Village menawarkan layanan rumah sakit umum
dan dianggap sebagai sebuah center of excellence bagi neuroscience dan pusat
kesehatan jantung terkemuka. Rumah sakit tersebut memberikan pelayanan
kardiologi yang komprehensif mulai dari tindakan preventif hingga operasi rumit.
Siloam Hospitals Lippo Village merupakan satusatunya rumah sakit di Indonesia

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
130

yang memperoleh akreditasi Joint Commission International (JCI). Siloam


Hospitals Kebon Jeruk menawarkan layanan rumah sakit umum dan merupakan
center of excellence bagi urologi, obstetric, dan ginekologi. Siloam Hospitals
Lippo Cikarang mengkhususkan diri pada Occupational Health, sedangkan
Siloam Hospitals Surabaya memberikan pelayanan medis yang sangat baik bagi
perawatan fertilitas dan stroke.

j. Proyek Hospitality
Unit bisnis hospitality mengelola kegiatan hotel-hotel perseroan di
bawah bendera Aryaduta dan mengoperasikan sejumlah restoran, lapangan golf,
dan fasilitas-fasilitas lainnya. Saat ini, perseroan memiliki dan mengelola 7
(tujuh) hotel berstandar internasional di seluruh Indonesia. Portofolio perseroan
mencakup Hotel Aryaduta Jakarta, Hotel Aryaduta Lippo Village, Hotel Aryaduta
Pekanbaru, Hotel Aryaduta Medan, Hotel Aryaduta Semanggi, Hotel Aryaduta
Makassar, dan Hotel Aryaduta Palembang, dengan total 1.444 kamar.

k. Proyek Property & Portfolio Management


Lippo Karawaci adalah perusahaan Indonesia pertama dan satu-satunya
yang mendirikan Real Estate Investment Trust (REIT). Real Estate Investment
Trust (REIT) pertama yang tercatat di Bursa Efek Singapura diluncurkan pada
bulan Desember 2006 dengan memasukkan aset rumah sakit ke First REIT.
Kepemilikan LPKR pada manajer First REIT, Bowsprit Capital Corporation
Limited adalah sebesar 80%. Real Estate Investment Trust (REIT) kedua adalah
untuk properti ritel Indonesia, Lippo Mapletree Indonesia Retail Trust (LMIRT),
juga terdaftar di Bursa Efek Singapura pada November 2007. Pengelola LMIRT,
Lippo-Mapletree Indonesia Retail Trust Management Ltd, bersama-sama dimiliki
oleh Lippo Karawaci (60%) dan Mapletree Group (40%), sebuah perusahaan real
estate terkemuka di Singapura. Perseroan mengelola properti-properti mal melalui
anak perusahaan PT Consulting & Management Service Division. Lippo

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
131

Karawaci menerima fee-based income melalui perannya sebagai pengelola REIT


untuk First REIT dan LMIR Trust dan pengelola properti untuk mal dan hotel.

Program CSR yang dilakukan sesuai dengan nilai yang dipegang oleh
perusahaan, yaitu building communities, impacting lives. Melalui jargon tersebut,
mencerminkan kerangka umum perusahaan untuk menciptakan citra yang baik bagi
masyarakat sekitar, terkhusus dengan menekanknan komitmennya terhadap
pelesatarian lingkungan dalam master plan perusahaan. Beberapa program CSR
perusahaan yang dimaksud antara lain:
a. Kampanye Zero Carbon
b. Water Supply
c. Micro Climate Improvements Sewage Treatment (Penanaman sejumlah besar
tanaman untuk area resapan air).
d. E-billing of Township Management Division

Sementara itu beberapa penghargaan yang telah berhasil diraih oleh Lippo
Karawaci antara lain:
a. Tahun 2005: Euromoney Real Estate Award: Best Developer in Indonesia & 9
in Asia Pacific Region
b. Tahun 2006: IMAC Award: Best Developer, Investor Award: Best Indonesia
Listed Property Co., Indonesia Property Watch Award: Golden Project
Achievement “Developer with the most Complete facility”.
c. Tahun 2007: LIQUID Real Estate Award: Best Developer in Indonesia.
d. Tahun 2008: Euromoney Real Estate Award: Best Developer in Indonesia.
e. Tahun 2009: SWA100 - Indonesia Property Watch Award: 1st among The Best
Public Companies Based on RWATM (Relative Wealth Added, SWA100 - The
Wealth Creator Award: One of The Best Public Companies Based on WAITM
(Wealth Added Index, Euromoney Real Estate Award: Best Developer in
Indonesia.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
132

f. Tahun 2010: Euromoney RealEstate Award: 2nd Best Developer in Indonesia,


Frost & Sullivan Award: Healthcare Services Provider of the Year for Best
Practices, Fiabci Indonesia Prix: D'Exellence Awards For Best Future
Project, Frost & Sullivan Award: Healthcare Services Provider of the Year
for Best Practices.
g. Tahun 2011: Asian Hospital Management Award: Excelence Award,
Euromoney Real Estate Award: Best Developer in Indonesia Overall, South
East Asia Property Award: Best Developer in Indonesia, The St. Moritz
received the South East Asia Property Award as Best Condo Development
(Indonesia), Fortune (Indonesia) Most Admired Companies 2011 Award: 20
Most Admired Companies in Indonesia Indonesia Sustainable Business Award
as Industry Champion Healthcare.
h. Tahun 2012: Lippo Cikarang received: Top Performing Listed Companies
2012 award.

4.5. Pengungkapan Situasi Masalah pada Lippo Karawaci

Pada bagian ini, akan digambarkan situasi permasalahan yang dianggap


problematik. Sesuai dengan Checkland (1990), berikut ini adalah 3 (tiga) jenis
analisis, yaitu: analisis intervensi, analisis sosial, dan analisis politik.

4.5.1. Analisis Intervensi


Untuk menjawab tentang bagaimana membangun keunggulan bersaing
perusahaan melalui ambidexterity, maka peneliti mulai menelusuri dan memahami
situasi problematik di dunia nyata menggunakan kerangka Tushman dan O’Reilly
(1997). Pengungkapan situasi problematis yang ada di Lippo Karawaci diawali
dengan mengidentifikasi aktor dan peran yang dalam real-world. Dengan demikian
pada analisis ini, peneliti sudah menentukan siapa aktor yang menjadi Client (C),
Practitioners (P), dan Problem Owners (O). Client adalah aktor yang menyebabkan
terjadinya intervensi. Problem Solver adalah practitioners, yaitu orang yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
133

melakukan investigasi, yaitu peneliti terkait dengan problem solver dalam penelitian
ini. Sedangkan Problem Owner adalah aktor-aktor yang concerned dan merasakan
situasi yang ada dan perubahan yang akan dirasakan nanti terkait dengan dengan isu
yang diangkat. Dengan perkataan lain, O adalah semua pihak yang langsung terkait
dengan permasalahan di dunia nyata. Analisis intervensi mengharuskan peneliti
mengidentifkasi 3 (tiga) peran kunci tersebut.

Manfaat analisis awal ini akan akan mempermudah peneliti untuk


melakukan rekonstruksi terkait dengan proses pembelajaran baik pada strategic level
ambidexterity maupun contextual level ambidexterity. Proses pembelajaran ini
berlangsung secara partisipatif dan berbasis budaya sehingga dapat menghasilkan
keunggulan bersaing pada perusahaan. Proses pembelajaran ini berada dalam sistem
terbuka yang rumit dan kompleks yang berbentuk serba sistem aktivitas manusia
(human activity systems). Hasil proses pembelajaran ini sedemikian rupa sehingga
akan menghasilkan basis daya saing yang memenuhi kriteria logis secara sistemik
dan dapat disepakati pada perusahaan. Adapun identifikasi atas aktor tersebut adalah
sebagai berikut:
Client (C):
Universitas Indonesia
Academic Advisor: Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA
Dr. Sudarsono Hardjosoekarto
1. SSM Practitioners: Retno Kusumastuti

Practitioners (P): Peneliti


Problem Owner (O):
1. Pendiri Perusahaan
2. Dewan Direksi
3. Dewan Komisaris
4. Karyawan

4.5.2. Analisis Sosial


Analisis sosial menjadi penting karena menurut Checkland dan Scholes,
pada analisis sosial ini semua praktisi SSM disarankan untuk menguraikan elemen
peran (roles), norma (norm), dan nilai-nilai (values). Untuk memahami suatu realitas

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
134

sosial lebih jauh maka diperlukan analisis sosial dengan mengidentifikasi bagaimana
peran, nilai, dan norma perusahaan. Pada saat membahas tentang peran (roles), maka
praktisi SSM harus dapat mengidentifikasi posisi sosial yang menandai perbedaan di
antara anggota kelompok dan organisasi. Jika berbicara tentang norma, maka hal ini
terkait dengan perilaku yang diharapkan terkait dengan peran. Yang tidak kalah
pentingnya adalah terkait dengan nilai-nilai yang merupakan standar atau kriteria ke
dalam mana perilaku yang sesuai dengan peran dinilai. Ketiga hal ini berkaitan erat
dan saling mempengaruhi satu sama lain, dinamis dan selalu berubah dari waktu ke
waktu seiring dengan perubahan dunia nyata. Oleh sebab itu peneliti melakukan
semua analisis tersebut pada sistem yang ada di Lippo Karawaci.

a. Organisasi dan Manajemen LPKR


Lippo Karawaci memiliki struktur organ governance perusahaan mengikuti
standar pengelolaan yang dipersyaratkan oleh Undang-undang yang terdiri atas
Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Ketiga organ governance perusahaan ini merupakan organ penting yang berperan
dalam memastikan implementasi Good Corporate Governance (GCG) dalam semua
aktivitas operasional dan strategi perusahaan.
b. Elemen Peran
a) Dewan Komisaris
Secara kolektif, Dewan Komisaris memiliki peran dalam proses
pengawasan terhadap pelaksanaan manajemen Dewan Direksi, memberikan saran
yang diperlukan perusahaan, melakukan monitoring dan evaluasi implementasi
kebijakan strategis, serta memastikan praktik GCG dan manajemen risiko berjalan
secara efektif di dalam perusahan. Peraturan No: I-A Lampiran I Keputusan
Direksi PT Bursa Efek Jakarta No: KEP-305/BEJ/07-2004 tanggal 19 Juli 2004
tentang Peraturan No I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas
selain saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat, mensyaratkan bahwa
calon Perusahaan Tercatat harus memiliki Komisaris Independen sekurang-
kurangnya 30% dari jajaran anggota. Oleh sebab itu di dalam Dewan Komisaris

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
135

terlihat ada sebanyak 5 (lima) orang Komisaris Independen dari 7 (tujuh) orang
anggota Dewan komisaris secara keseluruhan. Dewan Komisaris dapat dipilih
terlebih dahulu melalui RUPS sebelum pencatatan dan mulai efektif bertindak
sebagai Komisaris Independen setelah perusahaan tersebut tercatat. Yang
dimaksud dengan Komisaris Independen adalah sebagaimana dimaksud dalam
butir 1c Peraturan Bapepam nomor IX.I.5 adalah anggota Komisaris yang:
1. berasal dari luar emiten atau Perusahaan Publik;
2. tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada
emiten atau Perusahaan Publik;
3. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau Perusahaan
Publik, Komisaris, Direksi, atau Pemegang Saham emiten, atau
Perusahaan Publik;
4. tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung
yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau Perusahaan Publik.
Keberadaan Komisaris Independen ini diharapkan dapat menjaga independensi
Dewan Komisaris.

b) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)


Sesuai dengan aturan yang dipersyaratkan oleh Bapepam LK No. IX.I.1,
setiap perusahaan yang sudah go public harus melaksanakan rapat pemegang
saham baik rapat umum maupun luar biasa. Semua pemegang saham memperoleh
kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya. Dalam rapat ini,
semua pemegang saham diperkenankan untuk menyampaikan permintaannya
sebelum proses pengambilan keputusan dilakukan. Hingga tahun 2011, angka
kehadiran dalam rapat mencapai 89,05% (laporan corporate governance tahun
2011).

c) Dewan Direksi
Dewan ini merupakan organ vital perusahaan yang memiliki peran dan
tanggung jawab dalam memimpin perusahaan untuk mengalokasikan semua

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
136

sumber daya yang ada agar mencapai profitabilitas yang maksimum, memberikan
pertumbuhan yang berkelanjutan dan meningkatkan nilai perusahaan. Untuk
mendukung pelaksanaan tugasnya tersebut maka Dewan Direksi diperkenankan
untuk membentuk struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

c. Elemen Norma dan Nilai


Pendiri Perusahaan, Riady berpengaruh dalam menentukan nilai-nilai yang
ditanamkan di dalam perseroan. Riady menanamkan nilai-nilai yang merupakan
prinsip dan pedoman hidupnya dalam bekerja kepada semua bisnis unitnya baik
secara formal maupun informal.

a) Values atau Nilai-Nilai


Nilai utama terkait dengan pengelolaan perusahaan adalah kerja keras dan
moralitas yang baik, seperti terungkap dalam petikan wawancara sebagai berikut:

“... Filosofi Lao Tse “semua ada berasal dari tidak ada” dan pohon yang
besar mulai dari yang kecil. Harus bermula dari yang kecil agar dapat
bertahan dan berkembang.... Harus bertahap dan jangan langsung mau
loncat tapi mulai dari kecil, hemat dan harus tahan banting, Ayah saya
sangat keras, pada usia 13 tahun saya beli lotre, begitu ayah saya liat maka
langsung dirobek dan dipukul, menurutnya tidak boleh cari uang tanpa
keringat. Kalo saya menerima makanan dari orang lain juga tidak boleh”.
(Kumpulan Pidato, Industri Perbankan: Bankir sukses ala Mochtar Riady, 9
Oktober 2010, http://keuangan.kontan.co.id/news/bankir-baik-dan-sukses-ala-
mochtar-riady-1).

Semua perusahaan dalam kelompok Lippo Karawaci merumuskan visi dan


misinya berdasarkan visi pendiri perusahaan. Ratusan anak perusahaan pada
kelompok Lippo Karawaci memiliki total harta yang signifikan, sehingga sumber
keunggulan bersaing perusahaan dapat digali bermula dari internal. Oleh sebab
itu, aset yang dimiliki oleh perusahaan baik tangible maupun intangible harus
dapat dikelola sebagai sumber keunggulan bersaing perusahaan menjadi penting.
Sejalan dengan kajian Klein (2009), pengelolaan sumber daya strategis yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
137

dimiliki tersebut harus dikelola secara optimal bersinergi dengan kemampuan


untuk mengasah entrepreneurship untuk mengidentifikasi peluang yang ada.
Kemampuan eksploitasi sumber daya dilakukan melalui produksi dan efisiensi,
sedangkan kemampuan eksplorasi perusahaan biasanya dalam bentuk upaya
untuk pencarian hal yang baru, pengambilan risiko, eksperimen, dan inovasi.
Untuk menciptakan perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan
maka perusahaan harus mengidentifikasi sumber-sumber keunggulan bersaing
perusahaan. Sesuai dengan Jansen (2005), keunggulan bersaing perusahaan dapat
dicapai melalui kegiatan eksploitasi inovasi dan eksplorasi inovasi terhadap
sumber daya yang dimiliki perusahaan dan kemampuan membaca peluang
merupakan kapabilitas manajemen yang harus dimiliki oleh organisasi di saat ini.
Teece (2009) menyatakan bahwa proses kapabilitas ini bersifat dinamis. Oleh
sebab itu pengelolaan kapabilitas dinamis ini merupakan hal yang perlu dilakukan
sebagai bagian dari proses pembelajaran yang terjadi di dalam organisasi.
Manajemen Lippo Karawaci percaya bahwa penciptaan nilai yang terjadi
melalui berbagai sumber daya perusahaan yang unik dan tidak dapat ditiru itu
harus didukung oleh kapabilitas organisasi. Barney (2009) menyatakan
kemampuan organisasi untuk mengelola dan memfasilitasi berbagai sumber daya
dituangkan ke dalam bentuk penyusunan struktur organisasi, sistem kompensasi
serta sistem kendali mutu. Lebih lanjut Barney menjelaskan bahwa jika suatu
perusahaan telah mengelola berbagai sumber dayanya sehingga menjadi berharga,
unik, dan tidak dapat ditiru serta tidak tergantikan ini tetapi tidak dapat
memfasilitasinya melalui struktur organisasi yang sesuai, sistem kompensasi yang
memuaskan, serta pengendalian mutu yang tepat, maka tidak akan dapat
menciptakan keunggulan bersaing perusahaan.
Selama ini, Lippo Karawaci banyak menitikberatkan kepada aktivitas
inovasi. Hal ini tercermin dalam beberapa aktivitas yang menurut pesaing lainnya
tidak menarik misalnya lembaga riset Nanotechnology ataupun rumah sakit.
Keberhasilan Lippo Karawaci mengembangkan usahanya yang tersebar hingga
melintasi batas-batas negara merupakan buah dari proses yang panjang.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
138

Keberhasilan “membesarkan” perusahaan ini tentunya tidak terlepas dari faktor


pendiri kelompok perusahaan ini. Hingga tahun 2011, kelompok usaha ini telah
mencapai usia lebih dari setengah abad. Pada acara ulang tahun ke-60 Lippo
Group di tahun 2011 lalu, pendirinya menyatakan mulai mundur dari dari
operasional perusahaan dan menyerahkan pengelolaan kelompok perusahaan
kepada profesional. Menurut pendirinya, perusahaan yang berhasil adalah
perusahaan yang dikelola secara profesional dan bukan perusahaan berbasis
kekeluargaan.
“... Jika perusahaan mau berkembang harus diserahkan kepada
profesional.. , makna perusahaan keluarga bagi sawa tawar, bisa hancur
kalo diserahkan kepada keluarga....“ (Hasil wawancara Riady, 2010).

“...Untuk mengembangkan perusahaan Lippo Group diperlukan para


profesional untuk menjalankannya agar tidak terjadi konflik kepentingan...
menjadi pemimpin perusahaan harus tahu diri, terutama dalam melakukan
kaderisasi agar perusahaan tersebut dapat terus berkembang....”
(http://www.cuwelamomang.com/mochtar-riady-perusahaan-butuh-
profesional/).

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan profesional dalam


kepemimpinan perusahaan dapat mengurangi konflik kepentingan yang terjadi
antara pendiri/pemilik modal dan manajemen perusahaan. Sejalan dengan konsep
entrepreneur as a business leader yang dikemukakan oleh Scheer (2009), maka
praktik kepeimpinan yang diterapkan oleh pendiri perusahaan adalah gaya
kepemimpinan cognitive leadership, dimana pendiri perusahaan yang berperan
sebagai pemilik modal menyampaikan bisnis konsepsinya kepada pengelola
perusahaan sehingga mengurangi potensi agency problem. Penempatan orang-
orang yang kompeten baik pada anggota Dewan Komisaris maupun Dewan
Direksi diharapkan semestinya dapat memaksimalkan fungsi pengawasan serta
fungsi manajerial masing-masing sehingga tujuan untuk menjaga kepentingan
semua stakeholder.
Berdasarkan pemikirannya, maka kata kunci keberhasilan dalam manajemen
perusahaan adalah profesionalisme. Hal ini disikapi Presiden Komisaris Lippo

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
139

tahun 2012, yaitu Theo L. Sambuaga (selanjutnya disebut Sambuaga), yang


tertera di dalam pernyataannya sebagai berikut:

“... Sebenarnya sudah sebulan lalu saya dipilih sebagai Presdir. Lagipula
setelah 7 tahun berkarir di Lippo, awal tahun ini saya sudah ditunjuk sebagai
Presiden Komisaris Lippo....” (Sambuaga, hasil wawancara pada 22
September 2010)

Berada di pucuk pimpinan, Sambuaga mengaku akan memperkuat bisnis


Lippo dengan profesionalisme, dan membawa perusahaan menggawangi sektor
properti menjadi lini bisnis utamanya. Selain itu, berkomitmen untuk tetap fokus
pada pemberdayaan dan pencerahan masyarakat melalui bisnis sekolah dan
medianya.
Profesionalisme dalam manajemen perusahaan menjadi keharusan terutama
dalam menghadapi kondisi arus globalisasi dan teknologi informasi.
Profesionalisme dalam penempatan eksekutif maupun komisaris menjadi penting
artinya manakala pendiri perusahaan sudah tidak mungkin lagi melakukannya
sendiri. Profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan juga ditunjukkan melalui
penerapan GCG dan membentuk organ governance perusahaan. Relasi yang
terjadi antara entrepreneur as a business leader dengan organ governance
perusahaan terlihat dalam peta kognitif dan kausal (cognitive & causal map)
pendiri perusahaan (lihat peta kognitif dan peta kausal (cognitive & causal map)
(di Bab 3). Komitmen pendiri dalam menciptakan perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing bersinergi melalui interaksi yang terjadi dengan manajemen
puncak, Rapat Umum Pemegang Saham dan Dewan Komisaris.
Profesionalisme organ governance ditunjukkan dengan penempatan orang-
orang yang kompeten baik sebagai anggota dari Dewan Komisaris (supervisory
boards) maupun sebagai anggota dari Dewan Direksi dan Ekesekutif Senior
(exexutive boards). Secara normatif dan dalam rangka menjaga independensi
Dewan Komisaris sebagai lembaga pengawas dalam perusahaan, maka komposisi
Dewan Komisaris sedemikian rupa sehingga rata-rata proporsi anggota Dewan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
140

Komisaris Independen terhadap total anggota Dewan Komisaris setiap tahunnya


(terutama dalam 10 tahun pengamatan) berkisar di atas 50%. Sesuai dengan
Undang-undang, hal ini dilakukan terutama dalam rangka menjaga kepentingan
pemilik saham minoritas. Selain itu profesionalisme di Top Management Team
(TMT) juga ditunjukkan dengan penempatan anggota dewan direksi yang diangkat
secara meritrokasi. Semua anggota direksi biasanya pernah memiliki pengalaman
menjadi direktur di anak-anak perusahaan Lippo Karawaci ataupun anak
perusahaan lainnya di bawah Lippo Karawaci seperti yang dijelaskan oleh
Presiden Direktur Lippo Karawaci saat ini dalam petikan wawancara sebagai
berikut:

“... Saya diangkat jadi Presdir sudah 3 atau 4 tahun yang lalu, tapi dulu saya
juga pernah menjadi direktur keuangan, CFO…biasanya sih saya megang
keuangan…kan latar belakang saya akunting…tapi saya juga engineering....”
(Hasil wawancara dengan Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Karawaci).

Catatan penting yang dapat diambil dari struktur governance dalam semua
anak perusahaan dalam kelompok Lippo Grup adalah tidak ada satupun anggota
keluarga Riady yang menempati jabatan atau posisi di dalam organ penting
governance perusahaan baik itu di posisi sebagai anggota Dewan Komisaris
maupun Dewan Direksi. Padahal sebagai pendiri, kelompok keluarga ini masih
memiliki saham yang cukup dominan di semua anak perusahaannya. Nilai-nilai
perusahaan yang tersirat dalam Laporan Perusahaan adalah:
a. berfokus pada pelanggan;
b. berkomitmen pada pencapaian tujuan dan prestasi terbaik;
c. integritas;
d. kerjasama; dan
e. inovasi.
Terkait dengan nilai-nilai yang ada di dalam Lippo Karawaci, maka
beberapa nilai penting yang menjadi acuan dalam bekerja untuk semua karyawan
adalah kepeloporan, kejujuran, loyalitas, kerja keras, dan mau belajar (Hasil
wawancara pada Juli 2012, Sambuaga). Proses internalisasi nilai-nilai yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
141

menjadi panduan dalam berperilaku ini disampaikan baik secara formal maupun
informal.
“... Manajemen puncak harus punya kejujuran. Pak Riady itu paling anti
dengan korupsi, itu menjadi modal utama, orang itu harus jujur. Setiap kita
selalu diajaki bicara tentang pentingnya kejujuran, itu indikator utama, kalo
tidak jujur.. wahhh rusak semuanya. Satu hal lagi, belajar itu seumur hidup
dan setiap saat. Beliau walaupun sudah tua tetap belajar. James pernah
bertanya kepada saya, apa resepnya awet muda… yah belajar itu.. jadi kita
juga malu kalo kita tidak mau belajar....” (Hasil wawancara pada 29 Agustus
2012, pukul 10.00 – 12.30 WIB, Lippo Karawaci).

Diseminasi nilai-nilai perusahaan kepada semua anggota organisasi


disampaikan baik secara formal maupun informal. Untuk rapat pimpinan puncak,
biasanya berlangsung mingguan dan bulanan, bergantung pada kebutuhan agenda
yang akan didiskusikan. Mekanisme pertemuan ini sekaligus merupakan sarana
untuk menyampaikan nilai-nilai melalui pembicaraan tertera dalam kutipan pada
alinea sebelumnya.

b) Norms atau Norma-Norma


Pengelolaan perusahaan tunduk pada Kode Etik Perusahaan yang disusun
secara kolektif oleh Dewan Direksi atas persetujuan Dewan Komisaris dan Rapat
Umum Pemegang Saham.
1. Integritas semua karyawan sebagai anggota organisasi yang harus
memegang teguh integritas dalam melaksanakan tugasnya. Integritas ini
menjunjung tinggi kejujuran sebagai karakter utama yang tidak dapat
dipisahkan.
2. Untuk menjunjung tinggi profesionalisme, maka tidak diperkenankan bagi
anggota organisasi dan keluarganya untuk menerima hadiah dalam bentuk
apapun untuk kepentingan pribadi.
3. Setiap anggota organisasi harus menghindari conflict of interest yang
mungkin terjadi antara kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
142

4. Perusahaan memberikan kesempatan yang adil bagi semua sumber daya


manusia yang ada di dalam perusahaan tanpa memandang jenis kelamin,
etnis maupun latar belakang agama.
5. Perusahaan mendukung penuh bagi terlaksananya iklim kerja yang
kondusif.
6. Setiap anggota organisasi dilarang untuk memberikan informasi yang
rahasia terkait dengan kelangsungan bisnis perusahaan. Kerahasiaan
perusahaan harus dijaga penuh oleh setiap anggota organisasi. Untuk itu
setiap anggota organisasi diharuskan untuk menandatangani Information
Disclosure Statement setiap tahun atau kapanpun diperlukan oleh Dewan
Direksi.

Selain itu, sebagai perusahaan publik maka perseroan harus bertanggung


jawab kepada semua pemangku kepentingan perusahaan, maka Transparansi,
Akuntabilitas, Tanggung Jawab, Kemandirian, dan Kewajaran harus dijunjung
tinggi oleh perseroan.

1. Transparansi
Dalam lingkungan bisnis yang penuh tantangan, dimana persaingan
antar perusahaan semakin ketat, mempertahankan kebijakan yang terbuka kepada
publik dan pemegang saham merupakan hal yang harus diutamakan demi
kepentingan jangka panjang perseroan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan mengusahakan agar situs perseroan, www.lippokarawaci.co.id, ter-update
sebagai gerbang informasi bagi karyawan, masyarakat umum, investor maupun
pemegang saham. Sebagai sarana komunikasi paling terjangkau dan juga terbuka,
situs perseroan ditujukan untuk menyediakan informasi terkini, tepat waktu dan
akurat sehubungan dengan kepentingan publik dan pemegang saham.
Komitmen keterbukaan perseroan juga terbukti melalui penerbitan dan
pengumuman Laporan Keuangan Konsolidasi berkala, Laporan Tahunan, dan
Laporan Keterbukaan informasi atau Siaran Pers. Perseroan juga mengadakan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
143

paparan publik setiap tahun untuk menyampaikan informasi mengenai


perkembangan perseroan pada saat ini maupun harapan untuk masa yang akan
datang.

2. Akuntabilitas
Sebagai perusahaan properti terbuka terbesar di Indonesia berdasarkan
aset, pendapatan dan laba bersih, perseroan selama bertahun-tahun telah
mengedepankan prinsip akuntabilitas yang pada dasarnya menunjukkan
kepedulian terhadap setiap prestasi maupun hambatan yang dialami perseroan.
Perseroan menggambarkan dirinya sebagai suatu entitas yang menghargai nilai-
nilai akuntabilitas, tidak hanya sebagai kewajiban semata melainkan sebagai
bagian dari integritas yang merupakan kunci utama untuk memperoleh
kepercayaan investor, kreditur, dan pemegang saham yang mendukung
pencapaian usaha yang terus berkembang dan sukses. Prinsip ini diterapkan dan
didukung oleh sebuah struktur yang integral dan kerangka perusahaan, yang
terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan
Direksi. Peran dan tanggung jawab masing-masing bagian akan diuraikan pada
bagian selanjutnya dari laporan ini.

3. Tanggung Jawab
Perseroan senantiasa mengedepankan prinsip Tata Kelola Perusahaan
untuk menjalankan usahanya. Sebagai perusahaan yang sudah maju dan selalu
berorientasi ke masa depan, kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang diatur
oleh pemerintah seperti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(BAPEPAM-LK) serta Bursa Efek Indonesia (BEI) juga peraturan daerah atau
peraturan internasional dimana perseroan beroperasi atau memiliki kepentingan,
wajib dipenuhi demi menjaga citra perseroan dan untuk kepentingan jangka
panjang bagi para pemegang saham.
Di tahun 2010, Lippo Karawaci mendapatkan peringkat B+, baik untuk
kredit korporasi jangka panjang maupun untuk senior unsecured notes, dari

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
144

Standard & Poor’s, B1 dari Moody’s dan B+ dari Fitch. Sebagai bagian dari
tanggung jawab dan sebagai ungkapan apresiasi terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar yang telah mendukung keberhasilan perseroan, secara aktif
dan berkala perseroan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan Corporate Social
Responsibility (CSR).

4. Kemandirian
Perseroan mempertahankan manajemen yang independen dan
profesional. Perseroan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan
usaha telah dilakukan dengan mengantisipasi kebutuhan dan harapan pasar global,
regional maupun domestik serta memperhatikan prinsip-prinsip Tata Kelola
Perusahaan. Pengambilan keputusan dibuat secara independen dan obyektif untuk
kepentingan terbaik perseroan beserta para pemangku kepentingan.

5. Keadilan
Kesetaraan bagi Semua Pemegang Saham Perlakuan yang adil dan
setara bagi semua pemegang saham adalah bagian dari prinsip perseroan untuk
memastikan bahwa kepentingan pemegang saham telah terpenuhi. Setiap
pemegang saham memiliki hak yang sama untuk memperoleh informasi terkini
dalam waktu yang tepat. Selain itu, semua pemegang saham diharapkan kehadiran
dan kontribusinya di dalam RUPS. Komitmen perseroan terhadap perlakuan yang
adil dan setara bagi semua pemegang saham dapat dibuktikan melalui
pengumuman laporan-laporan dan pengungkapan informasi dalam rangka
transparansi, diumumkan secara merata melalui Bursa Efek Indonesia maupun
surat kabar nasional.
Perlakuan yang adil bagi Semua Anggota Perseroan Perlakuan yang
setara bagi semua karyawan merupakan salah satu prinsip yang dijunjung tinggi
perseroan. Perseroan menempatkan sumber daya manusia pada posisi yang
penting dalam semua unit usaha perseroan dan sebagai sumber daya pendukung
menuju kesuksesan. Sebagai elemen penting, para karyawan dipastikan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
145

mendapatkan hak-hak mereka untuk mengakses informasi mengenai peraturan


dan kebijakan perseroan serta mengenai berita, pengumuman, dan kegiatan-
kegiatan perseroan. Untuk itu perseroan menyediakan portal komunikasi internal
yang disebut The Village.
Perseroan terus berupaya menciptakan lingkungan kerja yang kondusif
dan nyaman bagi semua anggota perseroan. Semua aturan perseroan dibuat untuk
menciptakan kesempatan yang setara dan adil bagi semua karyawan perseroan
tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau kepercayaan. Kinerja
karyawan dinilai secara transparan berdasarkan kinerja dan kontribusi masing-
masing maupun secara tim terhadap pencapaian target perseroan.

4.5.3. Analisis Politik


Nature of power merupakan kewenangan yang melekat pada setiap aktor
karena mereka dipilih rakyat untuk menjadi pemimpin dan perwakilan masyarakat
sehingga dengan kekuasaaan yang dimilikinya, mereka memiliki kemampuan untuk
menjalankan kekuasaaan (Checkland dan Poulter, 2006). Untuk memahami pola
kekuasaan dalam perseroan, maka sangat penting memahami Struktur dan Kerangka
Tata Kelola Perusahaan. Perseroan memiliki organ-organ yang membentuk struktur
GCG yang berfungsi untuk memastikan implementasi GCG di semua kegiatan
operasional maupun strategis perseroan. Organ inti GCG perseroan terdiri atas Rapat
Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan Direksi yang masing-masing
memiliki peran yang penting dalam implementasi GCG dan bekerja secara
independen dalam fungsi, tugas dan tanggung jawab masing-masing. Berikut ini
digambarkan tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab masing-masing organ
governance perusahaan, yaitu:

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)


RUPS merupakan salah satu organ dalam struktur GCG dengan otoritas
tertinggi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
146

Perseroan Terbatas, peraturan dan Udang-undang lainnya, dan dalam Anggaran Dasar
Perseroan, dimana keputusan-keputusan strategis antara lain:
1. perubahan Anggaran Dasar,
2. pengangkatan atau pemberhentian Dewan Komisaris atau Direksi,
3. laporan tahunan,
4. laporan keuangan yang diaudit,
5. laporan tugas pengawasan Dewan Komisaris dan penggunaan laba,
6. keputusan investasi atau divestasi yang material dari portofolio perseroan,
7. struktur penentuan permodalan perseroan.

Perseroan mematuhi Peraturan IX.I.1 tentang Rencana dan Pelaksanaan


RUPS untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan (RUPST) atau RUPS Luar Biasa
(RUPSLB) perseroan. Biasanya dalam setahun terjadi satu kali RUPST dan satu kali
RUPSLB. Keputusan-keputusan dalam RUPS dilaporkan kepada Badan Pengawas
Pasar Modal – Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI)
dan diumumkan kepada publik melalui surat kabar nasional maupun melalui BEI.

b. Dewan Komisaris
Dewan Komisaris Perseroan mempunyai fungsi dan tanggung jawab secara
bersama-sama sebagai suatu Dewan untuk melakukan pengawasan atas pengelolaan
perseroan yang dijalankan oleh direksi. Fungsi lain Dewan Komisaris Perseroan
adalah memberikan nasihat kepada direksi dan untuk memastikan bahwa pelaksanaan
GCG diimplementasikan secara efektif dalam semua tatanan perseroan. Untuk dapat
menjalankan fungsinya dengan baik, Dewan Komisaris berhak membentuk Komite
Audit dan Komite Remunerasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Dewan
Komisaris. Kriteria, Keanggotaan, dan Masa Jabatan Anggota Dewan Komisaris
Perseroan harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18
Anggaran Dasar perseroan, yaitu:
1. Mempunyai akhlak dan moral yang baik.
2. Mampu melaksanakan perbuatan hukum.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
147

3. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit.
4. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.

Sesuai kebutuhan akan pengawasan perseroan dengan mempertimbangkan


kompleksitas usaha perseroan, RUPST yang diselenggarakan tanggal 23 Februari
2011, mengangkat Dewan Komisaris perseroan yang terdiri atas: 1 (satu) orang Ketua
Dewan Komisaris yang bertugas melakukan koordinasi atas kegiatan Dewan
Komisaris; 1 (satu) orang Wakil Ketua yang bertugas mewakili Ketua Dewan
Komisaris apabila diperlukan, yang juga Komisaris Independen Perseroan; 6 (enam)
orang anggota Dewan Komisaris, 5 (lima) orang diantaranya merupakan Komisaris
Independen Perseroan. Tabel 4.2 berikut menunjukkan komposisi anggota Dewan
Komisaris saat ini.

Tabel 4.2. Komposisi Anggota Dewan Komisaris Perseroan

Sumber: Laporan Tata Kelola Perusahaan (2010)

Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang tidak


memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan
keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang
saham pengendali atau hubungan dengan perseroan, yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen. Di dalam struktur governance, seperti

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
148

yang ditunjukkan pada Tabel 4.2, tidak ada satupun anggota keluarga Riady
menempati jabatan atau posisi di organ penting governance perusahaan, padahal
sebagai pendiri, kelompok keluarga ini masih memiliki pengaruh tidak langsung
dalam hal kepemilikan.
Struktur governance pada Tabel 4.2 mengikuti model Continental Europe
dimana struktur governance terdiri dari RUPS, Dewan Komisaris, Dewan Direktur,
dan Manajer Eksekutif (manajemen). Struktur semacam ini disebut Two-board
systems, yaitu struktur CG yang dengan tegas memisahkan keanggotaan dewan, yaitu
antara keanggotaan Dewan Komisaris sebagai pengawas dan Dewan Direksi sebagai
eksekutif perusahaan. Pemisahan ini secara normatif dapat mengoptimalkan fungsi
yang melekat dari padanya.
Penelitian yang dilakukan di Australia oleh Kiel dan Nicholson (2003)
menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka memiliki
kecenderungan untuk memiliki jumlah Dewan Komisaris yang lebih banyak, lebih
besar porsi komisaris independen dan bahkan cenderung untuk memisahkan antara
Ketua Dewan Komisaris dan Presiden Direktur. Perusahaan ini juga memiliki
karakteristik yang sama seperti dikemukakan oleh Kiel. Jumlah komisaris independen
cukup signifikan, yaitu 60% yang terdiri atas lima orang komisaris, tiga diantaranya
adalah komisaris independen. Selain itu, untuk memperkuat peran dan fungsinya,
perusahaan juga melakukan pemisahan antara jabatan Dewan Komisaris dengan
Presiden Direktur. Dalam kasus di atas Ketua Dewan Komisaris tidak merangkap
sebagai Presiden Direktur, pemisahan ini diasumsikan akan lebih memperkuat
independensi dan peran Dewan Komisaris sebagai badan pengawas pelaksana
perusahaan.
Secara umum, tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris perseroan
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar perseroan adalah:
1. Melakukan pengawasan atas jalannya pengurusan perseroan oleh direksi
pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan dan
memberikan nasihat kepada direksi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
149

2. Melakukan tugas yang secara khusus diberikan kepadanya menurut


anggaran dasar, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
berdasarkan keputusan RUPS, seperti menentukan Akuntan Publik
perseroan.
3. Melakukan pengarahan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
strategis perseroan.
4. Menerapkan dan memastikan pelaksanaan manajemen risiko dan prinsip
GCG dalam setiap kegiatan usaha perseroan agar perseroan dapat mencapai
pertumbuhan yang berkelanjutan.
5. Melakukan evaluasi rencana kerja yang diajukan direksi untuk memastikan
bahwa rencana kerja tersebut sejalan dengan visi, misi serta peta rencana
jangka panjang perseroan.
6. Membantu dan mendorong usaha pembinaan dan pengembangan perseroan.
7. Untuk melaksanakan semua tugasnya, Dewan Komisaris perseroan
bertindak secara independen dan profesional berdasarkan keahlian khusus
masing-masing anggota Dewan Komisaris serta transparan dalam
memberikan umpan-balik, nasihat maupun arahan kepada direksi.

Untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas dan wewenangnya, Dewan


Komisaris menyusun Laporan Tugas Pengawasan Dewan Komisaris atas fungsi
pengawasan yang telah dilakukannya selama satu tahun buku untuk disampaikan
kepada pemegang saham dan disahkan dalam RUPST. Adapun pelaksanaan rapat
Dewan Komisaris biasanya dilakukan menurut keperluan dan minimal satu kali
dalam setahun.
Dalam pelaksanaannya, Rapat Dewan Komisaris dipimpin oleh Presiden
Komisaris. Apabila Presiden Komisaris tidak hadir, Rapat Dewan Komisaris
dipimpin oleh seorang yang dipilih oleh dan dari anggota Dewan Komisaris yang
hadir. Anggota Dewan Komisaris yang berhalangan hadir dapat diwakili dalam Rapat
Dewan Komisaris hanya oleh seorang anggota Dewan Komisaris lainnya berdasarkan
surat kuasa Rapat Dewan Komisaris adalah sah dan berhak mengambil keputusan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
150

yang mengikat apabila lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan
Komisaris hadir atau diwakili dalam rapat.
Terkait dengan proses pengambilan keputusan dalam setiap rapat di Dewan
Komisaris, Keputusan Rapat Dewan Komisaris harus diambil berdasarkan
musyawarah untuk mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, maka keputusan diambil
dengan cara pemungutan suara berdasarkan suara setuju lebih dari ½ (satu per dua)
jumlah suara yang dikeluarkan dengan sah dalam rapat. Apabila terjadi jumlah suara
setuju dan tidak setuju berimbang, Ketua Rapat Dewan Komisaris yang akan
menentukan.
Pelaksanaan tugas Dewan Komisaris dibantu oleh Komite yang
beranggotakan tenaga ahli yang diangkat dan bekerja untuk mendukung pelaksanaan
tugas Dewan Komisaris. Saat ini perseroan memiliki Komite Audit dan Komite
Remunerasi, yang masing-masing memiliki fungsi dan tugas khusus yang telah
ditentukan oleh Dewan Komisaris. Komite Audit yang berfungsi mengawasi
pelaksanaan audit dan mencermati hasil-hasilnya maupun menindaklanjutinya.
Komite Remunerasi bertugas membantu Dewan Komisaris menyusun sistem
penggajian dan pemberian tunjangan lainnya.

c. Dewan Direksi
Direksi merupakan organ perseroan yang memiliki fungsi dan tanggung
jawab untuk mengurus dan memimpin perseroan agar semua sumber daya berfungsi
secara maksimal sehingga mampu meningkatkan profitabilitas operasional dan
memberikan hasil akhir berupa peningkatan nilai perseroan secara
berkesinambungan. Tanggung jawab dan wewenang direksi diatur dalam Anggaran
Dasar perseroan untuk pengelolaan perseroan hingga manajemen risiko dan
implementasi GCG. Namun kewenangan ini dibatasi karena direksi wajib
memperoleh persetujuan Dewan Komisaris perseroan untuk hal-hal terkait
peminjaman ataupun meminjamkan uang atas nama perseroan, disposal harta tetap
milik perseroan, mengagunkan atau menjaminkan barang-barang tidak bergerak milik
perseroan, melakukan penyertaan modal atau melepaskan penyertaan modal dalam

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
151

perusahaan lain dan bahkan untuk mengalihkan, melepaskan hak atau menjadikan
jaminan utang dengan nilai sampai dengan lebih dari 50% jumlah kekayaan bersih
perseroan dalam satu tahun buku. Selain itu, semua keputusan Dewan Direksi harus
mendapatkan persetujuan dalam hal: melakukan Transaksi Material atau Transaksi
Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam peraturan di bidang Pasar
Modal, mengalihkan atau menjadikan jaminan utang semua atau lebih dari 50% dari
semua jumlah kekayaan bersih perseroan; melakukan perubahan anggaran dasar
perseroan; melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pembubaran atau
likuidasi perseroan.
Anggota direksi melaksanakan tugasnya mewakili perseroan dan mengambil
keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya, namun pelaksanaan
tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama.
Seperti halnya Dewan Komisaris, persyaratan bagi pencalonan anggota Dewan
Direksi meliputi syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 15 Anggaran Dasar
tentang Keanggotaan dan Masa Jabatan, yaitu: mempunyai akhlak dan moral yang
baik; mampu melaksanakan perbuatan hukum; tidak pernah dinyatakan pailit atau
menjadi anggota direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit dan tidak pernah dihukum karena
melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu lima tahun
sebelum pengangkatan.
Berdasarkan RUPST 23 Februari 2011, terpilih anggota Dewan Direksi
dengan komposisi sebagai berikut:
Tabel 4.3. Komposisi Anggota Dewan Direksi Perseroan

Sumber: Laporan Tata Kelola Perusahaan (2010)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
152

d. Internal Audit
Sebagai bagian dari tanggung jawab direksi untuk memastikan bahwa
semua prosedur standar operasional (SOP), keputusan-keputusan direksi, peraturan
perusahaan, serta peraturan dan perundang-undangan terkait dijalankan dan dipatuhi
oleh setiap divisi dan semua level, perseroan memberdayakan divisi Internal Audit.
Internal Audit semakin aktif membantu Komite Audit dalam memantau, melakukan
evaluasi dan memberikan rekomendasi untuk pengendalian internal dan
mengidentifikasi serta mencegah atau mengurangi exposure risiko yang dihadapi
perseroan.
Peran utama divisi ini adalah menilai apakah sistem pengendalian internal
telah berfungsi dengan baik, namun tidak terbatas pada penilaian kepatuhan terhadap
semua peraturan, kebijakan, serta pedoman yang telah ditetapkan. Misalnya, Internal
Audit memeriksa ketepatan waktu penyampaian laporan; menilai sistem pelaporan
dan mengidentifikasi tantangan yang ada serta ruang untuk perbaikan sistem; menguji
apakah praktik akuntansi yang berjalan telah mematuhi kebijakan dan pedoman
akuntansi yang berlaku. Pelaksanaan tugas Internal Audit perseroan dilakukan
berdasarkan rencana kerja tahunan yang telah mendapat persetujuan Presiden
Direktur dan Komite Audit perseroan. Internal Audit juga melakukan pemeriksaan
khusus jika dianggap perlu oleh Presiden Direktur.
Untuk melaksanakan tugasnya, Internal Audit mengacu pada Piagam
Internal Audit yang telah disetujui oleh Komite Audit perseroan dengan
mempertimbangkan Kode Etik Internal Audit dan Standar Praktik Profesional
Internal Audit maupun peraturan-peraturan yang berlaku. Internal Audit
menyampaikan laporan kegiatannya kepada Presiden Direktur dan Komite Audit
yang secara berkala mengadakan pertemuan untuk membahas dan meninjau laporan
Internal Audit. Komite Audit melaporkan pertemuan dan pembahasan laporan ini
kepada Dewan komisaris sebagai masukan bagi Dewan Komisaris dalam rangka
menjalankan tugas pengawasannya.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
153

e. Sekretaris Perusahaan
Sekretaris Perusahaan memegang peranan yang penting untuk membantu
memastikan transparansi, serta bertindak di garis depan untuk mewakili Perusahaan.
Sekretaris Perusahaan bertanggung jawab dalam rangka membina hubungan baik dan
kemitraan strategis dengan para pemegang saham, otoritas pasar modal, media masa
dan masyarakat. Selain itu, Sekretaris Perusahaan juga bertugas mengawasi ketaatan
Perusahaan terhadap Undang-undang, peraturan di bidang pasar modal, dan Anggaran
Dasar perseroan. Sekretaris Perusahaan juga memberikan bantuan kepada Dewan
Komisaris dan Direksi di dalam memastikan praktik GCG dalam semua kegiatan
perseroan. Sejak tahun 2004, posisi Sekretaris Perusahaan dipegang oleh Jenny
Kuistono.

f. Rich Picture
Mundurnya pendiri perusahaan dari puncak eksektutif perusahaan tidak
menghentikan proses pembelajaran yang terjadi. Hal ini ditandai dengan berdirinya
Mochtar Riady Research Institute Nanotechnology (MRIN) di tahun 2010. Kemudian
berkonsentrasi mengembangkan teknologi dalam berbagai bidang, yaitu bidang
kedokteran, pendidikan, dan manajemen. Pengembangan teknologi nano di bidang
kedokteran ditandai dengan berdirinya Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center
(MRCCC) pada 11 Juli 2011, di bidang pendidikan dengan pendirian Universitas
Pelita Harapan pada bulan Mei 1994.
Filosofi entrepreneurship pendiri perusahaan yang disemaikan di dalam
perseroan tercermin dalam dinyatakan dalam beberapa wawancara sebagai berikut:

“... Semua dimulai dari tidak ada menjadi ada… perusahaan yang berhasil
adalah yang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan
menyentuh kehidupan masyarakat....” (Hasil wawancara Riady, Juli 2010).

Walaupun pendiri sudah tidak menjabat sebagai eksekutif puncak di


kelompok perusahaannya, tetapi jiwa entrepreneur di perusahaannya tidak hilang.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, komitmen pendiri perusahaan untuk

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
154

profesionalisme dalam pengelolaan perseroan adalah melalui pengisian jabatan


penting dalam struktur governance perseroan yang diisi oleh sekelompok personal
yang kompeten dan diangkat secara meritokrasi. Hal ini merupakan realisasi dari
pernyataannya sebagai berikut:
“... Supaya perusahaan itu dapat langgeng harus diserahkan kepada
profesional,... penting koordinasi dan selalu memotivasi karyawan supaya
timbul rasa memiliki....” (Hasil wawancara Riady, Juli 2010, pukul 10.00 –
12.30).

Yang pasti, dalam konteks globalisasi saat ini, jiwa entrepreneur dalam
setiap pemimpin perusahaan menjadi sangat diperlukan. Apalagi untuk jenis
perusahaan sebesar Lippo Karawaci yang merupakan kelompok perusahaan dengan
kumpulan aset konsolidasi yang sangat besar maka penekanan kemampuan
manajemen puncak harus dapat menyeimbangkan antara antara kemampuan inovasi
sekaligus pengembangan adalah suatu keharusan. Konteks saat ini sudah berbeda,
beberapa puluh tahun yang lalu kata kunci dari pemimpin adalah confidence, single-
mind purpose, dan strategic planning. Tetapi saat ini, dengan kompleksitas yang
tinggi, globalisasi dan dunia yang tumbuh secara pesat membutuhkan pemimpin
yang berbeda. Perkembangan dan perubahan di lingkungan bisnis saat ini yang
memiliki karakteristik perubahan yang sangat dinamis. Seperti pendekatan dalam
buku Entrepreneurial Leadership dikembangkan oleh Babson College. Seorang
pemimpin bisnis tidak hanya dapat mengelola dan mengeksploitasi aset tangible dan
intangible yang dimiliki dan dikendalikan perusahaan tetapi juga harus mampu
melakukan eksplorasi dan eksploitasi peluang yang tertangkap di lingkungan luar
perusahaan. Usaha yang dilakukan pendiri perusahaan agar manajemen memiliki
kemampuan dan feeling tentang entrepreneur yang sama dengannya adalah dengan
memberikan pembelajaran melalui pengalaman pribadinya.
Kemampuan tim manajemen puncak untuk berinovasi dan mengekploitasi
aset ini tentunya harus berdasarkan visi dan misi perseroan, sehingga terdapat
koherensi dalam pemahaman tim manajemen puncak yang pada gilirannya dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
155

memaksimalkan keputusan strategis yang akan dihasilkan. Seperti diungkapkan oleh


salah satu Komisaris Independen berikut ini:
“... Tim manajemen puncak harus berorientasi kepada visi misi perusahaan,
harus senang dengan perubahan dan inovasi....” (Hasil wawancara Wijaya,
Maret 2011)

Pendiri perusahaan selalu berulang kali menceritakan pengalaman hidupnya


dalam mendirikan dan mengembangkan bisnisnya secara seimbang. Dalam arti, selain
menceriterakan kisah tentang inovasi dan terobosan tetapi juga pengembangan usaha
yang dilakukan. Berikut pernyataan manajemen puncak Lippo Karawaci:
“... Kami banyak belajar dari beliau tentang bagaimana mengelola dan
memulai bisnisnya, beliau menceritakan pengalaman hidupnya, ini
merupakan metode pembelajaran yang kami terima…learning yang dilakukan
adalah dari sharing pengalaman pribadi....”
“... Jiwa kepeloporan menjadi penting karena seringkali kami menjadi
trendsetter disini, one step ahead....” (Hasil wawancara Wijaya, 29 Agustus
2012, pukul 10.00 – 12.30 WIB).

Pentingnya jiwa kepeloporan ini semestinya dilengkapi dengan kemampuan


untuk mengukur dan mengestimasi risiko yang mungkin ditimbulkan. Sejalan dengan
ini maka Presiden Direktur Lippo Karawaci juga menekankan berkali-kali bahwa
selain melakukan terobosan dan inovasi tetapi harus juga melakukan estimasi atas
risiko buruk yang akan terjadi, seperti diungkapkan dalam petikan wawancara berikut
ini:
“... Harus hati-hati dengan ongkos, juga harus hati-hati saat mau investasi…
hati-hati dengan belanja tetapi jangan tutup mata terhadap opportunity...”
“... Kita harus berani ambil risiko dan tentunya dengan perhitungan yang
matang....” (Hasil wawancara Wijaya, 13 Juli 2012, pukul 10.00 – 12.30
WIB, Lippo Karawaci).

Konsep penyeimbangan antara upaya eksplorasi dan eksploitasi dalam


aktivitas bisnis ini dikenal dengan nama cognitive ambidexterity, yang memadukan
sebuah cara berpikir dan bertindak. Memadukan dua pendekatan dalam berpikir,
yaitu logika prediksi dan logika tindakan atau prediction logic dan creation logic.
Ambidexterity dalam hal ini adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kemampuan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
156

prediksi dan aksi secara back and forth. Dimana yang dimaksud dengan pendekatan
prediksi adalah suatu pendekatan yang menggunakan dasar analisis dari berbagai
informasi relevan yang memungkinkan keberhasilannya. Sedangkan yang dimaksud
dengan kreasi yang logis diartikan sebagai kemampuan mengambil tindakan untuk
menghasilkan sesuatu yang belum ada sebelumnya atau yang tidak dapat diperoleh.
Dalam konteks keorganisasian, konsep serupa dikemukakan oleh Michael
Tushman dan O’Reilly (2007), dimana setiap organisasi harus dapat
menyeimbangkan antara kemampuan eksplorasi dan eksploitasi untuk menghadapi
perubahan yang dinamis dari lingkungan luar. Lingkungan yang sangat turbulen
mengharuskan perseroan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui
kapabilitas organisasi. Dalam menyikapi perubahan eksternal yang terjadi karena arus
globalisasi dan kemajuan teknologi informasi maka kemampuan manajerial dan
organisasi seperti yang disebutkan tadi merupakan suatu keharusan. Kemampuan
manajerial dan organisasi ini dikaji oleh Teece dan Pisano dalam Teece (2009)
sebagai dynamic capability. Dalam praktiknya, manajemen Lippo Karawaci harus
dapat meningkatkan kemampuan koordinasi/integrasi semua aktivitas bisnis yang
dilakukan, melakukan pembelajaran secara berkesinambungan dan melakukan
rekonfigurasi secara optimal.
Proses koordinasi, pembelajaran dan bahkan rekonfigurasi yang harus
dilakukan oleh Lippo Karawaci merupakan tugas yang tidak ringan. Fungsi strategis
yang utama adalah menemukan kombinasi yang memberikan nilai tambah dari dalam
perusahaan, inter perusahaan dan bahkan dari kelembagaan di luar perusahaan yang
mendukung perusahaan. Tantangan yang dihadapi ini harus diperkuat dengan
kompetensi dari manajemen puncak untuk dapat merasakan, mengukur kesempatan
dan melakukan rekonfigurasi ketika ada perubahan yang terjadi, dalam bentuk
realokasi, kombinasi bahkan rekomendasi semua sumber daya dan harta perusahaan.
Oleh sebab itu Presiden Direktur Lippo Karawaci berulangkali menekankan
pentingnya jiwa kepeloporan, pembelajaran, loyalitas bahkan pembelajaran yang
harus dimiliki oleh semua tim manajemen puncak di Lippo Karawaci, seperti
diungkapkan dalam petikan wawancara di bawah ini:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
157

“... Manajemen puncak harus memiliki loyalitas, kepeloporan, pembelajaran


dan kejujuran…wahhh kalo di sini paling utama kejujuran itu, kalo gak jujur
berarti rusak semuanya....” (Hasil wawancara Wijaya, 13 Juli 2012, pukul
10.00 – 12.30 WIB).

Pentingnya nilai-nilai yang melekat kepada tim manajemen puncak


diharapkan dapat menjadi contoh dan model bagi karyawan di bawahnya. Hal ini
sesuai dengan pernyataan sebagai berikut:

“... Seorang karyawan Lippo Karawaci harus dapat menjadi model bagi
karyawan lainnya....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012,
pukul 10.00 – 12.30 WIB).

Kesiapan perseroan tentunya semestinya tidak hanya terjadi pada tataran


pimpinan semata tetapi juga di level bawahnya. Kemampuan perseroan dalam
mengelola kondisi ambidexterity ini juga melibatkan semua karyawan. Umumnya
karyawan hanyalah bertindak sebagai pekerja semata dan tidak teroptimalkan
kemampuan enterpreneurship-nya. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan salah
seorang Komisaris Independennya, Tanri Abeng (Abeng):

“..... Saat ini perlu membangun jiwa kepeloporan karyawan karena


perubahan yang terjadi di luar adalah sangat cepat dan karyawan harus
mampu merespon perubahan tersebut....” (Hasil wawancara Abeng, Juli
2012, pukul 11.00 – 14.00 WIB, Lippo Karawaci).

”..... kalo karyawan siy hanya sebagai pelaksana saja, yang mikir kan
pimpinannya...” (Hasil wawancara Wijaya, 29 Agustus 2012, Karawaci).

Selain itu, dalam rangka menunjang kemampuan karyawan dalam


melakukan tugas-tugasnya, Abeng menekankan pentingnya perbaikan atas struktur
organisasi agar lebih fleksibel dan metode pembelajaran yang lain selain job
application. Karyawan diberikan metode pembelejaran lain untuk lebih meningkatkan
kemampuan dan kompetensinya sehingga tidak terjebat di dalam operational trap.
Proses pembelajaran ini menjadi penting artinya untuk mengasah kemampuan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
158

karyawan baik dalam melakukan ide inovasi ataupun program pengembangan yang
dibebankan kepadanya.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
159

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 4.2. Rich Picture: Membangun Keunggulan Bersaing Perusahaan


Melalui Dual Ambidexterity pada Lippo Karawaci

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
160

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
160

BAB V

ANALISIS MEMBANGUN KEUNGGULAN BERSAING MELALUI


STRATEGIC AMBIDEXTERITY DAN CONTEXTUAL AMBIDEXTERITY

5.1. Model Konseptual strategic ambidexterity dan contextual ambidexterity

5.1.1. Model Konseptual untuk membangun Strategic Ambidexterity


melalui Kapabilitas Dinamis.
Dalam konteks persaingan global yang semakin kompetitif maka
perusahaan harus menemukan cara terbaik untuk melakukan pembelajaran dalam
setiap proses bisnisnya. Proses pembelajaran yang bersifat partisipatif memungkinkan
perubahan dapat terjadi. Terkait dengan konteks penelitian untuk membangun
keunggulan bersaing perusahaan melalui ambidexterity pada Lippo Karawaci, maka
berdasarkan root definitions disusun dengan bantuan analisis CATWOE untuk
melakukan seleksi sistem yang relevan di dalam menyusun model konseptual
(Lampiran Bab V Tabel 5.1).
Root definition yang digunakan untuk membangun strategic ambidexterity
melalui kapabilitas dinamis adalah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam
rangka membangun Strategic Ambidexterity (P) melalui kapabilitas dinamis pada
tingkatan strategis yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan
eksploitasi (Q) untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R). Adapun
Customer untuk dalam konteks ini adalah Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan
Direksi, Dewan Komisaris, Manajer, Karyawan. Actors adalah Pendiri dan Pemilik
Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan Komisaris, Manajer dan Karyawan. Worldviews
merupakan kapabilitas dinamis pada tingkatan strategis yang dapat menyeimbangkan
antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi sangat penting untuk menghasilkan
keunggulan bersaing perusahaan. Hal ini digunakan suntuk merumuskan model
konseptual untuk terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing melalui kapabilitas dinamis pada tingkatan strategis yang dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
161

menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi untuk mencapai hal


tersebut teridentifikasi kendala. Kendala ini terjadi di dalam menemukan
keseimbangan yang tepat antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Kendala ini jika
dapat diatasi maka akan Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing melalui kapabilitas dinamis pada tingkatan strategis yang dapat
menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi.
Penggambaran inti dari aktivitas sistem yang relevan sehingga menjelaskan
proses transformasi dari input menjadi output. Sementara CATWOE digunakan
sebagai menggabungkan proses transformation (T) dengan worldview (W) yang
membuat proses transformasi menjadi berarti pada konteks tertentu yang dilakukan
oleh organisasi bisnis. Untuk menindaklanjuti worldview yang ada, maka models of
purposeful activity digunakan untuk menggali situasi problematis di dalam
perusahaan yang menjadi rujukan penelitian. Oleh sebab itu maka Root definition dan
CATWOE merupakan sumber dari penciptaan aktivitas-aktivitas pada purposeful
activity model yang digunakan.
Model yang terbangun bukan berdasarkan kepada real world, melainkan
dibangun berdasarkan gagasan peneliti sendiri dengan menyesuaikan kepada aturan
formal yang berlaku. Di tahap inilah gagasan systems thinking menjadi sangat
penting. Seperti yang disebutkan oleh Checkland, systems thinking didasari oleh dua
gagasan, yaitu emergent properties yang berpasangan dengan hirarki atau layer
structure, dan komunikasi yang berpasangan dengan control. Model konseptual ini
menggambarkan kegiatan sistem dimana elemen-elemen adalah kata kerja yang
dibuat berdasarkan root definition dan struktur kata kerja yang mengacu pada logic
based.
Untuk melaksanakan purposeful activity model, diperlukan pengukuran
kinerja dengan kriteria efficacy, effieciency, dan effectiveness (3E). Efficacy
merupakan ukuran keberhasilan transformasi (T) untuk menghasilkan tujuan yang
diinginkan. Effieciency mengacu kepada penggunaan sumber daya yang seefisien
mungkin (secara minimum) dalam mencapai transformasi (T) dan Effectiveness
mengacu kepada pencapaian yang lebih baik dalam jangka panjang akibat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
162

transformasi (T). Alat pengukuran kinerja ini sangat bermanfaat dalam pengawasan
kinerja sehingga dapat dilakukan kontrol.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
163

1. Melakukan proses 2. Menyediakan 3. Melakukan proses 4. Menyediakan forum


pembuatan strategi sumber daya yang pemindaian dan untuk berdiskusi
yang berhubungan ditujukan bagi pencarian informasi mengenai kesempatan
dengan variasi produk. pengembangan mengenai perubahan untuk melakukan
keunggulan teknologi dan pasar. inovasi.

5. Mengembangkan 6. Mengambil keputusan yang 7. Membuat penyesuaian


konsensus diantara dapat menyeimbangkan antara model bisnis yang
senior manajer antara aktivitas eksploitasi ada dengan strategi.
mengenai strategi dan eksplorasi.
yang akan diambil.

8. Melakukan pengalokasian sumber daya dan


waktu terhadap strategi yang akan dipilih.

9. Melakukan rekombinasi dan rekonfigurasi


aset dan struktur organisasi.

Monitoring Define criteria 3E


Take Control

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 5.1. Model Konseptual Membangun Strategic Ambidexterity


Melalui Kapabilitas Dinamis.
Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
164

Untuk memperkuat kapabilitas dinamis, maka diperlukan adanya keputusan


yang dapat menyeimbangkan antara eksplorasi dengan eksploitasi. Kapabilitas ini
tentunya didukung oleh budaya keterbukaan yang dapat membangun perdebatan,
komitmen atas alokasi sumber daya oleh para pemimpin senior (baik secara finansial
maupun waktu) untuk membangun daya pikir jangka panjang, dan sebuah tim
manajemen senior yang dapat mendukung pola pikir jangka panjang dan
mempromosikan adanya eksplorasi. Kegiatan ini harus dapat muncul meskipun tren
teknologi sangat sulit untuk dinilai, terutama sebagai pola dependensi dan
kemampuan kognisi tim senior cenderung mengunci perusahaan dalam pasar yang
sudah ada dan teknologi yang sudah berjalan.

1. Langkah pertama. Melakukan proses pembuatan strategi yang berhubungan dengan


variasi produk.
Pada tahapan ini, perusahaan melakukan pembuatan strategi terkait
mengenai adanya pilihan untuk melakukan ekplorasi ataupun eksploitasi. Dalam hal
ini kegiatan perusahaan terbagi atas dua aktivitas struktur bisnis, yaitu yang bersifat
recurring revenue dan development revenue. Aktivitas yang bersifat recurring
revenue adalah semua aktivitas bisnis yang terkait dengan hospital, aset management
dan healthcare. Sedangkan development revenue bersumber dari residential and
urban development.

2. Langkah kedua: Menyediakan sumber daya yang ditujukan bagi pengembangan


keunggulan.
Sumber daya terutama sumber daya manusia sangatlah penting bagi sebuah
perusahaan dalam melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Diperlukan adanya
kemampuan SDM yang kompeten dalam menangkap kesempatan untuk
meningkatkan daya saing perusahaan. Dengan demikian, perusahaan harus mampu
mencari dan menyediakan SDM yang khusus terlibat dalam pengembangan
keunggulan daya saing, karena di sinilah SDM menjadi modal utama dalam
melakukan proses ini.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
165

3. Langkah ketiga: Melakukan proses pemindaian dan pencarian informasi mengenai


perubahan teknologi dan pasar.
Proses pemindaian dan pencarian informasi mengenai perubahan teknologi
dan pasar dilakukan untuk melihat kapabiltas internal perusahan untuk menghadapi
perubahan tersebut. selain itu pencarian informasi ini dibutuhkan bagi perusahaan
untuk dapat menangkap kesempatan ataupun ancaman dari adanya perubahan
teknologi dan pasar. Tanpa adanya informasi dan data yang valid, maka perusahaan
akan kesulitan untuk mengukur kapabilitas perusahaan itu sendiri dan kesulitan
menghadapi kesempatan ataupun ancaman yang dapat muncul dari adanya perubahan
teknologi dan pasar.

4. Langkah keempat: Menyediakan forum untuk berdiskusi mengenai kesempatan


untuk melakukan inovasi.
Setelah melakukan proses pembuatan strategi, penyediaan sumber daya,
pemindaian, dan pencarian informasi, maka perusahaan harus dapat membuat suatu
forum untuk mendiskusikan mengenai data serta informasi yang didapatkan. Selain
itu, perusahaan harus diberikan kesempatan untuk dapat melakukan inovasi.

5. Langkah kelima: Mengembangkan konsensus di antara senior manajer mengenai


strategi yang akan diambil.
Untuk memutuskan strategi apa yang akan digunakan, maka dibutuhkan
adanya konsensus atau kesepakatan di antara senior manajer. Hal ini dibutuhkan
karena sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dan hak untuk memutuskan
strategi perusahaan. Senior manajer hendaknya dapat memperoleh satu kesepakatan
yang sama sehingga ketika akan mengimplementasikan keputusan tersebut di tingkat
operasional, terdapat kesamaan bahasa dan keputusan sehingga dapat mengurang
kebingungan atau keragu-raguan di tingkat operasional.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
166

6. Langkah keenam: Mengambil keputusan strategis yang menyeimbangkan inovasi


dan pengembangan.
Mengambil keputusan melalui rapat dewan direksi berdasarkan kesepakatan
bersama, jika tidak tercapai maka menempuh cara voting dengan dukungan lebih dari
separuh anggota yang hadir.

7. Langkah ketujuh. Membuat penyesuaian antara model bisnis yang ada dengan
strategi.
Setelah adanya keputusan maka dibutuhkan adanya penyesuaian antara
model bisnis yang sudah ada dengan strategi untuk melakukan inovasi. Disinilah
terletak adanya keseimbangan antara eksplorasi dengan eksploitasi. Tanpa adanya
kapabilitas ini, perusahaan mungkin dapat merasakan kesempatan dan ancaman yang
muncul, akan tetapi akan sulit untuk mengambil tindakan untuk menghadapi hal
tersebut. Nobeoka dan Cusumano (1998) dalam penelitiannya mengenai industri
otomotif, menemukan bahwa kunci untuk kesuksesan jangka panjang adalah
kemampuan dari beberapa perakit untuk secara cepat melakukan penggabungan
teknologi dalam berbagai bentuk.

8. Langkah kedelapan: Melakukan pengalokasian sumber daya dan waktu terhadap


strategi yang akan dipilih.
Pada saat keputusan sudah diambil, maka diperlukan adanya pengalokasian
sumber daya dan waktu untuk mendukung pelaksanaan keputusan tersebut.
Sementara kapabilitas operasional mampu menyediakan keunggulan bersaing pada
satu waktu tertentu, kesuksesan jangka panjang secara tidak terhindarkan
membutuhkan pemimpin yang dapat merealokasi sumber daya dari bisnis yang sudah
matang dan berkembang melalui pencapaian kesempatan untuk tumbuh.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
167

9. Langkah kesembilan: Melakukan rekombinasi dan rekonfigurasi aset dan struktur


organisasi.
Kunci untuk mempertahankan pertumbuhan keuntungan adalah dengan
memiliki kemampuan untuk melakukan rekombinasi dan rekonfigurasi aset dan
struktur organisasi pada saat terjadi perubahan teknologi dan pasar, Teece (2006).
“Orkestrasi aset” adalah organisasi yang dapat berkembang untuk menjaga
kesinambungan ekologis. Jika perubahan terjadi secara perlahan maka proses
penyelarasan kembali ini dapat berlangsung lama, bahkan dapat melalui pembabakan
sementara dari penyelarasan kembali dimana struktur, proses, orang, dan budaya
dibentuk secara bertingkat atau sekuensial. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan
adanya kapabilitas, terutama kemauan pemimpin senior untuk berkomitmen
menyediakan sumber daya untuk proyek jangka panjang, kemampuan untuk
mendesain sistem organisasi, insentif dan struktur yang memperbolehkan target
integrasi lintas unit organisasi untuk menangkap keuntungan dari aset yang
terspesialisasikan. Hal yang sulit disini bukanlah keputusan untuk menyederhanakan
struktur organisasi dimana subunit eksplorasi dan eksploitasi dipisahkan, melainkan
pada proses dimana kedua unit tersebut diintegrasikan dalam cara yang dapat
meningkatkan nilai perusahaan.

5.1.2. Model Konseptual untuk membangun Strategic Ambidexterity melalui Top


Management Team Cognition.

Pada model kedua ini terdapat 2 (dua) tahap utama, yaitu framing
organizational vision (membuat kerangka visi organisasi) dan information processing
(memproses informasi). CATWOE yang digunakan adalah sebuah sistem yang
dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun Strategic Ambidexterity (P)
melalui Top Management Team Cognition (framing organizational vision dan
information processing) yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan
eksploitasi (Q) untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R). Customer
di dalam ambidexterity jenis ini adalah Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
168

Dewan Komisaris, Manajer, Karyawan. Actor adalah Presiden Direktur, Direksi. Worldviews
yang ada adalah Top Management Team Cognition antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi
sangat penting untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan. Worldview untuk
proses transformasi ini adalah Top Management Team Cognition dalam hal framing
organizational vision dan information processing yang dapat menyeimbangkan antara
aktivitas eksplorasi dan eskploirasi sangat penting untuk menghasilkan keunggulan bersaing
perusahaan. Transfomrasi yang diharapkan terjadi adalah Terwujudnya Lippo Karawaci
menjadi perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing melalui Top Management Team
Cognition dalam hal framing organizational vision dan information processing yang
menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi.Sedangkan owner dan hambatan
adalah Direksi dan Karyawan serta kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat
antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.Untuk menindaklanjuti worldview yang ada,
maka models of purposeful activity digunakan untuk menggali situasi problematis di
dalam perusahaan yang menjadi rujukan penelitian. Oleh sebab itu maka Root
definition dan CATWOE merupakan sumber dari penciptaan aktivitas-aktivitas pada
purposeful activity model yang digunakan. (Lampiran Bab V Tabel 5.2)

Berikut adalah penjelasan dari kedua langkah tersebut.

1. Langkah pertama: Membuat kerangka visi organisasi untuk mengartikulasikan


tujuan organisasi.
Pada langkah ini, para pemimpin perusahaan terlebih dahulu menentukan
tujuan strategis organisasi, apakah akan lebih cenderung ke inovasi, pengembangan
dari produk yang sudah ada, atau keduanya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan
kerangka visi dari sang pemimpin itu sendiri. Meskipun tujuan yang ditentukan oleh
para pemimpin tersebut belum tentu mencerminkan tujuan keseluruhan dari
organisasi, tetapi mereka tetap memiliki pengaruh terhadap strategi organisasi secara
keseluruhan, namun hal itu belum cukup untuk dapat mengambil suatu keputusan.
Inovasi dapat berbeda dengan produk yang sudah ada dalam hal strategi
mereka atau aspek dari arsitektur organisasi. Ketika inovasi diasosiasikan dengan
eksperimentasi, pembelajaran, produk yang sudah ada seringkali diasosiasikan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
169

dengan efisiensi, kepastian, dan kejelasan. Karena inersia membawa perusahaan


untuk mempertahankan strategi dan struktur yang sudah ada, maka keberhasilan
inovasi tergantung kepada kemampuan kepemimpinan senior untuk melangkah
melalui inersia tersebut, sehingga memungkinkan inovasi untuk muncul secara bebas
dari produk yang sudah ada dan mendukung kedua produk tersebut.

2. Langkah kedua: Melakukan proses pengenalan dan mengartikulasikan perbedaan


di antara kedua produk.
Salah satu cara agar tim top manajemen dapat mengatasi kekuatan inersia
tersebut adalah dengan melakukan proses pembelajaran dan diskursus untuk
mengenali dan mengartikulasi perbedaan yang ada di antara kedua produk. Para
eksekutif ini seringkali menghabiskan waktu dengan mendiskusikan kedua produk
secara terpisah, sekaligus mengartikulasikan bagaimana kedua produk ini berbeda
satu sama lain.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
170

1. Membuat kerangka visi organisasi untuk mengartikulasikan tujuan organisasi.

2. Melakukan proses pengenalan


dan mengartikulasikan perbedaan 3. Melakukan klarifikasi kebutuhan
di antara kedua produk. dan perbedaan antara kedua produk

4. Memfokuskan organisasi pada visi keseluruhan

5. Menemukan cara untuk membagi sumber daya dan sinergi


synergies

6. Melakukan penyeimbangan antara integrasi dengan diferensiasi

Monitoring Define criteria 3E


Take Control

Sumber: hasil olahan penulis (2012)


Gambar 5.2. Model Konseptual Membangun Strategic Ambidexterity
melalui Top Management Team Cognition

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
171

3. Langkah ketiga: Melakukan klarifikasi kebutuhan dan perbedaan antara kedua


produk.
Langkah ketiga ini merupakan upaya untuk melegitimisasikan perbedaan
melibatkan seperangkat perilaku pembelajaranyang tidak hanya memperbolehkan
eksekutif untuk mengklarifikasi kebutuhan dari kedua produk tersebut secara
independen, tetapi juga untuk membandingkan dan menkontradiksi kedua produk.
Tahapan kedua dari perilaku pengolahan informasi dalam tim manajemen puncak
adalah diskusi tentang integrasi dari produk yang ada dan inovasi. Diskusi ini
mengangkat isu tentang bagaimana kedua produk dapat berbagi sumber daya, belajar
dari satu sama lain, dan membagi sumber daya dengan cara yang menguntungkan
kedua produk. Tim manajemen puncak terlibat dalam diskusi ini dengan beberapa
cara yang merupakan langkah ke empat dan kelima dari model konseptual, yaitu
sebagai berikut.

4. Langkah keempat: Memfokuskan organisasi pada visi keseluruhan.


Untuk langkah keempat ini, tim manajemen puncak sering merujuk kepada
pencapaian tujuan superordinat secara menyeluruh, yang mengingatkan mereka untuk
mendukung produk dan berpikir tentang kerjasama lebih dari konflik antara produk.

5. Langkah kelima: Menemukan cara untuk membagi sumber daya dan sinergi.
Pada langkah kelima disini tim manajemen puncak juga membahas cara-
cara meningkatkan sinergi antara produk dan inovasi yang ada, seperti bundling
produk yang sudah ada dan inovasi untuk menjual bersama-sama atau
mengidentifikasi bagaimana sumber daya dapat dibagi di semua produk.

Langkah 6: Melakukan penyeimbangan antara integrasi dengan diferensiasi.


Langkah berikutnya adalah menyeimbangkan antara proses diferensiasi
dengan integrasi. Di sini terdapat dua proses, yaitu diferensiasi antara dua produk dan
mencari titik integrasi di antara keduanya. Pada tahap ini, tim manajemen puncak
mendiskusikan baik integrasi, yaitu titik dimana dapat dilakukan sinergi dan visi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
172

keseluruhan, serta diferensiasi, yaitu kebutuhan dari tiap produk dan perbedaan di
antara kedua produk tersebut. Tim manajemen puncak juga akhirnya dapat
mengambil keputusan yang seimbang antara mendukung produk yang sudah ada dan
mendukung inovasi.

5.1.3. Model Konseptual untuk membangun Contextual Ambidexterity melalui


Struktur Formal.

Model konseptual yang ketiga merupakan model dari struktur formal dalam
contextual ambidexterity, dimana menurut Prahalad dan Doz (1981), context memiliki
arti “...blending of organizational structure, information systems, measurement and
reward systems and career planning and a fostering of common organizational
culture.” Adapun Root Definition dari model konseptual yang ketiga adalah Sebuah
sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun Contextual
Ambidexterity (P) melalui struktur formal yang dapat membuat karyawan melakukan
aktivitas ekplorasi dan eksploitasi baik secara organisasional, tim dan individual (Q) untuk
menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R).
Adapun nsure-unsur CATWOE yan dipergunakan untuk menganalisis proses
transformasi yang diinginkan adalah Customer yaitu Pendiri dan Pemilik Perusahaan,
Dewan Direksi, Dewan Komisaris, Manajer, Karyawan.Actor adalah Pendiri dan Pemilik
Perusahaan, Presiden Direktur, Direksi. Proses transformasi yang diinginkan adalah
Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing
melalui penyempurnakan struktur formal yang dapat memberikan konteks bagi semua
anggota organisasi agar dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi.
Worldview meliputi Struktur formal yang dapat membuat karyawan menyeimbangkan antara
aktivitas eksplorasi dan eskploirasi baik secara organisasional, tim dan individual sangat
penting untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan. Owner adalah Direksi dan
Karyawan sedangkan environmental constraint Kendala dalam menemukan keseimbangan
yang tepat antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.. (Lampiran Bab V tabel 5.3)
Dengan demikian, pada model ini terdiri atas 6 (enam) langkah, yaitu:

1. Langkah pertama: Memberikan keleluasaan (diskresi) kepada divisi operasional.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
173

Pemberian otonomi kepada divisi operasional bertujuan agar keputusan di


tingkat operasional sesuai dengan lingkungan yang ada pada tingkatan tersebut.
Dengan demikian, tingkat operasional memiliki gerak yang lebih leluasa dalam
menentukan keputusan operasional yang harus diambil, terutama jika keputusan
tersebut harus diambil secara cepat guna menghadapi perubahan yang cepat pula. Hal
ini akan mengurangi mata rantai pengambilan keputusan dan mempercepat waktu
pelaksanaan keputusan tersebut, terutama untuk hal-hal yang bersifat operasional.

2. Langkah kedua: Memberikan kendali dalam hal stratejik dan keuangan kepada
pusat.
Divisi operasional telah diberikan otonomi, namun untuk menjaga agar
mekanisme integratif tetap berjalan untuk menghindari interdependensi, maka
permasalahan strategik dan finansial kendalinya tetap dipegang oleh pusat. Proposisi
ini merupakan bentuk dari semangat penyelesaian “transnasional” yang dapat
memfasilitasi adanya keseimbangan antara pembagian otonomi disatu sisi dan kendali
pusat di sisi yang lain.

3. Langkah ketiga: Merumuskan tujuan masing-masing bisnis unit yang diturunkan


dari tujuan utama.
Bagi perusahaan yang berbentuk konglomerasi atau kelompok usaha seperti
Lippo Karawaci maka menjadi penting artinya menurunkan tujuan utama perusahaan
ke dalam visi dan misi masing-masing bisnis unit. Koherensi ini tentunya akan
menimbulkan sinergi yang bermanfaat bagi pencapaian tujuan organisasi secara
keseluruhan.

4. Langkah keempat: Menyeleraskan tujuan individu berdasarkan tujuan organisasi.


Sebagai bagian dari perusahaan, maka perusahaan harus berusaha
menyelaraskan tujuan masing-masing individu agar selalu sejalan dengan tujuan
perusahaan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
174

5. Langkah kelima: Menyusun struktur yang fleksibel.


Struktur yang ada di Lippo Karawaci bersifat fleksibel. Hal ini disebabkan
karena pimpinan perusahaan merasa perlu untuk selalu menyesuaikan diri dengan
kondisi internal dan eksternal perusahaan.

6. Langkah keenam: Membuat sistem informasi yang dapat menjamin tercapainya


keterbukaan antara level operasional dengan level strategik.
Informasi merupakan hal penting dalam pembuatan struktur formal. Adanya
sistem informasi yang dapat menjamin tercapainya keterbukaan antara level
operasional dengan level strategik akan membuat proses penyelarasan di level
tersebut dapat berjalan dengan lebih baik. Hal ini juga dapat membuat proses
penyeimbangan antara eksplorasi dengan eksploitasi di kedua tingkatan dapat
terlaksana dengan baik.

7. Langkah ketujuh: Membuat sistem pengukuran kinerja dan penghargaan yang


dapat mengukur kreativitas dan juga efisiensi kerja dari pegawai.
Untuk menyeimbangkan antara eksplorasi dengan eksploitasi, dibutuhkan
adanya kreativitas dan juga efisiensi kerja dari pegawai. Untuk itu diperlukan adanya
alat ukur kinerja agar kedua hal tersebut dapat diketahui seberapa jauh hal tersebut
dapat bekerja atau dapat dikerjakan oleh para pegawai.

8. Langkah kedelapan. Membuat sistem pemindahan manajer antar fungsi dan divisi
secara berkala.
Sistem rotasi manajer dinilai dapat membawa kesegaran baru dan cara
pandang baru di unit kerja. Selain itu, rotasi manajer juga dibutuhkan untuk
mengembangkan pola pikir dari tiap manajer yang dapat membantu menyeimbangkan
kemampuan manajer untuk bereksplorasi dan juga melakukan eksploitasi.

9. Langkah kesembilan:. Memberikan pelatihan kepada pegawai.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
175

Pelatihan sangat dibutuhkan bagi pegawai untuk dapat mengembangkan


kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan rutin mereka dan juga dalam
melakukan inovasi. Adanya pelatihan dapat memberikan pengalaman, pengetahuan,
dan cara berpikir baru bagi pegawai sehingga terdapat peningkatan keterampilan
kerja yang tentunya akan berdampak bagi peningkatan kinerja pegawai itu sendiri dan
kinerja organisasi pada umumnya.

10. Langkah kesepuluh: Mengembangkan performance based culture yang kuat yang
didorong oleh penegakan peraturan.
Budaya merupakan hal yang sangat penting dalam menghadapi perubahan.
Oleh karena itu, dalam organisasi ambidextrous, diperlukan adanya budaya organisasi
yang kuat yang dapat mendukung proses penyeimbangan antara eksplorasi dan
eksploitasi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
176

1. Memberikan divisi 2. Memberikan kendali kepada pusat


operasional diskresi dalam hal stratejik dan keuangan.
untuk mengambil

6. Membuat sistem informasi yang dapat


menjamin tercapainya keterbukaan
3. Merumuskan tujuan 4. Menyelaraskan tujuan individu antara tingkat operasional dengan
masing-masing bisnis berdasarkan tujuan organisasi. tingkat stratejik.
unit yang diturunkan
dari tujuan utama.

7. Membuat sistem pengukuran kinerja dan


5. Menyusun struktur yang penghargaan yang dapat mengukur
fleksibel. kreativitas dan juga efisiensi kerja dari
pegawai.

9. Memberikan pelatihan kepada 8. Membuat sistem pemindahan manajer


pegawai. antar fungsi dan divisi secara berkala.

10. Mengembangkan budaya performance based culture yang kuat yang


didorong oleh penegakan peraturan.

Monitoring Define Criteria 3E


Take control

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 5.3. Membangun Keunggulan Contextual Ambidexterity Melalui Struktur Formal

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
177

5.1.4. Model Konseptual untuk membangun Contextual Ambidexterity melalui


Norma dan nilai-nilai Budaya.

Untuk meningkatkan ambidexterity di dalam organisasi, mekanisme budaya


dan nilai bersama yang kuat menjadi salah satu cara untuk mencapai hal tersebut.
Menciptakan nilai bersama dan kepercayaan yang kuat di antara manajer setiap divisi
dan kantor cabang memungkinkan perusahaan untuk memberikan otonomi yang luas
kepada divisi-divisi tanpa harus takut bahwa divisi tersebut akan mengejar
kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan keseluruhan. Ouchi (1980:138)
mengungkapkan bahwa adanya kesamaan nilai dan kepercayaan menberikan
harmonisasi kepentingan yang dapat menghapus kemungkinan adanya perilaku
oportunistis. Lebih lanjut, Barnard (1939) mengungkapkan bahwa nilai-nilai bersama
(shared values) meningkatkan rasa saling ketergantungan dalam organisasi dan
karena itu dapat memfasilitasi perusahaan dalam upaya untuk mengeksploitasi sinergi
antar divisi, bahkan ketika divisi tersebut menikmati adanya otonomi dalam
pengambilan keputusan.
Nilai budaya maupun norma sosial yang berlaku dalam suatu organisasi
menjadi aspek penting dari contextual ambidexterous organization (Guttel dan
Konlechner, 2009). Pada penelitian sebelumnya (Gupta et al, 2006) aktivitas
eksplorasi dan eksploitasi berfokus pada modus-modus pembelajaran, hal ini
memerlukan prasyarat perubahan paradigma dan proses rutin dalam suatu organisasi.
Fakta terkait nilai budaya dan norma sosial ditengarai bahwa masing-masing
organisasi memiliki budaya dan normanya masing-masing.
Berdasarkan Neo dan Chen (2007), budaya didefinisikan sebagai keyakinan
(beliefs) dan nilai (values) yang berlaku dan dimiliki bersama, sehingga budaya dapat
diajarkan sebagai akumulasi pembelajaran bersama bagi komunitas/organisasi
tertentu, berdasarkan sejarah dari pengalaman bersama. Sedangkan norma merupakan
seperangkat kesepakatan umum yang tertulis maupun tidak tertulis berlaku dalam
organisasi guna mengikat anggota-anggotanya. Lebih jauh, Early dan Ang (2003)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
178

dalam Neo dan Chen (2007:146) menegaskan budaya terdiri atas pola-pola
pemikiran, perasaan dan reaksi atas beragam variasi situasi maupun tindakan.
Root Defition yang keempat adalah Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo
Karawaci dalam rangka membangun Contextual Ambidexterity (P) melalui norma dan nilai-
nilai budaya yang dapat menyeimbangkan karyawan melakukan aktivitas ekplorasi dan
eksploitasi baik secara organisasional, tim dan individual (Q) untuk menghasilkan
keunggulan bersaing perusahaan (R).Untuk mendukung model yang keempat maka
konponen analisis CATWOEnya adalah sebagai berikut: Customer adalah Pendiri dan
Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan Komisaris, Manajer, Karyawan. Actor adalah
Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Presiden Direktur, Direksi. Transformation proses yang
diharapkan terjadi adalah Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing melalui norma dan nilai-nilai budaya yang dapat memberikan konteks
bagi semua anggota organisasi terkait agar dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi
dan eksploitasi. Worldview yang ada adalah Norma dan nilai-nilai budaya yang dapat
membuat karyawan menyeimbangkan antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi baik secara
organisasional, tim dan individual sangat penting untuk menghasilkan keunggulan bersaing
perusahaan. Owner adalah Direksi dan Karyawan. Sedangkan environmental constraint
adalah Kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara aktivitas eksplorasi dan
eksploitasi. (Lampiran Bab V Tabel 5.4),
Model keempat yang berfokus pada norma dan nilai budaya yang dapat
membuat karyawan giat melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi, baik
individu, tim maupun organisasi sebagai aplikasi contextual ambidexterous
organization yang terdiri dari tujuh langkah sebagai berikut (Neo dan Chen 2007,
Guttel dan Konlechner 2009) sebagai berikut:

1. Langkah pertama: Membangun budaya meritokrasi.


Budaya meritokrasi, yaitu menempatkan person pada tanggung jawab dan
lokus pekerjaan yang tepat. Budaya ini menjadi refleksi profesionalitas yang berlaku
dalam suatu organisasi. Menurut Neo dan Chen (2007), meritokrasi telah diyakini
sebagai metode paling efisien bagi alokasi sumber daya talenta-talenta dalam
organisasi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
179

2. Langkah kedua: Membangun budaya berbasis proses pencapaian kinerja dan


norma bersama.
Kinerja yang ditargetkan kepada divisi penjualan, misalnya, bukan semata-
mata soal angka penjualan namun proses yang marketer lakukan. Dengan upaya keras
membangun budaya dan norma bersama bahwa proses dan hasil adalah sama
pentingnya, bahkan proses pencapaian kinerja dapat saja lebih utama. Sehingga,
budaya instan sekurangnya dapat dihilangkan secara bertahap.

3. Langkah ketiga: Menerapkan disiplin berbasis insentif dan koletivitas.


Berdasarkan Neo dan Chen (2007), langkah terbaik guna memastikan
keadaan berkecukupan bagi individu maupun masyarakat dalam jangka panjang
melalui pelembagaan insentif untuk bekerja dan menerapkan sistem dimana
penghargaan diberikan kepada mereka yang berdisiplin dalam kolektivitas bersama.
Disiplin organisasi tidak dapat terbangun bila mengabaikan sisi insentif (individu)
dan sisi kolektivitas (kelompok).

4. Langkah keempat: Mengenalkan budaya organisasi kepada anggota baru


organisasi.
Kehadiran anggota baru dipandang sebagai suatu kebutuhan organisasi
untuk semakin cepat berkembang karena kapabilitas dan pengalaman mereka yang
tidak dimilik anggota organisasi yang ada. Maka organisasi dan anggota baru itu
perlu saling beradaptasi dan belajar satu dengan lainnya. Adaptasi memerlukan waktu
yang tidak terbatas, namun tujuan (sasaran) organisasi tetap terus dipantau upaya
mencapainya tanpa kelengahan.

5. Langkah kelima: Melakukan sosialisasi budaya dan norma organisasi.


Pengenalan budaya dan norma organisasi tidak hanya bagi para pendatang
baru. Semua anggota organisasi tidak melihat status kapan mereka bergabung perlu

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
180

senantiasa diingatkan akan budaya dan norma organisasi yang berkembang, melalui
proses interaksi sehari-hari, gathering (informal) dan pelatihan-pelatihan formal.

6. Langkah keenam: Melakukan penyebaran (transmisi) budaya dan norma organisasi


kepada anggota organisasi.
Langkah lanjutan setelah sosialisasi, yaitu penyebaran (transmisi) budaya
dan norma organisasi. Bila sosialisasi lebih bertujuan memperkenalkan, membagi dan
mendapat umpan balik, maka transmisi budaya dan norma lebih dimaksudnya hadir
dan berkembangnya pemahaman dan kesadaran bersama.

7. Langkah ketujuh: Melakukan integrasi nilai budaya dan norma organsiasi sebagai
referensi bersama.
Proses sosialisasi budaya dan norma organisasi diteruskan dengan transmisi
budaya dan norma kepada anggota organisasi secara terus menerus. Maka proses
puncak dari keduanya (sosialisasi dan transmisi) adalah integrasi budaya dan norma
sebagai kerangka kesepakatan bersama dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Guttel
dan Konlechner (2009) menyebutnya dengan integrative frame of reference, proses
integrasi ini sungguh tidak mudah dan tidak dapat dibatasi waktu tertentu. Dalam
perjalanan organisasi dapat saja ada anggota organisasi yang referensinya bertindak
tidak sejalan dengan budaya dan norma bersama, maka ia akan keluar dari organisasi
tersebut.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
181

1. Membangun budaya meritokrasi.

2. Membangun budaya berbasis proses pencapaian


kinerja dan norma bersama.

3. Menerapkan disiplin berbasis insentif dan


koletivitas.

4. Mengenalkan budaya organisasi kepada anggota


baru organisasi.

5. Melakukan sosialisasi budaya dan norma


organisasi.

6. Melakukan penyebaran (transmisi) budaya dan


norma organisasi kepada anggota organisasi.

7. Melakukan integrasi nilai budaya dan norma


organsiasi sebagai referensi bersama.

Monitoring Define criteria 3E

Take Control

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 5.4. Membangun Contextual Ambidexterity Melalui Norma dan


Nilai-nilai Budaya

5.2. Analisis Perbandingan model konseptual dengan dunia nyata


Pada pelaksanaan Soft Systems Metodology (SSM) di tahap 5 ini,
dilaksanakan komparasi antara model konseptual dan dunia nyata. Komparasi ini

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
182

berguna menghasilkan perbedaan tentang perubahan yang dianggap menguntungkan.


Tabel komparasi mengikuti model dalam Scholes (2006) yang memuat aktivitas
dalam model konseptual, aktor yang berperan, deskripsi aktivitas dan keluaran.
Bagian terakhir perbandingan adalah analisis langkah-langkah dalam model
konseptual dengan hasil dari Cognitive Mapping dan kerangka teoretis yang
digunakan.
Empat cara untuk membandingkan model dengan real world, digambarkan
oleh Checkland, yaitu diskusi informal, pertanyaan formal, membuat skenario
berdasarkan pengoperasian model, dan mencoba model pada real world yang sama
strukturnya dengan model konseptual (Checkland dan Scholes 1990). Apabila
conceptual model tidak menggambarkan real world, maka dapat dilakukan 2 (dua)
hal, yaitu:
1. Apa yang tidak ditemukan pada realitas dapat menjadi rekomendasi bagi
perubahan;
2. Apa yang tidak ditemukan pada realitas, dan peneliti merasa kurang puas
karena tidak menjawab pertanyaan penelitian, maka peneliti bisa kembali ke
tahapan pengumpulan data, melakukan tahapan berikutnya, rich picture, root
definition, membuat daftar kegiatan, dan membuat conceptual model.

Perbandingan yang disajikan berikut ini adalah membandingkan antara


model konseptual yang terdiri atas sistem aktivitas yag punya maksud seperti yang
diungkapkan oleh Checkland dan Poulter dalam Hardjosoekarto (2012) dengan dunia
nyata (real world) yang digunakan sebagai alat untuk memungkinkan analisis yang
terarah dapat dilakukan. Berbagai komponen menganalisis perbandingan, termasuk di
antaranya adalah pertanyaan yang terkait dengan kegiatan atau aktivitas yang punya
maksud, yang menjadi perhatian.
Dalam perumusan saran tindak, praktisi SSM melakukan konsensus yang
bersifat halus untuk mengatasi hubungan antar manusia yang sangat kompleks, yang
menurut Checkland dalam Hardjosoekarto (2012) disebut akomodasi di antara orang-
orang yang berkepentingan. Perumusan saran tindak yang dilakukan diperoleh dari

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
183

akomodasi atas pandangan orang-orang. Yang dimaksud dengan akomodasi adalah


semua orang yang terlibat dalam situasi yang dianggap problematis dan proses SSM
itu sendiri harus mencari format dan versi situasi baru ke dalam mana mereka lebih
bisa hidup bersama-sama.

5.2.1. Analisis Perbandingan dalam membangun Strategic Ambidexterity


Melalui Kapabilitas Dinamis dengan dunia nyata.

Kajian tentang bagaimana dynamic capability, menurut March (1991) dalam


Tushman dan O’Reilly (2007), masih terbatas terutama dalam hal kapabilitas yang
dapat memfasilitasi aktivitas inovasi yang bersifat eksplorasi dan eksploitasi. Proses
adaptasi yang dimaksud adalah terkait dengan kemampuan perusahaan dalam
melakukan aktivitas inovasi eksploitatif pada tangible dan intangible aset yang
dimiliki untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, perusahaan secara simultan
melakukan aktivitas inovasi yang bersifat eksploratif baik dalam mengadaptasi
teknologi baru dan pasar untuk melakukan konfigurasi dan rekonfigurasi sumber daya
perusahaan untuk menangkap peluang baru.
Dynamic capability adalah peran kunci dari kepemimpinan strategis untuk
melakukan adaptasi, integrasi, dan rekonfigurasi kemampuan organisasi dan sumber
daya yang dimiliki perseroan terhadap perubahan lingkungan (Tushman dan O’Reilly
(2007)). Dalam terminologi yang serupa, Teece (1997) menyebut bahwa dynamic
capability sebagai kemampuan perseroan untuk melakukan integrasi, membangun,
dan rekonfigurasi internal dan eksternal kompetensi dalam rangka menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungan.
Kemampuan memiliki dua kapasitas baik aktivitas inovasi yang eksploratif
dan eksploitatif ini disebut sebagai ambidexterity (Duncan (1976) dan Tushman dan
O’Reily (1997)). Aktivitas yang sifatnya eksploitatif dapat dikaitkan dengan efisiensi,
peningkatan produktivitas, kepastian, pengendalian, dan reduksi variasi. Sedangkan
aktivitas yang sifatnya eksploratif terkait dengan pencarian, otonomi, inovasi, dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
184

variasi. Ambidexterity adalah merupakan kondisi saat kedua aktivitas tersebut


dijalankan.
Model konseptual pertama ini merupakan purposeful activity yang akan
menyajikan langkah-langkah yang dapat dilakukan pada tingkatan strategis agar
perusahaan menjadi ambidextrous dalam rangka mencapai keunggulan bersaing.
Penulis menyusun model konseptual berdasarkan logic based yang akan
dibandingkan dengan kerangka dynamic capability dari Teece (2006) dan hasil dari
cognitive mapping. Menurut Teece, Pisano dan Shuen (1997), perspektif dynamic
capability menyangkut 2 (dua) hal, yaitu:
1. Dynamic merujuk kepada kemampuan organisasi untuk memperbaharui
kompetensi agar kongruen dengan perubahan lingkungan, misalnya dalam hal
berpindah teknologi atau pasar;
2. Satu hal lagi, yaitu capabilities. Capabilities menekankan akan pentingnya
pengelolaan sumber daya untuk adaptasi, integrasi, dan rekonfigurasi
internal dan eksternal kemampuan organisasi, sumber daya, dan kompetensi.
Jika ditinjau dari dynamic capability yang dikemukakan oleh Teece (2006),
maka keseluruhan langkah yang telah disusun ini dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1. Empat langkah pertama dalam model konseptual di sistem 1 ini termasuk ke
dalam aktivitas sensing. Aktivitas sensing ini sulit dilakukan bagi senior
manajemen incumbent karena umumnya para manajemen senior lebih sensitif
terhadap ancaman dibandingkan peluang. Teece sendiri menyatakan bahwa
aktivitas identifikasi ataupun pengembangan peluang yang ada itu berbeda
dengan aktivitas untuk mengeksploitasi profit dari kesempatan yang sudah
ada.
2. Langkah kelima, langkah keenam, dan langkah ketujuh termasuk ke dalam
aktivitas seizing.
3. Langkah kedelapan dan langkah kesembilan merupakan representasi dari
aktivitas reconfiguring.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
185

Tabel 5.1 berikut menyajikan perbandingan Model Konseptual 1, yaitu


membangun strategic ambidexterity melalui dynamic capability pada tingkatan
strategis dalam rangka menghasilkan keunggulan perseroan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
186

Tabel 5.1. Perbandingan Model Konseptual Sistem 1


Aktivitas Model Real World
No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Pengembangan bisnis dan kemampuan
inovasi entrepreneur menambah
profitabilitas (Development and Recurring
Model bisnis yang terintegrasi
Revenue) perusahaan (Alvarez dan
antar divisi.
Busenits, 2001). Development Revenue
lebih mencerminkan eksploitative
Melakukan terobosan di bidang
innovation sedangkan recurring revenue
kesehatan dengan membuka
lebih dominan explorative innovation.
rumah sakit modern dengan
Di lain pihak kompensasi karyawan yang
peralatan tercanggih, yaitu
relatif meningkat dengan adanya ekspansi
Melakukan proses Mochtar Riady Comprehensive
bisnis di bidang healthcare dan
pembuatan strategi Cancer Center (MRCCC), di
Pihak yang terkait dalam kompensasi tenaga ahli maupun
yang berhubungan Jakarta dan dua rumah sakit
penyusunan strategi Menyeimbangkan manajemen mengurangi profitabilitas
dengan produk Siloam di Jambi dan
perusahaan, yaitu Top aktivitas perusahaan perusahaan. Kemudian profitabilitas
1 yang ada Balikpapan.
Management Team dan dari sumber pendapatan perusahaan memberikan dampak kepada
(exploitative
pendukungnya dari yang bersifat recurring ketersediaan kas dan setara kas perusahaan
innovation) dan Merealisasikan 3 miliar dollar
masing-masing bisnis dan development. untuk ekspansi maupun inovasi (Barney
pengembangan nilai grup retail malls,
unit. 2007, hasil cognitive & causal map, 2012).
produk (explorative transformasi grup hospital
Perspektif orientasi strategi pada growth
innovation). dengan meningkatkan skala
merupakan inti dari entrepreneurial
menjadi 3,5 miliar dollar dalam
mindset (Alvarez, Barney dalam Ireland,
5 tahun.
2003).
Meningkatkan recurring
Kemampuan perusahaan dalam mencari
revenue lebih dari 50% melalui
alternatif pendanaan (explorative
penyewaan properti,
innovation) maupun kemampuan untuk
pengelolaan properti.
melakukan peminjaman (exploitative
innovation) ternyata menaikkan
kemampuan perusahaan untuk

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
187
Tabel 5.1 (Sambungan 1)

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
mendapatkan laba (Helfat, 1999; hasil
cognitive & causal map, 2012).
Formulasi strategi (yang melibatkan
entrepreneurial skills, yaitu alertness,
creativity, judgment, dan penciptaan nilai
melalui akuisisi sumber daya baik tangible
maupun intangible yang merupakan core
ideas dari Strategic Entrepreneurship
(Klein, et al, 2012).
Rekrutmen dilakukan secara
rutin setiap tahun, diikuti
dengan berbagai program
pelatihan dan pengembangan.
Program pelatihan dan
pengembangan akan
Memiliki SDM dengan menaikkan tingkat keahlian
keahlian khusus (yang dan kompetensi karyawan dan
Mempersiapkan SDM
dibutuhkan perusahaan) juga keterbukaan komunikasi
Menyediakan yang berpengalaman,
sebanyak 800-an karyawan karena program ini melibatkan
sumber daya yang terlatih dan memiliki
Manajemen Sumber hingga akhir tahun 2011. berbagai bisnis unit yang ada
2 mendukung bagi motivasi yang tinggi
Daya Manusia (SDM) di bawah Lippo Grup (Carnelli
pengembangan terutama untuk bisnis
dan Keuangan Memiliki asset management & Tisler 2004; Delaney &
keunggulan terobosan baru seperti
grup (REIT) menjadi 3 -5 Huselid 1996; hasil cognitive
bersaing. layanan kesehatan dan
miliar dollar dalam 5 tahun. & causal map, 2012).
rumah sakit.
Menerbitkan obligasi Rekrutmen dilakukan sesuai
dengan kebutuhan perusahaan,
jika tidak diperoleh dari SDM
lokal maka digunakan tenaga
asing dengan keahlian spesifik
untuk dijadikan model dan
transfer of knowledge.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
188

Tabel 5.1 (Sambungan 2)


Aktivitas Model Real World
No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Kemampuan perusahaan mencari altermatif
Memperluas sumber pembiayaan melalui REIT dan LMIR Trust
pembiayaan melalui menaikkan kemampuan dalam
asset management, menyediakan kas dan setara kas untuk
menerbitkan obligasi memperluas ekspansi bisnis. Di lain pihak,
tambahan untuk mengurangi ketergantungan perusahaan
membiayai kembali terhadap pinjaman kepada pihak ketiga
2 obligasi dan kewajiban (Helfat 1999, Barney 2007, hasil cognitive
jangka pendek lainnya & causal map, 2012).
yang sjatuh tempo,
penambahan modal Kemampuan perusahaan dalam mencari
tanpa hak memesan alternatif pendanaan maupun kemampuan
lebih dahulu untuk dalam melakukan peminjaman ternyata
memperkuat struktur menaikkan kemampuan perusahaan untuk
permodalan. mendapatkan laba (Helfat 1999; hasil
cognitive & causal map, 2012).
Langkah ini merupakan upaya untuk
Membangun sistem menumbuhkan kemampuan entrepreneurial
manajemen SDM yang alertness dalam konteks strategic
terintegrasi dengan entrepreneurship, yaitu dimensi
Melakukan proses Penerapan Sistem SDM
sistem informasi entrepreneurial mindset ini (Ireland, 2003).
pemindaian dan berbasis teknologi sejak 2010.
perusahaan.
pencarian informasi
3 Manajemen, divisi riset Sejak 2010, mulai diterapkan aplikasi
mengenai Efisiensi dan efektifitas dalam
dan pengembangan Mengadopsi semua teknologi informasi untuk manajemen
perubahan operasional perusahaan melalui
teknologi yang SDM sehingga menunjang interaksi antar
teknologi dan Nanotechnology Management
affordable dan karyawan dan membangun team work.
pasar. Style.
komputerisasi semua Penerapan teknologi dalam bidang SDM
operation line dalam terkait dengan self assessment untuk
perusahaan. pengukuran kinerja, aplikasi cuti, print out
gaji, komunikasi antar divisi dan karyawan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
189

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
dan kemudahan akses informasi tentang
perkembangan perusahaan sehingga
Mencari global best menjamin keterbukaan informasi dan
practice dalam segmen komunikasi (Ray, Barney, Muhanna 2004;
bisnis utama (urban Memasang sistem dual source hasil cognitive & causal map, 2012).
development, large "somatom" multi slice citiscan
3 scale integrated, retail the most advance CTscan di Pengetahuan berasal dari seluruh dunia,
mall, healthcare, dunia (healthcare) dan adopsi yang menjadi dasar untuk melakukan
hospitality dan manajemen memorial park dari adopsi global best practices dari para
infrastructure, property luar negeri (Amerika). ekspatriat. Dalam contoh rumah sakit
dan portfolio Siloam Hospitals, manajemen dipimpin
management) oleh dr. Gershu Paul dari New Zealand dan
untuk bidang keperawatan dari Australia
(Alvarez dan Busenits, 2001)
Entrepreneur terlibat aktif dalam diskusi
Menyediakan forum
pada forum formal (rapat-rapat) dan
Menyediakan pertemuan formal yang
informal (pertemuan pribadi) tentang
forum untuk melibatkan direksi dan
Manajemen puncak, Tersedianya forum pertemuan peluang inovasi dan pengembangan bisnis
4 berdiskusi eksekutif dan
pendiri perusahaan, formal dan informal untuk (Alvarez dan Busenits, 2001; hasil
mengenai menyediakan forum
senior executive. diskusi strategis. cognitive & causal map, 2012). Menjadikan
kesempatan untuk pertemuan informal
pembelajaran menjadi keharusan,
melakukan inovasi. dengan pendiri
innovation to the core (Skarzynki &
perusahaan.
Gibson, 2008)
Melakukan diskusi
Mengembangkan Terselenggaranya diskusi Membuka ruang diskusi informal untuk
kinerja setiap unit bisnis
konsensus di antara Manajemen puncak, antara direksi dengan unit mencari peluang dan pengembangan
5 terkait dengan inovasi
senior manajer pendiri perusahaan, bisnis tentang kinerja setiap produk yang ada. Selain itu membina
dan pengembangan
mengenai strategi senior executive. unit bisnis rata-rata 10 kali hubungan yang baik dengan top manajemen
bisnis pada level direksi
yang akan diambil. dalam setahun. dan komisaris (Scheer, 2009).
dan komisaris.
Mengambil Manajemen puncak, Mengambil keputusan Keputusan yang dapat Pengambilan keputusan strategis dilakukan
6 keputusan strategis pendiri senior executive, melalui rapat dewan menyeimbangkan aktvititas yang mengakomodir exploitative
yang dewan komisaris direksi berdasarkan inovasi dan pengembangan innovation dan exploratory innovation

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
190

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
menyeimbangkan kesepakatan bersama, (Jansen, 2005; Tushman dan O'Reilly,
inovasi dan jika tidak tercapai maka 1996). Keputusan manajemen
pengembangan. menempuh cara voting terdokumentasikan dalam laporan tata
dengan dukungan lebih kelola perusahaan yang berisi tanggal
dari separuh. pertemuan, agenda pertemuan, daftar hadir
anggota direksi dan keputusan yang
dihasilkan.
Menyusun disain Keunggulan perusahaan dibangun dari
program pemasaran pengembangan bisnis dan juga
yang canggih, profitabilitas perusahaan. Pengembangan
Adanya program pemasaran
mensinergikan sumber bisnis yang terintegrasi memberikan
yang komprehensif, sinergi
Membuat daya keuangan dalam dampak kepada citra/reputasi perusahaan
Manajemen puncak, keuangan antar entitas bisnis,
7 penyesuaian antara satu grup, manajemen serta reputasi entrepreneur. Citra
komisaris, senior asset management (REIT dan
model bisnis yang keuangan yang prudent perusahaan sebagai Best Developer di
executive. Lippo Mall Indonesia Retail
ada dengan strategi dan berkelanjutan, pro tahun 2011 dan best award dari Asosiasi
Trust), tersedianya lahan baru
aktif mengakuisisi Rumah Sakit Indonesia 2012 karena
bagi proyek lanjutan.
lahan baru dan berhasil mengembangkan pelayanan rumah
optimalisasi lahan yang sakit di daerah (Helfats, 1999; hasil
ada. cognitive & causal map, 2012)
Sumber daya manusia merupakan resource
Komitmen untuk
kritis yang dapat dimanfaatkan untuk
mengalokasikan sumber
Melakukan menjalankan strategi perusahaan (Carnelli
daya baik keuangan dan Optimalisasi sumber daya
pengalokasian Manajemen puncak, & Tisler, 2004). Barney (2004)
8 SDM untuk mendukung sehingga mendukung strategi
sumber daya dan pendiri senior executive, menyatakan bahwa sumber daya manusia
secara maksimal dalam yang dipilih melalui Integrated
waktu terhadap dewan komisaris dan finansial merupakan sumber daya yang
bentuk anggaran yang business model.
strategi yang memiliki nilai (hasil cognitive & causal
berkelanjutan dan SDM
dipilih. map, 2012). Miller & Shamsie (1997)
yang dibutuhkan.
menyatakan tanah dan bangunan
merupakan harta yang bernilai.
8 Ketersediaan kas dan profitabilitas
perusahaan dapat digunakan sebagai
sumber keunggulan bersaing melalui

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
191

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
penerapan strategi yang tepat (Barney dan
Clark, 2004; hasil cognitive & causal map,
2012).
Kunci untuk menghasilkan profitabilitas
perusahaan yang berkelanjutan dan
bertumbuh melalui kemampuan
rekombinasi dan rekonfigurasi aset dan
Melakukan Penjajaran struktur, proses, struktur organisasi ketika terjadi perubahan
rekombinasi dan Manajemen puncak, Melakukan rekombinasi orang-orang dan budaya sesuai teknologi dan pasar. Hal ini disebut dengan
9 rekonfigurasi aset pendiri senior executive, dan rekonfigurasi aset dengan perubahan lingkungan asset orchestration, yaitu evolusi organisasi
dan struktur dewan komisaris dan struktur organisasi. baik secara sekuensial maupun untuk mempertahankan kesesuaian ekologis
organisasi. paralel. (Tushman dan O’Reilly, 2007).
Perlu memadukan antara kemampuan
opportunity seeking dan advantage seeking
sebagai core ideas dari Strategic
Entreprenreurship (Klein, et ll, 2012).
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
192

5.2.2. Analisis Perbandingan dalam membangun contextual ambidexterity


Melalui Top Management Team Cognition.

Secara teoritis, alignment antara aktivitas inovasi yang bersifat eksploitasi


dan eksplorasi disebut sebagai ambidexterity. Aktivitas inovasi melibatkan kegiatan
yang bersifat percobaan, belajar dengan cepat dan bahkan membutuhkan pola pikir
yang divergen untuk mencapai keberhasilan jangka panjang. Pengelolaan produk
yang sudah ada (existing product) membutuhkan efisiensi dalam pengelolaannya,
perubahan yang lambat dan cara berpikir yang konvergen untuk mendapatkan
keuntungan jangka pendek (menurut Gibson dan Birkinshaw, 2004; March, 1991,
Tushman dan O’Reilly, 1996 dalam Smith, 2005). Oleh sebab itu, peran Top
Management Team (TMT) dalam menjalankan agenda kedua aktivitas ini menjadi
sangat penting (Smith 2005).
Kajian Wendy dan Tushman (2005) menyatakan bahwa kesuksesan sebuah
organisasi bergantung kepada efektivitas dari aktivitas eksploitasi dan eksplorasi,
tetapi sangat sedikit informasi yang mendalam tentang bagaimana Top Management
Team menghadapi kompleksitas dalam pengambilan keputusan strategis yang dapat
mendukung baik agenda aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Keberhasilan
pengelolaan agenda strategis tersebut tidak terlepas dari Top Management Team’s
frame and cognitive process. Proses kognisi diartikan oleh Walsh (1996) dalam Smith
(2005) sebagai pemahaman dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Proses
kognisi melibatkan baik itu diferensiasi (recognizing and articulating differences)
dan integrasi (shifting levels of analysis to identify potential linkage).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
193

Tabel 5.2 Perbandingan Model Konseptual Sistem 2

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Anggota tim manajemen puncak memiliki
variasi dalam mengartikan tujuan
organisasi. Ketua tim memiliki pengaruh
dalam mengartikulasikan tujuan organisasi.
Menentukan tujuan Tim manajemen puncak akan lebih
strategis organisasi, apakah berhasil jika membagi tugas antara
ke arah inovasi atau Adanya framing aktivitas eksplorasi dan eskploitasi di
Membuat kerangka
1 Top Management Team pengembangan dari produk organizational vision yang antara anggota tim manajemen puncak.
visi organisasi untuk
dan Pendiri perusahaan. yang sudah ada, atau sesuai dengan pemimpin (Smith and Tushman, 2004). Pendiri
mencapai tujuan.
keduanya berdasarkan bisnis. perusahaan memiliki pengaruh dalam
kerangka visi dari mengartikulasikan tujuan organisasi
pimpinan. kepada top manajemen puncak (hasil
cognitive & causal map 2012). Pendiri
perusahaan melakukan koordinasi dan
motivasi dalam melakukan penyampaian
konsepsi bisnis (Silke dan Scheer, 2009).
Adanya proses inovasi
Melakukan proses
dalam hal legitimizing Legitimasi perbedaan pendapat antara
pengenalan dan
Melakukan proses differences dengan manajemen puncak terkait dengan program
mengartikulasikan
identifikasi melalui diskusi membuka ruang diskusi. inovasi dan pengembangan (Tushman dan
perbedaan diantara Top Management Team.
2 dalam hal perbandingan Keputusan lebih tepat O'Reilly, 1996 dan Wendy Smith, 2008).
kedua produk Dewan Komisaris dan
produk , baik secara sasaran karena terdapat Perilaku dan keputusan dalam manajemen
(exploratory Pendiri perusahaan.
terpisah maupun bersama- kejelasan dalam puncak dipengaruhi oleh pemahaman atas
innovation dan
sama. mengeksplorasi perbedaaan visi organisasi (Walsh dalam Wendy
exploitative
produk inovasi dan Smith, 2005).
innovation).
pengembangan.
Melakukan klarifikasi Melakukan upaya Keputusan yang lebih tepat Keputusan manajemen puncak akan lebih
Top Management Team,
3 kebutuhan dan legitimisasikan perbedaan sasaran karena terdapat tepat sasaran dan sinergis karena dapat
Dewan Komisaris dan
perbedaan antara melibatkan seperangkat kejelasan dalam mengeksplorasi perbedaan antara inovasi
Pendiri perusahaan.
kedua produk. perilaku pembelajaran mengeksplorasi perbedaaan dan pengembangan (Tushman 1996 dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
194

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
yang tidak hanya produk inovasi dan Wendy Smith, 2008). Entrepreneir
memperbolehkan eksekutif pengembangan. menambah pengalaman manajemen
untuk mengklarifikasi perusahaan dan menambah kompetensi
kebutuhan dari kedua dewan komisaris (yang diproksikan dengan
produk tersebut secara jumlah pertemuan dan jumlah komisaris
independen, tetapi juga independen)
untuk membandingkan dan
menkontradiksi kedua
produk.
Tim manajemen puncak sering merujuk
kepada pencapaian tujuan superordinat
Mengarahkan segala Keputusan yang lebih tepat secara menyeluruh, yang mengingatkan
diskusi tentang aktivitas sasaran karena terdapat mereka untuk mendukung produk dan
Memfokuskan Top Management Team,
inovasi dan pengembangan kejelasan dalam berpikir tentang kerjasama dari pada
4 organisasi pada visi dewan komisaris dan
untuk pencapaian visi mengeksplorasi perbedaaan konflik antara produk (Tushman dan
keseluruhan. Pendiri perusahaan.
organisasi secara produk inovasi dan O'Reilly, Wendy 1996, Smith 2008).
keseluruhan. pengembangan. Sumber daya manusia sangat diperlukan di
bidang kesehatan dan dukungan dana
melalui inovasi pendanaan.
Membahas cara-cara
Sumber daya dipergunakan secara sinergis
meningkatkan sinergi
atau resources sharing untuk berbagai
antara produk dan inovasi
aktivitas perusahaan baik inovasi maupun
yang ada, seperti bundling Disepakatinya cara
Menemukan cara pengembangan (hasil cognitive & causal
produk yang sudah ada dan pembagian dan alokasi dan
untuk membagi Top Management Team map, 2012). Serangkaian sumberdaya yang
5 inovasi untuk menjual sinergi sumberdaya dalam
sumber daya dan dan Pendiri perusahaan. beragam (heterogen) dapat dipergunakan
bersama-sama atau bentuk kebijakan
sinergi. oleh perusahaan secara berulang-ulang
mengidentifikasi perusahaan.
perusahaan sehingga dapat menciptakan
bagaimana sumber daya
peluang entrepreneurial yang langka
dapat dibagi di seluruh
(Alvarez dan Busenitz, 2001).
produk.
Melakukan Top Management Team Melakukan diskusi yang Keputusan yang Menyeimbangkan antara proses
6
penyeimbangan dan Pendiri perusahaan. mencari keseimbangan menyeimbangan antara diferensiasi dengan integrasi. Disini

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
195

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
antara integrasi antara antara aktivitas aktivitas integrasi dan terdapat dua proses yakni diferensiasi
dengan diferensiasi. integrasi dan diferensiasi. diferensiasi yang antara dua produk dan mencari titik
menghasilkan keunggulan integrasi diantara keduanya. Pada tahap ini,
bersaing perusahaan. tim manajemen puncak mendiskusikan
baik integrasi, yaitu titik dimana dapat
dilakukan sinergi dan visi keseluruhan,
serta diferensiasi, yakni kebutuhan dari tiap
produk dan perbedaan diantara kedua
produk tersebut. Di sini tim manajemen
puncak juga akhirnya dapat mengambil
keputusan yang seimbang antara
mendukung produk yang sudah ada dan
mendukung inovasi. (Tushman dan O'reilly
dalam Tushman, 1996; Alvarez dan
Busenitz, 2001).
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
196

5.2.3 Perbandingan Model Konseptual Sistem 3: Membangun Contextual


Ambidexterity Melalui Struktur Formal

Model konseptual sistem 3 dan sistem 4 merupakan model dari struktur


formal dan nilai-nilai dan budaya organisasi di dalam contextual ambidexterity.
Merujuk kepada konsep yang diajukan Prahalad dan Doz (1981), context memiliki
arti “...blending of organizational structure, information systems, measurement and
reward systems and career planning and a fostering of common organizational
culture”. Oleh sebab itu pembangunan ambidexterity yang bersifat kontekstual ini
intinya adalah membangun proses pembelajaran melalui penciptaan lingkungan
internal yang dapat memfasilitasi keberlangsungan aktivitas eksplorasi dan
eksploitasi. Untuk itu penulis menyusun dua model konseptual terkait dengan
konstektualitas dalam organisasi yaitu struktur formal dan norma serta nilai-nilai di
dalam perusahaan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
197

Tabel 5.3. Perbandingan Model Konseptual Sistem 3


Aktivitas Model Real World
No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Kewenangan di tingkat divisi memiliki
gerak yang lebih leluasa, membuat respon
unit bisnis lebih cepat (Guttel dan
Konlechner, 2009).
Pendelegasian sebagian
Diferensiasi ini terlihat dari struktur yang
wewenang dari tingkat
disusun perusahaan di mana terdiri dari 4
korporasi ke divisi Kemandirian bagian
unit bisnis dengan masing-masing
operasional untuk operasional dalam mendukung
memiliki aktivitas baik dalam hal
Memberikan mempercepat waktu aktivitas inovasi dan
Dewan Direksi, pengembangan maupun inovasi (Laporan
keleluasaan pelaksanaan keputusan. pengembangan perusahaan.
1 Direktur Operasional, Tahunan 2011) (KBW, hasil wawancara,
(diskresi) kepada Hal ini terutama untuk
Manajer Operasi. 2012).
divisi operasional. mengatasi teknis Membagi aktivitas komersial
operasional dan yang ditangani menurut
Lewin (2003) dalam Guttel dan
membutuhkan penangan property value chain.
Konlechner (2009) menyebutkan bahwa
segera akibat perubahan
kontekstual ambidexterity jenis ini
lingkungan yang cepat.
memerlukan sense making yang bersifat
kolektif dan kesamaan mindset. Dalam
konteks strategic entrepreneurship maka
mindset yang diperlukan adalah
entrepreneurial mindset (Ireland, 2001).
Memberikan kendali Keseimbangan antara
permasalahan strategik pembagian otonomi di satu sisi Proposisi ini merupakan bentuk dari
dan finansial tetap di dan kendali pusat disisi yang semangat penyelesaian “transnasional”
Memberikan kendali Dewan Direksi,
pusat untuk menjaga lain. yang dapat memfasilitasi adanya
dalam hal stratejik Direktur Operasional,
2 agar mekanisme keseimbangan antara pembagian otonomi
dan keuangan Manajer Operasi,
integratif tetap berjalan Integrasi proyek maupun disatu sisi dan kendali pusat disisi yang
kepada pusat. Direktur Keuangan
dan menghindari services dalam property value lain (Tushman dan O'Reilly, 1996; Guttel
interdependensi. Hal ini chain yang unik dan berbeda dan Konlechner, 2009).
dimaksudkan untuk dari para pesaing.
2 Mempercepat waktu Menyatukan proyek berbasis Dalam konteks Strategic Entrepreneurship

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
198

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
pelaksanaan keputusan. residensial, komersial, dan maka Lippo Karawaci telah melakukan
Hal ini terutama untuk industri pada lokus yang sama. pengelolaan aset secara strategis dari
mengatasi teknis bisnis unit asset management untuk
operasional dan Menyatukan layanan menghasilkan inovasi dalam bidang
membutuhkan penangan kesehatan, manajemen sewa finansial (Luke, Kierin, et al., 2010).
segera akibat perubahan (mal) dan hotel ke dalam divisi
lingkungan yang cepat. operasional services. Salah satu sumber daya yang strategis
adalah Financial Capital (Ireland, 2003 ;
Kebutuhan dana bagi Barney 2007) yang mempengaruhi
pengembangan dapat terjamin pertumbuhan perusahaan yaitu
karena alternatif pembiayaan pengembangan bisnis dan profitabilitas
menjadi lebih banyak. Inovasi (hasil cognitive & causal map, 2012).
sumber pembiayaan non-bank
(pasar modal). Aktivitas yang strategis ini dilakukan pada
level korporasi, merupakan inovasi dalam
Mengidentifikasi sumber bidang pendanaan. Dalam konteks
pendapatan tetap berasal dari strategic entrepreneurship aktivitas inovasi
segmen menengah ke atas yang dikatakan merupakan interseksi dari
membeli/menyewa produk entrepreneurship dan manajemen stratejik
barang/jasa perusahaan. (Ireland, 2001)
Balance score card sebagai instrumen
untuk pengendalian pekerjaan karyawan.
Guttel & Konlechner (2009), instrumen
Merumuskan tujuan
Terciptanya arah strategis umumnya digunakan untuk menilai
masing-masing Dewan Direksi, Senior Menterjemahkan tujuan
masing-masing unit bisnis yang pencapaian kerja karyawan seperti
3 bisnis unit yang Eksekutif, Manajer unit bisnis oleh para top
mengacu kepada visi dan misi intellectual capital statement, balance
diturunkan dari SDM, Staf-Manajer. management team.
perseroan. scorecard. Penilaian dilakukan secara self
tujuan utama.
assessment oleh masing-masing
karyawan,kemudian diserahkan kepada
pimpinan di atasnya untuk dievaluasi.
4 Menyelaraskan Dewan Direksi, Senior Menterjemahkan tujuan Terciptanya target agreement Identifikasi terhadap arah strategis
tujuan individu Eksekutif, Manajer individu sebagai joint masing-masing individu. perusahaan di bidang human capital,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
199

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
berdasarkan tujuan SDM, Staf-Manajer. objective melalui financial capital, technological assets dan
organisasi. penerapan management Adanya controlling device entrepreneurship as a business leader
by objective atau target untuk berupa balance score (hasil cognitive & causal map, 2012).
agreement. cards.
Dalam konteks strategic entrepreneurship
maka tiga sumber daya yang kritis adalah
human capital, dan financial capital dan
social capital (Ireland, 2001).
Tanggung jawab, struktur proyek, jenjang
karir, rekrutmen, seleksi, strategic
planning, pengendalian dan pengawasan
menggunakan detail prosedur, struktur dan
proses berdasarkan aturan formal, tetapi
tetap membuka peluang bagi organisasi
untuk fleksibel dalam menjalankan proyek
terkait dengan permintaan pasar (Brwon &
Struktur proyek disusun
Terciptanya struktur organisasi Eisenhardt, 1997 dalam Guttel &
Dewan Direksi, Senior sedemikian rupa agar
Menyusun struktur yang pragmatis dan Konlechner, 2009).
Eksekutif, Manajer dapat dengan cepat
5 yang fleksibel. berorientasi kepada lingkungan
SDM, Staf-Manajer. menyesuaikan dengan
(TA, hasil wawancara, 2012). Struktur proyek yang adaptif dapat
perubahan lingkungan.
menumbuhkan adaptasi secara perlahan
(Guttel & Konlechner, 2009).

Struktur tidak kaku, manajemen bersifat


praktis dan berorientasi kepada lingkungan
(hasil wawancara dengan KBW, LPKR dan
hasil wawancara dengan TA, Kuningan,
2012).
Membuat sistem Dewan Direksi, Penerapan teknologi Keterbukaan informasi yang Aplikasi sistem Informasi yang dapat
informasi yang Direktur Operasional, informasi yang menjami mendukung penyelarasan dan menjamin tercapainya keterbukaan antara
6 dapat menjamin Manajer Operasi, kelancaran informasi penyeimbangan antara aktivitas level operasional dengan level strategik
tercapainya Sekretaris Perusahaan, yang dapat menjembatani eksplorasi dan eksploitasi pada akan membuat proses penyelarasan di level

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
200

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
keterbukaan antara Staf-Manajer. antara level strategis level strategis dan level tersebut bisa berjalan dengan lebih baik.
tingka operasional dengan operasional operasional.
dengan tingkat sehingga menjamin Sistem informasi merupakan alat untuk
stratejik. keterbukaan informasi Proses membuat sistem melakukan koordinasi dan integrasi dari
yang berguna bagi informasi yang terlembaga aktivitas diferensiasi yang terjadi di
penyelerasan aktivitas (terinstusionalisasi) melalui berbagai unit bisnis (Xiong, 2011).
perusahaan. seperangkat norma masih terus
disempurnakan, (wawancara Hal ini juga dapat membuat proses
dengan PresDir Lippo). penyeimbangan antara eksplorasi dengan
eksploitasi di kedua tingkatan dapat
Melakukan diseminasi terlaksana dengan baik (Guttel dan
informasi melalui jenjang Konlechner, 2009).
formal mulai dari level atas-
menengah-bawah.

Mengefektifkan kerja
sekretaris perusahaan ke dalam
organisasi maupun luar
(humas) dan investor relation.
Merancang sistem Perputaran karyawan yang
pengukuran kinerja dan rendah di level manajerial.
mekanisme penghargaan Terdapat contoh kasus
Membuat sistem
sehingga dapat mengukur karyawan yang telah keluar Pengukuran kinerja karyawan digunakan
pengukuran kinerja
kreativitas dan juga dari Lippo, kembali ke sebagai dasar untuk mengestimasi nilai
dan penghargaan
Dewan Direksi, Senior efisiensi kerja dari perusahaan (wawancara total kompensasi yang diberikan, termasuk
yang dapat
7 Eksekutif, Manajer pegawai. Untuk itu dengan PresDir Lippo). gaji, tunjangan, biaya liburan, cuti, dan
mengukur
SDM, Staf-Manajer. diperlukan adanya alat sebagainya (kajian cognitive & causal map
kreativitas dan juga
ukur kinerja agar kedua Memperoleh penghargaa dan Mochtar Riady (MR), 2012). Terdapat 4
efisiensi kerja dari
hal tersebut dapat reputasi Lippo sebagai pilihan struktur formal dalam ambideksterity.
pegawai.
diketahui seberapa jauh karyawan (employer of choice)
hal tersebut dapat bekerja
atau dapat dikerjakan Terbangunnya kultur kerja

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
201

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
oleh para pegawai. yang berlandaskan semangat
kerja tim, kolaborasi, motivasi
dan orientasi kinerja, perbaikan
terus menerus, dan
pengembangan diri.

Mekanisme dan penilaian


karyawan berdasarkan formula
reward dan recognition yang
adil, transparan, dan justifiable.

Terciptanya organisasi dengan


iklim kerja yang transparan
dalam proses, pengawasan dan
mendorong perilaku tanggung
jawab.
Perputaran para dari satu Peningkatan pengalaman calon Pola pembelajaran Mode 1 di mana
bisnis unit ke bisnis unit pemimpin perusahaan masa produksi pengetahuan melalui traditional
lainnya, yang memiliki depan karena memiliki disciplinary dan Mode 2 di mana terkait
tujuan agar para manajer pengalaman dalam menangani dengan konteks aplikasi/praktik (Hessels
dapat membawa berbagai unit bisnis dengan and van Lente, 2008; Guttel dan
kesegaran baru dan cara karakteristik yang berbeda. Konlechner, 2009). Katcja Nothnagel
Membuat sistem Dewan Direksi,
pandang baru di unit (2007) menekankan bahwa praktik
pemindahan Direktur Operasional,
kerja. Selain itu, rotasi Basis rotasi berdasarkan pengelolaan SDM (termasuk seleksi,
8 manajer antar fungsi Manajer SDM,
manajer juga dibutuhkan meritokrasi dan proses rekrutmen, mutasi, rotasi, kompensasi)
dan divisi secara Sekretaris Perusahaan,
untuk mengembangkan pembelajaran internal. merupakan intangible assets yang bernilai
berkala. Staf-Manajer.
pola pikir dari tiap bagi perusahaan.
manajer yang dapat Membuat disain struktur
membantu proyek yang fluid untuk setiap Sesuai dengan data di Laporan Tahunan
menyeimbangkan segmen bisnis unit LPKR, maka dapat terlihat memang terjadi
kemampuan manajer mutasi dan rotasi dalam jajaran organ
untuk bereksplorasi dan Adanya rotasi calon-calon governance perusahaan secara periodic

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
202

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
juga melakukan Eksekutif Senior ke beragam (Laporan Tahunan Lippo Karawaci, hasil
eksploitasi. Unit Bisnis Group. Hal ini wawancara).
tentunya didukung oleh sistem
informasi Human resources
untuk keberhasilan rotasi antar
fungsi dan divisi secara
berkala.
Memberikan kesempatan Pengembangan Rumah Sakit Dalam konteks strategic entrepreneurship,
kepada para karyawan Siloam ke berbagai daerah di Ireland (2001) menyatakan pentingnya
untuk mengikuti program wilayah Timur Indonesia membangun entrepreneurial mindset dan
pendidikan dan pelatihan sesuai jadwal atas dukungan entrepreneurial leadership, maka
yang dibutuhkan bagi dari para pihak luar diikuti pengetahuan untuk inovasi dan
pegawai untuk dapat dengan peningkatan pengembangan dapat didiseminasikan
mengembangkan kompetensi pegawai di bidang secara periodik sebagai bagian dari materi
kemampuan mereka pelayanan kesehatan. pelatihan yang diberikan SDM yang ada
dalam melakukan merupakan aset yang bernilai (Carnelli &
pekerjaan rutin mereka Pelatihan yang ada dipadukan Tisler 2004; hasil cognitive & causal map,
Dewan Direksi, Senior
dan juga dalam dengan sistem pelatihan kerja 2012).
Eksekutif, Direktur
Memberikan melakukan inovasi. twinning dan praktik kerja
Operasional, Manajer
9 pelatihan kepada Adanya pelatihan juga melalui job application guna Hal ini sesuai dengan Ray, Barney,
SDM, Sekretaris
pegawai. dapat memberikan melapis para ekspatriat Muhanna (2004) menekankan pentingnya
Perusahaan, Staf-
pengalaman, (wawancara dengan PresDir pengembangan karyawan melalui kegiatan
Manajer
pengetahuan serta cara Lippo). pendidikan dan pelatihan.
berpikir baru bagi
pegawai sehingga Menyediakan pelatihan on-the- Pengembangan karyawan melalui
terdapat peningkatan job serta off-the-job yang pendidikan dan pelatihan baik di dalam
keterampilan kerja yang diselenggarkan konsultan luar maupun luar negeri meningkatkkan
tentunya akan berdampak perusahaan. kerjasama kelompok (hasil cognitive &
bagi peningkatan kinerja causal map, 2012).
pegawai itu sendiri dan Pengiriman pegawai untuk
kinerja organisasi pada mengambil short-course bagi Sedangkan di sisi lain pengadaan berbagai
umumnya. kalangan profesional atau program akan menurunkan profitabilitas

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
203

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
kursus singkat di Luar Negeri. jangka pendek karena terjadi kenaikan
biaya pengembangan karyawan (hasil
cognitive & causal map, 2012).
Selain itu menaikan tingkat kompensasi
yang diberikan (Lee & Miller, 1999).

Kemitraan dengan Universitas Pelatihan yang diberikan baik formal


terutama UPH dan Unhas maupun informal, teknis maupun
Fakultas Kedokteran bagi manajerial/kepemimpinan mempengaruhi
penyediaan tenaga kesehatan kompetensi SDM perseroan (hasil
9
(dokter, perawat, dan medical cognitive & causal map, 2012).
professional lainnya) terkait
pengembangan bisnis Rumah Kerjasama kelompok akan meningkatkan
Sakit. keterbukaan komunikasi di dalam
organisasi sehingga mempengaruhi iklim
kerja yang kondusif (hasil cognitive &
causal map, 2012).
Keseimbangan budaya
perusahaan yang tecermin pada
Nilai-nilai unggul yang Performance Based Culture merupakan
diyakini bersama: Loyalitas, budaya yang dikembangkan oleh
Mensosialisasikan dan
Pelopor, Jujur, Pekerja Keras, perseroan. Budaya ini dilakukan melalui
Mengembangkan menginternalisasikan
Rendah hati, serta memiliki penjajaran tujuan organisasi dengan tujuan
performance based Dewan Direksi, senior budaya organisasi yang
Kapasitas Intelektual. inidividu agar semua karyawan
culture yang kuat eksekutif, pendiri dan kuat yang dapat
10 memberikan yang terbaik bagi perseroan
yang didorong oleh keluarga inti Lippo mendukung proses
Karakter Unik yang khas dari (KBW, hasil wawancara pada, 2012).
penegakan Group penyeimbangan antara
pegawai, manajemen dan
peraturan. eksplorasi dan
pendiri LPKR adalah Didorong Merupakan bentuk integrasi demi
eksploitasi.
Nilai (Value Driven), pencapaian tujuan organisasi sebagai
Spiritually Enrich dan Kreatif dampak dari langkah 4 (Ireland, 2001).
(wawancara dengan PresDir
Lippo).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
204

Aktivitas Model Real World


No Refleksi dalam Kontinum Dual
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Pada saat yang sama, Kontekstualitas bagi ambidexterity dapat
mengambil tindakan perbaikan dibagun melalui discipline, stretch, trust,
bagi pegawai yang berada support (Jie Xiong, 2011). Kejelasan dan
dibawah ekspektasi. penegakkan aturan main tentang
10 pengelolaan SDM dan performace based
Mendorong prinsip culture menjadi iklim kondusif untuk
meritokrasi dalam memberi membangun inisiatif dan pengembangan
remunerasi yang adil (fair) dan kemampuan karyawan (cognitive & causal
setara (equitable). map, 2012).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
205

5.2.4 Perbandingan Model Konseptual Sistem 4: Membangun Contextual


Ambidexterity Melalui Norma dan Nilai Budaya.

Nilai budaya maupun norma sosial yang berlaku dalam suatu organisasi
menjadi aspek penting dari contextual ambidexterous organization (Guttel dan
Konlechner, 2009). Penelitian sebelumnya (Gupta et.al, 2006) bahwa modus
pembelajaran memerlukan prasyarat perubahan paradigma dan proses rutin dalam
yang terkait dengan nilai dan norma yang ada di dalam suatu organisasi. Neo dan
Chen (2007) mendefinisikan budaya sebagai keyakinan (beliefs) dan nilai (values)
yang berlaku dan dimiliki bersama, sehingga budaya dapat diajarkan sebagai
akumulasi pembelajaran bersama bagi komunitas/organisasi tertentu, berdasarkan
sejarah dari pengalaman bersama. Sedangkan norma merupakan seperangkat
kesepakatan umum yang tertulis maupun tidak tertulis berlaku dalam organisasi guna
mengikat anggota-anggotanya. Lebih jauh, Early dan Ang (2003) dalam Neo dan
Chen (2007:146) menegaskan budaya terdiri atas pola-pola pemikiran, perasaan dan
reaksi atas beragam variasi situasi maupun tindakan.
Dari aspek organisasi, budaya organisasi termasuk piranti lunak (software)
yang memiliki peran vital dengan jangka waktu keberlakuan lama. Sehingga
perubahan budaya juga memerlukan waktu yang tidak singkat. Guttel dan Konlechner
(2009) menempatkan nilai budaya setara dengan norma sosial, di mana faktor budaya
dan faktor norma saling berinteraksi seiring pertumbuhan perusahaan dan lini
usahanya. Pertumbuhan bisnis mengharuskan perusahaan merekrut tenaga-tenaga
profesional dengan latar belakang pendidikan dan nilai budaya perseorangan yang
berbeda-beda. Di dalam konteks Lippo Karawaci bahkan terjadi rekrutmen ekspatriat
guna memimpin proyek bisnis baru yang memerlukan keterampilan dan know-how
langka. Tantangan dari sisi internalisasi budaya perusahaan memerlukan mekanisme
pengikat nilai bersama, nilai budaya dan norma sosial berperan urgen.
Budaya Lippo Karawaci berkembang tidak lepas dari sentuhan pendiri
perusahaan dan keluarga inti yang terlibat aktif dalam pengembangan bisnis.
Walaupun saat ini Riady sendiri tidak terlibat secara langsung dan lebih mencurahkan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
206

waktunya untuk aktivitas sosial (kesehatan dan pendidikan), namun sebagai pendiri
perusahaan perannya masih sangat terasa dan tidak tergantikan. Visi perusahaan yang
berikhtiar menjadi pemimpin bisnis Indonesia yang bertumbuh dalam Stewardship
dan berdampak bagi kehidupan tercermin dalam empat nilai utama, yaitu Loyalitas,
Kepeloporan, Pembelajar, dan Kejujuran.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
207

Tabel 5.4. Perbandingan Model Konseptual Sistem 4


Aktivitas Model Real World Refleksi dalam Kontinum Dual
No
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Meritokrasi pada intinya put the right
person for the right position menjamin
Penempatan dan penugasan
setiap karyawan memperoleh kesempatan
menggunakan pendekatan
yang sama untuk berprestasi. Melalui studi
meritokrasi.
Membangun kultur kerja Neo dan Chen (2007), Singapura adalah
yang berlandaskan contoh baik (best practice) dari penerapan
Anggota keluarga inti yang
meritokrasi (merit sistem meritokrasi dalam konteks
bergabung dengan organisasi
Dewan Direksi, Dewan based) dan orientasi bernegara.
diperlakukan equal dan
Membangun budaya Komisaris Keluarga kinerja, perbaikan terus
1 menerima pekerjaan yang
meritokrasi. Inti, Manajer, menerus (countinous Orientasi kepada kinerja dalam terjamin
sama dengan karyawan baru
Karyawan. improvement) dengan meritokrasi (Guttel dan
lainnya.
Membangun organisasi Konlechner, 2009). Sedangkan, Ireland et
dengan iklim kerja yang al (2003) menekankan bahwa budaya
Revisi penempatan dan
berlandaskan meritokrasi entrepreneurial terbangun dalam organisasi
penugasan bila dalam
di mana para pemimpin mendorong
perkembangan nya, karyawan
tumbuhnya entrepreneurial mindset.
tidak berkembang.
Pilihan MR untuk tidak mengistimewakan
anggota keluarga sudah tepat dan proper.
Membangun dan
Di level karyawan/ekspatriat, reputasi
menjaga reputasi Lippo
perusahaan sebagai tempat berkarya pilihan
sebagai pilihan Kinerja perusahaan yang
karyawan melalui pengembangan norma-
karyawan (employer of bersifat beyond number
norma sosial tertentu. Norma sosial yang
Membangun budaya choice) sehingga terutama di level Direksi
dimaksud adalah kerjasama dan kolaborasi,
berbasis proses Dewan Direksi, perusahaan memiliki Subsidiari (SBU).
motivasi dan orientasi hasil, perbaikan
2 pencapaian kinerja Manajemen Senior, cerita sukses bagi
terus menerus dan pengembangan (Lippo
dan norma Manajer, Karyawan. karyawan baru/lama Sistem remunerasi berbasis
Karawaci Annual Report various years).
bersama. Menilai karyawan kinerja menggunakan formula
Keenam norma itu membangun iklim
berdasarkan proses yang adil, transparan dan
organisasi dan budaya, pada akhirnya
pencapaian kinerja dan justifiable.
diharapakan menumbuhkan organization
teamwork yang sudah
citizenship and engagement.
dibangun.
2 Sistem informasi manajemen Norma sosial yang kondusif dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
208

Aktivitas Model Real World Refleksi dalam Kontinum Dual


No
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
berbasis kinerja yang membuat karyawan mau terus belajar dan
memungkinkan manajemen mencapai performa tinggi, memfasilitasi
berbasis kinerja kompetensi di bidang riset serta pelayanan
terimplementasikan. (Guttel dan Konlechner, 2009). Norma
sosial berbentuk modal sosial dapat
diperkuat melalui beragam inisiatif
pengembangan human capital suatu
organisasi (Ireland et al, 2003, Burt 1997,
Lepak & Snell, 1999).
Variabel level penerapan sistem Teknologi
Melakukan integrasi Sejak 2010, LPKR telah informasi mengalami perubahan nilai yang
antara sistem Human menerapkan sistem HR dan signifikan dari tahun 2005 ke tahun 2005.
Resource dan sistem IT terintegrasi sehingga Hal ini menandakan menandakan bahwa
Teknologi informasi absensi pegawai, kenaikan penerapan sistem informasi dan teknologi
jabatan (promosi) memilki di tahun tersebut sudah mulai diterapkan
Direksi, Manajemen Fokus HR perusahaan indikator insentif yang jelas. secara maksimal.
Menerapkan disiplin
Senior, Manajer HR, menyediakan proses
3 berbasis insentif dan
Manajer IT dan pengelolaan sumber Efisiensi biaya yang Integrasi sistem IT dapat menimbulkan
koletivitas.
Karyawan daya manusia terciptakan karena perusahaan kolektivitas karena adanya jaringan yang
perusahaan kepada menjadi semakin paperless menghubungkan antara satu karyawan
rekrutmen calon-calon dalam mengurus absensi, dengan karyawan lainnya, di samping
pemimpin masa depan perizinan, promosi karyawan penerapan teknologi yang standar berupa
perusahaan (new talent) terpantau secara real time di sudah adanya teknologi scanning dan
dan pengembangannya sistem IT. imaging dan website resmi perusahaan
(Ray, Barney dan Muhanna, 2004).
Ireland et al (2003) menyebutkan 3
Aplikasi rekrutmen dan gaji
tahapan mengelola sumber daya secara
(payroll) tidak memerlukan
strategik, salah satunya sumber daya
kertas dan proses yang
3 (R&D, pemasaran dan produksi) dapat
inefisien membantu
di-bundle agar menjadi suatu kapabilitas
terwujudnya visi green
sehingga dapat terimplemtasi dalam
company.
kerangka strategi bersaing perusahaan
4 Mengenalkan Pendiri, Keluarga Inti, Secara Pendiri Lippo, keluarga Barney (1991) mensyaratkan tiga kondisi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
209

Aktivitas Model Real World Refleksi dalam Kontinum Dual


No
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
budaya organisasi Direksi, Manajemen berkesinambungan, maupun manajemen puncak yang sepatutnya dimiliki oleh organisasi
kepada anggota baru Senior dan Karyawan karyawan baru dari menyambut karyawan baru agar kultur korporat menjadi sumber
organisasi baru. dalam negeri/luar negeri melalui pengenalan budaya keunggulan bersaing yang berkelanjutan,
diperkenalkan dengan organisasi sesuai dengan yaitu: 1) Bernilai (valuable), 2) Langka
budaya organisasi. jenjang rekrutmen karyawan (rare), dan 3) Tidak dapat ditiru
tersebut. Budaya perusahaan (imperfectly imitable).
tercermin dari nilai-nilai
perusahaan Budaya organisasi dianggap dapat
memberikan nilai-nilai ekonomis yang
positif bagi perusahaan (Barney dan
Clark, 2007).

Di kalangan eksekutif puncak, pendiri


Lippo selalu berupaya mengenalkan
budaya organisasi yang diinginkannya
hadir dan lestari di perusahaan kami.
Mochtar Riady mengajarkan budaya
tersebut melalui perkataan dan tindakan
yang nyata bagi kami (wawancara dengan
PresDir LPKR)
Rangkaian pertemuan Itami (1987) menekankan pentingnya
manajemen dan karyawan, budaya perusahaan, karena budaya
pengembangan karier, sesi perusahaan dapat menjadi metode yang
pelatihan dan pengembangan umum dan unik sebagai media
Mengintensifkan
berkala agar dapat penyampaian dan pengolahan informasi.
Melakukan pertemuan formal
meningkatkan kesadaran Budaya organisasi dianggap dapat
sosialisasi nilai Direksi, Manajer HR maupun informal
5 budaya secara individual. memberikan nilai-nilai ekonomis yang
budaya dan norma dan Karyawan sebagai wahana
positif bagi perusahaan (Barney dan
organisasi sosialisasi budaya dan
Sosialisasi budaya Lippo Clark 2007). Nilai ekonomis dari budaya
norma organisasi
terhadap utamanya karyawan organisasi dapat ditemukan dalam
baru dan karyawan lama budaya organisasi yang memiliki core
melalui pertemuan formal, value yang kuat, yang mendorong
pelatihan (coaching) formal inovasi dan kreativitas (Peters dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
210

Aktivitas Model Real World Refleksi dalam Kontinum Dual


No
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
dan sarana pembelajaran Waterman 1982).
lainnya.
Urgensi sosialisasi dan transmisi budaya
Penyebaran nilai budaya dan organisasi juga menjadi fokus studi teori
norma organisasi berjalan organisasi. Menurut Guttel dan
secara alami. Hasil seiring Konlechner (2009:165), landskap
berjalannya waktu terdapat contextually ambidextrous organization
pula contoh manajer level terdiri dari dua unsur: disain organisasi
atas yang mengundurkan diri serta nilai budaya maupun norma
karena perbedaan nilai dan organisasi yang terdapat pada masing-
norma di antara manajemen masing project perusahaan.
puncak dan manajer yang
mengundurkan diri tersebut.
Integrasi nilai budaya dan norma organisasi
bukan proses yang mudah, baginya
integrasi lebih merupakan tantangan.
Karyawan lebih berorientasi
Namun demikian, kami juga tidak berhenti
kepada aspek aktivitas riil
melakukan proses integrasi ini secara
dimana perusahaan selalu
bertahap dan sesuai perkembangan
Integrasi nilai budaya menawarkan hal yang baru
pemahaman bersama (Wawancara Presdir
Melakukan integrasi dan norma organisasi bagi karyawan sehingga
LPKR)
nilai budaya dan dituangkan sebagai tantangan pekerjaan tidak
Dewan Direksi,
norma organsiasi program kerja bagi bersifat monoton.
Manajemen Senior, Pemahaman mendasar akan model bisnis
6 sebagai referensi anggota organisasi
Karyawan dan Manajer- diikuti dengan adanya partisipasi secara
bersama bagi secara umum. Proses Manajemen puncak masih
manajer Unit Bisnis. terus menerus dalam tim proyek yang
organisasi. interaksi, gathering, terus menerus melakukan
beragam akan menciptakan referensi
pelatihan menjadi sarana integrasi nilai budaya dan
bersama. Selain itu juga, memungkinkan
internalisasi nilai. norma sosial organisasi,
berkembangnya ambidextrous mindset.
penyempurnaan memerlukan
Karakter utama mindset tersebut adalah
keterlibatan aktif dari
keseimbangan eksploitasi dan eksplorasi,
organisasi secara keseluruhan
adanya “bahasa bersama” (shared
language) dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
211

Aktivitas Model Real World Refleksi dalam Kontinum Dual


No
Konseptual Aktor Deskripsi Aktivitas Keluaran (Output) Imperatives
Saling memahami (mutual
understanding).(Guttel dan
Konlechner, 2009)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
212

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB VI
PETA KOGNITIF DAN SIMULASI MODEL SYSTEM DYNAMICS RIADY
DALAM MERUMUSKAN KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN

6.1. Peta Kognitif Riady dalam Merumuskan Keunggulan Bersaing Perusahaan

Peta kognitif (cognitive map) yang akan digambarkan merupakan pemetaan


atas pemahaman dan keyakinan Riady dalam penciptaan nilai untuk mendapatkan
keunggulan bersaing dalam bisnisnya. Hal ini juga sekaligus merupakan representasi
mental Riady terhadap lingkungan bisnis yang dihadapinya. Cognitive map yang akan
dihasilkan bersifat personal karena pemetaan atas pemahaman Riady dalam
penciptaan nilai di perusahaan ini dipengaruhi oleh keyakinan, pemahaman serta
pengalaman yang dimilikinya di masa lalu. Sebagai seorang taipan Indonesia yang
terkenal dengan berbagai prestasi, Riady memiliki ciri khas personal yang unik yaitu
adalah seorang pemimpin visioner yang memiliki pemahaman mendalam tentang
filosofi China kuno sekaligus budaya Jawa dan manajemen modern yang mewarnai
pola manajemen yang diterapkan. Selain itu pengalaman masa kecil juga memiliki
pengaruh dalam memaknai kerja keras untuk mencapai apa yang diinginkan.
Tujuan (goal) dalam hirarki ini adalah menjadi perusahaan yang terdepan
dalam bidang yang digelutinya. Untuk itu maka setiap perusahaan yang ada dalam
kelompok bisnisnya harus mampu menggunakan teknologi informasi dalam berbagai
aktivitas bisnisnya untuk menciptakan nilai perusahaan di masa yang akan datang
hingga dapat bersaing dalam era globalisasi. Peta (map) ini disusun dengan bermuara
pada visi Riady dalam memimpin perusahaan sesuai dengan paradigma ekonomi baru
di era globalisasi. Era dimana sangat sulit mengidentifikasi batas antar negara
sehingga persaingan menjadi terbuka secara luas. Persaingan yang terjadi bukan lagi
antar negara tetapi antar perusahaan. Hanya perusahaan yang siap menghadapi
persaingan yang akan tetap eksis. Kesadaran akan pentingnya menghadapi persaingan
tercermin dalam petikan wawancara dengan Theo Sambuaga (Sambuaga) sebagai
Presiden Direktur Lippo Group sebagai berikut:

212 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
213

“... Salah satu tujuan transformasi di Lippo Group adalah untuk menghadapi
persaingan. Sekarang, banyak investor asing atau perusahaan lain yang ingin
sekali berbisnis di Indonesia. Tren ekonomi Indonesia ke depan terus
membaik. Di masa mendatang, pertumbuhan ekonomi akan berpindah, dari
Barat ke Timur. Asia menjadi tempat yang cocok untuk berinvestasi, termasuk
Indonesia.” (Sambuaga, hasil wawancara pada 12 November 2010, pukul
17.00 – 18.00 WIB)

Adapun tujuan ini disusun berdasarkan pertimbangan munculnya paradigma


ekonomi baru yaitu digitalisasi, globalisasi, dan futurisasi. Menurut pemahaman
Riady, digitalisasi merupakan kondisi dimana aktivitas manusia termasuk usaha
bisnis menggunakan bantuan teknologi informasi dan komputer. Penggunaan
teknologi komputer dalam bentuk digitalisasi biasanya merupakan aktivitas proses
alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video menjadi bentuk digital. Aplikasi
konsep ini dalam perusahaan merujuk kepada pengarsipan dokumen menjadi bentuk
digital, untuk fungsi fotokopi dan untuk membuat koleksi perpustakaan/database
digital. Tujuan digitalisasi adalah untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi
tempat penyimpanan, keamanan dari berbagai bentuk bencana, untuk meningkatkan
resolusi, gambar dan suara lebih stabil.
Riady menyadari pentingnya teknologi informasi berbasis internet karena
hal ini dapat memudahkan aliran informasi dalam rangka pertukaran barang/jasa,
pengetahuan bahkan permodalan. Oleh sebab itu penerapan teknologi semaksimal
mungkin dilakukan pada semua lini termasuk manajemen melalui penerapan Nano
Technology Management Style. Persyaratan utama untuk menerapkan gaya
manajemen modern ini membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten. Oleh
sebab itu pemberdayaan sumber daya manusia yang ada di perusahaan melalui
peningkatan kemampuan teknis dan intelektual merupakan syarat utama dalam
rangka membentuk manusia yang memiliki nilai lebih.
Kemajuan teknologi informasi yang didukung digitalisasi mengarah kepada
fenomena globalisasi dimana batas-batas antar negara kian memudar sehingga
terdapat kecenderungan terintegrasinya kehidupan masyarakat domestik/lokal ke
dalam komunitas global di berbagai bidang. Pertukaran barang dan jasa, pertukaran

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
214

dan perkembangan ide-ide mengenai demokratisasi, hak asasi manusia (HAM) dan
lingkungan hidup, kapitalisme, melintasi batas-batas lokalitas dan nasional sehingga
merupakan fenomena umum yang berlangsung bahkan ke tingkat komunitas paling
lokal sekalipun. Dalam kondisi ini, maka lingkungan bisnis dihadapkan pada suatu
kondisi yang terbuka dan semakin luas sehingga harus mampu bersaing bukan saja
dengan perusahaan lokal tetapi juga perusahaan-perusahaan asing. Perusahaan
mengalami tingkat kompetisi yang sangat ketat sehingga hanya perusahaan yang
dapat meningkatkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan yang mampu bersaing.
Untuk mengatasi perubahan paradigma ini maka perusahaan harus dapat menciptakan
nilai lebih agar dapat mengungguli pesaing-pesaing yang ada. Tidak ada satu
negarapun yang dapat melakukan monopoli untuk menguasai perdagangan global.
Hal ini dinyatakan oleh Kenichi Ohmae dengan menyebutnya sebagai the invisible
continent, yaitu suatu kontinen yang memiliki karakteristik dimana informasinya
bergerak sangat liquid melintasi batas-batas negara sehingga memudahkan pertukaran
barang/jasa, pengetahuan dan modal; kontinen yang dapat dimasuki oleh siapapun
yang mau melepaskan cara berpikir yang lama; kontinen yang masih mencari bentuk
tata kelola dan infrastrukturnya (Ohmae, 2000).
Hal ini dipahami dengan seksama oleh Riady sebagai pendiri dan pemilik
usaha dengan wilayah operasional perusahaan yang melintasi batas negara (meliputi
Hongkong, Singapura, China, dan Indonesia) baik dalam hal pertukaran barang dan
jasa maupun permodalannya. Sebagian besar operasionalisasi perusahaan
menggunakan teknologi komputer terutama untuk administrasi jasa perbankan dan
usaha bidang retail yang merupakan industri yang paling kompleks di antara segala
jenis industri (Riady, 2008).
Futurisasi adalah suatu kondisi perusahaan dengan nilai tertentu di masa
yang akan datang dibandingkan dengan perusahaan lain sebagai hasil dari penerapan
teknologi informasi beserta sumber daya yang kompeten. Oleh sebab itu untuk
mendapatkan nilai perusahaan yang maksimal maka diperlukan juga sumber daya
yang dapat memberikan nilai tambah bagi organisasi. Sumber daya yang dapat
memberikan nilai tambah bagi organisasi pada gilirannya akan memberikan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
215

kompetensi yang unik bagi perusahaan yang tidak dapat ditiru oleh perusahaan
lainnya. Dari sinilah maka keunggulan perusahaan dapat dibangun.
Menurut Riady, fenomena digitalisasi, globalisasi dan futurisasi merupakan
paradigma baru dalam berbisnis yang mengharuskan setiap pemimpin berpikir
strategis untuk memanfaatkan tantangan yang ada menjadi peluang bagi perusahaan
dalam rangka mencapai visinya. Visi Lippo Group adalah Impacting lives. Visi ini
dielaborasikan ke dalam kelompok bisnis sesuai dengan strateginya. Makna dari visi
impacting lives ini adalah bahwa “suatu usaha itu harus memberikan dampak positif
dan menyentuh bagi kehidupan orang banyak”. Misi Lippo Group adalah
mengembangkan ekonomi nasional di segala arah, dimana perusahaan tidak hanya
membidik skala menengah ke atas tetapi juga dengan kelas menengah ke bawah.
Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Riady, di Lippo Karawaci yang
menuangkan dengan jelas tentang visinya dalam mengelola usaha.

“... Suatu perusahaan dikatakan berhasil apabila mempunyai dampak yang


positif terhadap kehidupan masyarakat, sehingga bagi saya perusahaan harus
dibangun yang mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Menciptakan lapangan kerja, sehingga punya moral obligasi bahwa
perusahaan jangan dijadikan perusahaan keluarga.
2. Sumbangsih keuangan bagi pemerintah, yaitu pajak”. (Riady, hasil
wawancara pada 20 Agustus 2010, pukul 10.00 – 12.00 WIB, Lippo
Karawaci).

Dalam penjelasannya, suatu perusahaan dapat dikatakan berhasil jika


memberikan nilai lebih bagi masyarakat dan Negara. Oleh sebab itu, tujuan pendirian
perusahaan dari awal adalah untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Hal ini sesuai dengan filosofi China yang dipahaminya bahwa untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat bukan hanya sebatas memberikan uang tetapi harus
memberikan sesuatu yang sifatnya berkepanjangan, yaitu mempersiapkan dan
memberikan lapangan pekerjaan.

“... Filosofi saya beda, projek saya waktu kecil, ibu saya selalu membawa
saya ke klenteng, kalo bawa uang kemudian diberikan orang miskin, jadi saya

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
216

merasa kurang bijaksana, karena orang peminta tersebut fisik masih kuat
kalau dibiarkan moral bisa rusak, dibina menjadi tukang pengemis. Kasih
uang bukan suatu solusi tapi harus cari upaya untuk membuka lapangan
pekerjaan....” (Riady, hasil wawancara pada 20 Agustus 2010, pukul 10.00 –
12.00 WIB, Lippo Karawaci).

Komitmen usaha Riady yang berempati kepada kelompok menengah bawah


ditunjukkan dengan mulai bergesernya orientasi pengembangan perusahaan sejak
beberapa tahun terakhir ini yang bergerak ke wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini
ditunjukkan dengan pembangunan berbagai sarana, prasarana dan infrastruktur di
wilayah Indonesia Bagian Timur. Berikut ini petikan pernyataan Riady:

“... Perusahaan saya sekarang saya pesankan bagi penerus saya agar tetap
memperhatikan pendapatan bagi pemerintah/masyarakat. Saya minta Theo L.
Sambuaga dan Tanri Abeng supaya dapat mengembangkan Indonesia timur
karena mereka orang sana, agar tidak hanya terpusat di Jakarta, daerah
timur mempunyai potensi yang luar biasa....” (Riady, hasil wawancara pada
20 Agustus 2010, pukul 10.00 – 12.00 WIB, Lippo Karawaci).

Bentuk nyata pengembangan Indonesia Bagian Timur sebagai upaya untuk


tercermin dalam pembangunan pusat perdagangan Kendari yang akan berlokasi di Jl.
MT. Haryono No. 61-63, Kendari pada tanggal 27 Oktober 2011. Langkah ini
merupakan salah satu upaya awal menyusul beberapa realisasi rencana Lippo Group
yang telah dilakukan sebelumnya yaitu antara lain: pembangunan rumah sakit,
sekolah, mal, serta ritel Hypermart di Makassar, Manado, Kupang, dan Ambon
(Lippo Bangun Pusat Perdagangan Kendari, Realisasi Komitmen Pengembangan
Indonesia Timur, 27 Oktober 2011, http://www.lippokarawaci.co.id/corporatenews
andevents/pressrelease/detail01.aspx?ref=92). Lippo Group akan terus aktif
memberikan kontribusi signifkan bagi pengembangan wilayah Indonesia bagian timur
melalui berbagai sektor kehidupan masyarakat, seperti di bidang kesehatan,
pendidikan, riset dan teknologi, multi media maupun properti dan mal. Selain itu,
pembelian Bank Nobu sejak tahun 2010 dimaksudkan untuk mendanai kegiatan
pengembangan di Indonesia Bagian Timur.
Gambaran tentang bagaimana pemahaman dalam menciptakan perusahaan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
217

yang unggul dan memberikan nilai lebih kepada masyarakat dapat dikaji secara
empiris dengan mengambil aplikasi di salah satu kelompok perusahaan yaitu Lippo
Karawaci. Lippo Karawaci merupakan kelompok perusahaan bidang properti yang
memiliki harta terbesar dengan variasi bidang bisnis yang cukup beragam. Melalui
penggabungan delapan perusahaan properti terkait pada tahun 2004, Lippo Karawaci
mengembangkan portofolio usahanya mencakup Urban Development, Large Scale
Integrated Development, Retail Malls, Hospitals, Hotels & Leisure serta Fee-based
Income (lihat Gambaran Umum Perusahaan di Bab 4). Hingga tahun 2011, Lippo
Karawaci merupakan kelompok bisnis usaha dalam Lippo Group yang paling
signifikan dengan jumlah anak perusahaannya mencapai 200 perusahaan dengan Core
business di bidang properti dan pendukungnya. Adapun pengelompokkan usaha lebih
detail sebagai berikut:
1. Urban development,
2. Large Scale Integrated Development,
3. Retail Mall,
4. Healthcare,
5. Hospitality and Infrastructure,
6. Property and Portofolio Management.

Pada awal memulai bisnisnya, Riady bergerak di bidang keuangan dalam


hal ini perbankan tetapi kemudian bergeser ke arah properti sejak krisis nasional yang
dialami pada tahun 1998. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan salah satu
Komisaris Independen Lippo Karawaci, yaitu Tanri Abeng (Abeng) yang tersurat
dalam petikan wawancara sebagai berikut:

“... Pergeseran usaha kelompok Lippo Grup sejak tahun 1998 ke arah
properti kemudian berkembang ke health care dan bahkan sampai ke media
lebih karena beliau mampu melihat peluang pasar...” (Abeng, hasil
wawancara pada Juli 2012, pukul 11.00 – 14.00 WIB, Jakarta).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
218

Untuk menyusun cognitive map Riady dalam merumuskan keunggulan


bersaing perusahaan, terlebih dahulu dilakukan kajian literatur tentang sumber-
sumber keunggulan bersaing. Sumber keunggulan bersaing dapat digali dari sumber
daya yang dimiliki oleh perusahaan. Selanjutnya dilakukan identifikasi atas sumber
daya mana yang menjadi arah strategis untuk penciptaan nilai (strategic direction),
sehingga keunggulan bersaing perusahaan dapat diwujudkan. Setelah itu dilakukan
penyusunan potential options yang merupakan pilihan untuk mencapai strategic
direction. Kadangkala beberapa potential option juga merupakan langkah yang harus
dilakukan untuk mencapai beberapa strategic direction. Begitu juga halnya dengan
strategic direction yang kadangkala berhubungan dengan strategic direction yang
lain.
Arah strategis (strategic direction) dari pemahaman Riady untuk
merumuskan keunggulan bersaing perusahaan, yaitu menjadi Leading and Impacting
Lives Corporation adalah melalui penciptaan nilai yang dilakukan terhadap sumber
daya berikut ini:
1. Human Capital Strategic Direction
2. Technology Resources Strategic Direction
3. Financial Resources Strategic Direction
4. Entrepreneurship Strategic Direction

Setelah menyusun hirarki yang terdiri dari “tujuan” (goal), arah strategis
(strategic direction), dan pilihan-pilihan potensial (potensial options) melalui data
primer dan data sekunder, langkah berikutnya adalah membuat cognitive map.
Cognitive map yang telah dibuat kemudian dihubungkan dengan panah dan diberikan
tanda “+” yang berarti “menaikkan” (increase) dan “–” yang berarti “menurunkan”
(decrease) sehingga terbentuk peta kausal (causal map) RIADY untuk merumuskan
keunggulan bersaing perusahaan. Pada Tabel 5.1 disajikan 27 variabel yang terlibat
dalam pembuatan causal map.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
219

Tabel 6.1. Dua Puluh Tujuh Variabel yang Terlibat dalam Causal Map RIADY

No Nama Variabel No Nama Variabel


1 Sumber Daya Manusia (SDM) 14 Kerjasama Tim
2 Penerimaan Karyawan 15 Rapat Umum Pemegang Saham
3 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan 16 Kapasitas Permodalan Perusahaan
4 Kompetensi dan Keahlian Karyawan 17 Kapasitas Peminjaman Perusahaan
5 Total Kompensasi Karyawan 18 Kas dan Setara Kas Perusahaan
6 Profitabilitas Perusahaan 19 Modal Kerja Bersih Perusahaan
7 Keunggulan Bersaing Perusahaan 20 Total Aset Perusahaan
8 Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi 21 Pengembangan Bisnis Perusahaan
9 Entrepreneur as a Business Leader 22 Umur Perusahaan
10 Iklim Kerja yang kondusif 23 Properti yang Dimiliki Perusahaan
11 Keterbukaan Informasi 24 Reputasi Perusahaan
12 Integrasi Sistem Informasi danTeknologi 25 Pengalaman Manajemen Puncak
13 Interaksi Antar Karyawan 26 Renumerasi Komisaris dan Direksi
27 Kompetensi Dewan Komisaris
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 6.1 menyajikan causal map Riady, di mana Keunggulan Bersaing


Perusahaan ditempatkan sebagai “tujuan” (goal) yang diletakkan di tengah peta.
Keunggulan Bersaing Perusahaan tersebut dihubungkan dengan 4 (empat) arah
strategis (strategic direction), yaitu Profitabilitas Perusahaan, Entrepreneur as a
Business Leader, Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi, dan Sumber Daya
Manusia (SDM). Di sekelilingnya terdapat berbagai pilihan-pilihan potensial.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
220

Penerimaan
+ Karyawan

+ +
+
+ Iklim Kerja Keterbukaan
Umur Perusahaan SDM Pelatihan & Pengem- Komunikasi
bangan Karyawan
+
+ Kerjasama +
Team
Pengembangan +
Bisnis Kompetensi & +
Keahlian Karyawan +
+
+
+ Interaksi Antar Integrasi SIT
+ Karyawan
Modal Kerja Bersih Total Kompensasi +
Karyawan +
+ +
Keunggulan Bersaing Penerapan SIT +
+ Perusahaan +
+ +
Total Aset + Profitabilitas + Kapasitas
+ Peminjaman
+ Perusahaan
- Perusahaan
+ -
+ +
Properti yang Renumerasi +
Dimiliki + BOC & BOD Kas & Setara Kas
Perusahaan +
Perusahaan
+ Kapasitas
Permodalan
+ Pengalaman + Kompetensi
-
Reputasi RUPS Perusahaan
Manajemen Puncak Dewan Komisaris
Perusahaan +
+ + + +
+
Entrepreneur as a
Business Leader

Sumber: hasil olahan penulis (2012)


Gambar 6.1. Causal Map Riady

220 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
6.2. Human Capital Strategic Direction
Riady memandang bahwa manusia adalah jangkar sebuah perusahaan. Oleh
sebab itu manusia merupakan sumber daya yang sangat penting di dalam perusahaan.
Resource Based View mengelompokkan konsep ini ke dalam jenis Human Assets atau
Human Capital. Pemahaman Riady untuk arah strategis dalam Human Capital,
terbagi ke dalam dua tataran yaitu: (i) tataran karyawan dan (ii) tataran manajemen
puncak. Arah strategis ini mengarah kepada penciptaan Sumber Daya Manusia
(selanjutnya disebut SDM) yang memiliki keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan
oleh perusahaan (specific human resources) dengan karakteristik yang unik (SDM
yang memiliki karakteristik ciri khas Lippo Group kreatif, yaitu loyalis, true believer,
spiritually enriched). Selain itu memiliki Top Management Executive yang
berpengalaman dan kompeten.
Kedua strategic direction ini, yaitu membentuk karyawan yang kompeten
dan memiliki keahlian serta membina Manajemen Puncak untuk menjadi top
management yang kompeten, menjadi penting. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan
SDM yang tepat sehingga menjadi sumber keunggulan bersaing perusahaan. Sumber
Daya Manusia yang berpotensi dalam suatu perusahaan dapat dikembangkan
sehingga memiliki nilai lebih bagi perusahaan. Konsep ini sesuai dengan kajian
Barney dan Clark yang mengidentifikasi sumber daya ini sebagai sumber daya yang
intangible dengan nama Human Asset. Menurut kerangka Value Rarety Immitability
dan Organization (VRIO) dari Barney, sumber daya ini akan menjadi sumber daya
yang memiliki nilai (value), langka (rare) dan sulit ditiru (immitability) oleh
perusahaan lain jika organisasi (organization) dapat memfasilitasi untuk
pengembangannya.
Barney mengutarakan bahwa yang dapat diperoleh dari sumber daya ini
adalah pengalaman kerja dan kemampuan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan,
rasa saling percaya di antara semua anggota organisasi dan kemampuan manajerial.
Sejalan dengan Barney, Ross berpendapat bahwa SDM merupakan sumber daya
kunci dalam perusahaan yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman karyawan. Termasuk di dalamnya adalah kompetensi, komitmen,

221 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
222

motivasi, loyalty, know how, keahlian teknis, kapabilitas pemecahan masalah,


kreatifitas, pendidikan dan sikap/perilaku karyawan.
Riady memahami sumber daya manusia sebagai elemen dasar dalam
organisasi dengan menyebutnya sebagai poros dan jangkar penggerak organisasi
(Riady, 2008). Oleh sebab itu berbagai program pengembangan sumber daya
manusia untuk menciptakan SDM yang berkualitas menjadi keharusan dan
dilaksanakan secara konsisten di semua perusahaan dalam kelompok bisnis Lippo
Karawaci. SDM yang berkualitas menurut Lippo Karawaci adalah karyawan yang
well- trained dan well-motivated.
Konsepsi ini juga disepakati oleh Abeng, yang merupakan salah satu
Komisaris Independen Lippo Karawaci. Beliau menyatakan bahwa secara eksplisit
mengakui bahwa manusia merupakan sumber penciptaan nilai dalam perusahaan jika
dikelola dengan baik. Pernyataan tersebut tercermin dalam petikan wawancara
sebagai berikut:
“... Lippo Karawaci memang tidak hanya sekedar menambah orang, tetapi
yang dicari adalah orang yang dibutuhkan oleh perusahaan, yaitu orang-
orang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Ini kan termasuk pendekatan
scientific…. Memandang people itu sebagai sumber untuk value creation atau
wealth....”

Potential Option yang dilakukan pertama kali terkait dengan SDM adalah
melakukan pemetaan SDM yang ada dalam perusahaan. Untuk mempermudah
pemetaan atas karakteristik karakteristik karyawan, maka Lippo Karawaci membagi
bidang usahanya menjadi tiga besar, yaitu Perumahsakitan, Komersial, dan
Perumahan. Distribusi karyawan menyebar dengan perincian 54% di bagian
perumahsakitan, 25% di bagian komersial dan 21% di bagian perumahan dan
pengembangan kota (Annual Report Lippo Karawaci).
Karakteristik karyawan yang bekerja perusahaan selama tiga tahun terakhir,
yaitu tahun 2009, 2010, dan 2011, berdasarkan divisi dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
223

Tabel 6.2. Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci


Tahun 2009, 2010, dan 2011 Berdasarkan Divisi

Karakteristik 2009 2010 2011


Residential and Urban Development 24% 21% 22%
Healthcare 52% 24% 60%
Comercial 22% 25% 22%
Jumlah total karyawan 4.998 5.683 6.289
Sumber: telah diolah kembali (2012)

Berdasarkan Tabel 6.2, terlihat bahwa di tiga tahun terakhir jumlah


karyawan perusahaan selalu mengalami kenaikan di atas 10% setiap tahunnya.
Kenaikan yang paling tinggi terjadi pada Divisi Kesehatan, hal ini terkait dengan
adanya pembangunan Rumah Sakit (RS) Siloam yang ekspansif. Sesuai dengan hasil
wawancara dengan Ketut Budi Wijaya (selanjutnya disebut Wijaya) sebagai berikut:

“... Kami memiliki komitmen untuk membangun rumah sakit, area yang tidak
banyak orang tertarik untuk invest di bidang ini karena tingkat pengembalian
yang lama dan sebagainya, padahal di sisi lain memerlukan investasi yang
besar....” (Wijaya, hasil wawancara pada 13 Juli 2012, pukul 10.00 – 12.30.
WIB).

Pembangunan rumah sakit ini terkait dengan adanya peluang di bisnis ini di
mana melihat bahwa sangat sedikit pemain di area bisnis health care. Bisnis rumah
sakit dianggap oleh pesaing sebagai bisnis dengan karakteristik permodalan yang
sangat besar dengan waktu pengembalian modal yang cukup lama, selain itu diikuti
dengan kebutuhan tenaga kerja yang spesifik, yaitu di bidang kesehatan dan
keahlian penunjang lainnya. Peningkatan jumlah SDM yang bekerja di Lippo
Karawaci ini merupakan indikator daya serap tenaga kerja yang dilakukan oleh Lippo
Karawaci sebagai perwujudan visi Riady dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat luas.
Penyerapan tenaga kerja ini tentunya sesuai dengan kebutuhan perusahaan
yang tersebar dalam berbagai tataran manajemen di dalam perusahaan. Penyebaran
karyawan berdasarkan tingkat pendidikan dan jabatan untuk tiga tahun terakhir dapat
dilihat dalam Tabel 6.3 berikut:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
224

Tabel 6.3. Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci


Tahun 2009, 2010, dan 2011 Berdasarkan Posisi/Jabatan

Karakteristik 2009 2010 2011


Eksekutif 2% 2% 2%
Manajerial 10,6% 13% 12%
Penyelia 10,3% 9% 10%
Staf 48,1% 54% 56%
Non Staf 29% 22% 19%
Jumlah total karyawan 4.998 5.683 6.298
Sumber: telah diolah kembali (2012)

Tabel 6.4. Karakteristik Karyawan Lippo Karawaci


Tahun 2009, 2010, dan 2011 Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Karakteristik 2007 2008 2009 2010 2011


SLTA - - 36,3% 45% 43%
Diploma - - 36,4% 29% 30%
Sarjana (S1) - - 25,1% 23% 43%
Pascasarjana (S2 dan S3) - - 2,2% 3% 4%
Jumlah total karyawan 5.234 5.280 4.998 5.683 6.298
Sumber: telah diolah kembali (2012)

Data tentang karakteristik karyawan berdasarkan tingkat pendidikan pada


tahun 2007 dan 2008 tidak tersedia, yang tersedia hanya jumlah total karyawan
seperti data yang tertera di dalam Tabel 6.4 di atas. Pada tahun 2010, komposisi
terbesar karyawan Lippo Karawaci adalah karyawan yang berpendidikan terakhir
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), yaitu sebanyak 45%. Pemetaan atas
komposisi karyawan ini menjadi bermanfaat manakala Lippo Karawaci akan
melaksanakan program rekrutmen. Data ini merupakan data awal yang diperlukan
untuk mengisi kesenjangan antara jumlah karyawan yang dibutuhkan dan yang sudah
ada di dalam perusahaan.
Berdasarkan hasil pemetaan atas komposisi SDM yang ada, maka perusahaan
melakukan analisis kebutuhan perusahaan. Jika SDM yang ada dianggap kurang
memenuhi kebutuhan perusahaan, maka dilakukan potential option berikutnya, yaitu

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
225

Program Penerimaan Karyawan. Di tahun 2011, komposisi terbesar karyawan


umumnya memiliki latar belakang SLTA. Kondisi ini mendorong perusahaan untuk
memperbaiki input yang ada dengan menerapkan kebijakan rekrutmen minimal
berpendidikan sarjana. Oleh sebab itu program rekrutmen di tahun 2011 sebagian
besar karyawan yang dikontrak atau direkrut memiliki latar belakang pendidikan
sarjana. Hal ini menyebabkan komposisi karyawan di tahun 2011 menjadi sama
besarnya antara karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan SLTA dan
karyawan yang memiliki latar belakang Sarjana.
Dalam rangka implementasi prinsip keterbukaan di dalam pengelolaan
perusahaan, maka informasi tentang kebutuhan karyawan ini dicantumkan secara
terbuka di dalam website perusahaan sehingga informasi tersebut dapat tersebar
secara luas di masyarakat. Jenis informasi yang dicantumkan meliputi posisi yang
ditawarkan, kompetensi yang dipersyaratkan, kualifikasi akademik, pengalaman,
kelengkapan administratif, dan jadual pengiriman berkas. Program rekrutmen ini
dilakukan setelah melakukan analisis atas kebutuhan SDM di Lippo Karawaci
melalui pengukuran kompetensi. Adapun yang dimaksud dengan pengukuran
kompetensi adalah upaya yang dilakukan untuk mengukur kualitas SDM yang ada di
dalam perusahaan. Kualitas SDM yang ada akan dibandingkan dengan kriteria
standar yang dibutuhkan perusahaan apakah sudah memenuhi standar yang
ditentukan atau belum memenuhi. Suatu penilaian kompetensi akan mengukur
sampai sejauh mana tingkat kemampuan atau kualitas seorang karyawan dalam
menempati posisi pekerjaannya. Kegiatan seperti ini dilakukan sejak empat tahun
yang lalu, yaitu sejak 2008. Berikut hasil petikan wawancara dengan manajemen:

“... Iya sebelum kita rekrut, harus dilakukan dulu pemetaan SDM yang ada,
kita ukur kebutuhan dan kompetensi yang dipersyaratkan, kalo cukup kita
biasanya rotasi saja, pake yang ada, makanya bisa pindah sana pindah sini...
jika masih kurang baru kita rekrut dari luar....” (Wijaya, hasil wawancara
pada 13 Juli 2012, pukul 10.00 – 12.30 WIB).

Selama ini penerapan penilaian kompetensi karyawan masih dilakukan


secara manual dan self assessment, yaitu dengan pengisian kuesioner yang sesuai

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
226

dengan kriteria kompetensi pekerjaan karyawan tersebut. Kuesioner berisikan


pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan dan menilai kemampuan yang dibutuhkan
sesuai dengan jenis kompetensi yang berkaitan. Untuk menilai tingkat kompetensi
seorang karyawan, ada beberapa langkah yang dilakukan. Pertama-tama karyawan
tersebut akan diminta untuk mengisi kuesioner sesuai dengan jenis kompetensi yang
dibutuhkan di dalam pekerjaannya. Kemudian, atasan atau supervisor dari karyawan
tersebut akan mengisi kuesioner yang sama untuk menilai kemampuan karyawan
yang bersangkutan. Setelah kuesioner diisi oleh kedua belah pihak tersebut, maka
hasil kuesioner akan dibandingkan dan bila terdapat perbedaan jawaban (yaitu
kapabilitas karyawan tersebut), maka karyawan tersebut dan pengawasnya
diperbolehkan untuk berunding dan pengawas berhak untuk memberikan jawaban
akhir (yang akan dipakai) dari kuesioner tersebut. Proses ini disebut dengan proses
konsolidasi yang akan menghasilkan hasil mutlak penilaian kompetensi karyawan.
Hasil dari proses konsolidasi akan dikelola oleh bagian SDM dan dari hasil
tersebut akan didapat tingkat kompetensi karyawan berkaitan dengan jabatan
karyawan tersebut. Dengan pembagian tingkatan di dalam setiap jabatan, tingkat
kompetensi karyawan akan digunakan untuk menentukan status kelayakan karyawan
tersebut pada tingkatan yang dimilikinya. Jika tingkat kompetensi karyawan
memenuhi kriteria tingkatan yang dimilikinya, maka karyawan tersebut dianggap
kompeten pada tingkatan jabatan yang dimilikinya. Bahkan bila tingkat kompetensi
karyawan melebihi kriteria yang dibutuhkan, karyawan tersebut memiliki hak untuk
mengajukan promosi tingkatan pada jabatan yang dimiliki dimana divisi SDM yang
akan menentukan kembali status kelayakan karyawan tersebut sesuai hasil penilaian
kompetensi dan juga berbagai pertimbangan internal.
Di sisi lain, jika tingkat kompetensi karyawan tersebut tidak mencapai
kriteria tingkatan yang dimilikinya, maka karyawan tersebut dianggap kurang
kompeten pada tingkatan jabatan yang dimilikinya. Menghadapi hal ini, divisi SDM
diharuskan untuk merancang rencana pengembangan individu karyawan tersebut
yang dapat berupa pelatihan yang berkaitan dengan kekurangan dari karyawan
tersebut. Kebalikannya jika kebutuhan akan suatu kualifikasi tertentu tidak ada dalam

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
227

perusahaan, maka Program Penerimaan Karyawan dapat dilakukan.


Hasil pengukuran atas kualitas SDM yang ada dan program penerimaan
yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi potential option berikutnya
yaitu program pendidikan dan latihan yang diadakan oleh perusahaan. Komitmen
Lippo Karawaci untuk pengembangan SDM dari tahun ke tahun selalu konsisten,
yang tercermin dari implementasi berbagai program pengembangan SDM yang
berkesinambungan pada setiap jenjang. Program ini diberuntukkan bukan hanya
untuk karyawan yang baru direkrut oleh perusahaan tetapi juga untuk karyawan yang
sudah ada di dalam perusahaan. Program-program penting di divisi SDM sejak tahun
2009 adalah (Annual Report Lippo Karawaci 2009):
1. Mengadakan workshop Professional Management System untuk
mengingatkan para kepala departemen mengenai pentingnya penerapan suatu
sistem secara konsisten untuk melaksanakan pekerjaan, sehingga pencapaian
setiap departemen dapat direncanakan dengan baik searah dengan pencapaian
target perusahaan.
2. Mengembangkan Sistem Penilaian Kinerja dengan menetapkan peran dan
sasaran kerja setiap karyawan secara lebih baik dan terukur.
3. Menerapkan Professional Management System, People Management System,
Human Performance System, dan Reward & Recognition System secara
konsisten.
4. Melakukan sosialisasi kebijakan perusahaan kepada semua karyawan secara
terus menerus.
Selain program yang sudah ada, sejak tahun 2010 (annual report Lippo
Karawaci 2010), perusahaan menambah program-program utama yang dilakukan
antara lain:
1. On the job and off the job training yang dipandu dengan konsultan eksternal;
2. Kursus singkat untuk para karyawan melalui kolaborasi dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin Makasar, terutama untuk para dokter,
perawat dan karyawan pendukung lainnya terkait dengan rencana ekspansi
perusahaan untuk pengembangan rumah sakit di masa yang akan datang.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
228

3. Capacity Building untuk pembentukkan karakter karyawan yang dalam


pelaksanaannya bekerjasama dengan Universitas Bina Nusantara.
4. Program pelatihan di luar negeri.
Di tahun 2011 (annual report Lippo Karawaci 2011), perusahaan
mentargetkan untuk 1500 karyawan di berbagai jenjang. Untuk mencapai target yang
sudah ditetapkan, upaya percepatan pembelajaran yang dilakukan Lippo Karawaci
adalah membangun internal trainer dan membangun standar kompetensi untuk
semua karyawan. Hingga akhir tahun 2011, karyawan yang menjadi internal trainer
mencapai 450 orang (Wijaya, hasil wawancara pada 12 Juli 2012 pukul 10.00 – 12.30
WIB, Lippo Karawaci).
Setiap orang dalam perusahaan diberikan kesempatan untuk meningkatkan
kapasistasnya menjadi internal trainer. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
self assessment menggunakan kriteria nominasi yang sudah ditetapkan oleh
perusahaan. Setiap karyawan dapat menilai dirinya sendiri menggunakan instrumen
yang sudah disusun perusahaan sebagai bahan pertimbangan awal bagi pimpinan di
masing-masing unit kerjanya. Adapun kriteria yang menjadi indikator untuk
melakukan self assessment adalah semua karyawan yang memiliki tingkatan 4C ke
atas. Selain itu, yang bersangkutan harus dapat memperlihatkan kemampuan
kepemimpinan yang kuat serta memiliki kesadaran untuk mengembangkan diri
sendiri. Indikator lain yang tidak kalah pentingnya adalah karyawan tersebut harus
memiliki keinginan untuk mendiseminasikan pengetahuan yang dimilikinya kepada
orang lain dan memiliki kemampuan untuk memfasilitasi kelas untuk karyawan.
Biasanya kelas-kelas berbagai pendidikan dan pelatihan dilaksanakan dua hingga
empat kali dalam setahun. Berkas self assessment atas kriteria tersebut di atas
kemudian diisi sesuai dengan persepsi pribadi karyawan yang bersamgkutan untuk
kemudian disampaikan kepada Divisi SDM untuk diseleksi (Hasil wawancara, 29
Agustus 2012)
Sejumlah inisiatif terkait dengan pengembangan SDM secara garis besar
terbagi atas tiga dimesi pengembangan yaitu yang meliputi keahlian teknis,
pengembangan karir dan pengembangan karakter. Hingga tahun 2011, berbagai

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
229

inisiatif pelatihan yang sudah dilaksanakan oleh Lippo Karawaci (HRD Report and
Presentation Skill Activities 2011), yaitu:
a. Tingkat manajerial untuk menggali dan mengasah kemampuan
kepemimpinan dan manajerial disampaikan dengan materi
pelatihan/modul meliputi: Leadership Challenge, Performance
Management, Steping up – A Roadmap for Supervisor, Strategic Job
Profile, Management Trainee Program, Quarterly Leaders Develop
Leaders, managers Forum with CEO (leader forum), dan HR workshop.
Jumlah peserta yang mengikuti pelatihan ini berjumlah 450 orang.
b. Program Skill Enhancement yang meliputi: Journalism for Public
Relation, Open Tax Clinic, Priceless Gems of Innovation the Cutting edge
of Creativity, Design Procedure and KPI: Retail Delivery Basic Program,
Training for Trainer, Perspektif dan Penanganan Keamanan atas Risiko
Gedung, Bahaya Kebakaran pada Gedung Bertingkat, Behavior Based
Interview, Project Management – Retail Delivery Intermediate Program,
Leasing Management – Basic Program, Harrison Assesment Talent
Solution, Practical Management Skills, Measuring the ROI in Learning.
c. Individual Effectiveness yang meliputi Implement of Labor Law, Housing
Keeping Management, Induction (On Boarding Program), Be a
Superstars, CACS Coference, Aspek Perpajakan untuk Pengelolaan Pusat
Perbelanjaan, Basic Communication and Negotiation Skills, Seminar Mall
Operation Best Practice. Konferensi Nasional SDM dan Practical Skill
Modern.

Data tahun 2011 menunjukkan jumlah peserta yang mengikuti pelatihan


terbagi atas bidang-bidang industrinya antara lain untuk pusat perbelanjaan telah
mendidik sebanyak 565 peserta, pemukiman sebanyak 99 peserta, kelompok
perusahaan sebanyak 122 peserta, hotel sebanyak 147 peserta, dan rumah sakit
sebanyak 89 peserta. Pada tahun 2012, jumlah keseluruhan yang mengikuti program
pelatihan dan pengembangan mencapai jumlah 450 orang hanya untuk bidang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
230

kepemimpinan/manajerial untuk semua lini bisnis.


Kelompok Rumah Sakit Siloam (terdiri dari 8 rumah sakit), yang sedang
berkembang pesat, juga mengadakan pelatihan khusus kepemimpinan/manajerial,
baik secara internal maupun eksternal dengan rincian sebagai berikut: pelatihan
Internal Initiative, berupa Leadership Challenge/Performance Management sebanyak
283 peserta, Stepping Up – A Roadmap for Supervisor sebanyak 22 peserta, Siloam
Basic Management Trainee sebanyak 55 peserta, General Management Orientation
Program sebanyak 100 peserta, Clinical Governance sebanyak 63 peserta, Managers
Forum with CEO (leader Forum) hanya 1 peserta, Human Resource Workshop
sebanyak 35 peserta, Beyond Survival sebanyak 5 peserta, Aspiring Nurse Leadership
Program sebanyak 77 peserta, dan Leadership Challenge sebanyak 48 peserta
(Wijaya, hasil wawancara pada 25 Juli 2012, pukul 11.00 – 12.00 WIB, Lippo
Karawaci).
Pelatihan yang dilaksanakan secara eksternal meliputi Seminar/workshop
PERSI sebanyak 3 peserta, Manajemen Bangsal Keperawatan sebanyak 15 peserta,
Manajemen Kepala Bidang Keperawatan sebanyak 2 orang, Perundang-undangan di
bidang Kesehatan dan Permasalahannya sebanyak 5 peserta, dan Forum
Pengembangan Kepemimpinan sebanyak 3 peserta. Total peserta yang sudah dilatih
pada tahun 2011 untuk semua lini bisnis mencapai 1.739 peserta. Hal ini
membuktikan bahwa Lippo Karawaci telah berhasil melampaui target yang sudah
ditetapkan pada awal tahun, yaitu komitmen untuk memberikan pelatihan sebanyak
1.500 karyawan dengan angka keberhasilan sebesar 160% (Wijaya, hasil wawancara
pada 25 Juli 2012, pukul 11.00 – 12.00 WIB, Lippo Karawaci).
Selain program pelatihan dan pengembangan di atas, Lippo Karawaci juga
menggunakan metode pendampingan yaitu dengan menggunakan tenaga asing untuk
transfer ilmu pengetahuan. Hal ini dilakukan untuk tenaga ahli yang sulit diperoleh
dari SDM dalam negeri. Misalnya keahlian khusus, seperti dokter dan perawat dalam
rangka pemenuhan SDM di kelompok Rumah Sakit Siloam ini, Lippo Karawaci tidak
segan untuk mengontrak tenaga asing (ekspatriat). Pentingnya menciptakan karyawan
yang kompeten merupakan keharusan agar perusahaan siap menghadapi arus

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
231

globalisasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mengontrak tenaga asing jika
kebutuhan perusahaan tidak dapat terpenuhi oleh SDM lokal. Hal ini dipahami oleh
Riady sebagai konsekuensi logis dari globalisasi, seperti tertuang dalam petikan
wawancara berikut:

“... Tahun 1950 saya mulai bisnis keluarga sampai tahun 1980 mulai
berkembang, yaitu saat globalisasi, maka saya langsung dapat menangkap
maksud globalisasi yaitu: Globalisasi dalam tenaga kerja, sehingga saya meng-
hire 86 orang Amerika di perusahaan saya …. Tujuannya agar dapat dilakukan
transfer of knowledge....” (Riady, hasil wawancara 20 Agustus 2010, pukul
10.00-12.00 WIB, Lippo Karawaci).

Setelah menciptakan SDM yang dibutuhkan melalui pendidikan dan


pelatihan, potential option berikutnya adalah Lippo Karawaci merancang Sistem
Kompensasi kepada Karyawan yang merupakan apresiasi kepada karyawan yang
dikenal dengan nama Reward and Recognition System sebagai bentuk pengakuan dan
penghargaan atas dedikasi dan pelayanan yang diberikan oleh karyawan. Selain itu
terdapat pula Performance Management System untuk memastikan bahwa
kompensasi yang diterapkan berdasarkan meritokrasi sehingga perusahaan dapat
lebih merampingkan struktur penggajian pegawai yang ditetapkan berdasarkan
evaluasi jabatan dan analisis jabatan (Annual Report Lippo Karawaci 2011).
Penerapan Sistem Manajemen berbasis kinerja ini dilakukan untuk memastikan agar
sistem manajemen berorientasi hasil dilakukan secara konsisten. Sistem ini
menerapkan penilaian kinerja terbuka yang memungkinkan perusahaan
mengidentifikasi dan memberikan penghargaan yang sesuai kepada karyawan dengan
kinerja yang baik dan di saat yang sama memutuskan hubungan kerja, memberi
sanksi atau melakukan tindakan perbaikan terhadap karyawan dengan kinerja jauh di
bawah ekspektasi. Selain itu, implementasi sistem ini memberikan imbalan yang adil
dan pantas atas dasar prinsip meritokrasi.
Seiring dengan kenaikan kompetensi SDM dan juga status kepegawaian
yang ada, maka terjadi pula kenaikan beban gaji karyawan. Hal ini memperlihatkan
bahwa perusahaan memberikan apresiasi terhadap usaha yang dilakukan oleh

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
232

karyawan untuk menghabiskan waktunya untuk pendidikan dan pelatihan. Total


beban gaji, tunjangan dan bonus yang dibebankan perusahaan meningkat menjadi
363.783.374.404,00 rupiah di tahun 2010 dari 323.459.478.619,00 rupiah di tahun
2009. Hal ini sekaligus merupakan ukuran adanya bentuk apresiasi perusahaan
terhadap kemampuan dan dedikasi karyawan untuk melayani perusahaan. Kenaikan
gaji, pemberian bonus dipandang sebagai bentuk penghargaan atas kinerja karyawan
karena mekanisme pemberian serta nilai yang diberikan sangat bergantung pada
kinerja yang dilakukan.
Potential option berikutnya yang dipandang perlu untuk menunjang iklim
kerja yang kondusif adalah dengan membangun Keterbukaan dalam Komunikasi
(Opennes of Communication). Sesungguhnya keterbukaan dalam berkomunikasi ini
sudah terjadi dalam setiap program dan langkah yang di jalan dan semakin meningkat
setelah karyawan mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan secara bersama-sama.
Adanya keterbukaan komunikasi baik secara horisontal maupun vertikal ini menurut
Riady merupakan determinan dalam menciptakan iklim kerja yang kondusif. Kinerja
karyawan yang optimal hanya dapat dicapai jika karyawan bekerja dalam lingkungan
kerja yang mendukung pengembangan potensi dan kompetensinya.
Keterbukaan dalam berkomunikasi dilakukan secara rutin untuk
mengemukakan segala permasalahan yang terjadi di setiap tingkatan manajerial baik
secara formal maupun informal. Pertemuan yang bersifat rutin biasanya dilakukan
secara mingguan per divisi dan bergantung pada kebutuhan dari masing-masing
divisi. Pada tingkatan yang lebih tinggi tentunya terjadi dalam bentuk rapat-rapat
rutin misalnya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Rapat Dewan Direksi dan
Rapat Dewan Komisaris.
Keterbukaan komunikasi yang terjadi di perusahaan sangat mudah dikelola
karena setiap anggota organisasi memiliki akses terhadap informasi yang terjadi
terkait dengan operasional perusahaan. Tersedia berbagai media komunikasi baik
dalam bentuk buletin sirkuler, papan pengumunan, radio, website, dan lain-lain
sehingga sebagian besar informasi tersebut menjadi diketahui bersama.
Langkah potential option berikutnya adalah menciptakan lingkungan kerja

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
233

yang kondusif ini dielaborasi oleh setiap anak perusahaan sesuai dengan strateginya
masing-masing. Lingkungan kerja yang kondusif di Lippo Karawaci merupakan iklim
organisasi yang ditunjukkan oleh anggota organisasi, dipengaruhi oleh sikap para
anggota organisasi dan tercermin dalam seperangkat karakteristik (sikap) dari
organisasi. Hal ini sejalan dengan Burton et all. bahwa iklim organisasi ini
merupakan kondisi psikologis dari organisasi terkait dengan semua anggota
organisasi baik pimpinan maupun bawahannya (Burton, De Sanctis, Obel: 2006, 140-
141).
Lippo Karawaci menunjukkan kondisi lingkungan kerja yang memiliki
tekanan psikologis yang rendah. Tetapi di lain pihak kesiapan para anggota organisasi
yang memiliki keinginan untuk berubah (menyesuaikan kebiasaan yang ada) untuk
menemukan sesuatu yang baru cukup tinggi. Dalam konsep yang dikemukakan oleh
Burton et all, kondisi ini termasuk dalam kategori iklim organisasi Developmental
Climate. Dalam lingkungan kerja seperti ini, umumnya setiap orang merasa nyaman
dalam bekerja, adanya kepercayaan di antara anggota organisasi, konflik sangat
jarang terjadi dan penghargaan dipandang sebagai sesuatu yang adil. Hal ini terbukti
dengan diterimanya penghargaan sebagai Perusahaan Pilihan Pekerja tahun 2011.
Selain itu, dalam hal keterbukaan komunikasi, sejak tahun 2009 Lippo
Karawaci sudah merintis pembinaan jalur komunikasi yang dilembagakan
berdasarkan tingkatan manajerial untuk mengurangi kesenjangan komunikasi yang
mungkin terjadi, yaitu:
a. Pada tingkat perusahaan dilakukan satu kali sebulan, sedangkan pada tingkat
divisi dilakukan secara mingguan.
b. Sosialisasi berbagai kebijakan perusahaan dilakukan melalui pertemuan
langsung, melalui buletin periodikal dan pengumuman.
c. Workshop dalam rangka pemantapan budaya kerja perusahaan melalui
sosialisasi nilai-nilai perusahaan kepada semua karyawan. Adapun nilai-nilai
perusahaan yang diseminasikan, yaitu fokus kepada pelanggan, komitmen
pada pencapaian tujuan dan prestasi terbaik, integritas, kerjasama, inovasi dan
semangat belajar.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
234

Penyediaan dan pembagian Buku Pedoman Perilaku Karyawan sebagai


mekanisme untuk pendampingan kepada karyawan dan kegiatan penyegaran-
penyegaran yang rutin dilakukan agar karyawan dapat berperilaku sesuai dengan
yang diharapkan perusahaan. Dalam rangka mendukung pengembangan portofolio
usaha yang kian ekspansif, maka perusahaan memandang perlu melakukan
konsolidasi internal dengan melakukan berbagai program intensif dalam rangka
menciptakan iklim kerja yang kondusif (Annual Report Lippo Karawaci 2008, 2009,
2010), yaitu:
a. Mengadakan workshop/training yang bertujuan menanamkan pemahaman
tentang pentingnya kesamaan tujuan perusahaan dan tujuan individu yang
menjadi syarat utama dalam menjamin kinerja perusahaan yang luar biasa.
Penyelarasan tujuan perusahaan dengan tujuan pribadi setiap karyawan
merupakan modal utama untuk merealisasikan kinerja perusahaan dalam
memberikan nilai pada semua pemangku kepentingan termasuk pelanggan,
pemegang saham, mitra kerja, dan masyarakat. Penyelarasan tujuan tersebut
akan memperkuat pembentukan iklim yang berdasarkan pada kinerja optimal
di Lippo Karawaci yang mendorong setiap karyawan untuk memberikan
usaha dan kemampuan terbaik mereka.
b. Membangun iklim etis dalam perusahaan dengan adanya transparansi dalam
proses organisasi, pengawasan atas perilaku manajemen, dan mendorong
perilaku tanggung jawab sosial perusahaan.
c. Membangun etos kerja Lippo Karawaci yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kerja sama, kolaborasi, motivasi dan memacu kinerja optimal, serta perbaikan
dan pengembangan yang berkesinambungan. Upaya ini dilakukan dengan
mensosialisasikan nilai-nilai perusahaan yang disepakati di berbagai lini
manajemen. Selain itu sebagai upaya internalisasi pegawai akan nilai-nilai
tersebut maka berbagai kredo dan slogan tersebut ditempel berbagai tempat
yang strategis dalam perusahaan. Nilai-nilai tersebut merupakan landasan dari
iklim dan budaya organisasi yang sehat sehingga nantinya membentuk
keterikatan antara sesama karyawan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
235

6.3. Technology Resources Strategic Directions


Kesadaran pentingnya teknologi informasi disadari betul oleh Riady yang
kemudian diturunkan kepada semua perushaan dalam kelompok Lippo Karawaci.

“... Waktu saya menjadi ketua di UI, saya bicara pada saat pertemuan
pertama adalah kebijakan UI sebaiknya short term saja. Maka saya
mengajukan 2 (dua) lembar kebijakan UI, yaitu administratif dan akademik.
Kalau cerita akademik kita berkewajiban meningkatkan produktivitas
nasional, artinya kita bicara teknologi, yaitu nanotechnology, science
technology, dan IT yang dapat meningkatkan produktifitas sehingga harus
diutamakan....” (Riady, hasil wawancara pada Juli 2010, pukul 10.00 – 12.30
WIB, Lippo Karawaci).

Teknologi Informasi (TI) telah menjadi elemen penting dalam strategi SDM
perusahaan. Sumber daya teknologi informasi ini mencakup semua sistem dan proses
yang mendukung manajemen karyawan sebagai unit kunci suatu organisasi. TI telah
mengubah proses SDM melalui peningkatan produktivitas SDM, meningkatkan daya
saing, memperluas pengalaman karyawan, dan memaksimalkan nilai karyawan
dengan menyelaraskan keterampilan, kegiatan, dan manfaat dengan tujuan bisnis dan
strategi perusahaan.
Sistem SDM terintegrasi Lippo Karawaci terfokus pada proses manajemen
SDM yang berjalan sesuai dengan praktik-praktik terbaik dan sesuai dengan
fungsinya seperti rekrutmen, pengelolaan kinerja/manajemen kompetensi,
pengembangan karyawan, dan pelayanan pelanggan. Sistem SDM ini akan
memungkinkan karyawan menjadi lebih mandiri di tempat kerja. Inisiatif ini juga
memungkinkan departemen SDM untuk lebih fokus pada kegiatan yang lebih
menguntungkan bagi perusahaan seperti rekrutmen dan pengembangan karyawan.
Sebagai hasil dari pelaksanaan strategi yang tepat sasaran seperti yang disebutkan di
atas, perusahaan dapat mengurangi turnover karyawan, mengurangi biaya
pengangkatan pegawai, dan meningkatkan kinerja individu. Selain itu, perusahaan
juga dapat memangkas biaya operasional dan menawarkan lebih banyak informasi
kepada karyawan dengan cara yang lebih cepat dan efisien. Melalui suatu sistem

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
236

terpadu, Divisi SDM dapat menghemat waktu yang digunakan untuk pekerjaan
administratif dan berakibat pada perampingan organisasi atau relokasi karyawan ke
bagian lainyang membutuhkan tanggung jawab lebih seperti pendukung keputusan
atau pengembangan karyawan.
Dalam hal ini, TI telah berperan dalam menjembatani antara strategi, proses,
dan teknologi SDM. Seiring upaya perusahaan untuk menjadi perusahaan ramah
lingkungan, sistem TI telah membantu perusahaan menjalankan proses operasional
secara ramah lingkungan, terutama melalui pengurangan penggunaan kertas untuk
kebutuhan Aplikasi Slip Gaji dan Aplikasi Perekrutan. Melalui pengurangan
penggunaan kertas dan proses yang tidak efisien, Lippo Karawaci berharap dapat
melakukan pengurangan biaya operasional sekaligus meningkatkan pelayanan
sehingga berdampak pada kinerja yang efisien. Salah satu contoh efisiensi
operasional dituturkan Presdir Lippo Karawaci tentang proses cuti karyawan:

“Sejak dua tahun lalu, manajemen telah mengintegrasikan


administrasi SDM seperti cuti kerja dan lainnya menggunakan sistem
IT yang terintegrasi. Sehingga para manajer dapat dengan mudah
memberikan approval atas cuti karyawan, dan melihat status cuti
yang telah dipergunakannya...” (Wijaya, hasil wawancara pada 25
Juli 2012, pukul 11.00 – 12.00 WIB, Lippo Karawaci).

Terkait dengan strategi maksimasi dukungan sistem teknologi informasi


bagi daya dukung organisasi, Riady memandang perlu untuk menerapkan teknologi
dalam setiap lini bisnis perusahaan sebagai upaya mengantisipasi perkembangan
teknologi informasi dan globalisasi. Dalam rentang waktu pengamatan 10 tahun
terakhir, untuk Lippo Karawaci telah mulai menerapkan oracle system pada tahun
2008 terutama untuk prosedur keuangan. Pada tahun berikutnya, yaitu 2009, berbagai
aplikasi operasional mulai diterapkan berupa local aplication seperti pengurusan ijin
cuti, liburan, dan sebagainya telah mulai diterapkan. Setiap karyawan dapat
memperoleh slip atas pembayaran gajinya dengan mudah. Selain itu dapat juga
melaporkan self assessment atas penilaian kinerja pribadi kepada atasan secara online.
Tahun berikutnya, yaitu tahun 2010, self service mulai diterapkan, misalnya untuk

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
237

mengajukan pengobatan, dan lain-lain.


Perhatian pendiri perusahaan tentang urgensi strategic direction di bidang
teknologi informasi tecermin pada karya tulisnya berjudul Mencari Peluang di
Tengah Krisis yang dirilis saat negeri Indonesia tengah menghadapi krisis moneter
tahun 1998-1999. Saat itu, Riady masih berkecimpung di dunia perbankan nasional
melalui Lippo Bank dan BCA, dimana ia melihat cucunya yang baru berumur 10
tahun sudah dapat memakai e-mail untuk berkomunikasi dengan temannya (Riady,
1999:266). Baginya, era Mass Media High Way akan segera tiba dalam 5-10 tahun
mendatang dan electronic banking akan menjadi suatu bagian dari kehidupan
masyarakat sehari-hari. Kontemplasi ala RIADY semacam ini mampu menggerakan
organisasi bisnis yang bernaung dalam Group bisnisnya mempersiapkan diri terhadap
kecanggihan teknologi yang memerlukan investasi besar. Walaupun begitu, baginya
tetap the man behind the game, yaitu manusia yang “berdisiplin” selain menguasai
teknik menjalankan komputer menjadi kunci keberhasilan organisasi mengarahkan
direction-nya menuju organisasi dengan kapabilitas teknologi nomor wahid.

6.4. Financial Resources Strategic Direction


Marzuki Usman, mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta menyatakan
bahwa Lippo Grup dengan cepat selalu mempersiapkan semua unit usahanya untuk
go public, menawarkan saham perdananya ke publik seperti saat Lippo Finance go
public diminati oleh banyak investor dan menjadikan Bursa Efek Jakarta menjadi
dikenal dunia dan diminati oleh para investor mancanegara (Riady, 1999:ix). Intensi
untuk menawarkan saham ke publik sudah sejak awal memang menjadi arahan dari
pendiri perusahaan. Semua perusahaan yang berada pada grup Lippo yang bergerak
di bidang properti seperti Lippo Karawaci, Lippo Cikarang, dan Lippo Land
Development bersama perusahaan lainnya sudah mencatatkan diri di bursa efek
(Riady, 1999).
Lippo Karawaci telah mengalami reorganisasi bisnis paling penting pada
tahun 2004 melalui penggabungan usaha delapan perusahaan properti di bawah
manajemen Lippo. Dari aspek sumber daya keuangan, perusahaan properti terbesar di

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
238

Indonesia dalam hal pendapatan sejumlah 1,9 triliun rupiah (1H2011) dan memiliki
kapitalisasi pasar mencapai 1,7 miliar USD (28 September 2011) (Investor Summit &
Capital Market Expo 2011). Lippo Karawaci dikenal dengan pemimpin dalam
pengembangan perkotaan dan residensial, rumah sakit dan mal ritel, Lippo Karawaci
juga tercatat sebagai satu-satunya perusahaan properti nasional yang mendapat
peringkat dari lembaga rating internasional (Standard & Poor’s: B+, Moody’s: B1,
Fitch: B+). Dari sumber daya keuangan yang dimiliki Lippo Karawaci membentuk
bisnis model paling terintegrasi dengan kemampuan me-recycle modal. Kapitalisasi
Lippo Karawaci termasuk peringkat atas (dua besar) mencapai 2,094 miliar USD
hanya selisih dari peringkat satu Bumi Serpong Damai sebesar 2,178 miliar USD.
Berkaitan dengan arah strategis keuangan perusahaan, persediaan kas untuk
6 (enam) bulan ke depan diatur dalam manajemen kas. Terkait dengan arah strategis
ini, maka perusahaan harus memikirkan langkah bagaimana kemampuan perusahaan
dalam hal permodalan dan kemampuan perusahaan dalam peminjaman. Hal ini
tentunya terkait dengan struktur permodalan perusahaan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan manajemen Lippo Karawaci, yaitu Wijaya, maka komposisi
struktur permodalan yang paling optimal berkisar antara rasio 60:40. Rasio (60/40),
menurut narasumber, adalah rasio stuktur permodalan yang optimal.
Selanjutnya menurut Presiden Direktur Lippo Karawaci ini, kapasitas
perbankan Indonesia masih agak lemah sehingga memerlukan pendanaan dari luar
negeri. Per 1 Desember 2006, Lippo Karawaci menjadi perusahaan pertama dari Asia
Tenggara yang menerbitkan Real Estate Investment Trust (REIT) dan tercatat Bursa
Efek Singapura. Penerbitan REIT tersebut dalam rangka restrukturisasi aset
perusahaan. Rencana restrukturisasi aset tersebut akan dilaksanakan dengan cara
memaksimalisasi pendapatan atas sejumlah aset milik perusahaan dengan
memanfaatkan momentum investasi para investor asing, yaitu dengan melalui
penerbitan REIT. Saat itu, Presiden Direktur Lippo Karawaci dijabat oleh Viven
Setiabudi dan diumumkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada Rabu 16 Agustus 2006
(http://finance.detik.com).
Aktivitas ini memungkinkan para investor asing dapat membeli unit REIT

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
239

tersebut di Bursa Efek Singapura melalui mekanisme penawaran umum. Per Juni
2005 aset properti perusahaan mencapai 11,9 miliar rupiah yang terdiri dari properti
hunian, industri, rumah sakit dan hotel. Namun tidak disebutkan berapa nilai aset
yang disekuritisasi melalui REIT. Real Estate Investment Trust (REIT) atau property
trust adalah sekuritisasi aset properti yang dilakukan properti untuk mendapatkan
dana dari publik. Karena memerlukan dana untuk ekspansi bisnis maka kepemilikan
atas gedung perkantoran diubah menjadi REIT dengan mengalihkan kepemilikan
gedung perkantoran tersebut kepada sebuah trust yang selanjutnya menerbitkan surat
REIT. Investor yang berminat terhadap REIT ini, pembeliannya seperti membeli
saham dan obligasi pada pasar perdana. Hasil dari penjualan tersebut akan dibayarkan
kepada pemilik asal gedung perkantoran yang bersangkutan.

“... Dengan model pendanaan seperti ini ternyata lebih murah… juga tidak
berbelit-belit administrasinya, sehingga mempermudah perusahaan dalam
melakukan aktivitas pendanaan....” (Wijaya, hasil wawancara pada 29
Agustus 2012, Lippo Karawaci).

Real Estate Investment Trust (REIT) pada dasarnya merupakan contoh


praktikal financial engineering yang menjadi kekuatan (strength) Lippo Karawaci
untuk memaksimalkan aset tetap seperti tanah untuk kemudian disekuritisasi menjadi
aset finansial yang lebih likuid dan sebagai sumber pendanaan non-konvensional.
Selain First REIT yang diluncurkan pada Desember 2006, dengan aset yang
disekuritisasi mencakup Siloam Hospitals Lippo Village, Siloam Hospitals Kebon
Jeruk, Siloam Hospitals Surabaya, Siloam Hospital Cikarang, Mochtar Riady
Comperhensive Center, kemudian Hotel Aryaduta dan Country Club Karawaci, juga
empat properti yang berada di Singapuran. REIT berikutnya adalah Lippo Malls
Indonesia Retail Trust (LMIR Trust) yang diluncurkan pada tahun 2007 dengan aset
yang disekuritisasi mencakup 25 mal tersebar di seluruh Indonesia
Inovasi bisnis properti yang dipadukan dengan kapabilitas melakukan
financial engineering tidak serta merta menempatkan Lippo Karawaci ke dalam
financial trap seperti bermain valuta asing untuk mendukung bisnis intinya. Dalam

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
240

wawancara dengan pendiri perusahaan, terungkap bahwa Riady sangat keras terhadap
perilaku bisnis instan melalui spekulasi (perjudian) seperti money bubling-games
yang jamak terjadi di pasar keuangan. Sebagai contoh, hal ini tercermin dalam
ketegasan sikapnya terhadap perilaku spekulatif yang membahayakan kelangsungan
bisnis riil itu sendiri. Berikut petikan wawancara dengan Beliau:

“... Anak saya yang paling besar (Andrew) selesai dari Melbourne university
dan mengambil Ph.D (Doktoral) di Amerika, waktu kembali saya angkat
menjadi managing director BCA, dalam bank selalu saya ingatkan jangan
spekulatif sehingga jangan main valas. Andrew ini selalu main valas sehingga
saya berhentikan dari BCA. Berspekulatif sangat bahaya, kemudian saya
angkat Anthony salim, contoh bank duta bangkrut karena kalah main valas.
Andrew complain tetapi bagi saya hal itu sangat bahaya....” (Riady, Hasil
wawancara pada 20 Agustus 2010, pukul 10.00-12.00 WIB, Lippo Karawaci).

Kehadiran dan pengawasan dari pendiri perusahaan ini sedikit banyak


membuat arahan strategis tentang ke arah mana biduk keuangan perusahaan hendak
dibawa. Perusahaan senantiasa dihadapkan pada pilihan rute perjalanan yang rendah
risikonya namun imbal hasil yang diperoleh juga rendah, atau lebih berani
menangkap kesempatan namun risiko yang dihadapi juga sebanding. Paragraf di atas
jelas menunjukkan adanya usaha kolektif pendiri dan manajemen perusahaan
memadukan inovasi sektor keuangan dan kelangsungan bisnis secara keseluruhan
(going concern) secara bertahap.

6.5. Entrepreneurship as a Business Leader Strategic Direction


Visi Riady yang berkaitan dengan kewirausahaan banyak diilhami masa
kecilnya sebagai anak dari keluarga sederhana berasal dari Jawa Timur. Dari kedua
orang tuanya, Riady muda memperoleh beragam pengalaman hidup membentuk
dirinya menjadi seorang yang hemat dan tahan banting. Terutama dalam hal
perjuangan untuk survive dan terus berusaha dalam hidup dan menjadi berguna bagi
masyarakat umumnya.

“... Bagi prinsip saya bagaimana seorang yang baru lulus sekolah dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
241

menjadi entrepreneur itu lebih berguna bagi banyak orang, dibanding family
bisnis sehingga saya sangat sulit untuk memberikan konsepnya....” (Riady,
hasil wawancara pada September 2011, Lippo Karawaci).

Jalan hidupnya adalah jalan pengusaha yang bertahap (step-by-step) dan


memulai segala usahanya dari bawah (kecil) (evolutionary). Seperti tertuang dalam
petikan wawancara berikut ini:

“... Saya punya prinsip seseorang itu, bahkan anak saya… Dia harus melalui
proses yang nature, harus dari kecil untuk menjadi besar. Filosofi Lao Tse
“semua ada berasal dari tidak ada” dan pohon yang besar mulai dari yang
kecil. Harus bermula dari yang kecil agar bisa bertahan dan berkembang.
Mengatur usaha seperti nanotechnology, yaitu mulai dari yang terkecil, yaitu
manusia sehingga harus ada cara kerja yang jelas setiap manusia di
perusahan yang terdiri dari 4 unsur, yaitu workflow, job description, cara
kerja bila satu orang dididik macam mkacam maka akan kacau, lebih baik
diatur bahwa setiap orang ahli di bidangnya masing-masing. Harus bertahap
dan jangan langsung mau loncat tetapi mulai dari kecil...” (RIADY, hasil
wawancara pada Juli 2010, pukul 10.00 – 12.30 WIB, Lippo Karawaci).

Dari lingkungan terdekatnya, isterinya, Riady memahami nilai bahwa hidup


tidak boleh serakah (too greedy). Riady menceritakan pernah pada suatu kesempatan
saat Ia mengelola bank (BCA), Ia mendapat 5kg emas dari nasabah, yang hendak
diberikan pada isterinya. Namun ternyata, isterinya menolak pemberiannya dengan
pertimbangan bahwa pemberian orang akan sangat mempengaruhi perilaku,
penerimaan tersebut akan membuat sikap tidak independen sehingga semua kemauan
nasabah harus dituruti.
Nilai-nilai yang telah diinternalisasinya kemudian secara bertahap dan sadar
diterapkannya dalam berbisnis. Sato (1994) mencatat Lippo merupakan salah satu
grup bisnis yang tumbuh selama periode Bonanza minyak tahun 1981, beberapa grup
bisnis tersebut antara lain: Gajah Tunggal (1961), Kalbe Farma (1966), Sucaco
(1970), Modern dan Maspion (1971), Wanandi (1973) dan terakhir Lippo (1976).
Langkah awal bagi terciptanya grup bisnis bermula dari Lippo TSK Indonesia
perusahaan kabel untuk kendaraan bermotor pada 1978 melalui perusahaan patungan
dengan modal asing (Sato, 1994:137).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
242

Perjalanan dan perkembangan era pasca Bonanza Minyak Bumi (oil boom –
1974 sampai 1981) tepatnya pada tahun 1986, Lippo tercatat memiliki estimasi
penjualan total grup lebih dari 200 miliar rupiah, jumlah perusahaan telah
berkembang menjadi 35 unit bisnis. Adapun Lippo grup memiliki bisnis inti meliputi
sektor keuangan (BCA), elektronik dan elektrik, tekstil, serta komponen kendaraan
bermotor (Sato, 1994). Sebagaimana grup bisnis dari etnis Tionghoa kepemilikan
bisnis dengan perkembangannya berjalan seiring dengan bisnis extended-familiy
melalui jalur pernikahan putra-putri para Taipan tersebut. Ilustrasi di bawah ini
menggambarkan kepemilikan silang (cross-shareholdings) dan hubungan
kekerabatan (family linkage=family connection=F/C) berdasarkan survei Departemen
Luar Negeri dan Perdagangan Australia (1995).

Panin Group Lippo Group Mayapada


(Mu’min Ali (Mochtar Riady) Group
Gunawan)
F/C F/C

 Panin Bank  Lippo Bank


 Panin Life  Lippo Karawaci
 Panin Insurance  Lippo Industry
 Clipan Leasing  Lippo Life Insurance
 Lippo Pasific Finance
 Multipolar
Lippo City  Lippo Securites

Kalbe Group
(Bing Aryanto)

 Enseval, Kalbe Farma, Dankos, Interdelta, Bank Media

Sumber: East Asia Analytical Unit – Dept of Foreign Affair and Trade Australia (1995), Overseas
Chinese Business Network in Asia, Australia, 1995

Gambar 6.2. Ilustrasi Kepemilikan Silang dan Hubungan Kekerabatan Empat Grup Bisnis

Krisis ekonomi 1998-1999 secara nyata dan gamblang menyebabkan


banyak pengusaha mengalami kerugian bahkan kebangkrutan tidak terkecuali Lippo
Grup yang sudah memiliki bank nasional sendiri, yaitu Lippo Bank setelah RIADY

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
243

melego saham-sahamnya di Bank Central Asia. Pasca krisis, dengan perlahan Lippo
mulai mereformasi tata kelola perusahaan yang semakin mencerminkan tata kelola
perusahaan yang baik. Tahun 2004 adalah tahun terpenting bagi Lippo Karawaci
karena pada tahun itulah, perusahaan melakukan merger 8 strategic business unit
terdiri dari perusahaan properti, sektor kesehatan, dan hotel ke dalam perusahaan
holding Lippo Karawaci.
Pasca merger itu, struktur pendapatan Lippo Karawaci menjadi lebih
sustainable dan semakin bertumbuh dengan cepat. Organisasi Lippo Karawaci juga
diarahkan oleh pendirinya dan para eksekutif puncak untuk dapat mempertahankan
pencapaian masa lalu dan mencari peluang-peluang bisnis masa medatang. Dalam
terminologi organisasi ambidextrous, perusahaan melakukan eksploitasi sumber daya
yang sudah ada seraya eksplorasi kesempatan yang dapat direngkuh perusahaan
dalam jangka panjang. Suatu organisasi bisnis dikatakan Ambidextrous Organization
setelah perusahaan mampu mengelola perubahan yang bersifat evolusi, bertahap dan
cenderung lambat serta pada saat yang bersamaan mengeksploarasi kesemapatan dan
perubahan yang cepat dan revolusioner (O’Reilly dan Tushman, 2004; 1996).

Sumber: Investor Summit & Capital Market Expo 2011


Gambar 6.3. Development Revenue dan Recurring Revenue LIPPO KARAWACI

Uraian strategic directon Riady yang berkaitan dengan kapasitas dan


kapabilitasnya selaku pemimpin bisnis tercermin di dalam praktek inovasi tersebut:
eksplorasi (San Diego Hills Memorial Park) dan eksploitasi (Siloam Hospital). Kedua

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
244

proyek ini dapat menjadi representasi sederhana dari fenomena tumbuhnya


Ambidexterous Organization model Lippo Karawaci.
San Diego Hills Memorial Park adalah bentuk inovasi diskontinu yang
muncul dari ketidaksengajaan Riady berkunjung ke suatu taman pemakaman di
Negeri Paman Sam. Pada awalnya, seperti cerita Pak Ketut, Riady bermaksud
mencari kamar mandi untuk buang air kecil dalam suatu perjalanan di Los Angles,
California. Alih-alih menemukan tempat buang hajat saja, Riady “tersesat” di
bangunan megah yang ternyata pemakaman umum dengan fasilitas terbaik. Tentunya
Ia menemukan kamar kecil di sana. Inovasi diskontinu - menurut O’Reilly dan
Tushman (2004) - perubahan drastis yang dapat merubah basis bagi kompetisi suatu
industri, kerap kali membuat suatu produk menjadi kuno.
Bisnis pemakaman umum sejak lama dipegang pemerintah pusat (Taman
Makam Pahlawan), pemerintah daerah (Taman Pemakaman Umum – TPU), keluarga
(pemakaman keluarga/wakaf), jarang sekali pihak perusahaan swasta berkehendak
kuat menggarap sektor ini secara serius. Namun tidak demikian dengan Lippo
Karawaci selepas perjalanan bisnis tersebut, wilayah dengan kontur tanah yang
marketable ini kemudian dialihfungsi menjadi properti untuk pemakaman umum
yang unik dengan landscape yang indah (beautiful landscaping) dan fasilitas
termodern (state-of-the art facilities). Pemakaman umum yang ditujukan untuk semua
agama tidak ada pengecualian. Temuan strategic direction pada contoh kasus San
Diego Hills ini adalah: (i) Perubahan mind-set lama (Kuburan Angker) menjadi mind-
set baru (Tempat yang hidup menghormati yang berpulang). (ii) Kontinuitas
spiritualitas dimaknai melalui beragam fasilitas pendukungnya bahwa masa lalu,
masa kini dan masa yang akan datang terus menerus dirawat dan dihadirkan dalam
layanan yang terbaik.
Bahkan menurut informasi yang dapat dihimpun, pada tahap persiapan dan
awal pengoperasiannya, Lippo Karawaci menyewa ekspatriat sebagai narasumber
penerapan global best practice untuk operasional pemakaman umum dari luar negeri.
Selain San Diego Hills Memorial Park, Lippo juga menyewa hampir 86 ekspatriat
pada beragam lapisan organisasinya. Di level eksekutif puncak, Lippo Karawaci

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
245

mempekerjakan beragam ekspatriat terutaman para ekspatriat yang berasal dari New
Zeland terkait Siloam Hospital and Healtcare dan Australia untuk penyediaan dan
manajemen perawat (nursing).
Rumah sakit dan layanan kesehatan siloam merupakan rumah sakit swasta
besar di Indonesia yang telah memiliki tujuh cabang dan menyediakan layanan
kesehatan berkelas internasional bagi pasien lokal maupun mancanegara. Kapasitas
kamar tidur telah mencapai 1.227 buah dengan layanan kesehatan bagi Ibu-Anak,
Ruang Operasi, pediatric care dan outpatent facilities. Dalam dua tahun mendatang,
Lippo metargetkan memperluas jangkauan Siloam ke berbagai kota besar di
Indonesia hingga mencapai delapan belas buah (www.siloamhospital.com). Selain
investasi di proyek rumah sakit, Siloam juga berinvetasi pada riset, pendidikan
teknologi medis terkini, termasuk peralatan-peralatan canggihnya bagi
pengembangan standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Siloam Hospital Lippo
Village memperoleh sertifikasi JCIA pengakuan internasional di bidang
perumahsakitan, hanya 5 (lima) RS di Indonesia yang memperoleh pengakuan ini.
Dua contoh kasus San Diego Hills Memorial Park dan Siloam Hospital,
pada hemat penulis, ada bukti nyata kepemimpinan pendiri Lippo Group
mengarahkan biduk konglomerat yang memiliki visi: Growing in Stewardship dan
Impacting Lives. Sekurangnya ada dua pelajaran yang dapat dipaparkan berdasarkan
wawancara dengan Presiden Direktur Lippo Karawaci tentang Strategic Direction
Riady sebagai pemimpin bisnis:
“... Apa yang saya kira menjadi arahan strategis Pak Mochtar bagi
kami pengelola (manajer) selalu one-step-ahead dalam bisnis kami,
dan komitment terus menerus perbaikan secara mikroskopik (mico-
managing)… Mangement is making things happens....” (Wijaya,
hasil wawancara pada 17 November 2012, pukul 15.00 – 17.00
WIB, Lippo Karawaci).

One step a head pernyataan di atas merupakan jargon aktivitas eksplorasi


yang dilakukan. Hal ini yang perlu dibangun dan selalu terus dipelajari oleh
manajemen puncak Lippo Karawaci agar sepeninggal Riady, sebagai pendiri
perusahaan, dapat mengaplikasikan jiwa entrepreneur yang dimilikinya. Dalam

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
246

konteks entrepreneurship sebagai bagian dari resource, seperti yang diungkapkan


oleh Alvarez dan Busenits, pendiri sekaligus pemilik terjun dalam pengelolaan
bisnisnya, kecuali sejak mundurnya dari posisi Presiden Komisaris sejak tahun 2010
yang lalu dan digantikan oleh Theo Sambuaga. Dalam prakteknya, naluri bisnis
pendiri tidak berhenti seketika saat memutuskan untuk mundur dari perusahaan.
Terbukti dengan dibukanya wujud dari aktifitas eksplorasi yaitu dalam bentuk
pendirian Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCC-Juli 2011) yang
diawali dengan pendirian Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN-Mei
2008). Persiapan pendirian institusi ini telah dimulai sejak tahun 2005. Pada 1,5 tahun
pertama, pembangunan difokuskan pada pembangunan infrastruktur penelitian dan
pembuatan blueprint. Pada tahap selanjutnya adalah pengumpulan sumber daya
manusia, yang perlu waktu dua tahun, untuk mengisi 5 (lima) divisi penelitian yaitu
molecular epidemiology, proteomic, single nucleotide polymorphism, immunology
dan genomic. Saat ini MRIN memiliki 8 (delapan) peneliti dan dibantu 26 (dua puluh
enam) orang staff. Target untuk tahap awal, penelitian kanker hati atau hepatocellular
carcinoma menjadi prioritas riset karena kasus ini paling sering ditemui di dunia dan
diperkirakan telah menyebabkan kematian lebih dari 600.000 orang tiap tahunnya.
Dana investasi yang dikeluarkan sebesar 30 juta USD dan untuk biaya operasional
pertahun sebesar 3 juta USD yang dananya diambil dari yayasan keluarga. Tetapi
dalam setiap aktivitas bisnisnya selalu diikuti dengan integrasi dan prinsip kehati-
hatian, seperti diungkapkan dalam wawancara berikut ini:

“... Karena bisnis ini harus sesuai dengan visinya, yaitu impacting lives,
maka bisnis apapun harus mengarah ke semua sendi kehidupan masyarakat,
misalnya bukan hanya membangun rumah saja, tetapi juga siapkan sarana
pendukungnya. Kemang jadi landmark, kuburan jadi tempat wisata....”
(Wijaya, hasil wawancara pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci,
Tangerang).

“... Hati-hati dengan ongkos... hati-hati juga dengan investasi. Hati-hati


dengan belanja tetapi jangan menutup mata terhadap opportunity....”
(Wijaya, hasil wawancara pada Juli 2012, pukul 10.00 – 12.30 WIB, Lippo
Karawaci).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
247

Jiwa kewirausahaan tersebut dibangun dalam tataran operasional. Hal ini


tercemin dalam petikan wawancara dengan salah satu komisaris sebagai berikut:

“... Dalam rangka membangun SDM yang unik, pendekatan yang dilakukan
oleh Lippo Karawaci adalah engage people…dimana di sana ada ruang
untuk kreatifitas dan intrapreneurial....” (Abeng, hasil wawancara pada Juli
2012, Setia Budi, Jakarta).

Dalam konteks Riady adalah entrepreneur sekaligus sebagai business leader,


aktivitas yang menonjol dilakukan adalah melalui koordinasi dan motivasi. Terkait
dengan hal itu maka potential option yang dilakukan adalah melakukan interaksi yang
formal maupun informal dengan Presiden Direktur, Dewan Direksi dan Dewan
Komisaris. Interaksi yang dilakukan merupakan aktivitas exploratory innovation
karena bertujuan membentuk mental model melalui komunikasi personal dan proses
belajar. Proses belajar ini tentunya memerlukan waktu yang tidak sebentar. Oleh
sebab itu berbagai cara komunikasi dan koordinasi selalu dilakukan baik secara
formal dan informal (exploitative innovation). Pendiri perusahaan acapkali menjadi
model bagi bawahannya tetapi tidak jarang juga ditunjuk kolega lainnya untuk
menjadi contoh bagi anggota manajemen puncak lainnya (anggota dewan direksi).
Asumsi yang mendasarinya adalah karyawan akan belajar dengan cara mengamati
perilaku orang lain, yaitu pemimpin ataupun kolega (Silke Scheer, 2009). Oleh sebab
itu, Riady seringkali menjadi contoh dan bahkan dijadikan contoh oleh para
manajemen puncak.
“... Saya itu dulu orang eksak… tapi kemudian saya juga harus belajar yang
lain…seperti Pak Riady itu dulu Beliau tidak mengerti akunting tapi sekarang
Beliau bisa tuh menilai tentang laporan keuangan...” (Wijaya, hasil
wawancara pada Juli 2012, Pukul 10.00 – 12.30 WIB, Lippo Karawaci).

6.6. Feedback Loops


Dalam model system dynamics, umpan balik (feedback) merupakan elemen
dasar pembentuk model. Menurut Richardson dan Pugh (1981, dalam Kirkwood
1998), feedback didefiniskan sebagai pengiriman dan pengembalian informasi. Secara
sederhana, feedback terjadi jika sebab-akibat terjalin antar dua variabel, yaitu “A

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
248

mempengaruhi B dan B mempengaruhi A”. Feedback loops dapat dilihat pada


Gambar 6.4.

Penerimaan
+ Karyawan

SDM Pelatihan & Pengem-


bangan Karyawan
+
Kerjasama
+
Team
Kompetensi & + + Interaksi Antar
Keahlian Karyawan Karyawan
+
+
+
Total Kompensasi
Integrasi SIT
Karyawan +
+
Keunggulan Bersaing Penerapan SIT
Perusahaan +
+ Profitabilitas +
+ Perusahaan
-

Renumerasi +
+ BOC & BOD

Pengalaman Kompetensi
Manajemen Puncak Dewan Komisaris
+ + +
+
Entrepreneur as a
Business Leader

Gambar 6.4. Feedback Loops

6.7. Model System Dynamics dengan Metode NUMBER


Untuk merubah causal map, seperti yang disajikan pada Gambar 6.1,
menjadi model system dynamics, dapat digunakan konversi dengan Metode
NUMBER. Berdasarkan causal map Riady tersebut, terdapat enam feedback loops.
Setelah dilakukan analisis loop, diperoleh sembilan variabel level (level variabel)
seperti yang ditampikan pada Tabel 6.5. Pemilihan ke Sembilan variabel level ini
dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel ini merupakan variabel yang dianggap

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
249

penting dan termasuk di dalam 4 (empat) arah strategis berdasarkan data hasil
wawancara dan data sekunder lainnya.
Tabel 6.5. Sembilan Variabel Level

No Nama Variabel
1 Sumber Daya Manusia
2 Penerimaan Karyawan
3 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan
4 Kompetensi dan Keahlian Karyawan
5 Total Kompensasi Karyawan
6 Profitabilitas Perusahaan
7 Keunggulan Bersaing Perusahaan
8 Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi
9 Entrepreneur as a Business Leader
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Variabel laju (rate variable) dibentuk oleh variabel-variabel yang


berhubungan dengan variabel level (baik variabel level maupun variabel selain
variabel level). Variabel level (level variable), disebut juga variabel stok (stock
variable), merupakan variabel yang terakumulasi dan dapat habis seiring berjalannya
waktu (menjadi nol). Gambar 6.5 menunjukkan hasil konversi causal map Riady
dengan Metode NUMBER sehingga diperoleh model system dynamics.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
250

+
Iklim Kerja
Keterbukaan
+ + Komunikasi
Penerimaan
-
SDM
Karyawan
inc SDM dec SDM inc Penerimaan dec Penerimaan +
Karyawan Karyawan Kerjasama +
+ - - Team
+
+ +
+
Umur Perusahaan Pelatihan & Pengem- - Interaksi Antar Integrasi SIT
+ - - bangan Karyawan Karyawan
+ inc Pelatihan & dec Pelatihan &
Kompetensi & Pengembangan Pengembangan +
Keahlian Karyawan Karyawan Karyawan
inc Kompetensi & dec Kompetensi &
-
+ Keahlian Karyawan Keahlian Karyawan +
- Penerapan SIT
Pengembangan + inc Penerapan SIT dec Penerapan SIT
Bisnis
-
+
+ -
+ Total Kompen-
sasi Karyawan
inc Total Kompensasi dec Total Kompensasi
Modal Kerja Bersih Karyawan Karyawan

+
Leading & Impacting +
+ Lives Corporation
-
inc Leading & dec Leading & + -
+ Impacting Lives Impacting Lives Profitabilitas
Total Asset Corporation + Corporation Perusahaan
- inc Profitabilitas dec Profitabilitas
Kapasitas
- Perusahaan Perusahaan
+ + + - Peminjaman
Pengalaman - + + + Perusahaan
Manajemen Puncak Renumerasi -
Properti yang Dimiliki
Perusahaan + BOC & BOD Kas & Setara Kas
+ + Perusahaan
+ RUPS
Kapasitas
Reputasi Perusahaan
+ Kompetensi + Permodalan
+ Dewan Perusahaan
- +
Komisaris
+
+ - +
Entrepreneur as a
Business Leader
inc Entrepreneur as dec Entrepreneur as
a Business Leader a Business Leader

Sumber: hasil olahan penulis (2012)


Gambar 6.5. Model System Dynamics
250 Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
251

6.8. Normalisasi Nilai Variabel


Setelah variabel level dipilih, selanjutnya dilakukan penormalan terhadap
nilai variabel sehingga nilai tersebut berada pada interval tertutup [0, 1]. Berikut
adalah rumus transformasi variabel yang digunakan untuk normalisasi nilai variabel.

Tabel 6.6. Rumus-Rumus Transformasi Variabel


yang Digunakan untuk Normalisasi Nilai Variabel.

No Rumus Transformasi Catatan


Jika x  0 ,  x adalah nilai variabel dan konstanta k  0 .
1 x  Semua nilai variabel hasil transformasi y
y
kx berada pada interval tertutup [0, 1].
 x adalah nilai variabel dan konstanta k  0 .
Jika x  Riil,
 Semua nilai variabel hasil transformasi y
2  x 
y  0,5  1   berada pada interval tertutup [0, 1].
 k x
 |x| adalah nilai mutlak dari x.
Jika x dalam %,  x adalah nilai variabel.
3 x  Semua nilai variabel hasil transformasi y
y
100 berada pada interval tertutup [0, 1].
 x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  bilangan cacah,
n = maksimum nilai variabel +1
4 x  0,5
y  Semua nilai variabel hasil transformasi y
n
berada pada interval tertutup [0, 1].
 x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  bilangan cacah,
n = maksimum nilai variabel
5 x  0,5
y  Semua nilai variabel hasil transformasi y
n
berada pada interval tertutup [0, 1].

251 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
252

Berikut adalah 27 (dua puluh tujuh) variabel dengan rumus transformasi


variabel yang digunakan untuk normalisasi nilai variabel. Konstanta k adalah
konstanta yang digunakan sebagai pengontrol agar semua nilai variabel hasil
transformasi berada pada interval tertutup [0, 1].

Tabel 6.7. Dua Puluh Tujuh Variabel dengan Rumus Transformasi Variabel
yang Digunakan untuk Normalisasi Nilai Variabel

Maksimum
No Rumus
No Nama Variabel Nilai Konstanta (k)
Tansformasi
Variabel (n)
1 Sumber Daya Manusia 1 - 4.500
2 Penerimaan Karyawan 2 - 1.000
Pelatihan dan
3 1 - 1.500
Pengembangan Karyawan
Kompetensi dan Keahlian
4 1 - 15.000
Karyawan
Total Kompensasi
5 1 - 400.000.000.000
Karyawan
6 Profitabilitas Perusahaan 1 - 250.000.000.000
Keunggulan Bersaing
7 1 - 0,77
Perusahaan
Penerapan Sistem
8 4 2 -
Informasi dan Teknologi
Entrepreneur as a
9 5 5 1
Business Leader
Iklim Kerja yang
10 4 6 -
kondusif
11 Keterbukaan Informasi 4 2 -
Integrasi Sistem
12 4 2 -
Informasi danTeknologi
13 Interaksi Antar Karyawan 4 2 -
14 Kerjasama Tim 4 6 -
Rapat Umum Pemegang
15 1 - 2
Saham
Kapasitas Permodalan
16 1 - 2.000.000.000.000
Perusahaan
Kapasitas Peminjaman
17 1 - 1.500.000.000.000
Perusahaan
Kas dan Setara Kas
18 1 - 2.000.000.000.000
Perusahaan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
253

Tabel 6.7. (Sambungan)


Maksimum
No Rumus
No Nama Variabel Nilai Konstanta (k)
Tansformasi
Variabel (n)
Modal Kerja Bersih
19 1 - 5.000.000.000.000
Perusahaan
20 Total Aset Perusahaan 1 - 10.000.000.000.000
Pengembangan Bisnis
21 1 - 100
Perusahaan
22 Umur Perusahaan 1 - 50
Properti yang Dimiliki
23 1 - 1.000.000.000.000
Perusahaan
24 Reputasi Perusahaan 1 - 10
Pengalaman Manajemen
25 1 - 20
Puncak
Remunerasi Komisaris
26 1 - 20.000.000.000
dan Direksi
Kompetensi Dewan
27 3 - -
Komisaris

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Hasil normalisasi nilai variabel (nilai aktual variabel setelah dilakukan


transformasi) dapat dilihat pada Tabel 6.1 (Lampiran).

6.9. Hasil Simulasi Model System Dynamics dengan Metode NUMBER


Berdasarkan model system dynamics yang telah dibuat, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 6.3, berikut ditampilkan hasil simulasi model system
dynamics untuk sembilan variabel level. Hasil simulasi model system dynamics untuk
sembilan variabel level dan variabel lainnya dapat dilihat pada Tabel 6.2 (Lampiran).
Berikut ditampilkan penjelasan cara menghitung secara teknis untuk
memperoleh hasil simulasi model system dynamics seperti pada Tabel 6.9 dan rumus-
rumus yang digunakan.
Dimulai dengan pemberian konstanta c yang digunakan sebagai pengontrol
besarnya IR (Increasing Rate) dan DR (Decreasing Rate) pada simulasi sembilan
variabel level (level variable). Konstanta k tersebut dapat dilihaat pada Tabel 6.10
berikut.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
254

Tabel 6.8. Konstanta c sebagai pengontrol besarnya IR (Increasing Rate)


dan DR (Decreasing Rate) pada simulasi sembilan variabel level (level variable)

No Nama Variabel c untuk IR C untuk DR


1 Sumber Daya Manusia 0,600 0,080
2 Penerimaan Karyawan 0,600 0,300
3 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan 0,300 0,700
4 Kompetensi dan Keahlian Karyawan 0,850 0,700
5 Total Kompensasi Karyawan 0,500 0,090
6 Profitabilitas Perusahaan 0,490 0,100
7 Keunggulan Bersaing Perusahaan 0,850 0,370
8 Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi 3,200 0,001
9 Entrepreneur as a Business Leader 0,896 0,180
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Dalam perhitungan simulasi model system dynamics, terdapat dua kasus


penting, yaitu pertama, jika variabel berperan sebagai variabel level (level variable)
dan kedua, jika variabel bukan berperan sebagai variabel level (level variable).

a. Kasus 1: Jika variabel berperan sebagai variabel level (level variable)


Rumus IR (Increasing Rate) dan DR (Decreasing Rate) yang digunakan
dalam praktik/teknisnya adalah
n
IR  c 1  LV  *  Vi … (5.1)
i 1

n
DR  c 1  LV  *  Vi … (5.2)
i 1

n
dengan n adalah banyaknya variabel yang terlibat dan V
i 1
i berasal dari semua

variabel (selain variabel levelnya sendiri) yang masuk ke IR atau DR. Jika tanda di
panah masuk ke IR atau DR adalah “+”, maka Vi sama dengan nilai variabelnya, jika
“-”, maka Vi sama dengan (1-nilai variabelnya). Nilai konstanta c digunakan untuk
mengontrol besarnya IR dan DR.
Rumus LV (Level Variable) adalah
LV  INTEG IR  DR  . ... (5.3)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
255

Untuk menghitung LV digunakan cara sebagai berikut.


Diberikan nilai awal dari LV, sebut LV0. Selanjutnya LV1 dihitung dengn cara
LVt 1  LVt  IRt  DRt  . … (5.4)

b. Kasus 2: Jika variabel bukan berperan sebagai variabel level (level variable)
Jika tidak ada panah yang masuk ke variabel itu, maka nilainya diberikan
(diambil dari data aktual setelah dinormalisasi). Jika ada panah yang masuk ke
variabel itu, maka nilainya dihitung menggunakan rumus
n

V .
i 1
i … (5.5)

Jika tanda di panah masuk ke variabel itu adalah “+”, maka Vi sama dengan nilai
variabel yang masuk itu, jika “-”, (1-nilai variabel yang masuk itu). Jika sedang
dihitung nilai suatu variabel pada waktu t, maka nilai yang digunakan untuk semua
variabel yang masuk ke variabel itu adalah nilai pada waktu t.

Selanjutnya, untuk melihat apakah hasil simulasi yang sudah diperoleh


sudah cukup bagus (mendekati sebenarnya/aktual), maka hasil simulasi dan nilai
aktual (setelah dilakukan transformasi) disatukan dalam satu gambar. Untuk
keperluan analisis, hasil simulasi model system dynamics dan nilai aktual (setelah
dilakukan transformasi) dapat ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Untuk
mambantu menganalisis pergerakan nilai variabel level terhadap waktu (tahun), dapat
dilakukan penggambaran perilaku waktu terhadap semua nilai variabel level yang
ada.
Berikut ditampilkan 5 (lima) hasil simulasi model system dynamics dan nilai
aktual (setelah dilakukan transformasi) terkait dengan tujuan (goal) dan pilihan-
pilihan potensial (potential options). Kelima variabel tersebut adalah Keunggulan
Bersaing Perusahaan (goal), Profitabilitas Perusahaan, Enterpreneur as a Business
Leader, Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi, dan Sumber Daya Manusia
(potential options).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
256

6.10. Keunggulan Bersaing Perusahaan


Keunggulan Bersaing Perusahaan didefinisikan sebagai dampak keberadaan
perusahaan terhadap kehidupan masyarakat. Hasil simulasi model system dynamics
dan nilai aktual (setelah dilakukan transformasi) untuk variabel Keunggulan Bersaing
Perusahaan ditampilkan pada Tabel 6.9 dan Gambar 6.5.
Tabel 6.9. Hasil Simulasi Model System Dynamics dan Nilai Aktual
(setelah Dilakukan Transformasi) untuk Keunggulan Bersaing Perusahaan

Aktual
Simulasi
(setelah
Tahun Simulasi Kenaikan atau penurunan
dilakukan
(dalam %)
transformasi)
2002 0,2215 0,2215
2003 0,2236 0,91 0,2198
2004 0,2351 5,16 0,2323
2005 0,3042 29,41 0,2855
2006 0,3853 26,64 0,4230
2007 0,4589 19,11 0,5315
2008 0,5346 16,50 0,4960
2009 0,6076 13,65 0,5395
2010 0,6803 11,96 0,6024
2011 0,7445 9,44 0,6319

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
257

K e u n g g u la n B e r s a in g P e r u s a h a a n

1.0 000

0.9 000

0.8 000

0.7 000
Kenaikan signifikan
29,41%
0.6 000
Nilai

0.5 000

0.4 000

0.3 000

0.2 000

0.1 000

0.0 000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun

S im u la s i A k tual

Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Gambar 6.6. Hasil Simulasi Model System Dynamics dan Nilai Aktual
(setelah Dilakukan Transformasi) untuk Keunggulan Bersaing Perusahaan
Berdasarkan hasil simulasi pada Gambar 6.6, Keunggulan Bersaing
Perusahaan mengalami kenaikan sejak tahun 2003. Kenaikan Keunggulan Bersaing
Perusahaan tersebut secara signifikan terlihat dengan jelas di tahun 2005 (kenaikan
29,41%).
Pada keadaan aktual, secara umum Keunggulan Bersaing Perusahaan
mengalami kenaikan hingga tahun 2011. Tetapi terlihat bahwa di tahun 2008,
Keunggulan Bersaing Perusahaan turun secara signifikan, yaitu mengalami
penurunan sebesar 6,67%, yang diperoleh dari
 0,4960  0,5315 
   100%  6,67%
 0,5315  .
Sejak tahun 2009, Keunggulan Bersaing Perusahaan sudah kembali mengalami
kenaikan hingga tahun 2011.

6.11. Analisis VRIO


Penjelasan atas kerangka VRIO (Barney dan Clark (2007:70)), diberikan
melalui serangkaian pertanyaan terkait sumber daya dan kapabilitas milik perusahaan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berisikan poin-poin penting tentang 4 (empat) fokus,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
258

yaitu Value, Rarity, Imitability, dan Organizations. Pertanyaan yang diajukan Barney
dan Clark, berguna bagi operasionalisasi kerangka VRIO, yaitu:
a. Apakah sumber daya dan kapabilitas perusahaan membuatnya mampu
memberikan respon atas perubahan lingkungan baik ancaman maupun
kesempatan (Aspek Value).
b. Apakah sumber daya tersebut saat ini dikuasai oleh sejumlah perusahaan
pesaing dalam jumlah terbatas (Aspek Rarity).
c. Apakah perusahaan tanpa sumber daya tersebut menghadapi potensi biaya
kerugian akibat pemilikan atau pengembangan sumber daya (Aspek
Imitability).
d. Apakah terdapat kebijakan maupun prosedur perusahaan secara terorganisir
guna mendukung pemanfaatan sumber daya yang valuable, rare, dan berharga
untuk ditiru (costly to imitate) (Aspek Organizations).
Untuk dapat mengoperasionalisasi kerangka VRIO dari Barney dan Clark,
maka peneliti melakukan beberapa aktivitas sebagai berikut:
a. Melakukan evaluasi sumber daya perusahaan baik bersifat aset perusahaan
yang berwujud (tangible assets) maupun aset perusahaan yang nirwujud
(intangible assets) serta kapabilitas organisasional yang dimiliki perusahaan
(Organizational capabilities). Dari evaluasi sumber daya yang berwujud,
nirwujud, maupun kapabilitas organisasi penulis menentukan fokus kekuatan
dari sisi aset berwujud, aset nirwujud, serta kapabilitas organisasi.
b. Melakukan checklist terhadap fokus kekuatan yang berasal dari temuan
evaluasi sumber daya perusahaan dalam kerangka VRIO.
c. Membuat kesimpulan atas langkah pertama dan langkah kedua. Hasil dari
langkah pertama dan langkah kedua dapat diperoleh keunggulan bersaing
perusahaan yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage).

Berikut adalah Evaluasi Sumber Daya dan Kapabilitas dari Lippo Karawaci.
1. Sumber daya perusahaan yang bersifat wujud (tangible assets) yang dibahas
dalam evaluasi ini, diantaranya:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
259

a. Keuangan: Kapasitas perusahaan untuk mendanai modal kerja, kapasitas


perusahaan untuk meminjam (berhutang) dan kemampuan perusahaan
memperoleh tambahan modal. Lippo Karawaci memiliki posisi neraca yang
relative kuat, kapasitas working capital dan debt to equity ratio perusahaan
disajikan tabel di bawah ini:

Tabel 6.10. Neraca Keuangan Lippo Karawaci:


Kapasitas Working Capital dan Debt to Equity Ratio

Modal kerja Lippo Karawaci per 30 Juni 2012 meningkat dari posisi 31
Desember 2011 sebesar 2,916 triliun rupiah dari sebelumnya 2,175 triliun
rupiah. Sedangkan Rasio Hutang terhadap Modal (Debt to Equity Ratio)
meningkat dari 0,42 (per 31 Desember 2011) menjadi 0,54 (per 30 Juni 2012).
Sedangkan, kapasitas perusahaan memperoleh modal tambahan, perusahaan
memiliki fleksibilitas dan alternatif pembiayaan dana murah melalui pasar
modal dalam dan luar negeri. Real Estate Investment Trust (REIT) dan LMIR
Trust merupakan sekuritisasi aset yang menjamin ketersediaan dana bagi
pengembangan bisnis perusahaan.
b. Fisik: Kemampuan perusahaan menyediakan fasilitas pabrik yang modern,
lokasi yang favorable, dan mesin maupun perlengkapan terkini bagi
pengembangan bisnis. Fasilitas pabrik yang modern kurang relevan dengan
divisi bisnis Lippo Karawaci karena bukan perusahaan manufaktur. Namun,
masalah lokasi dan perlengkapan terkini bagi pengembangan bisnis adalah
sangat relevan dengan bisnis inti Lippo Karawaci.
Lokasi merupakan jargon Lippo Karawaci yang telah mengembangan
divisi komersial dan pengembangan kota melalui segmen unit bisnis di bawah
payung Large Scale Integrated Development. Dua proyek terkini di kawasan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
260

Selatan dan Barat Jakarta adalah Kemang Village dan St Moritz Penthouses
and Residents. Uraian kedua proyek tersebut sebagai berikut:

Tabel 6.11. Analisis Fisik Segmen unit Bisnis


Large Scale Integrated Development
Business Business Entity Short Description Key Indicative
Portfolio Regarding Business Performance (Kinerja
Lippo Portfolio (Deskripsi Indikatif Kunci berasal dari
Karawaci berasal dari halaman Presentasi Manajemen
masing-masing proyek, Lippo Karawaci pada
diakses oleh penulis) Paparan Perusahaan (2012)

Large Scale Kemang Village  Located in one of  Rata-rata Penjualan 6


Integrated South Jakarta’s most tower: The Ritz, The
Development prestigious Cosmopolitan, The
neighbourhoods, Empire, The Tiffany, The
Kemang Village is Infinity, dan The
situated on 15 Intercon mencapai 97%
hectares of land.  Komposisi pembayaran
 This luxurious mencakup 20%
integrated pembayaran tunai, 54%
development will pinjaman bank, dan 26%
combine residences pembayaran bulanan (12-
with hotel, mall, 36 bulan)
hospital,  Penyelesaian konstruksi
international school, per 30 Juni 2012 telah
exclusive country selesai untuk The Ritz,
club, exotic spa, and The Cosmopolitan, The
wedding chapel all in Empire. Tujuh puluh
one convenient lima persen (75%) The
location. Tiffany dan 30% The
 This development Infinity, selain itu,
will create a vibrant landscape dan mall telah
lifestyle oriented selesai dibangun dan
community within sudah mulai beroperasi.
South Jakarta while

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
261

satisfying our
customers' needs for
convenience and
easy access.

Large Scale St Moritz Penthouses  Strategically situated  Rata-rata penjualan 6


and Residences
Integrated on 11.4 hectares of Suites terdiri dari
Development land in a new central Presidential Suites,
business district in Ambassador Suites,
West Jakarta. Royal Suites, New
 The St. Moritz offers Presidential Suites, New
an ‘11-in-1’ Ambassador Suites, dan
development that will New Royal Suites
combine nine mencapai 83%
condominium towers,  Komposisi pembayaran
hotel, office, mall, mencakup 24%
club house, pembayaran tunai, 48%
convention center, pinjaman bank, dan 28%
hospital, pembayaran bulanan (12-
international school, 36 bulan).
spa, Sea World and  Penyelesaian konstruksi
wedding chapel. Presidential Tower,
Ambassador Tower, dan
Royal Tower mencapai
lebih dari 90%.
Sedangkan New Royal
Tower mencapai 35%.
Sumber: telah diolah kembali (2012)
Dari kedua lokasi prime proyek pengembangan skala besar
terintegrasi, maka kemampuan eksekusi dan kehandalan tim proyek adalah
kunci sumber daya dan kapabilitas unik dari Lippo Karawaci. Tentang
penggunaan perlengkapan terkini bagi kemajuan bisnis perusahaan tercermin

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
262

pada Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan Siloam. Siloam adalah salah satu
rumah sakit swasta terbesar di Indonesia yang telah memiliki tujuh cabang
dan menyediakan layanan kesehatan berkelas internasional bagi pasien lokal
maupun mancanegara. Kapasitas kamar tidur telah mencapai 1.227 buah
dengan layanan kesehatan bagi Ibu-Anak, Ruang Operasi, pediatric care, dan
outpatent facilities.
Perbedaan rumah sakit dan layanan kesehatan ini dibanding para
pesaing adalah keterkaitan rumah sakit dan layanan kesehatan dengan
pengembangan pemukiman yang sukar ditiru pesaing, selain pengakuan dari
Lembaga Sertifikasi Internasional di bidang Hospital. Ilustrasi grafis di bawah
ini menarasikan beberapa rumah sakit dan layanan kesehatan yang termasuk
portofolio Siloam.

Sumber: Dokumen perusahaan (Investor presentation)

Gambar 6.7. Beberapa Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan yang Termasuk
Portofolio Siloam

c. Teknologi: Dua hal terkait teknologi yang dapat dipelajari dari Lippo
Karawaci adalah proses bisnis yang inovatif dan ciri khas model bisnis Lippo
Karawaci yang membedakan dari pesaingnya. Kedua aspek teknologi
bermuara pada konsep tentang Nanotechnology Management Style.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
263

Nanotechnology merupakan inovasi yang diterapkan untuk menghasilkan


outcome yang lebih baik dari gaya manajemen yang sebelumnya.
Nanotechnology tidak lain dari enabling technology fundamental yang
memberikan peluang untuk melihat, memanipulasi, dan merancang dalam
skala mikroskopik. Pembahasan tentang operation line meliputi workflow, job
description, cara kerja, dan materi pekerjaan selalu diulang-ulang Riady
dalam beberapa bukunya yang telah terbit. Keingintahuan Riady tentang
berapa waktu yang diperlukan seorang nasabah menyelesaikan transaksi di
counter, berpadu dengan lama layanan yang perlu disediakan seorang teller,
sewaktu Beliau memiliki bank umum memberikan gagasan tentang aplikasi
praktis konsep nanotechnology di bidang manajemen, yaitu Operation Line.
Tidak banyak pemilik perusahaan peduli dengan hal-hal yang terkesan remeh
dan sederhana ini, tetapi tidak dengan Riady, demikian penuturan narasumber
kepada kami.
d. Organisasi: Dua isu berkaitan dengan organisasi sebagai aset perusahaan yang
utama yaitu proses perencanaan strategis yang efektif serta sistem supervisi
maupun evaluasi yang lengkap. Visi grup bisnis yang termasuk dalam sepuluh
besar di Indonesia ini dengan total aset kelolaan mencapai 22 milyar USD
menjadi pemimpin bisnis nasional yang impacting lives sekaligus berkembang
dalam stewardship (kepeloporan). Untuk itu, organisasi diarahkan pada
perusahaan publik yang bergerak di bidang properti yang terus berkembang
dengan mengintegrasikan model bisnisnya.
Perencanaan strategis, supervisi dan evaluasi lengkap terus menerus
disempurnakan menurut arahan dari Manajemen Puncak serta Eksekutif
Senior di masing-masing Unit Bisnis. Pengawasan dan supervisi juga datang
dari Dewan Komisaris dan Komisaris Independen. Pembahasan tentang
penerapan tata kelola perusahaan dibahas secara detail pada Bab IV yaitu
Pengungkapan Probematic Situation.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
264

2. Sumber daya perusahaan nirwujud (intangible assets) yang dibahas dalam evaluasi
ini adalah:
a. Sumber Daya Manusia (Human Resources)
Lippo Karawaci memilki komitmen dan pengalaman panjang yang
melibatkan para expert dengan pengalaman dan kapabilitasnya menjadi
bagian dari perusahaan. Pelibatan tenaga ahli ini terutama di bidang-bidang
yang baru digeluti perseroan. Misalnya Presiden Direktur Grup RS dan
Pelayanan Kesehatan dipimpin oleh Dr. Gershu Paul. Ia adalah dokter medis
dari Universitas Bangalore India serta MBA dari Universitas Otago New
Zeland. Dokter Gershu telah berpengalaman lebih dari dua puluh lima tahun
di bidang layanan kesehatan dan pengembangan bisnis kesehatan. Tidak
cukup menyewa tenaga ahli asing, Lippo Karawaci juga menyiapkan sistem
twin-training dimana satu tenaga ahli asing didamping oleh tenaga lokal yang
potensial (kandidat pelapis tenaga ahli asing tersebut).
Keterampilan manajerial karyawan Lippo Karawaci juga terus
dikembangkan melalui program pengembangan kapasitas secara berkala agar
memilki kompetensi manajerial yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan
(Komposisi karyawan berdasarkan latar belakang pendidikan dan posisi
manajerial yang ditempatinya dapat dilihat kembali pada saat pembahasan di
bagian Strategic direction of human capital di bagian awal pada Bab ini.
b. Sumber Daya Inovasi dan Kreatifitas (Innovation and Creativity)
Selain komitmen pendiri terhadap peningkatan kualitas kerja melalui
Operation Line yang dapat diaplikasikan (applicable), sisi pengembangan
sumber daya perusahaan secara teknis dan ilmiah (technical and scientific
Skills) juga dikembangkan pada batas-batas yang bisa dilakukan. Kreativitas
dan inovasi sedapat mungkin sejalan dengan tuntutan sisi komersial dari
bisnis itu sendiri. Inovasi yang dilakukan berupa integrasi sistem informasi
perusahaan dalam sistem sumber daya manusia perusahaan. Dengan integrasi
ini maka divisi Human Resource dapat berfokus kepada persoalan rekrutmen

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
265

dan pengembangan talent dalam perusahaan maupun calon prospektif dari


luar.
c. Sumber Daya Reputasi (Reputation)
Pembeli properti yang di-developed oleh Lippo Karawaci terdiri
individual (high ends dan middle class) serta korporat. Sedangkan untuk
menjamin recurring income, perseroan menargetkan calon pembeli/pembeli
yang berasal dari segmen kelas menengah ke atas dan kelas menengah baru.
Maka reputasi yang berkaitan dengan pelanggan bagi kualitas jasa dan
kehandalan layanan purna jual menjadi keharusan yang tidak dapat
ditawarkan. Akan halnya dengan layanan rumah sakit dan jasa pelayanan
kesehatan selalu mendapat supervisi dan evaluasi langsung dari para
komisaris perusahaan yang menjadi pelanggan layanan rumah sakit dan jasa
pelayanan kesehatan tersebut.

d. Kapabilitas Organisasi yang dapat digerakkan dan diarahkan menuju


maksimalisasi aset berwujud dan optimalisasi aset nirwujud
Kompetensi individual berupa keterampilan karyawan dalam merubah
input menjadi output. Insiatif pengembangan SDM secara garis besar terbagi
atas 3 (tiga) dimesi pengembangan, yaitu yang meliputi keahlian teknis,
pengembangan karir dan pengembangan karakter. Hingga tahun 2011,
berbagai inisiatif pelatihan yang sudah dilaksanakan.
Tingkat manajerial untuk menggali dan mengasah kemampuan
kepemimpinan dan manajerial disampaikan dengan materi pelatihan/modul
meliputi: Leadership Challenge, Performance Management, Steping up – A
Roadmap for Supervisor, Strategic Job Profile, Management Trainee
Program, Quarterly Leaders Develop Leaders, managers Forum with CEO
(leader forum) dan HR workshop.
Program Skill Enhancement meliputi: Journalism for Public Relation,
Open Tax Clinic, Priceless Gems of Innovation the Cutting edge of Creativity,
Design Procedure and KPI: Retail Delivery Basic Program, Training for

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
266

Trainer, Perspektif dan Penanganan Keamanan atas Risiko Gedung, Bahaya


Kebakaran pada Gedung Bertingkat, Behavior Based Interview, Project
Management – Retail Delivery Intermediate Program, Leasing Management –
Basic Program, Harrison Assesment Talent Solution, Practical Management
Skills, Measuring the ROI in Learning.
Individual Effectiveness meliputi Implement of Labor Law, Housing
Keeping Management, Induction (On Boarding Program), Be a Superstars,
CACS Conference, Aspek Perpajakan untuk Pengelolaan Pusat Perbelanjaan,
Basic Communication and Negotiation Skills, Seminar Mall Operation Best
Practice, Konferensi Nasional SDM dan Practical Skill Modern.
Penulis menyajikan rangkaian rantai nilai bisnis Lippo Karawaci untuk
memberikan inovasi produk dan pelayanan (Innovativeness or products and
services) yang dapat ditawarkan kepada segmen pasar.

Sumber: Investor Relation, Desember 2012

Gambar 6.8. Rantai Nilai Bisnis Lippo Karawaci

Untuk proyek perumahan dan pengembangan kota, perseroan memiliki


hak pengelolaan 7,823 hektar dengan lahan yang berhasil diakuisisi 4,831
hektar dan lahan inventori 1,443 hektar. Proyek komersial berupa mal dan
hotel yang dimiliki dan atau dikelola perusahaan, 26 mal seluas 2,2 juta meter
persegi dengan target penambahan mal 14 buah lagi. Perusahaan memiliki 8

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
267

hotel dengan 1.644 kamar, rencana penambahan hotel 4 buah dengan 858
kamar.
Layanan Kesehatan yang berada di bawah naungan Divisi Rumah
Sakit sejumlah 10 buah dengan 2.065 kamar tidur dan menyusul 17 rumah
sakit di tahun mendatang, termasuk di dalamnya akreditas nasional dan
internasional sebagai pencapaian achievement. Layanan hospitality terdiri dari
jaringan Hotel Aryaduta yang tersebar di seluruh kawasan Indonesia Barat
dan Timur. Seperti banyak perusahaan properti terintegrasi sumber
pemasukan perusahaan berasal dari pendapatan tetap (recurring income) dan
pendapatan pengembang (development income). Lippo Karawaci berupaya
menyiapkan proyek maupun layanan yang dapat memberikan kepastian
pendapatan melalui recurring income serta development income.

Selanjutnya dibahas kemampuan manajemen Lippo Karawaci untuk


mempekerjakan, memotivasi, dan mempertahankan sumber daya manusia
terbaik (ability to hire, motivate, and retain human capital) di perusahaannya.
Lippo adalah organisasi yang mau dan ingin terus belajar, demikian penuturan
narasumber dalam menjawab bagaimana upaya perusahaan membangun
kemampuan untuk mempekerjakan, memotivasi, dan mempertahankan
sumber daya manusia terbaik. Lippo Karawaci, misalnya, menggunakan
metode pendampingan dengan menggunakan tenaga asing untuk transfer ilmu
pengetahuan. Hal ini dilakukan untuk tenaga ahli yang sulit diperoleh dari
SDM dalam negeri. Misalnya keahlian khusus, seperti dokter dan perawat
dalam rangka pemenuhan SDM di kelompok Rumah Sakit Siloam ini, Lippo
Karawaci tidak segan untuk mengontrak tenaga asing (expatriate).
Setelah menciptakan SDM yang dibutuhkan melalui pendidikan dan
pelatihan, potential option berikutnya adalah perancangan Sistem Kompensasi
kepada Karyawan. Sistem Kompensasi kepada Karyawan merupakan
apresiasi kepada karyawan yang dikenal dengan nama Reward and
Recognition System, sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan atas dedikasi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
268

dan pelayanan yang diberikan oleh karyawan. Selain itu, terdapat pula
Performance Management System untuk memastikan bahwa kompensasi yang
diterapkan telah berdasarkan meritokrasi sehingga perusahaan dapat lebih
merampingkan struktur penggajian pegawai yang ditetapkan berdasarkan
evaluasi jabatan dan analisa jabatan.
Penerapan sistem manajemen berbasis kinerja telah dilakukan untuk
memastikan agar sistem manajemen berorientasi hasil berjalan dengan
konsisten. Sistem ini menerapkan penilaian kinerja terbuka yang
memungkinkan perusahaan mengidentifikasi dan memberikan penghargaan
yang sesuai kepada karyawan dengan kinerja yang baik dan di saat yang sama
memutuskan hubungan kerja, memberi sanksi, atau melakukan tindakan
perbaikan terhadap karyawan dengan kinerja jauh di bawah ekspektasi. Selain
itu, implementasi sistem ini memberikan imbalan yang adil dan pantas atas
dasar prinsip meritokrasi
Pada tahun 2010, seiring ekspansi bisnis, Lippo Karawaci menambah
jumlah karyawan 14% menjadi 5,683 orang, dengan status karyawan tetap
72% dan sisa 28% masih berstatus karyawan kontrak. Dari keseluruhan itu,
54% berasal dari Divisi Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan, 25%
merupakan Divisi Komersial, dan 21% berasal dari Divisi Perumahan dan
Pengembangan Kota.
Dari evaluasi sumber daya perusahaan di atas, penulis memilih fokus
sumber daya yang akan dinilai dalam kerangka VRIO.
1. Sumber daya berwujud (tangible resources), terdiri atas:
a. Keuangan: Modal kerja (working capital), rasio utang terhadap modal
(debt to equity ratio) dan akses kepada sumber pendanaan non
konvensional (access to other financial services). Penulis memilih
akses kepada sumber pembiayaan non konvensional dengan
pertimbangan, REIT dan LMIR Trust telah memberikan hasil bagi
Lippo Karawaci sebagai sumber pembiayaan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
269

b. Fisik: Lokasi yang menguntungkan, large scale development project


dan RS Siloam dan Layanan Kesehatan (Siloam hospital). Pemilihan
Rumah Sakit dan Layanan Kesehatan Siloam dilakukan karena Lippo
merupakan grup bisnis pengembangan kota dan perumahan yang
selalu menyediakan Layanan Kesehatan terintegrasi dalam model
bisnis. Pengelolaan entitas bisnis tersebut juga termasuk dalam unit
bisnis perusahaan.
c. Teknologi: Inovasi proses produksi melalui operation line merupakan
aplikasi konsep nanotechnology menjadi fokus sumber daya berbasis
teknologi.
d. Organisasi: Dua hal yang dikaji pada sumber daya berwujud adalah
adanya perencanaan yang efektif sekaligus sistem evaluasi dan kontrol
yang handal (effective planning process and excellent evaluation and
control system).

2. Sumber daya nirwujud (intangible resource), terdiri atas:


a. Sumber daya manusia, terdiri atas program ekspatriat dan twin system
(expatriate program and twin system) sebagai aplikasi sumber daya
manusia. Selain itu, pengembangan kapasitas karyawan melalui
serangkaian pelatihan dan workshop juga telah dilakukan. Untuk
sumber daya manusia, penulis memfokuskan diri pada program
ekspatriat dan twin system.
b. Sumber daya inovasi dan kreativitias melalui integrasi sumber daya
manusia dengan sistem Teknologi Informasi (HR IT System)
perusahaan.
c. Sumber daya reputasi perusahaan properti jasa, berupa reputasi
kualitas produk yang tinggi dan layanan yang terpercaya (high quality
product and reliable service).
d. Kapabilitas organisasi mencakup tiga poin penting diantaranya:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
270

a) Dukungan sumber daya manusia (HR support) bagi proses bisnis


perusahaan.
b) Penginovasian produk dan layanan (innovativeness product and
service) yang menjadi kapabilitas perusahaan menghadapi
lingkungan bisnis serta industri yang dinamis.
c) Kemampuan untuk menyewa (mempekerjakan), motivasi, dan
mempertahankan sumber daya manusia (ability to hire, motivate
and retain human capital) sebagai human capital produktif bagi
perusahaan

Langkah kedua yang dilakukan penulis adalah menyelesaikan checklist


temuan langkah pertama melalui Tabel 6.12 berikut (Checklist yang penulis lakukan
secara individual berpedoman pada Barney dan Clark (2007)).
Tabel 6.12. Analisis VRIO

VRIO Framework
Sumber Daya
Implikasi Ekonomi
(Resource)
Valuable Rare Imitablity Organization (Implication
Economic)
Tangible
Temporary
 Access to other
Yes Yes No Yes Competitive
financial service
Advantage
Sustainable
 Siloam Hospital Yes Yes Yes Yes Competitive
Advantage
 Operation Line Yes No - Yes Competitive Parity

Tabel 5.12. (Sambungan)

Sumber Daya (Resource) VRIO Framework

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
271

Implikasi
Ekonomi
Valuable Rare Imitablity Organization
(Implication
Economic)
Tangible
 Effective planning
Sustainable
process and Excellent
Yes Yes Yes Yes Competitive
evaluation and control
Advantage
system
Intangible
Sustainable
 Expatriate program
Yes Yes Yes Yes Competitive
and twin system
Advantage
 Human Resource IT Competitive
Yes No - Yes
System Parity
Competitive
 High quality and
Yes No - Yes Parity
reliable services

Organizational
Capabilities
Competitive
 HR Support Yes No - Yes
Parity
Sustainable
 Innovativeness of
Yes Yes Yes Yes Competitive
product and services
Advantage
 Ability to hire, motivate Sustainable
and retain human Yes Yes Yes Yes Competitive
capital Advantage
Sumber: hasil olahan penulis (2012)
Berdasarkan evaluasi sumber daya perusahaan, LIPPO KARAWACI
mendiskusikan sumber daya berwujud, sumber daya nirwujud, dan kapabilitas
organisasi. Kemudian penulis melanjutkan evaluasi checklist menggunakan kerangka

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
272

VRIO sehingga dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:


1. Sumber daya berwujud, yaitu Rumah Sakit dan Pelayanan Kesehatan Siloam
serta aspek organisatorial, berupa efektivitas perencanaan dan sistem kontrol-
evaluasi yang excel, menjadi keunggulan bersaing yang berkesinambungan.
2. Sumber daya nirwujud, yaitu kehadiran inisiatif program ekspatriat yang
disertai dengan sistem kembaran (twin system), menjadi keunggulan bersaing
yang sustainable bagi perusahaan.
Berdasarkan aspek kapabilitas organisasi, maka penginovasian produk dan layanan
menjadi keunggulan bersaing berkesinambungan selain kemampuan perusahaan
untuk menyewa, memotivasi, dan mempertahankan sumber daya.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB VII
IMPLIKASI COGNITIVE MAP PENDIRI PERUSAHAAN
DI DALAM PRAKTEK AMBIDEXTERITY

7.1. Implikasi Cognitive Map di dalam Strategic Ambidexterity Melalui


Kapabilitas Dinamis
Dalam rangka membangun Strategic Ambidexterity melalui kapabilitas
dinamis maka di Bab 6 sudah digambarkan bagaimana model konseptual yang telah
disusun. Pada bagian ini dijelaskan secara rinci tentang perbandingan model tersebut
dengan dunia nyata yang dilengkapi dengan analisis dari Cognitive Map.

1. Langkah pertama: Melakukan proses pembuatan strategi yang berhubungan


dengan produk yang ada dan sekaligus pengembangan produk.
Pada tataran strategis, aktor yang berperan penting dalam penyusunan
strategi perusahaan adalah Top Management Team, senior executive, dan
pendukungnya dari masing-masing bisnis unit. Aktivitas yang dilakukan adalah
menyusun strategi yang dapat menyeimbangkan aktivitas perusahaan yang dapat
berkontribusi terhadap pendapatan yang bersifat recurring dan development revenue.
Perspektif orientasi strategi pada growth of the firm ini dalam konteks Strategic
Entrepreneurship yang dikemukakan Ireland (2001) merupakan inti dari
Entrepreneurial Mindset (Alvarez, Barney dalam Ireland, 2003). Menurut Ireland
(2003) terdapat beberapa komponen dalam Entrepreneurial Mindset yang dapat
dikembangkan, yaitu:
a. Recognizing entrepreneurial opportunity;
b. Entrepreneurial alertness;
c. Real option logic;
d. Entrepreneurial framework.
Di dalam Lippo Karawaci, strategi perusahaan terkait dengan produk yang
ada (exploitative innovation) dan pengembangan produk (explorative innovation)
mencakup 4 (empat) pilar unit bisnis, yaitu:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
274

a. Unit bisnis Residential and Urban Development: Unit bisnis ini lebih dominan
dalam melakukan aktivtitas eksploitatifnya. Hal ini tercermin dari besarnya
persediaan landbank yang mencapai 1.489 hektar terletak di kota-kota mandiri
yang dikembangkan di daerah pertumbuhan strategis yaitu Lippo Village di
Tangerang, Lippo Karawaci di Bekasi, Tanjung Bunga di Makasar, dan San
Diego Hills di Cikarang. Perseroan melakukan optimalisasi pemanfaatan
tanah atas hak pengembangan tanah sebanyak 7.823 hektar dimana sekitar
62% telah dibebaskan. Persediaan landbank perseroan di kota-kota mandiri
tersebut memadai untuk pengembangan 10 tahun ke depan secara
berkesinambungan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat
akan gaya hidup modern, perseroan juga mengembangkan proyek terintegrasi
di lahan yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Inovasi yang dilakukan
sebagai pilot project adalah pembangunan City of Tomorrow di Surabaya
yang merupakan proyek pertama perseoran di tahun 2011. Proyek tersebut
menggabungkan antara fasilitas hunian, rekreasi, sarana pendidikan, dan pusat
kesehatan. Setelah keberhasilan tersebut, dua perseroan meluncurkan dua
pengembangan terintegrasi berskala besar lainnya, yaitu Kemang Village di
Jakarta Selatan dan The St Moritz Penthouse and Residence di pusat bisnis
Jakarta Barat.
b. Unit bisnis Healthcare: Unit bisnis ini mewakili aktivitas inovasi yang
bersifat eksploratif pada awalnya tetapi secara simultan melakukan inovasi
eksploitatif. Diawali dengan proses pembelajaran dengan mitra asing dan
kemudian memisahkan diri beberapa tahun berselang. Untuk memberikan
dampak positif kepada kualitas kehidupan masyarakat luas memberikan
penyediaan layanan kesehatan berstandar internasional melalui rumah sakit
yang dioperasikan perusahaan, akuisisi beberapa rumah sakit, dan
pembangunan rumah sakit-rumah sakit baru. Masuknya Lippo Karawaci ke
dalam bidang kesehatan berawal dari kerjasama yang dilakukan dengan
Rumah Sakit Gleaneagles untuk rumah sakit di Lippo Village yang sekarang
menjadi Siloam Hospitals Lippo Village. Sejak saat itu, perseroan telah

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
275

melakukan ekspansi bisnis termasuk rumah sakit yang berdiri sendiri maupun
rumah sakit yang terletak di kota mandiri yang dikembangkan perseroan.
Sejalan dengan komitmen untuk melakukan transformasi sosial Indonesia
dalam mengangkat standar dan kualitas sektor kesehatan, perseroan telah
menambah portofolio rumah sakit dari 4 menjadi 7 rumah sakit dengan
mengakuisisi dua rumah sakit besar di Jambi, Sumatera dan Balikpapan di
Kalimantan Timur pada akhir tahun 2010. Siloam Hospitals Jambi dan Siloam
Balikpapan memperkuat komitmen Perseroan untuk meningkatkan standar
layanan kesehatan di masing-masing wilayah utama di Indonesia. Pada Juli
2011, perseroan meresmikan pembukaan pusat pengobatan kanker swasta
pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan peralatan kesehatan yang
canggih. Keberadaan 7 rumah sakit dalam portofolio Siloam Hospitals
merupakan indikator penyedia layanan kesehatan yang progresif dan inovatif.
Rencana ke depan yang akan dilakukan perseroan adalah mengembangkan 20
rumah sakit baru dalam kurun waktu 4 tahun ke depan. Hal ini ditandai
dengan pembangunan 6 rumah sakit pada awal tahun 2011.
c. Unit bisnis Commercial: Aktivitas eksploitatif terjadi manakala perseroan
melakukan pengelolaan 25 mal yang tersebar di seluruh Indonesia dengan
total area yang dapat disewakan (Net Leasable Area) seluas 938.000 meter
persegi dengan 16 dari 25 mal terletak di wilayah Jabodetabek. Tingkat
hunian rata-rata mal ritel tersebut adalah sebesar 88% dengan perkiraan rata-
rata pengunjung 200 juta setiap tahunnya. Aktivitas inovasi eksploratif dengan
mengembangkan portofolio ini untuk mendapatkan alternatif pendanaan bagi
perseroan. Komposisi status mal dari 25 mal yang dimiliki tersebut terdiri atas
3 mal dimiliki penuh oleh Lippo Karawaci, 10 mal dalam portofolio Lippo
Malls Indonesia Retail Trust (LMIR Trust) yang tercatat di Bursa Efek
Singapura, 8 mal masih dalm proses pembangunan, dan 4 mal dimiliki oleh
pihak ketiga. Hasil penjualan LMIR Trust di Singapura ini mencapai angka
4,5 juta SGD. Sedangkan dari First REIT yang berbasis 3 rumah sakit dan 1
resort diperoleh dana sebesar 111 juta US$. Recurring Revenue dari unit

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
276

bisnis ini tercermin dari kenaikan dividen yang signifikan sejak penerbitannya
tahun 2006 dengan dividen sebesar 4.940.475.000 rupiah menjadi
17.830.009.169 rupiah pada tahun 2007 (Laporan Tahunan Lippo Karawaci,
2007).
d. Unit bisnis Asset Management: Berbagai aktivitas inovasi yang sifatnya
ekploratif dilakukan unit bisnis ini. Diawali dengan pendirian dua Real Estate
Investment Trust (REIT) yang tercatat di Bursa Efek Singapura dan
disponsori oleh Lippo Karawaci. First REIT didirikan Desember 2006 yang
merupakan REIT healthcare pertama di Asia Tenggara. Saat ini portofolio
nya terdiri atas 5 Siloam Hospital, 3 assets healthcare di Singapura, sebuah
rumah sakit di Korea Selatan dan Hotel Aryaduta Lippo Village. Perseroan
juga mensponsori berdirinya Lippo Malls Indonesia Retail Trust (LMIR
Trust) Juli 2007. LMIR merupakan satu-satunya REIT di Singapura dengan
aset ritel Indonesia. Saat ini LMIR Trust memiliki 10 mal ritel dan 7 ruang
ritel. Perseroan melalui anak perusahaan yang bernama PT Consulting &
Management Service Division (CSMD) mengelola properti mal tersebut di
bawah kontrak dengan LMIR Trust. Firts REIT dan LMIR Trust merupakan
instrumen derivatif yang tersebut memfasilitasi strategi perusahaan dalam hal
me-recycle modal melalui penjualan aset rumah sakit dan mall di luar negeri.
Kedua manajer dari REIT tersebut, Bowsprit Capital untuk First REIT dan
LMIR Trust Management Ltd. Untuk LMIR Trust, dimiliki oleh Lippo
Karawaci masing-masing sebesar 80% dan 100%. Untuk usaha asset
management ini dicanangkan akan tumbuh seiring dengan rencana
pengembangan 15 mal dan 20 rumah sakit baru. Total aset yang dikelolan
oleh dua REIT ini mencapai lebih dari 1,7 miliar dolar US.
Ekspansi bisnis rumah sakit melalui unit-unit usaha Lippo Karawaci
menyusun model bisnis yang teritegrasi untuk memenuhi kehidupan masyarakat
luas, yaitu melalui penyediaan produk perumahan terbaik yang berkualitas tinggi
dengan lingkungan yang asri, layanan kesehatan yang berkualitas internasional
dengan harga terjangkau, pusat perbelanjaan dan perhotelan (urban development,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
277

large scale integrated development). Untuk menunjang hal tersebut, Lippo Karawaci
tidak segan untuk mengembangkan produk yang inovatif. Hal ini ditandai dengan
adanya upaya peningkatan kesinambungan pendapatan melalui sumber pendapatan
yang berkelanjutan (recurring income). Bercermin dari konsep aktivitas yang
berorientasi jangka pendek dan jangka panjang dari Tushman dan O’Reilly (2007),
penulis dapat menyatakan bahwa sumber pendapatan development dan recurring
adalah merupakan representasi dari adanya aktivitas yang berorientasi jangka pendek
dan jangka panjang.
Berdasarkan data sekunder, unit usaha yang menyumbang ke dalam
pendapatan berkelanjutan adalah hospitals, commercial dan assets management. Pada
tahun 2011 untuk Development Revenue terjadi peningkatan sebesar 59% menjadi 2
triliun rupiah sedangkan dari Recuring Revenue terjadi peningkatan sebesar 34%
(Laporan Keuangan Tahunan Lippo Karawaci, 2011). Terobosan yang dilakukan
adalah di bidang kesehatan dengan membuka rumah sakit modern dengan peralatan
tercanggih, yaitu MRCCC di Jakarta dan dua rumah sakit Siloam di Jambi dan
Balikpapan di tahun 2012. Merealisasikan 3 miliar dollar US nilai grup ritel,
transformasi grup hospital dengan meningkatkan skala menjadi 3,5 miliar dollar US
dalam 5 tahun. Meningkatkan recurring revenue lebih dari 50% melalui penyewaan
dan pengelolaan properti. (Laporan Keuangan Tahunan Lippo Karawaci, 2012).
Gambar 7.1 berikut menunjukkan komposisi dari Development Revenue dan
Recurring Revenue.

Sumber: Laporan Keuangan Lippo Karawaci


Gambar 7.1. Development Revenue dan Recurring Revenue Lippo Karawaci
Periode 2008, 2009, dan 2010

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
278

Hasil hasil cognitive map menunjukkan bahwa pengembangan bisnis dan


kemampuan inovasi entrepreneur menambah profitabilitas perusahaan. Kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba di cognitive & causal map diproksikan dengan
profitabilitas. Dalam konteks penelitian ini profitabilitas perusahaan terdiri atas
pendapatan yang bersifat development dan recurring, seperti pada hasil wawancara
dengan Presiden Direktur (Ketut Budi Wijaya) berikut:

“... Kami berkomitmen untuk tidak hanya mengoptimalkan pengembangan


saja, tetapi juga perlu penguatan recurring revenue sehingga di penghujung
tahun 2011 saja kami mendapatkan penghargaan dari Euromoney untuk
kelima kalinya sebagai “Best Developer in Indonesia overall 2011” (Hasil
wawancaram Wijaya, pada 20 Juni 1012, Lippo Karawaci).

Selain itu, Majalah Fortune Indonesia juga menobatkan Lippo Karawaci


sebagai “The Best 20 Most Admired Companies in Indonesia 2011” pada 26 Januari
2011. Lippo Karawaci juga memperoleh penghargaan sebagai South East Asia
Property Awards 2011 untuk St. Moritz sebagai “Best Condo Development
(Indonesia) yang diberikan oleh Majalah Property Report South East Asia pada
November 2011.
Di lain pihak, kompensasi karyawan yang relatif meningkat dengan adanya
ekspansi bisnis di bidang healthcare dan kompensasi tenaga ahli maupun manajemen
yang berdampak kepada menurunnya profitabilitas perusahaan (hasil dari cognitive &
causal map, 2012). Komitmen perusahaan di bidang kesehatan membuahkan hasil
yang memuaskan dengan diterimanya penghargaan bergengsi di bidang kesehatan,
yaitu:
a. Indonesian Hospital Management Award untuk kategori rumah sakit mutu
akreditasi terbaik dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 21
Oktober 2011.
b. AZIMA Award 2011 untuk Siloam Surabaya yang meraih penghargaan
sebagai Pemenang Pertama untuk Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi,

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
279

dari Indonesian Society of Infection Control (INASIC) dan Astra Zeneca


Infection Management Awards pada April 2011.
c. Excellence Asian Hospital Management Award 2011 untuk kategori SDM
dalam konferensi Manajemen Rumah Sakit untuk tingkat Asia pada
September 2011 di Singapura.

Pelaksanaan berbagai program pendidikan dan pelatihan terkait bidang


kesehatan mengakibatkan peningkatan beban pengembangan karyawan sehingga
mempengaruhi profitabilitas kebijakan manajemen kas agar ketersediaan kas dan
setara kas perusahaan untuk ekspansi maupun inovasi dapat terjaga. Hal ini sesuai
dengan kajian Barney yang menyatakan pentingnya sumber daya keuangan dalam
mengawal aktivitas perusahaan (Barney 2007). Kebijakan cash turnover secara
tersurat tercermin dalam petikan wawancara di bawah ini:

“... Kami melakukan cash management yang mengantisipasi untuk


pengamanan kas selama 6 bulan ke depan, jadi kesinambungan kas terjaga
untuk 6 bulan ke depan....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 2012, Lippo
Karawaci).

Sejak dari tahapan formulasi strategi hingga eksekusi strategi merupakan


core ideas dari srategic entrepreneurship yang melibatkan atribut mendasar dari
entrepreneurial, yaitu alertness, creativity, dan judgment. Selain itu, entrepreneur
berusaha untuk menciptakan nilai melalui akuisisi sumber daya baik tangible maupun
intangible (Klein, et al, 2012).

2. Langkah kedua: Menyediakan sumber daya yang mendukung bagi pengembangan


keunggulan perusahaan.
Berdasarkan data sekunder dan hasil wawancara pada saat turun lapangan,
diperoleh informasi bahwa sumber daya strategis yang berkaitan untuk mendukung
aktivitas pengembangan dan inovasi adalah SDM dan keuangan yang didukung oleh
penerapan teknologi informasi (hasil cognitive & causal map, 2012). Sesuai dengan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
280

jargon Lippo Karawaci yang menyatakan komitmennya untuk menciptakan SDM


yang well trained and well motivated, maka berbagai program pengembangan
kemampuan teknis dan manajerial telah konsisten dipertahankan dan dikembangkan
dari tahun ke tahun (lihat detail berbagai program pendidikan dan pelatihan di analisis
cognitive & causal map, 2012). Pencapaian perseroan hingga akhir tahun 2011 adalah
tersedianya SDM dengan keahlian khusus (yang dibutuhkan perseroan) sebanyak 800
karyawan.
Komitmen untuk menyediakan SDM yang dibutuhkan perseroan tercermin
dari adanya kenaikan jumlah penerimaan SDM untuk setiap tahunnya. Yang paling
menonjol adalah adanya kenaikan penerimaan SDM dengan kualifikasi di bidang
pelayanan kesehatan selama 3 tahun terakhir (tahun 2009, 2010, dan 2011). Hal ini
disebabkan karena adanya kebutuhan personil di bidang pelayanan kesehatan sebagai
dampak ekspansi pembangunan rumah sakit untuk memenuhi target pembangunan
sebanyak 20 rumah sakit untuk 4 tahun ke depan (Laporan Tahunan Lippo Karawaci,
2011). Rekrutmen dilakukan sesuai dengan kebutuhan perseroan, sedangkan untuk
tenaga ahli diperoleh melalui penggunaan tenaga asing dengan keahlian spesifik
untuk dijadikan model dan media untuk transfer of knowledge (hasil cognitive &
causal map, 2012). Penggunaan tenaga ahli dari kalangan ekspatriat dilakukan
dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya pengetahuan berasal dari seluruh dunia
sehingga menjadi dasar untuk melakukan adopsi global best practices.

“ ... Metode belajar merupakan proses yang soft (soft process) dimana
pengetahuan itu berada di seluruh dunia yang merupakan sumber global best
practices, oleh sebab itu kami berani mempekerjakan tenaga asing untuk
belajar tata cara asing....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 19 Agustus 2012,
Lippo karawaci).

Komitmen perseroan di bidang keuangan, tercermin dari strategi perusahaan


yang berperan aktif untuk memperluas sumber pendanaan melalui aset manajemen,
penerbitan obligasi dan penambahan modal tanpa hak memesan terlebih dahulu untuk
memperkuat struktur permodalan. Berdasarkan cognitive map, kemampuan
perusahaan mengelola struktur permodalan ini mendukung aktivitas inovasi dan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
281

pengembangan yang berdampak pada kinerja perusahaan (hasil cognitive map, 2012).
Total aset perseroan meningkat 13% menjadi 18,259 miliar rupiah pada tahun 2011.
Pada 31 Desember 2011, posisi kas dan setara kas mencapai 2,175 miliar rupiah.
Adapun tranksaksi yang terkait dengan ekuitas perseroan pada tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
a. Pada bulan Pebruari 2011, Perseroan berhasil menerbitkan obligasi global
senilai 125 juta USD, yang ditawarkan pada harga 108%, dengan tingkat suku
bunga 9% per tahun yang akan jatuh tempo pada tahun 2015 (Laporan
Keuangan, 2011). Dana dari penerbitan obligasi ini diperuntukkan bagi
pendanaan kembali obligasi perseroan yang jatuh tempo pada bulan Maret
2011 serta hutang-hutang jangka pendek lainnya (Lihat Laporan Keuangan
Tahun 2011).
b. Pada pertengahan tahun 2011, perseroan menerbitkan 1.450 juta lembar saham
baru melalui skema direct placement yang menghasilkan dana 975 miliar
rupiah atau sekitar 112 juta USD. Dana yang diperoleh ini digunakan untuk
mendanai sebagian akuisisi 27,24% kepemilikan LMIRT yang tercatat di
Bursa Efek Singapura dan 40% kepemilikan pada manajerial LMIRT.
Transaksi ini mengakibatkan Lippo Karawaci sebagai pemilik mal terbesar di
Indonesia dan merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Di tahun
2011, investasi pada unit-unit REIT meningkat menjadi 2.313 miliar rupiah
dari 406 miliar rupiah di tahun 2010 (Lihat Lampiran Laporan Keuangan
2011).
c. Ekuitas Perseroan tumbuh dari 7.710 miliar rupiah pada tahun 2010 menjadi
8.834 miliar rupiah pada tahun 2011, terutama sebagai hasil suksesnya
pelaksanaan penambahan modal tanpa HMETD (non pre-emptive right issue)
di bulan Juni 2011 yang meningkatkan modal sebesar 957 miliar rupiah.
Sementara itu, laba ditahan juga naik sebesari 29% menjadi 2.908 miliar rupiah
dari 2.254 miliar rupiah pada tahun 2010 (Lihat Lampiran Laporan Keuangan
Tahun 2010).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
282

3. Langkah ketiga: Melakukan proses pemindaian dan pencarian informasi


mengenai perubahan teknologi dan pasar.
Di dalam perseroan, proses pemindaian dan pencarian informasi dilakukan
oleh setiap unit bisnis. Divisi riset tidak dipisahkan dengan divisi pengembangan.
Semua umpan balik diolah dan dievaluasi untuk mengidentifikasi aksi untuk adanya
perbaikan/pengembangan ataupun kemungkinan penciptaan produk baru. Aktivitas
pengembangan dan riset ini masih digabungkan dengan pertimbangan efisiensi.
Dalam konteks strategic entrepreneurship, langkah ini merupakan upaya mendorong
timbulnya entrepreneurial alertness yang dibina tidak hanya di bagian riset saja tapi
sedapat mungkin semua divisi dapat mengasah dimensi dari entrepreneurial mindset
ini (Ireland, 2003).

“... Sebagai negara yang belum berkembang, masalah aktivitas riset dan
pengembangan umumnya dijadikan satu dengan pertimbangan
efisiensi.Karena jika kedua aktivitas ini digabungkan hanya akan
meningkatkan biaya (cost cemter) dan dianggap tidak feasible, tidak
komersiil.....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo
Karawaci).

Praktik yang dilakukan terkait dengan perubahan teknologi adalah aplikasi


teknologi baru untuk membangun sistem manajemen SDM yang terintegrasi dengan
sistem informasi perusahaan. Dalam konteks teknologi informasi, perseroan memiliki
komitmen untuk mengadopsi semua teknologi yang affordable dan untuk kemudian
melakukan digitalisasi semua operation line di dalam perseroan. Detail prosedur
pekerjaan yang direpresentasikan ke dalam bentuk operation line berdasarkan
conveyor belt system memudahkan pengendalian dan antisipasi atas kemungkinan
kerusakan/delay yang akan terjadi. Hal ini menunjang efisiensi dan efektivitas
operasional perusahaan. Konsep ini merupakan ide dasar dari penerapan
Nanotechnology di bidang manajemen atau yang disebut Mochtar Riady (MR)
sebagai Nanotechnology Management Style (NTMS).
Aktivitas sensing perseroan dalam hal searching technological change
terlihat dalam pencarian global practice di bidang bisnis utama perusahaan (urban

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
283

development, large scale integrated, retail mall, healthcare, hospitality, dan infra
structure and portofolio management). Aktivitas ini menonjol di bidang kesehatan
dengan diadopsinya sistem dual source “somatom” multi slice CTScan serta
penerapan manajemen Memorial Park dari Amerika untuk San Diego Hills.

“... Kami tidak segan belajar dari luar, misalnya manajemen pemakaman itu,
kami ambil dari Amerika tuh, di sini kan enggak kepikiran orang-orang bikin
pemakaman yang berfungsi sekaligus sebagai tempat wisata. Saya lihat tuh
bagaimana satu keluarga turun dari mobilnya, kemudian mengunjungi
makam anaknya, sambil berdarmawisata karena senang dengan konsep yang
kita tawarkan....” (Hasil wawancara Wijaya, pada Juni 2012, Lippo
Karawaci).

Sejak tahun 2010, aplikasi teknologi untuk manajemen SDM sudah mulai
diterapkan sehingga menunjang interaksi antar karyawan dan membangun kerjasama
tim (hasil cognitive map, 2012). Manfaat yang dirasakan dalam penggunaan teknologi
di bidang SDM ini terkait dengan metode pengukuran kinerja secara self assessment,
aplikasi cuti, print out gaji, komunikasi antar divisi, dan keterbukaan informasi.

4. Langkah keempat: Menyediakan forum untuk berdiskusi mengenai kesempatan


untuk melakukan inovasi.
Diskusi ini terjadi dalam forum pertemuan formal yang melibatkan direksi
dan eksekutif dan menyediakan forum pertemuan informal dengan pendiri
perusahaan. Aktivitas ini terjadi pada manajemen puncak.
Rapat Dewan Direksi dilaksanakan secara rutin yang diselenggarakan
berdasarkan kebutuhan dan untuk memutuskan kebijakan dan keputusan strategis,
laporan keuangan dan kinerja perseroan. Biasanya dalam setiap rapat Dewan Direksi
akan dipimpin langsung oleh Presiden Direktur atau anggota yang ditunjuk oleh
Dewan Direksi. Pengambilan keputusan harus dilakukan berdasarkan musyawarah
dan mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, maka keputusan dapat diambil dengan
cara pemungutan suara dengan syarat lebih dari ½ (setengah) jumlah suara yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
284

dikeluarkan dalam rapat. Dalam hal jumlah suara setuju dan tidak setuju berimbang,
maka Ketua Rapat Direksi yang dapat mengambil keputusan/menentukan.

Tabel 7.1. Daftar Hadir dan Agenda Pertemuan Dewan Direksi Tahun 2011

Tanggal Agenda KBW TL JR EYS DH RF IB


28 Maret Kinerja unit bisnis - -
11 April Legal cases - -
2 Mei Kinerja unit bisnis
9 Mei IFRS -
23 Mei Kinerja unit bisnis - -
30 Mei Kinerja unit bisnis - -
20 Juni Sumber daya manusia - - -
27 Juni Kinerja bisnis keseluruhan - - -
25 Juli Kinerja unit bisnis - - -
1 Agust Internal audit - -
12 Sept Kinerja unit bisnis - - -
19 Sept Kinerja unit bisnis - - -
26 Sept Kinerja unit bisnis
14 Nov Kinerja bisnis keseluruhan -
12 Des Kinerja unit bisnis
KBW: Ketut Budi Wijaya, TL: Tjokro Libianto, JR: Jopy Rusli, EYS: E. Yudhistira
Susiloputro, DH: Djoko Harjono, RF: Roberto F. Feliciano, IB: Ivan Setiawan Budiono
Sumber: Laporan Keuangan 2011

Berdasarkan Tabel 7.1, terlihat bahwa frekuensi rapat terjadi sebanyak 17


kali dalam periode tahun 2011 dengan tingkat kehadiran rapat direksi lebih dari 57%.
Adapun agenda rapat berupa kinerja dari masing-masing unit bisnis, kinerja bisnis
secara keseluruhan, manajemen SDM, dan internal audit. Diskusi tentang aktivitas
inovasi biasanya terjadi ketika agenda rapat berkaitan dengan kinerja unit bisnis,
kinerja perseroan secara keseluruhan dan manajemen SDM. Dalam proses diskusi ini
pemimpin rapat membuka ruang untuk perbedaan pendapat, sehingga walaupun
keputusan direksi semaksimal mungkin dicapai melalui musyawarah mufakat tetapi
tidak menutup kemungkinan dicapai melalui voting.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
285

Peran pendiri perusahaan terlibat secara aktif dalam diskusi formal (rapat-
rapat) dan forum informal (pertemuan pribadi) baik tentang peluang inovasi maupun
pengembangan bisnis (hasil Cognitive Map, 2012). Secara kuantitatif, interaksi antara
manajemen puncak dengan pendiri perusahaan lebih banyak terjadi dalam ruang
diskusi informal baik acara minum teh, makan siang, makan malam ataupun acara
informal lainnya. Konten pembicaraan antara Presiden Direktur dengan pendiri
perusahaan biasanya terkait dengan transfer of knowledge dalam identifikasi peluang
serta pengalaman pekerjaan yang dapat dijadikan refleksi untuk merencanakan
aktivitas bisnis di masa yang akan datang. Berikut kutipan wawancara dengan
manajemen puncak dengan pendiri perusahaan:
“... Kepeloporan menjadi nilai dalam bekerja, setiap hari harus memperbaiki
diri…beliau adalah administratur yang baik dalam hal organisasi, bisnis
proses dan finansial…yang paling penting adalah belajar itu dituangkan
dalam kerja sehari-hari… hal yang simple tapi punya nilai bisnis yang
tinggi..tempat kerja menjadi tempat belajar....” (Manajemen Puncak, hasil
wawancara pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

Sementara itu prinsip dalam memandang peluang sangat jelas tercermin


dalam kutipan wawancara dengan pendiri perusahaan sebagai bagian filosofi Chinese:
“... Krisis itu merupakan peluang…di balik kesulitan pasti ada jalan…dalam
menghadapi krisis, sikap kolektif dan mengutamakan kepentingan bersama itu
mutlak…syarat belajar itu harus rendah hati, berani mencoba dan trust....”
(Hasil wawancara Riady, pada Juli 2010, Lippo Karawaci).

Pernyataan di atas menyiratkan betapa pentingnya kebersamaan dan


prioritas dalam bekerja terutama dalam menghadapi krisis. Selain itu modal utama
sebagai entrepreneur adalah kemauan belajar menghadapi krisis dengan syarat rendah
hati, tidak takut untuk melakukan perubahan serta kepercayaan di antara sesama
anggota organisasi. Sikap ini sesuai dengan kajian Alvarez dan Busenits (2001) yang
menekankan peran entrepreneur dalam menentukan peluang inovasi.

5. Langkah kelima: Mengembangkan konsensus diantara senior manajer mengenai


strategi yang akan diambil.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
286

Seperti yang diucapkan dalam kutipan sebelumnya bahwa kesepakatan di


antara anggota organisasi, dalam konteks ini adalah anggota tim manajemen puncak,
menjadi penting artinya untuk merumuskan kesepakatan yang dalam suatu diskusi.
Hal ini juga tercermin dalam agenda rapat sebanyak 17 kali di tahun 2011 dimana
pada awal pertemuan selalu disepakati ulang hasil rapat di tanggal sebelumnya
sebelum memulai rapat hari tersebut. Kesepakatan ini dituangkan dalam berita acara
dan ditandatangani oleh anggota manajemen puncak yang hadir. Tabel 7.2
menunjukkan adanya penandatangan kesepakatan pada setiap rapat dewan direksi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
287

Tabel 7.2. Penandatangan Kesepakatan Pada Setiap Rapat Dewan Direksi

KBW: Ketut Budi Wijaya, TL: Tjokro Libianto, JR: Jopy Rusli, EYS: E. Yudhistira
Susiloputro, DH: Djoko Harjono
* Mr. Djoko Harjono joined Lippo Karawaci in his capacity as a Director, with effect from 3 May
2010.
0 : Absent, 1 : Attend
Sumber: Laporan Tahunan Lippo Karawaci, 2010

Konsensus pada level strategis menjadi penting karena merupakan mesin


pendorong yang dapat menjaga keberlangsungan kebijakan yang sudah diputuskan.
Oleh sebab itu membangun konsensus di tataran manajemen puncak menjadi

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
288

prasyarat untuk terciptanya komitmen terhadap suatu kebijakan. Dalam rujukan


penelitian di manajemen puncak Lippo Karawaci pola membangun konsensus terlihat
dalam pemikiran dan langkah-langkah yang diambil lebih mengedepankan jalur
kompromi atau kerjasama tim terutama dalam tim manajemen puncak. Dalam
konteks ambidexterity maka membangun konsensus merupakan proses yang dimulai
dari mengembangkan pemahaman dan kesepakatan bersama mengenai pentingnya
melakukan aktivitas pengembangan sekaligus inovasi secara seimbang yang
kemudian membangun dukungan untuk tercapainya keseimbangan tersebut.
Konsensus di tataran manajemen puncak terjadi ketika diskusi formal dan
non formal terjadi dengan beberapa aturan dasar yaitu: memperkenankan adanya
klarifikasi, memperbolehkan memperdebatkan butir-butir yang diagendakan dalam
rapat, bersifat profesional dan yang paling penting adalah memastikan bahwa debat
dan diskusi yang terjadi bukan pada orang atau personal tetapi pada suatu masalah
terkait. Selain itu, agar diskusi bersifat terarah biasanya pemimpin rapat berperan
penting dalam memastikan diskusi pada rapat mengarah pada isu tertentu bukan pada
orang terkait, terutama saat konflik terjadi dan memperkenankan untuk melanjutkan
diskusi di luar rapat formal. Syarat berikutnya dalam membangun konsensus adalah
memperkenankan semua anggota tim memberikan masukan secara bebas dan tanpa
tekanan sehingga butiran yang menjadi bahan diskusi adalah merupakan keputusan
yang disepkati bersama.
Penanganan benturan kepentingan diatur dalam laporan tahunan perseroan
secara detail dimana jika kepentingan perseroan berbenturan dengan kepentingan
anggota direksi atau tim manajemen puncak maka perseroan akan diwakili oleh salah
satu anggota direksi. Sedangkan jika seluruh anggota direksi mempunyai benturan
kepentingan dengan perseroan maka perseroan akan diwakili oleh salah satu anggota
dewan komisaris. Direksi dilarang mengambil tindakan yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan perseroan dan wajib mengungkapkan benturan kepentingan
apapun yang terjadi di dalam setiap pengambilan keputusan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
289

6. Langkah keenam: Mengambil keputusan strategis yang menyeimbangkan antara


aktivitas eksploitasi dan eksplorasi.
Keputusan yang dihasilkan pada tataran strategis sebaiknya mengakomodir
indikator organisasi ambidextrous. Dalam konteks ambidextrous, Lippo Karawaci
sudah melakukan aktivitas eksplorasi dalam inovasi dan juga eksploitasi dalam
inovasi (Jansen, 2005) ketika Lippo Karawaci melakukan aktivitas yang penulis
kategorikan seperti tertera dalam Tabel 7.3 sebagai berikut.

Tabel 7.3. Firm Level Exploitative and Exploratory Innovation

Firm Level Exploitative and Exploratory Innovation


Exploratory Innovation
Menerima permintaan yang di luar produk
Memberikan produk unggulan
dan jasa yang sudah ada.
Pemukiman dengan konsep kota mandiri; Konsep
Menemukan produk dan jasa yang baru. taman pemakaman; Integrasi pemukiman dengan
konsep Superblok; Recycle Capital.
Layanan kesehatan yang dengan peralatan canggih;
Melakukan percobaan dengan meluncurkan
Peluncuran San Diego Hills dan Funeral Homes di
produk dan jasa baru di pasar lokal.
Karawang; Penerbitan LMIRT dan First REIT.
Kerjasama rumah sakit dengan Puskesmas;
Kerjasama mutual fund dengan Singapore Stock
Menggunakan saluran distribusi yang baru. Exchange; Kerjasama penjualan, pemasaran dan
penentuan harga dengan Bank; Promosi untuk MICE
di perhotelan menggunakan jaringan pengusaha.
Ekspansi ke wilayah timur Indonesia yaitu Sulawesi
Mencari pasar baru. (GTC Makasar); Malang (MTC); Sumatera Utara
(Grand Palladium); Surabaya (City of Tomorrow)
Exploitative Innovation
Evaluasi produk dilakukan secara periodik dan
Melakukan perbaikan atas produk yang ada.
sebelum meluncurkan produk yang sejenis.
Bagian riset disatukan dengan bagian pengembangan
Melakukan penyempurnaan kecil secara
untuk memudahkan proses perbaikan sehingga semua
rutin pada produk yang ada.
unit melakukan proses pembelajaran yang sama.
Efisiensi di bidang pendanaan dengan penerbitan First
REIT dan LMIRT; Penyusunan Operation Line untuk
Efisiensi atas produk yang ada. setiap prosedur pekerjaan; Multi tasking SDM
sehingga dapat dilakukan mutasi dan rotasi sesuai
kebutuhan perusahaan.
Pembangunan pemukiman dalam jumlah besar; large
Skala ekonomis dalam produksi.
scale integrated development.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
290

7. Langkah ketujuh: Membuat penyesuaian antara model bisnis yang ada dengan
strategi. Model bisnis Lippo Karawaci ditunjukkan dalam Gambar 7.1.

Sumber : Investor Relation, 2011

Gambar 7.2. Most Integrated Business model Lippo Karawaci

Sebagai pengembang maka Lippo Karawaci harus mengoptimalkan


recycling capital melalui kemampuan pengembang. Pengalaman sebagai
pengembang kota mandiri, property residensial, rumah sakit, mal, ritel; kemampuan
manajemen keuangan; pemasaran yang sophisticated dan market capitalization,
Lippo Karawaci mengkombinasikannya dengan asset-light dan kepemilikan landbank
yang tersebar di wilayah tanah air. Proyek-proyek diintegrasikan sehingga
meningkatkan nilai dari masing-masing unit bisnis. Penjualan produk dan jasa yang
dilakukan berkontribusi ke dalam penerimaan yang bersifat development dan
recurring. Lippo Karawaci menutup tahun buku 2011 dengan peningkatan
pendapatan sebesar 34%, laba bersih meningkat sebesar 35% (EBITDA 1,1 triliun
rupiah) dan kapitalisasi pasar mencapai 15 triliun rupiah. Strategi kunci yang
dicanangkan oleh perusahaan untuk 5 tahun ke depan (Lippo Karawaci, Investor
Relation Presentation, 2011) adalah:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
291

a. Mencapai target pendapatan dari 3 juta USD menjadi 5 juta USD dalam lima
tahun ke depan.
b. Mencapai kinerja market capitalization sebagai ukuran nilai pasar dalam
jangka pendek untuk menjadi leadership premium sebagai proksi keunggulan
bersaing perusahaan dibandingkan pesaing lainnya.
c. Memiliki investor dalam skala global di mana mulai melakukan go public
secara berkala yang dimulai dari bursa efek Singapura dan akan dilanjutkan
dengan bursa efek di negara lainnya.
d. Memperkuat kelompok usaha residential/township.
e. Merealisasikan pendapatan dari kelompok ritel senilai 3 juta USD untuk tahun
2013.
f. Mencapai target pendapatan dari unit bisnis kelompok rumah sakit menjadi
3,5 juta USD dalam lima tahun sejak tahun 2012.
g. Mengembangkan asset management/REIT dalam lima tahun untuk
mendukung pendanaan global.
h. Lebih fokus dalam mengembangkan kelompok perhotelan dengan
membangun recurring revenue yang luar biasa.

Dari hasil cognitive map, dapat dikatakan bahwa kemampuan perusahaan


dalam mencari alternatif pendanaan maupun kemampuan untuk melakukan
peminjaman ternyata menaikkan kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba
(Helfat 1999; hasil cognitive map, 2012). Pengembangan bisnis menaikkan modal
kerja sehingga perseroan dapat lebih aktif dalam melakukan inovasi baik secara
eksploratif maupun eksploitatif sehingga meningkatkan kemampuan perseroan dalam
memperoleh laba. Hal ini tercermin dalam model bisnis yang saling terintegrasi antar
unit bisnis yang menjadi pilar perseroan. Model bisnis yang terintegrasi dan strategi
yang ditetapkan saling mendukung keberhasilan pencapaian profitabilitas perusahaan.
Selain itu pengembangan bisnis yang terintegrasi ini menaikkan reputasi perseroan
dan entrepreneur atau pendiri perusahaan (hasil cognitive & causal map, 2012). Citra
perseroan direpresentasikan dengan diterimanya penghargaan sebagai Best Developer

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
292

2011 dan Best Award dari Asosiasi Rumah Sakit Indonesia 2012 karena berhasil
mengembangkan rumah sakit di daerah.

8. Langkah kedelapan: Melakukan pengalokasian sumber daya dan waktu terhadap


strategi yang akan dipilih.
Komitmen ini dilakukan baik oleh manajemen puncak dan senior ekskutif
dengan persetujuan dewan komisaris. Untuk mencapai strategi yang sudah ditetapkan
maka sumber daya baik tangible maupun intangible dialokasikan sesuai dengan
kebutuhan. Berdasarkan hasil cognitive map dan kebutuhan implementasi strategi
yang sudah ditetapkan, maka sumber daya finansial dan SDM yang ditunjang oleh
penerapan teknologi informasi adalah yang paling krusial (hasil cognitive & causal
map, 2012). Lebih lajut ditegaskan bahwa SDM merupakan sumber daya kritis yang
dapat dimanfaatkan untuk menjalankan strategi perusahaan (Carnelli dan Tisler 2004
dalam Notnagel, 2007). Bahkan Barney menyatakan bahwa SDM merupakan sumber
daya yang memiliki nilai (Barney, 2004).
Terkait dengan strategi yang dikembangkan perusahaan, landbank yang
besar merupakan aset bernilai yang belum tentu dimiliki oleh perseroan lain. Hal ini
ditegaskan oleh Miller dan Shamsie (1997) bahwa tanah dan bangunan merupakan
harta yang bernilai. Hasil cognitive & causal map juga menunjukkan penegasan
kembali bahwa pengembangan usaha dengan proksi jumlah total aset (termasuk di
dalamnya adalah tanah dan bangunan) merupakan determinan dalam meningkatkan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba karena berpengaruh terhadap modal kerja
bersih perusahaan (hasil cognitive map, 2012).

9. Langkah kesembilan: Melakukan rekombinasi dan rekonfigurasi aset dan struktur


organisasi yang diperlukan.
Langkah ini dalam konsteks dynamic capability merupakan langkah
rekonfigurasi dan kombinasi yang merupakan assets orchestration, yaitu tentang
bagaimana organisasi mempertahankan kesesuaian dengan lingkungannya. Sesuai
dengan Teece (2006) jika perubahan lingkungan bersifat incremental maka penjajaran

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
293

struktur, proses, orang dan budaya yang dilakukan bersifat perlahan. Tetapi manakala
perubahan sangat turbulen maka perubahan yang dilakukan berlangsung secara
paralel.
“... Struktur kami tidak baku… tiap hari bisa kami mendiskusikan struktur di
rapat dewan direksi....” (Hasil wawancara pada 29 Agustus 2012, Lippo
Karawaci)

“... Pola manajemen mengikuti pola environmental (pragmatis)....” (Hasil


wawancara Abeng, pada Juli 2012, Kuningan, Jakarta).

Kapasitas perusahaan untuk menyesuaikan sumber dayanya terkait dengan


perubahan dan kompetisi lingkungan yang terjadi, dapat menghasilkan kinerja
perusahaan yang superior. Secara tidak langsung, dynamic capability mencerminkan
kemampuan belajar perusahaan di masa yang lalu sebagai proses pembelajaran
kolektif melalui yang dapat membantu perusahaan untuk melakukan penyesuaian
secara cepat dan efektif. Hal ini tentunya memerlukan kemampuan entrepreneurial di
level strategis perusahaan yang dapat memadukan antara aktivitas opportunity
seeking dan advantage seeking. Opportunity seeking merupakan isu sentral dari area
entrepreneur sedangkan advantage seeking merupakan isu sentral di bidang
manajemen stratejik. Dua area ini menjadi bidang kajian baru yang mendapat
perhatian dari para peneliti yaitu strategic entreprenreurship (Klein, et al, 2012).

7. 2. Implikasi Cognitive Map di dalam Strategic Ambidexterity melalui Top


Management Team Cognition.
Dalam membangun strategic ambidexterity sistem 2 ini, asumsi yang
mendasarinya dibangun dari penelitian sebelumnya adalah: Pertama, Top
Management Team Cognition berdampak pada kinerja organisasi. Kedua, perilaku
dan keputusan dari Top Management Team berkaitan dengan variasi kerangka dan
pemahaman anggota tim dalam pengambilan keputusan. Berikut ini adalah
perbandingan langkah-langkah dalam model konseptual yang dibandingkan dengan
hasil cognitive & causal map, kerangka teori dan pemahaman peneliti dan pemangku
kepentingan di rujukan penelitian.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
294

1. Langkah pertama: Framing organizational vision untuk mencapai tujuan.


Secara teoritis, terdapat variasi di antara Top Management Team dalam
memahami visi organisasi. Fokus dalam cognitive ambidexterity adalah bagaimana
pemahaman pendiri perusahaan (Chief Executive Officer) dalam mengartikulasikan
visi organisasi. Oleh sebab itu aktor di langkah ini melibatkan pemimpin bisnis dan
anggota tim manajemen puncak. Berdasarkan penelitian terdahulu, pemimpin bisnis
memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menentukan arah diskusi dalam tim
manajemen puncak dan pengambilan keputusan (Smith, 2005).
Dalam melakukan penilaian tentang tujuan pemimpin bisnis, peneliti
mengidentifikasi bagaimana fokus pemimpin bisnis terhadap produk dan jasa yang
sudah ada apakah fokus pada inovasi yang sifatnya eksploitatif, eksplorasi atau
bahkan keduanya. Hal ini tentunya dapat diidentifikasi dari hasil wawancara,
dokumen, dan arsip perusahaan.
Langkah pertama ini menjadi penting karena pemimpin bisnis menjadi
penentu arah diskusi di tataran manajemen puncak yang pada gilirannya akan menjadi
keputusan strategis. Beberapa pernyataan dari pendiri yang dikonfirmasi oleh
manajemen puncak dapat menjadi ukuran ke arah mana framing dari senior leader’s
articulation of strategic goal. Untuk konteks Lippo Karawaci, Tabel 7.4
menunjukkan fokus tujuan dari perusahaan yang dilihat dari pernyataan pemimpin
bisnis dan manajemen puncak.

Tabel 7.4. Framing: Senior Leader’s Articulation of Strategic Goals

Case Senior Leader’s Articulation of Strategic Goals Focus of Goals

“… Krisis itu harus dipandang sebagai peluang… Harus


Focus on exploratory
hati-hati dengan ongkos, juga hati-hati saat mau investasi,
Balancing innovation and
hati-hati dengan belanja tapi jangan tutup mata terhadap
exploitative innovation
opportunity.…” (Riady)
Focus on exploratory
“…. Pola manajemen mengikuti pola environmental,
Balancing innovation and
manajemen bersifat pragmatis….” (Abeng)
exploitative innovation

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
295

Case Senior Leader’s Articulation of Strategic Goals Focus of Goals

“… Ngedrive struktur mengikuti pola perusahaan


komersial…drivenya profit…yang rasional dan possible
Focus on exploratory
seperti apa… diskusi tentang struktur hampir tiap
Balancing innovation and
hari…kami tidak mengikuti model yang baku, karena
exploitative innovation
sangat luas cakupan scopenya, jadi bisa efisien karena
skala ekonomis….” (Wijaya)
“… Perubahan pola bisnis yang original keuangan, Focus on exploratory
Balancing kemudian properti, terus kesehatan dan sekarang masuk innovation and
media…. ” (Abeng) exploitative innovation
“…Visi impacting life, bisnis apapun harus menyentuh
semua kehidupan… jual rumah sekaligus tempat wisata, Focus on exploratory
Balancing landmark… perusahaan yang berhasil adalah yang bisa innovation and
memberikan pekerjaan untuk masyarakat dan menyentuh exploitative innovation
kehidupan masyarakat…” (Riady)
“… Model bisnis yang unik, satu-satunya di Indonesia,
yaitu most integrated business model in Indonesia Focus on exploratory
Balancing Property Sector… sebagai model bisnis inovatif dan innovation and
memperhatikan eksisting product yang kami punya…” exploitative innovation
(Wijaya)
“… Kita memiliki portofolio yang memaksimalkan Focus on exploratory
Balancing eksisting bisnis, mengejar pertumbuhan yang tercermin innovation and
dalam key strategies.…” (Wijaya) exploitative innovation
Focus on exploratory
“… Manajemen puncak harus punya kepeloporan,
Balancing innovation and
loyalitas, kejujuran, pembelajaran…” (Riady)
exploitative innovation
“… Kita harus berani mengambil risiko… tentunya Focus on exploratory
Change
dengan perhitungan yang matang.…” (Riady) innovation
“….Semua dimulai dari tidak ada menjadi ada… dari Focus on exploratory
Change
kecil menjadi besar…saya selalu begitu.... ” (Riady) innovation
“… Kalo Lippo Karawaci bangun sesuatu, berusaha terus
Foqus on exploitative
Sustaining di menej, supaya tetap terjaga keberlangsungannya…. ”
innovation
(KBW)
Foqus on exploitative
Sustaining “…manajemen efisien… ” (Abeng)
innovation
“…karyawan multi tasking, jadi efisiensi luar biasa….” Foqus on exploitative
Sustaining
(Wijaya) innovation
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Tabel 7.4 menunjukkan bahwa untuk menilai goals dari pemimpin, dapat
dilihat dari artikulasi leader’s goals dan bagaimana eksekutif mengartikulasikan
leader’s goals. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, terlihat bagaimana
eksekutif memfokuskan goalsnya hanya pada existing product sehingga melakukan
inovasi yang bersifat eksploitatif. Kebalikannya bagaimana eksekutif juga dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
296

memfokuskan goals-nya hanya pada exploratory innovation atau bahkan keduanya.


Persepsi eksekutif dalam mengartikulasikan tujuan organisasi terkait dengan mode
pemimpin apakah ke arah balancing, change atau sustaining.
Hasil Cognitive Map menunjukkan bahwa entrepreneur sebagai pendiri dan
pemilik perusahaan melakukan dua hal, yaitu membangun motivasi karyawan dan
koordinasi. Sebagai pemimpin bisnis yang memiliki konsepsi bisnis dan
entrepreneur, tidak dapat melakukannya sendiri. Entrepreneur mendirikan
perusahaan, mempekerjakan karyawan dan - akibatnya - menghadapi kemungkinan
masalah keagenan. Dalam rangka mewujudkan konsepsi usahanya seorang pemimpin
harus mengkoordinasikan saran dari karyawannya dan untuk memotivasi
karyawannya agar memberikan usaha yang terbaik yang dapat mereka berikan.
Penyampaian konsep bisnis kepada karyawan dikomunikasikan dan diperdebatkan
dalam proses kognitif. Oleh sebab itu disebut kepemimpinan kognisi (Cognitive
leadership)(hasil cognitive & causal map, 2012). Penyampaian konsepsi bisnis ini
tercermin dalam diskusi di ranah kognitif tentang visi misi organisasi sehingga terjadi
konvergensi dalam visi misi manajemen puncak dengan pemilik perusahaan.
Berdasarkan kajian Smith (2005), percakapan alamiah di tataran manajemen
puncak mencerminkan adanya information processing. Dalam model konseptual ini,
maka information processing yang terjadi dapat diidentifikasi pada langkah kedua,
langkah ketiga, langkah keempat, dan langkah kelima. Perbedaannya adalah pada
langkah kedua dan ketiga merupakan pemrosesan informasi terkait dengan
legitimizing differences, sedangkan langkah keempat dan langkah kelima merupakan
pemrosesan informasi terkait dengan reinforcing integration.

2. Langkah kedua: Melakukan proses pengenalan dan mengartikulasikan perbedaan


diantara kedua produk.
Aktifitas inovasi berbeda dengan pengembangan produk yang ada dalam hal
strategi dan berbagai aspek dalam arsitektur organisasian. Dimana inovasi terkait
dengan aktivitas percobaan dan proses pembelajaran sedangkan pengembangan
produk yang ada terkait dengan efisiensi dan kejelasan. Sesuatu yang baru biasanya

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
297

menimbulkan efek kelembaman (inertia) baik dalam hal struktur maupun strategi
(Smith, 2005).
Kelembaman atau inertia yang terjadi harus dihilangkan agar dapat
memunculkan aktivitas inovasi dan tumbuh bersamaan dengan pengembangan
produk yang sudah ada. Untuk menghilangkan kelembanan (inertia) tersebut di atas,
maka pemimpin harus dapat memfasilitasi semua anggota tim untuk dapat sebanyak
mungkin mengemukakan pendapatnya tentang inovasi dan pengembangan produk
yang sudah ada. Diskusi yang terjadi meliputi identifikasi dan perbedaan kedua
aktivitas tersebut. Proses pembelajaran dilakukan melalui diskusi formal maupun
informal yang diikuti oleh pendiri perusahaan, eksekutif dan dewan komisaris.
Dewan komisaris selalu dilibatkan terutama karena fungsinya sebagai supervisory
boards yang mengawasi jalannya perusahaan.

“... Kami disarankan untuk tidak takut berinovasi… hati-hati dalam


berinvestasi tetapi selalu melihat opportunity….tidak ada pemisahan antara
bagian riset dan pengembangan… semua bagian dan divisi harus belajar dan
tiap masukan menjadi feedback… yang diolah dan dievaluasi .. dalam rangka
menciptakan produk baru….Cara ini kami anggap efisien karena kalo
dipisahkan akan menjadi cost center.....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29
Agustus 2012, Lippo Karawaci).

“... Kami tidak mengerti soal rumah sakit, maka kami belajar ke Singapura,
alasannya karena punya township maka kami kerjasama berupa Joint
Venture dengan Mount Elizabeth…kemudian kami belajar dan akhirnya bisa
mengambil alih dan beroperasi sendiri... skrg sudah akreditasi dari USA....”
(Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).

“... Mengenai perubahan teknologi... selama masih affordable... kami


berkomitmen untuk mengadopsi teknologi baru… yakin bahwa di masa yang
akan datang… penguasaan di bidang teknologi menjadi penting…misalnya
Cancer Center… pake Gamma Knife....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29
Agustus 2012, Lippo Karawaci).

3. Langkah ketiga: Melakukan klarifikasi kebutuhan dan perbedaan antara kedua


produk.
Langkah ketiga sangat terkait dengan langkah kedua karena pada tahap ini
masih terjadi pemrosesan informasi terkait dengan inovasi maupun pengembangan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
298

produk. Tahap ini sangat baik karena sekaligus sebagai upaya untuk mendapatkan
keputusan yang tepat dan sinergis karena dapat melakukan eksplorasi perbedaan
antara aktivitas inovasi dan pengembangan. Evaluasi dan perbandingan dapat
dilakukan lebih rinci dan mengantisipasi berbagai kemungkinan ketidaksiapan
perseroan. Pada tahap ini, eksekutif sudah mulai berinteraksi melalui diskusi dengan
anggota tim yang lain tentang pentingnya efisiensi dalam pengembangan produk yang
ada.
Strategi kunci yang ditetapkan oleh Lippo Karawaci adalah transformasi
menjadi perusahaan properti terkemuka dengan orientasi pendapatan dan
pertumbuhan yang tinggi (Investor Presentation, Desember 2012). Oleh sebab itu,
dorongan untuk mengoptimalkan pendapatan dari sisi recurring menjadi sangat
krusial. Masing-masing bisnis unit memiliki kontribusi yang signifikan dalam
pendapatan perusahaan. Arahan pendiri perusahaan untuk menguatkan peran aktivitas
yang mengahsilkan recurring revenue merupakan pilihan yang memiliki implikasi
berbeda dengan aktivitas yang memberikan development revenue. Prospek dan
kondisi yang menjanjikan dari sisi recurring membuat manajemen puncak
menyepakati kenaikan target penerimaan dari aktivitas yang menyumbang recurring
revenue, yaitu dari bidang pelayanan kesehatan, ritel, aset manajemen.
Pada tahun 2011, penerimaan perseroan dari sisi recurring lebih dari 50%
(Laporan Keuangan Lippo Karawaci, 2011). Gambar 7.2 di bawah ini menunjukkan
kenaikan prosentasi penerimaan di sisi recurring untuk dua tahun sebelumnya yaitu
tahun 2009 dan 2010 dibandingkan dengan development revenue.

Sumber: Laporan Keuangan Lippo Karawaci, 2010


Gambar 7.3. Komposisi Recurring Revenue dan Development Revenue Lippo Karawaci
Tahun 2009 dan 2010

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
299

Gambar 7.3 menunjukkan terjadi kenaikan prosentase pendapatan dari


aktivitas yang menghasilkan recurring revenue yaitu sebesar 11% di tahun 2009 dan
15% di tahun 2010. Sedangkan di tahun 2011 meningkat pesat menjadi 50%. Data
inilah yang membuat manajemen puncak merasa yakin dengan target yang ditetapkan
untuk tahun mendatang. Oleh sebab itu diskusi dengan masing-masing manajer di
unit bisnis menjadi semakin intens. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi pertemuan
yang rutin di tingkat strategis yang melibatkan unit-unit bisnis. Demikian pula halnya
pelaporan kinerja dari masing-masing unit bisnis dilaksanakan dua bulan sekali
kepada Dewan Komisaris.
Pemrosesan informasi yang terjadi melibatkan organ tata kelola perseroan di
Lippo Karawaci. Sebagai organ penting dalam tata kelola perusahaan, maka
kehadiran dewan komisaris adalah sebagai lembaga yang mengawasi manajemen
yang memastikan operasional perusahaan sesuai dengan kepentingan semua
stakeholder, termasuk di dalamnya mengevaluasi kinerja masing-masing unit bisnis
dan penetapan rencana yang akan datang. Proses yang terjadi digambarkan dalam
Gambar 7.4 berikut.

LIPPO
Rapat
Dewan mingguan Dewan
Direksi dan Komisaris
bulanan

Unit Bisnis Perbedaan, kesamaan,


feedback

Sumber: hasil olahan penulis, 2012


Gambar 7.4. Information Processing

Diskusi tentang manajemen dan unit bisnis dilaporkan di depan Dewan


Komisaris untuk didiskusikan. Program pengembangan dan inovasi disajikan dengan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
300

mengetengahkan perbedaan yang mungkin terjadi. Pertemuan bersifat terbuka dan


resiprokal, saling memberikan masukan, mengakomodir perbedaan dan setiap
masukan menjadi feedback bagi perbaikan rencana bisnis berikutnya.

“... Manajemen selalu membuka diri, kadang Pak James juga memberikan
saran tentang pengembangan bisnis atau inovasi yang kadangkala tidak
terpikirkan, misalnya tentang San Diego Hills....” (Hasil wawancara Wijaya,
pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

“... atau komisaris juga memberikan masukan,misalnya untuk produk yang


akan diluncurkan, atau ide baru…kita terima sebagai masukan untuk
evaluasi....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

“... Inovasi biasanya mengalir di level pimpinan… kami belajar dari pendiri
perusahaan, berbagi pengalaman… kalo karyawan sih melaksanakan saja....”
(Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).

Dari hasil Cognitive Map, interaksi antara manajemen, pendiri, dan dewan
komisaris perusahaan saling berkaitan. Interaksi antara pendiri perusahaan dengan
manajemen puncak menambah pengalaman manajemen puncak dalam mengelola
perusahaan, baik operasional maupun perencanaan ke depan. Kompetensi dewan
komisaris juga makin teruji karena semakin banyak diskusi yang terjadi melalui
rapat-rapat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7.6 dalam bentuk pelaporan business
update dari dewan direksi.
Sementara itu moda diferensiasi yang dilakukan memberikan pengalaman
belajar kepada masing-masing eksekutif, sehingga dapat mendorong terciptanya
keputusan yang unik dan khas antara produk inovasi dan pengembangan yang sudah
ada. Diferensiasi tersebut merupakan proses pembelajaran yang mana para eksekutif
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan memberikan dukungan yang
lebih kepada masing-masing produk. Data terkait dengan diskusi yang melibatkan
dewan komisaris dan manajemen puncak ditunjukkan dalam Tabel 7.5 berikut.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
301

Tabel 7.5. Contoh Matriks Tahun 2010 tentang Pertemuan


antara Manajemen dengan Dewan Komisaris.

TLS: Theo L. Sambuaga, SS: Surjadi Soedirdja, TA: Tanri Abeng, AG: Agum Gumelar, FH:
Farid Harianto, JP: Jonathan L. Parapak, AM: Adrianus Mooy, VS: Viven G. Setiabudi
0: Absent, 1: Attend
Sumber: Laporan Keuangan Lippo Karawaci, 2010

4. Langkah keempat: Memfokuskan organisasi pada visi keseluruhan.


Pada tahap ini tim manajemen puncak diajak dan dikondisikan untuk selalu
merujuk kepada pencapaian tujuan super ordinat secara menyeluruh, yang akan
mengingatkan anggota tim agar berpikir untuk kepentingan organisasi,
mengutamakan kerjasama dan menghindari konflik. Pemimpin bisnis harus dapat

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
302

menyampaikan pesan tentang pentingnya agenda pengembangan produk maupun


inovasi bagi keberlangsungan organisasi secara keseluruhan, misalnya seperti
tercermin dalam kutipan sebagai berikut:

“... Transformasi Lippo Karawaci menjadi perusahaan terkemuka di


Indonesia dan secara regional bertekad untuk menyentuh kehidupan
masyarakat luas di semua lini bisnis dan senantiasa menciptakan nilai
tambah untuk semua stakeholder....” (Laporan Tahunan Lippo Karawaci,
2011)

Kutipan visi Lippo Karawaci di atas mengandung makna bahwa melalui


unit usaha yang terintegrasi dan terus berkembang, Lippo Karawaci bertekad
memenuhi kebutuhan setiap aspek kehidupan masyarakat luas melalui penyediaan
perumahan terbaik dengan lingkungan yang asri, layanan kesehatan yang berkualitas
internasional dengan harga terjangkau, pusat perbelanjaan, hiburan, dan perhotelan.
Selain itu, Lippo Karawaci juga terus menerus mengembangkan produk inovatif dan
berkualitas, yang ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan berkesinambungan
yang berasal dari hospitals, commercial dan asset management. Tujuan inilah yang
terus menerus ditanamkan kepada semua anggota tim manajemen agar perbedaan
yang ada mengarah kepada tujuan yang sama.
“... Kami membeli bank NOBU untuk pendanaan pengembangan di Indonesia
bagian timur…komitmen ini disepakati walaupun kami tahu yang
membutuhkan pendanaan bukan hanya pengembangan di daerah timur… gak
ada kan orang yang mikir kesana karena untuk memberikan suatu penjelasan
untuk Indonesia Timur untuk merombak visi orang. Sehingga harus ada
orang sana yang punya wawasan kesana....” (Hasil wawancara Wijaya, pada
Juli 2010, Lippo Karawaci).

“... Membangun rumah sakit, bagi banyak investor mungkin tidak menarik,
itu kan tidak semua berminat karena pengembalian modal jangka panjang,
tapi kami komit kesana....” (Hasil wawancara Wijaya, pada Mei 2012, Lippo
Karawaci).

Kedua pernyataan di atas menunjukkan adanya visi ke depan yang


mengarah kepada komitmen untuk pencapaian visi organisasi secara keseluruhan
dengan mempertimbangkan pengembangan produk sekaligus inovasi. Bahkan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
303

menurut terminologi Smith (2005) diperlukan “pengorbanan” untuk mendapatkan


hasil akhir yang lebih menguntungkan.
Dalam model bisnis yang terintegrasi membuat semua unit bisnis berpikir
secara agregat, walaupun tidak menutup kemungkinan pengembangan produk
masing-masing unit bisnis tetap terjadi. Berikut ini akan ditunjukkan bagaimana
sinergi dari masing-masing aktivitas, baik yang bersifat recurring dan development
saling melengkapi ditunjang oleh aktivitas pendanaan untuk mencapai tujuan
perseroan secara keseluruhan. Gambar 7.4 (Lampiran Bab 7) menggambarkan peta
aktivitas perusahaan selam kurun waktu yang menyajikan aktivitas yang
menghasilkan recurring revenue dan aktivitas yang menghasilkan development
revenue.
Dalam kajiannya tentang kaitan antara strategic entrepreneurship dengan
financial benefit, terbukti bahwa terdapat asosiasi yang kuat antara entrepreneurship
dengan kinerja keuangan perusahaan (Dess, 1997; Ireland, 2001; Reynoled, 2004
dalam Luke et al, 2010). Dalam artikel tersebut dijelaskan bawhwa praktik strategic
entrepreneurship berpotensi dalam menghasilkan pendapatan yang bersifat recurring.
Sedangkan kaitan antara strategic entrepreneurship dengan wealth creation dikatakan
masih bersifat konseptual (Ireland, 2003 dalam Luke et al, 2010). Dalam konteks
Lippo Karawaci, terlihat bahwa perusahaan memiliki komposisi pendapatan yang
bersifat recurring yang memiliki kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun
terakhir.

5. Langkah kelima: Menemukan cara untuk membagi sumber daya dan sinergi.
Seperti halnya langkah keempat, maka langkah kelima ini merupakan
pemrosesan informasi dalam kaitannya dengan reinforcing integration. Diskusi yang
terjadi di kedua tahap ini adalah tentang resource sharing, saling belajar satu sama
lain, dan membagi sumber daya ke arah yang menguntungkan produk yang sudah ada
dan inovasi. Manajemen puncak dan pendiri perusahaan juga mendiskusikan tentang
sinergi yang dapat dilakukan atas produk yang sudah ada dan inovasi yang dilakukan
atau inovasi penjualan secara bersamaan atau bahkan pembagian sumber daya di

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
304

antara produk tersebut (Smith, 2005).


Misalnya saat mendiskusikan tentang optimalisasi aktivitas dari sisi
recurring revenue membutuhkan SDM yang spesifik. Maka hal ini searah dengan
komitmen perseroan untuk menciptakan SDM di Lippo Karawaci sebagai SDM yang
well trained dan well motivated (Laporan Tahunan Lippo Karawaci, 2010). Oleh
sebab itu dibutuhkan pelatihan yang spesifik, konsisten dan berkesinambungan sesuai
dengan arah yang akan dituju perseroan, yaitu ekspansi di bidang pelayanan
kesehatan. Pelatihan yang diberikan harus mengantisipasi kesenjangan kompetensi
dari SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan kompetensi perseroan sebagai akibat
pengembangan rumah sakit. Data sejak tahun 2009 menunjukkan biaya terbesar
adalah biaya gaji, pelatihan, dan kompensasi untuk SDM di bidang kesehatan (hasil
cognitive & causal map, 2012). Ketika perseroan melakukan terobosan di bidang
kesehatan, maka eksekutif sudah dapat mengidentifikasi dan mengelaborasi
kebutuhan SDM di bidang kesehatan. Tidak heran jika program pelatihan untuk SDM
yang diberikan berlangsung secara intensif. SDM ini kemudian dimutasi dan dirotasi
sesuai kebutuhan pengembangan perseroan. Di satu sisi, pengembangan SDM
merupakan upaya pemanfaatan sumber daya yang dimiliki perseroan. Di sisi lain,
pengembangan SDM juga dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan karena inovasi
di bidang pelayanan kesehatan. Hal inilah yang dikatakan oleh presiden direktur
Lippo Karawaci saat itu, bahwa Lippo Karawaci memiliki SDM yang multi tasking
sehingga dapat diperkerjakan di bisnis unit mana saja sehingga tercapai efisiensi yang
luar biasa.

“ ... Kita memiliki karyawan yang multi tasking, sehingga terjadi efisiensi
yang luar biasa…, kita bisa pindahkan di bisnis unit mana saja karena kita
sudah memberikan pelatihan yang dibutuhkan....” (Hasil wawancara Wijaya,
pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

Pola hubungan antar individu ataupun kelompok menurut Ireland et al


network merupakan salah satu bentuk dari aktivitas strategis yang mengoptimalkan
entrepreneurial dan strategic action untuk menciptakan wealth of the firm. Sinergi di

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
305

bidang pemasaran dalam konteks rujukan penelitian ini, yaitu di Lippo Karawaci
lebih mudah dilakukan mengingat banyaknya produk yang ditawarkan berada dalam
proyek yang terintegrasi. Produk yang terintegrasi misalnya adalah produk yang
ditawarkan di unit bisnis urban development and large scale integrated development.
Tim pemasaran yang dibentuk ini kemudian juga bergerak sejalan dengan proyek di
unit bisnis ritel mal.

“... Strategi marketing dilakukan dengan membentuk tim pemasaran yang


terdiri dari 4.000 anggota dimana 3.800 orang adalah anggota LippoLand
Club, yang rutin mendapatkan pelatihan pemasaran produk-produk
perseroan… departemen penjualan dan pemasaran bertanggungjawab
menentukan rencana iklan dan penjualan tiap proyek pembangunan… ruang
lingkup pekerjaan mencakup presentasi penjualan, riset pasar, disain strategi
dan harga, studi kelayakan dan sebagainya untuk semua proyek di Lippo
Karawaci….” (Laporan Tahunan Lippo Karawaci, 2011).

Bagaimana kaitannya dengan sumber daya lainnya? Arah strategis di bidang


SDM terkait erat dengan arah strategis di bidang keuangan. Maka pengembangan
SDM untuk ekspansi dan inovasi di bidang pelayanan kesehatan membutuhkan
dukungan finansial (hasil Cognitive Map, 2012). Terkait dengan Ireland et al maka di
bidang keuangan dalam konteks Lippo Karawaci terjadi aktivitas innovation,
network, internationalization. Kebutuhan pendanaan yang besar untuk ekspansi bisnis
melibatkan unit bisnis aset manajemen. Maka diskusi yang terjadi melibatkan unit
bisnis kesehatan dan aset manajemen dengan isu tentang bagaimana kebutuhan
pendanaan untuk pengembangan produk yang ada. Hal ini menjadi “kendala”
mengingat pendanaan di dalam negeri sangat mahal (Hasil wawancara Wijaya, 29
Agustus 2012, Lippo Karawaci).

“... Kita bikin inovasi pendanaan melalui pendirian dua Real Estate
Investment Trust (REIT) yang tercatat di Bursa Efek Singapura, REIT
healthcare pertama di Asia Tenggara dengan portofolio lima rumah sakit
Siloam, tiga asset healthcare di Singapura, sebuah rumah sakit di Korea
Selatan dan Hotel Aryaduta di Lippo Village…. Setahun kemudian Lippo
Malls Indonesia Retail Trust (LMIR Trust) satu-satunya retail di Singapura
dengan aset Indonesia. LMIR Trust memiliki 10 mal ritel dan 7 ruang ritel....”
(Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
306

Kedua aset tersebut memungkinkan perseroan untuk melakukan recycle


modal dan memenuhi kebutuhan dana bagi aktivitas pengembangan di bidang
pelayanan kesehatan. Usaha ini di merupakan inovasi dari unit bisnis aset manajemen
dalam bidang pendanaan, di samping dana pihak ketiga melalui penjualan obligasi
perusahaan. Perseroan berani melakukan terobosan seperti yang disarankan oleh
pendiri perusahaan (lihat di artikulasi tujuan di Tabel 7.5 pada langkah 1) tentunya
dengan pertimbangan matang ditunjang oleh hasil kajian dari Research Report
Company tahun 2012 oleh Indonesia Equity Investment Research. Gambar
Pendapatan di Bidang Healthcare yang Melebihi Bidang Properti (Lampiran Bab 7)
menunjukkan prospek pendapatan rumah sakit yang bersifat recurring melebihi
aktivitas pengembangan.

Tabel 7.6 berikut ini menggambarkan information processing terkait dengan


legitimizing differences (langkah 2 dan langkah 3) dan yang terkait dengan
reinforcing integration (langkah 4 dan langkah 5).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
307

Tabel 7.6. Cognitive Information Processes: Differentiating and Integrating


Information Processes Example
“... Kami disarankan untuk tidak takut berinovasi… hati-hati
dalam berinvestasi tetapi selalu melihat opportunity…tidak ada
pemisahan antara bagian riset dan pengembangan… semua
bagian dan divisi harus belajar dan tiap masukan menjadi
feedback… yang diolah dan dievaluasi… dalam rangka
menciptakan produk baru….Cara ini kami anggap efisien karena
kalo dipisahkan akan menjadi cost center....” (Hasil wawancara
Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).

“... Kami tidak mengerti soal rumah sakit, maka kami belajar ke
Singapura, alasannya karena punya township maka kami
Legitimizing Differences
kerjasama berupa Joint Venture dengan Mount
Probing about each product
Elizabeth…kemudian kami belajar dan akhirnya bisa mengambil
alih dan beroperasi sendiri.. sekarang sudah akreditasi dari
USA....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo
Karawaci).

“... Mengenai perubahan teknologi ... selama masih affordable...


kami berkomitmen untuk mengadopsi teknologi baru… yakin
bahwa di masa yang akan datang… penguasaan di bidang
teknologi menjadi penting…misalnya Cancer Center… pake
Gamma Knife...itu kan mahal sekali” (Hasil wawancara Wijaya,
pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).
“... Manajemen selalu membuka diri, kadang Pak James juga
memberikan saran tentang pengembangan bisnis atau inovasi yang
kadangkala tidak terpikirkan, misalnya tentang San Diego Hills…”
(Hasil wawancara WIjaya, pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

“... atau komisaris juga memberikan masukan, misalnya untuk


produk yang akan diluncurkan oleh masing-masing unit bisnis,
Clarifying distinction atau ide baru… kita terima sebagai masukan untuk evaluasi…”
(Hasil wawancara Wijaya, pada 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

“... inovasi biasanya mengalir di level pimpinan… kami belajar


dari pendiri perusahaan, berbagi pengalaman… kalo karyawan sih
melaksanakan saja” (hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus
2012, Lippo Karawaci).
“.... Transformasi Lippo Karawaci menjadi perusahaan terkemuka
di Indonesia dan secara regional bertekad untuk menyentuh
kehidupan masyarakat luas di semua lini bisnis dan senantiasa
menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholder....”(Laporan
Tahunan Lippo Karawaci, 2011)
Reinforcing Integration
“... Kami membeli bank NOBU untuk pendanaan pengembangan di
Foqusing on overarching
Indonesia bagian timur… komitmen ini disepakati walaupun kami
vision
tahu yang membutuhkan pendanaan bukan hanya pengembangan
di daerah timur… gak ada kan orang yang mikir kesana karena
untuk memberikan suatu penjelasan untuk Indonesia Timur untuk
merombak visi orang. Sehingga harus ada orang sana yang punya
wawasan kesana....” (Hasil wawancara Riady, Juli 2010, Lippo
Karawaci).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
308

Information Processes Example


“... membangun rumah sakit, bagi banyak investor mungkin tidak
menarik, itu kan tidak semua berminat karena pengembalian
modal jangka panjang, tapi kami komit kesana...” (Hasil
wawancara Wijaya, Mei 2012, Lippo Karawaci).
“... Kita memiliki karyawan yang multi tasking, sehingga terjadi
efisiensi yang luar biasa…, kita bisa pindahkan di bisnis unit mana
saja karena kita sudah memberikan pelatihan yang dibutuhkan…”
(Hasil wawancara WIjaya, 13 Juli 2012, Lippo Karawaci).

“... strategi marketing dilakukan dengan membentuk tim


pemasaran yang terdiri dari 4.000 anggota dimana 3.800 orang
adalah anggota LippoLand Club, yang rutin mendapatkan
pelatihan pemasaran produk-produk perseroan… departemen
penjualan dan pemasaran bertanggungjawab menentukan rencana
iklan dan penjualan tiap proyek pembangunan… ruang lingkup
Resource Sharing and pekerjaan mencakup presentasi penjualan, riset pasar, disain
Synergies strategi dan harga, studi kelayakan dsb utk semua proyek di Lippo
Karawaci....” (Laporan Tahunan Lippo Karawaci, 2011).

“... Kita bikin inovasi pendanaan melalui pendirian dua Real


Estate Investment Trust (REIT) yang tercatat di Bursa Efek
Singapura, REIT healthcare pertama di Asia Tenggara dengan
portofolio lima rumah sakit Siloam, tiga asset healthcare di
Singapura, sebuah rumah sakit di Korea Selatan dan Hotel
Aryaduta di Lippo Village…. Setahun kemudian Lippo Malls
Indonesia Retail Trust (LMIR Trust) satu-satunya retail di
Singapura dengan aset Indonesia. LMIR Trust memiliki 10 mal
ritel dan 7 ruang ritel....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29
Agustus 2012, Lippo Karawaci).
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

6. Langkah keenam: Melakukan penyeimbangan antara integrasi dengan


diferensiasi.
Beberapa langkah dalam tahap awal di model konseptual sistem 2 ini
memperlihatkan pernyataan yang termasuk kategori differentiating antara produk
yang ada dan inovasi, sedangkan pada tahapan yang lain pernyataan yang
teridentifikasi mencerminkan adanya integrating di saat yang berbeda. Untuk
mempermudah pemahaman dan perbandingannya, maka Tabel 7.8 akan menyajikan
sejumlah pernyataan yang mulai mengakomodir adanya kesepakatan untuk baik itu
melakukan pengembangan produk maupun aktivitas inovasi. Pada tahap ini anggota
tim sudah mulai mengelola pengembangan produk yang ada dan melakukan inovasi.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
309

Tabel 7.7. Top Management Team Cognition and Information Processing

Integrating Differentiating (Creating Balancing Differentiating


(Leveraging Existing Assets) New Opportunities) and Integrating

Upaya untuk mencari leverage Upaya identifikasi dan Dual proses untuk kedua
dari sumber daya yang ada melaksanakan strategi produk dan mencari titik
untuk mendukung inovasi inovasi temu

Eksekutif mendiskusikan
Eksekutif mendiskusikan cara-
Eksekutif mendiskusikan tentang integrasi dari kedua
cara pengembangan produk
kebutuhan khusus dari produk dan mencari titik
yang baru dengan dengan
inovasi yang akan temu untuk melakukan
menggunakan sumber daya
dilakukan. integrasi dan mendapatkan
yang ada.
sinergi dari kedua aktivitas.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Manajemen, rapat umum pemegang saham, dan dewan komisaris


mendiskusikan cara-cara pengembangan produk yang baru dengan dengan
menggunakan sumber daya yang ada. Misalnya SDM untuk pengembangan
pelayanan di bidang kesehatan menggunakan SDM yang sudah ada yang ditingkatkan
kompetensinya melalui program pendidikan dan pelatihan secara khusus.

7. 3. Implikasi Cognitive Map di dalam Contextual Ambidexterity melalui


Struktur Formal.

Untuk membangun ambidexterity melalui struktur formal, maka langkah-


langkah yang disusun oleh penulis untuk membangun model sistem 3 dianalisis
secara cultural dengan menambahkan hasil Cognitive Map. Adapun uraian setiap
langkah di dalam model konseptual akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Langkah pertama: Memberikan otonomi kepada divisi operasional.


Untuk mempersingkat jalur komunikasi dan rentang kendali pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab, maka struktur organisasi di Lippo Karawaci (selanjutnya
disebut Lippo Karawaci) bersifat pragmatis. Oleh sebab itu diskusi tentang struktur

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
310

dilakukan hampir pada tiap pertemuan di tingkat strategis. Hal ini dimaksudkan agar
tercipta ruang gerak yang lebih leluasa khususnya di tataran operasional terutama
untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang cepat (Guttel dan Konlechner,
2009). Diferensiasi ini terlihat dari struktur yang ada di dalam perusahaan yang terdiri
atas 4 bisnis unit utama seperti terlihat di dalam Gambar 7.5 di bawah ini. Setiap
bisnis unit melakukan baik aktivitas inovasi maupun aktivitas pengembangan
(Laporan Tahunan 2011) (Hasil wawancara Wijaya, 2012).

Direksi

Sekretaris Internal Audit


Perusahaan

Residential and Hospitals Commercial Assets


Urban Development Management

Sumber: Laporan Tahunan Lippo Karawaci, 2011 (telah diolah kembali)


Gambar 7.5 Struktur Organisasi Lippo Karawaci, 2012

Manajemen di Lippo Karawaci berorientasi pada lingkungan yang tercermin


dalam struktur organisasi yang tidak kaku, seperti yang tersirat dalam petikan
wawancara di bawah ini:
“...Manajemen Lippo Karawaci berorientasi pada lingkungan…lebih
pragmatis…hubungan kerja sangat dinamis… (Hasil wawancara Abeng,
Agustus 2012, Kuningan, Jakarta).

“... Saat ini di tahun 2012 kami menangani proyek sekitar 140 proyek...
diskusi tentang struktur hampir tiap hari… struktur mengikuti perusahaan
komersial... jadi hampir tiap hari kita menentukan struktur... struktur kami
tidak mengikuti model yang baku..karena sangat luas cakupan kerjanya…
(Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo Karawaci).

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
311

Kewenangan di tingkat divisi memiliki gerak yang lebih leluasa,


mengurangi mata rantai pengambilan keputusan dan mempercepat waktu pelaksanaan
keputusan tersebut, terutama untuk hal-hal yang bersifat operasional (Guttel dan
Konlechner, 2009). Disain struktur seperti ini akan mendorong kemandirian bagian
operasional dalam mendukung aktivitas inovasi dan pengembangan perusahaan.
Masing-masing unit bisnis dapat melakukan kreativitas dalam bidang pengembangan
produk yang sudah ada ataupun mencari peluang bisnis baru terkait dengan unit
bisnisnya.

2. Langkah kedua: Memberikan kendali dalam hal strategik dan keuangan kepada
pusat.
Untuk permasalahan yang sifatnya strategis maka pusat memegang kendali
untuk memudahkan proses integrasi antara bisnis unit yang ada mengingat sangat
luas cakupan usaha dan jumlah anak perusahaan yang ada. Proposisi ini merupakan
bentuk dari semangat penyelesaian “transnasional” yang dapat memfasilitasi adanya
keseimbangan antara pembagian otonomi disatu sisi dan kendali pusat disisi yang lain
(Tushman dan O'Reilly, 1996; Guttel dan Konlechner, 2009). Luasnya cakupan 4
pilar bisnis Lippo Karawaci dapat terlihat dalam Gambar 7.6 (Lampiran Bab 7).

Permasalahan strategis yang ditangani oleh pusat adalah melakukan


integrasi proyek maupun services dalam property value chain yang unik dan berbeda
dari para pesaing. Hal pertama adalah menyatukan proyek berbasis residensial,
komersial dan insutri pada lokus yang sama misalnya yang terjadi untuk
pembangunan Lippo Karawaci, Lippo Cikarang dan Lippo Village. Selain itu
perseroan menyatukan layanan kesehatan, manajemen sewa (mal) dan hotel ke dalam
divisi operasional services (hasil Cognitive Map, 2012). Penyatuan ini dikenal
dengan nama integrated business model yang jarang dimiliki oleh perusahaan
properti lainnya (Hasil wawancara Wijaya, pada Juli 2012, Lippo Karawaci).
Dalam hal arah strategis keuangan maka perseroan memiliki kebijakan
untuk mencari alternatif pendanaan yang efisien melalui aset yang ada. Bentuk

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
312

pendanaan untuk aktivitas semua unit bisnis ini didanai oleh internal kas dan
penjualan aset yang ada. Dalam konteks Strategic Entrepreneurship, Lippo Karawaci
telah melakukan pengelolaan aset secara strategis dari bisnis unit asset management
untuk menghasilkan inovasi dalam bidang finansial (Luke, Kierin, et al., 2010).
Aktivitas strategis di bidang pendanaan merupakan inovasi yang terjadi pada level
korporasi. Aktivitas inovasi dapat dikategorikan sebagai aktivitas yang berada dalam
wilayah interseksi dari entrepreneurship dan manajemen stratejik (Ireland, 2001).
Sesuai dengan pernyataan Presiden Direktur terkait dengan komitmen manajemen
untuk melakukan terobosan di bidang pelayanan kesehatan (Hasil wawancara Wijaya,
pada 29 Agustus 2012). Penjualan aset yang sudah terjadi secara transnasional
sehingga memerlukan kendali pusat berbasis di Singapura yaitu LMIR Trust (retail
and retail related) dan First REIT (healthcare and healthcare related)..
Seperti dikemukakan oleh Ireland dan Barney, salah satu sumber daya yang
strategis adalah Financial Capital (Ireland, 2003 ; Barney 2007) yang mempengaruhi
pertumbuhan perusahaan yaitu pengembangan bisnis dan profitabilitas (hasil
Cognitive Map, 2012). Di bidang finansial ini termasuk juga penentuan arah strategis
untuk mendukung operasional keempat bisnis unit dan target pencapaian pendapatan
perusahaan di tahun 2012 terkait dengan pendanaan misalnya dalam hal penentuan
nilai capital expenditure perseroan yang ditargetkan meningkat dari 33% menjadi
50% dalam rangka perluasan rumah sakit, mal dan property
(http://www.thejakartaglobe.com/business/lippo-karawaci). Semakin tinggi capital
expenditure ini tentunya akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Dalam konteks mekanisme integrasi ini tentunya Top Management Team
berfungsi sebagai integrator dari semua aktivitas di empat unit bisnis yang ada. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gilbert dalam Guttel dan Konlechner
(2009) yang menjelaskan tentang peran TMT yang krusial sebagai intermediary dari
kerangka acuan yang berbeda-beda. Demikian juga dengan Smith dan Tushman
(2005) dalam Gilbert dan Konlechner (2009) yang menekankan fungsi penting TMT
dalam mengintegrasikan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Lewin (2003) dalam

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
313

Guttel dan Konlechner (2009) menyebutkan bahwa kontekstual ambidexterity jenis


ini memerlukan sense making yang bersifat kolektif dan kesamaan mindset. Dalam
konteks strategic entrepreneurship maka mindset yang diperlukan adalah
entrepreneurial mindset (Ireland, 2001).

3. Langkah ketiga: Merumuskan tujuan antara dari masing-masing bisnis unit yang
diturunkan dari tujuan utama perseroan.
Tujuan dari masing-masing unit bisnis mengacu kepada tujuan utama
perusahaan induk. Semuanya tertera di dalam Laporan Tahunan perusahaan yang
diterbitkan secara konsisten tiap tahunnya. Setiap bisnis unit melakukan aktivitas
eksplorasi dan eksploitasi dengan mengacu kepada 4 arah strategis utama yaitu
pengembangan SDM, keuangan, governance dan teknologi informasi (hasil CM,
2012).

4. Langkah keempat: Menterjemahkan tujuan individu sebagai joint objective melalui


penerapan management by objective atau target agreement.
Lippo Karawaci menerapkan balance score card sebagai instrumen untuk
pengendalian pekerjaan karyawan. Guttel & Konlechner (2009) menyatakan bahwa
instrumen yang umumnya digunakan untuk menilai pencapaian kerja dari karyawan
antara lain: intellectual capital statement, balance scorecard, dan lain-lain. Penilaian
ini dilakukan secara self assessment oleh masing-masing karyawan untuk kemudian
diserahkan kepada pimpinan di atasnya untuk dievaluasi (Hasil wawancara Wijaya,
pada Juni 2012, Lippo Karawaci).

5. Langkah kelima: Memiliki struktur yang flexible atau semi structure dalam
menghadapi perubahan lingkungan.
Langkah ini sangat terkait dengan langkah pertama, di mana struktur
organisasi Lippo Karawaci bersifat tidak kaku, selalu melihat kebutuhan dan resource
sharing di antara anak-anak perusahaan. Biasanya pimpinan perusahaan akan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
314

mempekerjaan karyawan yang loyal, kompeten dan dapat dipercaya (Hasil


wawancara Abeng, 2012, Jakarta).

6. Langkah keenam:. Membuat sistem informasi yang dapat menjamin tercapainya


keterbukaan antara tingkat stratejik dengan tingkat operasional.
Hasil Cognitive Map menunjukkan bahwa penerapan teknologi informasi di
dalam manajemen operasional sangat penting karena sangat mempengaruhi interaksi
yang terjadi, keterbukaan informasi dan koordinasi pekerjaan baik secara vertikal
maupun horizontal. Sisi ini merupakan salah satu arah strategis yang dijalankan oleh
setiap unit bisnis yang ada di lingkungan Lippo Karawaci (Hasil Cognitive Map,
2012).
Adanya sistem informasi yang dapat menjamin tercapainya keterbukaan
antara tingkat operasional dengan tingkat stratejik akan membuat proses penyelarasan
di level tersebut dapat berjalan dengan lebih baik. Mekanisme ini disebut oleh Jasen
(2009) sebagai mekanisme integrasi yang membutuhkan kapasitas proses informasi
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena mekanisme ini merupakan alat untuk
melakukan koordinasi dan integrasi dari aktivitas diferensiasi yang terjadi di berbagai
unit bisnis (Xiong, 2011). Adanya keterbukaan informasi secara teoritis dapat
membuat proses penyeimbangan antara eksplorasi dengan eksploitasi di kedua
tingkatan dapat terlaksana dengan baik (Guttel dan Konlechner, 2009). Penggunaan
sistem informasi yang ada dapat digunakan untuk menyalurkan pendapat dan
memfasilitasi alur informasi yang terjadi di dalam perseroan. Sedangkan informasi
ditengarai merupakan hal penting dalam pembuatan struktur formal.
Proses informasi yang dapat dibangun pada kontekstual ambidexterity jenis
ini melalui adalah melalui mekanisme diskusi yang terjadi baik secara formal maupun
informal. Disain struktur yang ada membawa bentuk komunikasi formal yang terjadi
baik secara vertikal maupun horizaontal. Sedangkan komunikasi secara diagonal
biasanya terjadi secara informal. Proses informasi internal dan eksternal formal yang
terjadi di dalam perseroan terdokumentasikan dengan baik di dalam Laporan Tahunan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
315

Lippo Karawaci. Komunikasi secara eksternal merupakan tugas utama dari Sekretaris
Perusahaan.

7. Langkah ketujuh: Membuat sistem pengukuran kinerja dan penghargaan yang


dapat mengukur kreativitas dan juga efisiensi kerja dari pegawai.
Keseimbangan antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi memerlukan
kreativitas dan efisiensi kerja dari pegawai. Untuk itu diperlukan adanya alat ukur
kinerja agar kedua hal tersebut dapat diketahui seberapa jauh hal tersebut dapat
bekerja atau dapat dikerjakan oleh para pegawai. Lippo Karawaci menerapkan
balance scorecard (BSC) untuk mengukur kinerja pegawai. Sistem ini digunakan
sebagai alat bantu dalam membentuk kinerja. BSC diterapkan secara online dengan
memanfaat sistem teknologi informasi yang diterapkan oleh perseroan sejak tahun
2011.
Balance scorecard (BSC) yang digunakan merujuk kepada empat aspek
kinerja, yaitu keuangan, pelanggan, prosedur internal, dan proses pembelajaran.
Keempat aspek inilah yang menjadi fokus perhatian untuk menghasilkan kinerja
terbaik setiap tahunnya dan digunakan oleh karyawan. Dalam melakukan evaluasi
kinerja, pencapaian Key Peformance Indicator yang dipakai dan kompetensi yang
ditunjukkan oleh masing-masing karyawan merupakan dasar penentuan kinerja.Untuk
memastikan bahwa manajemen mengenali kontributor utamanya, maka dilakukan
proses pengujian bersama antara pimpinan unit senior dengan manajemen puncak
ataupun Chief Executive Officernya.Proses ini memungkinan manajemen untuk dapat
mengenali karyawannya, baik yang berkinerja terbaik maupun yang kebalikannya
sehingga dapat dengan mudah menentukan langkah selanjutnya.
Pentingnya performance based culture mendorong manajemen SDM untuk
memfasilitasi dan mendorong implementasi Performance Management System.
Penerapan ini menjamin manajemen berdasarkan hasil dapat terjadi secara konsisten.
Sistem ini mulai diterapkan sejak tahun 2010 (Laporan Tahunan Lippo Karawaci,
2010). Efektivitas dan efisiensi pelaksanaan sistem ini membutuhkan beberapa
prasyarat:

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
316

a. Program pengembangan yang mendukung rekrutmen dan retensi pegawai


profesional, teknis dan manajerial.
b. Implementasi penilaian kinerja yang bersifat terbuka yang dapat membantu
perusahaan untuk mengidentifikasi dan memberikan reward bagi pekerja yang
memiliki kinerja yang baik dan pada saat yang sama memberikan perhatian
kepada pegawai yang kurang memenuhi harapan.
c. Pembayaran gaji berdasarkan kinerja (meritokrasi), sehingga semakin tinggi
kinerja maka semakin tinggi kompensasi dibandingkan mereka yang bekerja
secara marjinal.

Pengukuran kinerja karyawan digunakan sebagai dasar untuk mengestimasi


nilai total kompensasi yang diberikan, termasuk gaji, tunjangan, biaya liburan, cuti,
dan sebagainya. Hasil Cognitive Map menunjukkan bahwa pembayaran kompensasi
untuk karyawan semakin meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di antaranya
adalah pembayaran kompensasi untuk pimpinan perusahaan yang dinyatakan secara
transparan dalam Laporan Tahunan Perusahaan. Peningkatan total kompensasi bagi
karyawan dan pimpinan perusahaan mempengaruhi profitabilitas perusahaan (Hasil
CM, 2012). Peningkatan kompensasi dpat diartikan sebagai peningkatan kompetensi
sebagai akibat terserapnya berbagai program pengembangan yang dilakukan oleh
perseroan.

“Efisiensi terjadi luar biasa besarnya karena semua karyawan kita multi
tasking....” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012, Lippo
Karawaci).

8. Langkah kedelapan: Membuat sistem pemindahan manajer antar fungsi dan divisi
secara berkala.
Terkait dengan multi tasking dari para karyawannya maka fenomena di
Lippo Karawaci adalah dapat dengan mudahnya seorang karyawan dipindah tugaskan
ke bagian lain, bahkan untuk level manajerial sekalipun. Apalagi dengan strategi
ekspansi besar-besaran beberapa tahun terakhir ini, banyak karyawan yang mulai

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
317

mempelajari tentang pelayanan kesehatan baik di sisi manajerial maupun teknis. Hal
ini tercermin dalam berbagai sebaran dan jumlah peserta pelatihan yang meningkat
dari tahun ke tahun (Hasil Cognitive Map, 2012).

“... Kami berkomitmen mentargetkan peserta yang mengikuti pelatihan


semakin meningkat tiap tahunnnya, dan untuk tahun 2012 ditargetkan
sebanyak kurang lebih 1200 orang.... Efisiensi terjadi luar biasa karena
karyawan kita multi tasking....” (Hasil wawancara Abeng, pada Juli 2012,
Lippo Karawaci).

“... Saya sendiri baru 3 tahun menjabat Presdir, dulu adalah Chief of
Financial Officer, kemudian menjadi CFO yang sama di Matahari 4 tahun,
kemudian menjadi Direktur Keuangan Multi Polar 15 tahun, yang lama di
sini kan latar saya adalah teknik, totalnya pengalaman saya 25 tahun di
bidang keuangan.... ” (Hasil wawancara Wijaya, pada 29 Agustus 2012,
Lippo Karawaci).

Sesuai dengan data di Laporan Tahunan Lippo Karawaci, maka dapat


terlihat memang terjadi mutasi dan rotasi dalam jajaran organ governance perusahaan
secara periodik. Sistem rotasi manajer dinilai dapat membawa kesegaran baru dan
cara pandang baru di unit kerja. Selain itu, rotasi manajer juga dibutuhkan untuk
mengembangkan pola pikir dari tiap manajer yang dapat membantu menyeimbangkan
kemampuan manajer untuk bereksplorasi dan juga melakukan eksploitasi. Selain itu,
manfaat rotasi dan mutasi ini akan meningkatkan pengalaman calon pemimpin
perusahaan masa depan karena memiliki pengalaman dalam menangani berbagai unit
bisnis dengan karakteristik dan permasalahan yang berbeda.
Basis rotasi berdasarkan meritokrasi dan proses pembelajaran internal.
Oleh sebab itu sangat penting membuat disain struktur proyek yang fluid untuk setiap
segmen unit bisnis di lingkungan Lippo Karawaci. Disain seperti ini menungkinkan
adanya rotasi calon-calon Eksekutif Senior ke beragam Unit Bisnis Group. Sesuai
dengan Guttel dan Konlechner (2009) maka salah satu cara kontekstual ambidexterity
yang dibangun melalui struktur adalah melalui rancangan struktur yang fluid
sehingga memudahkan dalam melakukan mutasi dan rotasi pegawai. Syarat dasar
untuk keberhasilan ini tentunya didukung oleh sistem informasi Human resources

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
318

untuk keberhasilan rotasi antar fungsi dan divisi secara berkala (hasil wawancara,
2012).

9. Langkah kesembilan: Memberikan pelatihan kepada pegawai.


Perseroan memiliki komitmen yang tegas untuk membentuk karyawan yang
well trained. Oleh sebab itu berbagai program pengembangan karyawan selalu
dijalankan secara konsisten. Pelatihan sangat dibutuhkan bagi pegawai untuk dapat
mengembangkan kemampuan mereka dalam melakukan pekerjaan rutin mereka dan
juga dalam melakukan inovasi. Program pengembangan kompetensi pegawai tertuang
dengan dilaksanakannya berbagai program pendidikan dan pelatihan baik di dalam
maupun di luar negeri secara konsisten tiap tahunnya (Hasil Cognitive Map, 2012).
Adanya pelatihan dapat memberikan pengalaman, pengetahuan, dan cara
berpikir baru bagi pegawai sehingga terdapat peningkatan keterampilan kerja yang
tentunya akan berdampak bagi peningkatan kinerja pegawai itu sendiri dan kinerja
organisasi pada umumnya. Program pelatihan ini akan memberikan dampak kepada
perubahan mindset dan peningkatan kemampuan absortive karyawan karena terjadi
peningkatan ketrampilan dan pengetahuan karyawan (Lewin, 2003 dalam Guttel dan
Konlechner). Hal ini sesuai dengan Ray, Barney, Muhanna (2004) menekankan
pentingnya pengembangan karyawan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan.
Pengembangan karyawan melalui pendidikan dan pelatihan baik di dalam
maupun luar negeri dalam praktiknya berpengaruh terhadap peningkatan kerjasama
kelompok (Hasil Cognitive Map, 2012). Hal ini terjadi karena seringkali program
pelatihan yang diberikan merupakan program lintas bisnis unit. Sedangkan di sisi lain
pengadaan berbagai program akan menurunkan profitabilitas jangka pendek karena
terjadi kenaikan biaya pengembangan karyawan (Hasil Cognitive Map, 2012). Selain
itu menaikkan tingkat kompensasi yang diberikan (Lee & Miller, 1999). Peningkatan
kompensasi terjadi karena adanya peningkatan kemampuan dan ketrampilan baik
teknis maupun manajerial/kepemimpinan sebagai akibat dari berbagai program
pengembangan yang diberikan. Sesuai dengan pernyataan hasil wawancara yang
tertuang di dalam cognitive & causal map, yaitu pelatihan yang diberikan baik formal

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
319

maupun informal, teknis maupun manajerial/kepemimpinan mempengaruhi


kompetensi SDM perseroan. Yang menarik juga adalah adanya kerjasama kelompok
terutama setelah terjadi diadakannya berbagai program pendidikan dan pelatihan yang
meningkatkan keterbukaan komunikasi di dalam organisasi sehingga mempengaruhi
iklim kerja yang kondusif (Hasil Cognitive Map, 2012).
Dalam konteks strategic entrepreneurship, Ireland (2001) menyatakan
pentingnya membangun entrepreneurial mindset dan entrepreneurial leadership,
maka pengetahuan untuk inovasi dan pengembangan dapat didiseminasikan secara
periodik sebagai bagian dari materi pelatihan yang diberikan. Selama ini penulis
melihat bahwa pelatihan yang diberikan umumnya bersifat manajerial yaitu dalam hal
kemampuan kepemimpinan, sedangkan sebagian besar materi pelatihan yang
diberikan adalah pada tataran teknis. Akibatnya adalah kemampuan inovasi dan
entrepreneurial skills dari karyawan kurang terasah. Hal ini jauh berbeda dengan
kemampuan di tataran strategis yang dekat dengan pendiri perusahaan sehingga
dengan mudah dapat mengalami proses pembelajaran entreprenerial secara langsung
dengan pendiri perusahaan.

10. Langkah kesepuluh: Mengembangkan budaya performance based culture yang


kuat yang didorong oleh penegakan peraturan.
Pentingnya budaya organisasi disadari oleh Lippo Karawaci dalam
menghadapi perubahan. Hal ini diperlukan untuk mendukung proses penyeimbangan
antara aktivitas eksplorasi dan eksploitasi yang dapat dilakukan oleh karyawan. Sejak
tahun 2010, Lippo Karawaci membangun reputasi sebagai perseroan employer of
choice. Sejak pencanangan untuk menegakkan budaya berbasis kinerja di dalam
perusahaan maka perseroan mendorong upaya sebagai berikut:
a. Membangun kerjasama tim, kolaborasi, performance driven dan continous
improvement;
b. Selain itu membina karyawan yang memiliki bakat;
c. Memberikan kesempatan yang sama kepada semua karyawan untuk berkembang
melalui pengembangan karir;

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
320

d. Memberikan penghargaan kepada karyawan yang mencapai prestasi.


e. Membangun iklim kerja yang kondusif dengan karakteristik adanya transparansi
dalam setiap proses organisasi dan manajemen malpraktik.

Detail upaya di atas ini merupakan bentuk integrasi demi pencapaian tujuan
organisasi sebagai dampak dari langkah 4 (Ireland, 2001). Sesuai dengan Xiong,
kontekstualitas bagi ambidexterity dapat dibagun melalui discipline, stretch, trust,
support (Jie Xiong, 2011). Kejelasan dan penegakkan aturan main tentang
pengelolaan SDM dan performace based culture menjadi iklim kondusif untuk
membangun inisiatif dan pengembangan kemampuan karyawan (Hasil CM, 2012).

7. 4. Implikasi Cognitive Map di dalam Contextual Ambidexterity melalui Norma


dan Nilai-nilai Budaya.

Nilai budaya maupun norma sosial yang berlaku dalam suatu organisasi
menjadi aspek penting dari contextual ambidexterous organization (Guttel dan
Konlechner, 2009). Penelitian sebelumnya (Gupta et.al, 2006) terkait kompatabilitas
dari upaya eksplorasi dan eksploitasi berfokus pada modus-modus pembelajaran
memerlukan prasyarat perubahan paradigma dan proses rutin dalam suatu organisasi.
Fakta terkait nilai budaya dan norma sosial yang kita ketahui bahwa masing-masing
organisasi memiliki budaya dan normanya masing-masing.
Neo dan Chen (2007) mendefinisikan budaya sebagai keyakinan (beliefs)
dan nilai (values) yang berlaku dan dimiliki bersama, sehingga budaya dapat
diajarkan sebagai akumulasi pembelajaran bersama bagi komunitas/organisasi
tertentu, berdasarkan sejarah dari pengalaman bersama. Sedangkan norma merupakan
seperangkat kesepakatan umum yang tertulis maupun tidak tertulis berlaku dalam
organisasi guna mengikat anggota-anggotanya. Lebih jauh, Early dan Ang (2003)
dalam Neo dan Chen (2007:146) menegaskan budaya terdiri atas pola-pola
pemikiran, perasaan dan reaksi atas beragam variasi situasi maupun tindakan.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
321

Dari aspek organisasi, budaya organisasi termasuk piranti lunak (software)


yang memiliki peran vital dengan jangka waktu keberlakuan lama. Perubahan budaya
juga memerlukan waktu yang tidak singkat. Guttel dan Konlechner (2009)
menempatkan nilai budaya setara dengan norma sosial, di mana kedua faktor budaya
dan faktor norma saling berinteraksi seiring pertumbuhan perusahaan dan lini
usahanya. Pertumbuhan bisnis mengharuskan perusahaan merekrut tenaga-tenaga
profesional dengan latar belakang pendidikan dan nilai budaya perseorangan yang
berbeda-beda. Apalagi kemudian, perusahaan mempekerjakan para ekspatriat guna
memimpin proyek bisnis baru yang memerlukan keterampilan dan know-how mereka.
Tantangan dari sisi internalisasi budaya perusahaan memerlukan mekanisme pengikat
nilai bersama, nilai budaya dan norma sosial berperan urgen.
Budaya Lippo Karawaci berkembang tidak lepas dari sentuhan pendiri
perusahaan dan keluarga inti yang terlibat aktif dalam pengembangan bisnis.
Walaupun saat ini, Riady sendiri tidak terlibat secara langsung dan lebih
mencurahkan waktunya untuk aktivitas sosial (kesehatan dan pendidikan), namun
sebagai pendiri perusahaan perannya masih sangat terasa dan tidak tergantikan. Visi
perusahaan yang berikhtiar menjadi pemimpin bisnis Indonesia yang bertumbuh
dalam Stewardship dan berdampak bagi kehidupan tercermin dalam empat nilai
utama, yaitu Loyalitas, Kepeloporan, Pembelajar, dan Kejujuran.
Model keempat Contextual Ambidexterity memiliki fokus perhatian kepada
norma sosial dan nilai budaya yang dapat mendorong manajemen puncak/Top
Management Team serta menjangkau semua karyawan untuk giat mengeksplorasi
sekaligus mengeksploitasi. Contextual Ambidexterity diharapkan membawa dampak
perkembangan bagi individu maupun organisasi. Adapun keenam langkah-langkah
yang telah dan terus dilakukan Lippo Karawaci dalam konteks budaya dan norma
sebagai berikut: (Neo dan Chen 2007, Guttel dan Konlechner 2009)

1. Langkah pertama: Membangun budaya meritokrasi.


Budaya meritokrasi, yaitu menempatkan seseorang pada tanggung jawab
dan lokus pekerjaan yang tepat. Budaya ini menjadi refleksi profesionalitas yang

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
322

berlaku dalam suatu organisasi. Menurut Neo dan Chen (2007), meritokrasi telah
diyakini sebagai metode paling efisien bagi alokasi sumber daya talenta-talenta dalam
organisasi. Penelitian Neo dan Chen menyoroti bagaimana Singapura dapat
memberikan global best practices dalam persoalan membudidayakan meritokrasi.
Negara tetangga ini mampu menarik putra-putri terbaiknya untuk bekerja dan
membangun negara melalui keterlibatan profesional-profesional menjabat posisi
jabatan publik.
Dalam soal meritokrasi ini, pendiri Lippo amat menekankan bahwa anggota
keluarganya yang diterima sebagai karyawan baru harus melalui tahapan dan
workload yang sama dengan karyawan baru lainnya, seperti penururan Presiden
Direktur Lippo Karawaci kepada peneliti:

“…. Anak dan cucu saya juga harus mulai dari bawah, belajar dulu…kalo
yang sekolah ke luar negeri maka sekembalinya ke tanah air harus mulai dari
bawah dulu…. ” (Hasil wawancara Riady, 2010, Lippo Karawaci).

“Ketika cucu beliau ingin terlibat dan belajar sambil kerja di perusahaan
Lippo Karawaci... Pak Mochtar berpesan agar cucunya diperlakukan sama,
dengan tanggung jawab yang sama dengan karyawan fresh graduate
lainnya.... ” (Hasil wawancara Wijaya, pada 21 Juni 2012).

Penerimaan anggota keluarga Riady ke dalam perusahaan


mempertimbangkan kompetensi calon karyawan dan kebutuhan manajerial tanpa
melupakan latar belakang pendidikan pelamar pekerjaan itu. Selain itu, penugasan
kerja kepada semua karyawan dievaluasi secara berkala dan manajemen Lippo
Karawaci melakukan evaluasi yang diperlukan bila ternyata penugasan kerja tadi
justru kontraproduktif dengan tujuan awal. Artinya, penugasan yang diberikan
berpeluang tidak menghasilkan ekspektasi awal yang diharapkan. Perubahan
penugasan yang lebih sesuai dengan kompetensi dan kapabilitas karyawan sangat
dimungkinkan pada kasus penugasan kerja.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
323

2. Langkah kedua: Membangun budaya berbasis proses pencapaian kinerja dan


norma bersama.
Kinerja yang ditargetkan kepada divisi penjualan, misalnya, bukan semata-
mata soal angka penjualan namun proses yang marketer lakukan. Dengan upaya keras
membangun budaya dan norma bersama bahwa proses dan hasil adalah sama
pentingnya, bahkan proses pencapaian kinerja dapat saja lebih utama. Sehingga,
budaya instan sekurangnya dapat dihilangkan secara bertahap.
Kinerja keuangan tercermin melalui peningkatan nilai perusahaan melalui
kapitalisasi pasar saham Lippo Karawaci. Berdasarkan data BEI per 29 Juni 2012,
kapitalisasi pasar Lippo Karawaci menempati urutan no.2 di antara ketujuh big-caps
sektor properti. Kapitalisasi pasar perusahaan mencapai 2,094 miliar Dollar terpaut
sedikit dari Bumi Serpong Damai (Kapitalisasi Pasar 2,178 miliar Dollar).
Dari sisi kinerja non keuangan misalnya, target penyelesaian proyek-proyek
pengembang properti berskala besar agar penyelesaian dan delivery sesuai perjanjian
dengan perusahaan, perusahaan selalu menjaga janjinya dengan baik. Dalam kaitan
itu, pencapaian kinerja tidak hanya berujung kepada soal keuangan dan pencapaian
kuantitatif. Target seorang CEO SBU Lippo Group sering kali melewati soal capaian
angka kuantitatif (beyond numbers).

3. Langkah ketiga: Menerapkan disiplin berbasis insentif dan koletivitas.


Berdasarkan Neo dan Chen (2007), langkah terbaik guna memastikan
keadaan berkecukupan bagi individu maupun masyarakat dalam jangka panjang
melalui pelembagaan insentif untuk bekerja dan menerapkan sistem di mana
penghargaan diberikan kepada mereka yang berdisiplin dalam kolektivitas bersama.
Disiplin organisasi tidak dapat terbangun bila mengabaikan sisi insentif (individu)
dan sisi kolektivitas (kelompok). Adapun contoh bagaimana organisasi bisnis, Lippo
Karawaci membangun disiplin organisasi dengan faktor konsiderasi insetif individual
maupun kolektivitas kelompok melalui integrasi dua fungsi utama support system:
Teknologi Informasi dan SDM. Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) dengan

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
324

paradigma lama SDM sebagai manajemen personalia (peningkatan keterampilan,


pengetahuan dan keahlian karyawan). Paradigma baru menganggap
karyawan/pegawai/manusia adalah sumber kekuatan perusahaan, maka aktivitas
divisi tersebut diarahkan kepada investasi sumber daya manusia perusahaan
berdasarkan prinsip ekonomi biaya-manfaat bagi perusahaan itu sendiri.
Dalam praktek disiplin berbasis insentif dan kolektifitas maka sejak tahun
2010, Lippo Karawaci telah menerapkan sistem SDM dan Teknologi Informasi (TI)
terintegrasi mulai dari rutinitas absensi pegawai sampai soal kenaikan jabatan
(promosi) memilki indikator insentif yang terukur dan diketahui bersama. Dengan
demikian, efisiensi yang terciptkan karena perusahaan menjadi semakin paperless
dalam mengurus absensi, perizinan, promosi karyawan terpantau secara real time di
sistem Teknologi Informasi. Dengan aplikasi rekrutmen dan gaji (payroll) tidak
memerlukan kertas dan proses yang inefisien membantu terwujudnya visi green
company. Divisi SDM tidak kehilangan fungsi manajemen personalia lama dan
pengembangan human capital dapat dikelola dengan lebih fokus dan semakin baik.
Teknologi Informasi (TI) dapat menciptakan nilai bagi perusahaan dengan
meningkatkan efisiensi koordinasi internal dan eksternal perusahaan, Barney dan
Clark (2007). Perusahaan yang tidak mengadopsi penggunaan TI akan mendapatkan
struktur biaya tinggi dan ketidakbermanfaatan pada beberapa fungsi perusahaan.
Walaupun demikian, perusahaan tidak dapat berharap sepenuhnya terhadap TI dalam
penciptaan sustainable competitive advantage. Hal tersebut disebabkan oleh
aksesibilitas TI yang tersebar dimana-mana dan tersedia bagi seluruh perusahaan –
kompetitor, pembeli, supplier, dan perusahaan baru yang akan masuk – pada pasar
kompetitif (Clemons dan Row 1991; Powell dan Dent-Micallef 1997).

4. Langkah keempat: Mengenalkan budaya organisasi kepada anggota baru


organisasi.
Sosialisasi dan internalisasi budaya perusahaan untuk anggota baru biasanya
terjadi di berbagai proses pengembangan keahlian dan kompetensi karyawan melalui
program pendidikan dan pelatihan (Hasil Cognitive Map, 2012). Selain itu melalui

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
325

pertemuan formal dan informal di lingkungan perusahaan (Hasil Cognitive Map,


2012). Kehadiran anggota baru dipandang sebagai suatu kebutuhan organisasi untuk
semakin cepat berkembang karena kapabilitas dan pengalaman mereka yang tidak
dimilik anggota organisasi yang ada. Maka organisasi dan anggota baru itu perlu
saling beradaptasi dan belajar satu dengan lainnya. Adaptasi memerlukan waktu yang
tidak terbatas, namun budaya organisasi tetap terus diperkenalkan kepada anggota
baru organisasi utamanya dan karyawan lama umumnya.
Budaya adalah suatu set nilai yang kompleks, kepercayaan, asumsi, dan
simbol-simbol yang mendefinisikan arah bisnis perusahaan (Smircich 1983). Dengan
demikian, suatu budaya oganisasi tidak hanya menjelaskan siapa pegawai, pemasok,
pelanggan, dan pesaing yang relevan bagi perusahaan, melainkan juga bagaimana
perusahaan akan berinteraksi dengan aktor-aktor kunci (Louis 1983; Schein 1999).
Budaya organisasi dianggap dapat memberikan nilai-nilai ekonomis yang
positif bagi perusahaan (Barney dan Clark, 2007). Dalam kaitannya dengan
karakteristik budaya organisasi menurut Barney, organisasi tanpa budaya yang
bernilai dapat membatasi organisasi dalam memperoleh keunggulan bersaing (Barney
dan Clark, 2007). Hal ini disebabkan oleh budaya organisasi menjadi penentu arah
dalam menjalankan bisnis. Keunggulan bersaing perusahaan dari budaya organisasi di
mana organsisasi perlu dan wajib memiliki ketiga karakteristik budaya bernilai
(valuable), langka (rare), dan kemampuan mengelola budaya yang sulit ditiru
(imperfectly imitable culture management skill) (Barney dan Clark 2007).

5. Langkah kelima: Melakukan sosialisasi budaya dan norma organisasi.


Pengenalan budaya dan norma organisasi tidak hanya bagi para pendatang
baru. Semua anggota organisasi tidak melihat status kapan mereka bergabung perlu
senantiasa diingatkan akan budaya dan norma organisasi yang berkembang, melalui
proses interaksi sehari-hari, gathering (informal) dan pelatihan-pelatihan formal.
Penyebaran nilai budaya dan norma organisasi pada lokus studi ini Lippo Karawaci
berjalan secara alami, walaupun seiring berjalannya waktu terdapat pula contoh
pertentangan budaya dan norma di level manajer atas berujung pada pengunduran diri

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
326

manajer tersebut. Pentingnya sosialisasi norma dan nilai-nilai budaya perusahaan


terlihat pada siklus di peta kognitif pengembangan SDM perusahaan yang terlihat di
arah strategis perusahaan di bidang SDM (Hasil Cognitive Map, 2012)
Penelitian Guttel dan Konlechner (2009) tentang ambidextrous organization
secara kontekstual menyatakan bahwa landskap contextually ambidextrous
organization terdiri dari dua unsur: disain organisasi serta nilai budaya maupun
norma organisasi yang terdapat pada masing-masing project perusahaan. Tidak dapat
kesampingkan bahwa budaya perusahaan akan mempengaruhi cara seseorang dalam
berpikir, cara seseorang dalam melihat suatu fenomena, cara seseorang dalam
mengambil keputusan hingga cara seseorang dalam membangun suatu sistem nilai.

6. Langkah keenam: Melakukan integrasi nilai budaya dan norma organsiasi sebagai
referensi bersama bagi organisasi.
Proses sosialisasi budaya dan norma organisasi diteruskan dengan transmisi
budaya dan norma kepada anggota organisasi secara terus menerus. Proses
selanjutnya adalah integrasi budaya dan norma sebagai kerangka kesepakatan
bersama dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Guttel dan Konlechner (2009)
menyebutnya dengan integrative frame of reference, proses integrasi ini sungguh
tidak mudah dan tidak dapat dibatasi waktu tertentu. Bagi narasumber penelitian ini,
integrasi nilai budaya dan norma organisasi bukan suatu proses mustahil, saat ini
integrasi nilai dan norma sebagai integrative frame of reference merupakan suatu
tantangan yang wajib untuk dicarikan solusi terbaik.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BAB VIII
PENUTUP

8.1. Kesimpulan
Ambidexterity telah menjadi topik kajian yang menarik di berbagai
wacana ilmiah. Hal ini menjadi penting manakala ambidexterity dikaitkan dengan
kemampuan organisasi yang harus terus menerus beradaptasi dengan perubahan
lingkungan yang turbulence. Kajian ini menjadi penting karena pembahasan
tentang contextual ambidexterity masih sangat jarang ditemukan, begitu pula
halnya dengan strategic ambidexterity yang kurang mengeksplorasi tentang
bagaimana proses yang terjadi di dalamnya. Kajian ini memberikan perspektif
mikro tentang bagaimana membangun ambidexterity melalui norma dan nilai
budaya, struktur formal, pandangan, strategi, kapabilitas dinamis serta proses
kognitif yang terjadi di tataran strategis. Keberadaan kajian ini mengisi
kekosongan secara empiris tentang bagaimana upaya perusahaan dalam
membangun strategic ambidextrity dan contextual ambidexterity dalam rangka
mencapai keunggulan bersaing perusahaan.
Ambidexterity dapat dikatakan sebagai kemampuan organisasi di dalam
melakukan rekonsiliasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Berkembangnya
aktivitas inovasi baik yang bersifat eksploratif maupun eksploitatif tidak terlepas
dari kemampuan individu di dalam organisasi untuk belajar. Hasil penelitian ini
merupakan best practices tentang upaya pembelajaran organisasi secara
partisipatif yang culturally feasible dan systematically desirable di dalam
membangun ambidexterity dalam rangka mewujudkan keunggulan bersaing
perusahaan.

1. Terjadi proses pembelajaran yang berlangsung secara partisipatif dan berbasis


budaya untuk mewujudkan keunggulan bersaing perusahaan yang berada dalam
sistem terbuka yang rumit dan kompleks yang berbentuk serba sistem aktivitas
manusia (human activity systems) pada praktek ambidexterity.

327 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
328

a. Proses pembelajaran pada Framework Strategic Ambidexterity terjadi pada


tataran strategis melalui kapabilitas dinamis dimulai sejak penetapan
strategi terkait dengan inovasi yang akan dilakukan sekaligus pencarian
peluang baru. Kapabilitas merujuk kepada kemampuan optimalisasi
sumber daya yang ada di dalam organisasi sedangkan kondisi dinamis
merupakan kemampuan perusahaan di dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Di dalam prakteknya proses ini sudah berjalan dengan
melibatkan organ governance perusahaan yaitu pendiri/pemilik perusahaan,
pimpinan puncak perusahaan, pengelola perusahaan dan pengawas
perusahaan.
b. Proses pembelajaran pada Framework Strategic Ambidexterity melalui Top
Management Team Cognition untuk membangun keunggulan bersaing
Lippo Karawaci juga terjadi pada tataran strategis yaitu manajemen
puncak. Upaya membangun ambidexterity jenis ini mencakup proses
informasi sedemikian rupa sehingga menjamin perbedaan antar tim
manajemen puncak melalui diskusi dan saling bertukar pikiran untuk
mendapatkan kreativitas yang menunjang inovasi melalui sinergisitas aset
yang dimiliki oleh perusahaan. Hal ini tentunya diawali dengan kesamaan
visi, untuk kemudian dikomunikasikan dengan sesama tim senior baik
dalam bentuk formal maupun informal. Diferensiasi dan integrasi yang
terjadi dalam proses kognisi manajemen puncak akan menghasilkan model
bisnis yang mengakomodir aktivitas eksplorasi dan eksploitasi. Di dalam
prakteknya proses pembelajaran jenis ini terjadi baik itu di dalam forum
yang bersifat formal maupun informal.

c. Proses pembelajaran pada Framework Contextual Ambidexterity melalui


struktur formal dibangun melalui kombinasi dari penanaman disiplin,
pemberian dukungan, membangun kepercayaan yang mendukung individu-
individu dalam organisasi untuk membuat penilaian mereka sendiri
mengenai bagaimana mereka membagi waktu mereka dalam melakukan
aktivitas ke arah eksplorasi dan eksploitasi. Induksi terhadap sumber daya
manusia dapat dilakukan melalui elemen keras, yaitu melalui penerapan

Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


329

manajemen berbasis kinerja yang memanfaatkan teknologi informasi.


Selain itu dengan menggunakan elemen lunak yaitu dukungan dan
kepercayaan sebagai konteks sosial yang dapat menginspirasi karyawan
untuk melakukan apapun yang dibutuhkan dan untuk memberdayakan
pegawai dalam melakukan inovasi secara eksploratif maupun eksploitatif.
d. Proses pembelajaran pada Framework Contextual Ambidexterity melalui
norma dan nilai-nilai budaya dilakukan melalui penerapan meritokrasi,
disiplin tinggi, sosialisasi dan internalisasi yang dibangun bersama sejak
dari awal pendirian perusahaan. Kemudian mengarahkan tujuan karyawan
agar bersifat koheren dengan tujuan perusahaan (cognitive leadership),
selain itu melakukan integrasi nilai dan norma sehingga menjadi acuan
bersama yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan perusahaan.

Aspek entrepreneur yang berperan strategis di dalam pengelolaan


sumber daya yang dimiliki oleh sebuah perseroan adalah merupakan sebagai
intangible assets yang dapat menjadi distinctive competence sehingga dapat
menciptakan keunggulan bersaing perusahaan. Hal ini sesuai dengan Ireland
(2001) yang memandang entrepreneurship bersandingan dengan manajemen
stratejik dalam pengelolaan sumber daya untuk wealth creation melalui
keunggulan bersaing perusahaan. Riady berperan sebagai entrepreneur as a
business leader yang mempraktikkan cognitive leadership. Hal ini menjadi
strategis dilakukan mengingat semakin bertambah besarnya cakupan, skala dan
luas jangkauan operasional perusahaan agar tercapai konvergensi di antara visi
dan misi pendiri dengan pengelola perseroan. Upaya ini dilakukan melalui
aktivitas koordinasi dan motivasi.

2. Hasil dari CM memperlihatkan pentingnya arah strategis pengelolaan sumber


daya yang dimiliki perusahaan. Dalam konteks penelitian ini arah strategis yang
teridentifikasi adalah sumber daya manusia (SDM), teknologi, profitabilitas
perusahaan, dan aspek entrepreneur sebagai sumber keunggulan bersaing bagi
perseroan. Untuk membentuk kualiats karyawan yang unik dan menjadi cirri khas
perusahaan yaitu well motivated and well trained, maka peningkatan kompetensi

Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


330

SDM dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Demikian pula halnya dengan
teknologi karena penguasaan teknologi dianggap dapat memberikan nilai lebih
dibanding pesaing terutama di era globalisasi ini. Sedangkan kemampuan
perusahaan di dalam menghasilkan laba merupakan indikator keberhasilan usaha
bisnis secara keseluruhan terutama untuk pendanaan berbagai aktivitas perusahaan
yang akan mengurangi ketergantungan dana dengan pihak ketiga. Satu hal yang
sangat menarik dan belum tentu dimiliki oleh perushaaan lain adalah adanya
aspek entrepreneur yang melekat pada diri Riady sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan perusahaan secara agregat.
Pola pengelolaan aset strategis yang terlihat di dalam peta kognisi Riady
dan penerapan kreativitas untuk mengembangkan inovasi merupakan dimensi inti
dari strategic entrepreneurship. Kinerja perusahaan yang superior tercipta melalui
aktivitas opportunity-seeking dan advantage-seeking behaviors secara simultan.
Kondisi ini mencerminkan organisasi yang disebut juga sebagai ambidextroux
organization. Penelitian ini menjadi penting karena merupakan best practice
contoh bagaimana perseroan yang besar dapat selalu menciptakan peluang baru
melalui inovasi. Hal ini tentunya sekaligus melemahkan pernyataan bahwa
umumnya perusahaan yang sudah mapan seringkali relatif efektif dalam mencapai
keunggulan bersaing tetapi kurang berhasil dalam mengidentifikasi peluang baru
(Tushman dan O’Reilly, 1997).

8.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dirumuskan beberapa butir
rekomendasi sebagai berikut:
1. Saran bagi pendiri Perseroan:
Profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan dilakukan dengan
menerapkan cognitive leadership melalui peran entrepreneur as a business
leader. Hal lain terkait dengan entrepreneurship di dalam perseroan yang
mempersiapkan generasi ketiga dari keluarga Riady melalui proses
pembelajaran agar dapat menjalankan peran sebagai pemimpin Perseroan
di masa yang akan datang.
2. Saran bagi manajemen Lippo Karawaci:

Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


331

a. Lebih mendorong pengembangan organisasi yang berkarakter


ambidextrous, dengan membuka ruang yang lebih besar bagi exploratory
innovation bagi karyawan melalui penyediaan konteks terutama secara soft
element. Hal ini untuk mengimbangi exploitative innovation yang sudah
terjadi dalam hal learning through job application.
b. Menyusun road map jejaring informasi yang menyambungkan antara
tataran pimpinan dengan bawahan. Hal ini dimaksudkan agar terjadi
penjajaran di antara kedua tataran tersebut. Instrumen ini diharapkan bisa
menjaring lebih banyak inisiatif dan kreativitas terutama yang bersifat
bottom up. Instrumen ini akan memfasilitasi karyawan agar tidak hanya
berperan sebagai pelaksana saja.
3. Saran bagi penelitian selanjutnya:
a. Menerapkan kombinasi aplikasi metode SSM dengan metode systems
thinking lainnya sehingga dapat diperoleh variasi hasil penelitian sebagai
building block dalam pengembangan keilmuan.
b. Melakukan kajian tentang bentuk ambidexterity yang mengambil
penekanan lainnya selain diferensiasi dan integrasi untuk memperkaya
kajian tentang ambidexterity dalam organisasi.
c. Menyajikan penelitian yang mengelaborasi lebih dalam tentang
pemahaman pimpinan perseroan tentang keunggulan bersaing dengan
menggunakan metode SODA sehingga dapat menyajikan peta kognitif
kepemimpinan secara kolektif.
d. Menggunakan kerangka strategic entrepreneurship untuk menyusun
langkah-langkah dalam membangun model konseptual dalam menciptakan
wealth creation melalui keunggulan bersaing.

Universitas Indonesia

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
Amalia E. Maulana; Firdaus A. Alamsyah; Irham A. Dilmy; Minaldi Loeis; 2009.
Indonesian Top CEO Wisdom: Precious Lessons, PT Gramedia Pustaka Utama
Andrews, K. R. 1987. The Concept of Corporate Strategy . Homewood, IL: Irwin.
Barney, Jay B., and Clark, Delwyn, 2007, Resource Based Theory. Creating and
Sustaining Competitive Advantage, Oxford University Press, New York.
Beccerra, Manuel, 2009, The Theory of The Firm for Strategic Management,
Economic Value Analysis, Cambridge University Press, UK.
Brown, S.L., & Eisenhardt, K.M. 1998. Competing on the edge - Strategy as
Structured Chaos. Harvard Business School Press: Boston, MA.
Burton, Richard M., Gerardine deSanctis, Berge Obel, Organizational Design, A Step
by Step Approach, Cambrigde, 2006, pg 140-141
Chandler, Alfred D. 1962. Strategy and Structure: Chapters in the History of the
Industrial Enterprise. Belknap Press: New York
Chandle, Alfred D. 1977. The Visible Hand: The Managerial Revolution in American
Business. Harvard Belknap : Cambridge, MA
Chen, Ming Jer, 2001, Inside Chinese Business, A Guide For Managers Worldwide,
Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts.
Checkland, Peter. 1981. System Thinking, System Practice. Wiley: Chichester, UK.
Checkland, Peter. 1990. From Framework through Experience to Learning; the
Essential nature of action research, In Information System Research:
Contemporary Approach and Emergent Tradition (Nissen H-E Eds). Elseiver:
Amsterdam.
Checkland, Peter & John Poulter. 2006. Learning for Action: A Short Definitive
Account of Soft Systme Methodology and its use for Practitioners, Teachers,
and Students. John Wiley & Sons: England, UK.

332 Universitas Indonesia


Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
333

Checkland, Peter, and Scholes, Jim, 1990, Soft System Methodology in Action, John
Wiley And Son, England.
Checkland, Peter, 1999, Systems Thinking, Systems Practice, John Wiley And Son,
England.
Earley, P. Christopher dan Soon Ang. 2003. Cultural Intelligence. Stanford University
Press: California
Farland, Keith R, 2008, The Breaktrough Company, Bagaimana Perusahaan Biasa
menjadi Pelaku Bisnis yang Luar Biasa, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Frank, R. H. 1988. Passions within reason: The strategic role of emotions. New
York: Norton.
Fuduric, Nikolina. 2008. Individuals and Opportunities: A resource-based and
institutional view of entrepreneurship. Luzern: Switzerland
Hardjosoekarto, Sudarsono. 2012. Soft System Methodology (Metodologi Serba
Sistem Lunak). UI Press dan Lab Sosio Pusat Kajian Sosiologi: Jakarta.
Hamel, G., and Prahalad, C. K. 1994. Competing for the Future .Boston: Harvard
Business School Press.
Hax, A.C, Majluf, N.S. (1984) “Strategic management: an integrative perspective”,
Prentice Hall, New Jersey.
Itami, H. .1987. Mobilizing Invisible Assets. Harvard University Press: Cambridge,
MA.
Langer, E. 1989. Mindfulness. Addison-Wesley, Boston.
Louis, M.R. 1983. ``Organizations as culture-bearing milieux'', in Pondy, L.R., Frost,
P.J., Morgan, G. and Dandridge, T.C. (Eds), Organisational Symbolism. JAI
Press: Greenwich, CT
Mintzberg, Henry, Bruce Ahlstrand, and Joseph Lampel. 1998. Strategy Safari: A
Guide Tour Through Strategic Management. The Free Press: New York.
Maulana, Amalia E., Alamsjah, Firdaus., Dilmy, Irham., Loeis, Minaldi., 2009,
Indonesia Top Wisdon CEO, Precious Lessons, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
334

Neo, Boon Siong and Geraldine Chen. 2007. Dynamic Governance: Embedding
Culture, Capabilities and Change in Singapore. World Scientific Publishing:
Singapore.
Negroponte, Nicholas.1999. Being Digital. Knopf: New York
Nothnagel, Katja. 2008. Empirical Reasearch Within Resource-Based Theory, A
Meta Analysis of The Central Proposition, Gabler (Part of the Springer
Group), Frankfurt, Germany.
Ohmae, Kenichi. 1991. The Borderless World: Power And Strategy In The
Interlinked Economy. Harper-Collins Publishing: New York
Penrose, E. T. 1959. The Theory of the Growth of the Firm. New York: Wiley.
Peters, Tom, and Robert Waterman. 1982. In Search of Excellence: Lessons from
America’s Best Run Companies. New York: Harper and Row.
Pfeffer, J., G.R. Salancik. 1978. The external control of organizations: A resource
dependence perspective. Harpers and Row, New York.
Porter, Michael E. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries
and Competitors. The Free Press: New York.
Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. The Free Press: New York.
Power, D. J., Gannon, M. J., McGinnis, M. A., and Schweiger, D. M. 1986. Strategic
Management ShUs. Reading, MA: Addison-Wesley.
Riady, Mochtar, 2008, Filsafat Kuno dan Manajemen Modern, PT Bhuana Ilmu
Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta, Indonesia.
Riady, Mochtar. 2004. Nanotechnology Management Style: Bagaimana Menyehatkan
Penyakit Ketuaan pada Perusahaan dan Menyelamatkan Perusahaan
Keluarga. Lembaga Penerbit FE-UI: Jakarta.
Riady, Mochtar, 1999, Mencari Peluang di Tengah Krisis, Cetakan Pertama,
niversitas Pelita Harapan Press, Jakarta, Indonesia.
Reynold, Martin and Holwell, Sue, 2010, Systems Approaches to Managing Changet
: A Practical Guide, Springer, London.
Robison, Richard.1986. Indonesia. The rise of capital. Allen & Unwin: Sydney

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
335

Rumelt, R. P. 1997. "The Evaluation of Business Strategy." In H. Mintzberg and J. B.


Quinn, The Strategy Process, 3d ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Sato, Yuri. 1994. ‘The development of business gorups in Indonesia. 1967-1989’,
Approaching Suharto’s Indonesia from the margins, edited by T. Shiraishi,
Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Programm
Schein, E. H. 1992. Organizational Culture and Leadership: A Dynamic View (2 ed.).
San Francisco, CA US: Jossey-Bass.
Schein, Edgar H. 1999. The Corporate Culture Survival Guide: Sense and Nonsense
about Cultural Change. San Francisco: Jossey-Bass Publishers
Senge, Peter M. , 1990, The Fifth Discipline, The Art and Practice of The Learning
Organization, Doubleday Dell Publishing Grup, United States.
Scheer, Silke, 2009, The entrepreneur as a Business Leader, Cognitive Leadership In
The Firm, Edward Elgar Publishing, Inc., Northampon, Massachusetts, USA.
Suedfeld, P., P. Tetlock, S. Streufert. 1992. Conceptual/Integrative Complexity. C.
Smith, J. Atkinson, D. McClelland, J. Verof, eds. Motivation and Personality:
Handbook of thematic content analysis. Cambridge University Press:
Cambridge, England.
Teece, D.J., 2009, Dynamic Capabilities and Strategic Management, Oxford
University Press, New York.
Toffler, Alvin. 1991. The Third Wave. Bantam Books: New York
Weick, K., K. Sutcliffe. 2001. Managing the Unexpected: Assuring High
Performance in an Age of Complexity. University of Michigan Press, Ann
Arbor.
Weick, K.E. 1982. Management of organizational change among loosely coupled
elements. In: Goodman, P.S. (ed.), Change in Organizations. Jossey-Bass: San
Fransisco, CA,
Wiseman, C. 1988. Strategic Information Systems. Irwin, Homewood: Illinois.

Jurnal dan Lain-lain

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
336

Ackermann, Frank, Colin Eden & Steve Copper. 2002. Getting Started With
Cognitive Mapping. Paper Presented at Decision Explorer Worskhop: 1-14.
Akerlof, George A. 1970. ‘The Market For “Lemons”: Quality Uncertainty and The
Market Mechanism’. Quarterly Journal of Economics 84: 488-500
Alvarez, S., Busenitz, L. 2001. The entrepreneurship of resource based theory.
Journal of Management, 27: 755-775.
Barney, Jay B. 1991. Firm Resources and sustained competitive advantage. Journal
of Management, 17: 99-10.
Barney JB, Wright M, Ketchen DJ Jr. 2001. The resource- based view of the firm: ten
years after 1991. Journal of Management 27: 625–641
Bakos, J. Y., and Treacy, M. E. “Information technology and corporate strategy: A
research perspective,” MIS Quarterly (10:2), 1986, pp. 107-119.
Bradach, J.L. 1997. Using the Plural Form in the Management of Restaurant Chains.
Administrative Science Quarterly, 42: 276-303
Beckman, C. M. 2006. The Influence of Founding Team Company Affiliations on
Firm Behavior. Academy of Management Journal, 49: 741-758.
Bierly, P. E., III, & Daly, P. S. 2007. Alternative Knowledge Strategies, Competitive
Environment, and Organizational Performance in Small Manufacturing Firms.
Entrepreneurship Theory and Practice, 31(4): 493-516.
Birkinshaw, J., Hood, N., & Jonsson, S. (1998). ‘Building Firm-specific Advantages
in Multinational Corporations: The Role of Subsidiary Initiative’, Strategic
Management Journal, 19(3): 221–41.
Calori, Roland, Gerry Johnson, & Philippe Sarnin (1994). ‘CEO’s Cognitive Maps
and The Scope of The Organization’. Strategic Management Journal, 15 (6):
437-457.
Carr, N. .2003. “IT Doesn’t Matter,” Harvard Business Review (81)5, pp.41 -49, May
2003
Carrillo, J. and C. Gaimon, 2004. “Managing Knowledge Based Resource
Capabilities Under Uncertainty,” Management Science. 50: 1504-1518.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
337

Chandrasekaran, Aravind .2009. Multiple Levels of Ambidexterity in Managing the


Innovation-Improvement Dilemma: Evidence from High Technology
Organizations. Dissertation. University of Minnesota
Chee-Cheng Chen, Huei-Ching Wu. 2007. “Combining QFD and Process
Management Techniques in Phase-in Nanotechnology – An Empirical Study
of the Semiconductor Industry”, Proceedings of the 2007 Industrial
Engineering Research Conference, G. Bayraksan, W. Lin, Y. Son, and R.
Wysk, eds. (Department of Business Administration, National Pingtung
University of Science and Technology, Taiwan.
Clemons, E. K. & Row, M. C. 1991. “Sustaining IT advantage: the role of structural
differences”, Management Information Systems Quarterly, September, pp.
275-292.
Cole, R.E. and T. Masumiya, 2007. “Too Much of a Good Thing? Quality as an
Impediment to Innovation,” California Management Review. 50: 77-84.
De Oliveira-Wilk, E., & Fensterseifer, J. 2003. ‘Use of resource-based view in
industrial cluster strategic analysis’, International Journal of Operations &
Production Management, 23(9): 995-1009.
Duncan, R. B. 1976. The Ambidextrous Organization: Designing Dual Structures for
Innovation. In R. H. Kilmann, L.R. Pondy, D. Slevin (Ed.), The Management
of Organization, Vol. 1: 167-188. New York: North-Holland.
Flood, Robert L. & Michael C. Jackson, Creative Problem Solving, Total System
Intervention, John Wiley and Sons Ltd., 1991, hal. 33
Gavetti, G., & Levinthal, D. 2000. Looking Forward and Looking Backward:
Cognitive and Experiential Search. Administrative Science Quarterly, 45: 113-
137
Gibson, C. B., & Birkinshaw, J. 2004. The Antecedents, Consequences, and
Mediating Role of Organizational Ambidexterity. Academy of Management
Journal, 47(2): 209-226.
Gilbert, C. 2006. Change in the Presence of Residual Fit: Can Competing Frames Co-
Exist? Organization Science 17(1) 150-167.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
338

Gilson, L.L., Mathieu, J.E., Shalley, C.E., & Ruddy, T.M. 2005. Creativity and
Standardization: Complementary or Conflicting Drivers of Team
Effectiveness? Academy of Management Journal, forthcoming
Greene, P. G. (1997). ‘A resource-based approach to ethnic business sponsorship: A
consideration of Ismaili-Pakistani immigrants’. Journal of Small Business
Management, 35(4): 58-71.
Guttel, W. H., & Konlechner, S. W. 2009. Continuously Hanging by a Thread:
Managing Contextually Ambidextrous Organizations. Schmalenbach Business
Review (SBR), 61(2): 150-172.
Hardjosoekarto, Sudarsono, 2013, Dual Imperatives of Action Research: Lessons
from Theoretical Research Practice to Construct Social Development Index by
Using Soft Systems Methodology, Human Resource Management Research
2013, 3(1): 49-53 DOI: 10.5923/j.hrmr.20130301.10.
Hardjosoekarto, Sudarsono, & Yovani, N. , Santiar, L., 2013, Institutional
Strengthening for the Role of Mass Media in Disaster Risk Reduction in
Japan and Indonesia: An Application of SSM-Based Action Research,
Syst Pract Action Res, DOI 10.1007/s11213-013-9282-z.
Hardjosoekarto, Sudarsono, Construction of Social Index as a Theoritical
Research Practice in Action Research by Using Soft System
Methodology, Syst Pract Action Res, DOI 10.1007/s11213-013-9282-z.
Haksever, C., Chaganti, R., & Cook, R. G. 2004. A Model of Value Creation:
Strategic View. Journal of Business Ethics(49): 291-305.
He, Z.-L., & Wong, P.-K. 2004. Exploration vs. Exploitation: An Empirical Test of
the Ambidexterity Hypothesis. Organization Science, 15(4): 481-494.
Hill, S., & Birkinshaw, J. 2006. Ambidexterity in Corporate Venturing:
Simultaneously Using Existing and Building New Capabilities, Annual
Meeting of the Academy of Management Proceedings.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
339

Hitt, M., Ireland, R., & et.al. (2001). Guest editors' introduction to the special issue of
strategic entrepreneurship: Entrepreneurial strategies for wealth creation.
Strategic Management Journal, 22, 475-491.
Huseini, Martani. 2000. Mencermati misteri globalisasi : Menata ulang strategi
pemasaran internasional Indonesia melalui pendekatan resource-based,
Usahawan, No. 01, 29 Januari, 3 -17
Holmstrom, B. .1979. “Moral hazard and observability,” Bell Journal of Economics,
10(1), 74–91.
Ireland, R Duane; Hitt, Michael A; Camp, S Michael; Sexton, Donald L, 2001,
“Integrating entrepreneurship and strategic management action to create firm
wealth”, The Academy of Management executive, Februari 2001; Volume 15,
Number 1, pg. 49.
Ireland, Duane; Hitt, Michael A; Sirmon, David G. “A Model Strategic
Entrepreneurship: The Construct and Its Dimension”’ Journal of
Management, 2003, Volume 29, pg. 963, Sage Publication.
Johnston, H.R. 1976. A New Conceptualization of Source of Organizational Climate.
Administrative Science Quarterly, 21: 95-103
Kang, S. C., & Snell, S. A. 2009. Intellectual Capital Architectures and Ambidextrous
Learning: A Framework for Human Resource Management. Journal of
Management Studies, 46(1): 65-92.
Kaplan, R. and Norton, D. ‘Having Trouble with Your Strategy — Then Map It’, in
Harvard Business Review. September – October 2000, pp. 167-176.
Kirzner, I. (1997). ‘Entrepreneurial discovery and the competitive market process: An
Austrian Approach.’ Journal of Economic Literature, 35, 60–85.
Klein, Benjamin, Robert G. Crawford, and Armen A. Alchian .1978. Vertical
Integration, Appropriable Rents, and the Competitive Contracting Process. In:
The Journal of Law and Economics, Vol. 21, pp. 297-326.
Lavie, D., & Rosenkopf, L. 2006. Balancing Exploration and Exploitation in Alliance
Formation. Academy of Management Journal, 49: 797-818.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
340

Liou dan Tang. 2009. Competitive Advantage, Value Creation and Du Pont Identity”,
Business Review, Vol. 12, No. 2, Summer 2009, p. 129.
Luke, Belinda., Kearins, Kate., Verreyne, Martie-Louis., 2011, “Developing
conceptual framework of strategic entrepreneurship”, International Journal of
Entrepreneurial Behaviour abd Research, Vol. 17, No. 3, pp. 314-337,
Emerald Group Publishing Limited.
March, J. G. 1991. Exploration and Exploitation in Organizational Learning.
Organization Science, 2(1): 71-87.
Marr B., Schiuma G., Neely A, .2004. "Intellectual Capital – Defining Key
Performance Indicators for Organisational Knowledge Assets", in Business
Process Management Journal, Vol 10, n. 5, pp. 551-569.
McDonough, E., & Leifer, R. 1983. Using Simultaneous Structures to Cope with
Uncertainty. Academy of Management Journal, 26: 727-736
McFarlan, F.W. (1984). Information technology changes the way you compete.
Harvard Business Review, 62 (3), 98-103.
McKay, Judy & Peter Marshall. 2001. The dual imperative of action research.
Information Technology & People, Volume 14 Issue 1: 46-59.
Michel, J.G., D. Hambrick. 1992. Diversification posture and the characteristics of
top Management team. Acad. Management J. 35(1) 9-37.
Mom, T. J. M., van den Bosch, F. A. J., & Volberda, H. W. 2009. Understanding
Variation in Managers’ Ambidexterity: Investigating Direct and Interaction
Effects of Formal Structural and Personal Coordination Mechanisms.
Organization Science, 20(4).
Nemanich, L. A., & Vera, D. 2009. Transformational Leadership and Ambidexterity
in the Context of an Acquisition. Leadership Quarterly, 20(1): 19-33.
North, D. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance:
Cambridge University Press.
O’Riordan, Chris. 2006. “Using the VRIO Framework in Practicing Firms taking the
Resource –Based View (RBV)” , Accountancy Ireland; Juni 2006; 38, 3;
Proquest., pg. 42

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
341

O'Reilly, C. A., & Tushman, M. L. 2004. The Ambidextrous Organization. Harvard


Business Review, 82(4): 74-81.
O'Reilly, C. A., & Tushman, M. L. 2007. Amdexterity as a Dynamic Capability:
Resolving the Innovator’s Dillema. Research Paper No. 1963 – Research
Paper Series Stanford Graduate School of Business: 1-61
Peteraf, M. 1993. The cornerstone of competitive advantage: a resource-based view.
Strategic Management Journal, 14: 179-191.
Prahalad, C.K., R.A. Bettis. 1986. The Dominant Logic: A New Linkage Between
Diversity and Performance. Strategic Management J. 7(6) 485-501.
Powell, T. C. & Dent-Micallef, A. 1997. “Information technology as competitive
advantage: the role of human, business and technology resources”, Strategic
Management Journal, Vol. 18, Nº 5, pp. 375-405.
Porter, M. E. & Millar, V. E. 1985. “How information gives you competitive
advantage”, Harvard Business Review, Vol. 64, Nº 4, pp. 149-160.
Raisch, S., Birkinshaw, J., Probst, G., & Tushman, M. L. 2009. Organizational
Ambidexterity: Balancing Exploitation and Exploration for Sustained
Performance. Organization Science, 20(4): 685-695
Reich, B., and Benbasat, I. 1990. An empirical investigation of factors influencing the
success of customer-oriented strategic systems. Information Systems
Research, 1 (3), 325-347.
Sambrook, Sally., Roberts, Clair., 2005, “Corporate entrepreneurship and
organizational learning: a review of the literature and the development of
conceptual framework”, Strategic Change 14: 141 – 155, Wiley interScience.
Schumpeter, J. (1934). The theory of economic development. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Shenkar, O. & Li, J. T. (1999). ‘Knowledge Search in International Cooperative
Ventures’, Organizational Science, 10(2):134–43.
Sheremata, W.A. 2000. Centrifugal and Centripetal Forces in Radical New Product
Development under Time Pressure. Academy of Management Review, 25:
389-408

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
342

Slee, Robert T. 2005. New Rules of Value Creation, Valuation Strategies, May/June
2005; 8, 5; ProQuest. Pg. 22
Smith, W. K., & Tushman, M. L. 2005. Managing Strategic Contradictions: A Top
Management Model for Managing Innovation Streams. Organization Science,
16(5): 522-536.
Smith, Wendy K. TT. Managing Strategic Ambidexterity: Top Teams and Cognitive
Process to Explore and Exploit Simultaneously. Research Paper – University
of Delaware; 1-31
Smircich, L. (1983): Concepts of Culture and Organizational Analysis.
Administrative Science Quarterly: 28(3). Pp. 339-358.
Schudy, Christian A.J. 2010. Contextual Ambidexterity in Organizations:
Antecendents and Performance Consequences. Dissertation. University of St.
Gallen
Tushman, M. L., & O’Reilly, C. A. 1996. Ambidextrous Organizations: Managing
Evolutionary and Revolutionary Change. California Management Review,
38(4): 8-30.
Volberda, H.W. 1996. Toward the Flexible Form: How to Remain Vital in
Hypercompetitive Environments. Organization Science, 7: 359-374
Walsh, J. 1995. Managerial and Organizational Cognition: Notes from a Trip Down
Memory Lane. Organization Science 6(3) 280-321.
Waterman, R.H. Jr, Waterman, J.A. and Collard, B.A. 1994. “Toward a career-
resilient workforce”, Harvard Business Review, Vol. 72 No. 4, pp. 87-95.
Wernerfelt, B. 1984. A resource-based view of the firm. Strategic Management
Journal, 20: 1087-1108.
Wiklund, J., & Shepard, D. (2003). ‘Knowledge-based resources, entrepreneurial
orientation, and the performance of small and medium-sized businesses’.
Strategic Management Journal, 24: 1307-1314.
Williamson, O. E. 1979. Transaction cost economics: the governance of contractual
relations. The Journal of Law and Economics, 12 (2): 233-62.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
343

Zhibiao, Liu, “Competitive Advantage : An Analyitical Framework based on


Entrepreneurship, Higher Education Press and Springer-Verlag, Front
Economic China, 2006, Volume 2, pg 182-195.

Unpublished Journal
Klein, Peter G; Barney; Jay B., Foss, Nicolai J; 2012, “Strategic Entrepreneur”,
Encyclopedia of Management Theory, (New York, forthcoming).

Disertasi/Tesis
Fitriati, Rachma. 2012. Rekonstruksi Daya Saing UMKM Industri Kreatif Berbasis
Tiga Tingkat Kerangka Kelembagaan (Sebuah Aplikasi Riset Tindakan
Berbasis Soft System Methodology). Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UI. (Forthcoming).
Prihantika, Ita. 2011. Causal Map Kepemimpinan Kepala Daerah: Studi Kasus
Walikota Joko Widodo dalam Merumuskan Kebijakan Daya Saing Daerah di
Kota Solo. Jakarta: Program Ilmu Administrasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UI. (Tesis Tidak Diterbitkan).
Uchiyama, Kenichi. 1999. Reinterpreting Soft System Methodology (SSM):
Introducing Actuality into the Field of Management and Information System
Studies. Submitted in fulfillment of the requirements for award of the degree of
Doctor of Philosophy, London School of Economics and Political Science.
Puradinata, Djatnika S. 2012. Pembelajaran Interorganisasional dan Penciptaan
Pengetahuan Dalam Pengembangan Bioethanol di Indonesia (Sebuah
Pendekatan Soft Sytem Methodology di PT Medco Ethanol Lampung). Jakarta:
Fakultas Ilmus Sosial dan Ilmu Politik UI. (Disertasi Tidak Diterbitkan).
Runge, Janet B, 1998, Understanding the performance differences in small amily
firms: Resource Based View, Louisiana State University and Agricultural and
Mechanical College.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
344

Shin Yoon Hwan.1989. ‘Demystifying the capitalist state. Political patronage,


bureaucratic interests, and capitalists-in-formation in Soeharto’s Indonesia’,
PhD thesis, Yale University

Laporan Perusahaan
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2011 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2010 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2009 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2008 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2007 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2006 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2005 Lippo Karawaci
Laporan Tata Kelola Perusahaan dan Laporan Keuangan 2004 Lippo Karawaci

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
BIODATA SINGKAT

A. DATA PRIBADI
01 Nama Lengkap Retno Kusumastuti
02 NIP 197007292009122001
03 Tempat dan Tgl Lahir Bandung, 29 Juli 1970
04 Alamat Kantor Insurance Center
Departemen Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia

Program Studi Administrasi Asuransi dan Aktuaria


Program Vokasi
Universitas Indonesia
05 Alamat Rumah Grand Depok City, Sektor Anggrek 3, Blok E-1 No.7,
Depok

B. RIWAYAT PENDIDIKAN
06 S1 Sarjana Ilmu Administrasi Fiskal
FISIP Universitas Indonesia
07 S2 Pascasarjana Ilmu Administrasi Bisnis
FISIP Universitas Indonesia
08 S3 Pascasarjana Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia

345

Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.


LAMPIRAN BAB I

1.1. Gambar SSM (p): Proses Menggunakan SSM untuk Melakukan Studi
SSM (c): Menangani Penyelesaian Isi Situasi yang Bermasalah

Sumber: http://publicpolicy.anu.edu.au/coombs/research/visualisation/2010_
Checkland_Soft_systems_methodology.pdf

1.2. SSM in Use in Mode 1 and Mode 2

Sumber: Checkland dan Scholes, 1990

1.3. The Use of SSM in Ten Studies Describes Here, Subjectively Assessed on a
Spectrum from “Ideal Type” Mode 1 to “Ideal Type” Mode 2

Near Mode 1 “Mixed” Near Mode 2

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
347

LAMPIRAN BAB II

2.1. Aplikasi Kerangka Kerja untuk pertanyaan kunci menggunakan kerangka


VRIO
The Question of The Question of The Question of The Question of
Value Rarity Immitability Organization
Apakah Apakah sumber Apakah aksi korporasi Apa yang harus
penggunaan daya tersebut dapat mudah ditiru oleh dilakukan oleh
sumber daya membuat perusahaan lain? manajemen perusahaan
tersebut dapat perusahaan kita Kesulitan untuk meniru untuk mengakselerasi
memberikan superior terhadap perusahaan lain pengembangan potensi
dampak perusahaan lain biasanya dapat sumber daya yang
peningkatan karena pesaing dilakukan dengan memiliki sifat berharga,
pendapatan bagi tidak dapat resource sharing langka dan sulit ditiru?
perusahaan, memilikinya? dengan perusahaan non Dalam konteks ini
pengurangan Misalnya memiliki pesaing. Biasanya maka sumber daya
biaya dan SDM yang kemampuan yang sulit penunjang seperti
efisiensi dalam kompeten di bidang ditiru adalah yang keuangan, staf dan
pelaksanaan yang masih langka bersifat intangible. struktur yang
tugas? dan spesifik. diperlukan.
Sumber: O’Riordan, Chris (2006)

2.2. Hubungan antara Firm Resources, Organisasi, Implikasi Kompetitif, dan


Kinerja Organisasi

Sumber: Chris O’Riordan (2006)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
348

2.3. Ilustrasi Input – Proses – Output Model Konseptual Makalah Alvarez dan
Busenits (AB, 2001)

Proses
Input Output
(entrepreneurial level)

1. Kognisi
Sumber Daya 2. Penemuan Produk
yang 3. Peluang Pasar Unggul yang
Heterogen 4. Koordinasi Homogen
Pengetahuan

Sumber: Sharon Alvarez dan Lowell Busenits (2001).

2.4. Cognitive Processing of external Stimulus

Sumber : Scheer, 2009.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
349

2.5. A Model of Strategic Entrepreneurship Process

Sumber: Ireland et al. (2001)

2.6. Creating Wealth through Entrepreneurial and Strategic Actions

Sumber: Ireland, et al. (2001)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
350

2.7. Different types of Ambidexterity

Sumber: Schudy, 2010

2.8. Soft Systems Methodology Basic Process

Sumber: Checkland dan Poulter, 2006, p. 12

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
351

2.9. The Problem Solving Interest in Action Research

Sumber: McKay dan Marshall (2001)

2.10. The Research Interest in Action Research

Sumber: McKay dan Marshall (2001)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
352

2.11. Action Research Viewed as a Dual Cycle Process and ThinkingAbout Mp and
Mps

Sumber: McKay dan Marshall (2001)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
353

LAMPIRAN BAB III

3.1. Kritik Model Konseptual SSM

Sumber: Burrel & Morgan (1979) dan Houghton & Ledington (2002)

Sumber: Burrel & Morgan (1979) dan Houghton & Ledington (2002)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
354

Sumber: Burrel & Morgan (1979) dan Houghton & Ledington (2002)

3.2. Guidelines which Help with Building Models of Purposeful Activity

Sumber: Checkland dan Poulter (2006)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
355

3.3 Satu set rangkaian pilihan-dampak (options-outcome)

Tujuan
keseluruhan

Strategi organisasi

Pilihan kebijakan

Tuntutan lingkungan

Sumber: Eden dan Ackermann (2004) (telah diolah kembali)

3.4. Beragam Cara Simulasi dan Simulasi Abstrak (Abstract Simulation)

Structure
Oriented Systems
Dynamics
Abstract
Simulation
Cognitive &
Causal Maps
Queuing
Multi Simulation
Agent
Simultaneous
Equation
Cellular
Automata Time Series
Mental
Parameter Simulation
Simulation
Oriented

Qualitative Quantitative

Sumber: (Kim, 2000) (telah diolah kembali)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
356

3.5. Rumus Transformasi Variabel yang Dapat Digunakan untuk Normalisasi Nilai
Variabel

No Rumus Transformasi Catatan


a. x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  0 ,
k  0.
1 x
y b. Semua nilai variabel hasil transformasi y
kx
berada pada interval tertutup [0, 1].
a. x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  Riil, k  0.
2  x  b. Semua nilai variabel hasil transformasi y
y  0,5  1  
 k x berada pada interval tertutup [0, 1].
c. |x| adalah nilai mutlak dari x.
Jika x dalam %, a. x adalah nilai variabel.
3 x b. Semua nilai variabel hasil transformasi y
y
100 berada pada interval tertutup [0, 1].
a. x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  bilangan cacah,
b. n = maksimum nilai variabel +1
4 x  0,5
y c. Semua nilai variabel hasil transformasi y
n
berada pada interval tertutup [0, 1].
a. x adalah nilai variabel dan konstanta
Jika x  bilangan cacah,
b. n = maksimum nilai variabel
5 x  0,5
y c. Semua nilai variabel hasil transformasi y
n
berada pada interval tertutup [0, 1].
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
357

3.6. Operasi-Operasi yang Aman yang Akan Membuat A Berada pada Interval
Tertutup [0, 1] Jika B dan C Berada pada Interval Tertutup [0, 1]

Kisaran
No Rumus Arti
Nilai A
1 A  1 B B mempengaruhi A secara berkebalikan [0, 1]
2 A 0 B B mempengaruhi A secara seiring [0, 1]
B
3 A  0,5  B mempengaruhi A seiring setelah 0,5 [0, 1]
5
BC
4 A B dan C mempengaruhi A secara seiring [0, 1]
2
B C B mempengaruhi A secara seiring dan C
5 A  0,5  [0, 1]
2 mempengaruhi A secara berkebalikan
6 A  B *C B dan C menaikkan A [0, 1]
7 A  B * 1  C  B menaikkan A tetapi C menurunkan A [0, 1]
8 A  1  B * 1  C  B dan C menurunkan A [0, 1]

Sumber: Kim (2000) (telah diolah kembali)

3.7. Hubungan Dasar (elementary relationship) antara Variabel Level (level variable)
dan Variabel Laju (rate variable)

1 2

level variable
increasing decreasing
3

changing ratio
4 5

Sumber: Kim (2000) (telah diolah kembali)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
358

3.8. Perilaku Waktu Hubungan Dasar (Elementary Relationship)

Variabel level

Nilai awal variabel level = 0,9


Changing ratio = variabel level

Nilai awal variabel level = 0,001


Changing ratio = variabel level
Nilai awal variabel level = 0,001
Changing ratio = 1-variabel level

Waktu
Sumber: Kim (2000) (telah diolah kembali)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
359

LAMPIRAN BAB IV

4.1. Transaksi Terkait dengan Pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa


Perusahaan Hubungan Sifat Transaksi
PT Matahari Putra Prima Tbk Pengendalian Penjualan dan Pendapatan yang ditangguhkan
PT Bumi Lemahabang Permai Pengendalian Wesel tanpa bunga dan uang muka Pembatalan atas tanah
PT Surya Cipta Investama Asosiasi Investasi saham
PT Lippo Indorent Asosiasi Investasi saham
PT Hyundai Inti Development Asosiasi Investasi saham
PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk Asosiasi Investasi saham
PT Tritunggal Sentra Utama Asosiasi Investasi saham
PT Menara Inti Development Asosiasi Investasi saham
PT Medika Sehat Lestari Asosiasi Investasi saham
PT Medika Sehat Lestari Asosiasi Investasi saham
PT Duta Mas Kharisma Indah Pengendalian Wesel tanpa bunga
PT Dunia Air Indah Asosiasi Investasi dalam saham dan wesel tanpa bunga
PT Gita Multi Sarana Pengendalian Wesel tanpa bunga
PT Cahaya Harapan Pengendalian Wesel tanpa bunga
PT First Media Tbk Pengendalian Sewa

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
360

4.2. Bagan Organisasi LPKR

Sumber: Lippo Karawaci

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
361

LAMPIRAN BAB V

Sistem 1: Membangun Strategic Ambidexterity melalui kapabilitas dinamis.

5.1. Root Definition 1, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 1

Root Definition 1

Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun Strategic
Ambidexterity (P) melalui kapabilitas dinamis pada tingkatan strategis yang dapat
menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi (Q) untuk menghasilkan
keunggulan bersaing perusahaan (R).
Analisis CATWOE
Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan Komisaris,
Customer (C)
Manajer, Karyawan.
Actors (A) Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Presiden Direktur, Direksi
Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
Transformation keunggulan bersaing melalui kapabilitas dinamis pada tingkatan
Process (T) strategis yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan
eksploitasi.
Kapabilitas dinamis pada tingkatan strategis yang dapat
Worldview (W) menyeimbangkan antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi sangat
penting untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan.
Owners (O) Direksi, karyawan.
Environmental Kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara aktivitas
Constraint (E) eksplorasi dan eksploitasi.
3E
Keberadaan keputusan yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas
E-Efikasi
eksplorasi dan eksploitasi.
E-Efisiensi Menggunakan sumber daya (finansial dan waktu) yang minimum.
Terciptanya keputusan yang dapat menyeimbangkan aktivitas
E-Efektif
eksplorasi dan eksploitasi.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
362

Sistem 2: Membangun Strategic Ambidexterity melalui Top Management Team


Cognition.

5.2. Root Definition 2, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 2

Root Definition 2
Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun Strategic
Ambidexterity (P) melalui Top Management Team Cognition (framing organizational
vision dan information processing) yang dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi
dan eksploitasi (Q) untuk menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R).
Analisis CATWOE
Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan Komisaris,
Customer (C)
Manajer, Karyawan.
Actors (A) Presiden Direktur, Direksi.
Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
Transformation keunggulan bersaing melalui Top Management Team Cognition
Process (T) dalam hal framing organizational vision dan information processing
yang menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan eksploitasi.
Top Management Team Cognition dalam hal framing organizational
vision dan information processing yang dapat menyeimbangkan
Worldview (W)
antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi sangat penting untuk
menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan.
Owners (O) Direksi, karyawan.
Environmental Kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara
Constraint (E) aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.
3E
Keberadaan Top Management Team Cognition dalam hal framing
E-Efikasi organizational vision dan information processing untuk
menyeimbangkan inovasi dan pengembangan.
E-Efisiensi Menggunakan sumber daya (finansial dan waktu) yang minimum.
Terciptanya Top Management Team Cognition dalam hal framing
E-Efektif organizational vision dan information processing untuk
menyeimbangkan inovasi dan pengembangan.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
363

Sistem 3 : Membangun Contextual Ambidexterity melalui struktur formal.

5.3. Root Definition 3, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 3

Root Definition 3
Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun Contextual
Ambidexterity (P) melalui struktur formal yang dapat membuat karyawan melakukan
aktivitas ekplorasi dan eksploitasi baik secara organisasional, tim dan individual (Q) untuk
menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan (R).
Analisis CATWOE
Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan Komisaris,
Customer (C)
Manajer, Karyawan.
Actors (A) Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Presiden Direktur, Direksi
Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang memiliki
keunggulan bersaing melalui penyempurnakan struktur formal yang
Transformation
dapat memberikan konteks bagi semua anggota organisasi
Process (T)
agar dapat menyeimbangkan antara aktivitas ekplorasi dan
eksploitasi.
Struktur formal yang dapat membuat karyawan menyeimbangkan
antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi baik secara
Worldview (W)
organisasional, tim dan individual sangat penting untuk
menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan.
Owners (O) Direksi, karyawan.
Environmental Kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara
Constraint (E) aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.
3E
Keberadaan struktur formal yang dapat membuat karyawan
E-Efikasi melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik secara
organisasional, tim dan individual.
E-Efisiensi Menggunakan sumber daya (finansial dan waktu) yang minimum.
Terciptanya struktur formal yang dapat membuat karyawan
E-Efektif melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik secara
organisasional, tim dan individual.
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
364

Sistem 4: Membangun Contextual Ambidexterity melalui norma dan nilai-nilai


budaya.

5.4. Root Definition 4, Analisis CATWOE, dan 3E pada Sistem 4

Root Definition 4
Sebuah sistem yang dimiliki oleh Lippo Karawaci dalam rangka membangun
Contextual Ambidexterity (P) melalui norma dan nilai-nilai budaya yang dapat
menyeimbangkan karyawan melakukan aktivitas ekplorasi dan eksploitasi baik
secara organisasional, tim dan individual (Q) untuk menghasilkan keunggulan
bersaing perusahaan (R).
Analisis CATWOE
Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Dewan Direksi, Dewan
Customer (C)
Komisaris, Manajer, Karyawan.
Actors (A) Pendiri dan Pemilik Perusahaan, Presiden Direktur, Direksi
Terwujudnya Lippo Karawaci menjadi perusahaan yang
memiliki keunggulan bersaing melalui norma dan nilai-nilai
Transformation
budaya yang dapat memberikan konteks bagi semua anggota
Process (T)
organisasi terkait agar dapat menyeimbangkan antara aktivitas
ekplorasi dan eksploitasi.
Norma dan nilai-nilai budaya yang dapat membuat karyawan
menyeimbangkan antara aktivitas eksplorasi dan eskploirasi baik
Worldview (W)
secara organisasional, tim dan individual sangat penting untuk
menghasilkan keunggulan bersaing perusahaan.
Owners (O) Direksi, karyawan.
Environmental Kendala dalam menemukan keseimbangan yang tepat antara
Constraint (E) aktivitas eksplorasi dan eksploitasi.
3E
Keberadaan norma dan nilai-nilai budaya yang dapat membuat
E-Efikasi karyawan melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik
secara organisasional, tim dan individual.
E-Efisiensi Menggunakan sumber daya (finansial dan waktu) yang minimum
Terciptanya norma dan nilai-nilai budaya yang dapat membuat
E-Efektif karyawan melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik
secara organisasional, tim dan individual
Sumber: hasil olahan penulis (2012)

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
LAMPIRAN BAB VI
6.1. Hasil Normalisasi Nilai Variabel (Nilai aktuak Variabel setelah Dilakukan Normalisasi)

Tahun
No Nama Variabel
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 Sumber Daya Manusia 0.4402 0.4529 0.4657 0.4784 0.5138 0.5377 0.5399 0.5262 0.5581 0.5829
2 Penerimaan Karyawan 0.6814 0.6756 0.6638 0.6402 0.6964 0.6650 0.5226 0.3875 0.7068 0.6922
3 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan 0.3523 0.3603 0.3655 0.3902 0.4320 0.4557 0.4318 0.4253 0.4501 0.4501
4 Kompetensi dan Keahlian Karyawan 0.1561 0.1668 0.1936 0.2334 0.2400 0.2688 0.2817 0.3063 0.3099 0.3680
5 Total Kompensasi Karyawan 0.3888 0.4033 0.4429 0.4120 0.4416 0.4909 0.5290 0.5214 0.5434 0.5795
6 Profitabilitas Perusahaan 0.5123 0.5770 0.6429 0.6819 0.6831 0.6807 0.6933 0.7069 0.7736 0.8125
7 Keunggulan Bersaing Perusahaan 0.2215 0.2198 0.2323 0.2855 0.4230 0.5315 0.4960 0.5395 0.6024 0.6319
Penerapan Sistem Informasi dan
8 0.2500 0.2500 0.2500 0.2500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500
Teknologi
9 Entrepreneur as a Business Leader 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.7000 0.7000 0.7000 0.9000 0.9000 0.9000
10 Iklim Kerja yang kondusif 0.0833 0.0833 0.0833 0.2500 0.2500 0.2500 0.4167 0.5833 0.7500 0.9167
11 Keterbukaan Informasi 0.2500 0.2500 0.2500 0.2500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500
12 Integrasi Sistem Informasi danTeknologi 0.2500 0.2500 0.2500 0.2500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500
13 Interaksi Antar Karyawan 0.2500 0.2500 0.2500 0.2500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500 0.7500
14 Kerjasama Tim 0.0833 0.0833 0.0833 0.2500 0.2500 0.2500 0.4167 0.5833 0.7500 0.9167
15 Rapat Umum Pemegang Saham 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.6000
16 Kapasitas Permodalan Perusahaan 0.0262 0.0129 0.0172 0.5974 0.8222 0.6777 0.6924 0.7096 0.7940 0.8154
17 Kapasitas Peminjaman Perusahaan 0.4345 0.4879 0.6853 0.7199 0.6841 0.8000 0.8220 0.8201 0.8417 0.8551
18 Kas dan Setara Kas Perusahaan 0.1257 0.1257 0.1257 0.1257 0.4029 0.5036 0.4594 0.4340 0.6466 0.5209
19 Modal Kerja Bersih Perusahaan 0.2947 0.2947 0.3572 0.3983 0.3983 0.4662 0.5041 0.4913 0.5960 0.6489
20 Total Aset Perusahaan 0.1143 0.1410 0.2947 0.3572 0.3839 0.5130 0.5410 0.5481 0.6177 0.6495
21 Pengembangan Bisnis Perusahaan 0.5689 0.5814 0.5938 0.6061 0.6183 0.6711 0.6644 0.6774 0.6350 0.6914
22 Umur Perusahaan 0.5098 0.5146 0.5192 0.5238 0.5283 0.5327 0.5370 0.5413 0.5455 0.5495
23 Properti yang Dimiliki Perusahaan 0.2789 0.3021 0.6890 0.7603 0.6992 0.7012 0.6917 0.7238 0.7306 0.7544
24 Reputasi Perusahaan 0.0909 0.0909 0.2308 0.0909 0.2857 0.1667 0.1667 0.3333 0.3750 0.4444
25 Pengalaman Manajemen Puncak 0.4872 0.4872 0.4872 0.5000 0.5122 0.5238 0.5349 0.5455 0.5556 0.5652
26 Renumerasi Komisaris dan Direksi 0.5003 0.5003 0.5003 0.5003 0.5003 0.5003 0.5214 0.5559 0.5688 0.6129
27 Kompetensi Dewan Komisaris 0.5038 0.5038 0.5038 0.5038 0.5038 0.6427 0.6427 0.7102 0.7625 0.3612
Universitas Indonesia
Sumber: hasil olahan penulis (2012)
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
366

6.2. Hasil Simulasi Model System Dynamics

Tahun
No Nama Variabel
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 Sumber Daya Manusia 0.4402 0.4524 0.4641 0.4779 0.4941 0.5158 0.5450 0.5814 0.6242 0.6718
2 Penerimaan Karyawan 0.6814 0.6512 0.6389 0.6367 0.6412 0.6502 0.6640 0.6832 0.7079 0.7375
3 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan 0.3523 0.4062 0.4230 0.4267 0.4277 0.4303 0.4361 0.4459 0.4606 0.4810
4 Kompetensi dan Keahlian Karyawan 0.1561 0.1570 0.1714 0.1885 0.2254 0.2784 0.3394 0.4080 0.4822 0.5619
5 Total Kompensasi Karyawan 0.3888 0.4069 0.4226 0.4406 0.4611 0.4897 0.5289 0.5774 0.6329 0.6919
6 Profitabilitas Perusahaan 0.5123 0.5762 0.6299 0.6752 0.7131 0.7444 0.7695 0.7889 0.8031 0.8129
7 Keunggulan Bersaing Perusahaan 0.2215 0.2236 0.2351 0.3042 0.3853 0.4589 0.5346 0.6076 0.6803 0.7445
8 Penerapan Sistem Informasi dan Teknologi 0.2500 0.2977 0.3516 0.4164 0.4931 0.5883 0.7031 0.8248 0.9269 0.9839
9 Entrepreneur as a business leader 0.5000 0.5167 0.5419 0.5750 0.6299 0.7010 0.7750 0.8430 0.8978 0.9377
10 Iklim Kerja yang kondusif 0.3523 0.4062 0.4230 0.4267 0.4277 0.4303 0.4361 0.4459 0.4606 0.4810
11 Keterbukaan Informasi 0.3523 0.4062 0.4230 0.4267 0.4277 0.4303 0.4361 0.4459 0.4606 0.4810
12 Integrasi Sistem Informasi danTeknologi 0.2500 0.2977 0.3516 0.4164 0.4931 0.5883 0.7031 0.8248 0.9269 0.9839
13 Interaksi Antar Karyawan 0.2500 0.2977 0.3516 0.4164 0.4931 0.5883 0.7031 0.8248 0.9269 0.9839
14 Kerjasama Tim 0.1241 0.1650 0.1789 0.1820 0.1829 0.1852 0.1902 0.1988 0.2121 0.2313
15 Rapat Umum Pemegang Saham 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.6000
16 Kapasitas Permodalan Perusahaan 0.0262 0.0129 0.0172 0.5974 0.8222 0.6777 0.6924 0.7096 0.7940 0.8154
17 Kapasitas Peminjaman Perusahaan 0.9738 0.9871 0.9828 0.4026 0.1778 0.3223 0.3076 0.2904 0.2060 0.1846
18 Kas dan Setara Kas Perusahaan 0.0255 0.0128 0.0169 0.2405 0.1462 0.2184 0.2130 0.2061 0.1635 0.1505
19 Modal Kerja Bersih Perusahaan 0.0130 0.0066 0.0088 0.1260 0.0772 0.1164 0.1144 0.1115 0.0892 0.0827
20 Total Aset Perusahaan 0.0009 0.0005 0.0016 0.0263 0.0151 0.0232 0.0228 0.0237 0.0194 0.0188
21 Pengembangan Bisnis Perusahaan 0.5098 0.5146 0.5192 0.5238 0.5283 0.5327 0.5370 0.5413 0.5455 0.5495
22 Umur Perusahaan 0.5098 0.5146 0.5192 0.5238 0.5283 0.5327 0.5370 0.5413 0.5455 0.5495
23 Properti yang Dimiliki Perusahaan 0.2789 0.3021 0.6890 0.7603 0.6992 0.7012 0.6917 0.7238 0.7306 0.7544
24 Reputasi Perusahaan 0.0002 0.0001 0.0004 0.0076 0.0047 0.0081 0.0088 0.0100 0.0087 0.0106
25 Pengalaman Manajemen Puncak 0.2500 0.2583 0.2709 0.2875 0.3149 0.3505 0.3875 0.4215 0.4489 0.5626
26 Renumerasi Komisaris dan Direksi 0.1250 0.1292 0.1355 0.1438 0.1575 0.1752 0.1938 0.2107 0.2245 0.3376
27 Kompetensi Dewan Komisaris 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.5000 0.6000

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
367

LAMPIRAN BAB VII

7.1. Milestones Lippo Karawaci

Sumber: Investor Presentation Lippo Karawaci, 2011.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
368

7.2. Pendapatan di Bidang Healthcare yang Melebihi Bidang Properti

Sumber: Research Report OSK, 2012

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
369

7.3. Ruang Lingkup 4 Pilar Utama Unit Bisnis Lippo Karawaci

Sumber: Investor Presentation, 2012.

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
370

INDEXING

Ambidexterity 10,11,14,15,16,20,21,50,53,
Ambidexterity organization 16
Ambidextrous 2
Ambidextrous organization 11
Cognitive & causal map 42,43
cognitive map 212,272,278
Cognitive mapping 13,18
Complexity Pluralist 79
Contextual Ambidexterity 18,54,57,77,160
Disctinctive competence (resource) 1
Dynamic capability 183
Entrepreneur 36
Entrepreneurial 2
Entrepreneurial 38
Entrepreneurial cognition 38
Entrepreneurial Discovery 15
Entrepreneurship 14,36,37
Entrepreneurship, strategic management 21
Governance device 32
Hard Methodology (HSM) 72
Hard Thingking 72
Immobility 25
Intangible assets,22,36
intellectual device 76
Kerangka VRIO 25, 33
Learning outcome 10
Management strategic 48
Mutually exclusive 10
Nanotechnology Management Style 3,5

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
371

Operasional Konsep 42
problem situation 76
problem solving cycle 76
research interest cycle 76
Rich picture 81
Soft Dynamic Methodologis (SSDM) 75
Soft Methodology (SSM) 72
Soft System Metodologi based AR continuum 12
Soft systems methodology 18
Soft Thingking 72
Strategic Ambidexterity 18,55,160
Strategic entrepreneurship 9,15,46,47
Structural inertia 14
Sustainable competitive advantage 34
System Dynamics 103
Tangible assets 1,22
Teori Dinamika Kapabilitas 27
Thingking 71
Top Management Team Cognition 168

Universitas Indonesia
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.
Membangun keunggulan..., Retno Kusumastuti, FISIP UI, 2013.

Anda mungkin juga menyukai