Anda di halaman 1dari 86

1

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH MIRROR THERAPY DIBANDINGKAN SHAM THERAPY


TERHADAP PERBAIKAN FUNGSI TANGAN :
Studi Intervensi Pada Pasien Strok Fase Pemulihan

TESIS

LULUS HARDIYANTI
0906566213

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN FISIK
DAN REHABILITASI
JAKARTA
MEI 2013

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
2

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGARUH MIRROR THERAPY DIBANDINGKAN SHAM THERAPY


TERHADAP PERBAIKAN FUNGSI TANGAN :
Studi Intervensi Pada Pasien Strok Fase Pemulihan

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi

LULUS HARDIYANTI
0906566213

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN FISIK
DAN REHABILITASI
JAKARTA
MEI 2013

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
3

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
4

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
5

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
6

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang disusun untuk memenuhi salah
satu persyaratan untuk meraih gelar dokter spesialis di bidang Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dalam menempuh proses pendidikan spesialis, termasuk persiapan, pelaksanaan, dan


penyusunan laporan penelitian ini, penulis telah memperoleh banyak bantuan, bimbingan,
masukan, koreksi, dukungan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena ini perkenankanlah
penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya,
kepada:

1. Dr.dr.Widjajalaksmi K, SpKFR(K), MsC, selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi, Program Pendidikan Dokter Spesialis FKUI, sebagai guru dan pembimbing
yang dengan penuh ketenangan, pengertian dan kesabaran senantiasa membimbing,
memberikan dukungan serta arahan, menyediakan waktu untuk menjawab semua pertanyaan
penulis, dan senantiasa memberikan motivasi kepada penulis selama penelitian ini
berlangsung.
2. dr. Rosiana Pradanasari Wirawan, SpKFR(K) sebagai guru dan pembimbing, yang sejak awal
dengan tulus dan sabar disela-sela kesibukannya yang sangat padat memberikan banyak
petunjuk, ilmu, dukungan, saran, dan nasihat yang sangat berharga selama pembuatan
proposal. Memandu, mendampingi, dan memberikan pemecahan dalam berbagai masalah
yang dihadapi selama pelaksanaan penelitian.
3. dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid, sebagai pembimbing yang dengan sabar, teliti dan
sistematis memberikan bimbingan statistik sampai selesainya tugas akhir ini.
4. Dr. dr. Tirza Z. Tamin, SpKFR(K), selaku sekretaris Program Studi Ilmu Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi, Program Pendidikan Dokter Spesialis FKUI, sebagai guru yang telah
memberikan masukan, bimbingan, dan tak bosan menyemangati penulis, baik dalam
menyelesaikan penelitian ini maupun selama menjalankan program pendidikan.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
7

5. dr.Wanarani A, SpKFR(K) selaku Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan


Rehabilitasi RSCM, sekaligus guru, yang telah memberikan banyak bimbingan dan ilmu,
juga mengijinkan penulis menggunakan fasilitas ruang okupasi di Departemen demi
terlaksananya penelitian ini.
6. Dr.dr. Nury Nusdwinuringtyas, SpKFR(K), M.Epid selaku koordinator penelitian dan guru,
yang telah memberikan banyak masukan pada penelitian ini, juga membimbing dan mendidik
dengan penuh kesabaran selama penulis menjalani program pendidikan.
7. dr. Peni Kusumastuti, SpKFR(K) selaku Kepala Instalasi Rehabilitasi Medik RS Fatmawati,
sekaligus guru, yang telah memberikan banyak bimbingan dan ilmu, juga mengijinkan
penulis menggunakan fasilitas ruang okupasi di Instalasi Rehabilitasi Medik RS Fatmawati
demi terlaksananya penelitian ini.
8. Kepada para staf pengajar: dr. Siti Annisa Nuhonni, SpKFR(K), dr. Amendi Nasution,
SpKFR(K), dr Elida Ilyas, SpKFR(K), dr.Luh Karunia Wahyuni, SpKFR(K), dr. Herdiman
B. Purba, SpKFR(K), dr. Deddy Tedjasukmana, SpKFR(K), MARS, MM,dr. Ira
Mistivani,SpKFR(K), dan dr. Tresia FU Tambunan,SpKFR selaku guru yang telah mengajar
dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dalam menyelesaikan program
pendidikan.
9. Kepada staf pengajar di rumah sakit jejaring : dr. Indriati Tobing, SpKFR, beserta staf
pengajar di RSU Fatmawati, dr. Anita Ratnawati, SpKFR beserta staf RSU Persahabatan, dr
Kumara Bakti Hera Pratiwi, SpKFR sebagai Kepala Instalasi Rehabilitasi Medik RS Kanker
Dharmais beserta staf, dan dr. Julius Aliwarga SpKFR. Terima kasih atas segala bimbingan
dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
10. Sahabat- sahabatku: dr Rizky Kusuma Wardhani, dr. Fitri Anestherita, dr. Vanda Mustika, dr.
Maulin Nikmah, dr. Verial Attamimy, dr. Eva Permatasari, dr. Ruby Valentine, dr.
Widyastuti Retno Annisa, dr Irene Roma Hasudungan, dr. Pontjo Tjahjo, dan dr. Putri
Alfaridy yang menjadi teman seperjuangan, selalu memberikan dukungan serta kerjasama
selama menjalani program pendidikan, dan senantiasa memberikan keceriaan dalam hari-
hariku.
11. Rekan-rekan di bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi, Program Pendidikan Dokter
Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM beserta teman-teman residen

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
8

lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan kerja sama selama menjalani
pendidikan.
12. Para pasien yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Terima kasih atas kerjasama
dan bantuan yang tak ternilai yang telah diberikan selama penelitian ini berlangsung. Semoga
hasil penelitian ini membawa manfaat dalam penatalaksanaan yang lebih baik sehingga dapat
mengoptimalkan pemulihan pada pasien hemiparesis pasca strok.
13. Kepada kedua orang tua tercinta, Bapak H. Siman dan Ibu Hj. Siti Mardiyah, yang telah
mendidik dan membesarkan penulis, terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, doa, dan
pengorbanan yang diberikan selama ini. Kepada Bapak dan Ibu mertua, Bapak H. Moechtar
Syaiin (alm) dan Ibu Hj. Siti Sofiyah (almh), terima kasih atas segala doa, restu dan
dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Hanya Alloh SWT yang bisa membalas
kebaikan Bapak dan Ibu dengan surga-Nya.
14. Secara khusus dan diatas segalanya, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada suami tercinta, Sunan Hasan, atas segala kesabaran, cinta, dukungan, dan
pengorbanannya. Terima kasih pengertiannya disaat penulis terlalu lelah atau terlalu sibuk
untuk mendampingi. Kepada anak-anakku tersayang, Kayyisa Hasan dan Akhtar Hasheef
Hasan, bangga sekali atas kesholehan, prestasi, dan kemandirian kalian. Terimakasih atas
segala pengorbanannya, maafkan atas waktu kebersamaan yang hilang, disaat Ibu harus
belajar dan menuntut ilmu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan keberkahan dan
rahmatNya untuk keluarga kita

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu
penulis dengan pahala berlipat ganda. Semoga tesis ini memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu, terutama Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.

Jakarta, 13 Mei 2013


Penulis,

Lulus Hardiyanti

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
9

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
10

ABSTRAK

Nama : Lulus Hardiyanti


NPM : 0906566213
Program Studi : Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Judul Tesis : Pengaruh Mirror Therapy Dibandingkan Sham Therapy
Terhadap Perbaikan Fungsi Tangan: Studi Intervensi Pada
Pasien Strok Fase Pemulihan

Tujuan: Mengetahui manfaat pemberian mirror therapy dibandingkan sham therapy terhadap
pemulihan fungsi tangan. Desain penelitian: Studi intervensi. Metode: Studi randomisasi
tersamar tunggal pada pasien strok serangan pertama. Subjek dibagi menjadi 2, yaitu kelompok
mirror dan sham, yang diberikan mirror therapy atau sham therapy sebagai tambahan terapi
okupasi standar. Parameter Hasil: Fugl Meyer Assessment dan Functional Independence
Measure (FIM). Hasil: Delapan belas pasien (rerata usia 53,9 tahun), dengan lama awitan kurang
dari 6 bulan ikut serta dalam penelitian ini. Didapatkan peningkatan signifikan pada rerata skor
Fugl Meyer pada kedua kelompok setelah 3 minggu dan 6 minggu perlakuan (p<0,001),
sedangkan skor FIM meningkat hanya pada 3 minggu pertama. Peningkatan skor Fugl Meyer
lebih tinggi pada kelompok mirror (rerata=20,5) dibanding kelompok sham (rerata 13,75),
walaupun secara statistik tidak signifikan. Kesimpulan: Mirror therapy dapat meningkatkan
pemulihan motorik pada pasien strok fase pemulihan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan
sampel lebih besar untuk mendapatkan hasil yang bermakna.
Kata kunci : rehabilitasi strok, mirror therapy, pemulihan motorik.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
11

ABSTRACT

Name : Lulus Hardiyanti


Study Program : Physical and Rehabilitation Medicine
Title : The Effect of Mirror Therapy Compare to Sham Therapy in Hand Motor
Recovery in Subacute Stroke

Objective: To evaluate the effect of mirror therapy on motor recovery of stroke patients. Study
design: Intervention study. Methods: A randomized, controlled, assessor blinded trial in
outpatient with first stroke, that were divided into two groups: mirror and sham. They completed
a protocol of six week mirror therapy or sham therapy for 30 minutes 3 times a week, in addition
to standard occupational therapy program. Outcome parameters: Fugl Meyer Assessment for
upper extremity and Functional Independence Measure (FIM). Results: Eighteen patients (mean
age 53,9 yo), all within 6 months post stroke were enrolled. Fugl Meyer score increased in both
group after three weeks and six weeks intervention (p<0,001), FIM score increased only in the
first three weeks. The Fugl Meyer mean score improved more in the mirror group than in the
sham group (by mean 20,5 vs. 13,75), but statistically not significant. Conclusions: Mirror
therapy could enhances hand motor recovery in subacute stroke patient. Due to limited sample,
further study is needed.

Keywords: Stroke rehabilitation, mirror therapy, motor recovery.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
12

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN PROGRAM STUDI iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS iv
HALAMAN PENGESAHAN v
KATA PENGANTAR vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI x
ABSTRAK xi
ABSTRACT xii
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 3
1.3 Pertanyaan Penelitian 3
1.4 Tujuan penelitian 4
1.5 Hipotesa Penelitian 4
1.6 Manfaat penelitian 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Hemiparesis Pasca Strok 5
2.1.1 Insidensi 5
2.1.2 Gangguan Fungsi Tangan Pasca Strok 5
2.1.3 Proses pemulihan pasca strok dan plastisitas 7
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemulihan pasca strok 9
2.1.5 Plastisitas Otak 11
2.2 Mirror Therapy 14
2.2.1 Konsep dasar mirror therapy 14
2.2.2 Berbagai penelitian tentang mirror therapy 17
2.3 Kerangka teori 19
2.4 Kerangka konsep penelitian 20
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian 21
3.2 Tempat penelitian 21
3.3 Waktu penelitian 21
3.4 Populasi dan sampel penelitian 21
3.5 Kriteria penerimaan dan penolakan 22
3.6 Kriteria pengeluaran (drop out) 23
3.7 Estimasi besar sampel 23

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
13

3.8 Identifikasi variabel 23


3.9 Definisi operasional 24
3.10 Bahan dan alat penelitian 26
3.11 Prosedur penelitian 27
3.12 Manajemen dan analisa data 28
3.13 Alur penelitian 29
3.14 Etik penelitian 30
4. HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Subjek Penelitian 31
4.2 Pemulihan Kemampuan Motorik dan Peningkatan Kemandirian 34
Dalam Perawatan Diri
4.3 Perbedaan Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self 34
Care pada Kelompok Mirror dan Sham
5. PEMBAHASAN
5.1 Proses Penelitian 38
5.2 Karakteristik Subjek Penelitian 39
5.3 Peningkatan Rerata Skor Fugl Meyer pada kelompok Mirror dan Sham 42
5.4 Peningkatan Rerata Skor FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan 45
Sham
5.5 Perbedaan Peningkatan Rerata Skor Fugl Meyer dan FIM 46
Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham
5.6 Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian 49
6. SIMPULAN DAN SARAN 50

DAFTAR PUSTAKA xviii


LAMPIRAN xxi

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
14

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian 33


Tabel 4.2 Skor Brunnstrom dan Ashworth Subjek Sebelum Mengikuti Latihan 34
Tabel 4.3 Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self Care pada 35
Kelompok Mirror
Tabel 4.4 Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self Care pada 35
Kelompok Sham
Tabel 4.5 Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer pada Kelompok Mirror dan 36
Sham
Tabel 4.6 Peningkatan Skor FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham 36
Tabel 4.7 Hubungan Jenis Strok dengan Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer 37
dan FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham
Tabel 4.8 Hubungan Lama Awitan dengan Rerata Peningkatan Skor Fugl 38
Meyer dan FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
15

DAFTAR GRAFIK DAN GAMBAR

Grafik 4.1 Rerata Skor Fugl Meyer pada Kelompok Mirror dan Sham 36
Grafik 5.1 Waktu Pemulihan Neurologis pada Pasien Strok 44
Grafik 5.2 Waktu Pemulihan Kemampuan Aktivitas Perawatan Diri pada 47
Pasien Strok
Gambar 2.1 Posisi Pasien Saat Melakukan Mirror Therapy 16

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
16

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar keterangan lulus kaji etik xxi

Lampiran 2 Penjelasan yang diberikan kepada calon subjek penelitian xxii

Lampiran 3 Formulir persetujuan mengikuti penelitian xxiii

Lampiran 4 Status Pasien xxiv

Lampiran 5 Mini Mental State Examination xxv

Lampiran 6 Formulir pemeriksaan Edinburg Inventory xxvi

Lampiran 7 Formulir pemeriksaan Line Bisection Test xxii

Lampiran 8 Formulir pemeriksaan Token Test xxiii

Lampiran 9 Formulir pemeriksaan Fugl-Meyer xxv

Lampiran 10 Formulir pemeriksaan FIM self care xxvii

Lampiran 11 Desain Latihan Mirror Therapy xxviii

Lampiran 12 Formulir kegiatan latihan xxxix

Lampiran 12 Dokumentasi Penelitian xli

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Strok merupakan penyebab utama disabilitas jangka panjang pada dewasa. Kelumpuhan pada
anggota gerak atas merupakan konsekuensi yang paling banyak ditemukan pasca strok.
Hemiparesis didapatkan pada 85% penderita strok yang bertahan hidup, dan 55%-75% berlanjut
menjadi keterbatasan fungsional pada anggota gerak atas. 1, 2 Pada individu dengan hemiparesis
seringkali didapatkan spastisitas, kelemahan otot, dan gangguan menetap pada koordinasi
gerakan. Inkoordinasi ini dikarenakan jaringan saraf yang bertanggung jawab untuk
merefleksikan gerakan secara tepat, mengalami kerusakan dikarenakan cedera otak, maupun
sebab sekunder karena disuse.3

Pemulihan motorik terhadap kontrol gerakan volunter pasca strok merupakan sesuatu yang
cukup sulit. Pemulihan fungsi tangan sangat penting untuk melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Enam bulan pasca strok, hanya 38% pasien yang mengalami pemulihan kemampuan
tangan, dan hanya 12% menunjukkan pemulihan fungsional, meskipun telah menjalani
rehabilitasi.4, 5

Kemajuan dalam teknologi pencitraan otak functional magnetic resonance imaging (fMRI),
membawa pada pengetahuan tentang proses neuroplastisitas yang mendasari pemulihan motorik
pasca strok. FMRI membuktikan bahwa terapi fisik dapat memicu plastisitas otak pada pasien
pasca strok, tidak hanya pada fase pemulihan subakut tapi juga fase kronik. Observasi
eksperimental menunjukkan adanya perubahan pada bentuk dan ukuran area aktivasi kortikal,
dan perbaikan kontrol gerakan motorik setelah aktivitas yang bersifat repetitif, fungsional, dan
menantang.5

Berbagai intervensi metode rehabilitasi telah diteliti efeknya dalam memperbaiki kontrol motorik
dan fungsi pada anggota gerak atas, misalnya terapi latihan pada tangan yang paresis,
impairment-oriented training of the arm, functional electric stimulation, robotic-assisted

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
18

rehabilitation, dan bilateral arm training.1 Mirror therapy merupakan intervensi terapi yang
difokuskan pada gerakan tangan atau kaki yang paresis. Teknik ini relatif baru, sederhana,
murah, dan mampu memperbaiki fungsi anggota gerak atas. Prosedur ini dilakukan dengan
menempatkan cermin pada bidang midsagital pasien, sehingga pasien dapat melihat bayangan
tangan yang sehat, dan memberikan suatu umpan balik visual yang dapat memperbaiki tangan
sisi paresis.1, 2, 6

Mirror therapy pertama kali diperkenalkan oleh Ramachandran dan Roger-Ramachandran


(1996) untuk terapi nyeri fantom, pada 10 pasien pasca amputasi anggota gerak atas. Bayangan
tangan yang utuh digunakan untuk menstimulasi tangan yang diamputasi. Prosedur ini
menimbulkan persepsi ilusi. Pasien melaporkan bahwa mereka dapat menggerakkan dan
merilekskan anggota gerak yang sakit dan merasakan perbaikan nyeri setelah terapi. 1, 7

Beberapa penelitian pada pasien strok yang dilakukan oleh Sutbeyaz et al (2007), Yavuzer et al
(2008), Altschuler et al (1999), Sathian dan Stoykoy (2003), melaporkan bahwa mirror therapy
dapat membantu pemulihan fungsi motorik pada tangan yang paresis. Mirror therapy pada
pasien strok melibatkan gerakan pada tangan yang sehat sambil melihat pantulannya di cermin
yang diposisikan di depan tangan yang sakit (tidak terlihat), sehingga menimbulkan ilusi seakan-
akan tangan yang sakit yang bergerak.1, 2, 8

Studi pencitraan fungsional pada otak individu sehat, menunjukkan adanya eksitabilitas pada
korteks motorik primer ipsilateral terhadap gerakan tangan unilateral, yang difasilitasi dengan
melihat pantulan gerakan tangan di cermin. Ketika tangan kanan digunakan, namun
dipersepsikan sebagai tangan kiri, akan meningkatkan aktivasi di otak kanan (begitu pula
sebaliknya). Aktivasi ketika subjek melakukan gerakan juga terjadi di area parietal inferior
bilateral, area motorik suplementari, dan korteks premotor. 5, 6, 9

Dohle et al (2008), meneliti efek mirror therapy pada 36 pasien hemiparesis pasca strok iskemik.
Pasien menjalani terapi standar ditambah mirror therapy selama 6 minggu. Secara klinis
didapatkan peningkatan skor Fugl Meyer lebih tinggi pada kelompok mirror dibanding
kelompok kontrol (95% CI = -0,6-3,6). Namun dalam kemampuan aktivitas kehidupan sehari-
hari, sebagaimana diukur dengan functional independence measure (FIM) self care, tidak
didapatkan perbedaan diantara kedua kelompok terapi.6

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
19

Lydia dan kawan-kawan (2011) memberikan mirror therapy selama 20 menit, 2 kali seminggu,
sebanyak 10 sesi pada 18 pasien strok fase pemulihan, sebagai tambahan program rehabilitasi
standar pada paresis anggota gerak. Didapatkan peningkatan signifikan skor Brunnstrom dan
FIM self care, lebih tinggi pada kelompok mirror dibanding kontrol.10

Berdasarkan berbagai penelitian di atas, peneliti ingin menyempurnakan penelitian tersebut


dengan menggunakan protokol terapi yang lebih lengkap dan Fugl-Meyer untuk pengukuran
hasil.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah untuk penelitian ini adalah:

Apakah pemberian mirror therapy pada pasien hemiparesis pasca strok fase pemulihan
memberikan hasil yang berbeda terhadap perbaikan fungsi tangan sisi paresis dibanding kontrol
(sham therapy) ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui manfaat pemberian mirror therapy terhadap perbaikan fungsi tangan sisi
paresis pada pasien strok fase pemulihan.

1.4.2 Tujuan Khusus


- Mengetahui nilai Fugl Meyer dan FIM self care sebelum dan setelah pemberian mirror
therapy pada pasien strok fase pemulihan.
- Mengetahui perbedaan peningkatan nilai Fugl Meyer dan FIM self care pada
kelompok yang mendapat mirror therapy dibanding kontrol (sham therapy).

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
20

1.4 Hipotesis
Terdapat perbedaan perbaikan fungsi tangan sisi paresis pada pasien strok fase pemulihan
yang diberikan mirror therapy dibanding kontrol (sham therapy).

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bidang pengembangan ilmu pengetahuan
- Menambah pengetahuan mengenai pengaruh mirror therapy terhadap plastisitas otak dan
fungsi tangan sisi paresis.
- Mengaplikasikan hasil penelitian pada program rehabilitasi pasien hemiparesis pasca
strok.
- Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.5.2 Bidang pelayanan masyarakat


- Pemberian mirror therapy diharapkan dapat meningkatkan perbaikan fungsi tangan pada
pasien hemiparesis pasca strok, sehingga pasien dapat lebih mandiri dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
21

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HEMIPARESIS PASCA STROK


2.1.1 Insidensi

Tangan memiliki kemampuan gerakan terampil dan sensory discrimination terbesar.


Terganggunya fungsi tangan dan lengan merupakan penyebab utama ketergantungan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Menurut Kwakkel et al (2003), 30-66% pasien dengan
hemiparesis memiliki fungsi tangan yang buruk pada 6 bulan pasca serangan strok.4

Berdasarkan penelitian Seamic Health Statistic (Int Med Found Japan, tahun 1998) antara
tahun 1991 sampai 1995 strok menjadi penyebab kematian utama di Indonesia dan sebagai
penyebab kecacatan paling banyak pada kelompok usia dewasa. 4, 11-13 Riset Kesehatan Dasar
Indonesia (Riskesdas) pada tahun 2007, mendapatkan prevalensi strok di Indonesia sebesar
8,3 per 1000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000
penduduk.14

2.1.2 Gangguan Fungsi Tangan Pasca Strok

Kelemahan diketahui sebagai impairment utama yang menyebabkan disabilitas, dan menjadi
hambatan terbesar untuk pemulihan pada pasien strok. Besarnya torque yang ditimbulkan
pada sendi anggota gerak yang lemah dapat terganggu sebesar 53% dibanding tangan non
dominan pada individu sehat. Kekuatan tangan pada sisi ipsilateral lesi juga menurun
sebesar 15%. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan (korelasi sedang dan kuat)
antara kelemahan otot dengan gangguan fungsi motorik pada pasien pasca strok.15

Spastisitas pada anggota gerak atas merupakan masalah yang umum didapatkan pada pasien
strok. Spastisitas pada otot-otot anggota gerak atas, dapat menyulitkan kegiatan makan,
perawatan diri, dan higiene. Faktor lain yang berhubungan dengan spastisitas, yang berperan
dalam disabilitas yaitu gangguan postur (misal : mempengaruhi cara duduk di kursi roda)

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
22

dan spasme yang nyeri. Adanya spastisitas juga meningkatkan gesekan pada kulit, terutama
pada permukaan ekstensor anggota gerak, dan dapat terjadi ulkus dekubitus. Terapi biasanya
ditujukan untuk mencegah deformitas, inhibisi tonus, mempertahankan panjang serabut otot,
memanjangkan jaringan yang memendek melalui prolonged posisioning, dan mengurangi
nyeri. Prognosis pemulihan motorik yang buruk ditandai oleh : respon fasilitasi (tapping)
lebih dari 9 hari, periode flaksid yang lebih panjang, onset gerakan lebih dari 2-4 minggu,
tidak adanya gerakan tangan volunter setelah 4-6 minggu, dan spastisitas proksimal yang
berat.16

Kelemahan pada kontraksi otot dan tingkat co-contraction pada otot-otot fleksor dan
ekstensor pergelangan tangan berhubungan signifikan dengan impairment anggota gerak
atas dan pengukuran disabilitas fisik. Kekuatan otot sebagaimana terlihat pada pemeriksaan
electromyography (EMG), berkorelasi positif dengan skor Fugl-Meyer motor assessment
untuk anggota gerak atas, dan arm motor ability test (AMAT), sedangkan adanya co-
contraction pada otot-otot antagonis (sebagaimana terlihat pada pemeriksaaan EMG)
berbanding terbalik dengan hasil pengukuran ini. Alberts et al (2004) menyatakan bahwa
kekuatan saja bukan merupakan prediktor dexterity pada anggota gerak atas. Kemampuan
untuk mengontrol kekuatan menggenggam memiliki dampak yang lebih besar terhadap
fungsi anggota gerak atas dibanding kekuatan maksimal. 15

Kelemahan anggota gerak atas pasca strok, seringkali lebih berat pada otot-otot bagian distal
dibanding otot-otot bagian proksimal. Defisit fungsional pasca strok ditentukan oleh
beberapa faktor, meliputi luasnya struktur yang rusak dan tingkat stimulasi kortikal melalui
gerakan aktif maupun pasif dari anggota gerak yang sakit. 6, 17

Perencanaan gerakan terjadi di parietal dan area korteks motorik nonprimer, yaitu sulkus
intraparietal anterior dan korteks premotor ventral, sedangkan eksekusi gerakan lebih
banyak terjadi di korteks motorik primer dan struktur yang keluar dari area tersebut, yaitu
traktus kortikospinal. Knopman dan Rubens (1986) menyatakan pemeriksaan pencitraan
mengindikasikan bahwa keterlibatan jalur kortikospinal supratentorial dapat memprediksi
ada tidaknya kelemahan tangan pasca strok.15, 17

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
23

2.1.3 Proses Pemulihan Pasca Strok


Berbagai penelitian berusaha untuk menjelaskan mekanisme pemulihan motorik pasca strok,
namun mekanisme pasti pemulihan hemiparesis masih belum jelas. Adanya proyeksi dari
korteks motorik primer ke otot-otot ipsilateral telah diketahui, terutama pada otot-otot
proksimal. Proses pemulihan motorik pada strok memiliki pola umum, yaitu segera setelah
onset hemiplegi, gerakan volunter pada anggota gerak yang terlibat akan hilang, refleks
tendon akan menurun, dan resistensi terhadap gerakan pasif akan menurun. Dalam 48 jam,
refleks-refleks menjadi lebih aktif pada sisi yang sakit, dan dalam waktu singkat resistensi
terhadap gerakan pasif akan meningkat. Otot yang paling banyak terlibat pada anggota gerak
atas adalah otot adduktor dan fleksor, sedangkan pada anggota gerak bawah, otot adduktor
dan ekstensor. Pada hari ke 1-38 setelah onset hemiplegia, spastisitas mulai meningkat, dan
klonus akan muncul.18

Pada hari ke 6-38 setelah onset hemiplegi, gerakan volunter pertama akan muncul (fleksi
bahu dan panggul). Flexor synergy akan terbentuk, yaitu fleksi jari-jari, dan fleksi seluruh
anggota gerak atas (bahu, siku, pergelangan tangan, dan jari-jari). Segera setelah itu,
extensor synergy akan terbentuk. Ketika kekuatan fleksi shoulder dan elbow meningkat,
pasien mencapai fase dimana spastisitas pada otot-otot ini berkurang. Spastisitas hilang
seluruhnya ketika kekuatan gerakan volunter telah pulih. Proses pemulihan yang
digambarkan di atas tidak terjadi pada semua kasus. 18

Brunnstrom menyatakan adanya urutan stereotip selama proses pemulihan pasca strok, yang
dibagi menjadi 6 stadium, yaitu :
- Stadium 1: segera setelah serangan, timbul flaksid, pasien tidak dapat menggerakkan
anggota gerak yang lumpuh.
- Stadium 2: pada awal pemulihan, basic limb synergies atau beberapa komponennya mulai
terbentuk, spastisitas muncul pada fase ini.
- Stadium 3: pasien mulai dapat mengontrol gerakan sinergis; spastisitas menjadi semakin
nyata.
- Stadium 4: pasien dapat menggerakkan anggota tubuh di luar pola sinergis, dan
spastisitas mulai menurun.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
24

- Stadium 5: bila kemajuan berlanjut, pasien dapat melakukan gerakan kombinasi yang
lebih kompleks di luar pola sinergi.
- Stadium 6: pasien sudah dapat melakukan banyak kombinasi gerakan dengan koordinasi
mendekati normal.18

Lang et al (2006) meneliti proses pemulihan pada 23 pasien hemiparesis pasca strok ringan
dan sedang, pemulihan terhadap kemampuan meraih (reaching) dan menggenggam
(grasping) terutama terjadi dalam 90 hari pasca serangan, dan hanya sedikit perubahan yang
terjadi antara hari ke-90 sampai 1 tahun pasca serangan.17

Pasien strok dengan impairment ringan yang masih mampu melakukan gerakan minimal
pada anggota gerak atas, memberikan respon lebih baik terhadap terapi, karena mereka dapat
melibatkan anggota gerak atas dalam aktivitas. Partisipasi aktif ini merupakan dasar proses
belajar motorik untuk perbaikan fungsi.15

2.1.4 Faktor-Faktor Yang Berperan Pada Pemulihan Hemiparesis Pasca Strok

Terdapat bukti bahwa pasien strok mengalami pemulihan ketrampilan motorik anggota
gerak atas setelah intervensi rehabilitasi, dalam fase kronis sekalipun. Pendekatan terapeutik
yang diberikan memicu plastisitas pada sistem saraf, dan hal ini terbukti secara
neurofisiologi maupun perilaku. Ahli neuroscience menyatakan bahwa sistem saraf pusat
bersifat adaptable selama proses perkembangan maupun seumur hidup. Sistem saraf dapat
pulih dari penyakit dan cedera serius melalui adaptasi spontan dan proses penyembuhan. 11, 13

Shelton dan Reding (2001) menyatakan proses pemulihan anggota gerak atas dipengaruhi
oleh lokasi lesi, terutama adanya keterlibatan struktur kortikal maupun subkortikal yang
berhubungan dengan sistem motorik primer dan sekunder. Pada primata, ukuran dan lokasi
lesi di korteks primer area tangan menentukan apakah pemulihan motorik akan terjadi
melalui reacquisisi terhadap strategi gerakan sebelum infark, atau dengan mengembangkan
tehnik gerakan kompensasi.15, 19

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
25

Broeks et al (1999) menyatakan sebagian besar pasien strok memiliki defisit sensorik,
adanya defisit sensorik yang berat merupakan indikator pemulihan fungsi yang buruk.
Faktor-faktor lain yang mempersulit pemulihan motorik pada kelumpuhan anggota gerak
atas yaitu : nyeri bahu, terbatasnya lingkup gerak sendi bahu, dan meningkatnya tonus otot.
Beratnya paresis awal merupakan prediktor terpenting pemulihan motorik. Gerakan pada 1
bulan pertama pasca strok berhubungan dengan prognosis pemulihan yang buruk.
Sebaliknya adanya kekuatan menggenggam pada 1 bulan pasca strok mengindikasikan
setidaknya pemulihan fungsional sebagian dapat terjadi dalam bulan ke-6.15

Shelton et al (2001) menyatakan pemulihan kemampuan anggota gerak atas berhubungan


kuat dengan luasnya area motorik primer dan jalur kortikospinal yang masih intak. Pasien
dengan strok kortikal murni memiliki kemungkinan pemulihan gerakan pada anggota gerak
atas sebesar 75%. Pemulihan motorik menurun secara progresif pada lesi yang melibatkan
corona radiata dan capsula interna bagian posterior limb.15

Perilaku pasien, termasuk aktivitas, dan interaksi sosial mempengaruhi keluaran fungsional
dan kualitas hidup pasca strok. Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam
menghadapi krisis, termasuk penyakit. Harapan memerankan peranan penting dalam semua
terapi, dan mungkin memiliki efek spesifik terhadap lesi. Penelitian terbaru membuktikan
enrichment lingkungan pasca iskemik, dapat meningkatkan pemulihan fungsional secara
signifikan, mempengaruhi ekspresi gen, meningkatkan percabangan dendrit dan jumlah
dendritic spines, memodifikasi lesion-induced stem cell differentiation dan interaksi dengan
pemberian obat, skill training, stimulasi dan aktivasi dalam rehabilitasi strok.18

Managemen rehabilitasi pada anggota gerak atas pasca strok berbeda dengan anggota gerak
bawah karena beberapa alasan. Pertama: pemulihan motorik spontan pada anggota gerak
atas secara umum lebih lambat dan kurang komplit dibanding yang terjadi pada anggota
gerak bawah. Kedua: aktivitas perawatan dasar misalnya porsi perawatan diri seperti diukur
dengan Functional Independence Measure (FIM) dapat dilakukan dengan satu anggota
gerak atas yang sehat, sedangkan untuk bipedal locomotion dibutuhkan kedua anggota gerak
bawah. Ketiga: target program rehabilitasi pasien rawat inap, seperti lama perawatan dan
aktivitas yang diukur dengan FIM, memerlukan pencapaian kemandirian fungsional yang

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
26

cepat, sehingga rehabilitasi anggota gerak atas pasca strok seringkali difokuskan pada
strategi dimana anggota gerak atas yang sehat mengkompensasi yang sakit. Adanya bukti-
bukti penelitian bahwa intervensi rehabilitasi dapat meningkatkan pemulihan motorik,
menyebabkan perubahan strategi rehabilitasi, yaitu mencapai keseimbangan antara
penggunaan strategi kompensasi dan intervensi untuk meningkatkan pemulihan motorik
anggota gerak atas yang sakit.20

2.1.5 Plastisitas Otak

Neuroplastisitas diartikan sebagai kemampuan struktur otak dan fungsinya yang terkait
untuk tetap berkembang karena adanya suatu stimulasi. Stimulasi sensori yang diterima otak
memodifikasi struktur dan fungsi bagian otak tertentu yang bersifat stabil, dimana terjadi
modifikasi dari jaringan dendrit sel neuron maupun akson, sehingga timbul hubungan antar
sel neuron yang lebih banyak. Lebih dari 50 tahun yang lalu Hebb menyatakan bahwa
peningkatan efikasi sinaptik terjadi selama proses belajar, dimana firing berulang pada satu
sel saraf akan menyebabkan firing berulang pada sel saraf yang lain yang berhubungan.
Plastisitas dapat terjadi melalui beberapa proses antara lain perubahan reseptor, collateral
sprouting, unmasking of pre-existing pathway, dan lain-lain.21, 22

Astrosit berperan aktif dalam plastisitas otak, tidak hanya dengan peran metabolik dan
sebagai penghasil faktor-faktor tropik, namun terutama berperan aktif dalam neural
signaling dan plastisitas sinaptik. Iskemik merupakan penyebab kuat ekspresi gen di otak.
Perubahan elektrofisiologi dan morfometri setelah lesi otak terjadi dengan urutan waktu
yang berbeda, mulai beberapa menit atau beberapa jam, sampai beberapa minggu dan
beberapa bulan. Perubahan ini kemungkinan berhubungan dengan aktivasi sejumlah gen
pada waktu yang berbeda pasca iskemia.23

Telah lama diketahui bahwa peningkatan input sinyal dari modalitas sensori melalui
beragam cara dapat meningkatkan plastisitas di otak. Proses sensori, mencakup penglihatan,
pendengaran, propriosepsi, sentuhan, dan tekanan dapat menimbulkan umpan balik
(feedback) dari suatu gerakan.22

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
27

Biofeedback sebenarnya merupakan suatu “biobehavioral feedback”. Penderita berusaha


mengkonsentrasikan diri untuk memerintahkan atau mengontrol aktifitas yang
diinginkannya (system foreward). Secara anatomis fisiologis biofeedback menggunakan
komponen aferen dalam hal ini eksteroseptif yaitu berbagai informasi visual, auditori,
ataupun informasi yang berasal dari reseptor-reseptor kutaneus dan proprioseptif.21

Keseluruhan informasi diteruskan menuju ke area korteks somatosensori untuk diolah di


area tersebut dan di hipokampus, kemudian disimpan kembali dalam suatu pola atau cetakan
tertentu sebagai engram sensori. Bila pola yang tepat sudah “dipelajari” oleh korteks sensori,
maka engram memori tersebut digunakan untuk memulai suatu gerakan motorik melalui
komponen eferen yang terdiri dari korteks motorik, basal ganglia, dan traktus descending
motorik. Jadi sebenarnya pola gerakan ikut dikontrol oleh korteks sensori, bukan oleh
korteks motorik semata. Bila terjadi disfungsi serebral, sistem motorik akan gagal mengikuti
pola yang sudah ada, untuk itu diperlukan suatu sinyal sensori yang memberikan umpan
balik ke korteks untuk memperbaiki kegagalan tersebut. 21, 22

Perubahan plastis terjadi pada level kortikal melalui beberapa cara:15, 21, 22
- Unmasking of existing connections
Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi pada reorganisasi representasi kortikal adalah
unmasking pada hubungan sinaptik yang sudah ada namun secara fungsional lemah, melalui
fasilitasi atau inhibisi intrakortikal. Teori unmasking berdasarkan asumsi bahwa terdapat
sejumlah besar hubungan sinaptik yang tersembunyi di korteks. Hubungan ini dapat dibuka,
atau diperkuat melalui stimuli yang sesuai, misalnya perubahan dalam aktivitas.

- Perubahan eksitabilitas: secara umum atau melalui Long term potentiation and long term
depression (LTP/LTD)

Perubahan umum yang terus-menerus pada eksitabilitas neuron dapat meningkatkan


kemungkinan firing pada satu neuron atau sekelompok neuron. Potensiasi jangka panjang
dan depresi jangka panjang merupakan mekanisme perubahan efikasi sinaptik pada
hipokampus dan neokorteks pada kondisi tertentu. LTP dan LTD merupakan bentuk paling
kuat untuk modifikasi transmisi sinaptik yang menetap sebagai respon terhadap stimulus
ringan, dan merupakan mekanisme dasar seluler untuk proses belajar dan memori.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
28

- Perubahan farmakologis atau modulasi keseluruhan pada plastisitas M1


Beberapa faktor berperan dalam efek modulasi pada reorganisasi korteks motorik.
Neuromodulator seperti asetilkolin dan norepinefrin dikatakan dapat mempengaruhi lokasi
dan insidensi plastisitas sinaptik.

- Neurogenesis pada korteks motorik


Neurogenesis pada korteks mamalia dewasa masih kontroversial apakah dapat terbentuk
neuron baru. Kebanyakan bukti terbaru menyatakan bahwa pada korteks motorik primata
mayoritas sel baru adalah mikroglia atau astrosit, bukan neuron.

- Sinaptogenesis pada korteks motorik


Lebih dari 30 tahun yang lalu, penelitian Raisman (1969) pada hipokampus dan struktur
yang berhubungan menunjukkan adanya peningkatan jumlah hubungan sinaptik pada
nucleus septal setelah terjadi kerusakan pada salah satu inputnya. Pada individu normal,
sinaptogenesis merupakan proses penting perkembangan. Pengalaman, terutama
pembelajaran gerakan terampil (learning of skilled task), akan meningkatkan kepadatan
sinaptik pada berbagai area otak orang dewasa.

Mekanisme kerja sel saraf merupakan dasar proses pembelajaran neural dan memori.
Bilamana suatu sel neuron aktif, maka hubungan antar sinapsnya pun menjadi lebih efektif.
Keefektifannya bisa disebabkan karena peningkatan eksitasi sinaps jangka pendek, seperti
yang terjadi pada memori jangka pendek atau terjadi suatu perubahan struktural dari sinaps-
sinaps tersebut, seperti yang terjadi dalam memori jangka panjang. Perubahan plastis pada
sinaps adalah mekanisme yang mendasari proses pembelajaran neural dan memori. Dalam
proses pembelajaran neural pada manusia, tingkat kesadaran, kewaspadaan (arousal), atensi,
konsentrasi dan motivasi merupakan kompinen-komponen penting dalam melaksanakan
tugas sensorimotor atau psikomotor (performance) tertentu.21

Pada proses pembelajaran neural terjadi modifikasi dalam kekuatan hubungan antar neuron
(neural network) yang khas bagi tiap individu (amat individual). Berbagai bukti menemukan
bahwa modifikasi hubungan antar neuron tergantung dari impuls jaras sensorik (sensory
pathway) dan sifat stimulasi sensorik. Representasi somatosensori di kortikal bersifat plastis

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
29

dan diinduksi melalui berbagai cara, antara lain melalui berubahnya atau hilangnya impuls
yang diperoleh.21

2.2 MIRROR THERAPY


2.2.1 Konsep Dasar Mirror Therapy
Akhir-akhir ini suatu metode baru yang disebut mirror therapy, dikembangkan pada pasien
hemiplegia pasca strok. Stevens dan Stoykoy mendefinisikan mirror therapy sebagai bentuk
imajinasi motorik yang dipandu secara visual (visually guided motor imagery), mental
performance dari suatu gerakan tanpa melakukan gerakan tersebut. Observasi pasif terhadap
suatu gerakan akan memfasilitasi eksitabilitas M1 dari otot-otot yang digunakan dalam
gerakan tersebut.1, 6, 24

Mirror therapy dapat dilakukan dengan 3 strategi. Strategi pertama, subjek melihat gerakan
tangan yang sehat di cermin dan mencoba menirukan gerakan ini dengan tangan yang sakit.
Cara kedua, subjek membayangkan tangan yang sakit bergerak sebagaimana yang
diinginkan (motor imagery). Cara ketiga, terapis membantu gerakan tangan yang sakit
sehingga sikron dengan pantulan gerakan pada tangan yang sehat yang terlihat di cermin.25

Weiss et al (1994) melakukan penelitian pada pasien strok hemiplegik kiri usia 51-82 tahun,
pada gambaran Electro Encephalography (EEG) didapatkan adanya perubahan aktivitas
otak ketika membayangkan gerakan (motor imagery) dan perubahan ini mirip dengan yang
didapatkan pada individu sehat.26

Gambar.2.1 Posisi Pasien Saat Melakukan Mirror Therapy. Sumber : Dohle C, et all. Mirror therapy promotes recovery
from severe hemiparesis: A randomized controlled trial. Neurorehabil Neural Repair. December 12,2008; vol XX: 1.6

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
30

Altsculler menyatakan bahwa mirror therapy memberikan input visual dari gerakan normal
pada tangan yang sakit pada pasien pasca strok, yang dapat mengkompensasi penurunan
atau tidak adanya input proprioseptif. Observasi terhadap suatu gerakan tidak hanya
memodulasi eksitabilitas di korteks motorik, namun juga representasi korteks somatosensori.
Melihat stimulasi pada cermin dapat menyebabkan penjalaran sensasi terhadap tangan yang
lain.1, 6, 24

Fukumara et al (2007) mengemukakan, dengan melihat ekstremitas yang sehat melakukan


gerakan motorik fungsional di depan cermin seolah-olah sebagai anggota gerak yang paresis,
akan mempertahankan umpan balik sensoris melalui visual ke otak, sehingga tidak
memfasilitasi fenomena learned nonuse.24 Program rehabilitasi paresis tangan pada
umumnya dapat memfasilitasi fenomena learned nonuse, karena intervensi terapi sering
langsung diarahkan pada latihan anggota gerak yang hemiparesis saja tanpa menyertakan
latihan fungsional, dan mengarahkan untuk latihan kompensasi dengan anggota gerak yang
sehat agar dapat secepatnya mandiri dalam aktifitas dasar sehari-hari.10

Berbagai bukti secara klinis, neurofisiologis, maupun pencitraan menunjukkan bahwa


mengimajinasikan gerakan (motor imagery) melibatkan jalur neural yang sama sebagaimana
eksekusi gerakan. Mekanisme lain yang mungkin adalah keterlibatan sistem saraf cermin
(mirror neuron system). Mirror neuron adalah sel-sel saraf yang ditemukan di area premotor
baik pada monyet maupun manusia, yang menjadi aktif selama mengamati gerakan,
membayangkan gerakan (mental imagery) dan eksekusi gerakan. Saat ini, mirror neuron
dipahami secara umum menjadi dasar dalam proses belajar terhadap ketrampilan baru
melalui pengamatan visual terhadap ketrampilan tersebut.1, 6, 26

Pada individu normal, membayangkan gerakan akan mengaktifkan area otak yang
digunakan untuk mengontrol gerakan, yaitu korteks premotor, korteks motorik primer, dan
lobus parietal. Membayangkan gerakan menyebabkan aktivasi pada ±30% neuron M1 yang
akan mengeksekusi gerakan yang dibayangkan. Studi aktivasi fungsional membuktikan
bahwa terdapat beberapa nodus di sistem motorik yang sama pada saat menghasilkan
gerakan, mengamati gerakan orang lain, membayangkan gerakan, memahami gerakan orang
lain, dan mengenali alat sebagai obyek suatu gerakan. 5, 26

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
31

Berdasarkan studi fMRI yang dilakukan Lacobany et al, mengamati dan menirukan gerakan
sederhana jari tangan kanan akan mengaktifkan terutama dua area motorik yang
berhubungan, yaitu area Broca ventral premotor yang mengatur gerakan yang diamati, dan
korteks parietal anterior superior kanan yang mengatur aspek kinestetik gerakan yang
dibentuk selama mengamati gerakan, misalnya seberapa banyak jari harus digerakkan. 26

Liepert et al (2001) dan Muellbacher et al (2000) menyatakan bahwa gerakan lengan/tangan


satu sisi memicu perubahan eksitabilitas pada korteks motorik primer (M1) baik ipsilateral
maupun kontralateral. Modulasi eksitabilitas M1 merupakan mekanisme neural penting yang
terlibat dalam induksi neuroplastisitas, sehingga melibatkan tugas-tugas motorik yang
memicu perubahan eksitabilitas dalam terapi, dapat meningkatkan efektivitas dalam
pemulihan fungsional pada sisi yang sakit pasca strok monohemisferik.26
Studi functional Magnetic Resonance Imaging pada manusia sehat yang melakukan gerakan
menggenggam kuat satu sisi, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sinyal dan aktivasi
pada korteks sensorimotor baik kontralateral (lebih kuat) maupun ipsilateral. 3 Dengan
refleksi cermin gerakan tangan satu sisi, akan mengaktivasi korteks motorik primer
ipsilateral, area parietal inferior bilateral dan korteks premotor.1

2.2.2 Berbagai Penelitian Tentang Mirror Therapy


Altschuler et al (1999), melaporkan efek mirror therapy terhadap kemampuan gerakan
pasien pasca strok, meliputi lingkup gerak sendi, kecepatan, dan ketepatan gerakan lebih
baik pada kelompok mirror dibanding terapi lain. Pasien diberikan mirror therapy selama 15
menit, 2 kali sehari, 5 kali per minggu, selama 4 minggu.24

Mirror therapy pada pasien strok kronik juga menunjukkan hasil signifikan terhadap
pemulihan fungsi tangan, walaupun jumlah sampel kecil dan tidak ada kelompok kontrol.
Sathian et al (2000), melaporkan bahwa mirror therapy intensif selama 2 minggu pada
pasien strok stadium kronik, menghasilkan pemulihan signifikan terhadap kekuatan
menggenggam dan gerakan tangan pada sisi yang paresis.1, 2

Stevens dan Stoykoy (2003) meneliti 2 pasien strok stadium kronik (14 bulan pasca strok)
yang diberikan mirror therapy selama 1 jam dengan frekuensi 3 kali seminggu. Didapatkan

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
32

peningkatan yang konsisten selama 4 minggu pada skor Fugl Meyer, lingkup gerak sendi,
kecepatan gerakan, dan hand dexterity (desain pre dan post).3

Sutbeyaz et al (2007), memberikan mirror therapy berupa latihan dorsofleksi pergelangan


kaki dikombinasikan dengan program rehabilitasi konvensional selama 4 minggu, pada 40
pasien hemiparesis pasca strok stadium sub akut. Pemulihan motorik pada anggota gerak
bawah (diukur dengan Brunnstrom) dan fungsi motorik (diukur dengan FIM motor score)
signifikan lebih baik pada kelompok mirror dibanding kontrol (p=0,01).1

Studi randomized controlled assessor-blinded trial oleh Yavuzer et al (2008) melaporkan


efek mirror therapy, terhadap peningkatan pemulihan motorik dan fungsi tangan penderita
strok subakut serangan pertama (maksimal 12 bulan pasca strok), setelah 4 minggu (20 sesi
terapi) sampai dengan 6 bulan masa pengamatan. Pada kelompok mirror didapatkan skor
FIM self care meningkat 8,3 poin dibanding kelompok kontrol yang hanya meningkat 1,8
poin (p=0,01), dan skor Brunnstrom meningkat 1,6 poin dibanding kelompok kontrol yang
meningkat 0,3 poin (p=0,01).2

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
33

2.3 KERANGKA TEORI

Strok

Gangguan persepsi Gangguan visual dan Gangguan Gangguan


dan kognisi15 somatosensori15,19 motorik6,15,17 koordinasi15

Gangguan aktivitas fungsional


anggota gerak atas sisi1,2
1,b1paresis1,2

Learned non use15,20

Penurunan input
proprioseptif15,16

Area representasi di otak


berkurang18,20

Mirror therapy

Modulasi eksitabilitas di korteks Stimulasi mirror


motorik dan somatosensorik21,22 neuron system1,6,26

Plastisitas otak21,22

Perbaikan fungsi tangan sisi paresis

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
34

2.4 KERANGKA KONSEP PENELITIAN

Mirror Therapy
Perbedaan peningkatan skor
Sham Therapy Fugl-Meyer dan FIM self care

KARAKTERISTIK INDIVIDU : STROK

- Usia subjek - Lama awitan strok


- Jenis kelamin - Jenis strok
- Sisi paresis
- Pendidikan
- Skor Brunnstrom
- Kinan/kidal - Skor Ashworth

Keterangan:

= variabel bebas

= variabel terikat

= variabel perancu

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
35

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain studi intervensi terandomisasi untuk mengetahui
pengaruh pemberian mirror therapy dibandingkan sham therapy terhadap perbaikan
fungsi tangan pada pasien hemiparesis pasca strok.

3.2 Tempat Penelitian


1. Departemen Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2. Instalasi Rehabilitasi Medik RS Fatmawati, Jakarta

3.3 Waktu Penelitian


Persiapan : Januari – Juli 2012
Pelaksanaan : Juli 2012 - Maret 2013
Analisis dan Penyajian : April-Mei 2013

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


3.4.1.Populasi Penelitian
- Populasi target :
Pasien hemiparesis pasca strok serangan pertama fase pemulihan di Indonesia
- Populasi terjangkau
Semua pasien hemiparesis pasca strok serangan pertama fase pemulihan yang
berobat di Poliklinik Rehabilitasi Medik RS Cipto Mangunkusumo dan RS
Fatmawati pada bulan Juli 2012 - Maret 2013.

3.4.2.Sampel Penelitian
Sampel diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penerimaan dan
penolakan. Metode pengambilan sampel dengan consecutive sampling selama kurun
waktu yang telah ditetapkan sampai besar sampel minimal terpenuhi.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
36

3.5 Kriteria Penerimaan dan Penolakan


3.5.1 Kriteria Penerimaan
1. Pasien pasca strok serangan pertama fase pemulihan (2 minggu - 6 bulan)
2. Usia 30-65 tahun
3. Skor Brunnstrom level 1-4 pada anggota gerak atas
4. Mampu mengikuti minimal 3 perintah verbal berurutan (misal : ambil pensil
warna merah yang ada di atas buku)
5. Tidak ada gangguan kognitif (pemeriksaan Mini Mental State Examination ≥ 24),
untuk atensi dan konsentrasi skor harus penuh (5)
6. Tidak ada afasia sensorik yang dibuktikan dengan Token test
7. Tidak ada gangguan penglihatan atau sudah dikoreksi
8. Mempunyai keseimbangan duduk yang adequat
9. Tidak memiliki gangguan kardiopulmoner berat atau kondisi penyakit lain yang
dapat mengganggu aktivitas fungsional atau kelangsungan latihan
10. Bersedia mengikuti program penelitian secara sukarela dengan mengisi formulir
persetujuan

3.5.1 Kriteria Penolakan


1. Penderita strok vertebrobasiler dan strok perdarahan subarachnoid
2. Pasien dengan gangguan visuospasial, hemineglect, dan apraksia
3. Adanya penyakit rematik atau penyakit muskuloskeletal lain yang mempengaruhi
kemampuan pasien untuk duduk atau menggerakkan anggota gerak atas

3.6 Kriteria Pengeluaran (drop out)


- Lebih dari tiga kali tidak mengikuti latihan

3.7 Estimasi Besar Sampel


Besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel pada data numerik untuk dua
kelompok independen dengan rumus :27
n1=n2 = 2{(Zα+ Zß)Sd}2
(X1-X2)

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
37

Tingkat kemaknaan (α) yang digunakan adalah 0,05 (Zα =1,96) dan power (ß) 80%
(Zß=0,84). Standar deviasi (Sd) didapatkan dari kepustakaan sebesar 3,3.28 Efek size
(x1-x2) pada penelitian ini adalah perbedaan rata-rata perbaikan fungsi tangan yang
dinilai dengan Fugl Meyer, sebesar 9,5.28

n1 = n2 = 2 {(1,96 + 0,84) 3,3}2 = 17,97 (dibulatkan 18)


(24-14,5)

Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel 18 untuk masing-masing


kelompok. Peneliti memperkirakan drop out sebesar 10%, sehingga besar sampel
menjadi 20 untuk masing-masing kelompok.

3.8 Identifikasi Variabel


- Variable bebas : kelompok mirror therapy, kelompok sham therapy
- Variable tergantung : skor Fugl Meyer dan skor FIM self care
- Variabel perancu: usia subjek, jenis kelamin, pendidikan, kinan/kidal, lama awitan
strok, jenis strok, letak sisi paresis, skor Brunnstrom, dan skala Ashworth, yang
sudah dikontrol melalui randomisasi.

3.9 Definisi Operasional


1. Kelompok mirror: adalah kelompok perlakuan yang akan diberikan latihan pada
anggota gerak atas sisi paresis dengan menggunakan cermin, sebagai tambahan terapi
okupasi standar.
2. Kelompok sham: adalah kelompok kontrol yang akan diberikan protokol terapi dan
frekuensi yang sama seperti kelompok mirror namun menggunakan kaca yang tidak
memantul, selama latihan pasien diminta untuk melihat langsung gerakan tangan
yang sehat.
3. Fugl Meyer Assessment adalah suatu metode untuk mengevaluasi kemampuan fisik
pada pasien pasca serangan strok, meliputi pemeriksaan refleks, observasi terhadap
gerakan, pemeriksaan kemampuan menggenggam (grasp testing) dan penilaian
fungsi sensorik. Pada penelitian ini akan digunakan Fugl Meyer assessment-motor

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
38

section untuk ekstremitas atas. Skor total mempunyai rentang nilai 0 (terendah)
sampai 66 (tertinggi). Formulir terlampir.29, 30
4. Functinal Independence Measure (FIM): adalah salah satu skala pengukuran status
fungsional, pada penelitian ini akan digunakan FIM self care, dengan rentang skala
penilaian 1-7, skor total mempunyai rentang nilai 7 (terendah) sampai 42
(tertinggi).31
5. Strok: adalah keadaan klinis yang terjadi secara mendadak akibat gangguan fungsi
otak fokal atau global dengan kelainan menetap selama 24 jam atau lebih serta
mempunyai kecenderungan memburuk dan bahkan dapat menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain selain faktor vaskuler (WHO).
6. Usia adalah usia subjek penelitian yang ditetapkan berdasarkan tahun lahir, dihitung
dari ulang tahun terakhir
Alat ukur : kartu tanda penduduk
Skala ukur : numerik
Hasil ukur : umur dalam tahun
7. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan berdasarkan tampilan fisik dan sesuai
dengan Kartu Tanda Penduduk
Alat ukur : kartu tanda penduduk
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan
8. Tingkat pendidikan (menurut Undang-Undang no 2 tahun 1999): adalah tingkat
pendidikan yang berhasil dicapai subjek pada saat penelitian, dibagi 3 : pendidikan
rendah, pendidikan menengah, pendidikan tinggi.
Alat ukur : kartu keluarga
Skala ukur : kategorik
Hasil ukur : pendidikan rendah = sekolah dasar/sederajat, pendidikan sedang =
sekolah menengah pertama/sederajat, pendidikan tinggi = sekolah lanjutan tingkat
atas/sederajat, pendidikan sangat tinggi = yaitu minimal pernah menempuh
pendidikan tinggi.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
39

9. Lama awitan strok: adalah waktu terjadinya serangan strok sampai latihan dilakukan.
Subjek pada penelitian ini adalah pasien strok fase pemulihan, yaitu lama awitan 2
minggu sampai 6 bulan.
10. Jenis strok: adalah strok hemoragik atau strok iskemik, berdasar anamnesis dan hasil
CT scan.
11. Letak sisi paresis: adalah hemiparesis kiri atau kanan berdasarkan pemeriksaan fisik.
12. Skor Brunnstrom: adalah suatu metode untuk menilai tingkat pemulihan motorik
yang dibagi menjadi 6 fase yang berurutan. Skor yang lebih tinggi mengindikasikan
pemulihan motorik yang lebih baik.32
13. Skala Ashworth: adalah suatu metode penilaian spastisitas. Nilai 0 bila tidak ada ada
peningkatan tonus otot, skala Ashworth 1 bila spastisitas kurang dari 25%, bila lebih
hingga 50% disebut skala Ashworth 2, bila spastisitas hingga 75% disebut skala
Ashworth 3.33
14. Mini mental state examination: adalah alat ukur yang berguna untuk menilai fungsi
kognitif pasien.34
Alat ukur : lembar MMSE
Skala ukur : numerik
Hasil ukur : normal bila skor ≥24, tidak normal bila skor <24

3.10 Bahan dan Alat Penelitian


1. Formulir informasi untuk subjek penelitian dan surat kesediaan untuk mengikuti
penelitian
2. Formulir identitas dan data pemeriksaan fisik subjek penelitian
3. Formulir pemeriksaan MMSE, Token test, Line bisection test, Edinburg inventory,
Fugl Meyer, dan FIM self care.
4. Formulir monitoring latihan
5. Alat tulis
6. Peralatan mirror therapy :
- ruang untuk latihan dengan dinding netral, tidak ada tempelan gambar,
pencahayaan cukup terang, dan tenang/ tidak ada suara berisik yang dapat
mengganggu konsentrasi pasien.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
40

- cermin datar ukuran 40 cm x 50 cm


- papan kayu untuk penahan tangan
- meja
- kursi tanpa sandaran lengan yang tingginya bisa diatur
7. Peralatan Fugl Meyer :
- kursi tanpa sandaran lengan
- palu refleks
- kapas
- pensil
- cylinder grasp: gelas plastik berdiameter 8 cm
- spherical grasp: bola tenis
- stopwatch

3.11 Prosedur Penelitian


1. Subjek pasien strok serangan pertama fase pemulihan, yang berobat di poli
rehabilitasi neuromuskuler RSCM dan RS Fatmawati, yang memenuhi kriteria
penerimaan. Untuk memperoleh data awal, peneliti memakai waktu selama 2 hari
dengan pertimbangan supaya kondisi subjek penelitian tidak lelah.
2. Pada hari pertama, peneliti memberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian,
juga dilakukan :
- Anamnesa identitas pasien
- Riwayat strok: jenis strok, letak sisi paresis, lama awitan strok, lama pemakaian
obat-obat anti depresif, fisioterapi dan okupasi yang sudah pernah dilakukan
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan MMSE, Token test, Line bisection test
- Apabila pasien memenuhi syarat dalam kriteria penerimaan dan penolakan, serta
bersedia berperan serta dalam penelitian, maka pasien diminta menandatangani
surat persetujuan untuk mengikuti prosedur penelitian, disaksikan oleh anggota
keluarga
3. Pada hari kedua, peneliti melakukan penilaian awal Fugl Meyer dan FIM self care.
4. Dilakukan randomisasi dengan tabel untuk menentukan alokasi subjek.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
41

5. Subjek penelitian akan diberikan terapi standar sesuai prosedur terapi okupasi pada
pasien strok.
6. Pada kelompok intervensi akan dilanjutkan dengan mirror therapy selama 15 menit
sebanyak 2 sesi, diselingi istirahat selama 5 menit. Pada kelompok kontrol akan
diberikan sham therapy dengan durasi waktu yang sama. Terapi diberikan sebanyak
3x/minggu selama 6 minggu.
Latihan yang diberikan pada kelompok sham sama seperti yang diberikan pada
kelompok mirror, namun tidak menggunakan cermin, sehingga subjek diminta untuk
melihat langsung gerakan pada tangan yang sehat selama latihan (desain latihan
terlampir).35
7. Selama penelitian, petugas akan memberikan semangat dan dukungan kepada subjek,
dan peneliti akan menelepon subjek setiap minggu untuk memberikan motivasi dan
menanyakan apakah ada masalah.
8. Peneliti akan mengukur nilai Fugl Meyer dan FIM self care setelah 9 sesi terapi dan
pada akhir penelitian.
9. Data yang didapat dicatat, kemudian dianalisis.

3.12 Manajemen dan Analisa Data


Uji statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS 11.5 yaitu :25
- Analisis deskriptif untuk karakteristik subjek
- Analisis perbandingan nilai rerata Fugl Meyer dan FIM self care sebelum dan sesudah
intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Bila data
terdistribusi normal, akan dilakukan uji T berpasangan, dan bila data terdistribusi tidak
normal akan dilakukan uji Wilcoxon.
- Analisis perbandingan adanya perbedaan peningkatan nilai Fugl Meyer dan FIM self
care pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesudah terapi. Bila data
terdistribusi normal akan digunakan uji T tidak berpasangan, dan bila data terdistribusi
tidak normal akan digunakan uji Mann Whitney.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
42

3.13 Alur Penelitian


Pasien strok yang memenuhi kriteria
penerimaan dan penolakan

Sampel penelitian
Randomisasi tabel

Kelompok mirror Kelompok sham

Pemeriksaan ke-1 : skor Fugl Pemeriksaan ke-1: skor Fugl


Meyer dan FIM self care Meyer dan FIM self care

Terapi okupasi sesuai protokol di Terapi okupasi sesuai protokol di


Departemen Rehabilitasi Medis Departemen Rehabilitasi Medis
+ Mirror Therapy + Sham Therapy
Drop Out

Pemeriksaan ke-2: skor Fugl Pemeriksaan ke-2 : skor Fugl


Meyer dan FIM self care Meyer dan FIM self care

Terapi okupasi sesuai protokol di Terapi okupasi sesuai protokol di


Departemen Rehabilitasi Medis Departemen Rehabilitasi Medis
+ Mirror Therapy + Sham Therapy
Drop Out

Pemeriksaan ke-3 : skor Fugl Pemeriksaan ke-3 : skor Fugl


Meyer dan FIM self care Meyer dan FIM self care

Analisis data

Hasil penelitian

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
43

3.14 Etik Penelitian


 Kepada pasien strok dengan paresis anggota gerak atas akan diberikan penjelasan
tentang penyakit, dampak dan manfaat terapi yang akan diberikan. Pasien yang
bersedia ikut dalam penelitian, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
(inform consent) ikut dalam penelitian.
 Manfaat bagi pasien yang mendapatkan terapi akan dapat meningkatkan perbaikan
fungsi tangan, sehingga pasien dapat lebih mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
 Semua data dan informasi dari pasien akan dirahasiakan. Pasien dapat mengundurkan
diri kapan saja apabila merasa dirugikan.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
44

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah subjek yang bersedia mengikuti penelitian ini adalah 20 orang, dialokasi berdasarkan
randomisasi tabel menjadi 2 kelompok, yaitu 11 subjek pada kelompok mirror, dan 9 subjek
pada kelompok sham. Total subjek yang menyelesaikan latihan adalah 18 orang, 2 subjek
dikeluarkan (drop out) karena lebih dari 3 kali tidak mengikuti latihan. Subjek yang
dikeluarkan berasal dari kelompok mirror dan sham masing-masing 1 orang.

Pada variabel hand dominan, didapatkan semua subjek penelitian ini adalah kinan,
sedangkan pada variabel jenis kelamin, didapatkan bahwa persentase subjek laki-laki lebih
banyak yaitu sebesar 55,6%. Sebagian besar sampel pada penelitian ini (66,7%) memiliki
latar belakang pendidikan Diploma atau S1, dan hanya 1 subjek (5,6%) yang berpendidikan
SD dan SMP. Seluruh subjek pada penelitian ini adalah pasien strok fase pemulihan, dengan
lama awitan 2 minggu sampai 6 bulan. Pada variabel jenis strok, sebagian besar subjek
(72,2%) adalah strok iskemik. Sebaran subjek berdasar usia, jenis kelamin, pendidikan, lama
awitan, jenis strok, dan sisi paresis tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Karakteristik dan sebaran subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
45

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Karakteristik Total Kelompok Kelompok Nilai p*
Mirror Sham
Jumlah subjek 18 10 8 -

Usia 53,9±11,9 54,1 ± 13,5 53,8 ±10,4 0,67

Jenis Kelamin :
- Laki-laki 10 (55,6%) 6 (60%) 4 (50%) 0,671
- Perempuan 8 (44,4%) 4 (40%) 4 (50%)

Pendidikan :
- SD 1 (5,6%) 0 1 (12,5%) 0,119
- SMP 1 (5,6%) 0 1 (12,5%)
- SMA 4 (22,2%) 2 (20%) 2 (25%)
- Diploma/S1 12 (66,7%) 8 (80%) 4 (50%)

Hand dominan
- Kinan 18 (100%) 10 (100%) 8 (100%) -
- Kidal 0 0 0

Lama Awitan(bulan) 2(1-6) 2,5(1-5) 2(1-6) 0,40

Jenis Strok :
- Perdarahan 5 (27,8%) 3 (30%) 2 (25%) 0,813
- Infark 13(72,2%) 7 (70%) 6 (75%)

Sisi Paresis :
- Kanan 9 (50%) 4 (40%) 5 (62,5%) 0,343
- Kiri 9 (50%) 6 (60%) 3 (37,5%)
*Signifikan bila p<0,05

Pada variabel tingkat pemulihan motorik yang dinilai dengan Brunnstrom, sebagian besar
subjek berada pada Brunnstrom 2, yaitu sebanyak 14 orang (78%), sedangkan subjek yang
memiki skor Brunnstrom 3 sebanyak 2 orang (16,7%), dan hanya 1 orang memiliki skor
Brunnstrom 4. Tidak didapatkan perbedaan bermakna, pada sebaran subjek berdasarkan skor
Brunnstrom dan Ashworth diantara kedua kelompok (Tabel 2).

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
46

Tabel 4.2 Skor Brunnstrom dan Ashworth Subjek Sebelum Mengikuti Latihan

Karakteristik Total Kelompok Kelompok Nilai p*


Subjek Mirror Sham
Skor Brunnstrom :
- Brunnstrom 2 14 (77,8%) 9 (90%) 5 (62,5%) 0,319
- Brunnstrom 3 3 (16,7%) 1 (10%) 2 (25%)
- Brunnstrom 4 1 (5,6%) 0 (0%) 1 (12,5%)

Skor Ashworth :
- AS 0 2 (11,1%) 0 (0%) 2 (25%) 0,331
- AS 1 10 (55,6%) 7 (70%) 3 (37,5%)
- AS 1+ 4 (22,2%) 2 (20%) 2 (25%)
- AS 2 2 (11,1%) 1 (10%) 1 (12,5%)
* Signifikan bila p<0,05

4.2. Pemulihan Kemampuan Motorik dan Peningkatan Kemandirian dalam Perawatan


Diri

Pada penelitian ini, ada 2 parameter hasil yang dinilai yaitu tingkat pemulihan kemampuan
motorik yang dinilai dengan Fugl Meyer, dan peningkatan kemandirian dalam perawatan
diri, yang dinilai dengan FIM self care. Pada kelompok mirror, didapatkan peningkatan
signifikan pada rerata skor Fugl Meyer (p≤0,001) pada minggu ke 0-3 dan minggu ke 3-6.
Skor FIM self care meningkat signifikan pada 3 minggu pertama (p=0,012), sedangkan pada
minggu 3-6 terjadi peningkatan namun tidak signifikan (p=0,102). Peningkatan rerata skor
Fugl-Meyer dan FIM self care minggu ke 0-3, minggu ke 3-6, dan minggu ke 0-6 pada
kelompok mirror dapat dilihat pada tabel 4.3.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
47

Tabel 4.3 Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self Care pada Kelompok Mirror
Skor awal Minggu ke-3 Minggu ke-6

Skor Fugl Meyer 17,6 ± 9,91 29,6 ± 14,02* 38,10 ±16,46*

Skor FIM Self Care 26,7 ± 5,81 33,5 (23-36)** 34(23-36)

*Uji T berpasangan didapatkan p<0,001


**Uji Wilcoxon didapatkan p=0,012

Pada kelompok sham, didapatkan peningkatan signifikan pada rerata skor Fugl Meyer
minggu ke 0-3 dan minggu ke 3-6 (p<0,001). Sedangkan pada variabel FIM self care,
didapatkan peningkatan rerata yang signifikan pada minggu ke 0-3 (p=0,018), sedangkan
pada minggu 3-6 tidak didapatkan peningkatan (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Rerata Skor Fugl Meyer dan FIM Self Care pada Kelompok Sham
Minggu ke-0 Minggu ke-3 Minggu ke-6

Skor Fugl Meyer 22,13±12,8 30,63±13,61* 35,88±14,45*

Skor FIM Self Care 27,50±6 34(26-36)** 34(23-36)

*Uji T berpasangan didapatkan p<0,001


**Uji Wilcoxon didapatkan p=0,018

4.3. Perbedaan Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self Care pada
Kelompok Mirror dan Sham

Pada akhir penelitian, didapatkan peningkatan rerata skor Fugl Meyer yang lebih tinggi pada
kelompok mirror (20,5 ± 8,03) dibanding kelompok sham (13,75 ± 6,56), namun dengan uji
T tidak berpasangan didapatkan perbedaan ini tidak bermakna (Tabel 4.5).

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
48

Tabel 4.5 Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer pada Kelompok Mirror dan Sham
Waktu Evaluasi ∆ Skor Fugl Meyer

Kelompok Mirror Kelompok Sham Nilai p*

Minggu 0-3 12 ± 5,46 8,6 ± 3,55 0,137

Minggu 3-6 8,5 ± 3,57 5,25 ± 3,15 0,06

Minggu 0-6 20,5 ± 8,03 13,75 ± 6,56 0,073

*Bermakna pada p<0,05

Peningkatan rerata skor FIM self care pada kelompok mirror dan sham, tidak berbeda
bermakna pada uji Man Whitney. Perbedaan peningkatan skor FIM self care pada kedua
kelompok dapat dilihat pada Tabel Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Peningkatan Skor FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham

Waktu Evaluasi ∆ Skor FIM self care [median (minimum-makimum)]

Mirror Sham Nilai p*

Minggu 0-3 5 (0-13) 4 (0-18) 0,93

Minggu 3-6 0 (0-5) 0 0,1

Minggu 0-6 5 (0-13) 4 (0-18) 0,721

*Bermakna pada p<0,05

Pada awal penelitian, rerata skor Fugl Meyer pada kelompok sham lebih tinggi dibanding
kelompok mirror, namun pada akhir penelitian didapatkan peningkatan rerata skor Fugl-
Meyer lebih tinggi pada kelompok mirror.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
49

Grafik 4.1 Rerata Skor Fugl Meyer pada Kelompok Mirror dan Sham

45 Skor FM
p<0,0
40 35,88
35 p<0,00 30,63 38,1
30
25 22,13 29,6 p<0,00 Mirror
20 Sham
p<0,00
15
17,6
10
5
0
Skor Awal Minggu ke-3 Minggu ke-6

Pada variabel jenis strok, tidak didapatkan hubungan yang signifikan dengan rerata
peningkatan skor Fugl Meyer dan FIM self care pada kedua kelompok (p>0,05),
sebagaimana terlihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hubungan Jenis Strok dengan Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM Self
Care pada Kelompok Mirror dan Sham
Jenis Strok Jumlah ∆ Fugl Meyer ∆ FIM Self Care

Kelompok mirror Perdarahan 3 20,33± 11,93 6,67±5,03


Infark 7 20,57 ± 7,02 5,57±5,19
Nilai p 0,732 0,833

Kelompok sham Perdarahan 3 8,50 ± 4,95 0,50 ± 0,71


Infark 7 15,5 ± 6,38 4,67 ± 2,94
Nilai p 0,235 0,429
*Bermakna bila p<0,05

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
50

Pada kelompok mirror, didapatkan rerata peningkatan skor Fugl Meyer dan FIM self care
lebih tinggi pada subjek yang lama awitan kurang dari 3 bulan dibanding kelompok dengan
lama awitan 4-6 bulan, namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Begitu pula
pada kelompok sham, didapatkan rerata peningkatan skor Fugl Meyer dan FIM self care
lebih tinggi pada subjek yang lama awitan kurang dari 3 bulan dibanding kelompok dengan
lama awitan 4-6 bulan, yang tidak bermakna secara statistik. (Tabel 4.8).

Tabel 4.8 Hubungan Lama Awitan dengan Rerata Peningkatan Skor Fugl Meyer dan FIM
Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham
Lama Awitan Jumlah ∆ Fugl Meyer ∆ FIM self care

Kelompok mirror ≤3 bulan 9 21± 8,35 6 (0-13)


4-6 bulan 1 16 1
Nilai p 0,59 0,22

Kelompok sham ≤3 bulan 6 15,67 ± 6,25 5 (3-8)


4-6 bulan 2 8 ± 4,24 0,5 (0-1)
Nilai p 0,166 0,044
*Bermakna pada p<0,05

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
51

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1. Proses Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dan merupakan penelitian pertama di Indonesia mengenai metode
mirror therapy pada pasien strok, yang menggunakan protokol latihan terstruktur.
Penjaringan sampel dilakukan di Poliklinik Neuromuskuler Departemen Rehabilitasi Medik
RS Cipto Mangun Kusumo dan Poliklinik Rehabilitasi Medik RS Fatmawati. Proses
pengambilan sampel memakan waktu cukup lama, dikarenakan kriteria penelitian yang
cukup ketat. Selain itu perubahan peraturan dalam sistem rujukan menyebabkan sebagian
besar pasien melanjutkan kontrol dan terapi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD),
sedangkan rujukan ke RSCM hanya akan dilakukan bila jenis pelayanan yang diperlukan
pasien tidak tersedia di RSUD.

Selama periode penelitian Januari 2012 sampai dengan Maret 2013 didapatkan 20 subjek
yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Jumlah ini belum memenuhi jumlah
sampel minimal dengan total sampel 36. Subjek yang memenuhi kriteria diberikan
penjelasan mengenai prosedur penelitian, dan apabila bersedia mengikuti penelitian, subjek
diminta untuk menandatangi formulir persetujuan. Total sampel yang berhasil
menyelesaikan penelitian sebanyak 18 orang, 2 orang sampel dikeluarkan (drop out) karena
lebih dari 3 kali tidak mengikuti latihan.

Pengambilan data dasar dan penilaian parameter hasil, dilakukan oleh orang yang sama,
yaitu peneliti sendiri, yang tidak mengetahui alokasi subjek penelitian. Ketersamaran
terhadap terapis dan subjek penelitian tidak memungkinkan dikarenakan proses terapi.
Desain tersamar tunggal pada penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari bias
pengukuran oleh peneliti.

Terdapat 2 parameter hasil yang dinilai, yaitu skor Fugl Meyer dan skor FIM self care.
Penilaian dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu sebelum pasien memulai latihan, pada akhir

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
52

minggu ke-3, dan akhir minggu ke-6. Peneliti memberikan motivasi kepada subjek, melalui
edukasi pada saat penilaian awal, serta menelpon subjek setiap minggunya untuk
mengingatkan jadwal latihan.

Pada penelitian ini, latihan diberikan oleh okupasi terapis, sebanyak 3 kali seminggu selama
6 minggu. Latihan dibagi menjadi 2 sesi, dimana pada sesi pertama subjek pada kedua
kelompok diberikan latihan okupasi konvensional selama 30 menit. Pada sesi kedua,
diberikan mirror therapy berdasarkan protokol Bonner selama 30 menit (terlampir).35
Protokol latihan yang diberikan pada kedua kelompok sama, hanya berbeda dalam tipe
umpan balik visual, dimana pada kelompok mirror subjek melihat pantulan gerakan tangan
yang sehat di cermin, sedangkan pada kelompok sham subjek melihat langsung gerakan
pada tangan yang sehat. Konsentrasi dan keluhan subjek pada saat menjalani terapi, dicatat
dalam formulir latihan.

Subjek pada kelompok mirror, melaporkan adanya penjalaran sensasi seperti kesemutan
ringan pada tangan sisi paresis selama melakukan latihan, mereka juga merasakan sensasi
bergerak yang sangat kuat pada tangan sisi paresis, setelah 2-3 kali latihan, meskipun tangan
masih terasa berat dan belum ada gerakan. Hal ini tidak didapatkan pada kelompok sham.
Selama periode latihan tidak didapatkan keluhan atau efek samping serius pada kedua
kelompok.

5.2. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini, didapatkan rerata usia subjek adalah 53,9 tahun, dengan sebagian besar
subjek (83%) berusia lebih dari 40 tahun. Sampel penelitian Margaretha dan kawan-kawan
(2012) yang meneliti mengenai constraint induced movement therapy (CIMT) pada pasien
stroke di RS Cipto Mangun Kusumo mendapatkan rerata usia subjek penelitiannya adalah
56,5 tahun.36 Hasil penelitian Lydia dan kawan-kawan (2011) mengenai terapi cermin pada
pasien stroke fase pemulihan di RSU Dr. Soetomo Surabaya, mendapatkan rata-rata usia
sampel penelitiannya adalah 50,56 tahun.10 Penelitian Yavuzer et al pada tahun 2008
mengenai efek mirror therapy terhadap perbaikan fungsi tangan pada 40 pasien stroke,

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
53

didapatkan rata-rata usia sampelnya adalah 63 tahun, sedangkan hasil penelitian Dohle et al
(2011) didapatkan rata-rata usia sampelnya adalah 54,9 tahun.2, 6

Berbagai studi epidemiologi menggambarkan bahwa insidensi strok meningkat seiring


dengan bertambahnya usia. Setelah usia 55 tahun, insidensi strok meningkat dua kali lipat
untuk setiap penambahan dekade, baik pada kali-laki maupun perempuan.37, 38
Teori
menyebutkan bahwa usia termasuk faktor resiko strok yang tidak dapat dimodifikasi (non
modifiable risk factor). Seiring bertambahnya usia, terjadi proses penuaan yang
menyebabkan penurunan yang progresif dari struktur dan fungsi organ, termasuk pada
sistem vaskuler. Aorta, sebagai arteri terbesar yang berasal dari jantung, menjadi lebih tebal,
lebih kaku, dan kurang lentur, disebabkan perubahan yang terjadi pada sel-sel yang
menyusun pembuluh darah dan jaringan penghubung yang ada pada dinding pembuluh
darah. Selain itu, penebalan pada dinding pembuluh darah menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan darah, yang merupakan salah satu faktor resiko penting terjadinya
stroke. Pada studi Framingham, didapatkan bahwa resiko infark serebri meningkat 7 kali
lipat pada pasien hipertensi.39, 40

Seiring bertambahnya usia, terjadi peningkatan produksi radikal bebas (reactive oxygen
species-ROS) yang dimediasi oleh mitokondria dan penurunan free radical scavenge. Stres
oksidatif pada sel endotel pembuluh darah menyebabkan kerusakan protein, lipid dan DNA,
sehingga menyebabkan hilangnya fungsi sel endotel. Mekanisme lain yang terjadi seiring
meningkatnya usia adalah proses inflamasi yang berperan terhadap terjadinya
atherosclerosis, akibat peningkatan ekspresi molekul adhesi (vascular cell adhesion
molecule dan intra cell adhesion molecule) dan beberapa jenis sel imun. Atherosclerosis
pada tahap lanjut akan meningkatkan resiko stroke atau TIA. 39, 40

Pada penelitian ini didapatkan jumlah subjek laki-laki lebih banyak (55,6%) dibanding
perempuan (44,4%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Margaretha dan kawan-kawan
dimana didapatkan subjek laki-laki lebih banyak (63,9%). Studi Framingham yang
dilakukan oleh Rodica et al pada tahun 2009 mendapatkan bahwa pada usia 45-84 tahun
insidensi strok lebih tinggi pada laki-laki, sedangkan pada kelompok usia yang lebih tua
yaitu di atas 85 tahun, insidensi strok lebih tinggi pada wanita.40, 41
Menurut Rodica,

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
54

perbedaan ini terutama disebabkan oleh pengaruh estrogen dan testosteron pada sistem
vaskuler, dan adanya peran faktor resiko yang unik pada perempuan seperti penggunaan
kontrasepsi oral, terapi sulih hormon, dan kehamilan. Selain itu pada usia lanjut juga
didapatkan faktor resiko seperti isolasi sosial dan kehilangan pasangan hidup (yang lebih
umum dijumpai pada perempuan usia lanjut dibandingkan laki-laki), juga dampak negatif
dari status kesehatan secara umum.41

Pada penelitian ini didapatkan subjek dengan strok sumbatan lebih banyak yaitu sebesar
72,2%. Sampel yang didapatkan pada penelitian Lydia dan kawan-kawan (2011) yaitu
subjek dengan strok sumbatan sebanyak 61%. Sedangkan penelitian Yavuzer et al (2008)
mendapatkan sampel dengan jenis strok sumbatan sebesar 81%.2 10 Studi epidemiologi yang
dilakukan Roger et al (2011) mendapatkan bahwa di Amerika strok sumbatan menempati
proporsi sebesar 87% dari seluruh insidensi strok. Namun pada ras Asia, Afrika, dan
Amerika Latin frekuensi strok perdarahan cenderung lebih tinggi dibanding ras Kaukasia,
diperkirakan insidensi strok perdarahan di Asia sebesar 25%.38

Sebanyak 9 subjek (50% sampel) pada penelitian ini adalah pasien dengan strok hemisfer
kanan. Teori menyebutkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan kognitif
antara strok hemisfer kiri dengan hemisfer kanan, yang akan berpengaruh terhadap
pengertian dan proses belajar pasien. Strok hemisfer kanan sering menunjukkan gangguan
perseptual visio-motor, gangguan memori visual, dan “left sided neglect”. Gangguan
sensibilitas superfisial maupun dalam juga lebih sering terjadi pada strok hemisfer kanan,
namun di lain pihak ketrampilan verbal tetap baik. Sedangkan strok hemisfer kiri masalah
utamanya adalah komunikasi/bahasa. Perbendaharaan kata dan pendengaran sangat
menurun, sehingga aktifitas/latihan sebaiknya diberikan melalui demonstrasi secara visual,
dan membatasi perintah dengan kata-kata.42

5.3. Peningkatan Rerata Skor Fugl Meyer pada Kelompok Mirror dan Sham

Pada penelitian ini didapatkan peningkatan yang signifikan pada skor Fugl Meyer minggu
ke-3 dan minggu ke-6 pasca intervensi, baik pada kelompok mirror maupun sham

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
55

(p<0,001). Hal ini kemungkinan disebabkan subjek pada penelitian ini adalah pasien strok
fase subakut dengan lama awitan kurang dari 6 bulan. Teori menyebutkan bahwa pemulihan
neurologis dan fungsional terjadi terutama dalam 6 bulan pertama pasca strok, dimana
mayoritas pemulihannya terjadi pada 6 minggu pertama.40

Penelitian Jorgensen et al (1995) pada 1.197 pasien strok yang dirawat di strok unit di
Copenhagen, Denmark, mendapatkan bahwa perjalanan pemulihan motorik pada 95%
pasien strok akan mencapai level neurologis terbaik dalam 12,5 minggu setelah onset.
Individu dengan strok yang lebih ringan, pulih lebih cepat. Perjalanan pemulihan motorik
akan mencapai plateau setelah fase pemulihan progresif yang terjadi di awal, dan hanya
sedikit tambahan perbaikan yang terjadi pada 6 bulan pasca onset. Namun pada beberapa
pasien strok masih didapatkan pemulihan signifikan dari gerakan volunter setelah 6 bulan,
dan pemulihan berlanjut sampai periode waktu yang lebih lama. 41

Grafik 5.1 Waktu Pemulihan Neurologis Pada Pasien Strok berdasarkan Copenhagen Stroke
Study (1995). Sumber: Jorgensen et al. Outcome and time course of recovery in stroke.
Archives of physical medicine and rehabilitation,1995;76(5):399.43

Keterangan grafik : • Pasien dengan derajat awal strok ringan; ° Pasien dengan derajat awal strok moderate; ∆
Pasien dengan derajat strok awal berat; * Pasien dengan derajat awal strok sangat berat.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
56

Derajat kelumpuhan ekstremitas saat onset dan waktu mulai munculnya gerakan pada tangan
merupakan prediktor pemulihan motorik pada ekstremitas atas. Prognosis untuk kembali ke
useful hand function adalah buruk apabila terdapat kelumpuhan komplit pada ekstremitas
atas pada saat serangan, dan tidak muncul kemampuan menggenggam setalah 4 minggu
pasca serangan. Pada pasien dengan kelemahan ekstremitas atas yang berat pada saat onset,
hanya 11% yang mencapai pemulihan fungsi tangan. Sedangkan pada pasien yang sudah
menunjukkan sebagian pemulihan motorik tangan pada onset 4 minggu, sebanyak 70% akan
mencapai pemulihan lengkap. Pemulihan fungsional lengkap (complete functional recovery),
apabila terjadi, biasanya berakhir dalam 3 bulan setelah onset. Bard dan Hirschberg
mengatakan bila tidak ada gerakan yang muncul pada satu segmen dalam 3 minggu pertama,
atau bila gerakan pada satu segmen tidak diikuti oleh gerakan pada segmen kedua dalam 1
minggu, prognosis untuk pemulihan penuh adalah buruk.40

Studi randomized controlled assessor-blinded trial oleh Yavuzer et al (2008), melaporkan


efek mirror therapy terhadap peningkatan pemulihan motorik dan fungsi tangan penderita
strok fase pemulihan serangan pertama (maksimal 12 bulan pasca strok) setelah 4 minggu
(20 sesi terapi). Didapatkan peningkatan skor Brunnstrom pada kedua kelompok. 2 Studi
randomized crossover pada 9 penderita strok kronik (lebih dari 6 bulan pasca strok) oleh
Altschuler et al (1999) melaporkan luas gerak sendi, kecepatan, dan akurasi gerakan lengan
mengalami perbaikan setelah mirror therapy 15 menit, 2 kali per hari, 6 hari seminggu,
selama 4 minggu.2, 8 Studi oleh Stevens dan Stoykov (desain pre dan post) pada 2 penderita
strok kronik (14 bulan pasca strok) menunjukkan perbaikan skor Fugl Meyer, luas gerak
sendi aktif, kecepatan, dan hand dexterity setelah mirror therapy 1 jam, 3 kali seminggu,
selama 4 minggu.2, 3 Mirror therapy intensif selama 2 minggu oleh Sathian et al (2003) pada
pasien strok kronik menunjukkan pemulihan gerakan tangan dan kekuatan menggenggam.2

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara jenis strok dengan rerata peningkatan
skor Fugl Meyer pada kedua kelompok. Hasil ini sesuai dengan studi oleh Jorgensen et al
yang melaporkan bahwa jenis strok tidak mempengaruhi waktu pemulihan dan hasil akhir
status neurologis. Studi oleh Franke et al melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam
kemandirian fungsional antara penderita strok sumbatan dan perdarahan 1 tahun pasca
serangan.40, 43

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
57

5.4. Peningkatan Rerata Skor FIM Self Care pada Kelompok Mirror dan Sham

Pada penelitian ini didapatkan peningkatan rerata skor FIM self care yang bermakna, baik
pada kelompok mirror maupun sham pada minggu ke-3 intervensi. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Lydia dan kawan-kawan (2011), yaitu didapatkan peningkatan fungsi tangan
yang signifikan setelah diberikan latihan okupasi standar dan mirror therapy selama 5
minggu.6, 10 Penelitian Yavuzer et al (2008) mendapatkan skor FIM self care meningkat 8,3
poin pasca pemberian mirror therapy selama 4 minggu.2

Studi Jorgensen et al pada tahun 1995 mendapatkan bahwa pemulihan fungsi activity of
daily living (ADL) pada sebagian besar pasien terjadi dalam 13 minggu setelah awitan.
Setelah periode tersebut, program rehabilitasi tidak banyak mengubah kemampuan ADL.
Sebanyak 80% pasien strok akan mencapai fungsi ADL terbaik yang bisa dilakukan (best
ADL function) dalam 6 minggu pertama. Hanya 5% yang mengalami perbaikan fungsi ADL
setelah 3 bulan awitan. Hasil ini sejalan dengan terjadinya pemulihan motorik yang terjadi
terutama dalam 3 bulan pertama. Waktu yang diperlukan untuk pemulihan fungsional
berhubungan kuat dengan beratnya disabilitas saat awal serangan 43

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
58

Grafik 5.2 Waktu Pemulihan Fungsi Activity Daily Living Pada Pasien Strok Berdasar
Copenhagen Stroke Study (1995). Sumber: Jorgensen et al. Outcome and time course of recovery
in stroke. Archives of physical medicine and rehabilitation 1995;76(5):399. 43

Keterangan grafik : • Pasien dengan derajat awal strok awal; ° Pasien dengan derajat awal strok moderate;
∆ Pasien dengan derajat strok awal berat; * Pasien dengan derajat awal strok sangat berat

5.5. Perbedaan Peningkatan Rerata Skor Fugl Meyer Dan FIM Self Care pada
Kelompok Mirror dan Sham

Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan signifikan pada rerata peningkatan skor Fugl
Meyer diantara kedua kelompok (p=0,08), meskipun secara klinis terdapat perbedaan rerata
yang cukup besar, yaitu 20,5±8,03 pada kelompok mirror, dan 13,75±6,56 pada kelompok
sham (Tabel 4.5). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dohle et al pada tahun
2008 di Jerman. Dohle meneliti efek mirror therapy pada 36 pasien hemiparesis pasca strok
iskemik serangan pertama, dengan onset kurang dari 8 minggu. Tidak didapatkan perbedaan
signifikan pada kedua kelompok untuk skor Fugl Meyer dan ARAT (rerata peningkatan
Fugl Meyer 4,4 (95% CI = 2,4-6,4) pada kelompok mirror dan 1,5 (95% CI = -0,6-3,6) pada
kelompok sham, namun secara klinis didapatkan kecenderungan peningkatan skor lebih
tinggi pada kelompok mirror. Perlakuan yang diberikan pada kedua kelompok sama dalam
hal desain dan frekuensi latihan, hanya berbeda pada tipe umpan balik visual, dimana pada

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
59

kelompok mirror pasien melihat pantulan gerakan tangan yang sehat di cermin, sedangkan
pada kelompok sham pasien melihat langsung gerakan pada tangan sehat, metode ini sama
dengan yang dilakukan peneliti. Pada sampel penelitian Dohle, didapatkan 20 dari 24 pasien
kinan yang memiliki lesi hemisfer kanan mengalami hemineglect. Hal inilah yang mungkin
menyebabkan peningkatan skor Fugl Meyer pada penelitian Dohle lebih rendah
dibandingkan yang didapat oleh peneliti, dimana hemineglect merupakan kriteria penolakan
pada penelitian ini.6

Lee et al di Korea (2012), yang melakukan penelitian pada 26 pasien strok dengan onset
kurang dari 6 bulan. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, dimana kedua kelompok diberikan
program rehabilitasi standar, kemudian pada kelompok perlakuan diberikan tambahan
program mirror therapy selama 25 menit 2 kali sehari, 5 kali seminggu, selama 4 minggu.
Pada parameter hasil yang dinilai dengan Fugl Meyer Assessment didapatkan peningkatan
skor yang berbeda signifikan diantara kedua kelompok, yaitu pada bahu (9,54; 4,61),
pergelangan tangan (2,76; 1,07) dan tangan (4,43; 1,46). Perbedaan keluaran yang signifikan
ini kemungkinan karena perlakuan yang diberikan pada kedua kelompok tidak sebanding,
dimana pada kelompok mirror, selain diberikan latihan okupasi standar, diberikan tambahan
program mirror therapy 2x25 menit/hari, 5x/minggu selama 4 minggu, sedangkan pada
kelompok kontrol hanya diberikan latihan okupasi standar 8, 28

Michielsen et al di Belanda pada tahun 2012 melakukan penelitian pada 38 pasien


hemiparesis pasca strok kronik (rerata lama awitan 3,9 tahun). Sampel dibagi menjadi 2
kelompok, dimana kelompok pertama diberikan mirror therapy 1 kali perminggu dengan
supervisi fisioterapis, dan 5 kali seminggu berlatih mandiri di rumah selama 60 menit.
Kelompok kedua diberikan terapi yang sama namun tanpa cermin. Didapatkan perbedaan
peningkatan yang signifikan pada skor Fugl Meyer di antara kedua kelompok (∆ rerata
3,6±1,5, p<0,05). Sedangkan pada parameter hasil yang lain, yaitu kekuatan menggenggam,
spatisitas, nyeri, hand dexterity, dan kualitas hidup tidak didapatkan perubahan bermakna. 44
Peningkatan skor Fugl Meyer pada penelitian Michielsen lebih kecil dibanding yang
didapatkan oleh peneliti, hal ini kemungkinan karena sampel pada penelitian Michielsen
adalah pasien strok dengan lama awitan lebih dari 6 bulan, dimana pemulihan neurologis
tidak lagi progresif.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
60

Lydia dan kawan-kawan pada tahun 2011 melakukan penelitian mengenai mirror therapy
pada 18 pasien strok fase pemulihan di RSU Dr Soetomo Surabaya. Subjek dibagi menjadi 2
kelompok, dimana pada kelompok intervensi diberikan mirror therapy 20 menit, 2x/minggu,
selama 5 minggu, sebagai tambahan program terapi okupasi standar pada pasien strok,
sedangkan pada kelompok kontrol hanya diberikan program terapi okupasi konvensional.
Setelah 10 sesi perlakuan, didapatkan perbedaan signifikan pada skor Brunnstrom dan FIM
self care diantara kedua kelompok. Pada kelompok mirror, rerata skor Brunnstrom pada
tangan meningkat 2,13 poin, dibanding kelompok kontrol yang meningkat 1,22 poin
(p<0,01), dan rerata skor FIM self care meningkat 7,75 poin pada kelompok mirror,
dibanding kelompok kontrol yang meningkat 4,89 poin (p<0,01).10

Hal ini berbeda dengan yang didapatkan oleh penulis, dimana peningkatan pemulihan
motorik tidak berbeda bermakna diantara kedua kelompok, meskipun secara klinis
didapatkan peningkatan yang lebih tinggi pada kelompok mirror. Kemungkinan hal ini
disebabkan perbedaan metode dan parameter hasil yang digunakan oleh penulis. Pada
penelitian yang dilakukan penulis, kelompok mirror dan kelompok sham mendapatkan
terapi dengan desain dan frekuensi yang sama, hanya berbeda dalam hal umpan balik visual,
sedangkan pada penelitian Lydia, kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi okupasi
standar. Selain itu Lydia menggunakan skor Brunnstrom dengan menghitung perbedaan
rerata-nya untuk mengukur pemulihan motorik, dimana Brunnstrom adalah variabel dengan
skala ukur ordinal, yang tidak bisa dihitung dengan rerata, hanya bisa dilihat prosentase
subjek yang mengalami peningkatan skor. Hal ini dapat menimbulkan bias pada analisa
statistik. Sedangkan penulis menggunakan Fugl Meyer, yang merupakan variabel numerik
sebagai parameter hasil, sehingga dapat mengukur pemulihan motorik pasca strok dengan
lebih detil, dibandingkan skor Brunnstrom.

5.6. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian

Kesulitan dalam penelitian ini adalah: (1) mencari sampel yang sesuai, dikarenakan kriteria
penerimaan dan penolakan yang cukup ketat; (2) faktor finansial dan tidak adanya caregiver
yang mengantar pasien untuk datang latihan tiga kali seminggu selama 6 minggu berturut-

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
61

turut, menyebabkan pasien keberatan mengikuti penelitian; (3) perubahan prosedur sistem
rujukan, menyebabkan pasien dengan pembiayaan jaminan tidak bisa langsung dirujuk ke
rumah sakit tempat penelitian untuk terapi.

Keterbatasan penelitian ini adalah: (1) generalisasi terbatas dikarenakan sampel pada
penelitian ini dibatasi pada pasien strok fase pemulihan, dengan fungsi kognitif baik dan
tidak ada hemineglect; (2) besar sampel tidak sesuai dengan hasil perhitungan, sehingga
dapat mengurangi power penelitian, (3) jenis terapi yang diberikan tidak memungkinkan
untuk dilakukan secara tersamar, terapis dan subjek penelitian mengetahui jenis terapi yang
diberikan, sehingga dapat menimbulkan bias; (4) melibatkan pasien rawat jalan sebagai
subjek penelitian, sulit mengontrol kepatuhan subjek untuk datang terapi; (5) adanya faktor
perancu yang tidak bisa dikontrol seperti motivasi subjek, status sosial ekonomi, dan latihan
lain yang dilakukan dirumah.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
62

BAB 6

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan
1. Terjadi peningkatan signifikan pada skor pemulihan motorik dan perbaikan fungsi
tangan kedua kelompok setelah pemberian mirror therapy selama 6 minggu yang
dinilai dengan Fugl Meyer Assessment dan FIM self care.
2. Pemulihan motorik dan kemampuan fungsi tangan pada kelompok mirror
memberikan hasil yang secara klinis lebih baik dibanding kelompok sham,
walaupun secara statistik tidak bermakna.

6.2. Saran
1. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang cukup agar dapat
lebih menentukan efek mirror therapy terhadap pemulihan motorik dan perbaikan
fungsi tangan pada hemiparesis pasca strok.
2. Mirror therapy dapat diterapkan pada pasien strok fase subakut dalam pelayanan
rehabilitasi medik sehingga pemulihan motorik dan perbaikan fungsi tangan dapat
lebih ditingkatkan.
3. Mirror therapy dapat diberikan terutama pada pasien strok dengan lama awitan
kurang dari 3 bulan, karena terbukti meningkatkan pemulihan motorik lebih baik
dibandingkan pasien dengan lama awitan lebih dari 3 bulan.
4. Apabila pemulihan motorik berlanjut dan tangan sudah mampu melakukan gerakan
fungsional, maka sebaiknya diberikan latihan fungsional atau menggunakan metode
constraint induced movement therapy.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
63

DAFTAR PUSTAKA

1. Sutbeyaz S, Yavuzer G, Sezer N, Koseoglu BF. Mirror therapy enhances lower-extremity motor
recovery and motor functioning after stroke: a randomized controlled trial. Archives of physical
medicine and rehabilitation 2007;88(5):555-9.
2. Yavuzer G, Selles R, Sezer N, Sutbeyaz S, Bussmann JB, Kaseoglu F et al. Mirror therapy improves
hand function in subacute stroke: a randomized controlled trial. Archives of physical medicine
and rehabilitation 2008;89(3):393-8.
3. Stevens JA, Stoykov MEP. Using motor imagery in the rehabilitation of hemiparesis. Archives of
physical medicine and rehabilitation 2003;84(7):1090-2.
4. Sharma N, Pomeroy VM, Baron JC. Motor Imagery A Backdoor to the Motor System After
Stroke? Stroke 2006;37(7):1941-52.
5. Pomeroy VM, Clark CA, Miller JSG, Baron JC, Markus HS, Tallis RC. The potential for utilizing the
"mirror neurone system" to enhance recovery of the severely affected upper limb early after
stroke: a review and hypothesis. SAGE Publications; 2005. p 4-13.
6. Dohle C, Pullen J, Nakaten A, Kust J, Rietz C, Karbe H. Mirror therapy promotes recovery from
severe hemiparesis: a randomized controlled trial. Neurorehabilitation and neural repair
2009;23(3):209-17.
7. Ramachandran VS, Altschuler EL. The use of visual feedback, in particular mirror visual feedback,
in restoring brain function. Brain 2009;132(7):1693-710.
8. Altschuler EL, Wisdom SB, Stone L, Foster C, Galasko D, Llewellyn D et al. Rehabilitation of
hemiparesis after stroke with a mirror. Lancet 1999;353(9169):2035-.
9. Matthys K, Smits M, Van der Geest JN, Van der Lugt A, Seurinck R, Stam HJ et al. Mirror-induced
visual illusion of hand movements: a functional magnetic resonance imaging study. Archives of
physical medicine and rehabilitation 2009;90(4):675-81.
10. Arfianti L, Rochman F, Subadi I. Effect of additional mirror therapy to standard rehabilitation of
hand paresis on motor recovery and hand function after stroke. Surabaya: Airlangga; 2011.
11. Bill NN, Merzenich M. Principles of neuroplasticity: Implications for neurorehabilitation and
learning. In: Gonzales EG, Myers SJ, Edelstein JE, Lieberman JS, Downey JA, editors. Downey &
Darling's : Physiological basis of rehabilitation medicine. 3 ed. USA: Butterworth-Heinemann;
2001. p 609-24.
12. Warlow C, Gijn JV, Dennis M. Stroke: Practical Management. USA: Blackwell Publishing; 2008.
13. Stoykov ME, Corcos DM. A review of bilateral training for upper extremity hemiparesis.
Occupational therapy international 2009;16(3-4):190-203.
14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas): Dalam Laporan Nasional 2007; Desember 2008. p 113.
15. Blanton S, Wolf SL. Arm and hand weakness. In: Selzer ME, Clarke S, Cohen LG, Duncan PW,
Gage FH, editors. Textbook of Neural Repair and Rehabilitation. Cambridge: Cambridge
University Press; 2006. p 265-82.
16. Zorowitz RD. Neurorehabilitation of the stroke survivor. In: Selzer ME, Cohen LG, Clarke S,
Duncan PW, Gage FH, editors. Textbook of Neural Repair and Rehabilitation. Cambridge:
Cambridge University Press; 2006. p 579-92.
17. Lang CE, Wagner JM, Edwards DF, Sahrmann SA, Dromerick AW. Recovery of grasp versus reach
in people with hemiparesis poststroke. Neurorehabilitation and neural repair 2006;20(4):444-54.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
64

18. Y-Rita P. Process of recovery from stroke. In: Brandstater M, Basmajian J, editors. Stroke
rehabilitation. USA: Williams & Wilkin; 1987. p 81-108.
19. de Nap Shelton F, Reding MJ. Effect of lesion location on upper limb motor recovery after stroke.
Stroke 2001;32(1):107-12.
20. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in stroke syndromes. In: Braddom RL, editor. Physical
medicine & rehabilitation. 3 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p 1175-212.
21. Kusumaningsih W. Fenomena fantom pasca amputasi anggota gerak akibat trauma dan faktor
yang mempengaruhinya. Jakarta: Program studi doktor ilmu kedokteran Universitas Indonesia;
2004.
22. Ward NS, Cohen LG. Mechanisms underlying recovery of motor function after stroke. Archives of
Neurology 2004;61(12):1844-8.
23. Dobkin BH. The clinical science of neurologic rehabilitation. 2 ed.: Oxford University Press; 2009.
24. Altschuler EL, Wisdom SB, Stone L, Foster C, Galasko D, Llewellyn DM et al. Rehabilitation of
hemiparesis after stroke with a mirror. Lancet 1999;353(9169):2035-.
25. Fukumura K, Sugawara K, Tanabe S, Ushiba J, Tomita Y. Influence of mirror therapy on human
motor cortex. International Journal of Neuroscience 2007;117(7):1039-48.
26. Garry MI, Loftus A, Summers JJ. Mirror, mirror on the wall: viewing a mirror reflection of
unilateral hand movements facilitates ipsilateral M1 excitability. Experimental brain research
2005;163(1):118-22.
27. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel.
In: Sastroasmoro S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. 3 ed. Jakarta: CV. Sagung
seto; 2008. p 302-31.
28. Lee MM, Cho H-y, Song CH. The Mirror Therapy Program Enhances Upper-Limb Motor Recovery
and Motor Function in Acute Stroke Patients. American Journal of Physical Medicine &
Rehabilitation 2012;91(8):689-700.
29. Fugl-Meyer AR. Post-stroke hemiplegia assessment of physical properties. Scandinavian journal
of rehabilitation medicine Supplement 1980;7:85.
30. Deakin A, Hill H, Pomeroy VM. Rough guide to the fugl-meyer assessment: Upper limb section.
Physiotherapy 2003;89(12):751-63.
31. Lyle RC. A performance test for assessment of upper limb function in physical rehabilitation
treatment and research. International Journal of Rehabilitation Research 1981;4(4):483-92.
32. Sawner KA, Vigne JML, editors. Brunnstrom's movement therapy in hemiplegia: A
neurophysiological approach 2ed. Philadelphia: J.B. Lippincott company; 1992.
33. Bohannon RW, Smith MB. Interrater reliability of a modified Ashworth scale of muscle spasticity.
Physical therapy 1987;67(2):206-7.
34. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. Mini-Mental State: a practical method for grading the
cognitive state of patients for the clinician. Pergamon Press; 1975.
35. Bieniok A, Govers J, Dohle C. Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. Schulz-Kirchner Verlag
GmbH; 2009.
36. Dwiwulandari MD, Kusumaningsih W, Wirawan RP. Pengaruh Modifikasi Constraint-Induced
Movement Therapy Terhadap Pemulihan Fungsional Anggota Gerak Atas Sisi Paresis Pasien
Stroke Fase Subakut dan Fase Kronis. Jakarta: Indonesia; 2012.
37. Richard Zorowitz MD, Edgardo Baerga MD, Sara Cuccurullo MD. Stroke. In: Sara J. Cuccurullo
MD, editor. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New York: Demos; 2004. p 1-46.
38. Ovbiagele B, Nguyen-Huynh MN. Stroke epidemiology: advancing our understanding of disease
mechanism and therapy. Neurotherapeutics 2011;8(3):319-29.
39. Cosentino F, Rubattu S, Savoia C, Venturelli V, Pagannonne E, Volpe M. Endothelial dysfunction
and stroke. Journal of Cardiovascular Pharmacology 2001;38:S75-S8.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
65

40. Stein J, Brandstater ME. Stroke Rehabilitation. In: Walter R. Frontera M, PhD, FAAPM&R, FACSM,
Joel A. Delisa M, MS, editors. Delisa's Physical Medicine and Rehabilitation. 5 ed. USA: Lippincott
Williams & Wilkins; 2010. p 551-91.
41. Petrea RE, Beiser AS, Seshadri S, Kelly-Hayes M, Kase CS, Wolf PA. Gender differences in stroke
incidence and poststroke disability in the Framingham Heart Study. Stroke 2009;40(4):1032-7.
42. Zemke AC, Heagerty PJ, Lee C, Cramer SC. Motor cortex organization after stroke is related to
side of stroke and level of recovery. Stroke 2003;34(5):e23-e6.
43. Jorgensen HS, Nakayama H, Raaschou HO, Vive-Larsen J, Stoier M, Olsen TS. Outcome and time
course of recovery in stroke. Part I: Outcome. The Copenhagen Stroke Study. Archives of
physical medicine and rehabilitation 1995;76(5):399.
44. Michielsen ME, Selles RW, van der Geest JN, Eckhardt M, Yavuzer G, Stam HJ et al. Motor
Recovery and Cortical Reorganization After Mirror Therapy in Chronic Stroke Patients A Phase II
Randomized Controlled Trial. Neurorehabilitation and neural repair 2011;25(3):223-33.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
66

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
67

Lampiran 2

PENJELASAN YANG DIBERIKAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Bapak/Ibu yang saya hormati. Saya, dr. Lulus Hardiyanti, peserta program pendidikan dokter spesialis
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Keterbatasan gerak pada anggota gerak atas sisi lemah pada penderita strok sering dirasakan sangat
mengganggu. Berbagai aktivitas sehari-hari, seperti mandi, buang air kecil, berpakaian, berhias, makan
dan minum menjadi terganggu, demikian pula dalam melakukan pekerjaan, kegiatan kegemaran
maupun yang bersifat rekreasional. Kelemahan yang ada pada anggota gerak dapat menimbulkan rasa
frustasi, yang lama kelamaan menimbulkan keengganan untuk menggunakan tangan yang lemah, dan
timbul kompensasi untuk lebih menggunakan anggota gerak sisi sehat. Namun anggota gerak atas sisi
yang lemah sebenarnya masih memiliki potensi, sehingga dapat difungsikan dan dioptimalkan.

Pada kesempatan ini saya bermaksud melakukan penelitian berjudul Pengaruh Mirrror Therapy
dibandingkan Sham Therapy Terhadap Perbaikan Fungsi Tangan: Studi Intervensi Pada Pasien Strok Fase
Pemulihan. Tujuan penelitian ini untuk meningkatkan kemampuan fungsional dari anggota gerak yang
lemah pada pasien strok fase pemulihan.

Kepada Bapak/Ibu yang berminat menjadi subyek penelitian atau naracoba, akan diberikan latihan
secara teratur pada anggota gerak atas sisi yang lemah selama 30 menit, 3 kali dalam 1 minggu, selama
6 minggu. Sebelum dan sesudah latihan akan dilakukan beberapa uji untuk menilai perbaikan fungsi
tangan pada sisi yang lemah.

Latihan tersebut akan berdampak pada timbulnya perbaikan otak yang terkena strok. dibutuhkan
motivasi yang tinggi, semangat dan konsentrasi pada pelaksanaan latihan ini.

Semua data dalam penelitian ini akan diperlakukan secara rahasia dan bila memerlukan keterangan
lebih lanjut, silahkan menghubungi dr. Lulus Hardiyanti, Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi, lantai 3, Hp : 0815 4858 2482.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
68

Lampiran 3

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat :
No Telpon :
Setelah mendapat penjelasan sepenuhnya dan menyadari tujuan, manfaat, serta resiko penelitian
tersebut di bawah ini yang berjudul :
“Pengaruh Mirror Therapy Dibandingkan Sham Therapy Terhadap Perbaikan Fungsi Tangan: Studi
Intervensi Pada Pasien Strok Fase Pemulihan”

Dengan sukarela saya setuju diikutsertakan dan bersedia berperan serta dalam penelitian tersebut di
atas dengan catatan, bila suatu saat saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun saya akan
mengundurkan diri dan membatalkan persetujuan ini.

Jakarta, ……………………………………………….
Mengetahui : Yang menyatakan :

Penanggungjawab penelitian, Peserta Penelitian,

(dr. Lulus Hardiyanti) (…………………………………………………………………)


Nama jelas

Saksi :

(…………………………………………………………….)
Nama jelas

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
69

Lampiran 4

STATUS PASIEN

Tanggal :
Nomer :

I. IDENTITAS
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
4. Alamat :
5. No telepon :
6. Pendidikan : 1. Sekolah dasar/ sederajat
2. Sekolah menengah pertama/ sederajat
3. Sekolah lanjutan tingkat atas/ sederajat
4. minimal pernah menempuh pendidikan tinggi
7. Pekerjaan :

II. ANAMNESIS
1. Jenis strok : 1. Iskemik 2. Hemoragik
2. Lama awitan strok :
3. Kelemahan tubuh sisi :
4. Obat yang dikonsumsi :
5. Fisioterapi/ okupasi terapi : 1. Sudah dilakukan, berapa lama____ 2. Belum

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Tanda vital : Tek Darah :____/___mmHg, Nadi : x/mnt
Respirasi ____ x/mnt
2. Dominansi tangan : kinan /kidal /ambidekstrous (berdasar Edinburg Inventory)
3. MMSE :
4. Visuospasial neglect : ada /tidak
5. Derajat spastisitas : Ashworth scale________
6. Skor Brunnstrom :
7. Hasil CT scan : ada/ tidak. Interpretasi :______________________________

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
70

Lampiran 5

No------------------- Nama----------------------- Tanggal--------------------- Penguji--------------------

MINI MENTAL STATE EXAMINATION

Domain yang diperiksa Nilai

Orientasi
1. Tahun, bulan, hari, tanggal, waktu 5
2. Negara, kota, kotamadya, rumah sakit, ruangan 5

Registrasi
3. Penguji menyebutkan 3 nama benda (apel, kursi, sepatu)
Pasien diminta untuk mengulang 3 nama benda tersebut 3
(nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar)
Kemudian pasien diminta untuk mengingat 3 nama benda tersebut

Atensi dan Kalkulasi


4. Kurangi 7 dari 100, ulangi terus dari hasil, dst. Lakukan 5 kali 5
(100, 93, 86, 79, 72, 65)
(alternative mengeja terbalik “dunia” : a-i-n-u-d)

Recall / Daya ingat


5. Tanyakan 3 nama benda yang tadi diingat 3

Bahasa
6. Sebutkan 2 nama benda, missal : pensil, buku 2
7. Ulangi ”tidak jika dan atau tetapi 1
8. Berikan 3 perintah. Nilai 1 untuk setiap perintah yang dilaksanakan 3
(misal : angkat telunjuk kanan, tunjuk hidung anda, lalu pegang telinga kiri)
9. Minta pasien membaca dan melakukan perintah tertulis 1
(misal : “tutup mata anda”)
10. Minta pasien menulis sebuah kalimat. Nilai satu bila dalam kalimat 1
terdapat subyek dan kata kerja

Menirukan gambar
11. Minta pasien menggambar seperti contoh 1

SCORE: /30

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
71

Lampiran 6

EDINBURG INVENTORY

Kegiatan sebelum sakit


Menulis Kiri Kanan
Menggambar Kiri Kanan
Melempar Kiri Kanan
Menggunting Kiri Kanan
Menggosok gigi Kiri Kanan
Memotong Kiri Kanan
Menyendok Kiri Kanan
Menyapu Kiri Kanan
Menyalakan korek api Kiri Kanan
Membuka tutup kotak Kiri Kanan

Penilaian : (jumlah kanan - kiri) x 100


>+100 = ekstrim tangan kanan dominan (kinan)
<-100 = ekstrim tangan kiri dominan (kidal)
0 = ambidekstrous (menggunakan kedua tangan)

Hasil = (______ - ______) x 100 =


Kesimpulan : kinan /kidal/ ambidekstrous

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
72

Lampiran 7

Line Bisection Task

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
73

Formulir 8
Formulir Pemeriksaan Token Test Nama :
Sub Unit Speech Therapy Unit Rehabilitasi Medik Tanggal :
RSCM, Jakarta Diagnosa :

REVISED TOKEN TEST

Nilai No Bagian I. Semua keeping terpasang lengkap


1 Sentuh sebuah lingkaran
2 Sentuh sebuah persegi
3 Sentuh sebuah keping kuning
4 Sentuh sebuah keping merah
5 Sentuh sebuah keping hitam
6 Sentuh sebuah keping hijau
7 Sentuh sebuah keping putih

Nilai No Bagian II. Semua keping kecil disingkirkan


8 Sentuh persegi kuning
9 Sentuh lingkaran hitam
10 Sentuh lingkaran hijau
11 Sentuh persegi putih

Nilai No Bagian III. Semua keping kecil ditaruh di tempat semula


12 Sentuh lingkaran kecil putih
13 Sentuh persegi besar kuning
14 Sentuh persegi besar putih
15 Sentuh lingkaran kecil hitam

Nilai No Bagian IV. Semua keping kecil disingkirkan


16 Sentuh lingkaran merah dan persegi hijau
17 Sentuh persegi kuning dan persegi hitam
18 Sentuh persegi putih dan lingkaran hijau
19 Sentuh lingkaran putih dan lingkaran merah

Nilai No Bagian IV. Semua keping kecil ditaruh di tempat semula


20 Sentuh lingkaran besar putih dan persegi kecil hijau
21 Sentuh lingkaran kecil hitam dan persegi besar kuning
22 Sentuh persegi besar hijau dan persegi besar merah
23 Sentuh persegi besar putih dan lingkaran kecil hijau

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
74

Nilai No Bagian IV. Semua keeping kecil disingkirkan


24 Taruh lingkaran merah diatas persegi hijau
25 Sentuh lingkaran hitam dengan persegi merah
26 Sentuh lingkaran hitam dan persegi merah
27 Sentuh lingkaran hitam atau persegi merah
28 Jauhkan persegi hijau dari persegi kuning
29 Bila terdapat lingkaran biru, sentuh persegi kuning
30 Taruh persegi hijau di sebelah lingkaran merah
31 Sentuh semua persegi perlahan-lahan dan semua lingkaran dengan cepat
32 Taruh lingkaran merah diantara persegi kuning dan persegi hijau
33 Sentuh semua lingkaran, kecuali yang hijau
34 Sentuh lingkaran merah BUKAN …….persegi putih
35 Sebagai ganti persegi putih, sentuh lingkaran kuning
36 Disamping menyentuh lingkaran kuning, sentuh juga lingkaran hitam

TOTAL : NILAI ……………… GANGGUAN RESEPTIF : …………………..

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
75

Lampiran 9

Scoring sheet for the Fugl-Meyer Assessment (Fugl-Meyer et al, 1975)

1 Shoulder / elbow / forearm Score


1.1. Reflex activity
1.1.1.Flexors (biceps and finger flexors) 0 1 2
1.1.2.Extensors (triceps) 0 1 2

1.2. Flexor synergy – volitional movement within synergy


1.2.1.Shoulder retraction 0 1 2
1.2.2.Shoulder elevation 0 1 2
1.2.3.Shoulder abduction 0 1 2
1.2.4.Shoulder external rotation 0 1 2
1.2.4.Elbow flexion 0 1 2
1.2.5.Forearm supination 0 1 2

1.3. Extensor synergy – volitional movement within synergy


1.3.1.Shoulder adduction / internal rotation 0 1 2
1.3.2.Elbow extension 0 1 2
1.3.3.Forearm pronation 0 1 2

1.4. Volitional movement mixing the dynamic flexor and extensor strategies
1.4.1.Hand on lumbar spine 0 1 2
1.4.2.Shoulder flexion 0 1 2
1.4.3.Forearm pronation / supination 0 1 2

1.5. Volitional movements are performed with little or no synergy dependence


1.5.1.Shoulder abduction 0 1 2
1.5.2.Shoulder flexion 0 1 2
1.5.3.Forearm pronation-supination 0 1 2
1.6. Normal reflex activity 0 1 2

2. Wrist
2.1. Wrist stability – elbow 90° 0 1 2
2.2. Wrist flexion/extension – elbow 90° 0 1 2
2.3. Wrist stability – elbow 0° 0 1 2
2.4. Wrist flexion/extension – elbow 0° 0 1 2
2.5. Circumduction 0 1 2

3. Hand
3.1. Mass flexion 0 1 2

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
76

3.2. Mass extension 0 1 2


3.3. Grasp A – distal finger grasp 0 1 2
3.4. Grasp B – thumb adduction grasp 0 1 2
3.5. Grasp C – thumb to index finger grasp 0 1 2
3.6. Grasp D – cylinder grasp 0 1 2
3.7. Grasp E – spherical grasp 0 1 2

4. Co-ordination/speed
4.1. Tremor 0 1 2
4.2. Dysmetria 0 1 2
4.3. Speed 0 1 2

Upper limb score

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
77

Lampiran 10

Formulir Pemeriksaan FIM Self Care

Self Care Admission 1st Follow-up 2nd Follow up


Eating : including cutting, opening containers, pouring,
bringing food to mouth, hoding cup with fluid
Grooming : washing hands and face, brushing teeth,
combing hair, shaving, applying make-up
Bathing : soaping, washing, drying body and head,
manipulating water tap
Dressing Upper body : clothes, wearing, undressing
Dressing Lower body : clothes, shoes, dressing,
undressing
Toileting

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
78

Lampiran 11

DESAIN LATIHAN MIRROR THERAPY

1. Penjelasan kepada subjek penelitian sebelum melakukan mirror therapy :


 Sekarang anda akan melakukan latihan dengan bantuan cermin, selama latihan anda harus
berkonsentrasi penuh
 Latihan ini terdiri atas 2 sesi, masing-masing sesi selama 15 menit, dengan istirahat
selama 5 menit diantara masing-masing sesi.
 Lihatlah pantulan tangan kanan anda di cermin, bayangkan seolah-olah itu adalah tangan
kiri anda (jika yang paresis tangan kiri, atau sebaliknya). Anda tidak diperbolehkan
melihat tangan yang sakit di balik cermin.
 Lakukan gerakan secara bersamaan (simultan) pada kedua anggota gerak atas, gerakan
diulang sesuai instruksi dengan kecepatan konstan ±1 detik/gerakan.
 Jika anda tidak bisa menggerakkan tangan yang sakit, berkonsentrasilah dan bayangkan
seolah-olah anda mampu menggerakkannya sambil tetap melihat bayangan di cermin.

2. Posisi pasien saat melakukan mirror therapy


Pasien duduk di kursi menghadap meja, kedua tangan dan lengan bawah diletakkan di
atas meja. Sebuah cermin diletakkan di bidang mid sagital di depan pasien, tangan sisi
paresis diposisikan di belakang cermin sedangkan tangan sisi yang sehat diletakkan di
depan cermin. Di bawah lengan sisi paresis diletakkan penopang untuk mencegah lengan
bergeser atau jatuh selama latihan, kantong pasir diletakkan di sisi kanan dan kiri lengan
bawah. Posisi diatur sedemikian rupa sehingga naracoba tidak dapat melihat tangan sisi
paresis. Pantulan tangan yang sehat tampak seolah-olah sebagai tangan yang sakit.33

Gambar.1 Posisi pasien saat melakukan mirror therapy


33
Diterjemahkan dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
79

 Pada latihan hari pertama, pasien diberikan latihan adaptasi. Pada pertemuan berikutnya,
bila pasien sudah mampu berkonsentrasi selama latihan, maka dapat dilanjutkan latihan
gerak dasar, namun bila belum bisa, akan tetap diberikan latihan adaptasi sampai pasien
bisa berkonsentrasi melihat pantulan bayangan di cermin.
 Setiap sesi latihan, naracoba akan diberikan 1 macam latihan gerak dasar, jika sudah
mampu melakukan terus-menerus, maka dilanjutkan dengan 1 macam gerak variasi. Bila
gerak variasi sudah dikuasai, maka dilanjutkan shaping (gerakan kombinasi).
 Selama latihan, terapis mengamati respon dan keluhan subjek. Jika subjek sudah merasa
lelah, atau merasakan kesemutan yang mengganggu pada tangan sisi paresis, maka
latihan dihentikan. Pasien dipersilahkan untuk istirahat selama 5 menit, setelah itu
dilanjutkan latihan sesi berikutnya.
 Jenis latihan yang dilakukan dan respon maupun keluhan pasien selama latihan dicatat
dalam formulir kegiatan latihan.

3. Mirror therapy berdasarkan protokol Bonner


Latihan yang diberikan berdasarkan protokol terapi Bonner, dibagi menjadi 4, yaitu
latihan untuk adaptasi, gerak dasar, gerak variasi, dan kombinasi. Terapis mengajarkan
gerakan dengan memberikan contoh langsung sambil menyebutkan nama gerakan tersebut,
yang dibagi berdasarkan posisi. Setiap kali mengajarkan gerakan baru, terapis duduk di
sebelah pasien menghadap ke cermin, lalu memberikan contoh gerakan bersama dengan
instruksi verbalnya, kemudian subjek penelitian diminta untuk menirukan sampai mampu
melakukannya sendiri.33

Mirror therapy berdasarkan Protokol Bonner :


a. Adaptasi
Pada awal terapi, pasien belum terbiasa melihat ke cermin, tapi selalu ingin melihat ke
belakang cermin untuk mengontrol tangan yang sakit sehingga diperlukan proses adaptasi.
Latihan yang diberikan saat adaptasi ada 2 macam:
 Berhitung : kedua tangan diletakkan di atas meja, ekstensi jari satu persatu atau beberapa
jari diangkat sekaligus
Instruksi verbal :

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
80

- “Letakkan kedua tangan anda di atas meja dalam posisi telungkup, naikkan ibu jari-
turunkan ibu jari, naikkan jari kelingking-turunkan jari kelingking, dan seterusnya”.
- “Tunjukkan jari manis, tunjukkan jari tengah, tunjukkan ibu jari, dan seterusnya”.

Gambar. 2 Latihan adaptasi : ekstensi jari satu persatu


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

 Abduksi-adduksi jari: kedua tangan diletakkan di atas meja, lakukan abduksi jari dimulai
dari ibu jari diikuti jari telunjuk dan seterusnya, untuk adduksi dimulai dari jari kelingking
diikuti jari manis dan seterusnya.
Instruksi verbal :
- “Letakkan kedua telapak tangan di atas meja dalam posisi telungkup dengan jari-jari
rapat, buka jari-jari anda dimulai dari ibu jari, diikuti jari telunjuk, jari tengah, dan
seterusnya”.
- “Buka jari-jari anda dimulai dari jari kelingking, jari manis, jari tengah, dan seterusnya”.

Gambar. 3 Abduksi jari dimulai dari ibu jari, diikuti jari telunjuk dan seterusnya
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.33

b. Gerak dasar :
Latihan gerak dasar diberikan jika pasien sudah mampu berkonsentrasi melakukan latihan
yang diajarkan terapis sambil melihat pantulan bayangan di cermin. Terdapat 3 macam
gerak dasar, masing-masing gerakan dapat dibagi menjadi 3 atau 5 posisi tertentu,
disesuaikan dengan tingkat kognitif pasien. Pembagian posisi dimaksudkan agar pasien

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
81

selalu konsentrasi selama latihan, dan tidak bosan karena latihan yang dirasa terlalu mudah
dan monoton.
 Fleksi elbow : dibagi 3 atau 5 posisi, contoh pembagian 3 posisi : posisi 1: kedua lengan
bawah diletakkan di meja, posisi 2: lengan bawah terangkat 45 0 dari meja dengan kedua
siku menumpu di meja, posisi 3: kedua lengan bawah membentuk sudut 90 0 terhadap meja.
Instruksi verbal : “saya akan mencontohkan beberapa gerakan, silahkan anda ikuti”. Lalu
terapis melakukan gerakan bersama dengan subjek hingga ia mampu melakukannya sendiri
berdasarkan nomer, misal : posisi 3, posisi 1, dan seterusnya.

Gambar.4 Fleksi elbow dibagi 3 posisi


Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.33

 Ekstensi elbow (gerakan mendorong): dibagi menjadi 3 atau 5 posisi.


Instruksi verbal : berdasar nomer, misal : posisi 2, posisi 3, dan seterusnya.

Gambar. 5 Ekstensi elbow dibagi dalam 3 posisi


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

 Rotasi interna dan eksterna sendi bahu : dibagi menjadi 3 atau 5 posisi, contoh pembagian
3 posisi: posisi 1: geser lengan bawah mendekati badan; posisi 2; geser lengan bawah
kembali ke tengah; posisi 3: geser lengan bawah menjauhi badan.
Instruksi verbal : berdasar nomer, seperti contoh di atas

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
82

Gambar. 6 Rotasi interna dan eksterna sendi bahu dibagi dalam 3 posisiDiambil dari Bieniok A,
33
Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

c. Variasi
Latihan variasi diberikan jika sudah ada gerakan di proksimal dan distal anggota gerak,
dan pasien sudah bisa melakukan gerak dasar secara terus-menerus.
Macam latihan variasi :
 Pronasi supinasi forearm : dibagi menjadi 3 atau 5 posisi, contoh pembagian 3 posisi:
posisi 1: telapak tangan menghadap ke bawah; posisi 2: telapak tangan dibuka setengah;
posisi 3: telapak tangan menghadap ke atas.
Instruksi verbal : berdasarkan posisi, seperti contoh di atas.

Gambar.7 Pronasi dan supinasi forearm dibagi 3 posisi


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

 Grip dan prehension


Instruksi verbal : letakkan kedua tangan anda di meja, lakukan gerakan kedua tangan
menggenggam (grip); kedua tangan menggenggam dengan ibu jari di dalam (thumb in
palm); jari-jari setengah menekuk (hook); jari-jari lurus dan rapat (ekstensi jari-jari);
jari-jari lurus dan renggang (abduksi jari-jari).

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
83

Gambar. 8 Grip dan prehension


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

 Berhitung dengan jari-jari


Instruksi verbal : tunjukkan satu, tunjukkan dua, dan seterusnya.

Gambar. 9 Berhitung dengan jari-jari


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

 Oposisi jari-jari (pinch) 1-4


Instruksi verbal : sentuhkan ibu jari anda ke telunjuk, sentuhkan ibu jari anda ke jari
tengah, dan seterusnya.

Gambar. 10 Gerakan oposisi jari-jari


33
Diambil dari Bieniok A, Govers J, Dohle C. E-book Spiegeltherapie in der Neurorehabilitation. 2011.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
84

d. Shaping
Latihan kombinasi 2 gerakan yang dilakukan berkelanjutan, dengan kesulitan yang
ditingkatkan secara bertahap sesuai kemampuan naracoba. Shaping diberikan agar
pasien tidak merasa bosan, dan tetap konsentrasi selama latihan. Instruksi gerakan yang
diberikan sesuai dengan latihan yang dilakukan pada hari itu, namun langsung 2
gerakan sekaligus.
Instruksi verbal: contoh: letakkan tangan anda pada posisi 3, jari-jari menggenggam.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
85

Lampiran 12

FORMULIR KEGIATAN LATIHAN


No Tgl Gerak Variasi Kombinasi Konsentrasi Perasaan Pasien Komentar
Terapi dasar Pasien* Setelah Terapi** Terapis

*Konsentrasi diisi : - sangat konsentrasi


- normal
- tidak konsentrasi

**Perasaan pasien setelah terapi diisi : kesemutan, lelah, berat, dan sebagainya.

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013
86

Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian

Penjelasan kepada subjek Pemeriksaan awal

Pemeriksaan Fugl Meyer Posisi subjek pada saat melakukan mirror therapy

Subjek pada saat melakukan mirror Subjek pada saat melakukan sham
therapy therapy

Universitas Indonesia
Pengaruh mirror..., Lulus Hardiyanti, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai