Anda di halaman 1dari 82

UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN


PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP
TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF
LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN
BERAT DAN BUTA DI INDONESIA

SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN


HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI
ETIOLOGINYA

TESIS

MUHAMMAD ASRORUDDIN
0906647305

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN MATA
JAKARTA, 2014

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


UNIVERSITAS INDONESIA

DAMPAK GANGGUAN PENGLIHATAN DAN


PENYAKIT MATA TERHADAP KUALITAS HIDUP
TERKAIT PENGLIHATAN (VISION-RELATED QUALITY OF
LIFE) PADA POPULASI GANGGUAN PENGLIHATAN
BERAT DAN BUTA DI INDONESIA

SUBPENELITIAN STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN


HASIL RISKESDAS 2013 DAN IDENTIFIKASI
ETIOLOGINYA

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata

MUHAMMAD ASRORUDDIN
0906647305

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN MATA
JAKARTA, 2014

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


HALAMAN PER}TYATAAI{ ORISINALITAS

Tesisini adalahhasil karya sayasendiri,

dan semuasumberbaik yangdikutip maupundirujuk

telah sayanyatakandenganbenar.

Nama : dr.Muhammad
Asroruddin

NPM :0906647305

TandaTangan :
l(

\ \\$Qt"
{V
Tanggal : Januari20l4

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


HALAMAN PENGESAHAN

Tesisini diaiukanoleh:

Nama dr.MuhammadAsroruddin
NPM 0906647305
ProgramStudi ProgramDokterSpesialisIlmu Kesehatan Mata
JudulTesis DampakGangguanPenglihatan danPenyakitMata
terhadapKualitasHidup(Vision-related
Qualityof Life)
padaPopulasiGangguan Penglihatan BeratdanButadi
Indonesia;Subpenelitian
StudiValidasiDataKebutaan
HasilRISKESDAS2013danldentifikasiEtiologinya

Telah berhasil dipertahankandi hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
'Dokter Spesialis Mata' pada Program Studi Dokter Spesialis IImu
KesehatanMata. FakultasKedokteranUniversitasIndonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing
Tesis:

SpM (K), PhD


L dr.'llahjonoD. Gondhowiardjo,

2. dr.TriRahayu,SpM (K), FIACLE

3. dr.YeniDwiLestari,SpM,MSc

4. dr.lwanAriawan,MSPH

Ditetapkan
di : JakOr{o
Tanggal : 16Jonuo.ilortl
KetuaProgramStudi Kepala Departemen
Ilmu Kesehatan
MataFKUI Ilmu KesehatanMata FKUI

J,
dr.YudisianilE. Kamal,SpM (K) Artini, SpM (K)
Dr.dr.Widya
ill

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia
yang telah dilimpahkan oleh-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak
dalam bentuk pemikiran, tenaga, kerjasama, dana, dan segala bentuk dukungan
lainnya. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih saya yang sebesar-
besarnya kepada:

1. Dr.dr.Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, selaku sosok inspiratif dan


pembimbing utama saya, yang di tengah-tengah kesibukannya masih dapat
meluangkan waktunya untuk dapat memberikan masukan dan dorongan
untuk penelitian ini.
2. dr.Tri Rahayu, SpM(K), FIACLE, selaku pembimbing dan pencetus ide
penelitian. Terima kasih atas kepercayaan dan kesabarannya dalam
membimbing saya menyelesaikan penelitian ini.
3. dr.Yeni Dwi Lestari, juga selaku pencetus ide dan pemberi jalan agar saya
mau dan berminat untuk mengikuti penelitian ini. Terima kasih atas
kesabaran membimbing saya dalam menyelesaikan penelitian di tengah-
tengah halangan yang banyak menghadang.
4. dr.Iwan Ariawan, MSPH, selaku pembimbing statistik saya, yang di tengah
kesibukannya mampu memberi saya bimbingan di Jakarta dan UI Depok.
5. Dr.dr.Widya Artini, SpM(K), dr.Elvioza, SpM(K), dr.Yudisianil, SpM(K),
dan dr.Tri Rahayu SpM(K), selaku Kepala Departemen, Ketua Program Studi
dan Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang terus
mendorong saya untuk dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi mata.
6. Prof.dr.Farida Sirlan, SpM(K) dan Dr.Julie D. Barliana, SpM(K), yang juga
mewakili PERDAMI selalu memberi saya semangat dan membuka jalan agar
penelitian dapat terselesaikan.
7. Rekan-rekan refraksionis, Bapak Buyung, Bapak Rudjito, dan Ibu Erni
Harsono yang telah meluangkan waktu menemani saya memeriksa responden
di seluruh wilayah Jakarta, dan rekan-rekan residen dan dokter mata di Jawa
iv

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


Timur, Yogyakarta, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan yang telah dengan
senang hati membantu penelitian ini berjalan dengan lancar.
8. Seluruf staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata yang telah menuntun
dan membekali pengetahuan dan pengalaman yang berharga.
9. Staf tata usaha S2 (Ibu Siti Kholidah dan Mbak Siti Mursidah), staf
perpustakaan, staf PERDAMI Jakarta dan PERDAMI Pusat, yang telah
memperlancar administrasi penelitian ini.
10. Seluruh rekan-rekan residen, terima kasih atas bantuannya dalam
pemeriksaan pasien penelitian.
11. Teman seperjuangan dalam penelitian ini, dr.Habsyiyah, dan teman
seangkatan saya: Utami Noor, Sita Paramita, Dian Eka Putri, dan Selvilia
Artanti. Terima kasih atas hubungan pertemanan, kekompakan, kerja sama
dan canda tawa selama menempuh pendidikan ini.
12. Orang tua saya, Ibu Hj.Kartini Andak, dan saudara-saudara tercinta, atas
segala doa dan pengorbananya selama ini.
13. Istriku tercinta Henni Febrianti, ST yang senantiasa setia, tulus dan sabar
dalam mendampingi dalam menyelesaikan penelitian ini, dan anakku Nailah
Amirah Khairunnisa. Kalian adalah inspirasi, pemberi motivasi dan
penyemangatku selama ini.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Januari 2014

Penulis

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


HALAMAN PERFTYATAAIi PERSETUJUAII PT'BLIKASI TUGAS AKHIR
tiNTUK KEPENTINGAI\I AKADEn/fl S

Sebagaisivitas akademikaUniversitasIndonesi4 sayayang bertandatangandi


bawahini:

Nama dr.MuhammadAsroruddin

NPM 0906647305

ProgramStudi SpesialisMata

Departemen Ilmu KesehatanMata

Fakultas Kedokleran

Jeniskarya : Tesis
Demi pengembanganilmu pengetahuan,menyetujui dan memberikan kepada
UniversitasIndonesiaHak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-*cclusive royalty-
Free Right) ataskaryailmiah sayayangberjudul:

Dampak GangguanPenglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas Hidup


(Vision-related Quahy of Life) pada Populasi Gangguan Penglihatan Berat
dan Buta di Indonesia; Subpenelitian Studi Validasi Data Kebutaan Hasil
RISKESDAS 2013dan ldentifikasi Etiologinya

Besertaperangkatyang ada (iika diperlukan).Dengan Hak Bebas Royalti Non


ekseklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan,mengeloladalambentuk pangkalandata(database),merawatdan
mempublikasikantugas akhir sayaselamatetap mencantumkannama sayasebagai
penulisdanpemilik hak cipta.

Demikian pernyataanini sayabuat dengansebenar-benarnya.

Dibuat di : Jakarta
Padatanggal : Januari2014

Yang menyatakan

vi

( dr.MuhammadAsroruddin)

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


ABSTRAK

Dampak Gangguan Penglihatan dan Penyakit Mata terhadap Kualitas


Hidup Terkait Penglihatan (Vision-Related Quality of Life) pada
Populasi Gangguan Penglihatan Berat dan Buta di Indonesia
1
Muhammad Asroruddin, 1Tjahjono D Gondhowiarjo, 1Tri Rahayu, 1Yeni D Lestari,
2
Iwan Ariawan
1
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 2Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia

Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat


gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada
populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik
cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara
terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi
kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus
<6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan
berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata
penyebab, dan kisaran lama kebutaan.
Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada
perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan
katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih
rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total
(p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak
ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan
glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma
memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda
bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan
usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak
berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan
penglihatan.
Kata kunci: kualitas hidup terkait penglihatan, NEI-VFQ25, gangguan penglihatan
berat dan buta, penyakit mata.

vii Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


ABSTRACT

Impact of Visual Impairment and Ocular Morbidity on Vision-Related


Quality of Life in Severe Low Vision and Blind Population in
Indonesia

1
Muhammad Asroruddin, 1Tjahjono D Gondhowiarjo, 1Tri Rahayu, 1Yeni D Lestari,
2
Iwan Ariawan
1
Department of Ophthalmology Faculty of Medicine University of Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, 2Faculty of Public Health University of Indonesia

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind
population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by
ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25
questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey
2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of
composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe
low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages,
and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite
score of blind was statistically significant lower than severe low vision group
(p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all
subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than
cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score
and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not
significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in
blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No
significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and
onset of visual impairment.
Keyword: vision-related quality of life, NEI-VFQ25, severe vision loss and
blindness, ocular morbidity.

viii Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ……………............................................................................... ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3. Hipotesis Penelitian .............................................................................. 4
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4.1. Tujuan Umum ...................................................................................... 5
1.4.2. Tujuan Khusus .................................................................................... 5
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5
1.5.1. Manfaat bagi institusi ........................................................................... 5
1.5.2. Manfaat bagi peneliti .......................................................................... 6
1.5.3. Manfaat bagi masyarakat ..................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1. Low Vision dan Kebutaan .................................................................... 7
2.2. Patofisiologi ........................................................................................ 9
2.2.1. Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media) ……………………. 9
2.2.2. Defisit Lapang Pandangan Sentral ………………………………… 9
2.2.3. Defisit Lapang Pandangan Perifer ....................................................... 10
2.3. Kualitas Hidup (Quality of Life) .......................................................... 10
2.4. Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas
Hidup ………………………………………………………………… 10
2.5. Penilaian Kualitas Hidup…………………………………………….. 15
2.5.1. Manfaat Penilaian Kualitas Hidup …………………………………... 17
2.5.2. Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner
VFQ25 ……………………………………………………………… 18
2.5.3. Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25 ……………………………. 19
BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP ............................................... 21
3.1. Kerangka Teori ................................................................................... 21
3.2. Bagan Kerangka Konsep ...................................................................... 22
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 23
4.1. Desain Penelitian .................................................................................. 23
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 23
4.3. Subyek Penelitian ................................................................................ 24
4.3.1 . Populasi Target ................................................................................ 24

ix Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


4.3.2. Populasi Terjangkau ………………………………………………… 24
4.3.3. Sampel Penelitian ................................................................................ 24
4.3.4. Besar Sampel …………………………..……………………………. 25
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................................ 25
4.4.1. Kriteria Inklusi .................................................................................. 25
4.4.2. Kriteria Eksklusi ................................................................................ 25
4.4.3. Kriteria Drop Out................................................................................. 26
4.5. Definisi Operasional ........................................................................... 26
4.6. Cara Kerja Penelitian ......................................................................... 28
4.7. Alat dan Bahan ..................................................................................... 33
4.8. Pengumpulan Data .............................................................................. 34
4.9. Analisis Data ....................................................................................... 34
4.10. Bagan Alur Penelitian ......................................................................... 35
4.11. Etik Penelitian …………………………………………………......... 35
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek …………………………. 36
5.2. Skor Kualitas Hidup ………………………………………………... 39
5.2.1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan
Gangguan Penglihatan Berat ………………………………………. 40
5.2.2. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata ... 41
5.2.3. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata
Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment …………….. 43
5.3. Validitas Kuesioner NEI-VFQ25 …………………………………. 46
BAB 6 DISKUSI …………………………………………………………... 47
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 55
7.1. Kesimpulan …………………………………………......................... 55
7.2. Saran ………………………………………………………………… 55
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 56
LAMPIRAN …………………………………………………………….. 59

x Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD-10 ………. 8


Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 ………………... 20
Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian
kualitas hidup ……………………………………………….. 23
Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat
gangguan penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata
penyebab ………………………………………………………. 37
Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok
usia, dan kisaran lama kebutaan……………………………….. 39
Tabel 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala
berdasarkan tingkat gangguan penglihatan …………………… 40
Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit
mata penyebab kebutaan ……………………………………… 42
Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada
katarak dan glaukoma …………………………………………. 42
Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada
responden katarak dan glaukoma pada kelompok buta ……….. 44

xi Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas


penglihatan …………………………………………………… 13
Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan
subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan berat.. 41
Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan
subskala pada kelompok katarak dan glaukoma ……………… 43
Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan
subskala pada kelompok katarak dan glaukoma setelah
dilakukan adjustment terhadap tajam penglihatan ……………. 45
Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan
subskala pada kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan
refraksi pada kelompok buta ………………………………….. 45

xii Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik (Ethical Approval) ………………………… 59


Lampiran 2 Formulir Studi Validasi Data Kebutaan RISKESDAS 2013
dan Identifikasi Etiologinya …………………………………. 60
Lampiran 3 Kuesioner Fungsi Penglihatan – NEI-VFQ25 ………………. 61
Lampiran 4 Informed Consent (Persetujuan Setelah Penjelasan) ………… 63
Lampiran 5 Tabel Induk Penelitian ………………………………………. 65

xiii Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gangguan penglihatan (visual impairment) secara umum dapat diartikan sebagai
keadaan penurunan fungsi penglihatan secara menetap yang tidak dapat diperbaiki
dengan obat-obatan, pembedahan, atau kacamata, atau penyempitan lapang
pandangan bilateral yang diakibatkan oleh rusaknya sistem visual karena berbagai
sebab. Menurut International Classification of Disease-10, tingkat fungsi penglihatan
terbagi menjadi yaitu penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan
penglihatan berat, dan buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat digolongkan ke
dalam low vision.1
Jumlah penyandang gangguan penglihatan termasuk low vision di seluruh dunia
menurut data World Health Organization (WHO) terbaru adalah sekitar 285 juta
orang, dengan sekitar 39 juta orang dari jumlah tersebut mengalami kebutaan.
Sebagian besar populasi tersebut (87%) hidup di negara berkembang.2 Proporsi
penyebab low vision dan kebutaan berbeda-beda di setiap negara. Di Amerika Serikat,
diperkirakan sebanyak 13,5 juta warga yang berusia di atas 45 tahun (17%)
mengalami low vision, yang disebabkan terutama oleh age-related macular
degeneration (AMD) sebesar 45%, kemudian oleh glaukoma dan retinopati
diabetik.1,3 Penyebab utama low vision di India adalah retinitis pigmentosa (19%),
penyakit makula termasuk AMD (17,7%), retinopati diabetik (13%), dan miopia
degeneratif (9%).4
Survei Kesehatan Indera tahun 1993-19965 menunjukkan sebanyak 1,5%
penduduk Indonesia mengalami kebutaan dengan penyebab utama adalah katarak
(0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan Refraksi (0,14%), gangguan retina (0,13%),
dan kelainan kornea (0,10%). Dengan pendekatan penelitian yang berbeda, hasil riset
kesehatan dasar (RISKESDAS) Departemen Kesehatan tahun 2007 menyatakan
bahwa prevalensi kebutaan dan low vision di Indonesia adalah 0,9% dan 4,8%,
dengan penyebab terbesar adalah katarak. Prevalensi kebutaan dan low vision di

1 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


2

Provinsi DKI Jakarta adalah 0,5% dan 3,5% dengan penyebab utama adalah katarak
dan kelainan refraksi.6 Saw dkk7 pada tahun 2003 menyatakan bahwa angka
prevalensi low vision bilateral di Indonesia adalah 5,8% dan angka kebutaan bilateral
sebesar 2,2%, dengan penyebab utama adalah katarak, gangguan refraksi, dan
ambliopia.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan
dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (quality of life), yang terlihat dari
berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu
luang, atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living).1,8 Dampak lain yang
timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, shock dan denial, depresi, dan
ketergantungan, serta tingginya risiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan,
dan penurunan status gizi pada orang tua.1,3,9-12
Beberapa faktor diduga berperanan dalam penurunan kualitas hidup pada
penyandang gangguan penglihatan. Faktor tingkat penurunan visus dan lapang
pandangan berkaitan dengan penurunan kualitas hidup. Penyebab kebutaan seperti
katarak, glaukoma dan gangguan refraktif, serta komorbiditas juga dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Beberapa penelitian berbasis
populasi menemukan bahwa faktor demografi dan sosioekonomi juga berperanan
penting dalam berkembangnya gangguan penglihatan yang menyebabkan penurunan
kualitas hidup. Tingkat sosioekonomi masyarakat penting untuk menghitung angka
kebutuhan untuk pelayanan dan penatalaksanaan rehabilitatif, untuk mendesain
edukasi kesehatan dan program skrining yang lebih inovatif dengan sasaran
kelompok subpopulasi tertentu, dan untuk mengidentifikasi ranah penelitian yang
diprioritaskan.13-15
Dampak gangguan penglihatan dan kebutaan umumnya dilakukan secara objektif
dengan pemeriksaan tajam penglihatan dan lapang pandangan. Namun, hal tersebut
belum dapat secara akurat atau menyeluruh menggambarkan dampak menyeluruh
akibat gangguan terkait penglihatan yang dialami oleh pasien. Penilaian yang bersifat
subjektif dari sudut pandang pasien seperti kualitas hidup juga diperlukan. Oleh
karena itu, kedua aspek penilaian tersebut sangat penting dan bermanfaat untuk

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


3

memberikan penilaian kesehatan mata yang lebih komprehensif. Penilaian kualitas


hidup bermanfaat untuk menentukan kebijakan penanganan yang lebih holistik
melalui program rehabilitasi untuk kelompok penyandang low vision dan buta.
Program ini akan memberikan dampak meningkatnya kualitas hidup penyandangnya
setelah rehabilitasi dilaksanakan.16-17
Berbagai instrumen telah banyak dikembangkan untuk menilai kualitas hidup
penyandang gangguan penglihatan dan buta. Instrumen yang saat ini lazim digunakan
adalah Visual Function Questionnaire (VFQ) yang dikembangkan oleh National Eye
Institute (NEI-VFQ25) yang banyak digunakan di seluruh dunia. Penilaian yang
dilakukan adalah kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri pada mata, aktivitas
dengan penglihatan dekat, aktivitas dengan penglihatan jauh, fungsi sosial, kesehatan
mental, kesulitan berperan dalam masyarakat, ketergantungan, berkendaraan,
penglihatan warna, dan penglihatan perifer. Kuesioner yang disesuaikan dengan
kebutuhan tertentu, seperti untuk menilai perubahan kualitas hidup sebelum dan
setelah intervensi juga telah banyak dikembangkan. 18-23
Penilaian skor quality of life (QoL) sangat bermanfaat untuk menentukan dampak
yang dialami pasien dengan gangguan penglihatan. Berbagai penelitian telah
membandingkan skor kualitas hidup berdasarkan penyakit mata penyebab gangguan
penglihatan, dan melihat tingkat kualitas hidup pada penyakit mata yang dapat
ditangani (avoidable blindness) seperti katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi
sebagai penyebab utama. Selain gangguan visus sentral, lapang pandangan perifer
juga terganggu pada glaukoma sehingga hal ini diduga memperburuk kualitas hidup
pasien dibanding penyakit mata lainnya. Penelitian Broman dkk24 dan Lin dkk25
dengan kuesioner VFQ25 menunjukkan bahwa pasien glaukoma memiliki skor
kualitas hidup yang lebih rendah dibanding pasien katarak dan kelainan refraktif.
Oleh karena itu, penting untuk dilakukan studi lebih lanjut bagaimana kualitas hidup
berdasarkan jenis penyakit, untuk menjadi masukan bagi penanggulangan kebutaan.
Skor kualitas hidup juga penting untuk mengetahui pengaruh tindakan yang
dilakukan pada pasien seperti pada pasca penggunaan low vision aids atau pasca
operasi katarak. Penilaian kualitas hidup juga bermanfaat untuk membuat rencana

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


4

utama (master plan) penanggulangan kebutaan dan low vision yang melibatkan
berbagai pemangku kebijakan (stakeholder) di suatu wilayah termasuk negara sesuai
amanat WHO dan Millenium Development Goals (MDGs) yang tercantum dalam
Vision 2020: The Right to Sight.

1.2. PERUMUSAN MASALAH


Jumlah angka kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia masih tinggi.
Gangguan penglihatan memiliki dampak penurunan kualitas hidup seseorang.
Dampak negatif yang muncul adalah terganggunya aktivitas harian yang memerlukan
fungsi penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah
kualitas hidup (quality of life) lainnya. Dampak lain yang timbul adalah pasien juga
akan terisolasi secara sosial dan mengalami gangguan mental.
Penilaian kualitas hidup yang terkait kesehatan (health-related quality of life)
diperlukan untuk menilai tingkat penurunan kualitas hidup terkait penglihatan
(vision-related quality of life) terutama pada penyandang low vision dan buta. Tingkat
penurunan visus dan lapang pandangan, jenis penyakit mata yang dimiliki,
komorbiditas, serta faktor sosiodemografi dan sosioekonomi dapat mempengaruhi
kualitas hidup. Instrumen yang digunakan untuk penilaian kualitas hidup juga harus
bersifat valid dan dapat menggambarkan dimensi kualitas hidup yang diinginkan.
Selama ini sepengetahuan peneliti masih sangat sedikit penelitian yang menilai
kualitas hidup pada subjek dengan gangguan penglihatan dan buta yang berbasis
populasi dan berskala nasional, termasuk kualitas hidup berdasarkan penyakit mata
penyebab.
Berdasarkan permasalahan di atas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu
apakah terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan (vision-related quality of
life) pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab
penyakit mata yang mendasarinya seperti katarak, glaukoma, dan penyakit mata
lainnya? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup penyandang
gangguan penglihatan berat maupun buta?

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


5

1.3. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian ini adalah kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan
berat dan buta karena glaukoma lebih rendah dibanding karena katarak, kelainan
refraktif, dan penyakit mata lainnya.

1.4. TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan Umum


Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup
pada penyandang gangguan penglihatan berat dan buta berdasarkan penyebab
penyakit matanya seperti glaukoma, katarak, kelainan refraksi, dan penyakit mata
lainnya.

1.4.2. Tujuan Khusus


Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk:
1. Mengetahui perbedaan kualitas hidup pada populasi dengan gangguan
penglihatan berat dan buta, baik skor total maupun skor subskala di 5 provinsi
di Indonesia.
2. Menilai karakteristik demografis penyandang gangguan penglihatan berat dan
buta.
3. Mengetahui penyakit penyebab gangguan penglihatan berat dan buta
4. Menilai hubungan gangguan penglihatan dan penurunan kualitas hidup pada
populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
5. Menilai hubungan skor kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan
dan buta dengan derajat penurunan visus, jenis penyebab penyakit, dan lama
terjadinya gangguan (onset).

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


6

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Manfaat Untuk Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan informasi yang berharga bagi institusi
pendidikan untuk menjadi informasi dan rekomendasi kepada pemangku kebijakan
untuk melakukan langkah-langkah strategis penanggulangan kebutaan dan low vision
pada golongan dengan gangguan penglihatan berat dan buta.

1.5.2. Manfaat Untuk Peneliti


Penelitian ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman melakukan penelitian
serta dapat menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam mengembangkan penelitian
selanjutnya di kemudian hari.

1.5.3. Manfaat Untuk Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pelayanan kesehatan mata berbasis


komunitas terutama untuk gangguan penglihatan berat dan buta.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Low Vision dan Kebutaan

Pada tahun 1980, WHO mengusulkan 4 istilah yang digunakan untuk


mendefinisikan impairment and disability, yang berkaitan pula dengan low vision,
yaitu (1) disorder, adalah deviasi anatomi dari normal dan dapat terjadi secara
kongenital atau didapat (akuisita), seperti AMD, retinopati diabetik, glaukoma, dan
katarak; (2) impairment, adalah hilangnya atau abnormalitas fungsi, baik secara
fisiologis maupun psikologis, seperti penurunan tajam penglihatan, penurunan
sensitivitas kontras, skotoma sentral, lapang pandang menyempit; (3) disability,
adalah halangan atau ketidakmampuan untuk melakukan tugas dengan cara normal,
seperti membaca koran, mengenali wajah, dan mengemudi mobil; dan (4) handicap,
adalah suatu kerugian yang menghambat atau membatasi seseorang dalam
menjalankan peranan tertentu yang dapat dilakukan oleh orang normal, seperti
ketidakmampuan untuk bekerja atau melakukan hobi, dan terhalang interaksi
sosialnya. Istilah tersebut saat ini sudah direvisi dan digunakan definisi dan kriteria
yang terbaru seiring dengan perkembangan pengetahuan. 26
WHO kemudian membagi kriteria fungsi penglihatan menjadi 4 kelompok yaitu
penglihatan normal, gangguan penglihatan sedang, gangguan penglihatan berat, dan
buta. Gangguan penglihatan sedang dan berat disebut juga sebagai low vision. WHO
mendefinisikan buta legal (legal blindness) sebagai tajam penglihatan dengan koreksi
terbaik 20/200 (6/60) atau lebih rendah pada mata terbaik, atau lapang pandang 20°
atau lebih buruk pada mata terbaik. Low vision adalah keadaan seseorang yang
memiliki gangguan fungsi penglihatan setelah melakukan pengobatan dan/atau
koreksi refraksi standar, dan memiliki tajam penglihatan kurang dari 6/18 (20/60)
hingga light perception, atau luas lapang pandang kurang dari 10° dari titik fiksasi,
namun masih atau memiliki potensi untuk menggunakan penglihatannya untuk
merencanakan atau melakukan suatu pekerjaan. 27

7 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


8

Menurut Revised International Statistical Classification of Diseases, Injuries,


and Causes of Death (ICD-10) WHO, gangguan penglihatan mencakup low vision
dan kebutaan¸ yang dikategorikan menjadi moderate visual impairment, bila tajam
penglihatan dengan koreksi terbaik (BCVA) kurang dari 20/60 (6/18) hingga 20/200
(6/60); severe visual impairment, bila tajam penglihatan kurang dari 20/200 (6/60)
hingga 20/400 (3/60) atau diameter lapang pandang 20° atau lebih rendah; dan buta,
bila tajam penglihatan/visus <3/60, atau hilangnya lapang pandangan kurang dari dari
10°, pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan. 27
Menurut low vision Consensus Group28, low vision adalah seseorang yang
mengalami kerusakan fungsi visual (impairment of visual function) yang
penatalaksanaannya tidak dapat dilakukan dengan pemberian kacamata konvensional,
lensa kontak atau intervensi lain dan menimbulkan halangan dalam kehidupan
seseorang sehari-hari. Pada tahun 1997, American Optometric Association
menambah kriteria low vision yaitu gangguan sensitivitas kontras, warna, dan ocular
motility.29

Tabel 2.1. Kategori gangguan penglihatan berdasarkan ICD-10


Kategori Presenting visual acuity Atau lapang Diklasifikasi
gangguan Maksimal Minimal sama atau pandangan sebagai
penglihatan kurang dari lebih baik dari sentral
1 6/12 6/18 Gangguan
0.50 0.33 penglihatan
20/40 20/60 ringan
2 6/18 6/60 Gangguan
0.33 0.1 penglihatan
20/60 20/200 sedang
3 6/60 3/60 20° atau Gangguan
0.1 0.05 kurang tapi penglihatan
20/200 20/400 lebih dari 10° bert
4 3/60 1/60 10° atau Buta
0.05 0.02 kurang tapi
20/400 5/300(20/1200) lebih dari 5°
5 1/60 Persepsi cahaya 5° atau kurang Buta berat
0.02
5/300(20/1200)
6 Tidak ada Buta total
persepsi cahaya
9 Tidak spesifik Tidak spesifik

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


9

2.2. Patofisiologi
Patofisiologi penurunan fungsi visual pada gangguan penglihatan dan buta mencakup
tiga hal yang berhubungan dengan proses patologis dari status fungsional pasien,
yaitu kekekeruhan media refraksi (cloudy media), defisit lapang pandangan sentral,
dan defisit lapang pandangan perifer. Hal ini membantu memperkirakan keluhan dan
kesulitan pasien, dan membantu dokter memilih dan menerapkan strategi
rehabilitasi.1,30

2.2.1. Kekeruhan Media Refraksi (Cloudy Media)


Untuk membentuk keseluruhan bayangan objek yang jelas di retina, sumber cahaya
harus melewati media refraksi yaitu lapisan air mata, kornea, bilik mata depan, pupil,
lensa dan vitreous. Penyakit yang mengenai struktur tersebut biasanya menimbulkan
gangguan dalam kejelasan objek, sehingga menimbulkan pandangan kabur,
penurunan detil penglihatan, dan keluhan silau (glare) yang berarti, dan berkurangnya
sensitivitas kontras.1,30
Contoh kondisi di atas adalah tajam penglihatan yang tak terkoreksi pada
kelainan refraksi (refractive errors), penyakit yang mengenai epitel dan stroma
kornea (mata kering, distrofi, keratokonus, jaringan parut karena herpes simpleks),
midriasis traumatik, katarak, komplikasi bedah LASIK, perdarahan vitreous, dan
uveitis posterior.1,30

2.2.1. Defisit Lapang Pandangan Sentral


Kejelasan pembentukan bayangan objek sentral bergantung pada makula yang intak
dan jaras saraf yang mempersarafi pandangan sentral. Gejala yang timbul bergantung
dari jumlah, ukuran, lokasi, dan kepadatan skotoma dan dari kemampuan pasien
untuk menggunakan titik fiksasi eksentrik (eccentric fixation), yang disebut preferred
retinal locus.1,30
Penyakit-penyakit yang mengenai struktur ini menyebabkan skotoma relatif
atau absolut (blind spot) pada titik fiksasi atau fiksasi dekat dan/atau penurunan
sensitivitas kontras retina. Penyebab utamanya adalah karena age-related macular

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


10

degeneration (AMD). Penyebab lain adalah macular hole, diabetic macular edema,
myopic degeneration, toksoplasmosis dan histoplasmosis, fototoksisitas, reaksi toksik
obat, cecocentral scotoma, dan gangguan makula kongenital.1,30
Gejala yang biasa timbul adalah kesulitan dalam membaca, mengenali wajah
orang, dan melakukan setiap pekerjaan yang memerlukan penglihatan secara detil.
Kesulitan membaca berarti pandangan yang kabur atau distorted, huruf yang hilang,
atau perlunya cahaya lebih terang. Karena konsentrasi sel kerucut paling padat
ditemukan di makula, dapat pula terjadi penurunan ketajaman warna. 1,30

2.2.3. Defisit Lapang Pandangan Perifer


Lapang pandangan perifer sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai
macam kehilangan lapang pandang dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit pada
retina, nervus optikus, dan sistem saraf pusat. Gejala yang khas timbul pada
gangguan ini adalah menabrak objek atau orang dan kesulitan menentukan arah pada
daerah yang tidak dikenali, terutama pada pencahayaan yang kurang atau pada saat
malam hari, serta kesulitan membaca. Pada gangguan dini tajam penglihatan tidak
terganggu, sehingga diperlukan pemeriksaan lapang pandangan dan sensitivitas
kontras. 1,30
Gangguan pada kategori ini ditemukan pada pasien retinitis pigmentosa, distrofi
retina, ablatio retina, proliferative diabetic retinopathy, glaukoma, neuropati optik
iskemik, stroke, trauma, dan tumor. Tindakan panretinal laser photocoagulation
dapat menyebabkan kehilangan lapang pandang iatrogenik dan penurunan sensitivitas
kontras yang secara bermakna akan membatasi kemampuan melihat pasien pada
malam hari.1,30

2.3. Kualitas Hidup (Quality of Life)


Quality of life (QoL) menurut WHO Instrument Group31 adalah adalah suatu persepsi
individu terhadap keberadaan atau posisinya dalam kehidupan dalam konteks budaya
dan sistem nilai di tempat mereka hidup dan berkaitan dengan tujuan, harapan,
standar, dan kepentingan masing-masing. Quality of life merupakan suatu konsep luas

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


11

yang terpengaruh secara kompleks oleh status kesehatan fisik seseorang, status
psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, dan hubungan mereka terhadap
lingkungan mereka yang penting.31
Quality of life memiliki 5 dimensi yang meliputi aspek vision (penglihatan), yang
meliputi gejala dan kondisi tertentu, aspek ekonomi yang meliputi biaya finansial dan
nonfinansial, aspek sosial (kontak sosial dan hubungan interpersonal), aspek
fungsional (self-care, mobilitas, tingkat aktivitas, activity of daily living), serta aspek
psikologis dan emosional (fungsi kognitif, kesejahteraan emosi). Meskipun masih ada
perbedaan pendapat para ahli mengenai definisi kualitas hidup, namun terdapat
konsensus bahwa kualitas hidup yang terkait kesehatan , atau health-related quality of
life (HRQOL) berkaitan dengan tingkat fungsi fisik, psikologis dan sosial, dan
termasuk kecakapan (ability), hubungan (relationship), perpepsi, kepuasan hidup, dan
kesejahteraan.32
Seiring berjalannya waktu, HRQOL secara subjektif telah diukur dengan
bermacam-macam cara. Istilah HRQOL menggambarkan perubahan atau pergeseran
yang telah terjadi pada 30 tahun terakhir dimana HRQOL sebelumnya hanya diukur
berdasarkan indikator klinis dari hasil (outcome) dari program rehabilitasi. Banyak
alat yang telah dikembangkan untuk membuka pandangan pasien sendiri tentang
HRQOL. HRQOL mengukur fungsi dan kesejahteraan aspek kesehatan fisik, mental,
dan sosial dari kehidupan seseorang, dan menggambarkan pengaruh kondisi
kesehatan yang sangat luas secara simultan. Penilaian HRQOL sangat penting untuk
dapat menilai kualitas hidup seseorang secara holistik, termasuk pasca program
rehabilitasi seperti pada pasca operasi katarak atau pasca pemberian low vision aids.
Selain itu, HRQOL juga diperlukan karena tumbuhnya minat dari pemerintah dan
perusahaan asuransi kesehatan melihat parameter kualitas pelayanan yang telah
dilakukan.31-33

2.4. Dampak Gangguan Penglihatan dan Kebutaan terhadap Kualitas Hidup


Kebutaan dan gangguan penglihatan merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat di Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


12

penglihatan memiliki dampak negatif pada aktivitas harian yang memerlukan fungsi
penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah kualitas
hidup lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, atau melakukan aktivitas harian
(activities of daily living). Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi
secara sosial, shock dan denial, depresi, dan ketergantungan, serta tingginya risiko
terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, dan penurunan status gizi pada orang
tua. 1,3,9-12
Gangguan penglihatan memiliki implikasi multidimensional seperti dampak fisik
(penurunan tajam penglihatan), fungsional (hambatan mengurus diri sendiri,
mobilitas, dan aktivitas harian), dampak sosial (kontak social dan hubungan
interpersonal), dan dampak psikologis (status emosional, kesejahteraan, kepuasan
hidup, dan kebahagiaan).32
Seberapa baik seseorang dengan low vision dapat melihat tidak sepenuhnya
ditentukan oleh tingkat kehilangan penglihatan. Beberapa faktor yang independen
terhadap fisiologi mata mempengaruhi kualitas penglihatan. Hal ini sesuai dengan
konsep WHO tentang definisi sehat yang menggunakan istilah biopsikososial untuk
menjelaskan keterkaitan faktor fisik, psikologis, dan social untuk menggambarkan
bagaimana low vision berdampak pada fungsional sehari-hari. Model yang
dikembangkan oleh International Classification of Functioning34 mencoba
menggambarkan berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas
penglihatan seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Seseorang dengan penglihatan jauh yang terbatas memiliki kesulitan dalam
pembelajaran, seperti meniru, memahami komunikasi nonverbal, mengintegrasikan
fungsi indera (visual/auditory, visual/tactual, visual/olfactory, visual/gustatory),
gangguan mobilitas yang terkait kemandirian (menghindari rintangan di jalan dan
mengenai kendaraan bermotor, sepedam atau hewan yang bergerak, mengenali orang,
objek, atau tindakan; membaca marka jalan. Seseorang dengan gangguan penglihatan
dekat memiliki kesulitan dalam hygiene dan perawatan personal, menyiapkan
makanan, mengenakan dan menjaga pakaian, menenun, menjahit, mengukir, dan

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


13

membaca. Seseorang dengan gangguan lapang pandangan memiliki kesulitan dalam


menemukan objek dan adanya gangguan mobilitas secara mandiri. 32

Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan32

Low vision dapat memengaruhi mobilitas dan kemandirian. Meskipun


penyandang low vision telah mendapatkan informasi suara, penghidu, dan taktil
mengenai lingkungan fisik mereka, namun isyarat visual yang mereka terima
biasanya tidak sempurna atau buram. Kemampuan mereka untuk menggunakan
informasi ini secara efektif bergantung pada faktor penglihatan, personal, dan
lingkungan. Low vision juga secara tidak langsung mempengaruhi mobilitas dengan
meningkatnya risiko jatuh dan fraktur pinggul, dan menjadi terlalu berhati-hati karena
rasa takut jatuh. Aspek penglihatan yang mempengaruhi mobilitas termasuk
kegelapan, cahaya suram, perubahan tatacahaya, daerah tak dikenal, situasi ramai,
dan lingkungan seperti swalayan.32
Penelitian Laitinen13 di Finlandia menemukan hubungan penurunan tajam
penglihatan dengan dampak negatif pada aktivitas harian seseorang. Sekitar 80%
orang dengan visus 6/24 atau lebih rendah memiliki setidaknya satu keterbatasan
dalam melakukan aktivitas harian bila dibandingkan dengan orang dengan visus lebih

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


14

dari 6/7,5 yang ditemukan pada 48% orang. Peneliti juga menemukan bahwa visus
menjadi faktor independen yang kuat terhadap fungsi fisik pada orang yang berusia
55 tahun ke atas. Jika faktor-faktor selain penglihatan sudah dapat dikontrol
sebelumnya, orang dengan visus menurun, yaitu kurang dari 6/40 akan mengalami
peningkatan risiko terjadinya gangguan atau keterbatasan dalam melakukan aktivitas
harian sebesar 3 – 5 kali bila dibandingkan dengan orang dengan visus yang lebih
baik. Bila dibandingkan dengan orang yang memiliki visus normal, bahkan orang
dengan visus < 6/12 pun sudah memiliki keterbatasan ADL. Penelitian lain oleh
Lamoreux dkk15 juga menemukan bahwa penurunan visus berbanding lurus dengan
penurukan kualitas hidup.
Penelitian Langelaan33 di Belanda menemukan bahwa penurunan kualitas hidup
juga berkaitan dengan kelompok usia yang mengalami gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan jarang terjadi pada usia pekerja sehingga dampak secara
umum terlihat rendah, namun sebetulnya hal ini berdampak sangat besar pada
penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan, pekerjaan kehidupan social, dan
kehidupan keluarga. Kegiatan yang sebelumnya dapat dilakukan dengan baik menjadi
terhambat seperti berpakaian, makan, menulis, bepergian, dan komunikasi sederhana
atau berinteraksi dengan orang lain. Pada usia muda, gangguan penglihatan yang
dialami sangat berpengaruh dalam mengejar tujuan hidup, seperti berkeluarga dan
membangun karir jika dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang sehat.
Masalah kesehatan mental juga dapat terjadi pada kelompok ini, dengan risiko
cenderung lebih besar pada usia pekerja.33
Gangguan penglihatan juga berkaitan dengan beban ekonomi penting sepanjang
hidup. Biaya langsung yang berkaitan dengan hal tersebut adalah biaya untuk
tatalaksana penyakit mata, fasilitas khusus untuk pendidikan, dan ketidakamanan
social. Biaya tak langsung yang berkaitan adalah pengembangan diri yang terganggu,
pendapatan menurun, dan penuruan produktivitas pasien itu sendiri maupun orang
yang merawat mereka.33
Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara penurunan kualitas hidup
dengan penyakit penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan. Katarak, glaucoma,

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


15

AMD, kelainan refraksi, dan retinopati diabetikum telah banyak diteliti berkaitan
dengan kualitas hidup para penderitanya. Dengan menggunakan instrumen yang
sesuai misalnya, pada pasien glaukoma akan tampak gangguan kualitas hidup terkait
penglihatannya dalam hal tajam penglihatan dekat, lapang pandangan, dan sensitivitas
kontras. Aspek kualitas hidup pada pasien dengan AMD yang terganggu adalah
general vision, dan kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan
penglihatan dekat dan jauh.24-25,35-36
Kesehatan mental pada penyandang gangguan penglihatan dan buta juga
mengalami gangguan yang secara subjektif didapatkan dari penilaian menggunakan
kuesioner. Cahill dkk35 menemukan bahwa skor kualitas hidup yang berkaitan dengan
kesehatan mental lebih rendah bila dibandingkan dengan penyebab gangguan
penglihatan lainnya. Peneliti ini juga menemukan orang yang mengalami low vision
atau buta lebih lama cenderung memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi bila
dibandingkan dengan yang lebih singkat atau mendadak mengalami kebutaan.
Biaya untuk menyediakan program rehabilitasi low vision masih rendah. Namun
melalui program rehabilitasi, dukungan sosial, dan modifikasi lingkungan, banyak isu
mobilitas pada low vision dapat diatasi.13,33

2.5. Penilaian Kualitas Hidup


Kualitas hidup yang dipengaruhi kesehatan (health-related quality of life) adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan. Konsep HRQOL digunakan pada ranah kesehatan masyarakat
dan kedokteran untuk mengacu pada persepsi seseorang atau kelompok terhadap
kesehatan fisik dan mental.31
Penilaian kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan beberapa tahun
terakhir telah diterima sebagai cara untuk menilai hasil rehabilitasi. Gagal atau
berhasilnya rehabilitasi pada pasien low vision pada umumnya telah dinilai dengan
menggunakan pengukuran kemampuan fungsional yang lebih khusus, seperti
kecepatan membaca (reading speed) dan frekuensi dan jenis low vision aid yang
digunakan. Namun, penilaian ini tidak harus berkaitan dengan kesan subjektif yang

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


16

dialami oleh pasien yang telah direhabilitasi. Persepsi pasien tentang kualitas
hidupnya sendiri dapat menjadi salah satu representasi kesan subjektif pasien itu
sendiri.31
Kemampuan seseorang dengan gangguan untuk berfungsi secara mandiri sering
dinilai dengan melihat kemampuan mereka untuk melakukan tugas sehari-hari.
Aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL) dapat didefinisikan
sebagai pekerjaan yang dilakukan pada kondisi normal sehari-hari, termasuk
perawatan diri, aktivitas sosial, mobilitas, melakukan kegitan menyenangkan, dan
bekerja. Telah dibuat batasan antara ADL dasar, termasuk pekerjaan perawatan diri
yang perlu (seperti makan dan kebersihan diri) dan ADL instrumen (IADL) yang
tidak penting secara fundamental tetapi yang memfasilitasi kemandirian dan
berfungsi terintegrasi dalam lingkungan (melakukan pekerjaan rumah ringan,
menyiapkan makan, minum obat, dan mengurus keuangan pribadi). 31
Selain gangguan fungsional berhubungan dengan kehilangan penglihatan,
semakin tampak jelas bahwa dampak psikososial dari gangguan penglihatan juga
besar. Insiden depresi pada lansia dengan gangguan penglihatan bervariasi. Cahill35
menemukan bahwa pasien dengan AMD memiliki tingkat ansietas yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pasien dengan penyebab lain.
Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi pengukuran generik dan spesifik.
Pengukuran generik menunjuk populasi yang berbeda dan meliputi berbagai isu
kesehatan, sedangkan pengukuran spesifik terfokus pada aspek penting dari kualitas
hidup yang relevan terhadap subyek yang diteliti sedangkan. Terdapat beberapa alat
generik untuk menilai HRQOL seperti Sickness Impact Profile, Medical Outcomes
Shortform 36 (SF-36), dan EQ-5D yang sudah dipakai secara luas. Pengukuran QoL
spesifik penglihatan yang lain, termasuk kuesioner Low Vision Quality of Life
(LVQOL) dan National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah
dikembangkan. Kuesioner ini sering mengkombinasikan jenis pengukuran QOL
generik dengan domain berhubungan dengan kemampuan fungsional yang terkait
penglihatan.31

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


17

Kuesioner dapat digunakan untuk mengumpulkan banyak data dengan cepat.


Kuesioner juga disebut dengan instrumen. Pertanyaan tunggal atau multipel di dalam
kuesioner disebut sebagai item. Pasien merespon tiap item dengan jawaban dikotom
(misalnya ya atau tidak, benar atau salah) atau dengan penilaian politomus (memilih
respon dari daftar kategori respon seperti derajat kesulitan atau kepentingan). Item
berhubungan yang menilai variabel yang sama sering dikelompokkan menjadi
domain, dimensi atau subskala. Kuesioner juga dapat mengukur dimensi tunggal atau
dimesi multipel HRQOL. Dimensi yang sering diukur meliputi fisik (gejala penyakit
dan tatalaksana), fungsi (perawatan diri, mobilitas, tingkat aktivitas, dan aktivitas
kehidupan sehari-hari), psikologis (fungsi kognitif, status emosi, kesejahteraan,
kepuasan hidup dan kebahagiaan) dan sosial (kontak sosial dan hubungan
interpersonal).31

2.5.1. Manfaat Penilaian Kualitas Hidup


Penilaian kualitas hidup sangat bermanfaat untuk melihat dampak dan besaran
masalah yang terkait gangguan penglihatan dan kebutaan. Penilaian kualitas hidup
juga berguna untuk melihat pengaruh rehabilitasi penglihatan sesuai dengan penyebab
gangguan penglihatan itu sendiri.
Penelitian Aravind Eye Study14 di India menemukan hubungan skor kualitas
hidup total dan subskala dengan tingkat tajam penglihatan, penyakit mata yang
mendasari, dan faktor demografi. Penyakit katarak, glaucoma, dan kelainan refraksi
berkaitan secara independen terhadap penurunan skor kualitas hidup. Peneliti juga
menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan berkaitan dengan skor
kualitas hidup, namun tidak berkaitan dengan jenis kelamin, hipertensi, diabetes, dan
AMD. Semakin buruk tajam penglihatan maka semakin tinggi defisit pada tiap-tiap
subskala skor kualitas hidup yang dinilai. Pasien glaukoma menunjukkan penurunan
skor di subskala general vision bila dibandingkan pasien katarak. Di sisi lain, semakin
meningkatnya usia akan menurunkan skor kualitas hidup. Selain itu, peningkatan
kualitas hidup ditemukan pada golongan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
dan yang memiliki pekerjaan.14

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


18

Penelitian Broman dkk24 dan Lin dkk25 di Taiwan menemukan bahwa pasien
glaukoma, AMD, dan retinopati diabetik memiliki skor total yang lebih buruk bila
dibandingkan dengan pasien dengan kelaian refraksi yang belum terkoreksi dengan
menggunakan kuesioner VFQ-25. Penurunan skor kualitas hidup juga berkaitan
dengan hipertensi, penyakit jantung, dan arthritis. Penelitian Simangunsong37
berbasis rumah sakit di RSCM menemukan ada perbedaan kualitas hidup antara
pasien dengan glaukoma tahap moderate dan lanjut.
Pada penelitian Saw dkk38 dalam Tanjong Pagar Survey, responden dengan low
vision memiliki skor visual function yang lebih rendah dibanding responden tanpa
low vision. Responden dewasa yang buta juga memiliki skor visual function yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak buta, dan skor tersebut tetap berbeda
signifikan setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia, jenis kelamin dan
pendidikan.
Berbagai penelitian juga menggunakan indikator QoL untuk menilai dampak
program rehabilitasi terhadap peningkatan kualitas hidup termasuk kepuasan pasien.
Penelitian Fitriani39 dan Hapsari40 di daerah Lombok menemukan bahwa program
rehabilitasi gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Oleh
karena itu, intervensi yang disease-specific penting dilakukan dalam rangka
menurunkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari.

2.5.2. Penilaian Kualitas Hidup Terkait Penglihatan dengan Kuesioner VFQ-25


National Eye Institute Visual Function Questionnaire 25 (NEI-VFQ25) adalah salah
satu kuesioner fungsi visual yang paling banyak digunakan. Berkurang dari format
asli versi 51 item, reliabilitas dan validitas NEI VFQ-25 dapat dibandingkan dengan
versi yang lebih panjang. Kuesioner ini telah digunakan dalam survey mata berbasis
populasi yang besar dan telah divalidasi dalam beberapa bahasa.18-20
Pengukuran HRQOL harus dilakukan sesingkat mungkin mengingat dampak
penelitian akan mempengaruhi tingkat partisipasi responden yang rendah. Sebelum
VF-25 diperkenalkan, pada awalnya digunakan VF-51 yang berusaha mengukur

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


19

pengaruh penglihatan pada berbagai dimensi HRQOL seperti kesejahteraan secara


emosional dan fungsi social. Namun, beberapa umpan balik dari pengguna
menyatakan bahwa versi yang lebih singkat sangat diperlukan untuk riset dan klinis.
NEI VFQ memiliki kandungan yang multidimensi, reliabilitas, dan validitas yang
baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat mungkin. 16,18-20
Dua puluh lima pertanyaan dalam NEI VFQ dikelompokkan dalam 12 subskala
(termasuk kesehatan umum, penglihatan umum, nyeri mata, aktivitas dekat, aktivitas
jauh, fungsi sosial, kesehatan mental, kesulitan peran, ketergantungan, mengemudi,
penglihatan warna, dan lapang pandang perifer). Tiap subskala dihitung berdasarkan
metode yang telah dijelaskan oleh pengembang NEI-VFQ dan dapat berkisar dari 0
sampai 100, dimana 0 adalah paling buruk dan 100 menunjukkan tidak ada
ketidakmampuan berhubungan dengan penglihatan. 16,18-20
Mangione dkk18 melakukan pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan
kuesioner VFQ-25, karena kuesioner ini akan memberikan data yang reproducible
dan sahih, terutama jika digunakan pada berbagai kondisi dengan berbagai tingkat
keparahan penyakit mata. NEI-VFQ25 sensitif terhadap pengaruh katarak senilis,
degenerasi macula, kehilangan lapang pandang dan low vision dengan berbagai
sebab. Kuesioner ini juga banyak dipilih karena spesifik. 24,25,37 Kuesioner ini
memiliki validitas isi yang didapat dari berbagai penelitian dan dari hasil konsultasi
terhadap pasien dan ahli low vision. Kuesioner ini memiliki hal-hal (item) yang
berkaitan dengan aktivitas harian, fungsi social, dan cara mengatasi vision loss.
Kuesioner ini sudah pernah ditranslasikan dan telah divalidasi untuk kepentingan
penelitian yang serupa oleh Simangunsong37.

2.5.3. Panduan Pengisian Kuesioner VFQ-25


Jenis variabel dan jumlah pertanyaan yang dinilai pada kuesioner VFQ-25 adalah
seperti berikut (kuesioner terlampir):

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


20

Tabel 2.2. Aspek yang dinilai pada kuesioner VFQ-25


Skala yang dinilai Jumlah pertanyaan Nomor pertanyaan
General Health 1 1
General Vision 1 2
Ocular pain 2 4,19
Near activities 3 5, 6, 7
Distance activities 3 8, 9, 14
Vision specific:
Social functioning 2 11, 13
Mental health 4 3, 21, 22, 25
Role difficulties 2 17, 18
Dependency 3 20, 23, 24
Driving 3 15c, 16, 16a
Color vision 1 12
Peripheral vision 1 10

Langkah pengisian kuesioner dan cara penghitungan skor tercantum di metodologi


penelitian.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


21

BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Teori


1. Prevalensi gangguan penglihatan dan kebutaan di Indonesia cukup tinggi dan
meningkat setiap tahun bila dibandingkan negara lain di Asia.
2. Gangguan penglihatan dan kebutaan berdampak pada kualitas hidup yang lebih
rendah termasuk aktivitas harian, mental, dan social, bila dibandingkan dengan
derajat visus yang lebih baik.
3. Diperlukan program rehabilitasi gangguan penglihatan untuk meningkatkan
kualitas hidup seperti program operasi katarak dan pemberian low vision aids.
4. Penilaian kualitas hidup mencakup semua aspek secara komprehensif mulai
berkembang, termasuk penilaian subjektif atau sudut pandang pasien terhadap
kesehatan dan kesejahteraannya.
5. Jenis penyakit mata, komorbiditas, faktor sosiodemografi, faktor sosioekonomi
diduga berperan dalam penurunan kualitas hidup akibat gangguan penglihatan.
6. Penilaian kesehatan dan kecacatan fungsional menjadi bagian penting dalam
pelayanan kesehatan untuk menilai dampak pelayanan terhadap kualitas hidup.
7. Pengukuran HRQOL didesain secara komprehensif dan didalamnya terdapat
penilaian fungsi fisik, psikologis dan sosial serta kesehatan umum.
8. Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi generik atau spesifik.
9. Pengukuran QoL yang spesifik terhadap penglihatan telah banyak
dikembangkan, dan disesuaikan dengan kebutuhan.
10. Kuesioner HRQOL berupa Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah
dikembangkan dan telah banyak digunakan dalam menilai dampak gangguan
penglihatan terhadap HRQOL.
11. Penilaian melalui kuesioner bermanfaat untuk menilai dampak gangguan
penglihatan terhadap kualitas hidup, termasuk dampak setelah program
rehabilitasi dilaksanakan.

21 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


22

3.2. Bagan Kerangka Konsep

Skor Kualitas
Hidup Kuesioner
NEI-VFQ25

Populasi Gangguan  Skor total


Penglihatan dan Buta:
 Skor subskala:  Komorbiditas
 Derajat gangguan Kesehatan umum
 Faktor
penglihatan Kesehatan
sosioekonomi
penglihatan
 Penyakit mata Nyeri mata
penyebab Aktivitas dekat
Aktivitas jauh
 Lama gangguan
Fungsi social
Kesehatan mental
Kesulitan peran
Ketergantungan
Penglihatan warna
Penglihatan
perifer

Variabel bebas

Variabel tergantung

Parameter yang dinilai

Parameter yang tidak dinilai

Variabel perancu

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


23

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) dengan metode
pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara menggunakan kuesioner.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di 5 provinsi di Indonesia pada periode Juli – Desember
2013, yang meliputi DKI Jakarta, Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan, dengan mengikuti jadwal studi validasi kebutaan
RISKESDAS-PERDAMI. Kabupaten/kota yang dipilih adalah kabupaten yang
hampir semuanya pernah dilakukan survei kesehatan indera penglihatan pada tahun
1993-1996, dan kabupaten dengan proporsi kebutaan cukup tinggi di provinsi
masing-masing berdasarkan data Riskesdas 2007 dengan mempertimbangkan jumlah
Blok Sensus (BS) terbanyak seperti berikut:

Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian kualitas hidup
No Provinsi Kabupaten/Kota
1 DKI Jakarta Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
2 Sumatra Barat Sijunjung
Pariaman
Solok
Tanah Datar
Lima Puluh Kota
3 DI Yogyakarta Bantul
Gunung Kidul
Sleman
4 Jawa Timur Surabaya
Malang
Jember
5 Sulawesi Selatan Bulukumba
Wajo
Pinrang
Bantaeng

23 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


24

Pemilihan kelima provinsi tersebut sebagai tempat dilaksanakan penelitian didasarkan


pada feasibility dan kesanggupan peneliti semata yang disesuaikan dengan jadwal
studi validasi. Teknik pengambilan sampel disesuaikan dengan teknik stratified
random sampling yang dilakukan oleh RISKESDAS.

4.3. Subyek Penelitian


4.3.1. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah semua responden gangguan penglihatan
berat dan buta yang ditetapkan oleh enumerator RISKESDAS untuk mengikuti studi
validasi.

4.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua responden yang datang ke
tempat pemeriksaan studi validasi RISKESDAS

4.3.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah responden gangguan penglihatan berat dan buta yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil secara purposive sampling.
Subjek penelitian adalah responden buta yang ditetapkan oleh enumerator Riskesdas
(enumerator R) dengan visus maksimal (presenting visual acuity) pada mata terbaik <
3/60 dengan pinhole, dan responden gangguan penglihatan berat dengan visus
maksimal pada mata terbaik ≥3/60 hingga <6/60 dengan pinhole dengan jumlah yang
sama dengan responden yang dinyatakan buta di semua kota/kabupaten terpilih.

4.3.4. Besar Sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling sesuai
dengan jumlah responden dengan presenting visual acuity pada mata terbaik <3/60
dengan pinhole sebagai responden buta dan presenting visual acuity pada mata
terbaik ≥3/60 - <6/60 dengan pinhole sebagai responden gangguan penglihatan berat
sesuai hasil pemeriksaan enumerator R. Besar sampel dihitung berdasarkan rumus

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


25

dua kelompok tidak berpasangan. Besar sampel dihitung berdasarkan nilai simpangan
baku skor kualitas hidup dari beberapa penelitian yaitu 20, dan perbedaan skor
terkecil yang dianggap bermakna yaitu 10. Rumus yang digunakan seperti berikut:
2
n1=n2= 2 (Zα + Zβ ) S
x1-x2

Keterangan:
α : kesalahan tipe I yang masih dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan α 5%
Zα : deviat baku α (dengan α 5%, nilai Zα dua arah 1.96)
Β : kesalahan tipe II yang dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan β 20 %
Zβ : deviat baku β (dengan β 20%, nilai Zβ 0.84)
S : standar deviasi, nilai S = 20
X1 - X2 : selisih rerata skor kualitas hidup yang dianggap bermakna, yaitu 10.
Besar sampel minimal yang diperlukan adalah masing-masing 50 responden dengan
katarak dan 50 responden dengan glaukoma. Dengan memperhitungkan drop out
sebesar 10 persen, maka sampel yang dibutuhkan adalah masing-masing kelompok
sebesar 55 responden.

4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1. Kriteria Inklusi
 Semua responden Riskesdas 2013 pada semua blok sensus (BS) terpilih di
kecamatan/kabupaten/kota pada 5 provinsi yang berusia 18 tahun ke atas pada
saat penelitian.
 Responden yang memiliki tajam peglihatan < 6/60 dengan pinhole pada mata
terbaik pada pemeriksaan tumbling E oleh enumerator PERDAMI
(enumerator P).
4.4.2. Kriteria Eksklusi
 Responden yang tidak kooperatif untuk dilakukan penilaian dengan kuesioner
dengan berbagai alasan.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


26

4.4.3. Kriteria Drop Out


 Responden dinyatakan drop out jika tidak dapat menyelesaikan penilaian
dengan kuesioner dengan berbagai alasan

4.5. Definisi Operasional


1. Visus adalah kemampuan melihat seseorang yang dinilai dan diinterpretasikan
dengan cara mengukur kemampuan melihat huruf atau simbol E dalam
berbagai ukuran (menggunakan kartu Snellen pada jarak 6 meter, dengan
sumber penerangan cahaya matahari atau penerangan yang sesuai pada tiap-
tiap mata.
2. Gangguan penglihatan berat adalah visus <6/60 tetapi lebih baik atau sama
dengan 3/60 pada mata terbaik dengan koreksi terbaik yang memungkinkan
(presenting visual acuity).
3. Buta adalah visus <3/60 hingga no light perception pada mata terbaik dengan
koreksi terbaik yang memungkinkan (presenting visual acuity).
4. Penyakit mata penyebab kebutaan atau gangguan penglihatan adalah penyakit
yang ditegakkan berdasarkan pemeriksaan oftalmologis lengkap dan
pemeriksaan penunjang bila tersedia.
5. Katarak adalah setiap kekeruhan lensa yang dinilai menggunakan kriteria
Buratto.
6. Glaukoma adalah suatu neuropati optik yang ditandai dengan defek lapang
pandangan yang berkesesuaian dengan peningkatan tekanan intraokuler
sebagai faktor resiko. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
tekanan intraokuler >21 mmgHg melalui tonometer Schiotz dan/atau aplanasi
Goldmann, dan gambaran papil glaukomatosa dengan cup disc ratio vertical
(CDR) >0,8 atau selisih asimetri CDR>0,3),7,41 dan/atau hasil pemeriksaan
perimetri dengan Humphrey (jika ada) menunjukkan defek lapang pandangan
yang berkesesuaian dengan glaukoma.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


27

7. Degenerasi makula didefinisikan berdasarkan system klasifikasi oleh The


International ARM Epidemiologic Study Group.
8. Komorbiditas adalah setiap riwayat penyakit kronik yang dimiliki oleh
responden berdasarkan hasil wawancara oleh enumerator R, dan/atau hasil
pemeriksaan penunjang, seperti pengukuran tekanan darah dan kadar gula
darah. Komorboditas yang dimiliki dapat berupa diabetes, hipertensi, penyakit
jantung koroner, asma, stroke, dan lainnya.
9. Umur responden adalah usia responden yang berusia 18 tahun ke atas, dan
dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun) dan usia nonproduktif
(>64 tahun) sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
10. Jenis kelamin adalah laki-laki dan perempuan.
11. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah
dijalani responden. Pendidikan terbagi menjadi 5 yaitu tidak sekolah, sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sekolah tinggi.
12. Status pendidikan dinyatakan :
a. Rendah bila tidak sekolah atau tidak tamat SD atau yang sederajat
b. Sedang bila tamat sekolah dasar atau tamat sekolah menengah pertama
atau atas atau yang sederajat
c. Tinggi bila tamat sekolah tinggi (diploma, akademi, atau universitas)
13. Jenis pekerjaan dikelompokkan ke dalam 7 kelompok yaitu tidak bekerja
(termasuk ibu rumah tangga), pegawai (meliputi pegawai negeri sipil dan
swasta), Polri/TNI, sekolah/mahasiswa, wiraswasta, nelayan/buruh/petani, dan
lainnya.
14. Provinsi meliputi 5 provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sulawesi Selatan.
15. Pendapatan
Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya
regular dan diterima biasanya sebagai balas atau kontra prestasi, sumbernya
berasal dari:

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


28

 Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja
lembur dan kerja kadang-kadang.
 Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi,
penjualan dari kerajinan rumah.
 Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.
Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik
Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk
menjadi 4 golongan yaitu :
 Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih
dari Rp. 3.500.000,00 per bulan
 Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
 Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawh
antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
 Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp.
1.500.000,00 per bulan.
16. Lama kebutaan/gangguan penglihatan adalah berapa lama gangguan yang
dialami yang dinyatakan dengan lama tahun dan bulan. Data kemudian akan
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu < 1 tahun, 1-5 tahun, dan >5
tahun.

4.6. Cara Kerja Penelitian


Setelah melalui penjaringan responden RISKESDAS, akan diperiksa oleh enumerator
P dengan menggunakan tumbling E. Responden yang memenuhi kriteria inklusi akan
menjalani studi validasi dan penilaian kualitas hidup dengan cara kerja sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan
a. Petugas pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan adalah seorang
refraksionis. Pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan meliputi
pemeriksaan tajam penglihatan tanpa koreksi dan dengan koreksi,

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


29

menggunakan snellen chart, trial frame dan trial lens. Dilakukan


pengukuran jarak pupil dengan menggunakan penggaris dan senter
pada jarak 30 cm dengan mengarahkan cahaya ke glabela dan
responden melihat ke arah cahaya senter. Hasil jarak pupil yang
didapat dicantumkan pada kolom PD, dinyatakan dalam millimeter
(mm). Pemeriksaan dilakukan pada jarak 6 meter dengan pencahayaan
yang cukup (cahaya matahari) dengan posisi responden membelakangi
cahaya.
b. Tajam penglihatan dicatat dengan notasi 6 meter yakni: 6/6, 6/7.5, 6/9,
6/12, 6/15, 6/20, 6/30, 6/60, 3/60. Bila responden memiliki tajam
penglihatan kurang dari 6/60, maka tajam penglihatan akan dilakukan
dengan ‘hitung jari’ pada jarak 5, 4, 3, 2, dan 1 meter, sehingga notasi
akan ditulis berturut-turut sebagai berikut: 5/60, 4/60, 3/60, 2/60, dan
1/60. Hitung jari pada jarak kurang dari satu meter atau hanya bisa
melihat lambaian tangan akan dicatat sebagai ‘hand movement’ atau
1/300. Apabila responden hanya bisa melihat cahaya maka akan
dicatat sebagai light perception (LP), lalu ditentukan apakah
proyeksinya baik (good projection) atau tidak (wrong projection). Bila
responden tidak dapat melihat cahaya, maka akan dicatat sebagai ‘no
light perception (NLP)’ atau tajam penglihatan ‘nol’.
c. Tajam penglihatan tanpa koreksi mata kanan dan mata kiri yang
diperoleh dicatat pada kolom AV sc. Apabila terdapat koreksi lensa
maka dicatat sesuai jenis lensa yang digunakan. Apabila digunakan
lensa sferis positif maupun negatif, maka ditulis di baris S, dengan
didahului tanda + atau – sesuai dengan lensa yang digunakan. Apabila
digunakan lensa silinder, maka ditulis di kolom C didahului tanda –
didepan disertai axis yang didapat.
d. Setelah pemeriksaan tajam penglihatan selesai, refraksionis
memberikan tanda check pada lembar check list untuk baris
pemeriksaan tajam penglihatan lanjutan. Kemudian responden

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


30

diarahkan menuju ke meja pemeriksaan segmen anterior dan posterior


yang akan dilakukan oleh dokter spesialis mata.
2. Pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan posterior mata
a. Petugas pemeriksaan tekanan intraokular, segmen anterior dan
posterior mata adalah perawat mahir mata.
b. Responden diperiksa tekanan intraokular dengan menggunakan
tonometri Schiotz pada kedua mata dan/atau aplanasi Goldmann.
Responden sebelumnya diberi obat tetes Pantocain 0,5% sebagai
anestesi topical. Responden diminta berbaring dengan posisi kedua
mata terbuka dan melihat lurus ke depan. Mata kanan terlebih dahulu
diperiksa. Tonometri schiotz yang sudah dikalibrasi diletakkan di atas
kornea responden. Hasil yang ditemukan di cantumkan didalam blok
F1 dalam satuan mmHg. Setelah itu pasien akan dilakukan pengukuran
ulang dengan tonometri aplanasi Goldmann. Setelah dilakukan
pemeriksaan tekanan intraokular, pemeriksa memberi tanda check
pada lembar check list untuk baris pemeriksaan tekanan intraokular.
c. Responden diarahkan menuju ke meja pemeriksaan biomikroskopi
menggunakan slit lamp untuk pemeriksaan segmen anterior.
Pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dapat menyebabkan silau
karena penyinaran oleh lampu slitlamp apabila responden melihat
langsung ke cahaya slit lamp. Setelah pemeriksaan segmen anterior,
pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris
pemeriksaan segmen anterior.
d. Responden kemudian diberi obat tetes mydriasil 1% pada kedua mata,
kecuali pada responden yang memiliki tekanan intraokular lebih dari
21 mmHg dan terdapat kekeruhan kornea yang tidak memungkinkan
pemeriksaan segmen posterior. Setelah dilakukan penetesan mydriasil
1%, pemeriksa memberi tanda check pada lembar check list baris
penetesan mydriasil 1%.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


31

e. Pemeriksaan segmen posterior dilakukan dengan menggunakan


funduskopi direk, di ruangan dengan pencahayaan redup atau gelap.
Setelah melakukan pemeriksaan segmen posterior, pemeriksa memberi
tanda check pada lembar check list baris pemeriksaan segmen
posterior.
f. Untuk blok E, kolom penyebab penurunan visus pada satu mata, jika
ditemukan lebih dari satu kelainan mata pada 1 mata yang sama, maka
penentuan penyebab utama penurunan penglihatan meliputi aturan
sebagai berikut :
i. Pilih kelainan mata yang dipercaya menyebabkan penurunan
tajam penglihatan. Contohnya, katarak grade 1 dengan PDR,
maka yang dituliskan sebagai penyebab adalah PDR. Contoh
lain, bila terdapat kekeruhan kornea sentral berat dan katarak
grade 2, maka penyebab penurunan tajam penglihatannya
adalah kekeruhan kornea sentral berat.
ii. Pilih penyebab utama/penyebab primer. Sebagai contoh bila
terdapat band keratopathy dan katarak sekunder karena uveitis,
maka penyebab utamanya adalah inflamasi (uveitis). Contoh
lain, mata anoftalmia karena riwayat tumor, maka yang
disebutkan adalah tumor.
iii. Jika 2 atau lebih kelainan mata yang dinilai sama sama
menyebabkan penurunan tajam penglihatan maka dipilih
penyebab yang paling bisa diobati.
iv. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria diatas, pilih penyebab
yang terjadi paling terakhir.
 Penyebab kedua penurunan tajam penglihatan dicantumkan pada
baris kedua kolom penyebab utama penurunan visus pada 1 mata.
g. Untuk penentuan penyebab utama penurunan visus pada individu, jika
terdapat perbedaan penyebab penurunan tajam penglihatan antara mata
kanan dan kiri, maka menggunakan kriteria sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


32

i. Dipilih yang paling mudah diobati. Misalnya mata kanan


katarak, mata kiri ablasio retina lama, maka dipilih katarak.
ii. Jika tidak ada yang memenuhi kriteria di atas, pilih penyebab
yang terjadi paling terakhir.
iii. Jika tidak diketahui kapan terjadinya, maka dipilih kelainan
pada mata yang paling baik visusnya.
h. Untuk kolom G, apabila ditemukan efek samping perlakuan yang
terjadi pada responden, maka dicantumkan pada kolom Ya dan
disebutkan apa efek sampingnya. Efek samping yang dapat terjadi
misalnya reaksi anafilaktik atau glaucoma akut setelah pemberian obat
tetes mydriasil 1%.
i. Pemeriksa (dokter spesialis mata) mencantumkan namanya, tanggal
pemeriksaan serta tanda tangannya pada kolom H.
j. Apabila menurut pemeriksa (dokter spesialis mata) perlu dirujuk maka
responden diberikan surat rujukan. Apabila di rujuk, pemeriksa
memberi tanda check pada lembar check list pada baris rujuk.
k. Responden diarahkan ke meja pengisian kuesioner.
3. Pengisian kuesioner Quality of Life (QoL)
a. Petugas : 1 orang petugas kuesioner yang telah mendapatkan training
untuk mengisi formulir QoL, yaitu kuesioner QoL VF-25. Kuesioner
sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah
tersumpah dan sudah melalui uji validasi.
b. Responden yang telah diperiksa kemudian akan dibacakan kuesioner
oleh petugas kuesioner dan diisi sesuai jawaban responden
c. Petugas member tanda check pada lembar check list baris kuesioner
d. Setelah kuesioner terisi, responden diarahkan menuju ke meja
persetujuan tindakan.
4. Pemeriksaan akhir
a. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memeriksa kelengkapan
berkas dan disesuaikan dengan lembar check list.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


33

b. Petugas persetujuan tindakan (residen A) memberikan bahan kontak


(Rp.50.000,-) dan responden menandatangani tanda terima bahan
kontak

Pengisian skor dilakukan melalui tiga langkah:


Langkah pertama: responden menjawab pertanyaan dengan melingkari jawaban yang
tertera pada kuesioner. Dalam penelitian ini peneliti membacakan dan melakukan
wawancara untuk menjelaskan maksud dari masing-masing pertanyaan. Metode
wawancara dipilih karena sebagian besar responden memiliki latar belakang
pendidikan yang rendah (<9 tahun pendidikan dasar), sehingga persepsi yang sama
dari tiap pertanyaan didapatkan oleh masing-masing responden.
Langkah kedua adalah pemberian skor dari masing-masing jawaban. Untuk
pertanyaan nomor 1, 3, 4, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 75, jawaban
3 = skor 50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0. Sedangkan untuk
pertanyaan nomor 2, jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skor 80, jawaban 3 = skor
60, jawaban 4 = skor 40, jawaban 5 = skor 20, jawaban 6 = skor 0. Untuk pertanyaan
nomor 5 – 14, maka jawaban 1 = skor 100, jawaban 2 = skoor 75, jawaban 3 = skor
50, jawaban 4 = skor 25, dan jawaban 5 = skor 0, jawaban 6 sebagai missing value.
Untuk pertanyaan nomor 17 – 25, maka jawaban 1 = skor 0, jawaban 2 = skoor 25,
jawaban 3 = skor 50, jawaban 4 = skor 75, dan jawaban 5 = skor 100.
Langkah ketiga adalah menjumlahkan dan menghitung nilai rerata hasil scoring yaitu
skor dari tiap-tiap pertanyaan dalam 1 subskala yang tidak berupa missing value
dijumlahkan kemudian dibagi jumlah pertanyaannya. Sebagai contoh, skala near
activities: pertanyaan 5 mendapat skor 25, pertanyaan 6 mendapat skor 100,
pertanyaan 7 mendapat skor 25, maka rata-rata skor menjadi (25+100+25)/3 = 50.
Kemudian seluruh skor tiap-tiap subskala masing-masing responden dijumlahkan
untuk menjadi skor total.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


34

4.7. Alat dan Bahan


1. Tumbling E, snellen chart
2. Trial Frame dan Trial lens
3. Tonometri Schiotz
4. Portable slit lamp
5. Funduskopi direk
6. Foto fundus pupil kecil
7. Alat tulis
8. Data subjek yang akan datang ke kecamatan berdasarkan hasil dari
enumerator Riskesdas
9. Alat ukur berupa tali/meteran untuk mengukur jarak pemeriksaan tajam
penglihatan
10. Pen-light, flash-light, senter
11. Obat tetes midriasil 1%, pantocain 0,5%
12. Formulir laporan enumerator R ke sms center perdami (terkomputerisasi)
13. Formulir pemeriksaan Enumerator P
14. Kuesioner VF-25 1 berkas
15. Check list pemeriksaan
16. Daftar hadir responden
17. Alkohol swab

4.8. Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan di provinsi DKI Jakarta, Sumatra Barat, DI Yogyakarta,
Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur, mengikuti jadwal studi validasi yang telah
ditentukan. Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner VFQ-25 asli berbahasa
Inggris yang telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia dan dialihbahasakan
kembali ke Bahasa Inggris untuk uji komparasi. Setelah uji komparasi, dilakukan uji
validasi dengan mengambil sampel ekstrim yaitu populasi dengan penglihatan normal
dan dengan gangguan penglihatan berat.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


35

4.9. Analisis Data


Analisis data dimulai dengan melakukan rekapitulasi data hasil uji validasi
RISKESDAS 2013. Dilakukan pencatatan data identitas, data demografi, jenis
penyebab kebutaan, dan skor kualitas hidup. Data kemudian dipindahkan dalam data
induk penelitian dan diolah menggunakan program SPSS versi16.0. Data disajikan
dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi. Perbedaan kualitas hidup antara kelompok
gangguan kualitas hidup dan kelompok buta diuji dengan membandingkan rerata skor
kualitas hidup masing-masing menggunakan uji statistik yang sesuai.

4.10. Bagan Alur Penelitian


Responden dengan usia >18 tahun

Visus maksimal mata terbaik < 3/60 Visus maksimal mata terbaik ≥ 3/60-
dengan pinhole oleh enumerator P 6/60 dengan pinhole oleh enumerator P

Pemeriksaan oftalmologis lengkap


oleh enumerator P

Penilaian kualitas hidup dengan


kuesioner VFQ-25 oleh enumerator P
yang sudah di-training

Pengolahan data

4.11. Etik Penelitian


Penelitian ini telah lulus kaji etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (BALITBANGKES) Kementerian Kesehatan berdasarkan nomor
LB.02.01/5.2/KE.402/2013.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


36

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Jumlah Sampel dan Karakteristik Subyek


Penelitian dilakukan sejak bulan Juli – Desember 2013, bertempat di Provinsi DKI
Jakarta, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatra Barat, dan Sulawesi
Selatan. Dengan metode purposive sampling pada Studi Validasi Kebutaan
RISKESDAS 2013 Tahap I dan II, didapatkan sebanyak 145 responden yang masuk
dalam kriteria inklusi penelitian dari 353 responden yang dilakukan validasi
kebutaan, dari target sampel minimal sebanyak 110 responden. Sebanyak sebelas
responden dari jumlah total 145 responden, dieksklusi. Kesebelas responden tersebut
tidak dapat dilakukan wawancara terpimpin karena mengalami gangguan
pendengaran dan pemusatan perhatian sehingga dikhawatirkan mempengaruhi hasil
penelitian. Jumlah seluruh responden yang dapat dilakukan analisis adalah 134
responden.
Tabel 5.1 memperlihatkan perbandingan karakteristik subyek pada seluruh
responden secara demografis, yang dikelompokkan menjadi kelompok buta dan
gangguan penglihatan berat, dan karakteristik subjek berdasarkan karakteristik
penyakit penyebab gangguan penglihatan. Kelompok buta memiliki tajam
penglihatan (presenting visual acuity) kurang dari 3/60 (88 responden, 65,7%),
sedangkan kelompok gangguan penglihatan berat memiliki tajam penglihatan 3/60 -
<6/60 (46 responden, 34,3%).
Responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki,
yaitu 86 responden (64,2%) dan 48 responden (35,8%). Dari seluruh responden yang
mengalami kebutaan didapatkan 28 responden (31,8%) berjenis kelamin laki-laki,
atau mencapai 20,9% dari seluruh responden penelitian. Pada saat penelitian
berlangsung, sebagian responden laki-laki tidak dapat ditemui karena sedang bekerja
di luar rumah.
Rerata usia responden pada penelitian ini adalah 67,4±12,3 tahun. Usia
responden kemudian dikelompokkan lebih lanjut menjadi kelompok usia produktif

36 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


37

(15-64 tahun) dan usia non-produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun). Pada tabel
5.1 terlihat bahwa 46 responden (34,3%) dari seluruh subyek penelitian berada pada
kelompok usia produktif, dimana sebanyak 34 responden (73,9%) mengalami
kebutaan, atau 25,4% dari seluruh responden.

Tabel 5.1. Karakteristik demografis subyek penelitian berdasarkan tingkat gangguan


penglihatan, lama gangguan, dan penyakit mata penyebab (n=134)
Variabel Total responden Buta Gangguan Nilai
(n=134) (n=88) Penglihatan p
Berat (n=46)
n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 48 35,8 28 31,8 20 43,5 0,181a
Perempuan 86 64,2 60 68,2 26 56,5
Rerata usia (tahun) 67,4 ± 12,3 69,5 (38-95) 67,5 (28-92) 0,173b
Kelompok Usia
18 – 64 tahun 46 34,3 34 38,6 12 26,1 0,232a
> 64 tahun 88 65,7 54 61,4 34 73,9
Tingkat Pendidikan
Rendah 88 65,7 60 68,2 28 60,9 0,392a
Sedang 43 32,1 26 29,5 17 36,9
Tinggi 3 2,2 2 2,3 1 2,2
Tingkat Pendapatan
Rendah 96 71,6 60 68,2 36 78,3 0,462a
Sedang 20 14,9 15 17,0 5 10,9
Tinggi 10 7,5 8 9,1 2 4,3
Sangat Tinggi 8 6 5 5,7 3 6,5
Lama gangguan (tahun) 6,4±10 2 (0,08-30) 3 (0,08-54) 0,104b
Kisaran lama kebutaan
< 1 tahun 37 28,2 21 24,1 16 36,4
1 – 5 tahun 59 45,1 41 47,1 18 40,9
> 5 tahun 35 26,7 25 28,8 10 22,7
Jenis penyakit mata
Katarak 99 73,9 63 71,6 36 78,3
Glaukoma 7 5,2 6 6,8 1 2,2
Kelainan refraksi 9 6,7 4 4,5 5 10,9
Kelainan kornea 5 3,7 5 5,7 0 0
AMD 2 1,5 2 2,3 0 0
Neuropati optik 7 5,2 4 4,5 3 6,5
Retinopati diabetik 1 0,7 0 0 1 2,2
Ablasio retina 2 1,5 2 2,3 0 0
Kelainan mata lain 2 1,5 2 2,3 0 0
a
Uji Chi square
b
Uji Man Whitney

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


38

Tingkat pendidikan responden yang dibagi menjadi tiga kelompok,


menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan rendah
(65,7%). Berdasarkan tingkat pendidikan ini, kebutaan terjadi pada 60 responden,
atau sekitar 45% dari total responden. Sebagian besar responden (71,6%) memiliki
tingkat pendapatan keluarga yang rendah, dengan 44,8% mengalami kebutaan.
Namun demikian, kebutaan dan gangguan penglihatan berat masih ditemukan pada
kelompok tingkat pendapatan sangat tinggi yang mencapai 6%.
Rerata lama kebutaan atau gangguan penglihatan yang dialami oleh responden
adalah 6,4±10 tahun/3(0,08-50 tahun), namun 3 responden tidak menyadari adanya
gangguan penglihatan. Kisaran lama kebutaan responden yang dibagi menjadi 3
kelompok terlihat bahwa sebagian responden mengalami kebutaan atau gangguan
penglihatan antara 1 – 5 tahun, dan sebagian besar termasuk dalam kelompok buta.
Selain itu, masih ditemukan responden yang mengalami lama kebutaan lebih dari 5
tahun yaitu sebanyak 25 responden, atau sekitar 19% dari seluruh responden.
Tergambar pula bahwa kisaran lama kebutaan yang dialami oleh responden selama
lebih dari 5 tahun lebih banyak ditemukan pada kelompok buta.
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan pada penelitian ini (71,6%),
atau 47% dari total responden, dan gangguan penglihatan berat sebesar 26,8%.
Penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan lainnya adalah kelainan refraksi
(6,7%) dan glaukoma (5,2%). Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua (6%)
setelah katarak. Kelainan refraksi merupakan penyebab gangguan penglihatan berat
terbanyak kedua (3,7%) setelah katarak. Sebagian besar penyakit mata tersebut
(130/134, 97%) merupakan penyakit mata yang dapat ditangani (avoidable
blindness), dimana sebanyak 115 responden (85,8%) mengalami gangguan
penglihatan yang dapat direhabilitasi (treatable blindness).
Berdasarkan uji statistik antar berbagai variabel pada karakteristik demografis
dan lama gangguan penglihatan terlihat sebaran sampel yang homogen (p>0,05).
Tidak terdapat perbedaan karakteristik antara responden dengan gangguan
penglihatan berat dan buta..

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


39

5.2. Skor Kualitas Hidup


Skor kualitas hidup total (composite score) merupakan rerata dari 10 hingga 11 skor
subskala yang didapatkan dari rerata dari skor setiap pertanyaan di dalam kuesioner
kualitas hidup NEI-VFQ25 dalam penelitian ini. Nilai maksimal skor pada populasi
normal tanpa gangguan penglihatan adalah 100 (100%).
Tabel 5.2 memperlihatkan rerata skor total kualitas hidup berdasarkan
karakteristik jenis kelamin, kelompok usia produktif, dan kisaran lama kebutaan.
Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden adalah 41,97 + 19,66, yang
berarti pada seluruh responden telah terjadi rerata penurunan kualitas hidup sekitar
58% dari nilai maksimal.

Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan
kisaran lama kebutaan.
Variabel Rerata (mean+SD) Median (min-maks) Nilai p
Rerata skor total 41,97 ± 19,66 39,82 (2,5-89,4)
Jenis kelamin
Laki-laki 43,4 ± 16,7 42,1 (15-84,6) 0,28a
Perempuan 41,2 ± 21,2 39,2 (2,5-89,4)
Kelompok usia
18-64 tahun 48,5 ± 20,5 45,7 (10,4-89,4) 0,007a
> 64 tahun 38,5 ± 18,4 33,7 (2,5-86,8)
Kisaran lama kebutaan
< 1 tahun 43,3 ± 18,4 39,0 (17,5-83,7) 0,71b
1 – 5 tahun 40,6 ± 20,3 39,8 (2,5-86,8)
> 5 tahun 42,9 ± 18,9 40,5 (10,4-89,4)
a=Mann-Whitney test; b=Kruskal-Wallis test

Responden laki-laki memiliki rerata skor kualitas hidup total yang lebih baik
dibanding perempuan yaitu 43,4 ± 16,7 berbanding 41,2 ± 21,2. Namun, skor antara
kedua kelompok ini tidak ditemukan perbedaan nilai yang bermakna secara statistik
(p=0,28). Sementara itu, kelompok usia produktif memiliki skor kualitas hidup yang
lebih baik dibanding kelompok usia nonproduktif, dan perbedaan tersebut bermakna
secara statistik (p=0,007).
Untuk mengetahui pengaruh kisaran lama kebutaan yang dialami oleh
responden terhadap kualitas hidup, pada penelitian ini lama kebutaan dibagi menjadi
Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


40

3 kelompok. Pada tabel 5.2 terlihat bahwa semakin lama seseorang mengalami
kebutaan atau gangguan penglihatan, skor kualitas hidup semakin meningkat. Namun
demikian, perbedaan skor di antara ketiga kelompok ini tidak bermakna secara
statistik (p=0,71).

5.2.1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan Gangguan
Penglihatan Berat
Skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan
berat tercantum dalam tabel 5.3. Rerata skor kualitas hidup total pada kelompok buta
lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat. Kedua perbedaan
rerata ini bermakna secara statistik (p = 0,001).
Rerata skor kualitas hidup subskala untuk kedua kelompok ini terdapat nilai
yang bervariasi. Pada kelompok buta didapatkan kecenderungan bahwa hampir
seluruh skor subskala lebih rendah dibandingkan dengan kelompok gangguan
penglihatan berat. Pada skor subskala kesehatan umum, nyeri mata, kesehatan mental,
dan ketergantungan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Table 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala berdasarkan
tingkat gangguan penglihatan (n=134)
Gangguan penglihatan berat Buta (n=88)
Variabel Skor (n=46) Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 49,8±19,2 49,7 (16,5-89,4) 37,8+18,8 33,5 (2,5-85,7) 0,001
Kesehatan umum 36,1±22,3 25,0 (0-100) 36,0±21,9 25,0 (0-100) 0,74
Kesehatan mata 33,8±13,4 40,0 (20-60) 24,4±15,8 20,0 (0-60) 0,003
Nyeri mata 68,5±21,6 62,5 (25-100) 74,7±23,7 75,0 (0-100) 0,098
Aktivitas dekat 46,7±30,4 50,0 (0-100) 26,2±24,5 25,0 (0-100) 0,000
Aktivitas jauh 46,6±26,6 50,0 (0-100) 25,9±25,5 20,8 (0-100) 0,000
Fungsi social 52,7±28,8 50,0 (0-100) 33,2±28,0 25,0 (0-100) 0,001
Kesehatan mental 53,6+21,5 50 (12,5-100) 48,7±21,4 50 (0-100) 0,21*
Kesulitan peran 44,4±24,06 37,5 (0-100) 35,7±25,2 25,0 (0-100) 0,009
Ketergantungan 49,2±26,7 50,0 (0-100) 36,5±26,7 33,3 (0-100) 0,08
Penglihatan warna 62,2±32,2 50,0 (0-100) 42,7±34,9 37,5 (0-100) 0,002
Penglihatan perifer 50,5±31,7 50,0 (0-100) 28,5±28,7 25,0 (0-100) 0,000
* = Independent T-test;

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


41

Grafik 5.1 di bawah ini memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor
subskala dan skor total pada kelompok buta dibandingkan dengan kelompok dengan
gangguan penglihatan berat.

Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok buta dan gangguan penglihatan berat

5.2.2. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata


Tabel 5.4 memperlihatkan perbedaan rerata skor kualitas hidup total dan subskala
pada berbagai penyakit mata penyebab gangguan penglihatan. Penyakit glaukoma
memiliki skor total kualitas hidup terendah dibandingkan penyakit lainnya.
Mengingat jumlah sampel pada tiap penyakit penyebab sangat bervariasi,
maka perbandingan secara statistik hanya dilakukan pada tiga kelompok penyakit
yaitu glaukoma, katarak, dan kelainan refraksi. Penyakit mata juga digolongkan lebih
lanjut sebagaimana pada Tabel 5.4. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa
responden dengan glaukoma cenderung memiliki skor kualitas hidup yang paling
rendah dibanding penyakit lainnya hampir di seluruh subskala.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


42

Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata
penyebab kebutaan (n=134)
Variabel Skor Katarak Glaukoma Kelainan Kelainan Neuropati Kelainan
(n=99) (n=7) refraksi (n=9) retina optik kornea
(n=5) (n=7) (n=5)
Skor total 40,5±19,2 33,1±9,0 62,4±19,8 52,3±24,8 45,0±16,2 49,0±19,6
Kesehatan umum 25 (0-75) 50 (25-100) 50 (25-100) 60±28,5 50 (0-50) 25,0±25,0
Kesehatan mata 20 (0-60) 20±16,3 40 (20-60) 32±30 20 (20-40) 40 (0-40)
Nyeri mata 72 (25-100) 74,8±17,8 71,3±25 72,5±20 76,8±16,8 74,9±23,5
Aktivitas dekat 25 (0-100) 20,7±18,2 57,8±29,4 41,6±27,6 28,5±19,8 54,9±28
Aktivitas jauh 25 (0-100) 8,3 (8-58,3) 55,2±32,4 48,3±36,9 41,6 (0-50) 44,9±30,4
Fungsi social 37 (0-100) 32±21,5 70,3±24,0 55±45 42,8±27,8 44,9±36
Kesehatan mental 50 (0-100) 40,2±9,4 64,1±27,5 60±27,1 58,9±11,3 56,25±22,1
Kesulitan peran 25 (0-100) 48,2±36 43,75±31,3 47,5±22,3 42,8±18,9 37,5±37,5
Ketergantungan 33,3 (0-100) 23,8±20,6 65,6±30,7 56,6±34,1 45,2±25,4 38,3±33,6
Penglihatan warna 50 (0-100) 25 (0-100) 92,3 (50-100) 65 (0-100) 71,4±22,5 70 (25-100)
Penglihatan perifer 25 (0-100) 10,7±13,4 68,7±29,1 45±51 28,6±22,5 50±25

Pada perbandingan skor kualitas hidup total antara kelompok katarak dan
glaukoma, ditemukan bahwa responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas
hidup yang lebih rendah dibanding kelompok katarak. Demikian pula, pada hampir
seluruh skor subskalanya kecuali subskala kesulitan peran (role difficulties),
menunjukkan bahwa responden dengan glaukoma menunjukkan skor yang lebih
rendah daripada responden dengan katarak.

Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada katarak dan
glaukoma (n=106)
Katarak (n=99) Glaukoma (n=7)
Variabel Skor Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 40,5±19,2 39,5 (2,5-86,8) 33,1±9,0 32,4 (22,9-51,3) 0,09
Kesehatan umum 33,2±18,6 25,0 (0-75) 53,6±22,5 50,0 (25-100) 0,02
Kesehatan mata 27,6±14,8 20,0 (0-60) 20,0±16,3 20,0 (0-40) 0,24
Nyeri mata 72,5±23,2 75,0 (25-100) 74,5±17,8 68,5 (50-100) 0,95
Aktivitas dekat 31,4±28,3 25,0 (0-100) 20,7±18,2 18,5 (0-50) 0,45
Aktivitas jauh 31,2±26,9 25,0 (0-100) 20,6±19,7 12,2 (8-58,3) 0,39
Fungsi social 37,3±28,5 37,0 (0-100) 32,0±21,5 25,0 (12-75) 0,70
Kesehatan mental 48,9+21,4 50,0 (0-100) 40,2+9,4 37,5 (31,25-50) 0,25*
Kesulitan peran 37,7±23,4 25,0 (0-100) 48,2±36,4 50,0 (0-100) 0,42
Ketergantungan 39,7±25,9 33,3 (0-100) 23,8±20,6 20,8 (0-50) 0,18
Penglihatan warna 44,1±33,6 50,0 (0-100) 39,3±34,9 25,0 (0-100) 0,65
Penglihatan perifer 35,0±30,5 25,0 (0-100) 10,7±13,3 12,5 (0-25) 0,03
*=Independent t-test

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


43

Namun demikian, berdasarkan uji statistik yang sesuai, kedua perbedaan skor total
antara dua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,09).
Pada aspek lainnya, kecuali aspek kesehatan umum (p=0,02) dan penglihatan perifer
(p=0,03), semua skor subskala juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
secara statistik sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.5.
Grafik 5.2 memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor subskala dan
skor total pada kelompok katarak dibandingkan dengan kelompok glaukoma. Tampak
bahwa penglihatan perifer responden dengan glaukoma lebih rendah secara bermakna
dibanding responden dengan katarak.

Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak dan glaukoma

5.2.3. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Berbagai Penyakit Mata


Penyebab Kebutaan dengan visual acuity adjustment
Skor kualitas hidup sangat dipengaruhi tingkat tajam penglihatan. Mengingat seluruh
responden pada penelitian ini terbagi menjadi kelompok buta dan gangguan
Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


44

penglihatan berat, skor kualitas hidup kami analisis dengan adjustment pada tingkat
tajam penglihatan (visual acuity adjustment). mengingat pada penelitian ini tajam
penglihatan memiliki kisaran yang cukup lebar yaitu dari light perception hingga
<6/60.
Setelah dilakukan adjustment pada tajam penglihatan, jumlah responden yang
dapat dianalisis adalah hanya pada kelompok buta yaitu 63 responden dengan katarak
dan 6 responden dengan glaukoma. Kelompok gangguan penglihatan berat tidak
dapat dianalisis karena jumlah responden untuk penyakit glaukoma hanya 1 orang
sehingga tidak dapat dianalisis.

Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada responden
katarak dan glaukoma pada kelompok buta (n=69)
Katarak (n=63) Glaukoma (n=6)
Variabel Skor Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 36,3±18,8 32,2 (2,5-85,6) 30,1±4,5 31,4 (22,9-35,5) 0,052*
Kesehatan umum 33,8±19,2 25,0 (0-75) 54,2±24,6 50,0 (25-100) 0,052
Kesehatan mata 24,8±15,2 20,0 (0-60) 16,6±15 20,0 (0-40) 0,26
Nyeri mata 75,6±24,0 81 (25-100) 72,75±18,5 68,5 (50-100) 0,65
Aktivitas dekat 23,6+23,6 16,6 (0-91,6) 20,0+19,8 18,5 (0-50) 0,86
Aktivitas jauh 24,4±25,4 16,6 (0-100) 14,3±11,5 8,3 (8-37) 0,55
Fungsi social 31,4±27,5 25,0 (0-100) 24,8±11,2 25 (12-37,5) 0,82
Kesehatan mental 47,1+22,4 43,75 (0-100) 41,7+9,4 43,75 (31,25-50) 0,58
Kesulitan peran 34,8±23,4 25,0 (0-100) 41,6±35 43,75 (0-100) 0,68
Ketergantungan 34,2+26,0 25 (0-100) 26,4+21,3 33,3 (0-50) 0,72
Penglihatan warna 37,9±33,2 25,0 (0-100) 29,2±24,6 25,0 (0-75) 0,62
Penglihatan perifer 27,0±29,1 25,0 (0-100) 12,5±13,7 12,5 (0-25) 0,31
*=Independent t-test;

Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa setelah dilakukan adjustment terhadap


tajam penglihatan, skor total dan hampir semua skor subskala pada glaukoma lebih
rendah dibandingkan skor pada katarak, dan seluruhnya tidak bermakna secara
statistik. Gambaran lebih jelas antara dua penyakit ini terlihat pada Grafik 5.3.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


45

Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak dan glaukoma setelah dilakukan adjustment terhadap tajam
penglihatan

100
Katarak
90
Glaukoma
80
70 Refraksi

60
50
40
30
20
10
0

Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi pada kelompok buta
(n=73).

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


46

Grafik 5.4 memperlihatkan gambaran perbandingan kualitas hidup antara


responden dengan katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi (n=73) setelah dilakukan
adjustment pada tajam penglihatan (kelompok buta saja). Dari grafik terlihat bahwa
antara ketiga kelompok tampak responden dengan kelainan refraksi umumnya
memiliki skor kualitas hidup total dan subskala yang lebih tinggi daripada responden
dengan glaukoma dan katarak (p=0,03). Tetapi untuk skor ocular pain dan kesehatan
mata relatif sama.

5.3. Validitas Kuesioner NEI-VFQ25


Banyak penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa kuesioner NEI-VFQ25
sahih untuk menilai kualitas hidup terkait penglihatan. Walaupun alat ukur ini pernah
digunakan pada sampel berbasis rumah sakit, kuesioner ini belum pernah digunakan
untuk penelitian berbasis populasi di Indonesia.
Penelitian ini melibatkan lebih dari satu penilai (pewawancara), yang
berlangsung di lima provinsi. Setiap provinsi dan setiap responden memiliki
karakteristik lokal masing-masing termasuk adanya kesulitan dalam berbahasa
Indonesia, sehingga berpotensi menimbulkan bias. Pewawancara sudah dilakukan
pelatihan pengisian kuesioner. Untuk mengurangi bias pengukuran diperlukan
penilaian interobserver agreement dengan menggunakan nilai kappa. Namun,
penilaian tersebut tidak dapat dilakukan karena terkait pelaksanaan Studi Validasi
RISKESDAS dengan waktu yang terbatas di masing-masing provinsi.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


47

BAB 6

DISKUSI

Kebutaan dan gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan global


tak terkecuali Indonesia. Dengan angka kebutaan yang mencapai 1,5% 5, kebutaan
memerlukan penanganan serius dari seluruh pemegang kebijakan dan dilakukan
secara lintas sektoral. Tak hanya menjadi beban secara ekonomi baik domestik rumah
tangga maupun beban nasional, akibat yang ditimbulkan oleh kebutaan dan gangguan
penglihatan juga terbukti dapat menurunkan kualitas hidup individu. Kualitas hidup
yang baik merupakan aspek penting bagi individu untuk menjalani kehidupannya
sehari-hari agar lebih produktif dan tidak mudah bergantung kepada orang lain.
Produktivitas yang baik pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan individu dan
keluarga, dan akan mengurangi beban negara yang timbul akibat kebutaan.13-15
Besar sampel antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat maupun
berdasarkan jenis penyakit penyebab gangguan penglihatan melebihi target sampel
minimal, namun proporsi antara kedua kelompok tersebut tidak berimbang. Hal ini
dikarenakan penelitian ini merupakan subpenelitian RISKESDAS 2013 yang bersifat
cross-sectional dan telah ditentukan jumlahnya, sehingga dalam teknik pengambilan
sampel tidak dapat kami intervensi sepenuhnya. Dengan mengikuti kriteria inklusi
dan eksklusi penelitian, analisis sampel tetap dapat kami lakukan sesuai dengan
tujuan penelitian.
Gender dan kebutaan menjadi isu penting dalam penanggulangan kebutaan di
seluruh dunia. Laporan WHO dan berbagai studi menyebutkan bahwa 2/3 populasi
yang buta adalah kelompok perempuan, dengan 90% jumlah tersebut berada di
negara-negara berkembang.42 Pada penelitian ini kelompok perempuan mengalami
kebutaan yang lebih tinggi dibanding kelompok laki-laki, yaitu mendekati 2/3
responden. Hal ini dapat disebabkan karena pada saat penelitian berlangsung
responden laki-laki banyak yang sedang bekerja di luar rumah. Penyebab lainnya
adalah karena usia harapan hidup perempuan yang relatif lebih lama dibanding laki-

47 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


48

laki, dan kelompok perempuan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang
optimal berkaitan dengan faktor sosiokultural masyarakat setempat yang cenderung
mengutamakan laki-laki (patriarki). Layanan kesehatan mata yang belum terjangkau
dan unaffordable juga dapat menyebabkan hal ini dimana sekitar 40% perempuan
yang mengalami kebutaan berada di wilayah desa pada penelitian ini. Political will
dan aksi sosial diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam pelayanan
kesehatan mata. Di lain pihak, laki-laki sebagai tulang punggung kesejahteraan
keluarga tetap menjadi perhatian dalam permasalahan kebutaan dan gangguan
penglihatan.
Kebutaan memiliki dampak negatif terhadap produktivitas dan menimbulkan
beban ekonomi publik yang signifikan bagi negara. Beban ekonomi ini secara
langsung berkaitan dengan pengeluaran negara yang tinggi untuk kesehatan, dan
secara tidak langsung berkaitan dengan hilangnya produktivitas warga dan
kesempatan menghasilkan pendapatan keluarga (income). Usia responden pada
penelitian ini dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun), dan usia non-
produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun), sesuai dengan Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jumlah kebutaan usia produktif pada penelitian
ini mencapai 25% dari seluruh responden pada penelitian ini, sedangkan gangguan
penglihatan berat mencapai 9%. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh jumlah ini
dapat diperhitungkan. Beban global akibat kebutaan sekitar USD 42 milyar dengan
proyeksi kenaikan menjadi USD 110 milyar pada tahun 2020, atau menyerap sekitar
0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara berkembang. Namun,
dengan program Vision 2020, diharapkan angka tersebut turun menjadi USD 53
milyar.43
Sebanyak 45% dari total subyek penelitian memiliki tingkat pendidikan
rendah. Pendidikan yang rendah ini merupakan salah satu barrier atau hambatan
dalam penyadaran masyarakat tentang penyakit mata termasuk katarak, tindakan
operasi, dan hasil yang akan didapatkan. Pendidikan rendah berkaitan dengan
tingginya angka buta huruf (illiteracy), sehingga responden tidak dapat menyerap
informasi dan mengalami ketidaktahuan dengan penyakit mata.14,38 Diperlukan

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


49

kegiatan promotif dan preventif yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan


responden. Pada tingkat pendidikan tinggi masih ditemukan 3 responden yang
mengalami kebutaan. Pada ketiga responden ini, 2 di antaranya memiliki penghasilan
keluarga sangat tinggi (>3,5 juta per bulan), sedangkan 1 responden memiliki
penghasilan rendah (<1,5 juta per bulan). Semua responden ini juga pernah berobat
ke dokter mata, dan terdiagnosis katarak. Hambatan atau barrier dari responden ini
untuk memperbaiki kesehatan matanya perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Dalam hal lain, sejumlah 71% responden yang mengalami gangguan
penglihatan memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dimana yang mengalami
kebutaan mencapai 60 orang, atau mencapai 45% dari total responden. Pendapatan
yang rendah menjadi hambatan bagi responden untuk melakukan pemeriksaan mata
dan tindakan semisal operasi katarak.14,38 Operasi katarak bisa dilakukan dengan
biaya yang terjangkau melalui program bakti sosial atau dengan program Jaminan
Kesehatan Nasional yang tepat sasaran. Anggaran kesehatan untuk program ini harus
ditingkatkan mengingat tindakan operasi katarak atau treatable blindness lainnya
akan lebih cost-effective dalam meningkatkan taraf kesehatan dan produktivitas
masyarakat bila dibandingkan memfokuskan pada rehabilitasi penyakit-penyakit
degeneratif kronik lainnya. Tindakan seperti ini akan dengan cepat meningkatkan
skor kualitas hidup seseorang sehingga akan mampu produktif dengan cepat pula.
Rerata lama kebutaan pada penelitian ini memilik kisaran yang sangat lebar.
Namun jika dikelompokkan menjadi beberapa kisaran waktu, terlihat bahwa sebagian
besar responden mengalami lama kebutaan 1-5 tahun, dan 70%-nya tergolong buta.
Kebutaan yang berlangsung cukup lama (> 1 tahun) dapat disebabkan oleh tingkat
pengetahuan yang rendah mengenai penyakit mata khususnya katarak dan glaukoma,
sosialisasi tentang kesehatan mata yang belum optimal oleh pihak kesehatan, kendala
biaya untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan yang belum terjangkau, dan akses
terhadap fasilitas kesehatan yang belum optimal. Perjalanan penyakit mata yang
umumnya degeneratif lambat juga dapat menjadi penyebab responden merasa
penyakitnya tidak terlalu berbahaya.13,33

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


50

Penyakit mata penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan berat berjumlah


99 responden (73,9%), dengan proporsi buta sejumlah 2/3 dari responden tersebut.
Katarak dan glaukoma merupakan penyakit mata degeneratif yang terjadi sesuai
dengan perkembangan usia namun berbeda penanganannya dalam hal aspek
pencegahan dan penanganan penyakit. Katarak dan gangguan refraksi merupakan
penyakit mata yang dapat direhabilitasi (treatable blindness), sedangkan glaukoma
termasuk dalam preventable blindness. Walaupun jumlah responden dengan katarak
mendominasi, tetapi sesuai dengan karakteristik penyakitnya maka responden katarak
termasuk kelainan refraksi dapat memiliki peluang perbaikan penglihatan dan kualitas
hidup yang lebih baik dibanding glaukoma, AMD, kelainan retina, dan neuropati
optik. Penyakit glaukoma pun sebetulnya dapat dicegah dan dihambat perburukannya
jika responden memiliki pengetahuan yang baik.
Rerata skor kualitas hidup total pada seluruh responden mencapai 42 dari skor
maksimal yaitu 100 pada populasi normal. Hal ini berarti pada seluruh responden
dengan gangguan penglihatan dan buta telah terjadi penurunan kualitas hidup sekitar
58%. Berdasarkan jenis kelamin, walaupun skor pada kelompok laki-laki lebih tinggi
daripada kelompok perempuan, skor total antara kedua kelompok relatif sama dan
tidak bermakna secara statistik.
Skor kualitas hidup total kelompok usia produktif juga lebih baik bila
dibandingkan dengan usia nonproduktif secara bermakna. Hal ini terjadi
dimungkinkan karena kelompok usia nonproduktif (>64 tahun) memiliki
komorbiditas dan proses penuaan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.
Penelitian oleh Nispen dkk44 menyatakan bahwa penurunan kualitas hidup
dipengaruhi oleh komorbiditas, namun Aravind Eye Study14 menyatakan tidak
berkaitan termasuk hipertensi dan diabetes. Oleh karena itu, diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk melihat pengaruh faktor komorbiditas dan elderly terhadap kualitas
hidup pada gangguan penglihatan.
Penurunan kualitas hidup pada usia produktif dapat mengganggu
produktivitas dan kemampuan menghasilkan pendapatan (income) untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pada penelitian ini, rerata skor kualitas hidup

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


51

mencapai 45, yang berarti telah terjadi penurunan kualitas hidup umum sebesar 55%
dari nilai maksimal. Langelaan33 menyatakan bahwa walaupun dampak gangguan
penglihatan pada usia produktif terlihat rendah, namun sebetulnya hal tersebut
berdampak sangat besar pada penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan,
pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, akses
pelayanan kesehatan mata dan biaya pemeriksaan dan operasi yang terjangkau
menjadi suatu keharusan, terutama bagi kelompok usia produktif agar produktivitas
mereka dapat membaik.
Berdasarkan kisaran lama kebutaan yang dialami responden, skor kualitas
hidup terlihat linier antara berbagai kelompok, namun tak bermakna secara statistik.
Artinya, semakin lama seseorang mengalami kebutaan, kualitas hidup cenderung
relatif membaik. Mekanisme adaptasi terhadap kebutaan yang dialami dapat
menjelaskan gambaran tersebut. Pada tahap awal terjadinya peristiwa yang
mengganggu siklus kehidupan, seseorang cenderung merasa sangat terpukul yang
terlihat dari menurunnya kualitas hidup yang cukup tajam. Namun seiring berjalannya
waktu, seseorang akan mampu beradaptasi (coping index).33,45
Skor kualitas hidup antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat
berbeda secara bermakna. Responden dengan gangguan penglihatan berat, kualitas
hidupnya menurun hingga mencapat 60-70% bila dibandingkan kelompok buta yang
turun mencapai 50%. Perbedaan skor kualitas hidup lebih dari 10% dianggap
bermakna berdasarkan panduan NEIVFQ 25. Selain skor total, hampir semua skor
subskala dari kelompok buta juga menunjukkan penurunan yang cukup jauh
dibanding kelompok gangguan penglihatan berat. Terlihat bahwa karena perbedaan
tajam penglihatan yang signifikan, maka yang terganggu pada kelompok buta adalah
aktivitas dekat dan jauh, yang dibutuhkan untuk aktivitas harian. Laitinen13 dan
Lamoreux15 menyatakan bahwa penurunan visus menjadi faktor independen yang
kuat terhadap fungsi fisik seseorang, dan penurunan visus berbanding lurus dengan
penurunan kualitas hidup.
Berdasarkan aspek sosiokultural sebagai faktor lingkungan yang
memengaruhi kualitas hidup individu, fungsi sosial dan ketergantungan pada

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


52

kelompok buta juga menurun secara bermakna. Namun demikian, kesehatan mental
responden yang mencakup rasa cemas, takut, dan frustasi terhadap kondisi kesehatan
matanya relatif sama antara kedua kelompok. Faktor psikososial dan spiritualitas
diduga berperan pada gambaran ini.46-48
Skor subskala penglihatan warna dan penglihatan perifer juga jauh menurun
pada kelompok buta. Visus yang buruk menjadi penyebab utama terjadinya gangguan
ini. Pada grafik 1 terlihat pula bahwa terdapat ranah aktivitas harian (daily acitivities),
fungsi social, dan ketergantungan terdapat jurang pemisah yang cukup jauh. Hal ini
berarti produktivitas responden buta jauh terganggu dibandingkan dengan responden
dengan gangguan penglihatan berat.
Berdasarkan penyakit mata penyebab kebutaan, responden dengan kelainan
refraksi memiliki skor kualitas hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan
penyakit lain seperti katarak dan glaukoma. Kebutaan karena kelainan refraksi dan
katarak merupakan kebutaan yang dapat ditangani. Kelainan refraksi dapat ditangani
dengan kacamata atau low vision aids lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa
dengan hanya memberikan kacamata, kualitas hidup seseorang akan jauh meningkat
jika memang tidak ada komorbiditas lain di organ mata. Demikian pula, jika katarak
saja tanpa kelainan lain dapat ditanggulangi dengan operasi katarak, kualitas hidup
akan meningkat signifikan dan responden akan produktif lagi dalam waktu yang
relatif cepat. Fitriani39 dan Hapsari40 menemukan bahwa program rehabilitasi
gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Intervensi yang disease-
specific penting dilakukan dalam rangka menurunkan dampak negatif pada kehidupan
sehari-hari. Mengingat kelainan refraksi dan katarak dapat ditangani secara sederhana
dan cepat, perlu ditingkatkan upaya kesehatan mata secara masal dengan skrining
penyakit mata dan penatalaksanaannya seperti pemberian kacamata dan operasi
katarak.
Responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang paling rendah
dibanding penyakit mata lain. Hampir semua aspek kualitas hidup menunjukkan
penurunan yang serupa terutama terhadap katarak dan gangguan refraksi. Hal ini

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


53

terjadi karena defisit yang terjadi pada glaukoma merupakan kombinasi dari
gangguan penglihatan sentral dan perifer seperti pada penelitian ini, meskipun
gangguan pada penglihatan perifer relatif sama. Selain itu, gangguan lapang
pandangan perifer yang terjadi pada glaukoma terjadi bahkan pada tingkat tajam
penglihatan yang lebih baik. Namun, pada glaukoma tingkat lanjut (advanced stage),
tajam penglihatan sentral juga memburuk. Hal ini yang memperparah penurunan
kualitas hidupnya. Glaukoma juga merupakan penyakit kronik irreversibel yang tidak
mudah terdeteksi oleh masyarakat awam.14,24,25,37,49 Panduan kuesioner VFQNEI25
juga tidak hanya memasukkan pegal dan nyeri dalam daftar pertanyaan untuk aspek
ocular pain, dan memasukkan rasa terbakar dan gatal dalam panduan pertanyaannya.
Hal ini menyebabkan kuesioner tidak bisa secara langsung membedakan apakah nyeri
yang dialami oleh responden glaukoma adalah gejala khas penyakitnya.
Oleh karena itu, mengingat glaukoma termasuk kelompok avoidable
blindness, deteksi dini glaukoma sangat diperlukan untuk kelompok-kelompok
masyarakat yang berisiko tinggi. Risiko glaukoma meningkat pada kelompok usia
lebih dari 40 tahun, penurunan ketebalan kornea, ras kulit hitam, dan riwayat keluarga
dengan glaukoma.50 Walaupun pada penelitian ini, jumlah responden dengan
glaukoma jauh lebih sedikit dibanding katarak, kecenderungan penurunan kualitas
hidup yang lebih tinggi pada responden glaukoma dapat terlihat.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hipotesis kelompok buta memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat
sudah terbukti pada skor total maupun hampir seluruh skor subskala. Tidak
ditemukan perbedaan skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dan
katarak. Namun demikian, skor responden glaukoma memiliki skor kualitas hidup
paling rendah dibanding responden katarak dan gangguan refraksi. Penelitian lain
yang menyebutkan bahwa semakin lama kebutaan yang dialami membuat kualitas
hidup lebih baik belum terbukti, meskipun terdapat kecenderungan bahwa kualitas
hidup akan sedikit meningkat setelah lebih dari 1 tahun mengalami kebutaan. Tidak
terbuktinya hipotesis pada penelitian ini dapat disebabkan oleh proporsi sampel yang
tidak berimbang antara katarak dan glaukoma, serta penyakit lainnya. Item kuesioner

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


54

yang masih perlu dinilai validitas, reliabilitas, dan konsistensi internalnya juga dapat
mempengaruhi hasil penelitian ini. Bias pengukuran masih dapat ditemukan
mengingat kuesioner belum dilakukan penilaian secara statistik.
Namun demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi
program Vision 2020 dalam rangka menurunkan angka kebutaan yang dapat dihindari
(avoidable blindness). Komitmen dari pemerintah dan pemegang kebijakan
diperlukan untuk mencapai keberhasilan program ini. Vision 2020 melakukan
pendekatan terintegrasi untuk menghilangkan penyebab utama kebutaan yang dapat
dihindari yang meliputi tiga strategi utama yaitu, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan infrastruktur, dan pengendalian penyakit. Perlu dilakukan
kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan
dan kebutaan, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat. Kualitas
hidup pada penderita glaukoma sebagai salah satu penyebab preventable blindness
paling rendah dibanding penyakit lain, maka pencegahan kebutaan karena glaukoma
juga menjadi prioritas pada program pencegahan gangguan penglihatan dan kebutaan
(PGPK) Indonesia, terutama di layanan kesehatan primer.
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Jumlah besar total
sampel yang melebihi target dan penelitian multisenter merupakan kekuatan
penelitian ini. Namun demikian, dengan metode purposive sampling berbasis
populasi ini, peneliti sulit mendapatkan proporsi yang relatif seimbang antara
kelompok buta dan gangguan penglihatan berat. Kesulitan juga ditemukan dalam
menemukan proporsi sampel yang seimbang antara berbagai penyakit mata penyebab
kebutaan bila ingin mengikuti proporsi penyakit mata di populasi pada penelitian
terdahulu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih
berimbang untuk mendukung hasil penelitian ini. Diperlukan sampel minimal sebesar
50 responden untuk mendapatkan hasil yang bermakna. Bias pengukuran
(interviewer) masih mungkin ditemukan pada penelitian ini mengingat penelitian
berlangsung di berbagai provinsi oleh interviewer yang berbeda dan adanya kesulitan
pada bahasa daerah setempat.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


55

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Tidak ditemukan perbedaan kualitas hidup pada responden dengan glaukoma


dibandingkan dengan katarak.
2. Penderita glaukoma memiliki skor total kualitas hidup paling rendah
dibanding katarak, kelainan refraksi dan penyakit mata lainnya.
3. Proporsi gangguan penglihatan berat dan kebutaan di masyarakat didominasi
oleh kelompok perempuan, golongan usia lanjut, tingkat pendidikan rendah,
dan tingkat pendapatan rendah, dengan jenis penyebab kebutaan utama adalah
katarak.
4. Belum dilakukan uji validitas, reliabilitas, dan item analysis pada alat ukur.

7.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan besar sampel yang berimbang antara


berbagai kelompok penyakit.
2. Diperlukan penelitian lanjutan berupa uji validitas, reliabilitas, dan item
analysis kuesioner NEI-VFQ 25, termasuk kesesuaian dengan situasi dan
kondisi setempat pada saat penelitian berlangsung.
3. Pada penderita gangguan penglihatan berat diperlukan tindakan yang bersifat
preventif, kuratif dan rehabilitatif untuk mencegah kebutaan karena penurunan
kualitas hidup berbanding lurus dengan buruknya tajam penglihatan.

55 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


56

DAFTAR PUSTAKA

1. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Clinical Optics. Basic and Clinical Science Course
Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2009-2010. p. 283-30.
2. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010. WHO Fact Sheet
No. 282. h�p://www.who.int/about/regions/en/index.htmlMay 2009, 2012.
3. Scheiman M, Scheiman M, Whittaker S. Low vision Rehabilitation: A Practical Guide
for Occupational Therapist. New Jersey: SLACK Incorporated; 2007. p. 4-22.
4. Khan SA. A retrospective study of low-vision cases in an Indian tertiary eye-care
hospital. Indian Journal of Ophthalmology 2000; 48(3): 201-7.
5. Survei Kesehatan Indera Penglihatan Tahun 1993-1996. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta; 1997.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta; Desember 2008.
7. Saw SM, Husain R, Gazzard GM, et al. Causes of low vision and blindness in rural
Indonesia. Br J Ophthalmol 2003; 87:1075–8.
8. Ventocilla M, Wicker D. Low vision therapy. Available at: www.emedicine.com. Last
updated: May 18, 2010.
9. Dargent-Molina P, Favier F, Grandjean H, Baudoin C, Schott AM, Hausherr E, et al.
Fall-related factors and risk of hip fracture: the EPIDOS prospective study. Lancet
1996;348:145-9.
10. Lamoureux E, Gadgil S, Pesudovs K, Keeffe J, Fenwick E, Dirani M, et al. The
relationship between visual function, duration and main causes of vision loss and falls in
older people with low vision. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2010; 248:527–33.
11. Coleman AL, Stone K, Ewing SK, Nevitt M, Cummings S, Cauley JA, Ensrud KE,
Harris EL, Hochberg MC, Mangione CM. Higher risk of multiple falls among elderly
women who lose visual acuity. Ophthalmology 2004;111:857–62.
12. Ivers RQ, Cumming RG, Mitchell P, Attebo K. Visual impairment and falls in older
adults: the Blue Mountains Eye Study. J Am Geriatr Soc 1998; 46:58–64.
13. Laitinen A. Reduced visual acuity and impact on quality of life. Helsinki : National
Institute for Health and Welfare, 2009.
14. Nirmalan PK, Tielsch JM, Katz J, Thulasiraj RD, Krishnadas R, Ramakrishnan R, et al.
Relationship between Vision Impairment and Eye Disease to Vision-Specific Quality of
Life and Function in Rural India: The Aravind Comprehensive Eye Survey. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2005;46:2308-12.
15. Lamoureux EL, Chong EW, Thumboo J, Wee HL, Wang JJ, Saw SM, et al. Vision
impairment, ocular conditions, and vision-specific function: The Singapore Malay Eye
Study. Ophthalmology 2008;115:1973–81.
16. Mangione CM, Lee PP, Gutierrez PR, Spritzer K, Berry S, Hays RD. Development of
the 25-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire. Arch Ophthalmol.
2001;119:1050–8.
17. Patrick DL, Chiang Y. Measurement of health outcomes in treatment effectiveness
evaluations: conceptual and methodological challenges. Med Care 2000;38(Suppl.
II):14e25.
18. Mangione CM, Berry S, Spritzer K, et al. Identifying the content area for the 51-item
National Eye Institute Visual Function Questionnaire: results from focus groups with
visually impaired persons. Arch Ophthalmol. 1998;116:227–33.

56 Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


57

19. Mangione CM, Lee PP, Pitts J, Gutierrez P, Berry S, Hays RD. Psychometric properties
of the National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ). NEI-VFQ Field
Test Investigators. Arch Ophthalmol. 1998;116:1496–1504.
20. Suner IJ, Kokame GT, Yu E, Ward J, Dolan C, Bressler NM. Responsiveness of NEI
VFQ-25 to changes in visual acuity in neovascular AMD: validation studies from two
phase 3 clinical trials. Invest Ophthalmol Vis Sci 2009;50:3629–35.
21. Massof RW, Fletcher DC. Evaluation of the NEI visual functioning questionnaire as an
interval measure of visual ability in low vision. Vision Res. 2001;41:397–413.
22. Lamoureux EL, Pesudovs K, Thumboo J, Saw SM, Wong TY. An evaluation of the
reliability and validity of the visual functioning questionnaire (VF-11) using Rasch
analysis in an Asian population. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50:2607–13.
23. Stelmack JA, Stelmack TR, Massof RW. Measuring low-vision rehabilitation outcomes
with the NEI VFQ-25. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2002;43:2859–68.
24. Broman AT, Munoz B, Rodriguez J, Sanchez R, Quigley HA, Klein R, et al. The
impact of visual impairment and eye disease on vision-related quality of life in a
Mexican-American population: Proyecto VER. Invest Ophthalmol Vis Sci.2002;
43:3393–8.
25. Lin J, Yu J. Assessment of quality of life among Taiwanese patients with visual
impairment. Journal of the Formosan Medical Association 2012: 111, 572-9.
26. World HealthOrganization. WHO terminology for impairment and disability. In: WHO.
International classification of impairments, diabilities, and handicaps: A manual of
classification relating to the consequences of disease. Geneva: WHO; 1980
27. Center For Disease Control and Prevention. The International Classification of Disease,
10th Revision. Available at: www.cdc.gov.
28. Low vision Services Consensus Group. Recommendations for Future Low vision
Service Delivery in the UK. London: Royal National Institute for the Blind; 1999.
29. American Optometric Association. Optometric clinical practice guidelines care of the
patien with low vision . AOA Board of Trustees, 1997. p 1-52
30. Faye, EE. Low vision. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asbury’s
General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Companies, 2007. p.401-408.
31. World HealthOrganization. WHOQOL: Measuring quality of life. WHO; 1997.
32. Stelmack JA, Rosenbloom AA, Brenneman CS, Stelmack TR. Patients’ perceptions of
the need for low vision devices. J Vis Impair Blind 2003, 97(9):521-35.
33. Langelaan M. Quality of Life of Visually Impaired Working Age Adults. Tesis. Vrije
Universiteit. Vrije: PrintPartners Ipskamp, 2007.
34. World Health Organization (2001) International Classification of Functioning,
Disability and Health.
http://www3.who.int/icf/icftemplate.cfm?myurl=introduction.html%20&mytitle=Introdu
ction. Akses terakhir: 5 Juni 2013.
35. Cahill MT, Banks AD, Stinnett SS, Toth CA. Vision-related quality of life in patients
with bilateral severe age-related macular degeneration. Ophthalmology 2005;112:152–8.
36. Nutheti R, Shamanna BR, Nirmalan PK, Keeffe JE, Krishnaiah S, Rao GN, et al. Impact
of impaired vision and eye disease on quality of life in Andhra Pradesh. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2006;47:4742–8
37. Simangunsong CO, Artini W, Mustafa S. Perbandingan kualitas hidup penderita
glaucoma tahap moderate dan tahap lanjut. Tesis. Departemen Ilmu Kesehatan Mata,
Jakarta: 2009.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


58

38. Saw SM, Foster PJ, Gazzard G, Seah S. Causes of blindness, low vision, and
questionnaire-assessed poor visual function in Singaporean Chinese adults, The Tanjong
Pagar Survey. Ophthalmology 2004;111:1161–8.
39. Fitriani DG, Gondhowiardjo TD. Tingkat kepuasan pasien setelah operasi katarak
dengan metode SICS di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta,
2009.
40. Hapsari RU, Gondhowiardjo TD. Perubahan kualitas hidup dan pencapaian harapan
pasien pasca operasi katarak di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata.
Jakarta, 2009.
41. Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA, Johnson GJ. The definition and classification of
glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophthalmol 2002;86:238–42.
42. Abou-Gareeb I, Lewallen S, Bassett K, Courtright P. Gender and blindness: a meta-
analysis of population-based prevalence surveys. Ophthalmic Epidemiology 2001;8:39-
56.
43. Frick K, Foster A. The magnitude and cost of global blindness: an increasing problem
that can be alleviated. American J Ophthalmology 2003; 135: 471-6.
44. Nispen RMA, Boer MJ, Hoeijmakers J, Ringens PJ, van Rens. Co-morbidity and visual
acuity are risk factors for health-related quality of life decline: five-month follow-up
EQ-5D data of visually impaired older patients. Health and Quality of Life Outcomes
2009, 7:7-18.
45. Boerner K, Meehan C. Vision loss, coping tendencies, and mental health. Final Report
to the National Institute of Mental Health. New York: Arlene R. Gordon Research
Institute of Lighthouse International, 2002.
http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/coping/ Akses terakhir: 28
Desember 2013.
46. Brennan, M. (2004). Spirituality and religiousness predict adaptation to vision loss
among middle-age and older adults. International Journal for the Psychology of Religion
2004; 14 (3), 193-214.
47. Trillo AH, Dickinson CM. The impact of visual and nonvisual factors on quality of life
and adaptation in adults with visual impairment. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2012;53:4234–41.
48. Brennan M. Religiousness and spirituality in vision impaired elders. Final progress
report submitted to the National Institute on Aging, National Institutes of Health,
Bethesda, MD. New York: Arlene R. Gordon Research Institute of Lighthouse
International, 2000. http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/religiousness/
Akses terakhir: 28 Desember 2013.
49. Wu SY, Hennis A, Nemesure B, Leske MC. Impact of glaucoma, lens opacities, and
cataract surgery on visual functioning and related quality of life: The Barbados Eye
Studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2008;49:1333–8.
50. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Glaucoma. Basic and Clinical Science Course
Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2011-2012. p. 7-12.

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


59

LAMPIRAN 1

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


60

LAMPIRAN 2

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


61

LAMPIRAN 3

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


62

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


63

LAMPIRAN 4

Informed consent
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Judul Penelitian:
STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN
IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA

Penjelasan Singkat Penelitian:


Penelitian ini melibatkan sejumlah responden yang mengalami gangguan penglihatan
berat dan atau kebutaan. Pada penelitan ini akan dilakukan beberapa pemeriksaan
spesialistik pada kedua mata responden yang meliputi pemeriksaan: tajam
penglihatan, tekanan bola mata, struktur anatomi mata dengan menggunakan alat
yang sesuai. Responden juga akan diminta menjawab pertanyaan yang berhubungan
dengan riwayat gangguan penglihatan yang dialaminya. Pada akhir penelitian, akan
diketahui penyebab gangguan penglihatan berat atau kebutaan pada responden dan
bila diperlukan kepada responden akan diberikan surat rujukan untuk penatalaksanaan
lebih lanjut di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang ditunjuk.

Peneliti:
Prof. Dr. dr. Farida Sirlan, SpM(K)
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia
Tel : 081295916511
Fax : 021-3927516
Email : perdamiriskesdas@gmail.com

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


64

Saya, …………………………………………………………………….
Memberikan persetujuan atas nama saya sendiri/anak dalam perwalian saya untuk
terlibat dalam penelitian ini dan bersedia menjalani pemeriksaan mata, yang terdiri
dari pemeriksaan tajam penglihatan, tekanan bola mata, keadaan mata dan wawancara
kuesioner sesuai dengan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Setelah mendapat
penjelasan yang rinci, saya mengerti akan tujuan penelitian ini. Saya juga mengerti
bahwa saya dapat menolak setiap saat tanpa mendapat sanksi apapun dan saat hasil
penelitian ini dipublikasikan atau dipresentasikan dalam seminar, maka identitas saya
akan dirahasiakan.

Tanda tangan responden/orang tua/wali*): Saksi


………………………………………… …………………………………….
Nama jelas………………………….… Nama jelas……………………….

Tanggal ……………………………

Universitas Indonesia

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


TABEL INDUK PENELITIAN QOL
Subj JK Usia Lama Pend Inc Buta Sebab Gen Vis Pain Near Dist Soc Ment Role Depend Drive Color Periph Total
1P 82 1 thn 1 4 1 kat 25 20 75 12.5 16.6 12.5 18.75 12.5 16.6 50 25 25.86
2L 61 1 bln 3 3 1 korn 0 40 100 41.6 33.3 75 56.25 25 33.3 75 75 50.40
3P 80 1 thn 1 4 1 kat 50 60 100 37.5 25 50 75 62.5 25 0 75 50.91
4L 70 4 thn 3 4 1 kat 25 20 100 16.6 25 25 56.25 25 16.6 25 25 32.68
5P 63 1 thn 1 4 1 kat 50 40 100 16.6 16.6 25 43.75 25 33.3 25 25 35.03
6P 54 54 thn 1 4 1 korn 50 40 62.5 100 91.6 87.5 93.75 100 91.6 75 75 81.70
7L 65 4 thn 2 4 1 lain2 25 0 100 0 0 0 50 0 0 0 0 15.00
8P 71 3 thn 2 1 1 kat 25 40 100 16.6 25 25 50 25 41.6 50 25 39.82
9P 49 8 thn 5 3 1 papil 50 40 75 41.6 41.6 62.5 68.75 50 66.6 100 50 59.61
10 P 61 6 thn 2 4 1 kat 25 40 100 16.6 16.6 37.5 43.75 37.5 50 50 25 41.70
11 P 65 2 thn 2 4 1 kat 50 40 100 16.6 33.3 37.5 68.75 50 58.3 50 25 47.95
12 L 73 2 thn 4 3 1 kat 25 20 100 8.3 16.6 12.5 18.75 0 0 0 25 20.12
13 L 71 5 thn 4 3 1 kat 75 40 100 8.3 41.6 37.5 68.75 50 41.6 25 25 43.78
14 P 76 10 thn 2 3 1 glau 50 40 100 50 8.3 37.5 31.25 12.5 50 25 0 35.46
15 P 60 30 thn 2 4 2 ref 50 60 25 33.3 33.3 62.5 12.5 0 41.6 100 25 39.32
16 L 48 15 thn 3 3 2 ref 100 20 62.5 83.3 75 87.5 68.75 50 100 100 100 74.71
17 P 70 5 thn 1 2 1 kat 50 20 87.5 12.5 0 0 81.25 25 50 25 0 30.13
18 L 77 3 thn 2 2 1 kat 25 20 100 8.3 8.3 25 56.25 50 33.3 0 25 32.62
19 L 72 7 thn 2 3 1 kat 75 60 100 8.3 25 25 68.75 37.5 41.6 50 25 44.12
20 P 67 8 thn 3 3 1 glau 100 0 75 0 8.3 12.5 50 50 33.3 0 0 22.91
21 L 64 3 bln 5 4 2 DR 50 60 62.5 41.6 75 87.5 31.25 25 8.3 100 100 59.12
22 P 79 6 bln 1 4 1 kat 25 40 87.5 41.6 25 50 62.5 50 41.6 50 25 47.32
23 L 81 3 thn 2 4 1 kat 0 40 75 25 16.6 25 25 12.5 50 0 25 29.41
24 P 80 3 thn 1 4 2 kat 75 60 100 100 91.6 100 87.5 37.5 91.6 100 100 86.82
25 L 41 10 thn 2 4 1 kat 50 0 100 8.3 50 62.5 56.25 37.5 91.6 * 50 0 45.62
26 P 49 46 thn 1 4 1 korn 50 0 100 50 16.6 25 37.5 0 41.6 * 25 25 32.07
27 L 59 * 3 4 2 ref 25 40 100 91.6 100 100 81.25 75 83.3 * 100 75 84.62
28 P 54 2 thn 1 4 1 kat 25 40 87.5 37.5 33.3 87.5 93.75 75 83.3 * 100 25 66.29
29 P 51 1,5 thn 4 3 1 kat 0 0 87.5 58.3 12.5 62.5 6.25 25 50 * 100 75 47.71
30 P 63 1 thn 1 4 2 papil 0 20 50 25 8.3 12.5 43.75 37.5 0* 50 0 24.71
31 L 65 3 thn 2 4 2 kat 25 40 100 66.6 66.6 62.5 56.25 62.5 41.6 * 100 50 64.61
32 P 28 28 thn 2 4 1 ref 50 40 75 12.5 8.3 50 56.25 37.5 50 100 50 47.96

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


33 L 32 10 thn 5 4 1 ret 100 0 100 33.3 25 12.5 68.75 50 50 * 25 0 36.46
34 P 70 6 bln 1 4 1 ref 50 40 100 66.6 87.5 62.5 56.25 37.5 0* * 75 58.37
35 P 78 5 thn 4 4 1 kat 50 40 100 0 25 37.5 37.5 12.5 0 0 0 25.25
36 L 67 15 thn 5 4 2 papil 50 20 100 8.3 41.6 37.5 50 25 25 * 75 25 40.74
37 P 38 30 thn 3 4 2 ref 100 40 100 83.3 91.6 100 100 87.5 91.6 * 100 100 89.40
38 P 68 3 thn 1 4 1 kat 50 20 87.5 58.3 100 100 56.25 50 91.6 * 100 100 76.37
39 P 56 1 thn 1 4 2 kat 25 20 75 58.3 41.6 100 56.25 75 66.6 * 100 100 69.28
40 P 80 2 thn 5 1 1 glau 50 20 87.5 25 8.3 25 50 50 33.3 * 25 0 32.41
41 P 58 48 thn 2 4 1 ret 25 0 87.5 66.6 50 75 87.5 62.5 75 * 100 25 62.91
42 L 57 49 thn 3 4 1 ref 25 20 87.5 33.3 25 37.5 43.75 0 8.3 * 100 50 40.54
43 P 72 5 thn 1 3 1 kat 25 20 87.5 50 37.5 50 56.25 50 50 * 75 50 52.63
44 L 67 4 thn 5 2 1 papil 50 20 87.5 50 41.6 75 62.5 62.5 66.6 * 100 50 61.57
45 P 64 3 thn 1 4 2 glau 50 40 87.5 25 58.3 75 31.25 87.5 8.3 * 100 0 51.29
46 P 70 2 bln 1 3 2 ref 50 40 58.3 75 58.3 75 87.5 50 83.3 * 75 100 70.24
47 P 77 2 thn 3 4 2 kat 25 40 50 25 50 50 37.5 25 25 * 50 50 40.25
48 P 71 2 thn 3 4 2 kat 50 40 62.5 25 33.3 25 25 12.5 25 * 25 50 32.33
49 L 72 1 bln 4 4 2 kat 25 20 50 66.6 25 25 31.25 25 25 8.3 25 25 31.79
50 L 81 5 thn 3 3 2 papil 25 40 87.5 50 41.6 62.5 75 62.5 50 * 75 25 56.91
51 P 78 1 bln 1 4 2 kat 0 20 87.5 62.5 58.3 75 43.75 25 50 * 25 50 49.71
52 L 77 2 thn 2 4 2 kat 0 20 62.5 58.3 33.3 50 50 12.5 75 * 100 50 51.16
53 P 56 3 thn 3 4 1 kat 25 40 100 75 66.6 75 100 100 100 * 100 100 85.66
54 L 65 3,5 thn 3 4 1 kat 50 20 100 8.3 8.3 12.5 43.75 25 0 0 100 0 28.90
55 P 67 1 thn 2 2 2 kat 50 20 62.5 8.3 25 0 37.5 25 25 * 25 25 25.33
56 P 77 1 thn 4 2 1 kat 0 0 100 0 0 0 25 25 25 * 0 0 17.50
57 P 69 4 bln 1 3 1 lain2 0 20 0 16.6 25 25 18.75 0 25 * 25 25 18.04
58 P 75 2 thn 1 3 1 AMD 75 40 50 0 0 0 31.25 25 50 * 0 0 19.63
59 L 82 1 thn 6 1 2 kat 50 20 75 50 75 75 56.25 50 50 * 75 75 60.13
60 P 77 2 bln 4 1 2 kat 50 40 62.5 75 25 25 37.5 50 25 * 25 25 39.00
61 P 79 5 thn 1 4 2 kat 25 40 37.5 0 0 0 25 37.5 25 * 0 0 16.50
62 P 84 3 thn 2 4 1 kat 0 0 25 0 0 0 0 0 0* 0 0 2.50
63 L 61 8 thn 3 4 1 kat 50 20 25 41.6 25 50 37.5 25 33.3 * 75 50 38.24
64 P 32 10 thn 4 4 1 kat 0 0 62.5 8.3 8.3 12.5 0 12.5 0* 0 0 10.41
65 P 77 1 thn 2 4 2 kat 0 40 25 25 12.5 62.5 37.5 50 8.3 * 50 75 38.58
66 P 60 50 thn 3 4 1 korn 0 20 50 58.3 58.3 0 43.75 37.5 25 * 100 50 44.29

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


67 L 70 1 thn 2 4 1 kat 25 20 100 0 33.3 50 50 25 41.6 * 50 25 39.49
68 P 90 20 thn 2 2 2 kat 25 40 25 16.6 50 25 87.5 62.5 50 * 0 100 45.66
69 P 59 3 thn 3 1 1 kat 25 20 100 91.6 87.5 100 100 25 66.6 * 100 100 79.07
70 P 71 * 2 4 1 kat 25 20 50 0 0 0 37.5 12.5 33.3 * 0 0 15.33
71 P 67 1 bln 2 4 1 AMD 50 60 62.5 66.6 91.6 100 81.25 75 100 * 100 100 83.70
72 L 75 3 thn 3 4 2 kat 25 40 100 100 87.5 75 87.5 75 83.3 * 100 50 79.83
73 L 74 13 thn 2 4 2 kat 25 40 100 25 25 37.5 37.5 25 50 * 75 25 44.00
74 P 74 2 thn 1 4 1 glau 50 0 62.5 12.5 37.5 25 37.5 0 41.6 * 25 25 26.66
75 P 65 8 bln 3 4 2 kat 25 20 100 16.6 33.3 50 31.25 25 50 * 50 25 40.12
76 L 67 1 thn 2 4 2 kat 25 40 62.5 8.3 25 37.5 31.25 25 33.3 * 25 25 31.29
77 P 58 1 thn 2 4 1 kat 25 40 50 41.6 50 37.5 31.25 62.5 25 * 75 50 46.29
78 L 83 1 thn 2 1 1 kat 25 0 100 16.6 12.5 12.5 25 25 33.3 * 25 25 27.49
79 P 73 1 thn 2 4 1 kat 25 20 75 0 8.3 12.5 31.25 0 58.3 * 0 0 20.54
80 L 87 2 thn 3 3 2 kat 25 20 62.5 33.3 50 37.5 62.5 50 66.6 * 50 50 48.24
81 P 77 2 thn 1 3 1 kat 25 0 65.5 0 0 0 43.75 25 8.3 * 25 0 16.76
82 P 70 1 thn 1 4 1 kat 25 40 50 16.6 16.6 25 25 25 8.3 * 25 25 25.65
83 P 72 2 thn 1 4 1 kat 25 20 62.5 0 0 12.5 31.25 50 16.6 * 25 0 21.79
84 P 73 2 thn 2 4 1 kat 25 20 75 25 37.5 62.5 50 75 25 * 75 50 49.50
85 L 72 3 thn 3 4 1 kat 25 40 62.5 0 8.3 25 50 25 25 * 25 25 28.58
86 L 60 3 bln 3 4 2 kat 50 20 62.5 8.3 25 25 43.75 25 25 * 50 25 30.96
87 P 90 * 2 4 2 kat 25 20 62.5 0 8.3 25 50 25 25 * 25 25 26.58
88 P 64 1 thn 6 4 1 kat 0 20 75 16.6 0 12.5 50 50 0 25 0 0 22.65
89 P 82 1 thn 1 4 1 kat 25 20 50 33.3 25 37.5 31.25 37.5 33.3 * 50 25 34.29
90 L 70 30 thn 4 4 1 glau 25 20 62.5 0 8.3 12.5 50 100 0* 25 25 30.33
91 P 86 10 thn 1 4 1 kat 25 40 62.5 33.3 25 25 62.5 50 25 * 50 25 39.83
92 L 52 10 thn 4 4 1 korn 25 40 62.5 25 25 37.5 50 25 0* 75 25 36.50
93 P 79 4 thn 2 4 1 kat 25 20 25 25 16.6 0 62.5 0 0* 25 25 20.37
94 P 49 1 thn 2 4 1 kat 25 40 75 25 16.6 25 68.75 25 0* 25 25 31.85
95 L 42 10 thn 1 4 1 glau 50 20 50 33.3 16.6 37.5 31.25 37.5 0 16.6 75 25 32.73
96 P 95 8 bln 1 4 2 kat 25 20 62.5 25 16.6 25 25 25 16.6 * 50 75 33.25
97 P 70 2 thn 2 4 2 kat 0 60 37.5 0 0 0 50 25 33.3 * 25 0 20.98
98 L 53 3 thn 3 4 1 papil 0 20 62.5 0 0 0 62.5 12.5 41.6 * 50 0 22.65
99 P 71 2.5 thn 3 3 1 kat 50 20 37.5 25 0 12.5 37.5 25 25 * 50 0 25.68
100 P 66 4 thn 1 4 1 kat 0 0 25 33.3 0 12.5 37.5 12.5 25 * 25 0 15.53

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013


101 P 82 5 thn 1 4 1 kat 50 40 62.5 8.3 0 12.5 62.5 25 16.6 * 25 0 27.49
102 P 73 1 thn 2 4 2 kat 25 40 75 91.6 75 87.5 81.25 75 83.3 * 100 75 73.51
103 P 80 3 thn 2 4 1 kat 25 20 62.5 0 0 0 50 50 25 * 25 0 23.41
104 P 63 1 thn 1 4 2 kat 50 60 75 75 75 75 81.25 75 75 * 50 75 69.66
105 P 62 3 thn 1 4 1 kat 50 40 75 41.6 75 75 62.5 75 75 * 75 75 65.37
106 P 68 3 thn 1 4 2 kat 50 20 62.5 58.3 50 50 43.75 50 75 * 75 75 55.41
107 P 67 7 thn 1 4 2 kat 0 20 50 25 * 25 50 0 33.3 * * * 25.41
108 P 67 1 thn 1 3 2 kat 50 40 50 66.6 66.6 75 75 25 75 * 75 75 61.20
109 L 84 4 thn 6 1 1 kat 75 20 50 0 0 0 37.5 12.5 25 * 0 0 20.00
110 P 82 5 thn 1 2 1 kat 50 20 50 0 0 0 37.5 25 16.6 * 0 0 18.10
111 L 69 2 thn 1 4 2 kat 50 40 75 58.3 50 50 62.5 75 66.6 * 50 50 57.04
112 L 72 3 thn 1 4 2 kat 50 20 62.5 0 0 0 37.5 25 25 * 0 0 20.00
113 L 66 2 thn 2 3 1 kat 25 40 100 41.6 58.3 75 81.25 75 75 * 75 50 63.29
114 P 76 10 thn 3 4 2 kat 25 40 75 75 75 75 75 75 75 * 75 75 67.27
115 L 75 10 thn 3 1 2 kat 25 20 87.5 91.6 83.3 75 81.25 100 75 * 100 75 73.97
116 P 92 5 thn 2 4 1 kat 50 20 50 0 0 0 31.25 12.5 25 * 0 0 17.16
117 P 59 4 thn 2 4 1 kat 50 40 87.5 75 83.3 62.5 75 100 66.6 * 50 75 69.54
118 P 67 5 thn 1 4 1 papil 50 20 75 25 50 50 50 50 66.6 * 50 50 48.78
119 P 42 8 thn 1 4 1 kat 50 0 67.5 0 0 0 31.25 0 0* 0 0 13.52
120 L 58 10 thn 1 4 1 kat 25 40 100 75 50 50 75 75 75 * 50 50 60.45
121 L 55 10 thn 1 4 1 kat 75 20 87.5 25 33.3 50 37.5 25 25 * 75 25 43.48
122 P 72 3 thn 3 2 1 kat 25 20 50 0* * 31.25 37.5 25 * * * 26.96
123 P 77 6 thn 1 2 1 kat 50 20 37.5 0 0 0 25 12.5 0* 0 0 13.18
124 L 50 10 thn 2 4 1 kat 25 20 50 25 25 25 43.75 25 25 * 25 25 28.52
125 L 62 1 thn 2 4 1 kat 50 20 100 0 0 0 31.25 25 25 * 0 0 22.84
126 P 79 3 thn 2 3 1 kat 50 20 50 41.6 50 50 43.75 37.5 50 * 50 50 44.80
127 L 49 2 bln 1 4 1 ref 50 40 62.5 50 50 50 62.5 50 66.6 33.3 50 50 52.87
128 P 67 3 bln 1 4 1 kat 25 20 50 50 50 50 50 50 50 * 50 50 45.00
129 L 62 3 thn 1 4 2 kat 25 20 62.5 50 50 50 50 37.5 58.3 * 50 50 45.75
130 P 57 2 thn 2 4 2 kat 50 20 37.5 41.6 41.6 50 43.75 25 66.6 * 50 50 43.28
131 L 60 3 thn 1 4 2 kat 50 40 87.5 75 50 50 62.5 25 50 * 50 25 51.36
132 L 67 4 thn 3 4 2 kat 25 40 75 50 41.6 50 50 62.5 33.3 * 100 25 50.22
133 P 57 9 thn 2 4 1 kat 50 0 87.5 25 8.3 12.5 6.25 37.5 8.3 * 0 0 18.54
134 P 40 1 thn 3 2 1 kat 87.5 62.5 50 66.6 * 100 100 51.26 66.6 * 100 100 77.44

Dampak gangguan…, Muhammad Asroruddin, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai