TESIS
MUHAMMAD ASRORUDDIN
0906647305
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata
MUHAMMAD ASRORUDDIN
0906647305
telah sayanyatakandenganbenar.
Nama : dr.Muhammad
Asroruddin
NPM :0906647305
TandaTangan :
l(
\ \\$Qt"
{V
Tanggal : Januari20l4
Tesisini diaiukanoleh:
Nama dr.MuhammadAsroruddin
NPM 0906647305
ProgramStudi ProgramDokterSpesialisIlmu Kesehatan Mata
JudulTesis DampakGangguanPenglihatan danPenyakitMata
terhadapKualitasHidup(Vision-related
Qualityof Life)
padaPopulasiGangguan Penglihatan BeratdanButadi
Indonesia;Subpenelitian
StudiValidasiDataKebutaan
HasilRISKESDAS2013danldentifikasiEtiologinya
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
Tesis:
3. dr.YeniDwiLestari,SpM,MSc
4. dr.lwanAriawan,MSPH
Ditetapkan
di : JakOr{o
Tanggal : 16Jonuo.ilortl
KetuaProgramStudi Kepala Departemen
Ilmu Kesehatan
MataFKUI Ilmu KesehatanMata FKUI
J,
dr.YudisianilE. Kamal,SpM (K) Artini, SpM (K)
Dr.dr.Widya
ill
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia
yang telah dilimpahkan oleh-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak
dalam bentuk pemikiran, tenaga, kerjasama, dana, dan segala bentuk dukungan
lainnya. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih saya yang sebesar-
besarnya kepada:
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam
penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga penelitian ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
Nama dr.MuhammadAsroruddin
NPM 0906647305
ProgramStudi SpesialisMata
Fakultas Kedokleran
Jeniskarya : Tesis
Demi pengembanganilmu pengetahuan,menyetujui dan memberikan kepada
UniversitasIndonesiaHak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-*cclusive royalty-
Free Right) ataskaryailmiah sayayangberjudul:
Dibuat di : Jakarta
Padatanggal : Januari2014
Yang menyatakan
vi
( dr.MuhammadAsroruddin)
1
Muhammad Asroruddin, 1Tjahjono D Gondhowiarjo, 1Tri Rahayu, 1Yeni D Lestari,
2
Iwan Ariawan
1
Department of Ophthalmology Faculty of Medicine University of Indonesia/
Cipto Mangunkusumo Hospital, 2Faculty of Public Health University of Indonesia
Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind
population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by
ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25
questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey
2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of
composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe
low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages,
and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite
score of blind was statistically significant lower than severe low vision group
(p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all
subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than
cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score
and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not
significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in
blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No
significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and
onset of visual impairment.
Keyword: vision-related quality of life, NEI-VFQ25, severe vision loss and
blindness, ocular morbidity.
ix Universitas Indonesia
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
Provinsi DKI Jakarta adalah 0,5% dan 3,5% dengan penyebab utama adalah katarak
dan kelainan refraksi.6 Saw dkk7 pada tahun 2003 menyatakan bahwa angka
prevalensi low vision bilateral di Indonesia adalah 5,8% dan angka kebutaan bilateral
sebesar 2,2%, dengan penyebab utama adalah katarak, gangguan refraksi, dan
ambliopia.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan penglihatan dan kebutaan
dapat mengakibatkan menurunnya kualitas hidup (quality of life), yang terlihat dari
berkurangnya kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan, mengisi waktu
luang, atau melakukan aktivitas harian (activities of daily living).1,8 Dampak lain yang
timbul adalah pasien akan terisolasi secara sosial, shock dan denial, depresi, dan
ketergantungan, serta tingginya risiko terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan,
dan penurunan status gizi pada orang tua.1,3,9-12
Beberapa faktor diduga berperanan dalam penurunan kualitas hidup pada
penyandang gangguan penglihatan. Faktor tingkat penurunan visus dan lapang
pandangan berkaitan dengan penurunan kualitas hidup. Penyebab kebutaan seperti
katarak, glaukoma dan gangguan refraktif, serta komorbiditas juga dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas hidup. Beberapa penelitian berbasis
populasi menemukan bahwa faktor demografi dan sosioekonomi juga berperanan
penting dalam berkembangnya gangguan penglihatan yang menyebabkan penurunan
kualitas hidup. Tingkat sosioekonomi masyarakat penting untuk menghitung angka
kebutuhan untuk pelayanan dan penatalaksanaan rehabilitatif, untuk mendesain
edukasi kesehatan dan program skrining yang lebih inovatif dengan sasaran
kelompok subpopulasi tertentu, dan untuk mengidentifikasi ranah penelitian yang
diprioritaskan.13-15
Dampak gangguan penglihatan dan kebutaan umumnya dilakukan secara objektif
dengan pemeriksaan tajam penglihatan dan lapang pandangan. Namun, hal tersebut
belum dapat secara akurat atau menyeluruh menggambarkan dampak menyeluruh
akibat gangguan terkait penglihatan yang dialami oleh pasien. Penilaian yang bersifat
subjektif dari sudut pandang pasien seperti kualitas hidup juga diperlukan. Oleh
karena itu, kedua aspek penilaian tersebut sangat penting dan bermanfaat untuk
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
utama (master plan) penanggulangan kebutaan dan low vision yang melibatkan
berbagai pemangku kebijakan (stakeholder) di suatu wilayah termasuk negara sesuai
amanat WHO dan Millenium Development Goals (MDGs) yang tercantum dalam
Vision 2020: The Right to Sight.
Universitas Indonesia
1.3. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian ini adalah kualitas hidup pada penyandang gangguan penglihatan
berat dan buta karena glaukoma lebih rendah dibanding karena katarak, kelainan
refraktif, dan penyakit mata lainnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
7 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.2. Patofisiologi
Patofisiologi penurunan fungsi visual pada gangguan penglihatan dan buta mencakup
tiga hal yang berhubungan dengan proses patologis dari status fungsional pasien,
yaitu kekekeruhan media refraksi (cloudy media), defisit lapang pandangan sentral,
dan defisit lapang pandangan perifer. Hal ini membantu memperkirakan keluhan dan
kesulitan pasien, dan membantu dokter memilih dan menerapkan strategi
rehabilitasi.1,30
Universitas Indonesia
degeneration (AMD). Penyebab lain adalah macular hole, diabetic macular edema,
myopic degeneration, toksoplasmosis dan histoplasmosis, fototoksisitas, reaksi toksik
obat, cecocentral scotoma, dan gangguan makula kongenital.1,30
Gejala yang biasa timbul adalah kesulitan dalam membaca, mengenali wajah
orang, dan melakukan setiap pekerjaan yang memerlukan penglihatan secara detil.
Kesulitan membaca berarti pandangan yang kabur atau distorted, huruf yang hilang,
atau perlunya cahaya lebih terang. Karena konsentrasi sel kerucut paling padat
ditemukan di makula, dapat pula terjadi penurunan ketajaman warna. 1,30
Universitas Indonesia
yang terpengaruh secara kompleks oleh status kesehatan fisik seseorang, status
psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, dan hubungan mereka terhadap
lingkungan mereka yang penting.31
Quality of life memiliki 5 dimensi yang meliputi aspek vision (penglihatan), yang
meliputi gejala dan kondisi tertentu, aspek ekonomi yang meliputi biaya finansial dan
nonfinansial, aspek sosial (kontak sosial dan hubungan interpersonal), aspek
fungsional (self-care, mobilitas, tingkat aktivitas, activity of daily living), serta aspek
psikologis dan emosional (fungsi kognitif, kesejahteraan emosi). Meskipun masih ada
perbedaan pendapat para ahli mengenai definisi kualitas hidup, namun terdapat
konsensus bahwa kualitas hidup yang terkait kesehatan , atau health-related quality of
life (HRQOL) berkaitan dengan tingkat fungsi fisik, psikologis dan sosial, dan
termasuk kecakapan (ability), hubungan (relationship), perpepsi, kepuasan hidup, dan
kesejahteraan.32
Seiring berjalannya waktu, HRQOL secara subjektif telah diukur dengan
bermacam-macam cara. Istilah HRQOL menggambarkan perubahan atau pergeseran
yang telah terjadi pada 30 tahun terakhir dimana HRQOL sebelumnya hanya diukur
berdasarkan indikator klinis dari hasil (outcome) dari program rehabilitasi. Banyak
alat yang telah dikembangkan untuk membuka pandangan pasien sendiri tentang
HRQOL. HRQOL mengukur fungsi dan kesejahteraan aspek kesehatan fisik, mental,
dan sosial dari kehidupan seseorang, dan menggambarkan pengaruh kondisi
kesehatan yang sangat luas secara simultan. Penilaian HRQOL sangat penting untuk
dapat menilai kualitas hidup seseorang secara holistik, termasuk pasca program
rehabilitasi seperti pada pasca operasi katarak atau pasca pemberian low vision aids.
Selain itu, HRQOL juga diperlukan karena tumbuhnya minat dari pemerintah dan
perusahaan asuransi kesehatan melihat parameter kualitas pelayanan yang telah
dilakukan.31-33
Universitas Indonesia
penglihatan memiliki dampak negatif pada aktivitas harian yang memerlukan fungsi
penglihatan seperti mobilitas, keikutsertaan dalam kegiatan sosial, dan ranah kualitas
hidup lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan, mengisi waktu luang, atau melakukan aktivitas harian
(activities of daily living). Dampak lain yang timbul adalah pasien akan terisolasi
secara sosial, shock dan denial, depresi, dan ketergantungan, serta tingginya risiko
terjatuh, fraktur femur, kesalahan pengobatan, dan penurunan status gizi pada orang
tua. 1,3,9-12
Gangguan penglihatan memiliki implikasi multidimensional seperti dampak fisik
(penurunan tajam penglihatan), fungsional (hambatan mengurus diri sendiri,
mobilitas, dan aktivitas harian), dampak sosial (kontak social dan hubungan
interpersonal), dan dampak psikologis (status emosional, kesejahteraan, kepuasan
hidup, dan kebahagiaan).32
Seberapa baik seseorang dengan low vision dapat melihat tidak sepenuhnya
ditentukan oleh tingkat kehilangan penglihatan. Beberapa faktor yang independen
terhadap fisiologi mata mempengaruhi kualitas penglihatan. Hal ini sesuai dengan
konsep WHO tentang definisi sehat yang menggunakan istilah biopsikososial untuk
menjelaskan keterkaitan faktor fisik, psikologis, dan social untuk menggambarkan
bagaimana low vision berdampak pada fungsional sehari-hari. Model yang
dikembangkan oleh International Classification of Functioning34 mencoba
menggambarkan berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas
penglihatan seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Seseorang dengan penglihatan jauh yang terbatas memiliki kesulitan dalam
pembelajaran, seperti meniru, memahami komunikasi nonverbal, mengintegrasikan
fungsi indera (visual/auditory, visual/tactual, visual/olfactory, visual/gustatory),
gangguan mobilitas yang terkait kemandirian (menghindari rintangan di jalan dan
mengenai kendaraan bermotor, sepedam atau hewan yang bergerak, mengenali orang,
objek, atau tindakan; membaca marka jalan. Seseorang dengan gangguan penglihatan
dekat memiliki kesulitan dalam hygiene dan perawatan personal, menyiapkan
makanan, mengenakan dan menjaga pakaian, menenun, menjahit, mengukir, dan
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Berbagai faktor yang saling berinteraksi terhadap kualitas penglihatan32
Universitas Indonesia
dari 6/7,5 yang ditemukan pada 48% orang. Peneliti juga menemukan bahwa visus
menjadi faktor independen yang kuat terhadap fungsi fisik pada orang yang berusia
55 tahun ke atas. Jika faktor-faktor selain penglihatan sudah dapat dikontrol
sebelumnya, orang dengan visus menurun, yaitu kurang dari 6/40 akan mengalami
peningkatan risiko terjadinya gangguan atau keterbatasan dalam melakukan aktivitas
harian sebesar 3 – 5 kali bila dibandingkan dengan orang dengan visus yang lebih
baik. Bila dibandingkan dengan orang yang memiliki visus normal, bahkan orang
dengan visus < 6/12 pun sudah memiliki keterbatasan ADL. Penelitian lain oleh
Lamoreux dkk15 juga menemukan bahwa penurunan visus berbanding lurus dengan
penurukan kualitas hidup.
Penelitian Langelaan33 di Belanda menemukan bahwa penurunan kualitas hidup
juga berkaitan dengan kelompok usia yang mengalami gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan jarang terjadi pada usia pekerja sehingga dampak secara
umum terlihat rendah, namun sebetulnya hal ini berdampak sangat besar pada
penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan, pekerjaan kehidupan social, dan
kehidupan keluarga. Kegiatan yang sebelumnya dapat dilakukan dengan baik menjadi
terhambat seperti berpakaian, makan, menulis, bepergian, dan komunikasi sederhana
atau berinteraksi dengan orang lain. Pada usia muda, gangguan penglihatan yang
dialami sangat berpengaruh dalam mengejar tujuan hidup, seperti berkeluarga dan
membangun karir jika dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang sehat.
Masalah kesehatan mental juga dapat terjadi pada kelompok ini, dengan risiko
cenderung lebih besar pada usia pekerja.33
Gangguan penglihatan juga berkaitan dengan beban ekonomi penting sepanjang
hidup. Biaya langsung yang berkaitan dengan hal tersebut adalah biaya untuk
tatalaksana penyakit mata, fasilitas khusus untuk pendidikan, dan ketidakamanan
social. Biaya tak langsung yang berkaitan adalah pengembangan diri yang terganggu,
pendapatan menurun, dan penuruan produktivitas pasien itu sendiri maupun orang
yang merawat mereka.33
Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara penurunan kualitas hidup
dengan penyakit penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan. Katarak, glaucoma,
Universitas Indonesia
AMD, kelainan refraksi, dan retinopati diabetikum telah banyak diteliti berkaitan
dengan kualitas hidup para penderitanya. Dengan menggunakan instrumen yang
sesuai misalnya, pada pasien glaukoma akan tampak gangguan kualitas hidup terkait
penglihatannya dalam hal tajam penglihatan dekat, lapang pandangan, dan sensitivitas
kontras. Aspek kualitas hidup pada pasien dengan AMD yang terganggu adalah
general vision, dan kesulitan dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan
penglihatan dekat dan jauh.24-25,35-36
Kesehatan mental pada penyandang gangguan penglihatan dan buta juga
mengalami gangguan yang secara subjektif didapatkan dari penilaian menggunakan
kuesioner. Cahill dkk35 menemukan bahwa skor kualitas hidup yang berkaitan dengan
kesehatan mental lebih rendah bila dibandingkan dengan penyebab gangguan
penglihatan lainnya. Peneliti ini juga menemukan orang yang mengalami low vision
atau buta lebih lama cenderung memiliki skor kualitas hidup lebih tinggi bila
dibandingkan dengan yang lebih singkat atau mendadak mengalami kebutaan.
Biaya untuk menyediakan program rehabilitasi low vision masih rendah. Namun
melalui program rehabilitasi, dukungan sosial, dan modifikasi lingkungan, banyak isu
mobilitas pada low vision dapat diatasi.13,33
Universitas Indonesia
dialami oleh pasien yang telah direhabilitasi. Persepsi pasien tentang kualitas
hidupnya sendiri dapat menjadi salah satu representasi kesan subjektif pasien itu
sendiri.31
Kemampuan seseorang dengan gangguan untuk berfungsi secara mandiri sering
dinilai dengan melihat kemampuan mereka untuk melakukan tugas sehari-hari.
Aktivitas kehidupan sehari-hari (Activity Daily Living/ADL) dapat didefinisikan
sebagai pekerjaan yang dilakukan pada kondisi normal sehari-hari, termasuk
perawatan diri, aktivitas sosial, mobilitas, melakukan kegitan menyenangkan, dan
bekerja. Telah dibuat batasan antara ADL dasar, termasuk pekerjaan perawatan diri
yang perlu (seperti makan dan kebersihan diri) dan ADL instrumen (IADL) yang
tidak penting secara fundamental tetapi yang memfasilitasi kemandirian dan
berfungsi terintegrasi dalam lingkungan (melakukan pekerjaan rumah ringan,
menyiapkan makan, minum obat, dan mengurus keuangan pribadi). 31
Selain gangguan fungsional berhubungan dengan kehilangan penglihatan,
semakin tampak jelas bahwa dampak psikososial dari gangguan penglihatan juga
besar. Insiden depresi pada lansia dengan gangguan penglihatan bervariasi. Cahill35
menemukan bahwa pasien dengan AMD memiliki tingkat ansietas yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan pasien dengan penyebab lain.
Pengukuran HRQOL dikelompokan menjadi pengukuran generik dan spesifik.
Pengukuran generik menunjuk populasi yang berbeda dan meliputi berbagai isu
kesehatan, sedangkan pengukuran spesifik terfokus pada aspek penting dari kualitas
hidup yang relevan terhadap subyek yang diteliti sedangkan. Terdapat beberapa alat
generik untuk menilai HRQOL seperti Sickness Impact Profile, Medical Outcomes
Shortform 36 (SF-36), dan EQ-5D yang sudah dipakai secara luas. Pengukuran QoL
spesifik penglihatan yang lain, termasuk kuesioner Low Vision Quality of Life
(LVQOL) dan National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ) telah
dikembangkan. Kuesioner ini sering mengkombinasikan jenis pengukuran QOL
generik dengan domain berhubungan dengan kemampuan fungsional yang terkait
penglihatan.31
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Penelitian Broman dkk24 dan Lin dkk25 di Taiwan menemukan bahwa pasien
glaukoma, AMD, dan retinopati diabetik memiliki skor total yang lebih buruk bila
dibandingkan dengan pasien dengan kelaian refraksi yang belum terkoreksi dengan
menggunakan kuesioner VFQ-25. Penurunan skor kualitas hidup juga berkaitan
dengan hipertensi, penyakit jantung, dan arthritis. Penelitian Simangunsong37
berbasis rumah sakit di RSCM menemukan ada perbedaan kualitas hidup antara
pasien dengan glaukoma tahap moderate dan lanjut.
Pada penelitian Saw dkk38 dalam Tanjong Pagar Survey, responden dengan low
vision memiliki skor visual function yang lebih rendah dibanding responden tanpa
low vision. Responden dewasa yang buta juga memiliki skor visual function yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak buta, dan skor tersebut tetap berbeda
signifikan setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia, jenis kelamin dan
pendidikan.
Berbagai penelitian juga menggunakan indikator QoL untuk menilai dampak
program rehabilitasi terhadap peningkatan kualitas hidup termasuk kepuasan pasien.
Penelitian Fitriani39 dan Hapsari40 di daerah Lombok menemukan bahwa program
rehabilitasi gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Oleh
karena itu, intervensi yang disease-specific penting dilakukan dalam rangka
menurunkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP
21 Universitas Indonesia
Skor Kualitas
Hidup Kuesioner
NEI-VFQ25
Variabel bebas
Variabel tergantung
Variabel perancu
Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Tabel 4.1. Tempat penelitian studi validasi RISKESDAS dan penilaian kualitas hidup
No Provinsi Kabupaten/Kota
1 DKI Jakarta Jakarta Selatan
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
2 Sumatra Barat Sijunjung
Pariaman
Solok
Tanah Datar
Lima Puluh Kota
3 DI Yogyakarta Bantul
Gunung Kidul
Sleman
4 Jawa Timur Surabaya
Malang
Jember
5 Sulawesi Selatan Bulukumba
Wajo
Pinrang
Bantaeng
23 Universitas Indonesia
Populasi target pada penelitian ini adalah semua responden gangguan penglihatan
berat dan buta yang ditetapkan oleh enumerator RISKESDAS untuk mengikuti studi
validasi.
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua responden yang datang ke
tempat pemeriksaan studi validasi RISKESDAS
Sampel penelitian adalah responden gangguan penglihatan berat dan buta yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil secara purposive sampling.
Subjek penelitian adalah responden buta yang ditetapkan oleh enumerator Riskesdas
(enumerator R) dengan visus maksimal (presenting visual acuity) pada mata terbaik <
3/60 dengan pinhole, dan responden gangguan penglihatan berat dengan visus
maksimal pada mata terbaik ≥3/60 hingga <6/60 dengan pinhole dengan jumlah yang
sama dengan responden yang dinyatakan buta di semua kota/kabupaten terpilih.
Universitas Indonesia
dua kelompok tidak berpasangan. Besar sampel dihitung berdasarkan nilai simpangan
baku skor kualitas hidup dari beberapa penelitian yaitu 20, dan perbedaan skor
terkecil yang dianggap bermakna yaitu 10. Rumus yang digunakan seperti berikut:
2
n1=n2= 2 (Zα + Zβ ) S
x1-x2
Keterangan:
α : kesalahan tipe I yang masih dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan α 5%
Zα : deviat baku α (dengan α 5%, nilai Zα dua arah 1.96)
Β : kesalahan tipe II yang dapat diterima, oleh peneliti ditetapkan β 20 %
Zβ : deviat baku β (dengan β 20%, nilai Zβ 0.84)
S : standar deviasi, nilai S = 20
X1 - X2 : selisih rerata skor kualitas hidup yang dianggap bermakna, yaitu 10.
Besar sampel minimal yang diperlukan adalah masing-masing 50 responden dengan
katarak dan 50 responden dengan glaukoma. Dengan memperhitungkan drop out
sebesar 10 persen, maka sampel yang dibutuhkan adalah masing-masing kelompok
sebesar 55 responden.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan, kerja
lembur dan kerja kadang-kadang.
Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi,
penjualan dari kerajinan rumah.
Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik tanah.
Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik
Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk
menjadi 4 golongan yaitu :
Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-rata lebih
dari Rp. 3.500.000,00 per bulan
Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.
2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan
Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata dibawh
antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan
Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata Rp.
1.500.000,00 per bulan.
16. Lama kebutaan/gangguan penglihatan adalah berapa lama gangguan yang
dialami yang dinyatakan dengan lama tahun dan bulan. Data kemudian akan
dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu < 1 tahun, 1-5 tahun, dan >5
tahun.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Visus maksimal mata terbaik < 3/60 Visus maksimal mata terbaik ≥ 3/60-
dengan pinhole oleh enumerator P 6/60 dengan pinhole oleh enumerator P
Pengolahan data
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
36 Universitas Indonesia
(15-64 tahun) dan usia non-produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun). Pada tabel
5.1 terlihat bahwa 46 responden (34,3%) dari seluruh subyek penelitian berada pada
kelompok usia produktif, dimana sebanyak 34 responden (73,9%) mengalami
kebutaan, atau 25,4% dari seluruh responden.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.2. Skor kualitas hidup total berdasarkan jenis kelamin, kelompok usia, dan
kisaran lama kebutaan.
Variabel Rerata (mean+SD) Median (min-maks) Nilai p
Rerata skor total 41,97 ± 19,66 39,82 (2,5-89,4)
Jenis kelamin
Laki-laki 43,4 ± 16,7 42,1 (15-84,6) 0,28a
Perempuan 41,2 ± 21,2 39,2 (2,5-89,4)
Kelompok usia
18-64 tahun 48,5 ± 20,5 45,7 (10,4-89,4) 0,007a
> 64 tahun 38,5 ± 18,4 33,7 (2,5-86,8)
Kisaran lama kebutaan
< 1 tahun 43,3 ± 18,4 39,0 (17,5-83,7) 0,71b
1 – 5 tahun 40,6 ± 20,3 39,8 (2,5-86,8)
> 5 tahun 42,9 ± 18,9 40,5 (10,4-89,4)
a=Mann-Whitney test; b=Kruskal-Wallis test
Responden laki-laki memiliki rerata skor kualitas hidup total yang lebih baik
dibanding perempuan yaitu 43,4 ± 16,7 berbanding 41,2 ± 21,2. Namun, skor antara
kedua kelompok ini tidak ditemukan perbedaan nilai yang bermakna secara statistik
(p=0,28). Sementara itu, kelompok usia produktif memiliki skor kualitas hidup yang
lebih baik dibanding kelompok usia nonproduktif, dan perbedaan tersebut bermakna
secara statistik (p=0,007).
Untuk mengetahui pengaruh kisaran lama kebutaan yang dialami oleh
responden terhadap kualitas hidup, pada penelitian ini lama kebutaan dibagi menjadi
Universitas Indonesia
3 kelompok. Pada tabel 5.2 terlihat bahwa semakin lama seseorang mengalami
kebutaan atau gangguan penglihatan, skor kualitas hidup semakin meningkat. Namun
demikian, perbedaan skor di antara ketiga kelompok ini tidak bermakna secara
statistik (p=0,71).
5.2.1. Perbandingan Skor Kualitas Hidup antara Kelompok Buta dan Gangguan
Penglihatan Berat
Skor kualitas hidup total dan subskala pada kelompok buta dan gangguan penglihatan
berat tercantum dalam tabel 5.3. Rerata skor kualitas hidup total pada kelompok buta
lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat. Kedua perbedaan
rerata ini bermakna secara statistik (p = 0,001).
Rerata skor kualitas hidup subskala untuk kedua kelompok ini terdapat nilai
yang bervariasi. Pada kelompok buta didapatkan kecenderungan bahwa hampir
seluruh skor subskala lebih rendah dibandingkan dengan kelompok gangguan
penglihatan berat. Pada skor subskala kesehatan umum, nyeri mata, kesehatan mental,
dan ketergantungan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik.
Table 5.3. Perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala berdasarkan
tingkat gangguan penglihatan (n=134)
Gangguan penglihatan berat Buta (n=88)
Variabel Skor (n=46) Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 49,8±19,2 49,7 (16,5-89,4) 37,8+18,8 33,5 (2,5-85,7) 0,001
Kesehatan umum 36,1±22,3 25,0 (0-100) 36,0±21,9 25,0 (0-100) 0,74
Kesehatan mata 33,8±13,4 40,0 (20-60) 24,4±15,8 20,0 (0-60) 0,003
Nyeri mata 68,5±21,6 62,5 (25-100) 74,7±23,7 75,0 (0-100) 0,098
Aktivitas dekat 46,7±30,4 50,0 (0-100) 26,2±24,5 25,0 (0-100) 0,000
Aktivitas jauh 46,6±26,6 50,0 (0-100) 25,9±25,5 20,8 (0-100) 0,000
Fungsi social 52,7±28,8 50,0 (0-100) 33,2±28,0 25,0 (0-100) 0,001
Kesehatan mental 53,6+21,5 50 (12,5-100) 48,7±21,4 50 (0-100) 0,21*
Kesulitan peran 44,4±24,06 37,5 (0-100) 35,7±25,2 25,0 (0-100) 0,009
Ketergantungan 49,2±26,7 50,0 (0-100) 36,5±26,7 33,3 (0-100) 0,08
Penglihatan warna 62,2±32,2 50,0 (0-100) 42,7±34,9 37,5 (0-100) 0,002
Penglihatan perifer 50,5±31,7 50,0 (0-100) 28,5±28,7 25,0 (0-100) 0,000
* = Independent T-test;
Universitas Indonesia
Grafik 5.1 di bawah ini memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor
subskala dan skor total pada kelompok buta dibandingkan dengan kelompok dengan
gangguan penglihatan berat.
Gambar 5.1. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok buta dan gangguan penglihatan berat
Universitas Indonesia
Tabel 5.4. Skor kualitas hidup total dan subskala pada berbagai penyakit mata
penyebab kebutaan (n=134)
Variabel Skor Katarak Glaukoma Kelainan Kelainan Neuropati Kelainan
(n=99) (n=7) refraksi (n=9) retina optik kornea
(n=5) (n=7) (n=5)
Skor total 40,5±19,2 33,1±9,0 62,4±19,8 52,3±24,8 45,0±16,2 49,0±19,6
Kesehatan umum 25 (0-75) 50 (25-100) 50 (25-100) 60±28,5 50 (0-50) 25,0±25,0
Kesehatan mata 20 (0-60) 20±16,3 40 (20-60) 32±30 20 (20-40) 40 (0-40)
Nyeri mata 72 (25-100) 74,8±17,8 71,3±25 72,5±20 76,8±16,8 74,9±23,5
Aktivitas dekat 25 (0-100) 20,7±18,2 57,8±29,4 41,6±27,6 28,5±19,8 54,9±28
Aktivitas jauh 25 (0-100) 8,3 (8-58,3) 55,2±32,4 48,3±36,9 41,6 (0-50) 44,9±30,4
Fungsi social 37 (0-100) 32±21,5 70,3±24,0 55±45 42,8±27,8 44,9±36
Kesehatan mental 50 (0-100) 40,2±9,4 64,1±27,5 60±27,1 58,9±11,3 56,25±22,1
Kesulitan peran 25 (0-100) 48,2±36 43,75±31,3 47,5±22,3 42,8±18,9 37,5±37,5
Ketergantungan 33,3 (0-100) 23,8±20,6 65,6±30,7 56,6±34,1 45,2±25,4 38,3±33,6
Penglihatan warna 50 (0-100) 25 (0-100) 92,3 (50-100) 65 (0-100) 71,4±22,5 70 (25-100)
Penglihatan perifer 25 (0-100) 10,7±13,4 68,7±29,1 45±51 28,6±22,5 50±25
Pada perbandingan skor kualitas hidup total antara kelompok katarak dan
glaukoma, ditemukan bahwa responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas
hidup yang lebih rendah dibanding kelompok katarak. Demikian pula, pada hampir
seluruh skor subskalanya kecuali subskala kesulitan peran (role difficulties),
menunjukkan bahwa responden dengan glaukoma menunjukkan skor yang lebih
rendah daripada responden dengan katarak.
Tabel 5.5. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada katarak dan
glaukoma (n=106)
Katarak (n=99) Glaukoma (n=7)
Variabel Skor Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 40,5±19,2 39,5 (2,5-86,8) 33,1±9,0 32,4 (22,9-51,3) 0,09
Kesehatan umum 33,2±18,6 25,0 (0-75) 53,6±22,5 50,0 (25-100) 0,02
Kesehatan mata 27,6±14,8 20,0 (0-60) 20,0±16,3 20,0 (0-40) 0,24
Nyeri mata 72,5±23,2 75,0 (25-100) 74,5±17,8 68,5 (50-100) 0,95
Aktivitas dekat 31,4±28,3 25,0 (0-100) 20,7±18,2 18,5 (0-50) 0,45
Aktivitas jauh 31,2±26,9 25,0 (0-100) 20,6±19,7 12,2 (8-58,3) 0,39
Fungsi social 37,3±28,5 37,0 (0-100) 32,0±21,5 25,0 (12-75) 0,70
Kesehatan mental 48,9+21,4 50,0 (0-100) 40,2+9,4 37,5 (31,25-50) 0,25*
Kesulitan peran 37,7±23,4 25,0 (0-100) 48,2±36,4 50,0 (0-100) 0,42
Ketergantungan 39,7±25,9 33,3 (0-100) 23,8±20,6 20,8 (0-50) 0,18
Penglihatan warna 44,1±33,6 50,0 (0-100) 39,3±34,9 25,0 (0-100) 0,65
Penglihatan perifer 35,0±30,5 25,0 (0-100) 10,7±13,3 12,5 (0-25) 0,03
*=Independent t-test
Universitas Indonesia
Namun demikian, berdasarkan uji statistik yang sesuai, kedua perbedaan skor total
antara dua kelompok tersebut tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,09).
Pada aspek lainnya, kecuali aspek kesehatan umum (p=0,02) dan penglihatan perifer
(p=0,03), semua skor subskala juga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
secara statistik sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.5.
Grafik 5.2 memperlihatkan dengan lebih jelas perbedaan skor subskala dan
skor total pada kelompok katarak dibandingkan dengan kelompok glaukoma. Tampak
bahwa penglihatan perifer responden dengan glaukoma lebih rendah secara bermakna
dibanding responden dengan katarak.
Gambar 5.2. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak dan glaukoma
penglihatan berat, skor kualitas hidup kami analisis dengan adjustment pada tingkat
tajam penglihatan (visual acuity adjustment). mengingat pada penelitian ini tajam
penglihatan memiliki kisaran yang cukup lebar yaitu dari light perception hingga
<6/60.
Setelah dilakukan adjustment pada tajam penglihatan, jumlah responden yang
dapat dianalisis adalah hanya pada kelompok buta yaitu 63 responden dengan katarak
dan 6 responden dengan glaukoma. Kelompok gangguan penglihatan berat tidak
dapat dianalisis karena jumlah responden untuk penyakit glaukoma hanya 1 orang
sehingga tidak dapat dianalisis.
Tabel 5.6. Perbandingan skor kualitas hidup total dan subskala pada responden
katarak dan glaukoma pada kelompok buta (n=69)
Katarak (n=63) Glaukoma (n=6)
Variabel Skor Nilai p
Mean±SD Median Mean±SD Median
Skor total 36,3±18,8 32,2 (2,5-85,6) 30,1±4,5 31,4 (22,9-35,5) 0,052*
Kesehatan umum 33,8±19,2 25,0 (0-75) 54,2±24,6 50,0 (25-100) 0,052
Kesehatan mata 24,8±15,2 20,0 (0-60) 16,6±15 20,0 (0-40) 0,26
Nyeri mata 75,6±24,0 81 (25-100) 72,75±18,5 68,5 (50-100) 0,65
Aktivitas dekat 23,6+23,6 16,6 (0-91,6) 20,0+19,8 18,5 (0-50) 0,86
Aktivitas jauh 24,4±25,4 16,6 (0-100) 14,3±11,5 8,3 (8-37) 0,55
Fungsi social 31,4±27,5 25,0 (0-100) 24,8±11,2 25 (12-37,5) 0,82
Kesehatan mental 47,1+22,4 43,75 (0-100) 41,7+9,4 43,75 (31,25-50) 0,58
Kesulitan peran 34,8±23,4 25,0 (0-100) 41,6±35 43,75 (0-100) 0,68
Ketergantungan 34,2+26,0 25 (0-100) 26,4+21,3 33,3 (0-50) 0,72
Penglihatan warna 37,9±33,2 25,0 (0-100) 29,2±24,6 25,0 (0-75) 0,62
Penglihatan perifer 27,0±29,1 25,0 (0-100) 12,5±13,7 12,5 (0-25) 0,31
*=Independent t-test;
Universitas Indonesia
Gambar 5.3. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak dan glaukoma setelah dilakukan adjustment terhadap tajam
penglihatan
100
Katarak
90
Glaukoma
80
70 Refraksi
60
50
40
30
20
10
0
Gambar 5.4. Grafik perbandingan rerata skor kualitas hidup total dan subskala pada
kelompok katarak, glaukoma, dan kelainan refraksi pada kelompok buta
(n=73).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 6
DISKUSI
47 Universitas Indonesia
laki, dan kelompok perempuan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan mata yang
optimal berkaitan dengan faktor sosiokultural masyarakat setempat yang cenderung
mengutamakan laki-laki (patriarki). Layanan kesehatan mata yang belum terjangkau
dan unaffordable juga dapat menyebabkan hal ini dimana sekitar 40% perempuan
yang mengalami kebutaan berada di wilayah desa pada penelitian ini. Political will
dan aksi sosial diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam pelayanan
kesehatan mata. Di lain pihak, laki-laki sebagai tulang punggung kesejahteraan
keluarga tetap menjadi perhatian dalam permasalahan kebutaan dan gangguan
penglihatan.
Kebutaan memiliki dampak negatif terhadap produktivitas dan menimbulkan
beban ekonomi publik yang signifikan bagi negara. Beban ekonomi ini secara
langsung berkaitan dengan pengeluaran negara yang tinggi untuk kesehatan, dan
secara tidak langsung berkaitan dengan hilangnya produktivitas warga dan
kesempatan menghasilkan pendapatan keluarga (income). Usia responden pada
penelitian ini dikelompokkan menjadi usia produktif (15-64 tahun), dan usia non-
produktif (<15 tahun dan lebih dari 64 tahun), sesuai dengan Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jumlah kebutaan usia produktif pada penelitian
ini mencapai 25% dari seluruh responden pada penelitian ini, sedangkan gangguan
penglihatan berat mencapai 9%. Beban ekonomi yang ditimbulkan oleh jumlah ini
dapat diperhitungkan. Beban global akibat kebutaan sekitar USD 42 milyar dengan
proyeksi kenaikan menjadi USD 110 milyar pada tahun 2020, atau menyerap sekitar
0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara berkembang. Namun,
dengan program Vision 2020, diharapkan angka tersebut turun menjadi USD 53
milyar.43
Sebanyak 45% dari total subyek penelitian memiliki tingkat pendidikan
rendah. Pendidikan yang rendah ini merupakan salah satu barrier atau hambatan
dalam penyadaran masyarakat tentang penyakit mata termasuk katarak, tindakan
operasi, dan hasil yang akan didapatkan. Pendidikan rendah berkaitan dengan
tingginya angka buta huruf (illiteracy), sehingga responden tidak dapat menyerap
informasi dan mengalami ketidaktahuan dengan penyakit mata.14,38 Diperlukan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
mencapai 45, yang berarti telah terjadi penurunan kualitas hidup umum sebesar 55%
dari nilai maksimal. Langelaan33 menyatakan bahwa walaupun dampak gangguan
penglihatan pada usia produktif terlihat rendah, namun sebetulnya hal tersebut
berdampak sangat besar pada penderitanya di setiap aspek kehidupan, pendidikan,
pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga. Oleh karena itu, akses
pelayanan kesehatan mata dan biaya pemeriksaan dan operasi yang terjangkau
menjadi suatu keharusan, terutama bagi kelompok usia produktif agar produktivitas
mereka dapat membaik.
Berdasarkan kisaran lama kebutaan yang dialami responden, skor kualitas
hidup terlihat linier antara berbagai kelompok, namun tak bermakna secara statistik.
Artinya, semakin lama seseorang mengalami kebutaan, kualitas hidup cenderung
relatif membaik. Mekanisme adaptasi terhadap kebutaan yang dialami dapat
menjelaskan gambaran tersebut. Pada tahap awal terjadinya peristiwa yang
mengganggu siklus kehidupan, seseorang cenderung merasa sangat terpukul yang
terlihat dari menurunnya kualitas hidup yang cukup tajam. Namun seiring berjalannya
waktu, seseorang akan mampu beradaptasi (coping index).33,45
Skor kualitas hidup antara kelompok buta dan gangguan penglihatan berat
berbeda secara bermakna. Responden dengan gangguan penglihatan berat, kualitas
hidupnya menurun hingga mencapat 60-70% bila dibandingkan kelompok buta yang
turun mencapai 50%. Perbedaan skor kualitas hidup lebih dari 10% dianggap
bermakna berdasarkan panduan NEIVFQ 25. Selain skor total, hampir semua skor
subskala dari kelompok buta juga menunjukkan penurunan yang cukup jauh
dibanding kelompok gangguan penglihatan berat. Terlihat bahwa karena perbedaan
tajam penglihatan yang signifikan, maka yang terganggu pada kelompok buta adalah
aktivitas dekat dan jauh, yang dibutuhkan untuk aktivitas harian. Laitinen13 dan
Lamoreux15 menyatakan bahwa penurunan visus menjadi faktor independen yang
kuat terhadap fungsi fisik seseorang, dan penurunan visus berbanding lurus dengan
penurunan kualitas hidup.
Berdasarkan aspek sosiokultural sebagai faktor lingkungan yang
memengaruhi kualitas hidup individu, fungsi sosial dan ketergantungan pada
Universitas Indonesia
kelompok buta juga menurun secara bermakna. Namun demikian, kesehatan mental
responden yang mencakup rasa cemas, takut, dan frustasi terhadap kondisi kesehatan
matanya relatif sama antara kedua kelompok. Faktor psikososial dan spiritualitas
diduga berperan pada gambaran ini.46-48
Skor subskala penglihatan warna dan penglihatan perifer juga jauh menurun
pada kelompok buta. Visus yang buruk menjadi penyebab utama terjadinya gangguan
ini. Pada grafik 1 terlihat pula bahwa terdapat ranah aktivitas harian (daily acitivities),
fungsi social, dan ketergantungan terdapat jurang pemisah yang cukup jauh. Hal ini
berarti produktivitas responden buta jauh terganggu dibandingkan dengan responden
dengan gangguan penglihatan berat.
Berdasarkan penyakit mata penyebab kebutaan, responden dengan kelainan
refraksi memiliki skor kualitas hidup yang paling tinggi bila dibandingkan dengan
penyakit lain seperti katarak dan glaukoma. Kebutaan karena kelainan refraksi dan
katarak merupakan kebutaan yang dapat ditangani. Kelainan refraksi dapat ditangani
dengan kacamata atau low vision aids lainnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa
dengan hanya memberikan kacamata, kualitas hidup seseorang akan jauh meningkat
jika memang tidak ada komorbiditas lain di organ mata. Demikian pula, jika katarak
saja tanpa kelainan lain dapat ditanggulangi dengan operasi katarak, kualitas hidup
akan meningkat signifikan dan responden akan produktif lagi dalam waktu yang
relatif cepat. Fitriani39 dan Hapsari40 menemukan bahwa program rehabilitasi
gangguan penglihatan berupa operasi katarak dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien dalam aspek self-care, mobilitas, mental, dan sosial. Intervensi yang disease-
specific penting dilakukan dalam rangka menurunkan dampak negatif pada kehidupan
sehari-hari. Mengingat kelainan refraksi dan katarak dapat ditangani secara sederhana
dan cepat, perlu ditingkatkan upaya kesehatan mata secara masal dengan skrining
penyakit mata dan penatalaksanaannya seperti pemberian kacamata dan operasi
katarak.
Responden dengan glaukoma memiliki skor kualitas hidup yang paling rendah
dibanding penyakit mata lain. Hampir semua aspek kualitas hidup menunjukkan
penurunan yang serupa terutama terhadap katarak dan gangguan refraksi. Hal ini
Universitas Indonesia
terjadi karena defisit yang terjadi pada glaukoma merupakan kombinasi dari
gangguan penglihatan sentral dan perifer seperti pada penelitian ini, meskipun
gangguan pada penglihatan perifer relatif sama. Selain itu, gangguan lapang
pandangan perifer yang terjadi pada glaukoma terjadi bahkan pada tingkat tajam
penglihatan yang lebih baik. Namun, pada glaukoma tingkat lanjut (advanced stage),
tajam penglihatan sentral juga memburuk. Hal ini yang memperparah penurunan
kualitas hidupnya. Glaukoma juga merupakan penyakit kronik irreversibel yang tidak
mudah terdeteksi oleh masyarakat awam.14,24,25,37,49 Panduan kuesioner VFQNEI25
juga tidak hanya memasukkan pegal dan nyeri dalam daftar pertanyaan untuk aspek
ocular pain, dan memasukkan rasa terbakar dan gatal dalam panduan pertanyaannya.
Hal ini menyebabkan kuesioner tidak bisa secara langsung membedakan apakah nyeri
yang dialami oleh responden glaukoma adalah gejala khas penyakitnya.
Oleh karena itu, mengingat glaukoma termasuk kelompok avoidable
blindness, deteksi dini glaukoma sangat diperlukan untuk kelompok-kelompok
masyarakat yang berisiko tinggi. Risiko glaukoma meningkat pada kelompok usia
lebih dari 40 tahun, penurunan ketebalan kornea, ras kulit hitam, dan riwayat keluarga
dengan glaukoma.50 Walaupun pada penelitian ini, jumlah responden dengan
glaukoma jauh lebih sedikit dibanding katarak, kecenderungan penurunan kualitas
hidup yang lebih tinggi pada responden glaukoma dapat terlihat.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hipotesis kelompok buta memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan kelompok gangguan penglihatan berat
sudah terbukti pada skor total maupun hampir seluruh skor subskala. Tidak
ditemukan perbedaan skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dan
katarak. Namun demikian, skor responden glaukoma memiliki skor kualitas hidup
paling rendah dibanding responden katarak dan gangguan refraksi. Penelitian lain
yang menyebutkan bahwa semakin lama kebutaan yang dialami membuat kualitas
hidup lebih baik belum terbukti, meskipun terdapat kecenderungan bahwa kualitas
hidup akan sedikit meningkat setelah lebih dari 1 tahun mengalami kebutaan. Tidak
terbuktinya hipotesis pada penelitian ini dapat disebabkan oleh proporsi sampel yang
tidak berimbang antara katarak dan glaukoma, serta penyakit lainnya. Item kuesioner
Universitas Indonesia
yang masih perlu dinilai validitas, reliabilitas, dan konsistensi internalnya juga dapat
mempengaruhi hasil penelitian ini. Bias pengukuran masih dapat ditemukan
mengingat kuesioner belum dilakukan penilaian secara statistik.
Namun demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi
program Vision 2020 dalam rangka menurunkan angka kebutaan yang dapat dihindari
(avoidable blindness). Komitmen dari pemerintah dan pemegang kebijakan
diperlukan untuk mencapai keberhasilan program ini. Vision 2020 melakukan
pendekatan terintegrasi untuk menghilangkan penyebab utama kebutaan yang dapat
dihindari yang meliputi tiga strategi utama yaitu, pengembangan sumber daya
manusia, pengembangan infrastruktur, dan pengendalian penyakit. Perlu dilakukan
kegiatan promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan
dan kebutaan, sehingga tidak terjadi penurunan kualitas hidup masyarakat. Kualitas
hidup pada penderita glaukoma sebagai salah satu penyebab preventable blindness
paling rendah dibanding penyakit lain, maka pencegahan kebutaan karena glaukoma
juga menjadi prioritas pada program pencegahan gangguan penglihatan dan kebutaan
(PGPK) Indonesia, terutama di layanan kesehatan primer.
Penelitian ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Jumlah besar total
sampel yang melebihi target dan penelitian multisenter merupakan kekuatan
penelitian ini. Namun demikian, dengan metode purposive sampling berbasis
populasi ini, peneliti sulit mendapatkan proporsi yang relatif seimbang antara
kelompok buta dan gangguan penglihatan berat. Kesulitan juga ditemukan dalam
menemukan proporsi sampel yang seimbang antara berbagai penyakit mata penyebab
kebutaan bila ingin mengikuti proporsi penyakit mata di populasi pada penelitian
terdahulu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih
berimbang untuk mendukung hasil penelitian ini. Diperlukan sampel minimal sebesar
50 responden untuk mendapatkan hasil yang bermakna. Bias pengukuran
(interviewer) masih mungkin ditemukan pada penelitian ini mengingat penelitian
berlangsung di berbagai provinsi oleh interviewer yang berbeda dan adanya kesulitan
pada bahasa daerah setempat.
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
7.2. Saran
55 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Clinical Optics. Basic and Clinical Science Course
Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2009-2010. p. 283-30.
2. World Health Organization. Global data on visual impairment 2010. WHO Fact Sheet
No. 282. h�p://www.who.int/about/regions/en/index.htmlMay 2009, 2012.
3. Scheiman M, Scheiman M, Whittaker S. Low vision Rehabilitation: A Practical Guide
for Occupational Therapist. New Jersey: SLACK Incorporated; 2007. p. 4-22.
4. Khan SA. A retrospective study of low-vision cases in an Indian tertiary eye-care
hospital. Indian Journal of Ophthalmology 2000; 48(3): 201-7.
5. Survei Kesehatan Indera Penglihatan Tahun 1993-1996. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta; 1997.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta; Desember 2008.
7. Saw SM, Husain R, Gazzard GM, et al. Causes of low vision and blindness in rural
Indonesia. Br J Ophthalmol 2003; 87:1075–8.
8. Ventocilla M, Wicker D. Low vision therapy. Available at: www.emedicine.com. Last
updated: May 18, 2010.
9. Dargent-Molina P, Favier F, Grandjean H, Baudoin C, Schott AM, Hausherr E, et al.
Fall-related factors and risk of hip fracture: the EPIDOS prospective study. Lancet
1996;348:145-9.
10. Lamoureux E, Gadgil S, Pesudovs K, Keeffe J, Fenwick E, Dirani M, et al. The
relationship between visual function, duration and main causes of vision loss and falls in
older people with low vision. Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol 2010; 248:527–33.
11. Coleman AL, Stone K, Ewing SK, Nevitt M, Cummings S, Cauley JA, Ensrud KE,
Harris EL, Hochberg MC, Mangione CM. Higher risk of multiple falls among elderly
women who lose visual acuity. Ophthalmology 2004;111:857–62.
12. Ivers RQ, Cumming RG, Mitchell P, Attebo K. Visual impairment and falls in older
adults: the Blue Mountains Eye Study. J Am Geriatr Soc 1998; 46:58–64.
13. Laitinen A. Reduced visual acuity and impact on quality of life. Helsinki : National
Institute for Health and Welfare, 2009.
14. Nirmalan PK, Tielsch JM, Katz J, Thulasiraj RD, Krishnadas R, Ramakrishnan R, et al.
Relationship between Vision Impairment and Eye Disease to Vision-Specific Quality of
Life and Function in Rural India: The Aravind Comprehensive Eye Survey. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2005;46:2308-12.
15. Lamoureux EL, Chong EW, Thumboo J, Wee HL, Wang JJ, Saw SM, et al. Vision
impairment, ocular conditions, and vision-specific function: The Singapore Malay Eye
Study. Ophthalmology 2008;115:1973–81.
16. Mangione CM, Lee PP, Gutierrez PR, Spritzer K, Berry S, Hays RD. Development of
the 25-item National Eye Institute Visual Function Questionnaire. Arch Ophthalmol.
2001;119:1050–8.
17. Patrick DL, Chiang Y. Measurement of health outcomes in treatment effectiveness
evaluations: conceptual and methodological challenges. Med Care 2000;38(Suppl.
II):14e25.
18. Mangione CM, Berry S, Spritzer K, et al. Identifying the content area for the 51-item
National Eye Institute Visual Function Questionnaire: results from focus groups with
visually impaired persons. Arch Ophthalmol. 1998;116:227–33.
56 Universitas Indonesia
19. Mangione CM, Lee PP, Pitts J, Gutierrez P, Berry S, Hays RD. Psychometric properties
of the National Eye Institute Visual Function Questionnaire (NEI-VFQ). NEI-VFQ Field
Test Investigators. Arch Ophthalmol. 1998;116:1496–1504.
20. Suner IJ, Kokame GT, Yu E, Ward J, Dolan C, Bressler NM. Responsiveness of NEI
VFQ-25 to changes in visual acuity in neovascular AMD: validation studies from two
phase 3 clinical trials. Invest Ophthalmol Vis Sci 2009;50:3629–35.
21. Massof RW, Fletcher DC. Evaluation of the NEI visual functioning questionnaire as an
interval measure of visual ability in low vision. Vision Res. 2001;41:397–413.
22. Lamoureux EL, Pesudovs K, Thumboo J, Saw SM, Wong TY. An evaluation of the
reliability and validity of the visual functioning questionnaire (VF-11) using Rasch
analysis in an Asian population. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2009;50:2607–13.
23. Stelmack JA, Stelmack TR, Massof RW. Measuring low-vision rehabilitation outcomes
with the NEI VFQ-25. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2002;43:2859–68.
24. Broman AT, Munoz B, Rodriguez J, Sanchez R, Quigley HA, Klein R, et al. The
impact of visual impairment and eye disease on vision-related quality of life in a
Mexican-American population: Proyecto VER. Invest Ophthalmol Vis Sci.2002;
43:3393–8.
25. Lin J, Yu J. Assessment of quality of life among Taiwanese patients with visual
impairment. Journal of the Formosan Medical Association 2012: 111, 572-9.
26. World HealthOrganization. WHO terminology for impairment and disability. In: WHO.
International classification of impairments, diabilities, and handicaps: A manual of
classification relating to the consequences of disease. Geneva: WHO; 1980
27. Center For Disease Control and Prevention. The International Classification of Disease,
10th Revision. Available at: www.cdc.gov.
28. Low vision Services Consensus Group. Recommendations for Future Low vision
Service Delivery in the UK. London: Royal National Institute for the Blind; 1999.
29. American Optometric Association. Optometric clinical practice guidelines care of the
patien with low vision . AOA Board of Trustees, 1997. p 1-52
30. Faye, EE. Low vision. In: Riordan-Eva P, Whitcher JP (editors). Vaughan & Asbury’s
General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Companies, 2007. p.401-408.
31. World HealthOrganization. WHOQOL: Measuring quality of life. WHO; 1997.
32. Stelmack JA, Rosenbloom AA, Brenneman CS, Stelmack TR. Patients’ perceptions of
the need for low vision devices. J Vis Impair Blind 2003, 97(9):521-35.
33. Langelaan M. Quality of Life of Visually Impaired Working Age Adults. Tesis. Vrije
Universiteit. Vrije: PrintPartners Ipskamp, 2007.
34. World Health Organization (2001) International Classification of Functioning,
Disability and Health.
http://www3.who.int/icf/icftemplate.cfm?myurl=introduction.html%20&mytitle=Introdu
ction. Akses terakhir: 5 Juni 2013.
35. Cahill MT, Banks AD, Stinnett SS, Toth CA. Vision-related quality of life in patients
with bilateral severe age-related macular degeneration. Ophthalmology 2005;112:152–8.
36. Nutheti R, Shamanna BR, Nirmalan PK, Keeffe JE, Krishnaiah S, Rao GN, et al. Impact
of impaired vision and eye disease on quality of life in Andhra Pradesh. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 2006;47:4742–8
37. Simangunsong CO, Artini W, Mustafa S. Perbandingan kualitas hidup penderita
glaucoma tahap moderate dan tahap lanjut. Tesis. Departemen Ilmu Kesehatan Mata,
Jakarta: 2009.
Universitas Indonesia
38. Saw SM, Foster PJ, Gazzard G, Seah S. Causes of blindness, low vision, and
questionnaire-assessed poor visual function in Singaporean Chinese adults, The Tanjong
Pagar Survey. Ophthalmology 2004;111:1161–8.
39. Fitriani DG, Gondhowiardjo TD. Tingkat kepuasan pasien setelah operasi katarak
dengan metode SICS di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta,
2009.
40. Hapsari RU, Gondhowiardjo TD. Perubahan kualitas hidup dan pencapaian harapan
pasien pasca operasi katarak di Lombok. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Mata.
Jakarta, 2009.
41. Foster PJ, Buhrmann R, Quigley HA, Johnson GJ. The definition and classification of
glaucoma in prevalence surveys. Br J Ophthalmol 2002;86:238–42.
42. Abou-Gareeb I, Lewallen S, Bassett K, Courtright P. Gender and blindness: a meta-
analysis of population-based prevalence surveys. Ophthalmic Epidemiology 2001;8:39-
56.
43. Frick K, Foster A. The magnitude and cost of global blindness: an increasing problem
that can be alleviated. American J Ophthalmology 2003; 135: 471-6.
44. Nispen RMA, Boer MJ, Hoeijmakers J, Ringens PJ, van Rens. Co-morbidity and visual
acuity are risk factors for health-related quality of life decline: five-month follow-up
EQ-5D data of visually impaired older patients. Health and Quality of Life Outcomes
2009, 7:7-18.
45. Boerner K, Meehan C. Vision loss, coping tendencies, and mental health. Final Report
to the National Institute of Mental Health. New York: Arlene R. Gordon Research
Institute of Lighthouse International, 2002.
http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/coping/ Akses terakhir: 28
Desember 2013.
46. Brennan, M. (2004). Spirituality and religiousness predict adaptation to vision loss
among middle-age and older adults. International Journal for the Psychology of Religion
2004; 14 (3), 193-214.
47. Trillo AH, Dickinson CM. The impact of visual and nonvisual factors on quality of life
and adaptation in adults with visual impairment. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2012;53:4234–41.
48. Brennan M. Religiousness and spirituality in vision impaired elders. Final progress
report submitted to the National Institute on Aging, National Institutes of Health,
Bethesda, MD. New York: Arlene R. Gordon Research Institute of Lighthouse
International, 2000. http://www.lighthouse.org/research/archived-studies/religiousness/
Akses terakhir: 28 Desember 2013.
49. Wu SY, Hennis A, Nemesure B, Leske MC. Impact of glaucoma, lens opacities, and
cataract surgery on visual functioning and related quality of life: The Barbados Eye
Studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2008;49:1333–8.
50. Staff AAO. Vision Rehabilitation. In: Glaucoma. Basic and Clinical Science Course
Section 3. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2011-2012. p. 7-12.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 2
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
Informed consent
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Judul Penelitian:
STUDI VALIDASI DATA KEBUTAAN HASIL RISKESDAS 2013 DAN
IDENTIFIKASI ETIOLOGINYA
Peneliti:
Prof. Dr. dr. Farida Sirlan, SpM(K)
Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia
Tel : 081295916511
Fax : 021-3927516
Email : perdamiriskesdas@gmail.com
Universitas Indonesia
Saya, …………………………………………………………………….
Memberikan persetujuan atas nama saya sendiri/anak dalam perwalian saya untuk
terlibat dalam penelitian ini dan bersedia menjalani pemeriksaan mata, yang terdiri
dari pemeriksaan tajam penglihatan, tekanan bola mata, keadaan mata dan wawancara
kuesioner sesuai dengan data yang diperlukan untuk penelitian ini. Setelah mendapat
penjelasan yang rinci, saya mengerti akan tujuan penelitian ini. Saya juga mengerti
bahwa saya dapat menolak setiap saat tanpa mendapat sanksi apapun dan saat hasil
penelitian ini dipublikasikan atau dipresentasikan dalam seminar, maka identitas saya
akan dirahasiakan.
Tanggal ……………………………
Universitas Indonesia