Anda di halaman 1dari 65

UNIVERSITAS INDONESIA

PERUBAHAN KETEBALAN LAPISAN SERABUT SARAF PERIPAPIL PADA PASIEN


GLAUKOMA KRONIK DAN NON GLAUKOMA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
MENGGUNAKAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Olivia Putri Perdana

NPM : 0806360550

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN MATA
JAKARTA
JANUARI 2014

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,


Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Olivia Putri Perdana


NPM : 0806360550
Tanda tangan :

Tanggal : Januari 2014

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama : dr. Olivia Putri Perdana
NPM : 0806360550
Program Studi : Program Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata

Judul tesis
Perubahan ketebalan lapisan serabut saraf peripapil pada pasien glaukoma kronik dan non glaukoma
pasca fakoemulsifikasi menggunakan optical coherence tomography

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan
yang diperlukan untuk memperoleh gelar ‘Dokter Spesialis Mata’ pada program studi Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing: dr. Andi Arus Victor, SpM (K) ( )

dr. Virna Dwi Oktarina SpM ( )

DR.dr. Joedo Prihartono, MPH ( )

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 10 Januari 2014

Ketua Program Studi Kepala Dept. Ilmu Kesehatan Mata

Dr. Yudisianil E Kamal SpM (K) Dr.dr. Widya Artini SpM (K)

ii

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah saya dapat
menyelesaikan tesis ini.Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, segala keterbatasan saya telah dibantu
beberapa pihak dalam bentuk pemikiran, pendanaan, serta tenaga dan dukungan dalam pelaksanaannya.
Pada kesempatan ini, saya dengan rendah hati ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih saya
kepada:

1. dr. Andi Arus Victor, SpM (K).Beliau adalah seorang guru dan pembimbing yang memberikan
bimbingan dengan sabar dan menjadi pendorong semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
2. dr. Virna Dwi Oktarina SpM. Selaku pembimbing utama dan pencetus ide penelitian ini. Terima
kasih untuk kesempatan yang telah diberikan dan juga kesabarannya dalam membimbing saya
dalam menyelesaikan penelitian ini
3. DR.dr. Joedo Prihartono, MPH, selaku pembimbing di bidang statistik. Terimakasih untuk waktu
yang telah diberikan di tengah kesibukan sehari-hari yang demikian padat.
4. Dr. dr. Widya Artini SpM (K) sebagai Kepala Departemen Mata FKUI, Dr. Yudisianil E Kamal
SpM (K) dan dr. Tri Rahayu, SpM(K), FIACLE sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi
Departemen Mata FKUI yang selalu mendorong untuk menyelesaikan pendidikan spesialis Mata
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang telah memberi banyak ilmu
pengetahuan dan keterampilan selama saya menjalanipendidikan. Semoga ilmu dan keterampilan
tersebut dapat saya amalkan dengan baik di masyarakat.
6. Perawat, staf rekam medik dan tata usaha poliklinik yang tidak mungkin saya sebutkan satu
persatu dan telah memberikan bantuan dalam menjalani masa pendidikan dan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
7. Staf tata usaha S2 dan perpustakaan mata: Ibu Kholidah, Mbak Siti Mursidah dan Pak Pudjo
Terima kasih atas setiap bantuan yang telah diberikan.dan kerjasamanya selama saya menempuh
pendidikan.
8. Seluruh residen mata yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan
dan kerjasama dalam menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
9. Teman-teman seangkatan saya: Maria, Azizah, Wulan, Oce, Didi, Niska, Faiqoh, dan Tasha.
Meskipun kita sudah berjauhan namun motivasi dan perhatian kalian tak pernah putus.

iii

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


10. Orang tua saya yang saya hormati dan sayangi. Papa dr.H.Yasril Hasan,MQIH dan mama
Hj.Ermiaty terima kasih untuk setiap do’a, pengertian, dan pengorbanan yang telah diberikan
kepada saya. Papa dan Mama selalu menjadi motivator bagi saya. Serta papa dan mama mertua
terima kasih atas do’a dan dukungannya kepada saya dalam menjalani pendidikan ini.
11. Suami saya tercinta Darwinsyah. Terima kasih atas pengertian, cinta, dan kesabaran yang
diberikan kepada saya sehingga saya bisa bertahan dalam menjalankan pendidikan ini dari awal
sampai akhir.Terima kasih atas pengorbanan, motivasi setiap saat, termasuk ikut menemani saya
duduk diperpustakaan atau ruang residen pada saat pembuatan penelitian ini.
12. Anak-anakku yang hebat Muhammad Malik Tristansyah dan Khansa Syakirah Darwin, yang
selalu sabar dan ikut berdo’a. Kalianlah yang menjadi alasan dan penyemangat utama untuk
bertahan dalam menyelesaikan pendidikan ini.
13. Abang Deni Prima Kurnia, Abang David Budi Satria, Adek Diana Putri Muharini beserta
keluarga besar. Terima kasih atas perhatian, do’a dan kehangatan dalam keluarga yang menjadi
penyemanangat bagi saya.

Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya selama ini.Mohon maaf bila
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas dan memberikan pahala yang
setimpal.Semoga tesis ini membawa manfaat bagi masyarakat dan bagi ilmu pengetahuan.Amin.

Jakarta, 10 Januari 2014


Penulis

Olivia Putri Perdana

iv

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda-tangan dibawah ini:

Nama : dr. Olivia Putri Perdana


NPM : 0806360550
Program Studi : Spesialis Mata
Departemen : Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas : Kedokteran
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Universitas Indonesia Hak
Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Perubahan Ketebalan Lapisan Serabut Saraf Peripapil Pada Pasien Glaukoma Kronik dan Non
Glaukoma Pasca Fakoemulsifikasi Menggunakan Optical Coherence Tomography

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalty non eksklusif ini, Universitas
Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(Database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis dan pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.


Dibuat di : Jakarta
Tanggal : Januari 2014

Yang menyatakan

(dr. Olivia Putri Perdana)

ABSTRAK

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


ABSTRAK

Perubahan Ketebalan Lapisan Serabut Saraf Peripapil Pada Pasien Glaukoma Kronik Dan Non-
Glaukoma Pasca Fakoemulsifikasi Menggunakan Optical Coherence Tomography
Olivia Putri Perdana, Virna Dwi Oktarina, Andi Arus Victor, Joedo Prihartono

Latar belakang Fakoemulsifikasi merupakan tindakan yang sering dilakukan dalam mengatasi katarak
saat ini.Fluktuasi tekanan intra okular (TIO) dapat mempengaruhi ketebalan lapisan serabut saraf (RNFL)
peripapil.

TujuanMengetahui perubahan ketebalan lapisan serabut saraf (RNFL) peripapildan mengetahui rerata
mean deviation (MD) lapang pandangan sesudah fakoemulsifikasi pada pasien glaukoma kronis dan non
glaukoma.

Desain Studi kohort

Hasil Sebanyak 26 pasien yang didapat secara konsekutif dibagi atas dua kelompok yaitu 13 subyek
glaukoma dan 13 subyek non glaukoma.Tidak terdapat perubahan signifikan ketebalan RNFL pasca
fakoemulsifikasi pada kedua kelompok. Kelompok glaukoma pada kuadran superior (115,5 ; 121,6 μm),
inferior ( 110,9 ; 116,5 μm), temporal (75,3 ; 77,5 μm),nasal (77,1 ; 80,9μm) dan pada rerata seluruh
kuadran (94,9 ; 99,1 μm). Kelompok non glaukoma pada kuadran superior (13,9 ; 124,9 μm), inferior (
124,8 ; 126,2 μm), temporal (79,0 ; 81,5 μm),nasal (74,1 ; 74,6 μm) dan pada rerata seluruh kuadran
(100,2 ; 101,7 μm).Pada kelompok non glaukoma terjadi peningkatan MD lapang pandangan yang
berbeda bermakna secara statistik yaitu p = 0.005. Sedangkan pada kelompok glaukoma terjadi penurunan
MD lapang pandangan yang secara uji statistik tidak bermakna yaitu p = 0.071.

Kesimpulan Terdapat peningkatan ketebalan serabut saraf retina peripapil setelah fakoemulsifikasi pada
kelompok glaukoma dan non glaukoma pada empat kuadran dan rerata semua kuadran, namun tidak
bermakna secara uji statitik.Terdapat penurunan MD lapang pandangan pada kelompok glaukoma yang
tidak bermakna secara statistik. Terdapat peningkatan MD lapang pandangan pada kelompok non
glaukoma yang bermakna pada uji statistic

Kata Kunci Katarak, glaukoma primer kronik, fakoemulsifikasi, RNFL, optical coherence tomography
(OCT)

vi

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


ABSTRACT

Changes In Peripapillary Retinal Nerve Fiber Layer Thickness In Chronic Glaucoma And Non-
Glaucoma Patients After Phacoemulsification Surgery With Optical Coherence Tomography
Olivia Putri Perdana, Virna Dwi Oktarina, Andi Arus Victor, Joedo Prihartono

Introduction: Nowadays, phacoemulsification is the chosen surgery for relatively safe removal of
cataractous lenses. Intraocular pressure (IOP) fluctuation may influence the thickness of peripapillary
retinal nerve fiber layer (RNFL).

Purpose: To evaluate the change in peripapillary RNFL thickness and mean deviation (MD) of visual
field before and after phacoemulsification in chronic primary glaucoma and non-glaucoma patients.

Study Design: A cohort study

Result: There were 13 eyes with chronic glaucoma and 13 eyes with non-glaucoma that were enrolled
consecutively. We got no significant different of RNFL thickness before and after phacoemulsification
between two groups. Retinal nerve fiber layer thickness in glaucoma groups was(115,5; 121,6 μm)
superiorly, (110,9; 116,5 μm) inferiorly, (75,3; 77,5 μm) temporally, (77,1; 80,9μm) nasally, and (94,9;
99,1) as the mean RNFL thickness of all quadrans. While in non-glaucoma groups, we got (13,9; 124,9
μm) superiorly, (124,8 ; 126,2 μm) inferiorly, (79,0 ; 81,5 μm) temporally,(74,1 ; 74,6 μm) nasally, and
mean RNFL of all quadrans were (100,2 ; 101,7 μm). Mean deviation of visual field after surgery was
statistically higher in non-glaucoma groups (p=0,005). In other hand, glaucoma patients yielded
decreasing MD of visual field, even it was not statistically significant (p=0,071).

Conclusion: There were increasing peripapillay RNFL thickness following phacoemulsification in both
chronic glaucoma and non-glaucoma patients. Mean deviation of visual field in chronic glaucoma patient
revealed a decline, and otherwise, an increment of visual field wasobtained in non-glaucoma patient after
surgery.

Keywords: cataract, chronic primary glaucoma, phacoemulsification, retinal nerve fiber layer, optical
coherence tomography

vii

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR..................................................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................................................................................. vii
ABSTRAK....................................................................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................................ 4
1.4 Hipotesis............................................................................................................................. 4
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................................................ 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................... 5
2.1 Anatomi............................................................................................................................. 5
2.2 Papil Optik.......................................................................................................................... 6
2.2.1 Lapisan Serabut Saraf Retina Perpapil............................................................................... 7
2.3 Katarak............................................................................................................................... 8
2.4 Glaukoma Primer................................................................................................................ 9
2.4.1 Glaukoma Primer Sudut Terbuka....................................................................................... 9
2.4.2 Glaukoma Primer Sudut Tertutup...................................................................................... 10
2.4.3 Tekanan Intra Okular.......................................................................................................... 11
2.5 Mekanisme Kerusakan RNFL Peripapil pada Glaukoma.................................................. 12
2.6 Peningkatan TIO pada Fakoemulsifikasi dan Pengaruhnya Terhadap RNFL Peripapil.... 12
2.7 Spectral-Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT).......................................... 13
BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP........................................................................... 17
3.1 Kerangka Teori................................................................................................................... 17
3.2 Skema Kerangka Teori....................................................................................................... 19

viii

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


3.3 Skema Kerangka Konsep................................................................................................... 20
BAB 4 METODE PENELITIAN................................................................................................ 21
4.1 Desain Penelitian................................................................................................................ 21
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................................................ 21
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian.......................................................................................... 21
4.4 Kriteria Pemilihan Sampel................................................................................................. 21
4.5 Besar Sampel dan Cara Pemilihan Sampel........................................................................ 22
4.6 Alat dan Bahan................................................................................................................... 23
4.7 Alur Penelitian.................................................................................................................... 24
4.8 Cara Kerja Penelitian.......................................................................................................... 25
4.9 Definisi Operasional........................................................................................................... 27
4.10 Analisis Data...................................................................................................................... 28
BAB 5 HASIL............................................................................................................................... 30
5.1 Pengambilan Data............................................................................................................... 30
5.2 Karakteristik Subjek........................................................................................................... 30
5.3 Analisis Pasca Fakoemulsifikasi........................................................................................ 33
5.4 Analisis Intra Kelompok..................................................................................................... 34
BAB 6 PEMBAHASAN................................................................................................................ 38
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................... 43
Daftar Pustaka................................................................................................................................. 44
Lampiran.......................................................................................................................................... 48

ix

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Lapisan Neurosensoris Retina............................................................................................... 5


Gambar 2.1.2 Sel Fotoreseptor Pada Lapisan Retina....................................................................... 6
Gambar 2.2.1 Schematic subdivision of the optic nerve head in four portions............................... 7
Gambar 2.7.1 Diagram Skematik Cara Kerja Mesin OCT.............................................................. 14
Gambar 2.7.2 Hasil Optical Coherence Tomography (OCT).......................................................... 16
Gambar 3.2 Bagan Kerangka Teori.............................................................................................. 19
Gambar 3.3 Bagan Kerangka Konsep........................................................................................... 20
Gambar 4.7 Alur Pasien Penelitian............................................................................................... 24
Gambar 5.1 Skema Pengambilan Data......................................................................................... 30
Gambar 5.2.1 Sebaran Jenis Diagnosa Pada Kelompok Glaukoma................................................ 32
Gambar 5.4.1 Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi pada
Kelompok Glaukoma................................................................................................ 34
Gambar 5.4.2.Perubahan Rerata Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi
Pada Kelompok Non Glaukoma................................................................................. 35
Gambar 5.4.3.Lapangan Pandang Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada Kedua Kelompok.......... 36
Gambar 5.5.4.Rerata Quality Image Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada Kelompok Penelitian 37

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 5.2.1.Sebaran Subjek Menurut Karakteristik Demografik Dalam Kelompok Penelitian..... 30


Tabel 5.2.2.Sebaran Subjek Menurut Keadaan Klinis Pada Kelompok Penelitian......................... 31
Tabel 5.2.3 Rerata Ketebalan RNFL Peripapil Pre Fakoemulsifikasi Pada Kelompok Penelitian. 32
Tabel 5.3.1.Sebaran Subjek Menurut Keadaan Klinis Pada Kelompok Penelitian......................... 33
Tabel 5.3.2Rerata Ketebalan RNFL Retina Peripapil Pasca Fakoemulsifikasi Pada Kelompok
Penelitian..................................................................................................................... 33
Tabel 5.4.1.Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada
Kelompok Glaukoma.................................................................................................. 34
Tabel 5.4.2.Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada
Kelompok Non Glaukoma........................................................................................... 35
Tabel 5.4.3.Mean deviation (MD) Lapang Pandangan Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada
Kedua Kelompok (decibels=dB)................................................................................. 36
Tabel 5.4.4 Rerata quality image pre dan pasca fakoemulsifikasi pada kelompok penelitian........ 37

xi

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Formulir Penelitian 49


Lampiran 2.Informed Consent 50
Lampiran 3.Anggaran Penelitian 52
Lampiran 4.Ethical Approval 53
Lampiran 5.Tabel Induk 54

xii

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


RNFL peripapil / Retinal Nerve Fiber Layer (RNFL) adalah lapisan retina yang terletak dibawah
internal limiting membrane dan merupakan perpanjangan dari sel ganglion. RNFL peripapil
kemudian menyatu dibagian belakang bola mata dan kemudian membentuk serabut saraf optic
dan disebut RNFL peripapil.1,2 Tepi neuroretinal merupakan perpanjangan dari lapisan serabut
saraf, yang diperlukan sebagai parameter dalam mengevaluasi optik disk. Variasi ukuran tepi
neuroretina tergantung pada jumlah aksonal, kepadatan aksonal, variasi dalam arsitektur laminar,
dan jumlah sel glial dalam disk dalam papil saraf optik.3 Lapisan serabut saraf pada mata normal
lebih baik terlihat dengan red-free illumination.4

Pada progresifitas neuropati optik seperti pada glaukoma terjadi penipisan RNFL peripapil.
Kerusakan sel ganglion dan aksonnya, yang akhirnya menyebabkan penipisan RNFL peripapil
berkorelasi terhadap penurunan fungsi lapang pandangann. Hal ini menjadi tantangan bagi klinisi
mengingat keadaan ini merupakan suatu proses yang menetap.5-8 Kerusakan sel ganglion retina
ini terjadi paling awal sebelum terjadinya perubahan cup disc ratio atau defek lapang
pandangann. Ditemukannya defek lapan pandangan pada perimetri menunjukkan telah terjadi
kerusakan sel ganglion retina sebesar 25% sampai 35% sehingga pemeriksan ini tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi dini kerusakan saraf optik.5,11

Dahulu progresifitas glaukoma ditegakkan berdasarkan gambaran cupping pada diskus optik,
namun penilaian ini tidak optimal untuk mendeteksi kerusakan saraf optik yang minimal.
Penilaian sangat subyektif dan tergantung dengan interprestasi klinisi. Maka diperlukan
pemeriksaan obyektif yang lebih akurat dan dapat mendeteksi perubahan struktur RNFL
peripapil dan progresifitasnya.

Pada tahun 1991 diperkenalkan suatu alat yaitu Optical Coherence Tomography (OCT) yang
mampu menilai morfologi retina secara kuantitaif dan kualitatif. Optical Coherence Tomography
merupakan modalitas pemeriksaan yang digunakan untuk melihat gambaran potong lintang

1
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
2

retina dengan gambaran mikrosturukturnya. Alat yang tidak invasif ini dapat digunakan sebagai
pendeteksi dini kelainan yang merubah morfologi retina termasuk RNFL peripapil, makula dan
saraf optik.6,7

Banyak faktor yang mempengaruhi ketebalan RNFL peripapil secara alami seperti usia, panjang
sumbu bola mata dan refraksi, area optik, ras.9-12 Beberapa keadaan patologis yang
mengakibatkan kelainan pada RNFL peripapil seperti NAION, atrofi papil, glaukoma dan
peningkatan tekanan intra okular (TIO).8,13 Peningkatan TIO dapat dipengaruhi dan terjadi dalam
beberapa keadaan diantaranya terjadi pada glaukoma, valsava maneuver dan manipulasi operasi
intra okular.14 Peningkatan TIO menyebabkan kompresi langsung terhadap serat-serat akson,
struktur penyokong pada syaraf optik anterior, kerusakan lempeng lamina kribosa, serta
terganggunya aliran aksoplasmik yang berakhir dengan dengan terjadinya kematian sel-sel
ganglion, sehingga terjadi penipisan RNFL retina.15 Findl dkk melaporkan peningkatan tekanan
intra okular 20mmHg dalam 5 menit dapat menyebabkan reduced pada aliran darah ke serabut
saraf optik, retina dan koroid. Peningkatan TIO salah satunya terjadi pada tindakan
fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak yang sering dilakukan. Di
negara maju, fakoemulsifikasi sudah sejak lama menjadi pilihan pertama teknik ekstraksi
katarak. Negara berkembang, termasuk Indonesia saat ini pun telah melakukan transisi menuju
fakoemulsifikasi.17,18 Teknik dan mesin fakoemulsikasi saat ini memungkinkan operator
menggunakan vakum maksimal agar dapat menyelesaikan operasi dengan cepat, keadaan ini
berisiko terhadap stabilitas bilik mata depan, maka diperlukan tiang infus yang lebih tinggi.
Tindakan ini mengakibatkan peningkatan tekanan intra okular transien. Pada setiap tahapan
fakoemulsifikasi terjadi fluktuasi TIO yang berbeda.16

Katarak dan glaukoma adalah dua penyakit terbanyak penyebab kebutaan pada usia lanjut.
Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan tertinggi di Indonesia. Survei kebutaan dan
penyakit mata di Indonesia pada tahun 1995-1997 melaporkan angka kebutaan di Indonesia
mencapai 1,47% jumlah penduduk, dengan katarak sebagai penyebab kebutaan dengan
presentase 0.76%.17-18 Glaukoma merupakan penyakit kedua yang mengakibatkan kebutaan di
dunia.19 Saat ini terdapat 67,5 juta populasi didunia menderita glaukoma dan akan terus
bertambah seiring bertambahnya usia. Diperkirakan akan mencapai angka 79,6juta pada tahun
2020.20 Di rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) terdapat kecendrungan pertambahan

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


3

jumlah populasi penderita glaukoma. Dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2010) ditemukan kasus
glaukoma suspek di RSCM sekitar 11,5% (371 kasus).21 Di antara jumlah kejadian, glaukoma
primer kronis baik sudut terbuka maupun sudut tertutup adalah kelompok terbanyak.20,23-25

Berdasarkan data diatas, maka tercetus ide penelitian ini yang bertujuan untuk melihat seberapa
besar pengaruh fluktuasi TIO selama proses fakoemulsifikasi terhadap perubahan ketebalan
RNFL peripapil pada pasien glaukoma yang sudah mengalami kerusakan sejak awal dan
kelompok pasien non glaukoma yang tidak mengalami kelainan atau kerusakan pada RNFL
peripapil. Hal ini berpengaruh terhadap fungsi penglihatan pasien pasca fakoemulsifikasi dan
pemilihan teknik fakoemulsifikasi yang aman terhadap RNFL peripapil.

Beberapa penelitian telah dilakukan tentang pengaruh peningkatan TIO terhadap kerusakan
serabut saraf peripapil pada pasien glaukoma dan non glaukoma. Peningkatan TIO yang dinilai
berdasarkan akut atau kronis serta berdasarkan onset terjadinya peningkatan TIO tersebut.16,26
Liu dkk mendapatkan terjadi penipisan RNFL peripapil setelah mengalami serangan akut dengan
peningkatan TIO >40mmHg dan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Tsai JC dkk27 dengan
peningkatan TIO 50mmHg kurang dari 48jam.

Penelitian tentang pengaruh fakoemulsifikasi terhadap makula dan RNFL peripapil pada orang
normal telah banyak dilakukan namun sepanjang pengetahuan peneliti belum ada penelitian
tentang yang pengaruh fakoemulsifikasi terhadap RNFL peripapil terhadap pasien glaukoma.

1.2 Identifikasi Masalah

Saat ini tindakan fakoemulsifikasi merupakan tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi
katarak baik pada orang glaukoma maupun non glaukoma. Pada tindakan ini terjadi fluktuasi
TIO. Fluktuasi TIO pada serangan akut kurang dari 48 jam dapat mengakibatkan penipisan
RNFL, namun belum diketahui apakah fluktuasi TIO saat fakoemulsifikasi dapat mempengaruhi
ketebalan RNFL peripapil pada pasien glaukoma.26 Penelitian yang telah dilakukan oleh Chen
dkk16 pada pasien normal didapatkan terjadi perubahan RNFL tetapi tidak bermakna secara
statistik. Apakah fluktuasi TIO pada proses fakoemulsifikasi mempengaruhi ketebalan
RNFLperipapil pada pasien glaukoma kronik?

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


4

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membandingkan perubahan ketebalan RNFL peripapil
pre dan post fakoemulsikasi pada pasien glaukoma kronis dan non glaukoma.
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui perbedaan rerata ketebalan RNFL peripapil kuadran superior, inferior, temporal,
nasal serta average sebelum dan sesudah fakoemulsikasi pada pasien glaukoma kronis dan
non glaukoma.

2. Mengetahui perbedaan rerata mean deviation (MD) pada pemeriksaan lapang pandangann
sesudah fakoemulsifikasi pada pasien glaukoma kronis dan non glaukoma.

1.4 Hipotesis

Terdapat perbedaan perubahan ketebalan RNFLperipapil sesudah fakoemulsifikasi antara


kelompok glaukoma kronik dengan kelompok non glaukoma.

1. 5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Subyek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengaturan parameter
fakoemulsifikasi pada pasien glaukoma kronis sehingga dapat mencegah kerusakan RNFL
peripapil lebih lanjut.

1.5.2 Manfaat Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian. Selain itu ilmu
yang didapat selama melakukan penelitian dapat berguna dalam menilai ketebalan RNFL dan
pengaruhnya akibat peningkatan TIO pada pasien glaukoma kronis dan kontrol.

I.5.3 Manfaat Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi pihak RS Cipto
Mangunkusumo dalam usaha meningkatkan pelayanan kesehatan.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina

Retina merupakan suatu lapisan tipis dan transparan yang berasal dari lapisan dalam dan luar
optik disk yang terdiri dari 2 bagian, bagian dalam sebagai neurosensoris dan bagian luar berupa
retinal ephithelial pigment (RPE). Secara histologis, lapisan neurosensoris retina dari arah luar
hingga dalam terdiri atas membran limitan interna (internal limiting membrane/ ILM),
RNFL(nerve fiber layer/NFL), lapisan sel ganglion (ganglion cell layer/GCL), lapisan
pleksiform dalam (inner plexiform layer/IPL), lapisan nukleus dalam (inner nuclear layer/INL),
lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer/OPL), 7. lapisan nukleus luas (outer nuclear
layer/ONL), membran limitan eksterna (external limiting membrane/ELM), lapisan sel batang
dan kerucut (rod and cone), 10. lapisan yaitu lapisan epitel pigmen retina (EPR).28

Gambar 2.1.1 Lapisan neurosensoris retina. 28

Perdarahan retina oleh dua pembuluh darah, dua pertiga bagian dalam oleh cabang arteri retina
sentralis dan sepertiga bagian luar oleh sirkulasi koroid. Makula mendapat pendarahan hanya
dari sirkulasi koroid. Kekhususan pendarahan retina adalah adanya sawar darah retina yang

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


6

berfungsi mengatur agar tercipta lingkungan yang baik untuk transisi sinyal dan melindungi mata
dari ancaman patogen dan reaksi imun sistemik. Arteri retina sentral masuk ke dalam bola mata
melalui kanal optik menuju diskus optik. Selanjutnya bercabang 4 dan masing-masing
bertanggung jawab untuk suplai darah tiap kuadran retina. Arteri berjalan bersama dengan vena
dengan posisi arteri berada di atas vena. Cabang arteri retina tersebut berada pada NFL dibawah
ILM. Arteri retina merupakan functional end-arteries. Pembuluh darah ini memiliki otot polos
yang berkembang baik, sejumlah perisit pada lamina basal endotel tetapi tidak memiliki lamina
elastik interna.29-31 Cabang arteri dan vena retina selanjutnya bercabang menjadi arteriol dan
venula. Keduanya berada pada lapisan retina yang lebih dalam dan membentuk 2 jaringan
mikrovaskular utama, yaitu kapiler superfisial pada lapisan sel ganglion dan NFL dan kapiler
dalam pada INL. Retina terdiri dari enam lapisan neuron yaitu sel fotoreseptor, sel horizontal, sel
bipolar, sel amakrin, sel interpleksiform dan sel ganglion. Keenam lapisan neuron ini melekat
pada sel glial yang berbentuk radial dan disebut sel Muller. 29

Gambar 2.1.2 Sel fotoreseptor pada lapisan retina28

2.2 Papil Optik


Papil optik juga dikenal sebagai disk optik atau papil, yang digambarkan oleh cincin scleral
peripapillary dari Elschnig, sebuah band putih yang memisahkan Papil optik dari retina
peripapillary. Bagian ini merupakan tempat utama kerusakan aksonal pada glaukoma. Papil saraf
optik merupakan bagian paling anterior saraf optik dan merupakan tempat terjadinya banyak

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


7

kelainan kongenital ataupun kelainan mata yang didapat. Papil saraf optik dapat dibagi menjadi 4
bagian yaitu RNFL, prelaminar, laminar dan retrolaminar. 2,30

Gambar 2.2.1Schematic subdivision of the optic nerve head in four portions: A, The superficial
nerve fiber layer; B, Prelaminar; C, Laminar; D, Retrolaminar30

Lapisan serabut saraf retina superfisial adalah bagian paling anterior dimana serabut saraf
berkontak dengan vitreus. Secara histopatologi dan klinis serabut saraf berbatasan dengan scleral
ring, dimana bagian posterior dari RNFLsuperfisial diketahui sebagai titik dari tiap bundel
akson. Bagian prelaminar dari papil optik merupakan segmen dari akson yang yang dikelilingi
oleh lapisan retina luar, koriokapilaris, dan koroid, secara struktur komponen astroglial sangat
meningkat dibandingkan RNFLsuperfisial. Pada bagian laminar terdapat lamina cribrosa, the
glial-wrapped axon bundles dibatasi oleh poros yang kaku dari laminar scleral plate. Laminar
posterior sampai dengan retrolaminar ketebalannya dua kali lipat karena adanya the glial-
wrapped axon bundles.31

2.2.1 Lapisan Serabut Saraf Retina Peripapil

Lapisan serabut saraf retina peripapil dibentuk oleh akson dari sel ganglion retina dan berasal
dari serabut saraf optik. Setiap saraf optik memiliki lebih dari satu juta serabut saraf optik. Akson
pada retina tersusun menuju ke arah optik disk. Serabut saraf pada bagian temporal retina, baik
dari sisi superior maupun inferior langsung menuju optik disk menyatu membentuk
papilomacular bundle. Adanya papilomacular bundle ini menyebabkan serabut saraf dari arah

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


8

temporal terbagi dua dan berjalan melingkari bundle tersebut pada bagian superior dan
inferior.29-31

Lapisan serabut saraf peripapil memiliki ketebalan yang bervariasi berdasarkan lokasinya di
retina. Variasi ketebalan retina ditentukan oleh ketebalan RNFL dari masing-masing individu.
Bagian yang paling tebal berada dekat dari porus optik dan semakin berkurang pada daerah ora
serrata. Ketebalan RNFL peripapil paling tebal berada disekitar batas diskus saraf optik. Di
daerah ini ketebalan dapat mencapai 20 µm sampai 30 µm.29

Perubahan ketebalan paling besar tampak di daerah peralihan parafovea, dimana RNFL peripapil
pada daerah ini menjadi sangat tipis, bahkan dapat hanya terdiri dari satu sel ganglion. Pada
polus atas dan bawah saraf optik ketebalan RNFL peripapil peripapil dapat mencapai 0,2 mm
sedangkan pada bagian perifer retina ketebalan menurun hingga hanya tersisa 0,01 mm.29-31
Ketebalan RNFL pada tiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu usia, panjang sumbu
bola mata dan refraksi, area optik disk, jenis kelamin dan ras.9-12

2.3 Katarak

Seiring dengan bertambahnya usia, lensa mengalami penambahan berat dan ketebalan serta
penurunan daya akomodasi. Lapisan baru pada serat kortikal berbentuk konsentris, inti lensa
mengalami kompresi dan pengerasan (nuclear sclerosis). Ada 3 jenis utama katarak yang
berkaitan dengan usia : subkapsular nuklear, kortikal, dan posterior. Pada banyak pasien
mengalami lebih dari satu komponen. Dokter mata dapat menilai tingkat peningkatan warna dan
kekeruhan dengan menggunakan biomikroskop lampu celah dan dengan memeriksa refleks
merah dengan pupil lebar.32

Katarak nuklear cenderung berkembang perlahan-lahan. Biasanya bersifat bilateral kadang dapat
asimetris. Katarak nuklear biasanya menyebabkan penurunan tajam penglihatan jauh. Pada tahap
awal pengerasan progresif inti lensa sering menyebabkan peningkatan indeks bias lensa dan
dengan demikian pergeseran refraksi (lenticular miopia). Dalam kasus lanjut, inti lensa menjadi
buram dan coklat disebut katarak nuklear brunescent. 32

Berbeda dengan katarak nuklear, katarak kortikal berhubungan dengan gangguan lokal struktur
sel serat matang. Katarak kortikal biasanya bilateral tetapi sering asimetris. Efek katarak kortikal

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


9

terhadap tajam penglihatan sangat bervariasi, tergantung lokasi kekeruhan. Gejala umum katarak
kortikal adalah silau terhadap sumber cahaya yang intens, seperti lampu mobil. Perkembangan
katarak kortikal sangat bervariasi. Gambaran kekeruhan berbentuk baji (sering disebut jari-jari
kortikal atau kekeruhan runcing) yaitu gambaran pinggiran lensa, dengan ujung runcing dari
kekeruhan berorientasi menuju pusat. Jari-jari kortikal muncul sebagai kekeruhan putih bila
dilihat dengan biomikroskop celah-lampu dan sebagai bayangan gelap bila dilihat pada
retroillumination. Ketika seluruh korteks dari kapsul ke inti menjadi putih dan buram, katarak
dikatakan matur. Dalam kekeruhan matur, lensa menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan
yang nantinya akan menjadi menjadi katarak kortikal intumescent. Katarak hipermatur terjadi
ketika terjadi kebocoran materi kortikal melalui kapsul lensa, mengakibatkan kapsul menjadi
keriput dan menyusut. Sebuah katarak morgagni terjadi ketika pencairan lebih lanjut dari korteks
memungkinkan gerakan bebas dari inti dalam kantong kapsuler.32

Katarak subkapsular posterior sering terlihat pada pasien yang lebih muda dilapisan kortikal
posterior dan biasanya aksial. Indikasi pertama adalah terlihat gambaran kilauan warna-warni
dikortikal posterior yang dapat dilihat dengan pemeriksaan lampu celah. Pada stadium lanjut,
terjadi kekeruhan granular dan kekeruhan plak dari posterior subkapsular. Pasien sering
mengeluh silau dan penglihatan buram terutama dalam kondisi pencahayaan yang terang, karena
pada keadaan tersebut menginduksi pupil menjadi miosis dan berakomodasi. Penglihatan jarak
dekat lebih terganggu dibandingkan penglihatan jauh. Deteksi dengan lampu celah lebih baik
pada keadaan pupil lebar dan retroillumination. Katarak subkapsular posterior ini dapat
dipengaruhi juga trauma, sistemik, topikal, kortikosteroid atau intraocular digunakan,
peradangan, paparan radiasi, dan alkoholisme.32

2.4 Glaukoma Primer


2.4.1 Glaukoma Primer Sudut Terbuka
Glaukoma primer sudut terbuka merupakan suatu optik neuropati yang perjalanan penyakitnya
kronis dan mempunyai progresifitas lambat. Faktor resiko yang berperan dalam perjalanan
penyakit ini adalah TIO, ras, ketebalankornea sentral, usia dan riwayat keluarga. Selain itu
penurunan perfusi saraf optik, abnormalitas akson atau metabolisme sel ganglion dan kelainan
matriks ekstraselular lamina kribosa juga ikut mempengaruhi.19,22 Dari seluruh faktor yang
berperan, TIO merupakan satu-satunya faktor yang dapat dimodifikasi.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


10

Berdasarkan letak anatominya, etiologi glaukoma primer sudut terbuka (POAG) dapat dibagi
menjadi 3 yaitu pretrabekular, trabekular dan post trabekular. Pretrabekular disebabkan oleh
pertumbuhan membran yang berlebih (overgrowth) di jaringan trabekulum, trabekular
disebabkan obstruksi aliran keluar pada jaringan trabekulum dan post trabekular disebabkan oleh
obstruksi pada kanal Schlemm atau karena peningkatan tekanan episklera.33

Penatalaksanaan POAG ditujukan untuk menurunkan TIO dan dapat dibagi menjadi terapi
medikamentosa, laser dan operasi. Early Manifest Glaucoma Trial mendapatkan penurunan TIO
sebesar 25 % akan menurunkan progresifitas dari 62% - 45%.35 Penelitian yang dilakukan oleh
Advance Glaucoma Intervention Study (AGIS) menunjukkan TIO ≤ 18 mmHg dapat
menghambat progresifitas kehilangan lapang pandang. 34

2.4.2 Glaukoma Primer Sudut Tertutup

Glaukoma primer sudut tertutup (POCG) adalah glaukoma primer dengan hambatan aliran akuos
akibat sudut bilik mata depan yang tertutup pangkal iris atau sinekia anterior perifer (blokade
pupil). Anatomi mata yang merupakan predisposisi terjadinya blokade pupil adalah sudut bilik
mata depan yang sempit, bilik mata depan yang dangkal, lensa yang tebal, axial length yang
pendek, posisi lensa yang terletak lebih ke anterior, diameter kornea yang kecil, serta mata
hipermetropia. Pada gonioskopi akan terlihat anyaman trabekulum kurang dari 180O.3

Glaukoma primer sudut tertutup terbagi menjadi 4 tahap yaitu dicurigai intermitten, subakut,
akut, kronik. Pada tahap dicurigai terdapat penutupan sudut bilik mata depan, volume bilik mata
depan yang dangkal dan sudut iridokorneal yang sempit. Pada tahap ini pasien tidak memiliki
gejala. Serangan intermitten PACG biasanya akan mendahului serangan glaukoma akut dan
berkembang menjadi bentuk kronis. Glaukoma sudut tertutup akut, terjadi secara tiba-tiba
dengan rasa sakit di mata dan kepala yang hebat. Gejala lain berupa penglihatan kabur, melihat
warna pelangi di sekitar lampu (halo), mata merah, mual dan muntah. Proses penutupan sudut
bilik mata depan pada PACG kronis dapat berjalan perlahan-lahan (creeping angle closure).
Umumnya PACG kronis tidak menimbulkan gejala yang nyata dan secara klinis menyerupai
glaukoma sudut terbuka, kecuali bilik mata depannya yang tertutup. Glaukoma sudut tertutup
kronis dalam perjalan penyakitnya dapat pula mengalami serangan akut.22,35,36

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


11

2.4.3 Tekanan Intra Okular

Tekanan intraokular dipengaruhi oleh aliran akuos masuk (inflow) dan keluar (outflow). Aliran
masuk ditentukan oleh produksi akuos, sedangkan aliran keluar ditentukan oleh kecepatan aliran
akuos dari jaringan trabekulum ke kanal Schlemm dan tekanan di episklera.37 Cairan akuos
diproduksi oleh badan siliar melalui kombinasi ultrafiltrasi darah dan sekresi aktif oleh epitel
siliar, kemudian mengalir dari bilik mata belakang melalui pupil ke bilik mata depan, melewati
jalur trabekular pada sudut bilik mata depan dan jalur uveosklera.15 Volume cairan akuos yang
bersirkulasi adalah sebesar 1-1,5 % dari volume bilik mata depan per menit. Kecepatan produksi
akuos adalah sekitar 2,5 ul/menit. Banyaknya produksi cairan akuos dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti integritas sawar darah-akuos, aliran darah ke badan siliar, serta regulasi
neurohormonal terhadap jaringan pembuluh darah serta epitel badan silier.38 Faktor yang
mempengaruhi pengukuran TIO dibagi menjadi 2 yaitu faktor jangka panjang dan faktor jangka
pendek. Yang termasuk faktor jangka panjang adalah genetik, umur, jenis kelamin, kelainan
refraksi dan ras. Faktor jangka pendek meliputi variasi diurnal, variasi postural, olahraga, kondisi
intraokular, kondisi sistemik, makanan dan obat-obatan yang dikomsumsi.15,38

Secara garis besar cara pengukuran TIO terbagi atas tehnik indentasi, applanasi dan non kontak.
Tonometer yang menggunakan tehnik indentasi adalah tonometer Schiotz. Akurasi alat tersebut
dipengaruhi kekakuan (rigiditas) okular. Tonometer dengan tehnik applanasi merupakan
pemeriksaan yang aman, mudah dilakukan dan relatif akurat. Tonometer Goldmann, Perkins dan
Draeger adalah beberapa contoh tonometer yang menggunakan tehnik applanasi. Tonometer
applanasi Goldmann bekerja dengan mengukur tekanan yang diperlukan untuk mendatarkan
permukaan kornea. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran adalah konsentrasi
flourecein, kurvatura kornea, ketebalan kornea sentral dan lebar tear meniscus. Tonometer non
kontak bekerja dengan cara mengukur waktu yang diperlukan oleh tekanan udara untuk
mendatarkan permukaan kornea. Tonometer non kontak cukup akurat pada TIO yang mendekati
normal, namun keakuratan berkurang pada TIO tinggi, permukaan kornea tidak normal atau mata
tidak dapat berfiksasi.41 Penelitian berdasarkan populasi mendapatkan rerata tekanan intraocular
normal adalah 15,5 mmHg dengan simpangan baku sebesar 2,6 mmHg.42 Tekanan intraokular
dikatakan tinggi bila terdapat peningkatan sebanyak 2 kali standar deviasi yaitu 21 mmHg.39

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


12

2.5 Mekanisme kerusakan RNFL peripapil pada glaukoma

Glaukoma adalah suatu optik neuropati dimana terdapat kerusakan pada akson saraf optik yang
pada akhirnya terjadi kematian dari sel ganglion retina.40,41 Terdapat beberapa teori yang
menerangkan hal tersebut yaitu teori mekanik dan iskemik. Pada teori mekanik terdapat tekanan
langsung pada akson serabut saraf retina peripapil pada saraf optik bagian anterior yang pada
akhirnya terjadi distorsi pada lamina kribosa dan hambatan pada axoplasmic flow sehingga
terjadi kematian pada sel ganglion retina. Pada teori iskemik terjadi iskemia intraneural yang
dihasilkan dari penurunan perfusi ke saraf optik dimana perfusi ini dihasilkan dari kerusakan
pada autoregulasi pembuluh darah yang pada akhirnya terjadi penurunan perfusi dan merusak
saraf optik. Selain kedua hal tersebut terdapat juga hubungan antara kerusakan saraf optik
dengan deprivasi neurotropin pada pasien glaukoma dimana terdapat hubungan antara sel
ganglion retina dan sistem saraf pusat sehingga bila tidak adanya brain derived neurotrophic
factor (BDNF) akibat adanya iskemia atau peningkatan TIO akan menyebabkan terjadinya
kematian sel ganglion retina dan pada akhirnya terjadi penipisan serabut saraf retina
peripapil.42,43

2.6 Peningkatan TIO pada Fakoemulsifikasi Dan Pengaruhnya Terhadap RNFL Peripapil.

Findl dkk44 melaporkan peningkatan tekanan intra okular 20mmHg dalam 5 menit dapat
menyebabkan reduced pada aliran darah ke serabut saraf optik, retina, dan koroid. Quigley dkk 45
mendapatkan pada mata tikus peningkatan tekanan intra okular kurang dari satu menit dapat
menghambat transportasi retrograde pada neurotropin esensial dari otak ke retina.

Fakoemulsifikasi adalah teknik operasi katarak yang sering dilakukan. Di negara maju,
fakoemulsifikasi sudah sejak lama menjadi pilihan pertama teknik ekstraksi katarak. Negara
berkembang, termasuk Indonesia saat ini pun telah melakukan transisi menuju fakoemulsifikasi.
Fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak dengan membuat insisi kecil pada tepi kornea
kurang dari 3 mm, kemudian nukleus lensa dihancurkan menggunakan probe ultrasound lalu
diaspirasi, dan tetap membiarkan kapsul posterior lensa berada ditempatnya. Teknik ini terbukti
meningkatakan tajam penglihatan terbaik tanpa koreksi pasca operasi. 17,18

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


13

Teknik dan mesin fakoemulsikasi saat ini memungkinkan operator menggunakan vakum
maksimal agar dapat menyelesaikan operasi dengan cepat, keadaan ini berisiko terhadap
stabilitas bilik mata depan, maka diperlukan tiang infus yang lebih tinggi. Tindakan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan intra okular transien. Crhistopher khng dkk melakukan
pengukuran TIO pada setiap tahap fakoemulsifikasi dengan implantasi IOL dibandingkan antara
bimanual microincision dengan coaxial incision pada mata cadaver dengan menggunakan alat
perekam yaitu a pressure transducer (ultra-miniature 3.5F/1.145 mm, single pressure sensor,
intravascular Mikro-Tip catheter, Millar Instruments, Inc.) yang diletakkan di kavitas vitreous.
Tekanan intra okular pada setiap tahapan tidak sama, dilaporkan bahwa TIO tertinggi yang
terekam pada masing-masing dari 4 mata cadaver yang diteliti adalah 196,6mmHg (94,3 ± 14,8),
58,8mmHg (88,0 ± 20,6), 66,1mmHg (39,9 ± 9,3), 100,6mmHg (63,8 ± 16,0). Rata-rata setiap
mata yang mengalami TIO ≤ 60mmHg selama fakoemulsifikasi yaitu selama 47,9% - 84,8% dari
waktu pencatatan dimulai sampai selesai (9-12,5 menit).

Berbeda dengan penjelasan pengaruh peningkatan TIO pada serangan akut yang mengakibatkan
penipisan RNFL peripapil, Pardianto dkk melakukan penelitian tentang perubahan retina setelah
fakoemulsifikasi. Penelitian ini mendapatkan terjadi penebalan makula pada pasien pasca
fakoemulsifikasi yang disebabkan oleh kerusakan sawar darah retina (blood–retinal barrier).

2.7 Spectral-Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT)

Optical Coherence Tomography (OCT) adalah suatu alat pemeriksaan diagnosa jaringan tubuh
invivo secara tidak invasif. OCT pertama kali dipakai untuk aplikasi klinik pada tahun 1997.
Beberapa tahun belakangan ini penggunaannya meningkat pesat dalam oftalmologi terutama oleh
spesialis retina. Selain itu OCT dapat dipakai juga untuk kelainan glaukoma. Informasi kelainan
retina dapat diterangkan oleh OCT seperti edema makula, RPE detachment, perubahan
neovaskular intra-retinal dan sub-retinal, serta traksi vitreoretina. Selain itu OCT dapat dipakai
juga sebagai alat bantu tambahan pemeriksaan angiografi. 47,48

Optical coherence tomography (OCT) merupakan suatu alat pemeriksaan imaging dengan
prinsip kerja mirip dengan pemeriksaan ultrasonografi B-mode, namun OCT lebih sensitif dan
akurat. Ultrasonografi dengan resolusi 150 mikron, sedangkan OCT 10 mikron untuk time-
domain OCT (TD-OCT) dan 1-6 mikron untuk spectral-domain OCT (SD-OCT). Alat ini

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


14

memakai gelombang cahaya, berbeda dengan ultrasonogafi yang memakai gelombang suara,
sehingga OCT tidak memerlukan kontak dengan mata. Pemeriksaan OCT ini hanya memerlukan
waktu beberapa detik, OCT mudah dilakukan dan mudah interpretasinya, cepat, reliabel, sensitif,
reproducible, dan non-kontak.47-49

Gambar 2.7.1 Skema spectral domain OCT49

Interpretasi pemeriksaan OCT untuk mendeteksi kelainan di retina dapat dibagi menjadi 3 yaitu
pengukuran morfologi, reflektiviti dan ketebalan retina. Secara gambaran morfologi, OCT dapat
mendeteksi kelainan dari profil retina, permukaan retina dan perubahan struktur retina posterior,
seperti menghilangnya depresi fovea pada edema makula dan gambaran seperti kista pada edema
makula kistoid.

Perubahan refektiviti dari jaringan merupakan elemen penting pada analisa OCT. Membran
limitan interna terlihat jelas pada OCT karena kontras antara vitreus yang tidak atau kurang
memantulkan (non-reflective) dan retina yang mudah memantulkan (higly reflective). Lapisan
pleksiform internal dan eksternal dapat dikenali dengan sedikit memantulkan (slightly reflective).
Tingkat pantulan lapisan pleksiform lebih tinggi dari lapisan inti. Bagian luar sensoris retina
dibatasi oleh area yang sangat memantulkan gelombang (high reflective) setebal 70 mikron yang
merupakan lapisan epitel pigmen retina. Membran bruch dan lapisan koriokapiler umumnya
terlihat sebagai strukur yang less reflective. Lapisan fotoreseptor membentuk pita yang poor
reflective di depan RPE. Poor reflective terjadi karena orientasi sel-sel fotoreseptor. Pita
fotoreseptor lebih tebal di area depresi kornea. Pembuluh darah normal yang terletak di NFL
dapat dikenali dengan adanya shadow areas yang terbentuk di lapisan posterior.47,48

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


15

Pemeriksaan kuantitatif berupa ketebalan retina merupakan salah satu pemeriksaan yang penting
pada beberapa kelainan retina, dan dapat menilai setelah terapi medikamentosa, laser maupun
operasi. Ketebalan retina normal adalah 200 s/d 275 mikron. Foveal depression antara 170-190
mikron. Ketebalan retina dapat juga digambarkan dengan perubahan warna pada retinal
mapping. Ketebalan retina lebih dari 470 mikron adalah warna putih, ketebalan 350 s/d 470
berwarna merah, 320 s/d 350 mikron warna jingga, 270 s/d 320 warna kuning, 210 s/d 270 warna
hijau, dan 150 s/d 210 warna biru. 47,48

Sejak 2004, SD-OCT dengan standar yang lebih tinggi telah memasuki praktek klinik dengan
resolusi 1 - 5 mikron serta dengan peningkatan visualisasi pada karakteristik morfologi dan
patologi retina. Teknologi SD-OCT menggunakan low-coherence interferometry untuk
mendeteksi pantulan cahaya, dengan spektrometer dan kamera kecepatan tinggi berdasarkan
transformasi Fourier. Aplikasi dari formula ini dapat mengukur pantulan cahaya secara simultan,
dibandingkan dengan TD-OCT yang secara sekuensial. SD-OCT secara signifikan dapat
mengurangi gambaran artefak akibat pergerakan dibandingkan dengan TD-OCT, dan SD OCT
memberikan analisis volumetrik yang lebih akurat dan gambaran 3-dimensi. 50-51

3D-OCT 1000 (TOPCON, PARAMUS, NEW JERSEY, USA) merupakan salah satu jenis SD-
OCT mempunyai resolusi axial 6 mikron dan kecepatan 18.000 A-scan per detik. Akuisisi
segmen posterior mencakup 6x6-mm, 4.5x4.5-mm, atau 3x3-mm volume cube scans, dan
memiliki metode 3D rendering. Integrasi dari 3.15-megapixel kamera non-midriatik adalah
sebuah aspek unik dari sistem tersebut yang akan membuat foto fundus berwarna dan juga pada
gambar OCT dapat didapatkan ketebalan retina dan analisis glaukoma.50-51

Salah satu manfaat OCT adalah untuk menilai ketebalan RNFL peripapil. Pengukuran ketebalan
RNFL peripapil ini dilakukan dengan pola pemindaian sirkular di sekitar papil saraf optik. 52
Pemindaian dimulai pada sisi temporal dan dilanjutkan searah jarum jam pada mata kanan
kemudian pengukuran mata kiri berlawanan dengan arah jarum jam dengan diameter pemindaian
3,4 mm. Nilai ketebalan RNFL peripapil didapat dari rerata 3 kali pengukuran, masing masing
merupakan hasil A-Scan pada 256 titik (pada fast RNFL scan type). Nilai ketebalan RNFL
peripapil digambarkan dalam bentuk grafik TSNIT dan diagram lingkaran yang dibagi menjadi
empat kuadran (temporal, superior, nasal dan inferior) disertai nilai rerata hasil pengukuran

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


16

ketebalan RNFL masing-masing kuadran.51 Selain itu dicantumkan pula ketebalan RNFL
peripapil secara keseluruhan (mean global) dan ketebalan RNFL peripapil pada setiap derajat
jarum jam (30⁰). Nilai rerata ketebalan RNFL peripapil masing-masing kuadran diketahui
memiliki angka reproducibility yang lebih baik dibandingkan dengan rerata seluruh ketebalan
RNFL peripapil.52

Penggunaan OCT untuk melihat perubahan ketebalan RNFL peripapil telah banyak
dimanfaatkan untuk mengindentifikasi gangguan fungsi penglihatan pada penyakit lain seperti
neuropati optik glaukoma dan multipel sklerosis (MS) yang sering disertai kejadian neuritis
optik. Pada studi-studi tersebut diketahui bahwa perubahan ketebalan RNFL peripapil terkait
dengan gangguan fungsi penglihatan seperti tajam penglihatan, lapang pandangann ataupun
gangguan penglihatan pada tingkat kontras rendah. Pada penderita MS, kemampuan identifikasi
kelainan fungsi penglihatan oleh OCT ini bahkan disamakan dengan kemampuan MRI kepala
untuk mendeteksi adanya MS.53,54

Gambar 2.7.2 Hasil Optical coherence tomography (OCT)

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 3

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

3.1 Kerangka Teori

1. Lapisan serabut saraf peripapil adalah serabut saraf yang terbentuk oleh akson dari sel
ganglion retina dan merupakan serabut saraf optik.
2. Pada progresifitas neuropati optik seperti pada glaukoma RNFLperipapil menjadi tipis.
3. Diperlukan pemeriksaan objektif yang lebih akurat dan dapat mendeteksi perubahan struktur
RNFL peripapil dan progresifitasnya, salah satunya dengan menggunakan Optical
Coherence Tomography (OCT)
4. Evaluasi ketebalan RNFL peripapil menggunakan OCT ini populer penggunaannya untuk
diagnosis dini pasien dengan neuropati optik seperti glaukoma.
5. Ketebalan RNFL peripapil yang lebih rendah juga diketahui memiliki korelasi kuat dengan
gangguan lapang pandangann pada pasien yang menderita glaukoma.
6. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketebalan RNFL peripapil yaitu: Usia, panjang
sumbu bola mata dan refraksi, area optik disk memiliki RNFL peripapil yang lebih tebal,
ras.
7. Peningkatan TIO dapat terjadi pada glaukoma, valsava manufer, manipulasi operasi intra
okular.
8. Peningkatan TIO menyebabkan kompresi langsung terhadap serat-serat akson, struktur
penyokong pada syaraf optik anterior, kerusakan lempeng lamina kribosa, serta
terganggunya aliran aksoplasmik yang berakhir dengan dengan terjadinya kematian sel-sel
ganglion, sehingga terjadi penipisan RNFL peripapil.
9. Peningkatan TIO salah satunya terjadi pada tindakan fakoemulsifikasi.
10. Teknik dan mesin fakoemulsikasi saat ini memungkinkan operator menggunakan vakum
maksimal agar dapat menyelesaikan operasi dengan cepat, keadaan ini berisiko terhadap
stabilitas bilik mata depan, maka diperlukan tiang infus yang lebih tinggi. Tindakan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan intra okular transien. Pada setiap tahapan
fakoemulsifikasi terjadi peningkatan TIO yang berbeda.

17
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
18

11. Beberapa penelitian di negara lain menilai pengaruh TIO terhadap penipisan RNFL,
pengaruh tindakan fakoemulsifikasi terhadap penipisan RNFL fovea dan perifovea
dibandingkan antara pasien glaukoma dengan kontrol.
12. Sampai saat ini sepanjang pengetahuan peneliti belum ada penilitian yang menilai
perbandingan RNFL peripapil pre dan pasca fakoemulsifikasi pada pasien glaukoma dan
non glaukoma baik di Indonesia maupun di negara lain.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


19

3.2 Skema Kerangka Teori

Glaukoma Primer Kronik Non Glaukoma

Peningkatan TIO

 Kompresi langsung terhadap serat-serat akson


 Struktur penyokong pada syaraf optik anterior
 Kerusakan lempeng lamina kribosa
 Terganggunya aliran aksoplasmik

Kematian Sel Ganglion

Penipisan Serabut Saraf Retina Peripapil

Katarak Senilis

Fakoemulsifikasi

Fluktuasi TIO

Pemeriksaan OCT
Blokade transpor akson pembengkakan diskus optik dan
kematian sel ganglion

Degenerasi sekunder pasca fluktuasi TIO

Penipisan Lapisan Serabut Saraf Retina Peripapil

Setelah 6 Minggu

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


20

3.3 Skema Kerangka Konsep

Glaukoma primer
kronik

Katarak senilis
Perubahan ketebalan
Fakoemulsifikasi serabut saraf
peripapil
Non Glaukoma
Katarak senilis

Variabel dependen yang akan diteliti

Variabel independen yang akan diteliti

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi kohort.

4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di poli mata divisi glaukoma dan poli umum RSCM Kirana.Waktu
penelitian dimulai dari bulan Juni 2013 dan sampel tercukupi pada bulan Desember 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi Terjangkau
Semua pasien glaukoma kronik dengan derajat katarak NO2, NC2 – NO4, NC4 dengan
atau tanpa kekeruhan kortikal dan posterior subkapsular (menurut klasifikasi LOCS III37)
yang berobat ke Poli klinik Mata Kirana RSCM.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel dipilih dari populasi terjangkau yang diindikasikan dan memenuhi syarat untuk
dilakukan tindakan fakoemulsifikasi sesuai kriteria penelitian. Sampel penelitian dipilih
dengan cara konsekutif sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

4.4 Kriteria Pemilihan Sampel


4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Usia 40 sampai dengan 70 tahun
2. Tajam penglihatan dengan koreksi terbaik > 3/60
3. Refractive error antara + 3D sampai -6D
4. Tekanan intraokular (TIO) < 21 mmHg. Pasien glaukoma dengan TIO terkontrol
dengan dan tanpa medikamentosa

21
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
22

5. Grade katarak berdasarkan LOCS III NC3 - NC4 dan bersedia dilakukan
fakoemulsifikasi.
6. Bersedia ikut penelitian setelah diberi penjelasan dengan menandatangani formulir
persetujuan (Informed Consent)

4.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Kelainan retina berat yang dapat mempengaruhi lapang pandangan, seperti retinopati
diabetik lebih dari moderat, retinopati hipertensi lebih dari grade 2, uvetis posterior dan
retinitis pigmentosa
2. Kelainan saraf optik yang tidak disebabkan oleh glaukoma misalnya NAION.
3. Kekeruhan media refraksi yang menyebabkan gangguan dalam pemeriksaan OCT.
4. Riwayat trauma pada mata yang akan diteliti.
5. Riwayat operasi mata sebelumnya yang menyebabkan kesulitan dalam penilaian refraksi,
misalnya LASIK.

4.5 Besar Subyek dan Cara Pemilihan Sampel

4.5.1 Besar Subyek

1,96 + 0.84 25,41


2
= 2 ______________________
27,91

= 13

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


23

α = Kesalahan tipe I (batas kemaknaan) ditetapkan 5%,


sehingga tingkat kepercayaan penelitian 95%

Zα = Nilai Z pada derajat kemaknaan α = 1,96

β = Kesalahan tipe II 20%, sehingga power penelitian 80%

Zβ = Nilai Z pada kesalahan β = 0,84

X₁-X₂ = Perbedaan maksimal ketebalan RNFL = 27,91µm

SD = Standar deviasi = 23,48

N = Jumlah sampel tiap kelompok = 13

Total besar sampel untuk kedua kelompok adalah 26 mata.

4.5.2 Pemilihan Subyek

Subyek dipilih dari penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek penelitian dihitung dalam
mata. Apabila salah satu mata memenuhi kriteria inklusi, maka mata ikut dimasukkan dalam
penelitian ini.

4.6 Alat dan Bahan

Peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Snellen chart
2. Lampu celah (slit lamp)
3. Tonometri applanasi Goldmann (Haag-Streit®)
4. Humphrey field analyzer
5. Lensa 78 D
6. SD-OCT ® (Carl Zeiss meditec, Inc, Dublin, CA)
7. Tetes mata anastesi lokal (pantocain®)
8. Tetes mata tropicamide 1% (Mydriatil 1%®)

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


24

4.7 Alur Penelitian

Pasien baru/lama di poli umum / poli Kornea


Pasien glaukoma
Bedah Refraktif

Pemeriksaan : Pemeriksaan :

- Refraksi subyektif TPDK : - Refraksi subyektif TPDK :


satu mata >3/60dan satu mata >3/60 dan
refractive error antara +3D refractive error antara +3D
sampai-6D sampai-6D
- Evaluasi segmen anterior : - Evaluasi segmen anterior :
normal normal
- Tonometri Goldmann: TIO < - Tonometri Goldmann: TIO <
21 mmHg 21 mmHg
- Lapang pandangann - Lapang pandangann
(Humphrey field analyzer) : (Humphrey field analyzer) :
normal defek +
Katarak senilis Glaukoma Primer Kronik

( Kontrol ) Katarak senilis


-

Tropicamide 1%

Grading katarak (LOCS III)

Evaluasi segmen posterior


Penjadwalan operasi fakoemulsifikasi Eksklusi
Kelainan saraf retina berat (+)
dengan implantasi IOL
Informed consent

Pemeriksaan ketebalan RNFL dengan OCT papil

Pemeriksaan keratometri dan biometri

Fakoemulsifikasi dan implantasi lensa intra okuler

Pemeriksaan ketebalan RNFL dengan OCT papil


setelah 1- 4 minggu post fakoemulsifikasi

TIO

Analisis

Laporan

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


25

4.8 Cara Kerja Penelitian


4.7 Cara Kerja Penelitian
1. Subyek yang memenuhi kriteria inklusi ditentukan oleh konsultan yang berkompeten
dalam mendiagnosis glaukoma primer sudut terbuka dan glaukoma primer sudut tertutup
serta derajat kekeruhan katarak dari poliklinik mata Kirana divisi glaukoma, divisi
Kornea dan Bedah Refraktif.
2. Tahap awal penelitian dimulai dengan melakukan anamnesis tentang umur, jenis kelamin,
pekerjaan dan riwayat pemakaian obat sistemik serta obat tetes mata. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan snellen chart,
pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah, pemeriksaan sudut bilik mata depan
dengan menggunakan goniolens, serta pemeriksaan funduskopi. Pengukuran TIO
menggunakan applanasi Goldmann dilakukan secara tersamar oleh evaluator yaitu
residen tahap III yang sedang bertugas di divisi Glaukoma.
3. Dilakukan pemeriksaan lapang pandangann dengan Humphrey field analyzer (HFA),
pemeriksaan HFA juga dilakukan pada pada kedua kelompok yang diteliti akan
dilakukan oleh satu orang perawat terlatih. Pada pemeriksaan HFA dikatakan hasilnya
tidak akurat apabila false positif response > 15%, false negative response > 20%-30%,
fixation loss > 20%. Nilai yang diambil adalah mean deviation (MD)
4. Dilakukan pemeriksaan preoperasi meliputi keratometri dan biometri, pemeriksaaan
laboratorium (darah perifer lengkap, masa perdarahan dan pembekuan, gula darah puasa
(GDP), gula darah 2 jam post-prandial (GD2PP).
5. Pemeriksaan SD-OCT menggunakan 3D-OCT 1000 (TOPCON, PARAMUS, NEW
JERSEY, USA) dilakukan 2 kali, 1-3 hari pre-operasi dan 4 minggu pasca-operasi.
Pemeriksaan OCT akan dilakukan oleh satu orang perawat terlatih. Pemeriksaan ini
dilakukan pada kondisi pupil dilatasi dengan pemberian tetes mata tropicamide 1%.
Dilakukan pemeriksaan menggunakan type of scan 3D, scan area 6x6 mm, dengan scan
density 512x128. Dipilih metode 3D-OCT volumetric data raster pattern. Data yang
diambil adalah ketebalan serabut saraf retina peripapil rerata semua kuadran, superior,
inferior, temporal dan nasal.Penilaian hasil OCT akan dilakukan oleh dr.VDO,SpM.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


26

6. Subyek dioperasi oleh seorang operator di RSCM yaitu dr. VDO, SpM. Laporan operasi
dilengkapi dengan ada atau tidaknya komplikasi operasi dan jenis komplikasi. Subyek
mendapat terapi pasca operasi katarak sesuai dengan standar prosedur yang berlaku.
7. Hari pertama operasi subyek datang untuk kontrol, dilakukan pemeriksaan tajam
penglihatan tanpa koreksi (TPTK). Dicatat apakah terdapat komplikasi pasca operasi.
8. Subyek kontrol pada hari-1, minggu-1, dan minggu-4 sesuai dengan standar prosedur.
Pada kontrol terakhir, subyek dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi
(TPDK) menggunakan ETDRS chart, HFA dan SD-OCT.
4.8.1 Teknik Pemeriksaan TIO dengan Applanasi Goldmann.36
Pasien diminta untuk duduk didepan lampu celah. Diteteskan obat anestesi topikal tetrakain dan
flourescein pada sakus konjungtiva. Pasien diminta untuk menutup mata agar cairan flourescein
merata di seluruh permukaan kornea. Setelah itu subyek melihat lurus ke depan. Prisma
disentuhkan ke bagian sentral kornea. Akan didapatkan dua buah setengah lingkaran yang
simetris, diatas dan di bawah garis pemisah. Dilakukan pengaturan kedua setengah lingkaran
sampai membentuk huruf S terbalik dan kedua ujung lingkaran sebelah dalam bersentuhan.
Kemudian lampu celah ditarik kembali sehingga prisma terlepas dari kornea. Nilai tekanan
intraokular sesuai dengan angka yang ditunjuk alat pengukur dikali 10. Pada setiap pasien
pemeriksaan dilakukan tiga kali dan nilai rerata TIO akan dicatat sebagai hasil pengukuran.
4.8.3 Teknik Fakoemulsifikasi18
1. Fakoemulsifikasi menggunakan mesin Alcon-Infinity
2. Setelah dipasang speculum, diberikan anastesi topikal
3. Dilakukan clear corneal incision, ukuran 2,75 mm, menggunakan keratom sekaligus
menembus bilik mata depan (BMD)
4. Bahan viscoelastik dimasukkan ke BMD
5. Dilakukan kapsulotomi, continous curvelinier capsulorhexis 360 menggunakan jarum
spuit 1 cc yang dibengkokkan atau ultrata. Dilanjutkan dengan hidrodiseksi.
6. Teknik stop and chop digunakan untuk mengambil massa lensa.
7. Dilakukan irigasi aspirasi sisa korteks
8. Implantasi lensa intraokular in the bag menggunakan lensa foldable
9. Diberikan injeksi intracameral levofloxacin 0.5% (Cravit) sebanyak 0.1cc.
10. Insisi kornea dihidrasi (tanpa jahitan)

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


27

Terapi pasca operasi


Kedua kelompok mendapatkan pengobatan yang sama yang merupakan terapi standar terapi
pasien pasca fakoemulsifikasi di RSCM yaitu :
 Antibiotik ofloxacin 0.5% tetes mata (floxa) diberikan 6 kali sehari hingga minggu-2.
 Kombinasi dexamethason 0.1 %, neomycin sulfate, polimyxin beta (cendo xytrol)
diberikan 6 kali sehari hingga minggu-2, 4 kali sehari hingga minggu -3, 3 kali sehari
hingga minggu ke-4

4.9 Definisi Operasional


1. Usia subyek berdasarkan tanggal lahir yang tercantum pada rekam medik yang
dikonfirmasi kembali dengan menanyakan kepada subyek secara langsung dan
dinyatakan dalam tahun.
2. Tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK)
Tajam penglihatan yang didapat dengan koreksi kacamata terbaik dan diukur dengan
ETDRS chart pada jarak 4 meter. Satuan TPDK adalah logMar pada ETDRS chart.
3. Pasien kontrol adalah pasien katarak yang tidak terdapat kelainan CDR, tidak didapatkan
gangguan lapang pandangann serta tidak ada riwayat keluarga glaukoma.
4. Pasien glaukoma adalah pasien yang telah didiagnosis glaukoma primer kronik
(glaukoma primer sudut terbuka kronik dan glaukoma primer sudut tertutup kronik)
bersamaan dengan katarak senilis
5. Katarak. Derajat kekeruhan lensa NO2,NC2 – NO4,NC4 dengan atau tanpa kekeruhan
kortikal dan posterior subkapsular NI-III berdasarkan klasifikasi LOCS III.37
6. Glaukoma primer sudut terbuka atau primary open angle glaucoma (POAG) adalah
neuropati optik yang kronik progresif dengan perubahan karakteristik pada papil saraf
optik dan lapang pandangann tanpa ada penyebab primer biasanya diikuti dengan
peningkatan TIO.22
7. Glaukoma primer sudut tertutup atau primary angle closure glaucoma (PACG) adalah
glaukoma primer dengan hambatan aliran akuos akibat sudut bilik mata depan yang
tertutup pangkal iris atau sinekia anterior perifer (blokade pupil).22

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


28

8. Mean deviation (MD) lapang pandangann adalah perbedaan rata-rata dari nilai yang
diharapkan normal dalam kelompok usia tertentu pasien. Biasanya, MD -2.00 atau
kurang, bisa mengindikasi glaukoma.
9. Phaco time adalah waktu yang tercatat pada mesin fakoemulsifikasi, yang menunjukkan
aktifitas gelombang ultrasound (kaki pada pedal 3).
10. Komplikasi intraoperasi meliputi robekan kapsul posterior, prolaps vitreus, dan prolaps
iris.
11. Komplikasi pasca operasi meliputi edema kornea yang berat yang dinilai oleh operator.

4.10 Analisis Data


Data penelitian yang dicatat di dalam formulir penelitian akan dimasukkan ke dalam tabel induk
di komputer. Data perbedaan nilai sebelum dan sesudah intervensi akan diuji normalitasnya
terlebih dahulu dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Distribusi data dengan sebaran normal
(p>0.05) disajikan dalam bentuk mean (standard deviation).

Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel ketebalan RNFL peripapil antara kelompok
glaukoma dan non glaukoma sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi dilakukan pengujian statistik
dengan student t-test tidak berpasangan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel
RNFL peripapil antara kelompok glaukoma dan non glaukoma sebelum dan sesudah
fakoemulsifikasi pada masing-masing kelompok dilakukan pengujian statistik dengan
menggunakan study t-test berpasangan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel MD
lapang pandangann antara kedua kelompok pre dan pasca fakoemulsifikasi dilakukan pengujian
statistik dengan Uji Mann Whitney rank.

Data akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer pengolah data statistik,
yaitu Microsoft Excel 2007 dan SPSS (Statistical Package for Social Sciences) for Windows
versi 11.00. Nilai p < 0.05 dianggap bermakna. Data yang telah diolah akan ditampilkan dalam
bentuk tabel dan narasi.

4.11. Etik
Penelitian ini sudah disetujui Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tertanggal
18 November 2013.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Pengambilan Data

Penelitian dilakukan di poliklinik mata divisi glaukoma, poli umum serta kamar bedah RSCM
Kirana Jakarta. Dari Juni 2013 hingga Desember 2013 terdapat 26 subyek yang memenuhi
kriteria penelitian dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Terdapat 2 subyek penelitian yang di
eksklusi,

5.2. Karakteristik Subyek

A. Kesetaraan Kelompok

Tabel 5.2.1. Sebaran Subjek Menurut Karakteristik Demografik Dalam Kelompok


Penelitian
Karakteristik Kelompok Penelitian p
Demografik Glaukoma Non Glaukoma
Jenis Kelamin * 1.00
Laki-laki 9 9
Wanita 4 4
Usia 1.00
≤ 65 tahun 7 7
> 65 tahun 6 6
Mean ± SD 64.31 ± 7.73 60.23± 9.69 0.37
Ket: * Uji Fisher

29
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
30

Pada tabel karakteristik demografik diatas didapatkan 26 subyek penelitian yang tersebar merata
pada kedua kelompok. Rerata usia pasien pada kelompok glaukoma sekitar 64 tahun dan 60
tahun pada kelompok non glaukoma. Jumlah subyek laki-laki lebih banyak daripada subyek
wanita.

Tabel 5.2.2. Sebaran Subjek Menurut Keadaan Klinis Pada Kelompok Penelitian
Klinis Kelompok Penelitian p
Glaukoma Non glaukoma
TPTK (logMar) 0.6 (0.3 – 1.0) 0.8 (0.3 – 1.8) 0.030
TPDK (logMar) 0.5 (0.0 – 1.0) 0.8 (0.3 – 1.3) 0.045
TIO 18.0 (8.0 -23.0) 10.3 (8.3 – 17.7) 0.007
Derajat katarak
NC2 NO3 1 0 -----
NC3 NO3 7 8
NC3 NO4 4 4
NC4 NO4 1 1
Mean Deviation
-6.9 (-20.9 – 0.5) -10.5 (-28.0 - -4.2) 0.061
lapang pandangan
Uji Mann Whitney rank
Tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) pre fakoemulsifikasi pada kelompok non glaukoma
lebih baik dibanding daripada kelompok glaukoma, yaitu 0.5 pada kelompok non glaukoma dan
0.8 pada kelompok glaukoma. Tekanan intra okular pada kelompok glaukoma 10.3 mmHg dan
non glaukoma 18.00 mmHg. Meskipun nilai p bermakna secara statistik antara kedua kelompok,
namun secara klinis tekanan intra okular kedua kelompok masih dalam batas normal. Sebagian
besar subyek pada kedua kelompok memiliki derajat katarak NC3 NO3.

Mean deviation lapang pandangann didapatkan -6,9 pada kelompok glaukoma dan -10.5 pada
kelompok non glaukoma.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


31

POAG

PACG

5.4 5.6 5.8 6 6.2 6.4 6.6 6.8 7

Gambar 5.2.1. Sebaran Jenis Diagnosa Pada Kelompok Glaukoma

Gambar diatas memperlihatkan bahwa jumlah penderita glaukoma sudut terbuka lebih banyak
daripada glaukoma sudut tertutup.

B. Ketebalan RNFL Peripapil Pre Fakoemulsifikasi

Tabel 5.2.3. Rerata Ketebalan RNFL Peripapil Pre Fakoemulsifikasi Pada Kelompok
Penelitian
Kuadran Ketebalan serabut saraf retina peripapil p
(μm)
Glaukoma Non Glaukoma
Rerata semua 100.2 ± 11.1 0.42
94.9 ± 20.0
kuadran
Superior 115.5 ± 25.2 123.9 ± 12.2 0.30
Inferior 110.9 ± 32.4 124.8 ± 20.2 0.56
Temporal 75.3 ± 20.8 79.0 ± 16.9 0.62
Nasal 77.1 ± 20.2 74.1 ± 15.2 0.67

Pada tabel 5.2.3 didapatkan rerata ketabelan serabut saraf retina peripail kedua kelompok pada
kuadran superior, inferior, temporal, nasal dan rerata semua kuadran tidak bermakna secara
statistik. Namun dari gambaran klinis terlihat bahwa RNFL peripapil pada pasien glaukoma lebih
tipis dibandingkan dengan kelompok non glaukoma. Bila dihitung perbedaan ketebalan RNFL
peripapil antara glaukoma dan non glaukoma pada rerata semua kuadran terdapat penambahan
sekitar 5.59%, superior 7,27%, inferior 12,53%, 4,9%, dan nasal 3,9% lebih tipis.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


32

5.3. Analisis Pasca Fakoemulsifikasi

Tabel 5.3.1. Sebaran Subjek Menurut Keadaan Klinis Pada Kelompok Penelitian

Klinis Kelompok Penelitian p


Glaukoma Non glaukoma
TPTK (logMar) 0.3 (0.0 – 0.7) 0.2 (0.0 – 0.5) 0.392
TPDK (logMar) 0.0 (0.0 – 0.5) 0.0 (0.0 – 0.2) 0.314
TIO 14.0 (8.0 -20.0) 10.0 (8.0 – 17.3) 0.068
Uji Mann Whitney rank
Pasca fakoemulsifikasi terlihat perbaikan tajam penglihatan yang optimal pada seluruh subyek.
Tidak terdapat perbedaan signifikan tajam penglihatan dengan dan tanpa koreksi pada kedua
kelompok. Tekanan intra okular pada kelompok glaukoma bermakna secara statistik pada
kelompok glaukoma. Namun pada kelompok non glaukoma tidak terdapat perbedaan bermakna
sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi.

Tabel 5.3.2 Rerata Ketebalan RNFL Retina Peripapil Pasca Fakoemulsifikasi Pada
Kelompok Penelitian

Kuadran Ketebalan serabut saraf retina peripapil p


(μm)
Glaukoma Non Glaukoma
Rerata semua 0.82
99.1± 21.3 101.7± 6.8
kuadran
Superior 121.6 ± 26.4 124.9 ± 11.1 0.68
Inferior 116.5 ± 33.3 126.2 ± 15.4 0.35
Temporal 77.5 ± 17.9 81.5 ± 12.3 0.51
Nasal 80.9 ± 25.7 74.6 ± 10.6 0.43

Rerata ketebalan RNFL peripapil pasca fakoemulsifikasi pada kelompok penelitian dapat dilihat
pada tabel 5.3.2 Tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistik antara dua kelompok. RNFL
peripapil kelompok non glaukoma masih lebih tebal daripada kelompok glaukoma. Seperti pada

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


33

rerata semua kuadran pada kelompok glukoma didapatkan 99.1 μm dan kelompok non glaukoma
101.7 μm.
5.4. Analisis Intra Kelompok
Tabel 5.4.1. Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi
Pada Kelompok Glaukoma
Kuadran Ketebalan serabut saraf retina peripapil Perubahan p
(μm) ketebalan
Pre Op Pasca Op RNFL(μm),
Rerata ± SD
Rerata semua 4.15 ± 8.26
94.9± 20.0 99.1± 21.3 0.677
kuadran
Superior 115.5± 25.2 121.6 ± 26.4 6.15 ± 14.63 0.687
Inferior 110.9± 32.4 116.5 ± 33.3 5.62 ± 21.92 0.351
Temporal 75.3± 20.8 77.5 ± 17.9 2.15 ± 17.71 0.512
Nasal 77.1± 20.2 80.9 ± 25.7 3.77 ± 10.47 0.428
Pre/Post op : pre /post operasi (fakoemulsifikasi)
130

120

110 Rerata
Superior
100
Inferior
90 Temporal
80 Nasal

70
Pre OP Post OP

Gambar 5.4.1. Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca


Fakoemulsifikasi Pada Kelompok Glaukoma

Terdapat peningkatan ketebalan RNFL peripapil pada kelompok glaukoma di semua kuadran,
tabel dan gambar 5.4.1. Dengan selisih perubahan yang sangat bervariasi pada setiap kuadran.
Perubahan ketebalan yang terbesar terjadi pada kuadran superior yaitu rerata ± SD : 6.15 ± 1.46,
sedangkan perubahan ketebalan yang terkecil terdapat pada kuadran temporal yaitu rerata ± SD :
2.15 ± 17.71.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


34

Tabel 5.4.2. Perubahan Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi
Pada Kelompok Non Glaukoma

Kuadran Ketebalan serabut saraf retina Perubahan p


peripapil (μm) ketebalan
Pre Op Pasca Op RNFL(μm),
Rerata ± SD
Rerata semua 1.54 ± 6.69
100.2± 11.1 101.7 ± 6.8 0.423
kuadran
Superior 123.9 ±12.2 124.9 ± 11.1 0.92 ± 6.97 0.642
Inferior 124.8 ±20.2 126.2 ± 15.4 1.46 ± 15.88 0.746
Temporal 79.0 ± 16.9 81.5 ± 12.3 2.46 ± 10.15 0.399
Nasal 74.1 ± 15.2 74.6 ± 10.6 0.54 ± 14.66 0.897

130

120

110 Rerata
Superior
100
Inferior
90
Temporal
80 Nasal

70
Pre OP Post OP

Gambar 5.4.2. Perubahan Rerata Ketebalan RNFL Peripapil Pre Dan Pasca
Fakoemulsifikasi Pada Kelompok Non Glaukoma

Pada kelompok non glaukoma juga didapatkan peningkatan RNFL peripapil post
fakoemulsifikasi walaupun tidak sebesar kelompok glaukoma. Perubahan terbesar terdapat pada
kuadran inferior berbeda dengan kelompok glaukoma yaitu rerata ± SD : 1.46 ± 1.59, sedangkan
perubahan terkecil terdapat pada kuadran nasal yaitu rerata ± SD : 0.54 ± 1.47.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


35

Tabel 5.4.3. Mean deviation (MD) Lapang pandangann Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi
Pada Kedua Kelompok (decibels=dB)

MD perimetry Pre Fakoemulsifikasi Pasca Fakoemulsikasi p

Glaukoma -10.5 (-28.0 - -4.2) -7.6 (-23.7 – -0.9) 0.071

Non Glaukoma -6.9 (-20.9 – 0.5) -7.6 (-23.7 – -0.9) 0.005

Gambar 5.4.3. Lapang pandangann Pre Dan Pasca Fakoemulsifikasi Pada Kedua
Kelompok

Tabel dan gambar 5.4.3 menggambarkan perubahan MD lapang pandangann kedua kelompok
pre dan pasca fakoemulsifikasi. Pada kelompok non glaukoma terjadi peningkatan MD lapang
pandangann yang berbeda bermakna secara statistik yaitu p = 0.005. Sedangkan pada kelompok
glaukoma terjadi penurunan MD lapang pandangann. Berdasarkan uji statistik perubahan lapang
pandangan pada kelompok glaukoma ini tidak bermakna yaitu p = 0.071.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


36

Korelasi perubahan rerata RNFL pada semua kuadran dengan MD lapang pandangan pada
kelompok glaukoma didapatkan korelasi negatif yaitu r= -0.39 dengan p value = 0.19, sedangkan
pada kelompok non glaukoma didapatkan korelasi positif yaitu r = 0.89 dengan p value = 0.57.
(korelasi Spearman).

90
80
70
60
50
Q.Pre
40
30 Q. Post
20
10
0
cataract glaukoma

Gambar 5.4.4 Rerata quality image pre dan pasca fakoemulsifikasi pada kelompok
penelitian

Rerata quality image pada pemeriksaan OCT tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 6

PEMBAHASAN

Katarak dan glaukoma adalah dua penyakit yang menyebabkan kebutaan terbanyak di dunia.
Prevalensi kedua penyakit ini meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada usia > 60 tahun
prevalensi glaukoma meningkat sebesar 1% dan menjadi 4,2% pada usia > 70 tahun.21,55,56
Penelitian-penelitian di Amerika Serikat mengidentifikasi adanya katarak pada sekitar 10%
orang, dan angka kejadian ini meningkat hingga sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara
65 sampai 74 tahun, dan hingga sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun.
Katarak dapat dijumpai pada semua umur dan semua jenis kelamin. Sebesar 50% kasus
ditemukan pada pasien yang berusia 65-74 tahun dan 70% kasus ditemukan pada pasien yang
berusia di atas 75 tahun. Katarak biasanya mengenai kedua mata dengan ketebalan kekeruhan
tidak selalu sama.57

Penelitian karakteristik penderita glaukoma di poliklinik mata RSCM dalam rentang waktu
2001-2010 melaporkan usia terbanyak penderita berkisar antara 60-69 tahun.21 Hal ini tergambar
pula pada subyek penelitian ini yang sebagian besar berusia tua dengan rerata usia di atas 60
tahun.

Dari 13 pasien dengan katarak karena faktor usia (katarak senilis) didapatkan proporsi laki-laki
lebih banyak dari wanita, sesuai dengan penelitian Rahul dkk yang melakukan penelitian
perbedaan gender pada gangguan penglihatan karena katarak mendapatkan hasil laki-laki lebih
banyak daripada wanita. Sementara itu beberapa penelitian berbasis populasi mendapatkan
prevalensi katarak lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki. Perbedaan proporsi pada
penelitian ini disebabkan wanita cenderung menunda dilakukan tindakan operasi pada matanya
dibandingkan laki-laki. 57

Pada kelompok glaukoma didapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Sesuai dengan
penelitian Faiqoh21 yang melaporkan jumlah penderita laki-laki di poliklinik mata RSCM tahun
2001-2010 lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu 53 % dan 47 %.

Glaukoma primer sudut terbuka (GPSTa) merupakan jumlah diagnosis terbanyak pada penelitian
ini, dengan ratio mendekati 2:1. Secara global di dunia jumlah penderita GPSTa lebih banyak

37
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
38

dibandingkan Glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp) dengan rata-rata ratio 3:1. Di Asia
6,33
jumlah penderita GPSTp hampir sama dengan jumlah penderita GPSTa. Di poliklinik mata
divisi Glaukoma RSCM, diagnosis GPSTp menempati urutan ketiga setelah glaukoma sekunder
dan GPSTa.21

Pasca fakoemulsifikasi terlihat perbaikan tajam penglihatan yang optimal pada seluruh subyek
yaitu 6/6 (logMar = 0). Tidak terdapat perbedaan bermakna tajam penglihatan dengan dan tanpa
koreksi pada kedua kelompok.

Subyek pada kelompok glaukoma yang masuk dalam kriteria penelitian adalah penderita dengan
tekanan intra okular terkontrol dengan obat-obatan atau pasca laser perifer iridotomy (LPI).
Tekanan intra okular pada kedua kelompok berbeda bermakna secara statistik. Tekanan intra
okular pada kelompok glaukoma bermakna secara statistik sebelum dan sesudah. Namun pada
kelompok non glaukoma tidak terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah
fakoemulsifikasi.

Studi ini mendapatkan perbedaan secara klinis ketebalan RNFL peripapil pada kelompok
glaukoma yang lebih tipis dibanding kelompok non glaukoma. Glaukoma merupakan optik
neuropati yang ditandai oleh kematian sel ganglion yang terlihat secara klinis pada papil optik,
RNFL peripapil, sehingga memberikan gambaran RNFL yang lebih tipis pada pemeriksaan OCT
dibandingkan mata normal. Optical Coherence Tomography (OCT) merupakan alat yang yang
sudah dipakai untuk menegakkan diagnosis glaukoma bahkan berkembang menjadi alat
pendeteksi dini terhadap peubahan RNFL peripapil sebagai gejala awal pada pasien tersangka
glaukoma.5

Penelitian ini menggunakan SD-OCT jenis 3D OCT 2000 (TOPCON). Spectral Domain OCT
adalah teknik yang memungkinkan pencitraan struktur bola mata dengan resolusi yang lebih
tinggi dan tingkat pemindaian yang lebih cepat dibanding versi sebelumnya.5,49 Joel SS49
mendapatkan dalam penelitiannya bahwa SD-OCT secara statistik bermakna lebih unggul dalam
reproducibility terhadap pemeriksaan RNFL peripapil dan ketebalan makula dibanding Time
Domain – OCT (TD-OCT). Perkembangan alat ini terutama untuk pengukuran sektoral, bukan
global, seperti pada kasus kehilangan jaringan fokal yang sering terjadi pada tahap awal
glaukoma.49

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


39

Selama prosedur fakoemulsifikasi, tinggi vakum bersama dengan tekanan irigasi tinggi, dicapai
dengan peningkatan ketinggian botol irigasi atau infus. Namun, peningkatan tekanan irigasi
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra okular. Chen dkkC mendapatkan tekanan intra
okular tertinggi selama fakoemulsifikasi yaitu pada proses emulsifikasi nukleus dan kortek
68.4mmHg selama 132.7 ± 15.1 detik, yaitu sekitar 74.4% dari total waktu perfusi.16

Di poli glaukoma RSCM kirana sering mendapatkan pasien glaukoma mengeluhkan


penglihatannya makin buram pasca fakoemulsifikasi, namun belum ada data statistik yang
mendukung pernyataan tersebut. Diketahui pada pasien glaukoma kronik mengalami kerusakan
RNFL yang diakibatkan oleh progresifitas glaukoma. Beberapa penelitian yang menilai
perubahan ketebalan RNFL pada pasien glaukoma yang terkena serangan akut dengan
peningkatan TIO > 40 mmHg dalam kurun waktu kurang dari 48 jam, mendapatkan penipisan
RNFL yang bermakna secara uji statistik. Pada penelitian tersebut, perubahan ketebalan RNFL
pada mata yang terkena serangan akut dibandingkan dengan progresifitas RNFL pada mata yang
tidak pernah mengalami serangan akut / kronik terdapat perbedaan bermakna secara uji
statistik.26.27 Dimana RNFL pada mata yang pernah terpapar peningkatan TIO > 40mmHg akan
mengalami penipisan dari waktu ke waktu dan proses ini terus berjalan sampai follow up bulan
ke 6. Sementara pada kelompok yang tidak pernah mengalami serangan akut perubahan
ketebalan RNFL tidak bermakna dan progresifitasnya lambat. 26,27

Teori diatas yang menjadi salah satu dasar pemikiran dilakukannya penelitian ini, yaitu
patofisiologi terjadinya penipisan RNFL peripapil pada pasien glaukoma adalah karena
kerusakan akson yang diakibatkan oleh proses mekanik dan iskemik. Dimana pada proses
iskemik terjadi iskemia intraneural yang dihasilkan dari penurunan perfusi ke saraf optik dimana
perfusi ini dihasilkan dari kerusakan pada autoregulasi pembuluh darah yang pada akhirnya
terjadi penurunan perfusi dan merusak saraf optik yang mengakibatkan penipisan serabut saraf
retina peripapil.

Studi oleh menjelaskan bahwa peningkatan TIO dapat menyebabkan terjadinya blokade dari
transport akson terutama di superior dan inferior. Blokade akson ini menyebabkan
pembengkakan dari diskus optik dan menyebabkan kematian dari sel ganglion. Yoles dkk62 yang
menjelaskan tentang mekanisme degenerasi skunder yaitu mekanisme kelainan neuron pada

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


40

glaukoma tetap terjadi walaupun TIO telah diturunkan dimana terjadi efek propagasi kerusakan
pada neuron sehat disekitar neuron yang sudah rusak. Hal ini dibuktikan oleh Tsai dkk27, dalam
studinya memperlihatkan penebalan pada minggu pertama setelah serangan akut dibanding
dengan mata yang tidak terkena serangan, namun kemudian diikuti dengan penipisan RNFL pada
mata yang terserang setelah minggu ke 4 dan ke 12. Liu dkk26 mendapatkan peningkatan
ketebalan RNFL pada minggu awal pasca serangan akut, kemudian mengalami penurunan yang
progress setelah 6 minggu, sehingga peneliti menyarankan pemeriksaan OCT ulang setelah 6
minggu pasca operasi.

Struktur jaringan bola mata dapat berubah pada proses operasi fakoemulsifikasi. Efek mekanik
yang ditimbulkan oleh energi ultrasonik dan regulasi cairan pada proses operasi tersebut
mengakibatkan reaksi kompresi dan hipoksia pada jaringan.63

Keluaran utama pada penelitian ini adalah pengukuran perubahan RNFL sebelum dan sesudah
fakoemulsifikasi pada setiap kuadran dan rerata seluruh kuadran. Pengukuran dilakukan sebelum
dilakukan fakoemulsifikasi dan satu minggu setelah fakoemulsifikasi atau sampai media optik
jernih sehingga memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan OCT.

Satu minggu sesudah fakoemulsifikasi, ternyata ketebalan RNFL peripapil mengalami


penambahan pada setiap kuadran (superior, inferior, temporal, nasal) dan pada rerata seluruh
kuadran. Walaupun melalui uji statistik tidak bermakna. Penambahan ketebalan RNFL peripapil
lebih besar pada kelompok glaukoma dibanding kelompok non glaukoma. Hasil ini juga
didapatkan pada sebuah penelitian yang menilai perubahan RNFL dan makula pasca
fakoemulsifikasi pada pasien normal. Namun hasil penelitian ini hanya bermakna pada
perubahan ketebalan makula. Sedangkan peningkatan ketebalan RNFL pada penelitian tersebut
tidak bermakna.16

Beberapa studi sebelumnya melakukan pemeriksaan RNFL peripapil pasca operasi katarak
dengan berbagai macam teknik pengukuran RNFL pada pasien normal, mendapatkan
peningkatan RNFL peripapil pasca operasi yang bermakna secara statistik. Pada penelitian
tersebut, menyebutkan peningkatan ketebalan lapisan RNFL berhubungan dengan kekuatan
sinyal OCT dan kekeruhan lensa. Dimana kekuatan sinyal yang rendah sebelum fakoemulsifikasi

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


41

yang disebabkan oleh kekeruhan lensa kemudian jadi meningkat setelah operasi karena media
sudah lebih jernih.58,59

Pada penelitian ini rerata quality image pada semua subyek hampir sama pada kedua kelompok.
Sehingga kemungkinan perbedaan pengukuran sebelum dan sesudah operasi bukanlah penyebab
utama. Peneliti menyimpulkan peningkatan RNFL peripapil pada penelitian ini karena faktor
inflamasi pasca fakoemulsifikasi. Dimana proses penyembuhan lapisan retina lebih lama dari
perbaikan edema kornea. Pasien glaukoma yang memang sudah mengalami kerusakan serabut
saraf peripapil, sel-sel ganglion yang sudah mati, aliran perfusi yang terhambat mengakibatkan
proses inflamasi lebih serta proses penyembuhannya menjadi lebih lambat dibanding pasien
normal. Ini terlihat pada grafik 2 dan 3 dimana rerata kenaikan RNFL pada kelompok glaukoma
sekitar 4 μm dan pada kelompok non glaukoma hanya 1 μm.

Peneliti mempertimbangkan pemilihan waktu dilakukan pemeriksaan OCT pasca


fakoemulsifikasi minimal satu minggu pasca operasi sampai dengan minggu ke-4 dengan
harapan edema kornea dan proses inflamasi akibat operasi sudah teratasi. Jika visualisasi segmen
anterior baik diharapkan bisa menilai segmen posterior dengan lebih baik, sehingga bisa
mendapatkan kualitas gambar OCT yang baik. Rata-rata subyek pada penelitian ini tidak
mengalami edem kornea berat sehingga dapat dilakukan pemeriksaan OCT 1 minggu pasca
operasi. Namun seiring berjalan penelitian, didapatkan pada minggu pertama pasca
fakoemulsifikasi terdapat edema RNFL yang waktu pemulihannya lebih lama dibanding edema
kornea, sehingga terlihat pada pemeriksaan OCT seolah terjadi penambahan ketebalan RNFL.
Waktu follow up disadari peneliti sebagai kekurangan dari penelitian ini.

Keluaran kedua pada penelitian ini adalah lapang pandangan yang dinilai sebelum dan sesudah
fakoemulsifikasi. Lapang pandangan merupakan salah satu pemeriksaan untuk mendeteksi
adanya glaukoma atau kerusakan pada serabut saraf retina. Pada tahap awal penderita glaukoma
mengalami kerusakan struktur seperti apoptosis sel ganglion, kehilangan RNFL dan alterasi papil
optik. Semua tahapan yang sudah berjalan tersebut tidak menimbulkan gejala dan tidak
terdiagnosa sampai terjadi kelainan fungsi yang terdeteksi sebagai skotoma awal pada
pemeriksaan lapang pandangan.60,61

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


42

Mean deviation lapang pandangan pada kelompok glaukoma di penelitian ini terjadi penuruna,
namun secara uji statistik tidak bermakna. Walaupun terjadi perbaikan kontra sensitifiti pasca
pengangkatan katarak, namun lapang pandangan jadi menyempit. Hal ini menunjukkan bahwa
pada kelompok glaukoma mengalami kerusakan RNFL pasca fakoemulsifikasi. Sebaliknya pada
kelompok non glaukoma terdapat perbaikan lapang pandangan yang bermakna secara statistik.
Peningkatan lapang pandangan ini disebabkan karena perbaikan kontras sensitifiti setelah
pengangkatan katarak. 60,61

Kelebihan penelitian ini dibanding penelitian lain adalah menilai perubahan RNFL peripapil
pada dua kelompok yaitu kelompok glaukoma dan kelompok non glaukoma pasca. Sehingga
didapatka informasi akibat dari fakoemulsifikasi terhadap pasien glaukoma yang sudah
mengalami kerusakan RNFL peripapil dari awal.

Kelemahan dari penelitian ini jumlah sampel yang seharusnya 18 subyek perkelompok namun
karena keterbatasan waktu jumlah dibatasi sesuia dengan perhitungan jumlah sampel minimal
yaitu 13 subyek perkelompok. Begitu juga dalam hal waktu dan follow up yang hanya dilakukan
satu kali. Sehingga belum mendapatkan hasil maksimal.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Terdapat peningkatan ketebalan serabut saraf retina peripapil setelah fakoemulsifikasi pada
kelompok glaukoma dan non glaukoma pada empat kuadran dan rerata semua kuadran,
namun tidak bermakna secara uji statitik.

2. Terdapat penurunan MD lapang pandangan pada kelompok glaukoma yang tidak bermakna
secara statistik. Terdapat peningkatan MD lapang pandangan pada kelompok non glaukoma
yang bermakna pada uji statistik

7.2. Saran

1. Diperlukan evaluasi prospektif dengan durasi lebih dari 6 minggu untuk mengetahui efek
fakoemulsifikasi jangka panjang terhadap ketebalan RNFL.

2. Diperlukan evaluasi prospektif dengan jumlah follow up yang lebih dari satu kali untuk
melihat kecenderungan perubahan ketebalan RNFL peripapil pasca fakoemusifikasi.

43
Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014
44

Daftar Pustaka

1. Morrison JC, Pollack IP. The optic nerve. In: Morrison J, Pollack I, editors. Glaucoma science
and practice. New York: Thieme; 2003
2. Cranial nerves: central and peripheral connections. American Academy of Ophthalmology Staff.
Fundamentals and principles of ophthalmology. 2011-2012
3. Stamper RL, Lebermen MF, Drake MV. Clinical evaluation of the optic nerve head. Beckers
shaffer's diagnosis and therapy of the glaucoma. 8th ed. St Louis: Mosby; 2009. P. 154-167
4. Staff American Academy of Ophthalmology. Glaucoma. Basic and clinical science. San
Fransisco; 2009-2010.
5. Rao HL, Babu JG, Addepalli UK, Senthil S and CS Garudadri CS. Retinal nerve fiber layer and
macular inner retina measurements by spectral domain optical coherence tomograph in Indian
eyes with early glaucoma Eye (2012) 26, 133–1391
6. Sung KR, Kim DY, Park SB, Kook MS. Comparison of retinal nerve fiber layer thickness
measured by cirrus HD and stratus optical coherence tomography. Ophthalmology
2009;116:1264–70.
7. Schuman JS, Hee MR, Puliafito CA, Wong C, Pedut-Kloizman T, Lin CP, et al. Quantification of
nerve fiber layer thickness in normal and glaucomatous eyes using optical coherence tomography.
Arch Ophthalmol 1995 May;113(5):586-96.
8. Levin LA. Pathophysiology of the Progressive Optic Neuropathy of Glaucoma Ophthalmol Clin
N Am 18 (2005) 355 – 364
9. Alamouti B, Funk J. Retinal thickness decreases with age: an OCT study. Br J Ophthalmol
2003;87:899-901
10. Wikipedi. Nerve fiber layer. Wikipedi yhe free Encyclopedia; 2010[cited 2012, 18 april].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Nervefiber layer
11. Budenz DL, Anderson DR, Varma R, Schuman J, Cantor L, et al. Determinants of normal retinal
nerve fiber layer thickness measured by Stratus OCT. Opthalmology 2007;114:1046-52
12. Schwetzer KD, Ehmann D, Garcia R. Nerve fiber layer changes in highly myopic eyes by optical
coherence tomography. Can J Ophthalmol 2009;44:13-6
13. Henderson APD, Altmann DR, Trip AS, Kallis C, Jones SJ, Schlottmann PG,et all. A Serial
Study Of Retinal Changes Following Optic Neuritis With Sample Size Estimates For Acute
Neuroprotection trials Brain 2010: 133; 2592–2602
14. Morlet N, Young SH. Prevention of intraocular pressure rise following intravitreal injection
British Journal of Ophthalmology 1993; 77: 572-573
15. Staff American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and principles of ophthalmology.
Basic and clinical science course. San Francisco; 2006-2007.
16. Chen D, Zhu J, Ding X, Lu Fan, Zhao YE. Effect of simulated dynamic intraocular pressure on
retinal thickness measured by optical coherencetomography after cataract surgery 2012;5(6):687-
693
17. American Academy of Ophthalmology Staff. Surgery for Cataract: American Academy of
Ophthalmology Staff, editor. Lens and Cataract. Basic and Clinical Science Course.Sec 11. San
Fransisco: The Foundation of American Academy of Ophthalmology;2009-2010.p.112-137
18. Hutauruk J, Soekardi I. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi. Langkah-langkah Menguasai Teknik
dan Menghindari Komplikasi. Jakarta: Granit;2001:1-5,177-179
19. Stamper RL, Lebermen MF, Drake MV. Beckers shaffer's diagnosis and therapy of the glaucoma.
8th ed. St Louis: Mosby; 2009.
20. Quingley HA, Broman T. The number of people with glaucoma worldwide in 2010 and 2020. Br
J Ophthalmol. 2006;90(3):262-7.
21. Faiqoh M. Penelitian deskriptif. Karakteristik pasien di divisi glaukoma poliklinik mata RS. Cipto
Mangunkusumo tahun 2001-2010 Jakarta: Indonesia; 2011.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


45

22. Staff American Academy of Ophthalmology. Glaucoma. Basic and clinical science. San
Fransisco; 2009-2010. p. 85-177.
23. Wanga YX, Xua L, Yanga H, Jonasa JB. Prevalence of glaucoma in north china: The beijing
study. Am J Ophthalmol. 2010;150(6):917-24.
24. Yamamoto T, Aiko MI, Makoto A. Prevalence of primary angle closure and secondary glaucoma
in a japanese population. Am J Ophthalmol. 2005;112:1661-9.
25. Giangiacomo A, Coleman AL. The epidemiology of glaucoma In: Grehn F, Stamper R, editors.
Glaucoma. Heidelberg: Springer; 2009. p.13-21.
26. Liu X, Zhong YM, Huang JJ, Kong XY. Damage patterns of retinal nervefiber layer in acute and
chronic intraocular pressure elevation in primary angle closure glaucoma. Int J ophthalmol. 2010;
3(2): 152-157
27. Tsai JC, Lin PW, Teng MC, Lai IC. Longitudinal Changes in Retinal Nerve Fiber Layer
Thickness after Acute Primary Angle Closure Measured with Optical Coherence Tomography.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2007; 48:1659–1664
28. Lang GK. Basic knowledge. Retina. In Ophthalmology A Short Textbook. New
York;2000.p.299-304
29. Ryan SJ. Retina.Morphology and topography of retina.St Louis;2001.p.32-53
30. Maresco JG and Gandham S. Anatomy, physiology and pathophysiology. Handbook of
glaucoma. UK;2002.p.3-16
31. Stamper RL, Lieberman MF, and Drake MV. Optic Nerve Anatomy And Pathophysiology. In
Becker-Saeffer’s Diagnosis and Therapy of The Glaucomas, 8th edition, Part 3, Chapter 12.
2009.p.143-150
32. Staff American Academy of Ophthalmology. Lens and cataract. Basic and clinical science. San
Fransisco; 2011-2012. P 43-50.
33. Morrison JC, Pollack IP. Classification of glaucoma. In: Morrison J, Pollack I, editors. Glaucoma
science and practice. New York: Thieme; 2003
34. The agis investigators. Advanced glaucoma intervention study (agis): Comparison of treatment
outcomes within race.Seven-year results Ophthalmology 1. 998;105:1146-64
35. Kanski JJ. Glaucoma. Clinical ophthalmology a systematic approach. London: Elsevier; 2007. p.
371-426.
36. Edi S, Musfari H. Glaukoma. Cara pemeriksaan dan jenis glaukoma. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1986
37. Thieme H. Aqueous humor dynamics. In: Grieshaber M, editor. Glaucoma therapy state of the
art. Switzerland: COE; 2009. p. 13-9.
38. Thieme H. Aqueous humor dynamics. In: Grieshaber M, editor. Glaucoma therapy state of the
art. Switzerland: COE; 2009. p. 13-9.
39. Shields MB, Ritch R, Krupin T. The glaucomas. 4th ed. St Louis: Mosby;1996
40. Greenfield DS. Optic nerve and retinal nerve fiber layer analyzers in glaucoma. Curr Opin
Ophthalmol 2002;13:68-76
41. Vrabec JP, Levin LA. The neurobiology of cell death in glaucoma. Eye 2007; 21:11-4
42. American Academy of Ophthalmology Staff. Glaucoma.Clinical evaluation. San Fransisco:
American Academy of ophthalmology; 2010-2011.p.33-83
43. Kuehn MH, Fingert JH, Kwon YH. Retinal ganglion cell death in glaucoma: mechanisms and
neuroprotecive strategies. Ophthalmol Clin N Am 2005;18:383-95
44. Findl O, Strenn K, Wolzt M, Menapace R, Vass C, Eichler HG, Schmetterer L. Effects of
changes in intraocular pressure on human ocular haemodynamics. Abstract. Curr Eye Res. 1997
Oct;16(10):1024-9.
45. Quigley HA, McKinnon SJ, Zack DJ, Pease ME, Kerrigan-Baumrind LA, Kerrigan DF, Mitchell
RS. Retrograde axonal transport of BDNF in retinal ganglion cells is blocked by acute IOP
elevation in rats. Abstract. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2000 Oct;41(11):3460-6.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


46

46. Khng C, Packer M, Fine IH, Hoffman RS, Moreira FB. Intraocular pressure during
phacoemulsification. J Cataract Refract Surg 2006; 32:301–308
47. Brancato R, Lumbroso B. In: guide to optical coherence tomography interpretation. Roma: I.N.C
Publisher; 2004. p25.
48. Schuman JS, Puliafito CA, Fujimoto JG. In: optical coherence tomography of ocular diseases.
New York: Slack Incorporated; 2004. p52-55.
49. Schuman JS. Spectral domain optical coherence tomography for glaucoma. Trans am ophthalmol
soc 2008;106:426-458
50. Dacosta S, Rajendran B, Janakiraman P. In: spectral domain OCT. India: Jaypee Brothers
Medical Publishers; 2008. p17-25.
51. Kiernan DF, Mieler WF, Hariprasad SM. Spectral-domain optical coherence tomography: a
comparison of modern high-resolution retinal imaging systems. Am J Ophthalmol 2010;149:18-
31.
52. Sung KR, Kim DY, Park SB, Kook MS. Comparison of retinal nerve fiber layer thickness
measured by cirrus HD and stratus optical coherence tomography. Ophthalmology
2009;116:1264–70.
53. Walter SD, Ishikawa H, Galetta KM, Sakai RE, Feller DJ, Henderson SB, et al. Ganglion cell loss
in relation to visual disability in multiple sclerosis. Ophthalmology 2012;119:1250 –7.
54. Petzold A, de Boer JF, Schippling S, et al. Optical coherence tomography in multiple sclerosis: a
systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol 2010;9:921–32
55. Zhang JS, Xu L, Wang YX, You QS, Wang JD, Jonas JB. Five-Year Incidence of Age-Related
Cataract and Cataract Surgery in the Adult Population of Greater Beijing.The Beijing Eye Study
Ophthalmology 2011;118:711–718
56. Survey Kesehatan Indera Penglihatan Tahun 1993-1996. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
57. Lewallen S, Courtright P. Gender and use of cataract surgical services in developing countries.
Bulletin of the World Health Organization 2002;80:300-303
58. Lee DW, Kim JM, Park KH, Choi CY, Cho JG. Effect of Media Opacity on Retinal Nerve Fiber
Layer Thickness Measurements by Optical Coherence Tomography Department of
Ophthalmology, Sungkyunkwan University School of Medicine, Kangbuk Samsung Hospital,
Seoul, Korea 2Department of Ophthalmology, Seoul National University College of Medicine,
Seoul, Korea 3Yebon Eye Clinic, Seoul, Korea
59. Dada J, Behera G, Agarwal A, Kumar S, Sihota R, Panda A. Effect of cataract surgery on retinal
nerve fiber layer thickness parameters using scanning polarimetry (GDxVCC). Indian J
Ophthalmol: 2010;58:389-398
60. Gazzard G, Foster PJ, Devereux JG, Oen F, Chew P, Khaw PT et al.Intraocular pressure and
visual field loss in primary angle closure and primary open angle glaucomas. Br J Ophthalmol
2003;87:720–725
61. Cheung CYL, Leung CKS, Lin D, Pang CP, Lam DSC. Relationship between Retinal Nerve
Fiber Layer Measurement and Signal Strength in Optical Coherence Tomography Ophthalmology
2008;115:1347–1351
62. Yole E, Schwartz M. Potential Neuroprotective Therapy for Glaucomatous Optic Neuropathy.
Surv Ophthalmol 42:367–372, 1998
63. Pardianto G, Moeloek N, Reveny J, Wage J, Satari I, Sembiring R, Srisamran N. Retinal
Thickness Changes After Phacoemulsification. Clin Opht. 2013

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


47

Lampiran 1. Formulir Penelitian

PERUBAHAN KETEBALAN RNFL PADA PASIEN GLAUKOMA KRONIK DAN KONTROL


PASCA FAKOEMULSIFIKASI MENGGUNAKAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY

I. Identitas
No. : …………………… No. rekam medis :…………………….
Nama : …………………………………………..jenis kelamin : L/P
Usia : ……………………….. tahun
Alamat: …………………………………………………………………….
……………………………………………………………………...
Telepon: Rumah/Kantor : ……………………….................................
Handphone : ……………………….................................
II. Data awal (tanggal ……………………)
1. TPTK (logMAR) : OD ……… OS …….
2. TPDK (logMAR) : OD ……… OS …….
3. Derajat katarak :
III. Ketebalan peripapil pre dan pasca fakoemulsifikasi rerata dan tiap kuadran
OCT Peripapil Pre-operasi Pasca operasi minggu ke1- 4
Rerata ± SD
Superior
Inferior
Temporal
Nasal

IV. MD Humprey Perimetri Pre dan Pasca Fakoemulsifikasi


MD perimetry Pre Fakoemulsifikasi Post Fakoemulsikasi

V. Tajam penglihatan pasca fakoemulsifikasi


Variabel Minggu ke 1 Minggu ke 4
TPTK
TPDK

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


48

Lampiran 2. Informed Consent

FORMULIR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)

Informasi diberikan kepada subyek penelitian

Bapak/Ibu yang terhormat

Pada saat ini bapak/ibu sebelumnya sudah mengetahui menderita glaukoma pada kedua mata yaitu suatu
penyakit yang dapat merusak saraf mata dan dapat menyebabkan kebutaaan bila tidak diobati. Pada saat
ini keadaan tekanan bola mata bapak/ibu sudah terkontrol dan dalam batas normal. Selain menderita
glaukoma Bapak/Ibu juga menderita katarak yang cukup tebal dan menyebabkan penglihatan Bapak/Ibu
buram. Operasi katarak diperlukan untuk dapat memperbaiki penglihatan. Untuk kasus glaukoma,
tindakan operasi katarak dapat membantu menurunkan tekanan intra okular. Jenis operasi yang akan
dilakukan pada Bapak/Ibu adalah dengan teknik fakoemulsifikasi yaitu mengeluarkan lensa dengan
menggunakan mesin dan menggantikannya dengan lensa buatan yang ditanam permanen di dalam bola
mata.

Bapak/Ibu memenuhi persyaratan penelitian yang sedang kami lakukan. Kami akan melakukan
pemeriksaan ketebalan serabut saraf retina. Pemeriksaan ketebalan serabut saraf retina pada mata yang
akan di operasi sebelum dan sesudah operasi dengan menggunakan alat optical coherence topography
(OCT). Biaya pemeriksaan OCT ini tidak dibebankan pada pasien. Bila bersedia ikut penelitian ini, kami
mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk menandatangani formulir persetujuan dan menjalani pemeriksaan
sesuai aturan dan tatacara penelitian ini. Pemeriksaan serabut saraf ini akan dilakukan sebanyak dua kali,
yaitu pada saat persiapan sebelum operasi dan 1 minggu setelah dioperasi. Selama dua kali kunjungan,
kami sarankan Bapak/Ibu untuk datang ditemani kerabat, karena kami akan melebarkan manik-manik
mata Bapak/Ibu dengan tetes mata yang dapat menimbulkan rasa silau dan kabur saat melihat dekat
selama kurang lebih 4 jam.

Data yang didapat akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Apabila bersedia, mohon Bapak/Ibu untuk dapat mengisi surat persetujuan tindakan dan bersedia kontrol
sesuai dengan tanggal kunjungan yang ditetapkan. Biaya pendaftaran, pemeriksaan foto fundus,
pemeriksaan OCT, pemerikasaan lapang pandangan dan obat-obatan pasca operasi akan ditanggung oleh
peneliti. Bapak/Ibu akan mendapatkan uang transportasi selama mengikuti penelitian ini.

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


49

Jika selama penelitian terdapat hal yang belum jelas atau keluhan lainnya, Bapak/Ibu boleh datang untuk
kontrol kapan saja atau menghubungi: Dr. Olivia Putri Perdana di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSCM
Kirana, nomor telepon: 082112284343

Formulir Persetujuan

Semua penjelasan telah disampaikan kepada saya dan semua petanyaan saya telah dijawab oleh
dokter. Sya mengerti bahwa bila saya memerlukan penjelasan, saya akan mendapatkan jawaban dari dr.
Olivia Putri Perdana.

Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini.

Tandatangan pasien/subyek : Tanggal :

(Nama jelas:……………………)

Tandatangan saksi :

(Nama jelas:……………………)

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


50

Lampiran 3.

Anggaran Penelitian

Pengeluaran:

1. Kebutuhan tetes mata tropicamide 1%


2 x Rp 50.000,- Rp. 100.000,-
2. Kebutuhan tetes mata anastesi local
2 x Rp 50.000,- Rp. 100.000,-
3. Biaya pemeriksaan Humphrey field analyzer
Jumlah sampel 2 x 36 mata = 72
Harga pemeriksaan Humphrey field analyzer Rp 150.000,-
72 x RP. 150.00,- Rp. 10.800.000,-
4. Biaya pemeriksaan OCT
Jumlah sampel 2 x 36 mata = 72
Harga pemeriksaan OCT Rp 250.000,-
72 x 250.000,- Rp. 18.000.000,-
5. Kebutuhan tetes mata antibiotik pasca operasi
C.Floxa® ED 1 strip (36 x Rp 27.000) Rp. 972.000,-

6. Kebutuhan tetes mata kortikosteroid pasca operasi


C.Xitrol® ED 1 strip (36 x Rp 25.000) Rp. 900.000,-

7. Biaya administrasi (fotokopi, alat tulis, presentasi) Rp. 1.000.000,-


8. Biaya tak terduga Rp 2.000.000,-
Total Rp. 33.872.000,-

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


51

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014


52

MD MD
NO NAMA USIA JK Diagnosa TPTK TPDK TPTK TPDK Derajat OCT Peripapil Pre op OCT Peripapil Post op humprey humprey TIO
Awal Awal Akhir Akhir Katarak rerata sup inf temp nas rerata sup inf temp nasal Awal Akhir pre post
1 AM 70 L NG 1 0.7 0.7 0.5 NC4 O4 82 85 94 74 73 78 83 102 80 49 -10.54 -11.29 13 8,7
2 AD 72 L NG 0.7 0.4 0.4 0.1 NC4 O3 45 57 45 33 45 44 54 39 34 48 -27.96 -2 18 15
3 AMN 59 L NG 0.4 0.2 0 0 NC3 O2 93 92 132 87 60 96 127 125 74 58 -7.48 -5.21 20 13
4 MSD 61 L NG 0.5 0 0 0 NC3 O2 108 129 135 83 85 119 144 144 98 91 -8.3 -4.27 23 16
5 RCH 63 P NG 0.3 0.1 0.3 0.1 NC2 O3 110 130 135 74 102 121 145 149 80 110 -6.3 -26.76 19.3 20
6 RSL 61 P NG 1 0.7 0.7 0.3 NC4 O3 83 118 84 72 58 97 121 105 98 62 -7.16 -8.34 21.2 17
7 RSN 62 L NG 0.8 0.8 0.7 0 NC3 O3 112 151 95 122 78 101 121 117 82 86 -18.1 18.3 13.7 12.3
8 SJN 67 L NG 0.6 1 0.2 0 NC3 O3 93 113 120 48 92 88 124 69 54 105 -17.42 -15.46 20.3 20
9 RKM 70 P NG 0.7 0.7 0.5 0 NC3 O3 83 118 84 72 58 97 121 105 98 62 -19.49 -17.84 16 14
10 SA 62 L NG 1 0.7 0.5 0.2 NC4 O3 88 114 82 74 78 102 123 124 85 75 -5.27 -5.18 19 18
11 TGW 78 P NG 0.4 0.1 0.1 0 NC3 O3 101 118 152 69 62 105 131 149 74 68 -4.16 -3.27 12 10.1
12 TGT 65 L NG 0.5 0.5 0.1 0 NC3 O3 120 143 149 86 100 125 152 152 74 122 -12.31 -7.64 8 8
13 YS 46 L NG 0.6 0 0.1 0 NC4 O3 116 133 135 85 111 115 135 135 76 115 -11.29 -11.29 12 10
14 ACP 61 L Gl 1.3 1.3 0.5 0.2 NC4 O3 81 93 96 69 66 89 109 98 84 66 -3.99 -4 10.3 10
15 AK 65 L Gl 0.8 0.8 0.4 0.1 NC3 O3 100 124 128 77 70 104 134 116 83 84 -2.37 -3.44 9.9 9.7
16 ABA 60 L Gl 0.8 0.8 0.2 0 NC3 O3 105 132 126 77 87 99 134 121 71 68 -7.63 -7.98 13.8 13.4
17 BSD 65 L Gl 1.8 0.8 0.3 0 NC3 O3 103 124 119 105 63 100 120 116 94 68 -20.9 -23.66 8.3 8.3
18 EFD 46 L Gl 1.5 0.4 0.3 0 NC3 O3 99 119 129 59 90 104 116 131 80 88 -8.41 -8.41 9.3 8
19 HR 75 P Gl 0.3 0.3 0.1 0 NC3 O2 113 123 149 91 88 110 114 147 91 89 -2.81 -2.84 13.4 13.4
20 MM 68 P Gl 0.8 0.8 0.4 0 NC4 O3 120 146 146 91 97 112 145 146 94 64 -5.01 -5.92 13 13.3
21 MHY 63 L Gl 0.7 0.7 0.1 0 NC3 O3 91 124 115 53 73 90 123 113 51 76 -6.88 -7.55 11.7 11.6
22 MYD 42 L Gl 0.4 0.4 0 0 NC3 O3 102 126 149 69 63 102 125 150 76 59 -0.76 -0.86 10.3 9.8
23 SB 61 P Gl 1.8 1.3 0.2 0 NC4 O4 108 136 134 90 71 108 136 135 92 70 -17.48 -17.48 17.7 17.3
24 EFD 46 L Gl 1.3 0.4 0.1 0 NC3 O3 99 126 125 62 85 101 123 122 70 88 -8.41 -8.41 9.3 8
25 TS 66 P Gl 1.3 0.7 0 0 NC4 O3 81 114 78 107 40 99 110 130 90 66 0.5 -3.81 14 13.7
26 BYG 65 P Gl 0.8 0.8 0.4 0.1 NC4 O3 100 124 128 77 70 104 134 116 83 84 -7.76 -7.8 10 10

Perubahan ketebalan…, Olivia Putri Perdana, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai