Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
Disusun oleh :
Yusuf Susanto 20174011111
Riska Anggraeni 20174011131
Aisyah Rossandy 20174011025
TUTORIAL KLINIK
disusun oleh :
Yusuf Susanto 20174011111
Riska Anggraeni 20174011031
Aisyah Rossandy 20174011025
Dosen Pembimbing
Henti jantung atau Cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat terjadi dimana saja dan
memerlukan tindakan segera. Hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba akan menyebabkan
berhentinya aliran darah ke semua organ sehingga kondisi perfusi dan metabolisme dari organ
yang mendukung fungsi masing-masing akan juga hilang. Kerusakan yang bersifat irreversible
dapat terjadi apabila tidak dilakukan usaha resusitasi dalam beberapa menit untuk mengembalikan
fungsi organ seperti otak dan jantung. Otak sebagai organ yang sangat tergantung fungisnya
dengan ketersediaan oksigen maka berhentinya aliran darah menuju otka pada henti jantung akan
menyebabkan masalah serius mengingat otak merupakan organ yang mnegatur sebagian besar
fungsi fisiologis dan haemostasis tubuh.
Pada pasien dengan henti jantung atau Cardiac arrest biasanya dilakukan RJP (Resusitasi
Jantung Paru). Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah
rangkaian tindakan penyelamatan nyawa yang meningkatkan probabilitas untuk hidup setelah
henti jantung.
Bila RJP berhasil pasien akan memasuki tahap ROSC (Return of Spontaneous Circulation).
ROSC adalah kembalinya aktivitas jantung yang disertai dengan perfusi jaringan dan usaha
pernafasan yang signifikan setelah henti jantung.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang terpisah, dengan staf
dengan staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi
pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit yang mengancam jiwa atau potensial
mengancam jiwa dengan prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana,
serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan
staf medik, perawat, dan staf yang lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keadaan
tersebut.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. X
Jenis Kelamin : Laki - laki
Umur : 56 tahun
Berat Badan : 50 kg
Pekerjaan : -
Alamat : Imogiri, Bantul
Agama : Islam
No. RM : 23-43-76
Masuk RS Tanggal : 08/12/2018
Ruang : ICU
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Demam sejak 6 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelumnya pasien sudah ke IGD pada tanggal 06/12/2018 dengan keluhan
demam dan menggigil, serta ada riwayat cabut gigi di tukang gigi, kemudian pasien
di pulangkan. Namun di rumah keadaan tidak membaik, pasien juga mengeluhkan
mual dan muntah setiap makan sehingga akhirnya pasien dibawa kembali ke IGD
pada tanggal 08/12/2018, kemudian gula darah sewaktu pasien diperiksa. Pasien
memiliki riwayat DM. Hasilnya gula darah sewaktu pasien saat itu adalah 394 mg/dL
dan diagnosis dengan hiperpireksia dengan vomitus profuse, DM dan kemudian
pasien di rawat inap di bangsal.
Pada tanggal 10/12/2018 pasien mengalami henti jantung dan langsung
dilakukan RJP 5 siklus. Setelah dilakukan RJP 5 siklus, pemberian epinephrine 1
ampul serta dilakukan RJP 5 siklus kembali pasien mengalami ROSC (Return of
Spontaneous Circulation). Dua menit setelah ROSC pasien mengalami apneu (henti
napas) dan kembali dilakukan RJP 5 siklus sebanyak 3 kali dan pemberian
epinephrine 1 ampul sebanyak 2 kali. Pasien kembali ROSC. Tekanan darah
50/palpasi.
Pasien lalu dikonsulkan ke TS Anestesi dengan diagnosa sepsis, MODS
(Multiple Organ Dysfunction Syndrome), post ROSC. Kemudian pasien pindah rawat
dari bangsal ke ICU. Pasien dilakukan trakeostomi dan terpasang ventilator
a. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM tipe II NO
Riwayat Cabut gigi
b. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat sakit DM disangkal
Riwayat sakit asma disangkal
Riwayat sakit hepar disangkal
Riwayat tumor disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 9/11/2018
1. Keadaan Umum
a. Kesan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Somnolen / stupor (?)
2. Vital Sign
a. Tekanan Darah : 158/94 mmHg
b. Respirasi : 22 kali/menit
c. Nadi : 124 x/menit
d. Suhu : oC
e. VAS :1
3. Kepala : Mesocephal
4. Mata : Conjungtiva anemis (-|-), sklera Ikterik (-|-)
5. Hidung : Discharge (-), deviasi (-), napas cuping hidung (-)
6. Telinga : Simetris Kanan Kiri, Sekret (-|-), Serumen (-|-)
7. Mulut : Trismus (-), buka mulut >3 jari, sianosis (-)
8. Leher : Inspeksi = Trakea terletak di tengah
Tiroid tidak tampak pembesaran
Palpasi = kaku kuduk (-), perbesaran kelenjar tiroid
(-), perbesaran KGB (-)
9. Thorax : Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba di SIC IV
Perkusi : Redup
Auskultasi : S1 & S2 irreguler, bising (-)
Paru – Paru
Inspeksi : Simetris (+), retraksi dada (-|-), ketinggalan gerak (-|-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama,
ketinggalan gerak (-|-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru – paru
Auskultasi : Vesikuler (+|+), ronkhi (-|-), wheezing (-|-)
10. Abdomen
Inspeksi : Ikterik -, hiperemis -, massa -
Auskultasi : Peristaltik (+) meningkat
Perkusi : Timpani (+), Redup (-/-)
Palpasi : Hepar tak teraba,lien tak teraba, nyeri tekan pada regio epigastric (-),
regio lumbal kanan (-), regio iliaka kanan (-), regio hipogastric (-)
11. Ekstremitas : Superior = Akral hangat (+|+), Edema (-/-)
Inferior = Akral hangat (+|+), Edema (-/-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (11/12/2018)
HEMATOLOGI
Hb : 8,8 [12 - 16] g/dl
AL : 19,18 [4 - 11] ribu/ul
AE : 3,14 [4 - 5] ribu/ul
AT : 209 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 25,8 [36 - 46] %
HITUNG JENIS
Eosinofil : 0 [2 - 4] %
Basofil : 0 [0 - 1] %
Batang : 0 [2 - 5] %
Segmen : 84 [51 - 67] %
Limfosit : 7 [20 - 35] %
Monosit : 9 [4 - 8] %
HEMOSTASIS
PPT : 15 12 – 16 detik
APTT : 27,8 28 – 38 detik
Control PPT : 15,0 11 – 16 detik
Control APTT : 33,2 28 – 36,5 detik
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT : 335 <37 U/L
SGPT : 208 <41 U/L
Protein Total : 5,76 6,20-8,40 g/dl
Albumin : 2,78 3.50-5.50 g/dl
Globulin : 2,98 2,80-3,20 g/dl
FUNGSI GINJAL
Ureum : 101 17 - 43 mg/dl
Kreatinin : 3.57 0,60 – 1,10 mg/dl
DIABETES
Gula Darah Sewaktu : 390 [80 – 200] mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium : 129.1 137-145 mmol/l
Kalium : 4.35 3.50-5.10 mmol/l
Klorida : 99.3 98-107 mmol/l
GAS DARAH
Ph : 7,322
PCO2 : 21,8
PO2 : 275,0
HCO3 : 11,3
SO2 : 100
BE (Base Excess) : -15,0
TCO2 : 12,0
Update lab
Tanggal 26/12/2018
HEMATOLOGI
Hb : 11,8 [12 - 16] g/dl
AL : 14,86 [4 - 11] ribu/ul
AE : 6,86 [4 - 5] ribu/ul
AT : 580 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 37,5 [36 - 46] %
HITUNG JENIS
Eosinofil : 3 [2 - 4] %
Basofil : 1 [0 - 1] %
Batang : 0 [2 - 5] %
Segmen : 29 [51 - 67] %
Limfosit : 58 [20 - 35] %
Monosit : 9 [4 - 8] %
GOL.DARAH
Golongan Darah : AB
HEMOSTASIS
PPT : 12,5 12 – 16 detik
APTT : 27,7 28 – 38 detik
Control PPT : 13,1 11 – 16 detik
Control APTT : 30,3 28 – 36,5 detik
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
Albumin : 5,02 3.50-5.50 g/dl
FUNGSI GINJAL
Ureum : 31 17 - 43 mg/dl
Kreatinin : 0,51 0,60 – 1,10 mg/dl
DIABETES
Gula Darah Sewaktu : 115 [80 – 200]
ELEKTROLIT
Natrium : 144,4 [137 - 145] mg/dl
Kalium : 5,71 [3.50 - 5.10] mg/dl
Klorida : 104,3 [98 - 107] mg/dl
HEPATITIS
HbsAg : Negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
ROSC
MODS
Diabetes Melitus
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Hipovolemia
Keadaan klinis yang sering ditemukan adalah luka bakar yang luas, diabetes,
kehilangan cairan gastrointestinal, perdarahan, kanker, dan syok akibat trauma.
Hipoksia
Keadaan klinis ini harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan henti jantung.
Hipotermia
Keadaan ini ditemukan pada penyalahgunaan alkohol, luka bakar, pasien usia tua,
tenggelam, penyakit endokrin, tunawisma, penyakit medulla spinalis, dan penyakit
kulit luas pasca trauma.
Hipokalemia/ Hiperkalemia
Asidosis metabolik, penggunaan kalium berlebih, akibat obat, latihan berat, hemolisis,
penyakit ginjal,rhabdomyolisis, sindrom lisis tumor, kerusakan jaringan massif.
Asidosis dapat terjadi pada pasien diabetes, diare, resusitasi lama, penyakit ginjal,
syok.
Tamponade Jantung
Merupakan sindrom klinik dimana terjadi penekanan yang cepat atau lambat terhadap
jantung akibat adanyaakumulasi cairan, nanah, darah, bekuan darah, atau gas di ruang
perikardium, sebagai akibat adanya efusi,trauma, atau ruptur jantung
Tension Pneumotoraks
Trombosis Paru
Keadaan ini biasanya terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, pasca
dilakukannya prosedur bedah,peripartum, terdapatnya faktor risiko terjadinya
tromboemboli vena, riwayat tromboemboli vena, emboli paru akut
Trombosis Jantung
Pertimbangkan adanya infark miokard pada semua pasien dengan henti jantung,
terutama pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner.
Hal ini biasa terjadi pada penyalahgunaan alkohol, perubahan status mental, sindrom
toksikologi, pajanan industri (okupasional), gangguan psikiatri
C. Definisi
Henti Jantung adalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat
memompakan darah ke seluruh tubuh. Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak
dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian
atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu
tidak termasuk henti jantung (Alkatiri, 2007; Latief, 2007)
E. Diagnosa
Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya pulsasi terutama
pada arteri karotis . Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis adalah standar untuk
mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi (khususnya di pulsasi perifer)
mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misalnya shock).
F. Penatalaksanaan
1. Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau
henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis,
terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya penurunan
atau kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki
lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau
tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang
dilakukan.
a. Indikasi
1) Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya
(Latief, 2007).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.
Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung (Alkatiri,
2007; Latief, 2007).
2) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia
lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung (Alkatiri, 2007;
Latief, 2007).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%)
dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang
terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis,
radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau
satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan
pasien tidak sadar (Alkatiri, 2007; Latief, 2007).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin
(Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit
pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun
setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali (Alkatiri, 2007; Latief,
2007).
b. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya (Alkatiri, 2007):
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan
darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan
bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup
dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai PJL,
untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular
complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus
menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang
(Alkatiri, 2007)
c. Pembaharuan pada BLS Guidelines 2015
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding dengan 2010.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut (Hazinski et al, 2015)
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan pernafasan.
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga terdapat
sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers.
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9) Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest
compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan shock.
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang
tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan
memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest
compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR kerana
perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression merupakan
tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup
(chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi rantai
kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan henti
jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah cardiac
arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar lingkungan rumah
sakit (OHCA). Gambar 4 menunjukkan “chain of survival” pada kondisi HCA
maupun OHCA
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama melakukan
siklus kompresi dada, penolong harus membolej\hkan rekoil dada penuh
dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan hal tersebut
penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah setiap kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui head tilt – chin lift. Namun jika korban dicurigai cedera
tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan 1
napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien dewasa,
anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap 2
menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12
nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun,
atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya
tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi
otomatis atau pemasangan advance airway.
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang
penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu orang
penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu 30 : 2;
tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi menjadi
15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau sekitar 12-20
nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu orang penolong dan
15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.
Gambar 6. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong
Gambar 7. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong
5) Posisi mantap
Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada korban tidak
responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik. Tidak ada posisi baku
yang menjadi standar, namun posisi yang stabil dan hamper lateral menjadi prinsip
ditambah menaruh tangan yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan
kepala menuju tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang
dapat menghilangkan fibrilasi.
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah
kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
e. Bantuan Hidup Terus Menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus
terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang
permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat
yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
Prinsip utama:
Perawatan pasca henti jantung merupakan komponen kritis dari advanced life support
Transpor ke ICU
Optimalisasi ventilasi mekanik untuk mengurangi terjadinya lung injury (Vt 6-8 ml/kg)
TRAKEOTOMI
1. Definisi
Trakeostomi adalah pembuatan lubang di dinding anterior trakea
untuk mempertahankan jalan napas. Pertama kali dikemukakan oleh Aretaeus danGalen
pada abad pertama dan kedua sesudah masehi. Walaupun teknik inidikemukakan
berulang kali setelah itu, tetapi orang pertama yang diketahui secara pasti melakukan
tindakan ini ialah Antonio Brasavola pada tahun 1546.Prosedur ini disebut dengan
berbagai istilah, antara lain laringotomi dan bronkotomi sampai istilah trakeostomi
diperkenalkan oleh Heister pada tahun1718. Pipa trakeostomi yan pertama dengan kanul
dalam diperkenalkan olehGeorge Martine di Inggris kira-kira tahun 1730 untuk
menghindari sumbatan pipa pascabedah.
Trakeostomi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengatasi pasien
dengan ventilasi yang tidak adekuat dan obstruksi jalan pernafasan bagian atas. Insisi
yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeotomisedangkan tindakan yang
membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara dapat
masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas
disebut dengan trakeostomi(Robert, 1997). Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan
maksud membuathubungan antara leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering
salingtertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada trakea,
sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea.
2. Indikasi Pemasangan Trakeostomi
Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah :
a. Mengatasi obstruksi laring
b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen
yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru.
c. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasienkoma.
d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk
bronkoskopi
Bila mungkin, trakeostomi harus didahului oleh intubasi endotrakea.Walaupun intubasi
endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalannafas, trakeostomi harus dilakukan
bila diperhitungkan perlu perawatan jalannafas lebih dari 48 jam, karena :
a. Mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dankemungkinan
terjadinya obstruksi pipa lebih kecil.
b. Pasien sangat sulit menelan dengan adanya pipa endotrakea
c. Membersihkan pipa endotrakea pada posisinya sulit dan untuk mengganti pipa
diperlukan laringoskopi berulang.
d. Intubasi lama endolaring menimbulkan ulserasi mukosa yang akhirnyadapat menjadi
granuloma, adhesi, dan stenosis laring.
e. Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yangmungkin penting
pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.
f. Dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara
3. Peralatan Trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalahsemprit dengan
obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi,gunting panjang yang tumpul,
sepasang pengait tumpul, klem arteri, guntingkecil yang tajam serta kanul trakea yang
ukurannya cocok untuk pasien.
4. Prosedur Trakeostomi
Pada kasus ini pasien bernama Tn. X datang dengan Keluhan Utama Demam sejak 6
hari SMRS. Sebelumnya pasien sudah ke IGD pada tanggal 06/12/2018 dengan keluhan
demam dan menggigil, serta ada riwayat cabut gigi di tukang gigi, kemudian pasien di
pulangkan. Namun di rumah keadaan tidak membaik, pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah setiap makan sehingga akhirnya pasien dibawa kembali ke IGD pada tanggal
08/12/2018, kemudian gula darah sewaktu pasien diperiksa. Pasien memiliki riwayat DM.
Hasilnya gula darah sewaktu pasien saat itu adalah 394 mg/dL dan diagnosis dengan
hiperpireksia dengan vomitus profuse, DM dan kemudian pasien di rawat inap di bangsal.
Pada tanggal 10/12/2018 pasien mengalami henti jantung dan langsung dilakukan
RJP 5 siklus. Setelah dilakukan RJP 5 siklus, pemberian epinephrine 1 ampul serta
dilakukan RJP 5 siklus kembali pasien mengalami ROSC (Return of Spontaneous
Circulation). Dua menit setelah ROSC pasien mengalami apneu (henti napas) dan kembali
dilakukan RJP 5 siklus sebanyak 3 kali dan pemberian epinephrine 1 ampul sebanyak 2
kali. Pasien kembali ROSC. Tekanan darah 50/palpasi.
Pasien lalu dikonsulkan ke TS Anestesi dengan diagnosa sepsis, MODS (Multiple
Organ Dysfunction Syndrome), post ROSC. Kemudian pasien pindah rawat dari bangsal
ke ICU. Pasien dilakukan trakeostomi dan terpasang ventilator.
Berdasarkan kasus ini, maka pasien didiagnosis dengan ROSC, MODS dan DM.
Pada kasus ini pembahasan utama ialah tentang ROSC. Setelah dianalisis etiologi dari
ROSC ini ada beberapa hal melalui proses panjang yaitu terutama diakibatkan oleh
penyakit sistemik degenaritifnya yaitu DM. Kemudian DM ini akan memperberat dan
melemahkan imun pasien, sehingga mudah terserang penyakit infeksi, seperti akibat cabut
giginya ditukang gigi dengan sterilitas yang tidak terjamin, maka menyebabkan dia terkena
patogen yang kemudian menginfeksi tubuhnya dengan ditandai demam yang cukup lama.
Kemudian keadaan infeksi yang diperberat oleh DM nya membuat infeksi semakin parah
hingga sistemik, kemudian menyebabkan sepsis. Sepsis pada pasien ini tidak teratasi
sehingga menyebabkan kegagalan banyak organ (MODS). Dengan adanya penyakit berat
ini yaitu DM, Sepsis dan MODS akan memudahkan suatu kejadian berupa henti jantung.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa penyebab dari henti jantung ada beberapa hal yang
disingkat menjadi 5H dan 5T.
5H yaitu: Hipovolemia, Hipoksia, Hipotermi, Hipo/hiperkalemia, Hidrogen Ion
(Asidosis). Adapun 5T yaitu: Tamponade jantung, Tention pnrumotorak, Trombosis paru,
Trombosis jantung, Tablet/Toksin.
Adapun terapi pada pasien ini sudah memenuhi standar yaitu Resusitasi jantung
paru karena pasien mengalami henti jantung dan juga henti nafas. Sesuai dengan teori
bahwa resusitasi jantung paru diindikasikan pada henti jantung dan henti nafas. Resusitasi
jantung paru sendiri terdiri dari 3 fase; fase 1: batuan hidup dasar (Basic life support), fase
2: bantuan hidup lanjut (advance life support), dan fase tiga: bantuan hidup terus menerus
(Prolonged Life Support).
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien pada kasus ini mengalami henti jantung dan juga henti nafas. Setelah diberi
bantuan hidup dasar maka pasien tertolong maka memasuki fase ROSC. Adapun
Perawatan Pasca Henti Jantung yaitu
Prinsip utama:
Birt D, Thomas B, Wilson I. Resuscitation from cardiac arrest. Update in Anaesthesia. 1999; 10:
6. Available At: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/
CPR Guidelines, Mary Fran Hazinski, editor, American Heart Association, 2010
Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest and Sudden Cardiac Death. In: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17thedition. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2008. https://acls.com/free-
resources/knowledge-base/pea-asystole/reversible-causes-of-cardiac-arrest-hs-and-ts
(lengkapnya 5H sama 5T ada disini tapi inggris smw, kalo mau ditambahin
John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2015 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Hazinski MF, Shuster M, Donnini MW, Travers AH, Samson RA, Schexnayder SM, Sinz EH, et
al (2015). Highlights of the 2015 american heart association guidelines update for CPR and
ECC. USA: American Heart Association.
Isselbacher JK et al (2012). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa Asdie
Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC
Latief SA (2007). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit FKUI.
Neumar RW Shuster M, Callaway CW, et al, Part 1: Executive Summary: 2015 American Heart
Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care.
Paradis N, Halperin HR, Kern KB. et al. Cardiac Arrest : The Science and Practice of
Resuscitation Medicine, 2nd Edition, Cambridge, 2007
Snell RS (2006). Anatomi jantung dalam Buku ajar anatomi klinik. Jakarta : EGC.
Torpy JM (2006). Cardiac arrest. The Journal of the American Medical Assosiation, 295(1).
Staf pengajar bagian Anestesiologi dan terapi intensif FK UI. Editor dr.Muhardi Muhiman. 1989.
Penatalaksanaan Pasien di Intensive Care Unit. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 14-16.