Anda di halaman 1dari 25

TUTORIAL KLINIK

PENANGANAN PASIEN TETANUS DI ICU

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada :

dr. Dedy Hartono, Sp. An

Disusun oleh :
Hafiidz Fatich Rosihan 20174011152
Dea Karima Purbohadi 20174011121

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

PENANGANAN PASIEN TETANUS DI ICU

disusun oleh :
Hafiidz Fatich Rosihan 20174011152
Dea Karima Purbohadi 20174011121

Telah dipresentasikan pada


Februari 2019

Dosen Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp. An


BAB I
PENDAHULUAN

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang
terpisah, dengan staf dengan staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk
observasi, perawatan, dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera
atau penyulit yang mengancam jiwa atau potensial mengancam jiwa dengan
prognosis dubia. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana, serta
peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan
keterampilan staf medik, perawat, dan staf yang lain yang berpengalaman dalam
pengelolaan keadaan-keadaan tersebut.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Bp. W
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 56 tahun
Berat Badan : 55 kg
Pekerjaan : Petani sawah
Alamat : Bantul
Agama : Islam
No. RM : 47-60-31
Masuk RS Tanggal : 2019
Ruang : ICU

B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Pasien datang dari poli dokter Waisul, Sp. PD dengan keluhan perut kaku

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dari poli dokter Waisul, Sp. PD dengan keluhan perut kaku.
Pasien juga mengeluh leher kaku dan sulit menelan dan berbicara agak pelo
serta jika makan tersedak namun sehari sebelumnya pasien mengaku masih
bisa makan dan minum. Pasien memiliki riwayat luka pada kaki karena
tertusuk saat bekerja di sawah. Pasien saat sebelum di rawat di ICU
mengalami kejang 1x lalu dilanjutkan 4x kejang sehingga pasien di rawat di
ICU
3. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat DM tipe II disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat sakit DM disangkal
 Riwayat sakit asma disangkal
 Riwayat sakit hepar disangkal
 Riwayat tumor disangkal
5. Riwayat sosial ekonomi
Pasien tinggal bersama istrinya. Pasien merupakan seorang petani yang
rutin ke sawah setiap harinya.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 10/2/2019
1. Keadaan Umum
a. Kesan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Somnolen

2. Vital Sign
a. Tekanan Darah : 150/80 mmHg
b. Respirasi : 20 kali/menit
c. Nadi : 80 x/menit
d. Suhu : 36,7oC

3. Kepala : Mesocephal
4. Mata : Conjungtiva anemis (-|-), sklera Ikterik (-|-)
5. Hidung : Discharge (-), deviasi (-), napas cuping hidung (-)
6. Telinga : Simetris Kanan Kiri, Sekret (-|-), Serumen (-|-)
7. Mulut : Trismus (+) rongga dalam mulut dan lidah tidak dapat
dinilai
8. Leher : Inspeksi = Trakea terletak di tengah
Tiroid tidak tampak pembesaran
Palpasi = kaku kuduk (-), perbesaran kelenjar tiroid
(-), perbesaran KGB (-)
9. Thorax : Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba di SIC IV
Perkusi : Redup
Auskultasi : S1 & S2 tunggal, reguler, bising (-)
Paru – Paru
Inspeksi : Simetris (+), retraksi dada (-|-),
ketinggalan gerak (-|-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri sama,
ketinggalan gerak (-|-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru – paru
Auskultasi : Vesikuler (+|+), ronkhi (-|-), wheezing (-|-)
10. Abdomen
Inspeksi : Ikterik -, hiperemis -, massa -
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani (+), Redup (-/-)
Palpasi : Tegang seperti papan, nyeri tekan (+) di seluruh regio
abdomen
Ekstremitas : Superior = Akral hangat (+|+), Edema (-/-)
Inferior = Akral hangat (+|+), Edema (+/+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
HEMATOLOGI
Hb : 13 [12 - 16] g/dl
AL : 9,16 [4 - 11] ribu/ul
AE : 38,6 [4 - 5] ribu/ul
AT : 4,48 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 166 [36 - 46] %
HITUNG JENIS
Eosinofil : 0 [2 - 4] %
Basofil : 1 [0 - 1] %
Batang : 0 [2 - 5] %
Segmen : 75 [51 - 67] %
Limfosit : 16 [20 - 35] %
Monosit : 8 [4 - 8] %
HEMOSTASIS
PPT : 14,9 12 – 16 detik
APTT : 26,8 28 – 38 detik
Control PPT : 15,9 11 – 16 detik
Control APTT : 32 28 – 36,5 detik
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT : 32 <31 U/L
SGPT : 15 <31 U/L
Albumin : 3,64 3.50-5.50 g/dl
FUNGSI GINJAL
Ureum : 22 17 - 43 mg/dl
Kreatinin : 0,67 0,60 – 1,10 mg/dl
DIABETES
Gula Darah Sewaktu : 104 [80 – 200]
ELEKTROLIT
Natrium : 141,0 [137 - 145] mg/dl
Kalium : 4,10 [3.50 - 5.10] mg/dl
Klorida : 110 [98 - 107] mg/dl
SERO-IMUNOLOGI
HEPATITIS
HBsAg : Negatip Negatip
Radiologi: Cor dan pulmo normal
Reflek Patologis: Babinski -/-
Tanda rangsang meningeal:
Kaku kuduk : -/-
Brudzinski I: -/-
Brudzinski II: -/-
Kerniq: -/-
Laseq: -/-
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penurunan Kesadaran: (+)
Muntah Proyektil : (-)
Sakit kepala hebat : (-)
Edema papil : tidak dilakukan

E. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus grade IIIb
Gagal nafas
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. TETANUS
1. DEFINISI

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh


eksotoksin (tetanospasmin) bakteri Clostridium tetani yang ditandai
dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan berat.Istilah tetanus
berasal dari bahasa Yunani “tetanus” yang artinya regangan, kekakuan
atau kontraksi (stretch atau rigidity). Tetanus dapat didefinisikan sebagai
keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri
(biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh
tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya. Kontraksi otot bersifat kaku dan nyeri, bisa terjadi lokal
maupun general (Subandi & Danuaji, 2014).

2. ETIOLOGI

Tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di


tanah dan kotoran binatang.Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi
spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu
terlihat. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C.
tetani merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana
menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi
neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan
terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia.
Spora C. tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit
(meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20 menit).
Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda
lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada
bagian bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani
dibentuk. (dengan pembesaran mikroskop 3000x)

Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka.


Ketika menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang
dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin
ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5
ng/kg).

3. EPIDEMIOLOGI

Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan


masalah kesehatan publik yang sangat besar.Dilaporkan terdapat 1 juta
kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000
penduduk per tahun serta angka kematian 300.000- 500.000 per tahun.

Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara


berkembang, dengan penyebab kematian terbanyak karena mengalami
kegagalan pernapasan akut.Angka mortalitas menurun karena perbaikan
sarana intensif (ICU dan ventilator), membuktikan

bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat


berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.

Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan


bahwa Case Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-
53%.
Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah
semakin buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus (40%), pneumonia
(15%), dan kegagalan pernapasan akut (45%).Health Care Associated
Pneumonia (HCAP) dalam beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi
saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi
semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus.Angka mortalitas
penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang
mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat penyakit ini. Infark
miokard menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan
besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.

4. PATOGENESIS

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka


yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk.Cara
masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka
tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit
yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak
terlihat.

Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut


menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis,
leukosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi
vegetatif yang kemudian berkembang.Kuman ini tidak invasif. Bila
dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin
dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan pathogenesis
penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah
neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.

Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana


terdapat suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk
hidup dan memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf
perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde menuju saraf
presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.

Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter


inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi
khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino
Butyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi neuron motorik. Hal
tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf
motorik.

Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus


yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang
labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi
katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak
dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.

5. GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3
atau beberapa minggu ). Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara
klinis, yakni :
1. Tetanus Lokal
2. Cephalic Tetanus
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
4. Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus
tetanus
Karakteristik dari tetanus :
 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap
selama 5 -7 hari.
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
 Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus,
lockjaw) karena spasme Ototmasetter.
 Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku ( opistotonus , nuchal rigidity)
 Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudutmulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat
 Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan
opistotonus, tungkai denganeksistensi, lengan kaku dengan
mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
 Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensiurin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna
vertebralis ( pada anak )
A. Tetanus Lokal

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,


pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tandadari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif
dan biasanya menghilang secara bertahap.Lokal tetanus ini bisa
berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentukyang ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpaisebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara
terpisah. Hal ini terutamadijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.

B. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 – 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik
(seperti dilaporkan di India ), luka padadaerah muka dan kepala,
termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. Tetanuscephalic
dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII paling sering terlibat.
TetanusOphthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah
menembus luka mata dan lukadalam dengan kelumpuhan dari safar
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa jugakelumpuhan dari N.
IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan
menetapdalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus chepalic
dapat berkembangmenjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosanya
jelek
C. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
( Sardonic Grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan
otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose, dan
asfiksia,. Bisa terjadi disuria dan retensi urin, kompressi fraktur dan
pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit
tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi atau
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan melalui gejala klinis.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :

a) Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak
ada, disfagia tidakada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b) Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar,
takipneu dan disfagiaringan
c) Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu,
apnoeicspell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas
sistem otonomid.
d) Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler,yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi
dan bradikardi, hipertensi beratatau hipotensi berat. Hipotensi
tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab
iatrogenik.
D. Neonatal Tetanus
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi
pada anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan
menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan
kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku
dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan
yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua
kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu,
kadang disertai opistotonus.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan


anamnesis serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka,
hanya merupakan penunjang diagnosis. Adanya trismus, atau risus
sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh
riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosis tetanus dapat membingungkan, dan kelangsungan hidup
tergantung pada kecepatan pengobatan dengan antitoksin dan perawatan
suportif yang memadai.

7. DIAGNOSIS BANDING
8. KOMPLIKASI

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada


jalan napas sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan
bantuan ventilator.Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan
karena komplikasinya.Kejang yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta
rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.

Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang


berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia
yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat
bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut. Aspirasi
pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus,
ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.

Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan


otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan
otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi
hipotensi dan bradikardi.Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat
saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan.Magnesium sulfat dapat
mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.

PENATALAKSANAAN
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus,yakni: (1) membuang sumber
tetanospasmin;(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat;(3) perawatan penunjang
(suportif ) sampaitetanospasmin yang berikatan denganjaringan telah habis
dimetabolisme.4,5,7-14
Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruhdan didebridement untuk
mengurangimuatan bakteri dan mencegah pelepasantoksin lebih lanjut.1,3,5
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkanefek untuk tujuan
pencegahan tetanussecara klinis adalah minimal. Pada penelitiandi Indonesia,
metronidazole telahmenjadi terapi pilihan di beberapa pelayanankesehatan.
Metronidazole diberikan secara ivdengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkandosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama7-10 hari. Metronidazole
efektif mengurangijumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.Sebagai lini kedua
dapat diberikan penicillinprocain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama7-10 hari,
jika hipersensitif terhadap penicillindapat diberi tetracycline 50
mg/kgBB/hari(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).Penicillin membunuh
bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G100.000
U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama10 hari direkomendasikan pada semua
kasustetanus. Sebuah penelitian menyatakanbahwa penicillin mungkin berperan
sebagaiagonis terhadap tetanospasmin denganmenghambat pelepasan asam
aminobutiratgama (GABA).3-5,12
Netralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkantoksin-toksin yang belum
berikatan.Setelah evaluasi awal, human tetanusimmunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikanintramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dandiinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak adakonsensus dosis
tepat HTIG. RekomendasiBritish National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnyaadalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi ditempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekalipengobatan karena waktu paruhnya 25-30hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makinefektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulinatau komponen human immunoglobulinsebelumnya;
trombositopenia berat ataukeadaan koagulasi lain yang dapatmerupakan
kontraindikasi pemberianintra muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskulardan
50.000 unit intravena pada haripertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000unit
intramuskuler masing-masing padahari kedua dan ketiga.1,4,5 Setelah
penderitasembuh, sebelum keluar rumah sakit harusdiberi immunisasi aktif
dengan toksoid,karena seseorang yang sudah sembuh daritetanus tidak memiliki
kekebalan.1,3,5
Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dariterapi suportif sampai efek toksin
yang telahterikat habis. Semua pasien yang dicurigaitetanus sebaiknya ditangani
di ICU agarbisa diobservasi secara kontinu. Untukmeminimalkan risiko spasme
paroksismalyang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasiensebaiknya dirawat di
ruangan gelap dantenang.3-5,12 Pasien diposisikan agar mencegahpneumonia
aspirasi. Cairan intravenaharus diberikan, pemeriksaan elektrolit sertaanalisis gas
darah penting sebagai penuntunterapi. 5
Penanganan jalan napas merupakanprioritas. Spasme otot, spasme
laring,aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanyadapat mengganggu respirasi.
Sekresi bronkusyang berlebihan memerlukan tindakansuctioning yang sering.1
Trakeostomi ditujukanuntuk menjaga jalan nafas terutama jikaada opistotonus dan
keterlibatan otot-ototpunggung, dada, atau distres pernapasan.6
Kematian akibat spasme laring mendadak,paralisis diafragma, dan
kontraksi ototrespirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidaktersedia akses
ventilator.3. Spasme otot dan rigiditas diatasi secaraefektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebihsedikit dipengaruhi oleh stimulus periferdan kecil kemungkinannya
mengalamispasme otot.5Diazepam efektif mengatasispasme dan hipertonisitas
tanpa menekanpusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikanadalah 0,1-
0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejalaklinis, dosis yang
direkomendasikan untukusia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oraldalam dosis 2-3
mg setiap 3 jam. Spasmeharus segera dihentikan dengan diazepam5 mg per rektal
untuk berat badan <10 kgdan 10 mg per rektal untuk anak denganberat badan ≥10
kg, atau diazepam intravenauntuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasmeberhenti, pemberian diazepam dilanjutkandengan dosis rumatan sesuai
keadaanklinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanusneonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasmeakut, diikuti infus tetesan
tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepamditurunkan bertahap 5-
10 mg/hari dan dapatdiberikan melalui pipa orogastrik. Dosismaksimal adalah 40
mg/kgBB/hari. Tandaklinis membaik bila tidak dijumpai spasmespontan, badan
masih kaku, kesadaranmembaik (tidak koma), tidak dijumpaigangguan
pernapasan.1,10,13,14 Tambahan efeksedasi bisa didapat dari barbiturate
khususnyaphenobarbital dan phenotiazine sepertichlorpromazine, penggunaannya
dapatmenguntungkan pasien dengan gangguanotonom. 1,3 Phenobarbital diberikan
dengandosis 120-200 mg intravena, dan diazepamdapat ditambahkan terpisah
dengan dosissampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikansetiap 4-8 jam dengan
dosis dari4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagidewasa.5,10 Morphine bisa
memiliki efek samadan biasanya digunakan sebagai tambahansedasi
benzodiazepine.Jika spasme tidak cukup terkontrol denganbenzodiazepine, dapat
dipilih pelumpuhotot nondepolarisasi dengan intermittentpositive-pressure
ventilation (IPPV).Tidak ada data perbandingan obat-obatpelumpuh otot pada
tetanus, rekomendasididapatkan dari laporan kasus. Pancuroniumharus dihindari
karena efek samping simpatomimetik.1 Atracurium dapat sebagai
pilihan.Vecuronium juga telah digunakan karenastabil pada jantung. 3,10,14 Pasien
tetanusberat sering kali membutuhkan IPPV selama2 hingga 3 minggu sampai
spasme mereda.Insiden ventilator-associated pneumoniapada pasien-pasien
tetanus sebesar52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadikarena lamanya
perjalanan penyakit tetanusdan masih merupakan penyebab pentingkematian.
Pencegahan komplikasi respirasimeliputi perawatan mulut sangat teliti,fisioterapi
dada dan suction trakea. Sedasiadekuat selama prosedur invasif
mencegahprovokasi spasme atau ketidakstabilanotonom. 3,6,7,10
Instabilitas otonom terjadi beberapa harisetelah onset spasme umum dan
fatalityratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensilabil, takikardia, dan
demam. Berbagaigangguan kardiovaskular seperti disritmiadan infark miokard
serta kolaps sirkulasisering menyebabkan kematian. 6,7,11 Tandaoveraktivitas
simpatis yaitu takikardiafluktuatif, hipertensi yang kadang diikutihipotensi, pucat
dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasmeotot.5,10 Henti
jantung tiba-tiba umumterjadi dan dikatakan dapat dipresipitasioleh kombinasi
kadar katekolamin yangtinggi dan kerja langsung toksin tetanuspada miokardium.
Aktivitas simpatis yangmemanjang dapat berakhir dengan hipotensidan
bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihandapat menyebabkan sinus arrest,
dikatakankarena kerusakan langsung nukleusvagus oleh toksin tetanus. 3,6,7
Instabilitasotonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darahmembutuhkan obat-obat
dengan waktuparuh singkat. Terapi konvensional terdiridari sedasi dalam sebagai
terapi lini pertama,menggunakan benzodiazepine dosis besar,morphine, dan/atau
chlorpromazine.1 Saatini, magnesium sulfat intravena dicobauntuk
mengendalikan spasme dan disfungsiotonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/kg)
IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampaispasme terkontrol telah digunakan
untukmendapatkan konsentrasi serum 2 sampai4 mmol/L. Untuk menghindari
overdosis,dimonitor refl ek patella.7,13Beta blocker dapatmenyebabkan hipotensi
berat. Episodehipotensi yang tidak membaik denganpenambahan volume
intravaskular membutuhkaninotropik.1 Atropin dosis tinggi,lebih dari 100 mg/jam,
telah dianjurkan padakeadaan bradikardia. 3 Tidak ada regimenterapi yang
dipercaya efektif secara universaluntuk instabilitas otonom. 11
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimiamenyebabkan aktivitas simpatis
berlebihandan katabolisme protein sehingga pemeliharaannutrisi sangat
diperlukan. Nutrisiburuk dan penurunan berat badan terjadicepat karena disfagia,
gangguan fungsigastrointestinal dan peningkatan metabolisme,menurunkan daya
tahan tubuhsehingga memperburuk prognosis.. 3,13 Nutrisiparenteral total
mengandung glukosahipertonis dan insulin dalam jumlah cukupuntuk
mengendalikan kadar gula darah,dapat menekan katabolisme protein.
Formulaasam amino sangat membantu membatasikatabolisme protein.5,12 Pada
hari pertamaperlu pemberian cairan secara intravenasekaligus pemberian obat-
obatan, dan bilasampai hari ke-3 infus belum dapat dilepassebaiknya
dipertimbangkan pemberiannutrisi secara parenteral. Setelah spasmemereda dapat
dipasang sonde lambunguntuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada risiko aspirasi.5,12
Emboli paru juga merupakan salah satupenyebab kematian, sehingga
banyak digunakanantikoagulan secara rutin sepertiheparin subkutan; risiko
thromboembolidan perdarahan harus dipertimbangkan.Gerakan pasif harus terus
diberikan jika digunakanpelumpuh otot.5,12
STAGE TETANUS DAN PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus.Skala yang diusulkan Ablett
adalah yangpaling banyak digunakan (Tabel 1).
Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoringuntuk menilai prognosis
tetanus sepertiPhillips score dan Dakar score. Kedua sistemskoring ini
memasukkan kriteria periodeinkubasi dan periode onset, begitu pulamanifestasi
neurologis dan kardiak. Phillipsscore juga memasukkan status imunisasipasien.
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18,severitas sedang; dan >18, severitas
berat.
Dakar score 0-1, severitas ringan denganmortalitas 10%; 2-3, severitas
sedang denganmortalitas 10-20%; 4, severitas berat denganmortalitas 20-40%; 5-
6, severitas sangat beratdengan mortalitas >50%.10
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang
tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Difasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya
sedikit penelitianjangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan
tetanus cenderunglambat namun sering sembuh sempurna,beberapa pasien
mengalami abnormalitaselektroensefalografi yang menetap dan gangguan
keseimbangan, berbicara, danmemori.1,2 Dukungan psikologis sebaiknya tidak
dilupakan.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2005.p.1401-4.
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain.
Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.orgcontent/6/4/164.3.full.pdf.
4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan
Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.
5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.
6. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet].
2005 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-areview.pdf.
7. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J
Anaesth.2001;87(3):477-87.
8. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurol India.2002;50:398-407.
9. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week.
Vol 87 No. 3. [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.aagbi.org/sites/default/files/17-management-of-tetanus.pdf.
10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.
11. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less common causes of quadriparesis and
respiratory failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery.
1st ed. New Jersey: HumanaPress; 2004.p.493-5.
12. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and
Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams &
Wilkins. 2008.p.1140-1.
13. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at:
http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.
14. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY,
eds. Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-
Hill; 2003.p.432-4.

Anda mungkin juga menyukai