TESIS
diajukan oleh:
Diana Wisnu Wardani
12/337165/PGE/00953
Pembimbing Pendamping
//
-//- I
Dr. Sigit Heru lrlok BS, S.Si., M.Si
II
PERI\IYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta 16 Januari 2015
llt
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penelitian
“Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Berbasis Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi
Menengah dengan Metode Multi Layer Perceptron dan Markov Chain di sebagian
Kabupaten Bantul” dapat diselesaikan. Penulis menghaturkan terima kasih dan
penghargaan kepada Bapak Drs. Projo Danoedoro, M.Sc.,Ph.D. selaku dosen
pembimbing pertama dan Bapak Bowo Susilo, S.Si., M.T. selaku dosen pembimbing
kedua yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini sampai dengan selesai.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Segenap Pimpinan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional (BPN) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan tugas belajar di S2 Program Studi Penginderaan Jauh, Fakultas
Geografi UGM .
2. Segenap pimpinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) yang
telah menyelenggarakan dan memfasilitasi beasiswa SPIRIT Intake 2012.
3. Segenap pimpinan Fakultas Geografi maupun pengelola Program Studi
Penginderaan Jauh sebagai penyelenggara pendidikan.
4. Bapak Prof. Dr. Hartono, DEA, DESS dan Bapak Dr. Sigit Heru Murti BS, S.Si.
MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan dalam
perbaikan tesis ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Staf Pengajar, Staf Laboratorium dan Staf Sekretariat
Program Pascasarjana di Fakultas Geografi UGM.
6. Andy Rumawan (suami) yang selalu memberikan semangat dan doa untuk
penyelesaian studi penulis.
7. Mazaya Mufli Al Qulda (anak) yang selalu memberikan waktunya bagi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.
8. Ibu Giyastuti, orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk
penyelesaian studi penulis.
9. Bapak Hartopo dan Ibu Harni, mertua penulis yang selalu memberikan dukungan
dan doanya.
10. Mas Suroto, Mbak Ani Widowati, Mas Tiya, Mbak Binarti Kapti Utami, Mas
Cahyo Nugroho, Mbak Siti Zahra, Oki Pradika, Zaky Muslim, Abellea Aminuddin,
iv
Vannissa Rachma Kusuma, Enggracia, Fellicia atas fasilitas, bantuan dan doanya
selama ini.
11. Rekan-rekan S2 Penginderaan Jauh angkatan 2012 : Kurniawan Nugroho, Agung
Sedayu, Dhimas Wiratmoko, Aria Jaka D., Cahya Budi Perwitagama, Anifa
Widiantari, Ahmad Fadli Q., Sri Kandi Putri, Nur Alzair, Arnelbelson Lepith, Yang
Teng Yoasu, Moh. Rais, Saiful Arif, Denianto Sativa, Rendi, Yudhistira, Fedhi
Astuti Hartoyo, Ridwan, dan Saddam Husein atas kebersamaan dan bantuannya.
12. Seluruh rekan-rekan S2 Penginderaan Jauh
13. Rekan-rekan kerja di Direktorat Penetapan Batas, Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
14. Serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis juga menyadari dalam penulisan tesis ini masih belum sempurna.
Penulis juga berharap agar tesis ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan kontribusi
bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta dapat bermanfaat bagi para pembaca di masa
yang akan datang.
Yogyakarta, 16 januari 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
4.1. Pra Pemrosesan Citra ........................................................................................55
4.1.1. Koreksi Radiometrik .............................................................................55
4.1.2. Pemotongan Citra ..................................................................................55
4.1.3. Koreksi Geometrik ................................................................................57
4.1.4. Pemotongan citra berdasar batas administrasi ......................................61
4.2. Klasifikasi Penutup dan Penggunaan Lahan .....................................................61
4.2.1. Klasifikasi Penutup Lahan ....................................................................61
4.2.2. Klasifikasi Bentuk Lahan ......................................................................77
4.2.1. Klasifikasi Penggunaan Lahan ..............................................................78
4.2.2. Sinkronisasi Hasil Klasifikasi Penggunaan Lahan ................................89
4.3. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2002-2009 .............................................91
4.4. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan .......................................................95
4.4.1. Tahap Potensial Transisi .......................................................................95
4.4.1.1. Kepadatan Jaringan Jalan ........................................................ 96
4.4.1.2. Jarak terhadap Jalan ................................................................ 99
4.4.1.3. Kemiringan Lereng ............................................................... 101
4.4.1.4. Jarak terhadap Sungai ........................................................... 103
4.4.1.5. Perubahan Penggunaan Lahan ke Permukiman .................... 105
4.4.2. Tahap Area Transisi ............................................................................111
4.4.3. Tahap Prediksi.....................................................................................113
4.4.4. Validasi ...............................................................................................114
4.5. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Sebagian Kabupaten Bantul antara
tahun 2002, 2009 dan 2013 .............................................................................118
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................123
5.1. Kesimpulan .....................................................................................................123
5.2. Saran ...............................................................................................................123
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................125
LAMPIRAN............... ............................................................................................................128
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Lokasi daerah penelitian yang tersaji pada Citra Landsat 7 ETM+ tahun
2002 komposit RGB 451 ........................................................................... 14
Gambar 2.1. Pendekatan top-down dan bottom up (Verburg, 2006 dalam Pimenta, et.
al., 2008) .................................................................................................... 24
Gambar 2.2. (a) Ilustrasi MLP untuk regresi dimana f=wx+wo dan (b) MLP untuk
klasifikasi dimana f=1 jika wx+wo>0 (Stefanowski, 2010)...................... 25
Gambar 2.3. Ilustrasi penggunaan Markov Chain untuk prediksi .................................. 27
Gambar 2.4. Skema kerangka pemikiran ........................................................................ 34
Gambar 3.1. Skema prosedur ekstraksi informasi penggunaan lahan ............................ 43
Gambar 3.2. Ilustrasi proses penyusunan Matriks Probabilitas Transisi/Matriks Area
Transisi 48
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 50
Gambar 3.1. Diagram alir penelitian............................................................................... 50
Gambar 3.1. Ilustrasi metode pemodelan perubahan penggunaan lahan ........................ 51
Gambar 3.2. Ilustrasi penyelesaian konflik dalam alokasi penggunaan lahan ............... 53
Gambar 3.3. Ilustrasi proses analisis pertumbuhan kelas penggunaan lahan dalam dua
periode kaitannya dengan variabel perubahan ........................................... 54
Gambar 4.1. Tampilan statistik masing-masing saluran pada masing-masing citra ....... 56
Gambar 4.2. Contoh pemotongan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 ............................ 57
Gambar 4.3. RMS Error masing-masing citra hasil koreksi geometrik .......................... 58
Gambar 4.4. Sebaran titik ikat (●) pada RBI yang digunakan dalam koreksi geometrik59
Gambar 4.5. Tampilan citra sebelum dan sesudah dilakukan koreksi geometrik ........... 60
Gambar 4.6. Contoh pemotongan citra Landsat 7 ETM+ 2002 berdasar batas
administrasi kecamatan terluar................................................................... 61
Gambar 4.7. Cara penentuan ROI sampel pada Landsat 7 ETM+ 2002 menggunakan 3
(tiga) tampilan citra .................................................................................... 64
Gambar 4.8. Cara penentuan ROI sampel pada Landsat 5 TM 2009 menggunakan 3
(tiga) tampilan citra .................................................................................... 65
Gambar 4.9. ROI Sampel kelas spektral pada Landsat 7 ETM+ 2002 (kiri) dan Landsat
5 TM 2009 (kanan) .................................................................................... 66
Gambar 4.10. Scatter plot Landsat 7 ETM+2002 (kiri) dan Landsat 5 TM 2009 (kanan)66
viii
Gambar 4.11. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 7
ETM+ 2002 dan (b) Hasil class merging dari (a) menghasilkan kelas
penutup lahan ............................................................................................. 67
Gambar 4.12. Hasil filter mayoritas penutup lahan 2002 sebagai Peta Penutup Lahan
2002 tentatif ............................................................................................... 68
Gambar 4.13. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 5
TM 2009 dan (b) Hasil class merging dari (a) menghasilkan kelas penutup
lahan........ ................................................................................................... 68
Gambar 4.14. Hasil filter mayoritas dan penutup lahan dan pada tahun 2009 (kiri) dan
Hasil editing kelas awan dan bayangan awan (kanan) .............................. 69
Gambar 4.15. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2002 pada citra Google
Earth 2003 .................................................................................................. 70
Gambar 4.16. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2009 pada citra ALOS
AVNIR-2 2009 ........................................................................................... 71
Gambar 4.17. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan tahun 2002 ............................................. 72
Gambar 4.18. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan Tahun 2009............................................ 73
Gambar 4.19. ROI Sampel kelas spektral dan Scatter plot-nya pada Landsat 8 OLI
2013............................................................................................................ 74
Gambar 4.20. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 8
OLI 2013 dan (b) Hasil class merging dari a menghasilkan kelas penutup
lahan................... ........................................................................................ 75
Gambar 4.21. Hasil filter mayoritas dan penutup lahan dan pada tahun 2013 (kiri) dan
Hasil editing kelas awan dan bayangan awan (kanan)............................... 75
Gambar 4.22. Foto kenampakan penutup dan penggunaan lahan di lapangan ................. 76
Gambar 4.23. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2013 pada citra Google
earth berdasar hasil survei lapangan .......................................................... 77
Gambar 4.24. Proses interpretasi bentuk lahan dan satuan bentuk lahan ......................... 77
Gambar 4.25. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan Tahun 2013............................................ 79
Gambar 4.26. Satuan bentuk lahan hasil interpretasi visual dari overlay citra landsat
dengan hillshade ........................................................................................ 81
Gambar 4.27. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2002 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi
(atas) antara penutup lahan 2002 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah) 82
ix
Gambar 4.28. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2009 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi
(atas) antara penutup lahan 2009 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah) 83
Gambar 4.29. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2013 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi
(atas) antara penutup lahan 2013 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah) 84
Gambar 4.30. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2002 pada citra Google
Earth 2003 .................................................................................................. 84
Gambar 4.31. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2009 pada citra ALOS
AVNIR-2 2009 ........................................................................................... 85
Gambar 4.32. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2013 pada citra Google
earth................... ........................................................................................ 85
Gambar 4.33. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2002 ......................................... 86
Gambar 4.34. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2009 ......................................... 87
Gambar 4.35. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2013 ......................................... 88
Gambar 4.36. Ilustrasi data penggunaan lahan pada ketiga tahun .................................... 89
Gambar 4.37. Ilustrasi hasil sinkronisasi ketiga peta penggunaan lahan .......................... 90
Gambar 4.38. Area awan dan bayangan awan gabungan tahun 2009 dan 2013............... 91
Gambar 4.39. Hasil sinkronisasi penggunaan lahan tahun 2002, 2009 dan 2013 ............ 91
Gambar 4.40. Grafik perubahan penggunaan lahan tahun 2002 dan 2009 ....................... 93
Gambar 4.41. Grafik luas perubahan penggunaan lahan antara tahun 2002 dan 2009
(dalam hektar) ............................................................................................ 93
Gambar 4.42. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002 ke tahun 2009 ................... 93
Gambar 4.43. Grafik perubahan penggunaan lahan per kecamatan (dalam hektar) ......... 95
Gambar 4.44. Ilustrasi perhitungan kepadatan garis (line density)................................... 97
Gambar 4.45. Ilustrasi kernel density terhadap objek garis .............................................. 97
Gambar 4.46. Jaringan jalan dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan
hasil kepadatan jaringan jalan dengan kernel density ................................ 98
Gambar 4.47. Kepadatan jaringan jalan............................................................................ 99
Gambar 4.48. Jaringan jalan dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan
hasil perhitungan jarak terhadap jalan dengan Euclidean distance ......... 100
Gambar 4.49. Jarak terhadap jalan.................................................................................. 101
Gambar 4.50. Kontur Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan hasil
interpolasi dengan TIN berupa vektor (kanan) ........................................ 103
x
Gambar 4.51. Hasil interpolasi TIN berupa raster (kiri) dan hasil perhitungan kemiringan
lereng (kanan) .......................................................................................... 103
Gambar 4.52. Jaringan sungai besar dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000
(kiri) dan hasil perhitungan jarak terhadap sungai dengan Euclidean
distance............ ........................................................................................ 104
Gambar 4.53. Jarak terhadap sungai ............................................................................... 104
Gambar 4.54. Perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman................................ 105
Gambar 4.55. Hasil transformasi peta perubahan penggunaan lahan ke permukiman ... 106
Gambar 4.56. Hasil sinkronisasi variabel perubahan...................................................... 107
Gambar 4.57. Hasil normalisasi variabel perubahan ...................................................... 108
Gambar 4.58. MLP untuk penentuan potensial transisi .................................................. 109
Gambar 4.59. Hasil simulasi MLP dengan accuracy rate MLP sebesar 73,44%........... 109
Gambar 4.60. PPT dari lahan pertanian dan hutan dan kebun campuran ke
permukiman.............. ............................................................................... 110
Gambar 4.61. Matriks Area Transisi tahun 2013............................................................ 113
Gambar 4.62. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013 .......................................... 114
Gambar 4.63. Prediksi penggunaan lahan tahun 2013 (kiri) dan penggunaan lahan tahun
2013 (kanan) ............................................................................................ 114
Gambar 4.64. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013 .......................................... 115
Gambar 4.65. Validasi terhadap penggunaan lahan tahun 2009, hasil prediksi tahun 2013
dan penggunaan lahan tahun 2013 ........................................................... 117
Gambar 4.66. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2016 .......................................... 118
Gambar 4.67. Pertumbuhan permukiman antara 2002-2009 dan 2009-2013 ................. 118
Gambar 4.68. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2016 .......................................... 119
Gambar 4.69. Hubungan Pertumbuhan Permukiman dengan Kepadatan Jaringan Jalan120
Gambar 4.70. Hubungan Pertumbuhan Permukiman dengan Jarak ke Jalan ................. 121
Gambar 4.71. Hubungan Pertumbuhan Permukiman dengan Kemiringan Lereng ........ 122
Gambar 4.72. Hubungan Pertumbuhan Permukiman dengan Jarak terhadap Sungai .... 122
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
BERBASIS CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH RESOLUSI MENENGAH
DENGAN METODE MULTI LAYER PERCEPTRON DAN MARKOV CHAIN
(Studi di sebagian Kabupaten Bantul)
INTISARI
kata kunci : perubahan penggunaan lahan, prediksi, multi layer perceptron, Markov chain
xiv
ANALYSIS OF LAND USE CHANGE WITH MEDIUM RESOLUTION IMAGERY
USING MULTI LAYER PERCEPTRON AND MARKOV CHAIN METHODS
(Case Study : Parts Of Bantul Regency)
ABSTRACT
xv
BAB I PENDAHULUAN
1
kebutuhannya. Pemanfaatan citra penginderaan jauh dalam pemantauan perubahan
penggunaan lahan memerlukan citra multitemporal dengan suatu rentang waktu tertentu.
Menurut Baysal (2013) penelitian terkait pemodelan perubahan penggunaan
lahan dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori yaitu berbasis agent dan berbasis
pola. Pemodelan berbasis agent terkait dengan pelaku/actor yang melakukan simulasi
perubahan sedangkan berbasis pola terkait penggunaan lahan saat ini dan perubahannya
dari waktu ke waktu. Pemodelan berbasis pola salah satunya adalah dengan metode
Markov Chain (MC).
Markov Chain (MC) adalah suatu proses stokastik yang memiliki sifat bahwa
suatu fenomena di masa yang akan datang tidak dipengaruhi oleh fenomena di masa lalu
melainkan hanya dipengaruhi oleh fenomena saat ini saja. Prinsip dasar MC adalah
mengukur probabilitas pada serangkaian kejadian di masa sekarang untuk memprediksi
kejadian di masa depan. Hal ini menunjukkan sifat kebergantungan dalam MC, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk penyusunan model simulasi termasuk perubahan penggunaan
lahan.
Berbagai aplikasi MC diantaranya untuk prediksi pangsa pasar (Kurniawati,
2012), prediksi kondisi cuaca, analisis dinamika konversi lahan (Trisasongko, dkk (2009),
Muller (1994)). MC menghasilkan matriks peluang perubahan suatu kelas penggunaan
lahan yang menunjukkan hasil tabulasi silang antara 2 (dua) waktu. Dengan tersusunnya
matriks peluang, matriks tersebut dapat dimanfaatkan untuk menduga data di masa depan.
Menurut Ye and Bai (2008) metode MC merupakan perhitungan matematis yang
memiliki kelemahan dari sisi spasial sehingga hasil pemodelan tidak memberikan hasil
memuaskan. Oleh karena itu metode ini perlu dikombinasikan dengan metode lain untuk
meningkatkan ketelitiannya.
Berbagai penelitian untuk kajian perubahan penggunaan lahan menggunakan
kombinasi metode untuk meningkatkan ketelitian pemodelan. Ye and Bai (2008), Xin, et.
al. (2012), Paramita (2010), Al-sharif (2013), Uktoro (2013) melakukan penelitian
perubahan penggunaan lahan dengan mengkombinasikan Cellular Automata (CA) dengan
MC dan Wijaya dan Susilo (2013) menggunakan metode Cellular Automata dengan
regresi logistik untuk monitoring perkembangan lahan terbangun. Almeida (2003),
Omrani, et. al. (2012), Moghaddam, et. al. (2009), Xu, et. al., (2008), Yeh, et. al. (2002)
melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan mengkombinasikan Cellular
Automata dengan Artificial Neural Network (ANN).
2
CA adalah suatu metode komputasi untuk memprediksi perubahan sistem
dinamik yang bergantung pada aturan sederhana dan berkembang hanya menurut aturan
tersebut dari waktu ke waktu. CA melakukan proses komputasi berdasar prinsip
ketetanggaan sel (neighbourhood). CA sudah banyak dikembangkan untuk berbagai
macam aplikasi antara lain untuk prediksi sedimentasi, pemodelan aliran granular,
pemodelan arus lalu lintas, prediksi pertumbuhan pemukiman dan perubahan penggunaan
lahan. CA merupakan pendekatan komputasi berbasis keruangan yang memiliki
keunggulan dalam mengakomodasi dimensi ruang, waktu dan atributnya. CA lebih
realistik untuk menemukan rumus transisi yang merepresentasikan tenaga dorongan dan
tarikan pada perubahan (Lahti, 2008 dalam Uktoro 2013). Kelemahan CA adalah lebih
menunjukkan proses pertumbuhan dan prediksi tumbuhnya suatu piksel namun tidak
memberikan informasi penyebab tumbuhnya yaitu hubungan kekerabatan antar variabel
terikat (dependent variable) dan variabel bebasnya (independent variable). Sedangkan
suatu perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat
independent yang harus diakomodasi. Oleh karena itu metode ini sering dikombinasikan
dengan metode lain guna mengatasi kelemahan untuk meningkatkan ketelitiannya.
Akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan ilmu komputasi, metode Artificial
Neural Network (ANN) semakin banyak digunakan untuk berbagai aplikasi. Metode
Artificial Neural Network (ANN) atau jaringan syaraf tiruan merupakan metode learning
machine (pembelajaran mesin) yang dapat mengenali pola dari masukan atau contoh yang
diberikan dan juga termasuk ke dalam supervised learning. Multi-layer Perceptron (MLP)
adalah salah satu bentuk arsitektur jaringan ANN yang paling banyak digunakan. MLP dapat
diterapkan dalam analisis diskriminan non linier (untuk klasifikasi) dan sebagai fungsi
regresi non linear (Chang, 2012). Selama ini MLP lebih banyak diaplikasikan sebagai
metode klasifikasi. Karena bersifat non parametrik, MLP mampu mengakomodasi data
nir-spektral yang digunakan sebagai data tambahan selain data spektral dalam proses
klasifikasi multispektral (Danoedoro, 2012). Meskipun demikian belum banyak penelitian
yang memanfaatkan MLP sebagai fungsi regresi, padahal MLP sebagai fungsi regresi
mampu mendeteksi secara implisit hubungan nonlinier yang kompleks antara variabel
dependen dan independen serta memiliki kemampuan untuk mendeteksi semua interaksi
yang mungkin terjadi diantara variabel prediktor (Tu, 1996). MLP memiliki keuntungan
menggambarkan hubungan yang ada antara variabel input dan output tanpa diketahui
sebelumnya hubungan antara variabel-variabel itu sendiri.
3
Berbagai kombinasi metode telah dilakukan dalam kajian perubahan penggunaan
lahan guna meningkatkan akurasi pemodelan. Dengan mempertimbangkan kelebihan dan
kelemahan berbagai metode tersebut, penelitian dengan mengkombinasikan metode MLP
dan MC untuk kajian perubahan penggunaan lahan perlu dicoba. Aplikasi metode MLP
digunakan untuk mencari hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
sebagai variabel bebas dan perubahan penggunaan lahan sebagai variabel terikat guna
menghasilkan lokasi yang berpotensial mengalami perubahan. Kombinasi metode MLP
dan metode MC menghasilkan prediksi penggunaan lahan di masa depan. Aplikasi
metode MLP dikombinasikan dengan MC belum diketahui sejauh mana tingkat akurasi
pemodelannya. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini guna mengetahui tingkat akurasi
pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan metode MLP dan MC.
4
depan menunjukkan sifat kebergantungan dalam MC, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
penyusunan model simulasi termasuk perubahan penggunaan lahan.
Permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi
alamiah yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan.
Informasi penggunaan lahan pada masa lalu, saat ini dan masa depan merupakan
informasi penting dan perlu dipantau. Pemanfaatan citra satelit penginderaan jauh
resolusi menengah multitemporal untuk memperoleh informasi penggunaan lahan
multiwaktu perlu diteliti. Perubahan penggunaan lahan dalam suatu periode waktu
tertentu perlu diteliti sebagai dasar dalam memprediksi penggunaan lahan di masa
depan.
2. Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan top-down dapat
dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit penginderaan jauh resolusi menengah.
Informasi penggunaan lahan hasil ekstraksi dari citra satelit penginderaan jauh
digunakan sebagai input dalam pemodelan. Pemodelan perubahan penggunaan lahan
(variabel terikat) dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhinya
(variabel bebas) selama ini dikembangkan dengan model berbasis pola yang
dikombinasikan dengan metode statistik konvensional untuk meningkatkan
akurasinya. MLP memiliki kemampuan untuk mencari hubungan antara faktor-faktor
yang mempengaruhi terhadap perubahan penggunaan lahan. MLP mampu mengatasi
kompleksitas variabel bebas yang bersifat non linear dan tidak terpengaruh
multikolinieritas. Sementara itu MC memiliki kemampuan mengukur probabilitas
dari perubahan penggunaan lahan di masa sekarang untuk memprediksi penggunaan
lahan di masa depan Oleh karena itu pemodelan perubahan penggunaan lahan
berbasis citra satelit resolusi menengah dengan menggunakan metode MLP dan MC
perlu dikaji tingkat akurasinya.
Atas dasar perumusan masalah tersebut di atas maka penulis akan melakukan
penelitian dengan judul :
KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT
PENGINDERAAN JAUH RESOLUSI MENENGAH DENGAN METODE
MULTILAYER PERCEPTRON DAN MARKOV CHAIN DI SEBAGIAN
KABUPATEN BANTUL
5
1.3. Tujuan Penelitian
6
Paramita (2011) melakukan penelitian perkembangan wilayah dengan metode
cellular automata. Pada penelitian ini dilakukan transformasi multispektral untuk
mengetahui karakteristik wilayah dengan pendekatan keruangan. Juga dilakukan analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan wilayah untuk menyusun peta
kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan menjadi faktor pertimbangan dalam melakukan
pemodelan prediksi Cellular Automata Rantai Markov (CA-RM) untuk perkembangan
wilayah, pemodelan prediksi tahun 2008 diperoleh akurasi terbaik sebesar 68,711%
dengan kesesuaian lahan berdasar kriteria jarak.
Uktoro (2013) membangun model sawah lestari berdasarkan citra QuickBird dan
ALOS AVNIR-2. Pada penelitian ini dikaji pemodelan perubahan penggunaan lahan
dengan mempertimpangkan kesesuaian lahan dan pemodelan kedua dengan
mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah. Hasil penelitian menunjukkan model
sawah lestari yang dibangun mempunyai akurasi luasan mencapai 98,5 % dibandingkan
dengan data yang ada pada Dinas Pertanian dan Bappeda Kabupaten Klaten. Hasil kedua
menunjukan bahwa terjadi penyempitan lahan sawah lestari selama kurun waktu tahun
2006 hingga 2009 sebesar 24 Ha per tahun. Akurasi prediksi penyempitan lahan sawah
lestari pada skenario I (mempertimbangkan kepadatan bangunan, aksesbilitas jalan dan
nilai lahan) adalah 45,68 % dan pada skenario II (mempertimbangkan RTRW) sebesar
41,37%. Rendahnya tingkat ketelitian menurut Uktoro (2013) adalah dipengaruhi rentang
waktu prediksi yang terlalu dekat.
Leksono, et. al. (2008) mengembangkan metode penilaian tanah kaitannya
dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan metode regresi dan jaringan syaraf
tiruan. Penelitian ini menggunakan parameter dari aspek fisik, ekonomi, sosial dan politik
berupa data kuantitatif. Hasil dari penelitian adalah metode regresi linier menghasilkan
akurasi lebih rendah (R2 = 79%) dibandingkan jaringan syaraf tiruan (R2 = 92%). Hasil
perbandingan antara metode regresi dan jaringan syaraf tiruan menunjukkan bahwa
metode regresi memiliki linearity linear, outlier data tidak terprediksi dan
multikolinieritas tinggi sedangkan untuk jaringan syaraf tiruan sebaliknya.
Omrani, et. al. (2012) melakukan simulasi perubahan penggunaan lahan di
Luxombeurg dan daerah sekitar perbatasan. Hasil simulasi perubahan penggunaan lahan
dengan tingkat keberhasilan metode ANN-MLP mencapai 85,54% sedangkan ANN-RBF
82,14% SVM-RBF 85,03% dan logistic regression 85,11%. Hasil analisis menyatakan
metode regresi konvensional (regresi logistik/logit) berasumsi bahwa data secara statistik
7
independen dan terdistribusi identik. Sedangkan dalam kenyataannya data penggunaan
lahan saling dependent yang disebut autokorelasi spasial. Oleh karena itu metode ANN
dapat menghasilkan pemodelan yang lebih baik.
Ottenbacher, et. al. (2004) melakukan prediksi pengaturan tinggal bagi pasien
rehabilitasi setelah patah pinggul dengan membandingkan hasil prediksi metode regresi
logistik dan jaringan syaraf tiruan. Hasil perbandingkan karakteristik jaringan syaraf
tiruan dan regresi logistik untuk mengembangkan model prediksi dalam penelitian
epidemiologi antara lain nilai AUC (Area Under Cover) ROC untuk regresi logistik
sebesar 0,67 sedangkan jaringan syaraf tiruan 0,73.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah dalam
penelitian ini mengkaji perubahan penggunaan lahan yang terjadi di sebagian Kabupaten
Bantul dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dan berdasarkan perubahan tersebut
dibangun pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan metode MLP yang
dikombinasikan dengan MC dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Faktor yang dipergunakan adalah faktor
kemiringan lereng, jarak terhadap sungai, jarak terhadap jalan dan kepadatan jaringan
jalan. Beberapa penelitian yang pernah ditulis sebelumnya secara ringkas seperti yang
tercantum pada Tabel 1.1.
8
Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Metode
No. Penulis Judul Penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Variabel Hasil
Penelitian
1 Ottenbacher, et. Comparison of Memprediksi pengaturan Regresi Data demografi Status menikah, lama Hasil perbandingkan
al. (2004) Logistic Regression tinggal bagi pasien logistik dan dan Data System tinggal, sumber dana, karakteristik jaringan
and Neural Network rehabilitasi setelah patah jaringan syaraf Uniform aturan tinggal, umur, syaraf tiruan dan regresi
Analysis Applied to pinggul tiruan Rehabilitasi etnis, jenis kelamin logistik
Predicting Living Medis untuk mengembangkan
Setting after Hip ( UDSMR) model prediksi dalam
Fracture penelitian epidemiologi
antara lain : nilai AUC
(Area Under Cover) ROC
untuk regresi logistik
sebesar 0,67 sedangkan
jaringan syaraf tiruan 0,73.
2 Leksono, et. al. Automatic Land and Membangun metode Regresi dan Basis Data SIG Dikelompokkan dalam Hasil perhitungan nilai
(2008) Parcel Valuation to Penilaian Tanah dengan jaringan syaraf PBB (spasial empat kategori yaitu tanah dengan jaringan
Support the Land and menggunakan analisis tiruan dan atribut) fisik, ekonomi, sosial syaraf tiruan menunjukkan
Buildings spasial dan jaringan syaraf dan politik adanya peningkatan
Tax Information tiruan akurasi (R2= 92%)
System by daripada metode regresi
Developing the Open (R2 = 79%)
Source Software
9
Metode
No. Penulis Judul Penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Variabel Hasil
Penelitian
3 Bowo Susilo Model SIG-Binary Mengkaji dan memprediksi Regresi Foto Udara Penutup lahan Model prediksi perubahan
(2008) Logistic Regression perubahan penggunaan logistik biner tahun 1981 dan (terbangun dan tak penggunaan lahan
untuk Prediksi lahan secara spasial dan SIG 2000, Peta RBI terbangun), variabel
Perubahan menggunakan integrasi kepadatan, variabel
Penggunaan Lahan model regresi logistik biner jarak
(Studi Kasus di dan SIG
Daerah Pinggiran
Kota Yogyakarta)
4 Bintang Aulia Model Cellular Mengetahui karakteristik Cellular Citra Landsat Tutupan lahan (lahan Model prediksi perubahan
Pradnya Automata untuk KP Kedungsepur dengan automata dan (time series), terbangun dan tak penggunaan lahan beserta
Paramita kajian perkembangan penggunaan lahan dari rantai markov Peta RBI dan terbangun), variabel arah perkembangan
(2011) wilayah tahun 1994 dan 2001 Data RTRW kepadatan, variabel wilayah
menggunakan data menggunakan beberapa jarak
penginderaan Jauh transformasi multispektral;
(studi kasus : Menyusun peta kesesuaian
Kawasan Perkotaan lahan perkotaan dengan
Kedungsepur) faktor penentu
perkembangan wilayah;
Menyusun model prediksi
penggunaan lahan tahun
2008 dan 2015 dengan
metode Cellular Automata
Rantai Markov dan arah
perkembangan wilayahnya
10
Metode
No. Penulis Judul Penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Variabel Hasil
Penelitian
5 Omrani, et. al. Simulation of land Melakukan simulasi Integrasi Citra SRTM dan neighbourhood, slope, Hasil simulasi perubahan
(2012) use changes using perubahan penggunaan Cellular Peta state penggunaan lahan dengan
cellular automata and lahan di Luxombeurg dan Automata dan Penggunaan tingkat keberhasilan
artificial neural daerah sekitar perbatasan artificial neural Lahan pada 2 metode ANN-MLP
network network (MLP waktu mencapai 85,54%
dan RBF), sedangkan ANN-RBF
support vector 82,14% SVM-RBF
machine 85,03% dan logistic
(SVM), regression 85,11%
logistic
regression
6 Arief Ika Membangun Model Membangun model sawah Cellular citra QuickBird peta kesesuaian lahan Model sawah lestari
Uktoro (2013) Sawah Lestari Dan lestari berdasarkan citra automata dan dan ALOS tanaman padi, peta dengan akurasi luasan
Model Prediksi QuickBird dan ALOS rantai markov AVNIR-2 produktivitas dan peta mencapai 98,5 %, dengan
Perubahannya AVNIR-2; irigasi 2 skenario yaitu input
Menggunakan Mengkaji perubahan lahan parameter kepadatan lahan
Cellular Automata Di sawah lestari tahun 2006 terbangun, aksesbilitas dan
Kabupaten Klaten hingga 2009; zona nilai lahan akurasi
Provinsi Jawa melakukan prediksi prediksi sebesar 45,68%
Tengah perubahan lahan sawah dan dengan input
lestari tahun 2015. kesesuaian terhadap
RTRW akurasi prediksi
sebesar 41,37%
11
Metode
No. Penulis Judul Penelitian Tujuan Penelitian Jenis Data Variabel Hasil
Penelitian
7 Diana Wisnu Kajian Perubahan (1) Mengkaji kemampuan Multilayer Citra Landsat, Kemiringan lereng, (1) Pada periode tahun
Wardani (2014) Penggunaan Lahan citra satelit penginderaan Perceptron, Peta Geologi, jarak terhadap sungai, 2002-2009 terjadi
Berbasis Citra Satelit jauh resolusi menengah Markov Chain Peta Rupa Bumi jarak terhadap jalan penambahan permukiman
Penginderaan Jauh Landsat untuk ekstraksi Indonesia dan kepadatan jaringan seluas 3.571,47 ha.
Resolusi Menegah informasi penggunaan jalan Variabel perubahan berupa
dengan Metode lahan tahun 2002, 2009 kepadatan jaringan jalan,
Multilayer dan 2013 di sebagian jarak terhadap jalan dan
Perceptron dan Kabupaten Bantul. kemiringan lereng lebih
Marco Chain di (2) Mengkaji perubahan berpengaruh terhadap
sebagian Kabupaten penggunaan lahan secara terjadinya pertumbuhan
Bantul spasial di sebagian permukiman dibandingkan
Kabupaten Bantul dari variabel jarak terhadap
tahun 2002 sampai dengan sungai.;
tahun 2009. (2) Model perubahan
(3) Menyusun pemodelan penggunaan lahan 2013
perubahan penggunaan prediksi terbaik dengan
lahan berbasis ekstraksi overall accuracy 86,16 %
informasi dari citra satelit dan kappa sebesar 0,79
Landsat dengan metode (substantial agreement).
MLP dan MC di sebagian
Kabupaten Bantul pada
tahun 2013 berdasarkan
perubahan penggunaan
lahan tahun 2002-2009
dengan
mempertimbangkan faktor-
faktor yang mempengaruhi
perubahan penggunaan
lahan
12
1.6. Wilayah Penelitian
13
Gambar 1.1. Lokasi daerah penelitian yang tersaji pada Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002 komposit RGB 451
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
Pada Februari 2013 diluncurkan Landsat 8 dengan beberapa tambahan yang
menjadi titik penyempurnaan dari landsat 7 seperti jumlah band, rentang spektrum
gelombang elektromagnetik terendah yang dapat ditangkap sensor serta nilai bit dari tiap
piksel citra. Landsat 8 Operasional Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor
(TIRS) terdiri dari 9 band spektral dengan resolusi spasial 30 meter untuk Band 1 sampai
dengan 7 dan 9 . Band baru 1 (ultra- biru) berguna untuk studi pesisir dan aerosol. Band
baru yaitu band 9 berguna untuk deteksi awan cirrus. Resolusi untuk Band 8 (
pankromatik ) adalah 15 meter. Band termal 10 dan 11 berguna dalam memberikan suhu
permukaan yang lebih akurat dengan resolusi 100 meter. Panjang gelombang tiap band
pada citra Landsat OLI & TIRS 8 sebagaimana 0.
Tabel 2.2. Panjang gelombang tiap band pada citra Landsat 7 ETM+
Landsat Resolusi
Panjang Gelombang
Enhanced Thematic Mapper Plus Spasial
(mikrometer)
(ETM+) 7 (meters)
Band 1 0.45-0.52 30
Band 2 0.52-0.60 30
Band 3 0.63-0.69 30
Band 4 0.77-0.90 30
Band 5 1.55-1.75 30
Band 6 10.40-12.50 60 * (30)
Band 7 2.09-2.35 30
Band 8 .52-.90 15
Sumber : http://landsat.usgs.gov (*direkam pada resolusi 60 m, setelah Februari 2010 produk
diresample menjadi 30 m)
Tabel 2.3. Panjang gelombang tiap band pada citra Landsat 8 OLI & TIRS
Resolusi
Panjang Gelombang
Landsat 8 Spasial
(mikrometer)
(meters)
Band 1 - Coastal aerosol 0.43 - 0.45 30
Band 2 - Blue 0.45 - 0.51 30
Band 3 - Green 0.53 - 0.59 30
Band 4 - Red 0.64 - 0.67 30
Band 5 - Near Infrared (NIR) 0.85 - 0.88 30
Band 6 - SWIR 1 1.57 - 1.65 30
Band 7 - SWIR 2 2.11 - 2.29 30
Band 8 - Panchromatic 0.50 - 0.68 15
Band 9 - Cirrus 1.36 - 1.38 30
Band 10 - Thermal Infrared (TIRS) 1 10.60 - 11.19 100
Band 11 - Thermal Infrared (TIRS) 2 11.50 - 12.51 100
Sumber : http://landsat.usgs.gov
16
2.2. Klasifikasi Multispektral
Klasifikasi multispektral merupakan bagian dari pengolahan citra penginderaan
jauh yang dirancang untuk menyajikan suatu informasi dengan cara mengelompokan
suatu fenomena. Fenomena-fenomena tersebut dikelompokkan berdasarkan suatu kriteria
berupa nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus dan berkembang dengan
memasukkan kriteria lain misalnya berupa nilai tekstur, bentuk serta data nir-spektral.
Klasifikasi multispektral berasumsi awal bahwa tiap objek dapat dibedakan dari yang lain
berdasar informasi spektralnya, piksel-piksel yang menyusun satu jenis penutup lahan
mempunyai kesamaan spektral, dan setiap penutup lahan yang berbeda juga mempunyai
perbedaan spektral yang signifikan (Phinn, 2002 dalam Danoedoro, 2012). Sebagian besar
proses klasifikasi multispektral hanya melibatkan informasi spektral tanpa melibatkan
informasi spasial yang terdapat dalam citra penginderaan jauh. Pada kenyataannya nilai
spektral suatu piksel juga dipengaruhi pantulan spektral dari piksel disekitarnya. Piksel
bukanlah representasi dari objek geografis sebenarnya. Oleh karena itu klasifikasi
multispektral ini selanjutnya berkembang dengan memasukkan kriteria lain misalnya
berupa nilai tekstur, bentuk serta data nir-spektral. Untuk membantu dalam proses
klasifikasi digital yang hanya melibatkan nilai spektral dari beberapa saluran sekaligus,
juga dapat dilakukan transformasi spektral untuk menghasilkan informasi baru. Beberapa
transformasi spektral diantaranya Indeks Vegetasi, Tasseled Cap dan analisis komponen
utama.
Klasifikasi multispektral dibedakan menjadi dua yaitu klasifikasi terselia dan tak
terselia. Klasifikasi terselia adalah klasifikasi merupakan klasifikasi dimana dalam hal
penentuan sampel dan daerah contoh/training area ditentukan oleh operator. Beberapa
metode yang termasuk ke dalam klasifikasi multispektral terselia adalah parallelepiped,
minimum distance, mahalanobis distance, maximum likelihood, spectral angle mapper,
Artificial Neural Network dan Support Vector Machines. Menurut Danoedoro (2012)
maximum likelihood merupakan algoritma yang secara statistik paling mapan dan dari
berbagai penelitian menghasilkan ketelitian yang cukup tinggi dibanding metode lainnya.
Sedangkan klasifikasi tak terselia adalah klasifikasi yang diserahkan kepada komputer
tanpa campur tangan operator dalam artian operator tidak perlu melakukan pengambilan
sampel dan daerah contoh. Beberapa metode yang termasuk ke dalam klasifikasi
multispektral tak terselia yaitu jarak minimum ke pusat, penggugusan statistik dan
algoritma campuran.
17
Proses klasifikasi multispektral pada prinsipnya adalah memberikan pembatas
untuk membedakan tiap jenis objek berdasar nilai spektralnya pada beberapa saluran
sekaligus. Tahapan mendasar pada proses klasifikasi multispektral antara lain adalah :
a. menentukan suatu kumpulan piksel tertentu sebagai contoh yang mewakili masing-
masing kelas objek dengan metode sampling.
b. rata-rata nilai spektral dari kumpulan piksel tersebut digunakan sebagai acuan dalam
pengenalan kelas objek.
c. nilai spektral sampel tersebut ditempatkan pada diagram multidimensi dan
menentukan batas toleransi jarak nilai spektral terhadap nilai spektral sampel
d. penentuan keputusan dengan menghitung jarak nilai spektral seluruh piksel terhadap
nilai spektral sampel dan memasukkannya ke suatu kelas objek selama nilai piksel
berada di dalam atau sama dengan batas toleransi
Untuk menentukan nilai spektral sampel diperlukan informasi bantu termasuk dari data
lapangan. Ketelitian hasil klasifikasi multispektral terselia sangat bergantung pada tahap
pertama dalam proses klasifikasi tersebut. Semakin besar keterpisahan sampel antar kelas
objek maka semakin bagus sampel tersebut. Oleh karena itu pemilihan sampel yang baik
akan meningkatkan akurasi hasil klasifikasi. Selain itu jumlah kelas objek yang akan
diklasifikasikan berpengaruh terhadap hasil klasifikasi. Semakin banyak jumlah kelas
semakin banyak sampel yang diperlukan dan dituntut untuk memiliki keterpisahan yang
tinggi. Hal inilah yang cukup sulit dilakukan sehingga akurasi hasil klasifikasi semakin
rendah.
18
pengetahuan operator dan pengetahuan terhadap daerah kajian merupakan faktor penting
yang berpengaruh. Penggunaan Lahan memiliki hubungan dengan aktifitas manusia pada
objek atau lahan yang menghasilkan kenampakan pada permukaan bumi. Sedangkan
penutup lahan tidak mempertimbangkan kegiatan manusia terhadap objek atau lahan.
Penggunaan lahan memiliki gabungan unsur-unsur yang meliputi aspek fisikal, ekonomi,
teknikal dan sosial. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan yang
menggunakan data penginderaan jauh harus memiliki kriteria sebagai berikut (Anderson,
1971 dalam Lindgren, 1985) :
a) Tingkat akurasi interpretasi minimal dalam identifikasi kategori penutup lahan dan
penggunaan lahan dari data penginderaan jauh tidak kurang dari 85% dan >90%
untuk terapan kebijakan aktivitas penggunaan lahan atau penaksiran pajak;
b) Akurasi interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama;
c) Hasil klasifikasi dapat diulang untuk satu interpreter ke interpreter lainnya oleh dan
dari suatu waktu perekaman ke perekaman yang lain;
d) Sistem klasifikasi harus dapat diaplikasikan untuk daerah yang luas;
e) Kategori harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya;
f) Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang
diperoleh pada waktu yang berbeda;
g) Kategori harus dapat dirinci kedalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat
diperoleh dari survei lapangan atau citra skala yang lebih besar atau data
penginderaan jauh yang dipertajam;
h) Pengelompokan kategori harus dapat dilakukan;
i) Dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan yang
akan datang;
j) Lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.
Berdasar pada resolusi spasial citra Landsat yaitu 30 meter, dengan asumsi mata
manusia dapat membedakan tingkat perubahan terkecil di peta sebesar 0,1 mm maka itu
berarti 0,1 mm di peta sama dengan 30 meter di lapangan. Sehingga skala peta yang
dihasilkan seharusnya adalah 104 x resolusi spasial yaitu 1: 300.000. Hal ini berlaku jika
interpretasi dilakukan secara visual.
19
adalah dengan membuat confusion matrix/ error matrix atau matrik kesalahan. Untuk
keperluan pengujian hasil penelitian dibutuhkan data pembanding yang digunakan
sebagai referensi/rujukan. Data pembanding dapat menggunakan sampel dengan
memanfaatkan citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih tinggi ataupun
melalui pengambilan sampel uji di lapangan. Penentuan daerah sampel untuk uji akurasi
tidak menggunakan sampel untuk klasifikasi karena jika daerah sampel untuk klasifikasi
digunakan untuk sampel uji akurasi maka hasil yang akan diperoleh akan bias sebab
daerah tersebut tingkat kebenaran hasil klasifikasi paling baik sesuai dengan pengetahuan
lokal analis citra. Pengambilan sampel diusahakan merata dan cukup mewakili kelas-
kelas penutup atau penggunaan lahan yang akan diuji.
Menurut Jensen (1996) dalam Samudra (2007) beberapa macam akurasi
meliputi:
a) Producers accuracy ( akurasi pembuat), dihitung dengan membagi jumlah piksel
benar dalam suatu kategori dengan jumlah total piksel dalam kolom kategori
tersebut.
b) User accuracy (akurasi pengguna), dihitung dengan membagi jumlah piksel benar
dalam suatu kategori dengan jumlah total piksel baris dalam kategori tersebut.
c) Overall accuracy (akurasi keseluruhan), dihitung dengan membagi jumlah piksel
benar dalam diagonal utama dengan total piksel dalam matrik kesalahan.
d) Analisis kappa (K), merupakan multivariasi diskrit yang digunakan untuk
menentukan akurasi.
Tingkat akurasi hasil pemodelan juga diuji dengan indeks Kappa dengan rumus:
dimana :
r : jumlah baris pada matriks kesalahan
20
Nilai Kappa berkisar antara -1 sampai +1 dengan level mengacu pada Pontius (2000)
dalam Baysal (2013) yaitu :
< 0: Less than chance agreement
0.01–0.20: Slight agreement
0.21– 0.40: Fair agreement
0.41–0.60: Moderate agreement
0.61–0.80: Substantial agreement
0.81–0.99: Almost perfect agreement
Contoh perhitungan :
confusion matrix (matrik kesalahan)
Data Lapangan
Producer’s User’s
A B C D Σ Baris
accuracy Accuracy
Hasil Klasifikasi
A 197 6 7 8 218 87,16 % 90,37 %
B 10 123 13 9 155 78,85 % 84,83 %
C 8 18 86 10 122 82,69 % 70,47 %
D 11 9 8 140 168 83,83 % 83,34 %
Σ Kolom 226 156 104 167 653 83,13 % 82,25 %
a)
Overall accuracy atau akurasi keseluruhan = ((197+123+86+140)/653) x 100%
= (546/653) x 100%
= 83,61 %
Kappa = (653 x 546) – ((226 x 218) + (156 x 155) + (104 x 122) + (167 x 168))
(653)² – ((226 x 218) + (156 x 155) + (104 x 122) + (167 x 168))
= (356538 – 112632) / (426409 – 112832)
= 243906 / 313777
= 0,77
21
lahan yang terjadi di pinggiran kota (daerah pertanian) dipengaruhi kualitas fisik lahan,
aksesibilitas site, peraturan yang berlaku, keberadaan utilitas umum, karakter personal
pemilik lahan dan inisiatif pengembang. Paramita (2012) menggunakan faktor kepadatan,
jarak dan aspek peraturan dalam analisis perubahan penggunaan lahan. Lambin dan Geist
(2007) dalam Susilo (2008) menyebutkan enam faktor pemicu terjadinya perubahan
penggunaan lahan, antara lain: perubahan kondisi alamiah, faktor ekonomi dan teknologi,
faktor demografi, faktor institusi, faktor budaya dan globalisasi.
Salah satu faktor fisik yang menjadi salah satu pertimbangan dalam terwujudnya
suatu penggunaan lahan adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng adalah presentase
perbandingan antara beda tinggi pada suatu area dengan jarak datarnya. Menurut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 43 Tahun 1996, kemiringan lereng
merupakan salah satu faktor yang menentukan kesesuaian suatu lahan bagi suatu
peruntukan. Kelayakan lahan untuk pemukiman adalah dengan kemiringan lereng kurang
dari 8%. Selain itu kemiringan lereng juga akan mempengaruhi syarat tumbuh tanaman
sehingga menentukan kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Oleh karena
itu kemiringan lereng digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam terwujudnya suatu
penggunaan lahan.
Faktor pemicu terjadinya perubahan penggunaan lahan lainnya adalah faktor
aksesbilitas. Semakin mudahnya suatu lokasi untuk dijangkau maka akan meningkatkan
potensi perkembangan kegiatan perekonomian. Pembangunan jalan-jalan baru akan
mendorong proses ekspansi perkembangan pemukiman sehingga mendorong perubahan
penggunaan lahan yang semula berupa lahan pertanian menjadi pemukiman.
Perkembangan pemukiman semakin lama akan mendorong terjadinya pertumbuhan
fungsi perdagangan ataupun jasa. Semakin dekat suatu penggunaan lahan dengan jalan
maka semakin besar kemungkinan terjadinya perubahan pada penggunaan lahan tersebut.
Oleh karena itu jarak terhadap jalan dan kepadatan jaringan jalan perlu dipertimbangkan
dalam proses terjadinya perubahan penggunaan lahan.
Perubahan penggunaan lahan juga memerlukan pengendalian. Keberadaan
sungai mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan dan penghidupan
masyarakat, perlu dijaga kelestarian dan kelangsungan fungsinya. Untuk itu perubahan
penggunaan lahan di sekitar sungai perlu dikendalikan salah satunya dengan
mengamankan daerah sekitarnya. Sempadan sungai sebagai ruang penyangga antara
ekosistem sungai dan daratan perlu dilindungi agar fungsi sungai dan kegiatan manusia
22
tidak saling terganggu. Oleh karena itu keberadaan sungai perlu dipertimbangkan dalam
pemodelan perubahan penggunaan lahan. Semakin mendekati sungai maka potensi
terjadinya perubahan penggunaan lahan semakin berkurang.
23
pendekatan matematis atau statistik sedangkan pendekatan bottom-up didasarkan pada
pelaku perubahan (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Pendekatan top-down dan bottom up (Verburg, 2006 dalam Pimenta, et. al., 2008)
24
(a) (b)
Gambar 2.2. (a) Ilustrasi MLP untuk regresi dimana f=wx+wo dan (b) MLP untuk klasifikasi
dimana f=1 jika wx+wo>0 (Stefanowski, 2010)
Layer input direpresentasikan dengan i neuron yang masing-masing berasosiasi
dengan variabel dependen x. Setiap variabel x akan terhubung dengan suatu bobot w,
menghasilkan sinyal yang akan dikirim ke neuron pada lapisan berikutnya yaitu :
netj = ΣiXi•Wi,j
dimana netj adalah sinyal yang diterima neuron j, dan Xi adalah variabel dependen dan
Wi,j adalah bobot antara lapisan input i dan lapisan tersembunyi j. Kemudian sinyal netj
disampaikan ke neuron j pada lapisan tersembunyi. Untuk mengaktifkan neuron pada
sistem jaringan diperlukan fungsi aktivasi.
Fungsi sigmoidal merupakan jenis fungsi aktivasi non linier yang menghasilkan
output berkisar dari 0 sampai 1. Dari lapisan tersembunyi, jika diaktifkan , sinyal akan
ditransfer ke lapisan berikutnya (output), terdiri dari l neuron, yang nilainya mewakili
probabilitas transisi.
pl = Σjwj,lφj
dimana pl adalah probabilitas transisi neuron l pada lapisan output; wj,l adalah bobot
terkait antara lapisan tersembunyi dan lapisan output; j adalah fungsi aktivasi neuron j
lapisan tersembunyi. Sedangkan algoritma yang digunakan untuk pembangkitan output
adalah algoritma back- propagation. Jenis algoritma dipilih karena dapat diterapkan untuk
fungsi nonlinear. Algoritma ini merupakan algoritma pembelajaran terawasi (supervised
learning) dimana output yang diperkirakan oleh jaringan dibandingkan dengan output
yang diketahui atau diinginkan. Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mendapatkan
perkiraan output, yang sedekat mungkin dengan output yang diinginkan . Perbedaan
antara kedua output menghasilkan kesalahan yang digunakan untuk mengoreksi bobot.
Kesalahan tersebut diukur dengan menggunakan standar deviasi, dimana training set akan
25
diulang sampai fungsi kesalahan berkurang ke tingkat yang dapat diterima, dengan
rumus:
Dimana el adalah kesalahan neuron l lapisan output; outl adalah nilai output
neuron l pada lapisan output; pl adalah output perkiraan neuron l pada lapisan output.
Lapisan output akan menghasilkan 2 (dua) neuron yang sesuai dengan 2 (dua)
kemungkinan dimana 1 adalah berubah/transisi dan 2 adalah tidak berubah/permanen.
Hasil dari peta transisi mengandung nilai dari 0 sampai dengan 1.
MLP memiliki sejumlah keuntungan diantaranya adalah kemampuan untuk
mendeteksi secara implisit hubungan nonlinier yang kompleks antara variabel dependen
dan independen serta memiliki kemampuan untuk mendeteksi semua interaksi yang
mungkin terjadi diantara variabel prediktor (Tu, 1996). MLP memiliki keuntungan
menggambarkan hubungan yang ada antara variabel input dan output tanpa diketahui
sebelumnya hubungan antara variabel-variabel itu sendiri. Adapun kelemahan dari
metode ini adalah sistem perhitungan yang rumit dalam regresi dan bersifat implisit
menjadikan besarnya pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel
dependen tidak terukur nyata. Berbeda dengan regresi logistik yang terukur jelas besar
pengaruh dari masing-masing variabel tersebut.
26
pada rentang 0-1. Hasil penjumlahan setiap elemen dalam satu baris berjumlah sama
dengan 1. Bentuk dari matriks transisi tersebut adalah sebagai berikut.
27
- Probabilitas transisi konstan sepanjang waktu.
- Kondisi merupakan kondisi yang independen (bebas) sepanjang waktu.
dimana χ2 adalah chi-square, fij adalah frekuensi kenyataan, Eij adalah frekuensi harapan.
Contoh perhitungan chi-squared :
Penggunaan Lahan
Total
Variabel Perubahan PL1 PL2 PL3
V1 a b c a+b+c
V2 d e f d+e+f
Total a+d b+e c+f
Penggunaan Lahan
Total
Variabel Perubahan PL1 PL2 PL3
V1 3 4 5 12
V2 2 1 6 9
Total 5 5 11 21
28
Berdasar tabel kontingensi di atas dihitung frequensi kenyataannya fij dan Eij = (total baris/total
semua)x total kolom.
Sel fij Eij (fij - Eij)2/ Eij
a 3 2,857143 0,007143
b 4 2,857143 0,457143
c 5 6,285714 0,262987
d 2 2,142857 0,009524
e 1 2,142857 0,609524
f 6 4,714286 0,350649
Chi Squared 1,69697
Hasil chi squared kemudian dibandingkan dengan tabel dimana derajat kebebasan (the degrees of
freedom/DF) dihitung dengan rumus : (r-1) x (c-1) = (2-1) x (3-1) = 2. Apabila taraf signifikansi
yang digunakan adalah 95% maka batas kritis 0,05 pada DF 2, nilai chi-squared tabel sebesar =
5,991. Selanjutnya dilakukan perhitungan Cramer’s test V, dimana χ2=1,6969, n=21 dan k=2 maka
Cramer’s test V, = √1,6969/(21(2-1)) = 0,08. Nilai 0,08 menunjukkan hubungan saling bebas antara
variabel.
2.10. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan MC, MLP dan CA yang
pernah dilakukan
Deliar (2010) melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan
menggunakan metode MC, CA dikombinasikan dengan Monte Carlo dan menggunakan
kemiringan lereng sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan (variabel perubahan).
Pemodelan ini memiliki keunggulan dalam mempertimbangkan keteracakan yang sangat
mungkin terjadi pada fenomena perubahan penggunaan lahan. Selain itu pemanfaatan CA
realistik untuk menemukan rumus transisi yang merepresentasikan perubahan. Pemodelan
ini hanya menggunakan satu variabel perubahan, oleh karena itu dipandang perlu
dilakukan penambahan variabel perubahan untuk meningkatkan akurasi pemodelan.
Paramita (2011) juga melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan
menggunakan metode MC dikombinasikan dengan CA. Pemodelan ini hanya melibatkan
dua kelas penggunaan lahan yaitu lahan terbangun dan non terbangun.
29
Baysal (2013) melakukan pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan
memanfaatkan citra satelit penginderaan jauh resolusi menengah dengan melibatkan
variabel kemiringan lereng dan kesesuaian lahan. Metode yang digunakan adalah
kombinasi CA-MC dan MLP-MC. Pemodelan dengan metode MLP-MC menghasilkan
akurasi yang lebih tinggi. Pemodelan ini berhasil membandingkan akurasi dari dua
kombinasi metode. Namun pemodelan ini hanya melibatkan dua variabel perubahan.
Wijaya dan Susilo (2013) menggunakan metode CA dengan regresi logistik
untuk pemodelan perubahan penggunaan lahan. Pemodelan ini hanya melibatkan dua
kelas penggunaan lahan yaitu lahan terbangun dan non terbangun. Prediksi luas
perubahan menggunakan pendekatan prediksi jumlah penduduk dengan asumsi bahwa
terjadinya pertambahan jumlah penduduk akan menambah luasan lahan terbangun.
Regresi logistik digunakan dalam merumuskan pengaruh variabel perubahan terhadap
terjadinya perubahan. Besar hubungan dapat diketahui secara ekplisit namun regresi
logistik rentan terhadap multikolinieritas.
30
Proses uji akurasi terhadap hasil klasifikasi dilakukan untuk mengetahui tingkat
kualitas dan kepercayaan suatu klasifikasi. Metode yang digunakan untuk uji akurasi
klasifikasi penggunaan lahan adalah dengan membuat confusion matrix/error matrix atau
matrik kesalahan. Uji akurasi menggunakan data pembanding berupa data lapangan atau
menggunakan citra penginderaan jauh dengan resolusi yang lebih tinggi.
Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan pendekatan top-down dapat
memanfaatkan data sensus maupun data penginderaan jauh. Pendekatan ini salah satunya
dikembangkan dengan melalui 3 (tiga) tahapan antara lain tahap permintaan perubahan,
tahap potensial transisi dan tahap alokasi perubahan. Tahap permintaan perubahan berupa
luasan daerah yang mengalami perubahan, tahap potensial transisi berupa sebaran lokasi
yang berpotensi mengalami perubahan, dan tahap alokasi perubahan berupa alokasi
perubahan berdasar luasan dan lokasinya. Multi-layer Perceptron (MLP) adalah salah
satu bentuk arsitektur jaringan ANN dapat digunakan sebagai fungsi regresi untuk
memasukkan faktor yang mempengaruhi perubahan ke dalam pemodelan untuk
mengetahui lokasi yang berpotensi mengalami perubahan. Metode Markov Chain akan
berhubungan dengan suatu rangkaian proses dimana kemungkinan terjadinya suatu
kejadian, diasumsikan hanya tergantung pada kondisi yang langsung mendahuluinya, dan
tidak tergantung pada rangkaian kejadian sebelumnya (non-aftereffect). Tahap permintaan
perubahan berupa luas perubahan dapat diperhitungkan dengan memanfaatkan Markov
Chain berdasar data yang mendahuluinya. Metode ini mensyaratkan rentang waktu data
yang sama.
31
2.13. Kerangka Pemikiran
Kota Yogyakarta dengan wilayah administrasi yang relatif kecil dengan
perkembangan jumlah penduduk yang besar menimbulkan perkembangan fisik kota yang
ditandai dengan perkembangan permukiman mengarah ke daerah pinggiran kota.
Kabupaten Bantul sebagai salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan Kota
Yogyakarta mendapat imbas dengan meningkatnya perkembangan permukiman di
wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang
cukup besar. Perubahan penggunaan lahan ini perlu dipantau agar terjadinya perubahan
penggunaan lahan dapat dikendalikan sehingga tidak menimbulkan masalah lingkungan.
Gambaran penggunaan lahan di masa yang akan datang pun diperlukan sebagai masukan
dalam pengambilan keputusan pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakannya.
Oleh karena itu pemodelan spasial untuk memprediksi penggunaan lahan di masa depan
perlu dilakukan.
Penelitian dengan judul penelitian Kajian Perubahan Penggunaan Lahan
Berbasis Citra Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Menengah dengan Metode Multi Layer
Perceptron dan Markov Chain di sebagian Kabupaten Bantul bertujuan kemampuan citra
satelit penginderaan jauh resolusi menengah Landsat untuk ekstraksi informasi
penggunaan lahan tahun 2002, 2009 dan 2013, mengkaji perubahan penggunaan lahan
secara spasial di sebagian Kabupaten Bantul dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2009
dan menyusun pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan metode Multi Layer
Perceptron dan Markov Chain di sebagian Kabupaten Bantul pada tahun 2013 dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan ditentukan secara a-
priori berdasar kondisi di lapangan dan studi literatur meliputi aksesbilitas (kepadatan
jalan, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai) dan kesesuaian lahan (kemiringan
lereng).
Dalam rangka mengkaji perubahan penggunaan lahan secara spasial diperlukan
peta penggunaan lahan multiwaktu yang dihasilkan dari klasifikasi multispektral citra
penginderaan jauh multitemporal. Citra Landsat merupakan citra satelit yang memiliki
resolusi temporal dan resolusi spektral yang memadai guna identifikasi perubahan
penggunaan lahan. Citra penginderaan jauh multitemporal dalam penelitian ini
menggunakan citra Landsat 5 TM tahun 2002, Landsat 7 ETM+ tahun 2009, Landsat 8
OLI tahun 2013.
32
Dalam rangka analisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan
diperlukan Peta Rupa Bumi Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah Peta Perubahan
Penggunaan Lahan di sebagian Kabupaten Bantul dari tahun 2002 sampai dengan tahun
2009 dan berdasar hasil tersebut dilakukan pemodelan yang menghasilkan Peta Prediksi
Penggunaan Lahan tahun 2013. Penentuan rentang tahun penelitian mempertimbangkan
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 yang melanda Indonesia sehingga
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak berjalan secara normal sehingga perubahan
penggunaan lahan pada tahun tersebut dihindari karena tidak mewakili perubahan
penggunaan lahan secara normal pada umumnya. Hasil pemodelan spasial tersebut
selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan di masa yang akan
datang sehingga dapat membantu dalam menentukan kebijakan pemerintah daerah.
Kompleksitas faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan
bersifat non linear memerlukan pendekatan regresi non linear untuk mencari hubungan
antara faktor yang mempengaruhi sebagai variabel bebas dan perubahan penggunaan
lahan sebagai variabel terikat. Interaksi antara faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dengan perubahan penggunaan lahan dalam jangka waktu tertentu dapat
dimodelkan secara spasial dengan Multilayer Perceptron (MLP). Kemampuan metode
Markov Chain (MC) dalam mengukur probabilitas dari perubahan penggunaan lahan di
masa sekarang digunakan untuk memprediksi penggunaan lahan di masa depan.
Pemodelan spasial dengan mengkombinasi kedua metode ini diharapkan dapat
menghasilkan hasil yang mimiliki tingkat akurasi yang baik. Secara garis besar penelitian
ini seperti yang tertera pada bagan kerangka pemikiran pada Gambar 2.4.
33
Perkembangan Kota Yogyakarta yang sangat pesat
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di daerah
urban fringe salah satunya adalah Kabupaten Bantul
relatif sederhana dan mampu mencari hubungan antara variabel bebas dan
telah teruji tingkat terikat yang bersifat kompleks dan non linier serta
akurasinya tidak terpengaruh oleh multikolinieritas data
34
BAB III METODE PENELITIAN
Bahan – bahan yang diperlukan ataupun data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Citra satelit Landsat path 120 row 65 dengan 3 (tiga) waktu perekaman bersumber
dari United States Geological Survey (USGS) guna pembuatan Peta Penutup dan
Penggunaan Lahan antara lain :
- citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002 dengan tanggal perekaman 21 Agustus
2002,
- citra satelit Landsat 5 TM tahun 2009 dengan tanggal perekaman 31 Juli 2009,
- citra satelit Landsat 8 OLI tahun 2013 dengan tanggal perekaman 24 juni 2013.
Citra yang digunakan merupakan croping dengan menggunakan batas administrasi
yang meliputi Kecamatan Bantul, Jetis, Imogiri, Pleret, Piyungan, Banguntapan,
Sewon dan Kasihan, Kabupaten Bantul.
2. Citra Google Earth dengan tanggal perekaman 7 November 2003 guna uji akurasi
penutup dan penggunaan lahan tahun 2002 dan Citra ALOS AVNIR-2 dengan
tanggal perekaman 20 Juni 2009 guna uji akurasi penutup dan penggunaan lahan
tahun 2009. Mengingat tahun tersebut sudah terlewati dan pengambilan sampel di
lapangan serta wawancara dipandang tidak mampu mewakili kondisi pada tahun
tersebut maka digunakan citra dengan resolusi yang lebih tinggi sebagai data
pembanding.
3. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 nomor lembar 1408-221, 1408-222,
1408-223, 1408-224 dan 1408-313.
35
4. Peta Geologi Lembar Yogyakarta 1408-2 dan Lembar Surakarta 1408-3 skala
1 : 100.000.
5. Norma Standard Prosedur Pemetaan Tematik Badan Pertanahan Nasionaal (BPN)
tahun 2012.
Tahapan dalam penelitian ini secara garis besar meliputi tahapan persiapan,
pengolahan data dan analisis. Tahap persiapan meliputi studi literatur, penentuan metode
dan pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian. Tahap pengolahan data meliputi
pra pemrosesan citra, klasifikasi, analisa perubahan penggunaan lahan, pemodelan
perubahan penggunaan lahan serta validasi hasil. Tahap analisis berupa analisis
perubahan penggunaan lahan kaitannya dengan faktor yang mempengaruhinya. Secara
lebih rinci tahap-tahap penelitian seperti pada sub bab di bawah ini:
36
3.3.1. Persiapan Penelitian
Tahapan awal dalam penelitian adalah tahap persiapan yang meliputi studi
literatur, penentuan metode dan pengumpulan data. Studi literatur dilakukan untuk
menambah informasi dan memperdalam pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan penelitian. Dari hasil studi literatur terkait tema penelitian kemudian dilakukan
penyusunan kerangka pemikiran sehingga dapat disimpulkan metode yang akan
digunakan dalam penelitian. Selanjutnya dilakukan inventarisasi kebutuhan data terkait
penelitian. Selain itu pembelajaran software yang akan digunakan juga dilakukan untuk
teknis pengolahan datanya. Setelah tema, metode dan judul ditentukan, kemudian
dilakukan pengumpulan data/bahan penelitian.
Tahap pra pemrosesan citra bertujuan agar citra dapat digunakan dan
menghasilkan data yang baik dan benar. Tahap ini terdiri dari koreksi radiometrik dan
koreksi geometrik. Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya
sesuai dengan nilai pancar obyek yang sebenarnya. Pengaruh gangguan atmosfer
merupakan sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek
dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor bukan merupakan nilai aslinya, tetapi
menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan.
Metode-metode yang sering digunakan untuk menghilangkan efek atmosfer antara lain
metode penyesuaian histogram (histogram adjustment), penyesuaian regresi, koreksi
berbasis diagram pencar dan metode kalibrasi bayangan (Danoedoro, 2012). Metode
tersebut merupakan metode yang bertumpu pada informasi dari dalam citra, sedangkan
metode yang menggunakan data dari luar citra antara lain kalibrasi berbasis data empiris,
penyesuaian regresi berbasis data spektral lapangan, koreksi pengaruh posisi matahari,
kalibrasi sensor dan kalibrasi berbasis model transfer radiasi (Danoedoro, 2012).
Menurut Phinn (2002 dalam Danoedoro, 2004) citra yang telah dikoreksi secara
sistematis dan tidak dimaksudkan untuk analisis multitemporal berbasis nilai indeks tidak
harus menggunakan koreksi radiometrik seperti umumnya prosedur pengolahan citra.
Oleh karena itu metode koreksi radiometrik yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan penyesuaian histogram. Metode ini dipandang sebagai metode koreksi
radiometrik yang cukup sederhana berdasar pada asumsi bahwa nilai terendah suatu
37
piksel dalam suatu liputan seharusnya bernilai nol. Selisih nilai terendah pada suatu citra
terhadap nilai nol dianggap sebagai nilai gangguan atmosfer. Berdasar asumsi ini maka
dilakukan identifikasi terhadap nilai statistik masing-masing saluran pada masing-masing
citra untuk mengetahui nilai terendah pada masing-masing saluran guna keperluan
koreksi radiometrik. Apabila nilai terendah pada setiap saluran sudah bernilai nol maka
koreksi ini tidak perlu dilakukan lagi karena asumsi sebagaimana tersebut di atas sudah
terpenuhi.
Koreksi geometrik adalah koreksi untuk mengatasi kesalahan geometrik citra
yang disebabkan oleh posisi, orbit maupun sikap sensor pada saat satelit mengindera
bumi, serta pengaruh kelengkungan dan putaran bumi. Koreksi geometrik bertujuan untuk
mengembalikan posisi piksel sedemikian rupa pada posisi yang seharusnya sehingga
sama dengan posisi pada kenampakan objek di permukaan bumi. Koreksi geometrik dapat
dilakukan dengan acuan peta yang sudah ada dengan skala lebih tinggi, dengan
menggunakan citra yang telah terkoreksi dan mempunya resolusi spasial yang sama dan
atau menggunakan data hasil pengamatan GPS di lapangan. Untuk penelitian ini
digunakan peta RBI skala 1:25.000 sebagai acuan koreksi geometrik. Untuk kepeluan
koreksi geometrik diperlukan titik-titik ikat. Titik ikat merupakan pasangan titik-titik pada
citra yang belum terkoreksi dengan titik pada referensi (peta, citra terkoreksi) agar
mendapatkan posisi citra yang akan dikoreksi ke posisi sebenarnya. Jumlah titik ikat
untuk koreksi geometrik ditentukan dengan rumus : Jumlah minimal titik ikat = (t +1)
(t+2)/2 ; dimana t merupakan tingkat orde. Penelitian ini menggunakan koreksi geometrik
dengan orde 3 dengan asumsi bahwa daerah penelitian mempunyai topografi yang
bervariasi dari datar, landai, hingga berbukit sehingga diharapkan posisi piksel setelah
koreksi mendekati posisi sebenarnya pada permukaan bumi. Mengingat penelitian ini
menggunakan data multiwaktu maka ketelitian koreksi geometrik ini sangat penting.
Kesalahan geometrik pada data multiwaktu akan menyebabkan kesalahan dalam analisis
terjadi atau tidak terjadinya perubahan penggunaan lahan. Metode interpolasi nilai piksel
yang digunakan yakni nearest neighbour sebab citra terkoreksi akan digunakan untuk
klasifikasi citra digital dan analisis kuantitatif sehingga diperlukan nilai piksel yang tidak
besar perubahannya sehingga kandungan informasinya tidak berubah terlalu jauh
meskipun terdapat pergeseran posisi akibat proses koreksi.
38
3.3.2.2. Klasifikasi Penutup dan Penggunaan Lahan
39
Tabel 3.1. Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan BPN Tahun 2012
Rencana Modifikasi
Klasifikasi Penggunaan Lahan
1:100.000 Klasifikasi Penggunaan Lahan
skala 1 : 100.000
Perkampungan Permukiman
Tanah jasa -
Tanah industri/pergudangan -
Tanah pertanian Lahan Pertanian
Tanah peternakan -
Perikanan darat Danau/Tambak/Sungai
Tanah terbuka -
Pertambangan -
Padang -
Hutan Hutan dan Kebun Campuran
Sumber : NSPK BPN RI, 2012
Tabel 3.2. Skema Klasifikasi Penutup Lahan dari Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan
Modifikasi
Rencana Modifikasi
Klasifikasi Penutup Lahan
Klasifikasi Penggunaan Lahan skala 1:100.000
skala 1 : 100.000
Permukiman Lahan terbangun
Lahan Pertanian Lahan terbuka
Danau/Tambak/Sungai Tubuh Air
Hutan dan Kebun Campuran Vegetasi
Sumber : Pengolahan data, 2014
Berdasar NSPK BPN RI, 2012 yang dimaksud perkampungan adalah areal tanah
yang digunakan untuk kelompok bangunan padat ataupun jarang tempat tinggal penduduk
dan dihuni secara menetap. Lahan pertanian adalah tanah areal pertanian yang
dipergunakan sebagai sawah dan/atau pertanian tanah kering. Sungai adalah modifikasi
dari perairan darat yaitu areal yang secara dominan permukaannya digenangi air secara
permanen alami dan atau buatan dengan tujuan tertentu. Hutan adalah areal tanah yang
ditumbuhi oleh tumbuhan dan atau pepohonan/tegakan yang tajuk daunnya dapat saling
menutupi/bergesekan termasuk hutan lebat, hutan sejenis dan hutan belukar. Kebun
campuran merupakan kebun yang terdiri dari berbagai jenis tanaman keras yang masing-
masing mempunyai komoditi bernilai ekonomi. Berdasarkan pengertian tersebut
selanjutnya “perkampungan” dimodifikasi menjadi “permukiman” dimana permukiman
menurut Undang-Undang No.1 tahun 2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang
terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau
40
kawasan perdesaan. Hal ini dimodifikasi mengingat penggunaan lahan dalam penelitian
ini tidak hanya berupa kelompok bangunan secara murni melainkan kelompok bangunan
beserta pekarangannya (terkait resolusi citra yang digunakan). Sedangkan “tanah
pertanian” dimodifikasi menjadi “lahan pertanian” mengingat pengertian tanah dan lahan
secara geografi adalah berbeda. Menurut FAO, lahan diartikan sebagai tempat di
permukaan bumi yang sifat-sifatnya layak disebut seimbang dan saling berkaitan satu
sama lain, memiliki atribut mulai dari biosfer atmosfer, batuan induk, bentuk-bentuk
lahan, tanah dan ekologinya, hidrologi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan hasil dari aktivitas
manusia pada masa lalu dan sekarang yang menegaskan bahwa variabel itu berpengaruh
nyata pada penggunaan manusia saat ini dan akan datang.
Klasifikasi penutup lahan dengan kelas lahan terbangun merupakan area yang
telah mengalami substitusi penutup lahan alami ataupun semi alami dengan penutup lahan
buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen (Klasifikasi Penutup Lahan,
SNI 7645 : 2010). Lahan terbuka merupakan lahan yang tidak bervegetasi baik lahan
yang tidak digarap karena tidak subur atau tandus maupun lahan yang secara temporal
tidak ditanami. Lahan terbuka buatan yang bersifat permanen dan biasanya kedap air
termasuk dalam kelas lahan terbangun. Kelas penutup lahan berupa tubuh air meliputi
area yang digenangi air secara permanen alami dan atau buatan dengan tujuan tertentu.
Kelas penutup lahan vegetasi meliputi vegetasi tahunan pada hutan, kebun campuran dan
pekarangan maupun vegetasi musiman pada tanaman pertanian.
Tahap berikutnya adalah penentuan daerah contoh atau training area yang
dilakukan untuk menentukan penciri kelas sebagai sampel dalam proses klasifikasi
terselia. Kegiatannya berupa mengidentifikasi sejumlah piksel yang mewakili masing-
masing kelas yang sebelumnya sudah ditetapkan kategori kelasnya dengan referensi dapat
berupa peta penutup lahan, citra yang mempunyai resolusi lebih tinggi, foto udara
ataupun pengetahuan lokal penulis (local knowledge). Untuk mempermudah identifikasi
sampel piksel dapat dilakukan dengan menggunakan tampilan citra komposit yang
berbeda-beda disesuaikan dengan objek atau kelas yang akan diambil sampelnya. Selain
itu dapat juga digunakan bantuan dengan melakukan klasifikasi tak terselia terlebih
dahulu sehingga dapat diperoleh kelompok-kelompok piksel yang telah terkelas-kelaskan.
Meskipun hal ini tidak dapat digunakan sebagai acuan namun dapat membantu dalam
proses pengambilan daerah contoh.
41
Setiap penutup lahan akan memberikan respon spektral yang berbeda. Pada
penutup lahan yang sama dimungkinkan akan memiliki respon spektral yang berbeda
juga. Hal ini karena pengaruh material, kerapatan, topografi dan kondisi atmosfer yang
berbeda-beda di setiap lokasi. Oleh karena itu dalam penentuan sampel atau Region of
Interest (ROI) perlu dilakukan pengkelasan lebih rinci lagi berdasar kelas spektral. Skema
kelas spektral mengacu pada Kelas Klasifikasi Penutup Lahan Dimensi Spektral Tingkat
II (Danoedoro, 2012) yang dimodifikasi dengan menyesuaikan keragaman respon spektral
penutup lahan pada masing-masing citra. Hal itu juga dilakukan untuk mendapatkan
sampel yang lebih bersifat homogen mengingat resolusi spasial citra penginderaan jauh
yang digunakan adalah resolusi menengah (30 m) sehingga cukup sulit untuk menemukan
piksel-piksel murni.
Tahap selanjutnya adalah perhitungan separability index daerah contoh yang
diperlukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keterpisahan antar pasangan kelas
pada suatu daerah contoh. Nilai separability index berkisar antara 0 sampai 2. Semakin
tinggi nilai separability index maka semakin terpisah antar pasangan kelas dalam daerah
contoh dan akan semakin baik daerah contoh yang dibuat.
Tahapan selanjutnya adalah proses klasifikasi multispektral. Proses ini dilakukan
pada masing-masing citra. Metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terselia
dengan metode maximum likelihood. Penggunaan metode ini berdasar hasil dari berbagai
penelitian yang menyatakan metode ini terbukti memberikan hasil paling baik dibanding
metode lainnya. Danoedoro (2012) menyebutkan bahwa algoritma maximum likelihood
merupakan algoritma dengan statistik yang paling mapan. Hasil klasifikasi multispektral
adalah Peta Kelas Spektral. Peta-peta kelas spektral tersebut selanjutnya dilakukan
penggabungan kelas (class merging) untuk menghasilkan Peta Penutup Lahan tahun
2002, 2009 dan 2013.
Ekstraksi informasi penggunaan lahan dapat melalui 3 pendekatan yaitu photo-
guided approach, photo-key approach dan landscape-ecological approach. Dalam
penelitian ini akan menggunakan pendekatan landscape-ecological approach yaitu
ekstraksi informasi penggunaan lahan dari penutup lahan dengan pendekatan karakteristik
medan. Karaketristik medan diekstrak melalui interpretasi visual citra satelit serta
dikombinasikan dengan Peta Geologi skala 1 : 100.000 dengan skema ekstraksi informasi
penggunaan lahan sebagaimana Gambar 3.1. Peta Geologi digunakan sebagai informasi
tambahan mengenai informasi jenis batuan sebagai penyusun suatu bentuk lahan. Hasil
42
ekstraksi karakteristik medan berupa Peta Bentuk Lahan. Klasifikasi bentuk lahan
mengacu pada klasifikasi Van Zuidam dan Verstappen antara lain bentuk lahan struktural,
denudasional, fluvial, marin, vulkanik, eolin, glasial dan solusional. Klasifikasi bentuk
lahan tersebut kemudian diturunkan ke dalam sub bentuk lahan dengan
mempertimbangkan skema klasifikasi penutup dan penggunaan lahan.
Peta Geologi
Citra Multispektral
Klasifikasi berbasis
Peta Penutup Lahan
pengetahuan
Penggunaan Lahan
Selanjutnya dilakukan uji akurasi dengan cara menentukan sampel pada citra
hasil klasifikasi untuk kemudian dicocokkan dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Sampel berupa poligon/area. Luas lokasi sampel untuk uji akurasi ini mengacu pada
perhitungan matematis menurut Justice & Townshend (1981, dalam Mc Coy, 2005) yaitu
A= P (1+2L) dimana; A: ukuran sampel di lapangan, P: ukuran piksel citra dan L:
perkiraan akurasi lokasi (0.5 piksel). Dari perhitungan tersebut untuk citra Landsat
dengan resolusi spasial 30 m, dalam pengujian dilapangan harus menggunakan ukuran
sampel minimum 60 m x 60 m. Uji akurasi ini menggunakan metode stratified random
sampling, yaitu mempertimbangkan variasi penutup lahan dan penggunaan lahan yang
dominan pada area sampel dengan lebih dari satu sampel untuk satu jenis kelas. Jika
terjadi perbedaan maka perlu dirunut penyebab perbedaan tersebut dengan cara
melakukan wawancara dengan penduduk setempat untuk mencari informasi kondisi pada
saat citra tersebut direkam. Penentuan lokasi dengan menggunakan GPS navigasi. Hal ini
dilakukan pada Peta Penutup dan Penggunaan Lahan tahun 2013 mengingat kondisi saat
ini mendekati waktu perekaman tersebut.
43
Sedangkan untuk Peta Penutup dan Penggunaan Lahan tahun 2002 uji akurasi
dilakukan dengan membandingkan hasil klasifikasi dengan menggunakan citra Google
Earth tahun 2003 dan Peta Penutup dan Penggunaan Lahan tahun 2009 diuji akurasi
dengan menggunakan citra Alos tahun 2009. Hasil uji akurasi disajikan dalam matriks
kesalahan yang menujukkan perbandingan antara hasil klasifikasi dengan hasil data
referensinya. Uji akurasi ini akan menggunakan akurasi keseluruahan (overal accuracy),
akurasi penghasil (producer accuracy), akurasi pemakai (user accuracy) serta indeks
kappa (K).
Setelah dilakukan uji akurasi selanjutnya dilakukan sinkronisasi peta. Dalam
rangka analisa perubahan ini maka peta penggunaan lahan multiwaktu ini harus memiliki
struktur data yang sama. Jika pada salah satu peta tidak terdapat data dikarenakan adanya
awan dan bayangan awan, maka peta yang lain pun demikian juga. Sinkronisasi data
dilakukan dengan menggabungkan kelas awan dan bayangan awan yang terdapat pada
ketiga peta penggunaan lahan dan selanjutnya dilakukan pemotongan di ketiga peta
penggunaan lahan. Persyaratan lainnya adalah ketiga peta harus memiliki sistem
koordinat dan resolusi spasial yang sama , latar belakang citra harus sama dan diberi nilai
0 serta memiliki kategori informasi, urutan serta simbolisasi yang sama.
44
penggunaan lahan pada t1 dikurangi jumlah penggunaan lahan yang tidak berubah.
Perubahan bersih masing-masing penggunaan lahan adalah hasil dari pengurangan Gain
dengan Losses (G1-L1, G2-L2, ..., Gn-Ln). Sehingga dapat dilakukan analisis perubahan
penggunaan lahan dan diperoleh sebaran perubahan penggunaan lahan secara spasial
berupa Peta Perubahan Penggunaan Lahan (Peta Transisi).
Tahap pemodelan perubahan penggunaan lahan terdiri atas tiga tahapan antara
lain: Tahap Potensial Transisi (Transition Potentials), Tahap Area Transisi dan Tahap
Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan (Change Prediction). Tahap Potensial Transisi
(Transition Potentials) merupakan tahap untuk menentukan lokasi yang berpotensi untuk
mengalami perubahan. Sebelum dilakukan pemodelan, ditentukan kelas perubahan
penggunaan lahan yang akan dimodelkan. Kelas perubahan pemodelan dipilih berdasar
pada Peta Perubahan Penggunaan Lahan dimana kelas perubahan yang akan dimodelkan
adalah kelas yang mengalami perubahan cukup signifikan.
Penentuan faktor yang mempengaruhi perubahan yang disebut variabel
perubahan selanjutnya dilakukan. Variabel perubahan memiliki dua fungsi yaitu
mendorong atau memacu terjadinya perubahan dan yang kedua adalah menghambat
terjadinya perubahan. Dalam penelitian ini varibel perubahan dipilih berdasar pada
dugaan awal (a priori) dengan berdasar pada pengetahuan lokal terhadap daerah kajian
serta pertimbangan dari berbagai studi literatur. Adapun variabel perubahan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana Tabel 3.4.
45
Tabel 3.4. Variabel perubahan
No. Variabel Sumber Deskripsi
Variabel perubahan bersumber dari Peta Rupa Bumi Indonesia yang berbasis
vektor. Selanjutnya masing-masing variabel dilakukan analisis SIG dan menghasilkan
variabel perubahan berbasis raster. Analisis raster mempunyai kesamaan dalam tingkat
kedetilan data dan sangat efektif dalam merepresentasikan data kontinyu seperti
kemiringan lereng, kepadatan dan jarak terhadap suatu objek. Hal tersebut juga
mempertimbangkan bahwa pemodelan yang akan dilakukan merupakan pemodelan
berbasis data raster.
Selain variabel perubahan sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan, Peta
perubahan penggunaan lahan yang akan dimodelkan sebagai nilai kemungkinan
terjadinya transformasi dari penggunaan lain menjadi kelas yang akan dimodelkan perlu
digunakan sebagai input dalam proses regresi dengan MLP. Peta perubahan penggunaan
lahan berupa data kategori (kualitatif). Oleh karena itu perlu dilakukan transformasi
evidence likelihood untuk merubah data kualitatif menjadi data kuantitatif. Transformasi
ini berdasar pada frekuensi relatif penggunaan lahan yang berbeda dalam area perubahan
antara tahun 2002-2009 terhadap penggunaan lahan tahun 2002. Angka hasil transformasi
menunjukkan kemungkinan menemukan tutupan lahan pada piksel tersebut jika daerah
tersebut akan mengalami transisi.
Variabel-variabel perubahan tersebut serta peta hasil transformasi evidence
likelihood digunakan sebagai input dalam membuat sub-model dengan metode Multilayer
Perceptron (MLP). Sebelum digunakan sebagai input, masing-masing variabel
dinormalisasikan dengan menggunakan rumus :
46
Masing-masing input selanjutnya diuji dengan menggunakan variable Cramer’s
test V untuk mengetahui keterkaitan antara variabel dengan masing-masing kelas
penggunaan lahan. Rumus Cramer’s test V adalah :
V = SQRT(χ2 / (n (k - 1)))
dimana χ2 adalah chi squared dan K adalah nilai terkecil dari baris dan kolom dalam
matriks peta raster. Metode ini merupakan indeks simetris asosiasi dengan hasil berkisar
dari 0 sampai dengan 1. Nilai 0 menunjukkan hubungan saling bebas antara variabel
sedangkan 1 menunjukkan hubungan yang sempurna. Variabel dengan nilai > 0,15
menunjukkan intensitas ketergantungan yang dapat digunakan (Eastman, 2006 dalam
Romano, et. al. 2013) sedangkan > 0,4 diindikasikan sebagai baik (Eastman, 2009 dalam
Baysal, 2013).
47
dihasilkan dengan membagi jumlah piksel yang mengalami perubahan pada setiap kelas
terhadap jumlah total seluruh piksel pada tahun awal (t1).
Penyusunan MAT harus mempertimbangkan lama atau rentang waktu antara
Peta Penggunaan Lahan tahun 1 (t1), Peta Penggunaan lahan tahun 2 (t2) dan Peta
Penggunaan Lahan tahun yang akan diprediksi (t3). Konsep dasar MC adalah
menggunakan nilai probabilitas dari matriks MAT untuk memprediksi kondisi di periode
selanjutnya t (n+1) berdasarkan data terakhir t(n). Oleh karena itu nilai probabilitas antara
periode t1-t2 terhadap penggunaan lahan t1 adalah sama dengan nilai probabilitas periode
t2-t3 terhadap penggunaan lahan t2. Sehingga rentang waktu antara t1-t2 harus sama
dengan t2-t3 dalam menerapkan metode MC.
48
Matriks Area Transisi (MAT) yang dipergunakan dalam memprediksi penggunaan
lahan mengacu pada formula :
xt+c= xtA
dimana xt adalah vektor baris dari 1 ke n untuk masing-masing kategori pada waktu t,
dimana n adalah jumlah kategori kelas penggunaan lahan, c adalah tahun antara t awal
dengan tahun observasi selanjutnya dan A adalah matriks n kali n dimana setiap elemen
aij adalah probabilitas kategori j pada saat t+c dari kategori i pada saat t. Matriks A dapat
diturunkan menjadi matriks B sebagai matriks tahunan dengan persamaan berikut ini
dimana expm adalah matriks eksponensial dan logm adalah logaritma matrik.
Jika kita akan memprediksi banyak data dimana rentang waktu merupakan
kelipatan dari rentang waktu dari data yang diketahui maka hal ini dapat dihitung
berdasarkan matrik probabilitas transisi yang digunakan sebagai dasar atau basisnya.
Sebagai contoh jika diketahui MAT periode tahun 1992 – 2001 (9 tahun) adalah x maka
MAT dari tahun 2001-2010 (9 tahun berikutnya) adalah x1, sedangkan untuk tahun 2019
(18 tahun berikutnya) adalah x2 sedangkan untuk tahun 2037 (36 tahun berikutnya) adalah
x4 demikian seterusnya.
Tahap Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan (Change Prediction) selanjutnya
dilakukan. Peta Potensial Transisi sebagai data spasial yang menunjukkan lokasi-lokasi
yang berpotensial mengalami perubahan selanjutnya diintegrasikan dengan MAT sebagai
data nir-spasial yang menunjukkan luas area yang mengalami perubahan. Integrasi kedua
data tersebut menghasilkan alokasi secara spasial probabilitas transisi/perubahan. Metode
ini merupakan metode sejenis Multi Objective Land Alocation (MOLA) yaitu metode
analisis multi-tujuan untuk alokasi lahan serta mengatasi terjadinya konflik antar banyak
tujuan.
49
Peta RBI Peta Geologi Citra Landsat 7 Citra Landsat 5 Citra Landsat 8
Skala 1 : 25.000 Skala 1 : 100.000 ETM+ 2002 TM 2009 OLI 2013
Interpretasi Visual Koreksi Geometrik & Koreksi Geometrik & Koreksi Geometrik &
Analisis SIG berbasis raster Radiometrik Radiometrik Radiometrik
Bentuk Lahan
Citra Landsat tahun Citra Landsat tahun Citra Landsat tahun
VARIABEL PERUBAHAN
2002 terkoreksi 2009 terkoreksi 2013 terkoreksi
50
Alokasi Spasial Probabilitas Transisi (ASPT) mengalokasikan lahan untuk
masing-masing kategori dengan menggunakan Peta Potensial Transisi dari masing-
masing perubahan. ASPT mengalokasikan lahan mengacu pada persamaan :
adalah potensial transisi dari piksel i, adalah luas area penggunaan lahan u pada t+τ.
. Proses ASPT mengalokasikan piksel dengan skor (nilai potensi) tertinggi untuk masing-
masing tujuan, kemudian menilai piksel mana yang dialokasikan ke lebih dari satu tujuan.
Konflik-konflik ini diselesaikan kemudian piksel baru yang dialokasikan untuk masing-
masing tujuan akan disesuaikan.
Peta Penggunaan Lahan Awal
Iterasi
sejenis Multi Objective Land Allocation
(MOLA)
Alokasi spasial
probabilitas transisi
Sebagai contoh alokasi lahan untuk hutan dan kebun campuran yang berubah
menjadi pertanian, ASPT menggunakan peta potensial transisi hutan dan kebun campuran
menjadi pertanian dan jumlah konversinya, kemudian ASPT mengalokasikan piksel yang
berpotensi tertinggi untuk lahan pertanian sesuai luasan perubahan. Perubahan hutan dan
51
kebun campuran ke penggunaan lainnya juga diperhitungkan sebagaimana cara tersebut.
Hasil akhir proses ini adalah dengan menumpang susunkan semua hasil dari ASPT.
Diagram alir penelitian secara lengkap dituangkan dalam Gambar 3.1 dan ilustrasi metode
pemodelan perubahan penggunaan lahan sebagaimana Gambar 3.1.
Prosedur ini mengalokasikan piksel dengan skor (nilai potensi) tertinggi untuk
masing-masing tujuan, kemudian menilai piksel mana yang dialokasikan ke lebih dari
satu tujuan. Konflik-konflik ini diselesaikan kemudian piksel baru yang dialokasikan
untuk masing-masing tujuan akan disesuaikan. Sebagai contoh alokasi lahan untuk lahan
pertanian yang berubah menjadi permukiman, algoritma ini menggunakan peta potensial
transisi lahan pertanian menjadi permukiman dan jumlah luasan konversinya berdasar
MAT, kemudian dialokasikan piksel yang berpotensi tertinggi untuk permukiman sesuai
luasan perubahan. Perubahan hutan dan kebun campuran ke permukiman juga
diperhitungkan sebagaimana cara tersebut. Hasil akhir proses ini adalah dengan
menumpang susunkan semua hasil dari alokasi tersebut. Pada proses ini akan terjadi
bahwa sel yang sama dapat dialokasikan untuk tujuan berbeda sehingga terjadi konflik.
Hal ini diselesaikan dengan mengalokasikan sel tersebut pada kesesuaian tertimbang yang
terbaik. Ilustrasi penyelesaian konflik sebagaimana 0. Gambar kiri adalah hasil tumpang
susun hasil alokasi kedua tujuan, piksel hijau adalah piksel dengan potensi perubahan
tertinggi terhadap penggunaan lahan hutan dan kebun campuran berubah menjadi
permukiman (tujuan 1) dan piksel biru adalah piksel dengan potensi perubahan tertinggi
terhadap penggunaan lahan lahan pertanian berubah menjadi permukiman (tujuan 2)
sedangkan piksel merah adalah berisi kedua nya (biru tumpang tindih dengan hijau).
Untuk mengatasi terjadinya konflik tersebut dibuatlah suatu ruang keputusan dimana
berdasar dua tujuan maka diperoleh empat wilayah antara lain ruang hijau sesuai tujuan 1,
ruang biru sesuai tujuan 2, ruang putih tidak sesuai untuk kedua tujuan dan ruang merah
sesuai tujuan 1 dan 2 (area konflik). Untuk mengatasi konflik ini ditariklah garis
keputusan (kuning) yang membagi area konflik menjadi 2 bagian. Selanjutnya melalui
proses iterasi garis keputusan dinaik turunkan sehingga tercapai luasan sesuai untuk
masing-masing tujuan. Proses iterasi perggeseran garis keputusan mengacu pada logika
rata-rata jarak minimum terhadap titik ideal masing-masing tujuan. Titik ideal
menunjukkan kemungkinan terbaik untuk suatu tujuan yaitu suatu sel yang terbaik untuk
satu tujuan dan terburuk untuk tujuan lainnya. Ilustrasi penyelesaian konflik dalam
alokasi penggunaan lahan sebagaimana Gambar 3.2.
52
Gambar 3.2. Ilustrasi penyelesaian konflik dalam alokasi penggunaan lahan
53
selanjutnya dibuat grafik yang dapat menunjukkan pola hubungan antara pertumbuhan
kelas penggunaan lahan dengan variabel perubahan.
Sebagaimana Gambar 3.3 menunjukkan contoh sederhana proses analisis
pertumbuhan kelas penggunaan lahan dalam dua periode kaitannya dengan variabel
perubahan. Berdasar ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah piksel yang tumbuh
pada periode 1 sebanyak 4 piksel terjadi pada jarak 200 m terhadap jalan, dan pada
periode 2 sebanyak 6 piksel pada jarak 200 m terhadap jalan dan sebanyak 2 piksel pada
pada jarak 400 m terhadap jalan. Dari contoh tersebut maka dapat diketahui bahwa
pertumbuhan kelas A terjadi paling banyak pada jarak 200 m terhadap jalan. Sehingga
dapat disimpulkan semakin dekat jarak terhadap jalan maka pertumbuhan kelas A
semakin banyak.
Peta pertumbuhan kelas A Peta jarak terhadap jalan
Pertumbuhan Kelas A
periode 1
Pertumbuhan Kelas A
0m 200 m 400 m 600 m
periode 2
Gambar 3.3. Ilustrasi proses analisis pertumbuhan kelas penggunaan lahan dalam dua
periode kaitannya dengan variabel perubahan
54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian kajian perubahan penggunaan lahan ini melalui beberapa tahap yang
meliputi pra pemrosesan citra, klasifikasi penutup dan penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan pemodelan perubahan penggunaan lahan. Setiap tahap akan
memberikan hasil untuk dianalisa sehingga tercapai tujuan penelitian. Uraian dari setiap
tahap beserta hasil dan analisanya sebagaimana diuraikan dalam sub bab berikut.
Pada penelitian ini citra yang digunakan antara lain Citra satelit Landsat path
120 row 65 dengan 3 (tiga) waktu perekaman yaitu citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun
2002, citra satelit Landsat 5 TM tahun 2009, citra Alos AVNIR-2 tahun 2009 dan citra
Landsat 8 OLI tahun 2013 bersumber dari United States Geological Survey (USGS).
Wilayah lokasi penelitian meliputi sebagian dari Kabupaten Bantul untuk itu perlu
dilakukan pemotongan pada masing-masing citra.
55
Gambar 4.1. Tampilan statistik masing-masing saluran pada masing-masing citra
Pemotongan citra dilakukan dengan area persegi panjang yang mencakup seluruh
wilayah penelitian (Gambar 4.2). Hal ini dimaksudkan agar proses koreksi geometrik
tidak serumit jika pemotongan citra berdasar pada batas administrasi. Oleh karena itu
pemotongan citra berdasar batas administrasi dilakukan setelah dilakukan koreksi
geometrik mengingat batas administrasi wilayah kajian cukup rumit.
56
Gambar 4.2. Contoh pemotongan citra Landsat 7 ETM+ tahun 2002
57
menghasilkan RMS Error sebesar 0,132978. Koreksi geometrik juga dilakukan terhadap
citra Alos AVNIR-2 2009 yang akan digunakan sebagai uji akurasi terhadap hasil
klasifikasi multispektral Landsat 5 TM 2009. Koreksi geometrik terhadap citra ALOS
AVNIR-2 2009 menghasilkan RMS Error sebesar 0,252188. Demikian halnya juga
terhadap Landsat 8 OLI 2013 sebesar 0,257775 (Gambar 4.3). Nilai RMS Error tersebut
telah memenuhi persyaratan yaitu tidak lebih dari 0,5.
Koreksi geometrik dilakukan pada masing-masing citra terhadap Peta RBI. Hal
ini dimaksudkan agar tidak terjadi perambatan kesalahan apabila hanya satu citra yang
dikoreksi terhadap RBI sedangkan citra yang lain dikoreksikan terhadap citra yang telah
terkoreksi tersebut. Selain itu posisi titik ikat untuk masing-masing citra terhadap Peta
RBI diusahakan sama. Hal ini bertujuan agar hasil koreksi geometrik pada setiap citra
memiliki arah pergeseran yang relatif sama. Posisi titik ikat yang tidak sama dikarenakan
posisi tersebut tertutup awan atau bayangan awan pada citra sehingga perlu ditempatkan
di posisi yang lain. Sebaran titik ikat pada RBI sebagaimana Gambar 4.4. Penentuan
posisi titik ikat ditempatkan pada kenampakan yang nampak jelas di citra maupun jelas di
lapangan. Penempatan titik ikat diusahakan pada objek yang relatif tetap dalam artian
tidak berubah dari waktu ke waktu misalnya persimpangan jalan.
58
Landsat 7 ETM+ 2002 Landsat 5 TM 2009
59
Landsat 7 ETM+ 2002 sebelum koreksi geometrik Landsat 7 ETM+ 2002 setelah koreksi geometrik
Landsat 5 TM 2009 sebelum koreksi geometrik Landsat 5 TM 2009 setelah koreksi geometrik
Alos AVNIR-2 2009 sebelum koreksi geometrik Alos AVNIR-2 2009 setelah koreksi geometrik
Landsat 8 OLI 2013 sebelum koreksi geometrik Landsat 8 OLI 2013 setelah koreksi geometrik
Gambar 4.5. Tampilan citra sebelum dan sesudah dilakukan koreksi geometrik
60
4.1.4. Pemotongan citra berdasar batas administrasi
Setelah dilakukan koreksi geometrik maka citra telah siap untuk diolah lebih
lanjut. Akan tetapi mengingat wilayah penelitian tidak meliputi semua area melainkan
berdasar wilayah administrasi, maka perlu dilakukan pemotongan citra berdasar batas
administrasi terluar (Gambar 4.6). Wilayah penelitian meliputi Kecamatan Bantul, Jetis,
Imogiri, Pleret, Piyungan, Banguntapan, Sewon dan Kasihan sebagai bagian dari
Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gambar 4.6. Contoh pemotongan citra Landsat 7 ETM+ 2002 berdasar batas administrasi
kecamatan terluar
61
penutup lahan yang diturunkan dari skema klasifikasi penggunaan tanah BPN 2012
modifikasi adalah sebagaimana Tabel 4.1
Tabel 4.1. Skema Klasifikasi Penutup Lahan dan Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi Penutup Lahan Klasifikasi Penggunaan Lahan
skala 1:100.000 skala 1 : 100.000
Lahan terbangun Permukiman
Lahan terbuka Lahan Pertanian
Tubuh air Danau/Tambak/Sungai
Vegetasi Hutan dan kebun
campuran
Sumber : NSPK BPN RI, 2012 dengan modifikasi
Setelah penentuan skema klasifikasi penutup lahan, proses selanjutnya adalah
penentuan sampel atau sering disebut ROI (Region Of Interest). Lokasi geografis
kelompok piksel sampel disebut sebagai daerah contoh atau training area (Danoedoro,
2012). Penentuan sampel merupakan proses yang harus dilakukan sebelum dilakukan
proses klasifikasi terselia (supervised). Penentuan sampel dilakukan dengan menentukan
sekelompok piksel-piksel pada citra sebagai contoh objek dengan mengacu pada skema
klasifikasi yang telah ditetapkan. Setiap penutup lahan akan memberikan respon spektral
yang berbeda. Pada penutup lahan yang sama dimungkinkan akan memiliki respon
spektral yang berbeda juga. Hal ini karena pengaruh material, kerapatan, topografi dan
kondisi atmosfer yang berbeda-beda di setiap lokasi. Oleh karena itu dalam penentuan
ROI perlu dilakukan pengkelasan lebih rinci lagi berdasar kelas spektral. Hal itu juga
dilakukan untuk mendapatkan sampel yang lebih bersifat homogen mengingat resolusi
spasial citra penginderaan jauh yang digunakan adalah resolusi menengah (30 m)
sehingga cukup sulit untuk menemukan piksel-piksel murni. Lokasi daerah contoh
sebaiknya menyebar secara merata, homogen dan menurut Phinn (2002 dalam
Danoedoro, 2012) direkomendasikan jumlah minimum piksel daerah contoh adalah 100
piksel.
62
Tabel 4.2. Skema klasifikasi secara spektral melalui penggabungan kelas (class merging)
menjadi kelas penutup lahan pada citra Landsat 7 ETM+ 2002, Landsat 5 TM 2009
dan Landsat 8 OLI 2013.
Kelas Klasifikasi penutup lahan dimensi spektral Tingkat II modifikasi Kelas
No. penutup
Landsat 7 ETM+ 2002 Landsat 5 TM 2009 Landsat 8 OLI 2013 lahan
1 - Awan Awan Awan
2 - Awan samar Awan samar
3 - Awan tipis -
4 - Bayangan awan gelap Bayangan awan Bayangan
Bayangan Awan Awan
5 - Bayangan awan samar
samar
Tanah terbuka Lahan
6 Tanah terbuka kering Tanah terbuka kering
kering terbuka
Tanah terbuka kering Tanah terbuka agak
7 Tanah terbuka basah
lereng atas kering
Tanah terbuka kering Tanah terbuka agak
8 Tanah terbuka basah
puncak basah
Tanah terbuka kering Tanah terbuka agak Tanah terbuka agak
9
lereng lembab basah
Tanah terbuka
10 Tanah terbuka lembab Tanah terbuka lembab
lembab
Tanah terbuka
11 Gisik -
lembab kaki bukit
Tanah terbuka agak Tanah terbuka
12 Tanah terbuka keruh
basah kaki bukit kering puncak
Tanah terbuka agak Tanah terbuka agak
13 Tanah terbuka basah
kering lembab
14 Lekuk lereng Lekuk lereng1 Lekuk lereng1
15 Lekuk lereng2 Lekuk lereng2
Tanah Terbuka kering Tanah terbuka
16 -
bukit kering lereng
17 Vegetasi rapat Vegetasi rapat Vegetasi rapat Vegetasi
18 Vegetasi jarang Vegetasi tipis Vegetasi agak rapat
19 Vegetasi bukit Vegetasi sungai Vegetasi tipis
20 Vegetasi sungai Vegetasi Vegetasi lereng tipis
21 Vegetasi tipis bukit - Vegetasi bukit
22 - - Vegetasi lereng
23 - - Vegetasi berair
24 Tubuh air1 Tubuh air1 Tubuh air1 Tubuh Air
25 Tubuh air2 Tubuh air2 Tubuh air2
26 Bangunan padat Bangunan padat Bangunan padat Lahan
27 Bangunan jarang Bangunan jarang Bangunan jarang Terbangun
28 Bangunan Bangunan Bangunan
29 Aspal Aspal1 Aspal
30 - Aspal2 -
Sumber : Pengolahan data, 2014
63
Landsat 5 TM tahun 2009 menggunakan skema sebagaimana Tabel 4.2. Penentuan ROI
sampel untuk citra Landsat 7 ETM+ 2002 menggunakan bantuan klasifikasi unsupervised
ISODATA dengan jumlah kelas 30 dan citra Google Earth perekaman 7 November 2003.
Penggunaan jumlah kelas sebanyak 30 kelas adalah menyesuaikan jumlah kelas spektral
perkiraan yang akan diambil sampelnya. Citra Google Earth perekaman 7 November
2003 ini tidak mencakup seluruh area penelitian melainkan terdapat bagian timur yang
terpotong sedikit. Cara penentuan sampel menggunakan 3 (tiga) tampilan citra
sebagaimana Gambar 4.7. Tampilan pertama adalah komposit 451 citra Landsat 7 ETM+
tahun 2002, tampilan kedua adalah hasil klasifikasi unsupervised ISODATA dan tampilan
ketiga adalah citra Google Earth.
Penentuan ROI sampel untuk Landsat 5 TM tahun 2009 mengacu pada
klasifikasi unsupervised ISODATA dengan jumlah kelas 30. Selain itu juga digunakan
panduan citra dengan resolusi spasial lebih tinggi yaitu dengan citra ALOS AVNIR-2
tahun 2009. Cara penentuan sampel menggunakan 3 (tiga) tampilan citra sebagaimana
Gambar 4.8. Tampilan pertama adalah komposit 451 citra Landsat 5 TM tahun 2009,
tampilan kedua adalah hasil klasifikasi unsupervised ISODATA dan tampilan ketiga
adalah citra Alos AVNIR-2.
Gambar 4.7. Cara penentuan ROI sampel pada Landsat 7 ETM+ 2002 menggunakan 3 (tiga)
tampilan citra
64
beberapa sampel yang berjumlah kurang dari 100 piksel dikarenakan ukuran objek
tersebut relatif kecil.
Gambar 4.8. Cara penentuan ROI sampel pada Landsat 5 TM 2009 menggunakan 3 (tiga)
tampilan citra
65
Nilai indeks keterpisahan tersebut masih memenuhi standar yaitu ≥ 1 dan kedua kelas
tersebut juga nantinya akan digabungkan menjadi kelas penutup lahan yang sama yaitu
kelas tubuh air. Sedangkan pada Landsat 5 TM 2009 terjadi antara tanah terbuka kering
dan tanah terbuka agak kering sebesar 1.42265240. Kedua kelas tersebut juga nantinya
akan digabungkan menjadi kelas penutup lahan yang sama yaitu kelas vegetasi.
Gambar 4.9. ROI Sampel kelas spektral pada Landsat 7 ETM+ 2002 (kiri) dan Landsat 5 TM
2009 (kanan)
Gambar 4.10. Scatter plot Landsat 7 ETM+2002 (kiri) dan Landsat 5 TM 2009 (kanan)
66
didefinisikan pada sampel. Piksel yang memiliki probabilitas tertinggi selanjutnya
ditandai untuk menjadi suatu anggota kelas. Pada penelitian ini diasumsikan probabilitas
untuk setiap kelas adalah sama (Gao, 2010 dalam Danoedoro, 2012). Hasil klasifikasi
kelas spektral citra Landsat 7 ETM+ 2002 sebagaimana Gambar 4.11.a. dan hasil
klasifikasi kelas spektral Landsat 5 TM 2009 adalah sebagaimana Gambar 4.13.a.
(a) (b)
Gambar 4.11. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 7 ETM+
2002 dan (b) Hasil class merging dari (a) menghasilkan kelas penutup lahan
67
Lahan Terbangun Lahan Terbuka Tubuh Air Vegetasi
Gambar 4.12. Hasil filter mayoritas penutup lahan 2002 sebagai Peta Penutup Lahan 2002 tentatif
(a) (b)
Gambar 4.13. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 5 TM 2009
dan (b) Hasil class merging dari (a) menghasilkan kelas penutup lahan
Filter ini akan menghilangkan piksel-piksel yang relatif sedikit namun berada di
dalam banyak piksel lainnya yang homogen. Algoritma yang digunakan adalah
68
menggunakan moving window dengan lebar jendela 3 x 3. Hasil pemfilteran mayoritas
sebagaimana Gambar 4.12 berupa Peta Penutup Lahan Tentatif (sementara). Pada proses
filtering harus dilakukan pengendalian sehingga proses generalisasi tidak melebihi 10%
untuk setiap kelas penutup lahan.
Pada hasil pemfilteran mayoritas hasil klasifikasi pada citra tahun 2009, terdapat
beberapa objek yang terklasifikasi sebagai awan dan bayangan awan. Oleh karena itu
untuk memperbaiki hasil klasifikasi tersebut dilakukan analisis spasial dengan berdasar
luasan. Dengan analisis berdasar luasan disesuaikan dengan kondisi sebenarnya di citra,
selanjutnya kelas yang salah terklasifikasi sebagai awan diubah menjadi kelas tanah
terbuka mengingat kenampakan awan lebih mendekati kenampakan tanah terbuka yang
kering (berrona cerah). Sedangkan kelas yang salah terklasifikasi sebagai bayangan awan
diubah menjadi kelas tanah terbuka mengingat kenampakan bayangan awan lebih
mendekati kenampakan tanah terbuka yang basah (berrona gelap). Hasil analisis ini
menghasilkan penutup lahan tentatif (Gambar 4.14).
Hasil filter mayoritas penutup lahan 2009 Penutup Lahan 2009 tentatif
Gambar 4.14. Hasil filter mayoritas dan penutup lahan dan pada tahun 2009 (kiri) dan Hasil
editing kelas awan dan bayangan awan (kanan)
Peta Penutup Lahan ini bersifat sementara karena belum dilakukan uji
kebenarannya. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan uji akurasi yaitu dengan membuat
ROI uji akurasi. Dalam rangka uji akurasi, ROI dibuat berdasar citra dengan resolusi yang
lebih tinggi dan diusahakan pada tahun perekaman yang sama. Pembuatan ROI uji akurasi
69
dilakukan langsung terhadap penutup lahan maupun penggunaan lahan guna uji akurasi
terhadap penggunaan lahan nantinya pada tahap selanjutnya. ROI uji akurasi
menggunakan area dengan pertimbangan bahwa suatu penutup maupun penggunaan lahan
berdimensi area. Jumlah poligon ROI uji akurasi mempertimbangkan proporsi luasan
untuk masing-masing kelas dan tersebar merata. Distribusi penyebaran lokasi ROI uji
akurasi sebagaimana Gambar 4.15 ditampilkan dalam simbol titik dikarenakan skala peta
yang cukup kecil sehingga jika ditampilkan dalam simbol poligon tidak akan terlihat
jelas. Uji akurasi pada penutup lahan tentatif 2002 dilakukan dengan citra Google Earth
perekaman 7 November 2003 dan pada penutup lahan tentatif 2009 dilakukan dengan
citra Alos AVNIR-2 perekaman 20 Juni 2009 (Gambar 4.16).
Hasil uji akurasi menggunakan confusion matrix diperoleh hasil uji akurasi
kelas penutup lahan tahun 2002 sebesar 93.6615% dan Kappa Coefficient = 0.9095 dan
untuk kelas penutup lahan tahun 2009 sebesar 94.7401% dan Kappa Coefficient =
0.9231. Berdasar hasil uji akurasi tersebut maka hasil klasifikasi penutup lahan tentatif
dapat diterima dan menjadi Peta Penutup Lahan yang dapat digunakan untuk tahap
selanjutnya (Gambar 4.17 dan Gambar 4.18).
Gambar 4.15. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2002 pada citra Google Earth 2003
70
Gambar 4.16. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2009 pada citra ALOS AVNIR-2
2009
71
Gambar 4.17. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan tahun 2002
72
Gambar 4.18. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan Tahun 2009
73
Gambar 4.19. ROI Sampel kelas spektral dan Scatter plot-nya pada Landsat 8 OLI 2013
74
Lahan Terbangun Lahan Terbuka Tubuh Air Vegetasi
Awan Bayangan Awan
(a) (b)
Gambar 4.20. (a) Hasil klasifikasi kelas spektral dengan maximum likelihood Landsat 8 OLI 2013
dan (b) Hasil class merging dari a menghasilkan kelas penutup lahan
Awan Bayangan Awan Lahan Terbangun Lahan Terbuka Tubuh Air Vegetasi
Hasil filter mayoritas penutup lahan 2013 Penutup Lahan 2013 tentatif
Gambar 4.21. Hasil filter mayoritas dan penutup lahan dan pada tahun 2013 (kiri) dan Hasil
editing kelas awan dan bayangan awan (kanan)
75
Hasil uji akurasi menggunakan confusion matrix diperoleh hasil uji akurasi kelas
penutup lahan tahun 2013 sebesar 95.5582% dengan koefien Kappa 0.9253. Berdasar
hasil uji akurasi tersebut maka hasil klasifikasi penutup lahan tentatif dapat diterima dan
menjadi Peta Penutup Lahan 2013 yang dapat digunakan untuk tahap selanjutnya
(Gambar 4.25).
76
Gambar 4.23. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penutup lahan 2013 pada citra Google earth
berdasar hasil survei lapangan
drainase
relief Hillshade
struktur geologi
Gambar 4.24. Proses interpretasi bentuk lahan dan satuan bentuk lahan
77
Faktor yang mempengaruhi pembentukan bentuk lahan diantaranya adalah
struktur geologi atau material penyusunnya, relief dan proses pembentukan. Oleh karena
itu proses interpretasi secara visual menggunakan indikator relief, drainase serta struktur
geologi. Identifikasi drainase dan struktur geologi dilakukan melalui interpretasi visual
pada citra dalam hal ini digunakan citra Landsat 8 OLI 2013 dengan pertimbangan
kualitas citra tersebut lebih bagus dibanding citra lainnya karena memiliki resolusi
radiometrik lebih tinggi dibandingkan citra Landsat TM dan ETM+. Sedangkan informasi
tambahan berupa material penyusun berupa batuan didapatkan dari Peta Geologi skala 1:
100.000 lembar Yogyakarta dan Surakarta sebagai informasi tambahan dalam proses
deliniasi. Drainase terkait resistensi batuan dengan menggunakan kunci interpretasi rona,
pola dan tekstur. Selain itu untuk identifikasi relief digunakan bantuan hasil hillshade
(membentuk relief berbayang dengan mempertimbangkan sudut pencahayaan dan
bayangan) dari kontur RBI skala 1 : 25.000. Selanjutnya dilakukan proses deduksi
berdasar hasil identifikasi kenampakan-kenampakan tersebut menghasilkan kelas-kelas
bentuk lahan. Interpretasi bentuk lahan dilakukan pada citra Landsat 8 OLI 2013 dengan
komposit 5,6,7 (NIR, SWIR1, SWIR2) yang mana dapat menonjolkan variasi jenis batuan
dan reliefnya.
Klasifikasi bentuk lahan selanjutnya diturunkan ke satuan bentuk lahan untuk
memperoleh klasifikasi yang lebih rinci untuk memperoleh kesamaan sifat dan
perwatakannya dengan mempertimbangkan skema klasifikasi penggunaan lahan (Gambar
4.26). Hasil interpretasi sebagaimana Tabel 4.3 dan Gambar 4.26.
78
Gambar 4.25. Hasil Klasifikasi Penutup Lahan Tahun 2013
79
Tabel 4.3. Hasil interpretasi visual satuan bentuk lahan
No Bentuk lahan Asal Satuan Bentuk Lahan Keterangan
1 Struktural Gawir-sesar Kenampakan rona berwarna coklat
kekuningan dengan tekstur kasar, relief
tinggi dan tampak pula kelurusan-
kelurusan yang diindikasikan sebagai
struktur/patahan akibat aktivitas tektonik.
Litologi penyusun dari bentuk lahan ini
berupa batuan yang mempunyai resistensi
tinggi karena kenampakan tekstur yang
kasar dan relief yg tinggi.
2 Denudasional Perbukitan terisolir Kenampakan rona berwarna coklat
kekuningan dengan tekstur agak kasar,
relief sedang dan tampak berada tersendiri
terpisah mencolok dari kenampakan di
sekitarnya. Lebih dipengaruhi aktivitas
denudasional
3 Denudasional Perbukitan terkikis Rona kuning kebiruan dengan tekstur
sedang dan relief yang sedang. Biasanya
di dominasi oleh batuan/litologi yang
resistensi sedang dan umumnya
dipengaruhi oleh aktivitas denudasional
karena resistensi batuannya yg kurang
seperti batupasir dan gamping pasiran.
4 Fluvial Dataran aluvial Kenampakan relief relatif datar dan
tekstur agak halus. Material cenderung
dikontrol oleh proses sungai. Namun jika
dipandang secara posisi yang merupakan
kaki lereng merapi daerah ini juga
dipengaruhi oleh proses vulkanik. Jika
melihat keadaan sekarang tanpa
memandang proses geomorfologinya
maka area ini cenderung dikatakan
dataran aluvial.
5 Fluvial Dataran banjir Memiliki rona cerah dan terdapat di kanan
kiri aliran sungai. Merupakan dataran
yang terjadi akibat limpasan air sungai.
Material berupa lumpur dan pasir yang
biasanya terbentuk karena proses
sedimentasi.
Sumber : Pengolahan data, 2014
80
Citra Landsat 8 OLI 2013 komposit 567 Hasil hillshade dari kontur RBI skala 1 : 25.000
Overlay citra dengan hasil hillshade Satuan bentuk lahan hasil interpretasi visual
Gambar 4.26. Satuan bentuk lahan hasil interpretasi visual dari overlay citra landsat dengan
hillshade
Tabel 4.4. Skema hubungan klasifikasi penutup lahan dan satuan bentuk lahan untuk
menghasilkan klasifikasi Penggunaan Lahan
Penutup lahan
Lahan Lahan
Satuan Tubuh Air Vegetasi
Terbangun Terbuka
Bentuk lahan
dataran aluvial Permukiman Lahan pertanian Lahan pertanian Lahan pertanian
Danau/Tambak/ Danau/Tambak/ Danau/Tambak/ Danau/Tambak/
dataran banjir
Sungai Sungai Sungai Sungai
Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun
gawir-sesar Permukiman
Campuran Campuran Campuran
Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun
perbukitan terisolir Permukiman
Campuran Campuran Campuran
Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun Hutan dan Kebun
perbukitan terkikis Permukiman
Campuran Campuran Campuran
Sumber : Pengolahan data, 2014
81
Lahan terbangun Permukiman
Lahan Terbuka Lahan Pertanian
Tubuh Air Danau/Tambak/Su
Vegetasi Hutan dan Kebun Campuran
ngai
Gambar 4.27. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2002 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi (atas)
antara penutup lahan 2002 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah)
Karakteristik wilayah kajian pada bagian timur dimana bentuk lahan berupa
gawir-sesar dan perbukitan terisolir, mayoritas memiliki penutup lahan vegetasi berkayu
dan belukar yang termasuk dalam kategori hutan dan kebun campuran. Namun pada
wilayah ini yang mayoritas vegetasinya berkayu akan menggugurkan daunnya pada
musim kemarau dan semak belukar akan kering sehingga pada citra akan lebih nampak
sebagai tanah terbuka. Demikian juga terjadi pada wilayah bagian barat yang berupa
perbukitan terkikis.
Sedangkan pada bagian tengah wilayah kajian penggunaan lahan didominasi
oleh lahan pertanian dan permukiman. Pada bagian ini tidak terdapat hutan. Penutup
lahan berupa vegetasi umumnya berupa sawah yang termasuk dalam kategori lahan
pertanian. Vegetasi-vegetasi berkayu lebih banyak tersebar di dalam area permukiman
dan terklasifikasi sebagai penutup lahan lahan terbangun karena luas vegetasi kurang dari
1 piksel (30m) sehingga tercampur dengan bangunan. Tanah terbuka merupakan lahan
pertanian yang telah dipanen atau yang belum ditanami tanaman. Pada wilayah kajian
dilalui dua sungai yaitu Sungai Opak dan Sungai Oya. Satuan bentuk lahan dataran banjir
dimaksudkan untuk mendefinisikan penggunaan lahan sungai. Mengingat sungai
merupakan objek yang berbentuk linier dengan lebar yang relatif kecil dan pada citra
sering ditemukan tertutup objek lain misal vegetasi. Pada musim kemarau sungai
82
memiliki debit air yang lebih kecil sehingga pada pinggir-pinggir sungai kering dan
tampak sebagai tanah terbuka. Oleh karena itu semua jenis penutup lahan yang terdapat
dalam satuan bentuk lahan ini didefinisikan sebagai sungai.
Proses pembuatan Peta Penggunaan Lahan yang disusun dari Peta Penutup
Lahan dan Peta satuan Bentuk Lahan menggunakan Tool 2 Dimensional Tabel pada
perangkat lunak ILWIS. Hasil proses 2 Dimensional Tabel sebagaimana Gambar 4.27,
Gambar 4.28 dan Gambar 4.29.
Gambar 4.28. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2009 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi (atas)
antara penutup lahan 2009 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah)
83
Lahan terbangun Permukiman
Lahan Terbuka Lahan Pertanian
Tubuh Air Danau/Tambak/Sungai
Vegetasi Hutan dan Kebun Campuran
Awan Awan
Bayangan awan Bayangan awan
Gambar 4.29. Hasil klasifikasi penggunaan lahan 2013 (kanan) hasil dari tabel 2 dimensi (atas)
antara penutup lahan 2013 (kiri) dan satuan bentuk lahan (tengah)
Gambar 4.30. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2002 pada citra Google Earth
2003
Hasil uji akurasi menggunakan confusion matrix diperoleh hasil uji akurasi kelas
penggunaan lahan tahun 2009 sebesar 94.4272% dengan Kappa = 0.9128 dan hasil uji
akurasi kelas penggunaan lahan tahun 2013 overall accuracy sebesar 95.5582% dengan
84
Kappa 0.9227. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2002, 2009 dan 2013
sebagaimana Gambar 4.33, Gambar 4.34 dan Gambar 4.35.
Gambar 4.31. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2009 pada citra ALOS AVNIR-
2 2009
Gambar 4.32. Distribusi lokasi ROI uji akurasi penggunaan lahan 2013 pada citra Google earth
85
Gambar 4.33. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2002
86
Gambar 4.34. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2009
87
Gambar 4.35. Hasil klasifikasi penggunaan lahan tahun 2013
88
4.2.2. Sinkronisasi Hasil Klasifikasi Penggunaan Lahan
89
Sebagaimana ilustrasi Gambar 4.36 warna hijau untuk kelas hutan dan kebun
campuran, kuning : permukiman, coklat : lahan pertanian, biru : sungai, abu-abu : awan
dan hitam : latar belakang. Pada gambar nampak bahwa pada tahun 2009 dan 2013
terdapat awan dengan lokasi yang berbeda. Oleh karena itu dilakukan sinkronisasi pada
ketiga data tersebut dengan ilustrasi hasil sebagaimana Gambar 4.37.
Dari hasil penggabungan area yang berupa awan dan bayangan awan yang
terdapat pada Peta penggunaan lahan tahun 2009 dan 2013 diperoleh total area yang
berupa awan dan bayangan awan (warna putih) sebagaimana Gambar 4.38. Area tersebut
selanjutnya digunakan untuk memotong Peta penggunaan lahan tahun 2002, 2009 dan
2013 sehingga data pada ketiga tahun tersebut memiliki struktur yang sama. Hasil
sinkronisasi peta penggunaan lahan pada ketiga tahun tersebut sebagaimana Gambar 4.39
(ditunjukkan dengan warna hitam yang berarti tidak terdapat data/bernilai 0).
90
Gambar 4.38. Area awan dan bayangan awan gabungan tahun 2009 dan 2013
Gambar 4.39. Hasil sinkronisasi penggunaan lahan tahun 2002, 2009 dan 2013
91
Tabel 4.5. Matriks perubahan luas penggunaan lahan antara tahun 2002 dan 2009 dalam satuan
hektar
2009 Hutan dan
lahan Danau/Tambak/
permukiman Kebun Total t1 Losses
2002 pertanian Sungai
Campuran
permukiman 5.391,63 334,26 25,74 0,00 5.751,63 360,00
lahan pertanian 2.766,78 7.546,50 0,00 0,00 10.313,28 2.766,78
Hutan dan Kebun
Campuran 804,69 0,00 6.348,06 0,00 7.152,75 804,69
92
Gambar 4.40) dan lahan pertanian seluas 334,26 ha (Gambar 4.40) serta hutan dan kebun
campuran seluas 25,74 (Gambar 4.40).
Gambar 4.40. Grafik perubahan penggunaan lahan tahun 2002 dan 2009
Total perubahan bersih (net change) antara tahun 2002 dan 2009 untuk
penggunaan lahan pemukiman bertambah sebesar 3.211,47 ha (Gambar 4.41) dan lahan
pertanian berkurang sebesar 2.432,52 ha (Gambar 4.41) serta hutan dan kebun campuran
seluas 778,95 ha (Gambar 4.41). Sebaran perubahan peggunaan lahan sebagaimana
Gambar 4.42.
Gambar 4.41. Grafik luas perubahan penggunaan lahan antara tahun 2002 dan 2009 (dalam
hektar)
Gambar 4.42. Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002 ke tahun 2009
93
Sebagaimana Tabel 4.6 dan Gambar 4.43 menunjukkan perubahan penggunaan
lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman terbesar terjadi di Kecamatan
Banguntapan (717,97 ha) dimana sebagian besar wilayahnya berada di pinggiran kota
Yogyakarta. Selain itu perubahan yang cukup besar juga terjadi di Kecamatan Sewon,
Kasihan, Jetis dan Bantul. Hal ini wajar terjadi mengingat lokasi Kecamatan
Banguntapan, Sewon dan Kasihan yang berbatasan langsung dengan wilayah Kota
Yogyakarta. Sehingga pertumbuhan permukiman meluber ke daerah pinggiran Kota
Yogyakarta. Kecamatan Bantul juga mengalami perubahan penggunaan lahan ke
permukiman yang cukup besar sebagai ibukota Kabupaten Bantul yang semakin
berkembang. Perubahan penggunaan lahan dari hutan dan kebun campuran ke
permukiman terjadi cukup besar pada Kecamatan Kasihan (211,55 ha) dan Imogiri
(361,02ha). Kecamatan Kasihan berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta dan
meskipun memiliki topografi berbukit pertumbuhan permukiman di wilayah tersebut
relatif besar. Kecamatan Imogiri memiliki penggunaan lahan hutan dan kebun campuran
yang luas cukup wajar bila terjadi perubahan yang terbesar dibanding kecamatan lainnya.
Tabel 4.6. Luas perubahan penggunaan lahan per kecamatan (dalam ha)
Barubah dari
Berubah dari
Luas Hutan dan
No. Kecamatan lahan pertanian ke Prosentase Prosentase
wilayah kebun campuran
permukiman
ke permukiman
1. Bantul 2.195 200,90 9,15% 7,31 0,33%
2. Jetis 2.447 283,25 11,58% 34,89 1,43%
3. Imogiri 5.449 209,78 3,85% 361,02 6,63%
4. Pleret 2.297 176,13 7,67% 94,68 4,12%
5. Piyungan 3.254 301,56 9,27% 95,00 2,92%
6. Banguntapan 2.848 717,97 25,21% 0,18 0,01%
7. Sewon 2.716 465,78 17,15% 0,05 0,00%
8. Kasihan 3.238 411,41 12,71% 211,55 6,53%
Jumlah 24.444 2.766,80 11,31% 804,69 3,29%
Sumber : Pengolahan data, 2014
94
Luas Perubahan Penggunaan Lahan ke Permukiman (dalam ha)
800
700
600
500
400
300
200
100
0
Bantul Jetis Imogiri Pleret Piyungan Banguntapan Sewon Kasihan
Gambar 4.43. Grafik perubahan penggunaan lahan per kecamatan (dalam hektar)
95
perubahan. Dalam penelitian ini varibel perubahan dipilih berdasar pada dugaan awal (a
priori) dengan berdasar pada pengetahuan lokal terhadap daerah kajian serta
pertimbangan dari berbagai studi literatur. Faktor-faktor tersebut selanjutnya disebut
sebagai variabel perubahan. Variabel ini meliputi variabel yang bersifat memacu
terjadinya perubahan maupun yang bersifat menghambat. Variabel perubahan yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi kepadatan jaringan jalan, jarak terhadap jalan,
kemiringan lereng dan jarak terhadap sungai. Selain itu juga digunakan Peta perubahan
penggunaan lahan ke permukiman sebagai nilai kemungkinan terjadinya perubahan dari
penggunaan selain permukiman menjadi kelas permukiman.
96
Gambar 4.44. Ilustrasi perhitungan kepadatan garis (line density)
Penelitian ini menyusun variabel perubahan berupa peta kepadatan jaringan jalan
dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10. Tool yang digunakan adalah kernel
97
density . Mengingat perhitungan kepadatan mengacu pada satuan ukuran jarak dan luas
maka perlu diperhatikan sistem koordinat peta yang digunakan. Sistem koordinat peta
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Universal Transverse Mercator (UTM)
dengan satuan ukuran meter. Ukuran sel/grid yang dihasilkan adalah 30 x 30 m
menyesuaikan resolusi spasial citra satelit yang digunakan dalam pemodelan. Sedangkan
radius yang digunakan adalah 500 m dengan asumsi bahwa kepadatan nilai kepadatan
memiliki satuan jarak per luasan misal meter per meter persegi (m/m 2). Untuk kepadatan
jaringan jalan yang bersumber dari peta RBI, maka jaringan jalan yang digunakan adalah
kelas jalan nasional, provinsi, lokal dan lainnya digabung menjadi satu. Hal ini
mempertimbangkan bahwa kepadatan dianalisis berdasar keberadaan jalan yaitu ada
tidaknya jalan pada suatu lokasi tanpa mempertimbangkan kelas jalan. Proses analisis
kepadatan jaringan jalan sebagaimana Gambar 4.46. Simbolisasi kepadatan menggunakan
gradasi warna mengingat data kepadatan berupa data kontinyu. Semakin banyak jaringan
jalan yang terdapat di sekitar suatu sel maka nilai sel tersebut semakin tinggi disimbolkan
dengan warna merah dan semakin jarang jaringan jalan yang terdapat di sekitar suatu sel
atau bahkan tidak ada maka nilai sel tersebut semakin rendah disimbolkan dengan warna
semakin hijau (Gambar 4.47).
Gambar 4.46. Jaringan jalan dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan hasil
kepadatan jaringan jalan dengan kernel density
98
Gambar 4.47. Kepadatan jaringan jalan
Perhitungan jarak dapat dianalisis melalui perhitungan jarak lurus dari objek
(euclidean distance). Euclidean distance antara dua titik yang memiliki koordinat (x,y)
dan (a,b) dapat dihitung dengan formula :
dist((x, y), (a, b)) = √(x - a)² + (y - b)²
Formula ini mengacu pada teorema pythagoras. Euclidean distance pada data
raster dihitung dari pusat sel sumber ke pusat dari masing-masing sel-sel di sekitarnya.
Perhitungan jarak adalah menggunakan jarak terpendek dengan pusat sel sumber.
Perhitungan euclidean distance merupakan perhitungan jarak sebenarnya dari suatu pusat
sel ke sel lainnya. Perhitungan jarak selain menggunakan jarak sebenarnya juga dapat
memperhitungkan jarak berdasar biaya perjalanan yaitu dengan perhitungan cost distance.
Fungsi jarak pada cost distance tidak berdasar pada satuan unit geografis melainkan
berdasar atas satuan biaya. Oleh karena itu perlu disusun peta unit biaya (cost raster)
untuk melakukan perhitungan cost distance. Cost raster merupakan suatu peta satuan unit
99
biaya yang didasarkan pada analisa kondisi wilayah. Cost raster dibuat dengan
menggunakan peta penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Hal ini berdasar atas
pertimbangan bahwa dalam pembangunan jalan sangat dipengaruhi oleh faktor
kemiringan lereng dan penggunaan lahan terkait dalam hal biaya. Mengingat perhitungan
jarak terhadap jalan akan digunakan dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan dan
mengikutsertakan faktor kemiringan lereng juga maka perhitungan cost distance tidak
digunakan.
Gambar 4.48. Jaringan jalan dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan hasil
perhitungan jarak terhadap jalan dengan Euclidean distance
Proses analisis jarak terhadap jalan sebagaimana Gambar 4.48. Simbolisasi jarak
terhadap jalan menggunakan gradasi warna mengingat data berupa data kontinyu.
Semakin jauh terhadap jaringan jalan yang terdapat di sekitar suatu sel maka nilai sel
tersebut semakin tinggi disimbolkan dengan warna merah dan semakin dekat dengan
jaringan jalan yang terdapat di sekitar suatu sel atau bahkan tidak ada maka nilai sel
tersebut semakin rendah disimbolkan dengan warna semakin hijau (Gambar 4.49).
100
Gambar 4.49. Jarak terhadap jalan
101
Kemiringan lereng dihitung dengan rumus pada ilustrasi di bawah. Besar
kemiringan lereng ditentukan oleh nilai dari 8 tetangganya. Rumus yang digunakan dalam
perhitungan mengacu pada Longley, 2005 dimana z adalah nilai ketinggian pada tiap sel,
dan D adalah dimensi piksel.
Contoh :
dz/dx = (c+2f+i-a-2d-g) / 8*30
dz/dy = (a+2b+c-g-2h-i) / 8*30
Penelitian ini menyusun variabel perubahan berupa peta kemiringan lereng
dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10. Ukuran sel/grid yang dihasilkan
adalah 30 x 30 m menyesuaikan resolusi spasial citra satelit yang digunakan dalam
pemodelan. Kemiringan lereng dihasilkan dari kontur Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 :
25.000 tahun 2000. Semakin rapat interval antar garis kontur maka semakin besar
perbedaan ketinggian yang berarti semakin curam kemiringan lerengnya. Mengingat data
kontur berupa data diskret untuk itu perlu dilakukan perubahan menjadi data kontinyu.
Proses yang dilakukan antara lain dengan melakukan interpolasi dari kontur yang ada
dengan menggunakan Triangular Irregular Network (TIN) untuk membentuk permukaan
ketinggian (Gambar 4.50). TIN membentuk permukaan ketinggian dengan jaring-jaring
segitiga dengan mengacu pada algoritma triangulasi delauny. Untuk memperoleh hasil
interpolasi yang baik maka proses interpolasi dilakukan dengan menggunakan area yang
lebih luas daripada lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan semakin banyak data yang
digunakan maka proses interpolasi semakin baik. Jadi pemotongan wilayah berdasar
lokasi penelitian dilakukan setelah perhitungan kemiringan lereng dilakukan. Permukaan
ketinggian yang dihasilkan berbentuk vektor sehingga perlu dikonversi ke data raster.
Selanjutnya dilakukan perhitungan kemiringan lereng (slope).
102
Gambar 4.50. Kontur Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan hasil interpolasi
dengan TIN berupa vektor (kanan)
Gambar 4.51. Hasil interpolasi TIN berupa raster (kiri) dan hasil perhitungan kemiringan lereng
(kanan)
103
Oleh karena itu jarak terhadap sungai dipilih sebagai faktor yang mempengaruhi
terjadinya perubahan penggunaan lahan dimana dalam hal ini menghambat terjadinya
perubahan. Perhitungan jarak terhadap sungai menggunakan eucledian distance
sebagaimana jarak terhadap jalan. Jaringan sungai yang digunakan dalam analisis ini
hanya menggunakan jaringan sungai yang cukup besar yaitu Sungai Opak dan Sungai
Proses analisis jarak terhadap sungai sebagaimana Gambar 4.52. Simbolisasi
jarak terhadap sungai menggunakan gradasi warna mengingat data berupa data kontinyu.
Semakin jauh terhadap jaringan sungai yang terdapat di sekitar suatu sel maka nilai sel
tersebut semakin tinggi disimbolkan dengan warna merah dan semakin dekat dengan
jaringan sungai yang terdapat di sekitar suatu sel atau bahkan tidak ada maka nilai sel
tersebut semakin rendah disimbolkan dengan warna semakin hijau (Gambar 4.53).
Gambar 4.52. Jaringan sungai besar dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000 (kiri) dan
hasil perhitungan jarak terhadap sungai dengan Euclidean distance
104
4.4.1.5. Perubahan Penggunaan Lahan ke Permukiman
Peta perubahan penggunaan lahan ke permukiman 2002-2009 sebagai nilai
terjadinya transformasi dari penggunaan lain menjadi kelas permukiman. Peta perubahan
penggunaan lahan ke permukiman 2002-2009 sebagaimana Gambar 4.54 berupa data
kategori (kualitatif). Untuk memperoleh sebaran perubahan penggunaan lahan lain
menjadi penggunaan lahan permukiman, peta ini perlu digunakan dalam input pemodelan.
Untuk merubah data kualitatif menjadi data kuantitatif perlu dilakukan transformasi
evidence likelihood. Transformasi ini berdasar pada frekuensi relatif penggunaan lahan
yang berbeda dalam area perubahan antara tahun 2002-2009 terhadap penggunaan lahan
tahun 2002. Angka hasil transformasi menunjukkan kemungkinan menemukan tutupan
lahan pada piksel tersebut jika daerah tersebut akan mengalami transisi. Hasil
transformasi sebagaimana Gambar 4.55.
105
Gambar 4.55. Hasil transformasi peta perubahan penggunaan lahan ke permukiman
106
tanpa diketahui sebelumnya hubungan antara variabel-variabel tersebut. Hasil normalisasi
masing-masing variabel perubahan sebagaimana Gambar 4.57.
107
Kepadatan jaringan jalan Jarak terhadap jalan
108
Gambar 4.58. MLP untuk penentuan potensial transisi
Gambar 4.59. Hasil simulasi MLP dengan accuracy rate MLP sebesar 73,44%
109
8941 piksel (kelas hutan dan kebun campuran menjadi permukiman). Setengah dari
jumlah tersebut digunakan untuk proses pelatihan dan setengahnya lagi untuk pengujian.
Adapun parameter MLP yang digunakan antara lain menggunakan learning rate
antara 0.001, momentum factor 0.5, sigmoid constant a 1 dan iteration 10000. Pada
proses simulasi dilakukan berulang kali dengan mengubah learning rate dan jumlah
iterasi atas pertimbangan dari berbagai penelitian kedua parameter ini cukup signifikan
berpengaruh terhadap hasil RMS eror. Semakin kecil nilai RMSeror maka semakin besar
nilai accuracy rate. Berdasar proses MLP menggunakan semua variabel perubahan
dihasilkan accuracy rate MLP sebesar 73,44% (Gambar 4.59).
Selanjutnya Output yang dihasilkan dari model ini adalah Peta Potensi
Perubahan (Peta Potential Transition/PPT) yang memiliki nilai peluang antara 0-1,
dimana semakin mendekati 1 maka lokasi tersebut memiliki peluang yang tinggi untuk
berubah menjadi penggunaan lahan lain sebagaimana 0. PPT ini meliputi perubahan dari
kelas yang dimodelkan yaitu dari lahan pertanian ke permukiman dan dari hutan dan
kebun campuran ke permukiman. PPT dari lahan pertanian ke permukiman sebesar 0 - 94
dan dari hutan dan kebun campuran ke permukiman sebesar 0 – 0,95.
Gambar 4.60. PPT dari lahan pertanian dan hutan dan kebun campuran ke permukiman
110
4.4.2. Tahap Area Transisi
111
dimana xt adalah vektor baris dari 1 ke n untuk masing-masing kategori pada waktu t,
dimana n adalah jumlah kategori kelas penggunaan lahan, c adalah tahun antara t awal
dengan tahun observasi selanjutnya dan A adalah matriks n kali n dimana setiap elemen
aij adalah probabilitas kategori j pada saat t+c dari kategori i pada saat t. expm adalah
matriks eksponensial dan logm adalah logaritma matriks. Matriks A dapat diturunkan
menjadi matriks B sebagai matriks tahunan. Matriks A diperoleh dari metode MC. Selain
itu dapat juga digunakan persamaan Sandoval et. al.. (2007) dalam Takada, et. al.2010.
dimana λi adalah nilai eigenvalue i pada matriks A dan ui adalah eigenvector yang sesuai
(n ke i dari vektor kolom). Formula ini berasal dari teori proses stokastik dan bersyarat
bahwa jika matriks n ke n memiliki nilai eigen yang berbeda dan mereka semua tidak
sama dengan nol maka matriks transisi tahunan menggunakan dua formula di atas.
Dengan persamaan di atas jika kita memiliki matriks n x n dan rentang waktu
selama k tahun maka akan diperoleh solusi sebanyak k n termasuk matriks dengan nilai
negatif. Nilai pada matriks harus riil dan berada pada nilai 0 – 1 sehingga mattriks yang
tidak memenuhi ketentuan tersebut tidak akan digunakan. Pada penelitian ini akan
diperoleh 74 = 2041 matriks. Selanjutnya matriks tersebut dipilih yang memenuhi syarat
dan diuji dengan melakukan perhitungan nilai probabilitas terhadap luasan perubahan
yang terjadi. Hasil akhir perhitungan sebagai contoh untuk kelas permukiman
sebagaimana Tabel 4.9.
Prediksi akan dilakukan pada tahun 2013 sehingga matriks area transisi tahun
2013 hasil perhitungan sebagaimana Gambar 4.61. Terlihat bahwa terdapat probabilitas
pada kelas permukiman ke lahan pertanian dan hutan dan kebun campuran, secara logis
112
hal ini tidak terjadi oleh karena itu dilakukan editing pada matriks tersebut. MAT ini lah
yang digunakan untuk memprediksi luas perubahan pada tahun prediksi 2013.
Tabel 4.9. Nilai probabilitas area transisi kelas penggunaan lahan permukiman per tahun
Berubah ke Berubah ke hutan Berubah ke
Permukiman
Tahun lahan dan kebun Danau/Tambak/
(Bertahan)
pertanian campuran Sungai
2009 1 0 0 0
2010 0.9847 0,0145 0,0008 0
2011 0,9761 0,0224 0,0015 0
2012 0,9678 0,0301 0,0021 0 Sesuai baris pertama pada
2013 0,9598 0,0375 0,0027 0 MAT Gambar 4.61
2014 0,9521 0,0446 0,0033 0
2015 0,9446 0,0515 0,0039 0 Sama dengan probabilitas
2016 0,9374 0,0581 0,0045 0 tahun 2009 terhadap tahun
Sumber : Pengolahan data, 2014 2002 (hasil MC)
Setelah diperoleh lokasi atau posisi piksel yang memiliki probabilitas yaitu
berupa Peta Potensial Transisi (PPT) dan luas perubahan berupa Matriks Area Transisi
(MAT) dilakukan proses alokasi. Alokasi ini menggunakan prosedur alokasi lahan secara
kompetitif dengan algoritma seperti MOLA (Multi Objective Land Allocation). Metode
ini merupakan metode sejenis Multi Objective Land Alocation (MOLA) yaitu metode
analisis multi-tujuan untuk alokasi lahan serta mengatasi terjadinya konflik antar banyak
tujuan. Alokasi Spasial Probabilitas Transisi (ASPT) mengalokasikan lahan untuk
masing-masing kategori dengan menggunakan Peta Potensial Transisi dari masing-
masing perubahan. Hasil prediksi disesuaikan dengan hasil PPT setiap simulasi. Hasil
alokasi ini berupa peta prediksi sebagaimana Gambar 4.62 dan untuk lebih detilnya
sebagaimana Gambar 4.64.
113
Gambar 4.62. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013
4.4.4. Validasi
Gambar 4.63. Prediksi penggunaan lahan tahun 2013 (kiri) dan penggunaan lahan tahun 2013
(kanan)
114
Gambar 4.64. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013
115
Dari hasil cross tabulation dihasilkan matriks perbedaan antara kedua peta
tersebut dan selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menghitung akurasi hasil prediksi
tersebut dengan menggunakan confusion matrix sebagaimana Tabel 4.10. Berdasarkan
perhitungan dari matriks tersebut diperoleh Overall Accuracy sebesar 86,16 % dengan
Kappa sebesar 0,79 (substantial agreement).
Tabel 4.10. Crosstabulation antara peta penggunaan lahan hasil prediksi tahun 2013 dengan peta
penggunaan lahan tahun 2013
Peta Penggunaan Lahan 2013
Hutan dan Total
Lahan Danau/Tambak/
Permukiman Kebun
Pertanian Sungai
Campuran
Peta Prediksi Penggunaan
Lahan
Lahan 2013
116
sekitar 0,30. Hasil proses MLP ini memberi kontribusi terhadap hasil akurasi prediksi.
Selain itu rentang tahun yang berbeda antara data penggunaan lahan 2002-2009 (7 tahun)
dengan tahun prediksi 2009 ke 2013 (4 tahun) terkait prediksi luas perubahan dengan MC
modifikasi juga menyebabkan hasil akurasi prediksi tidak tinggi. Berdasar pemodelan
dengan kombinasi MLP dan MC modifikasi ini, diperoleh Overall Accuracy sebesar
86,16 % dengan Kappa sebesar 0,79 (substantial agreement). Tingkat akurasi hasil
prediksi tidak selalu berbanding lurus atau berbanding terbalik dengan akurasi proses
regresi dengan MLP. Accuracy rate MLP yang tinggi tidak menjamin hasil prediksi
memiliki akurasi yang tinggi juga meskipun hasil MC selalu tetap. Hal ini disebabkan
karena adanya tahap alokasi lahan. Akurasi proses prediksi merupakan hasil kombinasi
dari ketiga tahap tersebut.
Gambar 4.65. Validasi terhadap penggunaan lahan tahun 2009, hasil prediksi tahun 2013 dan
penggunaan lahan tahun 2013
Hasil pemodelan dengan tingkat akurasi hasil sebesar 86,16% tersebut selanjutnya
diterapkan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2016. Hasil Prediksi Penggunaan
Lahan 2016 adalah sebagaimana Gambar 4.66 . Berdasar hasil prediksi luas penggunaan
lahan pertanian yang berubah menjadi permukiman adalah seluas 2.114,37 ha terhadap
penggunaan lahan tahun 2009 dan perubahan penggunaan lahan hutan dan kebun
campuran menjadi lahan pertanian seluas 717,03 ha.
117
Gambar 4.66. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2016
118
Gambar 4.68. Hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2016
119
Tabel 4.11. Mean variabel perubahan pada setiap periode
Mean Jarak Mean Kepadatan Mean Jarak
No. Periode Mean slope
terhadap jalan jaringan jalan terhadap sungai
1 2002-2009 40,66 % 400,75 m 16 m/km2 3311,24 m
2 2009-2013 46,52 % 431,89 m 15,03m/km2 2849,46 m
Sumber: Pengolahan data, 2014
120
Hubungan Pertumbuhan Permukiman terhadap Jarak ke Jalan
2000
121
Hubungan Pertumbuhan Permukiman terhadap Kemiringan
Lereng
400
300
200
100
0
0 20 40 60 80 100 120
Kemiringan Lereng (%)
500
400
300
200
100
0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
Jarak terhadap Sungai (m)
Periode 2002-2009 Periode 2009-2013
122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
Berdasar pada hasil penelitian maka saran yang dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya adalah :
1. Pada proses klasifikasi penutup lahan penentuan skema klasifikasi penutup
lahan sebaiknya dapat diperinci sehingga dapat menghasilkan kelas
penggunaan lahan yang bervariasi pada setiap satuan bentuk lahan sebagai
contoh kelas penutup lahan vegetasi dan lahan terbuka dapat diperinci
123
sehingga pada satuan bentuk lahan gawir-sesar, perbukitan terkikis dan
perbukitan terisolir dapat dibedakan penggunaan lahan antara kelas lahan
pertanian dengan kelas hutan dan kebun campuran.
2. Pada penentuan variabel perubahan yang digunakan dalam penelitian perlu
dipertimbangkan karakteristik wilayah kajian karena setiap wilayah
memiliki pola perubahan penggunaan lahan yang berbeda-beda sesuai
karakter wilayahnya sehingga dapat meningkatkan akurasi pemodelan
perubahan penggunaan lahan.
3. Setiap perubahan dari satu penggunaan lahan ke penggunaan lahan lainnya
dipengaruhi faktor-faktor (variabel perubahan) yang tidak sama. Oleh karena
itu perlu dilakukan uji akurasi pemodelan menggunakan MLP dengan
menggunakan variabel perubahan yang berbeda tergantung jenis perubahan
kelas penggunaan lahannya.
4. Hasil uji akurasi pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan
menggunakan kombinasi MLP dan MC perlu dibandingkan dengan metode
pemodelan lainnya.
124
DAFTAR PUSTAKA
125
Muller M.R. and Middleton J., (1994), “A Markov model of land-use change dynamics in
the Niagara Region, Ontario, Canada”. Journal Landscape Ecology 9, 151-157.
Omrani, H., Charif, O., Gerber, P., Bodis, K., Basse, R.M. (2012). “Simulation of land
use changes using cellular automata and artificial neural network”.
CEPS/INSTEAD Working Papers.
Ottenbacher, K.J., Linn, R.T., Smith, P.M., Illig, S.B., Mancuso, M., Granger,C.V. (2004)
Comparison of Logistic Regression and Neural Network Analysis Applied to
Predicting Living Setting after Hip Fracture. Annals of Epidemiology, Volume
14, Issue 8, September 2004, Pages 551-559.
Paramita, B. (2010). “Model Cellular Automata untuk kajian perkembangan wilayah
menggunakan data penginderaan Jauh (studi kasus : Kawasan Perkotaan
Kedungsepur)”. Tesis. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pimenta, P., Coelho, A., Costa, S., Moreira, E., Aguiar, A.P., Camara, G., Araujo, R.,
Riberio, A. (2008). “Land change modeling and institutional factors:
heterogeneous rules of territory use in the Brazilian Amazonia”. Papers.
Departamento de Informática, Universidade Federal do Pará (UFPA), Belém. PA
Romano, S., Cozzi, M., Giglio, P., Catullo, G. (2013). “Post-2013 EU Common
Agricultural Policy: predictive models of land use change”. Firenze University
Press. Italy
Stefanowski J., (2010). “Artificial Neural Networks –Basics of MLP, RBF and Kohonen
Networks”. Institute of Computing Science. Politechnika Poznanska.
Samudra, (2007). “Kajian kemampuan metode jaringan syaraf tiruan untuk klasifikasi
penutup lahan dengan menggunakan Citra Aster. Tesis. Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Susilo B., (2008). “Model SIG-Binary Logistic Regression untuk Prediksi Perubahan
Penggunaan Lahan (Studi Kasus di Daerah Pinggiran Kota Yogyakarta)”. Tesis.
Institut Teknologi Bandung. Bandung
Takada, T., Miyamoto, A., Hasegawa, S.F. (2010). “Derivation of yearly transition
probability matrix for land-use dynamics and its applications”. Research Paper.
Landscape Ecol (2010) 25:561–572. Springer.
Tasha, K., (2012). “Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan
Artificial Neural Network (Studi Kasus: Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau)”.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Thomas, R. W. and Huggett, R.J. (1980). “Modelling in Geography: A Mathematical
Approach”. Totowa, NJ: Barnes and Noble books, p.3-10.
Trisasongko, D. R. Panuju, L.S. Iman, Harimurti, A. F. Ramly, V. Anjani dan H. Subroto
(2009). “Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek”.
Publikasi Teknis DATIN. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta
Tu, J.V., (1996). “Advantages and disadvantages of using artificial neural networks
versus logistic regression for predicting medical outcomes”. Journal of Clinical
Epidemiology, Volume 49, Issue 11, November 1996, Pages 1225-1231.
Uktoro, A.I., (2013), “Membangun Model Sawah Lestari Dan Model Prediksi
Perubahannya Menggunakan Cellular Automata Di Kabupaten Klaten Provinsi
Jawa Tengah”. Tesis. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
126
Wijaya, M. dan Susilo, B., (2013). “Monitoring Perkembangan Lahan Terbangun di Kota
Salatiga Menggunakan Model Cellular Automata dan Regresi Logistik Biner”.
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013 ISBN 978-979-
98521-4-4.
Xin Y., Xin-Qi, Z., Li-Na, L. (2012). “A spatiotemporal model of land use change based
on ant colony optimization, Markov chain and cellular automata”. Ecological
Modelling 233 (2012) 11– 19.
Xu X., Zhang J., Zhou X., (2008). “Modeling urban land use changes in Lanzhou based
on artificial, neural network and cellular automata”. Proceedings of SPIE, Vol.
7143, pp. 71431A-71431A-10.
Ye, B. And Bai, Z., (2008), “Simulating Land Use/Cover Changes on Nenjiang County
Based on CA-Markov Model”. In IFIP International Federation For Information
Processing, Volume 258; OF NENJIANG COUNTY BASED Pp. 321–329.
Computer And Computing Technologies In Agriculture, Vol. 1; Daoliang Li;
(Boston: Springer)
Yeh A.G.O, Li X., (2002). “Urban Simulation Using Neural Networks and Cellular
Automata for Land Use Planning”. Symposium on Geospatial Theory,
Processing & Application, Ottawa.
127
LAMPIRAN
128
Lampiran 3. Matriks Kesalahan Penutup Lahan Tahun 2013
Hutan dan
Lapangan Lahan Danau/Tambak/ ∑ Producer's User’s
Permukiman Kebun
Klasifikasi pertanian Sungai Baris accuracy Accuracy
Campuran
Permukiman 487 8 0 2 497 90,69% 97,99%
129
Lampiran 5. Matriks Kesalahan Penggunaan Lahan Tahun 2009
Hutan dan
Lapangan Lahan Danau/Tambak/ ∑ Producer's User’s
Permukiman Kebun
Klasifikasi pertanian Sungai Baris accuracy Accuracy
Campuran
Permukiman 384 15 9 0 408 97,22% 94,12%
Hutan dan
Lapangan Lahan Danau/Tambak/ ∑ Producer's User’s
Permukiman Kebun
Klasifikasi pertanian Sungai Baris accuracy Accuracy
Campuran
Permukiman 312 28 2 0 342 98,11% 91,23%
130
Lampiran 7. Report Model MLP
Land Change Modeler MLP Model Results
(Created: 20-Oct-14 9:49:09 PM)
131
2) Weights between Hidden Layer Neurons and Output Layer Neurons
Neuron o-Neuron 1 o-Neuron 2 o-Neuron 3 o-Neuron 4
h-Neuron 1 -6.7311 -4.0836 1.2228 2.5467
h-Neuron 2 4.2191 -7.2625 4.1297 -12.1861
h-Neuron 3 -5.9606 4.9467 -2.4455 -1.7428
h-Neuron 4 -4.3363 -1.2907 -5.8052 2.7679
h-Neuron 5 0.3160 6.8329 -10.1247 -3.1313
132