Anda di halaman 1dari 104

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

TESIS

RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP


KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan
Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

MUHAMMAD ERWIN
NIM. 071214453011

PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014

TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP... MUHAMMAD ERWIN


RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP
KORPORASI: Kekerasan Massa Dalam Aksi Penolakan
Izin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

TESIS
Untuk Memperoleh Gelar
Magister Dalam Program Studi
Ilmu Politik
Pada Program Magister Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

Oleh :

Muhammad Erwin
071214453011

PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014
HALAMAN PERSETUJUAN

PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL : 7 JULI 2014

Oleh :
Pembimbing Ketua

Dr. Siti Aminah, MA


NIP.1965502241989003200
2

Pembimbing Kedua

Drs. Aribowo, MS
NIP.19580801198502100
2

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

Prof. Dr. Budi Prasetyo,


M.Si
NIP.196507191990031002
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah Diuji Oleh Panitia Penguji Tesis Sidang Terbuka


Tanggal 21 Juli 2014

PANITIA PENGUJI

Tanda Tangan

Ketua : Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si (................................)

Anggota:

1. Dr. Kris Nugroho, M.Si (.................................)

2. Dr. Siti Aminah, MA (.................................)

3. Drs. Aribowo, MS (.................................)


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS TIDAK MELAKUKAN

PLAGIAT

Dengan ini saya, Muhammad Erwin, menyatakan bahwa karya ilmiah tesis

ini adalah hasil karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan

sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana (S1) ataupun

Magister (S2) dari Universitas Airlangga ataupun Perguruan Tinggi lain.

Semua informasi yang terdapat di dalam karya ilmiah ini yang berasal dari

penulis lain baik yang dipublikasikan maupun tidak, telah diberikan penghargaan

dengan mengutip nama sumber kutipan penulis secara benar, dituliskan dengan

format kutipan dalam isi penulisan proposal tesis dan penulisan tesis. Semua isi

dari karya ilmiah atau tesis ini sepenuhnya asli dan menjadi tanggung jawab saya

sebagai penulis.

Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas

Airlangga.

Surabaya, 16 Juli 2014

(Muhammad Erwin)
UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah yang amat mendalam kepada Illahi Robbi, tuhan semesta

alam atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya dan Rosulku pembuka umat

yang menjadi pelita hidup.

Segala kesulitan, kelelahan dan kebanggaan tugas akhir ini kuhaturkan untuk

mereka yang begitu sangat memberi arti dalam perjalanan hidupku serta pihak-

pihak disekitar saya yang turut memberikan sumbangsih dukungan baik materil

maupun moral, pemikiran, akses informasi, saran/kritik, serta kerjasamanya yang

telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini, antara lain :

 Kepada Pembimbing I, Dr. Siti Aminah, MA. Penulis tuturkan penghargaan,

penghormatan serta ucapan terima kasih sebesar-besarnya, oleh karena telah

sabar membimbing, mengarahkan saya dalam penyelesaian tesis ini. Pada

waktu sibuk pun Beliau sempatkan membalas SMS sejenak untuk sekedar

memberikan informasi mengenai waktu tenggang untuk bisa konsultasi

bimbingan. Dalam proses bimbingan pun masih cukup mudah memberikan

arahan-arahan solusi perbaikan tesis ini untuk melengkapi data tesis ini.

 Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih, juga penulis

sampaikan kepada Pembimbing II, Drs. Aribowo, MS. Walaupun penuh

dengan kesibukannya sebagai Dekan Fkultas Ilmu Budaya (FIB), Beliau

masih bisa menyempatkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan

penulis dengan baik demi penyelesaian Tesis ini.

 Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Ketua

Program Studi Magister Ilmu Politik yang sekaligus merupakan ketua tim
penguji Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si yang telah mendampingi saya

selama menimba ilmu di kampus tercinta ini.

 Tak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada

Dr. Kris Nugroho, MA. Selaku anggota tim penguji tesis. Beliau telah

turut mewarnai tulisan ini dengan saran dan kritik yang bersifat

konstruktif.

 Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh struktur universitas

Airlangga, terutama Staf Pengajar S2 Ilmu Politik. Kepada Rektor

Universitas Airlangga Dr. H. Fasich, APT. Dekan Fakultas FISIP

Universitas Airlangga Dr. I Basis Susilo, MA. Dan seluruh staff pengajar

Magister (S2) Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Ramlan Surbakti,

Drs, MA, Ph.D. prof. Kacung Marijan, Drs, MA, Ph.D. Drs. Priyatmoko

MA, Dr. Dwi Windyastuti, MA, Prof. Dr. Budi Prasetyo, M.Si, Dr. Kris

Nugroho, MA, Drs. Haryadi MA, Drs. Wisnu Pramutanto, M.Si, Dr. Siti

Aminah, MA, Drs. Sutrisno, MS, Drs. Aribowo, MS, serta seluruh staf

administrasiilmu politik yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima

kasih yang sedalam-dalamnya untuk mbak Hilda dan mas Tino orang yang

paling sabar yang pernah saya temui, semoga kesabaran mas dalam

melayani kami menjadi amal kelak di kemudian hari.

 Kepada seluruh sahabat-sahabatku program Pasca Sarjana Ilmu Politik

angkatan 2012 dan 2013 yang telah mewarnai perjalanan hidupku kurang

lebih 2 tahun di kota termacet nomor empat dunia ini, mas Renald, mas

Frets, mas Halim, mas Novi, Nailis, mbak Riva, Fajar Muharram, Fajar
Ismail, Risca, mas Boni, dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu, terimakasih buaanyak sobat, aku bangga bisa berteman & menjadi

bagian dari kalian semua semoga cerita ini akan berlanjut dikemudian hari

 Penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih sangat tulus dengan

penuh kerendahan hati kepada mama dan papa tersayang yang senantiasa

memberikan doa, semangat, bimbingan, cinta dan kasih sayang yang tiada

batas, adik Rengga, abang Agaf, serta tak lupa untuk calon istriku Dyah.

 Penulis ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Camat

Lambu Bapak Mustafa H. AR, beserta jajarannya yang telah banyak

membantu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan selama proses

penelitian.

 Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa saya haturkan kepada

Bapak Hasanudin, Bapak M. Syafrin, mas Wardan, Bapak Mulyadin dan

tokoh-tokoh penggerak rakyat lambu lainnya serta seluruh masyarakat

Lambu yang bersedia di repotkan selama proses pengumpulan data.

 Tidak lupa juga untuk sahabatku Andre (tuan guru) beserta keluarga yang

telah banyak membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih telah

menjadi teman, keluarga selama saya berada ditanah yang baru pertama

kali kuinjakkan kaki.

Surabaya, 2015

Penulis
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, faktor apa yang
menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan terhadap korporasi, implikasi
gerakan, serta siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa
saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di
tanah Lambu Kabupaten Bima. Dalam menganalisis perlawanan rakyat Lambu
terhadap korporasi dikaji dan ditelusuri faktor penyebab, implikasi gerakan, serta
faktor kepemimpinan aktor gerakan dalam menggerakkan masyarakat untuk
melakukan perlawanan terhadap korporasi. Faktor kepemimpinan dikaji untuk
mengetahui dan memahami seberapa besar kontribusinya dalam memotivasi
terjadinya perlawanan rakyat Lambu. Untuk merekonstruksi peristiwa penolakan
rakyat Lambu terhadap izin usaha pertambangan sebagai sebuah gerakan
perlawanan politik dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dengan analisa
deskriptif. Metode ini dipilih karena lebih mampu menemukan fakta dan mampu
mengurai ralitas di lapangan dengan teori. Hasil penelitian menunjukkan
perlawanan rakyat Lambu digerakkan oleh kondisi deprivasi relatif yang
disebabkan oleh sikap arogansi kepala daerah yang kemudian berubah menjadi
deprivasi kolektif sehingga mereduksi tindakan masyarakat Lambu untuk
memobilisasi tuntutan melalui ekspresi kekerasan. Sedangkan, implikasi dari
gerakan ini terjadinya berbagai peristiwa kekerasan massa serta membawa
dampak terhadap tergeraknya kecamatan-kecamatan lain untuk turut menolak
keberadaan perusahaan tambang di Kabupaten Bima
Kata kunci: perlawanan politik, kekerasan massa
ABSTRACT

This study aimed to describe the background, what factors cause resistance to the
corporate community, the implications of the movement, as well as any actor who
led the movement and through any institution driven masses in opposition refused
to allow mining on Lambu Bima. In analyzing people's resistance against
corporate Lambu ditelisuri assessed and the causes, implications of the
movement, and the movement of the actor's leadership in mobilizing the
community to take the fight against the corporation. Factors studied leadership to
know and understand how big contribution in motivating the people's resistance
Lambu. To reconstruct the events of rejection Lambu people against mining
license as a political resistance movement carried out by the method of
qualitative research with descriptive analysis. This method was chosen because it
is able to find the facts and be able to parse the morality in the field with the
theory. The results showed resistance Lambu people driven by relative
deprivation conditions caused by the arrogance of the head area which later
turned into a collective deprivation thus reducing Lambu to mobilize community
action demands through violence expression. Meanwhile, the implications of this
movement the occurrence of various events of mass violence and the impact on
other subdistricts tergeraknya to participate reject the existence of a mining
company in Bima Keywords : political resistance, mass violence
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Depan...........................................................................................i


Halaman Sampul Dalam..........................................................................................ii
Halaman Persyaratan Gelar....................................................................................iii
Halaman Persetujuan..............................................................................................iv
Halaman Penetapan Panitia Penguji........................................................................v
Halaman Pernyataan Orisinalitas............................................................................vi
Ucapan Terima Kasih............................................................................................vii
Abstrak.....................................................................................................................x
Abstract...................................................................................................................xi
Daftar Isi................................................................................................................xii
Daftar Tabel..........................................................................................................xiv
Daftar Gambar.......................................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................13
C. Tujuan Penelitian.............................................................................................13
D. Manfaat Penelitian...........................................................................................14
D.1 Manfaat Akademik....................................................................................14
D.2 Manfaat Praktis.........................................................................................14

BAB II KONSEPSI TEORITIS


2.1 Teori Deprivasi Relatif..............................................................................15
2.2 Teori Kekerasan Kolektif...........................................................................20
2.3 Kerangka Konseptual.................................................................................29

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Pendekatan Penelitian................................................................................31
3.2 Lokasi Penelitian........................................................................................32
3.3 Penentuan Subjek Penelitian......................................................................32
3.4 Instrumen Penelitian..................................................................................34
3.5 Teknik Pengumpulan Data.........................................................................35
3.5.1 Dept Interview..................................................................................35
3.5.2 Dokumentasi.....................................................................................38
3.6 Teknik Analisa Data..................................................................................38

BAB IV GAMBARAN UMUM


A. Sejarah Kabupaten Bima..................................................................................40
B. Letak Geografis Kabupaten Bima....................................................................43
C. Kondisi Topografi............................................................................................45
D. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat...............................................................46
1. Kondisi Sosial..............................................................................................46
2. Kondisi Ekonomi.........................................................................................47
E. Potensi Kekayaan Alam...................................................................................49
F. Profil Singkat Kecamatan Lambu....................................................................51

BAB V PERLAWANAN MASSA TERHADAP KORPORASI


5.1 Latar Belakang Perlawanan Rakyat Lambu....................................................54
5.2 Awal Lahirnya Perlawanan masyarakat..........................................................58
5.3 Pembentukan FRAT........................................................................................65
5.4 Penggalangan Dana Gerakan..........................................................................66
5.5 Aktor-Aktor Dalam Gerakan...........................................................................67

BAB VI KEKERASAN: ANTARA ALAT PERJUANGAN DAN NALURI


KOLEKTIF
A. Pembakaran Kantor Camat Lambu..................................................................72
B. Kisah Pilu di Pelabuhan Sape...........................................................................76
C. Runtuhnya Arogansi Kepala Daerah................................................................81

BAB VII PENUTUP


A. Kesimpulan......................................................................................................86
B. Saran dan Rekomendasi...................................................................................88

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................89
LAMPIRAN..........................................................................................................92
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Antar Agen dengan Struktur .................................... 22


Tabel 2.2 Jejaring Kekerasan .......................................................................... 24
Tabel 2.3 Aras dan Dimensi Kekerasan .......................................................... 26
Tabel 3.1 Daftar Informan .............................................................................. 33
Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan ................................................ 44
Tabel 5.1 Rentetan Peristiwa Perlawanan Rakyat Lambu .............................. 62
Tabel 6.1 Kronologis Kejadian Tragedi Pelabuhan Sape ............................... 79

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual......................................................................30


Gambar 6.1 Kantor Camat Lambu Setelah Dibakar...........................................75
Gamabr 6.2 Kantor Bupati Bima Setela Dibakar
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Dinamika sosial-politik masyarakat di negeri ini pasca berakhirnya rejim

Orde Baru menunjukkan perkembangan yang sungguh menarik untuk diamati.

Bagaimana tidak, pada masa rejim Orde Baru masih berkuasa, hampir tidak ada

dinamika didalam masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kebijakan politik Orde

Baru yang tidak memberikan peluang dan ruang kepada masyarakat untuk

menyuarakan aspirasi. Masyarakat diatur dan dibatasi perilaku dan tindakannya

oleh norma, nilai dan sistem hukum yang berlaku. Barulah di era reformasi

masyarakat memiliki panggung politik sehingga dapat leluasa untuk

mengungkapkan kepentingan dan aspirasi politiknya.

Bergesernya tatanan kehidupan kebangsaan dari yang sebelumnya

cenderung otoritarian menuju tatanan demokratis dinilai membawa efek pada

kemunculan berbagai dinamika sosial politik di negeri ini. Berbagai dinamika

tersebut diekspresikan dengan cara dan bentuk yang bervariatif mulai dari cara-

cara yang konstruktif hingga yang destruktif. Berbagai dinamika sosial tersebut

antara lain berupa gerakan separatis, kerusuhan antar etnis, kerusuhan antar

agama, kerusuhan antar suporter sepak bola, konflik antar pendukung dalam

pilkada, fenomena kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan (baca: TNI,

Kepolisian, Satpol PP) terhadap masyarakat, sampai pada gerakan-gerakan

perlawanan yang ditujukan kepada pemerintah seperti gerakan protes buruh,


gerakan masyarakat miskin kota yang menolak penggusuran, serta aksi-aksi protes

para petani.

Berbagai dinamika sosial-politik yang muncul di negeri ini pun berhasil

menarik perhatian banyak peneliti antara lain adalah Wahyudi (2005), dalam

bukunya yang berjudul Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus

Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang, yang

mengkaji struktur dan struktur gerakan sosial petani (peasant) di Kalibakar,

Malang Selatan. Buku ini menggambarkan perjuangan petani Kalibakar dalam

mengambil kembali (reklaiming) tanah nenek moyang mereka yang dimanfaatkan

oleh pemerintah untuk kepentingan industri. Namun, pemerintah menganggap

pengambilalihan tanah tersebut oleh petani, yakni merupakan suatu usaha

penjarahan kekayaan negara. Perjuangan gerakan petani tersebut sesungguhnya

berlangsung cukup panjang dan mengalami pasang surut, yakni dimulai dengan

usaha prosedural land reform sejak pasca pendudukan zaman Jepang, berlanjut ke

Agresi Belanda ke-II, masa Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, masa

Reformasi, dan hingga saat ini pun belum selesai.

Selanjutnya, penelitian dari Victor Silaen dalam bukunya Gerakan Sosial

Baru: Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir yang

berlangsung dua dasawarsa. Dalam penelitian ini Silaen mengangkat persoalan

perjuangan rakyat yang dirugikan akibat dampak negatif yang dihasilkan

perusahaan Indorayon yang telah bertahun-tahun tidak terselesaikan sejak zaman

Orde Baru hingga Orde Reformasi. Dalam gerakan masyarakat Batak Toba

Samosir muatan isu yang diangkat relatif kompleks diantaranya isu pencemaran
lingkungan sebagai efek dari operasional perusahaan Indorayon, masalah adat,

kesejahteraan, keadilan dan sosial-ekonomi bagi komunitas Batak Toba Samosir.

Yang unik dari temuan silaen adalah gerakan anti Indorayon tidak muncul dari

kaum terpelajar melainkan digagas dan dimotori oleh para inang (ibu-ibu) yang

berjumlah sepuluh orang, melalui aksi pencabutan tanaman ekaliptus yang

ditanam oleh perusahaan itu ditanah adat mereka. Artinya kesadaran akan dampak

negatif keberadaan perusahaan Indorayon malah pertama kali muncul dari kaum

ibu-ibu (para inang).

Keunikan lain dari gerakan ini adalah terciptanya jejaring solidaritas se-

Sumatera utara, bahkan nasional untuk mendukung perjuangan kesepuluh orang

ibu ini, sehingga mereka tidak hanya terbebas dari penjara tetapi berhasil

mendapatkan kembali tanah adat mereka. Selanjutnya adalah bahwa gerakan

rakyat di kecamatan Porsea Kabupaten Toba Samosir ini di dukung oleh tokoh-

tokoh gereja di Sumatra Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan terbesar di

Indonesia.

Selain itu, Soenyono, mengamati gerakan masyarakat miskin perkotaan

yang mengambil setting masyarakat Stren Kali Kota Surabaya dalam ikhtiarnya

menolak kebijakan penggusuran. Dalam gerakan sosial masyarakat Stren Kali

Surabaya belum mencapai apa yang menjadi target dan tujuan gerakan yaitu

keluarnya perda yang menetapkan bahwa tidak ada penggusuran bagi warga Stren

Kali Surabaya, baru sebatas kebijakan penundaan penggusuran dalam waktu yang

tidak diketahui. Dalam konteks yang lain Soenyono melihat kemunculan gerakan

sosial-politik masyarakat, hal ini kemudian memicu eskalasi konflik baik


horisontal maupun vertikal tumbuh subur di negeri ini. 1 tidak hanya terjadi di

kota-kota besar dan pusat pemerintahan namun merambah hingga ke pelosok-

pelosok daerah. Berbagai gerakan tersebut tersebar di berbagai daerah dengan

ekskalasi konfik yang begitu luas, salah satu dari sekian kasus yang paling

meradang adalah penolakan masyarakat Lambu Kabupaten Bima terhadap

kebijakan pemerintah yang memberi ijin eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam

mereka.

Peristiwa besar itu diawali dengan keputusan Bupati Bima yang

memberikan Izin eksplorasi kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN)2

melalui SK. No. 188.45/367/004/2010 sebagai kuasa pertambangan dengan tanpa

mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan yang menjadi sumber

penghidupan masyarakat setempat dan lokasi pertambangan yang tidak jauh dari

daerah pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Hal ini kemudian memicu

gelombang protes dari warga setempat yang merasa dirugikan dengan keberadaan

perusahaan pertambangan.

Penolakan masyarakat terhadap rencana eksploitasi dan eksplorasi sumber

daya alam yang berlangsung di kecamatan Lambu Kabupaten Bima menjadi kasus

yang menarik untuk diteliti, disamping faktor yang melatar belakangi lahirnya

sikap kolektif masyarakat dalam menolak kehadiran perusahaan pertambangan,

gerakan yang dibumbui dengan aksi kekerasan massa terhadap instansi-instansi

1
Soenyono. 2005. Gerakan Sosial Masyarakat Miskin Perkotaan : Studi Kasus Gerakan Sosial
Masyarakat Stren Kali Surabaya Menolak Kebijakan Penggusuran (yang dilakukan pemerintah).
Disertasi. Unair
2
PT Sumber Mineral Nusantara adalah perusahaan tambang emas yang 95% sahamnya dimiliki
perusahaan asal Australia, Arc Exploration Ltd. Perusahaan itu diberi izin melakukan kegiatan
eksplorasi selama lima tahun dengan luas area 24.980 hektare (ha), yang berada di wilayah
Kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu, Kabupaten Bima, NTB.
pemerintahan setempat, disisi lain juga memperlihatkan bagaimana negara dalam

cengkeraman hegemoni korporasi.

Kabupaten Bima adalah salah satu daerah dengan intensitas konflik sosial

yang tinggi. Berbagai peristiwa berdarah yang melibatkan massa besar sudah

sering terjadi ditanah Bima tanah yang lebih dikenal dengan sebutan dana mbojo,

beberapa diantaranya misalkan pada 14 Juni 2010 terjadi bentrokan antara massa

aksi yang menolak hasil pilkada yang memenangkan pasangan Feri Zukarnain dan

H. Syafrudin dengan aparat kepolisian. Dalam peristiwa tersebut menghasilkan 11

korban luka-luka akibat terkena peluru tajam aparat kepolisian serta insiden

pemboman kantor KPUD dan pembakaran kantor DPD Golkar oleh massa aksi.

Selain itu ditemukannya pondok pesantren yang teridentifikasi sebagai pusat

aktifitas teroris yang berlokasi di desa Sanolo, belum lagi bentrokan antar warga

kampung hampir tidak terhitung jumlahnya, hal ini kemudian mengukuhkan Bima

sebagai daerah dengan budaya kekerasan yang tinggi.

Disisi lain, Kabupaten Bima merupakan daerah dengan sejumlah potensi

kekayaan sumber daya alam yang begitu besar. Potensi tersebut teridentifikasi

berupa berbagai bahan galian seperti emas, mangan, tembaga hingga pasir besi.

Potensi itu menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bima.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi

(Distamben) Kabupaten Bima, terdapat 14 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang

dikeluarkan sebagai penyesuaian dari Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan

pemerintah Kabupaten Bima sebelumnya. Terdapat Sebanyak 14 (empat belas)

IUP yang dikeluarkan itu yakni izin untuk eksplorasi jenis tembaga diberikan
kepada PT Mineral Nusantara Citra Persada dan PT Indomineral Citra Persada

mengantongi 2 (dua) IUP Operasi Produksi, PT Indomining Karya Buana

mengantongi tujuh IUP Operasi Produksi, dengan jenis bahan galian berupa

mangan dan pasir besi, sedangkan untuk bahan galian emas, pemerintah

kabupaten menguasakan IUP eksplorasi kepada PT Bima Putera Minerals dan PT

Sumber Mineral Nusantara. Selain 14 IUP itu, pemerintah Kabupaten juga

mengeluarkan IUP Eksplorasi Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources

pada tanggal 28 April 2010, dengan Nomor 188.45/357/004/2010 pada wilayah

Desa Lido dan Soki, Kecamatan Belo.

Kekayaan alam berlimpah ruah yang dimiliki suatu daerah sejatinya

merupakan anugerah tuhan yang tidak ternilai harganya, namun tidak jarang pula

menjadi bencana bagi daerah dan rakyat. Berkaca pada daerah-daerah yang lebih

dulu melakukan eksplorasi kekayaan alam seperti Freeport di Papua, Blok Cepu

di Kabupaten Blora, dan yang paling dekat adalah daerah tetangga Kabupaten

Sumbawa Barat yang memiliki PT Newmont. Kenyataannya keberadaan

perusahaan-perssahaan tambang tersebut tidak mampu mengangkat taraf hidup

dan tingkat kesejahteraan masyarakat setempat, yang menonjol justru dampak

negatif yang ditimbulkan baik secara ekologi maupun dampak secara sosial.

Dampak dari kegiatan pertambangan menurut Muhammad dalam Sulto

(2011) dapat bersifat positif bagi daerah pengusaha pertambangan, sedangkan

Noor dalam Sulto (2011) mengatakan bahwa kegiatan pertambangan bersifat

negatif terhadap ekosistem daerah setempat. Munculnya dampak positif maupun

negatif dari usaha pertambangan, terjadi pada tahap eksplorasi, eksploitasi hingga
apa yang akan terjadi setelah penambangan selesai tidak akan bisa terpisahkan

dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan oleh karenanya itu dalam

proses pengelolaannya haruslah memperhitungkan berbagai macam dampak yang

akan ditimbulkan dari proses penambangan tersebut, maka dari itu diperlukan

kontrol yang kuat dari seluruh steakeholder (perusahaan, pemerintah dan seluruh

masyarakat), untuk mencegah kemerosotan lingkungan dan sumber daya alam

dengan maksud agar lingkungan dan sumber daya alam tersebut tetap terpelihara

keberadaan dan kemampuan dalam mendukung berlanjutnya pembangunan kelak,

seperti yang telah dipesankan oleh Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia

pertama dalam pidato Tri Sakti 1963 yang menganjurkan agar kekayaan alam

Negara ini tetap tersimpan di perut bumi, hingga Saat putra-putri bangsa indonesia

sudah mampu untuk mengelolahnya sendiri.

Namun perlu juga di ingat persoalan kepemilikan dan pengelolaan sumber

daya alam sering kali menghadirkan konflik. Konflik dibidang pertambangan

biasanya melibatkan banyak aktor namun secara sederhana berwujud konflik

antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan korporasi, pemerintah

dengan korporasi dan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Sedangkan

konflik Lambu adalah konflik yang melibatkan masyarakat dengan korporasi dan

pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Masyarakat menuntut agar

surat keputusan pemerintah daerah tentang izin eksploitasi dan eksplorasi

kekayaan alam disekitar mereka segera dicabut. Masyarakat menilai keberadaan

perusahaan tambang dapat merusak alam.


Penolakan masyarakat Lambu terhadap keberadaan perusahaan tambang

diwujudkan melalui aksi-aksi protes yang kemudian berkembang menjadi gerakan

perlawanan dengan melibatkan massa besar, dan melahirkan gejolak sosial yang

begitu besar di tanah Bima. Menurut Michael C. Hudson dan Charles Lewin

Taylor Unjuk rasa atau demonstrasi - aksi protes merupakan ekspresi atau

akatualisasi nilai dan kepentingan politik masyarakat yang dibenturkan secara

langsung dengan nilai dan kepentingan politik negara.

Dalam negara demokrasi aksi protes, demonstrasi, pawai tentu saja

menjadi hal yang sah saja terjadi. Di Indonesia pun diatur dalam UU No. 9/1998

tentang Keemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Pasal 2 ayat 1

dan 2, dan Pasal 9 ayat 1. Namun reaksi yang berlebihan tentu juga tidak

dibenarkan dalam konstitusi misalkan tindakan yang mengarah pada kekerasan,

seperti mengganggu ketertiban umum serta merusak fasilitas publik. Sebaliknya

pemerintah juga tidak menggunakan cara-cara represif ketika menghadapi gejolak

di akar rumput.

Perjuangan masyarakat lambu dilandasi oleh tuntutan agar pemerintah

daerah mencabut SK. izin operasional PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang

merugikan masyarakat setempat. Diawali dengan keengganan Camat Lambu

untuk ikut mendukung perjuangan masyarakat yang menutut dicabutnya SK

Bupati Nomor 188 tentang pemberian Izin Usaha Pertambangan kepada PT

Sumber Mineral Nusantara. Masyarakat yang merasa geram dan merasa aksi

protesnya selama ini tidak ditanggapi serius akhirnya meluapkan amarahnya

dengan membakar kantor Camat Lambu.


Konflik Lambu telah mengorbankan sejumlah fasilitas publik serta

memakan korban jiwa. Dari data yang dihimpun di lapangan terdapat beberapa

instansi pemeritahan yang dibakar massa pada konflik Lambu antara lain; Kantor

Camat Lambu, Kantor Dinas Kehutanan Kecamatan Lambu, Kantor Urusan

Agama (KUA) Lambu, Kantor Polsek Lambu, Kantor Pertanian Kecamatan

Lambu, dan 4 (empat) kantor kepala desa yaitu desa Lanta, desa Sumi, desa Soro,

dan desa Melayu, dan yang terakhir adalah Kantor Bupati Bima yang merupakan

pusat aktifitas pemerintahan Kabupaten Bima.

Selain itu, sebelum kejadian pembakaran Kantor Bupati Bima oleh massa

aksi, terdapat aksi kekerasan massa lainnya yang bahkan menyita perhatian

nasional yaitu peristiwa di pelabuhan sape pada 24 Desember 2011, massa

menduduki pelabuhan sape yang kemudian menyebabkan jalur transportasi Bima

- Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur menjadi lumpuh total. Puncak dari peristiwa

ini terjadi bentrokan antar massa aksi dengan aparat kepolisian pada tanggal 24

Desember 2011 yang berujung pada jatuhnya 2 (dua) korban jiwa dan ratusan

orang luka-luka.

Jika merujuk pada pemikiran Gandhi tentang ahmsa (nir-kekerasan) atau

perlawanan tanpa kekerasan tentu apa yang dilakukan masyarakat Lambu tidak

dibenarkan. Namun jika mengacu pada teori gerakan sosial baru, penggunaan

kekerasan dalam gerakan perlawanan dianggap sah-sah saja. Asumsinya adalah

apakah kita harus menyerah begitu saja terhadap perampok dan pencuri yang

masuk ke rumah menjarah dan merampas harta benda atau kehormatan kita serta
tidak segan untuk menciderai kita, dalam hal ini apakah salah ketika kita

menggunakan kekerasan untuk melawan mereka.

Pemaknaan kekerasan dari sudut pandang teori gerakan sosial baru terbagi

menjadi dua sifat antara lain, kekerasan itu bersifat ofensif apabila secara aktif

dipakai untuk menyerang orang lain atau sumber daya yang dijadikan tujuan

kekerasan. Kekerasan bersifat defensif apabila hanya dipakai untuk membela diri.

Kalau itu ditarik pada gerakan yang terjadi di tanah Lambu maka peggunaan

kekerasan dalam gerakan penolakan terhadap ijin usaha pertambangan yang

berlokasi disekitar pemukiman mereka dapat dikatakan sebagai bentuk usaha

masyarakat mempertahankan hak-haknyaa atas ligkungan disekitar area

pemukiman mereka.

Disisi lain, undang-undang No. 12 Tahun 2008 yang merupakan

perubahan dari Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

memberikan kewenangan lebih bagi Daerah dalam urusan pengelolaan

pertambangan di daerah, termasuk dalam hal perijinan usaha pertambangan.

Kewenangan tersebut kemudian diperkuat lagi oleh Undang-undang No. 4 Tahun

2009 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) dimana pada pasal 37 disebutkan

bahwa IUP (Izin Usaha Pertambangan) diberikan oleh bupati/walikota jika

wilayah tambang berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota. Selanjutnya, IUP

diberikan oleh gubernur jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah

kabupaten/kota dalam satu provinsi. Selanjutnya, IUP diberikan oleh Menteri

ESDM jika wilayah tambang berada pada lintas wilayah provinsi.3

3
Lihat Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba (Mineral dan Barubara)
Maka secara tidak langsung otonomi daerah telah memberi kuasa yang

amat besar kepada pemerintah daerah dalam pemberian izin pertambangan. Selain

itu, undang-undang Mineral dan Batubara No. 4 Tahun 2009 menempatkan kepala

daerah sebagai aktor tunggal dalam penerbitan dan pencabutan izin tambang.

Otoritas besar yang dimiliki daerah melalui kepala daerah seharusnya menjadikan

pemerintah daerah bijak dalam mengelola potensi yang dimiliki daerah serta

memberikan hak untuk menolak atau menerima segala bentuk investasi yang

masuk.

Kembali pada kasus Lambu negara dapat diasumsikan tidak hadir sebagai

institusi yang menjamin dan memproteksi hak-hak masyarakat sipil, melainkan

sebagai kekuatan besar dan kejam yang menindas dan memangsa hak-hak dan

merampas keadilan masyarakat sipil atau dalam istilah lain yang diungkap Marx

negara tidak lain sebagai alat bagi kaum kapitalis. Otoritas besar yang

diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menjadikan kepala daerah sebagai

penguasa yang seringkali mematahkan kekuatan oposisi rakyat dengan mengatas

namakan negara.

Situasi hubungan yang hegemonis dan alienatif inilah kemudian memicu

perlawanan masyarakat Lambu menolak diterbitkannya Ijin Usaha Pertambangan

kepada PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) karena tidak mempertimbangkan

lokasi pertambangan yang berada di sekitar area pemukiman dan lahan pertanian

warga. Menurut Thomas Aquinas, tugas negara bukan hanya untuk

mempertahankan keselarasan sosial atau mengusahakan perdamaian dan keadilan,


namun juga harus mampu membangun dan mengembangkan kesejahteraan

masyarakat.

Kembali pada gerakan perlawanan rakyat Lambu, posisi yang teralienasi

inilah yang telah mendorong solidaritas dan soliditas antar-warga masyarakat

yang sama-sama merasakan terancamnya kepentingan ekonomi mereka karena

hadirnya perusahaan pertambangan. Disamping itu, menurut James Scott

komunitas petani memang menganut pola hidup gotong-royong, tolong menolong

dan melihat persoalan secara kolektif. Sikap tersebut muncul karena dilandasi

oleh struktur kehidupan yang terjepit sehingga harus menyelamatkan diri.

Demikian, hadirnya industri besar berjenis perusahaan tambang di sekitar

pemukiman penduduk kecamatan Lambu yang jauh dari keramaian kota, oleh

pemerintah diasumsikan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat setempat, ternyata tidak berbanding lurus dengan sambutan masarakat

setempat. Bahkan bagi masyarakat menganggapnya sebagai bentuk arogansi

pemerintah dalam hal ini kepala daerah karena tidak mempertimbangkan area

pemukiman dan lahan pertanian warga setempat. Sejak awal digulirnya isu

hadirnya perusahaan pertambangan telah menuai reaksi protes dan penolakan dari

masyarakat, yang seiring dengan waktu bahkan berkembang menjadi gerakan

perlawanan demi dicabutnya kebijakan tentang ijin pertambangan di daerah

mereka untuk selama-lamanya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian panjang diatas tesis ini diarahkan

untuk mendeskripsikan berbagai fenomena kekerasan dalam gerakan perlawanan

rakyat Lambu serta mengkaji peran masing-masing aktor dalam gerakan. Guna
mengkaji dan membahas lebih dalam tentang perlawanan masyarakat dalam

menolak ijin pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten Bima, maka peneliti

mengambil judul:

Resistensi Politik Masyarakat Terhadap Korporasi: Kekerasan Massa dalam


Aksi Penolakan Ijin Usaha Pertambangan di Lambu Kabupaten Bima

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran permasalahan yang disampaikan didepan,

penelitian ini mencoba untuk mencari jawaban atas permasalahan berikut :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat melakukan perlawanan

terhadap korporasi?

2. Bagaimana implikasi perlawanan masyarakat Lambu terhadap korporasi

dan pemerintah Kabupaten Bima?

3. Siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui institusi apa saja

massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha pertambangan di

tanah Lambu Kabupaten Bima?

C. Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk mengurai realitas sosial guna memperoleh

pengetahuan dan pemahaman yang lebih absah, sistematis dan dapat

dipertanggungjawabkan mengenai konteks yang melatarbelakangi perlawanan

masyarakat dan implikasi dari gerakan perlawanan masyarakat Lambu Kabupaten

Bima terhadap hegemoni korporasi. Diharapkan dengan memahami fenomena

perlawanan massa terhadap korporasi yang terjadi di Lambu Kabupaten Bima

dapat menjelaskan fenomena yang sama yang terjadi di pelbagai daerah di

Indonesia.
D. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Secara akademis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi

yang berarti kepada entitas akademisi sebagai wahana untuk menambah

wacana dan memperkaya khasanah tentang perlawanan massa terhadap

hegemoni korporasi yang berlangsung di Lambu Kabupaten Bima.

b. Manfaat Praktis

Sedangkan secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi

rujukan bagi penulis serta praktisi yang menaruh perhatian yang sama

pada persoalan dinamika sosial-politik di aras lokal khususnya terkait

dengan gerakan sosial dan kekerasan kolektif, serta bagaimana

permasalahan yang terjadi dapat dikaji, dianalisis oleh praktisi, akademis

dan dapat mencari solusi melalui pendekatan ilmu pengetahuan/ ilmiah,

dalam konteks gerakan perlawanan masyarakat demi menjamin kehidupan

sosial-politik lokal yang lebih sehat.


BAB II

KONSEPSI TEORITIS

Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain:

Teori deprivasi relatif dan teori kekerasan kolektif. Peneliti berpendapat kedua

teori tersebut dapat menjelaskan kompleksitas dari fenomena kekerasan massa

dalam aksi penolakan terhadap perusahaan pertambangan oleh masyarakat

Lambu. Disamping itu, disadari juga bahwa untuk memahami realitas konflik

kekerasan yang terjadi tidak dapat diterangkan dengan teori tunggal, akan tetapi

dari banyak dimensi, teori dan bahkan perspektif.

2.1 Teori Deprivasi Relatif

Salah satu peristiwa yang menonjol sejak era reformasi digulirkan adalah

munculnya beragam aksi protes dari masyarakat sipil, baik itu petani, buruh,

maupun mahasiswa dengan latar belakang persoalan yang berbeda-beda.

Sedangkan bentuk-bentuk protes baik yang destruktif maupun konstruktif akibat

dari perlakuan tidak adil sering disebut dengan deprivasi relatif (Crosby, 1982;

Croby & Gonzales-Intal, 1984), namun tidak semua deprivasi relatif berakhir

dengan protes.

Secara konseptual deprivasi relatif diungkapkan secara berbeda-beda oleh

beberapa ahli antara lain; Pertama, David Aberle menyatakan bahwa deprivasi

relatif kesenjangan antara legitimate expectation dengan kenyataan. Definisi ini

menimbulkan perdebatan, terutama dalam memahami legitimate expectation.

Pengertiannya bisa reference group, common man, namun ada juga yang

mengartikan sebagai harapan yang biasanya dalam arti past expectation. Lebih
detil lagi Davis memebedakan reference group, yang diartikan sebagai in-group,

dengan out-group. Dijelaskan lebih lanjut bahwa deprivasi relatif terjadi bila

pembandingnya adalah anggota in-group. Sementara itu bila pembandingnya out-

group maka yang terjadi adalah social inferiority. Baik deprivasi relatif maupun

keminderan sosial terjadi bila kondisinya lebih jelek dari pembandingnya. Bila

kondisinya lebih baik dan pembandingnya in-group maka yang terjadi adalah

gratifikasi (kepuasan), sedangkan bila pembandingnya out-group maka yang

muncul adalah sosial superiority.4

Kedua, Runciman memformulasikan munculnya deprivasi relatif bila

seseorang (1) tidak mempunyai X, (2) dia tahu orang lain mempunyai X, (3) dia

menginginkan X, (4) dia merasa layak/mampu memiliki X. Menurut Runciman

deprivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu egoistical and fraternal deprivation.

Deprivasi egoistikal terjadi bila seseorang merasa kondisinya lebih buruk

dibanding orang lain dalam kelompoknya. Sementara deprivasi fraternal terjadi

bila seseorang menilai kondisi kelompoknya lebih jelek dibanding dengan

kelompok lainnya. Ada kemungkinan seseorang merasakan keduanya sehingga

dia mengalami doubly deprived.

Ketiga, Ted Robert Gurr mendefinisikan deprivasi relatif sebagai the

discrepancy between ought an is (adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya

dangan apa yang senyatanya). Secara operasional, konsep ini digunakan untuk

menggambarkan persepsi seseorang terhadap ketimpangan antara nilai-nilai yang

diharapkan (value expectation) dengan nilai-nilai kapabilitas (value capabilities)

4
Faturrochman. 1999. Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis Buruh Pabrik.
Jurnal Psikologi UGM. Hal. 6
yang diperlukan untuk meraih harapan tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud berupa

benda material atau kondisi kehidupan dimana seseorang merasa mempunyai hak

untuk memilih atau menikmatinya. Secara matematis ia memformulasikan

deprivasi relatif sebagai berikut :

Ve – Vc
RD =
Ve

Ket:
RD : relative deprivation
Ve : value expectations
Vc : value capabilities

Lebih lanjut, menurut Gurr terdapat tiga bentuk deprivasi. Pertama,

decremental deprivation terjadi bila nilai-nilai harapan kelompok tidak berubah

tetapi kemampuan kelompok menurun. Kedua, aspirational deprivation (deprivasi

aspirasi) yang akan muncul bila kemampuan kelompok tidak berubah tetapi

harapan kelompok meningkat. Ketiga, progresive deprivation (deprivasi

progresif) dapat terjadi bila kedua unsurnya berubah, yaitu terjadi penurunan

kemampuan sementara harapannya justru meningkat. Kategori deprivasi relatif

yang ketiga, progressive deprivation seringkali menjadi rasionalitas atau sumber

trjadinya protes sosial atau gerakan sosial. Dari penjelasan ini terlihat bahwa

model yang dikemukakan Gurr tampak lebih dinamis dibanding dengan lainnya.

Protes sosial, gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial menurut Ted

Robert Gurr pada umumnya dipicu oleh kemarahan banyak anggota masyarakat,

khususnya ketika kondisi lingkungan praktis dan budaya mereka menciptakan

terjadinya kesenjangan yang lebar antara harapan-harapan dan kemampuan

mereka untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut. Dengan kata lain ia


menegaskan, gerakan sosial pada umumnya terjadi sebagai akibat terjadinya

deprivasi relatif, yakni ketika dihadapan masyarakat terbentang jurang panjang

yang memisahkan antara harapan masyarakat dengan kemampuan mereka

mendapatkan sarana-sarana yang diperlukan untuk memenuhi harapan-harapan

yang diinginkan.

Lebih jauh dari pada itu, Zeihin dalam konsepnya yang disebut

―deprivasi kumulatif‖, menyatakan bahwa kekecewaan seseorang cenderung

memiliki sumbernya dalam ketidakpuasan ekonomi, terutama ketika

ketidakpuasan dan ketidaknyamanan yang dipikulnya sebagai akibat kemiskinan

ekonomi yang sudah lama dialaminya menjadi semakin memburuk.5 Dengan kata

lain, Zeihin ingin menyatakan bahwa ketidak puasan dan ketidaknyamanan yang

terakumulasi akan lebih mudah mengarahkan dan memotivasi seseorang untuk

berpartisipasi dalam suatu gerakan perlawanan ataupun gerakan sosial.

Dalam konteks terjadinya gerakan perlawanan masyarakat ataupun

gerakan sosial DiRenzo menyatakan argumen yang hampir tidak berbeda bahwa

penyebab terjadinya perlawanan sosial bersumber pada adanya perasaan

kekecewaan (sense of discontent) yang luas, kemunikasi kekecewaan

(communicatition of discontent),6 ketidakpuasan terhadap simbol-simbol sosial

(social attribution of discontent), kemungkinan adanya resolusi kekecewaan

(probability of resolution of discontent), dan adanya sumber daya untuk

melakukan mobilisasi (resource mobilization). Ia berpendapat kondisi deprivation

5
M. Zeihin. 1966. Economic Insecurity and Political Attitudes of Cuban Workers. American
Sociology Review. Vol. 31 No. 1. Hal 31
6
Komunikasi kekecewaan yang dimaksud disini adalah bertemunya kekecewaan seseorang
dengan kekecewaan orang yang lain, sehingga mereka merasa mempunyai perasaan senasib.
Dengan perasaan senasib itu, mereka mudah bersatu untuk melakukan gerakan.
hanya merupakan faktor sekunder dari suatu gerakan perlawanan masyarakat,

sementara yang menjadi faktor primer adalah mobilisasi sumber daya. Sumber

daya yang dimaksud meliputi kepemimpinan, pendukung atau pengikut, aset

keuangan, profesionalitas yang berbakat, akses kepada media, perlengkapan yang

tepat, dan kedekatan fisik. Bagi peneliti, kondisi deprivasi bukan sekedar sebagai

faktor sekunder, akan tetapi merupakan faktor primer mendahului kepemilikan

sumber daya. Terbukti, bayak masyarakat hanya berbekal rasa kekecewaan,

mereka mempunyai tekad yang kuat dan sanggup melakukan gerakan meskipun

tanpa didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan resistensi sendiri diartikan sebagai semua tindakan para

anggota kelas masyarakat yang rendah dengan maksud melunakkan atau menolak

tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak) yang dikenakan pada kelas itu oleh

kelas-kelas yang lebih atas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi

pinjaman uang) atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya

pekerjaan, lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini

(Scott, 1985). Konsep resistensi seringkali dipakai untuk menjelaskan perlawanan

yang dilakukan oleh mereka yang tertindas karena ketidak adilan dan hegemoni

kekuasaan.

Dengan demikian, aksi protes, gerakan perlawanan atau bahkan gerakan

sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya kekecewaan secara

kolektif dari masyarakat terkait dengan ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang

terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan

lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau keinginan
akan adanya perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Sedangkan gerakan

perlawanan rakyat Lambu merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa

masyarakat dalam menuntut perubahan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini

tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai

dengan konteks masyarakat yang ada ataupun bahkan bertentangan dengan

harapan dan kepentingan masyarakat setempat.

2.2 Teori Kekerasan Kolektif

Dalam analisis politik, dikenal dua tradisi atau tema utama sebagai unsur

wadah pemikiran yang memiliki kerangka analisis tentang kekerasan, yaitu paham

tingkah laku (behavioralism) dan paham struktural (strukturalism). Kedua tradisi

tersebut memiliki tumpuan analisis yang berbeda. Paham tingkah laku bertumpu

pada pengambilan individu selaku manusia politik sebagai satuan dasar

pengamatan, mengkaji bagaimana orang bertingkah laku dan apa yang mendorong

tingkah laku mereka. Sementara itu, pembagian kehidupan sosial kedalam

jaringan peran, tukar, kelas-kelas, dan cara-cara teratur untuk melakukan tindakan

timbal-balik merupakan bidang paham struktural.

Dua pemikir besar yang memiliki pandangan paradoks mengenai

kekerasan sekaligus mewakili pertentangan kedua tradisi tersebut adalah; Thomas

Hobbes (1588-1679) dan Jean-Jacques Rosseau (1712-1778)7. Pandangan Hobbes

didasarkan pada anggapan manusia sebagai mahluk yang dikuasai oleh dorongan

irasional dan anarkistis serta mekanistis yang saling mengiri dan membenci

sehingga menjadi kasar, jahat, pendek pikir, atau bersosok homo homini lupus,

7
Deden Faturrochman & Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. UMM Press. Malang. Hal.
260-261
belum omnium contra omnes. Artinya kekerasan itu alamiah, merupakan dinamika

sifat manusia untuk mempertahankan dan meraih keinginannya.

Sedangkan Rosseau berpandangan bahwa kekerasan bukan merupakan

produk manusia secara alamiah sebagai mahluk yang polos, mencintai diri serta

spontan, tidak egois dan tidak altruis, mustahil mau berbuat kekerasan. Jadi rantai

peradabanlah yang membentuk manusia memiliki sifat agresi, hubungan-

hubungan dengan aktifitas manusia menimbulkan gesekan yang bermasalah

sehingga menciptakan manusia yang memiliki kemungkinan melakukan

kekerasan

Pada dasarnya persilangan pendapat antara Hobbes dengan Rousseau

diatas mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan besar apakah suatu tindakan

kekerasan itu ditentukan oleh agen atau individu secara otonom ataukah

ditentukan oleh struktur yang melingkupinya, baik struktur dalam pengertian nilai,

budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam perdebatan teoritis, muncul dua

pandangan yang menyebutkan, apakah suatu kekerasan itu diletakkan dalam

tataran agen atau struktur.

Dugaan tentang sinyalemen adanya pihak ketiga atau pihak tertentu yang

melakukan provokasi sampai menggerakkan kerumunan massa, bukan merupakan

alasan pemerintah semata, di kalangan ilmuwan sosial pun cara pandang ini

digunakan, yaitu melihat kekerasan kolektif dalam tataran agen. Kekerasan

diyakini sebagai suatu tindakan individu yang dilakukan secara sadar dan sengaja

untuk mereproduksi dan mentransformasikan realitas sosial. Dugaan-dugaan

adanya dalang, rekayasa, dan konspirasi dibalik peristiwa kekerasan massa


dipandang sebagai usaha rasional dari individu atau kelompok tertentu, yang

mencoba menarik kepentingan dengan terjadinya kekerasan dalam cara pandang

ini menjadi sah. Sehingga tokoh sentral yang diperankan individu atau kelompok

penggerak kekerasan massa, mengabaikan dugaan faktor luar atau kendala

struktural yang mempengaruhi massa, dan secara ekstrim tidak memperhatikan

dampak hubungan-hubungan sosial dan masyarakat.

Sebaliknya dalam tataran struktur, kekerasan dipahami sebagai hasil dari

proses-proses hubungan sosial atau struktur dimana pelaku tersebut berada.

Hubungan itu bukan sekedar antar masyarakat, tetapi melibatkan pemerintah,

yang di dalamnya terdapat persoalan. Hal inilah yang mendorong massa

melakukan tindakan kekerasan, dan yang terpenting bukan dugaan oleh individu

yang mempunyai niat untuk memanfaatkannya, tetapi individu-individu itulah

yang menjadi produk struktur.

Tabel 2.1

Perbandingan Antara Agen dengan Struktur

Agen Struktur
1.Individu adalah agen yang 1.Masyarakat terdiri dari hubungan-
tindakannya secara sadar dan sengaja hubungan sosial atau‖struktur‖yang
mereproduksi dan mentransformasi menjadi kondisi interaksi dan hasil
realitas sosial. tindakan agen-agen.
2. ―Penjelasan dari dalam 2. ―Penjelasan dari
‖ mengabaikan dan menyepelekan luar‖mengabaikan dan menyepelekan
faktor dan kendala struktural dan faktor-faktor motivasi, niat, strategi
proses-proses sosial dan politik. dan aksi agen karena dianggap tidak
3. ―Masalah Weber‖yaitu lebih dari artefak atau produk
perhatian pada individu dan aksi struktur.
manusia penentu struktur sosial. 3. ―Masalah Durkheim‖yaitu
4.Realitas dipandang‖rapuh‖dapat perhatian pada masyarakat sebagai
dirundingkan (―bargaining sistem yang‖berdikari‖sedangkan
for reality‖)dan terbentuk sebagai individu dianggap sebagai sebagian
emanasi, representasi dan
epifenomena
konstruksi individu-individu yang masyarakat.
subjektif. 4.Nilai dan norma dipandang
5.Hubungan yang monocausal dan sebagai‖imperatif struktural‖ yang
sederhana mengaitkan agen dengan terinternalisasi dalam individu,
struktur : Agen membentuk struktur. sehingga orang berperilaku selaras
6.Penekanan pada praktik-praktik dengan atau fungsional terhadap
mikro(micro-practices) dalam sistem.
interaksi sosial yang ditandai dengan5.Hubungan yang monocausal dan
keunikan dan kekayaan interaksi sederhana mengaitkan struktur
sosial dan politik. dengan agen : Struktur membatasi
7.Untuk menjelaskan suatu peristiwa dan bahkan menentukan keagenan.
dan fenomena politik dimulai dari- 6.Penekanan pada aksi yang selalu
dan diakhiri dengan-individu. tertanam dalam struktur yang lebih
8.Voluntarisme yakni memahami luas(macro-embeddedness).
peristiwa dan fenomena politik 7.Struktur sosial politik dianggap
dengan memperhatikan niat dan sebagai alpa dan omega penjelasan
motivasi aktor. tindakan aktor.
9.Penekanan pada bagian-bagian yang 8.Determinisme dan teleologisme,
membentuk keseluruhan seperti yakni pandangan yang menempatkan
tindakan individu proses-proses sosial dan politik
dinisbatkan kepada’historical and
state’ seperti hubungan-hubungan
ekonomi dalam marxisme.
9.Penekanan pada keseluruhan yang
mempengaruhi bagian-bagian yang
menjadi unsurnya
Sumber: Dikutip dari Akmal Budianto, Pemimpin Politik dan Kualitas Demokrasi
Tahun 2010

Sejalan dengan tabel diatas Robert Gurr dalam teori tentang konflik

kekerasan. Ia melihat bahwa tindakan kekerasan dapat dilihat dari dua bentuk

yaitu kekerasan struktural dan kekerasan nonstruktural. Kekerasan struktural

adalah kekerasan yang dilakukan oleh pengusaha maupun penguasa. Dengan

kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu membuat hukum atau peraturan yang

kemudian merugikan bahkan menindas rakyat. Kekerasan nonstruktural biasanya

dilakukan oleh masyarakat, dan sifatnya perlawanan spontan, sporadis, dan tidak

tersistematis.
Disis lain, seiring dengan perkembangannya teori kekerasan dapat

diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar, yaitu kekerasan sebagai tindakan

aktor atau kelompok aktor, kekerasan sebagai produk dari struktur, dan kekerasan

sebagai jejaring antara aktor dengan struktur. Jack Douglas mendeskripsikan

kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan oleh aktor atau kelompok aktor yang

memiliki kekuatan untuk menghancurkan. Selanjutnya kelompok yang

memberikan pengertian bahwa kekerasan terkait dengan struktur dipelopori oleh

Johan Galtung. Galtung (1975) mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu

yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara

wajar. Bentuk kekerasan structural yang dikemukakan oleh galtung menunjukan

bentuk kekerasan tidak langsung, tidak tampak, dan statis. Dalam perkembangan

berikutnya Galltung dan Turpin juga menjelaskan bahwa kekerasan dapat

ditimbulkan oleh adanya pertautan antara aktor dan struktur.

Tabel 2.2

Jejaring Kekerasan

Aktor Kekerasan Asumsi Pemerhati Tesis


Penyebab kekerasan Jack D. Dougla dan Kekerasan dilakukan
adalah faktor biologis, Frances Chaput oleh aktor/kelompok
fisiologis, dan Waksler aktor yang memiliki
psikologis (faktor James Giligan kekuatan
bawaan/innate) Ted Robert Gurr menghancurkan.
Chrales tilly kekerasan sebagai
Individu/kelompok
balasan atas represi
individu
rejim yang berkuasa.
Mobilisasi massa
dengan kalkulasi
politik berpengaruh
bagi keberhasilan
kekerasan.
Struktur/Negara Kekerasan sangat Johan Galtung Penghalangan pada
terkait dengan Barbara Salet aktualisasi individu
struktur/negara Marx Johnson merupakan bentuk
Anthony Giddens kekerasan negara.
Norbert Elias Kekerasan terkait
dengan revolusi.
Peran negara bangsa
dalam kekerasan
Kaitan perdebatan
dengan struktur sosial
dalam melahirkan
kekerasan
Konflik bersifat Jeniffer Turpin dan Kekerasan sebagai
endemik Lester R. Kurtz sebuah jaringan
Jaringan antar aktor Kekerasan adalah Pertautan kekerasan
dengan struktur akibat perubahan aktor dan struktur
organisasi sosial dan
indiidu

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang

dapat menyebabkan terjadinya kekerasan. Kekerasan dapat dilakukan oleh

indifidu atau kelompok, Negara atau struktur, dan jejaring antar aktor dan

struktur. Jenis kekerasan yang terakhir ini oleh Galtung disebut sebagai kekerasan

kultural. Kemudian penjelasan tentang gejala kekerasan yang lebih spesifik

tampak pada table berikut ini :

Tabel 2.3

Aras dan Dimensi Kekerasan

Ruang
Aras Pelaku Dimensi Medium
Lingkup
Fisik/non Senjata
fisik Organisasi
(teror tentara dan
Negara Aparat Negara Komprehensif
mental) polisi
Kebijakan
publik
Non-fisik Kebijakan
(politik, public
Aparat Negara sosial, Akumulasi
Struktur social Pengendali ekonomi, capital Komprehensif
capital dan Proses dan
budaya) sarana
produksi
Personal/komunitas Indifidu/kelomp Fisik Kelompok Terbatas
ok anomi
Aksi indifidual
Sumber : Dikutip dari Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan Tahun 2002

Peristiwa pembakaran dan perusakan oleh massa terhadap instansi

pemerintah yang notabene sebagai fasilitas publik merupakan bentuk dari

kekerasan kolektif, yaitu kekerasan yang dilakukan secara beramai-ramai atau

secara bersama-bersama. Menurut Ted Robert Gurr8 dalam teori

―deprivasi relatif‖ menyatakan bahwa kekerasan kolektif terjadi karena adanya

kesenjangan antara ekspektasi nilai dan kapabilitas nilai. Ekspektasi nilai adalah

barang dan kondisi kehidupan yang dianggap bisa diperoleh dan dipelihara.

Sedangkan kapabilitas nilai adalah barang dan kondisi yang dianggap bisa

diperoleh dan dipelihara.

Namun, mengapa manusia melakukan kekerasan secara kolektif atau

massal? dari teori ―deprivasi relative‖ Ted Robert Gurr, oleh para sejarah

dan ilmuwan sosial telah mendiskusikan secara luas teori-teori kekerasan kolektif

(revolusi, pemberontakan, kerusuhan, pembuhuhan beramai-ramai oleh massa),

gerakan sosial, dan partisipasi politik agresif.

Pada paruh pertama abad 20, para sosiolog Amerika menerima bentuk

penjelasan tunggal fenomena tersebut dibawah rubric ―perilaku kolektif‖.

Perilaku seperti itu didefinisikan sebagai perilaku yang mengganggu

keseimbangan masyarakat normal atau stabil. Perilaku seperti itu didiorong oleh

tindakan emosional indifidu yang terisolasi secara social.

8
Santoso, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hal. 65
Menurut Rule (1988)9, teori perilaku kolektif ditegakkan berdasarkan

premis bahwa setiap bentuk pemberontakan dengan kekerasan atau tidak, berasal

dari tindakan orang-orang dan merepresentasikan ancaman bagi masyarakat.

Untuk itulah riset ilmu-ilmu social tentang perilaku kolektif dan

―masyarakat massa‖ dibutuhkan guna memfasilitasi pengendallian atas kekerasan

atau gerakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan.

Menurut kajian ilmu-ilmu sosial, kekerasan kolektif pada prinsipnya dapat

ditelaah dari dua perangkat lunak analisis sosial yaitu studi-studi mengenai

perilaku kolektif dan kerumunan (collective behavior and crowds) sehingga

menghasilkan tindakan kolektif (the logic of collective action) serta studi-studi

dalam perspektif konflik social (social conflict).

Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi

sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk

merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial

seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem.

Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi

struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara

yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur

organisasi dengan perubahan sosial.

Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan

sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau

9
Rule, James B. 1988. Theories of Civil Violence. Berkeley : University Of California Press. Hal
145
kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan

melalui aksi sosial bersama (tindakan kolektif) untuk merubah norma dan nilai.

Logika tindakan kolektif dilandasi asumsi bahwa kerjasama hanya dapat

terjadi apabila setiap indifidu yang terlibat didalamnya akan memperoleh manfaat.

Hitungan untung rugi individu jauh lebih penting daripada hitungan untung rugi

kelompok. Sebab bukan kelompok itu yang rasional, melainkan indifidu-indifidu

yang menjadi anggotanya.

Dalam suatu interaksi sosial, seseorang dimugkinkan untuk

memmpengaruhi perilaku orang lain yang selanjutnya memudahkan penyamaan

persepsi sabagai pijakan kerjasama. Suatu kerjasama kelompok dapat terjadi

untuk hal-hal yang dianggap baik, dapat pula untuk hal-hal yang dianggap tidak

baik. Tindakan kolektif adalah suatu bentuk kerjasama juga. Oleh karena yang

terpenting dalam suatu kerjasama adalah individu, maka berartiterdapat peluang

untuk melihat bentuk kekerasan kolektif pada tingkat indifidual yang

mendompleng gerakan massa. Dalam situasi seperti itu – meminnjam istilah

Hoffer, anggota-anggota kerumunan dikendalikan oleh sikap ketidakpuasan, rasa

kecewa, dan lainnya. Sumber-sumber kekecewaan, rasa tidak puas, dianggap

sebagai suatu sebab munculnya aksi kolektif.

Pada level indifidual (agen), salah satu penjelasan tentang munculnya

kekerasan kolektif acapkali dikaitkan dengan sifat dasar manusia dalam psikologi

politiknya Thomas Hobbes disebut homo homini lupus, atau versi Le Bon sebagai

kecenderungan barbarianisme ketika terjadi kerumunan (crowds), atau disebut

sebagai situasi anomie, yakni suatu kondisi hilangnya orientasi masyarakat yang
mempengaruhi gerakan massa, termasuk didalamnya adalah pembunuhan oleh

massa.

Konteks indifidual yang diduga melingkupi kekerasan kolektif dalam

bentuk pembakaran oleh massa terhadap sejumlah istansi pemerintahan yang juga

merupakan fasilitas publik dalam penelitian ini adalah terakumulasinya

kekecewaan (deprivation), keluhan (grievance), bahkan oleh sebagian aktor

dipersepsikan sebagai instrument perjuangan.

Jika ditinjau dari teori konflik, maka asal muasal konflik kekerasan berasal

dari rasa frustrasi yang dialami setiap anggota masyarakat. Rasa kekecewaan yang

bertumpuk-tumpuk dialami rakyat kemudian melahirkan ketidak senangan, yang

puncaknya adalah tindakan kekerasan.

2.3 Kerangka Konseptual

Gambar dibawah akan menjelaskan perbedaan kepentingan dalam

pemanfaatan sumber daya alam pertambangan di Lambu Kabupaten Bima.

Pemerintah daerah sebagai institusi negara yang berperan sebagai pembuat

kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam tambang, korporasi sebagai

pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan orang yang berada di

sekitar lokasi penambangan dan merupakan pihak yang mendapatkan dampak

langsung dari adanya aktivitas pertambangan.


Pemerintah Daerah

Masyarakat Lokal

Perusahaan Pertambangan

SK. 188

Aksi Protes Masyarakat

Resistensi

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif lebih tepatnya kualitatif deskriptif. Menurut Newman, penelitian

kualitatif merupakan reseach that more concerned about construct social reality,

cultural meaning, focus on interactive processes, events authenticly is key values

are present and explicit, situationally constrained, few cases, and subject

thematic analysis where the researcher is involved.10 Maka penelitian kualitatif

merupakan jenis penelitian yang digunakan dengan tujuan untuk mengkonstruksi

realitas dan memahami fenomena.

Disamping itu, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini dipilih dimaksudkan

mempelajari secara mendalam dan komprehensif salah satu peristiwa sosial

politik yang terjadi di Kabupaten Bima. Metode ini dipilih karena lebih mampu

menemukan fakta dan mampu mengurai ralitas di lapangan dengan teori. Karena

penelitian kualitatif-deskriptif berupaya untuk mendiskripsikan secara rinci dan

menyeluruh kekerasan massa dalam gerakan masyarakat menolak ijin

pertambangan di Kabupaten Bima.

Dalam penelitian ini pula peneliti melakukan kajian analisis dari perspektif

studi gerakan sosial politik untuk melihat serta menganalisa gerakan perlawanan

10
Newman W. Lawrence. 2003. Social Research Method. Allin and Bacon. United State. Hal. 15
masyarakat disekitar area pertambangan di kecamatan Lambu Kabupaten Bima.

Inilah kemudian yang menjadi alasan peneliti mengunakan metode kualitatif.

Dengan pendekatan ini, peranan peneliti dalam melaksanakan penelitian

sangat dominan, oleh karenanya ciri-ciri penelitian kualitatif itu menempatkan

peneliti baik secara sendiri ataupun dengan bantuan orang lain sebagai alat

pengumpul data yang paling utama atau sebagai instrumen penelitian itu sendiri.

3.2 Lokasi Penelitian

Dalam penelitian yang bercerita tentang gerakan perlawanan masyarakat

menolak ijin usaha pertambangan ini, lokasi yang dijadikan sebagai kajian

penelitian adalah kecamatan Lambu Kabupaten Bima. Meskipun area yang

menjadi lokasi pertambangan mencakup tiga kecamatan yaitu Kecamatan Lambu,

Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu.

Namun tidak semua kecamatan yang tercakup pada area pertambangan

akan menjadi lokasi penelitian, melainkan penelitian akan difokuskan pada

kecamatan lambu. Karena selain menjadi daerah terdekat dari lokasi

pertambangan, Kecamatan lambu merupakan kecamatan dengan potensi gerakan

yang relatif radikal dan menjadi poros dari perlawanan menolak keberadaan

perusahaan pertambangan.

3.3 Penentuan Subjek Penelitian

Subjek penelitian dipilih berdasarkan teknik purposive. Menurut W.

Lawrence Newman teknik purposive adalah an acceptable kind of sampling for

special situation, it uses the judgement of an expert in selecting case or it selects


cases with a specific purpose in mind.11 Teknik ini dipilih karena peneliti ingin

memperoleh data dari informan sesuai dengan kapasitas dan kedudukannya,

sehingga mampu merepresentasikan informasi dari suatu fenomena yang

berlangsung. Untuk itu, maka peneliti memetakan dan memilih informan yang

memiiki kapasitas dan kapabilitas sesuai dengan masalah penelitian yang diteliti.

Berdasarkan penjelasan diatas, penentuan subjek penelitian dalam

penelitian tesis ini meliputi, sebagai berikut :

Tabel 3.1

Daftar

Informan

No Nama Informan Profil Informan

1. Bpk. Mustafa H. AR Camat Lambu

2. Bpk. Jubair, S.Ag Sekretaris Camat Lambu

Kepala Dinas Pertambangan dan


3. Bpk. Drs. H. Abdul Wahab
Energi Kab. Bima

4. Bpk. M. Syafrin Kepala Desa Lanta

5. Bpk. Hasan Koordinator FRAT

6. Bpk. Mulyadin, S.Pd Sekretaris FRAT

7. Adicus Wardana Aktifis LMND

8. Adi Supriadin Aktifis KMLB

9. Agus Andriansyah, S.Ip Aktifis KKLM

10. Bpk. Jakaria Masyarakat

11. Bpk. Muhammad Masyarakat

11
Ibid. Hal. 213
12. Bpk. Burhan Masyarakat

13. Bpk. Maman Masyarakat

14. Bpk. Abidin Masyarakat

15. Bpk. Masykur Masyarakat

Beberapa nama yang dijadikan informan diatas dipilih karena

kedekatannya dengan persoalan penelitian atau dengan kata lain merupakan

tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan langsung serta terlibat dalam gerakan.

Sehingga diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan persoalan yang sedang

diteliti.

3.4 Instrumen Penelitian

The researcher is the instrument for measuring field data (Newman, 2003:

375). Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Newman tersebut maka yang

menjadi instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Peneliti menjadi

instrumen penting dalam penelitian karena dengan posisi sebagai instrumen dapat

menjadikan pengingat bagi peneliti ketika menggali data di lapangan agar lebih

sensitif terhadap apa yang terjadi di lapangan dan disiplin didalam merekam data-

data yang diinterpretasikan oleh peneliti menjadi tanggungjawab peneliti itu

sendiri.

Pada penelitian ini, peneliti juga menggunakan instrumen lain sebagai alat

bantu untuk megumpulkan data seperti : perekam handphone, kamera digital, serta

notebook. Namun semua alat bantu tersebut penggunaannya sangatlah bergantung

pada peneliti. Dalam penelitian ini alat bantu perekam handphone digunakan

untuk memudahkan peneliti merekam berbagai informasi yang diberikan oleh


para informan dalam penelitian ini. Sementara kamera digital digunakan untuk

membuat dokumentasi (gambar/foto) ketika peneliti melakukan pencarian data

ataupun melakukan penggalian data pada informan serta mengumpulkann

gambar-gambar terkait dengan fenomena dinamika sosial politik masyarakat

Lambu. Sedangkan note book digunakan untuk mencatat hal-hal yang peneliti

temukan ketikamengumpulkan data-data di lapangan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk instrumen pengumpulan data, agar menjadi satu kesatuan yang utuh

dan konsisten dengan metode penelitian yang dipilih dan objek yang menjadi unit

analisis, maka ada dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini, yaitu teknik wawancara mendalam terhadap informan yang ditentukan dan

kajian dokumentasi.

a. Wawancara Mendalam (Dept Interview)

Teknik wawancara dalam hal ini dilakukan dengan kontak langsung secara

lisan atau tatap muka dengan informan yang menjadi sumber data, dalam sebuah

situasi yang sengaja dibuat untuk keperluan pengumpulan data. Teknik

wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berupa teknik elite interviewing.

Elite interviewing adalah metode pengumpulan data secara langsung dengan

melakukan wawancara mendalam terhadap orang-orang/tokoh yang dianggap

mempunyai keterkaitan langsung dengan aksi kekerasan dalam gerakan penolakan

ijin usaha pertambangan seperti halnya tokoh gerakan, organisasi yang terlibat

dalam gerakan, dan masyarakat kecamatan Lambu.


Dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan sebagai aktor

yang terkait dengan peristiwa perlawanan masyarakat Lambu, peneliti bisa

mendapatkan informasi yang absah terkait dengan masalah yang sedang diteliti,

selain itu. diharapkan bisa menggali berbagai informasi terkait dengan

permasalahan penelitian.

Sedangkan prosedur wawancara yang digunakan adalah tidak terstruktur,

sehingga dapat berkembang sesuia harapan dan kebutuhan penelitian. Data yang

diperoleh dari wawancara berupa kutipan langsung dari subyek/informan tentang

pengalaman, pendapat, perasaan, dan pengetahuannya maupun dari observasi

langsung terdiri dari pemberian rinci tentang kegiatan, perilaku, tindakan orang-

orang, serta keseluruhan kemungkinan interaksi interpersonal, dan proses

penataan merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati,

(Oetomo dalam Bagong, 1995, 152).

Wawancara mendalam dilakukan dengan berpatokan pada interview guide,

yakni daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka dan ingin memperoleh jawaban

mendalam. Dalam interview guide, peneliti tidak membuat instrumen interview

yang terstruktur dan baku, melainkan hanya mencantumkan daftar pertanyaan

yang sifatnya umum berupa rambu-rambu untuk mengarahkan peneliti agar tidak

terjebak dalam pertanyaan dan dialog dengan informan diluar permasalahan dan

tujuan penelitian.

Adapun pertanyaan yang dapat dijadikan interview guide sebagai pedoman

yang dapat dikembangkan dalam wawancara pengumpulan data adalah :


1. Apakah yang melatarbelakangi penolakan masyarakat terhadap adanya

ijin usaha pertambangan di Lambu?

2. Bagaimana masyarakat mengorganisasikan diri dan bergerak menolak

keberadaan perusahaan pertambangan.

3. Mengapa masyarakat membakar sejumlah fasilitas publik?

4. Apakah dalam proses hadirnya perusahaan tambang telah memenuhi

prosedur?

5. Apakah ada sosialisasi baik dari pemerintah maupun pihak korporasi

terkait dengan rencana pertambangan di Lambu?

6. Kelompok/siapa saja yang terlibat dalam konflik pertambangan?

7. Siapa saja aktor yang terlibat dalam aksi penolakan terhadap ijin usaha

pertambangan?

8. Adakah upaya dari stake holder untuk membicarakan bersama

pemecahan konflik?

9. Adakah pengaruh konflik pertambangan terhadap kehidupan

masyarakat setempat?

10. Bagaimana dampak konflik bagi kehidupan sosial politik masyarakat

Lambu?

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data ini lebih

merupakan wujud kata-ata dari pada deretan angka-angka. Pilihan atas data
kualitatif ini didasarkan atas pertimbangan, untuk penelitian deskriptif, lebih

memungkinkan untuk memahamin fenomena dan gejala sosial secara luas dan

mendalam. Dengan data kualitatif dapat diikuti dan dipahami alur peristiwa secara

kronologis, menilai sebab akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan

memperoleh penjelasan yang banyak bermanfaat. Disisi lain, data kualtatif akan

dapat membimbing peneliti memperoleh penemuan-penemuan yang tak terduga

sebelumnya, membentuk kerangka teooritis baru; data tersebut membantu peneliti

untuk melangkah lebih jauh dari praduga dan kerangka kerja.

b. Dokumentasi

Selain wawancara mendalam, peneliti juga menggunakan data

dokumentasi atau yang sering disebut dengan data sekunder berupa sejumlah data

dan informasi dokumentasi tertulis yang berkaitan dengan peristiwa perlawanan

masyarakat menolak ijin usaha pertambangan di Kecamatan Lambu Kabupaten

Bima, seperti halnya Surat Keputusan Bupati Bima tentang pemberian ijin

eksplorasi pertambangan, artikel dan laporan-laporan penelitian tentang peristiwa

kekerasan massa di kecamatan Lambu.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa

kualitatif, yang merupakan teknik analisa data yang digunakan untuk menafsirkan

data dan menginterpretasikan data yang didapat dari wawancara yang dilakukan

dan juga data dokumentasi yang didapat. Data yang didapat selanjutnya dibuat

dalam bentuk laporan diskripsi yang berisi narasi kualitatif, dengan tujuan

mendiskripsikan tentang Gerakan Perlawanan Masyarakat Lambu Kabupaten


Bima terhadap Hegemoni Korporasi. Adapun tahapan yang dilakukan dalam

menganlisis data adalah sebagai berikut: pertama, tahap klasifikasi data, kedua

tahap analisa pola, dan ketiga tahap analisa logis, (straus & corbin, 1990).12

Analisa klasifikasi dilakukan untuk mengkategorikan data dari subyek.

Analisa pola dilakukan untuk mengungkapkan konfigurasi berbagai inti persoalan

yang telah dikatagorikan. Analisa logis dilakukan untuk menarik hubungan-

hubungan logis antara berbagai inti data yang dikonfigurasikan.

12
Strauss & Corbin. 1990. Basics of Qualitatif Research. Newbury Park. Sage Publication.
BAB IV

GAMBARAN UMUM

Pada bab ini secara khusus memaparkan hal-hal umum yang berkaitan

dengan profil Kabupaten Bima, meliputi sejarah Kabupaten Bma, letak geografis,

kondisi topografis, struktur sosial-ekonomi masyarakat, dan profil singkat

kecamatan Lambu.

4.1 Sejarah Kabupaten Bima

Dari hasil penelitian sejarah, Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli

1640 M, ketika sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang

menjalankan pemerintahan berdasarkan syariah Islam. Peristiwa ini kemudian

ditetapkan sebagai hari jadi Bima yang diperingati setiap tahun.

Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa

melayu purba dan bangsa melayu baru. Demikian halnya dengan penduduk yang

mendiami daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya dou mbojo,

dou donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli

juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari sulawesi selatan, jawa,

madura, kalimantan, nusa tenggara timur, dan maluku.

Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa Kerajaan Bima dahulu terpecah-

pecah dalam kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh ncuhi. Ada lima

ncuhi yang menguasai lingkungan lima wilayah, yakni :

1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah bima tengah.

2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah bima selatan.

3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah bima barat.


4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah bima utara.

5. Ncuhi Dorowoni, memegang kekuasaan wilayah bima timur.

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat-

menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang

menyangkut kepentingan bersama. Ncuhi Dara bertindak sebagai pemimpin dari

Ncuhi lainnya.

Pada masa-masa berikutnya para ncuhi ini dipersatukan oleh seorang

utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercayai secara turun

temurun oleh masyarakat bima, cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja

Pandudewata yang mempunyai lima orang putra yaitu Darmawangsa, Sang Bima,

Sang Arjuna, Sang Kula, Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini

yakni sang bima berlayar kearah timur dan mendarat disebuah pulau kecil

disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda.

Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima ncuhi dalam satu kerajaan

yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar

―Sangaji‖. Sejak saat itulah bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan

hadat, dan saat itu pulalah hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh

rakyat tanpa terkecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami

perubahan dan masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana.

Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan hadat

sang bima meninggalkan kerajaan bima menuju timur, tahta kerajaan diserahkan

kembali kepada Ncuhi Dara hingga Indra Zamrud (putra Sang Bima) datang

sebagai pewaris tahta abad XIV/XV.


Bima yang berdasarkan hadat mengalami perubahan yakni ketika

pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana pemerintahan yang ada disesuaikan. Istilah

Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. Dan yang sangat melanggar

hadat adalah pergantian jabatan. Jabatan raja yang seharusnya diduduki oleh garis

lurus keturunan diubah oleh Bilmana. Tahta kerajaan yang seharusnya diduduki

oleh raja Ma Wa’a Bilmana diserahkan kepada adiknya Manggampo Donggo

yang menjabat sebagai raja bicara, sedangkan jabatan raja sifatnya permanen

karena dikukuhkan dengan sumpah bahwa untuk melanjutkan keturunan Bilmana

tetap sebagai Raja Bicara, sedangkan keturunan Manggampo Donggo tetap

menduduki tahta kerajaan.

Kebijaksanaan ini dilakukan oleh Bilmana, dikarenakan keadaan rakyat

waktu itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampok-perampok

merampok rakyat sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang meprihatinkan

ini hanya dapat diatasi oleh Raja Bicara sebagai pemegang kekuasaan, sedangkan

Raja Bicara

Kira-kira pada awal abad XVI kerajaan Bima mendapat pengaruh islam

dengan raja pertamanya adalah Sultan Abdul Kahir yang penobatannya pada

tanggal 5 Juni 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan

disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh

besar terhadap masuknya agama islam di Bima. Gelar Ncuhi di ubah/diganti

menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur pemerintahan berdasarkan Majelis

Hadat, terdiri dari tiga unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang
mengemban tugas pelaksanaan Hukum Islam. Dalam penyelenggaraan

pemerintahan ini Sultan dibantu oleh :

1. Majelis Tureli (Dewan Menteri) yang terdiri atas Tureli Bolo, Woha,

Belo, Sakuru, Parado, dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli

Nggampo atau Raja Bicara.

2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi

Lumah Rasa Na’e dibantu oleh Buni Lumah Bolo. Majelis Hadat

beranggotakan dua belas orang dan merupakan Wakil Rakyat dan

mengganti hak Ncuhi untuk mengangkat atau melantik dan

memberhentikan Sultan.

3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi (Imam Kerajaan) yang

beranggotakan empat orang Khatib Pusat yang dibantu oleh 17 orang

Lebe Na’e.

4.2 Letak Geografi Kabupaten Bima

Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonom di Propinsi Nusa

Tenggara Barat yang terletak diujung timur pulau sumbawa atau lebih tepatnya

bersebelahan dengan Kota Bima (pemekaran dari Kabupaten Bima). Kabupaten

Bima berada pada posisi I17°.40’ — II9°.24’ Bujur Timur dan 8°.51 - 9°40’

Lintang Selatan, dengan batas-batas sebagai berikut13:

a. Sebelah Utara dengan : Laut Flores

b. Sebelah Timur dengan : Selat Sape

c. Sebelah Selatan dengan : Samudera Indonesia

13
Selayang Pandang Kabupaten Bima. 2003. Humas Setda Kabupaten Bima. Hal : 4
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
57

d. Sebelah Barat dengan : Kabupaten Dompu

Luas Wilayah Kabupaten Bima setelah pembentukan Kota Bima

berdasarkan undang-undang Nomor 13 tahun 2002 adalah 438.940 Ha atau

4.394,38 km2 (sebelum pemekaran 459.690 Ha atau 4.596,90 km2). Kabupaten

Bima terbagi atas 14 kecamatan yang kemudian pada tahun 2007 terjadi

pemekaran wilayah dengan penambahan empat kecamatan baru yaitu Kecamatan

Parado, kecamatan Lambitu, Kecamatan Soromandi, dan Kecamatan Palibelo.

Dengan adanya pemekaran tersebut, sekarang Kabupaten Bima memiliki jumlah

kecamatan sebanyak 18 wilayah yang terdiri dari 168 desa dan 542 dusun.

Kecamatan sanggar dan tambora merupakan kecamatan yang berlokasi paling

jauh dari pusat pemerintahan kabupaten bima, keduanya memiliki jarak tempuh

sekitar 130 km dan 250 km. Selain itu, kedua kecamatan ini merupakan

kecamatan terluas dikabupaten bima dengan luas masing-masing 627.820 km2

dan 477.890 km214.

Tabel 4.1

Luas Wilayah Kabupaten Bima Menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas Wilayah

Ha Km²

1 Monta 24.500 245,00

2 Parado 24.381 243,81

3 Madapangga 23.758 237,58

4 Woha 10.557 105,57

14
Ibid. Hal : 4

TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP... MUHAMMAD ERWIN


5 Belo 5.831 58,31

6 Langgudu 32.294 322,94

7 Wawo 13.500 135,00

8 Sape 23.212 232,12

9 Lambu 40.425 404,25

10 Wera 46.532 465,32

11 Ambalawi 18.065 180,65

12 Donggo 11.337 113,37

13 Sanggar 47.789 477,89

14 Tambora 62.782 627,82

15 Bolo 6.693 66,93

16 Soromandi 35.212 352,12

17 Lambitu 6.269 62,69

18 Palibelo 5.803 58,03

Jumlah 438.940 4.389,400

Sumber : BPN Kabupaten Bima, 2010

4.3 Kondisi Topografi Kabupaten Bima

Wilayah Kabupaten Bima dikelilingi oleh pengunungan yang terdiri dari

gunung Tambora di Kecamatan Tambora, gunung Sangiang di Kecamatan Wera,

Gunung Maria di Kecamatan Wawo dan gunung Soromandi di Kecamatan

Donggo. Gunung Soromandi merupakan gunung yang tertinggi dengan ketinggian

mencapai 477.5 m.
Secara topografis wilayah Kabupaten Bima sebagian besar (70%)

merupakan dataran tinggi bertekstur pegunungan sementara sisanya (30%) adalah

dataran rendah. Sekitar 14% dari proporsi dataran rendah tersebut merupakan

areal persawahan dan Iebih dari separuh merupakan lahan kering. Oleh karena

keterbatasan lahan pertanian seperti itu dan dikaitkan pertumbuhan penduduk

kedepan, akan menyebabkan daya dukung lahan semakin sempit. Konsekuensinya

diperlukan transformasi dan reorientasi basis ekonomi dari sektor pertanian

tradisional ke wirausaha dan sektor industri kecil dan perdagangan. Dilihat dan

ketinggian dari permukaàn laut, Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi

dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah

adalah Kecamatan sape dan Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari

permukaan laut.15

4.5 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat

a. Kondisi Sosial

Penduduk Kabupaten Bima hampir 99% merupakan pemeluk agama

Islam, dengan jumlah Masjid 420 buah, Langgar 344 buah, dan Mushola 139

buah, Gereja Protestan 3 buah, Gereja Katolik 3 buah dan Pure 3 buah. 16 Selain

itu juga terdapat sarana pembinaan agama seperti TPQ sebanyak 372 buah

dengan jumlah siswa 20.238 orang, lembaga dakwah 20, Madrasah 86 buah,

dengan jumlah siswa 23.450, penyuluh agama 210 orang dan tokoh agama

sebanyak 493 orang.17

15
16
Data BPN Kabupaten Bima. 2003
Selayang Pandang Kabupaten Bima. 2003. Op. Cit. Hal: 7
17
Ibid. Hal: 7
Guna memantapkan pengamalan ajaran agama berdasarkan Syariat Islam

mulai tahun 2002 ditetapkannya Piagam Mbojo yang berisikan tentang

pelaksanaan dan pemberlakuan jum’at khusyu’ di seluruh wilayah bima. Piagam

Mbojo tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bima

Nomor 2 Tahun 2003. Isi Perda tersebut pada intinya adalah menciptakan

ketenangan dan kekhusyu’an pelaksanaan Ibadah Sholat Jum’at dengan

menghentikan segala aktifitas diluar pelaksanaan ibadah mulai pukul 11.30 Wita

sampai 13.30 Wita.

b. Kondisi Ekonomi

Struktur perekonomian suatu daerah mencerminkan kekuatan dan

sekaligus ketergantungan suatu daerah terhadap suatu sektor. Struktur

perekonomian Kabupaten Bima masih didominasi oleh sektor pertanian yang

memiliki peranan 50,14 persen. Sektor yang paling kecil menciptakan nilai

tambah adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (LGA). Sektor industri yang

diharapkan menggantikan posisi sektor pertanian untuk menuju proses

industrialisasi, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Peranan sektor industri

baru mencapai sekitar 2,24 persen dari perekonomian Kabupaten Bima.18

Komoditas utama pertanian, selain padi dan palawija seperti kedelai,

jagung, dan ubi, juga memiliki komoditas unggulan yang menjadi andalan

holtikultura sebagai penghasil bawang merah dan bawang putih. Luas area untuk

budidaya bawang merah mencakup sekitar 13.683 Ha dan baru dimanfaatkan

18
http://bimakab.bps.go.id. Pendapatan Regional. Diakses pada tgl 2 September 2012
sekitar 49% dari seluruh potensi dengan total produksi per tahun mencapai 66.076

ton.

Bima dikenal sebagai daerah penghasil bawang dengan kualitas terbaik.

Bawang Keta Monca (bawang merah) saat ini menjadi komoditi unggul nasional,

dan bersama bidang usaha pertanian lainnya seperti yang dijelaskan sebelumnya

telah memberikan sumbangan cukup signifikan dalam perekonomian Kabupaten

Bima. Selain produksi yang besar, bawang Keta Monca dikenal memiliki mutu

dan ciri khas sendiri, serta banyak diminati konsumen baik dari Bali, Jawa,

Makassar dan Banjarmasin maupun luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura.

Bahkan sejak 2009 lalu, Kabupaten Bima dijadikan sentra benih bawang merah

nasional. Sumbangan perekonomian lainnya berasal dari peternakan terutama sapi

dan kambing, serta perikanan.

Produksi bawang merah Kabupaten Bima pada 2009 mencapai 113.542

ton, meningkat 49,41 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian produksi

bawang merah Kabupaten Bima merupakan komoditi ekspor guna memenuhi

kebutuhan daerah lainnya utamanya Pulau Lombok (BPS, 2009). Luas lahan

untuk pengembangan bawang merah di kabupaten Bima tercatat 13.663 hektare,

yang telah dimanfaatkan seluas 6.710 Ha tersebar di Sape, Lambu,Wera,

Ambalawi, Belo dan Monta. Karena aktivitas mata pencaharian utama inilah yang

menjadi salah satu alasan warga menolak kegiatan pertambangan. Pertambangan

akan membuat susutnya debit air irigasi lahan pertanian, khususnya tanaman

bawang merah yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Selain melindungi
sumber air, mereka belajar dari potret buruk tambang emas raksasa di Batu Hijau

milik Newmont, tetangga di pulau yang sama.

Selain itu, mayoritas masyarakat Kabupaten Bima juga banyak

menggantungkan kehidupan di bidang perkebunan. Jenis tanaman perkebunan

yang dikembangkan meliputi 18 jenis yang terdiri dari 11 (sebelas) jenis tanaman

tahunan dan 7 (tujuh) jenis tanaman musiman meliputi tanaman jambu mete, kopi,

kelapa, kemiri, kapas, wijen, dan empon-empon. Khusus pengembangan Jambu

Mete diupayakan melalui program kimbun dengan memanfaatkan lahan kering di

kecamatan Donggo, kecamatan Bolo, dan kecamatan Madapangga.

Salah satu komoditas perkebunan unggulan yang dimilki Kabupaten

Bima adalah Kopi Tambora yang potensi pengembangannya cukup luas. Sekitar

10.085,15 Ha lahan perkebunan di kecamatan Tambora telah dikembangkan

komoditas kopi, Jambu Mete, Kelapa dan komoditas lainnya. Khusus

pengembangan kebun Kopi Tambora berdasarkan status kepemilikan

dikelompokkan dalam 2 (dua) bagian, yaitu kebun Kopi Eks. HGU PT Bayu Aji

Bima Sena dan Kebun Kopi milik rakyat. Dari 831 Ha luas pertanaman kopi di

kecamatan Tambora, 500 Ha dikelola oleh Eks. HGU PT Bayu Aji Bima Sena,

sedangkan 331 Ha lainnya dikelola secara personal oleh rakyat.

4.4 Potensi Kekayaan Alam

Sebagaimana telah disampaikan di Bab awal, Kabupaten Bima merupakan

daerah dengan sejumlah potensi kekayaan sumber daya alam yang begitu besar.

Potensi tersebut teridentifikasi berupa bahan galian seperti emas, mangan,

tembaga hingga pasir besi. Potensi itu menyebar hampir di seluruh wilayah
kecamatan di Kabupaten Bima. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas

Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Bima, terdapat 14 Izin Usaha

Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan sebagai penyesuaian dari Kuasa

Pertambangan (KP) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Bima sebelumnya.

Terdapat Sebanyak 14 IUP yang dikeluarkan itu yakni izin untuk PT Mineral

Nusantara Citra Persada dengan IUP eksplorasi nomor 188.45/346/004/2010,

masa berlaku tanggal 28 April 2010 hingga 1 Mei 2015, dengan luas wilayah

14.403 hektare. Meliputi wilayah Kecamatan Madapangga yaitu Desa Campa,

Tonda, Mpuri, Rade, Woro. Kemudian Kecamatan Bolo di Desa Tumpu dan

Kecamatan Woha di Desa Keli dan Risa. Bahan galian jenis tembaga.

PT Indomineral Citra Persada dengan IUP Eksplorasi nomor

188.45/348/004/2010, dengan luas wilayah 30.521 hektare. Berada di Kecamatan

Monta, meliputi Desa Baralau, Pela, Tolo Uwi, Wilamaci dan Kecamatan Parado,

meliputi Desa Parado Wane dan Lere. Dengan jenis bahan galian tembaga. PT

Indomineral Citra Persada, IUP Eksplorasi Tembaga nomor 188.45/347/004/2010,

luas wilayah 14.318 hektare, berada di Kecamatan Lambu, meliputi Desa

Mangge, Lanta dan Simpasai, serta Kecamatan Langgudu pada desa Waworada.

PT Indomining Karya Buana mengantongi tujuh IUP Operasi Produksi,

dengan jenis bahan galian berupa mangan dan pasir besi. Untuk mangan berada di

wilayah desa Waworada, Karumbu, Rupe Kecamatan Langgudu, Desa Mpuri,

Tonda dan Campa, Kecamatan Madapangga, Desa Pela, Kecamatan Monta, Desa

Kawuwu, Kecamatan Langgudu, Desa Sambori, Kecamatan Lambitu, Desa

Kombo, Kambilo, Maria dan Ntori, Kecamatan Wawo.


Sedangkan untuk bahan galian pasir besi diberikan PT Indomining Karya

Buana mengantongi IUP di Desa Oi Tui, Tawali dan Tengge, Kecamatan Wera

dan Desa Mawu, Nipa, Nangaraba dan Tololai, Kecamatan Ambalawi. PT Jagad

Mahesa Karya mengantongi IUP Operasi Produksi bahan galian pasir besi dengan

SK Nomor 188.45/345/004/2010 untuk wilayah Desa Sangiang, Oi Tui, Tadewa,

Kecamatan Wera dan Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi.

Untuk bahan galian emas, pemerintah kabupaten keluarkan IUP

eksplorasi pada PT Bima Putera Minerals dengan SK Nomor

188.45/344/004/2010, pada wilayah Desa Maria, Pesa dan Kambilo, Kecamatan

Wawo. Kemudian untuk biji besi dikeluarkan IUP Eksplorasi

188.45/356/004/2010 pada PT Bima Feroindo, pada wilayah Desa Karampi,

Waduruka, Kecamatan Langgudu.

Sedangkan IUP Nomor 188.45/357/004/2010, untuk bahan galian emas

diberikan pada PT Sumber Mineral Nusantara, dengan wilayah Kecamatan

Lambu, Sape dan Langgudu. Selain 14 IUP itu, pemerintah Kabupaten juga

mengeluarkan IUP Eksplorasi Mangan pada PT Anugerah Nusantara Resources

pada tanggal 28 April 2010, dengan Nomor 188.45/357/004/2010 pada wilayah

Desa Lido dan Soki, Kecamatan Belo.

4.5 Profil Singkat Kecamatan Lambu

Kecamatan Lambu adalah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sape

yang kini menjadi salah satu dari 18 (delapan belas) kecamatan yang ada di

Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kecamatan ini memiliki dua belas desa

antara lain desa Hidi Rasa, desa Kale’o, Desa Lambu, desa Lanta, desa Lanta
Barat, desa Magge, desa Melayu, desa Nggelu, desa Rato, desa Simpasai, desa

Soro, desa Sumi, desa Cangga, dan desa Monta baru. Desa Cangga dan desa

Monta Baru adalah desa pemekaran baru, desa Cangga merupakan pemekaran

dari desa Simpasai, sedangkan desa Monta Baru merupakan desa pemekaran dari

desa Kale’o.

Kecamatan yang terletak di ujung timur Kabupaten Bima dan berbatasan

langsung dengan Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur ini dikenal dengan

masyarakat petani bawang merah, yang merupakan salah satu komoditi unggulan

di Kabupaten Bima. Struktur sosial masyarakat yang merupakan sebagian besar

petani inilah yang menjadi salah satu alasan penolakan masyarakat adanya

pertambangan di daerah mereka. Desa Sumi yang merupakan tempat eksplorasi

tambang yang di dilakukan oleh PT. Sumber Mineral Nusantara dengan IUP

bernomor 188/45/357/004/2010, dan pengoperasiannya dilakukan di lokasi seluas

24.980 Ha.

Kehadiran perusahaan pertambangan di Bima memang seringkali

melahirkan reaksi penolakan dari masyarakat sekitar, terutama bagi masyarakat

yang terkena langsung dampak penambangan tersebut. Tercatat terjadi penolakan

dari masyarakat hampir di seluruh kecamatan-kecamatan yang menjadi target

pertambangan antara lain pertambangan pasir besi di Kecamatan Wera dan

Kecamatan Soromandi, tambang emas di Kecamatan Parado, kecamatan Sape,

Kecamatan Langgudu bahkan di Kota Bima juga terjadi penolakan pertambangan

marmer namun reaksi yang paling besar dan masif terjadi di kecamatan Lambu.
Dalam polemik pertambangan di Lambu, bawang merah menjadi alasan

kuat masyarakat Lambu menolak tambang emas. Karena seperti yang dijelaskan

sebelumnya sebagian besar masyarakat Lambu menyandarkan hidupnya pada

bawang Keta Monca. Hasil panen Keta Monca itu bahkan sampai ke daerah lain,

dalam maupun luar negeri. Anehnya, pemerintah justru memilih tambang emas.

Usaha ekonomi yang hanya bisa dilakukan dalam jangka pendek, tak terbarukan,

dan memiliki daya rusak luar biasa. Itulah sebabnya, sejak awal keberadaan

perusahaan tambang emas ini ditolak warga Lambu.


BAB V

PERLAWANAN MASSA TERHADAP KORPORASI

Pada bab ini ada dua pertanyaan penelitian yang akan dibahas. Pertama,

adalah tentang faktor apa saja yang mendorong masyarakat melakukan

perlawanan terhadap korporasi. Dalam menjawab pertanyaan tersebut diatas,

peneliti mengurainya dalam beberapa bahasan antara lain meliputi latar belakang

perlawanan rakyat Lambu, isu-isu yang mendasari perlawanan masyarakat

Lambu, serta tahapan perkembangan gerakan sehingga menjadi gerakan

perlawanan.

Kedua, tentang siapa saja aktor yang memimpin gerakan dan melalui

institusi apa saja massa digerakkan dalam perlawanan menolak ijin usaha

pertambangan di tanah Lambu Kabupaten Bima. Untuk menjawab pertanyaan

penelitian ini peneliti mengemasnya dengan memetakkan masing-masing aktor

berdasarkan peran dan kontribusinya dalam gerakan perlawanan rakyat Lambu.

5.1 Latar Belakang Perlawanan Masyarakat Lambu

Pada bagian ini secara khusus menjelaskan latar belakang lahirnya gerakan

perlawanan masyarakat lambu menolak kebijakan pemerintah yang memberi izin

pertambangan di daerah mereka. Konflik Lambu sejatinya sudah muncul sejak

Tahun 2010 pasca Bupati Bima mengeluarkan SK Nomor : 188.45/357/004/2010

tertanggal 28 April 2010 tentang ijin usaha pertambangan yang diberikan kepada

PT Sumber Mineral Nusantara dengan luas wilayah 24,980 Hektar dengan lokasi

tambang di Kec. Sape, Kec. Lambu dan Kec. Langgudu untuk kegiatan ekplorasi
dalam bahan galian Emas (dmp). Masa berlaku izin tersebut, yakni 28 April 2010

s/d 1 Mei 2015. SK Nomor : 188.45/357/004/2010 hanya salah satu dari 13 SK

yang dikenal dengan 188 yang semua dikeluarkan tertanggal 28 April 2010 dan

diberikan kepada 6 perusahaan dengan wilayah operasi yang berbeda-beda,

termasuk jenis tambangnya, seperti mangan, pasir besi, dan tembaga. Dari enam

perusahaan tersebut, sebagian sudah melakukan ekploitasi dan sebagian lagi

masih dalam tahap eksplorasi, diantaranya PT Sumber Mineral Nusantara.

Sejak diterbitkannya Keputusan Bupati Bima tersebut telah menimbulkan

reaksi protes dari masyarakat Lambu. Masyarakat menilai kegiatan eksplorasi ini

dapat mengganggu mata pencahrian masyarakat setempat, mereka khawatir akan

dampak-dampak yang dihasilkan jika pertambangan itu dilakukan mengingat

sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai peternak dan petani. Selain itu,

keberadaan perusahaan tidak sepengetahuan warga setempat. Masyarakat merasa

dikagetkan dengan hadirnya perusahaan pertambangan, masyarakat menilai

keberadaan perusahaan tidak memiliki etika dan itikad baik. Masyarakat tidak

pernah di sosialisasi dan diajak bicara tentang persoalan pertambangan tersebut,

tidak ada informasi dari pemerintah dan instansi terkait dengan rencana

pertambangan serta apa saja manfaat yang diperoleh oleh masyarakat setempat.

Kami tidak pernah disosialisasikan tentang adanya rencana


pertambangan ini, baik dari pemerintah maupun dari pihak perusahaan,
kami tidak pernah diajak bicara, kami tidak pernah dimintai pendapat,
apa manfaatnya bagi kami masyarakat lambu, bahkan kami tidak tau
kapan perusahaan itu ada ditanah kami dan mulai beroperasi ditanah
kami.19

19
Wawancara dengan Bpk. Mulyadin, S.Pd selaku sekretaris FRAT pada tanggal 25 September
2013
Disisi lain masyarakat menilai keberadaan perusahaan pertambangan

dalam hal ini PT Sumber Mineral Nusantara dan pemerintah tidak lain layaknya

sekumpulan perampok yang mencoba merampok harta kekayaan mereka, dan

tidak segan-segan menciderai pemiliknya jika berusaha melawan. Asumsi inilah

yang mendasari perlawanan masyarakat Lambu dalam menolak realisasi SK

188.45/357/004/2010 tentang ijin eksplorasi kekayaan alam mereka.

Kami tidak tahu siapa yang mengeluarkan SK 188, dengan siapa


dibuatnya SK 188 itu, tiba-tiba ada perusahaan pertambangan datang dan
beroperasi di tanah kami tanpa sepengetahuan kami warga Lambu dan
mencuri seluruh tanah milik kami termasuk pemukiman kami, lalu kami
diminta untuk menerima, kami harus menyebutnya apa mereka ini, kalo
bukan perampok.20
Selanjutnya, perkembangan dialektika masyarakat pada saat itu memadat

dan mengarah pada tiga isu besar (grand isue) yaitu :

a. Isu Tanah (Isu Agraria)

Pemerintah atas nama kepentingan umum, memang memiliki kewenangan

untuk mengambil alih tanah-tanah tak bertuan, meskipun tanah-tanah tersebut

sudah sekian lama digarap dan di diami oleh masyarakat. Namun itupun dilakukan

harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dengan cara-cara yang

elegan. Namun Surat Keputusan (SK) Bupati Bima yang dikenal dengan sebutan

SK 188 tentang Izin eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara tidak hanya

mencantumkan tanah-tanah tak bertuan atau tanah milik negara seperti hutan

lindung sebagai wilayah operasi perusahaan, tetapi juga seluruh wilayah

pemukiman warga serta lahan pertanian warga. Selain itu terdapat pula perbukitan

20
Wawancara dengan Bpk. Hasanudin selaku koordinator FRAT pada tanggal 24 September 2013
(tanah adat) oleh masyarakat setempat disebut Doro Jamangko yang begitu

dikeramatkan oleh masyarakat Lambu.

Selain itu, terdapat pula mata air yang dikeramatkan warga setempat, yang

disebut ―tembaromba‖. Tembaromba atau disebut juga Dam (bendung)

Diwu Moro atau Siwu, airnya mengaliri irigasi serta parit-parit warga 12 desa di

Kec. Lambu (Soro, Melayu, Rato, Sumi, Lambu, Nggelu, dan enam desa lainnya)

untuk memasok air kebutuhan rumah tangga warga dan pertanian bawang.

Sehingga bila terdapat penambangan emas akan mengganggu sumber mata air.

b. Isu lingkungan.

Kekhawatiran akan dampak-dampak yang dihasilkan perusahaan tambang

terhadap lingkungan menjadi salah satu yang menjadi landasan perjuangan warga

Lambu menolak keberadaan perusahaan tambang di tanah mereka. Kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan oleh PT Freeport di Papua, Blok Cepu di Blora

Jawa Tengah, dan yang terdekat adalah PT Newmont Sumbawa benar-benar

dijadikan pelajaran oleh masyarakat Lambu.

Bagi rakyat Lambu alam merupakan sumber penghidupan mereka karena

itulah alam patut untuk dijaga. Perlu diketahui bahwa sebagian besar masyarakat

Lambu berprofesi sebagai petani dan nelayan, sehingga tidak berlebihan kiranya

jika penulis menyebut sebagian besar masyarakat Lambu menyandarkan hidup

pada alam.

c. Isu budaya

Masyarakat menilai keberadaan perusahaan Multinasional akan membawa

dampak sosial yang dapat merusak nlai-nilai moral masyarakat mengingat


masyarakat lambu merupakan masyarakat muslim dikhawatirkan merusak

kebudayaan Islam di tanah Lambu.

Hadirnya perusahaan pertambangan dikhawatirkan membawa dampak sosial

terhadap kehidupan masyarakat seperti munculnya praktek prostitusi,

bermunculannya tempat-tempat hiburan malam yang biasanya disertai dengan

perjudian, yang dapat merusak tatanan nilai-nilai lokalitas masyarakat yang telah

ada dan menjadi pegangan hidup masyarakat sejak dulu.

Masyarakat Lambu menyadari bahwa kehadiran PT Sumber Mineral

Nusantara di tanah mereka tidak akan banyak membawa manfaat, justru

keberadaannya akan membawa kerugian bagi kelangsungan hidup mereka. Hal

inilah yang melandasi perjuangan masyarakat Lambu dan sekitarnya sehingga

pantang menyerah untuk terus berjuang menolak keberadaan perusahaan tambang

tersebut.

5.2 Awal Lahirnya Perlawanan Masyarakat

Awal mula perlawanan masyarakat terhadap perusahaan pertambangan di

Lambu dipelopori oleh aktifis mahasiswa Kerukunan Mahasiswa Lambu Bima

(KMLB). Sejak adanya isu keberadaan perusahaan tambang di tanah Lambu

mahasiswa/pelajar lambu meresponnya dengan melakukan kajian intensif dan

mendalam disertai dengan riset kecil-kecilan tentang seputar persoalan

pertambangan. Dari hasil kajian intensif yang dilakukan oleh aktifis

pelajar/mahasiswa Lambu di Bima sampailah pada titik kesimpulan bahwa

keberadaan perusahaan tambang lebih banyak mendatangkan mudharat dari pada

manfaat yang diperoleh masyarakat setempat. Dari hasil kajian tersebut


melahirkan sikap penolakan mahasiswa terhadap Izin pertambangan di daerah

mereka.

Sejatinya penolakan terhadap perusahaan tambang telah berlangsung sejak

2009, sejak PT Sumber Mineral Nusantara mendapat Izin Usaha Pertambangan

(IUP) pada tahun 2008 dengan kuasa pertambangan (KP) Nomor 621 Tahun 2008.

Izin tersebut kemudian diperbaharui oleh Pemerintah Kabupaten Bima dengan

diberikannya IUP bernomor 188/45/357/004/2010 pada 28 April 2010.

Mahasiswa menyikapi SK Bupati No. 188/45/357/004/2010 tersebut dengan

menggelar aksi di depan kantor camat Lambu pada tanggal 28 April 2010. Pada

aksi ini hanya melibatkan massa kecil yang beranggotakan mahasiswa/mahasiswi

Lambu yang kuliah di Kota Bima dan dipimpin oleh Ansari selaku Ketua

Kerukunan Mahasiswa Lambu Bima (KMLB). Aksi ini bermaksud

mempertanyakan proses masuknya perusahaan tambang serta meminta dukungan

pemerintah kecamatan yang dipimpin oleh Bpk. Muhaimin, S.Sos selaku Camat

Lambu untuk ikut serta menolak perusahaan tambang. Disisi lain, aksi ini

membawa pesan penyadaran kepada masyarakat luas tentang bahaya dan dampak

pertambangan sehingga masyarakat merasa tergugah untuk ikut serta dan ambil

bagian dalam perjuangan menolak perusahaan pertambangan di daerah mereka.

Sampai pada aksi kedua dan ketiga (terhitung mulai aksi tanggal 28 April

2010) belum banyak massa yang terhimpun atau dengan bahasa lain keterlibatan

masyarakat pada saat itu belum terlalu besar dan belum terorganisir dengan baik.

Misi penyadaran terus dilakukan, berbagai cara dan strategi pun dilakukan untuk

mengirim pesan kepada masyarakat agar mau bersatu menentang kebijakan


pemerintah dan menolak perusahaan pertambangan. Seiring waktu sampailah

pada sebuah cara yang mampu menggugah nurani dan kesadaran masyarakat yaitu

dengan menyiarkan video tentang berbagai efek dan dampak negatif dari

pertambangan melalui tv kabel langganan masyarakat. Cara ini ternyata sangat

efektif karena masyarakat dapat menyaksikan secara langsung ekses negatif dari

keberadaan perusahaan-perusahaan pertambangan.

Pasca diputarkannya video yang berisikan tentang persoalan-persoalan

pertambangan di Indonesia sontak memberi pengaruh besar terhadap peningkatan

massa yang terlibat dan bergabung dalam sejumlah agenda perjuangan rakyat

lambu baik dalam mimbar bebas, rapat-rapat umum yang membahas rencana

strategis dan praksis gerakan.

Pada awal munculnya reaksi penolakan masyarakat hanya berupa aksi

protes yang berusaha mempertanyakan kebijakan pemerintah kemudian seiring

waktu berkembang menjadi gerakan perlawanan, yang semakin hari semakin

membesar, meluas dan melibatkan banyak orang terutama kecamatan lain yang

masuk wilayah pertambangan, putra/putri mahasiswa Lambu maupun Bima secara

umum di berbagai daerah perantauan.

Protes itu sendiri menurut Lipsky, sebagaimana dikutip oleh Silaen, dapat

dianggap sebagai aksi politik, yang ditandai dengan kegiatan yang bersifat tidak

umum dan dilakukan oleh kelompok relatif lemah.21 Disamping sebagai aksi;

protes juga dapat dilihat sebagai gerakan (movement), dalam arti yang terorganisir

pada masyarakat yang menginginkan perubahan tatanan yang ada dengan tujuan

21
Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru : Perlawanan Komuitas Lokal pada Kasus Indorayon
Toba Samosir. Yogyakarta. Ire Press. Hal. 236
penghancuran kepentingan kekuasaan demi hadirnya pola baru.22 Pendapat yang

hampir sama dengan itu mengatakan, gerakan sosial politik seringkali

diidentikkan dengan radikalisme yang bermakna sebagai gerakan sosial yang

sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang

dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan berkuasa.

Karena itu, salah satu aspek yang menarik dalam gerakan-gerakan sosial adalah

dimensi politiknya, dimana pada dasarnya semua gerakan demikian merupakan

ekspresi akan protes terhadap keadaan-keadaan sosial yang tidak adil atau

berbagai kekacauan termasuk pemerasan dan penindasan oleh mereka yang

menggunakan kekuasaan.

Dengan demikian, gerakan perlawanan masyarakat lahir dari situasi dalam

masyarakat karena adanya kekecewaan secara kolektif dari masyarakat terkait

dengan ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan

kata lain, gerakan perlawanan lahir dari reaksi terhadap sesuatu yang tidak

diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak

adil dan merampas hak-hak rakyat. Disini terlihat tuntutan rakyat Lambu itu lahir

karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan harapan mereka ataupun

bertentangan dengan kepentingan masyarakat Lambu secara umum.

22
Ibid, hal. 237
Tabel 5.1
Rentetan Peristiwa Perlawanan Rakyat Lambu

Tanggal Peristiwa Keterangan

Melakukan aksi protes menentang kebijakan Bupati Bima


28 April
Aksi Mahasiswa KMLB yang menerbitkan SK No 188/45/357/004/2010 tentang
2010
Izin Usaha Pertambangan kepada PT SMN

Oktober Terjadi bentrok berdarah yang menyebabkan jatuhnya 35


Aksi warga
2010 orang korban luka berat dan ringan dari pihak warga.

• Warga meminta camat Lambu (Muhaimin, S.Sos)


untuk menolak kehadiran PT Sumber Mineral
Desember Pertemuan dengan
Nusantara.
2010 Camat Lambu
• Camat berjanji akan menyampaikan aspirasi warga
kepada Bupati Bima.

Warga mempertanyakan janji Camat, warga yang menamai


8 Januari
Demo Massa diri Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) kecewa karena
2011
camat tidak mau menemui mereka.

• (FRAT) kembali mendatangi kantor camat dan


meminta Camat Lambu untuk menandatangani surat
pernyataan penolakan adanya penambangan emas yang
Demo yang melibatkan
31 Januari telah dioperasikan oleh PT. SMN.
massa sekitar 1500
2011 • Setelah perdebatan alot perwakilan massa diterima oleh
orang
Camat, namun camat belum bisa menandatangani
pernyataan penolakan tersebut karena harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati Bima.

Sekretaris Camat
mengumumkan melalui
9 Februari pengeras suara Masjid
Sekretaris Camat hampir di amuk massa
2011 Agung Lambu agar
masyarakat tidak
melakukan demo

• Massa aksi melakukan long march dari lapangan Sura


10 desa Rato yang jaraknya sekitar dua kilometer hingga
Demo ke 3, 7000 orang
Februari sampai ke kantor camat Lambu.
dari 12 Desa
2011 • Masa tetap meminta Camat menandatangani Surat
Pernyataan Penolakan.
• Pengamanan aksi unjuk rasa yang dikawal oleh 250
ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
76

personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil


gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob
Polda NTB, kembali memediasi perwakilan dari FRAT
dengan pihak Camat.
• Camat seakan mengulur-ulur waktu dan menjelaskan
bahwa Bupati masih belum bisa ditemui.
• Setelah itu aksi masa ricuh, M. Nasir (23) terkena
peluru polisi (aksi tambah parah) ditambah ulah
preman kecamatan yang membuat situasi memanas.
• Massa memukul mundur aparat dan melampiaskan
kekecewaan terhadap pemerintah dan aparat kepolisian
serta preman peliharaan camat dengan merusak dan
membakar Satu unit truck Pol PP Camat Lambu, satu
unit mobil kijang patroli Pol PP Camat Lambu, satu
unit mobil dinas Camat Lambu, satu unit mobil
pemadam kebakaran Kota Bima, satu unit mobil
avanza, satu unit rumah jabatan Camat Lambu, satu
unit kantor Camat Lambu, delapan unit sepeda motor
serta sepuluh unit komputer dan ruang aula camat
lambu

• Bukannya membuka ruang diskusi, pemkab Bima


membuat Laporan ke Mapolresta, dan meminta
Pemkab Bima aparat menindak tegas oknum yang menjadi
melaporkan kerusakan provokator (5 orang dijadikan tersangka).
Pasca
dan anarkisme rakyat • Kecamatan Lambu pun terus mencekam, intimidasi
Kerusuhan
Lambu ke Mapolres serta swiping pun terus digelar, hampir diseluruh
Kota Bima cabang jalan se-kecamatan Lambu dipenuhi oleh aparat
bersenjata lengkap pada pekan pertama pasca
pengrusakan

Pemblokiran jalan Pendudukan atas simpang empat yang menghubungkan


19
kebupaten penghubung kecamatan Sape, Lambu, Parado dan jalur menuju
Desember
antara Kecamatan Sape, Pelabuhan Sape merupakan pertimbangan rasional
2011
Lambu dan Parado mengingat ketika harus aksi ke Bima membutuhkan biaya
yang cukup besar.
Perwakilan warga
dalam perundingan tersebut warga tetap pada tuntutannya
20 Lambu melakukan
bahwa SK 188 harus dicabut. Mereka menolak daerah
Desember pertemuan dengan
tempat tinggalnya dijadikan area pertambangan emas dan
2011 Bupati Bima dan
menuntut agar Adi Supriadi, salah satu aktivis dari
perwakilan kepolisian
kalangan warga yang ditahan polisi, untuk dibebaskan.
Pemblokiran Pelabuhan Sape yang menghubungan Bima
24 Ocupacy Port Sape
dengan Provinsi NTT oleh warga Lambu hingga dilakukan
Desember
pembubaran paksa oleh aparat polisi yang menyebabkan

TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP... MUHAMMAD ERWIN


2011 dua orang korban jiwa.

Bupati tetap bersikukuh tidak akan mencabut SK 188/2010


dikarenakan tidak ada alasan yang mendasar untuk
Desember Rapat konsultasi DPRD melakukan itu. Bupati berdalih, ada tiga hal yang bisa
2011 Bima mencabut SK itu, yakni jika perusahaan pemegang ijin
tidak melaksanakan kwajibannya, terlibat masalah pidana
dan dinyatakan pailit.

Pembakaran Kantor Puncak amarah warga pasca 5 hari sebelumnya Bupati


26 Januari
Bupati Bima dengan bersedia menemui warga, namun hingga hari itu Bupati tak
2012
20.000 massa kunjung mau menemui warga

28 Januari Bupati cabut tetap IUP Pencabutan secara tetap IUP No 188/2010 melalui SK
2012 No 188/2010 188.45/64/004/2012

Data diolah dari hasil wawancara dari berbagai narasumber

Protes dan penolakan dari masyarakat yang kemudian berkembang

menjadi gerakan perlawanan, bisa dikatakan sebagai akibat dari tidak adanya

kehendak politik (political will) yang kuat dari pihak pemerintah untuk

mendengar dan membuka komunikasi politik dengan masyarakat yang merasa

dirugikan oleh keberadaan PT Sumber Mineral Nusantara. Selain itu, pemberian

izin operasi perusahaan tambang yang mencakup dengan lahan pertanian dan

pemukiman warga merupakan bentuk arogansi penguasa kepala daerah dengan

mengabaikan hak-hak masyarakat.

Dengan demikian, gerakan rakyat Lambu melawan pemerintah dan

perusahaan tambang dilandasi oleh keinginan dan motivasi untuk

mempertahankan kampung halaman, melindungi tanah kelahiran dari ancaman

sabotase korporasi dan bahaya dampak negatif dari perusahaan pertambangan

serta melindungi nilai-nilai tradisi masyarakat.


ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga
78

5.3 Proses Pembentukan FRAT23

Ide pembentukan FRAT (Front Rakyat Anti Tambang) pertama kali

muncul dari pemikiran mahasiswa/mahasiswi Lambu. Hal ini dilandasi oleh

pemikiran agar massa semakin padat dan mudah dilakukan konsolidasi. Kemudian

alasan lain adalah supaya gerakan ini betul-betul milik rakyat dan rakyat pun

merasa ini merupakan agenda mereka.

Ide pembentukan FRAT ini adalah muncul dari ide adik-adik mahasiswa
sebenarnya yang lahir dari KMLB itu dengan alasan untuk menyolidkan
rakyat, memang kita tidak memakai bendera apa-apa termasuk adik-adik
kami mahasiswa hanya memakai bendera itu (baca: FRAT).24
Disamping itu, latar belakang organisasi mahasiswa yang berbeda-beda

menjadi salah satu faktor penunjang lahirnya FRAT. Karena dikalangan

mahasiswa saja terdiri dari berbagai latar belakang bendera organisasi baik

berlatarkan organisasi daerah (Orda) seperti Kesatuan Mahasiswa Lambu Bima

(KMLB), Kesatuan Aksi Mahasiswa Lambu Mataram (KAMIL), maupun

organisasi yang mengusung ideologi tertentu seperti Front Mahasiswa Nasional

(FMN), Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND), dan HMI MPO. Belum

lagi organisasi-organisasi diluar organisasi kemahasiswaan yang ikut melakukan

advokasi persoalan Lambu.

Dengan demikian dirasa perlu untuk membentuk sebuah wadah perjuangan

yang dapat mewakili tujuan perjuangan masyarakat Lambu dan menghilangkan

identitas kelompok-kelompok sehingga tidak ada bendera lain selain bendera

23
FRAT merupakan oragnisasi yang dibentuk sebagai wadah perjuangan masyarakat Lambu
dalam menolak kehadiran perusahaan pertambangan di tanah mereka. FRAT lahir dari keresahan
masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan yang mengeksploitasi kekayaan alam
mereka dan merampas tanah mereka.
24
Wawancara dengan Bpk. M. Syafrin selaku Kades Lanta sekaligus menjadi aktor dalam gerakan
rakyat Lambu, pada tanggal 25 September 2013

TESIS RESISTENSI POLITIK MASYARAKAT TERHADAP... MUHAMMAD ERWIN


FRAT (Front Rakyat Anti Tambang). Disisi lain masyarakat pada saat itu sudah

membayangkan akan sebuah perjuangan besar sehingga perlu adanya sebuah

identitas yang dapat menyatukan seluruh elemen masyarakat Lambu dan

sekitranya (Sape, Wera, dan Langgudu).

Sejak dibentuknya FRAT gerakan rakyat Lambu menjadi terorganisir,

disamping dalam hal taktis di lapangan pada saat demonstrasi, juga tersruktur

dengan baik, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya koneksi/jejaring antar desa

hingga ke tingkat-tingkat RT (rukun tetangga) dengan membentuk struktur di

masing-masing desa dalam bentuk Koordinator Desa. Sebagaimana dijelaskan

oleh Mc Adam, dkk., struktur penggerak sebuah gerakan sosial adalah piranti,

dimana orang-orang memobilisasi dan terlibat dalam tindakan kolektif tersebut.

Dalam konteks gerakan perlawanan rakyat Lambu, FRAT mempunyai andil besar

dalam memobilisasi masyarakat Lambu. FRAT mampu mengambil alih peran

organisasi sosial kemasyarakatan yang telah ada seperti RT/RW, HKTI.

5.4 Penggalangan Dana Gerakan

Peroses penggalangan dana untuk gerakan dilakukan dengan dua cara;

yang pertama dengan melakukan aksi penggalangan dana di simpang empat yang

menghubungkan antara Pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Kecamatan Lambu,

dan Kecamatan Parado. Cara kedua adalah dengan menggerakkan kordinator-

kordinator masing-masing desa untuk menggalang bantuan berupa sumbangan ke

seluruh masyarakat Desa kemudian di setorkan pada koordinator umum.

Karena sumbangan sifatnya sukarela besaran dana yang disumbangkan

pun tidak menentu mulai dari Rp. 1.000 sampai dengan Rp. 1.000.000, biasanya
penyumbang terbesar dengan angka Rp. 100.000 keatas datang dari kalangan

pegawai negeri sipil, pengusaha lokal dan petani bawang yang merasa dirugikan

oleh keberadaan perusahaan tambang. Dana yang terkumpul kemudian di setorkan

pada pengurus inti atau Koordinator Umum, penyetoran dana hasil penggalangan

dilakukan pada saat rapat koordinasi. Dana yang terkumpul digunakan untuk

keperluan aksi, mengingat satu kali turun aksi ke kantor Bupati Bima

menghabiskan biaya sekitar puluhan juta. Sebagiannya lagi digunakan untuk

keperluan konsumsi rapat, dan agenda gerakan lainnya, seperti pembuatan

pamflet, spanduk, dan lain-lain.

5.5 Aktor-Aktor Gerakan Rakyat Lambu

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama ini, baik di lapangan

maupun dari data dokumentasi diperoleh bahwa aktor dalam gerakan rakyat

Lambu berupa aktor-aktor berdiri secara individual tidak mewakili institusi

ataupun organisasi. Meskipun awalnya digagas oleh organisasi mahasiswa yang

berbasiskan kedaerahan bernama KMLB (Kerukunan Mahasiswa Lambu Bima),

namun hanya berperan sebagai wadah untuk membangun opini dan sikap hingga

menggagas aksi setelah itu para mahasiswa ini sepakat menggunakan aliansi

rakyat (FRAT) sebagai alat perjuangan.

Selanjutnya peran masing-masing aktor sebagai pemimpin gerakan rakyat

sangat besar terutama dalam membangun kesadaran masyarakat akan bahaya

pertambangan dan ketidak adilan yang dilakukan pemerintah – melakukan

perlawanan secara bersama-sama untuk mengusir perusahaan pertambangan

ditanah Lambu. Sementara kesulitan terbesar yang dirasa para aktor dalam
membangun gerakan adalah membingkai (framing) masalah sosial dan ketidak

adilan menjadi spirit perjuangan rakyat. Dalam setiap gerakan sosial atau gerakan

massa proses framing menjadi tahapan penting yang berpengaruh terhadap

kesuksesan sebuah gerakan proses ini seringkali disebut dengan

―kerangka berpihak. Berikut akan diuraikan tentang posisi dan peran masing-

masing aktor dalam gerakan perlawanan rakyat Lambu.

1. Bapak Hasanudin Seorang Preman Bermental Panglima Perang

Sepintas tidak ada yang istimewa dari sejarah hidup dan latar belakang

bapak berumur 46 tahun ini. Bapak Hasanudian adalah mantan preman yang masa

mudanya dipenuhi dengan catatan kriminal, kerjaannya keluar masuk penjara

dengan berbagai masalah dan kasus. Namun pada gerakan rakyat lambu beliau

hadir sebagai sosok pembeda yang mampu menggerakkan dan mengkoordinir

masyarakat, menjadi inspirasi dan mampu membakar semangat rakyat Lambu

untuk terus berjuang melawan korporasi bersama pemerintah.

Kepemimpinannya mampu mengubah wajah gerakan yang semula sebatas

gerakan protes menjadi gerakan perlawanan yang tidak gentar meskipun

berhadapan dengan barikade polisi dan brimob. Dibawah kepemimpinannya

masyarakat Lambu seolah mendapat suntikan keberanian untuk terus melawan

meskipun harus berhadapan dengan tindakan reprsif dari aparat kepolisian. Berkat

keberanian dan kemampuannya tersebut oleh warga ia dipanggil dengan sebutan

Jenderal Hasan.

2. Ansari Mahasiswa Penggagas Gerakan Rakyat Lambu


Ansari saat itu merupakan salah satu mahasiswa perguruan tinggi di salah

satu kampus swasta di kota Bima. Ia adalah aktifis sekaligus ketua KMLB

(Kerukunan Mahasiswa Lambu Bima) periode 2010-2011. Sejak masuknya

perusahaan pertambangan ditanah Lambu diresponnya dengan mengkoordinir

seluruh anggota/putra-putri Lambu untuk melakukan kajian secara intens terkait

dengan masuknya perusahaan tambang ditanah Lambu.

Dari hasil kajian dan analisa yang dilakukan secara rutin bersama teman-

teman dan seluruh kader KMLB di Bima lalu sampailah pada kesimpulan bahwa

masalah tersebut perlu disikapi secara serius. Ia pun bertekad membawa masalah

tersebut ke jalan, dengan bermodalkan kesamaan pandangan ia lalu menggerakkan

seluruh mahasiswa/i yang merupakan kader KMLB untuk turun kejalan guna

mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang pemberian izin pertambangan di

tanah mereka.

3. Adi Supriadin Pejuang Rakyat Yang Dikriminalkan

Adi Supriadin merupakan Ketua KMLB setelah periode kepemimpinan

Ansari yaitu periode 2011-2012. Ia salah satu aktifis KMLB yang paling getol

menentang keberadaan perusahaan pertambangan di tanah Lambu. Diawal-awal

aksi penolakan perusahaan tambang ditanah ia bergantian dengan ansari

memimpin aksi mahasiswa dan masyarakat Lambu.

Semangatnya tersebut akhirnya membawa pada awal dari sejumlah

peristiwa besar dalam polemik ditanah Lambu yaitu kisruh di Kantor Camat

Lambu yang berakhir pada pembakaran Kantor Camat Lambu. Tidak hanya itu

beberapa aksi sebelumnya pun ia selalu berada pada barisan paling depan untuk
memimpin massa sehingga aparat pada saat itu menempatkannya sebagai

provokator massa atau dalam bahasa Gramsci merupakan ―aktor

intelektual‖ dalam kasus pembakaran Kantor Camat Lambu. Ia pun kemudian

menyusul kelima warga Lambu lainnya yang terlebih dahuulu ditangkap. Ia dan

kelima warga lain kemudian di jatuhi hukuman penjara selama tujuh bulan.

4. Syafrin Sosok Yang Tak Kenal Lelah Membangkitkan Kembali Semangat

Perjuangan Rakyat.

Pasca pembakaran kantor Camat Lambu situasi di Kecamatan Lambu

berubah mencekam, seluruh wilayah kecamatan Lambu dikuasai oleh aparat

Kepolisian yang terus melakukan patroli menyisir seluruh wilayah kecamatan

mencari para aktor yang terlibat dalam proses pembakaran Kantor Camat. Hal ini

menyebabkan seluruh aktifitas gerakan menjadi mati selain itu, sejumlah tokoh

memilih untuk sementara hijrah ke daerah lain.

Dari situasi yang demikian membangkitkan inisiatif Bapak Syafrin untuk

kemudian mengambil alih peran yang ditinggalkan oleh teman-temannya dan

kembali mengidupkan gerakan rakyat Lambu. Ia memulai dengan menghubungi

beberapa teman-temannya yang masih bersemangat untuk turun aksi meskipun

beberapa kali mereka melakukan long march hanya diikuti sekitar 5 – 10 orang

tidak menyurutkan semangatnya. Aksi long march terus dilakukan tidak peduli

berapa orang yang ikut terlibat tetapi hal ini harus dilakukan untuk membangun

kepercayaan dan keyakinan masyarakat bahwa gerakan ini belum usai,

perjuangan belum berakhir.


BAB VI

KEKERASAN: ANTARA ALAT PERJUANGAN

DAN NALURI KOLEKTIF

Pertambangan kerap menjadi sumber konflik antara masyarakat di satu

sisi, antar masyarakat dengan perusahaan bersama pemerintah di sisi lainnya.

Menyikapi permasalahan yang kedua seringkali pendekatan represif selalu dipilih

pemerintah untuk menyikapi dinamika yang terjadi pada masyarakat sekitar

pertambangan. Penggunaan aparat keamanan dinilai menjadi solusi pamungkas

bagi pemerintah untuk menyelesaikan gejolak di akar rumput. Model penyelesaian

masalah seperti ini kerapkali menyisakan masalah didepan, tidak jarang aksi-aksi

demonstrasi yang dilakukan masyarakat yang awalnya sekedar aksi protes dan

mempertanyakan sebuah kebijakan tiba-tiba berubah menjadi bentrokan berdarah

dikarenakan provokasi aparat keamanan.

Reaksi pemerintah yang mengedepankan pendekatan kekerasan dari pada

pendekatan persuasif tidak jarang dibalas oleh masyarakat dengan kekerasan pula

sebagai upaya perlawanan. Hal ini yang terjadi pada masyarakat Lambu ketika

melakukan aksi protes guna menolak kehadiran perusahaan tambang ditanah

leluhur mereka. Keberhasilan masyarakat lambu dalam mengusir perusahaan

pertambangan ditanah mereka tidak terlepas dari aksi-aksi kekerasan yang

dilakukan oleh massa ketika berunjuk rasa, terlebih lagi berbagai peristiwa-

peristiwa kekerasan yang terjadi berhasil di rekam media baik lokal maupun

nasional.
Berbagai peristiwa kekerasan massa dalam gerakan perlawanan rakyat

lambu terhadap perusahaan tambang dan pemerintah antara lain adalah,

pembakaran Kantor Camat, pendudukan Pelabuhan Sape yang melumpuhkan jalur

transportasi Bima-Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diikuti dengan pembakaran

kantor instansi pemerintahan di kecamatan Lambu antara lain Kantor KUA

Kecamatan Lambu, Kantor Polisi Sektor Lambu, Kantor UPT Dinas Pertanian,

Kantor UPT Dinas Kehutanan, dan 4 (empat) kantor Kepala Desa yaitu desa

Lanta, desa Sumi, desa Soro, dan desa Melayu, dan yang terakhir adalah Kantor

Bupati Bima yang merupakan pusat aktifitas pemerintahan Kabupaten Bima.

Selanjutnya uraian berikut akan membahas secara terperinci tentang sejumlah

kekerasan massa dalam perjuangan masyarakat dalam rangka memprotes dan

melawan perusahaan pertambangan bersama pemerintah.

1. Pembakaran Kantor Camat

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Februari 2011, pada saat itu warga

melakukan long march dari lapangan Sura desa Rato yang jaraknya sekitar dua

kilometer hingga sampai ke kantor camat Lambu. Setiba di sana, warga

menyampaikan tuntutan supaya Bupati Bima mencabut IUP PT Sumber Mineral

Nusantara sebagai perusahaan yang diberi kuasa pertambangan ditanah mereka.

Aksi ini bukan yang pertama kali dilakukan masyarakat lambu tapi yang kesekian

kali namun pada aksi demostrasi ini tergolong aksi dengan massa paling besar

diantara aksi-aksi sebelumnya. Hal ini dipicu oleh kemarahan masyarakat

terhadap sekretaris Camat yang menghimbau kepada seluruh masyarakat Lambu


untuk tidak lagi melakukan aksi demonstrasi lewat pengeras suara Masjid Agung

Lambu sehari sebelumnya.

Namun setibanya di Kantor Camat Lambu yang saat itu dijabat oleh

Muhaimin, S.Sos, enggan untuk menyampaikan aspirasi warga dan dinilai sengaja

mengulur-ulur waktu. Masyarakat yang merasa gerah setelah sekian kali

melakukan demonstrasi namun tidak membuahkan hasil apa-apa, dan seketika itu

aksi yang semula berjalan damai dan tertib berubah menjadi ricuh. Seketika itu

pula disikapi oleh polisi dengan tembakan menggunakan gas air mata, peluru

karet bahkan diduga ada juga yang menggunakan peluru tajam. Mendapatkan

salah seorang rekan mereka yang bernama M. Nasir yang terkena tembakan

semakin membakar semangat massa untuk terus melawan. Massa yang sudah

tidak terkendali kemudian membakar kantor Camat Lambu.

Dilain sisi, fakta yang mencengangkan dari kerusuhan ini selain

menghadapkan masyarakat dengan aparat kepolisian secara head to head, negara

juga menggunakan instrumen lain seperti mengorganisir para preman untuk

dibenturkan dengan masyarakat. Sehingga kerusuhan yang terjadi membentuk

pola segi tiga yaitu antara masyarakat melawan aparat kepolisian dan para preman

yang di organisir oleh pemerintah kecamatan. Tindakan pemerintah kecamatan

yang mengorganisasikan para preman merupakan tindakan yang sengaja

memprovokasi keadaan sehingga menyulut emosi masyarakat pada saat itu, atau

dalam istilah Carter memunculkan pembangkangan sipil.

Akibat peristiwa pembakaran Kantor Camat tersebut, lima orang warga

ditangkap antara lain; Abidin, M. Nur, Tasrif, Mashulin, dan Faisal Jadil,
kemudian dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Kemudian disusul dengan empat

nama lain yang dituding sebagai profokator (aktor intelektual); Mulyadin,

Musaidin, Adi Supriadin, dan Ansari. Keempat orang ini dinilai sebagai tokoh

sentral yang seringkali memimpin aksi rakyat Lambu, dalam kaca mata polisi

mereka melakukan provokasi massa untuk melakukan pembakaran kantor camat.

Pasca pembakaran kantor Camat Lambu situasi di Kecamatan Lambu

berubah mencekam, masyarakat dilanda perasaan ketakutan. Pasca kejadian

seluruh wilayah kecamatan Lambu dikuasai oleh aparat Kepolisian, mereka terus

melakukan patroli menyisir seluruh wilayah kecamatan Lambu dan disertai

dengan tindakan intimidasi terhadap masyarakat Lambu. Tidak sedikit dari

masyarakat yang memilih bersembunyi di gunung dan di ladang-ladang dan ada

pula memilih untuk sementara pindah ke Dompu dan Sumbawa karena khawatir

di tangkap tiba-tiba oleh pihak kepolisian, sementara yang tetap tinggal memilih

untuk diam dan tidak beraktifitas diluar rumah.

Pasca pembakaran Kantor Camat, seluruh masyarakat Lambu ketakutan,


seluruh wilayah ini dikuasai oleh aparat, tapi bagi kita pada saat itu tidak
ada rasa takut, kita menghindar selama 1 minggu. Kita menghindar bukan
bermaksud tidak bertanggung jawab atas perbuatan kita, tetapi kita
menunggu situasi aman dan kondusif untuk melanjutkan perjuangan.25
Masyarakat merasa takut karena aparat menghadapi aksi-aksi mereka

secara represif. Namun bagi tokoh-tokoh FRAT sementara mengungsi ke daerah

lain dalam bahasa mereka ―menghindar‖, menghindar bagi mereka

merupakan pilihan bijak guna menunggu situasi kembali kondusif sehingga dapat

kembali mengorganisir perjuangan rakyat. Ditengah penghindaran sementara

Mulyadin

25
Wawancara dengan Bpk. Syafrin (Kades Lanta yang juga salah satu dari tokoh penggerak
rakyat Lambu) pada tanggal 24 September 2013
selaku sekretaris FRAT menghubungi adik-adik mahasiswa Lambu di Makasar

untuk pulang dan mengorganisasikan kembali masyarakat Lambu karena mereka

tidak memungkinkan untuk mengambil peran tersebut karena statusnya sebagai

Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi.

Gambar 6.1
Kantor Camat Lambu setelah dibakar massa
Perlawanan rakyat lambu bukanlah aksi individual melainkan aksi

kelompok yang terorganisir sehingga meskipun beberapa aktornya ditangkapi dan

dipenjara, ada pula sebagian yang melarikan diri untuk sementara karena masuk

daftar buruan polisi, masih ada aktor-aktor lain siap untuk mengambil alih

perjuangan. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya Adi Supriadi sebagai aktor
penggerak awal dari masyarakat Lambu namun tidak mematikan gerakan

perlawanan rakyat Lambu.

Mengacu pada pendapatnya Erick Hoffer, sebuah Gerakan massa dicirikan

oleh: terbangkitnya kerelaan para anggota untuk berkorban sampai mati;

kecenderungan untuk beraksi secara kompak; dimilikinya fanatisme, antusiasme,

harapan berapi-api, kebencian, intoleransi, kepercayaan buta dan kesetiaan

tunggal. Masyarakat dan para tokoh gerakan rakyat Lambu menyadari bahwa

aksi-aksi semacam ini beresiko besar, karena berpotensi merugikan diri sendiri.

Namun, bagi mereka itu merupakan konsekuensi logis yang siap mereka hadapi di

balik perjuangan ini. Bahkan para pemuda/mahasiswa yang menjadi aktor

penggerak masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap korporasi ini rela

mengorbankan hidup dan masa depannya untuk masyarakat Lambu, bayangkan

aksi demonstrasi yang hanya beralatkan kayu dan spanduk menghadapi aparat

yang kepolisian yang bersenjatakan lengkap.

2. Kisah Pilu di Pelabuhan Sape

Sejalan dengan waktu radikalisme masyarakat Lambu dalam menentang

kehadiran PT Sumber Mineral Nusantara berada pada titik puncak. Masyarakat

mulai menggunakan cara-cara yang radikal dengan tujuan agar persoalan Lambu

mendapat perhatian pemerintah pusat dan menjadi permasalahan nasional. Salah

satu dari sekian aksi radikal masyarakat lambu adalah dengan menduduki

Pelabuhan Sape yang merupakan jalur penghubung antar Bima dengan Nusa

Tenggara Timur. Puncak dari aksi ini terjadi bentrokan antar masyarakat dengan

aparat kepolisian yang dalam usahanya membubarkan massa secara paksa.


Peristiwa berdarah yang menyita perhatian nasional tersebut berawal dari

aksi long march yang digelar oleh masyarakat pada tanggal 19 Desember 2011

dengan berjalan kaki dari lapangan Sura Rato menuju perempatan yang

menghubungkan antara pelabuhan, kecamatan Sape, kecamatan Lambu, dan

Kecamatan Langgudu. Tujuan dari aksi ini adalah melumpuhkan jalur transportasi

yang menuju pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu. Menurut

Bpk. Hasanudin (Hasan) selaku Koordinator Front Rakyat Anti Tambang (FRAT)

sejak awal pendudukan dilapangan mengarahkan untuk melakukan pendudukan

terhadap pelabuhan Sape.

Ketika massa bergegas menuju pelabuhan Sape, aparat kepolisian berusaha

menghadang namun gagal dilakukan disebabkan jumlah massa saat itu jauh lebih

besar dibandingkan dengan jumlah aparat kepolisian. Mulai hari itu juga massa

berhasil memblokir/menduduki pelabuhan Sape.

Sehari setelahnya pada tanggal 20 Desember 2011 dilakukan pertemuan

dan dialog di ruangan Camat Sape antara 8 (delapan) orang perwakilan

masyarakat Lambu dengan Bupati Bima dan difasilitasi Wakil Kepala Kepolisian

Daerah (Wakapolda) NTB dan rombongan, Kepala Dinas Perhubungan Kominfo

Provinsi NTB, Kapolresta Bima, Dandim 1608 Bima, Camat Sape, Camat Lambu

dan Kapolsek Sape.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk mendengarkan apa saja yang menjadi

tuntutan dan harapan masyarakat Lambu. Adapun yang menjadi tuntutan massa

pendemo pada saat itu : Pertama, menuntut Bupati Bima melakukan pencabutan

SK 188.45/357/004/2010 tentang penyesuaian Izin Usaha Pertambangan (IUP)


eksplorasi kepada PT Sumber Mineral Nusantara. Kedua, pembebasan salah satu

anggota mereka yang bernama Adi Supriadi yang ditahan pasca insiden

pembakaran Kantor Camat Lambu.

Sebagai jawaban atas tututan/permintaan rakyat lambu tersebut, Bupati

Bima H. Ferry Zulkarnain, ST menyikapinya dengan membuat pernyataan tertulis

dan ditandatangani, yang isinya: Pertama, Bupati Bima akan melakukan

penghentian sementara atas ijin eksplorasi PT. Sumber Mineral Nusantara, karena

tuntutan pencabutan sebagaimana dikehendaki pihak pendemo tidak bisa

dipenuhi. Kedua, terkait dengan tuntutan pembebasan saudara Adi Supriadi tidak

dapat dipenuhi karena hal tersebut telah masuk ke ranah penegakkan hukum

dalam hal ini telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Raba Bima (P 21).

Menanggapi pernyataan tertulis dari bapak Bupati Bima tersebut, pihak

massa yang diwakili 8 orang yang dipimpin oleh bapak Hasanudin (Jenderal

Hasan) menolak tawaran bupati Bima yang menghendaki adanya penghentian

sementara dan tetap kukuh pada tuntutan awal yaitu pencabutan SK

188.45/357/004/2010 serta pembebasan saudara Adi Supriadi yang menjadi

tersangka dalam aksi pembakaran Kantor Camat Lambu pada tanggal 10 Februari

2011.

Pasca itu, upaya negosiasi dan komunikasi terus dilakukan dengan

melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda.

Namun tidak membuahkan hasil. Selanjutnya pada tanggal 21 Desember 2011

dilakukan dialog antara tokoh masyarakat Lambu, Sape, Muspika bersama

Kapolresta Bima namun lagi-lagi tidak membuahkan hasil.


Pada tanggal 23 Desember 2011, sebagaimana yang dijanjikan Bupati

Bima mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 188.45/743/004/2011 yang berisi

tentang penghentian sementara Izin Eksplorasi Emas Oleh PT Sumber Mineral

Nusantara di Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan Kecamatan Langgudu

Kabupaten Bima. Penghentian sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat

diperpanjang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pada tanggal 24 Desember 2011 pukul 06.00 Wita sampai dengan 08.00

Wita, pasukan Brimob dan Dalmas melakukan pembubaran paksa terhadap 150

orang massa yang bertahan di Dermaga penyeberangan Sape sehingga

mengakibatkan 54 orang pendemo ditahan antara lain ; 23 orang luka-luka, 31

orang ditahan dan 2 orang meninggal dunia yaitu Arif Rahman (19 Tahun) alamat

RT. 04 RW 10, Desa Sumi Kecamatan Lambu dan saudara Saiful (17 tahun)

alamat RT 10 RW 06 Desa Soro Kecamatan Lambu.

Tabel 6.1
Kronologis Kejadian

No Tanggal Peristiwa Keterangan


1. 19/12/2011 Aksi Long March Massa melakukan aksi jalan kaki
dari lapangan Sura Rato menuju
perempatan yang menghubungkan
antara pelabuhan, kecamatan Sape,
kecamatan Lambu, dan Kecamatan
Langgudu
2. 20/12/2011 Pertemuan dengan Massa menyampaikan tuntutannya
Bupati Bima yg yaitu pencabutan SK
difasilitasi 188.45/357/004/2010, dan meminta
Wakapolda, pembebasan untuk rekan mereka
dishubkominfo Adi Supriadi.
prov. NTB, Di respon oleh bupati Bima dengan
Kapolresta Bima, menawarkan SK Penghentian
Dandim 1608 Bima, Sementara atas Ijin Eksplorasi PT
Camat Lambu, Sumber Mineral Nusantara, dan
Camat Sape, dan ditolak mentah-mentah oleh Bpk.
Kapolsek Sape Hasan selaku perwakilan dari
massa aksi.

3. 21/12/2011 Dilakuakan dialog Lagi-lagi tidak membuahkan hasil


antara tokoh apapun
masyarakat Lambu,
Sape dgn Muspika
bersama kapolresta
Bima
4. 22/12/2011 Pukul 12.30 Rapat ini membahas tentang
pertemuan Kapolda langkah bupati Bima untuk
NTB dgn sejumlah mengeluarkan SK penghentian
tokoh masyarakat sementara Izin eksplorasi PT SMN
Pukul 14.30, tersebut perlu diapresiasi dan
dilakukan rapat didukung oleh semua pihak.
antara Kapolda
NTB, Bupati dan Selanjutnya membahas tentang
Wakil Bupati Bima, langkah-langkah yang akan diambil
Dandim 1068 Bima, oleh aparat keamanan untuk
Kejaksaan Negeri membubarkan massa aksi.
Bima, Badan
Lingkungan Hidup,
Sekda Bima,
Asisten I, dan
Distamben Kab.
Bima.
5. 23/12/2011 Bupati Bima Pada pukul 23.30 Kapolda
mengeluarkan SK melakukan pertemuan dengan
penghentian dengan Koordintor Aksi namun
Sementara Izin belum ada kesepakatan di capai.
Eksplorasi PT SMN
6. 24/12/2011 Terjadi bentrokan Pada pukul 06.00 pasukan Brimob
berdarah di dan Dalmas melakukan
pelabuhan Sape pembubaran paksa terhadap massa
yang melibatkan aksi yang menyebabkan 2 orang
aparat kepolisian meninggal dunia dan 23 orang
dengan massa aksi. luka-luka akibat terkena peluru
tajam aparat.
Data diolah dari hasil wawancara dengan masyarakat dan berita acara penanganan
kasus Lambu (dokumen Distamben Kabupaten Bima).
Keputusan Bupati Bima yang memilih mengeluarkan SK penghentian

sementara Izin Eksplorasi PT Sumber Mineral Nusantara merupakan bentuk

pengabaian atas aspirasi masyarakat dan lebih berpihak kepada pihak korporasi.

Ini menandakan bagaimana negara berada dalam cengkeraman hegemoni

korporasi, negara/pemerintah tidak mampu berbuat banyak ketika berhadapan

dengan pihak korporasi dan ketika dihadapkan pada persoalan seperti ini rakyatlah

yang menjadi korban.

3. Runtuhnya Arogansi Sang Kepala Daerah

Sampai pada terjadinya tragedi kemanusiaan di Pelabuhan Sape Bupati

Bima masih kukuh dengan sikap dan pendiriannya. Sikap arogansi bupati ini

membuat masyarakat geram sehingga semakin memicu reaksi perlawanan yang

lebih besar dari masyarakat. Kali ini masyarakat mengarahkan targetnya kepada

simbol pemerintah (Kantor Pemerintah Kabupaten Bima).

Sekitar 1 minggu kemudian masyarakat kembali melakukan konsolidasi,

masyarakat yang belum bisa menerima kematian dua orang warganya

melampiaskan amarahnya dengan membakar instansi pemeritahan yang ada di

kecamatan Lambu serta empat (4) kantor Desa yang kepala desanya dinilai ikut

mendukung berdirinya perusahaan tambang adapun rinciannya adalah Kantor

UPT Kehutanan Lambu, Kantor UPT Pertanian Lambu, Kantor KAU Kecamatan

Lambu, Kantor Polsek Lambu, dan empat kator desa antara lain; kantor Desa

Lanta, kantor Desa Sumi, kantor Desa Soro, kantor Desa Melayu.

Pada tanggal 26 Januari 2012 terjadi aksi besar-besaran yang mengerahkan

massa lebih dari 5000 yang merupakan gabungan dari masyarakat Kecamatan
Lambu, Sape, Wera, Wawo, Parado dan Kecamatan Langgudu. Jika saja

pemerintah peka dengan perkembangan dinamika diakar rumput, aksi ini

sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak lima hari sebelumnya. Pada hari Jum’at

(20/1) 2012 masyarakat menggelar rapat akbar yang diikuti oleh masyarakat

kecamatan Sape, Wera, Lambu, Wawo, Langgudu, Ambalawi dan Parado

menyikapi pernyataan Bupati Bima yang bersikukuh untuk tidak mencabut izin

tambang yang telah diberikannya kepada PT. Sumber Mineral Nusantara. Hasil

dari Rapat akbar ini dikeluarkanya ultimatum yag ditujukan kepada bapak Bupati

Bima yang juga diblow up oleh berbagai media. Masyarakat memberikan waktu

selama 5 x 24 jam kepada Bupati Bima untuk mencabut SK 188.45/357/004/2010,

jika tidak masyarakat akan melakukan aksi demonstrasi besar-besaran.

Selama tenggat waktu 5 x 24 jam tersebut masyarakat terus menjalankan

aksi demonstrasi di simpang empat yang yang menghubungkan kecamatan Sape,

Lambu, dan Langgudu dengan memblokir jalan utama menuju pelabuhan Sape

sekitar 3 kali, sehingga pelabuhan Fery di sape kembali lumpuh dan tidak bisa

melayani penumpang.

Selasa ( 24/1)2012: Bupati melakukan konsultasi dengan DPRD di ruang

rapat utama. Dalam rapat tersebut Dewan meminta Bupati untuk mencabut SK

terkait ijin eksplorasi 188, namun bupati tetap bersikukuh tidak akan

mencabutnya SK tersebut. Padahal sejumlah anggota DPRD Kabupaten Bima

mengingatkan ekses negatif dari keputusanya tersebut. Demikian juga tokoh

masyarakat dan tokoh agama telah berulangkali mengingatkan Bupati akan

terjadi kemarahan warga dengan tidak dicabutnya SK tersebut. Apalagi karakter


masyarakat sape dan Lambu yang dikenal berkarakter keras dan temperamental.

Ditambah telah jatuhnya korban jiwa dalam keluarga mereka.

Rabu 25 Januari 2012: DPRD Kabupaten Bima mengeluarkan rekomendasi

supaya:

1. Mencabut SK ijin Tambang PT. SMN

2. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin PT. SMN agar

terjustifikasikasi sesuai undang-undang yang berlaku.

Pada waktu yang bersamaan massa di kecamatan sape dan Kecamatan

Lambu mendesak camat Lambu untuk menandatangani persetujuan keputusan

bersama untuk mendesak Bupati Bima supaya mencabut SK Izin Eksplorasi PT

Sumber Mineral Nusantara. Berada dibawah tekanan massa, camat akhirnya

bersedia menandatangani persetujuan bersama tersebut.

Kamis 26 januari 2012: konsentrasi massa dari Sape menuju Kota Bima

dengan konfoi kendaraan berbagai jenis diikuti lebih dari 5000 massa bergerak

menuju pusat pemerintahan kabupaten Bima (kantor bupati bima) yang berjarak

lebih dari 40 km itu sejak pagi jam 11.00 jam sepuluh mereka sudah berkumpul

dan mengelilingi kantor bupati Bima. Pagar kawat berduri sudah dipasang

sekeliling kantor bupati. Pengamanan diprediksi sekitar 300 personil polisi

dan

200 personil Pol PP. Beberapa kali terdengar tembakan peringatan sampai

akhirnya pembakaran itu terjadi dan menghanguskan seluruh bagian dari

kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Bima. Setelah insiden pembakaran

Kantor Pekmkab Bima barulah Bupati mencabut izin operasi PT Sumber Mineral

Nusantara dengan mengeluarkan SK. Nomor 188.45/64/004/2012 tentang


penghentian secara tetap kegiatan usaha pertambangan eksplorasi PT Sumber

Mineral Nusantara (SMN) di Kecamatan Lambu, Kecamatan Sape, dan

Kecamatan Langgudu, Kabupaten Bima.

Gambar 6.2
Kantor Bupati Bima setelah dibakar massa

Kasus Lambu menunjukan sikap arogansi pemimpin daerah dalam hal ini

Bupati, yang dengan sengaja melakukan pengabaian terhadap aspirasi dan

tuntutan rakyat (public grievances). Pengabaian tersebut dibuktikan dengan sikap

Bupati yang bersikukuh tetap mempertahankan kebijakan izin pertambangan yang

diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara, meskipun pemerintah telah

menghadapi gelombang perlawanan dari masyarakat seperti aksi masyarakat pada


tanggal 10 Februari 2011 yang berakhir dengan pembakaran kantor Camat

Lambu, Kerusuhan di Pelabuhan Sape yang melibatkan masyarakat dengan aparat

kepolisian, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa serta pembakaran seluruh

instansi pemerintahan yang ada di kecamatan Lambu.

Sikap politik yang demikian, dalam literatur studi konflik disebut politik

keras kepala (contentious politics), hal ini menyebabkan kondisi terdeprivasi

secara kolektif di kalangan masyarakat. Yakni, situasi mengecewakan yang makin

dalam dan mengakar dalam hati masyarakat akibat ekspektasi akan adanya

perubahan sikap dan kebijakan satu pemerintah menemui kenyataan terbalik

secara ekstrem.

Disisi lain, sikap politik yang demikian tanpa disadari membangkitkan

emosi masyarakat secara massal. Tidak dipungkiri dalam setiap tindakan agresi

tidak satupun kejadian baik yang bersifat personal maupun yang melibatkan

massa terjadi jika tidak dibangkitkan emosinya terlebih dahulu. Terbangkitnya

kemarahan masyarakat Lambu dikarenakan perasaan kecewa, frustrasi, merasa

semua upaya damai yang dilakukan sia-sia.


BAB VII

PENUTU

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dijabarkan dalam bab

terdahulu, maka peneliti memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, perlawanan masyarakat Lambu didasari oleh tidak adanya

inisiatif politik dari pemerintah dan korporasi untuk membangun komunikasi

dengan masyarakat setempat, baik dalam proses awal terbitnya SK tentang izin

usaha pertambangan yang diberikan kepada PT Sumber Mineral Nusantara

sampai terjadinya reaksi protes masyarakat. Hal lain yang menjadi faktor

perlawanan rakyat Lambu adalah kondisi deprivasi relatif yang dialami rakyat

yang disebabkan oleh sikap arogansi kepala daerah yang kemudian berubah

menjadi deprivasi kolektif hal ini menjadi kimia sosial sehingga mereduksi

tindakan masyarakat Lambu untuk memobilisasi tuntutan melalui ekspresi

kekerasan. Sedangkan, peristiwa kekerasan yang terjadi merupakan naluri kolektif

yang muncul ketika perjuangan rakyat mengalami kebuntuan. Selain itu, ada pula

tindakan kekerasan yang lahir dari pilihan strategis yang diambil secara sadar

dalam usaha mereka memperjuangkan hak-haknya dan mempublis perjuangannya

sehingga mendapat perhatian khalayak luas.

Kedua, aksi perlawanan masyarakat lambu memiliki implikasi yang sangat

besar terhadap kehidupan sosial - politik di Kabupaten Bima. Secara politik

perlawanan rakyat lambu menyisakan trauma yang luar biasa dikalangan

pemerintah Kabupaten Bima, menyisakan perasaan sakit hati diantara kedua belah
pihak yang berkonflik (Pemerintah Kabupaten Bima dan Masyarakat). Meskipun

perlawanan tersebut mampu menuai hasil yang ditargetkan sebagian besar rakyat

Lambu yaitu perubahan kebijakan pemerintah (pencabutan SK 188 tentang izin

pertambangan) di tanah Lambu namun tetap saja menyisakan perasaan luka yang

mendalam di hati masyarakat sebaliknya pemerintah pun demikian, konflik ini

membawa kerugian besar terhadap pemerintah Kabupaten Bima terlebih peristiwa

pembakaran Kantor Bupati Bima.

Selanjutnya, dari sisi sosial masyarakat perlawanan rakyat lambu memberi

dampak terhadap lahirnya gerakan-gerakan lain ditanah Bima terutama

kecamatan-kecamatan berada disekitar kecamatan Lambu yang memiliki potensi

sumber daya alam antara lain Kecamatan Wera, Langgudu, Wawo dan Parado.

Khusus di kecamatan Parado, peristiwa Lambu membawa efek terhadap hidup

kembalinya gerakan penolakan rakyat parado terhadap pertambangan yang sejak

lama mati.

Ketiga, gerakan perlawanan rakyat Lambu dimotori oleh aktifis

mahasiswa yang berbasiskan kedaerahan yaitu Kerukunan Mahasiswa Lambu

Bima (KMLB). Ketika gelombang gerakan ini mulai besar dibentuklah FRAT

(Front Rakyat Anti Tambang) front ini dibentuk dengan tujuan untuk menyatukan

semua elemen yang terlibat dalam gerakan, mempermudah konsolidasi massa

serta meniadakan simbol lain diluar simbol besar ―rakyat anti tambang‖.

Temuan lain adalah masing-mang aktor pemimpin gerakan memberi pengaruh

terhadap corak dan wajah gerakan. Pada kasus Lambu menunjukan bagaimana

pemimpin gerakan memiliki pengaruh besar terhadap wajah gerakan, masuknya

Hasanudin
dan mengambil alih kepemimpinan gerakan yang sebelumnya diperankan oleh

Ansari dan Adi Supriadi yang merupakan aktifis mahasiswa membawa perubahan

terhadap wajah gerakan yang sebelumnya hanya sebatas gerakan protes menjadi

gerakan perlawanan.

2. Saran

Oleh karena persoalan gerakan perlawanan rakyat Lambu begitu kompleks

dan luas, penelitian ini belum mampu mengakomodir berbagai substansi persoalan

yang lain. Oleh sebab itu, kiranya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang :

a. Proses pembentukan jaringan gerakan ke kecamatan-kecamatan

lain sehingga terkonsolidasi tujuh kecamatan.

b. Proses rekonsiliasi yang dilakukan pemerintah daerah pasca

konflik.

c. Tujuan dan motivasi para aktor gerakan tampil dalam dunia politik

seperti menjadi kepala desa dan menjadi calon anggota legislatif

pada Pileg 2014.


DAFTAR PUSTAKA

Aberle, David F. 1966. A Classification Of Sosial Movement. Chicago: Aldine


Publishing Aberle Co.

Baldbridge, J. Victory. 1998. Sociology: A Critical Approach to Power, Conflict,


and Change. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley and Son,
Inc.

Budianto, Akmal. 2010.Pemimpin Politik Dan Kualitas Demokrasi. Surabaya:


Putra Media Nusantara.

Bottomore, Tom. 1983. Sosiologi Poltik, terj. Sahat Simmora. Jakarta: Bina
Aksara.

Diah Pitaloka, Rieke. 2010. Banalitas Kekerasan. Depok: Koekoesan.

Dryzek, John S. dkk. 2003. Green State and Social Movements.


Environmentalisme in the United States, United Kingdom, German, and
Norway. Oxford University Press.

Galtung, Johan. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian Dan Konflik,


Pembangunan Dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.

Genevie, Louise E. 1978. Colective Behavior and Social Movement. New York:
F.E. Pecock Publisher, Inc.

Haberle, Rudolf. 1951. Sosial Movement. Appleton-Century Croft. New York.

Hardiman, Budi. 2011. Massa Teror dan Trauma. Yogyakarta: Lamalera.

Harper, Charles.1986. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice

Haryanto, Analisis Tahap-Tahap Gerakan Mahasiswa Indonesia 1974 dan 1978,


(Laporan Penelitian Fisipol UGM Yogyakarta, 1989).

Hoffer, Eric. 1993. Gerakan Massa, terj. Masrfi Maris. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Kurniawan, Hamzah. 2013. Persistensi dan Resistensi Masyarakat Terhadap


Eksistensi Pertambangan Emas di Desa Bonto Katute Kabupaten Sinjai.
Skripsi. Unhas

Landsberger, Henry A. dan YU. G Alexandrov. 1984. Pergolakan Petani dan


Perubahan Sosial, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Rajawali.

Lipschutz, Ronie D. 2006. Civil Societies And Social Movements. Clivornia:


Ashgate Publising.
Martinussen, John. 1997. Society State & Market: A Guide To Competing
Theories Of Development. Dhaka University Press Ltd.

Mirsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan
Bibliografis. Yogyakarta: Resist Book.

M. Zeihin. 1966. Economic Insecurity and Political Attitudes of Cuban Workers.


American Sociology

Norman I. Fainstein and Susan S.,Fainstein. 1974. Urban Political Movements.


Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Rule, James B. 1988. Theories of Civil Violence. Berkeley: University Of


California Press

Scott, James. 1993. Perlawanan Kaum Tani, terj. Budi Kusworo, et al. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Silaen, Victor. 2006. Gerakan Sosial Baru: Perlawanan Komunitas Lokal pada
Kasus Indorayon di Toba Samosir. Yogyakarta: IRE Press.

Singarimbun, Masri. 1998. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Wahyudi. 2005. Formasi Dan Struktur Gerakan Sosial Petani: Studi Kasus
Reklaiming/Penjarahan Atas Tanah PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang
Selatan. Malang. UMM Press.

Wilson, John. 1973. Introduction to Social Movements. New York: Basic Books,
ins. Publishers.

Soenyono. 2005. Gerakan Sosial Masyarakat Miskin Perkotaan : Studi Kasus


Gerakan Sosial Masyarakat Stren Kali Surabaya Menolak Kebijakan
Penggusuran (yang dilakukan pemerintah). Disertasi. Unair

Faturrochman. 1999. Deprivasi Relatif: Rasa Keadilan dan Kondisi Psikologis


Buruh Pabrik. Jurnal Psikologi UGM.

Tim Reality. 2008. Kamus terbaru Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher

Dokumen

Lihat Undang-undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba (Mineral dan


Batubara)

UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Kumpuan SK. Ijin Usaha Pertambangan (Distamben) Kabupaten Bima.


Internet

http://www.lombokpos.co.id. Tambang, Antara Harapan dan Petaka. Diakses


pada tgl 26 Maret 2013.

http://abiechuenk.wordpress.com/2010/12/14/gerakan-sosial/. Gerakan
Sosial di Indonesia: (Pengertian Dan Konsep Gerakan Sosial). Diakses pada tgl.
19 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai