Anda di halaman 1dari 110

Perilaku Politik Towani Tolotang di Amparita

Kabupaten Sidenreng Rappang

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana


pada Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin

OLEH :

ALFIANSYAH

E511 13 503

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018
ABSTRAK
ALFIANSYAH, (E51113503). Perilaku Politik Towani Tolotang di
Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang. Dibimbing oleh Prof. Dr.
Mahmud Tang, MA dan Dr. Safriadi, M.Si. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin Makassar.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana perilaku politik
Towani Tolotang di Amparita Kabupaten Sidrap dalam kegiatan politik, dan
bagaimana hubungan antara perilaku politik Towani Tolotang dengan sistem
kepercayaanya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan rancangan
penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Temuan dari penelitian ini menggambarkan bahwa adanya kegiatan
politik praktis di komunitas Tolotang merubah perilaku politik mereka dan
memiliki pandangan berbeda dalam hal menentukan pilihan politik mereka,
peranan Uwa sangat berpengaruh dalam pegambilan keputusan politik
secara kelompok yang ada di komunitas Tolotang, pengambilan keputusan
juga berdasarka wilayah-wilayah tertentu yang ada di daerah Tolotang
berdasarkan wilayah pemangkuan masing-masing, pada hakikatnya
keputusan mereka berbeda karena adanya keterikatan adat dari pemimpin
mereka yaitu Uwa dalam hal ini yang menetukan pilihan pada wilayah-
wilayah yang ada di Amparita tersebut, serta keterlibatan komunitas Towani
Tolotang dalam ranah politik salah satu usaha mereka dalam
mempertahankan adat dan kepercayaan yang telah leluhur mereka wariskan.

Kata Kunci : Perilaku Politik, Religi, Komunitas Adat, Politik Lokal, Uwa

i
ABSTRACT

ALFIANSYAH, (E51113503). Political Behavior Towani Tolotang in


Amparita Sidenreng Rappang Regency. Guided by Prof. Dr. Mahmud
Tang, MA and Dr. Safriadi, M.Si. Faculty of Social and Political Sciences
Hasanuddin University Makassar.
This study aims to explain how the political behavior of Towani
Tolotang in Amparita of Sidrap Regency in political activities, and how
the relationship between Towani Tolotang's political behavior with belief
system.
The method used in this research is descriptive research design
using qualitative approach.
The findings of this study illustrate that the existence of practical
political activities in the Tolotang community changed their political
behavior and had different views in terms of determining their political
choice, the role of Uwa is very influential in the political decision making
group in Tolotang community, decision-making also based on the
region- certain areas in the Tolotang area based on their respective
territories, in essence their decisions are different because of the
customary attachment of their leader, Uwa in this case which
determines the choice in the Amparita territories, as well as the
involvement of Towani Tolotang community in political aspect of one of
their efforts in maintaining the customs and beliefs that their ancestors
inherited.

Keywords: Political Behavior, Religion, Indigenous Community, Local


Politics, Uwa

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji atas kehadirat Allah SWT yang

melimpahkan ragmat, nikmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada kita, berkat

Cinta-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perilaku

Politik Towani Tolotang di Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang,

sehingga dalam proses menyelesaikan skripsi ini penulis diberi berbagai

kemudahan dan kelancaran. Shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan

kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan

seluruh umat manusia, semoga kita mendapatkan Syafaatnya di akhirat

kelak.

Penulis menyadari dan mengakui penyelesaian skripsi ini tidak dapat

tercapai tanpa bantuan dari berbagai pihak dalam berbagai bentuk secara

langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis merasa perlu

menyampaiakan terimah kasih kepada:

1. Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Makassar beserta staf-

staf yang melaluinya penulis mengurus segala keperluan dalam

penyusunan skripsi ini, penulis ucapkan banyak terimah kasih atas

pelayanan yang diberikan.

iii
2. Prof. Dr. Supriadi Hamdat, MA, Selaku Ketua Departemen

Antropologi Program Studi S1 Universitas Hasanuddin.

3. Prof. Dr. Mahmud Tang, MA selaku Penasehat Akademik Penulis

sekaligus pembimbing I skripsi ini yang telah mengarahkan selama

penulis menjalani proses kuliah baik di dalam kelas sampai pada

bimbingan skripsi selesai.

4. Dr. Safriadi, M.Si selaku pembimbing II, yang telah mengarahkan dan

membimbing sampai skripsi ini selesai, saya ucapkan terimah kasih.

5. Dr. Ansar Arifin, M.S, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si, Ahmad Ismail,

S.Sos, M.Si selaku panitia Ujian Skripsi ini yang menyumbangkan

kritikan-kritikan yang membangun untuk penulisan ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Antropologi Universitas

Hasanuddin yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada

penulis melalui kegiatan diskusi di kelas maupun di luar bangku

perkuliahan.

7. Bupati Kabupaten Sidenreng Rappang, dan Kepala Dinas

KESBANGPOL (Kesatuan Bangsa dan Politik), dan Bapak Sukardi

Kamaruddin, S.Sos selaku lurah di Kelurahan Amparita atas izinnya

untuk meneliti di Kelurahan Amparita.

8. Terimah Kasih kepada Seluruh Informan yang telah meluangkan

waktunya untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis

dan menemani penulis berdiskusi sampai selesainya penelitian ini.

iv
9. Keluarga Besar Antropologi Angkatan 2013: Amiluddin, Muh.
Hibatul Rahman, Rahmad Hidayat, M. Nur Wahyudin, Fredyantho,
Fuad Hidayat, Andika Zulfikar, Andi Kalam AS, Bayu Andhika
Putra, Rustam, Andi Achmad BS, Fitrawan Ariansyah,
Juliansyah, Gilby Pawa, Muh. Ridwan Y, Nataniel Sambira,
Frisca Olivia Sonde, Elvira Saiful, Nur Elisa Hafdal, Nur Fitrih
Indriani MN, Dania, Dian Natalia, Ajenuarini V Sitorus, Jestin
Sampe, Erma Rosdiana, Saida Pasande, Eka Saranga, Ismawati,
Rianti Asmilasari, Siti Herdianti, Sri Ayoesti, Theresya Fricilia,
Siti Rusida RR, Anugrah Nur putri, Dewi Rosalia, Riska Tahir,
Jumriani. Terima kasih atas kebersamaannya selama kurang lima
tahun ini.
10. Ramadhana Tridewi Khadijah yang senantiasa memberikan

semangat dan motivasi selama penyusunan skripsi, sampai akhirnya

penulisan skripsi ini selesai

11. Kak Roni, Kak Jaya, Kak Iqbal, Kak Manca, Kak Cipta, Kak Aris,

Kak Yudit, Kak Ari, Kak Pri, Kak Viktor, Kak Tomo, Kak

Wahyunis, Kak Nunu, Kak Evi dan seluruh kerabat senior yang

namanya tak dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah

meluangkan waktunya untuk direpotkan dalam proses penyelesaian

skripsi penulis, kalian sungguh berjasa membantu penulis ketika

butuh arahan dalam proses penulisan, penelitian maupun dalam

konsultasi bimbingan.

v
12. Heri, Budi, Imam, Bobe, Ardi, Esti beserta seluruh kerabat

Antropologi yang juga memberikan support bagi penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

13. Terimah kasih kepada seluruh teman-teman KKN Reguler 93

Kabupaten Bantaeng, Kecamatan Sinoa, Desa Bonto Tiro selama

dilokasi KKN, banyak kebersamaan yang di lalui selama di lokasi

KKN.

Akhir kata, penulis menyadari kekurangan-kekurangan yang

ada dalam setiap langkah dan tahap penyusunan skripsi ini. karena

itu penulis membuka diri menerima segala bentuk kritik-kritik dan

saran yang berkenaan dengan tulisan ini.

Semoga segala sifat, ucapan sikap, dan tingkah laku penulis

tiada meninggalkan aib, kebencian serta kedengkian dari berbagai

pihak. Adapun jika terdapat kesalahan yang sengaja maupun tidak

sengaja, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga

kebaikan yang dicurahkan kepada penulis mendapatkan balasan

yang setimpal dari Allah SWT.

Makassar, 31 Juli 2018

ALFIANSYAH
Penulis

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i


ABSTRAK ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 7
B. Fokus Penelitian ........................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……. ................................................................ 8


A. Penelitian terdahulu… ............................................................................... 8
B. Komunitas Adat Tradisional … ................................................................ 13
C. Agama dan Politik… ................................................................................ 16
D. Perilaku Politik… ..................................................................................... 21
E. Elit Tradisional dan Elit Politik Lokal ........................................................ 25

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 30


A. Jenis dan Tipe Penelitian......................................................................... 30
B. PenentuanLokasi Penelitian .................................................................... 30
C. Informan Penelitian .................................................................................. 31
D. Jenis Data ............................................................................................... 32
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 33
1. Observasi ........................................................................................... 33
2. Wawancara ........................................................................................ 34
3. Studi Literatur ..................................................................................... 34
F. Teknik Analisis Data ................................................................................ 35
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 36

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ............................................... 38


A. Gambaran Umum Kabupaten Sidenreng Rappang ................................. 38
B. Gambaran Lokasi Penelitian.................................................................... 41
1. Sejarah Tolotang di Amparita ............................................................. 41
2. Keadaan Geografis dan Batas Wilayah Amparita .............................. 46

vii
3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Amparita ................................. 47
3.1. Sistem Religi dan Kepercayaan Towani Tolotang ....................... 49
3.2. Sistem Kekerabatan dan Pelapisan Sosial .................................. 53
4. Pendidikan ........................................................................................ 55

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .............................................. 57

A. Sikap dan Perilaku Politik di Komunitas Towani Tolotang ....................... 57


1. Sistem Pengetahuan Politik Towani Tolotang di Amparita ................. 60
2. Proses Pengambilan Keputusan Politik Dalam Komunitas Tolotang . 64
3. Dinamika Politik dalam Komunitas Towani Tolotang di Amparita ....... 69

B. Hubungan antara Perilaku Towani Tolotang dengan sistem Kepercayaan ....... 75


1. Kepercayaan Towani Tolotang ........................................................... 76
2. Hubungan Perilaku Politik Dengan Sistem Kepercayaan Towani Tolotang ..80
3. Bentuk strategi Politik Komunitas Towani Tolotang Tolotang Amparita ........85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 90

A. Kesimpulan ........................................................................................ 90
B. Saran ................................................................................................. 91

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 93


LAMPIRAN ................................................................................................... 96

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Sulawesi Selatan secara umum didiami oleh empat

kelompok sukubangsa besar, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, dan

Toraja.Kecuali orang Toraja yang menjadi penganut mayoritas agama

Nasrani (Katolik dan Protestan), ketiga sukubangsa lainnya dikenal

sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Dalam komunitas-komunitas

sukubangsa tersebut sebenarnya terdapat pengecualian yang didalamnya

terdapat kelompok minoritas pemeluk agama dan kepercayaan lainnya.

Dalam sukubangsa Toraja dan Mamasa misalnya, secara mayoritas

berpedoman kepada agama Nasrani dalam menjani kehidupannya, tetapi

sebagian dari mereka ternyata masih ada yang mempunyai kepercayaan

Aluk Todolo. Begitu juga dalam masyarakat sukubangsa Bugis dan

Makassar sangat terkenal dan kental dengan ke-islaman-nya namun

sebagian dari mereka mempunyai kepercayaan Tolotang (Amparita) dan

Patuntung (Ammatoa).

Keberagaman sukubangsa dan kepercayaan lokal yang ada di

setiap daerah merupakan suatu cerminan yang menunjukkan sebuah

agama maupun kepercayaan itu sangat kental dengan tradisi dan nilai-

nilai kultural yang melekat pada suatu kelompok masyarakat tertentu.

Kepercayaan lokal sangat kental dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh

leluhur dan nilai-nilai tersebut tetap dilestarikan sampai turun temuran

1
yang sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan kelompok

masyarakat yang menganut suatu sistem kepercayaan.

Begitupun dengan masyarakat Towani Tolotang secara

keseluruhan kepercayaan mempunyai pengaruh kuat, atau bahkan

mendominasi pandangan hidup para penganutnya. Dengan demikian,

kepercayaan Towani Tolotang selain mempunyai fungsi penting

pemelihara emosi keagamaan juga pemelihara intergrasi sosial. Menurut

Koentjaraningrat (2009:295), suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan

selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi

keagamaan itu di antara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi

keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan

tiga unsur lain, yaitu; (a) sistem keyakinan, (b) sistem upacara

keagamaan, (c) suatu umat yang menganut religi itu.

Amparita merupakan salah satu daerah yang dihuni oleh komunitas

adat Towani Tolotang.Komunitas adat ini sebenarnya tersebar pada

beberapa daerah, dimana setiap kelompok hidup dari komunitas Towani

Tolotang memiliki pemimpinnya masing-masing (para Uwa). Amparita

merupakan pusat dari pranata-pranata adat dan bermukimnya mayoritas

komunitas adat Towani Tolotang.

Menurut Ahmad Rizal (2008), dalam sejarahnya komunitas adat ini

merupakan kelompok yang terusir dari daerah kerajaan Wajo yang

bertempat tinggal di Desa Wani Kabupaten Wajo. Komunitas ini selamat

dari islamisasi pada saat Raja Wajo yang mengintruksikan seluruh

2
warganya memeluk agama Islam. Pada saat itu, Towani Tolotang

,merespon kebijakan tersebut dengan pembangkangan yang berdampak

pada pengusiran mereka dari daerah tempat tinggalnya. Setelah

bermukim lama di Sidenreng Rappang, upaya negara untuk

merampingkan agama-agama di Indonesia masih dilakukan. Hasilnya,

hampir seluruh agama lokal yang tersebar di berbagai tempat terpaksa

memilih salah satu agama yang telah ditetapkan oleh negara, begitupun

dengan Towani Tolotang yang harus memilih agama Hindu sebagai

agama induknya. Tolotang yang lama hidup di Amparita, selalu berada

dalam bayang-bayang„kepunahan‟ ajaran maupun sekaligus penganutnya.

Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah telah dijalani penuh

kekhawatiran. Bagaimana tidak, dengan identitas lokal mereka inginkan

selalu berdampak pada relasi politis dengan pemerintah maupun

masyarakat yang tidak sehat.

Kebijakan pemerintah seputar eksistensi agama-agama lokal

beragam. Kebijakan-kebijakan yang ada sangat kental dalam nuansa

politik. Seperti kebijakan mengenai Tolotang yang berupa keputusan

Menteri Agama, keputusan Pemerintah Daerah dan keputusan-keputusan

lain adalah : (1) Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah tingkat II

Sidenreng Rappang No. Ag. 2/1/7 tahun 1966, yang berisi tentang

pengumuman bahwa Tolotang bukan sebuah agama, dengan demikian

setiap penganut Tolotang yang hendak melakukan pernikahan, talak, dan

rujuk harus mendaftarkan diri pada Kantor Urusan Agama. (2) Keputusan

3
Menteri Agama No.B-III/3/1356/ tahun 1966 menerangkan bahwa

Tolotang bukan merupakan sebuah agama. (3) Kementeriaan Kejaksaan

dalam suratnya No. 152/Sospol-K/Pakem/15 tahun 1966 yang

memerintahkan kejaksaan tinggi di Makassar untuk membubarkan dan

melarang` agama Tolotang`. (4) Surat Keputusan Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali/ Budha No. 6 tahun 1966

yang menetapkan bahwa Tolotang merupakan salah satu sekte dari

agama hindu. (5) Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan

Masyarakat Beragama Hindu Bali/ Budha No. 6 tahun 1996 yang berisi

tentang penegasan terhadap keputusan Bimbingan Bimas Masyarakat

Beragama Hindu Bali/ Budha No. 2 tahun 1966. (6) Keputusan Mahkamah

Agung RI No.B.89/0-1/7/1971 yang menyebutkan bahwa Tolotang

merupakan kepercayaan yang masih terlarang (Hesse J dalam Abdullah,

Dkk: 249-250).

Tindakan marginalisasi dan diskriminasi terhadap agama non-resmi

khususnya Tolotang berasal dari dua arah.Pertama, dari pemerintah yang

berupa kebijakan-kebijakan yang tidak memihak. Di sini terlihat bentuk

keberpihakan pemerintah terhadap agama tertentu karena pada konteks

dasar konstitusional dapat dikatakan bahwa tingkat kedekatan antara

agama dan negara (pemerintah) sangat tergantung kepada derajat

religiusitas penyelenggara negara yang secara langsung berdampak pada

bentuk kebijakan yang dikeluarkan (Sukardji, 1995: 146)`

Komunitas Towani Tolotang di pimpin oleh seorang pemimpin

4
tertinggi yang disebut “Uwatta dan uwa-uwa” yang memimpin kelompok-

kelompok kecil di bawahnya. Uwa dalam komunitas Towani Tolotang yang

merupakan simbol dalam pengambilan keputusan tertinggi pada

komunitas Tolotang yaitu memliki pandangan bagi keyakinan masyarakat

tentang tujuan hidup bersama, artinya Uwa dalam segala pengambilan

keputusan merupakan representasi dari kelompok masyarakat Towani

Tolotang. Namun, pada keyataannya keputusan itu hanya berada pada

aspek religius. Sedangkan dalam konteks sosial politik kelompok Towani

Tolotang memliki pandangan yang berbeda. Keberadaan “Uwa” dalam

komunitas Towani Tolotang memiliki peran yang sangat penting, sebagai

pemimpin tradisional dan merupakan orang-orang pilihan secara turun

temurun. Dipercaya sebagai pemimpin yang senantiasa menjaga

kemurnian ajaran leluhur, menjaga norma dan pranata sosial yang telah

diwariskan secara turun temurun yang membentuk perilaku masyarakat.

Uwa‟ atau uwatta sebagai pemimpin tertinggi dalam

masyarakatTolotang tentu punya andil yang besar dalam mengurusi

masyarakatnya. Uwa‟ dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama di

wilayah Amparita sangat membantu pemerintah lokal. Uwa‟ sangat

disegani dan dihormati oleh masyarakat setempat sehingga juga

melahirkan wibawa pemimpin agama ini relatif besar, sehingga

masyarakat akan taat pada kebijakan yang diambil oleh Uwa‟ sehingga

dapat membantu pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kontestasi politik seperti pemilihan umum dapat memberi ruang bagi

5
tokoh-tokoh masyarakat lokal untuk mengaktualkan setiap gagasan

ataupun kepentingan politik karena pemimpin agama mempunyai ikatan

emosional dengan masyarakat, maka untuk mengakomodir beberapa

gagasan untuk kepentingan masyarakat, pemimpin adat diharapkan

mampu menyambut kebijakan pemerintah. Keberadaan pemimpin adat

seperti yang ada pada Tolotang, cenderung masih terikat oleh nilai-nilai

budaya tradisi dan ikatan kulturalnya.

Keberadaan kelompok Towani Tolotang sangat diperhitungkan

dalam ranah politik dengan jumlah populasi hak pilih yang cukup banyak

di setiap tahunnya dan salah satu kelompok masyarakat yang memiliki

solidaritas tinggi dan persatuan yang kuat serta patuh pada pemimpinnya.

Masyarakat Tolotang pun memandang hal tersebut sebagai peluang untuk

mereka bisa mengambil langkah-langkah politik dalam hal bagaimana

mereka tetap bisa mempertahankan kepercayaan dan kepentingan-

kepentingan yang menguntungkan bagi komunitas mereka. Bahkan para

politisi yang bertarung di pilkada menganggap mereka adalah potensi

suara.

Hal ini tersebut menarik untuk diteliti karena dengan masyarakat

Tolotang yang cukup banyak dan setiap tahunya para politisi yang ingin

bertarung di pilkada menganggap komunitas ini sebagai salah satu

penentu suara. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana perilaku

politik Tolotang serta melihat bagaimana cara mereka dalam menetukan

sikap politik mereka.

6
B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah

penelitian dapat dijabarkan seperti dibawah ini:

1. Bagaimana perilaku politik Towani Tolotang di Amaprita Kab.

Sidrap dalam kegiatan Pilkada ?

2. Bagaimana hubungan antara perilaku politik Towani Tolotang

dengan sistem kepercayaannya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan perilaku politik Towani

Tolotang di Amparita Kab. Sidrap mengenai kegiatan Pilkada

2. Untuk mengetahui hubungan perilaku politik Towani Tolotang

di Amparita dengan sistem kepercayaanya.

D. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu memberikan

kontribusi terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan

khususnya ilmu antropologi dan menjadi bahan referensi untuk penelitian-

penelitian selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian yang

samadengan topik penelitian ini.

Secara praktis penelitian ini ialah memenuhi salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

7
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Bab ini membahas tentang penelitian terdahulu yang terkait dengan

penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dan beberapa konsep yang

erat kaitannyadengan perilaku politik pilkada pada masyarakat Towani

Tolotang. Hal tersebut akan dijadikan kerangka berpikir dalam

pembahasan selanjutnya. Bab ini bermaksud untuk menguraikan

beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis dan konsep yang berkaitan dengan penelitian ini.Penulis uraikan

mengenai komunitas tradisional, agama dan politik, perilaku politik, elit

politik lokal, dan perilaku politik daam konteks kebudayaan kemudian di

uraikan dengan pendekatan lainnya.

Penelitian Farmalindah (2012) yang judulnya Studi Kasus Pola

Pendidikan Beragama pada Komunitas Towani Tolotang di Amparita

Kabupaten Sidenreng Rappang. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode kualitatif dan adapun hasil penelitian ini menemukan

bahwa konsepsi keagamaan masyarakat Towani Tolotang yang masih

tetap dipertahankan sebagai suatu kebudayaan dalam aktivitas sehari-hari

melalui interaksi sosial baik sesama penganut komunitas tersebut muapun

agama lain berdasarkan nilai-nilai agama yang dianutnya. Kemudian,

diajarkan pentingnya mengaplikasikan pola pendidikan agama lokal

mereka kepada generasi berikutnya. Sementara pola pendidikan

8
beragama masyarakat Towani Tolotang sangat dipengaruhi oleh aspek

atau lingkungan keluarga yang merupakan lembaga sosial penting yang

mampu mempengaruhi perilaku seseorang dan pembentukan sikap

pembentukan kenyakinan.

Perbedaan antara penelitian Farmalindah dengan penelitian yang

akan dilakukan lebih terfokus kepada bagaimana menggambarkan sikap-

sikap dan perilaku politik dalam konteks pilkada dan juga melihat

bagaimana pengambilan keputusan serta pengaruh Uwa dalam

menentukan keputusan-keputusan politik dalam komunitas Tolotang.

Adapun persamaan yang dilakukan oleh Erlina Farmalindah yaitu sama-

sama menjabarkan konsep kepercayaan masyarakat Towani Tolotang.

Penelitian terbaru Muh. Aulia (2017) yang berjudul Kepemimpinan

Uwa Dalam Kehidupan Sosial Komunitas Tolotang di Amparita Kabupaten

Sidenreng Rappang.Dalam penelitian ini menggunakn metode kualitatif

dengan penjelasan deskriptif. Adapun hasil pada penelitian ini

menemukan bahwa kepemimpinan karismatik Uwa mempunyai dampak

yang dalam dan tidak biasa terhadap pengikutnya mereka merasakan

bahwa keyakinan Uwa adalah benar, mereka menerima Uwa tanpa

mempertanyakannya lagi. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Uwa

terbentuk stratum-stratum, dimana setiap stratum mempunyai peranan

dan fungsi masing-masing 1.

Dalam skripsinya yang berjudul „Kekuatan Politik Pemimpin Adat

1
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id.

9
Uwa‟ Tolotang pada Pemilihan Kepala Daerah Sidrap tahun 2013‟ Nursam

(2016). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif dengan model penjelasan deskriptif. Hasil pada penelitian ini

menemukan bahwa bagaimana pengaruh Uwa dalam pada kehidupan

politik masyarakat Amparita. Pengaruh Uwa, memungkinkan mereka

bertindak dan mengurusi kehidupan para pengikutnya, bahkan

memobilisasi mereka dengan mudah. Kepatuhan pada Uwa dalam dunia

spritual ternyata memiliki pengaruh besar yang berasal dari legitimasi

yang diberikan masyarakat Tolotang yang mampu memobilisasi pilihan

politik pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Sidrap.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Muslimin (1996) yang berjudul

“Peranan Uwa Dalam Kehidupan Masyarakat Tolotang”. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Adapun hasil

pada penelitian ini menguraikan bagaimana peran uwa‟ dalam

memberikan perhatian terhadap masyarakat Towani Tolotang dalam

bekerja khususnya yang mengalami kegagalan. Ia menyoroti aspek

kepemimpinan dan perekonomian Tolotang. Peran uwa‟ sangat dominan

dan berpengaruh dalam membangun etos kerja Towani

Tolotang.Masayarakat Towani Tolotang selalu meminta petuah dari uwa‟

sebelum melakukan aktivitas perekonomian. Penelitian Muslimin

selanjutnya dikembangkan lebih lanjut oleh M.Tahir Malik (2004) yang

melihat bahwa kepemimpinan uwa‟ dalam hubungannya dengan motivasi

kerja masyarakat Towani Tolotang sangat signifikan pengaruhnya.

10
Perbedaannya dengan tulisan sebelumnya terletak pada fokus

persoalan kepemimpinan yang dikaji. Malik mengungkapkan bahwa uwa‟

sebagai pemimpin, sangat mempengaruhi motivasi dan disiplin kerja

masyarakat Tolotang.Apapun yang dilakukan oleh Towani Tolotang

sangat tergantung pada instruksi uwa. Ketergantungan Towani Tolotang

terhadap pemimpin sangat kental. Pemimpin selalu terlibat dalam setiap

aktivitas perekonomian TowaniTolotang.

Pada ketiga penelitian diatas yang menjadi persamaan dengan

penelitian yang dilakukan yaitu mendeskripsikan tentang seberapa besar

pengaruh uwa dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Tolotang, dan

mendeskripsikan peranan Uwa dalam setiap keputusan yang berkaitan

dengan masyarakat Tolotang. Sementara yang menjadi perbedaan ialah

terletak pada fokus penelitian yang dilakukan. Pada penelitian ketiga

diatas lebih fokus kepada peranan serta pengaruh Uwa dalam aspek

kehidupan masyarakat Tolotang, pada penelitian yang dilakukan oleh

peneliti berfokus kepada bagaimana perilaku politik dalam pilkada yang

meliputi pengetahuan, nilai, serta norma yang meliputi sebuah keputusan-

keputusan mengenai politik di masyarakat Tolotang.

Hasse J (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Kebijakan

Negara Terhadap Agama Lokal „Towani Tolotang” di Kabupaten Sidrap,

Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif, dan adapun hasil pada penelitian ini menemukan bahwa

TolotangTowani adalah agama setempat yang masih bertahan di tengah

11
berbagai upaya genosida terhadap mereka. Dengan demikian,

keberadaan Towani Tolotang tidak pernah lepas dari berbagai bentuk

diskriminasi disajikan dengan format oleh pemerintah melalui berbagai

peraturan yang membatasi pergerakan dalam mengembangkan ajaran-

ajarannya.Towani Tolotang dalam perjalananya, dihadapkan pada dua

macam bentuk diskriminasi. Pertama, diskriminasi yang berasal dari

pemerintah dengan model yang rapi dalam bentuk regulasi-regulasi yang

membatasi ruang gerak Tolotang dalam menjalankan ajaran-ajarannya.

Terlebih lagi Tolotang diafiliasikan ke dalam agama Hindu yang

merupakan bentuk paksaan dari pemerintah. Namun, harus pula diakui

bahwa diskriminasiseperti ini juga menguntungkan Tolotang. Kedua,

bentuk diskriminasi yang berasal dari masyarakat di mana Tolotang

berada karena tidak semua lapisan masyarakat menghendaki Tolotang

untuk tetap eksis.

Perbedaan antara penelitian Hesse J dan penelitian yang dilakukan

oleh peneliti ialah penelitian tersebut terfokus kepada cara komunitas

Tolotang bertahan dari beberapa diskriminasi yang mereka terima serta

mendeskripsikan upaya-upaya komunitas Tolotang tetap bertahan dalam

mempertahankan kepercayaan mereka. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh penulis terfokus kepada permasalahan-permasalahan

politk serta perilaku mereka dalam menanggapi keputusan-keputusan

politik yang ada dalam komunitas Tolotang itu sendiri. Persamaan

penelitian yang dilakukan oleh Hesse J dengan penulis ialah

12
menggunakan metode kualitatif serta mendeskripsikan berbagai usaha

komunitas dalam mempertahankan kepecayaannya.

Secara garis besar perbedaan yang dihadirkan oleh penulis di

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah bagaimana melihat

seluruh perilaku politik pilkada yang berhubungan dengan sikap komunitas

dalam berbagai aspek pilihan-pilihan yang meliputi sistem pengetahuan,

nilai, dan norma yang menetukan sebuah keputusan-keputusan mengenai

politik itu diambil di masyarakat Tolotang serta peranan pemangku adat

dalam hal ini Uwa dalam menentukan pilihan-pilihan politik yang ada

dalam komunitas Tolotang.

B. Komunitas Adat Tradisional

Masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku dan bangsa

yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum

masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dari

kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka (Keraf,

2010:261).

Pandangan dasar dari kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun

1999 menyatakan bahwa “masyarakat adat adalah komunitas-komunitas

yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun di atas suatu

wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam,

serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga

adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat”. Secara

sederhana dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat,

13
keturunan dan tempat tinggalnya. ILO (dalam Keraf, 2010:361)

mengkategorikan masyarakat adat sebagai: 1.) Suku-suku asli yang

mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari

kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang statusnya

sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi atau oleh

hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus. 2.) Suku-suku yang

menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli

karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang mendiami

negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau

sebelum adanya pengaturan batas-batas wilayah administratif seperti

yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha

mempertahankan–terlepas dari apapun status hukum mereka–sebagian

atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang

mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat adat juga dikenal sebagai

memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan teritoriyang terpisah dari

kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara

bangsa modern.

Selanjutnya Keraf (2010:362) menyebutkan beberapa ciri yang

membedakan masyarakat adat dari kelompok masyarakat lain, yaitu: 1.)

Mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya

atau sebagian. 2.) Mereka mempunyai garis keturunan yang sama, yang

berasal dari penduduk asli daerah tersebut. 3.) Mereka mempunyai

budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian,

14
tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari

nafkah. 4.) Mereka mempunyai bahasa sendiri. 5.) Biasanya hidup

terpisah dari kelompok masyarakat lain dan menolak atau bersikap hati-

hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya.

Masyarakat dengan orientasi pola kehidupan tradisional merupakan

masyarakat yang tinggal dan hidup di desa-desa. Suhandi (dalam Ningrat,

2004:4) mengemukakan sifat-sifat dan ciri-ciri umum yang dimiliki

masyarakat tradisional sebagai berikut: Hubungan atau ikatan masyarakat

desa dengan tanah sangat erat.Sikap hidup dan tingkah laku yang magis

religius

1. Adanya kehidupan gotong royong

2. Memegang tradisi dengan kuat

3. Menghormati para sesepuh

4. Kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional

5. Organisasi kemasyarakatan yang relatif statis

6. Tingginya nilai-nilai sosial.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut terlihat bahwa masyarakat tradisional

di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau

kebiasaan-kebiasaan lama yang diwarisi nenek moyangnya. Dalam

kesehariannya, meskipun kini sudah banyak pengaruh luar dari kehidupan

sosialnya, namun masyarakat tradisional tetap berusaha menjaga nilai-

nilai luhur atau adat istiadat yang telah dipegangnya sejak dahulu, hal

tersebut dilakukan untuk menjaga identitas kelompok masyarakat tersebut

15
dan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara masyarakat

dengan lingkungan hidup di sekitarnya.

Begitupun dengan komunitas Towani Tolotang masih dalam

kategori masyarakat adat karena melihat dari cara-cara mereka

melangsukan kehidupannya masih memegang kebiasaan-kebiasaan lama

yang diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur mereka. Serta kepatutan

terhadap pemangku adat yang membuat komunitas Tolotang masih

memegang tradisi dengan kuat dan memelihara dan mencipatakan

hubungan yang harmonis antara masyarakat Tolotang dengan lingkungan

hidup di sekitarnya.

C. Agama dan Politik

Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya senantiasa

akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-

aspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak

hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu

manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi

kebutuhannya atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan

eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat, posisi yang

menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan sampai bentuk-bentuk

lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk

pujian.

Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era

modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan

16
bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan

berorganisasi dan pembagian kekuasaan dalam pranata-pranata yang

ada di dalam kehidupan masyarakat adalah pranata politik itu sendiri.

Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam

bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol

maupun Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung

atau langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas

sosial-budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran

bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi,

atau berita-berita tenting peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara

langsung, berarti individu atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa

politik tertentu.

Almond dan Verbs (1984) menyatakan pendapatnya mengenai

budaya dalam kaitannya dengan politik sebagai suatu sikap orientasi yang

khas dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik adalah

salah aspek dari nilainilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat,

tahayul dan mitos dalam suatu populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan

diakui sebagian besar masyarakat yang memberikan rasionalisasi untuk

menolak atau menerima nilai-nilai atau norma lain. Sehingga bisa

dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia agama, kegiatan

ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan

memberikan corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan

caranya dalam menghadapi suatu msalah-masalah politik, semisal

17
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan

pemerintah, dinamika partai politik, perilaku aparat negara serta gejolak

masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.negara serta gejolak

masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.

Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik

pada salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam

kebudayaan. Unsur-unsur tersebut dalam kenyataannya saling

mempengaruhi antara satu dengan lainnya secant terpisah, atau hanya

sebagian saja dalam pranata masyarakat yang berimplikasi pada

pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik.

Masalah politik bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah

sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam

pranata politik yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam

masyarakat bernegara yang justru kemudian membiaskan suatu konsep

dimana masyarakat dan individu dikonsepsikan sebagai subjek yang

memilih orientasi pemahaman terhadap negara sesuai dengan

subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak bernegara sama sekali

seperti dalam masyarakat tradisional. Dampak lainnya dari pemahaman

ini adalah justru melahirkan suatu kondisi dimana kelihatannya suatu

kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi justru

dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”.

18
Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan

adalah bahwa aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah

satu sudut pendekatan bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya

dengan aspek-aspek yang nampaknya tak memiliki relevansi dan

kacamata ilmu politik, seperti masalah simbolisasi dan ritual keterkaitan

unsur seperti pranata-pranata dalam korelasinya dengan konteks politik.

Dalam banyak hal, suatu kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang

utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan aspek budaya yang saling

berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi pada

satu unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau aspek

lainnya. Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek

tidak mungkin dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya.

Di beberapa literatur, budaya selalu diperbicangkan sebagai bentuk

yang dikonstruksikan dan merupakan arena relasi antara sebuah struktur

dan kesadaran subyektif individu, sehingga dengan asumsi ini berimplikasi

pada pemikiran tentang tema perubahan budaya yang menjadi agenda

utama untuk mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya mengenai

antropologi politik, Edmund Leach's memberikan gambaran bahwa setiap

perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya

dalam melihat kekuasaan yang beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu

wilayah melainkan salah satu bentuk dan kondisi dalam keterkaitan relasi

diantara manusia. Oleh karenanya, cara mamahami sepenuhnya dan

menganalisis kompleksitas kekuasaan adalah dengan menemukan di

19
mana dimensi-dimensi material, psikologis, dan sosial kekuasaan politik

beroperasi, dan secara sosial berada, dan apakah serta dengan cara

bagaimana dimensi-dimensi ini memproduksi diri dan rumah atau tempat-

tempat lain. Kajian politik dengan menggunakan pendekatan antropologi

berupaya menelisik kekuasaan dalam konteks sosial-kultural.

Manusia dan agama merupakan pasangan yang senantiasa

mewarnai kehidupan tidak ada manusia yang tidak beragama. Agama

merupakan bagian kehidupan manusia corak dan warna kehidupan

seseorang akan dipengaruhi oleh agamanya. Kenyataan ini menjadikan

manusia disebut homo religious.

Pada saat agama mempengaruhi kehidupan seseorang, di saat

yang sama corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang akan

pula berimplikasi terhadap kehidupannya. Dalam perkembangannya, yang

kemudian ikut membentuk sikap dan perilaku seseorang, adalah corak

pemahaman keagamaan. Politik sebagai bagian dari perilaku manusia,

adalah di antara bagian yang terkena konsekuensinya.Corak pemikiran

dan pemahaman keagamaan seseorang dalam batas tertentu

mempengaruhi perilaku politiknya. Signifikansi corak pemikiran dan

pemahaman keagamaan terlihat antara lain dalam afiliasi dan saluran

politik seseorang.

Membicangkan relasi agama dan politik adalah proses resiprokal

yang satu sama lain. Kedua entitas tersebut memiliki proses tarik menarik

kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi

20
dalam memberikan kerangka nilai dan norma dalam membangun struktur

negara dan pendisiplinan masyarakat.

D. Perilaku Politik

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam

pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud

dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain,

perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus

yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat

bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap) maupun

aktif (melakukan tindakan). Perilaku aktif dapat dilihat, sedangkan perilaku

pasif tidak tampak, seperti pengetahuan, persepsi, atau motivasi.

Beberapa ahli membedakan bentuk-bentuk perilaku ke dalam tiga domain

yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau sering kita dengar dengan

istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).

Perilaku politik menurut sudijono Sastroatmodjo, (1995:228)

ditentukan pula oleh identitas bersama yang dimiliki masyarakat. Faktor

pembentuk identitas bersama itu menurut Ramlan Surbakti, (1982:44-47)

mencakup identitas primordial, sakral, personal, dan civitas. Faktor

primordial antara lain berupa kekerabatan, kesukuan, kebahasaan,

kedaerahan, dan adat istiadat. Dengan demikian ketika seseorang

mengekspresikan perilaku politiknya, kemungkinan yang bersangkutan

menyandarkannya kepada faktor kekerabatan, satu suku, bahasa, daerah,

dan adat istiadat.


21
Faktor sakral pada umumnya didasarkan karena keagamaan yang

sama. Dengan demikian, adanya pluralitas agama dan corak pemikiran

keagamaan dalam suatu agama dengan sendirinya dapat pula

membentuk perilaku politik seseorang.Fakor personal biasanya

disandarkan kepada seseorang.Ketokohan seseorang menjadi identifikasi

suatu kelompok masyarakat. Dalam mengekspresikan perilaku politiknya,

suatu masyarakat melihat perilaku politik yang diperlihatkan oleh sosok

yang menjadi panutannya.

Dalam hal perilaku politik dalam konteks kebudayaan bisa kita lihat

bagaimana perilaku politik yang timbul karena diterbelakangi sebuah

sistem kognisi, yang berupa pengetahuan, sikap, dan tindakan yang

menjadi pertimbangan dalam menentukan perilaku politik tersebut.Ada

tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187).

Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma.

Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia

dalam masyarakat.Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-

benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga

tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam

pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan

masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara

yang satu dengan yang lainnya.Keterkaitan antara setiap gagasan ini

disebut sistem.

22
Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat

berkaitan dengan manusia, yang pada kodratnya selalu hidup

bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang dinamis

dan berkembang, serta selalu menyesuaikan keadaan sekitarnya.

Sebagai anggota masyarakat, seseorang atau kelompok tentu terikat oleh

nilai-nilai dan aturan-aturan umum yang diakui dan dianut oleh

masyarakat itu. Oleh karena itu, politik akan selalu menggejala,

mewujudkan dirinya dalam rangka proses perkembangan manusia.

Perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat

dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku

politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam suatu

negara, ada pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah.Dalam

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, ada yang setuju dan ada

yang tidak setuju. Keluarga sebagai suatu kelompok yang dapat

melakukan kegiatan politik, misalnya seluruh anggota keluarga secara

bersama memberikan dukungan pada organisasi politik tertentu dan ikut

berkampanye menghadapi pemilu.

Perilaku politik dibagi menjadi dua, yaitu perilaku politik lembaga-

lembaga dan para pejabat pemerintah, dan perilaku politik warga negara

biasa (baik individu maupun kelompok. Yang pertama bertanggung jawab

membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, sedangkan

yang kedua tidak berwenang seperti yang pertama tetapi berhak

mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya

23
karena apa yang dilakukan pihak yang pertama menyangkut kehidupan

pihak kedua. (Ramlan, 1992 : 16)

Suatu perbuatan tertentu dapat dikatakan lebih dari satu jenis

perilaku, apabila kegiatan tersebut mencakup beberapa aspek sekaligus,

misalnya suatu perusahaan memperjuangkan bea masuk yang rendah

atas barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Upaya tersebut

termasuk perilaku politik dalam hal perilaku politik ekonomi.Merupakan

perilaku ekonomi karena tujuan yang ingin dicapai adalah peningkatan

keuntungan dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Dan merupakan kegiatan

perilau politik karena apa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut

dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. (Sudijo, 1995 :

3 – 4).

Dalam proses politik terjadi interaksi antara pemerintah, lembaga-

lembaga pemerintah, kelompok-kelompok kekuatan politik, dan individu-

individu dalam masyarakat. Hubungan interaksi tersebut muncul dalam

berbagai kegiatan politik seperti proses perencanaan, pengambilan

keputusan, dan penegakan keputusan di satu sisi. Perilaku politik seperti

perencanaan, pengambilan keputusan, dan penegakan kekuasaan

dipengaruhi oleh berbagai latar belakang yang merupakan bahan dalam

mempertimbangkan politik. Demikian pula warga negara, dalam

berperilaku politik juga di pengaruhi oleh berbagai faktor dan latar

belakang, seperti (Sudijo ,1995 : 13 – 14) :

1). Faktor lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem

24
politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa.

2). Faktor lingkungan sosial politik yang mempengaruhi dan

membentuk kepribagian aktor politik seperti keluarga, agama,

sekolah dan kelompok pergaulan.

3). Faktor struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap

individu.

4). Faktor sosial politik langsung yang berupa situasi.

E. Elit Tradisional Dan Dinamika Politik Lokal

Untuk menganalisa penelitian ini peneliti menggunakan pemikiran

Suzanne Keller tentang peranan elit tradisional. Elite politik adalah individu

atau kelompok yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan

keputusan politik (Suzanne Keller 1995:28). Jika mengacu pada elite lokal

adalah individu yang memegang peran penting dalam keputusan-

keputusan politik pada tingkat lokal. Keller berpendapat bahwa konsep

mengenai elite yaitu:

1. Elit menunjuk kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang

diangkat untuk melayani suatu kolektivitas dengan cara yang bernilai

sosial.

2. Elit sebagai minoritas yang sifatnya sangat efektif dan

bertanggung jawab dengan orang lain, tempat golongan elite itu

memberikan tanggapannya. Golongan elite tradisional itu termasuk

mereka yang berhasil menjadi pemimpin berdasarkan adat istiadat,

pewaris atau budaya lama. Elite ini tidak seharusnya statis dantidak
25
bertentangan dengan kemajuan barat, kuasa elite tersebut berdasarkan

tradisi, keluarga dan agama. Elite tradisional termasuk pemimpin agama,

golongan elit tradisional, tuan tanah dan orang-orang dari kawasan yang

telah diberi hak istimewa oleh pemerintah kolonial. Seorang anggota elite

dapat menganggotai beberapa kategori tersebut misalnya, seseorang

anak raja mungkin juga seorang pemimpin agama juga dapat menjadi

seorang tuan tanahyang mempunyai beberapa kepentingan tertentu.

Dalam sebuah kelompok masyarakat terdapat beberapa individu

yang memiliki pengaruh dan peranan yang kuat, mereka inilah yang

disebut elit (Keller, 1995:31). Teori elit merupakan teori yang berasumsi

bahwa yang menentukan dinamika kehidupan politik suatu wilayah berada

pada elit politik. Berikut adalah beberapa pengertian tentang elite:

a. Elit Politik mencakup semua pemegang kekuasaan dalam suatu

bangunan politik, elit ini terdiri dari mereka yang berhasil mencapai

kedudukan dominan dalam sistem politik dan kehidupan masyarakat.

Mereka memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.

b. Elit politik adalah mereka yang memiliki jabatan politik dalam

system politik. Jabatanpolitik adalah status tertinggi yang diperoleh setiap

warga negara. Dalam sistem politikapapun, setiap struktur politik atau

struktur kekuasaan selalu ditempati oleh elit yangdisebut elit politik atau

elit penguasa.

c. Elit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada


26
pranata-pranata utama dalam masyarakat, dengan kedudukan tersebut

para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang

dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Keller mengungkapkan bahwa

elit yang berpengaruh dalam kondisi masyarakat yang modern dan dalam

nuansa heterogonitas disebut elit strategis. Dalam kondisi modern,

elitstrategis dilengkapi dengan kemampuan yang mumpuni di berbagai

segmen. Dalam penelitian ini, elit tradisional dianggap sebagai elit

strategis sebagai orang yang memiliki kemampuan berkuasa lebih tinggi

dibanding masyarakat yang lain sehingga memiliki dampak penghormatan

yang berlebih dari pengikutnya.Dari beberapa pemikiran di atas

memberikan sebuah gambaran bahwa peranan elitdalam sebuah

masyarakat tidak dapat dihilangkan. Sebagai tokoh yang berpengaruh,

elitdapat mendorong massa menuju kepada arah untuk mewujudkan

kepentingannya. Seiringdengan perubahan dan perkembangan bangsa

Indonesia, tentu saja membawa dinamika yangmempengaruhi munculnya

elit-elit baru yang lebih kompleks. Bahkan, mengurangi peranan dari elit-

elit lama, seperti peranan elit keturunan kerajaan.

Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga, kekuatan,

pergerakan, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai

terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan

interdependensi antara anggota kelompok dengan kelompok secara

keseluruhan. Soelaiman Joesoyf memberikan batasan bahwa:

“Perubahan secara besar maupun secara kecil atau perubahan secara

27
cepat atau lambat itu sesungguhnya adalah suatu dinamika, artinya suatu

kenyataan yang berhubungan dengan perubahan keadaan”. Soelaiman

Joesoyf (1986; 12).

Sebelum masuk dalam kajian konsep tentang dinamika politik lokal

maka kita harus memahami tentang pemilukada secara langsung.

Pemilukada secara langsung adalah perkembangan menarik dalam

sejarah perpolitikan lokal di negeri ini, karena pemilukada langsung

merupakan momentum pelekatan dasar kedaulatan rakyat dan sistem

politik serta demokrasi di aras lokal. Pemilukada yang akan dilaksanakan

di daerah pun diharapkan akan membawa perubahan yang signifikan

terhadap kehidupan berpolitikan di tingkat lokal, membawa nilai-nilai

identitas lokal baik secara sosio-ekonomi, politik, serta budaya

masyarakat.

Tidak heran modal sosial yang ada dalam masyarakat lokal

digunakan oleh politisi, elit lokal dalam memenuhi kepentingan pemilihan

kepala daerah. secara logika maka modal sosial seperti, munculnya

identitas, suku, agama, ras, budaya, dll, yang tentunya merupakan

elemen-elemen politik yang tidak bisa dihindari harus bersentuhan dengan

persoalan politik. Politik identitas muncul akibat bagian dari elemen politik

sebagai modal sosial dalam masyarakat lokal. Tetapi yang menjadi titik

fokus ketika politik identitas turut dilibatkan proses pemilihan kepala

daerah oleh elit lokal dijadikan tameng politik dengan muatan yang tidak

logis, tetapi rasional bagi elit yang mempunyai kepentingan,

28
memperjuangkan apa yang diinginkan. Tidak heran elit-elit lokal seperti

tokoh adat, kepala suku, agama, dijadikan sebagai tameng demi

memuluskan kepentingan dalam Pemilukada (Nurhasim, 2003; 15-17).

Tidak jarang sesudah dan sebelum pimilihan kepala daerah

berlangsung sering terjadi konflik, yang dimainkan oleh elit lokal yang

terkadang tidak menerima kekalahan, atau mencari keadilan dalam proses

pemilu setelah berlangsung (Nurhasim, 2003; 19). Banyak konflik yang

berskala besar sampai kecil sering terjadi pasca pemilu. Banyak warga

masyarakat yang dirugikan, daerah tidak aman, membuat kualitas

demokrasi terusdipertanyakan di negeri ini. Para elit/calon kepala daerah,

partai memainkan manajemen.

Konflik yang tidak mendidik, membuat rakyat menderita.

Sebenarnya elit lokal menghargainorma, nilai yang berada dalam

masyarakat lokal. Rakyat kadang dibodohi oleh elit hitam,hanya untuk

mengejar kepentingan mereka. Masyarakat lokal, harus pandai, kepala

suku,tokoh agama, budaya, harus dibekali dengan pendidikan politik yang

memadai, agar supaya masyarkat lebih mengetahui politik hitam yang

dimainkan oleh elit busuk dalam momen pemilihan kepala daerah.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis dan tipe penelitian ini yang digunakan ialah penelitian

kualitatif yang menghasilkan data deskriftif mengenai kata-kata lisan

maupun tulisan dan tingkah laku yang diamati dari orang-orang yang

diteliti (Taylor, Bogdan, 1984:5). Pada penelitian ini yang dilakukan cara

ditempuh dalam mengumpulkan data ialah studi kepustakaan dan

penelitian lapangan. Dalam studi kepustakaan cara pengumpulan data

yang dilakukan ialah dengan mempelajari hasil-hasil studi yang berkaitan

dengan masalah penelitian ini. Tujuan dari tahap ini ialah agar peneliti

menambah wawasan lebih luas mengenai nilai-nilai kepercayaan yang

komunitas Tolotang pegang teguh dari turun temurun, serta sikap dan

perilaku politik dalam komunitas Tolotang dalam keterlibatan mereka

dalam kegiatan-kegiatan politik yang terjadi di daerah kabupaten Sidrap.

Teknik kedua yang dilakukan ialah agar peneliti lapangan dimana peneliti

akan mengamati dan mewawancarai secara langsung informan terkait

sikap dan perilaku politik masyarakat Tolotang yang merupakan fokus

pada penelitian ini.

B. Penentuan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang. Adapun alasan memilih lokasi

tersebut karena mayoritas penganut ajaran Towani Tolotang berada di


30
desa ini, sehingga mempermudah penulis memperoleh informasi

mengenai masalah yang diteliti.

C. Informan Penelitian

Penentuan Informan dilakukan secara sengaja (purposive).

Langkah awal yang dilakukan pada penentuan informan ialah terlebih

dahulu memilih informan kunci yang dianggap dapat memberikan

informasi terkait siapa saja yang dianggap mampu dalam memberikan

data yang peneliti butuhkan.

Setiap warga dapat menjadi informan untuk menggali beberapa

informasi, namun tidak semua dari mereka dapat menjadi informan yang

baik. Untuk menentukan informan dingunakan konsep yang pada

prisnsipnya menghendaki seorang informan adalah mereka yang paham

terhadap budaya yang diteliti (Spradley, 2007:39). Beberapa

pertimbangan peneliti dalam melakukan penelitian adalah (1) orang yang

berpengaruh dalam hal menentukan sikap ataupun pilihan politik yang ada

di Komunitas Tolotang dalam hal ini pemangku adat (Uwa). (2)

masyarakat Towani Tolotang secara umum dalam hal ini masyarakat

biasa (umat) dalam memberikan tanggapan serta pandangan-pandangan

mereka dalam hal politik.

Penentuan informan dilakukan berdasarkan beberapa kategori

diantaranya, pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah setempat

serta masyarakat Tolotang pada umumnya. Penentuan informan

berdasarkan kriteria diantaranya, usia, pekerjaan, dan pendidikan terakhir,

31
tentunya akan memberikan data yang beragam bagi peneliti terkait fokus

penelitian serta dapat memberikan perbandingan data dari beberapa

informan dari latar belakang status masing-masing informan. Informan

yang diteliti digolongkan kedalam dua golongan yakni, pertama, informan

kunci orang yang mengetahui dengan jelas kondisi daerah penelitian dan

mampu menunjukkan siapa-siapa saja yang dapat memberikan informasi

mengenai masalah yang akan diteliti, yang peneliti maksud bertindak

sebagai informan kunci adalah informan yang memiliki peranan penting

dalam menentukan pilihan-pilihan politik di komunitas Tolotang di

Amparita serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut, dan

juga masyarakat biasa yang di luar dari penentu kuasa dalam komunitas

ini mengenai sikap dan perilaku mereka dalam menentukan pilihan-pilihan

politik.

D. Jenis Data

Dalam penelitian ini, ada dua jenis data yang didapatkan oleh

penulis :

(1) Data primer, data yang akan penulis dapatkan dari proses pengamatan

dan wawancara mendalam terhadap informan.

(2) Data sekunder, penulis akan menjadikan dokumen-dokumen yang

telah ada sebelumnya sebagai sumber data sekunder, seperti penelitian-

penelitian terdahulu yang relevan, buku, jurnal, dan bahan bacaan dari

berbagai sumber, termasuk internet yang sesuai dengan kebutuhan

penelitian.

32
E. Teknik Pengumpulan Data

Selama tahap studi literatur saya melakukan pencatatan dari

berbagai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan di komunitas

Tolotang. Proses pencatatan ini saya lakukan untuk menentukan

permasalahan yang saya angkat dalam skripsi ini. Proses ini saya lakukan

karena saya merasa perlu memahami betul kasus yang terjadi dan

bagaimana penulis menjelaskan kasus-kasus tersebut serta isu teoritis

apa yang muncul dalam kasus tersebut.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan ialah observasi

dan wawancara. Adapun pendeskripsian dari teknik yang digunakan ialah

sebagai berikut :

1. Observasi

Observasi merupakan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti

selama proses penelitian. Observasi menjadi salah satu langkah

penelitian yang dilakukan dengan mengamati secara langsung objek yang

diteliti guna mendapatkan data yang diinginkan. Observasi dilakukan oleh

peneliti ialah observasi partisipatif dimana pada awal observasi peneliti

berjalan sambil melihat aktivitas yang dilakukan komunitas Towani

Tolotang. Peneliti juga melakukan observasi terhadap kegiatan keseharian

pada masyarakat Towani Tolotang secara keseluruhan. Peneliti terlibat

langsung dalam keseharian masyarakat Towani Tolotang untuk melihat

apa saja aktivitas keseharian mereka, mendengar bahasa apa yang

mereka gunakan serta ikut merasakan apa yang terjadi dengan mereka

33
saat berada di lokasi penelitian.

2. Wawancara

Setelah melakukan beberapa kali observasi, peneliti memutuskan

untuk melanjutkan wawancara dengan informan kunci ialah Uwa Eja. Ia

dipilih sebagai informan kunci karena dianggap lebih mengetahui terkait

penelitian yang akan dilakukan sehingga akan memberikan informasi

terkait siapa saja yang dapat diwawancarai, sebelum memulai proses

wawancara terlebih dahulu peneliti menyampaikan maksud dari

wawancara yang akan dilakukan, dan meminta izin kepada informan untuk

merekam pembicaraan selama proses wawancara berlangsung. Setelah

mendapatkan izin, peneliti memulai wawancara dengan terlebih dahulu

meminta kepada informan untuk mendeskripsikan tentang biografi

informan. Setelah itu peneliti mulai mengajukan beberapa pertanyaan

yang berkaitan dengan fokus penelitian.

Penulis melakukan wawancara langsung dengan bertatap muka

dengan informan.Selain untuk membangun kedekatan dan hubungan

emosional, penulis juga bisa lebih leluasa menanyakan pertayaan-

pertayaan baru diluar dari pendoman wawancara yang timbul dari

pertanyaan sebelumnya dan informan juga bisa menjelaskan dan

bercerita dengan lebih nyaman.

3. Studi Literatur

Peneliti mengumpulkan data dengan mencari, dan menelaah

informasi yang terdapat pada kepustakaan atau kumpulan tulisan seperti

34
karya tulis ilmiah, jurnal, Koran, majalah, dan lain sebagainya yang

berhubungan dengan topik atau fokus penelitian. Data yang diambil dari

stu di literatur tersebut pada umumnya menjadi data sekunder yang dapat

mendukung temuan-temuan yang diperoleh dari lapangan.

F. Teknik Analisi Data

Penulis menggunakan teknik analisis data dari Creswell (2012).

Teknik analisis yang terdiri dari 5 langkah berikut:

1) Mengelolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis, langkah

ini melibatkan transkrip wawancara, men-scanning materi,

mengetik data lapangan, serta menyusun data.

2) Membaca keseluruhan data yaitu membangun general sense

atau informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya

secara keseluruhan.

3) Menganalisis lebih detail dengan meng-coding data.

4) Menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting,

orang-orang, kategori-kategori dan tema-tema.

5) Mendeskripsikan tema-tema yang akan disajikan ke dalam

bentuk narasi/laporan kualitatif.

Proses memperoleh data-data dari hasil observasi dan wawancara,

langkah selanjutnya penulis akan lakukan adalah mengklasifikasi data

sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut

disusun dan dianalisis dengan metode analisis data. Analisis data dimulai
35
dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu

wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan,

dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.Setelah

dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkahberikutnya ialah menyusun data.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri dari enam bab, yang mana tiap bagiannya tidak

lepas dari masalah yang dibahas dan saling terkait antara satu dengan

yang lainnya. Penjelasan singkat mengenai sistematika tiap bab dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I, Berisikan tentang sub-sub bab pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian.

Bab II, Berisikan tentang tinjauan pustaka mengenai teori yang berkaiatan

dengan penelitian ini.

Bab III, Berisikan metode penelitian. Yang terdiri dari: lokasi Penelitian,

Penentuan Informan, Sumber Data, Tahapan Penelitian, Teknik

Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, dan Sistematika

Penulisan.

Bab IV, Berisikan Gambaran umum dan Khusus lokasi penelitian.

Bab V, Berisikan Hasil dan Pembahasan mengenai Perilaku Politik

Towani Tolotang di Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang dan

Hubungan Hubungan Perilaku Politik dengan Sistem

Kepercayaannya

36
Bab VI, Berisikan kesimpulan akhir yang ditarik dari bahasan mengenai

hasil penelitian yang diperoleh di lapangan serta memuat saran

dan masukan dari penulis.

37
BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian

yang didapatkan penulis selama melakukan penelitian tentang Perilaku

Politik Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang.

A. Gambaran Umum Kabupaten Sidenreng Rappang

1. Kabupaten Sidenreng Rappang

Kabupaten Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi

Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sidenreng.

Kabupaten Sidenreng Rappang memiliki luas wilayah 2.506, 19 km2dan

berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa.

2. Letak Geografis dan Topografi

Kabupaten Sidenreng Rappang terletak diantara 30 0 43‟-40009‟ LS

dan 1990 041‟-1200010‟ BT. Kabupaten Sidenreng Rappang terletak pada

ketinggian anatara 10m-3000m dari permukaan laut (Mdpl) dengan

puncak tertinggi berada pada gunung Botto Tallu (3.086 Mdpl). Keadaan

topografi di wilayah di daerah ini sangat bervariasi berupa wilayah datar

seluas 879.85 km2 (46.72%), berbukit seluas 290.17 km2 (15.43%) dan

bergunung seluas 290.17 km2 (37.85%). Wilayah datar berada dibagian

selatan dan barat. Wilayah perbukitan berada dibagian utara dan timur

terutama di kecamatan Pitu Riawa dan kecamatan Pitu Riase‟. Wilayah

dataran rendah terdapat dua danau yaitu danau Tempe dan danau

Sidenreng. Pada wilayah Sidenreng Rappang, terdapat 38 sungai yang

38
mengaliri berbagai kecamatan. Di kecamatan Panca Lautan terdapat

enam aliran sungai sepanjang 33,75 km, kecamatan Tellu Limpoe dengan

panjang 18 km, kecamatan Watang Pulu dengan panjang 39 km,

kecamatan Panca Rijang dengan panjang 19,55 km, kecamatan Kulo

dengan panjang 25,75 km, kecamatan Maritengngae dengan panjang 5

km, kecamatan Dua Pitue dengan panjang 68,46 km sehingga merupakan

kecamatan yang memiliki aliran sungai terpanjang di Kabupaten

Sidenreng Rappang. Sedangkan di Kecamatan Pitu Riawa dengan

panjang 7,5 km. Sejumlah sungai besar yang ada di Kabupaten Sidenreng

Rappang antara lain Sungai Bila, Sungai Bulucenrana, Sungai Betao,

Sungai Sidenreng, Sungai Bulete dan lainnya.

Batas-batas wilayah:

Utara Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang

Selatan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Barru

Barat Kota Pare-Pare dan Kabupaten Pinrang

Timur Kabupaten Luwu dan Kabupaten Wajo

Tabel 1

3. Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Sidenreng Rappang sebanyak

kurang lebih 264.955 jiwa di tahun 2013. Penduduk asli Kabupaten

39
Sidenreng Rappang adalah suku Bugis. Penduduknya terkenal sebagai

muslim yang taat beribadah dan memagang teguh dan tradisi saling

menghormati dan tolong menolong. Di kabupaten ini dapat dengan mudah

ditemui bangunan mesjid yang besar dan permanen.

Jumlah penduduk Kabupaten Sidenreng Rappang:

Nama Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah


(jiwa) (jiwa)

Baranti 13.988 15.009 28.997 jiwa

Dua Pitue 13.886 14.366 28.252 jiwa

Kulo 5.762 6.069 11.197 jiwa

Maritengngae 23.400 24.797 48.197 jiwa

Pancalautang 8.766 9.387 18.113 jiwa

Pancarijang 13.591 14.604 28.195 jiwa

Pituriase 10.451 10.294 20.745 jiwa

Pitu Riawa 12.858 13.352 26.210 jiwa

Tellulimpoe 11.167 12.448 23.415 jiwa

Watang Pulu 15.577 16.013 31.590 jiwa

Watang Sidenreng 8.720 9.042 17.762 jiwa


Tabel 2: Data BPS Kaupaten Sidereng Rappang dalam angka

tahun2015

40
Peta Kabupaten Sidenreng Rappang

Sumber: Google

B. Gambaran Lokasi Penelitian

1. Sejarah Tolotang di Amparita

Towani Tolotang terdiri dari dua suku kata yaitu Towani dan

“Tolotang”. Kata Towani masih mempunyai du arti kata, yakni To artinya

orang dan Wani adalah nama Desa, dengan demikian Towani adalah

orang yang berasal dari Desa Wani. Adapun kata Tolotang juga

mempunyai dua arti yaitu To yang berarti orang dan Lotang berarti

selatan. Dengan demikian Tolotang berarti oang dari selatan. Jadi apabila

digabungkan keseluruhan kata Towani Tolotang berarti orang dari Desa

41
Wani yang tinggal di sebelah selatan. Adapun maksud dari selatan ini

adalah tempat yang bernama Amparita bagian selatan. Istilah Tolotang ini

pertama kali dipakai oleh penguasa Sidenreng sebagai sebutan terhadap

orang-orang pendatang tersebut yang kemudian dikenal dengan nama

aliran kepercayaan mereka. (Ato Mudzhar, 1997 : 42).

Nenek moyang komunitas Towani Tolotang berasal dari Wani,

sebuah desa di wilayah Kabupaten Wajo ± 60 km dari Amparita. Pada

awal abad ke-17, Raja Wajo Sultan Abd. Rahman yang bergelar Petta

Matoa Wajo Sengkerru memerintahkan agar seluruh rakyatnya pun patuh

dan memeluk agama Islam. Atas perintah tersebut rakyatnya pun patuh

dan memeluk agam Islam, kecuali sekelompok kecil masyarakat yang

bertempat tinggal di Desa Wani menolak perintah tersebut dan masih

mempertahankan kepercayaan mereka yang lama. Karena penolakan

tersebut mereka pun di usir oleh sang raja untuk meninggalkan wilayah

kekuasaan Kerajaan Wajo. Karena keputusan tersebut maka penduduk

Desa Wani meninggalkan desa mereka di bawah pimpinan I Lagaligo dan

I Pabbere. I Lagaligo dengan rombongannya menuju pemerintahan

Kotamadya Pare-pare dan menetap di sana. Sedangkan rombongan yang

di bawa oleh I Pabbere menuju ke arah barat menyusuri pinggiran atau

Danau Sidenreng, kemudian berhenti di sebuah lembah persawahan

untuk beristirahat, sekitar 2 km dari sebelah utara Amparita. Di tempat itu

mereka berdiri untuk melepas lelah, sehingga lembah tersebut diberi

42
nama tettong yang berarti berdiri. Seperti dengan penjelasan informan

pada wawancara pada tanggal 14 Maret 2018:

“...Memang pada awalnya diturukan di Wajo oleh penerima wahyu


pertama La Panuangi kemudian diterima ole I Galigo sebagai
pelopor pertama di Wajo. Singkatnya berjalan sekian ratusan tahun
itu memang spesifiknya itu memang sebagai kepercayaan lokal
yang masih kecil, katakanlah seperti itu sehingga tingkat
pengaruhnya itu tidak terlalu tinggi , tapi tiba-tiba masuk Islam. Jadi
komunitas itu sudah ada jauh sebelum Islam masuk di Indonesia,
dan khususnya di Wajo. Nah, tetapi oleh karena masuknya agama
Islam di Wajo sehingga menjadi kepatutan. Siapa yang menjadi
Raja di Wajo pada saat itu masuk Islam sehingga pelopor
keyakinan ini bernama I Galigo yang kebetulan bersuamikan
seorang Raja di Wajo di abad 16 itu. Terjadi perselisihan paham
antara suami dan istri, istri ingin tetap mempertahankan
kepercayaan dan tradisinya, sedangkan raja menginginkan lain,
karena ada kepatutan sehingga terjadi perselisihan paham dari
situlah awalnya istri ini mengambil keputusan tegas dan demi untuk
mempertahankan kepercayaannya dia lebih rela meninggalkan
hartanya, meninggalkan suaminya, meninggalkan harta benda,
meninggalkan kemewahan kerajaan, meninggalkan keluarga dan
segala-galanya. Bersama penganutnya hijrahla mereka dari Wajo
sebelumnya disana memang diturunkan bertempat tinggal di Desa
yang kecil terpencil namanya Wani di Kabupaten Wajo, makanya
kepercayaan ini awalnya namanya Towani To artinya orang Wani
artinya Tempat jadi penamaan itu terkait dengan tempat...”
Dengan penjelasan informan diatas komunitas Tolotang dari

sejarahnya berasal dari kabupaten Wajo yang bertempat tiggal di salah

satu daerah terpencil yang ada di daerah tersebut. Begitupun dengan

persoalan penamaannya yang berkaitan dengan tempat mereka berasal

dan Tolotang penamaan yang diterima ketika komunitas ini sudah berada

di Sidenreng oleh Attaduang ke VII pada saat itu.

Perihal kedatangan rombongan I Pabbere ini diketahui oleh Raja

Sidenreng yang bergelar Addatuang VII dan berkedudukan di Massepe ±

43
2 km sebelah selatan Amparita, segera memerintahkan utusannya guna

mencari tau tentang maksud kedatangan I Pabbere dan rombongannya.

Setelah tercapai kata mufakat antara rombongan tersebut dengan

penguasa Sidenreng, akhirnya mereka pun di izinkan untuk menetap dan

tinggal di wilayah tersebut dengan beberapa persyaratan yang dituang

dalam satu perjanjian “Ade Mappura Onrong Sidenreng”.

Pokok-pokok isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

1) Ade Mappura Onroe artinya Adat Sidenreng tetap utuh dan harus

dipatuhi

2) Warialitutui artinya Keputusan harus dipelihara dengan baik

3) Janci Ripiasseri artinya Janji harus dipatuhi

4) Agamae Ritanree Maberre artinya Agama Islam harus dilangsukan

dan di jalankan. Khususnya mengenai persyaratan yang kelima,

untuk sementara pelaksanaan syariat Islam seperti salat, puasa

dan sebagainya di tunda dalam dua hal yaitu perkawinan dan

kematian.

Pihak rombongan menerima perjanjian tersebut. Mereka tinggal di

suatu tempat sekitar 3 km sebelah selatan Amparita. Di tempat itu sangat

susah untuk memperoleh sumber air sehingga diberi nama “Loka Papang”

yang berarti susah dan lapar. Setelah mereka mengolah lahan tersebut

dan ternyata hasilnya baik, maka nama Loka Pappang diubah menjadi

“Perrinyameng” yang berarti setelah susah datanglah senag. Di tempat

44
itulah I Pabbere meninggal dan dikuburkan. Kuburan I Pabbere kemudian

yang menjadi pusat persembahan tahunan orang Towani Tolotang. Lanjut

lagi oleh informan Uwa Sunarto yang ada di atas mengatakan:

“...Ketika meninggalkan Wajo menuju Sidenreng dengan


Addatuang ke VII namanya Lapatiroi pada saat itu komunitas ini
meminta perlindungan sama kerajaan, akhirnya disetujui meskipun
dirugikan dengan sebuah perjanjian bahwa karena Raja-Raja di sini
dan di Wajo dulu sudah masuk Islam di Sidenreng juga seperti itu,
cuman bedanya Wajo sudah nda menerima, Sienreng mau
menerima meskipun dengan persyaratan-persyaratannya diminta
untuk proses pernikahan, kematian mengikuti Islam dan membayar
upeti, karena kewajiban membayar upeti, karena siapa dibawah
kerajaan pada saat itu harus membayar upeti, tapi karena Islam
sudah masuk beralih kan ke fitrah tetapi ada sebuah permintaan kit
bahwa meminta kepada raja supaya kita tidak dilarang untuk
melakukan adat istiadat dengan adanya kesepakatan dengan suatu
perjanjian ketika melanggar perjanjian ada sanksi yang mereka
terima..”

Berdasarkan penuturan diatas menjelaskan bahwa pada saat

mereka diterima di kerajaan Sidenreng ada sebuah perjanjian yang

diberikan oleh Addatuang sebagai aturan seperti proses pernikahan dan

proses kematian harus mengikuti proses yang ada di Islam serta

membayar upeti sebagai kelompok yang bernaung di kerajaan sidenreng.

Selama mereka mematuhi persyaratan itu mereka di perbolehkan tinggal

di daerah kerajaan Sidenreng pada saat itu.

Setelah beberapa tahun tinggal di Perriyameng, oleh Addatuang

Sidenreng persoalan mereka kemudian diserahkan kepada Arung

Amparita, lalu mereka disuruh meninggalkan Perriyameng untuk

kemudian tinggal di daerah perkampungan Amparita bersama penduduk

asli hingga sekarang. Pemindahan oleh Arung Amparita mungkin

45
dimaksudkan agar proses integrasi antara pengungsi dan penduduk asli

dapat berjalan lebih cepat atau untuk mempermudah kontrol pengawasan

terhadap mereka.

2. Keadaan Geografis dan Batas Wilayah Kelurahan Amparita

Amparita adalah kelurahan di kecamatan Tellu Limpoe, kabupaten

Sidenreng Rappang. Di kelurahan Amparita terletak di sebelah selatan

kota Kabupaten Sidrap,dengan jarak 9 km2 dari pusat kota Pangkajene,

selatan kota Kabupaten Sidenreng Rappang, serta 231 km dari ibu kota

Provinsi Sulawesi Selatan. Amparita berada dalam wilayah Kecamatan

Tellu Limpoe. Batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Arateng

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Teteaji

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Pajalele

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Toddang Pulu

dan Kelurahan Baula, dua Kelurahan terakhir secara administratif

merupakan wilayah Kelurahan Amparita sebelum adanya pemekaran

wilayah dengan luas 364,74 km2.

Wilayah Kelurahan Amparita yang terdiri atas daratan yang

memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga penduduk sekitarnya

kebanyakan adalah petani. Kelurahan Amparita merupakan suatu tempat

pertama kalinya, lembaga pemerintahan di Amparita dipimpin oleh

seorang Lurah, dalam menjalankan tugasnya sehari-hari ia dibantu oleh


46
seorang sekertaris, seorang kepala urusan, dua orang kepala dusun, yaitu

Dusun Pakkawarue dan Kepala Dusun Sudatu, masing- masing kepala

dusun membahi dua orang Rukun Kampong, serta seorang kepala

persawahan.

3. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Amparita

Sebelum dimekarkan wilayah Amparita meliputi; Baula, Toddang

Pulu, Arateng serta Amparita dengan jumlah penduduk yang

sangatpadat.Dengan adanya pemekaran maka dengan sendirinya

pendudukKelurahan Amparita berkurang. Menurut hasil Sensus yang

dilakukan olehBKKBN Kabupaten Sidenreng Rappang bulan Juni 2012

jumlah pendudukKelurahan Amparita sebanyak 3.723 jiwa, dengan

perincian 1.720 laki-laki,dan 2.603 jiwa perempuan (Sumber Data: Kantor

Lurah Amparita,14 Maret 2018).

Penyebaran penduduk terkonsentrasi pada tempat yang berada di

dekat jalan raya dan Pasar Amparita. Tingkat pendidikan di kelurahan

Amparita bisa dikatakan bervariasi, hal itu dapat dilihat dari Keadaan.

Dalam lapangan pekerjaan masyarakat Amparita lebih banyak yang

berprofesi sebagai petani, hal ini disebabkan oleh kondisi alam yang

memang berada di daerah agraris, selain petani ada juga yang berprofesi

sebagai PNS, TNI/POLRI dan sisanya adalah pekerja swasta dan tukang.

Dapat dilihat Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan.

Tabel 3: Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan

47
No. Pekerjaan Jumlah

1. PNS 53 orang

2. TNI/POLRI 12 orang

3. SWASTA 7 orang

4. TUKANG 10 orang

5. PETANI 2.549 orang

Sumber Data: Kantor Lurah Amparita, 14 Maret 2018

Kelurahan Amparita yang tepat letaknya berada di

wilayahKecamatan Tellu Limpoe, memiliki potensi ekonomi yang relatif

sama dengan kegiatan ekonomi di daerah lain. Dimana wilayah Kelurahan

Amparita tidak jauh dari dari pusat ekonomi di Kecamatan Tellu Limpoe

yang berada di sekitar jalan raya dan berhadapan dengan pasar Amparita

sangat mendukung sektor ekonomi pada msyarakat tersebut. Meski

sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian namun, terdapat

pula pekerja swasta atau perdagangan.

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat Amparita dan

dibarengi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi

khususnya informasi dan komunikasi membawa perubahan dalam

kehidupan masyarakat tanpa mempengaruhi perilaku mereka yang sesuai

dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu Towani Tolotang.


48
3.1. Sistem Religi dan Kepercayaan Komunitas Tolotang

Suku Tolotang mempercayai Tuhan yang disebut Dewata Sewwae.

Tempat suci mereka terletak di Perinyameng, sebelah barat Amparita, di

pusat Kecamatan Tellu Limpoe. Perinyameng sendiri merupakan tempat

makam Iphabbere, leluhur suku Tolotang. Iphabbere adalah tokoh yang

melarikan diri dari Wajo dengan membawa kepercayaan Towani Tolotang

ke Sidenreng Rappang.

Sebelum meninggal, Iphabbere berpesan agar penganut

kepercayaan Towani Tolotang setiap tahun mengadakan acara tahunan

yang disebut Sipulung, berarti bertemu dan bersatu. Sipulung yang

dilakukan oleh Toani Tolotang bukanlah bentuk penyembahan kepada

berhala melainkan sebagai penghormatan kepada Iphabbere.

Sebagai suku yang menyandang identitas Hindu, suku Tolotang

memiliki konsep kepercayaan yang berbeda dengan ajaran agama Hindu.

Perbedaan ini terletak pada kepercayaan tentang reinkarnasi dan hari

kiamat. Penganut Hindu Tolotang tidak mempercayai konsep reinkarnasi.

Mereka tetap percaya pada hari kiamat yang disebut Lino Paimeng.

Hindu Tolotang juga mengenal konsep Karma Phala. Kharma

Phala dalam bahasa Bugis disebut Bali windru, berasal dari Bali berarti

lawan, dan Windru berarti perbuatan. Bali windru berarti balasan terhadap

perbuatan yang tidak baik. Karma Phala merupakan konsep Towani

Tolotang yang mempercayai segala tindakan akan mendapatkan


49
balasannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Perbedaan lain yang terdapat dalam komunitas Tolotang yaitu

tentang salam terhadap sesame Hindu. Dalam komunitas Tolotang, ajaran

ketika bertemu dengan sesama penganut Hindu mengucapkan Salamo

bukan Om Swastiastu. Salamo berupa ucapan selamat bagi masyarakat

Bugis seluruhnya. Salam Om Swastiastu akan diucapkan ketika

komunitas Tolotang bertemu umat Hindu yang berasal dari etnis atau suku

lain.

Komunitas Tolotang tidak memiliki tempat ibadah dan waktu

sembahyang.Umat Hindu Tolotang tidak mengenal tempat ibadah secara

khusus, seperti Pura di Bali.Tempat sembahyang umat Hindu Tolotang

adalah rumah adat milik para Uwatta yang disebut sebagai Bola LampoE.

Rumah adat ini, dijadikan pula sebagai tempat untuk mengajarkan ajaran

agama bagi generasi muda. Penggunaan rumah adat Uwatta sebagai

tempat ibadah mengindikasikan bahwa umat Hindu Tolotang sangat

tertarik dengan Uwatta. Umat Hindu Tolotang tidak memiliki waktu khusus

untuk bersembah yang di rumah Uwatta sebaliknya umat Hindu Bali yang

bersembahyang secara berkala ke Pura. Umat Hindu Tolotang dapat

dating kapan pun, tanpa perlu menunggu adanya upacara.

Umat Hindu Toloang merupakan komunitas yang tidak melakukan

pelanggaran terhadap seseorang dalam kondisi tertentu dalam

melaksanakan ibadah.Hal ini sangat berbeda dengan konsep

kepercayaan agama Hindu di Bali. Umat Hindu Bali tidak akan

50
memperbolehkan umatnya yang masuk kategori Cuntaka mengikuti

upacara keagamaan. Kategori Cuntaka antara lain, wanita sedang

menstruasi, wanita yang masih nifas, orang yang baru saja berduka

karena kerabatnya meninggal dunia.

Komunitas Tolotang memang memiliki konsep kepercayaan yang

sangat unik dibandin lainnya.Mereka tidak serta-merta menghilangkan

tradisi, adat dan warisan nenek moyang yang telah dipegang sejak

ratusan tahun lamanya. Setidaknya ada lima ajaran Towani Tolatang

yakni:

1. Percaya akan adanya Dewata SewwaE

2. Percaya akan adanya penerima wahyu

3. Percaya adanya kitab suci

4. Percaya akan adanya hari kiamat

5. Percaya akan adanya hari akhirat

Lima konsep kepercayaan di atas memiliki makna yang mirip degan

rukun Islam.Konsep ketuhanan yang ada dalam kepercayaan Towani

Tolotang adalah kepercayaan terhadap Dewata SewawaE. Dewata berarti

dewa atau Tuhan. Sewwae sendiri berarti satu atau esa.

Dewata Sewwae dalam kepercayaan Towani Tolotang memiliki

sifat-sifat seperti Maha Pemberi, Maha Pengampun dan Maha

Kuasa.Dengan adanya kepercayaan bahwa Tuhan itu esa, secara

otomatis tiada yang patut disembah kecuali Dewata Sewwae. Komunitas

Tolotang menganggap bahwa orang pertama yang meneri wahyu adalah


51
Sawerigading. La Panaungi yang bertugas membenahi isi bumi pasca

Sawerigading, sampai hari ini oleh orang Towani Tolotang diyakini masih

hidup. Dia belum meninggal, hanya mallang atau diangkat ke langit.

Sebelum meninggalkan bumi, La Panaungi berpesan kepada kaumnya

agar ajarannya tetap dipertahankan. La Panaungi kembali akan turun ke

bumi pada suatu saat nanti. Ajaran dan pesan ini tetap lestari sampai hari

ini secara turun temurun.

Towani Tolotang memiliki kitab suci yang dijadikan sebagai

pengangan hidup, baik dalam beribadah atau lainnya. Sureq Galigo

merupakan kitab suci Towani Tolotang, yang memuat empat uraian

penting: Mula Ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itabbenna

Walanrange, dan Appongenna Towanie. Kitab dala bahasa lontara itu

memuat petunjuk dan ajaran sebelum diciptakannya dunia hingga

berakhirnya dunia. Keyakinan Towani Tolotang berkaitan dengan

AppongennaTowanie. Konsep ini berkaitan dengan witaya La Panaungi

yang menerima sabda dari Dewata Sewwae sebagai ajaran di dunia dan

akhirat. Kehidupan dunia akhirat merupakan sebuah keniscayaan, karena

tidak ada jaminan kekal pada makhluk.

Penganut Towani Tolotang mempercayai hidup-mati dengan

sebutan Lino Paimeng. Lino Paimeng adalah hari pembalasan, di mana

orang yang hidup di dunia akan mendapatkan balasan yang setimpal di

akhirat. Jika berbuat taat dan sesuatu aturan dan norma agama, maka

Uwa akan menempatkan manusia di Lipu Bonga, tempat kemuliaan dalam


52
Islam disebut Surga.

3.2. Sistem Kekerabatan dan Pelapisan Sosial

Kehidupan tidak terlepas dari klasifikasi untuk pembentukan kelas

dan status dalam masyarakat. Terlepas baik dan tidaknya tradisi tersebut,

komunitas Tolotang ternyata juga mengenal istilah stratifikasi sosial.

Pengelompokan sosial di komunitas Tolotang diwujudkan dalam

bentuk status dan predikat. Faktor yang sangat dominan dalam hal ini

adalah keturunan. Komunitas Tolotang sendiri sangat memuliahkan

leluhur mereka. Masyarakat cukup membanggakan pemimpin mereka

yang berasal dari keturunan Sawerigading (nenek moyang orang Bugis)

atau La Panaungi yang bergelar Uwa atau Uwatta.

Uwa, atau pemimpin Komunitas Tolotang, dengan latar belakang

keturunan yang sangat luhur, menempati lapisan sosial tertinggi di

kalangan Tolotang maupun masyarakat Bugis secara umum. Uwa

menempati status sosial tertinggi sebagai pemimpin komunitas Tolotang.

Uwa menjadi simbol agama dan adat Tolotang. Uwa juga berdiri selaku

pemimpin ritual keagamaan dan pemimpin sosial yang bersifat

kemasyakatan

Stratifikasi sosial bagi Tolotang (biasa juga disebut Towani

Tolotang) masih mempunyai peranan yang sangat penting. Towai

Tolotang memegang erat warisan dan sistem sosial yang telah mapan.

53
Mereka seolah tidak menghendaki sebuah perubahan. Terdapat beberapa

klasifikasi strata keturunan. Ukuran tingkat status bagi Uwa didasarkan

pada Tiwi Bunga. Pemimpin Towani Tolotang yang memakai gelar Uwatta

Battoae merupakan gelar yang prestisius.

Ketikan pelapisan sosial didasarkan atas pertalian darah atau

sistem kekerabatan, maka stratifikasi sosial Towani Tolotang bersifat

tertutup. Orang yang bukan dari generasi Sawerigading tidak akan bisa

menduduki posisi Uwa atau Uwatta. Ukuran lain stratifikasi sosial Towani

Tolotang adalah tingkat pendidikan yang diperoleh. Para pemimpin suku

menetapkan sebuah aturan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar

Uwatta Battoae. Kriteria tersebut diatur oleh Uwa Temmbong dengan

beberapa klasifikasi. Di antara kriteria tersebut adalah :

 Memahami dengan baik adat istiadat Towani Tolotang

(makkiade).

 Cerdas dan memiliki kemampuan berkomunikasi. Dalam hal

ini tidak mesti berpendidikan tinggi (macca atau panrita)

 Memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tinggi

(mappese)

 Memiliki karakter pemberani (tauwarani).

Salah satu contoh stratifikasi sosial di suku ini adalah, ketika putra

Uwa tidak pernah mengenyam pendidikan formal atau hanya berprofesi

sebagai pekebun, tetap akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di mata

54
masyarakat. Ia tetap dipandang memiliki kedudukan. Hal ini dikarenakan

putra Uwa dianggap menyandang status sebagai Tiwi Bunga. Mengingat

sistem sosial yang tertutup, golongan Uwa akan senantiasa menjaga

kemurnian keturunan mereka.

Komunitas Towani Tolotang sangat menghargai keturunan La

Panaungi atau Sawerigading. Keturunan dari La Panaungi atau

Sawerigading diasumsikan dapat berkomunikasi atau mendapat wahyu

dari Dewata Sewwae. Saking kuatnya dalam memegang warisan leluhur,

bahkan ada yang berpendapat, kemampuan mereka dalam bertahan

hidup tidak lain karena kebiasaan mereka untuk mempertahankan dan

memegang teguh ajaran nenek moyang.

4. Pendidikan

Fasilitas pendidikn di Amparita cukup memadai. Setidaknya ada 1

TK, 2 Sekolah Dasar, dan 1 SMP. Ada pula MTS, dan MA. Letak sekolah-

sekolah tersebut tidak terlalu jauh dari pemukiman. Amparita ini memang

tidak ada SMA. Namun letak sekolah tingkat atas di kecamatan Tellu

Limpoe ini juga tidak terlalu jauh dari Amparita

Tabel 4: Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1. Sekolah Dasar 1.419 orang

2. SLTP/MTS 1.497 orang

55
3. SMA 429 orang

4. SI 13 orang

5. S2 4 orang

Sumber Data: Kantor Lurah Amparita, 14 Maret 2018

56
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai masalah

penelitian yang dibagi beberapa sub pembahasan yang akan dijabarkan

oleh penulis diantaranya, penelitian ini akan menjabarkan bagaimana

perilaku politik Towani Tolotang di Amparita, bagaimana hubungan

perilaku poltik Towani Tolotang dengan sistem kepercayaannya, serta

bagaimana peran Uwa‟ dalam kegiatan politik yang ada di komunitas

Towani Tolotang di Amparita.

A. Sikap dan Perilaku Politik di Komunitas Towani Tolotang

Politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat

berkaitan dengan manusia, yang pada kodratnya selalu hidup

bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang dinamis

dan berkembang, serta selalu menyesuaikan keadaan sekitarnya.Sebagai

anggota masyarakat, seseorang atau kelompok tentu terikat oleh nilai-nilai

dan aturan-aturan umum yang diakui dan dianut oleh masyarakat itu. Oleh

karena itu, politik akan selalu menggejala, mewujudkan dirinya dalam

rangka proses perkembangan manusia. Perilaku adalah wujud dari sikap

dari manusia , sikap itu sendiri tidak terlepas dari pengetahuan dari

manusia itu sendiri.

Gambaran dari berbagai informasi yang tidak terlepas dari perilaku,

dan partisipasi individu maupun kelompok. Setiap individu memiliki

orientasi pada situasi politik yang mereka peroleh dari pengetahuan

57
maupun pengalaman dan dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan,

kesadaran pengeluaran atau pemasukan dalam kelompok, dalam hal ini

yang dimaksud kelompok adat. Situasi politik itu sendiri memiliki cakupan

yang sangat luas antara lain respon emosional, dukungan atau sikap

apatis, kesadaran bahwa ada keterkaitan politik dengan kelompok

etniknya. Informan kunci tersebut adalah tokoh masyarakat dan

masyarakat sekitar yang berada di suku tersebut. Selain itu, untuk

memahami sikap perilaku dan partisipasi masyarakat saat pemilihan

sehingga kita bisa mengetahui bagaimana tanggapan individu dan

kelompok tertentu dalam sebuah kelompok suku.

Menurut Alport dalam (Widayatun, 1999:218) sikap adalah

kesiapan seseorang untuk bertindak. Seiring dengan pendapat Alport di

atas Widayatun memberikan pengertian sikap adalah keadaan mental dan

syaraf dari kesiapan, yang diatur melaui pengalaman yang memberikan

pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua

obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. Bila konsep sikap

dihubungkan dengan politik, maka dapat sikap tersebut dapat dilakukan

individu atau berbagai kelompok. Sikap politik dapat diartikan sebagai

suatu kesiapan bertindak, berpersepsi seseorang atau kelompok untuk

menghadapi, merespon masalah-masalah politik yang terjadi yang

diungkapkan dengan berbagai bentuk.

Sebagai contoh, ada kebijakan yang dikeluarkan pihak yang

berwenang akan menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ada yang

58
menerima sebagaimana adanya, ada yang menyatakan penolakan, ada

pula yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa.Karena menurut

(Sudijono, 1995: 175-176), diam juga dapat dikatakan sebagai sikap

politk, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak

memiliki penghayatan terhadap objek atau persoalan tertentu yang ada

disekitarnya. Diam dapat berarti setuju, dapat berarti netral, dapat berarti

menolak, akan tetapi merasa tidak berdaya untuk membuat pilihan.

Dalam proses politik terjadi interaksi antara pemerintah, lembaga-

lembaga pemerintah, kelompok-kelompok kekuatan politik, dan individu-

individu dalam masyarakat. Hubungan interaksi tersebut muncul dalam

berbagai kegiatan politik seperti proses perencanaan, pengambilan

keputusan, dan penegakan keputusan di satu sisi perilaku politik seperti

perencanaan, pengambilan keputusan, dan penegakan kekuasaan

dipengaruhi oleh berbagai latar belakang yang merupakan bahan dalam

mempertimbangkan politik. Demikian pula warga negara, dalam

berperilaku politik juga di pengaruhi oleh berbagai faktor dan latar

belakang, seperti (sudijo, 1995: 13-14) 1) Faktor lingkungan sosial politik,

sistem ekonomi, sistem budaya dan media massa. 2) Faktor lingkungan

sosial politik yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik

seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3) Faktor

struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. 4) Faktor sosial

politik langsung yang berupa situasi.

59
Begitupun dalam komunitas Tolotang yang dimana sikap dan

perilaku masyarakat sangat dipengaruhi adanya kepentingan-kepentingan

yang bersifat pribadi maupun kelompok berdasarkan sebuah pemikiran

dan aspek kepercayaan. Penjelasan Informan Uwa Eja (64 tahun)

menjelaskan:

“Sayakan di Golkar berarti saya harus mendukung calon yang


berada dalam pertai itu.Kebetulan ada adek kepala Bawasda di
Bantaeng, kebetulan di Bantaeng itu Nurdin Abdullah, kan masuk
calon Gubernur juga terpaksa dia di Bupatinya walaupun dia
Tolotang dan adek saya. Sekarang pi itu baru beda-beda pilihan
karena masing-masing urus kepentingan pribadi. Seperti itulah
adek, dia tetap memilih bupatinya karena takut terancam
jabatannya”.(Wawancara pada tanggal 23 Maret 2018).
Informan diatas menjelaskan bahwa keputusan-keputusan

mengenai politik didasari karena adanya kepentingan individu

dengankebutuhan-kebutuhan pribadi yang harus dipenuhi tanpa mengikut

pada keputusan yang diambil oleh Uwa yang memegang peranan penting

dalam komunitas Tolotang.

1. Sistem Pengetahuan Politik Towani Tolotang di Amparita

Gambaran dari berbagai informasi yang tidak terlepas dari sikap,

perilaku, dan partisipasi individu. Setiap individu memiliki orientasi pada

situasi politik yang mereka peroleh dari pengetahuan maupun

pengalaman dan dipengaruhi oleh perasaan keterlibatan, kesadaran

pengeluaran atau pemasukan dalam kelompok, dalam hal ini yang

dimaksud adalah kelompok adat. Situasi politik itu sendiri memiliki

cakupan yang sangat luas antara lain respon emosional, dukungan atau

sikap apatis, kesadaran bahwa ada keterkaitan politik dengan kelompok


60
etniknya. Informan kunci tersebut adalah tokoh masyarakat dan

masyarakat sekitar yang berada di suku tersebut. Selain itu, untuk

memahami sikap, perilaku dan partisipasi masyarakat saat pemilu

sehingga kita bisa mengetahui peran pemimpin adat Tolotang saat pemilu

dan terbentuklah sebuah kekuatan politik seorang pemimpin adat

Pada dasarnya kegiatan-kegiatan politik yang terjadi di komunitas

Tolotang merupakan salah satu usaha mereka dalam menanggapi

kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan bagi

mereka. Hal ini yang membuat mereka berfikir mencari jalan bagaimana

supaya keberlansungan kehidupan dan nilai-nilai kepercayaan serta

norma adat istiadat yang telah diwariskan leluhurnya yang masih mereka

pegang teguh sampai sekarang dan dengan jumlah anggota yang setiap

tahunya mengalami peningkatan yang sangat signifikan, menjadikan

komunitas ini salah satu yang tingkat solidaritas masyarakatnya yang

sangat tinggi dan salah satu daerah yang jumlah masyarakatnya cukup

banyak di Kabupaten Sidrap menjadikan poros baru untuk menggalang

suara pemilihan yang cukup banyak pada saat pemilu.

Dalam hal memperkuat posisi, Tolotang berpartisipasi dan terlibat

aktif dalam politik lokal. Hal ini ditunjukan dengan bergabung dalam satu

Partai Politik (PARPOL), dalam hal ini Golongan Karya (Golkar). Tolotang

sebagai komunitas terbesar kedua setelah Muslim memiliki suara cukup

penting, khususnya dalam Pemilu. Hasil dari partisipasi ini adalah salah

satu dari anggota DPRD Kabupaten Sidenreng Rappang berasal dari

61
Tolotang, prestasi yang sangat besar. Dengan demikian, Tolotang juga

ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan-

kebijakan daerah. Tolotang bergabung ke Golkar pada tahun 1971 karena

pada saat itu Golkar yang mendominasi di Indonesia dan di pemerintahan

namun pada saat itu sudah banyak partai yang ada di Indonesia,

meskipun sebetulnya waktu bergabung belum berada dalam wadah

politik. Adapun alasan Tolotang bergabung ke Golkar pada saat itu,

karena mereka diberikan perlindungan dalam menjalakan

kepercayaannya dan melalui Golkar Tolotang menyalurkan aspirasi

mereka.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada

tanggal 14 Maret 2018:

“Sejak tahun 1971, peran aktif komunitas Tolotang dengan sistem


kepartaian yang ada dan sistem perpolitikan pada saat itu tentu
benda sama sekarang. Keterkaitan Tolotang dengan Golkar
sebagai kesekretariat bersama, Golkar pada saat itu belum
berbasis politik masih organisasi massa yang dikordinir oleh
pemerintah, oleh negara, oleh presiden pada saat itu Soeharto
dengan politik kekuasaanya menciptakan Golkar itu sebagai sarana
politik di Indonesia. Kan dulu itu Golkar menguasai Indonesia pada
saat itu meskipun sudah ada partai politik yaitu partai Islam, partai
Nasional, PMI dulu yang mungkin identik sekarang dengan
PDIP.Kalau dari partai Islam ada PPP, PSI. Nah itu berjalan dari
pemilu 1971 sampai kurang lebih 10 pemilu barangakali memang
Tolotang ini sangat-sangat kental, ideal sekali dengan Golkar.
Karena kenapa, sejak bergabungnya di Golkar satu-satunya
kekuatan politik pada saat itu yang bisa melindungi, mengayomi,
menjaga kelanggengan pada komunitas Tolotang.Karena
sebelumnya itu, ada oknum-oknum saat tidak katakan pemerintah,
ada oknum tertentu searah dengan pemikiran dengan oknum
pemerintah saat itu. Jadi sejak itu, Tolotang ini menyalurkan
aspirasinya melalui Golkar...”.Salah satu penjelasan dari Uwa
Sunarto (69 tahun).

62
Berdasarkan penjelasan informan diatas keterikatan komunitas

Tolotang kepada Golkar sebagai wadah itu bernaung dan sebagai wadah

untuk perlindungan mereka dari beberapa ancaman yang mereka

dapatkan dari negara pada saat itu. Karena mereka berfikir bahwa juga

memerlukan pembelaan dan perlindungan dari kelompok-kelompok yang

pada saat itu berkuasa di Indonesia. Dengan kepercayaan yang mereka

pegang teguh dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur mereka

masih tetap bertahan, walaupun banyak gangguan-gangguan yang

mengancam keberadaan mereka pada saat itu. Seperti pula apa yang

dijelaskan oleh informan di bawah ini pada wawancara pada tanggal 14

maret 2018:

“…karena emosinal Golkar semacam mengakar begitu, melekat


dalam diri Tolotang itu bahwa Golkarlah yang memperlihatkan atau
memberi ayoman, memberi bantuan secara hukum pada saat
itu..”Uwa Narto (69 tahun).

Seperti penjelasan diatas komunitas Tolotang sebagai komunitas

adat yang ingin tetap bertahan dan tetap menjaga keberadaan mereka

serta menjalankan adat istiadat dan kepercayaannya. Dengan keberadaan

serta bergabungnya mereka ke dalam ranah politik adalah salah satu

strategi Tolotang juga dalam mempertahankan diri dari kebijakan-

kebijakan yang kurang menguntungkan bagi mereka. Mengingat jumlah

mereka sangat signifikan, menjadikan beberapa kalangan melakukan

pendekatan-pendekatan politis terhadap mereka. Di Sidenreng Rappang

63
sendiri suara mereka sangat menentukan.Isu ini juga sangat mencuak

saat dalam menghadapi Pilkada tahun 2018 mendatang.

Kedekatan Komunitas Tolotang dengan Golkar tidak terlepas dari

perlindungan yang diberikan kepada mereka yang membuat Komunitas ini

tetap bisa bertahan sampai sekarang. Apa yang mereka lakukan pada

saat itu semata-mata hanya untuk bagaimana mempertahankan

kepercayaan mereka dan apa yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Karena pada saat mereka diterima di daerah Amparita, banyak

ketidakadilan yang terjadi pada mereka pada saat itu, yang diantara

mereka harus melakukan beberapa proses-proses ritual yang diluar pada

kepercayaan yang mereka pegang selama ini.

2. Proses Pengambilan Keputusan Politik Dalam Komunitas Tolotang

Dalam sebuah kelompok masyarakat terdapat beberapa individu

yang memiliki pengaruh dan peranan yang sangat kuat, mereka inilah

yang disebut elit. Golongan elite tradisional itu termasuk mereka yang

berhasil menjadi pemimpin berdasarkan adat istiadat, pewaris atau

budaya lama.. Elite tradisional termasuk pemimpin agama, golongan elit

tradisional, tuan tanah dan orang-orang dari kawasan yang telah diberi

hak istimewa oleh pemerintah kolonial. Seorang anggota elite dapat

menganggotai beberapa kategori tersebut misalnya, seseorang anak raja

mungkin juga seorang pemimpin agama juga dapat menjadi seorang tuan

tanah yang mempunyai beberapa kepentingan tertentu.

64
Elit menurut Suzan Keller merupakan golongan elit tradisional itu

termasuk mereka yang berhasil menjadi pemimpin berdasarkan adat

istiadat, pewaris atau budaya lama. Elit ini tidak seharusnya statis dan

tidak bertentangan dengan kemajuan barat, kuasa elit tersebut

berdasarkan tradisi, keluarga dan agama. Jika, menggunakan konsep elit

tradisional menurut Suzan Keller, maka pemimpin adat Uwa tergolong

sebagai elit tradisional.

Begitupun yang terjadi di komunitas Tolotang yang memiliki

pemangku adat (Uwa) yang memiliki peranan penting di seluruh aspek

kehidupan masyarakat Tolotang. Pengaruh Uwa dalam komunitas

Tolotang sangatlah penting karena selain sebagai orang tua di dalam

ranah kepercayaan mereka juga sebagai orang yang bisa menjaga

keutuhan komunitas Tolotang sampai sekarang. Maka dari itu masyarakat

Komunitas Tolotang sangatlah berpedoman kepada apa yang dikatan oleh

Uwa baik di dalam aspek mengenai kepercayaan mereka maupun pilihan-

pilihan politik mereka, apapun yang dikatakan Uwa mereka harus

mematuhi keputusan itu. Hal itu lah yang menjadikan Uwa dengan mudah

mempengaruhi, memobilasasi dengan mudah anggotanya, kepatuhan

masyarakat kepada Uwa‟ menjadikannya elit penentu dalam pilihan

masyarakat Tolotang di Amparita. Seperti yang diungkapkan oleh

informan pada saat wawancara pada tanggal 14 Mei 2018, dengan Uwa

Sunarto (69 tahun):

65
“…seperti yang saya katakan memang Uwa itu menjadi peran
utama, menjadi pola panutan pertama, atau pengambil keputusan
pertama, khususnya di ranah politik, demi untuk menjaga
masyarakat (umat) ini supaya tidak kemana-kemana pasti harus
mengacu ke pemimpin kelompoknya masing-masing. Maka saya
katakana tadi khususnya di politik kalau ketua kelompoknya kuning
pasti kuning di situ, kalau pimpinan kelompoknya kebetulan figure
yang disenangi itu warna biru yah ikut semua ke biru menurut
kelompoknya. Sudah seperti itu khususnya di politik, namun di luar
dari pada politik, kalau sudah di ranah kepercayaan, ritual, ranah
agama katakanlah tetap satu tujuan semua..”

Dari penuturan informan diatas, mereka menjelaskan peranan Uwa

dalam komunitas Tolotang sangatlah berpengaruh di setiap aspek

kehidupan masyarakat Tolotang pada umumnya. Karena mereka

dianggap sebagai orang tua bahkan pengganti tuhan di dunia. Maka dari

itu apapun keputusan yang telah digariskan oleh pemimpin mereka

otomatis mereka akan mengikut dalam keputusan tersebut, itulah yang

menjadi dasar keputusan yang akan mereka ambil secara bersama.

Namun beda halnya dalam ranah kepercayaan pemimpin dalam hal ini

Uwa yang ada di kelompok-kelompok tertentu yang ada di Tolotang masih

tetap pada apa yang mereka pegang teguh selama ini dan yang telah

diwariskan oleh leluhur mereka, tetap menjaga adat istiadat mereka dan

keutuhan dari masyarakat Tolotang ini.

Pengelompokan sosial di Kumonitas Tolotang diwujudkan dalam

bentuk status dan predikat. Faktor yang sangat dominan dalam hal ini

adalah keturunan.Komunitas Tolotang sendiri sangat memuliahkan leluhur

mereka. Masyarakat cukup membanggakan pemimpin mereka yang

berasal dari keturunan Sawerigading (nenek moyang orang Bugis) atau La

66
Panaungi yang bergelar Uwa atau Uwatta. Uwa, atau pemimpin komunitas

Tolotang dengan latar belakang keturunan yang sangat luhur, menempati

lapisan sosial tertinggi di kalangan komunitas Tolotang maupun Bugis

secara umum. Uwa menempati status sosial tertinggi sebagai pemimpin

komunitas Tolotang. Uwa menjadi simbol agama dan adat pada

komunitas Toloang. Uwa juga berdiri selaku pemimpin ritual keagamaan

dan pemimpin sosial yang bersifat kemasyarakatan. Seperti yang

diungkapkan oleh Uwa Sunarto (69 tahun) pada wawancara tanggal 14

Maret 2018:

“...Jabatan Uwa ini adalah strategis sekali karena ada kaitannya


dengan keutuhan masyarakat (umat) karena ada tata cara
peradatan yang disepakati bersama. Itu adalah pertama-tama dari
kepewarisan yang ada berdasarkan hubungan darah, bukan hanya
itu dilihat juga dari segi kemampuan perorangan, personal apakah
mampu. Jadi dia dari hubungan darah, punya kemampuan terus
disepakati oleh umat terutuma para Uwa sesuai dengan kelompok
masing-masing...”

Seperti penjalasan informan diatas mengatakan bahwa dalam

komunitas Tolotang Uwa ini memiliki peranan yang sangat besar karena

Uwa selain sebagai pemangku adat tetapi juga panutan pertama bagi

komunitas Tolotang. Uwa dipilih bukan hanya karena mereka secara

kebetulan memiliki orang tua yang dulunya menjadi Uwa tetapi

berdasarkan kemampuan personal yang mereka miliki dan pengetahuan

yang lebih dibandingkan yang lainnya. Karena pertimbangan tersebut

sangat penting supaya generasi selanjutnya juga bisa memimpin umat

supaya mereka tidak tercerai berai.

67
Seperti halnya dalam kegiatan politik peranan Uwa memliki

peranan sangat sangat penting dalam pengambilan keputusannya.

Karena keterkaitan umat dengan pemangku adatnya bagaikan orang tua

dengan anaknya, maka dari itu hal yang sudah menjadi keputusan Uwa,

harus mereka ikuti. Umat senantiasa mendegar dan menuruti seluruh apa

yang dikataka oleh uwa atau pemangku adat berdasarkan wilayah

pemangkuannya. Seperti apa yang dijelaskan oleh informan pada

wawancara yang dlakukan pada tanggal 18 Maret 2018:

“Uwa itu sudah kita anggapmi seperti orang tua kami, jadi apapun
di katakatan oleh Uwa mengikut meki juga,karena menurutta apa
pun yang menjadi pilihan Uwa menurutta itumi yang bagus bagi
kita”. Mustamin (43 tahun).
Seperti apa yang dikatakan diatas oleh informan diatas, Uwa ini

adalah contoh panutan pertama dan apapun yang diakatakan harus

menjadi keharusan bagi masyarakat (umat) Tolotang. Keputusan Uwa

bukan unsur pemaksaan bagi mereka karena umat beranggapan bahwa

keputusan Uwa sudah menjadi pilihan yang baik dan menjadi keputusan

yang menurut mereka yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Lanjut apa

yang dikatan oleh Mustamin (43 tahun) pada wawancara tanggal 18 Maret

2018:

“...kalau mauki memilih, kita tunggu saja perintahnya Uwa, karena


kita anggapmi Uwa sebagai orang tua kami. Jadi apapun pilihan
Uwa bagusmi buat kita. Kalau bilangmi A ikut meki juga A. Karena
kita mengikut saja sama orang tua kita...”
Berdasarkan penjelasan diatas menandakan bahwa apapun pilihan

mereka tidak lepas dari bentuk anjuran pemimpin sebagai panutan


68
mereka. Di situlah peragam aktor Tolotang di beberapa tingkat ikut

menentukan masadepan politi Tolotang sekaligus di dukung oleh khrisma

pemimpinnya yang sangat dominan. Seluruh keputusan politik yang ada di

komunitas Tolotang tidak terlepas dimana kelompok mereka berada,

dimana pemimpin kelompok setiap daerah yang ada di Tolotang memiliki

pilihan-pilihan tertentu dalam menentukan sikap yang mereka akan ambil

dalam sebuah keputusan politik.

3. Dinamika Politik dalam Komunitas Towani Tolotang di Amparita

Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga, kekuatan,

pergerakan, berkembang dan menyesuaikan diri secara memadai

terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan

interdependensi antara anggota kelompok dengan kelompok secara

keseluruhan. Perubahan secara besar maupun secara kecil atau

perubahan secara cepat atau lambat itu sesungguhnya adalah suatu

dinamika, artinya suatu kenyataan yang berhubungan dengan perubahan

keadaan.(Soelaiman Joesoyf 1986: 12).

Dinamika kelompok merupakan sebuah konsep yang

menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan

dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-ubah.

Selain itu dinamika kelompok dapat juga diartikan sebagai suatu kelompok

yang terdiri dari dua atau lebih individu, yang memliki hubungan psikologis

secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang berlangsung

dalam situasi yang dialami secara bersama.

69
Keberadaan Komunitas Tolotang yang ada di Amparita tidak hanya

sebagai komunitas adat yang memiliki jumlah penganut yang terbesar di

Amparita, tapi juga menimbulkan salah satu pusat perpolitikan yang ada di

kabupaten Sidrap. Karena keterlibatan beberapa pemimpin adat mereka

dalam politik lokal menjadi kekuatan yang mereka miliki yang ada di dalam

perumusan kebijakan yang akan dikeluarkan daerah. Itulah yang

menjadikan di daerah Tolotang ini memiliki pandangan-pandangan yang

berbeda dalam hal menentukan sebuah pilihan politik yang menurut

mereka menguntungkan secara kelompok maupun pribadi pada golongan

tertentu.

Seperti juga apa yang terjadi di komunitas Tolotang yang dimana

perilaku dan pilihan-pilihan politik mereka terdapat perubahan yang juga

sangat signifikan. Seiring berjalannya waktu perilaku politik dan sikap

pengambilan keputusan terkait politik dalam komunitas Tolotang juga

berubah, tidak menoton dan mengalami perubahan yang sangat dinamis

dimana mereka yang dulunya cenderung memilih Golkar dalam setiap

keputusan politik sekarang sudah cukup beragam dalam pilihan politik

dalam hal ini di dasari adanya perubahan-perubahan prinsip dari Golkar

maupun komunitas Tolotang, Uwa sebagai panutan sekaligus pemangku

adat yang ada di Tolotang juga merubah pilihan politik mereka. Sehingga

komunitas Tolotang yang dulunya satu pilihan dan satu suara akhirnya

memiliki pilihan tertentu berdasarkan wilayah pemangkuannya.Uwa dalam

hal in sebagai pemangku adat yang memiliki peran yang cukup besar

70
untuk memobilisasi anggota juga memliki kepentingan pribadi secara tidak

langsung ini menandakan bahwa pilihan politik Tolotang sudah cendurung

ke kepentingan-kepentingan pribadi di elit politik komunitas Tolotang.

Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat melakukan wawancara

pada tanggal 14 Maret 2018:

“… Dengan keadaan sekarang yang ada di Tolotang, saya juga


menganjurkan merubah strategi politik kita, salah satunya tidak ada
lagi sekarang anggota-anggota partai yang ideal dari tingkat elit
sampai kebawah yang memperjuangkan kelompok secara ideal
sangat jarak, misalkan partai Golkar semenjak berubah dari
organisasi massa ke organisasi politik sudah berubah pola, artinya
pola yang dijalankan sudah seperti yang lain. Bedanya dulukan
saya ceritakan Golkar itu sangat beda dengan partai politik yang
lain, tapi dengan terjadinya perubahan, makanya saya pun ingin
merubah pola perpolitikan di Tolotang ini sesuai dengan
perkembangan yang ada, tidak harusnya kita selalu Golkar.
Memang dulu kita selalu Golkar karena adanya keterkaitan yang
tadi, sekarang ini saya menganjurkan di Tolotang ini adalah memilih
politik fiqur, bukan lagi politik partai kenapa karena elit politik juga
dari tingkat atas sampai ke bawah begitu juga, artinya politik ini
sudah menjadi sarana kepentingan, itu untuk sekarang...” Uwa
Sunarto (69 tahun)

Senada apa yang dikatakan oleh informan yang lain yaitu :

“…Kan dulu orang taua kami berpesan sepanjang Golkar tidak lari
dari komitmennya maka kamu harus ikuti Golkar terus, tetapi kalau
Golkar sudah tidak pada komitmenya, kamu bisa berubah pilihan,
kan dulu Golkar itu selalu Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota,
selalu mendominasi. Jadi di sini Amparita umumnya Sidrap semua
sudah berubah pilihan…” Slamet (64 tahun)
Informasi diatas menjelaskan adanya perpecahan yang terjadi di

dalam komunitas Tolotang, pilihan politik yang dulunya didasari untuk

mencapai kepentingan secara bersama sudah berupa menjadi sarana

kepentingan pribadi. Pada dasarnya kepentingan yang lahir dari sebuah

keputusan tidak terlepas dari pemangku adat yaitu Uwa‟ .ini yang ketika
71
menjadi salah satu aspek yang menjadi dasar terpecahnya pilihan yang

ada di komunitas Tolotang. Dimana adanya seorang elite Tolotang yang

terlibat di dalam ranah pemerintahan dalam hal ini anggota DPRD menjadi

salah satu kekuatan mereka dalam memperjuangkan dalam setiap

keputusan-keputusan yang akan di buat nantinya oleh pemerintahan

daerah, dan itupun yang menjadi salah satu bumerang bagi mereka,

keterlibatan elite atau keturunan elite seperti berpontensi melahirkan

perpecahan karena setiap Uwa‟ atau Uwatta memiliki basis massa

tersendiri. Melanjutkan kembali apa yang dijelaskan di atas oleh

informan di atas:

“…Maka saya katakan, kita juga harus merubah diri tidak harus
selalu Golkar partai apapun yang memiliki kesamaan pemikiran,
kesamaan persepsi dengan kita ya kita ikuti.Tidak ada lagi warna
yang bisa mempengaruhi kita itu menurut saya, memang masih ada
yang pasti fanatisme Kuning karena kebetulan dia fraksi.Bedami
cerita kalau disana, kalau di saya artinya tidak juga Merah, tidak
juga Biru, apalagi Kuning.Tetapi politik yang saya ingin
kembangkan adalah politik figur. Siapa figur yang kelihatannya
cocok dengan kita dan ada keterkaitan itu yang kita pilih, tanpa
melihat partai apa, meskipun dia orangnya Golkar ketika dia mau
maju sebagai calon bisa memakai partai lain. Intinya partai itu
urusan kedua, kalau saya abaikan saja partai lihat saja figur
termasuk juga dalam Pileg, apalagi Pilpres dan Pilbup nantinya.
Mau tidak mau begitumi jalannya, karena kalau disini dek‟ sudah
sepuluh tahun yang lalu sudah bukan Golkar, terus terak bukan
hanya kemarin..”Uwa‟ Sunarto (49 Tahun).

Massa masing-masing Uwa atau Uwatta tidak berkonsentrasi pada

satu area saja tetapi tersebar di beberapa tempat. Identifikasi jumlah

massa (umat) setiap uwa atau uwatta dapat dilakukan dengan melihat

seberapa besar orang yang melakukan Mappenre‟ Nanre (sebuah

72
upacara siklus kehidupan Towani Tolotang).Setiap Uwa atau Uwatta

memiliki pengikut. Pengikut setiap Uwa atau Uwatta dapat berupa umat

yang berasal dari pengikut Uwa terdahulu atau berasal dari penganut

Towani Tolotang yang lain yang merasa sesuai dengan Uwa yang

bersangkutan. Apabila orang tua Uwa sekarang adalah Uwa, maka

pengikutnya dilayani oleh anaknya yang saat ini menjadi Uwa.

Perpecahan pengikut bahkan Uwa dapat terjadi ketika orang tua

meninggal dan meninggalkan beberapa generasi (anak) yang

keseluruhannya menjadi Uwa tidak meninggalkan penerus atau tidak ada

anak yang berkeinginan untuk mewarisi peran orang tua sebagai Uwa.

Perbedaan politik yang terjadi di Komunitas Tolotang merupakan

salah bentuk adanya kekuatan-kekuatan pada wilayah-wilayah tertentu

yang masing-masing memiliki massa tersendiri berdasarkan jumlah

masyarakat (umat) yang dikomondoi dari Uwa di wilayah itu. Perbadaan

itu hal yang wajar dalam dunia politik praktis yang dimana seseorang yang

berkepentingan di dalamnya memilki kepentingan-kepentingan pribadi

yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu, walaupun memang tidak

terlepas dari bagaimana keutuhan komunitas Tolotang ini tetap terjaga.

Karena dengan perkembangan politik di Indonesia pada saat ini juga

begitu yang terjadi, dimana orang-orang yang memiliki kekuatan dan

pengaruh lebih banyak mendominasi sebuah kelompok serta keputusan-

keputusan yang akan dijalankan berdasarkan keinginan dari penguasa-

73
penguasa tersebut. seperti penuturan salah satu informan dari hasil

wawancara yang dilakukan pada tanggal 23 Mei 2018:

“...Kita Musyarakan dulu kalau ada pemilihan, kita panggil dulu


semua Uwa atau pemangku adat, bilang yang mana bisa kita pilih
ini. Kalau dia bilang saya di sini dan ada perbedaan pilihan, tidak
apa-apa ji. Saya kan di Golkar berarti saya harus Nurdin Halid,
kalau yang lain pasti ada juga pilihannya berdasarkan wilayahnya
masing-masing. Uwa Eja (64 tahun)

Hal senada yang diungkapkan pada saat wwancara tanggal 14


Maret 2018:
“…seperti gambaran yang sudah saya katakan tadi, sudah 10 tahun
lalu sudah bukan Golkar lagi, jadi sudah berbeda pilihan. Jadi ada
lagi kelompok sebelah sana dari dulu juga berbeda pilihan,
kampung tengah itu Uwa Eja itu sudah berbeda pilihan, jadi seperti
itulah gambaran pengambilan-pengambilan keputusan khususnya
di dalam politik di Tolotang. Tapi saya ibaratnya di internal
(kelompok) sedang membenahi diri bagaimana pola perpolitikan
yang harus dikembangkan seperti itu, meskipun sudah ada gejala-
gejala sudah ada gambaran yang kelihatan. Karena seperti
sekarang mudah saja terjerat oleh keinginan politik-politik tertentu..”
Uwa Sunarto (69 tahun).
Pendapat dari informan tersebut di atas, jelas menggambarkan

adanya pola yang sudah berubah di komunitas Tolotang, yang dulunya

pada saat memilih masyarakat Tolotang satu pilihan semua tapi sekarang

sudah berubah karena adanya perbedaan-perbedaan prinsip terkait di

ranah politik dan terkait pula dengan adanya kepentingan-kepentingan

pribadi yang bersifat menguntungkan salah satu pihak dan tidak lagi di

dasari oleh kepentingan kelompok seperti dulu. Namun pada hakikatnya

keputusan mereka berbeda karena adanya keterikatan adat dari pemimpin

mereka yaitu Uwa dalam hal ini yang menentukan pilihan pada wilayah-

wilayah yang ada di Amparita tersebut.

74
B. Hubungan Antara Perilaku Politik Towani Tolong Dengan Sistem

Kepercayaannya

Perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat

dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Perilaku

politik dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam suatu

negara, ada pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah.

Dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, ada yang setuju dan

ada yang tidak setuju. Keluarga sebagai suatu kelompok yang dapat

melakukan kegiatan politik, misalnya seluruh anggota keluarga secara

bersama memberikan dukungan pada organisasi politik tertentu dan ikut

berkampanye menghadapi pemilu.

Perilaku politik dibagi menjadi dua, yaitu perilaku politik lembaga-

lembaga dan para pejabat pemerintah, dan perilaku politik warga negara

biasa (baik individu maupun kelompok. Yang pertama bertanggung jawab

membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, sedangkan

yang kedua tidak berwenang seperti yang pertama tetapi berhak

mempengaruhi pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya

karena apa yang dilakukan pihak yang pertama menyangkut kehidupan

pihak kedua. (Ramlan, 1992 : 16)

Suatu perbuatan tertentu dapat dikatakan lebih dari satu jenis

perilaku, apabila kegiatan tersebut mencakup beberapa aspek sekaligus,

misalnya suatu perusahaan memperjuangkan bea masuk yang rendah

atas barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Upaya tersebut

75
termasuk perilaku politik dalam hal perilaku politik ekonomi. Merupakan

perilaku ekonomi karena tujuan yang ingin dicapai adalah peningkatan

keuntungan dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Dan merupakan kegiatan

perilau politik karena apa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut

dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. (Sudijo, 1995 :

3 – 4).Dalam proses politik terjadi interaksi antara pemerintah, lembaga-

lembaga pemerintah, kelompok-kelompok kekuatan politik, dan individu-

individu dalam masyarakat. Hubungan interaksi tersebut muncul dalam

berbagai kegiatan politik seperti proses perencanaan, pengambilan

keputusan, dan penegakan keputusan di satu sisi.

1. Kepercayaan Towani Tolotang di Amparita

Komunitas Tolotang mempercayai Tuhan yang disebut Dewata

Sewwae.Tempat suci mereka terletak di Perinyameng sebelah barat

Amparita, di pusat Kecamatan Tellu Limpoe. Perinyameng sendiri

merupakan tempat makam Ipabbere, leluhur Suku Tolotang. Iphabere

adalah tokoh yang melarikan diri dari Wajo dengan membawa

kepercayaan Towani Tolotang ke Sidenreng Rappang.

Sebelum meninggal, Iphabbere berpesan agar penganut

kepercayaan Towani Tolotang mengadakan upacara tahunan yang

disebut Sipulung, berarti bertemu dan bersatu. Sipulung yang dilakukan

oleh Towani Tolotang bukanlah bentuk penyembahan kepada berhala

melainkan sebagai penghormatan kepada Iphabbere. Sebagai suku yang

menyandang identitas Hindu, suku Tolotang memiliki konsep kepercayaan

76
yang berbeda dengan ajaran Agama Hindu. Perbedaan ini terletak pada

kepercayaan tentang reinkarnasi dan hari kiamat. Mereka tetap percaya

pada hari kiamat yang disebut Lino Paimang

Hindu Tolotang juga mengenal konsep Karma Phala. Kharma

Phala dalam bahasa Bugis disebut Bali windru, berasal dari Bali berarti

lawan, dan Windru berarti perbuatan. Bali windru berarti balasan terhadap

perbuatan yang tidak baik. Karma Phala merupakan konsep Towani

Tolotang yang mempercayai segala tindakan akan mendapatkan

balasannya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Perbedaan lain yang terdapat dalam komunitas Tolotang yaitu

tentang salam terhadap sesame Hindu. Dalam komunitas Tolotang, ajaran

ketika bertemu dengan sesama penganut Hindu mengucapkan Salamo

bukan Om Swastiastu. Salamo berupa ucapan selamat bagi masyarakat

Bugis seluruhnya. Salam Om Swastiastu akan diucapkan ketika

komunitas Tolotang bertemu umat Hindu yang berasal dari etnis atau suku

lain.

Komunitas Tolotang tidak memiliki tempat ibadah dan waktu

sembahyang.Umat Hindu Tolotang tidak mengenal tempat ibadah secara

khusus, seperti Pura di Bali.Tempat sembahyang umat Hindu Tolotang

adalah rumah adat milik para Uwatta yang disebut sebagai Bola LampoE.

Rumah adat ini, dijadikan pula sebagai tempat untuk mengajarkan ajaran

agama bagi generasi muda. Penggunaan rumah adat Uwatta sebagai

tempat ibadah mengindikasikan bahwa umat Hindu Tolotang sangat

77
tertarik dengan Uwatta. Umat Hindu Tolotang tidak memiliki waktu khusus

untuk bersembah yang di rumah Uwatta sebaliknya umat Hindu Bali yang

bersembahyang secara berkala ke Pura. Umat Hindu Tolotang dapat

dating kapan pun, tanpa perlu menunggu adanya upacara.

Umat Hindu Toloang merupakan komunitas yang tidak melakukan

pelanggaran terhadap seseorang dalam kondisi tertentu dalam

melaksanakan ibadah.Hal ini sangat berbeda dengan konsep

kepercayaan agama Hindu di Bali. Umat Hindu Bali tidak akan

memperbolehkan umatnya yang masuk kategori Cuntaka mengikuti

upacara keagamaan. Kategori Cuntaka antara lain, wanita sedang

menstruasi, wanita yang masih nifas, orang yang baru saja berduka

karena kerabatnya meninggal dunia.

Komunitas Tolotang memang memiliki konsep kepercayaan yang

sangat unik dibandin lainnya.Mereka tidak serta-merta menghilangkan

tradisi, adat dan warisan nenek moyang yang telah dipegang sejak

ratusan tahun lamanya. Setidaknya ada lima ajaran Towani Tolatang

yakni:

6. Percaya akan adanya Dewata SewwaE

7. Percaya akan adanya penerima wahyu

8. Percaya adanya kitab suci

9. Percaya akan adanya hari kiamat

10. Percaya akan adanya hari akhirat

Lima konsep kepercayaan di atas memiliki makna yang mirip

78
dengan rukun Islam.Konsep ketuhanan yang ada dalam kepercayaan

Towani Tolotang adalah kepercayaan terhadap Dewata SewawaE.

Dewata berarti dewa atau Tuhan. Sewwae sendiri berarti satu atau esa.

Dewata Sewwae dalam kepercayaan Towani Tolotang memiliki

sifat-sifat seperti Maha Pemberi, Maha Pengampun dan Maha

Kuasa.Dengan adanya kepercayaan bahwa Tuhan itu esa, secara

otomatis tiada yang patut disembah kecuali Dewata Sewwae. Komunitas

Tolotang menganggap bahwa orang pertama yang meneri wahyu adalah

Sawerigading. La Panaungi yang bertugas membenahi isi bumi pasca

Sawerigading, sampai hari ini oleh orang Towani Tolotang diyakini masih

hidup. Dia belum meninggal, hanya mallang atau diangkat ke langit.

Sebelum meninggalkan bumi, La Panaungi berpesan kepada kaumnya

agar ajarannya tetap dipertahankan. La Panaungi kembali akan turun ke

bumi pada suatu saat nanti. Ajaran dan pesan ini tetap lestari sampai hari

ini secara turun temurun.

Towani Tolotang memiliki kitab suci yang dijadikan sebagai

pengangan hidup, baik dalam beribadah atau lainnya. Sureq Galigo

merupakan kitab suci Towani Tolotang, yang memuat empat uraian

penting: Mula Ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itabbenna

Walanrange, dan Appongenna Towanie. Kitab dala bahasa lontara itu

memuat petunjuk dan ajaran sebelum diciptakannya dunia hingga

berakhirnya dunia. Keyakinan Towani Tolotang berkaitan dengan

AppongennaTowanie. Konsep ini berkaitan dengan witaya La Panaungi


79
yang menerima sabda dari Dewata Sewwae sebagai ajaran di dunia dan

akhirat. Kehidupan dunia akhirat merupakan sebuah keniscayaan, karena

tidak ada jaminan kekal pada makhluk.

Penganut Towani Tolotang mempercayai hidup-mati dengan

sebutan Lino Paimeng. Lino Paimeng adalah hari pembalasan, di mana

orang yang hidup di dunia akan mendapatkan balasan yang setimpal di

akhirat. Jika berbuat taat dan sesuatu aturan dan norma agama, maka

Uwa akan menempatkan manusia di Lipu Bonga, tempat kemuliaan dalam

Islam disebut Surga

2. Hubungan Perilaku Politik Dengan Sistem Kepercayaan Towani

Tolotang

Komunitas Totolang yang dulunya hanyalah pendatang di Amparita

dan hidup dikalangan masyarakat mayoritas Islam pada saat itu. Mereka

mengalami berbagai bentuk gangguan dan diskriminasi baik dari kalangan

masyarakat yang ada di sekitar mereka maupun pemerintahan pada saat

itu yang belum memberikan legitimasi kepada aliran kepercayaan mereka

sehingga beberapa dari proses-proses adat mereka pada saat itu harus

mengikut kepada aturan dari pemerintah tersebut. Seperti pada saat

upacara pernikahan dan proses upacara kematian yang harus mengikut

kepada proses ritual yang ada pada masyarakat islam di daerah tersebut.

Namun dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi

mereka pada saat itu, membuat mereka tetap bertahan dalam kondisi

tersebut, karena sebagai kelompok minirotas yang berada pada kelompok


80
yang mayoritas islam pada saat itu mereka dipaksakan mengituki ajaran

islam. Namun mereka tidak menerima karena tidak adanya kemiripan

ajaran maupun ritual yang dilaksanakan pada proses proses tertentu yang

ada pada agama Islam. Hal itulah yang membuat mereka sedikit

mengeluarkan aspirasi mereka kepada pemerintah pada saat itu,

menuntut sebagai warga negara Indonesia mereka berhak menerima

perlindungan dan menjalankan seluruh kepercayaannya berdasakan

keyakinan yang mereka pegang selama ini.

Hal itulah yang membuat pemerintah menawarkan tiga diantara

enam agama yang ada di Indonesia pada saat itu untuk mereka pilih

sebagai pengakuan (legitimasi), dan secara administrasi bahwa mereka

diakui keberadaanya ataupun kepercayaan di negara. Dan mereka

memilih Hindu pada saat itu karena mereka menganggap bahwa cuman

agama hindulah yang memiliki kemiripan dan mendekati ke aliran

kepercayaan ereka. Walaupun adat istiadat mereka berbeda jauh dengan

apa yang ada di masyarakat Hindu pada umumnya yan ada di Indonesia.

Dengan diterimanya mereka di daerah Amparita dan adanya pula

pengakuan terhadap kepercayaan mereka yang bernaung di dalam

agama Hindu oleh pemerintah pusat maupun daerah tidak ada lagi

gangguan maupun diskriminasi yang mereka alami. Dengan itu mereka

terus berkembang dan kelompok mereka semakin bertambah secara

signifikan dari tahun ke tahun yang membuat mereka tambah kaut secara

massa dan membuat mereka juga dipertimbangkan secara kelompok

81
yang ada di dearah Amparita tersebut. Yang dulunya mereka hanyalah

kelompok minoritas yang ada di derah tersebut sekarang dengan jumlah

masyarakat yang terus berkembang mereka sudah mendominasi di

daerah Amparita maupun di kecamatan Tellu Limpoe. Tidak hanya itu

persebaran mereka semakin luas di beberapa daerah yang di Kabupaten

Sidrap.

Dengan menguasai daerah tertentu, tapi juga mereka berkembang

secara pendidikan yang dimana banyak dari komunitas Tolotang ini sudah

tergabung di dalam instutisi yang ada di kaupaten Sidrap. Khususnya di

politik dengan jumlah komunitas yang sangat banyak itu salah satu

kekuatan untuk memperkuat mereka di dalam mempertahankan

kepercayaan mereka dengan adanya salah satu dari komunitas ini yang

masuk dalam anggota DPRD yang ada di kabupaten Sidrap. Dengan

adanya perwakilan mereka yang ada duduk di pemerintah, yang membuat

mereka semakin kuat di dalam ranah politik karena bisa memperjuangkan

komunitas mereka dari bentuk-bentuk keputusan yang akan nantinya di

keluarkan oleh pemerintah daerah.

Hal itu juga mempertegas bahwa komintas Tolotang sudah

diperhitungkan dalam ranah politik, karena dengan jumlah terbesar

pertama yang ada di Amparita membuat pilihan-pilihan politik juga sangat

berpengaruh di dalam Pilkada. Karena di setiap ada kegiatan Pilkada

yang akan dilaksanakan di kabupaten Sidrap membuat para calon-calon

yang akan menjadi kepala daerah mendekati atau ingin mendapatkan

82
suara di komunitas Tolotang. Secara tidak langsung suara mereka dan

dengan jumlah masyarakat yang cukup banyak menarik perhatian para

calon-calon kepala daerah yang nantinya ingin bertarung di proses

Pilkada.

Hal ini yang selalu menjadi salah satu potensi yang sangat baik

bagi komunitas Tolotang dimana keterkaitan dengan salah satu partai dan

diperhitungkan dalam ranah politik bagi mereka juga harus membangun

hubungan yang baik dengan pemerintah deaerah maupun pusat. Seperti

salah satu penjelasan dari informan yang di wawancarai pada tanggal 14

Maret 2018:

“...saya selaku ketua lembaga selama ini memang selalu


membangun hubungan dengan kekuasaa yang ada. Jadi kalau soal
itu, iya memang karena supaya hubungan ini tetap terjalin dengan
baik tentu plus dengan kepentingan-kepentingan kita sebagai
warga negara, plus sebagai umat tentu kita berusaha memperbaiki,
membina hubungan yang baik. Siapapun yang akan jadi katakanlah
jadi penguasa (pemerintah), lalu kita yang utama adalah siapa pun
kalau terjadinya misalnya pilkada atau pileg atau siapapun itu kita
harus membina hubungan dengan baik, artinya kesepahaman tetap
terjalin dan memang itulah kita harus tetap berada di bawah
pemerintah yang ada, tentu secara payung manaungi kita secara
hukum dan administrasi.
Berdasarkan penjelasan diatas menyatakan bahwa setiap warga

negara yang baik seharusnya menjalin hubungan baik dengan

pemerintah. Begitupun dengan komunitas Tolotang yang selalu membina

hubungan dengan pemerintah setempat supaya tidak ada kesalapaham

yang terjadi dan sebagai kelompok yang bernaung di daerah tertentu

83
pastinya mereka memerlukan perlindungan secara hukum dan pengakuan

secara administrasi.

Komunitas Towani Tolotang yang masih sangat memegang teguh

apa yang dikatakan oleh leluhur mereka. Kepercayaan lokal yang dulunya

mengalami beberapa perlakuan diskriminasi oleh bebrapa kelompok yang

ada sekitarnya. Sekarang juga sudah menjadi sangat berkembang dan

tumbuh dengan jumlah yang sangat banyak sehingga juga sangat

mempengaruhi di daerah dimana mereka berada. Di waktu pertama

mereka berada di Amparita dan sekarang sudah menempati beberapa

daerah yang ada di kabupaten Sidrap. Dengan pengakuat yang telah

diberikan oleh mereka serta dengan jumlah penganut yang cukup banyak

tersebar di kabupaten Sidrap. Menjadikan mereka sudah sangat diterima

di daerah manapun. Seperti halnya yang dijelaskan oleh informan pada

wawancara tanggal 9 Maret 2018:

“...kita tidak pernah diusik sama pemerintah, nda pernah diganggu


ataupun dilarang dalam melakukan kegiatan-kegiatan adat di
Tolotang ini. Malahan hubunganta sama pemerintah sangat baik...”
Sebagai sebuah komunitas yang ada di daerah pemerintah sebuah

daerah. Pasti sama-sama menjalin hubungan yang baik satu dengan yang

lainnya. Komunitas adat harusnya dilestarikan sebagai salah satu budaya

yang harus tetapa ada di daerah tersebut. Begitupun dengan kepercayaan

lokal yang sejatinya mereka memiliki nilai-nilai spritual yang mereka

anggap sebagai sebuah panutan hidup yang bisa membuat mereka tetap

84
utuh dalam sebuah kelompok, tanpa adanya gangguan oleh kelompok-

kelompok tertentu.

Belum lagi secara politik eksistensinya juga bukan tidak memiliki

kekuatan di dalam negara maupun pemerintahhan lokal, tetapi bahkan

keterlibatan dalam politik praktis setidaknya ikut mewarnai beberapa

pengambilan kebijakan daerah. Tetapi orinisnya, meski begitu keinginan

pemerintah untuk menggunakan otoritasnya untuk selalu mengawasi

segala bentuk aktifitas, eksistensinya dan masa depan Tolotang.

3. Bentuk Strategi Politik Komunitas Towani Tolotang

Kebijakan negara tentang kebebasan beragama di Indonesia

nampaknya tidak cukup untuk dijadikan sebagai jaminan keberadaan

Tolotang di tengah-tengah perubahan. Oleh karena itu, Tolotang

menempuh langkah-langkah dalam merespon perubahan tersebut untuk

mempertahankan identitas. Perubahan peta politik pada arus lokal

memberikan ruang yang lebar bagi Tolotang untuk melakukan tindakan-

tindakan atau strategi yang diharapkan akan memberikan jaminan akan

kelangsungan hidupnya. Perubahan politik pada lefel lokal seperti yang

terjadi di Kabupaten Sidenreng Rappang, memungkinkan adanya nilai

tawar yang menjajikan bagi komunitas lokal dengan pemerintah dan

masyarakat setempat. Namun demikian, Tolotang dituntut untuk

mengambil tindakan untuk kepentingan kelangsungan hidupnya.

Dalam rangka memperkuat posisi, Tolotang berpartisipasi dan

terlibat dalam politi lokal. Hal ini ditujunkkan dengan bergabungya ke


85
dalam anggota partai politik. Tolotang yang memiliki suara terbesar kedua

setelah Islam memiliki suara cukup penting khususnya dalam kegiatan

pemilu. Dengan suara yang cukup banyak dalam pemilihan anggota

legislatif, mereka berhasil menggantarkan salah satu dari anggota

komunitas masuk di dalam Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di

Kabupaten Sidrap. Dengan demikian, Tolotang juga turut mewarnai setiap

keputusan mengenai kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleg

pemerintah daerah. Dengan itu Komunitas ini mendapatka pengakuan

baik secara politik maupun kultural bahwa komunitas Tolotang bagian dari

integral yang ada di kabupaten Sidrap. Hal inilah yang membuat ketika

ada pemilihan kepala daerah membuat komunitas ini didantangi oleh

calon-calon kepala daerah yang ingin mengalang suara di kumintas

Tolotang. Seperti yang dijalaskan oleh informan pada wawancara tanggal

9 Maret 2018:

“..Hampir setiap ada pemilihan itu para calon-calon Bupati datang


ke sini,biasa kalau begitu kita kumpul juga semua anggota disini
supaya banyak diliat. Karena kalau disini apa mi nah bilang orang
tuanya pasti ikut mi juga itu yang lain. biasaki cerita-cerita sama
calon bupatinya juga tentang bagaimana kondisi di sini..” Uwa Eja
(64 tahun)
Berdasarkan hasil wawancara diatas menggambarkan bahwa daya

tarik para calon-calon kepala daerah untuk datang dan menarik dukungan

dari komunitas Tolotang adalah karena Tolotang tingkat solidaritas

mereka tinggi dan apa pun yang dikatakan oleh pemangku adatnya pasti

seluruh anggotanya akan ikut memilih keputusan yang diambil oleh

pemangku adat ini, hal inilah yang menjadikan mereka di mobilisasi ketika
86
ada proses pemilihan. Namun hal itu berdasarkan seberapa massa yang

dimiliki oleh pemangku adat di daerah tersebut karena setiap daerah

memliki pemangku adat serta pilihan politik mereka masing-masing

berdasarkan keputusan yang akan diambil oleh kelompok itu.

Keberadaan Tolotang akan memberikan manfaat terhadap politisi

yang berhasil masuk di kalangan mereka. Namun demikian, diakui bahwa

apapun yang menjadi keputusan mereka tidak lepas dari pengaruh

pemimpin sebagai orang tua mereka. Hal ini menandakan aktor Tolotang

di beberapa tingkat ikut menentukan masadepan politik Tolotang dan di

dukung oleh pengaruh pemimpinnya yang sangat dominan.

Begitupun halnya di ranah kepercayaan mereka bergabung ke

dalam agama Hindu merupakan langkah untuk menghindari stigma

sebagai penganut ajaran sesat, ajaran yang tidak berbasis pada agama.

Keputusan pemerintah melalui Dirjen Bimas Hindu Bali/Budha No. 2/ 1996

memuat pernyataan bahwa ajaran Tolotang lebih dekat kepada ajaran

Hindu. Keputusan ini lebih mendasar pada kesamaan ajaran. Terdapat

kesamaan antara agama Hindu dan Tolotang khususnya dari praktik-

praktik yang dilakukan yang penuh dengan sesajen. Setiap pelaksanaan

upacara ritual Tolotang membutuhkan beberapa syarat yang harus

dihadirkan, seperti daung ota, alosi, dan minnya bau. Ritual-ritualnya pun

dilakukan di tempat-tempat yang dianggap suci atau keramat seperti di

kuburan, sungai, dan lain-lain. Irwan Abdullah Dkk (2008): 256-257.

87
Alasan bergabung ini disamping berdasarkan pada alasan politik

juga kultural. Bergabungnya Tolotang ke dalam Hindu mnjadikan mereka

memiliki hak yang sama dengan pemeluk agama lain. Tolotang, meskipun

secara struktural berada di bawah naungan agama Hindu. Masyarakat

sekitar, khususnya kelompok muslim melihatnya sebagai penganut ajaran

Hindu, termasuk identitas diri resmi mereka juga sebagai Hindu. Hal ini

ditemukan dalam kartu pengenal misalnya, dengan menyebut Hindu

sebagai agama. Demikian pula dalam kelengkapan data diri, mereka

menggunakan agama Hindu sebagai agama. Dikalangan panggilan

Tolotang, bukan Hindu. Hal ini disebabkan oleh telah berakarnya Tolotang

di masyarakat luas di Sidenreng Rappang. Orang yang berasal dari luar

daerah pun lebih mengenal mereka dengan sebutan Tolotang.

Keuntungan yang diperoleh oleh Tolotang setelah bergabung ke

dalam agama Hindu adalah pengakuan yang kuat baik dari pemerintah

maupun masyarakat. Secara struktur Tolotang menjadi tanggung jawab

Hindu sebagai agama induk. Dengan demikian, Tolotang tidak lagi

menjadi sasaran dakwah atau islamisasi karena telah menjadi penganut

resmi agama yang telah mendapat legitimasi di Indonesia. Tidak ada

alasan untuk memaksa Tolotang untuk memeluk Islam seperti yang telah

dialami beberapa dekade sebelumnya. Di samping itu, bagi masyarakat

luastelah melihat Tolotang sebagai penganut Hindu seperti halnya Hindu

Bali sehingga hubungan yang terjadi antara mereka dilihatnya sebagai

hubungan kedua agama yang berbeda ajaran.

88
Terlepas dari adanya pengakuan yang telah diperoleh, praktik-

praktik keagamaan atau ritual-ritual Tolotang masih mengacu kepada

ajaran leluhur mereka yang berbeda dengan ajaran Hindu. Ritual yang

banyak dilakukan Tolotang adalah ritual atau upacara yang banyak

berhubungan dengan pertanian seperti mappalili, mangeppi dan lain-lain.

Berbeda dengan yang terjadi di Bali yang banyak berhubungan dengan

laut. Perbedaan seperti ini disebabkan oleh kondisi geografis masing-

masing.

89
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa dengan adanya

kegiatan politik di komunitas Tolotang merubah perilaku politik mereka

dan memiliki pandangan berbeda dalam hal menentukan pilihan politik

mereka. Hal ini didasari oleh peran pemangku adat yang sangat

berpengaruh di seluruh aspek kehidupan masyarakat Tolotang. Uwa

dalam hal ini sangat menentukan sebuah keputusan yang akan diambil

secara kelompok yang ada di Tolotang, dan pengambilan keputusan juga

berdasarkan wilayah-wilayah tertentu yang ada di daerah Tolotang

berdasarkan wilayah pemangkuannya masing-masing. Adanya perbedaan

pilihan politik pada komunitas ini karena adanya kepetingan pribadi yang

mendasari sebuah keputusan itu lahir.

Adanya perpecahan pilihan politik di komunitas Towani Tolong

dilatarbelakangi adanya keinginan atau kepentingan-kepentingan pribadi

yang bisa menguntungkan sebuah kelompok tertentu yang ada di

komunitas Tolotang ini.yang dulunya pada saat memilih masyarakat

Tolotang satu pilihan semua tapi sekarang sudah berubah karena adanya

perbedaan-perbedaan prinsip terkait di ranah politik dan terkait pula

dengan adanya kepentingan-kepentingan pribadi yang bersifat

menguntungkan salah satu pihak dan tidak lagi di dasari oleh

kepentingan kelompok seperti dulu. Namun pada hakikatnya keputusan

90
mereka berbeda karena adanya keterikatan adat dari pemimpin mereka

yaitu Uwa dalam hal ini yang menentukan pilihan pada wilayah-wilayah

yang ada di Amparita tersebut.

Dalam ranah kepercayaan Komunitas Towani Tolotang masih

sangat memagang teguh apa yang telah leluhur mereka wariskan.

Keterlibatan Towani Tolotang dalam ranah politik salah satu usaha

mereka dalam mempertahankan adat dan kepercayaan mereka.

Masuknya salah satu dari komunitas ini di pemerintah supaya dalam hal

penentuan kebijakan mereka bisa ikut merumuskan sebuah keputusan

yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.

B. SARAN

Setelah penelitian ini selesai, peneliti banyak mendapatkan

pengetahuan baru tentang masyarakat Towani Tolotang di Amparita.

Karena itu, peneliti merasa perlu untuk memberikan saran untuk dijadikan

pertimbangan bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap komunitas

Towani Tolotang di Amparita. Dalam konteks politik di harapkan Uwa‟

menjadi seorang pemimpin adat yang tidak berpihak pada satu calon

kandidat. Hal ini dikarenakan Uwa‟ merupakan pemimpin adat yang bisa

mendongkrak suara masyarakat Amparita. Diharapakan masyarakat untuk

menjadi seorang pemilih yang cerdasyang dapat menyaring segala bentuk

mobilisasi. Dan terkhusus bagi masyarakat Amparita diharapkan untuk

memilih berdasarkan kesepakatan bersama bukan hanya berpegang pada

keinginan satu pihak. Dalam konteks politik di harapkan Uwa‟ menjadi


91
seorang pemangku adat yang tidak berpihak dalam satu calon kandidat.

Hal inidi karenakan Uwa‟ merupakan pemangku adat yang bias

mengkosolidasi suara masyarakat Amparita.

92
DAFTAR PUSTAKA

Almond, Gabriel A dan Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku
Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta.

Anas, Sudijo.1995. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali


Pers.

Budiardjo, Mariam. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama.

Darmapoetra, Juma.2013.Tolotang: Keteguhan Memegang Tradisi.


Makassar: Arus Timur.

Endawarsa, 2003. Metode Penelitian Kebudayaan. University Press.


Yogyakarta. Gajah Mada

Farmalindah, Erlina. 2013. Study Tentang Pola Pendidikan Beragama


pada Komunitas Towani Tolotang di Amparita Kabupaten
Sidenreng Rappang. Makassar: Skripsi: Jurusan Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Hadikusama, Hilman. 1993. Antropologi Agama: (Pendekatan Budaya


Terhadap Aliran Kepercayaan Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu,
di Indonesia Bagian I). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

J Hasse, 2010. Kebijakan Negara Terhadap Agama Lokal “Towani


Tolotang di Kabupaten Sidrap. Yogyakarta: Jurnal Studi
Pemerintah, Volume 01 Nomor 01.

Keller, Suzanne. 1995. Penguasa dan Kelompok Elite : Peranan Elite


Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada

Keraf, A.S. 2010.Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

______. 2008. “Agama Tolotang di Tengah Dinamika Sosio-Politik


Indonesia: Konstruksi Negara atas Komunitas Tolotang di
Sulawesi Selatan”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan
Global.Yogyakarta.SekolahPascasarjana UGM-PustakaPelajar.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit


Rineka Cipta.
93
--------------------. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

-------------------. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian


Rakyat

Melalatoa, M. Yunus (ed). 1997 .“Muatan Kebudayaan Daerah‟ di


Indonesia”, dalam Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Pamator.

Muslimin. 1996.„Pengaruh Kepemimpinan Uwa‟ terhadap Motivasi dan


Disiplin Kerja Masyarakat Tolotang di Kabupaten Sidenreng
Rappang‟, Tesis. Makassar. Universitas Hasanuddin.

Narkawo,Dwi J dan Suyanto Bagong,2007. Edisi Kedua Sosiologis Teks


Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Penerbit Kencana.

Ningrat, A.A. 2004. Karakteristik Lanskap Kampung Tradisional Di


Halimun Selatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(Sebuah Studi Pada Kampung Kasepuhan di Kesatuan Adat
Banten Kidul, Kampung Sirnaresmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Skripsi Sarjana Pada
Program Studi Arsitektur Lanskap FP IPB, Bogor

Nurhasim, Moch, dkk. 2003. Konflik Antar Elit Politik Dalam Pemilihan
Kepala Daerah. Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta.

Nursam. 2016. Kekuatan Politik Pemimpin Adat Uwa‟ Tolotang Pada


Pemilihan Kepala Daerah SidrapTahun 2013. Makassar: Skripsi:
Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

Pujileksono, Sugeng. 2006. Petualangan Antropologi :Sebuah Pengantar


Ilmu Antropologi. Malang: UMM Press.

Rusmi Widayatun, Tri, Ilmu Perilaku M.A. 104: Buku pegangan Mahasiswa
AKPER, Jakarta: CV Sagung Seto, Cet. Ke-1, 1999.

Sarwono, W. Sarlito, 2004. Psikologi Remaja. Jakarta. PT Raja Grafindo


Persada

Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Poltik. Semarang: IKP Semarang


Press.

Sj Budi Susanto, 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Soelaiman Joesoef. 1986. Materi Pokok Dinamika Kelompok. Jakarta:


Karunika Universitas Terbuka.
94
Sukardji, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar
1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar-dasar Hidup Beragama
dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI Press.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia


Widya Sarana.

Supanto. 1992. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa


Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan
Nilai Nilai Budaya.

Sumber Lain:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id diakses 6 Januari 2018

www.panielmaiewang.blogspot.com:2009 diakses 6 Januari 2018

95
LAMPIRAN

GAMBAR I: Pemangku Adat dengan Calon Bupati Sidrap

GAMBAR II: Uwa dengan Calon Bupati Sidrap

96
GAMBAR III: Uwa dan calon Bupati Sidrap

GAMBAR IV: Pakaian Masyarakat Tolotang Amparita

97
GAMBAR V: Masyarakat Tolotang Amparita

GAMBAR VI: Kantor Lurah Amparita

98
GAMBAR VII: Rumah adat komunitas Tolotang Amparita

GAMBAR VIII: Rumat adat komunitas Tolotang Amparita

99

Anda mungkin juga menyukai