Anda di halaman 1dari 144

SKRIPSI

EKSISTENSI KELUARGA SOLTHAN DALAM KANCAH POLITIK DI

KABUPATEN BANTAENG

(Studi Tentang Politik Dinasti Keluarga Solthan di Kabupaten


Bantaeng)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi


Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Departemen Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu politik
Universitas Hasanuddin

DI Susun Oleh :

ANGGI NURWAHYUDI
E111 15 019

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


DEPARTEMEN ILMU POLITIK DAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa melimpahkan berkat, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis,

sehingga penyusunan Skripsi dapat selesai di waktu yang tepat. Skripsi ini

berjudul “Eksistensi Keluarga Solthan Dalam Kancah Politik di Kabupaten

Bantaeng (Studi Tentang Politik Dinasti Keluarga Solthan di Kabupaten

Bantaeng) “. Penyususnan Skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib

sebagai mahasiswa strata satu (S1), untuk menyelesaikan studi dan

meraih gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) pada Program Studi Ilmu Politik,

Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Hasanuddin.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta

Ayahanda Nursaudi dan Ibunda Rahmawati yang sangat berjasa

merawat, membesarkan, mendidik, mendoakan, memotivasi mendukung

penuh di setiap jenjang pendidikan penulis hingga sekarang sampai di

tahap ini. Kepada kedua nenek penulis Nurjannah Said dan St Aisah.

Kepada tante penulis Rosmiati S.Pd.,M.Pd, Devi Anggraeni, Sri

Handayani yang selama ini selalu mendukung penuh dalam

menyelesaikan Skripsi ini. Kepada sepupu penulis A. Nunung Ekawati dan

A. Eka Farmila beserta seluruh keluarga besar penulis yang tidak sempat

penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua dukungan,

motivasi serta doanya.

iii
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Armin, M.Si dan Bapak

Andi Ali Armunanto, S.IP.,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

banyak membantu, memberikan arahan, meluangkan waktu, tenaga dan

pikiran membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dari berbagai pihak telah memberikan

dukungan, bantuan petunjuk serta motivasi dalam menyelesaikan Skripsi

ini, untuk itu pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga kepada :

1. Ibu prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. Selaku Rektor

Universitas Hasanuddin beserta jajarannya yang telah memberikan

perubahan-perubahan yang positif bagi sistem pendidikan di

Universitas Hasanuddin

2. Bapak Prof. Dr. Armin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosidal

dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin yang telah

memberikan ruang kepada penulis selama menempuh pendidikan

di lingkup Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas

Hasanuddin

3. Bapak Dr. Phil. Sukri, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Riset dan

Inovasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Hasanuddin yang telah banyak memberikan kemudahan kepada

penulis dalam urusan akademik.

iv
4. Bapak Dr. H. Andi Samsu Alam, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang

Keuangan dan Perencanaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) Universitas Hasanuddin yang telah memberikan

kemudahan kepada penulis dalam urusan-urusan administrasi.

5. Bapak Dr. Hasrullah, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang

Kemahasiswaan dan Kemitraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin yang telah memberikan

kemudahan kepada penulis dalam urusan-urusan kemahasiswaan.

6. Bapak Dr. Phil Sukri, M.Si selaku Plt Ketua Departemen Ilmu Politik

dan Ilmu Pemerintahan yang telah memberikan banyak kemudahan

kepada penulis dalam urusan administrasi di Departemen Ilmu

politik dan Ilmu Pemerintahan.

7. Bapak Andi Naharuddin, S.IP.,M.Si selaku Sekretaris Departemen

Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan yang telah memberikan banyak

kemudahan kepada penulis dalam urusan administrasi urusan-

urusan administrasi di Program Studi Ilmu Politik.

8. Seluruh dosen-dosen Program Studi Ilmu Politik : Alm. Bapak Prof.

Dr. Muh. Kausar Bailusy, MA, Bapak Prof. Dr. Armin, M.Si, Bapak

Prof. Dr. Muhammad, M.Si, Bapak Prof. Dr. H. Basir Syam, M.Ag,

Bapak Drs. H. A. Yakub, M.Si, Bapak Dr. Muhammad Saad, MA,

Ibu Dr. Gustiana A. Kambo,M.Si, Ibu Dr. Ariana Yunus, M.Si, Bapak

Andi Ali Armunanto, S.IP.,M.Si, Bapak Andi Naharuddin, S.IP.,M.Si,

Bapak Imran, S.IP.,M.Si, Ibu Sakinah Nadir, S.IP.,M.Si, Kanda

v
Endang Sari, S.IP.,M.Si, Kanda Ummi Suci Fathya Bailusy,

S.IP.,M.Si, Kanda Zulhajar, S.IP.,M.Si, Kanda Dian Ekawaty,

S.IP.,M.A yang telah banyak memberikan ilmu, saran dan arahan

kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi

Ilmu Politik.

9. Kepada seluruh pegawai dan Staf Departemen Ilmu Politik dan Ilmu

Pemerintahan, Khususnya Ibu Hasna, Bapak Aditya, Bapak

Mursalim Dg. Mile, Kanda Rini yang telah senantiasa membantu

penulis dalam urusan-urusan administrasi.

10. Kepada Bapak Dr. H. Ilham Syah Azikin, M.Si, Bapak Dr. H. Azikin

Solthan, M.Si, Bapak Ibnu Mas’ud Sikki, Bapak Sultan Radja selaku

narasumber/informan penelitian atas kesediannya menerima

penulis dan menyisihkan waktu untuk melakukan wawancara terkait

data-data yang penulis butuhkan dalam proses penyelesaian

Skripsi ini.

11. Seluruh keluarga besar Program Studi Ilmu Politik terkhusus

angkatan 2015, 2016,2017 dan 2018 yang telah menemani penulis

dalam berproses selama menempuh pendidikan di Program Studi

Ilmu Politik.

12. Kepada Apriani Kurnia Sri Nadila Jafar, Fedora Esperanza, Naufal

Asyiri Banuarli, Siti Salwah Noor Annisa yang merupakan teman-

teman seperjuangan yang setia dalam mengerjakan proposal,

penelitian, sampai penyusunan Skripsi.

vi
13. Kepada Kanda Anshari Sanusi selaku manager dan conductor

Paduan Suara Mahasiswa Universitas Hasanuddin yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis bergabung ke Unit

Kegiatan Mahasiswa se keren ini, yang dapat penulis jadikan

tempat untuk mengembangkan minat penulis, berprestasi sampai

Tingkat Internasional.

14. Kepada sahabatku “Soksialita” Andi Baso Chandra, Alif

Pramadhan, Ganda Adi Septiyawan, Syamsul Ma’arif, Abd.

Rahman, Muhammad Hasan, Ari Saputra, Aulisani Annisa, Nur

Aqifah Ahmad Toputri, Zabhika Dinda Itsnaeni, Aqidatul Izza, Ulvira

Nirwana Sudarmadi yang telah menemani berproses selama

menempuh pendidikan di Universitas hasanuddin dan memberikan

banyak motivasi dan dukungan kepada penulis dalam

menyelesaikan Skripsi ini.

15. Kepada Keluarga Besar Paduan Suara Mahasiswa Universitas

Hasanuddin : Kak Ido, Kak Akram, Kak Belly, Kak Uya, Kak Rico,

Kak Halim, Kak Yamin, Kak ira, Kak Fiser, Kak Okta, Kak Duwi,

Kak Salwah, Kak Ani, Kak Angga, Kak Ciko, Kak Fahmi, Kak Surya,

Kak Faisal, Kak Elma, Kak Nadhia, Wiwin, Gazali, Fahrul Dumbi,

Fathia, Aat, Ippang, Rajif, Wilavy, Yaya, Heicke, Sandy, Faisal

Tantja, Zefa, Eca, Dyka, Firman, Adrian, Ira, Zalza, Indah, Rezal,

Rahmah, Stevian, Ita, Fajrin, Alfred, Meldrix, Cakra, Yuzril, Angel,

yang telah menemani penulis berproses dalam organisasi.

vii
16. Kepada Sahabat-sahabatku “Anak-anaka” : Radiman Ashari,

Haruna Rachmat, Ikrar Teguh Wahyu, Abd. Razak, Ahmad

Muqtadir, Ahmad Musyahid Ahsan, Taufik Ali Syahrir, Rahmat

Alifuddin, Tita Octaviani, Fitriyani Nasir, A. Husnul Haerana, Indri

Eka Putri Yani, Pyngka Delarani Achyar, Indriyani, Mu’jizat Fitrani,

Rahmi yang banyak membantu dan memberikan motivasi dan

dukungan kepada penulis.

17. Kepada sahabat seperjuangan dari SMP hingga sekarang : Sry

Kalsum, Redina Sari Saraswati, A. Fajar Ferdiansyah, Andi Alma

Meriam.

18. Kepada keluarga besar Aliansi Remaja Independen Sulawesi

Selatan : Kak Akbar, Kak Dika, Kak Ilham, Kak Adel, Kak Yani, Kak

Amel, Kak Wulan, Yasir, Yung, Irham, Ganda, Aulisani, Dinda,

Diny, Dita, Evelyn, Ila, Jus, Medi, Nurul Ainun, Syahril, Fedora,

Zabhika Dinda, Syahman, Dian, Tasya, Eka, Vera, Syafiq, Ainun

yang telah memberikan banyak pengalaman kepada penulis.

19. Kepada teman-teman Posko Induk Bonto Atu KKN UNHAS

Gelombang 102 : Dayat, Arung. Rezky, Priskila, Nabila, Sanny,

Ainun, Tita, Nyunyu, Sarah, Muthia, Sri yang telah bersama-sama

berproses pada saat KKN demi melengkapi salah satu Tri Dahrma

perguruan tinggi.

20. Terakhir untuk seluruh keluarga besar penulis, terutama untuk om,

tante, sepupu, ponakan penulis yang sedikit banyaknya telah

viii
menyusahkan selama menempuh pendidikan dan penyusunan

Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyususnan Skripsi

ini masih terapat kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu yang penulis

miliki. Namun, penulis meyakini bahwa setiap kekurangan dan kelebihan

dalam skripsi ini aka nada banyak makna yang dapat di petik untuk

meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik kedepannya. Oleh karena itu,

segala masukan berupa saran dan kritikan yang membangun senantiasa

penulis terima bagi semua pihak untuk meningkatkan kualitas penelitian

dan penyusunan skripsi ini dan untuk memperbaiki karya ilmiah penulis

selanjutnya.

Makassar, Februari 2020

Penulis

ix
ABSTRAK

Anggi Nurwahyudi (E11115019), dengan judul “Eksistensi


Keluarga Solthan Dalam Kancah Politik di Kabupaten Bantaeng
(Studi Tentang Politik Dinasti Keluarga Solthan di Kabupaten
Bantaeng) di bawah bimbingan Prof. Dr. Armin, M.Si sebagai
Pembimbing I dan Andi Ali Armunanto, S.IP.,M.Si sebagai
Pembimbing II

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan


mengetahui cara Keluarga Solthan mempertahankan eksistensinya dalam
kancah politik di Kabupaten Bantaeng.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


kualitatif deskriptif yaitu memberikan gambaran serta penjelasan
mengenai cara Kelurga Solthan mempertahankan eksistensinya dalam
kancah politik di Kabupaten Bantaeng. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam memperoleh data terkait tema penelitian yaitu dengan
cara wawancara, observasi serta beberapa literatur yang terkait dengan
tema yang diangkat dalam penelitian ini. Kemudian data yang telah
diperoleh direduksi dan dipilih data yang sesuai dengan masalah
penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cara Keluarga Solthan


mempertahankan eksistensinya dalam kancah politik di Kabupaten
Bantaeng yaitu dengan memanfaatkan Modalitas yang dimiliki. Modalitas
tersebut meliputi modal sosial, modal ekonomi, modal politik dan modal
simbolik. Modal sosial yang dibangun mulai dari generasi pertama yaitu
H. Solthan menjadi Bupati Bantaeng berefek sampai ke generasi ketiga
yaitu H. Ilham Azikin yang juga menjadi Bupati di Bantaeng. Dari modal
sosial yang dimiliki menimbulkan rembesan ke modal ekonomi, modal
politik. dan juga modal simbolik berupa marga solthan yang menjadi salah

x
satu kekuatan dalam meraih jabatan politik dan pemerintahan di
Kabupaten Bantaeng sehingga modal simbolik tersebut digunakan dan
dapat mem Branding setiap anggota Keluarga Solthan yang mengikuti
kontestasi politik. Banyaknya Keluarga Solthan yang memiliki jabatan
politik dan pemerintahan di Kabupaten Bantaeng menjadikan Keluarga
Solthan termasuk kedalam keluarga politik dinasti sesuai dengan konsep
politik dinasti.

Kata Kunci : Eksistensi, Keluarga Solthan, Kancah Politik

ABSTRACT

Anggi Nurwahyudi (E11115019), with the title : The Existence


of The Solthan Family in The Political Spehere In Bantaeng Regency
(Study of the Politics of the Solthan Family Dynasty in Bantaeng
Regency) under the guidance of Prof. Dr. Armin, M.Si as Counselor I
and A. Ali Armunanto, S.IP., M.Si as Counselor II

The purpose of this study is to describe and find out how the
Solthan Family maintains its existence in the political sphere in Bantaeng
Regency.

The research method used in this research is descriptive qualitative


which provides an overview and explanation of how Solthan Family
maintains its existence in the political sphere in Bantaeng Regency. Data
collection techniques used in obtaining data based on the research topic
that is by interviews, observations and some literature study related to the
topic raised in this study. Then the data that has been obtained will be
reduced and then the data will be selected in accordance with the
research problem.
The results of this study indicate that the way the Solthan Family
maintains its existence in the political sphere in Bantaeng Regency is by
utilizing the Modalities it possesses. These modalities include social
capital, economic capital, political capital and symbolic capital. The social
capital that was built starting from the first generation, namely H. Solthan,
became the District Head of Bantaeng with an effect up to the third
generation, namely H. Ilham Azikin, who also became the District Head in
Bantaeng. From the social capital that is owned raises seepage into
economic capital, political capital. and also symbolic capital in the form of
the Solthan clan which became one of the strengths in gaining political

xi
and governmental positions in Bantaeng Regency so that the symbolic
capital was used and could branding every member of the Solthan Family
who participated in political contestation. The large number of Solthan
Families who have political and governmental positions in Bantaeng
Regency makes the Solthan Family included in the dynastic political family
in accordance with the dynastic political concept.
Keywords: Existence, Solthan Family, Political Sphere

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
HALAMAN PENERIMAAN.........................................................................iii
KATA PENGANTAR..................................................................................iv
ABSTRAK...................................................................................................xi
ABSTRAC..................................................................................................xii
DAFTAR ISI..............................................................................................xiii
DAFTAR TABEL......................................................................................xvi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
I.1. Latar Belakang............................................................................1
I.2. Rumusan Masalah......................................................................9
I.3. Tujuan Penelitian......................................................................10
I.4. Manfaat Penelitian....................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................11
II.1. Telaah Pustaka........................................................................11
II.2. Politik Dinasti............................................................................14
II.2.1. Pengertian Politik Dinasti............................................14

xii
II.2.2. Pandangan Politik Dinasti Dalam 2 Konteks...............18
II.2.3. Faktor-faktor Terbentuknya Politik Dinasti..................19
II.2.3.1. Modal Simbolik..............................................19
II.2.3.2. Modal Ekonomi..............................................21
II.2.3.3. Modal Sosial..................................................23
II.2.3.4. Modal Politik..................................................25
II.3. Budaya Politik Familisme.........................................................27
II.3.1 Varian Budaya Politik Familisme..................................28
II.4. Personal Branding....................................................................32
II.5. Kepemimpinan Politik...............................................................35
II.6. Kerangka Pemikiran.................................................................37
II.6.1. Skema Kerangka Pikir.................................................39
BAB III METODE PENELITIAN................................................................40
III.1. Lokasi Peneitian......................................................................40
III.2. Tipe dan Jenis Penelitian........................................................40
III.2.1. Tipe Penelitian............................................................40
III.2.2. Jenis Penelitian..........................................................41
III.3. Teknik Pengumpulan Data......................................................42
III.4. Informan Penelitian.................................................................43
III.5. Teknik Analisis Data................................................................44
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN...........................................46
IV.1 Sejarah Kabupaten Bantaeng.................................................46
IV.2 Kondisi Politik dan Pemerintahan Kabupaten Bantaeng.........49
IV.2.1 Kondisi Politik.............................................................49
IV.2.2 Kondisi Pemerintahan................................................50
IV.3 Indeks Pembangunan Manusia...............................................54
IV.4 Agama......................................................................................55
IV.5 Sejarah Generasi Solthan Menjadi Bupati Bantaeng..............56
IV.5.1 Babakan H. Solthan...................................................56
IV.5.2 Babakan H. Azikin Solthan........................................58

xiii
IV.5.3 Babakan H. Ilham Azikin Solthan..............................62
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN EKSISTENSI KELUARGA
SOLTHAN DALAM KANCAH POLITIK DI KABUPATEN BANTAENG..67
V.1 Modalitas...................................................................................69
V.1.1 Modal Sosial...............................................................71
V.1.2 Modal Ekonomi .....................................................84
V.1.3 Modal Politik................................................................91
V.1.4 Modal Budaya (Simbolik)............................................96
V.2 Personal Branding.................................................................100
BAB VI PENUTUP...................................................................................106
V.1 Kesimpulan.............................................................................106
V.2 Saran......................................................................................110
DAFTAR PUSTAKA................................................................................112
LAMPIRAN..............................................................................................116

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 01 Struktur Jabatan Politik Keluarga Solthan....................................8

Tabel 02 Tipologi Perspektif Budaya Politik Familisme.............................31

Tabel 03 Informan Penelitian.....................................................................43

Tabel 04 Luas Wilayah Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Bantaeng


...................................................................................................................48

Tabel 05 Data Proporsi Penduduk Kecamatan Menurut Jenis Kelamin


Tahun 2017................................................................................................49

Tabel 06 Indeks Pembangunan Manusia..................................................55

Tabel 07 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Agama Berdasarkan


Kecamatan Tahun 2017.............................................................................55

Tabel 08 Riwayat Organisasi Keluarga Solthan........................................84

xv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 01 Lambang Daerah Kabupaten Bantaeng.................................50


Gambar 02 Wawancara dengan H. Azikin Solthan.................................116
Gambar 03 Wawancara dengan H. Ilham Azikin Solthan.......................117
Gambar 04 Wawancara dengan Ibnu Mas’ud Sikki................................118
Gambar 05 Wawancara dengan Sultan Radja........................................119

xvi
xvii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Politik secara esensial merupakan aspek kehidupan yang paling

fundamental, hal ini disebabkan karena politik merupakan ruang publik,

ranah politik menyentuh hampir semua sendi kehidupan baik kolektif

maupun individual, sejarah perpolitikan di Indonesia pasca kemerdekaan

telah mengalami berbagai macam anomaly demokrasi mulai di era

demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, melangkah ke era orde baru

hingga pada era reformasi, di era yang terakhir ini geliat demokratisasi

semakin menunjukkan titik cerah sebab untuk pertama kalinya seluruh

suksesi kepemimpinan baik di tingkat lokal sampai ke tingkat nasional

melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif melalu proses pemilihan

langsung (pemilu).

Demokrasi yang terus berkembang berbanding lurus dengan

perkembangan kehidupan (budaya) social politik masyarakat. Oleh karena

itu, perkembangan budaya pada masyarakat akan juga diikuti oleh

perkembangan demokrasi itu sendiri1. Seperti misalnya budaya popular di

masyarakat, sejarah konsep budaya popular memang demikian, karena

pada awalnya “budaya popular” adalah konsep yang digunakan sebagai

lawan kata dari “budaya elite”. Konsep budaya popular digunakan untuk

1
Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2005),
hlm.17

1
mengejek dan menyudutkan budaya masyarakat kebanyakan. Kemudian

secara perlahan dalam perkembangannya, budaya popular tidak lagi

bermakna negative tetapi berubah menjadi sebuah konsep netral. Budaya

popular kemudian diartikan sebagai budaya yang dimiliki dan disukai oleh

sebagian besar orang dalam suatu masyarakat2.

Demokrasi langsung menjadikan popularitas sebagai satu hal yang

utama dan penting. Orang yang popular tentu saja merupakan orang yang

disukai banyak orang cenderung mayoritas. Oleh karena itu upaya untuk

menjadi popular berbondong-bondong dilakukan oleh para elit politik

dengan tujuan mendapat legitimasi dari masyarakat. Para elit dituntut

tidak hanya mengusai literature-literatur ilmu politik dan penguasaan basis

massa di masyarakat baik secara primordial maupun ideologis, namun

para elit juga dituntut untuk bias menjadi “icon popular” dimata public.

Untuk menjadi popular para elit politik mau tidak mau harus menjadi icon

dari budaya yang popular itu atau setidaknya menjadi atau seolah-olah

menjadi pengusung budaya yang popular tadi.

Perubahan struktur politik dan demokrasi juga turut mendorong

terjadinya transformasi strategi dan metode para elit politik untuk

memperoleh kekuasannya salah satunya ialah berkembangnya budaya

politik dinasti. Di era politik sekarang dinasti politik kian menjadi popular

2
Wisnu Martha Adiputra, Jurnal Polysemia : Budaya Populer dan Demokrasi, (Jakarta:Pusat kajian
media dan budaya popular (PKMBO 2006) hal. 17

2
yang digunakan para elit politik untuk tetap mempertahankan kekuasaan

dilingkungan keluarganya.

Politik Dinasti bukanlah hal baru di Indonesia, sejak orde baru

sampai sekarang. Di era politik elektoral politik dinasti atau yang acapkali

disebut sebagai politik kekerabatan kian berkembang di Indonesia.

Indonesia diwarnai politik dinasti, diakui atau tidak Indonesia dipenuhi oleh

politisi yang masih memiliki hubungan keluarga, satu dengan lainnya.

Fenomena politik dinasti dapat dikatakan semakin meningkat, baik dalam

jabatan politik di lembaga legislatif (DPRD/DPR/DPD), dalam lembaga

instansi pemerintahan, maupun dalam jabatan eksekutif sebagai Kelapa

Daerah.

Munculnya fenomena keluarga politik sendiri ditandai oleh

keikutsertaan suami, istri, anak dan kerabat lainnya dari petahana dalam

kancah politik, baik itu pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan

legislatif (Pileg), atau penempatan jabatan-jabatan penting lainnya

(Purwaningsih 2015; Dal Bo 2009; Asako 2015; Querobin 2012). Semakin

menguatnya keluarga politik mengindikasikan gejala apa yang disebut

oleh para ilmuwan sebagai neopatrimonialistik, yaitu raja-raja kecil di

daerah yang semakin memperluas kekuasaan politiknya melalui jaringan

kekerabatan (Sujarwoto 2016). Kemunculan elite lokal ini menurut Sidel

(2005, 99) diakibatkan oleh sistem pemilihan kepala daerah yang semula

3
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) namun bergeser ke

sistem pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat.

Semakin menguatnya keluarga politik mengindikasikan gejala apa

yang disebut oleh para ilmuwan sebagai neopatrimonialistik, yaitu raja-raja

kecil di daerah yang semakin memperluas kekuasaan politiknya melalui

jaringan kekerabatan. Kemunculan elite lokal ini diakibatkan oleh sistem

pemilihan kepala daerah yang semula dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) namun bergeser ke sistem pemilihan yang

langsung dipilih oleh rakyat3.

Politik dinasti atau memiliki 2 jenis yaitu Pertama politik dinasti

vertikal, politik dinasti vertikal yaitu membuat kekuasaan dalam garis

keturunan, yang kedua politik dinasti horizontal, yaitu membuat atau

menciptakan kekuasaan politik bukan hanya dalam garis keturunan

melainkan menyebarkan keketurunan yang lainnya. politik dinasti ini

banyak terjadi di Indonesia, di skala Lokal maupun di skala nasional.

Dalam skala nasional kita bisa melihat politik dinasti yang terjadi didalam

keluarga Presiden ke II Republik Indonesia, Soeharto membangun politik

dinastinya hingga bertahan sampai 32 Tahun, dan membangun kekuatan

kapitalnya dengan memanfaatkan kewenangannya melalui dinastinya.

Politik dinasti juga dibangun pasca Soeharto lengser dan digantikan

dengan era Reformasi, setelah Gusdur menjabat sebagai Presiden,

3
Sidel, John. T. 2005. “Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand, and Indonesia:
Towards an Alternative Framework for the Study of ‘Local Strongmen’.” dalam Politicising
Democracy. John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. London: Palgrave Macmillan.

4
terdapat beberapa nama yang memiliki hubungan keluarga dengan

Gusdur. Megawati sebagai simbol trah Bung Karno Presiden pertama dan

proklamator Republik Indonesia, Megawati pun membangun dinasti politik

di republik ini, melalui Partai PDIP dan beberapa keluarganya berkiprah di

partai lain, Megawati dengan dinasti cukup mewarnai negeri kaya raya ini.

Megawati sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia, yang merupakan

anak kandung Soekarno dari Fatmawati, dilanjutkan saudarinya

Rachmawati yang ketua Partai Pelopor dan pernah menjabat Dewan

Pertimbangan Presiden, ada Sukmawati Soekarno Putri yang merupakan

ketua partai PNI Marhens. Juga ada nama Puti Pramathana Puspa Seruni

Paundrianagari Guntur Soekarno Putri atau yang dikenal dengan Putin

Guntur Soekarno, yang tidak lain adalah keponakan Megawati.

Selanjutnya ada nama Guru Soekarno Putra yang merupakan adik

kandung Megawati, serta ada nama Alm.suami Megawati yaitu Bapak HM

Taufiq Kiemas, dan anak kandung Megawati Puan Maharani yang

menjabat ketua Fraksi PDIP di DPR RI, dan Prananda Megawati sebagai

ketua departemen DPP PDIP.

Di skala lokal kita dapat melihat di Sulawesi-Selatan misalnya

keluarga politik dinasti disebut terjadi didalam keluarga Syahrul Yasin

Limpo, Syahrul Yasin Limpo telah menjabat sebagai Bupati Kabupaten

Gowa selama 2 periode dari tahun 1994-2002, kemudian dilanjutkan oleh

saudara kandungnya yaitu Ichsan Yasin Limpo yang juga menjabat

sebagai Bupati Kabupaten Gowa selama 2 periode dari tahun 2005-2015,

5
dan sekarang dilanjutkan oleh anak Ichsan Yasin Limpo yaitu Adnan

Purictha Ichsan sebagai Bupati Kabupaten Gowa periode 2015-2019. Di

skala lokal yang tengah ramai di bicarakan yaitu politik dinasti keluar Ratu

Atut ibu tiri Atut, Heryani jadi Wakil Bupati Pandeglang; adik Atut, Ratu

Tatu Chasanah menjabat Wakil Bupati Serang; adik tiri Atut, TB. Haerul

Jaman, Walikota Serang; adik ipar Atut, Airin Rachmy Diani Walikota

Tangerang Selatan. Selain di eksekutif, keluarga Ratu Atut juga tersebar

di legislatif mulai tingkat kabupaten sampai nasional. Suami Atut, Hikmat

Tomet anggota DPR RI; anak Atut, Andika Hazrumy anggota DPD;

menantu Atut, Ade Rossi Khaerunisa anggota DPRD Kota Serang; ibu tiri

Atut, Ratna Komalasari DPRD Kota Serang. Aden Abdul Cholik adik ipar

Atur menjadi anggota DPRD Provinsi Banten 4.

Kalangan elit politik, tentunya menilai politik dinasti suatu hal yang

negatif sebab tidak memberi kesempatan pada yang lain, hal ini

ditunjukkan dengan adanya UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada

Pasal 7 huruf r menyebutkan bahwa calon pemimpin daerah ataupun

wakilnya dilarang memiliki hubungan kepentingan dengan petahana.

Dimaksudkan tidak memiliki ikatan darah, perkawinan atau garis

keturunan, akan tetapi, pasal tersebut kemudian digugat dengan alasan

bahwa pembatasan tersebut telah menyalahi aturan mengenai HAM Pasal

28. Selain itu pada putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 menyatakan

bahwa petahana atau yang seseorang yang masih memiliki hubungan


4
https://news.detik.com/berita/d-4121115/10-nama-di-dinasti-ratu-atut-anak-adik-hingga-mantu,
diakses pada tanggal 15 Maret 2019 Pukul 14.36

6
dekat dengan petahana boleh mengajukan diri sebagai calon pemimpin 5.

Penjabaran mengenai politik dinasti tersebut penulis ingin melihat sisi

positifnya, karena tidak selamanya politik dinasti dimaknai negatif, seperti

halnya dinasti politik yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, politik dinasti

menjadikan keluarga solthan eksis dalam kancah politik dan hal ini untuk

menguatkan alasan Mahkamah Konstitusi membolehkan politik dinasti di

Indonesia.

Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah

yang mempunyai sejarah politik dinasti. Politik dinasti yang terjadi di

Kabupaten Bantaeng adalah politik dinasti dalam keluarga Solthan.

Keluarga solthan adalah keluarga yang banyak memegang jabatan

penting dalam sejarah roda pemerintahan di Kabupaten Bantaeng.

Eksistensi dan elektabilitas keluarga solthan dalam catatan sejarah

perpolitikan masih tetap terjaga sampai sekarang, dibuktikan dengan

terpilihnya Ilham Azikin Solthan sebagai Bupati Bantaeng periode 2018-

2023 pada pilkada serentak tahun 2018 yang merupakan generasi ke 3

menjadi bupati bantaeng pada barisan keluarga solthan dalam memimpin

Kabupaten Bantaeng.

Keluarga solthan sudah sangat dikenal oleh masyarakat Kabupaten

Bantaeng. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan bahwa H.

Solthan adalah salah satu keturunan dari Raja Bantaeng. Tanpa disadari

5
https://www.academia.edu/27824470/SALINAN_PUTUSAN_Nomor_33_PUU XIII_2015, diakses
pada tanggal 15 Maret 2019 Pukul 21.37

7
politik dinasti terbentuk dalam kelurga solthan. Catatan pembentukan

politik dinasti itu sendiri dimulai dari H. Solthan sebagai Bupati Kabupaten

Bantaeng yang menjabat 2 periode yaitu tahun 1966-1978 generasi

pertama, kemudian generasi kedua ke anaknya yaitu Azikin Solthan

menjabat sebagai Bupati Kabupaten Bantaeng yang menjabat 2 periode

tahun 1998-2008, dan generasi ketiga yaitu Ilham Azikin Solthan

merupakan anak dari Azikin Solthan kini Petahana sebagai Bupati

Kabupaten Bantaeng terpilih pada pilkada serentak tahun 2018 periode

2018-2023. Tak hanya jabatan eksekutif sebagai kepala daerah, sejarah

dalam jabatan lembaga legislatif keluarga solthan juga mempunyai

eksistensi dalam lembaga tersebut. Dibuktikan dengan terpilihnya Azikin

Solthan sebagai anggota DPR RI periode 2015-2019 dan kini kembali

mencalonkan untuk periode ke 2 sebagai anggota DPR RI, Budi Solthan

juga Ketua DPRD Kabupaten Bantaeng periode 2014-2019, kini kembali

mencalonkan sebagi calon anggota DPRD Kabupaten Bantaeng periode

ke 2. Lembaga pemerintahan seperti kepala dinas pendidikan, kepala

dinas pariwisata pada tahun 2008 di pimpin oleh Ibrahim Solthan dan

Syahlan Solthan yang merupakan saudara dari Azikin Solthan.

Tabel. 01 Struktur Jabatan Politik Keluarga Solthan

Nama Posisi Dalam Keluarga Jabatan Dalam


Solthan Legislatif, Eksekutif &
Non Legislatif, Non
Eksekutif
H. Solthan Kepala Keluarga - Bupati Bantaeng
Periode 1966-1978
H. Azikin Solthan Anak ke 4 dari istri kedua - Bupati Bantaeng

8
H. Solthan periode 1998-2008
- Anggota DPR RI
Periode 2014-2019
- Anggota DPR RI
Periode 2019-2024
H. Ilham Azikin Anak ke 1 H. Azikin - Bupati Bantaeng
Solthan Periode 2018-2023
H. Takril Solthan Anak ke 5 dari istri kedua - Anggota DPRD
H. Solthan Kab. Bantaeng
periode 2014-2019
H. Budi Santoso Anak Ibrahim Solthan - Anggota DPRD
Kab. Bantaeng
periode 2014-2019
- Anggota DPRD
Kab. Bantaeng
periode 2019-2024

Politik dinasti tidak selamanya bercitra buruk dan berdampak

negatif bagi demokrasi di Indonesia. Anggapan masyarakat mayoritas

bahwa politik dinasti adalah kompetisi politik yang tidak sehat dapat kita

patahkan dengan bukti politik dinasti yang terjadi di Kabupaten Bantaeng,

pemerintahan keluarga Solthan mendapat citra dan tanggapan yang baik

oleh rakyat di Bantaeng itu sendiri selama perjalanan keluarganya di

dalam kancah politik. Dibuktikan juga dengan H. Solthan yang menjabat 2

periode, Azikin Solthan juga menjabat 2 periode. Jika citra politik dinasti

keluarga solthan buruk dan membawa kerugian bagi masyarakat tidak

akan mungkin Ilham Azikin Solthan sebagai generasi ketiga keluarga

solthan dapat terpilih menjadi Bupati di Kabupaten Bantaeng. Citra politik

dinasti dapat diterima dengan baik oleh masyarakat manakala aktor politik

dinasti dapat memberikan kinerja pemerintahan yang bagus untuk

kesejahteraan rakyat.

9
Penelitian ini ingin mengkaji apa yang dimiliki oleh keluarga politik

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis mengangkat judul

Penelitian sebagai berikut : “ Eksistensi Keluarga Solthan Dalam

Kancah Politik di Kabupaten Bantaeng (Studi Tentang Politik Dinasti

Keluarga Solthan di Kabupaten Bantaeng )

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis membatasi permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu : Bagaimana Keluarga

Solthan mempertahankan eksistensinya dalam kancah politik di

Kabupaten Bantaeng ?

I.3 Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang terdapat pada rumusan masalah diatas, maka

tujuan dari penelitian ini yaitu : Untuk menggambarkan dan menganalisis

eksistensi keluarga solthan dalam kancah politik di Kabupaten Bantaeng

I.4 Manfaat Penulisan

A. Manfaat Akademis

Penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai hal yang

dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya

ilmu politik dalam hal pemahaman mengenai budaya politik yang terjadi di

Indonesia sekarang yaitu politik dinasti.

B. Manfaat Praktis

10
Penelitian ini mempunyai manfat praktis yaitu sebagai salah satu

prasayarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Telaah Pustaka

11
Politik dinasti kerap kali dipandang negatif oleh sebagian

masyarakat di era sekarang ini. Menguatnya opini masyarakat mengenai

buruknya politik dinasti dapat dilihat dari beberapa kasus politik dinasti

yang ada di Indonesia. Politik dinasti telah mendapatkan citra buruk

dalam benak masyarakat banyak, namun terdapat pula masyarakat

Indonesia yang memandang politik dinasti dari sisi dan bagian lainnya.

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan hasil penelitian

terdahulu yang relevan dengan judul peneliti yaitu Eksistensi Keluarga

Solthan Dalam Kancah Politik Di Kabupaten Bantaeng. Penelitian pertama

Agus Sutisna yang meneliti tentang Gejala Proliferasi Dinasti Politik di

Banten Era Kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah, penelitian ini

bertujuan untuk menujukkan bahwa praktik dinasti politik atau politik

kekerabatan pada era kepemimpinan Gubernur Ratu Atut Chosiyah di

Banten memperlihatkan adanya gejala persebaran (proliferasi,

pertumbuhan), bukan saja pada ranah kekuasaan eksekutif dan legislatif,

melainkan juga menyebar di banyak arena kehidupan masyarakat, seperti

pada arena kehidupan bisnis, sosial-budaya, pendidikan, dan keormasan.

Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa Ratu Atut dalam

menjaga eksistensi dan menciptakan pesebaran kekuasaan politik di

lingkungan keluarganya dengan cara merawat loyalitas para

pendukungnya melalui berbagai bentuk pemberian fasilitas bantuan hibah,

proyek dll; melakukan kontrol penuh terhadap birokrasi melalui proses

rekruitmen dan mutasi para pejabat di lingkungan Pemprov Banten;

12
menguasai asosiasi-asosiasi bisnis, organisasi-organisasi sosial dan

pendidikan, organisasi olahraga dan kepemudaan; mengkooptasi

elemen-elemen masyarakat sipil lainnya seperti partai politik, ormas,

asosiasi pendidikan, LSM, pers, kampus, pesantren, dll dengan

memberikan kucuran dana (hibah APBD maupun dana pribadi) untuk

kegiatan dan operasional pimpinan/pengurus dan organisasinya, termasuk

membiayai perjalanan ibadah haji dan umroh para ulama dan tokoh

masyarakat Banten; dan membeli suara para pemilih pada setiap

pelaksanaan pemilu maupun pemilukada melalui timses dan jejaring yang

dibangunnya di seluruh kabupaten dan kota di Banten. Dapat disimpulkan

bahwa Ratut Atut melakukan segala cara apapun yang dapat membuat

semua anggota keluarganya menduduki jabatan politik. Peneliti Melihat

bahwa politik dinasti atau politik kekerabatan Ratut Atut cenderung negatif

dibuktikan dengan banyaknya pejabat politik dari barisan politik dinasti

keluarganya yang terkena kasus korupsi dan menyalahgunakan

kekuasaan politik yang ia dapatkan. Ratu atut sangat mengandalkan

modal ekonomi dalam membentuk garis politik dinasti.

Penelitian kedua yang relevan yaitu penelitian yang dilakukan oleh

Zaldy Rusnaedy dan Titin Purwaningsih. Penelitian yang berjudul

Keluarga Politik Yasin Limpo Pada Pemilihan Kepala Daerah di

Kabupaten Gowa Tahun 2015. Dalam penelitian tersebut menunjukkan

bahwa modal yang paling berpengaruh pada dasarnya merupakan

warisan sumber daya yang dimiliki oleh salah seorang anggota keluarga

13
senior dari keluarga tersebut yang menjabat sebagai bupati sebelumnya

selama dua periode. Penguasaan sumber-sumber yang kemudian

diwariskan tersebut berdampak terhadap dukungan publik kepada

kandidat dari keluarga tersebut pada pemilihan kepala daerah pada tahun

2015. Warisan modal tersebut berupa warisan basis massa, warisan

birokrasi dan warisan program unggulan merupakan modal yang paling

berpengaruh. Dalam penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa

keluarga yasin limpo dalam terpilihnya adnan sebagai bupati gowa

perioede 2015-2020 mengandalkan faktor keterpilihan Adnan merupakan

faktor determinan dari kekuatan dan pengaruh Ichsan Yasin Limpo (orang

tua dan bupati sebelumnya). Pewarisan modal berupa warisan basis

massa, warisan birokrasi dan warisan program unggulan merupakan

modal yang paling mempunyai pengaruh yang cukup besar.

Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang akan

dilakukan oleh peneliti, yaitu peneliti ingin melihat politik dinasti atau politik

kekerabatan yang mempunyai sisi positif di dalam Keluarga Solthan,

uniknya masyarakat Kabupaten Bantaeng tetap memberikan kepercayaan

terhadap generasi ketiga Keluarga Solthan yaitu Ilham Azikin Solthan

untuk menjadi Bupati Bantaeng periode 2018-2022 meski dipilkada

Bantaeng tahun 2008 lalu salah satu dari 2 Keluarga Solthan yang

menjadi Calon Bupati pada saat itu gagal untuk orang No. 1 di Bantaeng,

namun dilembaga legislatif pemilu 2009, Keluarga Solthan yaitu H. Budi

Santoso mendapatkan kursi DPRD Kabupaten Bantaeng dan H.Takril

14
Solthan mendapatkan kursi DPRD Kabupaten Bantaeng. Eksistensi

Keluarga Solthan terus meningkat dan tetap terjaga sampai sekarang

serta penelitiam politik dinasti terhadap keluarga solthan belum ada yang

pernah meneliti sebelumnya hal itulah yang menarik perhatian peneliti

untuk meneliti Eksistensi Keluarga Solthan Dalam Kancah Politik di

Kabupaten Bantaeng.

II.2 Politik Dinasti

II.2.1 Pengertian Politik Dinasti

Politik dinasti dalam dunia politik modern dikenal sebagai elit politik

yang berbasiskan pertalian darah atau perkawinan, sehingga sebagaian

pengamat politik menyebutnya sebagai oligarki politik. Sehingga mereka

kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan atau bertarung

memperebutkan kekuasaan. Politik dinasti mulanya identik dengan sistem

pemerintahan yang berbentuk kerajaan, karena kekuasaan diwariskan

secara turun-temurun agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Politik dinasti berakar dari sistem patrimonial, yang melakukan regenerasi

berdasarkan ikatan genealogis6.

Ernesto Dal Bo mengatakan, politik dinasti terjadi apabila seorang

politisi mempunyai hubungan keluarga dengan politisi sebelumnya 7.

Menurut Pablo Querobin yang menyatakan bahwa politik dinasti

6
Sayudi, Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di Indonesia, (Yogyakarta: Jurnal Hukum, 2014), h. 32
7
Dal Bo, E., Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder. 2006. “Political Dynasties”, Diunduh dari SSRN:
http://ssrn.com/abstract=909251

15
merupakan bentuk khusus dari upaya elite untuk mempertahankan

kekuasaan yang mana satu atau beberapa kelompok keluarga

memonopoli kekuasaan politik8. Kemudian menurut Yasushi Asako , politik

dinasti terjadi apabila satu anggota keluarga menduduki jabatan politik

yang sebelumnya dijabat oleh kerabatnya 9. Stephen Hess mengatakan,

“political dynasty as any family that has had at least four members, in the

same name, elected to federal office” (politik dinasti terjadi apabila

terdapat empat atau lebih anggota keluarga dalam satu garis keturunan

menduduki jabatan politik)10. Terakhir, Casey menyatakan bahwa “political

kinship or political family membership is defined as either a tie of affinity or

a consanguineous connection within two generations from the candidate”.

(Kekerabatan politik ataupun keluarga politik terjadi apabila terdapat

hubungan darah ataupun perkawinan dalam dua generasi kandidat

pejabat politik)11.

Politik dinasti menunjukkan bahwa kerabat dekat atau keluarga

merupakan alat yang sangat tepat untuk membentuk kekuasaan yang

kuat. Dengan menggunakan alat-alat kelengkapan demokrasi seperti

partai politik, lembaga, dan institusi negara, serta media massa.

Kekerabatan biasanya selalu berdampingan dengan kekuasaan sehingga

8
Querubin, Pablo. 2011. Political Reform and Elite Persistence:Term Limits and Political Dynasties
in the Philippines
9
Asako, Yasushi. et.al. 2012. Dynastic Politicians: Theory and Evidence from Japan, Waseda
University Organization for Japan-US Studies. Working Paper No. 201201.
10
Kurtz II, Donn M. 1989. “The Political Family: A Contemporary View.” Sociological Perspectives
32 (Autumn), No. 3: 331-352
11
Casey, Kimberly Lynn. 2009. “Family Matters: The Prevalence and Effects of Political Families in
National Politics.” Ph.D diss. University of Missouri.

16
kekuasaan dipandang sebagai suatu gejala yang selalu terdapat dalam

proses politik, namun para ilmuwan politik tidak ada yang sepakat

mengenai perumusan pengertian kekuasaan. Bahkan beberapa

diantaranya menyarankan agar konsep kekuasaan ditinggalkan dengan

alasan bersifat kabur dan selalu berkonotasi emosional. Namun

tampaknya politik tanpa kekuasaan apalagi yang sekarang muncul adalah

fenomena politik kekerabatan ibarat agama tanpa moral. Karena modern

ini banyak para aktor politik yang selalu melibatkan keluarganya untuk

berkecimpung juga dalam dunia politik hal ini terlihat diberbagai daerah

menjelang pemilihan kepala daerah yang serentak dilakukan pada akhir-

akhir ini12.

Politik dinasti dimaknai sebagai upaya seorang penguasa atau

pemimpin baik di skala lokal maupun skala nasional yang telah

habis masa jabatannya, untuk menempatkan keluarganya sebagai calon

penggantinya atau penerusnya dalam berbagai lembaga politik. Dengan

kata lain, politik dinasti mengarah kepada suatu proses regenerasi

kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (misalnya keluarga elite)

yang bertujuan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan

berdasarkan hubungan darah atau kekerabatan Politik dinasti muncul

dalam dimensi yang lebih alami, berupa upaya mendorong sanak keluarga

untuk terus memegang kekuasaan di pemerintahan yang telah diwariskan

oleh pendahulu mereka.

12
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo,2010),71

17
Ada dua hal yang bisa dilihat dari suatu politik dinasti. 

1. Pertama, bagi pihak yang optimis bahwa politik dinasti tidak akan

merusak sendi-sendi demokrasi merasa bahwa semua warga negara

berhak terlibat dalam proses politik. Bukan suatu kesalahan jika ada

keluarga pejabat yang ingin terjun dalam dunia politik  dan bukan

kesalahannya juga jika kemudian yang bersangkutan terpilih dan

berhasil menduduki jabatan politik, karena bagaimanapun yang

menang adalah mereka yang mampu memanfaatkan sumber daya

politik dan modal serta figur sang calon. Figur yang tampil sebagai

calon, sudah dikenal masyarakat dan sudah menjalani pendidikan

politik di dalam keluarganya, sehingga dirinya sudah mumpuni dari

segi sumber daya yang dibutuhkan untuk menjadi seorang kandidat.

Politik Dinasti dapat dikatakan positif jika keluarga yang memimpin

suatu daerah tidak melakukan hal-hal menyimpang yang dianggap

dapat merugikan masyarakat sekaligus tatanan birokrasi daerah yang

di pimpin.

2. Kedua, bagi pihak yang merasa bahwa politik dinasti adalah ancaman

tentu ini didasarkan kenyataan selama ini. Banyak contoh di skala lokal

daerah yang menganut politik dinasti dengan pemerintahan yang aman

dan sejahtera. Politik dinasti dikatakan negatif apabila figurnya yang

menududki melakukan penyimpangan jabatan. Selain itu dikatakan

18
negatif apabila kandidat yang merupakan generasi keluarga dinasti

yang diorbitkan instan, disusun singkat dan tanpa persiapan atau

tanpa melalui jalur sebagaimana mestinya. Hal tersebut ditakutkan

para pemimpin memiliki kualitas dan kapabilitas tidak sesuai dengan

yang diharapkan.

Terdapat beberapa dimensi politik dari dinasti ataupun politik

kekerabatan yaitu dimensi waktu (keluarga dari pejabat politik

sebelumnya, minimal 2 periode kekuasaan), dimensi jumlah (2 orang atau

lebih menurut Pablo, Asako dan Dal Bo; 4 orang menurut Hess dan 2

generasi menurut Casey), dimensi jabatan politik (jabatan politik yang

sama ataupun berbeda), dan dimensi kekuasaan (mempertahankan atau

memperbesar kekuasaan). Peneliti lebih sepakat dengan Pablo, Asako

maupun Dal Bo bahwa politik dinasti atau politik kekerabatan apabila

terdapat dua orang atau lebih dalam satu keluarga yang menduduki

jabatan politik. Dari kedua orang anggota keluarga tersebut,

kecenderungan terjadi politik kekerabatan terjadi pada orang kedua.

Jumlah dua orang ini konsisten dengan dimensi waktu, dua periode

kekuasaan.

II.2.2 Pandangan Politik Dinasti Dalam 2 Konteks

1. Politik Dinasti Dalam Konteks Politik Kontemporer

Clubok, Wilensky dan Berghorn dalam Pasan mengemukakan bahwa

politik dinasti dalam konteks politik kontemporer muncul dalam berbagai

19
bentuk, termasuk bentuk yang lebih halus dengan cara mendorong sanak

saudara keluarga elit-elit lama untuk terus memegang kekuasaan yang

diturunkan ‘secara demokratis’ oleh para pendahulu mereka. Ada juga

dalam bentuk politik dinasti yang disesuaikan dengan etika demokrasi

modern, yakni dengan cara mempersiapkan sanak anggota keluarga

mereka dalam sistem pendidikan dan rekrutment politik secara dini.

Kemunculan anggota-anggota keluarga pada periode berikutnya seolah-

oleh bukan diakibatkan oleh faktor darah dan keluarga, melainkan karena

faktor-faktor kepolitikan yang wajar dan rasional 13.

2. Politik Dinasti Dalam Konteks Saluran Keluarga

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Martin Rossi yang berjudul The

Causes of Political Dynasties in Democratic Countries dalam Pasan

faktor-faktor yang menyebabkan politik dinasti antara lain adanya saluran

tertentu, saluran dalam hal ini adalah keluarga. Pengenalan nama

keluarga dapat membentuk politik dinasti dalam suatu lembaga

pemerintahan. Dengan mengenal nama keluarga ada kecenderungan

untuk membentuk sebuah dinasti keluarga pada sebuah lembaga

pemerintahan. Bukti-bukti ini disajikan dalam penelitian Rossi mengenai

adanya pengaruh positif variabel independen masa jabatan kekuasaan

politik terhadap pembentukan politik dinasti menunjukkan masa jabatan

memiliki efek jangka panjang dalam terbentuknya politik dinasti 14.

13
Pasan, Etha. 2013. Politik Dinasti Dalam Pemilihan Presiden di Filiphina di Tahun 2001-2011:
Hubungan Internasional FISIPOL UGM hlm 7.
14
Ibid hlm 9

20
II.2.3 Faktor-faktor Terbentuknya Politik Dinasti

II.2.3.1 Modal Simbolik

Modal simbolik adalah jenis sumber daya yang dioptimalkan dalam

meraih kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik sering membutuhkan

simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan, mobil mewah, kantor, prestise,

gelar, satus tinggi, dan keluarga ternama. Artinya modal simbolik di sini

dimaksudkan sebagai semua bentuk pengakuan oleh kelompok, baik

secara institusional atau non-institusional. Simbol itu sendiri memiliki

kekuatan untuk mengkonstruksi realitas, yang mampu menggiring orang

untuk mempercayai, mengakui dan mengubah pandangan mereka

tentang realitas seseorang, sekelompok orang, sebuah partai politik, atau

sebuah bangsa.

Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise,

ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas

dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance).

Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang

memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh

melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu

mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal,

mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak

mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya. Misalnya,

21
gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana

membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritasnya 15.

Meskipun memiliki peran penting dalam praktik, modal-modal

tersebut tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan di dalam suatu ranah.

Setiap ranah memiliki kebutuhan modal spesifik yang berbeda dengan

kebutuhan ranah lain. Kekuatan modal ekonomi seseorang dalam ranah

kekuasaan boleh jadi efektif memampukannya bertarung, namun dalam

ranah sastra, yang pertaruhannya ada pada legitimasi, yang dibutuhkan

lebih pada modal kultural serta modal simbolik. Bourdieu mengilustrasikan

perbedaan jenis modal yang signifikan.

II.2.3.2 Modal Ekonomi

Pengertian modal ekonomi berangkat dari pemahaman terhadap

benda yang memiliki nilai ekonomis yang disimbolkan dengan uang/mata

uang. Dalam perspektif ekonomi, modal bisa pula berupa investasi yang

diberikan seseorang pada pihak lain, kemudian dipertukarkan dengan

keuntungan berupa barang atau uang/jasa politik.

Menurut bourdie, bahwa Modal ekonomi dalam hal ini dilihat dari

berbagai aspek yang dimiliki oleh calon kepala daerah pada saat Pilkada,

di antaranya harta kekayaan pribadi dan dana sumbangan kampanye,

tidak heran jika modal ini menjadi salah satu ukuran penting di dalam

15
Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap
Kepalsuan Budaya Penguasa”, Jurnal/ Majalah BASIS, No. 11-12 (November-Desember 2003), 43-
45

22
memenangkan sebuah kompetisi di dalam Pilkada. Sesuai dengan konsep

modal ekonomi16.

Dalam konteks pilkada atau pileg modal ekonomi memiliki peran

penting sebagai penggerak dan pelumas” mesin politik yang dipakai. Saat

musim kampanye misalnya membutuhkan uang yang besar untuk

membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak spanduk, membayar

iklan, konsultan politik dan berbagai kebutuhan yang lainnya. Bahkan

modal ekonomi dapat menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan

berasal dari partai yang dicalonkannya.

Modal politik dan ekonomi saling berkaitan dalam iklim politik yang

menekankan kepada interaksi spontan (jarak waktu komunikasi yang

pendek) antara pemilih dan calon politik. Waktu yang pendek dalam

sosialisasi diri selaku calon politisi mendorong penggunaan modal

ekonomi sebagai jalur pintas. Kondisi ini banyak terjadi di negara-negara

berkembang yang masih dalam proses transisi menuju pemilu rasional

dan penciptaan pemilih rasional.

Para ekonom telah lama berbicara mengenai modal (capital) ini,

khususnya modal ekonomi atau finansial (financial capital). Modal financial

adalah sejumlah uang yang dapat dipergunakan unttuk membeli fasilitas

dan alat-alat produksi prusahaan (misalnya pabrik, mesin, alat kantor,

kendaraan) atau sejumlah uang yang dapat dikumpul atau ditabung untuk

inestasi di masa depan. Konsep modal seperti ini relatif mudah dipahami
16
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital.” dalam Handbook of Theory and Research for the
Sosiology of Education. J. Richardson (Ed.). New York: Grenwood.

23
oleh orang awam sekalipun, karena membelanjakan atau

menginvestasikan uang merupakan bagian kehidupan sehari-hari manusia

dan melibatkan pemikiran yang jelas. Modal financial juga mudah untuk

diukur. Uang dapat dihitung, karena jumlah uang yang dibelanjakan dapat

diidentifikasi dengan barang yang dibeli.

Kandidat memerlukan dukungan ekonomi selain dari kandidat juga

berasal dari aktor-aktor ekonomi untuk pemenangan pilkada dalam

pembiayaan semua kegiatan politik kandidat. Menurut Sahdan dan

Haboddin bahwa Proses politik pilkada membutuhkan biaya/ongkos yang

sangat mahal. Hal ini menyebabkan tantangan bagi proses perkembangan

demokrasi lokal, karena kandidat yang bertarung adalah para pemilik

uang/modal yang besar. Modal Ekonomi yaitu dukungan ekonomi berupa

dana politik baik itu berdasarkan sumbernya dari dana pribadi dan

donatur, dan berdasarkan penggunaannya untuk bayar partai politik,

kampanye dan beli suara, untuk pemenangan pilkada.

II.2.3.3 Modal Sosial

Modal sosial yaitu dukungan figur kandidat karena ketokohan

sehingga adanya kepercayaan (trust) dari masyarakat menciptakan

interaksi sosial dan adanya jaringan-jaringan yang mendukung. Modal

sosial yang dimiliki calon bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan,

pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat (tokoh agama, adat,

organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya) merupakan Modal

sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan membangun relasi

24
dan kepercayaan dari masyarakat bahwa kekuasaan juga diperoleh

karena kepercayaan.

Latar belakang sosial yang dimiliki aktor bisa dicermati seperti,

tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat

(tokoh agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya)

merupakan Modal sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan

membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat bahwa kekuasaan

juga diperoleh karena kepercayaan. Kepercayaan di gunakan untuk

memperoleh kedudukan merupakan seseorang atau sekelompok orang

yang memang dapat dipercaya atas dasar kepercayaan masyarakat. Jika

kekuasaan dilanggar, maka masyarakat dengan mudah tidak percaya lagi

kepada pemegang kekuasaan. Pengaruh ketokohan dan popularitas, latar

belakang pendidikan dan pekerjaan kandidat menentukan pemenangan

seorang aktor dalam kontetasi politik, karena untuk membangun relasi dan

kepercayaan dari masyarakat kandidat harus memiliki pengaruh tersebut.

Pierre Bourdieu (1970), mendefinisikan modal sosial sebagai

“sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki seseorang berasal dari

jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus

dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata

lain : keanggotaan dalam kelompok sosial) yang menmberikan kepada

anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. Bourdieu juga

menegaskan modal sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu

25
dengan yang lain, baik ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk sosial

capital (modal sosial) berupa insitusi lokal atau kekayaan sumber daya

alam. Pendapatnya menegaskan tentang modal sosial mengacu pada

keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam

masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu.

Modal sosial merujuk kepada jaringan sosial yang dimiliki pelaku

(individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang

memiliki kuasa. John F. Halliweel dalam bukunya Social Capital and

Prosocial Behaviour Sources of Well-Being (2001:47) mengkaji klaim-

klaim empirik tentang pentingnya modal sosial diantaranya: pertama,

modal sosial selalu penting untuk pengembangan kapital manusia. Kedua,

modal sosial dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan

memberi kebahagiaan yang subyektif. Ketiga, modal sosial juga juga

dianggap penting peranannya guna meminimalisir ongkos dan resiko yang

mungkin dikeluarkan dalam kegiatan ekonomi. Keempat, modal sosial

dapat menggerakkan individu atau kelompok untuk melakukan mobilitas

sosial secara vertikal.

II.2.3.4 Modal Politik

J.A Booth dan P.B Richard mengartikan modal politik sebagai

aktivitas warga Negara untuk mencapai kekuasaan dan demokrasi. A.

Hick dan J. Misra mengatakan modal politik adalah berbagai fokus

pemberian kekuasaan/sumber daya untuk merealisasikan hal-hal yang

26
dapat mewujudkan kepentingan meraih kekuasaan. Intinya modal politik

adalah kekuasaan yang di miliki seseorang, yang kemudian bisa di

operasikan atau berkontribusi terhadap keberhasilan kontestasinya dalam

proses politik seperti pemilihan umum17.

Modal politik yaitu berupa dukungan dari partai politik ( koalisi

partai) dan dukungan elit-elit politik lokal dari organisasi politik dan

organisasi kemasyarakatan untuk pemenangan pilkada. Dalam konteks

politik lokal (daerah) banyak terdapat elit-elit yang menduduki jabatan

politik dan jabatan-jabatan strategis yang mempunyai peran penting dan

pengaruh terhadap kelompok dan masyarakat di daerah tersebut. Selain

dukungan partai politik, kandidat juga memerlukan dukungan elit-elit politik

lokal dan elit politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam politik

dan bidang lain serta memiliki pengaruh yang besar dengan keunggulan-

keunggulan yang dimiliki calon kepala daerah. Kandidat juga harus

memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas, seperti kedudukan di partai

politik dengan melihat posisi strategis dalam struktur jabatan di partai

politik dan pemerintahan.

Kandidat memerlukan selain dukungan partai politik,juga dukungan elit-elit

politik lokal dan elit politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam

politik dan bidang lain serta memiliki pengaruh yang besar dengan

keunggulan keunggulan yang dimiliki calon kepala daerah, dan kandidat

juga harus memiliki kapasitas pribadi yang berkualitas, seperti kedudukan

17
Hick dan J. Misra.1993 dalam Gita Pratiwi Effendi.2018. Modal Sosial, Ekonomi, Dan Politik
Terpilihnya Chusnunia Chalim Sebagai Bupati Perempuan Di Lampung Timur Tahun 2015

27
di partai politik dengan melihat posisi strategis dalam struktur jabatan di

partai politik dan pemerintahan18.

Casey sebagaimana dikutip Sudirman Nasir mendefinisikan modal

politik sebagai pendayagunaan keseluruhan jenis modal yang dimiliki

seorang pelaku politik atau sebauh lembaga politik untuk menghasilkan

tindakan politik antara modal politik dan modal simbolik, menguntungkan

dan memperkuat posisi pelaku politik atau lembaga politik bersangkutan.

Casey lebih lanjut memerinci adanya empat pasar politik yang

berpengaruh pada besaran modal politik yang dimiliki oleh seorang pelaku

politik atau sebauh lembaga politik. Pasar politik pertama adalah pemilu

karena pemilu adalah instumen dasar untuk pemilihan pemimpin dalam

sistem demokrasi, pasar politik kedua adalah perumusan dan

pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik. Pasar politik ketiga adalah

dinamika hubungan dan konflik antara pelaku politik dan lembaga politik

dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik. Pasar

politik keempat adalah pendapat atau pandangan umum (public opinion)

mengenai pelaku politik atau lembaga politik itu 19.

II.3 Budaya Politik Familisme

Dalam kajian ilmu sosial dan politik, familisme sebagai budaya

politik diartikan sebagai ketergantungan yang terlalu besar pada ikatan

keluarga, Dalam pengertian lainnya, familisme juga dipahami sebagai new

18
Nurhasim, Moch, dkk(2003), Konflik antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah,
Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Jakarta, hal 8.
19
Casey, Kimberly. 2006, (Defining Political Capital; a Reconsideration of Bourdieuâs
Interconvertibility Theory) seperti dikutip Sudirman Nasir (2009).

28
social order, yakni dorongan psikologis bagi seseorang untuk dapat

berkarir di dalam dua ranah yakni publik sebagai birokrat dan privat

sebagai korporat-swasta20. Pengertian tersebut merujuk pada kasus Eropa

pertengahan bahwa individualisme seseorang dalam ekspresi berpolitik

tidak akan menjadi kuat jika tidak melibatkan sanak famili di dalamnya.

namun demikian, ekspresi berpolitik bukanlah untuk mengamankan

kekuasaan, tetapi lebih mengarah pada artikulasi ide-ide dalam

membangun masyarakat. Maka, melalui jejaring familisme, ideide tersebut

akan terjaga dan tersampaikan oleh anggota keluarga lainnya yang

berkecimpung dalam politik. Oleh karena itu, secara konseptual,

preferensi politik famili sebenarnya lebih mengarah pada perilaku menjaga

moral daripada mengejar kekuasaan. Adapun orientasi terhadap menjaga

kelanggengan kekuasaan tersebut sangatlah erat kaitannya dengan sifat

naluri alamiah manusia untuk senantiasa menjaga zona kenyamanan

beserta fasilitas kemapanan di dalamnya. Hal itulah yang kemudian

mendorong penguasa menjaga kekuasaan tetap terpusat dan tidak

berpindah ke pihak lain. Familisme dimaknai sebagai usaha untuk

menyuburkan sikap favoritisme, seksionalisme, maupun regionalisme. Hal

tersebut dilandasi adanya semangat bersama untuk menjaga dan

mewujudkan kepentingan secara kolektif. Namun demikian, derajat

ketergantungan dalam familisme sendiri juga saling berdiferensiasi

bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Artinya, hubungan darah

20
garzon, Adela. 2002. “Familism.” hal. 1-4, dalam International Encyclopedia of Marriage and
Family, diedit oleh En J. Ponzetti. new York: MacMillan

29
(consanguinity) tidaklah menjadi patokan mendasar bagi seseorang untuk

mendorong sanak keluarga dalam ranah politik. Terdapat berbagai

pertimbangan lainnya seperti tuntutan masyarakat, lingkungan, maupun

kondisi tertentu yang kemudian mendorong adanya politik dinasti 21.

II.3.1 Varian Budaya Politik Familisme

1. Familisme (Familism)

Familisme yakni politik dinasti yang didasarkan secara murni pada

hubungan darah langsung dalam keluarga (consanguinity) dan hubungan

perkawinan (marriage) dengan klan lainnya. Bagi keluarga politik yang

lebih lemah posisinya akan menguntungkan dengan keluarga politik yang

lebih kuat karena akan menjamin eksistensi keluarga politik lemah

tersebut22. Di sisi lainnya, keluarga politik mendapatkan jejaring yang lebih

besar dengan mampu mengikat keluarga lainnya. Adapun terbentuknya

suatu dinasti politik dalam bentuk familisme biasanya didasarkan pada

klan untuk menjaga keistimewaan politik yang telah didapat. Loyalitas,

kepatuhan, maupun solidaritas keluarga merupakan tiga poin penting

familisme memengaruhi corak dinasti politik. Pola tersebut kemudian

dihubungkan melalui komando saudara tua hingga saudara muda dalam

pemerintahan. Hal yang menarik adalah pengaruh kekerabatan tidak

hanya berlangsung pada level legislatif maupun eksekutif, tetapi juga

merambah ke arena yudikatif maupun aparat penegakan hukum lainnya.


21
Djati, Wasisto Raharjo. 2013.”Revavilisme kekuatan familisme dama demokrasi : Dinasti politik
diaras lokal”. Jurnal Sosiologi Masyarakat , Vol 18, No.2, Juli 2013
22
garzon, Adela. 2002. “Familism.” hal. 1-4, dalam International Encyclopedia of Marriage and
Family, diedit oleh En J. Ponzetti. new York: MacMillan

30
2. Quasi-Familisme

Model ini didasarkan pada sikap afeksi dan solidaritas dari anggota

keluarga dalam struktur kekuasaan. Adapun afeksi yang dimaksudkan

secara harfiah tidak dimaknai sebagai kasih sayang, namun sebagai

bentuk orientasi politik keluarga didasarkan pada regionalisme,

lingkungan, maupun tribalisme sama dengan keluarga tersebut. Artinya,

dimensi dinasti politik ini tidak lagi berada dalam ranah keluarga inti saja,

tetapi juga telah bercabang dengan keluarga lainnya yang tidak satu

keturunan darah, namun memiliki sistem kekerabatan berbasis artifisial.

Oleh karena itu, dalam model quasi-familisme, semua anggota famili

berusaha mengidentifikasikan diri melalui simbol-simbol tertentu 23.

Supaya mendapat legitimasi dari keluarga lainnya. Adapun proses

identifikasi bisa melalui penggunaan nama keluarga, jalur perkawinan,

maupun ritus keluarga lainnya. Maka, dalam quasi familisme sendiri yang

digalang adalah proses solidaritas bagi anggotanya baik yang berada

dalam ranah formal dan informal. Hal inilah yang menjadikan quasi-

familisme berkembang seperti kekuatan politik oligarkis yang mampu

memberikan pengaruh di segala lini kehidupan.

3. Egoisme-Familisme

Model dinasti politik ini didasarkan pada pemenuhan aspek

fungsionalisme dibanding hanya menuruti garis keturunan maupun ikatan


23
Park, Tong-Hee. 2009. “The Influence of Familism and Interpersonal Trusts of Korean Public
Officials”. International Review of Public Administration 9(1): 124

31
darah. Konteks egoisme ini dapat dipahami dalam dua hal, yakni dari segi

kepala daerah dan masyarakat. Egoisme dari kepala daerah pada

dasarnya sama dengan konsepsi teori sebelumnya yakni kecenderungan

mendahulukan keluarga daripada publik dalam pengisian posisi jabatan

publik maupun suksesi pemerintahan 24. Kepala daerah yang digantikan

masih memiliki pengaruh terhadap penggantinya baik secara langsung

maupun tidak langsung, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa

terdapat pemerintahan bayangan yang dilakukan kepala daerah

demisioner terhadap penggantinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan

mengamankan progam-progam kebijakan maupun proses penganggaran

yang telah dilakukan. Adapun dari sisi masyarakat, egoisme sendiri

ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menjaga agar famili tertentu

tetap menguasai tampuk kekuasaan. Hal tersebut terjadi karena penguasa

berhasil membina dan memperkuat kohesi sosial dengan masyarakat

melalui serangkaian progam kebijakan ‘gentong babi’ (pork barrel politics),

meskipun sarat dengan tindak perilaku korupsi karena menyangkut usaha

politisasi anggaran. Dengan adanya progam populis tersebut, penguasa

dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan

efisien kepada masyarakat. Masyarakat menilai bahwa rezim penguasa

dinilai berhasil mengeluarkan kebijakan populis maupun budaya permisif

yang masih kuat di masyarakat.

Tabel 02. Tipologi Perspektif Budaya Politik Familisme


24
Park, Tong-Hee. 2009. “The Influence of Familism and Interpersonal Trusts of Korean Public
Officials”. International Review of Public Administration 9(1): 126

32
No
Indikator Familisme Quasi-Familisme Ego-Familisme
.
1. Dasar Hubungan Hubungan afeksi, Dorongan publik
Pembentukan darah solidaritas, dan faktor
Politik Dinasti langsung kepercayaan dan emosional dan
soliditas dalam pertimbangan
keluarga besar politik
maupun kroninya fungsional
2. Kaderisasi Anggota Sanak kerabat Keluarga Inti
keluarga inti maupun keluarga
dan krooni lain melalui jalur
pernikahan yang
seketurunan
(hereditary)
3. Sifat Politik Tertutup Semi tertutup Tertutup
Dinasti

Sumber : Data Sekunder Asako (2010), Park (2009), dan Garzon (2002)

II.4 Personal Branding

Personal branding adalah suatu proses ketika orang menggunakan

dirinya atau karirnya sebagai merek (brand). Setiap orang memiliki brand.

Personal branding tidak hanya untuk selebriti. Personal branding adalah

bagaimana kita memasarkan diri pada orang lain secara sistematis.

Karena itu sebagai brand, perlu ada strategi sehingga mereknya dikenal

seperti yang diharapkan.

Seorang aktor dalam membangun kelompok dinasti, perlu

penggalian mengenai sesuatu yang bernilai tentang dirinya, sehingga

ketika dipublikasikan ada informasi yang layak disampaikan. Orang yang

mengelola personal branding dengan baik, cenderung mendapat

33
popularitas sesuai atau mendekati harapannya. Upaya tersebut dapat

dilakukan melalui berbagai cara layaknya strategi pemasaran membangun

ekuitas merek.

Personal Branding merupakan seni untuk menarik dan menjaga

persepsi public secara aktif. Personal branding dapat dibangun dari orang,

nama, tanda, simbol, atau desain yang dapat dijadikan pembeda dengan

competitor. Tujuan personal branding adalah agar masyarakat luas

semakin mengenal kandidat, menampilkan keunggulan kompetitif

disbanding kandidat lain (pembeda), menciptakan citra yang diinginkan

kandidat dalam benak pemilih, serta menunjukkan konsistensi kandidat

dalam suatu bidang25.

Menurut Timothy P.P brined Personal brand adalah identitas

pribadi mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki oleh seseorang yang

dapat menciptakan respon emosional terhadap orang lain. Personal brand

merupakan gambaran kemampuan, keunggulan dan reputasi seseorang,

yang mana mampu memperlihatkan keistimewaan dan keunggulan

seseorang dalam bidang tertentu26.

Menurut Montoya ada delapan konsep pembentukan Personal

Branding. Delapan konsep tersebut adalah pondasi dari personal branding

yang kuat yaitu :

25
Wasase, Silih Agung.2011.Political Branding and Public Relation.PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta hlm 67
26
Haroen, Dewi.2014.Personal Branding. Kunci kesuksesan berkiprah didunia politik : Jakarta hlm
54

34
a) Spesialisasi (The Law of Spezialitation), Personal branding yang hebat

mempunyai ciri khas berupa ketepatan pada spesialisasi, fokus pada

sebuah kekuatan, keahlian ataupun pencapaian tertentu.

b) Kepemimpinan (The Law of Leadership), Personal branding yang

dilengkapi dengan kekuasaan dan kredibilitas mampu memposisikan

seseorang sebagai pemimpin yang dapat memutuskan sesuatu dalam

kondisi ketidakpastian dan memberikan arahan yang jelas

c) Kepribadian (The Law of Personality), sosok kepribadian yang apa

adanya dan hadir dengan ketidaksempurnaan menjadi dasar personal

brand yang hebat konsep ini menghapuskan beberapa tekanan pada

konsep kepemimpinan. Seseorang harus memiliki kepribadian yang

baik, namun tidak harus sempurna.

d) Perbedaan (The Law of Distinctiveness), personal brand yang efektif

harus ditampilkan dengan cara yang berbeda dari yang lainnya.

Diferensiasi diperlukan supaya membedakan antara satu dengan

lainnya. Selain itu, dengan perbedaan seseorang akan lebih dikenal

oleh khalayak.

e) Terlihat (The Law of Visability), personal brand harus dilihat secara

konsisten dan terus-menerus sampai personal brand seseorang

dikenal. Maka visability lebih penting dan ability. Supaya visible,

seseorang perlu mempromosikan dirinya menggunakan setiap

kesempatan untuk membuat dirinya terlihat.

35
f) Kesatuan (The Law of Unity), kehidupan pribadi yang berada dibalik

personal brand harus sejalan dengan etika moral dan sikap yang telah

ditentukan dari brand tersebut. Kehidupan pribadi selayaknya menjadi

cerminan dari citra yang diinginkan dalam personal brand.

g) Keteguhan (The Law of Persistence), personal brand tidak bias terjadi

secara instan, ia membutuhkan eaktu untuk tumbuh. Selama proses

tersebut berjalan, penting untuk selalu memperhatikan tiap tahapan

dan trend yang terjadi

h) Nama baik (The Law of goodwill), sebuah personal brand akan

memberikan hasil yang lebih baik dan bertahan lebih lama, jika

seseorang dibelakangnya dipersepsikan dengan citra yang positif.

Seseorang tersebut harus diasosiasikan dengan sebuah nilai atau ide

yang diakui secara umum positif dan bermanfaat 27.

II.5 Kepemimpinan Politik

Terminologi kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi logis dari

perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki

ketergantungan sosial begitu tinggi dalam memenuhi berbagai

kebutuhannya. Kepemimpinan dibutuhkan manusia karena adanya suatu

keterbatasan dan kelebihan kelebihan tertentu pada manusia. Di satu

pihak, manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain

ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin.

Disinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.


27
Ibid, hal 69

36
Kepemimpinan merupakan gejala sosial yang ada di tengah-tengah

masyarakat. Model dan gaya kepemimpinan selalu melahirkan berbagai

varian. Terbukti kepemimpinan politik bangsa ini, apa itu pada tingkat

Daerah ataupun Nasional selalu berbeda antara satu dengan yang lain.

Menurut Kartini Kartono 8 konsep mengenai kepemimpinan harus

dikaitan dengan tiga hal penting yaitu:

1. Kekuasaan Pemimpin: Kekuasaan adalah kekuatan, otoritas,

dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin untuk

mempengaruhi dan mengerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu.

2. Kewibawaan Pemimpin: Kewibawaan adalah kelebihan,

keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu mengatur orang lain,

sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin, dan bersedia melakukan

perbuatan-perbuatan tertentu.

3. Kemampuan pemimpin: Kemampuan adalah segala daya,

kesanggupan, kekuatan, dan kecakapan ketrampilan teknis maupun sosial

yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa 28.

Kepemimpinan yang berkualitas merupakan kunci utama

keberhasilan dalam mecapai sebuah tujuan. Kualitas kepemimpinan yang

diharapkan tidak hanya meliputi kualitas fisik, ekonomi semata, melainkan

juga kualitas intelektual yang ada pada pemimpin.

28
Kartini Kartono,”Pemimpin Dan Kepemimpinan”,Jakarta : Rajawali Pers, 2013.hal 38

37
Istilah Kepemimpinan dalam kepemimpinan politik ialah seseorang

yang memimpin (aktor) dengan jalan memprakarsai tingkah laku social

dengan mempergunakan segala atribut yang melekat padanya dengan

cara mengatur, mengarahkan, mengorganisir atau mengontrol

usaha/upaya orang lain atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi.

Sedangkan sebutan politik dalam hal kepemimpinan menunjukkan

kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga

pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai

politik dan organisasi kemasyarakatan).

Harold Lasswal mengkategorisasikan Kepemimpinan politik seperti

berikut29 :

1. Proses kepemimpinan: Kepemimpinan demokrasi yang menganggap

kekuasaan dibagi dengan orang lain dan dilaksanakan untuk menghormati

martabat pribadi manusia.

2. Karakter pemimpin: Karakter politik yang dimaksud berupa seberapa

aktif pemimpin dalam menunaikan tugasnya, dan seberapa tinggi

pemimpin menilai tugasnya.

3. Hasil proses kepemimpinan: Dalam hal ini kepemimpinan dibagi

menjadi 3, yaitu ekstrimis yang merupakan pemimpin yang berupaya

menghancurkan seluruh rezim lama dan menggantinya dengan sistem

yang baru sama sekali. Pemimpin yang moderat masih tetap

29
Harold Lasswell,” Psycopathology and Politics”,1970, University of Chicago Press

38
mempertahankan unsur-unsur rezim lama. Tipe pemimpin wiraswasta

adalah orang yang menciptakan atau mengolaborasikan secara luas

organisasi publik sehingga mengubah pola alokasi sumber-sumber publik

yang jumlahnya terbatas.

II.6 Kerangka Pemikiran

Politik dinasti atau politik kekerabatan adalah salah satu budaya

politik yang tengah berkembang di Indonesia sekaligus menjadi salah satu

aspek politik yang menarik untuk di kaji. Hal ini disebabkan karena politik

dinasti membahas mengenai sekumpulan orang atau elit penguasa yang

masih memiliki hubungan keluarga dekat yang saling mendukung dan

secara bergantian menduduki kekuasaan melalui pemilihan pada periode

masing-masing. Kekuasaan berada di lingkungan keluarga dalam

lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif.

Pilkada serentak kembali digelar di tahun 2018, salah satu peserta

pilkada serentak yaitu Kabupaten Bantaeng. dalam pilkada Kabupaten

Bantaeng terdapat hal unik dimana yang menjadi Bupati Bantaeng adalah

generasi ketiga Keluarga Solthan yang mengambil alih roda

kepemimpinan di Kabupaten Bantaeng. sebelumnya H. Solthan menjadi

bupati Bantaeng pada tahun 1968-1978, kemudian anaknya Azikin

Solthan menjadi Bupati bantaeng pada tahun 1998-2008, dan pada

pilkada serentak Kabupaten Bantaeng yang menjadi Bupati adalah cucu

H. Solthan, anak dari Azikin Solthan yaitu Ilham Azikin Solthan, bukan

39
hanya itu sanak saudaranya yang lain juga memiliki jabatan penting dalam

pemerintahan di Kabupaten Bantaeng, hal tersebutlah yang secara tidak

sengaja menciptakan politik dinasti dalam arah positif dalam roda

pemerintahan di Kabupaten Bantaeng.

II.6.1 Skema Kerangka Pikir

KELUARGA
SOLTHAN

40
Memiliki
 Modal Sosial
 Modal Politik
 Modal Ekonomi
 Modal Simbolik
 Personal Branding

EKSISTENSI KELUARGA
SOLTHAN DALAM
KANCAH POLITIK DI
KABUPATEN BANTAENG

BAB III

41
METODE PENELITIAN

Bab ini membahas prosedur-prosedur yang akan dilakukan sehingga

penelitian ini dapat terlaksana. Adapun sub bab yang akan diuraikan yaitu

yaitu : Lokasi penelitian, tipe dan jenis penelitian, teknik pengumpulan

data, Sumber data, informan penelitian dan teknik analisis data. Aspek-

aspek tersebut akan diuraikan lebih lanjut.

III.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di Kabupaten Bantaeng, Provinsi

Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan salah

satu daerah yang mempunyai sejarah politik dinasti. Keluarga Solthan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah generasi ke 2 yaitu Azikin

Solthan, generasi ke 3 yaitu Ilham Azikin Solthan yang menjadi Bupati

Bantaeng di Kabupaten Bantaeng adalah subjek dari penelitian ini dan

belum ada penelitian yang meneliti keluarga solthan sebelumnya. Hal

inilah yang menjadi perhatian penulis sehingga mengangkat tema ini

sebagai penelitian akhir.

III.2 Tipe dan Jenis Penelitian

III.2.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif deskriptif,

dimana tipe ini merupakan suatu cara dalam memecahkan suatu masalah

42
berdasarkan fakta dan data-data yang ada 30. Penelitian kualitatif deskriptif

lebih kepada suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah

yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang

ada. Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih detail mengenai

suatu gejala atau fenomena melalui fakta-fakta yang akurat 31.

Sesuai dengan hal tersebut penulis akan berusaha menggambarkan

(mendeskripsikan) fenomena eksitensi keluarga solthan dalam kancah

politik di Kabupaten bantaeng. Sifat deskriptif sebagai salah satu

karakteristik penelitian kualitatif akan dilakukan saat data-data dilapangan

telah dikumpulkan.

III.2.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kasus (case study). Studi kasus memperlihatkan semua aspek yang

penting dari suatu kasus untuk diteliti. Dengan menggunakan tipe

penelitian ini akan dapat di ungkapkan gambaran yang mendalam dan

mendetail tentang suatu situasi atau objek. Kasus yang akan diteliti dapat

berupa satu orang, satu peristiwa atau kelompok yang cukup terbatas

sehingga peneliti dapat menghayati, memahami, dan mengerti bagaimana

objek itu beroperasi atau berfungsi dalam latar alami yang sebenarnya 32.

30
Sudarwan Danim. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif:Rancangan Metodologi, Presentasi dan
Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan Peneliti Pemuda Bidang Ilmu Sosial, Pendidikan
dan Humaniora. Bandung:Pustaka Setia. Hal 14.
31
Bambang Prasetyo dkk.2005.Metode Penelitian Kuantitatif:Teori dan Aplikasi : Jakarta : Raja
Grafindo Persada. Hal. 24
32
Prof. Dr. A Muri Yusuf. Januari 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Gabungan. PT
Interpratama Mandiri. Hal 339

43
Penelitian ini di maksudkan untuk menelaah lebih dalam mengenai

bagaimana keluarga solthan menciptakan dan mempertahankan

eksistensinya dalam kancah politik di Kabupaten Bantaeng.

III.3 Teknik Pengumpulan Data

Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat

menggunakan data primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan,

dilakukan dengan metode wawancara mendalam yang dipandu dengan

pedoman wawancara. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara

langsung dan terbuka kepada informan kunci atau pihak yang

berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan

dengan topik penelitian.

Informan terbagi menjadi tiga macam : inroman kunci yang

mengetahui informan pokok yang diperlukan dalam penelitian, informan

biasa yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial

yang sedang diteliti, dan informan tambahan yaitu mereka yang dapat

memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi

sosial yang diteliti33.

Informan kunci dalam menjawab rumusan masalah yang pertama

dalam penelitian ini yaitu keluarga solthan, dan informan tambahan untuk

menjawab rumusan masalah kedua yaitu dari kelompok masyarakat.


33
Burhan Mungin.2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:Prenada Media Group. Hal 13

44
2. Data Sekunder

Dalam penelitian, peneliti juga membutuhkan data atau infromasi lain

selain dari informan yang telah ditentukan. Data sekunder merupakan

data penunjang dalam penelitian. Data sekunder biasanya telah tersusun

dalam bentuk-bentuk dokumen, buku, jurnal dan literature lainnya yang

berhubungan dengan masalah penelitian.

III.4 Informan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis beranggapan bahwa pentingnya

memfokuskan penelitian pada segelintir masyarakat yang dianggap

mempunyai informasi mengenai penelitian ini. Adapun informan yang

penulis tetapkan dalam penelitian ini antara lain :

Tabel 03. Informan penelitian

No
Informan Alasan Memilih Informan
.
Generasi ke 2 Keluarga Solthan
dalam memimpin Bantaeng 2
Periode dan juga sebagai informan
1. H. Azikin Solthan kunci dalam penelitian yang dapat
memberikan data akurat dari
pertanyaan penelitian pertama
Generasi ke 3 Keluarga Solthan
dalam memimpin Bantaeng,
merupakan anak dari Azikin Solthan
2. H. Ilham Azikin Solthan dan juga sebagai informan kunci
dalam penelitian yang dapat
memberikan data akurat dari
pertanyaan penelitian pertama

45
Sebagai kelompok masyarakat yang
mempunyai pandangan terhadap
aspek ekonomi, sosial dan politik
Kelompok Masyarakat : yang dilakukan oleh keluarga
3.
Kelompok Tani solthan selama ini dan sebagai
informan dalam penelitian yang
dapat memberikan data akurat
pendukung.
Tokoh masyarakat yang dimaksud
adalah tokoh masyarakat yang
4. Tokoh Masyarakat banyak mengetahui tentang
eksistensi keluarga solthan selama
berada didalam kancah politik.

III.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga teknik

analisis data tersebut akan dijelaskan seperti berikut :

1. Reduksi data

Reduksi data dilakukan dengan merangkum keseluruhan data-data

yang telah dikumpulkan lalu memilah-milahnya. Data-data yang telah

dikumpulkan kemudian di pilah-pilah sesuai dengan rumusan masalah

dalam penelitian ini34.

2. Data Display

Display dalam konteks ini adalah kumpulan informasi yang telah

tersusun yang membolehkan penarikan kesimpulan dan pengambilan

34
Prof. Dr. A Muri Yusuf. Januari 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Gabungan. PT
Interpratama Mandiri. Hal 407

46
tindakan. Data Display ini merupakan totalitas dari hasil wawancara,

interview dan dokumentasi yang disajikan dalam bentuk hasil penelitian

lalu dilakukan pembahasan secara sistematis dan menyeluruh 35.

3. Kesimpulan

Setelah data display dilakukan, selanjutnya akan di lakukan penarikan

kesimpulan berdasarkan rumusan masalah. Disamping itu perlu di ingat

antara reduksi data-display data dan penarikan kesimpulan merupakan

segitiga yang berhubungan. Antara reduksi data dan penarikan

kesimpulan, dan pada waktu penarikan kesimpulan selalu bersumber dari

reduksi data atau data yang sudah di reduksi dan juga dari display data36.

35
Ibid hal 408
36
Ibid hal 409

47
BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

IV.1 Sejarah Kabupaten Bantaeng

Kabupaten Bantaeng sebagai sebuah daerah di provinsi sulawasi

selatan mempunya sejarah. Bantaeng mempunyai sejarah karena

manusia yang mendiaminya berabab-abab lalu telah melibatkan diri

dalam kehidupan daerah ini, sehingga ia sampai pada wajahnya sekarang

ini. penulisan sejarah memiliki makna yang sangat dalam dan mendasar,

terutama untuk diketahui dengan jelas oleh setiap generasi di oleh karena

itu maka harus dilakukan secara arif dan bijaksanasa. Daerah Bantaeng

dengan status "Butta Toa” yang secara harfiah berarti tanah yang tua,

maka kita menoleh kepada sejarah jauh sebelumnya, ketika kerajaan

48
Bantayan(Bantaeng) terbentuk pada abad XII, yang telah ditemukan oleh

kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika memperlebar usaha

dagang dan kekuasaan kewilayah timur. Hal tersebut dicatat dalam

berbagai dokumen, antara lain peta wilayah Singosari dan buku Prapanca

yang berjudul Negara Kertagama.

Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah

dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari

dibawah pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke

daerah timur Nusantara untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-

1292. Pada halaman lain buku peta itu, yang melukiskan tenggelamnya

sriwijaya, singosari sekitar abab XIII (1222-1293), hanya disebut Bantayan

di jazirah selatan sulawesi selatan, sebagai daerah singosari di bawah

kartanegara abab XIII(1254-1292)37. Selain itu, kerajaan bantanyan sendiri

hampir seusia dengan kerajaan singosari di pulau jawa di mana keduanya

muncul pada abab XIII. Kerajaan singosari berdiri di daerah malang di

jawa timur sekitar tahun 1222-1293. Disebut Bantayan di jazirah selatan

sulawesi selatan, sebagai daerah singosari di bawah Raja kartanegara

pada tahun 1254-1292 sulawesi selatan, sebagai daerah singosari di

bawah Raja kartanegara pada tahun 1254-1292.

Menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak tahun

500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah

37
Mattulada. “Menyusuri jejek kehadiran Makassar dalam sejarah”. Makassar : Hasanuddin
University Press. 1991. Hal 9

49
bersejarah). Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A.

Bougas menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun

1200-1600, dibuktikan dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para

penggali keramik pada bagian penting wilayah Bantaeng yakni berasal

dari dinasti Sung (960-1279) dan dari dinasti Yuan (1279-1368). Setelah

kemerdekaan dan Berdasarkan Undang-undang nomor 29 tahun 1959

tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, maka status

Bantaeng sebagai daerah Afdeeling berakhir dan selanjutnya menjadi

Kabupaten Daerah Tingkat I.

Namun, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959,

bukanlah menunjukkan keberadaaan Bantaeng pertama kali, karena

Kabupaten Bantaeng sebagai bekas Afdeling pada Zaman Pemerintahan

Hindia Belanda sudah lama dikenal dengan nama Bantayan dalam

dokumen, antara lain peta wilayah Singosari 1254-1292. dan buku

Prapanca (1365) yang berjudul Negara Kertagama. Dengan demikian,

maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh para pakar sejarah,

sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli 1999.

berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999

tanggal 4 Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun

kesepakatan anggota DPRD Tingkat II Bantaeng dalam Peraturan Daerah

Nomor: 28 tahun 1999, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi

Bantaeng ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254.

50
Dibawah ini adalah luas wilayah berdasarkan kecamatan di
Kabupaten Bantaeng :
No. Nama Kecamatan Luas Kecamatan
1. Bantaeng 28,85 Km2
2. Uluere 67,29 Km2
3. Bissappu 32,84 Km2

4. Eremerasa 45,01 Km2

5. Tompobulu 76,99 Km2

6. Pa’jukukang 48,9 Km2

7. Gantarang Keke 52,95 Km2


8. Sinoa 43 Km2

Tabel 04. Luas Wilayah berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Bantaeng

Sumber : Badan Pusat Statistik 2017

51
IV.2 Kondisi Politik dan Pemerintahan Kabupaten Bantaeng

IV.2.1 Kondisi Politik

Tabel 05. Data Proporsi Penduduk Kecamatan Menurut Jenis Kelamin


Tahun 2017
Jenis kelamin
Kode Kecamatan Penduduk
    Laki laki Perempuan Total
73030 Bissappu 16,977 17,237 34,214
1
73030 Bantaeng 20,007 20,346 40,353
2
73030 Eremerasa 10,146 10,560 20,706
3
73030 Tompobulu 12,409 13,049 25,458
4
73030 Pa'jukukang 16,934 17,061 33,995
5
73030 Uluere 5,736 5,789 11,525
6
73030 Gantarang Keke 9,087 9,456 18,543
7
73030 Sinoa 6,691 6,784 13,475
8

7303 Kab. Bantaeng 97,987 100,282 198,269

Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bantaeng


Tahun 2017

Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat bahwa penduduk

Kabupaten Bantaeng berjumlah 198,269 jiwa yang tersebar di delapan

kecamatan. Dilihat dari jenis kelamin secara keseluruhan, yang berjenis

52
kelamin perempuan lebih banyak yaitu 100,282 jiwa dibandingkan yang

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 97,987 jiwa. Dari 8 (delapan)

kecamatan yang tersebar di Kabupaten Bantaeng, Kecamatan Bissappu,

Kecamatan Bantaeng dan Kecamatan Pa’jukukang yang paling padat

penduduknya. Kepadatan penduduk di 3 kecamatan tersebut dikarenakan

kecamatan tersebut merupakan perkotaan sekaligus daerah pesisir yang

merupakan wilayah yang dilalui oleh jalan nasional penghubung antar

Kabupaten dan desa-desa sekitarnya, yang menyediakan berbagai

macam pusat kegiatan, seperti pusat ekonomi dan pusat pemerintahan,

dan juga tersedianya berbagai macam sarana prasarana yang lebih baik

dan lebih lengkap. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk yang terendah

yaitu Kecamatan Uluere, beberapa penyebab dikarenakan kecamatan

uluere memiliki topografi yang berbukit-bukit, lahan yang ada kurang

cocok untuk dijadikan permukiman.

Kabupaten Bantaeng adalah Kabupaten yang memiliki kepadatan

penduduk yang sangat berbeda-beda, hal tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor, faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu faktor ekonomi,

faktor geografis, dan faktor sosial. Dilihat dari kondisi faktor geografis,

penduduk akan lebih berfokus ke daerah dataran rendah (topografi datar)

dari pada daerah dataran tinggi (topografi bergelombang). Selain itu,

Faktor sosial dan ekonomi juga memiliki pengaruh terhadap kepadatan

penduduk di suatu daerah ini dikarenakan penduduk akan lebih

53
terkonsentrasi ke daerah yang berkembang. Seperti Kecamatan Bissappu,

Kaecamatan Bantaeng, dan Kecamatan Pa’jukukang.

IV.2.2 Kondisi Pemerintahan

Gambar . 01 Lambang Daerah Kabupaten Bantaeng

Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bantaeng

Nomor : 4 Tahun 1970, maka ditetapkanlah Lambang Daerah Kabupaten

Bantaeng dengan makna sebagai berikut:

1. Bintang emas bersudut lima : Perlambang pancasila

2. Setangkai bulir padi berbutir 45 : Lambang kehidupan Sosial (pangan),

jiwa tahun proklamasi dan warna Kuning emas

lambang keagungan dan kejayaan.

3. Serangkai susunan kapas, berdaun 17 dan

berbuah 8 : Perlambang kebutuhan sandang

bagi kehidupan sosial Masyarakatnya, 17 lembar daun dan 8 buah kapas

54
Perlambang jiwa tanggal dan bulan proklamasi, sedang Warna putih dan

hijau lambang kesucian dan kesuburan.

4. Seulas rantai emas berserangkai 59 berselang-seling bulat dan segi

empat : Rantai perlambang perikemanusian, Dan hubungan antara

manusia dan potensi alamnya. Nama "kabupaten bantaeng" yang

dilukiskan dalam Lingkaran rantai mengandung arti :

kedaulatan rakyat.

5. Mata rantai : Perlambang tahun terbentuknya daerah Kabupaten

bantaeng yang berotonomi.Warna kuning emas : Perlambang dari

keagungan dan kejayaan.

6. Kepala "anoa" bertanduk runcing : Anoa, adalah sejenis hewan yang

hidup khususnya dilereng lompobattang, yang mengambarkan watak

daripada masyarakat kabupaten bantaeng, yaitu tidak berkenan dijajah,

sedang apabila kemerdekaannya diganggu, ia tetap melawan dengan

menggunakan segala daya dan alat yang ada padanya perlambang

sumber kekuatan dan sumber ispirasi yang diarahkan kepada tegaknya

kebenaran dan keadilan.

7. Selembar daun kopi dan selembar daun kemiri merupakan perlambang

kesuburan tanah , dan produksi utama kopi dan kemiri sebagai sumber

55
utama perekonomian rakyat. warna hijau, melambangkan kesuburan tata

kehidupan dan sifat kepahlawanan masyarakatnya.

8. Sebilah tombak : Tombak sebagai salah satu unsur kebudayaan daerah

dengan nama tradisional " babba ejaya" (selubung merah),melambangkan

sumber kekuatan dan keagungan masyarakat kabupaten bantaeng, untuk

dijadikan alat bagi membela dan mempertahankan kedaulatan republikan

indonesia sampai akhir zaman.

9. Puncak Gunung Lomppobattang: Gunung Lompobattang merupakan

perlambang kekuatan / keagungan dan kesuburan tata perekonomian

masyarakat kabupaten bantaeng dengan segala hasil-hasil alamnya yang

melatar belakangi peri kehidupan sosial masyarakatnya 38.

Pemerintah Kabupaten Bantaeng bersama masyarakatnya terus

saling bersinergi dalam bersama membangun Kabupaten Bantaeng yang

lebih maju dan berkembang kedepannya. Dalam mewujudkan hal tersebut

para stakeholder, kepala pemerintahan dan bersama jajarannya

menjalankan dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya berlandaskan

visi dan misi yang telah ada di Kabupaten Bantaeng yaitu :

Visi : “Terwujudnya Masyarakat Bantaeng Yang Sejahtera Lahir Bathin,

Berorientasi Pada Kemajuan, Keadilan, Kelestarian dan Keunggulan

Berbasis Agama dan Budaya Lokal:

38
Peraturat Daerah Kabupaten Bantaeng No 4 tahun 1970, diakses pada tanggal 28 November
2019 Pukul 01.04

56
Misi :

1. Mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas

2. Meningkatkan akselerasi program pengentasan kemiskinan dan

perluasan kesempatan kerja. Ketiga, meningkatkan akses,

pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan

sosial lainnya

3. Mengoptimalkan kualitas dan pemerataan pembangunan

infrastruktur yang berbasis kelestarian lingkungan

4. Mengoptimalkan pengembangan pertanian, perkebunan,

peternakan, perikanan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Keenam, mewujudkan reformasi birokrasi dan pelayanan publik

Pemerintah Kabupaten Bantaeng membawahi 8 (delapan) kecamatan

definitif dan terbagi ke dalam 21 kelurahan dan 46 desa. Kelengkapan

pemerintah sebagai mitra pemerintah (eksekutif), dibantu oleh legislatif

(DPRD) dengan personil organisasi yang cukup lengkap dimana

banyaknya anggota DPRD di Bantaeng berjumlah 25 orang, terdiri dari 17

orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Ini menunjukkan jumlah terwakilan

perempuan sekitar 30% dari keseluruhan jumlah anggota telah terpenuhi

untuk masa periode 2019-2024 39. Kabupaten Bantaeng adalah salah satu

kabupaten yang indeks partisipasi perempuannya dalam mencalonkan

sebagai anggota legislative terbilang banyak dan selalu terpenuhi.

39
Ambae exe. Kompasiana.com diakses pada tanggal 28 November 2019 pukul 01.31

57
IV.3 Indeks Pembangunan Manusia

Pada dasarnya, ide dan gagasan tentang pembangunan yang

dipusatkan pada manusia diawali dengan pemahaman ekologi

manusia,yang menjadi pusat perhatian pembangunan. Dengan demikian,

pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan

proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam konteks

ini, masalah kemiskinan, kelompok rentan dan meningkatnya

pengangguran perlu mendapat perhatian utama karena bisa menjadi

penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti

longgarnya ikatan-ikatan sosial dan melemahnya Nilai-nilai serta

hubungan antar manusia. Seiring dengan berkembangnya pembangunan

yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka perkembangan

pendekatan yang berpusat pada manusia atau rakyat. Model pendekatan

pembangunan yang berpusat pada manusia sebenarnya merupakan

antitetis dari model pembangunan yang berorientasi pada produksi 40.

Tabel 06. Indeks Pembangunan Manusia

40
Andi Amriani, Visualisasi Pembangunan Kabupaten Bantaeng (Makassar : CV. Cahaya
Multimedia entertainment, 2016), h. 7-8

58
Komponen Lpm 2012 2013 2014 2015 2016

Indeks 76,29 76,39 76,43 76,57 76,68


Kesehatan
Angka Harapan 69,59 69,65 69,68 69,77 69,84
Hidup (Tahun)
Indeks 48,72 50,47 52,42 52,97 53,57
Pendidikan
Rata-Rata 5,70 5,92 6,16 6,16 6,17
Lama Sekolah
(Tahun)
Harapan Lama 10,70 11,07 11,48 11,67 11,88
Sekolah
(Tahun)
70,49 70,82 71,02 71,53 71,91
Indeks
Pengeluaran

Prioritas Daya
Beli (Ribu 10,117 10,226 10,294 10,467 10,596
Rupiah/Orang/
Tahun)
63,99 64,88 65,77 66,20 66,59
Ipm
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantaeng 2017

IV. 4 Agama

Tabel 07. Jumlah Penduduk Menurut Agama Berdasarkan Kecamatan

Tahun 2017

Kristen Konghu
No Kecamatan Islam Katolik Hindu Budha
Protestan cu
1. Bissappu 34,027 108 108 0 1 11
2. Bantaeng 39,662 416 160 3 102 1
3. Eremerasa 20,700 5 1 0 0 0
4. Tompobulu 25,449 5 3 1 0 0
5. Pa'jukukang 33,972 20 2 1 0 0
6. Uluere 11,525 0 0 0 0 0
Gantarang 18,542 0 0 0 0 1
7.
Keke
8. Sinoa 13,471 0 1 0 0 3

59
Total 197,348 554 275 5 103 16

Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bantaeng

Tahun 2017

Kabupaten Bantaeng dengan kepercayaan masyarakatnya adalah

mayoritas islam, dibuktikan dengan jumlah masyarakat yang beragama

islam yaitu 197,348 jiwa atau sebesar 99,5% dari total jumlah penduduk

masyarakat Kabupaten Bantaeng. Selain itu sekitar 953 beragama Katolik,

Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu yaitu 5% dari total jumlah

penduduk Kabupaten Bantaeng.

IV.5 Sejarah Generasi Keluarga Solthan Menjadi Bupati Bantaeng

IV.5.1 Babakan H. Solthan (1966-1978)

H. Solthan mempunyai orang tua ayahnya bernama Karaeng Tutu

dan Ibunya bernama dg. Mima. H. Solthan mempunyai 2 orang istri. Istri

pertamanya bernama dg. Maera dan memiliki 2 orang anak yaitu marwah

solthan dan H. Jamiruddin Solthan. Istri keduanya bernama H. Nurhayati

dan memiliki 5 Orang anak yaitu H. Ibrahim Solthan, H. Syahlan Solthan,

Hj. Sukmawati Solthan, H. Azikin Solthan dan H. Takril Solthan. Sebagai

putra daerah kab. Bantaeng sekaligus mempunyai darah keturunan

bangsawan dari kakeknya Makkatutu, H. Solthan hadir sebagai sosok

gagah dengan kesederhanaannya. Dengan kesederhanaannya dan

dekatnya dengan masyarakat turunan bangsawan itu tidak Nampak dan

60
tidak ditampakkan. Mengawali karirnya sebagai seorang Pegawai Negeri

Sipil (PNS) di Dinas Pertanian dengan pangkat jabatan Gol. I karena pada

saat itu hanya lulusan SD namun terus mengikuti ujian untuk setingkat

SMP dan SMA. H. Solthan dalam kehidupannya dikenal sebagai

organisatoris, aktif diberbagai organisasi kepemudaan dan sangat dikenal

dengan jiwa pejuangnya.

H. Solthan merupakan putra daerah yang dikenal sebagai pejuang

dan sederhana. DIjuluki sebagai seorang pejuang, H. Solthan mendapat

penghargaan Bintang Mahaputra dari pemerintah pusat. Seorang

pemimpin memang harus memiliki hal tersebut guna agar supaya dapat

melawan atau memberantas ketidakadilan yang akan terjadi di tengah

masyarakat. Kemampuan pemimpin adalah segala daya, kesanggupan,

kekuatan, dan kecakapan ketrampilan teknis maupun sosial yang

dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa.

Berawal dari adanya konflik yang terjadi di Kabupaten Bantaeng

pada saat itu, H. Solthan hadir sebagai sosok penengah dan pereda

konflik yang terjadi pada bupati bantaeng A. Rifai Bulu dengan pemuka-

pemuka masyarakat utamanya turunan-turunan karaeng, menyangkut

tentang perebutan kekuasaan yang akan memimpin bantaeng selanjutnya

dan saat itu juga ditahun 1960-an bertetapan adanya pengenyaman dari

PKI. A. Rifai Bulu adalah seorang keturunan karaeng sekaligus yang

menjadi lawan-lawan politik turunan karaeng pada saat itu. Berawal dari

61
kejadian konflik tersebut, munculnya sosok bijaksana dari H. Solthan,

Bupati Bantaeng pada saat itu yang bernama A. Rifai Bulu mengatakan

bahwa yang cocok menjadi Bupati Bantaeng selanjutnya yaitu H. Solthan.

Dengan adanya keputusan dari konflik tersebut yang diselesaikan

oleh H. Solthan pada saat itu, A. Rifai Bulu mundur sebagai Bupati

Bantaeng pada tahun 1965. Selama 1 tahun jabatan Bupati di jabat oleh

Aru Saleh sebagai Plt Bupati Bantaeng tahun 1965-1966. Setelah

kejadian rifai bulu mundur, maka diadakan pemilihan bupati pada saat itu,

dengan salah satu calonnya yaitu H. Solthan dengan melawan Aru Saleh,

Ahmad bancua yang merupakan turunan karaeng Bantaeng. Bermodalkan

dukungan dari 2 partai pendukung yaitu, Partai Serikat Islam dan Partai

Nasional Indonesia sekaligus H. solthan merupakan anggota partai

tersebut, dengan jiwa bermasayarakatnya dan jiwa pejuangnya H. Solthan

berhasil keluar sebagai pemenang kontestasi politik sebagai Bupati

Bantaeng pada saat itu.

IV.5.2 Babakan H. Azikin Solthan (1998-2008)

H. Azikin Solthan lahir di Bantaeng, 07 Agustus 1953, Ayahnya

bernama H. Solthan dan Ibunya bernama H. Nurhayati. Mempunyai istri

bernama Hj. Linda Azikin yang lahir di Buton 27 November 1972, dan

dikaruniai 4 orang anak. Anak pertamanya bernama H. Ilham Azikin, anak

keduanya bernama Irma Azikin, anak ketiganya bernama Iswan Azikin

dan anak keempatnya bernama Isna Azikin.

62
Sebagai putra daerah , anak dari H. Solthan seorang mantan

Bupati Bantaeng yang Berjaya pada masanya, H. Azikin Solthan hadir

sebagai sosok yang cerdas, sopan, santun, bermasyarakat dan tangguh

untuk masyarakat Kabupaten Bantaeng. Mengawali karirnya yang berlatar

belakang pendidikan pemerintahan. Sebagai seorang putera mantan

Bupati Bantaeng, H. Azikin Solthan memiliki sikap hampir sama dengan

ayahnya, memiliki kebiasaan yang sama yaitu berjiwa sosial yang tinggi.

H. Azikin Solthan dekat dengan masyarakat, sosok yang cerdas dengan

pendidikan yang mumpuni. Dari latar belakang keluarga yang dianggap

berada, cerminan tersebut tidak begitu Nampak diperlihatkan dan tidak

adanya pembeda dengan masyarakat Kabupaten Bantaeng yang lainnya.

Bergelut di bidang pemerintahan, seorang birokrat harus

mengetahui dirinya sebagai seorang biroktat, mengetahui tugas dan

fungsinya sebagai tempat mengadu masyarakat. Seorang birokrat harus

mampu memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakatnya. Seorang

pemimpin harus mengutamakan kepentingan masyarakat dimanapun dan

kapanpun masyarakat membutuhkannya.

Berawal dari karirnya sebagai tamatan APDN, Lulusan APDN

adalah lulusan yang bergengsi. H. Azikin Solthan mendapatkan tugas dari

pemangku kekuasaan yaitu Bupati Bantaeng yang tak lain ayahnya sendiri

untuk menjadi salah satu tenaga kerja di bagian umum kantor daerah,

salah satu tugas tenaga kerja bagian umum kantor daerah yaitu menerima

63
dan membaca surat masuk dan surat keluar. Surat masuk dan keluar

yang ada semua mengenai tentang keluhan masyarakat dan solusinya.

Dengan H. Solthan ditempatkan sebagai tenaga kerja di bagian umum

kantor daerah tersebut, dan dengan latar belakang basiknya dari APDN

Pemerintahan, banyak pengalaman yang didapatkan, mulai dari masalah

apa yang tengah dihadapi masyarakat Kabupaten Bantaeng di tiap desa,

dan cara memecahkan masalah yang tengah dihadapi masyarakat.

Berbekal dengan pengalamannya bekerja selama kurun waktu 6 bulan di

bagian umum kantor daerah, ilmu yang H. Azikin Solthan dapatkan

mengantarkannya ke posisi jabatan sebagai kepala desa di salah satu

desa yang ada di Kabupaten Bantaeng pada tahun 1978.

Budaya familisme berkembang dalam keluarga H. Solthan, modal

sosial yang dimiliki H. Solthan dulunya selalu dilimpahkan atau selalu di

ajarkan kepada anak-anaknya termasuk H. Azikin Solthan. Menjadi

seorang organisatoris, memiliki organisasi kepemudaan menjadikan H.

Azikin Solthan banyak mengetahui dinamika kelompok yang

sesungguhnya. Bergabung kesalah satu organisasi kepemudaan yaitu

KNPI memberikan pengalaman khusus bagi karirnya yang hidup di dunia

biroktat. KNPI merupakan organisasi kepemudaan yang berasal dari

beberapa latar belakang, seperti pemuda islam, hindu, Kristen dan

pemuda nasionalis.

Dinamika politik kembali terjadi di masa H. Azikin Solthan. Konflik

yang tidak bisa di elakkan kadang kala menghiasi dunia politik. Perebutan

64
kekuasaan, jabatan kerap dijadikan pembahasan yang tak henti-hentinya

dalam melihat politik dewasa ini. Drs. H. Darwis Wahab yang merupakan

Bupati Bantaeng setelah H. Solthan menilai H. Azikin Solthan pada masa

itu banyak memiliki gebrakan-gebrakan yang dinilai bersifat tidak sesuai.

Garis merah adalah penilaian yang diberikan H. Darwis Wahab kepada H.

Solthan. Akibatnya seorang putera daerah harus meninggalkan butta toa

Bantaeng dan hijrah ke Kabupaten Gowa atas dasar konflik kecil yang

menghiasi karirnya di Kabupaten Bantaeng. Beberapa posisi jabatan

fungsional di Kabupaten Gowa sepertei Sekretaris Daerah, Camat Bajeng

adalah jabatan yang di miliki H. Azikin Solthan pada saat itu. H. Azikin

sangat berkembang dan mampu membuktikan kemampuannya dalam

ranah pemerintahan.

Konflik masih belum terelakkan dari perjalanan karir seorang H.

Azikin Solthan. Tahun 1998 adalah tahun bergulirnya reformasi. H. Azikin

Solthan memiliki dinamika politik ketika akan bertarung dalam kontestasi

politik sebagai calon Bupati Kabupaten Bantaeng. dipandang sebelah

mata dan tidak diunggulkan salah satu konflik yang menimpahnya dalam

perjalanan politiknya. Karirnya sebagai pegawai dan kedekatannya

dengan masyarakat mengharuskan H. Azikin Solthan untuk kembali ke

daerahnya. Beberapa petinggi kekuasaan atau beberapa aktor politik

meragukan seorang H. Azikin Solthan dalam memimpin Kabupaten

Bantaeng. Akan tetapi dengan prestasi dan keberhasilan

65
pemerintahannya di Kabupaten Gowa H. Azikin Solthan berhasil

membranding dirinya dan memiliki nama ditengah-tengah masyarakat.

Ada 3 (tiga) calon di tahun 1998 yang akan mencalonkan sebagai

Bupati Bantaeng dan juga merupakan lulusan APDN. H. Azikin Solthan

begitu tidak diunggulkan, konflik masih terus bergulir awalnya tidak ada

nama seorang H. Azikin Solthan di barisan daftar nama calon Bupati

Bantaeng, berkah dari kedekatannya dengan masyarakat, ketika

masyarakat mengetahuinya bahwa seperti itu, semua masyarakat dan

toko masyarakat menyuarakan H. Azikin Solthan untuk menjadi salah satu

Calon Bupati Bantaeng pada masa itu.

Dengan latar belakang pendidikan beserta jabatan yang di pegang.

H. Azikin Solthan ditengah masyarakat dianggap mampu menjadi Calon

Bupati Bantaeng. dukungan dari masyarakat, lembaga partai politik tokoh

masyarakat meminta H. Azikin Solthan untuk tetap maju sebagai calon

Bupati Bantaeng. Kemenangan diraih oleh H. Azikin Solthan yang

mempunyai basis masyarakat yang banyak, H. Azikin Solthan mampu

memobilisasi masyarakat Kabupaten Bantaeng dengan apa yang telah ia

dan ayahnya berikan kepada masyarakat Kabupaten bantaeng. pada

masa itupun Bupati dipilih oleh Anggota DPRD Kabupaten Bantaeng.

IV.5.3 Babakan H. Ilham Azikin Solthan

H. Ilham azikin lahir di Makassar 25 November 1973. Ayahnya

bernama H. Azikin Solthan dan Ibunya bernama Hj. Linda Azikin. Memiliki

66
istri bernama Hj. Sri Dewi Yanti yang lahir di Pare-Pare 10 September

1976. Dikaruniai 4 orang anak. Anak pertama bernama Aura Solthania

Ilhamsyah, anak keduanya bernama Aero Solthani Ilhamsyah, anak

ketiganya bernama Ario Solthani Ilhamsyah dan anak keempatnya

bernama Arai Solthani Ilhamsyah.

Sebagai putera daerah Kabupaten Bantaeng dari garis keturunan

keluarga Solthan. H. Ilham Azikin sosok cerdas, gagah, sederhana,

bermasyarakat dan berprestasi hadir dengan latar belakang pendidikan

pemerintahan yang mumpuni untuk masyarakat Bantaeng. Sebagai cucu

dari mantan Bupati Bantaeng periode 1966-1988, anak dari H. Azikin

Solthan juga sebagai Mantan Bupati Bantaeng periode 1998-2008

sekaligus menjabat sebagai Anggota DPR RI Periode 2014-2019 dan

2019-Sekarang, tentunya sudah banyak ajaran yang diberikan oleh kakek

dan ayahnya mengenai politik dan pemerintahan. Mengawali karirnya H.

Ilham Azikin yang berkiprah menjadi seorang birokrat di Kabupaten

Maros. H. Ilham Azikin adalah salah satu lulusan IPDN berprestasi,

banyaknya jabatan yang dipercayakan kepada dirinya.

Bergelut di bidang pemerintahan, seorang birokrat harus

mengetahui dirinya sebagai seorang biroktat, mengetahui tugas dan

fungsinya sebagai tempat mengadu masyarakat. Seorang birokrat harus

mampu memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakatnya. Seorang

67
pemimpin harus mengutamakan kepentingan masyarakat dimanapun dan

kapanpun masyarakat membutuhkannya.

Berlatar belakang organisasi kepemudaan yang menghiasi karir H.

Ilham Azikin, yang tak jauh berbeda dengan ayahnya H. Azikin Solthan

juga sangat aktif di berbagai organisasi kepemudaan yang sama-sama

sudah menjabat sebagai ketua KNPI Sulawesi-Selatan, H. Ilham Azikin

dikenal sebagai organisatoris. Ajaran keluarga solthan turun-temurun

membuatnya mengenal dunia organisasi. Pengalaman dan kesempatan

menurutnya harus dimanfaatkan dengan melalui proses. Menjaga

hubungan baik dengan orang lain, berinteraksi dan bersama-sama

beraktualisasi dalam sebuah organisasi.

Dinamika dalam pemerintahan menghiasi proses

kepemimpinannya di dunia birokrat. Kedekatannya dengan masyarakat

Kabupaten maros, walaupun tidak menetap di Kabupaten Bantaeng

terdengar jelas, prestasinya, cara memimpinnya dan karirnya yang baik di

pemerintahan Kabupaten Maros berkoar sampai ke telinga masyarakat di

Kabupaten Bantaeng.

Dengan sisa waktu 16 tahun di dunia birokrat, menjadikan sosok H.

Ilham Azikin memikirkan masyarakat yang ada di tanah kelahiran

mayoritas keluarganya. Setelah kepemimpinan Nurdin Abdullah, Bantaeng

begitu terpandang dari segi infrastrukturnya. Berhasil disulap menjadi

sebuah kota kecil yang menjadi desnitasi para visitor yang melakukan

68
perjalan jauh melawati Kabupaten Bantaeng. hal tersebut menjadi

tantangan terkhususnya seorang H. Ilham Azikin. Sebagai seorang

birokrat, yang telah mengetahui dinamika menjadi seorang pemimpin dan

memimpin masyarakat banyak, H. Ilham Azikin merasa mempunyai

tanggungjawab besar untuk meneruskan perjuangan keluarganya dalam

memajukan dan menyejahterakan Kabupaten Bantaeng sebagai tanah

kelahiran dan kebesaran mayoritas keluarganya. Diawali perjalanannya

ketika hendak memikirkan untuk mengikuti proses politik yaitu pemilihan

kepala daerah di Kabupaten Bantaeng, kebimbangan tak akan lepas dari

benaknya. Karir birokratnya sekitar 16 tahun lagi selesai adalah salah satu

yang menjadikan H. Ilham Azikin bimbang. Mendapat dukungan dari

semua pihak keluarga, membuat H. Ilham Azikin membulatkan tekadnya

untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah di Kabupaten

Bantaeng.

Bermodalkan jaringan dalam organisasi-organisasi kepemudaan

yang diikutinya, melalui proses H. Ilham Azikin mampu beraktualisasi

dengan baik dalam organisasi tersebut, sehingga modal politik berupa

dukungan banyak partai politik yang mengusungkan dalam kontestasi

politik di Kabupaten Bantaeng adalah salah satu efek dari modal sosial

yang H. Ilham Azikin sebelumnya lakukan.

Sistem pemilihan pada masa kakek dan ayahnya sudah sangat

berbeda. Zaman modern seperti sekarang ini masyarakat sudah melek

69
politik. Masyarakat sudah tahu dan pintar siapa yang akan mereka pilih.

Namun tidak menutup mata bahwa pendekatan emosional sampai

sekarang masih terjaga. Kedekatan hubungan sanak keluarga menjadikan

point utama dalam memilih pemimpin. Salah satu kekuatan H. Ilham

Azikin untu memikat masyarakat di samping latar belakang pendidikannya

yang sangat mumpuni untuk menjadi seorang Bupati adalah Brand

keluarga yang sudah tercipta sebelumnya melalui kakek dan ayahnya.

Keberhasilan kakek dan ayahya dalam memimpin Bantaeng pada

masanya dahulu menjadikan marga Solthan melekat di benak pikiran dan

hati masyarakat di Kabupaten Bantaeng. Marga Solthan adalah modal

simbolik yang dapat memobilisasi masyarakat Bantaeng dalam

mempercayakan H. Ilham Azikin sebagai Bupati Bantaeng.

Marga solthan juga merupakan Branding yang dimiliki seorang

ilham azikin yang tidak bisa ia pungkiri dapat membantunya

memenangkan pilkada tersebut, dan Disamping memang sudah mumpuni

dari segi pendidikan dan menguasai teori-teori politik dan pemerintahan

yang telah ia dapatkan dalam dunia pendidikan, pengalamannya menjadi

camat selanjutnya akan di aktualisasikan untuk membangun Bantaeng

agar lebih maju. Tak jauh beda dengan dinamika politik yang dirasakan

oleh ayahnya H. Azikin Solthan pada masanya, H. Ilham Azikin juga

diminta oleh masyarakat sebagai generasi ke tiga keluarga solthan untuk

menjadi Bupati di tahun 2018 lalu. Tertanamnya apa yang telah diberikan

70
kakek dan ayahnya terdahulu menjadi salah satu faktor penting seorang

H. Ilham Azikin memenangkan pilkada Kabupaten Bantaeng tahun 2018.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

EKSISTENSI KELUARGA SOLTHAN DALAM KANCAH POLITIK DI

KABUPATEN BANTAENG

Bab ini menjelaskan hasil penelitian mengenai cara keluarga

solthan mempertahankan eksistensinya dalam kancah politik di

Kabupaten Bantaeng. pembahasan ini akan dijabarkan dengan model

deskriptif terhadap fakta-fakta yang ditemukan oleh penulis di lapangan

berupa data informasi dari wawancara mendalam dari para informan

71
maupun melalui studi pustaka yang selanjutnya akan di jelaskan

berdasarkan konsep modalitas dan personal branding

Pilkada, Pemilu merupakan proses demokrasi yang prosedural serta

substansial dengan cara memilih orang, aktor dan selanjutnya

memperoleh suara terbanyak akan menjadi pemenangnya. Dalam

demokrasi semua warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang

sama dalam mencalonkan diri menjadi kepala daerah maupun anggota

legislatif yang diberi kebebasan yang cukup besar untuk membentuk

organisasi-organisasi politik, menyalurkan aspirasi politik, dan ikut

berkompetisi dalam penempatan-penempatan jabatan-jabatan struktural

publik yang dipilih, tetapi di dalam tataran empiris termasuk dalam silsila

keluarga solthan di Kabupaten Bantaeng yang banyak terjun kedunia

politik dan tak sedikit yang berhasil meraih kedudukan dan jabatan

sturktural maupun fungsional yang penting dalam barisan pemerintahan di

Kabupaten Bantaeng. Fenomena ini semakin menarik dilihat dalam segi

politiknya sendiri, dengan terpilihnya H. Ilham Azikin yang merupakan

generasi ke 3 dalam keluarga solthan yang berhasil merebut kembali tahta

sebagai Bupati Bantaeng periode 2018-2023 pada pilkada serentak yang

dilaksanakan pada tahun 2018 lalu. Terpilihnya H. Ilham Azikin sebagai

Bupati Bantaeng memperkuat eksistensi keluarga solthan dalam kancah

politik di Kabupaten Bantaeng. Meski Pada pilkada Kabupaten Bantaeng

pada tahun 2008 tahta sebagai Bupati Bantaeng gagal direbut kembali

oleh keturunan solthan yang diakibatkan oleh terbaginya suara untuk

72
keluarga solthan pada pilkada tersebut dikarenakan 2 anggota keturunan

solthan bertarung didalamnya yaitu H. Ibrahim Solthan dan H. Syahlan

Solthan yang keduanya kakak dari H. Azikin Solthan bertarung bersama-

sama juga melawan Nurdin Abdullah. Setelah masa jabatan Nurdin

Abdullah selama 2 periode menjadi Bupati Bantaeng, Jabatan tersebut

kembali berhasil direbut oleh Generasi ketiga keluarga solthan yaitu H.

Ilham Azikin Solthan.

Catatan perjalanan politik dalam Keluarga Solthan telah di ketahui

oleh banyak orang, terkhususnya oleh masyarakat Kabupaten Bantaeng.

Banyaknya anggota keluarga solthan yang terjun ke dunia politik

menjadikan fenomenanya sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Dimulai dari babakan H. Solthan pada periode 1966-1978, 13 tahun

lamanya H. Solthan memimpin Bantaeng yang telah membuat inovasi dan

gebrakan baru dalam tatanan pemerintahan di Kabupaten Bantaeng.

Memperjuangkan tahta dan eksistensi Keluarga Solthan yang sudah

banyak dikenal dan di sukai masyarakat H. Azikin Solthan yang

merupakan generasi kedua sebagai Bupati di Kabupaten Bantaeng dalam

garis keturunan Keluarga Solthan dan selanjutnya Generasi Ketiga yang

berhasil menjadi Bupati Bantaeng pada pilkada 2018 lalu dalam turunan

Keluarga Solthan yaitu H. Ilham Azikin Solthan. Tak hanya itu keluarga

yang lainnya juga dalam satu garis keturunan berhasil mengekspos

eksistensinya dalam kancah politik di Kabupaten Bantaeng yang berhasil

menduduki jabatan sebagai anggota legislatif, H. Budi Santoso dengan 2

73
periode jabatan sebagai anggota legislatif, H. Takril Solthan dengan 1

periode jabatan, dan juga H. Azikin Solthan yang sampai sekarang masih

eksis di kancah politik dengan jabatan sebagai anggota legislatif di DPR

RI yang memasuki periode keduanya setelah jabatannya sebagai Bupati

Bantaeng pada tahun 1998-2008. Berdasarkan pembahasan diatas akan

diuraikan 2 aspek yaitu:

1. Modalitas

a. Modal Sosial

b. Modal Ekonomi

c. Modal Politik

d. Modal Budaya (Simbolik)

2. Personal Branding

Kedua aspek tersebut akan dijelaskan lebih lanjut

V.1 Modalitas

Modalitas dalam kancah pertarungan politik merupakan hal yang

begitu penting. Modal berperan sebagai relasi sosial yang terdapat di

dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala

bentuk barang baik materiil maupun simbol, tanpa perbedaan yang

mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk

dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.

74
Dalam proses pelaksanaan kontestasi politik, kandidat yang

kemungkinan akan memenangkan setiap kontestasi politik jikalau ia

memiliki modalitas yang terbangun. Modal utama yang harus dimiliki oleh

kandidat yang ingin maju ialah modal politik, modal sosial dan modal

ekonomi, tapi tidak tertutup kemungkinan adanya modal-modal yang lain

yang dimilikinya seperti modal simbolik. Pasangan calon kepala daerah

akan berpeluang besar memenangkan dan terpilih apabila memiliki

akumulasi lebih dari satu modal, asumsinya semakin besar pasangan

calon mampu mengakumulasikan modal-modal itu. Keluarga Solthan

dalam tataran perjalanan politiknya tak lepas dari modalitas sampai saat

ini menikmati kejayaan dan eksistensinya dalam kancah politik di

Kabupaten Bantaeng salah satu faktornya yaitu adanya modalitas yang

dimiliki.

Pada dasarnya modal dibedakan ke dalam empat kategori, di

antaranya adalah modal ekonomi (berupa kekayaan, uang, properti),

modal kultural (berupa pengetahuan, kualifikasi pendidikan, gelar

akademik, dan bahasa), modal sosial (berbagai jenis relasi dan jaringan)

dan modal simbolik (seperti prestise, kehormatan dan kharisma) 41. Salah

satu modal yang paling penting adalah adanya potensi untuk

mengkonversinya dari satu bentuk ke bentuk yang lain dan dengannya

modal-modal inilah yang kemudian memiliki kekuatan-kekuatan sosial

41
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital.” dalam Handbook of Theory and Research for
the Sosiology of Education. J. Richardson (Ed.). New York: Grenwood. Dan

75
yang fundamental42. Kemudian ditambahkan lagi oleh Casey (2008)

bahwa terdapat pula modal politik.

V.1.1 Modal Sosial

Modal sosial dalam kontestasi politik apapun merupakan salah satu

strategi yang digunakan oleh para aktor politik untuk memperoleh atau

mendulang simpati dan empati publik. Tak sedikit aktor politik menjadikan

modal sosial sebagai senjata ampuh untuk memikat masyarakat untuk

memilihnya dalam kontestasi politik. Banyak faktor yang bisa dilihat dari

modal sosial yang di miliki oleh seorang aktor politik. Seperti kepercaya

an, ketokohan, interaksi dengan masyarakat (tokoh agama, adat,

organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya). Seperti halnya

yang ada pada keluarga solthan dalam catatan perjalanan politiknya

banyak menggunakan modal sosial sebagai salah satu kekuatan untuk

memenangkan kontestasi yang diikuti.

Keluarga Solthan adalah salah satu keluarga yang di hormati di

Kabupaten Bantaeng. Ketokohannya dibangun pertama kali oleh H.

Solthan yang pernah menjabat sebagai Bupati Bantaeng selama 13 tahun,

dari periode 1966-1978, kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu H.

Azikin yang menjadi Bupati Bantaeng selama 2 periode yaitu tahun 1998-

2008, dan terakhir terpilihnya H. Ilham Azikin Solthan pada pilkada 2018

sebagai Bupati Bantaeng periode 2018-2023. Dengan rentang waktu

42
Haryanto. 2014. Klanisasi Demokrasi Politik Klan Qahar Mudzakkar di Sulawesi Selatan.
Yogyakarta: PolGov.

76
masa jabatan yang lama tersebut pada periode H. Solthan dan H. Azikin

solthan telah berhasil menanamkan modal sosial kepada masyarakat

Kabupaten Bantaeng. Sehingga membuat H. Ilham Azikin Solthan sebagai

generasi ketiga dalam garis keturunan keluarga solthan menjadi Bupati

Bantaeng.

Hal itu tidak terlepas dari hubungan yang telah dibangun antara

kedua bupati tersebut dengan masyarakat dan menjaganya agar terus

berlangsung sepanjang waktu dalam kurun waktu yang lama. Konsistensi

hubungan antara anggota keluarga tersebut sebagai bupati dan

masyarakat memunculkan memori dan koneksi yang kuat di antara

keduanya dan pada akhirnya terakumulasi pada dorongan untuk

melanjutkan hubungan kembali.

Ketika H. Solthan menjabat sebagai Bupati Bantaeng kepedulian

sosialnya terhadap masyarakat sangat tinggi. Objek kerjanya adalah

masyarakat dan tujuannya untuk menyejahterahkan masyarakat. H.

Solthan sebagai sosok yang dikenal sebagai keturunan bangsawan, tidak

ingin menampakkan kebangsawanannya ditengah masyarakat, lebih ingin

dikenal sebagai masyarakat biasa dengan tidak ada pembeda dengan

yang lainnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H. Ibnu Mas’Ud

Sikki (Tokoh Masyarakat) yang menyatakan bahwa :

“…Solthan itu orangnya biasa-biasa, sederhana tetapi


Solthan memang ada turunan bangsawan dari daerah biangkeke, dari
bapaknya solthan yang bernama makkatutu, tapi dikarenakan

77
pergaulannya sehingga kebangsawanannya tidak begitu nampak karena
memang solthan merakyat, solthan sangat dekat dengan masyarakat.
Dapat dikatakan tidak ada pembatas status kebangsawanan dengan yang
lainnya43.

Pertanian adalah latar belakang pekerjaan seorang H. Solthan

sebagai pekerjaannya di Kabupaten Bantaeng. tak heran pada saat

kepemimpinannya ia memajukan Bantaeng tak jauh dari sektor tersebut.

Pertanian, Peternakan dan Perikanan yang H. Solthan pilih sebagai fokus

program. Sebesar 80% mata pencaharian masyarakat Kabupaten

Bantaeng ada di sektor pertanian, itu adalah salah satu faktor H. Solthan

memajukan Bantaeng dari segi sektor pertanian pada masa jabatannya

sebagai Bupati Bantaeng.

H. Solthan mengenalkan tanaman cengkeh sebagai salah satu

tanaman yang dianggap bisa membantu meningkatkan perekonomian

masyarakat, ada satu daerah di Kabupaten Bantaeng yaitu Sarrea, semua

masyarakatnya menolak akan hadirnya tanaman tersebut, beberapa

dinamika penolakan dirasakan H. Solthan dengan dibuktikannya

masyarakat disana mencabut tanaman tersebut dan mengatakan bahwa

tanaman tersebut tidak cocok ditanam di daerah ini. Akan tetapi, upaya H.

Solthan untuk meyakinkan masyarakatnya tidak sampai disitu saja, ia

melakukan penanaman kembali di daerah lain yaitu Banyorang, dengan

berhasilnya penanaman dan memanen serta memperlihatkan hasil dari

43
Wawancara dengan H. Mas’Ud Sikki, Tokoh Masyarakat Kabupaten Bantaeng pada 10
November 2019 di Kediamannya

78
pengembangan dari hal tersebut akhirnya masyarakat berlomba-lomba

menanam cengkeh tersebut sebagai salah satu tanaman yang dapat

menyejahterakan masyarakat di Kabupaten Bantaeng. H. Solthan benar-

benar memikirkan kesejahteraan lewat sektor pertanian agar bisa

meningkatkan perekonomian masyarakat yang dipimpinnya. Hal tersebut

sesuai dengan pernyataan Sultan Radja (Ketua Kelompok Tani Andalan

Kabupaten Bantaeng) yang menyatakan bahwa :

“…Alhamdulillah ada cengkeh dan buah-buahan


lainnya ada di Bantaeng karena pak solthan, sampai sekarang itu
masyarakat menikmati, dan pertama kali cengkeh ditanam itu di daerah
sarrea itu masyarakat itu tidak mau, bahkan sudah ditanam ada yang
cabut itu, tidak cocok ditanam di daerah ini, dibelakang berhasil itu baru
berlomba, dia menanam itu di daerah banyorang, dia menanam itu disitu
lalu pak solthan perlihatkan hasilnya cengkeh dan buah lainnya.
Alhamdulillah pak solthan yang membuka wawasan masyarakat 44.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sultan Radja (Ketua

Kelompok Tani Andalan kabupaten Bantaeng) yang menyatakan bahwa :

“…memang betul banyak tanaman pertanian yang kami


dapat budidayakan sebagai basis peningkatan ekonomi masyarakat
Kabupaten Bantaeng pada saat itu. Awalnya saya juga ragu, apakah
tanaman cengkeh ini dapat tumbuh sesuai apa yang dijelaskan oleh pak
solthan. Akhirnya saya menyaksikan penanamannya di daerah
banyorang, dan itu betul penghasil ekonomi yang tinggi adalah cengkeh
yang dinikmati masyarakat sampai sekarang45.”

44
Wawancara dengan Sultan Radja, Tokoh Masyarakat dan Ketua Kelompok Tani Andalan pada
11 November 2019 di Kediamannya Jl Sungai Bialo Bantaeng
45
ibid

79
Gebrakan dalam sektor pertanian dapat dikatakan H. Solthan

berhasil. Selain itu gebrakan lainnya juga dilakukan yaitu meningkatkan

infrastruktur pertokoan yang sebelumnya hanya gubuk (kayu), menjadi

bangunan tingkat permanen yang kokoh. Bangun tersebut sampai

sekarang masih kokoh yang ditempati oleh orang-orang china yang ada di

Kabupaten Bantaeng. Dinamika masuknya orang china ke Bantaeng

mendapat penolakan dari masyarakat Bantaeng itu sendiri, kehadirannya

tidak di sambut positif oleh masayarakat pada saat itu. Dengan jiwa

pejuangnya, dan sikap adil dari dalam dirinya dan juga kedekatannya

dengan masyarakat H. Solthan berhasil mengatasi hal tersebut dan dapat

mempertahankan orang china tersebut untuk hadir ditengah-tengah

masyarakat Kabupaten Bantaeng.

Dengan jiwa sosial yang tinggi dan kedekatannya dengan

masyarakatnya serta tujuan utama dalam kepemimpinannya adalah

kesejahteraan masyarakat yang dia pimpin demi memajukan Bantaeng.

ketika gaji guru, dan para pegawai pada zaman H. Solthan memimpin

Kabupaten Bantaeng mendapatkannya dari Iuran Pembangunan Daerah

(IPEDA) dan Retribusi Jalan.

Seorang pemimpin harus mengedepankan kepentingan rakyatnya.

Pada masanya ketika guru dan pegawai mengeluhkan gaji yang terlambat

datang, H. Solthan ada dibarisan terdepan untuk menangani

permasalahan tersebut. Ketika gaji tidak cukup ataupun terlambat.

80
Masyarakat adalah objek utama pembangunan, bagaimana seorang

pemimpin mengedepankan apapunn yang dibutuhkan masyarakatnya,

karena salah satu tolak ukur keberhasilan kepemimpinan suatau

pemimpin bukan hanya apa yang telah dia bangun dari segi infrastruktur

di daerah tetapi juga apa yang telah dia berikan kepada masyarakatnya

dalam menyejahterakan masyarakat yang dia pimpin.

H. Solthan pada masa itu fokus utamanya adalam masyarakat,

karena beliau memiliki prinsip bahwa masyarakat yang kita pimpin harus

diberlakukan seperti keluarga kita sendiri, kepentingan masyarakat adalah

kepentingan utamanya Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H. Azikin

Solthan (Bupati Bantaeng periode 1998-2008) yang menyatakan bahwa :

“…Itu waktu belum ada DAU, belum ada DAK itu waktu uang
dia cari dari IPEDA (Iuran pembangunan daerah) pengganti PBB, retribusi
jalan, dan saya masih rasakan pada saat itu, APBD belum ada. Kalau
keadaan mendesak itu emas-emas milik ibu saya itu dimasukkan ke
pegadaian, saya tahu betul. Karena itu pegawai diambil dari Pajak
Rehabilitas Jalan, mobil yang membawa mobil hasil bumi, kalau itu tidak
cukup setengah mati pegawai46.”

Dari pengalamannya terdahulu ketika menjabat sebagai Bupati

Bantaeng, berbagai ajaran H. Solthan turunkan kepada anaknya yaitu H.

Azikin Solthan, tentang bagimana pentingnya menanamkan modal sosial,

menjaga hubungan kepada masyarakat dan bagaimana menjadi

46
Wawancara dengan H. Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI
Periode 2014-2019 Komisi I , 2019-2025 Komisi II pada 24 November 2019 di Kediamannya Jl
Faisal 11

81
pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat seperti

mengutamakan kepentingan sendiri. Terutamana seseorang yang

Bergelut sebagai seorang birokrat, seorang birokrat harus mengetahui

dirinya sebagai seorang biroktat, mengetahui tugas dan fungsinya sebagai

tempat mengadu masyarakat. Seorang birokrat harus mampu

memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakatnya. Seorang pemimpin

harus mengutamakan kepentingan masyarakat dimanapun dan kapanpun

masyarakat membutuhkannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H.

Azikin Solthan (Bupati Bantaeng periode 1998-2008) yang menyatakan

bahwa :

“…jadi sebagai seorang birokrat itu telah ditanamkan kepada


kami semua yang berkiprah di birokrat, kalau kamu mau menjadi birokrat
tanamkan dalam dirimu kalau kamu mau melayani rakyat, orang yang
mengabdi kepada rakyat, Im the people but not the people for me, saya ini
untuk rakyat dan bukan rakyat untuk saya, oleh sebab itu sebagai seorang
pemimpin, kalaupun dia tidur kalau ada kebutuhannya rakyat dia harus
tidur untuk melakukan pelayanan. Karena itu harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat di dunia dan juga kepada
tuhan di akhirat. Petua yang H. Solthan turunkan kepada saya 47.”

Dari banyaknya pengalaman yang dia dapatkan mulai dari

bergabung dalam organisasi kepemudaan yang menjadikannya sosok

sosialis bagi masyarakat di kabupaten Bantaeng, bergabung dalam partai

politik sampai menerima penghargaan mahaputra dari pemerintah pusat,

serta pengalamannya dalam menangani masyarakat yang beliau pimpin,

menjadi bekal yang H. Solthan akan turunkan kepada anak-anaknya


47
Ibid

82
terkhususnya kepad H. Azikin Solthan yang meneruskan tahtanya dalam

kancah politik yang juga seorang birokrat.

Bergelut di bidang pemerintahan, seorang birokrat harus

mengetahui akan tugasnya, mengetahui tugas dan fungsinya sebagai

tempat mengadu masyarakat. Seorang birokrat harus mampu

memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakatnya. Seorang pemimpin

harus mengutamakan kepentingan masyarakat dimanapun dan kapanpun

masyarakat membutuhkannya. Menjadi seorang organisatoris, memiliki

organisasi kepemudaan menjadikan H. Azikin Solthan banyak mengetahui

dinamika kelompok yang sesungguhnya. Bergabung kesalah satu

organisasi kepemudaan yaitu KNPI memberikan pengalaman khusus bagi

karirnya yang hidup di dunia biroktat. KNPI merupakan organisasi

kepemudaan yang berasal dari beberapa latar belakang, seperti pemuda

islam, hindu, Kristen dan pemuda nasionalis. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan H. Ilham Azikin (Bupati Bantaeng periode 2018-Sekarang) :

“…pak azikin lebih banyak beraktualisasi pada ruang-ruang


organisasi yang ber efek pada politik. Itulah yang diajarkan pak solthan, ke
pak azikin, hingga pak azikin ke saya48”
Berpacu kepada triologi pembangunan Soeharto yaitu 1. Stabilitas

nasional yang dinamis 2. Pertumbuhan ekonomi tinggi 3. Pemerataan

pembangunan dan hasil-hasilnya. Berangkat dari hal tersebut H. Azikin

Solthan mempunyai Strong Point (Point Kuat) untuk memajukan

Kabupaten Bantaeng yaitu diantaranya peningkatan keimanan,


48
Wawancara dengan H. Ilham Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 2018-2023 pada 20
Oktober 2019 di Kediaman H. Azikin Solthan Jl Faisal 11

83
peningkatan kualitas sumber daya manusia, kedua kualitas kesehatan

masyarakat. Program kerja hampir sama dengan ayahnya terdahulu yang

mengedepankan masyarakat daripada pembangunan infrastruktur

menjadi hal yang sangat ditekankan oleh seorang H. Azikin Solthan.

Mengedepankan kepentingan masyarakat bukan berarti tidak

meningkatkan infrastruktur yang ada di Kabupaten Bantaeng.

Bergulirnya program kerja yang dilaksanakan H. Azikin Solthan

yang berbasis peningkatan kualitas sumber saya manusia dan kualitas

kesehatan masyarakat pada masa kepemimpinannya menjadi Bupati

Bantaeng diantaranya yaitu :

1. Memberikan bantuan tunai kepada mahasiswa asli asal Kabupaten

Bantaeng yang menyelesaikan studinya tingkat universitas dengan

cepat.

2. Memberikan biaya penuh sekolah kebidanan kepada perempuan

yang memperoleh nilai yang bagus hasil ujian nasional dengan

alasan kurangnya Bidan pada masa itu.

3. Mampu melebarkan jalan di Kabupaten Bantaeng, yang

sebelumnya tidak ada satupun yang bisa melakukannya, ditangan

H. Azikin hal tersebut terealisasikan dengan menggunakan

pendekatan sosial.

4. Penerimaan pegawai negeri sipil dengan seadil-adilnya, sehingga

masyarakat yang berlatar belakang ekonomi menengah kebawah

84
dan mempunyai kemampuan mumpuni, dapat merubah nasib

keluarganya.

5. Bupati pertama yang mengangkat Satuan Polisi Pamong Praja

menjadi pegawai negeri sipil. Ketika H. Azikin menjabat sebagai

Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh indonesia

6. Mengirim petani kentang ke Jawa Barat untuk belajar, Sehingga

Kab. Bantaeng adalah salah satu penghasil kentang terbesar.

7. Kesejahteraan pegawai. Manakalah pegawai terkena masalah,

azikin dapat menyelesaikannya dengan baik.

8. Subsidi baju dinas pegawai.

9. Perluasan beberapa jalan di Kabupaten Bantaeng.

1998-2008 adalah masa kejayaan seorang H. Azikin Solthan dalam

memimpin Kabupaten Bantaeng secara fokus. Ditahun 2014 merasa

masih perlu adanya kontribusi dalam pemerintahan, H. Azikin Solthan

memutuskan untuk mencalonkan sebagai Anggota DPR RI dapil Sul-Sel

1, dengan motto “Dari Senayan membangun Selatan”. Basis massa yang

sudah dimilikinya sedari masa pemerintahannya di Bantaeng, Branding

marga solthan, modal sosial yang mumpuni serta latar belakang

pendidikan yang mumpuni, masyarakat kembali mempercayakan H. Azikin

Solthan sebagai penyambung aspirasi rakyat untuk diperjuangkan di

parlemen. Begitupun di periode keduanya, sesuai dengan yang Dilansir

oleh Jakarta, Lontar ID bahwa Politisi Gerindra Azikin Solthan menjadi

salah satu caleg petahana di Dapil Sulsel I yang perolehan suaranya

85
meningkat signifikan dibanding Pileg 2014 lalu. Anggota Komisi II DPR ini

meraih suara pribadi 74.997 sehingga membuatnya kembali sukses

melenggang ke Senayan. Berbasiskan perhatian dan kedekatan

masyarakat membuatnya kembali eksis dalam kancah politik. Kedekatan

dengan konstituennta sudah tidak bisa pungkiri lagi. Dengan fokus

perhatiannya dan kepekaannya terhadap pendidikan dan juga kepada

tenaga honorer yang sejak dahulu ketika menjadi bupati dan menurutnya

adalah hal yang sangat penting untuk di aspirasikan menjadikan politisi

gerindra berhasil kembali ke senayan atas nama rakyat. Hal ini sesuai

dengan pernyataan H. Azikin Solthan (Anggota DPR RI Komisi I periode

2019-Sekarang) :

“…saya rutin bersilaturahmi kepada warga. Termasuk tak


pernah absen mengunjungi setiap hajatan warga yang menikah. Bahkan,
saat salah satu kerabat ataupun warga dikabarkan meninggal meski saya
tidak mengenalnya, hal itu sudah saya lakukan ketika menjadi Bupati di
Bantaeng, serta persoalan pendidikan dan guru honorer yang menajdi
fokus utama saya di period ke 2 ini49.”

Apa yang diberikan H. Solthan kepada H. Azikin Solthan diturunkan

pula kepada putranya H. Ilham Azikin Solthan. Ajaran keluarga solthan

turun-temurun membuatnya mengenal dunia organisasi. Pengalaman dan

kesempatan menurutnya harus dimanfaatkan dengan melalui proses.

Menjaga hubungan baik dengan orang lain, berinteraksi dan bersama-

49
Wawancara dengan H. Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI
Periode 2014-2019 Komisi I , 2019-2025 Komisi II pada 24 November 2019 di Kediamannya Jl
Faisal 11

86
sama beraktualisasi dalam sebuah organisasi. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan H. Ilham Azikin yang menyatakan bahwa :

“…jadi yang turun sebenarnya kepada kami ini ajaran bahwa


aktivitas mau meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, untuk berorganisasi.
Aktif aja berorganisasi, karena dalam organisasi kita membangun
jaringan, kita mendapatkan ruang untuk beraktualisasi 50.”

Ruang-ruang formal sebagai wadah untuk beraktualisasi

menjadikan hubungan jaringan-jaringan itu muncul dengan sendirinya.

Proses adalah saksi bagaimana beraktualisasi dengan baik dalam ruang-

ruang formal. Tak hanya modal kekerabatn dan ekonomi yang digunakan,

akan tetapi aksi dari seorang pemimpin dan prestasinya yang sebenarnya

ditunggu oleh masyarakat. Begitupun modal simbolik, diera zaman

sekarang ini dikaitkan dengan latar belakang pendidikan dan prestasi itu

sangat sejalan. Masyarakat telah melek politik, dan juga sudah sangat

selektif dalam membedekan dan menentukan siapa yang layak menjadi

pemimpin. Hal ini sesuai dengan pernyataan H. Ilham Azikin Solthan

(Bupati Bantaeng periode 2018-Sekarang) :

“…pemanfaatan ruang formal, yang mengantarkan kita


berproses, dari proses itu melahirkan persepsi dan nilai dari orang lain.
saya cucunya pak solthan, saya anaknya pak azikin, akan tetapi jika saya
tidak berbuat apa-apa di Maros, ketika saya ber KNPI di Sulawesi selatan,
itu NO!. masyarakat sudah cerdas di zaman sekarang, dia bisa memlihat
seorang pemimin yang memang cocok menurutnya 51.”

50
Wawancara dengan H. Ilham Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 2018-2023 pada 20
Oktober 2019 di Kediaman H. Azikin Solthan Jl Faisal 11
51
Ibid

87
H. Ilham Azikin solthan merupakan generasi ketiga yang didalam

perjalanan politiknya sebagai Bupati Bantaeng yang mendapatkan

warisan basis massa dari kakek dan ayahnya pada saat menjabat sebagai

Bupati Bantaeng. tak hanya diwariskan untuk seorang H. Azikin Solthan

akan tetapi diturunkan juga kepada sanak saudara dan anggota

keluarganya yang lain. Basis massa sudah matang dan inilah yang

menjadi salah satu kekuatan dalam pemenangan H. Ilham Azikin sebagai

Bupati Bantaeng. disampinh itu memang dari segi pendidikannya juga

sudah menjadi kekuatan tersendirinya. H. Ilham Azikin mengakui perihal

hal tersebut bahwa kemenangannya tak terlepas dari apa yang telah di

lakukan kakek dan ayahnya terdahulu untuk memajukan Kabupaten

Bantaeng. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H. Ilham Azikin

Solthan (Bupati Bantaeng periode 2018-Sekarang) yang menyatakan

bahwa :

“…apa yang saya dapatkan sekarang, memang berkat apa


yang telah pak solthan dan pak azikin sudah tanam sebelumnya. Basis
massa pendukung keluarga solthan yang sudah ada sejak zaman pak
solthan dan masih ada sampai sekarang adalah salah satu kekuatan yang
dapat saya gunakan disamping memang background pendidikan saya dari
politik pemerintahan52.”

Modal sosial yang dilakukan keluarga solthan meniti karirnya dalam

kancah politik sangat menonjol. Berbagai aspek-aspek pendekatan sosial

yang digunakan berbasiskan kemasyarakatan. Jauh sebelum terjun


52
Ibid

88
keranah politik H. Solthan dan H. Azikin solthan telah melakukan

penanaman modal sosial kepada masyarakatnya di Kabupaten Bantaeng.

hal-hal dari situlah yang mereka turunkan sampai ke generasi ketiganya

H. Ilham Azikin Solthan untuk memunculkan modal sosial dalam

kehidupannya dan hal-hal diatas sesuai dengan konsep modal sosial yaitu

dukungan figur kandidat karena ketokohan sehingga adanya kepercayaan

(trust) dari masyarakat menciptakan interaksi sosial dan adanya jaringan-

jaringan yang mendukung.

Tabel. 08 Riwayat Organisasi Generasi Pertama-Generasi Ketiga


Keluarga Solthan
Nama Organisasi dan Jabatan Periode
 Kader Partai Serikat Islam 1955-an
H. Solthan  Kader Partai Nasional Indonesia 1960-an
 Ketua KNPI Pertama 1960-an
 Dewan Mahasiswa APDN Makassar 1974-1975
 Ketua HPMB (Himpunan Mahasiswa
Bantaeng) 1982-1984
 Wakil Ketua DPD KNPI Kabupaten
Bantaeng 1982-1986
 Koordinator Wilayah APKASI Prov.
Sulawesi Selatan 2003-2005
 Wakil Ketua APKASI
 Ketua Umum BKKSI/APKASI 2003-2005
H. Azikin
 Ketua PengProv PTSI Sulawesi 2003-2005
Solthan
Selatan 2010-2014
 Ketua IKA Program Pascasarjana
UNM 2013-
 Ketua IKA Perguruan Tinggi Sekarang
Kepamongprajaan Prov. Sulawesi
2011-
Selatan Sekarang
 Anggota Dewan Penasehat Partai 2014-
Gerindra Sulawesi-Selatan Sekarang
H. Ilham Azikin  Biro Organisasi GM. Kosgoro 1997-2002
Sulawesi Selatan
 Biro Tenaga Kerja dan Pengabdian 2000-2005

89
Masyarakat DPD I AMPI Sulawesi
Selatan 2001-2004
 Wakil Bendahara KNPI Kota
Makassar 2004-2007
 Wakil Sekretaris KNPI Sulawesi
Selatan
 Komisi OTODA Pemuda Panca 2004-2007
Marga
 Komisi Hubungan Luar Negeri 2006-2011
Tarbiyah Islamiyah Sul-Sel
 Ketua I FKASPP STPDN Sulawesi 2004-2007
Selatan
 Dewan Penasehat MPC. Pemuda 2004-2008
Pancasila Kab. Bantaeng
2006-2011
 Ketua Bapor KORPRI Kab. Maros
Wakil Ketua PPAPRI Sulawesi
Selatan
 Sekjend Dewan Pengurus
2007-2010
Nasional FKPP STPDN/IPDN
Indonesia
2007-2010
 Ketua KNPI Sulawesi Selatan
 Sekretaris Umum Pengda IMI
Sulawesi Selatan 2005-2010
 Ketua Perpani Kabupaten Maros
 Sekretaris Umum Pengda IMI 2008-2012
SulSel
 Kabid. Pengembangan prestasi 2010-2015
KONI Kab. Maros
 Ketua DPD AMPI Sulawesi 2010-2015
Selatan
 Ketua Majelis Pemuda Indonesia 2010-2013
KNPI Sulawesi Selatan
2016-2021
 Wakil Ketua II Kwarcab Gerakan
Pramuka Kab. Maros 2016-2021
Wakil Ketua PMI Cabang Maros
Sumber : Humas Kabupaten Bantaeng

Modal sosial yang dimiliki calon bisa dicermati seperti, tingkat

pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat (tokoh

agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya)

merupakan Latar belakang sosial yang dimiliki aktor bisa dicermati seperti,

90
tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di dalam masyarakat

(tokoh agama, adat, organisasi kepemudaan, profesi dan lain sebagainya)

merupakan Modal sosial yang harus dimiliki kandidat berkaitan dengan

membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat.

Modal sosial juga dapat merembes ke modal-modal lainnya seperti

yang terjadi dalam keluarga solthan ketika akan berkontestasi dalam

kancah politik di Kabupaten Bantaeng. Basis modal sosial yang mereka

miliki merembes pula ke modal-modal lainnya, seperti modal ekonomi,

politik, modal simbolik dan sekaligus membentuk personal branding yang

dapat digunakan keluarga lainnya untuk memenangkan kontestasi politik

lainnya yang dari situ terbentuknya budaya politik familisme.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas bahwa dengan modal

sosial yang sangat tinggi dimiliki oleh H. Solthan dan diturunkan kepada

keturunan-keturunan lainnya membuat keluarganya eksis dalam kancah

politik di Kabupaten Bantaeng.

V.1.2 Modal Ekonomi

Modal ekonomi, salah satu faktor yang penting bagi aktor politik

dalam mengikuti kontestasi politik. Modal ekonomi dibutuhkan untuk

membiayai semua keperluan kontestasi setiap aktor politik yang

mencalonkan diri.

Modal ekonomi adalah modal yang dimiliki yang paling mudah

untuk dikonversi menjadi uang dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak

91
milik53. Modal ekonomi dalam hal ini dilihat dari berbagai aspek yang

dimiliki oleh calon kepala daerah pada saat Pilkada, di antaranya harta

kekayaan pribadi dan dana sumbangan kampanye, tidak heran jika modal

ini menjadi salah satu ukuran penting di dalam memenangkan sebuah

kompetisi di dalam Pilkada.

Keluarga Solthan di Kabupaten Bantaeng diketahui juga oleh

mayoritas masyrakat sebagai keluarga yang berada. Sebagian besar

anggota keluarganya berlatar belakang sebagai Pegawai Negeri Sipil

yang berpangkat golongan tinggi. H. Solthan merupakan Pegawai Negeri

Sipil Golongan 1 bekerja di Dinas Pertanian pada tahun 1968

berpenghasilan Rp. 1,200 tiap bulannya dan mempunyai kebun dan

sawah sebagai sumber penghasilan selain menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Menurut informasi yang penulis dapatkan dilapangan bahwa H. Solthan

dari dulunya berasal atau mempunyai keturunan Raja Bantaeng, namun

Hidupnya sederhana menjadi prinsipnya, sehingga hal tersebut tidak

Nampak di mata masyarakat.

Pada saat H. Azikin Solthan maju dalam pemilihan kepala daerah

Kabupaten Bantaeng pada tahun 2008, dia telah menjadi Calon Pegawai

Negeri Sipil dengan bersatus lulusan SMA/Sederajat. Setelah tamat dari

pendidikan APDN, seorang H. Azikin di angkat menjadi Kepala Desa

Mallilingi Kabupaten Bantaeng Dati II pada tahun 1978-1980, kemudian

menjadi Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Dati II di Gowa pada

53
Bourdieu, Pierre. 1986. “The Forms of Capital.” dalam Handbook of Theory and Research for
the Sosiology of Education. J. Richardson (Ed.). New York: Grenwood.

92
tahun 1985-1987, selanjutnya menjadi Kepala kantor Catatan Sipil

Kabupaten Gowa pada tahun 1988-1992 dilanjutkan karirnya menjadi

kepala Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa pada tahun

1992-1997, 1 tahun menjabat senagai Kepala Biro Humas Provinsi pada

tahun 1997-1998, setelah itu kemudian H. Azikin Solthan maju sebagai

calon Bupati Bantaeng. sebelum itu pula sudah terbangun usaha seperti

PT. Solthana yang bergerak di bidang property, menangani proyek Jalan,

dan beberapa proyek pembangunan perumahan seperti Solthana

Resdinece sebagai perumahan milik keluarga. Beberapa sumber

pendapatan ekonomi itulah yang mematangkan H. Azikin Solthan untuk

mengikuti kontestasi politik dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten

Bantaeng.

Dapat kita lihat dari sumber ekonomi dari anaknya H. Ilham Azikin

yang juga memulai karirnya sebagai Pegawai Negeri Sipil yang

mempunyai latar belakang pendidikan sama dengan ayahnya yaitu

Sekolah pemerintahan, secara tidak langsung kekayaan yang ada pada H.

Azikin Solthan juga berimbas kepada anaknya yaitu H. Ilham Azikin

Solthan. Diangkat menjadi CPNS golongan II/a dan resmi menjadi PNS

tahun 1997 sebagai penata muda pada Staff Bagian kepegawaian

Setwilda Tk. II di Maros pada tahun 1997-1998 yang bertepatan juga

dengan pencalonan ayahnya menjadi Bupati Bantaeng. menjadi Lurah di

Kec. Maros baru pada tahun 1998-2000 menjadikan karirnya di

pemerintahan dikenal sampai jabatan PNS nya meningkat ke golongan

93
III/a, dilanjutkan dan dipercayakan menjadi Camat turikale Kab. Maros

dengan pangkat golongan III/C tahun 2002-2004, menjadi Kepala Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros pada tahun 2009-2011,

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Maros tahun 2011 , Plt

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Maros tahun 2016

sampai dengan menjadi Plt Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP

Kabupaten Maros tahun 2017 yang memiliki pangkat golongan IV/C,

setelahnya H. Ilham Azikin maju sebagai calon Bupati Bantaeng periode

2018-2023 yang memiliki harta kekayaan sebesar Rp. 7.177.510.522 dan

wakilnya Sahabuddin sebesar 8.838.753. dapat disimpulkan bahwa dari

segi ekonomi Keluarga Solthan merupakan golongan yang berada dan

siap serta matang untuk berkontestasi politik. Namun tidak seperti aktor

yang lainnya yang menghabiskan seluruh harta kekayaannya untuk

mendapatkan kekuasaan, Keluarga Solthan berpegang teguh kepada

modal sosial yang sudah ada sejak lama terbangun dalam kehidupan

masyarakat Kabupaten Bantaeng.

Berdasarkan konsep modal ekonomi menurut bourdie, bahwa

Modal ekonomi dalam hal ini dilihat dari berbagai aspek yang dimiliki oleh

calon kepala daerah pada saat Pilkada, di antaranya harta kekayaan

pribadi dan dana sumbangan kampanye, tidak heran jika modal ini

menjadi salah satu ukuran penting di dalam memenangkan sebuah

kompetisi di dalam Pilkada. Sesuai dengan konsep modal ekonomi.

Keluarga Solthan juga merupakan keluarga yang berada di Kabupaten

94
Bantaeng. dari segi ekonomi, untuk maju dalam setiap kontestasi politik

dalam pilkada maupun pileg terbilang siap. Modal ekonomi digunakan

untuk membiayai seluruh kegiatan kontestasi politik, namun dapat kita

cermati bahwa modal ekonomi yang dimaksud adalah cost politik bukan

money politik. Dari segi eknomi yang penulis lihat dalam keluarga solthan,

tidak begitu banyak dikeluarkan dan tidak mati-matian menghabiskan

modal ekonomi dalam memenangkan setiap anggota keluarga yang maju

dalam kontestasi politik, dari modal sosial keluarga solthan yang sudah

dimiliki, itulah yang paling banyak digunakan, pada dasarnya

Penekanannya ada pada modal sosial yang sudah dibangun sejak lama.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H. Azikin Solthan (Bupati

Bantaeng periode 1998-2008) yang menyatakan bahwa :

“…setiap kontes politik itu membutuhkan modal ekonomi.


Bagaimana kita mau membayar konsultan politik, membuat baliho dan lain
sebagainya kalau tidak ada modal ekonomi, akan tetapi itu tidak terlalu
banyak. Saya ini diminta langsung oleh masyarakat untuk menjadi Bupati,
ini semua efek dari modal sosial yang kami tanamkan sebelumnya 54.”

Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan H. Ilham Azikin

Solthan (Bupati Bantaeng 2018-Sekarang) yang menyatakan bahwa :

“…dari segi modal ekonomi untuk sebuah pertarungan politik


adalah hal yang mutlak harus ada. Situasi pada saat itu pak solthan hanya
PNS golongan 1 di dinas pertanian, dan saya juga seorang PNS, tidak
begitu banyak modal ekonomi yang kami gunakan , akan tetapi power
utama kita ada pada modal sosial yang sudah terbangun dari masa pak
solthan dan pak azikin55.”
54
Wawancara dengan H. Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI
Periode 2014-2019 Komisi I , 2019-2025 Komisi II pada 24 November 2019 di Kediamannya Jl
Faisal 11
55
Wawancara dengan H. Ilham Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 2018-2023 pada 20
Oktober 2019 di Kediaman H. Azikin Solthan Jl Faisal 11

95
Dari hal tersebut dapat kita lihat bahwa, setiap kontestasi politik

pastinya menggunakan juga modal ekonomi. Modal ekonomi salah satu

faktor penting setelah modal sosial berdasarkan data penelitian yang

didapatkan bersama keluarga solthan. Keluarga solthan menyimpulkan,

modal ekonominya tidak sebesar modal-modal lainnya yang dia gunakan.

V.1.3 Modal Politik

Pemilu maupun pilkada merupakan arena untuk melakukan

mekanisme sirkulasi elit dalam mengisi jabatan-jabatan politik di

pemerintahan. Elit di dalam politik harus memiliki keunggulan-keunggulan.

Jika melihat presentase kandidat yang diusung dan didukung oleh parpol

(koalisi partai) baik dari hasil kursi atau hasil suara dari pemilu legislatif

masing-masing pasangan kandidat berbeda bahkan ada pasangan

kandidat tertentu mendapatkan dukungan suara parpol sangat besar atau

lebih dominan.Namun meskipun kandidat yang diusung oleh suara partai

lebih besar belum tentu otomatis dapat memenangkan pilkada secara

langsung, karena itu dalam pilkada pengaruh figur lebih besar dan

kompetisi antar partai (koalisi parpol) tidak terlalu menonjol. Peran figur

kandidat dipandang sangat menentukan karena Pemilukada sebagai

arena kontestasi tidak terdapat kontestasi yang kuat antar partai

melainkan antar kandidat.

96
Selain dukungan kandidat dari parpol, kandidat juga harus

berusaha sebanyak mungkin memperoleh dukungan dari kekuatan-

kekuatan non-politik seperti organisasi keagamaan, pemuda, profesi dan

lainnya Dalam konteks lokal (daerah) banyak terdapat elit-elit yang

menduduki jabatan politik dan jabatan-jabatan strategis yang mempunyai

peran penting dan pengaruh terhadap kelompok dan masyarakat di

daerah tersebut. Pilkada Kabupaten Bantaeng tahun 1966 menjadi

ajang pertarungan politik seorang H. Solthan, sebagaimana proses-proses

dan tahapan yang telah dilakukan dan modalitas-modalitas yang telah

dimiliki H. Solthan dalam pencalonan diri sebagai seorang Bupati

Bantaeng. Pada masa itu partai politik yang terkenal yaitu Partai Nasional

Indonesia dan Partai Serikat Indonesia. Kedua partai tersebut

menentukan koalisinya dengan mendukung H. Solthan dalam kontestasi

politik di pilkada Bantaeng tahun 1966. Tak hanya itu dukungan bergulir

dari seorang aktor politik untuk dirinya, A. Rifai Bulu yang merupakan

mantan Bupati Bantaeng periode 1960-1965 yang juga merupakan

turunan bangsawan yang dihormati di Kabupaten Bantaeng berada di

pihak H. Solthan dalam melanjutkan pembangunan di Kabupaten

Bantaeng. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sultan Radja (Tokoh

Masyarakat) yang menyatakan bahwa :

“…seluruh dukungan partai semuanya ke solthan dan yang


lainnya tidak ada partai, melainkan independen. kemudian solthan pada
saat itu juga sangat didukung oleh karaeng rifai bulu, bupati sebelum pak

97
solthan, karaeng rifai bulu mengatakan bahwa yang pantas menggantikan
saya menjadi bupati adalah pak solthan56”.

Aktif beraktualisasi di dalam ruang-ruang organisasi, yang juga

merupakan ruang untuk membangun jaringan kepada banyak orang

merupakan petua H. Solthan yang di turunkan kepada Anaknya H. Azikin

Solthan, dan H. Azikin Solthan menurunkannya kembali kepada anaknya

yaitu H. Ilham Azikin Solthan membuat keluarga solthan eksis dan

berhasil menanamkan modal sosial yang juga memberikan efek besar ke

modal politik untuk karir politiknya kedepan.

Pilkada Bantaeng pada tahun 1998 menjadikan pertarungan politik

pertama seorang H. Azikin Solthan. Pada saat itu yang memilih Bupati

adalah DPRD Kabupaten Bantaeng. Mengalami konflik pada saat

mencalonkan membuat sejumlah masyarakat dan tokoh masyarakat

penting melakukan protes agar H. Azikin Solthan di usulkan sebagai

Calon Bupati Bantaeng. Masyarakat menganggap bahwa sosok generasi

kedua Keluarga Solthan itu mampu memimpin Bantaeng dan memajukan

Bantaeng. Para elit politik, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh lainnya

memberikan dukungannya kepada H. Azikin Solthan.

Hal yang serupa terjadi pula dengan anaknya, pilkada tahun 2018 lalu

menjadikan pertarungan politik pertama generasi ketiga Keluarga Solthan

yaitu H. Ilham Azikin Solthan dalam pilkada Bantaeng. Sama dengan apa

yang dialami ayahnya pada pilkada 1998, H. Ilham Azikin juga kembali di

56
Wawancara dengan Sultan Radja, Tokoh Masyarakat dan Ketua Kelompok Petani Aandalan
pada 11 November 2019 di kediamannya jl sungai bialo

98
minta oleh masyarakat untuk memimpin Bantaeng. generasi ketiga

solthan itu dianggap mampu memajukan Bantaeng, berupa dukungan

para elit politik, tokoh masyarakat dan tokoh agam besar di Bantaeng

memberikan dukungannya, dan 10 partai politik besar juga menjatuhkan

dukungannya dan bersiap mengawal H. Ilham Azikin pada pilkada

Bantaeng tahun 2018. 10 Partai politik tersebut yaitu Partai Golongan

Karya, Partai Nasional Demokrat, Partai Gerindra, Partai Keadilan

Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai PKPI, Partai PKB,

Partai PDIP, Partai Perindo57. Rembesan modal sosialnya berefek kepada

jaringan politik berupa dukungan partai politik dalam pencalonannya

menjadi Bupati Bantaeng pada pilkada 2018 yang lalu.

Keaktifannya seorang H. Azikin Solthan dan anaknya H. Ilham Azikin

Solthan dalam organisasi kepemudaan yang sering melakukan dan

memanfaatkan ruang-ruang formal dan informal untuk beraktualisasi

dengan banyak orang merembes kepada dukungan partai politik pada

saat mencalonkan diri sebagai Bupati di Kabupaten Bantaeng. Hal

tersebut sesuai dengan pernyataan H. Ilham Azikin Solthan (Bupati

Bantaeng Periode 2018-Sekarang) yang menyatakan bahwa :

“…Petua dari pak solthan dan pak azikin yang mengajarkan


kepada saya akan pentingnya berorganisasi dan beraktualisasi dalam
ruang formal maupun informal sehingga terbentuk jaringan dan hubungan
baik dengan orang banya. Dari situlah saya bisa mendapatkan dukungan
banyak partai politik pada saat maju menjadi calon bupati, secara
kebetulan pemimpin partai politik di Sulawesi-selatan pada saat itu adalah
teman-teman saya yang sama-sama beraktualisasi didalam organisasi,

57
Pilkada.rakyatku.com di akses tanggal 16 Desember 2019 pukul 11.08 WITA

99
sampai-sampai banyak orang yang bertanya mengapa banyak partai
politik yang mengusung saya58.”

Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini yaitu jaringan politik yang

meliputi organisasi-organisasi kepemudaan yang dijadikan tempat

beraktualisasi keluarga solthan dari generasi pertama sampai generasi

ketiga dalam membangun modal sosial yang merupakan bekal untuk maju

didalam kontestasi politik.

Dapat kita lihat bahwa banyaknya organisasi dengan penempatan

jabatan-jabatan penting dalam organisasi tersebut keluarga solthan dapat

memperkuat modal sosial yang berefek kepada modal politik yang secara

alamiah terbangun dengan sendirinya. Melalui ruang organisasi tersebut

keluarga solthan dapat membangun dengan baik jaringan politiknya.

Dapat dibenarkan pernyataan H. Solthan yang mengajarkan kepada

keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik kepada semua orang,

memanfaatkan ruang organisasi sebagai wadah komunikasi dengan orang

banyak.

Pernyataan-pernyataan diatas sesuai dengan konsep modal politik

yang dikemukakan oleh Nurhasyim dkk (2003) Modal politik yaitu berupa

dukungan dari partai politik ( koalisi partai) dan dukungan elit-elit politik

lokal dari organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan untuk

pemenangan pilkada. Dalam konteks politik lokal (daerah) banyak

terdapat elit-elit yang menduduki jabatan politik dan jabatan-jabatan

58
Wawancara dengan H. Ilham Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 2018-2023 pada 20
Oktober 2019 di Kediaman H. Azikin Solthan Jl Faisal 11

100
strategis yang mempunyai peran penting dan pengaruh terhadap

kelompok dan masyarakat di daerah tersebut. Selain dukungan partai

politik, kandidat juga memerlukan dukungan elit-elit politik lokal dan elit

politik tersebut memiliki peran yang menonjol dalam politik dan bidang lain

serta memiliki pengaruh yang besar dengan keunggulan-keunggulan yang

dimiliki calon kepala daerah.

Keluarga solthan yang menjadi Bupati Bantaeng mulai dari

generasi pertama sampai generasi ketiga mempunyai dukungan dari

partai politik dan elite-elite politik yang ada di Kabupaten Bantaeng.

Sebelumnya rembesan modal sosial yang di tanamkan sejak dahulu

berefek kepada modal ekonomi, sekrang berfek pula kepada modal politik.

Tingginya elektabilitas yang dimiliki H. Solthan dan H. Azikin Solthan

dalam memimpin Bantaeng cenderung cukup lama menjadikan modal

politiknya semakin kuat yang selanjutnya digunakan H. Ilham Azikin

sebagai generasi ketiga dalam satu garis keturunan keluarga solthan.

Kembali ditekankan bahwa keluarga solthan mengakui bahwa rembesan

modal politik ini merupakan efek dari modal sosial yang sebelumnya

sudah ada.

V.1.4 Modal Budaya (Simbolik)

Di Sulawesi Selatan, budaya kekeluargaan merupakan faktor

determinan dalam kontestasi politik baik dalam pemilihan kepala daerah

maupun Pemilihan legislatif. Fenomena keluarga politik baik di tingkat

provinsi maupun kabupaten atau kota begitu nyata dan meluas. Nama

101
besar keluarga menjadi modal kultural yang punya pengaruh besar yang

bisa dikonversi menjadi kekuasaan. Di beberapa daerah di Sulawesi

Selatan terlihat pemimpinnya mengikutsertakan anggota keluarga lainnya

dalam dunia politik, tidak hanya sebagai pemimpin daerah tetapi juga

sebagai anggota legislatif. Keadaan ini memperkuat potensi untuk

melanjutkan kekuasaan menjadi semakin terbuka lebar. Selain itu,

terdapat pula faktor keinginan dari masyarakat untuk kembali dipimpin

oleh keluarga politik atau kondisi statusquo dalam masyarakat yang

menginginkan daerahnya dijabat kembali oleh keluarga politik yang

mempunyai modal budaya.

Adanya keinginan masyarakat untuk memilih kembali elite-elite

politik dari keluarga yang sama dinilai oleh Rasyid sebagai akibat dari

karakteristik masyarakat Sulawesi Selatan menghargai hubungan

kekerabatan. Nilai semacam ini tidak saja mengikat pribadi orang per

orang dalam lingkungan sosialnya, tetapi juga dalam berbagai interaksi

politik. Dalam dimensi sosialnya, ikatan kekeluargaan itu dibentuk melalui

jaringan perkawinan yang di masa lalu. Para bangsawan dan orang kaya

pada masa lalu cenderung memiliki istri lebih dari satu. Selain itu, struktur

kekeluargaan yang dibina mencakup garis-garis ke atas dan ke samping

yang relatif panjang. Dalam dimensi politiknya, suasana kekeluargaan

yang terbentuk di masyarakat berakar kuat pada kenyataan bahwa

kerajaan-kerajaan tradisional yang pernah besar di Sulawesi Selatan

102
(Gowa, Bone dan Luwu) dibangun dan dipelihara oleh mereka yang

mempunyai hubungan darah satu sama lain.

Budaya kekerabatan dalam bentuk simbolik marga solthan itu juga

menjadi modal keluarga solthan pada pemilihan kepala daerah maupun

pemilihan legislatif dari setiap anggota keluarga yang mengikuti

pertarungan politik. Modal simbolik dalam budaya kekerabatan

masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi salah satu faktor penyebab

terbentuknya keluarga politik. Keikutsertaan anggota keluarga lainnya

dalam kancah politik untuk melanjutkan kekuasaan sebelumnya juga

didukung oleh sikap masyarakat yang memberikan lampu hijau. Tentu,

selain dari sikap masyarakat tersebut, kesempatan ini juga dimanfaatkan

sebaik mungkin oleh para anggota keluarga untuk terlibat di dalam dunia

politik. Kultur kekerabatan dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan

dimanfaatkan oleh keluarga politik termasuk keluarga solthan untuk

dikonversi menjadi modal simbolik betupa marga solthan.

Berawal dari modal sosial yang ditanam oleh generasi pertama

yaitu H. Solthan serta keberhasilannya memimpin Bantaeng 13 tahun

berhasil menanamkan modal simbolik berupaga marga solthan dalam

benak masyarakat Kabupaten Bantaeng. Solthan juga merupakan

keturunan bangsawan dari kakeknya karaeng massualle. Terkenal

dimasanya dan dilihat juga pada kepuasan masyarakat dengan apa yang

telah diberikan kepada masyarakat dimasa kepemimpinannya membuat

nama solthan semakin tertanam dalam hati dan pikiran masyarakat

103
Bantaeng. Berdasarkan pernyataan diatas dapat kita lihat efeknya pada

H. Azikin Solthan yang merupakan generasi kedua keluarga solthan yang

menjadi Bupati Bantaeng. Salah satu faktor determinan terpilihnya H.

Azikin Solthan menjadi Bupati di Bantaeng bahkan sampai 2 periode

adalah simbolik “Solthan” yang melekat pada dirinya. Hal tersebut sesuai

dengan pernyataan H. Azikin Solthan (Bupati Bantaeng periode 1998-

2008) yang menyatakan bahwa :

“…Pak Solthan mempunyai investasi politik yang sudah


sebelumnya pada masa pemerintahannya dahulu. Jadi secara tidak
langsung marga solthan itu sudah tertanam dibenak masyarakat di
bantaeng itu sendiri. Ditambah lagi bantaeng itu kecil kekeluargaannya
juga sangat erat hubungannya. Memang secara tidak langsung ada
hubungan dan ada efeknya yang mengenai saya dari kepemimpinan Pak
Solthan terdahulu. Fenomena itu saya juga tidak bisa pungkiri bahwa
salah satu faktor dicalonkannya saya pada saat itu dari solthan yang
melekat pada diri saya59.”
Berdasarkan pernyataan informan diatas terjadi pula kepada H.

Ilham Azikin Solthan yang merupakan generasi ketiga keluarga solthan

yang menjadi Bupati di Bantaeng. Rembesan dari modal sosial yang

berefek pada modal ekonomi, modal politik dan sekarang berfek bahkan

lebih besar yaitu modal simbolik marga solthan sebagai faktor kekuatan

yang digunakan H. Azikin Solthan dalam berkontestasi pada pemilihan

kepala daerah di Kabupaten Bantaeng lalu. Kedekatan dan terkenalnya

keluarga solthan di Bantaeng sebagai keluarga politik yang berprestasi

dengan tidak adanya kecacatan selama anggota keluarga solthan

menjabat atau memiliki kekuasaan membuat masyarakat tidak


59
Wawancara dengan H. Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI
Periode 2014-2019 Komisi I , 2019-2025 Komisi II pada 24 November 2019 di Kediamannya Jl
Faisal 11

104
menampilkan keraguan pada diri H. Ilham Azikin Solthan sebagai generasi

ketiga. Hal serupa diungkapkan Sultan Radja (Tokoh Masyarakat) yang

menyatakan bahwa :

“…masyarakat mengatakan bahwa, mengapa kita mau


memilih orang lain, sudah ada bukti nyata kontribusi yang baik untuk
masyarakat bantaeng dari keluarga solthan, dimulai dari pada saat pak
solthan menjabat selama 13 tahun, selanjutnya diperiode pertamanya pak
azikin menurut saya sudah bagus dan banyak meningkatkan kualitas
sumber daya manusia lewat program-programnya, pada saat periode
keduanya masyarakat sudah tidak susah lagi memilih yang lain, maka dari
itu kita percayakan selanjutnya kepada Ilham azikin 60.

Hal tersebut sesuai dengan konsep modal simbolik menurut Pierre

Bourdieu yang menyatakan bahwa Modal simbolik adalah jenis sumber

daya yang dioptimalkan dalam meraih kekuasaan simbolik. Kekuasaan

simbolik sering membutuhkan simbol-simbol kekuasaan seperti jabatan,

mobil mewah, kantor, prestise, gelar, satus tinggi, dan keluarga ternama.

Simbol itu sendiri memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas, yang

mampu menggiring orang untuk mempercayai, mengakui dan mengubah

pandangan mereka tentang realitas seseorang, sekelompok orang,

sebuah partai politik, atau sebuah bangsa.

Keberhasilan kepemimpinan H. Solthan dan H. Azikin Solthan

merupakan pelopor semakin terkenalnya simbolik marga solthan dalam

kancah perpolitikan di Kabupaten Bantaeng, termasuk dalam hati dan

pikiran masyarakat Kabupaten Bantaeng. Berawalkan modal sosial yang

ditanamkan sejak zaman pemerintahan H. Solthan sebagai Bupati


60
Wawancara dengan Sultan Radja, Tokoh Masyarakat dan Ketua Kelompok Petani Aandalan
pada 11 November 2019 di kediamannya jl sungai bialo

105
Bantaeng, dituai oleh H. Azikin dan H. Ilham Azikin maupun keluarga-

keluarga lainnya yang memanfaatkan simbol solthan dalam pertarungan

politiknya seperti H. Budi Santoso Solthan dan H. Takril Solthan yang

berhasil menjadi anggota legislatif di Kabupaten Bantaeng.

V.2 Personal Branding

Pembentukan personal branding yang dikemukakan oleh Montoya

perihal konsep pembentukan personal branding yaitu diantaranya ialah

Kepemimpinan (the law of leadership), kepribadian (the law of personality)

dan nama baik (the law goodwill).

The law of leadership atau kepemimpinan, menurut Montoya

adalah konsep personal branding melalui leadership ini ialah mampu

menonjolkan aspek kepemimpinannya, hal ini pula yang dilakukan di

masa pemerintahan H. Solthan dan H. Azikin Solthan pada saat

memimpin Bantaeng, kepemimpinannya terlihat berfokus kepada

kesejahteraan rakyat. Objek dari kerja dalam kepemimpinannya

mengutamakan kepentingan rakyatnya. Dapat dilihat dari beberapa

program kerjanya yang berbasis kesejahteraan masyarakat seperti H.

Solthan yang memajukan perekonomian dari sektor pertanian, dan

mengatasi gaji pegawai jika telat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan

H. Azikin Solthan (Bupati Bantaeng Periode 1998-2008) yang menyatakan

bahwa :

“…Itu waktu belum ada DAU, belum ada DAK itu waktu uang
dia cari dari IPEDA (Iuran pembangunan daerah) pengganti PBB, retribusi

106
jalan, dan saya masih rasakan pada saat itu, APBD belum ada. Kalau
keadaan mendesak itu emas-emas milik ibu saya itu dimasukkan ke
pegadaian, untuk menutupi gaji pegawai. Karena itu pegawai diambil dari
Pajak Rehabilitas Jalan, mobil yang membawa mobil hasil bumi, kalau itu
tidak cukup setengah mati pegawai61.”

Melanjutkan apa yang menjadi keunggulan pada kepemimpinan

ayahnya H. Azikin Solthan juga dalam kepemimpinnya fokus utamanya

adalah kesejahteraan rakyat dengan caranya memberikan beasiswa

kepada masyarakatnya yang berprestasi untuk melanjutkan

pendidikannya ke perguruan tinggi serta menyekelohkan beberapa petani

kentang untuk belajar mengembangkan dari sektor pertanian. Hal tersebut

sesuai dengn pernyataan H. Azikin Solthan (Bupati Bantaeng periode

1998-2008) yang menyatakan bahwa :

“…Kalau ada siswa mendapat nilai ujian nasional bagus


saya suruh lanjut sekolah kebidanan khusus cewek, dulu juga itu saya
kirim petani kentang untuk sekolah, karena Bantaeng itu salah satu
penghasil kentang terbesar62.”

Hal tersebut sebagai gambaran kepemimpinan H. Solthan dan H.

Azikin Sotlhan yang mengedepankan program kerja berbasis

menyejahterkan masyarakat. Hal tersebut tercermin kepada H. Ilham

Azikin yang siap melanjutkan kepemimpinan juga berbasis kesejahteraan

masyarakat Kabupaten Bantaeng.


61
Wawancara dengan H. Azikin Solthan, Bupati Bantaeng periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI
Periode 2014-2019 Komisi I , 2019-2025 Komisi II pada 24 November 2019 di Kediamannya Jl
Faisal 11
62
Ibid

107
The Law of Personality atau kepribadian juga merupakan aspek

pembentuk personal branding, dengan menjadikan kepribadian sebagai

salah satu modal maka akan menarik simpati dan empati masyarakat

untuk memilih kita sehingga elektabilitas politik pun akan terbangun, latar

belakang H. Solthan , H. Azikin Solthan dan H. Ilham Azikin Solthan yang

pernah menduduki berbagai jabatan di pemerintahan Kabupaten

Bantaeng juga di Kabupaten lain seperti gowa dan maros menjadikan H.

Azikin Solthan dan H. Ilham Azikin Solthan memiliki personality yang

cukup dikenal di Masyarakat. Dahsyatnya walaupun berpengalaman di

pemerintahan Kabupaten lain seperti H. Ilham Azikin menduduki beberapa

jabatan di Kabupaten Maros, namun nama dan karyanya terdegar di

Kabupaten Bantaeng. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H. Azikin

Solthan (Bupati Bantaeng periode 1998-2008) yang menyatakan bahwa :

“…meskipun ilham jarang di bantaeng tapi


masyarakat itu biarpun fisiknya tidak ada disana, tapi hatimu selalu ada
didalam masyarakat itu, itulah art nya seorang pemerintah. Mungkin kita
Cuma ketemu dua kali satu tahun tapi ada kesan 63.

Berdasarkan wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa

seorang azikin solthan dapat mewakili personality ilham azikin untuk

meyakinkan masyarakat Bantaeng mempercayakan roda kepemimpinan

dalam pusaran keluarga solthan kembali. Tak jauh kembali rembesan

modal sosial menghiasi personality seorang ilham azikin pada masa

63
Ibid

108
dimana ia akan maju menjadi Bupati Bantaeng. Dalam masa pencalonan

kedekatan emosional dengan masyarakat terbangun, sehingga H. ilham

Azikin dapat memposisikan dirinya sebagai calon pemimpin yang memiliki

kepribadian yang humble dan dekat dengan pemuda-pemuda di

Kabupaten Bantaeng. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan H.Mas’Ud

Sikki (Tokoh Masyarakat) yang menyatakan bahwan :

“…ibarat azikin dengan ilham itu satu kesatuan, azikin bisa


jadi ilham, maupun ilham bisa menjadi azikin, apa yang dilakukan ilham
azikin hampir mirip dengan apa yang dilakukan ilham sekarang, sebagai
sosok pribadi yang bermasyarakat dari keturunan keluarga solthan.
memang belum ada program kerja yang bisa dilihat dari 1 tahun
kepemimpinan ilham di Bantaeng, tapi saya sayakin ilham bisa lebih dari
kakek dan ayahnya dalam memimpin Bantaeng 64.”

Kepemimpinan dan Kepribadian menurut Montoya konsep personal

branding seseorang selain itu the law of goodwill atau nama baik dalam

artian bahwa seorang pemimpin harus memiliki citra nama yang baik

dalam masyarakat. Terutama ketika akan mengikuti pertarungan politik

dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif. Nama baik

menjadi salah satu pilar penting dalam membangun personal branding

seorang kandidat yang secara tidak langsung hal ini mengkonstruksikan

dan melegitimasi bahwa orang tersebut memiliki kredibilitas dan

kapabilitas dalam memimpin. Keluarga solthan adalah keluarga politik

besar di Bantaeng. Citra nama baik keluarga solthan dengan keberhasilan

64
Wawancara dengan h. Mas’Ud Sikki, Tokoh Masyarakat Bantaeng pada 10 November 2019 di
kediamannya di lembang

109
H. Solthan dan H. Azikin dalam memimpin Bantaeng tanpa adanya kasus-

kasus yang merusak nama baik keluarganya menjadi bukti nyata bahwa

pemimpin dari keluara solthan merupakan sosok yang bersih dari hal-hal

negatif, sehingga citra nama baik keluarga solthan tetap terjaga. Dan juga

masyarakat sendiri yang menginginkan dipimpin kembali oleh Keluarga

Solthan.

Dari ketiga konsep personal branding yang terdapat dalam

Keluarga Solthan awalnya dimulai dari H. Solthan yang memiliki

Kepemimpinan (the law of leadership), kepribadian (the law of personality)

dan nama baik (the law goodwill) sehingga melakukan pola pengasuhan

kepada generasi Keluarga Solthan. H. Solthan mewariskan kepada H.

Azikin Solthan, kemudian H. Azikin Solthan mewariskan pula kepada H.

Ilham Azikin Solthan, sehingga generasi pertama sampai generasi ketiga

dapat saling mewakili satu sama lain.

Dari modal simbolik yang merupakan pemanfaatan marga solthan

yang sudah terbentuk melalui kepemilikan modal sosial yang juga berfek

pada modal-modal lainnya, merupakan salah satu branding yang

digunakan keluarga solthan, dapat dikatakan bahwa sekali solthan akan

tetap dikenal sebagai solthan. Pemanfaatan brand Solthan oleh H. Azikin

Solthan dan H. Ilham Azikin Solthan maupun sanak keluarga lainnya

dapat dikatakan berhasil dibuktikan banyaknya jabatan politik yang

didapatkan atau di menangkan setiap kontestasi politik yang diikuti oleh

110
anggota keluarga solthan. Modal simbolik keluarga solthan berhasil

membranding tiap individu keluarga solthan dan berefek kepada

eksistensinya dalam kancah politik di Kabupaten Bantaeng.

BAB VI

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada bab

ini penulis akan menguraikan kesimpulan dan saran yang relevan dengan

masalah penelitian. Pertama, kesimpulan yang berisi uraian singkat dari

111
hasil penelitian mengenai Eksistensi Keluarga Solthan Dalam Kancah

Politik di Kabupaten Bantaeng. Kedua, saran-saran yang berisi masukan

yang sifatnya membangun.

VI.1 Kesimpulan

1. Modalitas

Keluarga Solthan terkenal sebagai keluarga yang banyak memiliki

jabatan penting dalam tatanan politik di Kabupaten Bantaeng. H. Solthan

yang merupakan generasi pertama menjadi Bupati di Kabupaten

Bantaeng selama 13 tahun lamanya mulai dari tahun 1966-1978. Sosok

H. Solthan yang memiliki keturunan bangsawan tidak sama sekali

Nampak dikarenakan kedekatannya dengan masyarakat. Hadir dengan

sosok berjiwa pejuang, sosial, cerdas dan pekerja keras menjadikan H.

Solthan berhasil memimpin Bantaeng. Menjadi seorang organisatoris,

memanfaatkan kedekatannya dengan masyarakat dengan program kerja

selama menjadi Bupati yang berbasis kesejahteraan masyarakat adalah

senjata ampuh yang ditanamkan H. Solthan kepada masyarakat di

Kabupaten Bantaeng. Bermodalkan kedekatan dengan masyarakat,

beraktualisasi dalam ruang organisasi berhasil menimbulkan efek positif

dalam modal sosialnya. Modal sosial yang selama ini di tanamkan kepada

masyarakat Kabupaten Bantaeng sebelum menjadi Bupati Bantaeng

hingga mengantarkan dirinya menjadi Bupati Bantaeng. Rembesan modal

112
sosial mengenai putranya H. Azikin Solthan dalam mencalonkan diri

sebagai Bupati Bantaeng.

Sejak lama H. Azikin Solthan diajarkan untuk terus beraktualisasi

dalam ruang formal maupun informal sebagai bentuk pembentukan

jaringan modal sosial. Berlatar belakang pendidikan pemerintahan

menjadi bekal H. Azikin Solthan dalam memimpin Bantaeng, dengan

program kerja berbasis kesejahteraan masyarakat yang tak jauh dari apa

yang ayahnya lakukan terdahulu semakin memperkuat posisi H. Azikin

Solthan sebagai Bupati Bantaeng 2 periode dari tahun 1998-2008. Dari

modal sosial yang sudah terbentuk dimulai dari ayahnya kemudian

merembes membentuk sebuah Branding marga Solthan yang sudah

tertanam dalam masyarakat merupakan salah satu faktor keberhasilan H.

Azikin Solthan dalam meraih posisi politik sebagai Bupati Bantaeng,

diakuinya bahwa modal ekonomi juga digunakan dalam kontestasi

politiknya. Akan tetapi modal sosial yang paling banyak digunakan dalam

kontestasinya sehingga berfek kepada modal-modal lainnya seperti modal

simbolik. Modal simbolik diakui adalah modal yang paling berperan

penting, sebuah marga solthan tercipta karena modal sosial yang sudah

masyarakat kenal sehingga membuat masyarakat semakin mengenali

keluarga solthan. Meski modal ekonomi turut berpartisipasi dalam

kemenangan H. Azikin Solthan tetapi diakuinya tidak terlalu banyak

menggunakan modal ekonomi tersebut. Keberhasilan H. Azikin Solthan

dalam memimpin Bantaeng selama 2 periode dengan program kerja

113
mengutamakan kesejahteraan rakyat semakin membuat marga solthan

dikenal oleh banyak orang, terutama oleh masyarakat Bantaeng itu

sendiri. Hal tersebut terbukti terpilihnya H. Ilham Azikin Solthan sebagai

generasi ketiga dalam garis keturunan H. Solthan menduduki jabatan

politik tertinggi dalam skala daerah yaitu menjadi Bupati Bantaeng.

H. Ilham Azikin pun mengakui bahwa kemenangannya berasal dari

apa yang telah ditanam oleh H. Solthan dan H. Azikin Solthan terdahulu.

Modal-modal sosial yang dimilikinya sehingga nama keluarga solthan

dipandang baik oleh masyarakat, prestasi dan keberhasilannya dalam

memajukan Bantaeng menjadi senjata kuat H. Ilham Azikin merebut

kembali tahta sebagai generasi ketiga menjadi Bupati dalam barisan

keluarga solthan.

Rembesan modal sosial, menjaga hubungan baik dengan

masyarakat, beraktualisasi dalam ruang-ruang organisasi yang

merupakan ajaran kakek dan ayahnya juga diakui H. Ilham Azikin sebagai

magnet kuat dalam mendukung karir politiknya. Terbukti dalam

pencalonannya H. Ilham Azikin Solthan diusung oleh 10 Partai Politik

besar Partai Golongan Karya, Partai Nasional Demokrat, Partai Gerindra,

Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai PKPI,

Partai PKB, Partai PDIP, Partai Perindo. Pada saat itu diakui bahwa

pimpinan partai politik merupakan teman yang bersama dirinya

beraktualisasi dalam ruang organisasi. Semakin kuatnya dan terkenalnya

114
marga solthan sebagai modal simbolik yang digunakan dalam kontestasi

politiknya menjadi faktor penunjang keberhasilannya dalam pilkada

Bantaeng. Tidak dipungkiri modal ekonomi juga tidak lepas dari

keberhasilannya dalam pilkada tersebut, akan tetapi sama dengan

ayahnya, modal ekonomi tidak terlalu banyak digunakan dalam

menunjang keberhasilannya dalam pilkada. Dari modal simbolik tersebut

beberapa keturunan dari keluarga solthan juga memanfaatkannya seperti

H. Takril Solthan yang merupakan saudara H.Azikin Solthan dan H. Budi

Santoso yang merupakan anak dari H. Ibrahim Solthan yang, keduanya

berhasil meraih jabatan sebagai anggota DPRD Kabupaten Bantaeng.

2. Personal Branding

Modal simbolik berupa marga solthan, menjadi salah satu kekuatan

politik dalam meraih tahta kepemimpinan menjadi Bupati di Kabupaten

Bantaeng. Dari modalitas yang ditanam, tumbuh dan dimiliki H. Solthan

dan diturunkan ke H. Azikin Solthan lalu kembali di turunkan ke generasi

ketiganya H. Ilham Azikin berhasil membranding setiap individu dalam

keluarga solthan. Terutamanya kepada H. Azikin Solthan dan H. Ilham

Azikin Solthan ketika bertarung dalam pilkada di Kabupaten Bantaeng.

Dari modalitas yang dimiliki, Keluarga Solthan dapat dikatakan

sebagai salah satu keluarga politik yang ada di Sulawesi Selatan.

Banyaknya jabatan dalam politik yang dimiliki keluarga solthan Secara

tidak sengaja, dan tanpa disadari terbangun politik dinasti dalam jajaran

115
keluarga solthan yang bersifat positif dan dapat diterima dengan baik oleh

masyarkat di Kabupaten Bantaeng. Politik dinasti tidak selamanya bercitra

buruk, politik dinasti dalam keluarga solthan hadir sebagai politik dinasti

yang bersifat positif dalam kehidupan perpolitik di Indonesia.

VI.2 Saran

Setelah melakukan penelitian selama beberapa bulan, penulis

memberikan saran terkait “Eksistensi Keluarga Solthan Dalam Kancah

Politik di Kabupaten Bantaeng” yaitu :

1. Setiap anggota keluarga solthan yang tertarik terjun ke dalam dunia

politik dan pemerintahan seyognya mempersiapkan dirinya atau

memantaskan dirinya mulai dari pendidikan, agar dapat membuktikan

kepada masyarakat bahwa setiap kader anggota keluarga solthan

pantas menjadi seorang pemimpin dan eksistensi keluarga dalam

kancah politik dapat terus terjaga.

2. H. Ilham Azikin sebagai generasi ketiga menjadi Bupati di Bantaeng

dalam garis keturunan keluarga solthan diharapkan dapat memajukan

Bantaeng lebih baik lagi dengan latar belakang pendidikan mumpuni

yang dimiliki diharapkan dapat melebihi pemerintahan Nurdin Abdullah

yang sudah ada.

3. Modalitas yang dimiliki keluarga solthan terutamanya modal sosial dan

modal simbolik agar tetap dijaga dengan baik, kedua hal tersebut

116
dapat digunakan sebagai strong point dalam mempertahankan

kekuasaan dalam barisan keluarga solthan.

4. Sebagai keluarga politik yang sudah terkenal di Bantaeng diharapkan

tetap menjaga nama baik marga solthan yang sudah ada, tetap dekat

dengan rakyat, menjadi pribadi yang amanah, bertanggungjawab serta

mengedepankan kepentingan rakyat yang dipimpin

5. Untuk generasi dalam satu garis keturunan ketika akan mengikuti

kontestasi politik agar lebih menonjolkan kepribadian dan lebih bisa

membuktikan bahwa layak untuk menjadi seorang pemimpin meskipun

akan lebih banyak menggunakan pendekatan dengan modal simbolik

berupa marga solthan yang melekat disetiap individu keluarga solthan.

117
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Asako, Yasushi. et.al. 2012. Dynastic Politicians: Theory and Evidence


from Japan, Waseda University Organization for Japan-US Studies.
Working Paper No. 201201.

Amriani, Andi. “visualisasi pembangunan kabupaten Bantaeng”. Makassar


: CV. Cahaya Multimedia Entertainment, 2016

Anas, Anang Azhar. 2016 Pencitraan Politik Elektoral,(Yogytakarta : Atap


Buku)
Bourdieu, Pierre (1992) An Invitation to Reflexive Sociology.
http://dlx.bok.org/genesis/493000/bfeab8dcc8fbd34146b104bb6990
490a/_as/[Pierre_Bourdieu,_Loic_Wacquant ]_An_Invitation_to_(b-
ok.org).pdf

Bungin, Burhan.2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta:Prenada

Media Group.

Casey, Kimberly. 2006, (Defining Political Capital; a Reconsideration of


Bourdieuâs Interconvertibility Theory) seperti dikutip Sudirman
Nasir

(2009).

Casey, Kimberly Lynn. 2009. “Family Matters: The Prevalence and Effects
of Political Families in National Politics.” Ph.D diss. University of

Missouri.

118
Damsar. 2009.Pengantar Sosiologi Politik.Jakarta:Kencana

Danim, Sudarwan 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif:Rancangan Metodologi,

Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian Untuk Mahasiswa dan


Peneliti Pemuda Bidang Ilmu Sosial, Pendidikan dan Humaniora.
Bandung:Pustaka Setia.

Dal Bo, E., Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder. 2006. “Political Dynasties”,
Diunduh dari SSRN: http://ssrn.com/abstract=909251

Djati, Wasisto Raharjo. 2013.”Revavilisme kekuatan familisme dama

demokrasi : Dinasti politik diaras lokal”. Jurnal Sosiologi


Masyarakat , Vol 18, No.2, Juli 2013

Gaffar,Affan.2005.Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,

(Yogyakarta:Pustaka Pelajar.)

Garzon, Adela. 2002. “Familism.” hal. 1-4, dalam International


Encyclopedia
of Marriage and Family, diedit oleh En J. Ponzetti. new York:
MacMillan

Halliweel, John F.“Social Capital and Prosocial Behaviour Sources


of Well-Being”, http://www.nber.org/papers/w237 61.pdf
Haroen, Dewi.2014.Personal Branding. Kunci kesuksesan berkiprah
didunia politik : Jakarta

Haryatmoko.2003. “Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre

Bourdieu. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”, Jurnal/


Majalah BASIS, No. 11-12

Hick dan J. Misra.1993. Dikutip dalam Skripsi Gita Pratiwi Effendi.2018.


Modal Sosial, Ekonomi, Dan Politik Terpilihnya Chusnunia Chalim
Sebagai Bupati Perempuan Di Lampung Timur Tahun 2015
Kartono, Kartini.2013.”Pemimpin Dan Kepemimpinan”,Jakarta : Rajawali

Pers.

119
Lasswell, Harold.1970.Psycopathology and Politics.University of Chicago
Press

Martha, Wisnu Adiputra.2006 Jurnal Polysemia : Budaya Populer dan


Demokrasi, (Jakarta:Pusat kajian media dan budaya popular
(PKMBO).
Mattulada. 1997“Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan,
Dan Lingkungan Hidup”. Makassar : Hasanuddin University Press.

Nasir, Sudirman dalam Stella Maria. Studi tentang Modalitas dalam


Kemenangan Pasangan Hanny Sondakh dan Maximiliaan Lomban
pada Pemilukada di Kota Bitung Sulawesi Utara tahun 2010.

Pasan, Etha. 2013. Politik Dinasti Dalam Pemilihan Presiden di Filiphina di


Tahun 2001-2011: Hubungan Internasional FISIPOL UGM.

Prasetyo Bambang dkk.2005.Metode Penelitian Kuantitatif:Teori dan


Aplikasi : Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Park, Tong-Hee. 2009. “The Influence of Familism and Interpersonal


Trusts
of Korean Public Officials”. International Review of Public
Administration 9(1)

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern,


Jakarta; Prenada Media Group

Sayudi. 2014.Bentuk dan Karakter Politik Dinasti di Indonesia,


(Yogyakarta:

Jurnal Hukum)

Surbakti, Ramlan.2010.Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo)

Wasase, Silih Agung.2011.Political Branding and Public Relation.PT


Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Yusuf A Muri. Januari 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif

dan Gabungan. PT Interpratama Mandiri

Zainal Abidin.2006.Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat,

120
(Bandung: Remaja Rosdakarya)

Internet

Ambae exe. Kompasiana di terbitkan pada tanggal 28 Agustus 2019


dalam
https://www.kompasiana.com/ambae.exe/5d664fa3097f362d6d5d0
172/kenali-identitas-25-anggota-dprd-bantaeng-periode-2019-
2024?page=all diakses pada tanggal 28 November 2019 pukul
01.31 WITA

Badan Pusat Statistik dalam


http://data.bantaengkab.go.id/dataset/data-proporsi-penduduk-
kecamatan-menurut-jenis-kelamin-tahun-2017 diakses pada
tanggal 27 November 2019 Pukul 22.36 WITA

BPK RI diterbitkan pada tahun 2017 dalam


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/110154/perda-kab-
bantaeng-no-4-tahun-2017 diakses pada tanggal 28 November
2019 Pukul 01.04 WITA

Ekawati, Esti 2015. Pusat Penelitian Politik dalam


http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1050-
dilema-politik-dinasti-di-indonesia diakses pada tanggal 15 Maret
2019 Pukul 22.00 WITA

Irmawati Azis diterbiatkan pada tanggal 15 September 2019 dalam


http://news.rakyatku.com/read/119299/2018/09/15/ini-visi-dan-misi-
ilham-azikin-sahabuddin-untuk-bantaeng-lima-tahun-ke-depan
diakses pada tanggal 28 November 2019 pukul 01.22 WITA
Iqbal, M. 2018. Dalam :

https://news.detik.com/berita/d-4121115/10-nama-di-dinasti-ratu-
atut-anak-adik-hingga-mantu, diakses pada tanggal 15 Maret 2019
Pukul 14.36 WITA

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi Keempat, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama., 2008), h. 357

Portal Resmi Pemerintah Kabuptaen Bantaeng : Badan Pusat Statistik

121
Kabupaten Bantaeng diakses pada tanggal 28 November 2019
pukul
01.46 WITA

Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Bantaeng :

Dinas Kominfo dan Persandian, Pemerintah Kabupaten Bantaeng


diakses pada tanggal 28 November 2019 pukul 01.55 WITA

Portal Resmi Pemerintah Kabupaten Bantaeng :

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bantaeng


Tahun 2017 diakses pada tanggal 28 November 2019 02.00 WITA

Putra, Adam dalam


https://www.academia.edu/27824470/SALINAN_PUTUSAN_Nomor
_33_PUU XIII_2015, diakses pada tanggal 15 Maret 2019 Pukul
21.37 WITA
Sudirman Nasir, SBY antara modal politik dan modal simbolik, dalam
http://pemilu.liputan6.com/kolom. Diakses pada tanggal 16 Maret

2019 Pukul 13.20

LAMPIRAN
Dokumentasi Wawancara Bersama Informan Penelitian

122
Gambar 02. Wawancara Bersama H. Azikin Solthan (Bupati Bantaeng
Periode 1998-2008 dan Anggota DPR RI Periode 2014-2019, 2019-2024)

123
124
Gambar 03. Wawancara Bersama H. Ilham Azikin Solthan (Bupati
Bantaeng Periode 2018-2023)

125
Gambar 04. Wawancara Bersama H. Ibnu Mas’Ud Sikki (Tokoh
Masyarakat Kab. Bantaeng, Anggota DPRD Kab. Bantaeng periode 1987-
1998)

126
Gambar 05. Wawancara Bersama Sultan Radja (Tokoh Masyarakat Kab.
Bantaeng, Ketua Kelompok Tani Andalan, Anggota DPRD Kab. Bantaeng
periode 1999-2004, 2004-2009)

127

Anda mungkin juga menyukai