Anda di halaman 1dari 107

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BIROKRASI


( Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, Medan)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

NAMA : LENNY I.F.W. SIMATUPANG

NIM : 050901009

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT

UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
2

ABSTRAKSI

Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan, dan


telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan kontra terhadap pemimpin
perempuan dalam sebuah negara, kendatipun pengakuan atas hak dasar kemanusiaan
tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini
juga berlaku atas hak perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki. Stigma
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga seringkali
dijadikan alat untuk membenarkan tindakan tidak adil terhadap kaum perempuan. Budaya
Patriarkhi mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di
masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam
ruang domestiknya. Kepemimpinan menjadi bagian yang identik dengan budaya laki-
laki, sehingga perempuan memimpin menjadi hal yang tabu. Budaya patriarkhi di
kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan; bahkan dalam
lingkungan terkecil seperti keluarga.
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka dalam
penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan
bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintahan.
Penelitian ini dilakukan terhadap 36 responden perempuan yang bekerja pada kantor
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara
menyebarkan kuesioner kepada responden dan dokumenter.
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin perempuan memiliki kemampuan
manajerial maupun kemampuan lainnya secara kualitatif setara dengan kaum laki-laki
dan hal tersebut dinyatakan oleh seluruh responden yakni 36 orang (100 %), sehingga
tidak ada alasan masyarakat untuk menolak perempuan menjadi pemimpin atau mitra
kerja sejajar kaum laki-laki. Meskipun 63,89 % responden menyatakan bahwa mereka
kadang-kadang kehilangan waktu bersama keluarga, itu tidak mengurangi kapabilitas
mereka sebagai seorang pemimpin. Mereka merasa keluarga dan karier bisa berjalan
beriringan ( 100 % ). Hasil dari penelitian ini adalah perempuan sebagai pemimpin
memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dengan laki-laki (72,2 %) Mereka memiliki
gaya kepemimpinannya tersendiri. Mereka memiliki kepemimpinan Androgini yaitu
kepemimpinan yang memiliki sisi feminimitas dan maskulinitas, sebagai seorang
pemimpin perempuan, mereka menunjukkan jati dirinya dan tidak perlu meniru dan
berprilaku sebagai laki-laki namun juga tidak perlu menghindari sifat kelembutan pada
saat menjadi pemimpin . Penelitian ini kian menguatkan betapa pandangan konservatif
dan tradisional yang senantiasa menempatkan kaum perempuan sebagai orang kedua,
dalam penelitian ini dibuktikan melalui kenyataan bahwa perempuan menjadi seorang
pemimpin masih merupakan hal yang sulit (63,88 %) cenderung terus memudar.
Perempuan tidak lagi dominan dalam memainkan peran domestiknya, berdandan,
memasak, beranak yang merupakan stereotype yang menempel pada citra diri perempuan
( 77,77 % tidak setuju ). Kaum perempuan tak lagi tinggal diam meski menjadi seorang
istri atau telah memiliki anak. Mereka tetap bisa meniti karier, bahkan memainkan peran
penting di sektor publik.
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat,

rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi ( Studi Deskriptif pada Kantor

Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, Medan ) guna memenuhi syarat untuk

memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis baynak menghadapi hambatan, hal ini

disebabkan oleh keterbatasan wawasan peneliti dan kurangnya pengalaman. Akan tetapi,

berkat-Nya semua hambatan tersebut dapat dilalui, sehingga penulisan skripsi ini selesai.

Hal ini tidak luput dari banyak pihak yang selalu memberikan motivasi dan dorongan

doa. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut

serta membantu dalam penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
4

4. Ibu Harmona Daulay, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing dan memberi masukan

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Dosen Wali yang telah

membimbing penulis dari semenjak semester pertama sampai akhir dalam

mengoreksi penulis setiap pergantian semester.

6. Teristimewa buat kedua orang tua penulis, M. Simatupang dan M.Sitompul

yang selalu mendidik dan mendukung penulis dengan kasih saying semenjak

kecil, dan selalu memberikan doa-doa yang tiada bandingannya dengan

apapun, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Buat saudaraku tercinta, Ermayulis, Fandry dan Erickson. Terima kasih atas

dukungan dan semangatnya selama ini.

8. Buat Teman-teman kos, K Carol, KMery, K;Udur, KRiris, Meysiska.

Terima kasih untuk dukungan kalian.

9. Buat sahabatku, teman seperjuangan, Veronika, Prima Dafrina dan

Norirapenta. Terima kasih buat dukungan, semangat dan waktu nya selama

ini. Benturan karakter yang selama ini kita rasakan membuatku merasa paham

akan kehidupan ini.

10. Buat teman-teman stambuk 05 yang selalu kompak.Terima kasih atas

dukungan dan semua kenangan yang telah ada.

11. Buat senior 03, 04, terima kasih telah mengajarkan dunia kampus, serta

junior 06, 07, 08, terima kasih atas segala dukungannya.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
5

12. Buat responden, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk menjawab

kuesioner yang diberikan penulis.

13. Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saya

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Semoga ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis

Lenny Simatupang

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
6

DAFTAR ISI

Abstraksi ........ i
Kata Pengantar ........... ii
Daftar Isi v
Daftar Tabel ... vii

BAB I PENDAHULUAN .. 1
I.1. Latar Belakang . 1
I.2. Perumusan Masalah . 7
I.3. Tujuan Penelitian . 7
I.4. Manfaat Penelitian .. 8
I.5. Kerangka Teori 9
I.6. Definisi Konsep ... 19
I.7. Operasionalisasi Variabel 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 22


2.1. Analisis Gender 22
2.2. Birokrasi .. 27

BAB III METODE PENELITIAN . 30


3.1. Jenis Penelitian 30
3.2. Lokasi Penelitian . 30
3.3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel .. 30
3.4. Teknik Pengumpulan Data . 31
3.5. Analisa Data 32
3.6. Jadwal Kegiatan .. 33

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
7

BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN . 34


4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian . 34
4.1.1. Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara . 34
4.1.2. Lambang Propinsi . 36
4.1.3. Struktur Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara .. 37
4.1.4. Visi dan Misi . 40
4.1.5. Program Prioritas . 42
4.2. Penyajian Data .. 49
4.2.1. Identifikasi Responden . 49
4.2.2. Pola Kepemimpinan . 56
4.2.3. Perempuan dan Kepemimpinan 68
4.2.4. Issue Gender dalam Kepemimpinan Perempuan .. 74
4.3. Analisa Data Penelitian 84

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ........ 93

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
8

DAFTAR TABEL

Tabel I.1. Posisi dan Kondisi Perempuan di provinsi


Sumatera Utara ............... 6
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia .. 49
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan 49
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa 50
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan 51
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anak 52
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Suami .. 54
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Sosok
yang Paling Mendukung 54
Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Sosok Panutan . 55
Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian
Arahan kepada Bawahan 56
Tabel 4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Pengikutsertaan Bawahan
dalam Proses Pengambilan keputusan 57
Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Anggapan bahwa
Kesalahan Bawahan Merupakan Kesalahan Pemimpin . 57
Tabel 4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Pengakuan
Ketidaksempurnaan kepada Bawahan 58
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Kesediaan Responden
Masukan Berupa Saran dan Kritik 59
Tabel 4.14. Distribusi Responden Berdasarkan Pengakuan
Bawahan di depan Umum .. 59
Tabel 4.15. Distribusi Responden Berdasarkan Pembangunan Hubungan
Hubungan Profesional dengan Bawahan 60
Tabel 4.16. Distribusi Responden Berdasarkan Perlakuan Bawahan

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
9

Sejajar dalam Organisasi 61

Tabel 4.17. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk


Perlakuan Sejajar 61
Tabel 4.18. Distribusi Responden Berdasarkan Favoritisme pada Staff
yang Berprestasi . 62
Tabel 4.19. Distribusi Responden Berdasarkan Pemastian Bawahan Mendapatkan
Pemahaman yang Jelas Mengenai Pembagian Visi Departemen .. 63
Tabel 4.20. Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Perkembangan
Pribadi dan Profesional ... 63
Tabel 4.21. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Peningkatan
Perkembangan Pribadi dan Profesional .. 64
Tabel 4.22. Distribusi Responden Berdasarkan Pemberian
Reward dan Punishment kepada bawahan .. 64
Tabel 4.23. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Reward .. 65
Tabel 4.24. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Punishment 65
Tabel 4.25. Distribusi Responden Berdasarkan Toleransi terhadap
Ketidakdisiplinan Waktu 66
Tabel 4.26. Distribusi Responden Berdasarkan Kesedian Menerima
Keluhan-Keluhan Bawahan 66
Tabel 4.27. Distribusi Responden Berdasarkan Perbedaan Kinerja
Bawahan Laki-laki dan Perempuan 68
Tabel 4.28. Distribusi Responden Berdasarkan Kehilangan Waktu
Bersama Keluarga .. 69
Tabel 4.29. Distribusi Responden Berdasarkan Anggapan bahwa Karier
dan Keluarga bisa Berjalan Beriringan 70
Tabel 4.30. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Suami 71
Tabel 4.31. Distribusi Responden Berdasarkan Hambatan yang Dihadapi
pemimpin Perempuan dalam Dunia Kerja . 72

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
10

Tabel 4.32. Distribusi Responden Berdasarkan Pernyataan Perempuan


bisa Memimpin Layaknya Laki-laki .. 73

Tabel 4.33. Distribusi Responden Berdasarkan Pernyataan bahwa


Suara Responden Tidak Didengarkan Ketika Bersama Pemimpin
Laki-laki . 74
Tabel 4.34. Distribusi Responden Berdasarkan Kenyamanan
Memberikan Pendapat Bersama Pemimpin Laki-laki 75
Tabel 4.35. Distribusi Responden Berdasarkan Pernyataan Bahwa
pemimpin Perempuan Masih Hal yang Sulit dalam Masyarakat 76
Tabel 4.36. Distribusi Responden Berdasarkan Alasan Pemimpin Perempuan
Masih Merupakan Hal yang Sulit dalam Masyarakat 76
Tabel 4.37. Distribusi Responden Berdasarkan Stereotipe Perempuan Tidak Bisa
Memimpin Karena Emosional, Cerewet, Tidak Tegas dan Tidak Fokus
karena punya Kewajiban di Rumah 77
Tabel 4.38. Distribusi Responden Berdasarkan Keterwakilan
Perempuan dalam Ranah Publik . 78
Tabel 4.39. Distribusi Responden Berdasarkan Perkembangan dan Kemajuan
Perempuan dalam Ranah Publik . 78
Tabel 4.40. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk
Kemajuan Perempuan . 79
Tabel 4.41. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk
Ketidakmajuan Perempuan . 80
Tabel 4.42. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan yang Dilakukan
Oleh perempuan Agar Sejajar dengan Laki-laki 81
Tabel 4.43. Distribusi Responden Berdasarkan Kepemimpinan
Perempuan Berbeda dengan Laki-laki 82
Tabel 4.44. Distribusi Responden Berdasarkan Bentuk Perbedaan
Gaya Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan . 83

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
11

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan mencakup aspek kemampuan menggerakkan, mengerahkan dan

mempengaruhi orang-orang yang berada dalam lingkup kepemimpinan untuk

melaksanakan pekerjaan-pekerjaan demi tercapainya tujuan bersama. Berkaitan dengan

kepemimpinan, tidak mungkin terlepas dari individu yang berperan sebagai pemimpin.

Banyak pandangan yang menghubungkan antara kemampuan individu dengan

aspek biologis yang melekat pada diri sang pemimpin yaitu berdasarkan perbedaan jenis

kelamin antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, timbul istilah ketimpangan gender

yang menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak menguntungkan. Padahal

perempuan adalah sumber daya manusia yang jumlahnya besar, bahkan diseluruh dunia

jumlahnya melebihi laki-laki. Di Indonesia sendiri, jumlah perempuan adalah

101.625.819 jiwa atau 51% dari seluruh populasi ( BPS tahun 2000 ).

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
12

Dalam hal kepemimpinan, posisi perempuan masih sering diperhadapkan dengan

posisi laki-laki. Perempuan dinilai belum pantas menduduki jabatan yang berhubungan

dengan kekuasaan yang dianggap pantas hanya untuk laki-laki.

Prediksi Naisbitt tentang kiprah perempuan yang akan semakin menonjol pada

abad 21 sedikit banyak telah menjadi kenyataan. Diberbagai negara sebagian perempuan

memang mengalami perkembangan dalam berbagai sisi kehidupan atau mobilitas

vertikal, kita lihat sekarang perempuan sudah banyak mengenyam dunia pendidikan yang

sejajar dengan kaum laki-laki, menduduki jabatan-jabatan starategis dalam pemerintahan,

dan sebagainya.

Dalam Megatrends 2000 (http://www.asppuk.or.id) , Naisbitt menyebutkan bahwa

perempuan telah mencapai massa kritis di hampir semua profesi pekerja kantor,

khususnya di dalam perusahaan. Namun pada tahun 1990, tempat kerja adalah dunia yang

sangat berbeda. Sejak tahun 1972 hingga 1990, presentase perempuan yang menjadi

dokter naik dua kali lipat. Perempuan menguasai sekitar 39,3 persen dari 14,2 juta

pekerjaan eksekutif, administratif dan manajemen, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja

(Amerika Serikat-penulis), meningkat hampir dua kali lipat angka tahun 1972. Pergeseran

posisi perempuan dari domestik ke sektor publik berimplikasi langsung pada wacana

mengenai pembelaan hak-hak perempuan. Di Indonesia, pengaruh gerakan pembela

perempuan misalnya, telah membuahkan UU-Anti KDRT yang mengatur mengenai

kekerasan dalam rumah tangga.

Perusahaan besar, mulai dari produk makanan hingga barang manufaktur, mulai

dari produksi barang hingga jasa, banyak yang dimulai oleh para pendiri yang bergender

perempuan. Contoh: Perusahaan Ayam Goreng Nyonya Suharti, dengan outlets nya yang
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
13

tersebar di banyak kota besar di Nusantara, Jamu Nyonya Meneer, Kosmetik Mustika

Ratu, yang produknya bukan saja menjadi konsumsi masyarakat dalam negeri tingkat

bawah hingga tingkat atas, tetapi juga diekspor ke mancanegara. Perusahaan taksi di

ibukota milik keluarga Cakra dengan armadanya yang terbilang besar, juga didirikan oleh

seorang perempuan. Contoh lainnya dari bidang industri adalah salah satu perusahaan

garment di Bandung P.T. Gistex Garment, yang dimulai dengan pengisian waktu luang

oleh isteri pengusaha tekstil, dimulai secara kecil-kecilan, namun sekarang produknya

sudah berhasil diekspor hingga ke negara Jepang, yang terkenal dengan keketatan

kualitas mutu atas barang impornya.

Namun, meskipun telah terjadi banyak perubahan, masih banyak pemikiran-

pemikiran di masyarakat yang memandang perempuan tidak patut memposisikan dirinya

sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan di sektor publik yang didalamnya

terdapat kaum laki-laki

Ketika diperhadapkan pada pilihan untuk menentukan laki-laki atau perempuan

yang pantas menjadi pemimpin organisasi atau komunitas masyarakat, maka pandangan

yang muncul seringkali menafikan perempuan. Pandangan yang toleran adalah : selama

masih ada laki-laki, maka laki-laki. Anggapan bahwa perempuan masih irasional atau

emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat muncul sikap

yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang

berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan

bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ke dapur juga. Bahkan

pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar ( jauh dari
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
14

keluarga ) dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas

belajar ke luar negeri harus seizin suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar

jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk

menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.

Praktik seperti ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

Pandangan ini berawal dari kecenderungan tradisi yang mengakar di masyarakat,

dimana mendudukkan posisi laki-laki melebihi perempuan, sehingga peran publik yang

seharusnya bisa juga dilakukan oleh perempuan seolah hanya menjadi monopoli laki-laki.

Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan;

bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat,

terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental

sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin

secara turun temurun. Perempuan dipersepsikan sebagai orang kelas dua yang seharusnya

di rumah dan dininabobokkan dengan konsumerisme, hedonisme dalam cengkeraman

kapitalisme.

Perempuan lemah tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh

dengan kekerasan dan kekasaran permainan kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu

memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat

tendensius mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negatif

tersebut dilekatkan pada perempuan sendiri telah terstruktur sedemikian rupa dibenak

kaum perempuan dan kaum laki-laki.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
15

Pembatasan-pembatasan inilah yang menjadi dasar tumbuhnya keinginan baru

bagi perempuan untuk ikut serta terlibat dan berpartisipasi di sektor publik. Oleh karena

itu, mereka menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki, seperti memperoleh

pengetahuan, keterampilan dan pendidikan tinggi, dan lain sebagainya agar dapat

bersaing memasuki wilayah kepemimpinan yang selama ini didominasi oleh lawan jenis.

Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak

asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu

perempuan saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan

dalam proses pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang

berkelanjutan ( Sadli dalam Ihromi, dkk, 2006:7 ). Kesetaraan akan meningkatkan

kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan

pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah

bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan semua

orang ( laki-laki dan perempuan ) untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta

meningkatkan taraf hidup ( Bank Dunia, 2001:1 ).

Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak perlu

dilibatkan dalam kegiatan di sektor publik, harus diubah karena merugikan, menghambat,

dan tidak sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan

yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini ( Sedarmayanti, 2004:145 ).

Dan usaha ini nampaknya telah mendapat dukungan dengan adanya berbagai

undang-undang dan peraturan yang melarang segala bentuk diskriminasi ras, agama, dan

gender. Misalnya, Equal Employment Opportunity Commission ( EEOC ) dan Equal

Rights Ammandement ( ERA ). Di Indonesia persamaan hak antara laki-laki dan


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
16

perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan sudah terjamin dalam GBHN sejak

tahun 1978. Selain itu terdapat UU NO. 7/1984 yang menghapuskan segala macam

praktik diskriminasi terhadap perempuan. Undang-undang ini merupakan penerimaan

konvensi PBB untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap

perempuan,yang dikenal dengan CEDAW ( Convention on the Elimination of All Forms

of Discrimination Againts Women ).

Dengan demikian terlihat bahwa secara de jure tidak ada hambatan struktural bagi

perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki, termasuk yang menyangkut faktor

keragaman biologis. Walaupun secara de facto, banyak perempuan yang secara sukarela

tidak dapat melepaskan faktor biologisnya, terutama yang berkaitan dengan aspek

reproduksi. Namun hal ini tidak dapat menghambat peluang bagi perempuan untuk dapat

bersaing menempati posisi yang strategis dalam organisasi dan berpartisipasi aktif di

bidang publik dan bidang-bidang lain yang selama ini hanya merupakan lahan bagi kaum

laki-laki, seperti halnya dalam tabel dibawah ini, tabel ini memperlihatkan bahwa adanya

ketimpangan dalam perolehan posisi penting dalam pemerintahan Provinsi Sumatera

Utara.

TABEL I.1
POSISI DAN KONDISI PEREMPUAN DI PROVINSI SUMATERA
UTARA

NO LEMBAGA JUMLAH JUMLAH % JUMLAH


PEREMPUAN LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. DPRD PROPSU 6 79 7.05 %
2. JAKSA SU 24 47 34 %
3. HAKIM SU 5 14 26 %
4. GUB / WAGUB 0 2 0%
5. BUPATI/WLKOTA 0 28 0%
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
17

6. WABUP/WKIL 0 28 0%
WLKOTA
7. ESELON II 3 69 4.1 %
8. ESELON III 33 270 13 %
9. ESELON IV 231 805 22 %
Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu

Melihat posisi dan kondisi perempuan di Provinsi Sumatera Utara, terlihat jelas

bahwa keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pemerintah sebagai pembuat /

pengambil keputusan tidak tampak. Padahal jumlah perempuan di Sumatera Utara

sendiri sangat besar, namun ironisnya jumlah perempuan yang ada dalam posisi strategis

untuk pengambilan keputusan jumlahnya sangat minim. Berbeda dengan posisi dan

kondisi perempuan di Pulau Jawa yang telah memiliki pemimpin perempuan, contoh :

Gubernur Banten, Bupati Tuban, Bupati Karang Anyar, dan lain-lain.

Hal tersebut menarik minat penulis untuk mengadakan sebuah penelitian

mengenai kepemimpinan perempuan dalam pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan

judul Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi.

I. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kepemimpinan perempuan dalam Birokrasi,

Studi Deskriptif pada Kantor Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

I. 3. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah kajian ilmiah dan sesuai dengan prinsip penelitian maka

penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai, yaitu :


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
18

a. Untuk mengetahui bentuk dan gaya kepemimpinan perempuan dalam

birokrasi Provinsi Sumatera Utara.

b. Untuk mengetahui kendala yang menghambat kepemimpinan perempuan

Provinsi Sumatera Utara dalam menjalankan tugasnya.

I. 4. Manfaat Penelitian

Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan

bermanfaat bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai

berikut :

a. Penulis memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis

karya ilmiah dalam menganalisa permasalahan dilapangan.

b. Penulis akan memperoleh informasi mengenai gambaran kepemimpinan

perempuan dalam birokrasi.

c. Sebagai sumbangan dan menjadi masukan / pertimbangan kepada instansi

terkait dalam membuat kebijakan-kebijakan khususnya bagi dinamika

kehidupan perempuan di Indonesia.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
19

I. 5. Kerangka Teori

1. Kepemimpinan

a. Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda pada orang-orang yang berbeda.

Kata ini merupakan suatu kata yang diambil dari kamus umum dan dimasukkan ke dalam

kamus teknis sebuah disiplin ilmiah tanpa didefinisikan dengan tepat. Sebagai

konsekuensinya, kata ini mempunyai konotasi-konotasi yang tidak saling berhubungan

yang menciptakan ambivalensi pengertian (Janda, 1960). Selanjutnya, adanya

kebingungan yang disebabkan oleh penggunaan dari istilah-istilah lain yang tidak tepat,

seperti : kekuasaan, kewenangan, manajemen, administrasi, kontrol, serta supervisi untuk

menggambarkan fenomena yang sama. Bennis ( 1959, hlm. 259 ) telah melakukan survei

kepustakaan mengenai kepemimpinan dan menyimpulkan:

Selalu, tampaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau


muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan
dan kompleksitasnya. Dengan demikian kita mendapatkan suatu
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
20

proliferasi dari istilah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapidan


konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan.

Para peneliti biasanya mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-

perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka.

Setelah suatu tinjauan kembali yang menyeluruh mengenai kepustakaan tentang

kepemimpinan, Stogdill ( 1974, hlm. 259 ) menyimpulkan bahwa terdapat hampir sama

banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba

mendefinisikan dengan konsep tersebut. Kepemimpinan telah didefinisikan dalam

kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola

interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi oleh

orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh. Beberapa definisi yang dapat dianggap

cukup mewakili selama seperempat abad adalah sebagai berikut : ( Yukl 1998 : 2 )

1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin

aktifitas-aktifitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama

( shared goal ). ( Hemhill & Coons, 1957, hlm. 7 )

2. Kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi , yang dijalankan dalam suatu

situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, kearah pencapaian

satu atau beberapa tujuan tertentu. ( Tannenbaum, Weschler, & Massarik,

1961, hlm. 24 )

3. Kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam

harapan dan interaksi ( Stogdill. 1974, hlm. 411 )

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
21

4. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan

berada diatas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin

organisasi ( Katz & Kahn, 1978, hlm. 528 )

5. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah

kelompok yang diorganisasikan kearah pencapaian tujuan. ( Rauch &

Behling, 1984, hlm.46 )

6. Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang

berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk

melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran ( Jacobs &

Jaqcues, 1990, hlm. 281 )

7. Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang

efektif terhadap orde sosial, dan yang diharapkan dan dipersepsikan

melakukannya. ( Hosking, 1988, hlm. 153 )

Kebanyakan definisi mengenai kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa

kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh

yang disengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktifitas-

aktifitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berbagai

definisi mengenai kepemimpinan yang telah ditawarkan kelihatannya tidak terisi hal-hal

selain itu. Defenisi-defenisi tersebut berbeda dalam berbagai aspek, termasuk didalamnya

siapa yang menggunakan pengaruh, sasaran yang ingin diperoleh dari pengaruh tersebut,

bagaimana cara pengaruh tersebut digunakan, serta hasil dari usaha menggunakan

pengaruh tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut bukan hanya merupakan sebuah hal

akademis yang dicari-cari. Ia mencerminkan adanya ketidaksesuaian yang mendalam


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
22

mengenai identifikasi dari para pemimpin serta proses kepemimpinan. Perbedaan-

perbedaan diantara para peneliti mengenai konsep mereka tentang kepemimpinan

menimbulkan perbedaan-perbedaan didalam pemilihan fenomena untuk melakukan

penyelidikan dan kemudian menimbulkan perbedaan - perbedaan dalam

menginterpretasikan hasil-hasilnya.

Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin;

kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson

(1998), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang

dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan.

Newstrom & Davis (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses

mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan.

Sedangkan Stogdill (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses

mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapaia tujuan dan prestasi

kerja. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal

dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah

tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya (Tanenbaum, Weschler & Massarik, 1981).

Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni

proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak

memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang

diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa

kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut

yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai (Vroom & Jago,

1988). Secara praktis, kepemimpinan dirumuskan sebagai suatu seni memobilisasi orang-
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
23

orang lain (bawahan dan pihak lain) pada suatu upaya untuk mencapai aspirasi dan tujuan

organisasi.

John Adair pada 1988, (dalam Karol Kennedy, 1998) mengemukakan definisi

kepemimpinan dalam tiga konsep Task, Team, and Individual dalam lingkaran saling

terkait, sehingga merupakan satu kesatuan konsep ACL (Action-Centered Leadership);

dan menyatakan leadership is about teamwork, creating teams. Teams tend to have

leaders, leaders tend to create teams. Adair berkeyakinan bahwa working groups atau

teams akan memberikan tiga kontribusi pada pemenuhan kebutuhan bersama, berupa

the need to accomplish a common task, the need to be maintained as acohesive social

unit or team, and the sum of the groupss individual needs; serta mengidentifikasi enam

fungsi kepemimpinan berikut : [1] Planning (seeking all available information; defining

groups tasks or goals; making a workable plan); [2] Initiating (briefing the group;

allocating tasks; setting groups standards); [3] Controlling (maintaining groups

standard; ensuring progress towards objectives; prodding action sand decisions); [4]

Supporting (expressing acceptance of individual contributions; encouraging and

disciplining; creating team spirit; relieving tension with humour; reconciling

disagreements); [5] Informing (clarifying task and plan; keeping group informed;

receiving information from the group; summarizing ideas and suggestions); dan [6]

Evaluating (checking feasibility of ideas; testing consequencies; evaluating group

perfomance; helping group to evaluate itself).

Dibalik fungsi-fungsi tersebut terdapat tugas dan peran kepemimpinan. Dalam

hubungan itu, pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak mengidentifikasi tiga tugas

prinsipil kepemimpinan, yaitu (1) Establishing direction, developing a vision and


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
24

strategies for the future of the business; (2) Aligning people - getting others to

understand, accept and line up in the chosen direction, dan (3) Motivating and

inspiring people by appealing to very basic but often untapped human needs, value and

emotions. Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut, (1)

Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets; (2) Establishing steps to

reach them and allocating resources; (3) Organizing and staffing, establishing an

organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the

plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio; dan

(4) Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems and

organizing to solve them.

2. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal lahir pertama kali pada abad 18 dirumuskan oleh Mary

wollstonecrat dalam tulisannya A Vindication of the Right of Women (1759-1799) dan

abad 19 oleh John Stuart Mill dalam bukunya Subjection of Women dan Harriet Taylor

Mills dalam bukunya Enfranchisemen of Women, kemudian pada abat 20 Betty Friedan

dalam The Feminis Mistique dan The second Stage. Feminis Liberal ini mendasarkan

pemikirannya pada konsep liberal yang menekankan bahwa wanita dan pria diciptakan

sama dan mempunyai hak yang sama dan juga harus mempunyai kesempatan yang sama.

Manusia berbeda dengan binatang karena rasionalitas yang dimilikinya. Kemampuan

rasionalitas tersebut mempunyai dua aspek yaitu moralitas- pembuat keputusan yang

otonom dan prudensial- pemenuhan kebutuhan diri sendiri.

Hak individu bagi kaum Liberal harus diprioritaskan dari pada kebaikan. Setiap

individu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang baik untuk dirinya asal tidak
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
25

merugikan orang lain. Liberalisme juga menekankan pada masyarakat yang adil yang

memungkinkan setiap individu mempraktekkan otonomi dirinya dalam memenuhi

kebutuhannya. Dalam hal intervensi negara atas bidang publik (masyarakat sipil)

Liberallis Klasik berbeda dengan Liberallis Egalitarian. Bagi Liberalis Egalitarian setiap

orang yang memasuki pasar terlebih dahulu mempunyai, keuntungan material, koneksi

atau bakat yang berbeda. Apabila perbedaan tersebut sangat besar maka sulit bagi mereka

untuk mengejarnya. Oleh sebab itu Negara harus intervensi secara positif agar

kesejahteraan masyarakat merata. Intervensi di bidang hukum, pendidikan, perumahan,

pelayanan kesehatan, kesejahteraan sosial dan penyediaan makan bagi orang miskin. Bagi

Liberallis ini negara sebaiknya menfokuskan pada keadilan ekonomi bukan kebebasan

sipil. Sedangkan Liberallis Klasik dalam era pasar bebas setiap individu harus diberikan

kesempatan yang sama untuk mengakumulasi keuntungannya. Mereka juga menekankan

bahwa negara harus melindungi kebebasan sipil seperti, hak memilih, hak berorganisasi,

hak kepemilikan dan kebebasan. Akan tetapi dalam hal intervensi Negara untuk

menjamin hak individu, kaum liberallis sepakat bahwa intervensi negara harus seminim

mungkin. Baik dalam aspek negara, organisasi, keluarga sampai ke tempat tidur.

Feminis Liberal abad 18 Pendidikan yang sama untuk perempuan Mary

Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Right of Women menggambarkan

masyarakat Eropa yang sedang mengalami kemunduran dimana perempuan dikekang

didalam rumah tidak diberikan kesempatan untuk masuk dipasar tenaga kerja dan

melakukan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki diberikan kebebasan untuk

megembangkan diri seoptimal mungkin. Padahal kalau perempuan diberikan kesempatan

yang sama juga bisa mengembangkan diri secara optimal, asal perempuan juga diberikan
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
26

pendidikan yang sama dengan pria. Wollestone juga mengkritik Email, novel karya Jean

Jackques Rosseau yang -membedakan pendidikan laki-laki dan perempuan. Pendidikan

laki-laki lebih menekankan rasionalitas mempelajari ilmu alamiah, ilmu sosial dan

humaniora- karena nantinya akan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga sedangkan

pendidikan untuk perempuan lebih menekankan pada emosional mempelajari puisi, seni

karena perempuan akan menjadi istri yang penuh pengertian, responsive, perhatian dan

keibuan. Jalan keluar yang ditawarkan wollestone adalah mendidik perempuan sama

dengan mendidik laki-laki dengan mengajarkan kepada perempuan juga rasionalitas

sehingga perempuan mampu menjadi diri sendiri tidak menjadi mainan laki-laki.

Feminis Liberal abat 19 Kesempatan hak Sipil dan Ekonomi bagi perempuan dan

laki-laki. Satu abad kemudian J S Mill dan Harriet Tailor Mill bergabung dengan

Wollestonecraft. Yang menekankan pentingnya rasionalitas untuk perempuan. J S Mill

dan harriet Tailor Mill lebih jauh menekankan agar persamaan permpuan dan laki-laki

terwujud, tidak cukup diberikan pendidikan yang sama tetapi juga harus diberikan

kesempatan untuk berperan dalam ekonomi dan dijamin hak sipilnya yang meliputi hak

untuk berorganisasi, kebebasan untuk berpendapat, hak untuk memilih dan hak milik

pribadi serta hak-hak sipil lainnya. Sumbangan lain pemikiran mereka berdua adalah dua-

duanya menekankan pentingnya Pendidikan, Kemitraan dan Persamaan. Mill lebih

menekankan pada pendidikan dan hak, sedangkan Taylor lebih menekankan kemitraan.

Mill lebih jauh juga mempertanyakan superioritas laki-laki, menurutnya bahwa laki-laki

itu tidak lebih superior secara intelektual dari perempuan. Pemikiran Mill yang juga

menarik bahwa kebajikan yang ditempelkan pada perempuan seringkali merugikan

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
27

perempuan karena perempuan tidak bisa menjadi diri sendiri, sebab ia akan menjadi

orang yang dikehendaki masyarakat.

Feminisme Liberal abad 20 The Feminis Mistique yang ditulis oleh Betty

Frieden, bila kita bandingkan dengan buku yang ditulis sebelumnya oleh Wollestone, JS

Mills dan Harriet Tylor terkesan tidak radikal. Menurut Betty perempuan kelas menengah

yang menjadi ibu rumah tangga merasa hampa dan muram, sehingga mereka

menghabiskan waktunya untuk berbelanja, mempercantik diri, bagaimana memuaskan

nafsu suami dsb. Jalan keluar yang ditawarkan Frieden adalah kembali ke sekolah dan

berkontribusi dalam ekonomi keluarga dengan tetap berfungsi sebagai ibu rumah tangga

dengan masih tetap mencintai suami dan anak. Frieden meyakini bahwa karier dan rumah

tangga bisa berjalan seiring. Baru dua puluh tahun kemudian ia menyadari dalam

bukunya The Second Stage bahwa menangani karier dan rumah tangga sangat sulit

karena dia harus melayani dua majikan suaminya dan atasannya di kantor. Ia memberikan

jalan keluar bahwa perempuan harus melakukan pergerakan sehingga menyadari

keterbatasan-keterbatasan dirinya yang diciptakan masyarakat sehingga bisa

memperbaiki kondisi. Bekerja sama dengan laki-laki untuk merubah pola pikir

masyarakat pada bidang publik kepemimpinan, struktur institusi- dan privat suami mulai

ikut memikul beban keluarga yaitu ekonomi, rumah dan anak-anak. secara

bersama.perempuan.

Arah Feminis Liberal menginginkan terbebasnya perempuan dari peranan gender

yang opresif. Mereka berargumentasi bahwa dalam masyarakat yang patriarkhi pekerjaan

yang cocok untuk perempuan diasosiasikan pada sifat feminine seperti guru, perawat,

sekretaris, kasir di bank dsb. Penentangan stereotipe tersebut harus melalui pendidikan
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
28

androgini -yang mempunyai dimensi laki dan perempuan- baik disekolah maupun

dirumah. Androgini telah membantu mereka dalam meraih kebebasan, persamaan hak

dan keadilan. Negara ikut bertanggung jawab untuk menjamin tidak ada lagi diskriminasi

pada perempuan baik seksual maupun penghasilan dan menjamin perempuan terbebas

dari pelecehan seksual, pemerkosaan dan kekerasan. Feminis Liberal sangat penting

dalam pergerakan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil

( http://www.asppuk.or.id Menggunakan Joomla! Generated: 26 November, 2008, 15:53 )

feminisme dengan perjuangannya untuk perempuan dibarat untuk meraih persamaan hak,

peniadaan diskriminasi ditempat kerja dan perubahan hukum yang lebih menguntungkan

perempuan.

I. 6. Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak

kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ( Singarimbun,

1989:33 ). Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah dan

menghindari timbulnya kekacauan ataupun kesalahan-kesalahan yang dapat

mengaburkan penelitian. Adapun konsep penelitian ini adalah :

Kepemimpinan : Kemampuan atau keterampilan seseorang dalam

menduduki suatu jabatan sebaagi pimpinan dengan

cara mempengaruhi dan memotivasi bawahannya agar

mau bekerja demi tercapainya tujuan yang

dikehendaki.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
29

Perempuan : Sosok individu berdasarkan karakteristik biologis

yang bersifat feminim.

Pemimpin Perempuan : Individu yang berdasarkan karakteristik biologis

feminim, tetapi memimpin pada lingkungan patriarki,

dan memiliki kemampuan untuk dapat mempengaruhi

proses pengambilan keputusan pada bidang sosial dan

budaya, politik, ekonomi di Indonesia. Dalam

penelitian ini pemimpin perempuan yang dimaksud

adalah perempuan yang yang duduk di posisi eselon

II dan eselon III Provinsi Sumatera Utara.

Gender : Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun

perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun

kultural.

Birokrasi : Birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang untuk

menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala

besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak

orang secara sistematis.

1.7. Definisi Operasional

Menurut masri Singarimbun dan Sofian Effendi ( 1982 : 32 ), bahwa salah satu

unsur yang sangat membantu komunikasi antara peneliti adalah definisi operasional yang

merupakan petunjuk tentang bagaimana variabel diukur. Dengan membaca definisi

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
30

operasional dalam suatu penelitian akan mengetahui pengukuran suatu variabel sehingga

ia dapat mengetahui baik buruknya pengetahuan tersebut.

Berdasarkan pengertian definisi operasional diatas maka definisi operasioanl

adalah pengukuran konsep yang abstrak teoritis menjadi kata-kata tentang tingkah

laku/gejala yang dapat diamati, dapat diuji dan dapat ditentukan kebenarannya oleh orang

lain. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :

- Kepemimpinan : Kemampuan atau keterampilan seseorang dalam menduduki

suatu jabatan sebagai pimpinan dengan cara mempengaruhi dan memotivasi

bawahannya agar mereka mau bekerja atau berprilaku demi tercapainya tujuan

bersama.

Indikator- indikator dari kepemimpinan adalah :

a. Rasa tanggung jawab (sense of responsibility)

b. Kepedulian akan pemenuhan tugas (concern for task completion)

c. Kualitas keadilan (karakter "keras tapi adil")

d. Ketekunan (persistence)

e. Keberanian mengambil risiko (risk-taking)

f. Kesediaan untuk mendengarkan

g. Kepercayaan terhadap diri sendiri (self-confidence)

h. Kemampuan untuk menangani stress (capacity to handle stress)

i. Kepekaan terhadap situasi

j. Inisiatif tanpa henti (Kesiagaan terus-menerus terhadap kesempatan)

k. Wawasan yang luas

l. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
31

m. Kapasitas untuk memotivasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Analisis Gender

Topik Gender bukan lagi merupakan hal yang baru bagi kalangan feminis,

peneliti, akademisi, organisasi kemasyarakatan, pejabat pemerintahan maupun kalangan

umum lainnya di masyarakat. Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat hubungan

yang kompleks antara Gender dengan isu-isu penting seperti politik, pendidikan,

kesehatan, pengelolaan sumberdaya alam, dan lain sebagainya. Berbagai institusi dan

lembaga baik dari sektor formal pemerintahan, LSM, lembaga penelitian, dan lain

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
32

sebagainya beramai-ramai mengadakan training, kampanye, penelitian, survei dan

berbagai program kegiatan lainnya yang berkaitan dengan Gender.

Seks atau jenis kelamin adalah hal paling sering dikaitkan dengan Gender dan

kodrat. Dikarenakan adanya perbedaan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki secara

kodrat berbeda satu sama lain Selama ini orang sering mencampuradukkan pengertian

Gender dan kodrat , masyarakat mulai memilah-milah peran sosial, seperti apa yang

dianggap pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang dianggap sesuai untuk perempuan.

Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim dan bisa melahirkan

anak, maka kemudian berkembang anggapan umum di masyarakat bahwa perempuanlah

yang bertanggung jawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin

berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk di luar rumah karena

tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan

berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan

pekerjaan pekerjaan domestik dan feminin sementara laki-laki dengan pekerjaan-

pekerjaan publik dan maskulin.

Perbedaan seks dan gender


SEKS / JENIS KELAMIN GENDER
Jenis kelamin bersifat alamiah Gender bersifat sosial budaya
dan merupakan buatan manusia
Jenis kelamin bersifat biologis, Gender bersifat sosial budaya
merujuk kepada perbedaan dan merujuk kepada tanggung
yang nyata dari alat kelamin jawab peran, pola perilaku,
dan perbedaan terkait dalam kualitas-kualitas dan lain-lain

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
33

fungsi kelahiran yang bersifat maskulin dan


feminim
Jenis kelamin bersifat tetap, ia Gender bersifat tidak tetap, ia
akan sama dimana saja. berubah dari waktu ke waktu,
dari satu kebudayaan lainnya,
bahkan dari satu keluarga ke
keluarga lainnya

Sumber : Bhasin, Kamla, 2001. Memahami Gender, Teplok Press, Jakarta.

Secara pelabelan perempuan diumpamakan gula dan bumbu, sedangkan laki-laki


diumpamakan gunting dan bekerja yang merupakan perwujudan feminim dan maskulin.
Adapun stereotip perempuan dan laki-laki adalah :

Sifat yang berkaitan dengan Sifat yang berkaitan dengan stereotip


stereotip perempuan laki-laki
Penuh kasih sayang Kasar
Saling Menghargai Agresif
Mempesona Ambisius
Suka Mengeluh Tidak Mudah menyerah
Tidak Mandiri Independen
Emosional Rasional
Penuh Semangat Kejam
Kewanitaan Jiwa petualang

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
34

Cerewet Berjiwa pemimpin


Sumber : Bhasin, Kamla, 2001. Memahami Gender, Teplok Press, Jakarta.

Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan Gender

adalah sesuatu yang mengada-ada. Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang

yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-

laki dalam keluarga maupun dalam masyarakat memang harus berbeda.

Ketidakadilan Gender terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda (tidak

adil) berdasarkan alasan Gender. Misalnya, seorang perempuan yang ditolak kerja

sebagai supir bis karena supir dianggap bukan pekerjaan untuk perempuan, atau seorang

laki-laki yang tidak bisa menjadi guru TK karena dianggap tidak bisa berlemah lembut

dan tidak bisa mengurus anak-anak kecil. Ketidakadilan Gender bisa terjadi pada

perempuan maupun laki-laki. Namun pada kebanyakan kasus, ketidakadilan Gender lebih

banyak terjadi pada perempuan. Itulah juga sebabnya masalah-masalah yang berkaitan

dengan Gender sering diidentikkan dengan masalah kaum perempuan .Secara garis besar

bentuk-bentuk ketidakadilan Gender yang sering terjadi (terutama pada perempuan)

adalah sebagai berikut:

1. Penomorduaan (Subordinasi)

Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan

terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Cukup adil

menganggap bahwa dalam kultur budaya di Indonesia, perempuan masih dinomorduakan

dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan keputusan. Suara perempuan dianggap

kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut

kepentingan umum. Akibatnya, perempuan tidak dapat mengontrol apabila keputusan itu
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
35

merugikan mereka dan tidak bisa ikut terlibat maksimal saat hasil keputusan tersebut

diimplementasikan. Tradisi, adat, atau bahkan aturan agama paling sering digunakan

sebagai alasan untuk menomorduakan perempuan. Padahal secara teologis (dipandang

dari sudut keagamaan), prinsip-prinsip tauhid (ketuhanan, berlaku untuk agama apapun)

pada dasarnya adalah menganggap semua mahluk yang ada di dunia ini sama

kedudukannya di mata Tuhan.

Dengan tingginya biaya pendidikan dan terbatasnya dana yang tersedia, anak

perempuan seringkali mendapat tempat kedua setelah anak laki-laki, dalam hal

melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan anggapan bahwa laki-laki akan menjadi

penopang keluarga, pencari nafkah utama maka dia harus mempunyai tingkat pendidikan

lebih tinggi dari perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja hanya merugikan

perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan yang luar biasa berat pada laki-

laki. Laki-laki dituntut harus kuat, harus pandai, harus mempunyai pekerjaan yang bagus

dan sederet kata harus lainnya, sebagai konsekuensi dari pandangan masyarakat yang

menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi daripada perempuan. Sementara itu,

perempuan yang dianggap nomor dua dan tidak begitu penting dalam peran sosialnya di

masyarakat, perlahan-lahan akan semakin tertinggal dan tidak bisa berkontribusi banyak

terhadap prose-sproses pembangunan yang berkembang di lingkungannya. Tidak heran,

jika sampai saat sekarang ini, pembangunan di negara kita masih jauh tertinggal

dibandingkan negara-negara maju lainnya yang relatif lebih sedikit memiliki sumberdaya.

Salah satu sebabnya adalah sumberdaya manusia yang produktif dan dapat

menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan negara, masih sangat terbatas

jumlahnya.
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
36

2. Pelabelan Negatif pada Perempuan (Stereotype)

isi kepala perempuan itu: satu pikiran dan sembilan sisanya hanya emosi

saja

Bukan rahasia umum bahwa perempuan sering dianggap lebih emosional

dibandingkan dengan laki-laki, tetapi tidak menyangka bahwa begitu kentalnya pelabelan

negatif yang dilekatkan pada diri perempuan. Pada saat perempuan berusaha

menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alasan-

alasan, dianggap bahwa dia terlalu cerewet, emosional dan tidak berpikir rasional.

Sedangkan jika laki-laki berada pada kondisi yang sama, mungkin dianggap tegas dan

berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Label negatif senada banyak kita

temukan di masyarakat. Contohnya, jika perempuan pulang larut malam dari tempatnya

bekerja dipandang sebagai perempuan tidak benar, sedangkan jika laki-laki dianggap

pekerja keras. Padahal mungkin mereka mempunyai jenis pekerjaan dan kesibukan yang

sama. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, cerewet,

pendendam, penggoda dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan

menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. Dalam pepatah

Jawa bahkan disebutkan bahwa perempuan itu kanca wingking (berperan di belakang)

yang swarga nunut neraka katut (ke surga ikut ke neraka juga menurut saja). Dengan

label-label negatif seperti itu, mustahil bagi perempuan untuk dapat memperoleh

kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam pandangan masyarakat. Perempuan selalu

akan tertinggal di belakang karena dianggap memang posisi terbaiknya ada di belakang

laki-laki.

3. Peminggiran (Marginalisasi)
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
37

Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta

melekatnya label-label buruk pada diri perempuan(stereotype), perempuan tidak memiliki

peluang, akses dan kontrol -sepertilaki-laki- dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi.

Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada

lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat

pada terpinggirkan atau termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang

lemah tersebut, dalam hal ini adalah perempuan.

2.2. Birokrasi

Menurut Peter Blau ( 2000 ), birokrasi adalah tipe organisasi yang dirancang

untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara

mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis. Poin pikiran penting dari

definisi ini adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk mempermudah jalannya

penerapan kabijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat ( http://happy-

susanto-files.blogspot.com/2007/08/menuju-birokrasi-yang-humanis.html, 16 Juni 2008 )

Masyarakat modern memerlukan sebuah organisasi yang didalamnya tugas

dibagi. Max Weber memperkenalkan organisasi untuk mengelola masyarakat modern:

birokrasi ( Dwijoyoto, 2001:177 ). Menurut Weber, tipe ideal birokrasi yang rasional itu

dilakukan dengan cara-cara berikut : ( Thoha, 2004:17-18 )

1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya

manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam

jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan

kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
38

2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan

kesamping. Konsekuensinya, ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula

yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik

berbeda satu sama lainnya.

4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas

( job description ) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi

wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai kontrak.

5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal

tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

6. Setiap pejabat memiliki gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai

dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa

memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan

keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan

senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan

resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem

yang dijalankan secara disiplin.

Birokrasi, sepeti kata ahli psikologi sosial. Daniel Katz dan Robert L. Kahn,

bahwa organisasi dengan hirarki seketat birokrasi hanya bekerja baik sekali apabila

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
39

pekerjaan membutuhkan sedikit kreatifitas, sedikit tuntutan perubahan, dan tuntutan

pengorganisasian yang tegas ( Dwijowijoto, 2001:186 ).

BAB III

METODE PENELITIAN

III. 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan

pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu

kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
40

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

III. 2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di Medan.

Lokasi ini dipilih setelah melihat posisi dan kondisi perempuan di Sumatera Utara yang

tidak memperlihatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintah

sebagai pembuat keputusan.

III. 3. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel

Menurut Ridwan ( 2004:6 ) mengatakan bahwa: populasi adalah keseluruhan dari

karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi objek penelitian. Maka dari

pendapat-pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi merupakan obyek

atau subyek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu

berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua

perempuan yang berada pada tingkatan eselon II dan eselon III di Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara. Pegawai eselon II berjumlah 3 orang dari 72 orang atau 4.1 % dari

keseluruhan sedangkan pegawai eselon III berjumlah 33 orang dari 303 orang atau 13 %

dari keseluruhan. Maka populasi pada penelitian ini adalah 36 orang.

Mengingat jumlah populasi yang tidak terlalu besar, maka penulis memutuskan

untuk menjadikan seluruh populasi menjadi sampel, yaitu total sampel, sebanyak 36

orang.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
41

III. 4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Data Primer, yang akan diperoleh melalui:

a. Kuesioner, yaitu sebagai alat pengumpulan data yang berisi daftar

pertanyaan secara tertulis yang ditujukan kepada subyek atau responden

penelitian.

b. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan memberikan

pertanyaan langsung secara lisan kepada responden, guna memperoleh

keterangan dalam mendukung data yang terkumpul.

2. Data Sekunder, yang akan diperoleh melalui:

a. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan

catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian serta sumber-

sumber lain yang relevan dengan objek penelitian

b. Studi Kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan

berbagai literatur seperti buku, majalah, jurnal, laporan penelitian dll.

III. 5. Analisa Data

Analisa data pada penelitian ini adalah menggunakan teknik distribusi frekuensi.

Perhitungan data dengan distribusi frekuensi ini dapat dilakukan dengan menghitung

frekuensi data tersebut dipersentasekan. Penyajiannya dapat berbentuk tabel dan grafik

( Burhan Bungin, 2004: 171 ).

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
42

Frekuensi tersebut dapat dilihat penyebaran persentasenya, yang oleh kebanyakan

orang dikenal dengan frekuensi relatif. Untuk menghitung sebaran persentase dari

frekuensi tersebut, dapat menggunakan rumus:

N= fx X 100 %

Keterangan :

N : Jumlah kejadian

fx : Frekuensi individu

Data yang telah dianalisis, diinterpretasikan dan dievaluasi akan diubah menjadi

informasi dalam bentuk sebuah laporan hasil penelitian.

II. 6. Jadwal Penelitian

Jenis Kegiatan Bulan ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Pra Observasi

2. ACC Judul

3. Penyusunan Lap. Penelitian

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
43

4. Seminar Penelitian

5. Revisi Proposal Penelitian

6. Penyerahan Hasil Seminar

Proposal

7. Operasional Penelitian

8. Bimbingan

9. Penulisan Laporan Akhir

10. Sidang Meja Hijau

BAB IV

HASIL DAN ANALISA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
44

Propinsi Sumatera Utara terletak pada 1 - 4 Lintang Utara dan 98 - 100 Bujur

Timur, yang pada tahun 2004 memiliki 18 Kabupaten dan 7 kota, dan terdiri dari 328

kecamatan, secara keseluruhan Provinsi Sumatera Utara mempunyai 5.086 desa dan 382

kelurahan. Luas daratan Propinsi Sumatera Utara 71.680 km 2 , Sumatera Utara tersohor

karena luas perkebunannya, hingga kini, perkebunan tetap menjadi primadona

perekonomian provinsi. Perkebunan tersebut dikelola oleh perusahaan swasta maupun

negara. Sumatera Utara menghasilkan karet, coklat, teh, kelapa sawit, kopi, cengkeh,

kelapa, kayu manis, dan tembakau. Perkebunan tersebut tersebar di Deli Serdang,

Langkat, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan.

Komoditas tersebut telah diekspor ke berbagai negara dan memberikan

sumbangan devisa yang sangat besar bagi Indonesia. Selain komoditas perkebunan,

Sumatera Utara juga dikenal sebagai penghasil komoditas holtikultura (sayur-mayur dan

buah-buahan); misalnya Jeruk Medan, Jambu Deli, Sayur Kol, Tomat, Kentang, dan

Wortel yang dihasilkan oleh Kabupaten Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara. Produk

holtikultura tersebut telah diekspor ke Malaysia dan Singapura.

Pemerintah Propinsi (Pemprop) Sumatera Utara juga sudah membangun berbagai

prasarana dan infrastruktur untuk memperlancar perdagangan baik antar kabupaten di

Sumatera Utara maupun antara Sumatera Utara dengan provinsi lainnya. Sektor swasta

juga terlibat dengan mendirikan berbagai properti untuk perdagangan, perkantoran, hotel

dan lain-lain. Tentu saja sektor lain, seperti koperasi, pertambangan dan energi, industri,

pariwisata, pos dan telekomunikasi, transmigrasi, dan sektor sosial kemasyarakatan juga

ikut dikembangkan. Untuk memudahkan koordinasi pembangunan, maka Sumatera Utara

dibagi kedalam empat wilayah Pembangunan.


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
45

Sumatera Utara merupakan propinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya

di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil

pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal

31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah

penduduk Sumatera Utara diperkirakan sebesar 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk

Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km 2 dan tahun 2002 meningkat menjadi

165 jiwa per km 2 , sedangkan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun

waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya

tampak berfluktuasi. Pada tahun 2000. TPAK di daerah ini sebesar 57,34 persen, tahun

2001 naik menjadi 57,70 persen, tahun 2002 naik lagi menjadi 69,45 persen.

4.1.2. Lambang Propinsi

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
46

PENGERTIAN LAMBANG DAERAH

Kepalan tangan yang diacungkan ke atas dengan menggenggam rantai beserta

perisainya melambangkan kebulatan tekad perjuangan rakyat Propinsi Sumatera Utara

melawan imperialisme / Kolonialisme, feodalisme dan komunisme. Batang bersudut

lima, Perisai dan Rantai melambangkan kesatuan masyarakat didalam membela dan

mempertahankan Pancasila. Pabrik, Pelabuhan,Pohon karet,Pohon sawit,Daun tembakau,

Ikan, Daun padi dan Tulisan "SUMATERA UTARA" melambangkan daerah yang indah

permai masyhur dengan kekayaan alamnya yang melimpah-limpah.

Tujuh belas kuntum kapas, delapan sudut sarang laba-laba dan empatpuluh lima

butir padi menggambarkan tanggal bulan dan tahun Kemerdekaan dimana ketiga-tiganya

ini berikut tongkat dibawah kepalan tangan melambangkan watak kebudayaan yang

mencerminkan kebesaran bangsa, patriotisme, pencinta, keadaan dan pembela keadilan.

Bukit Barisan yang berpuncak lima melambangkan tata kemasyarakatan yang

berkepribadian luhur, bersemangat Persatuan Kegotongroyongan yang dinamis.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
47

4.1.3. Struktur Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara

STRUKTUR PEMERINTAHAN
PROPINSI SUMATERA UTARA

GUBERNUR

H. SYAMSUL ARIFIN, SE

WAKIL GUBERNUR

GATOT PUJO NUGROHO, ST

SEKRETARIS DAERAH

RUSTAM EFFENDY NAINGGOLAN

ASISTEN

No. UNIT KERJA (INSTANSI) NAMA KEPALA UNIT KERJA (INSTANSI) ESELON

1. Asisten Ketataprajaan HASIHOLAN SILAEN, SH Eselon IIA

2. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Drs. KASIM SIYO. MSi Eselon IIA

3. Asisten Pembinaan Hukum dan Sosial Drs. RAHUTMAN HARAHAP Eselon IIA

4. Asisten Administrasi T. ASHABUL CHAIRI, SH Eselon IIA

DINAS-DINAS DAERAH

No. UNIT KERJA (INSTANSI) NAMA KEPALA UNIT KERJA (INSTANSI) ESELON

1. Dinas Pendidikan DELTA PASARIBU (PLT) Eselon IIA

2. Dinas Perikanan dan Kelautan Ir. YOSEPH SISWANTO Eselon IIA

3. Dinas Kesehatan Dr. CHANDRA SYAFI'I Eselon IIA

4. Dinas Pemuda dan Olahraga Drs. ARJONI MUNIR Eselon IIA

5. Dinas Peternakan Drh. TETTY ERLINA LUBIS Eselon IIA

6. Dinas Sosial Drs. NABARI GINTING, Msi Eselon IIA

7. Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Drs. RAPOTAN TAMBUNAN Eselon IIA

8. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ir. IMAN PANDIA Eselon IIA

9. Dinas Kehutanan Ir. JAMES BUDIMAN SIRINGO-RINGO Eselon IIA

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
48

10. Dinas Perhubungan NAHARUDIN DALIMUNTHE, MST Eselon IIA

11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Drs. H. MOHD. HASBI NASUTION Eselon IIA

12. Dinas Koperasi & Usaha Kecil Menengah Ir. JHONY PASARIBU Eselon IIA

13. Dinas Pendapatan H.SJAFARUDDIN, SH Eselon IIA

14. Dinas Pertanian - Eselon IIA

15. Dinas Perkebunan Ir. BATARA GIRSANG, MM Eselon IIA

16. Dinas Pertambangan dan Energi Ir. WASHINGTON TAMBUNAN Eselon IIA

17. Dinas Jalan dan Jembatan Ir. H. SYARIFULLAH HARAHAP, MSi Eselon IIA

18. Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Ir. SYARIFUDDIN SIREGAR Eselon IIA

19. Dinas Pengairan Ir. H. HAFAS FADILLAH, MSI Eselon IIA

LEMBAGA TEKNIS DAERAH

No. UNIT KERJA (INSTANSI) NAMA KEPALA UNIT KERJA (INSTANSI) ESELON

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Ir. HT. AZWAR AZIZ Eselon IIA

2. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Prof. SYAMSUL ARIFIN, SH Eselon IIA


Daerah SU

3. Inspektorat H. NURDIN LUBIS, SH, MM Eselon IIA

4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dr. R.E. NAINGGOLAN, MM Eselon IIA

5. Badan Pendidikan dan Pelatihan Ir. UMAR Z. HASIBUAN, MM Eselon IIA

6. Badan Investasi dan Promosi Ir. Hj. SABRINA, MSi Eselon IIA

7. Badan Pemberdayaan Masyarakat Drs. DAUDSYAH Eselon IIA

8. Badan Pustaka dan Arsip Daerah Drs. SYAIFUL SAFRI Eselon IIA

9. Badan Ketahanan Pangan Ir. EFENDY LUBIS Eselon IIA

10. Badan Informasi dan Komunikasi Drs. EDI SOFYAN, MAP Eselon IIA

11. Badan Kepegawaian Daerah MANGASING MUNGKUR, SH, MM Eselon IIA

12. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan OLOAN SIHOMBING, SH, M.Hum Eselon IIA
Masyarakat

13. Kantor Pengolahan Data Elektronik MERY PARDEDE, SE Eselon IIIA

14. Kantor Penghubung Drs. JUNJUNG LUBIS Eselon IIIA

15. Kantor Satpol PP ANGGIAT HUTAGALUNG, SH Eselon IIIA

16. Rumah Sakit Umum Jiwa Dr. DONALD FIRDAUS, Sp.KJ, STH (PLT) Eselon IIIA

SEKRETARIAT DEWAN DAN SEKRETARIAT DAERAH

No. UNIT KERJA (INSTANSI) NAMA KEPALA UNIT KERJA (INSTANSI) ESELON

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
49

1. Sekretaris DPRD SU RIDWAN BUSTAN Eselon IIA

2. Biro Otonomi Daerah Drs. BUKIT TAMBUNAN Eselon IIB

3. Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan ABDUL JALIL, SH Eselon IIB

4. Biro Pemerintahan Drs. ARSYAD LUBIS Eselon IIB

5. Biro Pembangunan Ir. ALWIN SITORUS Eselon IIB

6. Biro Bina Sosial Drs. ZULKARNAIN Eselon IIB

7. Biro Perekonomian Ir. JOHN EDIN LUMBANGAOL Eselon IIB

8. Biro Pemberdayaan Perempuan Ir. NURLISA GINTING Eselon IIB

9. Biro Umum NURDIN PANE, SE, MAP Eselon IIB

10. Biro Perlengkapan Drs. BUSRAL MANAN Eselon IIB

11. Biro Keuangan SALMAN GINTING, SH, MAP Eselon IIB

12. Biro Hukum FERLIN NAINGGOLAN, SH Eselon IIB

UNIT-UNIT KERJA

DINAS-DINAS
LEMBAGA TEKNIS SEKWAN & SETDA
DAERAH
01. Dinas Pendidikan 01. Badan Penelitian dan Pengembangan 01. Sekretariat DPRDSU

02. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan


02. Dinas Perikanan dan Kelautan 02. Biro Otonomi Daerah
Daerah

03. Dinas Kesehatan 03. Inspektorat 03. Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan

04. Dinas Pemuda dan Olahraga 04. Badan Pembangunan Daerah 04. Biro Pemerintahan

05. Dinas Peternakan 05. Badan Pendidikan dan Pelatihan 05. Biro Pembangunan

06. Dinas Sosial 06. Badan Investasi dan Promosi 06. Biro Bina Sosial

07. Dinas Tenaga Kerja dan


07. Badan Pemberdayaan Masyarakat 07. Biro Perekonomian
Transmigrasi

08. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 08. Badan Perpustakaan & Arsip Daerah 08. Biro Pemberdayaan Perempuan

09. Dinas Kehutanan 09. Badan Ketahanan Pangan 09. Biro Umum

10. Dinas Perhubungan 10. Badan Informasi dan Komunikasi 10. Biro Perlengkapan

11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 11. Badan Kepegawaian Daerah 11. Biro Keuangan

12. Dinas Koperasi dan Usaha Kecil 12. Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan
12. Biro Hukum
Menengah Masyarakat

13. Dinas Pendapatan 13. Kantor Pengolahan Data Elektronik

14. Dinas Pertanian 14. Kantor Penghubung Daerah

15. Dinas Perkebunan 15. Kantor Satuan Pamong Praja

16. Dinas Pertambangan dan Energi 16. Rumah Sakit Umum Jiwa Badan Pusat Statistik

17. Dinas Jalan dan Jembatan Balai Pengkajian Teknologi pertanian

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
50

Sumut

Badan Koordinasi Keluarga Berencana


18. Dinas Tata Ruang dan Pemukiman
Nasional

19. Dinas Pengairan Badan Meteorologi & Geofisika

4.1.4.Visi dan Misi

VISI

"TERWUJUDNYA MASYARAKAT SUMATERA UTARA YANG BERIMAN, MAJU,

MANDIRI, MAPAN, DAN BERKEADILAN DIDALAM KEBHINEKAAN YANG

DIDUKUNG OLEH TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK"

Penjelasan Visi :

1. Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang beriman, yaitu masyarakat yang

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa mengamalkan ajaran agamanya dengan

baik, konsisten dan konsekuen, menghargai dan menghormati pemeluk agama

lain dalam bingkai keluarga besar masyarakat Sumatera Utara yang harmonis.

2. Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang maju, yaitu masyarakat yang

berpengetahuan dan sadar akan supremasi hukum serta menggunakan akal sehat,

dapat mengikuti dan menyesuaikan dengan perkembangan global namun tetap

mempertahankan cirri identitas masyarakat Sumatera Utara yang majemuk karena

pandai menghargai adat.

3. Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang mandiri serta percaya diri, yaitu

masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan otensi daerah dan

karenanya dapat menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan prakarsa dan

aspirasi masyarakat itu sendiri.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
51

4. Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang mapan yaitu masyarakat yang

mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara seimbang jasmani dan rohani,

memiliki daya tahan terhadap pengaruh luar, mampu meningkatkan kualitas

kehidupannya termasuk lingkungan hidup yang semakin layak, tanpa adanya

tingkat kesenjangan yang signifikan.

5. Terwujudnya masyarakat yang berkeadilan didalam kebhinekaan yaitu

masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama secara proporsional

dalam lingkup masyarakat yang merasa dipinggirkan, dilupakan dan ditinggalkan.

6. Tata pemerintahan yang baik atau good governance menganut prinsip-prinsip

akuntabilitas, pengawasan, daya tanggap, profesionalisme, efisiensi dan

efektivitas, transparansi, kesetaraan, wawasan ke depan, partisipasi dan

penegakan hukum.

MISI

Untuk mewujudkan Visi tersebut maka dibuatlah Misi seperti berikut ini :

1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai

sumber moral dan akhlak yang baik untuk menunjang kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.

2. Meningkatkan kualitas dan sistem pembinaan aparatur pemerintahan, mengurangi

KKN, dalam rangka menghilangkannya sama sekali dalam upaya untuk

mewujudkan tata pemerintahan yang baik sebagai landasan pembangunan

masyarakat madani.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
52

3. Mendorong penegakan hukum yang konsisten dan meningkatkan rasa aman

masyarakat.

4. Membangun prasarana dan sarana daerah untuk menunjang kegiatan ekonomi

daerah dengan tetap memperhatikan kesenjangan wilayah melalui kerjasama antar

daerah dan kerjasama pemerintah daerah dengan swasta dan kerjasama Regional

dan Internasional.

5. Membangun dan mengembangkan ekonomi daerah, termasuk mendorong

ekonomi kerakyatan, yang bertumpu pada sector pertanian, agroindustri,

pariwisata serta sector unggulan lainnya, dengan cara investasi dalam dan luar

negeri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.

6. Mendorong pengembangan kualitas masyarakat dan sumber daya manusia yang

cerdas, terampil, kreatif, inovatif, produktif dan memiliki etos kerja yang tinngi

serta memiliki semangat berpartisipasi untuk pembangunan lingkungannya

maupun daerah secara keseluruhan

7. Meningkatkan rasa keadilan, kesetaraan, kebersamaan dan rasa persatuan dalam

masyarakat yang perwujudannya dapat terlihat dari antara lain, komposisi pejabat

di pemerintahan daerah yang menggambarkan konfigurasi kemajemukan

masyarakat Sumatera Utara yang serasi.

4.1.5. Program Prioritas

1. Bidang Hukum

Program penegakan hukum di bidang kehutanan ditujukan untuk menangani

pencurian kayu (Ilegal logging) dan kebakaran hutan dan telah dibentuk tim
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
53

Operasional Pengamanan Hutan dan Hasil Hutan Propinsi Sumatera Utara yang

melibatkan beberapa instansi terkait yang akan di fokuskan pengamanan hutan

pada kawasan hutan produksi, dan hutan lindung

2. Ekonomi

1. Peningktan ketahanan pangan melalui :

1. Diversifikasikan pangan serta pengembangan hotikultura melalui

penyedia bibit berkualitas serta pembinaan kelompok penangkar benih

serta terus mengembangkan teknologi budidaya hotikultura .

2. Pengembangan teknologi sederhana produksi pupuk alternatif dan

pupuk kompos dengan harga yang terjangkau petani dan berkualitas

baik

3. Pengendalian hama terpadu (PHT) melalui pelaksnaan sekolah lapang

dan penggunaan musuh alami dari hama penyakit

4. Dalam rangka swasembada daging tahun 2005 perlu peningkatan

populasi ternak melalui Inseminasi buatan / IB, serta untuk memenuhi

semen beku perlu segera akan dibangun Balai Inseminasi buatan

Propinsi Sumatera Utara, dan Kab/Kota agar menyediakan dana

pengembangannya melalui APBD Kab/Kota.

2. Pengembangan Agribisnis

1. Pengembangan industri perbenihan melalui balai - balai benih.

2. Pengembangan industri pengolahan agro melalui pemanfaatan Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian dan Balai Industri Kecil di Medan.


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
54

3. Dukungan penyedian dana APBD Kab./Kota dalam pelaksanaan

Action Plan Program Pengembangan Kawasan Sentra Produksi.

3. Pengembangan dan Pengelolaan Pengairan

1. Mendukung program Nothern Sumatera Irrigated Agricultur Sector

Project (NSIASP) melalui penyediaan dana pendamping dari APBD

Kab./Kota.

2. Penataan dan Penguatan Basis Produksi dan Distribusi, terutama

agroindustri.

3. Pengembangan industri hilir dari hasil pertanian

4. Peningkatan aksesibilitas objek wisata, promosi dan pemasaran

pariwisata serta pelestarian budaya melalui :

1. Peningkatan jalan Binjai-Timbang, jalan Karo - Langkat, jalan Batas

Karo - Seribu Dolog - Tiga Runggu, Lingkar Danau Toba dan

Keliling Pulau Samosir, jalan Sibolga - Barus dan Tarutung -

Sibolga, lanjutan Peningkatan jalan Lingkar Nias, jalan Siantar -

Parapak, jalan Tanjung Dolok - Tiga Runggu dll.

2. Penataan lingkungan dan fasilitas objek wisata.

5. Mempertahankan Tingkat Jasa Pelayanan Prasarana dan Saran

1. Dukungan peningkatan jaringan jalan nasional, Propinsi dan

Kabupaten yang di pokuskan pada ruas jalan dan pengembangan

jaringan melalui Sumatera Regional Road Project (SRRP).


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
55

6. Pembangunan Sarana dan Prasarana Transportasi

1. Pembukaan dan peningkatan jalan menyusur pantai barat dan

jalan penunjang pelabuhan Sibolga/Labuhan Angin.

2. Peningkatan Jalan Dolok Sanggul - Barus, jalan Tanjung Balai -

Teluk Nibung - Bagan Asahan, jalan Barus - Manduamas - Saragih

Batas Aceh, jalan Tembus Dairi - Tapanuli Utara.

7. Pengembangan Perikanan, Kelautan dan Masyarakat Pesisir

1. Infestarisasi sumberdaya kelautan

2. Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan melalui, Marine

Coastal Resources Management Project/MCRMP

3. Dukungan Kab/Kota dalam Programperguliran bantuan alat

penangkap ikan dan alat tangkapnya.

3. Bidang Pendidikan

1. Pembinaan dan Peningkatan Sarana dan Prasarana Pendidikan dasar,

menengah dan Kejuruan.

2. Dukungan untuk mempertahankan kelangsungan / partisipasi Sekolah

Dasar (SD/MI) dan lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/MTs) melalui

Program Basic Education Project (BEP).

4. Bidang Sosial Budaya

1. Pembinaan Dan Dukungan Pembangunan Sarana/Prasarana Kasehatan

Khusunya Rumah Sakit Kab./Kota Dan Puskesmas Pada Jalan Lintas

Propinsi.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
56

2. Penyediaan dana pembelian obat oleh kabupaten/kota (propinsi hanya

mendukung).

5. Bidang Pembangunan Daerah

1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Daerah.

2. Pembangunan Sistim Informasi Terpadu Se Sumatera di Propinsi

Sumatera Utara dengan kegiatan Pengintegrasian jaringan ke dinas-dinas

Pemerintah Propinsi Sum.Utara dan Pemerintah Kab./Kota.

3. Penerapan Sistem Informasi pelaporan penyelengaraan pemerintah daerah

(SIMLAPDA) sesuai dengan PP 56 Tahun 2001 dan Kab./Kota.

4. Agar mengalokasikan dana dari APBD Kab./Kota

5. Pengembangan Kapasitas Perencanaan Daerah

6. Pembangunan Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah

(SIMRENDA),

6. Pengembangan Kerjasama Luar Negeri

1. Pengembangan Sister Province berupa peningkatan kegiatan swasta

melalui Propinsi bersaudara untuk menjalin hubungan dagang dengan

mitra diluar Negeri.

2. Asia Urbs Programme merupakan program kerjasama Uni Eropa dengan

Negara-negara di kawasa Asia, berupa dukungan Proyek-proyek

pembangunan berjangka 2 (dua) tahun atau studi-studi berjangka 6 (enam)

bulan yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi penghidupan dan


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
57

lingkungan bagi penduduk perkotaan yang difokuskan pada manajemen

perkotaan, pengembangan sosial ekonomi perkotaan, lingkungan

perkotaan dan infrastruktus perkotaan.

3. Bantuan Luar Negeri Pemerintah Jepang disalurkan melalui :

4. Deplu/Konjen Jepang dalam bentuk hibah kepada Pemerintah seperti

Perlengkapan RS Kabanjahe dan Masyarakat melalui LSM berupa Grass

Root Program.

5. JICA memberikan bantuan teknik/Technical Assisten seperti studi-studi

yang diprioritaskan pada pembangunan sosial dan penurunan tingkat

kemiskinan, dukungan bagi pengembangan pola penyelenggaraan

pemerintahan yang lebih baik, reformasi struktur perekonomian dalam

rangka pemulihan kesetabilan ekonomi, peningkatan infrastruktur industri

untuk mendukung tingkat pertumbuhan ekonomi, perlindungan terhadap

lingkungan dan pengiriman tenaga ahli, pelatihan.

Dari prioritas tersebut sedang dilaksanakan di Sumatera Utara adalah prioritas

dukungan bagi pengembangan pola penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik

melalui 2 (dua) proyek besar yaitu :

1. Berkaitan dengan kebijakan pembangunan daerah di mulai pada April 2001

sampai dengan Maret 2004, dalam proyek ini JICA menempatkan Tenaga Ahli

yang ditempatkan di Bappadasu

2. Pengembangan SDM di Pemerintah Daerah akan dilaksanakan mulai April 2002

sampai dengan Maret 2004 yaitu dalam bentuk pelatihan khususnya yang bersifat
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
58

managemen administratif dan JICA akan menempatkan Tenaga Ahli di Diklat

Propsu yang mulai efektif pada Januari 2003.

3. Peningkatan Ekonomi Wilayah

Kebijakan dalam pemanfaatan Dana Bantuan Kabupaten / Kota ditujukan untuk

Program/Proyek Pendidikan, Pertanian, Peningkatan Jalan dan Jembatan,

Kesehatan, Permukiman, Sistem Drainase yang besarnya disesuaikan dengan

sistem skoring serta kegiatan prioritas yang harus ditangani segera sesuai petunjuk

Gubernur Sumatera Utara.

4. Pengembangan Wilayah Strategis dan Kawasan Andalan

1. Pembangunan Kawasan Mebidang, melalui pembangunan jalan sejajar

Mebidang menghasilkan kesepakatan pembangunan trase jalan dan

pengantian jembatan Tanjung Selamat yang pembiayaanya dengan cara

sharing biaya antara Pempropsu, Kota Medan, Kota Binjai dan Kab. Deli

Serdang, (alokasi dana dapat diprogramkan pada APBD Kab./Kota dan

APBD Propinsi serta sedang dipersiapkan Naskah Kesepakatan

Pembangunan Jalan Sejajar Mebidang),

2. Pengembangan Kawasan Pantai Barat melalui Pembangunan Sumatera

Utara Airlines, Rencana Pembangunan Kawasan Industri Pantai Barat,

pelurusan jalan Poriaha - Rampa dan Rampa - Sibolga.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
59

4.2. Penyajian Data Penelitian

4.2.1. Identifikasi Responden

Identitas responden yang disajikan adalah profil responden terkait dalam tingkat

usia, suku bangsa, pendidikan, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan suami, dan

sosok panutan dalam kegiatan kepemimpinan.

4.2.1.1. Identitas responden berdasarkan usia

Tabel 4.1.

Distribusi responden berdasarkan usia

Usia F %
30 35 0 0%
36 42 0 0%
43 56 36 100 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Dari tabel 1 diatas menunjukkan bahwa usia responden seluruhnya adalah dalam

kisaran usia 43 56, yakni 36 responden ( 100 % )

4.2.1.2. Identitas responden berdasarkan pendidikan

Tabel 4.2.

Distribusi responden berdasarkan pendidikan

Tingkat Pendidikan F %
SLTA / D3 0 0%
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
60

S1 / Sarjana 17 47,22 %
S2 / S3 19 52,78 %
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel 2 menunjukkan bahwa responden memiliki pendidikan yang tinggi, hal ini

dibuktikan dengan jumlah responden yang mengenyam pendidikan S1 / sarjana sebanyak

17 orang ( 47,22 % ), dan responden yang mengenyam pendidikan S2 / S3 sebanyak 19

orang ( 52, 78 ). Hal ini menunjukkan bahwa responden memiliki pendidikan yang cukup

tinggi, dengan alasan bahwa melalui pendidikan, mereka bisa meningkatkan kemampuan

pribadi dan professional mereka dan bisa diaplikasikan dalam kegiatan kepemimpinan

mereka.

4.2.1.3. Identitas responden berdasarkan suku bangsa

Para ahli sosiologi menggunakan istilah kelompok etnik untuk menyebutkan

setiap bentuk kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras, yang

secara social dianggap berada dan telah mengembangkan subkulturnya sendiri. Dengan

kata lain, suatu kelompok etnik adalah kelompok yang diakui oleh masyarakat dan oleh

kelompok etnik itu sendiri sebagai suatu kelompok tersendiri. Walaupun perbedaan

kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu, namun ciri-ciri pengenalnya dapat

berupa bahasa, agama, wilayah kediaman, kebangsaan, bentuk fisik atau gabungan dari

beberapa ciri tersebut.

Jika kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat manusia, tradisi-tradisi,

pola perilaku keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan, maka

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
61

kebudayaan yang kita lihat di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan

jelas keberpihakannya pada kaum laki-laki, yang disebut budaya patriarkhi.

Dalam skripsi ini juga melihat dari sudut etnis responden yang berguna untuk

melihat internalisasi nilai-nilai yang ditanamkan keluarga, lingkungan ataupun teman-

temannya. Persebaran etnis yang dapat diamati cukup beragam. Untuk lebih lengkapnya

dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

Tabel 4.3.

Distribusi responden berdasarkan suku bangsa

Suku Bangsa F %
Batak 23 63,89 %
Melayu 4 11,11 %
Jawa 7 19,44 %
lainnya 2 5,56 %
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas suku bangsa responden adalah suku Batak

sebanyak 23 orang ( 63, 89 % ), suku Melayu sebanyak 7 orang ( 19, 44 % ), suku Jawa

sebanyak 4 orang ( 11,11 % ), dan untuk jawaban lainnya ada 2 orang ( 5,56 %)

responden yang menjawab, untuk lebih spesifiknya suku tersebut adalah suku Aceh. Suku

Batak merupakan suku mayoritas responden yaitu sebanyak 23 orang ( 63,89 % ), hal ini

karena suku Batak merupakan salah satu suku besar yang mendiami provinsi Sumatera

Utara. Suku Batak menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki merupakan penerus

marga keluarga, sehingga dianggap lebih berharga dibandingkan anak perempuan yang

nantinya akan ikut keluarga suaminya.Laki-laki merupakan pemimpin dalam keluarga

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
62

dan mendapatkan posisi yang utama dalam setiap hal sedangkan perempuan mendapat

posisi nomor dua.

4.2.1.4. Identitas responden berdasarkan status perkawinan

Tabel 4.4.

Distribusi responden berdasarkan status perkawinan

Status perkawinan F %
Belum kawin 1 2,8 %
Kawin 24 66,7 %
Janda 11 30,5%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa ada 24 orang ( 66,7 % ) yang menikah, 11 orang

( 30,5 % ) dengan status janda, dan terdapat satu orang ( 2, 8 % ) yang belum menikah.

Mayoritas responden merupakan perempuan yang sudah menikah yaitu sebanyak 24

orang ( 66,7 % ), sedangkan 11 orang lainnya ( 30,5 % ) adalah janda tetapi walaupun

demikian, kenyataannya adalah mereka sudah pernah menikah, hanya ada 1 responden

yang belum menikah. Hal ini menyatakan bahwa hampir seluruh responden pernah

menikah dan membuktikan bahwa lembaga pernikahan menjadi pilihan mutlak bagi

mayoritas responden.

4.2.1.5. Identitas responden berdasarkan jumlah anak

Fawcett ( www.danandiri.or.id/file/rahmawatiunhasbab.pdf.) mengemukakan

bahwa ada enam nilai anak bagi orang tua , yaitu perekat cinta kasih, sumber tenaga
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
63

kerja, asuransi di hari tua, pelangsung keturunan,sumber rezeki, teman, penolong dan

pelindung. Alasan memiliki anak oleh para wanita berbeda-beda, banyak penelitian

tentang wanita bekerja dan kesimpulannya adalah bahwa wanita yang bekerja cenderung

mempunyai anak lebih sedikit, atau sebaliknya jumlah anak yang banyak dapat

mendorong wanita untuk bekerja agar dapat memnuhi kebutuhan keluarga. Kebanyakan

yang menjadi alasan utama terhadap jumlah anak adalah ekonomi. Jenis pekerjaan yang

digeluti wanita mampu menurunkan atau menambah kegunaan ekonomi yang diharapkan

dari anak akibatnya jumlah anak yang diinginkan akan berkurang atau sebaliknya

bertambah. Berikut distribusi responden berdasarkan jumlah anak.

Tabel 4.5.

Distribusi responden berdasarkan jumlah anak

Jumlah anak F %
1 2 orang 19 54, 3%
3 4 orang 14 40 %
5 6 orang 2 5,7
Lainnya 0 0%
Jumlah 35 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan ( Tabel 4.4. ) Responden yang telah menikah berjumlah 35 orang,

dan responden yang memiliki jumlah anak 1 2 orang berjumlah 19 orang ( 54,3 % ),

3 4 orang berjumlah 14 orang ( 40 % ), dan 5 6 orang berjumlah 2 orang ( 5,7 % ).

Mayoritas responden yaitu 19 orang ( 54,3 % ) memiliki jumlah anak yang lebih sedikit

dibandingkan yang lain yaitu 1-2 orang, kenyataan ini didukung oleh penelitian terhadap

perempuan yang bekerja cenderung memiliki jumlah anak yang lebih sedikit. Anggapan

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
64

masyarakat bahwa banyak anak banyak rejeki dalam penelitian ini telah bergeser karena

mayoritas responden memiliki jumlah anak yang sedikit.

4.2.1.6. Identitas responden berdasarkan pekerjaan suami

Tabel 4.6

Distribusi responden berdasarkan pekerjaan suami

Pekerjaan suami F %
Pegawai negeri / 15 62,5 %
BUMN
Pegawai swasta 5 20,8 %
Wiraswasta 4 16,7 %
Lainnya 0 0%
Jumlah 24 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan tabel 4.4. responden yang telah menikah dan memiliki suami

berjumlah 24 orang. Responden yang memiliki suami dengan pekerjaan sebagai pegawai

negeri / pegawai BUMN berjumlah 15 orang ( 62,5 % ), Pegawai swasta berjumlah 5

orang ( 20,8 % ), dan wiraswasta berjumlah 4 orang ( 16,7 % ). Dapat diperhatikan bahwa

wanita yang bekerja sebagai PNS mayoritas mempunyai suami yang bekerja sebagai PNS

atau Pegawai BUMN. Hal ini dikarenakan bahwa pekerjaan sebagai PNS atau Pegawai

BUMN memiliki tingkat kesejahteraan yang stabil jika dibandingkan dengan pekerjaan

yang lain.

4.2.1.7. Identitas responden berdasarkan yang paling mendukung


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
65

Tabel 4.7.

Distribusi responden berdasarkan yang paling mendukung dalam kepemimpinan

Pernyataan F %
Suami 19 52,8 %
Orang tua 8 22,2 %
Saudara sedarah 2 5,6 %
lainnya 7 19,4 %
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Dari table diatas, ditunjukkan bahwa yang paling mendukung responden dalam

kegiatan kepemimpinannya adalah suami dengan jumlah 19 orang ( 52,8 % ), orang tua

sebanyak 8 orang ( 22,2 % ), saudara sedarah sebanyak 2 orang ( 5,6 % ), dan yang

menjawab lainnya berjumlah 7 orang ( 19,4 % ), untuk lebih spesifiknya jawaban tersebut

adalah anak-anak responden. Mayoritas responden yaitu 19 orang ( 52,8 % ) menyatakan

bahwa sosok yang paling mendukung dalam kepemimpinannya adalah suami, hal ini

membuktikan bahwa seorang pemimpin juga membutuhkan dukungan, khususnya dari

suami mereka.

4.2.1.8. Identitas responden berdasarkan sosok panutan

Tabel 4.8.

Distribusi berdasarkan sosok panutan sebagai pemimpin

Pernyataan F %
Ibu 12 33,3 %
Ayah 19 52,8 %
Suami 5 13,9
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
66

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden memilih sosok panutannya

adalah ayah sebanyak 19 orang ( 52,8 % ), ibu sebanyak 12 orang ( 33,3 % ) dan suami

sebanyak 5 orang ( 13,9 ). Melihat jawaban responden bahwa sosok panutan adalah ayah,

menunjukkan bahwa kultur patriarkhi masih terasa didalam kepemimpinan responden.

Ayah masih merupakan sosok pemimpin dan dianggap sebagai patron dalam memimpin.

Hal ini ini dapat berasal dari masa lalu responden didalam keluarga, bahwa ayah

merupakan kepala keluarga, pengambil keputusan, dan sosok pemimpin didalam

keluarga.

4.2.2. Pola Kepemimpinan

Kepemimpinan menurut kamus sosiologi adalah suatu keadaan untuk proses

pengaruhan orang banyak kepada seseorang atau kelompok tertentu karena kelebihan-

kelebihannya dibidang pengetahuan, kekuasaan dan seterusnya, sehingga pihak tersebut

mempengaruhi sikap-sikap dan tindakan orang-orang yang mengikutinya.

4.2.2.1. Pemberian arahan kepada bawahan

Tabel 4.9.

Distribusi responden berdasarkan pemberian arahan kepada bawahan

Pernyataan F %
Sering 36 100 %
Jarang 0 0%
Tidak pernah 0 0%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden ( 100 % ) sering memberikan

arahan kepada bawahan, apakah, kapan, dimana, dan bagaimana suatu tugas
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
67

dilaksanakan. Pemberian arahan apakah, kapan, dimana dan bagaimana suatu tugas

dilaksanakan merupakan bukti bahwa pemimpin merupakan pemimpin yang efektif

dalam pemenuhan tugas. Mereka memberikan arahan agar bawahan dapat melakukan

pekerjaan dengan maksimal dan tujuan organisasi dapat tercapai.

4.2.2.2. Pengikutsertaan bawahan dalam proses pengambilan keputusan

Tabel 4.10.

Distribusi responden berdasarkan pengikutsertaan bawahan dalam pengambilan


keputusan

Pernyataan F %
Sering 23 63,9 %
Jarang 13 36,1 %
Tidak pernah 0 0%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden ( 63,9 % ) sering

mengikutsertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan responden

yang jarang mengikutsertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan sebanyak

13 orang ( 36,1 % ). Hal ini membuktikan bahwa seorang pemimpin tetap harus

mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan sebagai bentuk kerjasama

yang efektif untuk mencapai tujuan bersama, karena hal tersebut mampu memperbesar

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
68

partisipasi dan meningkatkan dedikasi serta loyalitas, karena setiap anggota kelompok

merasa ikut berperan dan dilibatkan sesuai dengan posisinya masing-masing.

4.2.2.3. Anggapan bahwa kesalahan bawahan merupakan kesalahan pemimpin

Tabel 4.11.

Distribusi responden berdasarkan anggapan kesalahan bawahan merupakan kesalahan


pemimpin

Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden ( 100 % ) beranggapan

bahwa kesalahan bawahan merupakan kesalahan responden juga. Seorang pemimpin

yang baik merupakan pemimpin yang tidak lepas tangan terhadap kesalahan yang

diakibatkan bawahan, karena sebagai pemimpin, mereka berkewajiban membimbing

bawahan dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama bukan saling menyalahkan

dan lepas tangan, Karena sebagai tim, pemimpin dan bawahan merupakan satu kesatuan.

4.2.2.4. Pengakuan ketidaksempurnaan kepada bawahan

Table 4.12.

Distribusi responden berdasarkan pengakuan ketidaksempurnaan

Pernyataan F %
Sering 14 38.9 %
Jarang 22 61,1 %
Tidak pernah 0 0%
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
69

lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden sebanyak 22 orang

( 61,1 % ) jarang mengakui kepada bawahan bahwa mereka tidak sesempurna yang

mereka bayangkan, karena pada situasi tertentu, responden tidak memiliki semua

jawaban, dan responden yang mengakui bahwa ia sering mengakui

ketidaksempurnaannya sebanyak 14 orang ( 38,9 % ). Mayoritas responden menyatakan

bahwa mereka jarang mengakui ketidaksempurnaan mereka sebagai pemimpin, karena

disatu sisi mereka merupakan manusia biasa yang terbatas dan disatu sisi mereka

merupakan seorang pemimpin yang harus sempurna dan melebihi mereka.

4.2.2.5. Kesediaan responden menerima masukan berupa saran dan kritik dari
bawahan

Tabel 4.13

Distribusi responden berdasarkan kesedian responden menerima masukan saran dan


kritik

Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak 0 0%
Kadang 0 0%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu sebanyak 36 orang

( 100 % ) bersedia menerima masukan berupa saran dan kritik dari bawahan mereka.

Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka menerima saran dan kritik sebagai

bentuk pernyataan bahwa mereka merupakan pemimpin yang tidak otoriter terhadap

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
70

bawahan dan mau berubah jika hal tersebut memang diperlukan untuk kepentingan

bersama.

4.2.2.6. Pengakuan memproklamirkan prestasi bawahan di depan umum

Tabel 4.14.
Distribusi responden berdasarkan pengakuan prestasi
Pernyataan F %
Sering 21 58,33 %
Jarang 15 41,67 %
Tidak pernah 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 21 orang

( 58,33 % ) mengakui sering memproklamirkan prestasi bawahan di depan umum, 15

orang ( 41,67 % ) jarang memproklamirkan prestasi bawahan didepan umum dan tidak

ada responden yang tidak pernah memproklamirkan prestasi bawahan. Mayoritas

responden menyatakan bahwa mereka sering memproklamirkan prestasi bawahan

didepan umum sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap prestasi bawahan terbut, hal

tersebut akan memicu perasaan dihargai dari bawahan yang berprestasi dan memicu

kepada bawahan yang lain untuk berprestasi juga.Sedangkan bagi responden yang jarang

memproklamirkan prestasi bawahan menyatakan bahwa hal itu dilakukan agar tidak

tercipta suasana persaingan yang tidak sehat antara bawahan

4.2.2.7. Pembangunan hubungan pribadi disamping hubungan professional dengan

bawahan.

Tabel 4.15.
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
71

Distribusi pembangunan hubungan pribadi


Pernyataan F %
Sering 36 100 %
Jarang 0 0%
Tidak pernah 0 0%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu sebanyak 36 orang

( 100 % ) sering meluangkan waktu untuk membangun hubungan pribadi, disamping

hubungan professional dengan bawahan seperti makan bersama, out bond, jalan ke luar

kota dan lain-lain. Hal tersebut dimaksudkan agar terbangun hubungan yang harmonis

antara pemimpin dan bawahan, karena dengan terciptanya suasana yang harmonis akan

membentuk suasana kerja yang nyaman dan tujuan bersama akan terwujud.

4.2.2.8. Perlakuan bawahan sebagai mitra sejajar dalam organisasi

Tabel 4.16.
Distribusi perlakuan sebagai mitra sejajar
Pernyataan F %
Ya 27 75 %
Tidak 0 0%
Kadang-kadang 9 25 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 27

orang ( 75 % ) memperlakukan bawahan sebagai mitra yang sejajar dalam organisasi,

sedangkan responden yang kadang-kadang memperlakukan bawahan sebagai mitra

sejajar sebanyak 9 orang ( 25 % ). Dengan memperlakukan bawahan sebagai mitra yang

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
72

sejajar, maka akan terbentuklah hubungan yang harmonis dan kerjasama akan lebih

mudah dijalin.

4.2.2.9. Bentuk perlakuan sebagai mitra sejajar

Tabel 4.17.
Distribusi responden berdasarkan bentuk perlakuan sebagai mitra sejajar
Pernyataan F %
Menerima masukan dan kritik dari bawahan 6 16,7
Mengikutsertakan bawahan dalam setiap 14 38,9
pengambilan keputusan
Selalu mendengarkan alasan bawahan ketika 7 19,4
pekerjaannya tidak sesuai dengan harapan
lainnya 0 0%
Jumlah 27 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Dari tabel sebelumnya ( Tabel 4.2.7. ) responden yang menjawab ya untuk

perlakuan bawahan sebagai mitra sejajar dalam organisasi berjumlah 27 orang. Untuk

jawaban menerima masukan dan kritik dari bawahan sebanyak 6 orang ( 16,7 % ),

mengikutsertakan bawahan dalam setiap pengambilan keputusan sebanyak 14 orang

( 38,9 % ), dan selalu mendengarkan alasan bawahan ketika pekerjaannya tidak sesuai

dengan harapan sebanyak 7 orang ( 19,4 % ).

4.2.2.10. Favoritisme pada staff yang berprestasi

Tabel 4.18.
Distribusi responden berdasarkan favoritisme pada staff yang berprestasi
Pernyataan F %
Sering 7 19,44 %
Jarang 13 36,11 5
Tidak pernah 16 44,50 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
73

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak pernah menunjukkan

favoritisme pada staff yang berprestasi sebanyak 16 orang ( 44,50 % ) dengan alasan agar

tidak menimbulkan kecemburuan diantara para staff, yang jarang menunjukkan

favoritisme sebanyak 13 orang ( 36, 11 % ), dan yang sering menunjukkan favoritisme

sebanyak 7 orang ( 19,44 % ). Dengan menunjukkan favoritisme kepada bawahan,

responden menyatakan bahwa hal tersebut dapat memicu kecemburuan sosial antara

sesama bawahan, sehingga favoritisme perlu dihindari sedangkan bagi responden yang

jarang menunjukkan favoritisme menyatakan bahwa ada waktu yang diperlukan untuk

menunjukkan favoritisme, tidak perlu sering sedangkan bagi responden responden yang

sering menunjukkan favoritisme menyatakan bahwa hal tersebut sebagai bentuk

penghargaan bagi mereka yang berprestasi dan dorongan berprestasi bagi bawahan yang

lainnya.

4.2.2.11. Pemastian bawahan mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai

pembagian visi departemen

Tabel 4.19.
Distribusi responden berdasarkan pemastian visi departemen
Pernyataan F %
Sering 36 100 %
Jarang 0 0%
Tidak pernah 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu sebanyak 36 orang

( 100 % ) memastikan bawahan mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai

pembagian visi departemen, karena dengan memastikan kejelasan visi departemen akan
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
74

memudahkan bawahan untuk mencapai tujuan bersama dan pemimpin harus memastikan

hal tersebut.

4.2.2.12. Peningkatan perkembangan pribadi dan profesional

Tabel 4.20.
Distribusi responden berdasarkan peningkatan perkembangan pribadi dan professional
Pernyataan F %
Ya, selalu 36 100 %
Tidak pernah 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu sebanyak 36 orang

( 100 % ) selalu meningkatkan perkembangan pribadi dan professional. Hal ini

dimaksudkan untuk menunjang kepemimpinan mereka, karena sebagai seorang

pemimpin mereka dituntut untuk lebih, lebih tahu, lebih peka terhadap situasi

dibandingkan orang lain.

4.2.2.13. Bentuk peningkatan perkembangan pribadi dan professional

Tabel 4.21.
Distribusi responden berdasarkan bentuk peningkatan perkembangan pribadi dan
professional
Pernyataan F %
Membeli buku yang berkaitan dengan 7 19,44 %
peningkatan kualitas diri
Mengikuti kursus-kursus kepribadian diri 4 11,11 %
Mengikuti seminar-seminar 3 8,35 %
lainnya 22 61,1 %
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bentuk peningkatan perkembangan pribadi dan

professional responden dalam membeli buku yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
75

diri sebanyak 7 orang ( 19,44 % ), mengikuti kursus-kursus kepribadian sebanyak 4 orang

( 11,11 % ), menikuti seminar-seminar sebanyak 3 orang ( 8,35 % ),dan responden yang

menjawab lainnya berjumlah paling banyak yaitu sebanyak 22 orang ( 61,1 % ), lebih

spesifiknya ada 15 responden yang menjawab ketiganya dan ada 7 orang yang menjawab

A dan C.

4.2.2.14. Pemberian reward ( penghargaan ) dan punishment ( Hukuman ) kepada

bawahan

Tabel 4.22.

Distribusi responden berdasarkan pemberian reward dan punishment


Pernyataan F %
Ya 26 72,2 %
Tidak tahu 0 0%
Tidak pernah 10 27,8 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 26 orang

( 72,2 % ) jarang memberikan reward dan punishment dan sebanyak 10 orang ( 27,8 % )

tidak pernah memberikan reward dan punishment dengan alasan birokrasi.

4.2.2.15. Bentuk reward ( Penghargaan )

Tabel 4.23.
Distribusi responden berdasarkan bentuk reward
Pernyataan F %
Pujian 26 100 %
Bonus 0 0%
Cuti 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 26 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
76

Berdasarkan tabel 4.22. responden yang menjawab ya sebanyak 26 orang. Seluruh

responden yaitu sebanyak 26 orang ( 100 % ) memberikan pujian sebagai bentuk reward.

Bonus dan cuti tidak dikenal dalam birokrasi, oleh sebab itu responden tidak mengenal

bonus dan cuti sebagai bentuk reward, hal itu berlaku pada birokrasi di luar

pemerintahan.

4.2.2.16. Bentuk punishment ( Hukuman )

Tabel 4.24.
Distribusi responden berdasarkan bentuk punishment
Pernyataan F %
Skorsing 0 0%
Surat peringatan 26 100 %
Penggandaan pekerjaan 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 26 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan table 4.22. responden yang menjawab ya sebanyak 26 orang. Seluruh

responden yaitu sebanyak 26 orang ( 100 % ) menjawab bahwa bentuk punishment yang

diberikan kepada bawahan apabila melakukan kesalahan, sedangkan untuk skorsing,

responden menjawab tidak pernah memberikannya, karena bawahan yang mendapatkan

skorsing biasanya telah melakukan kesalahan yang berat, sedangkan untuk penggandaan

pekerjaan, tidak berlaku pada birokrasi pemerintahan.

4.2.2.17. Toleransi terhadap ketidakdisiplinan waktu

Tabel 4.25.
Distribusi responden berdasarkan toleransi terhadap ketidakdisiplinan waktu
Pernyataan F %
Ya 0 0%
Tidak 14 38, 9 %
Kadang-kadang 22 61,1 %
lainnya 0 0%
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
77

Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu 22 orang ( 61,1 % )

mengaku bahwa mereka lebih fleksibel dalam hal toleransi terhadap ketidakdisiplinan

waktu, responden lebih bisa mengerti terhadap alasan yang diberikan oleh bawahan

mengenai keterlambatannya, sedangkan responden yang tidak toleran terhadap

ketidakdisiplinan waktu berjumlah 14 orang ( 38,9 % ).

4.2.2.18. Kebersediaan menerima keluhan-keluhan bawahan

Tabel 4.26.
Distribusi responden berdasarkan kebersediaan menerima keluhan-keluhan bawahan
Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak pernah 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
Lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 36 orang ( 100 % )

bersedia menerima keluhan-keluhan bawaan mengenai kesulitan kerja, dengan alasan

dengan memperhatikan bawahan dan menerima keluhan-keluhan mereka, akan lebih baik

dalam pencapaian tujuan organisasi. Sebagai pemimpin, responden diharapkan dan

bahkan dituntut sebagai penasehat dan pelindung bagi para bawahannya. Pemimpin

menjadi tempat untuk berkeluh kesah dan tempat bertanya, tidak hanya menyangkubagai

hal yang ada kaitannya secara langsung dengan kehidupan organisasi, seperti pelaksanaan

pekerjaan, hubungan kerja, masalah jabatan, kedudukan, pangkat, kesejahteraan sosial,

akan tetapi juga mungkin yang sifatnya pribadi seperti masalah keluarga.

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
78

4.2.3. PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN

Dalam BAB I pada skripsi ini juga telah disinggung mengenai komposisi dan

ratio pemimpin perempuan khususnya Sumatera Utara dalam beberapa posisi kunci,

seperti yang tertulis pada tabel I.1. pada skripsi ini. Komposisi pemimpin perempuan

yang berada pada lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif berjumlah 231

orang.sedangkan jumlah pemimpin laki-laki berjumlah 805 orang.

Melihat kondisi dan posisi perempuan khususnya Sumatera Utara, perempuan dan

kepemimpinan merupakan hal yang sulit diterima. Hal ini diakibatkan oleh konsep

patriarkhi yang selama ini dianut oleh sebagian besar masyarakat kita bahwa pemimpin

adalah laki-laki, maka selama masih ada laki-laki, laki-lakilah yang memimpin.

Pemimpin dianggap sebagai individu yang menduduki status tertentu diatas

individu yang lain didalam kelompok. Maka ketika menjadi seorang pemimpin dituntut

harus memiliki kemampuan yang lebih untuk memimpin dan mengendalikan sumber

daya yang dimilikinya, karena memimpin adalah merupakan kegiatan yang kompleks,

dimana seseorang dituntut untuk dapat mengatasi berbagai persoalan yang rumit tempat

ia memimpin, dan hal tersebut diidentikkan dengan laki-laki, bukan perempuan.

4.2.3.1. Perbedaan kinerja bawahan laki-laki dan perempuan

Tabel 4.27.
Distribusi responden berdasarkan perbedaan kinerja bawahan laki-laki dan perempuan
Pernyataan F %
Ya 10 27,7 %
Tidak 22 61,1 %
Kadang-kadang 4 11,1
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
79

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 22 orang

( 61,1 % ) tidak melihat adanya perbedaan kinerja bawahan laki-laki dan perempuan,

yang melihat bahwa ada perbedaan kinerja antara bawahan laki-laki dan perempuan

sebanyak 10 orang ( 27,7 % ) dan ada 4 orang responden yang menjawab kadang-kadang

dengan alasan untuk pekerjaan jenis tertentu terlihat bahwa perempuan dan laki-laki

berbeda.

4.2.3.2. Posisi pemimpin membuat kehilangan waktu bersama keluarga

Tabel 4.28.
Distribusi responden berdasarkan kehilangan waktu bersama keluarga
Pernyataan F %
Ya 0 0%
Tidak pernah 13 36,11 %
Kadang-kadang 23 63,89 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden kadang-kadang merasakan

kehilangan waktu bersama keluarga yaitu sebanyak 23 orang ( 63,89 % ), sedangkan 13

orang ( 36,11 % ) merasakan tidak pernah kehilangan waktu bersama keluarga. Mayoritas

responden menyatakan bahwa mereka kadang-kadang merasakan kehilangan waktu

bersama keluarga karena posisinya sebagai seorang pemimpin mengharuskan mereka

harus ke luar kota untuk urusan tugas sehingga waktu yang seharusnya untuk keluarga

terpakai untuk urusan kerja.

4.2.3.3. Anggapan bahwa karir dan keluarga bisa berjalan beriringan

Tabel 4.29.
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
80

Distribusi responden berdasarkan anggapan karir dan keluarga bisa berjalan beriringan
Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa seluruh responden yaitu 36 orang ( 100 % )

merasakan bahwa karir dan keluarga bisa berjalan beriringan tanpa harus mengorbankan

salah satunya. Intinya adalah manajemen waktu. Seorang pemimpin harus bisa mengatur

waktunya dalam rumah tangga dan pekerjaan. Sebagai ibu dan istri ia harus bisa

melaksanakan tanggung jawabnya dirumah dan sebagai pemimpin ia harus loyal terhadap

bawahan dan pekerjaannya, tanpa harus mengorbankan salah satu. Keduanya bisa

berjalan beriringan. Tidak seperti anekdot yang sering kita dengarkan bahwa seorang

pemimpin perempuan harus memilih antara keluarga dan karir, jika tidak salah satu atau

dua-duanya akan hancur. Contoh, karir bagus namun anak-anak kehilangan kasih sayang

dan akhirnya hancur. Namun seluruh responden merasa yakin bahwa keluarga dan karir

bisa berjalan beriringan, karena mereka merasa tidak ada yang perlu dikorbankan, yang

penting adalah menyeimbangkan karir dan keluarga melalui manajemen waktu.

4.2.3.4. Dukungan suami

Tabel 4.30.
Distribusi responden berdasarkan apakah suami mereka memberikan dukungan
Pernyataan F %
Ya 24 100 %
Tidak 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 24 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
81

Berdasarkan tabel 4.4, responden yang telah menikah dan memiliki suami

berjumlah 24 orang. Seluruh responden yaitu sebanyak 24 orang ( 100 % ) diberikan

dukungan penuh oleh suami mereka. Hal ini membuktikan bahwa seorang pemimpin

perempuan membutuhkan dukungan penuh dari suami, termasuk mereka. Karena dengan

dukungan tersebut, responden bisa menjalankan perannya sebagai pemimpin dengan baik

dan maksimal.

4.2.3.5. Hambatan yang dihadapi pemimpin perempuan dalam dunia kerja

Hambatan perempuan untuk keluar dari sektor domestiknya dan menjadi

pemimpin dalam sektor publik, memiliki hambatan mendasar yang dapat disebut sebagai

faktor penghalang bagi perempuan untuk tampil di barisan depan diberbagai bidang.

Hambatan yang dipolakan oleh struktur sosial pada lapisan budaya masyarakat seperti,

hambatan fisik, hambatan teologis, hambatan sikap pandang serta hambatan historis.

Seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.31.
Distribusi responden hambatan yang dihadapi pemimpin perempuan dalam dunia kerja
Pernyataan F %
Keluarga 12 33,35 %
Kondisi biologis perempuan 0 0%
Posisi tawar yang lemah 15 41,2 %
lainnya 9 25 %
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendapat bahwa

hambatan yang dihadapi oleh perempuan jika ingin jadi pemimpin adalah posisi tawar

perempuan yang lemah yaitu sebanyak 15 orang ( 41,2 % ), keluarga sebanyak 12 orang (

33,35 % ) sedangkan responden yang menjawab lainnya adalah sebanyak 9 orang ( 25 %


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
82

) lebih spesifik jawabannya adalah kultur patriarki sebanyak 4 orang, mind set perempuan

yang tidak mau jadi pemimpin sebanyak 4 orang, dan tidak ada hambatan sebanyak 1

orang. Mayoritas responden menyatakan bahwa hambatan yang dihadapi pemimpin

perempuan adalah posisi tawar yang lemah, jika melihat bahwa kondisi perempuan saat

ini, hal tersebut bisa jadi ada benarnya karena kenyataannya adalah bahwa perempuan

saat ini memiliki posisi tawar yang lemah dalam dunia kerja. Hal ini terlihat dalam

banyak kenyataan yang bisa kita lihat bahwa perempuan menduduki posisi yang tinggi

dalam kekerasan kerja, upah minim dan kesempatan kerja.

4.2.3.6. Pernyataan perempuan bisa memimpin layaknya laki-laki

Tabel 4.32.
Disttribusi responden berdasarkan pernyataan bahwa perempuan bisa memimpin
layaknya laki-laki
Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak 0 0%
Tidak tahu 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Seluruh responden yaitu 36 orang ( 100 % ) mengatakan bahwa perempuan juga

bisa memimpin layaknya laki-laki. Mereka merasa yakin bahwa perempuan dan laki-laki

memiliki kapasitas yang sama dalam memimpin dan hal tersebut sudah dibuktikan

melalui eksistensi mereka sebagai makhluk yang berjenis kelamin perempuan yang

dianggap sebagai makhluk yang tidak sanggup memimpin karena kapasitasnya sebagai

seorang perempuan diragukan sanggup memimpin layaknya laki-laki.

4.2.4. ISUE GENDER DALAM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
83

Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional menyebabkan

perempuan tidak pernah memiliki kesempatan untuk memimpin, sehingga berakibat

munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Sub

ordinasi karena gender ini terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat

ketempat, dari waktu kewaktu. Ketidak adilan yang lain adalah stereotipe perempuan

dengan label-label yang kurang menguntungkan, seperti perempuan adalah makhluk yang

lemah lembut, telaten dan penyayang, maka pekerjaan yang paling pantas untuknya

adalah mendidik anak dan mengurusi rumah tangga, bukan sebagai politikus atau pelaku

ekonomi yang menuntut perjuangan keras dan beresiko tinggi. Pendek kata, manifestasi

ketidak adilan gender baik dalam bentuk marginalisasi perempuan, subordinasi,

kekerasan, stereotipe maupun beban kerja ini terjadi diberbagai tingkatan, yakni tingkat

negara, ditingkat organisasi, ditingkat adat istiadat, dilingkungan keluarga, dan yang

paling serius adalah ditingkat ideologi umum yang telah mengakar sebagai suatu

keyakinan baik dalam diri laki laki maupun perempuan itu sendiri.

4.2.4.1. Pernyataan bahwa suara responden tidak didengarkan ketika bersama

pemimpin laki-laki.

Tabel 4.33.
Distribusi responden berdasarkan pernyataan suaranya tidak didengarkan ketika bersama
pemimpin laki-laki
Pernyataan F %
Ya 0 0%
Tidak 12 33,33 %
Kadang-kadang 24 66,67 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
84

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 24 orang

( 66,67 % ) mengatakan bahwa kadang-kadang suara mereka sebagai seorang pemimpin

perempuan tidak didengarkan ketika bersama pemimpin laki-laki, dan sebanyak 12 orang

responden ( 33,33 % ) tidak merasakan demikian, mereka didengarkan meskipun berjenis

kelamin perempuan. Tidak didengarkan ketika bersama dengan dengan pemimpin yang

berjenis kelamin laki-laki dirasakan oleh mayoritas responden, hal ini diakibatkan oleh

kultur patriarkhi yang masih belum luntur. Banyak pihak, khususnya pemimpin laki-laki

masih beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya memimpin dan memberikan

pendapat, karena adanya stereotipe yang dilekatkan pada pemimpin perempuan, yaitu

emosional,tidak rasional, cengeng dan tidak tegas.

4.2.4.2. Kenyamanan memberikan pendapat bersama pemimpin laki-laki

Tabel 4.34.
Distribusi responden berdasarkan kenyamanan memberikan pendapat bersama pemimpin
laki-laki
Pernyataan F %
Ya 36 100 %
Tidak 0 0%
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
85

Seluruh responden yaitu 36 orang ( 100 % ) mengatakan bahwa mereka nyaman

memberikan pendapatnya ketika bersama pemimpin laki-laki. Meskipun pada tabel

sebelumnya dijelaskan bahwa mereka kadang-kadang tidak didengarkan tetapi hal

tersebut tidaklah menjadi hambatan bagi mereka, seluruh responden merasa nyaman

memberikan pendapat, karena sebagai seorang pemimpin mereka harus tetap professional

dalam bekerja dan menciptakan suasana yang nyaman.

4.2.4.3. Pemimpin perempuan masih hal sulit dalam masyarakat.

Tabel 4.35.
Distribusi responden berdasarkan pernyataan bahwa pemimpin perempuan masih hal
yang sulit dalam masyarakat
Pernyataan F %
Ya 23 63,88 %
Tidak 13 36,12 %
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 23 orang

( 63,88 % ) menyatakan bahwa perempuan memimpin masih merupakan hal yang sulit

dalam masyarakat kita, sedangkan sisanya yaitu sebanyak 13 orang ( 36,12 % )

menyatakan bahwa perempuan menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang sulit,

asalkan diikuti dengan peningkatan kemampuan diri perempuan itu sendiri.

4.2.4.4. Alasan pemimpin perempuan masih hal yang sulit dalam masyarakat

Tabel 4.36.
Distribusi responden berdasarkan alasan pemimpin pemimpin perempuan masih hal yang
sulit dalam masyarakat
Pernyataan F %
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
86

Kultur patriarki yang kental 16 69,6 %


Perempuan yang masih menganggap dirinya 7 30,4 %
tidak mampu memimpin
Perempuan punya kewajiban dirumah sebagai 0 0%
ibu dan istri
lainnya 0 0%
Jumlah 23 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan tabel 4.2.26. responden yang menjawab ya sebanyak 23 orang.

Mayoritas responden yaitu sebanyak 16 orang ( 69,6 % ) menyatakan bahwa alasan

perempuan memimpin masih merupakan hal yang sulit dalam masyarakat kita adalah

kultur patriarkhi yang masih kental, yang masih menganggap jika masih ada laki-laki,

maka laki-laki lah yang memimpin, sedangkan responden yang menyatakan bahwa

perempuan sendirilah yang menganggap dirinya tidak sanggup memimpin berjumlah 7

orang ( 30,4 % ). Mayoritas responden menyatakn bahwa kultur patriarkhi merupakan

alasan pemimpin perempuan masih merupakan hal yang sulit dalam masyarakat kita,

kultur patriarkhi masih terlalu kuat untuk dihilangkan karena telah menghegemoni

masyarakat kita sejak dahulu kala, sehingga sudah mengakar begitu dalam dan sulit untuk

dihilangkan.

4.2.4.5. Stereotipe perempuan tidak bisa memimpin karena emosional, cerewet, dan

tidak tegas, dan tidak focus karena punya kewajiban dirumah.

Tabel 4.37.
Distribusi responden berdasarkan stereotype perempuan tidak bisa memimpin
Pernyataan F %
Setuju 0 0%
Kurang setuju 8 22,23 %
Tidak setuju 28 77,77 %
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
87

lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 28 orang

( 77,77 % )menyatakan bahwa tidak setuju dengan stereotype perempuan tidak bisa

memimpin karena emosional, cerewet,tidak tegas dan kurang focus karena mempunyai

tugas lain dirumah sebagai ibu dan istri, sedangkan responden yang menjawab kurang

setuju dengan stereotype tersebut berjumlah 8 orang ( 22,23 % ). Mayoritas responden

tidak setuju dengan stereotype tersebut dengan asumsi bahwa anggapan tersebut

hanyalah kenyataan-kenyataan yang diciptakan oleh masyarakat, bukan sifat dasar

perempuan sehingga tidak bisa dijadikan hambatan untuk tidak bisa memimpin.

4.2.4.6. Keterwakilan perempuan dalam ranah publik

Tabel 4.38.
Distribusi responden berdasarkan keterwakilan perempuan dalam ranah publik
Pernyataan F %
Ya 7 19,45 %
Belum 29 80,55 %
Tidak sama sekali 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu 29 orang ( 80,55 % )

menyatakan belum terwakili dalam ranah publik, sedangkan responden yang sudah

terwakili dalam ranah publik sebanyak 7 orang ( 19,45 % ). Melihat kenyataan yang

terjadi bahwa tidak banyak perempuan yang masuk dalam area publik dan menduduki

posisi strategis dalam sebuah organisasi menyebabkan mayoritas responden menyatakan

bahwa mereka belum terwakili dalam ruang publik.


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
88

4.2.4.7. Perkembangan dan kemajuan perempuan dalam ranah publik

Tabel 4.39.
Distribusi responden berdasarkan perkembangan dan kemajuan perempuan dalam ranah
publik
Pernyataan F %
Sangat puas 0 0%
Puas 7 19,45 %
Belum 29 80,55 %
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas responden yaitu sebanyak 29 orang

( 80,55 % ) belum puas dengan perkembangan atau kemajuan perempuan dalam ranah

publik, sedangkan responden yang merasa puas berjumlah 7 orang ( 19,45 % ). Mayoritas

responden melihat bahwa perempuan belum mengalami perkembangan dan kemajuan

dalam ranah publik seperti yang diinginkan. Perkembangan dan kemajuan yang dirasakan

masih jauh dari harapan. Perempuan masih mengalami subordinasi, marginalisasi dan

eksploitasi disegala aspek kehidupan, meskipun telah mengalami angka penurunan tetapi

tetap belum mencapai seperti yang diharapkan.

4.2.4.8. Bentuk kemajuan perempuan

Tabel 4.40.
Distribusi responden berdasarkan bentuk kemajuan perempuan
Pernyataan F %
30 % kuota perempuan dalam politik 2 28,56 %
Banyaknya perempuan yang mengenyam 2 28,56 %
pendidikan tinggi
Banyaknya perempuan yang mendapat posisi 3 42,88 %
strategis dalam perusahaan
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
89

lainnya 0 0%
Jumlah 7 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan tabel 4.2.30. responden yang sudah merasa puas dengan kemajuan

perempuan berjumlah 7 orang. Bentuk kemajuan perempuan menurut responden

bervariasi, 3 orang ( 42,88 % ) menyatakan bahwa bentuk kemajuan perempuan dalam

ranah publik adalah banyaknya perempuan yang memenuhi posisi strategis, 2 orang

( 28,56 % ) menyatakan kuota 30 % dalam politik dan 2 orang ( 28,56 % ) yang

menyatakan banyaknya perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Jika kita

merunut kembali sejarah dan perkembangan perempuan dalam ranah publik, perempuan

saat ini telah mengalami banyak perempuan, dan inilah yang dirasakan oleh responden.

4.2.4.9. Bentuk ketidakmajuan perempuan

Tabel 4.41.
Distribusi responden berdasarkan bentuk ketidakmajuan perempuan
Pernyataan F %
30 % kuota perempuan dalam politik sering 2 6,9 %
tidak terpenuhi
Masih banyaknya perlakuan diskriminasi 12 41,4 %
terhadap perempuan dalam ruang publik dan
domestik
Perempuan dianggap objek pembangunan, 6 20,6 %
bukan subjek pembangunan
lainnya 9 31,1 %
Jumlah 29 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan tabel 4.2.30. responden yang belum merasa puas dengan

perkembangan perempuan berjumlah 29 orang. Responden yang menyatakan bahwa

masih banyaknya perempuan yang mengalami perlakuan diskriminasi dalam ruang publik

dan domestik sebanyak 12 orang ( 41,4 % ), perempuan dianggap sebagai objek

pembangunan bukan objek pembangunan sebanyak 6 orang ( 20,6 % ), 30 % kuota


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
90

perempuan sering tidak terpenuhi sebanyak 2 orang ( 6,9 % ), dan responden yang

menjawab lainnya sebanyak 9 orang ( 31,1 % ), lebih spesifiknya jawaban tersebut adalah

semua pilihan. Kuota 30 % sering tidak terpenuhi membuktikan bahwa perempuan tidak

berminat untuk turun ke arena politik dengan alsan arena politik hanya pantas untuk laki-

laki bukan perempuan. Masih banyaknya diskriminasi terhadap perempuan juga

membuktikan bahwa perempuan belum diposisikan sebagaimana mestinya, dan

perempuan dianggap sebagai objek bukan subjek pembangunan, hal ini lagi-lagi

membuktikan bahwa perempuan adalah makhluk pasif yang hanya merupakan penikmat

keputusan bukan pengambil keputusan

4.2.4.10. Tindakan yang dilakukan oleh perempuan agar sejajar dengan laki-laki di

ruang publik.

Tabel 4.42.
Distribusi responden berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh perempuan agar setara
dengan laki-laki di ruang publik.
Pernyataan F %
Merubah pola pikir bahwa perempuan dan 6 16,67 %
laki-laki sama
Terus menerus meng-update diri melalui 13 36,11
pendidikan dan pengetahuan
Selalu terbuka dengan perubahan- 0 0%
perubahan yang terjadi di luar
lainnya 17 47,22 %
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan bahwa menurut responden, tindakan yang dilakukan

perempuan agar sejajar dengan laki-laki diruang publik adalah merubah pola pikir bahwa

perempuan dan laki-laki sama sebanyak 6 orang ( 16,67 % ), terus-menerus meng-update

diri melalui pendidikan dan pengetahuan sebanyak 13 orang ( 36,11 % ), sedangkan

responden yang menjawab lainnya sebanyak 17 orang ( 47,22 % ), lebih spesifiknya


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
91

jawaban tersebut adalah semua pilihan ( ketiga-tiganya ). Inti dari tindakan yang harus

dilakukan perempuan adalah berubah. Untuk bisa sejajar dengan laki-laki perempuan

harus merubah citra dirinya sebagai makhluk lemah. Untuk merubah kultur patriarkhi

merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, untuk itu responden memilih lebih cenderung

menaikkan kapasitas dirinya, agar bisa setara dengan laki-laki.

4.2.4.11. Kepemimpinan perempuan berbeda dengan kepemimpinan laki-laki

Tabel 4.43.
Distribusi responden berdasarkan pendapat mengenai perbedaan kepemimpinan
perempuan dan laki-laki
Pernyataan F %
Ya 26 72,2 %
Tidak 10 27,8 %
Kadang-kadang 0 0%
lainnya 0 0%
Jumlah 36 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Tabel diatas menunjukkan mayoritas responden yaitu sebanyak 26 orang

( 72,2 % ) menyatakan pendapatnya bahwa kepemimpinan perempuan berbeda dengan

kepemimpinan laki-laki, sedangkan responden yang menyatakan pendapatnya bahwa

kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan sebanyak 10 orang

( 27,8 % ). Responden yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara

kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan mengakui bahwa perempuan dan laki-laki

memiliki kapasitas yang sama dalam memimpin, tidak ada yang membedakannya jika

dilihat dari perbedaan jenis kelamin. Hal yang membedakannya hanyalah kemampuan

mereka masing-masing. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa terdapat

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
92

perbedaan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan dijelaskan pada tabel dibawah

ini.

4.2.4.12. Bentuk perbedaan gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan

Tabel 4.44.
Distribusi responden berdasarkan perbedaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan
Pernyataan F %
Perempuan lebih rasional dalam mengambil 0 0%
keputusan sedangkan perempuan lebih
emosional
Laki-laki lebih keras karena berorientasi pada 26 100 %
pemenuhan tugas sedangkan perempuan lebih
peka terhadap situasi dan cenderung lebih
fleksibel
Laki-laki lebih berani mengambil resiko dan 0 0%
bisa keluar dari stress sedangkan perempuan
tidak bisa
lainnya 0 0%
Jumlah 26 100 %
Sumber. Kuesioner Lapangan Oktober 2008

Berdasarkan tabel 4.2.34. bahwa responden yang menyatakan bahwa

kepemimpinan perempuan berbeda dengan kepemimpinan laki-laki sebanyak 26 orang

( 72,2 % ). Seluruh responden yaitu sebanyak 26 orang menyatakan bahwa perbedaan

gaya kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki lebih keras karena

berorientasi pada pemenuhan tugas sedangkan perempuan lebih peka terhadap situasi dan

cenderung lebih fleksibel. Seluruh responden memilih bahwa letak perbedaannya adalah

bahwa perempuan dan laki-laki tetap berbeda dalam gaya memimpin meskipun dalam

kapasitas yang sama. Perempuan dan laki-laki memiliki gaya memimpin mereka masing-

masing, tetapi tetap bisa menjalankan tugas dengan sama baiknya.

4.2. Analisa Kepemimpinan Perempuan

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
93

Kepemimpinan perempuan secara normatif memiliki legitimasi yang sangat kuat,

baik secara teologis, filosofis maupun hukum. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia yang telah disetujui oleh negara-negara anggota PBB, termasuk oleh Indonesia,

menyebutkan sejumlah pasal yang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk

memilih pemimpin maupun menjadi pemimpin. Begitu juga dalam Konvensi Mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang disahkan melalui

Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) nomor 7 tahun 1984 dan dalam Deklarasi

Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan, telah memberikan jaminan bahwa

perempuan terbebas dari tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun. UU RI nomor 39

tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah menjamin keterwakilan perempuan baik di

legislatif, eksekutif maupun yudikatif (pasal 46). Selain itu, Instruksi Presiden (Inpres)

nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

yang mengharuskan seluruh kebijakan dan Program Pembangunan Nasional dirancang

dengan perspektif gender.

Namun dalam tataran realitas masih mengalami banyak tantangan dan hambatan

baik secara internal maupun eksternal. Perempuan masih dianggap tidak mampu

memimpin dan lebih baik dirumah mengurus suami dan anak-anak. Budaya masyarakat

yang bersumber dari tradisi telah berlangsung secara turun temurun menempatkan peran

perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik mengakibatkan akses dan

partisipasi perempuan dalam dunia politik sangat rendah. Konsekwensi yang terjadi

kemudian, sangat logis kalau ranah politik hingga saat ini masih patriarkhis, laki-laki

mendominasi secara luas arena politik, termasuk di dalamnya memformulasikan aturan-

aturan dan standar permainan politik yang menihilkan kepentingan perempuan. Begitu
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
94

juga budaya masyarakat yang bersumber dari pemahaman agama, khususnya di tingkat

lokal turut menjadi faktor yang menghambat lajunya kepemimpinan perempuan.

Sistem nilai, norma dan beberapa stereotype yang dilekatkan pada perempuan

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan perempuan

dengan laki-laki dalam struktur sosial yang ada. Sistem nilai atau norma merupakan

sebuah konsensus yang dikonstruksikan oleh masyarakat itu sendiri, yang kemudian

secara turun temurun dianut oleh masing-masing warga. Lahirnya konstruksi sosial

tentang status dan peran perempuan ini merupakan hasil dari cara pandang suatu

komunitas masyarakat terhadap adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan

perempuan. Cara pandang yang kemudian melahirkan penindasan, eksploitasi, dan

pensubordinasian perempuan dalam hubungan-hubungan social yang secara konstektual

sangat terkait dengan kondisi sosio kultural. Ideologi patriarkhi yang secara hegemoni

membawa kesadaran sosial pada perempuan untuk menerima kondisi subordinasinya

sebagai sebuah kewajaran yang dibungkus oleh produk budaya dan tradisi.

Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan-persoalan perempuan, status dan

perannya dalam kehidupan sosial, sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan

keadaan dan waktu. Juga tergantung pada bagaimana pemahaman-pemahaman tersebut

berhubungan dengan posisi kaum perempuan di berbagai komunitas.

Kebudayaan adalah realitas kehidupan masyarakat, tradisi-tradisi, pola perilaku

keseharian, hukum-hukum, pikiran-pikiran dan keyakinan, maka kebudayaan jelas

keberpihakannya pada kaum laki-laki. Masyarakat menyebutnya sebagai budaya

patriarkhi.Hal ini didukung oleh penelitian ini dimana budaya patriarkhi masih tetap eksis

, hal ini dapat kita lihat pada tabel 4.3 dan 4.8. Pada tabel 4.3, mayoritas etnis responden
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
95

adalah etnis Batak yaitu sebanyak 23 orang ( 63,89 % ), baik itu Batak Mandailing, Toba,

Karo, Simalungun, Pak-pak. Dimana kita tahu bahwa etnis Batak merupakan salah satu

etnis yang menganut sistem patrilineal, dimana laki-laki lah yang menjadi pemimpin.

Disusul dengan etnis suku Melayu sebanyak 7 orang ( 19, 44 % ), suku Jawa sebanyak 4

orang ( 11,11 % ), dan Aceh sebanyak 2 orang ( 5,56 %). Garis keturunan etnis akan

berdampak pada kedudukan perempuan. Suku Batak umumnya menarik garis keturunan

melalui garis ayah ( patrilineal ). Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari

penarikan garis keturunan menjadi sangat penting, karena dalam urutan generasi setiap

ayah yang memiliki anak laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok

patrilinealnya. Laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya, atau setiap

anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga

orang tua laki-lakinya dan bukan marga ibunya, sehingga menaikkan nilai anak laki-laki

sebagai yang utama dalam keluarga dan menomorduakan perempuan.

Pada tabel 4.8 juga disebutkan bahwa tokoh yang menjadi panutan dalam kegiatan

kepemimpinan adalah mayoritas ayah yaitu sebanyak 19 orang ( 52,8 % ), ibu sebanyak

12 orang ( 33,3 % ) dan suami sebanyak 5 orang ( 13,9 ). Hal ini juga lebih menguatkan

nilai patriarkhi bahwa ayah sebagai pemimpin dalam keluarga. Ayah merupakan tokoh

dan panutan yang dianggap layak dan pantas untuk dijadikan patron dalam memimpin.

Patriarkhi merupakan sebuah sistem sosial dimana dalam tata kekeluargaan, sang ayah

menguasai semua anggota keluarganya, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi,

dan membuat keputusan penting. Dewasa ini sistem sosial yang patriarkhis mengalami

perkembangan dalam hal lingkup institusi sosialnya, diantaranya lembaga perkawinan,

institusi ketenagakerjaan dll. Pengertiannya pun berkembang dari hukum ayah , ke


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
96

hukum suami, hukum laki-laki secara umum pada hampir semua institusi sosial, politik

dan ekonomi.

4.2.1. Kepemimpinan dan Perempuan

Kepemimpinan merupakan kemampuan atau keterampilan seseorang dalam

menduduki suatu jabatan sebagai pimpinan dengan cara mempengaruhi dan memotivasi

bawahannya agar mau bekerja demi tercapainya tujuan yang dikehendaki. Kepemimpinan

memainkan peranan yang amat penting, bahkan dapat dikatakan amat menentukan dalam

usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pimpinan membutuhkan

orang lain, yaitu bawahan untuk melaksanakan secara langsung tugas-tugas, di samping

memerlukan sarana dan prasarana lainnya.

Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan,

memelihara dan mengembangkan usaha dan iklim yang kondusif di dalam kehidupan

organisasional. Seorang pemimpin di dalam melaksanakan kepemimpinan haruslah

memiliki kriteria-kriteria yang diharapkan, dalam arti seorang pemimpin harus memiliki

kriteria yang lebih dari pada bawahannya misalnya jujur, adil, bertanggung jawab, loyal,

energik, dan beberapa kriteria-kriteria lainnya. Kepemimpinan merupakan sebuah

hubungan yang kompleks, oleh karena berhadapan dengan kondisi-kondisi ekonomi,

nilai-nilai sosial dan pertimbangan politis.

Dalam penelitian ini disebutkan bahwa responden memiliki kemampuan

manajerial yang baik dan efektif, hal ini bisa dilihat dari tabel 4.9 bahwa seluruh

responden ( 100 % ) sering memberikan arahan kepada bawahan apakah, kapan,

bagaimana dan dimana suatu tugas akan dilaksanakan. Selain itu tabel 4.19 menyatakan
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
97

seluruh responden ( 100 % ) juga memastikan bahwa bawahannya mendapatkan

pemahaman yang jelas mengenai visi depatertemen. Responden juga mengikutsertakan

bawahan dalam proses pengambilan keputusan hal ini terlihat pada tabel 4.10,

menyatakan bahwa 23 responden ( 63,9 % ) sering mengikutsertakan bawahan, mayoritas

responden menyatakan bahwa mereka memperlakukan bawahan sebagai mitra yang

sejajar dalam organisasi sebanyak 25 orang ( 75 % ), bersedia menerima keluhan

bawahan ( 100 % ) dan bersedia menerima saran dan kritik ( 100 % ).

Dalam penelitian ini, dapat kita lihat bahwa responden memiliki kemampuan

manejerial dan kepemimpinan yang efektif. Meskipun selama ini kepemimpinan selalu

diidentikkan dengan kaum lelaki yang kuat, pintar dan mampu mengatur dengan baik,

tetapi melihat kenyataan yang ada dilapangan bahwa perempuan juga sanggup untuk

memimpin dengan baik, sebaik lak-laki memimpin. Namun melihat gaya kepemimpinan

perempuan, kita bisa melihat bahwa terdapat perbedaan gaya kepemimpinan antara laki-

laki dan perempuan, hal ini bisa kita lihat pada tabel 4.13, tabel 4.15, tabel 4.24, tabel

4.25 dan tabel 4.26. Pada tabel 4.13 responden ( 100 % ) bersedia menerima kritik dan

saran yang berasal dari bawahan. Hal ini membuktikan responden sebagai pemimpin

perempuan lebih fleksibel dalam menerima kekurangannya dan bersedia memperbaiki

diri. Tabel 4.15 menunjukkan bahwa seluruh responden ( 100 % ) sering meluangkan

waktu untuk membangun hubungan pribadi kepada bawahan disamping hubungan

professional, baik itu dengan makan bersama, out bond, dan jalan keluar kota. Hal ini

membuktikan bahwa tidak ada batasan yang jauh antara atasan dan bawahan, responden

sebagai pemimpin perempuan tidak merasa dirinya superior dan mau lebih akrab dengan

bawahan. Tabel 4.24 menyatakan bahwa responden tidak buru-buru dalam membuat
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
98

keputusan, mereka lebih memilih memberikan surat peringatan dan memanggil

bawahannya serat menanyakan masalah yang sedang dihadapinya. Responden lebih bisa

mentolerir kesalahan bawahan jika memang alasan yang diberikan masuk akal. Tabel

4.25 menyatakan bahwa mayoritas responden ( 61,1 % ) kadang-kadang mentolerir

ketidakdisiplinan waktu bawahannya. Mereka sebagai perempuan lebih peka terhadap

bawahannya, mereka mentolerir keterlambatan waktu jika alasan keterlambatan

waktunya masuk akal dan berhubungan dengan keluarga, misalnya anak sakit, orang tua

sakit atau yang lainya. Tabel 4.26 menyatakan bahwa responden secara keseluruhan ( 100

% ) bersedia menerima keluhan-keluhan yang berasal dari responden, baik itu yang

berasal dari pekerjaan ataupun masalah keluarga. Responden mengatakan bahwa mereka

biasa melakukan sharing dengan bawahan yang sedang dalam masalah. Hal ini

membuktikan bahwa responden sebagai pemimpin dekat dengan bawahan tetapi tetap

professional dalam bekerja.

4.2.2. Kepemimpinan Perempuan dan Issue Gender

Dalam pandangan tradisional, perempuan diidentikkan dengan sosok yang lemah,

halus dan emosional. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, berani

dan rasional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang

seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada kaum laki-laki. Akibatnya,

jarang sekali perempuan untuk bisa tampil menjadi pemimpin, karena mereka tersisihkan

oleh dominasi laki-laki dengan male chauvinistic-nya. Dalam konteks pendidikan,

Goldring dan Chen (1994) mengatakan bahwa para perempuan di Inggris Raya dan di

manapun kebanyakan perempuan hanya berperan dalam profesi mengajar, namun relatif
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
99

sedikit dan jarang ada yang memiliki posisi-posisi penting pemegang otoritas dalam

sejumlah sekolah menengah perguruan tinggi dan adminsitrasi lokal pendidikan.

Dengan jumlah yang dapat dikatakan berimbang antara laki-laki dan perempuan,

seharusnya perempuan bisa menjadi mitra sejajar bagi laki-laki dalam berbagai bidang

pembangunan khususnya dalam birokrasi. Tabel 4.27 kita melihat bahwa 61.1 %

responden menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kinerja antara bawahan laki-laki dan

perempuan, mereka memiliki kapasitas yang sama dalam bekerja sedangkan 27,7 %

menyatakan ada perbedaan sedangkan 11,1 % menyatakan bahwa kadang-kadang terlihat

ada perbedaan kinerja. Tabel 4.32 menyatakan bahwa 100 % responden menyatakan

bahwa perempuan bisa memimpin layaknya laki-laki. Meskipun begitu, dalam

kepemimpinannya perempuan juga memiliki hambatan, seperti pada tabel 4.31,

responden menyatakan hambatan yang dihadapi pemimpin perempuan dalam dunia kerja

adalah posisi tawar yang lemah sebanyak 41,2 %, keluarga 33,35 %, kultur patriarkhi

sebanyak 11,11 %, dan mind set perempuan tidak dapat memimpin sebanyak 11,11 %.

Tabel 4.28 menyatakan bahwa 63,89 % responden menyatakan bahwa mereka kadang-

kadang kehilangan waktu bersama keluarga karena posisinya sebagai pemimpin

mengharuskannya sering keluar kota dan dan banyaknya tugas yang harus dikerjakan.

Tabel 4.33 menyatakan bahwa 66,67 responden kadang-kadang merasakan bahwa suara

mereka tidak didengarkan sebagai pemimpin perempuan ketika bersama pemimpin laki-

laki. Meskipun 77,77 % ( tabel 4,37 ) responden menyatakan bahwa mereka tidak setuju

dengan stereotipe perempuan tidak bisa memimpin karena emosional, cerewet, tidak

tegas dan tidak fokus karena punya kewajiban di rumah tetapi tetap belum menunjukkan

keterwakilan perempuan dalam ranah publik, hal ini ditunjukkan pada tabel 4.38 bahwa
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
100

80,55 % menjawab belum melihat keterwakilan perempuan dalam ruang publik, tabel

4.39 menyatakan bahwa 80,55 % responden belum puas dengan perkembangan dan

kemajuan perempuan. Tabel 4.41 menyatakan bahwa bentuk ketidakmajuan perempuan

terlihat dalam perlakuan bahwa masih banyaknya perempuan yang mengalami perlakuan

diskriminasi dalam ruang publik dan domestik sebanyak 41,4 % , perempuan dianggap

sebagai objek pembangunan bukan objek pembangunan sebanyak 20,6 % , 30 % kuota

perempuan sering tidak terpenuhi sebanyak 6,9 % , dan responden sebanyak 31,1 %

menjawab semua pilihan. Untuk mensejajarkan dirinya dengan laki-laki, tabel 4.42

menyatakan perempuan harus merubah pola pikir bahwa perempuan dan laki-laki sama

sebanyak 16,67 %, terus-menerus meng-update diri melalui pendidikan dan pengetahuan

sebanyak 36,11 % , sedangkan responden sebanyak 47,22 % , lebih spesifiknya jawaban

menjawab semua pilihan ( ketiga-tiganya ).

Dalam penelitian ini terlihat bagaimana kepemimpinan perempuan, dimana

terdapat kesamaan dan perbedaan kepemimpinan jika dibandingkan dengan

kepemimpinan laki-laki. Tabel 4.44 melihat bahwa ada perbedaan gaya kepemimpinan

laki-laki dan perempuan yaitu 26 responden ( 72,2 % ) menyatakan bahwa perbedaan

gaya kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki lebih keras karena

berorientasi pada pemenuhan tugas sedangkan perempuan lebih peka terhadap situasi dan

cenderung lebih fleksibel, meskipun tabel 4.43 dinyatakan bahwa responden yang

menyatakan pendapatnya bahwa kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidak memiliki

perbedaan sebanyak 10 orang ( 27,8 % ). 26 responden ( 72,2 % ) menyatakan bahwa

perempuan dan laki-laki memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, perempuan

memiliki sisi feminim dan maskulin dalam dirinya ketika dia memimpin. Prinsip feminim
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
101

yang dimilikinya bisa dijadikan modal untuk mengembangkan sifat intuitif, berorientasi

dan berelasi dengan orang lain, mendahulukan dan memegang teguh nilai-nilai

kemanusiaan, peka rasa dan memahami perasaan orang lain. Sedangkan kualifikasi lain

seperti cerdas, tegas, kreatif, berpandangan luas, bukan monopoli laki-laki karena

perempuan pun dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Prinsip feminim dan prinsip maskulin

akan saling mendukung dan melengkapi dalam kegiatan memimpin. Mereka tidak

mengadopsi cara berpikir laki-laki, tidak juga menghindari sifat kelemahlembutan yang

mereka miliki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan itu memiliki cara berpikir sendiri.

BAB V

PENUTUP
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
102

5.1. Kesimpulan

Dari data-data yang telah diperoleh dan diuraikan, maka peneliti menarik

kesimpulan penting;

Kepemimpinan merupakan serangkaian proses dari suatu sistem atau strategi yang

digunakan oleh pemimpin untuk mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya agar mau

melaksanakan kegiatan bersama, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Inti dari

kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan

proses yang berlangsung secara sadar dan terencana dengan mempertimbangkan berbagai

kemungkinan dan alternatif pemecahan masalah melalui tindakan tertentu untuk

selanjutnya ditetapkan suatu keputusan untuk dilaksanakan dalam rangka mencapai

tujuan. Kepemimpinan tidak berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, perempuan dan

laki-laki memiliki kemampuan yang sama dalam memimpin, tergantung kepada

kemampuan individu dalam menjalankan proses kepemimpinannya untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan, hal ini didukung oleh data penelitian yang menyatakan

bahwa seluruh responden ( 100 % ) mampu untuk memimpin layaknya laki-laki dengan

kemampuan yang sama. Hal ini membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki

mempunyai hak dan kapabilitas yang sama untuk menjadi seorang pemimpin. Meskipun

23 orang responden ( 63,89 % ) menyatakan bahwa mereka kadang-kadang kehilangan

waktu bersama keluarga, tetapi hal tersebut tidak mengurangi kapabilitas mereka sebagai

seorang pemimpin, seluruh responden ( 100 % ) menyatakan bahwa keluarga dan karier

bisa berjalan beriringan tanpa harus ada yang dikorbankan.


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
103

Stigma yang selama ini melekat pada definisi kepemimpinan yang merupakan

milik laki-laki dan kepemimpinan perempuan yang dianggap belum mewakili

profesionalisme terbantahkan karena perempuan juga memiliki kemampuan yang sama

untuk menjadi pemimpin. Ciri-ciri pemimpin dalam teori organisasi sebagian

dihubungkan dengan sifat kejantanan, yaitu tegas, keras, dan tidak kenal kompromi,

rasional, mandiri dan sebagainya, yang merupakan sifat kepemimpinan laki-laki, padahal

sifat-sifat tegas dan jantan sebenarnya dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. 72,2 %

responden menyatakan bahwa gaya kepemimpinan perempuan berbeda dengan laki-laki,

mereka memiliki gaya kepemimpinan mereka sendiri. Perempuan dalam

kepemimpinannya memiliki gaya kepemimpinan androgini. Kepemimpinan androgini

merupakan kepemimpinan yang memiliki sifat-sifat feminism dan sifat-sifat maskulin

yang baik dalam menjalankan tugasnya. Perempuan dalam kepemimpinannya memiliki

rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai sifat mau menghargai orang lain, mempunyai

sifat tegas, luwes, disiplin, tetapi manusiawi, mempunyai sifat sabar, teliti dan peka

terhadap perubahan, mempunyai sifat logis, intuitif, inovatif dan visioner dan mampu

memadukan sifat feminim dan maskulin dengan seimbang. Kepemimpinan perempuan

yang androgini tidak mengadopsi cara berpikir laki-laki, tidak juga menghindari sifat

kelemahlembutan yang mereka miliki pada saat memimpin. Mereka menunjukkan jati

diri mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki cara berpikir

sendiri yang bisa dipertahankan.

Pada dasarnya perempuan mampu untuk menjadi pemimpin, hal ini tergantung

kepada perempuan itu sendiri, mengingat landasan hukum yang sudah kuat, juga situasi
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
104

dan kondisi yang kondusif terbuka didepan kaum perempuan, terpulang kepada kaum

perempuan itu sendiri untuk meningkatkan kualitas mereka, baik itu kemampuan

manajerial maupun kemampuan lainnya agar secara kualitatif setara dengan kaum laki-

laki, sehingga tidak ada alasan masyarakat untuk menolak perempuan menjadi pemimpin

atau mitra kerja sejajar kaum laki-laki.

Penelitian ini kian menguatkan kelemahan perempuan sebenarnya hanya

merupakan pandangan kultural pada masa lampau, yakni memposisikan perempuan

semata-mata sebagai subordinatif. Penilaian itu bukanlah suatu yang mutlak, melainkan

terus berubah sejalan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Pada hakekatnya,

esensi dari kepemimpinan terletak pada kualitas dan kapabilitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
105

Arikunto, Suharsimi, Dr, 1995. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.

Bhasin, Kamla, 2001. Memahami Gender, Teplok Press, Jakarta.

Bungin, Burhan, 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif, Prenada Media, Jakarta.

Dwijowiyoto, Riant Nugroho, 2001. Reinventing Indonesia: Menata Ulang

Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia dengan

Keunggulan Global, PT Alex Komputindo, Jakarta.

Fakih, Mansour,1996. Analisis Gender, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Ihromi, dkk. 2006. Peranan dan Kedudukan Wanita di Indonesia, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta.

Ihromi, Tapi Omas, 2000. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Alumni,

Bandung.

Julia Cleves Mosse, 1996. Gender & Pembangunan, Pustaka Pelajar dan Rifka Annisa,

Yogyakarta.

Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, 2005. Pembangunan Perspektif Gender,

Dian rakyat, Jakarta.

Lips, Hillary M, 2005. Sex & Gender, McGraw Hill, New York.

Megawangi, Ratna, 1999. Bembiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang

Relasi Gender, Cetakan Pertama, Penerbit Mizan, Bandung

Munir, Rozy (ed), 1999. Pemimpin Perempuan Mengapa Tidak ?, Panitia Muktamar

XXX Nahdatul Ulama, Jakarta.

Nawawi, Hadari, 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta.

Riduwan, 2004. Metode Penelitian dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta, Bandung.
Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
106

Sedarmayanti, 2004. Good Governance ( Kepemerintahan yang baik ) Bagian kedua:

Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas

Menuju Good Governance ( Kepemerintahan yang Baik ), Mandar Maju,

Bandung.

Siagian, Sondang P, 1991. Teori & Praktek Kepemimpinan, PT Rineka Cipta, Jakarta.

Siti Hidayat Amal, Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Persoalan

dalam Aliran Femisme, Bahan Training dari Kapal Perempuan.Rosemarie

Tong, Feminist Thought, Westview Press, 1989.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi,1989. Metode Penelitian Survei, PT Pustaka

LP3ES, Jakarta.

Thoha, Miftah, 1995. Kepemimpinan Dalam Manajemen, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Thoha, Miftah, 2004. Birokrasi dan Politik Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta.

Yukl, Gary, 1998. Kepemimpinan Dalam Organisasi, Prenhalindo, Jakarta.

Sumber-sumber lain

Dede Wiliam-de Vries, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Wiliam-de Vries, D.Gender bukan tabu: catatan perjalanan fasilitasi kelompok

perempuan di Jambi/by Dede Wiliam-de Vries. Bogor, Indonesia: Center for

International Forestry Research (CIFOR), 2006.

http://happy-susanto-files.blogspot.com/2007/08/menuju-birokrasi-yang-

humanis.html, 16 Juni 2008.

Jurnal Perempuan No. 05, 1998, Yayasan jurnal perempuan, Jakarta.

Jurnal Perempuan No. 19:13, Yayasan Jurnal perempuan, Jakarta


Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009
107

Bahan

Gadis Arivia, “Feminisme Liberal” dalam Jurnal Perempuan, Edisi-

05, Januari 1998. hal.62-66.

Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil http://www.asppuk.or.id

Menggunakan Joomla! Generated: 26 November, 2008, 15:53

Lenny I.F.W. Simatupang : Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan
Provinsi Sumatera Utara, Medan), 2009.
USU Repository 2009

Anda mungkin juga menyukai