Anda di halaman 1dari 83

MAKNA TANAH BAGI TO KAILI DI KELURAHAN

TALISE VALANGGUNI KECAMATAN


MANTIKULORE KOTA PALU

HASIL PENELITIAN
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada
Program Studi Antropologi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Tadulako

Oleh:

Nurmayani
B 301 14 022

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
UNIVERSITAS TADULAKO
JURUSAN SOSIOLOGI
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Judul : Makna Tanah Bagi To Kaili Di Kelurahan


Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota
Palu
Nama : Nurmayani

No. Stambuk : B 301 14 022

Program Studi : Antropologi

Jurusan : Sosiologi

Telah Memenuhi Syarat dan Disetujui Untuk Diujiankan

Menyutujui :

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Drs. Muhammad Marzuki,M.Si Dr.Ikhtiar Hatta, S.Sos,M.Hum


NIP. 19621121 198812 2 001 NIP. 19761121 200604 1 002

MENGETAHUI

Kordinator Program Studi Ilmu Antropologi

Dr.IkhtiarHatta, S.Sos,M.Hum
NIP. 19761121 200604 1 002
KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum.Wr.Wb.

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga saya
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Makna Tanah Bagi To Kaili di Kelurahan Talise
Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu” untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Strata Satu pada Program Studi
Antropologi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako.

Dengan penuh kerendahan hati, saya menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini
banyak pelajaran, hambatan, dan juga rintangan yang saya alami. Suka, duka, susah dan senang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan ini, yang semuanya itu bisa saya
lewati dengan dukungan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala
ketulusan hati saya menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua yang
sangat saya cintai dan kasihi, Ayahanda Irmon Lawaru dan Ibunda Nurmawarni S.
Runduwaya. Atas segala pengorbanan dan perjuangan untuk saya selama ini, Doa yang tidak
pernah henti-hentinya dipanjatkan untuk saya, kasih sayang, nasehat, motivasi,material dan moral
yang selalu tercurahkan untuk saya tiada henti.

Saya menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, dan banyak
kekurangan baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan materi. Hal tersebut
dikarenakan keterbatasan kemampuan saya. Sehingga saya mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun mudah-mudahan dikemudian hari dapat memperbaiki segala kekurangannya.
Pada kesempatan ini saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sedalam-dalamnya
kepada Bapak Drs. Muhammad Marzuki, M.Si selaku pembimbing utama sekaligus penasehat
akademik dan Bapak Dr. Ikhtiar Hatta, S.Sos., M.Hum selaku pembimbing pendamping yang
telah meluangkan waktunya, terima kasih atas bimbingan, arahan, nasehat, dan sarannya mulai
dari bimbingan Proposal, Hasil, Sampai dengan selesainya Srikpsi ini.

Saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
Bapak/Ibu :
1. Bapak Prof. Ir. H. Mahfudz, MP. Rektor Universitas Tadulako atas kepemimpinannya
sehingga memungkinkan saya untuk menuntut ilmu di Universitas Tadulako.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Khairil, S.Ag.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Tadulako beserta Ibu Dr. Hj. Nuraisyah, M.Si sebagai Wakil
Dekan Bidang Akademik, Bapak Dr. Ilyas, M.I,Kom sebagai Wakil Dekan Bidang
Umum dan Keuangan, Dan Ibu Dr. Hj. Ani Susanti, M.Si sebagai Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako atas
berbagai kebijakan, motivasinya dan nasehat-nasehatnya serta ilmu yang telah diberikan
kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.

3. Bapak Dr. Ikhtiar Hatta S.Sos, M.Hum sebagai ketua Program Studi Antropologi yang
selalu membimbing dan memberi masukan dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Sulaiman Mamar, MA. Sebagai Guru Besar Antropologi yang telah
mendidik saya selama studi di Universitas Tadulako Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.

5. Ibu Dra. Hj. Nurhayati Mansur M.Si. sebagai Dosen Wali yang telah memberikan
nasehat dan motivasi selama saya menyelesaikan Studi di Program Studi Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako.

6. Seluruh Dosen Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Tadulako yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada saya,
selama saya mengikuti perkuliahan.

7. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Tadulako yang telah membantu
saya dalam hal peminjaman buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan
memberikan pelayanan dengan baik kepada saya sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan.

8. Seluruh staf dan karyawan tata usaha Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah
membantu saya dalam pembuatan surat-menyurat.

9. Bapak Supriadi yang selalu membantu dan membimbing dalam proses perlengkapan
berkas dari awal perkuliahan sampai saat ini.
10. Secara Khusus pula, saya ucapkan terima kasih kepada kakak-kakak saya Irfan, Ihsan,
Moh.Zikran, dan adik saya Abd Muin yang selama ini menjaga dan menyayangi saya
dengan setulus hati.

11. Yang teristimewa saya ucapkan terima kasih kepada suami saya tercinta, Asri Jaya S.IP
yang selalu mendukung dan menyemangati saya dalam penyusunan skripsi ini.

12. Dan terima kasih pula saya ucapkan untuk anak saya tersayang Muhammad Alfariq,
yang sudah hadir di kehidupan saya, selalu menjadi penyemangat saya dalam keadaan
apapun itu.

13. Terima kasih juga saya ucapkan untuk papa dan mama mertua yang selalu memberikan
nasehat dan dukungannya untuk saya agar secepatnya menyelesaikan studi ini.

14. Sahabat-sahabat saya Sri Rahayu S.sos, Irmawati S.sos, Rikmawati S.sos, Gusna S.sos,
Nuria S.sos, Priandi Nani S.sos, Arifuddin Laoming S.sos, Abd Hafid, Rama Anaki,
Fitriani S.sos, Ayu Yudistira, Nursyamsi, Azril Irham. S.sos, Desi M, Fitrah, Rio Viktor
S.sos, Ramlah S.sos, Alwi, Fahdiar, Abdil Fadel dan seluruh teman-teman Program
Studi Antropologi Angkatan 2014 yang tidak sempat saya sebut namanya terima kasih
untuk waktu dan dukungannya untuk saya.

15. Komunitas Mahasiswa Antropologi selaku Himpunan Antropologi sebagai wadah untuk
belajar berorganisasi dan mengembangkan keilmuan saya.

Akhirnya dengan penuh harapan dalam segala kelemahan dan kelebihannya, semoga
Skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi saya maupun bagi pembaca. Semoga Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan Rahmat dan Karunianya serta
mengampuni segala khilaf, salah, dan dosa kita. Aamiin.

Wabilahitaufik walhidayah wasalamualaikum warahmatulahi wabarakatu.

Palu, 24 September 2021


Nurmayani
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN

HALAMAN PERSETUJUAN..........................................................................................i

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................v

DAFTAR TABEL.............................................................................................................vii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................................viii

ABSTRAK..........................................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... ....................1

A. Latar belakang. ............................................................................ ....................1

B. Rumusan Masalah........................................................................ ....................3

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................. ....................3

D. Kerangka Konseptual ................................................................... ....................4

E. Metodelogi Penelitian .................................................................. ...................14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. ...................19

A. Studi Tentang Kepemilikan Tanah di Indonesia ........................... ...................19

B. Studi Tentang Jual Beli Lahan/ Tanah di Indonesia ...................... ...................21

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN ........................... ...................24

A. Gambaran Umum Kelurahan Talise Valangguni .......................... ...................24

B. Aspek Kependudukan .................................................................. ...................25

C. Kegiatan Usaha ............................................................................ ...................29


D. Pemukiman, Fasilitas Pelayanan dan Prasarana ............................ ...................31

E. Struktur Organisasi dan Tata Kerja....................................................................33

F. Sumber Daya Manusia di Kelurahan Talise Valangguni...................................39

G. Sarana dan Prasarana di Kelurahan Talise Valangguni......................................41

H. Profil Informan.............................................................................. ....................42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASA..............................................................................47

A. Makna Tanah Bagi Etnik Kaili Di Kelurahan Talise Valangguni...................47

B. Praktek Sewa dan Menjual Tanah Bagi Masyarakat Kaili Di Kelurahan


Talise Valangguni.........................................................................................52
BAB V PENUTUP ....................................................................................... ...................61

A. Kesimpulan.........................................................................................................61

B. Saran ........................................................................................... ...................61

C. Dokumen............................................................................................................62

DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lampiran
Pedoman Wawancara
Peta Lokasi Penelitian
Surat Izin Penelitian
Surat Keterangan Penelitian
Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perkembangan dan kepadatan penduduk Kelurahan Talise Valangguni..............

Tabel 2. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di Kelurahan Talise

Valangguni

Tabel 3. Komposisi penduduk berdasarkan agama di Kelurahan Talise Valangguni..........

Tabel 4. Sektor jasa dan akomodasi pariwisata di Kelurahan Talise Valangguni...................

Tabel 5. Fasilitas kesehatan berdasarkan tingkatannya di Kelurahan Talise Valangguni........

Tabel 6. Struktur organisasi Kelurahan Talise Valangguni......................................................

Tabel 7. Daftar pegawai Kelurahan Talise Valangguni menurut pangkat dan golongan.........

Tabel 8. Daftar pegawai Kelurahan Talise Valangguni menurut tingkat pendidikan.............


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Profil informan Ibu Aetini.............................................................................

Gambar 2. Profil informan Bapak Arman.......................................................................

Gambar 3. Profil informan Ibu Umi Kalsum...................................................................

Gambar 4. Profil informan Ibu Endang Astuti................................................................

Gambar 5. Profil informan Bapak Syarifuddin................................................................

Gambar 6. Lokasi Lahan (Rumah) Ibu Aetini..................................................................

Gambar 7. Lokasi Lahan (Rumah) Ibu Umi Kalsum yang saat ini di Sewakan...............
ABSTRAK
Nurmayani Stambuk B 301 14 022. Judul Skripsi “Makna Tanah (Lahan) Bagi To Kaili di
Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu”. Di bawah bimbingan Bapak
Muhammad Marzuki selaku pembimbing utama dan Bapak Ikhtiar Hatta selaku pembimbing
pendamping. Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Tadulako.

Perkembangan kota Palu tidak terlepas dari adanya pendatang yang memilih tinggal dan
menetap, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja
mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan
dan aspek hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana makna tanah bagi orang Kaili di
Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu dan bagaimana praktek sewa dan
menjual tanah pada orang Kaili di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota
Palu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna tanah bagi orang Kaili dan
untuk mengetahui bagaimana praktek sewa dan menjual tanah para orang Kaili di Kelurahan
Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu.
Dalam penelitian ini saya menggunakan metode penelitian kulitatif yang berdasarkan
penelitian deskriptif, teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dan penelitian lapangan
seperti pegamatan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Serta informan ditetapkan secara
purposive sampling dengan menentukan informan yang dapat memberikan penjelasan atau
gambaran secara terperinci tentang penelitian yang saya maksud (Makna Tanah Bagi To Kaili).
Dalam penelitian ini informan berjumlah lima orang, yang mana mereka adalah pelaku
kepemilikan lahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, etnis Kaili di Kelurahan Talise Valangguni dalam
memaknai tanah sebagai sesuatu yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka hal ini
tentunya bukan hanya etnis Kaili yang berada di Kelurahan Talise Valangguni namun ini
merupakan anggapan yang sangat umum bagi semua mahluk hidup yang ada. Bagi etnis Kaili di
Kelurahan Talise Valangguni bahwa dengan memiliki tanah kita bisa membangun dan
melangsungkan hidup. Biasanya tanah yang mereka miliki merupakan tanah waris dari orang tua
mereka sehingga ada sebagian dari mereka yang sangat menghargai tanah peninggalan orang tua
mereka tersebut. Etnis Kaili di Kelurahan Talise Valangguni dalam praktek jual atau menyewakan
tanah untuk sekarang masih seperti masyarakat lain pada umumnya. karena tanah atau lahan
adalah milik orang tua mereka atau peninggalan dari orang tua mereka sehingga biasanya mereka
tidak mau menjualnya jika tidak ada keperluan atau kebutuhan hidup yang terlalu mendesak.
Dalam hal ini bisa dipastikan bahwa untuk etnis Kaili yang berada di Kelurahan Talise Valangguni
sangat menghargai tanah peninggalan orang tua mereka.

KataKunci : Makna tanah, kepemilikan tanah, jual beli tanah.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.

Kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) termasuk

Surat Penyerahan Tanah (SPT) di atas tanah milik Universitas Tadulako (Untad) akan sidangkan

di Pengadilan Tipikor Palu, Kamis 25 Februari 2021. “Perkaranya dilimpahkan sejak tanggal 17

Februari 2021. Teregister dengan nomor : 23/Pid.Sus-TPK/2021/PN Pal,” ungkap Humas pada PN

Kelas IA/PHI/Tipikor Palu, Zaufi Amri SH saat dikonfirmasi, Selasa 23 Februari 2021.

Tanah merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup

manusia karena, lahan merupakan input yang diperlukan untuk setiap bentuk aktifitas manusia.

Secara fisik, lahan merupakan aset yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat bertambah

besar, misalnya melalui usaha reklamasi. Walaupun fungsi dan penggunaan lahan

(landfunctionand use) dapat berubah, namun lahan tidak dapat dipindahkan karena bersifat tetap.

Lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh penurunan nilai dan harga. Harga

lahan akan semakin meningkat seiring dengan pemanfaatan yang semakin meningkat pula.

Dengan demikian, harga Tanah/ lahan disuatu wilayah akan ditentukan oleh permintaan dan

penawaran atau persediaan lahan itu sendiri. Di lihat dari jenis penggunaan lahan (landuse), maka

permintaan terhadap lahan akan berbeda untuk perkotaan maupun perdesaan. Pada umumnya,

kebutuhan lahan di perkotaan akan semakin meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk

dan kegiatan ekonomi yang menyertainya.

Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan jauh lebih cepat dibandingkan di perdesaan.


Fungsi lahan di perdesaan biasanya lebih dipengaruhi oleh daya dukung ketersediaan sarana dan

prasarana pendukung pertanian.

Sementara itu, permintaan tanah/ lahan di perkotaan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain faktor fungsi dan penggunaan lahan untuk tujuan ekonomi, sosial budaya dan faktor

ketersediaan sarana umum.

Perkembangan kota Palu tidak terlepas dari adanya pendatang yang memilih tinggal dan

menetap. Mereka membangun usaha di tanah rantau untuk menopang kehidupan sehari-hari,

tuntutan dari asal mengakibatkan mereka bermigrasi ke daerah yang memiliki pontensi untuk

menjalankan usaha mereka. Ini tidak terlepas dari kebutuhan akan tanah, untuk membangun

rumah ataupun sebagai tempat usaha yang membutuhkan sebidang tanah untuk membangun usaha

mereka.

Masalah Tanah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia. Diatas tanah manusia

mencari nafkah. Diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan

membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Tanah juga

mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia. Secara hakiki,

makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung

aspek fisik, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek

hukum. Tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional.

Dari sisi ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan

kesejahteraan. Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan

keputusan masyarakat dan sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial

pemiliknya. Terkadang tanah dapat di perjual belikan bahkan ada pula yang sewa menyewakan,

kebiasaan ini terjadi pada penduduk pribumi kepada penduduk perantau di karenakan pemahaman
atau skill usaha yang dimiliki penduduk pribumi kurang, mengakibatkan banyaknya praktek

menyewakan dan menjual tanah kepada penduduk pendatang.

Praktek sewa dan menjual tanah ke masyarakat pendatang yang dilakukan oleh masyarakat

pribumi (to kaili) marak dilakukan dan berkembang pesat seiring berkembangnya kota atau tempat

sekitaran lingkungan yang di diami masyarakat pribumi di karenakan permintaan dan kebutuhan

bagi masyarakat pendatang, hal ini juga dapat menopong ke ekonomian masyarakat pribumi,

budaya praktek ini sering di lakukan apabila mendapat kesusahan dalam hal kebutuhan ekonomi,

apalagi penyimpangan dalam hal praktek menjual tanah dapat mengakibatkan masyarakat

setempat menjadi malas dalam mencari lapangan pekerjaan dan pengetahuan pemanfaat lahan atau

tanah berkurang, namun demikian pengunaan peraktek sewa dan menjual tanah mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi, mengurangi penganguran dan tindak kriminal pencurian, maka dari itu

kegiatan ini sudah menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat pribumi khususnya di Kelurahan

Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin membahas mengenai usaha peraktek sewa

menjual tanah yang merupakan kebiasaan masyarakat pribumi (to kaili) dalam memenuhi

kebutuhan ekonomi. Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas dan mencoba melakukan

penelitian dengan judul “Makna Tanah Bagi To Kaili Di Kelurahan Talise Valangguni

Kecamatan Mantikulore Kota Palu.

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka pertanyaan yang menjadi

fokus penelitian adalah bagaimana mengetahui praktek sewa dan menjual tanah pada orang kaili

dengan rincian pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana makna tanah bagi orang Kaili di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan

Mantikulore Kota Palu ?


2. Bagaimana praktek sewa dan menjual tanah pada orang Kaili di Kelurahan Talise

Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana makna tanah bagi orang Kaili dan untuk mengetahui bagaimana praktek sewa dan

menjual tanah para orang Kaili di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota

Palu.

2. Kegunaan penelitian

Hasil penelitian ini nantinya mudah-mudahan bermanfaat kepada semua pihak yang

membutuhkan informasi data terutama :

a. Pemerintah daerah provinsi Sulawesi Tengah, kurang lebih tulisan ini dapat menjadi

masukan dalam pengambilan kebijakan untuk membangun masyarakat dan daerah.

b. Hasil penelitian ini menjadi bagian dari usaha pengembangan ilmu sosial secara umum,

dan secara khusus adalah disiplin ilmu Antropologi.

c. Sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan sekaligus proses aplikasi teoritis.

D. Kerangka Konseptual.
a. Makna Tanah
Makna (pikiran atau referensi) adalah hubungan antara lambang atau (symbol) dan acuan

atau referen. Hubungan antara lambang dan acuan bersifat tidak langsung sedangkan hubungan

antara lambing dengan referensi dan referensi dengan acuan bersifat langsung. Menurut

Djajasudarma ((1999:5) makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri

(terutama kata-kata).
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2005:619) kata makna diartikan : (i)

arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud

pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Menurut Chaer (2003:289) pembagian tipe makna berdasarkan beberapa kriterianya antara lain:

a. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi

makna referensial dan makna non referensial.

b. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi

makna denotatife dan makna konotatif.

c. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna

istilah.

d. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif,

idiomatic, kolokatif, dan sebagainya.

Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh

dan berkembangnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi

sebagai gudang dan penyuplai hara dan nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan

unsur-unsur esensial dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang

berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi)

bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk

menghasilkan biomas dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri

perkebunan, maupun kehutanan.

Tanah juga memiliki nilai secara historis dan kultural, bagaimana relasi yang kuat antara

manusia dengan tanah sekaligus contoh mengenai problem atas tanah di berbagai belahan dunia,

yang secara mendasar memiliki motif yang sama, namun dalam implementasi yang berbeda.
Manusia dengan tanah adalah dua hal yang tidak bisah dipisahkan, karena kehidupan

manusia tidak lepas dari tanah. Tanah merupakan benda yang sangat berharga bagi manusia, tanah

tidak hanya semata-mata dipandang sebagai komoditas yang bernilai ekonomis belaka, tetapi

hubungan tanah dengan pemiliknya mengandung nilai-nilai budaya, adat dan spiritual tertentu.

(Erna & Murjianto, 2013:1).

b. Perbedaan Antara Tanah Dan Lahan

Begitu banyak pengertian lahan tergantung dari cara pandang dan kepentingan pemanfaat

lahan, sehingga tidak mudah untuk mendefinisikan pengertian lahan. Misalnya seorang petani

mengartikan lahan adalah sebidang tanah yang dapat digarap untuk berkebun maupun sawah, bagi

seorang pengembang lahan (developer) mengartikan bahwa lahan adalah daerah tempat

membangun perumahan dan fasilitasnya atau sebagai tempat membangun industri. Sementara bagi

seorang ahli penataan ruang (planner) lahan dapat diartikan sebagai sumber daya alam tempat

segala kegiatan manusia ditata. Pengertian tentang lahan bias rancu dengan pengertian tanah,

karena ada dua cara pandang dalam melihat lahan. Cara pandang pertamaya itu lahan sebagai lahan

(land) dan ada cara pandang keduaya itu lahan sebagai tanah (soil).

Menurut Prof. I Made Sandy, seorang ahli geografi, lahan adalah istilah tanah dalam ukuran

luas (berdimensi dua), yaitu Ha, m2, tumbak, bahu atau lainnya. Memang tanah sebagai

sumberdaya alam bias mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, yaitu:

1. Tanah bisa dilihat sebagai benda atau tempat tumbuhnya tanaman, ukurannya adalah

subur dan gersang.

2. Tanah juga bisa dilihat sebagai benda yang dapat diukur dengan ukuran berat atau

volume (tiga dimensi), misalnya berat satu ton atau bervolume satu meter kubik tanah.
3. Tanah bias dipandang sebagai muka bumi yang ukurannya adalah luas (Ha, m2,

tumbak, dan lain”). Tanah dalam luas inilah yang akhirnya sering disebut dengan lahan.

c. Konsep Lahan

Tanah atau lahan merupakan salah satu sumberdaya yang penting dalam kehidupan manusia

karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan

tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan

dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan

tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi,1983 dalam Akbar, 2008).

Muhammad Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi

kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:

1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai

penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan,

perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi

kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya

buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bias menunjang pemanfaatan

budidaya.

d. Praktek Sewa Menyewa Tanah

Sewa menyewa ialah, suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memikat dirinya untuk

memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu

dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayaranya.

Sewa menyewah seperti halnya dengan jual beli perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu

perjanjian konsensiul artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai
unsur-unsur pokok, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu, menyerahkan barangnya

untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini, membayar

harga sewa.

Dalam masyarakat modern, perjanjian sewa menyewa sangat popular disamping perjanjian

jual beli. Perbedaan utama antara dua macam perjanjian ini ialah, bahwa dalam hal jual beli yang

diserahkan oleh pemilik barang, adalah hak milik atas barang itu, sedang dalam hal sewa menyewa

pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, sedangkan hak

milik atas barang itu tetap berada ditangan yang menyewahkan (Subekti 1987:90 dalam Mih

Masykur 2018).

Karena itulah, pasal 1548 BW menetapkan sewa menyewa itu hanya berlangsung untuk

waktu tertentu. Ini berarti dalam sewa menyewa harus selalu ada tenggang waktu tertentu yang

ditetapkan lebih dulu untuk berlangsungnya perjanjian sewa menyewa ini.

Praktek sewa menyewa tanah bengkok di Desa Kedawung sudah terjadi sejak lama dan

berlangsung secara turun temurun. Di mana mayoritas masyarakatnya yang bekerja disektor

pertanian. Dengan adanya sewa menyewa tanah bengkok sangat bermanfaat dan memudahkan

masyarakat mengelola lahan pertanian bagi mereka yang tidak memiliki sawah. Dalam penyewaan

terdapat tenggang waktu penyewaan yang telah disepakati antara pihak yang menyewakan dan

pihak penyewa. Dalam penentuan harga sewa tanah bengkok tidak ada unsur paksaan antara kedua

belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.

Praktek sewa menyewa tanah bengkok di Desa Kedawung Kecamatan Banyuputih

Kabupaten Batang dalam sewanya terdiri dari dua cara yaitu sewa dengan system oyotan (masa

tanam padi) dan sewa dengan system tahunan. Dalam masa sewa jika sudah habis masa sewanya

dapat diperpanjang kembali sesuai dengan kesepakatan antara pihak penyewa dan menyewakan.
(MN Faqih, 2019).

Praktek sewa menyewa tanah juga terjadi di Sumatra Barat, ada tiga macam kepemilikan

tanah di Sumatra Barat. Pertama adalah tanah Negara, yang kedua tanah pribadi, dan yang ketiga

tanah ulayat. Diperkirakan ada sekitar 80% tanah di daerah pedesaan Sumatra Barat masih

merupakan tanah ulayat. Karena hanya tinggal sedikit tanah Negara dan tanah pribadi, pemerintah

mengambil alih tanah ulayat tanpa consensus rakyat (masyarakat) dengan mengatasnamakan

pembangunan.

Pada tahun 1918, tanah ulayat disewakan kepada Belanda untuk memelihara kuda dan sapi.

Lalu hak untuk memanfaatkan tanah ulayat dipindahkan kepada Balai Pembibitan Ternak dan

Hijauan Makna Tanah (BPT-HMT). Pada tahun 1974, BPT-HMT yang berada di bawah

Departemen Pertanian, mengambil 250 hektar tanah ulayat Mungo dan membuka peternakan

ternak dengan bantuan dari Jerman barat untuk mengekspor daging ke negara-negara ASEAN dan

juga untuk konsumsi domestik. Hal ini mengindikasikan pada kemungkinan bahwa setiap kepala

BPT-HMT menerima keuntungan pribadi dengan menjual sapi untuk dirinya sendiri.

Pada tahun 1979, ketika sertifikat tanah diberikan kepada BPT-HMT, masyarakat Mungo

sangat frustasi dan meminta sertifikat itu dikembalikan kepada masyarakat. Lalu Pemda Lima

puluh Kota menyusun panitia dengan lima anggota untuk menyelesaikan masalah itu. Pada tahun

1983, panitia itu mengumumkan perjanjian antara pemerintah daerah dan Ninik-Mamak dan

menuntut pemerintah membayar Rp 2.500,00 untuk setiap meter persegi (Lounela dan Yando,

2002:186,189,190).

e. Praktek Jual Beli Tanah


Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk

menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan.

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, dalam jual beli senantiasa terdapat dua sisi

hokum perdata yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Dikatakan demikian karena pada sisi

hukum kebendaan, jual beli melahirkan hal bagi kedua belah pihak atas tagihan yang berupa

penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan

dari sisi perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam

bentuk penyeraan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada

penjual.

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensualisme yang artinya untuk melahirkan suatu

perjanjian cukup dengan sepakat saja dan perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik

tercapainya konsensus. Salah satu sifat penting dari jual beli menurut Kitab Undang-undang

Hukum perdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu sifatnya hanya obligatoris saja, artinya jual

beli belum memindahkan hak milik.

Perjanjian jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu :

a. Kewajiban pihak penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual.

Kewajiban lain yang dimiliki oleh penjual adalah menjamin kenikmatan tenteram yang

merupakan konsekuensi dari jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang

yang dijual dan diserahkan itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu

beban atau tuntutan dari suatu pihak (Ni WayanNaginingSidianthi, 2010).


Masyarakat Kecamatan Bae termasuk masyarakat yang masih menggunakan aturan Hukum

Adat yang berlaku. Hal ini bias dilihat dari cara hidup masyarakatnya yang masih melakukan

praktek jual beli tanah dibawah tangan. Maksud dibawah tangan adalah suatu perjanjian jual beli

tanah dalam Hukum Adat dimana dalam perbuatan hukum yang dilakukan berupa pemindahan hak

dengan pembayaran tunai maupun sebagian yang dilakukan atas kesepakatan pihak masing-masing

(penjual dan pembeli) yang dihadiri oleh Kepala Adat/Kepala Desa. Menurut masyarakat di

Kecamatan Bae, mereka melakukan jual beli tanah di bawah tangan disebabkan biayanya tidak

terlalu banyak dan prosesnya sangat mudah, yaitu cukup dihadiri oleh Kepala Adat/Kepala Desa

dan saksi-saksi, maka proses jual beli tanah yang terjadi sudah sah.

Jika harus ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), masyarakat di Kecamatan Bae cukup

keberatan dari segi biaya yang dikatakan tidak pasti. Karena dalam prakteknya, harga yang

tercantum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) ternyata tidak sesuai dengan jumlah yang harus

dibayarkan. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat kurang tertarik untuk melakukan jual beli

tanah sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (Nur Susanti SH, 2006).

f. Pengertian Sumber Daya Lahan

Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia

karena lahan merupakan input penting yang diperlukan untuk mendukung aktivitas manusia.

Hardjowigeno (2003) mendefinisikan lahan sebagai kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi

yang meliputi tanah yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan

mineral,bahanorganik,air dan udara yang merupakan media untuk tumbuhnya tanaman beserta

faktor-faktor fisik lingkungannya seperti lereng,hidrologi,iklim dan sebagainya.

Sujarto (1985) menerangkan bahwa secara fisik lahan merupakan aset ekonomi yang tidak
dipengaruhi oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga serta tidak dipengaruhi oleh faktor

waktu. Secara fisik pula lahan merupakan aset yang mempunyai keterbatasan dan tidak dapat

bertambah besar, misalnya dengan usaha reklamasi. Lahan secara fisik tidak dapat dipindahkan,

walaupun fungsi dan penggunaan lahan (landfunctionanduse) dapat berubah tetapi lahannya

sendiri bersifat tetap.

Menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (1985), apabila lahan digunakan bersama-sama

dengan faktor produksi lain seperti tenaga kerja, modal dan teknologi akan menjadi bahan

pertimbangan tertentu untuk penggunaan tertentu pula. Pemanfaatan lahan sangat menentukan

cara-cara masyarakat berfungsi. Lahan yang merupakan sumber dasar atau asal

makanan,permukiman,air serta zat asam harus dimanfaatkan secara baik sehingga menjamin

ekosistem yang stabil, membatasi pencemaran udara, serta menciptakan struktur politik, ekonomi,

sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan tidak terbatas pada perkembangan kota-desa

saja.

Fujita (1989) menyatakan bahwa penggunaan lahan yang optimal tergantung pada fungsi

tujuan yang ditentukan. Salah satu teori penggunaan lahan adalah model Herbert-Stevens. Pada

model ini, tujuan penggunaan lahan adalah untuk memaksimalkan surplus pengguna lahan untuk

semua model rumah tangga. Model ini dirancang sedemikian rupa sehingga solusinya selalu

efisien, dan semua alokasi efisien dapat diperoleh hanya dengan berbagai tingkat utilitas target.

g. Teori Harga Lahan dan Faktor Lokasi

Alonso (1970) mendefinisikan harga lahan sebagai sejumlah uang yang dibayar kepada

pemilik lahan atas hak menggunakan suatu unit lahan pada periode waktu tertentu. Harga jual

adalah harga yang disanggupi pembeli (willingness to pay) setelah mempertimbangkan berbagai

alternatif dan merupakan nilai diskon dari total nilai sewa dimasa mendatang sedangkan biaya
pemilikan lahan ialah fungsi dari harga jual dan harga kontrak.

Dalam hal ini, istilah harga lahan (landprice) sebagai pengganti istilah nilai lahan (land

value) dalam menganalisis masalah ekonomi lahan perkotaan. Istilah harga lahan lebih dapat

mencerminkan nilai pasar atas harga kontrak (contrac rent), harga jual (sales price) dan biaya

kepemilikan (cost ofownership).

Hadianto (2009) menerangkan beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap harga

lahan yaitu jarak terhadap jalan, drainase, luastanah, lebar jalan, status jalan, elevasi, kontur dan

bentuk tanah. Jarak terhadap jalan merupakan jarak lokasi bidang tanah dengan jalan terdekat yang

ada disekitarnya, baik itu jalan lokal, jalan kolektor maupun jalan arteri primer/sekunder.

Hal ini mengindikasikan akses terhadap lokasi obyek tanah tersebut. Kontur yang dimaksud

adalah apakah bidang tanah berkontur datar, bergelombang atau terasering, sedangkan yang

dimaksud dengan bentuk tanah adalah apakah bidang tanah berbentuk normal/persegi,

persegilima/trapesium/lainnya atau tidak beraturan.

Harga suatu lahan juga dipengaruhi oleh luas dan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat

dilihat dari segi kualitas air atau fasilitas air, kesuburan dan kandungan mineral

didalam lahan tersebut. Selain itu, harga lahan juga dipengaruhi oleh faktor lokasi suatu lahan

sebagaimana dijelaskan dalam model Von Thunen.

Suparmoko (1997) menerangkan bahwa teori yang dikemukakan oleh Von Thunen

menentukan nilai sewa lahan berdasarkan faktor lokasi. Analisa Von Thunen berdasarkan tanaman

yang dihasilkan oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan dikemukakan bahwa sewa lahan

lebih tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa lahan

berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh kepusat pasar.
Berdasarkan teori sewa lahan menurut Von Thunen, sewa lahan mempunyai hubungan yang

terbalik dengan jarak lokasi lahan kepusat pasar. Jarak lahan kepusat pasar akan menyebabkan

perbedaan terhadap besarnya biaya transportasi.

Suparmoko (1989) menjelaskan bahwa harga lahan yang berlokasi dekat fasilitas umum

akan meningkat. Dengan adanya kegiatan pembangunan, khususnya pembangunan

prasarana umum, akan meningkatkan kegunaan dan kepuasan yang dapat diberikan oleh satuan

luasan lahan, yang diikuti pula dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga harga

lahan akan meningkat. Lahan yang dekat pasar oleh masyarakat digunakan untuk daerah pusat

kegiatan ekonomi yang akan memberikan pendapatan dan harga sewa yang tinggi untuk berbagai

alternatif penggunaan, seperti industri atau penggunaan lain yang menguntungkan.

Permintaan juga mempengaruhi harga lahan. Penentuan permintaan lahan tersebut adalah

selera dan preferensi konsumen, jumlah penduduk, pendapatan dan ekspektasi konsumsi terhadap

harga dan pendapatan di masa yang akan datang. Keempat penentu permintaan lahan tersebut

berhubungan positif dengan harga lahan. Semakin meningkat penentu permintaan lahan tersebut,

maka harga lahan juga akan semakin mahal (Halcrow, 1992).

E. Metodelogi Penelitian

1. Dasar dan Tipe Penelitian.

Metode penelitian yang di gunakan adalah deskriptif kualitatif. Deskriptif adalah gambaran

atau penyajian data berdasarkan kenyataan secara objektif, sistematis, dan faktual di lapangan

(Moleong 2007:12), sesuai data yang berhubungan dengan bagaimana praktek sewa dan menjual

lahan pada Orang Kaili Di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu.

2. Ruang Lingkup Penelitian.


Untuk memperoleh berbagai data dan informasi yang di butuhkan sesuai dengan

permasalahan yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang akan penulis gunakan

adalah sebagai berikut :

a. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini akan dilaksanakan di sekitar Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan

Mantikulore Kota Palu yang mana terdapat pendatang yang memiliki usaha atau berkediaman dan

juga kepada masyarakat orang Kaili dalam perilaku sewa dan menjual tanah.

b. Subjek Penelitian.

Subjek penelitian ini adalah subjek yang dituju untuk diteliti. Dalam penelitian ini jumlah

populasi yang tercakup dalam penelitian ini sebanyak 5 keluarga di Kelurahan Talise

Valangguni, yakni 2 masyarakat pendatang dan 3 masyarakat To Kaili. Penetapan di maksud di

dasarkan atas pembelian dan kepemilikan.

c. Penentuan Informan.

Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam

pengumpulan data adalah pemilihan informan. Teknik sampling yang di gunakan dalam penelitian

ini ditentukan secara sengaja (purposive sampling) yang dianggap dapat mewakili semua unsur

dalam masyarakat pendatang dan penduduk asli (Orang Kaili) selain itu juga di tentukan pula

beberapa informan kunci yang ada di Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota

Palu adapun yang menjadi informan kunci (Key Informan) :

- Orang Kaili yang menjual tanah dan menyewakan lahan

- Orang Kaili yang tidak menjual tanah atau menyewakan lahannya.

- Pendatang yang membeli dan menyewa lahan dari Orang Kaili.

3. Teknik Pengumpulan Data.


Untuk memperoleh data/informan yang sesuai dengan permasalahan yang di teliti, ada

teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Studi Kepustakaan.

Mengumpulkan dan membaca berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal ilmiah,

majalah, dokumen dan artikel yang berkaitan masalah penelitian ini. Studi pustaka dilakukan

sebelum turun kelapangan dengan mengumpulkan dan mempelajari berbagai literatur, arsip-arsip

dan dokumen-dokumen yang relevan dalam pokok pembahasan pada penelitian ini. Hasil studi

pustaka tersebut di gunakan sebagai latar belakang dan bahan rujukan yang akan mendukung

penulisan penelitian ini. Menurut M. Nazir (1988:111) studi kepustakaan adalah Teknik

pengumpulan data dengan mengandalkan studi penelaah terhadap buku-buku, literatur-literatur

dan laporan-laporan yang ada hubunganya dengan masalah yang di pecahkan.

2. Penelitian Lapangan.

a. Observasi.

Metode observasi dalam penelitian kualitatif pada hakikatnya merupakan kegiatan dengan

menggunakan panca indra, biasa melalui penglihatan, penciuman, pendengaran untuk menjawab

masalah penelitian. Pengamatan atau observasi di lapangan sangat penting dilakukan dalam

penelitian ini untuk mendapatkan data sesuai kondisi objektif di lapangan.

Pengamatan atau obervasi lapangan di lakukan berdasarkan kegiatan yang berhubungan

dengan focus peneliti. Pengamatan atau observasi di lakukan untuk memperoleh gambaran riil

suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap observasi

selanjutnya pengumpulan data dengan mengamati langsung yang tengah di teliti dan terlibat

langsung terhadap objek yang menjadi sasaran peneliti atau observasi partisipan (participant

observation) yaitu pada orang Kaili.


Teknik pengamatan adalah sebagai berikut :

Sumber :
https://www.google.com/search?q=foto+wilaya+mantikulore&sxsrf=AOaemvJSKxzfux6v
mBL8q9tEWay1IcZwxQ:1641793879768&tbm=isch&source=iu&ictx=1&fir=i_gNDb6ae9VCu
M%252C2zGdFK8u6D4ANM%252C_%253BZCs4dZvhDCjKlM%252CjnsoRca8Ot5bXM%25
2C_%253BUmo0NUmSq4mFRM%252C-lLfUCLy-7b9RM%252C_%253B7UzVJjSJVRhY-M
%252CpgW_BLDRa3HDoM%252C_%253BJVc_aV6N7N2pbM%252CjnsoRca8Ot5bXM%25
2C_%253BRl1Lwf5SJiPU7M%252CwlouHIw22ba4xM%252C_%253BL-VZDYWmOm_IIM
%252Cn3pSAPLKguy8XM%252C_%253B19CNYIUHWhCEpM%252Crtym1U4hMl51dM%2
52C_%253BYwUDILwpJ3v6dM%252C2zGdFK8u6D4ANM%252C_%253BnyBmsW5TXCL
K4M%252CpgW_BLDRa3HDoM%252C_&vet=1&usg=AI4_-kQYFmY8UQM1YuvnPL6W5p
quKZStJw&sa=X&ved=2ahUKEwiNqP3nvqb1AhV_H7cAHYiDCtgQ9QF6BAgEEAE#imgrc=
i_gNDb6ae9VCuM, diaskes, 07 Januari 2022

b. Wawancara.

Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi antar informan dengan peneliti. Teknik

wawancara yang di gunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi dan keterangan

secara lisan dari informan terhadap permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini. Wawancara

di lakukan untuk memperoleh data langsung dari informan Dengan menggunakan Teknik

wawancara secara mendalam (indepth interview), dengan mengunakan pedoman wawancara

(interview guide) yang telah disiapkan agar memperoleh data yang bersifat terbuka (open

interview) yang member keleluasan bagi para informan untuk member pandangan-pandanganya

secara bebas dan terbuka sehingga dapat di peroleh data yang lebih mendalam. (Irwati dalam

Nyoman,2010:14).
Teknik pengumpulan data dengan cara melakukan tanya jawab dengan para informan

berkenaan dengan masalah yang diteliti. Teknik wawancara di awali dengan memilih informan

dan responden secara purposive (sengaja) informan kunci ( key informan ) yaitu tokoh masyarakat,

yang berasal dari To Kaili. Pelaksanaan wawancara di lakukan secara terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara (guide interview) maupun wawancara tidak terstruktur. Selain

pada beberapa informan di lakukan wawancara mendalam (depth-interview) untuk memperoleh

data-data yang di butuhkan.

Teknik wawancara peneliti adalah seperti pada contoh dibawah ini :

- kosakata kaili

“Makna tanah itu sangat berarti, karena ane tara ria tanah mombangu sapo riva kita. Jadi

tanah tu napenting ntoto ka kita manusia, ane kita ma ria tanah nta mamalamo ra pobangu nu sapo,

mamala muni rapobangu tampa rapogade mangonjo doi. Etumo tanah tu nabermakna ntoto ka kita

manusia. Yaku navela pombagian tanah dako nte totuanggu radua kapling. Saongu

nipombangunggu nu sapo i ya, saongu kapling dana kosong.

- kosakata Bahasa Indonesia /sehari-hari

(makna tanah itu sangat berarti, karena kalau tidak ada tanah kita mau bangun rumah

dimana. Jadi tanah itu sangat penting untuk manusia. Kalau kita punya tanah, bisa kita bangunkan

rumah, dan bisa juga kita bangunkan tempat menjual untuk cari uang. Makanya tanah itu sangat

bermakna untuk kita manusia, saya dapat pembagian tanah dari orangtuaku dua kapling. Satu

kapling sudah saya pake bangun rumah ini dan yang satu kaplingnya lagi masih kosong.)
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.

Berdasarkan dengan tujuan penelitian, maka data yang telah di kumpulkan kemudian di olah

dengan metode kualitatif, deskriptif analitis. Adapun teknik analisis data yang di gunakan melalui

beberapa tahapan yaitu

a. Editing Data : yaitu merupakan kegiatan mengoreksi data yang telah terkumpul dengan

memilih dan memilah data berdasarkan permasalahan, pada tahap ini di lakukan

perbaikan-perbaikan terhadap kekeliruan dan melengkapi data yang belum lengkap

dalam pedoman wawancara.

b. Kategori Data : yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data berdasarkan

permasalahan dan tujuan penelitian, hal ini memperoleh kemudahan mengadakan

penafsiran makna.

c. Penafsiran Data : penafsiran data dalam penelitian ini akan di lakukan pada saat

wawancara mendalam. Penafsiran dalam penelitian ini adalah informan sebagai alat

penelitian ini. Informasi akan memberikan jawaban-jawaban yang berkenaan dengan

pertanyaan penelitian yang akandi ajukkan.

d. Perumusan Kesimpulan dan Saran : yaitu merupakan langkah terakhir dari analisis data

yaitu merumuskan kesimpulan hasil penelitian yang ada dalam permasalahan penelitian.

Penarikan kesimpulan adalah jawaban atas permasalahan tujuan penelitian ini dan

menyampaikan saran-saran teoritis maupun praktis yang di harapkan akan menjadi

kegunaan penelitian.

5. Sistematika pembahasan.

Bab I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian dan metode penelitian.


Bab II : Studi Pustaka pada bab ini penulis menguraikan berbagai hasil penelitian yang

terkait dengan objek/materi penelitian. Seperti, sistem sewa lahan dan sistem jual beli lahan.

Bab III : Gambaran Subjek/Objek Penelitian yang terdiri dari sejarah singkat Kelurahan

Talise Valangguni, profil informan, data kondisi geografis dan demografis, serta kondisi

sosial budaya Kelurahan Talise Valangguni Kecamatan Mantikulore Kota Palu

Bab IV : Hasil dan Pembahasan tentang makna tanah bagi Orang Kaili dan Praktek sewa

dan jual tanah di Kelurahan Talise Valangguni Kec. Mantikulore Kota Palu

Bab V : Bab Penutup, yang mengetengahkan kesimpulan sebagai hasil akhir dari penulis

sekaligus mengemukakan beberapa saran


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Studi Tentang Kepemilikan Lahan di Indonesia

Naimatul Jannah (2015:37) dalam skripsi yang berjudul Berebut Tanah, konsepsi

kepemilikan tanah dan penguasaan lahan di kelurahan tondo menjelaskan bahwa dahulu

kepemilikan tanah di kelurahan tondo adalah hak milik penuh yaitu penggunaan tanah

terus-menerus dari garis keturunan mereka yang berasal dari keturunan orang tua mereka yang

digarap sendiri. tanah di kelurahan tondo adalah tanah hak milik oleh pemukim lama kelurahan

tondo milik etnik kaili. tanah di tondo sangatlah luas, setiap masyarakat tondo memiliki tanah,

awalnya sebelum ada pemukiman baru di wilayah tondo ini hanya digunakan sebagai lahan

pertanian mereka menggarap tanahnya dengan cara bercocok tanam misalnya sayur-sayuran,

umbi-umbian, dan ada pula sebagai tempat menggembala ternaknya seperti kambing dan sapi.

secara bersamaan dalam mengolah lahan pertanian sebelumnya mengikat dulu ternak di sekitarnya

perilaku tersebut dilakukan terus menerus sampai pada keturunan mereka (anak-anaknya).

sehingga tanah tersebut menjadi sistem kepemilikan tanpa mereka sendiri.

Selain pemberian dari orang tua sistem kepemilikan tanah di tondo dilakukan dengan sistem

bagi rata. untuk mengetahui tanah tersebut sudah ada yang memiliki mereka menanam pohon

sebagai pembatasnya. dengan demikian dapat menghindari konflik tentang kepemilikan tanah dan

sebidang tanah tidak lagi dimiliki oleh dua orang atau lebih. selanjutnya sistem kepemillikan tanah

di tondo juga berdasarkan pada sistem warisan leluhur mereka sehingga pada generasinya dapat

memiliki tanah dan tidak berpindah ke tangan orang lain. tanah yang sebelumnya dari hasil olahan

pertanian dan ternak diwariskan kepada anak-anaknya untuk digunakan dan diolah kembali.
Persamaan penelitian diatas dengan penelitian ini adalah sama-sama mnjelaskan bahwa

sistem kepemilikan lahan di kelurahan tondo dan kelurahan Talise Valangguni sama-sama berasal

dari pemberian orangtua mereka, orang tua terdahulu hanya sering beraktivitas disuatu tempat

secara terus menerus, kemudian mereka mengkapling lahan tersebut dengan menanam pohon

sebagai tanda batas-batas lahan mereka untuk bercocok tanam ataupun beternak hewan-hewan

mereka. mereka melakukannya dalam waktu yang sangat lama sehingga mereka menganggap

bahwa lahan tersebut adalah milik mereka. pemeberian/pewarisan lahan ini pun terjadi secara

turun temurun kepada anak-anak mereka, anak mereka mengolah lahan tersebut lalu membangun

rumah diatas lahan tersebut. perbedaan penelitian Naimatul Jannah dengan penelitian saya adalah

lokasi penelitiannya, lokasi penelitian Naimatul Jannah bertempat di kelurahan Tondo sedangkan

lokasi penelitian saya berada di kelurahan Talise Valangguni.

Tanah memiliki arti yang sangat penting yaitu, bagi kelangsungan hidup manusia. Karena

sifatnya merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang

bagaimanapun juga masih tetap dalam keadaannya. Malah kadang menjadi lebih menguntungkan

dipandang dari segi ekonomi.

Hasil penelitian Fajri Rahman (2015:99) yaitu ada beberapa cara untuk mendapatkan

kepemilikan lahan pertanian pada masyarakat Sipetung. Pertama adalah melalui pewarisan, kedua

melalui pembelian, ketiga melalui sewa atau bagi hasil, dan yang terakhir adalah dengan

memanfaatkan lahan hutan milik pemerintah. Pembagian harta warisan di Sipetung, pada

umumnya dilakukan secara adat, atau ketentuan yang sudah berlaku secara turun-temurun.

Warisan dibagi kepada seluruh anak sesuai dengan keputusan dari orang tua. Cara yang kedua

untuk memiliki lahan pertanian adalah dengan pembelian tanah. Bertambahnya jumlah penduduk,

lahan pertanian secara otomatis akan semakin sedikit. Dengan tidak adanya kemungkinan untuk
membuka lahan pertanian baru, pembelian tanah merupakan salah satu cara bagi masyarakat

Sipetung untuk memperluas lahan pertaniannya. Selain melalui warisan dan pembelian, cara untuk

mendapatkan tanah adalah dengan sistem sewa tanah dan sistem bagi hasil. Sewa tanah adalah si

pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain sesuai dengan harga yang disepakati, hasil

dari lahan tersebut adalah milik si penyewa. Sistem sewa ini walaupun jarang, sudah lazim terjadi

di Sipetung. Lahan yang di sewakan biasanya adalah lahan perkebunan.

Persamaan dari penelitian Fajri Rahman di atas dengan penelitian ini adalah sama-sama

menjelaskan bahwa hak atas kepemilikan dapat diperoleh dengan tiga cara, pertama adalah

melalui pewarisan, kedua melalui pembelian, ketiga melalui sewa. Perbedaan dari penelitian Fajri

Rahman dengan penelitian saya yaitu pada isi penelitian Fajri Rahman menjelaskan kepemilikan

lahan di masyarakat pegunungan Jawa, Pekalongan sedangkan penelitian saya menjelaskan

kepemilikan lahan pada Etnik Kaili di Kelurahan Talise Valangguni Kota Palu. Selain itu dalam

penelitian Fajri Rahman menjelaskan bahwa lahan yang di sewakan itu merupakan lahan

perkebunan sedangkan lahan yang disewakan di Kelurahan Talise Valangguni merupakan lahan

untuk berdagang dan tempat tinggal.

B. Studi Tentang Jual Beli Lahan Di Indonesia

Jurnal penelitian Daya Ageng Purbaya (2016) berjudul Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli

Tanah di Hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjelaskan menghadapi sengketa lahan

yang menyebabkan kendala proses jual beli lahan maka perlu diadakan musyawarah antara pihak

pembeli dan pihak penjual agar dapat menemui kesepakatan. dalam menghadapi kurang

lengkapnya berkas yang harus dilakukan yaitu, pemohon mempersiapkan syarat-syarat yang telah

ditetapkan dan penjual meminta surat keterangan warisan. dan untuk masalah pembayaran yang

dilaksanakan secara tidak kontan, maka kesanggupan pihak pembeli dicantumkan pada surat
perikatan perjanjian yang memiliki kekuatan hukum dengan sanksi-sanksi yang jelas, pihak

penjual tidak melepaskan hak atas tanah yang dijual itu sesuai dengan isi perjanjian perikatan yang

telah dibuat dan disepakati bersama.

Persamaan penelitian diatas dengan penelitian saya adalah sama-sama menjelaskan bahwa

dalam melakukan transaksi jual beli tanah harus bersifat jelas. perbedaan penelitian Daya Ageng

dengan penelitian ini adalah, dalam hasil penelitian Daya Ageng mejelaskan proses pembuatan

perjanjian-perjanjian antara pihak pembeli dengan pihak penjual di hadapan PPAT sedangkan

dalam penelitian ini menjelaskan sistem jual beli lahan antara warga Talise Valangguni.

Penelitian Abdul Hafid (2013:198) mengungkapkan dahulu orang Tolaki tidak mengenal

sistem jual beli tanah namun, dalam perkembangan selanjutnya proses jual beli justru menjadi

sangat marak, baik di Kabupaten Konawe maupun di daerah lain yang didiami oleh mayoritas

orang tolaki. proses jual beli tersebut terjadi baik diantara orang tolaki dengan penduduk dari suku

lainnya. pada saat ini proses jual beli dikalangan orang tolaki di kabupaten konawe, harus

memenuhi beberapa persyaratan antara lain, harus disaksikan puutobu dan toono serta beberapa

saksi lainnya, selanjutnya agar proses jual beli tersebut memiliki kekuatan hukum maka

dibuatkanlah surat keterangan perjanjian jual beli yang ditanda tangani oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dan diketahui oleh pemerintah setempat.

Persamaan penelitian saya dengan penelitian diatas yaitu sama-sama mengungkapkan

bahwa pembayaran dalam proses jual beli tanah antara penduduk asli dan orang suku bangsa lain

harus disaksikan oleh tetua yang bertindak sebagai saksi yang setelah itu dokumen-dokumen jual

beli harus ditandatangani oleh pemerintah setempat. perbedaan penelitian Abdul Hafid dan

penelitian saya yaitu peneilitian Abdul Hafid mengambil fokus pada etnik Tolaki di kabupaten

Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara sedangkan penelitian saya fokus pada etnik kaili di
kelurahan Talise Valangguni.
BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kelurahan Talise Valangguni

1. Sejarah Singkat Kelurahan Talise Valangguni

Nama Valanguni, diambil dari nama sebuah pohon atau tumbuhan yang hidupnya melilit

dibatang pohon lain dan menjalar. Serta mempunyai batang pohon sebesar lengan manusia.

Sebutan nama Valangguni, berasal dari bahasa daerah Kaili Topo Tara atau dalam arti bahasa

daerah kaili Tara. Dengan mengartikan “Vala” adalah tumbuhan yang menjalar, sedangkan

“Ngguni” adalah berwarna kuning, dapat diartikan bahwa “Valangguni” adalah tumbuhan yang

mempunyai batang dan akar berwarna kuning.

Kelurahan Talise terbentuk berdasarkan UU No. 4 tahun 1994 tentang pembentukan kota

madya daerah tingkat II Palu, UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan peraturan

pemerintah No 73 Tahun 2005 tentang kelurahan dan peraturan Menteri dalam Negeri No. 31

Tahun 2006 Tentang Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Kelurahan. Kelurahan Talise

Valangguni yang awalnya berupa wilayah Kelurahan Talise kemudian pada tahun 2014 berubah

status menjadi kelurahan baru yang pemimpinnya ditunjuk langsung oleh wali kota yang menjadi

lurah pertama Talise Valangguni yaitu Arief Nursalam S.H yang menjabat selama 2 tahun

periode Januari 2014 – September 2016.

2. Orientasi Administrasi

Secara administrasi kelurahan Talise Valangguni merupakan pemekaran dari Kelurahan

Talise dan bagian dari wilayah Kecamatan Mantikulore Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
Letak kelurahan Talise dengan pusat Pemerintahan Kecamatan Mantikulore adalah 1,5 km,

sedangkan dengan pusat Pemerintahan Kota Palu Adalah + 1,0 km.

Kelurahan Talise Valangguni memiliki batas-batas georgrafis dan administratif wilayah

sebagai berikut :

1. Sebelah utara berbatasan dengan : Kelurahan Talise

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Tanamodindi

3. Sebelah Barat berbatasan dengan : Kelurahan Besusu Timur

4. Sebelah Timur berbatasan dengan : Kelurahan Poboya

Secara geografis kondisi Kelurahan Talise Valangguni terletak di bagian Utara Kota Palu

yang secara fisik berada pada kawasan dataran tinggi 25 m dari permukaan laut dengan luas

wilayah 408 H. Banyaknya curah hujan 3.000 mm/thn dengan suhu udara rata-rata 33’C. Dan

terbagi atas 6 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun Tetangga (RT).

B. Aspek Kependudukan

Penduduk merupakann komponen yang sangat penting dalam penataan suatu kawasan.

Faktor ini merupakan indikator utama dalam memperkirakan kebutuhan fasilitas dan utilitas suatu

pemanfaatan guna lahan di masa yang akan datang.

Jumlah penduduk pada kelurahan Talise Valangguni pada tahun 2016 sebanyak 9.374 jiwa.

Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah dan perkembangan pada kelurahan Talise Valangguni

tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini :


Tabel 1.

Perkembangan dan Kepadatan Penduduk Kelurahan Talise Valangguni

Jumlah
Luas Wilayah
No. Tahun Penduduk
(Ha)
(Jiwa)

1. 2015 408 9.280

2. 2016 408 9.374

Sumber : Data Sekunder Kelurahan Talise Valangguni Tahun 2020

Dari Tabel 1 diatas , dapat disimpulkan bahwa di tahun 2015 sempai Dengan tahun 2016,

luas wilayah kelurahan talise valangguni adalah 408 Ha, Dengan jumlah penduduk adalah

masing-masing adalah 9.280 jiwa dan 9.374 jiwa.

Kepadatan penduduk merupakan angka perbandingan antara jumlah penduduk dan luas

wilayah. Berikut ini disajikan tabel kepadatan penduduk. Salah satu aspek dalam melihat

konsentrasi penduduk pada suatu wilayah adalah kepadatan penduduk.

Selain untuk melihat konsentrasi pemukiman penduduk yang berpengaruh terhadap

penyediaan berbagai fasilitas juga mempengaruhi daya dukung wilayah dalam menampung

pertambahan penduduk. Berdasarkan tabel di atas Kelurahan Talise Valangguni dengan luas

wilayah 408 Ha, dapat digolongkan sebagai daerah dengan tingkat kepadatan yang cukup tinggi

dan mempunyai wilayah yang cukup luas karena pertumbuhan penduduk tiap tahun akan terus

meningkat dan akan muncul pemukiman-pemukiman baru di wilayah Talise Valangguni sehingga

penduduk akan terus bertambah banyak dan tingkat kepadatan akan menjadi tinggi.
Aspek penduduk menurut kelompok umur merupakan komponen yang dikaji dalam aspek

kependudukan diwilayah ini. Hal ini penting karena terkait dengan lapangan kerja, sarana

pendidikan, kesehatan dan fasilitas sosial lainnya.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Talise

Valangguni

No. Kelompok Umur Jumlah (Jiwa)

(Tahun) Laki-Laki Perempuan Total

1. 0–4 243 223 466

2. 5–9 466 445 911

3. 10 – 14 461 509 970

4. 15 – 19 378 387 765

5. 20 – 24 455 415 870

6. 25 – 29 504 469 973

7. 30 – 34 500 471 971

8. 35 – 39 459 423 882

9. 40 – 44 331 337 668

10 45 – 49 346 279 625

11. 50 – 54 218 205 423

12. 55 – 59 174 153 327

13. 60 – 64 123 100 223

14. 65 – 69 78 76 145
15. 70 -74 48 43 91

16. >74 26 38 64

Jumlah penduduk 4.810 4.564 9.374

Sumber : Data Sekunder Penduduk Kelurahan Talise Valangguni Tahun 2020

Berdasarkan tabel di atas diketahui kelompok-kelompok usia produktif yang mencapai

4.364 Jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih sedikit dari penduduk laki-laki yakni sekitar

4.564 Jiwa sedangkan penduduk laki-laki 4.810 Jiwa.

Tabel 3.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama di Kelurahan Talise Valangguni

No. Agama Jumlah (Jiwa)

1. IslIslam 8.259

2. K Kristen 837

3. K Katolik 138

4. HiHindu 31

5. B Budha 109

Jumlah 9.374

Sumber : Data Sekunder Penduduk Kelurahan Talise Valangguni Tahun 2020

Berdasarkan tabel di atas dapat di lihat komposisi penduduk yang paling banyak berdasarkan

agama, yaitu penganut agama islam dengan jumlah penduduk yakni 8.259 Jiwa, di Kelurahan

Talise Valangguni mayoritas beragama muslim.

2. Sektor Jasa dan Akomodasi Pariwisata

Tabel 4.

Sektor Jasa dan Akomodasi Parawisata di Kelurahan Talise Valangguni


No. Uraian Jumlah

1. SPBU -

2. Bengkel 13

3. Service Elektronik 4

4. Salon 2

5. Warnet 1

6. Tukang Emas 5

7. Tukang Kayu / Batu 25

8. Tukang Jahit 5

9. Pasar 1

Total 56

Sumber : Data Sekunder Kelurahan Talise ValangguniTahun 2020

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui sektor jasa dan akomodasi pariwisata di kelurahan

Talise Valangguni yang paling banyak yaitu jasa tukang kayu / tukang batu 25 unit penghasil kayu

dan batu terbanyak.

D. Pemukiman, Fasilitas Pelayanan dan Prasarana

Penyajian data mengenai fasilitas pelayanan ini di maksudkan untuk memberikan gambaran

tingkat pelayanan yang ada di Kelurahan Talise Valangguni.

1. Perumahan

Pada Lingkungan Kelurahan Talise Valangguni bangunan rumah tinggal di klasifikasikan

berdasarkan kondisi fisik bangunan permanen, semi pemanen, darurat dan kost. Jumlah hunian

atau rumah yang ada di Kelurahan Talise Valangguni pada tahun 2015 mencapai 3.603 unit.
Berdasarkan klasifikasinya diperoleh data bangunan sebagai berikut :

Rumah permanen : 2. 541 unit

Rumah semi permanen : 875 Unit

Rumah darurat : 3 unit

Kost : 184 Unit

2. Perkantoran

Pada Kelurahan Talise Valangguni mempunyai 1 (satu) kantor pemerintah yang berlokasi di

wilayah Talise Valangguni dan tidak ada kantor swasta.

3. Fasilitas Kesehatan

Pada wilayah Kelurahan Talise Valangguni tersedia fasilitas-fasilitas kesehatan meliputi :

Poskesehatan Kelurahan, Posyandu, dan Apotek. Penyediaan fasilitas kesehatan pada Kelurahan

Talise Valangguni dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.

Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Tingkatannya di Kelurahan Talise Valangguni

No. Uraian Jumlah

1. PUSKESEHATAN KELURAHAN 1

2. POSYANDU 1

3. POS KB -

4. TOKO OBAT / APOTEK 3

5. DOKTER / BIDAN 1
6. MANTRI -

7. BIDAN KELURAHAN -

Total 6

Sumber : Data Sekunder Kelurahan Talise Valangguni Tahun 2020

Fasilitas-fasilitas kesehatan yang diuraikan di atas dianggap belum mampu melayani seluruh

masyarakat. Sebab pada kelurahan ini belum terdapat Puskesmas dan Rumah Sakit.

4. Fasilitas Olah Raga

Fasilitas olah raga yang tersedia meliputi : Lapangan Sepak Bola 1 buah, Lapangan Voli 2

buah, dan Lapangan Takraw 2 buah.

5. Sistem Utilitas

a. Listrik

Utilitas kota berupa kebutuhan listrik yang tersedia pada wilayah Kelurahan Talise

Valangguni berasal dari aliran listrik PLN.

b. Air Bersih dan Air Kotor

Prasarana air bersih yang dimanfaatkan oleh masyarakat pada wilayah Kelurahan Talise

Valangguni berasal dari PDAM Uwe Lino kota palu di Jln. Tomblotutu.

6. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat yang bermukiman di Kelurahan Talise Valangguni sangat heterogen namun

sebagian besar adalah suku Kaili yang merupakan suku asli dan sebagian lagi berasal dari suku

Bugis, Jawa, dan suku-suku pendatang lainnya. Walaupun terdiri dari berbagai macam suku,
masyarakat Kelurahan Talise Valangguni memiliki semangat gotong royong serta kekeluargaan

yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, baik kegiatan

tersebut berupa acara adat maupun kegiatan yang dilaksanakan di sekitar tempat tinggal mereka.

E. Struktur Organisasi dan Tata Kerja

1. Struktur Organisasi

Struktur organisasi adalah merupakan kerangka hubungan antara satuan-satuan organisasi

yang di dalamnya terdapat hubungan tugas, jabatan, wewenang, dan tanggung jawab. Pedoman

struktur organisasi dan tata kerja di kelurahan didasarkan pada Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 1994 dan Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2006,

tentang pedoman susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa/kelurahan.

Disamping itu struktur organisasi dapat pula dikatakan sebagai suatu sistem pembagian

kerja secara teratur sebagai hal yang paling mendasar untuk mencapai efisiensi, efektivitas, dan

produktifitas kerja. Sebab pembagian kerja yang transparan dapat menghindarkan pelaksanaan

tugas organisasi yang tumpang tindih. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

struktur organisasi secara lengkap menggambarkan jalur atau hierarki antara satuan-satuan

organisasi, para pejabat, dan keberadaan pegawai.

Selain itu, struktur organisasi juga merupakan suatu atribut yang menjadi kebutuhan bagi

setiap organisasi manapun untuk memperlancar jalannya organisasi, yang dimaksud struktur

organisasi adalah suatu bagan organisasi merupakan suatu grafik atau semi grafik yang

menunjukkan keterangan yang pasti tentang fungsi-fungsi, pengelompokan fungsi dan garis-garis

tanggung jawab, wewenang serta stabilitas dalam organisasi.


Kelurahan Talise Valangguni merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Pemerintah

Kota Palu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan, dengan Struktur Organisasi

sebagaimana dalam gambar berikut :

Tabel 6.

Struktur Organisasi Kelurahan Talise Valangguni

LURAH

HASAN HAMID, S.os

SEKRETARIS

ALJENIUS TALINGKAU, SH

KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI KEPALA SEKSI


PEMERINTAHAN, EKONOMI DAN SOSIAL DAN
KETENTRAMAN DAN PEMBANGUN KEMASYARAKATAN
KETERTIBAN
FARIDA, S.E ASNI BIDIN
SYAHZAN, S.sos

Sumber : Data Sekunder Kelurahan Talise Vaangguni Tahun 2020


H. Profil Informan

1. Informan Ibu Aetini

Gambar 3.1 Informan Ibu Aetini, pemilik lahan/tidak menjual lahan


( Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani; 2021)

Ibu Aetini (59) lahir di Palu pada tanggal 08 Oktober 1962, adalah seorang ibu rumah tangga

(I R T) yang juga kesehariannya menjadi pedagang makanan. Ibu Aetini memiliki suami yang

bernama bapak Abd. Wahid seorang pegawai negeri sipil (PNS) dan memiliki dua orang anak

perempuan. Ibu Aetini tinggal di jalan Tombolotutu Lorong Pakora 1, Ibu Aetini adalah salah satu

masyarakat yang mempunyai tanah di Kelurahan Talise Valangguni, tanah yang ia miliki berada

di dua tempat yaitu, di lorong pakora 1 dan di lorong kalantaro. Ia mendapatkan tanah tersebut dari

hasil pembagian warisan orang tuanya, sampai saat ini tanah yang dia punya masih terjaga baik.

Ibu Aetini tidak pernah menjual atau menyewakan tanah tersebut, hanya saja ia berencana untuk

membangun kos-kosan di tanahnya yang berada di lorong kalantaro.


Hasil wawancara :

“Makna tanah itu sangat berarti, karena ane tara ria tanah mombangu sapo riva kita. Jadi tanah
tu napenting ntoto ka kita manusia, ane kita ma ria tanah nta mamalamo ra pobangu nu sapo,
mamala muni rapobangu tampa rapogade mangonjo doi. Etumo tanah tu nabermakna ntoto ka kita
manusia. Yaku navela pombagian tanah dako nte totuanggu radua kapling. Saongu
nipombangunggu nu sapo i ya, saongu kapling dana kosong”
“(makna tanah itu sangat berarti, karena kalau tidak ada tanah kita mau bangun rumah dimana.
Jadi tanah itu sangat penting untuk manusia. Kalau kita punya tanah, bisa kita bangunkan rumah,
dan bisa juga kita bangunkan tempat menjual untuk cari uang. Makanya tanah itu sangat bermakna
untuk kita manusia, saya dapat pembagian tanah dari orangtuaku dua kapling. Satu kapling sudah
saya pake bangun rumah ini dan yang satu kaplingnya lagi masih kosong.)”

2. Informan Bapak Arman

Gambar 3.2 Informan Bapak Arman (Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani ; 2021)

Bapak Arman (44) adalah seorang pekerja buruh lepas, bapak Arman lahir pada tanggal 14

November 1977 di Palu. Selain menjadi buruh lepas, bapak arman juga dipercayakan untuk

menjaga dan membersihkan kantor kelurahan Talise Valangguni. Bapak arman memiliki seorang

istri yang bernama ibu Jayani, mereka mempunyai 4 orang anak, 2 anak laki-laki dan dua anak
perempuan. Alamat tempat tinggalnya sekarang di Jalan Tombolotutu Lorong Pakora 2, bapak

arman merupakan salah satu masyarakat Talise Valangguni yang pernah melakukan praktek jual

beli tanah. Ia terpaksa harus menjual tanah yang dimilikinya karena membutuhkan biaya untuk

pengobatan ibunya yang sedang mengidap penyakit diabetes.

Hasil wawancara :

Bapak Arman (44) :” Saya, adalah tenaga pekerja, sehari-harinya menjadi buruh pekerja
yang sudah dipercayakan dikelurahan talise Valangguni, Karena faktor ekonomi , akibatnya, gaji
sehari-hari saya tidak cukup, Oleh sebab itu, saya berniat menjual tanah saya kepada makelar
tanah, resident back office untuk membantu menambah biaya pengobatan Ibu saya yang sedang
berada di Rumah sakit tersebut.”

3. Informan Ibu Endang Astuti

Gambar 3.3 Informan Ibu Endang Astuti (Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani ; 2021)
Ibu Endang Astuti (53) adalah seorang pendatang atau salah satu masyarakat yang

bermigrasi dari Kota Luwuk ke Kota Palu. Ibu Endang sudah hampir 27 tahun tinggal di Kota

Palu, ia memutuskan untuk pindah ke Kota Palu karena harus mengikuti Suaminya. Suami ibu

endang bernama bapak Sahabudin Ibrahim, Ibu Endang kesehariannya menjadi seorang pedagang

kaki lima di Kelurahan Talise Valangguni, ia lahir pada tanggal 02 Februari 1968 di Luwuk. Ibu

endang memiliki 3 orang anak, ke tiga anaknya tersebut sudah menikah dan memiliki rumah

masing-masing. Saat ini ibu Endang menyewa sebidang lahan milik masyarakat Talise

Valangguni untuk di jadikan tempat tinggal dan tempat untuk menjual dagangannya, ia terpaksa

harus mencari nafkah sendiri, karena suaminya sudah meninggal. Alamat tempat tinggalnya di

Jalan Soekarno-Hatta

Hasil wawancara :

Ibu Endang Astuti (53) :”Hasil kerja saya selama bekerja di kota Palu, akhirnya saya bisa
membeli tanah di Jalan Soekarno-Hatta, sedikit Demi sedikit saya membeli tanah di Talise
Valangguni dan membangung rumah sewa, Dan saya gunakan until menambah devisa pendapatan
keluarga saya”

4. Informan Ibu Umi Kalsum


Gambar 3.4 Informan Ibu Umi Kalsum (Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani ; 2021)

Ibu Umi Kalsum adalah seorang ibu rumah tangga (IRT), ia memiliki seorang suami

bernama Bapak Moh.Rifan yang saat ini bekerja sebagai seorang PNS di Bandara Mutiara Sis

Aljufri Palu. Mereka memiliki 3 orang anak. Ibu Umi kalsum lahir di Palu, pada tanggal 02 januari

1988, saat ini ia tinggal di jalan Dayodara kompleks BTN Citra Pesona Indah Blok U Cp 2. Ibu

Umi Kalsum juga memiliki 2 orang adik, karena ibu kandung mereka sudah meninggal pada tahun

2004 silam, ibu umi kalsum terpaksa harus mengasuh kedua adiknya tersebut, dan harus menjadi

seorang ibu juga bagi mereka. Ibu Umi Kalsum juga salah satu masyarakat Talise Valangguni

yang menjadi pelaku praktek sewa menyewa tanah, ia menyewakan tanah/lahan warisan dari

orang tua mereka yang berada di jalan Tombolotutu lorong pakora 1.

Hasil wawancara :
Ibu Umi Kalsum:”Karena, ingin bekerja, saya memutuskan until membantu suami saya,
saya bekerja menjadi makelar tanah, Salam ruang lingkup sees menyewa tanah milk alhm. Ibu
saya, Namun saya berinisiatif untuk, fokus terhadap sewa menyewa tanah, Karena semakin
banyaknya penipuan yang terjadi seperti jika membangun rumah sewa, yang kadang biasanya
penyew langsung kabur Tampa membayar sewa bulanan rumah.”

5. Informan Bapak Syarifuddin

Gambar 3.5 Informan Bapak Syarifuddin (Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani ; 2021)

Bapak Syarifuddin adalah salah satu masyarakat yang menjadi penyewa lahan di Kelurahan

Talise Valangguni, ia menyewa lahan di jalan Tombolotutu. Bapak Syarifuddin menyewa lahan

tersebut untuk di jadikan tempat usaha sekaligus untuk tempat tinggal mereka, Bapak Syarifuddin

lahir di Pinnarang pada tanggal 01 Desember 1972. Bapak Syarifuddin memiliki seorang Istri yang

bernama Hj. Rosmiati Nabbe dan mereka memiliki 3 orang anak. Lahan yang mereka sewa

tersebut adalah lahan milik bapak Herman, salah satu masyarakat Kelurahan Talise Valangguni.

Hasil wawancara :
Bapak Syarifuddin :” Lahan/ tanah saya yang saya sewa, saya jadikan warung/kios, sehingga
hasil tersebut dapat saya play lagi untuk membeli lahan, bukan lagi untuk menyewa.”

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Makna Tanah Bagi Etnis Kaili Di Kelurahan Talise Valangguni


Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena

semua orang memerlukan tanah semasa hidup sampai dengan meninggal dunia dan mengingat

susunan kehidupan dan pola perekonomian sebagian besar yang masih bercorak agraria. Tanah

bagi kehidupan manusia mengandung makna yang multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi

tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis

tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga,

sebagai kapital budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat,

tanah bermakna sakral karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah.

Sehubungan dengan makna yang tersebut ada kecenderungan bahwa orang yang memiliki

tanah akan mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Sangat

berarti tanah bagi kehidupan manusia dan bagi suatu negara dibuktikan dengan diaturnya secara

konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi, Air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

sebagaimana wawancara dengan Ibu Aetini :


“makna tanah (lahan) itu sangat berarti, karena kalau tidak ada tanah kita mau bangun rumah
dimana. Tanah juga sangat penting untuk manusia, karena dengan memiliki tanah kita bisa
menjadikannya sebagai tempat untuk membangun tempat tinggal dan sebagai tempat usaha.
seperti lahan saya yang saat ini saya pakai bangun rumah dan juga tempat usaha. Makanya
tanah itu bermakna sekali untuk manusia. Saya punya lahan ada dua, satu di lorong pakora 1
yang satunya lagi di lorong kalantaro, dua-duanya ada di jalan tombolotutu. Lahan itu saya
dapat dari pembagian warisan orang tuaku”.
Dari hasil wawancara tersebut bahwa Ibu Aetini memaknai tanah sebagai wadah untuk

membangun tempat tinggal dan untuk mencari sember untuk keberlangsungan hidup atau sebagai

mata pencaharian. Ibu Aetini mendapatkan lahannya dari hasil pembagian warisan orang tua

mereka yang bernama bapak Sabri Runduwaya dan Ibu Sudjira Topampole. Pembagian warisan

menurut Etnik Kaili mengenal adanya pembagian waris menurut garis keturunan. Etnik Kaili
menganut sistem keturunan Parental yaitu, sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak dan

ibu. Waris adat mempunyai kaitan erat dengan kekerabatan dan perkawinan. Pembentukan hukum

waris adat suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh kekerabatan dan perkawinannya.

Salah satu unsur pokok dari setiap perkawinan, yakni kepemilikan atas harta yang dapat

diwariskan kepada anak keturunan. Pelaksanaan pembagian warisan bersifat wajib agar tidak

menimbulkan kekacauan di kemudian hari. Biasanya sebelum meninggal pewaris telah

membagikan harta-harta warisannya kepada setiap ahli waris atau menuliskan surat wasiat yang

akan di bacakan di depan keluarga setiap penerima waris. Jika harta belum sempat dibagikan tetapi

orang tua sudah meninggal maka kepemilikan harta menjadi kepemilikan bersama. Lahan dan

rumah kepemilikan bersama diistilahkan budel, merupakan tanda kepemilikan bersama keluarga

besar yang harus dijaga, dipelihara dan dihormati.

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang mendiami sebagian besar dari Provinsi

Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di

seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung

Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten

Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili

mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo

dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir

Pantai Poso. Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan

awalan "To" yaitu To Kaili.

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya

menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah
Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan di kawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu

dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak

pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga

banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang

airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.

Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh

sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi

pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Suku Kalili atau etnik Kaili, merupakan salah satu etnik dengan yang memiliki rumpun

etnik sendiri. Untuk penyebutannya, suku Kaili disebut etnik kaili, sementara rumpun suku kaili

lebih dari 30 rumpun suku, seperti, rumpun kaili rai, rumpun kaili ledo, rumpun kaili ija, rumpun

kaili moma, rumpun kaili da'a, rumpun kaili unde, rumpun kaili inde, rumpun kaili tara, rumpun

kaili bare'e, rumpun kaili doi, rumpun kaili torai.

1) Makna tanah keramat di tanah kaili

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie adalah seorang llama Minagkabau yang

pertama kali menyebarkan agama Islam ke tanah kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi

tengah, pada abad ke-17. Awal kedatangan Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama di

Tanah Kaili bermula di Kampung Lere, Lembah Palu (Sulawesi Tengah) pada masa Raja

Kabonena, Ipue Nyidi memerintah di wilayah palu. Selanjutnya Datuk Karama melakukan

syiar Islam-nya ke wilayah-wilayah lainnya di lembah Palu yang dihuni oleh

masyarakat suku kaili. Wilayah-wilayah tersebut meliputi palu, donggala, kulawi, parigi,
dan ampana, serta jalan menuju bandara. Seperti beberapa masyarakat lainnya

di nusantara, pada masa itu masyarakat suku Kaili juga masih menganut

kepercayaan anismismedan dinanisme yang mereka sebut “tumpuna”, dimana mereka

mempercayai adanya makhluk yang menunggui benda-benda yang dianggap keramat.

Namun dengan metode dan pendekatan yang persuasif serta wibawa dan kharismanya

yang tinggi, syiar Islam yang dilakukan Datuk Karama melalui ceramah-ceramah pada

upacara-upacara adat suku tersebut akhirnya secara perlahan dapat diterima oleh raja dan

masyarakat Kaili. Perjuangan Datuk Karama akhirnya berhasil mengajak Raja Kabonena,

Ipue Nyidi beserta rakyatnya masuk Islam, dan dikemudian hari Ipue Nyidi dikenang

sebagai raja yang pertama masuk Islam di Lembah Palu. Datuk Karama atau Syekh

Abdullah Raqie tak kembali lagi ke Minangkabau. Sampai akhir hayatnya, dia dan

keluarganya beserta pengikutnya terus menyampaikan syiar Islam di Lembah Palu, Tanah

Kaili, Sulawesi Tengah. Setelah wafat, jasad Datuk Karama dimakamkan di Kampung

Lere, Palu (di kota palu sekarang). Makam Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama

kemudian hari menjadi Kompleks Makam Dato Karama dan berisi makam istrinya yang

bernama Intje Dille dan dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu

serta makam para pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita,

serta 2 makam yang tidak ada keterangan di batu nisannya.

2) Makna tanah organisasi di tanah kaili

Memahami latar belakang kemampuan sumber daya manusia suatu organisasi

adalah pengetahuan dasar yang dapat menjadi subjek studi atau rancangan kebijakan untuk

proses Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Seperti yang disarankan oleh
Garavan (2010) yang mengklaim, bahwa HRD berakar dari belajar, meneliti cara-cara di

mana pengetahuan dan keahlian dapat ditingkatkan untuk kepentingan individu,

komunitas, organisasi, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya. Berdasarkan pada

penekanan untuk meneliti cara-cara di mana pengetahuan dan keahlian dapat

dikembangkan untuk kepentingan individu, komunitas, organisasi, masyarakat dan

kemanusiaan tersebut, maka diperlukan penelitian dari komunitas yang difokuskan pada

kelompok etnis masyarakat. Dalam proses pengembangan sumber daya (HRD), sebagai

langkah awal, informasi tentang hal-hal yang menjadi pendukung dan penghambat proses

HRD sangatlah diperlukan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruksi sosial dari Peter L. Berger

(1966), dengan alasan, bahwa untuk mengetahui konsep daya saing dalam sumber daya

manusia, maka studi ini menuntut pengetahuan dan pemahaman dasar tentang makna yang

ada didalam subjek studi. Berdasarkan data awal dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa,

keberadaan etnis Kaili (sebagai etnis asli) cenderung “puas” dan menerima kondisi serta

posisinya dalam ajang kompetisi khususnya menyangkut organisasi sumber daya manusia.

Hal ini tampak pada lingkup Universitas-Universitas di Kota Palu, di mana hanya ada 13

orang etnis Kaili yang menduduki posisi sebagai pemimpin lembaga. Selain itu,

berdasarkan jumlah profesor yang ada di lembaga pendidikan, (sebagai indikator),

memandang Universitas Tadulako sebagai barometer Universitas negeri di Kota Palu yang

seharusnya didominasi oleh etnis Kaili . Sebagai etnis asli dari wilayah Palu (Tupungata,

dalam istilah orang Kaili), etnis Kaili sudah sewajarnya menjadi etnis dominan di wilayah

mereka, dengan menjadi pemimpin atau memiliki sejumlah besar posisi yang

mendominasi lembaga- lembaga yang ada di wilayah Palu. Tetapi kenyataan menunjukkan
bukti, bahwa etnis Kaili tampaknya kalah bersaing dengan imigran dari berbagai daerah

lain di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan. Data awal menarik minat peneliti

untuk mempelajarinya dengan pertanyaan pokok penelitian, antara lain ; Faktor apa saja

yang mendukung dan menghambat daya saing sumber daya manusia Kaili di Kota Palu ?

Penelitian yang berfokus pada pengalaman hidup manusia, menjadi dasar

penelitian fenomenologis. Selain itu, penelitian ini menerapkan aplikasi lapangan yang

diikuti oleh wawancara dan observasi. Metode ini mengikuti cara-cara yang diterapkan

oleh etnografi melalui observasi lapangan, wawancara semi-terstruktur dan wawancara

mendalam dengan pemilihan informan studi secara purposif. Wawancara dilakukan

dengan informan laki-laki yang diyakini memiliki pengetahuan yang cukup tentang

orientasi jenjang karir, motivasi berprestasi, dan cara pandang to Kaili (orang Kaili)

terhadap pengembangan sumber daya manusia, atau pendek kata menyangkut budaya

orang Kaili. Ada tujuh informan yang diwawancarai untuk penelitian ini, yaitu tokoh

pendidikan, tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendukung dan penghambat daya saing

sumber daya manusia etnis Kaili disebabkan oleh: faktor alam, agama, budaya, ekonomi

dan politik. Pertama, faktor alam: Semula secara turun temurun orang Kaili “dimanjakan”

oleh ketersediaan sumber daya alam yang melimpah ditengah kondisi demografis orang

Kaili yang jumlahnya masih sangat sedikit. Kehidupan sosial-ekonomi dan cultural yang

tergolong sejahtera pada masa lampau telah mempengaruhi cara pandang orang Kaili

tentang daya saing dan persaingan pengembangan sumber daya manusia Kaili khususnya

dalam bidang Pendidikan Tinggi. Perubahan demografis terus terjadi secara internal
dengan bertambahnya jumlah etnis Kaili karena kelahiran, maupun karena faktor eksternal,

dengan masuknya berbagai etnis lain ke wilayah Palu. Faktor ini menyebabkan

ketersediaan sumber daya alam yang dirasakan mulai menurun, dan etnis Kaili saat ini

sedang mempersiapkan diri untuk menggali dan memahami potensi mereka untuk bertahan

hidup, menggeser sumber daya mereka sehingga mereka tidak lagi bergantung pada

sumber daya alam. Transformasi ini menjadi ruang pengembangan sumber daya manusia

(HRD) untuk melakukan pelatihan atau pendidikan untuk menghasilkan sumber daya

manusia yang makin berkualitas dan kompetitif dalam berkontribusi secara positif

terhadap kegiatan inovasi organisasi. Kedua, faktor agama: Agama memotivasi etnis Kaili

dalam mengembangkan pendidikan, dan itu menjadi dasar untuk menyebarkan kebaikan.

Ketiga, faktor budaya: termasuk dalam faktor budaya ini adalah fenomena kondisi bahasa

Kaili, yang muncul dalam penelitian ini terkait dengan perjuangan pembangunan adalah

kesadaran bahwa bahasa Kaili di Palu semakin lama semakin jarang digunakan dalam

percakapan sehari-hari mereka. Penekanan Berger (1966) bahwa dalam realitas kehidupan

sehari-hari bahasa juga mampu melampaui peran sebagai sarana percakapan, tetapi juga

memainkan peran penting dalam membentuk mentalitas manusia itu sendiri.

Keempat, faktor ekonomi: secara umum etnis Kaili masih tercatat memiliki sumber

daya ekonomi yang memadai, dalam bentuk kebun kelapa ternak sapi, kambing kuda

dan ternak lainnya. Faktor ini yang mereka harapkan memberikan dukungan mencapai

pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, hingga tertinggi bagi setiap anggota keluarga yang

melanjutkan pendidikannya. Kelima, faktor politik: kebijakan pemerintah yang dapat

dilihat pada Sensus menunjukkan bahwa ada pengabaian terhadap etnis yang ada. Dalam

sensus 2000, etnis Kaili masih terdaftar bersama dengan jumlah warga Palu, dengan total
102.011 orang, dan untuk seluruh Sulawesi Tengah, jumlah totalnya adalah 412.281 orang.

Kenyataan ini membuat jumlah yang pasti orang Kaili sulit diketahui. Temuan penelitian

ini dapat digunakan dalam menghasilkan kebijakan berkaitan dengan proses

pengembangan sumber daya manusia (PSDM). Dengan memahami pengetahuan berbasis

sosial, aktor PSDM dapat memberikan keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing di

dunia yang terus berubah. Hasil penelitian mendukung perspektif yang ada, bahwa untuk

meningkatkan sumber daya manusia, pemahaman yang komprehensif dari masyarakat itu

sendiri memang sangat diperlukan. HRD membutuhkan perspektif konstruktif untuk

menentukan kebijakan untuk praktik mereka. Memahami pengetahuan sosial suatu

komunitas tentang daya saing sumber daya manusia akan menghasilkan apresiasi terhadap

keanekaragaman nilai budaya dalam masyarakat

3) Makna tanah masyarakat di tanah kaili

Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah yang kaya akan kebudayaan yang

diwariskan secara turun temurun. Berbagai tradisi yang menyangkut pada segala aspek

kehidupan masih terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai macam kepercayaan

lama juga merupakan bagian dari warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan

dalam bentuk tradisi, ritual, ataupun upacara adat. Meskipun dalam pelaksanaannya telah

banyak dipengaruhi oleh segala bentuk modernitas dan peranan agama. yang terdiri dark

tujuh adat yaitu :

a) Nokeso adalah sebuah upacara di Sulawesi Tengah bagi seorang perempuan yang telah

menjelang usia baligh (nabalego), yaitu dengan menggosok gigi bagian depan hingga

rata. Biasanya, pelaksanaannya dilakukan tepat sebelum seorang perempuan


mengalami menarche (haid pertama). Apabila seorang gadis telah mengalami haid,

biasanya orang tua akan merasa malu untuk mengupacarakannya. Namun karena

tuntutan adat, upacara akan tetap dilaksanakan. Teknis upacara ini umumnya

ditentukan oleh seorang vati sesuai dengan status sosial atau warisan yang pernah

diterima dari orang tuanya atau nenek moyangnya. Sementara bagi seorang keturunan

bangsawan, peran vati digantikan oleh ketua dewan adat. Upacara Nokeso bisa

dikatakan adalah semacam upacara peresmian atau pernyataan bahwa seorang anak

perempuan yang diupacarakan telah mengakhiri masa kanak-kanak dan memasuki

masa kedewasaan. Maka dari itu, diharapkan si perempuan tersebut selalu menjaga

dirinya, tutur kata, serta adat istiadat leluhurnya.

Bagi masyarakat setempat, upacara ini dimaksudkan untuk mengantarkan anak

perempuan memasuki masa karandaa (gadis). Diharapkan, seorang anak perempuan

senantiasa diliputi kebahagiaan tanpa gangguan mental maupun fisik, serta kemudahan

dalam urusan jodoh, rezeki, dan panjang umur.

b) Baliya Jinja adalah sebuah upacara ritual pengobatan yang bersifat non-medis dan

telah dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh masyarakat Suku Kaili. Sebelum masa

tersedianya rumah sakit, upacara ini diandalkan masyarakat Kaili untuk memperoleh

petunjuk dari roh nenek moyang terkait bagaimana menyembuhkan penyakit yang

tengah menimpa seseorang. Namun hingga kini, upacara ini masih dilakukan. Ritual

akan dipimpin oleh seorang dukun atau tetua yang disebut dengan Tina Nu Baliya.

Sang dukun biasanya akan mengenakan pakaian khusus berupa sarung, baju ari fuya,

serta destar (tudung) berwarna merah. Dalam pelaksanaannya, Tina Nu Baliya akan
duduk mengelilingi seorang penderita penyakit yang diupacarakan. Sementara

sejumlah tiga orang bertugas meniup seruling, memukul tambur, dan gong. Sedapat

mungkin, alunan musik dimainkan dengan lemah lembut. Lirik syair yang

disenandungkan juga berisi puji-pujian yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa agar

berkenan menghilangkan segala gangguan setan dan jin, serta mengembalikan

kesehatannya seperti sediakala.

c) Rakeho, Masih berkaitan dengan upacara masa menjelang dewasa, Rakeho adalah

upacara untuk menyambut peralihan masa remaja ke masa dewasa bagi kaum laki-laki

masyarakat Suku Kulawi di Sulawesi Tengah. Bentuk inti pelaksanaan upacara Rakeho

adalah meratakan gigi bagian depan serata dengan gusi, baik gigi atas maupun gigi

bawah. Bukan hanya untuk mencari keselamatan, upacara ini juga dimaksudkan untuk

mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan

keharmonisan hubungan rumah tangga.

d) Ratompo adalah sebuah upacara yang khusus diadakan bagi seorang gadis bangsawan

yang telah menjalani prosesi Mancumani dalam sebuah pesta adat antar kampung.

Prosesi upacara Ratompo kurang lebih sama dengan upacara Rakeho, yaitu semacam

pengikiran gigi bagi seorang perempuan yang telah menjelang usia dewasa. Adapun

waktu pelaksanaannya digelar mulai dari pagi hari agar seluruh prosesi upacara dapat

dilakukan secara cermat. Sementara tempat upacara harus jauh dari keramaian, seperti:

di sebuah rumah kosong yang jauh dari keramaian, atau di bawah pohon rindang di

tengah hutan.Prosesi upacaranya sendiri hanya melibatkan seorang topetompo (dukun)

sebagai pemimpin yang dibantu oleh seorang topepalielu. Selain kedua orang tersebut
bersama gadis yang diupacarakan, tidak ada yang boleh menyaksikan atau mengikuti

jalannya prosesi Ratompo, termasuk keluarganya.

e) Nopamada adalah sebuah upacara yang dilakukan pada saat-saat seseorang menjelang

sakaratul maut, dimana seluruh keluarga berkumpul dan berjaga-jaga menjelang

datangnya ajal. Bagi masyarakat Kaili, momen seperti itu adalah waktu berharga untuk

hadir bersama dengan keluarga dan ikut serta menyaksikan jalannya

upacara. Tanda-tanda orang yang sedang mengalami sakaratul maut oleh masyarakat

Kaili biasa disebut dengan nantapasaka.

f) Nompudu Valaa Mpuse adalah upacara pemotongan tali pusar dari tavuni (tembuni)

pada seorang bayi yang baru lahir. Upacara ini biasa dilakukan oleh masyarakat Palu

yang dibantu oleh seorang sando mpoana (dukun beranak). Tali pusar dan tembuni

oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai dua makhluk yang harus dipisahkan. Oleh

karena itulah, upacara ini dilakukan dengan khidmat oleh seorang dukun bersalin agar

roh tembuni tidak mengganggu bayi setelah keduanya dipisahkan. Setelah bayi lahir,

dukun tersebut akan menutup kedua telinganya dengan kepingan uang logam dan

memotong tali pusar di atas uang logam 100 perak meggunakan benji (sembilu dari

bambu).

g) Malabot Tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur burung maleo oleh

masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah. Tradisi ini sudah dilakukan oleh masyarakat

Banggai sejak zaman Kerajaan Banggai pimpinan Raja Mandapar.Maleo sendiri

adalah seekor burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai.

Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiang, Kecamatan Batui.Prosesi

upacara Malabot Tumpe ini diawali dengan mengumpulkan telur burung maleo oleh
perangkat adat. Setelah telur terkumpul, para perangkat adat tersebut akan

membawanya ke rumah ketua adat dan melakukan rangkaian prosesi dengan doa dan

dzikir kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan Hari raya teluk tomoni, Dan kota palu

a) Jenis- Jenis Tanah di tanah kaili

Sebagaimana wawancara dengan ibu Umi Kalsum :


“ada tempat tinggal orang tuaku yang sekarang ini saya dan adik-adikku sewakan, rumah
tersebut masih berstatuskan budel, karena orang tua kami belum sempat membagikannya pada saat
masih hidup. jadi sertifikat lahan tersebut masih atas nama orang tua kami, makanya rumah dan
lahannya masih menjadi milik bersama. dan hasil dari sewa rumah itu kami bagi rata, supaya tidak
ada kekacauan dalam bersaudara. dulunya rumah itu kami tinggali bersama, tapi karena saat ini
saya dan adikku yang kedua sudah menikah, jadi kami punya rumah masing-masing. adikku yang
ketiga tinggal sama saya, karena dia belum menikah. jadi karena rumah orang tua itu tidak ada
yang tinggali, terpaksa kami sewakan saja dulu.”
Hasil interview diatas dalam kosakata Bahasa kaili, adalah

kepemilikan lahan bersama milik orang tua yang disebut Budel itu, merupakan kepemilikan

bersama antara kakak beradik disebuah rumah. kakak beradik yang sudah berkeluarga ataupun

belum berkeluarga hidup dalam satu atap rumah orang tua yang masih bersertifikat atas nama

orang tua. keadaan seperti ini dikarenakan pembagian warisan oleh orang tua kepada

anak-anaknya belum dilaksanakan dan orang tua sudah meninggal sebelum menentukan hak

masing-masing anak mereka.

Lahan yang diwarisi oleh orang tua kepada anaknya itu, merupakan suatu lahan yang berasal

dari kegiatan orang terdahulu dalam mengolah suatu tempat. Orang terdahulu yang masuk di

Kelurahan Talise Valangguni hanya membersihkan dan mengkapling suatu tanah dan ia

menganggap tempat yang ia bersihkan dan kapling itu merupakan miliknya. setelah mengkapling

suatu tempat orang terdahulu bertani dan beternak di tempat itu guna untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. perilaku tersebut dilakukan secara terus-menerus sampai pada keturunan mereka.

sehingga tanah tersebut menjadi sistem kepemilikan tanpa mereka sadari.

mendapatkan hak milik atas tanah kosong, orang tersebut harus beritikad baik terhadap

tanah kosong. maksud beritikad baik terhadap tanah kosong adalah dengan cara pembukaan tanah

atau menjaga kelestarian tanah kosong tersebut dengan cara menjadikan tanah kosong yang

sebelumnya mati menjadi produktif. Pada dasarnya, menggarap atau membuka tanah kosong

adalah kewajiban tiap-tiap orang yang berada dimuka bumi ini. karena semua kelestarian

kekayaan alam semesta merupakan tanggung jawab setiap orang yang berada dimuka bumi ini.

apabila orang yang menggarap dan membuka tanah kosong selama 20 tahun, selain beritikad

baik namun juga sifatnya menunggu. apabila selama menggarap tanah kosong tidak ada gugatan

atas kepemilikan tanah tersebut, maka Warga Negara Indonesia yang menghidupkan tanah kosong

tersebut berhak untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah kosong yang telah dibuka

atau digarap itu kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan syarat dan

ketentuan berlaku.

Sebagaimana wawancara dengan Bapak Arman :


“begini nak, saya punya lahan di atas sana, di jalan soekarno hatta. tapi di sana itu hanya
kebunku saja. saya tanam bawang, rica, jagung dan kacang. kalau sudah waktunya panen
saya pergi ambil hasilnya yang saya tanam itu. biasanya hasil panen itu saya bawah pulang
kerumah, sebagian saya jual kalau ada sisanya saya bagi-bagi untuk keluarga dan tetangga.
awalnya tanah itu kosong masih ba hutan, jadi saya bersihkan untuk saya tanami
tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan. karena kebiasaan kami yang suka buka lahan jadi
tanah yang awalnya masih ba hutan jadi bersih sampe jadi lahan bertani”

Namun para etnik Kaili di Talise Valangguni sendiri sebelum membuka atau menggarap

lahan untuk bercocok tanam harus melihat Aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan
Wilayah dan Sumber daya alam. Masyarakat Adat memiliki aturan adat untuk tidak boleh

membuka lahan (memaras habis) di beberapa lokasi.

Seperti wawancara dengan Ibu Aetini :

“jadi menurut adat Kaili orangtua kami dulu ba anggap tanah sebagai tempat tumbuhan,
yang bisa dimakan jadi apa saja bisa ditanam seperti ubi, jagung dll. tapi tempat ba tanam
jangan dekat dengan mata kuala, dekat jurang, ada juga yang keramat itu dari adat kami
disini”

Menurut wawancara diatas orang etnik Kaili khususnya Kelurahan Talise Valangguni

menganggap tanah sebagai sumber makanan maka dari itu dengan menanami berbagai macam

tumbuh-tumbuhan hasilnya bisa dikonsumsi sendiri akan tetapi ada elemen yang harus

diperhatikan yaitu aturan adat ketika mengelolah atau membuka lahan agar tanah itu sendiri bisa

terjaga dan bisa bermaanfaat untuk tumbuhnya sumber makanan.

Larangan ketika ingin membuka lahan baik untuk tinggal atau bercocok tanam :

1. Daratan muara sungai (kuala) sejauh 1 km atau yang berdekatan dengan mata air untuk

menjaga sumber air.

2. Tanah dengan kemiringan yang curam atau tebing untuk mencegah longsor.

3. Tanah yang menjadi habitat bagi hewan-hewan endemik.

4. Tanah yang dikeramatkan.

Memaras lokasi terlarang itu akan diberi peringatan oleh lembaga adat. Untuk tanah dan

hasil hutan berupa kayu hanya di perbolehkan untuk memenuhi kebutuhan bagi Masyarakat Adat
Raranggonau dan tidak di perjual belikan, sangsinya denda (Givu) bertingkat. Teguran pertama

kambing, teguran kedua sapi, dan selanjutnya diatur oleh musyawarah.

Kepemilikan tanah atau lahan di Kelurahan Talise Valangguni diperoleh dengan cara

membuka lahan. Mereka yang pertama membuka lahan adalah pemilik dari lahan tersebut.

Kepemilikan lahan itu diwariskan turun-temurun ke pada generasi berikutnya secara lisan.

Gambar 3.6 Lokasi Lahan (Rumah) Ibu Aetini (Sumber : Dokumentasi Pribadi Nurmayani ; 2021)

Konsep kepemilikan lahan di Kelurahan Talise Valangguni pada dasarnya tidak tertutup

untuk orang lain. Tiap-tiap anggota masyarakat dapat memperoleh akses untuk memanfaatkan

lahan anggota masyarakat lain melalui pemintaan izin (secara adat) kepada pemilik asalnya.

Bahkan, jika orang dari luar masyarakat Talise Valangguni ingin mengolah lahan dapat meminta

izin kepada si pemilik dengan memenuhi syarat-syarat tertentu seperti tidak menjual kayu (hanya

untuk kebutuhan pribadi) dan sebagainya.

B. Praktek Sewa dan Menjual Tanah Bagi Masyarakat Kaili Di Kelurahan Talise
Valangguni

Pewarisan yang dimaksud dalam etnik Kaili adalah proses perbuatan, cara meneruskan atau

mewarisi harta peninggalan To-Kaili menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Ada tiga hal pokok yang dibicarakan dalam masalah warisan, yaitu pewaris, ahli waris, dan harta

warisan. Ketiga hal tersebut merupakan unsur kumulatif, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan karena merupakan rangkaian atau akibat dari yang lain. Bila ternyata ada salah satu

diantara ketiga hal tersebut tidak terpenuhi maka pewarisan tidak dapat berlangsung.

1. Penyewa

Seperti penjelasan dari Ibu Umi Kalsum :

“saya dan adik-adik saya menyewakan tanah (rumah) orang tua kami itu, karena tidak ada

yang tinggali. Jadi dari pada rumah itu cuman kosong percuma, terpaksa kami sewakan. Lumayan

bisa menghasilkan uang, hasil dari sewa rumah itu juga bisa kami pakai untuk kebutuhan

sehari-hari dan bisa juga untuk modal usaha. Apalagi saat ini adik saya yang kedua itu buka usaha

penjualan obat-obatan herbal. Jadi hasil sewa rumah yang kami bagi itu, bisa dia pakai untuk

tambahan modal usaha itu”.

Hasil dari wawancara diatas, menunjukkan bahwa Etnik Kaili dalam praktek sewa-menyewa

tanah untuk keperluan modal dan kebutuhan sehari-hari.

Sebagian etnik Kaili menjual lahan mereka dan membeli lahan yang baru di lain tempat, ada

juga yang membagi dua lahannya sebagian dijual dan sebagian lagi untuk jadi tempat tinggal, dan

hasil penjual tersebut digunakan untuk membayar sekolah atau pembayaran utang setelah

menyewa lagi tempat tinggal baru. Sebagian etnik Kaili pindah mencari lahan dipinggiran karena

harga lahan yang murah. perilaku giat menjual tanah pada etnik Kaili ini yang membuat
lahan-lahan di Talise Valangguni sekarang banyak dimiliki oleh para pendatang sedangkan

penduduk asli hanya sebagai penyewa kos atau tinggal di rumah kontrakan.

Seperti hasil wawancara Bapak Syarifuddin :


“saya sebagai pelaku praktek sewa-menyewa tanah di Kelurahan Talise Valangguni, saya
sudah hampir tujuh (7) tahun merantau disini, saya berasal dari Sulawesi Selatan. Selama
merantau kesini saya masih menyewa tanah untuk membangun usaha bahan campuran. Lahan
yang saya sewa ini milik bapak Herman warga masyarakat Talise Valangguni, dengan luas lahan
4x7 meter saja. Saya buatkan tempat usaha sekaligus tempat tinggal kami”.
Dari hasil wawancara diatas bahwa hampir seluruh masyarakat Etnik Kaili di Kelurahan

Talise Valangguni menyewakan lahan mereka kepada pendatang-pendatang yang bermigrasi ke

Kota Palu. Hal ini dapat dilihat dari pingiran-pinggiran jalan di Kelurahan Talise Valangguni telah

dibangun tempat-tempat usaha baik usaha kecil seperti kios, warung makan, dan usaha-usaha kecil

lainnya, sementara usaha-usaha besar seperti ruko, dan bengkel.

Seperti hasil wawancara Ibu Endang Astuti :


“saya tinggal di Kelurahan Talise Valangguni ini sudah hampir sepuluh (10) tahun, saya
pindah kepalu karena ikut sama suami. Kami pindah dari Luwuk untuk mencari mata pencaharian
disini, karena kalau di kampung suami saya hanya berkebun saja. Kalau hasil panennya bagus
alhamdulillah dapat penghasilan lebih. Tapi kalau gagal ya tidak dapat apa-apa, jadi untuk
merubah kehidupan yang lebih baik. Akhirnya kami pindah ke Kota, selama tinggal disini kami
masih menyewa lahan saja, untuk membangun tempat usaha dan tempat tinggal. Kami buka usaha
kios dan kafe kecil-kecilan di pinggiran jalan, alhamdulillah hasilnya bisa untuk menopang
kehidupan sehari-hari dan untuk keperluan lainnya”.
Dari hasil wawancara di atas, bahwa para pendatang yang bermigrasi dari tempat tinggal

mereka sebelumnya ke Kota lain. Ingin merubah pola kehidupan yang lebih baik untuk

keberlangsungan kehidupan mereka. walaupun dengan cara menyewa lahan milik orang lain

hanya dengan kapasitas lahan yang sangat terbatas demi sebuah impian yang ingin mereka capai.

2. Penjual
Sebagian masyarakat Kaili di Kelurahan Talise Valangguni juga beberapa dari mereka

menjadikan tanah milik orang tua atau tanah warisan tersebut untuk dijual belikan. seperti yang

dikemukakan oleh informan Bapak Arman sebagai berikut :

“saya mendapat warisan dari orang tua saya tiga tempat, satu di jalan sisingamangaraja,
dua di jalan tombolotutu, dan yang ketiga di jalan soekarno hatta. Lahan yang di jalan
sisingamangaraja sudah saya jual, karena pada saat itu saya punya kebutuhan sangat
mendesak untuk membayar uang sekolah anak saya dan juga untuk pengobatan mama saya
yang sakit diabetes. Sebenarnya lahan itu saya mau bangunkan kos-kosan, cuman karena
kebutuhan pada saat itu yang sudah sangat mendesak terpaksa harus saya jual. Jadi saat ini
lahan orang tua saya yang diwariskan kepada saya tinggal dua tempat. Tanah itu saya jual
kepada Etnik Bugis, dengan harga jual seratus juta (100.000,000)”.

Proses jual beli yang dilakukan Etnik Kaili ke Etnik lainnya dengan cara musyawarah

terlebih dahulu antara pihak pembeli dan penjual. Pihak pembeli yang sangat menginginkan lahan

dan memiliki uang untuk membayarnya, pihak penjual dengan desakan ekonomi yang

menginginkan uang dalam jumlah yang banyak menyebabkan terjadinya proses jual beli lahan.

Dalam proses penjualan lahan, Etnik Kaili juga biasa menggunakan perantara sebagai orang yang

membantu mencari pembeli lahan, orang-orang yang membantu dalam penjualan ini memang

sudah sangat sering melakukan kegiatan ini. Mereka mendapatkan uang dari pihak penjual setelah

tanahnya dibayar. Orang yang membantu mencari pembeli ini biasanya disebut makelar tanah.

Akta Jual Beli (AJB) merupakan dokumen yang membuktikan adanya peralihan hak atas

tanah dari pemilik sebagai penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Pada prinsipnya jual beli

tanah bersifat terang dan tunai, yaitu dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

dan harganya telah dibayar lunas. Jika harga jual beli tanah belum dibayar lunas, maka pembuat

AJB belum dapat dilakukan. Setelah penjual dan pembeli menyerahkan sertifikat tanah, bukti setor

pajak dan dokumen identitas para pihak serta membayar komponen biaya transaksi, maka penjual

dan pembeli menghadap ke PPAT untuk menandatangani AJB. Penandatanganan tersebut wajib
dilakukan di hadapan PPAT dan biasanya disaksikan oleh dua orang saksi yang juga turut

menandatangani AJB. Umumnya kedua orang saksi tersebut berasal dari kantor PPAT yang

bersangkutan. Setelah penandatanganan AJB di lakukan langkah berikutnya adalah melakukan

balik nama sertifikat dari nama penjual menjadi nama pembeli. Proses balik nama dilakukan di

Kantor Pertanahan oleh PPAT. Proses balik nama ini bisa berlangsung kurang lebih satu sampai

tiga bulan.

Status kepemilikan tanah yang belum jelas atau kepemilikan lahan bersama juga dapat

menyebabkan masalah penjualan seperti pejualan lahan yang sama berulang kali. Adanya

penjualan pertama yang dilakukan oleh pihak kakak ke pembeli, setelah itu pihak adiknya

menuntut lagi ke pihak pembeli harga tanah. Kasus seperti ini biasa terjadi jika status kepemilikan

lahan tidak jelas. Kasus seperti ini juga sering terjadi di Kelurahan Talise Valangguni, karena

biasanya ada yang menjual tanah atau lahan milik bersama tetapi tidak tidak memberi tahu kepada

yang lainnya, sehingga biasanya terjadi konflik diantara kedua bela pihak.

Ketika manusia dan komponen alam lainnya dipercaya berada dalam suatu hubungan

ekologis yang dianggap ideal, bukan tidak berarti tidak dijumpai adanya konflik dan sengketa

dalam praktek pengelolahan sumber daya alam. Semua pihak menyadari bahwa konflik dan

sengketa sangat inheren dalam kehidupan manusia, dan dinamika kehidupan manusia itu sendiri di

dalam alam, selalu bergerak dari sengketa yang satu ke sengketa yang lainnya. Tidak heran apabila

masyarakat yang mulai berkembang, akan selalu menempatkan penyelesaian sengketa sebagai

wacana utama dalam hubungan sosial yang terjadi antar personal maupun antar kelompok.
Selama tahun akhir-akhir ini, sudah sangat banyak dijumpai berbagai kasus sengketa tanah.

Kasus-kasus tersebut meliputi pembebasan tanah, penggusuran tanah, sengketa hak atas tanah,

manipulasi tanah dan lain-lain. Terutama menyangkut kepentingan proyek-proyek pembangunan

seperti pembangunan perumahan, perhotelan, mall-mall serta pembangunan sarana dan prasarana

lainnya. Rangkaian kasus tersebut menarik perhatian banyak pihak, karena masalah pertanahan

merupakan masalah “lintas sektoral” dan sangat kompleks. Kasusnya tidak hanya menyangkut

nilai ekonomis tanah itu sendiri, tetapi menyangkut masalah sosial, hukum, dan lain-lain.

Walaupun masalah pertanahan menarik, namun tampaknya sampai saat ini belum ada pemecahan

yang menyeluruh. Bahkan kasus tanah cenderung meningkat dari hari ke hari.

Seperti contoh kasus konflik tanah yang saat ini terjadi di Kelurahan Talise Valangguni,

lahan seluas empat puluh enam (46) hectare, yang berlokasi di Kelurahan Talise Valangguni dan

Talise. Rencananya akan di bangun hunian tetap bagi korban bencana gempa, tsunami, dan

likuifaksi. Namun pada saat proses pembangunan huntap akan dilakukan di lokasi yang telah

ditentukan (lokasi hunia tetap III) terjadi gesekan antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini

dilandasi oleh statement dari masyarakat bahwa lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat

pembangunan hunian tetap tersebut merupakan lokasi yang telah mereka miliki dan mereka kelola

untuk bercocok tanam selama puluhan tahun (Kompas TV, 2020). Tetapi pemerintah mengklaim

bahwa lokasi tersebut merupakan milik pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang mana telah

diserahkan penuh kepada pemerintah Kota Palu untuk pembangunan hunian tetap (Hamid, 2020).

3) Pembeli

Sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural),

perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran objektif kondisi pertanahan setempat
(teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur

pemilikan dan penguasaan tanah.

Ada lima contoh kasus sengketa tanah dan penyelesaiannya yaitu :

1. Kasus Sengketa Tanah Matoa Tahun 2021

Sengketa ini berawal dari masa perjanjian kerjasama yang terhitung habis pada 18 Maret

2021 dan gugatan tentang pelanggaran kerjasama yang dilayangkan oleh PT

Saranagraha Adisentosa ke pengadilan negeri jakarta selatan pada Maret 2021.

Perjanjian kerjasama tersebut dinilai telah habis dan tidak adanya izin dari Menteri

Keuangan menurut Dispenau menjadi alasan bagi PT Saranagraha untuk berhenti

memanfaatkan lahan Matoa.

2. Kasus Sengketa Tanah Salve Veritate Tahun 2021

Perkara kasus mafia tanah ini bermodus mal-administrasi penerbitan Sertifikat Hak

Milik (SHM) atas nama Abdul Halim, dengan tanah seluas 7,78 hektar. Awalnya PT

Salve Veritate yang merupakan pemilik lahan kaget dan tidak terima ketika tanahnya

menjadi obyek sengketa karena diakui oleh orang lain. Tanah milik PT Salve Veritate

sejumlah 38 bidang dengan total luas 77,582 meter persegi yang terletak di Kelurahan

Cakung Barat Jakarta Timur, itu berstatus Hak Guna Bangunan (HGB).

Setelah dilakukan pengecekan, Sertifikat HGB PT Salve Veritate tidak ditemukan

hal-hal yang membuat tim pemeriksa yakin bahwa proses penerbitan sertifikat

sebagaimana tersebut tidak sesuai dengan prosedur.

3. Kasus Sengketa Tanah Pak Eko Tahun 2018

Kasus yang dialami oleh Pak Eko pada 2018 akibat sengketa lahan di Kampung

Sukagalih, Kelurahan Pasirjati, Ujungberung, Bandung. Rumah yang dijadikan


kontrakan milik Eko Purnomo sejak 2016 terblokade bangunan lain sehingga tidak

memiliki akses jalan. Eko berupaya mengadukan masalah ini ke Presiden Jokowi dan

Ridwan Kamil yang saat itu menjabat Walikota Bandung.

Meskipun tetangga Eko yang merupakan ahli waris pemilik bangunan bersedia

menghibahkan sebagian lahannya untuk menjadi jalan. Hibah yang diberikan seluas 1x6

meter persegi, namun menurut Eko jalan 1x6 meter itu sudah diatur di sertifikat tanah

miliknya.

4. Kasus Sengketa Tanah Rizieq Shihab Tahun 2021

Dalam kasus sengketa tanah dengan PT Perkebunan Nasional (PTPN) VIII di

Megamendung, Jawa Barat. Rizieq diduga menggunakan lahan tanpa izin untuk Pondok

Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah.

Badan Reserse Kriminal Polri mengklaim telah memeriksa seluruh pihak terlapor dan

pelapor sudah dilakukan klarifikasi. Selain itu, penyidik juga masih melakukan

pemanggilan dan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Serta pendalaman terhadap

beberapa dokumen.

5. Kasus Sengketa Tanah Alam Sutera Tahun 2020

Berawal dari tersangka berinisial D berpura-pura berseteru dengan tersangka M atas

tanah 45 hektar di Alam Sutera. Padahal di atas lahan sudah ada warga dan perusahaan

yang menempatinya. Setelah terjadi kesepakatan damai, pada juli 2020 komplotan mafia

tanah itu mengajukan eksekusi lahan ke pihak Pengadilan.

Hal ini sontak mendapat perlawanan dari warga dan perusahaan yang melapor ke Polres

Metro Tanggerang Kota. Dari hasil penyelidikan, berkas klaim kepemilikan atas lahan

45 hektare itu ternyata palsu. Para tersangka saat ini dijerat dengan pasal 263 dan 266
KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman 7 tahun penjara.

Sejak dahulu tanah sudah menjadi sumber sengketa atau konflik dan tidak jarang

menimbulkan korban jiwa. Sebagai suatu gejala sosial, sengketa atau konflik agraria (tanah)

adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing

memperjuangkan kepentingannya atas objek yang sama. Yaitu tanah dan benda-benda lainnya

yang berkaitan dengan tanah. Namun sengketa atau konflik tanah yang terjadi sangat tergantung

kepada kondisi hubungan agraris yang ada, serta sistem dan kebijakan yang berlaku pada kurun

waktu tersebut.

Dengan perkataan lain, bahwa dari perspektif antropologi hukum dikatakan sengketa tidak

selalu bermakna negatif dalam kehidupan masyarakat. Karena sengketa juga mempunyai makna

positif yang dapat memperkokoh integrasi dan kohesi hubunfan sosial masyarakat, atau

mengembalikan keseimbangan hubungan dan sendi-sendi kehidupan sosial.

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau

badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status

tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara

administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari ulasan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, untuk lebih memahami isi dari
materi skripsi dengan menarik kesimpulan dibawah ini.

1. Masyarakat Etnis Kaili di Kelurahan Talise Valangguni dalam memaknai tanah sebagai
sesuatu yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka hal ini tentunya bukan
hanya etnis Kaili yang berada di Kelurahan Talise Valangguni namun ini merupakan
anggapan yang sangat umum bagi semua mahluk hidup yang ada. Bagi Etnis Kaili di
Kelurahan Talise Valangguni bahwa dengan memiliki tanah atau lahan kita bisa
membangun dan melangsungkan hidup. Biasanya tanah yang mereka miliki merupakan
tanah waris dari orang tua mereka sehingga ada sebagian dari mereka yang sangat
menghargai tanah peninggalan orang tua mereka tersebut.
2. Masyarakat Etnis Kaili di Kelurahan Talise Valangguni mereka dalam praktek jual atau
menyewakan tanah untuk sekarang masih seperti masyarakat lain pada umumnya. Untuk
sebagian lainnya karena tanah atau lahan adalah milik orang tua mereka atau peninggalan
dari orang tua mereka sehingga biasanya mereka tidak mau menjualnya jika tidak ada
keperluan atau kebutuhan hidup yang terlalu mendesak mereka hanya mau menjual tanah
atau lahan jika kebutuhan atau keperluan hidup mereka sudah sangat terdesak.
Dalam hal ini bisa dipastikan bahwa untuk Etnis Kaili yang berada di Kelurahan Talise
Valangguni sangat menghargai tanah atau lahan peninggalan orang tua mereka.

B. Saran

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Diharapkan untuk Etnik Kaili di Kelurahan Talise Valangguni mengolah lahan mereka
untuk meningkatkan kualitas hidup agar mampu bersaing dengan etnik lainnya bukan
dengan menjual lahan tapi sebagai tempat untuk usaha.
2. Diharapkan agar dalam proses jual beli tanah harus diperhatikan terlebih dahulu
kepemilikan sah yang mempunyai kekuatan hukum agar tidak terjadi sengketa dikemudian
hari.
C. Dokumen

Talise Valangguni dalam angka 2015, Badan Pusat Statistik Kota Palu

Kitab Undang-Undang Kepemilikan Akta Tanah.


DAFTAR PUSTAKA

Alonso, William. 1970. Location and Land Use. Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts.
Fujita, Masahisa. 1989. Urban Economic Theory. Land Use and City size.
Cambridge University Press, Cambridge.
Hadianto, Adi. 2009. Pemodelan Harga Bidang Tanah pada Berbagai Tipologi Kawasan di DKI
Jakarta dan Bogor. Executive Summary, Prosiding Seminar. Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta.
Halcrow, Harold G. 1992. Ekonomi Pertanian. Ahmad Sudiyono (Penerjemah). UMM Press,
Malang.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

Joyly Rawis Dkk, 2015. Bunga Rampai :dari internalisasi nilai budaya hingga pembauran antar
etnik. Kepel Press, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Moleong, Lexi J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
RosdaKarya.
Nazir, M,1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara
Karya Aksara.
Reksohadiprodjo, Sukanto dan A. R. Karseno. 1985. Ekonomi Perkotaan. BPFE, Yogjakarta.
Sujarto, Djoko. 1985. Beberapa Pengertian Tentang Perencanaan Fisik. Bhratara Karya Aksara,
Jakarta.
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE, Yogjakarta.
Suparmoko.1997. Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan: Suatu Pendekatan Teoritis Edisi
3. PAU-UGM, Yogyakarta.

Sinulingga, Budi D. 1999. Pembangunan Kota, Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Abdul Hafid, 2013. Tradisi Kepemilikan Tanah Menurut Hukum Adat Orang Tolaki Di Kabupaten
Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, jurnal sejarah dan budaya.
Naimatul Jannah, 2015. “Berebut Tanah” Konsepsi Kepemilikan Tanah Dan Penguasaan Tanah
Di Kelurahan Tondo. Kota Palu. Skripsi Antroplogi FISIP UNTAD
PEDOMAN WAWANCARA
A. IDENTITAS UMUM
a. Nama :
b. Umur :
c. Pekerjaan :
d. Tgl. Wawancara :
II. PEDOMAN WAWANCARA MENGENAI MAKNA TANAH (LAHAN)
BAGI ETNIS KAILI DI KELURAHAN TALISE VALANGGUNI

a. Apakah Makna Tanah (Lahan) bagi anda ?


b. Berapa banyak Tanah (Lahan) yang Bapak/Ibu miliki di Kelurahan Talise Valangguni ?
c. Apakah Lahan tersebut Bapak/Ibu miliki dari hasil membeli sendiri atau dari pembagian
warisan orang tua ?
d. Bagaimana sistem pembagian warisan di keluarga anda ?
e. Apakah Lahan warisan dari orang tua anda, masih anda jaga atau sudah anda jual ?
f. Apakah Lahan yang anda miliki tersebut sudah memiliki surat-surat (sertifikat tanah) ?
g. Apakah anda pernah melakukan jual beli atau sewa menyewa Tanah (Lahan)
h. Mengapa anda tidak tertarik dengan sistem jual beli atau sewa menyewa Lahan ?
i. Bagaimana sistem jual beli Lahan di Kelurahan Talise Valangguni ?
j. Dengan siapa anda menjual Lahan tersebut, apakah kepada Etnis Kaili atau kepada Etnis
Lain ?
k. Apa alasan atau pertimbangan Bapak/Ibu dalam menjual Lahan tersebut ?
l. Bapak/Ibu lebih suka menjual lahan kepada Etnis Kaili atau kepada Etnis Lain, alasannya
apa ?
m. Bapak/Ibu menjual atau menyewakan Lahan tersebut dengan harga berapa ?
n. Apakah dalam sistem jual beli atau sewa menyewa Lahan di Kelurahan Talise Valangguni
ada keterlibatan Pemerintah ?
III. PEDOMAN WAWANCARA MENGENAI BAGAIMANA PRAKTEK
JUAL BELI ATAU SEWA MENYEWA LAHAN DI KELURAHAN TALISE
VALANGGUNI

a. Sudah berapa lama anda tinggal di Kelurahan Talise Valangguni ?


b. Apa alasan anda melakukan praktek sewa menyewa Lahan ?
c. Apakah anda tidak tertarik untuk membeli Lahan tersebut, ketimbang harus menyewanya
saja ?
d. Sudah berapa lama anda melakukan praktek sewa menyewa Lahan ?
e. Apakah dalam sistem penyewaan Lahan tersebut terjadi perjanjian atau kesepakatan
tentang harga sewa Lahan ?
f. Siapa yang menawarkan perjanjian sewa menyewa Lahan tersebut, apakah anda atau si
pemilik Lahan ?
g. Dengan kesepakatan tersebut, berapa jumlah harga sewa Lahan dari si penyewa kepada
anda ?
h. Berapa luas Lahan yang anda sewa ?
i. Berapa jangka waktu yang diberi si penyewa kepada anda selama menyewa Lahannya ?
j. Apakah selama bermigrasi ke kota lain, anda hanya melakukan praktek sewa menyewa
Lahan terus menerus ?
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Nurmayani
Stambuk : B 301 14 022
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Palu, 31 Juli 1995
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jln. Tombolotutu Lorong Pakora 1
B. Identitas Orang Tua
Ayah
Nama : Irmon
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Agama : Islam
Alamat : Jln. Tombolotutu Lorong Pakora 1
Ibu
Nama : Nurmawarni
Pekerjaan : URT
Agama : Islam
Alamat : Jln. Tombolotutu Lorong Pakora 1

C. Riwayat Pendidikan
Tamat Sekolah Dasar Negeri Inpres 3 Talise Tahun 2008
Tamat Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Palu Tahun 2011
Tamat Paket C di SKB Kota Palu Tahun 2014
Terdaftar Sebagai Mahasiswa di Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Tadulako Pada Tahun 2014
D. Penasehat Akademik
Dosen Wali : Dra. Hj. Nurhayati Mansur, M.Si
Pembimbing Utama : Drs. Muhammad Marzuki, M.Si
Pembimbing Pendamping : Dr. Ikhtiar Hatta, S.Sos, M.Hum

Anda mungkin juga menyukai