Anda di halaman 1dari 176

PERAN GERAKAN PEMUDA ANSOR DALAM

MENANGKAL RADIKALISME DI KECAMATAN


JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG

Oleh:
Syarifah Arsya Maghfira
170810160043

DRAFT SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Ilmu Politik

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

PERAN GERAKAN PEMUDA ANSOR


DALAM MENANGKAL RADIKALISME
DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG

Oleh:
Syarifah Arsya Maghfira
170810160043

DRAFT SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Politik

Telah disetujui oleh Pembimbing Utama pada tanggal seperti tertera


dibawah ini
Jatinangor,

Pembimbing Utama,

Ari Ganjar Herdiansah S.Sos.,M.Si.,Ph.D


NIP.198012252015041001

i
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Karya tulis saya, Skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Jakarta, 18 Februari 2021


Yang membuat pernyataan,

Syarifah Arsya Maghfira


NPM. 170810160043

ii
ABSTRAK

Beberapa waktu belakangan ini fenomena radikalisme bergeliat kembali.


Secara beriringan, salah satu civil society organization yaitu PP GP Ansor giat
mengumandangkan perlawanan terhadap radikalisme. Sehingga penelitian ini
berangkat dari bagaimana peran civil society organization dalam menangkal
radikalisme di Kecamatan Jatinangor.
Penelitian ini dikaji menggunakan teori peran yang digagas Afan Gaffar
untuk menganalisis bagaimana peran civil society organization dalam sosial-
politik dan kemasyarakatan. Serta, teori soft power yang dikemukakan Manuel
Castells bahwa mengatasi radikalisasi dapat melalui pendekatan soft power,
dengan menggunakan pendekatan persuasif, dialog dan diskusi. Penelitian
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi studi kasus dan analisis
deskriptif. Data pada penelitian diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi
dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan GP Ansor Jatinangor memiliki peran
strategis sebagai civil society organization yang cukup baik dalam
keikutsertaannya membantu menangkal radikalisme di Kecamatan Jatinangor.
Kegiatan-kegiatan GP Ansor Jatinangor terkait upaya menangkal radikalisme
melalui pendekatan persuasif, dialog dan diskusi di antaranya: 1) Darmaji
(Munadzaroh Kopdar dan Ngaji); 2) Ngabaso (Ngaji Bareng Ansor); dan 3)
Diklatsar Banser. Peran serta GP Ansor Jatinangor dalam menangkal radikalisme
tidak lepas dari generalisasi, stigma dan tudingan yang mengarah pada motif simbol-
simbol sosial politik.

Kata kunci: Civil Society, Civil Society Oganization, Gerakan Pemuda Ansor,
Radikalisme.

iii
ABSTRACT

In recent times, the phenomenon of radicalism has reemerged. Simultaneously,


one of the civil society organizations, PP GP Ansor, actively proclaims resistance
against radicalism. Therefore, this research is based on how civil society
organization plays its role in countering radicalism in Jatinangor District.
This study was examined using role theory initiated by Afan Gaffar to analyze the
role of civil society organization in socio-political and community. Also Manuel
Castells's theory of soft power that resolves radicalization through a “soft power”
approach, using persuasive approaches, dialogue, and discussion. This research
applied qualitative descriptive method with case study strategy and descriptive
analysis. Data on the research was obtained through interviews, observations, and
documentation studies.
The results showed that GP Ansor Jatinangor has a strategic role as a civil society
organization that is quite good for its participation to help counter radicalism in
Jatinangor District. GP Ansor Jatinangor's activities as efforts to counter
radicalism through persuasive approaches, dialogue and discussion include: 1)
Darmaji (Munadzaroh Kopdar and Ngaji); 2) Ngabaso (Ngaji Bareng Ansor); and
3) Diklatsar Banser. GP Ansor Jatinangor's participation in countering radicalism
cannot be separated from generalizations, stigmas, and accusations that lead to the
motives of socio-political symbols.
Keywords: Civil Society, Civil Society Organization, Ansor Youth Movement,
Radicalism.

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT serta junjungan

kami baginda Rasulullah SAW, karena atas rahmat, berkat, pertolongan dan

karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam

menempuh pendidikan pada program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, dengan judul “Peran Gerakan Pemuda

Ansor dalam Menangkal Radikalisme di Jatinangor”. Peneliti sangat bersyukur

atas segala proses yang telah dilewati, mulai dari pencarian topik dan judul yang

sempat berganti-ganti, proses bimbingan, dan begitu banyak hal yang terjadi

selama penyusunan skripsi, hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti sadar masih banyak sekali

kekurangan serta keterbatasan, baik dalam penulisan maupun kajian. Oleh karena

itu, dengan segala kerendahan hati peneliti memohon maaf yang sebesar-besarnya

atas kekurangan yang dimiliki. Maka dari itu peneliti akan sangat terbuka untuk

kritik maupun saran yang membangun dari berbagai pihak untuk kebaikan peneliti

kedepannya.

Dalam proses penyusunan dan penulisan skripsi ini ditengah Pandemi

COVID-19, peneliti banyak sekali menemukan tantangan serta hambatan yang

menjadi pengalaman berharga bagi peneliti. Untuk itu, peneliti ingin berterima

kasih kepada seluruh pihak yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan

untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dalam kesempatan ini,

peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

v
1. Ayah, Mama, dan Abang dari peneliti, Bapak Sayid M. Iqbal , Ibu

Pipin Taviany, dan Sayid Muhammad Mulki Razqa serta keluarga

besar saya yang tiada hentinya selalu memberikan doa, kasih

sayang, juga dukungan dalam bentuk materi maupun moral kepada

peneliti selama masa perkuliahan hingga pada saat ini peneliti

berhasil menyelesaikan studi nya dari Ilmu Politik, FISIP UNPAD.

2. Bapak Dr. Widya Setiabudi Sumadinata, S.IP., S.Si., M.T., M.Si

(Han) selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran, serta seluruh jajaran dekanat.

3. Bapak Hendra, S.IP., M.Si dan kemudian digantikan oleh Dr.

Ratnia Solihah, S.IP.,M.Si, selaku Kepala Program Studi Ilmu

Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Padjadjaran.

4. Bapak Ari Ganjar Herdiansah S.Sos., M.Si, Ph.D, selaku Dosen

Wali peneliti dan dosen pembimbing selama menjalani pendidikan

di Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Padjadjaran yang dengan sabar selalu

mengingatkan dan memperhatikan perkembangan peneliti serta

memberikan masukan juga dukungan dari awal masuk perkuliahan,

hingga peneliti dapat menyelesaikan masa perkuliahannya.

5. Bapak Firman Manan,S.IP.,M.A, Dr. Husin.M.Al-Banjari, M.Si.,

Siti Witianti,S.IP.,M.Si selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan kritik dan saran yang membangun kepada peneliti

vi
selama penyusunan skripsi sehingga dapat terselesaikan dengan

baik.

6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UNPAD yang

memberikan ilmunya dengan maksimal, serta memberikan

dukungan yang terbaik kepada seluruh mahasiswa Program Studi

Ilmu Politik. khususon Teteh Mustabsyirotul Ummah Mustofa ,

S.IP., M.A yang memberikan begitu banyak kesan dan ilmu selama

di kampus dan di luar kampus

7. Bapak Soleh dan Ibu Yuyun selaku Staff Program Studi Ilmu

Politik FISIP UNPAD, beserta jajarannya, yang selalu membantu

peneliti dalam segala urusan birokrasi dan administratif selama

masa perkuliahan dari awal sampai akhir.

8. Kang Fazrulzaman Azmi selaku Narasumber dan senior yang telah

meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman Ilmu Politik Angkatan 2015, 2017. dan 2018 yang

memberikan kesan mendalam kepada peneliti terutama Nandita

Alfahira dan Fatimah Anandati dan teman teman yang lain yang

senantiasa memberikan hiburan kepada peneliti.

10. Kartika Ahirunisa, Nastiti Alisha, Khairina Yasmin, Anita

Pinasthika, Mayang Azmia, Ichsan Ali, Ahmad Mikail, AA

Ramdhan, Restu Kusumah dan seluruh kawan kawan Angkatan

vii
2016 yang memberikan begitu banyak kenangan indah dan

menyenangkan selama kuliah

11. Serta sahabat – sahabat saya EMPAL GENTONG, Genita, Hana,

Yasmin, Sarah, Cut, Nabila, Nana yang sejak kecil selalu support

dan memberikan begitu banyak cinta dan kasih sayang

12. Sahabat saya sejak SMP Fauziah Azzahra, Shafina Ghazani, Windi

Mutyani, dan Ganisha Fiebelina yang selalu membuat saya

tersenyum dan tentu memberikan doa serta dukungan

13. Sahabat sahabat serta teman teman SMA saya yang memberikan

dukungan dukungannya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu

disini

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................2
ABSTRAK..............................................................................................................3
DAFTAR ISI...........................................................................................................i
DAFTAR TABEL.................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................16
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................16
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................16
1.4.1 Teoretis.........................................................................................16
1.4.2 Praktis...........................................................................................16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................18
2.1 Civil society............................................................................................18
2.2 Civil society organization.......................................................................29
2.3 Radikalisme Islam..................................................................................37
2.4 Kerangka Pemikiran...............................................................................46
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................51
3.1. Metode Penelitian..................................................................................51
3.2. Sumber Data..........................................................................................52
3.3. Teknik Pengumpulan Data....................................................................53
3.4. Penentuan Informan...............................................................................54
3.5. Prosedur Analisis Data..........................................................................55
3.6 Validasi Data..........................................................................................57
3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................58
BAB IV HASIL DAN ANALISIS.......................................................................59
4.1 Gambaran Umum Gerakan Pemuda Ansor............................................60
4.2 Peran Gerakan Pemuda Ansor Sebagai Civil society Organization.......66
4.2.1 Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan...............................68

ix
4.2.2 Katalisator Perubahan Sosial........................................................73
4.2.3 Fasilitator Rekonsiliasi Masyarakat dan Lembaga Peradilan.......78
4.2.4 Pendukung Implementasi Program Pemerintah...........................81
4.3 Radikalisme Di Kecamatan Jatinangor...................................................84
4.4 Peran Gerakan Pemuda Ansor dalam Menangkal Radikalisme.............97
4.4.1 Pendekatan Persuasif..................................................................102
4.4.2 Pendekatan Dialog......................................................................110
4.4.3 Pendekatan Diskusi....................................................................113
4.5 GP Ansor Jatinangor di Antara Kontra Radikalisme dan Politik.........117
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................125
5.1 Kesimpulan...........................................................................................125
5.2 Saran.....................................................................................................127
5.2.1 Teoretis.......................................................................................127
5.2.2 Praktis.........................................................................................127
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................129

x
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Jadwal Penelitian 2020.........................................................................64

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran...........................................................................50


Gambar 4.1 Audiensi GP Ansor dengan Pemerintah Kecamatan Jatinangor........69
Gambar 4.2 Dokumentasi Berita GP Ansor Jatinangor Anti Radikalisme............99
Gambar 4.3 Kegiatan Refleksi Kemerdekaan......................................................104
Gambar 4.4 Kegiatan Ngaji Bareng Ansor..........................................................106
Gambar 4.5 Kegiatan Darmaji............................................................................115

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemunculan gerakan radikalisme Islam, baik yang klandestin—seperti

Jemaah Islamiyah (JI)—maupun yang terang-terangan— seperti Laskar Jihad,

Laskar Jundulloh, FPI, MMI, HTI, dan lain-lain—merupakan dampak ikutan dari

semakin terbukanya iklim politik dan demokrasi pasca-tumbangnya Orde Baru.

Tanpa kehadiran era Reformasi, hampir dapat dipastikan kelompok-kelompok

garis keras tersebut tidak akan berani muncul ke permukaan akibat represi politik

yang dilakukan oleh rezim berkuasa. Keterbukaan politik yang diintroduksi oleh

Presiden Habibie, penerus Presiden Soeharto, terbukti memberi semangat baru

bagi kelompok masyarakat untuk menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan

politiknya secara bebas dan leluasa (Hilmy, 2015:408).

Dalam menjalankan aksi amar makruf nahi munkar, kelompok radikal

ekstrem bahkan tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan seperti

penyisiran tempat-tempat hiburan, penutupan paksa, penghancuran fasilitas, dan

pembakaran. Kelompok radikal yang sering menggunakan cara-cara kekerasan di

antaranya adalah FPI yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab. Ormas ini tidak

jarang terlibat bentrok dengan kelompok-kelompok lain yang dianggap

menghalangi penegakan syariat Islam. Pada kasus RUU Pornografi dan Porno

aksi, misalnya, kelompok ini terlibat bentrok secara fisik dengan para penentang

RUU tersebut di Jakarta beberapa tahun lalu. Di Solo, kelompok radikal yang

1
melakukan kekerasan didominasi oleh kelompok lokal seperti FPIS. Fenomena

selanjutnya adalah kemunculan sejumlah pendukung gerakan Islamic State of Iraq

and Sham (ISIS/NIIS) yang terlihat secara sporadis di beberapa daerah seperti

Sukoharjo, Malang, Tangerang, Surabaya, dan lain-lain (Hilmy, 2014:404-408).

Umumnya beberapa kelompok radikal yang selalu getol melakukan

perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya yaitu:

Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut

perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama.

Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara

memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok

revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap

keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras. Bahkan, kelompok ini tak

segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara

Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya (Nashir,

2007:62).

Dalam kaitan ini, paham radikalisme yang diinstrumentalisasi dalam

berbagai bentuk dan maksud oleh kelompok-kelompok revivalis dilatari oleh

beberapa persepsi dan alasan, seperti ketidakadilan yang dialami rakyat, korupsi

yang menggurita, krisis ekonomi-politik, dan kesenjangan kaya-miskin. Dalam

anggapan mereka, ini terjadi karena sistem negara Indonesia yang terlalu berkiblat

kepada demokrasi dan "memberhalakan" Pancasila. Oleh karena itu, kelompok ini

mengajukan syariah sebagai satu-satunya pandangan dunia (world view) yang


harus dijadikan sebagai landasan konstitusi maupun dasar negaranya. (Fathorrahman
Ghufron, 2017),

Radikalisme dewasa ini meresonansi juga pada momentum-momentum

politik. Misalnya, di mana pintu masuk paham radikalisme yang digerakkan

kelompok revivalis melalui momentum Pilkada DKI 2017, menjadi bukti betapa

mereka ingin mereaktualisasi paham radikalisme. Bahkan, gerakan massa yang

dilabelisasi dengan 411, 212, 313, dan semacamnya menjadi sebuah rejuvenasi

radikalisme yang memanfaatkan pergerakan massa yang disulut dengan semangat

populisme. Praktik radikalisme yang intensif memasuki ranah politik ini tidak

menutup kemungkinan akan dijadikan sebagai sarana menggerakkan politik

identitas atas nama agama secara laten, serta lebih parah lagi dengan lebih

hegemonis dan frontal.

Dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi menempatkan faktor

kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga radikalisme juga sering dimaknai

sebagai bentuk dan cara perebutan kekuasaan (Nordholt, 2002:81). Sedangkan

menurut French & Reven (Syafiie, 1999:19) perebutan kekuasaan dengan

menggunakan radikalisme diklasifikasikan sebagai ”coercive power” yang selalu

di luar konstitusional yang lazim disebut coup d’etat.

Kenyataan gerakan radikal di Indonesia dan juga di negara-negara lain

mengingatkan pada teori “jebakan demokrasi” (democracy trap). Yakni, rezim

demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menjalankan aksinya untuk

merebut politik-kekuasaan pada ujung pergerakannya. Memang sejumlah

kelompok radikal tidak mau terlibat dalam hingar-bingar sistem politik praktis.

Tetapi hal demikian bukan berarti mereka enggan memegang tampuk kekuasaan
tertinggi di sebuah negara. Pada kenyataannya, mereka tetap berhasrat merebut

kekuasaan melalui cara-cara mereka sendiri. Jika tidak dengan cara damai, maka

dengan cara kekerasan. Kampanye damai yang dilakukan oleh mereka, pada saat-

saat tertentu akan menyentuh titik jenuh yang dapat memaksa mereka untuk

beralih ke cara-cara kekerasan jika kondisi menghendaki demikian (Hilmy,

2015:415-416).

Jawa Barat adalah salah satu daerah di Indonesia yang disukai (kaum

radikal) untuk melakukan radikalisasi. Daerah ini dihuni oleh 48 juta penduduk

(sekira 18% dari total penduduk Indonesia), menjadi wilayah kedua terpadat

penduduknya setelah Jakarta dengan 97% penganut Islam. Secara historis tercatat

bahwa, Jawa Barat ialah tempat terjadinya pemberontakan Islamis. Darul Islam

(DI) merupakan gerakan yang ingin mendirikan Negara Islam dideklarasikan oleh

Kartosuwiryo pada Agustus 1949 di Jawa Barat. Pada 1957, Tentara Islam

Indonesia mengontrol sepertiga dari wilayah Provinsi ini (Lanti, Ebih, &

Dermawan, 2019 dalam Dermawan, Affandi dan Nur Alam, 2019:460).

Fenomena kekiniannya pun mencatat bahwa, beberapa daerah di Jawa Barat

menjadi sasaran jaringan-jaringan radikalisme. Sebagian dari kelompok teroris,

termasuk Jamaah Islamiyah (JI), sempat memperkuat jaringannya pada beberapa

area di Jawa Barat (Prabowo, 2019 dalam Dermawan, Affandi dan Nur Alam,

2019:460).

Wilayah Jatinangor sebagai kawasan pendidikan tinggi di Kabupaten

Sumedang, merupakan salah satu kawasan yang rentan terhadap penyebaran

radikalisme. Penangkapan terduga teroris DG oleh Densus 88 Mabes Polri di


Perumahan Panorama Jatinangor Sabtu 12 Agustus 2017. Salah satu fenomena

dari adanya radikalisme di Jatinangor. Hal ini karena, radikalisme adalah akar dari

terorisme (Mbai dalam Umar, 2010:171).

Kehidupan individualisme mahasiswa dalam kampus bisa menjadi jalan

masuk pemikiran radikal di kalangan mahasiswa. Dalam kehidupan kampus,

mahasiswa itu punya beragam pemikirannya. Dari yang radikal kiri hingga radikal

kanan ada. Juga dari mereka yang memiliki pemikiran moderat hingga ekstrem

ada.Priyatna mengatakan pada 2018 ITB membekukan organisasi internal

mahasiswa bernama Harmoni Amal dan Titian Ilmu (HATI) karena diyakini

berafiliasi dengan sebuah organisasi masyarakat keagamaan yang dilarang, yaitu

Hizbut Tahrir Indonesia. Di Unpad sendiri, Wakil Rektor Bidang Akademik dan

Kemahasiswaan Unpad Arry Bainus menyatakan di tahun 2017 sekitar sepuluh

dosen yang bermasalah dengan radikalisme.(Anwar Siswadi,2019). Kasus-kasus

tersebut menjadi fenomena aktual bahwasanya Jatinangor sebagai wilayah dimana

lingkungan pendidikan berada amat rentan terpapar radikalisme.

Perguruan tinggi menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya kaum

intelektual yang diharapkan mampu memberi kontribusi bagi perkembangan

bangsa dan negara. Eksistensi mahasiswa, selain berpotensi besar bagi

pembangunan dan kegiatan positif lainnya, juga menjadi sasaran bagi

keterlibatannya dalam aktivitas sosial politik, salah satunya yaitu rekrutmen

radikalisasi, kekerasan dan bahkan terorisme. Hal ini yang diresahkan oleh para

pemangku kepentingan, khususnya sejumlah tokoh di Kecamatan Jatinangor. Sifat

yang kritis, open minded, serta potensi-potensi lain pada mahasiswa, dianggap
berdampak positif atau negatif terhadap generasi muda ataupun masyarakat

tempat mahasiswa berinteraksi dengan lingkungannya. Lalu, dicemaskan oleh

tokoh masyarakat di Kecamatan Jatinangor, kemungkinan dari pengaruh negatif

paham radikal yang disebar melalui (memanfaatkan) mahasiswa (Dermawan,

Affandi dan Nur Alam, 2019:462-463). Hasil temuan penelitian di wilayah

Jatinangor juga ditemukan adanya kecenderungan yang mengarah pada potensi

radikalisme (Dermawan, Affandi dan Nur Alam, 2019:472)

Di Indonesia, kebijakan negara terkait penanganan radikalisme dan

terorisme banyak mengalami resistensi dari sebagian umat Islam, khususnya dari

kalangan radikal sendiri, mengingat upaya penumpasan kelompok radikal hanya

didasarkan pada satu pendekatan saja, yakni melalui pendekatan keamanan

(security approach) (Hilmy, 2013:129). Kritisisme kelompok radikal didasarkan

pada kenyataan banyaknya anggota kelompok radikal yang diperlakukan secara

sewenang-wenang, bahkan tidak jarang berakhir pada kekerasan dan penembakan.

Para pengkritik berargumen bahwa kebijakan seperti ini tidak akan mungkin bisa

menumpas ideologi radikalisme. Lebih jauh, pendekatan keamanan yang

bertumpu pada kekerasan negara bahkan penembakan hanya akan melahirkan

resistensi dan perlawanan balik dari kelompok radikal. Mereka bahkan

menjadikan Densus 88 Antiteror secara khusus, dan polisi secara umum, sebagai

target kemarahan dan balas dendam kaum radikal yang sudah banyak menembak

sesama kelompok radikal. Sejumlah penembakan terhadap polisi di beberapa

daerah seperti Solo, Jakarta dan lainnya merupakan manifestasi dari bentuk

perlawanan dan balas dendam kelompok radikal dimaksud (Hilmy, 2013:152).


Selain dengan security approach melalui Densus 88, memang ada program

deradikalisasi melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

(Hilmy, 2013:142). Namun demikian, eksistensi lembaga ini juga banyak

menerima kritikan. Salah satu kritik terhadap eksistensi BNPT adalah tidak

jelasnya cakupan kerja dan bentuk-bentuk program yang tidak menjadikan

kelompok radikal sebagai target utama. Pelaksanaan program lebih banyak

bersifat sporadis, tidak terarah, dan berlangsung di sejumlah domain yang justru

tidak terpapar ideologi radikalisme seperti di pesantren-pesantren tradisional.

Kritik sejumlah kalangan terhadap lembaga ini memang layak dijadikan sebagai

bahan refleksi bagi peningkatan kualitas kebijakan deradikalisasi yang dilakukan

oleh BNPT. Jika tidak, maka eksistensi lembaga ini tidak akan menyelesaikan

masalah, tetapi justru menambah daftar masalah. Pembentukan lembaga-lembaga

ini hanya dianggap sebagai pemborosan anggaran negara yang tidak memiliki

agenda dan program yang jelas. Sebaliknya, lembaga-lembaga ini justru dianggap

melakukan pembelahan dan pelemahan umat Islam dari dalam (Hilmy, 2015:419).

Upaya deradikalisasi dapat dilakukan dengan upaya pemaksaan (coercive)

dan penangkalan (dettrence) melalui sistem pertahanan dan keamanan negara

(hardpower). Namun yang tidak kalah penting adalah meng-counter radikalisasi

dapat dilakukan dengan adanya civic engagement. Meskipun kelompok radikal

merupakan ancaman nyata bagi negara, tetapi kelompok tersebut juga menjadi

ancaman serius bagi masyarakat (society). Maka, upaya deradikalisasi seharusnya

tidak semata menjadi tugas pemerintah, tetapi juga merupakan tugas semua pihak
termasuk aktor civil society (masyarakat madani), baik sebagai individu maupun

sebagai institusi (organisasi, LSM, kelompok penekan). (Paskalis Alfonso. 2016)

Masyarakat madani (civil society) pada prinsipnya memiliki multi makna,

yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas,

transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten

memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral,

mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah

masyarakat yang demokratis (Tilaar, 2002:5). Dalam hal ini civil society dan

radikalisme adalah dua hal yang sangat bertentangan. Civil society bertujuan

untuk menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas sosial.

Sebaliknya, radikalisme menyebabkan timbulnya ketidakstabilan di masyarakat

karena sikap radikal menginginkan sebuah perubahan secara total dan

mengabaikan prinsip-prinsip demokratis.

Nahdlatul Ulama adalah salah satu civil society yang ada di Indonesia

memiliki peran yang cukup besar khususnya di bidang sosial keagamaan (Hikam,

1999:xii).Gerakan Pemuda Ansor atau GP Ansor adalah salah satu organisasi

kemasyarakatan yang bergerak dibidang kepemudaan sebagai badan otonom di

bawah Nahdlatul Ulama. Dengan demikian GP Ansor merupakan bagian dari civil

society.

GP Ansor yang merupakan Badan Otonom dari Organisasi Keagamaan

Nahdlatul Ulama (NU) saat ini telah menunjukkan sebuah pergerakan yang cukup

moderat, bahkan kadang terkesan keluar dari kultur NU sebagai organisasi

induknya. Beberapa kasus yang menunjukkan pergerakan yang lebih moderat


yang telah ditampilkan GP Ansor Jombang adalah penjagaan Gereja saat natal

oleh Banser Ansor, Adanya sikap keberatan GP Ansor terhadap deklarasi FPI di

Jombang, GP Ansor Jombang turut mengawal 3 pasangan calon Bupati dan Wakil

Bupati saat Pilkada Jombang, GP Ansor menggerakkan Bansernya dalam

pengamanan malam tahun baru 2014 di beberapa titik di Jombang. Beberapa

kasus praktik sosial keagamaan yang telah ditampilkan GP Ansor tersebut telah

menunjukkan sebuah image baru Ansor sebagai ormas Islam yang moderat,

terbuka dan menunjukkan sikap toleransi (Ramadhani, 2014:t.h.). Hal ini berbeda

dengan kasus yang terjadi pada masa lampau pada saat tragedi G 30 S/PKI, bahwa

pada saat itu pergerakan GP Ansor dengan Bansernya (Barisan Ansor Serba

Guna) terkesan radikal. Perlawanan Banser Ansor melawan PKI di berbagai

tempat di Indonesia kerap kali terjadi saat itu. Pembantaian yang dilakukan

Banser Ansor terhadap PKI terjadi diberbagai tempat khususnya di Jawa Timur,

keterlibatan Ansor dalam pembersihan PKI tak lepas dari dukungan dan kerja

sama dengan ABRI (Anam, 2010:108).

Gerakan Pemuda (GP) Ansor menggelar rapat koordinasi nasional

(rakornas) dengan seluruh pimpinan wilayah GP Ansor se-Indonesia. Menurut

Ketua PW GP Ansor Papua Amir Matupun saat membacakan sikap GP Ansor di

kantornya, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat. Berdasarkan pernyataan ini,

GP Ansor bertekad menjaga NKRI dan memerangi radikalisme di Indonesia. jika

ada orang atau kelompok-kelompok yang ingin mengubah menjadi bentuk Iain,

baik menjadi negara agama, daulah islamiyah atau khilafah, maupun sekuler,
maka sudah menjadi kewajiban GP Ansor berada di garis terdepan melawan dan

berjihad menjaga NKRI dan Pancasila (Rahayu, 2019)

Hasil Muktamar ke 27 di Situbondo, NU menyatakan kembali ke khittah

1926 dan melepaskan peranannya sebagai partai politik. NU kembali kepada

peranan awalnya yaitu sebagai organisasi sosial, keagamaan dan pendidikan. NU

sebagai organisasi sosial ataupun politik berupaya untuk mengembangkan

independensinya dan memiliki potensi untuk menjadi civil society yang kuat di

Indonesia, layaknya kelompok pro demokrasi lainnya (Hikam dalam Ekawati,

2016:244).

Sebagai civil society di Indonesia, NU memiliki peranan sebagai berikut

(Ekawati, 2016:244) :

a. NU berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di masyarakat

melalui pesantren-pesantren yang tersebar di Nusantara. Selain

memberikan pendidikan keagamaan, NU juga bekerja sama dengan

LP3ES untuk mengajarkan nilai-nilai demokrasi khususnya untuk

masyarakat lokal.

b. Untuk melakukan advokasi perempuan dan pengembangan peranan

perempuan di masyarakat, NU memiliki fatayat yang secara konsisten

memberikan pembekalan dan pendampingan.

c. Sejak berdirinya NU sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar

umat beragama, NU juga menentang kelompok yang memperjuangkan

penegakan syariat Islam di negara dengan merubah menjadi negara

khilafah.
d. Mendirikan lembaga-lembaga intelektual dan pro demokrasi, seperti

Lakpesdam, Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia), LPBH

(Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum), LP2NU (Lembaga

Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama).

NU sebagai civil society memiliki kekuatan politik tersendiri, yang dapat

menjadi pengimbang dari kekuatan negara dengan melakukan check and balance,

organisasi NU memiliki ciri kesukarelaan dan swadaya apabila berhadapan

dengan negara, tetapi masih dalam jalurnya atau tidak melanggar norma dan nilai

hukum yang telah ditetapkan. NU akan tetap mendukung kebijakan pemerintah

yang memihak dan mensejahterakan rakyatnya dan akan mengkritisi kebijakan

yang dapat merugikan rakyat Indonesia. oleh karena itu, NU adalah salah satu

civil society yang berperan aktif dalam pembangunan dalam negeri (Ekawati,

2016:247).

Pergeseran praktik sosial keagamaan seperti yang dilakukan oleh GP

Ansor Jombang ini menimbulkan sebuah polemik dan perdebatan di dalamnya,

karena pergerakan yang ditampilkan terkesan lebih terbuka dan keluar dari

koridor NU. Pada masa lampau, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh GP Ansor

seringkali hanya berupa kegiatan yang berafiliasi dengan nilai-nilai NU. Seperti

pada kasus Penjagaan Geraja oleh Banser Ansor pada saat Natal, praktik sosial

keagamaan ini telah menunjukkan sebuah pergerakan baru yang dilakukan Ansor

yang dinilai sangat berani, karena praktik yang dilakukan tidak hanya dalam
konteks keislaman semata akan tetapi sudah masuk dalam ranah lintas agama.

(Ramadhani, 2014:t.h.).

Pergeseran pergerakan GP Ansor tersebut juga menjadi bukti dari

beberapa penelitian yang dilakukan terhadap NU, seperti penelitian Alaena (2000)

yang mengemukakan temuan penelitian bahwa NU pada saat ini telah

mengalami pergeseran paradigma sosial keagamaan dari yang dulu cenderung

dianggap sebagai Ormas Islam yang tradisionalis, konservatif dan tertutup, pada

saat ini telah mengalami keterbukaan dalam pergerakannya. Jika dilihat sejarah

perkembangan NU, beberapa praktik sosial keagamaan GP Ansor yang

mengalami keterbukaan tersebut, ditandai dengan munculnya figur

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh pembaharu dalam kultur NU

pada masa akhir Orde Baru sekitar tahun 1980-an, terlebih saat beliau menjabat

sebagai ketua PBNU (Ramadhani, 2014:t.h.).

Sebagaimana telah disinggung bahwa radikalisme seringkali berkelindan

secara praktikal di antara sosial-politik, maka elemen-elemen civil society pun

menjadi bagian dinamisator di dalamnya. Adanya persinggungan radikalisme,

politik dan sosial keagamaan, nampaknya tak dapat dipisahkan dari eksistensi NU

dalam hal ini GP Ansor sebagai badan otonom NU. Karena meski kini NU tidak

berpolitik secara langsung, dan bukan sebagai parpol, namun NU memiliki

kepedulian terhadap politik.

Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat

tinggi (high politics/siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan,

kerakyatan dan etika berpolitik. Politik kebangsaan berarti NU harus istiqomah


dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa

Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan

penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela

mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak mana pun. Etika berpolitik

harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan

masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang

santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.(Muhammad

Hidayatullah. 2020)

Kepedulian politik ini tak lepas dari tiga pilar utama kekuatan politik

yang dimiliki GP Ansor termasuk dalam hal ini NU, sebagaimana analisis

Mahrus Irysam (Banuaji, Widayati dan Astuti, 2013:102) yaitu pertama, basis

massa (struktur sosial) yang bertumpu pada massa pondok pesantren yang

berada di pedesaan. Kedua, Basis ulama-politisi yang digambarkan memiliki

konsistensi gerakan karena berfungsinya dua struktur yang saling melengkapi,

struktur formal yang diatur secara organisatoris dan struktur non formal yang

tumbuh dari interaksi antara ulama dan politisi dan ketiga, tradisi yang

dimanifestasikan dalam pola hubungan ulama-politisi-massa menjadi tradisi yang

dianut secara teguh.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah organisasi kepemudaan,

kemasyarakatan, kebangsaan, dan keagamaan yang berwatak kerakyatan. Gerakan

Pemuda Ansor atau disingkat GP Ansor adalah badan otonom di bawah Nahdlatul

Ulama (NU). Di sepanjang sejarah perjalanan bangsa, dengan kemampuan dan

kekuatan tersebut GP Ansor memiliki peran strategis dan signifikan dalam


perkembangan masyarakat Indonesia.Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP

Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan etos

kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan

pemuda pasca Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus

spirit keagamaan. Karenanya, kisa Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor,

dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk perjuangan Ansor nyaris

melegenda. Terutama, saat perjuangan fisik melawan penjajahan peran Ansor

sangat menonjol. Bahkan, saat ini, GP Ansor mengedepankan adanya kerjasama

dialogis dalam kemasyarakatan.

Di dalam AD-ART GP Anshor, secara eksplisit memang tidak disebutkan

bahwa organisasi ini berfokus pada penanganan radikalisme. Juga tidak

disebutkan GP Ansor sebagai organisasi yang secara khusus menangani

radikalisme. Akan tetapi relevansi dengan radikalisme tercermin dalam

pengejawantahan sikap, kebijakan serta program GP Ansor yang harus membawa

maslahat bagi masyarakat dan bangsa. Sejalan dengan hal itu, diperkuat dengan

sikap GP Ansor yang berkomitmen mendukung pemerintah di dalam memerangi

radikalisme. (Joko Susilo.2019) GP Ansor juga menyatakan satu komando dalam

melawan radikalisme dan kelompok-kelompok radikal.(Hasan Basri. 2020)

Peran GP ansor sebagai civil society dapat menjadi alternative di dalam

mendukung pemerintah menangani radikalisme. Ini karena, eksistensi civil

society (masyarakat madani) merupakan aktor sektor ketiga yang mengimbangi

dan mengurangi dominasi sektor pertama (negara) dan sektor kedua (pasar). Civil

society penting karena aktor masyarakat madani biasanya berfungsi dalam


mengurangi bahaya apatisme akar rumput. Dalam konteks deradikalisasi,

kehadiran civil society penting karena biasanya kelompok radikal justru

berkembang pada level masyarakat dan eksistensi civil society justru berada pada

level masyarakat akar rumput. (Paskalis Alfonso,2016)

Konsep civil society dengan berbagai pendekatan di dalam konteks

diradikalisasi seperti dikatakan (Castells, 2010:425) bahwa penyelesaian

permasalahan radikalisasi dapat terjadi tanpa adanya pertumpahan darah melalui

pendekatan soft power misalnya melalui persuasi, dialog, seminar, dan diskusi.

Civil society dalam hal ini dapat berperan dalam mengusahakan pendekatan

deradikalisasi yang lebih mengedepankan soft power.

Kerja sama antara aparatur pemerintah, alat negara dan masyarakat di

dalam penanganan radikalisme merupakan konsep smart power yaitu

penggabungan antara hard power dan soft power (Nye, 2004:32). Kolaborasi

antara aktor negara dan non negara dalam upaya deradikalisasi akan membuat

stabilitas negara semakin lebih memungkinkan. Membangun negara yang kuat

(strong state) akan membuat negara dapat menjaga keamanan dan pertahanan

negara tersebut termasuk dari ancaman bahaya kelompok radikal. Untuk

membangun negara yang kuat, kolaborasi antara aktor negara dan non negara

dalam hal ini civil society  menjadi hal yang penting. (Paskalis Alfonso,2016)

GP Ansor juga terliabat dalam beberapa kegiatan masyarakat, terutama

aktivitas dialog dengan TNI dan POLRI, yang memiliki tujuan untuk mendukung

program deradikalisasi secara umum, dan mencegah terjadinya pergesekan antara

anggota masuarakat. Hal ini merupakan bagian dari kolaborasi GP Ansor dengna
lembaga-lembaga negara, sehingga GP Ansor sebagai sebuah gerakan

kepemudaaan dapat menjadi salah satu komponen utama dalam menghadapi

adanya bahaya. Hal ini dilakukan dengna melibatkan banyak pihak dengan

melakukan kegiatan persuasif, dalam bentuk diskusi dan dialog.

Terkait relevansi dan peran organisasi masyarakat kepemudaan, khususnya

GP Ansor di dalam pencegahan radikalisme, ditunjukkan pada beberapa referensi

maupun penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian.

Penelitian pertama, Imam Solichun (2018), dimana penelitian tersebut berangkat

dari sering terjadinya aksi-aksi kekerasan yang bersumber dari pemahaman

radikalisme. Isu yang akhir-akhir ini menjadi booming pasca aksi teror di kota

Surabaya yang melibatkan anak usia pelajar. Masifnya Arus radikalisme ini

mempertanyakan eksistensi organisasi pemuda dalam memainkan perannya. Peran

aktif GP Ansor kota Surabaya dalam menangkal radikalisme adalah melalui

revitalisasi nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dalam kehidupan

sehari-hari, dengan berbagai program, di antaranya: optimalisasi majelis dzikir

dan sholawat (MDS); Optimalisasi kaderisasi pelatihan keterampilan; Cyber

Army; kerjasama dengan berbagai pihak dan seminar ilmiyah.

Penelitian kedua, Ma’unah (2015), dimana penelitian ini mengangkat topik

manajemen GP Ansor dalam kegiatan terkait pencegahan radikalisme beserta

faktor pendukung dan penghambatnya. Manajemen organisasi terkait pencegahan

radikalisme terlihat dari kreativitas GP Ansor dalam merancang dan menjalankan

sarana dakwah terkait pencegahan radikalisme, seperti membuat radio Nuansa

FM, Koperasi Mitra Sahaja, Rijalul Ansor dan ngaji kebangsaan, pengkaderan,
memasang baliho tolak Islam radikal. Kelancaran peran organisasi tersebut dalam

pencegahan radikalisme didukung oleh kepemilikan sarana yang memadai,

dominasi NU, dan pengurus GP Ansor yang memiliki jabatan strategis di dalam

pemerintahan. Sedangkan kelancaran dalam kegiatan organisasi tersebut terkait

pencegahan radikalisme terhambat oleh kondisi target sasaran program dari aspek

sikap yang cenderung acuh pada pendekatan keagamaan sebagai dampak majunya

pendidikan formal, keterbatasan SDM dengan adanya double job, dan

keterbatasan sumber daya finansial.

Kemudian penelitian ketiga, Subakir dan Mustamir (2020), dimana

Gerakan Pemuda Ansor Kota Kediri menjadikan Moderasi Islam sebagai

perspektif dalam melakukan perlawanan dan deteksi dini terhadap paham radikal

di Kota Kediri. Moderasi Islam dimaknai sesuai dengan ideologi Ahlussunah wal

Jamaah An Nahdliyah. Mereka melakukan perlawanan dengan menggunakan

perspektif moderatisme yang berlandaskan ahlussunah wal jamaah an nahdliyah

dan ke-Indonesia-an. Cara pandang ini pun dilakukan oleh seluruh anggota

Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Ansor (PC GP Ansor) Kota Kediri sehingga

mampu melakukan perlawanan dan deteksi dini terhadap gerakan radikalisme di

Kota Kediri. Mereka berusaha mengambil alih tempat-tempat keramaian dan

fasilitas umum untuk menyebarkan gagasan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah An

Nahdhiyah.

Dari ketiga penelitian terkait topik organisasi masyarakat dan perannya

dalam pencegahan radikalisme, peneliti pun tertarik untuk meneliti organisasi

masyarakat GP Ansor sebagai subjek penelitian, dengan kata lain melanjutkan


penelitian sebelumnya, namun dengan subjek penelitian yaitu GP Ansor

Jatinangor.

Jatinangor merupakan salah satu wilayah kecamatan yang terletak di

bagian barat Kabupaten Sumedang. Sebagai daerah berkembang yang berbatasan

langsung dengan Kabupaten Bandung, wilayah Jatinangor ini kadang sering

dianggap sebagai bagian dari daerah Bandung. Jatinagor menjadi salah satu

daerah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, karena merupakan tempat dimana

beberapa perguruan tinggi beroperasi, sehingga banyak terdapat anak-anak muda

dari selurh Indonesia. Hal ini dapat memunculkan kecenderungan dimana ada

orang-orang yang memiliki berbagai pandangan ekstrimis dan radikal sebagai

lahan yang subur. Hal ini menjadi fokus dari GP Ansor setempat. Ketua

Kaderisasi Ansor Jatinangor Agus Taufik Habibi mengatakan dalam upaya

percepatan menangkal gerakan radikalisme Ansor Jatinangor telah mengadakan

Pelatihan Kepemimpinan Dasar yang diadakan rutin di Pondok Pesantren al-

Falah. Ketua GP Ansor setempat juga mengungkapkan bahwa Perguruan tinggi

yang ada di Jatinangor tidak hanya mengajarkan ilmu akademik saja, melainkan

harus mampu juga menekan beredarnya paham radikalisme di kalangan generasi

muda.

Sebagai contoh, pada tahun 2017, didapat dua warga di wilayah

jatinangor, yaitu DT Alias O dan DG, yang akhirnya diketahui sebagai terduga

teroris. enggeladahan yang dilakukan pihak kepolisian di rumah terduga jaringan

teroris di Perumahan Panorama Jatinangor Blok B, RT 02 RW 12 Desa


Cinanjung, Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, diduga masih jaringan

bom bunuh diri Kampung Melayu.

Dipilihnya GP Ansor Jatinangor sebagai subjek penelitian karena secara

umum, dalam beberapa tahun terakhir, memuncaknya komitmen GP Ansor di

tingkat pusat hingga cabang-ranting dalam berpartisipasi terhadap penanganan

radikalisme. Atas instruksi pimpinan pusat GP Ansor dalam berpartisipasi

penanganan radikalisme, maka GP Ansor Jatinangor turut mengimplementasikan

instruksi tersebut. Secara khusus, GP Ansor Jatinangor berada di kawasan

pendidikan tinggi yang rentan terhadap penyebaran radikalisme. Sehingga peneliti

ingin mengkaji dan menganalisis bagaimana peran GP Ansor Jatinangor sebagai

bagian dari civil society dalam upaya pencegahan radikalisme di wilayah

Kecamatan Jatinangor.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dirumuskan masalah yaitu

bagaimana peran GP Ansor Jatinangor dalam menangkal radikalisme di

Kecamatan Jatinangor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji dan menjelaskan peran GP

Ansor Jatinangor dalam menangkal radikalisme di Kecamatan Jatinangor.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan

sumbangsih pemikiran, wawasan dan pengetahuan mengenai peran organisasi

kemasyarakatan pemuda dalam menangkal radikalisme dalam kerangka civil

society.

1.4.2 Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran,

wawasan dan pengetahuan sehingga menjadi pertimbangan bagi berbagai pihak

dalam memberdayakan potensi organisasi masyarakat mengatasi problem-

problem sosial di lingkungan masyarakat terutama persoalan radikalisme. .


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Civil society

Civil society di Indonesia adalah sebuah gagasan yang baru digunakan

pada akhir tahun 1990-an, istilah civil society mengandung beberapa arti, seperti

“masyarakat sipil”, “masyarakat madani”, “masyarakat warga”, atau “masyarakat

kewargaan” (Prasetyo dan Munhanif, 2002:1). Mengenai wacana tentang

masyarakat madani masih dalam perdebatan, namun beberapa kalangan ada yang

berpendapat bahwa masyarakat madani adalah persamaan dari kata civil society

(Culla, 1999:3).

Civil society merupakan wacana yang berasal dari Barat dan lebih

mendekati substansinya apabila tetap di sebutkan dengan istilah aslinya tanpa

menerjemahkan dengan istilah lain atau tetap berpedoman dengan kosep de'

Tocquiville yaitu civil society didefinisikan sebagai wilayah -wilayah

kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan

(voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-

supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan

dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai

sebuah ruang politik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin

berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh

kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan

kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik


yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang

bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat. (Hikam, 1999:3).

Sejarah pemikiran tentang civil society terbagi dalam lima fase, diawali

dari filsuf Yunani yaitu Aristoteles yang memandang civil society (masyarakat

sipil) sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan

ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Pada masa Aristoteles,

civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah

koinonia politikke, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat

langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.

Istilah ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis di

mana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum (Tim ICCE

UIN Jakarta, 2005:242).

Fase kedua, pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana

civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan

pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam

kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh revolusi

industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok

(Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:243).

Fase ketiga, pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil

society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia

dianggap sebagai antitesis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara

sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah

tampilan dari keburukan belaka. Menurut Paine terdapat batas-batas wilayah


otonom masyarakat sehingga negara tidak diperkenankan memasuki wilayah sipil.

Dengan demikian menurutnya, civil society adalah ruang di mana warga dapat

mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan

kepentingannya secara bebas tanpa paksaan (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:243-

244).

Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W.

F. Hegel, Karl Marx, dan Antonio Gramsci. Dalam pandangan ketiganya, civil

society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi

atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Hegel

memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Marx

sendiri memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks

hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar

bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal (Tim ICCE

UIN Jakarta, 2005:244). Demi terciptanya proses pembebasan itu, civil society

harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Antonio

Gramsci tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi

lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis

material, Gramsci meletakkannya pada superstruktur yang berdampingan dengan

negara. Pandangan Gramsci memberikan peran penting kepada kaum cendikiawan

sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik (Tim ICCE UIN

Jakarta, 2005:246).

Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab

Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville. Ia memandang civil


society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurutnya, kekuatan

politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan

demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Pemikiran Tocqueville

lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun

tersubordinatif dari lembaga negara. Sebaliknya, civil society bersifat otonom dan

memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan

penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara. Dapat

disimpulkan bahwa pandangan ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak

hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga mempunyai komitmen

terhadap kepentingan publik (Tim ICCE UIN Jakarta, 2005:248-249).

Civil society yang disebut masyarakat madani sebagaimana dikonsepsikan

para pelopornya memiliki tiga ciri utama adanya kemandirian yang cukup tinggi

dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat utamanya

ketika berhadapan dengan negara, adanya ruang publik bebas ( the free publich

sphere ) sebagai wahana dari keterlibatan politik secara aktif warga negara

melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Adanya

kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis (Sufyanto,

2001:113).

Sebagaimana dikonsepsikan oleh para pemikirnya, civil society

mempunyai 3 ciri khusus yaitu (Bell dalam Hikam, 1999:229) :

1. Kemandirian yang cukup tinggi dari individu –individu dan kelompok

dalam masyarakat
2. Adanya ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik

secara aktif dari warga negara demi kepentingan publik

3. Adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis

dan otoriter.

Cicero dalam filsafat politiknya memahami civil society identik dengan

negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat yang

berhadapan dengan negara, civil society lanjut Cicero adalah suatu komunitas

politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang

memiliki kode hukum sendiri. Konsep kewargaan (civility) dan budaya kota

(urbanity), maka kota dipahami bukan sekedar konsentrasi penduduk, melainkan

juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan (Rahardjo, 1999:19).

Wacana tentang civil society dalam khasanah literatur ilmu politik

sebenarnya berasal dari barat, berdasarkan penelusuran berbagai literatur yang

membahas tentang civil society, menemukan definisi yang sangat beragam seperti

misalnya : masyarakat berbudaya, masyarakat madani, masyarakat politik,

masyarakat beradab dan masyarakat kewargaan (Anas Urbaningrum, 1997 dalam

Argenti, 2018:64).

Civil society menurut Larry Diamond (Argenti, 2018:64), dipahami

sebagai bidang kehidupan sosial yang terorganisir yang bersifat sukarela,

menghasilkan diri, sebagian besar otonom atau mandiri dari entitas negara serta

terikat tatanan hukum atau seperangkat aturan bersama. Pengertian ini tentunya

sangat berbeda dari “masyarakat” pada umumnya, karena civil society melibatkan
warga untuk bertindak secara kolektif dalam ruang-ruang publik untuk

menyatakan minat, semangat, bertukar informasi, mencapai tujuan bersama dan

membuat segala tuntutan pada negara.

Pengertian dari Larry Diamond tidak berbeda dengan pengertian dari para

ilmuwan politik Barat lain, seperti misalnya Ernest Gellner yang menekankan

adanya otonomi atau kemandirian yang harus ada sebagai prasyarat mutlak suatu

masyarakat dikatakan sebagai civil society. Bagi Diamond, civil society

merupakan suatu entitas perantara yang berdiri di antara pribadi (personal) dengan

negara, dari pemilahan ini Diamond hendak membuat garis pemisah yang tegas

antara entitas negara dengan masyarakatnya, masing-masing berdiri dengan

tingkat otonomisasi yang berbeda, civil society membutuhkan perlindungan dari

tatanan hukum yang dilembagakan untuk menjaga otonomi mereka dan kebebasan

bertindak (Argenti, 2018:65).

Chandra Dinata (Aziz SR dkk., 2016:35) menyebut civil society

merupakan mitra negara dalam proses pembangunan. Perannya lebih pada

mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta dapat menumbuhkan

modal sosial (social capital) dalam struktur masyarakat agar menjadi kekuatan

pembangunan. Masyarakat sipil berwujud dalam berbagai bentuk organisasi

seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat

(KSM), Organisasi Sosial, Organisasi Massa, Organisasi Profesi, Organisasi

Keagamaan, Serikat Buruh, dan lain sebagainya, di mana lembaga-lembaga

tersebut tumbuh berdasarkan atas dasar kebersamaan dan berlandaskan pada

kesamaan tujuan. 
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa civil society merupakan

suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat

di pihak lain. Sebagaimana mengutip pendapat Walker, bahwa dalam ruang

tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun

sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Apakah asosiasi tersebut

berdasarkan ikatan keluarga, keyakinan, kepentingan, dan ideologi? Asosiasi

tersebut bisa dalam bentuk bermacam-macam, ikatan pengajian, persekutuan

gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi,

LSM, dan lain sebagainya, hubungan dikembangkan atas dasar toleransi dan

saling menghargai satu sama lainnya (Gaffar, 2006:179:180).

Jadi, civil society adalah sebuah masyarakat, secara individual maupun

secara kelompok, dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara secara

independen. Atau, seperti yang dikemukakan Eisenstadt, jenis masyarakat tersebut

(masyarakat sipil) sekurangnya-kurangnya memiliki empat syarat, yakni: pertama,

otonomi; kedua, akses masyarakat terhadap lembaga negara; ketiga, arena publik

yang bersifat otonom, dan; keempat, arena publik tersebut terbuka bagi semua

lapisan masyarakat (Gaffar, 2006:179-180).

Masyarakat madani (civil society) tidak muncul dengan sendirinya, namun

membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya tatanan

civil society. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mengikat

dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok yang harus

dimiliki dalam pembentukan civil society antara lain meliputi (Tim ICCE UIN

Jakarta, 2005:279-290):
1. Free Public Sphere

Pada unsur pertama yaitu wilayah publik yang bebas, ruang public ini

diharapkan mampu memberikan ruang pada setiap warga negara untuk

dapat memiliki posisi dan hak serta kebebasan yang sama dalam

mengemukakan pendapat untuk melakukan transaksi sosial dan politik

tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan di luar civil society.

Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan

mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat,

maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus

diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang

bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan

terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam

menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum

oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.

2. Demokratis

Sedangkan demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan

civil society yang murni. Tanpa demokrasi, civil society tidak mungkin

terwujud. Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak

wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, warga Negara

memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya,

termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.


Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola

hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak

mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini

banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena

masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat

mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi di

sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik,

sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.

3. Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat

madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati

aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan

akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan

menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok

masyarakat lain yang berbeda.

4. Kemajemukan

Sebagai sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka

pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan

sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima

kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak

bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan

masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang


tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif,

merupakan rahmat Tuhan.

5. Keadilan Sosial

Pada bagian akhir dari unsur pokok civil society adalah adanya suatu

keadilan sosial bagi seluruh warga negara, di mana terdapat suatu

keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan

kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek

kehidupan, baik kehidupan ekonomi, politik, pengetahuan, dan

kesempatan. Dengan ini bisa dikatakan bahwa civil society merupakan

keadaan di mana hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek

kehidupan yang dilakukan oleh sekelompok atau golongan tertentu.

Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan

pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap

warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini

memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek

kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial,

masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-

kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam spektrum politik fungsi civil society diharapkan (Diamond dalam

-Raffiudin dkk., 2011:7-11):


1) Civil society memberikan batasan kekuasaan negara, kontrol negara

oleh masyarakat, dan menumbuhkan institusi-institusi politik

demokratis sebagai sarana yang efektif;

2) Kehadiran civil society sebagai pelengkap peran dari parpol dalam

merangsang partisipasi politik, meningkatkan efektivitas dan

keterampilan demokrasi warga negara;

3) Adanya civil society yang membangun banyak saluran politik di luar

parpol untuk mengartikulasikan, menampung, dan mempresentasikan

berbagai kepentingan.

4) Civil society nantinya dapat mendorong perubahan dari kekuasaan

segelintir orang menjadi milik warga negara secara luas.

5) Civil society diharapkan dapat meringankan adanya polaritas potensi

konflik politik dengan banyaknya teknis media dan resolusi konflik

yang dihasilkan dari berbagai peristiwa konflik.

6) Civil society menjadi sarana dalam menciptakan pemimpin-pemimpin

masyarakat serta yang dapat berkontribusi dalam arena politik.

7) Civil society memiliki tujuan pembangunan demokrasi yang jelas,

terutama dalam perubahan-perubahan kelembagaan politik.

8) Civil society memiliki kontribusi dalam menyebarluaskan informasi

kepada seluruh warga negara sehingga pengetahuan akan hak-hak

warga negara dapat disampaikan dengan baik.


9) Civil society nantinya diharapkan membantu dalam membangun

legitimasi sistem politik yang berbasiskan kepentingan sesungguhnya

dari warga negara.

2.2 Civil society organization

Organisasi atau asosiasi merupakan representasi dari civil society yang

independen, menjadi keniscayaan bagi masyarakat untuk membentuk organisasi-

organisasi atau asosiasi-asosiasi warga negara yang mandiri, karena hanya melalui

cara demikian penyalahgunaan kekuasaan oleh negara dapat dicegah, memang

negara yang aktif dan kuat juga diperlukan, tapi bukan berarti demokrasi harus

dibina oleh negara. Demokrasi hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan

tumbuhnya kesadaran civil society, melalui kontrol dari masyarakat inilah maka

despostisme monopoli kekuasaan negara dapat dicegah, maka dengan adanya

asosiasi asosiasi tersebut mengekspresikan adanya pluralitas di dalam masyarakat.

Salah satu perwujudan dari civil society adalah adanya kelembagaan atau

organisasi dalam beragam format. Civil society Organization ( CSO) adalah

semua organisasi atau asosiasi yang berada di luar sektor Negara, mereka

mencakup organisasi ketetanggaan yang kecil, lokal hingga organisasi berbasis

keanggotaan berorientasi nasional. Menurut Diamond sebagaimana di kutip

(Sukmana, 2016:210-220) civil society organization adalah organisasi atau

asosiasi yang ada di luar negara bersifat bebas dan independen, Civil society

organization mencakup organisasi baik yang formal maupun informal yang dapat

di kategorikan sebagai berikut :


1. Bersifat ekonomis : Asosiasi dan jaringan produktif dan komersial

2. Bersifat kultural : institusi atau asosiasi religius, etnis, komunal dan

asosiasi-asosiasi lain yang mempertahankan hak-hak, nilai-nilai

keyakinan dan simbol kolektif

3. Bersifat informasional dan edukasional : organisasi yang memiliki

bidang gerak pada produksi dan diseminasi (baik untuk tujuan

perolehan profit atau tidak) pengetahuan ide berita dan informasi

publik.

4. Berkaitan dengan kepentingan ( interes): kelompok-kelompok yang

berupaya memajukan atau mempertahankan kepentingan fungsional

atau material bersama untuk para anggotanya seperti serikat buruh,

kelompok profesional dll

5. Berkaitan dengan pembangunan (development) organisasi yang

mengumpulkan sumber daya dan bakat individual untuk memperbaiki

insfrastruktur, kelembagaan dan kualitas kehidupan komunitas

6. Berorientasi isu (isue-oriented) : gerakan untuk perlindungan

lingkungan, reformasi, agraria perlindungan konsumen, hak-hak

perempuan, etnis minoritas, kelompok adat, kaum difabel dan korban-

korban lain dari diskriminasi dan penyalahgunaan kekuasaan

7. Berorientasi civic : kelompok non partisan yang berupaya

memperbaiki sistem politik dan membuatnya lebih demokratis, seperti

kelompok-kelompok yang bekerja untuk HAM. Pendidikan dan


mobilisasi pemilih, pemantauan pemilu, dan pengungkapan praktik-

praktik korupsi dll.

8. Berhubungan dengan “ theideological marketplace” aliran informasi

dan ide-ide yang mencakup kelompok- kelompok yang mengevaluasi

dan mengkritisi negara, seperti media massa yang independen, dan

area –area yang lebih luas dari aktivitas kultural dan intelektual yang

otonom seperti Universitas, kelompok pemikir dll.

Karakteristik Civil society organization (CSO) menurut Suharko

(Sukmana, 2016:210-220) ada 5 karakteristik yaitu :

1. CSO Memiliki kepedulian yang berhubungan dengan tujuan-tujuan

publik dari pada tujuan-tujuan privat

2. Berhubungan dengan negara dalam berbagai cara namun tidak

berupaya untuk memenangkan kontrol atas atau posisi dalam negara

3. Tidak berupaya untuk govern the polity as a whole apa yang ingin

diraih oleh CSO dari negara biasanya berkaitan dengan perubahan

kebijakan reformasi, kelembagaan, akuntabilitas negara.

4. Tidak berupaya memonopoli ruang politis dan fungsional dalam

masyarakat

5. Mempresentasikan kepentingan kelompok yang berbeda-beda atau

meliputi aspek-aspek yang beragam dari suatu kepentingan.


Di Indonesia yang menjadi salah satu representasi civil society ialah

berbagai organisasi nonpemerintah (ornop). Ornop merupakan organisasi yang

dibentuk oleh kalangan yang bersifat mandiri, organisasi ini tidak

menggantungkan diri pada pemerintah, terutama dukungan finansial. Ornop

dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga negara yang

mempunyai keperdulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul baik dalam

bidang ekonomi, sosial maupun politik. Demokrasi dan civil society seperti dua

sisi dari satu mata uang yang sama, keduanya eksis secara bersama civil society

yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Suatu negara dikatakan

demokratis bila ada suatu kekuatan aktif dari civil society yang mampu membatasi

kekuasaan negara. Dalam sebuah negara demokratis, kekuasaan negara harus

mendapat persetujuan civil society dalam membuat serta mengimplementasikan

kebijakan kebijakannya. Sebaliknya, juga memerlukan negara yang efektif dalam

melaksanakan tuntutannya. Oleh karena itu, di negara yang demokratis, kualitas

negara tergantung pada kualitas dari civil society-nya, demikian juga sebaliknya

(Kurniawan dan Puspitosari, 2012:1).

Masyarakat sipil (civil society) dipahami sebagai bidang kehidupan sosial

terorganisir yang bersifat sukarela, otonom atau mandiri dari entitas negara serta

terikat dengan tatanan hukum atau seperangkat aturan bersama. Pengertian ini

tentunya sangat berbeda dari “masyarakat” pada umumnya, karena masyarakat

sipil melibatkan warga untuk bertindak secara kolektif dalam ruang-ruang publik

untuk menyatakan minat, semangat, bertukar informasi, mencapai tujuan bersama

dan membuat segala tuntutan pada negara. Sedangkan ilmuwan politik barat
seperti Ernest Gellner, menekankan bahwa civil society itu merupakan entitas

yang otonom atau mandiri, konsep otonomi atau kemandirian ini menjadi titik

penting dalam konsep masyarakat sipil.

Pembahasan tentang masyarakat sipil (civil society) tentu tidak bisa

dilepaskan dari keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi

Masyarakat (Ormas) atau Non Government Organizations (NGO) yang

merupakan elemen-elemen pembentuk dari civil society. LSM atau organisasi non

pemerintah (ornop) merupakan organisasi yang dibentuk oleh kalangan

masyarakat yang bersifat mandiri, organisasi seperti ini tidak menggantungkan

diri kepada pemerintah, terutama dalam dukungan finansial dan sarana prasarana.

Organisasi ini dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga

negara yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul,

baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik. Misalnya kalangan aktivis

dalam bidang teknologi mempunyai perhatian untuk mengangkat nasib

masyarakat petani dengan memperkenalkan teknologi tepat guna. Kalangan peduli

nasib kaum buruh mendirikan organisasi yang membantu kalangan buruh,

demikian juga dengan sejumlah aktivis perempuan yang membentuk sejumlah

organisasi yang melindungi kaum perempuan dari berbagai diskriminasi dalam

kehidupan sosial. Kehadiran Ornop dalam sebuah masyarakat merupakan

kenyataan yang tidak dapat dinafikan, hal itu terjadi karena bagaimanapun juga

kapasitas pemerintah sangat terbatas. Tidak semua kebutuhan masyarakat dapat

dipenuhi oleh pemerintah, apalagi di negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia

(Gaffar, 2006 : 200-202).


Terdapat empat peranan yang dapat dimainkan oleh kalangan Ornop dalam

sebuah negara, antara lain : (1) Memonitoring pelaksanaan penyelenggaraan

negara, bahkan bila perlu melakukan aksi protes, hal ini terjadi karena

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan para pejabat pemerintahan. (2)

Katalisasi perubahan sosial, hal ini dilakukan dengan jalan mengangkat sejumlah

masalah yang penting dalam masyarakat, membentuk kesadaran global,

melakukan advokasi demi perubahan kebijakan negara, mengembangkan

kemauan rakyat dan mendorong inisiatif pemerintah. (3) Memfasilitasi

rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan. Hal ini dilakukan karena

warga masyarakat menjadi korban ketidakadilan, kalangan ornop muncul secara

aktif melakukan pembelaan bagi mereka yang menjadi korban ketidakadilan. (4)

Implementasi program pelayanan, ornop dapat menempatkan diri sebagai lembaga

yang mewujudkan sejumlah program pemerintah (Gaffar, 2006 : 204).

Dalam konteks politik lokal tentu saja kehadiran civil society sangatlah

penting sebagai penyeimbang atas dominasi pemerintah daerah, kekuatan

masyarakat sipil ini harus mampu melakukan pengawalan serta pengontrolan

terhadap setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah. Peran ornop dalam

dinamika politik lokal mengambil posisi berada di tengah, diantara sektor negara,

pasar dan masyarakat. Ornop harus tetap menempati posisi di tengah, sebagai

pihak yang netral dalam mendorong proses perubahan. Peran-peran ornop tersebut

misalnya sebagai fasilitator bagi proses membangun kesadaran publik, menjadi

negosiator bagi kepentingan publik, bahkan menjadi aktor parlemen jalanan

sebagai pengawas bagi negara. Ornop merupakan organisasi swadaya yang


didirikan oleh sekelompok orang untuk memperjuangkan kepentingan

masyarakat, dengan kata lain ornop bertugas untuk memperkuat masyarakat

dalam menghadapi dominasi negara, swasta atau korporasi modal internasional.

Civil society organization termasuk di dalamnya adalah organisasi

kemasyarakatan. Organisasi Kemasyarakatan menurut (Pranadji, 2012:7), Ormas

sebagai : “Organisasi Kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk

pengorganisasian masyarakat sipil yang berlandaskan pada prinsip demokrasi,

kemitraan, keswadayaan, dan partisipasi publik. Organisasi Kemasyarakatan

merupakan wadah penyalur kepedulian dan kesadaran sosial dan politik

masyarakat terhadap berbagai masalah public actual. Oleh karena itu, kegiatan

Organisasi Kemasyarakatan hampir selalu bersinggungan dengan isu-isu publik

khususnya terkait langsung dengan permasalahan riil di masyarakat. Permasalahan

seperti kemiskinan, tersumbatnya hak-hak sipil/politik, ketidakmerataan akses

terhadap sumber daya ekonomi, degradasi kualitas lingkungan hidup, rendahnya

tingkat pendidikan, konflik sosial dalam pluralisme kehidupan sosio-politik-

budaya-ekonomi hampir selalu menjadi agenda rutin organisasi kemasyarakatan.

Aroto (Suryadi, 2006:18) menyebut Ormas sebagai Organisasi Masyarakat

Sipil yaitu : Sebagai wilayah interaksi sosial mencakup semua kelompok sosial

paling dekat (khususnya rumah tangga), gerakan kemasyarakatan, dan wadah-

wadah komunikasi publik yang diciptakan melalui bentuk pengaturan dan

memobilisasi diri secara independen, baik dalam hal kelembagaan maupun

kegiatan. Warga masyarakat sipil yang sama membina ikatan-ikatan sosial di luar

lembaga resmi, menggalang solidaritas kemanusiaan, dan mengejar kebaikan


bersama (public good), masyarakat Sipil berdiri tegak di atas prinsip-prinsip

egalitarianisme inklusif bersifat universal. Di dalam domain yang diciptakan,

masyarakat sipil selalu berusaha membangun kreativitas serta berupaya mengatur

dan memobilisasi diri sendiri tanpa melibatkan Negara.

Terminologi istilah dalam Organisasi Masyarakat sangat luas dan pada

batas-batas tertentu mencerminkan nilai kompetitif. Dalam bahasa Inggris

meliputi beberapa istilah yaitu voluntary agencies/organisations, nongovernment

organisation (NGO), private voluntary organization (PVO), community

(development) organization, social action groups, non-party group, micro or

people’s movement. Tidak ada istilah tunggal yang mampu mencakup semua

istilah tersebut dan untuk membuka beberapa batasan dan pemisahan (Eldridge,

1989:3).

Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas) Pasal 1 ayat (1) menyebutkan pengertian Organisasi

Kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat

secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan,

kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi

tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila.

Ormas mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor yang melayani

perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil (Assa'di et al. 2009 dalam

Herdiansyah dan Randi, 2016:60). Menurut Undang-undang No.17 tahun 2013

pasal 6, dikatakan bahwa ormas berfungsi sebagai sarana:


a. Penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan

organisasi

b. Pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan

organisasi

c. Penyalur aspirasi masyarakat

d. Pemberdayaan masyarakat

e. Pemenuhan pelayanan sosial

f. Partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat

persatuan dan kesatuan bangsa

g. Pemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam penelitian ini, teori mengenai Civil Society dan Civil Society Organization

memiliki kecenderungan untuk dapat menjelaskan mengenai Organisasi GP Ansor

sebagai sebuah organisasi yang mampu untuk menangkal radikalisme

2.3 Radikalisme Islam

2.3.1 Radikalisme
Dalam pengertian yang umum digunakan, radikal sering diartikan keras,

tidak mau kompromi, temperamental, ngotot, cenderung memaksakan kehendak,

dan ingin selalu menang walaupun harus menggunakan segala cara (Nata,

2011:501). Sementara dalam Kamus Politik, definisi radikalisme adalah ide-ide

politik yang mengakar dan mendasar pada doktrin-doktrin yang dikembangkan

dalam menentang status quo (Scruton, 2013:791). Sementara dari perspektif

sosiologi politik, (Karl, 2002 dalam Zuhri 2018:111) mendefinisikan radikalisme


sebagai manifestasi atas penolakan terhadap proses modernisasi. Polanya

mengarah pada upaya penggulingan atau paling tidak menentang kemapanan

kekuasaan yang dianggap sebagai penyebab penderitaan rakyat. Baradat (Baradat,

1994:16)menyatakan bahwa pengertian radikalisme mengacu pada pemahaman

seseorang atau kelompok yang secara ekstrem tidak puas dengan kondisi

masyarakat yang ada. Mereka tidak sabar untuk menanti perubahan yang

fundamental.

Oleh karenanya, lebih lanjut radikalisme dalam spektrum politik dimaknai

sebagai bentuk penolakan terhadap bentuk kekuasaan. Pemaknaan dilakukan oleh

orang-orang yang memiliki tingkat penolakan yang berbeda. Mulai dari skala

ekstrem hingga skala kecewa dan frustrasi, yang mana masing-masing tingkatan

memiliki cara dan aksi yang berbeda-beda mulai dari cara yang soft hingga cara-

cara kekerasan dalam mencapai cita-cita dan harapannya (Zuhri 2017:112).

Radikal diartikan sebagai mengakar dalam mencari kebenaran. Namun,

akan berbeda jika ditambahkan “isme” dalam kata radikalisme, yang berarti

merujuk pada suatu paham atau ideologi yang radikal. Sehingga makna radikal

telah berubah khususnya dalam perspektif politik. Radikalisme merupakan paham

atau ideologi yang mengakar dalam ide-ide politiknya untuk melakukan

perubahan atas kondisi yang ada baik ekonomi, sosial ataupun politik (Zuhri,

2017:54-55).

Radikalisme sesungguhnya tidak lain adalah faham yang mempunyai

keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan

tatanan nilai atau status quo yang sudah mapan dan atau sistem yang sedang
berlangsung. Mereka berusaha untuk mengganti tatanan nilai tersebut dengan

tatanan nilai baru sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai tatanan nilai yang

paling benar. Radikalisme merupakan suatu kompleksitas nilai yang tidak berdiri

sendiri, melainkan ikut ditentukan berbagai faktor termasuk faktor ekonomi,

politik, dan pemahaman ajaran agama (Zuhri dalam Hasan, 2016:75).

Dalam perspektif politik, radikalisme yang terjadi menempatkan faktor

kekuasaan sebagai inti persoalannya, sehingga radikalisme juga sering dimaknai

sebagai bentuk dan cara perebutan kekuasaan (Nordholt dan Klinken, 2002:81)

Sedangkan menurut JRP French & Bertram Reven (Syafiie, 1999:19)

mengatakan bahwa perbuatan kekuasaan dengan menggunakan radikalisme

diklasifikasinya sebagai ”coercive power” yang selalu diluar konstitusional yang

lazim disebut coup d’etat.

Horace M. Callen mempermudah dalam menganalisis pemikiran dan

gerakan radikalisme dalam konteks politik. Ia mengemukakan tiga ciri khas dari

radikalisme. Pertama, radikalisme merupakan reaksi terhadap kondisi yang sedang

berlangsung. Dari reaksi-reaksi tersebut, muncul dalam bentuk evaluasi,

penolakan atau perlawanan. Adapun masalah yang ditentang tersebut berupa

asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang dipandang bertanggungjawab atas

situasi dan kondisi yang terjadi. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada sekadar

upaya penolakan, akan tetapi terus berupaya mengganti tatanan yang sudah ada

dengan bentuk tatanan nilai lain. Kelompok radikalis berusaha keras untuk

menerapkan tatanan yang diyakini yang dipersiapkan mengganti tatanan

sebelumnya. Ketiga, kuatnya keyakinan kaum radikal akan kebenaran program


atau ideologi yang mereka bawa (Efendi & Prasetyo, 1998 dalam Zuhri,

20178:112).

Latif (2011) (Susanti, 2012:9) menyatakan bahwa berkembangnya

radikalisme dapat terjadi karena faktor :

1. Keagamaan dan kebudayaan, hal ini diperlukan mengingat banyak

gerakan dan ideologi transnasional yang masuk ke Indonesia tanpa ada

filter kebudayaan yang kuat.

2. Rapuhnya nilai-nilai keagamaan. Agama dipandang dan dilaksanakan

sebagai sebuah perilaku legal formalistik.

3. Macetnya pergaulan yang berkemajemukan, artinya bangsa Indonesia

ini bangsa yang plural tetapi sikap kita sering monokultural.

4. Politik yang menjauh dari masyarakat, hal ini dapat dilihat pada cara

pengambilan keputusan politik banyak yang berimplikasi pada

tereliminasinya kelompok tertentu dari politik.

5. Munculnya terorisme karena tidak berjalannya sense of conseption of

justice. Terorisme muncul karena skeptisisme terhadap demokrasi, dan

demokrasi dianggap sebagai sistem kafir.

Kekerasan sebagai ciri utama kelompok radikal melakukan aksinya.

Tindak kekerasan yang terjadi selama tahun 2011-2012 dilihat dari faktor

penyebabnya dapat dikelompokkan yaitu (Susanti, 2012:5-6) :

1. Faktor Politik
Berkaitan dengan tuntutan masyarakat Papua, Nanggroe Aceh

Darussalam, Kalimantan Tengah tentang pembagian sumber daya,

ketidakjelasan upaya penegakan hukum, dll.

2. Agama

Berkaitan tekanan kelompok mayoritas terhadap minoritas dalam hal

pemberian ijin tempat ibadah, sweaping yang dilakukan Front

Pembela Islam (FPI) ke wilayah-wilayah yang dipersepsikan maksiat,

sweaping yang dilakukan FPI ke tempat ibadah Islam aliran

Ahmadiah, dll.

3. Sosial Ekonomi

Penganiayaan kelompok suku/agama/ras/golongan minoritas oleh

kelompok mayoritas, kasus-kasus konflik yang berkaitan dengan

pemilihan kepala daerah, pengusiran pedagang kaki lima (PKL) oleh

aparat pemerintah, tumbuhnya supermarket skala besar/pasar modern,

intimidasi masyarakat yang dilakukan aparat pemerintah/pengusaha

terhadap penguasaan lahan, dll.

2.3.2 Radikalisme Beragama


Fenomena radikalisme Islam di Indonesia hingga hari ini masih menjadi

perbincangan yang menarik dan terus menghangat. Radikalisme masih menjadi

masalah serius bagi banyak kalangan. Munculnya isu-isu mengenai radikalisme

Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu

radikalisme Islam ini sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana

internasional. Radikalisme Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan


masalah yang banyak dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global

akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi

masyarakat dunia. Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat

dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal ini, mulai dari

sebutan kelompok garis keras, ekstremis, militan, Islam kanan, fundamentalisme,

sampai terorisme. Bahkan negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi

komunisme memandang Islam sebagai sebuah gerakan peradaban yang

menakutkan (Madjid, 1995:270).

Walaupun istilah radikalisme diproduksi oleh Barat, namun gejala dan

perilaku kekerasan itu dapat ditemukan dalam tradisi dan sejarah umat Islam.

Fenomena radikalisme dalam Islam sebenarnya diyakini sebagai produk atau

ciptaan abad ke-20 di dunia Islam, terutama di Timur Tengah, sebagai hasil dari

krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap Barat yang

melebarkan kolonialisme dan imperialisme ke dunia Islam. Terpecahnya dunia

Islam ke dalam berbagai Negara bangsa, dan proyek modernisasi yang

dicanangkan oleh pemerintahan baru berhaluan Barat, mengakibatkan umat Islam

merasakan terkikisnya ikatan agama dan moral yang selama ini mereka pegang

teguh (Dikmeijan, 1985:25-36). Hal ini menyebabkan munculnya gerakan radikal

dalam Islam yang menyerukan kembali ke ajaran Islam yang murni sebagai

sebuah penyelesaian dalam menghadapi kekalutan hidup. Tidak hanya sampai di

situ, gerakan ini melakukan perlawanan terhadap rezim yang dianggap sekuler dan

menyimpang dari ajaran agama yang murni (Sahri, 2016:239).


Berkaitan dengan itu, Sidney Jones mengatakan bahwa ancaman

radikalisme di Indonesia itu nyata, meskipun saat ini hanya minoritas Muslim

yang radikal, dan lebih sedikit lagi yang suka menggunakan kekerasan. Menjadi

Muslim yang liberal, progresif, fundamentalis, radikal, atau inklusif tentu sah-sah

saja, dan itu bagian dari hak asasi setiap warga negara Indonesia. Yang menjadi

persoalan adalah ketika pola keberagamaan yang kita yakini dan jalani

mengancam eksistensi orang lain. Yang lebih parah lagi, ketika suatu kelompok

mengaku dirinya yang paling benar dan memiliki kebenaran tunggal, seraya

memaksa kelompok yang lain mengikuti paham kelompoknya. Tindakan

kelompok radikalisme keagamaan yang kadang menggunakan cara kekerasan,

baik verbal maupun non-verbal, tentu saja sangat bertentangan dengan konstitusi

kita yang menjamin kemerdekaan beragama, berekspresi, dan berkeyakinan

(Hassan, 2010:45).

Radikalisme sebenarnya tidak menjadi masalah, selama ia hanya dalam

bentuk pemikiran ideologis dalam diri penganutnya. Tetapi saat radikalisme

ideologis itu bergeser ke wilayah gerakan, maka ia akan menimbulkan masalah,

terutama ketika semangat untuk kembali pada dasar agama terhalang kekuatan

politik lain. Dalam situasi ini, radikalisme tak jarang akan diiringi kekerasan atau

terorisme (Turmudi dan Sihabudi, 2005:4-5). Dari pergeseran inilah radikalisme

dimaknai dalam dua wujud, radikalisme dalam pikiran yang disebut

fundamentalisme; dan radikalisme dalam tindakan yang disebut terorisme

(Sabirin, 2004:6).
Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi kelompok

Islam garis keras juga bermacam-macam. Shaban menyebut aliran garis keras

(radikalisme) dengan sebutan neo-Khawarij (Shaban, 1994:56).17 Sedangkan

Harun Nasution menyebutnya dengan sebutan Khawarij abad kedua puluh satu

(abad ke-21) karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah

dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan Khawarij pada masa

pasca-tahkim (Nasution, 1995:125).

Istilah radikalisme Islam berasal dari pers Barat untuk menunjuk gerakan

Islam garis keras (ekstrem, fundamentalis, militan). Istilah radikalisme merupakan

kode yang terkadang tidak disadari dan terkadang eksplisit bagi Islam (Ahmed,

1993:30).

Sementara itu, (al-Qaradhawi, 2001:23-339), memberikan istilah

radikalisme dengan istilah al-Tatarruf ad-Din, atau bahasa lugasnya adalah untuk

mempraktikkan ajaran agama dengan tidak semestinya, atau mempraktikkan

ajaran agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggir. Jadi jauh dari substansi

ajaran agama Islam, yaitu ajaran moderat di tengah-tengah. Biasanya posisi

pinggir ini adalah sisi yang berat atau memberatkan dan berlebihan, yang tidak

sewajarnya. Lanjut al-Qaradhawi, posisi praktik agama seperti ini setidaknya

mengandung tiga kelemahan, yaitu: pertama, tidak disukai oleh tabiat kewajaran

manusia; kedua, tidak bisa berumur panjang, dan yang ketiga, ialah sangat rentan

mendatangkan pelanggaran atas hak orang lain.

KH. Hasyim Muzadi dikutip (Rokhmad, 2012:82) mengatakan pada

dasarnya orang yang berpikir radikal (mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-


boleh saja. Seseorang yang berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak

masalah, maka harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam misalnya, maka

pendapat radikal seperti ini sah-sah saja. Namun, berpikir radikal seperti ini akan

meningkat menjadi radikalisme. Radikalisme dengan demikian berarti radikal

yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran, yang biasanya menjadi

radikal secara permanen. Sedangkan radikalisasi adalah (seseorang yang) tumbuh

menjadi reaktif, saat terjadi ketidakadilan di masyarakat. Dengan demikian,

berpikir radikal berpotensi menjadi ideologi radikal (radikalisme), kemudian

tumbuh secara reaktif menjadi radikalisasi.

Secara khusus dalam Islam, (Fealy dan Hooker, 2006:4) menyatakan

bahwa: Radical Islam refers to those Islamic movements that seek dramatic

change in society and the state. The comprehensive implementation of Islamic law

and the upholding of ‘Islamic norms’, however defined, are central elements in

the thinking of most radical groups. Radical Muslims tend to have a literal

interpretation of the Qur’an, especially those sections relating to social relations,

religious behavior and the punishment of crimes, and they also seek to adhere

closely to the perceived normative model based on the example of the Prophet

Muhammad.

Dari kajian literatur di atas, terdapat beberapa karakteristik bagi paham

keagamaan Islam radikal, yaitu:

1. Menghendaki pelaksanaan hukum Islam dan norma-normanya secara

komprehensif dalam kehidupan, sesuai apa yang dimodelkan oleh

Rasulullah SAW, sehingga memiliki sikap keberagamaan yang fanatik.


Menurut (Hilmy, 2013:133), paham Islam radikal menekankan adanya

visi Islam sebagai doktrin agama dan sebagai praktik sosial sekaligus,

mengintegrasikan antara din, dunya dan dawlah berlandaskan al-

Qur’an dan Sunnah. Puncak dari keyakinan ini adalah pendirian

“negara Islam”.

2. Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terkait hubungan sosial, perilaku

keagamaan dan hukuman kejahatan secara literal-tekstual. Penafsiran

rasional-kontekstual tidak diperlukan sepanjang al-Qur’an telah

menyatakannya secara eksplisit. Paham ini menilai semua yang tidak

dimunculkan al-Qur’an bernilai bid’ah, termasuk konsep Barat semisal

demokrasi dan lainnya. Di sini, penggunaan simbol-simbol Islam

menjadi determinan karakter paham ini, pada saat yang sama

pemurnian Islam menjadi teologi yang dipertahankan (Hilmy,

2013:134).

3. Model penafsiran literal-tekstual memunculkan sikap intoleransi

terhadap semua paham yang bertentangan dengannya, sekaligus

bersikap eksklusif dengan membedakan diri dari orang kebanyakan.

Sikap intoleransi didasarkan pada pendekatan manichean atas realitas.

Dalam pendekatan ini, dunia hanya berisi dua hal, yaitu baik-buruk,

halal-haram, iman-kufur, dan seterusnya, dengan mengabaikan

ketentuan-ketentuan hukum lain, semisal sunnah, makruh dan mubah.

Adapun sikap eksklusif muncul karena ‘menutup’ atas pengaruh luar

yang dinyatakannya sebagai ketidakbenaran (Hilmy, 2013:135)


4. Interpretasi di atas menghasilkan pandangan yang revolusioner, yaitu

ingin mengubah secara terus-menerus, sehingga memungkinkan

dilakukannya tindakan kekerasan, selama tujuan yang diinginkan

belum tercapai (Sahri, 2016:246).

2.4 Kerangka Pemikiran

Civil society dan radikalisme adalah dua hal yang sangat bertentangan.

Civil society bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara kebebasan individu

dan stabilitas sosial. Sebaliknya, radikalisme menyebabkan timbulnya

ketidakstabilan di masyarakat karena sikap radikal seringkali mengabaikan etika,

moral, demokrasi dan toleransi.

Radikalisme dewasa ini meresonansi juga pada momentum-momentum

politik. Misalnya, di mana pintu masuk paham radikalisme yang digerakkan

kelompok revivalis melalui momentum Pilkada DKI 2017, menjadi bukti betapa

mereka ingin mereaktualisasi paham radikalisme. Bahkan, gerakan massa yang

dilabelisasi dengan Aksi 411 (Aksi Bela Al-Qur’an), Aksi 212 (Aksi Bela Islam

III), Aksi 313, dan semacamnya menjadi sebuah rejuvenasi radikalisme yang

memanfaatkan pergerakan massa yang disulut dengan semangat populisme. 1

Praktik radikalisme yang intensif memasuki ranah politik ini tidak menutup

kemungkinan akan dijadikan sebagai sarana menggerakkan politik identitas atas

1
Fathorrahman Ghufron, 2017, Radikalisme dan Politik Identitas, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/05/19170871/radikalisme.dan.poli%20tik.identitas pada 16
Oktober 2020.
nama agama secara laten, serta lebih parah lagi dengan lebih hegemonis dan

frontal.

Fathurorhman Ghufron menggambarkan politik identitas sebagai benteng

radikalisme dengan menjadikan agama sebagai bayang-bayang pergerakan sosial.

Ancaman berkembangnya paham radikalisme yang diekspresikan oleh gerakan

sosial yang dibalut dalam bingkai demokrasi akan mengancam tatanan dan

stabilitas pemerintahan. Disatu sisi, gerakan sosial merupakan ekspresi dari

gagasan demokrasi konstitusional yang secara tersirat dimanifestasikan dalam

konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia. Dan disisi lain, terdapat ancaman

dari konsepsi demokrasi melalui kebebasan berserikat dan berkumpul dalam

bentuk gerakan sosial yang berpaham radikalisme.2

Eksistensi civil society (masyarakat madani) merupakan aktor sektor

ketiga yang mengimbangi dan mengurangi dominasi sektor pertama (negara) dan

sektor kedua (pasar). Civil society penting karena aktor masyarakat madani

biasanya berfungsi dalam mengurangi bahaya apatisme akar rumput. Dalam

konteks deradikalisasi, kehadiran civil society penting karena biasanya kelompok

radikal justru berkembang pada level masyarakat dan eksistensi civil society justru

berada pada level masyarakat akar rumput.3

Dalam tingkatan nasional maupun global, civil society memiliki peran

dalam menghadapi berbagai isu dan permasalahan yang ada dimasyarakat, seperti

permasalahan lingkungan, sosial, kebijakan negara, memperjuangkan nasib

2
Fathorrahman Ghufron, 2017, Radikalisme dan Politik Identitas, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/05/19170871/radikalisme.dan.poli%20tik.identitas pada 16
Oktober 2020.
3
Paskalis Alfinos Toda, 2016, Penguatan Peran Civil Society Sebagai Usaha Deradikalisasi, diakses dari
https://kupang.tribunnews.com/2016/07/02/penguatan-peran-civil-society-sebagai-usaha-deradikalisasi pada
19 Oktober 2020
masyarakat, memobilisasi untuk mendapat dukungan publik, mengawasi

kebijakan pemerintah, memberikan edukasi terhadap masyarakat dan mencegah

perpecahan dalam berbangsa dan bernegara. Civil society juga berperan dalam

membendung gerakan radikal dengan cara membantu pemerintah dalam

mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, dan politik. Karena permasalahan

tersebut dapat memacu kemunculan gerakan radikal. Civil society juga memiliki

peran dalam menyebarkan pesan dan pendidikan kepada masyarakat untuk

membendung ide radikal. Karena civil society dianggap mampu berbaur dengan

masyarakat, memperkuat solidaritas antar masyarakat dan mampu membangun

dialog dengan masyarakat untuk mendiskusikan terkait isu-isu kontroversi yang

berkaitan dengan radikalisme. Selain itu civil society juga dapat terlibat langsung

dan mengidentifikasi potensi-potensi munculnya gerakan radikal dalam

masyarakat sekaligus dapat langsung mengambil tindakan pencegahan dengan

melibatkan segala aktor yang ada di masyarakat seperti pemerintah daerah, tokoh

masyarakat dan tokoh agama (Aswar, 2016:6).

Dalam mengkaji dan menggambarkan peran civil society organization

masyarakat, dalam hal ini GP Ansor Jatinangor dalam upaya mencegah

radikalisme, peneliti mengaplikasikan konsep penananganan radikalisme yang

diadaptasi dari teori Castels dan Nye. Konsep civil society dengan berbagai

pendekatan di dalam konteks diradikalisasi seperti dikatakan (Castells dam Nye,

2010:425) bahwa penyelesaian permasalahan radikalisasi dapat terjadi tanpa

adanya pertumpahan darah melalui pendekatan soft power misalnya melalui

persuasi, dialog, seminar, dan diskusi. Civil society dalam hal ini dapat berperan
dalam mengusahakan pendekatan deradikalisasi yang lebih mengedepankan soft

power.

Kerja sama antara aparatur pemerintah, alat negara dan masyarakat di

dalam penanganan radikalisme merupakan konsep smart power yaitu

penggabungan antara hard power dan soft power (Nye, 2004:32). Kolaborasi

antara aktor negara dan non negara dalam upaya deradikalisasi akan membuat

stabilitas negara semakin lebih memungkinkan. Membangun negara yang kuat

(strong state) akan membuat negara dapat menjaga keamanan dan pertahanan

negara tersebut termasuk dari ancaman bahaya kelompok radikal. Untuk

membangun negara yang kuat, kolaborasi antara aktor negara dan non negara

dalam hal ini civil society  menjadi hal yang penting.4

Dasar pendirian dan tujuan organisasional GP Ansor memang tidak secara

khusus maupun signifikan berfokus pada penanganan radikalisme. Akan tetapi,

dalam GP Ansor memiliki komitmen dalam memerangi radikalisme. Setidaknya

hal itu merupakan pengejawantahan dari wawasan kebangsaan dan konsep

penguatan akidah ukuwah wathoniyah, yang menjadi salah satu haluan organisasi.

Adanya partisipasi aktif melalui kegiatan-kegiatan pencegahan radikalisme

memungkinkan berdampak pada organisasi GP Ansor sendiri, seperti diasumsikan

peneliti bahwa adanya peran GP Ansor melalui kegiatan-kegiatan pencegahan

radikalisme dapat berdampak pada aspek lingkungan internal dan eksternal GP

Ansor Jatinangor.

4
Paskalis Alfinos Toda, 2016, Penguatan Peran Civil Society Sebagai Usaha Deradikalisasi, diakses dari
https://kupang.tribunnews.com/2016/07/02/penguatan-peran-civil-society-sebagai-usaha-deradikalisasi pada
19 Oktober 2020
PenangananRadikalis
me

Hard Power Soft Power

Civil society

Persuasi Dialog Diskusi

Gambar 2.1Kerangka Pemikiran


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana menurut

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2013:4). Adapun pendekatan pada

penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang berlandaskan

studi kasus, yang dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu

program, peristiwa aktivitas, proses atau sekelompok individu. Kasus-kasus

dibatasi oleh waktu dan aktivitas dan peneliti mengumpulkan informasi secara

lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan

waktu yang telah ditentukan (Moleong, 2013:20).

Selain itu dalam pendekatan kualitatif ini juga menggunakan pertanyaan-

pertanyaan terbuka, pendekatan-pendekatan yang berkembang dinamis, dan

datanya tekstual. Di samping itu mengumpulkan data dari para partisipan, meneliti

konteks atau setting partisipan, dan kolaborasi dengan partisipan (Moleong,

2013:26-27). Pendekatan ilmu politik dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan institusionalisme baru, karena pendekatan institusionalisme baru

menjelaskan bagaimana organisasi institusi itu, apa tanggung jawab dari setiap

peran dan bagaimana peran dan institusi berinteraksi


Penggunakan desain penelitian ini dipilih karena peneliti ingin

menggambarkan, menuturkan, dan menafsirkan dari data yang ada mengenai

peran GP Ansor Jatinangor dalam mencegah radikalisme di Kecamatan

Jatinangor.

3.2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yang bertujuan

menjawab rumusan masalah penelitian adalah berupa data :

1) Data Primer

Data primer adalah yang langsung diperoleh dari sumber data pertama

di lokasi penelitian atau objek penelitian (Bungin, 2015:115). Dalam

penelitian ini data primer diperoleh dari informan atau narasumber

terkait topik penelitian melalui wawancara dan observasi. Data primer

yang diperoleh berkaitan dengan peran GP Ansor Jatinangor dalam

menangkal radikalisme.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua

atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan (Bungin, 2015:115).

Dalam penelitian ini data sekunder didapatkan dengan melalui studi

pustaka dan studi dokumentasi atas data yang relevan dengan topik

penelitian serta digunakan secara komplementer untuk melengkapi

data primer. Data sekunder dalam penelitian ini yang menjadi

sumber data sekunder adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di


internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan, yaitu

terkait profil organisasi, struktur organisasi serta pengelolaan

organisasi dan dokumen-dokumen ataupun catatan yang berkaitan

dengan pengelolaan GP Ansor dan program-programnya dalam

upaya mencegah radikalisme.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tiga metode, yaitu

(Sugiyono, 2013:199-120):

1) Observasi

Observasi bertujuan untuk mengamati subjek dan objek penelitian,

sehingga peneliti dapat memahami kondisi yang sebenarnya.

Pengamatan bersifat non-partisipatif, yaitu peneliti berada di luar

sistem yang diamati. Peneliti mengamati secara lebih dekat bagaimana

kegiatan-kegiatan GP Ansor terkait upaya pencegahan radikalisme di

Kecamatan Jatinangor.

2) Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan dua orang atau lebih untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan

makna dalam suatu topik tersebut.. Dalam melakukan wawancara,

peneliti menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-

pertanyaan tertulis untuk diajukan, dan mencatat apa yang

dikemukakan oleh informan, oleh karena itu jenis wawancara yang


digunakan oleh peneliti termasuk ke dalam jenis wawancara

terstruktur.

3) Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental

seseorang.

3.4. Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik purposive

sampling, dimana informan dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang menurut

Patton (Denzin dan Lincoln, 2009:25), alasan logis di balik teknik purposive

dalam penelitian kualitatif merupakan prasyarat bahwa informan yang dipilih

sebaiknya memiliki informasi yang kaya (richinformation).

Informan dalam penelitian ini yaitu beberapa orang dari pengurus GP

Ansor Jatinangor, serta pihak-pihak lain yang terkait dengan topik penelitian yang

dianggap perlu. Adapun kriteria dan informan yang direncanakan akan menjadi

subjek penelitian yaitu pada tabel berikut :

1. Informan mengetahui dan terlibat langsung dalam struktur organisasi

GP Ansor Jatinangor, informan yang direncanakan yaitu Ketua dan

Sekretaris GP Ansor Jatinangor untuk memperoleh data terkait

bagaimana arah dan implementasi kebijakan organisasi terkait

pencegahan radikalisme
2. Informan dalam struktur organisasi GP Ansor Jatinangor yang

mengetahui dan terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan organisasi

terkait upaya pencegahan radikalisme, informan yang direncanakan

yaitu Ketua Majelis Dzikir Rijalul Ansor; Ketua Satkoryon Banser

Jatinangor untuk memperoleh data terkait apa saja dan bagaimana

kegiatan-kegiatan GP Ansor Jatinangor terkait upaya menangkal

radikalisme di Kecamatan Jatinangor.

3. Informan dalam lingkup civil society yang berada di lingkup GP Ansor

Jatinangor berada, yaitu di wilayah Kecamatan Jatinangor, informan

yang direncanakan yaitu tokoh masyarakat Jatinangor, Pengurus MUI

Jatinangor dan pemerhati sosial-politik.

3.5. Prosedur Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan

(Sugiyono, 2013:62). Teknik analisis data yang digunakan menggunakan teknik

analisis interaktif Miles dan Huberman atau bisa di sebut dengan

interactivemodel. Teknik analisis ini dipilih berdasarkan kesesuaian dengan

pendekatan kualitatif deskriptif (Miles dan Huberman, 2009:15)

Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara

terus-menerus sampai tuntas adapun tiga sub proses yang saling berkaitan setelah

data yang diperoleh sudah terkumpul, untuk kemudian masuk pada tahap analisis
yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, sebagai berikut

(Miles dan Huberman, 2009:15):

1. Pengumpulan Data

Pada analisis model pertama dilakukan pengumpulan data hasil

wawancara, hasil observasi, dan berbagai dokumen berdasarkan

kategori yang sesuai dengan masalah penelitian yang kemudian

dikembangkan penajaman data melalui pencarian data selanjutnya.

2. Reduksi Data

Merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan hasil penelitian di lapangan. Proses ini

berlangsung selama penelitian dilakukan, pada awal misalnya

permasalahan, pengumpulan data yang diperoleh.

3. Penyajian Data

Merupakan proses penyusunan atau merancang seluruh data secara

teratur agar mudah dianalisis. Hal ini dilakukan untuk mempermudah

proses penarikan kesimpulan. Dalam proses ini peneliti

mengelompokkan hal-hal serupa menjadi kategori atau kelompok.

Dalam proses ini data diklasifikasikan berdasarkan tema-tema inti.

4. Menarik Kesimpulan atau


Verifikasi Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan

menyimpulkan makna-makna yang muncul dari data yang harus diuji

kekokohan dan kecocokannya. Selain memberi kesimpulan, peneliti

juga akan memberikan saran-saran sebagai rekomendasi tentang studi

lanjutan dan kebijakan-kebijakan yang akan datang.

3.6 Validasi Data

Untuk menguji validitas data yang diperoleh dari informan penelitian,

peneliti menggunakan teknik uji kredibilitas yang berupa triangulasi. Triangulasi

dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai

sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu, dengan demikian terdapat

triangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.

Dalam penelitian ini yang digunakan penulis adalah triangulasi melalui

sumber. Triangulasi sumber maksudnya membandingkan, mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

dalam metode kualitatif. Hal itu dapat dilakukan dengan cara (Moleong, 2013:17):

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dari berbagai

pendapat dan pandangan orang lain, perbandingan ini akan


memperjelas perselisihan atas latar belakang alasan-alasan terjadinya

perbedaan pendapat maupun pandangan orang.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah wilayah

Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang dimana GP Ansor Jatinangor

berkedudukan dan berkegiatan.

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dimulai sejak bulan September

2020. Jadwal waktu penelitian sebagai berikut :

Tabel 3.1. Jadwal Penelitian 2020


No Jenis Kegiatan September Oktober Novembe Desember
. r
1 Studi Pustaka
2 Prapenelitian
3 Pengajuan Usulan
Penelitian
4 Bimbingan
Usulan Penelitian
5 Seminar Usulan
Penelitian
6 Pengumpulan data
dan penulisan
laporan
7 Sidang Skripsi
Sumber : Hasil olahan Peneliti 2020
BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

Agenda dalam menangani radikalisasi sesungguhnya negara memiliki

kekuatan untuk memberantas gerakan radikal, namun kita melihat unjuk kekuatan

saja ternyata belum begitu efektif. Untuk itu diperlukan pula pendekatan secara

persuasif untuk menyelesaikannya, dengan cara melakukan pendampingan dan

penangkalan ide-ide radikal di tengah masyarakat. Yang dapat melakukan

pendampingan tersebut dengan melakukan pendekatan persuasif adalah civil

society dengan cara bekerja sama dengan institusi dan seluruh komponen

masyarakat (Aswar, 2016:2).

Pada prinsipnya, civil society bukanlah bagian dari pemerintah. Civil

society beraktivitas dari tingkatan lokal, nasional sampai internasional, bertujuan

untuk mengatasi permasalahan dalam mendukung kepentingan publik (Aswar,

2016:5). Dalam tingkatan nasional maupun global, civil society memiliki peran

dalam menghadapi berbagai isu dan permasalahan yang ada dimasyarakat, seperti

permasalahan lingkungan, sosial, kebijakan negara, memperjuangkan nasib

masyarakat, memobilisasi untuk mendapat dukungan publik, mengawasi

kebijakan pemerintah, memberikan edukasi terhadap masyarakat dan mencegah

perpecahan dalam berbangsa dan bernegara.

Civil society juga berperan dalam membendung gerakan radikal dengan

cara membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, dan

politik. Karena permasalahan tersebut dapat memacu kemunculan gerakan radikal.


Civil society juga memiliki peran dalam menyebarkan pesan dan Pendidikan

kepada masyarakat untuk membendung ide radikal. Karena civil society dianggap

mampu berbaur dengan masyarakat, memperkuat solidaritas antar masyarakat dan

mampu membangun dialog dengan masyarakat untuk mendiskusikan terkait isu-

isu kontroversi yang berkaitan dengan radikalisme. Selain itu civil society juga

dapat terlibat langsung dan mengidentifikasi potensi-potensi munculnya Gerakan

radikal dalam masyarakat sekaligus dapat langsung mengambil Tindakan

pencegahan dengan melibatkan segala aktor yang ada di masyarakat seperti

pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama (Aswar, 2016:5-6).

4.1 Gambaran Umum Gerakan Pemuda Ansor

Gerakan Pemuda Ansor atau sering dikenal dengan GP Ansor

merupakan salah satu Badan Otonom (BANOM) Nahdlatul Ulama‘ (NU),

organisasi ini bervisi kepada Kepemudaan dan Keagamaan. Salah satu

komitmen GP Ansor yang selalu digemakan adalah mengawal eksistensi

NKRI, yaitu melawan setiap kelompok radikal dan anti-Pancasila yang

berpotensi mengganggu kebinekaan sebagaimana di tegaskan kembali oleh

ketua umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas dalam Harlah ke-83 Ansor, di

Semarang 2017.5

Berdirinya GP Ansor tidak lepas dari perjalanan NU. Selang beberapa

tahun masa perkembangan NU, timbullah pemikiran baru untuk

memperhatikan masalah kepemudaan. Sebelum berdirinya Ansor Nahdlotul

5
Bowo Pribadi, 2017, GP Ansor Tegaskan Lawan Radikalisme dan Anti-Pancasila, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/27/op2e22377-gp-ansor-kritik-ketum-pp-pemuda-
muhammadiyah-soal-kelompok-antipancasila pada 20 Oktober 2020
Ulama lebih dulu Nahdlotul Subban pimpinan Thohir Bahri dan Subbanul

Wathon pimpinan Abdullah Ubaid, yang nyatanya pada tahun pada tahun

1931 Abdullah Ubaid menghimbau pada seluruh pemuda binaannya agar

menyatu dalam satu wadah yaitu barisan pemuda NU, himbauan itu

disambut hangat oleh Nahdlotul Subhana dan beberapa organisasi lokal yang

banyak berdiri di kampung-kampung dalam wilayah Surabaya. Sehingga pada

tahun 1932 di Surabaya berembuk hendak mempersatukan diri dalam satu

wadah dimana pada tahun itu pula lahirlah Persatuan Pemuda Nahdlotul

Ulama‘ (PPNU) yang dipimpin Abdullah Ubaid, kemudian atas prakarsa

Wahid Hasyim PPNU berubah nama menjadi Ansor Nahdlotul Ulama sehingga

pada muktamar NU ke-9 (1934) di Banyuwangi telah menjadi keputusan,

membentuk wadah pemuda NU yang diberi nama Ansor Nahdlotul Ulama‘

(ANO) dengan pimpinan Thohir Bahri (Anam, 1990:93).

Perkembangan Ansor Nahdlotul Ulama mengalami pasang surut akibat

politik belanda, penjajahan jepang hingga Indonesia mencapai kemerdekaan.

Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai, Belanda memberikan penghormatan

terhadap kedaulatan RI 17 Desember 1949. Kemudian lahirlah bentuk negara

baru bernama RIS. Tokoh-tokoh ANO kembali memikirkan organisasinya

yang sejak bangsa jepang berkuasa baik politik, masyarakat maupun organisasi

kepemudaan dihapus bersih.

Gerakan Pemuda Ansor merupakan organisasi kepemudaan Nahdlotul

Ulama‘ yang menjunjung tinggi dan membela Negara Indonesia yang sah

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang 1945. Gerakan Pemuda Ansor


menggunakan dasar ―Islam‖ sebagai asas perjuangannya. Dasar Agama

Islam tersebut menjadi dasar organisasi dari pusat, cabang, hingga ranting-

rantingnya, namun setelah adanya pelaksanaan Kongres GP Ansor ke IX di

Bandar Lampung pada tahun 1985 yang memutuskan disempurnakannya

AD/PRT GP Ansor serta mengganti Dasar Islam dengan Dasar Pancasila

sebagai dasar tujuan organisasi. Maka dari sejak itulah Pancasila menjadi dasar

GP Ansor sebagai salah satu bukti bahwa Ansor adalah organisasi pro Pemerintah

(Anam, 2010:28).

Tujuan Gerakan Pemuda Ansor terlihat dalam Peraturan Dasar GP Ansor

Pasal V tentang tujuan Organisasi yang telah disempurnakan dalam Kongres

Gerakan Pemuda Ansor Ke IX di Bandar Lampung 1985 M sebagai berikut:

(1) Menegakkan ajaran Islam yang berakidah Ahlul Sunnah Wal Jamaah

dan mengikuti salah satu dari Mazhab empat ditengah-tengah

kehidupan di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

(2) Menyukseskan pembangunan nasional sebagai pengamalan

Pancasila demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran bagi

seluruh rakyat Indonesia yang diridhoi oleh Allah SWT. Dan

(3) Membina pemuda agar memiliki kepribadian luhur berjiwa patriotik,

berilmu dan beramal sholeh.

Partisipasi GP Ansor terkait penanganan radikalisme dikuatkan melalui

Rekomendasi Konferensi Besar XX Gerakan Pemuda Ansor dimana


menghasilkan poin-poin utama dalam kerangka penanganan radikalisme, di

antaranya yaitu mendesak pembubaran organ radikal yang bertentangan dengan

Pancasila, dan GP Ansor perlu bersinergi dengan Kemendikbud RI dalam

menyusun kurikulum pendidikan nasional untuk menangkal radikalisme di

sekolah.

Barisan Ansor Serbaguna, selanjutnya disebut BANSER, adalah Kader inti

GP Ansor sebagai kader penggerak, pengemban dan pengaman program-program

GP Ansor. Kader dimaksud adalah anggota GP Ansor yang memiliki kualifikasi:

kedisiplinan dan dedikasi tinggi, ketahanan fisik dan mental yang tangguh, penuh

daya juang dan religius serta mampu berperan sebagai benteng ulama yang dapat

mewujudkan cita-cita GP Ansor di lingkungan Nahdlatul Ulama untuk

kemaslahatan umum sesuai ketentuan Peraturan Rumah Tangga

Fungsi Banser adalah :

1. Fungsi Kaderisasi, merupakan kader yang terlatih, tanggap terampil

dan berdaya guna untuk pengembangan kaderisasi di lingkungan GP

Ansor.

2. Fungsi Dinamisator, merupakan bagian organisasi yang berfungsi

sebagai pelopor penggerak program-program GP Ansor.

3. Fungsi Stabilisator, sebagai perangkat organisasi GP Ansor yang

berfungsi sebagai pengaman program-program kemanusiaan dan sosial

kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.

4. Fungsi Katalisator, sebagai perangkat organisasi GP Ansor yang

berfungsi sebagai perekat hubungan silaturahmi dan menumbuhkan


rasa solidaritas sesama anggota BANSER, anggota GP Ansor dan

Nahdlatul Ulama serta masyarakat.

Tugas Banser adalah:

2. Merencanakan, mempersiapkan dan mengamalkan cita-cita perjuangan

GP Ansor serta menyelamatkan dan mengembankan hasil-hasil

perjuangan yang telah dicapai.

3. Melaksanakan program kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan serta

program pembangunan yang berbentuk rintisan dan partisipasi.

4. Menciptakan terselenggaranya keamanan dan ketertiban di lingkungan

GP Ansor dan lingkungan sekitarnya melalui kerja sama dengan pihak-

pihak terkait.

5. Menumbuhkan terwujudnya semangat pengabdian, kebersamaan,

solidaritas dan silaturahmi sesama anggota Banser dan anggota GP

Ansor.

Tanggung jawab Banser adalah

1. Menjaga, memelihara, menjamin kelangsungan hidup serta kejayaan

GP Ansor dan jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

2. Berpartisipasi aktif melakukan pengamanan dan ketertiban terhadap

kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh BANSER, GP Ansor,

jam’iyyah Nahdlatul Ulama serta kegiatan sosial kemasyarakatan


lainnya yang tidak bertentangan dengan perjuangan Nahdlatul

Ulama.

3. Bersama dengan kekuatan bangsa yang lain untuk tetap menjaga

dan menjamin keutuhan bangsa dari segala ancaman, tantangan,

hambatan dan gangguan dalam ikut menciptakan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia

Kemudian terdapat badan semi otonom di bawah GP Ansor, yaitu Majelis

Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor sebagai lembaga semi otonom yang dibentuk

oleh Gerakan Pemuda Ansor sebagai implementasi Visi Revitalisasi Nilai dan

Tradisi dan Misi Internalisasi nilai Aswaja dan Sifatur rasul dalam Gerakan

Pemuda Ansor. Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor dibentuk mulai dari

Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang

dan Pimpinan Ranting di seluruh Indonesia.

Fungsi, Tugas dan Tanggung jawab Rijalul Ansor

1. Fungsi Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor adalah :

a. Sebagai upaya menjaga dan mempertahankan paham Aqidah

Ahlus sunnah wal Jama’ah ala Nahdlatul Ulama.

b. Sebagai upaya melakukan konsolidasi kiai dan ulama muda

Gerakan Pemuda Ansor di setiap tingkatan.

2. Tugas Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor adalah :


a. Mensyiarkan ajaran-ajaran dan amalan-amalan keagamaan yang

telah diajarkan oleh para masayyih Nahdlatul Ulama dan para

Wali penyebar agama Islam di Nusantara.

b. Melaksanakan program-program kegiatan peringatan hari besar

Islam sebagai upaya dakwah Islam Ahlussunah wal Jama’ah ala

Nahdlatul Ulama.

3. Tanggung Jawab Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor adalah:

a. Menjaga, memelihara dan menjamin kelangsungan hidup dan

kejayaan akidah Ahlussunah wal jama’ah ala Nahdlatul Ulama.

b. Menjaga gerakan Islam Indonesia tetap sebagai agama Islam yang

rahmatan lil alamin dan menolak cara-cara kekerasan atas nama

Islam.

4. Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor bertanggung jawab kepada

Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor di setiap tingkatan.

4.2 Peran Gerakan Pemuda Ansor Sebagai Civil society Organization

GP Ansor ,Sebagai salah satu “anak kandung” NU itulah maka segala

pergerakan GP Ansor tidak lepas dari nafas-nafas corak NU sebagaimana pada

peran-peran NU di atas. GP Ansor sebagai civil society organization bagian dari

NU ini menurut Sekretaris GP Ansor Jatinangor menyatakan :

Organisasi GP Ansor menjadi middle clas-nya NU, menjadi garda


pemudanya, sejauh ini yang namanya pemuda adalah bagaikan besi, iron
stock, yang namanya besi mudah berkarat, setiap orang pasti mudah
berkarat, yang dulunya dia aktivis ketika masa tua dia akan terlibat dalam
kepentingan pribadi, nah selagi memiliki masa muda yang penuh
perjuangan, dari situ, keterlibatan kita di masyarakat tidak lepas dari
langgam tawasul, taadul, tawajun, tasamuk, dan hal itu yang
dilaksanakan oleh para kader Ansor untuk menentramkan dan
mendamaikan masyarakat.

Sebagai bagian dari NU, GP Ansor tidak lepas dari acuan nilai-nilai yang

digariskan NU, baik secara normatif, formal maupun norma-norma informal.

Maka terdapat 4 peran yang dilakukan gerakan pemuda ansor antara lain :

Sebagai Pengawas penyelenggara Pemerintah, Katalisator Perubahan Sosial,

Fasilitator Rekonsiliasi Masyarakat dan Lembaga Peradilan dan Pendukung

Implementasi Program Pemerintah

4.2.1 Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

Setiap Ormas memiliki andil di masyarakat, baik di ranah sosial atau

politik, termasuk GP Ansor yang berlandaskan asas Pancasila dan ahlus sunah

waljamaah, yang bersifat kemasyarakatan, kepemudaan dan keagamaan.

Organisasi kemasyarakatan sejatinya harus mampu memberikan kontribusi serta peranan

yang baik terhadap lingkungan masyarakat dimana ia berada. Dalam tatanan

penyelenggaraan pemerintahan sendiri, ormas semacam GP Ansor dapat saja memberikan

pengaruh di dalam suatu kebijakan atau keputusan yang bersifat perencanaan dan

pembangunan di lingkungan masyarakat, dalam hal ini Kecamatan Jatinangor, apakah

kebijakan pemerintah setempat tersebut telah sejalan dengan kebutuhan dan kehendak

masyarakatnya. Maka dalam hal ini GP Ansor berperan dalam mengawasi

penyelenggaraan pemerintahan setempat baik atas inisiatif sendiri maupun diminta oleh

masyarakat. Acuan peran ini, telah digariskan dalam UU nomor 17 tahun 2013 tentang

Organisasi kemasyarakatan dimana di dalamnya Ormas merupakan penyalur aspirasi

masyarakat.
Gambar 4.1 Audiensi GP Ansor dengan Pemerintah Kecamatan Jatinangor

(sumber : GP Ansor Jatinangor, 2019)

Ormas berperan sebagai wadah organisasi yang menampung, memproses,

dan melaksanakan aspirasi masyarakat dalam bidang pembangunan, terutama

pada bagian yang seringkali kurang diperhatikan oleh pemerintah. Ormas dapat

juga berperan sebagai wahana penyalur aspirasi hak dan kewajiban warga negara

dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing organisasi. Masyarakat

dapat memberikan aspirasinya kepada Ormas yang kemudian disalurkan kepada

lembaga politik atau pemerintah yang bersangkutan guna mencapai keseimbangan

komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintahan. Dengan kekuatan

kolektivitas, kemampuan, dan pengorganisasian massa, Ormas berfungsi


mengawasi dan terlibat dalam kebijakan-kebijakan atau program-program

pembangunan demi kepentingan publik. (Herdiansyah, 2016:57).

Peran GP Ansor di dalam memonitoring penyelenggaraan pemerintahan

sebagaimana dikemukakan Ketua GP Ansor Kecamatan Jatinangor, yang

menyatakan :

Peran GP Ansor dalam memonitoring penyelenggaraan pemerintahan


misalnya berperan aktif baik tingkatan desa maupun kecamatan, turut
mengawasi pelaksanaan pemilu. Peran lainnya yaitu seperti mengikuti
perkembangan kebijakan Kawasan Perkotaan Jatinangor dimana kita ikut
dalam tim akselerasi Kawasan Perkotaan Jatinangor.

Terkait adanya peran ormas seperti GP Ansor di dalam mengawasi

jalannya penyelenggaraan pemerintahan, H. Tajul Arifin, Pengurus Majelis Ulama

Indonesia Kecamatan Jatinangor memberikan pandangannya sebagai berikut :

Itu kalau dalam kacamata Islami termasuk ukhuwah wathoniyah.


Hubungan masyarakat dengan pemerintah. Peran ormas Islam, ataupun
ormas kemasyarakatan kepemudaan dalam mengawasi jalannya
pemerintahan di dalam konteks Islam ini sangat baik. Aparat-aparat
pemerintah juga kan manusia biasa yang tidak lepas dari kekhilafan atau
kekurangan, maka apabila ada kelemahan atau kekhilafan, masyarakat
berhak menegurnya, meluruskan dan membetulkan bila ada yang tidak
sesuai pada praktik pemerintahan.

Peran ormas dalam hal ini GP Ansor di dalam memonitoring

penyelenggaraan pemerintahan dapat dikatakan pula bahwa di antara pemerintah

setempat dan ormas idealnya dapat bersinergi dalam mewujudkan tata kelola

pemerintahan yang baik. Namun demikian, kerja sama antara Ormas dan LSM

dan pemerintah jangan diartikan sebagai hubungan mutualisme yang

memprioritaskan keuntungan finansial bagi aktor-aktornya. Tetapi, kerja sama

yang dimaksud ditujukan untuk membangun kebersamaan dalam mengkritisi


kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat dalam mensejahterakan

masyarakat. Pemerintah pun perlu terbuka dalam menerima masukan dari

Ormas/LSM sehingga antara pemerintah dan Ormas dan LSM dapat saling

berdampingan demi kepentingan bangsa dan negara (UMY dalam Herdiansyah,

2016:55).

Terkait peran ormas kepemudaan dan keagamaan, termasuk GP Ansor

Jatinangor, pemerhati sosial-politik, Mohammad Fazrulzaman Azmi

mengemukakan pandangannya berikut:

Jika dipertanyakan bagiamana peran ormas keagamaan dan kepemudaan


di Jatinangor, itu kembali pada konsen ormas tersebut. Misal di
Jatinagnor ini banyak organisasi kampus yang berbasis keislmaan, seperti
HTI, HMI, KM NU, KAMMI, PMII, dsb. Meskipun mereka ada di
Jatinangor, belum tentu juga mereka mengkritisi atau mengikuti
perkembangan politik atau kebijakan, bisa jadi mereka pun tidak
mengetahui siapa camat, siapa saja Kades yang ada di Jatinagnor itu..
Oleh karena itu, di sini apakah mereka memiliki konsen yang spesifik
mengikuti perkembangan jatinangor, sesuai lokusnya di jatinangor bisa
jadi mereka mengikuti isu perkembangan pemerintahan di daerah itu.
Akan tetapi sepengalaman saya sebagai mahasiswa di Jatinagor, justuru
isu terntang penyelenggaraan pemerintahan di Jatinangor relatife kurang
perhatian, karena memang justru para ‘aktivitis’ di sini lebih
memperhatikan isu yang sifatnya general, yang lebih besar, isu umum
yang sedang happening atau yang sedang banyak diperhatikan oleh
publik, sehingga isu kedaerahan sendiri tidak begitu signifikan bagi
pergerakan ormas kepmudaan keagamaan (islam) pada umumnya.

Peran ormas di dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan

merupakan hal yang positif di dalam negara demokrasi, namun sebagaiman

keterangan pemerhati sosial-politik di atas, menyiratkan bahwa ormas-ormas

kepemudaan dan keagamaan masih kurang perhatiannya terhadap isu kedaerahan,

termasuk isu penyelenggaraan pemerintahan setempat. Padahal, peran ormas


dalam memonitoring penyelenggaraan pemerintahan dibutuhkan dalam negara

demokrasi, karena ormas menjadi kekuatan, check and balance sebab sebagian

besar ormas kepemudaan dan keagamaan memiliki kapasitas dan sumber daya

yang cukup pada ranah tersebut. Terkait hal tersebut, GP Ansor Jatinangor sendiri

diharapkan mampu lebih meningkatkan perhatiannya terhadap isu-isu

penyelenggaraan pemerintahan setempat.

Mengacu pada UU nomor 17 tahun 2013 dimana di dalamnya ormas

merupakan sebuah wadah masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya guna ikut

mengawal proses tatanan pemerintahan yang lebih baik maka dari itu civil society

organization dalam hal ini ormas juga harus mampu untuk mengkonsolidasikan

diri sehingga terbebas dari kepentingan politik tertentu. Sehingga ormas memiliki

eksistensi atau pandangan baik dimata masyarakat. Keberadaan ormas yang ada

dan tersebar di Kecamatan Jatinangor merupakan sebagai bentuk

pengejawantahan dari fungsi dan tujuan mendasar eksistensinya di tengah

masyarakat, sehingga sebagai bagian dari masyarakat, civil society organization

benar-benar dapat mengaktualisasikan peran sesungguhnya bagi kepentingan

masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Suharko dalam

(Sukmana, 2016:210) bahwa karakteristik CSO dalam hubungan relasional

dengan pemerintah tujuannya biasanya berkaitan dengan perubahan kebijakan

reformasi, kelembagaan, akuntabilitas negara.

Karakteristik GP Ansor sebagai civil society organization diharapkan

menjadi kekuatan yang mendukung terjadinya konsolidasi demi kemajuan

masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini sebagaimana pandangan (Argenti,


2018:58) dimana civil society merupakan kelompok masyarakat bersifat mandiri,

dalam sistem demokrasi eksistensinya sangatlah diperlukan sebagai pengawas

jalannya roda pemerintahan. Representasi civil society berupa organisasi non

pemerintah (ornop) yang menjadi wadah berkumpul masyarakat, di era

demokratisasi peran kelompok-kelompok civil society ini sangat penting sebagai

kekuatan pengontrol jalannya roda pemerintahan di daerah, diharapkan dengan

semakin kuatnya civil society, pembangunan politik ke arah konsolidasi

demokrasi.

4.2.2 Katalisator Perubahan Sosial

Perubahan pada berbagai aspek pada dasarnya merupakan hal yang akan

terjadi. Adanya suatu perubahan diketahui bila mencermati suatu kondisi masyarakat

di masa tertentu yang kemudian dibandingkan dengan kondisi di masa lampau.

Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, merupakan suatu proses yang terus

menerus, hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat secara individual maupun

komunal akan mengalami perubahan-perubahan. Namun demikian, perubahan yang

terjadi di masyarakat satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, baik dari kondisi

maupun situasi. Perubahan dapat terjadi secara cepat ataupun lambat. Perubahan

tersebut dapat berupa perubahan yang tidak menonjol atau tidak menampakkan

adanya suatu perubahan yang terjadi di masyarakat. Juga terdapat adanya perubahan

yang memiliki pengaruh yang luas maupun yang terbatas.

Menurut (Soemardjan, 1986:303) perubahan sosial adalah perubahan yang

terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistem sosial, termasuk di dalam nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola


perilaku di antara kelompok dalam masyarakat. Menurutnya, antara perubahan

sosial dan perubahan kebudayaan memiliki satu aspek yang sama yaitu keduanya

bersangkut paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan

cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Perubahan sosial yaitu

perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau dalam hubungan interaksi, yang

meliputi berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibat adanya dinamika anggota

masyarakat, dan yang telah didukung oleh sebagian besar anggota masyarakat,

merupakan tuntutan kehidupan dalam mencari kestabilannya.

Peran ormas di dalam suatu lingkungan sosial, dalam hal ini di lingkungan

masyarakat, dapat berperan sebagai katalisator perubahan sosial. Hal ini sebagaimana

dikatakan (Herdiansyah, 2016:51) dimana kemunculan Ormas/LSM tidak terlepas

dari kepentingan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan melakukan

perubahan sosial bagi masyarakat itu sendiri, dimana aspek kesejahteraan tersebut

tidak dapat dipenuhi hanya dari unsur pemerintah.

Terkait hal ini, Sekretaris GP Ansor Jatinangor memberikan

pandangannya mengenai Peran GP Ansor Jatinangor dalam mengkatalisatori

perubahan sosial:

Civil society umumnya pola bottom up, ketika pola itu dilakukan pasti ada
timbal balik dari pemerintahan setempat sehingga timbal baliknya top-
down, terwujudnya good government. Barangkali peran Ansor dalam
mengkatalisatori perubahan sosial ini salah satunya bertujuan ke arah
itu.

Mengenai peran GP Ansor dalam mengkatalisatori perubahan sosial,

Ketua GP Ansor mengemukakan bahwa peran dalam mengkatalisatori perubahan

sosial di Kecamatan Jatinangor seperti berbentuk:


Memberikan edukasi kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan
tingkat kecamatan dan pedesaan. Contohnya, seperti memberikan
pemahaman kepada masyarakat untuk ikut aktif menjadi pemilih di dalam
pemilihan umum.

Dalam kaitannya dengan perubahan sosial terhadap kehidupan masyarakat

harus dilihat bahwa ada faktor lain yang ikut berperan dalam mengubah kondisi

sosial tersebut, seperti pendidikan, media massa, transportasi, komunikasi,

maupun sektor-sektor pembangunan lainnya. Suatu perubahan juga dapat terjadi

karena dipaksakan pada suatu masyarakat dari luar dan tidak bisa ditolak karena

kuatnya pelopor perubahan. Akan tetapi, masyarakat tidak siap atau tidak

menerimanya (Soemardjan, 1980:451).

Aktualisasi peran GP Ansor dalam mengkatalisatori perubahan social

barangkali relevan sebagaimana dikemukakan Soemardjan tersebut di atas.

Mengingat, masyarakat di Kecamatan Jatinangor saat ini bercorak heterogen.

Adanya lingkungan kampus yang mengakomodir mahasiswa dari berbagai

pelosok daerah, kemudian banyaknya pendatang, tentu saja secara langsung atau

tidak langsung mau tidak mau menghadirkan perubahan sosial. Dengan adanya

situasi tersebut, masyarakat asli Kecamatan Jatinangor bukan tidak mungkin suatu

saat akan menginginkan perubahan bahkan menginisiasi adanya Gerakan

perubahan. Di sinilah peran GP Ansor selain mengkatalisatori perubahan sosial,

juga dituntut mengimbangi dan menjaga agar perubahan-perubahan sosial yang

mau tak mau terjadi di Kecamatan Jatinangor lebih banyak dampak positifnya

dibanding dampak negatifnya.


Kemudian, pandangan terhadap peran ormas dalam hal ini GP Ansor

dalam mengkatalisatori perubahan sosial, Pengurus MUI Jatinangor berpandangan

bahwa:

Di Islam ada teks yang menyatakan "Sesungguhnya Allah tidak  merubah


keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri." Nah dalam konteks perubahan sosial inilah
peran ormas diimplementasikan. Memang seharusnya ormas dapat hadir
menginisiasi adanya perubahan sosial di masyarakatnya, dari sisi sosial
dan ekonomi. Tentu saja masyarakat akan menyambut dengan baik,
karena inilah yang dibutuhkan masyarakat.

Peran ormas sebagai katalisator perubahan sosial di masyarakat begitu

dibutuhkan masyarakat. Tuntutan katalisasi perubahan sosial itu dapat muncul

atas insiatif sendiri, ataupun muncul karena dorongan kebutuhan aspirasi

masyarakat, akan tetapi pemerhati sosial-politik berpandangan bahwa :

Jarang sekali ormas kepemudaan dan keagamaan yang turut serta


memainkan peran dalam konteks memenej perubahan sosial di luar dari
aparat pemerintahan setempat, meskipun memang pada dasarnya banyak
riset yang dilakukan mahasiswa tentang kondisi sosial budaya ataupun
potensi lokal lainya tentang Jatinangor, tapi yang secara riil terlihat bagi
saya pribadi kurang masif adanya peran ormas Islam dalam
mengkatalisatori perubahan sosial. Bahkan bisa dibilang, mungkin sedikit
dampaknya, atau mungkin tidak terlihat sama sekali. Ketika misalnya ada
ormas Islam yang mencoba untuk memberi pengaruh kepada masyarakat
Jatinangor tetapi mungkin tidak signifikan pengaruhnya. Baik itu ormas
Islam yang berbasis kemahasiswaan atau kemasyarakatan. Sejauh yang
saya pantau memang tidak ada pengaruh signifikan.

Sebagai civil society organization, GP Ansor diharapkan dapat menjadi

katalisator perubahan sosial. Perubahan sosial yang dibutuhkan di Kecamatan

Jatinagor sendiri menurut pengamatan peneliti, menyangkut semua aspek sosial

yang terpadu, termasuk di dalamnya aspek kesejahteraan ekonomi, juga kondisi


sosial menyangkut kualitas sumber daya manusia. Oleh karena adanya corak

heterogen, dimana Jatinangor diserbu oleh pendatang yang kualitas sumber daya

manusianya lebih unggul, maka masyarakat asli dituntut dapat mengimbanginya.

Di sinilah persoalan kesenjangan akan muncul yang harus diatasi dengan suatu

gerakan perubahan sosial, dan GP Ansor harus dapat berperan di sisi ini.

Pada situasi seperti ini, ormas dalam hal ini GP Ansor telah sejalan dengan

karakteristik CSO sebagaimana dikemukakan Suharko (Sukmana, 2016:210-220)

bahwa GP Ansor sebagai CSO memiliki kepedulian yang berhubungan dengan

tujuan-tujuan publik dari pada tujuan-tujuan privat. Tujuan publik tersebut, yaitu

termasuk perubahan sosial. Sejalan pula dengan pendapat Gaffar dimana ormas

dibentuk sebagai perwujudan dari komitmen sejumlah warga negara yang

mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang muncul, baik dalam

bidang ekonomi, sosial maupun politik. Kehadiran Ornop dalam sebuah

masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan, hal itu terjadi

karena bagaimanapun juga kapasitas pemerintah sangat terbatas. Tidak semua

kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah, apalagi di negara-negara

dunia ketiga, seperti Indonesia (Gaffar, 2006 : 200-202). Dengan demikian, di era

demokrasi baru ini, Ormas dan LSM mempunyai fungsi strategis sebagai pelopor

yang melayani perubahan sosial dalam penguatan ranah sipil (Assa'di et al dalam

Herdiansyah, 2016:51).

Katalisasi perubahan sosial yang diaktualisasikan oleh GP Ansor sendiri,

dalam konteks politik dalam relevansinya dengan konsep power

strugglediharapkan tidak dimaknai atau tidak mewujud sebagai salah satu upaya
menggalang kekuatan untuk mewujudkan kepentingan tertentu dalam ranah

kekuasaan. Perubahan sosial yang diinisiasi tidak dimaksudkan sebagai mencetak

masyarakat yang dijadikan batu pijakan untuk kepentingan politik praktis.

Power struggle di sini dimaknai sebagai: “…the struggle for power in

order to influence policy, and to determine how resources are allocated…”

(Wolfensberger 2011). Power struggle itu yang kemudian dapat menimbulkan

terjadinya pertentangan (contention), tindakan memperebutkan sesuatu (contesta-

tion), dan persaingan (competition) (JPUI, 2015:1). Masyarakat yang beranjak

mengalami perubahan social yang diinisiasi oleh suatu kelompok dengan kekuatan

tertentu rentan dijadikan sebagai sumber daya dalam mempengaruhi kebijakan,

bahkan dijadikan sumber daya untuk mendukung atau menguatkan Tindakan

memperebutkan sesuatu dan persaingan.

4.2.3 Fasilitator Rekonsiliasi Masyarakat dan Lembaga Peradilan

Adanya potensi konflik dan kesenjangan antara masyarakat lokal asli dan

pendatang merupakan hal yang tak dapat dihindarkan, yang sewaktu-waktu dapat

mengemuka di Kecamatan Jatinangor. Gesekan-gesekan yang diakibatkan oleh

perbedaan kondisi antara masyarakat pribumi dengan pendatang, antara kaum tani

kaum buruh dengan mahasiswa, bukan tidak mungkin akan pecah sewaktu-waktu.

Hal inilah yang mesti dibaca oleh pemerintah setempat sebagai ancaman-ancaman

yang mengganggu ketenteraman relasi sosial, hubungan bermasyarakat di

Kecamatan Jatinangor.

Seringkali, jalan terbaik yang efektif untuk menengahi adanya konflik-

konflik di masyarakat dilakukan dalam ranah hukum. Litigasi dianggap efektif


dan jalan mencari solusi di negara yang berdasarkan hukum, seperti di Indonesia.

Akan tetapi, karakteristik masyarakat Kecamatan Jatinangor, sebagiannya tidak

tersentuh literasi hukum. Apalagi ranah hukum memerlukan kapasitas yang

memadai, dari segi intelektualitas, wawasan dan pengetahuan.

Mekanisme hukum dalam penyelesaian konflik seringkali membutuhkan

alokasi waktu, biaya dan strategi-strategi tertentu yang nampaknya tidak banyak

dimiliki masyarakat lokal, khususnya yang dengan kondisi kesejahteraan di bawah

standar. Eskalasi konflik yang timbul, yang dibawa ke ranah Lembaga peradilan

formal dianggap tidak menguntungkan bagi masyarakat lokal dengan kondisi dan

situasi tidak mencukupi. Di sinilah peran ormas sebagai bagian dari masyarakat

yang dapat menjembatani atau merekonsiliasi masyarakat pada ranah Lembaga

peradilan.

Di dalam suatu organisasi kemasyarakatan, atau LSM, terdapat bagian

advokasi yang berfungsi memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang

menghadapi persoalan hukum. Maka peran ormas sendiri tidak dapat dinafikan

turut menggulirkan tujuan keadilan dalam perspektif hukum, agar setiap warga

negara memiliki kesamaan di mata hukum, equality before the law.

Prinsip kesamaan di mata hukum sendiri dapat diwujudkan oleh adanya

civil society dan organisasi kemasyarakatan. Hal ini sebagaimana dikemukakan

Mouzelis (Halili, 2006:3-4) dimana Ormas/LSM merupakan bagian dari

masyarakat sipil yang hadir untuk turut menciptakan penegakan hukum yang

efektif demi melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan

pemerintah. Kelompok-kelompok sipil yang dikelola secara kuat akan mampu


melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh

orang yang memegang kontrol terhadap administrasi dan sarana-sarana pemaksa.

Mereka menghadirkan keadaan pluralisme yang seimbang di antara kepentingan-

kepentingan masyarakat sehingga tidak adanya peluang salah satu pihak untuk

mendominasi secara mutlak.

Aktualisasi peran GP Ansor Kecamatan Jatinangor dalam memfasilitasi

rekonsiliasi masyarakat dengan Lembaga peradilan, menurut Ketua GP Ansor

Jatinangor belum memadai. Beliau menyatakan:

Peran GP Ansor Jatinangor dalam hal ini, untuk tingkat kecamatan


belum ada lembaga seperti itu (LBH), kalau tingkatan PC (cabang) ada
badan atau lembaga seperti itu. Kalau di tingkat Kecamatan Jatinangor
jika Ansor menemukan kasus seperti itu, Ansor Jatinangor mengajukan ke
PC (cabang, kabupaten/kota), jadi sifatnya Ansor Jatinangor
memfasilitasi untuk meneruskan ke tingkat yang lebih atas lagi (PC).
Kebetulan PC Sumedang baru dibentuk LBH-nya. Sebelumnya, kalau ada
kasus seperti itu kita ajukan ke wilayah atau ke pusat.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris GP Ansor Jatinangor, beliau

mengungkapkan :

Sejauh ini masuk ranah hukum (ligitasi) atau advokasi, Ansor Jatinangor
kapasitas SDM dan kuantitasnya belum masuk ranah tersebut. Untuk
memfasilitas ranah peradilan, rekonsiliasi di masyarakat kita belum
masuk. SDM-nya masih belum cukup. Perlu reformasi kebudayaan,
menguatkan kapasitas kader secara intelektual nalar, dll. Saat ini
mungkin baru sebatas memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai
hukum.

Sebagaimana dikemukakan informan GP Ansor, terkait memfasilitasi

rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan, peneliti melihat di sisi ini

peran GP Ansor Jatinangor belum signifikan. Dapat dikatakan apabila rekonsiliasi

dengan lembaga peradilan sangat berkaitan dengan ranah hukum yang bukan
merupakan konsen atau isu pergerakan utama dari GP Ansor Jatinangor sendiri,

yang memang GP Ansor Jatinangor lebih banyak bercorak kepemudaan dan

keagamaan. Lain halnya dengan posisi LSM yang secara spesifik memainkan

peran khusus terkonsentrasi pada ranah tertentu, dalam hal ini hukum, misalnya.

Akan tetapi sebagai CSO, GP Ansor Jatinangor dinilai bisa lebih berperan lagi,

minimal membentuk kemitraan atau bersinergi dengan ormas atau LSM yang

bermain di ranah hukum.

Bila dilihat dari sejarah berdirinya Barisan Ansor Serbaguna (Banser), pada

awalnya ditujukan sebagai sarana untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka

menjaga ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jamaah. Kiprah tersebut dimanifestasikan

dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui Resolusi Jihad. Pada

masa awal kemerdekaan, Barisan Ansor Serbaguna (Banser) merupakan pengobar

semangat perjuangan.

Dalam upaya melakukan kontra radikalisme agama, GP Ansor melakukan

transformasi dengan membentuk satuan khusus. Secara struktural melalui Gerakan

Pemuda Ansor, Detasemen Khusus 99 Barisan Ansor Serba Guna (Densus 99 GP

Ansor) dibentuk sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi dan mentransformasi

GP Ansor guna membantu kepolisian dalam pencegahan deradikalisasi agama yang

masih sering terjadi. Densus 99 GP Ansor yang dibentuk pada 24 April 2011

bertujuan untuk memberikan pencegahan dan edukasi kepada umat Islam khususnya

agar tidak terprovokasi atas kelompok yang ingin membubarkan NKRI, merusak

Pancasila dan UUD 1945. Densus 99 GP Ansor memiliki 204 personel dan

mempunyai kemampuan bela diri serta mempu menjinakkan bom. Tak hanya itu,

dalam upaya transformasi GP Ansor, GP Ansor juga membentuk GP Ansor Lalu


Lintas (Balalin) yang bertujuan membantu kepolisian dalam mengatur arus lalu lintas,

GP Ansor Pemadam Kebakaran (Balakar) untuk membantu petugas pemadam

kebakaran dan GP Ansor Tanggap Bencana (Bagana) yang bertujuan untuk

membantu masyarakat yang terkena bencana alam.

4.2.4 Pendukung Implementasi Program Pemerintah

Sebagaimana peran ormas dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintah,

ormas juga dapat berperan dalam mendukung implementasi program pemerintah.

Artinya ormas membantu menjembatani terlaksananya program pemerintah yang

tepat sasaran kepada masyarakat. Namun, bukan berarti bahwa ormas merupakan

kepanjangan tangan dari pemerintah, karena ormas bukan bagian dari

pemerintahan itu sendiri.

Peran GP Ansor dalam mendukung implementasi program pemerintah

dikemukakan Ketua GP Ansor sebagai berikut :

Peran GP Ansor Kecamatan Jatinangor dalam membantu implementasi


program pemerintah yaitu seperti berbentuk membantu mengurus dan
memfasilitasi keperluan masyarakat agar dapat mengakses program
Rutilahu. Ansor di sini terlibat dari pengajuan, pelaksanaan hingga
pengawasan pelaksanaan Rutilahu. Selain itu, Ansor mengerahkan Banser
untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan.

Sedangkan menurut Sekretaris GP Ansor, peran dalam mendukung

implementasi program pemerintah dikemukakan sebagai berikut :

Yang baru kita prioritaskan, baru terimplementasi, di ranah keagamaan


dari mulai kultur solawat, dan aktivitas amaliah lainnya. Menciptakan
kultur amaliah budaya NU yang sejalan dengan pemerintah demi
menentramkan situasi masyarakat. Seperti dengan kegiatan festival
solawat, Jatinangor Bersholawat, itu tujuannya menentramkan, itu masuk
ranah membantu implementasi, karena bekerja sama dengan pemerintah
setempat (kecamatan).

Chandra Dinata (Aziz SR dkk., 2016:35) menyebut civil society

merupakan mitra negara dalam proses pembangunan. Perannya lebih pada

mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta dapat menumbuhkan

modal sosial (social capital) dalam struktur masyarakat agar menjadi kekuatan

pembangunan.

Dalam hal ini relevansi civil society dalam ranah implementasi program

pemerintah menurut Dinata berada pada spektrum pembangunan. Dimana ormas

yang menjadi bagian dari civil society, berfungi sebagai mitra yang mendorong

partisipasi masyarakat untuk ikut mendukung kesuksesan pembangunan,. Sejalan

dengan hal ini, peneliti juga berpendapat akan hal yang sama, dimana ormas

bukan merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Sifat bantuan dalam

implementasi program pemerintah, biasanya berada dalam ranah pengawasan dan

mendorong partisipasi masyarakat.

Sejalan dengan hal itu, peran ormas dalam hal ini GP Ansor dalam

membantu implementasi program pemerintah serupa dengan yang dikemukakan

(Herdiansyah, 2016:59-61) bahwa ormas dalam kaitannya dengan membantu

implementasi program pemerintah yaitu pada peran ormas sebagai organisasi

pendukung dan pelaksana pembangunan, sebagai organisasi yang mendorong

partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan sebagai organisasi yang

mengawasi proses pembangunan.


Terkait hal ini, pengurus MUI memberikan tanggapan ketika ditanyakan

mengenai adanya peran ormas dalam mengimplementasikan program pemerintah

sebagai berikut :

Ya itu tadi, adanya ormas membantu pemerintah dalam


mengimplementasikan program-programnya itu merupakan ukhuwah
wathoniyah, di samping ukhuwah Islamiyah. Respons masyarakat akan
menyambut baik karena masyarakat yang tidak terakomodir di dalam
program-program pembangunan masyarakat menjadi terbantu dengan
hadirnya ormas. Ini menjadi salah satu sarana berlomba dalam kebaikan.

Hal tersebut sejalan, bahwa keterlibatan ormas dalam program-program

pemerintah semakin tinggi antara lain dalam pembangunan pembuatan keputusan

dan program-program pemerintah lainnya. Sudah banyak ormas dan LSM yang

berhasil melanjutkan upayanya untuk meningkatkan efektivitas kerja sebagai

mitra pemerintah, baik di tingkat nasional, regional dan kabupaten/kota. Karena

itu, pendekatan kemitraan ormas dan LSM dan pemerintah menjadi penting untuk

menopang keberhasilan pembangunan di Indonesia (Herdiansyah, 2016:55).

Mendukung implementasi program pemerintah dalam kaitannya dengan

penanganan radikalisme, Ketua GP Ansor Jatinangor menyatakan :

Dari segi SDM, kita mempunyai yang tingkat pemahaman yang baik, yang
mumpuni dari sisi pemahaman radikalisme. Karena sebagian pengurus
pernah mengikuti diklat semacam penangkalan radikalisme. Sebagian
pengurus ansor dibekali semacam diklat mengenai manhajul fikar dan
manhajul harokah, itu merupakan bekal pemahaman terkait penangkalan
radikalisme.

Selain membentuk Detasemen Khusus 99 (Densus 99) Banser juga menyiapkan

pasukan siber di dunia maya untuk melawan radikalisme. Sebagaimana pernyataan

Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum GP Ansor periode 2015-2020 mendorong

anggota Banser tidak hanya melawan radikalisme di dunia nyata, tetapi juga berperan
aktif di dunia maya. Menurutnya, perkembangan radikalisme yang memanfaatkan

teknologi informasi belakangan ini cukup kuat. Sehingga sebagai upaya dalam

menghadapi radikalisme di dunia maya, GP Ansor membentuk tentara siber untuk

menggempur kampanye kelompok-kelompokradikal. Selain itu, anggota Banser di

seluruh Indonesia yang berjumlah 1,7 juta orang juga telah disiagakan untuk

menghadapi ancaman radikalisme dalam bentuk apapun.

Selain peran dalam menjaga keamanan bersama aparat pemerintah dan peran

dalam memantau aktivitas individu atau kelompok penebar paham keagamaan

radikal, GP Ansor juga berperan dalam penanaman nilai-nilai keagamaan yang

moderat pada generasi muda melalui serangkaian pendidikan dan pelatihan.

Komandan Satuan Koordinasi Wilayah GP Ansor Jawa Timur, Abid Umar pada

Kamis, 19 Januari 2017, menyatakan bahwa GP Ansor tidak bisa berdiri sendiri

dalam menjaga persatuan dan keutuhan NKRI sehingga GP Ansor menjalin kerja

sama dengan semua elemen masyarakat dan para stakeholder dalam setiap

kegiatannya termasuk dengan TNI dan Polri. Kerja sama dengan TNI dan Polri

terjalin dalam pelatihan-pelatihan berjenjang yang wajib diikuti oleh seluruh anggota

GP Ansor. TNI dan Polri dilibatkan dalam pendidikan dan pelatihan kader GP Ansor

dalam hal pengembangan wawasan kebangsaan dan pengetahuan militeristik. Bukan

hanya wawasan dan pengetahuan, TNI-Polri juga diminta melatih fisik kader GP

Ansor dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan.

4.3 Radikalisme Di Kecamatan Jatinangor

Radikalisme di Kecamatan Jatinangor menurut pengamatan peneliti dari

pencermatan berbagai data serta dokumentasi, telah menjadi fenomena dalam


beberapa tahun belakangan ini dan sangat potensial menyebar kembali ke

depannya. Sebagaimana pandangan pemerhati sosial-politik yang menyatakan :

Saya pribadi melihat radikalisme di Jatinangor itu sebuah keniscayaan,


sebagaimana kita mengetahui perkembangan kampus, perkembangan
wacana, dan juga tidak boleh ada monopoli paham, selama manusia bisa
berpikir kemudian bisa membaca literatur pasti ada saja yang memiliki
paham radikal. Sudah fenomena, ya sudah jelas ada kejadiannya, ada
fakta, ada pengikutnya, ada penyebaran pahamnya maka ini sudah jadi
fenomena, kalaupun ada potensi ya jelas potensi itu akan menimbulkan
efek yang besar atau kecil, kalaupun kecil ada penyebaran paham yang
lebih meluas atau besar kecilnya bisa memunculkan kader-kader teroris.

Dicermati peneliti dalam beberapa kasus atau kejadian, serta keterangan-

keterangan terdokumentasi yang relevan dengan radikalisme di wilayah

Kecamatan Jatinangor, di antaranya :

1. Pada 17 Juli 2011, FPI menyerang dan menutup paksa gereja

Pantekosta Jatinangor yang berada di pinggir Jalan Raya Rancaekek.

Menurut Pendeta Benhard Maukha yang berada di gereja saat

penyerangan, FPI mendobrak pintu dan membubarkan jemaat yang

sedang melakukan kebaktian. Anggota FPI membawa celurit, pisau,

dan pedang.6

2. Setelah menggeruduk kampus Istitut Seni dan Budaya Indonesia, Front

Pembela Islam (FPI) kembali mengobok-obok kegiatan akademik

institusi Perguruan Tinggi. Kali ini mereka mencoba menghalangi

seminar yang akan digelar di Fisip Unpad, Jatinangor. Seminar

tersebut berjudul “Marxisme Sebagai Ilmu Pengetahuan”. Pembicara

6
Elly, 2011, FPI Ancam Serang Upacara Nikah Jemaat Pantekosta Jatinangor, diakses dari
http://www.indonesiamedia.com/fpi-ancam-serang-upacara-nikah-jemaat-pantekosta-jatinangor/ pada 22
Desember 2020
yang mengisi seminar yaitu Firman Ekoputra (Rumah Kiri) dan M.

Rolip Saptamaji S.IP M.IPOL serta moderator Carolina Paskarina S.IP.

M.SI,. (Dosen Ilmu Politik Unpad). Rencananya diskusi ini akan

digelar pada hari Kamis, 19 Mei 2016 di Gedung Seminar A Fisip

Unpad, Jatinangor.7

3. Penyebaran propaganda HTI di desa-desa wilayah Kecamatan

Jatinangor melalui pengajian dan penyebaran bulletin media

propaganda HTI yang menyerukan perjuangan khilafah pada bulan Juli

2012.8

4. HTI, bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah. Riki (Ketua Lajnah

Khusus Mahasiswa Bidang Intelektual HTI Kampus Jatinang) dan

teman-temannya di Jatinangor bertekad tak akan surut menyuarakan

tegaknya khilafah meski organisasinya akan dibubarkan. "Kami akan

terus berdiskusi," ujar mahasiswa Pascasarjana Jurusan Linguistik

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran ini. Menurut Riki, di

Bandung, konsentrasi kader HTI tidak hanya di Universitas

Padjadjaran. Anggotanya juga ada di Institut Teknologi Bandung dan

Institut Koperasi Indonesia. Dia menyebutkan ada sekitar 60

mahasiswa yang aktif di wilayah Jatinangor. "Simpatisan lebih banyak,

kami tidak mendata," ucapnya.9


7
Ahmad Fauzan, 2016, Didatangi FPI, Seminar “Marxisme” di Unpad Ditunda, diakses dari
https://kabarkampus.com/2016/05/didatangi-fpi-seminar-marxisme-di-unpad-ditunda/ pada 22 Desember
2020
8
FAA/Sumedang Online, 2012, HTI Ajak Umat Perjuangkan Khilafah, diakses dari
https://sumedang.online/2012/07/hti-ajak-ummat-perjuangkan-khilafah/ pada 23 Desember 2020
9
Syailendra Persada dkk, 2017, Berkembang Dari Kampus Ke Kampus : Hizbut Tahrir Indonesia menargetkan
mahasiswa dalam kaderisasi. Masuk sejak sekolah menengah, diakses dari
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153144/berkembang-dari-kampus-ke-kampus pada 23 Desember
2020
5. Sejak 1990-an, HTI aktif menyebarkan paham khilafah ke Institut

Pemerintahan Dalam Negeri. 10

Berdasarkan catatan fenomena, kejadian maupun keterangan di atas, maka

dapat dikatakan peneliti bahwa adanya radikalisme di Jatinangor berhubungan

dengan Kawasan Pendidikan atau lingkungan perguruan tinggi yang dianggap

pangsa paling potensial untuk menyebarkan radikalisme. Dua kelompok yang

dianggap radikal yaitu FPI dan HTI yang menjadi sorotan peneliti atas fenomena

radikalisme di Kecamatan Jatinangor.

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa Islam

berideologi radikal yang berpusat di Jakarta. Disebut FRONT karena orientasi

kegiatan yang dikembangkan adalah pada tindakan konkrit berupa aksi nyata

dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Kata PEMBELA dengan harapan

agar senantiasa bersikap proaktif dalam melakukan pembelaan nilai-nilai

kebenaran dan keadilan. Adapun kata ISLAM menunjukkan bahwa perjuangan

FPI harus berjalan di atas ajaran Islam yang benar dan mulia (Rahmat, 2005:xiv).

FPI memiliki kelompok paramiliter yang disebut Laskar Pembela Islam

(LPI). LPI merupakan sayap organisasi FPI yang kontraversial karena sering

melakukan aksi-aksi "penertiban" (sweeping) terhadap kegiatan-kegiatan yang

dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam terutama pada masa

Ramadhan dan seringkali berujung pada kekerasan. Organisasi ini terkenal dan

kontroversial karena aksi-aksinya sejak tahun 1998 (Huda, 2019:5).

10
Ibad Durohman & Gresnia Arela F., 2017, Melucuti Jejaring HTI, diakses dari
https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20170726/Melucuti-Jejaring-HTI/ pada 23 Desember 2020
Walaupun mengaku berulangkali menerima Pancasila, FPI dalam

anggaran dasarnya memiliki visi dan misi penerapan syariat Islam

secara kaaffah (murni) di bawah naungan Khilaafah Islamiyyah menurut Manhaj

Nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah (perintah melakukan

kebaikan dan melarang keburukan), dan pengamalan jihad (Pasal 6). Kemudian,

di dalam Anggaran Rumah Tangga yang disahkan dalam Munas FPI ke-3

dijelaskan, arti Khilaafah Islamiyyah adalah diterapkannya kesatuan sistem

ekonomi, politik, pertahanan, sosial, pendidikan, dan hukum di dunia Islam (Pasal

6-Bab II Pengertian Visi dan Misi). Tak ada satu pun kata 'Pancasila' tertuang di

dalam AD/ART FPI.11

Front Pembela Islam (FPI) sebagai bagian dari gerakan politik Islam

dengan dasar pertimbangan, Pada tabligh akbar FPI tahun 2002, disepakati oleh

seluruh elit bahwa FPI memiliki sikap untuk menuntut Syariat Islam dimasukkan

pada pasal 29 UUD 1945 dengan menambahkan “kewajiban menjalankan Syariat

Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. (Wahid, 2000, 44). Dengan adanya

keikutsertaan ideologis FPI dalam bongkar pasang tata kenegaraan, terlebih lagi

pengarusutamaan Islam sebagai sendi negara dan ada nyata secara legal formal,

penulis mengkategorikan FPI sebagai salah satu representasi gerakan Islam Politik

di Indonesia (Adiwilaga, 2017:2). Setara Institute mengelompokkan FPI sebagai

ormas radikal lokal (Setara Institute, 2012:71).

Era reformasi juga memberikan ruang menyebarkan gagasan negara Islam

yang leluasa bagi kelompok-kelompok Islamis radikal trans-nasional seperti

11
BBC Indonesia, 2019, Era reformasi: Benarkah FPI berambisi mendirikan negara Islam? Diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49341812 pada 22 Desember 2020
Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam

perjalanannya, HTI dibubarkan sebagai ormas sesuai Perppu Nomor 2/2017

tentang Organisasi Kemasyarakatan. Organisasi ini dinilai memiliki asas, ciri dan

sifat yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.12

Ideologi gerakan radikalisme agama (Islam) secara subtansi dan bermuara

pada ide intenasionalisasi Islam dalam satu wadah yaitu negara Islam. Sehingga

gerakan radikalisme agama (Islam) juga sering di istilahkan dengan gerakan Islam

transnasional, yaitu gerakan yang ide awal banyak di adopsi bahkan berjejaring

dengan gerakan Islam di Timur Tengah). Kemunculan gerakan Islam

transnasional di Indonesia berawal dan di transformasikan dari gerakan Islam

Timur Tengah. Hal ini dapat di lacak dari keterkaitan jaringan ideologi maupun

sosio-politik antara gerakan radikal Islam kontemporer Indonesia dengan gerakan

Islam di Timur Tengah. Semisal, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan

cabang dari Hizbut Tahrir yang di dirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani di Hayfa

Palestina. Lasykar Jihad merupakan jaringan ideologis dari Gerakan Salafi di

Saudi Arabia dan Kuwait. Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) oleh Sidney

Jones di pandang sebagai jaringan sosio-politik dari Jama'ah Islamiyah Asia

Tenggara yang memiliki kesamaan platform dengan Jama'ah Islamiyah faksi

sempalan Ikhwanul Muslimin yang eksis di Mesir (Abaza, 1994, 37-38).

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi Islam Transnasional yang

menekankan Kekhalifahan Islam sebagai harga mati. HTI juga merupakan

representasi Panislamisme kontemporer mengingat visi misinya lantang berbicara

12
BBC Indonesia, 2019, Era reformasi: Benarkah FPI berambisi mendirikan negara Islam? Diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49341812 pada 22 Desember 2020
kebangkitan Islam mulai dari Afrika Barat hingga ujung timur Asia (Adiliwaga,

2017:5). HTI merupakan organisasi radikal jika dilihat dari ide politiknya, namun

upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuannya menggunakan cara-cara yang

damai. HTI dikatakan radikal karena yang diperjuangkan adalah melakukan

perubahan politik fundamental dengan cara melakukan penghancuran secara total

negara bangsa yang sudah berdiri sampai saat ini. Setelah dihancurkan, negara

tersebut digantikan dengan negara Islam dibawah satu kepemimpinan khilafah

(Abdullah, 2016:10).

HTI dalam melakukan suatu gerakan tidak dengan cara frontal seperti

organisasi radikal lainnya, contohnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Tetapi

HTI melakukan gerakan secara bertahap, oleh karena itu sampai sekarang belum

ada bukti yang cukup kuat yang dilakukan HTI dalam melakukan tindakan

kekerasan ataupun terorisme. Adapun tahap-tahap yang dilakukan oleh HTI untuk

mencapai tujuan politiknya sebagai berikut:

a. Tahap Tatsqif (pembinaan dan perkaderan), tahapan ini dilakukan

untuk merekrut orang-orang bergabung dengan HTI dan memiliki

tujuan politik yang sama, tahapan ini adalah modal awal untuk

membentuk kerangka sebuah partai.

b. Tahap tafa’ul (interaksi), tahapan ini bertujuan untuk melakukan

interaksi dengan umat agar mampu mengemban dakwah Islam,

sehingga umat akan menjadikan dakwah sebagai urusan utama dalam

hidupnya. Dengan terus melakukan dakwah maka dapat

mempengaruhi masyarakat lebih luas


c. Tahap istilamul hukmi (pengambilalihan kekuasaan), apabila

kekuasaan sudah diambil alih maka HTI mampu menerapkan hukum

Islam secara total dan juga dapat menyebarkannya ke seluruh dunia

(Abdullah, 2016:11).

Sepeti yang disampaikan Abdullah di atas, dapat dikatakan bahwa

pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan HTI tidak dilakukan melalui jalur

konstitusional seperti mendirikan partai politik dan mengikuti pemilu untuk

mendapatkan kekuasaan. Tetapi HTI melakukannya secara sistematis dari

menggalang basis massa, melakukan doktrin, dan ketika sudah pada waktu yang

tepat, HTI melakukan revolusi seperti yang pernah dilakukan di Hizbut Tahrir di

negara Palestina dan beberapa negara lainnya.

Dalam portal resmi HTI pada tahun 2014 pun ketua DPP HTI pernah

menyerukan kepada militer untuk merebut kekuasaan. Dalam portalnya HTI

mengatakan “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam,

ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan

khilafah” 13

Dalam pengamatan peneliti, potensi tumbuh kembang radikalisme di

Kecamatan Jatinangor cukup besar. Sebagai Kawasan Pendidikan Tinggi,

Jatinangor rentan menjadi tempat penyebaran radikalisme yang berkembang di

lingkungan Pendidikan tinggi lalu menyebar di segenap pelosok lingkungan

Kecamatan Jatinangor.

13
YS/Islam Indonesia, 2017, Portal HTI Seru Militer Rebut Kekuasaan Kembali Jadi Sorotan, diakses dari
https://islamindonesia.id/berita/portal-hti-seru-militer-rebut-kekuasaan-kembali-jadi-sorotan.htm pada 21
Desember 2020
Perguruan tinggi menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya kaum

intelektual yang diharapkan mampu memberi kontribusi bagi perkembangan

bangsa dan negara. Eksistensi mahasiswa, selain berpotensi besar bagi

pembangunan dan kegiatan positif lainnya, juga menjadi sasaran bagi

keterlibatannya dalam aktivitas sosial politik, salah satunya yaitu rekrutmen

radikalisasi, kekerasan dan bahkan terorisme. Hal ini yang diresahkan oleh para

pemangku kepentingan, khususnya sejumlah tokoh di Kecamatan Jatinangor. Sifat

yang kritis, open minded, serta potensi-potensi lain pada mahasiswa, dianggap

berdampak positif atau negatif terhadap generasi muda ataupun masyarakat

tempat mahasiswa berinteraksi dengan lingkungannya. Lalu, dicemaskan oleh

tokoh masyarakat di Kecamatan Jatinangor, kemungkinan dari pengaruh negatif

paham radikal yang disebar melalui (memanfaatkan) mahasiswa (Dermawan,

Affandi dan Nur Alam, 2019:462-463). Hasil temuan penelitian di wilayah

Jatinangor juga ditemukan adanya kecenderungan yang mengarah pada potensi

radikalisme (Dermawan, Affandi dan Nur Alam, 2019:472)

Terkait hal tersebut Sekretaris GP Ansor Jatinangor menyatakan :

Sasaran utama kelompok mahasiswa. Kebanyakan penduduk setempat, itu


tidak tahu informasi atau cukup awam tentang radikalisme. Di sini banyak
(mahasiswa) Islam transnasional, dari berbagai negeri yang dibawa ke
sini, untuk menyebarkannya di sini, tidak menutup kemungkinan
mahasiswa itu membawa pemahaman dari luar itu ke kita. Itu paling
potensial. Makanya yang dikuatkan itu mitra, dari pihak mahasiswa juga,
seperti PMII (satu banom, satu atap dari NU), KMNU, HMI, dll
mengadakan kerja sama untuk menangkal radikalisme di kampus.
Soalnya, yang paling masif itu pergerakannya di kampus, radikalisme itu.
Potensi penyebaran radikalisme di lingkungan Pendidikan tinggi dicermati

oleh pengamat sosial politik yang berkorelasi dengan stabilitas politik dan

demokrasi, beliau menyatakan bahwa :

Kekhawatiran saya melihat potensi radikalisme di Jatinangor itu dari sisi


ekspektasi kelompok radikal dan pola pergerakannya. Dari kacamata
politik potensi radikalisme paling subur potensinya tumbuh di lingkungan
kampus, khususnya kaum mahasiswa sangat rentan dimanfaatkan sebagai
tunggangan kepentingan kelompok radikal tertentu untuk menghancurkan
stabilitas politik dan demokrasi. Bisa dibayangkan kelompok radikal
menyebarkan ideologi radikalnya pada kaum mahasiswa, lalu mereka
dijadikan sumber daya untuk mengguncang stabilitas demokrasi dengan
pergerakan-pergerakannya. Kaum muda mahasiswa yang terpapar
radikalisme berpotensi besar mendistorsi ruang publik dengan
hegemoninya, menjadi provokator mengacaukan stabilitas lalu mencari
celah untuk masuk mengimplementasikan maksud tujuan mereka baik
secara laten maupun terang-terangan. Ini karena kaum muda mahasiswa
masih semangat beretorika dan menggebu-gebu ketika mengemukakan
pendapatnya. Jika ini tumbuh secara masif, tentu sangat berbahaya.

Senada demikian, pemerhati sosial-politik menyatakan:

Seiring dengan adanya kampus, adanya dialog atau diskusi tentang


diskursus berbagai hal termasuk tentang radikalisme Islam nah maka
tentu pasti ada potensi untuk menjadikan seorang itu sebagai seorang
radikalis (teroris), karena segala sesuatu berawal dari paham, apakah
paham itu akan mengakar atau akan meluas, atau akan dipatahkan oleh
paham yang lainnya.

Kader HTI juga diharuskan masuk ke organisasi internal kampus. Di

Universitas Padjadjaran, HTI terlibat dalam pemilihan Badan Eksekutif

Mahasiswa. Riki Nasrullah menyatakan kader HTI pernah tiga kali ikut pemilihan

Presiden BEM, tapi kalah terus. "Yang penting, pesan HTI sudah tersampaikan

saat kampanye," ujarnya. Menurut Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan

Universitas Padjadjaran Ary Bainus, pergerakan HTI di kampusnya masih dalam


kategori normal. "Kami melihat mereka masih sebatas kajian akademis, jadi tidak

bisa dilarang," katanya 14

. Kajian TNI menyebutkan HTI menggunakan pertemuan antarlembaga

dakwah kampus untuk menyebarkan ideologinya. Dengan sayap itu, HTI

merambah ke kampus besar di Surabaya, Bandung, dan Makassar 15. HTI piawai

dalam menarik simpati kaum intelektual. Itu terlihat dari basis simpatisan HTI

yang cukup besar di kalangan mahasiswa dan akademisi kampus. "Mereka ini

banyak bergerak di kampus sehingga para pengurus dakwah dan dainya banyak

dari kalangan intelektual. Jadi, bahasanya dikemas dengan sangat baik. Jadi,

banyak dari kalangan muda-mudi seperti mahasiswi itu tergiur," ujarnya.16

Meski begitu, Kurnia masih berhubungan baik dengan pentolan-pentolan

HTI. Dari mereka, Kurnia tahu Universitas Padjadjaran (Unpad) menjadi salah

satu basis massa HTI di Bandung. "Di (kampus Unpad) di Jatinangor itu banyak

orang HTI. Lalu, ITB dan Kampus Telkom dan beberapa masjid di Bandung,"

ujar mantan anggota HTI. 17

Selain potensi untuk berkembang di lingkungan kampus, potensi

radikalisme juga tumbuh di lingkungan masyarakat. Sebagaimana menurut

keterangan Sekretaris GP Ansor yang menyatakan bahwa :

14
Syailendra Persada dkk, 2017, Berkembang Dari Kampus Ke Kampus : Hizbut Tahrir Indonesia menargetkan
mahasiswa dalam kaderisasi. Masuk sejak sekolah menengah, diakses dari
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153144/berkembang-dari-kampus-ke-kampus pada 23 Desember
2020
15
Syailendra Persada dkk, 2017, Berkembang Dari Kampus Ke Kampus : Hizbut Tahrir Indonesia menargetkan
mahasiswa dalam kaderisasi. Masuk sejak sekolah menengah, diakses dari
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153144/berkembang-dari-kampus-ke-kampus pada 23 Desember
2020
16
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
17
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
Potensi radikalisme, secara statistik dan keilmiahan kita belum pernah
meneliti secara aktual bagaimana kondisi potensinya di Kecamatan
Jatinangor. Kalau secara asumsi, jelas sangat berpotensi. Karena
masyarakat Jatinangor yang heterogen, yang mobilitas tinggi
perpindahan orang masuk sana sini, pasti setiap orang memiliki
pemikiran berbeda, agama berbeda, dari situ akan menimbulkan interaksi
sosial yang kemudian berakibat, saya bukan bagian dari Anda, Anda
bukan bagian dari saya, bagaimana agar kita bisa menyamakan atau
memahami satu sama lain yang berbeda, itu akan terjadi potensi
berbahaya ketika kita biarkan mereka menuntut ego masing-masing. Dari
situ Jatinangor rawan dan berpotensi radikal. Melihat dari kampus-
kampus sendiri banyak mahasiswa yang tercekoki paham radikal, dengan
adanya organisasi tertentu, yang marak mendoktrinasi ke arah
radikalisme, itu berpotensi menyebar ke ranah-ranah lainnya. Bahaya
potensi itu apabila menjadi aksi. Potensi itu akan menjadi modal awal
untuk realisasi aksi kan. Jadi Ansor sendiri mengimbangi dengan
mengkonter opini itu agar tidak terjadi, dengan adanya diskusi dan
persuasi melalui kegiatan yang bersifat kebangsaan dan nasionalisme.

HTI dicabut badan hukumnya oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia (KemenkumHAM) pada Juli 2017. Pencabutan badan hukum dilakukan

sejalan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi

Kemasyarakatan atau Perppu Ormas. Akibat keputusan itu, HTI kini tak mungkin

lagi menggelar acara besar-besaran di ruang publik. Karena itu, menurut

Mustaqim, HTI aktif berdakwah via Facebook, Instagram, Youtube, dan grup-

grup WhatsApp. "Forum HTI bisa ada di mana saja. Sekarang eranya mobile

internet, forum tidak mesti fisik," jelas Mustaqim. Menurut dia, forum-forum

dunia maya ternyata efektif. Setelah dilarang, Mustaqin mengklaim pengikut dan

simpatisan HTI justru terus bertambah karena kinerja dakwah di

medsos.18 Kemudian, pernyataan serupa diutarakan Direktur Eksekutif Indonesian

18
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
Muslim Crisis Center Robi Sugara. Menurut Robi, HTI kini justru kian andal

meraup simpati umat. "Semakin luas jangkauan mereka. Rata-rata dari mereka

beroperasi di YouTube dan sosial media. Beberapa dari mereka ada yang

membuat entitas baru meskipun tidak ada embel-embel khilafahnya," kata Robi.19

Apabila mencermati potensi radikalisme dari masyarakat, dengan

mengamati karakteristik wilayah Jatinangor yang heterogen, diiringi

perkembangan wilayah yang pesat disertai mobilitas masuk keluar penduduk yang

berasal dari daerah lain dan bermatapencaharian di Jatinangor, tak terhindarkan

menghadirkan persaingan. Apabila masyarakat lokal kalah dalam persaingan, dan

seolah terpinggirkan, di sinilah celah potensi untuk dimasuki paham radikalisme

yang cukup terbuka. Sebagaimana menurut H. Aceng Hasanudin, tokoh

masyarakat Jatinangor, beliau mengemukakan:

Jatinangor ke depannya diperkirakan banyak masalah gesekan sosial,


kesenjangan antara pendatang dan pribumi. Masyarakat yang
terpinggirkan inilah yang berpotensi disusupi radikalisme sehingga
mereka rentan bergerak melakukan perlawanan. Bisa jadi masalah
lemahnya ekonomi masyarakat dijadikan titik masuk kelompok
radikalisme untuk mempengaruhi kalangan masyarakat ini sehingga
menjadi radikal.

Senada dengan apa yang diungkapkan tokoh masyarakat Kecamatan

Jatinangor, Ketua GP Ansor menyatakan :

Target utama secara umum masyarakat Jatinangor. Secara khusus, ranah


kepemudaan baik itu kelompok lokal, seperti karang taruna, knpi, yang
memiliki pangsa pasar yang umurnya masih pemuda, itu sasaran utama
kita mengajak berkegiatan Bersama. Dari sit mungkin akan menyebar ke
ranah lainnya. Masuk juga ke ranah kemahasiswaan. Dengan organisasi
ekstra kampus PMII, KMNU, itu kita berusaha masuk ranah mahasiswa
walaupun ada banom nu di sana (KMNU).
19
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
Apabila melihat karakteristik jenis radikalisme yang berpotensi

berkembang di wilayah Jatinangor, Pengurus MUI Jatinangor berpandangan

bahwa radikalisme di Jatinangor masih diidentikkan dengan radikalisme Islam.

Beliau mengungkapkan :

Ya sebagaimana kita tahu akhir-akhir ini mencuat lagi isu radikalisme


Islam. Potensinya ini cukup besar mengingat di Jatinangor sendiri
mayoritas Islam. Dengan berbagai kondisi dan situasi inilah kelompok-
kelompok Islam yang belum kuat secara pemahamannya dapat berpotensi
terpapar radikalisme. Sehingga semakin rusaklah citra Islam yang
rahmatan lilal’amin, dan mau tak mau kita tak bisa menghindari stigma
radikalisme yang sering diidentikkan dengan Islam. Di sinilah peran kita
di MUI bekerja sama dengan seluruh lapisan masyarakat keagamaan,
termasuk ormas Islam membantu menangani permasalahan radikalisme
ini.

Adanya potensi radikalisme yang cukup signifikan inilah yang secara

langsung dan tidak langsung menuntut peran civil society yang di dalamnya ada

organisasi kemasyarakatan, keagamaan dan kepemudaan untuk ikut andil

membantu pemerintah menangani persoalan radikalisme. Dari sinilah GP Ansor

mengambil peran dalam membantu menangkal radikalisme.

4.4 Peran Gerakan Pemuda Ansor dalam Menangkal Radikalisme

Saat ini, adanya kecenderungan radikalisme di lingkungan Jatinagor

merupakan hal yang merupakan menjadi fenomena yang mekhawatirkan. Hal ini

dapat dilihat dari terjadinya berbagai situasi dimana penangkapan terjadi di dalam

lingkungan Jatinangor. Bukan hanya itu, di Kecamatan Jatinangor


Melihat potensi radikalisme di Kecamatan Jatinangor, peneliti meyakini

bahwa upaya menangkal radikalisme menjadi tugas sangat berat apabila tidak

didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka dari itu, penguatan peran

masyarakat di dalam kontra radikalisme menjadi kunci utama dalam menguatkan

daya dukung terhadap penangkalan radikalisme. Potensi radikalisme akan

semakin berkembang, dari cara laten, persuasif menyebarkan ajaran radikal,

hingga aksi fisik dan simbolik. Oleh karena itu, upaya menangani radikalisme di

lingkungan masyarakat dapat berangkat dari upaya mengubah pemahaman atau

pola pikir yang dianggap keliru dan menyimpang. Pencegahan radikalisme

menjadi suatu langkah proaktif dan memerlukan kehati-hatian dengan

pertimbangan kemajemukan masyarakat Indonesia dan kerentanan kemajemukan

terhadap konflik sosial masyarakat.

Perspektif baru dan kekinian, yang sebelumnya secara konvensional

bahwa penanganan radikalisme hanya merupakan tugas dan tanggung jawab dari

aparatur Negara, namun praktik kontra radikalisme dapat dilaksanakan secara

masif oleh masyarakat sipil sebagai kesatuan sistem resistensi sosial budaya

dalam menangkal penyebaran paham radikal dalam kehidupan masyarakat. Hal ini

dibutuhkan karena radikalisme seringkali mengalami perubahan yang cepat baik

secara kuantitas maupun kualitas, dalam arti penyebaran radikalisme di masa kini

tidak hanya berdimensi fisik dalam bentuk aksi kekerasan, namun secara laten dan

terus menguat melebur dengan ideologi yang dikembangkan dari suatu

pemahaman ajaran agama yang keliru. Untuk itu, potensi radikalisme agama,
terkhusus radikalisme Islam, membutuhkan strategi penangkalan radikalisme yang

menggunakan pendekatan-pendekatan preventif.

Hal ini senada (Bakti, 2014 : 116) bahwa terdapat dua strategi pemerintah

dalam mendukung implementasi deradikalisasi yaitu strategi pertama : dengan

cara mengubah paradigma berpikir kelompok inti dan militan radikal terorisme

agar tidak kembali melakukan aksi radikal terorisme. Sedangkan strategi kedua :

kontra atau penangkalan ideologi yang ditujukan kepada seluruh komponen

masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham dan aksi radikal terorisme.

Strategi kedua deradikalisasi sebagaimana dikemukakan Bakti di atas,

dapat dimaknai juga memiliki kesamaan tujuan dengan upaya menangkal

radikalisme secara preventif. Pendekatan-pendekatan dalam strategi ini harus

diperluas hingga menargetkan masyarakat sipil Indonesia karena mereka memiliki

peran dan fungsi yang sangat strategis dalam sistem masyarakat dan politik

demokratis. Masyarakat sipil Indonesia dapat menjadi rekan yang sangat penting

bagi pemerintah dan dapat melakukan berbagai kegiatan yang tidak mungkin

dilakukan oleh pemerintah dan aparatnya.


Gambar 4.2 Dokumentasi Berita GP Ansor Jatinangor Anti Radikalisme

(sumber : GP Ansor Jatinangor, 2017)

Implementasi dari strategi tersebut, dimaksudkan secara tidak langsung

diberikan kepada masyarakat sipil, namun dapat melalui organisasi-organisasi

kemasyarakatan (Ormas), tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh

daerah dengan pertimbangan rasional bahwa mereka mampu menembus pada

aspek sosial dan budaya masyarakat sehingga mudah dalam mengkomunikasikan

dan mensosialisasikan berbagai gagasan, pengalaman dan inovasi secara lebih


intensif terkait upaya menangkal radikalisme, sehingga diharapkan masyarakat

sipil Indonesia dapat berpartisipasi secara sistemik, integratif dan masif.

Untuk mewujudkan sasaran strategi sebagaimana diuraikan di atas, maka

peran GP Ansor dalam upaya menangkal radikalisme di Jatinangor membutuhkan

sinergi, kerja sama dan kemitraan dengan berbagai pihak dan elemen masyarakat

lainnya. Terkait hal ini, Ketua GP Ansor Jatinangor menyatakan :

Mitra GP Ansor dalam menangkal radikalisme, dari ormas-ormas lain


misalnya PP (Pemuda Pancasila) yang satu visi misi, dalam hal
membangun NKRI. Dengan pemerintah setempat juga ada. Organisasi
intra dan ekstra kampus juga kita menjalin kerja sama.

Senada dengan Ketua GP Ansor, Sekretaris GP Ansor Jatinangor

menambahkan keterangannya mengenai mitra-mitra GP Ansor dalam berkegiatan

yang terkait dengan upaya menangkal radikalisme. Beliau menyatakan :

Contohnya kita bekerja sama dengan komunitas Gusdurian. Kita bekerja


sama untuk meredam situasi masyarakat yang berpotensi konflik atas
dasar radikalisme. Ansor ikut hadir dalam kegiatan Gusdurian,
membahas soal pemikiran Gusdur, dalam upaya agar masyarakat
memahami soal anti radikalisme. Gusdurian merupakan komunitas
nonformal, komunitas bukan di bawah NU atau ada embel-embel NU.
Gusdurian breada di bawah naungan jaringan Gusdurian yang bukan
bagian dari Badan Otonom seperti kita (Ansor). Kita baru beberapa.
Potensi masih bayak yang perlu kita jemput bola secara kemitraan untuk
berkegiatan dalam rangka menangkal radikalisme. Selain kerja sama
yang terjalin dengan Gusdurian, yang pernah mengadakan kegiatan
bersama yaitu Pemuda Pancasila, XTC, kita yang mengundang atau kita
yang diundang.

Eksistensi suatu organisasi yang memiliki peran penting di tengah

masyarakat dalam segala bentuk kegiatannya tentu menemui kendala dan

hambatan. Terkait kendala dan hambatan, Ketua GP Ansor menyatakan :


Kendala dan hambatannya, masalah waktu. Dari segi waktu, para
pengurus Ansor ini kebanyakan di usia-usia produktif. Ketika dari
pengurus banyak yang sudah menikah, ada yang bekerja di pabrik
misalnya, itu terkendala waktu juga. Kader atau para pengurus banyak
yang berbenturan dengan masalah ekonomi, katakanlah waktu untuk
mencari penghasilan, sehingga ada hambatan keleluasaan waktu untuk
berkegiatan. Kalau dari segi anggaran, tidak terlalu menjadi kendala dan
hambatan. Kita swadaya kebanyakan, kalau di NU itu pengorbanan, kita
tidak dibiayai oleh pemerintah. Ketika mengadakan kegiatan, itu
kebanyakan urunan.

Terkait kendala dan hambatan sebagaimana dikemukakan Ketua GP

Ansor, Sekretaris GP Ansor menambahkan keterangan berikut :

Kendala yang dihadapi dari internal, kita terus melakukan upaya


penyebaran pemahaman dari internal sendiri bagaimana dari kader
anggota sendiri lebih memahami isu-isu radikalisme dan wawasan
kebangsaan, cinta tanah air. Dari segi hambatan, mungkin laju
kesemangatan, naik turunnya semangat anggota.

Selanjutnya, dalam perannya berpartisipasi menangkal radikalisme ada

beberapa dampak yang dirasakan GP Ansor, baik secara personal maupun

organisasional. Terkait hal ini, Ketua GP Ansor Jatinangor memberikan

keterangan berikut :

Ada dampaknya. Ketika ada instruksi (melawan radikalisme), otomatis


kita harus mengikuti instruksi dari pusat, walaupun tidak secara
langsung, dan tidak semua anggota juga yang menanggapi instruksi
tersebut. 50% yang siap mengikuti.

Sekretaris GP Ansor Jatinangor menambahkan keterangannya terkait

dampak yang dirasakan dari keikutsertaan GP Ansor Jatinangor dalam menangkal

radikalisme. Beliau menyatakan :

Secara kesemangatan kader dilihat dari kuantitas kehadiran itu terlihat.


Adnya komitmen kesepakatan anti radikalisme, dari anggota tersendiri
semangat. Sejauh ini tidak ada anggota Ansor yang masuk atau ikut
terlibat kelompok yang dianggap radikal, itu membuktikan bahwa
kegiatan-kegiatan ansor dalam kaitannya dengan penangkalan
radikalisme berdampak baik. terhadap anggota, dilihat dari
kesemangatan dan kehadiran.

Selanjutnya, semacam auto kritik, saran dan rencana strategis ke depan GP

Ansor Jatinangor terkait perannya dalam ikut serta menangkal radikalisme di

Jatinangor, Ketua GP Ansor Jatinangor menyatakan :

Ke depannya, strategi yang berhubungan dengan radikalisme. Kita akan


lebih memasifkan kegiatan pengajian, kajian keagamaan sosial politik dan
budaya, itu merupakan program untuk menangkal radikalisme. Kita lebih
sibuk membesarkan diri kita, daripada mengecilkan orang lain. Program
yang kita jalankan lebih untuk membesarkan diri kita, biar masyarakat
menilai.

Kemudian, ditambahkan Sekretaris GP Ansor Jatinangor yang

menyatakan:

Mungkin ini semacam autokritik buat kita. Kita perlu melakukan


pembenahan mulai dari penguatan data, aktivitas-aktivitas administrasi,
dari upaya penelitian apakah masyarakat di Jatinangor radikal, berapa
persentasenya, kita memerlukan hal tersebut. Banyak pemuda ansor yang
kompeten dalam hal bidang penelitian, atau secara intelektual banyak
yang kompeten. Sarannya kita berbenah diri secara organisasi, dari saya
secara pribadi kita membutuhkan pembenahan bank data, kolektivitas
administrasi, penguatan agar action di lapangan berjalan dengan baik.

4.4.1 Revitalisasi nilai-nilai Islam ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja)

melalui Rijalul Ansor (Pemuda Ansor)

Nilai-nilai Islam Aswaja yang santun menjadi pegangan dalam tubuh

Ansor yang harus direvitalisasi dan diinternalisasikan melalaui kegiatan-

kegiatan yang dilakukan rijalul ansor. Nilai-nilai aswaja adalah nilai ajaran

Islam yang santun dan rahmatan lil ‘alamin sangat bertentangan dengan paham
radikal, ini coba diinternalisasikan oleh GP Ansor melalui kegiatan- kegiatan

amaliyah nahdliyyah di masjid, musholla, perkampungan, dan seluruh pelosok

dalam berbagai kegiatan. Hal ini sebagaimana disampaikan pengurus GP Ansor

yang menyatakan bahwa.

Upaya GP Ansor Periode 2017-2021 dalam menangkal radikalisme banyak


sekali, diantaranya adalah kita ada kegiatan rijalul ansor (pemuda Ansor) yang
mana selalu menebarkan amaliah-amaliyah nahdliyyin yang di kampung-
kampung, dan di masjid-masjid menggunakan amaliyah aswaja mulai dari
istighosah, sholawatan, tahlilan, agar supaya bisa membuat orang adem dan
tidak panas tidak seperti kelompok radikal yang mengajarkan kekerasan.

Rijalul Ansor adalah Majelis Dzikir dan Sholawat. Rijalul Ansor

memiliki status sebagai lembaga semi otonom yang dibentuk oleh gerakan

pemuda ansor sebagai implementasi visi revitalisasi nilai dan tradisi dan misi

internalisasi nilai aswaja dan sifatur rasul dalam gerakan pemuda ansor.

Tanggung jawabnya adalah Menjaga gerakan Islam Indonesia tetap sebagai

agama Islam yang rahmatan lil alamin dan menolak cara-cara kekerasan atas

nama Islam. Adapaun tugas lembaga ini antara lain untuk menghidupkan

kembali tradisi-tradisi ke-NU-an, misalnya shalawatan, tahlilan, istighotsah,

peringatan hari besar Islam.20

4.4.2 Kerjasama dengan berbagai pihak dalam menangkal

radikalisme

Salah satu peran aktif GP Ansor dalam menentang dan menangkal

radikalisme adalah melalui kerjasama dalam berbagai kegiatan cegah

20
Ade Nurwahyudi, ―Rijalul Ansor, Semi Otonom GP Ansor yang Hidupkan Tradisi
NU‖, dalam http://www.nu.or.id/post/read/65619/rijalul-ansor-semi-otonom-
gp-ansor-yang-hidupkan-tradisi- nu 26 Mei 2018
radikalisme. Hal ini sebagaimana disampaikan pengurus GP Ansor yang

menyatakan bahwa: ―hal yang sering kami lakukan adalah getol melakukan

kerjasama dengan berbagai pihak yang sepaham dengan kami, dengan

pemerintah kota, aparat keamanan dan beberapa organisasi yang sepaham

dengan kami

4.4.3 Pendekatan Persuasif

Secara konseptual upaya menangkal radikalisme dengan melibatkan

masyarakat sipil termasuk di dalamnya civil society organization (ormas)

merupakan strategi yang cukup baik, dan diharapkan secara efektif dapat tepat

sasaran. Namun demikian, dalam implementasinya belum begitu signifikan.

Penyebabnya, sebagaimana diungkapkan Hikam (Hartana, 2017:109) hal ini

disebabkan karena masyarakat pada umunya dan organisasi masyarakat pada

khususnya masih belum dilibatkan secara efektif. Sinergitas antara masyarakat

dan pemerintah belum terbangun dengan baik karena lemahnya berbagai aspek

seperti : aspek politik, aspek regulasi dan aspek peran masyarakat. Akhirnya

kondisi ini sangat mempengaruhi kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi

infiltrasi dan pengaruh ideologi radikal.

Hal demikian juga sebagaimana diungkapkan Sekretaris GP Ansor

Jatinangor yang menyatakan :

Dari eksternal sendiri dari instansi pemerintah, boleh dikatakan pihak


kecamatan, koramil, polsek, ada respons baik, akan tetapi dari
pemerintahan sejauh ini, entah itu dari pihak kita yang kurang dapat
menjemput bola atau dari pihak pemerintah yang kurang bisa merespons
dengan cepat dan tanggap soal kendala itu, respon eksternal bukan di
kalangan kelompok yang mengkonter gerakan GP Ansor, respons
pemerintah masih kurang, dari mulai memfasilitas dan menganggarkan.
Misalnya dengan fasilitas tempat atau fasilitas publik yang bisa
digunakan untuk kegiatan-kegiatan diskusi, perpustakaan, masjid, sejauh
ini belum ada. Kita juga mungkin harus masif dan progresif menjemput
bola ke pihak pemerintahan setempat agar sinergis dengan kita. Intinya
dukungannya masih kurang.

Perlunya seluruh space ruang lingkup untuk dimasuki aktivitas-aktivitas

terkait upaya penangkalan radikalisme, hal ini karena pergerakan radikalisme

telah memasuki seluruh ranah lingkungan masyarakat. Pergerakan penyebaran,

penyusupan dan regenerasi paham radikal telah menyentuh tempat-tempat ibadah

Lembaga Pendidikan, keagamaan, kampus bahkan memasuki media-media

internet. Sementara itu, untuk mencegahnya dibutuhkan keterlibatan masyarakat

untuk membendung kemunculan radikalisme hingga membendung

penyebarannya. Kepekaan masyarakat yang terbangun untuk mendeteksi paham

radikalisme sangat dibutuhkan.

Untuk mengaktifkan kepekaan masyarakat, pendekatan persuasif layak

diterapkan, agar upaya penangkalan radikalisme dapat diterima dan didukung

masyarakat. Hal ini sebagaimana dikatakan Sekretaris GP Ansor Jatinangor :

Dalam pendekatan persuasif, kita sifatnya mengajak bukan mengejek,


merangkul bukan memukul. Soal ajakan ini kan bagian dari dakwah, syiar
kita kepada masyarakat tertentu untuk tidak bertindak sedemikian rupa
atas nama agama, bahwa dirinya yang paling benar dan orang lain
paling kafir (radikal atau anarkis). Klaim teologis yang berusaha kita
minimal Isir. Ada masyarakat minor lain yang perlu kita perhatikan,
seperti aliran kepercayaan dan agama lain di luar Islam. Kita hidup di
negara demokratis, yang perlu mengakomodir kelompok yang berbeda
dengan kita. Maka upaya penanganan radikalisme kita lakukan dengan
pendekatan persuasif dan deskriptif. Deskriptif di sini dengan setelah
adanya kegiatan-kegiatan persuasif kita perlu mendeskripsikan apa yang
menjadi konsep dan gagasan kita untuk menentramkan suatu keadaan
masyarakat. Dengan adanya diskusi-diskusi diskursus dengan tema
kebangsaan, kenegaraan, patriotisme dan nasionalisme, hal itu yang
membuat masyarakat akan berpikir sendirinya, dan diharapkan akan ikut
berpartisipasi.
Gambar 4.3 Kegiatan Refleksi Kemerdekaan

(sumber : Instagram GP Ansor Jatinangor, 2020)

Pendekatan persuasif pada prinsipnya bertujuan mempengaruhi sikap,

bahkan perilaku target sasaran dengan melakukan pendekatan kepada pihak-pihak

di berbagai kalangan, baik masyarakat, pemuda, tenaga didik, masyarakat seni,

ormas, mahasiswa dan media massa. Dengan cara pendekatan ini GP Ansor

Jatinangor tidak begitu sulit untuk masuk ke masyarakat dan memberikan

pemahaman yang benar dalam menangkal radikalisme. Dengan ajakan atau

dakwah dari hal terkecil diharapkan akan berdampak besar bagi masyarakat.

Selanjutnya, terkait peran GP Ansor dalam menangkal radikalisme, secara

garis besar Ketua GP Ansor Jatinangor mengatakan :

Jika langsung straight melawan radikalisme, Bahasa seperti itu masih


banyak orang yang ga faham seperti itu, malahan masyarakat banyak
yang pro radikalisme. Di sana kita dakwahkan kebaikan-kebaikan saja.
Intinya kita dalam menghadapi radikalisme itu, kita tidak pakai unjuk
kekuatan, kita melalui kegiatan-kegiatan kita. Jadi tidak langsung,
misalnya tidak langsung menyerang. Kita membesarkan kegiatan-kegiatan
kita saja, jadi masyarakat bisa lebih menilai. Kita berbaur dengan
masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah dalam segi isu-isu yang
terjadi di masyarakat, isu sosial politik budaya keagamaan, dan lain-
lainnya.

Senada dengan Ketua GP Ansor Jatinangor, pemerhati sosial politik

mengemukakan pandangannya berikut :

Kalaupun misalkan ada upaya dalam mempersuasi masyarakat oleh


ormas-oramas Islam untuk menangkal radikalisme, menurut saya pribadi
ini bagus. Kalau dilihat dari konteks politik saat ini, organiasi-organisasi
yang berlatar belakang NU biasanya menggemakan tentang toleransi baik
itu GP Ansor, KMNUP dsb, tagline yang sering diangkat yaitu soal
toleransi, kerukuanan umat beragama, ini yang patut diapresiasi. Hal ini
tidak luput dari perkembangan kampus sendiri. Ketika ada kampus besar
kemudian banyak pemikiran di dalamnya, maka tidak menutup
kemungkinan akan adanya indoktrinasi, Ketika ada paham yang banyak,
salah satu paham itu masuk, maka ketika pemikiran itu terus hidup maka
akan senantiasa menyebar pada satu sama lainnya. Oleh karena itu jika
ada upya membumikan atau mempersuasi masyarakat atau mahasiswa ini
juga merupakan suaut hal yang baik, tapi jangan terlalu anti terhadap
yang garis keras juga, karena belum tentu mereka juga akan melakukan
hal yang dikategorikan sebagai teroris.

Gambar 4.4 Kegiatan Ngaji Bareng Ansor

(sumber : GP Ansor Jatinangor, 2020)


Pada hakikatnya, radikalisme dan terorisme adalah persoalan konflik

budaya dalam suatu masyarakat nasional yang bersifat plural secara kultur

dikatakan Azra (Hidayat dan Sugiarto, 2020:140), sehingga pencegahan, baik

sebagai strategi pencegahan awal (preventive) dan aksi dadakan (pre-emptive)

melalui budaya hukum dan kearifan lokal (local wisdom) merupakan solusi

terbaik dalam menangkal radikalisme yang senantiasa berkembang di Indonesia.

Berbagai cara masih sangat mungkin dijadikan sebagai jalan untuk

mengkompromikan paham keagamaan untuk bisa berjalan berdampingan satu

dengan lainnya. Kearifan lokal yang merupakan sub dari budaya hukum adalah

kekayaan sekaligus kekuatan untuk menjadi instrumen dalam mencairkan suasana

dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih baik dan harmoni

satu dengan lainnya (Hidayat dan Sugiarto, 2020:140).Hal ini menggambarkan

adanya kecenderungan yang ada dimana GP Ansor berusaha untuk dapat

mendorong terjadinya komunikasi dialogdan mendorong masyarakat sebagai

bentuk dari local wisdom untuk menangkal radikalisme.

Secara tersirat yang dikemukakan Azra, serta Sartini yang dikutip (Hidayat

dan Sugiarto, 2020:140) merupakan pendekatan-pendekatan yang dijalankan GP

Ansor Jatinangor. Sebagaimana hal tersebut diungkapkan Ketua GP Ansor yang

menyatakan :

Pendekatan melalui pengajian-pengajian. Kita sering keliling, tiap tahun


itu kita keliling melalui program tarling (tarawih keliling). Itu pendekatan
ke masyarakat. Sekarang diprogramkan untuk Darmaji, kemarin itu
difokuskan di Sabusu, kita akan keliling desa-desa tiap bulan, melalui
para Kyai NU, kita datangi pengajiannya kita sosialisasikan, kita
dakwahkan tentang islam rahmatan lilalamin. Melawan radikalisme, kita
membesarkan kegiatan kita, masif dalam pengkaderan. Nanti juga faham-
faham, radikalisme terkikis. Pemahaman radikal tersebut karena
masyarakat tidak faham, tidak tahu, masyarakat banyak yang masih awam
dalam memahami agama, jadi gampang dimasuki faham radikal, jadi kita
imbangi dengan dakwah ke masyarakat, degan kegiatan-kegiatan
persuasif semacam itu.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Rijalul Ansor bahwa kegiatan-

kegiatan yang mengarah pada pendekatan persuasif, yaitu dengan pengajian-

pengajian yang menyisipkan sosialisasi dan edukasi terhadap pemahaman ajaran

Islam yang rahmatan lil alamin. Beliau menyatakan :

Pengajian-pengajian seperti program Darmaji dan Ngabaso (ngaji


bareng ansor) itu cara persuasif agar masyarakat khususnya jamaah
pengajian dapat memahami ajaran Islam yang penuh toleransi, yang tidak
radikal, dan sesuai dengan kultur budaya kita. Ini diharapkan menjadi
media untuk mencegah radikalisme.

Kemudian ditambahkan Ketua Banser Satkoryon Jatinangor, yang

menyatakan :

Secara persuasif Banser lebih mengedepankan bagaimana menunjukkan


pola-pola persuasif melalui contoh teladan. Misalnya, dalam kegiatan
pengkaderan Banser, contohnya kegiatan Diklatsar Banser, pelatihan
kepemimpinan dasar, di sana disisipkan dan dikuatkan ideologi
Pancasila, sikap toleransi dan semangat nasionalisme yang secara tidak
langsung tujuannya juga untuk mencegah radikalisme. Targetnya memang
bagi anggota Banser itu sendiri, tapi diharapkan nantinya akan
disebarkan kepada masyarakat.

Menanggapi pertanyaan mengenai respons masyarakat terhadap upaya

penangkalan radikalisme yang dilakukan GP Ansor dengan pendekatan persuasif,

Tokoh Masyarakat Kecamatan Jatinangor memberikan pandangan berikut :

Saya kira masyarakat sekarang sudah kritis dan pandai menilai siapa
yang pantas diikuti dan diteladani. Jadi, saya kira respons masyarakat
cukup baik menerima dan banyak yang mendukung kegiatan-kegiatan
persuasif dari GP Ansor, dalam kegiatan dakwah, dan mungkin juga
dalam kegiatan yang ada kaitannya dengan pencegahan radikalisme.
Terkait hal tersebut, relevan kemudian diungkapkan Pengurus MUI

Jatinangor. Beliau menyatakan :

Yang dibutuhkan masyarakat kini yaitu contoh, suri teladan. Dengan


memperlihatkan kesantunan, persaudaraan, solidaritas dan empati dari
Islam, dengan sendirinya itu merupakan bagian dari menangkal
radikalisme. Sehingga masyarakat terbuka, ternyata pandangan bahwa
Islam radikal itu salah. Di sinilah mungkin arah GP Ansor, secara tidak
langsung memberikan contoh agar masyarakat menjadi ngeh (terbuka)
terhadap kegiatan pencegahan radikalisme. Ini sama dengan ketika
mengajarkan toleransi dan menunjukkan Islam rohmatan lil’alamin,
ibaratnya mengajarkan masyarakat untuk toleran dan tidak radikal.

Upaya menangkal radikalisme tidak hanya disasarkan kepada lingkungan

masyarakat ataupun lingkungan kampus di wilayah Jatinangor, namun juga

lingkungan internal organisasi GP Ansor sendiri. Hal ini agar jangan sampai

berfokus pada lingkungan luar sementara lingkungan sendiri lepas dari

pengawasan. Karena bukan tidak mungkin potensi radikalisme juga ada di

lingkungan sendiri.

Gambaran mengenai aktivitas HTI pasca dibubarkan didapat dari anggota

HTI di Semarang, Feri Junia. Menurutnya, sebagian besar anggota HTI masih

rutin berdakwah. "Contohnya saya yang melakukan kajian-kajian di berbagai

tempat," kata Feri. Sebagian lainnya, lanjut Feri, menyebar ke ormas-ormas Islam

besar semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Itu dilakukan untuk

memperluas jaringan. "Masing-masing mereka pun memainkan peranannya

sendiri," imbuh Feri.21 Menyebarnya anggota HTI ke berbagai ormas Islam

diamini anggota HTI Temanggung, Jawa Tengah, Mustaqim. Menurutnya,

21
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
penyebaran ke berbagai ormas sejalan dengan prinsip berdakwah tanpa kekerasan

ala HTI. "Itu disebabkan karena HTI berdakwah dengan pemikiran. HTI tidak

menggunakan senjata dan kekerasan dalam menegakkan kembali daulah khilafah.

HTI menjalin silaturahmi kepada siapa pun," kata Mustaqim.22

Sebagaimana digambarkan pada pola kegiatan dan penyebaran paham-

paham radikal seperti yang dilakukan HTI, maka tergambar bahwa pola dan

pendekatan persuasif tanpa kekerasan yang kini lebih banyak dilakukan, di

samping intervensi dan menyusup ke ormas-ormas Islam lainnya. Terkait hal

tersebut, Ketua GP Ansor Jatinangor menyatakan:

Pengurus-pengurus NU banyak yang jadi ustad-ustad kampung, ada juga


ustad-ustad kampung yang terpengaruhi pemahaman radikal, itu juga
sasaran kita. Ketika kita memberikan fasiltias pada pengurus, kita kan
agak segan menasihati ustad kampung itu, maka kita meminta bantuan
kepada NU, kita mengadakan yaumul ijtima sebulan sekali, pengajian di
samping pengajian kitab, ada juga pengajian untuk menyamakan
manhajul fikar dan manhajul harokah. Menyamakan pandangan
pemikiran dan pandangan pergerakan. Masih banyak orang NU yang
mengamalkan amaliah NU, yang terpengaruh paham radikalisme. Bahkan
ada juga yang dari NU yang menjadi pengurus atau ikut jadi anggota
kelompok yang dianggap radikal, itu mereka tidak memahami manhajul
fikar dan manhajul harokah NU yang sebenarnya.

Agen-agen HTI dilatih agar piawai menarik simpati tokoh-tokoh lokal.

"Kami di lingkungan itu harus menjadi tokoh atau pentolan atau rujukan

masyarakat. Tujuannya, agar wacana soal khilafah itu hidup, baik di kampus

maupun ditengah-tengah masyarakat," tutur Kurnia, salah satu HTI.23 

22
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
23
Kudus Purnomo Wahidin, 2020, HTI menolak mati: Bermutasi, menyebar, dan bergerak di bawah tanah,
diakses pada https://www.alinea.id/nasional/hti-menolak-mati-bermutasi-menyebar-ke-nu-dan-
muhammadiyah-b1ZIb9r3E pada 23 Desember 2020
Berdasarkan keterangan narasumber dan pengamatan peneliti, maka dapat

dikatakan bahwa peran GP Ansor Jatinangor dalam ikut serta menangkal

radikalisme di wilayah Kecamatan Jatinangor melalui pendekatan persuasif

dilakukan cukup baik. Tujuan mendasar adalah pendekatan persuasif dilakukan

dengan melihat tipikal masyarakat yang diperlukan pendekatan yang lebih

humanis dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Persuasif melalui kegiatan-

kegiatan amaliah, menghidupkan corak budaya NU, model penyampaian dakwah,

yang sesuai dengan kultur masyarakat, situasi dan kondisi kewilayahan, serta

tidak bertentangan dengan nilai, norma maupun peraturan negara. Inti dari

persuasif sebagaimana digariskan dalam nilai islami yakni memberikan contoh

teladan, sebagaimana nilai-nilai ahlus sunah wal jamaah dan teladan Nabi

Muhammad SAW.

4.4.4 Pendekatan Dialog

Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi (Masduqi, 2012:7), solusi-solusi

untuk mengatasi masalah radikalisme antara lain; pertama, menghormati aspirasi

kalangan Islamis radikal melalui cara-cara yang dialogis dan demokratis; kedua,

memperlakukan mereka secara manusiawi dan penuh persaudaraan; ketiga, tidak

melawan mereka dengan sikap yang sama-sama ekstrem dan radikal. Artinya,

kalangan radikal ekstrem dan kalangan sekuler ekstrem harus ditarik ke posisi

moderat agar berbagai kepentingan dapat dikompromikan; keempat, dibutuhkan

masyarakat yang memberikan kebebasan berpikir bagi semua kelompok sehingga

akan terwujud dialog yang sehat dan saling mengkritik yang konstruktif dan
empatik antar aliran-aliran; kelima, menjauhi sikap saling mengkafirkan dan tidak

membalas pengkafiran dengan pengkafiran; keenam, mempelajari agama secara

benar sesuai dengan metode-metode yang sudah ditentukan oleh para ulama Islam

dan mendalami esensi agama agar menjadi Muslim yang bijaksana; ketujuh, tidak

memahami Islam secara parsial dan reduktif.

Solusi sebagaimana diungkapkan Yusuf Al-Qardhawi di atas merupakan

strategi yang diimplementasikan GP Ansor Jatinangor dalam perannya terkait upaya

menangkal radikalisme. Terkait hal tersebut Ketua Rijalul Ansor Jatinangor

menyatakan:

Kalau dialog dua arah secara spesifik dengan kelompok radikal tertentu,
kita belum ke arah sana. Paling kegiatan yang secara tidak langsung
mengarah ke bentuk dialog, itu ada dalam kegiatan Darmaji. Di sana
selain kegiatan pengajian dan diskusi, terbuka juga kesempatan untuk
adanya dialog.

Sejalan dengan hal tersebut, kemudian ditambahkan Ketua GP Ansor

Jatinangor yang mengungkapkan :

Paling juga, dialog lintas agama. Dari anggota ormas-ormas yang


diundang, untuk berdialog, termasuk mahasiswa. Kalau dengan kelompok
yang dianggap radikal, belum pernah sih. Tapi kalau kegiatan menjaga
keamanan bersama, kita pernah bersama. Kalau debat masalah
keagamaan, pemahaman keagamaan, kita belum pernah. Kita prinsipnya,
kita lebih sibuk , kita lawan dengan pergerakan. Kita membesarkan nama
Ansor, membesarkan kegiatan kita di masyarakat, nanti juga masyarakat
tahu.

Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Banser Satkoryon Jatinangor

sebagai berikut:

Pendekatan dialog secara spesifik yang dilakukan Banser melalui


kegiatan rutin sih tidak ada. Kalau secara insidentil itu seringnya ketika
ada kasus-kasus yang perlu ditanggapi dengan reaksi cepat sih ada.
Misalnya ketika ada kasus yang memerlukan reaksi cepat dari Banser,
langsung bertindak, namun masyarakat mengidentikkannya dengan
penggerudukan, padahal itu sebenarnya upaya dialog, untuk tabayun.
Memang mengerahkan banyak anggota namun bukan berarti itu anarkis.

Menanggapi adanya peran GP Ansor Jatinangor dalam upaya menangkal

radikalisme melalui kegiatan-kegiatan mengarah ke bentuk dialog, H. Tajul

Arifin, Pengurus MUI Jatinangor memberikan pandangannya berikut :

Di dalam islam itu yang harus dikedepankan bila ada isu-isu yang
sifatnya sensitif dan dapat menimbulkan kemudharatan adalah dengan
tabayun. Nah dialog-dialog yang dilakukan ansor ataupun banser ini
merupakan budaya yang sangat dianjurkan dalam Islam. Memang
harusnya dalam kegiatan penanganan radikalisme harus lebih sering
antara ormas-ormas keagamaan dan komunitas pemeluk agama di
masyarakat sering melakukan dialog untuk menyatukan visi dan
pemahaman. Jika kegiatan dialog ini sering dilakukan dalam tujuannya
ikut andil menangani radikalisme, maka ini sangat baik untuk mencegah
penyebaran radikalisme di Jatinangor.

Berdasarkan keterangan narasumber dan pengamatan peneliti, maka dapat

dikatakan bahwa peran GP Ansor Jatinagor dalam ikut serta menangkal

radikalisme di wilayah Kecamatan Jatinangor melalui pendekatan dialog

dilakukan cukup baik. Meskipun kegiatan-kegiatan dalam bentuk dialog tidak

secara signifikan dan rutin dilakukan Ansor Jatinangor, namun di dalam kegiatan-

kegiatan lain sangat terbuka adanya dialog-dialog baik di lingkungan internal

maupun di lingkungan eksternal dengan melibatkan pihak lain.

4.4.5 Pendekatan Diskusi

Menurut Manuel Castells dalam bukunya yang berjudul “The Power of

Identity” adalah karena orang menjadi ekstrem dan memilih menjadi radikal
karena itu merupakan identitas yang dipilih. Identitas itu melekat pada seseorang

karena rangkaian proses sosial, pengalaman, dan struktur sosial yang dia hadapi.

Dan tidak seorang pun mau dan bisa dipaksa untuk dinihilkan identitasnya

(Arham dan Pranadipa, t.t : 3).

Dalam kerangka penangkalan radikalisme, merujuk pendapat Castells di

atas, maka peran GP Ansor Jatinangor dalam hal ini dapat menjadi penjembatan

kelompok-kelompok radikal atau masyarakat yang berpotensi menjadi radikal

agar dapat terhindarkan dari radikalisme. Upaya pencegahan mengarah ke arah

sana, sepertinya dilakukan GP Ansor Jatinangor melalui pendekatan dialog dan

diskusi.

Sebagaimana dikatakan  pada umumnya diskusi adalah suatu proses

pelibatan dua atau lebih individu yang berinteraksi secara verbal dan saling

berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui cara

tukar menukar informasi (information sharing), mempertahankan pendapat (self-

maintenance) atau pemecahan masalah (problem-solving) (Prananto, 1981:21).

Maka dapat dikatakan bahwa kegiatan diskusi merupakan aktivitas membahas

tentang sebuah topik sebagai bentuk pertukaran gagasan, informasi, pendapat

antar kelompok yang bertujuan menemukan titik temu. 

Sukses menggarap mahasiswa, aktivis HTI yang sudah lulus mulai

merambah ke sekolah menengah atas. Kini anggota HTI bukan hanya mahasiswa,

melainkan juga siswa SMA. "Saya bergabung sejak kelas III SMA," ujar Annisa

Sari, alumnus Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Negeri Surabaya. Perempuan 29 tahun ini berkenalan dengan HTI setelah


membaca Al-Islam yang rutin masuk ke sekolahnya di Mojokerto, Jawa Timur.

Saat itu, ada sebuah artikel yang menulis larangan jilbab di Prancis. Annisa, yang

berjilbab, marah dan memutuskan bergabung dengan HTI. Ia aktif ikut pelbagai

diskusi yang digelar HTI di sekolahan.24

Menyimak keterangan di atas, dimana proses penyebaran paham

radikalisme dan perekrutan kader kelompok radikal melalui pola diskusi yang

gencar memasuki lingkungan Pendidikan tinggi, bahkan lingkungan sekolah

menengah, maka pendekatan untuk menangkal radikalisme juga dapat dilakukan

dengan pendekatan diskusi. Pendekatan ini dimungkinkan agar sasaran dapat

terbuka menerima dan memperbaiki pemahaman-pemahaman radikal-nya.

Kelompok-kelompok yang dianggap radikal maupun masyarakat dari segala

lapisan yang berpotensi terpapar radikalisme diarahkan agar dapat mencapai titik

temu bahwa radikalisme merupakan suatu masalah serius yang berdampak

merugikan dari segala aspek.

Terkait hal tersebut, Ketua Rijalul Ansor Jatinangor menyatakan bahwa

ada peran GP Ansor di dalam upaya menangkal radikalisme melalui kegiatan

dengan pendekatan diskusi. Beliau menyatakan :

Kegiatan diskusi yang rutin berjalan itu Darmaji, singkatan dari


munadzaroh kopdar dan ngaji. Kegiatan ini berbentuk pengajian dan
diskusi. Namun bukan hanya membahas masalah keagamaan semata, tapi
di sana juga tema topik diskusi menjangkau tidak hanya keislaman saja.
Sering kita juga di kegiatan Darmaji mendiskusikan masalah kebangsaan,
ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk juga secara tidak langsung diskusi
kebangsaan atau ukuwah wathoniah, ukuwah basariah, ada ke arah
tujuan ikut membantu menangkal radikalisme.

24
Syailendra Persada dkk, 2017, Berkembang Dari Kampus Ke Kampus : Hizbut Tahrir Indonesia menargetkan
mahasiswa dalam kaderisasi. Masuk sejak sekolah menengah, diakses dari
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153144/berkembang-dari-kampus-ke-kampus pada 23 Desember
2020
Gambar 4.5 Kegiatan Darmaji

(sumber : GP Ansor Jatinangor, 2020)

Kemudian ditambahkan Ketua Banser Satkoryon Jatinangor, beliau

menyatakan :

Banser sendiri tidak ada kegiatan rutin berbentuk diskusi. Kalau kegiatan
diskusi, mungkin kebanyakan sifatnya internal kita mendiskusikan maslah-
masalah kebangsaan di sekitar anggota Banser saja. Namun, Banser juga
ikut hadir dalam kegiatan Darmaji dan Ngabaso.Tapi Banser sendiri
terbuka dan akan berpartisipasi apabila ada kegiatan diskusi baik
diselenggarakan oleh Ansor, ataupun kita diundang kegiatan diskusi oleh
pihak mana pun. Untuk penanganan radikalisme sendiri, kita bersifat
terbuka siap ikut diskusi dengan siapa pun.

Pendekatan diskusi dalam hal upaya menangkal radikalisme untuk tipikal

wilayah Jatinangor sendiri sedikit berbeda dengan wilayah lain. Ini karena

wilayah Jatinangor sebagai Kawasan Pendidikan tinggi yang kental dengan

suasana pendidikannya, yang seringkali adanya suasana ilmiah dan dialog

akademis. Dalam hal ini pengamat sosial politik berpendapat :

Jika target sasarannya lingkungan kampus, tentu ormas-ormas harus


terbuka dan mengimbangi kapasitasnya. Karena mau tak mau
pendekatannya sedikit berbeda dengan masyarakat awam. Kampus itu kan
memegang teguh tradisi ilmiah, maka ormas-ormas harus memiliki
kapasitas intelektualitas untuk dapat mengimbangi diskursus paradigma
pemikiran kaum muda mahasiswa. Pendekatan persuasif melalui dialog-
dialog dan diskusi dengan seluruh lapisan masyarakat termasuk kalangan
kampus ini yang harus lebih ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Seorang mahasiswi Fakultas Kehutanan IPB anggota BKIM menuturkan

promosi Khilafah Islamiyah oleh HTI sangat terukur. "Senior akan memantau

bagaimana kami melakukan itu," kata perempuan yang minta namanya tidak

disebutkan ini. Ia, misalnya, punya kewajiban menyebarkan 20-25 lembar Al-

Islam per pekan. Para kader muda itu juga diminta senior mereka memastikan

penerima buletin paham isinya, terutama konsep Khilafah Islamiyah. Tingginya

tekanan ini juga membuat mahasiswi itu keluar dari BKIM sekaligus HTI 25

Berdasarkan keterangan narasumber dan pengamatan peneliti, maka dapat

dikatakan bahwa peran GP Ansor Jatinangor dalam ikut serta menangkal

radikalisme di wilayah Kecamatan Jatinangor melalui pendekatan diskusi

dilakukan cukup baik. Kegiatan-kegiatan dengan pendekatan diskusi merupakan

kegiatan yang cukup menonjol dan rutin dilaksanakan oleh GP Ansor. Tujuan

pendekatan diskusi adalah menghadirkan ruang-ruang publik sehingga GP Ansor

dapat memberikan pemahaman-pemahaman yang benar mengenai Islam yang

rahmatan lil’alamin, mempropagandakan toleransi, keragaman dan solidaritas

dalam kerangka ukuwah basariah dan ukuwah wathoniah.

4.5 GP Ansor Jatinangor di Antara Kontra Radikalisme dan Politik

Memasuki era reformasi, berbagai ormas Islam telah menunjukkan

pergerakannya yang lebih dinamis. Salah satunya adalah Gerakan Pemuda Ansor

(GP Ansor), yang merupakan badan otonom dari Nahdlatul Ulama (NU), saat ini

cenderung menunjukkan pergeseran pergerakan, dari yang dulunya bergerak


25
Syailendra Persada dkk, 2017, Berkembang Dari Kampus Ke Kampus : Hizbut Tahrir Indonesia menargetkan
mahasiswa dalam kaderisasi. Masuk sejak sekolah menengah, diakses dari
https://majalah.tempo.co/read/nasional/153144/berkembang-dari-kampus-ke-kampus pada 23 Desember
2020
dalam lingkup tradisi NU saja, tetapi pada saat ini lebih menunjukkan pergerakan

yang lebih luas. Adanya pergeseran pergerakan ini seringkali dibaca oleh publik

sebagai suatu upaya progresif di suatu sisi, di sisi lain dibaca pula sebagai upaya

yang berorientasi sosial, ekonomi dan politik.

Eksistensi sebagai ormas kemasyarakatan, keagamaan dan kepemudaan

GP Ansor yang menjadi sorotan akhir-akhir ini, terutama Ansor pusat, cukup

wajar apabila diprasangkakan sebagai sebuah strategi untuk menjaga eksistensi

organisasi di era reformasi dan kebebasan di tengah aktifnya kembali berbagai

ormas Islam yang lain. Strategi eksistensi organisasi ini dilakukan dengan upaya

membangun berbagai modal baik modal sosial, ekonomi, budaya dan simbolik

yang terejawantahkan dalam bentuk praktik sosial keagamaan yang dilakukan.

Aktivitas sosial keagamaan GP Ansor di tengah masyarakat terkait isu

radikalisme, dapat dibaca dua arah. Pertama, adanya politik identitas dalam

beberapa tahun ini yang mengakomodir komunitas-komunitas Islam yang tengah

mencuat, terutama dianggap radikal kerap dihubungkan dengan momentum

politik (pilkada misalnya). Di sisi ini pergerakan GP Ansor dapat dibaca sebagai

upaya membendung dan mencairkan politik identitas. Kedua, hadirnya GP Ansor

Jatinangor dengan membesarkan kegiatan-kegiatannya, meskipun sorotannya

tidak sebesar Ansor Pusat, dapat dibaca sebagai sarana mengibarkan bendera agar

dapat mengimbangi kekuatan-kekuatan lain.

Nampaknya wajar apabila ada relevansi radikalisme dengan politik

identitas yang dikhawatirkan terus mencuat. Sebagaimana dikatakan (Ghufron,

2017: t.h) yang menggambarkan politik identitas sebagai benteng radikalisme dengan
menjadikan agama sebagai bayang-bayang pergerakan sosial.Ancaman

berkembangnya paham radikalisme yang diekspresikan oleh gerakan sosial yang

dibalut dalam bingkai demokrasi akan mengancam tatanan dan stabilitas

pemerintahan. Di satu sisi, gerakan sosial merupakan ekspresi dari gagasan demokrasi

konstitusional yang secara tersirat dimanifestasikan dalam konstitusi negara kesatuan

Republik Indonesia. Dan di sisi lain, terdapat ancaman dari konsepsi demokrasi

melalui kebebasan berserikat dan berkumpul dalam bentuk gerakan sosial yang

berpaham radikalisme.

Sidney Jones mengatakan bahwa ancaman radikalisme di Indonesia itu

nyata, meskipun saat ini hanya minoritas Muslim yang radikal, dan lebih sedikit

lagi yang suka menggunakan kekerasan. Menjadi Muslim yang liberal, progresif,

fundamentalis, radikal, atau inklusif tentu sah-sah saja, dan itu bagian dari hak

asasi setiap warga negara Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah ketika pola

keberagamaan yang kita yakini dan jalani mengancam eksistensi orang lain. Yang

lebih parah lagi, ketika suatu kelompok mengaku dirinya yang paling benar dan

memiliki kebenaran tunggal, seraya memaksa kelompok yang lain mengikuti

paham kelompoknya. Tindakan kelompok radikalisme keagamaan yang kadang

menggunakan cara kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, tentu saja sangat

bertentangan dengan konstitusi kita yang menjamin kemerdekaan beragama,

berekspresi, dan berkeyakinan (Hassan, 2010:5).

Apa yang dikemukakan Sidney Jones di atas dapat dipersepsikan adanya

perseteruan antara isu radikalisme dan kelompok-kelompok social yang lebih

dikenal dengan civil society, termasuk di dalamnya civil society organization atau

ormas. Pada konsepsi struggle for power yang termanifestasi dalam suatu
perseteruan atau pertentangan (contention), maka dapat dibaca bahwa terkait

radikalisme, terlihat adanya pertentangan antara kelompok radikal dan kelompok

civil society yang kontra terhadap radikalisme. Sehingga terkait upaya menangkal

radikalisme, ada semacam perseteruan antara GP Ansor sebagai ormas/civil

society organization dengan kelompok-kelompok yang dianggap radikal, sebut

saja FPI dan HTI meskipun Di Kecamatan Jatinangor sendiri tidak secara

mencolok adanya perseteruan atau gesekan. Sebagaimana dikemukakan Ketua GP

Ansor Jatinangor yang menyatakan :

Gesekan secara langsung dengan kelompok radikal tidak pernah. Kita


berusaha untuk menghindari gesekan langsung dengan kelompok radikal.
Kita mendingan sibuk mengamankan diri daripada mengurusi orang lain.
Kita menganggap kelompok radikal itu sama seperti kita, hanya
pandangan atau pemahamannya saja yang perlu diluruskan.

Demikian pula ditambahkan Sekretaris GP Ansor Jatinangor yang

menyatakan :

Sejauh ini belum ada gesekan ansor dengan kelompok lain, kelompok
yang dianggap radikal. Justru kita menghindari adanya gesekan, mau
tidak mau kita sangat menegakkan prinsip menciptakan kedamaian dan
keadilan menjadi manfaat untuk orang lain. Contohnya Ketika ada
kelompok lain yang mengejek ulama kita, kita tidak melakukan Tindakan
sendiri, kita menempuh secara hukum, tidak dengan kekerasan atau
anarkis.

Tidak demikian halnya dengan PP GP Ansor, yang dapat dirunut dari

deklarasi GP Ansor dalam melawan Gerakan Islam radikal di tahun 2012. 26

Kemudian, Gerakan Pemuda (GP) Ansor kembali menegaskan komitmennya

dalam upaya mengawal eksistensi NKRI. GP Ansor terus bergerak melawan

26
Yudha Satriawan, 2012, GP Ansor Deklarasikan Gerakan Anti Islam Radikal, diakses dari
https://www.voaindonesia.com/a/gp-ansor-deklarasikan-gerakan-anti-islam-radikal/1416778.html pada 24
Desember 2020
setiap kelompok radikal dan anti-Pancasila yang berpotensi mengganggu

kebinekaan, seperti bahaya nyata dari faham khilafah. 27 Kemudian yang terbaru,

pernyataan sikap PP GP Ansor dimana GP Ansor mendukung dan menjadi mitra

strategis pemerintah dalam melawan radikalisme, serta menolak Kerjasama dalam

bentuk apapun dengan organisasi manampun yang dinilai mengedepankan

kekerasan, melawan hukum yang menginginkan berdirinya negara di luar NKRI.28

Adanya perseteruan dalam konteks politik dapat dibaca sebagai

contentious politics, dimana Contentious politics atau politik perseteruan

dimaknai secara khusus oleh Charles Tilly mendefinisikan konsep politik

perseteruan sebagai ”interactions in which actors make claims bearing on

someone else’s interest, in which governments appear either as targets, initiators

of claims, or third parties” (interaksi-interaksi di mana aktor-aktor membuat

klaim yang berdampak pada kepentingan orang lain, dalam mana pemerintah

menjadi target, inisiator klaim atau pihak ketiga) (Goodin dan Tilly 2006).

Definisi ini sejalan dengan cara Sydney Tarrow menjelaskan konsepsi ini.

Menurut Tarrow (1998: 2), “contentious politics occurs when ordinary people,

often in league with more influential citizens, join forces in confrontations with

elites, authorities, and opponents”(politik perseteruan terjadi pada waktu rakyat

biasa, seringkali bersama dengan orang-orang yang punya pengaruh dalam

masyarakat, membangun kekuatan untuk mengkonfrontasi elit, orang-orang yang

memiliki otoritas dan kelompok lawan).

27
Bowo Priadi, 2017, GP Ansor Tegaskan Lawan Radikalisme dan Anti-Pancasila, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/27/op2e22377-gp-ansor-tegaskan-lawan-radikalisme-
dan-antipancasila pada 23 Desember 2020
28
Larasyati Dyah Utami, 2019, GP Ansor Menyatakan Sikap Melawan Radikalisme, diakses ari
https://www.tribunnews.com/nasional/2019/11/08/gp-ansor-menyatakan-sikap-melawan-radikalisme pada 24
Desember 2020
Kemudian dalam manifestasi struggle of power selain contention, terkait

isu radikalisme, juga dapat diindikasikan adanya determinasi dalam kacamata

politik diindikasikan sebagai determinasi yang bermotif atau berorientasi suatu

posisi tertentu. Hal demikian sebagaimana pandangan pemerhati social-politik

yang menyatakan :

Saya melihat dalam konteks politik ini, kita patut memberikan kecurigaan
atau melihat dari sisi lain, bahwa ketika ada beberapa ormas Islam yang
turut serta bermain peran dalam menangkal radikalisme, radikalisme
yang mungkin dianggap bertentangan dengan pemerintah, dan justru
mereka lebih cenderung menyudutkan salah satu kelompok. Misalnya
kelompok kadrun, atau kelompok Islam garis keras, nah di sisi lain hal ini
menjadi alat untuk organisasi mereka agar semakin dekat dengan
pemerintah. Jadi, diskursus tentang penangkalan radikalisme ini, atau
peran keikutsertaan ormas Islam tertentu dalam menangkal radikalsme itu
merupakan bagian dari mereka untuk mendekati pemerintah atau
penguasa saat ini. Di sisi lain beda konteksnya jika hal ini dilihat dari
kacamata normatif, bila yang dilihatnya pemahaman yang salah tentang
jihad, atau ada seminar atau diskusi publik tentang pemahaman jihad
yang sesuai ahlus sunah wal jamaah itu seperti apa, ini baru secara
normatif memang berperan penting untuk meluruskan pemahaman yang
salah bagi mereka yang cenderung bersifat radikalis-teroris. Beda halnya
jika radikalisme ini dikaitkan dengan salah satu kelompok yang
dikategorikan sebagai Islam garis keras atau bersikap oposisi terhadap
pemerintah. Jika ada ormas Islam yang “menyudutkan” meraka dalam
kerangka menangkal atau ikut serta dalam mengurangi potensi
radikalisme maka menurut saya disini merupakan upaya untuk mendekati
penguasa.

Indikasi sebagaimana yang penulis cermati dari pandangan ahli dan

keterangan informan di atas sejalan pula dengan temuan, bahwa aktor-aktor yang

gencar melemparkan isu radikalisme tidak terhindarkan dari adanya indikasi memiliki

motif kepentingan tertentu. Misalnya, secara aktual Presiden Jokowidodo dalam

Reshufle Kabinet Indonesia Maju menunjuk Yaqut Cholil Qoumas atau yang akrab

disapa Gus Yaqut sebagai Menteri Agama menggantikan Fachrul Razi. 29 Gus Yaqut
29
Dian Erika Nugrahaeni, 2020, Jokowi Umumkan Reshuffle, Ini 6 Menteri Baru Kabinet Indonesia Maju,
diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/12/22/16165961/jokowi-umumkan-reshuffle-ini-6-
yang gencar menyerukan melawan radikalisme 30 memiliki riwayat berseteru dengan

FPI.31

Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi wajar apabila ada prasangka bahwa

pergerakan GP Ansor memiliki kemelekatan dengan ranah politik praktis, terkhusus

isu radikalisme, meskipun kerapkali disangkal bahwa GP Ansor bersikap moderat

dalam berpolitik. Seperti yang dapat dilihat dari fenomena rangkap jabatan kombinasi

ormas dan partai politik, profil Ketua PP GP Ansor yang kini menjadi Menteri

Agama, sebelumnya adalah Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan DPP PKB 32,

Ketua PP GP Ansor merangkap juga sebagai Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua

Komisi III DPR RI.33

Sekretaris GP Ansor pandangannya terhadap fenomena tersebut, yang

menyatakan:

Mungkin pandangan dari luar, Ansor ini underbow, organisasi atau


dikatakan alat politik untuk kemenangan tertentu. Tapi secara prinsip
dasar keorganisasian, harus berusaha penuh bahwa Ansor ini organisasi
kepemudaan di bawah naungan NU yang bukan menjadi kewajiban akan
partai tertentu. Kita berusaha menghindari hal tersebut. Ansor ini
organisasi kemasyarakatan, keagamaan dan kepemudaan, bukan
organisasi di bawah partai politik. Kita tidak berpatron terhadap suatu
partai. Adapun ada anggota Ansor yang berpartai, itu sah saja, karena
mereka punya hak politik dalam melaksanakan demokrasi sebagai
warganegara yang baik, punya hak politik untuk terjun di ranah politik
praktis, itu sah saja. Acuan prinsip politik NU, moderat. Kita tidak
dimana, tapi ada dimana-mana.

menteri-baru-kabinet-indonesia-maju pada 24 Desember 2020


30
Suara Nahdliyin, 2017, Gus Tutut Serukan Kader Lawan Radikalisme, diakses dari
http://suaranahdliyin.com/gus-tutut-serukan-kader-lawan-radikalisme-703 pada 24 Desember 2020
31
Detik News, 2020, Profil Gus Yaqut, Menag Baru yang Punya Riwayat Berseteru dengan FPI, diakses dari
https://news.detik.com/berita/d-5305486/profil-gus-yaqut-menag-baru-yang-punya-riwayat-berseteru-dengan-
fpi?single=1 pada 24 Desember 2020
32
Adrian Pratama Taher, 2019, Daftar Pengurus DPP PKB Periode 2019-2024 yang Dipimpin Cak Imin,
diakses dari https://tirto.id/daftar-pengurus-dpp-pkb-periode-2019-2024-yang-dipimpin-cak-imin-eg3P pada 23
Desember 2020
33
Detik News, 2020, Profil Gus Yaqut, Menag Baru yang Punya Riwayat Berseteru dengan FPI, diakses dari
https://news.detik.com/berita/d-5305486/profil-gus-yaqut-menag-baru-yang-punya-riwayat-berseteru-dengan-
fpi?single=1 pada 24 Desember 2020
Apabila dibandingkan dengan PP GP Ansor yang cenderung keras, tegas dan

gencar dalam pergerakannya terkait isu radikalisme, GP Ansor Jatinangor sendiri

dapat dikatakan lebih lunak dan persuasif. Jika PP GP Ansor secara tersirat berani

berhadapan langsung ataupun berbenturan dengan kelompok radikal, lain halnya

dengan pendekatan GP Ansor Jatinangor yang cenderung enggan berhadapan

langsung, sebagaimana menurut Sekretaris GP Ansor Jatinangor yang menyatakan :

Tanggapan kita terhadap kelompok-kelompok yang dianggap radikal,


prinsipnya kita tahu bahwa kelompok yang dianggap radikal itu di satu
sisi merupakan organisasi yang bertujuan menegakkan syariat islam
dengan amar maruf nahyi munkar, menegakkan khilafah Islam yang itu
bertentangan dengan yang digagas para founding father negara ini,
intinya bertentangan dengan konstitusi, sehingga itu sangat berbahaya
bagi masyarakat lain. Meskipun mengusung amar maruf nahyi munkar,
namun kita tidak bisa mengambil langkah atau melangkahi aparat
penegak hukum yang ada. Sehingga yang harus kita lakukan hanya
berkoordinasi dan merekomendasikan saja, tidak bergerak secara
pemaksaan dan secara pribadi. Yang mereka lakukan itu akan
mengundang reaksi masyarakat yang tercetus potensi konflik. Prinsipnya
mereka yang dianggap kelompok radikal itu, sebagian konsepnya bagus,
pada tataran implementasinya mungkin yang kurang pas, dan ada oknum
yang menunggangi dengan kepentingan tertentu, sehingga jadi melenceng
dari konsep yang baik-baiknya.

Berdasarkan keterangan narasumber dan pengamatan peneliti, maka dapat

dikatakan bahwa GP Ansor Jatinangor dalam ikut serta menangkal radikalisme di

wilayah Kecamatan Jatinangor tidak terhindar akan adanya generalisasi, stigma

atau tudingan-tudingan tertentu. Hal tersebut merupakan dinamika maupun

implikasi yang terjadi pada berbagai eksistensi dan pergerakan GP Ansor

Jatinangor di tengah masyarakat. Adanya kecenderungan bahwa eksistensi dan

pergerakan GP Ansor Jatinangor terkait isu radikalisme dan perannya dalam ambil

bagian menangkal radikalisme tak terhindarkan dari pandangan akan adanya motif
atau orientasi yang melekat di dalamnya simbol-simbol social-politik. Ini adalah

irisan sekaligus tantangan yang harus dijawab sendiri oleh GP Ansor Jatinangor.

.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam penelitian ini,dapat disimpulkan bahwa GP Ansor Jatinangor

sebagai civil society organization (ormas) di Kecamatan Jatinangor memiliki

peran penting seperti yang di jelahsan sebelumnya bahwa GP Ansor Sebagai

Pengawas penyelenggara Pemerintah, Katalisator Perubahan Sosial, Fasilitator

Rekonsiliasi Masyarakat dan Lembaga Peradilan dan Pendukung Implementasi

Program Pemerintah.

sementara Peran aktif GP Ansor Jatinangor dalam upaya menangkal

radikalisme di daerah tersebut adalah melalui revitalisasi nilai-nilai Islam

ahlussunnah wal jama‘ah (Aswaja) dan melalui Kerjasama dengan berbagai pihak

termasuk Pemkot Surabaya, pihak keamanan dan pihak lain yang sepaham untuk

menangkal radikalisme dengan Pendekatan Persuasif dan Pendekatan Dialog.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian dan pembahasan yang telah

dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka terdapat beberapa saran yang

dapat dikemukakan penulis sebagai berikut :

1.Bagi pengurus GP Ansor Jatinangor Periode diharapkan untuk selalu konsisten

dalam menjaga, mempertahankan dan mengembangkan peran aktifnya dalam

ikut berkontribusi dalam menangkal radikalisme.

2.Bagi peneliti lain


Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan masukan

dalam mengkaji lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan peran organisasi

kepemudaan dalam menangkal radikalisme.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aziz, A.SR, dkk. (2016). Menggugat Negara. Malang : Kitrans Publishing.

al-Qardhawi, Y. (2001). al-Sahwah al-Islamiyyah: Baina al-Juhad wa al-


Tatarruf. Kairo: Bank atTaqwa.
Ahmed, A. S. (1993). Posmodernisme, Bahaya dan Harapan bagi Islam.
Terjemah M. Sirozi. Bandung : Mizan.
Alaena, B. (2000). Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Anam, C. (1990). Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlotul Ulama. Surabaya:
AULA.
Anam, C. (2010) Gerak Langkah Pemuda Ansor. Jakarta: Duta Aksara Mulia.
Aswar, H. (2016). Organisasi Nahdlatul Ulama Memerangi Radikalisme Politik

Islam di Indonesia. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII, Mei

2016.

Bakti, A.S. (2014). Darurat Terorisme. Jakarta : Daulat Press.

Baradat, L.P. (1994). Political Ideologies: Their Origins and Impact. New Jersey:

Prentice Hall.

Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka


Utama. 
Bungin, B. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Rajawali Pers.
Castells, M. (2010). The Rise of the Network Society. Sussex: Wiley Blackwell.
Culla, A.S. (1999). Masyarakat Madani : Pemikiran, Teori, dan Relevansinya

Dengan Cita-Cita Reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Denzin, N.K., dan Yvonna S. Lincoln (eds.). (2009). Handbook of Qualitative


Research. Terj. Dariyatno dkk. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Dikmejian, R.H. (1985). Islam in Revolution: Fundamentalism in Arab World.
New York: Syracuse University Press.
Eldridge, P. (1989). NGOs In Indonesia: Popular Movement or Arm of

Government? Victoria: The Centre of Southeast Asian Studies Monash

University.

Fealy, G. and Hooker, V. (eds.). (2006). Voices of Islam in Southeast Asia: A


Contemporary Sourcebook. Singapore: ISEAS.
Gaffar, A. (2006).Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Hassan, N. (2010). Laskar Jihad; Islam, Militancy and the Quest for Identity in
PostNew Order Indonesia. Ithaca: Cornell University Southeast Program
Publications.
Hikam, Muh. A.S. (1999). Demokrasi dan Civil society. Jakarta: LP3ES.

Kurniawan, L.J., dan Puspitosari, H. (2012). Negara, Civil society dan


Demokratisasi. Malang : Intrans Publishing.
Ma’unah, Z. 2015. Manajemen dakwah Gerakan Pemuda (GP) Ansor dalam
upaya deradikalisasi agama di Kabupaten Batang pada tahun
2014/2015. Skripsi, UIN Walisongo.
Madjid, N. (1995). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Masduqi, I. (2012). Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat
Beragama. Bandung: Mizan.
Miles, M. B. &Huberman, A.M. (2009). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-

Press.

Moleong, L.J. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja.


Rosdakarya. 
Nashir, H. (2007). Gerakan Islam Syariat : Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia.  Jakarta : PSAP Muhammadiyah.
Nasution, H. (1995). Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Nata, A. (2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Prenada Media Group.
Nordholt, H.S., dan Klinken, G.v. (2002) Politik Lokal di Indonesia. Jakarta : YOI
& KITLV.
Nye, J.S. (2004). Soft Power: The Means to Success in World Politics. United
States: Public Affairs.
Paranto, S. (1981). Teknik Diskusi dan Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan

dalam Pelaksanaannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

PP. GP. Ansor. (2015). PD/PRT GP ANSOR, Mukodimah Peraturan

Dasar/Peraturan Rumah Tangga Gerakan Pemuda Ansor hasil kongres

ke XV. Jakarta: PP GP Ansor.

Pranadji, T. (2012). Naskah Akademik RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Jakarta : Rajawali Pers.

Prasetyo, H., dan Munhanif, A. (2002). Islam dan Civil society: Pandangan

Muslim Indonesia. Jakarta: Gramedia dan PPIM-IAIN Jakarta.

Raffiudin, R. dkk. (2011). Teori Politik. Jakarta: Universitas Terbuka.


Rahardjo, M.D. (1999). Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan

Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES.

Sabirin, R. (2004). Islam dan Radikalisme. Yogyakarta: Ar-Rasyid.


Scruton, R. (2013). Kamus Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shaban. (1994). Islamic History. Cambridge: Cambridge University Press.
Solichun, I. (2018). Peran Peran Organisasi Pemuda Dalam Menangkal
Radikalisme (Studi Pada GP Ansor Kota Surabaya Periode 2017-2021).
Tesis. Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sufyanto. (2001). Masyarakat Tammadun : Kritik Hermeneutis Masyarakat

Madani Nurcholis Madjid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LP2IF.


Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
CV. Alfabeta.
Sukmana, O. (2016). Konsep dan teori gerakan sosial. Malang: Intrans

Publishing.

Sumardjan, S. (1980). Pengantar Sosiologi. Jakarta: UI Press.

Suryadi, A. (2006). Rekonstruksi Civil society Wacana dan Aksi Ornop di

Indonesia. Jakarta : Pustakan LP3S Indonesia.

Syafiie, I.K. (1999). Ilmu Politik. Jakarta : Rineka Cipta.


Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan Dan Masyarakat Madani

Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan Adikarya

IKAPI dan The Ford Foundation.

Tim ICCE UIN Jakarta. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat

Madani. Jakarta: Prenada Media.

Turmudzi, E. dan Sihbudi, R. (2005). Islam dan Radikalisme di Indonesia.


Jakarta: LIPI Press.
Zuhri, S. (2017). Deradikalisasi Terorisme, Menimbang Perlawanan
Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama. Jakarta: Daulat Press.

Jurnal
Argenti, G. (2018). Civil Society, Shadow State dan Local Strongmen Dalam
Kajian Politik Lokal. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol.4,
No.1, (April 2018):58-70.
Arham, L. dan Pranadipa, H. (t.t). Menciptakan Deradikalisasi Berbasis
Kepercayaan (Trust) & Kemanusiaan (Humanity) Untuk Transformasi
Sosial Pelaku Terorisme. CSAVE.
Banuaji, S., Widayati, W., dan Astuti, P. (2013). Peran Gerakan Pemuda Ansor
dalam Penguatan Civil society di Kabupaten Jepara. Journal of Politic
and Government Studies, Vol. 2, No. 4 (Oktober 2013): 246-255.
Dermawan, W., Affandi, N.RMT., dan Alam, G.N. (2019). Deradikalisasi dan
Pembangunan Inklusif di Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Pada
Masyarakat, LP3M of Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Volume 4,
No. 4 (2019): 459-474
Ekawati, E. (2016). Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Civil Society di Indonesia.
Nuansa, Vol. 13, No.2 (Juli-Desember, 2016): 233-249
Halili. (2006). Masa Depan Civil Society Di Indonesia: Prospek dan Tantangan.
CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan), Vol.3, No.2 (Desember,
2006): 1-18.
Hartana, I.M.R. (2017). Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung
Radikalisme. Jurnal Ilmu Kepolisian, Edisi 088 (Januari-April,
2017):107:110.
Herdiansyah, A.G., dan Randi. (2016) Peran Organisasi Masyarakat (Ormas) dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dalam Menopang Pembangunan
di Indonesia. SOSIOGLOBAL Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Sosiologi, Vol. 1, No. 1 (Desember 2016):49-67.
Hidayat, A. dan Sugiarto, L. (2020). Strategi Penangkalan & Penanggulangan
Radikalisme Melalui Cultural Reinforcement Masyarakat Jawa Tengah.
Jurnal USM Law Review, Vol.3, No.1 (2020): 135-154.
Hilmy, M. (2013). The Politics of Retaliation: the Backlash of Radical Islamists to
Deradicalization Project in Indonesia. Al-Jami‘ah: Journal of Islamic
Studies, Vol. 51, No. 1 (2013): 129-159.
Hilmy, M. (2014) Genealogi dan Pengaruh Ideologi Jihadisme Negara Islam Iraq
dan Suriah (NIIS) di Indonesia. Teosofi, Vol. 4, No. 2 (Desember 2014).
Hilmy, M. (2015). Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca-

Orde Baru. MIQOT, Vol. XXXIX No. 2 (Juli-Desember 2015): 407-425.

Ramadhani, N.F. (2014). Kontestasi Kekuasaan Dalam Praktik Sosial Keagamaan

Gerakan Pemuda Ansor Di Kabupaten Jombang. Jurnal Mahasiswa

Sosiologi (JMOS) UB, Vol 3, No. 1, 2014.


Rokhmad, A. (2012) Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham
Radikal. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume 20,
Nomor 1, (Mei 2012).
Sahri. (2016). Radikalisme Islam di Perguruan Tinggi Perspektif Politik Islam. Al-
Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 6 No.1 (April
2016).
Subakir, A., dan Mustamir, A.K. (2020). Gerakan Moderasi Islam Dalam

Perspektif Deteksi Dini; Studi Gerakan Pemuda Ansor. Tribakti: Jurnal

Pemikiran Keislaman, Vol. 31, No. 2, Juli 2020.

Susanti. (2012). Kendala Radikalisme dalam Mewujudkan Civil society di


Indonesia. Prociding: Seminar Nasional FISIP-UT 2012.
Tim Redaksi. (2015). Pengantar Redaksi: Politik dan Power Struggle. Jurnal Ilmu
Politik, Vol. 1, No.1 (Agustus, 2015): 1-3
Umar, A.R.M. (2010). Melacak Akar Radikalisme di Indonesia. JSP Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 14 No. 2 (November 2010): 169-186.

Internet
Anwar Siswadi, 2019, Cara Unpad dan ITB Hadapi Radikalisme di Kampus,

diakses dari https://www.teras.id/iptek/pat-2/174161/cara-unpad-dan-itb-

hadapi-radikalisme-di-kampus pada 19 Oktober 14.32 WIB

Bowo Pribadi, 2017, GP Ansor Tegaskan Lawan Radikalisme dan Anti-Pancasila,

diakses dari

https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/27/op2e22377-

gp-ansor-kritik-ketum-pp-pemuda-muhammadiyah-soal-kelompok-

antipancasila pada 20 Oktober 2020 19.45 WIB

Damailahindonesiaku, 2018, Kehidupan Individualisme Mahasiswa Bisa Jadi

Jalan Masuk Pemikiran Radikal, diakses dari


https://damailahindonesiaku.net/kehidupan-individualisme-mahasiswa-

bisa-jadi-jalan-masuk-pemikiran-radikal.html pada 19 Oktober 2020

14.21 WIB

Dupla Kartini, 2017, Densus 88 Tangkap Terduga Teroris di Jatinangor, diakses

dari https://regional.kontan.co.id/news/densus-88-tangkap-terduga-

teroris-di-jatinangor pada 18 Oktober 2020 19.35 WIB

Fathorrahman Ghufron, 2017, Radikalisme dan Politik Identitas, diakses dari

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/05/19170871/radikalisme.dan.

poli%20tik.identitas pada

Hasan Basri, 2020, Ansor dan Banser Siap Satu Komando Lawan Radikalisme

dan HTI, diakses dari https://beritabaru.co/ansor-dan-banser-siap-satu-

komando-lawan-radikalisme-dan-hti/ pada 20 Oktober 2020 10.23

Joko Susilo, 2019, GP Ansor Dukung Pemerintah Lawan Radikalisme, diakses

dari https://www.antaranews.com/berita/786182/gp-ansor-dukung-

pemerintah-lawan-radikalisme pada 20 Oktober 2020 10.20 WIB

Muhammad Hidayatullah, 2020, 9 Pandangan dan Penegasan Politik NU, diakses

dari https://ansorpurworejo.org/9-pandangan-dan-penegasan-politik-nu/

pada 20 Okober 2020 10.05 WIB

Paskalis Alfinos Toda, 2016, Penguatan Peran Civil society Sebagai Usaha

Deradikalisasi, diakses dari

https://kupang.tribunnews.com/2016/07/02/penguatan-peran-civil-

society-sebagai-usaha-deradikalisasi pada 19 Oktober 16.01 WIB


INSTRUMEN PENELITIAN

PEDOMAN WAWANCARA
I. Informan Kunci
1. Bagaimana peran GP Ansor dalam mencegah radikalisme?
2. Apakah landasan GP Ansor dalam mencegah radikalisme?
3. Apa saja program kegiatan GP Ansor dalam mencegah radikalisme?
Bagaimana teknisnya?
4. Apa tujuan GP Ansor dalam pencegahan radikalisme?
5. Siapa saja mitra GP Ansor dalam pencegahan radikalisme?
6. Siapa saja target dan sasaran dari pencegahan radikalisme?
7. Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar terhadap peran GP Ansor dalam
upaya pencegahan radikalisme?
8. Apa dampak yang dirasakan masyarakat dari partisipasi GP Ansor dalam
upaya pencegahan radikalisme?
9. Apa dampak yang dihadapi GP Ansor dari ambil bagian dalam upaya
pencegahan radikalisme?
10. Apa kendala dan hambatan yang dihadapi GP Ansor dalam pencegahan
radikalisme?

II. Informan pendukung


1. Bagaimana tanggapan melihat peran GP Ansor dalam mencegah
radikalisme?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar terkait peran GP Ansor yang
ambil bagian dalam pencegahan mencegah radikalisme?
3. Bagaimana tanggapan Anda terhadap kegiatan-kegiatan GP Ansor terkait
pencegahan radikalisme?
4. Bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat dari partisipasi GP Ansor
terkait pencegahan radikalisme?
5. Apa saran dan kritik Anda terhadap GP Ansor terkait pencegahan
radikalisme?
PEDOMAN OBSERVASI

1. Mengamati dan mencatat kegiatan GP Ansor terkait pencegahan


radikalisme?
2. Mengamati dan mencatat respons masyarakat/audiens dalam kegiatan GP
Ansor dalam rangka pencegahan radikalisme?
LAMPIRAN TRANSKRIP WAWANCARA

Transkrip Wawancara 1

Nama : Nanang Wahyu


Narasumber : Ketua GP Ansor Jatinangor
Waktu : 26 November 2020
Tempat : Pesantren Al-Falah Desa Cileles Kec. Jatinangor

Keterangan:
P: Peneliti
N: Narasumber

P : Assalamualaikum Kang Ustad, Saya Arsya, mahasiswa Program Studi Ilmu


Politik Unpad, mohon izin wawancara untuk penelitian dengan topik Peran GP
Ansor Jatinangor dalam menangkal radikalisme.
N : Waalaikumsalam, ya manga silakan dimulai.

P : Bisa Kang Ustad jelaskan sebetulnya bagaimana keorganisasian GP Ansor


Jatinangor itu?
N : Gerakan Pemuda (GP) Ansor itu salah satu Badan Otonom di bawah naungan
Nahdlatul Ulama. Di dalam GP Ansor di bawahnya ada anak badan otonom (anak
banom) yaitu Rijalul Ansor dan Banser (Barisan Ansor Serbaguna). GP Ansor ini
mempunyai keunikan tersendiri pada struktur organisasinya, dimana tiap wilayah,
cabang atau ranting memiliki struktur organiasi yang berbeda satu sama lain,
disesuaikan dengan kebutuhan wilayah dimana GP Ansor berada.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam memonitoring penyelenggaraan


pemerintahan setempat di Kecamatan Jatinangor? Bisa dijelaskan Kang Ustad/
N : Ada perannya. Peran GP Ansor dalam memonitoring penyelenggaraan
pemerintahan misalnya berperan aktif baik tingkatan desa maupun kecamatan,
turut mengawasi pelaksanaan pemilu. Peran lainnya yaitu seperti mengikuti
perkembangan kebijakan Kawasan Perkotaan Jatinangor dimana kita ikut dalam
tim akselerasi Kawasan Perkotaan Jatinangor.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam mengkatalisatori perubahan


sosial di Kecamatan Jatinangor? Seperti apa bentuknya?
N : Maksudnya mengkatalisatori itu seperti bagaimana?
P : Ya semisal memfasilitasi atau memberikan bantuan supaya masyarakat bisa
berubah kondisi sosialnya, misalnya kesejahteraannya, dan lain-lain
N : Cukup banyak sih, misalnya memberikan edukasi kepada masyarakat melalui
kegiatan-kegiatan tingkat kecamatan dan pedesaan. Contohnya, seperti
memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk ikut aktif menjadi pemilih di
dalam pemilihan umum.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam memfasilitasi rekonsiliasi


masyarakat dengan lembaga peradilan di Kecamatan Jatinangor?
N : Peran GP Ansor Jatinangor dalam hal ini, untuk tingkat kecamatan belum ada
lembaga seperti itu (LBH), kalau tingkatan PC (cabang) ada badan atau lembaga
seperti itu. Kalau di tingkat Kecamatan Jatinangor jika Ansor menemukan kasus
seperti itu, Ansor Jatinangor mengajukan ke PC (cabang, kabupaten/kota), jadi
sifatnya Ansor Jatinangor memfasilitasi untuk meneruskan ke tingkat yang lebih
atas lagi (PC). Kebetulan PC Sumedang baru dibentuk LBH-nya. Sebelumnya,
kalau ada kasus seperti itu kita ajukan ke wilayah atau ke pusat.
P : Jadi perannya di sini seperti merekomendasikan ke tingkat pengurus cabang
atau wilayah begitu?
N : ya seperti itu, karena kita di pengurus anak cabang Jatinangor belum dibentuk
lembaganya seperti LBH.
P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam mendukung implementasi
program pemerintah di Kecamatan Jatinangor?
N : Peran GP Ansor Kecamatan Jatinangor dalam membantu implementasi
program pemerintah yaitu seperti berbentuk membantu mengurus dan
memfasilitasi keperluan masyarakat agar dapat mengakses program Rutilahu.
Ansor di sini terlibat dari pengajuan, pelaksanaan hingga pengawasan pelaksanaan
Rutilahu. Selain itu, Ansor mengerahkan Banser untuk ikut menjaga keamanan
dan ketertiban lingkungan.

P : Kalau peran GP Ansor mendukung program pemerintah yang berkaitan


dengan kontra radikalisme atau upaya menangkal radikalisme, adakah Kang?
Apakah GP Ansor memiliki kapasitas atau cukup kompeten di dalam isu kontra
radikalisme ini?
N : Dari segi SDM, kita mempunyai yang tingkat pemahaman yang baik, yang
mumpuni dari sisi pemahaman radikalisme. Karena sebagian pengurus pernah
mengikuti diklat semacam penangkalan radikalisme. Sebagian pengurus ansor
dibekali semacam diklat mengenai manhajul fikar dan manhajul harokah, itu
merupakan bekal pemahaman terkait penangkalan radikalisme.

P : Sekarang kita lebih dalam lagi masuk ke topik peran GP Ansor Jatinangor
dalam partisipasinya ikut menangkal radikalisme. Sebelumnya, bagaimana Kang
Ustad melihat potensi radikalisme di Kecamatan Jatinangor?
N : Sebelum melihat potensi di lingkungan masyarakat jatinangor umumnya, kita
melihat dulu potensi di lingkungan internal.
P : Maaf saya potong Kang Ustad, maksudnya lingkungan internal Ansor atau NU
juga ada potensi terapapar radikalisme?
N : Ya itu bukan tak mungkin. Pengurus-pengurus NU banyak yang jadi ustad-
ustad kampung, ada juga ustad-ustad kampung yang terpengaruhi pemahaman
radikal, itu juga sasaran kita. Ketika kita memberikan fasiltias pada pengurus, kita
kan agak segan menasihati ustad kampung itu, maka kita meminta bantuan kepada
NU, kita mengadakan yaumul ijtima sebulan sekali, pengajian di samping
pengajian kitab, ada juga pengajian untuk menyamakan manhajul fikar dan
manhajul harokah. Menyamakan pandangan pemikiran dan pandangan
pergerakan. Masih banyak orang NU yang mengamalkan amaliah NU, yang
terpengaruh paham radikalisme. Bahkan ada juga yang dari NU yang menjadi
pengurus atau ikut jadi anggota kelompok yang dianggap radikal, itu mereka tidak
memahami manhajul fikar dan manhajul harokah NU yang sebenarnya.

P : secara garis besar, adakah konsep atau grand desain bagaimana strategi atau
pendekatan GP Ansor untuk membantu menangkal radikalisme di Jatinangor?
N : Jika langsung straight melawan radikalisme, Bahasa seperti itu masih banyak
orang yang ga faham seperti itu, malahan masyarakat banyak yang pro
radikalisme. Di sana kita dakwahkan kebaikan-kebaikan saja. Intinya kita dalam
menghadapi radikalisme itu, kita tidak pakai unjuk kekuatan, kita melalui
kegiatan-kegiatan kita. Jadi tidak langsung, misalnya tidak langsung menyerang.
Kita membesarkan kegiatan-kegiatan kita saja, jadi masyarakat bisa lebih menilai.
Kita berbaur dengan masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah dalam segi isu-
isu yang terjadi di masyarakat, isu sosial politik budaya keagamaan, dan lain-
lainnya.

P : Jadi secara lebih detail lagi, pendekatan seperti apa yang dilakukan ke
lingkungan internal atau eksternal di masyarakat? Adakah pendekatan khusus,
misalnya pendekatan persuasif dalam membantu menangkal radikalisme di
Jatinangor?
N : Pendekatan melalui pengajian-pengajian. Kita sering keliling, tiap tahun itu
kita keliling melalui program tarling (tarawih keliling). Itu pendekatan ke
masyarakat. Sekarang diprogramkan untuk Darmaji, kemarin itu difokuskan di
Sabusu, kita akan keliling desa-desa tiap bulan, melalui para Kyai NU, kita
datangi pengajiannya kita sosialisasikan, kita dakwahkan tentang islam rahmatan
lilalamin. Melawan radikalisme, kita membesarkan kegiatan kita, masif dalam
pengkaderan. Nanti juga faham-faham, radikalisme terkikis. Pemahaman radikal
tersebut karena masyarakat tidak faham, tidak tahu, masyarakat banyak yang
masih awam dalam memahami agama, jadi gampang dimasuki faham radikal, jadi
kita imbangi dengan dakwah ke masyarakat, degan kegiatan-kegiatan persuasif
semacam itu.

P : Kalau kegiatan-kegiatan dengan pendekatan dialog apakah ada Kang? Itu apa
saja kegiatan GP Ansor dalam rangka me menangkal radikalisme di Kecamatan
Jatinangor?
N : Paling juga, dialog lintas agama. Dari anggota ormas-ormas yang diundang,
untuk berdialog, termasuk mahasiswa. Kalau dengan kelompok yang dianggap
radikal, belum pernah sih. Tapi kalau kegiatan menjaga keamanan bersama, kita
pernah bersama. Kalau debat masalah keagamaan, pemahaman keagamaan, kita
belum pernah. Kita prinsipnya, kita lebih sibuk , kita lawan dengan pergerakan.
Kita membesarkan nama Ansor, membesarkan kegiatan kita di masyarakat, nanti
juga masyarakat tahu.

P : Siapa target dan sasaran yang dibidik dalam kegiatan-kegiatan GP Ansor


Jatinangor terkait perannya dalam menangkal radikalisme di Jatinangor?
N : Target utama secara umum masyarakat Jatinangor. Secara khusus, ranah
kepemudaan baik itu kelompok lokal, seperti karang taruna, knpi, yang memiliki
pangsa pasar yang umurnya masih pemuda, itu sasaran utama kita mengajak
berkegiatan Bersama. Dari sit mungkin akan menyebar ke ranah lainnya. Masuk
juga ke ranah kemahasiswaan. Dengan organisasi ekstra kampus PMII, KMNU,
itu kita berusaha masuk ranah mahasiswa walaupun ada banom nu di sana
(KMNU).

P : Kang, ada dampak yang dirasakan organisasi atau anggota Ansor yang muncul
dari keikutsertaan menangkal radikalisme?
N : Dampak baik atau dampak buruk?
P : Kedua-duanya kang.
N : mungkin, ada dampaknya. Ketika ada instruksi (melawan radikalisme),
otomatis kita harus mengikuti instruksi dari pusat, walaupun tidak secara
langsung, dan tidak semua anggota juga yang menanggapi instruksi tersebut. 50%
yang siap mengikuti.

P : Kalau kendala dan hambatan yang dihadapi di dalam kegiatan-kegiatan GP


Ansor apa kang? Yang terkait dengan upaya menangkal radikalisme juga adakah
kendala dan hambatannya?
N : Kendala dan hambatannya, masalah waktu. Dari segi waktu, para pengurus
Ansor ini kebanyakan di usia-usia produktif. Ketika dari pengurus banyak yang
sudah menikah, ada yang bekerja di pabrik misalnya, itu terkendala waktu juga.
Kader atau para pengurus banyak yang berbenturan dengan masalah ekonomi,
katakanlah waktu untuk mencari penghasilan, sehingga ada hambatan keleluasaan
waktu untuk berkegiatan. Kalau dari segi anggaran, tidak terlalu menjadi kendala
dan hambatan. Kita swadaya kebanyakan, kalau di NU itu pengorbanan, kita tidak
dibiayai oleh pemerintah. Ketika mengadakan kegiatan, itu kebanyakan urunan.

P : Ada saran, kritik, visi misi, atau rencana strategis ke depannya terkait kegiatan
Ansor yang berkaitan dengan upaya menangkal radikalisme?
N : Ke depannya, strategi yang berhubungan dengan radikalisme. Kita akan lebih
memasifkan kegiatan pengajian, kajian keagamaan sosial politik dan budaya, itu
merupakan program untuk menangkal radikalisme. Kita lebih sibuk membesarkan
diri kita, daripada mengecilkan orang lain. Program yang kita jalankan lebih untuk
membesarkan diri kita, biar masyarakat menilai.

P : Kalau benturan atau gesekan dengan kelompok yang dianggap radikal ada
tidak kang? Pernah gesekan atau berkonflik dengan mereka?
N : Gesekan secara langsung dengan kelompok radikal tidak pernah. Kita
berusaha untuk menghindari gesekan langsung dengan kelompok radikal. Kita
mendingan sibuk mengamankan diri daripada mengurusi orang lain. Kita
menganggap kelompok radikal itu sama seperti kita, hanya pandangan atau
pemahamannya saja yang perlu diluruskan.
P : Oh ya Kang Ustad, saya pernah membaca sekilas di facebook ada tudingan
bahwa Banser juga radikal? Seperti suka menggeruduk itu. Bagaimana menangkis
tudingan itu?
N : Ketika di medsos Ansor, Banser sendiri dituding radikal, ya kita perlihatkan
saja bahwa Banser tidak seperti itu.

P : Pertanyaan terakhir Kang, bagaimana tanggapan Kang Ustad jika seandainya


peran GP Ansor Jatinangor dalam menangkal radikalisme dikaitkan dengan
politik? Karena selama ini ada image katanya Ansor itu underbow-nya PKB?
N : Dari kacamata politik, katanya Ansor sebagai kendaraan politik partai tertentu.
Ansor itu tidak dimana tapi ada dimana-mana. PKB itu merupakan bagian dari
NU, tapi NU bukan bagian dari PKB. Banyak kader Ansor juga ada di Golkar, di
Gerindra. Jadi kita kembali ke khittah 1926, NU bukan partai politik. Juga bukan
bagian dari partai politik tertentu. Ansor tidak pernah mendeklarasikan bagian dari
partai tertentu. Kita bebas saja dalam berpandangan politik. Ke anggota juga tidak
pernah melarang untuk aktif di salah satu partai politik. Kalau mendukung satu
partai politik, itu masyarakat saja yang mengidentikkannya. Pandangan politik itu
diperbolehkan tidak sama, boleh berbeda. PKB hanya sebagai salah satu alternatif
wadah bagi kader Ansor, kalau mau aktif di partai lain ya silakan.
Transkrip Wawancara 2

Nama : Agus Taufik Habibi


Narasumber : Sekretaris GP Ansor Jatinangor
Waktu : 26 November 2020
Tempat : Pesantren Al-Falah Desa Cileles Kec. Jatinangor

Keterangan:
P: Peneliti
N: Narasumber

P : Assalamualaikum, izin wawancara Kang untuk penelitian kampus saya.


N : Waalaikumsalam, boleh. Topiknya tentang apa ya?
P : Tentang perang GP Ansor Jatinangor dalam rangka membantu pemerintah ikut
serta menangkal radikalisme.
N : Oke.

P : Adakah peran GP Ansor Jatinangor itu sebagai cvil sociey organization dalam
memonitoring penyelenggaraan pemerintah?
N : Organisasi GP Ansor menjadi middle clas-nya NU, menjadi garda
pemudanya, sejauh ini yang namanya pemuda adalah bagaikan besi, iron stock,
yang namanya besi mudah berkarat, setiap orang pasti mudah berkarat, yang
dulunya dia aktivis ketika masa tua dia akan terlibat dalam kepentingan pribadi,
nah selagi memiliki masa muda yang penuh perjuangan, dari situ, keterlibatan kita
di masyarakat tidak lepas dari langgam tawasul, taadul, tawajun, tasamuk, dan hal
itu yang dilaksanakan oleh para kader Ansor untuk menentramkan dan
mendamaikan masyarakat.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam mengkatalisatori perubahan


sosial di Kecamatan Jatinangor?
N : Civil society umumnya pola bottom up, ketika pola itu dilakukan pasti ada
timbal balik dari pemerintahan setempat sehingga timbal baliknya top-down,
terwujudnya good government. Barangkali peran Ansor dalam mengkatalisatori
perubahan sosial ini salah satunya bertujuan ke arah itu.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam memfasilitasi rekonsiliasi


masyarakat dengan lembaga peradilan di Kecamatan Jatinangor? Misalnya Ketika
ada kasus masyarakat yang maju ke pengadilan, di sana Ansor membantu atau
ikut mendampingi masyarakat?
N : Sejauh ini masuk ranah hukum (ligitasi) atau advokasi, Ansor Jatinangor
kapasitas SDM dan kuantitasnya belum masuk ranah tersebut. Untuk memfasilitas
ranah peradilan, rekonsiliasi di masyarakat kita belum masuk. SDM-nya masih
belum cukup. Perlu reformasi kebudayaan, menguatkan kapasitas kader secara
intelektual nalar, dll. Saat ini mungkin baru sebatas memberikan edukasi kepada
masyarakat mengenai hukum.

P : Apakah ada peran GP Ansor Jatinangor dalam mendukung implementasi


program pemerintah di Kecamatan Jatinangor?
N : Yang baru kita prioritaskan, baru terimplementasi, di ranah keagamaan dari
mulai kultur solawat, dan aktivitas amaliah lainnya. Menciptakan kultur amaliah
budaya NU yang sejalan dengan pemerintah demi menentramkan situasi
masyarakat. Seperti dengan kegiatan festival solawat, Jatinangor Bersholawat, itu
tujuannya menentramkan, itu masuk ranah membantu implementasi, karena
bekerja sama dengan pemerintah setempat (kecamatan).

P : Bagaimana pandangan akang mengenai radikalisme di Kecamatan Jatinangor?


N : Potensi radikalisme, secara statistik dan keilmiahan kita belum pernah
meneliti secara aktual bagaimana kondisi potensinya di Kecamatan Jatinangor.
Kalau secara asumsi, jelas sangat berpotensi. Karena masyarakat Jatinangor yang
heterogen, yang mobilitas tinggi perpindahan orang masuk sana sini, pasti setiap
orang memiliki pemikiran berbeda, agama berbeda, dari situ akan menimbulkan
interaksi sosial yang kemudian berakibat, saya bukan bagian dari Anda, Anda
bukan bagian dari saya, bagaimana agar kita bisa menyamakan atau memahami
satu sama lain yang berbeda, itu akan terjadi potensi berbahaya ketika kita biarkan
mereka menuntut ego masing-masing. Dari situ Jatinangor rawan dan berpotensi
radikal. Melihat dari kampus-kampus sendiri banyak mahasiswa yang tercekoki
paham radikal, dengan adanya organisasi tertentu, yang marak mendoktrinasi ke
arah radikalisme, itu berpotensi menyebar ke ranah-ranah lainnya. Bahaya potensi
itu apabila menjadi aksi. Potensi itu akan menjadi modal awal untuk realisasi aksi
kan. Jadi Ansor sendiri mengimbangi dengan mengkonter opini itu agar tidak
terjadi, dengan adanya diskusi dan persuasi melalui kegiatan yang bersifat
kebangsaan dan nasionalisme.

P : Adakah konsep atau grand desain bagaimana strategi atau pendekatan GP


Ansor untuk membantu menangkal radikalisme di Jatinangor?
N : Dalam pendekatan persuasif, kita sifatnya mengajak bukan mengejek,
merangkul bukan memukul. Soal ajakan ini kan bagian dari dakwah, syiar kita
kepada masyarakat tertentu untuk tidak bertindak sedemikian rupa atas nama
agama, bahwa dirinya yang paling benar dan orang lain paling kafir (radikal atau
anarkis). Klaim teologis yang berusaha kita minimal Isir. Ada masyarakat minor
lain yang perlu kita perhatikan, seperti aliran kepercayaan dan agama lain di luar
Islam. Kita hidup di negara demokratis, yang perlu mengakomodir kelompok
yang berbeda dengan kita. Maka upaya penanganan radikalisme kita lakukan
dengan pendekatan persuasif dan deskriptif. Deskriptif di sini dengan setelah
adanya kegiatan-kegiatan persuasif kita perlu mendeskripsikan apa yang menjadi
konsep dan gagasan kita untuk menentramkan suatu keadaan masyarakat. Dengan
adanya diskusi-diskusi diskursus dengan tema kebangsaan, kenegaraan,
patriotisme dan nasionalisme, hal itu yang membuat masyarakat akan berpikir
sendirinya, dan diharapkan akan ikut berpartisipasi.

P : Dalam kegiatan-kegiatan GP Ansor Jatinangor terkait perannya dalam


menangkal radikalisme di Jatinangor siapa target dan sasarannya?
N : Sasaran utama kelompok mahasiswa. Kebanyakan penduduk setempat, itu
tidak tahu informasi atau cukup awam tentang radikalisme. Di sini banyak
(mahasiswa) Islam transnasional, dari berbagai negeri yang dibawa ke sini, untuk
menyebarkannya di sini, tidak menutup kemungkinan mahasiswa itu membawa
pemahaman dari luar itu ke kita. Itu paling potensial. Makanya yang dikuatkan itu
mitra, dari pihak mahasiswa juga, seperti PMII (satu banom, satu atap dari NU),
KMNU, HMI, dll mengadakan kerja sama untuk menangkal radikalisme di
kampus. Soalnya, yang paling masif itu pergerakannya di kampus, radikalisme itu.

P : GP Ansor Jatinangor bermitra atau bekerja sama dengan siap saja terkait
perannya membantu menangkal radikalisme?
N : Contohnya kita bekerja sama dengan komunitas Gusdurian. Kita bekerja sama
untuk meredam situasi masyarakat yang berpotensi konflik atas dasar radikalisme.
Ansor ikut hadir dalam kegiatan Gusdurian, membahas soal pemikiran Gusdur,
dalam upaya agar masyarakat memahami soal anti radikalisme. Gusdurian
merupakan komunitas nonformal, komunitas bukan di bawah NU atau ada embel-
embel NU. Gusdurian breada di bawah naungan jaringan Gusdurian yang bukan
bagian dari Badan Otonom seperti kita (Ansor). Kita baru beberapa. Potensi masih
bayak yang perlu kita jemput bola secara kemitraan untuk berkegiatan dalam
rangka menangkal radikalisme. Selain kerja sama yang terjalin dengan Gusdurian,
yang pernah mengadakan kegiatan bersama yaitu Pemuda Pancasila, XTC, kita
yang mengundang atau kita yang diundang

P : Apakah ada dampak yang dirasakan organisasi atau anggota Ansor dari
keikutsertaan menangkal radikalisme?
N : Secara kesemangatan kader dilihat dari kuantitas kehadiran itu terlihat. Adnya
komitmen kesepakatan anti radikalisme, dari anggota tersendiri semangat. Sejauh
ini tidak ada anggota Ansor yang masuk atau ikut terlibat kelompok yang
dianggap radikal, itu membuktikan bahwa kegiatan-kegiatan ansor dalam
kaitannya dengan penangkalan radikalisme berdampak baik. terhadap anggota,
dilihat dari kesemangatan dan kehadiran.
.

P : Terkait dengan upaya menangkal radikalisme melalui kegiatan-kegiatan


Ansor, apakah ada kendala dan hambatan yang dihadapi?
N : Kendala yang dihadapi dari internal, kita terus melakukan upaya penyebaran
pemahaman dari internal sendiri bagaimana dari kader anggota sendiri lebih
memahami isu-isu radikalisme dan wawasan kebangsaan, cinta tanah air. Dari
segi hambatan, mungkin laju kesemangatan, naik turunnya semangat anggota.
P : Kalau dari lingkungan eksternal sendiri adakah kendala atau hambatannya
Kang?
N : Dari eksternal sendiri dari instansi pemerintah, boleh dikatakan pihak
kecamatan, koramil, polsek, ada respons baik, akan tetapi dari pemerintahan
sejauh ini, entah itu dari pihak kita yang kurang dapat menjemput bola atau dari
pihak pemerintah yang kurang bisa merespons dengan cepat dan tanggap soal
kendala itu, respon eksternal bukan di kalangan kelompok yang mengkonter
gerakan GP Ansor, respons pemerintah masih kurang, dari mulai memfasilitas dan
menganggarkan. Misalnya dengan fasilitas tempat atau fasilitas publik yang bisa
digunakan untuk kegiatan-kegiatan diskusi, perpustakaan, masjid, sejauh ini
belum ada. Kita juga mungkin harus masif dan progresif menjemput bola ke pihak
pemerintahan setempat agar sinergis dengan kita. Intinya dukungannya masih
kurang.

P : Ada saran, kritik, atau rencana ke depannya terkait kegiatan Ansor yang
berkaitan dengan upaya menangkal radikalisme?
N : Mungkin ini semacam autokritik buat kita. Kita perlu melakukan pembenahan
mulai dari penguatan data, aktivitas-aktivitas administrasi, dari upaya penelitian
apakah masyarakat di Jatinangor radikal, berapa persentasenya, kita memerlukan
hal tersebut. Banyak pemuda ansor yang kompeten dalam hal bidang penelitian,
atau secara intelektual banyak yang kompeten. Sarannya kita berbenah diri secara
organisasi, dari saya secara pribadi kita membutuhkan pembenahan bank data,
kolektivitas administrasi, penguatan agar action di lapangan berjalan dengan baik.
.
P : Bagaimana pandangan Akang terhadap kelompok-kelompok yang diangap
radikal?
N : Tanggapan kita terhadap kelompok-kelompok yang dianggap radikal,
prinsipnya kita tahu bahwa kelompok yang dianggap radikal itu di satu sisi
merupakan organisasi yang bertujuan menegakkan syariat islam dengan amar
maruf nahyi munkar, menegakkan khilafah Islam yang itu bertentangan dengan
yang digagas para founding father negara ini, intinya bertentangan dengan
konstitusi, sehingga itu sangat berbahaya bagi masyarakat lain. Meskipun
mengusung amar maruf nahyi munkar, namun kita tidak bisa mengambil Langkah
atau melangkahi aparat penegak hukum yang ada. Sehingga yang harus kita
lakukan hanya berkoordinasi dan merekomendasikan saja, tidak bergerak secara
pemaksaan dan secara pribadi. Yang mereka lakukan itu akan mengundang reaksi
masyarakat yang tercetus potensi konflik. Prinsipnya mereka yang dianggap
kelompok radikal itu, sebagian konsepnya bagus, pada tataran implementasinya
mungkin yang kurang pas, dan ada oknum yang menunggangi dengan
kepentingan tertentu, sehingga jadi melenceng dari konsep yang baik-baiknya.
P : Pernahkah bergesekan atau berhadapan langsung dengan kelompok yang
dianggap radikal?
N : Sejauh ini belum ada gesekan ansor dengan kelompok lain, kelompok yang
dianggap radikal. Justru kita menghindari adanya gesekan, mau tidak mau kita
sangat menegakkan prinsip menciptakan kedamaian dan keadilan menjadi
manfaat untuk orang lain. Contohnya Ketika ada kelompok lain yang mengejek
ulama kita, kita tidak melakukan Tindakan sendiri, kita menempuh secara hukum,
tidak dengan kekerasan atau anarkis.

P : Ada tudingan yang dialamatkan ke Ansor, ada yang menuduh terutama ke


Banser, Banser juga radikal saat melakukan penggerudukan. Bagaimana
menanggapi tudingan itu?
N : Mengeruduk itu bukan dari intimidasi atau menindak secara represif dengan
kekerasan, tapi itu berusaha tabayun. Menggeruduk itu bukan berarti memukul,
tapi kita berusaha tabayun atau mengkonfirmasi. Kita tidak berani memukul atau
main hakim sendiri. Kita menggeruduk itu kita tidak mengintimidasi,
mengkonfirmasi secara langsung dan disaksikan dengan kader lainnya. Adapun
komentar radikal, itu sudut pandang lain yang berbeda, soal radikal dan tidak
radikal itu tergantung sudut pandang. Contohnya, Soekarno dipandang radikal
oleh belanda, tapi bagi masyarakat pribumi Soekarno itu pahlawan. Mungkin itu
gambaran kita.

P : Bagaimana pandangan akang apabila seandainya peran GP Ansor Jatinangor


dalam menangkal radikalisme dikaitkan dengan politik? Karena ada juga yang
menanggap bahwa Ansor itu underbow-nya PKB?
N : Mungkin pandangan dari luar, ansor ini underbow, organisasi atau dikatakan
alat politik untuk kemenangan tertentu. Tapi secara prinsip dasar keorganisasian,
harus berusaha penuh bahwa Ansor ini organisasi kepemudaan di bawah naungan
NU yang bukan menjadi kewajiban akan partai tertentu. Kita berusaha
menghindari hal tersebut. Ansor ini organisasi kemasyarakatan, keagamaan dan
kepemudaan, bukan organisasi di bawah partai politik. Kita tidak berpatron
terhadap suatu partai. Adapun ada anggota Ansor yang berpartai, itu sah saja,
karena mereka punya hak politik dalam melaksanakan demokrasi sebagai
warganegara yang baik, punya hak politik untuk terjun di ranah politik praktis, itu
sah saja. Acuan prinsip politik NU, moderat. Kita tidak dimana, tapi ada dimana-
mana.

Transkrip Wawancara 3

Nama : Zaenal Arifin


Narasumber : Ketua MDS Rijalul Ansor Jatinangor
Waktu : 26 November 2020
Tempat : Pesantren Al-Falah Desa Cileles Kec. Jatinangor

Keterangan:
P: Peneliti
N: Narasumber

P : Assalamualaikum Kang. Barusan saya sudah mewawancara Ketua dan


Sekretaris Ansor. Sekarang saya minta waktu untuk mewawancara Akang sebagai
Ketua Rijalul Ansor.
N : Waalaikum salam. Oh iya manga, silahkan apa yang akan ditanyakan mudah-
mudahan saya bisa menjawabnya dengan baik.

P : Ini temanya tentang peran GP Ansor Jatinanor terkait partisipasinya membantu


menangkal radikalisme. Kita mulai dengan pertanyaan adakah dan bagimana
bentuk kegiatan-kegiatan persuasif yang dilakukan GP Ansor Jatinangor terkait
upaya menangkal radikalisme?
N : Pengajian-pengajian seperti program Darmaji dan Ngabaso (ngaji bareng
ansor) itu cara persuasif agar masyarakat khususnya jamaah pengajian dapat
memahami ajaran Islam yang penuh toleransi, yang tidak radikal, dan sesuai
dengan kultur budaya kita. Ini diharapkan menjadi media untuk mencegah
radikalisme. Banyak sih kegiatan-kegiatannya, tapi yang secara khusus untuk
mencegah radikalisme mah tidak spesifik kegiatannya dirutinkan. Mungkin ke
depannya bisa saja ada kegiatan yang khusus radikalisme, tergantung kebijakan
organisasi saja.

P : Kalau kegiatan-kegiatan dengan pendekatan dialog? Misalnya berdialog


dengan kelompok yang dianggap radikal untuk menyadarkan mereka, atau
berdialog dengan masyarakat agar tidak terpapar radikalisme?
N : Kalau dialog dua arah secara spesifik dengan kelompok radikal tertentu, kita
belum ke arah sana. Paling kegiatan yang secara tidak langsung mengarah ke
bentuk dialog, itu ada dalam kegiatan Darmaji. Di sana selain kegiatan pengajian
dan diskusi, terbuka juga kesempatan untuk adanya dialog.

P : Kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan membantu menangkal


radikalisme dengan pendekatan diskusi adakah kang?
N : Kegiatan diskusi yang rutin berjalan itu Darmaji, singkatan dari munadzaroh
kopdar dan ngaji. Kegiatan ini berbentuk pengajian dan diskusi. Namun bukan
hanya membahas masalah keagamaan semata, tapi di sana juga tema topik diskusi
menjangkau tidak hanya keislaman saja. Sering kita juga di kegiatan Darmaji
mendiskusikan masalah kebangsaan, ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk juga
secara tidak langsung diskusi kebangsaan atau ukuwah wathoniah, ukuwah
basariah, ada ke arah tujuan ikut membantu menangkal radikalisme.

P : Rijalul Ansor sendiri dalam berkegiatannya biasanya bekerja sama atau


bermitra dengan siapa saja? Kalau khusus terkait isu radikalisme adakah pihak
yang turut berpartisipasi atau menjalin kerja sama?
N : Kita bermitra dengan siapa saja, tidak terbatas harus satu agama atau terbatas
lingkungan NU saja. Pihak manapun kita ajak kerja sama untuk bermitra, atau
kalau kita diajak bermitra, kita akan dengan senang hari menerima. Dengan
catatan satu visi misi dan satu tujuan, yaitu NKRI dan Pancasila. Yang pernah
bekerja sama dengan kita seperti dari ormas Pemuda Pancasila, itu satu visi
dengan kami. Dari ormas kepemudaan lainnya juga pernah, seperti ormas XTC.
Bahkan ada juga dari komunitas-komunitas seni budaya.

P : Rijalul Ansor sendiri menargetkan sasaran kegiatan-kegiatannya siapa saja


kang?
N : Kalau kegiatan-kegiatan yang dijalankan Rijalul Ansor sendiri target
sasarannya yang pertama itu kalangan muda muslim, namun secara umum jika
berbicara menangkal radikalisme, maka kegiatan yang digagas atau dikoordinir
Rijalul Ansor ya tidak ada target secara spesifik. Kita mah siapa saja kita
targetkan sebagai target sasaran dakwah kita. Intinya siapa saja, masyarakat apa
saja kita targetkan untuk menyebarkan kebaikan, kedamaian, persatuan dan
kesatuan Indonesia.

P : Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar terhadap peran GP Ansor khususnya


Rijalul Ansor dalam upaya menangkal radikalisme di Kecamatan Jatinangor?
N : Tanggapannya Insya Allah masyarakat cukup menerima dengan baik. Kita kan
tujuannya menebar kebaikan dan kedamaian. Pasti didukung masyarakat. Apalagi
kan kita itu melawan radikalisme dengan menebar kebaikan, mengingatkan dan
meluruskan dengan santun. Saya kira masyarakat lambat laun akan lebih
mendukung dan ikut berpartisipasi.

P : Adakah dampak tersendiri yang dirasakan masyarakat dengan keikutsertaan


GP Ansor khususnya Rijalul Ansor dalam menangkal radikalisme di Kecamatan
Jatinangor?
N : Dampak pada masyarakat sih tidak begitu mengetahui secara jelas. Mudah-
mudahan berdampak baik. Kalau dampak bagi kita sendiri, dampaknya sih pasang
surut. Tergantung situasi dan kondisi juga. Kadang kegiatan kita ramai, kadang
juga sepi, sedikit yang hadir. Itu dinamika, yang penting kita tetap istiqomah.

P : Adakah kendala dan hambatan yang dihadapi GP Ansor, khususnya Rijalul


Ansor Jatinangor dalam berpartisipasi menangkal radikalisme di Kecamatan
Jatinangor?
N : Kendalanya itu waktu. Anggota-anggota kita kan saat ini banyak yang sudah
bekerja, ada juga yang sudah berumah tangga. Kadang-kadang dalam kegiatan
suka ada yang berbentrokan dengan kepentingan pribadinya. Ya kita juga sulit
untuk menekankan harus terus hadir di kegiatan-kegiatan Ansor. Mereka juga
punya kewajiban yang sama mulianya.

P : Terakhir kang, apa rencana ke depan khususnya Rijalul Ansor terkait kontra
radikalisme di Jatinangor?
N : Ke depannya sih Rijalul Ansor sendiri belum ada gambaran mengenai
kegiatan anti radikalisme mah. Yang pasti mah kita selalu berusaha meningkatkan
aksi dan pergerakan kita sebaik mungkin. Kita maksimal dalam fastabikul khoirat
melalui aktivitas di GP Ansor ini, mudah-mudahan berkah.
P : Aaamin. Termakasih kang.
N : sama-sama.

Transkrip Wawancara 4

Nama : Asep Badruzaman


Narasumber : Ketua Banser Satkoryon Jatinangor
Waktu : 26 November 2020
Tempat : Pesantren Al-Falah Desa Cileles Kec. Jatinangor

Keterangan:
P: Peneliti
N: Narasumber

P : Izin bertanya Kang, untuk keperluan penelitian di kampus saya.


N : Mangga

P : Terkait peran GP Ansor Jatinangor dalam upaya menangkal radikalisme di


Jatinangor. Bisa dijelaskan kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan Ansor,
khususnya Banser, dengan pendekatan persuasif?
N : Secara persuasif Banser lebih mengedepankan bagaimana menunjukkan pola-
pola persuasif melalui contoh teladan. Misalnya, dalam kegiatan pengkaderan
Banser, contohnya kegiatan Diklatsar Banser, pelatihan kepemimpinan dasar, di
sana disisipkan dan dikuatkan ideologi Pancasila, sikap toleransi dan semangat
nasionalisme yang secara tidak langsung tujuannya juga untuk mencegah
radikalisme. Targetnya memang bagi anggota Banser itu sendiri, tapi diharapkan
nantinya akan disebarkan kepada masyarakat.

P : Kalau kegiatan-kegiatan dengan pendekatan dialog? Misalnya berdialog


dengan kelompok yang dianggap radikal untuk menyadarkan mereka, atau
berdialog dengan masyarakat untuk mencegah dari terpengaruh radikalisme?
N : Pendekatan dialog secara spesifik yang dilakukan Banser melalui kegiatan
rutin sih tidak ada. Kalau secara insidentil itu seringnya ketika ada kasus-kasus
yang perlu ditanggapi dengan reaksi cepat sih ada. Misalnya ketika ada kasus
yang memerlukan reaksi cepat dari Banser, langsung bertindak, namun
masyarakat mengidentikkannya dengan penggerudukan, padahal itu sebenarnya
upaya dialog, untuk tabayun. Memang mengerahkan banyak anggota namun
bukan berarti itu anarkis.

P : Kegiatan-kegiatan yang ada keterkaitannya dengan menangkal radikalisme


dengan pendekatan diskusi adakah kang?
N : Banser sendiri tidak ada kegiatan rutin berbentuk diskusi. Kalau kegiatan
diskusi, mungkin kebanyakan sifatnya internal kita mendiskusikan maslah-
masalah kebangsaan di sekitar anggota Banser saja. Namun, Banser juga ikut
hadir dalam kegiatan Darmaji dan Ngabaso.Tapi Banser sendiri terbuka dan akan
berpartisipasi apabila ada kegiatan diskusi baik diselenggarakan oleh Ansor,
ataupun kita diundang kegiatan diskusi oleh pihak mana pun. Untuk penanganan
radikalisme sendiri, kita bersifat terbuka siap ikut diskusi dengan siapa pun.

P : Banser sendiri dalam berkegiatannya biasanya bekerja sama atau bermitra


dengan siapa saja? Kalau khusus terkait isu radikalisme menjalin kemitraan
dengan siapa saja?
N : Yang sudah jelas dan pasti membantu kita yaitu dari aparat pemerintah, seperti
TNI dan Polri. Banser sendiri dalam kegiatan Diklatsar seringnya dibantu TNI
untuk memberikan bekal nasionalisme dan patriotisme.
P : Banser sendiri menargetkan sasaran kegiatan-kegiatannya siapa saja kang?
N : Banser sendiri mah sasaran kegiatan kebanyakan untuk lingkungan sendiri,
kalangan nahdliyin. Itu untuk pengkaderan yang akan menjadi anggota Banser.
Tapi kalau kegiatan yang umum terbuka bagi masyarakt luas mah, ya sesuai
dengan kepribadian organisasi kita, yaitu kalangan generasi muda. Mungkin
karena kita sama-sama muda, cara pandang dan perilakunya yang sedikit banyak
kesamaannya, jadi mungkin target sasarannya tidak begitu sulit untuk diraih.

P : Bagaimana tanggapan masyarakat sekitar terhadap peran GP Ansor khususnya


pada Banser dalam perannya ikut serta menangkal radikalisme di Kecamatan
Jatinangor?
N : Kalau tanggapan secara langsung dari masyarakat yang bicara secara langsung
sih saya belum mendengarnya. Tapi kalau dilihat dari selama kita berkegiatan di
tengah masyarakat, Alhamdulillah respon masyarakat cukup baik menerima kita.
P : Kalau yang terkait dengan menangkal radikalisme?
N : Saya kira cukup baik juga penerimaannya.

P : Adakah kendala dan hambatan yang dihadapi Banser Jatinangor dalam


berpartisipasi menangkal radikalisme di Kecamatan Jatinangor?
N : Kendala sih di waktu. Kan anggota-anggota Banser ada yang kesibukannya
bekerja, mengurus rumah tangga, berwirausaha, ada juga yang sibuk kuliah. Jadi
kadang berbenturan dengan waktu pribadinya. Tapi sejauh ini sih alhamdulilah,
kehadiran anggota dalam berkegiatan minimal ada beberapa yang konsisten
keaktifannya.

P : Terakhir kang, apa saran kritik atau rencana ke depan bagai Banser Rijalul
Ansor terkait kontra radikalisme di Jatinangor?
N : Ke depannya mungkin kita memaksimalkan saja setiap kegiatan-kegiatan yang
kita jalankan. Secara spesifik untuk tema kegiatan kontra radikalisme mungkin
nanti dirumuskan organisasi.

Anda mungkin juga menyukai