Anda di halaman 1dari 288

ANALISIS KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL

PENANGANAN GELANDANGAN PENGEMIS (GEPENG) OLEH DINAS


SOSIAL KOTA SERANG
(Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,
Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat )

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Administrasi Publik Pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Konsentrasi Kebijakan Publik

Oleh

Wildan Firdaus

NIM. 6661132268

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2018
ABSTRAK
Wildan Firdaus. NIM. 6661132268. Skripsi. Analisis Kritis Implementasi
Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis oleh
Dinas Sosial Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Publik.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Pembimbing I: Riny Handayani, M.Si dan Pembimbing II: Riswanda, Ph.D.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu lemahnya penegakan peraturan daerah
kota serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit masyarakat, kurangnya sosialisasi program rehabilitasi
sosial gelandangan dan pengemis, kurangnya koordinasi antar instansi terkait.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan mendeskripsikan secara kritis
mengenai bagaimana implementasi program rehabilitasi sosial penanganan
gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang. Teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Critical System Thinking dengan
menggunakan Boundary Categories menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016:9)
yang memiliki 4 dimensi yaitu sumber motivasi, sumber kekuatan, sumber
pengetahuan, dan sumber legitimasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan program
rehabilitasi ini belum optimal karena kurangnya sumber daya yang dimiliki baik
itu sumber daya manusia maupun anggaran selain itu fasilitas dan sarana
prasaranapun belum memadai. Saran peneliti adalah merangkul semua kalangan
seperti unsur keagamaan, unsur masyarakat, maupun akademisi untuk ikut dalam
program ini. Mensosialisasikan peraturan daerah terkait dan program anti
memberi melalui media sosial, cetak, maupun elektronik. Melakukan rehabilitasi
di lingkungan gelandangan dan pengemis dengan melakukan koordinasi dengan
tokoh masyarakat setempat dalam proses rehabilitasi.
Kata Kunci : Rehabilitasi Sosial, Gelandangan, Pengemis
ABSTRACT
Wildan Firdaus. NIM. 6661132268. Thesis. Critical Analysis of Implementation
of Social Rehabilitation Program for Handling Homeless and Beggars by Social
Service of Serang City. Public Administration Science Program. Faculty of
Social Science and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa.
Councelor I: Riny Handayani, M.Si and Councelor II: Riswanda, Ph.D.
Problems in this research are weak enforcement of regulation of city area of
attack number 2 year 2010 about prevention, eradication and prevention of
community disease, lack of socialization of social rehabilitation program
homeless and beggars, lack of coordination among related institutions.The
purpose of this research is to describe and describe critically about how the
implementation of social rehabilitation programs handling homeless and beggars
conducted by the Serang City Social Service. The theory used in this research is
Critical System Thinking by using Boundary Categories according to Ulrich (in
Riswanda 2016: 9) which has 4 dimensions of motivation source, source of
strength, source of knowledge, and source of legitimacy. The method used in this
research is qualitative which is descriptive. The results of this study indicate the
rehabilitation program is not optimal because of the lack of resources owned both
human and budgetary resources in addition to facilities and infrastructure
facilities are not adequate. The researcher's suggestion is to embrace all circles
such as religious elements, community elements, and academics to participate in
this program. Socializing related local regulations and anti-giving programs
through social, print, or electronic media. Rehabilitate in homeless and begging
environments by coordinating with local community leaders in the rehabilitation
process.
Keywords: Social Rehabilitation, Homeless, Beggar
“Jangan bersedih atas apa yang telah berlalu, kecuali jika itu bisa membuatmu bekerja

lebih keras untuk apa yang akan datang”. – Umar bin Khattab

“Bantinglah otak untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna mencari rahasia besar

yang terkandung di dalam benda besar yang bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita

dalam hati sanubari, yaitu pelita kehidupan jiwa.” ( Al- Ghazali )

Skripsi ini kupersembahan untuk

Kedua orang tua ku terkasih dan tercinta

Alm. Ayah Somad dan Ibu Aisyah

Serta Kakak dan Adik serta kekasihku


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi

kemudian solawat serta salam semoga terlimpah dan tercurah kepada Nabi besar

Muhammad S.A.W yang telah mengiringi doa dan harapan penulis untuk

mewujudkan terselesaikannya penelitian skripsi ini yang berjudul ANALISIS

KRITIS IMPLEMENTASI PROGRAM REHABILITASI SOSIAL

PENANGANAN GELANDANGAN PENGEMIS (GEPENG) OLEH DINAS

SOSIAL KOTA SERANG (Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

Tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat ). Penelitian skripsi ini dibuat sebagai persyaratan untuk

memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada

konsentrasi Kebijakan Publik program studi Ilmu Administrasi Publik. Sekalipun

penulis menemukan hambatan dan kesulitan dalam memperoleh informasi akurasi

data dari para narasumber namun disisi lain penulis juga sangat bersyukur karena

banyak mendapat masukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan

khususnya pada bidang yang sedang diteliti oleh penulis. Untuk terwujudnya

penulisan penelitian skripsi ini banyak pihak yang membantu penulis dalam

memberikan motifasi baik waktu, tenaga, dan ilmu pengetahuannya. Maka dengan

ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kepada kedua Orang tuaku tercinta

yaitu Ayahanda Alm. Abdul Somad yang selalu menjadi inspirasi walaupun

keberadaannya sudah tiada dan Ibunda Siti Aisyah, yang senantiasa memotivasi,

mendoakan, mendidik, membantu baik materil maupun non-materil dengan

i
keringat yang senantiasa menetes dari mereka yang bisa mengantarkan saya

sampai sejauh ini dalam hidup dan tidak lupa kepada Kakak Hana Tiara dan Adik

tercinta Suci Ananda dan Jelita Tri Cahyani yang senantiasa menjadi

penyemangat dan motivasi dalam hidup penulis..

Pada kesempatan ini juga suatu kebanggaan bagi penulis untuk

mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang

telah membantu dan mendukung, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa.

2. Bapak DR. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan III

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa

6. Ibu Listyaningsih, M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi

Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

ii
7. Ibu Arenawati M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi

Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

8. Ibu Rini Handayani, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I

sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan arahan dalam perkuliahan dan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Bapak Riswanda, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing Skripsi II yang

telah memberikan bimbingan dan arahan dalam mengembangkan

pemikiran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada seluruh Dosen dan Staff Program Studi Ilmu Administrasi

Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, yang telah

membekali ilmu selama perkuliahan dan membantu dalam

memberikan informasi selama proses perkuliahan.

11. Kepada Yuli Eka Putri yang penulis sangat sayangi dan cintai setelah

kedua orantua dan saudara-saudara penulis, terimakasih selalu setia

menemani penulis dalam keadaan sulit sekalipun dan selalu menjadi

penyemangat serta motivator bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

12. Kepada para sahabatku yang selalu memberikan kebahagiaan,

semangat dan doa yaitu Ahmad Fathony S.H, Febri WR, Asep F, Asep

iii
S, Furqan A, Galuh Melati, Maria, Rezky H, Evi, Vevi, Suci R, Diah

Utami, Diana serta yang lainnya.

13. Kepada teman-temen seperjuangan Angkatan 2013, khususnya kelas D

Administrasi Negara yang telah menjadi sumber kebahagiaan dan

selalu ada disaat duka selama menjalani perkuliahan.

14. Kepada kawan-kawan KKM Perumpera kelompok 9 yang telah

memberikan semangat dan memberikan pengalaman hidup kepada

penulis..

15. Kepada Om Ata, Tante Sari, Uwa serta saudara-saudara yang telah

memberikan semangat dan dukungan baik materiil maupun non-

materiil kepada penulis.

16. Serta semua informan seperti bapak Heli Priyatna, Ibu Hendri dari

pihak Dinas Sosial Kota Serang yang telah memberikan informasi

terkait penelitian yang peneliti lakukan serta infroman-informan

lainnya yang terlibat dalam membantu penulis untuk memberikan

informasi terkait penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang tak luput dari


kesempurnaan yang tentunya memiliki keterbatasan yang terdapat kekurangan
dalam penyusunannya. Oleh sebab itu, penulis meminta maaf apabila ada
kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan segala
masukan baik kritik maupun saran dari pembaca yang dapat membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,

Serang, Maret 2018


Penulis

iv
Wildan Firdaus

v
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul

Lembar Persetujuan

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi v

Daftar Gambar ix

Daftar Tabel x

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 15

1.3 Batasan Masalah 15

1.4 Rumusan Masalah 15

1.5 Tujuan Penelitian 15

1.6 Manfaat Penelitian 16

1.7 Sistematika Penulisan 17

BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI


DASAR PENELITIAN

2.1 Tinjuan Pustaka 21

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik 21

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik 24

v
2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik 25

2.1.4 Pengertian Gelandangan Pengemis 29

2.1.5 Karakteristik Gelandangan Pengemis 30

2.1.6 Konsep Kesejahteraan Sosial 33

2.1.7 Kebijakan Kesejahteraan Sosial 36

2.1.7.1. Analisa Kebijakan Kesejahteraan Sosial 37

2.1.8 Critycal System Thinking 41

2.2 Penelitian Terdahulu 49

2.3 Kerangka Berfikir 52

2.4 Asumsi Dasar 56

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian 57

3.2 Fokus Penelitian 58

3.3 Lokasi Penelitian 59

3.4 Variabel Penelitian 59

3.4.1 Definisi Konsep 59

3.4.1 Definisi Operasional 60

3.5 Istrumen Penelitian 63

3.6 Informan Penelitian 63

3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 66

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data 66

vi
3.7.2 Teknik Analisis Data 73

3.8 Uji Keabsahan Data 75

3.9 Jadwal Penelitian 76

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Deksripsi Objek Penelitian 77


4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang 77
4.1.1.1 Visi dan Misi Kota Serang 79
4.1.1.2 Keadaan Penduduk Kota Serang 79

4.1.2 Profil Dinas Sosial Kota Serang 81


4.1.2.1 Kedudukan Dinas Sosial Kota Serang 82
4.1.2.2 Visi dan Misi Dinas Sosial Kota Serang 82
4.1.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Sosial Kota Serang 82
4.1.2.4 Susunan Organisasi Dinas Sosial Kota Serang 83
4.1.2.5 Strategi dan Arah Kebijakan 84
4.1.2.6 Program/Kegiatan prioritas OPD 85

4.2 Deksripsi Data 87


4.2.1 Deksripsi Data Penelitian 87
4.2.2 Deksripsi Informan Penelitian 90

4.3 Deksripsi Hasil Penelitian 93


4.3.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi) 95
4.3.1.1 Stakeholder (Pihak Yang Terlibat) 96
4.3.1.2 Purpose (Tujuan) 100
4.3.1.3 Measure Of Improvement (Ukuran Perbaikan) 112

4.3.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan) 114


4.3.2.1 Decision-maker (Pembuat Keputusan ) 115
4.3.2.2 Resources (Sumber daya ) 123
4.3.2.3 Decision Environment (Keputusan Lingkungan) 127

vii
4.3.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan) 132
4.3.3.1 Professional (Tenaga Ahli) 133
4.3.3.2 Expertise (Keahlian) 136
4.3.3.3 Guarantee (Jaminan) 137

4.3.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan) 138


4.3.4.1 Witness (Pembebasan) 139
4.3.4.2 Emancipation 140
4.3.4.2 World View (Pandangan Dunia) 142

4.4 Pembahasan 148


4.4.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi) 148
4.4.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan) 153
4.4.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan) 158
4.4.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan) 160
4.4.5 Karakteristik Gelandangan dan pengemis di Kota Serang 165

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan 181

5.2 Saran 184

Daftar Pustaka

Lampiran

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kampung Pengemis 8

Gambar 1.2 Gelandangan dan Pengemis 10

Gambar 2.1 Model Analisa Kesejahteraan

Sosial (Segal dan Brzuay, 1998) 38

Gambar 2.2 The Eternal Triangle (Boundary Judgement) 42

Gambar 2.3 Table of Boundary Categories 44

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran 55

Gambar 3.1 The Eternal Triangle (Boundary Judgement) 57

Gambar 3.2 Analisis Data Miles dan Huberman 73

Gambar 4.1 Temuan Lapangan Sebetulnya dan Seharusnya 175

Gambar 4.3 Temuan Lapangan Skema Penelitian Analisis Kritis 176

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Data Pengemis Menurut Kab/Kota Provinsi Banten 2016 7

Tabel 2.1 Panduan Pertanyaan Kritis 46

Tabel 3.1 Informan Penelitian 65

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara 67

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian 76

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Seran Menurut Kecamatan 2016 78

Tabel 4.2 Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Umur 2016 80

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berumur 15 tahun keatas menurut

Pedidikan Tertinggi yang Ditamatkan 81

Tabel 4.4 Daftar Informan Penelitian 92

Tabel 4.5 Jumlah Gepeng Kota Serang Tahun 2016-2017 153

Tabel 4.6 Temuan Lapangan 168

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Mengacu pada cita-cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam

Pembukan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita tersebut harus

menjadi suatu implementasi nyata dengan dilakukannya pembangunan

berkelanjutan dari segala sektor seperti sosial, ekonomi, budaya, dan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi. Agar apa yang menjadi cita-cita tidak hanya sebuah

mimpi besar untuk kemajuan bangsa ini melainkan untuk menjadi sebuah panutan

dalam pembangunan bangsa Indonesia. Dengan terealisasinya cita-cita ini, dapat

menjadi suatu peningkatan standar kehidupan untuk seluruh masayarakat

Indonesia yang dapat merasakan langsung dari terealisasinya cita-cita bangsa ini.

Seluruh masyarakat Indonesia pada dasarnya mempunyai hak penuh untuk

mendapatkan kehidupan yang layak dari negara. Kehidupan yang layak seperti

tercukupinya segala kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani berupa

kebutuhan akan makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan

yang lainnya. Kebutuhan rohani seperti kebutuhan akan rasa aman, kebebasan

dalam menentukan kepercayaan (agama), ketenteraman, dan ketenangan. Maka

dari itu negarapun memiliki kewajiban untuk memberikan kehidupan yang layak

kepada rakyatnya dengan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani

masyarakatnya.

1
2

Indonesia merupakan negara berkembang yang mana sebagian besar

masyarakatnya belum dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dikarenakan

masih ada masyarakat yang hidup dalam permasalahan kesejahteraan, seperti

halnya kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan

untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kemiskinan

yaitu ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar,

baik makanan maupun non-makanan. Standar ini disebut garis kemiskinan, yaitu

nilai pengeluaran konsumsi kebutuhan dasar makananan setara dengan 2100

kalori energi per kapita per hari, ditambah lagi nilai pengeluaran untuk kebutuhan

dasar non-makanan yang paling pokok. (Sumodinigrat 2004 : 20)

Kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor, dan jarang sekali kemiskinan

disebabkan oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin bisa disebabkan

oleh beberapa faktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti mengalami

kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal atau keterampilan

untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, tekena pemutusan hubungan

kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian), atau

hidup terpencil dengan sumberdaya alam dan infrastruktur yang terbatas (Suharto,

2013: 17). Dari kemiskinan inilah mucul berbagai macam penyakit-penyakit

sosial yang muncul didalam masyarakat yang kerap sulit diatasi oleh pemerintah

diantaranya gelandangan pengemis, pekerja seks komersial (psk), anak jalanan,

anak punk, pengedar narkoba dan lainnya.


3

Sebenarnya dalam menanggulangi kemiskinan pemerintah sudah

meluncurkan program-program yang diharapkan bisa menurunkan jumlah

masyarakat miskin di Indonesia. Program-program tersebut diantaranya Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN), Kartu keluarga Sejahtera (KKS), Program Indonesia

Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras Untuk Keluarga Miskin

(Raskin), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program-Program lainnya yg berkaitan

dengan penanggulangan kemiskinan. Namun pada kenyataannya Program tersebut

belum mampu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Penduduk miskin

yang ada di Indonesia 28.00541 juta jiwa pada tahun 2016 semester 1 dengan

persentase 10.86% penduduk Indonesia. Masalah kemiskinan merupakan masalah

yang terus menjadi polemik di negeri ini. Yang mana masalah kemiskinan sampai

saat ini menjadi hambatan dalam proses pembangunan untuk kehidupan yang

sejahtera. Pembangunan di segala bidang pun terbilang berjalan ditempat akibat

dari kemiskinan yang terjadi sampai saat ini.

Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah tidak tersedianya

kesempatan kerja, yang berdampak pada munculnya pengangguran atau tuna

karya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat tahun 2016 tingkat

pengangguran di Indonesia sebesar 5,50 % dari penduduk Indonesia yang

berjumlah 237.641.326 jiwa. Hal ini sangat miris sekali mengingat dengan

banyaknya penduduk Indonesia yang menganggur atau tidak memiliki pekerjaan

akan timbul beberapa masalah-masalah sosial yang berdampak pada munculnya

penyakit-penyakit masyarakat yang mengganggu kestabilan kehidupan

bermasyarakat. Penyakit-penyakit masyarakat yang akan muncul seperti


4

munculnya pekerja seks komersial (psk), gelandangan pengemis, pengedar

narkoba, penjual minum-minuman keras dan lain sebagainya. Dari penyakit-

penyakit masyarakat ini bahkan dijadikan sebagai profesi oleh masyarakat miskin

yang bermentalkan lemah. Hal semacam itulah buntut dari masalah pengangguran

yang semakin hari semakin menjamur.

Bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki pekerjaan dan keterampilan,

pekerjaan apapun akan dilakukan demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya tanpa

memikirkan nilai-nilai dan aturan-aturan yang telah dilanggar. Ketidakmampuan

mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari membuat mereka rela melakukan

apasaja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dilakukan oleh

gelandangan dan pengemis atau sering disebut gepeng. Oleh karena itu sangat

dikhawatirkan seiring bertambahnya jumlah masyarakat yang miskin dan

menganggur, akan berdampak pula pada bertumbuhnya jumlah gepeng di

Indonesia.

Dalam hal lain kemiskinan yang berlarut-larut di masyarakat dapat

membentuk sebuah kebiasaan yang mana masyarakat hanya ingin mendapatkan

penghasilan secara instan untuk mencari penghasilan dan terbebas dari pajak

pemerintah dengan menjadi gelandangan pengemis (gepeng). Hal ini tentunya

dapat mengakibatkan mental masyarakat menjadi lemah terutama dalam hal

mencari nafkah, mereka lebih memilih profesi sebagai gepeng yang dianggap

lebih mudah mendapatkan uang walaupun hal ini tentunya melanggar aturan baik

aturan tertulis maupun tidak tertulis.


5

Para gepeng memiliki berbagai cara dalam melakukan aksinya untuk

menggelandang dan mengemis ada yang memakai baju compang-camping,

berpenampilan lesu dengan wajah memelas, pura-pura cacat, memakai kedok

ceramah, meminta sumbangan, menggendong anak-anak dan lain-lainya. Gepeng

bukan hanya orang dewasa namun banyak juga yang masih anak-anak, hal ini

sangat miris sekali anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain akantetapi

mereka malah mencari nafkah, terlebih dengan cara yang kurang layak dan

melanggar aturan ini. Gepeng yang masih tergolong anak-anak atau yang sering di

kenal sebagai anak jalanan ini tentunya sangat rentan dengan masalah-masalah

lainnya seperti, perdagangan manusia (human trafficking), pelecehan seksual,

tindak kekerasan, ekploitasi anak dan lainnya. Hal ini sungguh berbanding

terbalik dengan hak-hak anak yang seharusnya mereka peroleh seperti hak untuk

di besarkan oleh orang tua, pendidikan, kesehatan, tumbuh dan berkembang,

mendapat perlindungan, berkreasi, dan lainnya.

Anak jalanan yang sering ditemukan di lampu merah, pusat perbelanjaan,

pasar-pasar tradisional, jalan-jalan raya ini, sejak kecil sudah diajarkan menjadi

peminta-minta dan bisa saja semakin lama akan berpikir betapa mudahnya dalam

mencari uang hanya dengan mengharapkan orang lain merasa iba dan

mengenakan baju lusuh, kotor, dan compang-camping dapat membuat mereka

mendapat keuntungan yang mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Jika masalah

ini dibiarkan terus menerus dan tidak ditangani dengan serius, pemerintah

pastinya akan lebih berpikir keras untuk membuat para generasi muda tersebut

merubah pola pikir tentang mudahnya mencari uang.


6

Pemerintah sebetulnya sudah mengadakan gerakan untuk menangani

permasalahan ini seperti kampanye “anti-memberi” yang bertujuan untuk

membuat jera para gepeng ini yang tidak henti-hentinya melakukan aksinya.

Selanjutnya pemerintah juga melakukan Operasi Penggarukan yaitu metode

pengangkutan dan pemindahan paksa para gelandangan dan pengemis yang

dilakukan oleh Dinas Sosial masing-masing daerah. Namun, nyatanya upaya-

upaya tersebut kurang efektif dan bahkan dinilai tidak mampu mengatasi laju

gepeng yang tiap tahun semakin menjamur.

Setiap daerah di Indonesia tidak terlepas dari perederan gepeng, tidak

terkecuali di kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, DKI Jakarta, Medan,

Makasar, Surabaya dan Yogyakarta yang dari tahun ke tahun gepeng seperti tidak

berkurang dan cenderung bertambah jumlahnya seiring dengan menigkatnya

kesenjangan ekonomi di kota-kota tersebut. Menurut Heru Setiawan (2012) dalam

Nabila (2014: 1) Indonesia termasuk dalam 5 besar negara yang memiliki jumlah

pengemis terbanyak di dunia dengan perkiraan jumlah pengemis ± 15 juta jiwa.

Jumlah tersebut akan terus bertambah sekitar 30-40% di tahun berikutnya. Bahkan

setiap menjelang Idul Fitri pun, jumlah pengemis sudah meningkat hingga 100%.

Hal ini merupakan catatan buruk pemerintah selaku pemegang kewenangan dalam

menentukan kebijakan yang baik dalam mengurangi jumlah pengemis di

Indonesia. Hal serupa dirasakan pula oleh Provinsi Banten yang mana jumlah

gepeng dari tahun ke tahunnya terus bertambah jumlahnya. Adapun data jumlah

gelandangan dan pengemis di Provinsi Banten tahun 2016 berdasarkan

kabupaten/kota sebagai berikut:


7

Tabel 1.1
Data Gelandangan dan Pengemis Menurut Kabupaten/Kota Provinsi
Banten tahun 2016
Jumlah Pengemis Jumlah Gelandangan

No Kabupaten/Kota 2016 2016


Jumlah Jumlah
(L) (P) (L) (P)

1 Kab. Pandeglang 29 13 42
12 7 19
2 Kab. Lebak 26 8 34
19 4 23
3 Kab. Tangerang 61 104 165
68 16 84
4 Kab. Serang 125 38 163
68 34 102
5 Kota Tangerang 19 8 27
36 4 40
6 Kota Cilegon 1 1 2
25 5 30
7 Kota Serang 26 111 137
15 11 26
8 Kota Tangsel 4 7 11
0 0 0
Jumlah 291 290 581 243
81 324
(Sumber: Dinas Sosial Provinsi Banten 2016)

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pada 2016 jumlah gelandangan

di Provinsi Banten mencapai 324 orang sedangkan jumlah pengemis di Provinsi

Banten mungkin mencapai 581 orang. Angka ini diprediksi akan terus meningkat

seiring dengan meningkatnya kesenjangan ekonomi dan juga mobilitas gepeng

yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari tabel di atas jumlah gelandangan

terbanyak di tempati oleh Kabupaten Serang dengan jumlah 102 gelandangan dan

jumlah pengemis terbanyak di tempati oleh Kabupaten Tangerang.


8

Di Kota Serang terdapat kampung yang dijuluki sebagai kampung

pengemis yang letaknya berada tidak jauh dari jantung Kota Serang. Kampung

yang dijuluki kampung pengemis itu adalah Kampung Kebanyakan, Kelurahan

Sukawana, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten. Dijulukinya Kampung

Kebanyakan sebagai kampung pengemis karena hampir dalam setiap kegiatan

razia gepeng maka Kampung Kebanyakan selalu jadi sorotan, karena setiap

pendataan gepeng, sebagaian besarnya berasal dari Kampung Kebanyakan.

Gambar 1.1

Kampung Pengemis di Kota Serang

Sumber : Peneliti 2017


9

Adanya kampung pengemis ini menandakan bahwa kesenjangan ekonomi

di Kota Serang sangat tinggi, pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota

tidak berpengaruh signifikan pada wilayah-wilayah pinggiran kota. Kota Serang

sebagai Ibukota Provinsi Banten ini tentunya haruslah berbenah dalam mengatasi

hal ini, agar kesenjangan yang terjadi dapat menurun.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Pemerintah Kota Serang telah

mempunyai peraturan daerah sebagai upaya pemberantasan gepeng, peraturan

daerah tersebut yaitu Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dalam

pelarangan kegiatan gepeng peraturan tersebut tertuang pada pasal 9 ayat (1), (2),

dan (3) yang berbunyi:

1. Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.


2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis.
3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada
pengemis.

Dalam pasal 9 ayat (1), (2), dan (3) sudah sangat jelas pemerintah Kota

Serang melarang kepada masyarakatnya untuk tidak menjadi gelandangan dan

pengemis, dilarang pula untuk memaksa oranglain untuk mengemis, serta dilarang

juga untuk yang memberikan uang ataupun lainnya kepada pengemis. Bagi yang

melanggar peraturan tersebut seperti yang dijelaskan pada pasal 21 ayat (1)

bahwa:

“Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan


sebagaimnana diamaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11
Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3
(tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).”
10

Namun hal itu tidak membuat para gepeng takut dan faktanya Perda ini

seperti tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan laju pertumbuhan gepeng di

Kota Serang. Bahkan gepeng yang telah terjaring dan diberikan pencerahan serta

penjelasan tentang pelarangan kegiatanya berdasarkan pada perda yang

berlakupun tidak menghentikan kegiatannya itu, malahan mereka cenderung

bertambah jumlahnya dan juga para gepeng sering sekali ditemukan di jalan-jalan,

pusat perbelanjaan, rumah makan, alun-alun kota, tempat penziarahan, dan

tempat-tempat yang menjadi pusat keramaian lainnya di Kota Serang. Seperti

pada gambar berikut:

Gambar 1.2

Gelandangan dan Pengemis Kota Serang

Sumber : Peneliti 2017


11

Jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang ada di Provinsi

Banten seperti Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,

Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan yang belum memiliki

Perda khusus untuk melarang gepeng seperti apa yang sudah dimiliki oleh Kota

Serang akan tetapi jumlah gepeng mereka lebih sedikit dari pada jumlah Kota

Serang (data tabel 1.1), dalam hal ini Perda Kota Serang untuk pelarangan para

gepeng ini masih belum maksimal dalam pengimplentasiannya dan terbilang tidak

berhasil.

Dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun

2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat, Pemerintah Kota Serang Sebenarnya telah membuat sebuah program

melalui Dinas Sosial Kota Serang untuk menangani permasalahan gepeng ini.

Program tersebut yaitu Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis.

Rehabilitasi sosial Gelandangan dan Pengemis merupakan langkah yang

dilakukan pemerintah Kota Serang sebagai upaya untuk mengembalikan para

gepeng agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya kembali secara wajar dalam

kehidupan masyarakat. Program ini pun diharapkan mampu menjadi alat untuk

mengurangi dan menekan jumlah gepeng yang ada di Kota Serang.

Dalam perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010 pasal 17 ayat 1-3,

Rehabilitasi Sosial Gelandangan Pengemis ini merupakan bentuk pembinaan yang

dilakukan pemerintah kota serang khususnya Dinas Sosial yang menjadi

penanggung jawab dalam pelaksanaan program Rehabilitasi Sosial Gelandangan

Pengemis ini. Berikut bunyi peraturan tersebut :


12

1. Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan


terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan
perbuatan penyakit masyarakat.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui
kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
3. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan
melalui kegiatan:

a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis;


b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga kerja.

Dalam pelaksanaan Program Rehabilitasi sosial Gelandangan Pengemis ini

juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Satuan Polisi Pamong

Praja (Satpol PP) berperan sebagai aktor dalam penegakan perda Kota Serang

nomor 2 tahun 2010, dimana yang dilakukan Satpol PP tersebut adalah dengan

melakukan penjaringan atau merazia gepeng, setelah itu melakukan pembinaan

tentang pelarangan terhadap gepeng untuk beroperasi sebagaimana yang tertera

pada penegakan perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tersebut, dan kemudian

menyerahkannya ke pihak Dinas Sosial untuk ditindak lanjuti.

Berdasarkan obervasi awal dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti,

bahwa dalam pelaksanaannya masih ditemukan permasalahan-permasalahan

terkait dengan program Rehabiltasi Sosial gelandangan pengengemis ini.

Pertama, lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2

tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat. Kurang tegasnya penegak hukum yaitu Satpol PP dalam menegakan

perda tersebut membuat para gelandangan dan pengemis seakan merasa tidak

peraturan yang melarangnya. Pelarangan hanya dilakukan di lampu-lampu merah

saja, sedangkan di tempat-tempat lain tidak di larang seperti di tempat makan, di


13

pusat perbelanjaan, di kampus-kampus, dan di terminal-terminal. Alasan tidak di

larangannya gelandangan dan pengemis di tempat-tempat selain lampu merah

adalah alasan kemanusiaan. Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Raden

Kuncahyo selaku Kepala Bidang Penegak Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang

tahun 2016 sebagai berikut:

“Kita manusiawi dong, kalo betul dia tidak punya mau apa,
kan gitu. Ya kita juga berpedoman pada ham nya, khawatir dia
laporan nanti pelanggaran ham juga kepada kami.” (wawancara
dengan Bapak Raden Kuncahyo selaku Kepala Bidang Penegak
Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang pada 12-06-2016).

Bila melihat pada isi Peraturan Daerah Kota Serang nomor 2 tahun 2010

tentang penyakit masyarakat pasal 9 ayat 1, sangat jelas melarang kegiatan

gelandangan dan pengemis. Bila melihat pada isi perda tersebut seharusnya

pelarangan tidak hanya di lampu merah saja, di pusat-pusat keramaian juga harus

dilarang. Pada pasal 9 ayat 3 menerangkan bahwa masyarakat tidak boleh

memberikan uang atau yang lainnya kepada pengemis.

Kedua, kurangnya sosialisasi program rehabilitasi sosial gelandangan dan

pengemis ini yang dilakukan Dinas Sosial kepada publik untuk ikut andil dalam

program rehabilitasi ini. Pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam program ini

sangat penting, keikutsertaan ini seperti yang tertuang dalam peraturan daerah

Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat pasal 12 ayat 2.

Pada pasal tersebut menjeleskan bahwa masyarakat perlu ikut serta untuk ikut

mencegah dan mengawasi segala perbuatan atau tindakan yang berhubungan

dengan penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan pengemis di tempat

tinggalnya. Serta masyarakat harus melaporkannya kepada pihak yang berwenang.


14

Dengan apa yang tertuang dalam peraturan daerah tersebut betapa pentingnya

peran serta masyarakat untuk ikut andil dalam penyelenggaraan program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Namun faktanya masih banyak

masyarakat yang belum mengetahui program rehabilitasi ini. Bahkan masih

banyak juga masyarakat yang masih saja memberikan uang ataupun yang lainnya

kepada pengemis. Padahal pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

ini salah satu bentuknya adalah kampanye untuk tidak memberi kepada pengemis.

Namun sosialisasi yang kurang membuat program ini tidak banyak di ketahui oleh

masyarakat luas.

Ketiga, kurangnya kordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP

selaku pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat

umum. Kurangnya kordinasi yang dilakukan selama ini kurang begitu maksimal

menurut keterangangan dari bapak Cahyo Kepala Seksie Penegakan Hukum

Produk Hukum Daerah Satpol PP Kota Serang bahwa pihaknya selalu siap

disetiap dilakukannya penjaringan para gepeng¸ akan tetapi pihak Dinas Sosial

Kota Serang belum mampu menampung para gelandangan dan pengemis tersebut,

sehingga terjadilah saling lempar wewenang. Bapak Cahyo menjelaskan pihak

Dinas Sosial Kota Serang belum siap secara sarana dan prasarana.

Dengan masalah-maslah yang peneliti temukan maka peneliti tertarik

untuk meneliti mengenai “Analisis Krititis Implementasi Program Rehabilitasi

Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota

Serang (Perda Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat).”


15

1.2 Identifikasi Masalah

1. Lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat.

2. Kurangnya mensosialisasikan program rehabilitasi sosial gelandangan dan

pengemis yang dilakukan Dinas Sosial ini kepada publik untuk ikut andil

dalam program rehabilitasi ini.

3. Kurangnya koordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku

pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat

umum.

1.3 Batasan Masalah

Dari uraian-uraian latar belakang masalah dan identifikasi masalah diatas

peneliti mempunyai keterbatasan kemampuan dan berfikir secara menyeluruh.

Maka dengan itu peneliti membuat batasan masalah penelitian yaitu pada

Implementasi Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis

(Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang

1.4 Rumusan Masalah

Bagaimanakah Implementasi Program Rehabilitasi Sosial Penanganan

Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang (Perda Kota

Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat) ?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan dan

mendeskripsikan secara kritis mengenai bagaimana Analisis Krititis Implementasi


16

Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis Oleh Dinas

Sosial Kota Serang (Perda Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit

Masyarakat) dan juga sebagai bahan masukan untuk pihak yang terkait dalam

penelitian ini.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang

bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara

teoritis.

1.6.1 Manfaat Praktis

Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut

a. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan

mengenai Analisis Krititis Implementasi Program Rehabilitasi Sosial

Penanganan Gelandangan Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota Serang (Perda

Kota Serang no 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat).

b. Bagi pembaca, Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi penelitian

ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi

instansi lokal khususnya Dinas Sosial kota Serang.

1.6.2 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya aplikasi atas teori-

teori Administrasi Publik atas Permasalahan pada Pengimplementasian

Kebijakan Program Rehabilitasi Sosial pada lingkupan pengetahuan sosial.


17

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Latar belakang masalah menjelaskan mengapa peneliti mengambil judul

penelitian tersebut, juga menggambarkan ruang lingkup dan kedudukan masalah

yang akan diteliti yang tentunya relevan dengan judul yang diambil. Materi dari

uraian ini, dapat bersumber dari hasil penelitian yang sudah ada sebelumnya, hasil

seminar ilmiah, hasil pengamatan, pengalaman pribadi, dan intuisi logik. Latar

belakang timbulnya masalah perlu diuraikan secara jelas, faktual dan logik.

1.2 Identifikasi Masalah

Mendeteksi aspek permasalahan yang muncul dan berkaitan dari judul

penelitian atau dengan masalah atau variable yang akan diteliti. Identifikasi

masalah biasanya dilakukan pada studi pendahuluan pada objek yang diteliti,

observasi dan wawancara ke berbagai sumber sehingga semua permasalahan dapat

diidentifikasi.

1.3 Rumusan Masalah

Menetapkan masalah yang paling penting dan berkaitan dengan judul

penelitian.

1.4 Tujuan Penelitian

Mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan

dilaksanakannya penelitian, terhadap masalah yang telah dirumuskan. Isi dan

rumusan tujuan penelitian sejalan dengan isi dan rumusan masalah.


18

1.5 Manfaat Penelitian

Menggambarkan manfaat penelitian baik secara praktis maupun teoritis.

BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN ASUMSI

DASAR PENELITIAN

2.1 Deskripsi Teori

Mengkaji berbagai teori yang relevan dengan permasalahan variabel

penelitian, kemudian menyusunnya secara teratur dan rapi yang digunakan untuk

merumuskan masalah.

2.2 Kerangka Berpikir

Menggambarkan alur pikiran penelitian sebagai kelanjutan dari kajian

teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca.

2.3 Asumsi Dasar Penelitian

Menyajikan prediksi penelitian yang akan dihasilkan sebagai hipotesa

kerja yang mendasari penulisan sebagai landasan awal penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Sub bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian

3.2 Instrumen Penelitian

Sub bab ini menjelaskan tentang proses penyusunan dan jenis alat

pengumpul data yang digunakan. Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah

peneliti itu sendiri.


19

3.3 Informan Penelitian

Sub bab ini menjelaskan tentang orang yang dijadikan sumber untuk

mendapatkan data dan sumber yang diperlukan dalam penelitian.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Menguraikan teknik pengumpulan data hasil penelitian dan cara

menganalisis yang telah diolah dengan menggunakan teknik pengolahan data

sesuai dengan sifat data yang diperoleh, melalui pengamatan, wawancara,

dokumentasi dan bahan-bahan visual.

3.5 Teknik Analisis Data

Sub bab ini menggambarkan tentang proses penyederhanaan data ke dalam

formula yang sederhana dna mudah dibaca serta mudah diinterpretasi, maksudnya

analisis data di sini tidak saja memberikan kemudahan interpretasi, tetapi mampu

memberikan kejelasan makna dari setiap fenomena yang diamati, sehingga

implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan

simpulan akhir penelitian. Analisis data dapat dilakukan melalui pengkodean dan

berdasarkan kategorisasi data.

3.6 Uji Keabsahan Data

Sub bab ini menggambarkan sifat keabsahan data dilihat dari objektifitas

dalam subjektivitas. Untuk dapat mendapat data yang objektif berasal dari unsur

subjektivitas objek penelitian, yaitu bagaimana menginterpretasikan realitas sosial

terhadap fenomena-fenomena yang ada.

3.7 Lokasi Penelitian

Tempat yang dijadikan penelitian


20

3.8 Jadwal Penelitian

Menjelaskan tentang tahapan waktu penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Menjelaskan tentang objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian

secara jelas, struktur organisasi dari populasi atau sampel yang telah ditentukan

serta hal lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

4.2 Hasil Penelitian

Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan

menggunakan teknik analisis data kualitatif.

4.3 Pembahasan

Merupakan pembahasan lebih lanjut terhadap hasil analisis data dan

wawancara narasumber.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara singkat, jelas,

sejalan dan sesuai dengan permasalahan serta hipotesis penelitian.

5.2 Saran

Suatu pendapat dari peneliti untuk menyarankan kepada objek yang

diteliti.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN ASUMSI DASAR

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada tinjauan pustaka ini menjelaskan deskripsi teori-teori yang relevan

mengenai penelitian ini. Diantaranya menjelaskan teori tentang kebijakan publik

dan implementasi kebijakannya serta ada juga pembahasan mengenai kebijakan

kesejahteraan sosial yang menurut peneliti teori-teori ini sangat relevan dengan

masalah-masalah dalam penelitian ini. Tidak hanya tentang kebijakan saja yang

menjadi bahasan di tinjauan pustaka ini, peneliti juga membahas tentang definisi

gelandangan pengemis (gepeng), karakteristik gelandangan pengemis, dan

membahas juga mengenai critical analysis, yang mana critical analysis menjadi

pisau analisis peneliti dalam melakukan penelitian ini.

2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Istilah kebijakan publik merupakan terjemahan dari istilah bahasa

Inggris, yaitu public policy. Kata policy ada yang menerjemahkan menjadi

“kebijakan” (Samodra, Wibawa 1994; Muhadjir Darwin, 1998) dalam Soetari

(2014: 35), dan ada juga yang menerjemahkan menjadi “kebijaksanaan”

(Islamy, 2001; Abdul Wahap, 1990) dalam Soetari (2014: 35). Meskipun

belum ada kesepakatan bahwa policy diterjemahkan menjadi “kebijakan” atau

“kebijaksanaan”, kecenderungan untuk policy digunakan istilah kebijakan.

Oleh karena itu, public policy diterjemahkan menjadi kebijakan publik.

21
22

Menurut Thomas R. Dye (1992) dalam Soetari (2014: 35), “public

policy is whatever the government chose to do or not to do” (kebijakan publik

adalah apa pun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk

melakukan sesuatu, tentu ada tujuan karena kebijakan publik merupakan

“tindakan” pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan

sesuatu, juga merupakan kebijakan publik yang ada sesuatunya.

Sementara itu, Thomas Dye (1992: 2-4) dalam Soetari (2014: 35),

mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang

dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah, alasan suatu kebijakan

harus dilakukan dan manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi

pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang

besar bagi warganya dan tidak menimbulkan kerugian, disinilah pemerintah

harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

James E. Anderson (1970) dalam Soetari (2014: 35), menyatakan

bahwa “public policies are those policies developed by governmental bodies

and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh

badan dan pejabat pemerintah).

Chief J. O. Udoji, pakar dari Nigeria (1981), telah mendefinisikan

kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu

tujuan tertentu yang saling berkaitan dan memengaruhi sebagian besar

masyarakat.
23

Menurut David Easton dalam Soetari (2014: 35), “public policies is

the authoritative alocation of values for the whole society” (kebijakan publik

adalah pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota

masyarakat).

Berdasarkan beberapa asumsi-asumsi dari para ahli tersebut mengenai

kebijakan publik dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa kebijakan publik

merupakan sikap dari pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu untuk menyelasaikan permasalahan sesuai dengan kepentingan

masyarakatnya. Kebijakan publik berarti juga sebagai sebuah langkah yang

diambil pemerintah guna untuk memperbaiki ataupun membuat sistem baru

sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

Selanjutnya Mustopodidjaja dalam Rakhmat (2009: 132) dalam

Soetari (2014: 36) menawarkan working definition yang diharapkan dapat

mempermudah pengamatan atas fenomena kebijakan yang aktual. Dikatakan

bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan untuk mengatasi permasalahan

tertentu agar mencapai tujuan tertentu, yang dilaksanakan oleh instansi yang

berwenang dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan

pembangunan. Dalam kehidupan administrasi publik, secara formal keputusan

tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk perundang-undangan.

Aminullah dalam muhammadi (2001: 371-372) dalam Soetari

(2014:37) menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan

untuk memengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan. Upaya dan

tindakan tersebut bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.


24

2.1.2 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris, yaitu to implement.

Dalam kamus besar webster (Wahab, 2006: 64) dalam Soetari (2014: 232), to

implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying

out (menyediakan sarana untuk melakasanakan sesuatu), dan to give practical

effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).

Dalam Bukunya Implementation and Public Policy (1983:61) Daniel

Mazmanian dan Paul Sabatier mendefinisakan Implementasi Kebijakan

sebagai:

“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk


undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting, atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin
dicapai, dengan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya.”

Van Meter dan Van Horn (1975), mendefinisikan implementasikan

kebijakan sebagai:

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau


pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang di
arahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan.”
Dari definisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi

kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu pertama, adanya tujuan atau sasaran

kebijakan. Kedua, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan. Ketiga,

adanya hasil kegiatan.


25

Berdasarkan uraian tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu proses penerapan dari apa yang sudah

diformulasikan sebelumnya oleh pembuat kebijakan, dimana pelaksana

kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya

akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu

sendiri.

Pernyataan serupa juga dijelaskan pula oleh Lester dan Stewart Jr.

(2000: 104) dimana mereka katakan bahwa: implementasi sebagai suatu proses

dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-

tujuan yang ingin diraih.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Merrile Grindle

(1980) sebagai berikut :

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya,


dengan mempertanyakan apakan pelaksanaan program sesuai dengan yang
telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects
dan yang kedua apakan tujuan program tersebut tercapai.”

Penting untuk diingat bahwa implementasi kebijakan yaitu tahapan

yang sangat penting dalam keseluruhan alur kebijakan, karena melalui

implementasi ini proses kebijakan dapat diwujudkan dan secara keseluruhan

dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Hal ini

dipertegas oleh Chief Udoji (1981) dengan mengatakan bahwa :

“Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh


lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip kalau tidak diimplementasikan”

2.1.3 Model Implementasi Kebijakan Publik


26

A. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III

Model implementasi kebijakan yang berperspektif top down

dikembangkan oleh Edward III. Edward III menamakan implementasi

kebijakan publiknya dengan Direct And Indirect Impact On

Implementation. Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III,

terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan

implementasi suatu kebijakan, yaitu : (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3)

disposisi; (4) struktur birokrasi.

B. Implementasi Kebijakan Publik Model Grindle

Model Implementasi Kebijakan Publik yang dikemukakan Grindle

(1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan

sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang

telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of

Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks

implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:

1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).


2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
5. Para pelaksana program (program implementators).
6. Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).

Contex of Implementation (konteks implementasinya) yang dimaksud

meliputi:
27

a. kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari indikator


yang terlibat
b. karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa
c. tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana

C. Implementasi Kebijakan Publik Daniel Mazmanian dan Paul

A. Sabatier

Model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A.

Sabatier yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya

melaksanakan keputusan kebijakan. Model Mazmanian dan Sabatier

disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework for

implementation analysis).

Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan

ke dalam tiga variabel, yaitu:

a) Variabel Independen

Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan

indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan

perubahan seperti apa yang dikehendaki.

b) Variabel Intervening

Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan

proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan,

dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan

hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga

pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan


28

kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses

implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan

teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan

pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari

pejabat pelaksana.

c) Variabel Dependen

Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan

lima tahapan, yang terdiri dari: Pertama, pemahaman dari lembaga/badan

pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana. Kedua,

kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil

nyata. Terakhir, kelima, tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan

yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun keseluruhan

kebijakan yang bersifat mendasar.

D. Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter dan Van

Horn

Model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh

Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan

bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan

publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel

yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik

adalah variabel berikut :

1. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi


2. Karakteristik agen pelaksana/implementator
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4. Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.
29

2.1.4 Pengertian Gelandangan Pengemis

Secara umum, pengertian pengemis adalah orang yang pekerjaannya

mengharapkan belaskasihan dengan cara meminta-minta uang kepada orang

lain. Kemudian menurut Sudarianto (2005:14) Pengemis adalah orang-orang

yang kerjanya suka meminta-minta kepada orang lain guna memenuhi

kebutuhannya. Adapun menurut Sudarianto dalam Engkus Kuswarno,

(2009:15) pengemis terbagi menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Mengemis karena tak mampu bekerja. Pada kategori ini dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya.
Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki,
lumpuh, buta. Jadi para dermawan memang harus terpanggil untuk
menyantuninya, sisihkanlah harta untuk mereka, karena menyantuni
mereka insya Allah mendapat pahala yang besar.

2. Mengemis karena malas bekerja. Pengemis karena malas bekerja inilah


yang menyebabkan jumlah pengemis di Indonesia sangat banyak.
Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang
sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam
inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.”

Suparlan (1993: 179) menyatakan bahwa istilah gelandangan yang

berasal dari kata gelandangan yang artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah

mempunyai tempat tinggal yang tetap.

Ali, dkk,. (1990) dalam Iqbali (2008: 2-3) menyatakan bahwa

gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau

berkelana (lelana). Selanjutnya gelandangan merupakan lapisan sosial,

ekonomi dan budaya paling bawah dalam stratifikasi masyarakat kota.


30

Gelandangan pengemis adalah orang-orang miskin yang hidup di

kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang sah menurut

hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota karena mereka

menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan, tetapi tidak membayar

kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, tidak membayar pajak misalnya.

(Sarlito, W. Sarwono 2005: 49).

Penjelasan mengenai gelandangan pengemis tersebut memberikan

pengertian bahwa mereka termasuk golongan yang mempunyai kedudukan

lebih terhormat daripada pengemis. Gelandangan pada umumnya mempunyai

pekerjaan tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (berpindah-pindah).

Sebaliknya pengemis hanya mengharapkan belas kasihan orang lain serta tidak

tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal yang tetap

(Iqbali 2005: 3).

Dengan berbagai definisi diatas mengenai gelandangan pengemis,

maka peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud sebagai gelandangan

adalah seorang yang hidup tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang

tetap, tidak memliki tujuan yang jelas, berpindah-pindah tempat, jauh dari

kehidupan yang layak dan sering tinggal di fasilitas-fasilitas umum.

Sedangakan pengemis adalah seorang yang dalam sehari-harinya bekerja

dengan mengharapkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta.

2.1.5 Karakteristik Gelandangan dan Pengemis

Keith Harth (1973) dalam Iqbali (2005: 3) mengemukakan bahwa dari

kesempatan memperoleh penghasilan yang sah, pengemis dan gelandangan


31

termasuk pekerja sektor informal. Sementara itu, Jan Breman (1980) dalam

Iqbali (2005: 3) mengusulkan agar dibedakan tiga kelompok pekerja dalam

analisis terhadap kelas sosial di kota, yaitu

1. kelompok yang berusaha sendiri dengan modal dan memiliki


ketrampilan;
2. kelompok buruh pada usaha kecil dan kelompok yang berusaha
sendiri dengan modal sangat sedikit atau bahkan tanpa modal;
3. kelompok miskin yang kegiatannya mirip gelandangan dan
pengemis. Kelompok kedua dan ketigalah yang paling banyak di
kota dunia ketiga. Ketiga kelompok ini masuk ke dalam golongan
pekerja sektor informal.

a. Pengemis

Pengemis ada lima kategori pengemis menurut Indra Pratama dalam

Engkus Kuswarno (2009:26) yaitu:

a. Pengemis Berpengalaman

Lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan
mengemis adalah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan
kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif
sebab).
b. Pengemis kontemporer kontinu tertutup

Hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa


alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya
pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinu mengemis, tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan
bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
c. Pengemis kontemporer kontinu terbuka

Hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan,


karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan
untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak
32

dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut


dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya
untuk mengembangkan peluang tersebut.

d. Pengemis kontemporer temporer

Hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada


kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka
biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah
asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu
pemicu berkembangnya kelompok ini.
e. Pengemis rencana

Berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan


harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara. Mereka
mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.”
Kriteria :

a. Anak sampai usia dewasa


b. Meminta-minta di rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan
(lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah, dan tempat umum
lainnya, bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-
pura sakit, merintih, dan kadang-kadang mendoakan dengan
bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.
c. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur
dengan penduduk pada umumnya.

b. Gelandangan

Muthalib dan Sudjarwo (dalam IqBali, 2005: 3) memberikan tiga

kategori gelandangan, yaitu pertama, sekelompok orang miskin atau

dimiskinkan oleh masyaratnya. Kedua, orang yang disingkirkan dari


33

kehidupan khalayak ramai. Ketiga, orang yang berpola hidup agar

mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan. Ali, dkk. (dalam

IqBali, 2005: 3) juga menggambarkan mata pencaharian gelandangan

seperti pemulung, peminta-minta, tukang semir sepatu, tukang becak,

penjaja makanan, dan pengamen.

Kriteria :

a. Tanpa Kartu Tanda Penduduk (KTP);


b. Tanpa tempat tinggal yang pasti/tetap;
c. Tanpa penghasilan yang tetap; dan
d. Tanpa rencana hari depan anak-anaknya maupun dirinya.

2.1.6 Konsep Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial merupakan cita-cita dari negara indonesia yang

mana kesejahteraan sosial dapat di artikan sebagai kondisi dimana masyarakat

dapat memenuhi kebutuhan dasarnyanya seperti sandang, pangan, dan

papannya. Seperti apa yang Migdley (1997: 5) dalam Isbandi (2013: 23) lihat

bahwa kesejahteraan sosial sebagai:

“Suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika


berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika
kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial
dapat dimaksimalkan”

Sedangkan menurut Segal dan Bruzy (1998:8) dalam Suud (2006:6),

kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat.

Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagian, dan

kualitas hidup rakyat. Kesejahteraan sosial yang di rumuskan oleh Wilensky

dan lebeaux (1965:138) sebagai:


34

“sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dam lembaga-


lembaga sosial, yang dirancang untuk membantu individu-individu
dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan
yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan
personal dan sosial yang memberi kesempatan individu-individu
pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan
meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kenutuhan-
kebutuhan masyarakat.”

Definisi yang serupa dikemukakan oleh Friedland (1968:13) dalam

Suud (2006:8) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang

teroganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang

dimaksudkan untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar

mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan, dan hubungan-

hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk

memperkembangkan seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan

kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan

masyarakatnya.

Romanyshyn (1971:3) dalam Suud (2006:11) menyebutkan bahwa

kesejahteraan sosial dapat :

“mencakup semua bentuk intervensi sosial yang mempunyai suatu


perhatian utama dan langsung pada usaha peningkatan kesejahteraan
individu dan masyarakat sebagai keseluruhan. Kesejahteraan sosial
mencakup penyediaan pertolongan dan proses-proses yang secara
langsung berkenaan dengan penyembuhan dan pencegahan masalah-
masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia, dan perbaikan
kualitas hidup. Itu meliputi pelayanan-pelayanan sosial bagi individu
dan keluarga-keluarga juga usaha-usaha untuk memperkuat atau
memperbaiki lembaga-lembaga sosial.”

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Suahrto (2005:34)

memberikan definisikan bahwa kesejahteraan Sosial adalah kegiatan-kegiatan

yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat


35

guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan

kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.

Kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat.

Dari beberapa definisi diatas dapat peniliti simpulkan bahwa

kesejahteraan sosial yaitu terpenuhinya segala kebutuhan dasar seperti

kebutuhan material dan spiritualnya sehingga dapat berdampak positif terhadap

lingkungan sosialnya. Kesejahteraan sosial juga merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan lembaga/kelompok pemerintah untuk pengentasan

masalah kesejahteraan dari masyarakatnya untuk memberikan suatu dampak

positif untuk lingkungan sosial dari masyarakat agar terjalinnya interaksi sosial

yang lebih baik.

Kesejahteraan sosial memang sangat diperlukan untuk membentuk

masyarakat yang tertib dan disiplin serta menjunjung tinggi nilai-nilai sosial

yang ada dimasyarakat. Kesejahteraan sosial akan berimplikasi kepada cara

hidup suatu masyarakat di lingkungan sosialnya, jika suatu masyarakat

sejahtera maka masalah-masalah sosial maupun konflik-konflik sosial tidak

akan menjadi permasalahan yang kompleks yang bisa memecah belah

persatuan di masyarakat. Sebaliknya jika masyarakat tidak sejahtera, pasti

banyak sekali masalah-masalah sosial dan konflik-konflik sosial yang akan

terjadi seperti sekarang ini, banyak sekali masalah-masalah sosial yang muncul

sehingga dalam kesehariannya dan dalam mata pencahariannya mengabaikan

nilai-nilai sosial dan norma-norma yang ada di masyarakat contohnya


36

banyaknya gelandangan pengemis (gepeng), Pekerja Seks Komersial (PSK),

anak jalanan, anak terlantar, lanjut usia yang terlantar dan lainnya.

2.1.7 Kebijakan Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan Sosial merupakan upaya dari pemerintah untuk

mensejahterakan masyarakatnya sehingga masyarakatnya dapat hidup dengan

baik di lingkungan sosialnya sehingga tidak adanya nilai-nilai sosial yang ada

di masyarakat yang dilanggar. Menurut Segel dan Bruzuzy (1998) dalam Suud

(2006: 88) kebijakan sosial merupakan bagian dari sistem kesejahteraan sosial.

Karenanya, intervensi kesejahteraan sosial melalui kebijakan mesti

memperhatikan sistem kesejahteraan sosial di mana kebijakan tersebut dibuat.

Selanjutnya Segel dan Bruzuzy (1998: 9) dalam Suud (2006: 94)

secara singkat mendefiniskan bahwa kebijakan kesejahteraan sosial adalah

tanggapan yang terorganisasi atau tiadanya suatu tanggapan terahadap suatu isu

atau masalah sosial. Diana M. Dinitro (2003:2) dalam Suud (2006:95)

berpendapat bahwa kebijakan kesejahteraan sosial adalah apa saja yang dipilih

pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan, yang mengakibatkan kualitas

kehidupan rakyatnya. Macarov (1995) dalam Suud (2006:95) juga berpendapat

bahwa kebijakan kesejahteraan sosial meliputi keduanya tujuan dan aturan

yang menentukan pelaksana. Kebijakan kesejahteraan sosial diterapkan melalui

program kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh pekerja sosial.


37

Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai

kebijakan kesejahteraan sosial peneliti dapat menyimpulkan bahwa kebijakan

kesejahteraan sosial merupakan apa saja yang dilakukan ataupun tidak

dilakukan pemerintah untuk menanggapi isu-isu sosial yang ada dimasyarakat

dan dalam penerapannya dengan membuat produk dari kebijakan itu sendiri

yaitu program-program kesejahteraan sosial.

2.1.7.1 Analisa Kebijakan Kesejahteraan Sosial

Analisa kebijakan kesejahteraan sosial dilakukan untuk

menyediakan bimbingan dan arahan bagi para pembuat kebijakan

(Dobelstein, 1996) dan untuk menawarkan solusi masalah sosial (Dunn,

2000). Informasi yang diperoleh melalui analisa kebijakan dapat digunakan

untuk membangun kebijakan alternatif di masa yang akan datang, menilai

kebijakan-kebijakan yang ada atau sebelumnya, atau menjelaskan masalah

fenomena kesejahteraan sosial. Berikut ada model analisa kebijakan

kesejahteraan sosial dari (Segal dan Brzuay, 1998) yang modelnya beralur

linier dalam model analisanya. Hal ini dimaksudkan untuk merefleksikan alur

umum dari kebijakan dan untuk tujuan penjelasan. Bagaimanapun,

pembuatan dan pengoperasian kebijakan kesejahteraan sosial itu dinamis dan

proses tersebut yang terbaik dipandang sebagai suatu keseluruhan. Model

berikut ini memiliki lapisian-lapisan berlipat, yang merefleksikan

kompleksitas dari sistem kesejahteraan sosial sebagaimana yang telah

disebutkan di atas yang mana dalam kebijakan dirumuskan. Berikut garis

besar model tersebut.


38

Gambar 2.1

Model Analisa Kesejahteraan Sosial (Segal dan Brzuay, 1998)

Populasi yang
Diakibatkan
Isu Sosial/
Penerapan
Masalah Dampak
Tujuan Kebijakan/ Program
Sosial yang
Perundangan Kesejahteraan
Sosial Dikehendaki

Dampak
yang Aktual

Menerapkan model tersebut mensyaratkan penggunaan banyak

pertanyaan untuk menganalisa evolusi dan penerapan kebijakan kesejahteraan

sosial. Daftar pertanyaan yang ada di bawah ini akan membantu kita menyusun

analisa kebijakan kesejahteraan sosial.

a. Masalah Sosial

Apakah masalahnya?; Bagaimana definisinya?; Seberapa luas

masalahnya?; Siapa yang mendefinisikannya sebagai masalah?; Siapa

yang tidak setuju tanda masalah tersebut?


39

b. Tujuan

Apakah tujuan umumnya?; Apakah sub-sub tujuannya?; Apakah sub-

sub tujuan tersebut saling bertentangan?;

c. Kebijakan/perundangan

Apakah ada kebijakan yang relevan?; Jika tidak ada mengapa?;

Apakah sasaran-sasaran dari kebijakan tersebut?; Apakah ada agenda-

agenda dari kebijakan yang tersembunyi?; Siapakah yang mendukung

kebijakan tersebut?; Siapakah yang menentang kebijakan tersebut?.

d. Penerapan

Apakah program kesejahteraan sosial yang diterapkan merupakan dari

kebijakan?; Apakah program tersebut efektif?; Apakah kekuatan-

kekuatannya?; Apakah kelemahan-kelemahannya?.

e. Populasi yang dipengaruhi

Siapa yang disentuh oleh kebijakan dan program tersebut?; Apakah

akibat positifnya?; Apakah akibat negatifnya?.

f. Dampak yang dikehendaki

Apakah yang dimaksudkan menjadi kenyataan?; Apakah yang

dimaksudkan telah dipengaruhi?; Apakah masalah yang dimaksudkan

telah berubah?.
40

g. Dampak aktual

Bagaimana biaya dan keuntungannya?; Apakah masalah sosial tersebut

berubah?; Jika ya, bagaimana berubahnya?; Adakah akibat-akibat yang

tidak diinginkan?.

Kerapkali kondisi-kondisi sosial tertentu dipandang sebagai suatu

masalah oleh beberapa orang, tetapi tidak oleh semua anggota masyarakat.

Suatu persoalan mendapat penerimaan sebagai suatu keprihatinan sosial tatkala

semakin banyak orang, kelompok-kelompok sosial, dan para pembuat

kebijakan mendefinisikannya sebagai suatu masalah sosial. Sementara

mungkin ada persetujuan yang secara umum, pembelajaran nilai-nilai khusus

ideologis bisa mewarnai cara pandang terhadap persoalan tersebut. Sebagai

contoh, gelandangan pengemis (gepeng) bisa diakui oleh banyak orang sebagai

suatu masalah sosial, tetapi oleh sebagian orang dianggap sebagai masalah

kemiskinan, dan sementara bagi sebagian masyarakat lain ia bisa dipandang

sebagai merusak pandangan umum, dan bagi sebagian yang lain lagi ia bisa

dimasukan sebagai orang yang sakit mental yang kurang mendapat perlakuan

secara memadai (Suud 2006: 106).

Proses kebijakan secara keseluruhan dipengaruhi oleh nilai-nilai,

benar adanya pengenalan dan pendefinisian masalah-masalah sosial dan

rangkaian tujuan tersebut. Nilai-nilai sosial dan pandangan-pandangan yang

berpencar memaikan peranan dalam proses pembuatan kebijakan (Suud 2006:

107).
41

Konflik nilai kerapkali merupakan alasan mengapa kebijakan

kesejahteraan sosial sulit dibangun. Kebijakan-kebijakan kesejahteraan sosial

yang dikeluarkan biasanya mengandung kompromi-kompromi dan terdiri atas

sejumlah bagian yang tidak perlu cocok satu sama lain. Banyak sekali program

kebijkan kesejahteraan sosial pokok tidak secara tepat merupakan apa yang

diinginkan leh setiap orang, tetapi malah memberikan sesuatu bagi orang-orang

yang bebeda. Meraih konsensus dan kepentingan-kepentingan yang demikian

banyak kerapkali menciptakan perundangan atau kebijakan yang tidak jelas,

sangat panjang dan kompleks (Suud 2006: 108).

2.1.8 Critical System Thinking

Dalam penelitian yang berjudul “Analisis Kritis Implementasi

Program Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng)

Oleh Dinas Sosial Kota Serang” ini, peneliti menggunakan pendekatan critical

sistem thinking. Critical systems thinking dalam Riswanda (2016)

didefinisikan:

“Sebagai sebuah proses berdialektika, berdiskusi, serta melakukan


refleksi pada pencarian „meanings‟ alternatif diantara kemajemukan,
dan sisi lainnya antara asumsi, nilai, dan sudut pandang dalam konteks
penelitian kualitatif, mencari keterkitan berbagai aspek dalam sebuah
permasalahan kebijakan, sebagai usaha untuk menemukan missing
link, dan keterkaitan antar fenomena yang dilupakan yang sebenarnya
berpotensi untuk dapat memberikan jawaban dari permasalahan yang
terjadi. Dengan sinergi penyajiannya pada pembangunan suatu
argument penelitian. Untuk kemudian dijadikan dasar pijakan
membangun argument penelitian dan mendesain kerangka teoritis di
dalamnya. Rangka pikir tersebut dapat digunakan di semua fase kajian
kebijakan-formulasi, implementasi, dan evaluasi.”
42

Critical sistem thinking ini peneliti anggap relevan dengan

permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. Peneliti anggap relevan

karena dengan konsep critical sistem thinking ini, peneliti akan diarahkan

untuk melihat suatu permasalahan kebijakan dengan berbagai sudut pandang

yang berbeda, yang nantinya merujuk pada fakta-fakta dalam suatu kebijakan

dengan membandingkannya dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat

sebagaimana yang ada dalam konsep „critical heuristics‟ yang menggunakan

paradigma segitiga batas penilaian (Boundary Judgements) yang disitu terdapat

fakta-fakta, nilai-nilai, dan sistem. Seperti pada gambar berikut :

Gambar 2.2

The Eternal Triangle (Boundary Judgement)

Boundary Judgments

“SISTEM”

“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”

Observasi Evaluasi

Sumber: „the triangle‟ of the buondary judgements, facts and values oleh Ulrich

(2000 hal.252) dalam Riswanda (2016: 3)

Gambar di atas menjelaskan bahwa pemahaman sistem ini digunakan

sebagai acuan kerangka berpikir dari sudut pandang seseorang yang

membentuk kontruksi dasar dari kebijakan. Menurut Riswanda (2016)


43

menyatakan bahwa boundary judgments memberikan pesan pada peneliti

bahwa prinsip dasar metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif

merupakan refleksi dari konsep boundary judgments.

Tujuan dari critical sistem thinking yaitu “to give „voice of the

voiceless” yang berarti pemberian “voice” kepada masyarakat atau kelompok

yang selalu terpinggirkan, atau tidak mendapatkan tempat dalam proses

pembuatan kebijakan (Riswanda, 2015 dan Riswanda et.al, 2016). Dalam hal

ini tentunya penelitian tentang gelandangan pengemis (gepeng) yang peneliti

lakukan sangat relevan dengan konsep critical sistem thinking ini. Gelandangan

Pengemis (gepeng) disini merupakan masyarakat yang selalu terpinggirkan dan

“voice” dari gepeng ini tidak mendapat tempat dan terabaikan dalam proses

pembuatan kebijakan. Dengan mengedepankan “to give „voice of the voiceless”

diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang selama ini dirasakan oleh

masyarakat dan kelompok masyarakat yang selalu ini terpinggirkan seperti

halnya gepeng ini. Karena dalam setiap permasalahan kebijakan selalu ada

suara-suara dari masyarakat yang terabaikan oleh pemerintah. Maka dari itu

dengan menggunakan critical systems thinking ini maka ada tempat untuk

menempatkan kebijakan dengan memperhatikan unsur-unsur tertentu yang

terkait dengan kebijakan yang ada, seperti unsur religi, sosial, ekonomi,

budaya, maupun keanekaragaman cara pendang dan berfikir dalam masyarakat

saat menyikapi permasalahan sosial tertentu (Riswanda, 2016).

Dalam penelitian kebijakan ini, dengan menggunakan pendekatan

critical systems thinking nantinya akan menggunakan percakapan naratif dan


44

wawancara secara mendalam kepada individu-individu dan kelompok-

kelompok berbeda yang pada akhirnya ditemukan suara atau opini terkait

dengan permasalahan kebijakan dari individu dan kelompok yang nantinya

menjadi sebuah pandangan dan gambaran kepada peneliti tentang bagaimana

permasalahan kebijakan yang terjadi selama ini. Dengan melihat dari asumsi-

asumsi ini, peneliti dapat melihat nilai-nilai sosial kemasyarakatan bercampur

dan berbaur yang nantinya memperlihatkan asumsi dari suara individu yang

terpinggirkan yang dapat membentuk konstruksi sebuah kebijakan. (Riswanda,

2016).

Berikut adalah rangka penelitian untuk memetakan siapa yang terlibat

dalam pengambilan keputusan, dan siapa yang terkena dampak akhir dari

produk keputusan kebijakan.

Gambar 2.3
Table of Boundary Categories
Batas Kategori Batas Persoalan

1. Stakeholder
2. Purpose Sources of motivation
3. Measure of improvement Sistem referensi
(sistem perhatian)
4. Decision-maker yang menentukan
5. Resources Sources of power Yang terlibat pengamatan (* fakta *)
6. Decision environment dan evaluasi (* nilai *)
dianggap relevan ketika
7. Profesional datang untuk menilai
8. Expertise Sources of knowledge manfaat atau cacat dari
9. Guarantee proposisi

10. Witness
11. Emancipation Sources of legitimation Yang terpengaruh
12. World view

Sumber:... W. Ulrich (1983, hal. 258; hal. 43; dan 2000, hal. 256). Dalam

Riswanda (2016: 9).


45

Penjelasan tabel di atas yaitu bahwa ada empat dimensi yang menjadi

fokus dalam kajian kebijakan publik. Dimensi tersebut adalah sumber motivasi,

sumber kekuatan, sumber pengetahuan, dan sumber pengesahan. Keempat

dimensi ini membentuk „policy circle‟ yaitu lini garis lingkaran dari kebijakan

publik yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi, dan evaluasi yang

saling berhubungan (Riswanda, 2016).

Critical systems thinking ini menawarkan dua belas panduan pertanyaan

kritis yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi peneliti kebijakan dengan

metode kualitatif dalam mengupas tuntas akar permasalahan dari permasalahan

kebijakan karena dari dua belas pertanyaan kritis ini mencakup „policy circle‟

yang terdiri atas analisis, formulasi, implementasi, dan evaluasi. Dengan

melibatkan kedua selektivitas empiris dan normatif yaitu apa yang sebetulnya

(fakta aktual di lapangan) dengan apa yang seharusnya terjadi pada tataran ideal

(Riswanda, 2016). Berikut dua belas pertanyaan kritis yang ditawarkan oleh

Critical systems thinking:


46

Tabel 2.1
Panduan Pertanyaan Kritis
No. Sebetulnya Seharusnya

(temuan fakta actual di lapangan) (pada tataran ideal)

1. Siapa atau pihak mana yang secara Siapa atau pihak mana yang
factual menjadi pemangku seharusnya menjadi pemangku
kepentingan pada sebuah kepentingan dari kebijakan untuk di
permasalahan kebijakan?; Pihak formulasi-kan atau dikaji ulang?;
mana, dalam lingkup permasalahan Siapa atau pihak mana yang
tersebut, yang suara kepentingannya seharusnya secara factual menjadi
mewakili atau terwakili oleh pemangku kepentingan pada sebuah
kelompok tertentu dalam permasalahan kebijakan?; Pihak
masyarakat, termasuk didalamnya mana dalam lingkup permasalahan
memuat nilai-nilai, tujuan, dan tersebut yang suara kepentingannya
keinginan per individu maupun mewakili atau terwakili.
golongan?; Kepentingan pihak
mana yang sebetulnya terlayani/
terfasilitasi/ terwakili/ tercermin
dalam sebuah produk kebijakan?
baik berupa UU, PP, Perda, dan
seterusnya. Pihak mana di
masyarakat, dalam lingku kelompok
target kebijakan yang mungkin tidak
merasakan manfaat dari keputusan/
produk kebijakan tersebut, namun
menanggung dampak eksekusi
ataupun memiliki potensi untuk
menanggung akses dampaknya.
47

2. Apa sebetulnya tujuan dari Apa yang seharusnya menjadi tujuan


rancangan kebijakan terkait dari keebijakan dengan kata lain apa
permasalahan publik di mana yang seharusnya menjadi capaian
kebijaan tersebut berpijak? Hal ini tujuan kebijakan untuk menjangkau
ditinjau dari konsekuensi factual kepentingan semua pemangku
dikeluarkannya kebijakan tersebut, kepentingan?
bukan hanya dari pernyataan
tertulis-strategis suatu kebijakan
publik.
3. Berdasarkan konsekuensi rancangan Apa yang seharusnya menjadi tolak
kebijakan di atas, apa sebetulnya ukur keberhasilan kebijakan?
yang menjadi tolak ukur
keberhasilan kebijakan?
4. Siapa atau pihak mana secara Siapa atau pihak mana seharusnya
faktual menjadi pembuat kebijakan menjadi pembuat kebijakan? Pihak
dan penentu perubahan ukuran mana yang seharusnya memiliki
keberhasilan kebijakan? power perubahan tolak ukur
perbaikan kebijakan?
5. Apa sebetulnya yang menjadi (pra) Seharusnya seberapa besar kontrol
kondisi suksesnya formulasi dan pembuat kebijakan terhadap
implementasi kebijakan? Apakah sumberdayaa dan (penanganan)
(pra) kondisi ini sepenuhnya keterbatasan-keterbatasan
dikontrol oleh pembuat kebijakan? penyediannya?
6. Kondisi apa saja yang secara factual Sumberdaya dan kondisi apa saja
berada di luar kontrol pembuat yang seharusnya menjadi bagian
kebijakan? Impikasi apa yang dari pengaturan (pelaksanaan
sebetulnya terjadi paada masalah kebijakan?
kebijakan saat pembuat kebijakan
tidak memiliki kontrol pada kondisi
tertentu dalam lingkup
permasalahan kebijakan?
7. Siapa atau pihak mana saja yang Siapa atau pihak mana saja yang
sebetulnya dilibatkan sebagai seharusnya dilibatkan sebagai
formulator kebijakan, terkait formulator dalam sistem pembuatan
permasalahan publik sebagai target kebijakan?
solusi kebijakan tersebut?
8. Siapa atau pihak mana yang Jenis kepakaran seperti apa yang
dilibatkan sebagai “pakar” jenis seharusnya dilibatkan dalam
kepakaran seperti apa dan peran apaformulasi kebijakan? Siapa atau
yang diberikan pada para “pakar” pihak mana saja seharusnya yang
tersebut terkait konteks pembuatan terlibat sebagai “pakar” dan pada
keputusan kebijakan dan fokus aspek mana saja kepakaran mereka
permasalahan publik berjalan? diletakkan dalam proses pembuatan
keputusan kebijakan?
9. Di mana dan bagaimana sebetulnya Siapa atau pihak mana yang
pihak yang dilibatkan dalam sistem seharusnya dilibatkan sebagai
48

mendapatkan jaminan keberhasilan penjamin mutu formulasi kebijakan,


perencanaan kebijakan. Hal ini di mana formulator nantinya dapat
dapat ditinjau dari kompetensi mencari tolak ukur kesuksesan dan
teoritis “pakar” yang terlibat, perbaikan kebijakan pada tataran
kesepakatan para “pakar” tersebut implementasi?
dala validitas data empiris yang
digunakan sebagai dasar
pertimbangan kebijakan, dukugan
politik keterwakilan kelompok
kepentingan terpaut isu kebijakan.
Selanjutnya, tinjuauan penelitian
dapat melihat seberapa jauh
kontribusi kepakaran tersebut
memberikan jaminan suksesnya
pelaksanaan kebijakan?
10. Siapa atau pihak mana diantaranya Siapa atau pihak mana diantara
mereka yang terlibat mewakili suara those affected, yang seharusnya
those affected? Siapa saja kemudian dilibatkan karena mewakili
diantara pihak terkena dampak yang kemungkinan terkena dampak dari
justru tidak dilibatkan dalam rancangan atau hasil keputusan
pengambilan keputusan kebijakan? kebijakan?
11. Apakah the affected diberikan Seberapa jauh dan dengan cara apa
kesempatan untuk menyuarakan dan seharusnya the affected diberikan
menentukan kepentingan mereka kesempatan untuk lepas dari lingkup
sendiri, terlepas dari pendapat para pengaruh the involved dalam
“pakar” menyangkut solusi pengambilan keputusan san
kebijakan berjalan? Apakah arti eksekusi kebijakan?
kualitas hidup bagi mereka? Apakah
the affected pada kenyataannya
hanya menjadi “alat” pencapaian
tujuan dari pihak di luar lingkaran
solusi keputusan kebijakan?
12. Apakah sebetulnya world view Pijakan world view apa yang
terpaut isu kebijakan publik yang seharusnya menjadi nilai tumpuan
dihadapi? Apakah pandangan ini sistem pembuatan kebijakan? Nilai
merupakan atau menjadi lensa tumpuan ini, pada tatanan ideal,
pandang (sebagian dari) the mewakili nilai-nilai yang dimiliki
involved dan (sebagian dari) the oleh the involved dan the affected?
affected?
Sumber: Diterjemahkan, diadapsi dan dimodifikasi dari Midgley, G. (2000)
Systemic Intervention: Philosophy, Methodology and Practice. New York: Kluwer
Academic, hal. 141, dalam Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan.
Dua belas panduan pertanyaan diatas menggambarkaan pendalaman

masalah kebijakan multi-layered dan multi dimensi melalui explorasi sudut


49

pandang multi-lenses. Ini berarti penelitian yang dilakukan secara mendalam

mengenai Program Rehabilitasi Sosial Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh

Dinas Sosial Kota Serang dengan mengedepankan berbagai lapisan masyarakat

melalui berbagai sudut pandangnya dan berbagai lensa opini. Harapan peniliti

dengan menggunakan Critical systems thinking dapat menemukan suatu solusi

yang relevan terhadap permasalahan dari Program Rehabilitasi Sosial

Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang ini.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dijadikan sebagai penelitian terdahulu berkaitan dengan

peneleitian peneliti tentang Analisis Kritis Implementasi Program Rehabilitasi

Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota

Serang adalah penelitian yang dilakukan oleh Nitha Citrasari Program Studi Ilmu

Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa Serang, Banten. Penelitian tersebut membahas mengenai Kinerja

Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di

Kota Cilegon pada tahun 2012.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang Kinerja Dinas Sosial

Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Cilegon.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Metode

pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Subyek

dari penelitian ini adalah pegawai Dinas Sosial Kota Cilegon, Satpol PP Kota

Cilegon, LSM LKBHFPP, Tokoh Masyarakat Kota Cilegon, serta Gepeng.


50

Hasil dari penelitian ini yaitu Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon dalam

penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon belum optimal. Hal

tersebut dikarenakan terkendala oleh belum tersedianya panti rehabilitasi serta

sarana dan prasarana untuk menangani mereka supaya menjadi masyarakat yang

mandiri. Untuk meningkatkan kinerja, Dinas Sosial perlu membangun panti

rehabilitasi agar program-program yang dibuat bisa menjadi lebih efektif sehingga

dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Cilegon.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Rizki Amalia Program Studi Ilmu

Politik Dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Penelitian tersebut terkait Rehabilitasi Pengemis Di Kota Pemalang (Studi Kasus

di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti” Pemalang I) pada tahun 2013.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) Faktor-faktor

apa saja yang menyebabkan terjadinya pengemisan di kota Pemalang, (2)

Bagaimana partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan pengemisan di

Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti” Pemalang I, (3) Bagaimana upaya-

upaya yang dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial “ Samekto Karti” Pemalang I

untuk merehabilitasi pengemis.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah dengan

menggunakan metode kualitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah (1) faktor

internal dan faktor eksternal penyebab munculnya pengemisan, (2) sejauh mana

keterlibatan dan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam penanggulangan

pengemisan, (3) upaya yang dilakukan dari Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto

Karti” Pemalang I dalam merehabilitasi pengemis. Teknik pengumpulan data


51

dengan menggunakan teknik wawancara, observasi langsung dan dokumentasi.

Subjek penelitian adalah penerima manfaat di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto

Karti” Pemalang I dan petugas Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”.

Informan pendukung adalah staf Dinas Sosial Kabupaten Pemalang, staf Satuan

Polisi Pamong Praja Kabupaten Pemalang, dan Masyarakat. Teknik analisis data

menggunakan teknik analisis yang terdiri dari: pengumpulan data, reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

1. Faktor internal penyebab terjadinya pengemisan berkaitan dengan kondisi

diri sang peminta-minta yang meliputi sifat malas, tidak mau bekerja,

mental yang tidak kuat, cacat fisik ix maupun psikis. Sedangkan faktor

eksternal penyebab terjadinya pengemisan berkaitan dengan kondisi luar

dari sang peminta-minta yang meliputi faktor sosial, kultur, ekonomi,

pendidikan, lingkungan dan agama. Faktor lain dikarenakan kurang

efektifnya kegiatan penjaringan yang dilakukan Satpol PP sehingga belum

sepenuhnya terkena razia. Penyebab lain karena adanya buangan

pengemispengemis dari luar daerah ke Pemalang yang menyebabkan

mereka beroperasi di daerah Pemalang.

2. Keterlibatan dan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam

penanggulangan pengemisan di Balai Rehabilitasi berupa pemberian

bantuan berupa sandang dan pangan berupa sembako serta bimbingan

ketrampilan maupun bimbingan fisik, pemberian bantuan pertolongan oleh

masyarakat manakala kelayan Balai mengalami musibah, memberikan


52

pelatihan Usaha Ekonomi Produktif melalui kegiatan bimbingan dan

latihan ketrampilan bagi eks PGOT.

3. Upaya-upaya yang dilakukan Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”

Pemalang I dalam merehabilitasi pengemis adalah dengan melakukan:

a) Rehabilitasi perilaku yang merupakan proses rehabilitasi sosial

melalui pelayanan pengubahan perilaku melalui pendidikan bela

Negara, bimbingan mental pembinaan keagamaan, dinamika dan

terapi kelompok,

b) Rehabilitasi sosial psikologi yang merupakan proses rehabilitasi

yang berusaha mengembalikan kondisi mental psikologi dan sosial.

c) Rehabilitasi karya merupakan proses rehabilitasi sosial yang

berusaha agar sasaran penanganannya dapat menjadi manusia

produktif dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan.

d) Rehabilitasi pendidikan merupakan proses rehabilitasi sosial yang

berusaha mengupayakan penambahan pengetahuan melalui

upgrading dan refreshing untuk mendukung pengambilan bentuk

jenis keterampilan.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir adalah suatu model yang secara konseptual tentang

teori yang berhubungan dengan faktor yang diidentifikasikan sebagai masalah

yang terjadi. Kerangka berpikir ini digunakan sebagai dasar untuk menjawab

pertanyaan terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam penelitian


53

ini yang menjadi fokus penelitian adalah “Analisis Kritis Implementasi Program

Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas

Sosial Kota Serang.”

Dinas Sosial Kota Serang merupakan Organisasi Perangkat Daerah yang

berwenang membantu pemerintah daerah dalam hal masalah-masalah sosial

seperti penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan pengemis di Kota

Serang dengan mengacu peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat

permasalahan dalam penelitian ini adalah lemahnya penegakan peraturan daerah

kota serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan penyakit masyarakat. Menjamurnya gelandangan dan pengemis

di Kota Serang, pemerintah kota melalui Dinas Sosial Kota Serang membuat suatu

program yang mana program ini dapat menyelesaikan masalah sosial seperti

gelandangan dan pengemis ini. Namun pada pengimplementasian program

tersebuat masih banyak masalah-masalah yang terjadi seperti kurangnya

sosialisasi program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini yang

dilakukan Dinas Sosial kepada publik untuk ikut andil dalam program rehabilitasi

ini. Serta kurangnya kordinasi antara Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku

pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis di jalan atau tempat umum.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka peneliti

mengkajinya melalui Boundary Judgements dari Critcal Sistem Thinking.

Pemilihan konsep tersebut didasarkan pada temuan lapangan yang peneliti anggap

relevan dengan konsep teori ini, di mana konsep Critcal Sistem Thinking tersebut
54

mencakup empat dimensi yaitu sumber motivasi, sumber kekuatam, sumber

pengetahuan, dan sumber pengesahan. Teori tersebut merupakan sebuah

paradigma berpikir dengan melihat masalah suatu kebijakan dari sudut pandang

atau beberapa kacamata opini yang variatif. Dari sanalah dapat melihat perbedaan

nilai dari sudut pandang pemerintah dan non pemerintah, sehingga dapat

memaparkan realita yang terjadi. Sehingga dengan menggunakan Critcal Sistem

Thinking tersebut, maka pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini bisa berjalan optimal dan mampu mengurangi populasi gelandangan

dan pengemis di Kota Serang.


55

Gambar 2.4

Kerangka Pemikiran

Dinas Sosial Kota Serang membuat Peraturan Daerah


Mengacu pada
program Rehabilitasi Sosial Kota Serang Nomor
Penanganan Gelandangan dan 2 tahun 2010
Pengemis.

Fakta di lapangan
Critical System Thinking

Masalah-masalah : Dengan menggunakan


boundary categories
1. Lemahnya penegakan
menurut Ulrich (dalam
peraturan daerah kota serang Riswanda 2016:9) yaitu:
nomor 2 tahun 2010 tentang
pencegahan, pemberantasan a. Sumber motivasi
dan penanggulangan penyakit Proses b. Sumber kekuatan
masyarakat. c. Sumber pengetahuan
2. Kurangnya sosialisasi d. Sumber pengesahan
program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis
ini yang dilakukan Dinas
Sosial kepada publik untuk Output
ikut andil dalam program
rehabilitasi ini.
3. Serta kurangnya kordinasi
antara Dinas Sosial dengan Pelaksanaan program rehabilitasi
SATPOL PP selaku pihak gelandangan dan pengemis ini bisa berjalan
yang merazia para optimal dan mampu mengurangi populasi
gelandangan dan pengemis di gelandangan dan pengemis di Kota Serang.
jalan atau tempat umum.
56

2.4 Asumsi Dasar

Peneliti berasumsi bahwa Program Rehabilitasi Sosial Penanganan

Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota Serang belum terlaksana dengan baik sesuai

dengan apa yang seharusnya tertuang dalam Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat. Peneliti dapat berasumsi demikian karena berdasarkan observasi awal

dan wawancara dengan pihak Dinas Sosial khususnya pada Seksi Rehabilitasi

Tuna Sosial, yang menyebutkan bahwa sumber daya manusia. Sumber dana atau

anggaran serta sarana dan prasarana yang dimiliki Dinas Sosial seperti tempat

rehabilitasi, alat-alat untuk pelatihan kerja, rumah singgah dan lainnya belum

memadai. Sehingga membuat pihak dinas sosial kurang efektif dalam

melaksanakan program rehabilitasi ini


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian

Dalam penelitian ini yang berjudul Analisis Kritis Implementasi Program

Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas

Sosial Kota Serang, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif. Dalam penelitian kualitatif ini peneliti merefleksikan konsep

dari Boundary judgement. Yang artinya, kemampuan berpikir kritis (critical

competence) peneliti merujuk, mengaitkan dan memilah mana „facts‟(realitas

fenomena), dan mana „values’ (norma, nilai) menentukan bagaimana nantinya

hasil penelitian memetakan relevansi, keterhubungan, saling keterkaitan, ataupun

sebaliknya diantara kedua hal tersebut. Argumen ini hendaknya dipahami sebagai

„systemic triangulation’ Ulrich (2005, hal.6) dalam Riswanda (2016: 3), dimana

„facts’, „System’, dan „values’ tidak dapat dipahami secara terpisah.

Gambar 3.1 The Eternal Triangle (Boundary Judgement)


Boundary Judgments

“SISTEM”

“FAKTA-FAKTA” “NILAI-NILAI”
Observasi Boudary judgement

Sumber: ‘the triangle’ of the boundary judgements, facts and values oleh Ulrich
(2000 hal.252) dalam Riswanda (2016: 3).

57
58

Peneliti memberikan contoh, pada masalah pertama pada penelitian ini

yaitu lemahnya penegakan peraturan daerah kota serang nomor 2 tahun 2010

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat.

Alasan tidak dilarangannya gelandangan dan pengemis di tempat-tempat selain

lampu merah adalah alasan kemanusiaan. Padahal sangat jelas di perda tersebut

melarang kegiatan gelandangan dan pengemis di manapun. Bila melihat pada

Boundary Judgment ini peneliti melihat bahwa peraturan daerah tersebut

merupakan sistem yang melarang adanya gelandangan dan pengemis, namun

faktanya yang ada adalah gelandangan dan pengemis masih melakukan

kegiatannya bahkan terus bertambah, karena pelarangannya hanya di area lampu-

lampu merah saja namun tidak untuk di tempat di tempat pusat keramaian lainnya

yang berasalan harus adanya nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini tentunya

nilai-nilai ini kembali lagi pada bagaimana sistem yang mengaturnya, dan sistem

inipun tentunya harus memasukan nilai-nilai ini dalam sistem tersebut.

3.2 Fokus Penelitian

Adapun fokus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan fenomena

terkait bagaimana Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan

Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang secara

mendalam yang berdasarkan peraturan daerah kota Serang tahun 2010 tentang

pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan penyakit masyarakat.


59

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menjelaskan locus penelitian yang akan dilaksanakan,

dimana didalamnya menjelaskan tempat, serta alasan memilihnya. Penelitan yang

berjudul “Analisis Kritis Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan

Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang”, lokasi

penelitian di Dinas Sosial Kota Serang, alasannya adalah kota merupakan ibu kota

provinsi Banten sedangkan keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Serang

begitu banyak bahkan tidak jauh dari pusat Kota Serang terdapat kampung

pengemis yaitu Kampung Kebanyakan, Desa Sukawana, Kecamatan Serang.

3.4 Variabel Penelitian

Variable dalam penelitian tentang “Analisis Kritis Implementasi Program

Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas

Sosial Kota Serang” dapat didefinisikan sebagai berikut:

3.4.1 Definisi Konsep

Konsep yang digunakan adalah rangka penelitian adalah :

1. Critical System Thinking (CST)

Boundary category dari critical system thinking dari Ulrich (1983: hal.

258; 1996, hal. 43; 2000, hal. 256) dalam Riswanda (2016: 9)

“Terdiri empat dimensi, antara lain: sumber motivasi, sumber


kekuatan, sumber pengetahuan, dan sumber pengesahan. Keempat
dimensi ini membentuk ‘policy circle’ yaitu lini garis lingkaran dari
kebijakan publik yang terdiri dari formulasi, analisis, implementasi,
dan evaluasi”.
60

2. Gelandangan

Ali, dkk,. (1990) dalam Iqbali (2008: 2-3) menyatakan bahwa

gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu mengembara, atau

berkelana (lelana).

3. Pengemis

Secara umum, pengertian pengemis adalah orang yang pekerjaannya

mengharapkan belaskasihan dengan cara meminta-minta uang kepada orang lain.

Kemudian menurut Sudarianto (2005:14) Pengemis adalah orang-orang yang

kerjanya suka meminta-minta kepada orang lain guna memenuhi kebutuhannya.

3.4.2 Definisi operasional

Berdasarkan kajian teori yang digunakan peneliti, maka definisi operasional

yang digunakan pada penelitian ini menggunakan Boundary Categories

menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9), yaitu:

1. Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam

situasi dan kondisi perehaban yang dijadikan sebagai gambaran kekuatan

guna tercapainya perehaban yang baik bagi gelandangan dan pengemis.

a. Stakeholder, pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah Dinas

Sosial Kota Serang di bagian Kepala Seksi Bagian Gelandangan dan

Pengemis, Satpol PP Kota Serang di bagian Kepala Seksi

Penegakan Produk Hukum Daerah, DPRD Kota Serang di bagian

Ketua Komisi II DPRD Kota Serang, Tenaga Kesejahteraan Sosial

Kecamatan (TKSK) di Kota Serang, Unsur kemasyarakatan di

bagian Ketua Karang Taruna.


61

b. Purpose (Tujuan), yaitu sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan

rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.

c. Measure of improvement (Ukuran perbaikan), yaitu yang dijadikan

patokan atau standar keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan

Pengemis dalam kebijakan rehabilitasi sosial gelandangan dan

pengemis.

2. Sources of power (Sumber kekuatan), adalah suatu sumber yang menjadi

kelebihan dalam rehablitasi sosial Gelandangan dan Pengemis untuk

mencapai sebuah keberhasilan.

a. Decision-maker (Pengambilan keputusan), yaitu pihak yang

menjadi pembuat kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan

pengemis dan pihak yang mengambil keputusan di Seksi Bagian

Gelandangan dan Pengemis.

b. Resources (Sumber daya), yaitu potensi yang dimiliki Seksi Bagian

Gelandangan dan Pengemis dalam mengelola penyelenggaraan

program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.

c. Decision environment (Keputusan lingkungan), yaitu kondisi yang

berada di luar kontrol lingkup seksi bagian gelandangan dan

pengemis.

3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), adalah suatu sumber yang

dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana

perehaban para gelandangan dan pengemis.


62

a. Professional (Tenaga ahli), yaitu seseorang yang dianggap sebagai

sumber terpercaya berdasarkan keahlian yang dimiliki dalam

menilai dan memutuskan sesuatu terkait rehabilitasi sosial

gelandangan dan pengemis.

b. Expertise (Keahlian), yaitu kemampuan dalam menangani

perehaban para gelandangan dan pengemis.

c. Guarantee (Jaminan), yaitu pihak yang dilibatkan dan berkontribusi

dalam program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.

4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), merupakan legitimasi dari

badan-badan yang menanangani program rehablitasi sosial gelandangan

dan pengemis.

a. Witness, yaitu orang yang terkena efek atau dampak dari adanya

kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.

b. Emancipation, yaitu orang yang selama ini tidak terlibat dalam

pembuatan kebijakan pemasyarakatan sangat penting untuk

suaranya diangkat seperti organisasi dari unsur kemasyarakatan dan

unsur keagamaan.

c. World view (Pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal

terhadap persoalan mengenai program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis dari kacamata atau lensa Unsur Kemasyarakatan seperti

Karang Taruna Kota Serang dan PKK Kota Serang, Unsur

Keagamaan, Akademisi, Pemerintah, para gelandangan dan

pengemis.
63

3.5 Instrumen Penelitian

Karena menggunakan metode penelitian kualitatif, maka yang menjadi

instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Dalam penelitian ini,

jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Peneliti

merupakan key instrument dalam penelitian kualitatif karena dapat merasakan

langsung, mengalami, melihat sendiri objek atau subjek yang diteliti, selain itu

peneliti juga mampu menentukan kapan penyimpulan data telah mencukupi, data

telah jenuh dan kapan penelitian dapat dihentikan dan peneliti juga dapat langsung

melakukan pengumpulan data, melakukan refleksi secara terus-menerus dan

secara gradual membangun pemahaman yang tuntas mengenai suatu hal.

Data primer adalah data yang berupa kata-kata atau tindakan orang-orang

yang diamati dari hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data-data sekunder

didapat berupa dokumen tertulis. Adapun alat-alat tambahan yang digunakan

dalam pengumpulan data terdiri dari pedoman wawancara, alat tulis, buku catatan

dan handphone.

3.6 Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong, 2000:

97). Informan penelitian merupakan orang yang benar-benar mengetahui

permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan

teknik Purposive.

Untuk menentukan informan penelitian, peneliti melakukan pertimbangan-

pertimbangan tertentu. Pertimbangan itu misalnya orang tersebut dianggap paling


64

tahu tentang apa yang peneliti harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa

sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang

diteliti.

Berikut adalah informan terkait penelitian tentang Analisis Kritis

Implementasi Program Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis

(Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota Serang.


65

Tabel 3.1

Informan Penelitian

Informan Kode Kategori


Informan Informan
1. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Tuna Key
I1.1
Sosial Dinas Sosial Informan
Dinas Sosial Kota Kota Serang
Serang 2. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Anak Key
I1.2
Dinas Sosial Kota Informan
Serang
Satuan Polisi 1. Kepala Bidang
Key
Pamong Praja Kota Penegakan Produk I2.1
Informan
Serang Hukum Daerah
Dinas Sosial 1. Kepala Seksi I3.1
Secondary
Provinsi Banten Rehabilitasi Sosial Tuna
Informan
Sosial
Tenaga I4.1
1. Tenaga Kesejahteraan
Kesejahteraan Secondary
Sosial Kecamatan
Sosial Kecamatan Informan
Serang
(TKSK)
Dewan Perwakilan I5.1
1. Alat Kelengkapan Secondary
Rakyat Daerah
Dewan Informan
Kota Serang
I6.1 Secondary
1. Ketua MUI Kota Serang
Informan
2. Humas yayasan Vihara I6.2
Unsur Keagamaan Avalokitesvara Kota
Secondary
Serang
Informan
3. Sekretaris Gereja Paroki I6.3
Raja Kota Serang
Unsur Masyarakat 1. Masyarakat Kecamatan I7.1 Secondary
Serang Informan
Akademisi I8.1 Secondary
1. Dosen Fisip Untirta
Informan
Gelandangan dan 1. Gelandangan Pengemis I9.1
Secondary
Pengemis Kota Kota Serang I9.2
Informan
Serang
Sumber: Peneliti, 2016.
66

3.7 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Wawancara

Dalam penelitian ini wawancara yang digunakan adalah narrative

dialogue/narrative interview. Dari narrative interview ini nantinya akan

memperlihatkan bagaimana kemajemukan asumsi pada suatu entitas

„voice‟ membuat sebuah kontruksi kebijakan. Melalui narrative interview

ini, refleksi kritis pencarian akar masalah kebijakan dapat dilakukan lewat

pencarian makna tersiratnya nilai-nilai, dan emosi pengalaman hidup

mereka yang berhadapan dengan kompleksitas, realitas sosial seputar isu

gelandangan pengemis (Riswanda, 2016 hal.6).

Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan

berpedoman pada indikator Critical System Heuristics yang digunakan,

bentuk pernyataan akan lebih meluas dan bebas (tidak terstruktur) tanpa

keluar dari indikator Critical System Heuristics yang telah ditentukan. Hal

tersebut dilakukan peneliti guna menemukan jawaban dari permasalahan

yang ada dan tidak menutup kemungkinan permalahasan yang sudah

diidentifikasi sebelumnya akan bertambah. Adapun pedoman wawancara

pada penelitian Analisis Kritis Implementasi Program Rehablitasi Sosial


67

Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Oleh Dinas Sosial Kota

Serang

Tabel 3.2

Pedoman Wawancara

No. Dimensi Sub Dimensi Uraian Pertanyaan Informan


1. Sources of Stakeholder a. Siapa atau pihak  Kepala Seksi
motivation (Pihak yang mana yang secara Bagian
(Sumber terlibat), faktual yang Gelandangan dan
motivasi) Purpose memproduk Pengemis Dinas
(Tujuan), kebijakan tentang Sosial Kota Serang
Measure of rehabilitasi sosial  Kepala Seksi
improvement gelandangan dan Rehabilitasi Sosial
(Ukuran pengemis? Anak
Perbaikan) b. Siapa saja yang  Satuan Polisi
terlibat dalam Pamong Praja
pembuatan kebijakan Kota Serang
tentang rehabilitasi (Kepala Seksi
sosial gelandangan Penegakan Produk
dan pengemis? Hukum Daerah )
c. Apa tujuan adanya  Ketua Komisi II
kebijakan tentang DPRD Kota
rehabilitasi sosial Serang
gelandangan dan
pengemis?
d. Siapa yang menjadi
sasaran adanya
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
e. Siapa yang terkena
dampak dari adanya
kebijakan tentang
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
f. Apa yang menjadi
kendala dalam
penyelenggaraan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
68

g. Pihak mana yang


bertanggung jawab
dalam menangani
permasalahan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis ini di Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis?
h. Upaya apa yang
dilakukan pemerintah
dalam menangani
permasalahan terkait
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
i. Apakah kebijakan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis sudah
memberikan
pengaruh terhadap
kesejahteraan
gelandangan dan
pengemis khususnya?
j. Apa yang menjadi
tolak ukur
keberhasilan Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis dalam
penyelenggaraan
rehabilitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
2. Sources of Decision-maker a. Siapa yang memiliki  Kepala Seksi
power (Pembuat power sebagai tolak Rehabilitasi Sosial
(Sumber Keputusan), ukur perubahan Tuna Sosial Dinas
kekuatan) Resources kebijakan tentang Sosial Kota Serang
(Sumber Daya), rehabilitasi sosial  Kepala Seksi
Decision gelandangan dan Rehabilitasi Sosial
environment pengemis? Anak
(Keputusan b. Apakah Perda terkait  Satuan Polisi
lingkungan) tentang gelandangan Pamong Praja
dan pengemis perlu Kota Serang
di revisi? (Kepala Seksi
c. Apa tujuan yang Penegakan Produk
69

sebenarnya dari Hukum Daerah )


adanya Perda tentang  Ketua Komisi II
gelandangan dan DPRD Kota
pengemis? Serang
d. Siapa saja yang  Tenaga
terlibat dalam Kesejahteraan
pembuatan Perda Sosial Kecamatan
Kota Serang nomor 2 (TKSK) di Kota
tahun 2010 tentang Serang
penyakit masyarakat
khususnya
gelandangan dan
pengemis?
e. Pihak mana yang pro
dan kontra dari
adanya Perda
tersebut?
f. Apa saja yang
dilakukan Seksi
Bagian Gelandangan
dan Pengemis dalam
memberikan
pelayanan
rehablitasi?
g. Apakah kebutuhan
gelandangan dan
pengemis selama di
rehab telah diberikan
secara maksimal?
h. Apakah kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis
didukung oleh
sumberdaya(dana,
manusia) yang
memadai?
i. Bagaimana Dinas
Sosial Kota Serang
dalam mengawasi
implementasi
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
j. bagaimana Dinas
70

Sosial Kota Serang


dalam mengevaluasi
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis khususnya
tentang masalah
kesejahteraan?
3. Sources of Professional a. Apa peran Dinas  Kepala Seksi
knowledge (Tenaga Ahli), Sosial Kota Serang Bagian
(Sumber Expertise dalam merumuskan Gelandangan dan
pengetahuan) (Keahlian), kebijakan tentang Pengemis Dinas
Guarantee rehablitasi sosial Sosial Kota
(Jaminan) gelandangan dan Serang
pengemis?  Satuan Polisi
b. Siapa yang dilibatkan Pamong Praja
dalam formulasi/ Kota Serang
perumusan kebijakan (Kepala Seksi
tentang rehablitasi Penegakan
sosial gelandangan Produk Hukum
dan pengemis? Daerah )
c. Siapa target dari  Ketua Komisi II
formulasi kebijakan DPRD Kota
tentang rehablitasi Serang
sosial gelandangan  Tenaga
dan pengemis? Kesejahteraan
d. Apa saja faktor Sosial Kecamatan
pendukung dan faktor (TKSK) di Kota
penghambat dalam Serang
perumusan kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis?
e. Apa yang dihasilkan
dari perumusan
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis?
f. Apakah perumusan
kebijakan tentang
rehablitasi sosial
gelandangan dan
pengemis akan dapat
merubah mainset
para gelandangan dan
71

pengemis di Kota
Serang?
g. Apa solusi yang
ditawarkan dari
perumusan kebijakan
tentang rehablitasi
sosial gelandangan
dan pengemis untuk
mengentaskan tingkat
gelandangan dan
pengemis agar
jumlahn ya turun?
4. Sources of Witness, a. Siapa yang Unsur Keagamaan
legitimation Emancipation, berwenang dalam
(Sumber Worl view melayani pengaduan  Ketua MUI Kota
Serang
pengesahan) terkait rehablitasi
sosial gelandangan  PimpinanGereja
dan pengemis? Paroki Kristus
b. Apa persepsi Unsur Raja Serang
Kemasyarakatan,  Pimpinan yayasan
Unsur Keagamaan, Vihara
dan Media di Kota Avalokitesvara
Serang terkait Kota Serang
permasalahan
gelandangan dan Unsur Masyarakat
pengemis ini? Kota Serang
c. Apa peran Unsur  Ketua Karang
Kemasyarakatan, Taruna Kota
Unsur Keagamaan, Serang
dan Media di Kota  Ketua PKK Kota
Serang dalam Serang
keikutsertaan dalam
program rehablitasi Media/Pers
sosial gelandangan  Redaktur Banten
dan pengemis? Raya
d. Apa peran media
dalam keikutsertaan
terkait isu-isu tentang
permasalahan
gelandangan dan
pengemis?
e. Seberapa sering
pemberitaan
mengenai
gelandangan dan
pengemis terekspose
72

di media?

2. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

memperoleh data dari karya ilmiah, media masa, teks book, artikel, Koran

dan lain sebagainya untuk menambah atau mendukung sumber informasi

atau data yang diperlukan dan relevan dalam penelitian ini.

3. Study Dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang

diperlukan dalam sebuah penelitian. Studi dokumentasi adalah setiap

bahan tertulis atau film, dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya

permintaan seorang penyisik. Selanjutnya study dokumentasi dapat

diartikan sebagai teknik pengumpulan data melalui bahan-bahan tertulis

yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian.

Baik berupa prosedur, peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil

pekerjaan, serta berupa foto ataupun dokumen elektronik (rekaman).

4. Pengamatan/Observasi

Pada penelitian saat ini, teknik observasi yang dipakai ialah

observasi partisipasi pasif. Peneliti hanya sebagai pengamat saja tanpa

menjadi anggota resmi organisasi pelaksana maupun objek kebijakan yang

diteliti. Peneliti melakukan observasi dengan melakukan wawancara

kapada instansi pemerintah dan non pemerintah yang memiliki tugas untuk

melakukan penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,


73

masyarakat guna mengetahui bagaimana Penanganan Gelandangan dan

Pengemis di Kota Serang. Observasi yang dilakukan peneliti dengan

mendatangi kantor Instansi terkait, tempat penanganan, dan tempat operasi

bagi gelandangan dan pengemis.

1.7.2 Teknik Analisa Data

Dalam Penelitian ini, teknik analisa data dilakukan pada saat

pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam

periode tertentu. Dalam menganalisis selama dilapangan, peneliti

menggunakan model Miles dan Huberman yang mengemukakan bahwa

aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif yang

berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah

jenuh. seperti pada gambar dibawah ini:

Gambar 3.2

Analisis Data Miles dan Huberman

Data Collection Data Display

Data Reduction
Conclusion
Drawing/Verifying

A. Data Collectiion (Pengumpulan data)


74

Pengumpulan data, dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti

dalam upaya mengumpulkan sejumlah data lapangan yang diperlukan

untuk menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif).

B. Data Reduction (Reduksi Data)

Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari pola dan temanya. Dengan

demikian data yang sudah direduksi, akan memberikan gambaran yang

lebih jelas, dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data

selanjutnya, dan mencarinya jika diperlukan.

C. Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplay data.

Penyajian data dapat dilakukan secara sistematis dan dalam bentuk uraian

singkat, bagan, hubungan antar kategori dan selanjutnya,yang paling

sering digunakan untuk menyajikan data dalam metode kualitatif adalah

dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja

selanjutnya berdasarkanapa yang telah dipahami.

D. Conclusion Drawing/Verivication (Penarikan Kesimpulan)

Langkah keempat dalam menganalisis data kualitatif menurut Miles

dan Huberman adalah Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan

yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak
75

ditemukan bukti-bukti dan data-data yang kuat yang mendukung pada

tahap-tahap pengumpulan data selanjutnya. Tetapi apabila kesimpulan

yang dikemukakan pada tahap awal sudah didukung oleh data-data dan

bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan

kesimpulan yang kredibel.

3.8 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

triangulasi. Moleong (2013: 330) metode triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Dalam penelitian ini menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan

untuk menguji keabsahan data dari hasil penelitian di lapangan. Teknik triangulasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Triangulasi Sumber

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengecekkan kebenaran data

yang diperoleh dari berbagai sumber terkait Implementasi Program

Rehabilitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang.

b) Triangulasi Teknik

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan cara dengan mengecek data

kepada sumber lain yang sama namun dengan teknik yang berbeda. Dalam
76

hal ini dengan cara membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan

sumber data, melalui observasi maupun dengan dokumentasi.

Selain itu, peneliti juga menggunakan member check. Tujuannya adalah

untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang

diberikan oleh pemberi data. Dengan adanya kesepakatan dari pemberi data

berarti data tersebut dapat dikatakan valid, sehingga dapat dipercaya.

3.9 Jadwal Penelitian

Berikut adalah jadwal penelitian mengenai Analisis Kritis Implementasi

Program Rehablitasi Sosial Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Oleh Dinas Sosial Kota Serang.

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian

No. Kegiatan Waktu Penelitian


2016 2017 2018

September-Desember Januari-Mei Juni Juli-Deseber Januari- Maret


februari
1. Pengajuan Judul
2. Penetapan Judul
3. Observasi Awal
4. Penyusunan
Proposal Skripsi
5. Bimbingan Bab
I-Bab III
6. Seminar
Proposal Skripsi
7. Revisi Proposal
Skripsi
8. Pengumpulan
Data
9. Pengolahan dan
Analisis Data
10. Penyusunan
Hasil Penelitian
11. Bimbingan Bab
IV-Bab V
12. Sidang Skripsi
57
BAB IV

HASI PENELITIAN

4.1 Deksripsi Objek Penelitian

Deskripsi objek penelitian ini akan menjelaskan tentang objek penelitian yang

meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum Kota

Serang, gambaran umum Dinas Sosial Kota Serang. Hal tersebut akan dijelaskan

di bawah ini:

4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang

Kota Serang merupakan pemekaran dari Kabupaten Serang yang terbentuk

pada tanggal 10 Agustus 2007 berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2007.

Secara administratif Kota Serang dibagi dalam 6 kecamatan dan 66 kelurahan.

Kecamatan Kasemen merupakan kecamatan dengan wilayah terluas yaitu sekitar

63,36 km2 atau sekitar 23,75% dari luas wilayah Kota Serang. Sementara

kecamatan dengan luas wilayah paling sempit adalah Kecamatan Serang yang

hanya sekitar 9,7% dari luas wilayah Kota Serang, atau sekitar 25,88 km2.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 32 Tahun 2007, disebutkan bahwa

Kota Serang memiliki luas wilayah keseluruhan ± 266,71 km2, sedangkan hasil

inventarisasi luas wilayah dari 6 (enam) kecamatan tersebut adalah 266,74km2

atau sekitar 3,08% dari luas wilayah Provinsi Banten. Tabel berikut ini

memberikan gambaran tentang rincian jumlah kelurahan dan luas wilayah serta

persentase luas wilayah masing-masing kecamatan dimaksud di atas.

77
78

Tabel 4.1

Luas Wilayah Kota Serang Menurut Kecamatan 2016

Jumlah Luas
No Kecamatan %
Kelurahan (km2)

1 Curug 10 49,6 18,59

2 Walantaka 14 48,48 18,18

3 Cipocok Jaya 8 31,54 11,82

4 Serang 12 25,88 9,70

5 Taktakan 12 47,88 17,95

6 Kasemen 10 63,36 23,75

Jumlah 66 266,74 100,00

Sumber: BPS Kota Serang 2016

Sesuai pasal 5 Undang-undang Nomor. 32 Tahun 2007 Kota Serang

memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

(1) sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Banten;

(2) sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pontang, Kecamatan

Ciruas, Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang;

(3) sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cikeusal, Kecamatan

Petir, Kecamatan Baros Kabupaten Serang; dan

sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Waringin

Kurung, Kecamatan Kramat Watu Kabupaten Serang.


79

4.1.1.1 Visi dan Misi Kota Serang

a. Visi Kota Serang

”Terwujudnya Kota Serang Madani sebagai Kota Pendidikan yang

Bertumpu pada Potensi Perdagangan, Jasa, Pertanian dan Budaya.”

b. Misi Kota Serang

1. Pembangunan dan Peningkatan Infrastruktur;


2. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan;
3. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Kesehatan;
4. Peningkatan Ekonomi Kerakyatan serta Optimalisasi Potensi
Pertanian dan Kelautan;

Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan, Hukum, dan Peningkatan

Penghayatan terhadap Nilai Agama.

4.1.1.2 Keadaan Penduduk Kota Serang

Dalam konteks demografi, menurut data dari Badan Pusat Statistik Kota

Serang memiliki Jumlah penduduk Kota Serang Pada tahun 2016 sebesar 655.004

jiwa, dengan penduduk laki-laki sebanyak 355.803 jiwa dan lebih banyak

dibanding penduduk perempuan yang sebesar 319.201 jiwa. Tingkat kepadatan

penduduk di wilayah Kota Serang sebesar 2.456 jiwa/km² dimana sebagian besar

penduduknya mendiami daerah perkotaan. Gambaran tentang hal ini dapat dilihat

dari Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kota

Serang tahun 2016 sebagai berikut:


80

Tabel 4.2

Distribusi dan Kepadatan Penduduk Menurut Kelompok Umur di

Kota Serang Tahun 2016

No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah


1 0–4 35 281 34 119 69 400
2 5–9 35 148 33 217 68 365
3 10 -14 32 258 30 512 62 770
4 15 – 19 31 464 30 180 61 664
5 20 – 24 30 815 28 567 59 382
6 25 – 29 28 902 27 050 55 852
7 30 – 34 28 419 27 563 55 982
8 35 – 39 26 992 26 747 53 739
9 40 – 44 24 722 22 809 47 531
10 45 – 49 20 183 18 505 38 688
11 50 – 54 15 664 13 853 29 517
12 55 – 59 11 147 10 289 21 436
13 60 – 64 6 899 6 470 13 369
14 65 – 69 4 044 4 317 8 361
15 70 – 74 2 277 2 697 4 974
16 75 > 1 588 2 306 3 894
Jumlah 335 803 319 201 589,581
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010–2035, 2016

Berdasarkan data dari tabel di atas bila dilihat dari struktur usianya, di

kelompok usia 0 - 4 tahun jumlahnya paling banyak di bandingkan kelompok usia

lain yang berjumlah 69.400 jiwa yang mana kelompok usia ini merupakan

kategori usia non produktif. Sedangkan pada penduduk usia produktif yakni usia

15 - 64 tahun berjumlah sebanyak 437.260 jiwa. Untuk kelompok usia 70 – 74

dan 75 > masing-masing berjumlah 4.974 jiwa dan 3.894 jiwa.

Di Kota Serang sendiri untuk pendidikan yang ditamatkan pada jumlah

penduduk berumur 15 tahun ke atas untuk pendidikan tertinggi yang di tamatkan

masih di bilang cukup rendah. Hal ini bisa dilihat dari tabel di bawah ini :
81

Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Kota Serang Tahun 2015
Angkatan Kerja
No Pendidikan Jumlah
1 Tidak/Blm pernah Sekolah 12 344
2 Tidak/Blm Tamat SD 35 544
3 Tamat SD 73 780
4 SLTP 45 950
5 SMA/SMK 81 086
6 D-I/II/ DIII/Akademi 36 306
7 Universitas 32 731
Total 284 893
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus, 2015

Berdasarkan data dari tabel di atas bila melihat tingkat pendidikan

tertinggi yang di tamatkan pada jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas di

Kota Serang yang mana merupakan angkatan kerja maka yang tertinggi adalah

pada tingkatan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) sebanyak 81.086

orang. Selanjutnya tertinggi kedua pada lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak

73.780. Sedangkan untuk jumlah yang tidak sekolah sebanyak 12.344 orang dan

yang tidak/belum tamat SD sebanyak 35.544 orang. Lulusan SLTP sebanyak

45.950 orang.

4.1.2 Profil Dinas Sosial Kota Serang

Dinas Sosial Kota Serang berdiri berdasarkan Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi

Daerah Dinas Kota Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun

2016, Tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Serang. Dinas
82

Sosial Kota Serang, mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah

berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di bidang sosial.

4.1.2.1 Kedudukan Dinas Sosial Kota Serang

Dinas Sosial merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dipimpin

oleh Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada

Walikota melalui Sekretaris Daerah

4.1.2.2 Visi dan Misi Dinas Sosial Kota Serang

a. Visi

“Terwujudnya Kemandirian Bagi Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial”

b. Misi

1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur dan infrastruktur dalam


penataan kelembagaan
2. Meningkatkan akses pelayanan sosial dalam aspek: rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial
bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial.
3. Memperkuat kelembagaan dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial
untuk mendorong inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat,
organisasi sosial, karang taruna, TKSM dan lembaga sosial
keagamaan agar terjalin hubungan kemitraan yang baik dalam
pembangunan kesejahteraan sosial.
4. Meningkatkan sistem informasi pelaporan

4.1.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Kota Serang

a. Tugas Pokok

Dinas Sosial mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintahan

Daerah berdasarkan azas otonomi daerah dan tugas pembantuan di

Bidang Sosial
83

b. Fungsi

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Dinas Sosial

menyelenggarakan fungsi:

1. Penyusunan perencanaan Bidang Sosial


2. Perumusan kebijakan teknis Bidang Sosial
3. Pelaksanaan urusan pemerintahan dan pelayanan Bidang Sosial
4. Pembinaan, Koordinasi, pengendalian dan fasilitasi pelaksanaan
kegiatan Bidang Sosial
5. Pelaksanaan kegiatan penatausahaan Dinas;
Pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan
tugas dan fungsinya

4.1.2.4 Susunan Organisasi Dinas Sosial Kota Serang

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang


Susunan Perangkat Daerah Kota Serang. Struktur organisasi Dinas Sosial Kota
Serang, terdiri dari :
1. Kepala Dinas
2. Sekretaris
a. Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
b. Kepala Sub Bagian Perencanaan Program
c. Kepala Sub Bagian Keuangan

3. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial


a. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan Lanjut Usia
b. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang Disibilitas
c. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, Penyalahgunaan Napza
dan Korban Perdagangan Orang

4. Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial


a. Kepala Seksi Perlindungan Sosial Korban Bencana
b. Kepala Seksi Pengelolaan Data Kemiskinan, PMKS dan PSKS
c. Kepala Seksi Jaminan Sosial Keluarga

5. Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial


a. Kepala Seksi Penyuluhan Kesejahteraan Sosial dan
Pengelolaan Sumber Dana Sosial
b. Kepala Seksi Kepahlawanan, Keperintisan, Kejuangan,
Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K3KRS)
84

c. Kepala Seksi Pemberdayaan Sosial Perorangan, Keluarga dan


Kelembagaan Masyarakat
6. Kepala Bidang Penanganan Kemiskinan
a. Kepala Seksi Penanganan Fakir Miskin Perkotaan
b. Kepala Seksi Penanganan dan Penataan Lingkungan Sosial
c. Kepala Seksi Identifikasi dan Analisis
4.1.2.5 Strategi dan Arah Kebijakan

Untuk merealisasikan visi, misi dan tujuan tersebut, maka ditetapkan

Strategi dan Arah Kebijakan sebagai berikut :

Sasaran Strategis Pertama “Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) ”, dengan kebijakan :

a. Jumlah rumah tangga sangat miskin yang mendapatkan bantuan


beras miskin
b. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan keterampilan
berusaha
c. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan fasilitas
manajemen usaha
d. Jumlah lanjut usia (lansia) dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) lainnya yang telah mendapatkan bantuan sosial
dan pelatihan keterampilan serta upaya peningkatan kesehatan,
dan prasarana Komda Lansia
e. Jumlah keluarga fakir miskin yang telah mendapatkan bantuan
pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)
f. Jumlah wanita korban tindak kekerasan dan eksploitasi yang
mendapatkan perlindungan soisal dan hukum dan bantuan sosial
serta mendapatkan bimbingan dan pelatihan keterampilan
g. Jumlah masyarakat/PMKS yang menjadi peserta dan mengikuti
komunikasi, informasi, edukasi (KIE) konseling dan kampanye
sosial dalam rangka peningkatan pemahaman mengenal PMKS
h. Jumlah anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal
yang mendapatkan pelatihan keterampilan dan praktek kerja
i. Jumlah tenaga pelatih dan pendidik yang terbina dan
mendapatkan pelatihan keterampilan
j. Jumlah masyarakat dan dinas instansi yang telah menjadi peserta
sosialisasi Program Keluarga Harapan (PKH) dan terbentuknya
tim PKH Tingkat Kota Serang dan terlaksananya validasi dan
verifikasi data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Penerima
Bantuan Iuran (PBI)
k. Jumlah anak terlantar, yatim piatu yang dapat terpantau dan
mendapatkan pembinaan dan pengembangan bakat dan
keterampilan serta mendapatkan bantuan sosial
85

l. Jumlah penyandang cacat dan eks trauma yang telah mendapatkan


pendidikan dan pelatihan keterampilan
m. Jumlah lembaga / anggota Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
yang telah mendapatkan pembinaan
n. Jumlah eks penyandang penyakit sosial (eks napi, eks napza)
yang terbina dan mendapatkan pelatihan keterampilan
o. Tersedianya tempat persediaan bufferstock, bahan bufferstock dan
sekretariat tagana, meningkatnya keterampilan kesiapsiagaan
bencana bagi anggota tagana dan masyarakat serta terbentuknya
Kampung Siaga Bencana (KSB)
Sasaran Stragtegi Kedua “Meningkatkan partisipasi sosial masyarakat dalam

pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan

terorganisir ”, dengan kebijkan :

a. Jumlah kelompok masyarakat, dunia usaha dan Pekerja Sosial


Masyarakat (PSM) yang telah mendapatkan peningkatan
pengetahuan tentang undian gratis berhadiah (UGB), pengumpulan
uang dan barang (PUB) dan penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS)
b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam melestarikan nilai-
nilai kepahlawanan dan terpelihara sarana dan prasarana
kepahlawanan
c. Jumlah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat
(WKSBM) yang telah mendapatkan pembinaan
d. Jumlah anggota karang taruna yang telah mendapatkan pelatihan
manajemen
4.1.2.6 Program / Kegiatan Prioritas OPD (Organisasi Perangkat Daerah)

Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial

Kota Serang, yaitu :

a. Meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan


sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
b. Meningkatkan Pemberdayaan Fakir Miskin, Penyandang Cacat dan
kelompok rentan lainnya
c. Meningkatkan kualitas hidup bagi PMKS terhadap pelayanan sosial
dasar, fasilitas pelayanan publik, dan jaminan kesejahteraan sosial
d. Mengembangkan dan menyerasikan kebijakan untuk penanganan
masalah-masalah strategis yang menyangkut masalah kesejahteraan
sosial
e. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat berlandaskan prinsip
kemitraan dan nilai-nilai sosial budaya bangsa
86

f. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial


dalam mendayagunakan sumber-sumber kesejahteraan sosial
g. Meningkatkan pelayanan bagi korban bencana alam dan sosial
h. Meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyarakat termasuk
masyarakat mampu, dunia usaha, perguruan tinggi, dan organisasi
sosial/LSM dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan
sosial secara terpadu dan berkelanjutan.
Program – Program yang mendukung sebagai berikut :

1. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya.

a. Peningkatan kemampuan (Capacity Building) petugas dan


pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS
lainnya
b. Pelatihan Keterampilan berusaha bagi keluarga miskin
c. Fasilitasi manajemen usaha bagi keluarga miskin
d. Pelatihan keterampilan bagi penyandang masalah kesejahteraan
sosial
e. Fasilitasi dan Stimulasi Pembangunan Perumahan Masyarakat
Kurang mampu

2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial

a. Pelayanan dan perlindungan sosial, hukum bagi korban eksploitasi,


perdagangan perempuan dan anak
b. Pelaksanaan KIE konseling dan kampanye sosial bagi Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
c. Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar
termasuk anak jalanan, anak cacat dan anak nakal
d. Koordinasi perumusan kebijakan dan sinkronisasi pelaksanaan
upaya – upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan
kesenjangan
e. Penanganan masalah – masalah strategis yang menyangkut tanggap
cepat darurat dan kejadian luar biasa

3. Program Pembinaan anak terlantar

Pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar.

4. Program Pembinaan para penyandang cacat dan trauma

Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat dan eks trauma.

5. Program Pembinaan panti asuhan / panti jompo


87

Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik.

6. Program Pembinaan Eks Penyandang penyakit sosial (eks narapidana,

pekerja seks komersial, narkoba dan penyakit sosial lainnya)

Pendidikan dan pelatihan keterampilan berusaha bagi eks penyandang

penyakit sosial.

7. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial

a. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha


b. Peningkatan jenjang kerjasama pelaku – pelaku usaha
kesejahteraan sosial masyarakat
c. Peningkatan kualitas sumber daya manusia Kesejahteraan sosial
masyarakat
d. Peningkatan sarana dan prasarana kepahlawanan dan keperintisan
e. Pendataan dan Updating data PMKS dan potensi dan sumber
kesejahteraan sosial (PSKS)

4.2 Deskripsi Data

4.2.1 Deskripsi Data Penelitian

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2014 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Dengan Pendekatan Profesi Pekerjaan

Sosial yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi

dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi

sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Sasaran standar rehabilitasi

sosial ini ditujukan kepada:

a. Perseorangan
b. Keluarga
c. Masyarakat
d. Panti sosial pemerintah/daerah
e. Lembaga kesejahteraan sosial
88

Rehabilitasi Sosial ditujukan kepada seseorang yang mengalami kondisi

kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan

penyimpangan perilaku, serta yang memerlukan perlindungan khusus yang

meliputi:

a. penyandang cacat fisik;


b. penyandang cacat mental;
c. penyandang cacat fisik dan mental;
d. tuna susila;
e. gelandangan;
f. pengemis;
g. eks penderita penyakit kronis;
h. eks narapidana;
i. eks pencandu narkotika;
j. eks psikotik;
k. pengguna psikotropika sindroma ketergantungan;
l. orang dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno
Deficiency syndrome;
m. korban tindak kekerasan;
n. korban bencana;
o. korban perdagangan orang;
p. anak terlantar; dan
q. anak dengan kebutuhan khusus.

Jangka waktu pelaksanaan pemberian pelayanan rehabilitasi sosial di dalam

panti Pemerintah/pemerintah daerah dan Lembaga Kesejahteraan Sosial paling

singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan. Jangka waktu

pelaksanaan pemberian pelayanan rehabilitasi sosial sebagaimana disesuaikan

dengan kebutuhan penerima pelayanan. Rehabilitasi Sosial diberikan dalam

bentuk:

a. motivasi dan diagnosis psikososial;


b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan aksesibilitas;
89

h. bantuan dan asistensi sosial;


i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.

Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dengan tahapan:

a. pendekatan awal;
b. pengungkapan dan pemahaman masalah;
c. penyusunan rencana pemecahan masalah;
d. pemecahan masalah;
e. resosialisasi;
f. terminasi; dan
g. bimbingan lanjut.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka dalam proses

menganalisis datanya pun peneliti melakukan analisa secara bersamaan. Seperti

yang telah dipaparkan dalam bab 3 sebelumnya, bahwa dalam prosesnya analisa

dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik analisis data menurut

Miles and Huberman (2009:16), yaitu selama penelitian dilakukan dengan

menggunakan 4 tahap penting, diantaranya : pengumpulan data (data

collection) yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan

pengumpulan data penelitian. Ini merupakan tahap awal yang harus dilakukan

oleh peneliti agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai masalah-

masalah yang terjadi di lapangan. Reduksi data merupakan suatu proses

pemilihan, merangkum, memfokuskan pada hal yang penting, dicari tema dan

polanya. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan reduksi data, peneliti

memberikan kode pada aspek tertentu, yaitu :

1. Kode Q untuk menunjukan kode pertanyaan

2. Kode Q1, Q2, Q3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan pertanyaan

3. Kode I untuk menunjukan informan


90

4. Kode I1, I2, I3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan informan

5. Kode I1.1, I1.2, menunjukkan daftar informan dari kategori Pegawai Dinas

Sosial Kota Serang

6. Kode I2.1, I2.2, I2.3 menunjukkan daftar informan dari pengemis

7. Kode I3.1, I3.2, I3.3 menunjukkan daftar informan dari masyarakat Kota

Serang

Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data,

penyajian data di sini merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Beberapa

jenis bentuk penyajian data adalah matriks, grafik, jaringan, bagan dan lain

sebagainya yang semuanya dirancang untuk menggabungkan informasi tersusun

dalam suatu bentuk yang padu (Prastowo (2011:244). Kemudian penyajian data

dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan

selanjutnya, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay

data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan

kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

Analisis data kualitatif yang terakhir menurut Miles dan Huberman (2009 :16)

adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Setelah data bersifat jenuh artinya

telah ada pengulangan informasi, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan

jawaban atas masalah penelitian.

4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian


91

Informan penelitian adalah narasumber yang memiliki pengetahuan terkait

masalah yang sedang diteliti. Pada penelitian mengenai Analisis Kritis

Implementasi Program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis (Gepeng)

Oleh Dinas Sosial Kota Serang. Peneliti menggunakan teknik purposive. Teknik

purposive adalah teknik yang digunakan dalam melakukan wawancara dengan

mengetahui narasumber yang akan diwawancarai.

Berdasarkan lokasi penelitian yaitu Dinas Sosial Kota Serang maka peneliti

menetapkan informan yaitu Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan

Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang, serta informan

yang peneliti anggap berhubungan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu

Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Serang, Dinas Sosial Provinsi Banten, Tenaga Kesejahteraan Sosial

Kecamatan (TKSK) di Kota Serang, Ketua Komisi II DPRD Kota Serang,

Pimpinan yayasan Vihara Avalokitesvara Kota Serang, Redaktur Banten Raya.


92

Tabel 4.4
Daftar Informan Penelitian
Nama Kode Kategori
Informan
Informan Informan Informan

1. Kepala Seksi Rehabilitasi Key


Sosial Tuna Sosial Dinas Heli Priyatna I1.1 Informan
Dinas Sosial Kota Sosial Kota Serang
Serang 2. Kepala Seksi Rehabilitasi Key
Sosial Anak Dinas Sosial Hendri I1.2
Informan
Kota Serang
Satuan Polisi Key
1. Kepala Bidang Penegakan Juanda I2.1
Pamong Praja Kota Informan
Produk Hukum Daerah
Serang
Dinas Sosial Provinsi 1. Kepala Seksi Rehabilitasi Secondary
Asep Hanan I3.1 Informan
Banten Sosial Tuna Sosial
Tenaga Secondary
1. Tenaga Kesejahteraan
Kesejahteraan Sosial Hasanudin I4.1 Informan
Sosial Kecamatan Serang
Kecamatan (TKSK)
Dewan Perwakilan Secondary
Rakyat Daerah Kota 1. Alat Kelengkapan Dewan Furtasan Ali I5.1 Informan
Serang
Secondary
1. Tokoh Agama Islam Gofur I6.1 Informan

2. Humas Vihara Secondary


Unsur Keagamaan
Avalokitesvara Kota Asaji I6.2 Informan
Serang
3. Sekretaris Gereja Katolik Secondary
Stefanus I6.3 Informan
Kritus Raja Serang

1. Masyarakat Kecamatan Secondary


Unsur Masyarakat Apip I7.1 Informan
Serang
Secondary
Akademisi 1. Dosen Fisip Untirta Agus S I8.1 Informan

Gelandangan dan Secondary


1. Pengemis Kota Serang Bisriah I9.1
Pengemis Kota Informan
93

Serang Secondary
2. Pengemis Kota Serang Rodiyah I9.2
Informan

Sumber : Peneliti, 2018


94

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian

Hasil dari penelitian dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif

deskriptif. Dalam menganalisa penelitian ini, peneliti menggunakan Boundary

Categories menurut Ulrich (dalam Riswanda 2016: 9), yaitu:

1. Sources of motivation (Sumber motivasi), adalah suatu sumber yang dalam

situasi dan kondisi perehaban yang dijadikan sebagai gambaran kekuatan

guna tercapainya perehaban yang baik bagi gelandangan dan pengemis.

a. Stakeholder, pihak yang terlibat dalam penelitian ini adalah Dinas

Sosial Kota Serang di bagian Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna

Sosial, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak, Satpol PP Kota

Serang di Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah, DPRD Kota

Serang, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) di Kota

Serang Unsur Keagamaan, Unsur kemasyarakatan.

b. Purpose (Tujuan), yaitu sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan

rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.

c. Measure of improvement (Ukuran perbaikan), yaitu yang dijadikan

patokan atau standar keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan

Pengemis dalam kebijakan rehabilitasi sosial gelandangan dan

pengemis.

2. Sources of power (Sumber kekuatan), adalah suatu sumber yang menjadi

kelebihan dalam rehablitasi sosial Gelandangan dan Pengemis untuk

mencapai sebuah keberhasilan.


95

a. Decision-maker (Pengambilan keputusan), yaitu pihak yang

menjadi pembuat kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan

pengemis dan pihak yang mengambil keputusan.

b. Resources (Sumber daya), yaitu potensi yang dimiliki Seksi

Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dalam mengelola penyelenggaraan

program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.

c. Decision environment (Keputusan lingkungan), yaitu kondisi yang

berada di luar kontrol lingkup Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial.

3. Sources of knowledge (Sumber pengetahuan), adalah suatu sumber yang

dijadikan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana

perehaban para gelandangan dan pengemis.

a. Professional (Tenaga ahli), yaitu seseorang yang dianggap sebagai

sumber terpercaya berdasarkan keahlian yang dimiliki dalam

menilai dan memutuskan sesuatu terkait rehabilitasi sosial

gelandangan dan pengemis.

b. Expertise (Keahlian), yaitu kemampuan dalam menangani

perehaban para gelandangan dan pengemis.

c. Guarantee (Jaminan), yaitu pihak yang dilibatkan dan berkontribusi

dalam program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis.

4. Sources of legitimation (Sumber pengesahan), merupakan legitimasi dari

badan-badan yang menanangani program rehablitasi sosial gelandangan

dan pengemis.
96

a. Witness, yaitu orang yang terkena efek atau dampak dari adanya

kebijakan rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis.

b. Emancipation, yaitu orang yang selama ini tidak terlibat dalam

pembuatan kebijakan pemasyarakatan sangat penting untuk

suaranya diangkat seperti organisasi dari unsur kemasyarakatan dan

unsur keagamaan.

c. World view (Pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal

terhadap persoalan mengenai gelandangan dan pengemis dari

kacamata atau lensa Media, unsur keagamaan, unsur masyarakat.

4.3.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)

Sources of motivation (Sumber motivasi) adalah suatu sumber yang dalam

situasi dan kondisi dalam perehaban gelandangan dan pengemis yang dijadikan

sebagai gambaran kekuatan guna tercapainya perehaban yang baik bagi

gelandangan dan pengemis. Sumber Motivasi sebagai dasar dan kerangka dari

kebijakan, karena di dalamnya membahas adanya stakeholder (pihak yang

terlibat) yamg memiliki kepentingan dalam pengambilan keputusan kebijakan,

tujuan dari suatu kebijakan, dan tolak ukur keberhasilan dari suatu kebijakan.

Jadi sumber motivasi (sources of motivation) dalam penelitian ini

dideskripsikan sebagai kontruksi dasar program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang yang memuat pihak yang

terlibat, tujuan, dan tolak ukur keberhasilan dalam program rehablitasi

gelandangan dan pengemis ini.


97

4.3.1.1 Stakeholder (Pihak yang terlibat)

Stakeholder merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu

kebijakan atau program yang memiliki kewenangan dan kepentingan terkait

kebijakan ataupun program tersebut. Pihak-pihak yang terlibat tentunya memiliki

keahlian serta kemampuan yang dibutuhkan dalam kebijakan tersebut. Sehingga

dengan adanya keterlibatan dari semua pihak-pihak terkait ini, akan menghasilkan

keputusan yang menjadi solusi dari masalah-masalah yang terjadi.

Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya ada pihak-

pihak yang terlibat yang sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.

Dalam pembuatan program ini tidak bisa dijalankan oleh satu pihak saja

melainkan butuh pihak-pihak lain yang memang memiliki keahlian di bidangnya.

Dengan adanya keterlibatan dari semua pihak yang mempunyai keahlian di

bidangnya akan mampu memberikan perbaikan dari kualitas program yang

menghasilkan keberhasilan dari suatu program.

“Tentunya untuk yang membuat program rehsos gepeng ini


yaitu dinsos, yaa khususnya seksi bagaian yang menangani
gelandangan dan pengemis ini, kami juga sebagai penanggung
jawab program ini.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan wawancara dengan I1.1 dapat diketahui bahwa pihak yang

memproduk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Dinas

Sosial Kota Serang, khususnya Bidang Rehablitasi Sosial pada Seksi Rehabilitasi

Sosial Tuna Susila. Pihak yang bertanggung jawab dalam program ini pun yaitu

Dinas Sosial Kota Serang.

Hal Serupa juga diutarakan oleh I1.2 sebagai berikut :


98

“Yang membuat program ini itu adalah kepala seksi sesuai


dengan tupoksi, karena yang tau permasalahan kan dari kita
sendiri sesuai dengan tupoksinya” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

Hal senada pun peneliti dapatkan dari penjelasan Kepala Bidang Penegakan

Produk Hukum Daerah yang memproduk program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini adalah :

“Untuk pembinaan dan rehablitasi dan bantuan lain-lain


adalah tugas dari Dinas Sosial, dalam kapasitas kita itu tugas
pokoknya hanya mengeksekusi dari tempat kejadian terus dikirim
ke dinas sosial, yang buat program ini kan dinas sosial, jadi yang
ngebina, ngerehab, yang ngasih bantuan itu Dinas Sosial dan juga
perencanaan dan segala sesuatunya ada di Dinas Sosial, soalnya
mereka yang buat programnya.” (wawancara dengan I2.1 di kantor
Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).

Berdasarkan pemaparan oleh I2.1 dapat diketahui bahwa yang membuat atau

memproduk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis adalah Dinas sosial.

Ungkapan serupa juga dipaparkan oleh :

“Yang punya kewenangan membuat program rehabilitasi


ini si di kabupaten/kota ya, kalo di kota kan Dinas Sosial Kota
Serang ya.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial
Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
Berdasarkan ungkapan seluruh informan di atas dapat disimpulkan bahwa

yang memproduk atau yang membuat program ini adalah Dinas Sosial Kota

Serang. Dinas Sosial juga yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab

terhadap program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.

Di program ini tentunya banyak pihak-pihak yang terlibat dan yang memiliki

peranan dan keahlian dalam pengambilan keputusan. Pihak-pihak yang terkait

tersebut diantaranya :
99

“Keterlibatannyan dalam pemerintahan itu, pertama OPD


Dinas Sosial Kota Serang yang harus mempunyai peran sesuai
dengan yang ada tupoksinya rehabilitasi. Cuma rehabilitasi tidak
cukup Dinas Sosial bagaimana kalo dia umpamanya
pendidikannya ingin melanjutkan karena tidak mampu, lulusan
SMP yang tidak punya izasah maka harus kejar paket, nah itu
terlibatlah Dinas Pendidikan. Kita koordinasi dan bekerjasama
dengan Dinas Pendidikan. Bagaimana cara penanganannya,
pengambilannya, wewenang untuk menangkap dan membawa itu
adalah Satpol PP, selain itu juga bagaimana kalo dia nggak punya
dan pengen punya kartu keluarga, pengen punya KTP, nah Dinas
Kependudukan juga harus terlibat, nah bagaimana kalo dia
pengen bekerja kalo dia emang sudah punya keahlian, kita
libatkan juga Disnaker.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial
Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan apa yang dinyatakan I1.1 dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang

terlibat terkait dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

yang dilakukan Dinas Sosial Kota Serang yaitu Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Serang, Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja

Kota Serang.

Senada dengan pernyataan diatas I1.2 juga menyatakan bahwa :

“Kepala Bidang disitu juga ada Pak Kadis, kita kan


awalnya lihat dari data dan kenyataan banyak di jalan anak
jalanan, gepeng, kita juga ngedata melalui pos sahabat anak itu
juga dibantu oleh Peksos setelah kita melihat data kan terus
gimana nih cara penanganannya, nah maka dari itu kita rempugin
bareng-bareng bersama bapak kabid dan bapak kadis. Banyak
juga kita berkoordinasi ada dari lembaga ada juga dinas-dinas
terkait yang menangani tentang program ini. Ya misalkan dengan
Disnaker, Kemenag, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan yang
sesuai tupoksinya kaya BPJS kesehatan, Kepolisian untuk
menangani anak jalanan kaya gitu. Jadi kita ga sendiri.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).
100

Penjelasan serupa juga diutarakan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten :

“Kalo untuk di lapangan itu misalkan penertiban, ngerazia


para gepeng itu kan kewenangannya ada di Kabupaten/Kota yaitu
di Dinas Sosial Kota Serang dan juga Satpol PP nya.” (wawancara
dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember
2017).

Kedua pernyataan diatas dibenarkan oleh Kepala Bidang Penegakan Hukum

Daerah, sebagai berikut :

“Dalam rehabilitasi gepeng ini kita emang dilibatkan


sesuai tupoksi kita yaitu menjaring atau merazia para gepeng yang
ada dijalanan. Ini juga kan masuk kewenangan kita, terus tupoksi
kita ini kan dari perwal yang didasari oleh perda pekat tersebut.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan, peneliti menarik kesimpulkan

bahwa yang membuat atau memproduk program rehablitasi gelandangan dan

pengemis ini adalah Dinas Sosial Kota Serang karena Dinas Sosial Kota Serang

ini yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sesuai dengan Perda Kota

Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat. Selanjutnya pihak-

pihak yang terlibat dalam pelaksaan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini yaitu Dinas Sosial Kota Serang sebagai leading sector, Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan Kota Serang, Dinas Kesehatan,

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja Kota

Serang, bahkan kepolisian yang ikut menangani anak jalanan.


101

4.3.1.2 Purpose (Tujuan)

Pada dasarnya pemerintah membuat kebijakan atau program memiliki

maksud dan tujuan untuk memberikan solusi atas masalah-masalah yang terjadi

pada masyarakatnya. Setiap kebijakan pasti memiliki suatu tujuan, dan tujuan ini

biasanya dijadikan acuan dalam perencanaan suatu kebijakan yang akan

dilaksanakan. Tujuan juga dijadikan sebagai tolak ukur pemerintah dalam usaha

untuk menggapai sesuatu yang ingin dicapainya.

Dinas Sosial Kota Serang membuat program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis yang didasari oleh Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 tahun 2010

tentang Penyakit Masyarakat tentunya mempunyai suatu tujuan seperti apa yang

disampaikan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna

Sosial, dan tujuannya yaitu:

“Ya untuk tujuannya mah inginnya kami pemerintah si tetep


satu, ingin mengentaskan kemiskinan kalo tujuan secara umumnya
mah itu, sama mengentaskan pengangguran. Ya khususnya dari
program ini inginnya mah itu, si gepeng itu mendapat
keterampilan juga dia bisa merubah prilakunya sama
mindsetnya.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang,
22 November 2017).

Hal Senada juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa:

“sebenernya mah dari tujuannya mah kaya sederhana tapi


dalemnya rumet ya, itu menghilangkan si tidak mungkin, tapi kita
meminimalisir jumlahnya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).

Peneliti juga mendapatkan penyataan serupa dari Kepala Bidang

Penegakan Produk Hukum Daerah, Bapak Juanda. Beliau mengatakan :


102

“dari kita mah tujuannya pengen si gepeng ini ngerasa


kapok lah ada di jalanan, jadi mereka itu si gepeng ini gak balik-
balik ke jalan lagi, kan dengan kaya gitu bisa ngubah
mindsetnya.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).

Senada dengan diatas, I3.1 mengutarakan:

“kalo tujuan program rehablitasi gepeng ini tentunya


pengen ngerubah mindsetnya lah dari tadinya dia ngemis, dia bisa
usaha kecil-kecilan kaya jualan gorengan atau buka warung kecil
kaya gitu. Kan kalo program rehabilitasi ini, si gepeng
keterampilan kaya bikin kue, atau keterampilan montir, dan kalo
dia mau dia dikasih modal sama kita. Ya kalopun misalkan gak
ngerubah dia, minimal dia turun ke jalannya ga sering, ya
misalkan tadinya dia di jalan 12 jam sekarang dia jalan cuma 5
jam.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi
Banten, 18 Desember 2017).

Pernyataan yang sama pun disampaikan oleh bapak Hasanudin selaku

Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Serang sebagai berikut :

“Tujuannya, tentunya untuk mengurangi para gelandangan


dan pengemis jangan sampai ada yang turun ke jalan tentunya.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).

Berdasarkan penyataanya dari semua informan di atas, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

ini yaitu untuk mengurangi jumlahnya dan juga merubah prilaku dan mindset para

gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan, memberikan

keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan pengemis agar mereka

mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan dan pengemis

ini untuk tidak terus berada di jalanan dan juga mereka bisa mencari nafkah

dengan tidak meminta-minta.


103

Adanya tujuan kebijakan pastinya kebijakan juga mempunyai sasaran yang

ingin dicapai. Jelasnya sasaran kebijakan yang ingin dicapai mengindikasikan

bahwa perumusan kebijakan tersebut berjalan dengan baik. Pastinya setiap

kebijakan memiliki target sasaran yang ingin dicapainya, seperti halnya program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pastinya mempunyai sasaran yang

ingin dicapainya:

“tentunya yang jadi sasaran utamanya itu para


gelandangan pengemis, kalo untuk sasaran utamanya.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Seperti apa yang diutarakan oleh I1.1 bahwa yang menjadi sasaran dari

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah para gelandangan dan

pengemis (gepeng).

Hal yang sama juga disampaikan oleh I1.2 yang menytakan bahwa :

“Dalam Perda pekat ini kan tidak hanya untuk gepeng dan
anak jalanan ataupun pekat yang lainnya ya, kita kan ada berbasis
masyarakat ya otomatis masyarakat juga diikut sertakan, terutama
minimalnya tau bahwa ada peraturan atau perda yang ngelarang
gepeng dan anak jalanan itu tidak boleh gitu kan.” (wawancara
dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

Hal serupa juga diutarakan oleh I2.1, sebagai berikut :

“pastinya yang kita jadiin target sasaran para penyakit


masyarakat termasuk juga para gelandangan dan pengemis. Kita
kan sebagai penegak hukum daerah, ya kita tugasnya merazia para
pekat penyakit masyarakat ini termasuk juga para gepeng.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
104

Pendapat ini diperkuat oleh I3.1, sebagai berikut :

“yang jelas yang jadi sasaran dari program ini tuh para
gepeng, jangan sampe si gepeng itu terus di jalan, ya minimal
mereka itu produktif lah nggak terus nyari nafkahnya di jalanan.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).

Pendapat yang senada juga di sampaikan oleh I4.1 yang menyatakan

bahwa:

“ya yang pastinya yang jadi sasarannya itu para


gelandangan dan pengemis itu. Soalnya kan program ini
ditujukannya ke mereka.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan dari para informan diatas, mereka menyebutkan

bahwa yang menjadi sasaran dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis

ini yaitu para gelandangan dan pengemis.

Kebijakan pastinya akan memberikan dampak kepada sasaran kebijakan,

baik atau buruknya sebuah dampak yang dihasilkan oleh suatu kebijakan,

tentunya ini akan tetap berpengaruh kepada lingkungan kebijakan, khususnya

kepada sasaran kebijakan. Tak terkecuali dengan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini, program ini memiliki dampak yang berpengaruh

terhadap :

“sebenernya mah gini ya, yang terkena dampak dari


program ini tuh kan para gepeng, ya artinya program ini
memberikan pengaruh ke si gepeng ini biar ga ke jalanan lagi. nah
kalo udah kaya gitu kan, si gepeng udah bisa nyari nafkahnya gak
turun ke jalan, bisa juga kan berdampaknya ke masyarakat.
Masyarakatkan nantinya gak keganggu lagi sama adanya gepeng
ini.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
105

Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan oleh I1.1 bahwa yang terkena

dampak dari program ini yaitu para gelandangan dan pengemis itu sendiri yang

nantinya akan berdampak pula kepada masyarakat yang merasakan dampak para

gelandangan dan pengemis yang sudah berhenti melakukan aktifitasnya.

Hal serupa juga diutrakan oleh Ibu Hendri selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Sosial Anak yang menyatakan bahwa:

“tentunya yang terkena dampaknya itu para gepeng anak


jalanan itu sendiri ya, soalnya kan mereka yang kita kasih
pembinaan kasih bantuan, dengan kaya gitukan yang kena dampak
mereka.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).

Pendapat dari I2.1 mengenai yang terkena dampak dari program ini adalah

sebagai berikut:

“Masyarakat akan dirasakan langsung dampaknya, coba


kalo misalkan program ini bisa istilahnya membuat si gepeng ini
sadar, tentunya dampaknya ke masyarakat, masyarakat ga ke
ganggu lagi dong ama aktifitas gepeng ini.” (wawancara dengan
I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).

Senada dengan yang apa disampaikan oleh I2.1, I3.1 berpendapat bahwa :

“Di program ini kan kita ngasih pembinaan kaya semacem


ngasih keterampilan bikin kue kaya tata boga gitu, selain itu juga
kita ngasih keterapilan buat bengkel jadi si gepeng ini punya
keahlian lah semacem itu, nah kalo udah kaya gitu kita tinggal
ngasih modal tuh ke para gepeng, biar ga balik lagi ke jalan
mereka lebih produktif kan kaya gitu. Nah dari situ berdampak
juga ke prilaku si gepeng, jadi mindset si gepeng ini kan berubah.
Dengan kaya gitu masyarakat ikut merasakan juga kan
keuntungannya, jadi masyarakat juga ga merasa ke ganggu tuh
ama si gepeng.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial
Provinsi Banten, 18 Desember 2017).
106

Pernyataan di atas juga di pertegas dengan pendapat yang disampaikan

oleh I4.1 yang menyatakan bahwa:

“Dampak dari program ini tentunya kepada masyarakat,


kalo misalkan gelandangan dan pengemis sudah berkurang lah
jumlahnya, tentunya masyarakat juga yang nyaman kan.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).

Jadi dari pernyataan kelima informan ini, peneliti dapat menyimpulkan

bahwa yang terkena dampak dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis

ini adalah para gelandangan dan pengemis itu sendiri sehingga masyarakat juga

ikut merasakan dampak dari program ini.

Setiap kebijakan pastinya memiliki kendala-kendala yang terkadang

menjadi hambatan dalam penyelanggaran sebuah kebijakan. Program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini pastinya memiliki kendala-kendala yang dihadapi

oleh penyelenggara.

“Hal-hal yang jadi kendalanya itu pertama, SDM. Di


bagaian bapak satu bidang aja belom punya staf, harunya mah
kasie itu minimal punya satu, pembantu bapak itu harusnya mah
ada minimal satu tapi bapak belom punya. Sebenrmya bukan
bapak aja ini yang belom punya malah di bidang ini belom punya
staf. Ya selain itu juga kendalanya kadang-kadang OPD-OPD
lainya itu istilahnya kurang harmonis. Sebenernya kalo bicara soal
itu mah jelek juga, ya mau gimana lagi begitu kenyataannya.
Kemudian kami dinsos belom punya juga tempat penampungan
buat para gepeng yang udah di razia sama Satpol PP. Gimana
mau nampung kita juga kantornya masih ngontrak kan ya gitu. Ya
otomatis juga penganggaran juga oleh kita sangat dibutuhkan.
Nah tempat rehabilitasi juga tuh, itu yang pertama tempat
107

rehabilitasi itu belom ada.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial


Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan pernyataan dari I1.1 diketahui bahwa yang menjadi kendala

dari program rehablitasi gelandangan dan pengemis yaitu sumber daya manusia

(SDM) yang belum memadai, kurang harmonis atau kurangnya koordinasi yang

dilakukan oleh organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, belum adanya tempat

penampungan dan rehablitasi untuk para gelandangan dan pengemis, serta

anggran yang adapun belum sepenuhnya memadai untuk program ini.

Hal senada juga diutarakan oleh I1.2, yang menyatakan bahwa :

“kendalanya memang kebelum nyambungnya ya antara keinginan


dan tujuan pemerintah dan masyarakat belom sejalan gitu. Karena
kita juga sadar diri ya, SDM dari kita Dinas Sosial kurang ya
sehingga tidak mencukupi untuk tenaga di sosialisasi di jalan.
Karena kita harusnya banyak ke jalan ya, nah tenaga itulah kita
yang kurang. Sebenernya mah kendalanya juga kesadaran lah dari
kita semua ya khususnya masyarakat bahwa kita disini punya
program buat merubah anak jalanan.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

Pendapat yang hampir serupa juga diungkapkan oleh Kepala

Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah yang menyatakan bahwa :

“Kendalanya dari kita itu kurangnya SDM, kurangnya


disini itu dari segi kuantitas ya bukan dari kualitas. Kalo dari
kualitas si saya yakin lah kualitasnya bagus, tapi disini kami hanya
kekurangan kuantitas. Selain itu juga dari segi finansial, nah ini ni
yang susah. Nah kaya yang saya sebutin tadi susah kalo ga ada
duit mah mau jalannya ajasusah, ya mau gimana lagi itu faktanya.
Ya terkadang anggaran untuk kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya buat bensin-bensin doang mah.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).
108

Pendapat lain juga disampaikan oleh I3.1, sebagai berikut :

“Kendalanya ya kadang-kadang kalo dirazia itu si gepeng


nya itu balik lagi balik lagi kaya gak kapok-kapok, terus juga
kategori kaya anak punk itu yang masih samar, itu masuknya
kemana nih, anak jalanan atau apa gitu kalo anak jalanan ada
seksinya lagi, kalo yang pake narkoba atau orang yang gila ada
juga seksinya disini tapi kadang-kadang di tangani oleh seksi kita
juga. Ya emang susah juga kita mengkategorikannya juga, ya jadi
kendalanya itu kita susah buat mengkategorikannya.” (wawancara
dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember
2017).

I4.1 juga berpendapat mengenai kendala yang dirasarkan dalam program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini:

“kendalanya ya memang itu terkadang para gepeng itu pas


kita samperin itu pada lari, terus dari si gepeng itu juga kurang
keterbukaan kitakan jadinya susah buat ngedatanya. Kita juga
butuh kerjasama dari masyarakat untuk berperan untuk ikut dalam
program ini ya minimal ikut mengikuti peraturan yang ada, kan di
perda juga ada pelarangan buat ngasih para gepeng.”
(wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari
2018).

Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan diatas peneliti dapat

menyimpulkan bahwa yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi

gelandangn dan pengemis itu adalah SDM yang kurang memadai, ada juga dari

tempat penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,

kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi perangakat

daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran

serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang melarang memberikan

uang pada pengemis.


109

Dengan adanya kendala-kendala yang di hadapi oleh suatu kebijakan

tentunya ada pihak-pihak bertanggung jawab sesuai dengan tugas dan

wewenangnya masing-masing. Pada dasarnya di dalam kebijakan pastinya

memiliki pihak yang bertanggung jawab untuk mencari solusi dari masalah-

masalah yang di hadapi. Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini

pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi adalah :

“Harusnya semuanya OPD-OPD terkait ikut bertanggung


jawab, ya terutama OPD Dinas Sosial dan Satpol PP.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Hal ini yang sama juga disampaikan oleh Ibu Hendri selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Sosial Anak yang menyatakan bahwa:

“sebenernya semua, cuma kan yang jadi leading sectornya


dan tupoksinya Dinas Sosial Kota Serang ya otomatis kita harus
bertanggung jawab merangkul kesemuanya ke OPD lain atau juga
ke masyarakatnya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota
Serang, 11 Januari 2018).

Hal serupa juga diunkapkan oleh I2.1, yang memberi penjelasan sebagai

berikut :

“Kan yang jadi penanggung jawab program ini kan Dinas


Sosial, jadi kalo misalkan ada masalah-masalah yang terjadi
dinsosnya yang bertanggung jawab, kalo kita bertanggung jawab
kalo tiap penjaringan, ngerazia, baru kita yang tanggung jawab.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Pernyataan di atas di perkuat oleh pernyataan yang di ungkapkan oleh I3.1

yaitu, sebagai berikut:


110

“Kalo program ini si sebenernya yang punya kewenangan


itu yang di kabupaten kota, juga yang bertanggung jawab yang di
kabupaten kota, biasanya kan mereka itu yang langsung ke
lapangan melakukan razia atau apa gitu, itu udah kewenangan di
kabupaten kota, Dinsos kota sama Satpol PP kalo kita terima sini
ajalah.” (wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi
Banten, 18 Desember 2017).

Senada dengan pernyataan di atas, I4.1 menyatakan pendapat :

“Yang bertanggung jawab itu Dinas Sosial dan juga unsur


masyarakat seluruhnya. Dinas sosial kan lembaga pemerintah ya,
jadi untuk lembaga ini Dinas Sosial yang bertanggung jawab tapi
harus ada peran serta masyarakat.” (wawancara dengan I4.1 di
kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan dari semua informan Peneliti dapat menyimpulkan

bahwa pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah yang terjadi dalam

program rehablitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial

Kota Serang sebagai penanggung jawab program, dan juga Satpol PP sebagai

penegak hukum daerah yang melakukan penjaringan dan razia kepada para

gelandangan dan pengemis.

Pihak yang tertanggung jawab tentunya memiliki cara untuk mengatasi

masalah-masalah yang terjadi, upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat

diatasi dengan baik, sehingga kebijakan dapat berjalan dengan semestinya. Juga

dengan Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pihak Dinas Sosial

Kota Serang tentunya memiliki upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat

teratasi:

“Saya juga kan gak punya staf, kalo ada anggarannya


bapak juga membentuk tim sukarelawan. Ya artinya semacem
petugas sosial, satgas satuan tugas sepuluh orang. Kalo misakan
111

anggaran kita gada, kita ngirim para gepeng ini ke provinsi,


Dinsos provinsi buat direhab disana kira-kira sepuluh orang kita
kirim ke sana, ya salah satu pelayanan kita kaya gitu kalo
anggarannya ngga ada.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial
Kota Serang, 22 November 2017).

Seperti yang sudah diungkapkan oleh I1.1 bahwa upaya yang dilakukan

pemerintah dalam mengatasi masalah yaitu dengan membentuk tim sukarelawan

seperti satuan tugas atau petugas social yang disesuaikan dengan anggaran yang

ada. Selanjutnya upaya yang dilakukan adalah dengan mengirimkan para

gelandangan dan pengemis kepada Dinas Sosial Provinsi Banten untuk direhab

disana. Dalam hal ini Dinas Sosial Kota Serang bekerja sama dengan pihak Dinas

Sosial Provinsi Banten untuk melakukan perehaban yang mana ini adalah salah

satu bentuk pelayanan yang diberikan Dinas Sosial Kota Serang kepada para

gelandangan dan pengemis.

Hampir sama seperti yang disampaikan oleh I1.1, I2.1 berpendapat :

“Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan.


ya walaupun istilahnya kami melakukan tugas cuma lima orang
tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami merekrut
hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang
tiga puluh orang ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari
segi dana kami untuk kontrol aja seperti yang saya udah jelasin
kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Dari kedua pendapat ini, peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa upaya-

upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam

mengatasi masalah yang terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya

Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang membentuk sebuat satuan tugas
112

(Satgas) atau Petugas Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam menangani

para gelandangan dan pengemis. Hampir sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol

PP melakukan perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli yang

sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam mengatasi masalah anggaran mereka

mengirimkan para gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial Provinsi

Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang dilakukan Satpol PP untuk

mengatasi anggaran adalah sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya

melakukan kontrol di jalanan.

Selanjutnya kebijakan pasti memberi pengaruh terhadap kelompok yang

menjadi sasaran dari suatu kebijakan. Dalam program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis, program ini cukup memberikan pengaruh terhadap kelompok

sasaran yaitu para gelandangan dan pengemis. Seperti yang dijelaskan oleh I1.1,

sebagai berikut:

“Ya artinya program ini memberikan pengaruh ke si


gepeng ini, ada juga yang sudah merasakan lelah, kepengen
berubah pekerjaannya, ada yang setelah ikut pelatihan anak-anak
berenti ngamen, ya kalo istilahnya mah ikut ngedesain nyetak foto
yang namanya itu pelatihan sablon. Termasuk juga yang telah
dilatih montir motor, dia udah bisa buka bengkel. Tapi ya itu, gak
begitu saja berubah jadi sewaktu-waktu dia bisa balik lagi ke
jalan, ya bisa aja ke pengaruh sama temen-temen jalanannya.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Senada dengan penyataan diatas, I1.2 juga berpendapat bahwa :

“Kalo untuk kesejahteraannya mah belom, namun berubah


gitu dari prilakunya kalo misalkan kesejahteraan mah dari jumlah
segitu palingan yang baru sedikit ya.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
113

I2.1 juga berpendapat bahwa:

“Pastinya ngasih pengaruh ke si para gepeng, ya sedikit


banyaknya ngasih pengaruh ke si gepeng. Ada juga kan yang udah
direhab dia berenti ngamen ngemis dia jadi usaha dagang, ya
sedikit banyaknya ngasih pengaruh.” (wawancara dengan I2.1 di
kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).

Pernyataan sama juga disampaikan oleh I3.1, sebagai berikut :

“Memberikan pengaruh tentunya, disinikan kami ngasih


pelatihan kaya bikin kue, pelatihan bengkel yang kaya disebutin
tadi itu, keterampilan ngejahit. Nanti kami ngasih modal ke
mereka biar uang itu dijadiin modal usaha sama merek.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).

Pernyataan di atas diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh I4.1 :

“Sangat, sangat memberikan berpengaruh contoh, para


gepeng atau anak yang awalnya mengamen ya, nah saat diberikan
pelatihan secara kemampuan dan alhamdulillah di satu tahun yang
lalu kita ada keterampilan sablon, setelah itu skill kan ada nih,
sudah terasah gitu kan, kita berikan dari dinas sosial alat, nah
agar mereka kurang lah jumlahnya gitu.” (wawancara dengan I4.1
di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan dari pernyataan dari seluruh informan diatas mengenai

pengaruh yang diberikan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini,

peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis ini memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan pengemis,

karena dalam program rehabilitasi ini memberikan keterampilan dan keahlian

yang nantinya diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan pengemis

untuk bisa menjadi mandiri dan lebih produktif, sehingga tidak harus kembali lagi

ke jalanan.
114

4.3.1.3 Measure of Improvement (Ukuran Perbaikan/Tolak Ukur)

Tolak ukur pada dasarnya dijadikan sebagai penilaian seberapa jauh

kebijakan itu berhasil untuk menjadi solusi atas masalah-masalah yang dirasakan

oleh masyarakat. Ukuran perbaikan dapat ditinjau dari seberapa jauh nilai-nilai

yang ada telah mempengaruhi suatu kebijakan. Dengan adanya ukuran perbaikan

ini berguna untuk perbaikan program di masa yang akan datang.

Pada penelitian ini mengenai program rehabilitasi sosial gelandangan dan

pengemis yang di lakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang tentunya memiliki tolak

ukur. Tolak ukur tersebut dijadikan sebagai acuan untuk meninjau bagaimana

pelaksanaan program ini berjalan, apakah sudah berjalan dengan semestinya atau

belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini mempunyai tolak ukur yang dijadikan penilaian

apakan kebijakan ini berhasil ataupun belum berhasil adalah sebagai berikut:

“Yang menjadi tolak ukurnya ya sekarang udah keliatan


biasanya mah pagi-pagi sampai itu tuh udah ada para gepeng.
Kalo sekarang ya Alhamdulillah, jadi berkurangnya ya gitu,
berkurangnya para gepeng.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas
Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan pernyataan dari I1.1, diketahui bahwa yang menjadi tolak ukur

keberhasilan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah

dengan berkurangnya jumlah para gelandangan dan pengemis.

Senada dengan pernyataan diatas, I1.2 berpendapat bahwa :

“Kalo yang jadi tolak ukur keberhasilan dari ibu si


sederhana yah, kalo menghilangkan kan ga mungking, ya minimal
mengurangi jumlahnya itu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).
115

Sama halnya yang diutarakan oleh I3.1, sebagai berikut :

“Minimal kita mengurangi jumlah gepeng tiap tahunnya


untuk meminimalisir, dan juga tolak ukurnya misalkan kita melatih
sepuluh orang, ya terlaksanakannya juga sepuluh orang, ya kita
mencapai apa yang ditargetkan lah bisa di bilang begitu.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).

Pendapat mengenai tolak ukur keberhasilan program ini juga disampaikan

oleh I2.1, sebagai berikut:

“Tugas Satpol PP itu cuma eksekutor pembinaannya kan


dari Dinsos, tugas kita tuh cuma sedikit cuma pelarangan saja. Ya
disini yang menjadi tolak ukur kita para gepeng ini ga balik lagi ke
jalan, dan masyarakatnya juga sadar kalo ngasih para pengamen
pengemis itu dilarang, jadi kalo misalkan ada gepeng yang minta-
minta coba lah jangan dikasih, ya walaupun istilahnya kita
ngerasa ga tega iba ke si gepeng itu. Soalnya nanti kebiasaan buat
para si gepeng.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).

Pendapat juga disampaikan oleh I4.1 yang menyatakan bahwa :

“Yang pasti tolak ukurnya jumlah gepeng atau anak


jalanan itu berkurang ada perubahan lah dari mereka untuk ngga
ke jalanan lagi.” (wawancara dengan I4.1 di kantor Kecamatan
Serang, 25 Januari 2018).

Dari pernyataan keempat informan di atas peneliti mengambil kesimpulan

bahwa tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah berkurangnya jumlah

gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya. Kemudian tercapainya jumlah para

gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari jumlah yang ditargetkan di

awal. Selain itu pula para gelandangan dan pengemis ini sadar dan tidak balik-
116

balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari masyarakat untuk tidak memberi kepada

para gelandangan dan pengemis.

4.3.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan)

Sumber kekuatan yang dimaksud disini adalah suatu sumber yang menjadi

kelebihan dari suatu kebijakan untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan

kebijakan. Peneliti menggambarkan sumber kekuatan dalam penelitian ini sebagai

kelebihan dari program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis yang

dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang, yang meliputi diantara pembuat

keputusan, sumber daya, dan keputusan lingkungan.

4.3.2.1 Pembuat Keputusan (Decision-maker)

Sebuah keputusan merupakan hasil dari beberapa pertimbangan dan

tindakan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Keputusan diambil guna

memberi solusi untuk atas masalah-masalah yang terjadi pada suatu kebijakan.

Keputusan yang diambil dapat pula berupa suatu kebijakan alternatif, guna

memecahkan masalah yang terjadi pada permasalahan kebijakan sebelumnya.

Dalam penelitian ini pembuat keputusan dimaksudkan sebagai pihak

yang berwenang untuk memberikan keputusan dalam program rehablitasi

gelandangan dan pengemis. Suksesnya suatu kebijakan dapat ditinjau dari

seberapa jauh kebijakan itu memberi pengaruh atau memberi solusi atas masalah-

masalah

yang terjadi pada sasaran dari kebijakan tersebut dan juga dapat berdampak pada

kepuasan masyarakat atas kebijakan itu. Pihak yang berwenang dalam


117

pengambilan keputusan dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis itu

adalah :

“Kalo yang buat ngambil keputusan mah tentunya pihak


yang punya kewenangnya masing-masing ya kalo kita kan dinsos
yang ngasih pembinaan, pelatihan, keterampilan kaya gitu ya
jadinya kalo yang ngambil keputusan di program pembinaan ini
mah ya kita. Kalo Satpol PP kan kewenangannya buat ngejaring,
ngerazia para gepengnya, jadi kalo urusannya soal ngerazia mah
pihak Satpol PP.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan penjelasan dari I1.1, diketahui bahwa yang mengambil

keputusan dalam program ini adalah sesuai dengan kewenangannya masing-

masing, seperti Dinas Sosial yang melakukan pembinaan, pelatihan keterampilan

maka yang punya kewenangan dalam pengambilan keputusan adalah pihak Dinas

Sosial. Sedangkan untuk Satpol PP yang mempunyai kewenangan dalam

melakukan penjaringan dan razia para gelandangan dan pengemis maka yang

berhak mengambil keputusannya adalah Satpol PP.

Pernytaan lain juga disampaikan oleh kepala seksi rehabilitasi sosial

anak ibu Hendri yang menyatakan:

“ya yang mengambil keputusannya ya masing-masing


kepala seksi di sini, kita kan ngerempugin bersama-sama ya.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).

Hal yang sama seperti pernyataan di atas, disampaikan oleh I2.1, yang

menyatakan bahwa:

“Yang punya kewenangan dalam urusan merazia itu kan


Satpol PP, jadi yang berhak mengambil dalam urusan merazia itu
pihak kami, Satpol PP. Kita mah gausah kemana mana dulu, kita
ngejalanin undang-undangnya dulu, amanatnya dulu gausah ke
118

yang lain, jadi kita kalo langsung ke sasaran dasarnya apa kita
ngelakuin itu” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota
Serang, 27 November 2017).

Pernyataan diatas diperkuat oleh apa yang disampaikan oleh I3.1,

sebagai berikut :

“Untuk masalah itu mah masing-masing punya


kewenanganannya masing-masing, ya kalo kita mah dinsos
provinsi cuma ngejalanin program yang emang pesertanya
kiriman dari kabupaten/kota.” (wawancara dengan I3.1 di kantor
Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).

Berdasarkan pernyataan seluruh informan, peneliti dapat memberikan

kesimpulan bahwa yang berhak mengambil keputusan dalam program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini adalah masing-masing pihak yang mempunyai

kewenangan. Seperti Dinas Sosial Kota Serang yang menjadi penanggung jawab

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini mempunyai kewenangan

untuk memutuskan apa yang akan dilakukan. Satpol PP memiliki kewenangan

dalam menjaring dan merazia para gelandangan dan pengemis, maka dari itu

Satpol PP memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan untuk urusan

merazia para gepeng.

Dalam pengambilan keputusan tentunya memiliki dasar hukum yang

jelas, karena kewenangan setiap pengambil keputusan didasari oleh dasar hukum

tersebut. Namun terkadang dasar hukum tersebut tidak cukup kuat untuk

mendukung kebijakan ataupun program tersebut. Hal ini bisa disebabkan adanya

kekurang rincian atau kejelasan dari isi yang ada di dalam dasar hukum tersebut.

Tentunya hal ini sangat riskan sekali mengingat setiap kebijakan atau program
119

harus memiliki dasar hukum yang kuat agar kebijakan tersebut tidak lemah yang

mengakibatkan kegagalan dalam kebijakan tersebut.

Pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang di lakukan

oleh Dinas Sosial Kota Serang ini tentunya memiliki dasar hukum, yang mana

dasar hukum ini menjadi kekuatan dari program ini. Dasar hukum dari program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan Dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat yang terdapat pada pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) yang

berbunyi :

(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan


terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan
perbuatan penyakit masyarakat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
melalui kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan melalui kegiatan,
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan
teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga
kerja.

Peraturan Daerah (Perda) di atas merupakan dasar dari terbentuknya

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dan menjadi dasar hukum dari

program ini. Namun hal ini dirasa kurang kuat untuk menjadi dasar hukum untuk

program rehabilitasi ini sehingga perlunya untuk merevisi isi dari perda tersebut.

Hal ini seperti yang di sampaikan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Tuna Sosial, yang mengatakan :

“Kalo menurut pandangan saya mah ya tetep perlu direvisi


karena dari kata-katanya juga terlalu kasar. Pemberantasan,
disitu ada kata-kata pemberantasan. Ya kalo pemberantasan harus
120

diberantas lah.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota


Serang, 22 November 2017).

Pernytaan lain juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa :

“kalo liat dari itu mah diliat dari dalem isi perdanya itu ya
belom dilaksanakan semua ya, buktinya disosialisasikan ke
masyarakatnya juga belum ya, misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya kena sanksi nyatanya tidak kena
sanksi. Sehingga perda itu belom kuat.”(wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

I4.1 berpendapat bahwa:

“Saya pikir cukuplah, tinggal bagaimana sosialisasinya


saja yang memang kurang.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).
Pendapat lain disampaikan oleh I5.1 yang menyatakan :

“Ya kalo soal revisi itu, dilihat dulu sejauh mana


pelaksanaan implementasinya itu, perda itu direvisi itu banyak
alasannya, apa karena banyak aturan yang diubah, ada kebutuhan
di masyarakat yang berubah gitu kan. Soalnya kalo bikin perda tuh
mahal.” (wawancara dengan I5.1 di Kantor DPRD Kota Serang, 4
Desember 2017).

Dari pernyataan seluruh informan diketahui bahwa Perda Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat belum cukup kuat guna

mecegah adanya pengemis serta belum cukup kuat pula untuk menjadi dasar

hukum untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga perlunya

merevisi isi dari perda tersebut. Namun dalam mengganti perda tersebut tidak

mudah dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan perda cukup mahal.

Tentunya suatu perda memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Adapun

tujuan dari Perda Kota Serang Nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan,
121

pemberantasan, dan penanggulangan Penyakit Masyarakat seperti yang di

sampaikan oleh Bapak Furtasan Ali selaku Alat kelengkapan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Serang :

“Ya tujuannya yang ada di perda itu, coba deh di baca apa
yang jadi tujuannya.” (wawancara dengan I5.1 di Kantor DPRD
Kota Serang, 4 Desember 2017).

Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang

termasuk dalam kategori penyakit masyarakat di Daerah.

Kemudian pada pelaksanaan program rehablitasi gelandangan dan

pengemis ini, pihak Dinas Sosial Kota Serang juga memberikan pelayanan terkait

rehabilitasi kepada para gelandangan dan pengemis. Seperti apa yang disampaikan

oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, sebagai

berikut :

“Tentunya pelayanan yang diberikan itu pertama ya


artinya memberikan pembinaan seperti kita kumpulkan para
gepeng terus kita kasih pembinaan keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama. Terus ya kebutuhannya, kalo memang
dia pengen kebutuhan ya kita berikan dengan cara kemudahan, ya
misalkan si gepeng minta pengen pelatihan montir motor ya kita
berikan lah gitu. Pengiriman ketempat pelatihan atau ketempat
rehabilitasi yang dilaksanak sama pihak Dinsos provinsi.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Dari pernyataan yang disampai oleh I1.1 di atas dapat diketahui bahwa

pihak Dinas Sosial memberikan pelayanan berupa pembinaan keagamaan,

pemberian pelatihan montir motor, dan mengirimkan para gelandangan dan


122

pengemis ini ke tempat rehabilitasi yang di lakukan oleh pihak Dinas Sosial

Provinsi Banten.

Senada dengan penyataan diatas, I1.2 berpendapat:

“kami kirimkan anak jalanan itu ke sekolah memberikan


program paket c, kita juga menawarkan kepada anak-anak jalanan
siapa yang mau ke sekolah atau ke pesantren bahwa ada anak
jalanan yang minta di beliin baju koko, peci, sarung, kami berikan.
Ya pokoknya kami pengennya mereka berubah biar ga di jalan
lagi” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).

Pendapat juga diutarakan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten, yang menyatakan

sebagai berikut :

“Kami memberi pelayanan ya berupa pembinaan,


pelatihan keterampilan kaya lpk gitu kan, tata boga, ada juga kami
beri pelatihan montir atau otomotif gitu.” (wawancara dengan I3.1
di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).

Hal yang sama juga disampaikan oleh I4.1 sebagai berikut:

“Pelayanan yang diberikannya itu, yaitu tadi kita kasih


pembinaan, pendidikannya juga kita kasih, pelatihan skill kaya
sablon, montir motor, nah kalo udah dikasih pelatihan gitu,
mereka udah punya keahlian kita kasih alatnya.” (wawancara
dengan I4.1 di kantor Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan diatas, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi

melakukan koordinasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini. Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis


123

berupa pembinaan keagamaan, pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan

montir motor.

Selama proses perehaban tentunya kebutuhan para gelandangan dan

pengemis mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhinya. Dengan direhabnya

para gelandangan dan pengemis ini tentunya para gelandangan dan pengemis ini

tidak mendapatkan penghasilan seperti biasanya karena mereka berada dalam

proses rehabilitasi. Hal ini tentunya menjadi tanggung jawab pelaksana program

yaitu Dinas Sosial Kota Serang yang seharusnya memberikan kebutuhan baik itu

konsumsi ataupun materi, karena bagi para gelandangan dan pengemis yang

memiliki keluarga tentunya memiliki tanggungan tersendiri untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya. Hal ini disampaikan oleh Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna

Sosial, sebagai berikut:

“Kalo di tempat rehabilitasi si dikasih kebutuhan secara


maksimal, itu kalo di tempat rehabilitasi, ya kalo cuma pembinaan
aja belom maksimal. Kalo sampe pendidikan keterampilan,
termasuk juga bantuan peralatannya itu udah maksimal. Ya
maksimal sertus persen si belum. Artinya udah maksimal aja, kalo
misalkan dikasih bantuan seratus persen mah dia juga harus di
kasih modal yang sepuluh juta itu.” (wawancara dengan I1.1 di
Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan penjelasan dari I1.1 dapat diketahui bahwa kebutuhan yang

diberikan oleh Dinas Sosial kepada para gelandangan dan pengemis sudah

diberikan secara maksimal jika dalam proses perehaban namun jika masih dalam

tahapan pembinaan kebutuhan yang diberikan belum maksimal. Walaupun sudah

diberikan bantuan kebutuhan yang maksimal dalam proses rehablitasi namun


124

bantuan yang diberikan 100%, karena bisa dikatakan 100% jika para gelandangan

dan pengemis diberikan bantuan 10 juta per orang untuk dijadikan modal usaha.

Hal yang serupa diungkapkan oleh I1.2 yang menyatakan bahwa :

“kalo kebutuhan si kita kasih ya, kaya kemaren ya anak


yang pengen masuk pesantren, kita kerjasama sama Kemenag kita
masukin pesantren. Eh baru dua hari si anak itu di jalan lagi
alesannya si pengen sarung, pengen Al-quran peci ibu turutin
pengennya kaya gimana coba, ibu kumplitin deh kita dateng ke
orang tuanya kita turutin si anak itu maunya apa. Ya karena kita
pengennya itu si anak ini bisa gitu ga ke jalan lagi” (wawancara
dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

Hal senada pun diutarakan oleh I3.1 yang menyatakan bahwa:

“Terpenuhi, kita kasih makan. kalo kita kan pembinaannya


di luar panti, nah kalo di dalem panti terpenuhi kebutuhannya
karenakan disana sekitar sebulan yah, seperti sarapan pagi di situ
terus juga dalam pemberian materi juga di kasih disana.”
(wawancara dengan I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18
Desember 2017).

Pendapat di atas juga diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh

I4.1 sebagai berikut :

“Nah kan kita melakukan pembinaan selama tiga hari.


Kebutuhan mereka juga alhamdulillah terpenuhi, mereka juga
dilatih dan dibina di anyer di hotel artinya mereka juga
membutuhkan refresing lah ya.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan keterangan seluruh informan peneliti dapat menyimpulkan

bahwa kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah dipenuhi walaupun tidak

dipenuhi 100% karena memang anggaran yang adapun belum memadai. Para

gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan hanya pada proses perehaban saja,

dalam proses perehaban mereka diberikan makan setiap harinya, diberikan


125

pelatihan, dan diberikan peralatanya juga jika di dalam program rehabilitasi

tersebut. Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan kebutuhan sesuai yang

apa yang mereka inginkan seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas Sosial Kota

Serang pun memasukannya ke pesantren. Dinas Sosial Kota Serang sudah

memenuhi kebutuhan para gelandangan dan pengemis walaupun belum memenuhi

kebutuhan secara maksimal dan belum total 100%.

4.3.2.2 Sumber Daya (Resources)

Suatu kebijakan publik dapat terimplementasi dengan baik apabila

didukung oleh sumber daya yang sehat dan memadai baik itu sumber daya

manusia, sumber pendanaan, maupun sarana dan prasarana. Apabila tidak

didukukng oleh sumber daya yang cukup, hal ini tentunya akan berpotensi pada

kegagalan dalam pengimplementasiannya karena pastinya banyak masalah yang

akan datang baik dari internal maupun eksternal. Oleh karenanya suatu kebijakan

haruslah ditunjang oleh sumber daya yang memadai.

Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan

oleh Dinas Sosial Kota Serang juga tentunya perlu didukung oleh sumber daya

yang memadai guna mensukseskan pengimplementasian program tersebut.

Namun pada kenyataannya dalam program ini belum ditunjang oleh sumber daya

yang kuat baik itu sumber daya manusia maupun dana. Hal ini seperti

disampaikan oleh Bapak Heli selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna

Sosial, yang menyatakan bahwa:

“Seperti yang udah jelasin tadi perbidang aja belom punya


staf, kasie ini aja kan ga punya staff. Ya minimal punya satu lah
staff.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
126

Senada juga seperti apa yang disampaikan oleh I1.2 sebagai berikut :

“Memangnya juga Dari SDMnya juga kita kekurangan ya,


sehingga tidak mencukupi tenaga untuk kita bersosialisasi di
jalan.”(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11
Januari 2018).

Pendapat yang lain juga disampaikan oleh Kepala Bidang Penegak hukum

Daerah Bapak Hj. Juanda menyatakan bahwa :

“yang saya jelasin tadi SDM di kita kekurang dari segi


jumlahnya secara kuantitas kita kekurangan.” (wawancara dengan
I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh seluruh informan peneliti dapat

menyimpulkan bahwa sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Sumber daya

manusia yang dimiliki Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Kota

Serang kurang mencukupi karena di seksi tersebut belum memiliki staff satu pun,

sama halnya juga dengan Seksi Rehablitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang

yang belum memiliki staf. Sehingga kekurang sumber daya manusia juga

membuat seksi-seksi tersebut sulit untuk mensosialisasikan kepada pada

gelandangan dan pengemis. Untuk Satpol PP juga merasa kekurangan dari segi

jumlah sumber daya manusia namun untuk kualitas dari sumber daya manusia

dari Satpol PP dirasa sudah cukup memadai dan bisa dibilang sudah baik.

Kemudian untuk anggaran dalam program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini yaitu :

“Dana juga menurut saya mah kurang memadai, tempat


rehabilitasi juga kan gada kita mah. Jadi terkadang kita kirim ke
127

Dinsos provinsi buat direhab.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas


Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Senada dengan pernyataan diatas I1.2 juga berpendapat:

“Dan untuk dana sendiri, kita di situlah kelemahannya


memang minim sekali dari pendanaannya ya kurang mendukung
kalo dari dana. Ya tetapi walau minimnya pendanaan di situ kita
ya minimal kita bisa ngebantu mereka walau sedikit jumlahnya.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).

Pendapat seupa juga disampaikan oleh I2.1 sebagai berikut:

“Nah untuk dana juga kita juga kekurangan tadi juga saya
udah jelasin kalo misalkan kita buat kontrol-kontrol gitukan butuh
uang transport, buat orang yang kontrol juga kan butuh buat untuk
ngopi-ngopi mah.” (wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP
Kota Serang, 27 November 2017).

Pendapat diatas diperkuat oleh I3.1 yang berpendapat :

“Kalo dibilang memadai, ya kayanya belum memadai si


karena kita ingin targetnya banyak kuotanya yang ingin dilatih ya.
Itu juga untuk tahun depan si kayanya gada program ini karena
kan APBD sekarang terpangkas untuk prioritasnya ke sektor fisik
kaya infrasutruktur dan jalan atau apa gitu.”(wawancara dengan
I3.1 di kantor Dinas Sosial Provinsi Banten, 18 Desember 2017).

Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan di atas dapat disimpulkan

bahwa anggaran untuk menunjang program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini belum memadai. Bahkan rehabilitasi gelandangan dan pengemis

Dinas Sosial Provinsi Banten untuk tahun depan kemungkinan tidak ada karena

anggaran yang berasal dari APBD terpangkas oleh pembangunan untuk sektor

fisik seperti infrstruktur dan jalan.


128

Selain Sarana dan prasarana yang seharusnya menjadi penunjang untuk

suksesnya program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum memadai.

Hal tersebut separti apa yang disampaikan oleh I1.1 sebagai berikut:

“ya tadi itu kita belum memiliki tempat rehabilitasi untuk


para gelandangan dan pengemis. ya kita aja kantor dinas nya
statusnya masih ngontrak, ya istilahnya daripada buat tempat
rehabilitasi mending buat kantor dulu. Rumah singgah juga kan
kita belom punya.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota
Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan apa yang sudah disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa

sarana dan prasarana untuk menunjang program inipun belum memadai karena

tempat rehabilitasi dan rumah singgahpun Dinas Sosial Kota Serang belum ada.

Hal senadapun disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan :

“ya kita sendiri dinas sosial belum memiliki tempat pusat


rehabilitasi untuk para gepeng atau anjal ini di berikan semacam
pembinaan atau pelatihan apa gitu. Ya kita sendiri bingung ya,
kalo buat nampungnya itu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas
Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

ungkapan serupa juga diutarakan oleh I2.1 yang menyatakan bahwa :

“Nah terkadang kita bingung nih pas kita baru beres


ngejaring, si para gepeng ini mau di kemanain nih. Dinsos juga
belom punya tempat penampungan gitu. Semacem tempat buat
ngerehabnya juga belom ada.” (wawancara dengan I2.1 di kantor
Satpol PP Kota Serang, 27 November 2017).

Berdasarkan keterangan dari informan di atas dapat disimpulkan bahwa

sarana dan prasarana sebagai penunjang program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang belum memadai. Dinas

Sosial Kota Serang sendiri belum mempunyai sebuah tempat untuk pusat
129

rehabilitasi para gelandangan dan pengemis. Rumah singgah juga yang

seharusnya digunakan untuk singgah ataupun untuk tempat penampungan para

gelandangan dan pengemis yang terjaring pun belum ada. Sehingga pihak Satpol

PP yang bertugas menjaring para gelandangan dan pengemis sering kebingungan

untuk menampungnya.

4.3.2.3 Keputusan Lingkungan (Decision Environment)

Suatu putusan dari kebijakan publik tidak terlepas dari adanya pengaruh

dari lingkungan kebijakan itu sendiri. Karena suatu kebijakan publik merupakan

satu kesatuan dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan juga saling

mempengaruhi. Pengaruh lingkungan kebijakan akan berdampak juga pada

keberhasilan kebijakan itu sendiri karena lingkungan kebijakan merupakan faktor

pendukung sekaligus faktor penghamabat dari suatu kebijakan. Keputusan

lingkungan akan mempengaruhi suatu kebijakan publik karena para pelaku

kebijakan yang baik akan melihat apa yang menjadi tuntutan dari lingkungan

tersebut, dan juga melihat pada sisi luar kebijakan untuk mempertahankan

eksistensi dan juga untuk keberhasilan dari kebijakan itu sendiri. Hal ini patut

dilakukan kerena terkadang para pembuat keputusan sering kali tidak tepat dalam

membuat suatu keputusan.

Dalam penelitian ini keputusan lingkungan juga dapat memberikan

pengaruh pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan

oleh Dinas Sosial Kota Serang. Situasi yang berada di luar kontrol dari lingkup

Dinas Sosial Kota Serang dapat mempengaruhi putusan atau tindakan yang di

lakukan para pembuat keputusan. Dalam situasi seperti ini pengawasan sangatlah
130

penting dalam proses pelaksanaan kebijakan untuk mengetahui apakah kebijakan

tersebut berjalan dengan baik atau tidak, serta mengatasi masalah-masalah yang

terjadi, dan juga untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Tidak terkecuali

dengan penyelenggaraan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang

dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang ini, dan pendapat diungkapkan oleh

Bapak Heli selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial sebagai berikut:

“Kalo pengawasan dari kita si cuma turun ke jalanan terus


ngontrol gepeng itu masih banyak ga atau yang kemaren kita
rehab itu turun lagi ga ke jalan, kalo misalkan jalan-jalan sepi
dari gepeng kan berarti berhasil program kita ini.” (wawancara
dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan apa yang disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa

pengawasan yang dilakukan Dinas Sosial Kota Serang khususnya pada Seksi

Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial yaitu dengan turun ke jalanan untuk mengawasi

apakah para gelandangan dan pengemis masih banyak berada di jalan dan apakah

para gelandangan dan pengemis yang sudah direhab balik ke jalanan atau tidak.

Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengukur keberhasilan dari program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.

Kemudian pendapat lain juga di sampaikan oleh I1.2 yang berpendapat:

“ya memang pengawasannya kita melalui petugas pos


sahabat anak, apakah dia berfungsi atau mereka berjalan sesuai
dengan tupoksinya dan bisa di manfaatkan gitu. Juga
pengawasannya ke mereka yang dapet bantuan dari kita, kaya gitu
pengawasannya.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota
Serang, 11 Januari 2018).

Dari pendapat yang diutarakan oleh I1.2 di atas dapat di ketahui bahwa

pengawasan yang dilakukan dengan mengawasi fungsi dari petugas pos sahabat
131

anak dan juga mengawasi para gelandangan dan pengemis yang menerima

bantuan, apakah sudah digunakan dengan semestinya atau tidak.

Namun pada pengawasan ini pihak Satpol PP tidak ikut terlibat selaku

penjaring atau perazia para gelandangan dan pengemis, pengawasan hanya

dilakukan oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang saja. Pihak Satpol PP hanya

mengawasi jika pihak Dinas Sosial membutuhkannya saja. Pihak Satpol PP

mengaku jika pengawasan di luar dari kewenangan dari Satpol PP. Hal ini seperti

apa yang di sampaikan oleh Bapak Hj. Juanda selaku Kepala Bidang Penegak

Hukum Daerah :

“Kita mah ga ikut mengawasi kan itu di luar kewenangan


dari kita, yang mengawasi program ini ya dinsos aja selaku
penanggung jawab program, kalo itu mah dari kewenangan kita,
kita ikut mengawasi kalo misalkan dinsos membutuhkan kita aja.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Namun berbeda halnya dengan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan

Serang yang dilibatkan dalam pengawasan dalam program rehabilitasi ini. Seperti

yang disampaikan oleh I4.1 :

“Untuk pengawasan kami dilibatkan, karena ketika gepeng


atau anak-anak jalanan kita sudah ada ketentuan tetep kita
kontrol, pengawasan kan gitu.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan dari seluruh informan dapat diketahui bahwa

pengawasan untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini hanya

dilakukan oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak Satpol PP sebagai

pihak yang merazia para gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan karena
132

memang bukan menjadi kewenangan dan pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya

di libatkan jika Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam pengawasan ini tenaga

kesejahteraan sosial kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam pengawasan.

Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang

yaitu dengan turun ke jalan untuk mengawasi para gelandangan dan pengemis

apakah masih banyak keberadaan mereka di jalan-jalan dan apakah para

gelandangan dan pengemis yang sudah direhab kembali ke jalanan atau tidak.

Serta pengawasan yang dilakukan juga dengan mengawasi para gelandangan dan

pengemis yang sudah mendapat bantuan dari Dinas Sosial yang melalui program

rehabilitasi ini digunakan dengan semestinya atau tidak. Hal ini dilakukan untuk

mengukur apakah program yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Serang

sudah berhasil atau belum.

Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh

Dinas Sosial Kota Serang bisa di katakan masih lemah baik dari segi anggaran,

maupun sarana dan prasarana. Masalah-masalah ini di dapat dari hasil

pengawasan dan juga evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial di setiap

tahunnya. Selain itu dari evaluasi yang di hasilkan pun Dinas Sosial Kota Serang

menginginkan adanya UPT (Unit Pelaksana Tugas) yang khusus menangani

gelandangan dan pengemis, sehingga Dinas Sosial nantinya membawahi UPT

tersebut. Memang, baik anggaran maupun sarana dan prasarana sudah menjadi

kendala utama dari tahun ke tahunnya. Disetiap evaluasi yang dilakukan oleh

pihak Dinas Sosial Kota Serang masalah ini selalu menjadi perhatian khusus. Hal
133

ini seperti apa yang di sampaikan oleh bapak Heli selaku kepala seksi rehabilitasi

sosial tuna sosial yang menyatakan bahwa :

“Ya yang harus dibenahi itu terutama tadi itu tempat


rehabilitasi atau UPT, harus ada secara khusus yang menangani
gepeng ini. Jadi Dinas Sosial itu membawahi yaitu UPT
evaluasinya itu. Selain itu juga yang tadi itu penambahan SDM,
kalo untuk anggaran mah itu udah jelas harus ada.” (wawancara
dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat yang sampaikan I1.2

sebagaimana berikut:

“Kalo kita mengevaluasi ya itu tadi, ibu suka mengevaluasi


kalo ada pertemuan-pertemuan baik di intern yang mana
melibatkan awal dari kita lihat dari sarana dan prasarana yang
selama ini belom ada buat pembinaannya, anggarannya juga kan
sedikit kurang mendukung. Selain itu juga kita membahas tentang
petugas pos sahabat anak, terus jumlah daripada kita pelaksanaan
penjaringan atau penjangkauan bukan termasuk razia kareba kalo
razia itu Satpol PP, terus selain itu juga dari lingkungan para
gepeng itu. Nih ada kepedulian ga nih lingkungan mereka
terhadap si gepeng ini di jalan. Dalam hal ini para gepeng masih
banyak tidak yang ada di jalanan.” (wawancara dengan I1.2 di
Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari 2018).

Dari pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan di atas peneliti

dapat memberikan kesimpulan bahwa hal yang di evaluasi dalam program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah dari segi sarana dan prasarana,

anggaran, dan juga sumber daya manusia yang belum memadai. Dinas Sosial

Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari petugas sahabat anak yang menangani

pengemis yang masih anak-anak atau yang sering di kenal dengan anak jalanan.

Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi bagaimana penjangkauan terhadap para

gelandangan dan pengemis, dan juga Dinas Sosial mengevaluasi kepedulian


134

lingkungan para gelandangan dan pengemis yang ada di jalanan. Dinas Sosial

Kota Serang juga menginginkan adanya unit pelaksana tugas (UPT) yang khusus

menangani masalah gelandangan dan pengemis ini.

4.3.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan)

Suatu kebijakan didasari dengan temuan-temuan yang ada dilapangan

berdasarkan analisa dan penelitian para ahli atau pakar dalam bidangnya. Suatu

pengetahuan sangatlah penting untuk suatu kebijakan khususnya pada perumusan

kebijakannya yang merupakan tahap awal dalam membuat suatu kebijakan.

Manfaat dari pengadopsian suatu pengetahuan untuk sebuah kebijakan adalah

untuk menjadikan kebijakan tersebut mampu mengobati masalah-masalah yang

terjadi di masyarakat dan menjadikan kebijakan tersebut menjadi berkualitas.

Sumber pengetahuan dalam penelitian ini terdiri atas tenaga ahli (professional),

keahliat (expertise), dan jaminan (guarantee).

4.3.3.1 Tenaga Ahli (Professional)

Tenaga ahli dalam hal ini merupakan seseorang yang dipercaya

memiliki kehalian atau kemampuan dalam menilai dan memberikan putusan

terkait program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Tenaga ahli sangatlah

dibutuhkan dalam perumusan dan juga pada pelaksanaannya, karena tenaga ahli

lah yang mengetahui bagaimana masalah-masalah yang terjadi yang nantinya

memberikan putusan terhadap perumusan program rehabilitasi ini. Dalam tenaga

ahli ini mencakup siapa saja yang terlibat dan menjadi aktor dalam perumusan dan

juga pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. berguna


135

untuk mengetahui bagaimana cara penanganan para gelandangan dan pengemis

yang sesuai dengan apa yang di rumuskan diawal.

Dalam penelitian ini peran Dinas Sosial khususnya pada seksi

rehabilitasi sosial tuna sosial dalam perumusan program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis, yang seperti disampaikan oleh I1.1 sebagai berikut:

“Ya kita berperan sebagai leading sectornya sebagai


penanggung jawabnya kita juga merumuskan dan juga jadi
pelaksananya. Di sini kan yang punya wewenangnya dinsos.”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Dalam pernyataan diatas dapat diketahui bahwa Dinas Sosial Kota

Serang berperan sebagai leading sector dan juga sebagai penanggung jawab

program yang bertugas dalam perumusan dan juga sebagai pelaksana program.

Pernyataan berikutnya juga disampaikan oleh I1.2 yang menyatakan :

“Ya kita merumuskan pertama dari kepala seksinya dulu


karena kan sesuai dengan tupoksinya, terus dengan kepala bidang,
selanjutnya ke kadin atau kepada dinas untuk disetujui atau tidak.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).

Dari pernytaan kedua informan di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas

Sosial berperan sebagai leading sector dan juga penanggung jawab program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Yang mana dalam merumuskannya yaitu

pertama dari kepala seksi rehabilitasi sosial tuna sosial, yang nantinya di
136

koordinasikan dengan kepala bidang dan selanjutnya diberikan kepada kepala

dinas untuk dimintai persetujuannya.

Dalam perumusan program ini pun tidak melibatkan pihak-pihak lain yang

peneliti rasa bisa memberikan masukan yang berguna dalam perumusan. Hal ini

seperti apa yang di sampaikan oleh Bapak Hj. Juanda selaku Kepala Bidang

Penegak Hukum Daerah Satpol PP (I2.1):

“Tidak, kami tidak ikut dalam perumusannya ya karena


kan itu diluar kewenangan kita, kalo memang membutuhkan
masukan dari kita baru kita berikan masukan-masukannya.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Selanjutnya pernyataan juga disampaikan oleh Bapak Hasanudin TKSK

Serang (I4.1):

“Kalo untuk perumusan tidak, artinya kan itu internal


dinas ya. Macem hal tahun ini apa nih, berapa anggaranya,
artinya itukan internal dinas ya.” (wawancara dengan I4.1 di kantor
Kecamatan Serang, 25 Januari 2018).

Dari pernyataan kedua informan di atas dapat diketahui bahwa Satpol PP

dan TKSK tidak terlibat dalam perumusan program rehabilitasi ini karena mereka

beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-masing dan itu ada urusan

internal Dinas Sosial Kota Serang.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses perumusan dalam

program ini, yaitu faktor pendukung dan penghambat dalam merumuskan

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Berikut pernyataan yang

disampaikan oleh I1.1 :


137

“Nah yang sudah dijelasin tadi kalo faktor yang


menghambatnya itu dari anggaranya itu sendiri belom memadai,
tempat pusat rehabilitasi juga kita belom ada, SDM juga kita
kekurangan. Kalo untuk faktor pendukungnya kita bisa kerjasama
dengan pihak-pihak terkait kaya dinsos provinsi kita juga bisa
kerjasama dengan balai yang ada dibekasi itu buat ngerehabnya”
(wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November
2017).

Berikutnya Pendapat yang lain juga disampaikan oleh I1.2 :

“Faktor penghambatnya yang kita rasain itu ya dari


anggaran itu sendiri ibu rasa kita lemah dari situ. Untuk faktor
pendukungnya ya hanya dari dinas-dinas atau instansi terkait saja
kita bisa bekerjasama.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).

Berdasarkan pernyataan dari kedua informan di atas dapat diketahui bahwa

yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama dengan

pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti Dinas Sosial

Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga dinas-dinas

atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat utamanya

adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu sendiri yang kurang memadai,

belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum memadainya Sumber

Daya Manusia yang dimiliki Dinas Sosial Kota Serang.

4.3.3.2 Keahlian (Expertise)

Keahlian merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

menghasilkan kebijakan yang berkualitas guna mengentaskan masalah-masalah

yang terjadi. Maka dari itu sangatlah diperlukan keahlian dalam menangani

permasalahan dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis.


138

Dalam penelitian ini keahlian dari para ahli seperti yang disampaikan

oleh I1.1 bahwa perumusan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

ini telah menghasilkan :

“Ya kalo misalkan kita sudah disetujui sama kepala dinas


maka kita laksanakan programnya. Hasilnya ya itu tadi kita bina,
kita kasih pelatihan, kita kasih juga kebutuhannya walaupun tidak
maksimal.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang,
22 November 2017).
Berikutnya pendapat juga disampaikan oleh I1.2 sebagai berikut:

“ya kalau dari rumusan program ini si yang pastinya ya


yang dihasilkannya itu langkah-langkah kita apa aja yang akan
kita lakuin pas pelaksanaannya, bagaimana anggarannya,
bagaimana kita memberi pembinaannya, bagaimana kita
koordinasinya dengan pihak-pihak terkait, kaya gitu kan.”
(wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial Kota Serang, 11 Januari
2018).

Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan di atas

dapat diketahui bahwa yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan langkah-langkah yang akan

dilakukan dalam pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,

merencanakan bagaimana memberikan pembinaan serta melakukan koordinasi

dengan pihak-pihak terkait.

4.3.3.3 Jaminan (Guarantee)

Dalam penelitian ini jaminan yang dimaksud adalah kepastian yang

diberikan dari perumusan pada keberhasilan kebijakan dan juga bagaiamana

keterlibatan berbagai pihak dalam perumusan kebijakan sudah dapat

menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi atau belum karena pada dasarnya

keberhasilan suatu kebijakan salah satunya ditentukan oleh bagaimana


139

perumusannya. Maka dari itu perumusan kebijakan tersebut haruslah bisa menjadi

patokan awal yang baik dari pengimpelementasian kebijakan tersebut.

Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini jaminan

yang diberikan dari perumusan program ini yaitu dengan dapat merubah mental

dan juga cara berpikir (mindset) para gelandangan dan pengemis agar berhenti

dari apa yang mereka lakukan selama ini karena hal itu telah melanggar peraturan

yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini seperti apa yang disampaikan

oleh Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial

Dinas Sosial Kota Serang:

“ya seperti yang udah di jelasin tadi kan kita kan membuat
program ini tujuannya pengenya mengentaskan kemiskinan
umumnya mah. Ya selain itu juga kita pengen menurunkan angka
atau jumlah gelandangan dan pengemis juga kita ingin merubah
mindsetnya lah biar ngga mengemis lagi kan secara logikanya
mah itu ga baik ya dilihat dari sisi agama dan juga hukum yang
ada pun melarang mengemis itu. Nah untuk melakukan pembinaan
dan keterampilan kita ga bisa berdiri sendiri dong, kita juga
membutuhkan dari OPD lainnya juga misal Dinas Pendidikan,
Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kependudukan.” (wawancara dengan
I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22 November 2017).

Berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh I1.1 dapat diketahui bahwa

jaminan yang diberikan dalam rumusan program rehabilitasi ini adalah dengan

dapat menurunkan jumlah para gelandangan dan pengemis dan juga bisa merubah

mental dan mindset para gelandangan dan pengemis agar menghentikan aktivitas

menggelandang dan mengemisnya. Pihak Dinas Sosial juga tidak bisa berdiri

sendiri dalam pelaksanaan programnya dan Dinas Sosial berkoordinasi dengan


140

OPD lainya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas

Kependudukan.

Senada dengan pernyataan di atas I1.2 juga menyatakan:

“Dari rumusan ini saya berharap dalam pelaksanaannya


kita dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota
Serang ini. Serta para gelandangan dan pengemis bisa mandiri
cari nafkahnya ya bisa dari berjualan. Bisa juga dari dia kerja di
bengkel atau apa gitu.” (wawancara dengan I1.2 di Dinas Sosial
Kota Serang, 11 Januari 2018).

Berdasarkan pernyataan dari kedua informan di atas dapat diketahui bahwa

jaminan dari perumusan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini

adalah dapat mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Serang, dan

juga dapat merubah mental dan mindset para gelandangan dan pengemis untuk

lebih mandiri dengan membuka usaha atau juga dengan bekerja. Selain itu juga

dalam pelaksanaannya Dinas Sosial Kota Serang membutuhkan bantuan dari OPD

lain untuk membantu mensuksesnya program rehabilitasi ini.

4.3.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)

Sumber pengesahan (Sources Of Legitimation) dalam penelitian ini

adalah legitimasi dari pihak-pihak atau badan-badan yang berwenang dalam

menangani terkait rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Sumber pengesahan di

sini meliputi Witness, emancipation, world view. Dalam sumber pengesahan ini

termuat berbagai persepektif dari sudut pandang yang beragam dan mempunyai

nilai tersendiri dalam pandangannya tersebut. Yang mana terkadang suara-suara

tersebut selalu tersisihkan dan terabaikan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan

suatu kebijakan. Padahal dari persepektif dari beragam sudut pandang inilah yang
141

nantinya memberikan suatu aspirasi yang berguna dalam perumusan dan

penyelenggaraan suatu kebijakan.

4.3.4.1 Witness

Pembebasan (Witness) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

orang yang terkena efek atau dampak dari adanya program rehabilitasi ini. Karena

orang yang terkena dampak ini dapat memberikan aspirasi dalam program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Berikut adalah aspirasi yang

disampaikan oleh seorang pengemis yang peneliti temukan di lapangan (I9 .1):

“Ya saya si pengenya mah pemerintah tuh lebih merhatiin


kitanya ya, ngasih lah modal usaha, kita juga bakal bikin usaha.
Ga perlu si menurut saya mah rehab-rehab gitu.” (wawancara
dengan I9.1 di Mesjid Agung Kota Serang , 30 Januari 2018).

Pendapat juga disampaikan oleh pengemis kota serang I9.2 lainnya,

sebagai berikut:

“Ya kita mah gimana ya, mau berenti ngemis juga nantinya
ngga ada buat makan. Maunya pemerintah tuh ngasih kita bantuan
ya ngasih modal buat kita bikin usaha, harusnya pemerintah peduli
sama kita.” (wawancara dengan I9.2 di Indomaret dekat Untirta , 30
Januari 2018).

Berdasarkan pendapat dari seluruh informan diatas dapat diketahui bahwa

para gelandangan dan pengemis menginginkan perhatian dari pemerintah untuk

memberikan bantuan kepada para gelandangan dan pengemis agar bisa membuka

usaha.

Para gelandangan dan pengemis pastinya mempunyai alasan mengapa

mereka menggelandang dan mengemis. Tentunya ada faktor-faktor kenapa

mereka melakukan hal demikian baik faktor ekonomi, faktor mentalitas dari
142

individu, maupun faktor lingkungan yang mempengaruhi cara berpikirnya.

Berikut adalah faktor yang mempengaruhi mereka menjadi gelandangan dan

pengemis:

“gada beras di rumahnya, kita kaya gini juga buat makan,


buat sehari-hari. Gimana lagi kalo bukan dengan kaya gini mah,
sekarang apa-apanya geh susah.” (wawancara dengan I9.1 di
Mesjid Agung Kota Serang , 30 Januari 2018).

Pendapat lain juga disampaikan oleh I9.2, sebagai berikut:

“cari kerjaan susah, cari duit juga susah kemana lagi kita
nyari buat makan, saya ngeliat temen saya juga sama mengemis,
enak di jalan bisa dapet duit.” (wawancara dengan I9.2 di
indomaret dekat untirta , 30 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan seluruh informan dapat diketahui bahwa yang

menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan pengemis adalah faktor

ekonomi. Mereka beranggapan bahwa dengan cara mengemis ini mereka dapat

dengan mudah mendapatkan uang daripada harus bekerja.

4.3.4.2 Emancipation

Emansipasi (Emancipation) pada umumnya digambarkan sebagai

diberikannya persamaan hak-hak tanpa membedakan gender atau golongan

tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini emansipasi dalam proses

penyelenggaraan program rehabilitasi ini tidak membeda-bedakan pemberian hak-

hak kepada para gelandangan dan pengemis. Namun dengan kondisi anggaran

yang tidak memadai dan juga ketidak mauan para gelandangan dan pengemis

untuk direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab oleh Dinas Sosial Kota

Serang ataupun dikirim Panti Sosial. Hal ini seperti disampaikan oleh bapak Heli

selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (I1.1):


143

“Kita ga membeda-bedakan setiap gepeng yang mau kita


rehab, namun kita menyeleksi para gepeng itu dia mau ngga nih
kita rehab gitu. Dengan keterbatasan dana yang kita miliki juga ga
semuanya terkadang kita rehab, dari dinas provinsi juga kan
mintanya 10 orang saja disitu kita pilih siapa saja yang kita
kirim.” (wawancara dengan I1.1 di Dinas Sosial Kota Serang, 22
November 2017).
Berdasarkan penjelasan dari I1.1 peneliti memberi kesimpulan bahwa tidak ada

perbedaan dalam pemberian hak-hak kepada para gelandangan dan pengemis

dalam proses perehaban.

Dalam proses rehabilitasi ini tentunya harus ada peran serta masyarakat

untuk mengadukan atau melaporkan bila mana ada prilaku penyakit masyarakat

dalam hal ini gelandangan dan pengemis, dan ada juga pihak yang dianggap

memiliki kewenangan untuk melayani dan menangani pengaduan di dalam

program rehabilitasi ini. Dalam hal ini pihak yang berwenang untuk menangani

pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis dalam program rehabilitasi

ini adalah Satpol PP sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Perda Kota Serang

nomor 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat pasal 15 ayat (2) poin c yang

berbunyi:

“Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila

mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit

masyarakat.”

Berdasarkan hal di atas bahwa masyarakat harus melaporkan kepada

pertugas yang berwenang jika ada atau menemukan perbuatan dan prilaku

penyakit masyarakat yang di dalamnya termasuk juga para gelandangan dan


144

pengemis untuk hal ini adalah Satpol PP. Hal ini juga seperti apa yang

disampaikan oleh I2.1:

“Sebetulnya perda mengatakan setiap warga masyarakat


yang ada di wilayah Kota Serang wajib melapor apabila
ditemukan hal-hal apa itu namanya, ya itulah gelandangan dan
pengemis yang mengganggu ya termasuk juga yang menjurus ke
kriminalitas, namun sampai detik ini belom ada pelaporan kepada
kami. Ya minimum ke saya ada laporan. Laporannya jangan cuma
ngomong tapi tertulis bahwa di anu terjadi anu kan gitu.”
(wawancara dengan I2.1 di kantor Satpol PP Kota Serang, 27
November 2017).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa yang mempunyai

wewenang untuk melayani dan menangani pengaduan terkait masalah

gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP. Diperlukannya peran serta

masyarakat jika menemukan tindakan prilaku yang menjurus kepada penyakit

masyarakat untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam bentuk tertulis yang mana

waktu dan tempatnya haruslah jelas.

4.3.4.3 World View

World View (pandangan dunia), yaitu pandangan secara universal

terhadap persoalan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dari

berbagai persepektif yang beragam seperti dari unsur keagamaan yang mana

mempunyai nilai-nilai nya masing-masing dalam melihat sesuatunya, dan juga

persepektif media yang mana berperan sebagai pemberi informasi melalui

pemberitaan yang dimuatnya. Dimana dalam persepsi tersebut dapat memberikan

sudut pandang tersendiri yang dapat memberikan warna dalam menilai

penyelenggaraan kebijakan yang justru tidak dapat ditemukan dalam lensa

pemerintahan karena suara-suara dari persepektif tersebut selalu tersisihkan.


145

Berikut adalah persepsi dari Bapak Asaji selaku Humas Vihara

Avalokitesvara Banten:

“Gelandangan dan pengemis jika dikait kan dengan


kondisi dari agama budha, itu jelas itu kenapa dia jadi
gelandangan, jadi pengemis, menurut pandangan agama Budha
seseorangan menjadi demikian karena masa lampaunya dan masa
sekarang dia kurang terdana jadi otomatis dia terlahir menjadi
gelandangan dan pengemis. Kedua, kenapa di jadi gelandangan,
jadi pengemis, itu pada kehidupan lampaunya di seorang manusia
menelantarkan orang tuanya.” (wawancara dengan I6.2 di Vihara
Avalokitesvara Banten, 15 Januari 2018).
Pendapat juga disampaikan oleh Bapak Stefanus selaku Sekretaris Gereja

Kristus Raja Serang :

“Untuk gelandangan dan pengemis menurut saya suatu


kondisi dimana dia itu malas buat bekerja atau usaha sehingga
tanpa dia mengeluarkan tenaga atau mohon maaf dengan dia
menadahkan tangannya dia mendapatkan uang. Sebagai contoh
ada salah satu orang dia ketangkep ternayata dia punya
pembakaran kapur, dan sampai sekarang begitu dia tertangkap
terus di masukan ke panti dia balik lagi kejalan.” (wawancara
dengan I6.3 di Sekretariat Gereja Paroki Serang, 29 Januari 2018).

Pendapat lain juga disampaikan oleh Ustad Gofur selaku tokoh agama

dari Kampung Pencancangan yang berpendapat bahwa :

“Di agama islam sendiri mengemis itu diharamkan


hukumnya, meminta-minta sehingga menjadikan mengemis itu
dijadikan pekerjaan dalam mencari rezeki. Sangatlah dilarang
orang meminta-minta. Namun islam selalu menganjurkan untuk
sedekah kepada orang yang fakir dan miskin, nah disini
masalahnya gelandangan atau pengemis bener ngga dia itu orang
yang miskin, kan kita ngga gatau ya. Banyak juga kan ya pengemis
taunya punya pabrik batako, punya toko segala macem. Nah kita
niatinnya aja buat sedekah dan jadi pahala juga buat kita.
Banyak.” (wawancara dengan I6.1 di Rumah ustad Gofur, 15
Januari 2018).
146

Berdasarkan pernyataan informan di atas dapat diketahui bahwa semua

pandangan dari agama Islam, Katolik dan Budha memandang bahwa yang

dilakukan oleh gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan tidak boleh

dilakukan karena hal itu mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau

berusaha dengan cara yang benar. Dalam agama budha sendiri orang yang

menjadi gelandangan dan pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa

sekarang orang tersebut tidak mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali

menjadi gelandangan dan pengemis. Selanjutnya, pada kehidupan lampaunya

orang tersebut menelantarkan orang tuanya. Menurut pandangan pribadi dari

seorang yang beragama katolik yaitu Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang

beranggapan bahwa para gelandangan dan pengemis ada ciri dari orang yang

malas dan tidak mau berusaha untuk mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan

lebih terhormat walaupun pada kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin.

Sedangakan menurut pandangan dari agama islam bahwa kegiatan mengemis atau

meminta-minta itu diharamkan hukumnya. Namun dalam islam dianjurkan

umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada fakir miskin. Namun banyak

biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang menjelaskan bahwa di

dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin. Dengan hal ini para

gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan dalih tersebut.

Pandangan lain mengenai masalah gelandangan dan pengemis ini

dikemukakam oleh masyarakat Kota Serang, sebagai berikut :

“Menurut saya kalo namanya pengemis itu dia itu orang


yang males kerja, banyak kan yang masih bisa kerja malah ngemis
minta-minta, padahal kalo dia mau berusaha mah ya bisa dapet
kerja. Itu jelas mengganggu ya, apalagi yang di lampu-lampu
147

merah tuh kalo saya lagi bawa mobil tiba-tiba langsung tuh
muncul pengemis ini kan mengganggu ya untuk kesalamatan dia
juga, kalo ketabrak bagaimana coba kita juga yang nanti ribet
ya.” (wawancara dengan I7.1 di Komplek Taman Mutiara Indah, 13
Februari 2018).

Berdasarkan pendapat dari I7.1 dapat diketahui bahwa gelandangan dan

pengemis adalah seseorang yang malas bekerja dan tidak mau berusaha. Dari dari

aktivitas gelandangan dan pengemis ini sangatlah mengganggu masyarakat,

khususnya di lampu-lampu merah.

Dari akademisi juga memberikan pandangannya sebagai berikut:

“Gelandangan dan pengemis saya melihat ini di bagi dua


yah, pertama memang ada yang alamiah dan ada juga yang di
koordinir. Maksudnya alamiah itu saya melihat memang terjadi
dengan sendirinya dan mereka itu penduduk asli Serang. Nah yang
dikoordinir itu dia bukan penduduk dari Kota Serang melainkan
dari kota-kota lain yang mereka mencari penghidupannya di Kota
Serang. Yang alamiah ini memang mereka itu kondisinya miskin
dari keluarganya miskin. Kalo yang dikoordinir itu memang dia
datang dari luar Serang seperti dari Tangerang, Pandeglang.
Kalo yang di koordinir itu sebenernya mereka hanya penghidupan,
nah kalo yang di koordinir itu bukan tanggung jawab pemerintah
Kota Serang, yang alamiah memang menjadi kewajiban khususnya
dari Dinas Sosial Kota Serang sendiri. Ada beberapa faktor juga
seseorang menjadi pengemis pertama keluarga, kedua faktor
lingkungan. Menurut saya faktor keluarga yang menjadi faktor
utamanya ya, walaupun faktor lingkungan mempengaruhi. Dari
faktor keluarga juga kan ada ya faktor kemiskinan, juga ada faktor
pendidikan keluarganya jadi keluarganya itu tidak bisa
memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak
sekolah akhirnya mereka menjadi pengemis kan. Nah kalo faktor
lingkungan lebih ke faktor teman ya, mereka bergaul di situ,
dengan anak-anak jalanan, di situ juga ada berbagai motivasi ya
ada yang memang mereka untuk mencari uang, ada juga dia dapet
duitnya buat rokok, minum, buat ngobat. Nah ini yang menjadi
148

masalah ni.” (wawancara dengan I8.1 di Ruang Dekan Fisip


Untirta, 26 Februari 2018).

Pandangan dari I8.1 di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa

gelandangan dan pengemis dibagi menjadi dua yaitu alamiah dan juga

dikoordinir. Pengemis alamiah yang dimaksud adalah gelandangan dan pengemis

asli masyarakat Kota Serang yang miskin. Sedangkan yang dikoordinir adalah

gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar Kota Serang seperti dari

Tangerang maupun Pandeglang dan mereka mencari penghidupan di Kota Serang.

Faktor-faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis yaitu faktor keluarga,

faktor lingkungan dari gelandangan dan pengemis.

Selain itu partisipasi dalam penyelenggaraan rehabilitasi gelandangan

dan pengemis tersebut seperti yang disampaikan oleh Bapak Asaji selaku humas

Vihara Avalokitesvara Banten, sebagai berikut :

“Untuk terlibat langsung dalam programnya si kami tidak


terlibat tidak fokus ke gelandangan dan pengemisnya, tetapi kita
vihara mempunyai program membentuk sebuah puskesmas hanya
dengan bayar sepuluh ribu periksa apapun gratis untuk semua
warga. Jadi kita mengarah ke yang laen, kalo misalkan mereka
sehatkan minimal mereka bisa mencari-cari nafkah, kalo misalkan
mereka bisa mencari nafkah kan mereka tidak perlu menjadi
pengemis. jadi arahnya juga kesana kan.” (wawancara dengan I6.2
di Vihara Avalokitesvara Banten, 15 Januari 2018).

Pendapat lain juga disampaikan oleh I6.3 mengenai keterlibatannya

dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini:

“Sebenernya kami tidak terlibat dalam rehabilitasi ini tapi


kami ada program seperti penyaluran dana yang dipotong dari
gaji yang disalurkan ke lembaga tertentu yang jelas juga kan. Kita
juga ada program penyantunan kepada yatim piatu. Kalo untuk
149

bakti sosial biasanya anak-anak muda yang melakukannya, anak-


anak muda itu dia masak di sini, pagi-pagi mereka memberikan
kepada tukang becak.” (wawancara dengan I6.3 di Sekretariat
Gereja Paroki Serang, 29 Januari 2018).

Berdasarkan penjelasan seluruh informan dapat diketahui bahwa

keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara Avalokitesvara Banten dan Gereja

Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung. Namun keduanya memiliki

programnya masing-masing seperti vihara yang memiliki program dengan

membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar yang bertujuan untuk melayani

masyarakat dari sisi kesehatan. Sedangkan dari Gereja Paroki Raja Serang

membuat program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke lembaga teruntu

untuk disalurkan lagi kepada yang membutuhkannya. Selain itu juga ada program

menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial yang dilakukan oleh para

pemuda.
150

4.4 Pembahasan

Pembahasan merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta yang peneliti

dapatkan di lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan. Dalam

penelitian ini Peneliti menggunakan teori boundary categories dari critical system

thinking yang meliputi sumber motivasi, sumber kekuatan, sumber pengetahuan,

sumber pengesahan.

4.4.1 Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)

Sumber motivasi dalam penelitian ini merupakan sebagai kontruksi dasar

dari Program Rehabilitasi Gelandangan dan Pengemis yang dilakukan oleh Dinas

Sosial Kota Serang yang meliputi pihak yang terlibat dalam pengambilan

keputusan, tujuan kebijakan, dan ukuran perbaikan. Sumber motivasi pada

penelitian ini bisa dibilang belum maksimal dan juga penyelenggaraannyapun

belum optimal.

Peneliti menemukan beberapa temuan di lapangan antara lain: Pada aspek

stakeholder (pihak yang terlibat) bahwa pihak yang memproduk program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah Dinas Sosial Kota Serang,

khususnya Bidang Rehablitasi Sosial pada Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial

sekaligus menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam program ini. Selain itu

yang menjadi pelaksana dari pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini Dinas Sosial Kota Serang. Serta pihak-pihak yang terlibat dalam

pelaksaan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Serang yang bertugas untuk menjaring atau merazia para

gelandangan dan pengemis, Dinas Pendidikan Kota Serang yang memberikan


151

pendidikan formal untuk mengadakan program sekolah paket, Dinas Kesehatan

yang memberikan pelayanan kesehatan bagi para gelandangan dan pengemis yang

mempunyai masalah kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Serang yang memberikan identitas bagi para gelandangan dan pengemis yang

belum memiliki identitas, Dinas Tenaga Kerja Kota Serang yang memberikan

pelatihan keterampilan pada para gelandangan dan pengemis, bahkan juga

kepolisian yang ikut terlibat untuk menangani anak jalanan yang berbuat kriminal.

Sehingga bisa dibilang pihak-pihak tersebutlah yang memberikan andil dalam

proses penangannya dan proses perehabannya walaupun pada kenyataannya

koordinasi yang dilakukan belum cukup optimal. Dinas Sosial Kota Serang dalam

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis merupakan pihak yang

berwenang untuk menyelenggrakan program ini sebagaimana yang dimaksudkan

dalam Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,

Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat pasal 18 ayat 1 yang

berbunyi :

“Guna mengefektifkan pelaksanaan di lapangan, penyiapan sarana


dan prasarana untuk pelaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17, dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi Walikota
atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas, pokok dan
fungsi di bidang sosial.”

Berdasarkan isi dari pasal 18 ayat 1 dijelaskan bahwa pelaksanaan pembinaan

dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi walikota atau satuan kerja perangkat

daerah (SKPD) atau sekarang yang lebih dikenal organisasi perangkat daerah

(OPD) yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi di bidang sosial, dan yang

dimaksud adalah Dinas Sosial Kota Serang.


152

Pada aspek tujuan bisa di bilang sudah cukup baik, yang mana tujuan dari

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis tersebut yaitu untuk mengurangi

jumlah gelandangan dan pengemis tersebut dan juga merubah prilaku dan mindset

para gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,

memberikan keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan pengemis

agar mereka mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan

dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan dan juga mereka bisa

mencari nafkah dengan tidak meminta-minta.

Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya memiliki

sasaran yang ingin dicapainya. Dan yang menjadi sasaran dari program rehablitasi

gelandangan dan pengemis ini yaitu para gelandangan dan pengemis.

Dibuatnya program rehabilitasi gelandangan dan pengemis oleh Dinas

Sosial Kota Serang pastinya akan berdampak pada kelompok sasaran dari

program ini. Kelompok sasaran yang terkena dampak adalah para gelandangan

dan pengemis. Maka dari itu program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini

haruslah memiliki dampak yang baik yaitu dengan berkurangnya jumlah ataupun

tidak adanya gelandangan dan pengemis di jalan-jalan ataupun di tempat-tempat

pusat keramaian sehingga masyarakat juga ikut merasakan kenyamanan,

keindahan, dan kerapihan.

Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini tentunya

memiliki kendala-kendala yang dihadapi. Kendalanya dalam program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis tersebut adalah SDM yang kurang memadai, ada juga

dari tempat penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
153

kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi perangakat

daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran

serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang melarang memberikan

uang pada pengemis.

Dari kendala-kendala yang ada tentunya ada pihak yang bertanggung

jawab dalam menangani permasalahan tersebut dan yang bertanggung jawab atas

masalah-masalah yang terjadi dalam program rehablitasi gelandangan dan

pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial Kota Serang sebagai penanggung jawab

program, namun seharusnya tidak hanya Dinas Sosial Kota Serang saja yang

bertanggung jawab seluruh elemen masyarakat juga harus memiliki rasa

bertanggung jawab untuk ikut andil dalam program ini dengan tidak memberi

apapun kepada gelandangan dan pengemis. Selain itu instansi-instansi terkait juga

harus mempunyai rasa tanggung jawab dalam menangani masalah yang ada.

Pihak yang tertanggung jawab tentunya memiliki cara untuk mengatasi

masalah-masalah yang terjadi, upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat

diatasi dengan baik, sehingga kebijakan dapat berjalan dengan semestinya. Juga

dengan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini pihak Dinas Sosial

Kota Serang tentunya memiliki upaya-upaya yang dilakukan agar masalah dapat

teratasi. Upaya yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab dalam

mengatasi masalah yang terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya

Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang membentuk sebuat satuan tugas

(Satgas) atau Petugas Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam menangani

para gelandangan dan pengemis. Hampir sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol
154

PP melakukan perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli yang

sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam mengatasi masalah anggaran mereka

mengirimkan para gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial Provinsi

Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang dilakukan Satpol PP untuk

mengatasi anggaran adalah sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya

melakukan kontrol di jalanan.

Selanjutnya kebijakan pasti memberi pengaruh terhadap kelompok yang

menjadi sasaran dari suatu kebijakan. Dalam program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis, program ini cukup memberikan pengaruh terhadap kelompok

sasaran yaitu para gelandangan dan pengemis. Program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis ini memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan pengemis,

karena dalam program rehabilitasi ini memberikan keterampilan dan keahlian

yang nantinya diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan pengemis

untuk bisa menjadi mandiri dan lebih produktif, sehingga tidak harus kembali lagi

ke jalanan.

Pada aspek ukuran perbaikan atau tolak ukur pada dasarnya dijadikan

sebagai penilaian seberapa jauh kebijakan itu berhasil untuk menjadi solusi atas

masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat. Ukuran perbaikan dapat

ditinjau dari seberapa jauh nilai-nilai yang ada telah mempengaruhi suatu

kebijakan. Dengan adanya ukuran perbaikan ini berguna untuk perbaikan

program di masa yang akan datang. Tolak ukur keberhasilan dari program ini

adalah berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya.

Kemudian tercapainya jumlah para gelandangan dan pengemis yang ingin direhab
155

dari jumlah yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para gelandangan dan

pengemis ini sadar dan tidak balik-balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari

masyarakat untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan pengemis. Namun

jika melihat pada data yang ada di lapangan dan membandingkannya dengan tolak

ukur keberhasilan yang telah dipaparkan di atas menjelaskan bahwa program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum berjalan baik atau bisa di bilang

belum berhasil. Melihat jumlah gelandangan dan pengemis yang meningkat di

setiap tahunnya seperti data berikut:

Tabel 4.5

Jumlah Gepeng tahun 2016 dan 2017 Kota Serang

Jumlah Gelandangan dan Pengemis

Gelandangan Pengemis

2016 2017 2016 2017

26 45 137 183

Berdasarkan data dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2016

jumlah gelandangan yang terdata berjumlah 26 dan meningkat di tahun 2017

menjadi 45. Sedangkan pengemis yang terdata pada tahun 2016 berjumlah 137

dan pada tahun 2017 jumlahnya meningkat menjadi 183. Dengan peningkatan

jumlah gelandangan dan pengemis ini bisa di katakan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini belum berhasil.

4.4.2 Sources Of Power (Sumber Kekuatan)


156

Sumber kekuatan yang dimaksud disini adalah suatu sumber yang

menjadi kelebihan dari suatu kebijakan untuk mencapai kesuksesan dan

keberhasilan kebijakan. Peneliti menggambarkan sumber kekuatan dalam

penelitian ini sebagai kelebihan dari program Rehablitasi Sosial Gelandangan dan

Pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang, yang meliputi diantara

pembuat keputusan, sumber daya, dan keputusan lingkungan. Pada sumber

kekuasaan dalam penelitian ini dapat dikatakan belum baik terutama pada aspek

sumber daya baik dana maupun manusia yang dimiliki oleh Dinas Sosial Kota

Serang yang mana akan peneliti paparkan berikut ini:

Pada aspek pembuat keputusan (Decision maker) ini yang berhak

mengambil keputusan dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini

adalah masing-masing pihak yang mempunyai kewenangan. Seperti Dinas Sosial

Kota Serang yang menjadi penanggung jawab program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis ini mempunyai kewenangan untuk memutuskan apa yang akan

dilakukan. Satpol PP memiliki kewenangan dalam menjaring dan merazia para

gelandangan dan pengemis, maka dari itu Satpol PP memiliki kewenangan dalam

pengambilan keputusan untuk urusan merazia para gepeng.

Dalam pengambilan keputusan tentunya memiliki dasar hukum yang

jelas, karena kewenangan setiap pengambil keputusan didasari oleh dasar hukum

tersebut. Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat ini

bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan

kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang termasuk dalam kategori

penyakit masyarakat di Daerah. Namun berdasarkan temuan lapangan yang


157

peneliti dapatkan peraturan daerah tersebut belum cukup kuat guna mencegah

adanya gelandangan dan pengemis serta belum cukup kuat pula untuk menjadi

dasar hukum untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga

perlunya merevisi isi dari perda tersebut. Akan tetapi dalam mengganti perda

tersebut tidak mudah dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan perda

cukup mahal.

Dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini untuk

melakukan pelayanannya Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi

melakukan koordinasi dalam pelaksanaan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini. Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis

berupa pembinaan keagamaan, pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan

montir motor.

Dengan direhabnya para gelandangan dan pengemis ini tentunya para

gelandangan dan pengemis ini tidak mendapatkan penghasilan seperti biasanya

karena mereka berada dalam proses rehabilitasi. Maka dari itu Selama proses

perehaban berlangsung kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah dipenuhi

walaupun tidak dipenuhi 100% karena memang anggaran yang adapun belum

memadai. Para gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan hanya pada proses

perehaban saja, dalam proses perehaban mereka diberikan makan setiap harinya,

diberikan pelatihan, dan diberikan peralatanya juga jika di dalam program

rehabilitasi tersebut. Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan kebutuhan

sesuai yang apa yang mereka inginkan seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas

Sosial Kota Serang pun memasukannya ke pesantren. Dinas Sosial Kota Serang
158

sudah memenuhi kebutuhan para gelandangan dan pengemis walaupun belum

memenuhi kebutuhan secara maksimal dan belum total 100%.

Pada aspek sumber daya baik dana maupun manusianya dapat

dijelaskan bahwa sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Sumber daya

manusia yang dimiliki Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Dinas Sosial Kota

Serang kurang mencukupi karena di seksi tersebut belum memiliki staff satu pun,

sama halnya juga dengan Seksi Rehablitasi Sosial Anak Dinas Sosial Kota Serang

yang belum memiliki staf. Sehingga kekurang sumber daya manusia juga

membuat seksi-seksi tersebut sulit untuk mensosialisasikan kepada pada

gelandangan dan pengemis. Untuk Satpol PP juga merasa kekurangan dari segi

jumlah sumber daya manusia namun untuk kualitas dari sumber daya manusia

dari Satpol PP dirasa sudah cukup memadai dan bisa dibilang sudah baik.

Anggaran untuk menunjang program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

inipun belum memadai. Bahkan rehabilitasi gelandangan dan pengemis Dinas

Sosial Provinsi Banten untuk tahun depan kemungkinan tidak ada karena

anggaran yang berasal dari APBD terpangkas oleh pembangunan untuk sektor

fisik seperti infrstruktur dan jalan. Serta sarana dan prasarana sebagai penunjang

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini belum memadai. Dinas Sosial

Kota Serang sendiri belum mempunyai sebuah tempat untuk pusat rehabilitasi

para gelandangan dan pengemis. Rumah singgah juga yang seharusnya digunakan

untuk singgah ataupun untuk tempat penampungan para gelandangan dan

pengemis yang terjaring pun belum ada. Sehingga pihak Satpol PP yang bertugas
159

menjaring para gelandangan dan pengemis sering kebingungan untuk

menampungnya.

Pada aspek keputusan lingkungan ini meliputi pengawasan dan juga

evalusasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang. Dalam pengawasan

untuk program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini hanya dilakukan oleh

pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak Satpol PP sebagai pihak yang merazia

para gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan karena memang bukan

menjadi kewenangan dan pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya di libatkan jika

Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam pengawasan ini tenaga kesejahteraan

sosial kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam pengawasan.

Kemudian pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota

Serang yaitu dengan turun ke jalan untuk mengawasi para gelandangan dan

pengemis apakah masih banyak keberadaan mereka di jalan-jalan dan apakah para

gelandangan dan pengemis yang sudah direhab kembali ke jalanan atau tidak.

Serta pengawasan yang dilakukan juga dengan mengawasi para gelandangan dan

pengemis yang sudah mendapat bantuan dari Dinas Sosial yang melalui program

rehabilitasi ini digunakan dengan semestinya atau tidak. Hal ini dilakukan untuk

mengukur apakah program yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Serang

sudah berhasil atau belum.

Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh

Dinas Sosial Kota Serang bisa di katakan masih lemah baik dari segi anggaran,

maupun sarana dan prasarana. Masalah-masalah ini di dapat dari hasil

pengawasan dan juga evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Sosial di setiap
160

tahunnya. Dari evaluasi yang di hasilkan pun Dinas Sosial Kota Serang

menginginkan adanya UPT (Unit Pelaksana Tugas) yang khusus menangani

gelandangan dan pengemis, sehingga Dinas Sosial nantinya membawahi UPT

tersebut. Dari segi sarana dan prasarana, anggaran, dan juga sumber daya manusia

yang belum memadai. Dinas Sosial Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari

petugas sahabat anak yang menangani pengemis yang masih anak-anak atau yang

sering di kenal dengan anak jalanan. Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi

bagaimana penjangkauan terhadap para gelandangan dan pengemis, dan juga

Dinas Sosial mengevaluasi kepedulian lingkungan para gelandangan dan

pengemis yang ada di jalanan.

4.4.3 Sources Of Knowledge (Sumber Pengetahuan)

Sumber pengetahuan dalam penelitian ini meliputi Professional

(tenaga ahli), Expertise (keahlian), Guarantee (jaminan). Suatu pengetahuan

sangatlah penting untuk suatu kebijakan khususnya pada perumusan kebijakannya

yang merupakan tahap awal dalam membuat suatu kebijakan. Manfaat dari

pengadopsian suatu pengetahuan untuk sebuah kebijakan adalah untuk

menjadikan kebijakan tersebut mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi di

masyarakat dan menjadikan kebijakan tersebut menjadi berkualitas. Dalam

sumber pengetahuan ini bisa dibilang sudah baik, berikut akan peneliti paparkan

hasil temuan yang peneliti dapatkan di lapangan :

Pada aspek tenaga ahli di sini mencakup siapa saja yang terlibat dan

menjadi aktor dalam perumusan serta pelaksanaan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini. Dalam hal ini Dinas Sosial berperan sebagai
161

leading sector dan juga penanggung jawab program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis. Dinas Sosial Kota Serang juga lah yang melakukan perumusan

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis. Dinas Sosial Kota Serang dalam

merumuskannya yaitu pertama dari kepala seksi rehabilitasi sosial tuna sosial,

yang nantinya dikoordinasikan dengan kepala bidang dan selanjutnya diberikan

kepada kepala dinas untuk dimintai persetujuannya. Namun dalam perumusannya

itu tidak melibatkan pihak-pihak lain yang terkait seperti Satpol PP dan Tenaga

Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang mana keduanya adalah mitra dari

Dinas Sosial Kota Serang dalam pelaksanaan program rehabilitasi ini. Tidak

terlibatnya Satpol PP dan TKSK dalam perumusan program rehabilitasi ini karena

mereka beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-masing dan itu ada

urusan internal Dinas Sosial Kota Serang.

Dalam perumusan program ini tentu tidak telepas dari faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Fakator-faktor tersebut adalah faktor pendukung dan

penghambat dalam merumuskan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

ini. Adapun menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama

dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti Dinas

Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga dinas-

dinas atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat utamanya

adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu sendiri yang kurang memadai,

belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum memadainya Sumber

Daya Manusia yang dimiliki Dinas Sosial Kota Serang.


162

Pada aspek keahlian (expertise) ini merupakan kemampuan yang

dimiliki seseorang dalam menghasilkan kebijakan yang berkualitas guna

mengentaskan masalah-masalah yang terjadi. Maka dari itu sangatlah diperlukan

keahlian dalam menangani permasalahan dalam program rehabilitasi gelandangan

dan pengemis. Adapun yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan langkah-langkah yang akan

dilakukan dalam pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,

merencanakan bagaimana memberikan pembinaan serta melakukan koordinasi

dengan pihak-pihak terkait.

Dalam aspek jaminan (guarentee) yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah kepastian yang diberikan dari perumusan pada keberhasilan kebijakan dan

juga bagaiamana keterlibatan berbagai pihak dalam perumusan kebijakan sudah

dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi atau belum karena pada

dasarnya keberhasilan suatu kebijakan salah satunya ditentukan oleh bagaimana

perumusannya. Maka dari itu perumusan kebijakan tersebut haruslah bisa menjadi

patokan awal yang baik dari pengimpelementasian kebijakan tersebut. Dalam

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini jaminan yang diberikan dari

perumusan program ini yaitu dengan dapat mengurangi jumlah dan merubah

mental serta cara berpikir (mindset) para gelandangan dan pengemis agar berhenti

dari apa yang mereka lakukan selama ini karena hal itu telah melanggar peraturan

yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Dari program inipun pemerintah

berharap para gelandangan dan pengemis ini lebih mandiri dengan membuka

usaha atau juga dengan bekerja. Selain itu juga dalam pelaksanaannya Dinas
163

Sosial Kota Serang membutuhkan bantuan dari OPD lain untuk membantu

mensuksesnya program rehabilitasi ini.

4.4.4 Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)

Sumber pengesahan dalam penelitian ini merupakan legitimasi dari

pihak-pihak atau badan-badan yang berwenang terkait pelayanan yang diberikan

dalam program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Sumber pengesahan ini

sendiri terdiri atas witness, emancipation, dan world view. Pada sumber

pengesahan ini akan dapat memberikan persepektif beragam dari berbagai sudut

pandang yang berbeda yang berasal dari berbagai agama seperti Islam, Katolik,

dan Budha. Sudut pandang dari berbagai agama yang berbeda akan senantiasa

memberikan warna dan nilai-nilai tersendiri dalam pemberian suara terkait

permasalahan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini. Yang mana

biasanya suara-suara seperti ini selalu tersisihkan oleh berbagai kepentingan yang

ada. Suara-suara dari para sasaran programpun yaitu gelandangan dan pengemis

wajib untuk diambil agar senantiasa dapat memberikan suatu kecocokan dalam

pemberian pelayan dalam program rehabilitasi ini. Berdasarkan hasil penelitian ini

peneliti akan memaparkan bahwa:

Para gelandangan dan pengemis menginginkan perhatian dari

pemerintah untuk memberikan bantuan kepada para gelandangan dan pengemis

agar bisa membuka usaha. Selain itu juga yang para gelandangan dan pengemis

menganggap bahwa yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan

pengemis adalah faktor ekonomi. Mereka berpikir bahwa dengan cara mengemis

ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang daripada harus bekerja.
164

Peneliti dapat melihat dari sisi mental para gelandangan dan pengemis ini yang

bisa di bilang lemah dan prilaku malas untuk bekerja. Sehingga merekapun

memilih cara yang instan seperti meminta-minta dengan berharap orang lain iba

dan mendapatkan uang dari orang lain. Hal ini tentunya tidak baik mengingat hal

tersebut telah melanggar hukum yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis,

dalam kelas sosialpun terbilang kelas rendah.

Pada aspek Emancipation ini pada umumnya digambarkan sebagai

diberikannya persamaan hak-hak tanpa membedakan gender atau golongan

tertentu. Sedangkan dalam penelitian ini emansipasi dalam proses

penyelenggaraan program rehabilitasi ini tidak membeda-bedakan pemberian hak-

hak kepada para gelandangan dan pengemis. Namun dengan kondisi anggaran

yang tidak memadai dan juga ketidak mauan para gelandangan dan pengemis

untuk direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab oleh Dinas Sosial Kota

Serang ataupun dikirim ke panti sosial.

Dalam proses rehabilitasi ini tentunya harus ada peran serta masyarakat

untuk mengadukan atau melaporkan bila mana ada prilaku penyakit masyarakat

dalam hal ini gelandangan dan pengemis, dan ada juga pihak yang dianggap

memiliki kewenangan untuk melayani dan menangani pengaduan di dalam

program rehabilitasi ini. Dalam hal ini pihak yang berwenang untuk menangani

pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis dalam program rehabilitasi

ini adalah Satpol sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Perda Kota Serang

nomor 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat pasal 15 ayat (2) poin c yang

berbunyi:
165

“Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila

mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit

masyarakat.”

Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan menangani

pengaduan terkait masalah gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP.

Diperlukannya peran serta masyarakat jika menemukan tindakan prilaku yang

menjurus kepada penyakit masyarakat untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam

bentuk tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah jelas.

Pada aspek World View (pandangan dunia) ini merupakan pandangan

secara universal terhadap persoalan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis ini dari berbagai persepektif yang beragam seperti dari unsur

keagamaan yang mana mempunyai nilai-nilai nya masing-masing dalam melihat

sesuatunya.

semua pandangan dari agama Islam, Katolik dan Budha memandang bahwa yang

dilakukan oleh gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan tidak boleh

dilakukan karena hal itu mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau

berusaha dengan cara yang benar.

Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi gelandangan dan

pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak

mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali menjadi gelandangan dan

pengemis. Kedua, pada kehidupan lampaunya orang tersebut menelantarkan orang

tuanya.
166

Menurut pandangan pribadi dari seorang yang beragama katolik yaitu

Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang beranggapan bahwa para gelandangan

dan pengemis ada ciri dari orang yang malas dan tidak mau berusaha untuk

mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih terhormat walaupun pada

kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin.

Sedangakan menurut pandangan dari agama islam bahwa kegiatan

mengemis atau meminta-minta itu diharamkan hukumnya. Namun dalam islam

dianjurkan umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada fakir miskin.

Namun banyak biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang

menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin.

Dengan hal ini para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan

dalih tersebut.

Masyarakat memandang gelandangan dan pengemis sebagai sifat

malas seseorang untuk bekerja dan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain

untuk mendapatkan uang. Hal ini tentunya menjadi gangguan kenyaman untuk

masyarakat sendiri karena terkadang banyak yang meminta-minta dengan cara

mamaksa.

Akademisi melihat gelandangan dan pengemis ini dibagi dua, pertama

yang alamiah dan kedua yang dikoordinir. Maksud dari alamiah itu sendiri adalah

mereka penduduk asli Serang dari keluarganya miskin. Sedangkan yang

dikoordinir yaitu mereka bukan penduduk dari Kota Serang melainkan dari kota-

kota lain yang mana mereka mencari penghidupannya di Kota Serang. Untuk yang

dikoordinir mereka bukanlah tanggung jawab pemerintah Kota Serang, sedangkan


167

yang alamiah memang menjadi kewajiban dari Dinas Sosial Kota Serang. Ada

beberapa faktor seseorang menjadi gelandangan dan pengemis pertama keluarga,

kedua faktor lingkungan. Faktor keluarga yang menjadi faktor utama karena dari

faktor keluarga ada faktor kemiskinan, juga ada faktor pendidikan keluarganya

yang tidak bisa memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak

sekolah akhirnya mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Sedangkan faktor

lingkungan lebih ke faktor teman bermain dan bergaul sehari-hari yang

merupakan anak-anak jalanan.

Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara Avalokitesvara

Banten dan Gereja Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung. Namun

keduanya memiliki programnya masing-masing seperti vihara yang memiliki

program dengan membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar yang bertujuan

untuk melayani masyarakat dari sisi kesehatan. Sedangkan dari Gereja Paroki

Raja Serang membuat program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke lembaga

teruntu untuk disalurkan lagi kepada yang membutuhkannya. Selain itu juga ada

program menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial yang dilakukan oleh

para pemuda.

4.4.5 Karakteristik Gelandangan dan Pengemis

Berdasarkan hasil dari observasi yang dan analisis data yang di lakukan

peneliti, peneliti menemukan temuan yang menggambarkan bagaiama

karakteristik gelandangan dan pengemis di Kota Serang. Gelandangan dan

pengemis di Kota Serang terdiri atas berbagai jenis kelompok usia mulai dari yang

masih anak-anak sampai yang sudah lanjut usia. Peneliti memukan di lampu-
168

lampu merah di Kota Serang banyak pengemis yang usianya masih dibawah 18

tahun bahkan tergolong masih perlu anak-anak sampai mengemis sendiri di

tengah jalan. Selain itu sering ditemukan pengemis yang sudah renta membawa

anaknya mengemis di tempat pusat perbelanjaan, di tempat-tempat makan, dan

tempat pusat keramaian lainnya.

Faktor ekonomilah yang menjadi alasan mengapa mereka mengemis dan

kurangnya perhatian pemerintah kota untuk memberikan bantuannya kepada

gelandangan dan pengemis ini. Berdasarkan apa yang peneliti temukan di

lapangan bahwa faktor ekonomi bukanlah faktor utama yang menjadi alasan

mengapa mereka mengemis. Karena bila melihat kepada kondisi ekonomi para

pengemis ini, mereka bisa dikatakan mampu, peneliti menemukan salah seorang

pengemis yang bisa dibilang sudang tua diantarkan oleh entah itu anak laki-

lakinya ataupun yang mengkoordinirnya. Bila melihat pada perkampungan yang

dijuluki sebagai kampung pengemis yaitu kampung kebanyakan di Desa

Sukawana, Kecamatan Serang sungguh bukan seperti kampung pengemis, karena

tidak sedikit rumah yang bisa dibilang layak huni. Hal ini tentunya membuat

peneliti berasumsi bahwa mengemis ini sudah dijadikan sebagai profesi oleh

masyarakat setempat.

Peneliti menggunakan teori menurut Sudarianto dalam Engkus Kuswarno,

(2009:15) yang membagi pengemis menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Mengemis karena tak mampu bekerja. Pada kategori ini dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai kelainan fisik pada anggota tubuhnya.
Misalnya tak mampu bekerja karena tidak memiliki tangan, kaki,
lumpuh, buta. Jadi para dermawan memang harus terpanggil untuk
menyantuninya, sisihkanlah harta untuk mereka, karena menyantuni
mereka insya Allah mendapat pahala yang besar.
169

2. Mengemis karena malas bekerja. Pengemis karena malas bekerja inilah


yang menyebabkan jumlah pengemis di Indonesia sangat banyak.
Pengemis pada kategori ini, orangnya mempunyai anggota tubuh yang
sangat lengkap namun dihinggapi penyakit malas. Pengemis semacam
inilah yang harus diberantas oleh pemerintah.”

Berdasarkan temuan yang peneliti temukan di Lapangan pengemis di Kota

Serang paling banyak masuk kepada kelompok 2, yang mana banyak sekali

pengemis yang anggota tubuhnya lengkap dan bisa dikatakan sehat secara fisik

namun tetap mengemis.

Peneliti menggunakan teori menurut Indra Pratama dalam Engkus

Kuswarno (2009:26) untuk menkategorikan pengemis di Kota Serang yaitu:

1. Pengemis Berpengalaman

Lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan
mengemis adalah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan
kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif
sebab).
2. Pengemis kontemporer kontinu tertutup

Hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa


alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya
pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinu mengemis, tetapi
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan
bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
3. Pengemis kontemporer kontinu terbuka

Hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan,


karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan
untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak
170

dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut


dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya
untuk mengembangkan peluang tersebut.
4. Pengemis kontemporer temporer

Hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada


kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka
biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah
asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu
pemicu berkembangnya kelompok ini.
5. Pengemis rencana

Berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan


harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara. Mereka
mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan
lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.

Berdasarkan temuan dari peneliti pengemis di Kota serang masuk pada

kategori ke 3. Peneliti melihat pengemis ini masih sanggup untuk bekerja dan

memiliki keterampilan untuk bekerja ataupun usaha namun mereka memilih

untuk mengemis dikarenakan mengemis adalah cara yang mudah tanpa

memerlukan banyak modal atau biaya untuk mendapatkan uang.

Tabel 4.6

Temuan Lapangan
Boundary Category, Ulrich (dalam Riswanda 2016:9)
Dimensi Temuan Lapangan
Sumber motivasi (sources of 1. Pihak yang memproduk atau yang membuat program
motivation) ini adalah Dinas Sosial Kota Serang. Dinas Sosial juga
yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab
terhadap program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini.
171

2. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksaan program


rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu Dinas
Sosial Kota Serang sebagai leading sector, Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan
Kota Serang, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja
Kota Serang, bahkan kepolisian yang ikut menangani
anak jalanan.
3. Tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan
pengemis ini yaitu untuk mengurangi jumlahnya dan
juga merubah prilaku dan mindset para gelandangan
dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,
memberikan keterampilan dan keahlian kepada para
gelandangan dan pengemis agar mereka mempunyai
keterampilan dan keahlian sehingga para gelandangan
dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan
dan juga mereka bisa mencari nafkah dengan tidak
meminta-minta.
4. Yang menjadi sasaran dari program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu para gelandangan
dan pengemis.
5. Yang terkena dampak dari program rehablitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah para gelandangan
dan pengemis itu sendiri sehingga masyarakat juga ikut
merasakan dampak dari program ini
6. yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi
gelandangn dan pengemis itu adalah SDM yang kurang
memadai, ada juga dari tempat penampungan dan
tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,
kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi
dari organisasi perangakat daerah terkait, dan juga
anggaran yang belum memadai serta kurangnya peran
serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah
yang melarang memberikan uang pada pengemis.
7. Pihak yang bertanggung jawab atas masalah-masalah
yang terjadi dalam program rehablitasi gelandangan
dan pengemis ini yaitu terutama Dinas Sosial Kota
Serang sebagai instansi yang menjadi penanggung
jawab program, namun seluruh elemen masyarakat juga
harus bertanggung jawab untuk ikut andil dalam
program ini dengan tidak memberi apapun kepada
gelandangan dan pengemis. Selain itu instansi-instansi
terkait juga harus mempunyai rasa tanggung jawab
172

dalam menangani masalah yang ada.


8. Upaya-upaya yang di lakukan oleh pihak-pihak yang
bertanggung jawab dalam mengatasi masalah yang
terjadi adalah seperti dari kekurang Sumber Daya
Manusia (SDM) pihak Dinas Sosial Kota Serang
membentuk sebuat satuan tugas (Satgas) atau Petugas
Sosial yang akan membantu Dinas Sosial dalam
menangani para gelandangan dan pengemis. Hampir
sama seperti pihak Dinas Sosial, Satpol PP melakukan
perekrutan petugas sebanyak 30 orang oleh anggota asli
yang sebanyak 5 orang. Pihak Dinas Sosial dalam
mengatasi masalah anggaran mereka mengirimkan para
gelandangan dan pengemis ke pihak Dinas Sosial
Provinsi Banten untuk di rehablitasi. Sedangkan yang
dilakukan Satpol PP untuk mengatasi anggaran adalah
sering menggunakan dana pribadi untuk setidaknya
melakukan kontrol di jalanan.
9. Program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
memberikan pengaruh kepada para gelandangan dan
pengemis, karena dalam program rehabilitasi ini
memberikan keterampilan dan keahlian yang nantinya
diberikan modal usaha kepada para gelandangan dan
pengemis untuk bisa menjadi mandiri dan lebih
produktif, sehingga tidak harus kembali lagi ke jalanan.
10. tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah
berkurangnya jumlah gelandangan dan pengemis di
setiap tahunnya. Kemudian tercapainya jumlah para
gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari
jumlah yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para
gelandangan dan pengemis ini sadar dan tidak balik-
balik lagi ke jalanan, serta kesadaran dari masyarakat
untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan
pengemis.
Sumber kekuatan (sources of 1. Yang berhak mengambil keputusan dalam program
power) rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini adalah
masing-masing pihak yang mempunyai
kewenangan. Seperti Dinas Sosial Kota Serang
yang menjadi penanggung jawab program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
mempunyai kewenangan untuk memutuskan apa
yang akan dilakukan. Satpol PP memiliki
kewenangan dalam menjaring dan merazia para
173

gelandangan dan pengemis, maka dari itu Satpol PP


memiliki kewenangan dalam pengambilan
keputusan untuk urusan merazia para gepeng.
2. Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang
penyakit masyarakat belum cukup kuat guna
mecegah adanya pengemis serta belum cukup kuat
pula untuk menjadi dasar hukum untuk program
rehabilitasi gelandangan dan pengemis sehingga
perlunya merevisi isi dari perda tersebut.
3. Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang
termasuk dalam kategori penyakit masyarakat di
Daerah.
4. Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas Sosial Provinsi
Banten melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini.
Pelayanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis berupa pembinaan keagamaan,
pendidikan, pelatihan menyablon, tata boga dan
montir motor.
5. Kebutuhan para gelandangan dan pengemis sudah
dipenuhi walaupun tidak dipenuhi 100% karena
memang anggaran yang adapun belum memadai.
Para gelandangan dan pengemis pun diberi bantuan
hanya pada proses perehaban saja, dalam proses
perehaban mereka diberikan makan setiap harinya,
diberikan pelatihan, dan diberikan peralatanya juga
jika di dalam program rehabilitasi tersebut.
Pengemis yang masih anak-anak pun diberikan
kebutuhan sesuai yang apa yang mereka inginkan
seperti ingin masuk pesantren, pihak Dinas Sosial
Kota Serang pun memasukannya ke pesantren.
Dinas Sosial Kota Serang sudah memenuhi
kebutuhan para gelandangan dan pengemis
walaupun belum memenuhi kebutuhan secara
maksimal dan belum total 100%.
6. Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini
kurang memadai.
7. Anggaran untuk menunjang program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini belum memadai.
8. Sarana dan prasarana sebagai penunjang program
174

rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang


dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang belum
memadai.
9. Pengawasan untuk program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini hanya dilakukan
oleh pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja, pihak
Satpol PP sebagai pihak yang merazia para
gelandangan dan pengemis tidak diikut sertakan
karena memang bukan menjadi kewenangan dan
pihak Satpol PP. Pihak Satpol PP hanya di libatkan
jika Dinas Sosial membutuhkannya saja. Dalam
pengawasan ini tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan serang lah yang dilibatkan dalam
pengawasan.
10. Hal yang di evaluasi dalam program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini adalah dari segi
sarana dan prasarana, anggaran, dan juga sumber
daya manusia yang belum memadai. Dinas Sosial
Kota Serang juga mengevaluasi kinerja dari petugas
sahabat anak yang menangani pengemis yang masih
anak-anak atau yang sering di kenal dengan anak
jalanan. Selain itu Dinas Sosial mengevaluasi
bagaimana penjangkauan terhadap para
gelandangan dan pengemis, dan juga Dinas Sosial
mengevaluasi kepedulian lingkungan para
gelandangan dan pengemis yang ada di jalanan.
Dinas Sosial Kota Serang juga menginginkan
adanya unit pelaksana tugas (UPT) yang khusus
menangani masalah gelandangan dan pengemis ini.
Sumber pengetahuan (sources 1. Dinas Sosial berperan sebagai leading sector dan
of knowledge) juga penanggung jawab program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis. Yang mana dalam
merumuskannya yaitu pertama dari kepala seksi
rehabilitasi sosial tuna sosial, yang nantinya di
koordinasikan dengan kepala bidang dan
selanjutnya diberikan kepada kepala dinas untuk
dimintai persetujuannya.
2. Satpol PP dan TKSK tidak terlibat dalam
perumusan program rehabilitasi ini karena mereka
beranggapan hal itu diluar wewenangnya masing-
masing dan itu ada urusan internal Dinas Sosial
Kota Serang.
175

3. Yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan


adanya kerjasama dengan pihak-pihak terkait yang
berhubungan dengan program ini seperti Dinas
Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya
(PSBK) Bekasi dan juga dinas-dinas atau instansi
terkait. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat
utamanya adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota
Serang itu sendiri yang kurang memadai, belum
adanya tempat pusat rehabilitasi, dan juga belum
memadainya Sumber Daya Manusia yang dimiliki
Dinas Sosial Kota Serang.
4. Yang di hasilkan dari rumusan program rehabilitasi
gelandangan dan pengemis ini yaitu menghasilkan
langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
pelaksanaan program, mengatur anggaran yang ada,
merencanakan bagaimana memberikan pembinaan
serta melakukan koordinasi dengan pihak-pihak
terkait.
Sumber pengesahan (sources 1. Para gelandangan dan pengemis menginginkan
of legitimation) perhatian dari pemerintah untuk memberikan
bantuan kepada para gelandangan dan pengemis
agar bisa membuka usaha.
2. Para gelandangan dan pengemis berpendapat bahwa
yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan
dan pengemis adalah faktor ekonomi. Selain itu
Mereka beranggapan bahwa dengan cara mengemis
ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang
daripada harus bekerja.
3. Tidak membeda-bedakan pemberian hak-hak
kepada para gelandangan dan pengemis dalam
proses rehabilitasi. Namun dengan kondisi
anggaran yang tidak memadai dan juga ketidak
mauan para gelandangan dan pengemis untuk
direhab biasanya hanya beberapa saja yang direhab
oleh Dinas Sosial Kota Serang ataupun dikirim ke
panti sosial.
4. Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan
menangani pengaduan terkait masalah gelandangan
dan pengemis ini adalah Satpol PP. Diperlukannya
peran serta masyarakat jika menemukan tindakan
prilaku yang menjurus kepada penyakit masyarakat
untuk melaporkan kepada Satpol PP dalam bentuk
176

tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah


jelas.
5. Semua pandangan dari agama Islam, Katolik dan
Budha memandang bahwa yang dilakukan oleh
gelandangan dan pengemis itu adalah negatif dan
tidak boleh dilakukan karena hal itu mencirikan
sifat malas dari individu yang tidak mau berusaha
dengan cara yang benar.
6. Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi
gelandangan dan pengemis dikarenakan di masa
lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak
mempunya harta dan orang tersebut terlahir
kembali menjadi gelandangan dan pengemis. serta
pada kehidupan lampaunya orang tersebut
menelantarkan orang tuanya.
7. Menurut pandangan pribadi dari seorang yang
beragama katolik yaitu Sekretaris Gereja Kristus
Raja Serang yang beranggapan bahwa para
gelandangan dan pengemis ada ciri dari orang yang
malas dan tidak mau berusaha untuk mencari
nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih
terhormat walaupun pada kenyataannya mereka
tidak benar-benar miskin.
8. Pandangan dari agama islam bahwa kegiatan
mengemis atau meminta-minta itu diharamkan
hukumnya. Namun dalam islam dianjurkan
umatnya untuk selalu bersedekah khususnya kepada
fakir miskin. Namun banyak biasanya para
pengemis menyalah artikan paham yang
menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada
rezeki orang-orang miskin. Dengan hal ini para
gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya
dengan dalih tersebut.
9. Gelandangan dan pengemis adalah seseorang yang
malas bekerja dan tidak mau berusaha. Dari dari
aktivitas gelandangan dan pengemis ini sangatlah
mengganggu masyarakat, khususnya di lampu-
lampu merah.
10. Gelandangan dan pengemis dibagi menjadi dua
yaitu alamiah dan juga dikoordinir. Pengemis
alamiah yang dimaksud adalah gelandangan dan
pengemis asli masyarakat Kota Serang yang
miskin. Sedangkan yang dikoordinir adalah
177

gelandangan dan pengemis yang berasal dari luar


Kota Serang seperti dari Tangerang maupun
Pandeglang dan mereka mencari penghidupan di
Kota Serang. Faktor-faktor seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis yaitu faktor keluarga,
faktor lingkungan dari gelandangan dan pengemis.
11. Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Vihara
Avalokitesvara Banten tidak ikut secara langsung.
Namun vihara memiliki program dengan
membentuk puskesmas untuk masyarakat sekitar
yang bertujuan untuk melayani masyarakat dari sisi
kesehatan.
12. Keterlibatan lembaga keagamaan seperti Gereja
Paroki Raja Serang tidak ikut secara langsung.
Namun Gereja Paroki Raja Serang membuat
program dengan menyalurkan sebagian gajinya ke
lembaga teruntu untuk disalurkan lagi kepada yang
membutuhkannya. Selain itu juga ada program
menyantuni para yatim piatu serta ada bakti sosial
yang dilakukan oleh para pemuda.
Sumber : Peneliti, 2018
178

Gambar 4.1
Temuan Lapangan
Sebetulnya dan Seharusnya
Sebetulnya
Seharusnya
Belum tercapainya tolak
ukur keberhasilan Berkurangnya jumlah
program rehabilitasi ini gelandangan dan
yaitu berkurangnya pengemis di setiap
jumlah gelandangan dan tahunnya
pengemis di setiap
tahunnya
Memadainya sumber
daya baik itu manusia
Belum memadainya
Peraturan Daerah Kota Serang maupun dana anggaran
sumber daya baik itu Nomor 2 Tahun 2010 Tentang dalam program
manusia maupun dana Penyakit Masyarakat rehabilitasi ini. Dan juga
anggaran dalam memadainya sarana dan
program rehabilitasi ini. prasarana.
Serta belum
memadainya sarana dan Diperkuatnya Perda Kota
prasarana. Program
Serang Nomor 2 Tahun
Rehabilitasi
2010 Tentang Penyakit
Gelandangan dan Masyarakat dalam
Belum cukup kuatnya
Pengemis mengatasi masalah
Perda Kota Serang Nomor
2 Tahun 2010 Tentang gelandangn dan pengemis
Penyakit Masyarakat dalam
mengatasi masalah Diperkuatnya Koordinasi
gelandangn dan pengemis antara Dinas Sosial Kota
Serang dengan instansi-
Masih lemahnya Koordinasi instansi terkait
antara Dinas Sosial Kota pelaksanaan program
Serang dengan instansi- rehabilitasi ini
instansi terkait pelaksanaan
program rehabilitasi ini
179

Gambar 4.2
Temuan Lapangan
Skema Penelitian Analisis Kritis

Faktor menjadi gelandangan


pengemis karena faktor ekonomi
Masyarakat
Gelandangan terganggu adanya
Pengemis gelandangan dan
Persepektif Keagamaan pengemis

Persepektif Masyarakat
Tidak adanya
Islam Islam Mengharamkan
larangan khusus menjadi pengemis Larangan Masih banyaknya
namun tidak Budha
masyarakat yang
membenarkan masih acuh dan tidak
menjadi Katolik Peraturan Daerah
tahu tentang larangan
gelandangan Kota Serang Nomor
memberi pengemis
pengemis 2 Tahun 2010
Satpol PP Tentang Penyakit
Masih adanya Masyarakat
Kota Serang Perda
toleransi
Dinas Sosial dengan alasan tersebut
Kota Serang kemanusiaan Dasar Hukum belum
cukup kuat

Persepektif Pemerintah Persepektif Akademisi

Melihat bahwa
Penegakan perda yang gelandangan
Program
kurang tegas dan masih pengemis
Rehabilitasi Sosial
kurang untuk dikoordinatori oleh
disosialisasikan pihak-pihak tertentu
180

Dari skema penelitian di atas peneliti dapat menjelaskan bahwa dalam

Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Penyakit

Masyarakat ini mengatur bagaimana larangan terhadap masyarakat untuk menjadi

gelandangan dan pengemis, memaksa seseorang untuk menjadi pengemis dan

melarang memberikan apapun kepada pengemis sebagaimana dalam pasal 9 ayat

1-3 yang berbunyi:

1. Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.


2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi
pengemis.
3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada
pengemis.
Dalam hal ini perda tentunya melarang setiap kegiatan yang dilakukan

oleh gelandangan dan pengemis sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 9 ayat 1-

3. Tidak hanya melarang para gelandangan dan pengemis, Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Penyakit Masyarakat menjadi dasar hukum

adanya program rehabilitasi sosial untuk penangan gelandangan dan pengemis,

sebagaimana dalam pasal 17 ayat 1-3:

1. Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan terhadap


orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan perbuatan penyakit
masyarakat.
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilaksanakan melalui
kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
3. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 2, dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan
teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga
kerja.
181

Dalam penjelasan dari pasal ini pun pemerintah wajib membuat sebuah

pembinaan terhadap penyakit masyarakat termasuk juga gelandangan dan

pengemis. Sedangkan pembinaan tersebut dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi

sosial yang kegiatan meliputi bimbingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan

teknis, bimbingan penyuluhan rohaniah dan jasmaniah, penyediaan lapangan kerja

atau penyaluran tenaga kerja.

Dapat disimpulkan bahwa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Penyakit Masyarakat melahirkan sebuah larangan terhadap

gelandangan dan pengemis dan juga menjadi dasar hukum adanya program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis.

Berbagai persepektif pun muncul dalam penelitian ini terkait masalah

gelandangan dan pengemis. Persepektif muncul dari berbagai kalangan seperti

persepektif dari pemerintah, akademisi, masyarakat dan keagamaan serta

persepektif juga muncul dari target sasaran yaitu gelandangan dan pengemis.

Dari persepektif target sasaran yaitu gelandangan dan pengemis mereka

mengatakan bahwa yang menjadi faktor mereka menjadi gelandangan dan

pengemis adalah faktor ekonomi. Selain itu Mereka beranggapan bahwa dengan

cara mengemis ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan uang daripada harus

bekerja. Para gelandangan dan pengemis menginginkan adanya perhatian dari

pemerintah untuk memberikan bantuan kepada mereka agar bisa membuka usaha

sendiri.

Persepektif keagamaan sendiri memandang gelandangan dan pengemis

berupa kegiatan yang negatif dan dan tidak boleh dilakukan karena hal itu
182

mencirikan sifat malas dari individu yang tidak mau berusaha dengan cara yang

benar. Dalam agama budha sendiri orang yang menjadi gelandangan dan

pengemis dikarenakan di masa lampaunya dan masa sekarang orang tersebut tidak

mempunya harta dan orang tersebut terlahir kembali menjadi gelandangan dan

pengemis. Selanjutnya, pada kehidupan lampaunya orang tersebut menelantarkan

orang tuanya. Menurut pandangan dari seorang yang beragama katolik yaitu

Sekretaris Gereja Kristus Raja Serang yang beranggapan bahwa para gelandangan

dan pengemis ada ciri dari orang yang malas dan tidak mau berusaha untuk

mencari nafkah dari cara yang lebih baik dan lebih terhormat walaupun pada

kenyataannya mereka tidak benar-benar miskin. Sedangakan menurut pandangan

dari agama islam bahwa kegiatan mengemis atau meminta-minta itu diharamkan

hukumnya. Banyak biasanya para pengemis menyalah artikan paham yang

menjelaskan bahwa di dalam rezeki seseorang ada rezeki orang-orang miskin.

Dengan hal ini para gelandangan dan pengemis melakukan kegiatannya dengan

dalih tersebut.

Persepektif akademisi dalam melihat masalah gelandangan dan pengemis

ini adalah gelandangan dan pengemis dibagi dua, pertama yang alamiah dan

kedua yang dikoordinir. Maksud dari alamiah itu sendiri adalah mereka penduduk

asli Serang dari keluarganya miskin. Sedangkan yang dikoordinir yaitu mereka

bukan penduduk dari Kota Serang melainkan dari kota-kota lain yang mana

mereka mencari penghidupannya di Kota Serang. Untuk yang dikoordinir mereka

bukanlah tanggung jawab pemerintah Kota Serang, sedangkan yang alamiah

memang menjadi kewajiban dari Dinas Sosial Kota Serang. Ada beberapa faktor
183

seseorang menjadi gelandangan dan pengemis pertama keluarga, kedua faktor

lingkungan. Faktor keluarga yang menjadi faktor utama karena dari faktor

keluarga ada faktor kemiskinan, juga ada faktor pendidikan keluarganya yang

tidak bisa memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga anaknya tidak

sekolah akhirnya mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Sedangkan faktor

lingkungan lebih ke faktor teman bermain dan bergaul sehari-hari yang

merupakan anak-anak jalanan.

Persepektif masyarakat melihatnya sebagai sifat malas seseorang untuk

bekerja dan hanya mengandalkan belas kasihan orang lain untuk mendapatkan

uang. Hal ini tentunya menjadi gangguan kenyaman untuk masyarakat sendiri

karena terkadang banyak yang meminta-minta dengan cara mamaksa.

Dari persepektif pemerintah sendiri dalam mamandang masalah

gelandangan dan pengemis ini yaitu gelandangan dan pengemis sebagai masalah

yang di latar belakangi oleh masalah ekonomi sehingga muncul masalah baru

yaitu masalah sosial berupa gelandangan dan pengemis ini. Maka dari itu

pemerintah membuat suatu program pembinaan yang bertujuan untuk mengurangi

jumlah dari gelandangan dan pengemis itu sendiri.

Dari skema penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa Peraturan Daerah

Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan, dan

penanggulangan penyakit masyarakat dijadikan sebagai acuan Dinas Sosial Kota

Serang dalam membuat dan melaksanakan program rehabilitasi gelandangan dan

pengemis, dan juga sebagai pelarangan kepada kegiatan gelandangan dan

pengemis. Gelandangan dan pengemis ini tentunya bila dilihat dari berbagai
184

persepektif atau sudut pandang seperti unsur masyarakat, unsur keagamaan,

pemerintahan, dan akademisi adalah suatu masalah sosial yang memang harus

diselesaikan.
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Peraturan Daerah Kota Serang nomor 2 tahun 2010 tentang pencegahan,

pemberantasan, dan penanggulangan penyakit masyarakat ini sebenarnya sudah

terlaksana namun pelaksanaannya tersebut belum maksimal dan belum cukup kuat

sebagai acuan Dinas Sosial untuk mengimplementasikan program rehabilitasi

penanganan gelandangan dan pengemis yang dilakukan Oleh Dinas Sosial Kota

Serang ini karena masih banyak yang dilanggar dalam peraturan-peraturan

tersebut. Hal ini tentunya membuat pengimplementasian dari program ini belum

berjalan optimal seperti masih meningkatnya jumlah gelandangan dan pengemis

setiap tahunnya.

1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksaan program rehabilitasi

gelandangan dan pengemis ini yaitu Dinas Sosial Kota Serang sebagai

leading sector, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan

Kota Serang, Dinas Kesehatan Kota Serang, Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga Kerja Kota Serang, bahkan

kepolisian yang ikut menangani anak jalanan yang bertindak kriminal.

Namun pada koordinasinya masih sangat lemah sekali, dan belum

bersinergi dengan baik.

2. Tujuan dari program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini yaitu

untuk mengurangi jumlahnya dan juga merubah prilaku dan mindset para

gelandangan dan pengemis, dengan cara memberikan pembinaan,

181
182

memberikan keterampilan dan keahlian kepada para gelandangan dan

pengemis agar mereka mempunyai keterampilan dan keahlian sehingga

para gelandangan dan pengemis ini untuk tidak terus berada di jalanan dan

juga mereka bisa mencari nafkah dengan tidak meminta-minta.

3. Yang menjadi kendalanya dalam program rehabilitasi gelandangn dan

pengemis itu adalah SDM yang kurang memadai, ada juga dari tempat

penampungan dan tempat rehablitasi para gelandangan dan pengemis,

kurangnya keharmonisasian dan kurangnya koordinasi dari organisasi

perangakat daerah terkait, dan juga anggaran yang belum memadai serta

kurangnya peran serta masyarakat untuk mematuhi peraturan daerah yang

melarang memberikan uang pada pengemis.

4. Tolak ukur keberhasilan dari program ini adalah berkurangnya jumlah

gelandangan dan pengemis di setiap tahunnya. Kemudian tercapainya

jumlah para gelandangan dan pengemis yang ingin direhab dari jumlah

yang ditargetkan di awal. Selain itu pula para gelandangan dan pengemis

ini sadar dan tidak kembali lagi ke jalanan, serta kesadaran dari

masyarakat untuk tidak memberi kepada para gelandangan dan pengemis.

Namun peneliti menemukan bahwa fakta di lapangan belum sesuai dengan

apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan program ini karena setiap

tahunnya jumlah gelandangan dan pengemis bertambah. Program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh Dinas Sosial

Provinsi Banten akan dihilangkan karena kebijakan pemerintah Provinsi


183

Banten lebih memfokuskan pembangunan fisik seperti infrastruktur, jalan

raya, dan tempat-tempat umum lainnya.

5. Sumber daya manusia dan Anggaran untuk menunjang penyelenggaraan

program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini kurang memadai. Serta

sarana dan prasarana pada program rehabilitasi gelandangan dan pengemis

yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kota Serang inipun belum memadai.

6. Yang menjadi faktor pendukungnya adalah dengan adanya kerjasama

dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan program ini seperti

Dinas Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Bekasi dan

juga dinas-dinas atau instansi terkait. Sedangkan yang menjadi faktor

penghambat utamanya adalah anggaran dari Dinas Sosial Kota Serang itu

sendiri yang kurang memadai, belum adanya tempat pusat rehabilitasi, dan

juga belum memadainya sumber daya manusia yang dimiliki Dinas Sosial

Kota Serang.

7. Yang mempunyai wewenang untuk melayani dan menangani pengaduan

terkait masalah gelandangan dan pengemis ini adalah Satpol PP.

Diperlukannya peran serta masyarakat jika menemukan tindakan prilaku

yang menjurus kepada penyakit masyarakat untuk melaporkan kepada

Satpol PP dalam bentuk tertulis yang mana waktu dan tempatnya haruslah

jelas.
184

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian Analisis Kritis Implementasi Program

Rehabilitasi Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Oleh Dinas Sosial Kota

Serang, peneliti mencoba untuk memberikan masukan atau saran agar dalam

penyelenggaraan program rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini dapat

berjalan optimal.

1. Merangkul semua kalangan seperti unsur keagamaan seperti dari

MUI, Gereja Paroki Raja Serang, Vihara Avalokitesvara karena

lembaga-lembaga tersebut mempunyai program sosial yang mungkin

bisa berguna untuk program rehabilitasi ini. Selanjutnya unsur

masyarakat seperti kumpulan pemuda Karang Taruna untuk ikut

mensosialisasikan program rehabilitasi ini dan juga ikut membantu

dalam proses perehaban. Selain itu akademisi seperti Dosen-dosen

yang biasanya melakukan penelitian terkait masalah-masalah sosial

sebaiknya ikut sertakan untuk menjadi tenaga ahli dalam program

rehabilitasi gelandangan dan pengemis ini karena biasanya mereka

mempunyai inovasi tentang bagaimana penanganannya.

2. Mensosialisasikan peraturan daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Penyakit Masyarakat dan program anti memberi

pengemis kepada masyarakat luas melalui media sosial, cetak,

maupun elektronik.
185

3. Pemerintah sebaiknya melakukan rehabilitasi di lingkukan para

gelandangan dan pengemis agar lingkungan para gelandangan dan

pengemis itu tidak mempengerahui untuk balik lagi ke jalan.

4. Pihak Dinas Sosial sebaiknya melakukan koordinasi dengan tokoh

masyarakat setempat seperti RT/RW untuk bisa membantu dalam

proses pembinaan dan pendataan, karena para RT/RW biasanya

memiliki data lengkap dari warganya.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi: Metode penelitian komunikasi.


Bandung: Widya Padjadjaran

Moleong, Lexy.J., 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosa


Karya.

Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Prespektif Rancangan


Penelitian. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media

Riswanda. 2016. Metode Penelitian Kebijakan (Publik): Critical System


Discourse
dalam Analisis Penelitian Kualitatif Kontemporer, handbook Metodologi
Penelitian Kualitatif, CPMS Universitas Parahyangan- Asosiasi Peneliti
Kualitatif Indonesia (AKPI).

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Masalah-Masalah Kemasyarakatan di Indonesia.


Jakarta: Sinar Harapan
Soetari, Endang. 2014. Kebijakan Publik. Bandung: CV Pustaka Setia

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.


Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2010. Memahami Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Suharto, Edi. 2013. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia. Bandung:


Alfabeta.
Sumodinigrat, Gunawan. 2004. Otonomi Daerah Dalam Penanggulangan
Kemiskinan. Jakarta: PerPod
Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher.

Dokumen:

Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,


Pemberantasan Dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan
dan Pengemis.
Sumber lainnya:

Amalia, Rizki. 2013. Skripsi Universitas Negeri Semarang Fakultas Ilmu Sosial
Program Studi Ilmu Politik Dan Kewarganegaraan. Rehabilitasi Pengemis
Di
Kota Pemalang (Studi Kasus di Balai Rehabilitasi Sosial “Samekto Karti”
Pemalang I).

Nitha Chitrasari, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam
Penanganan Gelandangan Dan Pengemis Di Kota Cilegon.

Iqbali, S. 2008. Jurnal. Studi Kasus Gelandangan–Pengemis (Gepeng) Di


Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. PIRAMIDA, 4(1).
Nabila, Fairuzia Nisa, et al. Jurnal. “BRAINWASHING MOTIVASI” TEKNIK
MINIMALISASI PENGEMIS DENGAN MAKSIMALISASI POTENSI DAN
MOTIVASI MELALUI KONSEP BRAINWASHING. Program Kreativitas
Mahasiswa-Gagasan Tertulis (2014).
Badan Pusat Statistik Kota Serang. 2017. Kota Serang Dalam Angka
http://banten.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/72. Di akses 10 Juni 2016.
http://news.okezone.com/read/2016/09/01/340/1478969/hikayat-kampung
pengemis-di-jantung-kota-serang. Diakses 12 Februari 2016.
https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=312.
Diakses 12 Februari 2016.
https://serangkota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/4. Diakses 20 November
2017.
http://www.satubanten.com/index.php/news/banten-news/item/1094-pemkot-
cilegon-akan-bangun-panti-rehabilitasi-terpadu. Diakses 2 Maret 2017.
Wildan Firdaus CURRICULUM VITAE

Pengalaman Organisasi

OSIS SMAN 1 PAMIJAHAN


» Periode 2012

HIMPUNAN MAHASISWA ILMU ADMINISTRASI NEGARA


» Periode 2015

Pendidikan

FORMAL
SDN Gunung Picung 04
» Tahun 2001 – 2007

Data Pribadi SMP PGRI GUNUNG PICUNG


Tmp, Tgl Lahir : Bogor, 16 Maret 1995 » Tahun 2007 – 2010
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam SMAN 1 PAMIJAHAN
Warga Negara : Indonesia » Tahun 2010 – 2013
Alamat : Kp Susukan RT 01/02.
Desa Gunung Picung
Kecamatan Pamijahan UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
Kabupaten Bogor. Tahun 2013 – 2018
»
Kontak
Telepon : 083813223108 Moto Hidup
Email : Wfirdaus09@gmail.com
Lakukan yang terbaik hari ini untuk kehidupan ke depan
yang lebih baik

HOBI
 Sepak Bola
 Bola Basket
 Game
LAMPIRAN
(SURAT IJIN PENELITIAN)
LAMPIRAN
(DOKUMENTASI PENELITIAN)
Pengemis Kota Serang yang dibawah umur
Pengemis di Kota Serang yang membawa anak ataupun bayinya sebagai alat bantu
untuk mendapatkan belas kasihan orang lain
Pengemis (memakai sarung) di Kota Serang yang sedang bertukar uang, hasil dari
mengemisnya dengan seorang pedagang (celana panjang)

Proses penyerahan gelandangan dan pengemis hasil razia Satpol PP ke Dinas


Sosial untuk di tindak lanjuti
Foto Gelandangan yang sedang tertidur di pinggir jalan Sumur Pecung

Foto Kampung Pengemis Desa Sukawana


Wawancara dengan bapak Heli Priyatna selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial dan Eks Penyalahgunaan Napza Dinas Sosial Kota Serang

Wawancara dengan ibu Hendri selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak dan
Lansia Dinas Sosial Kota Serang
Wawancara dengan Bapak Asep Hanan Selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten

Wawancara dengan Bapak Haji Juanda selaku Kepala Bidang Penegak Hukum
Daerah Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang
Wawancara dengan Bapak Hasanudin selaku Tenaga Kesejahteraan Sosial
Kecamatan Serang

Wawancara dengan Bapak Dr. H. Furtasan Ali Yusuf selaku Anggota DPRD Kota
Serang sekaligus Ketua STIE Bina Bangsa
Wawancara dengan Bapak Assaji selaku Humas Vihara Avalokitesvara Serang

Wawancara dengan Bapak Stefanus Sekretaris Gereja Katolik Kritus Raja Serang
LAMPIRAN
LAIN-LAINNYA
MEMBERCHECK

Kode : I1.1
Hari/Tanggal : 27 November 2017

Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Kota Serang

Nama Informan : Heli Priyatna

Pekerjaan / Jabatan : Kepala seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Kota
Serang

Catatan Wawancara :

Sources of motivation (Sumber motivasi)

1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis

Tentunya untuk yang membuat program rehsos gepeng ini yaitu dinsos, yaa khususnya
seksi bagaian yang menangani gelandangan dan pengemis ini, kami juga sebagai
penanggung jawab program ini.

2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Keterlibatannyan dalam pemerintahan itu, pertama OPD Dinas Sosial Kota Serang yang
harus mempunyai peran sesuai dengan yang ada tupoksinya rehabilitasi. Cuma rehabilitasi
tidak cukup Dinas Sosial bagaimana kalo dia umpamanya pendidikannya ingin
melanjutkan karena tidak mampu, lulusan SMP yang tidak punya izasah maka harus kejar
paket, nah itu terlibatlah Dinas Pendidikan. Kita koordinasi dan bekerjasama dengan
Dinas Pendidikan. Bagaimana cara penanganannya, pengambilannya, wewenang untuk
menangkap dan membawa itu adalah Satpol PP, selain itu juga bagaimana kalo dia nggak
punya dan pengen punya kartu keluarga, pengen punya KTP, nah Dinas Kependudukan
juga harus terlibat, nah bagaimana kalo dia pengen bekerja kalo dia emang sudah punya
keahlian, kita libatkan juga Disnaker.

3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Ya untuk tujuannya mah inginnya kami pemerintah si tetep satu, ingin mengentaskan
kemiskinan kalo tujuan secara umumnya mah itu, sama mengentaskan pengangguran. Ya
khususnya dari program ini inginnya mah itu, si gepeng itu mendapat keterampilan juga
dia bisa merubah prilakunya sama mainsetnya

4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Tentunya yang jadi sasaran utamanya itu para gelandangan pengemis, kalo untuk sasaran
utamanya

5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Sebenernya mah gini ya, yang terkena dampak dari program ini tuh kan para gepeng, ya
artinya program ini memberikan pengaruh ke si gepeng ini biar ga ke jalanan lagi. nah
kalo udah kaya gitu kan, si gepeng udah bisa nyari nafkahnya gak turun ke jalan, bisa juga
kan berdampaknya ke masyarakat. Masyarakatkan nantinya gak keganggu lagi sama
adanya gepeng ini.

6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial


gelandangan dan pengemis?

Hal-hal yang jadi kendalanya itu pertama, SDM. Di bagaian bapak satu bidang aja belom
punya staf, harunya mah kasie itu minimal punya satu, pembantu bapak itu harusnya mah
ada minimal satu tapi bapak belom punya. Sebenrmya bukan bapak aja ini yang belom
punya malah di bidang ini belom punya staf. Ya selain itu juga kendalanya kadang-kadang
OPD-OPD lainya itu istilahnya kurang harmonis. Sebenernya kalo bicara soal itu mah
jelek juga, ya mau gimana lagi begitu kenyataannya. Kemudian kami dinsos belom punya
juga tempat penampungan buat para gepeng yang udah di razia sama Satpol PP. Gimana
mau nampung kita juga kantornya masih ngontrak kan ya gitu. Ya otomatis juga
penganggaran juga oleh kita sangat dibutuhkan. Nah tempat rehabilitasi juga tuh, itu yang
pertama tempat rehabilitasi itu belom ada.

7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program


rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?

Harusnya semuanya OPD-OPD terkait ikut bertanggung jawab, ya terutama OPD Dinas
Sosial dan Satpol PP

8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait


program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Saya juga kan gak punya staf, kalo ada anggarannya bapak juga membentuk tim
sukarelawan. Ya artinya semacem petugas sosial, satgas satuan tugas sepuluh orang.
Kalo misakan anggaran kita gada, kita ngirim para gepeng ini ke provinsi, Dinsos provinsi
buat direhab disana kira-kira sepuluh orang kita kirim ke sana, ya salah satu pelayanan
kita kaya gitu kalo anggarannya ngga ada.

9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan


pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?

Ya artinya program ini memberikan pengaruh ke si gepeng ini, ada juga yang sudah
merasakan lelah, kepengen berubah pekerjaannya, ada yang setelah ikut pelatihan anak-
anak berenti ngamen, ya kalo istilahnya mah ikut ngedesain nyetak foto yang namanya itu
pelatihan sablon. Termasuk juga yang telah dilatih montir motor, dia udah bisa buka
bengkel. Tapi ya itu, gak begitu saja berubah jadi sewaktu-waktu dia bisa balik lagi ke
jalan, ya bisa aja ke pengaruh sama temen-temen jalanannya.

10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Yang menjadi tolak ukurnya ya sekarang udah keliatan biasanya mah pagi-pagi sampai itu
tuh udah ada para gepeng. Kalo sekarang ya Alhamdulillah, jadi berkurangnya ya gitu,
berkurangnya para gepeng.

Sources of power (Sumber kekuatan)

11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?

Kalo yang buat ngambil keputusan mah tentunya pihak yang punya kewenangnya masing-
masing ya kalo kita kan dinsos yang ngasih pembinaan, pelatihan, keterampilan kaya gitu
ya jadinya kalo yang ngambil keputusan di program pembinaan ini mah ya kita. Kalo
Satpol PP kan kewenangannya buat ngejaring, ngerazia para gepengnya, jadi kalo
urusannya soal ngerazia mah pihak Satpol PP.

12. Apakah Perda terkait tentang gelandangan dan pengemis perlu direvisi?

Kalo menurut pandangan saya mah ya tetep perlu direvisi karena dari kata-katanya juga
terlalu kasar. Pemberantasan, disitu ada kata-kata pemberantasan. Ya kalo pemberantasan
harus diberantas lah.

13. Apa saja yang dilakukan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis dalam memberikan
pelayanan rehablitasi?

Tentunya pelayanan yang diberikan itu pertama ya artinya memberikan pembinaan seperti
kita kumpulkan para gepeng terus kita kasih pembinaan keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama. Terus ya kebutuhannya, kalo memang dia pengen kebutuhan
ya kita berikan dengan cara kemudahan, ya misalkan si gepeng minta pengen pelatihan
montir motor ya kita berikan lah gitu. Pengiriman ketempat pelatihan atau ketempat
rehabilitasi yang dilaksanak sama pihak Dinsos provinsi

14. Apakah kebutuhan gelandangan dan pengemis selama di rehab telah diberikan secara
maksimal?

Kalo di tempat rehabilitasi si dikasih kebutuhan secara maksimal, itu kalo di tempat
rehabilitasi, ya kalo cuma pembinaan aja belom maksimal. Kalo sampe pendidikan
keterampilan, termasuk juga bantuan peralatannya itu udah maksimal. Ya maksimal sertus
persen si belum. Artinya udah maksimal aja, kalo misalkan dikasih bantuan seratus persen
mah dia juga harus di kasih modal yang sepuluh juta itu.

15. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?

Seperti yang udah jelasin tadi perbidang aja belom punya staf, kasie ini aja kan ga punya
staff. Ya minimal punya satu lah staff.

Dana juga menurut saya mah kurang memadai, tempat rehabilitasi juga kan gada kita mah.
Jadi terkadang kita kirim ke Dinsos provinsi buat direhab

Ya tadi itu kita belum memiliki tempat rehabilitasi untuk para gelandangan dan pengemis.
ya kita aja kantor dinas nya statusnya masih ngontrak, ya istilahnya daripada buat tempat
rehabilitasi mending buat kantor dulu. Rumah singgah juga kan kita belom punya.

16. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengawasi implementasi kebijakan
tentang rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Kalo pengawasan dari kita si cuma turun ke jalanan terus ngontrol gepeng itu masih
banyak ga atau yang kemaren kita rehab itu turun lagi ga ke jalan, kalo misalkan jalan-
jalan sepi dari gepeng kan berarti berhasil program kita ini.

17. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengevaluasi program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?

Ya yang harus dibenahi itu terutama tadi itu tempat rehabilitasi atau UPT, harus ada
secara khusus yang menangani gepeng ini.

Jadi Dinas Sosial itu membawahi yaitu UPT evaluasinya itu. Selain itu juga yang tadi itu
penambahan SDM, kalo untuk anggaran mah itu udah jelas harus ada.

Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)


MEMBERCHECK

Kode : I1.2
Hari/Tanggal : 11 Januari 2018

Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Kota Serang

Nama Informan : Hendri

Pekerjaan / Jabatan : Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Anak & Lansia Dinas Sosial
Kota Serang

Catatan Wawancara :

Sources of motivation (Sumber motivasi)

1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis

Yang membuat program ini itu adalah kepala seksi sesuai dengan tupoksi, karena yang tau
permasalahan kan dari kita sendiri sesuai dengan tupoksinya

2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Kepala Bidang disitu juga ada Pak Kadis, kita kan awalnya lihat dari data dan kenyataan
banyak di jalan anak jalanan, gepeng, kita juga ngedata melalui pos sahabat anak itu juga
dibantu oleh Peksos setelah kita melihat data kan terus gimana nih cara penanganannya,
nah maka dari itu kita rempugin bareng-bareng bersama bapak kabid dan bapak kadis.
Banyak juga kita berkoordinasi ada dari lembaga ada juga dinas-dinas terkait yang
menangani tentang program ini. Ya misalkan dengan Disnaker, Kemenag, Dinas
Pendidikan, Dinas Kesehatan yang sesuai tupoksinya kaya BPJS kesehatan, Kepolisian
untuk menangani anak jalanan kaya gitu. Jadi kita ga sendiri

3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

sebenernya mah dari tujuannya mah kaya sederhana tapi dalemnya rumet ya, itu
menghilangkan si tidak mungkin, tapi kita meminimalisir jumlahnya.
4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Dalam Perda pekat ini kan tidak hanya untuk gepeng dan anak jalanan ataupun pekat yang
lainnya ya, kita kan ada berbasis masyarakat ya otomatis masyarakat juga diikut sertakan,
terutama minimalnya tau bahwa ada peraturan atau perda yang ngelarang gepeng dan anak
jalanan itu tidak boleh gitu kan

5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Tentunya yang terkena dampaknya itu para gepeng anak jalanan itu sendiri ya, soalnya
kan mereka yang kita kasih pembinaan kasih bantuan, dengan kaya gitukan yang kena
dampak mereka.

6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial


gelandangan dan pengemis?

kendalanya memang belum nyambungnya ya antara keinginan dan tujuan pemerintah dan
masyarakat belom sejalan gitu. Karena kita juga sadar diri ya, SDM dari kita Dinas Sosial
kurang ya sehingga tidak mencukupi untuk tenaga di sosialisasi di jalan. Karena kita
harusnya banyak ke jalan ya, nah tenaga itulah kita yang kurang. Sebenernya mah
kendalanya juga kesadaran lah dari kita semua ya khususnya masyarakat bahwa kita disini
punya program buat merubah anak jalanan.

7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program


rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?

Sebenernya semua, cuma kan yang jadi leading sectornya dan tupoksinya Dinas Sosial
Kota Serang ya otomatis kita harus bertanggung jawab merangkul kesemuanya ke OPD
lain atau juga ke masyarakatnya

8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait


program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan. ya walaupun istilahnya kami
melakukan tugas cuma lima orang tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami
merekrut hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang tiga puluh orang
ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari segi dana kami untuk kontrol aja seperti
yang saya udah jelasin kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.
9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?

Kalo untuk kesejahteraannya mah belom, namun berubah gitu dari prilakunya kalo
misalkan kesejahteraan mah dari jumlah segitu palingan yang baru sedikit ya

10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Kalo yang jadi tolak ukur keberhasilan dari ibu si sederhana yah, kalo menghilangkan kan
ga mungking, ya minimal mengurangi jumlahnya itu

Sources of power (Sumber kekuatan)

11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?

Ya yang mengambil keputusannya ya masing-masing kepala seksi di sini, kita kan


ngerempugin bersama-sama ya.

12. Apakah Perda terkait tentang gelandangan dan pengemis perlu direvisi?

kalo liat dari itu mah diliat dari dalem isi perdanya itu ya belom dilaksanakan semua ya,
buktinya disosialisasikan ke masyarakatnya juga belum ya, misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya kena sanksi nyatanya tidak kena sanksi. Sehingga perda
itu belom kuat.

13. Apa saja yang dilakukan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis dalam memberikan
pelayanan rehablitasi?

kami kirimkan anak jalanan itu ke sekolah memberikan program paket c, kita juga
menawarkan kepada anak-anak jalanan siapa yang mau ke sekolah atau ke pesantren
bahwa ada anak jalanan yang minta di beliin baju koko, peci, sarung, kami berikan. Ya
pokoknya kami pengennya mereka berubah biar ga di jalan lagi

14. Apakah kebutuhan gelandangan dan pengemis selama di rehab telah diberikan secara
maksimal?

kalo kebutuhan si kita kasih ya, kaya kemaren ya anak yang pengen masuk pesantren, kita
kerjasama sama Kemenag kita masukin pesantren. Eh baru dua hari si anak itu di jalan
lagi alesannya si pengen sarung, pengen Al-quran peci ibu turutin pengennya kaya gimana
coba, ibu kumplitin deh kita dateng ke orang tuanya kita turutin si anak itu maunya apa.
Ya karena kita pengennya itu si anak ini bisa gitu ga ke jalan lagi
15. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?

Memangnya juga Dari SDMnya juga kita kekurangan ya, sehingga tidak mencukupi
tenaga untuk kita bersosialisasi di jalan.

Dan untuk dana sendiri, kita di situlah kelemahannya memang minim sekali dari
pendanaannya ya kurang mendukung kalo dari dana. Ya tetapi walau minimnya
pendanaan di situ kita ya minimal kita bisa ngebantu mereka walau sedikit jumlahnya

Ya kita sendiri dinas sosial belum memiliki tempat pusat rehabilitasi untuk para gepeng
atau anjal ini di berikan semacam pembinaan atau pelatihan apa gitu. Ya kita sendiri
bingung ya, kalo buat nampungnya itu.

16. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengawasi implementasi kebijakan
tentang rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Ya memang pengawasannya kita melalui petugas pos sahabat anak, apakah dia berfungsi
atau mereka berjalan sesuai dengan tupoksinya dan bisa di manfaatkan gitu. Juga
pengawasannya ke mereka yang dapet bantuan dari kita, kaya gitu pengawasannya.

17. Bagaimana Dinas Sosial Kota Serang dalam mengevaluasi program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?

Kalo kita mengevaluasi ya itu tadi, ibu suka mengevaluasi kalo ada pertemuan-pertemuan
baik di intern yang mana melibatkan awal dari kita lihat dari sarana dan prasarana yang
selama ini belom ada buat pembinaannya, anggarannya juga kan sedikit kurang
mendukung. Selain itu juga kita membahas tentang petugas pos sahabat anak, terus jumlah
daripada kita pelaksanaan penjaringan atau penjangkauan bukan termasuk razia kareba
kalo razia itu Satpol PP, terus selain itu juga dari lingkungan para gepeng itu. Nih ada
kepedulian ga nih lingkungan mereka terhadap si gepeng ini di jalan. Dalam hal ini para
gepeng masih banyak tidak yang ada di jalanan.

Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)

18. Apa peran Dinas Sosial Kota Serang dalam perumusan program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis?

Ya kita merumuskan pertama dari kepala seksinya dulu karena kan sesuai dengan
tupoksinya, terus dengan kepala bidang, selanjutnya ke kadin atau kepada dinas untuk
disetujui atau tidak.
MEMBERCHECK

Kode : I2.1
Hari/Tanggal : Senin, 27 November 2017

Tempat wawancara : Kantor Satpol PP Kota Serang

Nama Informan : Hj. Juanda

Pekerjaan / Jabatan : Kepala Bidang Pengegak Hukum Daerah Satpol PP Kota


Serang

Catatan Wawancara :

Sources of motivation (Sumber motivasi)

1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis

Untuk pembinaan dan rehablitasi dan bantuan lain-lain adalah tugas dari Dinas Sosial,
dalam kapasitas kita itu tugas pokoknya hanya mengeksekusi dari tempat kejadian terus
dikirim ke dinas sosial, yang buat program ini kan dinas sosial, jadi yang ngebina,
ngerehab, yang ngasih bantuan itu Dinas Sosial dan juga perencanaan dan segala
sesuatunya ada di Dinas Sosial, soalnya mereka yang buat programnya.

2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Dalam rehabilitasi gepeng ini kita emang dilibatkan sesuai tupoksi kita yaitu menjaring
atau merazia para gepeng yang ada dijalanan. Ini juga kan masuk kewenangan kita, terus
tupoksi kita ini kan dari perwal yang didasari oleh perda pekat tersebut.

3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Dari kita mah tujuannya pengen si gepeng ini ngerasa kapok lah ada di jalanan, jadi
mereka itu si gepeng ini gak balik-balik ke jalan lagi, kan dengan kaya gitu bisa ngubah
mainsetnya.

4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Pastinya yang kita jadiin target sasaran para penyakit masyarakat termasuk juga para
gelandangan dan pengemis. Kita kan sebagai penegak hukum daerah, ya kita tugasnya
merazia para pekat penyakit masyarakat ini termasuk juga para gepeng.

5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Masyarakat akan dirasakan langsung dampaknya, coba kalo misalkan program ini bisa
istilahnya membuat si gepeng ini sadar, tentunya dampaknya ke masyarakat, masyarakat
ga ke ganggu lagi dong ama aktifitas gepeng ini.

6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial


gelandangan dan pengemis?

Kendalanya dari kita itu kurangnya SDM, kurangnya disini itu dari segi kuantitas ya
bukan dari kualitas. Kalo dari kualitas si saya yakin lah kualitasnya bagus, tapi disini kami
hanya kekurangan kuantitas. Selain itu juga dari segi finansial, nah ini ni yang susah. Nah
kaya yang saya sebutin tadi susah kalo ga ada duit mah mau jalannya ajasusah, ya mau
gimana lagi itu faktanya. Ya terkadang anggaran untuk kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya buat bensin-bensin doang mah.

7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program


rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?

Kan yang jadi penanggung jawab program ini kan Dinas Sosial, jadi kalo misalkan ada
masalah-masalah yang terjadi dinsosnya yang bertanggung jawab, kalo kita bertanggung
jawab kalo tiap penjaringan, ngerazia, baru kita yang tanggung jawab.

8. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani permasalahan terkait


program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Dari faktor SDM yang sesungguhnya kami kekurangan. ya walaupun istilahnya kami
melakukan tugas cuma lima orang tapi alhamdulillahnya di dalam lima orang ini kami
merekrut hampir tiga puluh orang. Dia tau upamanya kami operasi yang tiga puluh orang
ini harus ikut karena juga ada SP nya. Kalo dari segi dana kami untuk kontrol aja seperti
yang saya udah jelasin kami sering pake kantong pribadi buat bensin-bensin mah, kan
kalo mau jalan buat ngontrol mah buat bensin mah harus ada.

9. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan


pengaruh terhadap gelandangan dan pengemis khususnya?
Pastinya ngasih pengaruh ke si para gepeng, ya sedikit banyaknya ngasih pengaruh ke si
gepeng. Ada juga kan yang udah direhab dia berenti ngamen ngemis dia jadi usaha
dagang, ya sedikit banyaknya ngasih pengaruh.

10. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan Seksi Bagian Gelandangan dan Pengemis
dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Tugas Satpol PP itu cuma eksekutor pembinaannya kan dari Dinsos, tugas kita tuh cuma
sedikit cuma pelarangan saja. Ya disini yang menjadi tolak ukur kita para gepeng ini ga
balik lagi ke jalan, dan masyarakatnya juga sadar kalo ngasih para pengamen pengemis itu
dilarang, jadi kalo misalkan ada gepeng yang minta-minta coba lah jangan dikasih, ya
walaupun istilahnya kita ngerasa ga tega iba ke si gepeng itu. Soalnya nanti kebiasaan
buat para si gepeng.

Sources of power (Sumber kekuatan)

11. Siapa yang memiliki kekuatan atau yang berwenang untuk memberikan keputusan
dalam program rehablitasi gelandangan dan pengemis?

Yang punya kewenangan dalam urusan merazia itu kan Satpol PP, jadi yang berhak
mengambil dalam urusan merazia itu pihak kami, Satpol PP. Kita mah gausah kemana
mana dulu, kita ngejalanin undang-undangnya dulu, amanatnya dulu gausah ke yang lain,
jadi kita kalo langsung ke sasaran dasarnya apa kita ngelakuin itu.

12. Apakah program rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis didukung oleh
sumberdaya (dana, manusia) yang memadai?

Yang saya jelasin tadi SDM di kita kekurang dari segi jumlahnya secara kuantitas kita
kekurangan.

Nah untuk dana juga kita juga kekurangan tadi juga saya udah jelasin kalo misalkan kita
buat kontrol-kontrol gitukan butuh uang transport, buat orang yang kontrol juga kan butuh
buat untuk ngopi-ngopi mah.

Nah terkadang kita bingung nih pas kita baru beres ngejaring, si para gepeng ini mau di
kemanain nih. Dinsos juga belom punya tempat penampungan gitu. Semacem tempat buat
ngerehabnya juga belom ada.

13. Bagaimana Keterlibatan Satpol PP dalam mengawasi implementasi kebijakan tentang


rehablitasi sosial gelandangan dan pengemis?
MEMBERCHECK

Kode : I3.1
Hari/Tanggal : Senin, 18 Desember 2017

Tempat wawancara : Kantor Dinas Sosial Provinsi Banten

Nama Informan : Asep Hanan

Pekerjaan / Jabatan : Kepala seksi Rehabilitasi Tuna Sosial Dinas Sosial Provinsi
Banten

Catatan Wawancara :

Sources of motivation (Sumber motivasi)

1. Siapa atau pihak mana yang secara faktual yang memproduk kebijakan tentang
rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?

Yang punya kewenangan membuat program rehabilitasi ini si di kabupaten/kota ya, kalo
di kota kan Dinas Sosial Kota Serang ya.

2. Siapa saja yang terlibat dalam pembuatan program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Kalo untuk di lapangan itu misalkan penertiban, ngerazia para gepeng itu kan
kewenangannya ada di Kabupaten/Kota yaitu di Dinas Sosial Kota Serang dan juga Satpol
PP nya

3. Apa tujuan dan manfaat adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Kalo tujuan program rehablitasi gepeng ini tentunya pengen ngerubah mindsetnya lah dari
tadinya dia ngemis, dia bisa usaha kecil-kecilan kaya jualan gorengan atau buka warung
kecil kaya gitu. Kan kalo program rehabilitasi ini, si gepeng keterampilan kaya bikin kue,
atau keterampilan montir, dan kalo dia mau dia dikasih modal sama kita. Ya kalopun
misalkan gak ngerubah dia, minimal dia turun ke jalannya ga sering, ya misalkan tadinya
dia di jalan 12 jam sekarang dia jalan cuma 5 jam.

4. Siapa yang menjadi sasaran adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?
Yang jelas yang jadi sasaran dari program ini tuh para gepeng, jangan sampe si gepeng itu
terus di jalan, ya minimal mereka itu produktif lah nggak terus nyari nafkahnya di jalanan.

5. Siapa yang terkena dampak dari adanya program rehabilitasi sosial gelandangan dan
pengemis?

Di program ini kan kita ngasih pembinaan kaya semacem ngasih keterampilan bikin kue
kaya tata boga gitu, selain itu juga kita ngasih keterapilan buat bengkel jadi si gepeng ini
punya keahlian lah semacem itu, nah kalo udah kaya gitu kita tinggal ngasih modal tuh ke
para gepeng, biar ga balik lagi ke jalan mereka lebih produktif kan kaya gitu. Nah dari situ
berdampak juga ke prilaku si gepeng, jadi mindset si gepeng ini kan berubah. Dengan
kaya gitu masyarakat ikut merasakan juga kan keuntungannya, jadi masyarakat juga ga
merasa ke ganggu tuh ama si gepeng.

6. Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan program rehabilitasi sosial


gelandangan dan pengemis?

Kendalanya ya kadang-kadang kalo dirazia itu si gepeng nya itu balik lagi balik lagi kaya
gak kapok-kapok, terus juga kategori kaya anak punk itu yang masih samar, itu masuknya
kemana nih, anak jalanan atau apa gitu kalo anak jalanan ada seksinya lagi, kalo yang
pake narkoba atau orang yang gila ada juga seksinya disini tapi kadang-kadang di tangani
oleh seksi kita juga. Ya emang susah juga kita mengkategorikannya juga, ya jadi
kendalanya itu kita susah buat mengkategorikannya

7. Pihak mana yang bertanggung jawab dalam menangani permasalahan program


rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis ini?

Kalo program ini si sebenernya yang punya kewenangan itu yang di kabupaten kota, juga
yang bertanggung jawab yang di kabupaten kota, biasanya kan mereka itu yang langsung
ke lapangan melakukan razia atau apa gitu, itu udah kewenangan di kabupaten kota,
Dinsos kota sama Satpol PP kalo kita terima sini ajalah.

8. Apakah program rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis sudah memberikan


pengaruh terhadap kesejahteraan gelandangan dan pengemis khususnya?

Memberikan pengaruh tentunya, disinikan kami ngasih pelatihan kaya bikin kue, pelatihan
bengkel yang kaya disebutin tadi itu, keterampilan ngejahit. Nanti kami ngasih modal ke
mereka biar uang itu dijadiin modal usaha sama mereka.

9. Apa yang menjadi tolak ukur keberhasilan dalam penyelenggaraan program


rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis?
MATRIK WAWANCARA
Sources Of Motivation (Sumber Motivasi)

a. Stakeholder (Pihak yang terlibat)

Q1 Siapa atau pihak mana yang


secara faktual yang memproduk
kebijakan tentang rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
I1.1 Tentunya untuk yang membuat
program rehsos gepeng ini yaitu
dinsos, yaa khususnya seksi
bagaian yang menangani
gelandangan dan pengemis ini,
kami juga sebagai penanggung
jawab program ini
I1.2 Yang membuat program ini itu
adalah kepala seksi sesuai
dengan tupoksi, karena yang tau Kesimpulan :
permasalahan kan dari kita
sendiri sesuai dengan tupoksinya Pihak yang memproduk atau yang
I2.1 Untuk pembinaan dan rehablitasi membuat program ini adalah Dinas
dan bantuan lain-lain adalah Sosial Kota Serang. Dinas Sosial
tugas dari Dinas Sosial, dalam juga yang mempunyai kewenangan
kapasitas kita itu tugas dan tanggung jawab terhadap
pokoknya hanya mengeksekusi program rehabilitasi gelandangan
dari tempat kejadian terus dan pengemis ini.
dikirim ke dinas sosial, yang
buat program ini kan dinas
sosial, jadi yang ngebina,
ngerehab, yang ngasih bantuan
itu Dinas Sosial dan juga
perencanaan dan segala
sesuatunya ada di Dinas Sosial,
soalnya mereka yang buat
programnya
I3.1 Yang punya kewenangan
membuat program rehabilitasi
ini si di kabupaten/kota ya, kalo
di kota kan Dinas Sosial Kota
Serang ya
Q2 Siapa saja yang terlibat dalam
pembuatan program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
I1.1 Keterlibatannyan dalam
pemerintahan itu, pertama OPD
Dinas Sosial Kota Serang yang
harus mempunyai peran sesuai Kesimpulan :
dengan yang ada tupoksinya
rehabilitasi. Cuma rehabilitasi Pihak-pihak yang terlibat dalam
tidak cukup Dinas Sosial pelaksaan program rehabilitasi
bagaimana kalo dia umpamanya gelandangan dan pengemis ini yaitu
pendidikannya ingin Dinas Sosial Kota Serang sebagai
melanjutkan karena tidak leading sector, Satuan Polisi Pamong
mampu, lulusan SMP yang tidak Praja Kota Serang, Dinas Pendidikan
punya izasah maka harus kejar Kota Serang, Dinas Kesehatan,
paket, nah itu terlibatlah Dinas Dinas Kependudukan dan Catatan
Pendidikan. Kita koordinasi dan Sipil Kota Serang, Dinas Tenaga
bekerjasama dengan Dinas Kerja Kota Serang, bahkan
Pendidikan. Bagaimana cara kepolisian yang ikut menangani anak
penanganannya, jalanan.
pengambilannya, wewenang
untuk menangkap dan membawa
itu adalah Satpol PP, selain itu
juga bagaimana kalo dia nggak
punya dan pengen punya kartu
keluarga, pengen punya KTP,
nah Dinas Kependudukan juga
harus terlibat, nah bagaimana
kalo dia pengen bekerja kalo dia
emang sudah punya keahlian,
kita libatkan juga Disnaker
I1.2 Kepala Bidang disitu juga ada
Pak Kadis, kita kan awalnya
lihat dari data dan kenyataan
banyak di jalan anak jalanan,
gepeng, kita juga ngedata
melalui pos sahabat anak itu
juga dibantu oleh Peksos setelah
kita melihat data kan terus
gimana nih cara penanganannya,
nah maka dari itu kita rempugin
bareng-bareng bersama bapak
kabid dan bapak kadis. Banyak
juga kita berkoordinasi ada dari
lembaga ada juga dinas-dinas
terkait yang menangani tentang
program ini. Ya misalkan
dengan Disnaker, Kemenag,
Dinas Pendidikan, Dinas
Kesehatan yang sesuai
tupoksinya kaya BPJS
kesehatan, Kepolisian untuk
menangani anak jalanan kaya
gitu. Jadi kita ga sendiri
I2.1 Dalam rehabilitasi gepeng ini
kita emang dilibatkan sesuai
tupoksi kita yaitu menjaring atau
merazia para gepeng yang ada
dijalanan. Ini juga kan masuk
kewenangan kita, terus tupoksi
kita ini kan dari perwal yang
didasari oleh perda pekat
tersebut
I3.1 Kalo untuk di lapangan itu
misalkan penertiban, ngerazia
para gepeng itu kan
kewenangannya ada di
Kabupaten/Kota yaitu di Dinas
Sosial Kota Serang dan juga
Satpol PP nya
b. Purpose (Tujuan)

Q3 Apa yang menjadi tujuan dari


program rehabilitasi sosial
gelandangan dan pengemis?
I1.1 Ya untuk tujuannya mah
inginnya kami pemerintah si Kesimpulan :
tetep satu, ingin mengentaskan
kemiskinan kalo tujuan secara Tujuan dari program rehabilitasi
umumnya mah itu, sama gelandangan dan pengemis ini yaitu
mengentaskan pengangguran. untuk mengurangi jumlahnya dan
Ya khususnya dari program ini juga merubah prilaku dan mainset
inginnya mah itu, si gepeng itu para gelandangan dan pengemis,
mendapat keterampilan juga dia dengan cara memberikan pembinaan,
bisa merubah prilakunya sama memberikan keterampilan dan
mindsetnya keahlian kepada para gelandangan
I1.2 Sebenernya mah dari tujuannya dan pengemis agar mereka
mah kaya sederhana tapi mempunyai keterampilan dan
dalemnya rumet ya, itu keahlian sehingga para gelandangan
menghilangkan si tidak dan pengemis ini untuk tidak terus
mungkin, tapi kita berada di jalanan dan juga mereka
meminimalisir jumlahnya bisa mencari nafkah dengan tidak
I2.1 Dari kita mah tujuannya pengen meminta-minta.
si gepeng ini ngerasa kapok lah
ada di jalanan, jadi mereka itu si
gepeng ini gak balik-balik ke
jalan lagi, kan dengan kaya gitu
bisa ngubah mainsetnya
I3.1 Kalo tujuan program rehablitasi
gepeng ini tentunya pengen
ngerubah mainsetnya lah dari
tadinya dia ngemis, dia bisa
usaha kecil-kecilan kaya jualan
gorengan atau buka warung kecil
kaya gitu. Kan kalo program
rehabilitasi ini, si gepeng
keterampilan kaya bikin kue,
atau keterampilan montir, dan
kalo dia mau dia dikasih modal
sama kita. Ya kalopun misalkan
gak ngerubah dia, minimal dia
turun ke jalannya ga sering, ya
misalkan tadinya dia di jalan 12
jam sekarang dia jalan cuma 5
jam
I4.1 Tujuannya, tentunya untuk
mengurangi para gelandangan
dan pengemis jangan sampai ada
yang turun ke jalan tentunya
Q4 Siapa yang menjadi sasaran
adanya program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
I1.1 Tentunya yang jadi sasaran
utamanya itu para gelandangan
pengemis, kalo untuk sasaran
utamanya.
Kesimpulan :
I1.2 Dalam Perda pekat ini kan tidak
hanya untuk gepeng dan anak
yang menjadi sasaran dari program
jalanan ataupun pekat yang
rehablitasi gelandangan dan
lainnya ya, kita kan ada berbasis
pengemis ini yaitu para gelandangan
masyarakat ya otomatis
dan pengemis
masyarakat juga diikut sertakan,
terutama minimalnya tau bahwa
ada peraturan atau perda yang
ngelarang gepeng dan anak
jalanan itu tidak boleh gitu kan
I2.1 Pastinya yang kita jadiin target
sasaran para penyakit
masyarakat termasuk juga para
gelandangan dan pengemis. Kita
kan sebagai penegak hukum
daerah, ya kita tugasnya merazia
para pekat penyakit masyarakat
ini termasuk juga para gepeng.
I3.1 Yang jelas yang jadi sasaran dari
program ini tuh para gepeng,
jangan sampe si gepeng itu terus
di jalan, ya minimal mereka itu
produktif lah nggak terus nyari
nafkahnya di jalanan
I4.1 Ya yang pastinya yang jadi
sasarannya itu para gelandangan
dan pengemis itu. Soalnya kan
program ini ditujukannya ke
mereka.
Q5 Siapa yang terkena dampak dari
adanya program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis?
I1.1 Sebenernya mah gini ya, yang
terkena dampak dari program ini
tuh kan para gepeng, ya artinya
program ini memberikan
pengaruh ke si gepeng ini biar ga
ke jalanan lagi. nah kalo udah
kaya gitu kan, si gepeng udah
Kesimpulan :
bisa nyari nafkahnya gak turun
ke jalan, bisa juga kan
Yang terkena dampak dari program
berdampaknya ke masyarakat.
rehablitasi gelandangan dan
Masyarakatkan nantinya gak
pengemis ini adalah para
keganggu lagi sama adanya
gelandangan dan pengemis itu
gepeng ini
sendiri sehingga masyarakat juga
I1.2 Tentunya yang terkena
ikut merasakan dampak dari program
dampaknya itu para gepeng anak
ini.
jalanan itu sendiri ya, soalnya
kan mereka yang kita kasih
pembinaan kasih bantuan,
dengan kaya gitukan yang kena
dampak mereka
I2.1 Masyarakat akan dirasakan
langsung dampaknya, coba kalo
misalkan program ini bisa
istilahnya membuat si gepeng ini
sadar, tentunya dampaknya ke
masyarakat, masyarakat ga ke
ganggu lagi dong ama aktifitas
gepeng ini
I3.1 Di program ini kan kita ngasih
pembinaan kaya semacem
ngasih keterampilan bikin kue
kaya tata boga gitu, selain itu
juga kita ngasih keterapilan buat
bengkel jadi si gepeng ini punya
keahlian lah semacem itu, nah
kalo udah kaya gitu kita tinggal
ngasih modal tuh ke para
gepeng, biar ga balik lagi ke
jalan mereka lebih produktif kan
kaya gitu. Nah dari situ
berdampak juga ke prilaku si
gepeng, jadi mainset si gepeng
ini kan berubah. Dengan kaya
gitu masyarakat ikut merasakan
juga kan keuntungannya, jadi
masyarakat juga ga merasa ke
ganggu tuh ama si gepeng
I4.1 Dampak dari program ini
tentunya kepada masyarakat,
kalo misalkan gelandangan dan
pengemis sudah berkurang lah
jumlahnya, tentunya masyarakat
juga yang nyaman kan
Q6 Apa yang menjadi kendala
dalam penyelenggaraan program Kesimpulan :
rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis? Yang menjadi kendalanya dalam
I1.1 Hal-hal yang jadi kendalanya itu program rehabilitasi gelandangn dan
pertama, SDM. Di bagaian pengemis itu adalah SDM yang
bapak satu bidang aja belom kurang memadai, ada juga dari
punya staf, harunya mah kasie tempat penampungan dan tempat
itu minimal punya satu, rehablitasi para gelandangan dan
pembantu bapak itu harusnya pengemis, kurangnya
mah ada minimal satu tapi bapak keharmonisasian dan kurangnya
belom punya. Sebenrmya bukan koordinasi dari organisasi perangakat
bapak aja ini yang belom punya daerah terkait, dan juga anggaran
malah di bidang ini belom punya yang belum memadai serta
staf. Ya selain itu juga kurangnya peran serta masyarakat
kendalanya kadang-kadang untuk mematuhi peraturan daerah
OPD-OPD lainya itu istilahnya yang melarang memberikan uang
kurang harmonis. Sebenernya pada pengemis.
kalo bicara soal itu mah jelek
juga, ya mau gimana lagi begitu
kenyataannya. Kemudian kami
dinsos belom punya juga tempat
penampungan buat para gepeng
yang udah di razia sama Satpol
PP. Gimana mau nampung kita
juga kantornya masih ngontrak
kan ya gitu. Ya otomatis juga
penganggaran juga oleh kita
sangat dibutuhkan. Nah tempat
rehabilitasi juga tuh, itu yang
pertama tempat rehabilitasi itu
belom ada
I1.2 Kendalanya memang belum
nyambungnya ya antara
keinginan dan tujuan pemerintah
dan masyarakat belom sejalan
gitu. Karena kita juga sadar diri
ya, SDM dari kita Dinas Sosial
kurang ya sehingga tidak
mencukupi untuk tenaga di
sosialisasi di jalan. Karena kita
harusnya banyak ke jalan ya, nah
tenaga itulah kita yang kurang.
Sebenernya mah kendalanya
juga kesadaran lah dari kita
semua ya khususnya masyarakat
bahwa kita disini punya program
buat merubah anak jalanan.
I2.1 Kendalanya dari kita itu
kurangnya SDM, kurangnya
disini itu dari segi kuantitas ya
bukan dari kualitas. Kalo dari
kualitas si saya yakin lah
kualitasnya bagus, tapi disini
kami hanya kekurangan
kuantitas. Selain itu juga dari
segi finansial, nah ini ni yang
susah. Nah kaya yang saya
sebutin tadi susah kalo ga ada
duit mah mau jalannya ajasusah,
ya mau gimana lagi itu faktanya.
Ya terkadang anggaran untuk
kita kontrol aja, terkadang pake
kantong pribadi itu istilahnya
buat bensin-bensin doang mah.
I3.1 Kendalanya ya kadang-kadang
kalo dirazia itu si gepeng nya itu
balik lagi balik lagi kaya gak
kapok-kapok, terus juga kategori
kaya anak punk itu yang masih
samar, itu masuknya kemana
nih, anak jalanan atau apa gitu
kalo anak jalanan ada seksinya
lagi, kalo yang pake narkoba
atau orang yang gila ada juga
seksinya disini tapi kadang-
kadang di tangani oleh seksi kita
juga. Ya emang susah juga kita
mengkategorikannya juga, ya
jadi kendalanya itu kita susah
buat mengkategorikannya.
I4.1 Kendalanya ya memang itu
terkadang para gepeng itu pas
kita samperin itu pada lari, terus
dari si gepeng itu juga kurang
keterbukaan kitakan jadinya
susah buat ngedatanya. Kita juga
butuh kerjasama dari masyarakat
untuk berperan untuk ikut dalam
program ini ya minimal ikut
mengikuti peraturan yang ada,
kan di perda juga ada pelarangan
buat ngasih para gepeng.
Q7 Pihak mana yang bertanggung
Kesimpulan :
jawab dalam menangani
permasalahan program
Pihak yang bertanggung jawab atas
rehabilitasi sosial gelandangan
masalah-masalah yang terjadi dalam
dan pengemis ini?
program rehablitasi gelandangan dan
I1.1 Harusnya semuanya OPD-OPD
pengemis ini yaitu terutama Dinas
terkait ikut bertanggung jawab,
Sosial Kota Serang sebagai instansi
ya terutama OPD Dinas Sosial
yang menjadi penanggung jawab
dan Satpol PP
program, namun seluruh elemen
I1.2 Sebenernya semua, cuma kan
masyarakat juga harus bertanggung
yang jadi leading sectornya dan
jawab untuk ikut andil dalam
tupoksinya Dinas Sosial Kota
program ini dengan tidak memberi
Serang ya otomatis kita harus
apapun kepada gelandangan dan
bertanggung jawab merangkul
pengemis. Selain itu instansi-instansi
kesemuanya ke OPD lain atau
terkait juga harus mempunyai rasa
juga ke masyarakatnya.
tanggung jawab dalam menangani
I2.1 Kan yang jadi penanggung
masalah yang ada.
jawab program ini kan Dinas
Sosial, jadi kalo misalkan ada
masalah-masalah yang terjadi
dinsosnya yang bertanggung
jawab, kalo kita bertanggung
jawab kalo tiap penjaringan,
ngerazia, baru kita yang
tanggung jawab
I3.1 Kalo program ini si sebenernya
yang punya kewenangan itu
yang di kabupaten kota, juga
yang bertanggung jawab yang di
kabupaten kota, biasanya kan
mereka itu yang langsung ke
lapangan melakukan razia atau
apa gitu, itu udah kewenangan di
kabupaten kota, Dinsos kota
sama Satpol PP kalo kita terima
sini ajalah.
I4.1 Yang bertanggung jawab itu
Dinas Sosial dan juga unsur
masyarakat seluruhnya. Dinas
sosial kan lembaga pemerintah
ya, jadi untuk lembaga ini Dinas
Sosial yang bertanggung jawab
tapi harus ada peran serta
masyarakat.
Q8 Upaya apa yang dilakukan Kesimpulan :
pemerintah dalam menangani
permasalahan terkait program Upaya-upaya yang di lakukan oleh
rehabilitasi sosial gelandangan pihak-pihak yang bertanggung jawab
dan pengemis? dalam mengatasi masalah yang
I1.1 Saya juga kan gak punya staf, terjadi adalah seperti dari kekurang
kalo ada anggarannya bapak Sumber Daya Manusia (SDM) pihak
juga membentuk tim Dinas Sosial Kota Serang
sukarelawan. Ya artinya membentuk sebuat satuan tugas
semacem petugas sosial, satgas (Satgas) atau Petugas Sosial yang
satuan tugas sepuluh orang. Kalo akan membantu Dinas Sosial dalam
misakan anggaran kita gada, kita menangani para gelandangan dan
ngirim para gepeng ini ke pengemis. Hampir sama seperti
provinsi, Dinsos provinsi buat pihak Dinas Sosial, Satpol PP
direhab disana kira-kira sepuluh melakukan perekrutan petugas
orang kita kirim ke sana, ya sebanyak 30 orang oleh anggota asli
salah satu pelayanan kita kaya yang sebanyak 5 orang. Pihak Dinas
gitu kalo anggarannya ngga ada. Sosial dalam mengatasi masalah
I2.1 Dari faktor SDM yang anggaran mereka mengirimkan para
sesungguhnya kami kekurangan. gelandangan dan pengemis ke pihak
ya walaupun istilahnya kami Dinas Sosial Provinsi Banten untuk
melakukan tugas cuma lima di rehablitasi. Sedangkan yang
orang tapi alhamdulillahnya di dilakukan Satpol PP untuk mengatasi
dalam lima orang ini kami anggaran adalah sering
merekrut hampir tiga puluh menggunakan dana pribadi untuk
orang. Dia tau upamanya kami setidaknya melakukan kontrol di
operasi yang tiga puluh orang ini jalanan.
harus ikut karena juga ada SP
nya. Kalo dari segi dana kami
untuk kontrol aja seperti yang
saya udah jelasin kami sering
pake kantong pribadi buat
bensin-bensin mah, kan kalo
mau jalan buat ngontrol mah
buat bensin mah harus ada
Q9 Apakah program rehabilitasi
sosial gelandangan dan
pengemis sudah memberikan
pengaruh terhadap kesejahteraan
gelandangan dan pengemis
khususnya?
I1.1 Ya artinya program ini
memberikan pengaruh ke si
Kesimpulan :
gepeng ini, ada juga yang sudah
merasakan lelah, kepengen
Program rehabilitasi gelandangan
berubah pekerjaannya, ada yang
dan pengemis ini memberikan
setelah ikut pelatihan anak-anak
pengaruh kepada para gelandangan
berenti ngamen, ya kalo
dan pengemis, karena dalam
istilahnya mah ikut ngedesain
program rehabilitasi ini memberikan
nyetak foto yang namanya itu
keterampilan dan keahlian yang
pelatihan sablon. Termasuk juga
nantinya diberikan modal usaha
yang telah dilatih montir motor,
kepada para gelandangan dan
dia udah bisa buka bengkel. Tapi
pengemis untuk bisa menjadi
ya itu, gak begitu saja berubah
mandiri dan lebih produktif,
jadi sewaktu-waktu dia bisa
sehingga tidak harus kembali lagi ke
balik lagi ke jalan, ya bisa aja ke
jalanan.
pengaruh sama temen-temen
jalanannya.
I1.2 Kalo untuk kesejahteraannya
mah belom, namun berubah gitu
dari prilakunya kalo misalkan
kesejahteraan mah dari jumlah
segitu palingan yang baru sedikit
ya.
I2.1 Pastinya ngasih pengaruh ke si
para gepeng, ya sedikit
banyaknya ngasih pengaruh ke si
gepeng. Ada juga kan yang udah
direhab dia berenti ngamen
ngemis dia jadi usaha dagang, ya
sedikit banyaknya ngasih
pengaruh.
I3.1 Memberikan pengaruh tentunya,
disinikan kami ngasih pelatihan
kaya bikin kue, pelatihan
bengkel yang kaya disebutin tadi
itu, keterampilan ngejahit. Nanti
kami ngasih modal ke mereka
biar uang itu dijadiin modal
usaha sama merek.
I4.1 Sangat, sangat memberikan
berpengaruh contoh, para
gepeng atau anak yang awalnya
mengamen ya, nah saat
diberikan pelatihan secara
kemampuan dan alhamdulillah
di satu tahun yang lalu kita ada
keterampilan sablon, setelah itu
skill kan ada nih, sudah terasah
gitu kan, kita berikan dari dinas
sosial alat, nah agar mereka
kurang lah jumlahnya gitu.

c. Measure of Improvement (Ukuran Perbaikan/Tolak Ukur)


Q10 Apa yang menjadi tolak ukur Kesimpulan :
keberhasilan Seksi Bagian
Gelandangan dan Pengemis Tolak ukur keberhasilan dari
dalam penyelenggaraan program
program ini adalah berkurangnya
rehabilitasi sosial gelandangan
jumlah gelandangan dan pengemis di
dan pengemis? setiap tahunnya. Kemudian
I1.1 Yang menjadi tolak ukurnya ya
tercapainya jumlah para gelandangan
sekarang udah keliatan biasanya
dan pengemis yang ingin direhab
mah pagi-pagi sampai itu tuh
dari jumlah yang ditargetkan di awal.
udah ada para gepeng. KaloSelain itu pula para gelandangan dan
sekarang ya Alhamdulillah, jadi
pengemis ini sadar dan tidak balik-
berkurangnya ya gitu,
balik lagi ke jalanan, serta kesadaran
berkurangnya para gepeng. dari masyarakat untuk tidak memberi
I1.2 Kalo yang jadi tolak ukur kepada para gelandangan dan
keberhasilan dari ibu si pengemis.
sederhana yah, kalo
menghilangkan kan ga
mungking, ya minimal
mengurangi jumlahnya itu.

I2.1 Tugas Satpol PP itu cuma


eksekutor pembinaannya kan
dari Dinsos, tugas kita tuh cuma
sedikit cuma pelarangan saja. Ya
disini yang menjadi tolak ukur
kita para gepeng ini ga balik lagi
ke jalan, dan masyarakatnya
juga sadar kalo ngasih para
pengamen pengemis itu dilarang,
jadi kalo misalkan ada gepeng
yang minta-minta coba lah
jangan dikasih, ya walaupun
istilahnya kita ngerasa ga tega
iba ke si gepeng itu. Soalnya
nanti kebiasaan buat para si
gepeng
I3.1 Minimal kita mengurangi jumlah
gepeng tiap tahunnya untuk
meminimalisir, dan juga tolak
ukurnya misalkan kita melatih
sepuluh orang, ya
terlaksanakannya juga sepuluh
orang, ya kita mencapai apa
yang ditargetkan lah bisa di
bilang begitu.
I4.1 Yang pasti tolak ukurnya jumlah
gepeng atau anak jalanan itu
berkurang ada perubahan lah
dari mereka untuk ngga ke
jalanan lagi.
Sources Of Power (Sumber Kekuatan)

a. Decision-maker (Pembuat Keputusan)

Q11 Siapa yang memiliki kekuatan Kesimpulan :


atau yang berwenang untuk
memberikan keputusan dalam Yang berhak mengambil keputusan
program rehablitasi gelandangan dalam program rehabilitasi
dan pengemis? gelandangan dan pengemis ini adalah
I1.1 Kalo yang buat ngambil masing-masing pihak yang
keputusan mah tentunya pihak mempunyai kewenangan. Seperti
yang punya kewenangnya Dinas Sosial Kota Serang yang
masing-masing ya kalo kita kan menjadi penanggung jawab program
dinsos yang ngasih pembinaan, rehabilitasi gelandangan dan
pelatihan, keterampilan kaya pengemis ini mempunyai
gitu ya jadinya kalo yang kewenangan untuk memutuskan apa
ngambil keputusan di program yang akan dilakukan. Satpol PP
pembinaan ini mah ya kita. Kalo memiliki kewenangan dalam
Satpol PP kan kewenangannya menjaring dan merazia para
buat ngejaring, ngerazia para gelandangan dan pengemis, maka
gepengnya, jadi kalo urusannya dari itu Satpol PP memiliki
soal ngerazia mah pihak Satpol kewenangan dalam pengambilan
PP. keputusan untuk urusan merazia para
I1.2 Ya yang mengambil gepeng.
keputusannya ya masing-masing
kepala seksi di sini, kita kan
ngerempugin bersama-sama ya.
I2.1 Yang punya kewenangan dalam
urusan merazia itu kan Satpol
PP, jadi yang berhak mengambil
dalam urusan merazia itu pihak
kami, Satpol PP. Kita mah
gausah kemana mana dulu, kita
ngejalanin undang-undangnya
dulu, amanatnya dulu gausah ke
yang lain, jadi kita kalo langsung
ke sasaran dasarnya apa kita
ngelakuin itu
I3.1 Untuk masalah itu mah masing-
masing punya kewenanganannya
masing-masing, ya kalo kita mah
dinsos provinsi cuma ngejalanin
program yang emang pesertanya
kiriman dari kabupaten/kota
Q12 Apakah Perda terkait tentang Kesimpulan :
gelandangan dan pengemis perlu
direvisi? Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun
I1.1 Kalo menurut pandangan saya 2010 tentang penyakit masyarakat
mah ya tetep perlu direvisi belum cukup kuat guna mecegah
karena dari kata-katanya juga adanya pengemis serta belum cukup
terlalu kasar. Pemberantasan, kuat pula untuk menjadi dasar
disitu ada kata-kata hukum untuk program rehabilitasi
pemberantasan. Ya kalo gelandangan dan pengemis sehingga
pemberantasan harus diberantas perlunya merevisi isi dari perda
lah. tersebut. Namun dalam mengganti
I1.2 Kalo liat dari itu mah diliat dari perda tersebut tidak mudah
dalem isi perdanya itu ya belom dikarenakan biaya yang dibutuhkan
dilaksanakan semua ya, buktinya untuk pembuatan perda cukup
disosialisasikan ke mahal.
masyarakatnya juga belum ya,
misalkan katanya orang-orang
yang ngasih ke gepeng katanya
kena sanksi nyatanya tidak kena
sanksi. Sehingga perda itu belom
kuat.
I4.1 Saya pikir cukuplah, tinggal
bagaimana sosialisasinya saja
yang memang kurang.
I5.1 Ya kalo soal revisi itu, dilihat
dulu sejauh mana pelaksanaan
implementasinya itu, perda itu
direvisi itu banyak alasannya,
apa karena banyak aturan yang
diubah, ada kebutuhan di
masyarakat yang berubah gitu
kan. Soalnya kalo bikin perda
tuh mahal.
Q13 Apa saja yang dilakukan dalam
memberikan pelayanan
rehablitasi?
I1.1 Tentunya pelayanan yang
diberikan itu pertama ya artinya
memberikan pembinaan seperti
kita kumpulkan para gepeng
terus kita kasih pembinaan Kesimpulan :
keagamaan biar balik ke jalan
yang benar menurut agama. Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas
Terus ya kebutuhannya, kalo Sosial melakukan koordinasi dalam
memang dia pengen kebutuhan pelaksanaan program rehabilitasi
ya kita berikan dengan cara gelandangan dan pengemis ini.
kemudahan, ya misalkan si Pelayanan yang diberikan kepada
gepeng minta pengen pelatihan gelandangan dan pengemis berupa
montir motor ya kita berikan lah pembinaan keagamaan, pendidikan,
gitu. Pengiriman ketempat pelatihan menyablon, tata boga dan
pelatihan atau ketempat montir motor.
rehabilitasi yang dilaksanak
sama pihak Dinsos provinsi
I1.2 Kami kirimkan anak jalanan itu
ke sekolah memberikan program
paket c, kita juga menawarkan
kepada anak-anak jalanan siapa
yang mau ke sekolah atau ke
pesantren bahwa ada anak
jalanan yang minta di beliin baju
koko, peci, sarung, kami
berikan. Ya pokoknya kami
pengennya mereka berubah biar
ga di jalan lagi

I3.1 Kami memberi pelayanan ya


berupa pembinaan, pelatihan
keterampilan kaya lpk gitu kan,
tata boga, ada juga kami beri
pelatihan montir atau otomotif
gitu.
I4.1 Pelayanan yang diberikannya
itu, yaitu tadi kita kasih
pembinaan, pendidikannya juga
kita kasih, pelatihan skill kaya
sablon, montir motor, nah kalo
udah dikasih pelatihan gitu,
mereka udah punya keahlian kita
kasih alatnya
Q14 Apakah kebutuhan gelandangan Kesimpulan :
dan pengemis selama di rehab
telah diberikan secara Kebutuhan para gelandangan dan
maksimal? pengemis sudah dipenuhi walaupun
I1.1 Kalo di tempat rehabilitasi si tidak dipenuhi 100% karena memang
dikasih kebutuhan secara anggaran yang adapun belum
maksimal, itu kalo di tempat memadai. Para gelandangan dan
rehabilitasi, ya kalo cuma pengemis pun diberi bantuan hanya
pembinaan aja belom maksimal. pada proses perehaban saja, dalam
Kalo sampe pendidikan proses perehaban mereka diberikan
keterampilan, termasuk juga makan setiap harinya, diberikan
bantuan peralatannya itu udah pelatihan, dan diberikan peralatanya
maksimal. Ya maksimal sertus juga jika di dalam program
persen si belum. Artinya udah rehabilitasi tersebut. Pengemis yang
maksimal aja, kalo misalkan masih anak-anak pun diberikan
dikasih bantuan seratus persen kebutuhan sesuai yang apa yang
mah dia juga harus di kasih mereka inginkan seperti ingin masuk
modal yang sepuluh juta itu pesantren, pihak Dinas Sosial Kota
I1.2 Kalo kebutuhan si kita kasih ya, Serang pun memasukannya ke
kaya kemaren ya anak yang pesantren. Dinas Sosial Kota Serang
pengen masuk pesantren, kita sudah memenuhi kebutuhan para
kerjasama sama Kemenag kita gelandangan dan pengemis walaupun
masukin pesantren. Eh baru dua belum memenuhi kebutuhan secara
hari si anak itu di jalan lagi maksimal dan belum total 100%.
alesannya si pengen sarung,
pengen Al-quran peci ibu turutin
pengennya kaya gimana coba,
ibu kumplitin deh kita dateng ke
orang tuanya kita turutin si anak
itu maunya apa. Ya karena kita
pengennya itu si anak ini bisa
gitu ga ke jalan lagi
I3.1 Terpenuhi, kita kasih makan.
kalo kita kan pembinaannya di
luar panti, nah kalo di dalem
panti terpenuhi kebutuhannya
karenakan disana sekitar sebulan
yah, seperti sarapan pagi di situ
terus juga dalam pemberian
materi juga di kasih disana.
I4.1 Nah kan kita melakukan
pembinaan selama tiga hari.
Kebutuhan mereka juga
alhamdulillah terpenuhi, mereka
juga dilatih dan dibina di anyer
di hotel artinya mereka juga
membutuhkan refresing lah ya

b. Resources (Sumber Daya)


Q15 Apakah program rehablitasi Kesimpulan :
sosial gelandangan dan
pengemis didukung oleh Sumber daya manusia dalam
sumberdaya (dana, manusia) penyelenggaraan program
yang memadai? rehabilitasi gelandangan dan
I1.1 Seperti yang udah jelasin tadi pengemis ini kurang memadai.
perbidang aja belom punya staf, Sumber daya manusia yang dimiliki
kasie ini aja kan ga punya staff. Seksi Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
Ya minimal punya satu lah staff. Dinas Sosial Kota Serang kurang
Dana juga menurut saya mah mencukupi karena di seksi tersebut
kurang memadai, tempat belum memiliki staff satu pun, sama
rehabilitasi juga kan gada kita halnya juga dengan Seksi Rehablitasi
mah. Jadi terkadang kita kirim Sosial Anak Dinas Sosial Kota
ke Dinsos provinsi buat direhab. Serang yang belum memiliki staf.
Ya tadi itu kita belum memiliki Sehingga kekurang sumber daya
tempat rehabilitasi untuk para manusia juga membuat seksi-seksi
gelandangan dan pengemis. ya tersebut sulit untuk
kita aja kantor dinas nya mensosialisasikan kepada pada
statusnya masih ngontrak, ya gelandangan dan pengemis. Untuk
istilahnya daripada buat tempat Satpol PP juga merasa kekurangan
rehabilitasi mending buat kantor dari segi jumlah sumber daya
dulu. Rumah singgah juga kan manusia namun untuk kualitas dari
kita belom punya. sumber daya manusia dari Satpol PP
I1.2 Memangnya juga Dari SDMnya dirasa sudah cukup memadai dan
juga kita kekurangan ya, bisa dibilang sudah baik. Anggaran
sehingga tidak mencukupi untuk menunjang program
tenaga untuk kita bersosialisasi rehabilitasi gelandangan dan
di jalan. pengemis ini belum memadai.
Dan untuk dana sendiri, kita di Bahkan rehabilitasi gelandangan dan
situlah kelemahannya memang pengemis Dinas Sosial Provinsi
minim sekali dari pendanaannya Banten untuk tahun depan
ya kurang mendukung kalo dari kemungkinan tidak ada karena
dana. Ya tetapi walau minimnya anggaran yang berasal dari APBD
pendanaan di situ kita ya terpangkas oleh pembangunan untuk
minimal kita bisa ngebantu sektor fisik seperti infrstruktur dan
mereka walau sedikit jumlahnya. jalan. Sarana dan prasarana sebagai
Ya kita sendiri dinas sosial penunjang program rehabilitasi
belum memiliki tempat pusat gelandangan dan pengemis yang
rehabilitasi untuk para gepeng dilakukan oleh Dinas Sosial Kota
atau anjal ini di berikan Serang belum memadai. Dinas Sosial
semacam pembinaan atau Kota Serang sendiri belum
pelatihan apa gitu. Ya kita mempunyai sebuah tempat untuk
sendiri bingung ya, kalo buat pusat rehabilitasi para gelandangan
nampungnya itu. dan pengemis. Rumah singgah juga
I2.1 Yang saya jelasin tadi SDM di yang seharusnya digunakan untuk
kita kekurang dari segi singgah ataupun untuk tempat
jumlahnya secara kuantitas kita penampungan para gelandangan dan
kekurangan. Nah untuk dana pengemis yang terjaring pun belum
juga kita juga kekurangan tadi ada.
juga saya udah jelasin kalo
misalkan kita buat kontrol-
kontrol gitukan butuh uang
transport, buat orang yang
kontrol juga kan butuh buat
untuk ngopi-ngopi mah.
Terkadang kita bingung nih pas
kita baru beres ngejaring, si para
gepeng ini mau di kemanain nih.
Dinsos juga belom punya tempat
penampungan gitu. Semacem
tempat buat ngerehabnya juga
belom ada.
I3.1 Kalo dibilang memadai, ya
kayanya belum memadai si
karena kita ingin targetnya
banyak kuotanya yang ingin
dilatih ya. Itu juga untuk tahun
depan si kayanya gada program
ini karena kan APBD sekarang
terpangkas untuk prioritasnya ke
sektor fisik kaya infrasutruktur
dan jalan atau apa gitu.
c. Decision Environment (Keputusan Lingkungan)
Q16 Bagaimana Dinas Sosial Kota Kesimpulan :
Serang dalam mengawasi
implementasi kebijakan tentang Pengawasan yang dilakukan oleh
rehablitasi sosial gelandangan Dinas Sosial Kota Serang yaitu
dan pengemis dan apakah dengan turun ke jalan untuk
melibatkan pihak lain? mengawasi para gelandangan dan
I1.1 Kalo pengawasan dari kita si pengemis apakah masih banyak
cuma turun ke jalanan terus keberadaan mereka di jalan-jalan dan
ngontrol gepeng itu masih apakah para gelandangan dan
banyak ga atau yang kemaren pengemis yang sudah direhab
kita rehab itu turun lagi ga ke kembali ke jalanan atau tidak. Serta
jalan, kalo misalkan jalan-jalan pengawasan yang dilakukan juga
sepi dari gepeng kan berarti dengan mengawasi para gelandangan
berhasil program kita ini dan pengemis yang sudah mendapat
I1.2 Ya memang pengawasannya kita bantuan dari Dinas Sosial yang
melalui petugas pos sahabat melalui program rehabilitasi ini
anak, apakah dia berfungsi atau digunakan dengan semestinya atau
mereka berjalan sesuai dengan tidak. Hal ini dilakukan untuk
tupoksinya dan bisa di mengukur apakah program yang di
manfaatkan gitu. Juga selenggarakan oleh Dinas Sosial
pengawasannya ke mereka yang Kota Serang sudah berhasil atau
dapet bantuan dari kita, kaya belum. pengawasan untuk program
gitu pengawasannya rehabilitasi gelandangan dan
I2.1 Kita mah ga ikut mengawasi kan pengemis ini hanya dilakukan oleh
itu di luar kewenangan dari kita, pihak Dinas Sosial Kota Serang Saja,
yang mengawasi program ini ya pihak Satpol PP sebagai pihak yang
dinsos aja selaku penanggung merazia para gelandangan dan
jawab program, kalo itu mah pengemis tidak diikut sertakan
dari kewenangan kita, kita ikut karena memang bukan menjadi
mengawasi kalo misalkan dinsos kewenangan dan pihak Satpol PP.
membutuhkan kita aja. Pihak Satpol PP hanya di libatkan
I4.1 Untuk pengawasan kami jika Dinas Sosial membutuhkannya
dilibatkan, karena ketika gepeng saja. Dalam pengawasan ini tenaga
atau anak-anak jalanan kita kesejahteraan sosial kecamatan
sudah ada ketentuan tetep kita serang lah yang dilibatkan dalam
kontrol, pengawasan kan gitu. pengawasan.
Q17 Bagaimana Dinas Sosial Kota Kesimpulan :
Serang dalam mengevaluasi
program rehablitasi sosial bahwa hal yang di evaluasi dalam
gelandangan dan pengemis? program rehabilitasi gelandangan
I1.1 Ya yang harus dibenahi itu dan pengemis ini adalah dari segi
terutama tadi itu tempat sarana dan prasarana, anggaran, dan
rehabilitasi atau UPT, harus ada juga sumber daya manusia yang
secara khusus yang menangani belum memadai. Dinas Sosial Kota
gepeng ini. Jadi Dinas Sosial itu Serang juga mengevaluasi kinerja
membawahi yaitu UPT dari petugas sahabat anak yang
evaluasinya itu. Selain itu juga menangani pengemis yang masih
yang tadi itu penambahan SDM, anak-anak atau yang sering di kenal
kalo untuk anggaran mah itu dengan anak jalanan. Selain itu
udah jelas harus ada. Dinas Sosial mengevaluasi
I1.2 Kalo kita mengevaluasi ya itu bagaimana penjangkauan terhadap
tadi, ibu suka mengevaluasi kalo para gelandangan dan pengemis, dan
ada pertemuan-pertemuan baik juga Dinas Sosial mengevaluasi
di intern yang mana melibatkan kepedulian lingkungan para
awal dari kita lihat dari sarana gelandangan dan pengemis yang ada
dan prasarana yang selama ini di jalanan. Dinas Sosial Kota Serang
belom ada buat pembinaannya, juga menginginkan adanya unit
anggarannya juga kan sedikit pelaksana tugas (UPT) yang khusus
kurang mendukung. Selain itu menangani masalah gelandangan dan
juga kita membahas tentang pengemis ini.
petugas pos sahabat anak, terus
jumlah daripada kita
pelaksanaan penjaringan atau
penjangkauan bukan termasuk
razia kareba kalo razia itu Satpol
PP, terus selain itu juga dari
lingkungan para gepeng itu. Nih
ada kepedulian ga nih
lingkungan mereka terhadap si
gepeng ini di jalan. Dalam hal
ini para gepeng masih banyak
tidak yang ada di jalanan.
Sources of knowledge (Sumber pengetahuan)
a. Professional (Tenaga Ahli)

Q18 Apa peran Dinas Sosial Kota Kesimpulan :


Serang dalam perumusan
program rehablitasi sosial Dinas Sosial berperan sebagai
gelandangan dan pengemis dan leading sector dan juga penanggung
siapa saja yang dilibatkan? jawab program rehabilitasi
I1.1 Ya kita berperan sebagai leading gelandangan dan pengemis. Yang
sectornya sebagai penanggung mana dalam merumuskannya yaitu
jawabnya kita juga merumuskan pertama dari kepala seksi rehabilitasi
dan juga jadi pelaksananya. Di sosial tuna sosial, yang nantinya di
sini kan yang punya koordinasikan dengan kepala bidang
wewenangnya dinsos. dan selanjutnya diberikan kepada
kepala dinas untuk dimintai
I1.2 Ya kita merumuskan pertama persetujuannya. Satpol PP dan
dari kepala seksinya dulu karena TKSK tidak terlibat dalam
kan sesuai dengan tupoksinya, perumusan program rehabilitasi ini
terus dengan kepala bidang, karena mereka beranggapan hal itu
selanjutnya ke kadin atau kepada diluar wewenangnya masing-masing
dinas untuk disetujui atau tidak. dan itu ada urusan internal Dinas
I2.1 Tidak, kami tidak ikut dalam Sosial Kota Serang.
perumusannya ya karena kan itu
diluar kewenangan kita, kalo
memang membutuhkan masukan
dari kita baru kita berikan
masukan-masukannya.
I4.1 Kalo untuk perumusan tidak,
artinya kan itu internal dinas ya.
Macem hal tahun ini apa nih,
berapa anggaranya, artinya
itukan internal dinas ya.
Q19 Apa saja faktor pendukung dan Kesimpulan :
faktor penghambat dalam
perumusan kebijakan tentang Faktor pendukungnya adalah dengan
rehablitasi sosial gelandangan adanya kerjasama dengan pihak-
dan pengemis? pihak terkait yang berhubungan
I1.1 Nah yang sudah dijelasin tadi dengan program ini seperti Dinas
kalo faktor yang Sosial Provinsi Banten, Panti Sosial
menghambatnya itu dari Bina Karya (PSBK) Bekasi dan juga
anggaranya itu sendiri belom dinas-dinas atau instansi terkait.
memadai, tempat pusat Sedangkan yang menjadi faktor
rehabilitasi juga kita belom ada, penghambat utamanya adalah
SDM juga kita kekurangan. Kalo anggaran dari Dinas Sosial Kota
untuk faktor pendukungnya kita Serang itu sendiri yang kurang
bisa kerjasama dengan pihak- memadai, belum adanya tempat
pihak terkait kaya dinsos pusat rehabilitasi, dan juga belum
provinsi kita juga bisa kerjasama memadainya Sumber Daya Manusia
dengan balai yang ada dibekasi yang dimiliki Dinas Sosial Kota
itu buat ngerehabnya Serang
I1.2 Faktor penghambatnya yang kita
rasain itu ya dari anggaran itu
sendiri ibu rasa kita lemah dari
situ. Untuk faktor pendukungnya
ya hanya dari dinas-dinas atau
instansi terkait saja kita bisa
bekerjasama.
b. Expertise (Keahlian)
Q20 Apa yang dihasilkan dari Kesimpulan :
perumusan kebijakan tentang
rehablitasi sosial gelandangan Yang di hasilkan dari rumusan
dan pengemis? program rehabilitasi gelandangan
I1.1 Ya kalo misalkan kita sudah dan pengemis ini yaitu menghasilkan
disetujui sama kepala dinas langkah-langkah yang akan
maka kita laksanakan dilakukan dalam pelaksanaan
programnya. Hasilnya ya itu tadi program, mengatur anggaran yang
kita bina, kita kasih pelatihan, ada, merencanakan bagaimana
kita kasih juga kebutuhannya memberikan pembinaan serta
walaupun tidak maksimal. melakukan koordinasi dengan pihak-
pihak terkait.
I1.2 Ya kalau dari rumusan program
ini si yang pastinya ya yang
dihasilkannya itu langkah-
langkah kita apa aja yang akan
kita lakuin pas pelaksanaannya,
bagaimana anggarannya,
bagaimana kita memberi
pembinaannya, bagaimana kita
koordinasinya dengan pihak-
pihak terkait, kaya gitu kan.
c. Guarantee (Jaminan)
Q21 Apakah perumusan kebijakan Kesimpulan :
tentang rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis akan Jaminan dari perumusan program
dapat merubah mindset para rehabilitasi gelandangan dan
gelandangan dan pengemis di pengemis ini adalah dapat
Kota Serang? mengurangi jumlah gelandangan dan
I1.1 Ya seperti yang udah di jelasin pengemis di Kota Serang, dan juga
tadi kan kita kan membuat dapat merubah mental dan mainset
program ini tujuannya pengenya para gelandangan dan pengemis
mengentaskan kemiskinan untuk lebih mandiri dengan
umumnya mah. Ya selain itu membuka usaha atau juga dengan
juga kita pengen menurunkan bekerja. Selain itu juga dalam
angka atau jumlah gelandangan pelaksanaannya Dinas Sosial Kota
dan pengemis juga kita ingin Serang membutuhkan bantuan dari
merubah mainsetnya lah biar OPD lain untuk membantu
ngga mengemis lagi kan secara mensuksesnya program rehabilitasi
logikanya mah itu ga baik ya ini.
dilihat dari sisi agama dan juga
hukum yang ada pun melarang
mengemis itu. Nah untuk
melakukan pembinaan dan
keterampilan kita ga bisa berdiri
sendiri dong, kita juga
membutuhkan dari OPD lainnya
juga misal Dinas Pendidikan,
Dinas Tenaga Kerja, Dinas
Kependudukan
I1.2 Dari rumusan ini saya berharap
dalam pelaksanaannya kita dapat
mengurangi jumlah gelandangan
dan pengemis di Kota Serang
ini. Serta para gelandangan dan
pengemis bisa mandiri cari
nafkahnya ya bisa dari berjualan.
Bisa juga dari dia kerja di
bengkel atau apa gitu.
Sources Of Legitimation (Sumber Pengesahan)

a. Witness (Pembebasan)

Q22 Apa sebenarnya yang ingin Kesimpulan :


disampaikan oleh para
gelandangan dan pengemis Para gelandangan dan pengemis
kepada pemerintah ? menginginkan perhatian dari
I7.1 Ya saya si pengenya mah pemerintah untuk memberikan
pemerintah tuh lebih merhatiin bantuan kepada para gelandangan
kitanya ya, ngasih lah modal dan pengemis agar bisa membuka
usaha, kita juga bakal bikin usaha.
usaha. Ga perlu si menurut saya
mah rehab-rehab gitu.
I7.2 Ya kita mah gimana ya, mau
berenti ngemis juga nantinya
ngga ada buat makan. Maunya
pemerintah tuh ngasih kita
bantuan ya ngasih modal buat
kita bikin usaha, harusnya
pemerintah peduli sama kita
Q23 Apa yang menjadi faktor Kesimpulan :
penyebab menjadi gelandangan
dan pengemis? Yang menjadi faktornya adalah
I7.1 Kitanya bingung cari duit faktor ekonomi
kemana lagi, kita cari buat
makan
I7.2 Cari kerjaan susah, cari duit juga
susah kemana lagi kita nyarinya,
saya ngeliat temen saya juga
sama mengemis, enak di jalan
bisa dapet duit.
b. Emancipation (emansipasi)
Q24 Apakah dalam proses perehaban Kesimpulan :
hak-hak para gelandangan dan
pengemis diberikan secara Tidak ada perbedaan dalam
merata dan tidak membeda- pemberian hak-hak kepada para
bedakan? gelandangan dan pengemis dalam
I1.1 Kita ga membeda-bedakan proses perehaban.
setiap gepeng yang mau kita
rehab, namun kita menyeleksi
para gepeng itu dia mau ngga
nih kita rehab gitu. Dengan
keterbatasan dana yang kita
miliki juga ga semuanya
terkadang kita rehab, dari dinas
provinsi juga kan mintanya 10
orang saja disitu kita pilih siapa
saja yang kita kirim.
Q25 Siapa yang berwenang dalam Kesimpulan :
melayani pengaduan terkait
masalah gelandangan dan Yang mempunyai wewenang untuk
pengemis? melayani dan menangani pengaduan
I2.1 Sebetulnya perda mengatakan terkait masalah gelandangan dan
setiap warga masyarakat yang pengemis ini adalah Satpol PP.
ada di wilayah Kota Serang
wajib melapor apabila
ditemukan hal-hal apa itu
namanya, ya itulah gelandangan
dan pengemis yang mengganggu
ya termasuk juga yang menjurus
ke kriminalitas, namun sampai
detik ini belom ada pelaporan
kepada kami. Ya minimum ke
saya ada laporan. Laporannya
jangan cuma ngomong tapi
tertulis bahwa di anu terjadi anu
kan gitu.
c. World View (pandangan dunia)
Q26 Apa persepsi terkait Kesimpulan :
permasalahan gelandangan dan
pengemis ini Semua pandangan dari agama Islam,
I6.1 Di agama islam sendiri Katolik dan Budha memandang
mengemis itu diharamkan bahwa yang dilakukan oleh
hukumnya, meminta-minta gelandangan dan pengemis itu adalah
sehingga menjadikan mengemis negatif dan tidak boleh dilakukan
itu dijadikan pekerjaan dalam karena hal itu mencirikan sifat malas
mencari rezeki. Sangatlah dari individu yang tidak mau
dilarang orang meminta-minta. berusaha dengan cara yang benar.
Namun islam selalu
menganjurkan untuk sedekah
kepada orang yang fakir dan
miskin, nah disini masalahnya
gelandangan atau pengemis
bener ngga dia itu orang yang
miskin, kan kita ngga gatau ya.
Banyak juga kan ya pengemis
taunya punya pabrik batako,
punya toko segala macem. Nah
kita niatinnya aja buat sedekah
dan jadi pahala juga buat kita.
Banyak
I6.2 Gelandangan dan pengemis jika
dikait kan dengan kondisi dari
agama budha, itu jelas itu
kenapa dia jadi gelandangan,
jadi pengemis, menurut
pandangan agama Budha
seseorangan menjadi demikian
karena masa lampaunya dan
masa sekarang dia kurang
terdana jadi otomatis dia terlahir
menjadi gelandangan dan
pengemis. Kedua, kenapa di jadi
gelandangan, jadi pengemis, itu
pada kehidupan lampaunya di
seorang manusia menelantarkan
orang tuanya.
I6.3 Untuk gelandangan dan
pengemis menurut saya suatu
kondisi dimana dia itu malas
buat bekerja atau usaha sehingga
tanpa dia mengeluarkan tenaga
atau mohon maaf dengan dia
menadahkan tangannya dia
mendapatkan uang. Sebagai
contoh ada salah satu orang dia
ketangkep ternayata dia punya
pembakaran kapur, dan sampai
sekarang begitu dia tertangkap
terus di masukan ke panti dia
balik lagi kejalan.
Q27 Bagaimana keteribatan dalam Kesimpulan :
program rehablitasi sosial
gelandangan dan pengemis? Dari Agama Budha dan Katolik tidak
I6.2 Untuk terlibat langsung dalam terlibat secara langsung dalam
programnya si kami tidak program rehabilitasi gelandangan
terlibat tidak fokus ke dan pengemis ini namun keduanya
gelandangan dan pengemisnya, memiliki programnya masing-
tetapi kita vihara mempunyai masing seperti dari Budha memiliki
program membentuk sebuah program membentuk puskesmas.
puskesmas hanya dengan bayar Sedangkan dari katolik mereka
sepuluh ribu periksa apapun mengadakan program penyaluran
gratis untuk semua warga. Jadi dana ke lembaga tertentu yang
kita mengarah ke yang laen, kalo berasal dari pemotongan gaji
misalkan mereka sehatkan kemudian diberikan ke yatim piatu.
minimal mereka bisa mencari- Serta ada juga program bakti sosial.
cari nafkah, kalo misalkan
mereka bisa mencari nafkah kan
mereka tidak perlu menjadi
pengemis. jadi arahnya juga
kesana kan.
I6.3 Sebenernya kami tidak terlibat
dalam rehabilitasi ini tapi kami
ada program seperti penyaluran
dana yang dipotong dari gaji
yang disalurkan ke lembaga
tertentu yang jelas juga kan. Kita
juga ada program penyantunan
kepada yatim piatu. Kalo untuk
bakti sosial biasanya anak-anak
muda yang melakukannya, anak-
anak muda itu dia masak di sini,
pagi-pagi mereka memberikan
kepada tukang becak.
PERATURAN DAERAH KOTA SERANG
NOMOR 2 TAHUN 2010
TENTANG

PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN


PENYAKIT MASYARAKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SERANG,
Menimbang : a. bahwa Kota Serang adalah daerah dengan landasan
kehidupan masyarakat yang berbudaya dan beragama,
sejalan dengan visi dan misi Kota Serang;
b. bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan
penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang
meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,
kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Kota Serang;
c. bahwa rasa aman, nyaman dan tentram perlu diwujudkan
di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit
masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukan aturan
tentang pembinaan, pengawasan dan pengendalian,
pelarangan serta penindakan terhadap penyakit
masyarakat agar terhindar dari gangguan / dampak
negatif yang akan timbul di dalam masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk
Peraturan Daerah tentang Pencegahan, Pemberantasan dan
Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974


tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial
( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3039 );
3. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209 );

4. Undang-Undang ………………..
-2-

4. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999


tentang Hak Azazi Manusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
5. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
6. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang - Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
7. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4748);
8. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4967);
9. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun
2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5104);
13. Peraturan ………………….
-3-

13. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 4 Tahun 2008 tentang


Urusan Pemerintahan Daerah Kota Serang (Lembaran
Daerah Kota Serang Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 7);
14. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga
Teknis Daerah Kota Serang (Lembaran Daerah Kota Serang
tahun 2008 Nomor 13).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG

dan

WALIKOTA SERANG

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN,


PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN
PENYAKIT MASYARAKAT

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Serang;
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas - luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
3. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah;
4. Walikota adalah Walikota Serang;
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Serang;
6. Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Kota Serang;
7. Tim adalah Tim pengendalian dan pengawasan Peraturan Daerah yang
keanggotaannya terdiri dari Dinas atau Instansi dan pihak terkait lainnya;
8. Pejabat yang berwenang adalah pejabat atau pegawai yang diberi tugas di
bidang tertentu sesuai dengan peraturan perundang – undangan;
9. Penyidik adalah Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang –
undang untuk melakukan penyidikan;

10. Satuan ………………….


-4-

10. Satuan Polisi Pamong Praja yang selanjutnya disingkat SATPOL PP adalah
bagian perangkat daerah dalam penegakan Peraturan Daerah dan pelaksanaan
kebijakan daerah dibidang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
11. Ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis
yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat dapat
melakukan kegiatannya dengan tentram, tertib dan teratur;
12. Pencegahan adalah upaya mendeteksi sedini mungkin disertai usaha terhadap
segala sesuatu yang akan menimbulkan keadaan tertentu;
13. Penanggulangan adalah suatu proses, cara, dan perbuatan mengatasi
permasalahan melalui upaya pencegahan (preventif), pembinaan dan
rehabilitasi (kuratif) dan penindakan (represif);
14. Penyakit masyarakat adalah hal - hal atau perbuatan yang terjadi ditengah -
tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan
masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat serta tata krama
kesopanan dalam masyarakat;
15. Maksiat adalah setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan hukum,
agama, adat dan tata krama kesopanan, meliputi pelacuran atau prostitusi dan
mabuk-mabukan;
16. Tempat maksiat adalah lokasi yang diduga atau dipandang sebagai sarana
untuk melakukan transaksi atau negosiasi kearah perbuatan maksiat maupun
sarana untuk melakukan perbuatan maksiat itu sendiri;
17. Pelacuran adalah perbuatan atau kegiatan seseorang atau sekelompok orang
baik pria, wanita atau waria, yang menyediakan dirinya kepada umum atau
seseorang tertentu untuk melakukan perbuatan atau kegiatan cabul atau
hubungan seksual atau perbuatan yang mengarah pada hubungan seksual di
luar perkawinan yang dilakukan di hotel atau penginapan, restoran, tempat
hiburan, lokasi pelacuran atau di tempat-tempat lain di daerah, dengan tujuan
untuk mendapatkan imbalan berupa uang, barang dan / atau jasa lainnya;
18. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang tidak senonoh atau perbuatan
yang melanggar kesusilaan, norma social dan agama;
19. Pekerja Seks Komersial yang selanjutnya disebut PSK adalah wanita atau pria
atau waria yang memenuhi kebutuhan hidupnya baik memperoleh imbalan
maupun tidak dengan cara menjual diri atau melakukan persetubuhan yang
menyimpang dari ketentuan hukum, agama, adat dan tata krama, kesopanan
yang berlaku di masyarakat;
20. Waria adalah seseorang yang memiliki kelamin pria atau kelamin ganda yang
mempunyai jiwa atau tingkah laku seperti wanita;
21. Perantara adalah orang yang menghubungkan secara langsung maupun tidak
langsung antara pasangan berlawanan jenis atau sejenis kearah terlaksananya
perbuatan maksiat, baik mendapat atau tidak mendapat imbalan atas usahanya
tersebut;
22. Backing adalah orang atau sekelompok orang yang melindungi, menjamin atau
memberikan jasa, baik secara fisik maupun non fisik sehingga terjadi perbuatan
maksiat;

23. Minuman ……………….


-5-

23. Minuman beralkohol adalah minuman yang mengandung ethanol yang di


proses dari bahan hasil kimia atau pertanian yang mengandung karbohidrat
dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik
dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan
bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara pengenceran
minuman mengandung ethanol dengan kadar alkohol 1 % sampai 5 % untuk
Golongan A, 5 % sampai 20 % untuk Golongan B dan 20 % sampai 55 % untuk
Golongan C;
24. Pengedaran minuman beralkohol adalah penyaluran minuman beralkohol
untuk diperdagangkan di daerah;
25. Hotel adalah rumah atau fasilitas berbentuk bangunan tempat orang
menginap, makan maupun fasilitas lainnya yang disediakan;
26. Wisma adalah fasilitas berbentuk rumah yang terdiri dari kamar - kamar untuk
disewakan sebagai tempat bermalam;
27. Pemondokan atau tempat kos - kosan adalah rumah yang terdiri dari kamar -
kamar untuk disewakan sebagai tempat tinggal dengan sewa per bulan atau
per tahun;
28. Obyek wisata adalah fasilitas umum untuk berekreasi baik yang bersifat alami
maupun buatan;
29. Tempat hiburan adalah fasilitas umum dimana orang bisa menikmati hiburan
seperti : film, musik, sauna dan karaoke atau menikmati minuman atau tempat
bersenang-senang;
30. Salon kecantikan adalah tempat usaha melayani jasa perawatan rambut,
perawatan kecantikan dan perawatan tubuh;
31. Kafe adalah tempat pelayanan mendapatkan minuman yang pengunjungnya
mendapatkan sajian hiburan berupa musik atau dalam bentuk lainnya;
32. Prostitusi adalah praktek pelacuran yang dilakukan oleh pria atau wanita dan/
atau waria dengan mengharapkan imbalan uang;
33. Homoseks adalah pemenuhan hasrat seks yang dilakukan sesama laki - laki;
34. Lesbian adalah pemenuhan hasrat seks yang dilakukan sesama wanita;
35. Sodomi adalah hubungan seks melalui anus;
36. Penyimpangan seksual lainnya adalah penyaluran seksual yang dilakukan oleh
perseorangan atau lebih diluar kewajaran selain homoseks, lesbian dan sodomi;
37. Warnet adalah tempat usaha yang menyediakan layanan internet, browsing,
chating, facebook, email ataupun konten sejenisnya berbasis website;
38. Pengemis adalah seseorang yang melakukan pekerjaannya dengan cara
meminta-minta baik dilakukan sendiri-sendiri atau berkelompok yang
terorganisir secara sistematis dengan mengatasnamakan lembaga-lembaga
social, bertempat di jalan, rumah warga maupun fasilitas umum;
39. Gelandangan adalah setiap orang yang hidup tidak menetap atau tuna wisma
menempati fasilitas sosial dan fasilitas umum sebagai tempat aktifitasnya;
40. Anak jalanan adalah anak–anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk
bekerja atau hidup di jalanan dan tempat–tempat umum, seperti jalan umum,
terminal, pasar, stasiun dan taman kota;
41. Rehabilitasi ........................
-6-

41. Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk


memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan bermasyarakat;
42. Pemberdayaan sosial adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan
warga negara khususnya warga Daerah yang mengalami masalah sosial,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat
melalui jaminan kepastian hukum, dengan melarang kegiatan yang termasuk
dalam kategori penyakit masyarakat di Daerah.

BAB III
KLASIFIKASI PENYAKIT MASYARAKAT
Pasal 3
(1) Klasifikasi penyakit masyarakat yang diatur dalam Peraturan Daerah ini,
mencakup segala bentuk perbuatan, tindakan atau perilaku yang tidak
menyenangkan dan meresahkan masyarakat dan/atau melanggar nilai – nilai
ajaran agama dan norma susila.
(2) Penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. Pelacuran dan penyimpangan seksual;
b. Waria yang menjajakan diri;
c. Minuman beralkohol;
d. Gelandangan dan pengemis;
e. Anak jalanan;
f. Kegiatan yang dilarang pada bulan ramadhan.
(3) Semua tindakan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan penyakit
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah tindakan dan/atau
perbuatan yang melanggar ketertiban sebagaimana diatur dalam Peraturan
Perundang - undangan.

BAB IV
LARANGAN
Pasal 4
(1) Pejabat yang berwenang dilarang mengeluarkan izin usaha dan/atau kegiatan
yang merangsang tumbuh dan berkembangnya perbuatan, tindakan dan
perilaku penyakit masyarakat.
(2) Pejabat yang berwenang dilarang memperpanjang izin usaha dan/atau
kegiatan yang diduga dan/atau pantas diduga telah merangsang tumbuh dan
berkembangnya penyakit masyarakat.

(3) Pejabat ………………


-7-

(3) Pejabat yang berwenang dapat mencabut izin usaha dan/atau menghentikan
kegiatan yang diduga dan/atau pantas diduga telah merangsang tumbuh dan
berkembangnya perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit masyarakat.
(4) Pejabat yang berwenang berhak melarang setiap orang yang sikap atau
perilakunya menunjukkan indikasi yang kuat patut diduga sebagai pelaku
penyakit masyarakat, berada di tempat ibadah, jalan- jalan umum, lapangan,
losmen, hotel, asrama, rumah penduduk atau kontrakan, warung kopi, warung
internet, tempat hiburan, gedung atau tempat tontonan, sudut jalan atau
lorong jalan dan tempat lainnya di daerah.

Bagian Kesatu
Pelacuran dan Penyimpangan Seksual
Pasal 5

Setiap orang dilarang :


a. Melakukan pelacuran atau perzinahan;
b. Menjadi pelacur dan/atau PSK;
c. Memakai jasa PSK;
d. Membujuk atau merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak dan memaksa
orang lain dengan kata-kata, isyarat, tanda atau perbuatan lainnya yang dapat
mengakibatkan perbuatan yang mengarah pada terjadinya perzinahan;
e. Memperlihatkan sikap bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang
mengarah pada hubungan seksual di tempat umum;
f. Melakukan penyimpangan seksual dalam bentuk hubungan homoseks, lesbian,
sodomi atau penyimpangan seksual lainnya;
g. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempertemukan atau
menghubungkan para pelaku perzinahan baik dengan atau tanpa imbalan;
h. Menawarkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan hubungan seks,
homoseks atau lesbian baik dengan atau tanpa imbalan;
i. Menjadikan atau membiarkan tempat yang dikuasainya sebagai tempat
dilakukannya perzinahan atau pelacuran;
j. Menjamin keberadaan tempat dilakukannya perzinahan atau pelacuran.

Bagian Kedua
Waria Yang Menjajakan Diri
Pasal 6

Setiap waria baik sendiri–sendiri ataupun berkelompok, dilarang berada di tempat


umum atau tempat lain untuk menjajakan atau menawarkan dirinya, membujuk
atau merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak dan memaksa orang lain untuk
melakukan perzinahan atau penyimpangan seksual baik dengan atau tanpa
imbalan.

Bagian Ketiga .......................


-8-

Bagian Ketiga
Minuman Keras
Pasal 7
(1) Setiap orang dilarang meminum minuman beralkohol.
(2) Setiap orang dan/atau badan usaha dilarang menyimpan, mengedarkan dan/
atau menjual minuman beralkohol golongan A, golongan B dan golongan C.
(3) Setiap orang dan/atau badan usaha dilarang menjadikan atau membiarkan
tempatnya sebagai tempat dilakukannya perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Setiap orang dilarang menjadi backing bagi tempat dilakukannya perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), adalah
minuman beralkohol yang mengandung rempah - rempah, jamu dan
sejenisnya untuk tujuan kesehatan dan yang berada di hotel berbintang.
(6) Minuman untuk tujuan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ditetapkan oleh Walikota sesuai peraturan perundang–undangan.

Bagian Keempat
Permainan Ketangkasan
Pasal 8
(1) Setiap pengusaha tempat permainan ketangkasan atau jasa layanan internet
dilarang membiarkan anak–anak berpakaian seragam sekolah bermain
ditempatnya pada jam–jam sekolah.
(2) Permainan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah play station, video
game dan on line internet.

Bagian Kelima
Gelandangan dan Pengemis
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis.
(2) Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi pengemis.
(3) Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainnya kepada pengemis.

Bagian Keenam
Kegiatan Yang Dilarang pada Bulan Ramadhan
Pasal 10

(1) Setiap orang dilarang merokok, makan atau minum di tempat umum atau

tempat yang dilintasi oleh umum pada siang hari di bulan ramadhan.

(2) Setiap ………………..


-9-

(3) Setiap orang dilarang menjadi becking bagi tempat dilakukannya perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Setiap pengusaha restoran atau rumah makan atau warung dan pedagang
makanan dilarang menyediakan tempat dan melayani orang menyantap
makanan dan minuman pada siang hari selama bulan ramadhan.

Bagian Ketujuh
Penyalahgunaan Tempat Usaha
Pasal 11
(1) Setiap orang baik sendiri ataupun bersama - sama dilarang mendirikan dan/
atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk
melakukan perbuatan maksiat.
(2) Setiap pemilik dan/atau pengusaha hotel, wisma, penginapan, pemondokan
atau rumah kontrakan, tempat hiburan, obyek wisata, salon kecantikan, cafe,
warung internet dan warung kopi dilarang mempergunakan fasilitas
sebgaimana dimaksud pada ayat (1), sehingga memungkinkan terjadinya
penyakit masyarakat, yaitu:
a. Memberi dan memperlancar kesempatan terjadinya penyakit masyarakat;
b. Memperdagangkan benda-benda yang merangsang terjadinya penyakit
masyarakat;
c. Menyediakan prasarana dan sarana terjadinya penyakit masyarakat;
d. Meminjamkan fasilitas yang merangsang terjadinya penyakit masyarakat.
(3) Setiap orang atau kelompok dilarang menjadi backing yang memberi peluang
untuk terjadinya penyakit masyarakat.

BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 12
(1) Setiap orang berhak dan bertanggungjawab untuk berperan serta dalam
mewujudkan kehidupan dalam satu lingkungan yang aman, tertib dan
tentram serta terbebas dari perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit
masyarakat.
(2) Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. Mencegah segala perbuatan tindakan atau perilaku penyakit masyarakat
yang diketahui atau yang dimungkinkan akan terjadi;
b. Mengawasi semua tindakan dan/atau perbuatan yang berhubungan
dengan penyakit masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya;
c. Melaporkan kepada Pejabat atau pihak yang berwenang apabila
mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku penyakit
masyarakat.

BAB VI …………………..
- 10 -

BAB VI
PENCEGAHAN, PENINDAKAN, PENGENDALIAN
DAN PENGAWASAN SERTA PEMBINAAN
Bagian Kesatu
Pencegahan
Pasal 13
Pejabat atau pihak yang berwenang berhak untuk mencegah dan melarang
kegiatan yang mengarah pada perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit
masyarakat.

Bagian Kedua
Penindakan
Pasal 14
(1) Pejabat atau pihak yang berwenang dapat melakukan tindakan untuk menutup
atau menyegel tempat yang digunakan atau diduga digunakan sebagai tempat
dilakukannya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang untuk dibuka kembali
sepanjang belum ada jaminan dari pemilik atau pengelola bahwa tempat itu
tidak akan digunakan kembali untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13.
(3) Masyarakat maupun pihak ketiga berhak mengajukan permohonan kepada
Pejabat atau pihak yang berwenang agar dilakukan penindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 15
(1) SATPOL PP berwenang melakukan razia terhadap tempat atau rumah, tempat
usaha, jalan atau tempat umum, yang digunakan atau mempunyai indikasi
atau bukti yang kuat, sehingga patut diduga tempat tersebut digunakan
sebagai tempat kegiatan penyakit masyarakat.
(2) Tata cara pelaksanaan razia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Walikota.

Bagian Ketiga
Pengendalian dan Pengawasan
Pasal 16
(1) Pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini,
dilakukan oleh Tim yang bersifat lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan
Walikota.

Bagian Keempat …………………..


- 11 -

Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat wajib melakukan pembinaan terhadap
orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan perbuatan penyakit
masyarakat.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui
kegiatan rehabilitasi sosial dan pemberdayaan sosial.
(3) Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis;
b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah;
c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga kerja.
(4) Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan
melalui kegiatan:
a. Peningkatan kemauan dan kemampuan;
b. Penggalian sumber daya.
(5) Pembinaan terhadap orang atau sekelompok orang yang melanggar ketentuan
Peraturan Daerah ini, selain diberikan tindakan sebagimana dimaksud pada
ayat (2), dapat juga diberikan tindakan berupa sanksi administrasi.

Pasal 18
(1) Guna mengefektifkan pelaksanaan di lapangan, penyiapan sarana dan
prasarana untuk pelaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, dilakukan secara terpadu dibawah koordinasi Walikota atau Satuan Kerja
Perangkat Daerah yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi dibidang sosial.
(2) Tata Cara mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 19
Pemerintah Daerah menyediakan anggaran untuk kegiatan pencegahan,
pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat yang dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lain yang sah
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PENYIDIKAN
Pasal 20
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kota Serang
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan Penyidikan
tindak pidana dibidang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan
penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

(2) Wewenang………………
- 12 -

(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:


a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana;
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana;
g. Memerintahkan berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana
dimaksud pada huruf e;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana menurut aturan yang berlaku.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 21
(1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagaimnana
diamaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Daerah ini, diancam
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelanggaran.

Bab IX ………………….
- 13 -

BA B IX

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang
mengenai teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.

Pasal 23
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Serang.

Ditetapkan di Serang
pada tanggal 15 Juli 2010

WALIKOTA SERANG,

ttd

BUNYAMIN

Diundangkan di Serang
pada tanggal 19 Juli 2010

SEKRETARIS DAERAH
KOTA SERANG,

ttd

S U L H I

Anda mungkin juga menyukai