Anda di halaman 1dari 231

IMPLEMENTASI RUANG PUBLIK TERPADU

RAMAH ANAK (RPTRA) DI KELURAHAN SUNGAI


BAMBU KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA
SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh

Tangen Vika Indriany

NIM 6661120378

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG 2017
PERSEMBAHAN

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

(Q.S 55:13)

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Bapak, Mama & Mamas

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas berkah, rahmat dan

inayah-Nya, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang

berjudul Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota

Administratif Jakarta Utara tanpa menemukan hambatan dan kesulitan yang berarti.

Dalam skripsi ini penulis berusaha menyampaikan hasil penelitian tentang

Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak di Kelurahan Sungai Bambu Kota

Administrasi Jakarta Utara. Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada

pihak yang telah memberikan arahan, bimbingan, pelajaran, serta motivasi dan

dukungan dalam upaya penyusuna skripsi ini. Untuk itu peneliti mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

2. DR. Agus Sjafari S.Sos M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Rahmawati, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

vi
4. Iman Mukhroman, S.Ikom., M.Ikom selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si selaku Wakil Dekan III Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Listyaningsih, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Yeni Widyastuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

membimbing penulis dari awal hingga akhir.

8. DR. Abdul Apip, M.Si selaku Dosen Pembimbing I Skripsi yang selalu

membimbing, memberikan ilmunya, serta memotivasi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Rahmawati, M.Si selaku Dosen Pembimbing II Skripsi yang selalu

membimbing, meluangkan waktunya, memotivasi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini dan selalu mendoakan yang terbaik.

10. Semua Dosen dan Staff Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis

dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

11. Bapak Jumadi S.E., M.Si Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak BPMPKB Provinsi DKI Jakarta beserta staff dan

jajarannya yang telah membantu penulis dalam memberikan data dan

informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

vii
12. Hendry Novtrizal, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan

Kota Administratif Jakarta Utara yang telah berbaik hati meluangkan waktu

untuk menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh penulis.

13. Bapak Fakhrudin, Kepala Kantor KB Jakarta Utara yang telah memberika

informasi penting terkait dengan penelitian ini.

14. Ibu Rita Nirmala, Kepala Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan

Pangan Jakarta Utara yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan

informasi kepada peneliti.

15. Bapak V. Christian Anthony, S. Kom, Kepala Suku Dinas Komunikasi,

Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara yang telah bersedia meluangkan

waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis.

16. Ibu dr. Atika, Kepala Seksi Kesehatan Masyarakat Suku Dinas Kesehatan

Jakarta Utara atas keramahtamahannya dalam menjawab semua pertanyaan

yang penulis ajukan.

17. Ibu Mila, Kepala Seksi Taman Suku Dinas Pemakaman dan Pertamanan

Jakarta Utara yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjawab semua

pertanyaan yang peneliti ajukan.

18. Ibu Rohani Utami, Ketua TP PKK Jakarta Utara atas kebaikan hati dan sikap

ramah kepada penulis yang menjadikan proses wawancara menjadi

menyenangkan.

19. Bapak Bambang Chidir, Kepala Perpustakaan Daerah Jakarta Utara yang telah

meluangkan waktu dan sabar dalam proses wawancara.

viii
20. Bapak Sumarno, Lurah Sungai Bambu atas informasi yang diberikan.

21. Bapak Hasan Basri Umar, Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Bidang

Kesra Komisi E yang telah memeberikan informasi dari sisi legislatif kepada

penulis.

22. Bapak Zamrud, Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Jakarta Utara

atas kebaikan dan sikap yang menyenangkan dalam memberikan segala

informasi yang penulis butuhkan.

23. Ibu Widiastuti, Senior Officer CSR PT. Citra Marga Nusaphala Persada yang

telah memberikan data dan informasi kepada penulis.

24. PT. Pembangunan Jaya yang telah memberikan data dan informasi kepada

peneliti.

25. Kedua orang tua yang selalu membimbing dan mendoakan anaknya hingga

pada saat penyusunan proposal penelitian ini. Dan juga Mas Gama yang terus

menerus memberikan dukungan.

26. Sahabat-sahabatku dari SMA Negeri 1 Jakarta yang terus menerus

memberikan dukungan dari awal proses penulisan skripsi hingga selesai.

Terima kasih Annya, Icim, Faiqa, Aelda, Karima, Riris love you so much

girls! Ku sayang kalian.

27. Sahabat-sahabat di dunia perkuliahan yang terus menerus mendukung dan

saling mendoakan. Upeh, Komuk, Ndew, Silvia, Meta, Wungu, Pangku,

Fahmay yang tiada lelahnya mendengarkan curahan hati dan drama kehidupan

Tangen, ku sayang kalian.

ix
28. Sahabat-sahabatku dari Marnala Kost yang selalu mendoakan dan memberi

motivasi serta selalu membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ayu,

Ina, Selly dan Yobel.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat kekurangan. Oleh karena itu

peneliti mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis

meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam proposal skripsi ini terjadi

kesalahpahaman yang kurang berkenan selama penulis melakukan penelitian.

Terimakasih.

Serang, Januari 2017

Tangen Vika Indriany

x
ABSTRAK

Tangen Vika Indriany. 6661120378. Implemetasi Ruang Publik Terpadu Ramah


Anak di Kelurahan Sungai Bambu Kota Administrasi Jakarta Utara. Program
Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Dr. Abdul Apip, M.Si dan
Pembimbing II: Rahmawati, M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana implementasi Ruang Publik


Terpadu Ramah Anak di Kota Administrasi Jakarta Utara. Peneliti menggunakan
teori implementasi Jones (1991) yang terdiri dari pilar-pilar organisasi, interpretasi,
dan aplikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Hasil temuan lapangan penelitian menyimpulkan bahwa
pelaksanaan program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota
Administratif Jakarta Utara belum optimal. Pada dimensi organisasi, pelatihan yang
dilakukan untuk melatih para pengelola RPTRA masih kurang. Kemudian UKPD
terkait tidak mengalokasikan anggaran untuk RPTRA. Pada dimensi Interpretasi,
metode penghitungan jumlah pengunjung masih menggunakan metode manual yang
sangat tidak efektif hasilnya. Pada dimensi aplikasi, sosialisasi mengenai fungsi
RPTRA yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih belum
maksimal.

Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Ruang Publik Terpadu Ramah Anak

xi
ABSTRACT

Tangen Vika Indriany. 6661120378. The Implementation of Integrated Child


Friendly Public Space (ICFPS) in Sungai Bambu District in Northern Jakarta
City. Department of Public Administration. Faculty of Social and Political
Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. First Preceptor: Dr. Abdul Apip,
M.Si and Second Preceptor: Rahmawati, M.Si.

This research was aimed to analyzed how the implementation of Integrated Child
Friendly Public Space in Northern Jakarta City. Researcher used the theory of
implementation from Jones (1991) which consists the pillars of the organization,
interpretation and application. The method used is descriptive method with
qualitative approach. The result of research concluded that the implementation of the
program of Integrated Child Friendly Public Space (ICFPS) in Northern Jakarta City
is still not optimal. On the dimension of the organization, the training conducted to
train the managers of ICFPS still less. Then the related Government from Northern
Jakarta City not allocate a budget for ICFPS. On the dimension of the interpretation,
the counting method for the number of visitors still use manual methods which are
not very effective in results. On the dimension of the application, the socialization of
ICFPS functions did by the government of Jakarta is still not optimal.

Key words: Policy Implementation, Integrated Child Friendly Public Space

xii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ xi
ABSTRACT ....................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

1.2. Identifikasi Masalah ……………………………………………….. 13

1.3. Batasan Masalah ................................................................................ 14

1.4. Rumusan Masalah …………………………………………………. 14

1.5. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 14

1.6. Manfaat Penelitian ……………………………………………….... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI

DASAR PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 16

xiii
2.1.1 Konsep Kebijakan Publik ....................................................... 16

2.1.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ...................................... 17

2.1.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik .................................. 21

2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik.............................................. 27

2.1.2.1 Organisasi ................................................................... 41

2.1.2.2 Interpretasi .................................................................. 42

2.1.2.3 Aplikasi ....................................................................... 44

2.1.3 Konsep Ruang Publik Terpadu Ramah Anak ......................... 46

2.1.3.1 Kedudukan, Tugas, dan Fungsi RPTRA .................... 47

2.1.3.2 Layanan dan Kegiatan ................................................ 48

2.1.3.3 Pengorganisasian ........................................................ 49

2.1.4 Konsep Konvensi Hak Anak Oleh PBB ................................. 56

2.1.5 Dasar Hukum .......................................................................... 57

2.2.Penelitian Terdahulu ......................................................................... 58

2.3.Kerangka Pemikiran Penelitian ......................................................... 61

2.4.Asumsi Dasar .................................................................................... 64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian .................................................. 65

3.2. Fokus Penelitian ............................................................................... 66

3.3. Lokasi Penelitian ............................................................................. 66

3.4. Fenomena yang Diamati ................................................................. 67

3.4.1 Definisi Konsep ..................................................................... 67

xiv
3.4.2 Definisi Operasional .............................................................. 68

3.4.2.1 Organisasi .................................................................. 68

3.4.2.2 Interpretasi................................................................. 69

3.4.2.3 Aplikasi ..................................................................... 69

3.5. Instrumen Penelitian........................................................................ 69

3.6. Informan Penelitian ......................................................................... 70

3.7. Pedoman Wawancara ...................................................................... 72

3.8. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 76

3.8.1 Teknik Analisis Data ............................................................. 77

3.8.2 Uji Keabsahan Data ............................................................... 78

3.9. Jadwal Penelitian.............................................................................. 79

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kota Administratif Jakarta Utara .................................... 82

4.1.1 Geografis Kota Administratif Jakarta Utara .......................... 82

4.1.1 Administratif Jakarta Utara ................................................... 83

4.1.2 Kondisi Demografis Kota Administratif Jakarta Utara ......... 85

4.2 Gambaran Umum BPMPKB Provinsi DKI Jakarta ......................... 87

4.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi........................................................ 88

4.2.2 Struktur Organisasi ................................................................ 89

4.3 Deskripsi Informan Penelitian.......................................................... 90

4.4 Deskripsi dan Analisis Data ............................................................. 92

xv
4.5 Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota

Administratif Jakarta Utara ............................................................. 94

4.5.1 Dimensi Organisasi................................................................. 94

4.5.2 Dimensi Interpretasi ............................................................... 122

4.5.3 Dimensi Aplikasi/Penerapan .................................................. 143

4.6 Pembahasan ..................................................................................... 158

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 167

5.2 Saran ................................................................................................. 167

5.3 Rekomendasi Kebijakan .................................................................. 169

DAFTAR PUSTAKA

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Jumlah Kasus Anak Oleh P2TP2A DKI Jakarta 2012-2014 ..................... 2

Tabel 1.2 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kab/Kota Layak Anak (KLA) .............. 4

Tabel 1.3 Data Jumlah Penduduk Usia Anak di Jakarta Utara 2015 ................................. 6

Tabel 1.4 Data lokasi, CSR dan Waktu Peresmian RPTRA 2015 ..................................... 10

Tabel 3.1 Informan Penelitian ............................................................................................ 71

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian ........................................................................ 73

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian................................................................................................ 81

Tabel 4.1 Data Kecamatan dan Kelurahan di Kota Administratif Jakarta Utara ............... 84

Tabel 4.2 Data Jumlah RW Menurut Kecamatan di Jakarta Utara .................................... 85

Tabel 4.3 Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Jakarta Utara ...................... 86

Tabel 4.4 Spesifikasi Informan .......................................................................................... 91

Tabel 4.5 Kriteria Pengelola RPTRA ................................................................................ 106

Tabel 4.6 Jumlah Pengunjung RPTRA Sungai Bambu 2016 ............................................ 139

Tabel 4.7 Matriks Pembahasan .......................................................................................... 162

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahapan Kebijakan Publik ................................................. 22


Gambar 2.2 Sekuensi Implementasi Kebijakan Publik .......................... 33
Gambar 2.3 Model Implementasi George C. Edward III ....................... 38
Gambar 2.4 Gambar Kerangka Pemikiran .............................................. 63
Gambar 4.1 Struktur Organisasi BPMPKB DKI Jakarta ........................ 90
Gambar 4.3 Ruang Perpustakaan RPTRA Sungai Bambu ..................... 101
Gambar 4.4 Ruang Laktasi dan Ruang Konsultasi KB RPTRA
Sungai Bambu...................................................................... 101
Gambar 4.5 Ruang Sekretariat RPTRA Sungai Bambu ......................... 102
Gambar 4.6 Lokasi Outdoor di RPTRA Sungai Bambu ......................... 102
Gambar 4.7 Pertemuan Rutin Bulan Oktober 2016 ................................ 151
Gambar 4.8 Evaluasi di Tingkat Kelurahan Oktober 2016 ..................... 153

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 196 Tahun 2015

Lampiran 2 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2016

Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 4 Kategorisasi Data

Lampiran 5 Member Check

Lampiran 6 Dokumentasi Penelitian

Lampiran 7 Catatan Lapangan

Lampiran 8 Catatan Bimbingan

Lampiran 9 Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan


PT. Pembangunan Jaya Tentang Penyediaan Fasilitas RPTRA

Lampiran 10 Perjanjian Kerjasama Antara PT. Pembangunan Jaya dengan PT. Citra
Marga Nusaphala Persada Tbk dengan PT. Toyota Manufacture Motor
Indonesia

Lampiran 11 Estimasi Anggaran Pembangunan RPTRA PT. CMNP

Lampiran 12 Foto Dokumentasi

xix
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan ibukota negara

Republik Indonesia. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta

mempunyai beberapa permasalahan-permasalahan klasik yang dialami diantaranya

adalah masalah kemacetan, banjir, dan salah satunya mengenai isu kritis mengenai

pemenuhan hak-hak anak. Hak-hak anak menjadi sesuatu yang sangat penting untuk

dipenuhi karena karakter dan kualitas pembangunan suatu bangsa dan Negara sangat

ditentukan oleh sumber daya manusia yang dimilikinnya. Pengembangan kualitas

sumber daya manusia harus dipersiapkan sedini mungkin bahkan sejak masa kanak-

kanak.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

Anak, anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa pada umumnya

membutuhkan perlindungan dan seorang anak hendaknya dapat menikmati haknya

untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Hal ini

sebagaimana hak-hak dasar anak yang mencakup hak tumbuh kembang, partisipasi.

Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi

untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di masa


2

mendatang. Namun dalam kenyataannya berbagai faktor mempengaruhi hal tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor sosial dan ekonomi.

Anak dapat dilihat menjadi sosok yang lemah karena kedua faktor tersebut sehingga

anak seringkali tidak memperoleh haknya sendiri.

Anak yang dapat dilihat lemah tersebut dapat menjadi sangat rentan akan

berbagai macam tindakan kekerasan yang dilakukan. Berikut merupakan jumlah

kasus anak yang ditangani oleh P2TP2A DKI Jakarta:

Tabel 1.1
Jumlah Kasus Anak di DKI Jakarta yang Ditangani P2TP2A

No Tahun Jumlah Kasus Anak


1 2011 251
2 2012 325
3 2013 468
4 2014 553
Jumlah 1.597
Sumber: P2TP2A DKI Jakarta, 2015

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah kasus yang menimpa

anak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2011 hingga tahun 2014.

Berdasarkan data pada tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa masih banyak anak

yang mengalami tindak kekerasan di Provinsi DKI Jakarta. Jenis kasus yang dihadapi

anak seperti penelantaran, pencabulan, perkosaan, kekerasan fisik, kekerasan psikis,

eksploitasi anak untuk pekerjaan tertentu, trafficking, diskriminasi anak, membawa


3

lari anak dibawah umur, penganiayaan, pemanfaatan anak untuk jaringan obat-obatan

terlarang, pelibatan anak dalam gerakan masa dan sebagainya. Dengan masih

merebaknya tindak kekerasan pada anak, maka sudah tentu dapat dipastikan bahwa

hak-hak anak menjadi belum terpenuhi.

Anak seringkali tidak mendapatkan haknya bahkan untuk tumbuh dan

berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Banyak anak-

anak khususnya di Ibukota yang tidak mampu menikmati masa kanak-kanaknya

karena terbatasnya ruang publik yang ramah anak. Di DKI Jakarta sendiri belum

tersedianya fasilitas bermain yang layak atau ramah anak menjadi salah satu kendala

dalam pemenuhan hak-hak anak. Hak-hak anak telah disetujui dalam Konvensi Hak

Anak (KHA) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1989. Terdapat 54

pasal dan Komite Hak Anak PBB mengelompokkan KHA ke dalam 8 klaster. Hak-

hak anak tersebut harus terpenuhi dan menjadi kewajiban bagi Pemerintah untuk

mewujudkan hal tersebut. Hak-hak anak tersebut harus dipenuhi guna menunjang

kehidupan anak khususnya tumbuh dan kembang anak. Tumbuh kembang anak

menjadi sangat penting karena diharapkan dengan proses tumbuh kembang yang baik,

anak dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Pemrintah pun menggulirkan kebijakan Kota Layak anak (KLA) sebagai salah

satu solusi dalam memberikan perlindungan dan pengembangan potensi anak sesuai

dengan aspek legalitas hak anak yag mendasarinya. Kota Layak Anak menjadi salah
4

satu program strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) Provinsi DKI Jakarta tahun 2013-2017.

Tabel 1.2
10 Provinsi Pilot Project Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA)

No Nama Provinsi
1DK DKI Jakarta
22 2 Banten
3 Jawa Barat
4 Jawa Tengah
5 Jawa Timur
6 Sumatera Utara
7 Bali
8 Kepulauan Riau
9 Kalimantan Timur
10 Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber: Kepmen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI No. 56


Tahun 2010

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2010 tentang Penunjukan

dan Penetapan 10 Provinsi untuk mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak,

Provinsi DKI Jakarta termasuk salah satu Provinsi yang ditunjuk untuk

mngembangkan KLA bersama-sama dengan 38 Kabupaten/Kota lain di Indonesia.


5

Pengembangan KLA di Provinsi DKI Jakarta saat ini terdapat di Kota

Administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan. Hal tersebut sesuai

dengan yang tercantum di dalam Keputusan Gubernur Nomor 394 tahun 2011 tentang

Penunjukan Kota Administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan

sebagai Pengembangan Kota Layak Anak. Dilanjutkan dengan Keputusan Gubernur

Nomor 736/2013 tentang penunjukan Kota Administrasi Jakarta Timur, Jakarta barat

dan Kepulauan Seribu sebagai Pengembangan Kota Layak Anak berikutnya, serta

Keputusan Gubernur Nomor 1192/2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kota

Layak Anak di Provinsi DKI Jakarta.

Gugus tugas KLA Provinsi DKI Jakarta mengatur tentang tugas dan peran

SKPD serta lembaga terkait untuk menangani pengembangan KLA. Salah satu SKPD

yang berperan sebagai leading sector dari program KLA ini adalah Badan

Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPKB) Provinsi

DKI Jakarta.

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai pengembangan dari

kebijakan Kota Layak Anak menjadi strategi penting Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta dengan mengintegrasikan seluruh komitmen dan potensi sumber daya para

pihak baik dari Pemerintah, masyaraat maupun dari pihak duinia usaha melalui sistem

perencanaan yang komprehensif, menyeluruh dan berkelanjutan dalam bentuk

fasilitas fisik dan non fisik secara terpadu. Seluruh kebijakan dan langkah strategis ini

dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan hak-hak anak.


6

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang pertama kali diresmikan

oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah RPTRA yang berada di Kota

Administrasi Jakarta Utara yakni di Kelurahan Sungai Bambu. RPTRA tersebut

menjadi RPTRA pilot projcet yaitu RPTRA percontohan yang terletak di Kota

Administrasi Jakarta Utara. Jakarta Utara merupakan salah satu wilayah Kota

Administrasi pengembangan Kota Layak Anak dan Kelurahan Sungai Bambu pun

menjadi salah satu pilot project Kelurahan ramah anak di DKI Jakarta. Anak

merupakan komponen utama dalam pengimplementasian RPTRA. Berikut ini

merupakan tabel jumlah penduduk usia 0-17 tahun di Jakarta Utara:

Tabel 1.3
Jumlah Penduduk Usia Anak 0-17 Tahun di Kota Administratif Jakarta
Utara Tahun 2015

No Kecamatan Jumlah Penduduk Usia Anak


1 Penjaringan 91.418
2 Tanjung Priok 121.606
3 Koja 105.383
4 Cilincing 134.992
5 Pademangan 49.548
6 Kelapa Gading 35.275
TOTAL 538.222
Sumber: www.data.go.id

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah anak yang tidak

sedikit di Kota Administrasi Jakarta Utara membuat permasalahan bermunculan.


7

Salah satunya adalah terbatasnya lahan yang difungsikan sebagai tempat bermain

yang ramah anak di Provinsi DKI Jakarta. Dengan adanya permasalahan tersebut,

tentunya Provinsi DKI Jakarta belum dapat di kategorikan sebagai Kota Layak Anak.

Karena anak-anak tidak mempunyai tempat untuk bermain sehingga dapat memicu

terjadinya kekerasan pada anak dan berbagai macam hal-hal yang tidak diinginkan

dan menjadikan hak-hak anak tidak terpenuhi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang berusaha untuk mendapatkan

predikat Kota Layak Anak (KLA). Untuk mendapatkan predikat Kota Layak Anak

tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memenuhi indikator-indikator KLA.

Untuk memulainya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memenuhi empat

indikator Kota Layak Anak yang terdapat di dalam Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak, yaitu pada pasal 5 ayat 2

huruf a mengenai penguatan kelembagaan yaitu dalam hal keterlibatan lembaga

masyarakat dalam pemenuhan hak anak dan keterlibatan dunia usaha dalam

pemenuhan hak anak. Dan pada pasal 5 ayat 2 huruf b mengenai klaster hak anak

meliputi kesehatan dasar dan kesejahteraan dan pendidikan dan pemanfaatan waktu

luang dan kegiatan budaya. Pemenuhan keempat indikator tersebut adalah dengan

dibangunnya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).

Fasilitas Ruang Publik Terpadu menjadi bagian dari strategi pembangunan

kota dalam upaya penyediaan fasilitas dan sarana penunjang kebutuhan masyarakat.
8

Kepadatan kampung kota mengakibatkan anak-anak yang tinggal di kawasan padat

penduduk tersebut kehilangan hak-haknya untuk bermain dan mempunyai fasilitas

bermain di tempat yang aman. Keadaan tersebut tentunya menjadi penghalang DKI

Jakarta mendapatkan predikat Kota Layak Anak (KLA).

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) merupakan ruang publik yang

dapat dimanfaatkan fungsinya oleh masyarakat umum, mulai dari anak-anak sampai

masyarakat lanjut usia (Lansia). RPTRA dibangun di kawasan permukiman kumuh

sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat memanfaatkan ruang publik tersebut.

Ruang publik tersebut termasuk kategori ramah anak karena di dalamnya terdapat

taman bermain dan lapangan olahraga yang di khususkan sebagai tempat bermain

yang aman untuk anak dan juga terdapat fasilitas edukasi untuk anak seperti,

perpustakaan, sehingga anak-anak di RPTRA tidak hanya bermain namun anak-anak

juga dapat membaca buku. Anak-anak pun dapat mendapatkan edukasi-edukasi selagi

bermain. Selain itu, RPTRA juga merupakan ruang publik yang bebas dari asap

rokok. Hal tersebut yang menjadikan RPTRA memang suatu fasilitas ruang publik

yang ramah untuk anak.

Hal tersebut memenuhi indikator Kota Layak Anak Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia pada pasal 11

huruf (e) yaitu tersedia fasilitas untuk kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak,

di luar sekolah yang dapat diakses semua anak. Kemudian juga memenuhi indikator

KLA pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan


9

Anak Republik Indonesia pasal 10 huruf (g) jumlah anak dari keluarga miskin yang

memperoleh akses peningkatan kesejahteraan. Dengan adanya RPTRA di tengah-

tengah lingkungan permukiman kumuh, masyarakat dengan tingkat ekonomi

menengah ke bawah dapat memberikan fasilitas bermain dan belajar yang

sebelumnya sulit untuk didapatkan.

Tidak hanya untuk anak-anak saja RPTRA juga dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat dari berbagai kalangan usia. Untuk usia remaja, dapat memanfaatkan

lapangan-lapangan olahraga yang ada. Untuk kalangan ibu dan bapak dapat

memanfaatkan taman yang ditanami tanaman-tanaman obat yang juga dapat

dimanfaatkan dan untuk Lansia juga dapat memanfaatkan program-program yang

disediakan khusus untuk Lansia. RPTRA juga dibangun sebagai sarana berkumpul

seluruh warga sebagai cara untuk melakukan sosialisasi dan membicarakan

permasalahan yang masing-masing sedang dihadapi dan juga untuk menggugurkan

sikap individualisme masyarakat perkotaan dan juga sebagai lokasi tanggap darurat

terhadap bencana.

Pembangunan RPTRA pada tahap pertama dibiayai oleh dana Coorporate

Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan swasta. Hal tersebut sesuai

dengan indikator KLA pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia pasal 6 huruf (g) yaitu keterlibatan dunia

usaha dalam pemenuhan hak anak. Keterlibatan dunia usaha ini dalam memberikan

CSR untuk pembangunan RPTRA ini memperlihatkan bahwa dunia usaha sektor
10

swasta pun menunjukkan kepeduliannya dalam hal pembangunan RPTRA sebagai

sarana sosialisasi untuk masyarakat yang ramah anak ini.

Operasional dan pemeliharaan RPTRA menjadi domain dari TP PKK Provinsi

DKI Jakarta, SKPD/UKPD, serta CSR. Berbagai bentuk dukungan dalam

pengembangan RPTRA baik berupa sumbangan fisik dan non fisik diatur dalam

Perjanjian Kerja Sama dan Peraturan Gubernur. Selanjutnya masyarakat dilibatka

secara aktif agar RPTRA menjadi milik bersama masyarakat yang harus

dimanfaatkan, dijaga dan dilindungi.

Kepedulian sektor swasta tersebut dibuktikan dengan tidak hanya pemberian

dana, namun proses pembuatan RPTRA dari tahap perancangan hingga tahap

pembangunan juga ditangani oleh pihak swasta tentunya dengan masukan-masukan

dari masyarakat dan beberapa universitas. Berikut ini merupakan enam RPTRA yang

telah dibangun sebagai RPTRA percontohan di masing-masing Kota Administrasi di

Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 1.4
Data Lokasi, CSR, dan Waktu Peresmian RPTRA Tahun 2015
NO NAMA KECAMATA KELURA ALAMAT KOTA CSR WAKTU
RPTRA N HAN PERESM
IAN
1 RPTRA Tanjung Priok Sungai Jl. Jati Jakarta PT. 13 Mei
Sungai Bambu Raya Rw Utara Pembangun 2015
Bambu 06 an Jaya,
PT. Toyota
Motor
Manufactur
11

ing
Indonesia
dan PT.
Citra
Marga
Nusaphala
Persada
2 RPTRA Cilandak Gandaria Jl. Bahari Jakarta PT. 21 Mei
Bahari Selatan Raya RT Selata Pembangun 2015
009 RW n an Jaya
07
3 RPTRA Gambir Cideng Jl. Makian Jakarta PT. 30 Mei
Cideng No. 1 RT Pusat Pembangun 2015
002 RW an Jaya
005
4 RPTRA Kembangan Kembanga Jl. Gang Jakarta PT. Gajah 5 Juni
Kemban n Utara Kompas Barat Tunggal 2015
gan RT 007
5 RPTRA Kepulauan Untung Pulau Kepul PT. 10
Amiterd Seribu Selatan Jawa Untung auan Pembangun Oktober
am Jawa Seribu an Jaya 2015
6 RPTRA Kramat Jati Cililitan Jl. Buluh Jakarta PT. 22
Cililitan RT 10 Timur Pembangun Oktober
RW 16 an Jaya 2015
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana
(BPMP-KB) Provinsi DKI Jakarta

Untuk RPTRA Sungai Bambu yang terletak di Jakarta Utara, terdapat tiga

pihak swasta yang terlibat yaitu, PT. Pembangunan Jaya dengan dana CSR sebesar

Rp. 412.154.795 (Empat ratus dua belas juta seratus lima puluh empat ribu tujuh ratus

sembilan puluh lima rupiah). PT. Citra Marga Nusaphala Persada dengan dana

sebesar Rp. 220.000.000,- (Dua ratus dua puluh juta rupiah), dan PT. Toyota Motor

Manufacturing Indonesia dengan dana CSR sebesar Rp 87.664.000 (Delapan puluh

juta enam ratus enam puluh empat ribu rupiah).


12

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak dikelola oleh pengelola yang ditetapkan

dengan SK Gubernur dengan proses seleksi sesuaikan dengan ketentuan. Pada tigkat

Provinsi DKI Jakarta, dibentuk pengurus RPTRA Provinsi pada tingkat

Kota/Kabupaten dibentuk pengurus RPTRA Kota/Kabupaten, dan pada tingkat

Kelurahan dibentuk Pengurus RPTRA Kelurahan. Selain itu terdapat petugas

kebersihan yang ditugaskan di setiap RPTRA yang biasa disebut Petugas Penanganan

Sarana dan Prasarana Umum (PPSU). Namun diharapkan RPTRA juga dijaga dan

dipelihara bersama oleh masyarakat sekitar. Sehigga masyarakat dapat ikut berperan

aktif dalam pemeliharaan RPTRA. Hal tersebut sesuai dengan indikator KLA pada

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia pasal 6 huruf (f) yaitu keterlibatan lembaga masyarakat dalam

pemenuhan hak anak.

Peneliti memutuskan untuk menjadikan Kota Administrasi Jakarta Utara

sebagai locus penelitian karena Kota Administrasi Jakarta Utara merupakan salah

satu Kota Administrasi pengembangan Kota Layak Anak sesuai dengan Keputusan

Gubernur Nomor 394 Tahun 2011. Selain itu, di Kota Administrasi Jakarta Utara

terdapat satu RPTRA percontohan yang telah dibangun, diresmikan, dan programnya

pun sudah berjalan yaitu RPTRA di Kelurahan Sungai Bambu, Kecamatan Tanjung

Priok. RPTRA tersebut berada di kawasan RW 06, lokasi berada di tanah seluas

+3838.68 m2. Lokasi RPTRA tersebut merupakan salah satu daerah berpenduduk

padat yang ada di DKI Jakarta. Lokasi berpenduduk padat ini dipilih karena di
13

kawasan tersebut belum terdapat ruang terbuka untuk bermain yang mendorong

tumbuh kembang anak, belum terdapatnya sarana kesehatan dan pendidikan yang

memadai, tidak adanya ruang berkumpul bagi warga yang dapat mencukupi

kebutuhan sosial bermasyarakat, dan belum adanya ruang untuk menampung kondisi

cepat tanggap darurat ketika terjadi bencana banjir dan kebakaran juga bencana

lainnya.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti sampaikan sebelumnya,


terdapat masalah yang peneliti temukan yaitu :

1. Koordinasi antar SKPD yang terkait masih rendah dalam hal

mensosialisasikan fungsi-fungsi dan tujuan didirikannya RPTRA sehingga

masih banyak masyarakat yang belum dapat merasakan manfaat dari

didirikannya RPTRA.

2. Penerapan peraturan yang dibuat oleh petugas RPTRA dalam hal ini adalah

ibu-ibu PKK Kelurahan Sungai Bambu selaku pihak yang berwenang

menjaga RPTRA atau staff lapangan masih belum tepat dan tidak sesuai

dengan kebutuhan masyarakat.

3. Harapan masyarakat mengenai RPTRA yaitu menjadi tempat bermain yang

nyaman untuk anak-anak masih belum sesuai dengan yang diharapkan.


14

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi diatas maka peneliti membatasi

masalah penelitian yaitu tentang Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak

(RPTRA) di Kota Administrasi Jakarta Utara.

1.4 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di

Kota Administrasi Jakarta Utara

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian adalah untuk mengetahui Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah

Anak (RPTRA) di Jakarta Utara.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

secara praktis yaitu :

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas


pengetahuan yang berkaitan dengan Ilmu Administrasi Negara, khususnya
yang berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Publik. Mengenai
implementasi suatu program Pemerintah, serta dapat mengembangkan teori-
15

teori yang telah ada sehingga memperkaya hasil-hasil ilmu pengetahuan yang
baru.
b. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti-
peneliti lain yang menjadikan implementasi suatu program Pemerintah Daerah
maupun program Pemerintah Pusat sebagai objek penelitiannya, dan juga
dapat meningkatkan kualitas belajar, referensi berpikir, serta memberikan dan
menambah ilmu pengetahuan bagi peneliti dan mahasiswa lainnya. Dan juga
dapat memberikan masukan bagi para pengelola RPTRA baik di tingkat
Provinsi maupun di tingkat kota administrasi untuk menjadikan RPTRA
menjadi salah satu program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang dapat
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI


DASAR PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Setiap penelitian selalu menggunakan teori. Kerlinger dalam Basrowi dan

Suwandi (2008:37) memberikan definisi teori sebagai berikut:

“Theory is a set of interalated construct (concepts), definition, and proposition that


presents a systematic view of phenomena by specifying relation among variables,
with purpose of explaining and predicting the phenomena.” (Teori adalah
seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proporsi yang berfungsi untuk melihat
fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antarvariabel, sehingga
dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena).
Teori sangat dibutuhkan dan berguna untuk menjelaskan dan meramalkan

fenomena secara sistematis. Berikut akan peneliti paparkan teori-teori yang peneliti

gunakan sesuai dengan masalah penelitian yang telah peneliti identifikasi.

2.1.1 Konsep Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan produk hukum yang diperoleh melalui suatu

proses kegiatan atau tindakan yang bersifat administratif, ilmiah dan politis yang

dibuat oleh pembuat kebijakan (policy maker) dan pemangku kebijakan terkait

(Mulyadi, 2015:45). Kebijakan publik inilah yang nantinya akan membantu

menyelesaikan permasalahan-permasalahan publik. Kebijakan publik juga dapat


17

diusulkan oleh sekelompok masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Carl Friedrich

berikut ini.

Kebijakan dipandang sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh

seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang

memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang

diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan

atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu, Carl Friedrich dalam

Winarno (2014:20).

Berdasarkan definisi kebijakan publik yang diungkapkan oleh Carl Friedrich

tersebut, dapat dikatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Friedrich ini menyangkut

dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu.

Kebijakan tidak hanya melibatkan pemerintah dalam pembuatan kebijakan tersebut,

dalam hal ini masyarakat juga dapat dilibatkan dalam perumusan suatu kebijakan.

Untuk lebih memahami pengertian kebijakan publik yang luas dengan , maka berikut

akan dijelaskan pengertian kebijakan publik menurut para ahli kebijakan pada

subbab-subbab khusus berikut ini.

2.1.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau

tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok
18

aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan,

James Anderson dalam Agustino (2008:7).

Seorang pakar inggris, W.I Jenkins dalam Wahab (2012:15) mengemukakan

kebijakan publik sebagai berikut:

“A set of interrelated decisions taken by political actor of group of actors


concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified
situation where these decisions should, in principle, be within the power of these
actors to achieve” (serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh
seorang aktor politik atau sekelompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah
dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-
keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan
kekuasaan dari para aktor tersebut).
Dari kedua pengetian diatas, kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang

berisi mengenai keputusan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu dari adanya

suatu permasalahan dan dibuat oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor yang

mempunyai kekuasaan dan wewenang.

Knoepfel dkk dalam Wahab (2012:10) mengartikan kebijakan sebagai:

“a series of decisions or activities resulting from structured and recurrent


interactions between different actors, both public and private, who are involved in
various different ways in the emergence, identification and resolution of a problem
defined politically as a public one” (serangkaian keputusan atau tindakan-tindakan
sebagai akibat dari interaksi terstruktur dan berulang di antara berbagai aktor, baik
publik/pemerintah maupun privat/swasta yang terlibat berbagai cara dalam
merespons, mengidentifikasi, dan memecahkan suatu masalah yang secara politis
didefinisikan sebagai masalah publik).
Makna dari definisi yang diungkapkan oleh Knoepfel dkk diatas menunjukkan

bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang dilaksanakan oleh aktor
19

pembuat kebijakan, kebijakan tersebut dibuat untuk memecahkan berbagai masalah

publik yang sedang terjadi. Dalam menentukan kebijakan tersebut memang

melibatkan berbagai macam aktor yang mempunyai kepentingan di dalamnya.

Pengertian mengenai kebijakan publik juga diungkapkan oleh Lemieux dalam

Wahab (2012:10) seorang pakar dari Prancis, Lemieux merumuskan kebijakan

publik sebagai berikut:

“the product of activities aimed at the resolution of public problems in the


environment by political actors whose relationship are structured. The entire process
evolves over time” (produk aktivitas-aktvitas yang dimaksudkan untuk memecahkan
masalah-masalah publik yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh
aktor-aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu
berlangsung sepanjang waktu).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan publik merupakan

hasil atau produk dari aktivitas-aktvitas yang memang dimaksudkan untuk

memecahkan permasalahan publik yang terjadi di berbagai lingkungan.

Beberapa pakar lainnnya memberikan definisi yang berbeda tentang

kebijakan publik. Salah satu definisi tersebut diberikan oleh Thomas R. Dye dalam

Nugroho (2012:20) yang mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang dikerjakan

pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan

bersama tampil berbeda (what government do, why they do it, and what difference it

makes). Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa apapun yang dilakukan oleh

pemerintah atau keputusan apapun yang dilakukan oleh pemerintah hal tersebut

merupakan kebijakan publik itu sendiri. Karena keputusan-keputusan tersebut telah


20

dipikirkan dan memiliki alasan tersendiri yang tentunya pada akhirnya diharapkan

akan membuat perubahan-perubahan yang diinginkan oleh masyarakat.

Michael Howlett dan M. Ramesh dalam Nugroho (2012:120) mengemukakan

bahwa:

“public policy is a complex phenomenon consisting of numerous decisions made by


numerous individual and organizations. It is often shaped by earlier policies and is
frequently linked closely with other seemingly unrelated decisions” (kebijakan publik
merupakan sebuah fenomena kompleks yang terdiri dari banyak keputusan yang
dibuat oleh banyak orang dan organisasi. Kebijakan publik juga kerap kali terbentuk
dari kebijakan-kebijakan yang telah ada dan juga sering berhubungan dengan
keputusan yang lain yang diduga tidak berkaitan).
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa kebijakan publik adalah

fenomena-fenomena yang kompleks yang berisi tentang keptusan-keputusan yang

dibuat oleh individu atau kelompok dan juga kebijkaan itu bisa terbentuk dari

kebijakan yang memang sudah ada atau kebijakan yang baru yang tujuannya tetap

untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh masyarakat.

Kemudian terdapat juga definisi kebijakan publik yang diutarakan oleh

Charles L. Cochran dan Eloise F. Malone dalam Nugroho (2012:121) public policy

consists of political decisions for implementing programs to achieve societal goals

(kebijakan publik berisi keputusan-keputusan politik untuk mengimplementasikan

program-program untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat). Dari pengertian

tersebut dapat diketahui juga bahwa kebijakan publik berisikan tentang keputusan

politik yang dibuat untuk membuat suatu program yang nantinya program tersebut
21

akan diimplementasikan dan diharapkan dengan diimplementasikannya program

tersebut, masyarakat dapat merasakan manfaatnya.

Setelah memahami pengertian-pengertian kebijakan publik dari beberapa ahli

kebijakan, peneliti dapat menarik sebuah pengertian yang singkat dan umum bahwa

kebijakan publik adalah sebuah instrumen yang dikeluarkan oleh pemerintah yang

berisikan tentang keputusan-keputusan politik untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan yang dialami oleh masyarakat.

2.1.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Untuk menghasilkan suatu program yang dapat membantu masyarakat untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi, kebijakan publik memiliki

mekanisme berupa tahapan-tahapan dalam kebijakan publik. Kebijakan publik

memiliki beberapa tahapan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnnya.

Karena secara umum, kebijakan publik merupakan suatu proses yang kompleks,

dinamis, dan dalam pembuatannya pun dipengaruhi oleh beberapa aktor pembuat

kebijakan. Dengan proses yang kompleks tersebut diharapkan program yang

dihasilkan pun tidak hanya sebatas regulasi-regulasi yang tertera diatas kertas saja

namun dapat juga diaplikasikan dengan baik demi tercapainya kesejahteraan

masyarakat. Agar lebih jelas mengenai tahapan-tahapan pada kebijakan publik,

berikut ini merupakan gambar dari tahapan-tahapan dalam kebijakan publik.


22

Perumusan
Kebijakan

Implementasi
Isu Kebijakan Kebijakan

Evaluasi
Kebijakan

Gambar 2.1
Tahapan Kebijakan Publik
Sumber: Nugroho (2012:185)
Gambar 2.1 di atas dapat dijelaskan dalam sekuensi berikut:
1. Isu kebijakan. Disebut isu apabila bersifat strategis, yakni bersifat mendasar,
menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, (biasanya)
berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-seorang, dan memang
harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan.
Isu kebijakan ini terdiri atas dua jenis, yaitu problem dan goal. Artinya
kebijakan publik dapat berorientasi pada permasalahan yang muncul pada
kehidupan politik, dan apat pula berorientasi pada goal atau tujuan yang
hendak dicapai pada kehidupan publik.
2. Isu kebijakan ini kemudian menggerakan pemerintah untuk merumuskan
kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. rumusan
kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh Negara dan warganya
termasuk pimpinan Negara.
3. Setelah dirumuskan, kebijakan publik ini kemudian dilaksanakan baik oleh
pemerintah atau masyarakat maupun pemerintah bersama-sama dengan
masyarakat.
4. Namun, dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan
diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru untuk dinilai apakah
23

kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan


diimplementasikan dengan baik dan benar pula.
5. Implementasi kebijakan bermuara pada output yang dapat berupa kebijakan
itu sendiri atau manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6. Dalam jangka panjang, kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam
bentuk impak kebijakan yang diharapkan semakin menigkatkan tujuan yang
hedak dicapai dengan kebijakan tersebut.

Berdasarkan gambar 2.1 di atas dapat dilihat bahwa siklus kebijakan publik

selalu berjalan seperti pada gambar tersebut guna mendapatkan hasil kebijakan yang

nantinya akan digunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan publik. Pada

gambar tersebut dapat dilihat awal dari sebuah proses kebijakan adalah adanya isu

kebijakan. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyadi (2015:5) isu kebijakan menjadi

embrio awal bagi munculnya masalah-masalah publik. Isu kebijakan tersebut muncul

dari permasalahan yang datang dari masyarakat dimana masyarakat muai merasakan

adanya perbedaan harapa dengan kenyataan yang terjadi. Kemudian, isu-isu

kebijakan tersebut akan dipilih, pilihan isu tersebut berdasarkan isu mana yang lebih

penting dan lebih serius maka isu tersebut lah yang akan dibahas dalam agenda

setting atau agenda kebijakan. Meurut Lester dan Stewart dalam Mulyadi (2015:6)

menyatakan bahwa suatu isu akan mendapat perhatian bila memenuhi kriteria berikut:

1. Bila suatu isu telah melampaui suatu proporsi suatu krisis dan tidak dapat
terlalu lama dibiarkan. Misalnya kebakaran hutan.
2. Suatu isu akan mendapat perhatian bila isu terseut memiliki sifat
partikularis,dimana isu tersebut menunjukkan dan mendramatisir isu yang
lebih besar. Misalnya isu mengenai kebocoran lapisan ozon dan pemanasan
global.
3. Mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena
faktor human interest.
24

4. Mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi


masyarakat.
5. Isu tersebut sedang menjadi tren atau sedang diminati oleh banyak orang.
Setelah penetapan isu kebijakan selesai dilakukan, selanjutnya adalah

menyusun agenda kebijakan sebelum nantinya merumuskan kebijakan. Menurut

Mulyadi (2015:6) agenda kebijakan adalah tuntutan-tuntutan agar para pembuat

kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk melakukan tindakan tertentu. Roger

W. Cobb dan Charles D. Elder dalam Mulyadi (2015:7-8) mengidentifikasi dua

macam agenda pokok, yaitu:

1. Agenda Sistemik
Terdiri dari semua isu yang menurut pandangan anggota-anggota masyarakat

politik pantas mendapat perhatian publik dan mencakup masalah-masalah yang

berada dalam yuridiksi wewenang pemerintah yang secara sah ada. Agenda ini

terdapat dalam setiap sistem politik di tingkat nasional dan di daerah. Agenda

sistemik pada dasarnya merupakan agenda pembahasan. Tindakan mengenai suatu

masalah hanya aka nada apabila masalah tersebut diajukan kepada lembaga

pemerintah dengan suatu kewenangan untuk mengambil tindakan yang pantas.

2. Agenda Lembaga atau Pemerintah


Terdiri dari masalah-masalah yang mendapat perhatian serius dari pejabat

pemerintah. Karena terdapat bermacam-macam pokok agenda yang membutuhkan

keputusan-keputusan kebijakan maka terdapat pula banyak agenda lembaga. Agenda


25

lembaga merupakan agenda tindakan yang memiliki sifat lebih khusus dan lebih

konkret bila dibandingkan dengan agenda sistemik.

Pokok-pokok agenda lembaga dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Pokok-pokok agenda lama


Pokok-pokok agenda lama cenderung tidak mendapatkan prioritas dari para

pembuat kebijakan. Alokasi waktu yang diberikan terbatas, serta agenda selalu sarat

dengan masalah. Hal ini terjadi karena masalah-masalah telah tercantum lama dalam

agenda sehingga para pembuat keputusan kecenderungan beranggapan bahwa

masalah-masalah lama tersebut telah mendapat perhatian yang cukup besar dan para

pejabat lebih mempunyai pemahaman terhadap masalah tersebut.

b. Pokok-pokok agenda baru


Pokok-pokok agenda baru tercantum secara teratur dalam agenda. Misalnya

kenaikan gaji pegawai dan alokasi anggaran belanja. Agenda ini biasanya dikenal

oleh para pejabat dan alternatif-alternatif untuk menanggulanginya telah terpola

sedemikian rupa. Pokok-pokok agenda baru timbul dari keadaan-keadaan tertentu.

Kemudian setelah dilakukan agenda kebijakan tahapan selanjutnya adalah

perumusan kebijakan atau juga biasa disebut dengan formulasi kebijakan. Perumusan

kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam pembentukan kebijakan

publik. Berikut ini merupakan tahap-tahap dalam perumusan kebijakan menurut

Winarno (2014:123-126):
26

1. Tahap Pertama: Perumusan Masalah (Defining Problem)


Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling
fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan
dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan
dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan
masalah yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi
yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah
dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan
publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau
tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan.
2. Tahap Kedua: Agenda Kebijakan
Tidak semua masalah publikakan masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu
masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan
dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPR), kalangan
eksekutif (presiden dan para pembatunya), agen-agen pemerintah dan mungkin
juga kalangan yudikatf.
3. Tahap Ketiga: Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus
kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda
kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Disini
para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan
kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah tersebut.
4. Tahap Keempat: Penetapan Kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara
untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam
pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut
sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang
diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok
kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut.

Setelah melewati beberapa tahapan perumusan kebijakan publik seperti di

atas, maka langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan kebijakan yang

tentunya sudah di sahkan oleh pemerintah. Karena tahap implementasi kebijakan ini,

merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Karena banyak

kebijakan yang telah mampu dibuat oleh pemerintah namun kemudian ternyata tidak

mempunyai pengaruh atau bahkan tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang


27

terjadi di masyarakat. Setelah tahap pengimplementasian kebijakan publik tersebut,

tahap berikutnya adalah tahap evaluasi dimana dapat dinilai bagaimana hasil dari

perumusan kebijakan dan juga bagaimana implementasi kebijakannya.

Dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan tahap yang krusial

dimana pada tahapan tersebut kebijakan benar-benar di aplikasikan. Karena sebaik

apapun suatu substansi kebijakan publik yang dibuat atau diformulasikan, hal tersebut

tidak akan berguna jika tidak terimplementasikan dengan baik.

2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

Setelah proses perumusan kebijakan yang telah menghasilkan sebuah

program-program yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah publik, sudah

semestinya “produk” tersebut diimplementasikan agar hasilnya terlihat. Seperti yang

diungkapkan oleh Jones dalam Mulyadi (2015:45): “those activities directed toward

putting a program into effect” (proses mewujudkan program hingga memperlihatkan

hasilnya). Seperti halnya Jones, Mulyadi (2015:46) pun beranggapan serupa bahwa

kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga

mempunyai dampak yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan. Jadi dapat

diketahui bahwa hasil dari perumusan kebijakan tersebut hendaknya

diimplementasikan agar kebijakan tersebut dapat terlihat hasilnya

Sementara itu, Udoji dalam Mulyadi (2012:46) juga memberikan pandangan

mengenai implementasi dengan mengatakan bahwa:


28

“the execution of policies is as important if not more important than policy making.
Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented”
(pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih
penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian
atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip jika tidak dapat
diimplemetasikan).
Pandangan tersebut menekankan bahwa kebijakan merupakan suatu tahapan dalam

kebijakan publik yang sangat penting. Jangan sampai kebijakan publik hanya menjadi

arsip-arsip atau dokumen saja. Hal tersebut sesuai juga dengan apa yang disampaikan

oleh Edwards III dalam Mulyadi (2015:47) bahwa tanpa implementasi yang efektif

maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan.

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2014:148) berpendapat bahwa

implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang

memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau jenis keluaran

yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan

yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil

yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-

tindakan (tanpa tindakan-tindakan) oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat,yang

dimaksudkan untuk membuat program berjalan. Dari pengertian tersebut dapat

diketahui bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan

setelah dikeluarkannya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi

upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat.
29

Lane dalam Mulyadi (2015:47) berpendapat bahwa implementasi sebagai

konsep dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama implementation = F (intention,

output, outcome). Kedua, implementasi merupakan persamaan fungsi dari

implementation = F (policy, formator, implementor, initiator, time). Menurut Sabatier

masih dalam Mulyadi (2015:47-48) penekanan utama kedua fungsi ini adalah kepada

kebijakan itu sendiri, kemudian hasil yang dicapai dan dilaksanakan oleh

implementor dalam kurun waktu tertentu.

Kemudian menurut Grindle dalam Winarno (2014:149) secara umum, tugas

implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-

tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah.

Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery

system,” dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan

sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan. Hal tersebut tampak senada dengan apa

yang disampaikan oleh Van Meter Van Horn (Grindle, 1980:6) dalam Mulyadi

(2015:48) bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang

memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi

pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy

stakeholder). Jadi, implementasi kebijakan mempunyai tugas membangun jaringan

atau membentuk suatu kaitan yang tentunya mempunyai kemungkinan-kemungkinan

yang dapat menyebabkan kebijakan publik tersebut dapat direalisasikan. Karena


30

tentunya mengimplementasikan suatu kebijakan adalah bukan suatu perkara yang

mudah.

Van Meter Van Horn dalam Winarno (2014:149) lalu membatasi

implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-

individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan

untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan

kebijakan sebelumnya. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa

memang proses implementasi kebijakan bukanlah hal yang mudah. Seperti yang

dinyatakan oleh Agustino (2008:138) bahwa dalam praktiknya implementasi

kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang

bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Seperti yang

disebutkan oleh Lester dan Stewart (Winarno, 2014:219), pelaku dalam implementasi

kebijakan meliputi birokrasi, legislatif, lembaga-lembaga, pengadilan, kelompok

penekan, dan komunitas organisasi. Masing-masing pelaku kebijakan ini mempunyai

kepentingan-kepentingannya sendiri dalam praktik mengimplementasikan suatu

kebijakan.

Namun, dibalik kerumitan dan kompleksnya proses tersebut, implementasi

kebijakan memegang peranan yang cukup vital dalam proses kebijakan. Tanpa

adanya proses implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah

disusun hanya akan menjadi berkas-berkas yang disimpan oleh para pembuat

kebijakan.
31

Anderson dalam Kusumanegara (2010 : 97) mengungkapkan bahwa

implementasi kebijakan/program merupakan bagian dari administrative process

(proses administrasi). Proses administrasi mempunyai konsekuensi terhadap

pelaksanaan, isi, dan dampak suatu kebijakan dengan adanya penekanan pada „proses

administrasi‟, maka dapat dipahami bahwa implementasi merupakan suatu proses

yang dinamis dan berkelanjutan, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu

akivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang

sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri (Agustino, 2008:139). Dapat

disimpulkan bahwa, kebijakan publik merupakan suatu proses kebjakan publik yang

penting dan krusial dalam suatu pemerintahan.

Huntigton dalam Abidin (2012:145) berpendapat bahwa perbedaan yang

paling penting antara suatu Negara dengan Negara lain tidak terletak pada bentuk

atau ideologinya, tetapi pada tingkat kemampuan Negara ini untuk melaksanaan

pemerintahan. Tingkat kemampuan itu dapat dilihat pada kemapuan dalam

mengimplementasikan setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh seuah pilot

biro, cabinet, atau presiden Negara itu. Berdasarkan pendapat Huntington tersebut

dapat diketahui bahwa proses implementasi kebijakan merupakan proses yang cukup

krusial dan dapat menentukan kesuksesan pemerintah di suatu Negara.

Menurut Abidin (2012) terdapat dua konsep dasar berkenaan dengan

implementasi kebijakan. Pertama, konsep tentang peralatan kebijakan (policy

instruments). Peralatan kebijakan adalah cara yang dipakai dalam menerapkan


32

kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan atau yang ingin dicapai. Peralatan

kebijakan ini berhubungan dengan sumber daya manusia, khususnya sumber daya

aparatur dan organisasi. Sumber daya manusia aparatur atau aparatur pemerintah

adalah subjek dan juga sekalgus objek dalam implementasi kebijakan. Sebagai

subjek, pembahasannya berkenaan dengan kemampuan dan kemauan untuk

melaksanakan. Sebagai objek, sumber daya manusia berkaitan dengan penerimaan

(acceptability) terhadap suatu kebijakan. (Hogwood dan Gunn dalam Abidin, 2012:

152).

Kedua, konsep tentang kewenangan yang tersedia untuk melaksanakan

implementasi. Kewenangan adalah kekuasaan tertentu yang dimilikki dan secara

formal diakui oleh pihak-pihak lain untuk menggunakan peralatan yang tersedia

dalam mengimplementasikan kebijakan. Kewenangan berkaitan dengan posisi

organisasi yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Masing-masing organisasi memilikki wewenang dan yuridksi administrasi tertentu,

misalnya organisasi atau instansi pusat, organisasi daerah tingkat provinsi, organisasi

daerah tingkat kabupaten, BUMN, atau organisasi swasta.

Nugroho (2012: 675-676) mempunyai gambaran untuk mengimplementasikan

kebijakan publik, terdapat dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan

derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Secara umum dapat digambarkan

sebagai berikut:
33

Kebijakan Publik

Kebijakan
Publik Program
Penjelas

Proyek

Kegiatan

Pemanfaat
(Beneficiari
es)

Gambar 2.2
Sekuensi Implementasi Kebijakan
Sumber: Nugroho (2012: 675)
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda)

adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering

diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publk yang bisa langsung


34

operasional antara lain Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah,

Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain. Rangkaian Implementasi pada gambar 2.2

diatas dapat dilihat dengan jelas, yaitu dimulai dari program yang dibuat, lalu ke

proyek, dan ke kegiatan.

Menurut Abidin (2012 : 148), secara umum kebijakan dianggap berkualitas dan

mampu diimplementasikan ditentukan oleh beberapa elemen sebagai berikut:

1. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan
itu. Tujuan atau alasan suatu kebijakan dapat dikatakan baik jika tujuan atau
alasan itu memenuhi kriteria berikut:
a. Rasional. Artinya, tujuan tersebut dapat dipahami atau diterima oleh akal
sehat. Ini terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tidak
mempertimbangkan faktor pendukung, tidak dapat dianggap sebagai
kebijakan yang rasional.
b. Diinginkan (desirable). Tujuan dari kebijakan tersebut menyangkut
kepentingan orang banyak, sehingga memperoleh dukungan dari banyak
pihak.
2. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis. Asumsi
tersebut tidak mengada-ada. Asumsi ini menentukan tingkat validitas suatu
kebijakan.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar. Suatu kebijakan atau sudah
kadaluarsa (out of date). Sementara itu, kebijakan yang didasarkan pada
informasi yang kurang lengkap boleh jadi tidak sempurna atau tidak tepat.

Setelah dirasa elemen-elemen tersebut sudah terpenuhi, maka kebijakan tersebut

sudah dianggap berkualitas dan mampu diimplementasikan.

Kebijakan yang diimplementasikan juga sangat bergantung pada efektivitas

dan efisiensi pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Apakah kebijakan tersebut dalam

pelaksanaannya sudah tepat atau tidak. Nugroho (2012: 707-709) menyatakan bahwa
35

setidaknya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi

kebijakan. Pertama, apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini

dimulai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang

memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Kedua adalah tepat pelaksanannya,

ketiga adalah tepat target, keempat adalah tepat lingkungan, dan kelima adalah tepat

proses.

Setelah memahami makna dari implementasi kebijakan menurut para ahli

kebijakan di atas, maka peneliti dapat mengembangkan suatu pengertian umum

bahwa implementasi kebijakan publik pada dasarnya adalah cara yang dilakukan oleh

para pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan dari suatu kebijakan yang telah

dibuat.

Selanjutnya dalam teori kebijakan publik terdapat beberapa model-model

implementasi kebijakan publik. Model Hogwood dan Gunn dalam Nugroho (2006)

(Mulyadi 2015:73-75) menyatakan bahwa untuk melakukan implementasi kebijakan

diperlukan beberapa syarat yaitu:

1. Berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh


lembaga/bada pelaksana tidak akan menimbulkan masalah besar.
2. Apakah untuk melaksanakannya tersedia sumberdaya yang memadai,
termasuk sumberdaya waktu. Gagasan ini sangat bijaksana karena berkenaan
dengan fisibilitas implementasi kebijakan.
3. Apakah-apakah perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.
Kebijakan publik adalah kebijakan yang kompleksdan menyangkut dampak
yang luas oleh karena itu implementasi kebijakan publik akan melibatkan
berbagai sumber yang diperlukan baik dalam konteks sumberdaya maupun
sumber aktor. Salah satu contoh adalah kebijakan penanggulangan
kemiskinan tidak akan berjalan efektif jika kerjasama antar departemen dan
antar daerah tidak terbangun secara efektif.
36

4. Apakah kebijakan yang akan diimplementasikan didasari dengan hubungan


kausal yang andal. Jadi prisipnya adalah apakah kebijakan tersebut memang
dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi. Dalam metodologi
dapat disederhanakan menjadi apakah jika X dilakukan akan terjadi Y.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinya semakin
sedikit hubungan “sebab-akibat” semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki
oleh kebijakan tersebut dapat tercapai. Sebuah kebijakan yang memepunyai
hubungan kausalitas yang kompleks otomatis menurunkan efektivitas
implementasi kebijakan.
6. Apakah hubungan saling kebergantungan kecil. Asumsinya adalah jika
hubungan saling kebergantungan tinggi , implementasi tidak akan berjalan
secara efektifapalagi jika hubungannya adalah hubungan kebergantungan.
Sebagai contoh implementasi kebijakan pengarus-utamaan gender banyak
menemui kendala karena kantor menteri Negara pemberdayaan perempuan
bergantug dalam itensitas tinggi kepada seluruh departemen dan LPND serta
kepala-kepala daerah.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Sudah dapat
disepakati bahwa mereka yang dalam perahu yang sama sepakat akan ke
sebuah tujuan yang sama. Sebuah perahu dengan penumpang yang berbeda-
beda tujuan dan pemimpin yang tidak mampu memimpin adalah perahu yang
tidak akan pernah bisa beranjak jauh dari tempat semula.
8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas
yang jelas dan prioritas yang jelas adalah kunci efektivitas implementasi
kebijakan.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Komunikasi adalah perekat
organisasi dan koordinasi adalah asal muasal dari kerjasama tim dan
terbentuknya sinergi.
10. Bahwa pihak-pihak yang memilikki wewenang kekuasaan dapat menuntut
dan mendapatkan keptuhan yang sempurna. Kekuasan adalah syarat bagi
keefektifan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas dari kekuasaan kebijakan
akan tetap berupa kebijakan tanpa ada impak bagi target kebijakan.

Sebenarnya model Hogwood dan Gunn mendasarkan pada konsep manajemen

strategis yang mengarah pada praktik manajemen yang sistematis dan tidak

meninggalkan kaidah-kaidah pokok. Kelemahannya konsep ini tidak secara tegas

menunjukkan mana yang bersifat politis, strategis, teknis dan operasional. Agar lebih

mudah dimengerti, model Hogwood dan Gunn dirangkum oleh Mulyadi (2015:75)

sebagai berikut:
37

1. Jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan


pelaksana tidak akan menimbulkan masalah besar.
2. Sumber daya yang memadai.
3. Sumber-sumber yang diperlukan benar-benar ada.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang
andal.
5. Seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi.
6. Seberapa besar hubungan saling bergantungan.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakata yang mendalam terhadap
tujuan.
8. Tugas-tugas telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar.
9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.
10. Pihak-pihak yang memilikki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Selain Hugwood dan Gunn, juga terdapat model implementasi yang

disampaikan oleh George C. Edward III dalam Subarsono (2005) (Mulyadi 2015:68-

69) mengemukakan empat variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan,

yakni:

1. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group)
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran
suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh
kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok
sasaran.
2. Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya
finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan
agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi
dokumen saja.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia dapat menjalankan kebijakan dengan baik
38

seperti apa yang diinginkana oleh pembuat kebijakan, maka proses


implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari
aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar Standard Operating System (SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan
red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada
gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

Gambar 2.3
Model Implementasi George C. Edwards III
Sumber: Mulyadi (2015:69)
39

Berdasarkan model implementasi yang diutarakan oleh Edwards III tersebut

dapat disimpulkan bahwa keempat variabel yang terdapat dalam model tersebut yakni

komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi merupakan keempat

variabel yang mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, sehingga

untuk mencapai kinerja implementasi kebijakan publik yang baik maka perlu

diinternaliasikan dengan sinergi dan intensif.

Kemudian, terdapat pula model implementasi kebijakan publik yang

disampaikan oleh Van Meter Van Horn dalam Winarno (2014:158) menawarkan

suatu model dasar implementasi yang mempunyai enam variabel yang membentuk

kaitan (linkage) antara kebijakan dengan kinerja (performance). Keenam variabel

tersebut sebagai berikut:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, berguna dalam


menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijkaan secara menyeluruh.
2. Sumber-sumber kebijakan. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena
menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang
dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong
dan memperlancar implementasi kebijakan.
3. Komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, dimana
prospek-prospek implementasi yang efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-
ukuran dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi
dalam mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan
tersebut.
4. Karakteristik badan-badan pelaksana, hal ini berkaitan dengan struktur
birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,
norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam
badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun
nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.
Komponen dalam model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari
organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari personil
mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada ikatan-ikatan
40

badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem penyampaian


kebijakan.
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi yuridiksi tau
organisasi dimana implementasi itu dilaksanakan.
6. Kecenderungan pelaksana yang dipengaruhi oleh kemampuan dan keinginan
para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan, yakni kognisi (komprehensi,
pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan,
netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Dari berbagai model implementasi kebijakan yang telah peneliti jabarkan

diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dari berbagai variabel yang

mempengaruhi proses implementasi kebijakan terdapat tiga variabel yang

menjadikannya menjadi dimensi yang lebih umum yakni, organisasi, interpretasi dan

aplikasi. Seperti apa yang disampaikan oleh Jones.

Jones (1991:296) mengatakan bahwa penerapan atau implementasi adalah

suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program. Tiga

kegiatan berikut ini adalah pilar-pilarnya:

1. Organisasi
Pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode
untuk menjadikan program berjalan.
2. Interpretasi
Menafsirkan agar program (seringkali dalam hal status) menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
3. Aplikasi/Penerapan
Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan
dengan tujuan atau perlengkapan program.

Untuk lebih memahami ketiga variabel yang disampaikan oleh Jones tersebut,

akan dibahas sebagai berikut.


41

2.1.2.1 Organisasi

Organisasi diperlukan agar pekerjaan dapat dilaksanakan. Organisasi di dalam

pemerintahan telah identik dengan istilah birokrasi. Weber dalam Jones (1991:305)

melihat bahwa birokrasi sebagai alat untuk mengatasi kesulitan dan tuntutan tugas

pemerintahan modern. Weber dalam Jones (1991:306) mendefinisikan peran

birokrasi.

“Ada hal prinsipil dari bidang juridiksi yang tetap dan resmi, ang umumnya ditata
oleh aturan-aturan, yaitu hukum-hukum dan aturan-aturan administratif, yaitu:
1. Kegiatan-kegiatan teratur, yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan irokrasi
pemerintahan, untuk didistribusikan sebagai cara yang tetap dari pelaksanaan
kewajiban resmi.
2. Penguasa, untuk memberikan perintah yang diperlukan untuk
mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban tersebut dan kemudian
dibagikan dalam cara yang tetap dan serta dibatasi secara ketat oleh aturan-
aturan yang berhubungan dengan cara-cara paksaan dan sejenisnya, yang akan
dikenakan sanksi berupa pemecatan atau pembuangan bagi para pejabat yang
melakukannya.
3. Ketetapan metodis dibuat untuk keteraturan dan kesinambungan pemenuhan
kewajiban tersebut, serta pelaksanaan hak-hak yang sesuai; sehingga hanya
orang-orang yang berkualifikasi baik sajalan yang pantas ditugasi.

Dalam pemerintahan berdasarkan hukum, ketiga unsur diatas merupakan otoritas


birokrasi.”

Kemudian terdapat pula mekanisme pemerintahan modern yang

memberlakukan aturan, hukum dan peraturan tersebut. dalam bentuknya yang ideal

institusi ini menawarkan “superioritas yang sifatnya teknis” dengan menyarankan

“ketepatan atau presisi, kecepatan, ketidakraguan, pengetahuan kearsipan,


42

kontinuitas, kelangsungan, kesatuan, pengawasan ketat serta mengurangi hambatan

dan biaya-biaya yang sifatnya material dan personal.”

Keuntungan-keuntungan tersebut tumbuh ketika birokrasi berfungsi

sebagaimana harusnya. Sangat mungkin bahwa mekanisme pemerintahan yang

modern tadi tidak akan meraih keuntungan-keuntungan tersebut, Weber (Jones

1991:307). Selanjutnya, semua yang dilakukan Weber adalah menemukan

seperangkat kegiatan yang bersifat fungsional, serta sebuah bentuk organisasi yang

tepat untuk mengefektifkan kegiatan-kegiatan tersebut.

Menurut Jones (1991:319) birokrasi memiliki keuntungan yang besar dalam

proses kebijakan;ia mengendalikan informasi, menguasai pengetahuan, serta memiliki

“ideologi departemen.”

Dapat disimpulkan bahwa, organisasi merupakan salah satu faktor atau

variabel yang sangat mempengaruhi proses implementasi karena didalam organisasi

tersebut terdapat peran birokrasi yang menjadi landasan terciptanya organisasi yang

baik yang dapat mengefektifkan suatu kegiatan kebijakan.

2.1.2.2 Interpretasi/Penafsiran

Interpetasi atau penafsiran adalah satu bentuk faktor didalam proses

implementasi kebijakan dimana setelah program kebijakan telah disetujui, telah

tertulis diatas kertas dan organisasi sudah ada pada tempatnya. Sekarang,

implementor harus siap dengan kasus-kasus yang khusus dan masalah-masalah nyata.

Edwards dalam Jones (1991:320) mengungkapkan:


43

“Kebutuhan utama bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan adalah bahwa yang


mereka menrapkan keputusan haruslah tahu apa yang seharusnya mereka
lakukan. Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan tepat, arahan serta
petunjuk pelaksanaan tidak hanya diterima tetapi juga harus jelas, dan jika hal
ini tidak jelas tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, dan akhirnya
mereka akan mempunyai kebijakan tersendiri dalam memandang penerapan
kebijakan tersebut. Yang mana pandangan ini seringkali berbeda dengan
pandangan atasan mereka”.

Pelaksanaan program yang efektif nampaknya menjadi aneh apabila faktor

kejelasan dijadikan salah satu prasyarat. Memang ada hukum tidak tertulis yang

menyatakan bahwa kian rumit suatu permasalahan sosial, kian mendua (ambigu) pula

kebijakan sosial. Dan sebagaimana yang dikatakan Edwards diatas, kegandaan

(ambiguitas) ini akan mengantarkan para pelaksana pada kebijakan mereka sendiri,

meskipun mereka tidak perlu menggunakannya untuk memperluas otoritas yang

dimiliki. Tetapi sebaliknya, mereka menggunakan hal ini untuk menghindari

permasalahan khusus yang sulit.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu patokan yang jelas harus

segera ditetapkan dan juga dipelajari oleh para pelaksana untuk kemudian

mengembangkannya dan menerapkannya. Tetapi sebaliknya, apabila patokan tersebut

tidak jelas, para pelaksana akan menghadapi tanggung jawab yang lebih berat.

Bagaimana mereka menghadapi tanggung jawab ini tergantung dari sejumlah

keadaan. Yang pasti hal terpenting dalam hal ini adalah perkiraan para pelaksana

tersebut tentang ketersediaan sumberdaya. Di antara sumberdaya tersebut, dukungan

politik menempati peringkat teratas.


44

Perumusan administratif yang baik serta penerapan yang efektif harus terus

menerus dikembangkan. Pada dasarnya rumusan ini lebih menitikberatkan pada

kejelasan, ketelitian, konsistensi, penyusunan prioritas, sumberdaya yang cukup dan

lain sebagainya.

Proses kebijakan sangat tergantung pada komunikasi antara kata dengan

maknanya. Penafsiran yang dimaksudakan dalam hal tersebut adalah suatu hal yang

penting untuk memahami apa yang terjadi pada setiap tahapan pembuatan keputusan.

Hal tersebut ditekankan karena kita sering menganggap baha hukum, perundangan,

keputusan, pedoman serta perintah yang bersifat definitif atau yang sudah pasti.

Seringkali mereka tidak bersifat demikian, oleh sebab itu perhatian yang besar harus

diberikan kepada cara yang digunakan para pelaksana dalam menafsirkan tanggung

jawab mereka.

Alasan penting untuk mengungkapkan tentang apa, bagaimana, dan siapa

dalam hal penafsiran adalah bahwa studi semacam itu lebih memfokuskan perhatian

pada pengharapan para pelaksana serta yang lainnya terhadap sebuah program

kebijakan. Bentuk keperluan ini membawa seseorang pada inti substansi kebijakan,

dan juga kepada permasalahan tentang apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan

tatkala suatu program disetujui dan dilaksanakan.

2.1.2.3 Aplikasi: Pelaksanaan Pekerjaan

Penerapan mengacu pada pelaksanaan pekerjaan yang meliputi “penyediaan

barang dan jasa” (Ripley dan Franklin dalan Jones, 1991:324) sebagaimana tujuan-
45

tujuan yang bersifat pragmatis lainnya sebagai contoh regulasi dan pertahanan.

Aplikasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lain, yaitu sebuah pross

dinamis karena berhubungan dengan kegiatan kebijakan lainnya dalam kemanusiaan

yang mana seseorang mencoba melakukan pekerjaannya.

Penyesuaian dalam organisasi maupun penafsiran selama penerapan program

tidaklah terlalu luar biasa. Suatu penafsiran politis dari yang berwenang mungkin tak

akan dapat dipraktekan di lapangan, dan sebaiknya penerapan seringkali merupakan

suatu proses dinamis dimana para pelaksananya ataupun para petugas diarahkan oleh

pedoman program maupun patokan-patokannya, ataupun secara khusus diarahkan

oleh kondisi yang aktual.

Penerapan yang dimaksud tidak hanya menunjuk pada sebuah kemungkinan

kecil terhadap penerapan harfiah suatu perundangan, tetapi juga menunjukkan bahwa

mereka yang membuat upaya semacam itu akan menghadapi permasalahan dalam

organisasinya. Interpretasi ini adalah suatu varian dalam konsep adminitrasi umum

yang lebih tradisional serta ilmu manajemen yang menekankan pada terciptanya

tujuan kebijakan yang efektif dan efisien serta dilaksanakan oleh suatu pelayanan

sipil yang objektif.

Berdasarkan definisi tersebut diatas dapat disimpulkan dan terlihat jelas

bahwa implementasi kebijakan publik merupakan suatu proses dimana rencana-

rencana yang telah dibuat diterapkan secara nyata kepada masyarakat untuk mencapai
46

tujuan-tujuan kebijakan tersebut menjadi efektif, efisien dan objektif. Kemudian,

dapat terlihat juga bahwa kebijakan publik dapat diwujudkan dengan baik apabila

faktor-faktor seperti organisasi, pengetahuan implementor mengenai sebuah

kebijakan dan sejauh mana para implementor menjalankan suatu kegiatan sesuai

dengan pedoman dan aturan yang berlaku.

Untuk menganalisis bagaimana Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah

Anak (RPTRA) di Kota Administrasi Jakarta Utara peneliti menggunakan teori

implementasi kebijakan publik milik Charles O. Jones (1991) dengan tiga pilarnya

yaitu Organisasi, Interpretasi, dan Aplikasi karena setelah dibandingkan dengan

model teori implementasi kebijakan yang diutarakan oleh para ahli, dalam hal ini

adalah Edwards III dan Van Meter Van Horn pada intinya adalah berbicara tentang

Organisasi, Interpretasi, dan Aplikasi dan dianggap sesuai dengan identifikasi

masalah yang ada di BAB I.

2.1.3 Konsep Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)

Dalam rangka mewujudkan komitmen Pemerintah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar anak dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

perlu dibangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai upaya

mendukung Jakarta menjadi Kota Layak Anak (KLA). KLA adalah kota yang
47

mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian

komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana

secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk

menjamin terpenuhinya hak anak. Hak-hak anak merupakan bagian dari hak-hak

manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah dan Negara.

2.1.3.1 Kedudukan, Tugas dan Fungsi RPTRA

RPTRA dibangun oleh Pemeritah Daerah di wilayah dan dikelola melalui

kemitraan dengan masyarakat untuk kepentingan publik yang multifungsi. RPTRA

dibangun untuk tugas :

a. Menyediakan ruang terbuka untuk memenuhi hak anak agar anak dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan.
b. Menyediakan prasarana dan sarana kemitraan antara Pemerintah Daerah dan
masyarakat dalam memenuhi hak anak.
c. Menyediakan prasarana dan sarana kota sebagai Kota Layak Anak.
d. Menyediakan prasarana dan sarana untuk pelaksanaan kegiatan 10 (sepuluh)
program pokok PKK.
e. Meningkatkan pencapaian ruang terbuka hijau dan tempat penyerapan air
tanah dan
f. Meningkatkan prasarana dan sarana kegiatan sosial warga termauk
pengembangan pengetahuan dan keterampilan kader PKK.

Dapat dilihat bahwa tugas dari RPTRA tersebut adalah menyediakan sebuah ruang

terbuka yang menyediakan sarana dan prasarana yang tentunya ramah anak akan

tetapi dapat dimanfaatkan oleh orang dewasa dan menjadi sarana untuk warga sekitar
48

untuk berbagai kegiatan yang utamanya adalah sraana untuk bersosialisasi antar

tetangga.

Sedangkan fungsi dari RPTRA adalah sebagai :

a. Taman terbuka publik.


b. Wahana permainan dan tumbuh kembang anak.
c. Prasarana dan sarana kemitraan antara Pemerintah Daerah dan masyarakat
dalam memenuhi hak anak.
d. Bagian dari prasarana dan sarana Kota Layak Anak.
e. Ruang terbuka hijau dan tempat penyerapan air tanah.
f. Prasarana dan sarana kegiatan sosial warga termasuk pengembangan
pengetahuan dan keterampilan kader PKK.
g. Usaha meningkatkan pendapatan keluarga.
h. Pusat informasi dan konsultasi keluarga.
i. Halaman keluarga yang asri, teratur, indah, dan nyaman; dan
j. Sistem informasi manajemen.

2.1.3.2 Layanan dan Kegiatan

Pada RPTRA dilaksanakan layanan yag ditujukan untuk anak, masyarakat,

dan kebencanaan. Dalam hal pelayanan ini, RPTRA tidak hanya dibangun untuk anak

saja namun RPTRA difungsikan sebagai suatu ruang terbuka publik yang multifungsi

sehingga baik dari golongan anak-anak, masyarakat dewasa hingga asyarakan lanjut

usia pun dapat ikut serta memanfaatkan RPTRA. Dalam rangka menyelenggarakan

pelayanan yang untuk anak, berikut kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di RPTRA:

1. Bina Keluarga Balita Pendidikan Anak Usia Dini (BKB-PAUD)


2. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
3. Perpustakaan anak
4. Tempat berolahraga
5. Tempat bermain
6. Kegiatan kreatif anak
49

Kemudian untuk melayani masyarakat RPTRA mengadakan kegiatan sebagai berikut:


1. Kegiatan sepuluh program pokok PKK
2. PKK-Mart
3. Kegiatan masyarakat yang tidak berpotensi mengakibatkan kerusakan taman
dan/atau prasarana dan sarana yang ada
4. Olahraga
5. Kegiatan kesenian

Untuk layanan kebencanaan terdiri dari tempat mengungsi sementara saat banjir,

kebakaran dan bencana lainnya.

2.1.3.3 Pengorganisasian

Untuk menjaga agar RPTRA tetap terpelihara dan dapat dirasakan manfaatnya

oleh masyarakat, maka diperlukan suatu organisasi yang bertanggung jawab

mengelola RPTRA. Organisasi RPTRA tersebut terdiri dari :

1. Pengurus RPTRA tingkat Provinsi


Terdiri atas:
Tim Pembina
a. Ketua : Ketua TP PKK Provinsi
b. Sekretaris : Asisten Kesejahteraan Rakyat
c. Anggota : Wakil Ketua I TP PKK dan Wakil Ketua II TP PKK

Tim Pelaksana
d. Ketua : Kepala BPMPKB
e. Wakil Ketua : Kepala Biro Kesejahteraan Sosial Sekretaris Daerah
f. Sekretaris : Kepala Bidang PP PA BPMPKB
g. Anggota
1) Inspektur
2) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
3) Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah
4) Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
5) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
6) Kepala Dinas Pertamana dan Pemakaman
7) Kepala Dinas Kesehatan
8) Kepala Dinas Pendidikan
9) Kepala Dinas Perindustrian dan Energi
10) Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan
11) Kepala Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan
50

12) Kepala Dinas Kebersihan


13) Kepala Dinas Bina Marga
14) Kepala Dinas Tata Air
15) Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda
16) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
17) Kepala Dinas Sosial
18) Kepala Kependudukan dan Pencatatan Sipil
19) Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta
Perdagangan
20) Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi
21) Kepala Satuan Pamong Praja
22) Unsur Dunia Usaha
23) Unsur Masyarakat/Perguruan Tinggi
Setelah mengeahui tentang pengurus tingkat provinsi yang terlibat, berikut ini

merpakan tugas-tugas pengurus RPTRA tingkat provinsi :

1) Menyusun rencana kerja dan rencana strategis RPTRA untuk 3 tahun


2) Menyusun kebijakan pengelolaan RPTRA
3) Mengangkat dan memberhentikan pengurus RPTRA tingkat kota
administratif/kabupaten admnistratif
4) Memfasilitasi kontribusi, dunia usaha, masyarakat dan perguruan tinggi untuk
pengembangan RPTRA
5) Membangun dan mengembangkan jejaring dengan praktisi pemberdayaan
masyarakat guna pengembangan RPTRA
6) Memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan kepada pengurus RPTRA
tingkat kota administratif/kabupaten administratif
7) Melaksanakan pelatihan untuk pengurus RPTRA tingkat kota
administratif/kabupaten administrative dan pengurus/pengawas RPTRA
8) Menerima dan menindaklanjuti permohonan, usul, masukan, dan/atau laporan
dari dunia usaha, masyarakat dan perguruan tinggi, pengurus RPTRA tingkat
kota administratif/kabupaten administratif
9) Memonitor mengendalikan dan mengevaluai pelaksanaan tugas pengurus
RPTRA tingkat kota administratif/kabupaten administratif
10) Membuat dan manyampaikan laporan pengelolaan RPTRA kepada Gubernur.

2. Pengurus RPTRA tingkat Kota Administratif/ Kabupaten Administatif


a. Ketua :Walikota/Bupati
b. Wakil Ketua :Sekretaris Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi
51

c. Sekretaris :Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Kota Administrasi/


Kabupaten Administrasi
d. Anggota

1. Kepala Kantor Keluarga Bencana (KB)

Kantor Keluarga Berencana tingkat Kota Administrasi sangat berperan

dalam pengimplementasian RPTRA karena bergerak di bidang keluarga

berencana dan keluarga sejahtera yang tentunya memiliki keterkaitan dengan

RPTRA. Karena dengan dibangunnya RPTRA diharapkan masyarakat dapat

menjadi individu yang bersosialisasi dengan tetangga dan jika memiliki

keluhan mengenai urusan rumah tangganya, masyarakat dapat menghubungi

dinas-dinas terkait yang nomor teleponnya sudah dipajang di dalam

lingkungan RPTRA, hal tersebut bertujuan agar tercapainya keluarga

sejahtera.

2. Kepala Kantor Perencanaan Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi

Kantor perencanaan ini bertugas untuk merencanakan program RPTRA di

tingkat Kota Administrasi, yang tentunya dibawah koordinasi dengan Badan

Perencaaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta.

3. Kepala Kantor Pengelolaan Keuangan Daerah

Kantor Pengelolaan Keuangan Daerah di tingkat Kota Administratif

bertugas untuk mengawasi keuangan atau anggaran yang dikeluarkan oleh

pihak swasta yang mengeluarkan dana Coorporate Social Responsibility

(CSR) untuk pembangunan RPTRA.


52

4. Kepala Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman

Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman bertugas untuk mengurus

tanaman yang ada di lingkungan RPTRA. Jadi, seluruh tanaman yang ada di

RPTRA merupakan tanggung jawab dari Suku Dinas Pertamanan dan

Pemakaman.

5. Kepala Suku Dinas Kesehatan

Suku Dinas Kesehatan bertugas untuk mengadakan kegiatan yang berkaitan

dengan kesehatan, seperti penyuluhan dan lain sebagainya.

6. Kepala Suku Dinas Pendidikan

Suku Dinas Kesehatan bertugas untuk berpartisipasi dalam pengelolaan

RPTRA khususnya di bidang Pendidikan.

7. Kepala Suku Dinas Perindustrian dan Energi

Suku Dinas Perindustrian dan Energ mengelola RPTRA dibidang

perindustrian dan energi. Dalam hal ini, perindustrian lah yang lebih

didahulukan karena di dalam lingkungan RPTRA warga setempat dapat

berjualan. Hal tersebut juga dapat mengurangi jumlah pengangguran di

wilayah setempat.

8. Kepala Suku Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan

Suku Dinas Komunikasi, Informartika, dan Kehumasan ini juga bertugas

mengelola RPTRA di bidangnya. Seperti, jaringan wifi dan kamera cctv yang

terdapat di RPTRA.

9. Kepala Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan


53

Sudin Kelautan, Pertanian dan Ketahaan Pangan, khusunya di bidang

pertanian bertugas untuk memberikan bibit tanaman baik tanaman hias

maupun tanaman obat yang terdapat di RPTRA.

10. Kepala Suku Dinas Kebersihan

Suku Dinas Kebersihan bertanggung jawab untuk mengelola RPTRA di

bidang kebersihan. Dengan memberikan beberapa petugas Penanganan

Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) yang bertugas membersihkan dan

merawat RPTRA.

11. Kepala Suku Dinas Bina Marga

Suku Dinas Bina Marga bertanggung jawab atas pemeliharaan sarana dan

prasarana di RPTRA.

12. Kepala Suku Dinas Tata Air

Suku Dinas Tata Air bertanggung jawab dengan pemeliharaan saluran air

yang terdapat di RPTRA. Air merupakan salah satu komponen yang penting

karena fungsinya untuk menyiram tanaman yang ada di RPTRA dan juga

untuk keperluan sanitasi di RPTRA.

13. Kepala Suku Dinas Olahraga

Suku Dinas Olahraga bertanggung jawab dengan sarana olahraga yang

terdapat di RPTRA. Karena sudah berkurngnya lahan untuk masyarakat

berolahraga jadi Suku Dinas Olahraga, berupaya mengoptimalkan sarana

olahraga tersebut.
54

14. Para Camat


15. Ketua TP PKK Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi
16. Wakil Ketua I TP PKK Kota Adminstrasi/ Kabupaten Administrasi
17. Wakil Ketua II TP PKK Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi
Berikut ini merupakan tugas dari pengurus RPTRA tingkat Kota Administrasi/

Kabupaten Administrasi :

1) Mengangkat dan memberhentikan Pengurus RPTRA tingkat Kelurahan


2) Memfasilitasi kontribusi perguruan tinggi, perusahaan dan masyarakat di
wilayah Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi untuk pengembagan
RPTRA
3) Menyelenggarakan pelatihan teknis untuk pengurus dan pengawas
RPTRA
4) Memberikan arahan, bimbingan, saran, dan masukan kepada pengurus
RPTRA tingkat Kelurahan
5) Menyiapkan lahan dan lokasi baru untuk pembangunan RPTRA
6) Mengoordinir pembangunan fisik RPTRA
7) Menyiapkan calon pengurus, pelaksana kegiatan, dan pengawas RPTRA
tingkat Kelurahan serta tata laksana operasionalnya
8) Menyetujui rencana kegiatan dan anggaran operational RPTRA serta
sumber dananya
9) Melakukan pemetaan sosial dan mendiskusikan desain fisik RPTRA
secara partisipatif dengan warga setempat
10) Memanfaatkan perizinan pembangunan RPTRA
11) Menerima dan menindaklanjuti permohonan, usul, masukan dan/atau
laporan dari dunia usaha, masyarakat, dan perguruan tinggi, pengurus
RPTRA tingkat Kelurahan
12) Memonitor, mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan tugas
pengurus RPTRA tingkat Kelurahan dan
13) Membuat dan menyampaikan laporan pengelolaan RPTRA kepada
pengurus RPTRA tingkat Provinsi
Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat mengetahui Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) apa saja yang bertanggung jawab untuk mengurus RPTRA, baik

SKPD di tingkat Provinsi maupun SKPD di tingkat Kota Administrasi/ Kabupaten

Administrasi. Untuk lebih memahami lebih rinci lagi, penulis akan memaparkan
55

tentang tugas pengurus di tingkat Kecamatan hingga tingkat kelurahan, sebagai

berikut:

1. Pengurus RPTRA tingkat Kecamatan

Dalam kedudukannya sebagai anggota pengurus RPTRA tingkat Kota

Administrasi/ Kabupaten Administrasi, Camat mempunyai tugas sebagai

berikut:

1) Memberikan dukungan kepada pengurus RPTRA tingkat Kelurahan


2) Memonitor pelaksanaan tugas pengurus RPTRA tingkat Kelurahan
3) Mengoordinasikan antar pengurus RPTRA tingkat Kelurahan
4) Menindaklanjuti perintah Walikota/ Bupati selaku ketua penguru
RPTRA tingkat Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi untuk
memperlancar pelaksanaan tugas pengurus RPTRA tingkat Kelurahan
terkait pengelolaan RPTRA
5) Melaporkan kepada pengurus RPTRA tingkat Kota Administrasi/
Kabupaten Administrasi terkait pengelolaan RPTRA, dan
6) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Walikota selaku ketua pengurus
RPTRA Tingkat Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi

2. Pengurus RPTRA Tingkat Kelurahan

Pengurus RPTRA tingkat Kelurahan merupakan pengendali langsung

pelaksanaan tugas, fungsi, pelayanan, dan kegiatan RPTRA berjumlah paling

banyak 15 (lima belas) orang terdiri atas:

a. Ketua :Lurah
b. Ketua Harian :Sekretaris Lurah
c. Wakil Ketua Harian :Kepala Seksi Perekonomian dan
Kesejahteraan Masyarakat
d. Sekretaris :Penyuluh KB
e. Anggota
1) Kepala seksi prasarana, sarana, kebersihan dan lingkungan
hidup
2) TP PKK Kelurahan
3) Unsur masyarakat
56

Pengurus RPTRA di tigkat Kelurahan mempunyai tugas sebagai berikut :


1) Mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan RPTRA
2) Menyusun dan mengusulkan kepada pengurus RPTRA Kota
Administrasi/Kabupaten Administrasi rencana kerja dan anggaran
kegiatan secara partsipatif
3) Memonitor dan mengevaluasi ketersediaan dan kelayakan prasarana
dan sarana RPTRA serta melaporkan kepaada SKPD/UKPD terkait
sesusai dengan tugas, fungsi, kewenangan, dan tanggung jawab
masing-masing
4) Memelihara kebersihan dan keamanan RPTRA
5) Menerima dan menindaklanjuti permohonan, usul, masukan dan/atau
laporan dari pelaksana kegiatan RPTRA
6) Melaksanakan kegiatan pelayanan RPTRA melalui pelaksana kegiatan
RPTRA
7) Melakukan pembinaan terhadap pelaksana kegiatan RPTRA
8) Memberikan bantuan langsung terhadap pelaksanaan kegiatan
pelayanan RPTRA dan pelaksana kegiatan RPTRA
9) Melaporkan permasalahan pengelolaan RPTRA yang tidak bisa
dilaksanakan dan/atau bukan kewenangannya kepada pengurus
RPTRA tingkat Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi dengan
tembusan kepada Camat
10) Memutuskan dan memberikan alternatif penyelesaian permasalahan
kegiatan pelayanan RPTRA dan pelaksana kegiatan RPTRA
11) Melaporkan permasalahan pengelolaan RPTRA yang tidak bisa
dilaksanakan dan/atau bukan kewenangannya kepada pengurus
RPTRA tingkat Kota Administrasi/Kabupaten Administrasi dengan
tembusan kepada Camat
12) Memutuskan dan memberikan alternatif penyelesaian permasalahan
kegiatan pelayanan RPTRA sesuai dengan kewenangan Kelurahan dan
13) Membuat dan menyampaikan laporan pengelolaan RPTRA kepada
pengurus RPTRA tingkat Kota Administrasi/ Kabupaten Administrasi
dengan tembusan kepada Camat

2.1.4 Kosep Konvensi Hak Anak (KHA) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa


Anak merupakan setiap manusia yang berada dibawah usia delapan belas

tahun. Konvensi hak anak adalah perjanjian antar bangsa-bangsa mengenai hak-hak

anak. Hak-hak anak melekat dalam diri anak, hak-hak anak merupakan Hak Asasi

Manusia dan hak anak dapat menjamin hak asasi anak. Anak di seluruh dunia adalah
57

yang memiliki hak-hak. Semua masyarakat arus mengetahui bahwa anak memiliki

sejumlah hak yang sudah diakui agar menjadi landasan untuk perubahan kehidupan

anak yang lebih baik. KHA sendiri yang nantinya akan mejadi landasan atau

pedoman bagi setiap Negara yang akan membuat kebijakan khususnya mengenai

anak. Prinsip-prinsip dasar yang menyangkut hak anak adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun tanpa memandang ras, warna
kulit, jenis kelamin, suku, budaya, agama, da nasal etnik sosial (Pasal 2)
2. Hal terbaik menyangkut kepentingan anak harus dijadikan pertimbangan
(Pasal 3)
3. Setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6)
4. Setiap anak memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya (Pasal 12)
5. Anak berhak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7)
6. Anak memiliki hak untuk berkarya, berpendapat dan berkumpul (Pasal
12,13,15)
7. Anak berhak mendapatkan dan mengetahui informasi yang bermanfaat (Pasal
13&17)
8. Setiap anak berhak diasuh oleh orangtua dengan penuh kasih sayang dalam
keluarga bahagia samapai dewasa (Pasal 5)
9. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan anak berhak mendapatkan
pendidikan walaupun berasal dar keluarga yang tidak mampu (Pasal 28)
10. Anak berhak untuk beristirahat dan bersenang-senang untuk terlibat dalam
kegiatan-kegiatan bermain dan rekreasi yang layak untuk usia anak yang
bersangkutan untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni
(Pasal 31)
Hak-hak anak yang tercantum dalam KHA sudah semestinya dipenuhi. Oleh

karena itu sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk memenuhi hak-hak anak

dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mengutamakan anak.

2.1.5 Dasar Hukum


Hukum nasional yang mendukung program Ruang Publik Terpadu Ramah

Anak (RPTRA) ini adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang


58

Perlindungan Anak sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang

mempelopori program Pemerintah yaitu Kota Layak Anak, kemudian Peraturan

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota

Layak Anak dan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak

Anak. Karena pada awal terencananya program RPTRA, Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta ingin menjadikan DKI Jakarta sebagai kota layak anak. Oleh karena itu

berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan disempurnakan oleh

Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

menggandeng pihak swasta sebagai pihak yang membangun RPTRA dengan

menggunakan dana Coorporate Social Responsibility (CSR).

2.2 Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan masukan bagi peneliti dalam melakukan penelitian, peneliti

mencari beberapa jurnal penelitian yang kurang lebih membahas topik atau tema yang

relevan dengan peneliti yaitu tentang Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah

Anak (RPTRA) di Kota Administratif Jakarta Utara. Jurnal penelitian tersebut antara

lain sebagai berikut:

Pertama, jurnal penelitian yang diteliti oleh Juarni Anita, Fendi Gustya, Lucy

Rahayu Erawati, dan Mega Dewi Sukma, Jurusan teknik arsitektur, Fakultas Teknik

Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Bandung pada tahun 2012 dengan
59

judul “Kajian Terhadap Ruang Publik Sebagai Sarana Interaksi Warga di Kampung

Muararajeun Lama, Bandung”. Penelitian ini berfokus pada kurangnya ruang publik

di lingkungan perkampungan yang terdapat di perkotaan. Dengan miskinnya ruang

publik tersebut maka dikhawatirkan berbagai permasalahan sosial akan muncul.

Masyarakat tidak lagi memiliki ruang untuk berinteraksi antar sesama warga, anak-

anak tidak lagi memiliki ruang untuk bermain sehingga budaya kebersamaan dan

toleransi semakin terkikis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif

deskriptif dan menggunakan teori dari Stephen Carr dan kawan-kawan, dengan

dimensi democratic,meaningful,comfortable, dan responsive. Dalam penelitian ini,

diketahui bahwa lahan pada ruang publik di Kampung Muararajeun Lama ini masih

terbatas akibatnya warga sekitar kurang dapat berinteraksi dan anak-anak pun belum

mempunyai lahan bermain yang aman. Hal tersebut dapat disiasati dengan mengelola

kembali ruang publik yang sudah ada serta melengkapi sarana dan prasarana untuk

memfasilitasi ruang publik tersebut agar aktifitas interaksi sosial warga dapat berjalan

dengan lebih baik. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu menata lahan terbuka milik

warga seperti halaman rumah dengan penghijauan seperti tanaman perdu, apotik

hidup, dan dapur hidup, menata dan membersihkan lahan bantaran sungai agar dapat

berfungsi sebagai jalur sirkulasi yang nyaman, melengkapi fasilitas pada ruang-ruang

publik yang sudah ada, misalnya fasilitas tempat duduk, peneduh, alat-alat bermain

anak, dan tempat berjualan non permanen bagi para pedagang keliling.
60

Kedua, jurnal penelitian yang diteliti oleh Ani Farida dari Program Studi

Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta

pada tahun 2014 dengan judul “Penerapan Konsep Child Friendly Space Pada Ruang

Publik Kampung Badran Yogyakarta”. Penelitian ini berfokus pada penerapan konsep

child friendly space pada ruang publik untuk anak-anak di kampong Badran,

Yogyakarta yang sudah berpredikat sebagai Kampung Ramah Anak sejak tahun 2011.

Pada tahun 2011 Kampung Badran mendapatkan predikat sebagai Kampung Layak

Anak karena dinilai telah memenuhi tiga aspek utama yaitu aspek kesehatan,

pendidikan, dan ekonomi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan dimensi image and identity,

attractions and destinations, amenities, flexible design, seasonal strategy, access

dalam menentukan kriteria untuk menjadikan sebuah ruang publik menjadi ideal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Ruang publik kampung Badran sudah

memenuhi konsep Child Friendly Space yaitu dalam (a) menyediakan ruang yang

aman bagi anak untuk bermain dan bersosialisasi, (b) mendukung tumbuh kembang

anak dengan menyediakan fasilitas seperti kolam renang, ayunan dan gazebo yang

mudah diakses oleh anak. (2) Ruang Publik Kampung Badran memilikki kekurangan

yaitu, (a) tidak memiliki program pendukung seperti kegiatan rutin untuk

memaksimalkan pemanfaatan fasilitas ruang publik kampung Badran, (b) tidak

adanya staff lapangan untuk mengawasi ruang publik Kampung Badran secara

intensif.
61

Penelitian-penelitian terdahulu tersebut diatas mempunyai kaitan dengan

penelitian yang sedang diteliti oleh peneliti, yaitu mempunyai variabel penelitian

yang sama mengenai ruang publik yang dikhususkan untuk anak di Kampung Badran,

Yogyakarta dan ruang publik yang dikhususkan sebagai sarana berinteraksi warga di

Kampung Muararajeun Lama, Bandung.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah penjelasan rasional dan logis yang didukung

dengan data teoritis dan atau empiris yang diberikan oleh peneliti terhadapvariabel-

variabel penelitiannya beserta keterkaitan antara variabel-variabel tersebut (Irawan,

2006:36).

Dalam penelitian ini, permasalahan yang peneliti angkat adalah tentang

Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di kota Administratif

Jakarta Utara yang dilandasi oleh Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015. Hal

tersebut didasari oleh Provinsi DKI Jakarta yang ingin mendapatkan predikat sebagai

Kota Layak Anak (KLA) dan membantu memecahkan permasalahan warga yang

tiggal di permukiman padat penduduk dimana sarana ruang publiknya yang masih

sangat minim.

Dalam kerangka berpikir ini peneliti mengambil tiga permasalahan inti, yaitu:

koordinasi antar SKPD yang terkait masih rendah dalam hal mensosialisasikan

fungsi-fungsi dan tujuan didirikannya RPTRA sehingga masih banyak masyarakat


62

yang belum dapat merasakan manfaat dari didirikannya RPTRA, pengaplikasian

regulasi yang dibuat oleh petugas RPTRA dalam hal ini adalah ibu-ibu PKK

Kelurahan Sungai Bambu selaku pihak yang berwenang menjaga RPTRA atau staff

lapangan masih belum tepat dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, harapan

masyarakat mengenai RPTRA masih belum sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan adanya tiga permasalahan di atas maka peneliti mencoba

menganalisisnya dengan menggunakan teori implementasi dari Jones (1991:296)

dengan indikatornya sebagai berikut:

1. Organisasi, pada indikator ini dimensi yang akan diteliti adalah penataan unit-

unit lembaga pelaksana, ketersediaan sumber daya manusia yang

berkompeten, alokasi sumber daya keuangan/anggaran yang mendukung

program, ketersediaan sumber daya pendukung seperti sarana dan prasarana

untuk melaksanakan program, peran serta beberapa Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) yang terlibat dalam pengelolaan Ruang Publik Terpadu

Ramah Anak (RPTRA) tersebut.

2. Interpretasi, pada indikator ini dimensi yang akan diteliti adalah pemahaman

implementor terhadap pelaksanaan program, dukungan elit pemangku

kepentingan terhadap berjalannya program, dukungan publik terhadap

berjalannya program, kejelasan maksud dan tujuan pelaksanaan program

dalam petunjuk teknis pelaksanaan program.


63

3. Aplikasi/Penerapan, pada indikator ini dimensi yang akan diteliti adalah

Kesesuaian penerapan dengan pedoman pelaksanaan program, emantauan dan

evaluasi capaian hasil penerapan program.

Sehingga berdasarkan penjelasan diatas, peneliti mengembangkan sebuah

kerangka pemikiran seperti pada gambar 2.4 berikut ini

Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di


Kota Administratif Jakarta Utara

1. Koordinasi antar SKPD yang terkait masih rendah dalam


hal mensosialisasikan fungsi-fungsi dan tujuan
didirikannya RPTRA sehingga masih banyak
masyarakat yang belum dapat merasakan manfaat dari
didirikannya RPTRA.
2. Pengaplikasian regulasi yang dibuat oleh petugas
RPTRA dalam hal ini adalah ibu-ibu PKK Kelurahan
Sungai Bambu selaku pihak yang berwenang menjaga
RPTRA atau staff lapangan masih belum tepat dan tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Harapan masyarakat mengenai RPTRA masih belum
sesuai dengan yang diharapkan.
Sumber: Peneliti, 2016

Teori implementasi program menurut


Jones (1991:296):

1. Organisasi
2. Interpretasi
3. Aplikasi/Pelaksanaan

Konvensi Hak Anak oleh PBB Tahun


1989

Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota


Administratif Jakarta Utara yang lebih optimal
64

2.4 Asumsi Dasar

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, mulai dari tema penelitian,

identifikasi masalah yang terjadi di RPTRA Sungai Bambu, dan teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori dari Jones yang dipilih karena sesuai dengan

identifikasi masalah yang terjadi. Maka peneliti berasumsi bahwa Implementasi

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota Administratif Jakarta Utara

masih belum berjalan dengan optimal.


65

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian

Metode penelitian berguna sebagai pedoman bagi peneliti untuk

mempermudah proses penelitian mulai dari tahapan perumusan masalah, pencarian

data yang relevan dengan msalah, hingga proses analisa data sehingga dapat

menemukan jawaban atas permasalahan yang sedang dikaji.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

penelitian kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor dalam Basrowi dan Suwandi (2008)

menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang

yang diamati. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek,

merasakan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Sependapat dengan definisi diatas Kirk dan Miller dalam Basrowi dan

Suwandi (2008) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu

dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada

pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan

orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.


66

Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Metode

penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau

menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya (Irawan, 2006:49).

Dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan bagaimana Implementasi

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota Administrasi Jakarta Utara

berdasarkan teori implementasi dari Jones (1991) yang terdiri dari tiga pilar yaitu

Organisasi, Interpretasi, dan Aplikasi dengan didukung data yang relevan dan juga

dikaji dari stakeholders yang berkaitan dengan pelaksanaan program ini.

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan memahami bagaimana penerapan

RPTRA dan pemanfaatan ruang publik yang ramah anak tersebut di Kota

Administrasi Jakarta Utara. Dari latar belakang tersebut, maka peneliti menentukan

fokus penelitian ini pada Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak

(RPTRA) di Kota Administrasi Jakarta Utara.

3.3 Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian merupakan tahap yang cukup penting di dalam

penelitian kualitatif, karena dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti objek dan

tujuan sudah diterapkan sehingga dapat mempermudah penelti dalam melakukan

penelitian. Lokus yang peneliti ambil dalam penelitian ini adalah Kota Administrasi

Jakarta Utara. Hal tersebut dikarenakan, pertama Jakarta Utara merupakan salah satu
67

Kota Administrasi di Provinsi DKI Jakarta yang mempunyai jumlah penduduk miskin

yang paling tinggi dan yang kedua Jakarta Utara mempunyai permukiman padat

penduduk yang paling luas diantara kota-kota administrasi yang lain. Karena pada

dasarnya, pembangunan RPTRA ini diutamakan untuk masyarakat dari tingkat

ekonomi menengah kebawah dan masyarakat yang tinggal di permukiman padat yang

tentunya lahan untuk bermain anak sangat sedikit.

3.4 Fenomena yang Diamati

3.4.1 Definisi Konsep

Definisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep yang

digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca.

Konsep-konsep yang digunakan dalam teori ini adalah:

1. Implementasi Kebijakan

Jones (1991:296) mengatakan bahwa penerapan atau implementasi

adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah

program dengan pilar-pilar, organisasi, interpretasi dan aplikasi.

2. Program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin memenuhi hak

anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan


68

dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, berdasarkan kepada

Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengelolaan

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta membangun sebuah ruang publik yang ramah anak sebagai sarana

tumbuh kembang anak karena ruang publik tersebut bukan hanya tempat

bermain untuk anak namun tempat yang juga memberikan berbagai edukasi

untuk anak. Pembangunan RPTRA tersebut juga berdasarkan kepada

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan

Kabupaten/Kota Layak Anak dan Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator

Kabupaten/Kota Layak Anak.

3.4.2 Definisi Operasional

Sesuai dengan teori yang digunakan oleh peneliti, maka definisi operasional

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dimensi organisasi, interpretasi dan

aplikasi. Dimensi organisasi, interpretasi, dan aplikasi tersebut akan diukur menjadi

data melalui indikator-indikator sebagai berikut:

3.4.2.1 Organisasi

a. Penataan unit-unit lembaga pelaksana

b. Ketersediaan sumber daya manusia yang berkompeten

c. Alokasi sumber daya keuangan/anggaran yang mendukung program


69

d. Ketersediaan sumber daya pendukung seperti sarana dan prasarana untuk

melaksanakan program

e. Peran serta beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat

dalam pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) tersebut

3.4.2.2 Interpretasi

a. Pemahaman implementor terhadap pelaksanaan program

b. Dukungan elit pemangku kepentingan terhadap berjalannya program

c. Dukungan publik terhadap berjalannya program

d. Kejelasan maksud dan tujuan pelaksanaan program dalam petunjuk teknis

pelaksanaan program

3.4.2.3 Aplikasi/Pelaksanaan

a. Kesesuaian penerapan dengan pedoman pelaksanaan program

b. Pemantauan dan evaluasi capaian hasil penerapan program

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain

merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan, karena jika memanfaatkan

alat yang bukan manusia dan mempersiapkannya terlebih dahulu sebagai yang lazim

digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan

penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu, hanya


70

“manusia sebagai alat” sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek

lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan

di lapangan (Basrowi dan Suwandi 2008:26).

Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh Lincoln dan Guba yang

menjelaskan bahwa manusia sebagai instrumen pengumpulan data memberikan

keuntungan dimana ia dapat bersikap fleksibel dan adaptif, serta dapat menggunakan

keseluruhan alat indera yang dimilikinya untuk memahami sesuatu (Satori dan

Komariah, 2010:62). Dengan demikian, peneliti sebagai key instrument yang paling

mempunyai kemampuan untuk dapat menggali informasi dari informan di lapangan

karena sifatnya yang fleksibel dan adaptif.

Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen kunci yaitu pengumpul

data utama baik dalam mengidentifikasi sumber data maupun menggali informasi

yang belum terdefinisikan secara jelas dalam kaitannya dengan kajian yang hendak

diteliti yaitu mengenai Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)

di Kota Administratif Jakarta Utara.

3.6 Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang dalam pada latar penelitian. Fungsinya

sebagai orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan

kondisi latar penelitian. Pemanfaatan informan bagi penelitian ialah agar dalam waktu

yang relatif singkat banyak informasi yang terjangkau (Basrowi dan Suwandi,
71

2008:86). Dengan kata lain, informan penelitian tersebut adalah seseorang yang

memiliki pengetahuan dan kapasitasnya dalam memberikan informasi terkait dengan

permasalahan yang hendak diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik

penentuan informan secara purposive, yaitu informan atau narasumber telah

ditentukan sejak awal sesuai dengan tema pembahasan dalam penelitian ini.

Berikut ini peneliti menjabarkan informan yang terkait dengan penelitian

tentang Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota

Administratif Jakarta Utara:

Tabel 3.1
Informan Penelitian

No Jenis Kategori Informan Spesifikasi Informan Keterangan


Informan
1 Pemerintah Kepala BPMPKB Leading Sector Key
Provinsi DKI Jakarta Pengembangan Informant
RPTRA
Kepala KPMP Jakarta Leading Sector Key
Utara RPTRA di tingkat Informant
Kota Administratif
Kepala Kantor KB Melaksanakan tugas Secondary
Jakarta Utara pemerintahan di Informant
bidang keluarga
berencana dan
keluarga sejahtera
yang berkaitan dengan
RPTRA
Kepala Sudin Kelautan, Melaksanakan tugas- Secondary
Pertanian dan tugas seputar tanaman Informant
Ketahanan Pangan holticultura, TOGA
dan kolam gizi
Kepala Sudin Melaksanakan Secondary
Komunikasi, pengelolaan di bidang Informant
72

Informatika dan jaringan internet


Kehumasan Jakarta
Utara
Kepala Seksi Kesehatan Melaksanakan Secondary
Masyarakat Suku Dinas pengelolaan RPTRA
Kesehatan Jakarta Utara di bidang kesehatan Informant

Ketua TP-PKK Jakarta Melaksanakan Secondary


Utara pengelolaan di bidang
SDM Pengelola Informant

Kepala Perpustakaan Melaksanakan Secondary


Daerah Jakarta Utara pengelolaan di bidang
perpustakaan Informant

Lurah Sungai Bambu Selaku ketua Secondary


pengelola di tingkat
Kelurahan Informant

DPRD Provinsi DKI Pihak legislatif Secondary


Jakarta Bidang Kesra
Informant

2 Swasta PT. Citra Marga Pihak dunia usaha Key


Nusaphala Persada yang terlibat dalam
proses implementasi Informant
RPTRA Sungai
Bambu
3 Masyarakat Ketua Lembaga Mewakili pihak Key
Musyawarah Kelurahan masyarakat
(LMK) Jakarta Utara Informant

Sumber : Peneliti, 2016

3.7 Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara merupakan pedoman bagi peneliti dalam melakukan

wawancara dengan informan dan berfungsi mempermudah peneliti dalam

mengajukan pertanyaan yang spesifik tentang Impleentasu Ruang Publik Terpadu


73

Ramah Anak (RPTRA) di Kota Administrasi Jakarta Utara. Berikut ini adalah

pedoman wawancara peneliti :

Tabel 3.2
Pedoman Wawancara Penelitian
NO Dimensi Teori Pernyataan Informan

Penataan unit-unit lembaga pelaksana 1. BPMPKB Provinsi DKI


Jakarta
2. Kepala KPMP Jakarta
Utara
Ketersediaan sumber daya manusia 3. Kepala Kantor KB
yang berkompeten Jakarta Utara
4. Kepala Suku Dinas
Kelautan, Pertanian dan
Ketahanan Pangan
Alokasi sumber daya Jakarta Utara
1. Organisasi keuangan/anggaran yang mendukung 5. Kepala Suku Dinas
program Komunikasi,
Informatika dan
Kehumasan Jakarta
Utara
Ketersediaan sumber daya 6. Kepala Suku Dinas
pendukung seperti sarana dan Kesehatan Jakarta Utara
prasarana untuk melaksanakan 7. Kepala Bidang
program Pertamanan Suku Dinas
Pemakaman dan
74

Peran serta beberapa Satuan Kerja Pertamanan Jakarta


Perangkat Daerah (SKPD) yang Utara
terlibat dalam pengelolaan Ruang 8. Ketua TP-PKK Jakarta
Publik Terpadu Ramah Anak Utara
(RPTRA) tersebut 9. Kepala Kantor
Perpustakaan Daerah
Jakarta Utara
10. Lurah Sungai Bambu
11. DPRD Provinsi DKI
Jakarta
12. Ketua LMK Jakarta
Utara

Pemahaman implementor terhadap 1. BPMPKB Provinsi DKI


pelaksanaan program Jakarta
2. Kepala KPMP Jakarta
Dukungan elit pemangku Utara
kepentingan terhadap berjalannya 3. Kepala Kantor KB
program Jakarta Utara
4. Kepala Suku Dinas
Dukungan publik terhadap Kelautan, Pertanian dan
berjalannya program Ketahanan Pangan
- Dukungan LSM Anak Jakarta Utara
- Dukungan Masyarakat/Orang 5. Kepala Suku Dinas
tua Komunikasi, Informatika
dan Kehumasan Jakarta
Utara
2. Interpretasi Kejelasan maksud dan tujuan 6. Kepala Suku Dinas
pelaksanaan program dalam petunjuk Kesehatan Jakarta Utara
teknis pelaksanaan program 7. Kepala Bidang
Pertamanan Suku Dinas
- Kejelasan maksud dan tujuan Pemakaman dan
dari program ini dalam juknis Pertamanan Jakarta Utara
8. Ketua TP-PKK Jakarta
Utara
9. Kepala Kantor
Perpustakaan Daerah
Jakarta Utara
10. Lurah Sungai Bambu
11. DPRD Provinsi DKI
75

Jakarta
12. Ketua LMK Jakarta Utara
13. PT. CMNP
- Adanya SOP pelaksanaan
program yang jelas
Kesesuaian penerapan dengan 1. BPMPKB Provinsi DKI
pelaksanaan program Jakarta
2. Kepala KPMP Jakarta
Utara
3. Kepala Kantor KB
Jakarta Utara
4. Kepala Suku Dinas
Kelautan, Pertanian dan
3. Aplikasi Ketahanan Pangan
Pemantauan dan evaluasi hasil
Jakarta Utara
pencapaian program
(Pelaksanaan) 5. Kepala Suku Dinas
Komunikasi, Informatika
dan Kehumasan Jakarta
Utara
6. Kepala Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Utara
7. Kepala Bidang
Pertamanan Suku Dinas
Pemakaman dan
Pertamanan Jakarta Utara
8. Ketua TP-PKK Jakarta
Utara
9. Kepala Kantor
Perpustakaan Daerah
Jakarta Utara
10. Lurah Sungai Bambu
11. DPRD Provinsi DKI
Jakarta
12. Ketua LMK Jakarta Utara

Sumber : Peneliti, 2016


76

3.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis

untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik

pengumpulan data dapat dilakukan melalui setting dari berbagai sumber, dan berbagai

sumber dan berbagai cara. Dilihat dari settingnya, data dapat dikumpulkan dengan

sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang langsung

memberikan data kepada peneliti, dan data sumber sekunder merupakan sumber yang

tidak langsung memberikan data kepada peneliti (Satori dan Komariah, 2010).

1. Sumber data primer

Dalam penelitian ini, sumber data primer bagi peneliti yaitu melalui observasi

dan wawancara mendalam. Bungin dalam Satori dan Komariah (2010:105)

menjelaskan observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan

untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan.

Sudjana dalam Satori dan Komariah (2010:130) mendefinisikan wawancara

adalah proses pengumpulan data atau informasi tatap muka antara pihak

penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau pihak penjawab

(interviewee). Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam

karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistik dan jelas dari informan.

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini, peneliti dapatkan melalui kajian

literature, studi kepustakaan, dan dokumen resmi serta membaca juga dari
77

referensi lain seperti media massa baik yang cetak maupun online dan juga

dari karya ilmiah lainnya yang terkait dengan kebijakan, program, dan

mengenai ruang publik.

3.8.1 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong 2010:248)

adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan

data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,

dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Berikut ini merupakan model analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan

Huberman dalam Nugroho (2013:121). Teknik analisis data ini mencakup empat

kegiatan yang bersamaan, yaitu:

1. Pengumpulan Data, yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan

melakukan penelitian data penelitian. Ini merupakan tahap awal yang harus

dilakukan oleh peneliti agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai

masalah-masalah yang terjadi di lapangan.

2. Reduksi Data (Data Reduction), dimaknai sebagai proses memilah dan

memilih, menyederhanakan data yang terkait dengan kepentingan penelitian

saja, abstraksi dan transformasi data-data kasar dari catatan lapangan. Reduksi

data perlu dilakukan karena ketika peneliti semakin lama di kancah penelitian
78

akan semakin banyak data atau catatan lapangan yang peneliti kumpulkan.

Tahap dari reduksi adalah memilah dan memilih data yang pokok, fokus pada

hal-hal yang penting, mengelompokkan data sesuai dengan tema, membuat

ringkasan, member kode, membagi data dalam partisi-partisi dan akhirnya

dianalisis sehingga terlihat pola-pola tertentu.

3. Penyajian Data (Data Display) berupa uraian singkat, bagan, hubungan kausal

dengan kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dapat membantu

peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan analisis selanjutnya

berdasarkan apa yang sudah dipahami sebelumnya.

4. Menarik kesimpulan/ verifikasi (Conclusion: Drawing/Verifying), merupakan

langkah terakhir dalam analisis data menurut Miles dan Huberman.

Berdasarkan pola-pola yang sudah tergambarkan dalam penyajian data,

terdapat hubungan kausal atau interaktif antara data dan didukung dengan

teori-teori yang sesuai, peneliti kemudian mendapatkan gambaran utuh

tentang fenomena yang diteliti dan kemudian dapat menyimpulkan fenomena

tersebut sebagai temuan baru.

3.8.2 Uji Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan (truthworthiness) data diperlukan teknik

pemeriksaan (Moloeng, 2013: 324). Pelaksanaan teknik pemeriksaan pada penelitian

ini dilakukan dengan teknik triangulasi. Triangulasi yaitu pengecekan data dari
79

berbagai cara dan waktu (Satori dan Komariah, 2010: 170-171). Teknik triangulasi

yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu:

1. Triangulasi Sumber

Peneliti melakukan eksplorasi untuk mengecek kebenaran data dari beragam

sumber yang masih terkait satu sama lain dalam Implementasi Ruang Publik

Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota Administratif Jakarta Utara.

2. Triangulasi Teknik

Peneliti mengungkapkan data pada sumber data dengan menggunakan teknik

yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil

yang diperoleh dari wawancara dengan sumber data, melalui observasi

maupun dengan dokumentasi.

Selain itu. Peneliti juga menggunakan teknik pengujian realibilitas data

melalui member check atau pengecekan keanggotaan. Tujuan member check adalah

untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh telah sesuai dengan apa yang

telah diberikan oleh informan penelitian, sehingga data yang didapat merupakan data

yang valid dan kredibel (dapat dipercaya) sesuai dengan yang telah disesuaikan dan

disepakati oleh informan penelitian yang kemudian ditandatangani sebagai bukti

autentik bahwa peneliti telah melakukan member check.

3.9 Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian merupakan waktu pelaksanaan penelitian yang dilakukan

dari rancangan awal penelitian hingga revisi/perbaikan laporan hasil penelitian yang
80

telah selesai diteliti. Berikut ini merupakan jadwal penelitian Implementasi Ruang

Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota Administratif Jakarta Utara.


81

Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
No Kegiatan Waktu Pelaksanaan

2015 2016 2017


Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb

1 Pengumuman Judul

2 Observasi Awal

3 Penyusunan Proposal

4 Bimbingan dan Perbaikan Proposal

5 Seminar Proposal

6 Revisi Proposal

7 Pencarian Data di Lapangan

8 Pengolahan dan Analisis Data

9 Penyusunan Hasil Penelitian

10 Bimbingan Bab IV dan V

11 Sidang Skripsi

12 Revisi Skripsi

Sumber: Peneliti, 2016


82

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kota Administratif Jakarta Utara

Terdapat lima wilayah kota administrasi dan satu wilayah kabupaten

administrasi di Provinsi DKI Jakarta. Kota administratif Jakarta Utara merupakan

salah satu wilayah Kota Administratif yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta.

4.1.1 Geografis Kota Administratif Jakarta Utara

Wilayah Kota Administratif Jakarta Utara mempunyai luas 7.133,51 km2,

terdiri dari luas lautan 6.979,4 km2 dan luas daratan 154,11 km2. Daratan Jakarta

Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke

darat antara 4 sampai dengan 10 km, dengan kurang lebih 110 pulau yang ada di

Kepulauan Seribu. Ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 20 meter,

dari tempat tertentu ada yang dibawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri

dari rawa-rawa atau empang air payau. Wilayah kotamadya Jakarta Utara merupakan

pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata 270 C, curah hujan setiap tahun rata-rata

142,54 mm dengan maksimal curah hujan pada bulan September. Kondisi wilayah

yang merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya tiga belas sungai dan dua

banjir kanal, menyebabkan wilayah ini merupakan daerah rawan banjir, baik banjir

kiriman maupun banjir karena air pasang laut.


83

Luas tanah daratan di Kota Administratif Jakarta Utara 154,11 km2. Dirinci

berdasarkan penggunaan 47,58% untuk perumahan, 15,87% untuk areal industri,

8,89% digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan dan sisanya merupakan lahan

pertanian, lahan kosong dan sebagainya. (Sumber: www.jakarta.go.id)

4.1.2 Administratif Kota Jakarta Utara

Untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat, pada bulan Agustus 1966 di

DKI Jakarta dibentuk beberapa “Kota Administrasi”. Berbeda dengan kota otonom

yang dilengkapi dengan DPRD Tingkat II, maka kota-kota administrasi di DKI

Jakarta tidak memiliki DPRD Tk II yang mendampingi Walikota. Berdasarkan

Lembaran Daerah N0. 4/1966 ditetapkanlah lima wilayah kota administratif di DKI

Jakarta, yaitu Jakarta Psat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta

Utara, yang dilengkapi dengan 22 Kecamatan dan 220 Kelurahan. Pembentukan

Kecamatan dan Kelurahan ini didasarkan pada asas teritorial dengan mengacu pada

jumlah penduduk yaitu 200.000 jiwa untuk Kecamatan, 30.000 jiwa Kelurahan

perkotaan dan 10.000 jiwa Kelurahan pinggiran.

Kota Administratif Jakarta Utara memiliki 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan.

Daftar Kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:


84

Tabel 4.1
Data Kecamatan dan Kelurahan di Kota Administratif Jakarta Utara

NO KECAMATAN KELURAHAN

1 Penjaringan (35,49 km2) a. Kamal Muara


b. Kapuk Muara
c. Pejagalan
d. Pluit
e. Penjaringan
2 Pademangan (9,92 km2) a. Pademangan Timur
b. Pademangan Barat
c. Ancol
3 Tanjung Priok (25,28 km2) a. Sunter Agung
b. Sunter Jaya
c. Kebon Bawang
d. Papanggo
e. Warakas
f. Sungai Bambu
g. Tanjung Priok
2
4 Koja (11,32 km ) a. Tugu Selatan
b. Tugu Utara
c. Lagoa
d. Koja
e. Rawabadak Utara
f. Rawabadak Selatan
5 Kelapa Gading (16,12 km2) a. Kelapa Gading Barat
b. Kelapa Gading Timur
c. Pegangsaan Dua
6 Cilincing a. Sukapura
b. Rorotan
c. Marunda
d. Cilincing
e. Semper Timur
f. Semper Barat
g. Kalibaru
Sumber: Jakarta Utara Dalam Angka Tahun 2016
85

Selanjutnya untuk memudahkan koordinasi pelayanan antara Pemerintah

dengan masyarakat, struktur administrasi Kota Jakarta Utara dibagi menjadi Rukun

Warga menurut Kecamatan yang dapat dilihat seperti pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2
Jumlah Rukun Warga menurut Kecamatan di Kota Administratif Jakarta
Utara

No Kecamatan Rukun Warga


1 Penjaringan 72
2 Pademangan 34
3 Tanjung Priok 103
4 Koja 82
5 Kelapa Gading 68
6 Cilincing 87
Jakarta Utara 446
Sumber: Jakarta Utara Dalam Angka, 2016
Terdapat 446 Rukun Warga (RW) di Jakarta Utara, hal tersebut menjadi target

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membangun RPTRA di setiap RW.

Perkembangan pembangunan RPTRA di Jakarta Utara sampai akhir tahun 2016

berjumlah 31 RPTRA dan akan terus dilanjutkan hingga target awal tercapai yaitu

terdapat RPTRA di setiap RW.

4.1.3 Kondisi Demografis Kota Administratif Jakarta Utara

Jumlah penduduk di Kota Administratif Jakarta Utara berdasarkan hasil

registrasi penduduk yang terdaftar di Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Jakarta Utara adalah 1.695.291 dengan rincian 861.723 penduduk laki-laki dan
86

833.568 penduduk perempuan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.3

berikut:

Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kepadatan Penduduk di
Kota Administratif Jakarta Utara

NO Kelurahan/Kecamatan Jumlah Penduduk Kepadatan


Laki-Laki Perempuan Jumlah Penduduk
1 Kamal Muara 6.585 6.339 12.924 1.227,5
2 Kapuk Muara 18.645 17.903 36.458 3.636,62
3 Pejagalan 44.611 43.613 88.224 27.313,93
4 Penjaringan 62.469 55.511 117.980 29.868,35
5 Pluit 24.443 24.822 49.265 6.389,75
Penjaringan 156.753 148.188 304.941 8.597,15
6 Pademangan Barat 45.698 43.025 88.723 25.133,99
7 Pademangan Timur 21.323 21.203 42.526 16.293,49
8 Ancol 16.159 14.449 30.608 8.118,83
Pademangan 83180 78677 161857 16332,69
9 Sunter Agung 40.618 40.418 81.036 11.543,59
10 Sunter Jaya 35.884 34.772 70.656 15.427,07
11 Papanggo 23.341 22.522 45.863 16.379,64
12 Warakas 26.326 25.651 51.977 48.126,85
13 Sungai Bambu 18.313 17.289 35.602 15.085,59
14 Kebon Bawang 30.930 29.453 60.383 35.106,40
15 Tanjung Priok 21.143 20.590 41.733 7.533,03
Tanjung Priok 196.555 190.695 387.250 15.428,29
16 Rawabadak Selatan 24.119 23.569 47.688 47.215,84
17 Tugu Selatan 24.019 22.681 46.700 17.425,37
18 Tugu Utara 40.307 39.365 79.672 23.997,59
19 Lagoa 34.836 34.088 68.924 43.900,64
20 Rawabadak Utara 21.079 19.992 41.071 30.880,45
21 Koja 18.249 16.575 34.824 10.649,54
Koja 162609 156.270 318.879 24.194,16
22 Kelapa Gading Barat 19.736 20.083 39.819 8.790,07
23 Kelapa Gading Timur 18.427 19.462 37.889 7.148,87
24 Pegangsaan Dua 26.765 27.057 53.822 8.750,38
Kelapa Gading 64.928 66.602 131.530 8.164,49
25 Sukapura 32.437 32.542 64.979 1.1582,71
87

26 Rorotan 21.682 21.240 42.922 4.037,82


27 Marunda 15.087 14.378 29.465 3.725,03
28 Cilincing 25.768 25.031 50.799 8.050,55
29 Semper Timur 20.611 20.273 40.884 12.937,97
30 Semper Barat 39.332 38.859 78.191 49.176,73
31 Kalibaru 42.781 40.813 83.594 33.981,30
Cilincing 197.698 193.136 390.834 10.375,21
Sumber: Jakarta Dalam Angka, 2016

Wilayah Jakarta Utara yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah

Khusus Ibukota Jakarta, memiiki luas tanah daratan 154,11 km2. Dirinci berdasarkan

penggunaan 47,58% untuk perumahan, 15,87% untuk areal industri, 8,89%

digunakan sebagai perkantoran dan pergudangan dan sisanya merupakan lahan

pertanian, lahan kosong dan sebagainya. Di wilayah Jakarta Utara sendiri tidak

banyak terdapat ruang terbuka hijau ataupun lahan bermain yang aman untuk anak.

Oleh karena itu, pembangunan RPTRA di Jakarta Utara akan sangat membantu untuk

masyarakat Jakarta Utara.

4.2 Gambaran Umum Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan

Keluarga Berencana (BPMPKB) Provinsi DKI Jakarta

Kedudukan organisasi BPMPKB Provinsi DKI Jakarta di tetapkan

berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan

Keluarga Berencana sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintah daerah di bidang

pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak khususnya di Provinsi DKI Jakarta.


88

4.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi

BPMPKB Provinsi DKI Jakarta mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pemberdayaan masyarakat dan perempuan, perlindungan

anak, pembinaan dan pengembangan keluarga berencana di daerah Provinsi sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk melaksanakan tugas tersebut, BPMPKB mempunyai fungsi sebagai

berikut:

1. Perumusan kebijakan teknis pemberdayaan masyarakat, perempuan dan

keluarga berencana;

2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana;

3. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat, perepmuan

dan keluarga berencana;

4. Penyuluhan, sosialisasi, dan internalisasi norma keluarga berencana dan

keluarga sejahtera;

5. Pengumpulan, pengolahan, penyajian data dan informasi permasalahan dan

potensi pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana;

6. Penyelenggaraan kebijakan bina sosial dan bina fisik pemberdayaan

masyarakat kelurahan;

7. Fasilitasi, pembinaan dan pengembangan pemanfaatan teknologi tepat guna;

8. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah.


89

4.2.2 Struktur Organisasi

BPMPKB Provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh seorag Kepala Badan dan

dibantu oleh seorang Sekretaris Badan untuk meyelesaikan pekerjaan di bidang

pemberdayaan masyarakat, perempuan dan keluarga berencana. Terdapat 4 bagian

yang membantu Sekretaris Badan yaitu, Bagian Umum, Bagian Kepegawaian, Bagian

Program dan Anggaran, serta Bagian Keuangan.

Untuk melaksanakan tgas pokok dan fungsinya BPMPKB terdiri dari

beberapa bidang, yaitu:

1. Bidang Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat

2. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

3. Bidang Teknologi Tepat Guna (TTG) dan Jaringan Informasi

4. Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi

5. Bidang Penggerakan dan Pembangunan Keluarga


90

Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini:

Gambar 4.1

Struktur Organisasi BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 2015


Sumber: http://dkijakarta.bkkbn.go.id

4.3 Deskripsi Informan Penelitian

Informan penelitian adalah objek penting dalam sebuah penelitian. Informan

merupakan orang-orang yang dapat memberikan informasi terkait dengan situasi dan

latar penelitian dalam hal ini adalah tentang Implementasi Ruang Publik Terpadu
91

Ramah Anak (RPTRA) di Jakarta Utara. Peneliti menggunakan teknik purposive

untuk menentukan siapa yang akan menjadi informan dalam penelitian ini.

Berdasarkan lokasi penelitiaan yaitu di Kota Administratif Jakarta Utara,

maka peneliti memiih informan yang bekerja di Unit Kerja Perangkat Daerah

(UKPD) di tingkat Kota Administratif Jakarta Utara. Adapun informan yang telah

peneliti tetapkan yaitu terdiri dari 3 (tiga) kategori dari kategori Pemerintahan Kota

Admnistratif Jakarta Utara, Masyarakat, dan Dunia Usaha. Berikut merupakan

informan penelitian:

Tabel 4.4
Spesifikasi Informan Penelitian
No Kategori Informan Kode Nama Jabatan
Informan Informan Informan
1 Pemerintahan BPMPKB I1.1 Jumadi, Kabid.
Kota Provinsi DKI S.E., M.Si Pemberdayaan
Administratif Jakarta Perempuan dan
Jakarta Utara Perlindungan
Anak
KPMP Kota I1.2 Hendry Kepala KPMP
Administratif Jakarta Utara
Jakarta Utara
Kantor KB Kota I1.3 Fakhrudin Kepala Kantor
Administratif KB Jakarta
Jakarta Utara Utara
Suku Dinas I1.4 Rita Kepala Suku
Kelautan, Nirmala Dinas Kelautan,
Pertanian dan Pertanian dan
Ketahanan Ketahanan
Pangan Jakarta Pangan Jakarta
Utara Utara

Suku Dinas I1.5 Christian Kepala Suku


Komunikasi, Dinas
92

Informatika dan Komunikasi,


Kehuumasan Informatika dan
Kehumasan
Jakarta Utara
Suku Dinas I1.6 dr. Atika Kepala Seksi
Kesehatan Jakarta Kesehatan
Utara Masyarakat
Suku Dinas
Kesehatan
Jakarta Utara
Suku Dinas I1.7 Mila Kepala Seksi
Pertamanan dan Taman Suku
Pemakaman Dinas
Jakarta Utara Pertamanan dan
Pemakaman
Jakarta Utara
TP-PKK Jakarta I1.8 Rohani Ketua TP-PKK
Utara Utami Jakarta Utara
Kantor I1.9 Bambang Kepala Kantor
Perpustakaan Chidir Perpustakaan
Daerah Jakarta Daerah Jakarta
Utara Utara
Lurah Sungai I1.10 Sumarno, Lurah Sungai
Bambu S.E Bambu
DPRD Provinsi I1.11 Hasan Basri Anggota DPRD
DKI Jakarta Umar Provinsi DKI
Komisi E Bidang Jakarta Komisi
Kesra E Bidang Kesra
2 Masyarakat Lembaga I2.1 Zamrud Ketua LMK
Musyawarah Jakarta Utara
Kelurahan
3 Dunia Usaha PT. Citra Marga I3.1 Y.C Senior Officer
Nusaphala Widiastuty CSR,
Persada PT.CMNP
Sumber: Peneliti, 2016

4.4 Deskripsi dan Analisis Data

Deskripsi data merupakan penjelasan tentang data yang didapatkan dari hasil

penelitian di lapangan. Peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan Jones


93

(1991:296) yang menyatakan bahwa implementasi adalah suatu kegiatan yang

dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program melalui 3 pokok utama antara

lain:

1. Organisasi: Penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode yang

menjadikan suatu program dapat berjalan

a. Penataan unit-unit lembaga pelaksana


b. Ketersediaan sumber daya manusia yang berkompeten
c. Alokasi sumber daya keuangan atau anggaran yang mendukung
program
d. Peran serta beberapa Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang
terlibat dalam pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
(RPTRA) tersebut

2. Interpretasi: Penafsiran program-program dari rencana menjadi pengarahan

yang tepat dan dapat diterima oleh masyarakat luas serta dapat dilaksanakan.

a. Pemahaman implementor terhadap pelaksanaan program


b. Dukungan elit pemangku kepentingan terhadap berjalannya program
c. Dukungan publik atau masyarakat terhadap berjalannya program
d. Kejelasan maksud dan tujuan pelaksanaan program dalam petunjuk
teknis pelaksanaan program

3. Aplikasi/Penerapan: Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau yang

lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program

a. Kesesuaian program dengan pedoman pelaksanaan program


b. Pemantauan dan evaluasi capaian hasil penerapan program
94

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif sehingga data yang diperoleh bersifat deskriptif dan berbentuk

kata dan kalimat yang didapatkan dari hasil wawancara, hasil observasi lapangan, dan

dokumentasi. Untuk menganalisa data kualitatif tersebut, peneliti menggunakan teori

Miles & Huberman (Moloeng, 2013 : 307) yang terdiri dari empat kegiatan utama

yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan verifikasi data.

Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data, peneliti melakukan

reduksi data dengan memberikan kode pada aspek tertentu, yaitu:

1. Kode Q1,2,3 dan seterusnya yang menandakan daftar urutan pertanyaan

2. Kode I1,2,3 dan seterusnya menandakan urutan informan

Langkah selanjutnya adalah menyajikan data dalam bentuk teks naratif,

bagan, matriks, hubungan antar kategori, network, flowchart, dan sejenisnya.

Penarikan kesimpulan apabila peneliti sudah mendapatkan data jenuh, artinya telah

ada pengulangan informasi, maka kesimpulan tersebut dapat dijadikan jawaban

masalah penelitian.

4.5 Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kota

Administratif Jakarta Utara

4.5.1 Dimensi Organisasi

Organisasi merupakan salah satu elemen pelaksana yang penting untuk

mencapai tujuan-tujuan dari sebuah kebijakan. Jones (1991 : 296) menyatakan bahwa
95

organisasi merupakan penataan kembali sumber-sumber daya, unit-unit, dan metode

untuk menjadikan program berjalan.

1. Penataan Unit-Unit Lembaga Pelaksana

Dalam pelaksanaan program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)

melibatkan lintas SKPD di tingkat Provinsi, UKPD di tingkat Kota Administratif,

hingga Lurah di tingkat Kelurahan dalam proses implementasinya. Semua hal

tersebut sesuai dengan yang tercantum di dalam Pergub Nomor 196 Tahun 2015 dan

disempurnakan dalam Pergub Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pengelolaan RPTRA,

sama halnya dengan yang dijelaskan oleh Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak, BPMPKB Provinsi DKI Jakarta kepada peneliti sebagai

berikut:

“RPTRA ini program yang dilaksanakan lintas SKPD dan BPMPKB


sebagai leading sector di Provinsi DKI Jakarta. SKPD itu di tingkat Provinsi
kalau UKPD di tingkat Kota, dan Lurah ya di Kelurahan. Mekanismenya ada
tupoksinya di Pergub, jadi kita sifatnya regulasi. Kalau di tingkat kota
sifatnya regulasi dan implementasi dan di Kelurahan itu action karena
RPTRA itu adanya di Kelurahan. Jadi penataan lembaga pelaksana ini
memang sudah ada di Pergub. Di tingkat Provinsi tugasnya apa, UKPD
tugasnya apa, di Kelurahan-Kelurahan juga tugasnya apa sudah ada
strukturnya”. (Wawancara dengan Informan 1.1 di Kantor Bidang
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, BPMPKB Provinsi DKI
Jakarta, 26 September 2016).

Pernyataan informan 1.1 di atas kemudian dibenarkan oleh Kepala Suku Dinas

Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara:

“Penataannya semua sudah tercantum di dalam Pergub. Jadi sudah terdapat


levelnya kalau di tingkat Provinsi itu sebagai Pembina, kalau di tingkat Kota
96

semacam pendamping karena ujung tombaknya itu terdapat di tingkat


Kelurahan, kelurahan sebagai pengelola RPTRA. Walaupun nanti di
lapangan atau di lokasi RPTRAnya tersebut ada pengelolanya. Kemarin
sempat ada recruitment pengelola di tingkat kota namun tetap berada di
bawah koordinasi Lurah. Di Pergub ini sudah jelas membahas tentang tugas-
tugas di tingkat Kota, kalau Sudin Kominfomas ini kan terkait dengan
monitoring CCTV, WiFi, itu dari aplikasi sisi teknisnya anggarannya kan
juga berbeda.” (Wawancara dengan Informan 1.5 di Kantor Suku Dinas
Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).
Berdasarkan penjelasan dari Kepala Sudin Komunikasi, Informatika dan

Kehumasan Jakarta Utara, bahwa di dalam Peraturan Gubernur sudah jelas mengenai

tugas pokok dan fungsi dari masing-masing UKPD terkait. Hal yang sama juga

diungkapkan oleh Kepala Seksi Taman Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman

Jakarta Utara:

“Penataan Unit-unit lembaga pelaksana sudah baik. Kalau Sudin Pertamanan


melakukan pemeliharaan taman di RPTRA namun di RPTRA yang biayanya
menggunakan dana CSR, enam bulan pertama akan dipelihara oleh CSR lalu
setelahnya ada BAST (Bukti Acara Serah Terima) barulah SKPD/UKPD
terkait melakukan pemeliharaan dan pembinaan sesuai tugas pokok dan fungsi
masing-masing.” (Wawancara dengan Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat,
24 Oktober 2016).
Terlihat bahwa memang masing-masing UKPD di tingkat Kota melaksanakan

tugas pokok dan fungsinya masing-masing sesuai dengan yang tercantum di dalam

Peraturan Gubernur. Seperti yang dijelaskan oleh Kepala Kantor Keluarga Berencana

Jakarta Utara berikut:

“Penataan UKPD di tingkat Kota menurut saya sudah lengkap karena sudah
ada ruang atau sekat-sekat di RPTRA itu sesuai dengan tupoksi masing-
masing unit. Contohnya seperti kantor perpustakaan sudah masuk, kemudian
kesehatan di ruang laktasi dan di ruang laktasi itu digabung dengan pelayanan
konsultasi KB atau konsultasi remaja juga konsultasi lansia. Kemudian ada
juga ruang PKK-Mart yang dikelola oleh UKM. Itu ruang yang ada di indoor.
97

Kalau ruang yang di luar gedung atau outdoor itu yang terlibat adalah Sudin
Pertamanan yang tugasnya menata taman yang ada di sekitar RPTRA.
Kemudian pohon-pohon itu dari Sudin Pertanian dan juga ada kolam gizi juga
dari pertanian”. (Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta Utara,
31 Oktober 2016).

Berdasarkan wawancara peneliti dengan informan 1.3 diatas dapat diketahui

bahwa, penataan lintas UKPD di tingkat Kota Administratif Jakarta Utara sudah

saling melengkapi hal tersebut terbukti dengan masing-masing UKPD telah

mempunyai ruang masing-masing dalam hal pengelolaan RPTRA tentunya sesuai

dengan bidang dari masing-masing UKPD terkait. Oleh karena itu, masing-masing

UKPD dapat berfokus untuk mengelola RPTRA sesuai tupoksinya masing-masing.

Hal serupa juga dijelaskan oleh Kepala Kantor Perpustakaan Daerah Jakarta Utara:

“Selalu di koordinasikan dan sudah kooperatif. Semua itu kan di


koordinasikan oleh KPMP selaku leading sector di tingkat Kota kalau di
tingkat Provinsi itu kan BPMPKB. KPMP ini mengkoordinir semua mulai
dari pembangunan, masuknya SKPD terkait dan di Pergub itu sudah jelas
tugas-tugasnya dan sudah jalan semua. Jadi melaksanakan tugas khusus
untuk tupoksi masing-masing. Kepala Perpustakaan ya menyiapkan sarana
perpustakaan. Yang disediakan oleh Kantor Perpustakaan itu rak buku
kemudian buku-bukunya”. (Wawancara dengan Informan 1.9 di Kantor
Perpustakaan Derah Jakarta Utara, 28 Oktober 2016).
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan diatas dapat diketahui

bahwa KPMP selaku leading sector di tingkat Kota telah berhasil mengkoordinasikan

semua lintas UKPD yang tercantum di Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015

dan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya masing-masing dan apabila ditinjau dari kerjasama antar UKPD terkait,

kerjasama yang dilakukan sudah kooperatif. Informasi yang sama juga diberikan oleh

Kepala Seksi Kesehatan Masyarakat, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara berikut:
98

“Sejauh ini sudah berjalan cukup baik terbukti di dalam RPTRA itu masing-
masing SKPD sudah berperan aktif sehingga dapat dilihat dari fakta di
lapangan semua program dapat terlaksana dan berjalan”. (Wawancara dengan
Informan 1.6 di Kantor Suku Dinas Kesehatan, 25 Oktober 2016).

Menurut informasi yang didapatkan dari informan 1.6 diatas dapat diketahui

bahwa penataan unit-unit lembaga terkait sudah berjalan dengan cukup baik. hal

tersebut dapat dibuktikan dari fakta di lapangan bahwa masing-masing SKPD atau

UKPD terkait sudah berkontribusi dalam pengelolaan RPTRA dan semua program

sudah dapat terlaksana dan sudah berjalan.

Informasi yang didapatkan peneliti dari Ketua Lembaga Musyawarah

Kelurahan (LMK) Jakarta Utara mengatakan bahwa ada beberapa kekurangan yang

masih dirasakan oleh masyarakat yakni mengenai anggaran dan teknis birokrasi,

berikut hasil wawancara peneliti dengan Informan tersebut:

“Sudah baik walaupun masih ada kekurangan disana-sini. Karena ini kan
memang program baru dan program ini langsung dibawahi oleh Kepala
KPMP Jakarta Utara. Yang paling penting adalah karena pembangunan ini
dibiayai oleh CSR, disini ada tiga perusahaan yang membiayai pembangunan
RPTRA Sungai Bambu. Ada CMNP, TMMIN, dan Pembangunan Jaya.
Kendala kita disini ada pada teknis birokrasi, misalnya mau minta bantuan
tidak bisa langsung karena terkendala anggaran. Tapi itu semua wajar, karena
kalau dipaksakan juga nanti malah mereka yang kena. Tapi kita sih ada aja
yang bantu dari masyarakat.” (Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA
Sungai Bambu, 25 Oktober 2016).

Pembangunan RPTRA Sungai Bambu dibiayai oleh pihak dunia swasta.

Setelah 6 bulan masa implementasi, pihak dunia usaha menyerahkan pengelolaan

sepenuhnya kepada pihak Pemerintah dalam hal ini merupakan Pemerintah Kota

Administrasi Jakarta Utara. Menurut, informasi tersebut permasalahan anggarandapat

terselesaikan dengan adanya swadaya masyarakat. Namun demikian pada tahun 2017
99

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan mengalokasikan anggaran khusus untuk

RPTRA di DKI Jakarta. Mengenai anggaran, berikut informasi yang disampaikan

oleh pihak dunia usaha:

“Pemda DKI hanya mantau saja. Setelah pembangunan RPTRA selesai sudah
tidak ada koordinasi dengan pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Koordinasi CMNP hanya dengan pengelola RPTRA saja apabila ada
pengajuan dana yang diajukan oleh pihak pengelola. Setelah pembangunan
RPTRA selesai, untuk pengembangan kegiatan-kegiatan itu koordinasinya
sifatnya insidentil saja.” (Wawancara dengan Informan 3.1 di Kantor PT.
CMNP Jakarta, 10 November 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat jelas terlihat bahwa setelah

pembangunan RPTRA, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya memantau

pelaksanaannya saja. Tidak terjadi komunikasi lagi antara pihak Pemerintah Provinsi

dengan pihak dunia usaha. Komunikasi yang dilakukan hanyalah antar pihak dunia

usaha dengan pengelola RPTRA perihal pengajuan dana untuk mengembangkan

kegiatan yang dilaksanakan di RPTRA. Pengajuan dana tersebut dapat meminimalisir

permintaan dana kepada pihak Pemerintah Kota Adminisratif Jakarta Utara.

Berdasarkan pernyataan beberapa Informan peneliti di atas maka dapat

peneliti analisis bahwa penataan unit-unit lembaga yang terlibat dalam implementasi

RPTRA sudah baik dan kooperatif antara satu lembaga dengan lembaga yang lain.

Mulai dari SKPD di tingkat Provinsi, UKPD di tingkat Kota Administratif, dari

tingkat Kecamatan hingga di tingkat Kelurahan. Koordinasi antar lintas lembaga ini

pun sudah baik. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa setiap
100

program-program yang dijalankan di RPTRA sudah dapat berjalan dan terlaksana

dengan baik dan kontribusi dunia usaha pun dalam hal anggaran sangat aktif terlibat.

UKPD yang terlibat pun sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan

fungsi yang tertuang di dalam Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan

Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan RPTRA.

Berikut ini merupakan gambar hasil dokumentasi peneliti mengenai ruang

yang ada di RPTRA Sungai Bambu dibawah pengelolaan UKPD Jakarta Utara.

Masing-masing UKPD terkait berperan dalam mengisi kegiatan di RPTRA, juga

mengelola ruang-ruang yang terdapat di RPTRA tersebut. Seperti halnya Ruang

Perpustakaan yang dikelola oleh Kantor Perpustakaan Daerah Jakarta Utara, Ruang

Laktasi yang difungsikan sebagai ruang menyusui sekaligus ruang konsultasi KB

dibawah pengelolaan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara dan Kantor KB Jakarta

Utara. Ruang laktasi mempunyai dua fungsi karena letak RPTRA yang berdekatan

dengan permukiman warga sehingga warga setempat jarang memanfaatkan fungsi

ruang laktasi sebagai tempat menyusui, jadi ruang laktasi difungsikan juga sebagai

ruang untuk konsultasi KB. Kemudian untuk lokasi outdoor di RPTRA khususnya

taman dan tanaman-tanaman TOGA, holticultura dan kolam gizi dikelola oleh

kerjasama antar Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman dengan Suku Dinas

Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara. Berikut hasil dokumentasi

yang dilakukan oleh peneliti di RPTRA Sungai Bambu.


101

Gambar 4.3
Ruang Perpustakaan RPTRA Sungai Bambu yang dikelola oleh Kantor
Perpustakaan Daerah Jakarta Utara

Gambar 4.4
Ruang Laktasi dan Ruang Konsultasi KB di RPTRA Sungai Bambu Jakarta
Utara yang dikelola Oleh Sudin Kesehatan dan Kantor KB Jakarta Utara
102

Gambar 4.5
Ruang Sekretariat Pengelola RPTRA Sungai Bambu

Gambar 4.6
Lokasi Outdoor di RPTRA Sungai Bambu

Sumber: Hasil Dokumentasi Penelti, 2016


103

2. Ketersediaan Sumber Daya Manusia yang Berkompeten

Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor penting dalam proses

implementasi kebijakan. Menurut Edwards dalam Winarno (2014 : 185) menyatakan

bahwa dalam melaksanakan sebuah kebijakan/program sangat diperlukan sumber

daya manusia yang memiliki kapabilitas dan kualitas mumpuni sehingga mampu

menerapkan program/kebijakan tadi ke dalam tindakan-tindakan yang jelas dan pasti

untuk mencapai tujuan dari kebijakan/program tersebut.

Jones (1991 : 301) berpendapat bahwa sumber daya merupakan sebuah

kebutuhan pokok bagi berjalannya program menjadi lebih efektif dan efisien.

Keberadaan sumber daya organisasi berguna untuk menggerakan implementasi

program/kebijakan kepada tujuan yang hendak dicapai termasuk didalamnya sarana

dan prasarana, sumber daya keuangan dan tentu sumber daya manusia sebagai tenaga

pelaksana. Kompetensi sumber daya manusia atau tenaga pelaksana yang dibutuhkan

dalam mengimplementasikan program RPTRA ini adalah sumber daya manusia yang

memahami konsep mengenai ruang publik yang ramah terhadap anak. Bukan hanya

konsep mengenai ruang publik yang ramah anak saja, sumber daya manusia dalam

hal ini adalah dari pihak pengelola RPTRA harus mempunyai kompetensi dasar.

Kompetensi dasar tersebut terdiri dari pemahaman atas Program Pokok PKK yang

bersinergi dengan Program Kota Layak Anak.

Berikut ini merupakan informasi yang disampaikan oleh Ketua Tim

Penggerak PKK Kota Administratif Jakarta Utara:


104

“Dalam hal ini pengelola, sudah berkompeten. Kita punya pengelola ada enam
orang, terdiri dari PKK dan masyarakat. Pengelola itu setiap saat dilatih untuk
setiap kegiatan. Kita ini di PKK punya Pokja 1, Pokja 2, Pokja 3 da Pokja 4.
Kalau Pokja 1 itu tentang kekerasan terhadap anak di keluarga. Pokja 2
tentang BKB-PAUD, pendidikan dan keterampilan. Pokja 3 tentang
lingkungan. Pokja 4 tentang kesehatan. Pengelola diajari mengenai Pokja-
Pokja ini lalu diharapkan dapat menularkan ke masyarakat. Pengelola juga
diajarkan mengenai leadership. Diharapkan juga pengelola bisa menjadi ibu
bagi anak-anak yang bermain di RPTRA dan diharapakan juga dapat merubah
perilaku anak sejak dini. Sebelum menjadi pengelola juga telah dilakukan
pelatihan yang cukup lama. Pelatihan dilakukan di Melati Jaya dengan peserta
peatihan dari seluruh DKI Jakarta. Kadang untuk melakukan pelatihan untuk
pengelola juga kita mengajak CSR seperti contohnya, Save The Children.
Penerimaan juga diseleksi dengan ketat, jadi emang yang benar-benar
mempunyai “hati”. Yang menyeleksi ada dari tiap kota dan di tingkat Provinsi
juga ada. Pengelola RPTRA itu kan mendapat gaji tapi kita tekankan jangan
hanya seperti pegawai yang dapat gaji lalu hanya duduk di meja. Kalau
pengelola ini harus mengurusi mulai dari kamar mandi, taman, kebersihan,
urusan anak-anak segala macam itu yang mengurusi pengelola kalau tidak
punya hati kan tidak bisa kerja seperti itu”. (Wawancara dengan Informan 1.8
di Kantor TP-PKK Jakarta Utara, 29 September 2016).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Informan diatas, dapat diketahui

bahwa sumber daya manusia dari segi pengelola sudah berkompeten karena sebelum

menjadi pengelola dilakukan berbagai macam pelatihan dengan waktu pelatihan yang

cukup lama. Selain proses pelatihan yang lama tersebut, proses penerimaan pengelola

juga dilakukan secara ketat. Jadi, tidak sembarang orang dapat menjadi pengelola

RPTRA. Dan juga pengelola RPTRA diharapkan menjadi agent of change sehingga

harus benar-benar individu yang mempunyai hati dan keahlian dalam hal melayani

masyarakat khususnya anak-anak yang dipilih untuk menjadi seorang pengelola

RPTRA.
105

Pengelola RPTRA merupakan garda terdepan penyelenggaraan kegiatan di

RPTRA sebagai fasilitas publik yang berbasis ramah anak. Oleh karena itu sudah

sepantasnya sebelum menjadi seorang pengelola RPTRA dilakukan beberapa

pelatihan sampai pada akhirnya terjun langsung untuk mengelola RPTRA. Seperti

yang disampaikan oleh Kepala Kantor KB Jakarta Utara berikut:

“Dari segi pengelola saya kira sudah berkompeten. Karena ketika di rekrut itu
setelahnya dilakukan diklat selama satu minggu melakukan training kemudian
setelah mendapatkan bekal dari diklat tersebut barulah pengelola tersebut
terjun ke RPTRA. Di dalam diklat itu diajarkan bagaimana melayani
masyarakat dengan baik ada tata cara dan tata tertib yang perlu dilakukan
untuk melayani masyarakat. Sehingga tidak sembarangan dalam melayani
masyarakat. Kemudian pengelola juga harus bisa menjelaskan fungsi-fungsi
dan program RPTRA kepada masyarakat”. (Wawancara dengan Informan 1.3
di Kantor KB Jakarta Utara, 31 Oktober 2016).

Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Seksi Taman, Suku Dinas Pertamanan

dan Pemakaman Jakarta Utara:

“Mekanisme rekrutmen yang dilakukan secara terbuka sehingga SDM


pengelola memiliki kompetensi yang cukup baik.” (Wawancara dengan
Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat, 20 Oktober 2016).

Berdasarkan Informan 1.7 tersebut dapat diketahui bahwa terdapat proses

rekrutmen yang terbuka dengan kata lain transparansi diutamakan dalam proses

rekrutmen ini. Dalam proses rekrutmen tersebut tentunya terdapat persyaratan-

persyaratan atau kriteria yang dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini:
106

Tabel 4.5
Kriteria Pengelola RPTRA

No Kriteria Pengelola RPTRA


1. Pengelola RPTRA dipilih berdasarkan fit and propert test yang
dilaksanakan oleh Tim Assesment yang ditunjuk TP PKK Provinsi DKI
Jakarta;
2. Pengelola RPTRA terdiri dari unsur kader PKK dan/atau unsur
masyarakat;
3. Kader PKK dan/atau unsur masyarakat yang dapat diusulkan menjadi
pengelola RPTRA harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memahami dan aktif dalam penyelenggaraan 10 program pokok PKK
dan/atau pemberdayaan masyarakat;
b. Memahami penyelenggaraan kegiatan Kota Layak Anak;
c. Memahami tugas, fungsi, pelayanan dan kegiatan RPTRA;
d. Mempunyai kepedulian dan komitmen terhadap pemenuhan hak
anak, kegiatan sosial kemasyarakatan, kebencanaan dan lingkungan
hidup;
e. Sehat jasmani dan rohani;
f. Mempunyai waktu yang cukup untuk melaksanakan kegiatan
pelayanan RPTRA;
g. Diutamakan yang berdomisili di sekitar Kelurahan;
h. Berintegritas dan berbudi pekerti yang baik;

4. Pengelola RPTRA diangkat dan diberhentikan oleh pengurus RPTRA


tingkat Kelurahan dengan keputusan Lurah sebagai ketua pengurus
RPTRA tingkat Kelurahan;
5. Struktur organisasi pengelola RPTRA terdiri dari:
a. Koordinator merangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota;
c. Bendahara merangkap anggota;
d. Urusan kehumasan merangkap anggota;
e. Urusan sarana/prasarana merangkap anggota;
f. Urusan ekonomi kreatif merangkap anggota;
6. Pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas-tugas, dilaksanakan
secara kolektif kolegial;
7. Pengelola RPTRA bekerja secara full time dalam pengelolaan RPTRA
dan diberikan upah sesuai upah minimum Provinsi sesuai ketentuan
perundang-undangan;
8. Masa bakti pengelola RPTRA maksimal selama 2 tahun berturut-turut;
9. Pengelola RPTRA mempunyai tugas, sebagai mana berikut di bawah
ini:
107

a. Menyusun rencana kegiatan dan anggaran RPTRA untuk diajukan


kepada pengurus RPTRA tingkat Kelurahan;
b. Melaksanakan kegiatan pelayanan RPTRA;
c. Membuka dan menutup fasilitas RPTRA;
d. Memonitor pemanfaatan prasarana dan sarana RPTRA;
e. Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pelayanan RPTRA;
f. Menjaga prasarana dan sarana RPTRA;
g. Memfasilitasi pelatihan, penyuluhan, sosialisasi, pendampingan
h. Memberikan komunikasi, informasi dan edukasi kepada pemanfaat
dan pengunjung RPTRA;
i. Memulai dan mengakhiri kegiatan sehari-hari di RPTRA
berdasarkan shift;
j. Melaporkan kerusakan prasarana dan sarana RPTRA kepada
pengurus RPTRA tingkat Kelurahan
k. Melaporkan permasalahan kegiatan pelayanan RPTRA kepada
pengurus RPTRA tingkat Kelurahan;
Sumber: BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 2015
Tidak sedikit persyaratan yang diajukan untuk menjadi seorang pengelola

RPTRA. Pengelola RPTRA dipilih berdasarkan fit and propert test yang

dilaksanakan oleh Tim Assesment yang ditunjuk oleh TP PKK Provinsi DKI Jakarta.

Setelah memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas maka individu dapat menjadi

pengelola RPTRA yang memiliki status kepegawaian sebagai Petugas Harian Lepas

(PHL). Terdapat pula persyaratan mengenai jenjang pendidikan untuk para pengelola

RPTRA tersebut yakni untuk pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Menengah Atas

(SMA) dan diutamakan untuk lulusan Diploma dan Sarjana. Seperti yang

disampaikan oleh Informan berikut:

“Untuk SDM pengelola, menurut saya karena tim rekrutmenya dari


masyarakat apalagi dilakukan secara online sehingga pesertanya kan banyak
maka kemudian disaring dengan beberapa kriteria. Misalnya pendidikan
minimal SMA, kemudian diutamakan D3 atau S1 itu juga yang
memungkinkan SDMnya berkualitas. Jadi, mana yang terbaik mungkin dari
segi ilmunya selagi di tes itu bagus dan pada tahap wawancara juga bagus nah
108

itu yang akan dipilih.” (Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta
Utara, 31 Oktober 2016).

Pengelola di RPTRA Sungai Bambu pun telah melalui tahapan rekrutmen

tersebut. Dapat dilihat dari informasi yang disampaikan oleh Ketua Lembaga

Musyawarah Kelurahan berikut:

“Sudah memadai kalau di Sungai Bambu karena kita punya pengelola yang
mempunyai kemampuan di bidang IT, administrasi. Kalau di Sungai Bambu,
Alhamdulillah sudah lengkap kebutuhan yang kita inginkan. Karena mereka
kan sudah dilatih juga. Kemarin juga kita baru mendapatkan tambahan dua
orang pengelola laki-laki. Jadi semua pengelola sudah berkompeten.”
(Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu, 25 Oktober
2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa pengelola RPTRA

sudah memadai berdasarkan jenjang pendidikan yang sudah ditempuh oleh pengelola

RPTRA tersebut. Akan tetapi, pendapat berbeda diutarakan oleh Informan berikut:

“Secara ideal belum karena kita ambil tadinya ada 6 orang dengan konsep
multitasking. Jadi ada fungsinya koordinator, kesekretariatan, fungsi
kehumasan, wirausaha, asset. Awalnya kita berpikir mengenai 10 program
PKK namun sekarang tidak hanya PKK. Contohnya Damkar sudah mengisi
acara di RPTRA. KPA dan P2TP2A juga mengisi. Jadi pengelola RPTRA
juga diajarkan mengenai materi-materi dari pengisi acara tersebut. Untuk ideal
belum karena kita masih butuh kompetensi yang komprehensif tapi tidak bisa
disamakan antar seluruh RPTRA. Pengelola RPTRA harus melihat spesifik
wilayahnya. Sekarang masih sama materi antar satu RPTRA dengan RPTRA
yang lain padahal kebutuhan masing-masing RPTRA berbeda. Itu yang harus
kita tingkatkan ke pengelola, karena berbeda wilayah tentu berbeda juga
materi yang dibutuhkan.” (Wawancara dengan Informan 1.2 di Kantor KPMP
Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).
Informan 1.2 diatas berpendapat bahwa masing-masing RPTRA memiliki 6

(enam) orang pengelola yang bertugas dengan konsep multitasking. Jadi dapat
109

dikatakan pengelola yang bertugas dapat menjalankan beberapa tugas dan fungsinya

sekaligus. Seperti menjalankan tugas dan fungsinya sebagai koordinator,

kesekretariatan, kehumasan, wirausaha dan asset. Masih dibutuhkan kompetensi yang

komprehensif, misalnya para pengelola RPTRA tersebut belum mengenal spesifikasi

wilayah sehingga materi yang disampaikan dirasa kurang tepat dengan wilayah

dimana RPTRA berada. Karena tentunya masing-masing wilayah membutuhkan

materi yang berbeda. Hal tersebut yang membuat kompetensi pengelola RPTRA

dirasa masih kurang ideal.

Namun demikian hal tersebut dibantah oleh Informan 1.6 dengan diadakannya

pelatihan-pelatihan yang dilakukan sebelum menjadi pengelola RPTRA tentunya hal

tersebut dapat menambah kompetensi pengelola seperti yang disampaikan oleh

informan berikut:

“Para pengelola tersebut sudah mendapatkan pelatihan dulu sebelumnya. Jadi


SDM yang berkompeten sudah memadai.” (Wawancara dengan Informan 1.6 di
Kantor Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, 25 Oktober 2016).

Hal tersebut didukung juga oleh pernyataan yang dibuat oleh anggota DPRD

Provinsi DKI Jakarta Komisi E bidang Kesejahteraan Rakyat, berikut ini:

“SDM pengelola sudah berkompeten karena pengawasannya ketat. Karena


mereka digaji berdasarkan UMP, ketika kinerja tidak maksimal akan ada
hukuman untuk para pengelola tersebut.” (Wawancara dengan I1.11 di Gedung
DPRD Provinsi DKI Jakarta, 4 Januari 2017).

Informan tersebut menyatakan bahwa SDM pengelola dinilai sudah

berkompeten karena pengawasan yang dilakukan pun cukup ketat sehingga apabila
110

kinerja pengelola tidak baik akan langsung diberikan hukuman oleh leading sector di

tingkat Kota Administrasi yaitu KPMP.

Berdasarkan informasi-informasi yang sudah didapatkan, dapat peneliti

analisis bahwa Sumber Daya Manusia yang berkompeten sudah memadai. Dapat

dilihat dari proses seleksi yang cukup ketat dan banyaknya kriteria yang digunakan

untuk menyeleksi para calon pengelola tersebut. Diantaranya adalah dari jenjang

pendidikan. Pengelola diwajibkan memiliki latar pendidikan minimal dari tingkat

Sekolah Menengah Atas (SMA) dan yang diutamakan adalah calon pengelola dari

tingkat Diploma dan Sarjana. Seleksi dilakukan oleh Tim Assesment yang ditunjuk

oleh PKK Provinsi DKI Jakarta. Setelah lolos pada tahap seleksi kemudian para

pengelola tersebut melaksanakan tes wawancara kemudian setelah terpilih dan lolos

seleksi tahap wawancara kemudian mengikuti pelatihan yang disenggelarakan oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga para pengelola pun sudah mengetahui

tugasnya masing-masing. Pengawasan yang juga dilakukan dengan begitu ketat

sehingga menuntut para pengelola untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Pengelola

RPTRA pun dituntut menjadi orang tua bagi anak-anak yang datang berkunjung ke

RPTRA sehingga diharuskan untuk memiliki sifat keibuan yang tentunya dapat

membimbing, mengarahkan dan memberikan edukasi-edukasi mengenai perilaku

yang baik. Oleh karena itu, SDM yang berkompeten dalam hal pengelolaan RPTRA

di Jakarta Utara sudah memadai.


111

3. Alokasi Sumber Daya Keuangan

Selanjutnya sumber daya yang juga tidak kalah penting dan dibutuhkan untuk

menjalankan sebuah program merupakan sumber daya finansial/keuangan. Dalam

pembangunan RPTRA di Jakarta Utara, khususnya RPTRA Sungai Bambu sebagai

pilot project program RPTRA tidak menggunakan anggaran APBD Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng dunia usaha

untuk berpartisipasi dalam pembangunan RPTRA. Seperti yang disampaikan oleh

salah satu perwakilan dunia usaha yang berpartisipasi dalam pembangunan RPTRA

Sungai Bambu berikut:

“Jadi awal mulanya adalah kerjasama CMNP dengan PKK Jakarta Utara
terkait dengan Kota Layak Anak (KLA) yaitu untuk pembangunan taman
interaktif di Kelurahan Sungai Bambu. Kemudian, ketika rencana untuk
pembuatan taman interaktif tersebut di presentasikan kepada Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, Bu Vero yang pada saat itu menjabat sebagai Plt. Ketua
TP PKK Provinsi DKI Jakarta menginginkan ada taman yang bisa dipakai
oleh usia balita hingga lansia. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta menunjuk BPMPKB (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
Perempuan dan Keluarga Berencana) sebagai leading sector pengelola
RPTRA di DKI Jakarta. Saat itu CMNP berkoordinasi dengan BPMPKB dan
bersedia menjadi salah satu penyumbang CSR untuk pembangunan RPTRA di
Kelurahan Sungai Bambu. Pihak CMNP ikut serta dalam perumusan
kebijakan ini. Mulai dari perizinan, karena lahan tempat didirikannya RPTRA
bukan milik CMNP melainkan milik Kementerian PUPR, jadi pihak CMNP
mengurus perihal perizinan ke Kementerian PUPR. Sampai pada tahap
didirikannya RPTRA karena proses pengurukan pertama ditangani oleh
CMNP hingga sekarang pada proses implementasinya.”(Wawancara dengan
Informan 3.1 di Kantor Pusat PT. Citra Marga Nusaphala Persada, 10
November 2016).
112

Berdasarkan wawancara dengan informan 3.1 dapat diketahui bahwa awal

mula perjanjian pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan dunia usaha berawal

dari pembangunan taman interaktif dalam rangka mewujudkan Kota Layak Anak

(KLA) di Jakarta Utara. Seiring berjalannya waktu ternyata Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta menginginkan bukan hanya sekedar taman interaktif untuk anak-anak saja

akan tetapi DKI Jakarta membutuhkan taman yang dapat dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat mulai dari kategori usia balita hinga lanjut usia (lansia). Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta menunjuk BPMPKB sebagai leading sector dalam hal

pengelolaan RPTRA di tingkat Provinsi. Kemudian pihak dunia usaha berkoordinasi

dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyumbangkan dana Coorporate

Social Responsibility (CSR) untuk pembangunan RPTRA. Pihak CMNP tersebut juga

terlibat langsung mulai dari tahap formulasi hingga tahap implementasi.

Untuk RPTRA Sungai Bambu sendiri terdapat tiga dunia usaha yang terlibat

dalam pembangunannya, seperti PT. Pembangunan Jaya, PT. Toyota Motor

Manufacturing Indonesia, dan PT. Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Namun

demikian hanya pihak CMNP yang masih terlibat langsung dalam pembiayaan

kegiatan di RPTRA Sungai Bambu hingga tahap implementasi. Seperti yang

disampaikan oleh Informan berikut:

“Jadi kalau misalnya ada kegiatan, mereka menggalang CSR untuk ikutan.
Contoh pada saat RPTRA ulang tahun pertama, mereka mau ngecat dan
kemudian CMNP memberikan catnya. Hal tersebut merupakan salah satu
bukti CMNP terus berpartsipasi dalam implementasi RPTRA.” (Wawancara
dengan Informan 3.1 di Kantor Pusat PT. Citra Marga Nusaphala Persada, 10
November 2016).
113

Dunia usaha tidak hanya membiayai pembangunan RPTRA saja namun

selama 6 bulan setelah pembangunan, biaya seperti telepon, listrik, dan air juga

dibiayai. Setelah 6 bulan terdapat serah terima dari pihak swasta ke Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta. Seperti yang diutarakan oleh Informan berikut:

“Jadi terdapat dua tahap, tahap satu dan dua ini anggaran dari CSR. Itu
anggaran fisik tapi kalau anggaran pengelolaan seperti honor pengelola
RPTRA itu dari APBD, kalau anggaran TAL (Telepon, Air dan Listrik) itu
kalau yang CSR itu enam bulan pertama ditanggung oleh CSR nanti setelah
enam bulan baru menggunakan dana APBD. Sedangkan yang tahap ketiga
menggunakan dana full dari APBD yang melaksanakan pembangunan adalah
Dinas Perumahan. Nanti di Tahun 2017, masing-masing SKPD mempunyai
anggaran tersendiri untuk implementasi RPTRA”. (Wawancara dengan
Informan 1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September 2016).

Setelah enam bulan ditanggung oleh CSR kemudian dilakukan BAST (Bukti

Acara Serah Terima) kepada pihak Suku Dinas terkait di tingkat Kota Administratif

seperti yang disampaikan oleh Informan 1.7 sebagai berikut:

“Untuk tahun 2015 sampai dengan sebagian than 2016 menggunakan dana
CSR kemudian sebagian tahun 2016 menggunakan anggaran yang
dikeluarkan oleh Sudin Perumahan. RPTRA yang biayanya menggunakan
dana CSR, enam bulan pertama akan dipelihara oleh CSR lalu setelah adanya
BAST (Berita Acara Serah Terima) barulah SKPD/UKPD terkait melakukan
pemeliharaa dan pembinaan sesuai tugas pook dan fungsi masing-masing.”
(Wawancara dengan Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat, 20 Oktober 2016).

Biaya pemeliharaan ditanggung oleh CSR selama enam bulan pertama setelah

dilakukan BAST bantuan yang diberikan oleh pihak swasta bersifat situasional dan

pembiayaan seperti biaya telepon, air, listrik dan gaji pengelola sudah ditanggung

oleh APBD dalam hal ini yang mengatur pembiayaan tersebut adalah Kantor
114

Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan di tingkat Kota Administratif. Seperti

yang disampaikan oleh Informan berikut ini:

“Alokasi anggaran, Alhamdulillah di tahun 2016 itu teralokasikan cukup


besar. Khususnya dari Kantor PMP. Karena semua sarana itu dilengkapi oleh
KPMP. Kantor KB itu mendukung pelayanan KB di RPTRA itu juga sudah
kami alokasikan kemudian beberapa RPTRA juga berbarengan dengan
peresmian kampung KB itu juga untuk mendukung RPTRA sehingga untuk
alokasi anggaran dari Kantor KB sudah ada kelengkapan sarana dan
prasarananya dari KPMP”. (Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB
Jakarta Utara, 31 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa KPMP Jakarta Utara

sudah mengalokasikan anggran dan melengkapi semua sarana dan prasarana RPTRA.

Hal tersebut kemudian dibantah oleh Kepala KPMP Jakarta Utara berikut:

“Untuk anggaran yang kita alokasikan untuk mereka tidak ada. Kecuali
pembayaran listrik, telepon, air dan gaji pengelola. Kalau anggaran yang kita
keluarkan untuk kegiatan mereka itu tidak ada. Jadi kita berharap teman-
teman dari SKPD itu yang masuk disitu, sehingga tugas mereka hanyalah
chanelling aja yaitu menghubungkan satu sumber dengan masyarakat. Jadi,
SKPD yang menyelenggarakan acara dengan anggarannya kemudian RPTRA
sebagai waadahnya dan ada pengelolanya juga. RPTRA yang dibangun oleh
CSR 6 bulan dibiayai oleh CSR tersebut tapi faktanya untuk listrik saja untuk
telepon dan air mereka agak susah untuk mengeluarkan”. (Wawancara dengan
Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).
Berdasarkan wawancara dengan Informan 1.2 dapat diketahui bahwa KPMP

mengatur pembiayaan yang menyangkut dengan biaya telepon, air, listrik dan gaji

pengelola. Faktanya, sebelum dilakukannya BAST pun pihak dunia swasta agak sulit

untuk membayarkan biaya telepon, air dan listrik. KPMP juga tidak mempunyai

anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di RPTRA. Dengan

demikian, diharapkan peran UKPD terkait yang menganggarkan kegiatan-kegiatan

yang akan diselenggarakan di RPTRA. Namun hampir di setiap UKPD di Kota


115

Jakarta Utara pun tidak mempunyai anggaran khusus baik untuk kegiatan-kegiatan di

RPTRA maupun sarana dan prasarana di RPTRA. Hal tersebut diperkuat oleh

pernyataan yang diberikan oleh Informan berikut:

“Kalau soal anggaran, setiap ada kegiatan itu kita swadaya masyarakat sekitar
RPTRA dan dunia usaha yang ada di Kelurahan Sungai Bambu. Kalau
misalnya kita ada event, mereka Alhamdulillah cepat membantu.”
(Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu Jakarta Utara, 25
Oktober 2016).

Kegiatan RPTRA lebih banyak diadakan dengan biaya yang dikumpulkan

oleh masyarakat dengan kata lain dengan menggunakan swadaya masyarakat dan

tentunya bantuan yang berasal dari dunia usaha.

Pihak dunia usaha hanya membangun fisik bangunan, untuk kelengkapan

sarana dan prasarana diserahkan kepada UKPD terkait untuk melengkapi kebutuhan

sarana dan prasarana tersebut. Dapat dilihat dari pernyataan yang disampaikan oleh

Informan berikut:

“Sebagian CSR itu, hanya membangun fisik bangunannya saja untuk isi di
ruang-ruang tersebut dibebankan kepada masing-masing SKPD. Khusus untuk
ruang laktasi itu, kita dari Sudin Kesehatan mendapatkan surat edaran dari
Dinas Kesehatan bahwa sarana dan prasarana diruang laktasi untuk di tahun
2016 tidak jatuh di Dinas Kesehatan. Sudin Kesehatan hanya berperan dalam
KIE dalam bentuk, misalnya media untuk informasi,komunikasi contohnya
leaflet, banner dan program yang dilaksanakan di ruangan tersebut.
Sedangkan kebutuhan di ruang laktasi bukan hanya itu. Di ruang laktasi juga
harus terdapat sofa yang nyaman, wastafel, AC atau kipas angin minimal,
harus ada baby tabel untuk ganti popok dan segala macamnya, ada dispenser
itu kan biayanya cukup besar, tadinya kita berharap itu ada di KPMP kalau di
tingkat kota kan yang memimpin KPMP. Tapi ternyata di KPMP pun mereka
tidak menganggarkan itu. Jadi Sudin Kesehatan untuk anggaran pengadaan
sarprasnya tidak ada, KPMP juga tidak ada. Itulah kendala di lapangan,
116

sebetulnya kalau anggaran kita punya tapi kan harus ada payung hukumnya
nanti kalau tiba-tiba kita belanja lalu kemudian ada pemeriksaan kan Sudin
Kesehatan yang kena. Sehingga kesulitan di lapangan sampai saat ini adalah
pada saat pengisian sarana dan prasarana terutama di ruang laktasi.”
(Wawancara dengan Informan 1.6 di Kantor Suku Dinas Kesehatan Jakarta
Utara, 25 Oktober 2016).
Dapat diketahui bahwa Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara tidak

menyediakan anggaran khusus terkait untuk melengkapi sarana dan prasarana di

RPTRA. Untuk bentuk anggarannya, Suku Dinas Kesehatan tentunya mempunyai

baiaya anggaran tersebut akan tetapi tidak ada payung hukum yang melindungi

anggaran tersebut sehingga apabila diberikan tanpa adanya payung hukum, hal

tersebut akan menjadi kesalahan dan pihak Suku Dinas Kesehatan akan mendapat

teguran karenanya. Hal tersebut dibantah oleh Informan berikut ini:

“Di perpustakaan itu ada anggaran yang menangani itu. Memang sudah
disediakan.” (Wawancara dengan Informan 1.9 di Kantor Perpustakaan Daerah
Jakarta Utara, 28 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa Kantor Perpustakaan

Daerah Jakarta Utara telah mempunyai anggaran untuk melengkapi sarana dan

prasarana dalam hal ini adalah melengkapi fasilitas perpustakaan dengan memberikan

buku-buku bacaan.

Namun untuk UKPD yang lainnya mengaku tidak mempunyai anggaran

khusus untuk melengkapi sarana dan prasarana di RPTRA. Seperti informasi yang

disampaikan oleh Informan berikut:

“Kita disini tidak ada anggaran khusus. Jadi kita punya BPP (Balai
Penyuluhan Pertanian) disitu ada kebun, kalau tanaman TOGA kita ambil dari
117

kebun tersebut hasil budidaya dari para penyuluh. Terus ada juga untuk
tanaman produktif atau holticultura. Tanaman holticultura itu memang ada di
beberapa RPTRA tertentu yang kita alokasikan dari anggaran langsung. Ada
dari Dinas itu program gang hijau tapi tidak langsung ke RPTRA. Jadi kita
lebih banyak memanfaatkan dari BPP itu.” (Wawancara dengan Informan 1.4
di Kantor Suku Dinas Kelautan, Perikanan, dan Ketahanan Pangan Jakarta
Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa Suku Dinas

Kelutan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara tidak menyediakan anggaran

khusus dalam perannya untuk memberikan tanaman TOGA, holtikultura dan kolam

gizi di RPTRA. Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan mempunyai

BPP tersendiri yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan RPTRA dalam hal

tanaman-tanaman TOGA, holticultura dan kolam gizinya. Selain itu, dari pihak

legislatif juga menjelaskan bagaimana proses APBD untuk RPTRA sebagai berikut:

“Anggaran RPTRA diusulkan oleh BPMPKB. Pembangunan dilakukan oleh


Dinas Perumahan, namun pada tahap awal oleh CSR. Pengajuan awal
diajukan oleh BPMPKB ke pihak legislatif. Usulan dari BPMPKB lalu
kemudian dibahas oleh tim anggaran pemerintah daerah, dirincikan dengan
biaya yang akan digunakan. Nanti dibahas bersama-sama dengan komisi E
setelah itu baru ke badan anggaran kemudian badan anggaran akan membahas
juga dengan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) yang dipimpin oleh
Sekda. Yang menentukan anggaran turun atau tidak itu disitu, Banggar dan
TAPD itu.” (Wawancara dengan I1.11 di Gedung DPRD Provinsi DKI Jakarta,
4 Januari 2017).

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan tersebut dapat

diketahui bahwa pada awalnya BPMPKB yang mengusulkan anggaran setelah itu

pengusulan anggaran yang diajukan oleh BPMPKB dibahas oleh Komisi E, Tim

Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kemudian dengan Badan Anggaran sampai


118

pada akhirnya disetujui. Pada awal pembangunan RPTRA dana yang digunakan

adalah berasal dari dana CSR lalu kemudian anggaran sepenuhnya diserahkan kepada

Dinas Perumahan.

Dari informasi-informasi yang didapatkan tersebut peneliti dapat menganalisis

bahwa lebih banyak UKPD yang tidak mempunyai anggaran khusus untuk

melengkapi sarana dan prasarana di RPTRA hanya Kantor Perpustakaan saja yang

memang telah mengalokasikan anggaran mereka untuk melengkapi fasilitas

perpustakaan di RPTRA. KPMP selaku leading sector di tingkat Kota hanya

menyediakan anggaran perihal pembayaran Telepon, Air dan Listrik setelah

dilakukannya BAST.

4. Peran Serta Organisasi Terkait

Dalam pengimplementasian program RPTRA ini banyak melibatkan

SKPD/UKPD terkait seusai dengan Peraturan Gubernur No. 196 Tahun 2015 dan

Peraturan Gubernur No. 40 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Ruang Publik Terpadu

Ramah Anak. SKPD/UKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-

masing harus teribat dalam implementasi RPTRA ini seperti yang diungkapkan oleh

Informan 1.1 berikut ini:

“SKPD berperan penuh setelah enam bulan pemeliharaan yang dilakukan oleh
CSR sesuai tupoksi, disamping itu kemudian misi kegiatan misalnya ada
sarana olahraga, itu kemudian Dinas Olahraga atau turunannya yaitu Suku
Dinas Olahraga mengisi kegiatan-kegiatan di RPTRA. Seperti latihan
sepakbola, dan melatih pemuda-pemuda untuk karang taruna. Dan misalnya
Dinas Pariwisata melakukan pelatihan-pelatihan seni. Semua sudah mengacu
kepada Tupoksinya masing-masing seperti yang terdapat di dalam Pergub.
Peran serta SKPD juga harus dikontrol agar tidak bentrok.” (Wawancara
119

dengan Informan 1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September


2016).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Informan 1.1 tersebut dapat

diketahui bahwa SKPD berperan penuh setelah enam bulan pemeliharaan yang

dilakukan oleh pihak dunia usaha. SKPD terkait juga dituntut untuk mengisi

kegiatan-kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing di

RPTRA. Informan 1.1 tersebut juga menghimbau agar peran serta SKPD terkait tetap

harus dalam pengawasan agar masing-masing SKPD yang terlibat melaksanakan

tugasnya sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Peraturan Gubernur mengenai

Pengelolaan RPTRA. Dengan kata lain supaya tidak terjadi bentrok antar satu SKPD

dengan SKPD yang lain.

Menurut Kepala KPMP Jakarta Utara, peran serta SKPD dalam hal

pengelolaan RPTRA sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing

seperti pernyataannya berikut ini:

“Kalau SKPD yang tercantum dalam Pergub 40 dan 196 ini sudah harmonis.
Misalnya perpustakaan mereka langsung mengisi buku-buku yang ada di
RPTRA dan juga pembekalannya, kalau laktasi itu diisi oleh Sudin Kesehatan.
Ruang laktasi dikembangkan menjadi ruang laktasi dan pelayanan kesehatan,
pemeriksaan gigi, pap smear dan pelayanan KB.” (Wawancara dengan
Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi yang disampaikan tersebut dapat diketahui bahwa

hubungan antar SKPD yang tercantum di dalam Peraturan Gubernur Nomor 196 dan

40 sudah harmonis dengan kata lain tidak mengalami bentrok karena masing-masing
120

SKPD telah melakukan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Hal tersebut

diperkuat oleh informasi yang diberikan oleh Informan berikut:

“Peran serta SKPD yang terlibat sudah kooperatif karena sudah jelas semua
tupoksi dari masing-masing SKPD di dalam Pergub.” (Wawancara dengan
Informan 1.8 di Kantor PKK Jakarta Utara, 29 September 2016).

Menurut Informan 1.8 tersebut peran serta antara SKPD yang satu dengan yang

lainnya sudah kooperatif artinya kerja sama yang dilakukan antar satu SKPD dengan

SKPD lainnya sudah baik dan terkontrol dengan baik. Masing-masing SKPD telah

mengetahui tugas pokok dan fungsinya masing-masing sehingga dapat langsung

berkontribusi dalam pengimplementasian RPTRA khususnya di Jakarta Utara.

Seluruh SKPD menjadikan Peraturan Gubernur tentang pengelolaan RPTRA sebagai

acuan utama dalam pelaksanan pengelolaan RPTRA, dapat diketahui dari pernyataan

Informan berikut ini:

“SKPD yang terlibat dalam proses pengelolaan RPTRA khususnya Jakarta


Utara sudah mengacu pada tupoksi yang ada di Pergub yang mengatur tentang
pengelolaan RPTRA. Semua SKPD sudah berpatokan langsung kepada
Pergub tersebut.” (Wawancara dengan Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat,
20 Oktober 2016).

Dalam Peraturan Gubernur Nomor 196 tahun 2015 telah terdapat didalamnya

rincian mengenai SKPD/UKPD apa saja yang terlibat dalam pengelolaan RPTRA,

namun masih belum dipaparkan secara jelas tugas masing-masing SKPD/UKPD

tersebut. Kemudian muncul pelengkap dari Peraturan Gubernur sebelumnya yaitu

Peraturan Gubernur Nomor 40 tahun 2016 yang secara terperinci menjelaskan tugas

dari masing-masing SKPD dari tingkat Provinsi, UKPD di tingkat Kota Administrasi
121

hingga tingkat Kelurahan. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Kantor KB Jakarta

Utara berikut:

“Keterlibatan SKPD/UKPD menurut saya sudah sesuai dengan tupoksinya


masing-masing karena SKPD yang satu dengan yang lain tidak bisa
mengambil alih karena sudah ada jobnya masing-masing. Saya kira sudah
sesuai ya. Apalagi dengan program Pemda DKI yang cukup ketat sehingga
SKPD harus sesuai dengan relnya masing-masing. Tidak boleh melangkahi
atau mengambil tupoksi SKPD lain. Jadi menurut saya sudah sesuai.
Contohnya KPMP bertugas untuk pemberdayaan masyarakatnya kemudian
untuk pengorganisasian RPTRA mereka melaksanakan tugas itu. Kantor KB
melaksanakan three Binanya tadi seperti Bina keluarga balita, remaja dan
lansia itu juga sesuai dengan tupoksinya. Yang lain seperti pertamanan
bertugas di tamannya, pertanian bertugas di kolam gizi dan pohon-pohon
besar. Makanya menurut saya ini juga merupakan program yang terpadu dari
UKPD-UKPD tersebut. dan menurut saya ini bisa ditularkan dengan program
yang lain bukan hanya dengan RPTRA tapi kalau ada mialnya dalam ada
pengentasan kemiskinan misalnya, itu kalau di “keroyok” seperti itu akan bisa
tuntas.” (Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta Utara, 31
Oktober 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan 1.3 tersebut dapat diketahui

bahwa keterlibatan SKPD/UKPD terkait sudah sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya masing-masing atau sudah sesuai dengan job description dari masing-

masing SKPD tersebut. Dengan pengawasan dari Pemerintah daerah Provnsi DKI

Jakarta yang cukup ketat, SKPD memang sudah semestinya menjalankan tugas pokok

dan fungsinya tersebut. Seperti halnya kantor KB yang melaksanakan program three

bina keluarga yang mencakup mulai dari balita, remaja dan lansia. Suku Dinas

Pertamanan yang bertugas mengatur taman di sekitar RPTRA. Suku Dinas Kelautan,

Pertanian dan Ketahanan Pangan yang bertugas memberikan pohon dan kolam gizi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Lurah Sungai Bambu mengenai peran serta UKPD

terkait dalam hal pengelolaan RPTRA, seperti yang disampaikannya berikut ini:
122

“Peran serta perannya sudah cukup bagus. Contohnya Sudin Pertanian itu
sering mengadakan pelatihan-pelatihan tanaman hidroponik selain memberi
pelatihan Sudin Pertanian juga memberikan sarananya.” (Wawancara dengan
Informan 1.10 di Kantor Lurah Sungai Bambu, 3 November 2016).

Kemudian dari sisi masyarakat yang diwakilkan oleh ketua Lembaga

Musyawarah Kelurahan (LMK) Jakarta Utara juga turut serta memberikan

informasinya, sebagai berikut:

“Peran sertanya cukup baik karena memang RPTRA ini kan menjadi icon kita
dan semua kegiatan di pusatkan di RPTRA. Beberapa Sudin sudah bekerja
sama, LMK juga mengadakan kegiatan PPMK (Program Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan) dipusatkan disini. Seperti, kegiatan forum anak,
pelatihan PKK, itu disini. Semenjak ada RPTRA terdapat wadah dan sarana
untuk berkumpul, berkomunikasi, bersilaturahmi. Karena RPTRA itu kan
bukan hanya untuk ibu-ibu, konteks RPTRA adalah untuk anak.” (Wawancara
dengan I2.1 di RPTRA Sungai Bambu Jakarta Utara, 25 Oktober 2016).

Berdasarakan informasi tersebut dapat diketahui bahwa peran serta UKPD

Jakarta Utara cukup baik dapat dilihat dari peran sertanya dalam proses implementasi

program RPTRA di Jakarta Utara.

4.5.2 Dimensi Interpretasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), interpretasi merupakan

pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu atau tafsiran.

Dengan kata lain, interpretasi merupakan suatu penafsiran agar program menjadi

sesuatu yang terencana sehingga dapat diterima serta dilaksanakan. Untuk

melaksanakan program atau kebijakan suatu patokan yang jelas harus segera

ditetapkan yang mana melibatkan, pada batas minimum, suatu proses yang dipelajari

oleh para pelaksana tentang ketersediaan sumber daya, dan diantara sumber daya

tersebut, dukungan publik menempati peringkat teratas (Jones 1996: 321).


123

Pembahasan mengenai dimensi interpretasi implementasi RPTRA di Jakarta Utara

akan peneliti jabarkan lebih lanjut berikut ini.

1. Pemahaman Implementor terhadap Pelaksanaan Program

Kebutuhan utama bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan adalah bahwa

mereka yang menerapkan keputusan haruslah tahu apa yang seharusnya mereka

lakukan. Jika kebijakan ingin dilaksanakan dengan tepat, arahan serta petunjuk

pelaksanaan tidak hanya diterima tetapi juga harus jelas dan jika hal ini tidak jelas

para pelaksana akan kebingungan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, dan

akhirnya mereka akan mempunyai kebijakan tersendiri dalam memandang penerapan

kebijakan tersebut (George C. Edwards dalam Jones 1991 : 320). Pemahaman

seorang implementor amat sangat dibutuhkan dalam proses implementasi.

Pemahaman yang dilakukan antar SKPD yang terlibat haruslah sinkron agar program

yang dijalankan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Seperti yang

disampaikan oleh Informan 1.1 berikut:

“Dalam hal ini turunan dari BPMPKB yang mengawasi langsung


implementasi RPTRA adalah KPMP di tingkat Kota. Pemahamannya harus
sinkron dengan kegiatan di Provinsi, supaya tidak simpang siur.
Pemahamnnya sudah bagus.” (Wawancara dengan Informan 1.1 di Kantor
BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman

implementor dinilai sudah bagus dengan kata lain implementor sudah mengetahui

langkah apa yang harus dilakukan agar program RPTRA ini dapat berjalan sesuai

dengan yang diharapkan. Hal senada juga diungkapkan oleh Informan berikut:
124

“Untuk pemahamannya dengan kata lain secara konsep implementasinya


sampai saat ini saya kira sudah mendekati sempurna. Kalau dari awal kan
kami masih mencari bentuk, masih mencari pola. Karena RPTRA ini kan
telah dicetuskan pada tahun 2014, kemudian pelaksanaannya tahun 2015 dan
sekarang. Dari tahun 2015 itu kami mencari pola bagaimana pola yang tepat.
Disitu masih ada pertanyaan. Tapi karena adanya tim yang solid dari
BPMPKB, lalu tim dari PKK, dan dari tim Gubernur sendiri itu merupakan
pekerja yang ulet kalau menurut saya. Yang tadinya ada halangan-halangan
yang kecil bisa diatasi dan ternyata bisa jadi lompatan atau terobosan yang
sangat bagus. oleh karenanya pada tahun 2016 dicanangkan di Kota Jakarta
Utara sendiri akan dibangun 31 lokasi RPTRA. Sehingga pemahaman yang
tadinya tidak sejauh itu namun berkat uletnya tim gabungan ini dari
BPMPKB, PKK, Tim Gubernur, lalu KPMP membuat program-program
konsep-konsep RPTRA itu bisa diterapkan dengan progress yang lebih maju
dan lebih bagus.” (Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta
Utara, 31 Oktober 2016).

Informan 1.3 tersebut mengungkapkan bahwa pada awal dicetuskannya

program RPTRA, yakni pada tahun 2014 Kantor KB selaku implementor kebijakan

mengaku masih memiliki sejumlah pertanyaan-pertanyaan dan masih mencari bentuk

atau pola bagaimana cara mengimplementasikan program RPTRA ini. Namun seiring

berjalannya waktu, implementor telah memahami hal tersebut berkat bimbingan dari

para elit-elit pemangku kebijakan. Selain bimbingan para elit pemangku kebijakan,

SKPD terkait juga menjadikan Peraturan Gubernur mengenai pengelolaan RPTRA

sebagai pedoman utama dalam proses implementasinya. Berikut pernyataan Informan

1.8 yang ditemui di Kantor PKK Jakarta Utara:

“Sudah bagus pemahamannya. Karena dari tingkat kota juga sudah


diinstruksikan kepada seluruh SKPD bahwa segala kegiatan yang melibatkan
masyarakat harus dilibatkan di RPTRA. Pada awalnya memang masih
bertanya-tanya namun karena sudah ada acuan yaitu Pergub jadi implementor
sudah mengerti. Ketua RPTRA tingkat Kelurahan yang dipimpin oleh Lurah
juga telah menginstruksikan segala kegiatan harus dilakukan di RPTRA.”
(Wawancara dengan Informan 1.8 di Kantor PKK Jakarta Utara, 29 September
2016).
125

Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Informan diatas dapat diketahui

bahwa Peraturan Gubernur merupakan pedoman bagi SKPD dalam proses

implementasi RPTRA sehingga masing-masing implementor sudah dapat memahami

mengenai pengelolaan RPTRA kemudian diharapkan SKPD mengadakan kegiatan

yang melibatkan masyarakat dapat dilaksanakan di RPTRA. Hal senada diungkapkan

oleh Informan berikut:

“Implementor sudah paham. Karena semua tugas pokok dan fungsi SKPD
sudah tercantum jelas di dalam Pergub.” (Wawancara dengan Informan 1.7 di
RPTRA Semper Barat, 20 Oktober 2016).

Implementor sudah memahami mengenai implementasi RPTRA karena

berpedoman kepada Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan Peraturan

Gubernur Tahun 2016 tentang Pengelolaan RPTRA. Hal tersebut diperkuat oleh

informasi yang diberikan oleh Kepala KPMP Jakarta Utara berikut ini:

“Sudah baik pemahamannya. Karena sudah jelas ada di Pergub. Malah ada
SKPD yang tidak ada di dalam Pergub tapi turut serta dalam mengisi acara
seperti contohnya Bazis, Damkar, KPA, BNN. Karena di RPTRA ada
wadahnya, alatnya, dan sarananya dekat juga dengan masyarakat jadi
programnya terus berjalan.” (Wawancara dengan Informan 1.2 di Kantor PMP
Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa tugas pokok dan fungsi

masing-masing SKPD sudah tercantum jelas di dalam Peraturan gubernur. Bahkan

terdapat SKPD yang tidak ad di dalam kepengurusan RPTRA yang ikut

menyelenggarakan kegiatannya di RPTRA. Diharapkan programnya dapat terus

berjalan seiring dengan pemahaman implementor yang sudah baik. Selain itu,

pemahaman implementor khususnya UKPD tingkat Kota Administrasi Jakarta Utara


126

menjadi baik dikarenakan secara rutin diadakan rapat koordinasi antar UKPD seperti

yang diungkapkan oleh Informan berikut:

“Ya sudah paham, karena kan sering dilakukan rapat koordinasi dan mereka
juga melaksanakan tugasnya masing-masing.” (Wawancara dengan Informan
1.9 di Kantor Perpustakaa Daerah Jakarta Utara, 28 Oktober 2016).

Namun pernyataan berbeda diungkapkan oleh Ketua Lembaga Musyawarah

Kelurahan Jakarta Utara. Beliau memberikan pernyataan bahwa ada sebagaian

implementor yang belum mengetahui secara detail mengenai pemanfaatan dari

RPTRA, berikut pernyataan yang dilontarkan oleh Ketua Lembaga Masyarakat

Kelurahan Jakarta Utara:

“Sudah cukup baik tapi masih kurang. Artinya pemahaman memanfaatkan


RPTRA untuk program-program oleh SKPDnya dan bagaimana SKPD
mencanangkan program untuk kegiatan disini itu yang masih kurang. Ada
SKPD yang sudah cukup baik pemahamannya seperti KPMP contohnya lalu
Sudin Kesehatan. Tapi ada beberapa juga yang menjadi koreksi. Mungkin
karena RPTRA ada banyak jadi konsentrasinya menjadi terpecah-pecah.
Karena dengan anggaran yang sedikit mereka harus mengakomodir RPTRA
yang banyak di Jakarta Utara ini.” (Wawancara dengan Informan 2.1 di
RPTRA Sungai Bambu, 25 Oktober 2016).

Informan tersebut mengungkapkan bahwa masih terdapat kekurangan pada

pemahaman implementor, yakni terdapat beberapa UKPD yang masih belum

memahami mengenai pemanfaatan RPTRA sebagai wadah UKPD untuk mengadakan

berbagai macam program yang ditujukan untuk masyarakat. Hal tersebut terjadi

diakibatkan oleh anggaran yang terbatas.

Kemudian peneliti melakukan teknik triangulasi sumber kepada Kepala

Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kota Administratif Jakarta Utara

selaku leading sector di tingkat Kota. Berikut penjelasan dari Informan tersebut:
127

“Bukannya kurang mbak. Dari aspek perkuatan dan pembinaan bagi pengelola
UKPD sudah banyak terlibat. Hal ini terlihat dari banyaknya kegiatan
UKPD/SKPD yang masuk ke RPTRA. Yang dimaksud oleh ketua LMK
terkait dengan pembangunan fisik, misalnya perbaikan taman harusnya Sudin
Pertamanan dan Pemakaman. Kalau bicara itu memang belum karena terkait
usulan anggaran yang ada di UKPD masing-masing. Coba cek data di
RPTRA, berapa banyak UKPD yang sudah memanfaatkan RPTRA sebagai
pelaksanaan kegiatan. Bagi saya, itu tandanya UKPD sudah terlibat dalam
pemberdayaan masyarakat melalui RPTRA.” (Wawancara dengan Informan
1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 14 Desember 2016).

Berdasarkan informasi diatas dapat diketahui bahwa Informan 1.2 membantah

pernyataan yang dibuat oleh ketua LMK Jakarta Utara, yang dimaksud oleh ketua

LMK Jakarta Utara mengenai pemahaman UKPD yang masih kurang tersebut terkait

dengan pembangunan-pembangunan fisik yang dilakukan misalnya perbaikan taman

yang seharusnya dilakukan oleh Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman namun

belum dijalankan karena terkendala oleh permasalahan anggaran. Dengan demikian,

Informan 1.2 tersebut membenarkan jika memang terdapat kendala anggaran di

masing-masing UKPD. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan informan-

informan tersebut peneliti dapat menganalisis bahwa pemahaman implementor di

tingkat UKPD Jakarta Utara sudah baik. Hal tersebut dapat dlihat dari sumber acuan

pengelolaan RPTRA yang memang sudah jelas yaitu dengan adanya Peraturan

Gubernur nomor 196 Tahun 2015 dan disempurnakan oleh Peraturan Gubernur

nomor 40 Tahun 2016 tentang Pengelolaan RPTRA dan dengan sudah bersinerginya

koordinasi antara UKPD terkait dengan elit pemangku kebijakan. Akan tetapi masih

belum semua UKPD turut andil dalam pengimplementasian RPTRA dikarenakan


128

permasalahan alokasi anggaran di masing-masing UKPD terkait namun hal tersebut

tidak membuktikan bahwa pengetahuannya mengenai RPTRA kurang.

2. Dukungan Elit Pemangku Kepentingan

Dukungan dari elit pemangku kepentingan sangat mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan suatu kebijakan atau program ditujukan untuk masyarakat. Dari setiap

stakeholders pun harus turut serta dalam proses implementasi agar program atau

kebijakan tersebut tidak sia-sia belaka. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Bidang

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak BPMPKB Provinsi DKI Jakarta

berikut ini:

“Karena sudah ada Pergub 196 jadi seluruh stakeholder harus melaksanakan
Pergub tersebut. Dukungannya juga sangat baik. Apalagi memang program
Gubernur ya, jadi memang Gubernur juga sangat antusias.” (Wawancara
dengan Informan 1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September
2016).

Elit pemangku kepentingan dalam hal ini di tingkat Provinsi adalah Gubernur,

sebagai elit pemangku kepentingan dukungan yang diberikan sangat baik dan

tentunya sangat antusias karena Gubernur sendiri yang mencanangkan program

RPTRA tersebut. Selain memberi dukungan yang sangat baik, Gubernur juga turut

serta dalam setiap peresmian RPTRA di DKI Jakarta. Secara berjenjang, stakeholder

pun selalu mendukung program RPTRA ini. Seperti yang disampaikan oleh Kepala

Suku Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan berikut ini:

“Sangat support. Setiap peresmian RPTRA saja selalu dipimpin oleh Pak
Gubernur langsung. Secara berjenjang pasti selalu mendukung program ini
dan selalu terlibat langsung dalam pengimplementasiannya.” (Wawancara
dengan Informan 1.5 di Kantor Suku Dinas Komunikasi, Informatika dan
Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).
129

Bukan hanya di tingkat Provinsi saja, elit pemangku kepentingan di tingkat

Kota Administrasi yaitu Walikota sampai Lurah pun turut serta mendukung dalam

pengimplementasian program RPTRA ini, seperti yang disampaikan oleh Informan

berikut ini:

“Dukungan elit sampai sekarang kalau saya lihat secara umum di 5 Kota dan
Kabupaten itu sangat bagus. Sangat bagus dalam arti dimulai dari Provinsi
sampai ke Pak Wali, Wakil Walikota, Sekretaris Kota, Asisten, Camat, Lurah
dan unit terkait menurut saya hal ini menjadi prioritas jadi sangat maksimal
dalam pelaksanaan program ini. Jadi menurut saya sudah sangat maksimal
karena bagaimanapun ini adalah program dedicated Gubernur dan program ini
merupakan program baru, metodenya baru, pendekatannya baru dan hasilnya
luar biasa. Jadi ini bisa ditiru oleh Provinsi lain bahkan tingkat nasional pun
bisa mengadopt program ini. Karena program ini menurut saya sangat besar
manfaatnya untuk masyarakat. Terutama untuk masyarakat yang daerah
kumuh, daerah yang padat penduduk, dengan adanya RPTRA maka ruang
yang tadinya hanya ruang terbuka hijau saja tapi sekarang bagaimana menjadi
ruang publik terpadu ramah anak yang diharapkan nanti begitu ramah anak,
masyarakatnya juga akan menjadi bisa ramah anak maka Kelurahan itu
nantinya akan menjadi Kelurahan yang ramah anak yang akhirnya di tingkat
Kota menjadi Kota Layak Anak. Karena tujuan awal memang untuk mencapai
KLA nah bagaimana untuk mencapai tujuan itu maka ada komponen atau
bagian-bagian yang harus dikerjakan. Rupanya salah satu bagian yang
terpenting adalah RPTRA.” (Wawancara dengan Informan 1.5 di Kantor KB
Jakarta Utara, 31 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi yang disampaikan Informan tersebut diatas dapat

diketahui bahwa program RPTRA ini menjadi kebijakan yang diprioritaskan. Oleh

sebab itu, mulai dari Gubernur, Walikota dan sampai ke tingkat Lurah pun sangat

mendukung dari segi pengimplementasian RPTRA. Bahkan diharapka untuk

kedepannya program RPTRA ini dapat diadopsi oleh Provinsi-Provinsi lain.

Dukungan yang dilakukan oleh Walikota Jakarta Utara dalam hal

pengimplementasian RPTRA juga dapat dilihat dari pernyataan Informan berikut:


130

“Kalau di tingkat Kota itu Pak Wali bukan hanya mendukung tapi juga
mengarahkan. Beliau sebelum melakukan acara apapun harus di survey atau
cek dulu. Langsung turun tangan.” (Wawancara dengan Informan 1.9 di Kantor
Perpustakaan Daerah Jakarta Utara, 28 Oktober 2016).

Dari informasi yang disampaikan oleh Informan 1.8 dapat diketahui bahwa

dukungan yang diberikan oleh Walikota Jakarta Utara dalam hal implementasi

RPTRA dapat terlihat dari sikap Beliau yang selain mendukung juga mengarahkan

dan langsung turun tangan dengan melakukan survey apabila ingin melakukan

berbagai macam kegiatan terutama kegiatan yang dilaksanakan di RPTRA. Dukungan

yang diberikan oleh Walikota Jakarta Utara juga dapat dilihat dari kegiatan

monitoring dan evaluasi yang rutin diadakan satu bulan sekali seperti yang

diungkapkan oleh Kepala Seksi Taman Suku Dinas Pertamanan dan Pemakaman

Jakarta Utara berikut:

“Dukungan mulai dari perangkat daerah hingga pihak swasta. Hal ini dapat
terlihat dari banyaknya pihak swasta yang terlibat dalam pembangunan
RPTRA. UKPD terkait juga terliat, hal tersebut terlihat dari perannya yaitu
dalam hal pemeliharaan dan pembinaan kegiatan.” (Wawancara dengan
Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).

Informasi tersebut menyatakan bahwa dukungan yang didapat bukan hanya

dari UKPD/SKPD yang terkait saja, namun pihak swasta pun juga mendukung

program RPTRA ini. Walikota Jakarta Utara pun sangat mendukung adanya program

RPTRA ini, hal tersebut disampaikan oleh pihak masyarakat Sungai Bambu yang

diwakili oleh Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan Jakarta Utara sebagai berikut:
131

“Luar biasa dukungan Pak Wali dalam hal ini. Pak Wali, Pak Lurah dan Pak
Camat sangat concern dengan kebijakan RPTRA ini.” (Wawancara dengan
Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu Jakarta Utara 25 Oktober 2016).

Berdasarkan keterangan Informan tersebut dapat diketahui bahwa dukungan

para elit pemangku kepentingan mulai dari Walikota, Camat, hingga Lurah dirasa

sangat baik dapat dilihat berdasarkan perhatian yang diberikan oleh elit tersebut

dalam program RPTRA ini. Hal senada pun diungkapkan oleh Informan berikut:

“Dukungan elit pemangku kepentingan dari Gubernur sampai Lurah sangat


mendukung. Buktinya tiap peresmian RPTRA, selalu Gubernur yang
meresmikan RPTRA tersebut. Semua sektoral tetap memantau. Pak Ahok dan
Bu Vero juga sangat concern terhadap program RPTRA ini.” (Wawancara
dengan Informan 1.8 di Kantor PKK Jakarta Utara, 29 September 2016).

Terbukti bahwa para elit pemangku kepentingan mendukung berjalannya

program RPTRA ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Informan 1.8

tersebut bahwa Gubernur selalu hadir di setiap peresmian RPTRA dan semua sektoral

tetap memantau berjalannya kebijakan RPTRA ini. Para elit juga terus memberikan

perhatian dengan menjadikan program RPTRA ini menjadi prioritas.

Dukungan yang diberikan dari pihak eksekutif pun dinilai sudah tercurahkan

kepada kebijakan RPTRA, seperti informasi yang dilontarkan oleh Informan berikut

ini:

“Dukungan eksekutif sudah all out. Karena di Jakarta ini kan lahan bermain
untuk anak-anak itu kan sangat kurang malah hampir tidak ada. Maka itu
Pemerintah Daerah menginginkan setiap RW itu ada RPTRA. Pemda itu
selalu menawarkan warga untuk membeli tanah yang nantinya akan dibangun
132

RPTRA. Namun di Jakarta sendiri lahan kosong itu merupakan hal yang sulit
sehingga pembangunan RPTRA di setiap RW terkendala di permasalahan
lahan. RPTRA ini juga termasuk program unggulan Pemerintah Daerah.
Seharusnya di Jakarta terdapat ruang terbuka hijau sebanyak 25% namun yang
ada saat ini hanya ada 8% masih sangat jauh targetnya. Dukungan legislatif
juga karena kita memahami dan menyadari bahwa tempat bermain untuk
anak-anak sangat sulit oleh karenanya kita sangat mendukung dengan adanya
kebijakan seperti ini. Saya sebagai anggota DPRD DKI Jakarta berharap
dalam pengelolaan RPTRA ini juga melibatkan masyarakat. Jadi supaya
mereka menyadari seberapa penting RPTRA itu. Saya kebetulan pernah
kunjungan ke Korea, taman disana itu seluas 30 hektare namun pengelolanya
hanya 18 orang sisanya masyarakat yang merawat taman tersebut. Diharapkan
untuk di Jakarta ini juga harusnya pemerintah lebih melibatkan masyarakat
supaya masyarakat punya rasa memiliki.” (Wawancara dengan I1.11 di Gedung
DPRD Provinsi DKI Jakarta, 4 Januari 2017).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa pihak eksekutif sangat

mendukung kebijakan RPTRA tersebut dikarenakan DKI Jakarta memang belum

mempunyai ruang bermain untuk anak yang berbasis ramah anak. Untuk target

berikutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun RPTRA di setiap

Rukun Warga (RW) namun masih terkendala persoalan lahan yang memang sangat

jarang terdapat lahan kosong di DKI Jakarta ini. Kemudian dari sisi legislatif pun

dirasa sangat mendukung, kemudian pihak legslatif berharap bahwa peran masyarakat

lebih dilibatkan karena dengan dilibatkannya masyarakat maka akan timbul rasa

memiliki di dalam masyarakat itu sendiri sehingga RPTRA dapat terus terjaga.

Selain dari pihak eksekutif dan legislatif, pihak pemangku kepentingan dari

pihak swasta pun sangat mendukung program RPTRA ini. Hal tersebut dapat

dibuktikan dengan dikeluarkannya dana pembangunan RPTRA yang tidak sedikit dan

terus berkontribusinya pihak dunia usaha khususnya PT Citra Marga Nusaphala


133

Persada yang terus berkontribusi dalam tahap implementasinya, berikut pernyataan

yang dibuat oleh senior officer CSR PT Citra Marga Nusaphala Persada:

“Sangat mendukung. Terbukti dengan disetujuinya sumbangan CSR ini


dengan dikeluarkan anggaran senilai ratusan juta dan terus mendukung
program ini sampai sekarang. Jadi kalau misalnya ada kegiatan, mereka
menggalang CSR untuk ikutan. Contoh pada saat RPTRA ulang tahun
pertama, mereka mau ngecat dan kemudian CMNP memberikan catnya. Hal
tersebut merupakan salah satu bukti CMNP terus berpartsipasi dalam
implementasi RPTRA.” (Wawancara dengan I3.1 di Kantor PT CMNP Jakarta,
10 November 2016).

Berdasarkan informasi-informasi yang didapatkan dari hasil wawancara

dengan informan, peneliti dapat menganalisis bahwa dukungan elit pemangku

kepentingan dalam hal ini pihak eksekutif mulai dari Gubernur, Walikota, Camat

hingga Lurah sangat besar. Tidak hanya mendukung, para elit khususnya Walikota

Jakarta Utara juga memberikan pengarahannya terhadap program RPTRA ini,

koordinasi yang dilakukan pun sangat baik sehingga diharapkan pengimplementasian

kebijakan RPTRA tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Semua

stakeholder yang terlibat dalam pengimplementasian program RPTRA ini pun turut

sangat mendukung dan seluruh sektoral ikut memantau program ini. Selain itu, dari

pihak legislatif juga turut mendukung dengan adaya program RPTRA ini karena

masyarakat DKI Jakarta memang tidak mempunyai ruang interaksi antar masyarakat

sebelumnya. Dukungan para elit pemangku kepentingan baik dari eksekutif,

legislatif, dan pihak dunia usaha dirasa sangat penting karena apabila tidak adanya

dukungan tentunya suatu program atau kebijakan tidak akan berjalan dengan
134

semestinya sehingga masyarakat tidak dapat menikmati manfaat dari program atau

kebijakan tersebut.

3. Dukungan Publik terhadap Program RPTRA

Dukungan publik terhadap suatu kebijakan atau program dari Pemerintah juga

tidak kalah penting karena pada dasarnya segala kebijakan atau program yang

dikeluarkan oleh Pemerintah ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Jadi dukungan

yang diberikan oleh masyarakat akan sangat penting agar suatu program dapat

berjalan dengan optimal. Apalagi program RPTRA ini memang jelas-jelas ditujukan

untuk masyarakat agar masyarakat mempunyai tempat untuk berinteraksi dan

bersosialisasi. Bukan hanya taman biasa, namun RPTRA ditujukan untuk masyarakat

dengan kategori usia anak-anak hingga Lansia, seperti yang disampaikan oleh

Informan berikut:

“Dukungan publik sangat mendukung dengan adanya program RPTRA ini.


Karena dengan adanya RPTRA maka masyarakat mempunyai tempat untuk
berinteraksi dan dapat digunakan masyarakat dari kalangan usia anak-anak
hingga Lansia.” (Wawancara dengan Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat
Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan berikut:

“Kalau dukungan publik yang saya ketahui bahwa di lima wilayah dan
khususnya Jakata Utara ini 99% sudah mendukung hanya ya mungkin ada
beberapa orang yang merasa terganggu itu memang ada aja tapi secara umum
penilaian saya secara umum 99% mereka sangat mendukung, sangat setuju
bahkan kalau di daerah padat atau kumuh itu menurut saya sangat tepat dan
sangat antusias. Karena dengan adanya ruang publik ini maka anak-anak
mereka bisa bersosialisasi dengan lingkungannya tidak main di jalanan atau
main di gang-gang yang sempit dan maka fasilitas ini sangat mendukung
kegiatan anak-anak dan remaja dan juga orang tua yang membutuhkan tempat
untuk berkomunikasi, berkonsultasi, bersosialisasi juga antar tetangga.”
135

(Wawancara dengan Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta Utara, 31 Oktober


2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa dukungan masyarakat

Kota Administrasi Jakarta Utara dalam hal implementasi RPTRA sangat antusias dan

masyarakat sangat setuju dengan dibangunnya RPTRA karena dengan adanya

RPTRA anak-anak mempunyai fasilitas bermain dan RPTRA juga tidak hanya bisa

dimanfaatkan oleh anak-anak saja, mulai dari anak-anak hingga Lansia pun dapat

merasakan manfaatnya juga. Beberapa manfaat yang dapat dirasakan yakni, sebagai

tempat berkomunikasi, berkonsultasi, dan bersosialisasi antar tetagga sekitar di

lingkungan tersebut. Baiknya dukungan yang diberikan oleh publik juga disampaikan

oleh Informan berikut ini:

“Dukungan publik sangat bagus. Karena ini merupakan kebutuhan masyarakat


karena selama ini sarana anak-anak untuk bermain kan sangat kurang sekali
apalagi di kawasan permukiman padat penduduk. Kemarin di Rusun Marunda
merupakan salah satu RPTRA yang didirikan di rumah susun karena selama
ini kan RPTRA dibangun bukan di area rumah susun untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang tinggal di area rumah susun.” (Wawancara
dengan Informan 1.5 di Kantor Suku Dinas Komunikasi, Informatika dan
Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa dukungan yang

diberikan oleh masyarakat sangat baik, hal tersebut dikarenakan oleh masyarakat juga

membutuhkan RPTRA sebagai sarana anak-anak untuk tempat bermain. Khususnya

untuk masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman padat penduduk. Sebagai

contoh masyarakat yang tinggal di kawasan rumah susun sangat membutuhkan

RPTRA, oleh karena itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun RPTRA
136

pertama yang dibangun di rumah susun Marunda. Kebutuhan masyarakat akan

RPTRA juga diungkapkan oleh Informan berikut:

“Kalau masyarakat karena mereka membutuhkan biasanya mereka secara


omongan akan bersedia menjaga tapi semua akan kembali kepada tingkat
pemahaman mereka juga. Kalau pemahaman mereka bagus kalau program ini
bukan hanya program sesaat saja biasanya mereka akan menjaga. Mungkin
mereka dengan sukarela kalau mereka punya kemampuan ingin
menyumbangkan sesuatu minimal menyumbangkan pikirannya. Tapi ada juga
yang mungkin pemahamannya belum begitu bagus jadi kemudian sense of
belongingnya kurang. So far, karena masyarakat membutuhkan ruang publik
untuk interaksi dan tempat bermain untuk anak-anaknya jadi mereka cukup
memelihara dan juga di RPTRA tersebut ada managementnya jadi tidak
terlalu menimbulkan banyak masalah. Program ini bagus karena masyarakat
senang dan curious jadi ingin merawat tanaman yang ada.” (Wawancara
dengan Informan 1.4 di Kantor Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan
Pangan Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Dapat diketahui bahwa kebutuhan masyarakat akan RPTRA tidk dapat

dipungkiri. Akan tetapi, diharapkan kepada masyarakat agar masyarakat mempunyai

rasa memiliki. Ketika rasa memiliki sudah ada maka masyarakat dengan sendirinya

akan merawat dan menjaga fasilitas RPTRA yang telah diberikan tersebut. Karena

ada banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat, yaitu sebagai tempat

untuk berinteraksi antar sesama masyarakat dan juga sebagai tempat bermain bagi

anak-anak. Tempat bermain bagi anak-anak memang sangat kurang apalagi untuk

masyarakat DKI Jakarta yang tinggal di permukiman padat penduduk, oleh karena itu

masyarakat merasa sangat puas dengan didirikannya RPTRA, sesuai dengan

pernyataan yang dibuat oleh Informan berikut ini:

“Masyarakat suka sekali untuk keberadaan RPTRA. Yang tadinya tidak ada
tempat untuk main bola, sekarang jadi ada. Masyarakat sangat-sangat puas.”
(Wawancara dengan Informan 1.9 di Kantor Perpustakaan Daerah Jakarta
Utara, 28 Oktober 2016).
137

Manfaat RPTRA juga tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pengunjung

RPTRA, namun manfaatnya juga dapat dirasakan oleh masyarakat yang mempunyai

usaha dan tinggal di sekitar lingkungan RPTRA. Seperti informasi yang disampaikan

oleh ketua LMK Jakarta Utara berikut ini:

“Sangat antusias. Dukungan masyarakat sangat terasa. Masyarakat sekitar sini


terutama yang mempunyai usaha warung-warung itu merasa terhidupi. Karena
dengan adanya pengunjung yang datang jadi banyak yang jajan, makan dan
minum.” (Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu, 25
Oktober 2016).

Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh peneliti dari informan 2.1 tersebut

dapat diketahui bahwa masyarakat yang tinggal di sekitar lingkungan RPTRA dan

mempunyai usaha pun mendapatkan keuntungan yaitu dengan banyaknya pengunjung

yang datang ke RPTRA maka hasil penjualannya pun menjadi meningkat. Tidak

hanya itu, RPTRA juga dapat menjadi tempat perubahan dalam arti perubahan dari

yang buruk menjadi yang baik dan dari yang tidak bisa menjadi bisa. Seperti yang

disampaikan oleh Ketua Tim Penggerak PKK Jakarta Utara berikut ini:

“Karena masyarakat butuh tempat dan khususnya anak-anak yang sangat


butuh tempat bermain, jadi masyarakat sangat mendukung sekali. Malah ada
yang di wilayahnya belum ada RPTRA masyarakat jadi bertanya-tanya kapan
dibangun RPTRA. Menurut Gubernur sendiri kan anak-anak di Jakarta sangat
membutuhkan tempat bermain. Banyak anak-anak yang main di jalanan itu
kan sangat mengkhawatirkan takut tiba-tiba ketabrak dan selama ini kan
cukup banyak kasus pelecehan seksual pada anak-anak. Kalau di RPTRA itu
kan anak-anak main diawasi sama pengelolanya, diajak bermain juga,
membantu anak-anak belajar juga. Bahkan ada di RPTRA Sungai Bambu itu
anak yang tadinya tidak bisa membaca jadi bisa membaca. Hal-hal yang
seperti itu yang dibutuhkan masyarakat. Jadi di RPTRA juga mengarahkan
orang tua untuk berperilaku baik jangan sampai anaknya sudah berperilaku
baik tapi orang tuanya belum. Kita ini bisa disebut juga sebagai agen
138

perubahan.”(Wawancara dengan Informan 1.8 di Kantor PKK Jakarta Utara, 29


September 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat DKI

Jakarta khususnya anak-anak sangat membutuhkan sarana untuk tempat bermain.

Oleh karena itu, dibangun lah RPTRA. Namun demikian, RPTRA bukan hanya

sebagai tempat bermain bagi anak-anak. RPTRA diharapkan dapat menjadi tempat

anak-anak untuk belajar. Pengelola RPTRA juga diharapkan menjadi agent of change

yang dapat membimbing anak-anak tersebut menjadi anak-anak yang lebih baik.

Seperti yang terjadi di RPTRA Sungai Bambu terdapat anak yang belum bisa

membaca namun dengan rutinnya anak itu berkunjung ke RPTRA Sungai Bambu,

pada akhirnya anak itu mempunyai kemampuan untuk membaca. Banyak sekali

pengunjung yang berdatangan ke RPTRA. Pada liburan akhir pekan pun pengunjung

RPTRA menjadi meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh Informan berikut:

“Sangat antusias karena RPTRA tidak pernah kosong apalagi di hari libur.”
(Wawancara dengan Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober
2016).
Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh Lurah Sungai

Bambu sebagai berikut:

“Antusias sekali. Dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang setiap


harinya terus kalau ada kegiatan pasti masyarakat rame-rame datang ke
RPTRA. Terus kalau hari sabtu dan minggu selalu penuh RPTRA.”
(Wawancara dengan Informan 1.10 di Kantor Kelurahan Sungai Bambu Jakarta
Utara, 3 November 2016).
139

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Informan 1.10 dan 1.2 tersebut

dapat diketahui bahwa dukungan publik dalam hal ini sangat antusias menyambut

adanya RPTRA. Setiap ada kegiatan yang diselenggrakan di RPTRA masyarakat

sekitar berbondong-bondong mendatangi RPTRA. Setiap akhir pekan atau hari libur,

masyarakat yang mengunjungi RPTRA pun ramai. Dapat dilihat pada data

pengunjung di RPTRA Sungai Bambu berikut:

Tabel 4.6
Jumlah Pengunjung RPTRA Sungai Bambu Tahun 2016
No Bulan/Tahun Jumlah Pagi Jumlah Sore Jumlah
(Pukul 10) (Pukul 16) Keseluruhan
1. September 2016 2.229 2.007 4.236
2. Oktober 2016 1.996 1.702 3.698
3 November 2016 1.827 1.355 3.162
Sumber: tiny.cc/monitorhitungkasar

Data pada tabel 4.6 diatas menunjukan bahwa pengunjung RPTRA Sungai

Bambu tidak pernah sepi karena dalam kurun waktu satu bulan pengujung di RPTRA

Sungai Bambu mencapai angka ribuan. Namun, yang disayangkan adalah cara

penghitungan pengunjung yang dilakukan oleh pengelola masih manual. Sehingga

hasil yang didapatkan pun menjadi kurang optimal. Penghitungan pengunjung

tersebut dilakukan dua kali dalam satu hari yaitu pada pukul 10 pagi dan pukul 4 sore.

Hal tersebut dirasa kurang optimal karena pengunjung yang datang ke RPTRA

Sungai Bambu diluar jam penghitungan tidak akan terhitung. Akan lebih baik jika

penghitungan dilakukan secara otomatis. Terlepas dari permasalahan tersebut

masyarakat diharapkan dapat terus berpartisipasi penuh dalam penyeleggaraan

RPTRA seperti yang diungkapkan oleh pihak dunia usaha berikut ini:
140

“Yang diharapkan masyarakat ikut andil menjalankan project itu sendiri.


Disitu kan tempat komunitas masyarakat, kalau RPTRAnya aktif dalam segala
kegiatan berarti RPTRAnya berfungsi dan bermanfaat. Jadi masyarakat harus
bisa memanfaatkan sebaik mungkin. Ini biasanya tergantung terhadap
stakeholder terkait dalam hal ini lurah, PKK, dan pengelolanya apakah
programnya berjalan dengan baik atau tidak. Masyarakat juga diharapkan
dapat berpartisipasi penuh dalam penyelenggaraan RPTRA.” (Wawancara
dengan Informan 3.1 di Kantor PT. Citra Marga Nusaphala Persada Jakarta, 10
November 2016).

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Informan 3.1 tersebut dapat

diketahui bahwa semua pihak baik dari pihak Pemerintah maupun pihak dunia usaha

mempunyai harapan yang sama dimana menginginkan masyarakat dapat terus

berpartisipasi dalam penyelenggaraan RPTRA karena program RPTRA ini dinilai

memiliki banyak manfaat untuk masyarakat. Dengan didapatkanya informasi-

informasi dari para informan dapat dianalisis bahwa dukungan publik sangat antusias

dalam penyelenggraan program RPTRA ini dan diharapkan masyarakat dapat terus

berpartisipasi penuh dalam hal penyelenggaraan program RPTRA ini.

4. Kejelasan Maksud dan Tujuan Program

Pelaksanaan Program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA)

merupakan salah satu upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pengembangan

dari kebijakan Kota Layak Anak dengan mengintegrasikan seluruh komitmen dan

potensi sumber daya para pihak baik Pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

Dengan berpedoman kepada Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan

Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan RPTRA.

Seperti yang diungkapkan oleh Informan berikut ini:


141

“Sudah cukup jelas. Awalnya kota layak anak tapi setelah berkembang jauh
tidak untuk kota layak anak saja sekarang tapi untuk tempat interaksi warga,
pusat pembelajaran, pusat informasi cuma dalam tataran ramah anak. Ramah
anak disini berarti tidak boleh merokok, pelecahan seksual dan KDRT. SOP
juga sudah jelas semua ada di Pergub.” (Wawancara dengan Informan 1.2 di
Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Informan tersebut dapat

diketahui bahwa pada awalnya memang kebijakan yang akan dikembangkan di DKI

Jakarta merupakan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) namun ternyata KLA harus

didukung dengan beberapa program yang tentunya berintegrasi dengan kebijakan

KLA itu sendiri, yaitu dengan dibangunnya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak atau

yang akrab didengar dengan nama RPTRA. Ramah anak disini berarti didalamnya

jelas-jelas dilarang merokok, pelecehan seksual dan KDRT. Dan tentunya

pengelolaan RPTRA berpedoman langsung dengan Peraturan Gubernur. Hal tersebut

juga disampaikan oleh Kepala Seksi Kesehatan Masyarakat Suku Dinas Kesehatan

Jakarta Utara sebagai berikut:

“Sudah jelas ada di Pergub. Mengenai fungsi, tupoksi semua ada di Pergub.
Disana sudah jelas masing-masing SKPD berbuat apa.” (Wawancara dengan
Informan 1.6 di Kantor Sudin Kesehatan Jakarta Utara 25 Oktober 2016).
Pernyataan tersebut senada dengan pernyataan yang disampaikan oleh

Informan berikut ini:

“Di juknis sudah sangat jelas, SOP juga sudah jelas dan sudah dilaksanakan
juga. Semuanya itu mengacu kepada Pergub tentang pengelolaan RPTRA.”
(Wawancara dengan Informan 1.10 di Kantor Kelurahan Sungai Bambu, 3
November 2016).
142

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Informan 1.10 dapat diketahui

bahwa baik petunjuk teknis maupun SOP (Standard Operating Procedure) dari

pengelolaan RPTRA mengacu kepada Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015

dan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang pedoman pengelolaan

RPTRA. SOP bermanfaat sebagai prosedur kerja ukuran dasar penerapan suatu

kebijakan atau program untuk menyeragamkan tindakan-tindakan dari pejabat dalam

organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas, yang pada gilirannya dapat

menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan

peraturan-peraturan (Winaro, 2014 : 207). Hal yang serupa pun disampaikan oleh

Informan 1.3, Beliau mengatakan bahwa untuk juknis dan SOP berpatokan sepenuhnya

kepada Peraturan Gubernur berikut pernyataannya:

“Untuk juknis saya kira sudah dituangkan dalam Pergub Nomor 196 Tahun
2015 dan Pergub Nomor 40 Tahun 2016. Saya kira ditingkat Kota maupun di
tingkat Provinsi pedomannya ini. Karena kalau sudah ada Pergub inilah yang
menjadi patokan dan pegangannya. Semua pelaksana sesuai dengan
tupoksinya masing-masing. Misalnya BPMPKB apa dan berbuat apa
kemudian Kantor KB berbuat apa dan KPMP berbuat apa. Dan SOPnya juga
masih mengacu ke Pergub kecuali nanti ada SOP tentang pengelola barangkali
mungkin ada tambahan SOP diluar dari Pergub, mungkin nanti dari SK
Walikota, SK BPMPKB, mungkin seperti itu.” (Wawancara dengan Informan
1.3 di Kantor KB Jakarta Utara, 31 Oktober 2016).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa segala yang

menyangkut tentang pengelolaan RPTRA mengacu kepada Peraturan Gubernur

karena di Peraturan Gubernur tersebut telah jelas dicantumkan tugas pokok dan

fungsi dari masing-masing SKPD dan UKPD yang terlibat dalam pengelolaannya.

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Informan berikut:


143

“SOP sudah jelas sesuai dengan Pergub dan semua SKPD/UKPD mengacu
kepada Pergub dan semua tugas-tugas SKPD/UKPD sudah jelas dibahas di
dalam Pergub.” (Wawancara dengan Informan 1.5 di Kantor Sudin
Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).

Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua LMK Jakarta Utara, berikut ini:

“Sudah ada SOPnya di Pergub semua sudah mengacu kepada Pergub.”


(Wawancara dengan I2.1 di RPTRA Sungai Bambu Jakarta Utara, 25 Oktober
2016).

Dapat terlihat jelas berdasarkan pernyataan-pernyataan Informan tersebut

dapat diketahui bahwa juknis dan SOP pengelolaan RPTRA mengacu kepada

Peraturan Gubernur dan semua tugas dari masing-masing SKPD dan UKPD sudah

tercantum secara jelas di dalam Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan

disempurnakan oleh Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang pengelolaa

RPTRA. Terlihat bahwa maksud dan tujuan dari program RPTRA ini sudah jelas

semua tercantum di dalam Peraturan Gubernur.

4.5.3 Dimensi Aplikasi/Penerapan

Aplikasi atau penerapan merupakan proses dimana kebijakan mulai dijalankan

sesuai dengan rancangan kebijakan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pejabat

yang berwenang. Aplikasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lain, yaitu

sebuah proses dinamis karena berhubungan dengan kegiatan kebijakan lainnya dalam

kemanusiaan yang mana seseorang mencoba melakukan pekerjaannya (Jones

1991:325). Dengan demikian untuk mengukur bagaimana apikasi/penerapan dari

program Implementasi RPTRA di Jakarta Utara, peneliti mengembangkan dua


144

indikator yaitu yang pertama kesesuaian penerapan dengan pelaksanaan program dan

yang kedua adalah pemantauan dan evaluasi tujuan pelaksanaan program.

1. Kesesuaian Penerapan dengan Pelaksanaan Program

Kesesuaian penerapan dengan pelaksanaan program Implementasi RPTRA

dalam hal ini adalah dimana konsep kebijakan yang telah tertuang di dalam

Peraturan Gubernur sesuai dengan pelaksanaan program. Seperti yang

disampaikan oleh salah satu Informan berikut:

“Kalau konsep dengan pelaksanaannya sudah sesuai. Tadi yang saya katakan
pada awalnya masih mencari bentuk atau pola-pola tapi dengan
perkembangannya dan dengan tim yang solid maka konsep yang digagas oleh
Ibu Gubernur kalau tidak salah, Bu Vero. Yang tadinya awal 2015 masih ada
kendala-kendala yang mungkin dianggapnya masih program baru seperti RTH
dulu tapi ternyata program ini perlu ada keseriusan tersendiri sehingga begitu
ditangani malah lebih dari harapan. Jadi konsep dengan implementasinya itu
sudah sesuai bahkan melebihi konsep yang semula.” (Wawancara dengan
Informan 1.3 di Kantor KB Jakarta Utara, 31 Oktober 2016).
Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa dengan bersinerginya

tim-tim yang terlibat dengan elit pemangku kepentingan sebagai penggagas program

RPTRA maka konsep-konsep yang semula hanya berupa program Ruang Terbuka

Hijau (RTH) menjadi program RPTRA, oleh karena itu antara konsep-konsep yang

tertulis dengan pelaksanaannya dinilai sudah sesuai. Dengan kesesuaian tersebut

program dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Kesesuaian antara

penerapan dengan pelaksanaan program juga dapat dilihat berdasarkan animo

masyarakat yang datang dan turut menikmati fasilitas RPTRA. Seperti yang

diungkapkan oleh Informan 1.1 berikut:


145

“Bisa dilihat dari animo-animo masyarakat. Jadi setiap hari itu pengunjungnya
padat apalagi kalau sabtu minggu ini berdasarkan laporan dari pengelola.
Contoh di Kelurahan Sungai Bambu aja, disana yang datang bukan hanya
warga dari Kelurahan Sungai Bambu saja tapi dari kelurahan lain juga.
Berdasarkan animo masyarakat tersebut menandakan bahwa sudah sesuai
penerapan dengan pelaksanan program RPTRA ini.” (Wawancara dengan
Informan 1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September 2016).
Berdasarkan hasil wawancara peneiliti dengan Informan 1.1 dapat diketahui

bahwa antara penerapan dengan pelaksanaan sudah sesuai hal tersebut dapat dilihat

berdasarkan animo masyarakat yang sangat tinggi terhadap adanya program RPTRA.

Animo tersebut berdasarkan padatnya pengunjung yang mengunjungi RPTRA.

Dengan ramainya pengunjung yang datang ke RPTRA juga diharapkan dapat menjadi

pemacu untuk UKPD atau pengelola dalam berinovasi seperti pendapat informan

berikut ini:

“Sepanjang ini tracknya sudah benar. RPTRA juga tempat untuk revolusi
mental. Beberapa perubahan yang tadinya buruk sudah mulai menjadi baik.
jumlah kunjungan. Kita berharap jumlah kunjungan menjadi semakin banyak,
karena dengan ramainya pengunjung menuntut kita untuk terus
mengembangkan inovasi. Kendala juga ada pada ketersediaaan buku, buku
yang ada sudah mulai habis dibaca semua dan pergantian buku belum ada
solusi sementara yang dilakukan adalah pertukaran buku antar RPTRA.”
(Wawancara dengan Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober
2016).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa penerapan

dengan pelaksanaan program sudah sesuai dan berada pada jalur yang tepat. Selain

sebagai tempat untuk berinteraksi, RPTRA juga sebagai wadah untuk merevolusi

mental baik anak-anak maupun usia dewasa terbukti dengan terjadinya perubahan

yang terjadi, perubahan yang pada awalnya buruk lalu menjadi lebih baik.
146

Diharapkan pula dengan banyaknya pengunjung yang datang tersebut menuntut dan

sebagai pemacu agar terus berinovasi memberikan pelayanan yang baik atau lebih

baik untuk masyarakat. Pendapat yang serupa pun dungkapkan oleh Informan 1.5

berikut ini:

“Sudah sejalan antara penerapan dengan pelaksanaannya. Dari Pak Gubernur


sendiri memang sudah mencanangkan pembangunan RPTRA secara besar-
besaran dan kebetulan untuk tahun 2016 ini paling banyak di Kota Jakarta
Utara yaitu sebanyak 31 RPTRA sampai akhir Desember dengan
menggunakan dana APBD.” (Wawancara dengan Informan 1.5 di Kantor Suku
Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober
2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa sejauh ini antara

penerapan dengan pelaksanaan kegiatan sudah berjalan dengan semestinya. Atas

dasar itu pula lah pemangku elit kepentingan mencanangkan pembangunan RPTRA

yang lebih banyak di wilayah DKI Jakarta dan khususnya di Kota Jakarta Utara yang

akan dibangun RPTRA lebih banyak dibandingkan dengan wilayah Kota

Administrasi lainnya. Kemudian berdasarkan pendapat masyarakat Sungai Bambu

yang diwakilkan oleh Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan Jakarta Utara bahwa

antara penerapan dengan pelaksanaan program dinilai sudah sesuai. Karena RPTRA

sudah dipergunakan sebagaimana semestinya yakni sebagai tempat bersosialisasi

antar warga, tempat bersilaturahmi, tempat yang memusatkan segala kegiatan

masyarakat dan sebagai tempat untuk mencari solusi atas permasalahan yang dialami

oleh warga, berikut hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti berikut ini:

“Sudah sesuai. Kalau ada kekurangan ya ada sedikit. Seputar sarana karena
sarana disini tidak sebagus RPTRA-RPTRA lain yang masih baru. Karena
program-program di RPTRA Sungai Bambu sudah sering dilaksanakan sesuai
147

dengan instruksi Gubernur yang menyatakan bahwa RPTRA menjadi pusat


kegiatan masyarakat, sebagai tempat silaturahmi, sosialisasi antar masyarakat.
RPTRA juga merupakan salah satu tempat untuk mencari solusi atas semua
permasalahan yang dialami warga.” (Wawancara dengan Informan 2.1 di
RPTRA Sungai Bambu Jakarta Utara, 25 Oktober 2016).
Penerapan antara pelaksanaan program yang sudah sesuai juga disampaikan

oleh Informan berikut:

“Penerapan dengan pelaksanaan program sudah sesuai hal tersebut mengacu


kembali pada Pergub tentang Pengelolaan RPTRA yang menjelaskan tentang
tupoksi yang harus dikerjakan oleh beberapa SKPD dan selama
implementasinya tidak terjadi overlapping antara SKPD yang satu dengan
yang lain.” (Wawancara dengan Informan 1.7 di RPTRA Semper Barat Jakarta
Utara, 20 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa penerapan dan

pelaksanaan program tersebut mengacu kepada Peraturan Gubernur yang didalamnya

tercantum tugas pokok dan fungsi masing-masing SKPD agar selama pelaksanaan

tahap implementasi tidak terjadi tumpang tindih kebijakan antara satu SKPD dengan

SKPD yang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Informan telah didapatkan

data jenuh bahwa antara penerapan dengan pelaksanaan program sudah sesuai

terbukti dengan animo yang tinggi dari masyarakat terhadap program RPTRA ini,

kesesuaian fungsi RPTRA dengan yang tercantum di dalam Peraturan Gubernur dan

juga berdasarkan dengan elit pemangku kepentingan yang terus mencanangkan untuk

menambah jumlah RPTRA di DKI Jakarta.


148

2. Pemantauan dan Evaluasi Tujuan Pencapaian Program RPTRA

Dalam setiap proses kebijakan kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan

proses yang sudah pasti dikerjakan oleh implementor dan tidak dapat terpisahkan dari

pelaksanaan kegiatan sebuah kebijakan. Kegiatan monitoring adalah kegiatan untuk

melakukan penilaian terhadap proses pelaksanaan kebijakan, dengan tujuan menjaga

agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan dalam formulasi kebijakan, menemukan kesalahan sedini

mungkin sehingga mengurangi risiko yang lebih besar dan melakukan tindakan

modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring megharuskan untuk itu.

Dalam Implementasi RPTRA di Jakarta Utara ini monitoring yang dilakukan

berdasarkan laporan pengelola yang rutin dilakukan seperti penjelasan yang diberikan

oleh Informan berikut:

“RPTRA Sungai Bambu punya pengelola-pengelola yang terkoordinir dan


punya monitoring tanggung jawab dan juga monitoring laporan dan itu semua
selalu di evaluasi.” (Wawancara dengan I2.1 di Kantor PT. CMNP Jakarta, 10
November 2016).
Hal senada juga diungkapkan oleh pihak leading sector di tingkat Provinsi

berikut ini:

“Ada pemantauan. Dilakukan mulai bulan September ini semua pengelola


harus melapor namun belum semua melapor oleh karena itu di bulan Oktober
nanti saya akan tegaskan untuk semua pengelola untuk melapor. Ada laporan
bulanan untuk pengurus tingkat Kelurahan juga tingkat Kota dan Provinsi.
Namun belum efektif banget. Jadi untuk sementara ini laporan dilakukan
dengan group whatsapp, e-mail, karena setiap RPTRA kan punya e-mail yang
bisa kita kendalikan. Seluruh kegiatan baik itu yang bagus atau tidak juga
dilaporkan. Misalnya ada kegiatan dari Sudin atau yang jelek-jelek seperti
149

terjadi kecelakaan yang dialai oleh anak-anak itu semua dilaporkan.”


(Wawancara dengan Informan 1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta,
26 September 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan 1.1 tersebut dapat diketahui

bahwa kegiatan monitoring yaitu berupa laporan-laporan yang dilaporkan oleh

pengelola setiap bulan akan tetapi hal tersebut masih belum efektif dilakukan.

Sehingga laporan rutin yang dilakukan dengan menggunakan akses media sosial yang

dipantau langsung oleh BPMPKB selaku leading sector. Laporan-laporan yang

dilaporkan pun meliputi segala kegiatan yang dilakukan baik kegiatan yang bersifat

positif maupun bersifat negatif setiap harinya.

Sedangkan evaluasi menurut Lester dan Stewart (2000:16) dalam Mulyadi

(2015:86), evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu

kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan

dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan. Hasil evaluasi akan

disesuaikan dengan sasaran program. Apabila hasil tersebut sudah sesuai dengan

sasaran program maka program tersebut dapat dikatakan efektif, namun apabila

sebaliknya program yang dijalankan tidak sesuai dengan sasaran awalnya berarti

program tersebut tidak efektif. Evaluasi menekankan pada aspek hasil (output).

Evaluasi program RPTRA di Jakarta Utara berdasarkan observasi peneliti di

lapangan dan berdasarkan informasi yang diberikan oleh beberapa Informan sudah

rutin dilakukan. Kegiatan evaluasi tersebut dilakukan mulai dari tingkat Kelurahan,

Kecamatan, dan Kota. Berikut merupakan pernyataan yang diberikan oleh Informan

megenai kegiatan evaluasi program RPTRA:


150

“Evaluasi secara konsep dilakukan 3 bulan sekali di tingkat Kelurahan tapi


kita punya pertemuan rutin dengan seluruh pengelola RPTRA se-Jakarta Utara
satu bulan sekali. Yang dilibatkan KPMP, PKK, dan Pengelola. Evaluasi baru
sebulan terakhir ini dilakukan per dua minggu terkait dengan progress
pembangunan yang dipimpin oleh walikota. Evaluasi semua Kelurahan dan
SKPD terkait dilaksanakan setelah 6 bulan peresmian, kenapa 6 bulan?karena
selama 6 bulan itu RPTRA masih dikelola oleh CSR. Pertemuan rutin yang
diadakan satu bulan sekali juga menjadi bahan evaluasi dari kami karena
semua permasalahan yang dihadapi akan dibahas dan dicarikan solusinya
bersama-sama dan pertemuan rutin ini diadakan di RPTRA yang berbeda-
beda sebagai bahan komparatif untuk pengelola.” (Wawancara dengan
Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa secara

konseptual evaluasi di tingkat Kelurahan dilakukan tiga bulan sekali. Kantor

Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Administrasi Jakarta Utara

pun menyelenggarakan Pertemuan Rutin (Pertin) yang diadakan satu bulan sekali

dengan melibatkan KPMP Jakarta Utara, Tim Penggerak PKK Jakarta Utara dan

pengelola RPTRA. Pertin dilakukan sebagai bahan evaluasi untuk KPMP agar

permasalahan yang timbul di RPTRA dapat segera diselesaikan dan dicarikan solusi

yang tepat untuk segera mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul. Pertin

diadakan setiap bulan di RPTRA yang berbeda-beda sebagai bahan komparatif bagi

pengelola agar dapat mengembangkan masing-masing RPTRA yang dikelolanya.

Untuk evaluasi di tingkat Kota dilakukan per dua minggu sekali dalam satu bulan

terakhir terkait dengan progress pembangunan RPTRA di Jakarta Utara. Evaluasi

diadakan setelah enam bulan karena untuk RPTRA yang biaya pembangunannya

menggunakan dana CSR karena selama enam bulan pertama RPTRA dikelola oleh
151

pihak swasta. Berikut ini merupakan dokumentasi-dokumentasi yang dilakukan oleh

peneliti ketika ikut terlibat dalam Pertin bulan Oktober.

Gambar 4.7
Pertemuan Rutin Bulan Oktober 2016
Di RPTRA Kelurahan Sukapura, Jakarta Utara

Sumber: Hasil Dokumentasi Peneliti

Secara konsep menurut Informan 1.2 bahwa evaluasi di tingkat Kelurahan

diadakan setiap tiga bulan sekali namun menurut fakta yang ditemukan oleh peneliti

di lapangan bahwa kegiatan evaluasi yang dilakukan di tingkat Kelurahan diadakan

setiap satu bulan sekali. Evaluasi di tingkat Kelurahan khususnya di Kelurahan

Sungai Bambu dipimpin langsung oleh ketua TP PKK Kelurahan Sungai Bambu.

Dalam kegiatan evaluasi tersebut dibahas mengenai permasalahan apa saja yang

terjadi di RPTRA, kemudian kendala yang dihadapi oleh pengelola, mendiskusikan

solusi yang terbaik dan melakukan diskusi mengenai inovasi-inovasi terbaru untuk
152

RPTRA Sungai Bambu. Hal tersebut didukung oleh informasi yang diberikan oleh

Lurah Sungai Bambu berikut ini:

“Ya, kita tiap bulan kita lakukan monitoring dan evaluasi di tingkat
Kelurahan. Kalau untuk di tingkat Kota juga dilakukan monev dipimpin
langsung oleh Pak Walikota dan Pak Seko. Jadi semua pengelola, Lurah dan
PKK diundang semua.” (Wawancara dengan Informan 1.10 di Kantor
Kelurahan Sungai Bambu Jakarta Utara, 3 November 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa kegiatan monitoring

dan evaluasi di tingkat Kelurahan khususnya Kelurahan Sungai Bambu dilaksanakan

setiap bulan. Untuk di tingkat Kota, monitoring dan evaluasi dipimpin oleh Walikota

dan Sekretaris Kota dengan mengundang para Lurah dan pengelola-pengelola

RPTRA di wilayah Jakarta Utara. Hal tersebut serupa dengan yang disampaikan oleh

Informan berikut:

“Evaluasi dilakukan setiap satu bulan sekali di tingkat Kelurahan meliputi


semua pengurus. Pengelola, PPSU, Bu Lurah dan semua yang terlibat dalam
RPTRA ini.” (Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu
Jakarta Utara, 25 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa evaluasi di tingkat

Kelurahan dilakukan setiap satu bulan sekali dihadiri oleh pengelola RPTRA, PPSU,

Ketua TP PKK Kelurahan Sungai Bambu dan perangkat Kelurahan yang terlibat

dalam penyelenggaraan RPTRA. Berikut ini merupakan hasil dokumentasi ketika

peneliti mengikuti kegiatan evaluasi tingkat Kelurahan di RPTRA Sungai Bambu.


153

Gambar 4.8
Evaluasi di Tingkat Kelurahan
Di Kelurahan Sungai Bambu, Oktober 2016

Sumber: Hasil Dokumentasi Peneliti

Sedangkan untuk evaluasi di tingkat Kota selalu rutin diadakan dengan

dipimpin langsung oleh Walikota, berikut penjelasan yang diberikan oleh Kepala

Suku Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Jakarta Utara:

“Monitor dan evaluasi diadakan tiap satu bulan sekali di tingkat kota, malah
dua minggu sekali dilakukannya karena untuk mengejar pembangunan
RPTRA di 31 lokasi ini. Oleh karena itu, Pak Wali melakukan koordinasi
yang lebih intens lagi. Dihadiri oleh UKPD terkait, pengelola, kelurahan dan
tentunya juga dihadiri oleh Pak Walikota. Banyak permasalahan yang muncul
dalam monev ini kebanyakan lebih ke permasalahan sarana dan prasarana baik
yang teknis maupun non teknis. Kadang keluhan mengenai Wifi yang mati
atau lemot. Kendala dari Kominfomas adalah keterbatasan di bidang
infrastruktur di bidang jaringan dan keterlambatan CSR dalam penanganan
permasalahan.” (Wawancara dengan Informan 1.5 di Kantor Suku Dinas
Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Jakarta Utara, 20 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan tersebut dapat diketahui

bahwa kendala yang biasanya disampaikan oleh para pengelola adalah seputar
154

permasalahan sarana dan prasarana terutama di bidang jaringan dan keterlambatan

CSR dalam penanganan permasalahan tersebut, namun setelah dilakukan Berita

Acara Serah Terima maka Sudin Kominfomas lah yang menangani permasalahan

seperti itu. Beliau menyampaikan bahwa rapat evaluasi di tingkat Kota dipimpin oleh

Walikota dan dihadiri oleh beberapa UKPD terkait, Lurah dan tentunya para

pengelola RPTRA. Hal senada pun disampaikan oleh Informan berikut ini:

“Ya. Rapat monitoring dan evaluasi dilakukan satu bulan sekali dihadiri
SKPD terkait, pengelola RPTRA dan dipimpin langsung oleh Walikota.”
(Wawancara dengan Informan 1.7 di Kantor Suku Dinas Pertamanan dan
Pemakaman Jakarta Utara. 20 Oktober 2016).

Rapat evaluasi yang dilakukan di tingkat Kota dipimpin langsung oleh

Walikota dan dihadiri oleh beberapa UKPD terkait, dan tentunya dihadiri pula oleh

para pengelola RPTRA. UKPD terkait tidak hanya sekedar menghadiri rapat evaluasi

saja namun turun ke lapangan untuk mencatat langsung kendala apa saja yang terjadi

di lapangan seperti yang diungkapkan oeh Informan berikut ini:

“Saya sudah melihat monitoring dan evaluasinya sudah berjalan. Monitoring


dan evaluasi ini dilakukan semua SKPD. Jadi kita turun ke lapangan, lalu
hasilnya dirapatkan di tingkat kota dengan dipimpin oleh Pak Wali. Jadi
semua SKPD turun ke lapangan, ada permasahan apa lalu masing-masing
SKPD mencatat dan nanti dilaporkan pada saat rapat.” (Wawancara dengan
Informan 1.6 di Kantor Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, 25 Oktober
2016).

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Informan 1.6 tersebut dapat

diketahui bahwa SKPD/UKPD terkait turut serta turun ke lapangan sebagai bentuk

perhatian langsung untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di

RPTRA dan juga sebagai bahan laporan yang akan dilaporkan pada saat rapat
155

evaluasi di tingkat Kota. Secara keseluruhan, berdasarkan informasi-nformasi yang

berhasi didapatkan oleh peneliti dapat disimpulkan bahwa pengawasan/monitoring

dan evaluasi sudah dilakukan. Hal tersebut membuktikan bahwa Pemerintah baik di

tingkat Provinsi maupun tingkat Kota sangat memperhatikan program RPTRA ini,

karena RPTRA merupakan tonggak awal terbentuknya Kota Layak Anak (KLA).

3. Sosialisasi Program RPTRA

Pengenalan program/kebijakan yang akan diselenggrakan oleh Pemerintah

merupakan hal yang juga tidak kalah penting. Karena pengenalan program akan

mempengaruhi bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan program

tersebut. untuk Implementasi RPTRA di Jakarta Utara bentuk sosialisasi yang

dilakukan adalah dengan cara Forum Group Discussion (FGD). FGD dilakukan

sebelum pembangunan RPTRA dengan tujuan agar masyarakat dapat menyampaikan

hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat agar kebutuhan tersebut dapat terwujud

dengan dibangunnya RPTRA. Seperti yang disampaikan oleh Informan berikut:

“Jadi RPTRA itu yang pembangunannya partisipatif. Jadi sebelum dilakukan


pembangunan itu ada yang namanya FGD (Focus Group Discussion) kita
turunkan Universitas untuk social maping. Di dalam social maping itu,
disampaikan terlebih dahulu bahwa di Kelurahan ini akan didirikan RPTRA.
Jadi masyarakat diberi pengertian supaya pembangunan RPTRA ini jangan
sampai diganggu karena ini pemberian dari CSR nanti ini untuk warga jadi
warga harus merawat. Kita sebagai warga harus gotong royong karena
partisipatif itu ya harus bergotong royong. Sebelum dibangun juga sudah
disampaikan, disini akan dibangun lapangan futsal, disini akan dibangun
ruang serbaguna. Misalnya warga ada yang tidak setuju mereka juga
menyampaikan masukannya. Desain gambar RPTRA itu bisa diubah sesuai
dengan keinginan warga masyarakat sekitar.” (Wawancara dengan Informan
1.1 di Kantor BPMPKB Provinsi DKI Jakarta, 26 September 2016).
156

Berdasarkan keterangan dari Informan tersebut dapat diketahui bahwa

pembangunan RPTRA merupakan pembangunan partisipatif yaitu pembangunan

yang sangat mementingkan pendapat masyarakat. Untuk itu dilakukan social maping

yang melibatkan pihak Universitas untuk melakukannya. Mengikutsertakan

masyarakat dalam pembangunan dinilai sangat penting karena Pemerintah ingin

memenuhi kebutuhan masyarakat agar masyarakat dapat terus berpartisipasi penuh

dalam pelaksanaan program RPTRA. Bentuk sosialisasi yaitu FGD ini juga

dijelaskan beberapa tahapannya oleh Informan berikut:

“Sebelum dibangun RPTRA, kami melakukan sosialisasi kepada masyarakat


dalam bentuk Focus Group Discussion dengan tokoh masyarakat,
dilaksanakan sebelum RPTRA dibangun. Tujuannya untuk menyepakati dan
menyetujui pembangunan dan juga mengidentifikasi keinginan masyarakat
terkait bentuk dan jenis fasilitas yang ada. FGD ini biasanya dilakukan lebih
dari satu kali. Setelah ada komitmen dan persetujuan baru dibangun RPTRA.
FGD II dilaksanakan bersamaan dengan proses pembangunan. Peserta FGD
terdiri dari 5 kelompok, kelompok anak, kelompok remaja, kelompok ibu dan
bapak serta kelompok lansia. Tujuannya untuk merancang program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan pada saat RPTRA selesai dibangun.
Biasanya FGD dilaksanakan 1-2 kali. FGD III untuk mengoptimalkan
keterlibatan para tokoh masyarakat dalam melaksanakan kegiatan RPTRA.
Kegiatan ini dilakukan setelah RPTRA diresmikan.” (Wawancara dengan
Informan 1.2 di Kantor PMP Jakarta Utara, 24 Oktober 2016).

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa terdapat tiga tahapan

FGD yakni FGD pertama yaitu ketika para tokoh masyarakat dikumpulkan untuk

menyetujui pembangunan dan juga untuk mengidentifikasi keinginan masyarakat,

FGD kedua yaitu dilaksanakan bersamaan dengan proses pembangunan RPTRA

dengan tujuan untuk merancang program kegiatan yang akan dilaksanakan di

RPTRA. Dan FGD ketiga dilakukan setelah RPTRA selesai dibangun guna
157

mengoptimalkan peran tokoh masyarakat dalam partisipasi terhadap pelaksanaan

program RPTRA. Hal serupa juga diutarakan oleh Informan berikut:

“Bentuk sosialisasi yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah dengan


melakukan Forum Group Discussion (FGD). Kalau di tingkat Kelurahan
bentuk sosialisasinya dengan cara menyepakati untuk semua kegiatan-
kegiatan Kelurahan diadakan di RPTRA, sehingga masyarakat semakin tau
fungsi dan manfaat RPTRA dan setiap minggu kita juga turun ke RW.”
(Wawancara dengan Informan 2.1 di RPTRA Sungai Bambu, 25 Oktober
2016).

Dapat diketahui bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta adalah dengan melakukan FGD. Namun pihak Kelurahan Sungai Bambu

pun melakukan bentuk sosialisasinya dengan cara mengoptimalkan fungsi RPTRA

dengan menyelenggarakan semua kegiatan masyarakat di RPTRA sehingga

masyarakat menjadi semakin mengetahui manfaat dan fungsi dari RPTRA.

Berdasarkan informasi-informasi tersebut peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa

bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah FGD.

FGD dirasa tidak cukup mengenai sasaran, berdasarkan hasil observasi peneliti di

lapangan masih terdapat segilintir masyarakat yang belum mengetahui fungsi-fungsi

RPTRA setelah dilakukannya FGD akan tetapi dengan adanya informasi dari

berbagai media baik dari media cetak, televisi maupun media online dan dengan

seringnya diadakan berbagai kegaitan kemasyarakatan di RPTRA maka masyarakat

menjadi lebih mengetahui fungsi dari RPTRA. Namun, peran pihak Kelurahan pun

diharapkan lebih aktif untuk melakukan sosialisasi manfaat dan fungsi RPTRA.
158

4.6 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diatas dan juga hasil observasi peneliti di

lapangan dapat diketahui bahwa:

4.6.1 Dimensi Organisasi

Pada dimensi organisasi ditemukan secara keseluruhan belum optimal

melaksanakan program RPTRA di Jakarta Utara. Koordinasi yang dilaksanakan antar

SKPD/UKPD sudah saling bersinergi dalam hal pengelolaan RPTRA yang

berlandaskan dengan Peraturan Gubernur. SDM Pengelola yang dimiliki juga sudah

memadai karena dilihat dari proses rekrutmen yang cukup ketat sehingga SDM

Pengelola yang ada pun bukan pengelola yang sembarangan. Status pengelola RPTRA

adalah sebagai Pegawai Harian Lepas (PHL) namun masih terkendala karena seluruh

pengelola dituntut untuk memiliki kemampuan yang multitasking. Proses pelatihan

untuk SDM pengelola seharusnya lebih ditambah dan untuk tim Asesment diharapkan

lebih memperhatikan latar belakang pendidikan SDM pengelola yang akan

mendaftarkan diri agar pengelola mempunyai tugas masing-masing dan tidak

melaksanakan semua tugas secara bersamaan. Selanjutnya, pengelola pun sebaiknya

memberikan materi yang sesuai dengan lingkungan dan keadaan sosial masyarakat

disekitar RPTRA tersebut.

Peran serta organisasi dalam hal ini SKPD/UKPD yang terlibat dalam

pengimplementasian RPTRA pun sudah terkoordinasi dengan baik. Masing-masing

SKPD/UKPD melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sesuai

dengan Peraturan Gubernur Nomor 196 tahun 2015 dan Peraturan Gubernur Nomor 40
159

tahun 2016. Kendala juga terjadi dari segi anggaran adalah karena setiap SKPD/UKPD

tidak menyediakan anggaran untuk RPTRA. Namun kendala tersebut dapat diatasi

dengan dana yang dikeluarkan oleh pihak dunia usaha dan berasal dari swadaya

masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa di dalam dimensi organisasi

masih terdapat beberapa kekurangan yakni seputar pelatihan SDM pengelola yang

harus ditambahkan karena pengelola diharuskan menjadi individu yang multitasking

dan juga pemilihan materi yang akan disampaikan pun akan menjadi penting untuk

program kemasyarakatan karena tentunya dengan berbedanya ligkungan masyarakat,

berbeda pula materi yang dibutuhkan. Kemudian mengenai alokasi anggaran karena

SKPD/UKPD terkait tidak mengalokasikan dana untuk RPTRA.

4.6.2 Dimensi Interpretasi

Pada dimensi interpretasi, secara keseluruhan belum juga berjalan secara

optimal karena masih terdapat beberapa kekurangan didalamnya. Untuk pemahaman

organisasi implementor terhadap program RPTRA di Jakarta Utara sudah baik hal

tersebut dapat dilihat dari sudah bersinerginya kerja sama antar SKPD/UKPD dalam

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang tertera di dalam Peraturan Gubernur

tentang Pengelolaan RPTRA juga dapat dilihat berdasarkan sudah banyak

SKPD/UKPD yang terlibat dalam setiap kegiatan yang diadakan di RPTRA. Elit

pemangku kepentingan pun sangat mendukung program RPTRA ini. Baik dari sisi
160

eksekutif, legislatif maupun dari pihak dunia usaha. Dukungan dari pihak eksekutif

dimulai dari Gubernur, Walikota, Camat hingga Lurah.

Dukungan masyarakat dalam program RPTRA ini sangat antusias dengan

adanya RPTRA dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang selalu ramai dan karena

selama ini di Provinsi DKI Jakarta khususnya di Kota Administratif Jakarta Utara

belum tersedia tempat bermain yang ramah anak. Namun, terdapat kendala bahwa

pengelola masih menggunakan metode manual untuk menghitung pengunjung yang

datang ke RPTRA. penghitungan pun hanya dilakukan dua kali sehari, yaitu pada

pukul 10 pagi dan pukul 4 sore. Kendala tersebut dapat diatasi dengan pemberian

mesin hitung otomatis untuk menghitung jumlah pengunjung yang datang ke RPTRA

serta pemberian edukasi kepada pihak pengelola untuk mempergunakan alat tersebut.

Petunjuk teknis dan SOP mengenai RPTRA mengacu kepada Peraturan Gubernur No.

196 tahun 2015 dan Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2016 mengenai pengelolaan

RPTRA.

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa di dalam

dimensi Interpretasi ini untuk pemahaman implementor, dukungan elit pemangku

kebijakan, dukungan publik dan petunjuk pelaksanaan pun dirasa sudah baik namun

masih pula terdapat kekurangan, yaitu dalam metode penghitungan pengunjung

RPTRA metode yang digunakan merupakan metode manual dimana para pengelola

menghitung satu per satu pengunjung yang datang. Penghitungan pun dilakukan pada
161

pukul 10 pagi dan 4 sore sehingga pengujung yang datang diluar jam tersebut tidak

termasuk kedalam penghitungan. Hasil penghitungan tersebut menjadi tidak efektif.

4.6.3 Dimensi Aplikasi

Pada dimensi aplikasi, berdasarkan hasil dari observasi peneliti di lapangan

dapat diketahui bahwa antara penerapan dengan pelaksanaan program sudah sesuai

dengan kata lain antara teori dan praktiknya memang sudah sesuai dengan mengacu

kepada pedoman yang utama yaitu Peraturan Gubernur No. 196 tahun 2015 dan

Peraturan Gubernur No. 40 tahun 2016 mengenai pengelolaan RPTRA. Kegiatan

monitoring dan evaluasi pun sudah dilakukan dengan rutin. Kegiatan monitoring dan

evaluasi dilakukan mulai dari tingkat Kelurahan yang dilaksanakan setiap satu bulan

sekali dan juga di tingkat Kota Administratif Jakarta Utara yang dipimpin langsung

oleh Walikota Jakarta Utara dengan menghadirkan UKPD terkait dan juga para

pengelola RPTRA.

Pertemuan rutin juga dilakukan setiap satu bulan sekali dan dipimpin

langsung oleh KPMP Jakarta Utara selaku leading sector di tingkat Kota. Sosialisasi

RPTRA pun sudah dilakukan dengan cara melakukan Forum Group Discussion

(FGD) dan juga dengan dipusatkannya semua bentuk kegiatan pemberdayaan

masyarakat di RPTRA dengan demikian masyarakat dapat lebih mengetahui fungsi-

fungsi RPTRA itu sendiri. Namun masih ada masyarakat yang belum mengetahui

fungsi dari RPTRA, masyarakat hanya mengetahui bahwa RPTRA hanya sebagai
162

taman bermain untuk anak. Padahal masih banyak lagi fungsi dari RPTRA, seperti

sebagai tempat berinteraksi antar sesama masyarakat, sebagai wadah Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta untuk menjadi dekat dengan masyarakat secara langsung, dan

juga sebagai tempat yang dapat memberikan edukasi-edukasi tidak hanya untuk anak

namun untuk seluruh masyarakat di segala usia.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat diketahui bahwa pada dimensi Aplikasi

belum berjalan optimal karena terdapat kendala dalam sosialisasi program RPTRA

tersebut. Masyarakat luas sudah mengetahui mengenai taman yang bernama RPTRA

namun tidak semua masyarakat mengetahui fungsi dan tujuan dibangunnya RPTRA

tersebut. masyarakat hanya mengetahui bahwa RPTRA merupakan tempat bermain

untuk anak-anak mereka. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan matriks

dibawah ini:

Tabel 4.7
Matriks Pembahasan
Dimensi Temuan Lapangan Keterangan

Penataan Unit-unit Sudah saling Optimal karena


lembaga pelaksana bersinergi antara satu sudah
Organisasi SKPD dengan SKPD bersinerginya
yang lain mengingat kerjasama antar
banyaknya SKPD satu SKPD
yang terlibat dengan SKPD
yang lain yang
tentunya
terlibat dalam
implementasi
RPTRA
163

Ketersediaan SDM Ketersediaan SDM Belum optimal


yang berkompeten sudah berkompeten karena
mengingat proses pelatihan SDM
rekrutmen yang cukup pengelola drasa
ketat akan tetapi masih kurang
pengelola dituntut sedangkan
untuk menjadi pengeola
individu yang dituntut untuk
multitasking sehingga menjadi
pelatihan yang sudah individu yang
diberikan pun dirasa multitasking
masih kurang.
Alokasi Masing-masing Belum Optimal
dana/anggaran SKPD/UKPD yang karena masing-
terlibat tidak masing
mengalokasikan SKPD/UKPD
anggaran untuk yang terlibat
program RPTRA tidak
sehingga untuk mengalokasikan
melaksanakan anggaran untuk
kegiatan-kegiatan RPTRA
yang ada di RPTRA
lebih banyak
menggunakan dana
yang berasal dari
pihak CSR dan
swadaya masyarakat.
Diharapkan
SKPD/UKPD terkait
untuk mengalokasikan
dana untuk RPTRA
baik untuk kegiatan
maupun untuk
fasilitas sarana dan
prasarana
Peran serta SKPD Peran serta Optimal karena
yang terlibat SKPD/UKPD sudah antar satu
baik terbukti dengan SKPD dengan
bersinerginya SKPD yang lain
koordinasi antara sudah
SKPD/UKPD yang melakukan
satu dengan yang lain koordinasi
164

sehingga program dengan baik


RPTRA pun berjalan dan masing-
dengan cukup baik masing SKPD
pun telah
melakukan
tugasnya sesuai
dengan tupoksi
Pemahaman Pemahaman Optimal karena
implementor implementor sudah segala sesuatu
mengenai program baik dikarenakan yang berkaitan
RPTRA segala sesuatu dengan RPTRA
mengenai RPTRA telah tercantum
tercantum jelas di dengan jelas
dalam Pergub no.196 dalam
tahun 2015 dan Peraturan
Pergub no. 40 tahun Gubernur
2016 tentang
Pengelolaan RPTRA
Dukungan elit Dukungan elit Optimal karena
pemangku pemangku berbagai pihak
kepentingan kepentingan sangat telah
mendukung mendukung
berjalannnya program program
RPTRA ini. Mulai RPTRA
dari pihak eksekutif,
Interpretasi legislatif dan pihak
dunia usaha.
Dukungan publik Dukungan publik Optimal karena
terhadap program sangat antusias karena masyarakat
RPTRA sebelumnya di DKI sangat antusias
Jakarta belum dengan adanya
mempunyai ruang program
publik yang ramah RPTRA ini
anak dan tentunya namun ada
dapat digunakan oleh kekurangan
masyarakat dari dalam hal
kalangan semua usia. teknis yaitu
Selain itu para penghitungan
pengelola RPTRA jumlah
masih menggunakan pengunjung
metode manual dalam yang dilakukan
menghitung masih secara
165

pengunjung yang manual


datang oleh karena
alangkah lebih baik
dan juga akan menjadi
lebih efektif apabila
terdapat mesin hitung
otomatis di RPTRA.
Penghitungan
berfungsi untuk
menghitung jumlah
pengunjung yang
datang guna
memajukan RPTRA
da untuk terus
berinovasi
Petunjuk Seluruh petunjuk Optimal karena
teknis/SOP pada teknis dan SOP juknis dan SOP
program RPTRA pengeolaan RPTRA tetang RPTRA
mengacu kepada mengacu
Peraturan Gubernur kepada
no. 196 tahun 2015 Peraturan
dan Peraturan Gubernur
Gubernur no. 40
tahun 2016 tentang
pengelolaan RPTRA
Aplikasi/ Penerapan Kesesuaian Sudah sesuai antara Optimal karena
penerapan dengan kesesuaian dengan seluruh
pelaksanaan pelaksanaan program SKPD/UKPD
program RPTRA dengan kata lain telah
sudah sesuai antara melakukan
teori dan praktiknya. tupoksi sesuai
dengan
peraturan yang
berlaku
Monitoring dan Kegiatan monitoring Optimal karena
Evaluasi dan evaluasi sudah monitoring dan
rutin dilakukan. evalusi sudah
Dimulai dari tingkat rutin dilakukan
Kelurahan diadakan
rapat evaluasi setiap
satu bulan sekali dan
di tingkat Kota pun
166

dilakukan rutin satu


bulan sekali dipimpin
langsung oleh
Walikota dan
melibatkan pengelola
RPTRA serta UKPD
terkait.
Sosialisai Fungsi Sosialisasi yang Belum Optimal
RPTRA dilakukan oleh karena masih
Pemerintah Provinsi banyak
DKI Jakarta adalah masyarakat
dengan melakukan yang belum
Forum Group mengetahui
Discussion (FGD) fungsi-fungsi
sampai dengan tiga RPTRA
tahap, akan tetapi hal
terseut dirasa masih
kurang efektif karena
ada sebagian
masyarakat yang
belum mengetahui
fungsi RPTRA.
Sumber: Peneliti, 2017
167

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan temuan lapangan yang telah peneliti

uraikan pada BAB IV, peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian peneliti terkait

Implementasi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan Sungai

Bambu Kota Administrasi Jakarta Utara adalah implementasi RPTRA ini belum

berjalan dengan optimal karena masih terdapat beberapa kekurangan. Seperti halnya

dalam dimensi organisasi masih terdapat kekurangan dari segi SDM pengelola dan

dari segi anggaran, kemudian dalam dimensi interpretasi masih terdapat kendala

dalam metode penghitungan yang masih dilakukan secara manual, setelah itu pada

dimensi aplikasi terdapat kendala pada proses sosialisasi pengenalan fungsi-fungsi

RPTRA.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah berikan diatas, maka peneliti memberikan

beberapa saran sebagai bahan masukan untuk stakeholder terkait sebagai berikut:

1. Tim Assesment yaitu dalam hal ini adalah Tim Penggerak PKK Provinsi DKI

Jakarta menyertakan persyaratan khusus untuk rekrutmen pengelola RPTRA


168

yaitu syarat mengenai latar belakang pendidikan yang dibutuhkan agar cara

kerja pengelola pun dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

2. BPMPKB Provinsi DKI Jakarta selaku mitra kerja dari Komisi E DPRD

Provinsi DKI Jakarta bersama dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah dan

Badan Anggaran untuk membahas tentang pengalokasian anggaran yang

ditujukan untuk RPTRA. Karena masing-masing SKPD/UKPD tidak

mengalokasikan dana untuk RPTRA. Baik untuk kegiatan di RPTRA ataupun

untuk menambahkan sarana dan prasarana penunjang kegiatan di RPTRA.

3. BPMPKB Provinsi DKI Jakarta sebagai leading sector di tingkat Provinsi

agar lebih memperhatikan mengenai mekanisme cara menghitung pengunjung

yang masih dilakukan secara manual. Metode penghitungan secara manual

tersebut sangat tidak efektif karena hasil penghitungannya pun menjadi tidak

tepat. Oleh karena itu, diperlukan alat otomatis yang berfungsi untuk

menghitung jumlah pengunjung yang sudah terkomputerisasi dan terintegrasi

dengan Jakarta Smart City agar seluruh masyarakat khsuusnya masyarakat

DKI Jakarta dapat mengetahui segala sesuatu menyangkut RPTRA. kerja

sama antara BPMPKB dengan Dinas Komunikasi, Informatika dan

Kehumasan Provinsi DKI Jakarta untuk mengatasinya.

4. Sebelum RPTRA dibangun BPMPKB dan KPMP telah melakukan Forum

Group Discussion (FGD) sebagai salah satu strategi mensosialisasikan

program namun hal tersebut tidak efektif karna masih banyak masyarakat

yang belum mengetahui fungsi-fungsi RPTRA. Dinas Komunikasi,


169

Informatika dan Kehumasan untuk di tingkat Provinsi dan Suku Dinas

Komunikasi, Informatika dan Kehumasan di tingkat Kota agar lebih aktif

untuk melakukan sosialisasi.

5.3 Rekomendasi Kebijakan

a. Kebijakan program Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) ini

memiliki acuan utama yakni Peraturan Gubernur Nomor 196 Tahun 2015 dan

disempurnakan dengan Peraturan Gubernur Nomor 40 Tahun 2016 tentang

Pedoman Pengelolaan RPTRA. Penelitian mengenai Implementasi Ruang

Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan Sungai Bambu Kota

Administrasi Jakarta Utara ini memberikan kontribusi atau masukan-masukan,

yakni dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola. Tim Asessment

dari PKK Provinsi DKI Jakarta telah menentukan kriteria-kriteria untuk

merekrut tenaga pengelola RPTRA namun tidak disertakan latar belakang atau

background pengelola. Oleh sebab itu diharapkan untuk kedepannya dapat

merekrut pengelola sesuai dengan background pendidikannya agar pengelola

tidak dihimbau untuk menjadi individu yang multitasking dan hal-hal yang

mengenai pengelola dapat disertakan dalam Peraturan Gubernur.

b. Penelitian ini berfokus kepada pemenuhan hak-hak anak yang terdapat dalam

Konvensi Hak Anak (KHA) oleh PBB pada tahun 1989 sebanyak 54 pasal

hak-hak anak dan kemudian diharapkan menjadi landasan bagi negara-negara


170

di dunia. Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Konvensi Hak Anak

(KHA) tersebut sehingga kemudian ditetapkan menjadi kebijakan Kota Layak

Anak (KLA) dan untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta mengintegrasikan kebijakan tersebut dengan membuat program Ruang

Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) guna memenuhi hak-hak anak

khususnya pasal 31 yang isinya yaitu Anak berhak untuk beristirahat dan

bersenang-senang untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan bermain dan rekreasi

yang layak untuk usia anak yang bersangkutan untuk turut serta secara bebas

dalam kehidupan budaya dan seni, yang tentunya hal-hal tersebut dapat

dilakukan di RPTRA.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik (Edisi 2). Jakarta: Salemba 4

Agustino, Leo. 2008. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Basrowi & Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Rineka


Cipta
Irawan, Prasetya. 2004. Logika dan Prosedur Peneltian, Pengantar Teori dan
Panduan Praktis Penelitian bagi Mahasiswa dan Peneliti Pemula. Jakarta:
STIA-LAN Press
Jones, Charles O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). Jakarta:
Rajawali Press.
Komariah, Aan & Satori, Djam’an. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
ALFABETA, CV
Kusumanegara, Solahudin. 2010. Model dan Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Gaya Media
Moloeng, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Mulyadi, Deddy. 2015. Studi Kebijakan Publik dan Pelayanan Publik. Bandung:
Alfabeta
Nugroho, Riant. 2012. Public Policy Edisi 4. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Subarsono, AG. 2012. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Wahab, Solichin Abdul. 2012. Analisis Kebijakan: dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Winarno, Budi. 2014. Kebijakan Publik (Teori, Proses dan Studi Kasus). Jakarta:
Centre of Academic Publising Service (CAPS)

Dokumen:

Konvensi Hak Anak (KHA) oleh PBB Tahun 1989


Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 196 Tahun 2015 Tentang Pedoman
Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak
Dokumen Oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga
Berencana Mengenai Pedoman Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah
Anak (RPTRA)
Data Oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan dan Keluarga Berencana
Mengenai Lokasi, CSR, dan Waktu Peresmian RPTRA Yang Terdapat di
Provinsi Jakarta yang Sudah Diresmikan Tahun 2015
Data Oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jakarta Mengenai Jumlah Penduduk Miskin
dan Jumlah RW Kumuh Tahun 2013 di DKI Jakarta
Data Oleh Badan Pusat Statistik Kota Administratif Jakarta Utara Mengenai Jakarta
Utara Dalam Angka Tahun 2016

Online:

http://health.kompas.com/read/2011/09/13/1534004/5.Manfaat.Bermain.untuk.Anak,
pada tanggal 27 Desember 2015, pukul 18.05
http://lib.itenas.ac.id
pada tanggal 5 Maret 2015, pukul 14.30
http://eprints.uny.ac.id
pada tanggal 5 Maret 2015, pukul 15.00
http://data.go.id/
pada 20 Desember 2016 pukul 19.00
KATEGORISASI DATA

Q1 Bagaimana Kebijakan RPTRA Kesimpulan


terbentuk?
I1.8 Program bentukan Gubernur Program RPTRA dibuat untuk
Provinsi DKI Jakarta. Awalnya masyarakat mulai dari bayi yang masih
Gubernur ingin menggagas program di dalam janin hingga lansia. Program
KLA. Lalu diintegrasikan dengan
RPTRA dibentuk agar DKI Jakarta
program RPTRA yang ditujukan
untuk masyarakat mulai dari bayi mendapatkan predikat KLA.
yang masih dalam janin hingga
lansia.
Q2 Bagaimana unit-unit lembaga Kesimpulan
pelaksana?
I1.1 Penataan lembaga pelaksana ini
memang sudah ada di Pergub. Di
tingkat Provinsi tugasnya apa,
UKPD tugasnya apa, di Kelurahan-
Kelurahan juga tugasnya apa sudah
ada strukturnya, sampai nanti yang
paling ujung adalah pengelola
RPTRA yang enam orang itu.
Penataan unit-unit lembaga pelaksana
I1.2 Penataan antar lembaga ini sudah
baik tapi masih ada ganjalannya sudah baik karena masing-masing
juga, jadi secara tupoksi mereka tahu SKPD/UKPD telah melaksanakan
tugasnya masing-masing tapi untuk
melaksanakan tugasnya tersebut tupoksi sesuai dengan apa yang
mereka masih mempunyai kendala tercantum pada Peraturan Gubernur
mengenai anggaran. Tidak semua
SKPD mengalokasikan anggaran di mengenai Pengelolaan RPTRA.
UKPDnya masing-masing untuk meskipun masih terkendala dalam hal
RPTRA karena mereka masih
menilai RPTRA itu adalah punya anggaran karena SKPD/UKPD terkait
KPMP padahal seharusnya tidak tidak mengalokasikan anggaran yang
seperti itu karena ada Pergub 196
dan 40 sudah terbagi jelas. dimiliki untuk RPTRA.

I1.3 Penataan UKPD di tingkat Kota


menurut saya sudah lengkap karena
sudah ada ruang atau sekat-sekat di
RPTRA itu sesuai dengan tupoksi
masing-masing unit.
I1.4 Setiap unit organisasi sudah jelas
tugas pokok dan fungsinya
walaupun di deskripsikan dengan
kalimat sederhana tapi sudah jelas
dan tidak ada masalah dalam hal ini.
Karena terkoordinasi dan
dikomando oleh Pak Walikota dan
itu sangat membantu.

I1.5 Penataannya semua sudah tercantum


di dalam Pergub. Jadi sudah terdapat
levelnya kalau di tingkat Provinsi itu
sebagai Pembina, kalau di tingkat
Kota semacam pendamping karena
ujung tombaknya itu terdapat di
tingkat Kelurahan, kelurahan
sebagai pengelola RPTRA.
I1.6 Sejauh ini sudah berjalan cukup baik
terbukti di dalam RPTRA itu
masing-masing SKPD sudah
berperan aktif sehingga dapat dilihat
dari fakta di lapangan semua
program dapat terlaksana dan
berjalan.

I1.7 Baik. Karena SKPD melaksanakan


sesuai tupoksi. Kalau Sudin
Pertamanan melakukan
pemeliharaan taman di RPTRA
namun di RPTRA yang biayanya
menggunakan dana CSR, enam
bulan pertama akan dipelihara oleh
CSR lalu setelah adanya BAST
(Berita Acara Serah Terima) barulah
Sudin yang mengelola tapi bantuan
yang diberikan juga sifatnya
situasional.

I1.8 Masing-masing UKPD telah


melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tupoksi yang terdapat di
Pergub
I1.9 Selalu di koordinasikan dan sudah
kooperatif
I1.10 Antar UKPD sudah melakukan
koordinasi sesuai tupoksi. Dan
penataan antar UKPD sudah baik.
I1.11 Kerjasama antar SKPD sudah baik
dan sudah mengerti mengenai
tupoksi masing-masing SKPD
terkait
I2.1 Sudah baik walaupun masih ada
kekurangan disana-sini. Karena ini
kan memang program baru dan
program ini langsung dibawahi oleh
Kepala KPMP Jakarta Utara dan
masih terkendala dalam
permasalahan anggaran
Q3 Ketersediaan SDM yang Kesimpulan
berkompeten?
I1.1 Pengelola sudah diberikan
pembekalan dan sudah mengetahui
tupoksinya masing-masing
I1.2 Secara ideal belum karena kita ambil
tadinya ada 6 orang dengan konsep
multitasking. Jadi ada fungsinya
koordinator, kesekretariatan, fungsi
kehumasan, wirausaha, asset. Untuk
ideal belum karena kita masih butuh
kompetensi yang komprehensif tapi
tidak bisa disamakan antar seluruh SDM Pengelola sudah dilatih dan
RPTRA. Pengelola RPTRA harus sudah melalui proses rekrutmen yang
melihat spesifik wilayahnya. cukup ketat sehingga dapat dikatakan
Sekarang masih sama materi antar sudah berkompeten. Namun masih
satu RPTRA dengan RPTRA yang
terdapat kekurangan karena pengelola
lain padahal kebutuhan masing-
masing RPTRA berbeda. Itu yang dituntut untuk menjadi individu yang
harus kita tingkatkan ke pengelola, multitasking sehingga memerlukan
karena berbeda wilayah tentu pelatihan agar pengelola mempunyai
berbeda juga materi yang kualitas yang lebih mumpuni.
dibutuhkan.

I1.3 Untuk SDM pengelola, menurut


saya karena tim rekrutmenya dari
masyarakat apalagi dilakukan secara
online sehingga pesertanya kan
banyak maka kemudian disaring
dengan beberapa kriteria. Misalnya
pendidikan minimal SMA,
kemudian diutamakan D3 atau S1
itu juga yang memungkinkan
SDMnya berkualitas.
I1.4 Pasti tersedia SDM yang
berkompeten
I1.5 Sudah tersedia tapi untuk memadai
butuh proses. Jadi kan memang ini
program utamanya Pak Gubernur
untuk menyediakan ruang terbuka
yang dibuat untuk berbagai macam
usia dari anak-anak sampai orang
dewasa dalam suatu wadah yang
namanya RPTRA ini. Untuk
implementasi ini masih butuh proses
dan peran beberapa SKPD atau
UKPD terkait.

I1.6 Para pengelola tersebut sudah


mendapatkan pelatihan dulu
sebelumnya. Jadi SDM yang
berkompeten sudah memadai.

I1.7 Sudah berkompeten karena proses


rekrutmen yang cukup ketat dengan
berbagai persyaratan yang dibuat
jadi menurut saya SDMnya sudah
berkompeten.
I1.8 Dalam hal ini pengelola, sudah
berkompeten. Kita punya pengelola
ada enam orang, terdiri dari PKK
dan masyarakat. Pengelola itu setiap
saat dilatih untuk setiap kegiatan
I1.9 Mereka orang yang terpilih sesuai
kriteria yang dibutuhkan
I1.10 Sudah. Pengelola sudah
berkompeten dilihat dari
pendidikannya, sudah ada pengelola
yang pendidikannya S1 dan SMA.

I1.11 SDM sudah berkompeten karena


pengawasannya ketat. Karena
mereka digaji berdasarkan UMP,
ketika kinerja tidak maksimal akan
ada hukuman untuk para pengelola
tersebut.

I2.1 Sudah memadai kalau di Sungai


Bambu karena kita punya pengelola
yang mempunyai kemampuan di
bidang IT, administrasi.
Q4 Alokasi dana/anggaran Kesimpulan

I1.1 Jadi terdapat dua tahap, tahap satu


dan dua ini anggaran dari CSR. Itu
anggaran fisik tapi kalau anggaran
pengelolaan seperti honor pengelola
RPTRA itu dari APBD, kalau
anggaran TAL (Telepon, Air dan
Listrik) itu kalau yang CSR itu enam
bulan pertama ditanggung oleh CSR
nanti setelah enam bulan baru
menggunakan dana APBD.
Sedangkan yang tahap ketiga Terdapat tiga tahap pembangunan
menggunakan dana full dari APBD RPTRA. Tahap pertama dan kedua
yang melaksanakan pembangunan menggunakan dana CSR lalu tahap
adalah Dinas Perumahan. Nanti di ketiga pembangunan RPTRA
Tahun 2017, masing-masing SKPD menggunakan dana APBD. RPTRA
mempunyai anggaran tersendiri yang dibangun menggunakan biaya
untuk implementasi RPTRA. CSR, setelah enam bulan masa
pemeliharaan yang dilakuka oleh CSR
I1.2 Untuk anggaran yang kita (dunia usaha) maka akan diserahkan
alokasikan untuk mereka tidak ada. kepada UKPD terkait sedangkan setiap
Kecuali pembayaran listrik, telepon, SKPD/UKPD terkait tidak
air dan gaji pengelola. Kalau mengalokasikan dana untuk RPTRA.
anggaran yang kita keluarkan untuk Baik untuk kegiatan yang dilakukan di
kegiatan mereka itu tidak ada. Jadi RPTRA maupun untuk melengkapi
kita berharap teman-teman dari saran dan prasarana di RPTRA. untuk
SKPD itu yang masuk disitu, kegiatan di RPTRA biasanya
sehingga tugas mereka hanyalah menggunakan dana yang berasal dari
chanelling aja yaitu menghubungkan swadaya masyarakat dan juga bantuan
satu sumber dengan masyarakat. dari pihak dunia usaha.
Jadi, SKPD yang menyelenggarakan
acara dengan anggarannya kemudian
RPTRA sebagai waadahnya dan ada
pengelolanya juga. RPTRA yang
dibangun oleh CSR 6 bulan dibiayai
oleh CSR tersebut tapi faktanya
untuk listrik saja untuk telepon dan
air mereka agak susah untuk
mengeluarkan.
I1.3 Semuanya dikelola oleh KPMP.
Kantor KB mengeluarkan anggaran
untuk kegiatan pembinaan
I1.4 Tidak menyediakan anggran khusus

I1.5 Tahun 2015 tahap 1dibangun untuk


percepatan maka dilibatkan CSR
seperti RPTRA Sungai Bambu,
tahap 2 yaitu pada tahun 2015
sampai dengan awal tahun 2016
dibiayai oleh CSR dan pada tahap 3
yaitu tahun 2016 anggaran mulai
dari APBD. Anggaran APBD ini
untuk pembangunan fisik
RPTRAnya.
I1.6 Sebagian CSR itu, hanya
membangun fisik bangunannya saja
untuk isi di ruang-ruang tersebut
dibebankan kepada masing-masing
SKPD.
I1.7 Untuk tahun 2015, untuk tahap
pertama dan kedua pembangunan
fisik yang dilakukan menggunakan
dana CSR dari pihak swasta lalu
untuk di tahun 2016 yaitu tahap
ketiga menggunakan anggaran
APBD.
I1.8 Anggaran untuk kegiatan di RPTRA
ini kita usahakan semuanya dari
CSR. Jadi kita harus menggandeng
mitra.
I1.9 Semua yang ada di Jakarta itu
anggaranya menggunakan dana
APBD. APBD itu Anggaran
Pendapatan dan Belajar Daerah.
Semua yang ada di KPMP,
Kelurahan. Di perpustakaan itu ada
anggaran yang menangani itu.
Memang sudah disediakan.
I1.10 Karena pembangunan RPTRA kita
itu dari CSR, sampai saat ini masih
ditanggung CSR tapi untuk listrik,
air, gaji pengelola, dan sarana
prasarana yang lain itu ditanggung
oleh KPMP. Dari Kelurahan tidak
menganggarkan untuk RPTRA, tapi
nanti tahun 2017 Kelurahan yang
mengeluarkan anggaran.
I1.11 Anggaran RPTRA diusulkan oleh
BPMPKB. Pembangunan dilakukan
oleh Dinas Perumahan, namun pada
tahap awal oleh CSR. Pengajuan
awal diajukan oleh BPMPKB ke
pihak legislatif. Usulan dari
BPMPKB lalu kemudian dibahas
oleh tim anggaran pemerintah
daerah, dirincikan dengan biaya
yang akan digunakan. Nanti dibahas
bersama-sama dengan komisi E
setelah itu baru ke badan anggaran
kemudian badan anggaran akan
membahas juga dengan tim
anggaran pemerintah daerah
(TAPD) yang dipimpin oleh Sekda.
Yang menentukan anggaran turun
atau tidak itu disitu, Banggar dan
TAPD itu.
I2.1 Kalau soal anggaran, setiap ada
kegiatan itu kita swadaya
masyarakat sekitar RPTRA dan
dunia usaha yang ada di Kelurahan
Sungai Bambu.

Q5 Peran Serta SKPD? Kesimpulan

I1.1 SKPD berperan penuh selama


setelah enam bulan pengelolaan
dibawah CSR (dunia usaha) Peran serta SKPD/UKPD terkait dalam
I1.2 SKPD berperan penuh setelah enam implementasi RPTRA dapat dikatakan
bulan pemeliharaan yang dilakukan sudah berjalan dengan baik. Hal
oleh CSR sesuai tupoksi tersebut dapat dinilai berdasarkan dari
I1.3 Keterlibatan SKPD/UKPD menurut koordinasi yang baik antara satu SKPD
saya sudah sesuai dengan tupoksinya dega SKPD yang lain, dan juga semua
masing-masing karena SKPD yang SKPD/UKPD telah berpedoman
satu dengan yang lain tidak bisa kepada Peraturan Gubernur mengenai
mengambil alih karena sudah ada Pengelolaan RPTRA jadi masing-
jobnya masing-masing. masing SKPD/UKPD terkait sudah
I1.4 Program ini berjalan dengan baik on melaksanakan tugas pokok dan
the right track berarti peran sertanya fungsinya sesuai dengan apa yang
juga baik-baik saja. sudah tercantum di dalam Pergub.
I1.5 Kalau untuk di Jakarta Utara sudah
sangat kooperatif dan sudah saling
bersinergi.
I1.6 Samapai sejauh ini sudah harmonis
antar satu SKPD dengan yang lain.
Pada saat peresmian kita selalu
berkoordinasi dengan SKPD yang
lain.
I1.7 SKPD yang terlibat dalam proses
pengelolaan RPTRA khususnya
Jakarta Utara sudah mengacu pada
tupoksi yang ada di Pergub yang
mengatur tentang pengelolaan
RPTRA. Semua SKPD sudah
berpatokan langsung kepada Pergub
tersebut.
I1.8 Peran serta SKPD yang terlibat
sudah kooperatif karena sudah jelas
semua tupoksi dari masing-masing
SKPD di dalam Pergub.
I1.9 Semua SKPD sudah bekerja
optimal.
I1.10 Peran serta perannya sudah cukup
bagus. UKPD sudah melaksanakan
tupoksinya.
I1.11 Dalam perjalananya peran
SKPD/UKPD sudah bagus dalam
koordinasi dengan SKPD sudah
berjalan. Setiap kegiatan sudah
bagus karena koordinasi antar SKPD
sudah bagus.
I2.1 Peran sertanya cukup baik karena
memang RPTRA ini kan menjadi
icon kita dan semua kegiatan di
pusatkan di RPTRA. Beberapa
Sudin sudah bekerja sama,
Q6 Bagaimana Pemahaman Kesimpulan
Implementor?
I1.1 Dalam hal ini turunan dari
BPMPKB yang mengawasi
langsung implementasi RPTRA
adalah KPMP di tingkat Kota.
Pemahamannya harus sinkron
dengan kegiatan di Provinsi, supaya
tidak simpang siur. Pemahamnnya
sudah bagus.
I1.2 Sudah baik pemahamannya. Karena
sudah jelas ada di Pergub.
I1.3 Untuk pemahamannya dengan kata
lain secara konsep implementasinya
sampai saat ini saya kira sudah Implementor sudah memiliki
mendekati sempurna. pemahaman yang baik terhadap
I1.4 Pemahaman implementor sudah program RPTRA ini. Pemahaman
paham karena sering ikut rapat dan implementor hadir karena di dalam
suka baca. Peraturan Gubernur sudah dijabarkan
I1.5 Pemahamannya sudah satu untuk di mengenai tupoksi masing-masing
tingkat kota Jakarta Utara ini karena SKPD/UKPD terkait. Kemudian selain
sudah sering di koordinasikan itu, dengan diadakannya rapat-rapat
dengan Pak Walikota. Untuk koordinasi maka pemahaman
mewujudkan RPTRA seperti implementor pun bertambah. Yang
harapan Pak Gubernur, jadi kita pada awalnya masih mencari-cari
berusaha mengimplementasikan bentuk atau konsep yang sesuai hingga
RPTRA dengan baik dan koordinasi pada saat ini pemahaman para
antar UKPD pun sudah sinergi. implementor sudah baik.
I1.6 Sudin Kesehatan sangat memahami
dan mengapresiasi program ini.
I1.7 Implementor sudah paham. Karena
semua tugas pokok dan fungsi
SKPD sudah tercantum jelas di
dalam Pergub.
I1.8 Sudah bagus pemahamannya.
Karena dari tingkat kota juga sudah
diinstruksikan kepada seluruh SKPD
bahwa segala kegiatan yang
melibatkan masyarakat harus
dilibatkan di RPTRA. Pada awalnya
memang masih bertanya-tanya
namun karena sudah ada acuan yaitu
Pergub jadi implementor sudah
mengerti.
I1.9 Sudah paham, karena kan sering
dilakukan rapat koordinasi dan
mereka juga melaksanakan tugasnya
masing-masing.
I1.10 Sudah bagus.

I1.11 Sebenarnya sudah ada yang paham


sudah ada yang belum karena ini
merupakan program terbaru di
pemerintah DKI Jakarta ini.
I2.1 Sudah cukup baik tapi masih kurang.
Artinya pemahaman memanfaatkan
RPTRA untuk program-program
oleh SKPDnya dan bagaimana
SKPD mencanangkan program
untuk kegiatan disini itu yang masih
kurang.
Q7 Bagaimana dukungan elit pemangku Kesimpulan
kepentingan?
I1.1 Karena sudah ada Pergub 196 jadi
seluruh stakeholder harus
melaksanakan Pergub tersebut.
Dukungannya juga sangat baik.
Apalagi memang program Gubernur Dukungan yang diberikan oleh elit
ya, jadi memang Gubernur juga pemangku kepentingan sangat luar
sangat antusias. biasa. Hal tersebut dikarenakan
Provinsi DKI Jakarta belum
I1.2 Dukungannya luar biasa sekali mulai mempunyai ruang terbuka yang ramah
dari Lurah, Camat, Walikota untuk anak. Dukungan elit pemangku
dukungannya sangat luar biasa. kepentingan dimuai dari Gubernur,
I1.3 Dukungan elit sampai sekarang Walikota, Camat hingga Lurah. Hal
kalau saya lihat secara umum di 5 tersebut dirasa perlu supaya program
Kota dan Kabupaten itu sangat RPTRA mempunyai capaian yang
bagus. Sangat bagus dalam arti maksimal.
dimulai dari Provinsi sampai ke Pak
Wali, Wakil Walikota, Sekretaris
Kota, Asisten, Camat, Lurah dan
unit terkait menurut saya hal ini
menjadi prioritas jadi sangat
maksimal dalam pelaksanaan
program ini. Jadi menurut saya
sudah sangat maksimal karena
bagaimanapun ini adalah program
dedicated Gubernur.
I1.4 Elit pemerintah mendukung dengan
mengeluarkan kebijakan seperti
kebijakan anggaran dengan prinsip
transparansi.
I1.5 Sangat support. Setiap peresmian
RPTRA saja sealu dipimpin oleh
Pak Gubernur langsung. Secara
berjenjang pasti selalu mendukung
program ini dan selalu terlibat
langsung dalam
pengimplementasiannya.
I1.6 Kalau untuk tingkat kota dalam hal
ini Pak Walikota sangat mendukung.
I1.7 Tentunya sangat mendukung karena
program RPTRA ini memang salah
satu program unggulan dari Pak
Gubernur jadi tentunya para elit
sangat mendukung.
I1.8 Dukungan elit pemangku
kepentingan dari Gubernur sampai
Lurah sangat mendukung. Buktinya
tiap peresmian RPTRA, selalu
Gubernur yang meresmikan RPTRA
tersebut.
I1.9 Malah sangat mendukung. Kalau di
tingkat Kota itu Pak Wali bukan
hanya mendukung tapi juga
mengarahkan.
I1.10 Kalau di tingkat Kota itu kan dari
Pak Wali, Pak Wali sangat antusias
karena akan menjadi nilai plus untuk
Kota Administrasi Jakarta Utara
apabila implementasi RPTRA ini
bagus.
I1.11 Dukungan eksekutif sudah all out.
Karena di Jakarta ini kan lahan
bermain untuk anak-anak itu kan
sangat kurang malah hampir tidak
ada. Dukungan legislatif juga karena
kita memahami dan menyadari
bahwa tempat bermain untuk anak-
anak sangat sulit oleh karenanya kita
sangat mendukung dengan adanya
kebijakan seperti ini.
I2.1 Luar biasa dukungan Pak Wali
dalam hal ini. Pak Wali, Pak Lurah
dan Pak Camat sangat concern
dengan kebijakan RPTRA ini.
Q8 Bagaimana dukungan publik? Kesimpulan

I1.1 Sejak awal RPTRA dibangun secara


partisipatif. Sehingga dari awal
proses pembangunan RPTRA pun
sudah melibatkan masyarakat.
Tentunya masyarakt atau publik
sangat mendukung dengan adanya
program RPTRA ini.
I1.2 Sangat antusias karena RPTRA tidak
pernah kosong apalagi di hari libur.
I1.3 Kalau dukungan publik yang saya
ketahui bahwa di lima wilayah dan Dukungan publik dalam hal
khususnya Jakata Utara ini 99% pengiplementasian RPTRA sangat
sudah mendukung. antusias mengingat Provinsi DKI
I1.4 Dukungannya bagus karena Jakarta belum mempunyai tempat
masyarakat membutuhkan ruang bermain untuk anak yang berbasis
publik untuk interaksi dan tempat ramah anak dan khususnya untuk
bermain untuk anak-anaknya jadi warga yang tinggal di permukiman
mereka cukup memelihara padat penduduk yang tidak mempunyai
I1.5 Dukungan publik sangat bagus. sarana untuk bermain dan juga sebagai
Karena ini merupakan kebutuhan tempat untuk berinteraksi antar warga
masyarakat karena selama ini sarana guna menumbuhkan rasa kebersamaan
anak-anak untuk bermain kan sangat antar warga DKI Jakarta karena warga
kurang sekali apalagi di kawasan di perkotaan lebih condong mempunyai
permukiman padat penduduk. rasa individualism.
I1.6 Dukungan publik sangat antusias.

I1.7 Masyarakat juga sangat mendukung


karena warga menjadi mempunyai
tempat untuk berinteraksi dengan
masyarakat lainnya dan juga anak-
anak sekarang mempunyai tempat
bermain, apalagi untuk anak-anak
yang tinggal di lokasi permukiman
padat penduduk tentunya
manfaatnya dapat langsung
dirasakan.
I1.8 Karena masyarakat butuh tempat
dan khususnya anak-anak yang
sangat butuh tempat bermain, jadi
masyarakat sangat mendukung
sekali.
I1.9 Masyarakat suka sekali untuk
keberadaan RPTRA. Karena di
RPTRA fasilitas yang disediakan
cukup lengkap.
I1.10 Antusias sekali. Dilihat dari
banyaknya pengunjung yang datang
setiap harinya. Dan apabila diadakan
kegiatan masyarakat turut serta
berpartisipasi dalam acara tersebut.
I1.11 Kalau di Jakarta, dukungan publik
atau masyarakat sendiri sangat luar
biasa sekali. Masyarakat malah
mengharapkan di setiap wilayah
tempat tinggal mereka dibuatkan
RPTRA. Supaya masyarakat punya
tempat berkumpul, anak-anak punya
tempat bermain.
I2.1 Sangat antusias. Dukungan
masyarakat sangat terasa.
I3.1 Masyarakat sangat antusias dapat
dilihat dari partisipasi masyarakat
dalam berbagai kegiatan yang ada di
RPTRA, masyarakat selalu ikut
berpartisipasi dalam berbaga
kegiatan yang diadakan di RPTRA.
Q9 Kejelasan program dalam juknis? Kesimpulan

I1.1 Kita punya SOPnya buku panduan


pengelolaan RPTRA, semuanya
sudah jelas di buku ini. Tupoksi Petunjuk pelaksanaan teknis
segala macam ada semua di buku pengelolaan RPTRA dan SOP
ini. pengelolaan RPTRA bersumber dan
I1.2 Sudah cukup jelas. Awalnya kota mengacu kepada Peraturan Gubernur
layak anak tapi setelah berkembang Nomor 196 Tahun 2015 dan
jauh tidak untuk kota layak anak saja disempurnakan oleh Peraturan
sekarang tapi untuk tempat interaksi Gubernur Nomor 40 Tahun 2016
warga, pusat pembelajaran, pusat tentang Pengelolan RPTRA.
informasi cuma dalam tataran ramah
anak.
I1.3 Untuk juknis saya kira sudah
dituangkan dalam Pergub Nomor
196 Tahun 2015 dan Pergub Nomor
40 Tahun 2016. Dan SOPnya juga
masih mengacu ke Pergub kecuali
nanti ada SOP tentang pengelola
barangkali mungkin ada tambahan
SOP diluar dari Pergub, mungkin
nanti dari SK Walikota, SK
BPMPKB.
I1.4 Tupoksi sudah jelas dan mengacu di
Pergub. Tapi SOP yang jelas belum
ada, misalnya sekarang baru ada
siapa mengerjakan apa tapi kalau
nanti ada begini kan belum ada.
Seharusnya ada, mungkin nanti
kalau sudah melembaga bisa
dijadikan SOP.
I1.5 SOP sudah jelas sesuai dengan
Pergub dan semua SKPD/UKPD
mengacu kepada Pergub dan semua
tugas-tugas SKPD/UKPD sudah
jelas dibahas di dalam Pergub.
I1.6 Sudah jelas ada di Pergub. Mengenai
fungsi, tupoksi semua ada di Pergub.
Disana sudah jelas masing-masing
SKPD berbuat apa.
I1.7 SOP sudah jelas karena semua yang
dikerjakan mengacu kepada Pergub
tentang pengelolaan RPTRA.
I1.8 Tugas-tugas pokok dan fungsi sudah
tercantum di Pergub. Kalau
permasalahan administrasi pengelola
RPTRA itu sudah diatur oleh
KPMP.
I1.9 Sudah jelas. Juknis itu kan panduan
jadi nanti yang melaksanakan itu
SKPD atau UKPD sesuai dengan
tupoksinya.
I1.10 Di juknis sudah sangat jelas, SOP
juga sudah jelas dan sudah
dilaksanakan juga. Semuanya itu
mengacu kepada Pergub tentang
pengelolaan RPTRA.
I1.11 Sudah sesui dengan juknisnya
karena fakta di lapangan
implementasinya sudah baik.
I2.1 Sudah ada SOPnya di Pergub semua
sudah mengacu kepada Pergub.
Q10 Kesesuaian penerapan dengan Kesimpulan
pelaksanaan program?
I1.1 Bisa dilihat dari animo-animo
masyarakat. Jadi setiap hari itu
pengunjungnya padat apalagi kalau
sabtu minggu ini berdasarkan
laporan dari pengelola. Contoh di
Kelurahan Sungai Bambu aja, disana
yang datang bukan hanya warga dari
Kelurahan Sungai Bambu saja tapi Antara penerapan dengan pelaksanaan
dari kelurahan lain juga. program RPTRA ini sudah sesuai
Berdasarkan animo masyarakat karena semua yang dilakukan
tersebut menandakan bahwa sudah mengaacu kepada Pergub dan jug dapat
sesuai penerapan dengan pelaksanan dilihat berdasarkan animo masyarakat
program RPTRA ini. yang sangat antusias berpsrtisipsi dlam
I1.2 Sepanjang ini tracknya sudah benar. program RPTRA ini.

I1.3 Jadi konsep dengan


implementasinya itu sudah sesuai
bahkan melebihi konsep yang
semula.
I1.4 Kalau menurut saya masih sesuai.

I1.5 Sudah sejalan antara penerapan


dengan pelaksanaannya. Dari Pak
Gubernur sendiri memang sudah
mencanangkan pembangunan
RPTRA secara besar-besaran dan
kebetulan untuk tahun 2016 ini
paling banyak di Kota Jakarta Utara
yaitu sebanyak 31 RPTRA sampai
akhir Desember dengan
menggunakan dana APBD.
I1.6 Kalau menurut saya sudah sesuai.
Karena semua SKPD terlibat disitu,
seperti Sudin Olahraga, Kantor
Perpustakaan, semua sudah terlibat.
I1.7 Penerapan dengan pelaksanaan
program sudah sesuai hal tersebut
mengacu kembali pada Pergub
tentang Pengelolaan RPTRA yang
menjelaskan tentang tupoksi yang
harus dikerjakan oleh beberapa
SKPD dan selama implementasinya
tidak terjadi overlapping antara
SKPD yang satu dengan yang lain.
I1.8 Sudah sesuai antara penerapan
dengan pelaksanaannya.
I1.9 Penerapan dengan pelaksanaannya
saya rasa sudah sesuai.
I1.10 Sudah sesuai. Karena tiap minggu
itu ada saja program-program yang
baru yang diadakan di RPTRA
Sungai Bambu.
I1.11 Sudah sesuai ya antara penerapan
dengan pelaksanaannya. Program ini
juga sudah sesuai dengan Pergubnya
dan tentunya dengan dukungan dari
DPRD. Semua program mengenai
RPTRA ini setiap dibahas di DPRD
selalu diharapkan kalau boleh
program ini dilakukan secara
berkelanjutan. Apabila sudah selesai
pembangunan di tingkat Kelurahan
kemudian dilanjutkan dengan
pembangunan di tingkat RW.
I2.1 Sudah sesuai. Kalau ada kekurangan
ya ada sedikit. Seputar sarana karena
sarana disini tidak sebagus RPTRA-
RPTRA lain yang masih baru.
Karena program-program di RPTRA
Sungai Bambu sudah sering
dilaksanakan sesuai dengan instruksi
Gubernur yang menyatakan bahwa
RPTRA menjadi pusat kegiatan
masyarakat, sebagai tempat
silaturahmi, sosialisasi antar
masyarakat. RPTRA juga
merupakan salah satu tempat untuk
mencari solusi atas semua
permasalahan yang dialami warga.
Q11 Bagaiman Monitoring dan Evaluasi Kesimpulan
Program?
I1.1 Ada pemantauan. Dilakukan mulai Monitoring dan evaluasi khususnya di
bulan September ini semua Kota Administratif Jakarta Utara sudh
pengelola harus melapor namun rutin dilakukan. Untuk evaluasi sendiri
belum semua melapor oleh karena dari tingkat Kelurahan hingga tingkat
itu di bulan Oktober nanti saya akan Kota pun sudah rutin dilaksanakan.
tegaskan untuk semua pengelola Untuk di tingkat Kelurahan kegiatan
untuk melapor. Ada laporan bulanan evaluasi dilakukan setiap satu bulan
untuk pengurus tingkat Kelurahan sekali dengan dihadiri oleh seluruh
juga tingkat Kota dan Provinsi. pengelola RPTRA, Petugas PPSU, dan
Namun belum efektif banget. Jadi pihak Kelurahan. Untuk di tingkat Kota
untuk sementara ini laporan dilakukan rutin setiap satu bulan sekali
dilakukan dengan group whatsapp, dipimpin langsung oleh Walikota dan
e-mail, karena setiap RPTRA kan dihadiri oleh seluruh UKPD terkait,
punya e-mail yang bisa kita para Lurah, Camat dan pengelola
kendalikan. Seluruh kegiatan baik RPTRA.
itu yang bagus atau tidak juga
dilaporkan. Misalnya ada kegiatan
dari Sudin atau yang jelek-jelek
seperti terjadi kecelakaan yang dialai
oleh anak-anak itu semua
dilaporkan.
I1.2 Evaluasi secara konsep dilakukan 3
bulan sekali di tingkat Kelurahan
tapi kita punya pertemuan rutin
dengan seluruh pengelola RPTR se-
Jakarta Utara satu bulan sekali.
Yang dilibatkan KPMP, PKK, dan
Pengelola. Evaluasi baru sebulan
terakhir ini dilakukan per dua
minggu terkait dengan progress
pembangunan yang dipimpin oleh
walikota. Evaluasi semua Kelurahan
dan SKPD terkait
I1.3 Sudah, menurut saya sudah.
Monitoring dan evaluasi itu kalau di
Jakarta Utara dilakukan setiap bulan
dengan melibatkan semua UKPD
dengan dipimpin langsung oleh Pak
Wali dan Pak Seko itu melakukan
monitoring dan evaluasi untuk
mengukur sejauh mana progressnya
I1.4 Kalau evaluasi belum karena kita
kan selalu mengisi tanaman tapi
untuk monitoring kita selalu
monitoring setiap saat. Selama
menjabat sebagai Kasudin KPKP
belum pernah diadakan rapat
evaluasi.
I1.5 Monitor dan evaluasi diadakan tiap
satu bulan sekali di tingkat kota,
malah dua minggu sekali
dilakukannya karena untuk mengejar
pembangunan RPTRA di 31 lokasi
ini. Oleh karena itu, Pak Wali
melakukan koordinasi yang lebih
intens lagi. Dihadiri oleh UKPD
terkait, pengelola, kelurahan dan
tentunya juga dihadiri oleh Pak
Walikota.
I1.6 Untuk monitoring dan evaluasi
sampai saat ini karena masih baru
belum begitu kelihatan. Tapi saya
sudah melihat monitoring dan
evaluasinya sudah berjalan.
Monitoring dan evaluasi ini
dilakukan semua SKPD. Jadi kita
turun ke lapangan, lalu hasilnya
dirapatkan di tingkat kota dengan
dipimpin oleh Pak Wali. Jadi semua
SKPD turun ke lapangan, ada
permasahan apa lalu masing-masing
SKPD mencatat dan nanti
dilaporkan pada saat rapat. Jadwal
secara rutin belum ada. Kita
mengikuti jadwal monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh
KPMP.
I1.7 Ya. Rapat monitoring dan evaluasi
dilakukan satu bulan sekali dihadiri
SKPD terkait, pengelola RPTRA
dan dipimpin langsung oleh
walikota.
I1.8 Untuk evaluasi kita ada rapat
mingguan di tingkat Kelurahan,
langsung lanjut ke tingkat
Kecamatan dan monev di tingkat
Kota ini dua minggu sekali. Setiap
hari juga dilakukan evaluasi juga
berdasarkan laporan-laporan online
dan CCTV.
I1.9 Sudah dilakukan. Semua UKPD
diundang oleh Pak Wali dan
pengelola RPTRA juga diundang ke
rapat evaluasi. Misalnya pengelola
RPTRA mengeluhkan listrik yang
mati jadi langsung bisa ditindak
lanjuti. Rapat evaluasi dilakukan
setiap satu bulan sekali. Tapi kadang
juga bisa lebih cepat atau mundur
sedikit.
I1.10 Ya, kita tiap bulan kita lakukan
monitoring dan evaluasi di tingkat
Kelurahan. Kalau untuk di tingkat
Kota juga dilakukan monev
dipimpin langsung oleh Pak
Walikota dan Pak Seko. Jadi semua
pengelola, Lurah dan PKK diundang
semua.
I1.11 Kalau monitoring dan evaluasi
sudah dilakukan oleh SKPD terkait.
Oleh karenanya dianggap bagus dan
baik pasti karena sudah ada evaluasi
yang berjalan. Nanti pada saat rapat
koordinasi juga kita tanyakan
progressnya. Semua mitra kerja kita
undang. Baik leading sector maupun
SKPD yang terlibat nanti semua kita
undang.
I2.1 Evaluasi dilakukan setiap satu bulan
sekali di tingkat Kelurahan meliputi
semua pengurus. Pengelola, PPSU,
Bu Lurah dan semua yang terlibat
dalam RPTRA ini.
Q12 Bagaimana sosialisasi program yang Kesimpulan
dilakukan?
I1.2 Melakukan Forum Group Sebelum melakukan pembangunan
Discussion sebayak 3 tahapan. RPTRA, Pemerintah Provinsi DKI
I2.1 Sudah cukup baik. Masyarakat Jakarta melakukan FGD. Jadi
Sungai Bambu sudah tau fungsi Pemerintah mengharapkan partisipasi
RPTRA dan masyarakat merasakan masyrakat dalam pembangunan
manfaatnya. Bentuk sosialisasi yang RPTRA. Dengan demikian masyarakat
dilakukan Pemprov DKI Jakarta diharapkan dapat mengetahui fungsi-
adalah dengan melakukan Forum fungsi RPTRA. Selain itu, pihak
Group Discussion (FGD). Kalau di Kelurahan pun juga melakukan
tingkat Kelurahan bentuk sosialisasi dengan cara melakukan
sosialisasinya dengan cara pemusatan berbagai kegiatan
menyepakati untuk semua kegiatan- kemasyarakatan di RPTRA.
kegiatan Kelurahan diadakan di
RPTRA, sehingga masyarakat
semakin tau fungsi dan manfaat
RPTRA dan setiap minggu kita juga
turun ke RW.
Q13 Kendala dalam pengimplementasian Kesimpulan
program RPTRA?
I1.8 Kalau kendala RPTRA itu seperti
ada laporan kabel terkelupas tapi
langsung di TL jadi kita tau dari
grup media sosial ada kabel
terkelupas nanti dari pihak
Kelurahan langsung TL. Kalaupun
ada kendala ataupun temuan-temuan
ganjil langsung di tindak lanjut
berkat informasi-informasi online Kendala yang dihadapi adalah keluhan
dan grup whatsapp. Ada juga masyarakat seputar sarana dan
kendala seperti tidak ada anak-anak prasarana.
yang bermain karena lokasi RPTRA
yang dirasa kurang tepat seperti
RPTRA yang di Kelapa Gading
karena lokasi berdekatan dengan
perumahan elite dan RPTRA
Dharma Suci yang letaknya jauh
dari pemukiman warga.
I2.1 Kalau keluhan-keluhan masyarakat
itu tidak ada yang negatif. Paling
keluhan masyarakat itu seputar
mainan yang kurang takutnya jadi
dorong-dorongan, kemudian
kurangnya buku-buku di
perpustakaan, jadi seputar sarana
dan prasarana saja. Jadi dulu ibu-ibu
sebelum ada RPTRA anaknya
keleleran itu mereka bingung mau
cari kemana tapi sekarang semenjak
ada RPTRA mereka sudah tau
anaknya ada di RPTRA.
Q14 Awal mula perjanjian antara pihak Kesimpulan
dunia usaha dengan Pemprov DKI
Jakarta?
I3.1 Jadi awal mulanya adalah kerjasama Perencanaan awal adalah untuk
CMNP dengan PKK Jakarta Utara membangun sebuah taman interaktif di
terkait dengan Kota Layak Anak wilayah Jakarta Utara. Akan tetapi
(KLA) yaitu untuk pembangunan masyarakat DKI Jakarta memerlukan
taman interaktif di Kelurahan Sungai sebuah ruang yang fungsiinya lebih
Bambu. Kemudian, ketika rencana dari sekedar taman interaktif. Maka,
untuk pembuatan taman interaktif setelah dirundingkan dengan pihak
tersebut di presentasikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, akhirnya PT. CMNP setuju untuk
Bu Vero yang pada saat itu menjabat berpartisipasi dalam pembangunan
sebagai Plt. Ketua TP PKK Provinsi RPTRA di Sungai Bambu.
DKI Jakarta menginginkan ada
taman yang bisa dipakai oleh usia
balita hingga lansia. Oleh karena itu,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menunjuk BPMPKB (Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan
Perempuan dan Keluarga
Berencana) sebagai leading sector
pengelola RPTRA di DKI Jakarta.
Saat itu CMNP berkoordinasi
dengan BPMPKB dan bersedia
menjadi salah satu penyumbang
CSR untuk pembangunan RPTRA di
Kelurahan Sungai Bambu.
Q15 Apakah pihak dunia usaha Kesimpulan
diikutsertakan dalam perumusan
kebijakan?
I3.1 Pihak CMNP ikut serta dalam
perumusan kebijakan ini. Mulai dari
perizinan, karena lahan tempat
didirikannya RPTRA bukan milik Pihak PT. CMNP mengikuti proses
CMNP melainkan milik kebijakan tersebut mulai dari tahapan
Kementerian PUPR, jadi pihak formulasi hingga tahap implementasi.
CMNP mengurus perihal perizinan
ke Kementerian PUPR. Sampai pada
tahap didirikannya RPTRA karena
proses pengurukan pertama
ditangani oleh CMNP hingga
sekarang pada proses
implementasinya.
Q16 Pendapat dunia usaha menyikapi Kesimpulan
kebijakan RPTRA?
I3.1 Sangat bagus. Karena lahan dibawah
jalan tol menjadi tertata dibanding
jika menjadi lahan yang digunakan Dengan adanya RPTRA asset PT.
masyarakat untuk membangun CMNP menjadi terjaga
rumah tempat tinggal. Jika dibangun
rumah-rumah atau dibiarkan kosong
maka akan menjadi kotor.
Q17 Mengapa pihak dunia usaha mau Kesimpulan
terlibat?
I3.1 Selain sebagai bentuk tanggung Sebagai betuk pertanggung jawaban
jawab perusahaan kepada perusahaan kepada msyarakat dan juga
masyarakat, pembangunan RPTRA sebagai usaha untuk menjaga asset
ini juga memberikan keuntungan perusahaan.
kepada CMNP karena asset CMNP
menjadi terjaga.
Q18 Bagaimana dukungan elit pemangku Kesimpulan
kepentingan dari pihak dunia usaha?
I3.1 Sangat mendukung. Terbukti dengan
disetujuinya sumbangan CSR ini
dengan dikeluarkan anggaran senilai
ratusan juta dan terus mendukung
program ini sampai sekarang. Jadi Dukungan elit pemangku kepentingan
kalau misalnya ada kegiatan, mereka pihak dunia usaha sangat mendukung
menggalang CSR untuk ikutan. hal tersebut dapat dibuktikan dengan
Contoh pada saat RPTRA ulang dikeluarkannya dana untuk biaya
tahun pertama, mereka mau ngecat pembangunan RPTRA Sungai Bambu
dan kemudian CMNP memberikan dan keterlibatan PT/ CMNP sampai
catnya. Hal tersebut merupakan tahap implementasi RPTRA.
salah satu bukti CMNP terus
berpartsipasi dalam implementasi
RPTRA.
Q19 Bagaimana koordinasi antara pihak Kesimpulan
dunia usaha dengan Pemprov DKI
Jakarta?
I3.1 Kalau dalam prakteknya, untuk
pengelolaanya diserahkan kepada
CSRnya masing-masing. Pemda
DKI hanya mantau saja. Setelah
pembangunan RPTRA selesai sudah Hubungan antara pihak dunia usaha
tidak ada koordinasi dengan pihak dengan Pemerintah Provinsi DKI
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta hanya bersifat insidentil saja.
Koordinasi CMNP hanya dengan
pengelola RPTRA saja apabila ada
pengajuan dana yang diajukan oleh
pihak pengelola. Setelah
pembangunan RPTRA selesai, untuk
pengembangan kegiatan-kegiatan itu
koordinasinya sifatnya insidentil
saja.
Q20 Yang diharapkan oleh dunia usaha Kesimpulan
dengan adanya RPTRA?
I3.1 Yang diharapkan masyarakat ikut
andil menjalankan project itu
sendiri. Disitu kan tempat komunitas RPTRA dapat dirasakan manfaatnya
masyarakat, kalau RPTRAnya aktif oleh seluruh masyarakat.
dalam segala kegiatan berarti
RPTRAnya berfungsi dan
bermanfaat. Jadi masyarakat harus
bisa memanfaatkan sebaik mungkin.
Q21 Benefit yang didapatkan oleh pihak Kesimpulan
dunia usaha dengan adanya program
RPTRA?
I3.1 Aset perusahaan terjaga, kemudian Mempererat hubungan antara
kalau ada masyarakat yang perusahaan dengan masyarakatdan juga
memanfaatkan kolong tol dengan sebagai pemeliharaan asset karena
liar kan kita jadi rugi soalnya kan kalau tidak dibangun RPTRA lahan
tidak boleh ada sampah dan juga tersebut akan di salah gunakan oleh
sebagai bentuk hubungan CMNP masyarakat.
dengan masyarakat setempat.
Q22 Mengapa pihak CMNP terus Kesimpulan
concern terhadap proses
implemetasi RPTRA?
I3.1 CMNP terus concern karena dengan
adanya RPTRA ini berarti kan
komunikasi antara perusahaan Berharap agar hubungan antar
dengan masyarakat akan menjadi perusahaan dengan masyarakat terjalin
lebih baik kemudian masyarakat dengan harmonis.
juga lebih mempunyai rasa memiliki
karena kan daerahnya sudah menjadi
bagus
Q23 Bagaimana implementasi program Kesimpulan
RPTRA menurut pihak dunia usaha?
I3.1 Implementasi RPTRA khususnya di Implementasi RPTRA sungai Bambu
Sungai Bambu sudah bagus. sudah baik
Q24 Apakah implementasi RPTRa ini Kesimpulan
sudah sesuai dengan SOP dari dunia
usaha?
I3.1 Sudah sesuai karena dia kan SOP untuk pengelolaan RPTRA
pengajuan proposal, semua proses bersumber dari Peraturan Gubernur.
yang dilakukan sudah sesuai. Semua proses pengajuan dana yang
Sampai berita acara serah terima dilakukan oleh pihak pengelola RPTRA
bangunan juga sudah sesuai. Kalau Sungai Bambu.
pemerintah SOPnya dari Pergub,
kalau CMNP sebagai sumbangan
sarana dan prasarana.

Anda mungkin juga menyukai