Anda di halaman 1dari 206

UNIVERSITAS INDONESIA

MODEL SPASIAL AKSES PELAYANAN KESEHATAN


PASIEN TUBERKULOSIS
DI PROVINSI JAWA BARAT DAN PROVINSI PAPUA

DISERTASI

MARTYA RAHMANIATI
1106046370

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2016

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


UNIVERSITAS INDONESIA

MODEL SPASIAL AKSES PELAYANAN KESEHATAN


PASIEN TUBERKULOSIS
DI PROVINSI JAWA BARAT DAN PROVINSI PAPUA

DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat

MARTYA RAHMANIATI
1106046370

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JANUARI 2016

ii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.
Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena atas ridho-
Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang berjudul “Model Spasial
Akses Pelayanan Kesehatan Pasien Tuberkulosis Di Provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Papua”. Disertasi ini disusun sebagai prasyarat dalam menyelesaikan
pendidikan Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr Sudijanto Kamso, SKM sebagai promotor yang bersedia
meluangkan waktu dan memberi masukan ilmu yang berharga selama
proses penyusunan disertasi ini
2. Dr.drs. Tris Eryando, MA sebagai Ko-promotor yang selalu
memberikan ide-ide spasialnya dan selalu mendukung penulis untuk
terus maju untuk menyelesaikan disertasi ini.
3. Prof. dr. Purnawan Junadi, MPH, Ph.D sebagai Ko-promotor yang
selalu “menyentil” penulis ketika mulai menghilang dari konsultasi
disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para penguji yang
telah berkenan meluangkan waktunya untuk membantu memberikan kritik dan
saran untuk perbaikan dan pengembangan disertasi ini, yaitu
1. Prof. Dr. dr. Ratna Djuwita, M.PH sebagai Ketua Dewan Penguji yang
selalu memberikan masukan dan koreksi terhadap substansi disertasi.
2. Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, MSc. sebagai penguji yang telah banyak
memberikan ilmunya dan koreksi tentang substansi disertasi, serta
mendukung penulis untuk terus memperbaiki disertasi ini.
3. Dr. dr. Artha Budi Duarsa, M.Kes. sebagai penguji yang selalu
memberikan komitmen yang tinggi dalam menguji, memberikan masukan
tentang substansi TB dan memberikan semangat kepada penulis.

iv
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


4. Dr. Suwarta Kosen, MPH, Dr.PH. sebagai penguji yang bersedia
meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan tentang kebijakan
kesehatan di Indonesia.
5. Prof. Dr. drs. Raldi Hendro Koestoer, MSc. sebagai penguji yang selalu
memberikan koreksi yang detil tentang penulisan, selalu memberikan
saran dan masukan tentang cara berpikir spasial yang lebih luas dan detil.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada Ibu
dr. Agustin Kusumayati, M.Sc, Ph.D, ibu Dr.dr.Sabarinah Prasetyo, MSc dan ibu
dr. Asri C. Adisasmita, MPH, Ph.D yang telah memberikan kesempatan dan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
Selain itu penulis juga mengucapkan banyak terima kasih atas kritikan,
masukan dari bapak Ketua dan Sekretaris Departemen, bapak/ibu dosen
Departemen Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan
teman-teman di Pusat Kajian Biostatistik dan Informatika Kesehatan, Fakultas
Kesehatan Masyarakat.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada
keluarga tercinta, kepada suamiku (Baroto Setyono) dan anak-anakku (Zidan
R.Seno dan Tahnia A.Nareswari) yang telah rela dikorbankan waktu dan
perhatiannya selama penulis menyelesaikan disertasi ini, semoga disertasi ini
memberikan semangat kepada kalian untuk lebih maju. Kepada yang tersayang
kedua orang tua penulis, keluarga besar Bapak/Ibu H.Makful Sansudiro (terutama
untuk Alm. Ibunda tercinta) yang telah memberikan doa dan restunya kepada
kami. Keluarga besar Bapak/Ibu H.Giyono Pokroatmojo yang telah berkorban
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan selama penulis melaksanakan pendidikan
ini.
Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan kita selama
menjalani pendidikan ini, teman-teman seperjuangan Program Doktor Ilmu
Kesehatan Masyarakat angkatan 2011, terutama mba Dhian, Mba Lili, Ugih,
Triseu, Guspi, Rifqa dan Teh Lina. Ucapan terima kasih atas diskusi GWR nya
untuk Ira Gustina. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam menyelesaikan disertasi
ini.

v
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa
penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran
dan kritik demi kesempurnaan disertasi ini dan semoga disertasi ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.

Tangerang Selatan, Januari 2016

Penulis

vi
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


vii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


viii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


ABSTRAK

Nama : Martya Rahmaniati


Program Studi : Program Pascasarjana, Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien
Tuberkulosis Di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Papua

Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di


dunia, termasuk di Indonesia. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan
cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB, dengan menerapkan strategi
DOTS. Sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional, pelaksanaan strategi
pengendalian TB nasional diprioritaskan pada daerah terpencil, perbatasan dan
kepulauan terutama yang belum memenuhi target penemuan kasus dan
keberhasilan pengobatan. Terdapat lima provinsi dengan TB paru tertinggi dan
dua tertinggi yaitu Provinsi Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%). Akses pelayanan
kesehatan pasien TB menunjukan ketidakmerataan, dimana hanya ada di wilayah
perkotaan dan berada pada ekonomi tinggi. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah masih ditemukan pasien TB yang tidak mendapatkan akses pelayanan
kesehatan. Keterbatasan akses pelayanan kesehatan pasien TB dapat disebabkan
oleh kondisi individu yang berbeda-beda serta adanya perbedaan kondisi fisik
(geografis).
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model spasial akses pelayanan
kesehatan di provinsi Jawa Barat dan Papua.
Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan menggunakan data yang
berasal dari Riset Kesehatan Dasar 2013. Lokasi penelitian di 2 provinsi yaitu di
provinsi Jawa Barat dan provinsi Papua. Analisis penelitian dengan menggunakan
regresi logistik untuk melihat pengaruh karakteristik individu terhadap akses
pelayanan kesehatan dan analisis spasial statistik menggunakan Geographically
Weighted Regression (GWR) untuk melihat spasial akses pelayanan kesehatan.
Akses pelayanan kesehatan adalah pasien TB yang melakukan pemeriksaan
dahak, foto rontgen dan mendapatkan obat anti TB. Akses pelayanan kesehatan
pasien TB di provinsi Papua masih rendah. Karakteristik individu yang
mempengaruhi akses pelayanan kesehatan adalah asuransi kesehatan, pekerjaan,
menikah, mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan. Model spasial akses
pelayanan kesehatan menghasilkan dua jenis variabel pembentuknya, yaitu adanya
variabel lokal dan variabel global. Variabel lokal adalah variabel yang
mempunyai pengaruh unsur kewilayahannya terhadap akses pelayanan kesehatan,
sedangkan variabel global merupakan variabel yang berpengaruh di tingkat
provinsi.
Masih rendahnya pasien TB yang melakukan akses pelayanan dapat disebabkan
oleh sulitnya pasien TB dalam mencapai fasilitas kesehatan, terutama di wilayah
dengan perbedaan geografis. Sehingga perlunya ada kebijakan dalam menyiapkan
sarana dan prasarana kesehatan pasien TB, yaitu dengan mulai memasukan tenaga
kesehatan terlatih di bidang tuberkulosis pada seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan.
Kata kunci : Spasial, Tuberkulosis, Akses Pelayanan Kesehatan, Geografis

ix
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


ABSTRACT

Name : Martya Rahmaniati


Study Progran : Doctoral Program, Public Health
Title : Spatial Model of Health Care Accessibilty Patient of
Tuberculosis In West Java province and the province of
Papua

Tuberculosis is a major public health problem in the world, including in


Indonesia. Finding and curing the patients are the best way of preventing
transmission of TB by implementing the DOTS strategy. Implementation of the
national TB control strategy prioritized in remote, border and island especially TB
patients who do not meet the target case detection and treatment success. There
are two of provinces with the highest and second highest TB namely west Java
province (0.7%) and Papua (0.6%). Accessibility to health services of TB patients
showed inequality, which only exist in urban areas and at high economic status.
The problem in this research is find the of TB patients who do not get
accessibility to health services. Limited accessibility to health services of TB
patients could be caused by conditions different individuals as well as differences
in physical conditions (geographic).
The purpose of this study is to setup a spatial model of accessibility to health
services in the province of West Java and Papua.
This study used a cross-sectional design and data derived from the Basic Health
Research in 2013 (RISKESDAS). Research sites in the provinces of West Java
and Papua. Research analysis applied logistic regression to determine the effect of
individual characteristics of accessibility to health services and statistical spatial
analysis using the Geographically Weighted Regression (GWR) for a model of
spatial accessibility to health services.
Accessibility to health care is the patient of TB sputum examination, x-rays and
getting anti-TB. Accessibility to health services of TB patients in the province of
Papua remains low. Individual characteristics that affect accessibility to health
care are health insurance, employment, marriage, the availability of health
facilities. Spatial models of accessibility to health services generate two types of
constituent variables, the local variables and global variables. Local variables are
variables that influence the spatial element of accessibility to health services,
while global variables are variables that influence at the provincial level.
The low TB patients who do accessibility services may be caused by the difficulty
in the of TB patients to health facilities, especially in the areas with geographical
differences. Thus the need for a policy in preparing health facilities TB patients,
i.e. to start entering trained health personnel in the field of tuberculosis in the
entire health care facility.
Keywords : Spatial, Tuberculosis, Health Care Accessibility, Geography

x
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR ISI

ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv
DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vxii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xviii

1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Permasalahan penelitian .................................................................... 5
1.3. Pertanyaan Penelitian ........................................................................ 8
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................. 8
1.4.1. Tujuan Umum ......................................................................... 8
1.4.2. Tujuan Khusus ........................................................................ 9
1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 9

2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 11


2.1. Tuberkulosis ..................................................................................... 11
2.2. Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan............................ 22
2.3. Analsis Spasial .................................................................................. 26
2.4. Spasial Aksesibilitas ......................................................................... 27
2.5. Spasial Aksesibilitas dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan .......... 31
2.6. Utilisasi dan Aksesibilitas ................................................................. 33
2.7. Aksesibilitas ke Pelayanan Kesehatan Penderita TB ........................ 38
2.8. Geographically Weighted Regression (GWR) ................................... 40
2.9. Karakteristik Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ............................. 44
2.10. Ringkasan Kepustakaan Aspek Predisposing, Enabling, Need dan
Spasial ............................................................................................. 53

3. KERANGKA PENELITIAN ................................................................... 56


3.1. Kerangka Teori .................................................................................... 56
3.2. Kerangka Konsep ................................................................................ 57
3.3. Definisi Operasional ............................................................................ 60
3.4. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 67

4. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 68


4.1. Disain Penelitian .................................................................................. 68
4.2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 69
4.3. Populasi dan Sampel ........................................................................... 69
4.4. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 70
4.5. Analisis Residual Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB ...... 77
4.6. Matriks Metode Penelitian .................................................................. 78

xi
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


5. HASIL PENELITIAN .............................................................................. 79
5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian .............................................. 79
5.2. Akses Pelayanan Kesehatan di Provinsi Jawa Barat dan Papua ...... 82
5.3. Gambaran Umum Karaktersitik Individu pasien TB ......................... 86
5.4. Gambaran Fasilitas Kesehatan ........................................................... 88
5.5. Gambaran Program UKBM ............................................................... 89
5.6. Gambaran Umum Kondisi Sosial-Ekonomi Wilayah ....................... 90
5.7. Model Hubungan Karakteristik Individu Terhadap Pelayanan
Kesehatan Pasien TB ........................................................................ 92
5.8. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan pasien TB ..................... 95
5.9. Analisis Residual Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien
Diagnosis TB ..................................................................................... 107
5.10. Hubungan Antara Fakta Wilayah Dengan Akses Pelayanan
Kesehatan pasien TB ......................................................................... 113
5.11. Ringkasan Akses Pelayanan Kesehatan pasien TB ........................... 116

6. PEMBAHASAN ........................................................................................ 119


6.1. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 119
6.2. Akses Pelayanan Kesehatan pasien TB ............................................. 121
6.3. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB ..................... 125
6.4. Hubungan antara Akses Pelayanan Kesehatan Pasien
Diagnosis TB dengan Fakta Wilayah ............................................... 130
6.5. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan pasien
TB yang Menyeluruh dan Terpadu .................................................... 149

7. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 155


7.1. Kesimpulan .......................................................................................... 155
7.2. Saran .................................................................................................... 158

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 161

LAMPIRAN

xii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Persentase Rumah Tangga Yang Memanfaatkan Fasilitas


Pelayanan Kesehatan ................................................................ 7

Tabel 5.1. Pasien TB Berdasarkan Wilayah Provinsi


di 2 provinsiIndonesia tahun 2013 .......................................... 83
Tabel 5.2. Pasien TB yang Melakukan akses Pelayanan
Kesehata .................................................................................. 84
Tabel 5.3. Gambaran Umum Karakteristik Individu ................................. 87
Tabel 5.4. Persentase Puskesmas PRM-TB di Provinsi Jawa Barat
Dan Papua ................................................................................ 89
Tabel 5.5. Persentase Fasilitas Kesehatan di Provinsi Jawa Barat
Dan Papua ................................................................................ 90
Tabel 5.6. Proporsi Kegiatan UKBM di Puskesmas ................................ 90
Tabel 5.7. Persentase Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah .......................... 91
Tabel 5.8. Model Akhir Analisis Multivariat provinsi Jawa Barat .......... 94
Tabel 5.9. Model Akhir Analisis Multivariat provinsi Papua .................. 95
Tabel 5.10. Ringkasan Estimator GWR provinsi Jawa Barat ..................... 99
Tabel 5.11. Variabel Signifikan model GWR di Provinsi Jawa barat ........ 100
Tabel 5.12. Ringkasan Estimator GWR provinsi Papua ............................ 104
Tabel 5.13. Variabel Signifikan model GWR di Provinsi Papua ............... 106
Tabel 5.14. Rangkuman Hasil Spasial Autokorelasi Akses Pelayanan
Kesehatan dengan Fakta Wilayah ........................................... 113

Tabel 6.1. Gambaran Karakteristik Pasien TB yang Melakukan Akses


Pelayanan Kesehatan ............................................................... 122

xiii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1. Sebaran Kabupaten berdasarkan nilai Residu Akses Pelayanan


Kesehatan di provinsi Jawa Barat ............................................ 115
Grafik 5.2. Sebaran Kabupaten berdasarkan nilai Residu Akses Pelayanan
Kesehatan di provinsi Papua ................................................... 116

Grafik 6.1. Proporsi Puskesmas Rujukan Mikroskopis di provinsi


Jawa Barat ............................................................................... 134
Grafik 6.2. Penggunaan Asuransi Kesehatan Pasien TB ............................ 141
Grafik 6.3. Mengetahui Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Provinsi
Papua ....................................................................................... 143

xiv
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Faktor Resiko Kejadian TB ................................................ 12


Gambar 2.2. Tahapan penemuan penderita secara pasif .......................... 15
Gambar 2.3. Model sederhana aksesibilitas pelayanan kesehatan .......... 23
Gambar 2.4. Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan .......................... 25
Gambar 2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seseorang
Terhadap Penyakit .............................................................. 26
Gambar 2.6. Hipotesa Model Utilisasi .................................................... 34
Gambar 2.7. Model Akses ....................................................................... 37

Gambar 3.1. Kerangka Teori Akses Pelayanan Kesehatan


Penderita TB ....................................................................... 56
Gambar 3.2. Kerangka konsep penelitian Model Spasial Akses Pelayanan
Kesehatan Pasien TB .......................................................... 58

Gambar 5.1. Ketinggian Wilayah Provinsi Jawa Barat .......................... 81


Gambar 5.2. KepadatanPendudukProvinsi Jawa Barat ........................... 82
Gambar 5.3. Ketinggian Wilayah Provinsi Papua ................................... 82
Gambar 5.4. KepadatanPendudukProvinsi Papua ................................... 83
Gambar 5.5. Proporsi Pasien TB di Provinsi Jawa Barat ........................ 85
Gambar 5.6. Proporsi Pasien TB di Provinsi Papua ................................ 85
Gambar 5.7. Proporsi Akses Pasien TB di Provinsi Jawa Barat ............. 86
Gambar 5.8. Proporsi Akses Pasien TB Di Provinsi Papua ....................... 87
Gambar 5.9. Masalah Sosial Ekonomi Provinsi Jawa Barat …………… 92
Gambar 5.10. Masalah Sosial Ekonomi Provinsi Papua …………..……… 92
Gambar 5.11. Penyebaran variabel Signifikan Model Akses Pelayanan
Pasien TB di provinsi Jawa Barat ........................................ 101
Gambar 5.12. Nilai Residu Model Akses Pelayana Pasien
di provinsi Jawa Barat.......................................................... 102
Gambar 5.13. Nilai R2 Model Akses Pelayanan Pasien di
provinsi Jawa Barat .............................................................. 102
Gambar 5.14. Variabel Signifikan Model Akses Pelayanan Pasien
Diagnosis di provinsi Papua ............................................... 107
Gambar 5.15. Nilai Residu Model Akses Pelayana Pasien
di provinsi Papua ................................................................ 107
Gambar 5.16. Nilai R2 Model Akses Pelayanan Pasien di
provinsi Papua..................................................................... 107
Gambar 5.17. Hubungan antara model akses pelayanan kesehatan dengan
Morfologi wilayah provinsi Jawa Barat ............................. 109
Gambar 5.18. Hubungan antara model akses pelayanan kesehatan dengan
Morfologi Wilayah di provinsi Jawa Barat ......................... 109
Gambar 5.19. Hubungan antara model akses pelayanan kesehatan dengan
Kondisi Sosial Ekonomi provinsi Jawa Barat ..................... 111
Gambar 5.20. Hubungan antara model akses pelayanan kesehatan dengan
Kondisi Sosial Ekonomi provinsi Papua ............................ 111

xv
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner RISESDAS 2013


Lampiran 2. Data Persentase Variabel Independen Provinsi Jawa Barat
Lampiran 3. Data Persentase Variabel Independen Provinsi Papua
Lampiran 4. Analisis Bivariat
Lampiran 5. Analisis Regresi Logistik Provinsi Jawa Barat
Lampiran 6. Analisis Regresi Logistik Provinsi Papua
Lampiran 7. Output GWR Provinsi Jawa Barat
Lampiran 8. Output GWR Provinsi Papua
Lampiran 9. Hasil Persamaan GWR di Provinsi Jawa Barat
Lampiran 10. Hasil Persamaan GWR di Provinsi Papua

xvi
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR SINGKATAN

BTA : Bakteri Tahan Asam


AICc : Akaike Information Criterion Classic
AMH : Angka Melek Huruf
ASKES : Asuransi Kesehatan
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BOS : Bantuan Operasional Sekolah
BPS : Badan Pusat Statistik
BT : Bujur Timur
CCT : Computer Compatible Tape
CDR : Case Detection Rate
CI : Confidence Interval
CNR : Case Notification Rate
CV : Cross Validation
CHW : Community Health Worker
DEPKES : Departemen Kesehatan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Dirjen PPPL :
Lingkungan
DO : Drop Out
DOTS : Directly Observed Treatment, Short-Course
DPL : Di Atas Permukaan Laut
GWR : Geographically Weighted Regression
HH : High-High
HL : High-Low
ISTC : International Standard For TB Care
JAMKESDA : Jaminan Kesehatan Daerah
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
JAMSOSTEK : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
KEMENKES : Kemeterian Kesehatan
LH : Low-High
LISA : Local Indicators Of Spatial Autocorrelation
LL : Low-Low
LS : Lintang Selatan
MDR TB : Multi Drug Resistant TB

xvii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


OAT : Obat Anti Tuberkulosis
OR : Odd Ratio
PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PRM : Puskesmas Rujukan Mikroskopis
PSU : Primary Sampling Unit
RISFASKES : Riset Fasilitas Kesehatan
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
SA : Autokorelasi Spasial
SD/MI : Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
SIG : Sistem Informasi Geografis
SMA : Sekolah Menengah Atas
SP : Sensus Penduduk
SR : Success Rate
TB : Tuberkulosis
UKBM : Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
VIF : Variance Infllation Factors
WHO : World Health Organization
WLS : Weighted Least Squares

xviii
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ lainnya
(Departemen Kesehatan, 2002). Pada tahun 1993 WHO (World Health
Organization) mendeklarasikan TB paru sebagai global health emergency
pada tahun 1998, diperkirakan ada 3.619.047 kasus TB yang tercatat di
seluruh dunia. Sebagian besar dari kasus TB paru (95%) dan kematian
(98%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang dan kejadian pada
usia produktif yaitu 20 - 49 tahun. Karena penduduk yang padat dan
tingginya prevalensi maka lebih dari 65% kasus baru TB paru dan kematian
yang terjadi adalah di Asia (Aditama, 2005).
Penyakit TB merupakan penyebab kematian ketiga setelah Penyakit
Jantung dan Saluran Pernafasan. Pada tahun 2005, diperkirakan setiap tahun
terjadi 9 juta pasien Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang pertahun
(WHO, 1997). Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global
penyakit TB, karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak
terkendali. Ini menyebabkan pasien tidak berhasil disembuhkan, maka
dikhawatirkan penyakit ini akan menyebar luas terutama karena suspek
Tuberkulosis BTA positif tidak diketemukan.
Masih tingginya prevalensi penderita tuberkulosis di Indonesia
menunjukkan bahwa angka keberhasilan pengobatan di Indonesia masih
rendah. Untuk mencapai kesembuhan dibutuhkan keteraturan berobat bagi
setiap penderita. Pengobatan yang tidak dibenar akan mengakibatkan
terjadinya retensi kuman TB terhadap obat yang diberikan. Hal ini akan
menimbulkan kesulitan yang amat besar, penderita akan menularkan

1
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kumannya kepada orang lain dan biaya pengobatan menjadi meningkat dan
waktu yang lama untuk pengobatan (Aditama, 2005).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah
kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara
yang sedang berkembang. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya
komitmen politik dan pendanaan serta tidak memadainya organisasi
pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus diagnosis
yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan
pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya). Tidak
memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak
standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis). Infrastruktur
kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi
atau pergolakan masyarakat. Perubahan demografik karena meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan dan dampak
pandemi HIV (Kemenkes, 2011).
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik
dalam upaya pencegahan penularan TB, sejak tahun 1995 WHO
menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu 1) Komitmen politis,
dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan. 2) Penemuan kasus
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. 3)
Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien. 4)
Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem
monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program. Fokus utama DOTS
adalah penemuan dan penyembuhan pasien. Strategi ini diharapkan dapat
memutuskan rantai penularan TB sehingga akan menurunkan insidens TB di
masyarakat serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan bagi pasien TB.
Sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional, pelaksanaan
strategi pengendalian TB nasional diprioritaskan pada daerah terpencil,
perbatasan dan kepulauan terutama yang belum memenuhi target penemuan
kasus dan keberhasilan pengobatan (Papua Barat, Papua, Maluku Utara,

2
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Riau) (Kemenkes, 2011). Secara teknis, sejalan dengan rencana global
pengendalian TB, pelaksanaan strategi pengendalian TB diprioritaskan pada
strategi peluasan pelayanan DOTS yang bermutu.
Upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas, diantaranya meningkatkan akses terhadap
pelayanan kesehatan dasar. Peran Puskesmas sebagai institusi yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di jenjang tingkat pertama yang
terlibat langsung dengan masyarakat menjadi sangat penting (Departemen
Kesehatan, 2005). Menurut Nadjib (1999), menilai kinerja sistem
penyediaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah
harus melihat kepada aspek efisien, efektif dan equity. Ketiga hal tersebut
saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Upaya ke arah keadilan
dapat dilakukan dengan pendekatan akses dari akses potensial menjadi akses
nyata melalui alokasi sumber daya yang mengacu pada kriteria, yaitu
need,geografi dan sosial ekonomi.
Penyebaran penduduk di Provinsi Jawa Barat belum merata. Hal ini
dapat dilihat dari kepadatan penduduk tiap kabupaten/kota yang tidak sama.
Selain itu pelayanan kesehatan di provinsi Jawa Barat juga belum merata,
dengan estimasi jumlah penduduk tahun 2012 sebesar 44.655.786 dan
jumlah puskesmas 1.046, maka 1 Puskesmas dapat melayani sebesar 42.692
penduduk dengan rasio puskesmas per 100.000 penduduk adalah 2,36.
Rasio puskesmas per 100.000 penduduk tertinggi terdapat di Kota Cirebon
(7,16) dan rasio puskesmas per 100.000 penduduk terendah terdapat di Kota
Bekasi (1,28). Berdasarkan hasil laporan Riskesdas 2010, prevalensi TB
Paru di Provinsi Jawa Barat adalah 0,937%, selanjutnya, berdasarkan
laporan Riskesdas 2013 saat ini terdapat lima provinsi dengan TB tertinggi,
dimana pada urutan pertama adalah Jawa Barat (0,7%).
Hal yang sama juga didapatkan di provinsi Papua, dimana kondisi
geografi bervariasi mulai dari dataran rendah (3,5 mdpl) hingga ketinggian
diatas 5000 mdpl. Sehingga hal tersebut menyebabkan penyebaran
penduduk yang tidak merata, hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk
tiap kabupaten/kota yang tidak sama, kepadatan penduduk di Papua

3
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


sebanyak 9 jiwa/km2. Kabupaten/Kota dengan kepadatan penduduk yang
paling tinggi terdapat di Kota Jayapura sebesar 321 jiwa/km2. Kepadatan
terendah terdapat di Kabupaten Mamberamo Tengah dengan kepadatan
penduduk 2 jiwa per km2. Dengan estimasi jumlah penduduk tahun 2013
sebesar 3.310.715 dan jumlah puskesmas 391, maka 1 Puskesmas dapat
melayani sebesar 8.467 penduduk (11,81). Rasio puskesmas per 100.000
penduduk tertinggi terdapat di kabupaten Pegunungan Bintang (37,93) dan
rasio puskesmas per 100.000 penduduk terendah terdapat di Kota Jayapura
(4), hal tersebut menunjukkan tidak meratanya penyebaran puskesmas di
provinsi Papua. Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun
2010 bahwa prevalensi TB Nasional adalah 0,725%, dimana provinsi yang
didiagnosis tertinggi adalah Papua sebesar 1,441%, selanjutnya, berdasarkan
laporan Riskesdas 2013 provinsi dengan prevalensi TB tertinggi kedua
adalah Provinsi Papua (0,6%).
Secara geografis, kondisi wilayah sangat beragam di Indonesia, tidak
hanya dapat direpresentasikan dengan salah satu kabupaten/kota saja,
namun jika mekanisme atau metode penilaian dan perencanaan secara
spasial pada tingkat kabupaten/kota dapat dilaksanakan, diharapkan dapat
disesuaikan untuk kabupaten/kota lainnya. Hal tersebut dikarenakan setiap
kabupaten/kota memiliki kemiripan dalam sistem pemerintahan daerah,
yang berperan dalam kebijakan alokasi dan relokasi pelayanan kesehatan
secara umum (Eryando, 2007).
Kebijakan akses pelayanan kesehatan sangat penting dilaksanakan
pada tingkat kabupaten/kota, sehingga intervensi yang direkomendasikan
akan dapat dilaksanakan relatif lebih mudah. Pengembangan model untuk
intervensi di tingkat kabupaten/kota akan mempunyai dampak yang baik
dalam upaya pelaksanaannya langsung di lapangan. Jika model
pengembangan alokasi atau relokasi sumberdaya untuk pelayanan kesehatan
ini dapat dibangun dengan baik, dengan mempertimbangkan kondisi lokal
yang spesifik, diharapkan dapat diterapkan di kabupaten lain (Eryando,
2007).

4
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan secara sederhana dapat
berarti tentang konsep berkeadilan (fairness) dalam pelayanan kesehatan,
dan kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (equal
opportunity), berarti juga kesamaan akses atau keterjangkauan (equal
access) terhadap pelayanan kesehatan (Ricketts, 1994). Pengertian tentang
keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan, salah satunya dapat dilihat
dalam perspektif spasial atau lokasi dalam koordinat geografi, yaitu dalam
konteks aksesibilitas dan utilisasi. Keterkaitan antara aksesibilitas dengan
utilisasi sangat berbeda, jika dilihat pada kelompok miskin, maka makin
miskin seseorang seharusnya semakin tinggi kebutuhan akan pelayanan
kesehatan, namun ternyata tidak berarti tinggi pula utilisasi terhadap
pelayanan kesehatan (Joseph & Phillips, 1984). Meskipun konsep
keterjangkauan atau aksesibilitas terlihat kompleks, secara spasial atau
geografi, aksesibilitas dilihat dalam pengertian ketersediaan pelayanan
(availability) di suatu wilayah, yang berarti lokasi relatif antara pengguna
(consumer) dengan pemberi pelayanan kesehatan (provider), termasuk di
dalamnya jarak tempuh, sosial dan jarak finansial
(Nadjib,1999;Retnaningsih,2005;Eryando,2007)
Analisa spasial sebagai bagian dari manajemen penyakit berbasis
wilayah, merupakan suatu analisis dan uraian tentang data penyakit secara
geografi berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan,
perilaku, sosial ekonomi, kasus kejadian penyakit, dan hubungan antar-
variabel tersebut (Achmadi, 2008). Salah satu hal yang harus mendapat
perhatian pada penanganan data spasial adalah kemungkinan munculnya
heterogenitas spasial (Anselin,1993). Heterogenitas spasial muncul karena
kondisi data di lokasi yang satu dengan lokasi yang lain tidak sama, baik
dari segi geografis, keadaan sosial-budaya maupun hal-hal lain yang
melatarbelakanginya.

1.2. Permasalahan Penelitian


Pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin banyak dipandang
sebagai fungsi aksesibilitas (Noor et al, 2003). Namun, pelayanan

5
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kesehatan, seperti banyak pelayanan umum, tidak sama tersedia untuk
semua orang (Joseph dan Phillips, 1984), dan akses fisik menjadi hambatan
utama untuk mencapai tujuan pelayanan pada pelayanan kesehatan (Perry
dan Gesler, 2000). Para pasien harus melakukan perjalanan jarak jauh untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan telah lama diakui sebagai penentu utama
dari pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Ketidak merataan status
kesehatan masyarakat antara lain disebabkan oleh ketidakmerataan akses
(WHO, 1995). Akses terhadap pelayanan kesehatan seharusnya disediakan
oleh pemerintah agar masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkannya serta mencegah bertambah parahnya
penyakit yang di deritanya.
Perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun
kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan.
Perilaku pencarian pengobatan di masyarakat sangat bervariasi, dimana
variasi pencarian pengobatan di masyarakat dipengaruhi dengan jumlah
sarana pelayanan kesehatan yang semakin bertambah serta jenis, metode
serta peralatan pelayanan kesehatan yang tersedia di sarana pelayanan
kesehatan juga semakin beragam (Notoadmojo, 2003). Banyak hal yang
perlu diperhatikan masyarakat dalam melakukan akses pelayanan kesehatan
diantaranya adalah kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga
perkembangan pelayanan kesehatan secara umum dipengaruhi oleh besar
kecilnya kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang sebenarnya
merupakan gambaran dari masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat
tersebut. Hasil analisa Riskesdas 2010, analisis mengenai pemanfaatan
fasilitas kesehatan (fasilitas kesehatan) yang berkaitan dengan Tuberkulosis
Paru, yaitu fasilitas kesehatan tempat melakukan pemeriksaan dahak dan
pemeriksaan foto paru dan karakteristik wilayah tempat tinggalnya.

6
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Tabel 1.1. Presentase Rumah Tangga Yang Memanfaatkan
Pemeriksaan Dahak Dan Foto Paru Di Fasilitas Kesehatan Di Indonesia,
Tahun 2010

(sumber: Laporan Riskesdas, 2010)

Pada Tabel 1.1. menunjukkan untuk pemanfaatan Puskesmas


meningkat ke arah kuintil terkaya, kecuali pada golongan menengah rendah
(kuintil 2). Sedangkan untuk Praktek Dokter, pemanfaatan paling banyak
dilakukan oleh golongan menengah atas dan atas (kuintil 4 dan 5). Dari hasil
menunjukan bahwa terdapat perbedaan dalam akses pelayanan kesehatan
pasien TB berdasarkan wilayah (perdesaan dan perkotaan).
Prevalensi penduduk Indonesia yang di diagnosis TB paru oleh
tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0,4% (Riskesdas 2013), tidak berbeda
dengan hasil tahun 2007. Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah
Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0,5%),
Banten (0,4%) dan Papua Barat (0,4%). Laporan Riskesdas 2013 tersebut
menunjukkan masih tingginya prevalensi TB di dua provinsi tersebut. Selain
itu juga perbedaan geografis di dua provinsi tersebut mungkin saja dapat
mempengaruhi model akses pelayanan kesehatan di dua provinsi tersebut.
Hasil Riskesdas 2010, menunjukkan bahwa hanya pasien TB di
wilayah perkotaan yang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Padahal akses
ke perawatan kesehatan adalah bagian penting dari sistem kesehatan secara
keseluruhan dan memiliki dampak langsung pada beban penyakit yang
mempengaruhi banyak negara berkembang. Akses terhadap pelayanan
kesehatan harus disediakan oleh pemerintah sehingga masyarakat dapat
dengan mudah mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya serta mencegah
7
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


bertambah parahnya penyakit yang dideritanya. Akses pelayanan kesehatan
pasien TB menunjukan ketidakmerataan, dimana hanya ada di wilayah
perkotaan dan berada pada ekonomi tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil
temuan Riskesdas 2010.
Faktor resiko yang ditimbulkan oleh TB berdasarkan dua faktor,
yaitu faktor kependudukan (sosial-ekonomi) dan faktor lingkungan
(Achmadi, 2005). Pendekatan spasial di sektor kesehatan merupakan
pendekatan baru yang berarti pembangunan kesehatan berorientasi problem
dan prioritas masalah kesehatan (lingkungan) secara spasial. Pendekatan
spasial tiap wilayah dapat mengkonsentrasikan diri menanggulangi
permasalahan kesehatan yang dianggap prioritas utama, sehingga sumber
daya dapat digunakan secara lebih efektif. Berdasarkan faktor lingkungan,
fenomena geografis dari suatu wilayah dapat menjadi salah satu penyebab
faktor kejadian TB.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah adanya keterbatasan akses pelayanan kesehatan pasien
TB dapat disebabkan oleh kondisi individu yang berbeda-beda serta adanya
variasi geografis di setiap wilayah. Sehingga perlunya pendekatan spasial
untuk mendapatkan model akses pelayanan kesehatan pasien TB. Hal ini
disebabkan karena analisa spasial merupakan bagian dari manajemen
penyakit berbasis wilayah tentang data penyakit secara geografi berkenaan
dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi,
kasus kejadian penyakit, dan hubungan antar-variabel tersebut (Achmadi,
2008)

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana gambaran akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Jawa Barat dan Papua?
2. Bagaimana model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Jawa Barat dan Papua?
3. Apakah terdapat perbedaan variabel yang signifikan di setiap kabupaten
yang mempengaruhi spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB?

8
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


4. Bagaimana model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB yang
menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kondisi wilayah di provinsi Jawa
Barat dan Papua?

1.4. Tujuan Penelitian


1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan akses pelayanan
kesehatan pasien TB yang dipengaruhi oleh adanya kondisi kewilayahan
(spasial) dari provinsi Jawa Barat dan Papua.

1.4.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui gambaran akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Jawa Barat dan Papua.
2. Mendapatkan model akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Jawa Barat dan provinsi Papua yang dipengaruhi oleh karakteristik
pasien TB.
3. Mendapatkan model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB paru
yang dipengaruhi oleh karakteritik pasien TB, kondisi fasilitas
kesehatan, akses fisik, kondisi sarana dan prasarana kesehatan dan
upaya kesehatan berbasis masyarakat di setiap masing-masing
kabupaten (lokal) dan di provinsi (global)
4. Mengetahui model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB yang
menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kondisi wilayah di provinsi Jawa
Barat dan Papua.

1.5. Manfaat Penelitian


Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis, metodologis dan
aplikatif, yaitu secara teoritis dengan menggunakan analisa spasial maka
akan dapat diketahui variasi spasial dalam setiap variabel, sehingga
interpretasi yang berbeda dan berharga dapat diperoleh untuk setiap
provinsi yang diteliti. Secara metodologi, dengan menggunakan spasial

9
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


statistik dengan pendekatan pemodelan dengan Geographically Weighted
Regression (GWR).
Secara aplikatif, dengan diketahuinya model spasial akses
pelayanan kesehatan pasien TB serta variabel yang mempengaruhinya,
maka dapat menjadi masukan dalam perencanaan kebijakan dan sebagai
sistem penunjang untuk pemberantasan penyakit menular, khususnya
penyakit Tuberkulosis.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian


Pasien TB adalah responden yang mengalami gejala TB dan
didiagnosis oleh tenaga kesehatan kurang dari 1 tahun atau lebih dari 1
tahun. Akses pelayanan kesehatan adalah pasien TB yang telah didiagnosis
oleh tenaga kesehatan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun dan lebih
serta melakukan pemeriksaan dahak atau foto rontgen menunjukkan TB
dan mendapatkan obat anti TB.
Penelitian ini menggunakan analisis spasial, sehingga seluruh
informasi yang didapatkan diolah menjadi informasi spasial, dan
dipresentasikan ke dalam peta tematik. Analisis spasial dilakukan dengan
menggunakan Geographically Weighted Regression (Fotheringham,2002)
dengan satuan administrasi penelitian adalah kabupaten. Untuk analisis
karakteristik individu dengan menggunakan analisis regresi logistik ganda.
Data yang dipergunakan adalah data sekunder yang berasal dari Riset
Kesehatan Dasar 2013, Riset Fasilitas Kesehatan 2011, Potensial Desa,
2011.

10
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit menular langsung
melalui udara yang disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Gejala utama adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk
disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.
(Kemenkes, 2011).

2.1.1. Penyebaran Kuman Tuberkulosis


Penyebaran kuman Tuberkulosis melalui udara, kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Daya penularan tergantung dari
banyaknya jumlah kuman yang dikeluarkan dari parunya melalui percikan
dahak. Droplet yang dikeluarkan dapat bertahan dalam suhu kamar selama
beberapa jam. Kuman akan makin menular, bila makin tinggi derajat
positif dari hasil pemeriksaan dahak (Depkes, 2002)
Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhisap ke dalam saluran
pernafasan. Melalui pernafasan kuman masuk paru-paru lalu menyebar
kebagian tubuh lainnya melalui system peredaran darah, system saluran
limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian tubuh-tubuh lainya.
Kemungkinan seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya orang tersebut menghirup udara tersebut
(Depkes, 2002).
Penyebaran kuman Tuberkulosis melalui udara, kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Daya penularan tergantung dari
banyaknya jumlah kuman yang dikeluarkan dari Kuman akan makin
menular, bila makin tinggi derajat positif dari hasil pemeriksaan dahak

11
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


(Depkes, 2002) Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhisap ke
dalam saluran pernafasan. Melalui pernafasan kuman masuk paru-paru lalu
menyebar kebagian tubuh lainnya melalui system peredaran darah, system
saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian tubuh-
tubuh lainya. Kemungkinan seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya orang tersebut menghirup
udara tersebut (Depkes, 2002).

Gambar 2.1. Faktor Resiko Kejadian TB (Depkes, 2006)

Pada Gambar 2.1, menunjukkan perjalanan faktor risiko sesorang


terkena TB. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan
seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
12
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut. Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati,
setelah 5 tahun, akan 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan
daya tahan tubuh yang tinggi, 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
(Depkes 2006)

2.1.2. Riwayat Terjadinya Tuberkulosis


1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman Tuberkulosis. Droplet yang terhirup melewati system pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sampai dialveolus dan menetap
disini, karena ukuran droplet sangat kecil. Infeksi dimulai ketika kuman
Tuberkulosis berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Dari mulai infeksi sampai dengan kompleks primer
memerlukan waktu sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif ke posistif.
Infeksi primer tergantung pada banyaknya kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh. Bila daya tubuh baik biasanya kuman
Tuberkolosis berhenti berkembang. Meski demikian, ada beberapa kuman
akan menetap sbagai kuman dormant (tidur). Bila daya tahan tubuh Tidak
mampu menghentikan berkembangbiaknya kuman, maka yang bersangkutan
akan menjadi pendeita Tuberkulosis. Waktu yang diperlukan sekitar mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, sekitar 6 bulan (Depkes, 2002).

2.1.3. Gejala-Gejala Tuberkulosis


Keluhan yang dirasakan pasien TB paru dapat bermacam-macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali
dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah demam,
batuk berdahak/batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, malaise.
a. Demam

13
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-
kadang panas dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi
kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan yang terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus dan batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk
radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan
paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB paru terjadi pada
kavitis, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak nafas
Pada penyakit ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan dan akan timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.
e. Malaise
Penyakit TB paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

14
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


2.1.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis
Penemuan penderita Tuberkulosis dapat dilakukan secara pasif atau
aktif. Penemuan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita
dilakukan pada saat penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan. Cara
ini harus dukung dengan penyuluhan secara aktif agar cakupan penemuan
tersangka meningkat. Sedangkan penemuan secara aktif yaitu petugas aktif
turun kelapangan (jemput bola) untuk mengambil dahak tersangka
penderita, misalnya pada semua kontak penderita Tuberkulosis BTA positif
(Depkes, 2002).
Proses penemuan penderita (case finding) terdapat beberapa tahapan.
Tahapan ini mulai dari pertama kali penderita merasakan gejala sampai pada
ditegakkannya diagnosis. Berbagai tahapan dalam penemuan penderita ini
dapat dilihat secara skematik pada Gambar berikut ini:

Gambar 2.2 Tahapan penemuan penderita secara pasif (passive case finding)

Kelambatan yang terjadi pada fase pertama (Gambar 2.2), antara


timbulnya gejala sampai datangnya penderita ke fasilitas kesehatan disebut
sebagai kelambatan pasien (patient’s delay). Setelah penderita sampai ke
fasilitas kesehatan, maka akan dilakukan berbagai prosedur pemeriksaan
sampai akhirnya ditegakkan diagnosis TB paru. Kelambatan pada fase ini,
mulai dari datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama sampai
15
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


ditegakkannya diagnosis tersebut sebagai kelambatan dokter (doctor’s
delay). Jumlah seluruh kelambatan, mulai dari penderita pertama kali
merasakan gejala sampai ditegakkannya diagnosis disebut sebagai
kelambatan total (total delay) (Aditama, 2005).

2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis Tuberkulosis BTA possitif dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Dikatakan
hasilnya positif bila sedikitnya dua dari tiga specimen SPS BTA hasilnya
positif. Bila satu specimen yang hasilnya positif, maka harus dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan SPS
ulang. Kalau hasil rontgen mendukung Tuberkulosis, maka penderita
dinyata Tuberkulosis BTA positif, sedangkan bila hasil rontgen tidak
mendukung maka dilakukan pemeriksaan SPS dahak ulang (Depkes, 2002).
Penemuan basil tahan asam (BTA) merupakan suatu alat penentu
yang amat penting dalam diagnosis tuberkulosis paru. Untuk mendapatkan
hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan, mulai dari mengumpulkan
dahak, pemilihan bahan dahak, teknik pewarnaan dan pegelolaan sediaan
serta kemampuan membaca sediaan di bawah mikroskop. Untuk
mendapakan BTA (+) di perlukan jumlah kuman sekitar 5.000 kuman/ml
sputum. Sementara itu, untuk mendapakan kuman biakan/kultur dibutuhkan
jumlah sekitar 50-100 kuman/ml sputum. Selain itu diagnosis tuberkulosis
juga dapat berdasarkan pemeriksaan fisik dan Gambaran rontgen, dengan
berbagai kritera. Gejala yang timbul dapat bervariasi, mulai dari batuk,
batuk darah, nyeri dada, badan lemah (Aditama, 2005)

2.1.6. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis


Penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan pada empat
hal, yaitu; lokasi atau organ tubuh yang sakit, bakteriologi, tingkat keparahan
penyakit dan riwayat pengobatan tuberkulosis sebelumnya (Depkes, 2006).
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

16
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


 Tuberkulosis paru, adalah tuberculosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
 Tuberkulosis ekstra paru, adalah tuberculosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput
jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
TB paru:
 Tuberkulosis paru BTA positif
- Sekurang-kurangnya 2 dan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
- Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto thoraks
dada menunjukkan Gambar tuberculosis.
- Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
- Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA
negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian obat non OAT.
 Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnosis TB paru BTA negatif harus meliputi:
- Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
- Foto thoraks abnormal menunjukkan Gambar tuberculosis.
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
 Baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
 Kambuh (relaps), adalah pasien tuberculosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan

17
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan
BTA positif (apusan atau kultur).
 Pindahan (Tranfer In), dalah penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini.
 Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out ), adalah penderita
yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
 Gagal, adalah ketika dalam kondisi penderita BTA positif yang
masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke
5 (satu bulan setelah pengobatan) atau lebih. Selain itu dikatakan
gagal jika penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
 Kasus Kronis, adalah penderita dengan hasil pemeriksaan sputum
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

2.1.7. Faktor penyebab Drop Out (DO) penderita TB


Faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab penderita TB tidak
patuh minum obat atau menghentikan pengobatan sebelum waktunya, yaitu
(Siswanto, et al., 1998) :
a. Faktor ketidaktahuan (ignorance)
Seorang penderita TB biasanya belum mengenali gejala penyakit
tersebut sampai mereka datang pelayanan kesehatan. Dan ketika
merasa penyakitnya sudah sembuh, seperti tidak ada batuk darah, berat
badan meningkat, maka mereka biasanya meninggalkan
pengobatannya.
b. Faktor kemiskinan (poverty)
Masih banyak penduduk di Indonesia yang tinggal di pedesaan dan
jauh dari jangkauan pelayanan kesehatan. Sebagaian dari mereka tidak
pergi ke pelayanan kesehatan sebab mereka menganggap bahwa biaya

18
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pengobatan yang mahal, sedangkan mereka hidup di bawah garis
kemiskinan.
c. Faktor kepercayaan (belief)
Masyarakat masih banyak yang percaya pada dukun daripada ke
tenaga kesehatan, karena pengaruh dukun masih kuat di dalam
masyarakat, khususnya di daerah pedesaan. Mereka percaya bahwa
dukun tidak hanya dapat mengobati tetapi juga bisa memberikan
perlindungan emosional (emotional security)
d. Faktor ketercapaian (accessibility)
Penyebaran sarana dan fasilitas kesehatan yang tidak merata
menyebabkan masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau
pelayanan kesehatan, selain itu mereka juga tidak memanfaatkannya.
Hal ini disebabkan oleh sulitnya komunikasi serta transportasi untuk
mencapai sarana kesehatan. Di sisi lain, adanya masalah dalam
pelayanan yang diberikan ke masyarakat yang mereka rasakan kurang,
seperti pelayanan yang lama, kurang ramah petugas kesehatan.
e. Faktor salah duga (misconseption)
Seringkali masyarakat beranggapan bahwa bila berobat ke rumah sakit
pendidikan akan diperlakukan sebagai kelinci percobaan. Padahal
anggapan ini tidak semuanya benar. Untuk beberapa hal tidak tertutup
kemungkinan dilakukan percobaan untuk menghasilkan suatu
pengobatan yang lebih baik di masa yang akan datang.

2.1.8. Upaya Penanggulangan TB strategi Directly Observed Treatment Short-


course (Kemenkes, 2011)
Pada awal tahun 1990-an WHO telah mengembangkan strategi
penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),
pengalamanpengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi
program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan

19
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga
mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan
dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe
menular.
Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi
DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi
ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan
efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di
Indonesia mengGambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS,
setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:
1) Komitmen politis.
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan
tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara
keseluruhan.
Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global
dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas
strategi dots sebagai berikut :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS.
2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya.
3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan.

20
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
5) Memberdayakan pasien dan masyarakat.
6) Melaksanakan dan mengembangkan riset.

2.1.9. Rencana Strategis Global Pengendalian TB 2006-2015 dan Rencana


Strategis Global Pengendalian TB 2011-2015 (Kemenkes, 2011)
Di tingkat global, Stop TB Partnership sebagai bentuk kemitraan
global, mendukung negara-negara untuk meningkatkan upaya
pemberantasan TB, mempercepat penurunan angka kematian dan kesakitan
akibat TB serta penyebaran TB di seluruh dunia. Stop TB Partnership telah
mengembangkan rencana global pengendalian TB Tahun 2011-2015 dan
menetapkan target dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium untuk
TB.
Visi Stop TB Partnership adalah dunia bebas TB, yang akan
dicapai melalui empat misi sebagai berikut:
1. Menjamin akses terhadap diagnosis, pengobatan yang efektif dan
kesembuhan bagi setiap pasien TB.
2. Menghentikan penularan TB.
3. Mengurangi ketidakadilan dalam beban sosial dan ekonomi akibat
TB.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai strategi preventif, upaya
diagnosis dan pengobatan baru lainnya untuk menghentikan TB.
Tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi ganda yang akan
dikembangkan dalam waktu 10 tahun ke depan, yaitu akselerasi
pengembangan dan penggunaan metode yang lebih baik untuk implementasi
rekomendasi Stop TB yang baru berdasarkan strategi DOTS dengan standar
pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care (ISTC).
Tujuan yang ingin dicapai dalam Rencana Global 2006-2015 adalah
untuk:
1. Meningkatkan dan memperluas pemanfaatan strategi untuk menghentikan
penularan TB dengan cara meningkatkan akses terhadap diagnosis yang

21
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


akurat dan pengobatan yang efektif dengan akselerasi pelaksanaan DOTS
untuk mencapai target global dalam pengendalian TB.
2. Meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas obat anti TB.
3. Menyusun strategi untuk menghadapi berbagai tantangan dengan cara
mengadaptasi DOTS untuk mencegah, menangani TB dengan resistensi
OAT (MDR-TB) dan menurunkan dampak TB/HIV.
4. Mempercepat upaya eliminasi TB dengan cara meningkatkan penelitian
dan pengembangan untuk berbagai alat diagnostik, obat dan vaksin baru;
serta meningkatkan penerapan metode baru dan menjamin pemanfaatan,
akses dan keterjangkauannya.

2.2. Model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan


Aday et al. (1980), 'akses' dalam konteks aksesibilitas ke pelayanan
kesehatan dapat didefinisikan sebagai masuknya kelompok populasi tertentu
ke sistem penyediaan layanan kesehatan. Interaksi karakteristik dari sistem
pengiriman dan karakteristik pengguna sebagai akses yang potensial
terhadap layanan kesehatan. Selanjutnya pada Gambar 2.5, akses telah baik
dari sisi spasial dan nonspatial. Akses nonspatial dinyatakan paling umum
dalam hal pola diferensial ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya
pelayanan kesehatan antara berbagai subkelompok dalam populasi yang
disebabkan karena hambatan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan
psikologis. Akses spasial adalah ekspresi geografis tentang ketersediaan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan.

22
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 2.3. Model Sederhana Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa


hal antara lain, menurunnya daya beli masyarakat, menurunnya minat
masyarakat untuk berobat karena merasa tidak puas dengan pelayanannya,
tidak puas dengan kualitas obat yang diperoleh dan tidak puas dengan tarif
pelayanan, akses geografis ke pelayanan kesehatan sulit. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa masyarakat yang lebih mampu memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan sebesar dua kali lipat dibanding dengan masyarakat
yang tidak mampu, keadaan ini menggambarkan bahwa masyarakat tidak
mampu mempunyai keterbatasan akses dalam memanfaatkan sarana
pelayanan kesehatan (Siswanto et al.,1998)

23
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


2.2.1. Model perilaku terhadap pelayanan kesehatan
Menurut Andersen (1995) mendeskripsikan model sistem kesehatan
sebagai suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut model perilaku
pemanfaatan pelayanan kesehatan (behavioral model of health service
utilization). Andersen mengelompokan faktor determinan pemanfaatan
pelayanan kesehatan ke dalam tiga kategori utama, yaitu
1. Karakteristik predisposisi ( predisposisi characteristic)
Karakteristik ini selalu digunakan untuk mengGambarakan fakta
bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan
pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan kedalam tiga
kelompok
a. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin, umur dan status
perkawinan.
b. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, agama,
ras.
c. Kepercayaan kesehatan (health belief) seperti keyakinan
penyembuhan penyakit.

2. Karakteristik kemampuan
Karakteritik kemampuan adalah sebagai keadaan atau kondisi
yang membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan.
a. Sumber daya keluarga, seperti penghasilan keluarga, keikutsertaan
asuransi kesehatan, kemampuan membeli jasa pelayanan kesehatan
dan pengetahuan tentang informasi pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan.
b. Sumber daya masyarakat seperti, jumlah sarana pelayanan kesehatan,
jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dalam wilayah tersebut, rasio
penduduk terhadap tenaga kesehatan. Menurut Andersen, semakin
banyak sarana dan jumlah tenaga kesehatan maka tingkat pemanfaatan
pelayanan kesehatan suatu masyarakat akan selalu bertambah.

24
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


3. Karakteristik kebutuhan
Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling
langsung berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Andersen juga menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan
pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian
dari faktor kebutuhan. Penilaian individu ini dapat diperoleh dari dua
sumber, yaitu :
a. Penilaian individu (perceived need) merupakan penilaian keadaan
kesehatan yang paling dirasakan oleh individu seperti besarnya
ketakutan terhadap penyakit dan hebatnya rasa sakit yang didrita.
b. Penilaian klinik (evaluated need) merupakan penilaian beratnya
penyakit oleh dokter yang tercermin antara lain dari hasil
pemeriksaan dan penentu diagnosis penyakit oleh dokter.

Gambar 2.4. Model Penggunaan Pelayanan Kesehatan

2.2.2. Model Green


Menurut Lawrence Green-Krauter (dalam Notoadmodjo, 2003)
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah:
1. Faktor Predisposisi, yaitu faktor pencetus timbulnya perilaku seperti
fikiran dan motivasi untuk berperilaku. Yang termasuk ke dalam faktor
25
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


ini adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai dan
persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu untuk
berperilaku.
2. Faktor Pemungkin (enabling factor), yaitu faktor yang memungkinkan
suatu motivasi atau aspirasi terlaksana menjadi perilaku Yang termasuk
ke dalam faktor ini adalah keterampilan, sumber daya pribadi di
samping sumber daya komuniti, keterjangkauan (biaya, jarak,
transportasi), sarana dan prasarana.
3. Faktor Penguat, yaitu faktor penyerta perilaku yang memberi ganjaran,
insentif atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau
lenyapnya perilaku itu. Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah sikap
dan perilaku (tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, petugas, guru,
atau teman), manfaat sosial,ganjaran nyata ataupun tidak nyata yang
pernah diterima pihak lain, undang-undang dan peraturan.

Gambar 2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seseorang


Terhadap Penyakit (Green,1991 Dalam Notoatmodjo,2003)

2.3. Analisa Spasial


Analisa dalam SIG merupakan analisa secara keruangan, analisa
spasial dan analisa secara geografis. Dalam menganalisa keruangan (spasial)
biasanya berupa analisa dengan menggunakan pertanyaan What, Where,
How, Why, When. Sedangkan geografi melihat persamaan, perbedaan,
26
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


penyebaran sesuatu di muka bumi. Wujud akhir dalam analsia dengan
menggunakan SIG adalah studi tentang penyebaran sesuatu di muka bumi,
serta penjelasan faktor-faktor yang menyebabkan penyebaran tersebut
Menurut Achmadi (2008), bahwa masalah kesehatan lingkungan
antar wilayah tidaklah sama, maka diperlukan pendekatan spasial dalam
pembangunan kesehatan lingkungan. Perencanaan dan pelaksanaan
kesehatan lingkungan harus benar-benar mempertimbangkan kondisi
spesifik wilayah yang mengacu pada ekosistem, topografi dan tata ruang
setempat.
Dewasa ini metode analisis spasial sebagai salah satu metode analisis
geografi telah berkembang pesat. Analisis spasial dimanfaatkan di berbagai
bidang dalam pengelolaan pembangunan, termasuk di bidang kesehatan.
Analisis spasial dapat membantu menjelaskan lebih dalam mengenai
hubungan spasial dari suatu obyek atau fenomena di ruang muka bumi.
Analisis spasial sangat berguna terutama karena kemampuannya dalam
menggabungkan data raster dan data vektor.
Dewasa ini, data spasial menjadi media penting dalam perencanaan
dan pengelolaan pembangunan yang berkelanjutan di berbagai bidang
dengan cakupan wilayah nasional, regional, maupun lokal. Apalagi,
pemanfaatan data spasial semakin meningkat setelah adanya teknologi
pemetaan digital dan pemanfaatannya pada Sistem Informasi Geografis
(SIG).
Demikian pula di sektor kesehatan, saat ini SIG dengan data
spasialnya dimanfaatkan pula untuk perencanaan dan pengelolaan
pembangunan kesehatan, di antaranya pemetaan kesehatan berbasis SIG.
Dalam pemetaan kesehatan berbasis SIG, data-data atribut kesehatan akan
direlasikan dan diintegrasikan dengan data spasial sehingga data-data atribut
kesehatan yang menggambarkan situasi kesehatan dapat dijelaskan dalam
perspektif ruang atau wilayah.
Pada saat ini sesuai dengan perkembangan teknologi komputer,
informasi spasial menghasilkan produk yang berupa peta digital, meliputi
informasi yang dapat dianalisis keruangan. Data spasial merupakan hasil

27
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


penafsiran data yang dituangkan dalam bentuk simbol sebagai gambaran
dari keadaan yang sebenarnya. Data keruangan dapat disampaikan dalam
bentuk tabel maupun peta. Bila informasi yang disampaikan dalam bentuk
tabel maka data disebut sebagai data atribut atau tabuler. Bila data
disampaikan dalam bentuk peta maka disebut data spasial.
Data spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian
(georeference) di mana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit
spasial. Oleh karena data spasial memiliki referensi ruang kebumian, maka
data spasial biasa juga disebut data geospasial. Data spasial dibedakan
menjadi data grafis (atau disebut juga data geometris) dan data atribut (data
tematik). Data grafis mempunyai tiga elemen: titik (node), garis (arc), dan
luasan (poligon) dalam bentuk vektor ataupun raster yang mewakili
geometri topologi, ukuran, bentuk, posisi dan arah. Sumber-sumber data
geospatial adalah peta digital, foto udara, citra satelit, tabel statistik dan
dokumen lain yang berhubungan.
Data informasi spasial dapat meliputi data fisik, sosial, dan ekonomi.
Informasi spasial ditujukan untuk dapat menjawab masalah yang ada terkait
dengan pertanyaan apa (what), dimana (where), bilamana (when),
bagaimana (how), dan mengapa (why). Untuk lebih mengoptimalkan dalam
menghimpun dan memanfaatkan informasi spasial tersebut, maka
disusunlah apa yang disebut Sistem Informasi Geografis. Data spasial
terbagi menjadi dua bagian, yaitu data yang berbentuk vector dan raster.
Data vector dapat diperoleh dari peta, sedangkan data yang berbentuk raster
dapat dipenuhi dari citra penginderaan jauh, melalui CCT/Computer
Compatible Tape (Supriatna, 2000).
Analisa spasial atau keruangan ilmu pengetahuan adalah ilmu yang
diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah. Fokus dari analisa keruangan
adalah telaah tentang lokasi dan persebaran, gejala, interaksi, struktur ruang,
proses didalam ruang, makna ruang serta perbedaan antar ruang.
Ada dua konsepsi yang dikenal yaitu teori matematis dari proses
keruangan, dan pola keruangan (spatial pattern). Proses keruangan lazim
digambarkan dalam suatu struktur yang menggambarkan variabel serta

28
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


hubungan antar variabel. Sedangkan pola keruangan merupakan gambaran
persebaran suatu gejala di atas muka bumi yang lazim disajikan dalam
bentuk peta atau gambar. Jadi analisis keruangan yang menampilkan pola
keruangan di dalam peta, dapat disajikan baik dalam bentuk geometrik
maupun non metrik. Gagasan yang dituangkan pada peta yang menjelaskan
pengertian non metrik merupakan informasi ruang yang menjelaskan lokasi
relatif. Penyajian informasi geometrik menuntut peta dilengkapi ukuran dan
koordinat, sedangkan informasi non metrik bertujuan menjelaskan kategori
organisasi keruangan seperti pergerakan, aliran, hirarki, dan difusi. Peta
yang menunjukkan aliran akan mengGambarkan arah pergerakan yang
disusun atas dasar fungsi region fungsional atau nodal (Nunes, 2007).

2.4. Spasial Aksesibilitas


Sebagian besar indikator potensi aksesibilitas spasial untuk
pelayanan kesehatan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori (Talen,
2003; Guagliardo, 2004): (1) rasio Pelayanan kesehatan layanan-untuk-
penduduk, (2) jarak ke pelayanan kesehatan terdekat, (3) jarak rata-rata satu
set pelayanan kesehatan, (4) model gravitasi, dan (5) dua langkah metode
catchment area pelayanan kesehatan.
Rasio pelayanan kesehatan layanan ke penduduk yang baik adalah
dengan melihat perbandingan kebutuhan di daerah pedesaan dan wilayah
kondisi geografis yang luas. Sayangnya, rasio pelayanan ke penduduk
memiliki keterbatasan yang signifikan. Pertama, mereka tidak menganggap
bahwa orang akan melewati wilayah secara geografis untuk mencari
pelayanan kesehatan. Hal ini terjadi di daerah geografis yang kecil seperti
daerah perkotaan. Kedua, rasio pelayanan kesehatan ke penduduk tidak
dapat mendeteksi variasi dalam pelayanan kesehatanan pelayanan
kesehatan. Selain itu, tindakan tersebut menganggap semua orang memiliki
akses yang sama ke pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan layanan
'independen dari lokasi tempat tinggal. Dengan demikian mereka tidak
secara eksplisit memasukkan tindakan apapun dari jarak atau hambatan
perjalanan. (Liao, 2010)

29
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Hambatan Perjalanan ke pelayanan kesehatan terdekat biasanya
diukur dari tempat tinggal pribadi (massa geometris) dalam wilayah
berbatasan (negara, kabupaten, sensus, wilayah kode pos). Haynes, et
al.(1999) digunakan jarak diwakili oleh rute garis lurus ke dokter umum dan
rumah sakit terdekat untuk mewakili aksesibilitas spasial. Hambatan
Perjalanan, kadang-kadang disebut sebagai biaya perjalanan, sering diukur
dalam satuan jarak tempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
perjalanan sepanjang jaringan jalan (Brabyn & Skelly, 2002;. Arcury et al,
2005). Hambatan Perjalanan ke pelayanan kesehatan terdekat juga
merupakan ukuran yang baik dari aksesibilitas spasial untuk daerah
pedesaan, karena pilihan pelayanan kesehatan biasanya terbatas. Namun,
biasanya ada cukup banyak pilihan pelayanan kesehatan pada jarak yang
sama dari setiap titik penduduk di daerah perkotaan padat.
Sebuah metode pengukuran aksesibilitas spasial baru telah
dikembangkan, dimana memberikan pemahaman yang disempurnakan
aksesibilitas spasial untuk pelayanan kesehatanan layanan kesehatan. Radke
dan Mu (2000) mengembangkan daerah tangkapan mengambang dua
langkah (two-step floating catchment area method ). Metode ini merupakan
kasus dari meningkatkan model gravitasi (Luo dan Wang, 2003) yaitu:
(1) Gunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) analisis jaringan jalan
untuk menghitung waktu tempuh antara setiap lokasi dokter (diambil
sebagai kota daerah pusat massa) dan lokasi penduduk (diambil
sebagai bagian dari sensus).
(2) Untuk setiap lokasi dokter, pilih lokasi penduduk yang dalam waktu
perjalanan yang wajar (misalnya, 30 menit) dari lokasi dokter,
sehingga mendefinisikan daerah tangkapan imajiner untuk lokasi
dokter. Hitung rasio dokter ke populasi tangkapan dengan membagi
jumlah dokter (s) dengan jumlah penduduk di kawasan tangkapan
(catchment area).
(3) Untuk setiap lokasi penduduk, mencari semua lokasi fisik yang berada
dalam waktu yang wajar perjalanan (misalnya, 30 menit), dan jumlah
rasio dokter ke penduduk di lokasi tersebut.

30
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


(4) Untuk semua lokasi penduduk. Dengan menggunakan query pada SIG
untuk mengidentifikasi semua hasil sensus dengan rasio kurang dari
Department of Health and Human Services (DHHS) standar (1:3500
untuk perawatan primer) sebagai daerah kekurangan.

2.5.Spasial Aksesibilitas dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan


Dari beberapa penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara
aksesibilitas spasial dan penggunaan pelayanan kesehatan berdasarkan
Andersen, Kesehatan Perilaku Model, analisis oleh Arcury et al. (2005)
adalah salah satu yang berusaha untuk mengintegrasikan dua domain
geografi kesehatan ke Andersen, dengan metodenya Kesehatan Perilaku
Model: jarak dan transportasi. Analisis mereka menentukan pentingnya
jarak dan transportasi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan
pedesaan. Jarak penyedia layanan kesehatan berdasarkan pada responden
yaitu dimana responden yang menyatakan sakit, klinik, atau dokter dan
mereka pergi ke untuk perawatan medis rutin. Jarak dalam kilometer dari
responden, tempat tinggal ke lokasi penyedia perawatan medis dihitung
dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).
Transportasi, faktor yang mendukung akses ke layanan kesehatan
secara konseptual didefinisikan sebagai kepemilikan sopir, surat ijin
mengemudi, jumlah hari per minggu responden mengendarai kendaraan
(Arcury et al.,2005). Jarak perawatan rutin tidak merupakan prediktor
signifikan secara statistik dari jumlah kunjungan rutin check-up. Penelitian
ini menggunakan jarak untuk mewakili aksesibilitas spasial, tetapi jarak
sering dianggap menjadi ukuran kurang akurat dibandingkan dengan
perjalanan waktu.
Sebagian besar penelitian menggunakan jarak untuk perawatan
fasilitas pelayanan kesehatan yang paling dekat (Coughlin et al., 2002.) atau
jarak ke penyedia layanan kesehatan bahwa responden secara rutin pergi ke
untuk perawatan (Arcury et al., 2005) tetapi tidak termasuk ketersediaan
pelayanan kesehatan di suatu daerah. Dalam studi mereka tidak menemukan
hubungan antara kesehatan dan layanan perawatan menggunakan dokter

31
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


perawatan primer untuk rasio populasi dalam unit geografis. Secara
keseluruhan, sedangkan studi kuantitatif tidak mengkonfirmasi hubungan
antara aksesibilitas spasial dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Aksesibilitas spasial mengacu pada faktor-faktor seperti hambatan
perjalanan karena jarak antara lokasi pasien dan titik pelayanan kesehatan,
dokter untuk rasio penduduk, dan memiliki rumah sakit terletak di area
wilayah dengan lama perjalanan 30 menit. Sementara review literatur
kuantitatif menunjukkan bahwa ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan
hubungan yang signifikan antara jarak, dokter rasio penduduk dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan (Arcury et al., 2005) review literatur
kualitatif menunjukkan bahwa aksesibilitas ke pelayanan perawatan
kesehatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan perilaku pencarian
(Iezzoni et al., 2006).
Dari beberapa penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara
aksesibilitas spasial dan penggunaan pelayanan kesehatan berdasarkan
Andersen, Kesehatan Perilaku Model, analisis oleh Arcury et al. (2005)
adalah salah satu yang berusaha untuk mengintegrasikan dua domain
geografi kesehatan ke Andersen, dengan metodenya Kesehatan Perilaku
Model: jarak dan transportasi. Analisis mereka menentukan pentingnya
jarak dan transportasi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan pedesaan.
Jarak penyedia layanan kesehatan berdasarkan pada responden yaitu dimana
responden yang menyatakan sakit, klinik, atau dokter dan mereka pergi ke
untuk perawatan medis rutin. Jarak dalam kilometer dari responden, tempat
tinggal ke lokasi penyedia perawatan medis dihitung dengan menggunakan
SIG.
Karakteristik individu untuk mencari pelayanan kesehatan pada
gilirannya mempengaruhi kesehatan layanan penggunaan dan status
kesehatan. Hal ini diukur dengan menggunakan variabel struktural
demografi dan sosial. Bebrapa faktor yang dapat mempengaruhi
aksesibilitas pelayanan kesehatan adalah :

32
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


a) Pelayanan kesehatan menggunakan antara orang-orang usia lanjut lebih
besar daripada di antara orang muda (Goodwin & Andersen, 2002;.
Arcury et al., 2005),
b) Perempuan lebih mungkin dibandingkan laki-laki untuk menggunakan
kesehatan layanan perawatan (Green & Pope, 1999;. Arcury et al.,
2005).
c) Pasien yang belum menikah memanfaatkan pelayanan kesehatan lebih
sering (De Boer et al, 1997.).
d) Orang yang mengkonsumsi tembakau berhubungan dengan kurang
memanfaatkan layanan kesehatan (Arcury et al, 2005).
e) Bahwa pendapatan rumah tangga yang lebih rendah merupakan
hambatan yang signifikan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
(Arcury et al, 2005).
f) orang dewasa dengan asuransi kesehatan, terlepas dari jenisnya, secara
signifikan lebih mungkin mendapatkan pelayanan kesehatan daripada
tidak memiliki asuransi (Mitchell et al., 2002;Iezzoni et al., 2000).
g) Individu yang memiliki sumber pembiayaan untuk pengobatan biasa
lebih cenderung untuk menggunakan layanan kesehatan daripada
individu yang tidak memiliki. (Iezzoni et al., 2000).
h) Orang dewasa dengan tingkat pendidikan rendah mereka dalam kurang
mencari pelayanan kesehatan dibandingkan dengan orang dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Arcury et al, 2005).

2.6. Utilisasi dan aksesibilitas


Akses ke perawatan kesehatan adalah bagian penting dari sistem
kesehatan secara keseluruhan dan memiliki dampak langsung pada beban
penyakit yang mempengaruhi banyak negara di dunia berkembang.
Sayangnya, pelayanan kesehatan, seperti banyak pelayanan publik, tidak
sama tersedia untuk semua orang (Joseph dan Phillips, 1984), dan akses
fisik terbatas pada perawatan kesehatan primer terus menjadi hambatan

33
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


utama untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan bagi semua (Perry dan
Gesler, 2000).
Akses ke perawatan kesehatan berkaitan dengan kemampuan
penduduk untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Black et al., 2004). Hal
ini berkaitan dengan kemampuan dan kemauan penduduk daerah tertentu
untuk menjembatani kesenjangan fisik antara rumah mereka dan lokasi
fasilitas kesehatan. Akses ke pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak
faktor biaya dan jarak perilaku serta (Buor, 2002; Müller et al., 1998).
Pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin banyak dipandang sebagai
fungsi aksesibilitas (Phillips, 1979;. Noor et al., 2003). Para pasien harus
melakukan perjalanan jarak jauh untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
telah lama diakui sebagai penentu utama dari pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan (Stock, 1983). Fasilitas perawatan kesehatan sering
tidak dapat diakses secara geografis banyak yang tinggal di daerah pedesaan
(Stock, 1983). Unsur jarak sangat signifikan di wilayah pedesaan di negara
berkembang di mana fasilitas kesehatan Barat-jenis yang tidak umum, dan
di mana pasien cenderung melakukan perjalanan untuk pengobatan sebagai
pejalan kaki (Stock, 1983).

Gambar 2.6. Hipotesa Model Utilisasi (Buor, 2002)

34
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Love dan Lindquist (1995) mendefinisikan pemanfaatan sebagai
hubungan antara penyedia layanan dan populasi sekitarnya. Pola spasial
pemanfaatan adalah kombinasi dari lokasi layanan yang digunakan dan
frekuensi yang setiap pasien menggunakan layanan (Hays et al., 1990).
Aksesibilitas sering memainkan peran penting dalam menentukan siapa
yang mampu atau bersedia untuk menggunakan layanan kesehatan. Ini
konsep "aksesibilitas" dan "utilisasi" dimana keduanya saling terkait. Ada
dua pendekatan dasar untuk mengukur aksesibilitas terhadap pelayanan
kesehatan primer: pertama melibatkan pengukuran potensial aksesibilitas
fisik berdasarkan lokasi populasi relatif terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan, yang kedua, pengukuran aksesibilitas aktual atau diturunkan
melalui analisis data utilisasi (Joseph, 1984). Dalam konteks penelitian ini
akan fokus pada definisi kedua berdasarkan akses teraktualisasikan ke
perawatan primer. Perbedaan utama antara dua pendekatan ini adalah bahwa
kita melihat karakteristik tempat bagi orang-orang yang bisa menggunakan
fasilitas, dan yang lainnya melihat karakteristik bagi mereka yang sudah
menggunakan fasilitas. Perbedaan antara kedua pendekatan adalah bahwa
pertama berfokus pada lokasi fasilitas, sedangkan yang kedua berfokus pada
pasien terutama perilaku pencarian pelayanan kesehatan.
Dalam konteks pemanfaatan (utilization) dipandang sebagai
kombinasi dari kehadiran klinik dan populasi untuk unit geografis tertentu.
Secara khusus, indeks pemanfaatan dibuat untuk menguji variasi spasial
penggunaan perawatan kesehatan primer. Indeks ini dihitung dengan
mengambil jumlah kehadiran (dari fasilitas kesehatan) untuk unit geografis
tertentu dan membaginya dengan penduduk untuk unit geografis. Karena
unit spasial ukuran adalah desa, baik angka kehadiran dan jumlah populasi
dikumpulkan untuk unit ini spasial, yaitu desa. Indeks yang dihasilkan
adalah nomor kehadiran yang dinormalisasi dengan populasi.
Jarak dari pasien ke penyedia layanan kesehatan, yang dapat disebut
proximity, sering disebut sebagai salah satu faktor yang paling penting yang
berkaitan dengan aksesibilitas dan pemanfaatan sumber daya kesehatan.
Kedekatan ke dokter atau fasilitas tertentu adalah salah satu alasan utama

35
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


untuk menggunakan sumber daya yang diberikan (Meade dan Earickson,
2000). Di negara berkembang penelitian telah menunjukkan peran penting
dalam mengurangi jarak penggunaan fasilitas kesehatan, terutama di daerah
pedesaan (Buor, 2003). Noor et al. (2003) menyatakan bahwa jarak adalah
fitur penting dari penggunaan pelayanan kesehatan, tetapi aplikasi dan
utilitas untuk perencanaan pelayanan kesehatan belum tergarap dengan baik.
Beberapa peneliti telah berfokus pada masalah ini dari jarak sebagai menjadi
faktor penting yang menentukan utilisasi fasilitas perawatan kesehatan
(Müller, et al., 1998;. Buor, 2002; Noor, et al., 2003; Stock, 1983; Joseph &
Phillips, 1984). Hasil mereka telah membuat jelas bahwa jarak merupakan
faktor yang sangat penting yang mempengaruhi pemanfaatan di daerah
pedesaan dari dunia berkembang. Meskipun pentingnya jarak, telah sering
diabaikan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan konteks (Meade
dan Earickson, 2000).
Hubungan antara penyedia dan konsumen akan membuat hubungan
yang tidak kita dengan jarak (Meade dan Earickson, 2000). Secara umum,
lebih jauh fasilitas kesehatan dari tempat tinggal seseorang, semakin kecil
kemungkinan seseorang akan menggunakannya. Ini adalah kekurangan dari
konsep jarak, dimana tingkat interaksi berbanding terbalik dengan jarak.
kekurangan dari jarak berasal dari model gravitasi, yang menyatakan bahwa
gaya antara dua titik atau benda akan berbanding lurus dengan massa dan
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara mereka (Meade dan
Earickson, 2000). Menurut Stock (1983), model peluruhan jarak telah sering
digunakan dalam studi perilaku kesehatan. Jarak berguna dalam menentukan
tempat hirarki pusat dan regionalisasi fungsional (Meade dan Earickson,
2000). Di tempat-tempat dengan pola jarak yang kurang dekat, maka
pelayanan kesehatan harus terdesentralisasi dan dapat diakses secara lokal.
Hal ini biasanya berlaku untuk pelayanan tingkat rendah seperti pertolongan
pertama, sedangkan pelayanan kesehatan tingkat tinggi seperti transplantasi
jantung yang tidak akan sensitif terhadap jarak. Orang bersedia untuk
bepergian jauh untuk jasa pelayanan tingkat tinggi (Meade dan Earickson,
2000). Hubungan ini berkaitan dengan teori yang dikenal sebagai Central

36
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Place Theory, dan dapat membantu perencana kesehatan mengembangkan
sistem pelayanan kesehatan yang efektif, sementara mempertimbangkan
kendala seperti biaya layanan yang diberikan.
Dalam penelitian penyediaan kesehatan, beberapa studi pemanfaatan
telah dilakukan di negara berkembang, dengan fokus pada spasial distribusi
pasien mencari perawatan medis di fasilitas kesehatan tertentu. Studi ini
menunjukkan bahwa fasilitas perawatan kesehatan di negara berkembang
cenderung efektif melayani hanya daerah kecil sekitar fasilitas. Di Nigeria,
Stock menemukan bahwa pada jarak 5 km dari fasilitas medis, tingkat
pemanfaatan per kapita jatuh ke salah satu dari ketiga dari tingkat 0 -5 km.
Dalam sebuah studi di Irak, (Habib dan Vaughan, 1986) menemukan bahwa
setelah 5 km tingkat pemanfaatan menurun menjadi 60% dari tingkat 0 km.
Dalam sebuah penelitian di India, Frederiksen (1964) menemukan bahwa
tingkat pemanfaatan menurun sebesar 50% untuk setiap setengah mil antara
masyarakat dan fasilitas. Dalam sebuah penelitian terbaru di Kenya, Noor et
al. (2003) menemukan bahwa 60% dari pengguna fasilitas kesehatan
menghadiri fasilitas kesehatan dalam 5 km dari rumah mereka. Buor (2002)
menemukan bahwa kebanyakan orang menggurui pelayanan kesehatan di
metropolitan Ghana pada jarak kurang dari 3 km, dan karena itu
merekomendasikan model 3 km untuk mempelajari pemanfaatan.

37
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 2.7. Model utilisasi (Baker, 2005)

Baker (2005) menggunakan empat variabel utama dalam menganalisis


pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu (1) perilaku sehat (Health Choice),
(2) aspek akses (waktu perjalanan dengan cara berjalan) dan kualitas jalan,
(3) karaktersitik dari penyedia pelayanan (jumlah dokter, biaya pengobatan)
dan (4) karaktersitik wilayah dalam hal ini satuan wilayahnya adalah desa
(status ekonomi penduduk, pendidikan, pekerjaan dan kebutuhan sehat
(need).

2.7.Aksesibilitas ke pelayanan kesehatan penderita TB


Penchansky & Thomas (1981) telah mendefinisikan akses sebagai
suatu konsep yang mewakili tingkat yang menunjukan keselarasan atau
kondisi yang sesuai antara klien dan sistem, dalam konsep tersebut termasuk
komponen spasial, dimana mengGambarkan kemudahan akses dalam
pencapaian pelayanan kesehatan dari lokasi pemukiman (Luo & Wang,
2003; Allen, Liu & Singer, 1993). Ada juga konsensus umum bahwa akses
ke pelayanan kesehatan mengacu pada kemampuan individu untuk
menerima perawatan ketika mereka membutuhkannya, terlepas dari
kemampuan membayar (Hanratty, Zhang & Whitehead, 2007).
Akses dapat didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk
melakukan perjalanan untuk mencari pengobatan secara tepat waktu dan
dapat diterima di tempat pelayanan kesehatan (Apparicio et al., 2008; Luo
& Wang, 2003). Dimensi seperti akses umumnya diukur dari jarak atau
waktu ke tempat provider (pelayanan kesehatan). Namun, kemampuan dan
keinginan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan juga sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan, sikap, kepercayaan dan pengalaman masa lalu
dengan sistem perawatan kesehatan (Gulliford et al., 2003). Dengan
demikian, akses ke perawatan juga memiliki komponen nonspatial seperti
faktor sosial, budaya, ekonomi atau lainnya dan dapat menggantikan jarak
antara tempat tinggal seseorang dan dokter (Penchansky & Thomas, 1981).
Penchansky & Thomas (1981) berpendapat bahwa Aday dan
Anderson kerangka tidak efektif mengatasi dimensi akses. Mereka
38
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


menegaskan bahwa akses dapat dianggap sebagai gabungan dari lima
variabel: ketersediaan, aksesibilitas, akomodasi, keterjangkauan, dan
akseptabilitas.
1. Ketersediaan menjelaskan apakah volume tenaga kesehatan atau pusat
pelayanan kesehatan cukup untuk memenuhi volume permintaan.
2. Aksesibilitas menjelaskan apakah lokasi tenaga kesehatan atau pusat
pelayanan kesehatan diterima relatif terhadap lokasi permintaan.
3. Akomodasi menjelaskan apakah aspek manajemen dari sistem (seperti
waktu tunggu) cukup untuk memenuhi kebutuhan klien.
4. Keterjangkauan mengGambarkan hubungan antara biaya jasa dan
kemampuan klien untuk membayar.
5. Akseptabilitas menjelaskan apakah kedua pasien dan penyedia puas
dengan kualitas layanan dan saling timbal baliknya.
Salah satu keterbatasan dari lima dimensi akses mereka diukur oleh
survei dan tidak dapat diukur dengan menggunakan data statistik tersedia.
(McLaughlin & Wyszewianski, 2002; Joseph & Phillips, 1984).
Menurut Wulandari (2012) bahwa ada hubungan antara jarak rumah
ke Puskesmas dengan perilaku pencarian pengobatan menunjukan bahwa
ada 22,3% responden yang jarak rumahnya dekat dengan Puskesmas tidak
berobat ke tenaga kesehatan dan ada sebanyak 28,8% responden yang
jaraknya jauh ke Puskesmas tidak berobat ke tenaga kesehtan. Sehingga
dapat dismpulkan bahwa tidak ada perpedaan proporsi perilaku tidak
berobat ke tenaga kesehatan antara responden yang jarak rumahnya jauh dan
jarak rumahnya dekat. Sedangkan untuk waktu tempuh ke Puskesmas yang
tergolong senbentar sebanyak 95,3%. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh G. Cheng. et al., (2005) di Cina dan Fausett
(2002) di Lusaka yang menunjukan bahwa jarak dari rumah ke pusat
pelayanan kesehatan berhubungan signifikan dalam pencarian pengobatan
penderita TB.

2.8.Geographically Weighted Regression (GWR)

39
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Model Geographically Weighted Regression (GWR) adalah
pengembangan dari model regresi dimana setiap parameter dihitung pada
setiap lokasi pengamatan, sehingga setiap lokasi pengamatan mempunyai
nilai parameter regresi yang berbeda-beda. GWR adalah metode regresi
multivariat statistik yang menggabungkan pengaruh pengamatan sekitarnya
menjadi estimasi koefisien (Fotheringham, Brunsdon dan Charlton, 2002).
Data dari pengamatan dengan pengamatan yang diregresikan yang
mempunyai bobot lebih besar dan diasumsikan memberikan pengaruh lebih
banyak tentang hubungan antara variabel daripada pengamatan jauh. Model
GWR merupakan pengembangan dari model regresi global dimana ide
dasarnya diambil dari regresi non parametrik. Variabel terikat dalam model
GWR diprediksi dengan variabel prediktor yang masing-masing koefisien
regresinya bergantung pada lokasi dimana data tersebut diamati.
Geographically Weighted Regression (GWR) adalah model regresi
yang dikembangkan oleh Fotheringham, et.al (2002) untuk variabel respon
yang bersifat kontinyu yang mempertimbangkan aspek lokasi. Model GWR
merupakan model regresi linier lokal yang menghasilkan dugaan parameter
model regresi yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi dimana data
tersebut dikumpulkan. Model GWR dapat ditulis sebagai berikut

Estimasi parameter model GWR dilakukan dengan metode Weighted


Least Squares (WLS) yaitu dengan memberikan pembobot yang berbeda
untuk setiap lokasi dimana data diamati. Pemberian bobot ini sesuai dengan

40
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Hukum I Tobler: “Everything is related to everything else, but near thing
are more related than distant things” yang berarti “Segala sesuatu saling
berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih
mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh”. Sehingga pada model
GWR diasumsikan bahwa daerah yang dekat dengan lokasi pengamatan ke-i
mempunyai pengaruh yang besar terhadap estimasi parameternya dari pada
daerah yang lebih jauh. (Yasin, 2010)
Berbeda dengan regresi global yang nilai parameter modelnya
konstan, maka parameter model GWR berbeda-beda pada setiap lokasi.
Dalam model GWR ada sebanyak n(p+1) parameter yang harus diprediksi.
Koefisien GWR diprediksi secara independen dari setiap lokasi dengan
menggunakan metode Weighted Least Squares (WLS) yaitu dengan
memberikan bobot yang berbeda untuk setiap lokasi dimana data tersebut
dikumpulkan.

2.8.1. Aspek Data Spasial


Analisa spasial dilakukan jika data yang digunakan memenuhi aspek
spasial yaitu sifat yang saling berkorelasi atau memiliki heterogenitas
spasial (Anselin, 1998). Pengujian hetrogenitas dilakukan untuk melihat
karakteristik spasial di setiap lokasi pengamatan. Dampak yang ditimbulkan
adalah adanya heterogenitas parameter regresi yang berbeda-beda secara
spasial. Heterogenitas spasial dapat diuji dengan menggunakan uji Breusch
Pagan (BP), dengan hipotesis sebagai berikut
H0 : σ12 = σ22 = ... = σn2 (kesamaan varians/homoskedastisitas)
H1 : σ12 ≠ σ22 (heterokedastisitas)
Persamaannya adalah sebagai berikut
BP = (1/2)fT Z(ZTZ)-1 ZTf (2.2)
Tolak Ho jika BP lebih besar dari P-value dengan α = 0,05

2.8.2. Pembobotan Model GWR

41
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Pengujian parameter model GWR dilakukan untuk mengetahui
parameter mana yang signifikan mempengaruhi variabel respon secara
parsial. Estimasi parameter di suatu titik (ui,vi ) akan lebih dipengaruhi oleh
titik-titik yang dekat dengan lokasi (ui,vi) daripada titik-titik yang lebih jauh.
Pemilihan pembobot spasial digunakan untuk menentukan besarnya
pembobot masing-masing lokasi yang berbeda. Peran pembobot pada model
GWR sangat penting karena nilai pembobot ini mewakili letak data
observasi satu dengan lainnya. Skema pembobotan pada GWR dapat
menggunakan beberapa metode yang berbeda.
Estimasi parameter di suatu titik (ui, vi) akan dipengaruhi oleh titik-
titik yang dekat dengan lokasi (ui, vi) daripada titik-titik yang lebih jauh.
Ada beberapa literatur yang bisa digunakan untuk menentukan besarnya
pembobot untuk masing-masing lokasi yang berbeda pada model GWR,
diantaranya dengan menggunakan fungsi kernel (kernel function) Fungsi
kernel digunakan untuk mengestimasi paramater dalam model GWR jika
fungsi jarak (wj) adalah fungsi yang kontinu. Salah satu cara yang
digunakan untuk menentukan besarnya pembobot adalah fungsi kernel
(Fotheringham,et al.,2002) .

2.8.3. Pemilihan Bandwidth


Penentuan bandwidth sangat penting, karena sebagai pengontrol
keseimbangan antara kesesuaian kurva terhadap data dan kemulusan data.
Suatu lokasi j yang terletak pada koordinat (ui,vi) akan mendapatkan bobot
yang lebih tinggi bila jaraknya lebih dekat dengan lokasi i yang terletak
pada koordinat (uj,vj. ). Bandwidth merupakan radius suatu lingkaran dimana
titik yang berada dalam radius lingkaran masih dianggap berpengaruh dalam
membentuk parameter model lokasi i. Pemilihan bandwidth optimum
menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi ketepatan model
terhadap data, yaitu mengatur varians dan bias dari model.
Nilai bandwidth yang sangat kecil akan menyebabkan varians akan
semakin besar. Hal ini dikarenakan jika nilai bandwidth sangat kecil maka
akan semakin sedikit pengamatan yang berada dalam radius G, sehingga

42
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


model yang diperoleh akan sangat kasar (undersmoothing) karena hasil
estimasi dengan menggunakan sedikit pengamatan. Sebaliknya nilai
bandwitdh yang sangat besar dapat menimbulkan bias yang sangat besar.
Hal ini terjadi karena jika nilai bandwidth sangat besar maka akan semakin
banyak pengamatan yang berada di radius G, sehingga model yang
diperoleh akan terlampau halus (oversmoothing) karena hasil estimasi
dengan menggunakan banyak pengamatan.
Salah satu cara yang digunakan untuk menentukan besarnya
pembobot adalah dengan fungsi kernel Gaussian dimana juga menggunakan
teoritis Bandwith. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan
bandwidth optimum adalah metode Cross Validation (CV) (Fotheringham et
al., 2002).

2.8.4. Model Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR)


Berdasarkan model GWR pada persamaan (2.4), jika tidak semua
variabel prediktor mempunyai pengaruh secara lokal, sebagian
berpengaruh secara global, maka model yang seperti ini dinamakan model
Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR). Pada model
MGWR beberapa koefisien pada model GWR diasumsikan konstan untuk
seluruh lokasi pengamatan sedangkan yang lain bervariasi sesuai lokasi
pengamatan data (Fotheringham et al., 2002). Model MGWR dengan p
variabel prediktor dan q variabel prediktor diantaranya bersifat lokal,
dengan mengasumsikan bahwa intersep model bersifat lokal dapat
dituliskan sebagai berikut:

(2.3)
Estimasi parameter pada model MGWR dapat dilakukan dengan
metode WLS seperti halnya pada model GWR (Fotheringham dkk, 2002).

2.9. Karakteristik faktor-faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan penderita


TB

43
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


2.9.1. Karakteristik Aspek Predisposisi Pemanfataan Pelayanan Kesehatan
a. Usia
Di Eropa dan Amerika Utara sewaktu tuberkulosis masih sering
ditemukan, insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia
dewasa muda. Namum studi yang dilakukan di Afrika dan India
menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi tuberkulosis paru
meningkat seiring dengan peningkatan usia (Crofton, 2002).
Peranan variabel umur menjadi cukup penting antara lain karena
studi tentang hubungan variasi suatu penyakit dengan umur dapat
memberikan Gambaran tentang faktor penyebab penyakit tersebut dan umur
juga dapat merupakan faktor sekunder yang harus diperhitungkan dalam
mengamati atau meneliti perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel
lainnya (Noor, 2008). Sifat manusia yang dapat membawa perbedaan pada
hasil suatu penelitian atau yang dapat membantu memastikan hubungan
sebab akibat dalam hal hubungan penyakit, kondisi, cedera, penyakit kronis
dan penyakit lainnya, umur merupakan karakter yang memiliki pengaruh
paling besar.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit TB paru di Amerika yaitu
umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Dari hasil
penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-
orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB
paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur dan insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda
(Timmereck, 2005).
Di beberapa negara Asia, menyatakan bahwa seperti penelitian di
Iran (Khazei, 2005) menyatakan bahwa sekitar setengah dari pasiennya
memiliki umur lebih dari 55 tahun. Kelompok usia yang paling terkena
dampak dalam studi adalah lebih dari 65 tahun, yang mirip dengan negara-
negara lain dengan insiden rendah TB (Datta, 2001), sedangkan kelompok
usia antara 16 dan 35 tahun adalah kelompok yang paling terkena dampak di
Nigeria (AY. 2005) dan kelompok usia antara 20 dan 40 tahun adalah
kelompok yang paling terkena dampak di Cina (Chamla, 2004).

44
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Menurut Depkes RI (2007) dan WHO (2006), 75% pasien
tuberkulosis paru umumnya berusia pada rentang usia produktif (15-54
tahun) yang membawa dampak sosial ekonomi di masyarakat. Data dari
WHO (2006) dalam Indonesian Strategic Plan to Stop TB juga menyatakan
secara perlahan usia penderita tuberkulosis juga meningkat pada umur 55-64
tahun. Menurut Yeung et al. (2002) laki-laki berumur 60-79 tahun
mempunyai prevalensi 4 kali lebih besar dibanding perempuan, hal ini
disebabkan laki-laki yang berumur tua lebih banyak mempunyai
kecenderungan terjadi perburukan penyakit karena faktor penyakit penyerta
seperti diabetes melitus.
Sedangkan penelitian yang menjelaskan tentang hubungan antara
pasien dengan penyakit akut terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan,
seperti yang dilakukan oleh Goodwin dan Andersen (2002), secara umum
bahwa pasien layanan akses perawatan kesehatan usia lanjut secara lebih
sering melakukan perawatan kesehatan karena penyakit yang terkait dengan
usia. menggunakan Behavioral Model of Health Care untuk
mengidentifikasi faktor predisposisi berkaitan dengan pelayanan kesehatan
menggunakan layanan untuk pengobatan mental health di kalangan orang
tua di Amerika Serikat.
Selain itu, sebuah studi oleh Arcury et al . (2005) meneliti hubungan
antara karakteristik akses transportasi individu dan jumlah kunjungan
pelayanan kesehatan untuk perawatan kronis dan pemeriksaan rutin
menggunakan di North Carolina pada tahun 1999. Studi ini menemukan
bahwa usia dikaitkan dengan peningkatan jumlah Kunjungan perawatan
kesehatan Orang usia tua memiliki kunjungan 1,17 kali lebih banyak untuk
perawatan kronis dan 1,14 kali lebih banyak kunjungan untuk pemeriksaan
rutin dibanding mereka yang lebih muda. Di sisi lain, penelitian oleh De
Boer,Wijker, dan De Haes (1997) menemukan bahwa usia bukanlah
prediktor signifikan dari pemanfaatan pelayanan kesehatan pada penyakit
kronik. penelitian melaporkan bahwa pasien yang lebih tua memiliki tingkat
kunjungan rumah sakit yang lebih tinggi.

45
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


b. Pendidikan
Kebiasaan yang ada pada seseorang adalah sesuatu yang dipelajari
seseorang berdasarkan interaksinya dengan orang lain. Orang-orang lain ini
dapat merupakan orang tua, teman, guru, maupun orang-orang pada
umumnya. Kebiasaan yang diinternalisasikan atau dijadikan bagian dari
pribadinya dipilih oleh seorang karena kebiasaan tersebut memenuhi satu
atau sejumlah kebutuhan dan keinginannya. Untuk merubah suatu kebiasaan
harus dibarengi dengansuatu usaha yang berdasarkan pada prinsif belajar.
Kebiasaan senantiasa dapat dipelajari atas dasar (salah satunya) yaitu
Pendidikan yang secara sengaja diberikan pada seorang baik dalam
lingkungan formil maupun lingkungan informal akan menumbuhkan
kebiasaan yang dipertahankan oleh orang tersebut dalam memenuhi
kebutuhannya (Depkes, 1991).
Tingkat pendidikan berkaitan dengan seseorang dalam menyerap dan
menerima informasi. Menurut Cheng (2005), pada penelitiannya di Cina
menunjukan bahwa di pendidikan yang rendah berhubungan dengan
penundaan dalam mencari pengobatan dan diagnosis penyakit TB.
Sedangkan menurut De Boer (1997) meneliti tingkat pendidikan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan, bahwa tingkat pendidikan ditemukan
tidak berpengaruh pada jumlah kunjungan ke tenaga medis atau ke
pelayanan kesehatan. Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan volume
kunjungan rawat jalan. Hal ini sama yang ditemukan oleh Gelberg et al.
(2000) meniliti pada sejumlah sampel orang dewasa tunawisma di Los
Angeles, menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap
penggunaan pelayanan kesehatan, setelah dikontrol oleh faktor-faktor lain
seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, sejarah kriminal, status mental,
status kesehatan, penggunaan narkoba dan alkohol, asuransi, pendapatan dll.

c. Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan,
status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah
kesehatan dalam suatu kelompok populasi. Penyakit, kondisi atau gangguan

46
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


tertentu dapat terjadi dalam suatu pekerjaan. Brown lung telah diidentifikasi
pada pekerja industri garmen, black lung pada penambang batu bara, dan
beberapa kecelakaan atau cedera anggota gerak pada petani. Pekerjaan juga
merupakan suatu determinan risiko dan determinan pajanan yang khusus
dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan
dan kondisi tempat suatu populasi bekerja (Timmreck, 2005).
Penelitian yang dilakukan di Hamburg Jerman tahun 1997-2002
menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara lingkungan kerja yang
tidak memenuhi syarat kesehatan dengan resiko terjadinya kasus TB paru
kepada para pekerja. Berdasarkan hasil tersebut dianggap perlu untuk
melakukan perbaikan strategi dalam penanggulangan TB paru (Diel, 2005).

d. Status Perkawinan
Status perkawinan di duga mempunyai pengaruh terhadap kejadian
tuberkulosis. Di Denmark, menunjukkan bahwa resiko kasus tuberkulosis
aktif pada orang dengan tes turbelin positif lebih rendah pada kelompok pria
meinkah, yang umumnya berasal dari status sosial ekonomi tinggi, resiko
menengah pada pria singel dan duda, dan resiko tertinggi pada pria bercerai
dari status sosial yang rendah. Wanita yang menikah juga mempunyai
kemungkinan lebih sedikit menderita TB dibandingkan dengan wanita yang
tidak menikah.

e. Status Ekonomi
TB merupakan penyakit yang berhubungan dengan kemiskinan, dan
kerugian sosial ekonomi baik di tingkat individu dan tingkat masyarakat.
Kemiskinan adalah sebuah fenomena di seluruh dunia yang tidak mudah
dimodifikasi (Cantwell, et al., 1998; Rom & Garay, 2004; WHO, 1999).
Penularan penyakit menjadi tinggi di antara orang-orang dari status sosial
ekonomi rendah, dan mereka yang tinggal di lingkungan miskin. Dimana
kemiskinan seseorang menjadi peran penting dalam kejadian TB baik di AS
dan negara-negara lain (Krieger et al., 2003; Nunes, 2007).

47
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


2.9.2. Karakteristik Aspek Enabling Pemanfataan Pelayanan Kesehatan
a. Kepemilikan jaminan kesehatan (Asuransi)
Asuransi kesehatan adalah suatu instrumen sosial untuk menjamin
seseorang (anggota) dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehtan
tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi orang tersebut saat kebutuhan
pelayanan kesehatan muncul. Jadi dapat disimpulkan asuransi kesehatan
merupakan suatu alat yang dapat membantu masyarakat agar tetap dapat
melakukan pemeliharaan kesehatan tanpa harus terbebenai dengan masalah
ekonomi atau keuangan (Adisasmito, 2010).
Mitchell, et al., (2002) menggunakan versi yang diperluas dari
Andersen Perilaku Model untuk mengevaluasi efek dari penerima aruransi
kesehatan, bahwa mereka dengan asuransi kesehatan secara bermakna lebih
mungkin untuk memiliki dokter, perawatan primer atau penyedia perawatan
kesehatan lainnya untuk mencari rutin pelayanan. Iezzoni, et al (2000)
mengeksplorasi hubungan antara hambatan mobilitas (cacat atau disabilitas)
dan pemanfaatan skrining dan layanan pencegahan, menunjukkan bahwa
perempuan dengan asuransi kesehatan secara bermakna lebih mungkin
dibandingkan mereka yang tidak memiliki asuransi untuk melaporkan
menerima skrining dan layanan pencegahan Hasil yang bertentangan adalah
dilaporkan oleh Arcury et al.(2005), yang studinya menemukan bahwa
memiliki asuransi kesehatan tidak berhubungan dengan peningkatan
kunjungan perawatan kesehatan untuk perawatan rutin atau kronis. Sebuah
studi lanjutan oleh Arcury et al . (2005) menegaskan bahwa kepemilikan
asuransi kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan
individu untuk mengakses pelayanan kesehatan untuk kunjungan terkait
dengan rutinitas, kronis, atau perawatan akut.

b. Pemilihan Pelayanan Kesehatan


Notoadmodjo (2010) dalam buku Ilmu Perilaku Kesehatan
menuliskan bahwa Rendahnya pemanfaatan (Utilisasi) fasilitas kesehatan
seperti Puskesmas, rumah sakit dan sebagainya sering dihubungkan dengan
masalah pelayanan petugas yang tidak memuaskan, jarak tempuh antara

48
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


fasilitas kesehatan dengan masyarakat secara fisik maupun sosial, biaya/tarif
yang tinggi dan faktor dari masyarakat itu sendiri, yaitu persepsi masyarakat
dan konsep masyarakat tentang kesehatannya.
Memburuknya kondisi sosial ekonomi terlihat baik sebagai
penyebab TB dan kendala utama untuk mengakses ke pelayanan kesehatan
bagi penderita TB. Karakteristik Perilaku diidentifikasi sebagai penghalang
penting untuk perawatan dan pengobatan yang efektif, dan staf kesehatan
wajib membantu penderita TB dengan sifat yang profesional, sebab sikap
dari petugas kesehatan juga mempengaruhi kedatangan penderita TB ke
pelayanan kesehatan. Masih adanya stigma negatif tentang TB ini
mengakibatkan keterlambatan dalam mengakses perawatan.

c. Kepemilikan alat transportasi


Angkutan pribadi adalah angkutan yang menggunakan
kendaraan pribadi, seperti mobil pribadi, sepeda motor,sepeda, tetapi dapat
menggunakan bus yang biasanya digunakan untuk keperluan pribadi.
Transportasi dengan menggunakan kendaraan pribadi biasanya lebih mahal
dari transportasi menggunakan angkutan umum karena alasan efisiensi
angkutan umum yang lebih baik.
Menurut Kamaluddin (2003) Transportasi adalah usaha dan kegiatan
mengangkut atau membawa barang dan/atau penumpang dari suatu tempat
ke tempat lainnya. Setiap bentuk transportasi mempunyai empat unsur
pokok transport, yaitu jalan, kendaraan dan alat angkutan, tenaga penggerak
dan terminal. Sedangkan biaya transportasi dipengaruhi oleh volume
barang/penumpang dan jarak, namun jarak transportasi jarang yang bersifat
proporsional terhadap jarak. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan, yang
utama diantaranya adalah alat atau moda transportasi, apakah itu angkutan
kereta api, angkutan truk, angkutan air, angkutan udara dan sebagainya
mengandung unsur biaya tetap yang tidak bersifat variabel terhadap panjang
jarak yang ditempuh.

49
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Arcury,et al.,2005, melakukan penelitian dengan menggunakan
analisis regresi logistik menunjukkan bahwa responden dengan SIM
diperkirakan memiliki frekuensi 1,58 kali lebih besar dari melakukan
kunjungan perawatan rutin (rasio odds = 1,58 , interval kepercayaan 95 % =
1,10-2,26 ) dan 2,3 kali lebih besar frekuensi kunjungan perawatan kronis
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki surat izin mengemudi.
Jarak ke perawatan rutin tidak merupakan prediktor signifikan secara
statistik dari jumlah check- up kunjungan rutin. Penelitian ini menggunakan
jarak untuk mewakili aksesibilitas spasial, tetapi jarak sering dianggap
menjadi ukuran kurang akurat dibandingkan dengan waktu perjalanan.
Hasil penelitian Savitri (2011) menyatakan bahwa sebanyak 14,3%
penduduk dengan tempat tinggal jauh selalu memanfaatkan pelayanan
puskesmas sedangkan penduduk yang bertempat tinggal dekat dengan
puskesmas dan selalu memanfaatkan puskesmas ada 51,9%. Artinya fakta
jarak dan transportasi menjadi kendala bagi masyarakat untuk menjangkau
puskesmas sehingga kunjungan masyarakat yang tempat tinggalnya dekat
lebih banyak dari pada penduduk yang tempat tinggalnya jauh. Penelitian ini
juga menyimpulkan faktor–faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan seperti karakteristik individu (persepsi sakit), penyedia
pelayanan kesehatan (ketersediaan tenaga kesehatan) dan aksesibilitas (jarak
tempuh dan sarana transportasi).

d. Waktu tempuh
Arcury et al. (2005) berusaha untuk mengintegrasikan dua domain
geografi kesehatan ke Perilaku Kesehatan Model Anderson yaitu jarak dan
transportasi. Analisis mereka menentukan pentingnya jarak dan transportasi
dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan di pedesaan. Jarak ke perawatan
rutin tidak signifikan secara statistik dari jumlah check-up kunjungan rutin.
Penelitian ini menggunakan jarak untuk mewakili aksesibilitas spasial,
tetapi jarak sering dianggap menjadi ukuran kurang akurat dibandingkan
dengan perjalanan waktu.

50
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Waktu tempuh perjalanan ke pelayanan kesehatan yang lebih besar
ke Rumah sakit telah terjadi Cina antara tahun 1989 – 1997 di wilayah
pedesaan, dimana sebagian besar masyarakat mengalami penurunan jarak
perjalanan ke klinik tetapi peningkatan jarak ke rumah sakit. Ada
peningkatan besar pada kualitas pelayanan di daerah pedesaan yang
penduduknya kaya, tapi tidak di desa-desa miskin. Wilayah pedesaan yang
kaya mengalami sedikit perbaikan dalam waktu perjalanan dan menunggu
ketersediaan obat.

2.9.3. Karakteristik Aspek Spasial pemanfaatan pelayanan kesehatan


a. Kualitas jalan
Beberapa bukti menunjukkan bahwa perbaikan jalan akses atau
pembangunan jalan baru akses ke pedesaan berdampak cukup signifikan
terhadap beberapa aspek, seperti:
o Meningkatkan akses bagi masyarakat terhadap akses kesempatan
kerja dan pusat kesehatan, perkantoran, pendidikan dan
sebagainya.
o Membuka kesempatan kerja pada tahap pelaksanaan konstruksi
khususnya yang menggunakan sistem padat karya.
o Meningkatkan pasokan barang-barang konsumsi import dengan
harga yang murah.
o Meningkatkan ikatan sosial dan integrasi nasional.
o Pembangunan pertanian dengan hasil yang lebih tinggi,
perubahan guna lahan, peningkatan penggunaan kebutuhan
pertanian yang lebih modern dan peningkatan produksi
dipasarkan.
Pola persebaran penemuan kasus TB paru BTA positif selama
tahun 2002-2004 di Kabupaten Sukabumi rata-rata berada pada kecamatan
yang memiliki kerapatan jaringan jalan yang sangat padat (Chandra,
2005).

b. Ketinggian wilayah (Topografi)

51
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Topografi adalah struktur dan ketinggian permukaan tanah,
seringkali menentukan komponen lingkungan atau ekosistem di atas
permukaannya. Misalnya perihal kerapatan oksigen di daerah ketinggian
ribuan meter di atas permukaan laut akan memiliki kerapatan oksigen yang
lebih rendah dibanding derah rendah. Oleh sebab itu secara teoritis,
ditengarai Mycobacterium tuberculosis atau mikroba penyebab penyakit TB
paru tidak tahan hidup lama di lingkungan pegunungan, dan ketinggian juga
mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan (Achmadi, 2008).
Ada dua mekanisme umum yang mempengaruhi penyebaran TB
paru di daerah dataran tinggi yaitu:
a. Berkurangnya kemampuan bertahan hidup Mycobacterium
tuberculosis dikarenakan kelembaban udara di dataran tinggi yang
rendah dan daerah dataran tinggi terpapar lebih besar intensitas
ultraviolet (UV).
b. Adanya kekebalan tubuh terhadap penyakit TB paru yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya reaksi oksigen dalam tubuh atau faktor
genetik yang sudah menetap pada populasi yang tinggal di dataran
tinggi (Olender, 2003).

52
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


2.10.Ringkasan Kepustakaan Aspek Predisposing, Enabling, Need dan
spasial pemanfaatan pelayanan kesehatan penderita TB paru
Metode Variabel
Kepustakaan Hasil
Penelitian independen
Kistemann, Thomas., GIS Kepadatan Ada hubungan yang kuat
Munzinger, Annete., Chi square penduduk dari penduduk pendatang
Dangendorf. (2002). Spatial Kepadatan yang berusia muda
Patterns of TB Incidence in hunian dengan kejadian TB
Cologne (Germany). Social Etnik penduduk
Science & Medicine Kondisi
55(2002)7-19 ekonomi
Davis, JL., Katamba, A., Sistem Model real-time
Vasques, J., et al. (2011). informasi TB monitoring dan evaluasi
Eavaluating Tuberculosis yang baik dapat
case Detection via Real-time meningkatkan penemuan
Monitoring of TB diagnosis kasus baru TB, diagnosis
services. American Journal lebih cepat. Tepat unt
of Respotory and Critical negara yang
Care mendicine.Vol pendapatannya rendah
184:362-367 tapi mempunyai kasus TB
besar
Liu, Yunxia., Jiang, GWR Iklim (CH, Ada hubungan antara
Shiwen.,Wang, Rui. (2011). OLS suhu,kelembapa variabel latent (iklim)
Spatial Epidemiology And Spatial n, zona iklim, dengan kejadian TB dan
Spatial Ecology Of regression lintang-bujur) GWR mampu untuk
Worldwide Drug-Resistant Faktor individu, menganalisa variabel
Tuberculosis. International ekologi spasial yang bersifat
Journal of Health heterogen
Geographics. 10:50
Antos, RMZ.,amador, Ana., GIS (spatio- Soaial-ekonomi Terjadi pergerakan
de Souza, Wayner., et temporal) kejadian TB setiap
al.(2010). A dynamic tahunnya
analysis of Tuberculosis
Dissemination to improve
control and surveilance. PloS
ONE 5(11)
Wang, Tao.,Xue, Spatial Kepadatan Penyebaran kasus TB
Fuzhong.,chen, Yongjin.,et autocorrelation penduduk membentuk
al.(2012). The Spatial mengelompok (cluster)
epidemiology of TB in Linyi
City, China, 2005-2010.
BMC Public Health.12:885

53
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Metode Variabel
Kepustakaan Hasil
Penelitian independen
Touray, T.,Adetifa, M., Jallow, A. et A spatial Jenis kelamin Kejadian TB menbentuk
al. (2010). Spatial analysis of SCAN Usia, tipe TB, Ras pola mengelompok
Tuberculosis in an Urban West statistic berdasarkan analisis
African setting is there evidence of GIS retrospective space–time
clustering. Tropical Medicine and
International Health.Vol:25;664-672
Tiwari, N., Adhikari, CMS., Tewari, Spatial Scan Kejadian TB menbentuk
Ajoy., et al. (2006). Investigation of Statistik pola mengelompok
geo-spatial hotspots for occurance of GIS berdasarkan analisis space–
tuberculosis in Almora distric, Inda, time
using GIS nad Spatial Scan Statistic.
International Journal of Health
Geography. Vol 5:33
Nunes, Carla. (2007). Tuberculosis GIS Terdapat 3 wilayah yg
incidence in Portugal:Spatio- Spatio- membentuk cluster yg
temporak clustering. International temporal berbeda th 2000 dan th
Journal of Health Spatial Scan 2004, th 2002 semua
Geographics.Vol:6;30 statistic wilayah portugal membentuk
clustering
Bastida, AZ.,Tellez, MH, Montes, GIS Kejadian TB mengelompok
LP. et al. (2012). Spatial Temporal Scan di seluruh kabupaten
Distribution of TB in the state of Statistic Mexico dan semua dekat
Mexico, Mexico.The Scientific dengan kota Mexiconya
World Journal.vol.2012;ID570278;7
Shu, Wen., Chen, Wei., Zhu, Shiyu., Statistik Jenis kelamin, Faktor usia, lama diagnosis
et al. (2013). Factor Causing Delay multivariat Usia, Pendidikan adalah variabel yang
of Access to TB diagnosis among regresi perkawinan mempengaruhi
new, Active TB patients: A logistik Pendapatan,
prospective Cohort Study. Asia merokok, sputum,
Pasific Journal of PH;XX(X);1-9 lama diagnosis
Dhuria, meera.,Sharma, Case- Kualitas hidup Efek DOTS dan kualitas
Nandini.,Singh, NP.,et al.(2009).A Controls Kondisi fisik, hidup pada wanita lbh baik.
study of impact of tuberculosis 0n the Statistik Psikologis, Hubungan sosial dari
effect after treatment with DOTS. ANOVA Hubungan sosial kualitas hidup mempunyai
Asia-Pasific Journal of Public Health lingkungan efek negatif
vol.21;3;312-320
Sharma, Nandini.,Nath, Kualitatif Sumber informasi, TV sebagai sumber
Anita.,Taneja, DK.,et al.(2009).A (FGD, in- kepercayaan informasi yang dapat
Qualitative Evaluation of the dept tentang TB diterima oleh penderita TB
information,education,and interviews) dibandingkan kampanye
communication Component of TB petugas kesehatan. mereka
Control Program in Delhi, India. masih pergi ke pelayanan
Asia-Pasific Journal of Public kesehatan milik pemerintah.
Health,Vol.21:3;321-332.
Harling, Guy., Ehrlich, Rodney., Analisis Demografi, Pada tingkat individu dan
Myer, landon. (2008). The social multilevel perilaku, rumah tangga pendidkan
epidemiology of tuberculosis in south pendidikan, rendah, tdk bekerja menjadi
africa:a multilevel analysis. Social pekerjaan, penyebab tingginya kasus Tb
Science&Medicine.Vol:66;492-505 pekerjaan, status di level individu.
gizi

54
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Metode Variabel
Kepustakaan Hasil
Penelitian independen
Ohn, S Akin. William H Dow. Peter Regresi Jarak klinik, Desa kaya mengalami sedikit
M Lance, and Chung-Ping A Loh.( linear ganda waktu perbaikan dalam waktu
2005) Changes in tunggu, biaya perjalanan dan menunggu
access to health care in China, pengobatan ketersediaan obat
1989–1997.Health Policy and
Planning., Mar 2005; 20: 80 - 89.
Schoeps, Anja. Sabine Gabrysch, Regresi Cox Kematian aksesibilitas geografis perawatan
Louis Niamba, Ali Sié, and Heiko bayi, balita, kesehatan bagi kelangsungan
Becher. (2011). The Effect of jarak, waktu, hidup anak di sub - Sahara Afrika
Distance to Health-Care Facilities kondisi dan menunjukkan kebutuhan
on Childhood Mortality in Rural geografis, untuk meningkatkan akses
Burkina Faso. American Journal of kondisi iklim layanan kesehatan
Epidemiology., 1 March 2011; 173:
492 - 498
Dimitrova, B., D. Balabanova, R. kualitatif Sikap Masih adanya stigma negatif
Atun, F. Drobniewski,et al. (2006). petugas, tentang TB ini mengakibatkan
Health service providers' sosial keterlambatan dalam mengakses
perceptions of ekonomi, perawatan
Barriers to tuberculosis care Russ demografi,
ia. Health Policy Plan, July 2006; pengetahuan
21: 265 – 274 tentan
pelayanan
kesehatan

55
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 3.
KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Teori


Sebagaimana telah diuraikan pada bab 2, tentang aksesibilitas akses
pelayanan kesehatan, kerangka teori Aday et al. (1980), yang menjelaskan
bahwa 'akses' dalam konteks aksesibilitas ke akses pelayanan kesehatan
dapat didefinisikan sebagai masuknya kelompok populasi tertentu ke sistem
penyediaan layanan kesehatan. Interaksi karakteristik dari sisi suplai dan
sisi permintaan (demand) sebagai akses yang potensial terhadap layanan
kesehatan. Berikut ini adalah kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini.

Gambar 3.1. Kerangka Teori Akses Pelayanan Kesehatan Penderita TB


(modifikasi Aday et al., 1980;Ricketts, 1994; Andersen,1995; Baker,2005)

56
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Kerangka teori menjelaskan tentang pemanfaatan akses pelayanan
kesehatan yang terdiri dari pelayanan umum dan pelayanan khusus atau
spesialis sedangkan Baker (2005) menambahkan jenis akses pelayanan
kesehatan yaitu akses pelayanan kesehatan umum dan akses pelayanan
kesehatan yang swasta. Mereka membuat model akses pelayanan kesehatan
yang dipengaruhi oleh unsur karaktersitik akses pelayanan kesehatan,
individu, dan faktor wilayah (jarak, waktu tempuh)

3.2. Kerangka Konsep


Akses terhadap akses pelayanan kesehatan juga merupakan interaksi
dari dua komponen utama, yaitu keberadaan akses pelayanan kesehatan
(supply side) dan pemanfaat akses pelayanan kesehatan atau sisi demand
(Carino, 1983; Ensor & Cooper, 2004). Konsep akses terhadap sisi
pelaksana akses pelayanan kesehatan (supply) adalah akses pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan atau need dari sisi pengguna
(demand side). Aksesibilitas terhadap akses pelayanan kesehatan secara
sederhana dapat berarti tentang konsep berkeadilan (fairness) dalam akses
pelayanan kesehatan, dan kesamaan kesempatan untuk mendapatkan akses
pelayanan kesehatan (equal opportunity), yang berarti juga kesamaan akses
atau keterjangkauan (equal access) terhadap akses pelayanan kesehatan
(Ricketts, 1994). Akses akses pelayanan kesehatan TB dapat dilihat juga
berdasarkan dari kondisi geografis dan aspek kependudukan (Liu, et al.,
2011).
Berdasarkan teori dari kerangka teori (Gambar 3.1) maka secara
garis besar terdapat beberapa faktor pembentuk akses pelayanan kesehatan,
yaitu faktor predisposisi, yaitu faktor pencetus timbulnya perilaku seperti
fikiran dan motivasi untuk berperilaku. Faktor pemungkin (enabling factor),
yaitu faktor yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana
menjadi perilaku, faktor penguat, yaitu faktor penyerta perilaku yang
memberi ganjaran, insentif atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi
menetap atau lenyapnya perilaku itu. Faktor spasial berupa kondisi
morfologi wilayah dan keberadaan jalan (infrastruktur wilayah). Faktor

57
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Usaha Kesehatan Berbasis Masyarakat adalah merupakan bagian dari faktor
pendukung (reinforcing factors) untuk pasien TB dalam melakukan akses
pelayanan kesehatan.

Gambar 3.2. Kerangka konsep penelitian Model Akses Pelayanan Kesehatan


Pasien TB

Objek penelitian ini adalah pasien adalah penduduk berumur 15 tahun


keatas yang mengalami gejala penyakit TB (batuk berdahak lebih 3
minggu, batuk berdahak/berdarah) dan pernah didiagnosis menderita
Tuberkulosis Paru oleh tenaga kesehatan (dalam 1 tahun terakhir atau lebih)
(Sumber : Kuesioner Riskesdas 2013: RKD13.IND A16 - A18).

58
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Sedangkan akses pelayanan kesehatan dapat diartikan adalah pasien
TB yang mencari dan memanfaatkan akses pelayanan sesuai dengan
kebutuhan bagi pasien TB. Pemanfaatan akses pelayanan kesehatan tersebut
adalah pemeriksaan diri (pemeriksaan dahak menunjukkan TB atau
pemeriksaan foto rontgen menunjukkan TB) dan mendapatkan obat anti TB
(Sumber : Kuesioner Riskesdas 2013: RKD13.IND A19a-b, A20).
Variabel bebas, yang akan menerangkan kejadian pada akses
pelayanan kesehatan TB dikelompokkan ke dalam 3 aspek yaitu;
1. Faktor individu yang berhubungan dengan penguna pemanfaatan akses
pelayanan kesehatan yang meliputi faktor demografi (umur, status
perkawinan), faktor kondisi sosial (pendidikan, pekerjaan) kemampuan
keluarga (tingkat ekonomi, asuransi kesehatan),
2. Akses fisik, adalah akses menuju ke akses pelayanan kesehatan yang
dipengaruhi oleh kondisi wilayahnya berupa jalan, penggunaan alat
transportasi dan waktu tempuh.
3. Aspek fasilitas kesehatan, adalah ketersediaan fasilitas akses pelayanan
kesehatan bagi pasien dengan TB, jenis puskesmas rujukan TB, jumlah
puskesmas, jumlah dokter dan jumlah Rumah Sakit.
4. Aspek Fakta/kondisi wilayah, adalah segala aspek yang berhubungan
dengan kondisi nyata wilayah. Variabel yang digunakan adalah kondisi
fisik wilayah (morfologi wilayah), kondisi sosial-ekonomi wilayah
(penduduk miskin dan penduduk melek huruf)
5. Program Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat, diantaranya adalah
masyarakat peduli TB dan pos pelayanan kesehatan (Posyandu).

59
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


3.3.Definisi Operasional
VARIABEL TERIKAT
Akses pelayanan kesehatan
Definisi : Akses pelayanan kesehatan pasien TB dadalah pasien
yang melakukan pemeriksaan dahak menunjukkan TB
atau melakukan foto rontgen menunjukkan TB dan
mendapatkan pengobatan obat anti TB (OAT).
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas : RKD13.IND. A19(a-b) dan A20
Cara Ukur : Akses pelayanan kesehatan pasien TB di ukur
berdasarkan pertanyaan tentang hasil pemeriksaannya
 Akses Pelayanan Kesehatan adalah pasien TB
yang menjawab YA dan TUNGGU HASIL dan
mendapatkan OAT.
 Tidak melakukan akses pelayanan kesehatan
adalah pasien TB yang menjawab TIDAK,
TIDAK DIPERIKSA dan TIDAK TAHU dan
tidak mendapatkan OAT.
Hasil Ukur : Level Individu
0 = Tidak akses
1 = akses
Level wilayah
Persentase pasien TB yang melakukan akses
pelayanan kesehatan.
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

VARIABEL BEBAS
Kondisi Sosial
Usia
Definisi : Adalah usia produktif pasien TB antara 15 – 60 tahun
ketika dilakukan survei.
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.RT
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013
Hasil Ukur : Level Individu
0 = Usia > 60 tahun
1 = Usia 15 – 59 tahun
Level wilayah
Persentase usia < 60 tahun pasien TB terhadap seluruh
pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio
60
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Status Pernikahan
Definisi : Adalah status pernikahan pasien TB saat dilakukan
survei.
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.RT
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013
Hasil ukur : Level Individu
0 = tidak menikah
1 = menikah
Level wilayah
- Persentase status menikah pasien TB terhadap
seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Pendidikan
Definisi : Pendidikan formal pasien TB yang telah ditempuh
terakhir dan dinyatakan lulus/tamat pada saat dilakukan
survei.
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.RT
Cara Ukur Observasi data Riskedas 2013.
- Pendidikan baik adalah orang yang telah
menamatkan pendidikan formalnya.
- Pendidikan Buruk adalah orang yang tidak
sekolah/tidak tamat sekolah.
Hasil Ukur : Level Individu
0 = Pendidikan Buruk
1 = Pendidikan Baik
Level wilayah
- Persentase status menikah pasien TB terhadap
seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Pekerjaan
Definisi : Kegiatan pasien TB/profesi yang menghasilkan uang
61
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


selama sebulan.
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.RT
Cara Ukur Observasi data Riskedas 2013.
Membedakan status pekerjaan :
- Bekerja
- Tidak/belum bekerja
Hasil Ukur Level Individu
0 = tidak Bekerja
1 = Bekerja
Level wilayah
- Persentase status bekerja pasien TB terhadap
seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Kondisi Kemampuan Individu


Status Ekonomi
Definisi : Komposit dari kepemilikan barang-barang tahan lama dan
kepemilikan rumah (Riskedas,2013)
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.RT IX.
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013.
Membedakan tingkat ekonomi :
- Ekonomi baik: kuintil 3 – 5
- Ekonomi rendah : kuintil 1 - 2
Hasil ukur : Level Individu
0 = ekonomi rendah
1 = ekonomi baik
Level wilayah
- Persentase status ekonomi baik pasien TB
terhadap seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Penggunaan Asuransi Kesehatan


62
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Definisi : Adalah penggunaan jaminan pembiayaan kesehatan untuk
keperluan berobat jalan (jenis jaminan pembiayaan
kesehatan dari pemerintah maupun swasta).
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13.IND HA01
Cara Ukur Observasi data Riskedas 2013.
Hasil ukur : Level Individu
0 = Tidak Menggunakan asuransi kesehatan
1 = Menggunakan asuransi kesehatan
Level wilayah
- Persentase status penggunaan asuransi kesehatan
pasien TB terhadap seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Mengetahui jenis fasilitas kesehatan


Definisi : Mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan di sekitar
permukiman. Jenis fasilitas kesehatan tersebut adalah
1. Puskesmas/puskesmas pembantu,
2. Rumah sakit pemerintah,
3. Rumah sakit swasta,
4. Praktek dokter/klinik,
5. Poskesdes/Polindes.
Alat ukur : Kuesioner Riskasdes blok V
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013.
Membedakan status mengetahui jenis fasilitas kesehatan
- Mengetahui (mengetahui semua fasilitas kesehatan
atau 5 jenis fasilitas kesehatan)
- Tidak mengetahui (hanya mengetahui 1 jenis fasilitas
kesehatan)
Hasil Ukur : Level Individu
0 = Tidak Mengetahui
1 = Mengetahui
Level wilayah
- Persentase mengetahui jenis fasilitas kesehatan
pasien TB terhadap seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

63
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Akses Fisik
Waktu tempuh
Definisi : Adalah waktu yang paling cepat dan mudah ke fasilitas
kesehatan terdekat.
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13. RT V
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013.
Membedakan waktu tempuh
- Jika data terdistribusi normal dengan
menggunakan nilai rata-rata
- Jika data tidak terdistribusi normal dengan
menggunakan nilai tengah (median)
Hasil ukur : Persentase waktu tempuh pasien TB terhadap seluruh
pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Level Individu : Nominal
Level wilayah : Rasio

Alat Transportasi
Definisi : Alat transportasi yang bisa digunakan sekali jalan dari
rumah ke fasilitas kesehatan puskesmas atau ke Rumah
sakit (mobil pribadi, kendaraan umum, sepeda motor,
sepeda, perahu, transportasi udara, lainnya).
Alat ukur : Kuesioner Riskesdas RKD13. RT V
Cara ukur : Observasi data Riskedas 2013.
Membedakan menggunakan alat transportasi :
- Menggunakan alat transportasi
- Tidak menggunakan alat transportasi
Hasil ukur : Persentase menggunakan alat transportasi pasien TB
terhadap seluruh pasien TB di Provinsi
Skala ukur : Rasio

Keberadaan jalan
Definisi : Ketersediaan jalan di setiap kabupaten dalam ukuran km
Alat ukur : Data Podes 2010, Provinsi Dalam Angka 2014
Cara Ukur Panjang jalan terhadap seluruh jalan di kabupaten.
Hasil Ukur : persentase panjang jalan
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

64
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Fasilitas Kesehatan
Puskesmas Rujukan Mikroskopis TB (PRM-TB)
Definisi : Adalah puskesmas yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai
puskesmas rujukan mikroskopis TB.
Alat ukur : Kuesioner Rifaskes 2011 blok III-9c
Cara ukur : Observasi data Risfaskes 2011.
Membedakan status Puskesmas :
- Rujukan mikroskopis TB
- Bukan rujukan mikroskopis TB
Hasil Ukur : Persentase puskesmas rujukan mikroskopis TB terhadap
seluruh Puskesmas di Provinsi
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Dokter
Definisi : Adalah jumlah dokter yang tercatat di Puskesmas dan
Rumah Sakit Pemerintah di setiap kabupaten dalam
Provinsi
Alat ukur : Hasil Ringkasan Provinsi Dalam Angka Tahun 2013
Cara ukur : Observasi data Laporan Provinsi Dalam Angka
Hasil Ukur : Persentase dokter
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Puskesmas
Definisi : Adalah jumlah fasilitas kesehatan Puskesmas di setiap
kabupaten dalam provinsi
Alat ukur : Hasil Ringkasan Provinsi Dalam Angka Tahun 2013
Cara ukur : Observasi data Laporan Provinsi Dalam Angka
Hasil Ukur : Persentase puskesmas
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Rumah Sakit
Definisi : Adalah jumlah fasilitas kesehatan Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta di setiap kabupaten dalam
provinsi
Alat ukur : Hasil Ringkasan Provinsi Dalam Angka Tahun 2013
Cara ukur : Observasi data Laporan Provinsi Dalam Angka
Hasil Ukur : Persentase Rumah Sakit
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

65
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Kondisi Fisik Wilayah
Morfologi Wilayah
Definisi : Adalah kondisi morfologi wilayah berdasarkan ketinggian
dan kemiringan lereng.
Alat ukur : Data Podes 2010, Provinsi Dalam Angka 2014
Cara Ukur Observasi kuesioner :
- Landai (lereng < 15%)
- Curam (Lereng > 15%)
Hasil Ukur : persentase jenis morfologi wilayah
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Program Upaya Kesehatatan Berbasis Masyarakat


Masyarakat Peduli TB
Definisi : Persentase Keberadaan Upaya Kesehatan Berbasis
Masyarakat di Provinsi
Alat ukur : Hasil Ringkasan Laporan Risfaskes 2011
Cara ukur : Observasi data Ringkasan Laporan Risfaskes 2011
Hasil Ukur : Perentase masyarakat peduli TB
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)


Definisi : Persentase Posyandu di setiap kabupaten
Alat ukur : Hasil Ringkasan Laporan Risfaskes 2011
Cara ukur : Observasi data Ringkasan Laporan Risfaskes 2011
Hasil Ukur : Persentase posyandu
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah


Penduduk Miskin
Definisi : Jumlah penduduk miskin di setiap kabupaten
Alat ukur : Hasil laporan BPS dalam Angka Provinsi
Cara ukur : Observasi data BPS Dalam Angka Provinsi
Hasil Ukur : Perentase penduduk miskin
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

Penduduk Melek Huruf


Definisi : Persentase Penduduk melek huruf di kabupaten
Alat ukur : Hasil laporan BPS dalam Angka Provinsi
Cara ukur : Observasi data BPS Dalam Angka Provinsi
Hasil Ukur : Perentase penduduk melek huruf
Skala ukur : Level wilayah : Rasio

66
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


3.3.Hipotesis Penelitian
1. Terdapat perbedaan akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Jawa
Barat dan Papua.
2. Terdapat pengaruh karakteristik individu terhadap spasial akses pelayanan
kesehatan pasien TB.
3. Adanya variasi parameter yang terbentuk secara spasial oleh model akses
pelayanan kesehatan pasien TB.
4. Terdapat perbedaan model akses pelayanan kesehatan pasien TB yang
dipengaruhi oleh kondisi spasial, kondisi sosial-ekonomi dan morfologi di
provinsi Jawa Barat dan Papua.
5. Adanya nilai residual yang tinggi dan rendah sekali pada model akhir dari
spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB.

67
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 4.
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Disain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif yang
menggunakan desain potong lintang (cross sectional). Dengan desain studi
potong lintang ini, hubungan variabel dependen dan variabel independen
diamati secara bersamaan pada individu-individu dari populasi pada satu saat
atau periode tertentu.
Penelitian ini memanfaatkan data sekunder dari survei yang dilakukan
oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, Riset Fasilitas
Kesehatan (RIFASKES) tahun 2011, Badan Informasi Geospasial, serta data
dari Badan Pusat Statistik (BPS). Disain Riskesdas 2013 merupakan survei
cross sectional yang bersifat deskriptif. Populasi dalam Riskesdas 2013 adalah
seluruh rumah tangga di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota. Sampel rumah
tangga dan anggota rumah tangga dalam Riskesdas 2013 dirancang terpisah
dengan daftar sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga Susenas 2013.
Riset Fasilitas Kesehatan (RIFASKES) 2011 merupakan salah satu riset
kesehatan nasional yang secara berkala dilakukan oleh Badan Litbangkes,
Kemkes RI, disamping Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Riset Khusus
Kesehatan (Rikus). Rifaskes 2011 dilaksanakan untuk melakukan pengukuran
dan pengamatan data primer serta penelusuran data sekunder untuk mengetahui
situasi terkini kecukupan dan ketepatan supply pada institusi-institusi pelaksana
upaya kesehatan tersebut diatas. Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011
merupakan salah satu riset kesehatan nasional yang secara berkala dilakukan
oleh Badan Litbangkes, Kementerian Kesehatan RI dan dilaksanakan untuk
memperoleh informasi terkini tentang pelayanan kesehatan, yaitu fasilitas
Rumah Sakit Umum (RSU) Pemerintah/Pemerintah Daerah (Pemda),
Puskesmas dan Laboratorium Klinik Mandiri (LKM).

68
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Data Potensi Desa (PODES) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
digunakan sebagai bahan analisis deskripsi terhadap masing-masing potensi
wilayah dari provinsi Jawa Barat dan Papua.

4.2. Lokasi Penelitian


Berdasarkan laporan dari Riskesdas 2013 mengenai tingginya nilai
prevalensi TB yang berada diatas 0,4%, maka lokasi penelitian model spasial
akses pelayanan kesehatan pasien TB paru di 2 provinsi yaitu di provinsi Jawa
Barat dan provinsi Papua. Dua provinsi tersebut mempunyai perbedaan kondisi
sosial-ekonomi dan geografis, serta merupakan 2 provinsi tertinggi nilai
prevalensi TB. Provinsi Jawa Barat mewakili Indonesia bagian barat dan
provinsi Papua mewakili Indonesia bagian timur. Satuan analisis spasial dalam
penelitian ini adalah kabupaten.

4.3. Populasi dan Sampel


Riskesdas merupakan riset kesehatan berbasis komunitas yang dirancang
berskala nasional, propinsi, dan kabupaten/kota. Riskesdas memilih Blok
Sensus (BS) yang telah dikumpulkan dengan memperhatikan status ekonomi
dan rasio perkotaan/pedesaan. Dari setiap provinsi diambil sejumlah BS yang
representatif rumah tangga/anggota rumah tangga di provinsi tersebut. Pada
setiap provinsi diperoleh sampel yang akan diwawancarai yaitu seluruh
anggota rumah tangga usia 15 tahun ke atas. Berdasarkan wawancara,
kuesioner terstruktur ditujukan baik kepada individu pasien TB dalam RT.
Kelompok umur penduduk, baik untuk wawancara kuesioner maupun
pemeriksaan dahak, hanya penduduk berumur 15 tahun keatas dengan jenis
kelamin laki-laki maupun perempuan.
Metode pengumpulan data Riskesdas 2013 menggunakan dua kerangka
sampel untuk penarikan sampel. Tahap pertama yaitu berdasarkan jumlah
rumah tangga hasil Sensus Penduduk tahun 2010, tahap kedua adalah seluruh
bangunan sensus yang didalamnya terdapat rumah tangga biasa.
Desain sampel data Riskesdas berdasarkan tiga estimasi, yaitu estimasi
kabupaten/kota, estimasi provinsi dan estimasi nasional. Desain sampel untuk

69
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


estimasi kabupaten/kota dengan cara memilih sejumlah Primary Sampling Unit
(PSU) yang didalam masuk juga sebagai estimasi provinsi, didalam
kabupaten/kota dipilih seluruh Bangunan Sensus (BS) dengan metode
probability proportional to size (PSU). Estimasi terakhir adalah estimasi
nasional, dengan memilih kabupaten/kota secara probability proportional to
size with Replacement.

4.3.1. Data Individu


Data diperoleh dari Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan
(Badan Litbangkes) Kementrian Kesehatan RI. Data pasien TB dalam
penelitian ini adalah responden yang didiagnosis oleh petugas kesehatan dalam
setahun terakhir atau lebih dan memiliki gejala penyakit TB. Akses pelayanan
kesehatan adalah pasien TB yang melakukan pemeriksaan dahak atau
pemeriksaan foto dada (rontgen) dan mendapatkan obat anti TB.

4.3.2. Data aspek pelayanan kesehatan


Data pelayanan kesehatan menggunakan data yang dikeluarkan oleh
Riset Fasilitas Kesehatan yang dilakukan oleh Badan Litbangkes Kementrian
Kesehatan RI tahun 2011. Rancangan RIFASKES 2011 adalah studi potong
lintang (cross-sectional). Dilakukan secara sensus terhadap RSU
Pemerintah/Pemda, Puskesmas dan LKM di seluruh Indonesia, meliputi 668
RSU Pemerintah/Pemda, 9005 Puskesmas dan 772 LKM (berdasarkan data
Ditjen BUK dan Pusdatin tahun 2010).

4.3.3. Data aspek Spasial


Data spasial dalam penelitian adalah data yang menjelaskan unsur
keruangan, yaitu kondisi jalan, morfologi wilayah, kondisi sosial ekonomi
wilayah (keluarga miskin dan penduduk melek huruf) berasal dari data yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Propinsi (PODES 2011). Data wilayah
berasal dari peta yang dikeluarkan oleh Badan Informasi
Geospasial/Bakosurtanal. Sedangkan waktu tempuh dan alat transportasi
berasal dari data Rumah tangga yang dikeluarkan oleh Riskesdas 2013.

70
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


4.4. Pengolahan Dan Analisis Data
4.4.1. Analisis Deskriptif
Tujuan dari analisis ini adalah untuk menjelaskan atau mendiskripsikan
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Bentuknya tergantung dari
jenis datanya. Untuk data numerik digunakan nilai mean (rata-rata), median,
standard deviasi.
1. Mendeskripsikan atau melihat distribusi frekuensi tiap-tiap variabel yang
diteliti sehingga dapat dilihat besarnya proporsi dari masing-masing
variabel baik itu variabel terikat maupun variable tidak terikat.
2. Secara spasial, analisis deskriptif dengan menggunakan pemetaan
tematik, sehingga terlihat bentuk penyebaran dari nilai variabel-variabel
tersebut berdasarkan letaknya di wilayah.

4.4.2. Analisis Multivariabel


Analisis multivariat dilakukan dengan pemodelan statistik yang berguna
untuk melihat hubungan beberapa variabel independen (karakteristik individu)
dengan variabel dependen (akses pelayanan kesehatan pasien TB) secara
bersamaan. Dalam penelitian ini, analisis multivariat Regresi Logistik dengan
pemodelan prediksi, pemodelan dengan tujuan untuk memperoleh model yang
tediri dari beberapa variabel independen yang dianggap terbaik untuk
memprediksi kejadian variabel dependen. Pada pemodelan ini semua variabel
dianggap penting sehingga estimasi dapat dilakukan estimasi beberapa
koefisien regresi logistik sekaligus.
Analisis regresi logistik adalah salah satu pendekatan model matematis
yang digunakan untuk menganalisis hubungan satu atau beberapa variabel
independen dengan sebuah variabel dependen katagorik yang bersifat
dikotom/binary.
Langkah-langkah dalam pemodelan regresi logistik ganda adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan seleksi bivariat terhadap variabel independen yang telah
dihubungkan dengan variabel dependen. Seleksi ini dilakukan dengan

71
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


melihat variabel yang paling potensial dimasukkan ke dalam model yaitu
variabel yang memiliki nilai p<0,25 atau secara substantif berhubungan.
Variabel-variabel yang lolos seleksi bivariat nantinya akan diikutkan dalam
pemodelan regresi logistik.
2. Memilih variabel yang dianggap penting yang masuk dalam model, dengan
cara mempertahankan variabel yang mempunyai p value < 0,05 dan
mengeluarkan variabel yang p valuenya > 0,05. Pengeluaran variabel tidak
serentak semua yang p valuenya > 0,05, namun dilakukan secara bertahap
dimulai dari variabel yang mempunyai p value terbesar.

4.4.3. Analisis Spasial statistik


4.4.3.1. Geographically Weighted Regression
Geographically Weighted Regression (GWR) adalah model regresi linear
yang dikembangkan oleh Fotheringham, et al., (2002) untuk variabel
terikat yang bersifat kontinyu yang mempertimbangkan aspek lokasi.
Sebelum melakukan analisis GWR maka dilakukan uji analisis untuk
memenuhi syarat-syarat sebelum melakukan analisis GWR.
1. Melakukan analisis bivariat antara masing-masing variabel independen
dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai p
< 0,25, maka variabel tersebut dapat masuk model multivariat. Namun
bisa saja p value > 0,25 tetap diikutkan ke multivariat bila variabel tsb
secara substansi penting.
2. Data terdistribusi secara normal, dengan melihat nilai signifikansi dari
Kolmogorov Smirnov (α > 0,05).
3. Melakukan pengujian adanya kolinearitas. Kolinearitas terjadi bila
antar variabel independen terjadi saling hubungan yang kuat. Untuk
mengetahui adanya kolinearitas dapat dilihat dari nilai koefisien
korelasi R bila nilai r lebih tinggi dari 0,8 maka terjadi kolinearitas.
Selain itu dapat diketahui dari nilai Variance Infllation Factors (VIF)
atau tolerance, bila nilai VIF > 10, atau tolerance sekitar 1 (satu) maka
model terjadi kolinearitas.

72
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Model GWR merupakan model regresi linier lokal yang
menghasilkan dugaan parameter model regresi yang bersifat lokal untuk
setiap titik atau lokasi dimana data tersebut dikumpulkan.
Model GWR dapat diformulasikan sebagai berikut.
( ) ∑ ( )+ ; i=1,2,…,n (4.1)
Dimana
: nilai observasi variabel respon ke-i
: nilai observasi variabel bebas k pada pengamatan ke-i
( ) : nilai intercept model regresi GWR
βk : koefisien regresi
ui , vi : Titik koordinat (lintang, bujur) lokasi i
εi : [ε1 , ε2 ,…, εn]T ~ iidn (0,σ2)
Estimasi parameter model GWR dilakukan dengan menggunakan
metode Weighted Least Square (WLS) yaitu dengan memberikan
pembobot yang berbeda pada setiap lokasi.
Pengujian parameter model GWR dilakukan untuk mengetahui
parameter mana yang signifikan mempengaruhi variabel respon secara
parsial. Estimasi parameter di suatu titik (ui,vi ) akan lebih dipengaruhi
oleh titik-titik yang dekat dengan lokasi (ui,vi) daripada titik-titik yang
lebih jauh. Pemilihan pembobot spasial digunakan untuk menentukan
besarnya pembobot masing-masing lokasi yang berbeda. Salah satu cara
yang digunakan untuk menentukan besarnya pembobot adalah dengan
fungsi Kernel Gaussian dimana juga menggunakan teoritis Bandwith.
Bandwidth merupakan radius suatu lingkaran dimana titik yang berada
dalam radius lingkaran masih dianggap berpengaruh dalam membentuk
parameter model lokasi i. Pemilihan bandwidth optimum menjadi sangat
penting karena akan mempengaruhi ketepatan model terhadap data, yaitu
mengatur varians dan bias dari model (Fotheringham et al., 2002).
Geographically Weighted Regression (GWR) adalah model regresi
yang dikembangkan oleh Fotheringham, Brunsdon, dan Chartlon pada
tahun 2002, untuk variabel independen yang bersifat kontinu yang
mempertimbangkan aspek lokasi. Berbeda dengan regresi global yang nilai
73
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


parameter modelnya konstan untuk semua objek akses pelayanan
kesehatan yang berupa lokasi, maka parameter model GWR ditaksir pada
setiap lokasi. Terdapat dua pilihan yang mungkin untuk tipe Kernel yaitu
fixed dan adaptif. Sebuah kernel spasial digunakan untuk memberikan
dalam model. Dalam penelitian ini menggunakan bobot geografis model
Kernel Fixed bi-square sebab wilayah akses pelayanan kesehatan yang
baik cukup teratur diposisikan di daerah penelitian.
Fungsi kernel digunakan untuk mengestimasi paramater dalam
model GWR jika fungsi jarak adalah fungsi yang kontinu dan monoton
turun Pembobot yang terbentuk dengan menggunakan fungsi kernel ini
adalah fungsi jarak Gaussian (Gaussian Distance Function), fungsi
Exponential, fungsi Bisquare, dan fungsi kernel Tricube.

(4.3)

(4.4)

(4.5)

(4.6)

Dengan nilai √( ) √( ) adalah jarak


eucliden anatara lokasi. Sedangkan h adalah parameter non negatif yang
diketahui dan biasanya disebut parameter penghalus (bandwidth).
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk memilih
bandwidth optimum, salah satunya adalah metode Cross Validation (CV)
yang secara matematis di defiisikan sebagai berikut (Fotheringham et al.,
2002).
74
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


(4.7)

Dimana ̂ ( ) adalah nilai penaksir dari yi dimana pengamatan di lokasi


(ui,vj) dihilangkan daro proses estimasi. Untuk mendapatkan nilai h yang
optimal maka diperoleh dari nilai h yang menghasilkan nilai CV
minimum.
Adapun langkah-langkah menganalisis model GWR adalah :
a. Analisis uji normalitas data dengan menggunakan analisis
Kolmogorov Smirnov.
b. Kemudian dilakukan analisis korelasi, dengan menggunakan nilai
korelasi peason, dimana jika nilai korelasi peason lebih besar dari 0,8.
c. Pemeriksaan kolinearitas berikutnya adalah dengan melihat nilai
Variance Infliation Factor (VIF), dimana jika terdapat VIF lebih besar
dari 10 maka terdapat indikasi multikolineraitas.
d. Menentukan ui dan vj berdasarkan garis lintang dan garis bujur untuk
setiap provinsi di provinsi Papua dan provinsi Jawa Barat.
e. Menghitung jarak Euclidian antar lokasi pengamatan berdasarkan
posisi geografis. Jarak Euclidian antara lokasi I yang terletak pada
koordinat (ui ,vj). Perhitungan ini dilakukan untuk seluruh lokasi
pengamatan.
f. Menentukan bandwith optimum.
g. Menghitung matriks pembobot dengan menggunakan fungsi Kernel
Gaussian.
h. Mengestimasi parameter model GWR dengan menggunakan
bandwidth optimum.
i. Melakukan uji goodness of fit pada model GWR.
j. Mendapatkan model GWR akses pelayanan kesehatan pasien TB.
k. Menggambarkan Pemodelan akses pelayanan kesehatan TB di dalam
bentuk peta.
Berdasarkan model GWR pada persamaan (4.1), jika tidak semua
variabel prediktor mempunyai pengaruh secara lokal, maka sebagian
berpengaruh secara global, maka model yang seperti ini dinamakan model

75
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR). Pada model
MGWR beberapa koefisien pada model GWR diasumsikan konstan untuk
seluruh lokasi pengamatan sedangkan yang lain bervariasi sesuai lokasi
pengamatan data (Fotheringham et al., 2002). Model MGWR lokal dapat
dituliskan sebagai berikut:

(4.8.)
Estimasi parameter pada model MGWR dapat dilakukan dengan
metode WLS seperti halnya pada model GWR (Fotheringham, et al.,
2002). Hasil analisis pemodelan dari MGWR mengahsilkan 2 jenis
parameter yang bersifat global dan lokal sesuai dengan lokasi pengamatan
data, yaitu
 Parameter yang bersifat global adalah variabel yang mempunyai
pengaruh di seluruh wilayah pengamatan (kabupaten).
 Parameter yang bersifat lokal adalah variabel yang mempunyai
pengaruh spasial atau adanya interaksi spasial di setiap masing-masing
kabupaten.

4.4.3.2.Spatial autokorelasi
Indeks Moran
Indeks Moran paling sering digunakan untuk mengukur
autokorelasi spasial global dan mengkuantifikasi kesamaan dari variabel
hasil antar wilayah (area) yang didefinisikan sebagai spasial terkait. Hal
tersebut dapat diterapkan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan
spasial. Permulaan dari keacakan spasial mengindikasikan pola spasial
seperti berkelompok atau membentuk tren terhadap ruang (Pfeiffer et al.,
2008). Formula Indeks Moran adalah sebagai berikut,

(4.8)
Dimana :
I : Indeks Moran

76
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Wij : indeks analisis spasial kedekatan antar kabupaten
n : banyaknya kabupaten
Xi : % jumlah varb X kab ke- i
Xj : % jumlah varb X kab ke- j
Dalam penentuan hubungan spasial yang ada dalam Indeks Moran
ini didasarkan pada hipotesis pembobotan sebagai berikut (Pfeiffer et al.,
2008) :

(4.9)

(4.10)

Bentuk pola penyebaran spasial adalah :


 Nilai I > E(I) mempunyai pola spasial mengelompok
 Nilai I < E(I) mempunyai pola menyebar.

4.5. Analisis Residual Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Angka residual dari model regresi berguna dalam menduga
kecocokan model. Di dalam konsep regresi linier residu adalah semua hal
yang mungkin mempengaruhi variabel terikat (Y), yang tidak diamati
dalam penelitian ini. Nilai residual merupakan hasil pengurangan dari nilai
Y aslinya terhadap nilai ̂ hasil prediksinya ( ̂ ) . Residual adalah
selisih antara nilai duga (predicted value) dengan nilai pengamatan
sebenarnya apabila data yang digunakan adalah data sampel. Nilai residual
adalah ketidaktepatan dalam memprediksi data sampel, adanya asumsi
bahwa kesalahan random akan terjadi, tetapi kesalahan tersebut merupakan
estimasi kesalahan random yang sebenarnya pada populasi (ε), bukan
semata hanya kesalahan prediksi dalam sampel (e) (Gujarati,2005).
Nilai residu positif yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat
variabel lokal kurang memberikan kontribusi terhadap akses pelayanan
kesehatan, sehingga hasil persamaan dari ̂ mempunyai nilai yang kurang
dari nilai Y aslinya atau nilai akses pelayanan kesehatan. Nilai residu
negatif tinggi, menunjukkan bahwa variabel lokal memberikan kontribusi
77
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


yang besar terhadap akses pelayanan kesehatan, dimana nilai ̂
mempunyai nilai yang lebih tinggi dari nilai Y aslinya.
Hasil analisis nilai residual model spasial akses pelayanan
kesehatan dengan nilai akses pelayanan kesehatan terbagi dalam empat
kelompok wilayah, yaitu
 Wilayah I : Akses pelayanan kesehatan tinggi dan nilai residual positif.
 Wilayah II : Akses pelayanan kesehatan rendah dan nilai residual positif.
 Wilayah III : Akses pelayanan kesehatan rendah dan nilai residual negatif.
 Wilayah IV : Akses pelayanan kesehatan tinggi dan nilai residual negatif.

4.6. Matriks Metode Penelitian


No Tujuan Metode Analisis Keluaran
1. Menganalisis secara Deskriptif :  Analisis deskriptif
deskriptif akses  Analisa univariat dari setiap variabel
pelayanan kesehatan Pemetaan tematik dari
pasien TB setiap aspek
2. Menganalisis faktor  Analisis Regresi  Determinan individu
individu pasien TB logistik ganda terhadap akses
terhadap akses pelayanan kesehatan.
pelayanan kesehatan
3 Mendapatkan model Geographically Weighted  Model spasial akses
spasial akses pelayanan Regression (GWR) pelayanan kesehatan
kesehatan pasien TB pasien TB.
Spasial autocorrelation  Pola penyebaran
(Indeks Moran) spasial akses
pelayanan kesehatan
pasien TB.
4 Rekomendasi Analisis deskriptif:  Strategi dan arah
 Analisis Scatter plot kebijakan
residual model dan pembangunan
akses pelayanan kesehatan untuk
kesehatan program TB

78
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 5.
HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian


Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5o50’ - 7o50’
Lintang Selatan dan 104o48’-108o48’ Bujur Timur. Batas administrasi adalah
sebagai berikut, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI
Jakarta, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, di sebelah
selatan dengan Samudra Indonesia dan di sebelah barat berbatasan dengan
Provinsi Banten.
Provinsi Jawa Barat memiliki wilayah daratan seluas 3.710.061,32
hektar, dimana sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan laut sehingga
wilayah Jawa Barat memiliki garis pantai yang panjang, yaitu sekitar 755,83
km. Menurut kontur permukaan tanahnya, daratan Jawa Barat dapat dibedakan
yaitu wilayah pegunungan curam sekitar 9,5% luas wilayah Jawa Barat,
umumnya terletak di bagian wilayah bagian Selatan dengan ketinggian lebih
dari 1.500 m di atas permukaan laut (dpl). Wilayah lereng bukit yang landai
sekitar 36,48 % terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10 - 1.500 m dpl;
dan ketiga:wilayah dataran dengan luas 54,03 %, terletak umumnya di wilayah
bagian Utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl (Gambar 5.1). Secara
administratif, Provinsi Jawa Barat mempunyai 17 kabupaten dan 9 kota, 625
kecamatan, 5.254 kelurahan dan 638 desa.

79
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.1. Ketinggian Wilayah Provinsi Jawa Barat

Jumlah Penduduk di Jawa Barat menurut Hasil Survei Sosial Ekonomi


Masyarakat Nasional 2011 (BPS,2013) sebanyak 43.826.775 jiwa, dengan
jumlah penduduk tertinggi di Kabupaten Bogor sebanyak 4.857.612 jiwa
disusul kemudian di Kabupaten Bandung sebanyak 3.235.615 jiwa. Sementara
penduduk terendah ada di Kota Tasikmalaya sebanyak 178.302 jiwa.
Kepadatan Penduduk di Jawa Barat pada tahun 2011 adalah 1.181 orang/km 2,
dengan luas wilayah sebesar 37.116,54 km2. Diantara Kabupaten/kota se Jawa
Barat kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kota Bandung yaitu sebesar
14.491 orang/km2, disusul oleh Kota Cimahi 13.371 orang/km2 dan terendah di
kabupaten Ciamis 569 orang/km2 (Gambar 5.2). Jumlah Penduduk Miskin di
Jawa Barat tahun 2010 sebesar 4.716,00 ribu jiwa. Adapun penduduk miskin
tertinggi berada di kabupaten Bogor yaitu 477,10 ribu jiwa atau 10,12 %, dan
terendah di Kota Banjar sebesar 14,80 ribu jiwa atau 0,31 %. Persentase
penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 10,93 %, tertinggi ada di Kota
Tasikmalaya yaitu sebesar 20,71 %, disusul oleh Kabupaten Cirebon sebesar
16,12 %, terendah ada di Kota Depok 2,84 %.

80
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.2. Kepadatan Penduduk Provinsi Jawa Barat

Provinsi Papua secara geografis terletak pada 124°-132° BT dan 0°- 4°


LS, tepat berada di bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0-100 meter
dari permukaan laut dan memiliki luas 316.553,07 km2 atau 16,70 % dari luas
Indonesia. Di sebelah Utara Provinsi Papua terbentang Samudra Pasifik,
sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda,
Provinsi Maluku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea.
Keadaan topografi Provinsi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah adalah
Kabupaten Merauke dengan ketinggian 3,5 meter diatas permukaan laut,
sedangkan dataran tertinggi adalah Pegunungan Jayawijaya. Di Pegunungan
wilayah terdapat 3 puncak tertinggi yaitu, Puncak Jayawijaya dengan
ketinggian 5,030 m (15.090 ft), puncak Trikora 5.160 m (15.480 ft) dan Puncak
Yamin 5.100 m (15.300 ft). Kota Mulia (Puncak Jaya) merupakan kota
tertinggi dan terdingin dengan ketinggian 1.000 – 3.000 meter di atas
permukaan laut (Gambar 5.3.).

81
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.3. Ketinggian Wilayah Provinsi Papua

Jumlah penduduk Papua tahun 2012 (BPS, 2013) adalah 3.144.581


jiwa. Dilihat menurut jenis kelamin, jumlah penduduk Papua tahun 2012 lebih
banyak berjenis kelamin laki-laki (1.664.076 jiwa) dibandingkan jumlah
penduduk berjenis kelamin perempuan (1.480.505 jiwa). Dengan luas wilayah
316.553,10 km2, kepadatan penduduk di Papua sebanyak 9 jiwa per km 2.
Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 288 jiwa per km2, diikuti
Kabupaten Jayawijaya (96 jiwa per km2) dan Kabupaten Mimika (88 jiwa per
km2). Sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Mamberamo Raya,
yakni kurang dari 1 jiwa per km2 (Gambar 5.4)

82
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.4. Kepadatan Penduduk Provinsi Papua

5.2. Akses pelayanan kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Papua


Penelitian ini menunjukkan bahwa provinsi Papua mempunyai jumlah
Pasien TB yang tertinggi, dari total responden yang di survei oleh Risksedas
2013, Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pasien TB di provinsi Jawa Barat sebesar
2,64% dari 77.701 responden di provinsi Jawa Barat, sedangkan provinsi
Papua sebanyak 2,85% dari 33.014 responden di provinsi Papua.

Tabel 5.1. Gambaran Pasien TB Berdasarkan


Wilayah Provinsi di 2 provinsi tahun 2013
Total Responden
Provinsi Pasien TB % Pasien TB
per Provinsi
Jawa Barat 2.050 77.701 2,64
Papua 941 33.014 2,85
Grand Total 2.168 110.715 2,70
Sumber : Pengolahan Data Riskesdas, 2013

Pada tabel 5.2, menunjukan bahwa pasien TB yang melakukan


akses pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan.Akses pelayanan
kesehatan pasien TB dalam penelitian adalah responden yang di diagnosis
oleh tenaga kesehatan dan melakukan pemeriksaan dahak atau melakukan

83
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pemeriksaan foto dada dan mendapatkan obat anti TB. Akses pelayanan
kesehatan pasien TB di Provinsi Jawa Barat dari 2.050 orang pasien TB
terdapat sebanyak 908 orang (44,29%) yang melakukan akses pelayanan
kesehatan, sedangkan di provinsi Papua dari 941 pasien TB hanya
sebanyak 335 orang atau sebesar 35,60% yang melakukan akses
pelayanan kesehatan.
Dari hasil perhitungan pada tabel 5.2, menunjukkan bahwa jumlah
pasien yang tidak melakukan akses pelayanan kesehatan di provinsi Papua
sebanyak 64,4%. Di provinsi Papua, terdapat 3 kabupaten di provinsi
Papua yang tidak melakukan akses pelayanan kesehatan, kabupaten
tersebut adalah kabupaten Nduga, kabupatenYalimo, kabupaten Puncak.
Ketiga kabupaten tersebut tidak ada pasien TB yang melakukan
pemeriksaan dahak atau pemeriksaan foto dada dan tidak mendapatkan
OAT.

Tabel 5.2. Pasien TB yang melakukan Akses pelayanan kesehatan


Di Provinsi Jawa Barat dan Papua, 2013
Akses pelayanan kesehatan
Akses Tidak Akses
Provinsi Pasien TB
pelayanan % pelayanan %
kesehatan kesehatan
Jawa Barat 2.050 908 44,29 1.142 55,71
Papua 941 335 35,60 606 64,4
Sumber : Pengolahan Data Riskesdas, 2013

Gambar 5.5. menunjukkan 3 kelas nilai persentase pasien TB yang


berbeda di setiap kabupaten. Gambar 5.5. memperlihatkan bahwa sebagian
besar wilayah mempunyai rata-rata persentase pasien TB sedang, yang
terdapat di kabupaten Bogor, Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya,
Indramayu, Cirebon dan Kuningan. Persentase data tertinggi terdapat di
Kota Bogor, Kota Cimahi, kota Cirebon dan kabupaten Cianjur.

84
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.5. Persentase Pasien TB di Provinsi Jawa Barat, 2013

Gambar 5.6. Persentase Pasien TB di Provinsi Papua, 2013

Gambar 5.6. menunjukkan persentase pasien TB, dimana nilai


tertinggi di kabupaten Jayapura, kabupaten Intan Jaya, kabupaten Penai,

85
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kabupaten Yahukimo dan kabupaten Tolikara. Sedangkan persentase terdapat
di kabupaten Keerom, kabupaten Memberamo Tengah, kabupaten Asmat,
kabupaten Mimika, kabupaten Nabire.
Pada Gambar 5.7, tentang persentase akses pelayanan kesehatan
pelayanan pasien TB, terdapat tiga kelas kategori. Pada kelas kategori tertinggi
terdapat di kabupaten Cianjur, kota Bekasi, kabupaten Bekasi, kota Bogor dan
kabupaten Purwakarta. Sedangkan dengan nilai kategori terendah terdapat di
kabupeten Indramayu, Kabupaten Sumedang, Kota Depok dan Kabupaten
Ciamis. Pada Gambar 5.8, terdapat kabupaten yang tidak melakukan akses
pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan. kabupaten tersebut adalah
kabupaten Nduga, Yalimo dan Puncak. Persentase tertinggi terdapat di
kabupaten Paniai, Deiyai, Mamberamo Raya, Tolikara, Jayapura, Keerom,
Yahukimo, Mappi, Biak Numfor dan kota Jayapura.

Gambar 5.7. Persentase Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Di Provinsi Jawa Barat

86
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.8. Persentase Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Di Provinsi
Papua, 2013

5.3. Gambaran Umum Karakteristik Pasien TB di Provinsi Jawa Barat dan


Papua

Tabel 5.3. Gambaran Umum Karakteristik Individu Pasien TB


Akses pelayanan kesehatan
Variabel Jawa Barat Papua
n % n %
Usia
15 - 29 202 22,25 71 21,19
30 - 59 547 60,24 219 65,37
> 60 159 17,51 45 13,43
Status kawin
Belum menikah 153 16,85 35 10,45
Menikah 660 72,69 270 80,60
Hidup Bersama - - 3 0,90
Cerai hidup 23 2,53 9 2,69
Hidup terpisah 3 0,33 1 0,30
Cerai mati 69 7,60 17 5,07

87
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Tabel 5.3. (Lanjutan)
Gambaran Umum Karakteristik Individu Pasien TB
Akses pelayanan kesehatan
Variabel Jawa Barat Papua
n % n %
Tingkat Pendidikan
Tidak/belum pernah sekolah 43 4,74 30 22,56
Tidak tamat SD/MI 114 12,56 23 17,29
Tamat SD/MI 384 42,29 24 18,05
Tamat SLTP/MTS 148 16,30 21 15,79
Tamat SLTA/MA 185 20,37 24 18,05
Tamat D1/D2/D3 12 1,32 4 3,01
Tamat PT 22 2,42 7 5,26
Status Bekerja
Tidak Bekerja 369 40,64 43 32,33
Bekerja 473 52,09 84 63,16
Sedang Mencari Kerja 10 1,10 1 0,75
Sekolah 56 6,17 5 3,76
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 81 8,92 223 66,57
Kuintil 2 229 25,22 57 17,01
Kuintil 3 251 27,64 30 8,96
Kuintil 4 232 25,55 15 4,48
Kuintil 5 115 12,67 10 2,99
Metode Pembayaran
Membayar sendiri 52 5,73 99 29,55
Menggunakan Asuransi 856 94,27 236 70,45
Menggunakan Kendaraan
Mobil Pribadi 10 1,10 3 2,29
Kendaraan Umum 226 24,89 40 30,53
Sepeda Motor 388 42,73 66 50,38
Sepeda 9 0,99 3 2,29
Perahu - - 19 14,50
Waktu Tempuh
Waktu < 15 menit 571 62,89 210 62,69
Waktu 15 – 30 menit 337 37,11 125 37,31
Mengetahui Jenis fasilitas kesehatan
Mengetahui 798 87,89 94 28,06
Tidak Mengetahui 110 12,11 241 71,94
Sumber : Pengolahan Data Riskesdas, 2013

Pada Tabel 5.3, menjelaskan tentang gambaran umum karakteristik


pasien TB di provinsi Jawa Barat dan Papua. Pada tingkat pendidikan, pasien
TB di provinsi Jawa Barat dengan tingkat pendidikan paling banyak berasal

88
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


dari tingkat pendikan tamat SD/MI melakukan akses pelayanan sebanyak
42,29% sedangkan di provinsi Papua tingkat pendidikan pasien TB terbanyak
adalah tidak/belum pernah sekolah, yaitu sebanyak 22,56%.
Berdasarkan status bekerja, di provinsi Jawa Barat sebanyak 53,09%
pasien TB yang bekerja dan melakukan akses pelayanan kesehatan dan di
provinsi Papua sebanyak 63,16%. Tingkat ekonomi pasien TB yang melakukan
akses pelayanan keseshatan di provinsi Jawa Barat sebagian besar terdapat di
kuintil 3 (27,64%) sedangkan di provinsi Papua tingkat ekonomi kuintil 1
mempunyai jumlah terbesar, yaitu sebanyak 66,57%. Penggunaan asuransi
kesehatan sebagai alat pembayaran ternyata mempunyai jumlah terbesar,
dimana terdapat 94,27% pasien TB di provinsi Jawa Barat dan di provinsi
Papua sebanyak 70,45% pasien TB yang menggunakan asuransi kesehatan
dalam melakukan akses pelayanan kesehatan. Dalam melakukan akses
pelayanan kesehatan sebagian besar pasien TB menggunakan alat transportasi
darat, dimana terdapat 42,73% pasien TB yang menggunakan kendaraan jenis
sepeda motor untuk ke fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan di provinsi
Papua terdapat 14,50% pasien TB yang menggunakan alat transportasi air,
yaitu menggunakan perahu ketika melakukan akses pelayanan.

5.4. Gambaran Fasilitas Kesehatan


Tabel 5.4. menunjukkan nilai persentase puskesmas rujukan
mikroskopis TB yang berasal dari jumlah puskesmas PRM-TB terhadap
seluruh jumlah puskesmas di setiap kabupaten. Nilai persentase puskesmas
PRM-TB yang tertinggi ada di provinsi Jawa Barat (41,19%).

Tabel 5.4. Persentase Puskesmas PRM-TB Provinsi Jawa Barat dan Papua
Std. 95% CI for Mean
Variabel Mean Median
Deviation min maks
Provinsi Jawa Barat
Puskesmas Rujukan
41,19 41,62 43,47 35,96 46,41
Mikroskopis TB
Provinsi Papua
Puskesmas Rujukan
22,80 15,00 24,85 12,76 32,84
Mikroskopis TB
Sumber : Pengolahan Data Risfaskes, 2011

89
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Tabel 5.5 menunjukkan persentase fasilitas kesehatan yang terdiri dari
Rumah sakit, Puskesmas, Dokter. Data di Tabel 5.5 menunjukkan bahwa
provinsi Jawa Barat mempunyai jumlah persentase yang tertinggi dibandingkan
dengan provinsi Papua.

Tabel 5.5. Persentase Fasilitas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Papua
Std. 95% CI for Mean
Variabel Mean Median
Deviation min maks
Provinsi Jawa Barat
Rumah Sakit 3,85 3,55 2,66 2,38 5,32
Puskesmas 3,82 3,71 3,64 3,01 4,64
Dokter 3,87 3,69 3,50 3,06 4,67
Provinsi Papua
Puskesmas 3,62 3,05 1,88 2,86 4,38
Rumah Sakit 3,85 2,86 4,98 1,84 5,86
Dokter 3,85 1,76 7,77 0,71 6,98
Sumber : Pengolahan Data Risfaskes, 2011

5.5. Gambaran Program Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat


(UKBM)
Keberadaan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM)
yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi Puskesmas sebagai Pusat
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kesehatan. Jenis UKBM yang
dikumpulkan Kelompok Peduli TB Paru dan Posyandu. (Risfakses, 2011).

Tabel 5.6. Persentase Program UKBM TB di Puskesmas


Std. 95% CI for mean
Variabel Mean
Deviation Min Maks
Provinsi Jawa Barat
Posyandu 98,56 2,55 97,53 99,59
Masyarakat Peduli TB 27,88 15,99 21,42 34,34
Provinsi Papua
Posyandu 80,11 10,49 71,99 88,26
Masyarakat Peduli TB 6,22 10,49 1,98 10,46
Sumber : Pengolahan Data BPS, 2013

Kegiatan UKBM posyandu di provinsi Jawa Barat mempunyai nilai


persentase tertinggi, yaitu 98,56% sedangkan di provinsi Papua sebesar
90
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


80,11%. Kelompok masyarakat peduli TB di provinsi Papua hanya sebesar
6,22% sedangkan di provinsi Jawa Barat sebesar 27,88%. Pada Tabel 5.8
menunjukkan bahwa provinsi Jawa Barat mempunyai nilai persentase
Posyandu yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi Papua.

5.6. Gambaran Umum Kondisi Sosial-Ekonomi Wilayah


Untuk melihat kondisi pembangunan masyarakat pada bidang sosial
dapat diindikasikan dengan angka melek huruf dan penduduk miskin.

Tabel 5.7. Persentase Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah


Std. 95% CI for mean
Variabel Mean
Deviation Min Maks
Provinsi Jawa Barat
Penduduk Miskin 10,98 3,90 9,41 12,56
Penduduk Melek Huruf 95,26 4,25 93,54 96,98
Provinsi Papua
Penduduk Miskin 32,25 9,67 28,34 36,15
Penduduk Melek Huruf 61,45 29,46 49,55 73,35
Sumber : Pengolahan Data BPS, 2013

Kondisi penduduk miskin di provinsi Papua mempunyai nilai


persentase tertinggi, yaitu 32,25% sedangkan di provinsi Jawa Barat sebesar
10,98%. Secara keseluruhan, kondisi sosial ekonomi wilayah, provinsi Papua
masih mempunyai nilai persentase yang rendah dibandingkan dengan provinsi
Jawa Barat.

91
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.9. Sebaran masalah sosial ekonomi Provinsi Jawa Barat

Berdasarkan Gambar 5.9, sebaran masalah sosial ekonomi yang


tinggi di provinsi Jawa Barat ditunjukkan dengan warna merah yang paling
gelap dan berada di sebelah barat provinsi Jawa Barat.

92
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.10. Sebaran Masalah Sosial Ekonomi Provinsi Papua
Masalah sosial ekonomi wilayah di provinsi papua dapat dilihat pada
Gambar 5.10, dimana sebagian besar dalam kategori sedang dan berada di
sebeelah timur provinsi Papua, sedangkan masalah sosial ekonomi yang
tinggi berada di tengah dari provinsi.

5.7. Model Hubungan Karakteristik Individu Terhadap Pelayanan


Kesehatan Pasien TB
5.7.1. Provinsi Jawa Barat
Untuk dapat mengetahui hubungan antara karakteristik individu
dengan aksesibilitas pelayanan kesehatan pasien TB, tidak cukup hanya
dengan melakukan analisis hubungan dua variabel, tetapi juga diperlukan
analisis multivariabel. Analisis multivariabel yang dilakukan adalah regresi
logistik ganda dengan tahapan awal adalah seleksi bivariat dilakukan dengan
memilih variabel-variabel yang dapat masuk ke dalam pemodelan multivariat.
Pada analisis bivariat, variabel yang masuk dalam pemodelan apabila
memiliki nilai p≤0,25. Sebaliknya variabel yang memiliki nilai p>0,25 tidak
dimasukkan dalam pemodelan, namun apabila variabel tersebut secara
substansi penting maka boleh tetap masuk ke model. Berdasarkan hasil seleksi
bivariat menunjukan bahwa variabel menikah, penggunaan asuransi kesehatan
dan mengetahui jenis fasilitas pelayanan kesehatan masuk sebagai kandidat
model, sebab nilai p-value < 0,25.
Setelah dilakukan seleksi bivariat maka dilakukan analisis multivariat
ganda, pada tahapan awal adalah dengan melakukan penngecekan nilai p-
value yang kurang dari 0,05 akan masuk sebagai kandidat variabel untuk
model akhir regresi logistik.

93
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Tabel 5.8. Model Akhir Analisis Multivariat Provinsi Jawa Barat
Variabel P-value SE OR 95% CI
Status Menikah
 Tidak Menikah 0,001 0,121 1
 Menikah 1,285 1,026 – 1,648
Penggunaan Asuransi
 Tidak Menggunakan 0,001 0,125 1
 Menggunakan 1,581 1,239 – 2,019
Mengetahui Jenis Fasilitas
Kesehatan
 Tidak Mengetahui 0,012 0,373 1
 Mengetahui 2,551 0,319 – 0,702
Sumber : hasil Pengolahan data Riskesdas, 2013

Berdasarkan model akhir di provinsi Jawa Barat, didapatkan bahwa


variabel yang membentuk model determinan individu pada akses pelayanan
kesehatan kesehatan di provinsi Jawa Barat adalah status menikah,
menggunakan asuransi kesehatan, dan mengetahui jenis fasilitas pelayanan
kesehatan.
Hasil Tabel 5.8 menunjukkan bahwa status menikah mempunyai
hubungan yang signifikan (P-value = 0,001) dengan akses pelayanan
kesehatan, dengan nilai OR = 1,285, artinya pasien TB dengan status menikah
mempunyai peluang 1,285 kali untuk melakukan akses pelayanan kesehtatan
dibandingkan dengan pasien TB dengan status tidak menikah.
Penggunaan asuransi kesehatan juga menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan akses pelayanan kesehatan (P-value=0,001) dengan nilai
OR sebesar 1,581, sehingga artinya pasien TB yang menggunakan asuransi
kesehatan mempunyai peluang 1,581 kali melakukan akses pelayanan
kesehatan dibandingkan pasien yang tidak menggunakan asuransi kesehatan.
Mengetahui jenis fasilitas kesehatan bagi pasien TB mempunyai
hubungan yang signifikan dengan akses pelayanan kesehatan (P-value=0,012),
nilai OR-nya adalah 2,551 yang artinya pasien TB yang mengetahui jenis
pelayanan kesehatan mempunyai peluang 2,551 kali dibandingkan pasien TB
yang tidak mengetahui jenis fasilitas kesehatan.

94
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


5.7.1. Provinsi Papua
Berdasarkan hasil seleksi bivariat menunjukan bahwa variabel usia,
bekerja, penggunaan asuransi kesehatan, pendidikan, menikah, status
ekonomi, mengetahui jenis fasilitas pelayanan kesehatan masuk sebagai
kandidat model, sebab nilai p-value < 0,25.
Setelah dilakukan seleksi bivariat maka dilakukan analisis multivariat
ganda, pada tahapan awal adalah dengan melakukan penngecekan nilai p-
value yang kurang dari 0,05 akan masuk sebagai kandidat variabel untuk
model akhir regresi logistik. Model akhir yang terbentuk adalah sebagai
berikut :
Tabel 5.9. Model Akhir Analisis Multivariat Provinsi Papua
Variabel P-value SE OR 95% CI
Usia
> 60 tahun
0,001 0,292
1
< 60 tahun
0,388 0,299 – 0,688
Bekerja
Tidak Bekerja
0,005 0,167
1
Bekerja
1,601 1,153 – 2,221
Penggunaan Asuransi
 Tidak Menggunakan 0,037 0,210 1
 Menggunakan 1,549 1,026 – 2,338
Mengetahui Jenis Fasilitas
Kesehatan
Tidak Mengetahui 0,0001 0,201
1
Mengetahui
0,477 0,317 – 0,718
Sumber : hasil Pengolahan data Riskesdas, 2013

Model akhir dari analisis ini menunjukkan variabel usia, bekerja,


menggunakan asuransi kesehatan dan mengetahui jenis fasilitas kesehatan
adalah variabel-varaibel yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan. Hasil
Tabel 5.9. menunjukkan bahwa usia mempunyai hubungan yang signifikan (P-
value = 0,001) dengan akses pelayanan kesehatan, dengan nilai OR = 0,388,
artinya faktor usia pasien TB < 60 tahun mempunyai peluang 0,388 kali untuk
melakukan akses pelayanan kesehtatan dibandingkan dengan pasien TB dengan
usia pasien > 60 tahun.
95
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Pasien TB yang bekerja juga menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan akses pelayanan kesehatan (P-value=0,005) dengan nilai OR sebesar
1,601, sehingga artinya pasien TB yang bekerja mempunyai peluang 1,601
kali melakukan akses pelayanan kesehatan dibandingkan pasien yang tidak
bekerja. Menggunakan asuransi kesehatan juga menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan akses pelayanan kesehatan (P-value=0,037) dengan nilai
OR sebesar 1,549, sehingga artinya pasien TB yang bekerja mempunyai
peluang 1,549 kali melakukan akses pelayanan kesehatan dibandingkan pasien
yang tidak bekerja. Mengetahui jenis fasilitas kesehatan bagi pasien TB
mempunyai hubungan yang signifikan dengan akses pelayanan kesehatan (P-
value=0,0001), nilai OR-nya adalah 0,473 yang artinya pasien TB yang
mengetahui jenis pelayanan kesehatan mempunyai peluang 0,473 kali
dibandingkan pasien TB yang tidak mengetahui jenis fasilitas kesehatan.

5.8. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Sebelum melakukan analisis spasial dengan GWR, maka dilakukan
pengujian asumsi pemodelan regresi linier ganda. Pengujian asusmsi untuk
GWR adalah :
1. Asumsi Normalitas. Dengan menggunakan nilai Kolmogorov-Smirnov
pada variabel independennya, jika nilai signifikan KS > 0,05 maka
variabel independen tersbut terdistribusi normal.
2. Asumsi multikolinearitas. Pengujian asumsi multikolinearitas perlu
dilakukan sebelum proses pemodelan regresi. Nilai VIF menunjukkan
bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel independennya, karena
nilainya harus kurang dari 10 (tidak ada multikolinearitas). Untuk
mencegah adanya kolinearitas antara variabel independennya juga
dilakukan analisa bivariat dengan melihat nilai Pearson Correlation <
0,80.
3. Menentukan lintang dan bujur ( ) setiap kabupaten/kota dari peta dasar
yang telah ada.
4. Penentuan Bandwidth Optimum dan Jarak Euclidean. Penentuan ini
untuk menentukan jenis pembobot spasial yang akan digunakan.

96
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Pembobot yang digunakan adalah matrik yang elemennya merupakan
fungsi kernel yang terdiri dari jarak antar lokasi. Sehingga langkah
pertama adalah dengan menentukan lintang dan bujur dari provinsi.
Terdapat tiga fungsi kernel yang akan dibandingkan, yaitu Gaussian,
Bisquare dan Tricube. Masing-masing kernel mempunyai fungsi kernel
fixed dan fungsi kernel adaptive. Fungsi kernel fixed memiliki bandwidth
yang sama untuk semua lokasi pengamatan, sedangkan fungsi kernel
adaptive memiliki bandwith yang berbeda-beda di setiap lokasi
pengamatan.
5. Pengujian kesesuaian model GWR, dengan melihat nilai F hitung
terhadap Ftabel pada tabel goodness of fit model GWR. Dengan
menggunakan α = 0,05 dan jika Fhitung > F tabel maka terdapat variasi
spasial di persamaan GWR, sedangkan jika Fhitung < Ftabel maka tidak
ada variasi spasial di dalam pesamaan GWRnya. Sehingga jika tidak ada
variasi spasial maka dilakukan MGWR (Mix Geographically Weighted
Regression) yaitu dengan menetapan variabel yang bersifat lokal
(spasial) atau variabel yang bersifat global (umum).

5.8.1. Provinsi Jawa Barat


Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa semua variabel
independen mempunyai nilai signifikan KS > 0,05 yang artinya semua variabel
terdistribusi normal. Sehingga semua variabel independen dapat digunakan
untuk analisis selanjutnya.
Hasil perhitungan asumsi kolinearitas, dari nilai Pearson Correlation,
maka terdapat beberapa variabel yang mempunyai nilai Pearson > 0,8. Variabel
tersebut adalah usia, menikah, pendidikan baik, mengetahui jenis fasilitas
pelayanan kesehatan. karena mengetahui jenis pelayanan kesehatan merupakan
bagian dari subtansi, maka variabel tersebut diikutsertakan ke dalam model.
Hasil nilai VIF dari persamaan regresi linier ganda, didapatkan bahwa
menikah mempunyai nilai VIF > 10, maka variabel tersebut tidak
diikutsertakan ke dalam model. Bandwidth optimum sangat penting dalam
menentukan matiks bobot dari suatu lokasike lokasi lainnya. Nilai bandwith

97
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


optimum tiap kabupaten/kota di Jawa Barat menggunakan kernel fixed
gaussian dengan melihat angka CV (Cross Validation). Bandwidth optimum
adalah nilai CV mempunyai nilai yang paling kecil.
Matrik pembobot spasial yang diperoleh untuk tiap-tiap lokasi berupa
nilai lintang dan bujur, kemudian digunakan untuk membentuk model
persamaan MGWR, sehingga setiap lokasi memiliki model yang berbeda.
Rangkuman hasil persamaan tersebut disajikan pada tabel 5.10 Nilai ̂ ( )
adalah nilai estimasi dari setiap lokasi berdasarkan lintang dan bujurnya. Nilai
Mean adalah rata-rata nilai estimasi dari 26 kabupaten/kota di provinsi Jawa
Barat. Hasil pemodelan dengan pendekatan MGWR (Mix Geographically
Weighted Regression) yaitu gabungan antara persamaan MGWR dan
persamaan regresi linier ganda adalah sebagai berikut :

Tabel 5.10. Ringkasan Estimator model MGWR di Provinsi Jawa Barat


Lokal Nilai ̂ ( ) Global
Variabel
Mean Min Maks β
Intercept 1,002 0,37 1,33
Ekonomi Baik 0,168 0,031 0,32
Menggunakan Asuransi
0,324 0,22 0,52
Kesehatan
Menggunakan alat transportasi 0,385 0,183 0,47
Waktu tempuh 15 - 30 menit -0,022 -0,13 0,07
Puskesmas Rujukan
0,0047 0,003 0,06
Mikroskopis TB
Posyandu -0,010 -0,01 0,007
Keberadaan Jalan -0,12 -1,30 -0,001
Jumlah Rumah Sakit -0,01
Jumlah Dokter -0,02
Masyarakat Peduli TB 0,005*
R2 0,923
Adjusted R2 0,882
AICc 25,62
*signifikan α=0,05

Model persamaan MGWR untuk provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :
̂ = β1(ui ,vi)Xk,i + βXi + e (5.1.)

̂ = 1,002 + 0,168(ui,vi)*(ekonomi baik) + 0,324(ui,vi)*(asuransi kesehatan) +


0,385(ui,vi)*(alat transportasi) – 0,022(ui,vi)*(waktu tempuh) +

98
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


0,0047*(rujukan mikroskopis TB) – 0,010(ui,vi)*(Posyandu) –
0,12(ui,vi)*(jalan aspal) - 0,01*(Rumah sakit) – 0,02*(dokter) +
0,005*(masyarakat Peduli TB) + ε (5.2.)

Kesimpulan yang diperoleh model MGWR untuk akses pelayanan kesehatan


adalah :
1. Setiap kenaikan jumlah pasien TB dengan status ekonomi baik sebesar 1
satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan bertambah
sebesar 0,168.
2. Setiap kenaikan jumlah pasien TB menggunakan asuransi kesehatan
sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
bertambah sebesar 0,324.
3. Setiap kenaikan jumlah pasien TB menggunakan alat transportasi sebesar
1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
bertambah sebesar 0,168.
4. Setiap kenaikan jumlah pasien TB menempuh waktu 15 - 30 menit sebesar
1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
berkurang sebesar 0,022.
5. Setiap kenaikan jumlah puskesmas rujukan mikrokopis TB sebesar 1
satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan bertambah
sebesar 0,004.
6. Setiap kenaikan jumlah posyandu sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,01.
7. Setiap kenaikan persentase keberadaan jalan sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar
0,004.
8. Setiap kenaikan persentase masyarakat peduli TB sebesar 1 satuan maka
persentase akses pelayanan kesehatan akan bertambah sebesar 0,0057.
9. Setiap kenaikan persentase Rumah Sakit sebesar 1 satuan maka persentase
akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,01.
10. Setiap kenaikan persentase jumlah dokter sebesar 1 satuan maka
persentase akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,02.

99
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


11. Nilai R-square pemodelan GWR diperoleh sebesar 92,3%, sehingga model
ini baik dalam mengGambarkan variasi Akses Pelayanan Kesehatan pasien
TB pasien TB di Provinsi Jawa Barat. Dari persamaan didapatkan nilai
adjsuted R2 dengan model GWR 82%.
Setelah mendapatkan model persamaan GWR maka dilakukan
pengujian signifikansi variabel model GWR dilakukan untuk mengetahui
parameter mana saja yang berpengaruh signifikan terhadap akses pelayanan
kesehatan pasien TB. Hasil thitung yang didiapatkan akan dibandingkan dengan
nilai ttabel (0,05;17 = 1,729 )dan jika thitung>ttabel maka variabel signifikan pada
tiap lokasi. Berdasarkan hitungan tersebut, maka kabupaten/kota yang
mempunyai nilai signifikan dari persamaan MGWR adalah

Tabel 5.11. Variabel Signifikan Model MGWR di Provinsi Jawa Barat


Variabel Variabel
Kabupaten Kota
Signifikan Signifikan
Bogor X1, X3, X5 Kota Bogor X2, X3
Sukabumi X2, X3 Kota Sukabumi X2, X3
Cianjur X2, X3 Kota Bandung X2, X3
Bandung X1, X2 Kota Cirebon X1, X2, X5
Garut X2, X3 Kota Bekasi X2, X3
Tasikmalaya X2, X3 Kota Depok X2, X3
Ciamis X1, X2, X3, X5 Kota Cimahi X2, X3, X4
Kuningan X2, X3 Kota Tasikmalaya X1, X3
Cirebon X1, X3, X5 Kota Banjar X2
Majalengka X1, X2
Sumedang X1, X3, X4
Indramayu X2, X3
Subang X1, X2, X5
Purwakarta X3, X4
Karawang X2, X3
Bekasi X2, X3, X4
Bandung Barat X2, X3
Keterangan
X1 = Status Ekonomi baik X4 = Puskesmas Rujukan Mikroskopis TB
X2 = Menggunakan Asuransi Kesehatan X5 = keberadaan jalan
X3 = Menggunakan alat Transportasi

100
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.11. Penyebaran Variabel Signifikan Model Akses Pelayanan Kesehatan
Pasien TB

Gambar 5.11 menunjukkan penyebaran variabel signifikan model akses


pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Jawa Barat, dimana terdapat 13
kabupaten yang mempunyai variabel signifikan yaitu menggunakan asuransi
kesehatan dan menggunakan alat transportasi.
Berdasarkan Gambar 5.12. menunjukan hasil nilai residu persamaan
model GWR Akses Pelayanan Kesehatan pasien TB pasien TB, bahwa yang
memiliki nilai residu paling mendekati nilai nol (-0,0270 – 0,0216), adalah
kabupaten Bandung Barat, Sumedang, Majalengka, Kuningan dan Kota Banjar.
Kabupaten-kabupaten tersebut merupakan wilayah yang mempunyai nilai
residu yang paling kecil. Semakin gelap warna merah pada Gambar 5.12
menunjukkan semakin tinggi nilai residunya, kabupaten Karawang,
Purwakarta, kota Bandung dan kota Banjar mempunyai nilai residu positif
yang terbesar yaitu 0,0760 – 0,2076.

101
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.12. Nilai Residu Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB
Di Jawa Barat

Gambar 5.13. Nilai R2 Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


di Jawa Barat

102
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Berdasarkan nilai R2 dari persamaan GWRnya dapat dilihat pada
Gambar 5.13, pada Gambar menjelaskan tentang sebaran nilai R 2 di setiap
kabupaten di provinsi Jawa Barat. Dari peta terlihat kabupaten yang memiliki
nilai R2 tertinggi (0,99 – 0,997) terdapat di kabupaten Sukabumi, Bogor,
Bandung Barat, Tasikmalaya, Kuningan, Cirebon, Sumedang, kota Bogor,
Kota Depok, kota Sukabumi, kota Cirebon dan kota Banjar.

5.8.2. Provinsi Papua


Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa variabel independen
mempunyai nilai signifikan KS < 0,05 (tidak terdistribusi normal) adalah
variabel masyarakat peduli TB.
Hasil perhitungan asumsi kolineraitas, dari nilai Pearson Correlation,
maka terdapat beberapa variabel yang mempunyai nilai Pearson > 0,8. Variabel
tersebut adalah menikah, pendidikan tinggi, bekerja, ekonomi baik. Sehingga
variabel-variabel tersebut tidak diikutkan sebagai kandidat model. Hasil nilai
VIF dari persamaan regresi linier ganda, didapatkan bahwa tidak ada variabel
yang mempunyai nilai VIF > 10.
Bandwidth optimum sangat penting dalam menentukan matiks bobot
dari suatu lokasike lokasi lainnya. Nilai bandwith optimum tiap kabupaten/kota
di Papua menggunakan kernel fixed Gaussian dengan melihat angka CV
Matrik pembobot spasial yang diperoleh untuk tiap-tiap lokasi
kemudian digunakan untuk membentuk model persamaan GWR, sehingga
setiap lokasi memiliki model yang berbeda. Rangkuman hasil persamaan
tersebut disajikan pada tabel 5.12. Nilai ̂ ( ) adalah nilai estimasi dari
setiap lokasi berdasarkan lintang dan bujurnya. Nilai Mean adalah rata-rata
nilai estimasi dari 26 kabupaten/kota di provinsi Papua. Dari data tentang
akses pelayanan kesehatan pasien TB, terdapat 3 kabupaten yang tidak ada
akses, kabupaten tersebut adalah kabupaten Nduga, kabupatenYalimo,
kabupaten Puncak.
Hasil dari perhitungan ringkasan model untuk lokal (kabupaten/kota)
pada MGWR didapatkan nilai F hitung < F(0,05:8,17) = 1,30 < 2,510, yang artinya
tidak ada variasi spasial dari persamaan tersebut. Oleh karena itu dilakukan lagi
103
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pemodelan dengan pendekatan MGWR (Mix Geographically Weighted
Regression) yaitu gabungan antara persamaan MGWR dan persamaan regresi
linier ganda, dimana akan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan model
yang sesuai dengan karakteristik datanya (ada atau tidak adanya variasi
spasial). Ringkasan model MGWR untuk provinsi Papua adalah sebagai
berikut :

Tabel 5.12. Ringkasan Estimator Model MGWR di Provinsi Papua


Lokal Nilai ̂ ( ) Global
Variabel
Mean Std β t
Intercept -1,174 0,135
Usia < 60 tahun -0,831 0,363
Asuransi Kesehatan 1,356 0,371
Waktu tempuh 15 - 30 menit -0,188 0,130
Mengetahui jenis Faskes 0,613 0,195
Puskesmas rujukan mikroskopis TB -0,0009 0,0018
Puskesmas 0,074 0,046
Posyandu 0,0055 0,0020
Keberadaan jalan 0,0096 0,018
Menggunakan alat transportasi -0,160 -0,743
R square 0,85
Adjusted R2 0,60
CV 1,76

Model persamaan MGWR untuk provinsi Papua adalah sebagai berikut :


̂ = β1(ui ,vi)Xk,i + βXi + e (5.3.)

Model persamaan MGWR untuk provinsi Papua adalah sebagai berikut :


̂ = -1,174 – 0,831ui,vi)*(usia < 60 tahun) + 1,35(ui,vi)*(asuransi kesehatan) -
0,188(ui,vi)*(Waktu tempuh) + 0,613(ui,vi)*(Mengetahui jenis Fasilitas
Kesehatan) - 0,0009(ui,vi)*(Puskesmas Rujukan Mikroskopis TB) +
0,074(ui,vi)*(Puskesmas) + 0,0055(ui,vi) *(Posyandu) +
0,0096(ui,vi)*(keberadaan jalan) – 0,160(Alat Transportasi) + ε (5.4.)

Kesimpulan yang diperoleh model MGWR untuk akses pelayanan kesehatan


adalah

104
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


1. Setiap kenaikan jumlah pasien TB berusia kurang dari 60 tahun sebesar 1
satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang
sebesar 0,83.
2. Setiap kenaikan jumlah pasien TB menggunakan asuransi kesehatan
sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
meningkat sebesar 1,35.
3. Setiap kenaikan jumlah pasien TB menempuh waktu tempuh 15 - 30 menit
sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
berkurang sebesar 0,188.
4. Setiap kenaikan pasien TB mengetahui jenis fasilitas kesehatan sebesar 1
satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat
sebesar 0,613.
5. Setiap kenaikan jumlah puskesmas mikroskopis TB sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar
0,0009.
6. Setiap kenaikan jumlah puskesmas sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,074.
7. Setiap kenaikan jumlah posyandu sebesar 1 satuan maka persentase spasial
akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,0055.
8. Setiap kenaikan persentase jalan sebesar 1 satuan maka persentase spasial
akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,009.
9. Setiap kenaikan penggunaan alat transportasi pada pasien TB sebesar 1
satuan maka persentase akses pelayanan kesehatan akan menurun sebesar
0,16.
10. Nilai R-square pemodelan GWR diperoleh sebesar 85%, sehingga model
ini cukup dalam menggambarkan variasi akses pelayanan kesehatan pasien
TB pasien TB di Provinsi Papua. Sedangkan nilai adjusted R 2 yaitu
sebesar 60% dimana sebesar 40% sisanya dijelaskan oleh faktor lain
11. Setelah mendapatkan model persamaan MGWR maka dilakukan pengujian
signifikansi parameter model MGWR secara parsial untuk mengetahui
parameter mana saja yang berpengaruh signifikan terhadap akses
pelayanan kesehatan pasien TB. Hasil akan dibandingkan dengan nilai ttabel

105
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


dan jika thitung > ttabel maka parameter signifikan pada tiap lokasi. Hasil
thitung yang didiapatkan akan dibandingkan dengan nilai t tabel(0,05;18) = 2,109
dan jika thitung>ttabel maka variabel signifikan pada tiap lokasi adalah
mengetahui jenis fasilitas kesehatan (X1)

Tabel 5.13. Variabel Signifikan Model MGWR di Provinsi Papua


Variabel Variabel
Kabupaten Kabupaten/Kota
Signifikan Signifikan
Merauke - Pegunungan Bintang -
Jayawijaya - Tolikara X1
Jayapura - Sarmi X1
Nabire X1 Keerom -
Biak Numfor X1 Waropen X1
Yapen Waropen X1 Supiori X1
Paniai X1 Mamberamo Raya X1
Puncak Jaya X1 Lanny Jaya X1
Mimika X1 Mamberamo Tengah -
Boven Digoel - Dogiyai X1
Mappi - Intan Jaya X1
Asmat X1 Deiyai X1
Yahukimo - Kota Jayapura -
Keterangan :
X1 = menggunakan asuransi kesehatan

Pada Gambar 5.14. Menunjukkan penyebaran variabel yang


signifikan dari model akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
papua, hanya variabel mengetahui jenis fasilitas kesehatan.

106
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.14. Variabel Signifikan Model Akses Pelayanan Kesehatan
Pasien TB di provinsi Papua

Gambar 5.15. Nilai Residu Model Akses Pelayanan Kesehatan


Pasien TB di Provinsi Papua

107
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Berdasarkan Gambar 5.15, warna coklat gelap menunjukan hasil nilai
residu persamaan model MGWR akses pelayanan kesehatan pasien TB dengan
nilai yang paling tinggi positif dengan nilai 0,353 – 1,105 terdapat di kabupaten
Jayapura, memberamo Raya, Tolikara, Puncak Jaya, Waropen, Paniai, Deiyai,
Mimika.
Pada Gambar 5.16 menunjukan nilai R2 di provinsi Papua, dimana nilai
R2 antara 0,793 – 0,836 berada di kabupaten-kabupaten sebelah timur provinsi
Papua, sedangkan nilai R2 terendah di sebelah timur provinsi Papua.

Gambar 5.16. Nilai R-square Model Akses Pelayanan Kesehatan


Pasien TB di Provinsi Papua

5.9. Analisis Hubungan Antara Fakta Wilayah Dengan Akses Pelayanan


Pasien TB
5.9.1. Kondisi Morfologi Wilayah
Pada penelitian ini kondisi geografis adalah kondisi kemiringan
lereng 0 - 15% atau masuk dalam kategori landai atau datar sedangkan
lereng lebih dari 15% merupakan wilayah dengan kondisi morfologi yang
landai ke curam. Kondisi geografis di kedua provinsi menunjukan bentuk

108
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


yang hampir sama, dimana hampir 50% wilayahnya merupakan wilayah
dengan kemiringan lereng 0-15%, hanya pada provinsi Papua ditemukan
wilayah yang sangat curam atau kelerengan lebih dari 15%.
Pada Gambar 5.17. ditemukan beberapa kabupaten yang mempunyai
nilai akses pelayanan kesehatan yang tinggi dengan kondisi morfologi yang
curam. Kabupaten tersebut adalah kabupaten Cianjur, Tasikmalaya,
Kuningan. Sedangkan wilayah morfologi yang curam dengan nilai akses
pelayanan kesehatan yang rendah berada di wilayah tengah provinsi Jawa
Barat, kecuali kota Cimahi, wilayahnya pada geogarfis yang tinggi tetapi
tidak mempunyai lereng yang lebih dari 15%, dan akses pelayanan
kesehatan pasien TB yang tinggi.

Gambar 5.17. Hubungan Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB

Terhadap Morfologi di Provinsi Jawa Barat

Wilayah utara provinsi Jawa Barat mempunyai nilai akses pelayanan


kesehatan yang rendah dan berada di wilayah morfologis yang landai.
Wilayah tersebut meliputi kabupaten Karawang, Purwakarta, Indramayu,
109
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Bekasi, Cirebon, Majalengka. Kondisi fisik wilayah yang landai tidak
menyebabkan akses pelayanan kesehatan yang tinggi, sehingga wilayah
tersebut menunjukkan bahwa akses pelayanan kesehatan yang rendah bukan
disebabkan oleh kondisi morfologi wilayah yang curam.
Gambar 5.18. menunjukkan bahwa kondisi morfologi wilayah yang
curam menyebabkan akses pelayanan kesehatan juga rendah, hal ini dapat
ditemukan di bagian tengah provinsi Papua, sebagian besar kabupatennya
adalah kategori akses rendah dan morfologi curam. Sedangkan akses
pelayanan kesehatan yang tinggi berada di wilayah morfologi yang landai,
seperti di kabupaten Mamberamo Raya, Keerom, Paniai, Biak Numfor dan
Mappi. Akses pelayanan kesehatan yang tinggi dan berada di wilayah
morfologi curam terdapat di kabupaten Puncak Jaya, Tolikara, Jayapura dan
Kota Jayapura.

Gambar 5.18. Hubungan Akses Pelayanan Kesehatan Pasien

TB Terhadap Morfologi di Provinsi Papua

110
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


5.9.2. Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah
Kasus TB paru banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan
negara miskin. Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah memiliki
kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB paru, yaitu dengan
rendahnya daya tahan tubuh akibat asupan makanan bergizi yang kurang,
tidak sanggup berobat dan membeli obat. Selain itu juga kemiskinan
mengharuskan seseorang untuk bekerja keras secara fisik sehingga
kemungkinan sembuh akan berkurang. Faktor kemiskinan walaupun tidak
berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru namun dari beberapa
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah
dan kejadian tuberkulosis paru (Coker, 2003; Ratnasari, 2005; Mahfudin,
2006; Bustan, 2006).
Pada Gambar 5.19 dan Gambar 5.20 merupakan hasil korelasi peta
antara nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB dengan kondisi sosial
ekonomi wilayah. Pada gambar tersebut menunjukkan tiga tingkatan nilai
baik adalah mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan yang baik dan
angka kemiskinan wilayah yang rendah. Nilai sedang adalah nilai akses
pelayanan kesehatan pasien TB yang sedang dan angka kemiskinan wilayah
yang sedang. Nilai buruk adalah mempunyai nilai akses pelayanan
kesehatan yang rendah dan angka kemiskinan wilayah yang tinggi.
Di provinsi Jawa Barat angka melek huruf masih belum 100%,
masih ada penduduk pada usia 15 – 24 tahun (0,48%) yang tidak dapat
membaca dan menulis dan salah satunya ada di kabupaten Karawang.
Terdapat 8 kabupaten yang mempunyai nilai kondisi kemiskinan yang
buruk, yaitu di kabupaten Bekasi, Karawang, Bandung Barat, Sumedang,
kota Bandung dan kota Sukabumi.
Sedangkan di provinsi Papua sebanyak 31,8% penduduk yang belum
dapat membaca dan menulis. Teradapt 10 kabupaten yang mempunyai nilai
kemiskinan wilayah yang buruk, salah satunya terdapat di kabupaten
Supiori yang letaknya di sebelah barat provinsi serta berada di kepulauan.

111
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.19. Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan

Kondisi sosial ekonomi wilayah di Provinsi Jawa Barat

Gambar 5.20. Hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan

Kondisi sosial ekonomi wilayah di Provinsi Papua


112
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


5.9.3. Pola Penyebaran Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB
Terhadap Kemiskinan Wilayah dan Morfologi Wilayah
Spasial autokorelasi adalah korelasi diri sendiri (autocorrelation) dari
nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB berdasarkan kondisi letak antara
kabupaten yang satu dengan yang lain. Tujuan pnelitian ini menggunakan
analisis Indeks Moran adalah untuk menentukan hubungan antara akses
pelayanan kesehatan pasien TB terhadap fakta wilayahnya (kemiskinan
wilayah dan kondisi morfologi)

Tabel 5.14. Rangkuman Hasil Spasial Autokorelasi Akses Pelayanan Kesehatan


dengan variabel Fakta Wilayah
Nilai Pseudo
Variabel Nilai Io Kabupaten Pola spasial
Indeks P-value
Provinsi Jawa Barat
Akses Subang
Pelayanan -0,0803 0,446 Tasikmalaya Menyebar
Kesehatan
Kota Depok
Sukabumi
Kemiskinan -0,04 -0,1228 0,229 Cianjur Mengelompok
Subang
Kota banjar
Bekasi
Kondisi
-0,0195 0,603 Karawang Mengelompok
Morfologi
Indramayu
Provinsi Papua
Akses
Pelayanan -0,1367 0,14 - Mengelompok
Kesehatan
-0,0357
Kemiskinan -0,0033 0,61 - Menyebar
Kondisi
-0,0903 0,50 - Mengelompok
Morfologi

Berdasarkan Tabel 5.14. di provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa


bentuk pola penyebaran nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB adalah
menyebar. Variabel kemiringan lereng yang landai merupakan variabel yang
mempunyai pengaruh (sig < 0,05) terhadap akses pelayanan kesehatan pasien
TB di kabupaten Bekasi, kabupaten Indramayu dan kabupaten Karawang.
Secara keseluruhan bentuk penyebaran variabel-variabel fakta wilayah
terhadap nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB membentuk pola
113
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


mengelompok, walaupun nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB
membentuk pola menyebar.
Di Provinsi Papua menunjukkan bahwa bentuk pola penyebaran nilai
akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Papua adalah mengelompok.
Tidak ada variabel yang signifikan di kabupaten-kabupaten terhadap akses
pelayanan kesehatan pasien TB, hal ini menunjukkan bahwa variabel
kemiskinan dan kemiringan lereng 0-15% tidak mempengaruhi wilayah
sekitarnya. Secara keseluruhan bentuk penyebaran variabel-variabel fakta
wilayah terhadap nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB membentuk pola
mengelompok, hanya variabel kemiskinan yang mempunyai bentuk menyebar.

5.10. Analisis Residual Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Pembahasan berikut ini adalah mengenai hubungan nilai residual yang
terjadi pada persamaan MGWR. Angka residual dari model regresi berguna
dalam menduga kecocokan model. Di dalam konsep regresi linier, residu
adalah semua hal yang mungkin mempengaruhi variabel terikat (Y), yang tidak
diamati dalam penelitian ini. Nilai residual merupakan hasil pengurangan dari
nilai Y aslinya terhadap nilai ̂ hasil prediksinya.
Pada grafik 5.1. nilai residual yang paling mendekati nol adalah
kabupaten Ciamis, Kuningan, Subang, kota Sukabumi dan kota Banjar dengan
nilai antara -0,00748 – 0,008. Nilai residual positif tertinggi adalah kota Bekasi
(0,1462) dan nilai residual negatif tertinggi adalah kota Tasikmalaya (-0,033)

114
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Grafik 5.1. Sebaran Kabupaten berdasarkan nilai Residu Akses Pelayanan
Kesehatan di provinsi Jawa Barat

Pada grafik 5.2. menunjukkan sebaran nilai residual model GWR


provinsi papua. Dari nilai residual didapatkan nilai yang mempunyai nilai
residual positif yang tertinggi adalah kabupaten Tolikara (0,659), sedangkan
nilai residual negatif tertinggi ada di kabupaten Yahukimo (-0,469). Kabupaten
yang mempunyai nilai residu paling kecil atau mendekati nol adalah kabupaten
Biak Numfor, Boven Digoel, Puncak Jaya dan kota Jayapura (-0,0505 – 0,013).
Pada grafik 5.2. sebagian besar kabupaten di provinsi Papua mempunyai nilai
akses pelayanan kesehatan dibawah rata-rata dan mempunyai nilai residu
negatif.

115
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Grafik 5.2. Sebaran Kabupaten Berdasarkan Nilai Residu
Akses Pelayanan Kesehatan Provinsi Papua

Wilayah I di provinsi Jawa Barat dan Papua adalah wilayah dengan


nilai akses pelayanan kesehatan yang baik dan nilai residual positif, hal ini
menunjukkan bahwa variabel lokal kurang memberikan kontribusinya ke
persamaan modelnya. Sebagian besar kabupaten (13 kabupaten) di provinsi
Jawa Barat berada di wilayah I. Terdapat 30% kabupaten yang masuk dalam
wilayah I di provinsi Papua dan sebagian besar dari kabupaten tersebut
mempunyai nilai residual yang kecil.
Wilayah II, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang rendah dan nilai residual positif, hal ini sama dengan wilayah I, dimana
jika residual positif sangat rendah maka variabel lokalnya tidak memberikan
kontribusi pada persamaan modelnya.
Wilayah III, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang rendah dan nilai residual negatif. Wilayah III menunjukkan akses
pelayanan kesehatan di kabupaten rendah tetapi variabel lokalnya memberikan
pengaruh yang tinggi terhadap akses pelayanan kesehatan.
116
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Terdapat 4 kabupaten di Jawa Barat yang masuk dalam wilayah III.
Variabel lokal yang signifikan di wilayah III ini adalah alat transportasi,
mengetahui fasilitas kesehatan, puskesmas rujukan mikroskopis TB. Jumlah
kabupaten di provinsi Papua yang masuk ke dalam wilayah III sebanyak 9
kabupaten.
Wilayah IV, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang tinggi dan nilai residual negatif. Wilayah ini menunjukkan akses
pelayanan yang tinggi dan variabel lokal memberikan pengaruh yang tinggi.
Wilayah IV merupakan wilayah yang tidak perlu adanya intervensi di variabel
lokalnya, sebab variabel lokalnya memberikan kontribusi yang tinggi
(overestimated) dari akses pelayanan kesehatan di wilayah tersebut.
Kabupaten Kuningan di provinsi Jawa Barat adalah satu-satunya kabupaten
yang berada di wilayah IV. Di provinsi Papua, terdapat tiga kabupaten yang
masuk dalam wilayah IV, yaitu kabupaten Biak Numfor, Yahukimo dan
Keerom. Dengan variabel lokal yang signifikan adalah penggunaan asuransi
kesehatan hanya terdapat di kabupaten Biak Numfor.

5.11. Ringkasan Hasil Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Berikut ini adalah ringkasan gambaran umum wilayah penelitian dan
hasil akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Jawa Barat dan Papua.

Gambaran Umum Jawa Barat Papua


Luas Wilayah 37.173,92 km2 316.553,10 km2
Topogragis ketinggian wilayah mulai ketinggian wilayah mulai
0 meter dpl - 1.500 meter dari 3,5 meter dpl - 5.030
dpl meter dpl
Administrasi 17 kabupaten dan 9 kota, 28 kabupaten, 1 kota, 389
625 kecamatan, 5.254 kecamatan dan 3.619
kelurahan dan 638 desa desa/kelurahan
Demografi 43.053.732 jiwa 3.144.581 jiwa
2
Kepadatan penduduk 1.219 jiwa/km 9 jiwa/km2

117
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Analisis Statistik Multivariat
Jawa Barat Papua
Status Menikah Usia < 60 tahun
Bekerja
Karakteristik
Penggunaan Asuransi Penggunaan Asuransi
individu
Mengetahui Jenis Fasilitas Mengetahui Jenis Fasilitas
Kesehatan Kesehatan
Analisis Mix Geographically Weighted Regression
Model Spasial Akses Pelayanan kesehatan
Jawa Barat Papua
Variabel Ekonomi Baik* Usia < 60 tahun
Lokal Menggunakan Asuransi Menggunakan Asuransi
Kesehatan* Kesehatan*
Menggunakan alat Waktu tempuh < 30 menit
transportasi*
Waktu tempuh < 30 menit Puskesmas rujukan
mikroskopis TB
Puskesmas Rujukan Puskesmas
Mikroskopis TB*
Posyandu Rumah Sakit
Keberadaan jalan* Posyandu
Keberadaan jalan
Variabel Jumlah Rumah Sakit Menggunakan alat transportasi
Global Jumlah Dokter
Masyarakat Peduli TB*
Analisis Autokorelasi Spasial
Model Spasial Akses Pelayanan kesehatan
Jawa Barat Papua
Akses pelayanan kesehatan Menyebar Mengelompok
Akses pelayanan kesehatan
Mengelompok Menyebar
terhadap kemiskinan
Akses pelayanan kesehatan
terhadap morfologi Mengelompok Mengelompok
wilayah
* Signifikan α<0,05

118
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 6.
PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian


6.1.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional (potong lintang)
sesuai dengan desain pada pengumpulan data Riskesdas 2013. Dengan
demikian penelitian ini tidak dapat ditentukan arah hubungan sebab akibat
antara variabel independen dengan variabel dependen, kondisi ini
disebabkan karena variabel independen dan variabel dependen diukur
secara bersamaan.

6.1.2. Pemilihan Sampel dan Variabel


Penelitian ini menggunakan data Kesehatan Riskesdas 2013,
Risfaskes 2011 dan data Profil Provinsi Dalam Angka 2014. Data
Riskesdas 2013 untuk analisis karakteristik individu. Pemilihan sampel
dalam penelitian ini adalah responden yang pernah didiagnosis oleh tenaga
kesehatan dalam satu tahun ini atau lebih. Variabel akses dan pelayanan
Kesehatan yaitu meliputi data individu, pengetahuan rumah tangga
tentang fasilitas kesehatan, moda transportasi yang digunakan, waktu
tempuh menuju fasilitas kesehatan tersebut. Data Risfaskes 2011 untuk
mendapatkan data fasilitas kesehatan dan jumlah dokter, sedangkan data
Profil Provinsi Dalam Angka untuk mendapatkan jumlah penduduk, luas
wilayah kabupaten.
Dalam pemilihan sampel untuk pemodelan akses spasial pasien TB
adalah penggunaan istilah pasien TB sebagai sampel penelitian, sebab
berdasarkan pertanyaan Riskesdas RKD13.IND A.18 dan A.19 (a-b) dan
responden menjawab “YA” maka responden masuk sebagai kategori
pasien TB.
Sampel penelitian hanya menggunakan pasien TB yang
mempunyai usia kurang dari 60 tahun. Sehingga usia lebih dari 60 tahun

119
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


tidak diikutsertakan. Keterbatasan dalam pemilihan variabel spasial dalam
penelitian ini adalah hanya memasukkan variabel spasial morfologi
wilayah. Sedangkan variabel spasial lainnya seperti variabel iklim,
penggunaan tanah tidak dimasukkan dalam penelitian ini, sebab variabel
tersebut tidak berhubungan dengan spasial akses pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hasil analisis dengan data Riskesdas 2013, terdapat 3
kabupaten di Provinsi Papua yang respondennya menjawab “TIDAK”,
“TIDAK PERIKSA” dan “TIDAK TAHU” dalam melakukan pemeriksaan
dahak, pemeriksaan foto rontgen dan mendapatkan obat anti TB, ketiga
kabupaten tersebut adalah kabupaten Nduga, Puncak dan Yalimo.
Sehingga ketiga kabupaten tersebut tidak dimasukkan ke dalam penelitian
ini. Tidak adanya ketiga kabupaten tersebut dapat mempengaruhi model
spasial akses pelayanan kesehatan, sehingga dilakuakn perlakuan khusus
untuk provinsi Papua. Hal ini disebabkan analisa spasial melihat hubungan
antara wilayah satu dengan yang lainnya.

6.1.3. Bias
Dalam penelitian ini ada beberapa jenis bias yang mungkin dapat
terjadi. Bias yang mungkin terjadi adalah recall bias karena responden
harus mengingat kembali kejadian TB paru dalam 12 bulan terakhir atau
lebih. Recall Bias terjadi karena responden tidak memahami pertanyaan
pewawancara atau lupa terutama untuk pertanyaan yang digali secara
retrospektif berdasarkan ingatan, terjadinya bias ini bisa pada kelompok
terpajan maupun pada kelompok yang tidak terpajan.
Kelemahan dalam penggunaan data kelompok (agregat) dalam
sebuah wilayah sebagai unit analisis pada penelitian ini dapat
menimbulkan potensi terjadinya bias ekologi (ecologic bias/ecological
fallacy). Bias ekologi terjadi jika hasil analisis data agregat digunakan
untuk menjelaskan efek kausalitas pada tingkat individu.
Bias informasi terjadi pada jawaban responden terhadap pertanyaan
tentang hasil pemeriksaan yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
TB. Untuk menentukan responden melakukan akses pelayanan kesehatan

120
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


di kuesioner RISKESDAS 2013, adalah “YA” dan “TUNGGU HASIL”
sedangkan jawaban responden yang tidak melakukan akses pelayanan
adalah “TIDAK”, “TIDAK DIPERIKSA” dan “TIDAK TAHU”.

6.2. Gambaran Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Di Provinsi Jawa


Barat Dan Papua.
Kriteria pasien TB dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki
gejala TB yaitu batuk berdahak selama 3 minggu atau lebih, batuk berdahak
dan atau batuk berdarah dalam satu bulan terakhir dan pasien TB oleh
tenaga kesehatan < 1 tahun terakhir atau lebih dari 1 tahun. Menurut
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(Dirjen PPPL,2014) menyatakan bahwa pasien TB paru adalah pasien yang
melakukan pemeriksaan bakteorologis dengan pemeriksaan mikroskopis,
melakukan pemeriksaan foto toraks yang hasilnya ditetapkan oleh tenaga
kesehatan (dokter) yang telah terlatih TB (Riskesdas,2013; Depkes, 2002;
Balitbangkes, 2005).
Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB pada penelitian ini adalah
mereka yang melakukan pemeriksaan dahak atau pemeriksaan foto rontgen
dan mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Hasil penelitian ini
ternyata hanya 44,29% pasien TB di provinsi Jawa Barat yang melakukan
akses pelayanan kesehatan dan di provinsi Papua hanya sebesar 34,60%
dimana terdapat 3 kabupaten (dari hasil survei Riskesdas 2013) yang tidak
melakukan akses pelayanan kesehatan, kabupaten tersebut adalah kabupaten
Nduga, kabupaten Yalimo, dan kabupaten Puncak.
Berdasarkan hasil perhitungan dalam penelitian ini, bahwa proporsi
pasien TB provinsi Papua mempunyai jumlah yang tertinggi yaitu sekitar
2,85% kemudian provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 2,64%. Nilai tersebut
bukanlah nilai prevalensi, tetapi hasil dari seluruh jumlah sampel di Provinsi
yang mendapatkan pernyataan TB oleh petugas kesehatan terhadap seluruh
sampel yang disurvei oleh Riskesdas 2013.
Hasil Ringkasan Riskesdas 2013 di Indonesia, bahwa prevalensi
pasien TB tertinggi berdasarkan tingkat pendidikan adalah tidak sekolah

121
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


(0,5%), tidak bekerja (11,7%), kuintil terbawah sampai dengan menengah
atas (0,4%) dan berusia 65 -74 tahun (0,8%). Berdasarkan laporan Riskesdas
2013 juga menyatakan bahwa seluruh penduduk yang terdiagnosis TB paru
oleh tenaga kesehatan hanya 44,4% diobati dengan obat program (Riskesdas
Dalam Angka, 2013).
Gambaran karakteristik pasien TB di provinsi Jawa Barat dan Papua
(Tabel 6.1) adalah berusia 30 – 59 tahun, status menikah, bekerja,
menggunakan asuransi, menggunakan motor sebagai alat transportasi, waktu
tempuh 15 - 30 menit dan mengetahui jenis fasilitas kesehatan di sekitar
mereka.

Tabel 6.1. Gambaran Karakteristik Pasien TB yang


Melakukan Akses Pelayanan Kesehatan
Jawa Barat Papua
Variabel
n % n %
Usia
30 - 59 547 60,24 219 65,37
Status kawin
Menikah 660 72,69 270 80,6
Tingkat Pendidikan
Tidak/belum pernah sekolah 30 22,56
Tamat SD/MI 384 42,29
Status Bekerja
Bekerja 473 52,09 84 63,16
Tingkat Ekonomi
Kuintil 1 - - 223 66,57
Kuintil 3 251 27,64 - -
Metode Pembayaran
Menggunakan Asuransi 856 94,27 236 70,45
Menggunakan Kendaraan
Sepeda Motor 388 42,73 66 50,38
Waktu Tempuh
Waktu 15 – 30 menit 571 62,89 210 62,69
Mengetahui Jenis fasilitas kesehatan
Mengetahui 798 87,89 94 28,06
Sumber : Hasil Pengolahan Data Riskesdas 2013

Terdapat perbedaan status ekonomi dan tingkat pendidikan dari


pasien TB yang melakukan akses pelayanan kesehatan. Status ekonomi
pasien TB di provinsi Jawa Barat yang melakukan akses pelayanan
122
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kesehatan adalah mereka yang berada di kuintil 3, sedangkan pasien TB di
provinsi Papua berada di kuintil 1. Pada tingkat pendidikan pasien TB, di
provinsi Jawa Barat sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan tamat
SD/MI sedangkan di provinsi Papua pasien TB mempunyai tingkat
pendidikan yang sangat rendah yaitu tidak/belum pernah sekolah.
Faktor yang mungkin penyebab pasien TB tidak melakukan akses
pelayanan kesehatan adalah pendidikan yang rendah, kemiskinan,
ketidakpercayaan terhadap tenaga kesehatan dan ketidak merataan
penyebaran sarana dan fasilitas kesehatan. Dari beberapa penelitian salah
satu hal penyebab penderita tidak melakukan akses pelayanan kesehatan
adalah alasan ekonomi (Antoz,2010; Dimitrova,2006; Wen,2013). Faktor
yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis dan pengobatan pasien TB
adalah persepsi individu terhadap penyakit, tingkat keparahan penyakit,
akses ke pelayanan kesehatan dan keahlian petugas kesehatan (Lienhard,
2001).
Dari hasil analisis autokorelasi nilai akses pelayanan kesehatan
pasien TB, provinsi Jawa Barat menunjukkan pola yang menyebar. Hal ini
menunjukkan bahwa akses pelayanan kesehatan di provinsi Jawa Barat telah
menyebar merata di seluruh kabupaten, walaupun terdapat kabupaten yang
masih rendah nilai akses pelayanannya. Kabupaten di provinsi Jawa Barat
yang mempunyai nilai signifikan terjadinya autokorelasi spasial adalah
Subang dan Tasikmalaya.
Adanya autokorelasi spasial menunjukkan adanya kemiripan dari
nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB di dalam kabupaten itu sendiri
berdasarkan jarak, waktu dan juga dengan kabupaten di sekitarnya.
Kabupaten Subang dan Tasikmalaya merupakan kabupaten yang
mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB yang rendah. Kedua
kabupaten tersebut terbukti memberikan pengaruh secara spasial terhadap
kabupaten di sekitarnya, hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.7. yang
menunjukkan kabupaten di sekitar kabupaten Subang dan Tasikmalaya
mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan yang rendah juga. Sehingga
yang menjadi prioritas wilayah dalam meningkatkan akses pelayanan pasien

123
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


TB dimulai di kabupaten Subang dan Tasikmalaya. Kedekatan kedua lokasi
dipengaruhi oleh jarak dekat dan tingkat mobilitas penduduk antar
kabupaten tersebut. Pasien TB di provinsi Jawa Barat tidak akan
memikirkan jarak ketika melakukan akses pelayanan kesehatan, terutama
akses pelayanan kesehatan yang lebih lengkap. Sehingga dapat dikatakan
bahwa kondisi geografis tidak mempengaruhi seseorang dalam melakukan
akses pelayanan kesehatan (Iezzoni, et al.,2006).
Di provinsi Papua, pola penyebaran akses pelayanan kesehatan
pasien TB adalah mengelompok. Bentuk pengelompokan akses pelayanan
kesehatan terjadi di semua kabupaten. Dari hasil autokorelasi spasial tidak
ditemukan kabupaten yang signifikan terhadap spasial autokorelasi dari
akses pelayanan kesehatan pasien TB. Sehingga tidak ada pengaruh
interaksi kewilayahan pada pelayanan kesehatan antara kabupaten di
provinsi Papua, hal ini dapat juga disebabkan masih rendahnya pasien TB
yang tidak melakukan akses pelayanan kesehatan pasien TB di seluruh
kabupaten di provinsi Papua.
Pola penyebaran akses pelayanan kesehatan pasien TB di dua
provinsi dipengaruhi oleh interaksi antara kabupaten yang satu dengan yang
lain. Dari hasil penelitian ini, di provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa
akses pelayanan kesehatan pasien telah menyebar di seluruh kabupaten,
dapat dikatakan telah terjadi pemerataan akses pelayanan kesehatan pasien
TB, walaupun demikian masih terdapat perbedaan nilai akses pelayanan
kesehatan pasien TB di setiap kabupatennya. Di provinsi Papua, dengan
nilai akses pelayanan kesehatan pasien TB yang rendah dan membentuk
pola yang mengelompok, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi akses
pelayanan kesehatan pasien TB hanya terjadi di beberapa wilayah tertentu.

124
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


6.3. Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Di Provinsi Jawa Barat
Dan Provinsi Papua Yang Dipengaruhi Oleh Karakteristik Pasien TB.
6.3.1. Kondisi Sosial
6.3.1.1.Usia
Di provinsi Jawa Barat dengan persentase tertinggi untuk usia pasien
kurang dari 60 tahun terdapat di Kabupaten Cianjur. Di Provinsi Papua
persentase usia kurang dari 60 tahun pasien TB tertinggi ada di kabupaten
Panai. Dari hasil Riskesdas 2013, menyatakan bahwa prevalensi tertinggi
yaitu 0,8 terdapat pada usia antara 60 – 74 tahun.
Penelitian ini menunjukkan sebagian besar pasien TB berasal dari
usia yang produktif (kurang dari 60 tahun). Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya bahwa pasien TB paling banyak ditemukan pada kelompok usia
30 – 59 tahun (Datta, 2001; Khazei, 2005; Retnaningsih, 2005).
Hasil analisis didapatkan bahwa di provinsi Jawa Barat tidak ada
hubungan yang signifikan antara usia kurang dari 60 tahun dengan akses
pelayanan kesehatan, penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Gaffar (2000) yang menyatakan bahwa usia tidak berhubungan
bermakna dengan perilaku pencarian pengobatan pasien TB paru.
Sedangkan di provinsi Papua terdapat hubungan yang signifikan antara usia
kurang dari 60 tahun terhadap akses pelayanan kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2003), umur termasuk faktor yang
mempermudah (predisposing faktor) terjadinya perubahan perilaku
seseorang. Depkes RI (2007) dan WHO (2006), menyatakan terdapat 75%
pasien tuberkulosis paru umumnya berusia pada rentang usia produktif (15-
54 tahun) yang membawa dampak sosial ekonomi di masyarakat. Data dari
WHO (2006) dalam Indonesian Strategic Plan to Stop TB juga menyatakan
secara perlahan usia penderita tuberkulosis juga meningkat pada umur 55-64
tahun, sehingga diperkirakan jika seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-
30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan

125
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat (Kemenkes, 2009).
Pada penelitian Retnaningsih (2005), rata-rata usia suspek TB adalah
33 tahun, sedangkan suspek terbanyak berumur 26 – 55 tahun sebanyak
58,2%, hal ini menunjukkan bahwa penyakit TB menyerang usia kelompok
produktif, hal ini juga senada dengan WHO yang menyatakan bahwa 80%
pasien TB adalah usia produktif, pencari nafkah keluarga. Apabila mereka
tidak diobati makan akan kehilangan masa kerja rata-rata 1 tahun dari masa
kerjanya (Depkes, 2005).

6.3.1.2.Menikah
Status menikah di provinsi Jawa Barat menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan akses pelayanan kesehatan. Berdasarkan hasil nilai OR
nya pasien TB dengan status menikah mempunyai peluang untuk melakukan
akses pelayanan kesehtatan dibandingkan dengan pasien TB dengan status
tidak menikah.
Hasil uji statistik di provinsi Jawa Barat menunjukkan ada hubungan
yang signifikan antara status menikah dengan akses pelayanan kesehatan.
Sedangkan di provinsi Papua tidak ada hubungan yang signifikan antara
status menikah dengan akses pelayanan kesehatan, hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wulandary (2012) menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara status perkawinan dengan perilaku pencarian
pengobatan dan status pernikahan bukan merupakan variabel pengganggu
(confounder).
Persentase tertinggi pasien TB dengan status menikah di provinsi
Jawa Barat terdapat di kabupaten Cianjur dan Kota Bogor. Di provinsi
Papua, persentase status menikah pasien TB tertinggi terdapat di kabupaten
Panai. Di provinsi Papua, pasien dengan status menikah yang tidak
melakukan akses mempunyai jumlah yang besar yaitu sebanyak 81.86%.
Di Denmark, menunjukkan bahwa resiko kasus tuberkulosis lebih
rendah pada kelompok pria menikah dan resiko menengah pada pria tidak
menikah atau duda, dan resiko tertinggi pada pria bercerai. Wanita yang

126
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


menikah juga mempunyai kemungkinan lebih sedikit menderita TB
dibandingkan dengan wanita yang tidak menikah. (Coberly, Jaqucline, et.al,
2005). Jika seseorang pasien TB menikah, maka dapat membantu dalam hal
kepatuhan pengobatannya, sebab berdasarkan penelitian yang dilakukan
Sukena et.al. (2001) menyatakan bahwa angka ketaatan minum obat pasien
TB dengan memberdayakan tenaga anggota keluarga atau pasangan hidup
mereka sebagai tenaga PMO, hal ini dapat termotivasi untuk membuat
pasien cepat sembuh dari sakit sehingga tidak menulari anggota keluarga
lainnya.

6.3.1.3. Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan,
status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah
kesehatan dalam suatu kelompok populasi. Penyakit, kondisi atau gangguan
tertentu dapat terjadi dalam suatu pekerjaan. Pekerjaan juga merupakan
suatu determinan risiko dan determinan pajanan yang khusus dalam bidang
pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi
tempat suatu populasi bekerja (Timmreck, 2005).
Dari hasil analisis hubungan antara status bekerja dengan akses
pelayanan kesehatan didapatkan bahwa di provinsi Jawa Barat tidak ada
hubungan yang bermakna. Hal yang berbeda di provinsi Papua, terdapat
hubungan yang bermakna antara status bekerja dengan melakukan akses
pelayanan kesehatan.
Pasien TB yang mempunyai pekerjaan maka akan mempunyai
penghasilan tetap sehingga mereka mampu untuk melakukan pemeriksaan
kesehatannya. Kondisi pasien TB di provinsi Papua, dimana hanya 17,57%
pasien TB yang bekerja dan melakukan akses pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, pekerjaan utama pasien TB di provinsi
Papua sebagian besar adalah petani (66,1%) dimana sebagian besar
penduduknya terdapat di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Penduduk
provinsi Papua sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian
(72,83%) dan sektor jasa (10,35%) (BPS, 2013).

127
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


6.3.2. Menggunakan Asuransi Kesehatan
Salah satu tujuan dari Universal Health Coverage adalah menjamin
semua orang mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan
tanpa menderita kesulitan keuangan ketika hendak membayar sebuah
pelayanan kesehatan (Adisasmito, 2007). Dengan demikian pemerintah
pusat dan daerah pastinya telah membuat program tersebut tetapi pada
kenyataanya berdasarkan data dari BPS Provinsi papua (2013) dari sekitar
795 ribu rumah tangga, yang mendapatkan layanan kesehatan gratis hanya
sebesar 29,81%. Di provinsi Jawa Barat pada tahun 2012, sekitar 18,39 %
rumah tangga di Jawa Barat menggunakan asuransi kesehatan untuk
masyarakat miskin (BPS, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan asuransi kesehatan khususnya asuransi kesehatan bagi
masyarakat miskin masih belum merata.
Menggunakan asuransi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap akses pelayanan kesehatan pasien TB. Penggunaan asuransi
kesehatan di provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa sebagian besar
(62,1%) pasien TB menggunakan asuransi kesehatan dalam melakukan
akses pelayanan kesehatan. Pasien TB di provinsi Jawa Barat menggunakan
jenis asuransi kesehatan adalah asuransi kesehatan Jamkesmas, yang
dimiliki oleh 35,4% pasien TB.
Di provinsi Papua, penggunaan asuransi kesehatan dengan akses
pelayanan kesehatan hanya sebanyak 46,5% pasien yang menggunakan
asuransi kesehatan dalam melakukan akses pelayanan kesehatan. Masih
rendahnya penggunaan asuransi kesehatan di provinsi Papua dapat
disebabkan oleh sulitnya penyampaian informasi ke pasien TB dengan
tingkat pendidikan rendah. Dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan
pasien TB yang melakukan akses pelayanan kesehatan sebanyak 36,4%
adalah pasien TB yang tidak/belum sekolah dan tidak tamat sekolah dasar.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan asuransi kesehatan
bagi pasien TB masih diperlukan untuk pengobatan lain selain melakukan

128
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pemeriksaan TB. Sebab pemerintah dalam program DOTS telah
memberikan pengobatan gratis di fasilitas kesehatan milik pemerintah.

6.3.3. Mengetahui Ketersediaan Fasilitas Kesehatan Pasien


Mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan menunjukkan bahwa
pasien TB dapat memilih pelayanan kesehatan sesuai dengan pilihan
mereka. Dalam survey yang dilakukan oleh Riskesdas 2013 membagi
pemilihan pelayanan kesehatan, yaitu yang berasal dari pemerintah dan
pelayanan kesehatan tradisional. Penelitian ini menggunakan data jenis
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Di provinsi Jawa Barat dan Papua mengetahui fasilitas kesehatan
menunjukkan hubungan yang signifikan antara akses pelayanan kesehatan
dengan mengetahui ketersediaan pelayanan kesehatan. Pasien TB
mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan dan melakukan akses pelayanan
kesehatan di provinsi Jawa Barat sebanyak 65,41% sedangkan di provinsi
Papua sebanyak 72,87% yang mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan.
Hal ini sama menurut Najib (1999) bahwa ada hubungan yang bermakna
antara ketersediaan pelayanan kesehatan terhadap pilihan dalam melakukan
akses pelayanan kesehatan.
Dari hasil penelitian di Myanmar, menyatakan bahwa mereka
pertama kali mencari pengobatan di luar rumah adalah ke dokter praktek
sebelum konfirmasi hasil diagnosis TB keluar. Alasannya mereka memilih
dokter praktek, karena kepercayaan terhadap dokter tetapi saat ini mereka
telah banyak ke Rumah Sakit umum dikarenakan alasan keuangan, dimana
pengobatan TB memerlukan waktu pengobatan yang panjang
(Saw,et.al,2009)
Perilaku masyarakat dari memilih fasilitas pelayanan tradisional
menjadi memilih fasilitas modern bukanlah hal mudah karena sangat
berkaitan dengan sosiobudaya (Nadjib, 1999), hal ini mungkin saja yang
terjadi di provinsi Papua, dimana banyak yang tidak mengetahui
ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayahnya. Provinsi Papua secara
administratif mempunyai 3.619 desa, sehingga sebagian besar penduduknya

129
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


masih tinggal di perdesaan. Hasil tersebut disebabkan oleh keadaan
topografi Provinsi Papua yang sebagian besar merupakan wilayah dengan
daratan yang relatif tinggi (mulai 3,5 m dpl), dimana dataran tertinggi
adalah Pegunungan Jayawijaya dan hidup berkelompok di setiap
dusun/desa. Penelitian ini menunjukkan bahwa akses pelayanan kesehatan
pasien TB di provinsi Papua akan baik jika penduduknya semakin
mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan. Dengan mengetahui
keberadaan fasilitas kesehatan di sekitar pasien TB, maka dapat membantu
pasien TB untuk melakukan akses pelayanan kesehatan.

6.4. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Paru


Berbagai cara untuk menganalisis data spasial merupakan cara
analisis baru di bidang kesehatan masyarakat. Salah satu metode untuk
menganalisisnya adalah dengan menggunakan model Geographically
Weighted Regression (GWR) (Fotheringham, 2002). Model GWR
merupakan pengembangan dari model regresi linier klasik. Pada model
regresi linier hanya dihasilkan estimator parameter yang berlaku secara
global, sedangkan dalam model GWR dihasilkan estimator parameter model
yang bersifat lokal untuk setiap lokasi pengamatan.
Pada kenyataannya tidak semua variabel bebas dalam model GWR
mempunyai pengaruh secara spasial. Beberapa variabel bebas berpengaruh
secara global, sedangkan yang lainnya dapat mempertahankan pengaruh
spasialnya. Oleh karena itu, model GWR dikembangkan menjadi model
Mixed Geographically Weighted Regression (MGWR) (Fotheringham,
Brunsdon dan Charlton, 2002). Model MGWR merupakan gabungan dari
model regresi linier global dengan model GWR. Sehingga dengan model
MGWR akan dihasilkan estimator parameter yang sebagian bersifat global
dan sebagian yang lain bersifat lokal sesuai dengan lokasi pengamatan data.
Sesuai dengan Rencana Strategi Pengendalian TB yaitu dengan
meningkatkan pelayanan DOTS dan menetapkan intervensi MDR-TB maka
diperlukan rencana strategi yang sesuai dengan kondisi wilayah atau
kabupaten di Indonesia (Kemenkes, 2014).

130
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


6.4.1. Provinsi Jawa Barat
Model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Jawa
Barat yang mempunyai karakteristik lokal adalah ekonomi baik,
menggunakan asuransi kesehatan, menggunakan alat transportasi, waktu
tempuh 15 - 30 menit, puskesmas rujukan mikroskopis TB, posyandu,
keberadaan jalan, sedangkan variabel globalnya adalah jumlah rumah sakit,
jumlah dokter dan masyarakat peduli TB. Variabel lokal yang signifikan
adalah ekonomi baik, menggunakan asuransi kesejahatan, menggunakan alat
transportasi, puskesmas rujukan mikroskopis TB dan keberadaan jalan.
Terdapat 13 kabupaten yang mempunyai variabel signifikan yaitu
menggunakan asuransi kesehatan dan menggunakan alat transportasi.
Kabupaten tersebut sebagian besar berada di sebelah selatan dari provinsi
Jawa Barat. Sedangkan variabel global yang signifikan adalah keberadaan
masyarakat peduli TB. Variabel global tersebut mempengaruhi seluruh
kabupaten di provinsi Jawa Barat.

6.4.1.1. Ekonomi Baik


Berdasarkan hasil model MGWR didapatkan bahwa setiap kenaikan
jumlah pasien TB dengan status ekonomi baik sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan bertambah sebesar 0,168.
Status ekonomi baik merupakan variabel yang signifikan secara spasial di
beberapa kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa status ekonomi pasien TB
di pengaruhi oleh kondisi ekonomi wilayahnya. Semakin baik status
ekonomi pasien TB maka semakin baik mereka melakukan akses pelayanan
kesehatan. Kasus Tuberkulosis banyak dijumpai di negara-negara
berkembang dan negara miskin. Hal ini dikarenakan status ekonomi yang
rendah memiliki kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB paru,
yaitu dengan rendahnya daya tahan tubuh akibat asupan makanan bergizi
yang kurang, tidak sanggup berobat dan membeli obat. Selain itu juga
kemiskinan mengharuskan seseorang untuk bekerja keras secara fisik

131
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


sehingga kemungkinan sembuh akan berkurang (Dimitrova, et
al.,2006;Harling, et al.,2008; Liu, et al.,2011).

6.4.1.2. Menggunakan Asuransi Kesehatan


Asuransi kesehatan adalah variabel yang mempunyai pengaruh
secara spasial terhadap akses pelayanan kesehatan, dimana setiap kenaikan
jumlah pasien TB menggunakan asuransi kesehatan sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan bertambah sebesar 0,324.
Asuransi kesehatan juga merupakan variabel yang signifikan di seluruh
kabupaten. Penggunaan asuransi kesehatan di provinsi Jawa Barat
menunjukkan bahwa sebagian besar (62,1%) pasien TB menggunakan
asuransi kesehatan dalam melakukan akses pelayanan kesehatan. Pasien TB
di provinsi Jawa Barat menggunakan jenis asuransi kesehatan adalah
asuransi kesehatan Jamkesmas, yang dimiliki oleh 35,4% pasien TB.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa penggunaan asuransi kesehatan masih
sangat berperan bagi pasien TB. Sejak tahun 1995, pemerintah telah
memberikan pengobatan gratis bagi pasien TB melalui program DOTS,
tetapi kepemilikan dan penggunaan asuransi kesehatan tetap diperlukan
untuk pengobatan lain selain untuk pengobatan TB.

6.4.1.3. Akses fisik


Akses fisik yang memberikan pengaruh positif terhadap akses
pelayanan kesehatan adalah menggunakan alat transportasi Dimana setiap
kenaikan jumlah pasien TB menggunakan alat transportasi sebesar 1 satuan
maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan bertambah sebesar
0,168. Menggunakan alat transportasi merupakan variabel lokal yang
signifikan di hampir semua kabupaten (76,29%) di provinsi Jawa Barat.
Menggunakan alat transportasi merupakan variabel yang mempunyai
pengaruh di wilayah mereka sendiri (lokal) dan terhadap wilayah di
sekitarnya atau adanya interaksi secara spasial.
Berdasarkan berdasarkan data penggunaan kendaraan, sepeda
motor mempunyai jumlah pengguna terbesar di provinsi Jawa Barat. Data

132
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


penggunaan kendaraan, sepeda motor mempunyai jumlah pengguna terbesar
di provinsi Jawa Barat (62,6%). Hal ini sama dengan hasil penelitian
Siswantoro (2012) menunjukkan bahwa pasien TB paru di Kabupaten
Bojonegoro dimana sebagian Pasien TB paru mempunyai biaya untuk
transportasi menuju ke Puskesmas atau rumah sakit dan sebagian besar
menggunakan transportasi kendaraan bermotor menuju tempat pengobatan.
Sedangkan spasial akses pelayanan kesehatan yang memberikan
pengaruh negatif terhadap akses pelayanan kesehatan adalah waktu tempuh
15 - 30 menit dan keberadaan jalan. Hasil pemodelan spasial menunjukkan
bahwa setiap kenaikan jumlah pasien TB menempuh waktu 15 - 30 menit
sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
berkurang sebesar 0,022 serta setiap kenaikan persentase keberadaan jalan
sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan
berkurang sebesar 0,004.
Hal ini menunjukkan bahwa waktu tempuh di provinsi Jawa Barat
sebaiknya kurang dari 15 menit menuju fasilitas pelayanan kesehatan.
Hubungan antara waktu tempuh dengan akses pelayanan kesehatan di
provinsi Jawa Barat diperoleh bahwa ada sebanyak 571 orang (62,8%)
pasien yang menempuh waktu kurang dari 15 menit dalam melakukan akses
pelayanan kesehatan. Banyaknya pasien TB yang melakukan perjalanan ke
fasilitas pelayanan kesehatan dengan waktu 15 - 30 menit dapat dikatakan
bahwa jarak antara rumah mereka dengan fasilitas pelayanan kesehatan
masih relatif jauh.
Adanya jalan mampu meningkatkan akses pelayanan kesehatan,
sebab kondisi jalan yang baik saat ini adalah jalan aspal dimana sebagian
besar pasien TB menggunakan kendaraan bermotor menuju ke fasilitas
kesehatan. Kondisi jalan dari suatu wilayah menuju pelayanan kesehatan
merupakan faktor yang penting dalam akses ke pelayanan kesehatan
(Baker,2005; Noor,2003; Penhansky,1981; Perry,2000; Ricketts,1984).
Sehingga spasial aksesibilitas di provinsi Jawa Barat adalah
sebaiknya lebih memperhatikan jarak ke fasilitas pelayaan kesehatan dan
meningkatkan sarana prasana infrastruktur wilayah terutama jalan. Menurut

133
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Andersen (1995) bahwa jarak merupakan komponen kedua yaitu suatu
kondisi yang memungkinkan orang memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal
ini dapat dimengerti mengingat jarak yang jauh ke pelayanan kesehatan
dapat merupakan alasan untuk tidak memilih pelayanan pengobatan
tersebut. Apalagi jika sarana transportasi yang tidak mendukung akan
menambah keengganan masyarakat memilih pelayanan pengobatan yang
jauh. Oleh karena itu pembangunan fasilitas kesehatan harus
mempertimbangkan faktor jarak dan sarana transportasi yang mendukung,
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pasien TB dalam
melakukan akses pelayanan kesehatan.

6.4.1.4. Fasilitas Kesehatan Pasien TB


Dalam menjalankan fungsinya, Program Penanggulangan
Tuberkulosis Nasioanal menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan
nasional, yaitu Puskesmas, salah satunya adalah Puskesmas Rujukan
Mikroskopis (PRM) yang melatih para staf laboratorium dan melakukan
pembacaan sediaan dahak. Sarana kesehatan bagi pasien TB yang
mempunyai pengaruh secara spasial adalah puskesmas rujukan mikroskopis
TB. Berdasarkan hasil pemodelan bahwa setiap kenaikan jumlah puskesmas
rujukan mikrokopis TB sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses
pelayanan kesehatan akan bertambah sebesar 0,004.
Berdasarkan data RISFASKES 2011, jumlah puskesmas rujukan
mikroskopis TB masih rendah, hanya ada 36,36% (grafik 7.1) puskesmas
rujukan mikroskopis TB. Masih kurangnya puskesmas rujukan mikroskopis
TB di Jawa Barat menyebabkan masih tingginya kasus TB di provinsi Jawa
Barat, sebab masih banyak pasien TB yang tidak mendapatkan rujukan
dalam pemeriksaan sputum di puskesmas. Berdasarkan grafik 6.1.
menunjukkan masih rendahnya jumlah puskesmas rujukan mikroskopis TB
di provinsi Jawa Barat.

134
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Grafik 6.1. Proporsi Puskesmas Rujukan Mikroskopis di Provinsi Jawa Barat

80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Puskemas Rujukan Bukan Puskesmas
Rujukan

Sumber : Risfaskes, 2011

Dalam manajemen kasus pengendalian TB paru berbasis wilayah,


upaya peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pencarian dan
pengobatan kasus sebagai upaya preventif, seperti halnya mikroskop,
kemampuan diagnosis dengan metode BTA harus dilengkapi (Achmadi,
2008). Penelitian Chandra tahun 2005 menyebutkan bahwa hasil analisis
kekuatan hubungan antara fasilitas kesehatan yang mikroskofis dengan
jumlah kasus TB paru BTA positif pada tahun 2002 menunjukkan ada
hubungan sedang, sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 menunjukkan ada
hubungan yang kuat.
Variabel global yang membentuk model akses pelayanan kesehatan
adalah Rumah Sakit dan dokter. Kedua variabel tersebut memberikan
pengaruh negatif terhadap akses pelayanan kesehatan, dimana setiap
kenaikan persentase Rumah Sakit sebesar 1 satuan maka persentase akses
pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,01 dan setiap kenaikan
persentase jumlah dokter sebesar 1 satuan maka persentase akses pelayanan
kesehatan akan berkurang sebesar 0,02.
Ketersediaan rumah sakit dan dokter di provinsi Jawa Barat tidak
memberikan pengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan pasien TB. Hal
ini menunjukkan bahwa jika Rumah Sakit dan Dokter meningkat maka tidak
langsung meningkatkan akses pelayanan kesehatan pasien TB. Pasien TB
akan datang pertama kali ketika melakukan akses pelayanan adalah ke
puskesmas dan pemeriksaan sputum akan dirujuk ke puskesmas rujukan
135
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


mikroskopis TB. Sehingga yang dibutuhkan untuk meningkatkan akses
pelayanan kesehatan adalah ketersediaan tenaga kesehatan yang telah dilatih
program penanggulangan TB untuk Rumah Sakit dan praktek dokter
(Kemenkes, 2011).

6.4.1.5. Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat


Salah satu strategi DOTS adalah melaksanakan pemberdayaan
pasien dan masyarakat dalam penemuan dan penyembuhan pasien. Strategi
tersebut melibatkan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan
untuk mendukung kebijakan dan mendukung sistem tersebut. Model spasial
akses pelayanan kesehatan dari variabel UKBM adalah ketersediaan
posyandu dan masyarakat peduli TB.
Variabel posyandu di provinsi Jawa Barat memberikan pengaruh
negatif terhadap akses pelayanan kesehatan. Dimana setiap kenaikan jumlah
posyandu sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan
kesehatan akan berkurang sebesar 0,01. Hal ini membuktikan bahwa
ketersediaan Posyandu di provinsi Jawa Barat tidak dapat membantu pasien
TB dalam melakukan akses pelayanan kesehatan. Seharusnya Posyandu
dapat sebagai alat bantu program penanggulanagn TB dalam menemukan
kasus TB, dengan memberikan pelatihan program penanggulangan TB
terhadap kader dan tenaga kesehatan di Posyandu. Sehingga jika ditemukan
kasus baru atau kambuh TB ke Posyandu maka dapat langsung di rujuk ke
puskesmas untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Sedangkan variabel global yang signifikan adalah masyarakat
peduli TB. Upaya penanganan pasien TB di masyarakat berimplikasi
terhadap kebutuhan untuk menyediakan tenaga, sarana dan prasarana
layanan pasien TB di tingkat kabupaten.Tantangan terbesar adalah
ketidakmampuan untuk menjamin kecukupan tenaga kesehatan dan
konsisten untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam jangkauan secara
geografis. Hambatan yang dihadapi adalah jumlah tenaga kesehatann yang
terbatas dan kesenjangan tenaga kesehatan untuk ditempatkan di wilayah-
wilayah terpencil. Situasi ini mendorong beberapa negara untuk

136
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


memanfaatkan Community Health Worker (CHW) (Sriprahastuti,2014).
Adanya program TB di puskesmas berupa masyarakat peduli TB akan
membantu program TB berupa active cases funding, dimana masyarakat
peduli TB akan membantu petugas kesehatan menemukan penduduk dengan
gejala TB atau pasien TB yang hampir drop out pengobatannya.

6.4.2. Provinsi Papua


Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB pada penelitian ini adalah
kebutuhan mereka dalam mendapatkan pelayanan kesehatan berupa
pemeriksaan dahak/foto rontgen dan mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Di provinsi Papua hanya sebesar 45,77% pasien TB yang
melakukan akses pelayanan kesehatan pasien TB, dimana terdapat 3
kabupaten (dari hasil survei Riskesdas 2013) yang tidak ada pasien TB yang
melakukan akses pelayanan kesehatan, kabupaten tersebut adalah kabupaten
Nduga, kabupaten Yalimo, dan kabupaten Puncak.
Model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Papua terbagi menjadi 2 karakteristik variabel, yaitu variabel lokal yang
terdiri dari usia kurang dari 60 tahun, asuransi kesehatan, waktu tempuh 15 -
30 menit, puskesmas rujukan mikroskopis TB, puskesmas, rumah sakit,
posyandu dan jalan. Sedangkan variabel yang bersifat global adalah
menggunakan alat transportasi.

6.4.2.1.Usia Kurang Dari 60 Tahun


Usia kurang dari 60 tahun memberikan pengaruh negatif kepada
akses pelayanan kesehatan, dimana setiap kenaikan jumlah pasien TB
berusia kurang dari 60 tahun sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses
pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,83.
Berdasarkan data dari BPS (2012), penduduk provinsi Papua
berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda
(0-14 tahun) dan kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55
tahun keatas). Komposisi penduduk seperti di atas menyebabkan rasio
ketergantungan (dependency ratio) di Papua tahun 2012 cukup tinggi, yaitu

137
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


sebesar 60,73 persen. Sehingga jika penduduk Papua TB pada usia produktif
maka menyebabkan semakin tingginya angka kemiskinan di provinsi Papua,
sebab mereka tidak dapat meningkatkan pendapatan mereka dan
keluarganya. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien TB yang berusia
kurang dari 60 tahun menjadi perhatian utama dalam akses pelayanan
kesehatan, hal ini disebabkan sebagian besar pasien TB pada usia antara 15
– 59 tahun (54,23%) tidak melakukan akses pelayanan kesehatan (Riskesdas
2013). Hal ini disebabkan usia antara 15 – 59 tahun merupakan usia yang
produktif, sehingga mereka lebih memperhatikan pekerjaan utuk
meningkatkan perekonomiannya.

6.4.2.2. Akses Fisik


Variabel akses fisik di provinsi Papua memberikan pengaruh negatif
terhadap akses pelayanan kesehatan pasien TB. Waktu tempuh 15 - 30 menit
dan menggunakan alat transportasi menunjukkan pengaruh yang negatif
terhadap akses pelayanan kesehatan. Setiap kenaikan jumlah pasien TB
menempuh waktu tempuh 15 - 30 menit sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar 0,188. Setiap
kenaikan jumlah pasien TB menempuh waktu tempuh 15 - 30 menit maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB akan berkurang.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa waktu tempuh sebaiknya kurang dari
15 menit. Dengan kondisi morfologi yang curam maka sebenarnya sangat
sulit jika harus menempuh waktu kurang dari 15 menit menuju ke pelayanan
kesehatan terdekat. Dengan demikian untuk mengatasi waktu tempuh ke
pelayanan kesehatan tersebut, maka diperlukan sebuah pos-pos kesehatan
yang lebih dekat dengan penduduk yang tinggal di wilayah morfologi yang
tinggi.
Untuk membatu mengatasi waktu tempuh tersbut, maka dapat
melalui adanya keberadaan jalan di provinsi Papua. Keberadaan jalan
memberikan pengaruh positif pada akses pelayanan kesehatan pasien TB,
dimana setiap kenaikan persentase jalan sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,009.

138
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Keberadaan jalan dan kondisi jalan yang baik maka akan
memudahkan penduduk untuk melakukan akses pelayanan kesehatan. Hal
ini sesuai dengan UU No. 38 tentang Jalan tahun 2004, yang menjelaskan
bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan
penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial, dan budaya
serta lingkungan. Penelitian ini menunjukkan pembangunan infrastruktur
wilayah (jalan aspal) secara tidak langsung memberikan dampak pada
pembangunan kesehatan masyarakat. Jalan tersebut sangat membantu
kelancaran penduduk untuk menjangkau ke pelayanan kesehatan
Menggunakan alat transportasi merupakan variabel yang bersifat
global yang mempunyai pengaruh di seluruh kabupaten di provinsi Papua.
Penggunaan alat transportasi menunjukkan hubungan linier negatif dengan
akses pelayanan kesehatan, dimana setiap kenaikan penggunaan alat
transportasi pada pasien TB sebesar 1 satuan maka persentase akses
pelayanan kesehatan akan menurun sebesar 0,16.
Di provinsi Papua hasil analisis hubungan antara penggunaan
kendaraan dengan akses pelayanan kesehatan diperoleh bahwa ada sebanyak
131 orang (39,1%) pasien yang menggunakan kendaraan dalam melakukan
akses pelayanan kesehatan. Akses ke pelayanan kesehatan berkaitan dengan
kemampuan penduduk untuk memperoleh hak mereka atas pelayanan
kesehatan (Black et al., 2004). Hal ini berkaitan dengan kemampuan dan
kemauan penduduk daerah tertentu untuk menjembatani kesenjangan fisik
antara rumah mereka dan lokasi fasilitas kesehatan.
Menurut Stock (1983) fasilitas kesehatan sering tidak dapat diakses
secara geografis pada penduduk di daerah pedesaan. Unsur jarak sangat
signifikan di wilayah pedesaan di negara berkembang di mana fasilitas
kesehatan yang tidak tersedia, dan di mana pasien cenderung melakukan
perjalanan untuk pengobatan sebagai pejalan kaki. Kondisi pasien TB yang
berasal dari tingkat ekonomi rendah menyebabkan mereka tidak mempunyai
alat transportasi dalam melakukan akses pelayanan kesehatan dan jika
mereka lebih memilih mempunyai alat transportasi maka mereka akan lama
dan sulit mendapatkannya sehingga menyebabkan kasus TB akan semakin

139
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


meningkat. Hal ini disebabkan mereka akan bekerja keras meningkatkan
ekonominya untuk mendapatkan alat transportasi tetapi tidak
memperhatikan kesehatannya, selain itu menunjukkan bahwa pasien TB di
provinsi Papua mempunyai pemikiran bahwa untuk mencapai fasilitas
kesehatan maka diperlukan sebuah alat transportasi, padahal alat
transportasi merupakan barang yang sulit didapatkan di wilayah-wilayah
terpencil di provinsi Papua. Dengan demikian penggunaan alat transportasi
tidak diperlukan oleh pasien TB, tetapi lebih yang lebih diutamakan adalah
kepemilkan alat transportasi bagi petugas kesehatan (dokter atau bidan) atau
kader kesehatan yang datang ke pasien TB. Alternatif lain dalam
penggunaan alat transportasi adalah dengan menyediakan kendaran desa
untuk setiap desa atau distrik, kendaraan tersebut dapat dimanfaatkan oleh
seluruh masyarakat setempat dalam mencapai ke fasilitas kesehatan.

6.4.2.3. Menggunakan Asuransi Kesehatan


Menggunakan asuransi merupakan variabel lokal yang signifikan di
16 kabupaten di provinsi Papua dan memberikan pengaruh yang positif pada
akses pelayanan kesehatan. Dari hasil pemodelan, setiap kenaikan jumlah
pasien TB menggunakan asuransi kesehatan sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 1,35.
Hasil analisis hubungan antara penggunaan asuransi kesehatan
dengan akses pelayanan kesehatan diperoleh bahwa ada sebanyak 29,6%
pasien yang menggunakan asuransi kesehatan dalam melakukan akses
pelayanan kesehatan. Masih rendahnya penggunaan asuransi kesehatan di
provinsi Papua dapat disebabkan oleh satunya adalah penyebaran penduduk
yang tidak merata dan sulitnya penyampaian informasi ke penduduk dengan
tingkat pendidikan rendah. Pola persebaran penduduk bekerja sebagian
besar berada di sektor pertanian (72,83%) dan sektor jasa (10,35%). Dilihat
dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, sebagian besar penduduk bekerja
merupakan tamatan sekolah dasar dan menengah (BPS, 2013).
Selain itu di provinsi papua sebagian besar pasien TB (68,3%) yang
tidak melakukan akses pelayanan kesehatan menggunakan asuransi bukan

140
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


untuk melakukan pemeriksaan diri penyakit TB, selain itu dapat disebabkan
oleh program pemerintah berupa pengobatan gratis bagi pasien TB, dimana
OAT untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma (Kemenkes,
2014)
Di Provinsi Papua, tingkat ekonomi pasien TB terdapat di tingkat
ekonomi kuintil 1dengan penggunaan asuransi kesehatan paling banyak
adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), dimana terdapat 248
pasien (49,1%) TB yang melakukan akses pelayanan kesehatan dan
menggunakan jenis asuransi kesehatan tersebut (grafik 6.2.).

Grafik 6.2. Penggunaan Asuransi Kesehatan Pasien TB


yang Melakukan Akses Pelayanan Kesehatan di Provinsi Papua
60,0%
50,0%
40,0%
30,0%
20,0%
10,0%
% Penggunaan
,0%

sumber: Hasil Perhitungan

Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah Program


Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin pada tahun 2008 yang diberikan
oleh pemerintah, yang merupakan jaminan kesehatan terhadap masyarakat
miskin yang meliputi sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin. (Depkes
RI, 2008). Berdasarkan sebaran kabupaten di provinsi Papua, variabel
menggunakan asuransi kesehatan yang signifikan ternyata mempunyai nilai
akses pelayanan kesehatan pasien TB yang rendah (Gambar 5.8).
Penelitian ini menunjukkan bahwa di provinsi Papua asuransi
kesehatan sangat dibutuhkan oleh pasien TB terutama bagi mereka yang

141
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


mempunyai kondisi sosial ekonomi yang rendah, terutama wilayah yang
jauh dari pusat ibukota provinsi. Asuransi kesehatan adalah suatu instrumen
sosial untuk menjamin pasien TB dapat memenuhi kebutuhan pemeliharaan
kesehatan tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi orang tersebut saat
kebutuhan pelayanan kesehatan muncul. Jadi dapat disimpulkan asuransi
kesehatan merupakan suatu alat yang dapat membantu masyarakat agar
tetap dapat melakukan pemeliharaan kesehatan tanpa harus terbebenai
dengan masalah ekonomi atau keuangan.

6.4.2.4. Mengetahui Ketersediaan Fasilitas Kesehatan


Mengetahui ketersediaan pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa
pasien TB dapat memilih pelayanan kesehatan sesuai dengan pilihan
mereka. Dalam survei yang dilakukan oleh Riskesdas 2013 membagi
pemilihan pelayanan kesehatan, yaitu yang berasal dari pemerintah dan
pelayanan kesehatan tradisional. Penelitian ini menggunakan data jenis
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Mengetahui ketersediaan fasilitas kesehatan memberikan pengaruh
positif pada kases pelayanan kesehatan, setiap kenaikan pasien TB
mengetahui jenis fasilitas kesehatan sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,613. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien TB telah mengetahui adanya fasilitas kesehatan
di sekitar mereka.
Grafik 6.3. menunjukkan persentase pasien TB yang mengetahui
keberadaan pelayanan kesehatan, pada grafik tersebut terdapat 82% pasien
TB mengetahui keberadaan Poskesdes/poskestren. Hal ini dapat sebabkan
sebagian besar hidup masyarakat Papua di wilayah pegunungan dengan
karakteristik wilayah pedesaan dan mata pencaharian utamanya adalah
pertanian (77,85%).
Kegiatan Poskesdes, utamanya adalah, pengamatan dan
kewaspadaan dini (surveilans penyakit, surveilans gizi, surveilans perilaku
berisiko, dan surveilans lingkungan, serta masalah kesehatan lainnya),
penanganan kegawatdaruratan kesehatan, dan kesiapsiagaan terhadap

142
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


bencana serta pelayanan kesehatan dasar serta perlunya memasukan
program penanggulangan TB serta adanya petugas kesehatan yang terlatih
dalam program TB. Ruang lingkup kegiatan Poskesdes meliputi upaya
kesehatan yang menyeluruh mencakup upaya promotif, preventif, dan
kuratif yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama bidan) dengan
melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya (Depkes RI, 2006).

Grafik 6.3. Mengetahui Keberadaan Pelayanan Kesehatan (dalam %)


di Provinsi Papua

100,0%
80,0%
60,0%
40,0%
20,0%
,0% % Mengetahui

sumber: hasil Perhitungan Riseksedas, 2013

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan Poskesdes di


provinsi Papua sangat tinggi. Sehingga perlunya memasukan Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes) sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dalam
penanggulangan TB. Selama ini pemerintah masih menerapkan program
DOTS puskesmas sebagai fasilitas pelayanan pemerintah. Untuk provinsi
Papua, sebaiknya pemerintah mulai memperhatikan fasilitas-fasilitas
kesehatan yang telah mereka bentuk untuk menerapkan program
pengendalian TB, salah satunya di Poskesdes.

6.4.2.5. Fasilitas Kesehatan Pasien TB


Fasilitas kesehatan pasien TB di provinsi Papua yang mempunyai
pengaruh lokal adalah puskesmas dan puskesmas rujukan mikroskopis TB
(PRM-TB). Ketersediaan puskesmas memberikan pengaruh yang positif
terhadap akses pelayanan kesehatan, dimana setiap kenaikan jumlah

143
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


puskesmas sebesar 1 satuan maka persentase spasial akses pelayanan
kesehatan akan meningkat sebesar 0,074. Sedangkan PRM memberikan
pengaruh negatif terhadap akses pelayanan kesehatan, yaitu setiap
kenaikan jumlah puskesmas mikroskopis TB sebesar 1 satuan maka
persentase spasial akses pelayanan kesehatan akan berkurang sebesar
0,0009.
Ketersediaan puskesmas di provinsi Papua mempunyai pengaruh
lokal, dimana hasil dari RISFASKES 2011, terdapat 94 Puskesmas
Perawatan (32,0%) dan 200 Puskesmas Non Perawatan (68,0%) di
Provinsi Papua. Jumlah Puskesmas Perawatan terbanyak yang melebihi
75% dari total Puskesmas adalah di Kabupaten Merauke (80,0%),
selanjutnya Kabupaten Mamberamo Raya (80,0%) dan Kabupaten Asmat
(77,8%). Sementara Kabupaten/Kota terendah yaitu Kabupaten Paniai
(0,0%), diikuti oleh Kabupaten Lanny Jaya (0,0%) dan Kabupaten
Mamberano Tengah (0,0%). Sedangkan tenaga kesehatan dokter hanya
sebanyak 68% dengan jumlah rata-rata 1,3 per Puskesmas. Ada 8
Kabupaten/Kota yang seluruh Puskesmasnya telah memiliki tenaga Dokter
(100%). Sementara Kabupaten terendah adalah Kabupaten Deiyai (25,0%)
dengan rata-rata keberadaan dokter hanya 0,9 per Puskesmas dan
Kabupaten Lanny Jaya (30,0%) dengan rata-rata keberadaan dokter 0,5 per
Puskesmas. Hasil tersebut menunjukkan masih rendahnya puskesmas dan
tenaga kesehatan (dokter puskesmas) di provinsi Papua.
Sedangkan puskesmas rujukan mikroskopis TB memberikan
pengaruh negatif kepada akses pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan
bahwa yang paling diperlukan pasien TB di provinsi Papua bukanlah
menambahkan jumlah puskesmas rujukan mikroskopis TB tetapi
ketersediaan Puskesmas sebagai pelayanan dasar yang paling dibutuhkan
oleh pasien TB dalam melakukan akses pelayanan kesehatan.

6.4.2.6.Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat


Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat di provinsi Papua
adalah ketersediaan posyandu di sekitar penduduk. Keberadaan posyandu

144
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


memberikan pengaruh yang positif terhadap akses pelayanan kesehatan,
dimana setiap kenaikan jumlah posyandu sebesar 1 satuan maka persentase
spasial akses pelayanan kesehatan akan meningkat sebesar 0,0055. Sehingga
artinya setiap kenaikan jumlah posyandu maka akan menaikkan akses
pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Papua.
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk, dan
bersama masyarakat, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan
kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan
dasar. Upaya peningkatan peran dan fungsi Posyandu bukan semata-mata
tanggungjawab pemerintah saja, namun semua komponen yang ada di
masyarakat, termasuk kader. Peran kader dalam penyelenggaraan Posyandu
sangat besar karena selain sebagai pemberi informasi kesehatan kepada
masyarakat juga sebagai penggerak masyarakat untuk datang ke Posyandu
dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (Kemenkes, 2012).
Ketersediaan posyandu di provinsi Papua sangat dibutuhkan di
provinsi Papua yang kondisi penyebaran penduduknya tidak merata.
Dengan luas wilayah Provinsi Papua sekitar 317.062 km2 yang didiami oleh
3,16 juta jiwa maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Papua
adalah sebanyak 10 orang per kilo meter persegi. Kota Jayapura memiliki
tingkat kepadatan penduduk paling tinggi yaitu 339 orang per kilo meter
persegi, diikuti Kabupaten Jayawijaya dengan tingkat kepadatan 74 orang
per kilo meter persegi. Kabupaten Mamberano Raya merupakan kabupaten
dengan tingkat kepadatan paling rendah yaitu 1 orang per kilo meter persegi
(BPS, 2012). Berdasarkan bentuk penyebaran penduduk tersebut,
menunjukkan bahwa adanya pengelompokan penduduk di provinsi Papua.
Posyandu dibutuhkan di provinsi Papua sebagai bantuan terhadap
penemuan kasus baru TB jika ditemukan pendudukan dengan gejala TB
kemudian segera di rujuk ke fasilitas pelayanan terdekat yaitu Puskesmas.
Sehingga perlunya mempersiapkan masyarakat, khususnya tokoh
masyarakat untuk bersedia mendukung penyelenggaraan Posyandu di
wilayah mereka.

145
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


6.4.3. Hubungan antara Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Terhadap
Fakta Wilayah
6.4.4. Morfologi Wilayah
Akses yang merata akan terjadi bila pelayanan terdistribusi
berdasarkan geografis dan penyakitnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa
untuk kondisi fisik morfologi wilayah tidak memberikan pengaruh terhadap
akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Jawa Barat dan Papua.
Terdapatnya akses pelayanan kesehatan yang tinggi di wilayah
morfologi yang curam menunjukkan bahwa pasien TB mempunyai
kesadaran untuk melakukan akses pelayanan kesehatan. Selain itu di dukung
oleh adanya fasilitas kesehatan yang mudah dicapai oleh pasien TB. Faktor
ketersediaan pelayanan kesehatan secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh terhadap pemerataan akses pelayanan kesehatan.
Bentuk penyebaran spasial autokorelasi di provinsi Jawa Barat
adalah mengelompok. Hubungan antara kondisi morfologi dengan akses
pelayanan kesehatan pasien TB pada provinsi Jawa Barat dapat dilihat di
kabupaten Sukabumi, dengan morfologi wilayah yang curam ternyata akses
pelayanan kesehatan pasiennya masih rendah. Hal ini dapat disebabkan
kabupaten Sukabumi mempunyai jumlah puskesmas sebanyak 58
puskesmas dengan rasio puskesemas per 100.000 penduduk yang tinggi di
bandingkan dengan rasio provinsi adalah 4,84 (rasio puskesmas per 100.000
penduduk provinsi Jawa Barat sebesar 2,34).
Pada Gambar 5.17. ditemukan beberapa kabupaten di provinsi Jawa
Barat yang mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan yang tinggi berada
di kondisi morfologi yang curam. Sedangkan wilayah morfologi yang curam
dengan nilai akses pelayanan kesehatan yang rendah berada di wilayah
tengah provinsi Jawa Barat. Wilayah utara provinsi Jawa Barat mempunyai
nilai akses pelayanan kesehatan yang rendah dan berada di wilayah
morfologis yang landai. Kondisi fisik wilayah yang landai tidak
menyebabkan akses pelayanan kesehatan yang tinggi, sehingga wilayah
tersebut menunjukkan bahwa akses pelayanan kesehatan yang rendah bukan
disebabkan oleh kondisi morfologi wilayah.

146
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Gambar 5.18. menunjukkan bahwa kondisi morfologi wilayah di
provinsi Papua yang sangat tinggi dan ekstrim dapat menyebabkan akses
pelayanan kesehatan juga rendah, hal ini dapat ditemukan di bagian tengah
provinsi Papua, sebagian besar kabupatennya adalah kategori akses rendah
dan morfologi curam. Pola penyebaran spasial akses pelayanan kesehatan
pasien TB dengan kondisi morfologi di provinsi Papua mempunyai pola
yang mengelompok.
Kondisi morfologi yang tinggi menyebabkan sedikit penduduknya
tinggal di wilayah tersebut, terutama di provinsi Papua. Sehingga yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah
tersebut adalah dengan membuat pos-pos kesehatan yang dekat disekitar
permukiman penduduk. Selain itu menyiapkan kader kesehatan yang terlatih
dalam penanggulangan TB, hal ini untuk membantu pasien TB
mendapatkan pengobatan TB dan menyiapkan pos TB desa yang terintegrasi
dengan masyarakat termasuk di desa siaga yang diperuntukkan bagi daerah
terpencil.

6.4.5. Sosial Ekonomi Wilayah


Kemiskinan merupakan masalah yang terus dihadapi di sejumlah
daerah di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah terus berupaya
menanggulangi masalah kemiskinan melalui berbagai program pengentasan
kemiskinan. Salah satunya adalah melalui program Inpres Desa Tertinggal
(IDT). Desa tertinggal didefinisikan sebagai desa-desa yang kondisinya
relatif tertinggal dari desa-desa lainnya (BPS 2005). Proposi penduduk
miskin, penduduk dewasa yang melek huruf dan penduduk tanpa akses
pelayanan kesehatan bersama-sama dengan variabel lainnya, digunakan
sebagai indikator dalam menghitung Indeks Kemiskinana Masyarakat oleh
Bappenas (Retnaningsih, 2005).
Kasus TB paru banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan
negara miskin. Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah memiliki
kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB paru, yaitu dengan
rendahnya daya tahan tubuh akibat asupan makanan bergizi yang kurang,

147
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


tidak sanggup berobat dan membeli obat. Selain itu juga kemiskinan
mengharuskan seseorang untuk bekerja keras secara fisik sehingga
kemungkinan sembuh akan berkurang. Faktor kemiskinan walaupun tidak
berpengaruh langsung pada kejadian tuberkulosis paru namun dari beberapa
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah
dan kejadian tuberkulosis paru (Mahindra, 2003; Retnaningsih, 2005).
Berdasarkan hasil autokorelasi spasial, bentuk penyebaran kemiskinan
adalah mengelompok di provinsi Jawa Barat sedangkan di provinsi Papua
mempunyai bentuk pola yang menyebar. Di provinsi Jawa Barat angka
melek huruf masih belum 100%, masih ada penduduk pada usia 15 – 24
tahun (0,48%) yang tidak dapat membaca dan menulis, diaman salah
satunya ada di kabupaten Karawang. Sedangkan di provinsi Papua sebanyak
31,8% penduduk yang belum dapat membaca dan menulis. Hal ini
menunjukkan bahwa hampir sebagian besar kabupaten di Jawa Barat
mempunyai masalah yang serius pada kemiskinan wilayah dan angka melek
huruf terhadap model akses pelayanan kesehatan pasien TB.
Gambar 5.19 dan Gambar 5.20. menunjukkan hubungan antara akses
pelayanan kesehatan terhadap kondisi sosial ekonomi wilayah. Terdapat 3
kategori wilayah yang menjelaskan hubungan tersebut, wilayah yang baik
(warna paling muda) adalah wilayah dengan akses pelayanan kesehatan
pasien TB yang sudah baik dan rendahnya kemiskinan wilayah. Sedangkan
wilayah dengan warna paling tua merupakan wilayah yang masuk dalam
kategori buruk, sebab wilayah tersebut mempunyai jumlah akses pelayanan
kesehatan yang paling rendah dan angka kemiskinan yang tinggi.
Penelitian ini membuktikan bahwa kemiskinan wilayah bukan
merupakan faktor yang menghambat melakukan akses pelayanan kesehatan
bagi pasien TB. Hal ini terbukti pasien TB di provinsi papua yang dengan
kategori miskin tetapi masih dapat melakukan akses pelayanan kesehatan,
walaupun mencapai pelayanan kesehatan puskesmas harus menempuh
waktu 15 – 30menit dan terpenting adalah mereka mengetahui adanya
fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga yang menjadi perhatian pada
wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi dan rendahnya akses pelayanan

148
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


kesehatan adalah dengan menyediakan jaminan kesehatan bagi masyarakat
miskin, menambah pos-pos kesehatan di wilayah yang sulit menjangkau
wilayah perkotaannya dan meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan
bagi masyarakatnya.

6.5. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB Yang Menyeluruh


Dan Terpadu
Pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan yang menyeluruh
dan terpadu, adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebuthan pasien dan memperhatikan berbagai aspek kehidupan dari
pasiennya. Akses pelayanan kesehatan tidak dapat berjalan sendiri tanpa
adanya dukungan dari pihak lain, seperti infrastuktur wilayah.
Terdapat 4 aspek yang mempengaruhi kebijakan dalam spasial akses
adalah (1) aspek pemasok (supply), yaitu institusi pelayanan kesehatan (baik
pelayanan dasar hingga rujukan) dan program kesehatan yang menjamin
terselegaranya pelayanan yang prima, (2) aspek pengguna pelayanan
kesehatan (demand) yaitu penduduk yang membutuhkan pelayanan
kesehatan, (3) aspek kewilayahan (spasial) yaitu aspek karakteristik wilayah
yang ada atau fakta wilayah yang ada, dan terakhir adalah (4) aspek
interaksi antara aspek supply dan demand dalam suatu kewilayahan
(spatial) yang dimoderasi (mempererat atau memperlemah) oleh program
kebijakan dari pelayanan kesehatannya.
Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kedokteran (medical
service) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service)
(Azwar, 1994). Pelayanan kesehatan sebaiknya tersedia di sekitar
masyarakat sehingga mudah dicapai (dalam arti fisik) dan terjangkau (dalam
arti biaya pengobatan), dapat diterima dan mempunyai program-program
kesehatan yang bermutu dan mendukung kebijakan kesehatan.
Kondisi fisik wilayah dapat meliputi kondisi topografi wilayah
(ketinggian wilayah), infrastruktur wilayah, wilayah kepulauan dan
penggunaan lahan. Akses pelayanan kesehatan di suatu wilayah dapat
dipengaruhi oleh kondisi fisik wilayah, tetapi hal dapat diatasi dengan

149
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


ketersediaan pelayanan kesehatan di setiap karakteristik wilayah tersebut,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pelayanan kesehatan yang
baik adalah yang mudah dicapai dan dekat dengan masyarakat. Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah dengan kemiringan lereng lebih
dari 15% tetapi mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan yang tinggi.
Berdasarkan grafik 5.1. dan 5.2, terdapat penyebaran kabupaten berdasarkan
nilai residu dari model spasial akses pelayanan kesehatan. Pada grafik
tersebut terbagi menjadi empat wilayah.

6.5.1. Wilayah I
Wilayah I di provinsi Jawa Barat dan Papua memiliki nilai akses
pelayanan kesehatan yang sudah diatas nilai rata-rata akses pelayanan
kesehatan yang sebenarnya (observed value) tetapi sebagian dari kabupaten
yang ada di wilayah tersebut mempunyai nilai residu positif yang tinggi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-variabel lokalnya tidak
memberikan kontribusi pada akses pelayanan kesehatan. Sebagian besar
kabupaten (13 kabupaten) di provinsi Jawa Barat berada di wilayah I.
Variabel lokal yang signifikan di wilayah I sebanyak 5 variabel, adalah
status ekonomi baik, menggunakan asuransi kesehatan, menggunakan alat
transportasi, puskesmas rujukan TB, keberadaan jalan. Sebagian besar
kabupaten yang berada di wilayah I berada di kondisi morfologi yang
landai, hanya kabupaten Cianjur, Kota Banjar, kabupaten Sukabumi dan
Tasikmalaya yang berada di morofologi yang tinggi. Wilayah yang hanya
mempunyai satu variabel yang signifikan adalah kota Banjar, yaitu
menggunakan asuransi kesehatan, sedangkan kota Bekasi mempunyai nilai
residual positif yang paling besar.
Berdasarkan Gambar 5.9, hubungan antara akses pelayanan
kesehatan dengan kondisi sosial ekonomi wilayah, ternyata kabupaten/kota
yang berada di wilayah I di provinsi Jawa Barat termasuk dalam
karaktersitik sosial-ekonomi yang baik hingga sedang. Di provinsi Jawa
Barat rata-rata penduduk miskin sebesar 10,98% dan penduduk melek huruf
di provinsi Jawa Barat telah mencapai 95,26% (BPS, 2013). Penelitian ini

150
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


membuktikan bahwa kondisi sosial-ekonomi wilayah mempunyai peran
dalam akses pelayanan kesehatan.
Kota Bekasi merupakan salah satu wilayah dengan nilai residual
positif yang besar. Variabel-variabel pembentuk model akses pelayanan
kesehatan pasien TB tidak memberkan kontribusinya terhadap model yang
terbentuk. Sehingga ada variabel lain yang mungkin menyebabkan akses
pelayanan kesehatan pasien TB menjadi baik. Salah satu penyebabnya
adalah karena posisinya yang dekat dengan Jakarta, jarak yang dekat dengan
kota Jakarta menyebabkan pasien mudah untuk melakukan akses pelayanan
kesehatannya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa jarak adalah indikator
penting yang menentukan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan
(Müller, et al, 1998;. Buor, 2002;. Noor, et al, 2003; Habib dan Vaughan,
1986; Stock, 1983; Joseph & Phillips, 1984). Hasil penelitian mereka
menyatakan bahwa jarak merupakan faktor yang sangat penting yang
mempengaruhi pemanfaatan di daerah rural di negara berkembang.
Wilayah I di provinsi Papua meliputi 8 kabupaten dan terdapat 5
kabupaten yang mempunyai variabel lokal yang signifikan, yaitu
menggunakan asuransi kesehatan. Berdasarkan hubungan akses pelayanan
kesehatan dengan morfologi wilayah (gambar 5.8) menunjukkan bahwa
sebagian besar kabupaten di wilayah I ini berada di kondisi morfologi yang
landai dan melakukan akses pelayanan yang tinggi. Kondisi morfologi dan
memiliki asuransi kesehatan menyebabkan pasien TB di wilayah ini mampu
melakukan akses pelayanan kesehatan. Kota Jayapura merupakan ibukota
provinsi Papua tetapi tidak ada variabel yang signifikan. Hal ini
membuktikan bahwa penggunaan asuransi kesehatan di wilayah perkotaan
dimana sebagian besar penduduknya berada di status ekonomi yang baik
menyebabkan mereka mampu melaksanakan akses pelayanan kesehatan
tanpa menggunakan asuransi kesehatan (Mitchell et al., 2002; Iezzoni, et al.,
2000).

151
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


6.5.2. Wilayah II
Wilayah II, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang rendah dan nilai residual positif. Nilai residual positif berarti bahwa
wilayah tersebut mempunyai nilai akses pelayanan kesehatan prediksi lebih
kecil dari nilai akses pelayanan kesehatan yang sebenarnya, sehingga hal ini
menunjukkan bahwa variabel pembentuk model akses pelayanan kesehatan
tidak memberikan kontribusi kepada persamaan model yang dibentuk.
Variabel yang signifikan dalam model akses pelayanan kesehatan pasien TB
di provisi Jawa Barat adalah adalah asuransi kesehatan dan penggunaan alat
transportasi, dimana ditemukan di 5 kabupaten (62,5%) pada wilayah II ini.
Jika melihat penyebaran kabupaten di wilayah II, sebagaian besar
berada pada kondisi morfologi yang landai. Rendahnya akses pelayanan
kesehatan pasien TB di wilayah II dapat disebabkan oleh masih rendahnya
jumlah dokter. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat berkisar 2,9 – 47,2. Berdasarkan target indikator
Indonesia Sehat rasio dokter umum 40 per 100.000 penduduk, Provinsi
Jawa Barat belum mencapai target, hanya terdapat 1 kota telah mencapai
target yaitu Kota Cirebon (RISFASKES, 2011). Berdasarkan kondisi sosial
ekonomi, wilayah II di provinsi Jawa Barat masuk dalam kategori sedang
hingga buruk, sehingga penyebab masih rendahnya akses pelayanan dapat
berasal dari kondisi sosial ekonomi
Wilayah II di provinsi Papua meliputi 6 kabupaten atau 23% dari
seluruh kabupaten di provinsi. Tidak ada variabel lokal yang signifikan di
provinsi Papua pada wilayah II. Rendahnya akses pelayanan kesehatan di
dapat disebabkan karena letaknya yang jauh dari ibukota provinsi (Kota
Jayapura) dan berdasarkan gambar 5.10 sebaran kabupaten di wilayah ini
berada pada kondisi sosial-ekonomi sedang hingga rendah. Pada wilayah II
di provinsi Papua yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
anggaran kabupaten di wilayah ini khususnya di bidang kesehatan
masyarakat, selain itu karena letaknya yang jauh dari ibukota provinsi, maka
perlunya di tambahkan petugas kesehatan atau kader dari masyarakat
setempat.

152
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Berdasarkan kondisi kasus TB banyak dijumpai di wilayah dengan
kondisi kemiskinan yang tinggi, seperti yang ditemukan di provinsi Papua.
Hal ini dikarenakan status ekonomi yang rendah sehingga memiliki
kontribusi yang besar terhadap kejadian penyakit TB paru, yaitu dengan
rendahnya daya tahan tubuh akibat asupan makanan bergizi yang kurang,
tidak sanggup berobat dan membeli obat. Selain itu juga kemiskinan
mengharuskan seseorang untuk bekerja keras secara fisik sehingga
kemungkinan sembuh akan berkurang.

6.5.3. Wilayah III


Wilayah III, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang rendah dan nilai residual negatif. Terdapat 4 kabupaten di Jawa Barat
yang masuk dalam wilayah III. Variabel lokal yang signifikan di wilayah III
ini adalah status ekonomi baik, menggunakan asuransi kesehatan,
menggunakan alat transportasi dan keberadaan jalan. Wilayah III
menunjukkan akses pelayanan kesehatan di kabupaten rendah tetapi variabel
lokalnya memberikan pengaruh yang tinggi terhadap akses pelayanan
kesehatan. Sehingga yang perlu diperhatikan pada wilayah III di provinsi
Jawa Barat adalah dengan meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan,
yaitu dengan meningkatkan ketersediaan puskesmas rujukan mikroskopis
TB. Penanggulangan penyakit TB perlu ditunjang oleh fasilitas kesehatan
yang memiliki sarana prasarana dan sumber daya manusia yang cukup baik
dari segi kualitas maupun kuantitas (DepKes,2008).
Jumlah kabupaten di provinsi Papua yang masuk ke dalam wilayah
III sebanyak 9 kabupaten dengan 6 kabupaten yang mempunyai variabel
lokal yang signifikan yaitu menggunakan asuransi kesehatan. Wilayah III di
provinsi Papua sebagian besar berada di wilayah dengan morfologi yang
landai tetapi letaknya yang jauh dari ibukota dan karakteristik wilayahnya
adalah perdesaan maka untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan
adalah menggunakan asuransi kesehatan, memperkenalkan ketersediaan
fasilitas kesehatan dan ketersediaan alat transportasi.

153
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Kepemilikan alat transportasi menjadi hal yang penting saat ini,
sebab alat transportasi memudahkan seseorang dalam melakukan akses
pelayanan kesehatan, terutama di wilayah-wilayah yang sangat sulit kondisi
geografisnya dan keterbatasan infrastruktur wilayah berupa jalan darat.
Tetapi hal ini tidak dapat diterapkan di provinsi Papua, dimana dengan
tingkat ekonomi penduduknya yang masih rendah sehingga untuk memiliki
alat transportasi sangat sulit didapatkan.

6.5.4. Wilayah IV
Wilayah IV, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang tinggi dan nilai residual negatif. Wilayah ini menunjukkan akses
pelayanan yang tinggi dan variabel lokal memberikan pengaruh yang tinggi.
Wilayah IV merupakan wilayah yang tidak perlu adanya intervensi di
variabel lokalnya, sebab variabel lokalnya memberikan kontribusi yang
tinggi (overestimated) dari akses pelayanan kesehatan di wilayah tersebut.
Kabupaten Kuningan di provinsi Jawa Barat adalah satu-satunya
kabupaten yang berada di wilayah IV. Variabel lokal yang signifikan adalah
menggunakan asuransi kesehatan dan menggunakan alat transportasi.
Kabupaten kuningan berada di kondisi morfologi yang tinggi tetapi akses
pelayanan kesehatan pasien TB mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan menggunakan asuransi kesehatan dan
mempunyai alat transportasi pasien di kabupaten Kuningan mampu
melakukan akses pelayanan kesehatan.
Di provinsi Papua, terdapat tiga kabupaten yang masuk dalam
wilayah IV, hanya kabupaten Biak Numfor dengan variabel yang signifikan
adalah menggunakan asuransi kesehatan. Letak kabupaten Biak Numfor
berada di kondisi geografis berupa kepulauan. Pada kabupaten ini,
penggunaan asuransi kesehatan sangat membantu pasien TB dalam
melakukan akses pelayanan kesehatan selain itu karena letaknya di
kepulauan, maka kepemilikan alat transportasi sangat dibutuhkan oleh
pasien TB untuk melakukan akses pelayanan kesehatan.

154
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


BAB 7.
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
7.1.1. Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB
Akses pelayanan kesehatan pasien TB meliputi pemeriksaan dahak,
atau pemeriksaan foto rontgen dan pemberian obat anti TB. Akses
pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi Papua masih sangat rendah di
bandingkan dengan provinsi Jawa Barat.
Terdapat perbedaan akses pelayanan kesehatan pasien TB di provinsi
Jawa Barat dan Papua. Pola spasial penyebaran akses pelayanan kesehatan
pasien diagosis TB di provinsi Jawa Barat adalah menyebar, dimana akses
pelayanan kesehatan berinteraksi secara spasial di seluruh kabupaten.
Sedangkan pola spasial penyebaran pasien TB di provinsi Papua adalah
mengelompok. Hal ini sesuai dengan pola penyebaran penduduk di provinsi
Papua yang cenderung mengelompok, ini disebabkan karena kondisi
morfologi wilayahnya adalah perbukitan hingga pegunungan atau curam.
Terdapat pengaruh karakteristik individu terhadap spasial akses
pelayanan kesehatan pasien TB. Di provinsi Jawa Barat dipengaruhi oleh
status menikah, penggunaan asuransi kesehatan dan mengetahui
ketersediaan fasilitas kesehatan, sedangkan pasien TB yang melakukan
akses pelayanan kesehatan di provinsi Papua dipengaruhi oleh usia kurang
dari 60 tahun, menggunakan asuransi, bekerja dan mengetahui ketersediaan
fasilitas kesehatan.
Tidak adanya pengaruh kondisi morfologi wilayah terhadap akses
pelayanan kesehatan, terutama di provinsi Jawa Barat, sedangkan di
provinsi Papua, hanya pada kondisi morfologi yang sangat ekstrim dapat
menyebabkan rendahnya akses pelayanan kesehatan.
Kondisi sosial ekonomi wilayah mempengaruhi pasien TB dalam
melakukan akses pelayanan kesehatan. Kemiskinan penduduk menyebabkan

155
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


mereka tidak melakukan akses pelayanan kesehatan, selain itu masih
rendahnya tingkat pendidikan (melek huruf) menyebabkan pasien TB tidak
mengetahui bahwa pengobatan TB saat ini telah dibebaskan biayanya dan
mereka mendapatkan jaminan kesehatan, khususnya bagi penduduk
prasejahtera.

7.1.2. Model Spasial Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB


Terdapat perbedaan sifat variabel dalam persamaan model spasial
akses pelayanan kesehatan. Adanya perbedaan parameter pembentuk model
spasial akses pelayanan kesehatan, parameter variabel tersebut adalah lokal
dan global. Variabel yang bersifat lokal, adalah variabel yang mempunyai
pengaruh spasial atau mempunyai pengaruh interaksi dengan kondisi fisik
wilayah di setiap kabupaten. Variabel global, adalah variabel yang
mempunyai pengaruh yang sama di semua kabupaten atau tidak ada
pengaruh spasial.
Model spasial akses pelayanan kesehatan pasien TB di Jawa Barat
terbentuk dari variabel lokal yaitu ekonomi baik, menggunakan asuransi
kesehatan, menggunakan alat transportasi, waktu tempuh 15 – 30 menit,
PRM, Posyandu, jalan, sedangkan variabel global adalah Rumah Sakit,
jumlah dokter dan Masyarakat peduli TB. Variabel lokal yang mempunyai
nilai signifikan adalah ekonomi baik, menggunakan asuransi kesehatan,
menggunakan alat transportasi, puskesmas rujukan mikroskopis TB.
Model spasial akses pelayanan kesehatan di provinsi Papua
terbentuk dari variabel usia kurang dari 60 tahun, menggunakan asuransi
kesehatan, waktu tempuh 15 - 30 menit, ketersediaan puskesmas, Rumah
Sakit dan jalan. Variabel global adalah penggunaan alat
transportasi.Variabel lokal yang signifikan adalah menggunakan asuransi
kesehatan.
Hasil analisis nilai residual model persamaan, terdapat nilai residu
positif yang tinggi yaitu menunjukkan variabel lokal kurang memberikan
kontribusi terhadap akses pelayanan kesehatan, sehingga perlunya
meningkatkan variabel lokal. Nilai residu negatif tinggi, menunjukkan

156
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


bahwa variabel lokal memberikan kontribusi yang besar terhadap akses
pelayanan kesehatan, sehingga perlunya meningkatkan variabel global.
Berdasarkan bentuk penyebaran secara spasial akses pelayanan kesehatan di
provinsi Jawa Barat adalah menyebar dan di provinsi papua membentuk
mengelompok.

7.1.3. Model Akses Pelayanan Kesehatan Pasien TB yang Menyeluruh dan


Terpadu
Model akses pelayanan kesehatan pasien TB yang menyeluruh dan
terpadu dilihat dari angka residual dari model regresi. Nilai residual berguna
dalam menduga kecocokan model. Di dalam konsep regresi linier, residu
adalah semua hal yang mungkin mempengaruhi variabel terikat, yang tidak
diamati dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan pembagian wilayah
berdasarkan nilai residual dan akses pelayanan kesehatan pasien TB.
Wilayah I di provinsi Jawa Barat dan Papua adalah wilayah dengan
nilai akses pelayanan kesehatan yang baik dan nilai residual positif, hal ini
menunjukkan bahwa variabel lokal kurang memberikan kontribusinya ke
persamaan modelnya. Pada wilayah I di provinsi Jawa Barat yang perlu
mendapatkan perhatian adalah meningkatkan sosial-ekonomi pasien TB.
Sedangkan di provinsi Papua, adalah meningkatkan penggunaan asuransi
kesehatan bagi pasien TB.
Wilayah II, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan kesehatan
yang rendah dan nilai residual positif. Pada wilayah II variabel lokalnya
tidak memberikan kontribusi pada persamaan modelnya. Di provinsi Jawa
Barat. Kondisi sosial ekonomi masih menjadi prioritas di wilayah II,
sedangkan di provinsi Papua, meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan
meningkatkan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan.
Wilayah III, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan
kesehatan yang rendah dan nilai residual negatif. Wilayah III menunjukkan
akses pelayanan kesehatan di kabupaten rendah tetapi variabel lokalnya
memberikan pengaruh yang tinggi terhadap akses pelayanan kesehatan. Di
provinsi Jawa Barat, yang menjadi perhatian dalam meningkatkan akses

157
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pelayanan kesehatan adalah dengan meningkatkan sarana dan prasarana
kesehatan bagi pasien TB, sedangkan di provinsi Papua adalah
meningkatkan penggunaan asuransi kesehatan, ketersediaan fasilitas
kesehatan dan ketersediaan alat transportasi bagi pasien TB.
Wilayah IV, adalah wilayah dengan nilai akses pelayanan
kesehatan yang tinggi dan nilai residual negatif. Wilayah ini menunjukkan
akses pelayanan yang tinggi dan variabel lokal memberikan pengaruh yang
tinggi. Wilayah IV merupakan wilayah yang tidak perlu adanya intervensi di
variabel lokalnya, sebab variabel lokalnya memberikan kontribusi yang
tinggi terhadap akses pelayanan kesehatan di wilayah tersebut. Di provinsi
Jawa Barat yang menjadi perhatian dalam meningkatkan akses pelayanan
kesehatan pasien TB adalah dengan meningkatkan uapaya kesehatan
berbasis masyarakat, yaitu dengan meningkatkan masyarakat peduli TB di
setiap wilayah puskesmasnya. Di provinsi Papua, yang masih menjadi
kendala bagi pasien TB adalah penggunaan alat transportasi. Kepemilikan
alat transportasi lebih diutamakan bagi tenaga kesehatan dan bagi kelompok
masyarakat (distrik).

7.2. Saran
7.2.1. Terhadap keilmuan
Dengan menggunakan pendekatan spasial maka kebutuhan akan
pemanfaatan pelayanan di suatu wilayah akan terlihat jelas dengan
menggunakan pemetaan wilayah. Bagi pengembangan penelitian, untuk
perbaikan hasil analisis pada penelitian serupa, antara lain perlunya
analisis spasial lanjut, terutama pada wilayah yang memerlukan intervensi
pemberdayaan masyarakat di wilayah terpencil, terutama di Papua.
Untuk pengembangan analisis tentang akses pelayanan kesehatan
lebih lanjut diperlukannya beberapa data penunjang. Masih kurangnya data
yang sesuai dengan penelitian tentang akses pelayanan kesehatan dan
penelitian tentang TB pada Riset Kesehatan Dasar, yaitu dengan
memasukkan unsur aksesibilitas berupa jarak sosial dan jarak fisik antara

158
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


tempat tinggal pasien TB terhadap fasilitas pelayanan serta adanya
pertanyaan tentang ketersediaan pendamping minum obat bagi pasien TB

7.2.2. Kebijakan Program Pengendalian Tuberkulosis


Terdapat beberapa poin penting dalam program pengendalian TB
di Indonesia bagi pemerintah, khususnya bagi kementerian Kesehatan RI,
yang didapatkan dari hasil penelitian ini.

Saran 1 :
Masih rendahnya pasien TB yang melakukan akses pelayanan
kesehatan disebabkan oleh sulitnya pasien TB dalam mencapai fasilitas
kesehatan, terutama di wilayah pendalaman, perdesaan dan di wilayah
pegunungan. Dengan memperhatikan perbedaan kondisi spasial provinsi
maka intervensi program untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan
pasien TB adalah dengan mempertimbangkan variabel-variabel yang
terbukti berpengaruh di setiap kabupaten pada provinsi Jawa Barat dan
Papua.
Di Provinsi Jawa Barat untuk meningkatkan akses pelayanan
kesehatan pasien TB yaitu meningkatkan penggunaan asuransi kesehatan
bagi semua pasien TB, menggunakan alat trasnportasi, ketersediaan
puskesmas rujukan mikroskopis TB dan meningkatkan infrastruktur
wilayah berupa jalan. Sedangkan di provinsi Papua, program pengendalian
TB yang dapat meningkatkan akses pelayanan kesehatan adalah dengan
memberikan asuransi kesehatan ke pada semua penduduk yang
membutuhkan, terutama bagi pasien TB. Sehingga program pengendalian
TB di Indonesia dapat menjamin ketersediaan pelayanan TB yang
paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.

Saran 2 :
Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian
TB yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing Provinsi.
Dengan meningkatkan ketersediaan puskesmas rujukan mikroskopis TB di

159
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


provinsi Jawa Barat dan ketersediaan puskesmas dan posyandu di provinsi
Papua. Kondisi geografis provinsi Papua yang sebagian besar berada pada
wilayah morfologi tinggi menyebabkan pola spasial akses pelayanan
kesehatan mengelompok, sehingga untuk meningkatkan akses pelayanan
kesehatan pasien TB maka ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan dilakukan pada kelompok-kelompok penduduk tersebut.

Saran 3 :
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan
masyarakat madani dalam pengendalian TB. Pemantauan dan pemanfaatan
kesehatan dengan melibatkan unsur masyarakat dapat meningkatkan akses
pelayanan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan
diwujudkan dalam bentuk penempatan kader tuberkulosis di seluruh
fasilitas kesehatan dan juga meningkatkan pengetahuan kesehatan kepala
adat atau agama. Khusus di provinsi Papua, kepala adat dan kepala distrik
dapat menjadi kader kesehatan, dengan mempertimbangkan juga adat dan
istiadatnya. Kader kesehatan TB dari masyarakat dapat membantu dalam
penemuan active cases finding dan sebagai pendamping minum obat bagi
pasien TB.

160
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Aday L.A., Anderson R., Fleming G.V. (1980). Health Care in the U.S., Equitable
for Whom?Baverly Hills, California. Sage Publications, California.
Aditama, T.Y. (2005) Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. RSUP
Persahabatan, Jakarta
Achmadi, Umar Fahmi. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Penerbit
Buku Kompas.
Allen, W.B., D. Liu, & S. Singer. (1993). Accessibility measures in U.S.
metropolitan areas. Transportation Research B. 27B(6): 439-449.
Andersen, R.M (1995). Revisiting the Behavioral Model and Access to Medical
Care:Does it Matter?. Journal of Health and Social behavior, 36(3)1-10.
Apparicio, P., M. Abdelmajid, M. Riva, & R. Shearmur. (2008). Comparing
alternative approaches to measuring the geographical accessibility of urban
health services: Distance types and aggregation-error issues. International
Journal of Health Geographies. 7:7.
Anselin, L. 1993. Exploratory Spatial Data Analysis and geographic Information
Systems. National Center for Geographic Information and Analysis of
California Santa Barbara: CA93106.
Antos, RMZ.,amador, Ana., de Souza, Wayner., et al.(2010). A dynamic analysis
of Tuberculosis Dissemination to improve control and surveilance. PloS
ONE 5(11)
Arcury, T. A., Preisser, J. S., Gesler, W. M., & Powers, J. M. (2005). Access to
transportation and health care utilization in a rural region. Journal of Rural
Health, 21 (1), 31-38.
Azwar, Azrul. (1994). Pengantar Administrasi Kesehatan. Binapura Akshara
Publisher. Tangerang.
Badan Pusat Statistik, (2006).. Executive Summary, Data Statistik Ekonomi Sosial
Indonesia,
Badan Pusat Statistik, (2014). Provinsi Jawa Barat Dalam Angka. BPS Jakarta
Badan Pusat Statistik, (2014). Provinsi Papua Dalam Angka. BPS Jakarta

161
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Badan Pusat Statistik, (2012). Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Jawa
Barat. BPS Jakarta
Badan Pusat Statistik, (2012). Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua.
BPS, Jakarta
Bagheri, Nasser. Alec Holt. George LB. (2009). Using Geographically Weighted
Regression to Validate Approaches for Modelling Accessibility to Primary
Health Care. Appl.Spatial Analysis:2:177-194
Baker, Jonathan Brooks. (2005). Examining Spatial Pattern of Primary Health
Care Utilization in Southern Hounduras. Dissertation Departement of
Geography of the College of Arts and Sciences, University of Cincinnati.
Bastida, AZ.,Tellez, MH, Montes, LP. et al. (2012). Spatial Temporal
Distribution of TB in the state of Mexico, Mexico.The Scientific World
Journal.vol.2012;ID570278;7
Brabyn, L., & Skelly, C. (2002). Modelling population access to New Zealand
public hospitals. International Journal of Health Geographics, 1(3), 1-9.
Bintarto, R, 1989. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Black, M., E. Steeve, P.N. Aguilar, M. Vidaurre and Z. El Morjani. (2004). Using
GIS to Measure Physical Accessibility to Health Care. ESRI (2004)
International Health Conference Proceedings.
Boots BN, Getis A(1998). Point Pattern Analysis Newbury Park, CA: Sage
Publications.
Buor, D. (2002). Distance as a predominant factor in the utilisation of health
services in the Kumasi metropolis, Ghana. GeoJournal. Vol. 56: 145-157.
Cantwell, M. F., McKenna, M. T., McCray, E., & Onorato, I.M. (1998). TB and
race/ethnicity in the United States: Impact of socioeconomic status.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, 157(4 Pt 1),
1016-1020.
Coughlin,T,. Long, S, Kendall,S. (2002). Health Care Access, Use And
Satisfaction Among Disabled Medicaid Beneficiaries. Health Care
Financing Riview, 24(2), 115-136.

162
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Crofton, John, Norman Horne, Fred Miller.(2002). Clinical Tuberculosis, second
edition.
Datta M, Swaminathan S. Global Aspect Of Tuberculosis In Children. Paediatr
Respir Rev 2001; 2: 91-96.
Davis, JL., Katamba, A., Vasques, J., et al. (2011). Eavaluating Tuberculosis case
Detection via Real-time Monitoring of TB diagnosis services. American
Journal of Respotory and Critical Care mendicine.Vol 184:362-367
De Boer, A., Wijker, W., & De Haes, H. (1997). Predictors of health care
utilization in the chronically ill: A Review of the Literature.Health Policy,
42, 101-115
Diel, R. (2005). Occupational risk of tuberculosis transmission in a low incidence
area. Journal of Respiratory Research
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta Depkes RI, Edisi ke 7, (2002).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2002).Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke 8. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta Depkes RI, Edisi ke 9, (2005).
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta Depkes RI, Edisi 2, Cetakan pertama, (2006).
Dimitrova, B., D. Balabanova, R. Atun, F. Drobniewski. (2006). Health service
providers' perceptions of Barriers to tuberculosis care in Russia.
Health Policy Plan, July 2006; 21: 265 – 274
Dhuria, meera.,Sharma, Nandini.,Singh, NP. (2009).A study of impact of
tuberculosis 0n the effect after treatment with DOTS. Asia-Pasific Journal
of Public Health vol.21;3;312-320
Ensor, T. & S. Cooper, (2004), Overcoming Barriers to Health Service Access and
Influencing the Demand Side Through Purchasing. Health, Nutrition and
Population (HNP) Discussion Paper, Washington, DC 20433
Eryando, Tris. Analisa Spasial Untuk Peningkatan Aksesbilitas Kesehatan
Maternal Di Tingkat Kabupaten Studi Kasus Di Kabupaten Tangerang
Banten Tahun (2006), Disertasi, FKM UI, (2007).

163
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Faussett, P.Godfrey. (2002). Why Do Patients With Cough Delay Seeking Care
At Lusaka Urban Health Centers? A Health Systems Research Approach.
The International Journal Of Tuberculosis And Lung Disease 6(9):796-
805.IUATLDA
Fotheringham, A.S. brudson, C. Charlton, M. (2002).Geographical Weigted
Regression, John Wiley and Sons, UK.
Fredericksen H. (1964). Maintenance of Malarial Eradication; Duplicated Report
WHO/Mal./429. Geneva.
Gaffar, Abdul. (2000). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku
Pencarian Pengobatan Tersangka Penderita TB Paru di Kecamatan
Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan Riau, Tahun 2000. Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Cheng, G., (2005). Factor Affecting Delay In Tuberculosis In Rural China; Case
Study In Four Cointie In Shandong Province, Transaction Of The Royal
Society Of Tropical Medicine And Hygine, 99, 355-362
Goodwin, R., & Andersen, R. M. (2002). Use of the behavioral model of health
care to identify correlates of use of treatment for panic attacks in the
community. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 37(5), 212-
219.
Green, C.A., & Pope, C. R. (1999). Gender, psychological factors and the use of
medical services: a longitudinal analysis.Social Science and Medicine, 48,
1363-1372.
Guagliardo, M.F., (2004), Spatial Accessibility of Primary care; Concepts,
methods and challenges, International Journal of Health Geographics, 3:3,
February 2004.
Gujarati, D. N. (1995). Basic Econometrics. MacGraw-Hill. USA.
Gulliford, M., J. Figueroa-Munoz & M. Morgan. (2003). Introduction: Meaning
of ‘access’ in health care. In Access to Health Care. M. Guilliford & M.
Morgan (Eds.). pp. 1-12.
Habib, O.S. and J.P. Vaughan, 1986. The Determinants of Health Services
Utilization in Southern Iraq; a Household Interview Survey. International
Journal of Epidemiology. 15:395-403.

164
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Haynes, R., Lovett, A., & Gales, S. (1999). Effects of distance to hospital and GP
surgery on hospital inpatient episodes, controlling for needs and
provision.Social Science and Medicine, 49 (3), 425-433.
Harling, Guy., Ehrlich, Rodney., Myer, landon. (2008). The social epidemiology
of tuberculosis in south africa:a multilevel analysis. Social
Science&Medicine.Vol:66;492-505
Holmes, C.B., Hausler, H., Nunn. P. (1996). A Riview of Sex Differences in The
Epidemiology of Tuberculosis. International Journal Tuberculosis Lung
Diseases. 77:2391 – 2400.
Joseph, A.E. & D.R. Phillips, 1984, Accessibility and Utilization, Geographical
Perspectives on Health Care Delivery. Harper & Row, Publishers New
York.
Iezzoni, L. I., McCarthy, E. P., Davis, R. B., & Siebens, H. (2000). Mobility
impairments and use of screening and preventive services. American
Journal of Public Health, 90, 55–961.
Iezzoni, L. I., Killeen, M. B., & O‘Day, B. (2006). Rural residents with
disabilities confront substantial barriers to obtaining primary care. Health
Services Research, 41, 1258-1275.
Kamaluddin, Rustian.(2003). Ekonomi Transportasi. Ghalia Indonesia. Jakarta
Kartika Yoli.2007. Pola Penyebaran Spasial Demam Berdarah Dengue di Kota
Bogor tahun 2005.[Tugas Akhir] Institut Pertanian Bogor
Kazhei, H.A., Bagheri, GR., Dankou M.A., et al. (2005). Epidemiology of
Tuberculosis in Southtern Iran. European Jornal of Epidemiology,
Vol:20;10(2005):879-883
Kistemann, Thomas., Munzinger, Annete., Dangendorf. (2002). Spatial Patterns
of TB Incidence in Cologne (Germany). Social Science & Medicine
55(2002)7-19
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2011). Strategi Nasional
Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan (2012).
Ayo Ke Posyandu Setiap Bulan. Jakarta

165
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2014). Pedoman Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta
Khan, J. A., Irfan, M., Zaki, A., Beg, M., Hussain, S. F. & Rizvi, N. (2006).
Knowledge, attitude and misconceptions regarding tuberculosis in Pakistani
patients. J Pak Med Association, 56(5), 211-4.
Krieger, N., Waterman, P. D., Chen, J. T., Soobader, M. J., & Subramaniam, S. V.
(2003). Monitoring socioeconomic inequalities in sexually transmitted
infections, TB, and violence: Geocoding and choice of area-based
socioeconomic measures--the public health disparities geocoding project
(US). Public Health Reports, 118(3), 240-260.
Kurnia, Anang , Utami Dyah Syafitri, Topan Ruspayandi. (2006). Pendekatan
Statistika Untuk Pemetaan Kemiskinan Di Propinsi Jawa Barat. Forum
Statistika dan Komputasi, Oktober (2006), p: 28 – 36.
Lee, Jae Chul. (2008). Health Disparities In Access To Health Care For Older
People With Disabilities, ProQuest Dissertations and Theses; ProQuest
Dissertations & Theses (PQDT) . (2008)
Lembo,A.J., Spatial Autocorrelation. Cornel University. http:/www.css.cornell.
edu/courses/620/lect ure9.ppt [16 Oktober (2005)]. (2005)
Liao, Hsin Chung, (2010),The Association Of Spatial Accessibility To Health
Care Services With Health Utilization And Health Status Among People
With Disabilities, Cleveland State University.
Liefooghe, R., Michiels, N., Habib, S., Moran, M. B. & De Muynck, A. (1995).
Perception and social consequences of tuberculosis: A focus group study of
tuberculosis patients in Sialkot, Pakistan. Soc Sci Med, 41, 1685-1692.
Lienhardt C (2001). From Exposure to Diesease: The Role of Environmental
Factors in Susceptibility to and Development of Tuberculosis. American
Journal of Epidemiology. Vol.23(2):288-301.
Liu, Yunxia., Jiang, Shiwen.,Wang, Rui.,et al.(2011). Spatial Epidemiology And
Spatial Ecology Of Worldwide Drug-Resistant Tuberculosis. International
Journal of Health Geographics.10:50

166
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Love, D. and P. Lindquist. (1995). The Geographical Accessibility of Hospitals to
the Aged: A Geographic Information Systems Analysis within Illinois.
Health Services Research. Vol. 29: 629-51.
Lubis P. (1985). Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat,
Pusat Pendidikan tenaga kesehatan Departemen Kesehatan,Medan
Luo, W., & F. Wang. (2003). Measures of spatial accessibility to health care in a
GIS environment: synthesis and a case study in the Chicago region.
Environment and Planning B. 30: 865 - 884.
Mahindra, (2003).Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Ketidaksembuhan
Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kota
Depok Tahun 1999 – 2001, skripsi, FKM UI,
Malik, Ra’ana. (2013). Urban-Rural Dispatities in the knowledge, attitude, and
practices toward Tuberculosis.Journal-savap vol.4;no.4
Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds),(2003).
Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and
Wilkins Publisher, Boston
Meade, M.S., and R.J. Earickson. (2000). Medical Geography, 2nd edition. New
York. The Guilford Press.
McLaughlin, C.G., & L. Wyszewianski. (2002). Access to care: Remembering old
lessons. Health Services Research. 37(6): 1441 - 1443.
Mitchell, J., Haber, S., Khatutsky, G., & and Donoghue, S. (2002). Impact of the
Oregon health plan on access and satisfaction of adults with low income.
Health Services Research, 37(1),11-31
Mitnick, C., Furin, J., Henry, C., & Ross, J. (1998). TB among the foreign born in
Massachusetts, 1982-1994: A reflection of social and economic
disadvantage. International Journal of TB and Lung Disease, 2(9), 532-540.
Müller, I., T. Smith, S. Mellor, L. Rare, and B. Genton. (1998). The effect of
distance from home on attendance at a small rural health centre in Papua
New Guinea. International Journal of Epidemiology. 27: 878-884.
Nadjib, Mardiati. (1999). Pemerataan Akses Pelayanan Rawat Jalan di Berbagai
Wilayah Indonesia. Disertasi. Program Pasca Sarjana UI, Jakarta.

167
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Nakagawa, M.Y., Ozasa K., Yamda N., Osuga K., Shimouchi A., et al. (2001).
Gender Difference in Delays to Diagnosis and Health Care Seeking
Behavior in Rural Area of Nepal. International Journal Tuberculosis Lung
Disease. Vol 5:24-31
Noor, A.M., D. Zurovac, S.I. Hay, S.A. Ochola, and R.W. Snow. (2003). Defining
equity in physical access to clinical services using geographical information
systems as part of malaria planning and monitoring in Kenya. Tropical
Medicine and International Health. 8 (10): 917-926.
Notoatmodjo, Soekijo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Pnrbit Rineka
Cipta, Jakarta
Nunes, C. (2007). TB incidence in Portugal: spatiotemporal clustering.
International Journal of Health Geographics, 6(30). Retrieved March 9,
2008, from http://www.ijhealthgeographics. Com /content/6/1/30
Ohn, S Akin. William H Dow. Peter M Lance, and Chung-Ping A Loh.( 2005).
Changes in access to health care in China, 1989–1997. Health Policy and
Planning., Mar 2005; 20: 80 - 89.
Dirk U. Pfeiffer, Timothy P. Robinson, Mark Stevenson, Kim B. Stevens, David
J. Rogers and Archie C. A. Clements. (2008). Spatial Analysis in
Epidemiology. Oxford University Press, New York.
Penchansky R, Thomas JW. (1981). The Concept of Access: Definition and
Relationship to Consumer Satisfaction. Medical Care.;19(2):127–40.
Perry, B. and W. Gesler. 2000. Physical access to primary health care in Andean
Bolivia. Social Science and Medicine. Vol. 50: 1177-1188.
Radke, J. & Mu, L. (2000). Spatial decomposition, modeling and mapping service
regions to predict access to social programs. Geographic Information
Sciences, 6, 105-112.
Ricketts, T.C., L.A. Savitz, W.M. Gesler, D.N. Osborne, eds., (1984). Geographic
Methods for Health Services Research, Department of Geography,
University of North Carolina, London.
Rifada, Marisa. Purhadi. (2011). Pemodelan Tingkat Kerawanan Demam
Berdarah Dengue di Kabuapten Lamongan Dengan Pendekatan

168
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Geographically Weighted Ordinal Logistic Regression. Prosiding Seminar
Nasional Statistika, Universitas Diponegaro h:114-125
Retnaningsih, Ekowati. (2005). Akses Pelayanan Kesehatan Suspek Penderita TB
di 7 Provinsi Indonesia:Analisis Multilevel. Disertasi. Fakultas
KesehatanMasyarakat. Universitas Indonesia.
Rom, W. N., & Garay, S. M. (2004). Tuberculosis (2nd Ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins.
Rosenberg, Michael S. Robert R Sokal, et.al., (1999). Spatial Autocorrelation of
Cancer in Western Europe. European Journal of Epidemiology. Vol.15 no.
1 (Jan, 19999).p.15-22.
Sari, Yuliana, (2006). Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidaksembuhan
penderita Tuberkulosis paru BTA positif sesudah pengobatan fase intensif di
puskesmas Balaraja kabupaten Tangerang, Skripsi, FKM UI,
Savitri, D. (2011). Faktor – faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan Puskesmas Sukmajaya oleh peserta Jamkesmas di Kota Depok
Propinsi Jawa Barat tahun 2011. Tesis. FKM UI.
Schoeps, Anja. Sabine Gabrysch, Louis Niamba, Ali Sié, and Heiko Becher.
(2011). The Effect of Distance to Health-Care Facilities on Childhood
Mortality in Rural Burkina Faso. American Journal of Epidemiology., 1
March 2011; 173: 492 - 498
S. D. Lawn and A. I. Zumla, (2011). “Tuberculosis,” The Lancet, vol. 378, no.
9785, pp. 57–72,
Siswanto, Haryanto, T & Abojoso, (1998). Upaya menurunkan angka putus
berobat pada peserta tuberkulosis dengan menggunakan kartu berobat TBC.
Studi Eksperimen lapang di Rumah sakit dan Puskesmas malang. Badan
penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta: v + 31 hlm.
Sharma, Nandini.,Nath, Anita.,Taneja, DK.,et al.(2009).A Qualitative Evaluation
of the information,education,and communication Component of TB Control
Program in Delhi, India. Asia-Pasific Journal of Public
Health,Vol.21:3;321-332

169
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Shu, Wen., Chen, Wei., Zhu, Shiyu., et al. (2013). Factor Causing Delay of
Access to TB diagnosis among new, Active TB patients: A prospective
Cohort Study. Asia_Pasific Journal of PH;XX(X);1-9
Spassof RA. (1999). Epidemiologic methods for health policy. New York: OUP
Sriprahastuti, Brian (2014). Model Utilisasi Layanan Penanganan Balita Sakit di
Masyarakat. Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.
Supriatna. (2000). Modul Praktikum Aplikasi Sistem Informasi Geografis. Jurusan
Geografi, Universitas Indonesia.
Stock, Robert. (1983). Distance and the Utilization of Health Facilities in Rural
Nigeria. Social Science Medicine. Vol. 17 (9): 563-70
Talen, E. (2003). Neighborhoods as service pelayanan kesehatans: A methodology
for evaluating pedestrian access. Planning and Design, 30, 181-200.
Timmreck, T.C. (2005). Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC
Tiwari N, CMS Adhikari, Vineeta kandpal (2006). Investigation of Geo-spatial
hotspos for the occurance of Tuberculosis in Almora district, using GIS and
Spatial scan statistic. International Journal of Health Geographics.5:33.
Biomed Central Ltd
Touray, K., Adetifa, Jallow, et al. (2010). Spatial analysis tuberculosis in an
Urban West African setting: is there evidence of clustering?. Tropical
Medicine and International Health, Volume 15 no. 6 pp 664-672 June 2010.
Wang, Tan., Fuzhong Xue, Yonglin Chen, et al. (2012) The patial epidemilogy of
Tuberculosis in Linyi City, China, 2005 – 2010. BMC Public Health 12:885
Wulandari, Leni. (2012). Peran Pengetahuan Terhadap Perilaku Pencarian
Pengobatan Penderita Suspek TB Paru Di Indonesia (Analisis Data Survei
Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Tuberkulosis Tahun (2010). Thesis
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Yeung, M.C., Noertojo K., Tan J., Tam M.(2002). Tuberculosis in Elderly in
Hongkong. Internl Journal Tuberculosis Lung Diseases. 6:771-779

170
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


LAMPIRAN
*************************************************************************
***
* Semiparametric Geographically Weighted Regression
* Release 1.0.70 (GWR 4.0.70)
* 7 May 2012
* (Originally coded by T. Nakaya: 1 Nov 2009)
*
* Tomoki Nakaya(1), Martin Charlton(2), Paul Lewis(2),
* A. Stewart Fotheringham (3), Chris Brunsdon (4)
* (c) GWR4 development team
* (1) Ritsumeikan University, (2) National University of Ireland,
Maynooth,
* (3) University of St. Andrews, (4) University of Liverpool
*************************************************************************
***
Program began at 31/07/2015 18:53:26
*************************************************************************
***
Session:
Session control file: E:\DISERTASI\data_galau\jb_ukbm22.ctl
*************************************************************************
***
Data filename: E:\DISERTASI\data_galau\jabar.dbf
Number of areas/points: 26

Model settings---------------------------------
Model type: Gaussian
Geographic kernel: fixed bi-square
Method for optimal bandwidth search: Golden section search
Criterion for optimal bandwidth: AICc
Number of varying coefficients: 8
Number of fixed coefficients: 3

Modelling options---------------------------------
Standardisation of independent variables: OFF
Testing geographical variability of local coefficients: OFF
Local to Global Variable selection: OFF
Global to Local Variable selection: OFF
Prediction at non-regression points: OFF

Variable settings---------------------------------
Area key: field1: KAB_KOTA
Easting (x-coord): field2 : X
Northing (y-coord): field3: Y
Cartesian coordinates: Euclidean distance
Dependent variable: field5: UTILS
Offset variable is not specified
Intercept: varying (Local) intercept
Independent variable with varying (Local) coefficient: field12: EKO_BK
Independent variable with varying (Local) coefficient: field13: ASKES
Independent variable with varying (Local) coefficient: field14: ALTRANS
Independent variable with varying (Local) coefficient: field15: KRG15
Independent variable with varying (Local) coefficient: field19: RUJUK
Independent variable with varying (Local) coefficient: field24: POSYANDU
Independent variable with varying (Local) coefficient: field26: P_ASPAL
Independent variable with fixed (Global) coefficient: field20: RS
Independent variable with fixed (Global) coefficient: field22: DR
Independent variable with fixed (Global) coefficient: field23: MASY_TB
*************************************************************************
***
*************************************************************************
***

171
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Global regression result
*************************************************************************
***
< Diagnostic information >
Residual sum of squares: 0,606608
Number of parameters: 11
(Note: this num does not include an error variance term for a Gaussian
model)
ML based global sigma estimate: 0,152745
Unbiased global sigma estimate: 0,201098
Log-likelihood: -23,922389
Classic AIC: 0,077611
AICc: 24,077611
BIC/MDL: 15,174769
CV: 213,489805
R square: 0,853335
Adjusted R square: 0,738098

Variable Estimate Standard Error t(Est/SE)


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept 1,042683 1,814443 0,574658
EKO_BK 0,193463 0,153927 1,256847
ASKES 0,262593 0,174120 1,508115
ALTRANS 0,464129 0,172937 2,683801
KRG15 0,016427 0,169260 0,097053
RUJUK 0,006198 0,004103 1,510755
POSYANDU -0,012299 0,018135 -0,678189
P_ASPAL -0,000001 0,008136 -0,000070
RS -0,021073 0,015972 -1,319386
DR -0,022221 0,026017 -0,854119
MASY_TB 0,004152 0,002969 1,398367

*************************************************************************
***
GWR (Geographically weighted regression) bandwidth selection
*************************************************************************
***

Bandwidth search <golden section search>


Limits: 0, 2,44977323213259
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,254 Criterion: NaN
p1 Bandwidth: 1,092 Criterion: 345,805
p2 Bandwidth: 1,611 Criterion: 94,103
pU Bandwidth: 2,450 Criterion: 25,645
iter 1 (p2) Bandwidth: 1,611 Criterion: 94,103 Diff:
0,518
iter 2 (p2) Bandwidth: 1,931 Criterion: 53,428 Diff:
0,320
iter 3 (p2) Bandwidth: 2,129 Criterion: 41,101 Diff:
0,198
iter 4 (p2) Bandwidth: 2,252 Criterion: 38,763 Diff:
0,122
iter 5 (p2) Bandwidth: 2,327 Criterion: 36,224 Diff:
0,076
iter 6 (p2) Bandwidth: 2,374 Criterion: 28,636 Diff:
0,047
iter 7 (p2) Bandwidth: 2,403 Criterion: 26,640 Diff:
0,029
iter 8 (p2) Bandwidth: 2,421 Criterion: 25,862 Diff:
0,018
iter 9 (p2) Bandwidth: 2,432 Criterion: 25,741 Diff:
0,011

172
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


iter 10 (p2) Bandwidth: 2,439 Criterion: 25,680 Diff:
0,007
iter 11 (p2) Bandwidth: 2,443 Criterion: 25,648 Diff:
0,004
iter 12 (p2) Bandwidth: 2,446 Criterion: 25,631 Diff:
0,003
iter 13 (p2) Bandwidth: 2,447 Criterion: 25,620 Diff:
0,002
Best bandwidth size 2,447
Minimum AICc 25,620

*************************************************************************
***
GWR (Geographically weighted regression) result
*************************************************************************
***
Bandwidth and geographic ranges
Bandwidth size: 2,447168
Coordinate Min Max Range
--------------- --------------- --------------- ---------------
X-coord -7,333333 -6,150000 1,183333
Y-coord 106,166667 108,550000 2,383333

Diagnostic information
Residual sum of squares: 0,315937
Effective number of parameters (model: trace(S)):
13,029841
Effective number of parameters (variance: trace(S'S)):
11,791581
Degree of freedom (model: n - trace(S)):
12,970159
Degree of freedom (residual: n - 2trace(S) + trace(S'S)):
11,731898
ML based sigma estimate: 0,110233
Unbiased sigma estimate: 0,164103
Log-likelihood: -40,883265
Classic AIC: -12,823583
AICc: 25,620032
BIC/MDL: 4,827311
CV: 13,761744
R square: 0,923613
Adjusted R square: 0,822056

***********************************************************
<< Fixed (Global) coefficients >>
***********************************************************
Variable Estimate Standard Error t(Estimate/SE)
-------------------- --------------- --------------- ---------------
RS -0,016603 0,013373 -1,241527
DR -0,021252 0,021479 -0,989463
MASY_TB 0,005750 0,002508 2,292502

***********************************************************
<< Geographically varying (Local) coefficients >>
***********************************************************
Estimates of varying coefficients have been saved in the following file.
Listwise output file: E:\DISERTASI\data_galau\jb_ukbm22_listwise.csv

Summary statistics for varying (Local) coefficients


Variable Mean STD
-------------------- --------------- ---------------
Intercept 1,002447 0,300742
EKO_BK 0,168633 0,087265
ASKES 0,324541 0,081428
ALTRANS 0,385004 0,074523

173
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


KRG15 -0,022194 0,047673
RUJUK 0,004748 0,000638
POSYANDU -0,010287 0,005634
P_ASPAL -0,120558 0,345819

Variable Min Max Range


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept 0,370143 1,330361 0,960217
EKO_BK 0,031646 0,327795 0,296149
ASKES 0,224596 0,528189 0,303593
ALTRANS 0,183782 0,472878 0,289095
KRG15 -0,130814 0,079571 0,210385
RUJUK 0,003059 0,005647 0,002588
POSYANDU -0,014817 0,007237 0,022054
P_ASPAL -1,302599 -0,001806 1,300793

Variable Lwr Quartile Median Upr Quartile


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept 0,752405 1,177688 1,292377
EKO_BK 0,097971 0,147215 0,268817
ASKES 0,273123 0,319396 0,365518
ALTRANS 0,403935 0,416661 0,447608
KRG15 -0,063086 -0,014722 0,009810
RUJUK 0,004667 0,005085 0,005380
POSYANDU -0,013658 -0,013180 -0,009427
P_ASPAL -0,008027 -0,003533 -0,002875

Variable Interquartile R Robust STD


-------------------- --------------- ---------------
Intercept 0,539971 0,400275
EKO_BK 0,170846 0,126646
ASKES 0,092395 0,068492
ALTRANS 0,043673 0,032374
KRG15 0,072895 0,054037
RUJUK 0,000713 0,000529
POSYANDU 0,004231 0,003136
P_ASPAL 0,005153 0,003820
(Note: Robust STD is given by (interquartile range / 1.349) )

*************************************************************************
***
GWR ANOVA Table
*************************************************************************
***
Source SS DF MS
F
----------------- ------------------- ---------- --------------- --------
--
Global Residuals 0,607 11,000
GWR Improvement 0,291 3,268 0,089
GWR Residuals 0,316 11,732 0,027
3,302747

*************************************************************************
****
Program terminated at 31/07/2015 18:53:29

174
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


*************************************************************************
****
* Semiparametric Geographically Weighted Regression
* Release 1.0.70 (GWR 4.0.70)
* 7 May 2012
* (Originally coded by T. Nakaya: 1 Nov 2009)
*
* Tomoki Nakaya(1), Martin Charlton(2), Paul Lewis(2),
* A. Stewart Fotheringham (3), Chris Brunsdon (4)
*
* (c) GWR4 development team
*
* (1) Ritsumeikan University, (2) National University of Ireland,
Maynooth,
* (3) University of St. Andrews, (4) University of Liverpool
*************************************************************************
***
Program began at 01/08/2015 7:31:37
*************************************************************************
***
Session:
Session control file: E:\DISERTASI\data_galau\pp_ukbm01.ctl
*************************************************************************
***
Data filename: E:\DISERTASI\data_galau\pp3mis.dbf
Number of areas/points: 26

Model settings---------------------------------
Model type: Gaussian
Geographic kernel: fixed Gaussian
Method for optimal bandwidth search: Golden section search
Criterion for optimal bandwidth: CV
Number of varying coefficients: 9
Number of fixed coefficients: 0

Modelling options---------------------------------
Standardisation of independent variables: OFF
Testing geographical variability of local coefficients: OFF
Local to Global Variable selection: On
Global to Local Variable selection: OFF
Prediction at non-regression points: OFF

Variable settings---------------------------------
Area key: field1: KAB_KOTA
Easting (x-coord): field2 : X_EASTING
Northing (y-coord): field3: Y_NORTHING
Cartesian coordinates: Euclidean distance
Dependent variable: field5: UTILISASI
Offset variable is not specified
Intercept: varying (Local) intercept
Independent variable with varying (Local) coefficient: field6: USIA___60_
Independent variable with varying (Local) coefficient: field10: EKO_TG
Independent variable with varying (Local) coefficient: field12: KRG30MNT
Independent variable with varying (Local) coefficient: field13: KENDARAAN
Independent variable with varying (Local) coefficient: field19: RUJK
Independent variable with varying (Local) coefficient: field20: PKM
Independent variable with varying (Local) coefficient: field21: RS
Independent variable with varying (Local) coefficient: field24: POSYANDU
*************************************************************************
***

*************************************************************************
***
Global regression result

175
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


*************************************************************************
***
< Diagnostic information >
Residual sum of squares: 10,023458
Number of parameters: 9
(Note: this num does not include an error variance term for a Gaussian
model)
ML based global sigma estimate: 0,620901
Unbiased global sigma estimate: 0,767864
Log-likelihood: 49,002425
Classic AIC: 69,002425
AICc: 83,669091
BIC/MDL: 81,583390
CV: 1,337995
R square: 0,721646
Adjusted R square: 0,565072

Variable Estimate Standard Error t(Est/SE)


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -2,165760 0,896321 -2,416279
USIA___60_ 0,577036 0,167916 3,436456
EKO_TG -0,061135 0,957306 -0,063862
KRG30MNT 0,200196 0,266089 0,752366
KENDARAAN 0,241137 0,494734 0,487408
RUJK 0,006446 0,006973 0,924371
PKM 0,096024 0,089654 1,071053
RS -0,048066 0,057323 -0,838506
POSYANDU 0,015588 0,010093 1,544381

*************************************************************************
***
GWR (Geographically weighted regression) bandwidth selection
*************************************************************************
***

Bandwidth search <golden section search>


Limits: 0,351871114188134, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,352 Criterion: 8,470
p1 Bandwidth: 1,760 Criterion: 1,308
p2 Bandwidth: 2,630 Criterion: 1,261
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,290
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,630 Criterion: 1,261 Diff:
0,870
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,630 Criterion: 1,261 Diff:
0,538
iter 3 (p1) Bandwidth: 2,297 Criterion: 1,260 Diff:
0,332
iter 4 (p2) Bandwidth: 2,297 Criterion: 1,260 Diff:
0,205
iter 5 (p2) Bandwidth: 2,424 Criterion: 1,259 Diff:
0,127
iter 6 (p1) Bandwidth: 2,424 Criterion: 1,259 Diff:
0,078
Best bandwidth size 2,424
Minimum CV 1,259

*************************************************************************
***
GWR (Geographically weighted regression) result
*************************************************************************
***
Bandwidth and geographic ranges
Bandwidth size: 2,424273

176
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Coordinate Min Max Range
--------------- --------------- --------------- ---------------
X-coord 135,432920 140,771080 5,338160
Y-coord -7,823340 -0,687190 7,136150

Diagnostic information
Residual sum of squares: 5,379742
Effective number of parameters (model: trace(S)):
13,492724
Effective number of parameters (variance: trace(S'S)):
11,224335
Degree of freedom (model: n - trace(S)):
12,507276
Degree of freedom (residual: n - 2trace(S) + trace(S'S)):
10,238886
ML based sigma estimate: 0,454877
Unbiased sigma estimate: 0,724860
Log-likelihood: 32,822943
Classic AIC: 61,808392
AICc: 104,546736
BIC/MDL: 80,041638
CV: 1,259484
R square: 0,850603
Adjusted R square: 0,595740

***********************************************************
<< Geographically varying (Local) coefficients >>
***********************************************************
Estimates of varying coefficients have been saved in the following file.
Listwise output file: E:\DISERTASI\data_galau\pp_ukbm01_listwise.csv

Summary statistics for varying (Local) coefficients


Variable Mean STD
-------------------- --------------- ---------------
Intercept -2,169582 0,138053
USIA___60_ 0,544008 0,057350
EKO_TG 0,056258 0,749448
KRG30MNT 0,292160 0,028776
KENDARAAN 0,007037 0,103233
RUJK 0,004854 0,001786
PKM 0,107360 0,087758
RS -0,066095 0,034152
POSYANDU 0,017378 0,003251

Variable Min Max Range


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -2,569665 -2,002755 0,566911
USIA___60_ 0,456015 0,629055 0,173040
EKO_TG -1,780170 0,869652 2,649823
KRG30MNT 0,252758 0,353083 0,100326
KENDARAAN -0,155714 0,268975 0,424689
RUJK 0,003307 0,010490 0,007183
PKM -0,001628 0,311562 0,313191
RS -0,123062 0,012354 0,135417
POSYANDU 0,010967 0,026471 0,015503

Variable Lwr Quartile Median Upr Quartile


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -2,352500 -2,279471 -2,167534
USIA___60_ 0,530537 0,589245 0,615884
EKO_TG -0,351315 0,499875 0,662742
KRG30MNT 0,283249 0,296680 0,331356
KENDARAAN -0,040871 -0,014922 0,055001
RUJK 0,003871 0,004144 0,005479
PKM 0,029823 0,075700 0,165637

177
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


RS -0,096021 -0,079781 -0,052686
POSYANDU 0,016382 0,018687 0,020175

Variable Interquartile R Robust STD


-------------------- --------------- ---------------
Intercept 0,184966 0,137114
USIA___60_ 0,085347 0,063267
EKO_TG 1,014056 0,751709
KRG30MNT 0,048107 0,035661
KENDARAAN 0,095871 0,071068
RUJK 0,001608 0,001192
PKM 0,135814 0,100678
RS 0,043335 0,032124
POSYANDU 0,003792 0,002811
(Note: Robust STD is given by (interquartile range / 1.349) )

*************************************************************************
***
GWR ANOVA Table
*************************************************************************
***
Source SS DF MS
F
----------------- ------------------- ---------- --------------- --------
--
Global Residuals 10,023 9,000
GWR Improvement 4,644 6,761 0,687
GWR Residuals 5,380 10,239 0,525
1,307190

*************************************************************************
***
(L -> G) Variable selection from varying coefficients to fixed
coefficients
*************************************************************************
****
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,00766895638847823, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,300 Criterion: 1854926974922510000,000
p1 Bandwidth: 1,728 Criterion: 1,647
p2 Bandwidth: 2,610 Criterion: 1,255
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,250
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,610 Criterion: 1,255 Diff:
0,882
iter 2 (p2) Bandwidth: 3,155 Criterion: 1,236 Diff:
0,545
iter 3 (p1) Bandwidth: 3,155 Criterion: 1,236 Diff:
0,337
iter 4 (p2) Bandwidth: 3,155 Criterion: 1,236 Diff:
0,208
iter 5 (p1) Bandwidth: 3,155 Criterion: 1,236 Diff:
0,129
iter 6 (p2) Bandwidth: 3,155 Criterion: 1,236 Diff:
0,080
Best bandwidth size 3,155
Minimum CV 1,236
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,357918453135752, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,358 Criterion: 9007445111950,200
p1 Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989
p2 Bandwidth: 2,632 Criterion: 1,149

178
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,255
iter 1 (p1) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,869
iter 2 (p2) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,537
iter 3 (p1) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,332
iter 4 (p2) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,205
iter 5 (p1) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,127
iter 6 (p2) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,078
iter 7 (p1) Bandwidth: 1,763 Criterion: 0,989 Diff:
0,048
iter 8 (p1) Bandwidth: 1,733 Criterion: 0,989 Diff:
0,030
iter 9 (p2) Bandwidth: 1,733 Criterion: 0,989 Diff:
0,018
Best bandwidth size 1,733
Minimum CV 0,989
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 1,8824850728027, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 1,882 Criterion: 1,365
p1 Bandwidth: 2,706 Criterion: 1,312
p2 Bandwidth: 3,214 Criterion: 1,303
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,302
iter 1 (p2) Bandwidth: 3,214 Criterion: 1,303 Diff:
0,509
iter 2 (p2) Bandwidth: 3,529 Criterion: 1,302 Diff:
0,314
iter 3 (p2) Bandwidth: 3,723 Criterion: 1,301 Diff:
0,194
Best bandwidth size 3,723
Minimum CV 1,301
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,41715425415238, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,417 Criterion: 15,827
p1 Bandwidth: 1,800 Criterion: 1,179
p2 Bandwidth: 2,655 Criterion: 1,218
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,281
iter 1 (p1) Bandwidth: 1,800 Criterion: 1,179 Diff:
0,855
iter 2 (p2) Bandwidth: 1,800 Criterion: 1,179 Diff:
0,528
iter 3 (p2) Bandwidth: 2,126 Criterion: 1,178 Diff:
0,326
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,126 Criterion: 1,178 Diff:
0,202
iter 5 (p1) Bandwidth: 2,002 Criterion: 1,173 Diff:
0,125
iter 6 (p1) Bandwidth: 1,925 Criterion: 1,172 Diff:
0,077
iter 7 (p2) Bandwidth: 1,925 Criterion: 1,172 Diff:
0,048
Best bandwidth size 1,925
Minimum CV 1,172
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,422002864031112, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values

179
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


pL Bandwidth: 0,422 Criterion: 38,033
p1 Bandwidth: 1,803 Criterion: 4,825
p2 Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,246
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,853
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,527
iter 3 (p2) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,326
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,201
iter 5 (p2) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,125
iter 6 (p1) Bandwidth: 2,656 Criterion: 1,204 Diff:
0,077
Best bandwidth size 2,656
Minimum CV 1,204
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 1,87624316468442, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 1,876 Criterion: 1,223
p1 Bandwidth: 1,997 Criterion: 1,222
p2 Bandwidth: 2,071 Criterion: 1,223
pU Bandwidth: 2,192 Criterion: 1,226
iter 1 (p1) Bandwidth: 1,997 Criterion: 1,222 Diff:
0,074
iter 2 (p1) Bandwidth: 1,951 Criterion: 1,222 Diff:
0,046
Best bandwidth size 1,951
Minimum CV 1,222
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,00180602349689644, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,295 Criterion: 384531276973,626
p1 Bandwidth: 1,724 Criterion: 1,636
p2 Bandwidth: 2,608 Criterion: 1,464
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,396
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,608 Criterion: 1,464 Diff:
0,884
iter 2 (p2) Bandwidth: 3,154 Criterion: 1,428 Diff:
0,546
iter 3 (p2) Bandwidth: 3,491 Criterion: 1,413 Diff:
0,337
iter 4 (p2) Bandwidth: 3,700 Criterion: 1,405 Diff:
0,209
iter 5 (p2) Bandwidth: 3,829 Criterion: 1,401 Diff:
0,129
iter 6 (p2) Bandwidth: 3,909 Criterion: 1,399 Diff:
0,080
iter 7 (p2) Bandwidth: 3,958 Criterion: 1,398 Diff:
0,049
iter 8 (p2) Bandwidth: 3,988 Criterion: 1,397 Diff:
0,030
iter 9 (p2) Bandwidth: 4,007 Criterion: 1,396 Diff:
0,019
iter 10 (p2) Bandwidth: 4,019 Criterion: 1,396 Diff:
0,012
iter 11 (p2) Bandwidth: 4,026 Criterion: 1,396 Diff:
0,007
iter 12 (p2) Bandwidth: 4,030 Criterion: 1,396 Diff:
0,004

180
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


The upper limit in your search has been selected as the optimal bandwidth
size.
Best bandwidth size 4,037
Minimum CV 1,396
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,260801025375041, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,261 Criterion: 329407753030,950
p1 Bandwidth: 1,703 Criterion: 1,330
p2 Bandwidth: 2,595 Criterion: 1,242
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,273
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,595 Criterion: 1,242 Diff:
0,892
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,595 Criterion: 1,242 Diff:
0,551
iter 3 (p2) Bandwidth: 2,595 Criterion: 1,242 Diff:
0,341
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,595 Criterion: 1,242 Diff:
0,210
Best bandwidth size 2,595
Minimum CV 1,242
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,426899110869065, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,427 Criterion: 261533948931536,000
p1 Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251
p2 Bandwidth: 2,658 Criterion: 1,329
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 1,346
iter 1 (p1) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,852
iter 2 (p2) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,527
iter 3 (p1) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,326
iter 4 (p2) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,201
iter 5 (p1) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,124
iter 6 (p2) Bandwidth: 1,806 Criterion: 1,251 Diff:
0,077
iter 7 (p2) Bandwidth: 1,853 Criterion: 1,251 Diff:
0,047
iter 8 (p1) Bandwidth: 1,853 Criterion: 1,251 Diff:
0,029
iter 9 (p1) Bandwidth: 1,835 Criterion: 1,250 Diff:
0,018
Best bandwidth size 1,835
Minimum CV 1,250
Step 0, improved criterion 0,988573 1 USIA___60_ becomes a
fixed term.
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,0214354031297246, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,313 Criterion: 52472149000297900,000
p1 Bandwidth: 1,736 Criterion: 3,691
p2 Bandwidth: 2,615 Criterion: 3,190
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 3,127
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,615 Criterion: 3,190 Diff:
0,879
iter 2 (p2) Bandwidth: 3,158 Criterion: 3,126 Diff:
0,543

181
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


iter 3 (p2) Bandwidth: 3,494 Criterion: 3,119 Diff:
0,336
iter 4 (p1) Bandwidth: 3,494 Criterion: 3,119 Diff:
0,208
iter 5 (p2) Bandwidth: 3,494 Criterion: 3,119 Diff:
0,128
iter 6 (p1) Bandwidth: 3,494 Criterion: 3,119 Diff:
0,079
iter 7 (p2) Bandwidth: 3,494 Criterion: 3,119 Diff:
0,049
Best bandwidth size 3,494
Minimum CV 3,119
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,123048647247603, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,273 Criterion: 922569503331794,000
p1 Bandwidth: 1,711 Criterion: 3,272
p2 Bandwidth: 2,599 Criterion: 2,910
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 2,924
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,599 Criterion: 2,910 Diff:
0,889
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,599 Criterion: 2,910 Diff:
0,549
iter 3 (p1) Bandwidth: 2,260 Criterion: 2,704 Diff:
0,339
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,050 Criterion: 2,675 Diff:
0,210
iter 5 (p1) Bandwidth: 1,920 Criterion: 2,500 Diff:
0,130
iter 6 (p2) Bandwidth: 1,920 Criterion: 2,500 Diff:
0,080
iter 7 (p2) Bandwidth: 1,970 Criterion: 2,415 Diff:
0,050
iter 8 (p1) Bandwidth: 1,970 Criterion: 2,415 Diff:
0,031
iter 9 (p2) Bandwidth: 1,970 Criterion: 2,415 Diff:
0,019
iter 10 (p2) Bandwidth: 1,982 Criterion: 2,398 Diff:
0,012
iter 11 (p1) Bandwidth: 1,982 Criterion: 2,398 Diff:
0,007
iter 12 (p2) Bandwidth: 1,982 Criterion: 2,398 Diff:
0,004
iter 13 (p2) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,003
iter 14 (p1) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,002
iter 15 (p2) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,001
iter 16 (p1) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,001
iter 17 (p2) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,000
iter 18 (p1) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,000
iter 19 (p2) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,000
iter 20 (p2) Bandwidth: 1,984 Criterion: 2,394 Diff:
0,000
Best bandwidth size 1,984
Minimum CV 2,394
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,214767477688555, 4,03741354845525
Golden section search begins...

182
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Initial values
pL Bandwidth: 0,215 Criterion: 10664933039824100,000
p1 Bandwidth: 1,675 Criterion: 13,222
p2 Bandwidth: 2,577 Criterion: 6,530
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 5,448
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,577 Criterion: 6,530 Diff:
0,902
iter 2 (p2) Bandwidth: 3,135 Criterion: 5,904 Diff:
0,558
iter 3 (p2) Bandwidth: 3,480 Criterion: 5,679 Diff:
0,345
iter 4 (p2) Bandwidth: 3,693 Criterion: 5,576 Diff:
0,213
iter 5 (p2) Bandwidth: 3,824 Criterion: 5,522 Diff:
0,132
iter 6 (p2) Bandwidth: 3,906 Criterion: 5,492 Diff:
0,081
iter 7 (p2) Bandwidth: 3,956 Criterion: 5,475 Diff:
0,050
iter 8 (p2) Bandwidth: 3,987 Criterion: 5,465 Diff:
0,031
iter 9 (p2) Bandwidth: 4,006 Criterion: 5,458 Diff:
0,019
iter 10 (p2) Bandwidth: 4,018 Criterion: 5,454 Diff:
0,012
iter 11 (p2) Bandwidth: 4,026 Criterion: 5,452 Diff:
0,007
iter 12 (p2) Bandwidth: 4,030 Criterion: 5,451 Diff:
0,005
iter 13 (p2) Bandwidth: 4,033 Criterion: 5,450 Diff:
0,003
iter 14 (p2) Bandwidth: 4,035 Criterion: 5,449 Diff:
0,002
iter 15 (p2) Bandwidth: 4,036 Criterion: 5,449 Diff:
0,001
iter 16 (p2) Bandwidth: 4,036 Criterion: 5,449 Diff:
0,001
iter 17 (p2) Bandwidth: 4,037 Criterion: 5,448 Diff:
0,000
The upper limit in your search has been selected as the optimal bandwidth
size.
Best bandwidth size 4,037
Minimum CV 5,448
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 1,34299045578329, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 1,343 Criterion: 10,572
p1 Bandwidth: 2,372 Criterion: 2,506
p2 Bandwidth: 3,008 Criterion: 2,573
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 2,640
iter 1 (p1) Bandwidth: 2,372 Criterion: 2,506 Diff:
0,636
iter 2 (p1) Bandwidth: 1,979 Criterion: 2,325 Diff:
0,393
iter 3 (p2) Bandwidth: 1,979 Criterion: 2,325 Diff:
0,243
iter 4 (p2) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,150
iter 5 (p1) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,093
iter 6 (p2) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,057
iter 7 (p1) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,035

183
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


iter 8 (p2) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,022
iter 9 (p1) Bandwidth: 2,129 Criterion: 2,309 Diff:
0,014
Best bandwidth size 2,129
Minimum CV 2,309
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 2,69905266728903, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 2,699 Criterion: 2,559
p1 Bandwidth: 2,728 Criterion: 2,563
p2 Bandwidth: 2,745 Criterion: 2,565
pU Bandwidth: 2,774 Criterion: 2,569
iter 1 (p1) Bandwidth: 2,728 Criterion: 2,563 Diff:
0,018
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,717 Criterion: 2,561 Diff:
0,011
iter 3 (p1) Bandwidth: 2,710 Criterion: 2,560 Diff:
0,007
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,706 Criterion: 2,560 Diff:
0,004
iter 5 (p1) Bandwidth: 2,703 Criterion: 2,559 Diff:
0,003
iter 6 (p1) Bandwidth: 2,702 Criterion: 2,559 Diff:
0,002
iter 7 (p1) Bandwidth: 2,701 Criterion: 2,559 Diff:
0,001
The lower limit in your search has been selected as the optimal bandwidth
size.
A new sesssion is recommended to try with a smaller lowest limit of the
bandwidth search.
Best bandwidth size 2,699
Minimum CV 2,559
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 2,69905266728903, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 2,699 Criterion: 2,810
p1 Bandwidth: 2,728 Criterion: 2,814
p2 Bandwidth: 2,745 Criterion: 2,816
pU Bandwidth: 2,774 Criterion: 2,820
iter 1 (p1) Bandwidth: 2,728 Criterion: 2,814 Diff:
0,018
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,717 Criterion: 2,812 Diff:
0,011
iter 3 (p1) Bandwidth: 2,710 Criterion: 2,812 Diff:
0,007
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,706 Criterion: 2,811 Diff:
0,004
iter 5 (p1) Bandwidth: 2,703 Criterion: 2,811 Diff:
0,003
iter 6 (p1) Bandwidth: 2,702 Criterion: 2,811 Diff:
0,002
iter 7 (p1) Bandwidth: 2,701 Criterion: 2,810 Diff:
0,001
The lower limit in your search has been selected as the optimal bandwidth
size.
A new sesssion is recommended to try with a smaller lowest limit of the
bandwidth search.
Best bandwidth size 2,699
Minimum CV 2,810
Bandwidth search <golden section search>
Limits: -0,0311497675220199, 4,03741354845525
Golden section search begins...

184
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


Initial values
pL Bandwidth: 0,264 Criterion: 125360439944033000,000
p1 Bandwidth: 1,705 Criterion: 3,824
p2 Bandwidth: 2,596 Criterion: 2,438
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 2,632
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,596 Criterion: 2,438 Diff:
0,891
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,596 Criterion: 2,438 Diff:
0,551
iter 3 (p1) Bandwidth: 2,256 Criterion: 2,201 Diff:
0,340
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,046 Criterion: 2,161 Diff:
0,210
iter 5 (p2) Bandwidth: 2,046 Criterion: 2,161 Diff:
0,130
iter 6 (p1) Bandwidth: 2,046 Criterion: 2,161 Diff:
0,080
iter 7 (p1) Bandwidth: 1,996 Criterion: 2,160 Diff:
0,050
iter 8 (p2) Bandwidth: 1,996 Criterion: 2,160 Diff:
0,031
iter 9 (p2) Bandwidth: 2,015 Criterion: 2,160 Diff:
0,019
iter 10 (p1) Bandwidth: 2,015 Criterion: 2,160 Diff:
0,012
Best bandwidth size 2,015
Minimum CV 2,160
Bandwidth search <golden section search>
Limits: 0,32142857142857, 4,03741354845525
Golden section search begins...
Initial values
pL Bandwidth: 0,321 Criterion: 387390960647261,000
p1 Bandwidth: 1,741 Criterion: 4,419
p2 Bandwidth: 2,618 Criterion: 2,703
pU Bandwidth: 4,037 Criterion: 2,748
iter 1 (p2) Bandwidth: 2,618 Criterion: 2,703 Diff:
0,877
iter 2 (p1) Bandwidth: 2,618 Criterion: 2,703 Diff:
0,542
iter 3 (p2) Bandwidth: 2,618 Criterion: 2,703 Diff:
0,335
iter 4 (p1) Bandwidth: 2,618 Criterion: 2,703 Diff:
0,207
iter 5 (p1) Bandwidth: 2,490 Criterion: 2,695 Diff:
0,128
iter 6 (p2) Bandwidth: 2,490 Criterion: 2,695 Diff:
0,079
iter 7 (p1) Bandwidth: 2,490 Criterion: 2,695 Diff:
0,049
iter 8 (p1) Bandwidth: 2,460 Criterion: 2,694 Diff:
0,030
iter 9 (p1) Bandwidth: 2,441 Criterion: 2,694 Diff:
0,019
Best bandwidth size 2,441
Minimum CV 2,694

The summary of the L -> G variable selection


model CV
-------------------------------- ----------------
GWR model before L -> G selection 1,259484
GWR model after L -> G selection 0,988573
Improvement 0,270911

Model summary and local stats are being updated by the improved model.

185
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


*************************************************************************
***
GWR (Geographically weighted regression) result
*************************************************************************
***
Bandwidth and geographic ranges
Bandwidth size: 1,733444
Coordinate Min Max Range
--------------- --------------- --------------- ---------------
X-coord 135,432920 140,771080 5,338160
Y-coord -7,823340 -0,687190 7,136150

Diagnostic information
Residual sum of squares: 6,201008
Effective number of parameters (model: trace(S)):
16,153270
Effective number of parameters (variance: trace(S'S)):
13,888842
Degree of freedom (model: n - trace(S)):
9,846730
Degree of freedom (residual: n - 2trace(S) + trace(S'S)):
7,582302
ML based sigma estimate: 0,488365
Unbiased sigma estimate: 0,904338
Log-likelihood: 36,516803
Classic AIC: 70,823342
AICc: 150,190910
BIC/MDL: 92,403812
CV: 4,312051
R square: 0,827797
Adjusted R square: 0,345961

***********************************************************
<< Fixed (Global) coefficients >>
***********************************************************
Variable Estimate Standard Error t(Estimate/SE)
-------------------- --------------- --------------- ---------------
USIA___60_ 0,306449 0,266248 1,150990

***********************************************************
<< Geographically varying (Local) coefficients >>
***********************************************************
Estimates of varying coefficients have been saved in the following file.
Listwise output file: E:\DISERTASI\data_galau\pp_ukbm01_listwise.csv

Summary statistics for varying (Local) coefficients


Variable Mean STD
-------------------- --------------- ---------------
Intercept -1,133617 0,594712
EKO_TG -0,623209 1,098834
KRG30MNT 0,631965 0,193492
KENDARAAN -0,148260 0,431344
RUJK 0,002013 0,003428
PKM 0,213170 0,132576
RS -0,043749 0,036808
POSYANDU 0,008015 0,004906

Variable Min Max Range


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -1,841506 0,261708 2,103214
EKO_TG -2,834786 0,846883 3,681668
KRG30MNT 0,192809 0,925624 0,732814
KENDARAAN -1,204911 0,684402 1,889313
RUJK -0,001760 0,010961 0,012720
PKM 0,008895 0,474428 0,465533

186
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.


RS -0,127076 0,022647 0,149723
POSYANDU -0,004884 0,015709 0,020593

Variable Lwr Quartile Median Upr Quartile


-------------------- --------------- --------------- ---------------
Intercept -1,713243 -1,299697 -0,952855
EKO_TG -1,472320 -0,087805 0,278937
KRG30MNT 0,506608 0,662635 0,810547
KENDARAAN -0,315056 -0,082482 0,105892
RUJK -0,000317 0,001435 0,002839
PKM 0,090791 0,197950 0,316361
RS -0,075734 -0,056491 -0,019323
POSYANDU 0,006010 0,009052 0,013281

Variable Interquartile R Robust STD


-------------------- --------------- ---------------
Intercept 0,760388 0,563668
EKO_TG 1,751257 1,298189
KRG30MNT 0,303939 0,225307
KENDARAAN 0,420948 0,312045
RUJK 0,003156 0,002340
PKM 0,225570 0,167213
RS 0,056411 0,041817
POSYANDU 0,007272 0,005390
(Note: Robust STD is given by (interquartile range / 1.349) )

*************************************************************************
***
Program terminated at 01/08/2015 7:31:46

187
Universitas Indonesia

Model spasial..., Martya Rahmaniati, FKM UI, 2016.

Anda mungkin juga menyukai