Skripsi
Oleh:
Durotun Nafi’ah
NIM. 11150321000007
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
1441 H / 2020 M
UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DAN PENGARUHNYA
Skripsi
Oleh:
Durotun Nafi’ah
NIM. 11150321000007
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
ABSTRAK
Durotun Nafiah, “Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi
Masyarakat Blitar. Skripsi. Jakarta: Program Studi Studi Agama-Agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Upacara siraman Gong Kyai Pradah merupakan salah satu tradisi lokal yang
masih dilakukan hingga sekarang. Upacara ini dilakukan di Kecamatan Sutojayan,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang dilaksanakan setiap tanggal 1 Syawal dan 12
Rabi’ul Awwal dengan cara dan perlengkapan yang sama di setiap pelaksanaannya.
Upacara ini diikuti oleh masyarakat yang berasal dari berbagai kalangan dan agama.
Banyaknya masyarakat yang mempercayai dan mengikuti setiap prosesi membuat
penulis ingin meneliti mengenai pengaruh upacara siraman bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini menarik untuk dikaji, mengingat bahwa di era modern ini
seharusnya semua hal dinilai secara rasio dan mulai berkurang jumlah orang yang
sepenuhnya percaya kepada hal-hal mistis. Akan tetapi, masyarakat yang
menghadiri tradisi ini semakin tahun justru semakin bertambah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan pendekatan antropologi. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan pengumpulan dokumentasi. Data
yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, diverifikasi kebenarannya,
kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.
Hasil dari penelitian adalah adanya pengaruh upacara siraman bagi kehidupan
masyarakat, yakni dalam keyakinan, pemikiran, dan sosial-ekonomi. Dengan
diadakannya ritual, masyarakat akan merasa lebih aman dan tenteram. Bagi
masyarakat yang mengonsumsi air bekas siraman menyatakan bahwa ia merasa
lebih bugar dari sebelumnya. Selain itu, keadaan sosial-ekonomi masyarakat juga
mengalami peningkatan menjadi lebih baik. Sikap kekeluargaan dan perekonomian
masyarakat dinilai semakin meningkat ketika upacara siraman dilakukan.
v
KATA PENGANTAR
kehadirat Allah SWT. tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karunia dan
ini dengan judul: Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi
Nabi Muhammad SAW. yang selalu menjadi tauladan bagi seluruh umatnya hingga
akhir zaman.
skripsi ini dibuat banyak bantuan dari berbagai pihak. Karenanya, penulis tidak lupa
1. Ayah dan Ibu tercinta, Kaelani dan Nurul Mahmudah, atas semua pengorbanan,
kesabaran, dukungan, dan kasih sayang yang tiada pamrih. Baik berupa moril
maupun materiil, serta doa yang tidak pernah putus untuk keberhasilan dan
kesuksesan penulis. Terima kasih untuk segalanya, karena kalian aku ada. Dan
aku bangga.
2. Mbak Zuhrotul Mabruroh beserta suami, mas M. Habibul Huda yang selalu
ibu Nafsiati, terima kasih atas dukungan dan doanya. Bantuan materi maupun
non-materi dari kalian sangatlah berarti. Adik Ilyas Amirul Labib dan M. Daffa
Rafiqul Huda, kelucuan kalian adalah hiburan dan semangat bagi penulis.
vi
vii
4. Dr. Hamid Nasuki, M. Ag., terima kasih atas kesabaran bapak karena telah
penulisan skripsi ini. Tanpa arahan dan kritikan yang bapak berikan, skripsi ini
5. Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas
6. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
7. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Ketua Program Studi Studi Agama-Agama
dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku sekretaris Program Studi Studi
Agama-Agama.
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan ilmu
10. Bapak Supalil, Bapak Muhammad As’adi, Bapak Drs. Hartono, MM, Bapak
Mujiono, Bapak Iskandar, Ibu Karti, Bapak Bambang, Bapak Slamet, Ibu
Samiatun, terima kasih atas kerelaan waktu, tenaga, dan pikirannya. Juga atas
viii
penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dan ibu sekalian dibalas dengan
menyertai kalian.
11. Teman-teman terbaikku, Umi Lailatul Baroroh, Siti Subadriah, Intan Pertiwi,
Syarif Hidayat, yang walaupun sering mengeluh tapi masih setia menemani dan
rela direpotkan. Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik untuk segala
keluh kesah penulis, memberikan motivasi, dan semangat. Guys, you’re the
12. Kakak-kakakku sekalian, Luftah, Iis Fatimah, Siti Kurniawati, Liza Mazida,
dukungan.
14. Dra. Hj. Mastanah, M. Si., selaku pembimbing KKN di Desa Argapura,
Cigudeg, Bogor. Banyak ilmu dan pengalaman yang ibu berikan kepada penulis
Farhanah, Audy, Annisa, Rif’atul, dan yang lainnya. Kalian luar biasa. Terima
16. Teman-teman al-Ayyubi, terima kasih atas doa, semangat, dan motivasi yang
17. Keluarga besar IKAPPMAM, terima kasih atas doa dan ilmu yang diberikan.
18. Keluarga besar SALMADA, terima kasih atas doa dan ilmu yang diberikan.
20. Semua orang yang pernah bertanya, “Kapan lulus? Kapan wisuda? Kapan
21. Semua pihak yang telah membantu, yang belum disebutkan satu-persatu.
kemampuan bahwa hasil skripsi masih jauh dari kata kesempurnaan. Untuk semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima
kasih. Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT., semoga berkenan
menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka. Semoga skripsi ini dapat
Penulis
Durotun Nafi’ah
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................ v
x
xi
PRADAH ............................................................................................................. 52
A. Kesimpulan .............................................................................................. 66
B. Saran ......................................................................................................... 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 77
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai macam ritual atau tradisi telah ada dan dilaksanakan secara
Islam, tidak serta merta membuat mereka meninggalkan tradisi Jawa Kuno
salah satunya Blitar. Blitar merupakan salah satu daerah yang memiliki budaya
khas yang tercermin dalam kesenian maupun produk budaya lainnya, seperti
1
Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa, (Depok:
Komunitas Bambu, 2014), h. 89.
2
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Protret dari Cerebon, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 2.
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 368.
1
2
yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori (kain putih) yang
dengan upacara siraman Gong Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda
Upacara ini merupakan produk budaya lokal yang hingga saat ini masih
diadakan agar tidak hilang terkikis oleh budaya Barat. Upacara siraman
Gong ini dipuja dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Blitar dan
sekitarnya. Upacara siraman dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu
pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan 12 Rabi’ul Awal
yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini dilakukan
dalam rangka melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur dan telah
tersebut, maka akan terhindar dari bencana, baik bagi diri sendiri, maupun untuk
Baik yang asli Blitar, maupun dari luar Blitar, dari berbagai usia, dan juga
agama. Ada yang datang dengan tujuan untuk menyaksikan upacara siraman
4
Sugianto, “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”, Universitas Terbuka, h. 6-7,
diakses dari http://pk ut.ac.id/j si/1 31.sugianto.html, pada tanggal 18 September 2019, pukul 20.58
WIB.
3
sebagai sebuah tontonan atau warisan budaya yang harus dilestarikan, ada pula
yang datang dengan tujuan mengharapkan berkah, dan tak sedikit pula
Upacara ini telah dikenal dan dipercayai oleh masyarakat Blitar dan
setiap tahunnya. Upacara ini diikuti oleh masyarakat yang berasal dari berbagai
setiap prosesi membuat penulis ingin meneliti mengenai upacara siraman dan
hal-hal yang berkaitan dengannya, serta apa saja pengaruhnya bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat bahwa di era
modern ini seharusnya semua hal dinilai secara rasio dan mulai berkurang
jumlah orang yang sepenuhnya percaya pada hal-hal mistis. Akan tetapi,
bertambah.
Adapun batasan dan rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
1. Batasan Masalah
2. Rumusan Masalah
masyarakat Blitar?
1. Tujuan Penelitian
2. Manfaat Penelitian
pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai tradisi lokal yang ada di
5
Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang hingga kini masih eksis di kalangan
masyarakat.
gambaran mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan apa saja
D. Tinjauan Pustaka
kali dilakukan karena tradisi ini dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Blitar
ditemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan tema penulisan, antara lain:
Jurnal yang ditulis oleh Ruddat Ilaina R.A., dkk, Vol. 12. No. 01 (2018)
yang berjudul Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong Kyai
Lodaya Blitar. Karya ini membahas mengenai mantra yang diucapkan dalam
upacara siraman Gong Kyai Pradah dan kisah-kisah mengenai adanya pengaruh
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal). Karya ini membahas mengenai akulturasi
atau perpaduan Islam dengan budaya lokal yang terdapat dalam upacara siraman
yang dilakukan di daerah Sutojayan, Blitar. Akulturasi yang terjadi dapat kita
6
E. Kerangka Teori
Kebudayaan dan manusia merupakan dua entitas yang sama sekali tidak
dapat dipisahkan. Manusia hidup dengan budaya yang telah ada dan diwarisi
tertentu, sedikit banyak akan mempengaruhi berbagai aspek yang ada dalam
hubungan kebudayaan dan agama, agama dipandang sebagai realitas dan fakta
budaya. Hubungan yang erat antara agama dengan masyarakat dan budayanya
tidak berarti bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada
Makna dari agama sendiri dari pandangan para ahli mencakup sistem
kepercayaan, cara hidup, kerohanian, dan sebagainya. Dalam hal ini Clifford
Geertz melihat agama sebagai satu sistem kebudayaan yang ditandai dengan
5
Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,
Keyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 31-32.
7
agama sebagai sebuah sistem budaya. Dalam karyanya yang berjudul “Religion
mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu
publik, simbol-simbol dalam agama juga bersifat publik dan bukan murni
bersifat privasi. Seperti yang dinyatakan Geertz bahwa agama adalah suatu
sistem simbol yang bertindak untuk menetapkan perasaan dan motivasi secara
kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia dengan cara
6
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), h. 3.
7
Adeng Muchtar, Antropologi Agama, h. 36.
8
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), h. 90.
8
dunia melalui pancaran makna. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada
Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen” bahwa fenomena religius Jawa dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepercayaan dan ritus. Yang pertama
(action) yang khusus.10 Keduanya tidak dapat dipisahkan karena orang Jawa
(biasa) dan sacred (keramat).11 Dalam agama Jawa juga demikian, terdapat
kondisi sakral yang biasanya lebih personal, subjektif, dan hanya diketahui oleh
pihak tertentu saja. Ada pula yang profan, yang biasanya lebih awam, boleh
diketahui orang lain, dan tanpa pengecualian. Hal-hal yang sakral cenderung
dianggap memiliki martabat dan kekuatan yang lebih superior daripada hal-hal
yang profan. Hal-hal yang sakral ini biasanya berkaitan dengan dunia magi.
Magi Jawa berkaitan dengan persoalan yang rumit dan wingit (suci; keramat;
9
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,
(Yogyakarta: Juxtapos, 2007), h. 1.
10
Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta:
Penerbit Narasi-Lembu Jawa, 2018), h. 19.
11
Suwardi Endraswara, Agama Jawa, h. 20.
9
angker). Magis juga berisi kepercayaan dan ritus yang harus dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa.
1. Pengertian Upacara
Kata upacara berakar dari dua suku kata, yaitu upa dan cara. Upa
artinya mendekat, sedangkan kata cara berakar dari urutan car yang
Tuhan Yang Maha Esa.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upacara
sebagai alat komunikasi dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus
ditaati.
kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, juga
atau para dewa.14 Upacara biasanya dipimpin oleh kepala suku atau syaman
12
Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna Filosofi Upacara dan Upakara, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 46.
13
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 994.
14
Koentjaraningrat, Pengantar Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 68.
10
adalah upacara siraman Gong Kyai Pradah yang ada di Kabupaten Blitar,
Jawa Timur.
2. Pengertian Siraman
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata siraman berasal dari asal
kata siram yang berarti mandi. Dalam bahasa Indonesia, kata siraman
pada setiap bulan Sura pada hari Jumat Kliwon di mana pusaka-pusaka
salah satu ritual kejawen yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat
mandi. Dalam hal ini, siraman dimaknai sebagai proses penyucian dan
pembersihan diri secara lahir dan batin, membuang segala kejelekan yang
15
Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 38.
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus, h. 846.
17
Kuswa Endah, Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa, Vol. 1,
No. 2, (Agustus: 2006), h. 147.
11
Legi sebagai hari yang sakral. Menurut masyarakat Jawa, hari Jumat Legi
merupakan hari wiwitan atau hari permulaan, jadi hari tersebut sangat baik
untuk sebuah gong yang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa
berdiameter 60 cm yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori
Gong Kyai Pradah merupakan salah satu benda pusaka yang ada di
Kabupaten Blitar. Jadi, yang dimaksud dengan upacara siraman Gong Kyai
Pradah adalah suatu upacara penyucian benda pusaka berupa gong yang
18
Sumarsono, Budaya Masyarakat Perbatasan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999), h. 73.
19
Pasaran adalah nama pada 5 hari dalam 1 siklus. Ada 5 pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon,
Wage, Kliwon. Lihat di Primbon Jawa Lengkap, Neptu dan Pasaran Jawa, diakses dari
https://www.primbon.net/2014/05/neptu-dan-pasaran-jawa.html, pada tanggal 28 September 2019,
pukul 18.34 WIB.
20
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Juru Kunci ke-6 Gong Kyai Pradah, Blitar,
16 September 2019.
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 368.
22
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
12
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
seperti dikutip Prof. Dr. Syamsir Salam dalam buku Metode Penelitian
bersifat deskriptif analisis, karena hasil dari penelitian ini berupa data
deskriptif dalam bentuk kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang
diamati.
23
Syamsir Salam dan Zaenal Arifin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006), h. 30.
13
a. Penelitian Pertama
b. Penelitian Kedua
c. Penelitian Ketiga
d. Penelitian Keempat
2. Pendekatan Penelitian
24
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 47-48.
14
menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak
aliran dalam masyarakat Jawa, yang berkaitan dengan aktivitas ritual yang
3. Sumber Data
primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.25 Sumber data primer
didapatkan dari data yang diperoleh dari juru kunci Gong Kyai Pradah dan
pelaku ritual.
dari buku-buku dan dokumentasi yang relevan dengan penelitian. Data ini
25
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91.
26
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, h. 91.
15
a. Observasi
b. Wawancara
proses tanya jawab secara lisan, di mana dua orang atau lebih saling
Narasumber dalam penelitian ini adalah juru kunci Gong Kyai Pradah,
yaitu:
27
Hadari Nawai dan M. Martini, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah
Mada Press, 2006), h. 98.
28
Sutrisno Hadi, Metode Research II, (Yogyakarta: Adi Offset, 1989), h. 192.
16
Pradah.
Pradah.
Pradah.
Pradah.
c. Dokumentasi
bahan tertulis dan tidak tertulis dengan tujuan untuk mendapatkan data
dan foto-foto yang dimiliki juru kunci Gong Kyai Pradah serta yang
29
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h. 169.
17
Blitar.
5. Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini
a. Heuristik
b. Verifikasi
keaslian data tidak akan diragukan sehingga data yang diperoleh dapat
digunakan.
30
Louis Gottzchalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983),
h. 32.
18
c. Interpretasi
Tahap akhir dari proses ini adalah penulisan hasil penelitian. Pada
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
G. Teknik Penulisan
Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
H. Sistematika Penulisan
ini dijabarkan dalam lima bab, dengan tujuan untuk mengetahui kronologi
dalamnya terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu: Profil Lokasi Penelitian, Sejarah
Upacara Siraman.
BAB IV, berisikan data dan hasil temuan penelitian mengenai Pengaruh
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Pada bab ini menjelaskan mengenai
penulisan skripsi.
BAB II
SEJARAH UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
Kabupaten Blitar sendiri terbagi oleh sungai Brantas menjadi dua bagian, yakni
Brantas. Secara geografis, Kecamatan Sutojayan merupakan salah satu dari dua
1
Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", diakses dari
https://singoutnow.wordpress.com/2016/12/01/kecamatan-sutojayan-kab-blitar/ pada tanggal 19
September 2019, pukul 14.28 WIB.
2
Kabupaten Blitar, diakses dari https://www.eastjava.com/east-
java/tourism/blitar/map/blitar_map-high.png , pada tanggal 19 September 2019, pukul 14.49 WIB.
20
21
berada pada ketinggian 150 m dari permukaan laut. Seluruh wilayahnya adalah
Kelurahan Kembangarum
Kelurahan Sutojayan
Kelurahan Sukorejo
3
Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", 19 September 2019, 14.28 WIB.
4
Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", 19 September 2019, 14.28 WIB.
22
Nama Lodoyo sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat Blitar karena nama
Brantas. Menurut sejarah yang ada, pada zaman dahulu sebagian besar wilayah
Lodoyo adalah hutan belantara yang banyak dihuni binatang buas. Pada waktu
itu Lodoyo termasuk daerah yang rawan dan berbahaya dengan ungkapan kata
“jalmo moro, jalmo mati” yang artinya “siapa yang datang, berarti mencari
kematian”.5 Karena hukuman dari Sri Paku Buwono I, seorang raja dari
saudara tiri sang raja yang memiliki niat buruk pada raja. Ketika Pangeran Prabu
datang, Lodoyo tak hanya berupa hutan lebat, tapi juga masih wingit (angker).
Ia membawa pusaka kerajaan berupa gong atau bendhe, yang dinamakan Gong
Kyai Pradah. Dengan memukul gong sebanyak tujuh kali, maka binatang buas
yang ada di hutan Lodoyo menjadi jinak dan keangkeran Lodoyo ditaklukkan.6
5
Agus MS, “Sekelumit Sejarah Benda Pusaka Gong Kyai Pradah dan Sejarah Terjadinya
Daerah Lodoyo”, diakses dari http://lodoyodadikutho.blogspot.com/ , pada tanggal 21 September
2019, pukul 10.17 WIB.
6
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Kepala Bidang Kebudayaan Dinas
Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (DISPARBUDPORA) Kabupaten Blitar, Blitar, 25
September 2019.
23
Mitos mengenai Gong Kyai Pradah sebagai warisan dari nenek moyang harus
berkah ketenteraman hidup dan kebahagiaan lahir batin. Mitos tersebut merupakan
Islam abangan. Disebut Islam abangan karena mereka masih menjalankan adat
Jawa yang telah diwariskan nenek moyang. Adapun tradisi yang masih
7
Website Resmi Pemerintah Kabupaten Blitar, Siraman Gong Kyai Pradah Warisan Budaya
Untuk Generasi Bangsa, diakses dari https://www.blitarkab.go.id/2016/12/14/siraman-gong-kyai-
pradah-warisan-budaya-untuk-generasi-bangsa/ pada tanggal 20 Desember 2019, pukul 22.03 WIB.
24
dikisahkan Bapak Adi selaku juru kunci Gong Kyai Pradah, ritual siraman Gong
yang disahkan oleh panitia siraman Kyai Pradah, Gong Kyai Pradah sudah ada
lahir dari istri ampeyan (selir), karenanya ia tidak dapat menjadi raja untuk
menjadi raja, timbul rasa kecewa dalam hati pangeran Prabu. Rasa kecewa
Buwono I. Namun rencananya gagal karena ia ketahuan oleh Sri Susuhan Paku
pergi ke Timur, tepatnya di hutan Lodoyo yang masih angker yang masih
banyak binatang buasnya. Sri Susuhan Paku Buwono I berharap pangeran Prabu
8
Babad adalah sejarah. Lihat di Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 100.
9
Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo: Miturut Serat Babad Tanah Jawi,
(Lodoyo, 2000), h. 1.
25
(gong) yang dinamakan Kyai Bicak, sebagai tumbal untuk hutan Lodoyo yang
dikenal angker.10
Pakel (Lodoyo Barat). Sebelum pergi, Pangeran Prabu menitipkan pusaka Kyai
nganggo toyo lan sekar (kembang setaman). Yang artinya: setiap jatuh
tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud disucikan dengan air dan bunga setaman.
lan supados gesangipun sami seneng. Yang artinya: Air bekas penyucian
dapat menyembuhkan orang yang sedang sakit dan yang sedang susah
menjadi senang.
Prabu) khawatir terjadi sesuatu kepada Pangeran Prabu. Ia pun memukul Kyai
Bicak tujuh kali dengan harapan Pangeran Prabu akan segera kembali dengan
mengikuti arah suara gong. Akan tetapi, yang datang bukan Pangeran Prabu,
10
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
26
Gong Kyai Pradah. Setelah beliau wafat, pusaka Gong Kyai Pradah disimpan
disimpan oleh adiknya, Kyai Imam Seco yang menjabat sebagai wakil Penghulu
Blitar, di Dusun Sukoanyar sekarang Sukorejo. Pada tahun 1798 Kyai Imam
Seco wafat, dan pusaka Gong Kyai Pradah dipercayakan kepada Raden Ronggo
Kertorejo. Sejak tahun inilah, gong disimpan di sanggar Gong Kyai Pradah yang
Gong Kyai Pradah merupakan salah satu benda pusaka yang ada di Kabupaten
untuk sebuah gong yang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa
berdiameter 60 cm yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori
sebenarnya secara lahiriah tidak berbeda dengan benda-benda biasa yang ada
11
Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo, h. 3-4.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 368.
13
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
27
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, yang sakral dapat diartikan sebagai sesuatu
yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi
kehidupan sehari-hari. Artinya, bahwa yang sakral itu tidak difahami dengan
Pradah juga tidak boleh disentuh kecuali pada saat-saat tertentu oleh orang-
khusus. Terdapat tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan dengan
diadakannya upacara. Upacara dan perlakuan khusus ini tidak dapat dipahami
secara rasional, akan tetapi dilakukan dari dahulu, sekarang, dan di masa yang
roh-roh gaib bagi kepentingan duniawi dan rohani mereka. Hubungan dengan
roh dan daya gaib dilakukan dengan berbagai ritual yang berupa sesaji,
Juru kunci atau penjaga sekaligus yang merawat pusaka Gong Kyai
Pradah sendiri telah mengalami enam kali pergantian. Pergantian juru kunci
dilakukan dengan pemilihan langsung oleh ‘Kyai Pradah’ melalui juru kunci
sebelumnya dengan mengadakan beberapa tes. Tidak ada syarat khusus dalam
14
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj.
Abdul Muis Naharong, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 11.
15
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), h. 95-96.
16
Simuh, Islam dan Pergumulan Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 43.
28
pemilihan juru kunci, siapapun, dari agama apapun, dan bebas dari daerah
mana, semua yang berminat dapat mengikuti tes ini. Menurut Bapak As’adi,
dari keenam juru kunci hanya empat yang diketahui identitasnya karena
memang tidak ada penulisan sejarahnya. Beliau adalah Zainal Mustofa (juru
kunci ketiga), Imam Bukhori (juru kunci keempat), Supalil (juru kunci kelima),
dan sejak tahun 2016 orang yang dipercaya menjadi juru kunci keenam pusaka
Gong Kyai Pradah adalah dirinya yang merupakan cucu menantu dari juru kunci
Syawal bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, dilaksanakan secara sederhana
dihadiri oleh seluruh pejabat daerah dan tamu undangan dari berbagai daerah.
Maulud dan 1 Syawal bertepatan di hari Wage, maka ritual akan diundur di hari
adalah Bupati Kabupaten Blitar. Namun, apabila di hari tersebut Bupati tidak
dapat hadir, maka yang bertugas menyucikan gong adalah juru kunci atau orang
17
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
18
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
19
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
29
ritual tersebut karena keyakinan masyarakat akan dampak baik yang akan
Menurut juru kunci, upacara siraman yang dilakukan pada 1 Syawal bertujuan
alun-alun berdiri sebuah bangunan kecil yang disebut sanggar. Sanggar tersebut
penjajahan Belanda. Pada tahun 1978 saat Wedana (Pembantu Bupati) dijabat
oleh Budi Susetyo, sanggar tersebut direnovasi sehingga menjadi seperti saat
ini.2 Bagian utama sanggar berbentuk rumah panggung selebar dua setengah
meter dan panjang empat meter dengan dinding dan lantai dari papan kayu serta
1
Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
2
Sugianto, “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”, Universitas Terbuka, h. 4,
diakses dari http://pk ut.ac.id/j si/1 31.sugianto.html, pada tanggal 18 September 2019, pukul 20.58
WIB.
30
31
beratap sirap3. Lantainya setinggi satu meter dari tanah dan untuk menaikinya
terdapat tangga dari semen selebar satu setengah meter dengan enam anak
tangga yang dilapisi ubin berwarna putih. Dinding sanggar bercat dasar putih
dan sebagian berwarna hijau, jendela dan pintunya pun berwarna hijau.4
Menurut juru kunci, warna hijau merupakan simbol kerajaan Mataram Kuno.5
serambi. Serambi adalah selasar, langkan rumah atau balai, biasanya lebih
belakang rumah.7 Di serambi berdiri pilar-pilar dari beton cetak berukir dan
berlantai ubin berwarna hijau dan beratap anyaman bambu yang dicat warna
putih. Di atap bagian depan, sejajar dengan tangga rumah panggung, terdapat
pada 1 Syawal. Untuk menggantung gong, terdapat alat bantu berupa meja kayu
bermotif setinggi satu meter. Bagian atas meja diberi kayu seperti pagar dan
dicat merah putih. Untuk menaikinya, disediakan tangga yang dibuat dari kayu.8
berkah setiap malam Jumat Legi sambil mengadakan selamatan. Bagi yang
3
Sirap. atap sirap adalah atap yang terbuat dari bilah-bilah kayu besi tipis-tipis. Lihat di
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), h. 1334.
4
Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
5
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
6
Wawancara pribadi dengan Supalil, Juru Kunci ke-5 Gong Kyai Pradah, Blitar, 16 September
2019.
7
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 1293.
8
Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
32
ketika malam Jumat Legi setelah magrib hingga pagi hari dan ketika malam
siraman. Sedangkan yang beragama selain Islam dapat bersemedi atau berdoa
pasaran, hari, bulan, dan sebagainya yang digunakan untuk menentukan baik
buruknya hari atau bulan tersebut. Dalam menentukan baik buruknya hari,
masyarakat Jawa memiliki hitungan pasaran yang berjumlah lima yang sejalan
dengan ajaran “sedulur papat, kalima pancer” yang artinya empat saudara
sekelahiran, kelimanya pusat.10 Ajaran ini berarti badan manusia yang berupa
jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari tanah, air, api, dan
udara yang mana keempat unsur ini memiliki tempat di empat kiblat dan yang
timur, satu tempat dengan unsur udara yang memancarkan sinar putih, pasaran
Pahing bertempat di selatan satu tempat dengan unsur api yang memancarkan
sinar merah, pasaran Pon bertempat di barat satu tempat dengan unsur air yang
dengan unsur tanah yang memancarkan sinar hitam, dan yang terakhir Kliwon
tempatnya di tengah (pusat) yang merupakan tempat sukma atau jiwa yang
9
Wawancara pribadi dengan Mujiono, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
10
Purwadi, Petungan Jawa, (Yogyakarta: Pinus, 2006), h. 9.
11
Uung Abdurrahman, Sinopsis Peneliian Keagamaan, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2006), h. 87.
33
inilah masyarakat Jawa menandai beberapa hari dengan pasaran yang dianggap
segera terpenuhi.
Ruangan khusus tersebut kurang lebih selebar tiga meter dengan panjang
berwarna putih dan bagian bawahnya diberi ubin warna hijau, jendela dan
pintunya juga berwarna hijau.12 Di atas pintu dan jendelanya terdapat lukisan
memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu masuk utama yang menghadap ke alun-
alun dan sebuah pintu kecil yang berada di samping kanan, yang berfungsi
sebagai pintu darurat. Gerbang utama berpintu jeruji besi dengan dua daun pintu
berwarna hijau. Di bagian depan sanggar, terdapat dua patung harimau setinggi
satu setengah meter, di bagian kanan terdapat harimau putih dan sebelah kiri
patung harimau kuning. Harimau merupakan simbol Kyai Pradah. Selain itu,
dua buah patung harimau tersebut merupakan simbol untuk menjaga dan
dikaitkan dengan mitos bahwa pada zaman dahulu Gong Kyai Pradah pernah
12
Observasi Lapangan tanggal 18 September 2019.
13
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
14
Ruddat Ilaina R.A., dkk., Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong Kyai
Pradah Lodaya dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. di Desa Lodaya Blitar, Jurnal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Vol.
12. No. 01, Juni 2018, h. 12.
34
dari para perampok.15 Di atas pintu gerbang utama bagian depan terdapat tulisan
sanggar juga digunakan sebagai tempat kegiatan rutin para peziarah setiap
malam Jumat Legi, baik untuk kegiatan selamatan maupun untuk tirakatan,
yaitu menahan diri tidak tidur semalaman suntuk dalam rangka mencari berkah
Selain itu, ada juga bangunan yang fungsinya tidak dapat dipisahkan dari
Bangunan tersebut terbuat dari beton berbentuk panggung terbuka segi delapan
penyangga utama, dan terdapat empat pilar lagi sebagai penyangga tambahan.
Lantai panggung tersebut berpagar besi dan beratap sirap. Untuk menaikinya
terdapat tujuh belas anak tangga dari beton yang juga berpagar besi. Panggung
15
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
16
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
17
Sugianto, Ritual Adat, h. 4, pada 18 September 2019, 20.58 WIB.
35
menjadi salah satu komponen penting yang harus ada. Pada sistem religi
tidak sah apabila peralatan atau perlengkapan yang menyertai upacara tidak
dalam peristiwa religi. Apabila tidak, bisa jadi benda atau peralatan tersebut
18
Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
19
Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya, (Malang:
Intrans Publising, 2015), h. 95.
36
3. Boreh, yaitu bedak yang terbuat dari kunyit dicampur dengan beras dan
6. Kemenyan.
8. Tujuh buah gentong, sebagai tempat menyimpan air yang akan digunakan
9. Kain mori, yaitu sejenis kain putih yang digunakan bahan batik.22 Kain
20
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
21
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 202.
22
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 909.
37
10. Air dari sanggar untuk menyucikan gong ketika proses siraman (jamasan).
a. Juru kunci
e. Pengiring shalawat
f. Jaranan
23
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019
24
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
38
1. Tahap Persiapan
dengan kain mori untuk dijadikan sesajen ketika ziarah. Selesai pemotongan
sesaji siraman.
yang lain, tetapi yang di dalam praktik jauh lebih kompleks dari pada itu.
Pada banyak upacara bersaji, orang memberi makanan yang oleh manusia
25
Sugianto, Ritual Adat, h. 6-7, pada 18 September 2019, 20.58 WIB.
39
siraman Gong Kyai Pradah adalah berupa nasi tumpeng lengkap dengan
lauk pauk dan ayam panggang yang lazim disebut ingkung, kemudian
pisang raja tiga tangkep (6 sisir), serta kembang setaman, yang kemudian
disimbolkan berupa seperangkat bunga yang terdiri dari tunas pohon pisang
kerantil, daun bunga andong, serta daun puring, yang dilengkapi dengan
bedak basah yang disebut boreh dan juga kemenyan. Boreh digunakan di
akhir, yakni digunakan untuk melumuri gong yang telah selesai dicuci
ketika upacara inti. Sesajen dalam wujud makanan antara lain adalah sego
golong, yaitu nasi putih yang dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang
Sesaji yang lain yaitu kepala kambing dan organ dalam perut
dan terkenal dengan sebutan petilasan Mbok Randha Dadapan. Petilasan ini
26
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 67-68.
27
Wawancara pribadi dengan Iskandar, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
28
Cungkup adalah atap penutup kubur atau makam seperti makam orang-orang Cina. Lihat di
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 294.
40
Semua sesajen disiapkan oleh juru kunci dan para pengurus sanggar
yang lain dan diletakkan di sanggar, tepatnya di atas meja di samping Gong
Kyai Pradah. Buceng beserta ingkung ayam dibiarkan sampai ritual siraman
selesai dilaksanakan. Setelah itu baru diambil dan dimakan oleh juru kunci
dan beberapa anggota sanggar sebagai berkah dari Kyai Pradah, termasuk
pisang setangkep (2 sisir), sego golong, dan bubur sengkolo. Pisang raja
yang dua tangkep (4 sisir) lagi, dua sisirnya dibawa ke petilasan Mbok
29
Wawancara pribadi dengan Karti, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar, 11
November 2019.
30
Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 87.
41
jedor, sound system, dan tikar untuk tempat tirakatan malam harinya.
2. Tahap Pelaksanaan
dengan tidak tidur dengan maksud memohon berkah dari Tuhan melalui
Gong Kyai Pradah. Malam tirakatan dimulai pukul 01.00 WIB. Malam
kehidupan masyarakat Jawa tak lepas dari ritual selamatan yang yang
31
N. Rahayu, dkk, Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan Upacara
Ritual, (Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 12. No. 1, 2014), h. 65.
42
mulus dan tak satu pun kemalangan yang menimpa siapa saja”.34
pegangan dalam menentukan sikap dan tingkah laku bagi segenap warga
hari36, yakni:
32
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 73.
33
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), h.
347.
34
Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: PT.
LKiS Printing Cemerlang, 2011), h. 136.
35
Andri Yanto, dkk., “Simbol-Simbol Lingual dalam Tuturan ‘Ujub Genduren’ Siklus Hidup
Masyarakat Desa Seneporejo”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas Jember
(UNEJ), 2015, h. 2.
36
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan, h. 348.
43
Kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat daerah setempat yang lazim
para pejabat naik ke sanggar untuk berdoa di depan Gong Kyai Pradah,
setelah itu turun, dan duduk bersila di tikar membaur dengan para
pengunjung yang lain dengan formasi melingkar atau yang lebih dikenal
37
Wawancara pribadi dengan Iskandar, Blitar, 11 November 2019.
44
b. Ziarah
yang bersumber dari sumur yang berada di sanggar pusaka Gong Kyai
Pradah dan bunga tujuh rupa yang telah di ronce (diuntai). Air inilah
dari air hingga 80%.39 Air sangat penting bagi kehidupan dari pertama
kali ada dalam rahim ibu kita sudah diliputi air. Sejak manusia pertama
lahir hingga meninggal pun harus dibersihkan dengan air. Dalam mistik
Jawa, air yang mengalir merupakan simbol dari kehidupan, sebab air
batin.
gong dari sanggar ke petilasan Nyi Mbok Randha Dadapan pada pukul
38
Piyadassi Thera, Meditasi Budhis Jalan Menuju Ketenangan dan Kebersihan Batin,
(Surabaya: Paramita, 2005), Hlm. 27.
39
Mahir Hasan Mahmud, Terapi Air, Keampuhan Air dalam Mengatasi Aneka Penyakit
berdasarkan Wahyu dan Sains, terj. Ahmad Taufiq, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h. 79
40
Waryunah Irmawati, Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa, Vol. 21, No.
2, November 2013, h. 323.
45
c. Upacara Siraman
Kemudian juru kunci akan mengambil Gong Kyai Pradah dari sanggar
di dalam sanggar juga terdapat kenong atau tabuh, tombak, keris, dan
41
Observasi Prosesi Upacara Siraman tanggal 11 November 2019.
46
alami.42
petilasan hingga selesainya siraman Gong Kyai Pradah tidak ada yang
harus lengkap, tidak boleh berkata kasar mengenai gong, dan upacara
Maulud dan 1 Syawal bertepatan di hari Wage, maka ritual akan diundur
di hari berikutnya.43
yang ada hanyalah instruksi dari panitia dan juru kunci. Ketika prosesi
dihanduki dan disiram menggunakan air yang ada di gentong, setelah itu
42
Daniel L. Pals, Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2001), h. 270.
43
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
47
gong tersebut bersuara bagus atau nyaring, maka setelah acara selesai
Setelah itu gong diberi boreh dan dibungkus kain mori sebanyak
tiga lapis. Pada saat inilah air bekas siraman dicampur dengan air yang
ada di gentong dan yang ada di mobil pemadam kebakaran. Air inilah
Setelah prosesi selesai, Gong Kyai Pradah dan semua rombongan turun
keburukan yang berasal dari pengaruh setan, jin, dan roh jahat karena
44
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
45
R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis, (Yogyakarta: PT. LKiS
Printing Cemerlang, 2009), h. 163.
46
Ruddat Ilaina R.A., dkk., Makna dan Relevansi Simbolik, h. 8-9.
48
Artinya:
47
Simuh, Sufisme Jawa, (Jakarta: Narasi, 2016), h. 134.
49
Artinya:
Penentu segalanya.48
3. Tahap Penutupan
perayaan hari besar atau acara-acara tertentu. Seni yang terdapat dalam
48
Welly Setiawan, Bentuk, Makna, dan Fungsi Mantra di Padepokan Rogo Sutro Desa
Gondangwinangun Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung, (Jurnal Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Vol. 4, No. 2, 2014), h. 39.
50
sakral yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari mitos dan ritual.
berupa kenduri dan makan bersama. Acara setelah prosesi upacara siraman
dilakukan setelah acara inti, tepatnya di hari kelima dan di hari ke-35 setelah
lima hari.49 Akan tetapi, berdasarkan tradisi ini yang dimaksud dengan
49
Rachman Halim, Pusaka Jawatimuran “Sepasaran (Puputan), Tradisi Budaya
Jawatimuran”, diakses dari https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/23/sepasaran-puputan-
tradisi-budaya-jawatimuran/ pada tanggal 29 Desember 2019, pukul 15.00 WIB.
50
Bagus Adi Kuncoro, Sinar Arjuna “Selametan Kelahiran Bayi”, diakses dari
https://bagusadikuncoro.wordpress.com/2015/01/10/selametan-kelahiran-bayi/ , pada tanggal 29
Desember 2019, pukul 15.10 WIB.
51
Allah SWT. Selamatan biasanya dipimpin oleh juru kunci atau seseorang
51
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
BAB IV
PENGARUH UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
dipisahkan. Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja
bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur hidup mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
ritual tertentu dalam kehidupan sehingga tradisi tersebut selalu dilakukan. Hal
ini telah dilakukan masyarakat untuk mengikuti tradisi yang ada pada
pendahulu dan nenek moyang mereka. Tradisi diartikan sebagai segala sesuatu
temurun dari nenek moyang.2 Tradisi merupakan suatu hal yang sulit berubah,
yang dilakukan turun temurun dan masih dilakukan masyarakat di suatu tempat
atau suku yang berbeda.3 Tradisi sebagai sistem budaya mengandung makna
nilai sosial budaya.4 Karena telah diakui dan disepakati bersama, tradisi tersebut
dapat menjadi adat istiadat yang berlaku di masyarakat dalam suatu daerah.
1
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 22.
2
Arqom Kuswanjoyo, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial, (Yogyakarta: Arindo Nusa
Media, 2006), h. 61.
3
Anisatun Mutiah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Vol. 1, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15.
4
Abdullah Ali, Sosiologi Islam, (Bogor: IPB Press, 2005), h. 195.
52
53
Tradisi yang ada dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang mapan,
sosial yang memberikan pedoman tingkah laku bagi anggota atau masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, tradisi merupakan sosial budaya yang selalu ingin
mereka.5
bentuk norma yang terbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber
asalnya. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang
hidup tersebut tumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu berkembang
dirinya. Masyarakat Jawa percaya bahwa apa yang telah mereka bangun adalah
hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam.8 Kekuatan tersebut tak lain berupa
5
Abdullah Ali, Muludan Tradisi Bermakna. (Cirebon: Percetakan Lestari, 2001), h. 30.
6
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip
Psikologi, (Jakarta: Rajawali, 2016), h. 193.
7
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 3.
8
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 9.
54
kekuatan lain itu, hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika
tak mampu menegoisasi dengan alam semesta, hidupnya akan celaka.9 Ketika
kayu, batu, keris, dan sebagainya yang disebut dinamisme. Dinamisme berasal
dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu dunamos dan diingriskan
dengan kekuatan, kekuatan, atau khasiat, dan dapat juga diterjemahkan dengan
kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan yang sama sekali berbeda dengan
kebiasaan.
setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Caranya dengan membakar
atasnya. Hal ini dipercaya sebagai tindakan ‘memberi makan’ kepada benda
tertentu dengan cara dijamasi (dicuci).11 Begitu pula yang terjadi di Kabupaten
9
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 63.
10
Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 318.
11
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, h. 77.
55
dan dinamisme. Seperti halnya membakar kemenyan sebelum ritual dimulai dan
membawa sesajen (baik berupa kembang sesajen maupun makanan yang khusus
dipersiapkan).
Tradisi ini menjadi magnet yang mampu menarik masyarakat dari berbagai
tujuan, bukan hanya bertujuan mencari berkah dari Gong Kyai Pradah dan air
bekas siraman saja, akan tetapi dengan motif yang lain, seperti wisata, ekonomi,
bahwa pusaka Gong Kyai Pradah ini bertuah dan memiliki kesaktian. Oleh
percaya, ada juga yang hanya menganggapnya sebagai ritual kebudayaan biasa.
Pelaksanaan ritual ini selalu dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis
56
sebagai sarana memohon berkah kepada kekuatan gaib atau roh leluhur yang
ada di dalam Gong Kyai Pradah. Tak sedikit masyarakat yang percaya bahwa
air bekas siraman Gong Kyai Pradah apabila diminum akan mendatangkan
dipercaya sebagai waktu yang paling baik untuk membeli peralatan pertanian
mendatangkan kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Pada musim
hujan.12
dari 50 tahun. “Aku wes kat enom melu acara iki. Manfaat banyu bekas siraman
iki akeh nduk. Iso nggae awet enom, sehat, tur ma sio wes tuwek iseh etes.”
Yang artinya, “Saya sudah sejak muda mengikuti acara ini. Manfaat air bekas
siraman ini banyak nak. Bisa membuat awet muda, sehat, dan walaupun sudah
tua masih cekatan.”13 Ia selalu datang dan ikut berebut air bekas siraman
meskipun ia tahu bahwa air yang disiramkan ke para penonton bukanlah air
murni bekas siraman. Walaupun begitu beliau tetap yakin bahwa air tersebut
12
Wawancara pribadi dengan Mujiono, Blitar, 11 November 2019.
13
Wawancara pribadi dengan Slamet, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
57
mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. dan terbebas dari berbagai macam
pertikaian antarmasyarakat.14
bentuk penghormatan dan ketundukkan. Selain itu, juga sebagai upaya mencari
14
Wawancara pribadi dengan Supalil, Blitar, 16 September 2019.
15
Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Jakarta: UIN Press, 2015), h.
48-49.
16
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Yogyakarta: Fakultas UII, 1993), h.
30.
58
manusia.
menerus.
dilakukan.
ritual itu sendiri dapat dilakukan pada tingkat individual maupun tingkat
dalam beberapa hal erat kaitannya dengan nilai-nilai moral individu tersebut.18
laku masyarakat dalam menanggapi adanya kekuatan dari luar, yang merupakan
yang berasal dari diri sendiri maupun alam sekitar. Para pelaku dan pendukung
17
Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir.
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 197.
18
Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, h. 19.
59
upacara akan mendapat perasaan aman apabila telah melakukannya. Di sisi lain,
kehidupan akan tenteram, jauh dari mara bahaya, dan segala gangguan penyakit
daerah karena tradisi tersebut berhubungan dengan upacara adat dan budaya.
Pada tahun 2017, upacara siraman atau yang lebih dikenal dengan Jamasan
Pusaka Gong Kyai Pradah telah diakui dan diresmikan sebagai Warisan Budaya
Tak Benda (BPTB) Indonesia dan masuk ke dalam calendar of event (agenda
siraman Gong Kyai Pradah tidak hanya sekedar tradisi yang harus dilakukan
Upacara religi yang digelar dalam pesta rakyat, menjadi suatu hal yang
dalam video berbagai bentuk upacara serta prosesi yang berlangsung dalam
upacara. Upacara adat kini telah menjadi objek seni, bahkan komoditas yang
19
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
20
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
60
sebagai tempat tujuan wisata sudah berkembang karena permintaan pasar yang
pusat maupun pemerintah kabupaten atau kota dicetak dalam brosur, poster,
baliho, dan dapat diakses melalui internet. Hal ini menunjukkan betapa besar
masyarakat luas.21
pariwisata, maka perlahan tapi pasti perubahan budaya pada religi tersebut akan
akan tetapi semata-mata menjadi tontonan yang unik dan menarik, bahkan bisa
jadi terjadi pergeseran makna dan tujuan awal diadakannya. Oleh karena itu,
Hal ini disebabkan orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut tidak
yang mengharapkan ‘berkah’ dari air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
21
Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi, h. 113-114.
61
Menurut juru kunci Gong Kyai Pradah dan masyarakat sekitar, ritual
tersebut dari dulu hingga sekarang masih dilaksanakan pada waktu dan dengan
memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. dan hari raya Idul Fitri. Gong
gong ini. Upacara siraman pada 1 Syawal dilakukan sebagai wujud permohonan
kepada Allah SWT. dan upaya pembersihan diri. Gong dibunyikan untuk
Banyak yang percaya bahwa air bekas siraman dipercaya dapat membuat awet
manfaat tersebut akan didapatkan selama ada keyakinan dalam diri. Apabila
Dalam Islam pun diajarkan hal yang serupa22, sebagaimana firman Allah SWT.:
22
Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
62
، فَإ ِ ْن ذَ َك َرنِي فِي نَ ْف ِس ِه، َوأَنَا َم َعهُ ِإذَا ذَ َك َرنِي، ع ْبدِي بِي َ َ أَنَا ِع ْند: يَقُ ْو ُل اللهُ تَعَالَى
َ ظ ِن
علَ ْي ِه
َ ُمتَّفَ ٌق.َل َخي ٍْر ِم ْن ُه ْم ٍ َ َو ِإ ْن ذَ َكرنِي فِي َم،ذَ َك ْرتُهُ فِي نَ ْفسِي
ٍ َل ذَ َك ْرتُهُ فِي َم
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Allah
akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan
malaikat)” (Mutafaqqun ‘alaih). [HR. Bukhari, No. 6970 dan Muslim, No.
2675]23
ritual siraman namun tanpa didasari iman yang kuat sesuai dengan ajaran agama
dengan nilai keagamaan. Karena hal inilah, bisa jadi mereka meminta sesuatu
atau percaya kepada air bekas siraman Gong Kyai Pradah tanpa sadar bahwa
semua ini milik yang Kuasa dan tanpa disadari mereka telah menyekutukan
Tuhannya.
23
Muhammad Abduh Tuasikal, Rumaysho.com “Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Hingga
Balasan Mengingat Allah” diakses dari https://rumaysho.com/17041-aku-sesuai-persangkaan-
hamba-ku-hingga-balasan-mengingat-allah.html , pada tanggal 11 Desember 2019, pukul 16.47
WIB.
63
upacara siraman, dan juga ketika masyarakat memperebutkan air bekas siraman.
dorongan untuk melakukan tahlil dan tirakatan di sanggar Gong Kyai Pradah
setiap malam Jumat Legi dan malam sebelum prosesi siraman dilangsungkan.24
doktrin ataupun ajaran yang telah menjadi tradisi atau kebiasaan sejak zaman
tersebut dapat berwujud dalam berbagai macam hal, dapat berupa kesehatan,
lancar rezeki, segera bertemu jodoh, bahkan awet muda. Pun dengan
ada di Indonesia seperti yasinan atau pun selamatan, dapat dipahami bahwa
melakukannya, baik secara langsung maupun tidak, tanpa menilai besar atau
24
Wawancara pribadi dengan Samiatun, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah Blitar,
11 November 2019.
25
Wawancara pribadi dengan Bambang, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
64
gotong-royong, dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat ini terlihat sejak
satu dengan yang lain. Dengan selamatan, diharapkan manusia dapat terhindar
dengan baik merupakan hal besar yang dapat diterima oleh masyarakat dan
Pradah menanamkan sikap baik ke dalam kesadaran diri yang tinggi. Dengan
objek suci dan melalui hubungan ini akan memperkuat solidaritas dan
26
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab Makasin,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 18.
27
Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan,
2001), h. 76.
65
wisata budaya Kabupaten Blitar, dan yang terpenting adalah untuk peningkatan
pendapatan atau perekonomian masyarakat, baik dari pelaku seni, pelaku usaha,
pedagang. Pedagang yang berjualan di pasar malam ini umumnya berasal dari
luar wilayah Sutojayan, bahkan ada juga yang berasal dari luar Jawa Timur.
kaset berbagai jenis musik, ada juga yang menjual bunga dan kemenyan untuk
keperluan ziarah. Pengunjung pasar malam pun beragam. Para pedagang yang
datang mayoritas berasal dari luar Lodoyo. Mereka datang untuk ngalap
berkah. Mereka percaya meskipun pada saat upacara dagangan tidak banyak
yang terjual, tetapi setelah upacara berakhir dagangan akan mudah terjual.28
28
Observasi Lapangan tanggal 10 November 2019.
29
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul
dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Lihat lebih lanjut di Badan Pusat Statistik,
diakses dari https://www.bps.go.id/subject/52/produk-domestik-regional-bruto--lapangan-usaha-
.html , pada tanggal 27 November 2019, pukul 23.02.
30
Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
nenek moyang adalah dengan melakukan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah,
atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Jamasan Gong Kyai
Gong Kyai Pradah merupakan sebuah gong yang dibawa oleh Pangeran Prabu.
Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan Kartasura yang diusir karena memiliki
niat jahat pada adiknya yang menjadi raja. Ketika ia hendak melanjutkan
perjalanan, ia menitipkan Gong Kyai Pradah kepada seorang janda tua, yakni
Nyi Mbok Randha Potrosuto yang rumahnya ia singgahi selama berada di Desa
siraman.
dan siraman.
66
67
mereka yang kemudian terlihat dari sikap mereka ketika mengikuti upacara
siraman. Keyakinan merupakan pengaruh paling utama yang ada dalam diri
masyarakat. Berbagai cara pandang dan pola berfikir pun menentukan motivasi
mereka dalam mengikuti upacara siraman. Tak sedikit diantara para pengunjung
maka keberkahan dalam berbagai hal akan didapatkan, baik untuk masyarakat
yang mengikuti dan meminum air bekas siraman, yang ziarah di sanggar Gong
Kyai Pradah, ziarah di petilasan Nyi Mbok Randha Potrosuto, maupun bagi
daerah tempat tinggal mereka. Bagi yang percaya akan kesaktian Gong Kyai
Pradah, mereka akan datang dengan tujuan ingin mendapatkan berkah, baik
mengonsumsi air bekas siraman. Ada juga yang datang karena ingin terlibat
dalam pelestarian budaya, bahkan ada pula yang datang hanya untuk berbelanja.
Pradah menyatakan bahwa setelah mengikuti ritual, jiwa terasa semakin tenang
Perubahan dalam hal sosial dan ekonomi masyarakat juga nampak jelas
sejak pra-acara. Pengaruh dalam hal sosial masyarakat yang terjadi antara lain,
Sedangkan dalam hal ekonomi dapat dilihat sejak beberapa hari sebelum
pelaksanaan upacara inti, yaitu sejak dimulainya pasar malam yang diadakan di
seperti tukang parkir yang mendapatkan manfaat dari diadakannya tradisi ini,
B. Saran
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah merupakan salah satu tradisi unik
yang masih dilakukan di zaman modern ini. Kemunculannya telah terjadi pada
abad ke-18. Sesuai dengan informasi yang ada, masa tersebut merupakan masa
merupakan aset budaya yang harus dilestarikan, bukan untuk dipercayai sebagai
Persada. 2007.
Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000.
Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Yogyakarta: Fakultas UII.
1993.
Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo: Miturut Serat Babad Tanah
69
70
G., Muhaimin A. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Protret dari Cerebon.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab
Geertz, Clifford. Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa.
1983.
1999.
Mahmud, Mahir Hasan. Terapi Air, Keampuhan Air dalam Mengatasi Aneka
Penyakit berdasarkan Wahyu dan Sains, terj. Ahmad Taufiq. Jakarta: Qultum
Media. 2008.
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan. 2001.
IRCiSoD. 2001.
Salam, Syamsir dan Zaenal Arifin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN
2006.
Kebudayaan. 1999.
Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan
Suyono, R.P. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis. Yogyakarta:
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Press.
2015.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. Makna Filosofi Upacara dan Upakara.
Jurnal:
A., Ruddat Ilaina R, dkk. Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong
Desa Lodaya Blitar. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo. Vol. 12. No. 01. Juni 2018.
Endah, Kuswa. Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa.
Setiawan, Welly. Bentuk, Makna, dan Fungsi Mantra di Padepokan Rogo Sutro
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Vol. 4. No. 2. 2014.
Artikel:
Yanto, Andri, dkk. “Simbol-Simbol Lingual dalam Tuturan ‘Ujub Genduren’ Siklus
Internet:
https://www.bps.go.id/subject/52/produk-domestik-regional-bruto--
lapangan-usaha-.html.
https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/23/sepasaran-puputan-tradisi-
budaya-jawatimuran/.
https://www.eastjava.com/east-java/tourism/blitar/map/blitar_map-high.png.
Kuncoro, Bagus Adi. Sinar Arjuna “Selametan Kelahiran Bayi” diakses pada 29
https://bagusadikuncoro.wordpress.com/2015/01/10/selametan-kelahiran-
bayi/.
sutojayan-kab-blitar/.
Primbon Jawa Lengkap. Neptu dan Pasaran Jawa diakses pada 28 September 2019
dari https://www.primbon.net/2014/05/neptu-dan-pasaran-jawa.html.
S., Agus M. “Sekelumit Sejarah Benda Pusaka Gong Kyai Pradah dan Sejarah
http://lodoyodadikutho.blogspot.com/.
75
Sugianto. “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”. Universitas Terbuka
https://rumaysho.com/17041-aku-sesuai-persangkaan-hamba-ku-hingga-
balasan-mengingat-allah.html.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten Blitar. Siraman Gong Kyai Pradah Warisan
https://www.blitarkab.go.id/2016/12/14/siraman-gong-kyai-pradah-warisan-
budaya-untuk-generasi-bangsa/.
Wawancara pribadi dengan Juru Kunci ke-5 Gong Kyai Pradah. Supalil. Blitar, 16
September 2019.
Wawancara pribadi dengan Juru Kunci ke-6 Gong Kyai Pradah Muhammad As’adi.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Karti.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Slamet.
77
78
PEDOMAN WAWANCARA
Umur :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Hari/ tanggal :
Tempat :
B. Berita Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
2. Sejak kapan upacara ini ada?
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
4. Kapan saja upacara ini dilaksanakan?
5. Kenapa dinamakan upacara siraman?
6. Kenapa gong tersebut dinamakan Kyai Pradah?
7. Apa tujuan dilaksanakannya upacara?
8. Adakah perbedaan cara pelaksanaan dulu dan sekarang?
9. Siapa saja yang dipercaya merawat Gong Kyai Pradah?
10. Di mana saja Gong Kyai Pradah pernah disimpan?
11. Apa dampak yang terjadi apabila upacara siraman tidak dilakukan?
Pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana prosesi upacara siraman?
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam rangkaian upacara?
81
SURAT KETERANGAN
NIM : 11150321000007
Program : S1
Blitar, ………………………….
( )
83
HASIL WAWANCARA
Umur : 38 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Swasta
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Gong Kyai Pradah ada pada masa Mataram Kuno. Pada
saat itu ada seorang raja yang mempunyai satu istri dan satu selir. Dari
selirnya, ia mempunyai anak laki-laki, namanya Pangeran Prabu
(kakinya bejok atau cacat). Menjelang dewasa ia menikah, tapi tidak
bisa menggantikan ayahnya karena hanya anak selir. Semenjak itu,
anak dari istri yang sah yang menjadi raja. Kemudian Pangeran Prabu
di usir dari kerajaan. Ketika pergi, ia membawa seperangkat wayang
dan membawa prajurit, para penari, dan tenda-tenda. Berjalan dari
Mataram, hingga Ponorogo selama empat bulan, tiba di Kademangan
satu bulan, dan di Lodoyo yang masih berbentuk hutan. Di sinilah ia
berhenti dan mendirikan tenda-tenda dan rumah dari bambu.
Kemudian ia membabat alas hingga akhirnya prajurit berpencar dan
mencari makan sendiri-sendiri dengan membawa peralatan yang ada.
84
- Kain mori, yaitu sejenis kain putih yang digunakan bahan batik.
Kain mori biasa dikenal dengan kain kafan.
- Air dari sanggar untuk menyucikan gong ketika proses siraman
(jamasan).
- Handuk untuk membersihkan gong setelah disucikan.
Selain perlengkapan tersebut, terdapat hal lain yang harus ada,
yaitu:
a. Juru kunci
b. Ajudan juru kunci
c. Tiga wanita sebagai pengiring
d. Genjringan/ shalawat jowo/ shalawat kuno
e. Pengiring shalawat
f. Jaranan
g. Pejabat pemerintahan, yakni: lurah, camat, kepala dinas pemerintah,
dan pejabat-pejabat pemerintah tertentu.
h. Panitia acara dan beberapa orang yang ditugaskan untuk membawa
perlengkapan upacara siraman.
Ketika pelaksanaan upacara siraman, juru kunci, para ajudan,
panitia, para undangan, dan yang ditugaskan membawa perlengkapan
upacara siraman diwajibkan menggunakan pakaian kejawen. Hal ini
dilakukan untuk menghormati warisan leluhur.
6. Apakah sama perlengkapan yang digunakan pada zaman dulu
dan sekarang?
Narasumber: Selalu sama dan tidak ada yang berani menambah atau
mengurangi.
7. Di mana saja upacara dilaksanakan?
Narasumber: Setiap tanggal 1 Syawal tradisi dilakukan di sanggar
Pusaka Gong Kyai Pradah. Sedangkan ketika tanggal 12 Maulus,
siraman dilakukan di panggung siraman yang letaknya di tengah alun-
alun Kecamatan Sutojayan.
89
HASIL WAWANCARA
Nama : Supalil
Umur : 93 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir :-
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Zaman dulu ada seorang pangeran. Namanya Pangeran
Prabu. Ia diusir dari kerajaan karena memiliki niat buruk kepada raja.
Ia diasingkan untuk membabat hutan Lodoyo yang masih angker dan
banyak binatang buasnya. Setibanya ia di Lodoyo, ia singgah di rumah
Mbok Randha Dadapan selama beberapa hari. Kemudian sebelum ia
melanjutkan pengembaraan, ia menitipkan Gong Kyai Pradah kepada
Mbok Randha dan meningalkan pesan agar gong disucikan setiap
tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud.
2. Sejak kapan upacara ini ada?
Narasumber: Sejak zaman Mataram Kuno. Sejak Pangeran Prabu
menitipkan bendhe Kyai Pradah kepada Mbok Randha Dadapan.
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
Narasumber: Mbok Randha Dadapan.
92
HASIL WAWANCARA
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S2
Pekerjaan : ASN
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Pada zaman Mataram Kuno, sekitar abad 18 di Kerajaan
Kartasura ada seorang pangeran dari istri ampeyan (selir) raja,
namanya Pangeran Prabu. Karena saudara tiri Pangeran Prabu
dinobatkan menjadi raja ia iri karena merasa ia yang pantas. Akhirnya
ia dihukum ke Lodoyo. Membawa pusaka bendhe atau gong. Ia
bersama istri dan pengikutnya. Setibanya di Lodoyo, ia singgah di
Dusun Dadapan, di rumah Nyi Potrosuto. Disinilah gong dititipkan dan
memberi pesan untuk menyucikan gong pada 12 Maulud dan 1 Syawal
dengan menggunakan air kembang setaman dan boreh yang airnya
dipercaya untuk menyembuhkan orang sakit, untuk melancarkan
usaha, juga untuk membuat awet muda. Ia berkeliling untuk
melakukan semedi. Setelah lama tidak kembali, pengikutnya pun
membunyikan gong 7x, muncul harimau, tapi tidak memangsanya.
Setelah peristiwa ini, pangeran dan pengikutnya melanjutkan
96
HASIL WAWANCARA
Umur : 89 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir :-
Pekerjaan : Petani
B. Hasil Wawancara
Upacara ini telah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama
sekali. Upacara siraman ini selalu dilakukan dengan cara yang sama.
Perlengkapan yang digunakan juga sama. Gong disimpan di sanggar dan
hanya dikeluarkan ketika hendak disucikan. Penyucian pusaka dilakukan
setiap tanggal 1 Syawal dan 12 Rabi’ul Awwal. Saya sudah mengikuti siraman
ini sejak masih muda hingga sekarang. Di malam sebelum siraman, saya akan
diantarkan anak saya ke sanggar agar dapat ziarah dan baru dijemput setelah
siraman selesai dilakukan. Di malam sebelum siraman diadakan kenduri.
Kenduri selalu dilakukan pada pukul 23.00 WIB, dan tidak seorangpun berani
mengubahnya. Kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat daerah setempat
yang lazim disebut Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Juru kunci
dan para pejabat naik ke sanggar untuk berdoa di depan Gong Kyai Pradah,
setelah itu turun, dan duduk bersila di tikar membaur dengan para pengunjung
yang lain dengan formasi melingkar atau yang lebih dikenal dengan meditasi
atau semedi.
102
Saya mengikuti acara ini karena air bekas siraman gong dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit dan membuat awet muda. Alhamdulillah, saya bisa
berumur panjang dan semoga tahun depan saya masih bisa mengikuti acara
ini. Ketika mengikuti acara ini hati saya menjadi tenang dan damai. Saya juga
merasa lebih sehat setelah meminum airnya. Apabila tidak mengikuti acara ini
tidak ada dampak khusus. Semuanya tetap sama, baik-baik saja.
103
104
HASIL WAWANCARA
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Pedagang
B. Hasil Wawancara
Dengan dilaksanakannya siraman, masyarakat percaya bahwa hal ini
dilakukan agar keberkahan senantiasa menyertai kehidupan. Keberkahan
tersebut dapat berwujud dalam berbagai macam hal, dapat berupa kesehatan,
lancar rezeki, segera bertemu jodoh, bahkan awet muda. Pun dengan
masyarakat yang percaya bahwa keberkahan akan didapatkan ketika mereka
meminum air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
Saya sendiri mengikuti siraman ini sudah lama. Sejak saya masih berusia
20an. Kalau ada biaya saya akan datang, tapi kalau tidak ada ya tidak.
Walaupun tidak ikut tidak ada efeknya. Saya ikut acara ini untuk mencari
berkah dari Mbah Pradah. Kadang ikut berebut air, kadang juga tidak. Yang
jelas saya kesini dengan harapan Allah akan memberikan kelancaran rezeki,
umur panjang, serta kesehatan untuk saya dan keluarga melalui berkah Mbah
Pradah.
105
106
HASIL WAWANCARA
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
B. Hasil Wawancara
Upacara siraman Gong Kyai Pradah sudah ada sejak lama. Saya tidak
tahu bagaimana sejarahnya. Yang jelas siraman ini selalu dilakukan di tanggal
12 Maulud dan 1 Syawal, kecuali di semua Wage. Apabila tanggal tersebut
jatuhnya di hari Wage, siraman dilakukan sehari atau dua hari setelahnya.
Cara dan perlengkapan yang digunakan pun selalu sama. Pemerintah juga
terlibat di acara ini. Gong disimpan di sanggar dan hanya dikeluarkan ketika
siraman. Di malam hari sebelum siraman, di serambi sanggar diadakan tahlil
dan melekan. Bangunan serambi digunakan sebagai tempat berkumpul untuk
memohon berkah setiap malam Jumat Legi sambil mengadakan selamatan.
Bagi yang beragama Islam melakukan tahlil di musala. Musala hanya
digunakan ketika malam Jumat Legi setelah magrib hingga pagi hari dan
ketika malam siraman. Sedangkan yang beragama selain Islam dapat
bersemedi atau berdoa sesuai kepercayaannya di ruangan khusus dan di
serambi sanggar.
Upacara siraman dilakukan sebagai sarana memohon berkah kepada
kekuatan gaib atau roh leluhur yang ada di dalam Gong Kyai Pradah. selain
itu, masyarakat percaya air bekas siraman Kyai Pradah dapat membuat awet
muda dan menyembuhkan berbagai penyakit. Ketika upacara juga dipercaya
107
sebagai waktu yang paling baik untuk membeli peralatan pertanian karena
dengan menggunakan alat yang dibeli ketika upacara akan mendatangkan
kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Pada musim kemarau,
siraman ini juga dipercaya sebagai sarana memohon tujun hujan.
108
109
HASIL WAWANCARA
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
B. Hasil Wawancara
Upacara ini selalu ada dari lama. Sebelum pelaksanaan, ada sesaji yang
harus ada, yaitu kepala kambing dan jeroannya yang pada pagi hari sebelum
upacara siraman dilaksanakan ditanam di sebuah rumah kecil yang disebut
cungkup, yaitu sebutan untuk petilasan Mbok Randha Dadapan. Petilasan ini
merupakan tempat peristirahatan Nyi Potrosuto yang dahulu dititipi gong oleh
Pangeran Prabu. Saya selalu mengikuti acara ini dari usia remaja untuk ziarah
dan mendapatkan air bekas siramannya. Airnya dipercaya dapat membuat
awet muda, mengobati penyakit, dan melancarkan rezeki. Intinya, saya
mengikuti acara ini karena berharap mendapatkan berkah Mbah Pradah.
110
111
HASIL WAWANCARA
Umur : 86 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir :-
Pekerjaan : Petani
B. Hasil Wawancara
Saya telah mengikuti tradisi ini lebih dari 50 tahun. Saya sudah sejak
muda mengikuti acara ini. Di pagi harinya, gong dibawa ke petilasan Mbok
Randha Dadapan. Di sana dilakukan penguburan kepala kambing dan
jeroannya, lalu gong dibawa kembali ke sanggar. Gong keluar lagi dari
sanggar ketika acara inti, yaitu acara siraman yang dimulai sekitar pukul 09.00
WIB.
Saya selalu datang untuk mendapatkan air bekas siraman. Manfaat air
bekas siraman ini banyak. Bisa membuat awet muda, sehat, dan walaupun
sudah tua masih cekatan. Bisa juga untuk menghilangkan pegel linu. Caranya,
air bekas siraman diusap-usapkan di bagian yang sakit. Saya sudah mengikuti
siraman ini selama bertahun-tahun. Sudah beberapa kali pergantian juru kunci.
112
113
HASIL WAWANCARA
Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
B. Hasil Wawancara
Setiap tahunnya selalu banyak masyarakat yang datang ke acara ini. Di
acara ini, saya dan yang lain datang untuk memperebutkan air bekas siraman.
Airnya dipercaya memiliki banyak manfaat apabila diminum. Di sanggar
diadakan tahlil dan tirakatan setiap malam Jumat Legi dan malam sebelum
prosesi siraman dilangsungkan. Saya tidak selalu mengikuti acara ini, hanya
ketika ada rezeki saja. Kalaupun tidak mengikuti acara tidak ada dampak yang
ditimbulkan karena gong ini bukan sesembahan, tapi hanya sebagai perantara
dari Tuhan.
Dengan adanya siraman, ekonomi masyarakat pasti meningkat, apalagi
tukang parkir dan para pedagang. Gotong-royong dan kebersamaan
masyarakat juga terjalin dengan baik. Banyak manfaatnya, banyak pengaruh
yang ditimbulkan dari diadakannya upacara siraman. Tapi ya itu, kebanyakan
masyarakat datang ingin mendapatkan berkah Mbah Pradah melalui air bekas
siramannya.
114
115
Gambar 3.1: Sertifikat Peresmian Jamasan Gong Kyai Pradah sebagai Warisan Budaya Tak
Benda (WBTB) Kab. Blitar, Indonesia
Gambar 3.2: Sanggar Pusaka Gong Kyai Pradah, Lodoyo, Kab. Blitar
Gambar 3.4: Rumah Panggung (Tempat Penyimpanan Gong Kyai Pradah dan Benda Pusaka
Lain)
Gambar 3.16: Tempat Menggantung Gong Gambar 3.17: Cungkup atau Petilasan Nyi
ketika Siraman 1 Syawal Potrosuto (Mbok Randha Dadapan)
Gambar 3.18: Salah Satu Wayang yang Disimpan di Sanggar Gong Kyai Pradah
121
D. Lampiran 4: Wawancara
Gambar 4.1: Foto Bersama Bapak Gambar 4.2: Foto Bersama Bapak Supalil
Muhammad As’adi
Gambar 4.3: Foto Bersama Bapak Hartono Gambar 4.4: Foto Bersama Bapak Iskandar
123
Gambar 4.5: Foto Bersama Bapak Bambang Gambar 4.6: Foto Bersama Bapak Mujiono
Gambar 4.7: Foto Bersama Ibu Karti dan Bapak Slamet Gambar 4.8: Foto Bersama Ibu
Samiatun