Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN LENGKAP EKOLOGI PERAIRAN

KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

OLEH:

NAMA : SARIANA
STAMBUK : I1B120005
KELOMPOK : I (SATU BDP)

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
202
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan Ke-hadirat Allah SWT. yang telah memberikan

kesehatan dan keselamatan ilmu serta kemampuan sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan yang berjudul laporan lengkap ekologi perairan. Laporan

ini disusun untuk memenuhi tugas praktikum mata kuliah ekologi perairan .

Semoga laporan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan

umumnya bagi para pembaca, serta dapat dijadikan rujukan atau referensi untuk

pengerjaan laporan selanjutnya.Saran dan kritikan sangat dibutuhkan oleh penulis

dalam menyusun laporan berikutnya.

Kendari, 22 Desember 2022

Sariana
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic) dan seharusnya

meletakkan sektor perikanan menjadi salah satu sektor riil yang potensial di

Indonesia (Putra, 2011). Kepiting bakau di Indonesia diperoleh terutama dari hasil

penangkapan di alam pada perairan pesisir, khususnya di kawasan mangrove atau

hutan bakau dan hanya sebagian kecil yang berasal dari hasil budidaya. Budidaya

kepiting bakau dapat dilakukan dengan cara pembesaran penggemukan dan

penularan. Proses penularan Kepiting Bakau terjadi didalam tubuh induk betina

setelah terjadi pembuahan. Kepiting merupakan salah satu kekayaan laut, yang

dapat ditemukan dibawah batu pinggir pantai, salah satu genus Kepiting yaitu

Scylla serrata. Memiliki ciri khas warna hitam kehijauan yang berada pada organ

karapas (Araujo, 2014).

Tempat Pelelangan Ikan adalah disingkat TPI yaitu pasar yang biasanya

terletak di dalam pelabuhan / pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut

terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak

termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Fungsi TPI antara lain adalah :

Memperlancar kegiatan pemasaran dengan sistem lelang, Mempermudah

pembinaan mutu ikan hasil tangkapan nelayan, Mempermudah pengumpulan data

statistik. Berdasarkan sistem transaksi penjualan ikan dengan sistem lelang

tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan perusahaan

perikanan serta pada akhirnya dapat memacu dan menunjang perkembangan

kegiatan penangkapan ikan di laut (Sinaga et al., 2020).


Ekologi perairan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ekologi air tawar,

ekologi laut, dan ekologi estuaria. Ekosistem perairan menggenang merupakan

bagian dari habitat air tawar. Air menggenang atau habitat lentik berasal dari kata

lenis yang berarti tenang, contohnya adalah danau, kolam, rawa, atau pasir

terapung. Perairan menggenang seperti danau, umumnya mengalami stratifikasi

dalam badan air secara vertikal akibat adanya perbedaan cahaya, suhu, dan

perbedaan tingkat kesuburan. Selain disebabkan oleh arus stratifikasi secara

vertikal, perairan menggenang juga dipengaruhi oleh kedalaman dan musim.

Perairan menggenang memiliki beberapa karakteristik seperti arus air yang

stagnan (hampir tidak ada arus), organisme yang hidup tidak terlalu membutuhkan

adaptasi khusus, ada stratifikasi suhu, substrat dasar pada umumnya berupa

lumpur halus, dan residence time relatif lebih lama (Sara et al., 2022).

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber daya

perikanan yang potensial untuk dikembangkan di kawasan mangrove, bernilai

ekonomis tinggi dan rasa dagingnya enak sehingga sangat digemari olekonsumen

lokal maupun luar negeri. Sejak awal tahun 1980-an kepiting bakau menjadi

komoditas perikanan penting di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan protein

hewani karena mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan. Daging

kepiting mengandung asam amino esensial, asam lemak tak jenuh, vitamin B12,

fosfor, zat besi, dan selenium yang berperan dalam mencegah kanker dan

pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan

bakteri (Paul et al., 2015). Herliany & Zamdial (2015) menyatakan setiap 100

gram daging kepiting bakau segar mengandung nilai gizi tinggi yakni 18,06 g

dimana protein 1,08 g, lemak 89 mg, kalsium dan 68,1 g air . Bukan hanya
dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat dijual. Kulit

kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan

karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat,

kosmetik, pangan, dan lain-lain.

Berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan praktikum ekologi

perairan untuk mengetahui keterkaitan organisme perairan (kepiting bakau)

dengan habitatnya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam praktikum ini adalah bagaimana keterkaitan

organsme perairan (kepiting bakau) dengan habitatnya.

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari laporan ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui keterkaitan

organsme perairan (kepiting bakau) dengan habitatnya.

Manfaat dari laporan ini yaitu diharapkan mahasiswa dapat memahami

dan mengetahui keterkaitan organsme perairan (kepiting bakau) dengan

habitatnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Ciri Morfologi Kepiting Bakau

Menurut Shelley & Lovatelli, A. (2011), berdasarkan taksonominya

kepiting bakau (S.serrata) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom: Animalia
Phyllum: Arthropoda
Class: Crustaceae
Sub class: Malacostraca
Ordo: Decapoda
Sub ordo: Brachyuran
Family : Portunidae
Genus: Scylla
Spesies : Scylla serrata

Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata)


(Sumber: Republika.com)

Kepiting bakau tergolong dalam klas Crustacea dan ordo Decapoda.

Crustacea merupakan hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan

oleh proses pergantian kulit (moulting). Decapoda ditandai oleh adanya 10 buah

(lima pasang) kaki, yang terletak pada bagian kiri dan kanan tubuh, yaitu:

sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan (walking leg) dan sepasang kaki renang

(swimming leg). Pasangan kaki pertama pada tubuh kepiting bakau, disebut

cheliped yang berperan sebagai alat pemegang/penangkap makanan, pasangan

kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan
pasangan kaki lainnya sebagai kaki jalan (Siahainenia, 2009). Kepiting

menggunakan capit dan kaki jalan untuk berlari cepat di darat dan berbekal kaki

renang dapat berenang dengan cepat di air, sehingga tergolong pula dalam

kepiting perenang (swimming crab). Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapaks

(carapace) yang oval dengan bagian depan memiliki sembilan duri pada sisi kiri

dan kanan, serta enam duri di antara kedua matanya. Karapaks merupakan kulit

keras atau exoskeleton (kulit luar) dan berfungsi untuk melindungi organ bagian

dalam kepiting. Kulit yang keras tersebut berkaitan dengan fase hidupnya

(pertumbuhan) yang selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting). Pada bagian

tepi anterolateral kiri dan kanan karapas, atau pada branchial region, terdapat

sembilan buah duri dengan bentuk dan ketajaman yang bervariasi. Sedangkan

pada bagian depan karapaks, atau pada gastric region, tepat diantara kedua

tangkai mata, terdapat enam buah duri kokoh di bagian atas, dan dua duri kokoh

di bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada bagian anterolateral

kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian atas dan bawah

karapaks, berada dalam posisi mengelilingi rongga mata, dan berfungsi

melindungi mata.

Antena
Tangkai mata Celiped/capit

Carapace

Walking leg

Swimming leg

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau


(Sumber: Koniyo, 2020)
Penelitian tentang morfologi dan taksonomi kepiting bakau telah

dilakukan oleh Siahainenia (2009); Lemaitre et al., (2013); Herliany dan Zamdial

(2015); Gayathre et al (2016); Sulistiono et al., (2016), secara umum dinyatakan

bahwa ciri morfologi kepiting bakau sebagai berikut :

a. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang atau karapaks.

b. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan

kanan mata.

c. Mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa cheliped (kaki yang

bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas.

d. Mempunyai 3 pasang kaki jalan.

e. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih.

f. Panjang karapas ± 2/3 dari lebarnya, permukaan karapas sedikit licin.

g. Pada dahi terdapat 4 buah gigi tumpul tidak termasuk duri ruang mata sebelah

dalam yang berukuran hampir sama.

h. Merus dilengkapi dengan tiga buah duri pada anterior dan 2 buah duri pada

tepi posterior.

Jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan dengan membandingkan

pertumbuhan berat capit terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina yang

lebar karapasnya 3-10 cm berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh, setelah

ukuran karapasnya mencapai 10-15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat

yakni 30-35% dari berat tubuh, sementara capit betina tetap sama 22%

(Siahainenia, 2009). Perbedaan morfologi kepiting jantan dan betina apat dilihat

pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Morfologi Kepiting Bakau Jantan dan Betina
Bagian tubuh Jantan Betina
Cheliped Lebih besar dan panjang. Lebih kecil dan relatif lebih
(Capit) pendek.
Abdomen Berbentuk segitiga, ruas berbentuk membulat, ruas
abdomen sempit dan agak abdomen lebih melebar pada
meruncing di bagian bagian ujungnya atau
ujungnya dengan sudut menyerupai bentuk huruf “U”,
menyerupai huruf “V”, berbentuk seperti stupa di
berbentuk seperti tugu. bawahnya terdapat bulu-bulu
atau umbai-umbai sebagai
tempat pengeraman telur.
Pleopod (Kaki berfungsi sebagai alat berfungsi sebagai alat kopulasi
Renang) kopulasi
Ukuran Tubuh Memiliki ukuran tubuh yang Memiliki ukuran tubuh
Besar. cenderung lebih kecil.

B. Daur Hidup

Siklus hidup kepiting bakau (S. serrata) diawali dengan beruaya dari

perairan pantai menuju ke laut untuk memijah, lalu induk berusaha kembali ke

perairan pantai, muara sungai atau perairan di sekitar hutan bakau untuk

berlindung, mencari makanan dan membesarkan diri. Sulistiono et al, (2016)

menyatakan bahwa kepiting bakau menjalani kehidupannya beruaya dari perairan

pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara

sungai, atau hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, serta tumbuh

berkembang.

Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki

hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang

yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap) tetapi kepiting bakau juga

melakukan perkawinan pada siang hari (Masiyah, 2014). Kepiting betina matang

pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang

secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup
berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari

ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm. Spermatofor kepiting jantan

akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur siap dibuahi.

Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8 juta butir telur,

bergantung dari ukuran dan umur kepiting (Supadminingsih et al.,2016). Siklus

hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Menurut Kumalah dan Wardiatno (2017) beberapa tahapan dalam

perkembangan hidup kepiting bakau yaitu :

1. Stadia Zoea

Stadia Zoea merupakan stadia yang paling awal, waktu sekitar 18-20 hari.

Stadia zoea yang terdiri dari 5 tahapan :

a. Sub stadia zoea 1 : mempunyai warna transparan, panjang tubuh berukuran

1,15 mm.

b. Sub stadia zoea 2 : lebih aktif menangkap makanan, karena organ

tubuhnya makin berkembang, baik dalam hal ukuran maupun fungsinya,

panjang tubuh larva mencapai 1,51 mm.

c. Sub stadia zoea 3 : memiliki organ tubuh yang semakin lengkap, panjang

tubuh 1,93 mm.

d. Sub stadia zoea 4 : larva sudah semakin aktif, panjang tubuh 2,4 mm dan

terbentuk maxilleped 3 serta chelipeda bergerak.

e. Sub stadia zoea 5 : telah mampu secara efektif memangsa makanan yang

diberikan dan aktif berenang, karena telah memiliki pleopod yang sudah

cukup panjang dan periopoda, panjang tubuh 3,43 mm.

2. Stadia Megalopa
Pada stadia megalopa, tubuh kepiting bakau belum terbentuk secara

sempurna. Meskipun telah terbentuk mata, capit (chela), serta kaki yang lengkap,

namun tutup abdomen (abdomen flap) masih menyerupai ekor yang panjang dan

beruas . Selain itu, pasangan kaki renang belum terbentuk sempurna, karena masih

menyerupai kaki jalan dengan ukuran yang panjang. Kepiting bakau telah mampu

menggigit yang dicirikan dengan tumbuhnya gigi tajam pada bagian pinggir

mandibula dan maxilliped 3 semakin sempurna. Ciri morfologi lainnya adalah

panjang karapaks 1,52 mm, panjang abdomen 1,87 mm, panjang tubuh total 4,1

mm.

3. Stadia Crab (Kepiting Muda)

Memasuki stadia kepiting muda (juvenil), tubuh kepiting bakau mulai

terbentuk sempurna, memiliki organ tubuh yang lengkap seperti halnya kepiting

dewasa, namun ukurannya masih kecil. Tutup abdomen telah melipat ke arah

belakang (ventral) tubuh, sedangkan ruas terakhir pasangan kaki renang mulai

pendek dan memipih. Tubuh masih berbentuk bulat dengan bagian-bagian tubuh

yang tidak proporsional. Hal ini terlihat pada bentuk mata yang membesar dengan

tangkai yang pendek, sehingga memberikan kesan melekat pada tubuh.

4. Stadia Kepiting Dewasa

Tubuh kepiting bakau dewasa terbagi atas dua bagian utama, yaitu bagian

badan dan bagian kaki, yang terdiri atas sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan,

dan sepasang kaki renang.


Gambar 3. Siklus Hidup Kepiting Bakau
(Sumber: Koniyo, 2020)

C. Habitat dan Penyebaran

Habitat alami kepiting bakau adalah daerah perairan payau yang dasarnya

berlumpur dan berada di sepanjang garis pantai yang banyak ditumbuhi pohon

bakau (mangrove). Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis antara lain :

pelindung pantai dari serangan angin, arus dan ombak, habitat, tempat mencari

makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) dan

tempat pemijahan (spawning ground) berbagai organisme termasuk kepiting

bakau (Tahmid et al, 2015; Suryono et al., 2016). Indonesia dengan potensi hutan

bakau yang sangat besar (4,25 juta ha) tersebar di beberapa pulau seperti Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, diduga merupakan habitat

dan fishing ground kepiting bakau. Ekosistem mangrove juga berfungsi

menghasilkan berbagai makanan yang dibutuhkan oleh kepiting bakau dalam

bentuk material organik maupun jenis pakan alami lainnya. Ketersediaan pakan

alami, produktivitas maupun kualitas habitat ekosistem mangrove sangat


mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di dalam

meningkatkan kualitas hidupnya.

Kepiting bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuari dengan kadar

garam 0 sampai 35 ppt. Hewan ini menyukai perairan yang berdasar lumpur dan

lapisan air yang tidak terlalu dalam (sekitar 10-80 cm) dan terlindung, seperti di

wilayah mangrove. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang

biak (Irwani dan Suryono, 2012). Kepiting bakau yang sudah dewasa dan

mengandung telur terdapat di daerah laut dekat pantai yang merupakan tempat

melakukan perkawinan (spawning ground).

S. serrata memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia.

Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan

variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut mampu

beradaptasi terhadap kondisi yang ekstrim, atau memiliki toleransi yang luas

terhadap variasi biofisik terutama suhu dan salinitas. S. serrata banyaknya diminat

masyarakat untuk mengkomsumsi S. serrata tidak hanya diminati oleh konsumen

dalam negeri tetapi juga diminati konsumen luar negeri. Widianingsih 2019) S.

serrata banyak dikonsumsi masyarakat terutama kepiting yang sedang bertelur

karena rasa dagingnya yang enak. S. serrata juga mengandung protein yang

sangat tinggi dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

D. Kebiasaan Makan

Pakan merupakan salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk mencapai

produksi yang maksimal dalam budidaya kepiting bakau. Pakan tersebut harus

memenuhi persyaratan antara lain, penyediaannya, pengolahannya, Kandungan

gizinya, maupun pertimbangan sesuai tidaknya dengan pola kebiasaan makan


kepiting bakau. Penggunaan pakan ikan rucah sampai saat ini masih dianggap

lebih menguntungkan karena harganya relative lebih murah. Akan tetapi

permasalahan dalam penyediaan ikan rucah, yaitu adanya kompetisi dengan

kebutuhan manusia, pengaruh musim dan masa simpan yang pendek serta

kualitasnya yang bervariasi. Permasalahan tersebut perlu diatasi dengan pakan

alternatif, yaitu penyediaan pakan buatan berupa pelet dengan kandungan gizi dan

ukuran yang sesuai (Djunaedi et al., 2015).

Berdasarkan habitat alaminya kepiting bakau mengkonsumsi berbagai

jenis pakan antara lain alga, daun-daun yang telah membusuk, akar serta jenis

kacang-kacangan, jenis siput, kodok, katak, daging kerang, udang, ikan, bangkai

hewan sehingga kepiting bakau bersifat pemakan segala (Omnivorous- scavenger)

dan pemakan sesama jenis (cannibal). Waktu makan kepiting bakau tidak tertentu,

tetapi malam hari lebih aktif mencari makan dari pada siang hari karena kepiting

tergolong hewan nokturnal yang aktif di malam hari. Berdasarkan hasil penelitian

Suryono et al., (2016), pada saat stadia larva kepiting bakau lebih cenderung

mengkonsumsi pakan dari jenis planktonik seperti Diatom sp., Tetraselmis sp.,

Chlorella sp., Rotifer (Brachionus sp.), serta larva Echinodermata, Moluska,

cacing dan lain-lain. Jenis pakan alami yang disukai kepiting antara lain:

Chlorella, ikan-ikan kecil, anak udang, jenis-jenis kutu air yang berukuran kecil,

jenisjenis krustasea berukuran kecil, partikel-partikel halus di dalam air atau di

dasar perairan juga tanaman air yang hancur. Kepiting juga memakan partikel

detritus yang ditemukan dalam lumpur. Terdapat dua pola gerakan tingkah laku

kepiting bakau dalam merespon makanan yaitu kepiting dewasa memberikan

respon langsung sedangkan kepiting muda memberikan respon tidak langsung.


Kepiting bakau pada stadia umur yang berbeda maka jenis makanannya

berbeda.Kepiting juvenile cenderung memakan plankton sementara kepiting yang

sudah berbentuk crab tinggal dan berkembang di wilayah hutan mangrove,

makannya ikan-ikan kecil, anak udang, siput dan jenis kerang tertentu.

E. Tingkah Laku Kepiting Bakau

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Siahainenia (2009);

Supadminingsih et al (2016); Kumalah dan Wardiatno (2017), secara umum

tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau adalah sebagai berikut:

a. Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang pada dinding atau

pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan ini, maka

kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian

rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil

mungkin.

b. Kanibalisme dan sifat menyerang, sifat inilah yang paling menyolok pada

kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan

budidayanya. Karena sifat yang saling menyerang ini akan menyebabkan

kelulusan hidup rendah dan menurun produktivitas tambak. Sifat

kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena

itu budidaya monoseks pada produksi kepiting akan memberikan

kelangsungan hidup lebih baik.

c. Terdapat dua pola gerakan tingkah laku kepiting bakau dalam merespon

makanan yaitu kepiting dewasa memberikan respon langsung sedangkan

kepiting muda memberikan respon tidak langsung. Hal ini dapat


membantu proses manajemen pemberian pakan pada saat kegiatan

budidaya sesuai dengan ukuran kepiting.

d. Moulting atau ganti kulit. Sebagaimana hewan jenis krustasea, maka

kepiting juga mempunyai sifat seperti krustasea lainnya, yaitu molting atau

ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami

pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan ukuran karapaks maupun

beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari

stadium instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, maka bagi

kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu nutrisi tinggi dari

pakannya dan wadah yang sesuai.

e. Kepekaan terhadap polutan. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap

ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena

kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah,

misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya

kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya kualitas air.

F. Lingkungan (Salinitas, Suhu, pH, DO, Amoniak, dan Nitrit)

Sesuai dengan namanya kepiting bakau ditemukan di daerah bakau

(mangrove), dearah estuaria atau muara sungai. Namun demikian, faktor

lingkungan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan

kepiting bakau. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain:

salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, amoniak, nitrit dan kandungan bahan organik.

1. Salinitas

Salinitas merupakan konsentrasi total dari semua ion yang larut dalam air,

dan dinyatakan dalam bagian perseribu (ppt) yang setara dengan gram per liter.
Sifat osmotik air berasal dari seluruh elektrolit yang larut dalam air tersebut.

Semakin tinggi salinitas, konsentrasi elektrolit makin besar, sehingga tekanan

osmotiknya makin tinggi. Air laut mengandung 6 elemen terbesar, yaitu Cl- , Na+

, Mg2+, Ca2+, K, dan SO4 2- (lebih dari 90% dari garam total yang terlarut)

ditambah elemen yang jumlahnya kecil (unsur mikro) seperti Br- , Sr2+, dan B+ .

Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut

adalah Na+ (450 mM) dan Cl- (560 mM), dengan porsi 30.61 dan 55.04 persen

dari total konsentrasi ion-ion terlarut (Mananes et al., 2002).

Kondisi lingkungan yang hipertonik, cairan tubuh kepiting bersifat

hipoosmotik terhadap media hidupnya. Oleh sebab itu, air dari cairan tubuh

cenderung untuk bergerak ke luar secara osmosis. Dalam kondisi tersebut kepiting

akan berusaha mempertahankan osmolaritas cairan tubuh agar cairan internal

tidak keluar dari selnya serta mencegah agar cairan urin tidak lebih pekat dari

hemolimfenya. Untuk keperluan itu, kepiting mengekstrak H2O dari medianya,

dengan cara minum air atau memasukkan air lewat insang dan kulit (pada saat

ganti kulit). Di dalam saluran pencernaan, air dan ion terlarut itu diabsorbsi.

Kelebihan ion, terutama Na+ dan Clyang diambil oleh hemolimfe akan

dikeluarkan oleh insang melalui sel-sel epitel (salt secreting epithelium), sehingga

diperoleh air bebas ion untuk pembentukan urin dan keseimbangan osmotik cairan

tubuh kepiting. Pengaturan keseimbangan ion tersebut dilakukan dengan cara

transport aktif yang memerlukan sejumlah energi yang berasal dari ATP

(Adenosin tri-fosfat) (Verslycke dan Janssen, 2002).


2. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi

aktivitas, nafsu makan, kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan molting kepiting

bakau. Kehidupan kepiting secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi

oleh suhu. Suhu perairan merupakan parameter yang sangat penting karena dapat

mempengaruhi parameter fisika dan kimia lain. Hubungan antara laju

pertumbuhan kepiting dan suhu telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa laju

pertumbuhan proporsional dengan suhu air media. Boeuf dan Payan (2001)

mengemukakan bahwa suhu dan salinitas adalah faktor yang secara langsung

menentukan peningkatan atau penurunan pertumbuhan. Pengaruh utama suhu

adalah meningkatkan laju pergesekan intermolekular dan laju reaksi-reaksi kimia.

Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung akan meningkatkan

pertumbuhan dan memperpendek masa interval molting kepiting dan krustase

lainnya. Fenomena ini diperoleh Kumlu dan Kir (2005) pada Penaeus semiculatus

dimana pertumbuhan dan frekuensi moltingnya meningkat pada suhu tinggi dan

menurun pada suhu rendah. Suhu yang optimun untuk pertumbuhan kepiting

bakau adalah 26-32 °C. Suhu yang kurang dari atau lebih dari kisaran optimum

akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting, karena reaksi metabolisme

mengalami penurunan. Apabila terjadi perubahan suhu yang secara mendadak

akan dapat mengakibatkan stress pada kepiting hingga dapat mengakibatkan

kematian.

3. pH (Keasaman)

pH yang didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion

hidrogen (H+ ), merupakan indikator keasaman serta kebasaan air. Nilai pH ini
penting untuk dipertimbangkan, karena dapat mempengaruhi proses dan

kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokomia di dalam tubuh kepiting

bakau. Pada pH rendah dan tinggi terjadi peningkatan penggunaan energi atau

penurunan produksi energi dan penahanan/ penekanan metabolisme energi

aerobik. Nilai pH air dipengaruhi oleh konsentrasi CO2. Pada siang hari karena

terjadi fotosintesa maka konsentrasi CO2 menurun sehingga pH airnya meningkat.

Sebaliknya pada malam hari seluruh organisme dalam air melepaskan CO2 hasil

respirasi sehingga pH air menurun. Namun demikian air payau cukup ter-buffer

dengan baik sehinga pH airnya jarang turun mencapai nilai dibawah 6,5 atau

meningkat hingga mencapai nilai 9, sehingga efek buruk pada kepiting jarang

terjadi. Jika organisme dipelihara pada pH rendah maka jumlah mukus pada

permukaan insang akan meningkat. Peningkatan mukus tersebut akan

mengganggu pertukaran gas pada saat respirasi dan pertukaran ion melalui insang.

Keasaman rendah akan mengganggu keseimbangan asam-basa darah dan

menurunkan konsentrasi NaCl dalam darah yang pada akhirnya akan

mengacaukan metabolisme tubuh organisme. Efek lebih lanjut adalah kerusakan

insang sehingga proses respirasi dan keseimbangan asam-basa dalam darah

terganggu, penurunan laju metabolisme, dan dapat mempengaruhi potensi toksin

seperti logam- 30 logam berat. Jika perairan bersifat asam (pH rendah), kepiting

dapat mengalami kelambatan pertumbuhan dan merusak pengaturan ion (daya

racun nitrit akan meningkat), sedangkan pada pH tinggi daya racun amonia

menjadi meningkat. Beberapa hasil penelitian tentang toksitas akut pH pada

krustase. Dijelaskan bahwa pH rendah memperlambat pertumbuhan Penaeus

monodon, mengganggu pengaturan ion pada crayfish dan tiger prawn,


ketidakseimbangan asam basa pada crayfish dan udang air tawar. Agar

pertumbuhan maksimal, kepiting bakau sebaiknya dibudidayakan pada media

dengan pH antara 7,5 dan 8,5 (Chen dan Chen, 2003).

4. Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor lingkungan yang sangat

esensial yang mempengaruhi proses fisiologis kepiting bakau. Secara umum,

kandungan oksigen terlarut rendah (< 3 ppm) akan menyebabkan nafsu makan

organisme dan tingkat pemanfaatannya rendah, berpengaruh pada tingkah laku

dan proses fisiologis seperti tingkat kelangsungan hidup, pernafasan, sirkulasi,

makan, metabolisme, molting, dan pertumbuhan krustasea. Bila kondisi ini

berlanjut untuk waktu yang relatif lama konsumsi pakan akan berhenti dan

akibatnya pertumbuhan menjadi terhenti. Walaupun kepiting bakau dapat hidup

pada konsentrasi oksigen terlarut yang rendah, kondisi tersebut sangat berbahaya

karena dapat menyebabkan stress bahkan kematian. Penurunan ketersediaan

oksigen menyebabkan ketidak mampuan organisme untuk mendukung kebutuhan

energi tinggi bagi organisme untuk makan dengan baik. Sehubungan dengan

variabel lingkungan, suhu dan salinitas berpengaruh pada konsentrasi oksigen

terlarut dalam air. Peningkatan suhu dapat menyebabkan kadar oksigen terlarut

menjadi rendah. Demikian pula halnya dengan salinitas, kelarutan oksigen akan

rendah apabila tingkat salinitas tinggi atau sebaliknya. 31 Kebutuhan oksigen

terlarut untuk tiap jenis organisme air berbeda, bergantung pada jenis yang

mentolerir fluktuasi (naik-turunnya) oksigen. Pada umumnya semua organisme

yang dibudidayakan (kepiting, udang, ikan) tidak mampu mentolerir perubahan

fluktuasi oksigen yang ekstrim (mendadak). Oleh sebab itu, untuk menghasilkan
pertumbuhan kepiting bakau yang dibudidayakan secara maksimal, kandungan

oksigen terlarut harus selalu dipertahankan dalam kondisi optimun. Untuk

budidaya kepiting bakau agar pertumbuhannya baik maka kandungan oksigen

sebaiknya lebih besar dari 3 ppm (Karim, 2012).

5. Amoniak

Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam

perairan yang berasal dari organisme akuatik. Amonia dapat berasal dari buangan

bahan organik yang mengandung senyawa nitrogen seperti protein maupun

sebagai hasil ekskresi organisme budidaya dan mineralisasi detritus organik.

Amonia juga dihasilkan melalui amonifikasi bahan organik seperti pakan yang

tidak terkonsumsi, feses dan sisa-sisa pakan. Pada kepiting bakau, adanya amonia

dalam air merupakan indikasi adanya katabolisme asam amino dan deaminasi

adenilat pada siklus nukleotida purin. Kepiting menghasilkan 60 sampai 70%

nitrogen sebagai amonia melalui insang secara difusi pasif dan sisanya sejumlah

kecil berbentuk asam amonia dan urea (Neil et al., 2005).

Amonia dapat digunakan langsung oleh tumbuhan akuatik atau lebih

dahulu diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri, lalu diserap oleh tumbuhan

akuatik. Oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat terjadi oleh adanya peran

bakteri kemotropik yaitu bakteri Nitrozomonas sp pada tahap pertama

(pembentukan nitrit), kemudian dilanjutkan oleh bakteri Nitrobacter sp pada tahap

kedua (pembentukan nitrat) dengan menggunakan ion ammonium dan nitrit

sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon. Pertumbuhan

dan aktivitas bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh konsentrasi amonia, oksigen,

kelembaban, suhu, pH dan bahan organic. Amonia di dalam air biasanya terdapat
dalam dua bentuk, yaitu (1) amoniak (NH3) yang bersifat racun, dominan pada

pH tinggi, serta (2) ion ammonium (NH4) yang tidak beracun, dominan pada pH

rendah. Daya racun amonia dipengaruhi oleh kondisi pH, CO2 dan oksigen

terlarut. Daya racun amonia meningkat sejalan dengan peningkatan pH, CO2

bebas, suhu dan penurunan oksigen.

Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat

meracuni organisme. Mekanisme toksitas amonia dalam tubuh organisme belum

diketahui, akan tetapi peningkatan konsentrasi amonia di dalam air secara

fisiologis akan memperkecil ekskresi amonia organisme dan mengakibatkan

kandungan amonia dalam darah serta jaringan lain akan meningkat. Peningkatan

konsentrasi amonia akan memepengaruhi permeabilitas organisme dan

menurunkan konsentrasi ion internalnya, mempengaruhi pertumbuhan dan

konsumsi oksigen. Selain meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, amonia

juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh yang ada kaitannya

dengan transpor oksigen (insang, sel-sel eritrosit dan jaringan penghasil eritrosit)

serta menurunkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Selanjutnya,

peningkatan kadar amonia dalam darah akan mempengaruhi pH darah, sehingga

menghambat reaksi enzimatis-katalisis dan stabilitas membrane. Akumulasi

amonia dalam tubuh juga merusak fungsi biosintesis protein pada hepatopankreas

(Wang et al., 2002).

6. Nitrit

Kehadiran nitrit (NO2) di dalam air merupakan hasil nitrifikasi amonia

oleh bakteri Nitrozomonas dan Nitrobacter pada denitrifikasi nitrat. Senyawa ini

memiliki pengaruh positif dan negatif pada kehidupan dalam perairan. Pengaruh
positif terjadi khususnya berlaku bagi kepentingan bakteri nitrifikasi karena nitrit

digunakan sebagai sumber energi pada kondisi aerob, dan pada kondisi anaerob

nitrit digunakan sebagai akseptor elektron untuk menggantikan posisi oksigen

yang tidak terdapat dalam perairan. Bagi kehidupan organisme perairan termasuk

kepiting secara langsung, nitrit ini merupakan salah satu jenis bahan yang bersifat

toksik, biasanya terbentuk pada budidaya intensif atau pada perairan yang

tercemar (Jensen, 2003).

G. Pertumbuhan dan Molting

Pertumbuhan pada krustase terjadi melalui molting, oleh sebab itu

pertumbuhan merupakan fungsi dari frekuensi molting dan peningkatan ukuran

pada masing-masing molting. Molting terjadi karena tubuh krustase dibungkus

oleh cangkang keras (eksoskeleton). Cangkang atau kutikula tersusun oleh kitin

(nitrogenous polysaccharide chitin) dan menjadi keras akibat deposisi kalsium.

Kutikula krustase tersusun atas dua lapisan utama dari luar ke dalam masing-

masing adalah epikutikula dan prokutikula. Epikutikula terdiri atas material

protein dan lipid, sedangkan prokutikula terdiri atas tiga sub lapisan yakni

eksokutikula, endokutikula, dan lapisan membranous. Epikutikula dan

eksokutikula disintesis dan dibentuk sebelum ekdisis sedangkan endokutikula dan

lapisan membran disintesis dan dibentuk setelah ekdisis (Jurenka, 2013) .

Fujaya et al., (2012), keempat tahap molting dapat ditentukan berdasarkan

pengamatan epipodit maxiliped karena bagian ini transparan dan dengan mudah

dapat diamati di bawah mikroskop. Epipodit maxiliped terletak di sekitar mulut

kepiting. Pada tahap postmolting setae yang lembut tanpa setae cone, tahap

intermolting ditandai dengan setae cone yang matang dan epidermis yang lebar,
tahap premolting ditandai dengan terbentuknya area terang pada jaringan

epidermis di dasar setae cone, area terang ini semakin lebar menjelang molting.

Molting merupakan tahap kritis dalam kehidupan krustase, sekitar 30%

kematian terjadi pada saat ini, mulai dari akibat gagal molting, infeksi patogen,

dan akibat kanibalisme. Sesaat setelah keluar dari cangkang lama, dengan kondisi

kutikula yang masih lunak, kepiting nyaris tidak mempunyai perlindungan apapun

terhadap musuhnya atau serangan hewan lain selama proses molting berlangsung.

Proses molting berjalan sekitar 2,5–5 jam. Kepiting yang baru molting akan

menyerap air dan prosesnya distimulasi oleh enzim. Pembesaran eksoskeleton

baru sampai ukuran maksimal berlangsung selama 15 menit, namun pengambilan

air terus berjalan sampai pengerasan eksoskeleton sempurna (sekitar 3 hari).

Sementara itu, aktivitas makan dimulai pada hari kedua (28-32 jam). Kepiting

molting 20-25 kali selama hidupnya (Gaude & Anderson, 2011).

H. Reproduksi Kepiting Bakau

Reproduksi pada kepiting merupakan suatu proses yang terjadi secara

alamiah dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup jenis, dengan cara

memperoleh atau memperbanyak keturunan. Reproduksi merupakan usaha

pengabadian dengan pemunculan suatu spesies baru dengan sifat atau ciri yang

meruapakan kombinasi perubahan genetik. Pengetahuan mengenai reproduksi

kepiting bakau diperlukan dalam upaya pengembangbiakan spesies, baik untuk

tujuan produksi (akuakultur) maupun untuk tujuan pelestarian (konservasi). Oleh

sebab itu, informasi tentang proses dan faktor-faktor yang berperanan dalam

reproduksi kepiting bakau sangat diperlukan untuk manipulasi reproduksi,

sehingga dalam kegiatan pengembangbiakan budidaya maupun pembenihannya


tidak terlalu bergantung pada musim. Proses reproduksi meliputi beberapa

tahapan yaitu: (1) sebelum pemijahan (pre spawning), yaitu meliputi proses

pematangan gonad; (2) spawning, terdiri atas proses kopulasi (memilih pasangan

dan bercumbu), ovulasi/spermisasi dan fertilisasi; (3) setelah pemijahan (after

spawning), yaitu proses perkembangan embrio, penetasan dan perkembangan

larva.

Sistem reproduksi pada kepiting bakau secara seksual artinya melibatkan

organ kelamin jantan dan organ kelamin betina. Menurut Pratiwi (2011) organ

reproduksi kepiting jantan maupun betina keduanya saling berpasangan, terletak

pada bagian posterior dada (thorax) dan terlindung di bawah karapas serta

melintang di atas hepatopankreas. Organ reproduksi kepiting jantan terdiri atas

sepasang testis yang berbentuk lonjong dan sepasang vas deferens yang

merupakan saluran sprema menuju penis. Testis yag berbentuk lonjong dan

berwarna putih ini terletak di atas pada bagian posterior hepatopankreas dan

jantung. Sepasang testis ini menyatu di depan lambung dan pada masing-masing

ujung posteriornya terdapat saluran (vas deferens) yang mulanya menuju ke

bagian lateral, lalu ke arah ventral dan berakhir pada tungkai kaki jalan terakhir.

Organ reproduksi betina terdiri atas ovarium (indung telur), oviduct

(saluran telur) dan seprmatheca (wadah sperma) yang masing-masing jumlahnya

sepasang. Ovarium merupakan organ reproduksi yang berfungsi untuk

menghasilkan telur. Bentuk (morfologi) dari ovarium ini sangat bervariasi sesuai

dengan umur dan tingkat perkembangannya. Bentuk ovarium menyerupai sabit

yang terletak pada bagian dorsal hepatopankreas dengan posisi melintang. Saluran

telur atau oviduct berasal dari pertengahan ovarium yang pada bagian sisi
terluarnya terdapat wadah penyimpanan sperma yang disebut spermatheca. Ujung

dari oviduct dan spermatheca ini bentuknya seperti corong, keduanya mengarah

menuju ke bagian ventral tubuh secara vertikal yang akhirnya bermuara pada

bukaan kelamin yang letaknya terdapat pada thorachic sternum (Pratiwi, 2011).

Reproduksi kepiting dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni faktor

internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal adalah umur, biokimia tubuh,

aktivitas metabolik dan hormon, sedangkan faktor eksternal antara lain: cahaya,

suhu, salinitas, pakan dan parasit. Faktor eksternal dapat mempengaruhi faktor

internal, misalnya hormon yang mengintegrasi beberapa kondisi lingkungan

seperti salinitas, suhu dan periode cahaya untuk mengontrol reproduksi dari

beberapa sensor dan kelenjar endokrin. Beberapa faktor eksternal seperti cahaya

dan ketersediaan pakan juga sangat mempengaruhi siklus reproduksi kepiting

bakau. Namun factor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang berbeda-beda

terhadap siklus reproduksi kepiting, dimana faktor cahaya lebih berperan dalam

proses reproduksi. Cahaya mampu mempengaruhi proses reproduksi melalui

mekanisme fisiologis dari kepiting bakau. Cahaya dengan rangsangan panjang

gelombang yang diterima oleh receptor cahaya yang terdapat pada mata

mempengaruhi kelenjar endokrin agar dapat mensintesis hormon yang berperan

dalam reproduksi.
III . METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum ekologi perairan dilaksanakan pada hari sabtu, tanggal 10

Desember 2022. Bertempat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kendari, Kota

Kendari, Sulawesi Tenggara.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ekologi perairan dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Alat dan Bahan beserta Kegunaanya pada praktikum ekologi perairan
No Alat dan bahan Satuan Kegunaan
1. Alat
- Mistar - Untuk mengukur panjang
organisme
- Styrofoam putih - Untuk mengalasi organisme
- Kamera - Untuk mendokumentasi
- Alat tulis - Untuk menulis hasil
pengamatan/wawancara
- Lakban - Untuk merekatkan penggaris
dengan gabus
2. Bahan
- Organisme perairan - Sebagai objek pengamatan
(ikan,kepiting,udang,cumi-
cumi)

C. Prosedur Kerja

Adapun prosedur kerja pada praktikum ekologi perairan yang

dilaksanakan di TPI yaitu :

1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Meletakkan organisme atau biota diatas preparat.

3. Mendokumentasikan organime/biota
4. Melakukan kegiatan wawancara kepada nelayan terkait organisme tersebut.

5. Mencatat hasil wawancara.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil yang diperoleh dari TPI pada praktikum ini yaitu dapat dilihat pada
tabel berikut :

Naman ikan Lokasi Alat tangkap Proses Penanganan


Penangkapan
Kepiting Sekitaran Sulawesi Perangkap 1. Proses penangkapan
tenggara Kepiting 2. Proses Pengemasan
3. Proses pengiriman
4. Proses penjualan

B. Pembahasan

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu sumber daya

perikanan yang potensial untuk dikembangkan di kawasan mangrove, bernilai

ekonomis tinggi dan rasa dagingnya enak sehingga sangat digemari oleh

konsumen lokal maupun luar negeri. Sejak awal tahun 1980-an kepiting bakau

menjadi komoditas perikanan penting di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan

protein hewani karena mengandung nutrisi penting bagi kehidupan dan kesehatan.

Daging kepiting mengandung asam amino esensial, asam lemak tak jenuh,

vitamin B12, fosfor, zat besi, dan selenium yang berperan dalam mencegah

kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap

infeksi virus dan bakteri (Paul et al., 2015).

Berdasarkan hasil pada tabel yaitu lokasi penangkapan kepiting bakau

biasanya pada lokasi penangkapan sekitar sulawesi tenggara, alat tangkap yang

digunakan yaitu alat tangkap kepting dengan menggunakan perangkap kepiting,

dan proses penanganan pada kepiting bakau yaitu dibagi menjadi 4 tahapan antara
lain : Proses penangkapan, proses pengemasan, proses pengiriman dan proses

penjualan.

Kepiting bakau (Scylla serrata) yang diperoleh dari TPI merupakan hasil

tangkapan di sekitar daerah Sulawesi Tenggara. Alat yang digunakan dalam

menangkap kepiting yaitu perangkap kepiting yang salah satunya adalah bubu,

dimana pada alat perangkap bubu dapat menghasilkan kepiting yang memiliki

kualitas terbaik dengan kondisi yang masih hidup dan tidak cacat. Namun

demikian sampai saat ini masih banyak nelayan menggunakan bubu yang kurang

selektif karena menangkap kepiting bakau dari berbagai strata ukuran yang belum

layak tangkap. Zulkarnaim et al, (2011) menyatakan bahwa bubu merupakan jenis

alat tangkap yang berupa jebakan dan bersifat pasif dengan menunggu organisme

masuk ke dalam bubu dan mencegahnya untuk keluar.

Pada proses penanganan pada kepiting bakau yaitu dibagi menjadi 4

tahapan antara lain : Proses penangkapan, proses pengemasan, proses pengiriman

dan proses penjualan. Proses penangkapan kepiting merupakan langkah awal yang

dilakukan dalam proses penangkapan. Kemudian proses pengemasan yang

merupakan proses akhir sebelum kepiting bakau dilanjutkan pada proses

pengiriman dan proses penjualan.


IV. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan pada laporan ini yaitu menyatakan bahwa kepiting bakau

merupakan hewan crustasea dalam ordo Decapoda yang dicirikan memiliki

cangkang yang keras. Hewan ini hidup di daerah mangrove sebagai daerah

mencari makanan, daerah asuhan dan daerah pemijahan. Kepiting memiliki

kebiasaan memakan organisme yang hidup di daerah tersebut. Berdasarkan

pengamatan pada lokasi TPI Kendari maka diperoleh hasil yaitu lokasi

penangkapan kepiting bakau biasanya pada lokasi penangkapan sekitar sulawesi

tenggara, alat tangkap yang digunakan yaitu alat tangkap kepting dengan

menggunakan perangkap kepiting, dan proses penanganan pada kepiting bakau

yaitu dibagi menjadi 4 tahapan antara lain : Proses penangkapan, proses

pengemasan, proses pengiriman dan proses penjualan.

B. Saran

Saran yang dapat saya sampaikan yaitu semoga pada praktikum

selanjutnya semua praktikan dapat ikut serta dalam kegiatan pengamatan

dilapangan agar memudahkan praktikan mengetahuai secara langsung alat

tangkap yang digunakan, lokasi penangkapan dan proses penanganan pada suatu

organisme akuatik.
DAFTAR PUSTAKA

Araujo, 2014. Skrining Pigmen Pada Kepiting Grapsus sp Dengan Menggunakan


Pemisahan Kromatografi. Jurnal Pesisir Dan Laut Tropis, 7(1).
Boeuf, G., & Payan, P. 2001. How Should Salinity Influence Fish Growth.
Physiol, 130C: 411-423.
Chen, J. M., & Chen, J. C. 2003. Effect of pH on Survival, Growth, Molting and
Feeding of Giant Freshwater Prawn Macrobrachium rosenbergii.
Aquaculture, 21(8) : 613-623.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2010. Statistik Perikanan. Departemen Pertanian
Republik Indonesia.
Djunaedi, A., Sunaryo., & Aditya, B. P. 2015. Pertumbuhan Kepiting Bakau
(Scylla serrata Forsskal, 1775) dengan Ukuran Pakan Berbeda pada
Budidaya dengan Sistem Baterai. Jurnal Kelautan Tropis, 18(1) : 46-51.
Gaude, A. R., & Anderson, J. A. 2011. Soft Shell Crab Shedding Systems.
Southern Regional Aquaculture Center (SRAC) Publication. 6 pp.
Gayathre., Felix ., & Durairaja. 2016. Carapace Width - Weight Relationship Of
Mud Crab Scylla Serrata (Forskal, 1775) Collected From Pulicat Lake.
IRA-International Journal of Applied Sciences, 5(1) : 29-33.
Herliany, N. E., & Zamdial. 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting
Bakau (Scylla Spp.) Hasil Tangkapan di Desa Kahyapu Pulau Enggano
Provinsi Bengkulu. Jurnal Kelautan, 8 (2) : 83-87.
Irwani & Suryono, A. 2012. Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla serrate di
Kawasan Mangove. Buletin Oseanografi Marina, 1 : 15- 19.
Jensen,F. B. 2003. Nitrite Disrupt Multiple Physiological Function in Aquatic
Animals. Physiol, 13(5) : 9-24.
Jurenka, R. 2013. Physiology And Maintenance. Insect Physiology. Department of
Entomology, Lowa State University, USA. 8 pp.
Karim, M. Y. 2013. Kepiting Bakau (Bioekologi, Budidaya dan Pembenihannya).
Penerbit Yarsif Watanpone, Jakarta.
Kumalah, A. A., & Wardiatno, Y. 2017. Biologi Populasi Kepiting Bakau Scylla
serrata - forsskal, 1775 di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Jawa
Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(1) : 173-184.
Kumlu, M., & Kir. M. 2005. Food Consumption, Moulting, and Survival of
Penaeus semiculatus During Over-Wintering. Aqua. Res, 3(6) : 137-143.
Lemaitre, R., Campos, N. H, & Maestre, E. 2013. Discovery of an alien crab,
Scylla serrata (Forsskal, 1775) (Crustacea: Decapoda: Portunidae), from
the Caribbean coast of Colombia. BioInvasions Records, 2(4) : 311–315.
Mananes, A. A.L., Meligeni, C. D., & Goldemberg, A. L. 2002. Response to
Environmental Salinity of Na+ -K +ATPase in Individual Gills of The
Euryhaline Crab Cyrtograpsus angulatus. J. Exp. Mar. Bio.l Ecol, 27(4) :
75-85.
Masiyah S. 2014. Aspek dinamika populasi kepiting bakau Scylla serrata
(Forsskal, 1775) di perairan distrik merauke kabupaten merauke provinsi
papua. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan, 6(3) : 39-46.
Neil, L.L., Fotedar, R., & Shelley, C. C. 2005. Effects of Acute and Chronic
Toxicity of Unionized Ammonia on Mud Crab, Scylla serrata (Forsskal,
1755) Larvae. Aqua. Res., 36 : 927-932.
Paul, B., Faruque., Mandal, R., & Ahsan, D. 2015. Nutritional susceptibility to
morphological, chemical and microbial variability: An investigation on
mud crab, Scylla serrata in Bangladesh. International Journal of
Fisheries and Aquatic Studies, 2(6): 313-319.
Pratiwi, R. 2011. Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia.
Oceana,36 (1) : 1-11.
Putra, 2011. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Pemasaran Kepiting Bakau di
Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiang. Jurnal Penelitian Agri
Samudra.
Sara, L., Pangerang, U. K., Asmadin., Nur, A. I., Fekri. L., Permatahati, Y. I.,
Fauzan, T., & Jali, W. 2022. Buku Ajar Ekologi Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Hlm 239.
Shelley, C., & Lovatelli, A. 2011. Mud Crab Aquaculture: A Practical Manual.
Rome, FAO.
Siahainenia, L. 2009. Morphological Structure of The Mud Crab. Jurnal Triton,
5(1) : 11-21.
Sinaga, L., Zulkarnaini., & Hendrik. 2020. Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan
(Tpi) dalam Mendukung Usaha Kegiatan Nelayan Di Kecamatan Dumai
Barat Kota Dumai Provinsi Riau. Jurnal Sosial Ekonomi Pesisir, 1(4).
Sulistiono, et al ., 2016. Pedoman Pemeriksaan /Identifikasi Jenis Ikan Dilarang
Terbatas (Kepiting Bakau /Scylla Spp.) Pusat Karantina Dan Keamanan
Hayati Ikan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan
Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 34 Hal.
Supadminingsih, F. N., Fitri, A. D. P., & Asriyanto. 2016. The Model Movement
of Mud Crab’s Life Stage (Scylla serrata) in Responds to Different Food
(Laboratory Scale) . Journal of Fisheries Science and Technology
(IJFST), 12(1) : 1-6.
Suryono, C., Irwani, I., & Rochaddi, B. 2016. Pertambahan Biomassa Kepiting
Bakau Scylla serrata pada Daerah Mangrove dan Tidak Bermangrove.
Jurnal Kelautan Tropis. 19(1): 76-80.
Tahmid, M. Fahrudin, A., dan Wardiatno, Y. 2015. Kualitas Habitat Kepiting
Bakau (Scylla serrata) pada Ekosistem Mangrove Teluk Bintan,
Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. Vol. 7(2): 535-551.
Verslycke, T., & Janssen, C. R. 2002. Effect of Changing Abiotic Environment on
The Energy Metabolism in The Mysid Shrimp Neomysis integer
(crustacea: Mysidaceae). J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 27(9) : 61-72.
Wang, W. N., Wang, A. L., Chen, I., Liu,Y., & Sun, R. Y. 2002. Effect of pH on
Survival, Phosphorus Concentration, Adenylate Energy Charge and Na+
-K +ATPase Activities of Penaeus chinensis Osbeck Juvenils. Aquat.
Toxicol., 60 : 75-83.
Widianingsih, W., Nuraini, R. A.T., Hartati, R., Redjeki, S., Riniatsih, I.,
Andanar, C. E., Endrawati, H., & Mahendrajaya, R.T. 2019. Morfometri
dan Pertumbuhan Scylla serrata (Filum: Arthropoda, Famili: Portunidae)
di Desa Panikel, Segara Anakan, Cilacap. Jurnal Kelautan Tropis, 22(1) :
57-62.
LAPORAN SEMENTARA PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN

Lokasi : TPI Kendari

Naman ikan Lokasi Alat Proses Penanganan


Penangkapan tangkap
1. Ikan Kab. Bombana Pukat 1. Proses penangkapan
Bandeng 2. Proses Pengemasan
3. Proses Pengiriman
4. Proses penjualan
Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan
2. Ikan (Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
Layang di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan
Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan
(Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
3. Ikan Salem di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan
Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan
(Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
4.Ikan di dalam lambung
Cakalang kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan
Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan
(Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
di dalam lambung
5. Ikan Pogo kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan

6. Ikan Selar Laut utara wawoni Jaring 1. Proses penagkapan


(Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan

7. Ikan Kuwe Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan


(Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan

8. Ikan tuna Laut Banda Jaring 1. Proses penagkapan


sirip kuning (Purse Sein) 2. Proses Pendinginan
di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan
9. Udang Kab. Bombana Bagang 1. Proses penangkapan
udang 2. Proses Penyortiran
3. Proses Pengemasan
4. Proses Pengiriman
5. Proses penjualan
10. Kepiting Sekitaran Sulawesi Perangkap 1. Proses penangkapan
tenggara Kepiting 2. Proses Pengemasan
3. Proses pengiriman
4. Proses penjualan

11. Gurita dan Perairan Sulawesi Pancing dan 1. Proses penagkapan


cumi-cumi Tengah Panah 2. Proses Pendinginan
di dalam lambung
kapal dengan
menggunakan es
3. Proses pengangkutan
menuju pelelangan
Kendari
4. Proses bongkar muat
5. Proses penjualan

Anda mungkin juga menyukai