Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BIOGEOGRAFI

“Pola Penyebaran dan Faktor Pembatas dari Kepiting Bakau”

DISUSUN OLEH :

Jelni Pinki Wenur (202063001)


Shila Sektiana Mahulette (202063010)
Akbar Syahrul Ramadhan (202063014)
Iin Andriani Arief (202163015)
Rosmi N.Pesilette (202163042)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, Kami dapat menyelesaikan Makalah Biogeografi .

Makalahini dibuat untuk memenuhi Nilai Mata kuliah Biogeograf. Kami mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dosen Mata Kuliah, yang telah membimbing kami dalam proses
pembuatan Makalah ini, Semoga Makalah yang kami buat dapat berguna bagi kami dan pembaca
dan menambah pemahaman Kami.

Pembuatan Maklah ini masih dalam tahap pembelajaraan apabila terdapat kesalahan kami
ucapkan permohonan maaf. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk pembuatan Makalah ini
yang lebih baik, Terima Kasih.

Ambon, 28 November 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL -----------------------------------------------------------------------------------------


KATA PENGANTAR ---------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN -----------------------------------------------------------------------------------

1.1 Latar Belakang -------------------------------------------------------------------------------------

1.2 Tujuan Penulisan -------------------------------------------------------------------------------------

BAB II PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------------------------

2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau ---------------------------------------------------------------------

2.2 Morfologi Kepiting Bakau----------------------------------------------------------------------

2.3 Habitat Kepiting Bakau -------------------------------------------------------------------------

2.4 Pola Penyebaran Kepiting bakau -------------------------------------------------------------

2.5 Faktor Pembatas -----------------------------------------------------------------------------------


BAB III PENUTUP -------------------------------------------------------------------------------------------

3.1 Kesimpulan -----------------------------------------------------------------------------------------


DAFTAR PUSTAKA--------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia sebagai negara maritim memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Sepanjang garis
pantai membentang keragaman ekosistem yang terdiri dari ekosistem padang lamun, terumbu
karang, hutan mangrove, pantai berpasir dan pantai berbatu. Dari berbagai ekosistem tersebut,
terkandung keragaman fauna akuatik yang tinggi, yang sebagian besar memiliki potensi ekonomi
yang bernilai tinggi. Salah satu kelompok fauna yang bernilai tinggi adalah kepiting bakau
(Genus Scylla) dari ekosistem mangrove.

Potensi kepiting bakau (Scylla spp.) yang tergolong dalam Famili Portunidae dari Suku
Brachyura di Indonesia cukup besar, karena kepiting ini mempunyai sebaran yang sangat luas
dan didapatkan hampir di seluruh perairan Indonesia. Kelompok kepiting tersebut, hidup
terutatna pada pantai yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove, estuary
dan pantai berlumpur, sehingga sering disebut juga mud crab atau mangrove crabs.

Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya wilayah pesisir merupakan perpaduan antara


aspek fisik dan aspek biologi yang dikenal sebagai fungsi ekologis (Triyanto et al., 2013). Fungsi
ekologis ekosistem mangrove antara lain sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari
makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat
pemijahan (spawning ground) bagi biotik (Nagelkerken et al., 2008).

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu biota potensial yang hidup di
daerah mangrove memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu merupakan spesies yang khas di
kawasan hutan bakau (mangrove) dan hidup di daerah muara sungai dan rawa. dengan substrat
berlumpur atau lumpur berpasir. Di Indonesia banyak sekali jenis kepiting yang tersebar, mulai
dari lingkungan air tawar, laut hingga daratan. Meskipun mampu hidup di air maupun di daratan,
namun demikian ada tempat-tempat yang sangat disukai oleh jenis kepiting tertentu. Setiap
kepiting mempunyai tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda satu dengan yang lainnya,
Pada umumnya kepiting bakau banyak ditemukan di daerah hutan bakau.

Scylla serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan
mempunyai harga yang cukup mahal. kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropis atau pada
perairan berkondisi tropis. Kepiting bakau menjadi salah satu spesies kunci pada ekosistem
pesisir karena, pada setiap aktivitas kepiting mempunyai pengaruh utama pada berbagai proses di
dalam ekosistem. Peran kepiting bakau di dalam ekosistem diantaranya membantu daur karbon,
menyediakan makanan alami pada jenis biota perairan, mengkonversi nutrien, meningkatkan
distribusi oksigen di dalam tanah, serta mempertinggi mineralisasi.
Penurunan populasi Scylla serrata selain disebabkan hilangnya habitat alami (kerusakan
ekosistem mangrove) juga disebabkan penangkapan (eksploitasi) secara berlebihan oleh nelayan
sehingga menghilangkan kesempatan bagi kepiting bakau untuk berkembang dan tumbuh dengan
baik (Triyanto et al., 2013). Edukasi kepada masyarakat nelayan tentang penangkapan yang
berkelanjutan serta perlindungan terhadap habitan kepiting bakau yaitu ekosistem mangrove
perlu ditingkatkan untuk kepentingan bersama.

1.2. Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk mahasiswa lebih mengetahui pola penyebaran dan
factor pembatas dari kepiting Bakau (Sclyla serrata).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kalasifikasi kepiting bakau

Kepiting bakau (Scylla serrata) diklasifikasikan pada famili Portunidae (Sakai, 1998).
Menurut Forsskal dalam Hatai et al. (2000), kepiting bakau (S. serrata). Kepiting bakau dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Forskal, 1775).

Kingdom : Animalia
Fillum : Arthropoda
Subfillum : Crustacea
Klass: MalacostracaKlass : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Scylla (de Han)
Spesies : Scylla serrate, Scylla tranquebari
dan Scylla olivacea, Scylla
paramamosain

Menurut Prianto (2007) Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea.
Tubuh kepiting ditutupi dengan karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit
luar) dan berfungsi untuk melindungi organ bagian dalam kepiting. Kulit yang keras tersebut
berkaitan dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang selalu terjadi proses pergantian kuit
(moulting). Kepiting bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan
pada sisi panjangnya terdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua
matanya. Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi
maupun genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota
badan berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas,
yaitu 5 (lima) pasang kaki.
Kepiting bakau memiliki warna karapas yang bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam
kecoklatan. Hal itu karena habitat alami hewan ini yang berada di kawasan mangrove yang
bertekstur tanah pasir berlumpur Menurut Siahainenia (2008). Menurut Karsy (1996), kepiting
bakau jantan memiliki sepasang capit yang dalam keadaan normal capit (cheliped) sebelah kanan
lebih besar dibandingkan capit sebelah kiri.
Spesies Scylla serrate memiliki warna yang relative sama dengan warna lumpur, yaitu coklat
kehitam-hitaman pada karapasnya dan berwarna putih kekuning-kuningan pada abdomennya.
Pada propodus bagian atas terdapat sepasang duri yang dan satu buah duri pada propodus bagian
bawah. Selain itu habitat kepiting bakau jenis ini sebagian besara ditemukan di hutan-hutan
mangrove di perairan Indonesia.

2.2 Morfologi Kepiting Bakau


Kepiting bakau merupakan salah satu kelompok Crustacea. Tubuh kepiting ditutupi dengan
karapas, yang merupakan kulit keras atau exoskeleton (kulit luar) dan berfungsi untuk
melindungi organ bagian dalam kepiting (Prianto, 2007). Kulit yang keras tersebut berkaitan
dengan fase hidupnya (pertumbuhan) yang selalu terjadi proses pergantian kuit (moulting).
Kepiting bakau genus Scylla ditandai dengan bentuk karapas yang oval bagian depan pada sisi
panjangnyaterdapat 9 duri di sisi kiri dan kanan serta 4 yang lainnya diantara ke dua matanya.
Spesies-spesies di bawah genus ini dapat dibedakan dari penampilan morfologi maupun
genetiknya. Seluruh organ tubuh yang penting tersembunyi di bawah karapas. Anggota badan
berpangkal pada bagian cephalus (dada) tampak mencuat keluar di kiri dan kanan karapas, yaitu
5 (lima) pasang kaki.Pasangan kaki pertama disebut cheliped (capit) yang berperan sebagai alat
memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata
dalam menghadapi musuh, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) berfungsi
sebagai kaki renang yang berpola poligon dan pasangan kaki selebihnya sebagai kaki jalan. Pada
dada terdapatorgan pencernaan, organ reproduksi (gonad pada betina dan testis pada jantan).
Bagian tubuh (abdomen) melipat rapat dibawah (ventral) dari dada. Pada ujungabdomen itu
bermuara saluran pencernaan (dubur).

Gambar 1.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla paramamosain (Keenandkk. 1999)

Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain memiliki duri yang relatif agak tinggi/sedang,
memiliki warna karapas cokelat kehijauan, sumber pigmen polygonal terdapat pigmen putih pada
bagian terakhir dari kaki-kaki. Berukuran besar,lebar kerapaks 20 cm (maksimum),Sisi muka
karapas (frontal margin, di antara dua mata) biasanya dengan gerigi yang tajam.

Gambar 2. Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla serrata (Keenan dkk.1999)

Kepiting bakau jenis Scylla serrata memiliki duri yang tinggi dengan warna kemerahan
hingga oranye terutama pada capit dan kakinya. Pada duri bagian depan kepala umumnya lancip,
dan memiliki duri tajam pada bagian corpus.

Gambar 3.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla tranquebarica (Keenan dkk.1999)

Kepiting bakau jenis Scylla transquebarica memiliki warna karapas kehijauan sampai kehitaman
dengan sedikit garis-garis berwarna kecoklatan pada kaki renangnya. Duri bagian depan kepala
umumnya tumpul, dan memiliki duri tajam bagian bagian corpus.
Gambar 4.Morfologi Kepiting Bakau Spesies Scylla olivacea (Keenan dkk.999)

Kepiting bakau jenis Scylla olivacea memiliki warna karapas hijau keabuabuan, rambut
atau setae melimpah pada bagian karapas, duri bagian kepala umumnya tumpul, dan memiliki
duri tajam bagian bagian corpus. Secara ringkas perbedaan perbandingan karakter kepiting genus
Scylla

2.3 Habitat Kepiting Bakau


Hutan bakau merupakan habitat utama kepiting untuk tumbuh dan berkembang (nursery
ground) dikarenakan terdapat organisme kecil yang menjadi makanan dari kepiting bakau.
Habitat alami kepiting bakau adalah daerah perairan payau yang dasarnya berlumpur dan berada
di sepanjang garis pantai yang banyak ditumbuhi pohon bakau (mangrove). Vegetasi mangrove
yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain api-api (Avicennia sp.), nyrih
(Xylocarpus sp.), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia sp.), tanjang (Brugueira sp.),
tengar (Ceriops sp.) dan buta-buta (Exoecaria sp.). Berdasarkan hasil penelitian Sunarto (2015),
di wilayah pertambakan dan hutan bakau Kabupaten Indramayu ditemukan 2 jenis kepiting
bakau, yaitu Scylla aramamosain dan S. olivacea. Jenis S. paramamosain umumnya
mendominasi wilayah di Indramayu dengan habitat dominan Rhizopora sp. ataupun Avicenia
sp., namun demikian pada kanal dominan Avicenia sp., jenis S. olivacea dijumpai cukup banyak
dibandingkan dengan habitat lain.

2.4 Pola Penyebaran Kepiting bakau


Kepiting bakau mempunyai habitat hidup di daerah pantai dengan vegetasi Bakau di
sekitar muara sungai. Genus Scylla spp. Memiliki penyebaran yang Sangat luas. Menurut Moosa
dkk. (1985) dalam Mardjono dkk.(1994) kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran
geografis mulai dari Pantai Barat Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia
Tenggara Sampai kepulauan Hawaii; Di sebelah Utara: dari Jepang bagian Selatan sampai Pantai
Utara Australia, dan di Pantai Barat Amerika bagian Selatan. Kepiting Bakau sesuai dengan
jenisnya, memiliki wilayah habitat yang juga spesifik.
Scylla serrata merupakan spesies kepiting bakau yang memiliki distribusi Penyebaran
paling luas dibanding spesies lainnya (Hubatsch dkk., 2015). S. Serrata dapat ditemukan di
wilayah pesisir perairan tropis dan subtropis, Diantaranya adalah pantai selatan dan timur Afrika,
Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia. Selain itu, S.
Serrata juga Ditemui di kepulauan Indo Pasifik seperti Kepulauan Mariana, Kepulauan Fiji,
Kepulauan Samoa, Kepulauan Seychelles, Kepulauan Maladewa, dan Pulau Mauritius. Populasi
S. Serrata menyebar hingga wilayah perairan sampai 38° Lintang Selatan, sedangkan 3 spesies
lainnya berpusat di perairan sekitar garis Khatulistiwa (Hubatsch dkk., 2015).
Distribusi kepiting bakau jenis S. Tranquebarica, S. Olivacea, dan S. Paramamosain
menyebar di wilayah perairan Landasan Kontinen (wilayah laut Dangkal di sepanjang pantai
dengan kedalaman kurang dari 200 meter) Asia dan Hanya jenis S. Olivacea yang dapat
ditemukan di wilayah perairan bagian utara Australia. Ketiga spesies tersebut menyebar di Laut
Cina Selatan, dan Laut Jawa Dimana kepiting bakau jenis S. Serrata jarang ditemukan di wilayah
tersebut (Keenan dkk., 1998).

Gambar distribusi kepiting bakau

Indonesia dengan potensi hutan bakau yang sangat besar (4,25 juta ha) Tersebar di
beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Dan Papua, diduga
merupakan habitat dan fishing ground kepiting bakau. Kepiting Bakau terdapat di wilayah
perairan pantai estuari dengan kadar garam 0 sampai 35 Ppt. Hewan ini menyukai perairan yang
berdasar lumpur dan lapisan air. yang Tidak terlalu dalam (sekitar 10-80 cm) dan terlindung,
seperti di wilayah hutan Bakau. Di habitat seperti itu kepiting bakau hidup dan berkembang biak.
Ekosistem hutan bakau atau mangrove merupakan ekosistem hutan yang Tumbuh di
lingkungan pantai dan sebagai sumber produktivitas primer, sehingga Berfungsi sebagai daerah
untuk mencari makan (feeding ground), tempat Berlindung/daerah asuhan (nursery ground) dan
tempat pemijahan (spawning Ground) berbagai biota perairan, termasuk kepiting bakau.
Ekosistem mangrove Juga berfungsi menghasilkan berbagai makanan yang dibutuhkan oleh
kepiting Bakau dalam bentuk material organik maupun jenis pakan alami lainnya. Ketersediaan
pakan alami, produktivitas maupun kualitas habitat ekosistem Mangrove sangat mempengaruhi
keberlangsungan kehidupan kepiting bakau di Dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Kepiting bakau yang sudah dewasa dan mengandung telur terdapat di Daerah laut dekat
pantai yang merupakan tempat melakukan perkawinan (spawning ground). Selain itu kepiting
bakau banyak dijumpai berkembangbiak di Daerah pertambakan dan hutan bakau yang berair tak
terlalu dangkal (lebih dari 0,5 m).

 Pola Penyebaran Kepiting Bakau


Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi Tropis yang
meliputi wilayah Indo-Pasifik. Kepiting bakau merupakan kepiting Yang bisa berenang dan
hampir terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia, Terutama di daerah mangrove juga daerah
tambak air payau atau muara sungai. Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya
dari perairan pantai ke Perairan laut, kemudian induk dari anak-anaknya berusaha kembali ke
perairan Pantai, muara sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari Makan
atau membesarkan diri. Pada umumnya kepiting banyak ditemukan di Daerah hutan mangrove
sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Kepiting bakau atau mangrove crabs (Kordi,
1997).
Soetjipta (1993) menyatakan distribusi merupakan gambaran pergerakan Makhluk hidup dari
suatu tempat ke tempat lain. Distribusi suatu spesies dalam satu Area tertentu dapat disusun
dalam tiga pola dasar yaitu acak, mengelompok dan Teratur (reguler).
Kepiting bakau untuk jenis Scylla Sp dan Scylla oceanica, indeks distribusi Genusnya
mengelompok dan acak Disebabkan hewan ini memilih hidup pada Habitat yang paling sesuai di
dasar perairan Dan hutan mangrove (Hubatsch, 2015).
Untuk menjelaskan fenomena pergerakan ini biasa digunakan Istilah migrasi yaitu
pergerakan sejumlah besar spesies dari suatu tempat ke tempat Lain. Gunarto (2001) menyatakan
distribusi merupakan penyebaran spesies yang Dipengaruhi oleh adanya selang geografi
(geographic range) suatu perairan. Informasi mengenai distribusi kepiting bakau pada suatu
perairan sangat membantu Usaha penangkapan kepiting bakau, terutama berkaitan dengan
kemudahan Mendapatkan fishing ground dan nilai komersiel penangkapan.
Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim Pemijahan, tingkat
kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara Kepiting dengan perubahan
lingkungan. Kepiting bakau biasanya terdapat pada Dasar perairan lumpur berpasir, keberadaan
mangrove dan masukan air laut sampai Sungai (Sulaiman dan Hanafi, 1992).
Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah,yaitu Daerah pantai dan daerah
perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan daerah Nursery ground dan feeding ground
kepiting bakau berada pada stadia muda; Menjelang dewasa; dan dewasa, sedangkan di perairan
laut merupakan spawning Ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad),
zoea sampai Megalops (Suryani, 2006).

2.5 Faktor Pembatas


Kepiting bakau sebagai salah satu kepiting yang sebarannya luas memiliki kisaran yang
cukup luas untuk kualitas air. Kepiting bakau bahkan dapat hidup pada air yang memiliki
oksigen terlarut (DO) rendah (5 ppm). Kisaran kualitas perairan yang cocok untuk kehidupan
kepiting bakau dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Kualitas Perairan untuk Kepiting Bakau (Shelley & Lovatelli, 2011)

Parameter Kisaran optimal


Oksigen terlarut (DO) >5 ppm

pH 7.5-9.0
Suhu 25-30ºC
Salinitas 25-35 ppt
Kekeruhan 20-30 cm
Kedalaman 80-120 cm

Umumnya kepiting bakau menempati ekosistem mangrove dan sekitarnya (Gambar 3.1).
Substrat lumpur lunak dan sekitar akar vegetasi menjadi tempat hidupnya. Kepiting ini terkadang
dapat ditemukan di pantai berbatu yang dekat dengan muara sungai. Jenis-jenis kepiting bakau
memiliki asosiasi dengan jenis vegetasi tertentu.

 Makan dan kebiasaan makan (feeding behavior)


Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-
scavenger). Mereka memakan tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan, bahkan bangunan-bangunan
kayu dan bambu di tambak. Waktu makannya juga tidak beraturan, namun malam hari lebih aktif
makan dari siang hari. Berbeda dengan kepiting dewasa, larva bersifat planktonik. Makanannya
terdiri dari organisme organisme planktonik seperti diatom, tetraselmis, chlorella, rotifer. Larva
Echinodermata, moluska, cacing dan lain-lain. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat larvanya
makanyaannya pun lebih bersifat carnivour-omnivour. Di laboratorium makanan crustacea
berupa organisme planktonic hidup dan bergerak lebih disenangi larva daripada makanan berupa
tumbuhan (fitoplanktonik) atau yang sudah mati.

 Salinitas dan suhu


Selain makanan, salinitas dan suhu berpengaruh terhadap kehidupan organisme laut dan
estuaria (muara sungai). Perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur
organisme, sedangkan perubahan suhu sangat berperan dalam kecepatan metabolisme dan
kegiatan organisme lainnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting
akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi
proses osmosis dan difusi. Sedangkan penyesuaian terhadap suhu dilakukan dengan cara
membenamkan diri dalam lubang berlumpur arau melaui transpirasi dan pengubahan warna pada
salinitas perairan yang rendah. larva tingkat-tingkat akhir lebih toleran dari pada larva tingkat-
tingkat awal.
Keadaan ini diperlukan karena larva tingkat-tingkat akhir harus mencari perairan muara
sungai atau berhutan bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindung dan mencari
makanan. Biasanya kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme lebih besar pada
perairan payau, asin atau sangat asin daripada perairan tawar. Pada suhu perairan yang lebih
tinggi, laju metabolism dan aktivitas gerak meningkat, demikian pula sebaliknya. Suhu juga
berpengaruh terhadap berbagai fungsi organisme seperti laju perkembangan embrionik,
pergerakan, pertumbuhan, dan reproduksi. Seperti salinitas, toleransi kepiting terhadap suhu
ditentukan oleh tingkat umur, tingkat daur hidup dan jenis kelamin.

Salinitas
Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting bakau terutama molting. Kisaran
salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan, namun diketahui
bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perariran yang bersalinitas rendah. Sebaliknya
kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15‰
– 20‰ dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah (Kasry, 1996).

Suhu
Suhu air mempengaruhi pertumbuhan (molting), aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau . Suhu
air yang lebih rendah dari 20 oC dapat mengakibatkan aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau
turun secara drastis (Queensland Departement of Primary Industries, 1989). Wahyuni dan
Sunaryo (1981) melaporkan di perairan Muara Dua, Segara Anakan kepiting bakau didapatkan
pada kisaran suhu 28oC-36oC.

Derajat Keasaman (pH)


Kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam yaitu pada daerah bersubstrat lumpur
dengan pH rata-rata 6,50.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kepiting bakau mempunyai habitat hidup di daerah pantai dengan vegetasi Bakau di sekitar
muara sungai. kepiting bakau mempunyai daerah penyebaran geografis mulai dari Pantai Barat
Afrika Selatan, Madagaskar, India, Sri Langka, Seluruh Asia Tenggara Sampai kepulauan
Hawaii; Di sebelah Utara: dari Jepang bagian Selatan sampai Pantai Utara Australia, dan di
Pantai Barat Amerika bagian Selatan. Kepiting Bakau sesuai dengan jenisnya, memiliki wilayah
habitat yang juga spesifik.
Di Indonesia kepiting bakau tersebar di beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku Dan Papua, diduga merupakan habitat dan fishing ground kepiting bakau.
Kepiting Bakau terdapat di wilayah perairan pantai estuari dengan kadar garam 0 sampai 35 Ppt.
Hewan ini menyukai perairan yang berdasar lumpur dan lapisan air. yang Tidak terlalu dalam
(sekitar 10-80 cm) dan terlindung, seperti di wilayah hutan Bakau.
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-
scavenger). Mereka memakan tumbuh-tumbuhan, bangkai hewan, bahkan bangunan-bangunan
kayu dan bambu di tambak. Waktu makannya juga tidak beraturan, namun malam hari lebih aktif
makan dari siang hari. Berbeda dengan kepiting dewasa, larva bersifat planktonik. Makanannya
terdiri dari organisme organisme planktonik seperti diatom, tetraselmis, chlorella, rotifer. Larva
Echinodermata, moluska, cacing dan lain-lain.
Kepiting dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas
15‰ – 20‰ dan selanjutnya akan beruaya ke laut untuk memijah. Sedangkan untuk larva dan
zoea sangat sensitif dengan kondisi perariran yang bersalinitas rendah. Toleransi kepiting
terhadap suhu ditentukan oleh tingkat umur, tingkat daur hidup dan jenis kelamin.
DAFTAR PUSTAKA

Bkipm.kkp.go.id http://bkipm.kkp.go.id › filesPDF PEDOMAN IDENTIFIKASI KEPITING


BAKAU.pdf

Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015. Life-history,
movement, and Habitat use of Scylla serrata (Decapoda, Portunidae): Current
Knowledge and Future Challenges. Journal of Hydrobiologia (2016) 763:5-21.

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau: Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius. Yogyakarta

Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bharata, Jakarta. 93 P.

Murniati Dewi Citra at al. 2016. Petunjuk Teknis Pelepasliaran Kepiting Bakau (Scylla spp.).
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN kerjasama PUSAT
PENELITIAN BIOLOGI-LIPI.

Siahainenia, L. 2008. Bioekologi S. serrate (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten


Subang Jawa Barat. Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Triyanto, N.I., I. Wijaya, T. Yuniarti, Widianti, F. Sutrisno. F. Setiawan, dan S. Lestari. 2013.
Peranan ekologis hutan mangrove dalam Menunjang produksi kepiting perikanan
bakau (Scylla serrata) di Kabupaten Berau. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan
MLI I-2013. Hlm.:275-284.

Anda mungkin juga menyukai