Anda di halaman 1dari 155

PENAFSIRAN AYAT HIRÂBAH DALAM AL-

QUR'AN (PENDEKATAN TAFSIR MAQȂSHIDÎ)

Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)

Oleh:

Putri Hilyah Aulawiyah


NIM. 15210688

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR'AN (IIQ)
JAKARTA
1440 H/2019 M
MOTTO

‫ك‬ ِ ‫الس ْي‬


َ ‫ف إِ ْن ََلْ تَ ْقطَ ْعهُ قَطَ َع‬ َّ ‫ت َك‬
ُ ْ‫اَل َْوق‬
“Waktu Laksana Pedang, Jika Engkau Tidak Menggunakannya dengan
Baik, Waktu Akan Menebasmu”

v
PERSEMBAHAN

Tulisan ini ku persembahkan teruntuk orang tua terkasih “Abi


Muhammad Masnun dan Umi Siti Marfu`ah” yang mengabdikan segala
perjuangan hidupnya demi yang terbaik untuk anaknya.

Teruntuk keluarga, sahabat, dan seluruh pihak yang telah membantu


proses penyelesaian skripsi ini hingga proses inilah yang mengantarkanku
meraih gelar akademik dengan baik.

Terimakasih kepada dosen pembimbing Bapak Ali Mursyid, M.Ag


yang selalu sabar mensupport, memberikan suntikan keilmuwan dan ide yang
cemerlang, serta membuka wawasan mahasiswa untuk lebih berfikir kritis
tanpa bertindak apatis.

Teruntuk almamaterku Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta,


terimakasih telah memberikan ketenangan hati dalam masa musȃfir ilmu
kurang lebih 4 tahun ini.

vi
KATA PENGANTAR

Bismillȃhirahmȃnirrahȋm

Alhamdulillâhirabbilâlamin, tak ada kalimat yang pantas kami


ucapkan selain rasa syukur kepada sang pencipta alam semesta, karena
dengan kemurahan dan karunia-Nyalah kami masih diberi kesempatan untuk
menghirup udara kenikmatan dunia yang penuh dengan teka teki
kehidupannya.
Selawat dan salam tak lupa terlimpahkan kepada sang insan mulia nan
sempurna, yang kami harapkan syafaatnya yakni syafâ’ah al-užma fî yaum
al-qiyâmah, karena tanpa menanggalkan rahman, rahim, dan syafaatnya
manusia hanyalah sebutir kapas bertebaran yang tak bernilai harganya.
Pencapaian skripsi yang berawal dari sebuah kata menjadi kalimat,
tersusun dari beberapa paragraf hingga lembaran, bahkan terbungkus rapi
dalam sebuah balutan cover ini tak lain merupakan bantuan dan dukungan
dari orang-orang hebat yang selalu setia menepuk pundak ketika kami mulai
salah, menyatukan semangat ketika kami mulai goyah, dan memberikan
senyuman merekah di saat suka maupun duka. Oleh karena itu, ucapan
terimakasih ini kami sampaikan kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku Rektor
Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, Ibu Dr. Hj. Nadjematul Faizah,
SH., M.Hum selaku Wakil Rektor I, Bapak Dr. H. M. Dawud Arif
Khan, SE., M.Si., Ak., CPA selaku Wakil Rektor II, dan Ibu Dr. Hj.
Romlah Widayati M.Ag selaku Wakil Rektor III sekaligus Ketua
Sidang Munaqasyah.;
2. Bapak Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc., MA. selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, yang

vii
selalu mengabdikan diri untuk Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
dalam mencetak generasi Al-Qur'an yang berwawasan keilmuwan.;
3. Bapak KH. Haris Hakam, SH, MA. dan Ibu Mamluatun Nafisah,
M.Ag. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir (IAT) Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta.;
4. Bapak Ali Mursyid, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang
selalu sabar menghadapi berbagai kondisi mahasiswanya, selalu
menggiatkan semangat mahasiswa dalam menumbuhkan kecintaan
terhadap ilmu dan selalu berkenan memberikan saran demi menjadi
mahasiswa yang lebih baik.;
5. Bapak Ahmad Hawasi, M.Ag Iffaty Zamimah, M.Ag selaku Penguji
Sidang Munaqasyah.;
6. Bapak Dr. KH. Ahmad Fathoni, Lc., MA, Ibu Muthmainnah, MA, Ibu
Istiqomah, MA, Ibu Arbiyah Mahfudz, S.Th.I, Ibu Ma’unatul
Mahmudah, S.H, Ibu Fatimah Askan, S.H, Ibu Atiqoh, S.Ag, dan
segenap instruktur tahfizh yang selalu sabar membenarkan ayat demi
ayat ketika lidah mulai susah payah melantunkan ayat Al-Qur'an.
Semoga keberkahan selalu mengiringi langkah dalam proses
perjuangan menjadi khadȋm kalȃmullaȃh.;
7. Bapak dan Ibu Dosen Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, yang
telah mengabdikan ilmu untuk seluruh mahasiswanya serta menjadi
saksi akan keberhasilan mahasiswa dalam mencapai gelarnya.;
8. Seluruh guru mu`allim rubȗbiyah dari kecil hingga sekarang. Yang
selalu mendoakan anak didiknya. Akuilah kami sebagai santri kelak
di akhirat nanti.;
9. Ibu Suci dan Ibu Kokoy selaku staf Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah, yang rela menjadi tempat bertanya mahasiswa, dan

viii
membantu melewati setiap proses yang dilalui mahasiswa Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah.;
10. Kedua orang tua, sang motivator ulung yang tak henti-hentinya
menyelipkan doa terbaik di sepertiga malamnya demi kesuksesan
anak-anaknya.;
11. Bapak Abdul Rasyid, MA dan Ibu Ruwaedah, MA. Selaku bapak dan
ibu Direktris Pesantren Takhassus IIQ Jakarta. Terimakasih atas
waktu 3,5 tahun ini. Yang selalu memberikan kenyamanan dhȃhiran
wa bȃthinan. Dan menjadi ibu dan bapak kami selama di Jakarta;
12. Mu’allif kitab dan buku, yang menyumbangkan karyanya sebagai
bahan referensi, perbandingan dan penyempurnaan karya skripsi ini;
13. Perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, Pusat Studi Al-
Qur`an (PSQ) Jakarta, Iman Jama’ Lebak Bulus, dan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyumbangkan sarana prasarana
dalam melengkapi penulisan skripsi ini;
14. Pesantren Takhassus IIQ Jakarta dan Kampus IIQ Jakarta, yang
menjadi saksi bisu perjuangan dan pengorbanan 3,5 tahun menjadi
seorang mahasantri dan mahasiswa;
15. Sahabat seperjuangan Ushuluddin A & B yang telah membantu
mengisi memori 4 tahun bersama, mendiskusikan pemasalahan yang
ringan bahkan berat sekalipun. Oleh karenanya sulit ku menemukan
wanita-wanita hafizhah nan shalihah seperti kalian;
16. Teman seperjuangan bimbingan skripsi bersama Bapak Ali Mursyid,
M.Ag yang saling bertukar fikiran, menghadapi permasalahan dengan
kebersamaan. Semangat dan bantuan kalianlah yang mengantarkanku
tetap semangat dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini;

ix
17. Seluruh senior dan anggota Jam`iyyah Mudârasah Al-Qur'an (JMQ)
keluarga besar mawasiswa Jawa Timur, terimakasih telah menjadi
keluarga baru yang selalu menghangatkan.
18. Segenap Anggota BKKBM-IIQ dan DEMA-IIQ periode 2018/2019,
terimakasih atas kesempatannya dan kerjasamanya.
19. Teman-teman angkatan 2015, terimakasih atas kerjasamanya;
20. Seluruh pihak yang terlibat dalam pencapaian proses penyelesaian
skripsi ini, semoga Allah membalas jasa dan perjuangan kalian.

Satu hal yang menjadi kenangan indah dan menjadi satu ladang ilmu
yang terhampar luas adalah kami diberi kesempatan untuk dibimbing, dan
belajar bersama dalam sebuah majlis ilmu, karena disitulah akan terasa
nikmatnya sebuah belajar. Akhirnya, kami mohon maaf jika dalam
penyusunan skripsi ini terdapat sesuatu yang kurang difahami dan kurang
berkenan. Harapan kami, semoga ada penelitian mendatang yang bisa
melengkapi karya tulis skripsi ini, dan semoga bisa memberikan kontribusi
positif dan bermanfaat bagi semuanya.

Tak akan ada yang sia-sia untuk sebuah perjuangan yang dilandasi
oleh keikhlasan. Tak akan ada yang sempurna di dunia ini, melainkan selalu
berjalan dalam proses yang melelahkan dan semoga proses demi proses yang
dilewati akan berbuah kenikmatan. Ȃmȋn.

Jakarta, 16 Agustus 2019

Putri Hilyah Aulawiyah

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................... iii
PERNYATAAN PENULIS ....................................................... iv
MOTTO ....................................................................................... v
PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................. xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................. xiii
ABSTRAK ................................................................................ xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah ............................................ 8
2. Pembatasan Masalah ............................................ 8
3. Perumusan Masalah ............................................. 9
C. Tujuan Penulisan ....................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ..................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ..................................................... 10
F. Metode Penelitian .................................................... 18
G. Sistematika Pembahasan ......................................... 22
BAB II: TINJAUAN UMUM KONSEP HIRÂBAH DAN TAFSIR
MAQÂSHIDÎ
A. Tinjauan Umum Konsep Hirâbah
1. Derivasi Harb dalam Al-Qur'an ........................ 25
2. Dasar Hukum Hirâbah ...................................... 26

xi
3. Hirâbah Menurut Para Mufasir dan Fuqaha ..... 29
4. Ruang Lingkup Hirâbah .................................... 48
B. Pendekatan Maqâshid dalam Menafsirkan Al-Qur'an
(Tafsir Maqâshidî)
1. Definisi Tafsir Maqâshidî .................................. 50
2. Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-
Syarî`ah ............................................................. 59
3. Keterkaitan Tafsir Maqâshidî dengan Tafsir
Lainnya .............................................................. 63
4. Ruang Lingkup dan Karakteristik ..................... 66
5. Macam-Macam Tafsir Maqâshidî ..................... 71
6. Langkah-Langkah Penafsiran Maqâshidî .......... 76
BAB III: PROFIL TAFSIR DAN BIOGRAFI MUFASIRNYA
A. Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Asyûr
1. Biografi Mufasir ................................................ 83
2. Profil Tafsir ....................................................... 86
B. Tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an Karya Muhammad `Ali ash-Shâbunî
1. Biografi Mufasir ................................................ 93
2. Profil Tafsir ....................................................... 96
BAB IV: ANALISIS MAQÂSHID TERHADAP AYAT HIRÂBAH
A. Penafsiran Ayat Hirâbah pada Kitab Tafsîr at-Tahrîr wa
at-Tanwîr Karya Ibnu `Asyûr
1. Analisis Maqâshid dalam Tafsîr at-Tahrîr wa
at-Tanwîr ........................................................... 99
2. Tabel Analisis Maqâshid dalam Tafsîr at-
Tahrîr wa at-Tanwîr ........................................ 107

xii
B. Penafsiran Ayat Hirâbah pada Kitab Rawâi' al-Bayân
Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an Karya
Muhammad `Ali ash-Shâbunî
1. Analisis Maqâshid dalam Rawâi' al-Bayân
Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an .......... 112
2. Tabel Analisis Maqâshid dalam Rawâi' al-
Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an
.......................................................................... 122
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................. 129
B. Saran ........................................................................ 131

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 133

CURRICULUM VITAE .................................................................... 139

xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin mengikuti pedoman yang diberlakukan dalam


petunjuk praktis penulisan skripsi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

A. Konsonan
Huruf Huruf
No Huruf Latin No Huruf Latin
Arab Arab

1 ‫ا‬ A 14 ‫ص‬ Sh

2 ‫ب‬ B 15 ‫ض‬ Dh

3 ‫ت‬ T 16 ‫ط‬ Th

4 ‫ث‬ Ts 17 ‫ظ‬ Zh

5 ‫ج‬ J 18 ‫ع‬ ‘

6 ‫ح‬ H 19 ‫غ‬ Gh

7 ‫خ‬ Kh 20 ‫ف‬ F

8 ‫د‬ D 21 ‫ق‬ Q

9 ‫ذ‬ Dz 22 ‫ك‬ K

10 ‫ر‬ R 23 ‫ل‬ L

11 ‫ز‬ Z 24 ‫م‬ M

12 ‫س‬ S 25 ‫ن‬ N

13 ‫ش‬ Sy 26 ‫و‬ W

xiv
No Huruf Arab Huruf Latin
27 ‫ه‬ H
28 ‫ء‬ ‘
29 ‫ي‬ Y

B. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Panjang Vokal Rangkap

Fathah : a ‫آ‬ :ȃ ْ‫َي‬... : ai

Kasrah: i ‫ ي‬:ȋ ْ‫َو‬... : au

Dhammah: u ‫و‬: ȗ

C. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti alif lam (‫ )ال‬qamariyah

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ qamariyah

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: ْ ‫ البقرة‬: Al-

Baqarah.
b. Kata sandang yang diikuti alif lam (‫ )ال‬syamsiyah

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ syamsiyah

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan


dan sesuai dengan bunyinya. Contoh: ‫ الرجل‬: ar-rajul

c. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah (Tasydȋd) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang
(ّ), sedangkan untuk alih aksaran ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydȋd.

xv
Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydȋd yang berada di
tengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak setelah kata
‫أَمنَّاْ اِب ا‬
sandang yang diikuti oelh huruf-huruf syamsiyah. Contoh: ْ‫هللا‬ َ
: Ȃmanna billȃhi
d. Ta’ Marbȗthah (‫)ة‬
Ta’ Marbȗthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh
kata sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi

huruf “h”. Contoh: ‫ اْلَفئا َدْةا‬: al-Af'idah

Sedangkan ta’ Marbȗthah (‫ )ة‬yang diikuti atau disambungkan


(di-washal) dengan kata benda (isim) maka dialih aksarakan

َ ٌ‫ َع ااملَة‬: ‘Ȃmilatun Nȃshibah


‫َْن ا‬
menjadi huruf “t”. Contoh: ٌ‫صبَْة‬

e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan
tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), seperti
penulisan awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri dan lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada PUEBI
berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic),
atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya. Adapun nama diri
yang diawali dengan kata sandang, maka huruf yang ditulis
kapital adalah awal nama diri, bukan kata sandangnya. Contoh:
`Alȋ Hasan al-‘Ȃridh. Khusus untuk penulisan kata Al-Qur'an dan
nama-nama surah menggunakan huruf kapital. Contoh: Al-Qur'an,
Al-Baqarah, dan seterusnya.

xvi
ABSTRAK

Putri Hilyah Aulawiyah, 15210688, “Penafsiran Ayat Hirȃbah dalam Al-Qur'an


(Pendekatan Tafsir Maqȃshidî)”.
Penerapan hukum pidana Islam seringkali dianggap kejam dan tidak sesuai
dengan konsep HAM. Di antaranya adalah tindak pidana hirâbah yang kini kian
diperluas pemaknaannya oleh fuqaha kontemporer. Penafsiran berbasis maqâshidî
yang belakangan ini marak dibahas oleh kalangan akademisi dianggap mampu
menjembatani kesenjangan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tafsir at-
Tahrîr wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an dianggap sebagai tafsir yang berbasis maqâshidî. Oleh karena itu dalam
skripsi ini penulis berusaha mengkaji penafsiran ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr
wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an,
serta berusaha mengungkapkan sisi maqâshid pada ayat hirâbah dalam kedua tafsir
tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
dengan menemukan data-data berupa makna dan hukum hirâbah menurut para
fuqaha dan penafsiran hirâbah pada tafsir yang berbasis maqâshidî. Kemudian data
disajikan secara deskriptif-analitis yaitu mendeskripsikan akar kata dan hukum
pidana hirâbah, kemudian menganalisa ayat hirâbah (Surat Al-Mâidah ayat 33-34)
dalam tafsir at-tahrîr wa at-tanwîr karya Ibnu 'Âsyûr dan tafsir rawâi' al-bayân
tafsîr al-âyât al-ahkâm min Al-Qur'an karya Muhammad 'Ali ash-Shâbûnî. Analisa
yang digunakan menggunakan langkah penafsiran maqâshidî, yaitu dengan analisis
kebahasaan, identifikasi makna ayat, eksplorasi maqâshid asy-syarî`ah, dan
kontekstualisasi makna.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ayat hirâbah ditafsirkan Ibnu
'Âsyûr sebagai suatu tindakan membunuh dengan menggunakan senjata dengan
tujuan untuk merampas harta, hukumannya adalah pilihan salah satu dari bunuh,
salib, potong tangan dan kaki secara bersilangan, atau dibuang ke daerah lain, dan
jika muhârib bertobat sebelum tertangkap maka bisa menggugurkan had hirâbah
namun tidak dengan hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta dan
darah. Sedangkan ash-Shâbûnî menafsirkan ayat hirâbah dengan makna yang lebih
umum, yaitu tidak terbatas pada membawa senjata dan merampas harta, akan tetapi
segala tindakan yang mengganggu dan merusak baik itu hanya menakut-nakuti
ataupun tindakan yang lebih besar dari pada perampokan dan pembunuhan,
mengenai hukuman hirâbah ash-Shâbûnî hanya memaparkan beberapa pendapat
ulama tanpa mentarjihnya, sedangkan mengenai pertobatan muhârib, ash-Shâbûnî
mengungkapkan bahwa Allah memberi ampunan bagi pelaku hirâbah yang
bertobat sebelum tertangkap. Adapun sisi maqâshid dalam penafsiran Ibnu 'Âsyûr
adalah dengan mengungkapkan maqâshid Al-Qur'an dengan mengungkapkan `illah
sabab an-nuzûl dan `illah pensyariatan hukuman hirâbah melalui analisis makna
ayat dan kondisi historis. Sedangkan sisi maqâshid dalam penafsiran ash-Shâbûnî
lebih menitikberatkan pada hikmah pensyariatan, yaitu dengan pengungkapan nilai-
nilai kemaslahatan bagi semua pihak. Keduanya tidak membuat keringanan
mengenai hukuman hirâbah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an.

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum pidana Islam seringkali dipandang sebelah mata
mengingat penerapannya yang dianggap kejam dan tidak sesuai
dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Di kalangan umat Islam
sendiri terdapat dua pandangan yang saling bertentangan mengenai
hukum pidana islam. Pertama, pandangan teo-oriented. Pandangan ini
menegaskan bahwa hukum pidana Islam adalah hukum Tuhan (divine
law) yang ketentuannya sudah jelas, batasannya tegas, sehingga tidak
memerlukan ruang penafsiran lagi. Kedua, pandangan antropo-
oriented. Pandangan kedua melihat bahwa meskipun hukum pidana
Islam berdasarkan wahyu, namun masih terbuka pintu bagi ijtihad.
Tujuan setiap hukum Islam, termasuk hukum pidana Islam, adalah
untuk kemaslahatan manusia.1
Islam adalah agama rahmatan lil `âlamîn, tidaklah mungkin
hukum dan perintah yang termaktub di dalam kitab sucinya tidak
menjadi maslahat bagi para pemeluknya.
Di antara hukum pidana Islam yang yang menarik untuk
dikaji adalah tindak pidana hirâbah. Hirâbah berasal dari kata
haraba, harban yang berarti marah sekali, merampas, dan perang.
Para fuqaha menamakan hirâbah dengan al-sarîqah al-kubrâ
(pencurian besar) atau qath'u al-tharîq (pemutus jalan). Hirâbah
dikenal sebagai kejahatan perampokan atau pengacau keamanan,2

1
Ali Sodiqin, "Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam", dalam Jurnal
Al-Mazahib, Vol. 5 N0. 2 Desember 2017, h. 201.
2
Mohd. Said Ishak, Hudud dalam Fiqh Islam, (Malaysia: Universiti Teknologi
Malaysia, 2003), Cet. III, h. 13-14

1
2

bahkan sebagian ulama Indonesia mencoba memasukkan tindak


pidana korupsi dan terorisme sebagai bagian dari tindak pidana
hirâbah mengingat demikian besar kerugian yang ditimbulkan
hirâbah yang tidak hanya menimpa korban akan tetapi menimpa
seluruh masyarakat atau warga negara.3
Semakin meluasnya definisi hirâbah mendorong penulis untuk
mengkaji ayat hirâbah dengan lebih mendalam.
Masih hangat diingatan kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019
yang telah menelan 9 korban jiwa. Demo yang berujung kerusuhan
tersebut diklaim beberapa pihak sebagai sebuah jihad di jalan Allah.
Pihak yang lain mengatakan bahwa kasus kerusuhan tersebut
merupakan tindak pidana makar. Menurut pengamatan penulis, kasus
kerusuhan tersebut bukanlah sebuah tindakan jihad maupun makar,
melainkan tindak pidana hirâbah atau pengacau keamanan.4
Kasus lain adalah tidak pidana pembegalan dan pengeroyokan
seorang suporter bola Persija yang dilakukan oleh belasan suporter
bola Persib. Kasus yang ramai diperbincangkan pada akhir 2018 lalu
bahkan memiliki vidio rekaman pengeroyokan tersebut. Dalam vidio
tersebut terlihat begitu kecilnya akhlak dan hati manusia sebab
tindakan tersebut dilakukan oleh belasan orang, bahkan ditonton oleh
puluhan orang, namun tidak ada satupun yang menolong suporter
Persija tersebut hingga suporter tersebut meninggal dalam kondisi
yang mengenaskan.
3
Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, TafsirAyat-Ayat Ahkam,
(Ciputat: UIN Press, 2015), Cet. I, h. 81
4
Sayyid Sâbiq menyebutkan bahwa gerombolan pembunuh, sindikat penculik anak,
sindikat pembobol rumah dan bank, sindikat penculik wanita gadis-gadis belia untuk
dijadikan pelacur, sindikat penculik dan pembunuh para pejabat untuk menggoncang
stabilitas keamanan, dan sindikat perusak tanaman dan hewan ternak termasuk dalam
hirâbah. Lihat Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. 2, (Jakarta: al-
I'tisham, 2008), h. 670
3

Bertolak dari kasus kekerasan yang terus-menerus terjadi baik


karena motif pribadi maupun motif perampasan harta, seakan tidak
adanya efek jera melihat para pelaku yang telah menerima hukuman-
hukuman yang telah ditetapkan dalam KUHP Pasal 365 tentang
tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Oleh karena itu
diperlukan adanya peninjauan kembali hukum tentang tindak pidana
pencurian dengan kekerasan disesuaikan dengan Al-Qur'an.
Di samping itu, jarang atau bahkan belum ditemukannya
penelitian (jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi) yang
mengkhusukan pembahasannya pada penafsiran ayat hirâbah semakin
mendorong penulis untuk mengkaji ayat tersebut.
Ayat tentang perintah berfikir dan mentadaburi Al-Qur'an
begitu banyak termaktub di dalam Al-Qur'an. Perintah Allah yang
satu ini nampaknya harus lebih diperhatikan kembali. Di sinilah
pentingnya berpikir, dengan berpikir kita dapat menyelami samudra
Al-Qur'an. Dengan berpikir kita tidak akan lagi menganggap bahwa
syariat merupakan jurang yang sangat dalam yang harus dilalui umat
Muslim untuk menuju Muslim yang kafah. Di sinilah tugas para
intelek untuk menjernihkan pandangan orang awam yang
menganggap bahwa hukum pidana Islam itu keras dan tidak toleran.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana Islam5 harus
dipahami konteksnya. Yaitu kondisi historis, sosiologis, dan
antropologis ketika aturan-aturan tersebut diwahyukan. Dalil-dalil
tentang hukum pidana Islam harus dilihat teks dan konteksnya
sekaligus, dengan cara melihatnya pada sisi kontinuitas dan
perubahannya.6

5
Dalam tulisan ini yang dimaksud penulis adalah hukum pidana hirâbah.
6
Ali Sodiqin, "Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam", dalam Jurnal
Al-Mazahib, h. 201
4

Sebagai kitab suci sepanjang zaman, Al-Qur'an telah


membuktikan dirinya sebagai pedoman yang dapat dijadikan rujukan
untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup di berbagai konteks
zaman. Pepatah Al-Qur'an shalih li kulli zaman wa makân (Islam
senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat) bukan
saja merupakan istilah yang diformulasikan dari keyakinan subyektif
umat Islam, tetapi juga istilah obyektif sebagai kesimpulan dari
pembuktian-pembuktian sejarah. Pepatah di atas kurang lebih
mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an sanggup menjawab berbagai
tanatangan zaman. Sebagaimana halnya Al-Qur'an mampu menjawab
tantangan-tantangan kontemporer sekarang ini.7
Kemampuan Al-Qur'an untuk menjawab tantangan-tantangan
zaman ini disebabkan oleh berbagai keistimewaan yang dimiliki Al-
Qur'an sendiri, di antaranya Al-Qur'an terbuka untuk ditafsirkan dan
selalu memberi peluang untuk menghasilkan penafsiran baru.
Rujukan naqliah yang dapat mendukung keunikan Al-Qur'an ini
adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu 'Abbas dari Rasulullah
Saw.:8

ٌ ُ‫ «الْ ُق ْرآ ُن َذل‬:‫صلهى هللاُ َعلَْي إه َو َسله َم‬


‫ول ذُو‬ ‫ول هإ‬ ُ ‫ قَ َال إِل َر ُس‬:‫َوِبإإ ْسنَ إادهإ قَ َال‬
َ ‫اَّلل‬
9
)‫وه إه» (رواه الدارقطين عن ابن عباس‬ ‫اْحلُوه علَى أَحس إن وج إ‬ ‫ٍ إ‬
ُ ُ َ ْ َ ُ ْ َ‫ُو ُجوه ف‬
"Al-Qur'an itu lentur dan memiliki beberapa sisi pemaknaan. Karena
itu, maknailah Al-Qur'an berdasarkan sisi yang paling baik."
(Riwayat ad-Daruqutniy dari Ibnu Abbas)

7
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Maqasidusy Syari'ah (Tafsir Al-
Qur'an Tematik), (Jakarta: Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2009), h. 294
8
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Maqasidusy Syari'ah (Tafsir Al-
Qur'an Tematik), h. 294-295
9
Abu al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdî bin Mas`ûd bin an-Nu`mân bin
Dînâr bin Abdullah al-Baghdâdî al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruquthnî, Jilid III, (Bairut: Dâr
al-Fikr, 1994), h. 352
5

Atas hadis ini pula 'Abdullah Darrâz (1894-1958 M)


menegaskan bahwa Al-Qur'an bagaikan intan yang setiap sudutnya
memancarkan cahaya yang berbeda dari apa yang terpancar dari sudut
yang lain. Ungkapan senada dikemukakan Muhammad Arkoun, ia
mengatakan bahwa Al-Qur'an memberi kemungkinan-kemungkinan
arti yang tidak terbatas. Dengan demikian, ayat Al-Qur'an selalu
terbuka (untuk interpretasi baru). Tidak pernah pasti dan tertutup
dalam interpretasi tunggal.10
Al-Qur'an sendiri mengisyaratkan kemampuannya untuk dapat
menjawab segala tantangan zaman, sebaigaimana firman Allah Swt.:

            

       

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)


Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga
jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup
bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"
(QS. Fusshilat (41): 53)
Al-Jazairiy (w. 2018 M/1439 H) menafsirkan ayat di atas, "Kami akan
memperlihatkan kebenaran Kami dan kebenaran apa yang
disampaikan Nabi kami tentang keimanan, ketauhidan, kebangkitan,
dan lain sebagainya." Ini jelas mengisyaratkan bahwa Al-Qur'an
sanggup menjawab segala tantangan zaman. Untuk tujuan ini, kerap
kali Al-Qur'an memerintahkan para pembacanya untuk merenungi,
memikirkan, dan meneliti kandungan-kandungannya.11

10
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Maqasidusy Syari'ah (Tafsir Al-
Qur'an Tematik), h. 295
11
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Maqasidusy Syari'ah (Tafsir Al-
Qur'an Tematik), h. 295-296
6

Pemahaman dan penafsiran Al-Qur'an menuntut adanya


seperangkat metode dan pendekatan. Kebutuhan akan metode dan
pendekatan merupakan suatu keniscayaan bagi diri seorang pengkaji
Al-Qur'an. Terlebih adanya perbedaan-perbedaan yang cukup
mendasar dan tak berujung dalam penggal sejarah manusia, serta
kenyataan abadi yang dihadapi oleh Islam bahwa nas Al-Qur'an dan
hadis terbatas secara kuantitatif, sementara peradaban (peristiwa
hukum) selalu berkembang. Untuk itu diperlukan kreativitas dan
inovasi yang berkesinambungan dalam metodologi memahami Al-
Qur'an.12
Belakangan ini marak dibahas oleh kalangan akademisi
mengenai penafsiran berbasis maqâshidî. Hal itu dimulai semenjak
diadakannya simposium ilmiah internasional yang mengusung tema
"Metode Alternatif Penafsiran Al-Qur'an" yang diadakan di kota
Oujda, Maroko pada pertengahan April 2007. Simposium yang
diadakan selama tiga hari dikonsentrasikan pada kajian seputar tafsir
maqâshidî (tafsir Al-Qur'an melalui pedekatan maqâshid asy-
syarî`ah).13 Kajian tafsir maqâshidî yang diangkat sebagai topik
utama dalam simposium saat itu mengacu pada tiga tujuan, yaitu

12
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
2 Desember 2017, h. 322-323
13
Topik seputar tafsir maqâshidî sebenarnya pernah diangkat secara tuntas oleh
Nuruddin Qirath dalam disertasi doktoralnya (di Universitas Muhammad V) tentang tafsir
maqâshidî menurut perspektif ulama Maghrib Arabî, begitu juga oleh profesor Jelal al-
Merini dari Universitas Al-Qurawiyien dalam bukunya Dhawâbith at-Tafsîr al-Maqâshidî li
Al-Qur'an al-Karîm (Ketentuan Tafsir Maqâshidî terhadap AL-Qur'an), dan Hasan Yasyfu,
dosen senior di Universitas Oujda Maroko, dalam bukunya al-Murtazakât al Maqâshidiyah fî
Tafsîr an-Nash ad-Dîn (Penekanan Sisi Maqâshid dalam menafsiri teks keagamaan), namun
sebagai pendongkrak ide yang dituangkan melalui karya-karya tulis mereka ini, komunitas
ulama, intelektual, dan akademisi Maroko bahu-membahu mensosialisasikannya melalui
Simposium Ilmiah Internasional ini. Lihat Arwani Syaerozi, "Memperkenalkan Tafsir
Maqashidi" http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-
maqasidi.html?m=1, diakses tanggal 17 Mei 2019
7

meningkatkan budaya membaca Al-Qur'an, budaya menghayati


makna kandungan, dan budaya mengaplikasi ajarannya.14
Para pemikir kontemporer saat ini sedang mengembangkan
penafsiran Al-Qur’an berbasis maqâshid asy-syarî`ah. maqâshid asy-
syarî`ah dianggap mampu menjembatani kesenjangan antara teks,
konteks, dan kontekstualisasi.15 Prinsip dasar pendekatan maqâshidî
adalah memelihara pesan universal Al-Qur'an untuk menjawab
kekhususan dan perbedaan masalah yang dihadapi manusia.16
Manhaj maqâshidî pada awalnya dikembangkan dalam tradisi
hukum Islam. Dalam perkembangannnya banyak sarjana telah
menggunakan pendekatan ini untuk memahami dan menafsirkan
sumber ajaran Islam, khususnya Al-Qur'an seperti Rasyîd Ridhâ (w.
1354 H/1935 M), Ath-Thâhir ibnu `Âsyûr (w. 1325 H/ 1907 M),
Muhammad al-Ghâzalî (w. 1416 H/1996 M), Yûsuf al-Qardhâwî
(1345 H.1926 M), Thaha al- Alwânî (1354 H/1935 M), dll.
Penggunaan pendekatan tersebut dimungkinkan karena konsep al-
maqâshid yang memungkinkan untuk memelihara signifikasi Islam
bagi manusia.17
Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas, penulis tertarik
untuk meneliti dan mengkaji tentang ayat hirâbah, tafsir maqâshidî,
serta hukuman bagi pelaku pidana hirâbah dalam tafsir-tafsir yang
dilansir memiliki kecenderungan maqâshidî.

14
Arwani Syaerozi, "Memperkenalkan Tafsir Maqashidi" http://arwani-
syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html?m=1, diakses tanggal
17 Mei 2019
15
Mufti Hasan, "Tafsir Maqashidi: Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqashid
Syari'ah", dalam Jurnal Maghza, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2017, h. 16
16
Kusmana, "Paradigma Al-Qur'an: Model Analisis Tafsir Maqasidi dalam
Pemikiran Kuntowijoyo", dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna, Vol. 11 No. 2
Desember 2015, h. 221
17
Kusmana, "Paradigma Al-Qur'an: Model Analisis Tafsir Maqasidi dalam
Pemikiran Kuntowijoyo", h. 221
8

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis
paparkan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana hukuman bagi pelaku pidana hirâbah dalam fikih
dan tafsir klasik?
2. Bagaimana hukuman bagi pelaku pidana hirâbah di
Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan tafsir maqâshidî?
4. Bagaimana sejarah tafsir maqâshidî?
5. Bagaimana hirâbah menurut tafsir Al-Qur'an yang
menggunakan pendekatan tafsir maqâshidî?
2. Pembatasan
Berdasarkan identifikasi masalah diatas penulis membatasi
fokus penelitian pada penafsiran Al-Qur'an terkait ayat hirâbah
(dalam surat al-Mâidah ayat 33-34) menggunakan tafsir at-Tahrîr
wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr
al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an karya `Ali ash-Shâbûnî. Tafsir
karya Ibnu `Âsyûr dipilih sebab Ibnu `Âsyûr dianggap sebagai
pembawa angin segar terhadap teori maqâshid yang pernah
dicanangkan oleh asy-Syâthibî sebagai bapak maqâshid.
Sedangkan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min
Al-Qur'an karya Muhammad `Ali ash-Shâbûnî dipilih sebab ash-
Shâbûnî menggunakan cara pandang maqâshidî dalam penafsiran
tersebut, bahkan dalam tafsirnya ash-Shâbûnî membuat poin
khusus yang membahas hikmah at-tasyrî yang merupakan bagian
dari cara pandang maqâshidî.
9

3. Perumusan Masalah
Berdasarkan beberapa masalah yang dapat diidentifikasi,
maka penelitian ini difokuskan pada permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana penafsiran ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr wa
at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm
min Al-Qur'an?
2. Bagaimana sisi maqâshid pada ayat hirâbah dalam tafsir at-
Tahrîr wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât
al-Ahkâm min Al-Qur'an?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menjelaskan penafsiran ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr wa at-
Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min
Al-Qur'an.
2. Menggali sisi maqâshid pada ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr
wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm
min Al-Qur'an?
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis peneitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangsih khazanah keilmuan, khususnya dalam memberikan
informasi tentang penafsiran ayat hirâbah menggunakan
pendekatan tafsir maqâshidî.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan wacana dalam kajian ayat tentang hirâbah dan juga
kajian tentang tafsir maqâshidî.
10

3. Secara akademis penelitian ini memiliki kegunaan untuk dapat


dijadikan pola pengembangan wacana baru yang mencegah
penafsiran, pemikiran, atau ijtihad yang terlalu bebas dalam
mengatasnamakan maqâshid asy-syarî`ah.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka dalam sebuah penelitian merupakan sesuatu
yang penting sebagai jaminan atas keaslian dan kebaruan sebuah
penelitian. Fokus kajian dari penelitian ini adalah penerapan teori
maqâshid sebagai pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur'an. konsep
ini diaplikasikan untuk menafsirkan ayat hirâbah. Tujuan lain dari
kajian pustaka adalah untuk mengetahui road map (peta jalan) dari
tema yang dibahas dalam penelitian ini. Terdapat dua kata kunci yang
akan dibahas pada skripsi ini, yaitu: hirâbah dan tafsir maqâshidî.
Disadari penulis, bahwa kajian tentang hirâbah bukanlah hal
yang baru. Tema tafsir maqâshidî pun yang tergolong kajian baru
dalam ranah studi Islam, bisa dikatakan telah banyak dibahas pada
beberapa karya ilmiah. Berdasarkan beberapa literatur yang penyusun
telusuri, ada beberapa jurnal, skripsi, tesis, dan buku yang relevan
dengan topik yang dibahas, diantaranya adalah:
1. Korupsi dalam Perspektif Al-Qur'an, dalam Jurnal Fokus: Jurnal
Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, 2018, Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Curup-Bengkulu. Dari hasil
penelitian ini ditemui bahwa korupsi sebagai sebuah tindak
kejahatan extra-ordinary crimes memang tidak disebut secara
eksplisit oleh Al-Qur'an, namun beberapa term seperti ghulûl,
suht, sarq, hirâbah dirasa cukup mewakili gagasan Al-Qur'an
mengenai tindak korupsi. Jurnal ini memberikan kontribusi dalam
11

memberikan informasi mengenai keluasan ruang lingkup hirabah


yang juga melingkupi tindak kejahatan korupsi.18
2. Sanksi Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan dalam Pasal
365 KUHP Perspektif Hukum Pidana Islam, skripsi oleh Dresta
Ansori Pratama, 2018, Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung. Dalam skripsi ini penulis menjelaskan sanksi dan
bentuk tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam Pasal
365 KUHP dan tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam
hukum pidana Islam. Kerangka pemikiran dari penelitian ini
tentang sanksi tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailî dalam bukunya al-Fiqh al-
Islâm wa adillatuhu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku
perampokan harus sesuai dengan kadar tingkatan kejahatan
tesebut. Skripsi ini berkontribusi atas skripsi penulis dalam hal
memberikan pengetahuan umum seputar hirâbah.19
3. At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm, jurnal oleh Ali
Muhammad As'ad, 2017, Doktor ulûm al-Islâm Universitas az-
Zaituniyah Tunisia. Dalam jurnalnya ini beliau berusaha
memberikan penjelasan seputar pemahaman maqâshid Al-Qur'an
dan hubungannya dengan maqâshid asy-syarî`ah, pemahaman
tafsir maqâshidî, menetapkan disyariatkannya tafsir maqâshidî,
dan hubungan tafsir maqâshidî dengan metode dan pendekatan

18
Budi Birahmat, "Korupsi dalam Perspektif Al-Qur'an", Jurnal Fokus Vol. 3 No. 1
2018
19
Dresta Ansori Pratama, "Sanksi Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan
dalam Pasal 365 KUHP Perspektif Hukum Pidana Islam", Skripsi, (Bandung: Sunan Gunung
Djati Bandung, 2018), Tidak diterbitkan (t.d)
12

tafsir yang lain. Kesemuanya tersebut memberikan kontribusi


besar pada penulis dalam memahami konsep tafsir maqâshidî.20
4. Paradigma Tafsir Maqâshidî, jurnal oleh Sutrisno, 2017,
mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Jurnal ini
membahas tentang konsep penafsiran berbasis maqâshid atau
yang dikenal dengan tafsir maqâshidî. Tulisan yang didasarkan
studi kepustakaan ini menyajikan data-data umum seputar tafsir
maqashidi dengan menjelaskan pengertian, sejarah, hingga
urgensi penafsiran berbasis maqâshidî. Selain itu tulisan ini
berusaha mengkontekstualisasi tafsir maqâshid melalui beberapa
tata-kerja berdasarkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh
Imam asy-Syâthibî dan Ibnu `Âsyûr sebagai tokoh
maqashidiyyun, serta memberikan contoh penerapan tafsir
maqâshidî berdasarkan tata-kerja yang ia buat. Kontribusi jurnal
ini adalah memberikan wawasan kepada penulis mengenai sejarah
tafsir maqâshidî. Selain itu jurnal ini sangat berkontribusi dalam
menyumbangkan ide susunan tata-kerja penafsiran yang kemudian
dijadikan penulis sebagai langkah penafsiran maqâshidî pada
skripsi ini.21
5. Mekanisme Penyelesaian Ayat Kontradiktif Berbasis Maqâshid
asy-Syarî`ah: Studi terhadap Ayat Perkawinan Beda Agama,
jurnal oleh Mufti Hasan, 2017, Universitas Islam Negeri
Walisongo Semarang. Dalam jurnal ini Mufti Hasan mengkritik
bahwa metode penyelesaian ayat-ayat kontradiktif yang tersedia
selama ini didominasi oleh masalah kebahasaan dalam

20
`Ali Muhammad As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", jurnal
Islâmiyah al-Ma'rifah Vol. 23 No. 89 Musim Panas 2017, h. 557
21
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
2 Desember 2017
13

menguraikan ayat sehingga tidak jarang ayat terlepas dari


konteksnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini Hasan
menawarkan model penyelesaian berbasis maqâshid asy-syarî`ah.
Dalam hal ini Hasan menggunakan pendekatan sistem (system
aproach), suatu teori yang dikenalkan oleh ilmuan ternama, Jaser
Auda. Jurnal ini memberikan kontribusi dalam memberikan
pengetahuan umum mengenai teori maqâshid asy-syarî`ah dan
cara penafsiran pendekatan maqâshid asy-syarî`ah.22
6. Tafsir Maqâshidî: Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqâshid asy-
Syarî`ah, jurnal oleh Mufti Hasan, 2017, UIN Walisongo
Semarang. Tulisan ini menyajikan cara pandang baru dalam
memahami ayat Al-Qur'an, yaitu penafsiran Al-Qur'an yang
berorientasi pada pencapaian syari'at atau yang lebih dikenal
dengan tafsir maqâshidî. Menurutnya pemahaman terhadap Al-
Qur'an sejatinya adalah menyingkap tujuan tertentu dan
mentransformasikannya sesuai konteks pembaca. Dalam
menyelesaikan problematika kesenjangan antara teks dan konteks
Al-Qur'an, Hasan menggunakan teori maqâshid asy-syarî`ah yang
dikenalkan oleh Jaser Auda. Jurnal ini memberikan kontribusi
kepada penulis dalam memberikan pengetahuan umum mengenai
teori tafsir maqâshidî .23
7. Menakar Sejarah Tafsir maqâshidî, jurnal oleh Zaenal Hamam
dan A. Halil Thahir, 2018, STAIN Kediri. Dalam tulisan ini
Hamam dan Thahir membagi akar sejarah tafsir maqashidi
menjadi 4 periode, yaitu: periode Nabi Saw. dan sahabat ra.

22
Mufti Hasan, "Mekanisme Penyelesaian Ayat Kontradiktif Berbasis Maqâshid
asy-Syarî'ah: Studi terhadap Ayat Perkawinan Beda Agama", dalam Jurnal Theologia, Vol.
28 No. 1 Juni 2017
23
Mufti Hasan, "Tafsir Maqâshidî: Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqâshid asy-
Syarî'ah", dalam Jurnal Maghza, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2017
14

(marhalat al-ta'sîs), periode tabi'in (marhalat al-ta'sîl), periode


tadwin (marhalat al-tafrî'), dan periode tajdid. Kajian
kepustakaan ini secara urut menguraikan empat periode tafsir
tersebut secara umum, kemudian menarik kesimpulan atau poin-
poin yang digunakan untuk mengungkap akar sejarah tafsir
maqâshidî baik berupa teori maupun sikap dan tindakan langsung
dalam kehidupan muslimin. Pada bagian akhir, penulis
menyajikan contoh aplikasi tafsir maqâshidî pada hukum pidana
bagi pelaku zina ghoiru muhshân di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pemaparan akar sejarah tafsir maqâshidî berkontribusi
besar untuk memberikan pemahaman lebih kepada penulis.24
8. Tafsir Maqâshidî: Metode Alternatif dalam Penafsiran Al-Qur'an,
jurnal oleh Umayyah, 2016, IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Jurnal
ini menyajikan penelitian awal mengenai tafsir maqâshidî. Seperti
tulisan pada jurnal maqâshidî pada umumnya, jurnal ini
menyajikan pengertian dan sejarah tafsir maqâshidî, tokoh-tokoh
maqâshid asy-syarî`ah dan tafsir maqâshidî, serta contoh
penafsiran dengan metode maqâshidî. Tokoh-tokoh maqâshid
asy-syarî`ah dan tafsir maqâshidî disajikan dengan runtut poin-
perpoin dari Imam asy-Syathibi hingga Muhammad Talbi. Yang
menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah disajikannya poin
khusus yang membahas kaidah-kaidah umum yang merupakan
turunan dari maqâshid asy-syarî`ah. Kompleksnya pemaparan
tentang tafsir maqâshidî dalam jurnal ini, berkontribusi besar bagi
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.25

24
Zaenal Hamam dan A. Halil Thahir, "Menakar Sejarah Tafsir Maqâshidî", dalam
Jurnal Qof, Vol. 2 No. 1 Januari 2018
25
Umayyah, "Tafsir Maqâshidî: Metode Alternatif dalam Penafsiran Al-Qur'an",
dalam Jurnal Diya al-Afkar, Vol. 4 No. 1 Juni 2016
15

9. Paradigma Al-Qur'an: Model Analisis Tafsir Maqâshidî dalam


Pemikiran Kuntowijoyo, jurnal oleh Kusmana, 2015, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini mengasumsikan bahwa gagasan
yang dikembangkan Kuntowijoyo dapat dikelompokkan ke dalam
gerakan pemikiran maqâshidî. Bedanya pemikiran Kuntowijoyo
dengan para pemikir maqâshidî terletak pada epistemologi yang
digunakan. Pada umumnya pemikir muslim menggunkan ushûl al-
fiqh, sementara Kuntowijoyo menggunakan epistemologi ilmu
sosial. Kusmana menemukan bahwa corak tafsir Kuntowijoyo
dapat dikelompokkan ke dalam semangat tafsir maqâshidî `ilmi
dengan kecenderungan mengkontruksi ilmu pengetahuan dengan
inspirasi input qur'ani. Maqâshidî di sini menurut Kuntowijoyo
merupakan paradigma Al-Qur'an. Jurnal ini berkontribusi dalam
menyumbangkan pemikiran pada penulis tentang tafsir maqâshidî
jika dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan.26
10. Muwâlâh Al-Kuffâr dalam Q.S. Al-Mumtahanah (Upaya
Membangun Toleransi dengan Pendekatan Maqâshidî), skripsi
oleh Arif Ubaidillah, 2018, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini membahas tentang muwâlâh al-kuffâr pada ayat 1-3
dan ayat 7-9 pada surat Al-Mumtahanah yang seakan saling
bertentangan. Pada ayat 1-3 surat Al-Mumtahanah
mengindikasikan adanya larangan ber muwâlâh al-kuffâr
sedangkan pada ayat 7-9 menggambarkan kebolehan ber muwâlâh
al-kuffâr. Dalam menganalisis ayat-ayat yang seakan kontradiktif
tersebut Ubaidillah menggunakan pendekatan maqâshidî sebagai
basis interpretasinya. Penelitian ini menemukan bahwa tafsir

26
Kusmana, "Paradigma Al-Qur'an: Model Analisis Tafsir Maqasidi dalam
Pemikiran Kuntowijoyo", dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna, Vol. 11 No. 2
Desember 2015
16

maqâshidî memegang tiga prinsip utama, yakni; prinsip pencarian


al-maqshud 'anhu, maksud yang ternarasikan dengan jelas dalam
nas; prinsip kaidah al-ibrâh bi al-maqâshid; dan prinsip
kontekstualisasi nalar teks yang menegaskan pentingnya
reaktualisasi poin maqâshid.
11. Studi Komparatif Maqâshid Al-Qur'an Abu Hamid Muhammad
Ibn Muhammad Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridhâ, skripsi oleh
Muhammad Anas, 2018, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedikit
berbeda dengan tulisan yang lain, skripsi ini menggunakan istilah
maqâshid Al-Qur'an. Anas mengungkapkan bahwa meskipun
istilah maqâshid Al-Qur'an belum menjadi disiplin ilmu tersendiri
yang disepakati para ulama, namun istilah tersebut bisa didapati
pada karangan beberapa ulama klasik maupun kontemporer. Pada
tulisan ini Anas berusaha menganalisis secara komparatif konsep
maqâshid Al-Qur'an yang ditawarkan Abu Hamid Muhammad al-
Ghazali dalam kitab Jawâhir Al-Qur'an dan Rasyid Ridha dalam
tafsir al-Manâr. Perbedaan yang ditemukan Anas di antara
keduanya adalah kalau maqâshid Al-Qur'an yang ditawarkan al-
Ghazali lebih menekankan kajian-kajian klasik seperti keimanan,
risalah kenabian, dan hari akhir, sedangkan Rasyid Ridha
disamping menjelaskan ushûl Al-Qur'an (prinsip-prinsip Al-
Qur'an), Ridha lebih menyuarakan ide-ide pembaharuan di era
kontemporer seperti hak-hak perempuan, politik, dan mengelola
harta bagian dari tujuan-tujuan Al-Qur'an. Hal tersebut tidak
terlepas dari background latar belakang pendidikan keduanya,
yakni al-Ghazali bercorak tasawuf dan Rayid Ridha terkesan
17

bernuansa kajian-kajian kontemporer. Kontribusi skripsi ini untuk


skripsi penulis adalah informasi seputar maqâshid Al-Qur'an.27
12. Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqâshid asy-Syarî'ah: Studi
Ayat-Ayat Persaksian dan Perkawinan Beda Agama, tesis oleh
Mufti Hasan, 2018, Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang. Dalam tesis ini penulis menjelaskan konstruksi
penafsiran Al-Qur'an berbasis maqâshid asy-syarî'ah menurut
Jaser Auda. Selain itu penulis berusaha menyajikan cara untuk
mengoprasionalisasi penafsiran Al-Qur'an pada ayat persaksian
dan perkawinan beda agama menggunakan pendekatan maqâshid
asy-syarî'ah, yang dalam hal ini menghasilkan suatu kesimpulan
bahwa adanya aturan yang berbeda mengenai perkawinan beda
agama semestinya dipahami dalam keragaman konteks. Pada
dasarnya perkawinan tersebut diperbolehkan oleh Al-Qur'an,
namun kebolehannya tidak dapat digeneralisasi. Kontribusi tesis
ini dalam penulisan skripsi penulis adalah memberikan
28
pengetahuan umum mengenai teori tafsir maqâshidî .

Secara umum perbedaan penelitian ini dengan penelitian di


atas adalah penelitian ini bukan sekedar membaca ayat hirâbah
berdasarkan sisi fikihnya saja namun berusaha mengungkapkan sisi-
sisi maqâshid yang terkandung di dalamnya. Dan nampaknya
penelitian yang menyandingkan hirâbah secara khusus menggunakan
pendekatan tafsir maqâshidî belum dijumpai. Melihat celah ini maka
penulis ingin menyandingkan dua variabel tersebut menjadi sebuah

27
Muhammad Anas, "Studi Komparatif Maqâshid Al-Qur'an Abu Hamid
Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridhâ", Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018), Tidak diterbitkan (t.d)
28
Mufti Hasan, "Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqâshid asy-Syarî`ah: Studi Ayat-
Ayat Persaksian dan Perkawinan Beda Agama", Tesis, (Semarang: UIN Walisongo
Semarang, 2018), Tidak diterbitkan (t.d)
18

penelitian. Terlebih pendekatan tafsir maqâshidî yang digunakan


dalam penelitian ini merupakan pembahasan yang aktual dalam studi
tafsir.

F. Metode Penelitian
Metode merupakan serangkaian proses dan prosedur yang
harus di tempuh oleh seorang peneliti, untuk sampai pada kesimpulan
yang benar tentang riset yang dilakukan.29 Adapun metode penelitian
dalam proposal ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research (penelitian
kepustakaan) yakni pengumpulan data dengan cara membaca,
menelaah buku dan literatur lainnya yang berhubungan dengan
skripsi. Jadi, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yakni
pendekatan penelitian yang memerlukan pemahaman mendalam
yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan data-data


berupa makna dan hukum hirâbah menurut para fuqaha dan
penafsiran hirâbah pada tafsir yang berbasis maqâshidî.
Kemudian data disajikan secara deskriptif-analitis yaitu
mendeskripsikan akar kata dan hukum pidana hirâbah, kemudian
menganalisa ayat hirâbah (Surat Al-Maidah ayat 33-34) dalam
tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr dan tafsir Rawâi'
al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an karya
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî, menganalisa sisi maqâshid yang

29
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al- Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea
Press Yogyakarta, 2015), h. 5
19

terdapat dalam penafsiran tersebut, dan yang terakhir menarik


kesimpulan dari hasil analisa yang telah ditemukan.

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam meneliti proposal ini
ada dua, yaitu:
a. Data Primer
Sumber data primer penelitian ini bersumber dari tafsir
at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr dan tafsir Rawâi'
al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an karya
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî.
b. Data Sekunder
Data-data sekunder merujuk pada buku, jurnal, dan
karya ilmiah yang membahas tentang ayat hirâbah dan tentang
tafsir maqâshidî, yaitu sebagai berikut:
1. Buku, jurnal, atau karya ilmiah yang berisi pengetahuan
seputar hirâbah, seperti Fiqh as-Sunnah, Fiqh al-Islâm wa
Adillatuhu, Tafsir Ahkâm, dan lain-lain.
2. Buku, jurnal, atau karya ilmiah yang berisi pengetahuan
tentang maqâshid asy-syarî`ah, seperti Membumikan
Maqâshid asy-Syarî`ah, dan lain-lain.
3. Buku, jurnal, atau karya ilmiah yang masih relevan dan
erat kaitannya dengan objek penelitian, seperti buku Ushûl
Fiqh, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana disebutkan di awal, penelitian ini dilakukan
melalui penelitian kepustakaan (library Research), suatu metode
dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa
buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasi
20

secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai macam-


macam material yang terdapat di ruang pustaka.
Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari
sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang
berlangsung dan diperoleh dari sumber data pertama, disebut
dengan sumber utama. Dalam hal ini yang menjadi sumber
utamanya adalah tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr
dan tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an karya Muhammad `Ali ash-Shâbûnî. Dan sekunder, yaitu
data yang lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-
sumber yang lain. Disebut dengan data pendukung. Dalam hal ini
yang menjadi data pendukung adalah buku dan jurnal tentang
hirâbah dan tafsir maqâshidî.

4. Teknik Analisis Data


Mengingat data yang dikumpulkan adalah data kualitatif
(data berupa informasi yang tidak dapat diangkakan), maka data
tersebut akan dianalisis secara kualitatif pula. Untuk menelaah
dan mengkaji isi kandungan data utama, yaitu penafsiran ayat
hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr dan tafsir Rawâi' al-
Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an serta menganalisis
konsep maqâshid di dalamnya, penulis menggunakan metode
pendekatan maqâshid yang ditawarkan oleh Sutrisno dengan
tahapan sebagai berikut:30
a. Analisis kebahasaan
Pada tahap ini, analisis dilakukan terhadap apa yang
ada di teks dengan memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan,

30
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", h. 249-250
21

yakni meliputi bahasa teks, makna teks, bentuk dan konteks


teks, serta hubungan teks dengan teks lainnya.
b. Identifikasi makna ayat
Tahapan ini bertujuan menemukan makna teks yang
sesuai konteks pewahyuan. Identifikasi makna dapat
dilakukan dengan menyesuaikan dengan penggunaan terma
serupa dalam Al-Qur'an dan mempertimbangkan sisi historis
dan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur'an, baik mikro maupun
makro.
c. Eksplorasi maqâshid asy-syarî`ah
Tahapan ini menjadi ciri khas penafsiran Al-Qur'an
berbasis maqâshid. Mufasir tidak hanya berhenti pada
penggalian makna sesuai konteks pewahyuan, akan tetapi juga
menggali makna yang sesuai dengan tujuan syariat
(maqâshid). Makna tersebut selain menjadi pendamai bila
mana terjadi kesenjangan antara makna konteks pewahyuan
dengan konteks yang dipahami, juga berfungsi sebagai
pengikat antara makna teks tersebut dengan konteks kekinian.
d. Kontekstualisasi makna
Tahapan ini menjadi tahap pengembangan signifikansi
penafsiran maqâshid terhadap persoalan, masalah, dan
kebutuhan pada masa kini yang tampak relevan dengan pesan
teks yang ditafsirkan. Makna ayat yang sudah tersingkap
dengan mengacu pada tujuan syariat yang sudah dieksplorasi
sebelumnya, kemudian direfleksikan sesuai konteks ayat akan
diterapkan. Hanya saja kontekstualisasi itu tidak diberlakukan
pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batasan-
batasan yang harus dijaga.
22

G. Sistematika Pembahasan
Teknik penulisan karya ilmiah ini merujuk kepada pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)
Jakarta. Sedangkan pada sistematika penulisan agar mempermudah
dalam melakukan penelitian penulis manyajikan alur pembahasan
dalam beberapa bab dan sub-bab tertentu.
Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar
belakang masalah yang membahas tentang seberapa unik dan menarik
tema yang dibahas untuk dijadikan penelitian. Selanjutnya mengenai
identifikasi masalah yang membahas kemungkinan masalah yang
muncul untuk dijadikan fokus penelitian, dilanjutkan dengan rumusan
masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, kemudian mengenai
tujuan penelitian tentang arah yang ingin dituju dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dalam penelitian. Dilanjutkan dengan telaah
pustaka yang memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan
topik yang bersangkutan untuk menghindari adanya persamaan
pembahasan. Selanjutnya, metode penelitian yang berisi tentang jenis
penelitian, sumber data, dan teknik pengolaan data. Sedangkan
sistematika pembahasan merupakan bagian terakhir dari bab ini yang
menjelaskan tentang gambaran umum isi penelitian. Bab pertama
inilah yang akan menjadi acuan dalam penelitian.
Bab kedua akan menyajikan tinjauan umum konsep hirâbah
dan tafsir maqâshidî yang terdiri dari dua sub-bab, yaitu tinjauan
umum konsep hirâbah dan pendekatan maqâshid dalam menafsirkan
Al-Qur'an (tafsir maqâshidî). Sub-bab pertama menguraikan derivasi
harb dalam Al-Qur'an, dasar hukum hirâbah, hirâbah menurut para
mufasir dan fuqaha, dan ruang lingkup hirâbah. Sedangkan pada sub-
bab kedua diuraikan definisi tafsir maqâshidî, maqâshid Al-Qur'an
23

dan maqâshid asy-syarî'`ah, keterkaitan tafsir maqâshidî dengan tafsir


lainnya, ruang lingkup dan karakteristik, macam-macam tafsir
maqâshidî, dan langkah-langkah penafsiran maqâshidî. Bab ini
merupakan gambaran umum yang digunakan sebagai bahan analisis
pada bab selanjutnya.
Bab ketiga menyajikan biografi mufasir dan profil tafsir.
Dalam hal ini penulis menyajikan data mengenai profil tafsir at-
Tahrîr wa at-Tanwîr dan biografi Ibnu `Âsyûr serta tafsir Rawâi' al-
Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an dan biografi
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî. Bab ketiga ini masih merupakan
gambaran umum yang digunakan sebagai bahan analisis pada bab
selanjutnya.
Bab keempat memaparkan analisis maqâshid terhadap ayat
hirâbah pada tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr dan
tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an karya
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî menggunakan langkah penafsiran tafsir
maqâshidî.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan
yang merupakan jawaban yang diajukan dalam rumusan masalah serta
saran untuk penelitian selanjutnya. Pada bagian akhir, penulis akan
menyertakan daftar pustaka, dan riwayat hidup penulis (Curiculium
Vitae).
24
BAB II

TINJAUAN UMUM KONSEP HIRÂBAH DAN TAFSIR MAQÂSHIDÎ

A. Tinjauan Umum Konsep Hirâbah


1. Derivasi Harb dalam Al-Qur'an
Kata harb dalam bahasa Indonesia diartikan perang. Kata
harb berasal dari haraba, yahrabu, harban yang berarti merampas
secara paksa. Secara kebahasaan harb berarti pembunuhan dan
pelecehan martabat.1
Dalam Al-Qur'an kata harb dengan kata turunannya
disebut sebanyak enam kali dengan berbagai konteks. Pertama,
dalam konteks memerangi orang-orang munafik terdapat pada QS.
At-Taubah (9): 107. Kedua, dalam konteks memerangi orang-
orang Yahudi terdapat pada QS. Al-Mâidah (5): 64. Ketiga, dalam
konteks penjelasan bentuk hukuman bagi perusuh dan pengacau
keamanan terdapat pada QS. Al-Mâidah (5): 33. Keempat, dalam
konteks memerangi memerangi orang-orang kafir dan
mengkhianati janji terdapat pada QS. Al-Anfâl (8): 57. Kelima,
dalam konteks memerangi pelaku riba terdapat pada QS. Al-
Baqarah (2): 279. Keenam, dalam konteks penjelasan tentang
tawanan perang terdapat pada QS. Muhammad (47): 4.2

1
Abuddin Nata, dkk, Ensiklopedi Al-Qur'an, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997),
h. 127
2
Nata, dkk, Ensiklopedi Al-Qur'an, h. 127-128

25
26

2. Dasar Hukum Hirâbah

Dasar hukum jarimah hirâbah yang menjadi landasan para


fuqaha adalah ayat Al-Qur`an surat Al-Maidah ayat 33, sebagai
berikut:3

        

          

            

   


"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar." (Al-Maidah [5]: 33)
Muhammad `Ali al-Sayis (w. 1976 M/1396 H) berkata
bahwa memerangi Allah dalam ayat tersebut tidak dimaksudkan
dalam makna hakikinya, melainkan dalam makna majâzinya,
sebab tak mungkin bagi Allah bisa diperangi oleh manusia. Allah
sang pemilik kuasa yang tanpa batas tidak mungkin bisa
diperangi oleh manusia yang kuasanya terbatas. Beliau
menambahkan bisa saja ayat tersebut diarahkan kepada orang-
orang yang membuat kekacauan di tengah masyarakat dengan
membunuh dan merampas harta orang lain. Ada juga yang

3
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam
Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani, 2003), Cet. I, h. 29
27

berkata bahwa yang dimaksud memerangi Allah adalah


memerangi para kekasih (auliyâ' Allah) dan Rasulullah.4
Ayat ini turun berkenaan dengan beberapa orang dari suku
`Ukl yang menghadap Nabi untuk mengadukan penyakit yang
mereka idap. Nabi menyuruh mereka minum susu dan air seni
unta. Penyakit mereka sembuh setelah menuruti perintah Nabi,
namun setelah itu mereka murtad dan membunuh penggembala
unta tersebut. Allah kemudian menurunkan ayat di atas untuk
menjelaskan hukuman yang diberlakukan atas mereka.5

‫ عن الْولي ي‬،‫يد ب ين َكثي يري ب ين يدينا ٍر‬ ‫يي‬


‫ َع ْن‬،‫يد‬ َ َْ َ ْ ْ ‫َخبَ َريِن َع ْم ُرو بْ ُن عُثْ َما َن بْ ين َسع‬ ْ‫أ‬
‫ْل‬ٍ ‫َن نَ َفًرا يم ْن عُك‬ َّ ‫ «أ‬،‫س‬ ٍ َ‫ َع ْن أَن‬،َ‫ َع ْن أيَِب قي ََلبَة‬،‫ َع ْن ََْي ََي‬،‫اع يي‬ ‫ْاْلَوز ي‬
َْ
‫ي‬ ‫ي‬ ‫قَ يد ُموا َعلَى الني ي‬
ُّ ‫ فَأ ََمَرُه ُم الني‬،َ‫اجتَ َوْوا الْ َمدينَة‬
‫َّب‬ ْ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ف‬ َ ‫َّب‬
،‫ فَيَ ْشَربُوا يم ْن أَبْ َو ياِلَا َوأَلْبَ ياِنَا‬،‫الص َدقَية‬
َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم أَ ْن ََيْتُوا إيبي َل‬ َ
‫صلَّى هللاُ َعلَْي يه َو َسلَّ َم يِف‬ َ ‫َّب‬ ُّ ‫ث الني‬ َ ‫ فَبَ َع‬،‫وها‬ َ ُ‫استَاق‬
‫ي‬
ْ ‫فَ َف َعلُوا فَ َقتَ لُوا َراعيَ َها َو‬
‫ي‬ ‫يي‬
ْ‫ َوَل‬،‫ َو ََسََّر أ َْعيُنَ ُه ْم‬،‫ فَ َقطَّ َع أَيْديَ ُه ْم َوأ َْر ُجلَ ُه ْم‬،‫ «فَأيُِتَ ِب ْم‬:‫ قَ َال‬،»‫طَلَبي يه ْم‬
‫ين‬ ‫َّ ي‬ َّ‫ي‬ َّ ‫ فَأَنْ َزَل‬،»‫ََْي يس ْم ُه ْم َوتَ َرَك ُه ْم َح ََّّت َماتُوا‬
َ ‫ {إَّنَا َجَزاءُ الذ‬:‫اَّللُ َعَّز َو َج َّل‬
َّ ‫َُيَا يربُو َن‬
6
)‫] ْاْليَةَ (رواه النسائي‬33 :‫اَّللَ َوَر ُسولَهُ} [املائدة‬
"`Amr bin `Utsmân bin Sa`id bin Katsîr bin Dînâr mengabarkan
kepadaku dari al-Walîd, dari al-Auzâ'iy, dari Yahyâ, dari Abî
Qilâbah, dari Anas bahwa sebuah rombongan dari `Ukl
mendatangi Nabi Saw. Mereka tidak cocok dengan udara
Madinah sehingga jatuh sakit. Nabi Saw. menyuruh mereka

4
Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, TafsirAyat-Ayat Ahkam,
(Ciputat: UIN Press, 2015), Cet. I, h. 82
5
Tim Lanjah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Asbab an-Nuzul: Kronologi dan
Sebab Turun Wahyu AL-Qur'an, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AL-Qur'an, 2015), h.
220
6
Abû Abd ar-Rahmân Ahmad ibn Syu'aib ibn Ali al-Khurasâni, Sunan an-Nasâ'i,
Jilid 4, (Kairo: Dâr al-Hadis, 1999), Cet. I, h. 7-8
28

mendatangi onta sedekah, lalu meminum kencing dan susunya.


Mereka pun sembuh. Namun mereka justru membunuh
penggembala dan melarikan onta-ontanya. Kemudian Nabi Saw.
mengirim utusan untuk menangkap mereka. Anas berkata,
"Mereka dibawa ke hadapan Nabi. Beliau memotong tangan dan
kaki mereka, mencungkil mata mereka, tidak menghentikan
aliran darah mereka, dan membiarkan mereka berada dalam
kondisi itu sampai mati. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan
ayat, 'Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya... (QS. Al-Maidah [5]: 33)." (HR. an-Nasâ'i)7
Pada ayat sebelumnya (Surat Al-Maidah ayat 27-31),
Allah menceritakan Qabil dan Habil, putra-putra Adam as. dan
menerangkan kekejian dan kejahatan membunuh, serta
memperkeras tuntutan terhadap pembunuh, setelah itu
menerangkan bahwa barangsiapa yang membunuh seorang
manusia tanpa suatu sebab yang benar, maka seakan-akan ia
membunuh manusia seluruhnya (ayat 32), maka Allah Swt.
menyebutkan di sini (ayat 33) hukuman yang harus dijatuhkan
terhadap orang-orang yang membuat kerusakan dan kerusuhan di
muka bumi agar orang lain tidak berani melakukan perbuatan
yang sama. Allah menjelaskan juga hukuman yang harus
dijatuhkan kepada seorang pencuri (ayat 38) sebab pencurian
termasuk juga jenis gangguan keamanan di muka bumi dan
merupakan salah satu bentuk perbuatan kerusakan di muka bumi.
Allah Swt. telah mensyariatkan hukuman-hukuman tersebut
supaya hukuman tersebut menjadi pencegah bagi manusia untuk
tidak melakukan kejahatan. Maka dengan ayat-ayat tersebut,
hukuman terhadap pelaku pencurian dengan hukuman terhadap

7
Ahmad bin Syu'aib Abdurrahman an-Nasâ'i, Ensiklopedia Hadis 7; Sunan an-
Nasâ'i, terj. M. Khairul Huda, dkk, (Jakarta: al-Mahira, 2013), Cet. I, h. 816
29

pelaku hirâbah menjadi berselarasan, setelah diuraikannnya


kejahatan membunuh.8

3. Hirȃbah Menurut Para Mufasir dan Fuqaha


a. Hirȃbah Menurut Para Mufasir
1) Definisi Hirȃbah
Ibnu Jarîr ath-Thabarî (w. 923 M/ 310 H)
menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud
memerangi Allah dan Rasul-Nya adalah orang yang
memerangi orang muslim dan kafir dzimmî di jalan, kota,
dan desa. Dari sejumlah riwayat yang ia paparkan, tidak
ada pertentangan hujah bahwa orang yang memerangi
orang Islam secara zalim dianggap sebagai muhârib, oleh
karena itu sama saja hukumnya baik dilakukan di kota, di
desa, maupun di jalan. Sedangkan maksud firman Allah
"dan membuat kerusakan di muka bumi" adalah mereka
yang berbuat maksiat di bumi Allah dalam bentuk teror di
jalan orang-orang Islam dan kafir dzimmî, berbuat jahat di
jalan mereka, merampas harta mereka secara zalim,
melakukan tindak kekerasan kepada mereka, dan
9
menyerobot hak mereka secara jahat dan zalim.
Sedangkan Wahbah az-Zuhailî (w. 2015 M/1436
H) dalam tafsirnya, Tafsîr al-Munîr mendefinisikan bahwa
hirâbah adalah suatu tindak kejahatan penentangan dan
pembangkangan yang mencakup tindak kriminal
kekafiran, qath`u ath-tharîq, dan menebar teror dan

8
Muhamamd `Alî ash-Shâbûnî, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyâh al-Ahkâm min Al-
Qur'an, terj: Saleh Mahfoed, Jilid I, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1994), h. 962-963
9
Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `an Ta'wîl Ayi Al-
Qur'an, Jilid. IV, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyah, 1999), h. 552
30

kerusakan di muka bumi10. Ia mengimbuhkan bahwa


pelaku tindak kejahatan (muhârib) adalah kelompok-
kelompok yang memiliki kekuatan, pertahanan, dan daerah
kekuasaan, melakukan gangguan dan penghadangan
terhadap kaum muslimin dan kaum dzimmî, membunuhi
mereka, merampas harta benda, dan atau melanggar
kehormatan.11
Thâhir ibnu Âsyûr dalam tafsirnya, at-Tahrîr wa
at-Tanwîr memaknai yuhâribûna adalah mereka yang
telah membunuh dengan menggunakan pedang karena
permusuhan dengan tujuan untuk mendapatkan barang
rampasan seperti prinsip orang-orang yang memerangi
(muhârib), karena hakikat perang (harb) adalah
pembunuhan. Sedangkan arti memerangi Allah di sini
adalah memerangi syariatnya dan sengaja melanggar
hukum-hukumnya.12
Sedangkan menurut Hamka dalam tafsirnya Tafsir
Al-Azhar maksud dari memerangi Allah dan Rasul-Nya
adalah menentang kehendak Allah dan Rasul-Nya dengan
mengadakan perkumpulan atau gerombolan perampas,
perampok, atau penyamun terhadap orang yang bukan
musuh dan merasa hidup aman di bawah perlindungan
peraturan Allah dan Rasul-Nya, hanya karena hendak

10
Berbuat kerusakan di muka bumi maksudnya di sini adalah menebar teror,
katakutan, dan kegelisahan di jalan dengan membawa senjata, baik disertai dengan
pembunuhan dan pengambilan harta maupun tidak. Lihat Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-
Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), Jilid V, h. 166
11
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir,
1991), h. 163
12
Thâhir ibnu `Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, Jilid VI, (Tunis: Dâr Suhnûn
li an-Nasyr wa at-Tauzi', 1997), h. 181
31

merampas harta benda mereka, kalau perlu dengan


membunuh orangnya. Hal tersebut tentu mengganggu
keamanan masyarakat.13
Dari beberapa pendapat mufasir di atas, dapat
disimpulkan bahwa hirâbah adalah suatu tindak kejahatan
penentangan dan pembangkangan yang mencakup
melakukan gangguan dan penghadangan (qath`u ath-
tharîq), melakukan tindak kekerasan bahkan membunuh,
merampas harta benda, dan atau melanggar kehormatan
yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki
kekuatan, pertahanan, dan daerah kekuasaan, baik
dilakukan di jalan, kota, atau desa, dengan tujuan untuk
merampas harta benda.

2) Hukuman Pelaku Hirâbah


Imam ath-Thabarî berpendapat bahwa hukuman
terhadap pelaku hirâbah berbeda-beda sesuai kategori
tingkat kejahatannya. Beliau mengatakan bahwa alasan
pendapat yang yang mengatakan bahwa Imam boleh
memilih hukuman bagi pelaku hirâbah karena huruf `athaf

"‫ "أو‬bermakna ‫التخيري‬ (pilihan) merupakan alasan yang

tidak memiliki relevansi. Dalam ayat ini makna "‫"أو‬

adalah ‫التعقيب‬ (berurutan), seperti pendapat yang

mengatakan bahwa balasan orang mukmin pada hari

13
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid VI, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Cet. II, h.
225
32

kiamat adalah memasukkannya ke surga pada kedudukan


yang sesuai dengan amal kebaikannya.14 Namun dalam
tafsirnya, ath-Thabarî tidak menyebutkan pendapatnya
mengenai rincian urutan hukuman tersebut.
Hukuman bagi muhârib menurut Wahbah az-
Zuhailî dalam tafsirnya Tafsîr al-Munîr adalah diurutkan
dan didiversifikasikan sesuai dengan kejahatan yang

dilakukan, sehingga huruf `athaf "‫ "أو‬dalam ayat ini

memiliki makna ‫التنويع‬ (variasi dan diversifikasi).15

Hukuman muhârib yang disebutkan dalam ayat ini


menurut Wahbah memiliki dua bentuk hukuman, yakni
hukuman di dunia dan hukuman di akhirat. Seperti yang
disebutkan dalam ayat:

          ...

 
"...yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar" (QS. Al-Mâidah [5]: 33)

Kehinaan, cela, dan aib bagi mereka di dunia dan


mendapatkan azab besar di akhirat.16 Hukuman dunia
terdapat empat macam; hukuman mati tanpa disalib bagi
mereka yang hanya membunuh saja; hukuman mati

14
Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `an Ta'wîl Ayi Al-
Qur'an, Jilid. IV, h. 555-556
15
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, h. 163
16
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, h. 167-168
33

disertai penyaliban bagi mereka yang membunuh dan


merampas harta benda; hukuman potong tangan dan kaki
secara bersilang bagi mereka yang mengambil harta benda
saja; hukuman dibuang dan diasingkan bagi mereka yang
menebar teror dan ketakutan saja.17
Dalam Tafsir al-Azhar, buya Hamka mengatakan
bahwa orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya
tidak ada hukuman lain yang harus diterimanya selain
dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka secara
bersilangan, dan dibuang dari bumi. Namun pemilihan
hukuman tersebut akan diputuskan oleh kepala negara atau
hakim yang ditunjuk.18
3) Pertobatan dalam Hirâbah
Imam ath-thabarî berpendapat bahwa seseorang
yang telah memerangi Allah dan Rasulnya, serta membuat
kerusakan di muka bumi dan melarikan diri sebelum
tertangkap baginya konsekuensi di dunia dan ditetapkan
baginya hukum hirâbah serta wajib baginya membayar
denda dan qishâsh, baik ia bertobat maupun tidak.19
Wahbah az-Zuhailî memiliki pendapat yang
berbeda dari ath-Thabarî, ia berpendapat bahwa pertobatan
hanya menggugurkan apa yang menjadi bagian dari hak-
hak Allah Swt. saja, yaitu hukuman had hirâbah.

17
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, h. 166
18
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid VI, Cet. 2, h. 225
19
Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jâmi` al-Bayân `an Ta'wîl Ayi Al-
Qur'an, Jilid. IV, h. 566
34

Sedangkan hak-hak hamba yang berupa qishâsh dan denda


masih tetap dan tidak gugur.20
Hamka mengeculikan orang yang insaf, bertobat,
dan menyerahkan diri kepada yang berkuasa sebelum
ditangkap, mereka boleh tidak dikenai hukum hirâbah.
Hal tersebut boleh dilakukan setelah hakim benar-benar
menilik kesungguhan tobatnya. Namun harta benda yang
telah mereka rampas atau rusakkan wajib mereka ganti.21
b. Hirâbah Menurut Para Fuqaha
1) Definisi Hirâbah
Kata hirâbah berasal dari kata harb (perang),
karena kelompok yang melanggar peraturan ini dianggap
memerangi masyarakat dan memerangi ajaran Islam yang
datang untuk menciptakan keamanan dan ketentraman di
tengah-tengah masyarakat, dengan menjaga hak-hak
mereka.22
Wahbah az-Zuhailî dalam kitab fikihnya Fiqh
Islam wa Adillatuhu mendefinisikan hirâbah sebagai
setiap tindakan dan aksi yang dilakukan dengan maksud
dan tujuan untuk mengambil harta dalam bentuk yang
biasanya korbannya tidak mungkin untuk meminta
bantuan dan pertolongan.23
Sedangkan Sayyid Sâbiq (w. 2000M/ 1420 H)
mendefinisikan hirâbah dengan lebih rinci yaitu

20
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, h. 168
21
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid VI, Cet. 2, h. 230-231
22
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, (Jakarta: al-I'tisham,
2008), h. 670
23
Wahbah az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2011), Cet. I, h. 411
35

gerombolan bersenjata di wilayah Islam untuk membuat


kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta,
merusak kehormatan, menghancurkan tanaman dan
peternakan, menantang agama, akhlak, ketertiban, dan
undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang
Islam, kafir dzimmî, maupun kafir harbî. Hirâbah juga
bisa dilakukan oleh perorangan. Dalam kasus kekinian
gerombolan pembunuh, sindikat penculik anak, sindikat
pembobol rumah dan bank, sindikat penculik wanita dan
gadis-gadis belia untuk dijadikan pelacur, sindikat
penculik dan pembunuh para pejabat untuk menggoncang
stabilitas keamanan, dan sindikat perusak tanaman dan
hewan ternak juga termasuk dalam kejahatan hirâbah.24
Ulama Hanafiyah menyamakan hukuman had
kejahatan hirâbah dengan hukuman had kejahatan
pencurian. Hal tersebut dikarenakan hirâbah disebut juga
aksi pencurian besar. Hanya saja hirâbah bukanlah bentuk
kejahatan pencurian secara mutlak. Penyebutan kejahatan
hirâbah dengan sebutan pencurian adalah penyebutan
yang bersifat majas, karena hirâbah juga mengandung
unsur sembunyi-sembunyi sebagaimana pencurian. Dalam
hal ini hirâbah mengandung unsur sembunyi-sembunyi
dari pengawasan imam (pemerintah, penguasa) atau dari
para petugas penjaga keamanan jalan.25 Sedangkan
dinamakan dengan pencurian besar karena dampak
mudaratnya tidak hanya menimpa para pemilik harta yang

24
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
25
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 410-411
36

dirampas saja melainkan menimpa semua masyarakat


secara umum, sehingga ancaman hukuman hadnya
diperberat. Oleh karena itu sebagian ulama Indonesia
mencoba memasukkan tindak pidana korupsi dan
terorisme sebagai bagian dari tindak pidana hirâbah.26
2) Syarat Hirâbah
Sayyid Sâbiq mensyaratkan muhârib yang berhak
dijatuhi hukuman hirâbah adalah seorang Mukalaf,
membawa senjata, lokasi hirâbah jauh dari keramaian, dan
dilakukan secara terang-terangan.27
Wahbah az-Zuhailî menjelaskannya dengan lebih
memerinci, ia mensyaratkan muharîb haruslah orang yang
berakal dan baligh, dan bukan kerabat mahram korban,
baik seorang laki-laki maupun perempuan. Sedangkan
syarat tempat kejadian hirâbah adalah dilakukan di
kawasan Negeri Islam, dilakukan di luar kawasan al-mishr
(perkotaan, kawasan berpenduduk), dan tempat
dilakuaknnya aksi pembegalan berjarak satu jarak
perjalanan (masîratu safar) dari kawasan berpenduduk.28

3) Syarat Pelaku Hirâbah (Muhârib)


a) Mukalaf
Muhârib disyaratkan harus berakal dan sudah
balig. Keduanya merupakan komponen syarat
ditetapkannnya hukuman hudud. Anak kecil dan orang
gila tidak dapat disebut muhârib. Terdapat perbedaan

26
Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
(Ciputat: UIN Press, 2015), Cet. I, h. 74
27
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. I, h. 671
28
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 412-417
37

pendapat di kalangan ulama mengenai hukuman suatu


komplotan aksi hirâbah apabila pelakunya terdapat
anak kecil atau orang gila, apakah hukuman dapat
dijatuhkan kepada mereka semua atau tidak.
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
hukuman hirâbah tidak dapat diberlakukan kepada
seluruh pelakunya apabila di antara mereka terdapat
anak kecil atau orang gila. Hukumannnya dilihat dari
tingkat kejahatannya, apabila membunuh maka
hukumannya diserahkan kepada wali terbunuh, apakah
dimaafkan, dituntut qishâsh, dan lain-lain.29 Abû
Yûsuf (w. 798 M/182 H) juga berpendapat yang
serupa, namun apabila pelaku langsung hirâbah adalah
anggota komplotan yang lain selain anak kecil atau
orang gila tersebut, maka had dikenakan terhadap para
anggota komplotan yang sudah balig dan berakal saja,
sedangkan anak kecil atau orang gila tersebut tidak
dikenai hukuman had.30
Sedangkan ulama Mâlikiyah, Zhâhiriyah, dan
ulama lain berpendapat bahwa hukuman had hirâbah
tetap diberlakukan terhadap setiap anggota komplotan
sekalipun anak kecil dan orang gila tidak dikenai
hukuman.31
b) Bukan Kerabat Mahram Korban
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
komplotan pelaku hirâbah disyaratkan mereka semua

29
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. I, h. 672
30
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 414
31
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. I, h. 672
38

harus orang asing (tidak ada di antara mereka yang


masih kerabat mahram korban), mukalaf (berakal dan
baligh), dan laki-laki. Sehingga jika salah satu di
antara mereka ada yang masih kerabat mahram korban,
atau anak kecil, atau orang gila, atau bahkan seorang
perempuan maka hukuman had tidak bisa dikenakan
terhadap mereka, menurut Imam Abû Hanîfah dan
Muhammad (w. 804 M/189 H).32
c) Dikenakan Had Baik Laki-Laki Maupun
Perempuan
Menurut Zahir riwayat dari Imam Abû
Hanîfah, seorang muhârib haruslah seorang laki-laki.
Apabila dalam tindak pidana tersebut terdapat seorang
perempuan maka perempuan tersebut tidak dikenai
hukuman had, berdasarkan riwayat yang masyhur. Hal
tersebut dikarenakan kelembutan hati serta lemahnya
kerangka postur tubuh perempuan sehingga tidak
biasanya seorang perempuan ditemukan bergabung
dengan dunia perang dan kekerasan. Bahkan menurut
Imam Abû Hanîfah dan Muhammad, jika tindak
pidana hirâbah dilakukan oleh sekelompok orang yang
di dalamnya terdapat seorang perempuan maka mereka
tidak dikenai hukuman had sebab di dalamnya terdapat
seorang perempuan yang mana tidak bisa dikenai
hukuman had.33

32
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 414
33
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 412
39

Sayyid Sâbiq tidak menjadikan "Lelaki" dan


"Merdeka" sebagai syarat dijatuhkannya hukuman
hirâbah, sebab tidak sedikit wanita atau budak yang
memiliki kemampuan lebih dalam mengatur strategi
dan menggunakan senjata. Oleh karena itu,
menurutnya wanita atau budak yang melakukan
hirâbah tetap dijatuhi had hirâbah.34
Sementara itu Abû Yûsuf berpendapat bahwa
yang diperhitungkan dan menjadi patokan adalah siapa
pelaku langsungnya. Apabila yang melakukan
langsung pidana hirâbah adalah perempuan maka
anggota komplotan yang laki-laki dikenai hukuman
had sedangkan si perempuan tersebut tidak dikenai
hukuman had. Namun jika dalam aksi hirâbah si
perempuan membunuh salah seorang korbannya maka
ia dibunuh dengan hukuman qishâs, bukan sebagai
hukuman had sehingga wali korban yang dibunuh itu
boleh memberikan ampunan terhadap perempuan
tersebut hingga tidak diqishâs.35
Lain halnya dengan ulama Mâlikiyah, ulama
Syâfi`iyah, dan ulama Hanabilah, mereka berpendapat
bahwa hukuman had hirâbah tetap tidak bisa gugur
dari diri para pelaku meskipun di antara mereka
terdapat seorang anak kecil, orang gila, ataupun orang
yang masih termasuk kerabat mahram korban.36

34
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 672
35
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 414
36
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 414-415
40

Ath-Thahâwi (w. 933 M/321 H) mengatakan,


tindak pidana hirâbah baik dilakukan seorang laki-laki
maupun perempuan hukumnya sama saja, sama seperti
hukuman had lainnya. Ibnu 'Âbidîn (w. 1836 M/1252
H) menyatakan secara tegas dalam Hâsyiyah-nya
bahwa menurut riwayat Zahir, perempuan dan laki-laki
adalah sama dalam kasus kejahatan hirâbah, hanya
saja perempuan tidak sampai dihukum salib.37
Jumhur ulama tidak membedakan antara pelaku
laki-laki dan pelaku pelaku perempuan, sehingga
hukuman had hirâbah dikenakan terhadap seluruh
pelaku yang mukalaf dan memiliki kewajiban
komitmen mematuhi aturan dan hukum-hukum
agama.38
4) Syarat Tempat Hirâbah
Terdapat tiga syarat tempat kejadian hirâbah,
39
yaitu:
a) Hirâbah dilakukan di dalam kawasan negeri Islam.
Para ulama bersepakat akan hal ini. Suatu aksi hirâbah
jika terjadi dalam kawasan dâr al-harb (negeri musuh),
maka hukuman had hirâbah tidak bisa ditegakkan.40
b) Hirâbah dilakukan di kawasan berpenduduk maupun di
luar kawasan berpenduduk.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Imam Abû Hanîfah, Muhammad, dan Zahir perkataan

37
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 412-413
38
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 413
39
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 416-417
40
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 416
41

Imam Ahmad menyatakan bahwa suatu aksi kejahatan


penghadangan jalan dan perampasan harta tidak bisa
dihukumi sebagai tindak pidana hirâbah kecuali jika
itu dilakukan di luar kawasan berpenduduk, sebab jika
penghadangan dilakukan di kawasan berpenduduk
maka biasanya penduduk akan memberikan
pertolongan kepada korban. Hal tersebut lebih mirip
dengan tindakan penggasaban dan hukumannya adalah
takzir dan mengembalikan harta yang dirampas. Ini
adalah pendapat yang didasarkan pada pertimbangan
prinsip istihsan.41
Sementara itu, Abû Yûsuf, ulama Mâlikiyah,
ulama Syâfi`iyah dan pendapat yang muktamad di
kalangan ulama Hanabilah menyatakan bahwa aksi
pencegatan dan perampasan harta bisa dihukumi
sebagai tindak pidana hirâbah baik dilakukan di
kawasan berpenduduk maupun di luar kawasan
berpenduduk. Ibnu 'Âbidîn mengimbuhkan, para ulama
pemuka memfatwakan riwayat Abû Yûsuf bahwa aksi
tersebut bisa dihukumi sebagai tindak pidana hirâbah
baik dilakukan pada malam maupun siang hari, baik
menggunakan senjata maupun tidak.42
c) Tempat dilakuaknnya aksi hirâbah berjarak satu jarak
perjalanan (masîratu safar) dari kawasan berpenduduk.
Hal tersebut merupakan pendapat Imam Abû Hanîfah
dan Muhammad.43

41
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 416
42
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 416
43
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 417
42

Adapun menurut Abû Yûsuf, hal ini tidak


menjadi syarat.44 Hal senada juga dilontarkan oleh
Ibnu Arabi (w. 1240 M/638 H) yang merupakan ulama
Mâlikiyah. Beliau mengatakan bahwa hirâbah bisa
terjadi di tempat keramaian atau jauh dari keramaian,
baik menggunakan senjata maupun hanya sebuah
tongkat, baik menggunakan tipu daya atau tidak.45
Pada syarat yang kedua dan ketiga yang
difatwakan adalah pendapat Abû Yûsuf.46
5) Macam-Macam Hirâbah dan Hukumannya
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman
hirâbah yang disyariatkan dalam surat Al-Maidah ayat 33.
Hukuman bunuh, salib, potong tangan dan kaki secara
bersilang, dan dibuang dari negeri tempat kediamannya,
dihubungkan dengan kata "aw" (atau). Kata tersebut
menimbulkan perdebatan apakah hukuman yang
disebutkan adalah bersifat pilihan ataukah diurutkan sesuai
kadar kejahatan yang dilakukan oleh pelaku hirâbah.
Argumen yang mengatakan bahwa "aw" bermakna
pilihan adalah dilihat dari kesesuaian dengan irama ayat
serta tidak ada hadis yang menjelaskan bahwa maknanya
bukan seperti ini. Hukumannya dijatuhkan dengan
mempertimbangkan kemaslahatan berbagai pihak tanpa
melihat tingkat kejahatan yang dilakukan muhârib.
Sedangkan argumen yang mengatakan bahwa "aw"
bermakna perincian tingkat kejahatan adalah karena

44
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 417
45
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. I, h. 674
46
Az-Zuhaili, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 417
43

perusakan yang mereka timbulkan berbeda-beda. Jadi


hukumannya disesuaikan dengan tingkat kerusakan yang
ditimbulkannya.47
Imam Malik (795 M/179 H) berpendapat bahwa
penentuan bentuk hukuman had hirâbah yang dijatuhkan
kepada pelaku hirâbah dikembalikan kepada ijtihad dan
pertimbangan imam serta meminta pertimbangan dan
pendapat para fuqaha, dengan mengesampingkan ego
pribadi.48 Sementara itu, Ulama Hanafiyah, ulama
Syâfi`iyah, dan ulama Hanabilah49 dan mayoritas ulama50
berpendapat bahwa tingkatan had hirâbah adalah sesuai
dengan urutan yang disebutkan pada ayat muhârabah,
sebab hukuman harus sesuai dengan kadar tingkatan
kejahatan. Namun mereka berbeda pendapat mengenai
bentuk urutan tingkatan hukuman-hukuman tersebut.51"
Berikut bentuk hukuman dengan urutan tingkatan
kejahatan yang dilakukan:
a) Tindakan hirâbah yang terbatas pada menakut-
nakuti orang yang lewat
Ulama Hanafiyah berpendapat, apabila mereka
hanya menakut-nakuti saja tanpa sampai membunuh
dan mengambil hartanya, maka mereka dibuang dan
diasingkan, yakni dipenjara dan dihukum takzir.
Ulama Syâfi'iyah dan ulama Hanabilah memfatwakan
hal yang senada. Sedangkan menurut pendapat Imam

47
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. I, h. 676-678
48
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 419
49
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418
50
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 677
51
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418
44

Malik, apabila pelaku hanya menakut-nakuti dan


meneror saja, imam bisa memilih antara menjatuhinya
hukuman mati, hukuman salib, hukuman potong
tangan dan kakinya secara bersilang, ataukah hukuman
pembuangan dan pengasingan disertai hukuman pukul,
dengan klasifikasi; apabila pelaku adalah orang yang
cerdik, pandai, memiliki pengaruh dan kekuatan, maka
orientasi ijtihadnya adalah menjatuhinya hukuman
mati atau hukuman salib, karena jika hanya
menjatuhinya hukuman potong tangan dan kaki secara
bersilang belum bisa efektif menolak kemudaratannya;
apabila ia bukan orang cerdik dan pandai, melainkan
hanya memiliki kekuatan dan keberanian, maka ia
dijatuhi hukuman potong tangan dan kaki secara
bersilang; namun apabila ia tidak memiliki semua
sifat-sifat tersebut, maka ia dijatuhi hukuman yang
paling ringan, yakni dipukul, dibuang, dan
diasingkan.52
b) Tindakan hirâbah yang hanya merampas harta,
tanpa pembunuhan
Ulama Hanafiyah, ulama Syâfi`iyah dan ulama
Hanabilah berpendapat, apabila para pelaku hanya
merampas hartanya saja maka mereka dipotong tangan
dan kakinya secara bersilang.53 Hal tersebut
dimaksudkan agar manfaat tangan dan kaki tidak
hilang sama sekali.54 Sementara itu Imam Malik

52
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418-419
53
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418
54
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 680
45

berpendapat, apabila pelaku hanya mengambil dan


merampas harta saja maka imam bisa memilih bentuk
hukuman hirâbah yang menurutnya lebih efektif,
dengan mengesampingkan selera dan ego masing-
masing.55 Jumhur ulama fikih mengatakan, untuk
penerapan hukum ini disyaratkan jumlah harta yang
dirampas mencapai nisab dan diambil dari tempat
simpanannya. Imam Syafii berpendapat, apabila aksi
hirâbah dilakukan oleh sekelompok orang, mereka
tidak bisa dijatuhi hukum potong apabila masing-
masing tidak mencapai nisab. Sedangkan menurut Ibnu
Qudamah (w. 1224 M/620 H), jika jumlah keseluruhan
telah mencapai nisab, maka harus dihukum potong.56
c) Tindakan hirâbah dengan membunuh tanpa
mengambil harta benda
Ulama Hanafiyah berpendapat Apabila mereka
hanya membunuh saja, mereka dijatuhi hukuman mati
saja. Ulama Syâfi`iyah dan ulama Hanabilah
mengatakan hal serupa. Sedangkan Imam Malik
berpendapat, apabila pelaku membunuh, maka ia
dibunuh juga. Imam tidak memiliki pilihan untuk
menjatuhinya hukuman potong tangan dan kaki secara
bersilang, akan tetapi hanya memiliki pilihan antara
menjatuhinya hukuman mati atau salib.57 Menurut
Sayyid Quthub, semua pelaku hirâbah dihukum bunuh
meskipun yang melakukan pembunuhan hanya satu

55
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 419
56
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 681
57
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418-419
46

orang. Hal itu dikarenakan mereka secara keseluruhan


merupakan komplotan dalam mengadakan hirâbah.58
d) Tindakan hirâbah berupa pembunuhan dan
perampasan harta
Ulama Hanafiyah berpendapat Apabila mereka
membunuh dan merampas hartanya, imam bisa
memilih antara memotong tangan dan kaki mereka
secara bersilang kemudian menghukum mati atau
menyalip mereka, atau langsung dihukum mati atau
salib tanpa memotong tangan dan kaki mereka.
Sementara itu ulama Syâfi`iyah dan ulama Hanabilah
bependapat, apabila mereka membunuh disertai
dengan perampasan harta maka mereka dihukum mati
dan disalib.59 Imam malik tidak menjelaskan secara
khusus kategori ini. Sayyid Quthub menjelaskan
bahwa hukuman untuk kategori ini adalah dengan
mengikat mereka di tiang dengan tangan dilentangkan,
kemudian ditusuk hingga mati.60

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai


hukum ar-rid'u (orang yang ikut membantu aksi
pembegalan). Ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, dan
ulama Hanabilah mengatakan bahwa ar-rid'u tetap terkena
hukum sebagai pelaku hirâbah baik secara langsung
melakukan aksi tersebut maupun tidak. Sementara itu
ulama Syâfi`iyah mengatakan, apabila keberadaan ar-rid'u

58
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 682
59
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 418
60
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 682
47

hanya sebatas untuk memperbanyak jumlah komplotan


saja supaya jumlah mereka tampak banyak, tidak lebih
dari itu, maka ia hanya dikenai hukuman takzir dengan
dipenjara, diasingkan, dan semacamnya. Karena dalam
aksi hirâbah yang menjadi poinnya adalah para pelaku
langsung, bukan pada orang yang posisinya hanya sebagai
ar-rid'u saja.61
Mengenai syarat harta yang dirampas para ulama
bersepakat bahwa syarat harta yang dirampas sama seperti
syarat harta yang dicuri dalam kejahatan pencurian, yaitu
harta yang memiliki nilai (mutaqawwim), dilindungi, hak
milik penuh, harta itu dijaga dan disimpan (muhraz), dan
jumlahnya mencapai nisab penuh untuk masing-masing
anggota pelaku hirâbah, yaitu sepuluh dirham atau senilai
dengan itu.62
6) Pertobatan dalam Hirâbah
Jumhur ulama fikih mengatakan hukuman hirâbah
dapat dihapus dengan pertobatan dan penyerahan diri
sebelum tertangkap. Namun pertobatan tersebut tidak
dapat menghapus hukuman yang berkaitan dengan
pelanggran atas hak hamba, seperti pembunuhan dan
pengambilan harta.63 Apabila pelaku hirâbah membunuh
korban maka ia wajib diqishâsh, apabila pelaku melukai
korban dalam bentuk luka yang memungkinkan untuk
dilakukan qishâsh maka ia diqishâsh, dan apabila pelaku
melukai korban dalam bentuk luka yang tidak

61
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 415
62
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 415-416
63
H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 92
48

memungkinkan untuk dilakukan qishâsh maka ia wajib


membayar ursy.64
4. Ruang Lingkup Hirâbah
Dalam konteks kekinian, hirâbah melingkupi:
a. Tindak pidana perampokan dan penyamunan atau
65
pembegalan.
b. Gerombolan pembunuh66
c. Sindikat penculik anak67

64
Az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 423
65
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perampokan adalah perbuatan orang yang
mengambil dengan paksa dan kekerasan barang milik orang, sedangkan penyamunan atau
pembegalan adalah perbuatan perampasan di jalan. Lihat KBBI Daring
https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses tanggal 17 September 2019. Menurut Hamka dalam
Tafsir Al-Azhar, maksud dari hirâbah adalah menentang kehendak Allah dan Rasul-Nya
dengan mengadakan perkumpulan atau gerombolan perampas, perampok, atau penyamun
terhadap orang yang bukan musuh dan merasa hidup aman di bawah perlindungan peraturan
Allah dan Rasul-Nya, hanya karena hendak merampas harta benda mereka, kalau perlu
dengan membunuh orangnya. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid VI, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 2000), Cet. II, h. 225. Muhammad `Ali al-Sayis menjelaskan bahwa ayat hirâbah
bisa saja diarahkan kepada orang-orang yang membuat kekacauan di tengah masyarakat
dengan membunuh dan merampas harta orang lain. Lihat Lilik Ummu Kaltsum dan Abd.
Moqsith Ghazali, TafsirAyat-Ayat Ahkam, (Ciputat: UIN Press, 2015), Cet. I, h. 82. Ibnu
Jarîr ath-Thabarî menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud hirâbah adalah orang
yang memerangi orang muslim dan kafir dzimmî di jalan, kota, dan desa dalam bentuk teror
di jalan orang-orang Islam dan kafir dzimmî, berbuat jahat di jalan mereka, merampas harta
mereka secara zalim, melakukan tindak kekerasan kepada mereka, dan menyerobot hak
mereka secara jahat dan zalim. Lihat Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jâmi` al-
Bayân `an Ta'wîl Ayi Al-Qur'an, Jilid. IV, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyah, 1999), h. 552.
Thâhir ibnu Âsyûr dalam tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr memaknai yuhâribûna adalah mereka
yang telah membunuh dengan menggunakan pedang karena permusuhan dengan tujuan
untuk mendapatkan barang rampasan. Lihat Thâhir ibnu `Âsyûr, Tafsîr at-Tahrîr wa at-
Tanwîr, Jilid VI, (Tunis: Dâr Suhnûn li an-Nasyr wa at-Tauzi', 1997), h. 18. Wahbah az-
Zuhailî dalam kitab Fiqh Islam wa Adillatuhu mendefinisikan hirâbah sebagai setiap
tindakan dan aksi yang dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengambil harta dalam
bentuk yang biasanya korbannya tidak mungkin untuk meminta bantuan dan pertolongan.
Lihat Wahbah az-Zuhailî, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema
Insani, 2011), Cet. I, h. 411
66
Sayyid Sâbiq mendefinisikan hirâbah yaitu gerombolan bersenjata di wilayah
Islam untuk membuat kekacauan, penumpahan darah, perampasan harta, merusak
kehormatan, menghancurkan tanaman dan peternakan, menantang agama, akhlak, ketertiban,
dan undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang Islam, kafir dzimmî, maupun kafir
harbî. Lihat Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670.
67
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
49

d. Sindikat pembobol rumah dan bank68


e. Sindikat penculik wanita dan gadis-gadis belia untuk dijadikan
pelacur69
f. Tindak pidana pemerkosaan70
g. Sindikat penculik dan pembunuh para pejabat untuk
menggoncang stabilitas keamanan71
h. Sindikat perusak tanaman dan hewan ternak72
i. Tindak pidana korupsi73
j. Terorisme74

68
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
69
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
70
Pemerkosaan berbeda dengan zina. Dalam fikih, pemerkosaan disebut sebagai
hirâbah. Sayyid Sâbiq mendefinisikannya sebagai gerombolan yang masuk daerah Islam,
menimbulkan kekacauan, pertumpahan darah, mengambil paksa, dan mengoyak kehormatan.
Hukumnya dosa besar (QS. Al-Mâidah [5]: 33). Lihat Yulianti Muthmainnah, "Menyoal
Zina dan Pemerkosaan", https://www.mediaindonesia.com/read/detail/67311-yulianti-
muthmainnah-dosen-uhamka-jakarta-resource-center-kapal-perempuan#, diakses tanggal 17
September 2019. Lihat juga Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h.
670. Wahbah az-Zuhailî dalam Tafsîr al-Munîr menyebutkan bahwa pelaku tindak kejahatan
(muhârib) adalah kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan, pertahanan, dan daerah
kekuasaan, melakukan gangguan dan penghadangan terhadap kaum muslimin dan kaum
dzimmî, membunuhi mereka, merampas harta benda, dan atau melanggar kehormatan. Lihat
Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), h. 163
71
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
72
Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid. II, h. 670
73
Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat
menghancurklan negara. Dalam Al-Qur'an tindakan mereka ini disebut "memerangi Allah
dan Rasulnya serta berbuat kerusakan di muka bumi", yang disebut hirâbah. Dilihat dari
dampak dan cara kerjanya, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan,
korupsi dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Lihat Hifdzil
Alim, dkk, Jihad NU Melawan Korupsi, (Jakarta: Lakpesdam PBNU, 2017), Cet. III, h. 6-7
dan 147-148. Lihat juga Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), "Buku Saku
Antikorupsi untuk Pemeluk Agama Islam",
https://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_shortcodes/?view=download&id=a35219217
62045ce43db30f66c991c, diakses tanggal 17 September 2019. Lihat juga Suradi, "Korupsi
Menurut Hukum Islam", https://bppk.kemenkeu.go.id/id/dhz9w7qtn4o/211k081/20078.html,
diakses tanggal 17 September 2019
74
Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Terorisme menyatakan bahwa terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah)
hirâbah dalam khazanah fikih Islam. Tindakan terorisme secara fisik dan psikis merupakan
tindak pidana hirâbah karena para teroris mengangkat telah senjata melawan orang banyak
(yang tidak jelas) dan menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat. Lihat Majelis Ulama
50

B. Pendekatan Maqâshid dalam Menafsirkan Al-Qur'an (Tafsir


Maqâshidî)
1. Definisi Tafsir Maqâshidî
Definisi tafsir maqâshidî merupakan suatu problematika di
kalangan para ulama. Pasalnya definisi tafsir maqâshidî memiliki
ketidakjelasan atau ambigu dalam batasan-batasan maknanya.

Lafadz maqashid )‫ (مقاصد‬tersusun dari qa, sha, da )‫ د‬،‫ ص‬،‫(ق‬


yang di dalam Al-Qur'an memiliki makna yang bermacam-
macam. Lafadz ini terkenal pada ucapan-ucapan ulama terdahulu
seperti Imam al-Juainî (w. 1085 M/478 H), Imam al-Ghazâlî, dan
qâdhî al-Iz Ibnu Abdi as-Salâm (w. 1262 M/660 H) dan
pengertian maqâshid menjadi lebih jelas di tangan Imam asy-
Syâthibî (w. 1388 M/790 H). Namun definisi maqâshid dalam
segi bahasa masih ambigu, kemudian pada era kontemporer,
muncul Imam at-Thâhir Ibnu 'Âsyûr, Syaikh asy-Syâhid Hasan al-
Banâ (w. 1949 M/1368 H), `Alâl al-Fâsî (w. 1974 M/1394 H), dan
ulama-ulama maqâshid lainnya memberikan batasan-batasan
definisi yang baru yang lebih lebih memberikan pemahaman.
Namun, kita masih perlu mengkaji dan memperhatikan definisi ini

Indonesia, "Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme"
http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/10.-Terorisme.pdf, diakses tanggal 17
September 2019. Lihat juga Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,
2019), Cet. Ke-1, h. 76-8. Wahbah az-Zuhailî dalam Tafsîr al-Munîr mendefinisikan bahwa
hirâbah adalah suatu tindak kejahatan penentangan dan pembangkangan yang mencakup
tindak kriminal kekafiran, qath`u ath-tharîq, dan menebar teror dan kerusakan di muka bumi.
Berbuat kerusakan di muka bumi maksudnya di sini adalah menebar teror, katakutan, dan
kegelisahan di jalan dengan membawa senjata, baik disertai dengan pembunuhan dan
pengambilan harta maupun tidak. Lihat Wahbah az-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr, Jilid V, (Beirut:
Dâr al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), h. 163-166
51

berdasarkan struktur dan dasar-dasarnya.75 Pada pembahasan ini


kami memfokuskan untuk menjelaskan arti-arti tafsir dan
maqâshid secara umum, kemudian kami membatasi pengertian
untuk tafsir maqâshidî dengan menjelaskan dasar-dasarnya.
a. Definisi tafsir secara terperinci

‫ التفسري‬menurut bahasa merupakan masdar dari wazan

‫تفعيل‬ dan berasal dari fi'il madhi ruba'i mudha'af: ‫فسر‬


َّ .76

Dalam kamus lisân al-arab, kata ]‫الفَسَرَ [فسر‬: ‫البيان‬

(penjelasan). Dikatakan ،‫ ويَفَسََره‬،‫ ابلكسر‬،َ‫فَسَرَ الشيءَ يفسَره‬

.‫ والتَّفسي رَ مثله‬،‫سرهَ أابنه‬


َّ َ‫ فسََرا وف‬،‫ابلضم‬, seperti firman Allah

{ } (dan yang paling baik penjelasannya) (QS.

Al-Furqan [25]: 33). ‫ َوالتَّفَسريَ َكشف‬،‫ َكشف امل ْغطَّى‬:َ‫الفسر‬


ُ
‫الفس َر( املراد عن اللفظ املشكل‬ adalah menyingkap sesuatu
ُ
yang tertutup dan ‫التَّفَسري‬ adalah menyingkap makna dari

lafadz yang sulit)."77 Ibn Fâris (w. 1004 M/395 H) berkata:

75
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", jurnal Qur'anika Vol. 5 No. 2 Desember
2013, h. 131
76
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 131
77
Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2003), Jilid. 6, h. 101
52

"‫ كلمة تدل على بيان شيء وإيضاحه‬:‫الفَسْرُ( "ال َف ْس ُر‬ adalah

kalimat yang menunjukkan atas penjelasan sesuatu dan

keterangannya)", dikatakan ‫ت الشيء وفَ َّس ْرتُه‬


ُ ‫فَ َس ْر‬ (saya

menjelaskan sesuatu dan menerangkannya)." Ibnu Râghib (w.

1108 M/502 H) menjelaskan ‫ ال َف ْس ُر إظهار املعىن املعقول‬:‫فسر‬


َّ "

(‫ الفَسر‬adalah menjelaskan makna yang rasional), dan ‫التَّفسري‬


ُْ
dalam mubâlaghah seperti lafaz ‫الْ َف ْسر‬."78 ‫ال َف ْس ُر‬ dan ‫السفر‬
memiliki kedekatan makna, sebagaimana kedekatan susunan

hurufnya. Namun kata ‫ال َف ْس ُر‬ digunakan untuk menyatakan

penyingkapan sesuatu yang abstrak sedangkan kata ‫السفر‬


digunakan untuk menyatakan penyingkapan sesuatu yang

konkrit. Sehingga dikatakan ُ‫( َس َفَرت امل ْرأَة‬seorang perempuan


َ
mukanya) dan ‫الصْبح‬
menyingkapkan kerudung
ُ ُ ‫َس َفَر‬
ْ ‫( أ‬pagi
telah menjadi terang).79 Berdasarkan beberapa definisi tafsir
menurut bahasa yang telah diungkapkan di atas, dapat kita

simpulkan bahwa tafsir menurut bahasa adalah: ‫البيان‬

78
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 131-132
79
"Rusyaid's Blog" http://adhyputrabone.blogspot.com/2012/11/makna-tafsir-dan-
takwil-serta-hubungan.html?m=1, diakses tanggal 13 Juli 2019
53

(penjelasan), ‫( الكشف‬penyingkapan), ‫( اإلظهار‬penampakan),

dan ‫( التوضيح‬keterangan).

Adapun tafsir menurut istilah terdapat beberapa


macam definisi. Imam az-Zarkasyî (w. 1392 M/794 H)
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab
Allah yang diturukan kepada Nabi Muhammad Saw.,
menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum-
hukum dan hikmah-hikmahnya. Pemahaman ini didasarkan
pada ilmu bahasa, nahwu sharaf, ilmu bayân, ushûl fiqh, dan
ilmu qiraat, dan diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat, serta nâsikh mansûkh. Sementara itu Imam az-
Zarqânî secara ringkas mendefinisikan tafsir sebagai ilmu
yang membahas tentang Al-Qur'an dari segi petunjuknya
terhadap apa yang diinginkan Allah dengan kadar kemampuan
manusia. Sedangkan menurut Thâhir Ibnu 'Âsyûr tafsir adalah
sebuah nama bagi ilmu yang membahas tentang penjelasan
beberapa makna lafaz-lafaz Al-Qur'an, dan lafaz-lafaz yang
diambil daripadanya secara ringkas atau secara luas.80
Dari beberapa definisi di atas, kemungkinan definisi
Ibnu `Âsyûrlah yang mengisyaratkan untuk menggali faedah-
faedah dari beberapa makna bahasa dalam tafsir. Hal tersebut
merupakan petunjuk untuk perluasan pemahaman nas Al-
Qur'an. Sementara definisi Imam Zarkasyî dan Imam Zarqânî
memiliki ciri umum. Tafsir maqâshidî jauh melampaui
batasan dari definisi-definisi ini. Keberadaannnya difokuskan
80
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 131-132
54

pada pembahasan beberapa lafaz, faedah, petunjuk, makna


yang lebih luas, dan teks dan hukum-hukum yang
terlupakan.81

b. Definisi maqâshid secara terperinci

‫املقاصد‬ jamak dari ‫مقصد‬, dan ‫املقصد‬ adalah masdar

mim yang diambil dari fi`il ‫قصد‬, ‫ومقصدا‬


ً ‫قصدا‬
ً ‫قصد‬.
82

Berdasarkan kamus lisân al-arab ‫ استقامة الطريق‬:َ‫القصد‬

‫قَ ي‬
(jalan yang lurus). ‫اصد‬ ‫صداً فهو‬
ْ َ‫ص ُد ق‬
ُ ‫ص َد يَ ْق‬
َ َ‫ق‬. Seperti firman

Allah {  } "Dan hak bagi Allah

(menerangkan) jalan yang lurus" (QS. An-Nahl [16]: 9).


Maksudnya adalah Allah memberikan penjelasan jalan yang
lurus dan mengajak dengan beberapa alasan dan bukti yang

jelas.83 Ibnu Fâris berpendapat ‫ص‬


َ ‫ قَ َد‬berasal dari tiga huruf,
‫والدال‬ ‫والصاد‬ ‫القاف‬, salah satunya menunjukkan

mendatangkan sesuatu, tujuan sesuatu, dan yang lain

81
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 132
82
`Ali Muhammad As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", jurnal
Islâmiyah al-Ma'rifah Vol. 23 No. 89 Musim Panas 2017, h. 557
83
Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Jilid. 6, h. 377
55

mempertebal sesuatu, asalnya ً‫صدا‬


َ ‫وم ْق‬
َ ً‫ص َدا‬
ْ َ‫ص ْدتُهُ ق‬
َ َ‫ق‬.
Sedangkan al-Râghib al-Ashfihâni berpendat ‫ص ُد‬
ْ ‫ ال َق‬:‫ص َد‬
َ َ‫ق‬
‫( استقامة الطريق‬jalan yang lurus), contohnya ‫ص َدهُ أي‬
ْ َ‫ت ق‬
ُ ‫ص ْد‬
َ َ‫ق‬
‫وت ََْن َوه‬
ُ َ‫ ََن‬, maksudnya saya menuju ke arahnya. Lafadz ‫ص َد‬
َ َ‫ق‬
dalam Al-Qur'an terdapat pada 6 tempat, yang pada umumnya
mempunyai arti pertengahan/jalan tengah, istiqâmah, dan
i`tidâl:84
‫م ْقتَ ي‬, dalam firman Allah:
‫ص َدة‬
1)
ُ

 ‫اخل‬...  ...

"...diantara mereka ada golongan yang pertengahan...."


(QS. Al-Maidah [5]: 66)
2) ‫قَ ي‬, dalam firman Allah:
ً‫اص َدا‬

 ‫اخل‬ ...       

"Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan


yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak
seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu...." (QS. At-
Taubah [9]: 42)
3) ‫ص ُد‬
ْ َ‫ق‬, dalam firman Allah:

84
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 132-133
56

 ‫اخل‬ ...       

"Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan


di antara jalan-jalan ada yang bengkok...." (QS. An-Nahl
[16]: 9)
4) ْ‫صد‬ِ ‫ا ْق‬, dalam firman Allah:

 ‫اخل‬ ...       

"Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah


suaramu." (QS. Luqman [31]: 19)
‫م ْقتَ ي‬, dalam firman Allah:
‫صد‬
5)
ُ
 ‫اخل‬ ...       ...

"...Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di


daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang
lurus...." (QS. Luqman [31]: 32)
‫م ْقتَ ي‬, dalam firman Allah:
‫صد‬
6)
ُ
 ‫اخل‬ ...      ...

"...lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri


mereka sendiri dan di antara mereka ada yang
pertengahan..." (QS. Fathir [35]: 32)

Berdasarkan penjelasan di atas, lafaz ‫القصد‬, ‫املقصد‬,

‫املقاصد‬ asalnya mempunyai arti berkeinginan menuju dan

menghadap sesuatu. Ia mempunyai penggunaan makna lain


yang bermacam-macam, diantaranya: istiqâmah, tegak lurus,
57

pertengahan, berpegang teguh, dasar, dan dianggap hikmah


dari makna-makna yang terdekat.85
Adapun menurut istilah, para ulama ushul fikih
menggunakan lafaz maqâshid untuk makna tujuan dan sasaran
hukum-hukum syariat. Pada ranah ushûl fiqh, terdapat

sejumlah lafaz yang digunakan dengan makna ‫املقاصد‬, di

antaranya: ‫احلي َكم واحلكمة‬ (hukum dan hikmah), ‫اْلسرار‬

(rahasia), ‫الغاايت‬ (puncak), ‫اْلهداف‬ (tujuan), ‫اْلغراض‬


(sasaran). Dan di antara penggunaan makna tersebut adalah
seperti apa yang dijelaskan oleh Imam Syâthibî mengenai
pemahaman maksud syariat. Beliau menyebutkan bahwasanya
maksud syariat dari ucapan yang sampai kepada orang

mukalaf adalah untuk memberi pemahaman (‫ )تفهيم‬bahwa apa

yang wajib bagi mereka adalah apa yang maslahat bagi


mereka baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini
mengharuskan adanya ucapan tersebut jelas, gamblang, tidak
ada keglobalan di dalamnya, serta tidak ada kesamaran. Dalam

penjelasan ini yang dimaksud dengan kalimat (‫ )تفهيم‬adalah

al-maqâshid.86
Bermacam-macamnya definisi tafsir menurut bahasa dan
istilah serta definisi maqâshid menurut bahasa dan istilah
85
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 133
86
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 133
58

menimbulkan definisi tafsir maqâshidî yang bermacam-macam


pula. Washfî Âsyûr Abû Zaid mendefinisikan tafsir maqâshidî
adalah jenis tafsir yang membahas tentang penyingkapan makna-
makna dan tujuan-tujuan Al-Qur'an baik secara global maupun
terperinci, serta menjelaskan penerapannya dalam mewujudkan
kemaslahatan hamba. Kemudian beliau melanjutkan: "Dan teks
yang (menjelaskan cara pengambilan hukum darinya) datang
untuk meyakinkan bahwasanya tafsir bukanlah untuk tafsir saja,
akan tetapi untuk menjelaskan cara turunnya hidayah Al-Qur'an
untuk konteks masa kini dan bagaimana pemanfaatannya untuk
berbagai kalangan sosial.".87
Adapun Dr. Nasywân dan Dr. Ridwân mendefinisikan tafsir
maqâshidî adalah jenis tafsir yang memperhatikan penjelasan
maqâshid yang dikandung oleh Al-Qur'an, dan oleh karenanya
disyariatkan hukum-hukumnya, menjelaskan makna-makana lafaz
dengan memperluas dalâlah/petunjukknya, dengan tetap menjaga
kaidah-kaidah tafsir yang lain seperti riwayat, susunan,
munâsabah, dan lain-lain.88
`Ali Muhammad As`ad mendefinisikan tafsir maqâshidî
adalah menjelaskan tentang kehendak Allah Swt. tentang apa yang
diturunkannya dalam Al-Qur'an dari segi kandungan, dasar, ayat-
ayat yang global, ilat, hikmah, pelajaran, dan makna teleologi
(makna yang menerangkan segala sesuatu menuju pada tujuan
tertentu), baik apakah itu di naskan ataupun terambil dari susunan-

87
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
Al-Jazair, Kuliah Ushûl ad-Dîn 4-5 Desember 2003, h. 7
88
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 133
59

susunannya, ayat-ayatnya, surat-suratnya, tema-temanya, dan


penjelasan susunannya yang sempurna.89
Berdasarkan pemaparan beberapa definisi tafsir maqâshidî
di atas, penulis simpulkan bahwa tafsir maqâshidî adalah jenis
tafsir yang menekankan pada penyingkapan makna, tujuan, dan
kehendak Allah dalam Al-Qur'an dengan memperluas dalâlahnya
dan tetap menjaga kaidah-kaidah tafsir, serta menjelaskan
penerapannya dalam mewujudkan kemaslahatan.
Tafsir maqâshidî merupakan terobosan baru sarjana
kontemporer dalam menghadapi berbagai keterbatasan metode
penafsiran yang ada. Metode ini dibangun dari konsep maqâshid
yang dulunya hanya sebatas doktrin, kemudian dikembangkan
menjadi sebuah metode atau paradigma berfikir dan beragama.90
Tafsir maqâshidî merupakan tafsir Al-Qur'an yang
berorientasi pada realisasi tujuan, baik tujuan syariat (maqâshid
asy-syarî`ah) secara khusus, maupun tujuan Al-Qur'an (maqâshid
Al-Qur'an) secara umum, dengan pola memperhatikan makna
terdalam dari ayat-ayat Al-Qur'an dalam bentuk hikmah, sebab
hukum, tujuan, dan segala nilai yang bisa menjadi kemaslahatan
bagi manusia dalam menjalani kehidupannya dan menyelesaikan
problem-problem di setiap masa.91
2. Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî`ah
Perbandingan ruang lingkup antara maqâshid Al-Qur'an
dan maqâshid asy-syarî`ah dapat menjadi sarana untuk
memahami perbedaan dimensi di antara mereka. Istilah maqâshid

89
As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 572
90
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
2 Desember 2017, h. 321-322
91
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", h. 328-329
60

asy-syarî`ah kerap digunakan oleh para ahli hukum Islam sejak


awal perkembangan hukum Islam. Diguga al-Juwainî dan al-
Ghazâlî merupakan pelopor dalam menyusun istilah ini. Sejak
saat itu, maqâshid asy-syarî`ah telah menjadi istilah populer di
zaman kontemporer bahkan menjadi nama bidang studi khusus
dalam disiplin ilmu Islam. Karena perkembangan ini, para sarjana
di bidang ini berusaha mendefinisikannya.92
Ibnu `Âsyûr mendefinisikan maqâshid asy-syarî`ah
adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang terkandung bagi
as-syarî' (pembuat syariat) di dalam setiap keadaan-keadaan
syariat. Tinjauannya tidak terkhusus pada hukum-hukum syariat
saja, melainkan mencakup juga beberapa sifat syariat, tujuan
umum syariat, dan makna-makna yang tidak sunyi dari tuntutan
penetapan hukum, dan termasuk juga beberapa arti dari hukum
yang tidak terlintas dalam beberapa macam hukum, akan tetapi
terlintas dalam macam-macam yang banyak di antara beberapa
hukum. Maka perkataannya: "dalam beberapa macam hukum"
tetap meninggalkannya menuju ke tujuan hukum saja; karena itu
beliau menetapkan dalam kitabnya Maqâshid asy-Syarî`ah tanpa
menyelami dalam beberapa tema lain. Sedangkan `Allal al-Fâsî
mendefinisikan sebagai tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang
dibuat oleh as-syarî` pada setiap hukum syariat itu.93
Hubungan antara maqâshid Al-Qur'an dengan maqâshid
asy-syarî`ah adalah umum dan khususnya orientasi. Maqâshid Al-
Qur'an dinilai lebih umum daripada maqâshid asy-syarî`ah
menurut tinjauan temanya. Maqâshid Al-Qur'an mencakup urusan

92
Tazul Islam, "Maqâshid Al-Qur'an dan Maqîshid asy-Syarî'ah: An Analytical
Presentation", dalam jurnal Revelation and Science, Vol. 03 No. 1 2013, h. 53
93
As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 559
61

akidah, akhlak, berita-berita menyenangkan, berita-berita


menakutkan, dan lain-lain, sedangkan maqâshid asy-syarî`ah
dinilai lebih umum jika ditinjau dari sarana untuk mencapainya,
termasuk semua sumber-sumber syariat yang berbeda dengan
sarana mencapai maqâshid Al-Qur'an.94
Perbedaan ini tidak dicermati oleh peneliti modern dalam
memberikan definisi maqâshid Al-Qur'an. Mereka cenderung
mengikuti definisi para ulama mengenai maqâshid asy-syarî`ah.
`Abd al-Karîm al-Hâmidî mendefinisikan maqâshid Al-Qur'an
berdasarkan atas apa yang disebutkan oleh para ulama mengenai
definisi maqâshid asy-syarî`ah, menurutnya maqâshid Al-Qur'an
adalah tujuan puncak yang mana Al-Qur'an itu diturunkan untuk
mewujudkan kemaslahatan hamba. Pada pendekatan ini Iz ad-Dîn
bin Sa`id bin Kasynif al-Jazairy melanjutkan dengan berpendapat
bahwa pengertian yang lebih rinci untuk maqâshid Al-Qur'an
adalah makna-makna teleologi95 yang mana kehendak Allah
dalam syariat menuju kepada terwujudnya turunnya Al-Qur'an
kepada mukalaf di dunia dan akhirat. Dari dua definisi di atas,
dapat disimpulkan bahwa maqâshid Al-Qur'an adalah rahasia-
rahasia, hikmah-hikmah, tujuan-tujuan yang mana Al-Qur'an
diturunkan untuk mewujudkannya. Untuk meraih kemaslahatan
dan menolak kemafsadatan, dan hal itu jelas dalam seluruh atau
sebagian banyak dari Al-Qur'an.96
Adapun Mas`ûd Bûdûkhah memberikan definisi maqâshid
Al-Qur'an adalah beberapa hukum dasar dan poros (tujuan-tujuan)

94
As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 559
95
Teori atau ajaran bahwa semua kejadian (setiap gejala) terarah pada suatu tujuan.
Lihat KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Teleologi, diakses tanggal 17 Juli
2019
96
As`ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 560
62

besar yang terdapat pada beberapa surat-surat Al-Qur'an dan ayat-


ayatnya, sebagai pengertian dari risalah Islam, dan sebagai
perwujudan dari metodologi Islam dalam hal memberikan
petunjuk kepada manusia. Definisi ini meringkas al-maqâshid
pada pengertian poros utama dan hukum-hukum dasar, dan dalam
hal ini mengabaikan macam-macam yang lain dari al-maqâshid.97
Oleh karena itu, `Ali Muhammad As`ad membatasi bahwa
yang dikehendaki dari maqâshid Al-Qur'an dari sisi penjelasan
tingkatan khitâb Al-Qur'an yang bisa disimpulkan menjadi tiga
tingkatan:98
a. Tingkat pertama: apa yang dibawa oleh Al-Qur'an Al-Karim
dari beberapa kandungan, baik berupa khabar (kalimat berita)
maupun berupa insyâ' (perintah-larangan) mungkin bisa
menjadi jawaban atas pertanyaan berikut: untuk apa ayat Al-
Qur'an diturunkan? Maka jawabannya: Al-Qur'an diturunkan
untuk memberikan berita, perintah, maupun larangan.
b. Tingkat kedua: yaitu beberapa ilat, hikmah, makna yang
diambil dari khitab Al-Qur'an, dan mungkin bisa menjadi
jawaban atas pertanyaan berikut: Mengapa perintah, larangan,
dan berita diturunkan dengan cara begitu? Maka jawabannya:
dengan cara menjelaskan ilat, hikmah, makna, atau
ungkapannya.
c. Tingkat ketiga: adalah maksud yang tertinggi, umum, dan
puncak yang mungkin didapatkannnya dari kumpulan-
kumpulan dalil khitab Al-Qur'an, kumpulan-kumpulan makna

97
As'ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 560-561
98
As'ad, "At-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 561
63

dan hikmah, atau alasan-alasannya. Maka maqâshid Al-Qur'an


adalah mencakup ketiga tingkat tersebut.
3. Keterkaitan Tafsir Maqâshidî dengan Tafsir Lainnya
Para mufasir menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an
dengan menggunakan metode-metode dan cara-cara tertentu.
Beberapa metode umum yang sering digunakan ada empat, yaitu:
tafsir tahlilî, tafsir ijmalî, tafsir maudhû`î, dan tafsir muqâran.99
Tafsir tahlilî adalah suatu metode penafsiran dengan
menjelaskan makna lafadz dalam suatu ayat disertai penjelasan
susunan balaghahnya. Di dalam metode ini diuraikan sebab-sebab
turunnya ayat, munasabah antar ayat atau antar surat, perbedaan-
perbedaan mufasir dalam ayat, menyebutkan hikmah-hikmah dan
hukum-hukum ayat, dan terkadang ditambahkan pula rincian
qaul-qaul ulama dalam masalah fikih, nahwu, atau balâghah.100
Seorang pengkaji dengan metode ini menafsirkan ayat demi ayat
dan surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushhaf
`utsmanî.101
Adapun tafsir ijmalî yaitu menjelaskan ayat Al-Qur’an
dengan memaparkan makna-maknanya secara global dan
menjelaskan lafaz-lafaz yang gharîb.102 Hubungan antara makna-
makna dalam ayat dipaparkan dengan ungkapan yang mudah
dipahami baik oleh orang berilmu, orang bodoh, maupun orang
yang pertengahan antara keduanya dengan tidak berbelit-belit dan

99
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
100
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
101
Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. 2, h. 41
102
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
64

menjadi jelas tujuan yang dimaksud Al-Qur'an.103 Dan terkadang


ditambahkan penjelasan sebab turunnya ayat, cerita atau
pembicaraan, dan lain sebagainya pada ayat tertentu yang dirasa
penting untuk menyebutkannya.104
Dan adapun tafsir muqâran yaitu menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan menampilkan pendapat-pendapat para mufasir
terhadap suatu ayat atau suatu kumpulan ayat yang berhubungan,
dan membandingkan antara pendapat mereka serta memaparkan
dalil-dalil mereka.105 Kemudian membandingkan dan
mengungkapkan kecenderungan (pada suatu disiplin ilmu ataupun
suatu aliran mazhab) masing-masing mufasir dengan
mengungkapkan dalil-dalilnya,106 dan menjelaskan yang
rajih/unggul dan menampilkan dalil-dalilnya, dsb.107
Adapun tafsir maudhû`î yaitu metode yang ditempuh
seorang mufasir dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an
yang berbicara tentang suatu tema (maudhû`), kemudian
mengurutkannya sesuai masa turunnya, mengemukakan asbâb-an-
nuzûl, menguraikan dan menjelaskan makna dan tujuannya secara
sempurna, dan mengkaji dari segala segi (i'râb, balâghah, i'jâz),
sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan
seluruh ayat Al-Qur'an itu (tanpa memerlukan ayat lain.). Yang
demikian merupakan cara yang pertama. Selain itu ada cara lain
dari tafsir maudhû`i, yaitu dengan cara mengambil satu surat

103
Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, h. 73
104
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
105
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
106
Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, h. 75
107
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 16
65

dalam Al-Qur'an, kemudian dikaji secara keseluruhan dengan


menjelaskan tujuan khusus dan umum dari surat itu, serta
menghubungkan antara masalah-masalah (tema-tema) yang
dikemukakan pada ayat-ayat dari surat itu, sehingga jelas surat itu
merupakan suatu kesatuan yang kokoh.108
Maka menjadi jelaslah kebutuhan terhadap tafsir
maqâshidî bersama dengan semua jenis ini. Maka dapat diambil
kesimpulan bahwa; tafsir tahlilî adalah membahas tentang makna-
makna lafaz, sasaran-sasarannya, serta tujuannya, dan
hubungannnya dengan tafsir maqâshidî sudah tampak jelas; dan
tafsir ijmalî menjelaskan makna-makna surat secara global, ia
berhubungan dengan tafsir maqâshidî juga; adapun tafsir muqâran
yaitu menampilkan pendapat-pendapat para mufasir terhadap satu
ayat atau bagian dari ayat, kemudian menjelaskan yang
diunggulkan dari yang mengunggulinya, menjelaskan yang lemah
dari yang kuatnya, dan yang sedemikian itu tidak akan berdasar
kecuali atas dasar pemahaman maqâshidî bagi satu ayat atau
bagian dari ayat tersebut; adapun tafsir maudhû`i yaitu mencakup
tema surat atau tema yang mengikutinya dalam ayat-ayat Al-
Qur’an secara keseluruhan, dan tujuannya adalah mengungkapkan
maksud-maksud Al-Qur’an dari tema surat atau tema dari
sepanjang Al-Qur’an.109
Dengan demikian, menjadi jelas bahwasanya pemahaman
terhadap maqâshid Al-Qur’an, surat-surat dalam Al-Qur'an,
ataupun tema-tema Al-Qur'an membutuhkan jenis tafsir apapun,
dan tidak terlepas dari mufasir selamanya dalam metode apapun

108
Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, h. 78-79
109
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 17
66

yang diikutinya untuk menyelami Al-Qur’an. Ini mengisyaratkan


bagi mufasir kepada pemusatan maksud-maksud (maqâshid),
kebutuhannya, dan keutamaannya ketika memperhatikan Al-
Qur’an dengan semua metode tafsir.110
4. Ruang Lingkup dan Karakteristik
a. Ruang Lingkup Tafsir Maqâshidî
Dasar hukum maqâshid asy-syarî`ah adalah
pemahaman hukum yang berasal dari Al-Qur'an dan sunah
Nabi Saw. yang autentik serta menggali ijtihad hukum dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan publik dan mencegah
kerugian ke arah itu. Dalam hal ruang lingkup fungsional,
maqâshid asy-syarî`ah adalah filosofi undang-undang hukum
Islam.111 Dalam istilah deskriptif, secara ketat maqâshid asy-
syarî`ah tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang
diakui atau sumber-sumber syariat yang dapat dipercaya.
Dengan demikian cakupan maqâshid asy-syarî`ah secara
fundamental adalah dalam bidang ijtihad di mana tidak ada
hukum yang jelas dari sumber yang diakui.112 Lebih lanjut ia
berperan dalam menentukan putusan yang disukai dari
110
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 17
111
Disebut filosofi undang-undang hukum Islam karena menghadirkan jawaban atas
tiga pertanyaan mendasar yang dihadapi setiap perundang-undangan. Pertanyaannya adalah:
(1) apa dimensi undang-undang hukum Islam dalam menanggapi urusan manusia yang baru
diangkat? (2) Apa dimensi kompatibilitas legislatif dengan kesejahteraan publik dan tanda-
tanda vital kehidupan? Dan (3) apa status yang diakui dari ijtihad manusia?. Lihat Tazul
Islam, "Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî`ah: An Analytical Presentation", h. 56
112
Misalnya, mengenai kloning manusia, sumber utama syariat yaitu Al-Qur'an,
sunah, ijmak, dan qiyâs. Oleh karena itu, peran maqâshid asy-syarî`ah masuk untuk
merumuskan putusan hukum tentang masalah ini dari perspektif Islam. Bagaimanapun para
ahli hukum Islam merumuskan aturan larangan kloning manusia berdasarkan teori maqâshid
asy-syarî`ah dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan maqâshid asy-syarî`ah yang
mendasar, khususnya hizh an-nafs dan hizh 'irdh (pelestarian kehidupan dan kehormatan).
Lihat Tazul Islam, "Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî`ah: An Analytical
Presentation", h. 56
67

beberapa putusan yang diberikan oleh ahli hukum Islam


tentang masalah apa pun. Lingkup fungsional ini
menunjukkan bahwa maqâshid asy-syarî`ah tidak melampaui
dimensi hukum Islam.113
Pada dasarnya kata maqâshid sering disandingkan
dengan kata asy-syarî`ah yang membentuk susunan maqâshid
asy-syarî`ah. Namun dalam perkembangannya, kata maqâshid
tidak jarang disandingkan dengan dengan kata Al-Qur'an yang
membentuk frase maqâshid Al-Qur'an. frase ini merurut
sebagian peneliti dianggap sebagai bentuk evolusi maqâshid,
akibat beberapa keterbatasan cakupan maqâshid asy-syarî`ah
sebagai frase lama yang tidak digali langsung secara holistic
pada sumber pertama syariat.114
Adapun maqâshid Al-Qur'an dapat berfungsi lebih luas
dalam mengeksplorasi dan memahami maqâshid dari seluruh
wacana ke-Al-Qur'an-an, tidak peduli apakah itu legal dan
ilegal. Perhatian utamanya terletak pada menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur'an berdasarkan tujuan mereka dan menunjukkan cara-
cara bagaimana tujuan-tujuan ini dapat dicapai. Sebagai
contoh, mendapatkan takwa adalah salah satu tujuan dari Al-
Qur'an seperti firman Allah Swt.:115

       


"(ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa." (QS.
Az-Zumar [39]: 28)

113
Tazul Islam, "Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî`ah: An Analytical
Presentation", h. 56-57
114
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", h. 326
115
Tazul Islam, " Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî`ah: An Analytical
Presentation", h. 57
68

Ada beberapa metode yang dijelaskan dalam Al-Qur'an


tentang bagaimana mencapai tujuan ini, seperti puasa (Al-
Baqarah: 183), melakukan ibadah (Al-Baqarah: 21), mengikuti
jalan lurus (Al-An'am: 153), peringatan tentang kebangkitan
(Al-An'am: 51), dan takut untuk memberikan penjelasan rinci
tentang tindakan di akhirat (Al-An'am: 69 dan Taha: 113).
Selain itu, maqâshid asy-syarî`ah dapat berfungsi dalam
masalah di mana tidak ada bukti tekstual yang jelas dari Al-
Qur'an, sedangkan fungsi maqâshid Al-Qur'an tetap berada
dalam orbit tekstualnya.116
b. Karakteristik Tafsir Maqâshidî
Dengan memperhatikan macam-macam tafsir yang
telah dipaparkan sebagai perbandingan tafsir maqâshidî, maka
akan dijumpai karakter khusus tafsir maqâshidî yang berbeda
dari lainnya. Tafsir maqâshidî dianggap sebagai tafsir
pembaharu yang mempunyai keistimewaan dan karakter, baik
dari segi metode atau ilmiahnya. Karakteristik tafsir
maqâshidî yang tergambar dalam poin-poin berikut:117
1) Dari segi definisi
Tafsir maqâshidî berbeda dari jenis-jenis tafsir
lainnya dari segi definisi. Perbedaan yang tampak adalah
dalam tafsir maqâshidî membahas tentang hikmah-
hikmah, faedah-faedah, dan tujuan-tujuannya, sementara
jenis-jenis tafsir yang lain memperhatikan tentang

116
Tazul Islam, "Maqashid Al-Qur'an dan Maqashid al-Syari'ah: An Analytical
Presentation", h. 57
117
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "at-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", h. 141-142
69

penjelasan nas yang zhâhir pada umumnya, tanpa


memandang makna, hikmah, serta rahasia-rahasianya.
2) Dari segi kebahasaan
Di samping untuk memahami makna, tafsir
maqâshidî menjadikan bahasa sebagai sarana untuk
memperluas makna tanpa membuang makna yang satu,
sementara tafsir-tafsir yang lain menjadikan bahasa pada
umumnya sebagi sarana pertama saja, yakni memahami
makna.
3) Dari segi metodologi
Tafsir maqâshidî menjangkau nas-nas yang jauh
dan petunjuk-petunjuknya sesuai kaidah-kaidah maqâshid.
Sedangkan jenis-jenis tafsir lain menjangkau nas-nas
berdasarkan pada ungkapan yang zhâhir dan hukum yang
jelas sebagaimana dalam tafsir bi al-ma'tsûr dan tafsir
fiqhî, dan berdasarkan pada ungkapan-ungkapan yang
kadang-kadang tidak benar sebagaimana pada tafsir `ilmî,
dan tafsir bi ra'yi yang tercela.
4) Dari segi tujuan
Tafsir maqâshidî bertujuan untuk menjelaskan
rahasia-rahasia, hikmah-hikmah, makna-makna, dan
tujuan-tujuan yang terkandung dalam beberapa ayat atau
hukum-hukum yang di naskan. Sementara jenis-jenis tafsir
lain pada umumnya cenderung memperhatikan makna
zhâhir ayat atau lafaz Al-Qur'an, dan menjelaskan
beberapa qaul dalam ayat-ayat hukum tanpa melihat
maksud-maksud dan hikmah-hikmah, serta makna-makna
di dalamnya.
70

5) Dari segi penerapan


Tafsir maqâshidî menerapkan nas-nas dengan
mengambil manfaat dari perluasan pemahaman bahasa
untuk menjaga sisi-sisi permudahan dan menghilangkan
kesulitan, sebagaimana bersandar kepada perbaharuan-
perbaharuan dan peristiwa-peristiwa kepada nas Al-Qur'an
untuk menunjukkan hikmah dan tujuan yang
ditimbulkannya. Sementara beberapa jenis tafsir yang lain
mengabaikan sisi-sisi lain, hanya menyebutkan sisi
kebahasaan yang satu, dan dalam hal itu menyamarkan sisi
permudahan, dan dari sisi lain beberapa tafsir yang lain
berpegang teguh kepada penggugurkan nas Al-Qur'an atas
pembaharuan-pembaharuan dan peristiwa-peristiwa serta
mengqiyâskan nas kepadanya, maka nas menjadi yang
mengikuti bukan menjadi sumber. Dalam hal ini
mengabaikan tujuan dan maksud nas diturunkan.
Adapun dari sisi kesamaan dengan macam-macam
tafsir yang lain, tafsir maqâshidî memiliki kesamaan dengan
tafsir-tafsir yang lain dalam beberapa bidang, diantaranya:
menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, dengan hadis sahih,
penafsiran Al-Qur'an dengan bahasa, dengan pendapat-
pendapat tabiin, dan dengan bacaan-bacaan yang mutawatir.
Tafsir maqâshidî memiliki kesamaan dengan tafsir tahlilî dari
segi pandangan yang menyeluruh meliputi tafsir ayat, dan juga
memiliki kesamaan dengan tafsir maudhû`i dalam hal
memfokuskan satu hukum dan memperoleh seluruh ujung-
ujungnya, dengan adanya perbedan terhadap tafsir maqâshidî
71

dalam menjadikan beberapa maksud terlepas dari tafsir yang


lain.

5. Macam-macam Tafsir Maqâshidî


Tafsir maqashidi terbagi menjadi dua macam:
a. Tafsir Maqâshidî `Âm (umum)
Tafsir maqâshidî `âm adalah tafsir yang membahas
tentang tujuan-tujuan universal dan umum bagi Al-Qur'an. Al-
Qur'an telah membahas tentang tujuan-tujuan ini,
118
diantaranya:
1) Tujuan pengesaan Allah dan penyembahannya119
2) Tujuan petunjuk keagamaan dan dunia bagi hamba120

118
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 8
119
Seperti firman Allah dalam surat Hud ayat 1-3:

                 

               

               
"Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.
Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi
peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya. Dan hendaklah kamu
meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang
demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu
sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap
orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat." (QS. Hud [11]: 1-3)
120
Seperti firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 15-16:

           

            
72

3) Tujuan Pensucian dan Pengajaran Hikmah121


4) Tujuan Kasih Sayang dan Kebahagiaan122
5) Tujuan Penegakan Kebenaran dan Keadilan123

            

     


"Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu
banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah [5]: 15-16)
121
Seperti firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 164:

             

           
"Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka
adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali Imran [3]: 164)
122
Seperti firman Allah dalam surat Al-Isra' ayat 82:

              
"Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim
selain kerugian." (QS. Al-Isra' [17]: 82)
123
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 48:

            

               

               

            
73

b. Tafsir Maqâshidî Khâsh (Khusus)


Tafsir maqâshidî khâsh adalah tafsir yang membahas
tentang maksud-maksud khusus dari beberapa bidang dalam
Al-Qur'an, beberapa surat, hingga maksud-maksud terinci dari
lafaz-lafaz Al-Qur'an. Al-Qur'an membahas beberapa bidang
yang bermacam-macam, seperti bidang ibadah, bidang
hukum-hukum keluarga, bidang had dan pidana, bidang
pensucian jiwa, bidang akhlak, bidang akidah, dsb.124
Kumpulan ayat Al-Qur'an dari beberapa bidang atau
tema mendorong kita untuk merenungkan dan memikirkan
tentang sasaran dan tujuan Al-Qur'an dalam bidang tersebut.
Maka seandainya kita berfikir tentang bidang pernikahan dan
kehidupan pernikahan, yang mana merupakan salah satu rukun
dari hukum kekeluargaan, maka bagaimana Al-Qur'an
berbicara tentang hubungan ini?125
Para fuqaha dan para ushûliyyin jika terdapat
pembicaraan tentang perkawinan maka mereka membahasnya
dengan bahasa perundangan; bahasa hak dan kewajiban,
bahasa hukum-hukum syariat, seputar penjelasan kehalalan
dan keharaman, dsb. Sedangkan bagi para dai, yang mereka

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS.
Al-Maidah [5]: 48)
124
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 11
125
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 11
74

bahas adalah semangat reformasi, pelestarian hidup dan


kelanggengannya antara suami-istri, tanpa melupakan untuk
mengingat hak-hak timbal balik antara keduanya serta cara
penerapannya.126
Dalam hal ini Washfî Âsyûr mencontohkan tafsir
maqâshidî khâsh dengan ayat-ayat pernikahan. Beliau telah
menemukan dalam Al-Qur'an rasa khusus, rasa manis, dan
arti-arti tersendiri ketika berbicara tentang pernikahan. Itulah
hubungan yang kuat dan perjanjian yang kokoh, dan itulah
hubungan yang mengherankan. Berikut ayat-ayat pernikahan
yang telah diuraikan Washfi Asyur:127
Adapun maqâshid suwâr Al-Qur'an merupakan salah
satu jenis tafsir maqâshidî khâsh. Maqâshid suwâr adalah
salah satu jenis tafsir maqâshidî yang membahas tentang
sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan satu surat dengan
mengungkapkan sisi kemanfaatannya untuk tercapainya
kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Mungkin satu
surat tersebut mempunyai maksud yang lebih besar, kemudian
tujuan dan sasaran yang besar ini berakhir pada tujuan yang
lebih besar. Maka bagian dan tema yang termasuk dalam surah
tersebut mempunyai sasaran dan tujuan lain yang berakhir
atau dituangkan dalam tujuan-tujuan surah yang luhur.128
Tafsir maqâshid suwâr adalah jenis tafsir yang
menuntut pembacaan surah secara cermat, pemikiran yang

126
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 11-12
127
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 12
128
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 14
75

mendalam, pemahaman seputar tema, pemeriksaan tema-


temanya secara keseluruhan, dan melihat tujuan-tujuan setiap
tema, kemudian pemikiran akhir untuk memurnikan maksud
yang lebih besar dari surah.129
Tafsir jenis ini telah dianggap baik oleh sejumlah
ulama diantaranya adalah Muhammad Abdullah Darâz,
Sayyiq Quthub, serta Muhammad Ghazâlî. Muhammad
Abdullah Darâz mempunyai petunjuk penting dalam kitabnya
"Madkhâl Ila Al-Qur'an al-Karîm", ia lebih cenderung kepada
tujuan umum Al-Qur'an. Ia berpendapat bahwa Al-Qur'an
beredar sekitar tiga aspek: kebenaran atau unsur keagamaan,
kebaikan atau unsur etika, dan keindangan atau unsur sastra.
Adapun kitabnya yang berjudul "an-Nabâ' al-Azhîm" adalah
tafsir tematik maqâshidî untuk surat al-Baqarah, bahkan
merupakan tafsir tematik pertama bagi sebuah surat yang
sempurna. Di dalamnya dia menjelaskan tentang pokok-pokok
surat Al-Baqarah dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Mungkin ini adalah awal percobaan dalam tafsir tematik bagi
sebuah surah dengan mengungkapkan tujuan-tujuannya.130
Sayyid Quthub unggul dalam hal ini, sebelum dia
memulai penafsiran terperinci bagi ayat-ayat sebuah surah, dia
menggambarkan kepada kita gambaran yang indah untuknya,
dia menjelaskan tujuan pokok dan maksud yang luhur bagi
sebuah surat. Ini surat yang berbicara tentang keesaan Allah,
itu seputar wahyu, ini sekitar hari akhir, itu tentang akidah,

129
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 14
130
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 14-15
76

dan ini seputar nilai-nilai etika yang dikehendaki oleh surah


untuk diresapi oleh kaum mu'min, dan itu tentang etika sosial,
dst.131
Adapun Syaikh Muhammad al-Ghazâlî telah
mendahului upaya yang bagus tentang jenis tafsir ini. Dalam
kitabnya "Nahwa Tafsîr Maudhû`i li Suwâr Al-Qur'an al-
Karîm", dia berkata dalam mukadimahnya tentang tafsir
tematik bagi sebuah surat sesungguhnya ia telah memperoleh
surat secara keseluruhannya dan berusaha memberikan
gambaran matahari yang mencakup awal dan akhirnya,
memberikan pengertian pertalian yang samar yang mengikat
seluruhnya, menjadikan permulaannya mukadimah bagi
akhirnya, dan akhirnya sebagai pembenar bagi awalnya.
Sesungguhnya dia memilih ayat-ayat yang menjelaskan
tentang gambaran-gambaran surat dan meninggalkan lainnya
untuk pembaca yang dikumpulkannya dalam susunan yang
serupa. Yang sedemikian itu sehingga tidak memperpanjang
pemaparan dan uraian.132
6. Langkah-Langkah Penafsiran Maqâshidî
Menurut imam asy-Syâthibî, langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk memahami maksud syariat yang terdapat dalam
nas, yaitu:133
a. Melakukan analisis terhadap perintah dan larangan

131
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 15
132
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
h. 15
133
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
2 Desember 2017, h. 344-346
77

Menurut asy-Syâthibî, sesuatu hal yang diperintahkan


berarti ada tujuan yang dimaksudkan ketika mewujudkan
perintah tersebut. Sebaliknya, sesuatu yang dilarang berarti
ada maksud dan tujuan yang ingin dicapai ketika sesuatu yang
dilarang itu dijauhi dan tidak dikerjakan.
b. Menelaah ilat yang terdapat dalam perintah dan larangan
Mengetahui maksud nas bisa juga dengan memahami
kenapa sesuatu itu diperintah atau dilarang. Kenyataannya,
ada ilat yang secara jelas tertulis dan ada juga yang tidak
tertulis. Asy-Syâthibî berpendapat, jika ilat itu diketahui maka
harus mengikuti perintah dan larangan yang jelas tersebut agar
tujuan yang memang sudah jelas dapat dicapai. Jika ilatnya
tidak terlihat secara jelas, maka kita harus menyerahkan
tujuan-tujuan itu kepada Tuhan sebagai pencipta syariat
(bertawaqquf) dengan dua sikap, yakni tidak melakukan
perluasan cakupan terhadap yang telah ditetapkan dalam nas
dan boleh melakukan perluasan cakupan apabila
dimungkinkan tujuan hukum dapat diketahui.
c. Menganalisa sikap diam al-syar`i dari pensyariatan sesuatu
(as-sukût `an syar`iyyah al-a`mal ma`a qiyam al-ma`na al-
muqtada lahu)
Asy-Syâtibî nampaknya menyadari bahwa pada
perkembangannya akan ada masalah-masalah hukum yang
tidak dibahas atau tidak ditemukan pembahasannya secara
zhahir dalam nas, dimana masalah-masalah itu pada
hakikatnya bisa berdampak positif untuk kehidupan manusia.
78

Adapun menurut Ibnu `Asyur, cara-cara dalam


mengetahui maqâshid asy-syarî`ah adalah:134
a. Melakukan observasi secara induktif (istqra`), yaitu mengkaji
syariat dari semua aspek.
Observasi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pertama, mengamati, mengkaji, dan menelaah hukum-hukum
yang telah diketahui ilatnya. Cara ini akan mempermudah
untuk menemukan dan menyimpulkan maksud yang
terkandung di dalam hukum-hukum tersebut. Kedua, meneliti
dalil-dalil hukum yang sama ilatnya, hingga memiliki
keyakinan bahwa ilat tersebut adalah tujuan (maqâsid) yang
dikehendaki oleh pembuat hukum.
b. Menggunakan dalil-dalil yang secara tekstual dan tersurat
telah jelas mengandung makna dan memiliki tujuan tertentu.
Maqâsid yang dapat ditemukan secara langsung dari
dalil-dalil Al-Qur'an secara jelas (sharîh) serta kecil
kemungkinan untuk dipalingkan dari makna zahirnya.
c. Menggunakan hadis-hadis mutawatir, baik hadis mutawatir
yang bersifat ma`nawiyah (al-mutawâtir al-ma`nawî) maupun
yang bersifat amaliah (al-mutawâtir al-`amali).
Tujuan yang didapatkan dari dalil-dalil hadis
mutawatir ma`nawiyah adalah tujuan yang diperoleh dari
pengamatan mayoritas sahabat terhadap perbuatan Nabi,
seperti khotbah hari raya yang dilaksanakan setelah salat.
Sedangkan tujuan yang didapatkan dari dalil-dalil hadis
mutawatir amaliah adalah tujuan yang diperoleh dari
kesaksian sahabat melalui perbuatan-perbuatan Nabi, seperti

134
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqâshidî ", h. 346-347
79

hadis yang diriwayatkan oleh sahabat dan menyimpulkan


bahwa Nabi menginginkan suatu kemudahan dalam setiap
perbuatannya.
Sedangkan Menurut Syamsul Wathani dalam Jurnal
Shuhuf, ada beberapa alur interpretasi Al-Qur'an perspektif tafsir
al-maqâshidi yang bisa dijabarkan, antara lain:135
a. Analisis kebahasaan
Tafsir al-maqâshidi memulai langkah awal dengan
memperhatikan consensus kebahasaan, seperti: qath`i-zhanni,
mujmal-mufassar, dan lainnya.
b. Analisis tematik-holistik
Istilah tematik holistik dalam alur interpretasi al-
maqâshidî ini berangkat dari pandangan bahwa Al-Qur`an
merupakan satu kesatuan, sehingga perlu mempersatukan
semuanya untuk dianalisis. Analisis tematik-holistik akan
sangat efektif digunakan dalam menemukan tema, prinsip,
bahkan values Al-Qur`an yang mendasari semua pesannya.
c. Kaidah al-ibrâh bi al-maqâsid
Ketika sebagian pemikir berpegang kepada kaidah al-
ibrâh bi `umûm al-lafzh, mereka menjadi tekstualis dalam
menafsirkan. Ketika mufasir lain berpegang pada kaidah al-
ibrâh bi khushûs as-sabûb, hukum menjadi tentatif-statis dan
hanya lokalistik saja. Sungguhpun juga ketika sebagian lain
berpegang kepada kaidah al-ibrâh bi `umûm al-lafzh wa bi
khusûs as-sabâb, tetap saja mereka tidak bisa keluar dari
kungkungan dan kegagalan dalam kontekstualisasi, serta

135
Syamsul Wathani, "Konfigurasi Nalar Tafsir Maqâshidî", dalam Jurnal Suhuf,
Vol. 9 No. 2 Desember 2016, h. 307-310
80

mereka hanya mampu dan berhenti dalam mereaktualisasi


makna saja. Dengan ini, kerangka tafsir al-maqâsidî dengan
kaidah al-ibrâh bi al-maqâsid muncul untuk menjembatani
ketiganya.
d. Kekuatan nalar (Quwwatu al-ijtihâd)
Tafsir al-maqâsidî memang dibangun atas dirâsat
(intelektualitas mufasir), yang memainkan ijtihad dan
kesungguhan berfikir dalam menyimpulkan dan menemukan
maksud sebuah nas.
e. Reorientasi an-nâsikh mansûkh
Tafsir al-maqâsidî tidak meyakini adanya nâsikh
mansûkh dalam Al-Qur`an. Tafsir al-maqâsidî lebih melihat
ayat Al-Qur`an sebagai respon Allah kepada hambanya.
Dengan menegasikan nâsikh mansûkh, tafsir al-maqâsidî
menawarkan pandangan bahwa ayat Al-Qur`an terkadang
merespon keadaan tertentu (certain legal rulling), sehingga ia
lebih baik dilihat sebagai sebuah metode pengajaran dan
pembimbingan hukum kepada manusia, dibandingkan
melihatnya sebagai sesuatu yang harus di nasakh sehingga ia-
ayat itu-tidak berlaku lagi.
f. Kontekstual-filosofis
Aksentuasi tafsir al-maqâsidî dalam kerangka ini
sebagaimana berlaku di dalam alur tafsir kontekstual. Namun,
penekanan tafsir al-maqâsidî sedikit menusuk pada
pengamatan secara spesifik realitas syariat pada masa awal,
kemudian merumuskan pengaplikasiannya di masa sekarang.
Hasyim kamali menambahkan, bahwa kerangka konstekstual
yang ingin dibangun oleh tafsir al-maqâsidî adalah tafsir yang
81

berangkat dari keadaan objektif masyarakat, melihat legalitas


ayat beserta konteks ayatnya, kemudian melakukan ramuan
guna menemukan makna dan maksud, dan selanjutnya
mengembangkan signifikansi maqâsid tersebut.
Sutrisno dalam jurnalnya mewarkan tata-kerja penafsiran
yang menggunakan pendekatan maqâshid dengan langkah-
langkah sebagai berikut:136
a. Analisis kebahasaan
Pada tahap ini, analisis dilakukan terhadap apa yang
ada di teks dengan memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan,
yakni meliputi bahasa teks, makna teks, bentuk dan konteks
teks, serta hubungan teks dengan teks lainnya.
b. Identifikasi makna ayat
Tahapan ini bertujuan menemukan makna teks yang
sesuai konteks pewahyuan. Identifikasi makna dapat
dilakukan dengan menyesuaikan dengan penggunaan terma
serupa dalam Al-Qur'an dan mempertimbangkan sisi historis
dan sebab turunnya suatu ayat Al-Qur'an, baik mikro maupun
makro.
c. Eksplorasi maqâshid asy-syarî`ah
Tahapan ini menjadi ciri khas penafsiran Al-Qur'an
berbasis maqâshid. Mufasir tidak hanya berhenti pada
penggalian makna sesuai konteks pewahyuan, akan tetapi juga
menggali makna yang sesuai dengan tujuan syariat
(maqâshid). Makna tersebut selain menjadi pendamai bila
mana terjadi kesenjangan antara makna konteks pewahyuan

136
Sutrisno, "Paradigma Tafsir Maqasidi", dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13 No.
2 Desember 2017
82

dengan konteks yang dipahami, juga berfungsi sebagai


pengikat antara makna teks tersebut dengan konteks kekinian.
d. Kontekstualisasi makna
Tahapan ini menjadi tahap pengembangan signifikansi
penafsiran maqâshid terhadap persoalan, masalah, dan
kebutuhan pada masa kini yang tampak relevan dengan pesan
teks yang ditafsirkan. Makna ayat yang sudah tersingkap
dengan mengacu pada tujuan syariat yang sudah dieksplorasi
sebelumnya, kemudian direfleksikan sesuai konteks ayat akan
diterapkan. Hanya saja kontekstualisasi itu tidak diberlakukan
pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batasan-
batasan yang harus dijaga.
Dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapat yang
terakhir, yakni langkah-langkah penafsiran yang disusun oleh
Sutrisno. Langkah-langkah yang digagas Sutrisno tersebut
merupakan langkah yang menurut penulis paling mudah
diaplikasikan namun tetap menjaga esensi penafsiran maqâshidî.
BAB III

PROFIL TAFSIR DAN MUFASIR

A. Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya Ibnu `Âsyûr


1. Biografi Mufasir
Nama lengkap Ibnu 'Âsyûr adalah Muhammad al-Thâhir
ibnu `Âsyûr.1 Ibnu `Âsyûr dilahirkan pada tahun 1296 H/1879 M,
di kota Mousa, sebelah utara Tunisia.2 Ia adalah seorang ahli tafsir
berkebangsan Tunisia dari keluarga yang mempunyai akar kuat
dalam ilmu dan nasabnya. Di pinggiran ibu kota Tunisia, di
tempat ia dibesarkan, Thâhir kecil belajar ilmu Al-Qur'an, tahfîz,
tajwid, dan qiraat. Selain itu ia juga belajar bahasa Arab.3
Ibnu `Âsyûr mulai belajar Al-Qur'an sejak usia 6 tahun,
kemudian dilanjutkan menghafal Matn al-Jurûmiyyah dan bahasa
Perancis. Pada usia 14 tahun, Ibnu `Âsyûr mulai mengenyam
pendidikan pada Universitas Az-Zaitunah4. Di sana ia belajar
ilmu syariah (fikih dan ushûl fiqh), bahasa Arab, hadis, sejarah,
dll.5 Ibnu `Âsyûr begitu mahir dan jenius dalam semua disiplin
ilmu keislaman. Prestasi belajarnya di atas rata-rata sampai di

1
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi AL-Qur'an
(eLSiQ), 2013), h. 199
2
Faizah Ali Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 103
3
Mani' Abd Halîm Mahmûd, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode
Para Ahli Tafsir, Terj: Faisal Daleh dan Syahdianor, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), h. 313
4
Sebuah lembaga pendidikan yang selama berabad-abad termasuk lembaga
pendidikan bonafid setaraf Al-Azhar. Zaitunah adalah sebuah masjid dari sekian banyak
masjid kuno yang selama berabad-abad berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi, dan
penyebaran ilmu.
5
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 103-104

83
84

penghujung masa belajarnya di Az-Zaitunah.6 Pada tahun 1899


M/1317 H, tepatnya 7 tahun setelah ia mengenyam pendidikan di
Universitas Az-Zaitunah, ia berhasil memperoleh gelar sarjana
dari universitas tersebut.7
Pada tahun 1903 M/1320 H Ibnu `Âsyûr diangkat sebagai
guru di Az-Zaitunah. Karirnya terus mananjak dalam bidang
pengajaran hingga pada tahun 1904 M/1321 H ia terpilih menjadi
tenaga pengampu di sekolah As-Shadiqiyyah. Selanjutnya pada
tahun 1909 M/1326 H ia diangkat sebagai anggota di bidang
akademis pada sekolah As-Shadiqiyyah.8
Sebagai penghargaan atas keahliannya dalam bidang ilmu-
ilmu keislaman dan bahasa Arab, pada tahun 1940 Ibnu `Âsyûr
diangkat sebagai salah seorang anggota lembaga bahasa Arab di
Kairo dan anggota koresponden lembaga Ilmiah di Damaskus
pada tahun 1955 M.9 Selain itu beliau merupakan anggota
Keilmuan Islam di Syiria dan aktif dalam pergerakan kebangsaan
di Tunis.10
Dalam perjalanan karirnya Ibnu `Âsyûr pernah menjabat
sebagai ketua majelis Auqâf dan sebagai qâdhî pada tahun 1913
M/1331 H. Beliau menjabat sebagai qâdhî selama 10 tahun11,
kemudian pada tahun 1933 M/1341 H Ibnu `Âsyûr terpilih

6
Mahmûd, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Terj:
Faisal Daleh dan Syahdianor, h. 313
7
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 104
8
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 104
9
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 105
10
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 199
11
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 199
85

sebagai mufti dari madzhab Maliki12 dan menjadi Guru Besar di


Universitas Az-Zaitunah.13
Dengan latar belakang rasio kultural yang kuat, kecintaan
terhadap ilmu, kejeniusan, ketekunan dan keikhlasan, di samping
komitmen pada pendidikan dan kewara'annya, semuanya
memotivasi Ibnu `Âsyûr untuk mengabdikan diri pada ilmu,
menjadi guru, tokoh agama, waktunya dihabiskan untuk mengajar
dan menulis buku. Dua bukunya yang sangat fenomenal yakni
tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr dan Maqâshid asy-Syarî'ah al-
Islâmiyah yang menjadi rujukan utama para mufasir.14
Beliau dikenal sebagai mufasir yang memiliki spesialisasi
dalam bidang ilmu kebahasaan dan tata bahasa Arab, dan
sastrawan. Seorang dai yang cukup dikenal dalam persoalan sosial
keagamaan, juga seorang penulis yang sangat produktif. Banyak
sekali tulisan-tulisan beliau baik berupa makalah-makalah ilmiah
yang bersifat lepas maupun buku-buku yang sudah dicetak.15
Adapun karya-karya Ibnu `Âsyûr antara lain:16
a. At-Tahrîr wa at-Tanwîr
b. An-Nazhar al-Fasîh `Inda Madhâiq al-Anzhâr fi al-Jâmi` al-
Shahih
c. Kasyfu al-Mughatthâ min al-Ma`ânî wa al-Fâzh al-Wâqi`ah fî
al-Muwaththa'
d. At-Taudhîh wa at-Tashhîh
e. Maqâshid asy-Syarî`ah al-Islâmiyyah
f. Wajîz al-Balâghah

12
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 105
13
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 199
14
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 105
15
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 199
16
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 105-106
86

g. Ushûl al-Insyâ' wa al-Khithâbah


h. Syarah al-Muqaddimah al-Adabiyyah li al-Syarh al-Imâm al-
Marzuki Ali Diwan al-Hamasyah li Abi Tamam
i. Naqd Ilmi li Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hikam
j. Ushûl al-Nizhâm al-Ijtimâ`û fî al-Islâm
k. Alaysa ash-Shubhu bi Qarîb
l. Qishah al-Maulid
Semua ilmu yang diperoleh nya dari Az-Zaitunah dan
aktivitas keilmuannya telah ikut andil membentuk kepribadian dan
intelektualitasnya yang tinggi. Di samping itu perhatian ayah dan
kakeknya yang telah menanamkan akhlak mulia kepada Ibnu
`Âsyûr telah memberikan pengaruh terhadap pribadinya yang
bersahaja sebagai ulama Tunis. Ibnu `Âsyûr wafat pada tahun
1973 M/1393 H.17

2. Profil Tafsir
Tahrîr al-ma`nâ as-sadîd wa at-tanwîr al-`aql al-jadîd
(memilih makna yang tepat dan mencerahkan akal yang baru) atau
yang lebih dikenal dengan tafsir at-tahrîr wa at-tanwîr18
merupakan salah satu kitab tafsir ternama pada abad 14 H yang
cukup terkenal dengan kedalaman pembahasannya.19 Tafsir
komprehensif 30 juz ini terbagi menjadi 15 jilid,20 diterbitkan
pertama kali oleh `Isâ al-Babî al-Halabî, Kairo, tahun 1964
M/1384 H.21

17
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 104
18
Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir,
Terj: Faisal Daleh dan Syahdianor, h. 318
19
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 200
20
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 106
21
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 200
87

Ibnu `Asyûr mulai menulis tafsirnya setelah beralih


jabatan dari qadhi menjadi mufti (1923 M/1341 H). Tafsir ini
ditulis dalam kurun waktu 39 tahun dengan diselingi penulisan
karya lain, meski demikian, kesungguhan, keikhlasan, serta tekad
kuat Ibnu`Asyûr menjadikannnya mampu mewujudkan obsesinya
menulis kitab tafsir komprehensif 30 juz yang menyatukan antara
kemaslahatan dunia dan akhirat. Penulisan tafsir selama ini tentu
telah diwarnai berbagai peristiwa, perubahan, dan peralihan yang
besar pada masyarakat Tunis.22 Dalam tafsir ini dapat ditelusuri
jejak-jejak keterlibatan Ibnu `Asyûr dalam gerakan reformasi di
Tunis. Pemikiran dan langkah-langkahnya dipengaruhi oleh ide-
ide yang digagas dalam rangka reformasi dan pembaharuan di
Tunis.23
Ibnu `Asyûr memiliki komitmen untuk menjadikan
penafsirannya sebagai sebuah kritik, bukan taqlid. Sisi pembaruan
yang dimunculkan dalam tafsir ini adalah menjadikan tafsir ini
sebagai penengah bagi tafsir-tafsir lainnya, dengan
menggabungkan sumber penafsiran pada tafsir bi al-ma'tsur dan
bi ar-ra'yî. Menurut Ibnu `Asyûr, membatasi penafsiran pada
tafsir bi al-ma'tsur saja akan menelantarkan isi kandungan Al-
Qur'an yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahkan
menurutnya di antara sebab terlambatnya perkembangan ilmu
tafsir dan tafsir itu sendiri adalah kecenderungan yang berlebihan
pada tafsir bi al-ma'tsur dan penukilan terhadap perkataan para
sahabat dan tabiin. Padahal Nabi tidak menafsirkan seluruh ayat

22
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 106
23
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 107
88

Al-Qur'an dan apa yang diambil dari tafsir bi al-ma'tsur mungkin


ada perawinya yang lemah.24
Beliau juga menambahkan komentarnya pada tafsir-tafsir
yang telah ada sebelumnya, yang menurutnya kebanyakan hanya
memindahkan satu tafsir dari tafsir lainnya. Menurutnya tafsir-
tafsir yang ada seingkali hanya berupa penambahan keterangan
tafsir sebelumnya, tidak ada peranan dari penulis selain meresume
(talkhis) dan mengomentari (syarh atau tatwil) tafsir-tafsir
sebelumnya.25
Sumber penafsiran pada at-Tahrîr wa al-tanwîr
merupakan kolaborasi antara al-ma'tsur dan ar-ra'yî. Menurut
Ibnu `Asyûr, tafsir bi al-ma'tsur adalah tafsir yang diperoleh dari
penafsiran Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, dengan sunah Nabi atau
perkataan sahabat sebagai penjelas, atau penafsiran dengan
dengan perkataan tabiin. Ayat yang ditafsirkan dengan Al-Qur'an
atau hadis sahih harus diterima, ayat yang ditafsirkan denga
perkataan sahabat hukumnya marfu' jika terkait dengan asbâb an-
nuzûl, dan ayat yang ditafsirkan dengan perkataan para tabiin
ditolak apabila datangnya dari pendusta.26
Sedangkan dalam menjelaskan mengenai tafsir bi ar-ra'yî,
Ibnu `Asyûr mengajak pembacanya berdialog secara bersahaja
untuk meyakinkan mereka bahwa berijtihad untuk menafsirkan
ayat diperbolehkan karena banyak tafsir Al-Qur'an yang sanadnya
tidak sampai kepada Rasul. Sebab jika hal tersebut dilarang maka
penafsiran akan menjadi sangat ringkas, hanya beberapa lembar

24
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 107-108
25
Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir,
Terj: Faisal Daleh dan Syahdianor, h. 316
26
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 116-117
89

kertas saja. Ibnu `Asyûr sependapat dengan adz-Dzahabi (1348


M/748 H) bahwa tafsir bi al-ra'yî dapat dilakukan oleh siapa saja
yang memiliki perangkat ilmu yang cukup untuk menafsirkan ayat
Al-Qur'an yang tidak ditafsirkan oleh Nabi Saw. maupun oleh
sahabat.27
Penyusunan tafsir at-tahrîr wa at-tanwîr ini didasarkan
pada beberapa referensi kitab tafsir terdahulu, yaitu:28
a. Al-Kasyâf karya Imam Zamakhsyarî (1144 M/538 H)
b. Al-Manâr karya Muhammad Abduh (1905 M) dan Rasyîd
Ridhâ (1935 M/1354 H)
c. Al-Jâmi' li al-Ahkâm Al-Qur'an karya al-Qurththubî (1273
M/671 H)
d. Tafsîr Ath-Thabarî karya Muhammad bin Jarîr Abu Ja'far ath-
Thabarî (923 M/310 H)
e. At-Tafsîr al-Kabîr karya Imam Fakhruddîn ar-Râzî (1209
M/606 H)
f. Ta'wîl Musykîl Al-Qur'an karya Ibnu Qutaibah (889 M/236 H)
g. Tafsir Al-Âlûsî karya Shihâb ad-Dîn Mahmûd bin Abdillah
(1854 M/1270 H)
h. Tafsîr Al-Bahr al-Muhîth karya Imam Abû Hayyân
Muhammad bin Yûsuf (1345 M/745 H)
i. Tafsîr Ibnu Katsîr karya Ismâ`îl bin `Umar bin Katsîr (1373
M/774 H)
Tafsir at-tahrîr wa al-tanwir dituliskan berdasarkan
metode tahlili (analisis), karena penafsiran berdasarkan sususnan
surah yang ada di mushaf, dan menjelaskan serta menafsirkan ayat

27
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 118-119
28
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 122
90

per ayat. Dengan metode ini, Ibnu `Asyûr menyoroti ayat-ayat Al-
Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek kebahasaan
dan sastranya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari
setiap bagian ayat. Ibnu `Asyûr juga memperluas masalah-
masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufasir lainnya, baik
dari sisi kebahasaan dan sastranya (balâghah) maupun dari sisi
kemukjizatannya. Ibnu`Asyûr terkadang menafsirkan ayat dengan
ayat, namun ia membatasi pengambilan riwayat yang tidak
memiliki bukti kesahihannya.29
Adapun corak tafsir yang menonjol pada tafsir ini adalah
corak adabi ijtima'i (budaya dan kemasyarakatan). Usaha merebut
kemerdekaan dari penjajah, berbagai tantangan yang dihadapi
gerakan reformasi di Tunis berimbas pengaruhnya pada
penafsiran Ibnu `Asyûr. Apabagi ide-ide pembaharuan
Muhammad Abduh yang mulai mempengaruhi para intelektual
Tunis, tak terkecuali Ibnu `Asyûr. Dari penafsiran ini dapat
ditelusuri jejak-jejak keterlibatan Ibnu `Asyûr dalam mewujudkan
tujuan-tujuan dari gerakan reformasi di Tunis. Pemikiran dan
langkah-langkahnya dipengaruhi oleh ide-ide yang digagas dari
nilai-nilai Al-Qur'an dalam rangka reformasi dan pembaharuan di
Tunis30
Sementara itu, karakteristik tafsir yang menonjol dari
tafsir ini adalah:
a. Aspek Kebahasaan
Tafsir at-tahrîr wa at-tanwîr bukan sekedar berfungsi
sebagai kitab tafsir, tetapi juga sebagai rujukan kebahasaan

29
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 122-123
30
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 123-125
91

karena menjadikan ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah,


menjadi objek kajiannya. Hal ini bisa dilihat dalam penafsiran
dari sisi kebahasaan, dimana Ibnu `Asyûr sangat
memperhatikan penjelasan makna kosa kata dari sisi nahwu,
sharaf, dan menyebutkan fungsi kata dari sisi makna dan
balaghahnya. Bahkan menurut Ibnu `Asyûr, ia telah
memberikan kosa kata Al-Qur'an dengan makna-makna baru
yang tidak ditemukan dalam kamus manapun.31
b. Aspek Fikih
Dalam bidang fikih Ibnu `Asyûr menekankan
pentingnya mengetahui ilmu maqâshid asy-syarî`ah sebagai
sarana untuk mentarjih pendapat yang satu dari pendapat
lainnya. Untuk menunjukkan kepakarannya dalam bidang
fikih, Ibnu `Asyûr tidak pernah melewatkan komentar-
komentar fikihnya pada ayat ahkam, meskipun secara ringkas,
sesuai dengan pemaparan fuqaha, sahabat dan tabiin, baru
kemudian beristinbat.32
c. Aspek Qiraat
Hal ini terlihat pada banyak diangkatnya berbagai
qiraat yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan. Seringkali
dijelaskan sisi perbedaan di antara qiraat tersebut, baik dari
sisi harakat, struktur kata, panjang pendeknya pengucapan
huruf ketika dibaca, bahkan dampak hukum dari perbedaan
qiraat tersebut. Adapun qiraat yang dijadikan dasar penafsiran
adalah qiraat mutawattirah yang masyhur, yaitu qiraat sab'ah
dan qiraat 'asyrah.

31
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 125
32
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 125-126
92

Sistematika penulisan tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya


Ibnu `Asyûr dapat kita identifikasi sebagai berikut:
1. Menjelaskan nama surah dan nama-nama lainnya jika ada
serta menjelaskan keutamaannya,33 menyebut urutan surah
dari segi turunnya, kaitannya dengan surah sebelum dan
sesudahnya, menjelaskan tujuan umum surah,34 menjelaskan
makki-madaninya, dan jumlah ayat.35
2. Menjelaskan kandungan surah secara global dalam poin yang
berbeda-beda sesuai dengan masalah dan tema yang dibahas
dan sesuai dengan susunannya dalam Al-Qur'an.36
3. Menjelaskan kandungan ayat demi ayat atau beberapa ayat
yang memiliki masalah atau tema yang sama secara rinci,
dimulai dari pemaknaan kosa kata dengan i'râb dan
pemaparan i'jâz lughawînya, bila perlu menggunakan
penjelasan dari syair-syair Arab Jahili sebagai penguat
kebahasaannya. Tafsir ini juga menjelaskan munasabah ayat,
nasakh-mansukh, dll.37

Menurut Arwani Syaerozi38, tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr


karya Ibnu `Asyûr ini merupakan salah satu pandangan tafsir
yang memberi "sinyal" atas model tafsir Al-Qur`an dengan

33
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 128
34
Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 201
35
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 128
36
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 128
37
Syibromalisi, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 128
38
Arwani Syaerozi adalah Mahasiswa Indonesia peraih gelar Doktor termuda di
Maroko. Arwani menempuh pendidikan doktornya di Universitas Mohammed V Aqdal,
Rabat, dan berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Konsep Maqâshid asy-
Syarî`ah dalam Pengembangan Hukum Fikih: Perspektif Al-Harrasi" di usianya yang ke-30
dengan nilai summa cumlaude. Lihat Detik News, "Arwani Syaerozi, Mahasiswa RI Peraih
Doktor Termuda di Maroko", https://news.detik.com/tokoh/d-1657967/arwani-syaerozi-
mahasiswa-ri-peraih-doktor-termuda-di-maroko, diakses pada tanggal 18 September 2018
93

pendekatan maqâshid asy-syarî`ah atau yang lebih dikenal


dengan tafsir maqâshidî.39 Ibnu `Asyûr merupakan salah satu
tokoh perintis wacana maqâshid asy-syarî`ah sepeninggal asy-
Syathibî dan secara kondisional menuangkan ide maqâshidnya
dalam karya tafsirnya.40 Dalam hal ini, penulis kontemporer al-
Maisawi melalui resensinya menguatkan bahwa pemikiran Ibnu
`Asyûr secara umum banyak terpengaruh oleh sudut pandang
Imam as-Syathibî. Untuk itulah, tidak heran juka dalam menafsiri
ayat-ayat Al-Qur'an, Ibnu `Asyûr banyak melandaskan pada at-
tahlîl al-maqâshidî (penguraian ayat dari sisi maqâshid asy-
syarî`ah).

B. Tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an


karya Karya Muhammad `Ali ash-Shâbûnî
1. Biografi Mufasir
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî lahir di kota Aleppo, Syiria,
pada tahun 1928 M. Tak puas studi di Syiria, ia pun melanjutkan
studinya di Mesir dan menyelesaikan program magisternya di
Universitas al-Azhar, Mesir.41
Ash-Shâbûnî tinggal dan menetap berdekatan dengan
Makkah al-Mukarramah kurang lebih selama 10 tahun. Ia tercatat
sebagai dosen tafsir dan ulûm Al-Qur'an pada Fakultas Syariah
dan Dirâsah al-Islâmiyyah di Universitas Malik Abdul Aziz,
Makah. Ash-Shâbûnî meyadari bahwa dapat bertempat tinggal di
39
Arwani Syaerozi, "Memperkenalkan Tafsir Maqashidi" http://arwani-
syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqasidi.html?m=1, diakses tanggal
17 Mei 2019
40
Abd. Halim, "Kitab Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr Karya Ibnu `Asyûr dan
Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer", dalam Jurnal Syahadah, Vol. 2 No.
2 Oktober 2014, h. 18
41
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Permadani, 2005), h. 32
94

dekat al-bait al-atîq (Ka'bah), lingkungan negeri yang aman


dengan situasi yang kondusif untuk menelaah, mengajar, menulis
dan menyusun, merupakan suatu anugerah dan kehormatan
baginya.42
Di antara karya-karya ash-Shâbûnî yaitu:43
a. Shafwah at-tafâsîr
b. At-tibyân fi ulum Al-Qur'an
c. Mukhtashâr tafsîr Ibnu Katsîr
d. Mukhtashâr tafsîr ath-Thabari
e. Jam al-bayân
f. Al-mawârits fi al-syarî`ah al-Islâmiyyah `ala dhau al-kitâb
g. Tanwîr al-adham min tafsîr rûh al-bayân.
Adapun karya dalam bidang tafsirnya lainnya yaitu
sebagai berikut:44
a. Qabasun min An-Nûr Al-Qur’an
b. Ma`âni Al-Qur’an
c. Fath Al-Rahmân bi Kasyf Ma Yaltabis fi Al-Qur’an
Dalam kajian Hadis dan Ilmu Hadis diantaranya:45
a. Min Al-Kunûz As-Sunnah
b. Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Qism min Al-Wahyî Al-Ilâhî Al-
Munazzal
c. Al-Syarah Al-Muyassar li Shahîh Al-Bukhari
d. Syarah Riyadh Ash-Shâlihîn
42
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shâbûnî, terj.
Mu'ammal Hamidy dan Imran A. Manan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008), h. xvi-xvii
43
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur'an, h. 32
44
Syafril dan Fiddian Khairuddin, "Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi
Kitab Rawâi’ Al-Bayân Karya `Ali ash-Shâbûnî", dalam Jurnal Syahadah,Vol. 5 No. 1 April
2017, h. 113
45
Syafril dan Fiddian Khairuddin, "Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi
Kitab Rawâi’ Al-Bayân Karya `Ali ash-Shâbûnî", h. 113
95

Dalam kajian Fiqih, diantaranya:46


a. Al-Mawârits fî al-Syarî’ah al-Islamiyyah
b. Risâlah fî al-Hukm at-Tashwir
c. Risâlah ash-Shâlihîn
2. Profil Tafsir
Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an
berjumlah dua jilid. Sesuai dengan namanya, tafsir ini
menghimpun khusus ayat-ayat ahkam. Ayat-ayat ahkam disajikan
secara sederhana, dengan metode yang mengkompromikan antara
sistematika lama dalam hal kebagusannya dan sistematika baru
dalam hal kemudahannya.47
Ash-Shâbûnî menitikberatkan penjelasan tafsirnya dalam
10 segi, yaitu:48
a. Uraian lafdzî dengan berpegangan pada pandangan ahli tafsir
dan ahli bahasa
b. Arti global dari ayat-ayat yang mulia itu dengan bentuk
cetusan (tanpa sumber pengambilan)
c. Asbâb an-nuzûl, jika ada
d. Munâsabah dengan ayat sebelumnya adan ayat berikutnya
e. Pembahasan dari segi bacaan-bacaan yang mutawatir
f. Pembahasan dari segi i'râb (nahwu dan sharaf) secara ringkas
g. Tafsir, meliputi segi rahasia-rahasianya, faedah-faedah dari
segi ilmu balaghahnya, dan kelembutan-kelembutan
ilmiahnya

46
Syafril dan Fiddian Khairuddin, "Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer Studi
Kitab Rawâi’ Al-Bayân Karya `Ali ash-Shâbûnî", h. 113
47
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shâbûnî, terj.
Mu'ammal Hamidy dan Imran A. Manan, h. xvii
48
Muhammad `Ali ash-Shâbûnî, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shâbûnî, terj.
Mu'ammal Hamidy dan Imran A. Manan, h. xvii-xviii
96

h. Hukum-hukum syar`i (yang dikandung) dan dalil-dalil fuqaha,


serta tarjih terhadap dalil-dalil tersebut
i. Kesimpulan secara ringkas
j. Penutup pembahasan dengan memaparkan segi "Hikmah at-
Tasyrî`" bagi ayat tersebut.
Mewakili zaman yang tidak fanatik terhadap pendapat
imam mazhab (ta`ashshub mazhab), al-Shâbûnî mencoba
melakukan komparasi antar tafsir ayat ahkam yang dikemukakan
para mufasir dari berbagai latar belakang aliran dan mazhab.
Adakalanya ia merujuk pada tafsir al-Qurthubî yang memiliki
kecenderungan Sunni, adakalanya ia merujuk pada tafsir al-
Zamakhsyarî yang cenderung Mu'tazilah, adakalanya ia merujuk
pada tafsir al-Âlûsî, dan adakalanya ia mengutip pendapat Sayyîd
Quthub.49
Tafsir Rawâi' al-Bayân masuk ke dalam kategori tafsîr al-
ahkâm atau dalam istilah lain Tafsir Ahkam yang menurut
sementara pakar bermakna Tafsir Al-Qur’an yang berorientasi
atau focus pada pembahasan ayat-ayat hukum. Pembatasan ayat-
ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an inilah menjadi ciri
khas dari Tafsir Ahkam. Kitab tafsir tersebut terdiri dari dua jilid
besar dan disusun berdasarkan tema-tema hukum di setiap
pertemuan. Dituliskan pertemuan di sini tampaknya memanng
kitab itu dipersiapkan untuk materi-materi perkuliahan di Fakultas
Syariah dan Dirîsat Islâmiyyah di Mekah.50

49
Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum
dalam Al-Qur'an, h. 32-33
50
Andy Haryono, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam Kitab
Rawâi’ Al-Bayân”, dalam Jurnal Wardah, Vol.18 No. 1, 2017, h. 60
97

Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fâtihah hingga


pertemuan ke empat puluh tentang pendekatan diri kepada Allah
dengan berkurban. Sedangkan jilid kedua terdiri dari 30
pertemuan, diawali dengan Surat An-Nûr dan diakhiri dengan
pembahasan mengenai pembacaan Al-Qur’an, yakni tafsir QS. Al-
Muzammil. Dikarenakan tafsir ini dihimpun khusus untuk
mengkaji ayat-ayat hukum secara ilmiah, maka tidak semua ayat
dalam surat ditafsirkan oleh ash-Shâbûnî. Namun demikian, ia
tetap menafsirkan ayat sesuai dengan urutan surat dalam mushaf
Al-Qur’an.51
Karya tafsir ash-Shâbûnî yang ini tampak menjelaskan
dalil-dalil guna mengistinbat hukum, atau mengeluarkan hukum-
hukum dari dalil-dalilnya. Sehingga Tafsir Rawâi' al-Bayân dapat
dikatakan sebagai tafsir yang menampilkan ketetapan-ketetapan
hukum dari ayat-ayat hukum,dan dalam menetapkan Ash-Shabuni
mengikuti cara ahli ushûl, yakni menggunakan ijtihad.52
Ash-Shâbûnî dalam karyanya Rawâi' al-Bayân dapat
dimasukan dalam kategori Mujtahîd Tarjih, yakni ulama yang
mampu menguatkan (Mentarjih) salah satu pendapat dari satu
imam mazhab dari pendapat-pendapat mazhab imam lain. Atau
dapat menguatkan pendapat salah satu imam madzhab dari
pendapat para muridnya atau pendapat imam lainnya. Hal itu
lantaran ia dalam mengemukakan permasalahan-permasalahan
hukum selalu menyebutkan berbagai pendapat yang berbeda
disertai dengan dalil-dalil dan alasannya, kemudian ia mengakhiri

51
Andy Haryono, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam Kitab
Rawâi’ Al-Bayân”, h. 60
52
Andy Haryono, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam Kitab
Rawâi’ Al-Bayân”, h. 60
98

pembahasannya dengan tarjih (penguatan pendapat) antara yang


lebih sahih atau antara yang sahih dan tidak sahih.53
Tafsir ash-Shâbûnî ini dapat dikategorikan sebagai tafsir
muqârin atau tafsir perbandingan, karena di dalam tafsirnya ia
mengungkapkan pendapat dari para mufasir sebagai sumber
perbandingan, kemudian ia menguatkan pendapat yang paling
sahih di antara pendapat-pendapat yang telah ia bandingkan,
selanjutnya mengambil kesimpulan (istinbath) hukum. Metode
ash-Shâbûnî ketika menafsirkan ayat dalam Rawâi' al-Bayân
tertera pada pengantar tafsir di awal kitabnya.54
Tafsir Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an dipilih sebab ash-Shâbûnî menggunakan cara pandang
maqâshidî dalam penafsiran tersebut yaitu dengan membuat poin
khusus yang membahas hikmah at-tasyrî yang merupakan bagian
dari cara pandang maqâshidî.55

53
Andy Haryono, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam Kitab
Rawâi’ Al-Bayân”, h. 62
54
Andy Haryono, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam Kitab
Rawâi’ Al-Bayân”, h. 63
55
Hikmah at-tasyrî pada hakikatnya adalah mengungkapkan kemaslahatan dari
pensyariatan. Imam Syâthibî menyebutkan bahwasanya maksud syariat dari ucapan yang
sampai kepada orang mukalaf adalah untuk memberi pemahaman (‫ )تفهيم‬bahwa apa yang
wajib bagi mereka adalah apa yang maslahat bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Lihat Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-Tafsîr al-
Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", jurnal Qur'anika Vol. 5 No. 2 Desember
2013, h. 133. Washfî Âsyûr Abû Zaid mendefinisikan tafsir maqâshidî adalah jenis tafsir
yang membahas tentang penyingkapan makna-makna dan tujuan-tujuan Al-Qur'an baik
secara global maupun terperinci, serta menjelaskan penerapannya dalam mewujudkan
kemaslahatan hamba. Tafsir bukanlah untuk tafsir saja, akan tetapi untuk menjelaskan cara
turunnya hidayah Al-Qur'an untuk konteks masa kini dan bagaimana pemanfaatannya untuk
berbagai kalangan sosial. Lihat Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr
Al-Qur'an al-Karîm", Al-Jazair, Kuliah Ushûl ad-Dîn 4-5 Desember 2003, h. 7
BAB IV

ANALISIS MAQÂSHID TERHADAP AYAT HIRÂBAH

A. Penafsiran Ayat Hirâbah pada Kitab Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr


Karya Îbnu `Âsyûr
1. Analisis Maqâshid dalam Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr
a. Analisis Kebahasaan
Pembatasan lafaz (innamâ) dalam firman Allah "innamâ
jazâu al-ladzîna yuhâribûna" menurut dua riwayat yang paling
sah adalah menggunakan hashr idhafi (pembatasan yang idhafi),
yaitu pembatasan untuk menasakh siksa yang diperintahkan
Rasulullah Saw. terhadap kaum Urainah. Diriwayatkan oleh
Imam ath-Thabari dari Ibnu Abbas maka al-hashr sesungguhnya
tidak ada balasan bagi mereka kecuali itu, maka maksud dari al-
qashru waktu itu hendaklah tidak mengurangi hukuman tersebut
dari salah satu dari empat perkara. Al-hashr juga mempunyai
makna ta'kîd nisbah, yaitu menjadikan perintah pewajiban
menjadi hukum yang pasti.1 Lafaz (innamâ) mengindikasikan
larangan hukuman hirâbah selain dari bunuh, salib, potong
tangan dan kaki bersilangan, atau diasingkan dari bumi.
Kata "yuhâribûna" mengandung makna mereka telah
membunuh dengan menggunakan pedang karena permusuhan
dengan tujuan mendapatkan barang rampasan. Arti memerangi
Allah adalah memerangi syariat dan hukum-hukumnya.
Penyebutan memerangi Allah Swt., dalam muhârabah tujuannya
adalah untuk memperburuk kelompok musuh, yaitu menimbulkan

1
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, (Tunis: Dâr Suhnûn li
an-Nasyr wa at-Tauzi', 1997), h. 181

99
100

kesan bahwa mereka memerangi orang yang jika diperangi


membuat Allah Swt. murka, yaitu Rasulullah Saw. Dan yang
dimaksud dengan memerangi Rasulullah Saw. adalah memusuhi
hukum-hukum dan kekuasaannya, sebagaimana yang dilakukan
kaum Urainah. Meski disebutkan bahwa kaum Urainah murtad,
namun yang menjadi sebab pensyariatan adalah pembunuhan dan
perampasannya, bukan murtadnya, sebab murtad mempunyai
balasan yang lain.2
Athafnya kata "wa yas`auna fi al-ardhi fasâda"
memungkinkan dilakukannya hukuman ganda, sesuai tingkat
kejahatan yang dilakukannya. Dan arti dari "yas`auna fi al-ardhi
fasâda" adalah mereka mengupayakan berbuat kerusakan.3
Maksudnya adalah kejahatan pengerusakan tersebut merupakan
perbuatan yang diupayakan dan disengaja.4
Maksud dari al-fasâd adalah menghilangkan jiwa dan
harta benda, maka al-muhârib membunuh seseorang untuk
mengambil apa yag ada padanya berupa pakaian dan yang lain.5
Kata "yuqattalû" merupakan mubâlaghah dari kata
"yuqtalu". Yang dimaksud dengan mubâlaghah di sini adalah
menghukumnya dengan tanpa kelembutan dan tanpa belas
kasihan karena bersikap keras terhadap mereka, dan begitu juga
dalam ucapannya "yushallabû".6
Kata "ash-shalbu" adalah diikat di atas papan kemudian
dibunuh di atasnya dengan melukainya menggunakan tombak, itu
merupakan pendapat Mmam Mâlik. Sedangkan menurut pendapat

2
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 181-182
3
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 182
4
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 182
5
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183
6
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183
101

mazhab Asyhab dan Syâfi'î, penyaliban dilakukan setelah


pembunuhan.7
Lafaz "min" dari firmannya "min khilâfin" adalah sebagai
permulaan hal (keadaan) dari lafaz "aidîhim wa arjulahum",
sebagai ikatan untuk pemotongan. Firman Allah lafaz "min
khilâfin" menunjukkan keadaan pemotongan itu dilakukan pada
anggota badan yang bersilangan, tidak dipotong kecuali satu
tangan atau satu kaki dan tidak dipotong kedua tangan atau
kakinya karena seandainya seperti itu maka tidak tergambarlah
makna adanya pemotongan yang bersilangan. Maka tarkib ini
termasuk badîul ijaz.8
Dan "dibuang dari daerah" yaitu menjauhkan dari tempat
tanah airnya karena sesungguhnya membuang itu artiya tidak
adanya wujud. Dikatakan pula, membuang seseorang yakni
mengeluarkannya dari tengah-tengah mereka, yakni dibuang ke
daerah lain9.
b. Identifikasi Makna Ayat
Ayat ini diturunkan dalam menjelaskan hukum yang telah
ditetapkan Nabi Saw. terhadap penduduk Urainah, sebagaimana
hadis riwayat Bukhâri dari Anas bin Malik, yaitu datang kepada
Nabi Saw. sekelompok orang dari suku Ukl dan Urainah,10
mereka menyatakan masuk Islam kemudian setelah beberapa
lama tinggal di Madinah mereka mengadu kepada Rasulullah
Saw. bahwa mereka tertimpa sakit (karena cuaca Madinah).
7
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183
8
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183
9
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 184
10
Mereka jumlahnya 7, yang 3 orang dari uklin, yang 4 dari urainah. Ukl-
didhommah ainnya dan disukun kafnya-adalah satu qabilah dari taimir ribath bin nanath bin
thabikhah bin Ilyan bin Mudhar. Dan urainah-didhummah ainnya dan difathah ra'nya-sebuah
suku dari qudhaah.
102

Kemudian Rasulullah menawarkan meminjamkan onta untuk


diminum susu dan kencingnya sebagai obat dan keluar dari
Madinah untuk memulihkan kesehatan. Namun, setelah mereka
sehat kembali mereka membunuh para penggembala onta dan
membawa kabur bintang ternaknya, kemudian mereka murtad.
Setelah mendengar peristiwa tersebut Rasulullah mengutus
pasukan Jarîr bin Abdillah untuk menemukan mereka. Setelah
ditemukan, Jarîr diperintahkan memotong tangan dan kaki
mereka, serta mencungkil mata mereka dengan paku yang
dipanaskan, kemudian membiarkannya sampai mati11. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun ke 6 H, yaitu sebelum diturunkannya
ayat Al-Mâidah. Maula ibni Thala' meriwayatkan itu dalam kitab
al-Aqdhiyah al-Ma'tsûrah dengan sanadnya kepada Ibnu Jubair
dan Ibnu Sirrîn, turunnya ayat ini adalah sebagai nasakh bagi had
yang telah ditegakkan oleh Nabi.12 Perbuatan kaum Ukl dan
Urainah merupakan kejahatan yang berat, oleh karena itu mereka
harus dihukum dengan berat juga, namun hukuman berat tetap
harus memperhatikan nilai kemanusiaan, yaitu dengan tidak
menyiksa.
Asbâb an-nuzûl di atas dapat digunakan untuk menampis
pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa hukum pidana
Islam merupakan hukum pidana yang kejam dan melanggar
HAM. Perlu diperhatikan bahwa ayat tersebut turun untuk
menasakh dan memperingan hukuman yang telah ditetapkan Nabi
Saw., yaitu menghukumnya sesuai dengan kejahatan yang
dilakukannya namun dengan cara yang tidak menyiksa.

11
Dalam riwayat lain dikatakan: mereka diperintahkan maka mereka dilempar di
tempat yang panas mereka minta minum maka mereka tidak diberi minum sampai mati.
12
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 181
103

Larangan menghukum dengan menyiksa juga tergambar


dalam lafaz "min khilâfin", bahwa adanya pemotongan
bersilangan itu sebagai keringanan dan rahmat, agar lebih mudah
bergerak dan memfungsikan anggota tubuh yang lainnya. Para
ulama berpendapat, dipotong tangannya karena mengambil harta
benda dan dipotong kakinya karena menakut-nakuti. Tangan
merupakan anggota yang digunakan untuk mengambil, adapun
kaki adalah anggota yang digunakan untuk menakut-nakuti.13
Îbnu `Âsyur mengungkapkan bahwa ayat hirâbah ini
menunjukkan atas dua hal: Pertama, memilih balasan orang-
orang yang memerangi karna kata (au) makna asalnya adalah
takhyir (memilih). Pendapat ini didasarkan pada contoh firman
Allah "...maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau
bersedekah, atau berkorban..." ini merupakan pendapat yang
berpegang terhadap dhahirnya ayat ini diantaranya adalah Imam
Mâlik bin Anas, Sa'id bin Musayyab, Atho', Mujahid, Nakhâ'i,
dan Abu Hanifah. Imam Mâlik menambahkan bahwa pemilihan
ini disesuaikan dengan tingkat kejahatan, yang membunuh juga
harus dihukum bunuh. Ulama lain berpendapat bawasanya lafaz
"au" dalam ayat di atas untuk membagi bukan untuk memilih,
yang disebutkan dalam ayat ini urutanhukumannya sesuai dengan
tingkat kejahatan muhârib,14 yang demikian merupakan pendapat
Ibnu Abbâs, Qatadah, Hasan, as-Sadi, dan Imam Syafi'i.15 Dilihat
dari cara Îbnu `Âsyur menjelaskan, ia condong pada pendapat

13
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183-184
14
Barangsiapa yang membunuh dan mengambil harta benda maka ia akan dibunuh
dan disalib, barangsiapa yang tidak sampai membunuh dan tidak mengambil harta benda
maka dita'zir, barangsiapa yang menakut-nakuti di jalan maka dibuang, dan barangsiapa
yang mengambil harta benda saja maka dipotong tangannya
15
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183
104

pertama. Kedua, hukuman-hukuman ini disebabkan oleh tindak


pidana hirâbah bukan karena hak-hak asasi manusia,
sebagaimana firman Allah "illa ladzina tâbû min ba'di an yaqdîrû
alaihim" itu adalah jelas bahwa hukuman hirâbah tidak dapat
digugurkan orang yang diperangi.
Firman Allah "dzalika lahum khizyu fi ad-dunyâ" yakni
balasannya adalah kehinaan bagi mereka di dunia. Ayat tersebut
menunjukkan bahwa pelaku hirâbah mendapatkan dua siksaan,
yaitu siksaan di dunia dan siksaan di akhirat. Apabila pelaku
hirâbah adalah orang kafir seperti kaum Urainah, maka sudah
jelas baginya hukuman di dunia dan di akhirat, dan apabila pelaku
hirâbah itu orang Islam, maka ayat tersebut bertentangan dengan
hadis sahih. Firman Allah: fahuwa kaffâratun lahu, digunakan
sebagai dalil bahwasanya hukuman menggugurkan siksa akhirat.
Maka bisa jadi hukuman dalam ayat ini adalah sebagai pemberat
karena kerusakan yang ditimbulkan lebih banyak dari melakukan
dosa lain, dan ayat ini juga bisa menjadi ta'wîl dalam ayat ini
menjadi terinci yakni bagi mereka kehinaan di dunia, apabila
mereka tidak dihukum di dunia maka di akhirat mereka akan
menerima azab yang besar.16
Dan pengecualian dengan firmannya "illa ladzîna tâbu"
kembali kepada dua hukum, yaitu kehinaan di dunia dan siksa di
akhirat. Dan pengecualian tersebut menunjukkan terkabulnya
tobat dalam menggugurkan siksa akhirat. Adapun arti dari firman
"min qabli an taqdirû", maka apabila muhârib datang dengan
berbuat ketaatan dan penyesalan sebelum dihukum atau
tertangkap, maka akan menggugurkan hukuman yang telah

16
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 185-186
105

disyariatkan oleh Allah untuknya. Dan tidak ada hikmah dalam


penyiksaannya jika tetap dilakukan. Namun tobat tidak
berpengaruh dalam menggugurkan sesuatu yang berhubungan
dengan hak-hak manusia baik dari segi harta benda atau darah,
karena hal itu diketahui dari dalil yang lain.17 Maksudnya adalah
hukuman hirâbah menjadi gugur, namun gantinya diberlakukan
hukum qishâsh apabila melukai dan hukum denda atau ganti rugi
apabila merusak atau mengambil harta. Sebagaimana pendapat
Wahbah az-Zuhailî bahwa pertobatan hanya menggugurkan apa
yang bagian dari hak-hak Allah Swt. saja, yaitu hukuman had
hirâbah. Sedangkan hak-hak hamba yang berupa qishâsh dan
denda masih tetap dan tidak gugur.18 Hamka menambahkan
bahwa hal tersebut boleh dilakukan setelah hakim benar-benar
menilik kesungguhan tobatnya.19
Dan firman Allah "fa'lamû anna Allah ghafûr ar-rahîm"
sebagai pengingat setelah sempurnanya kalam dan menolak
keheranannya orang yang merasa heran terhadap gugurnya siksa
dari mereka. Menurut Ibnu Âsyûr, firman Allah "fa'lamû"
merupakan fi'il "i'lam", yaitu menunjukkan atas pentingnnya
berita seperti firman Allah "wa'lamû anna Allah yahûlu baina al-
mar'i wa qalbih" dalam surat al anfal dan firman Allah dalam
surat Al-Anfâl.20

17
Thâhir Ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 186
18
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 5, h. 168
19
Hamka, Tafsir al-Azhâr, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2000), Jilid 6, Cet. Ke-2, h.
230-231
20
Thâhir Ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 186-187
106

c. Eksplorasi Maqâshid asy-Syarî`ah

Allah memberi siksaan yang begitu keras karena ingin


menjadikan mereka contoh sehingga menimbulkan efek jera bagi
kaum musyrikin yang menggunakan tipu dayanya dengan
menampakkan wajah Islam agar bisa menipu kaum muslimin. Di
samping itu, siksaan keras dilakukan karena mereka telah
melakukan banyak pidana dalam kejahatan hirâbah. Perlu
ditekankan kembali, pensyariatan dalam ayat hirâbah ini
mempunyai tujuan memperingan had yang telah dilakukan Nabi
Saw.. Begitupun lafaz "min khilâfin", adanya pemotongan
bersilangan itu sebagai keringanan dan rahmat, agar lebih
mudah bergerak dan memfungsikan anggota tubuh yang
lainnya.21
Terdapat perbedaan makna "membuang dari bumi", Abû
Hanîfah dan beberapa ulama berpendapat bahwa membuang dari
bumi adalah dipenjara. Beberapa orang mengkhawatirkan
pemaknaan "membuang dari bumi" dengan membuangnya ke
daerah lain dapat menimpakan bahaya terhadap daerah tempat
pembuangan, namun ulama menjelaskan bahwasanya dengan
membuang akan tercapai menolak bahaya (dar' al-mafâsid)
karena orang Arab apabila mereka diusir dari tanah airnya maka
ia akan menjadi hina dan akan melemah kekuatannya.22
Pembuangan ke daerah lain bertujuan untuk memutuskan
hubungan dengan keluarga dan kawan pelaku hirâbah.
Pemutusan hubungan tersebut merealisasikan sad adz-dzarai'
(mencegah mudarat melalui pemblokiran sarana).

21
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 183-184
22
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 184
107

Menurut Ibnu `Âsyûr yang sedemikian itu adalah keadaan


yang tidak khusus bagi orang Arab. Sebagian ulama mengatakan,
dibuang ke negeri yang jauh yang dijauhkan ke arah sekiranya dia
tinggal di situ seperti orang yang terpenjara.23

d. Kontekstualisasi Makna

Menurut pengamatan penulis, Ibnu `Âsyûr dalam


menafsirkan ayat hirâbah ini menggunakan maqâshid Al-Qur'an,
dengan lebih kepada pengungkapan makna-makna mendalam
sesuai kondisi historis pada saat turunnya ayat. Menurutnya
hirâbah adalah suatu tindakan membunuh dengan menggunakan
"senjata" dengan tujuan untuk merampas harta yang mana hal
tersebut termasuk memerangi syariat dan sengaja melanggar
hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.24 Jika dikontekstualisasikan,
senjata bukan hanya mencakup peralatan yang dirancang untuk
melukai atau membunuh. Semua alat yang digunakan untuk
melukai atau membunuh, baik asal alat tersebut merupakan
sesuatu yang bermanfaat seperti garpu, apabila digunakan untuk
melukai atau membunuh hukumnya sama seperti senjata.

2. Tabel Analisis Maqâshid dalam Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr

Langkah-Langkah
No Penafsiran Penafsiran Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr
Maqâshidî
Analisis Lafaz (innamâ) menggunakan hashr
1
Kebahasaan idhafi. Al-hashr juga mempunyai makna

23
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 184
24
Thâhir ibnu Âsyûr, Tafsîr at-Tahîir wa at-Tanwîr, jilid 6, h. 181
108

ta'kîd nisbah. Lafaz (innamâ)


mengindikasikan larangan hukuman
hirâbah selain dari bunuh, salib, potong
tangan dan kaki bersilangan, atau
diasingkan dari bumi.
Kata "yuhâribûna" mengandung makna
mereka telah membunuh dengan
menggunakan senjata karena permusuhan
dengan tujuan mendapatkan barang
rampasan. Penyebutan memerangi Allah
Swt., dalam muhârabah tujuannya adalah
untuk memperburuk kelompok musuh,
yaitu menimbulkan kesan bahwa mereka
memerangi orang yang jika diperangi
membuat Allah Swt. murka, yaitu
Rasulullah Saw. Dan yang dimaksud
dengan memerangi Rasulullah Saw.
adalah memusuhi hukum dan
kekuasaannya. Yang menjadi sebab
pensyariatan adalah pembunuhan dan
perampasannya, bukan murtadnya kaum
Urainah.
Lafaz "yas`auna" maksudnya adalah
kejahatan pengerusakan tersebut
merupakan perbuatan yang diupayakan
dan disengaja.
Al-fasâd bermakna menghilangkan jiwa
dan harta benda. Al-muhârib membunuh
109

seseorang untuk mengambil apa yag ada


padanya berupa pakaian dan yang lain.
Kata "yuqattalû" merupakan mubâlaghah
dari kata "yuqtalu", maksudnya adalah
menghukumnya dengan tanpa
kelembutan dan tanpa belas kasihan
karena bersikap keras terhadap mereka,
dan begitu juga dalam ucapannya
"yushallabû".
Kata "ash-shalbu" adalah diikat di atas
papan dan melukainya menggunakan
tombak.
Lafaz "min" dari firmannya "min
khilâfin" adalah sebagai permulaan hal
dari lafaz "aidîhim wa arjulahum", yaitu
menunjukkan pemotongan itu dilakukan
pada anggota badan yang bersilangan.
Tarkib ini termasuk badîul ijaz.
"dibuang dari daerah" yakni dibuang ke
daerah lain
Ayat ini turun sebagai nasakh bagi had
yang telah ditegakkan oleh Nabi Saw.
terhadap penduduk Urainah. Kejahatan
2. Identifikasi berat harus dihukum dengan berat juga,
Makna Ayat namun hukuman berat tetap harus
memperhatikan nilai kemanusiaan, yaitu
dengan tidak menyiksa. Larangan
menghukum dengan menyiksa juga
110

tergambar dalam lafaz "min khilâfin",


bahwa adanya pemotongan bersilangan
itu sebagai keringanan dan rahmat, agar
lebih mudah bergerak dan memfungsikan
anggota tubuh yang lainnya.
Ayat hirâbah menunjukkan bolehnya
memilih balasan orang-orang yang
memerangi karna kata (au) makna
asalnya adalah takhyir (memilih).
Pemilihan ini disesuaikan dengan tingkat
kejahatan.
Firman Allah "dzalika lahum khizyu fi
ad-dunyâ..." ayat tersebut menunjukkan
bahwa pelaku hirâbah mendapatkan dua
siksaan, yaitu siksaan di dunia dan
siksaan di akhirat. Namun jika pelakunya
Muslim, mereka menerima kehinaan di
dunia apabila mereka tidak dihukum di
dunia maka di akhirat mereka akan
menerima azab yang besar.
Firmannya "illa ladzîna tâbu" dan "min
qabli an taqdirû" maksudnya adalah
hukuman hirâbah menjadi gugur, namun
gantinya diberlakukan hukum qishâsh
apabila melukai dan hukum denda atau
ganti rugi apabila merusak atau
mengambil harta.
Firman Allah "fa'lamû anna Allah ghafûr
111

ar-rahîm" sebagai pengingat setelah


sempurnanya kalam guna menolak
keheranannya orang yang merasa heran
terhadap gugurnya siksa. "Fa'lamû"
merupakan fi'il "i'lam", yaitu
menunjukkan atas pentingnnya berita.
Siksaan keras dilakukan agar menjadi
contoh dan menimbulkan efek jera.
Pensyariatan dalam ayat hirâbah
mempunyai tujuan memperingan had
yang telah dilakukan Nabi Saw.. Dan
adanya pemotongan bersilangan itu
sebagai keringanan dan rahmat, agar
lebih mudah bergerak dan memfungsikan
Eksplorasi
anggota tubuh yang lainnya.
3. Maqâshid asy-
"Membuang dari bumi" hakikatnya
Syarî`ah
menolak bahaya (dar' al-mafâsid).
Pembuangan ke daerah lain bertujuan
untuk memutuskan hubungan dengan
keluarga dan kawan pelaku hirâbah.
Pemutusan hubungan tersebut
merealisasikan sad adz-dzarai'
(mencegah mudarat melalui pemblokiran
sarana).
Jika dikontekstualisasikan, "senjata"
Kontekstualisasi mencakup seluruh alat yang digunakan
4.
Makna untuk melukai atau membunuh. Garpu
atau sendok bisa dimaknai "senjata" jika
112

digunakan untuk melukai atau


membunuh.

B. Penafsiran Ayat Hirâbah pada Kitab Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât


al-Ahkâm min Al-Qur'an Karya Muhammad `Ali ash-Shâbunî
1. Analisis Maqâshid dalam Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-
Ahkâm min Al-Qur'an
a. Analisis Kebahasaan

Dalam tafsir ini ash-Shâbûnî tidak mengupas makna


kebahasaan secara mendalam, namun ia cukup memberikan
penjelasan beberapa kosa kata penting yang menjadi ikhtilaf para
ulama pada ayat tersebut, seperti Yuharibuna, Fasadan,
Yuqattalu, Yushallabu, Min khilafin, Yunfau, dan Khizyun.
Yuharibuna berasal dari kata al-harb (perang). Kata al-
harb dalam ayat ini berarti penganiayaan dan perampasan harta
benda. Sedangkan yuharibuna Allah wa Rasulahu yang dimaksud
dalam ayat ini adalah menganiaya dan merampas harta benda
kekasih-kekasih Allah dan kekasih-kekasih Rasulullah Saw.,
sebab Allah hakikatnya tidak dapat diperangi dan tidak dapat
dikalahkan.25
Fasadan merupakan masdar dari kata al-fasad
(kerusakan), sedangkan maksud dari membuat kerusakan di bumi
adalah ancaman di jalan, pembunuhan, melukai, dan merampas
harta benda.26

25
Muhammad 'Ali ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an, (Kairo: Dâr as-Salâm, 1997), h. 513
26
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
113

Yuqattalu (al-taqtil) mengandung makna mubalaghah,


sehingga yang dimaksud dibunuh di sini adalah dengan sebenar-
benar pembunuhan, tidak ada belas kasihan sama sekali dan tidak
ada pengampunan dari wali korban.27
Yushallabu (at-tashlib) juga mengandung makna
mubalaghah, yakni dengan sebenar-benar salib, atau berulang
kalinya penyaliban. Dalam hal ini ash-Shabuni merujuk kepada
pendapat Imam Syafi'i bahwa makna penyaliban adalah mengikat
di atas papan yang ditegakkan dengan dilentangkan kedua
tangannya, sampai mati, dan terkadang melukainya dengan
tombak agar mempercepat kematiannya.28
Min khilafin yaitu pemotongan tangan dan kaki secara
bersilangan yaitu dengan cara memotong tangan kanan dan
memotong kaki kiri, atau kebalikannya.29
Yunfau: an-nafyu (pembuangan) asalnya al-ihlak
(pembinasaan). Maksud dari dibuang dari bumi dalam ayat ini
yaitu pengasingan dari suatu negara ke negara lain, masih
dituntut, dan dia dalam keadaan lari ketakutan. Dan dikatakan
juga, yang disebut dengan an-nafyu yaitu pemenjaraan.30
Khizyun adalah penghinaan dan mempermalukan.
Dikatakan: "dia direndahkan oleh Allah", yakni dipermalukan
dan dihina.31

27
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
28
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
29
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
30
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
31
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
114

b. Identifikasi Makna Ayat

Menurut ash-Shâbûnî, ayat hirâbah ini turun berkenaan


dengan peristiwa murtad, pembunuhan, dan perampasan yang
dilakuakan oleh kaum Urainah kepada para penggembala onta
yang dikirim Rasulullah Saw. untuk membantu memulihkan
kesehatan mereka ketika di Madinah. Setelah mendengar
peristiwa tersebut, Rasulullah Saw. mengutus pasukan untuk
mencari keberadaan mereka. Setelah tertangkap, dicoloklah mata
mereka dengan paku, dan mereka dilempar ke tempat yang panas
hingga mati. Kemudian turunlah surat Al-Maidah ayat 33.32
Meski ayat hirâbah turun berkenaan dengan murtadnya
kaum Urainah, namun yang menjadi sebab utama turunnya ayat
ini adalah peristiwa perampasan harta (dalam hal ini onta) dan
pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Urainah kepada para
penggembala onta yang dikirim Rasulullah Saw.. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Muhammad 'Ali al-Says bahwa ayat ini
turun tidak terkait dengan persoalan musyrik dan murtad,
melainkan berhubungan dengan para penyamun (quththâ' ath-
tharîq) yang membuat keresahan di tengah masyarakat yang tak
jarang ditindaklanjuti dengan tindakan pembunuhan dan
perampasan harta.33
Penyebutan kata "memerangi Allah" di sini adalah majas,
sebab Allah Saw. tidak mungkin dapat diperangi dan dikalahkan.
Kata "memerangi Allah" mengandung idhafah yang dibuang,
yaitu kata "auliya'", yakni "memerangi wali-wali Allah". Pada

32
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514
33
Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, TafsirAyat-Ayat Ahkam,
(Ciputat: UIN Press, 2015), Cet. Ke-1, h. 84
115

ayat ini kata wali dinisbatkan kepada zat-Nya untuk menunjukkan


betapa besar dosa menyakiti wali-wali Allah34 itu.35
Dalam tafsir ini, ash-Shâbûnî menggali makna "orang
yang memerangi" dengan terlebih dahulu memaparkan beberapa
pendapat ulama fikih, kemudian mentarjih perdapat-pendapat
tersebut. Ash-Shâbûnî cenderung kepada pendapat Ibnu Mundzir,
yang mana ia memandang keumuman ayat tersebut. Maksudnya
adalah jika Imam Mâlik membatasi makna "orang yang
memerangi" sebagai orang yang mengancam orang lain dengan
membawa senjata, Abû Hanîfah membatasi makna dengan orang
yang membawa senjata di kawasan yang tidak berpenduduk
ataupun di hutan belantara (bukan di kota atau tempat ramai), dan
Imam Syâfi'î membatasi makna dengan orang yang melakukan
pencurian besar-besaran baik di rumah-rumah, jalan-jalan, di
desa, di pinggiran kota, maupun di kota, al-Mundzir berpendapat
bahwa ayat ini berbicara secara umum, tidak ada satu pun
golongan yang dapat dikeluarkan dari lafadz ini tanpa suatu
alasan. Masing-masing dapat dinamakan memerangi, sebab
mungkin saja di suatu tempat ada sekelompok manusia yang
selalu mengancam harta dan nyawa manusia yang lebih hebat
dari qath'u ath-thariq di hutan belantara.36
Nampaknya pendapat yang diambil ash-Shâbûnî senada
dengan pendapat Ath-Thabari dan Wahbah az-Zuhaili. Ath-
34
Sebagaimana Allah mengungkapkan fakir dan dhu'afa kepada zat-Nya juga, yaitu
dalam firmannya: "Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik....", adalah
untuk menganjurkan supaya kita berbelas kasih kepada fuqarâ dan masâkîn. Hal senada
disebutkan dalam hadis qudsi, Allah berfirman: "Hai Ibnu Adam, Mengapa Aku minta makan
kepadamu tetapi engkau tidak memberi aku makan?". (Dalam Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-
Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 516)
35
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 516
36
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 518-
519
116

Thabari menjelaskan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud


dengan muhârib adalah orang yang memerangi orang muslim dan
kafir dzimmi di jalan, kota, dan desa, baik dalam bentuk teror di
jalan orang-orang Islam dan kafir dzimmi, berbuat jahat di jalan
mereka, merampas harta mereka secara zalim, melakukan tindak
kekerasan kepada mereka, dan menyerobot hak mereka secara
jahat dan zalim.37 Sedangkan Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya,
Tafsir al-Munir mendefinisikan bahwa hirabah adalah suatu
tindak kejahatan penentangan dan pembangkangan yang
mencakup tindak kriminal kekafiran, qath'u ath-thariq, dan
menebar teror dan kerusakan di muka bumi38, membunuhi
mereka, merampas harta benda, dan atau melanggar
kehormatan.39 Mereka memandang hirabah sebagai sesuatu yang
lebih luas dari sekedar perampokan, pengancaman, dan
pembunuhan.
Terlepas dari beragamnya batasan tindak kejahatan yang
disebut hirâbah, tidak ada yang menyangkal bahwasanya pelaku
hirâbah harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Allah
menetapkan bahwasanya tidak ada balasan bagi para pelaku
kerusakan di bumi kecuali dibunuh, disalib, dipotong tangan dan
kakinya secara bersilangan, atau dibuang dari bumi, sebagai
balasan dan sebagai penghinaan bagi mereka di dunia, sedangkan

37
Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî, Jami' at-Bayan an Ta'wil Ayi Al-
Qur'an, Jilid. 4, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyah, 1999), h. 552
38
Berbuat kerusakan di muka bumi maksudnya di sini adalah menebar teror,
katakutan, dan kegelisahan di jalan dengan membawa senjata, baik disertai dengan
pembunuhan dan pengambilan harta maupun tidak. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-
Munir, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1991), Jilid 5, h. 166
39
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 5, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir,
1991), h. 163
117

di akhirat mereka akan mendapatkan siksa yang besar, yaitu siksa


neraka.40
Kendati demikian, terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama mengenai makna kata "au" (atau) dalam
ayat tersebut. Menurut Mujâhid, adh-Dhahâk, an-Nakha`î, dan
mazhab Maliki, seorang imam (kepala) boleh memberikan
alternatif hukuman terhadap pelaku hirâbah dengan salah satu
dari empat hukuman yang telah ditetapkan Allah di atas. Hal
tersebut senada dengan pendapat Abû Hanîfah dalam hal
kebolehan takhyir (memilih) oleh imam,41 akan tetapi terkhusus
bagi orang yang membunuh dan merampas harta orang lain.42
Ibnu `Abbâs juga memaknai kata "au" dalam ayat ini dengan arti
khiyar43, namun letak perbedaan dengan pendapat sebelumnya
adalah khiyar dalam ayat ini berlaku untuk semua bentuk
kejahatan hirâbah dengan tetap memperhatikan tertib hukuman
sesuai tindak kejahatan yang dilakukan44, demikian juga
merupakan pendapat mazhab Syafii dan dua rekan Abû

40
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 514-
515
41
Dalam hal ini imam boleh memberikan alternatif dalam empat hal, yaitu: boleh
mengambil hukuman potong tangan dan kaki bersilangan dan membunuh, boleh mengambil
hukuman potong tangan dan kaki bersilangan dan menyalib, boleh menyalib saja tanpa
potong tangan dan kaki, dan boleh mengambil hukuman bunuh saja, sesuai ketentuan
kemaslahatan. (Dalam Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-
Qur'an, h. 519)
42
Bunuh atau salib harus dipadukan dengan potong tangan jika kejahatannya itu
berupa pembunuhan dan merampas harta, sedang bunuh itu sendiri adalah hukuman bagi
pembunuhan dan potong tangan adalah hukuman bagi perampasan harta. (Dalam Ash-
Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 519)
43
Bahkan menurut Ibnu `Abbâs setiap kata "au" (atau) dalam Al-Qur'an
mempunyai pengertian khiyar (memilih). (Dalam Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-
Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 519)
44
Barangsiapa yang membunuh dan merampas harta orang, dibunuh dan disalib.
Jika hanya merampas, cukup dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan. Dan
barangsiapa yang menakut-nakuti orang yang sedang berlalu lalang tetapi tidak membunuh
dan tidak merampas harta orang, maka ia diasingkan dari tempat tinggalnya.
118

Hanîfah.45 Namun, setelah memaparkan beberapa perbedaan


pendapat para ulama mengenai makna "au" dalam ayat hirâbah,
ash-Shâbûnî tidak mentarjih pendapat yang menurutnya paling
sesuai.
Kata "mengasingkan dari bumi", maksudnya adalah
dikucilkan atau dijauhkan, misalnya dengan dipenjara.
Diriwayatkan dari Imam Malik, sesungguhnya ia berkata bahwa
kata "mengasingkan" di situ maksudnya ialah dengan
dipenjarakan, di mana penjara itu dapat meniadakan kebebasan
dunia menuju kesempitan dunia. Seolah-olah kalau seseorang
dipenjarakan berarti telah diasingkan dari bumi ini, karena
dengan begitu dia tidak lagi melihat kekasih-kekasihnya dan tidak
dapat memanfaatkan sesuatu kelezatan dan keindahan dunia ini.46
Imam Fakhru ar-Razi berkata: "Ketika orang-orang
memenjarakan Shalih bin Abdul Quddus dalam sebuah rumah
penjara yang sempit karena tuduhan sebagai zindiq (munafik) dan
setelah lama tinggal di penjara itu ia bersyair:47
Kami keluar dari dunia dan keluar dari berhubungan dengan
penduduk dunia ini, dengan keadaan hidup dan tidak mati.
Kalau polisi penjara itu datang menjenguk kami pada suatu hari
karena suatu keperluan, kami merasa heran dan kami katakan
"orang ini datang dari dunia"."

45
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 519
46
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 516
47
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 517
119

Kecuali orang-orang yang tobat sebelum tertangkap, maka


Allah memberi ampunan sebab Allah Maha Pengampun dan
Maha Penyayang.48

c. Eksplorasi Maqâshid asy-Syarî`ah

Hukuman had hirâbah diharapkan dapat menjadi


pelajaran bagi semua manusia dan menjadi efek jera bagi pelaku
kezaliman dan kerusakan, sehingga terciptalah keamanan harta
dan diri manusia.49 Pernyataan tersebut menunjukkan cara
pandang maqâshid dalam penafsiran ash-Shâbûnî, di mana ash-
Shâbûnî memandang bahwa pensyariatan tersebut tidak lain
hanyalah untuk hifzh an-nafs (perlindungan jiwa raga) dan hifzh
al-mâl (perlindungan harta).50
Syariat ini adalah syariat yang mulia yang tidak diragukan
lagi bahwa hal tersebut adalah untuk kemaslahatan hamba.51 Poin
kemaslahatan juga merupakan salah satu unsur maqâshid,
sebagaimana pendapat Imam Syâthibî bahwasanya maksud dari
syariat adalah apa yang maslahat bagi manusia baik di dunia
maupun di akhirat.52 Washfî Âsyûr Abû Zaid memiliki pendapat
yang serupa, ia mendefinisikan tafsir maqâshidî adalah jenis

48
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 515
49
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 515
50
Klasifikasi tradisional membagi maqâshid menjadi tiga tingkatan keniscayaan
(levels of necessity), yaitu keniscayaan (dharuriyyah), kebutuan (hajjiyah), dan kelengkapan
(tahsiniyyah). Dharuriyyah terbagi menjadi perlindungan agama (hifdz ad-dîn), perlindungan
jiwa-raga (hifdz an-nafs), perlindungan harta (hifdz al-mâl), perlindungan akal (hifdz `aql),
dan perlindungan keturunan (hifdz an-nasl). Beberapa pakar ushûl fiqh menambahkan
perlindungan kehormatan (hifdz `irdh) di samping kelima keniscayaan yang terkenal di atas.
(Dalam Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâshid asy-Syarî`ah, terj.
Rasyidin dan Ali Abd el-Mun`im, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2015), Cet. Ke-1, h.34)
51
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 515
52
Nasywân Abduh Khâlid al-Mukhâlafî dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "at-Tafsîr
al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", jurnal Qur'anika Vol. 5 No. 2 Desember
2013, h. 133
120

tafsir yang membahas tentang penyingkapan makna-makna dan


tujuan-tujuan Al-Qur'an baik secara global maupun terperinci,
serta menjelaskan penerapannya dalam mewujudkan
kemaslahatan hamba.53
Islam, dengan syariatnya yang abadi akan selalu
melindungi kehormatan manusia (hifzh `irdh). Orang-orang yang
mengatasnamakan perlindungan terhadap pelanggaran HAM
justru menganggap kejam hukuman bunuh terhadap pembunuh
dan potong tangan terhadap pencuri.54 Padahal hukuman-
hukuman tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencapai
keadilan dan kemaslahatan, sebagaimana ungkapan Ibnu al-
Qayyîm: "Sesungguhnya dalam syariat pijakan yang dipakai
adalah hikmah dan kemaslahatan bagi hamba di dunia dan
akhirat. Semuanya berdasarkan keadilan, rahmat, kemaslahatan,
dan hikmah. Segala permasalahan yang keluar dari rel-rel
keadilan, rahmat, maslahat, dan hihmah bukan termasuk bagian
dari syariat, meskipun bisa dipaksakan untuk masuk di
dalamnya."55
Islam mensyariatkan salah satu hukuman had hirâbah
dengan potong tangan, hukuman tersebut memang terlihat kejam,
akan tetapi justru dengan itu akan melindungi harta (hifdz al-mâl)
dan nyawa manusia (hifdz an-nafs). Tangan jahat yang dipotong
itu adalah anggota yang menjadi sumber penyakit, karena itu
tidak patut tangan seperti itu dibiarkan menularkan penyakit ke

53
Washfî Âsyûr Abû Zaid, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-Karîm",
Al-Jazair, Kuliah Ushûl ad-Dîn 4-5 Desember 2003, h. 7
54
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 524
55
M. Subhan, dkk, Tafsir Maqâshidî: Kajian Tematik Maqâshid asy-Syari'ah,
(Kediri, Lirboyo Press, 2013), h. 2-3
121

seluruh badan.56 Hal tersebut sejalan dengan mekanisme realisasi


hifdz dalam literatur fikih, yakni dar' al-mafâsid (menolak
mudarat), jalb al-mashâlih (mendatangkan maslahat), dan sad
adz-dzarâi` (mencegah mudarat melalui pemblokiran sarananya).
Menolak dan mencegah kemudaratan melalui hukuman yang
keras dan tegas dengan bunuh, salib, potong tangan dan kaki
bersilangan, dan diasingkan merupakan upaya pemblokiran
sarana yang bisa menuju tindakan hirâbah. Pelaksanaan upaya-
upaya tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan dengan
menimbulkan efek jera dan kondisi masyarakat menjadi aman.
Di antara kandungan hikmahnya adalah memaafkan
orang-orang yang tobat dan kembali ke jalan yang benar, serta
memperbaiki perilakunya.57 Sebagaimana pendapat Ali
Muhammad As`ad, beliau menjelaskan kehendak Allah Swt.
dengan pengungkapan hikmah dan pelajaran merupakan salah
satu unsur dalam tafsir maqâshidî.58

d. Kontekstualisasi Makna

Pandangan Ash-Shâbûnî yang menilai pensyariatan dari


sudut pandang maqâshid dengan mempertimbangkan
kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang dinilai penulis
sebagai sesuatu yang kontekstual.

56
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 525
57
Ash-Shâbûnî, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, h. 515
58
As`ad, "at-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm", h. 572
122

2. Tabel Analisis Maqâshid dalam Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-


Ahkâm min Al-Qur'an

Langkah-Langkah
Penafsiran Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-
No Penafsiran
Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an
Maqâshidî
"Yuharibûna Allah wa Rasulahu"
adalah menganiaya dan merampas
harta benda kekasih-kekasih Allah dan
kekasih-kekasih Rasulullah Saw..
Fasadan merupakan masdar dari al-
fasad (kerusakan). Maksud dari
membuat kerusakan di bumi adalah
ancaman di jalan, pembunuhan,
melukai, dan merampas harta benda.
Yuqattalû bermakna mubâlaghah,
1.
Analisis sehingga yang dimaksud dibunuh di
Kebahasaan sini adalah dengan sebenar-benar
pembunuhan, tidak ada belas kasihan
sama sekali dan tidak ada
pengampunan dari wali korban.
Yushallabû juga mengandung makna
mubâlaghah. Penyaliban adalah
mengikat di atas papan yang
ditegakkan dengan dilentangkan kedua
tangannya, sampai mati, dan terkadang
melukainya dengan tombak agar
mempercepat kematiannya.
123

Min khilafin yaitu pemotongan tangan


dan kaki secara bersilangan dengan
cara memotong tangan kanan dan
memotong kaki kiri, atau kebalikannya.
Yunfau: an-nafyu (pembuangan)
asalnya al-ihlak (pembinasaan).
Maksud dari dibuang dari bumi yaitu
pengasingan dari suatu negara ke
negara lain, masih dituntut, dan dia
dalam keadaan lari ketakutan. An-nafyu
bisa juga diartikan pemenjaraan.
Khizyun adalah penghinaan dan
mempermalukan.
Ayat hirâbah turun berkenaan dengan
peristiwa murtad, pembunuhan, dan
perampasan yang dilakuakan oleh
kaum Urainah. Meski ayat hirâbah
turun berkenaan dengan murtadnya
kaum Urainah, namun yang menjadi
sebab utama turunnya ayat ini adalah
Identifikasi
2. peristiwa perampasan harta dan
Makna Ayat
pembunuhan yang dilakukan oleh
kaum Urainah.
Penyebutan kata "memerangi Allah"
merupakan majas. Kata "memerangi
Allah" mengandung idhafah yang
dibuang, yaitu kata "auliya'", yakni
"memerangi wali-wali Allah". Kata
124

wali dinisbatkan kepada zat-Nya untuk


menunjukkan betapa besar dosa
menyakiti wali-wali Allah.
Lafaz "Orang yang memerangi",
berbicara secara umum, yaitu
mencakup semua orang yang
mengancam orang lain baik dengan
membawa senjata atau tidak, pencurian
besar-besaran atau tidak, dan dilakukan
di manapun, baik di rumah-rumah,
jalan-jalan, di desa, di pinggiran kota,
di kota, maupun di hutan belantara.
Tidak ada balasan bagi para pelaku
hirâbah kecuali hukuman yang sudah
tercantum dalam ayat hirâbah.Balasan
dan penghinaan bagi mereka di dunia,
dan di akhirat mereka akan
mendapatkan siksa yang besar.
Kata "au" dalam ayat hirâbah memiliki
makna takhyir (memilih).
Kata "mengasingkan dari bumi",
maksudnya adalah dikucilkan atau
dijauhkan, misalnya dengan dipenjara.
Orang yang tobat sebelum tertangkap,
Allah memberi ampunan, namun
ampunan tersebut hanya bisa
menggugurkan hukuman had hirâbah
saja, sedangkan yang berkaitan dengan
125

hak manusia tidak bisa gugur karena


pertobatan.
"Hukuman had hirâbah diharapkan
dapat menjadi pelajaran bagi semua
manusia dan menjadi efek jera bagi
pelaku kezaliman dan kerusakan,
sehingga terciptalah keamanan harta
dan diri manusia". Hal tersebut
menunjukkan cara pandang maqâshid
yaitu untuk hifzh an-nafs dan hifzh al-
mâl.
"Syariat ini adalah syariat yang mulia
yang tidak diragukan lagi bahwa hal
Eksplorasi tersebut adalah untuk kemaslahatan
Maqâshid asy- hamba." Poin kemaslahatan juga
3.
Syarî`ah merupakan salah satu unsur maqâshid.
"Islam, dengan syariatnya yang abadi
akan selalu melindungi kehormatan
manusia (hifzh `irdh)". Hukuman
dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk mencapai keadilan dan
kemaslahatan.
Had hirâbah dengan potong tangan
bertujuan untuk melindungi harta (hifdz
al-mâl) dan nyawa manusia (hifdz an-
nafs). Tangan jahat yang dipotong itu
adalah anggota yang menjadi sumber
penyakit, karena itu tidak patut tangan
126

seperti itu dibiarkan menularkan


penyakit ke seluruh badan. Hal tersebut
sejalan dengan mekanisme realisasi
hifdz dalam literatur fikih, yakni dar'
al-mafâsid (menolak mudarat), jalb al-
mashâlih (mendatangkan maslahat),
dan sad adz-dzarâi` (mencegah
mudarat melalui pemblokiran
sarananya). Menolak dan mencegah
kemudaratan melalui hukuman yang
keras dan tegas dengan bunuh, salib,
potong tangan dan kaki bersilangan,
dan diasingkan merupakan upaya
pemblokiran sarana yang bisa menuju
tindakan hirâbah. Pelaksanaan upaya-
upaya tersebut dapat mendatangkan
kemaslahatan dengan menimbulkan
efek jera dan kondisi masyarakat
menjadi aman.
"Di antara kandungan hikmahnya
adalah memaafkan orang-orang yang
tobat dan kembali ke jalan yang benar,
serta memperbaiki perilakunya".
Pengungkapan hikmah dan pelajaran
merupakan salah satu unsur dalam
tafsir maqâshidî.
Kontekstualisasi Pandangan Ash-Shâbûnî yang menilai
4.
Makna pensyariatan dari sudut pandang
127

maqâshid dengan mempertimbangkan


kemaslahatan umat merupakan sesuatu
yang dinilai penulis sebagai sesuatu
yang kontekstual.
128
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penafsiran ayat hirâbah dalam tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr karya
Ibnu `Âsyûr mempunyai tiga poin utama, yaitu:
Pertama, hirâbah ditafsirkan Ibnu `Âsyûr sebagai suatu tindakan
membunuh dengan menggunakan senjata dengan tujuan untuk
merampas harta, yang mana hal tersebut termasuk memerangi
syariat dan sengaja melanggar hukum-hukum Allah dan Rasul-
Nya.
Kedua, hukuman bagi pelaku hirâbah adalah pilihan salah satu
dari bunuh, salib, potong tangan dan kaki secara bersilangan, atau
dibuang ke daerah lain.
Ketiga, pertobatan muhârib sebelum tertangkap bisa
menggugurkan had hirâbah, namun tidak dapat menggugurkan
hal-hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta dan
darah.
Sedangkan ash-Shâbûnî menafsirkan ayat hirâbah dengan makna
yang lebih umum, yaitu:
Pertama, hirâbah tidak terbatas pada tindakan dengan membawa
senjata dan merampas harta, akan tetapi segala tindakan yang
mengganggu dan merusak baik itu hanya menakut-nakuti ataupun
tindakan yang lebih besar dari pada perampokan dan
pembunuhan.
Kedua, mengenai hukuman hirâbah, ash-Shâbûnî hanya
memaparkan beberapa pendapat ulama tanpa mentarjihnya.
Menurut Mujâhid, adh-Dhahâk, an-Nakha`î, dan mazhab Maliki,

129
130

seorang imam (kepala) boleh memberikan alternatif hukuman


terhadap pelaku hirâbah dengan salah satu dari empat hukuman
yang telah ditetapkan Allah pada ayat hirâbah. Abû Hanîfah
sependapat dalam hal kebolehan takhyir (memilih) oleh imam,
namun takhyir ini terkhusus bagi pelaku pidana membunuh dan
merampas harta. Sedangkan Ibnu `Abbâs, ulama Mazhab Syafii
dan dua rekan Abû Hanîfah juga memaknai kata "au" dalam ayat
ini dengan arti khiyar, letak perbedaan dengan pendapat
sebelumnya adalah khiyar dalam ayat ini berlaku untuk semua
bentuk kejahatan hirâbah dengan tetap memperhatikan tertib
hukuman sesuai tindak kejahatan yang dilakukan.
Ketiga, sedangkan mengenai pertobatan muhârib, Allah memberi
ampunan bagi pelaku hirâbah yang bertobat sebelum tertangkap.
Ash-Shâbûnî tidak memberikan penjelasan lebih mengenai
pertobatan muhârib.
2. Sisi maqâshid dalam penafsiran Ibnu 'Âsyûr adalah dengan
mengungkapkan maqâshid Al-Qur'an dengan mengungkapkan
`illah sabab an-nuzûl dan `illah pensyariatan hukuman hirâbah
melalui analisis makna ayat dan kondisi historis. Sedangkan sisi
maqâshid dalam penafsiran ash-Shâbûnî lebih menitikberatkan
pada hikmah pensyariatan, yaitu dengan pengungkapan nilai-nilai
kemaslahatan bagi semua pihak. Keduanya tidak membuat
keringanan mengenai hukuman hirâbah yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur'an.
B. Saran
1. Hirâbah merupakan hukum pidana yang hukumannya paling berat
dan tidak mempuanyai batasan yang pasti dalam pemaknaannya,
sehingga kini pemaknaannya kian meluas hingga beberapa ulama
131

kontemporer memasukkan korupsi dan aksi teroris sebagai tindak


pidana hirâbah, oleh karena itu kajian yang lebih mendalam
mengenai tindak pidana hirâbah perlu untuk dilakukan peneliti
selanjutnya.
2. Kajian tafsir maqâshidî terbilang baru dan memiliki banyak ruang
untuk diisi menjadi banyak penelitian lagi. Maka dari itu, penting
kiranya untuk meneruskan kajian tafsir maqâashidî dengan
harapan tafsir dengan pendekatan ini memiliki konsep yang lebih
pasti.
132
DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Cet. II, 1994.
Al-Dâruquthni, Abû al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdî bin
Mas`ûd bin an-Nu`mân bin Dînâr bin Abdullah al-Baghdâdî, Sunan
al-Dâruquthnî, Jilid III, Bairut: Dâr al-Fikr, 1994.
Al-Khurasâni, Abû Abd ar-Rahmân Ahmad ibn Syu'aib ibn Ali, Sunan an-
Nasâ'i, Jilid.IV, Kairo: Dâr al-Hadis, Cet. I, 1999.
Al-Mukhâlafî, Nasywân Abduh Khâlid dan Rîdwân Jamal al-Athrâsy, "At-
Tafsîr al-Maqâshidî: Isykaliyat al-Ta'rîf wa al-Khashâish", dalam
jurnal Qur'anika Vol. 5 No. 2 Desember 2013.
Alim, Hifdzil, dkk, Jihad NU Melawan Korupsi, Jakarta: Lakpesdam PBNU,
Cet. III, 2017.
An-Nasâ'i, Ahmad bin Syu'aib Abdurrahman. Ensiklopedia Hadis 7; Sunan
an-Nasâ'i, terj. M. Khairul Huda, dkk, Jakarta: al-Mahira, Cet.I,
2013.
Anas, Muhammad, "Studi Komparatif Maqâshid Al-Qur'an Abu Hamid
Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazâli dan Rasyîd Ridhâ", Skripsi,
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018, Tidak diterbitkan
(t.d).
As`ad, `Ali Muhammad, "at-Tafsîr al-Maqâshidî li Al-Qur'an al-Karîm",
dalam jurnal Islâmiyah al-Ma'rifah Vol. 23 No. 89 Musim Panas
2017.
Ash-Shâbûnî, Muhammad `Ali, Rawâ'i al-Bayân Tafsîr Âyâh al-Ahkâm min
Al-Qur'an, terj: Saleh Mahfoed, Jilid I, Bandung: PT. al-Ma'arif,
1994.
_______, Rawâi' al-Bayân Tafsîr al-Âyât al-Ahkâm min Al-Qur'an, Kairo:
Dâr as-Salâm, 1997.

133
134

_______, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shâbûnî, terj. Mu'ammal


Hamidy dan Imran A. Manan, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008.
Âsyûr, Thâhir ibnu, Tafsîr at-Tahrîr wa at-Tanwîr, jilid VI, Tunis: Dâr
Suhnûn li an-Nasyr wa at-Tauzi', 1997.
Ath-Thabarî, Abu Ja'far Muhammad bin Jarîr, Jâmi' at-Bayân an Ta'wîl Ayi
Al-Qur'an, Jilid. 4. Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiyah, 1999.
Auda, Jasser, Membumikan Hukum Islam melalui Maqâshid asy-Syarî`ah,
terj. Rasyidin dan Ali Abd el-Mun`im, Bandung: PT Mizan Pustaka,
Cet. I, 2015.
Az-Zuhailî, Wahbah, Fiqih Islam 7, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2011.
_______, Tafsir al-Munîr, Jilid.V, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir, 1991.
Birahmat, Budi, "Korupsi dalam Perspektif Al-Qur'an", Jurnal Fokus Vol. 3
No. 1 2018.
Djazuli, A., Fiqh Jinayah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Hakim, Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi Al-
Qur'an (eLSiQ), 2013.
Halim, Abd., "Kitab Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr Karya Ibnu `Asyûr dan
Kontribusinya terhadap Keilmuan Tafsir Kontemporer", dalam
Jurnal Syahadah, Vol. 2 No. 2 Oktober 2014.
Hamam, Zaenal dan A. Halil Thahir, "Menakar Sejarah Tafsir Maqâshidî",
dalam Jurnal Qof, Vol. 2 No. 1 Januari 2018.
Hamka, Tafsir al-Azhâr, Jilid.VI, Jakarta: Pustaka Panjimas, Cet. II, 2000.
Haryono, Andy, “Analisa Metode Tafsir Muhammad Ash-Shâbûnî dalam
kitab Rawâi' al-Bayân”, dalam Jurnal Wardah, Vol.18 No. 1 Tahun
2017.
135

Hasan, Mufti, "Mekanisme Penyelesaian Ayat Kontradiktif Berbasis


Maqâshid asy-Syarî'ah: Studi terhadap Ayat Perkawinan Beda
Agama", dalam Jurnal Theologia, Vol. 28 No. 1 Juni 2017.
_______, "Penafsiran Al-Qur'an Berbasis Maqâshid asy-Syarî`ah: Studi
Ayat-Ayat Persaksian dan Perkawinan Beda Agama", Tesis,
Semarang: UIN Walisongo Semarang, 2018, Tidak diterbitkan (t.d).
_______, “Tafsir Maqashidi: Penafsiran Al-Qur`an Berbasis Maqâshid asy-
Syarî`ah”, dalam Jurnal Maghza, Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2017.
Ishak, Mohd. Said, Hudud dalam Fiqh Islam, Malaysia: Universiti Teknologi
Malaysia, Cet.III, 2003.
Islam, tazul, “Maqâshid Al-Qur'an dan Maqâshid asy-Syarî'ah”, dalam jurnal
Revelation and Science, Vol. 03 No. 1 2013.
Kaltsum, Lilik Ummu dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
Cet.II. Ciputat: UIN Press, 2015.
Kusmana. “Paradigma Al-Qur`an: Model Analisis Tafsir Maqasidi dalam
pemikiran Kuntowijoyo”, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman
Afkaruna, Vol. 11 No. 2 Desember 2015.
Mahmud, Mani' Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir, terj. Faisal Daleh dan Syahdianor, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Mandzûr, Ibnu, Lisân al-Arab, Jilid VI, Kairo: Dâr al-Hadîs, 2003.
Mardani, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Prenada Media Group, Cet. Ke-1,
2019.
Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian Al- Qur’an dan Tafsir, Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2015.
Nata, Abuddin, dkk, Ensiklopedi Al-Qur'an, Jakarta: Yayasan Bimantara,
1997.
136

Pratama, Dresta Ansori, "Sanksi Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan


dalam Pasal 365 KUHP Perspektif Hukum Pidana Islam", Skripsi,
Bandung: Sunan Gunung Djati Bandung, 2018, Tidak diterbitkan
(t.d).
Sâbiq, Sayyid, Fiqih Sunah, terj. Asep Sobari, dkk, Jilid.II, Jakarta: al-
I'tisham, 2008.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat
dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani, Cet. I, 2003.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur'an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat
Hukum dalam Al-Qur'an, Jakarta: Permadani, 2005.
Sodiqin, Ali, “Divinitas dan Humanitas dalam Hukum Pidana Islam”, dalam
Jurnal al-Mazahib, Vol. 5 N0. 2 Desember 2017.
Subhan, M, dkk, Tafsir Maqâshidî: Kajian Tematik Maqâshid asy-Syari'ah,
Kediri: Lirboyo Press, 2013.
Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqasidi”, dalam Jurnal Rausyan Fikr, Vol. 13
No. 2 Desember 2017.
Syafril dan Fiddian Khairuddin, “Paradigma Tafsir Ahkam Kontemporer
Studi Kitab Rawâ`i al-Bayân Karya `Ali al-Shâbûnî” dalam Jurnal
Syahadah,Vol. 5, No. 1 April 2017.
Syibromalisi, Faizah Ali, dkk, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Asbab an-Nuzul: Kronologi dan
Sebab Turun Wahyu AL-Qur'an, Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf AL-Qur'an, 2015.
Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Maqasidusy Syari'ah (Tafsir Al-
Qur'an Tematik), Jakarta: Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2009.
Umayyah, "Tafsir Maqâshidî: Metode Alternatif dalam Penafsiran Al-
Qur'an", dalam Jurnal Diya al-Afkar, Vol. 4 No. 1 Juni 2016.
137

Zaid, Washfî Âsyûr Abû, "At-Tafsîr Al-Maqâshidî li Suwâr Al-Qur'an al-


Karîm", Al-Jazair, Kuliah Ushûl ad-Dîn 4-5 Desember 2003.
Detik News, "Arwani Syaerozi, Mahasiswa RI Peraih Doktor Termuda di
Maroko", https://news.detik.com/tokoh/d-1657967/arwani-syaerozi-
mahasiswa-ri-peraih-doktor-termuda-di-maroko, diakses pada
tanggal 18 September 2018.
KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Teleologi, diakses tanggal
17 Juli 2019
_______, https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses tanggal 17 September 2019.
Majelis Ulama Indonesia, "Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 3
Tahun 2004 tentang Terorisme " http://mui.or.id/wp-
content/uploads/files/fatwa/10.-Terorisme.pdf, diakses tanggal 17
September 2019.
Muthmainnah, Yulianti, "Menyoal Zina dan Pemerkosaan",
https://www.mediaindonesia.com/read/detail/67311-yulianti-
muthmainnah-dosen-uhamka-jakarta-resource-center-kapal-
perempuan#, diakses tanggal 17 September 2019.
Rusyaid`s Blog http://adhyputrabone.blogspot.com/2012/11/makna-tafsir-
dan-takwil-serta-hubungan.html/m=1, diakses tanggal 13 Juli 2019.
Syaerozi, Arwani, "Memperkenalkan Tafsir Maqashidi", http://arwani-
syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-
maqasidi.html?m=1, diakses tanggal 17 Mei 2019.
Suradi, "Korupsi Menurut Hukum Islam",
https://bppk.kemenkeu.go.id/id/dhz9w7qtn4o/211k081/20078.html,
diakses tanggal 17 September 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), "Buku Saku Antikorupsi untuk
Pemeluk Agama Islam",
https://acch.kpk.go.id/id/component/bdthemes_shortcodes/?view=do
138

wnload&id=a3521921762045ce43db30f66c991c, diakses tanggal 17


September 2019.
CURRICULUM VITAE

Putri Hilyah Aulawiyah lahir di Gresik, Jawa Timur pada


26 Februari 1997. Penulis lahir dari pasangan
Muhammad Masnun dan Siti Marfu'ah sebagai anak
kedua dari tiga bersaudara. Penulis menempuh
pendidikan formalnya mulai dari TK Muslimat NU 25
Nurul Hikmah (1999-2002), melanjutkan ke SDNU
Kanjeng Sepuh Sidayu (2002-2009), MTs. Kanjeng
Sepuh Sidayu (2009-2012), dan MA. Kanjeng Sepuh Sidayu (2012-2015).
Penulis mulai belajar berorganisasi ketika berada pada bangku
Madrasah Aliyah. Penulis bergabung dalam kepengurusan OSIS dan IPPNU
Cabang Sidayu. Selain itu, penulis juga mulai mengembangkan kemampuan
akademiknya dengan mengikuti beberapa perlombaan antar sekolah. Di
antara kontribusi penulis pada sekolahnya adalah memberikan Juara Harapan
Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Kabupaten Gresik, Juara II Kompetisi
Sains Madrasah bidang Ekonomi Tingkat Kabupaten Gresik, dan Juara
Harapan Kompetisi Sains Madrasah bidang Ekonomi tingkat Provinsi Jawa
Timur.
Pada tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan pada Institut Ilmu
Al-Qur'an (IIQ) Jakarta dan mengambil konsentrasi Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir. Penulis turut aktif pada BKKBM IIQ Jakarta dengan menjadi panitia
dalam beberapa kegiatannya, serta menjadi anggota TPQ-RQ IIQ Jakarta
(2016-2017) dan Bendahara DEMA IIQ Jakarta (2017-2018). Penulis juga
bergabung dalam organisasi eksternal IIQ Jakarta dan menjadi Pengurus
Rayon Ushuluddin PMII KEBAL (2016-2017), Humas JMQ (2016-2017),
dan Bendahara JMQ (2017-2018).
Tepat 4 tahun menjadi mahasiswi IIQ Jakarta, penulis berhasil
menyelesaikan tugas akhir skripsi dan lulus dengan baik.

139

Anda mungkin juga menyukai