Anda di halaman 1dari 112

IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN DI

PENGADILAN AGAMA KOLAKA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Pada Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH :
TARA FATHIN RUSLI
105430018715

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Jika salah perbaiki

Jika gagal, coba lagi

Tapi jika kamu menyerah, semuanya selesai. 

Saya persembahkan karya ini untuk:

Orang tua saya tercinta Bapak H. Rusli M dan

ibu Hj. Najmiah K, saudara saya yang

tersayang Zainul Hasan Rusli, serta keluarga

dan sahabat saya yang tiada hentinya selalu

mendoakan, memotivasi dan membimbing

dengan penuh kasih sayang sampai

terselesainya penyusunan skripsi ini.

iv
ABSTRACK

TARA FATHIN RUSLI 2019. Implementasi Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian


Di Pengadilan Agama Kolaka. Skripsi. Jurusan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Dr. Hidayah Quraisy, M.Pd dan
Pembimbing II Dra. Jumiati Nur, M.Pd.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang


mengetahui akan hak-haknya setelah bercerai karena adanya proses perubahan,
dan perubahan itu sekarang bisa dilihat dari meningkatnya pendidikan prempuan
untuk sekarang untuk sekarang ini. Hak-hak perempuan pasca perceraian,
diantaranya adalah: mendapatkan mut‟ah yang layak baik berupa uang atau benda
kecuali mantan istrinya yang belum digauli, dan mendapatkan hak asuh dan biaya
hadhanah untuk anak yang belum mencapai 21 tahun. Rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (i) Bagaimana kesadaran perempuan terhadap hak-hak pasca
perceraian di Pengadilan Agama Kolaka (ii) Bagaimana implementasi hak-hak
perempuan pasca percearaian di Pengadilan Agama Kolaka. Tujuan dalam
penelitian ini adalah (i) Untuk mengetahui kesadaran perempuan terkait hak-
haknya pasca perceraian di Pengadilan Agama Kolaka (ii) untuk mengetahui hak-
hak apa saja yang masih dimiliki perempuan pasca perceraian di Pengadilan
Agama Kolaka. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan analisis deskritif. Teknik pengumpulan data dan Teknik Analisis Data
menggunakan Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi.

Kata Kunci :implementasi hah-hak perempuan pasca perceraian

vi
vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini

dengan baik, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana

pendidikan. Sholawat serta salam tetap tercurah kepada keharibaan pemimpin

sang Ilahi Rabbi Nabi Besar Muhammad SAW, Sang revolusioner sejati, Sosok

pemimpin yang terpercaya, jujur, dan berakhlak karimah yang telah bersusah

payah mengeluarkan manusia dari kungkungan kebiadaban, sehingga sampai saat

ini manusia mampu memposisikan diri sebagai warganegara yang senantiasa

beriman dan bertaqwa dijalan Allah SWT.

Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah melibatkan berbagai pihak

sehingga skripsi ini dapat tersusun dengan baik, meskipun terdapat hambatan dan

kesulitan yang di hadapi dalam penyusunan skripsi ini, namun atas dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak sehingga semua dapat terselesikan dengan baik.

Untuk itu dengan hati yang tulus penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan tak terhingga kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda H. Rusli

M dan Ibunda Hj. Najmiah K yang telah mengasuh dan membesarkan dengan

penuh kasih sayang, serta memberikan bantuan moril dan materil. Beliau telah

banyak memberikan doa, nasehat, dorongan dan semangat, begitupun adik-adikku

yang selalu menjadi penyemangat dan menjadi motivasi tersendiri buat penulis
viii

sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud

tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Begitu pula penghargaan

yang setinggi-tingginya dan terima kasih banyak disampaikan dengan hormat

kepada :

1. Ucapan terima kasih pula yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya

yang sangat banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan

selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh

pendidikan.

2. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., Rektor Universitas Muhammadiyah

Makassar.

3. Dr. Erwin Akib, M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Dr. Muhajir M.Pd., Ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan.

5. Dr. Hidayah Quraisy M.Pd., dan Dra. Jumiati Nur. M.Pd ,dosen

pembimbing 1 Dan dosen pembimbing 2 yang telah memberikan kritik

dan saran yang senantiasa menjadi arah dan dorongan dalam penyelesaian

skripsi ini.

6. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan khususnya kelas PPKn C yang telah banyak


ix

memberikan masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti

perkuliahan maupun dalam penulisan proposal ini.

7. Para dosen pengajar Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan yang tidak bisa saya sebut satu persatu, terima kasih

atas didikan dan ilmu yang diberikan selama perkuliahan.

8. Seluruh staf tata usaha pada lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

9. Seluruh informan penulis di Pengadilan Agama Kolaka yang bersedia

meluangkan waktunya untuk memberikan banyak informasi yang sangat

bermanfaat kepada penulis.

10. Muhammad Surur, S.Ag selaku ketua di Pengadilan Agama Kolaka yang

telah bersedia menerima penulis dengan baik.

11. Kamarlah sunusi S.H., M.H, selaku bapak hakim yang selalu memberikan

bimbingan dan informasi kepada penulis.

12. Adik tersayang, Zainul Hasan yang selalu memberi semangat dan

dukungan serta senantiasa mengalungkan doa dari dulu hingga saat ini

yang tiada hentinya.

13. Kepada Winda K. Tundukan sahabat yang yang selalu ada untuk penulis

dalam suka maupun duka selama masa perkuliahan sampai sekarang.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.


x

Akhir kata, penulismengucapkanpermohonanmaaf atas segala kekurangan

dan kekhilafan. Terimakasih, Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

Makassar, Oktober 2020

Tara Fathin Rusli


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iv

SURAT PERJANJIAN ........................................................................................ v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vi

ABSTRAK ........................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ...................................... Error! Bookmark not defined.iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR ........................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I .................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A.Latar Belakang .................................................................................. 1

B.Rumusan Masalah ............................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5

D.Manfaat penelitian ............................................................................. 6

BAB II ................................................................................................................ 7

KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................... 7

ix
x

A. Kajian Teori ..................................................................................... 7

1. Pengertian Implementasi ............................................................... 7

2. Pengertian Kesadaran .................................................................... 7

3. Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian........................................... 9

B. Pnelitian Yang Relevan .................................................................. 37

C. Kerangka Pikir ................................................................................ 39

BAB III.............................................................................................................. 43

METODE PENELITIAN ................................................................................... 43

A. Jenis Penelitian ............................................................................... 43

B. lokasi dan waktu penelitian ............................................................. 43

C.Informan Penelitian ......................................................................... 43

D. Sumber Data................................................................................... 44

E. Instrument Penelitian ...................................................................... 45

F. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 46

G. Teknik Analisis Data ...................................................................... 47

BAB IV ............................................................................................................. 49

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................... 49

A. Deksripsi Lokasi Penelitian ............................................................ 49

B. Hasil Penelitian............................................................................... 53

C. Pembahasan .................................................................................... 62
xi

BAB V............................................................................................................... 75

PENUTUP ......................................................................................................... 75

A. Kesimpulan .................................................................................... 75

B. Saran .............................................................................................. 75

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL

2.1Tabeldata informan..................................................................................32

xii
DAFTAR GAMBAR

1.1 Pengadilan Agama Kolaka

1.2 Visi Dan Misi Pengadilan Agama Kolaka

1.3 Role Mode Pengadilan Agama Kolaka

1.4 Salah Satu Perlengkapan Spanduk

1.5 Proses Sidang Perceraian

1.6 Grafik Perkara (2012-2017)

1.7 Wawancara kepada salah satu informan

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), pernikahan itu

ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Tujuan dari pernikahan adalah untuk

untuk membentuk keluarga yang tentram kekal dan bahagia memperoleh

keturunan yang sah. Selain itu pernikahan dalam islam tidaklah semata-mata

sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai

ibadah (Rofiq, 1998: 69). Jadi pernikahan bukan hanya hubungan antara suami

istri tetapi juga hubungan dengan Allah.

Tujuan sakral dari suatu pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan,

penuh kasih sayang dan ketentraman, namun belum tentu tujuan tersebut dapat

dirasakan oleh kedua belah pihak karena kebahagiaan tidak dapat dipaksakan.

Terkadang di dalam kehidupan rumah tangga terjadi percekcokan dan

perselisihan, meskipun keduanya menginginkan adanya kesesuaian pandangan

hidup. Hal ini mungkin saja terjadi sebab perbedaan pendapat, sifat maupun

pandangan hidup. Jika masalah yang timbul dirasa sudah tidak ada solusi untuk

menyatukan keduanya maka talak merupakan jalan satu-satunya.

Hukum positif mengatur mengenai cerai talak atau dalam istilah Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, tata cara cerai talak diatur dalam

pasal 38-41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam pasal 113-162.

1
2

Maka, sejak dikeluarkannya peraturan ini maka tata cara cerai talak harus

dilakukam di depan Pengadilan Agama.

Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Pernikahan tersebut di

atas, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI juga merumuskan garis hukum

yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata cara dan akibat

hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 sama dengan Pasal 38 Undang-Undang

Pernikahan. Pasal 114 mengenai putusnya pernikahan yang disebabkan oleh

perceraian maka dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 mempertegas Pasal 39 Undang-Undang Pernikahan yang sesuai

dengan konsen KHI yaitu untuk orang Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan

di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Talak hanya dapat dilakukan dengan adanya cukup alasan yang dibenarkan

oleh peraturan perundang-undangan pemerintah,yang dalam peraturan

pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974

tentang Pernikahan disebutkan pada Pasal 19 cerai talak dapat terjadi karena

alasan:

1. Salah satu pihak bebuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa ijin pihak lain tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukam kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
3

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya pernikahan karena kehendak suami atau istri atau kehendak

keduanya, karena adanya ketidakrukunan, disebut dengan istilah “perceraian”,

yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban seabagai

suami atau istri yang sebagaimana seharusnya menurut hukum pernikahan yang

berlaku. Konkretnya, ketidakrukunan antara suami dan istri yang menimbulkan

kehendak untuk memutuskan hubungan pernikahan dengan cara perceraian,

antara lain pergaulan antara suami dan istri yang tidak saling menghormati, tidak

saling menjaga rahasia masing-masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman

dan tentram, serta terjadi silang sengketa atau pertantangan pendapat yang

sangat prinsip.

Kewajiban yang harus dilakukan mantan suami terhadap mantan istri yang

bercerai karena talak diantaranya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal

149, antara lain:

a. Pemberian mut‟ah.

b. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama masa iddah.

c. Melunasi mahar yang terhutang.

d. Memberikan biaya hadhanah bagi anak yang belum berumur 21 tahun.

Pemberian nafkah dari mantan suami kepada mantan istri ini dimaksudkan

agar mantan istri dapat memenuhi semua kebutuhan selama masa iddah tanpa

melanggar aturan iddah. Mengenai besar kecilnya nafkah (mut‟ah) yang

diberikan harus melalui kesepakatan kedua pihak dan berdasarkan kemampuan


4

suami, jika terjadi perselisihan dalam menentukan jumlahnya maka Pengadilan

Agama yang harus mengadili keduanya.

Akibat hukum yang ditimbulkan karena cerai talak berbeda dengan cerai

gugat. Apabila pernikahan putus karena cerai gugat atau kehendak istri, maka

sesuai Pasal 156 Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

yang menyebutkan bahwa anak yang belum mumayyiz (berusia 12 tahun) berhak

mendapatkan dari ibunya kecuali ibunya telah meninggal dunia. Apabila ibunya

telah meninggal dunia maka hak perwalian dapat digantikan dengan kerabat ibu

atau juga dapat berpindah ke ayah.

Anak merupakan anugerah dari Allah yang harus dididik dan dibina

sebagaimana mestinya. Orang tua wajib memenuhi kebutuhan nafkah anak,

biasanya dalam hal ini merupakan kewajiban orang tua laki-laki sebagaimana

kewajiban suami dalam keluarga. Ikatan yang terjadi antara orang tua dan anak

tidak akan terputus meskipun rumah tangga sudah hancur. Undang-Undang

melindungi hak-hak perempuan dan juga anak agar jika terjadi talak anak tetap

tumbuh seperti anak-anak lain.

Perceraian yang terjadi karena talak maupun cerai gugat dapat

menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi perempuan. Faktanya di

Indonesia terjadi permasalahan pasca cerai talak, akibatnya perempuan yang

menjadi korban. Karena orang tua perempuan lebih berhak terhadap hadhanah,

sehingga jika otang tua laki-laki tidak bertanggung jawab justru memberikan

beban financial bagi perempuan sendiri. Jika pihak keluarga mampu mungkin

sajantidak akn memberikan beban yang berarti, namun bagi keluarga perempuan
5

yang tidak mampu akan memberatkan. Permaslahan ini sangat sering terjadi di

masyarakat.

Pemikiran mantan suami yang menganggap bahwa setelah putusnya

pernikahan maka lepas pula tanggung jawab nafkah membuat mereka enggan

bertanggung jawab. Dalam menghadapi situasi yang demikian, seharusnya dapat

menuntut melalui jalur hukum. Namun karena mayoritas masyarakat yang

kurang mengetahui hukum mereka tidak tahu apa yang seharusnya mereka

lakukan. Bahkan tidak dapat melakukan apapun meskipun hak-hak mereka tidak

terpenuhi.

Berdasarkan latar belakang bersebut tersebut, penulis tertarik mengkaji

dalam proposal dengan judul “Implementasi Hak-Hak Perempuan Pasca

Perceraian Di Pengadilan Agama Kolaka”

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian

adalah:

1. Bagaimana kesadaran perempuan terkait hak-hak pasca perceraian di

Pengadilan Agama Kolaka?

2. Bagaimana implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian di

Pengadilan Agama Kolaka?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kesadaran perempuan terkait hak-haknya pasca

perceraian di Pengadilan Agama Kolaka.


6

2. Untuk mengetahui hak-hak apa saja yang masih dimiliki perempuan pasca

perceraian di Pengadilan Agama Kolaka.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian diatas maka penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat seperti:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan apat menjadi sumber yang bermanfaat

untuk dipelajari bagi para pembacaan peneliti dalam menunjang

pengetahuan khususnya dibidang perceraian.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada peneliti

lainnya yang ingin mengembangkan lebih lanjut penelitian ini.

2. Manfaat praktis

a. Bagi perempuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kesadaran

pada perempuan kota Kolaka dalam mengetahui hak-hak apa saja dimiliki

pasca perceraian.

b. Bagi peneliti dapat dijadikan sumber pengetahuan baru terkait dengan hak

perempuan dalam pasca perceraian.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Implementasi

Implementasi ini merupakan suatu penerapan atau juga sebuah tindakan

yang dilakukan dengan berdasarkan suatu rencana yang telah/sudah disusun

atau dibuat dengan cermat serta juga terperinci sebelumnya. Pendapat lain

juga mengatakan bahwa pengertian implementasi merupakan suatu tindakan

atau juga bentuk aksi nyata dalam melaksanakan rencana yang sudah

dirancang dengan matang. Dengan kata lain, implementasi ini hanya dapat

dilakukan apabila sudah terdapat perencanaan serta juga bukan hanya sekedar

tindakan semata.Sesuatu tersebut dilakukan agar timbul dampak berupa

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan serta kebijakan

yang telah dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.

Dari penjelasan itu kita dapat melihat bahwa implementasi bermuara

pada mekanisme suatu sistem. Penerapan implementasi itu harus sesuai dengan

perencanaan yang sudah dibuat supaya hasil yang dicapai sesuai dengan yang

diharapkan.

2. Pengertian kesadaran

Kesadaran adalah kesadaran akan perbuatan. Sadar artinya merasa, tau

atau ingat (kepada keadaan yang sebenarnya), keadaan ingat akan dirinya,

7
8

ingat kembali (dari pingsannya), siuman, bangun (dari tidur) ingat, tau dan

mengerti. Adapun kesadaran menurut para ahli yaitu:

a. Menurut Sartre kesadaran adalah kekosongan. Alasannya, pertama, karena

kesadaran adalah kesadaran diri. Kesadaran bisa melepaskan dirinya dari

objek-objek sehingga menyadari bahwa dirinya bukan objek-objek

tersebut. Kedua, kesadaran adalah kekosongan karena dunia seluruhnya

berada di luar dirinya. Sartre mengungkapkan adanya tiga sifat kesadaran

manusia. Pertama, kesadaran bersifat spontan. Artinya, ia dihasilkan bukan

dari ego atau kesadaran lain. Ia menghasilkan dirinya sendiri. Kedua,

kesadaran bersifat absolut. Artinya, kesadaran tidak menjadi objek bagi

sesuatu yang lain. Ketiga, kesadaran bersifat transparan. Artinya, kesadaran

mampu menyadari dirinya. Kesadaran diri merupakan eksistensi manusia

yang membedakannya dengan eksistensi benda-benda.

b. Menurut Sigmun Freud bahwa kesadaran hanyalah sebagian kecil dari

seluruh kehidupan psikis. Psikis diibaratkan fenomena gunung es di tangah

lautan luas yang ada dalam alam sadar atau kesadaran, sedangkan yang

berada dibawah permukaan air laut dan merupakan bagian terbesar adalah

hal-hal yang tidak disadari atau ketidaksadaran. Menurut Freud di dalam

ketidaksadaran inilah terdapat kekuatan-kekuatan dasar yang mendorong

pribadi.

c. Menurut Maurice Bucke kesadaran diri adalah kesadaran tingkat sedang

namun levelnya lebih tinggi dari sederhana kesadaran, perbedaannya adalah


9

jika sederhana kesadaran tidak mengetahui dan menyadari apa yang

dilakukannya, kesadaran diri mengetahui dan menyadari apa yang

dilakukannya. Contohnya manusia mengetahui informasi yang berada

dilingkungannya dan menyadari apa yang dilakukannya.

3. Hak-Hak Perempuan Pasca Pereraian

A. Perngertian Pernikahan

Pernikahan adalah upacarapengikatan janji nikah yang dirayakan atau

dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan pernikahan

secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan

memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama,

budaya, maupun kelas sosial. Pernikahan atau nikah artinya adalah

terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab

Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang

manusia yang diucapkan oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan

ke pernikahan, sesuai peraturan yang diwajibkan oleh Islam.

Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia dan merupakan

ibadah bagi seorang muslim untuk dapat menyempurnakan iman dan

agamanya. Dengan menikah, seseorang telah memikul amanah tanggung

jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap keluarga yang akan ia

bimbing dan pelihara menuju jalan kebenaran. Pernikahan memiliki manfaat

yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya.

Kepentingan sosial itu yakni memelihara kelangsungan jenis manusia,

melanjutkan keturunan, melancarkan rezeki, menjaga kehormatan,


10

menjagakeselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat

membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.

Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu

keluarga yang bahagia, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung dalam Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir

dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan

lahir atau batin saja tetapi harus kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir

dan batin inilah pernikahan merupakan satu perbuatan hukum di samping

perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu

menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi

keduanya, sedangkan sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam

pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran dari masing-masing

agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi aturan-aturan

bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.

Dari segi agama Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama

untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan

melakukan hubungan seksual sehingga terbebas dari perzinaan. Zina

merupakan perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan

manusia. Dalam agama Islam, zina adalah perbuatan dosa besar yang
11

bukansaja menjadi urusan pribadi yang bersangkutan denganTuhan, tetapi

termasuk pelanggaran hukum dan wajib memberi sanksi-sanksi terhadap

yang melakukannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama

Islam, maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran

hukum masyarakatnya.

Agama Islam menggunakan tradisi pernikahan yang sederhana,

dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam

perzinaan. Tata cara yang sederhana itu tampaknya sejalan dengan Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Pernikahan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya." Dari pasal tersebut sepertinya memberi peluang-peluang

bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan bahkan berpadu dengan

hukum Islam dalam pernikahan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran

masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara pernikahan

adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah pernikahan yang tidak

dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Pernikahan

ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan

memenuhi syariat Islam sehingga pernikahan ini tidak sampai dicatatkan di

kantor yang berwenang untuk itu.

B. Pengertian Perceraian

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan

tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta

pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus


12

memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama

pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan dan kontrak. Dan bagaimana

mereka menemukan biaya dan kewajiban merawat anak-anak

mereka.Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian,

dan pasangan itu dapat menyelesaikan kepengadilan.

Seperti dikutip dalam buku pengantar antropologi hukum yang ditulis

oleh prof. H. Hilman Hadikusumah, S.H. 2004

“Jika terjadi perselisihan di dalam rumah tangga, maka pihak yang merasa
diperlakukan secara kasar, atau merasa dirugikan, dapat mengadukan
masalahnya kepada anggota kerabat yang terpandang misalnya yang
mempunyai kedudukan tinggi, seperti kepala perkampungan atau pemegang
jabatan lain, untuk dapat menyelesaikan perselisihan mereka dengan baik.”
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai

pengertian perceraian tetapi hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam

pasal 113 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan

melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai

tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-

alasan tersebut harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam

pasal 115 Kompilasi Hukum Islam(KHI) yang isinya sebagai berikut

:"Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak."

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang

termaktub diatas maka yang dimaksud dengan perceraian perspektif


13

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses pengucapan ikrar talak yang

harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim

Pengadilan Agama.Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan diluar

persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak

sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

1) Hukum bercerai

Talak meskipun secara umum diperbolehkan, namun hukum talak itu

tidak tetap pada satu hukum saja, melainkan ada lima kemungkinan

hukumnya, yaitu:

a. Wajib, adalah perceraian yang diajukan oleh dua penengah dari masing–

masing pihak setelah sebelumnya kedua bela pihak berselisihdan meminta

ditengahi oleh perwakilan keluarganya, apabila kedua perwakilan tersebut

sudah menetapkan agar suami istri itu bercerai maka perceraian pun

menjadi wajib hukumnya.

b. Makruh, adalah perceraian yang tidak perlu dan tanpa alasan. Maka hukum

perceraian seperti itu tidak diperbolehkan.

c. Mubah, adalah ketika cerai memang diperlukan akibat perbuatan istri yang

tidak dapat menjaga perilakunya atau tidak dapat melayani suaminya

dengan baik, ataupun tidak terpenuhinya maksud–maksud lainnya dari

pernikahan itu sendiri. Sunnah nabi s.a.w pun menunjukkan kebolehan

talak. Jadi, talak itu hukumnya mubah bagi setiap suami yang

berkewajiban mahar, dan bagi siapa saja yang istrinya tidak terlepas dari

kebaikan dan keburukan dalam satu keadaan.


14

d. Dianjurkan, adalah ketika istri sudah tidak dapat dinasehati lagi dan diajak

untuk memenuhi hak Allah, misalnya tidak mau mengerjakan shalat atau

semacamnya.

e. Terlarang, adalah kata cerai yang diucapkan oleh suami pada saat istrinya

sedang haid, atau pada masa bersih namun diantara masa tersebut masih

terjadi hubungan badan diantara keduanya. (Maryono. 2013:207).

2) Penyebab perceraian

Faktor penyebab perceraian antara lain adalah sebagai berikut:

a. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga

Alasan tersebut diatas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan

oleh pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa

disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan

adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu

umum sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail..

b. Krisis moral dan akhlak

Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering

memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat

dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami maupun istri, poligami yang

tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang

dilakukan oleh suami maupun istri, missal mabuk, berzina, terlibat tidak

kriminal, bahkan utang piutang.


15

c. Perzinaan

Disamping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadi

perceraian adalah perzinaan, yaitu hubungan seksual diluar nikah yang

dilakukan baik oleh suami maupun istri.

d. Pernikahan tanpa cinta

Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk

mengakhiri sebuah pernikahan adalah bahwa pernikahan mereka telah

berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.Untuk mengatasi kesulitan akibat

sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk

memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba

menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.

e. Adanya masalah – masalah dalam pernikahan

Dalam sebuah pernikahan pasti tidak akan lepas dari yang namanya

masalah. Masalah dalam pernikahan itu merupakan suatu hal yang biasa,

tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat lagi didamaikan secara

otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan

antara suami istri.

3) Syarat – syarat perceraian

Syarat – syarat termaktub dalam pasal 39 Undang-Undang

pernikahan terdiri dari 3 ayat, yaitu:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.


16

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami

istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

Putusan perceraian harus didaftarkan pada pegawai pencatatan sipil

ditempat pernikahan itu telah dilangsungkan.Mengenai pernikahan yang

dilangsungkan diluar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada pegawai

pencatatan sipil dijakarta.Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam

bulan setelah hari tanggal putusan hakim.Jikalau pendaftaran dalam waktu

yang ditentukan oleh Undang – Undang dilalaikan, putusan perceraian

kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut Undang – Undang

pernikahan masih tetap berlangsung.

4) Bentuk – bentuk perceraian

Bentuk – bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya

pernikahan yang diatur dalam hukum islam, yang dapat menjadi alasan –

alasan hukum perceraiannya dan bermuara pada cerai talak dan cerai gugat

yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 7 Tahun 1975,

dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Talak

Secara harfiyah, talak berarti lepas dan bebas.Dihubungkan kata talak

dalam arti kata ini dengan putusnya pernikahan, karena antara suami dan

istrisudah lepas hubungannya atau masing – masing sudah bebas. Dalam

mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan


17

rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan pernikahan

dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.

Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum islam hak

talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa

pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalamm

empertimbangkan sesuatu dari pada istri (wanita) yang biasanya bertindak atas

dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian lebih dapat

diminimalisasi daripada jika hak talak diberikan kepada istri.

b. Syiqaq

Konflik antara suami istri itu ada beberapa sebab dan macamnya.

Sebelum koflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa

thalaq, maka konflik – konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.Jalan yang

paling baik untuk menyelesaikan konflik antara suami dan istri adalah

musyawarah oleh keluarga besarnya, karena merekalah yang paling

berkepentingan terhadap kebaikan seluruh keluarga besar.Jika jalan terang ini

tidak dilalui, maka dapat mengakibatkan kerusakan, permusuhan, dan

kebencian yang melanda banyak rumah tangga lalu menghacurkan akhlak dan

adab, serta keharmonisan keluarga, kerabat dan masyarakat itu sendiri.

c. Khulu‟

Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya pernikahan, karena istri sebagai

pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari

suaminya.Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu‟

diartikan dengan putus pernikahan dengan menggunakan uang tebusan,


18

menggunakan ucapan talak atau khulu‟.Khulu‟ itu merupakan satu bentuk dari

putusnya pernikahan itu, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya

pernikahan itu, dalam khulu‟ terdapat uang tebusan, atau ganti rugi atau

„iwadh.

d. Fasakh

Secara epistomologi, fasakh berarti membatalkan.Apabila dihubungkan

dengan pernikahanfasakh berarti membatalkan pernikahan atau merusakkan

pernikahan.Kemudian, secara terminologys fasakh bermakna pembatalan

ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama atau berdasarkan tuntutan istri atau

suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang

telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.

Hukum pelaksanaan fasakh pada dasarnya adalah mubah atau boleh,

yakni tidak disuruh dan tidak pula dilarang.Namun, bila melihat kepada

keadaan dan bentuk tertentu, hukumnya bisa bergeser menjadi wajib,

misalnya kelas dikemudian hari ditemukan adanya rukun dan syarat yang

tidak dipenuhi oleh suami dan istri.

e. Fahisah

Fahisah menurut Alquran Surah An-Nisa‟ (4); 15 ialah perempuan

yang melakukan perbuatan keji atau perbuatan buruk yang memalukan

keluarga seperti perbuatan mesum, homo seksual, lesbian dan

sejenisnya.Apabila terjadi peristiwa yang demikian itu, maka suami dapat

bertindak mendatangkan 4 (empat) orang saksi laki-laki yang adil yang


19

memberikan kesaksian tentang perbuatan itu, apabila terbukti benar, maka

kurunglah wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya.

f. Ta‟lik Talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak, menurut penjelasan sudarsono adalah suatu

penggantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai

dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami dan istri.Dalam

kenyataan, hubungan suami istri menjadi putus berdasarkan ta‟lik talak

dengan beberapa syarat, yaitu pertama, berkenaan dengan adanya peristiwa

dimana digantungkan talak berupa terjadinya sesuatu seperti yang

diperjanjikan. Misalnya: pernyaatan suami jika ia meninggalkan istri selama 6

bulan dengan tiada kabar dan tidak mengirim nafkah lahir batin atau suami

berjanji bahwa ia tidak akan memukul istri lagi. Kedua, menyangkut

ketidakrelaan istri.Apabila suami tenyata tetap melakukan pemukulan kepada

istri, maka istri tidak rela.Ketiga, apabila istri sudah tidak rela, maka ia boleh

menghadap pejabat yang berwenang menangani masalah ini, yang dalam hal

ini Kantor Urusan Agama. Keempat, istri membayar „iwadl melalui pejabat

yang berwenang sebagai pernyataan tidak senang terhadap sikap yang

dilakukan suami terhadapnya.

g. Ila‟

Ila‟ berasal dari bahasa Arab, yang secara berarti kata berarti “tidak

mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau “sumpah”. Dalam

artian definitif terdapat beberapa rumusan yang hampir atau berdekatan

maksudnya. Definisi yang disepakati untuk mengartikan ila‟ adalah


20

sebagaimana yang terdapat dalam syarh minhaj al-Thalibin karya Jalal al-

Dien al-Mahally (IV:8), yang berarti “sumpah suami untuk tidak menggauli

istrinya”.

h. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟. Arti

zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa istrinya itu baginya sama

dengan punggung istrinya. Ibarat seperti ini erat kaitannya dengan kebiasaan

masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penymaan

tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli

istrinya.

i. Li‟an

Pernikahan dapat putus karena li‟an.Li‟an diambil dari kata la‟n

(melaknat), karena pada sumpah kelima, suami berkata bahwa ia menerima

laknat Allah bila ia termaksuk orang-orang yang berdusta. Perkara ini disebut

li‟an,itli‟an (melaknat diri sendiri) dan mula‟anah(saling melaknat). Li‟an

diambil dari firman Allah: “Dan (sumpah) yang kelima, bahwa lanat Allah

atasnya, jika ia termaksuk orang-orang yang berdusta”.

j. Murtad (Riddah)

Syaik Hasan Ayyub menjelaskan apabila salah seorang suami istri

murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut

pendapat mayoritas ulama.Dituturkan dari Abu Daud bahwa pernikahan tidak

terkena fasakh sebab kemurtadan, karena menurut ketentuan dasar nikahnya

tetap sah.Apabila kemurtadan terjadi setelah persetubuhan, maka dalam hal


21

ini ada dua pendapat.Satu mengatakan pendapat bahwa sertamerta terjadi

perpisahan.Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad.

Pendapat lain mengatakan bahwa perpisahan ditunda hingga

berakhirnya iddah. Apabila yang murtad itu kembali masuk islam sebelum

iddah berakhir, maka suami istri tetap dalam hubungan pernikahan. Apabila ia

tidak masuk islam sampai akhir iddah berakhir, maka terjadi perpisahan sejak

hari ia murtad. Ini adalah mahzab syafi‟i, riwayat kedua dari Ahmad dan Daud

Azh Zhahiri berdasarkan ketentuan diatas mengenai kemurtadan sebelum

terjadinya persetubuhan.

5) Bentuk cerai dalam hukum positif

a. Cerai talak (cerai)

Seorang suamiyang diberi hak mutlak mentalak istrinya. Hak talak

diberikan kepada suami merupakan ketentuan dari Al-Qur‟an, sejalan

dengan hal tersebut peraturan perundang-undangan tentang pernikahan di

Indonesia juga memberikan hak mutlah kepada suami untuk mentalak

istrinya tetapi dengan ketentuan yang berlaku

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ketentuan perundang-

undangan lainnya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam lebih tegas lagi

menyebutkan bahwa bila mana pernikahan putus karena talak, maka bekas

suami wajib memberikan kepada bekas istrinya:

(1)Mut‟ah yang layak berupa uang atau barang


(2)Nafkah iddah yang meliputi nafkah tempat tinggal (maskan) dan
perlengakapan hidup (kiswah).
(3)Melunasi mahar yang belum lunas terbayar.
22

(4)Biaya hadhanah biaya pemeliharaan untuk anak-anaknya yang belum


mencapai umur 21 tahun.

b. Cerai Gugat

Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminyauntuk bercerai melalui

pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan yang

di maksud sehingga putus hubungan penggunggat (istri) dengan tergugat

(suami) pernikahan (Ali, 2006:77). Dalam peraturan pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan,dalam hal teknis yang

menyangkut kompetensi wilayah Pengadilan seperti dalam cerai talak

mengalami perubahan.

C. Pengertian hak – hak individu dan hak – hak perempuan

Secara umum, pengertian hak adalah segala sesuatu yang mutlak

menjadi milik seseorang dimana penggunaanya tergantung kepada orang

tersebut dengan rasa tanggung jawab.Pendapat lain mengatakan bahwa arti

hak adalah segala sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia,

bahkan sejak manusia tersebut masih didalam kandungan. Hak adalah kuasa

untuk menerima atau melakukan sesuatu yang harusnya diterima atau

dilakukan oleh suatu pihak dan secara prinsip tidak dapat dituntut secara

paksa oleh pihak lain.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian hak adalah sesuatu hal

yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, dan kekuasaan seseorang untuk

berbuat sesuatu karena telah diatur oleh Undang–undang atau peraturan.

Penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi hak adalah sesuatu


23

yang mutlak menjadi milik kita penggunaan hak tersebut tergantung kepada

diri kita sendiri. Adapun hak menurut para ahli yaitu :

1. Pengertian Hak Menurut Menurut Srijanti Hak merupakan unsur normatif

yang berfungsi pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan,

serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan

martabatnya. (Srijanti,2007:121)

2. Pengertian Hak Menurut Prof. Dr. Notonegoro Hak adalah kuasa untuk

menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan

melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihat lain

manapun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.

(Prof. Dr. Notonegoro, 2010:30)

Hak-hak perempuan terdiri dari beberapa jenis yaitu :

a. Hak–hak utama perempuan

Perempuan sering kali termarjinalkan oleh konsepsi sosial budaya di

masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak. Perlakuan

diskriminatif kerap kali diterima perempuan Indonesia, baik dalam

kehidupan sosial maupun dunia professional. Adapun 5 hak–hak

perempuan yaitu:

1) Hak dalam ketenagakerjaan

Setiap perempuan berhak untuk memiliki kesempatan kerja yang sama

dengan laki-laki. Hak ini meliputi kesempatan yang sama dari proses

seleksi, fasilitas kerja, tunjangan, dan hingga hak untuk menerima upah
24

yang setara. Selain itu, perempuan berhak untuk mendapatkan masa cuti

yang dibayar, termasuk saat cuti melahirkan.Perempuan tidak bisa

diberhentikan oleh pihak pemberi tenaga kerja dengan alasan kehamilan

maupun status pernikahan.

2) Hak dalam bidang kesehatan

Perempuan berhak untuk mendapatkan kesempatan bebas dari kematian

pada saat melahirkan, dan hak tersebut harus diupayakan oleh

Negara.Negara juga menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan,

khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan.

3) Hak yang sama dalam pendidikan

Seperti salah satu poin perjuangan RA Kartini, setiap perempuan berhak

untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan, dari tingkat dasar

hingga universitas. Harus ada penghapusan pemikiran stereotip mengenai

peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk

pendidikan, termasuk kesempatan yang sama untuk mendapatkan beasiswa.

4) Hak dalam pernikahan dan keluarga

Perempuan harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki

dalam pernikahan. Perempuan punya hak untuk memilih suaminya secara

bebas dan tidak boleh ada pernikahan paksa. Pernikahan yang dilakukan

harus berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak dalam keluaga,

perempuan juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai

orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami istri.


25

5) Hak dalam kehidupan publik dan politik

Dalam kehidupan publilk dan politik, setiap perempuan berhak untuk

memilih dan dipilih. Setelah berhasil terpilih melalui proses yang

demokratis, perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama

untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah hingga

implementasinya.

b. Hak perempuan dalam perkawinan

Hak–hak perempuan dalam perkawinan diantaranya yaitu:

1) Hak perempuan untuk memilih calon suami

Islam memberikan hak kepada perempuan untuk menerima pilihannya

dan menolak yang tidak disukainya dalam perkawinan.Islam melarang wali

menikahkan secara paksa dan anak gadis dan saudara perempuannya dengan

orang yang tidak mereka sukai. Islam menganggap pemaksaan dalam

menentukan suami sebagai suatu kezaliman karena disamping melanggar

hak asasi kaum perempuan juga akan menimbulkan permusuhan dan

perpecahan antara keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki –

laki bila terjadi ketidakcocokan dalam perkawinan.

Dalam hal ini, orangtua hanya mempunyai hak untuk menganjurkan

atau menasehati atau memberikan arahan mana yang terbaik bagi anaknya

untuk memilih calon suami. Hal ini menegaskan bahwa hak menentukan

calon mutlak ada ditangan masing–masing calon.


26

2) Hak perempuan untuk menerima mahar

Salah satu keistimewaan sayarat islam dalam perlindungan dan

penghormatan kepada kaum perempuan dari semua ketentuan syarat adalah

adanya ketentuan mahar yang harus ditentui harus dipenuhi pihak laki–laki

sebelum rumah tangga itu ditegakkan. Mahar (mas kawin) adalah semacam

pemberian atau hadiah yang diberikan oleh mempelai laki–laki pada waktu

akad nikah. Pemeberian ini sesuai dengan kemampuan yang memberi,

karena itu tidak terlarang kalau pemberian itu sedikit atau banyak, selama

masih dalam batas–batas kemampuan.

3) Hak perempuan untuk memdapatkan nafkah

Seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah

secara penuh kepada istrinya yang sesuai dengan kondisi sosial istri dan

kemampuan financial suami. Adapun unsur yang termaksuk biaya nafkah

adalah biaya susuan, nafkah makan dan minum (pangan), pakaian

(sandang), pembantu rumah tangga, tempat tinggal (papan), dan kebutuhan

seks.Nafkah hanya diwajibkan atas suami terhadap istinya.Nafkah hanya

diwajibkan atas suami karena tuntutan akad nikah dank arena

keberlangsungan bersenang – senang sebagaimana istri wajib taat kepada

suami selalu meyertainya, mengatur rumah tangga dan mendidik anak–

anaknya.
27

4) Hak reproduksi perempuan

Sejalan dengan fungsi reproduksi yang dimilikinya perempuan

mempunyai tugas mengandung anak (alhamalah), melahirkan

(alwiladah),menyusui (alradla‟aha), mengasuhnya (tarbiyah al‟athfal).

Tugas–tugas ini sering dikesankan sebagai tugas perempuan, sementara

pada saat bersamaan hak–hak yang terkait dengan fungsi–fungsi reproduktif

tersebut sering diabaikan. Sebagai pengemban fungsi reproduksi,

peremouan (ibu) memiliki hak – hak yang harus dipenuhi ayah (suami)

diantarnya itu:

a) Hak jaminan keselamatan dan kesehatan

b) Jaminan kesejahteraan

c) Hak ikut mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan

perempuan khususnya yang berkaitan dengan proses reproduksi

5) Hak menikmati hubungan seks

Dalam relasi seksual islam juga memberikan perempuan hak

kenikamatan seksual sebagai mana yang dinikmati laki–laki. Seorang suami

memiliki kewajiban untuk menggauli istrinya, dan mereka putuskan batas

maksimal yang diwajibkan kepada suami untuk menggauli istrinya adalah

sebanyak 1 (satu) kali 4 (empat).Maka seorang suami memiliki kewajiban

untuk memenuhi kebutuhan biologis istrinya, sebagaimana halnya istri juga

memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan suaminya.


28

6) Hak perempuan untuk medapatkan perlakuan baik

Diantara hak perempuan dalam perkawinan adalah untuk

mendapatkan perlakuan yang baik dari suami dalam pergaulan hidup

berumah tangga. Perlakuan yang baik meliputi tingkah laku, tindakan dan

sopan santun yang harus dilakukan suami terhadap istri. Bergaul dengan

baik antara suami istri untuk membina rumah tangga adalah merupakan

syarat dari suatu perkawinan yang akan mencapai tujuan dan hikmah

berumah tangga.

7) Hak perempuan dalam memutuskan perkawinan

Islam memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menuntut

pembatalan akad nikah dengan jalan khulu‟ bila suami tidak mau atau tidak

mampu member nafkah, berbuat serong, tidak menggaulinya dengan baik

atau pemabuk dan sebagainya.Khulu‟ adalah gugatan perceraian dari istri

kepada pengadilan agama dengan penyerahan iwad atau uang tebusan.

D. Hak-hak perempuan pasca perceraian

Putusnya pernikahan menurut pasal 113 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 megaskan

bahwa putusnya suatu ikatan pernikahan dapat disebabkan oleh beberapa

hal, yaitu: Pertama, karena kematian; kedua, karena perceraian dan ketiga,

karena putusan pengadilan. Putusnya suatu ikatan pernikahan yang

disebabkan karena perceraian dalam hal ini meliputi dua hal, yaitu, cerai

talak yang dilakukan suami dan cerai gugat yang dilakukan istri yang

mengajukan gugatan perceraian. Sedangkan maksud dari putusnya


29

pernikahan karena putusan pengadilan adalah pembatalan pernikahan.

Semua bentuk dan macam perceraian tersebut mempunyai konsekuensi

hukum tersendiri baik mengenai hak dan kewajiban mantan suami maupun

hak dan kewajiban mantan isteri, yang penting dibahas disini adalah

perceraian yang terkait dengan hak dan kewajiban nafkah, mut„ah,

maskan, kiswah, hadhanah, dll.

Putusnya perkawinan karena suami mengajukan permohonan cerai

talak ke Pengadilan Agama, maka kewajiban mantan suami adalah :

1. Memberikan mut„ah yang layak kepada mantan istrinya baik berupa uang

atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla al-dukhul.

2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan isteri selama dalam

„iddah, kecuali mantan isteri telah dijatuhi talak ba„in atau nusyuz dan

dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila

qobla al-dukhul, dan memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya

yang belum mencapai umur 21 tahun.

Konsekuensi hukum lainnya akibat dari putusnya perkawinan terhadap

mantan suami adalah kewajiban memberikan biaya hadhanah dan nafkah

anak serta biaya pendidikan anak. Selain kewajiban tersebut, anak juga

berhak mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. Berikut ini kewajiban

mantan suami terhadap isteri sebagai akibat hukum dari dikabulkannya cerai

talak, yaitu:

a. Kewajiban Memberikan Mut„ah


30

Kata mut„ah Merupakan bentuk lain dari kata al-mata‟, yang berarti

sesuatu yang dijadikan obyek bersenang-senang. Secara istilah, mut„ah ialah

sesuatu yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai

penghibur selain nafkah sesuai dengan kemampuannya. Kewajiban suami

agar membayar mut„ah terhadap isterinya yang dicerai (ditalak) ditegaskan

oleh Allah SWT dalam al-Quran Surat AlBaqarah: 236 dan 241. Selain itu,

ditegaskan pula dalam Surat al-Ahzab: 49.

Menurut pendapat mayoritas Ulama Hanafiyyah dan Imam Ahmad bin

Hanbal berpendapat bahwa mut„ah itu wajib untuk semua isteri yang

ditalak. Sebagian Ulama Malikiyyah, seperti Ibnu Shihab berpendapat

semua perempuan yang ditalak berhak mendapat mut„ah. Imam Syafi‟i yang

juga dipertegas oleh al-Syarbaini menyebutkan bahwa kebanyakan para

sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat-ayat al-Qur‟an di atas

menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut„ah adalah semua perempuan

yang ditalak.

Menurut hukum positif Indonesia dalam pasal 149 Kompilasi Hukum

Islam menyatakan bahwa putusnya perkawinan karena talak mengakibatkan

mantan suami wajib memberikan mut„ah yang layak kepada mantan

isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali mantan isteri tersebut qobla

dukhul. Sedangkan pada pasal berikutnya, yaitu pasal 158 Kompilasi

Hukum Islam, selain syarat qabla al-dukhul syaratmut„ah wajib diberikan

oleh mantan suami apabila belum ditetapkan mahar bagi isteri tersebut dan

perceraian itu atas kehendak suami atau cerai talak.


31

Apabila tidak memenuhi kedua syarat tersebut maka hukum

pemberian mut„ah oleh suami hukumnya sunnah. Adapun mengenai

besarnya nilai mut„ah tidak ditentukan secara mutlak, akan tetapi

disesuaikan dengan kemampuan suami artinya bahwa kemampuan suami

tersebut harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi/pekerjaan sang suami

dan disesuaikan juga dengan kepatutan artinya bahwa besarnya mut„ah itu

dilihat dari kebiasaan masyarakat setempat dalam mendapatkan mahar dari

suaminya.

b. Kewajiban Memberikan Nafkah „iddah, Maskan, dan Kiswah selama dalam

„iddah

Kata nafkah merupakan bentuk kata dasar/kata benda (masdar/ noun)

dari kata kerja na-fa-qa yang berarti perbuatan memindahkan dan

mengalihkan sesuatu. Maka nafkah sebagai kata dasar/kata bendanya, akan

berarti sesuatu yang dipindahkan/dialihkan dan dikeluarkan untuk suatu hal

dan tujuan tertentu.

Kata „iddah dalam bahasa arab berasal dari akar kata „addaya‟uddu–

„idatan dan jamaknya adalah „idad yang secara arti kata (etimologi) berarti

menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan untuk maksud „iddah karena

dalam bahasa itu si perempuan yang ber-‟iddah menunggu berlalunya

waktu.

Sedangkan secara istilah, „iddah artinya sebuah masa di mana seorang

perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena

suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu
32

dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. Menurut ulama Hanafiyah

menyatakan bahwa yang menjadi alasan mengapa seorang suami diwajibkan

menafkahi isterinya adalah sebagai imbalan dari hak suami membatasi

kebebasan gerak-gerik isteri dan isteri memberikan loyalitasnya kepada

ketentuan suami.

Setelah akad nikah diucapkan secara sah, maka kebebasan seorang

isteri menjadi menjadi tidak seperti halnya ketika ia masih lajang. Di

samping isteri berkewajiban memberikan loyalitasnya kepada suamisesuai

dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum Islam, isteri

wajib secara sukarela menyerahkan dirinya kepada suami untuk

diperlakukan sebagai seorang isteri. Hak suami untuk membatasi

kewenangan isteri merupakan konsekwensi dari kedudukan suami sebagai

kepala rumah tangga, dan kewajiban isteri untuk memberikan loyalitasnya

adalah konsekuensi dari kedudukannya sebagai seorang isteri. Atas dasar itu

pihak isteri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Dengan sebab dan alasan tersebut diatas maka kewajiban bagi suami

memberikan nafkah tetap dibebankan atas diri suami untuk isteri selama hal

yang menjadi sebab itu dimilikinya. Atas dasar itu suami wajib menafkahi

isteri yang sedang dalam masa „iddah baik disebabkan cerai talak atau

bukan, baik dengan talaq raj„i maupun talak ba„in baik dalam keadaan hamil

atau tidak. Baik perceraian yang disebabkan alasan yang datang dari suami

atau dari isteri selain perceraian yang disebabkan karena isteri melakukan

zina. Akan tetapi menurut pendapat Hanafiyah kewajiban nafkah gugur


33

ketika isteri tidak lagi memberikan loyalitasnya kepada suami. Nusyuz

(keluar dari ketaatan) merupakan salah satu dari penyebab gugurnya hak

nafkah bagi isteri.

Menurut mayoritas ulama kalangan Malikiyah, Syafi‟iyah, dan

Hanabilah berpendapat bahwa alasan mengapa pihak suami diwajibkan

menafkahi isterinya adalah karena adanya hubungan timbal balik antara

suami isteri (al-„alaqat al-zawjiyat) artinya bahwa yang menjadi penyebab

wajibnya nafkah karena akibat dari akad pernikahan yang sah yang masing-

masing pihak kemudian terikat satu sama lain dengan hak dan kewajiban

yang telah diatur oleh hukum agama. Selama masih ada hubungan kerja

sama antara suami dengan isteri maka selama itu pula kewajiban untuk

memberi nafkah dipikul dipundak suami.

Oleh karena dianggap masih ada hubungan suami isteri, maka wanita

yang sudah ditalak dengan talaq raj„i masih wajib dinafkahi oleh suami.

Adapun wanita yang yang ditalak ba„in tidak wajib dinafkahi karena sudah

dianggap sama sekali putus hubungan suami isteri terlepas dari masalah

apakah mantan isterinya sedang hamil atau tidak. Sedangkan menurut

pendapat Malikiyah dan Syafi‟iyah isteri yangsedang hamil dan ditalak

ba„in maka suami hanya berkewajiban memberikan tempat tinggal tanpa

wajib memberikan nafkah kepadanya.

Selanjutnya, dalam hukum positif Indonesia bahwa akibat dari

putusnya perkawinan mengakibatkan mantan suami wajib Memberi nafkah,

maskan, dan kiswah, kepada mantan isteri selama dalam „iddah, kecuali
34

mantan isteri telah dijatuhi talak ba„in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak

hamil. Adapun yang dimaksud dengan nusyuz adalah yaitu ketika pihak

isteri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai seorang isteri untuk

berbakti lahir dan batin kepada suami sesuai dengan hal-hal yang

dibenarkan oleh hukum Islam. Hal itu berarti yang patut dijadikan tolak

ukur dalam menentukan nusyuz atau tidaknya adalah berdasarkan pada fakta

atas pembuktian yang sah dipersidangan terkait dengan sikap dan perilaku

nusyuz selama keduanya menjalani rumah tangga bukan siapa yang

mengajukan perceraian.

Kemudian menurut pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 yang mengatur akibat perceraian, menyatakan bahwa pengadilan dapat

mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan

dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. Bahkan dalam

pasal 81 Kompilasi Hukum Islam tanpa mengaitkan dengan ada atau

tidaknya nusyuz dari mantan isteri, suami berkewajiban memberikan tempat

kediaman (maskan) bagi mantan isterinya selama ia menjalani masa „iddah.

c. Kewajiban Memberi Nafkah dan Biaya Pendidikan Anak

Mengenai nafkah anak, para ulama sepakat (ijma‟) atas wajibnya

menafkahi anak. Dasar hukum yang digunakan dalam pembebanan

kewajiban nafkah kepada ayah adalah menurut dasar hukum al-Quran dan

al-Hadits. Dalil yang dijadikan dasar hukum dalam al-Quran adalah Surat

al-Talaq: 6 yang artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-

anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”.


35

Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan seorang ayah untuk memberi

upah kepada istrinya atas pemberian air susu ibu kepada anaknya. Karena

menafkahi anak itu kewajiban ayah. Selain dasar hukum di atas, kewajiban

ayah menafkahi juga disebutkan dalam al-Quran Surat Al-Baqarah:33 yang

berbunyi: “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka

dengan cara yang patut”.

Selanjutnya dalil yang dijadikan dasar hukum dalam al-Hadits adalah

hadits sahih riwayat Bukahri dan Muslim Rasulullah berkata pada Hindun

binti 'Utbah, yang artinya: “Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu

dengan cara yang baik”.

Hadits di atas dilatarbelakangi oleh suami Hindun binti 'Utbah ketika

itu merupakan seorang yang pelit. Kemudian hal itu dilaporkan pada Nabi

Muhammad saw, maka Nabi Muhammad saw membolehkan mengambil

harta suaminya secara diam-diam secukupnya untuk kebutuhan istri dan

anak.

Berdasarkan dalil-dalil yang dijadikan dasar hukum di atas, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah

kepada isteri dan anak. Nafkah dan biaya pendidikan anak wajib diberikan

baik ketika tidak terjadi perceraian maupun setelah terjadi perceraian.

Selanjutnya, dalam tatanan hukum Indonesia tetap merujuk kepada

Pasal 80 ayat (4) huruf c KHI yang menyatakan bahwa nafkah keluarga, di

dalamnya termasuk nafkah kehidupan dan pendidikan anak, ditanggung oleh

ayah. Pasal 80 KHI ini mengatur nafkah keluarga sebelum terjadi


36

perceraian, sedangkan Pasal 105 mengatur nafkah setelah terjadi perceraian.

Hal ini berarti tanggungan nafkah anak tetap ditanggung sepenuhnya oleh

ayahnya baik ketika orang tua mereka berlum bercerai maupun setelah

bercerai.

Selain pasal-pasal tersebut, disebutkan pula dalam KHI bahwa semua

biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut

kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat

mengurus diri sendiri (21 tahun) dan pengadilan dapat pula dengan

mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Selain kewajiban-kewajiban yang tertulis di atas, kewajiban lainnya

yang harus dilaksanakan oleh mantan suami adalah kewajiban melunasi

mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-

dukhul. Kemudian mantan suami berhak melakukan rujuk kepada mantan

istrinya yang masih dalam „iddah dan berhak mendapatkan setengah bagian

dari harta bersama.

d. Nafkah terutang

Adapun yang dimaksud nafkah terutang yaitu, nafkah selama

pernikahan yang selama ini tidak atau belum diberikan oleh suami kepada

istrinya. Lalu dalam proses perceraian di Pengadilan, pihak istri

mengajukan atau menuntut pihak suami untuk melunasi atau

membayarkan nafkah selama ini dilalaikannya tersebut.


37

Adanya tuntutan nafkah terutang ini diajukan bersamaan dengan

perkara pokok perceraian yang sedang berlangsung. Jika perkara tersebut

merupakan permohonan cerai talak, maka pihak istri (termohon) dapat

mengajukan gugatan rekonpensi. Dengan salah satu tuntutannya yaitu

adanya pemenuhan nafkah terutang selama ini.

B. Penelitian yang relevan

Beberapa penelitian yang relevan dalam penelitian ini antara lain:

1. Hasil penelitian Surya Elhadi (2016), yang berjudul “Perlindungan Hak-Hak

Istri Pasca Perceraian Menurut Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (Studi

Kasus Di Pengadilan Agama Pekanbaru)”.Menurut Ajaran Islam

melangsungkan pernikahan berarti Ibadah, jika hubungan pernikahan antara

suami istri tidak mungkin diteruskan, maka diperbolehkan perceraian.

Meskipun demikian harus terdapat alasan-alasan yang kuat utuk

terlaksananya tujuan perceraian tersebut, dan hak cerai hanya dapat

digunakan dalam keadaan yang sangat memaksa (genting), dan apabila

terjadi perceraian maka Pengadilan Agama Pekanbaru merupakan tempat

menerima, mengadili, memutus dan menyelesaikan masalah pernikahan, dan

Pengadilan dalam memutuskan perkara Perceraian yakni menurut ketentuan

KHI (Kompilasi Hukum Islam). Dalam memutuskan kasus cerai thalak

hakim di Pengadilan Agama Pekanbaru ada yang memutuskan dengan

Verstek dan dengan putusan Deklatoir, kemudian Putusan Pengadilan

Agama Pekanbaru secara garis besar terbagi pada dua kategori yakni ada

Putusan Pengadilan Agama Pekanbaru tersebut yang melindungi hak-hak


38

mantan istri diantaranya hak nafkah, muta‟h, mahar dan hadhanah seperti

yang diamanatkan dalam pasal 149 KHI dan ada yang belum melindungi

hak-hak istri sesuai dengan pasal 149 KHI.

2. Hasil penelitian Arnita Marwing (2016), yang berjudul “Perlindungan Hak-

Hak Perempuan Pasca Perceraian (Studi Terhadap Putusan Pengadilan

Agama Palopo)”. Fakta menunjukkan bahwa cerai gugat tidak mudah

dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan. Banyak hasil putusan

yang mengabulkan gugatan, sementara keadilan yang diinginkan perempuan

melalui proses cerai gugat seringkali pupus bahkan berubah menjadi petaka

ketika harus kehilangan hak nafkah, terpisahkan dari anak-anak karena hak

perwalian dan stigma negatif di masyarakat karena predikat janda yang

disandangnya. Kondisi ini seringkali terjadi lantaran keputusan perceraian

dalam perkara cerai gugat bukan berada pada inisiatornya tetapi berada

dalam pertimbangan hakim. Otoritas hakim menjadi sangat menentukan.

Perceraian dan akibat-akibatnya diputuskan berdasarkan kajian dan

pertimbangan hakim terhadap kasus melalui tahapan-tahapan dalam

persidangan. Pengadilan Agama memiliki kontribusi penting dalam

mempengaruhi dan membentuk praktik dan kebiasaan yang terjadi dalam

hubungan hukum antara laki laki dan perempuan. Hal ini karena hampir

semua kompleksitas persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai

sepasang suami istri adalah bagian pokok dari kompetensi peradilan agama.

Peradilan agama dengan demikian merupakan salah satu sarana yang efektif

untuk mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak material maupun non-
39

material yang berkeadilan jender. Perkembangan mutakhir berkenaan

dengan Peradilan Agama adalah upaya struktural untuk beranjak tak terbatas

sebagai pengadilan keluarga. Hal ini antara lain ditandai dengan lahirnya

ketentuan baru tentang perluasan cakupan yurisdiksi peradilan agama

sebagaimana terdapat dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU

No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diperbarui lagi

dengan UU No. 50 Tahun 2008.

C. Kerangka Pikir

Perceraian ialah hal yang menyedihkan dan memiliki implikasi

sosial yang tidak kecil bagi pasangan terutama bagi yang telah memiliki

keturunan. Terkadang hal tersebut tidak di fikirkan saat memutuskan untuk

bercerai, banyak anak yang menjadi korban baik lahir maupun batin

dikarenakan dalam perkara cerai maupun talak sering di jumpai termohon

yang awam hukum, tidak menuntut mut‟ah dan nafkah kepada pemohon,

Padahal pemohon cukup berkemampuan untuk memberikan materi.

Indonesia adalah negara hukum yang di atur oleh Undang–Undang dan

memiliki prinsip untuk memberikan jaminan penyelenggaran kehakiman.

Baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata yang di selesaikan

melalui pengadilan.

Bagi masyarakat Islam Indonesia telah tersedia seperangkat hukum

positif yang mengatur tentang pernikahan yaitu UU No. 1 Tahun 1974

yang berbunyi “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah


40

tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”

dibantu dengan adanya KHI (Kompilasi Hukum Islam). Undang-Undang

pernikahan di Indonesia merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk

membuat regulasi tentang hukum pernikahan yang universal yang dapat

diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 merupakan

perwujudan dari falsafah pancasila dan cita-cita pembinaan hukum

nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan

landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah

berlaku bagi berbagai golongan dan masyarakat. Selain itu, Undang-

Undang ini juga merupakan respon dari pembaruan hukum keluarga demi

mencapai tujuan pembaruan hukum yaitu unifikasi hukum, mengangkat

status wanita dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat yang

dinamis.

Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Pernikahan tersebut

di atas, Pasal 113 sampai dengan Pasal 162 KHI juga merumuskan garis

hukum yang lebih rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian, tata

cara dan akibat hukumnya. Sebagai contoh Pasal 113 sama dengan Pasal

38 Undang-Undang Pernikahan. Pasal 114 mengenai putusnya pernikahan

yang disebabkan oleh perceraian maka dapat terjadi karena talak atau

berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 mempertegas Pasal 39 Undang-

Undang Pernikahan yang sesuai dengan konsern KHI yaitu untuk orang

Islam. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan


41

Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

Putusnya pernikahan karena kehendak suami atau istri atau

kehendak keduanya, karena adanya ketidakrukunan, disebut dengan istilah

“perceraian”, yang bersumber dari tidak dilaksanakannya hak-hak dan

kewajiban seabagai suami atau istri yang sebagaimana seharusnya menurut

hukum pernikahan yang berlaku. Konkretnya, ketidakrukunan antara

suami dan istri yang menimbulkan kehendak untuk memutuskan hubungan

pernikahan dengan cara perceraian, antara lain pergaulan antara suami dan

istri yang tidak saling menghormati, tidak saling menjaga rahasia masing-

masing, keadaan rumah tangga yang tidak aman dan tentram, serta terjadi

silang sengketa atau pertantangan pendapat yang sangat prinsip.

Dalam menghadapi perceraian, perempuan masih memiliki hak

yang melekat pada dirinya terhadap suaminya. Hak itu antara lain nafkah

iddah, hak anak, dan nafkah terutang. Namun, pada kenyataanya, banyak

perempuan yang bercerai tidak mendapatkan nafkah pasca perceraian.


42

Perceraian

BAB III

Undang-Undang No. 1 Tahun Kompilasi Hukum Islam


1974
(KHI)

Hak-Hak Perempuan Pasca


Perceraian

Nafkah Mut‟ah Nafkah iddah, maskan, dan Nafkah dan biaya


kiswah pendidikan anak
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan data

deksriptif berupa data-data dari orang-orang, fenomena, peristiwa, aktivitas

social, sikap, kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual

maupun kelompok. Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan analisis

diksriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian yang menghasilkan data

deksriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dari karakter

yang diamati.

B. Lokasi dan waktu penelitian

a. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama, kabupaten Kolaka,

provinsi Sulawesi Tenggara.

b. Waktu penelitian

Penelitian direncanakan berlangsung kurang lebih selama 2 (dua) bulan

penelitian.

C. Informan Penelitian

Informan dalam peneliti sebagai berikut :

1) Perempuan yang bercerai

43
44

D. Sumber data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari informan

dengan menggunakan teknik wawancara (interview guide) dan pengamatan

(observasi), sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kajian

bahan pustaka berupa buku – buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-

dokumen pada instansi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dengan

menggunakan teknik dokumentasi. Secara jelas sumber data sebagai berikut:

1. Data primer

Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui wawancara secara langsung

kepada penggugat.

NO NAMA UMUR PEKERJAAN

1 SMR 40 tahun Guru PAUD

2 IS 30 tahun Pedangang

3 ANS 45 tahun Petani

4 SM 38 tahun Pedagang

Tabel 2.1 tabel data informan

2. Data sekunder

Data ini diperoleh melalui telaah dokumen yang ada kaitannya dengan

penelitian, data ini dapat melalui buku-buku hukum, bukan kepustakaan,

peraturan perundang-undangan dan lain-lain.


45

E. Instrumen penelitian

Menurut sugiyono (2017:222) penelitian kualitatif sebagai human

instrument, berfungsi menetapkan focus penelitian, memilih informan sebagai

sumber data serta pengumpulan data, melalui kualitas data, analisis data,

menafsirkan data dan membuat kesimpulan temuan. Adapun instrument dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan

wawancara, proses wawancara, dan evaluasi wawancara, termasuk permasalahan

yang kerap muncul pada penelitian.

2. Lembar observasi

Pedoman terperinci yang berisi langkah – langkah melakukan observasi

mulai dari merumuskan masalah, kerangka teori untuk menjabarkan perilaku yang

akan diobservasi, prosedur dan tekhnik perekaman, kriteria analisis hingga

interpretasi.

3. Alat dan bahan Dokumentasi

Alat dan bahan yang digunakan adalah:

- Buku

- pulpen

- heandphone

- laptop
46

F. Teknik pengumpulan data

Dalam proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dirancang dan

disusun oleh peneliti sendiri agar tersusun secara baik dan sisitematis agar

penelitian menghasilkan data yang valid/sahih. Mangacu pada urgensi pengkajian

yang dikembangkan dalam peneliti ini, maka digunakan beberapa teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Teknik wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan Tanya jawab dengan pelaku perceraian atau key informan (informan

kunci/utama). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh data langsung dari para

pelaku perceraian yang didukung oleh beberapa informan tambahan yaitu staf

kantor Pengadilan Agama.

2. Teknik observasi

Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan cara

melakukan pengamatan secara langsung pada wilayah yang merupakan lokasi

penelitian, pada lokasi tersebut peneliti mengamati berbagai hal yang

berhubungan dengan perceraian. Hal yang paling penting dalam observasi ini

adalah mengamati pelaku perceraian,agar di dapatkan data yang valid tentang latar

belakang serta akibat yang akan timbul dengan adanya perceraian serta bagaimana

solusi yang ditawarkan dalam meminimalisir perceraian tersebut agar tidak

berdampak negative pada warga lain.


47

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan rekaman kejadian masa lalu yang harus difulis

atau dicetak, dapat berupa catatan, suara, buku harian, dan dokumen-

dokumen.Pada kesempatan ini peneliti menelusuri berbagai data yang ada pada

Pengadilan Agama.Selain itu, proses dokumentasi ini sengaja peneliti adakan

untuk memperkuat hasil penelitian ini, dengan menghadirkan gambar selama

peneliti melaksanakan penelitian.

G. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah tektik

deksriptif kualitatif, dimana seluruh data yang diperoleh dari observasi,

wawancara, maupun dokumentasi. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data

Semua data yang diperoleh tentang yang terjadi dalam kehidupan

terhadap perceraian dikumpulkan dan dicatat secara objektif kemudian diperiksa,

diatur, kemudian diurutkan secara sistematis.Penulis mengumpulkan data baik

dari observasi yang dilakukan dan wawancara dengan beberapa informan tersebut

dikumpulkan, serta diperkuat dengan adanya kumpulan dokumentasi dijadikan

satu sehingga memudahkan peneliti dalam penyajian data.

2. Reduksi data

Proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan

pengabstrakan dan infomasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan pada
48

lokasi penelitian di Kabupaten Kolaka. Setelah peneliti mengumpulkan data,

makan peneliti akan melakukan pemilihan data yang mana cocok dengan fokus

penelian yang akan diteliti yang akan diteliti melalui penyederhanaan sehingga

memudahkan peneliti dalam penyajian data.

3. Penyajian data

Dilakukan dengan mendeksripsikan informasi secara teratur dan sistematis

yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat. Setelah peneliti meredukdi

data maka peneliti akan mendeksripsikan hasil penelitian baik dalam observasi,

wawancara, maupun dokumentasi umtuk memudahkan dalam penarikan

kesimpulan pada hasil penelitian.

4. Verifikasi

Upaya mendapatkan kepastian akan keabsahan dari data yang telah

diperoleh, dengan memperhatikan kejelasan dari setiap sumber data yang ada

dengan demikian maka peneliti dapat menarik kesimpulan berdasarkan data dari

keseluruhan proses yang telah dilaksanakan. Setelah peneliti menyajikan data

engan mendeksrisikan hasil dari peneliti maka peneliti akan menarik kesimpulan

dari hasil penelitian yang ditemukan dilapangan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deksripsi Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah di Pengadilan Agama Kolaka yang

berada dalam Wilayah Kabupaten Kolaka. Pada bagian ini akan dipaparkan

mengenai profil Pengadilan Agama Kolaka, Visi, Misi Pengadilan Agama

Kolaka, tugas pokok dan fungsi Pengadilan agama Kolaka, struktur yang ada

di Pengadilan Agama Kolaka.

1. Profil Pengadilan Agama Kolaka

Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman. Sebagai bagian dari lembaga yudikatif, Pengadilan Agama

bertugas melayani masyarakat pencari keadilan bagi yang beragama islam,

dan juga yang tidak beragama islam, tetapi menundukkan diri pada hukum

islam. Dasar kewenangan Pengadilan Agama diatur dalam Undang – Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang diubah dengan Undang

– Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang –

Undang Nomor 50 Tahun 2009.

Pengadilan Agama Kolaka berdiri berdasarkan Keputusan Menteri

Agama Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1966 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah. Keputusan Menteri Agama tersebut

merupakan tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1957tentang

Pembentukan Pengadilan Agama diluar Jawa dan Madura dan sebagian

Kalimantan Selatan.

49
50

Pengadilan Agama Kolaka terbentuk pada Tahun 1971 dengan berkantor

sementara (menumpang) di Gedung Departeman Kolaka (sekarang

Kementrian Agama) Kabupaten Kolakaselama lebih kurang 1 (satu) tahun.

Kemudian pindah dari rumah ke rumah penduduk selama 6 (enam) kali

hingga tahun 1979. Di tahun 1979 tersebut Pengadilan Agama Kolaka

menempati kantor (baru) dengan berstatus “Balai Sidang” dan diresmikan

oleh K.H. Saleh Taha, yang ketika itu beliau menjabat Ketua Pengadilan

Tinggi Agama (PTA) Ujung Pandang yang sekarang populer dengan PTA

Makassar.

Berjalannya waktu, untuk maksimalnya pelayanan kepada masyarakat,

gedung kantor Pengadilan Agama Kolakadi bangun diatas tanah seluas 396

meter persegi, dengan luas gedung kantor 360 meter persegi yang terletak di

Jalan pemuda No. 132, Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka. Kemudian,

sejak berdirinya kantor baru, saat ini kantor (lama) tersebut telah beralih

fungsi menjadi Mess Pengadilan Agama Kolaka, sesuai keputusan Kepala

Badan Urusan Administrasi (BUA) Mahkamah Agung RI Nomor

20/BUA/SK/II/2012, tanggal 27 Februari 2012.

Sekarang kantor Pengadilan Agama Kolaka (baru) telah digunakan.

Alamatnya berada di jalan Pemuda No. 346, Kelurahan Balandete,

Kecamatan Kolaka, Kabupaten Kolaka. Kantor Pengadilan Agama Kolaka

berlantai dua sesuai prototype Mahkamah Agama tersebut di bangun di atas

tanah seluas 4.000 meter persegi, dengan luas gedung kantor 3.000 meter

persegi.
51

2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Kolaka

Visi Pengadilan Agama Kolaka adalah:

“Mendukung terwujudnya badan Peradilan yang Agung pada

Pengadilan Agama Kolaka”

Pengadilan Agama Kolaka mengemban Misi:

a. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem Pengadilan

Agama Kolaka

b. Mewujudkan pelayanan prima bagi masyarakat pencari keadilan di

Pengadilan Agama Kolaka

c. Meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan di Pengadilan Agama

Kolaka

3. Nama – Nama Dan Jabatan Pegawai Pengadilan Agama Kolaka

Sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004

tetang Kekuasaan Kehakiman pasal 2 dan pasa l13 ayat(1) dan keputusan

Presiden RI Nomor 21 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi,

Adminstrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan tata

Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung RI, maka

penyelenggaraan organisasi yustisial dan non yustisial berada di bawah

Kekuasaan Mahkamah Agung RI, Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Adapun struktur Pengadilan

Agama Kolaka terdiri dari:


52

Adapun struktur Pengadilan Agama Kolaka dan nama-nama

keanggotaan terdiri dari:

a) Ketua : Muhammad Surur, S.Ag

b) Wakil Ketua : Ilman hasjim, S.H.I., M.H

c) Hakim : 1. Hanawati, S. HI

: 2. Kamarlah Sunusi, S.H., M.H.

: 3. Nur Fadhil, S. HI

: 4. Muh. Nasharuddin Chamanda, S. HI

d) Panitera : Abdul Rahman, S. Ag

e) Sekretaris : Maemunah R, S.HI

f) Bendahara : Farida Ridwan

g) Panitera Muda hukum : Abd. Rahman SH

h) Panitera Muda permohonan : Ilmiyawanti, SH

i) Panitera Muda Gugatan : Burhan, SH

j) Subbag Umum & Keungan : Triana Novyanti, S.Kom

k) Subbag Kepegawaian : Yunarni, S.Kom

l) Subbag Prencanaan, IT & Pelaporan : Suharman Samudra, SH

m) Panitera Pengganti : Abdillah Sukarkio, SH

n) Jurusita Pengganti : 1. Muh. Jasman As‟ad, Amd. Kom

: 2. Farida Ridwan
53

B. Hasil Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian melalui wawancara, observasi,

dan dokumentasi. Data yang tidak terungkap melalui wawancara di lengkapi

dengan data hasil observasi langsung untuk memperkuat subtansi data hasil

wawancara, dan observasi maka dilakukanlah dokumen dan arsip yang ada.

1. Kesadaran perempuan terkait hak-haknya pasca perceraian di

Pengadilan Agama Kolaka

Laki – laki menurut kadar akal dan tabiatnya juga bersifat lebih sabar

dalam menghadapi peringai istrinya dan tidak terburu-buru dalam

mengambil keputusan, berbeda dengan perempuan yang biasanya lebih

cepat marah, kurang petimbangan dan buru-buru dalam memutuskan ikatan

pernikahan disebabkan hal-hal yang sangat remeh atau hal-hal lain yang

tidak yang tidak merupakan alasan yang benar, jika dia di beri hak talak.

Ibu SMR, berpendapat bahwasanya saya sadar akan hak saya dalam

mengambil keputusan. Saya meninggalkan suami saya karena saya sudah

tidak bisa lagi hidup dngan suami yang sering pulang malam dan sering

mabuk-mabukan. Ibu SMR beranggapan:

“cerai merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan atau


konflik bekepanjangan yang terjadi di dalam keluarganya. Bila
masalah yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang tidak bisa
diselesaikan juga, maka perceraian merupakan solusi untuk
menyelesaikannya”.
54

Ibu SM, beliau berpendapat zaman sekarang perempuan dapat

menerima perceraian karena sudah umum terjadi dan menyatakan hal itu

biasa saja.

Ibu IS, beliau berbendapat bahwasanya perempuan dalam hal

percerairan sangat penting karena juga memiliki hak setelah bercerai seperti

harta bersama yang telah didapatkan setelah menikah yang akan

dimasukkan kedalam harta gono-gini jiak setelah bercerai. Harta itu

kemudian dibagi menurut persetujuan dari hakim sidang dalam putusan

tersebut:

“harta bersama atau gono-gini diatur secara seimbang salam artian,


suami atau istri menguasai harta secara bersama-sama, masing-
masing pihak bertindak atas harta tersebut dengan persetujuan pihak
lain”.

Ibu ANS, beliau berpendapat bahwasanya untuk apa bersama jika

suami tidak mempunyai tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga

dalam hal apapun. Beliau beranggapan bahwa:

“Apabila istri tidak tahan lagi menanggung derita karena suaminya,


maka istri diperbolehkan mengajukan gugatan cerai kepada
suaminya. karena pada saat itu suami saya tidak memberikan nafkah
selama kurang lebih 5 tahun, dan saya harus mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan anak-anak saya”.

Jika kita melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat ini,

bahwasanya laki – laki tidak selamanya dan semuanya mempunyai

kemampuan sebagai pemimpin bagi perempuan (keluarga). Dalam hal ini,

banyak sekali fenomena atau kejadian perempuan (istri) menjadi kepala


55

rumah tangga karena suaminya tidak mampu, dan dalam keadaan tertentu

itulah perempuan dapat mengambil alih peran laki-laki dalam bidang

apapun khususnya ekonomi.

Ibu ANS, beliau berpendapat bahwa seorang istri juga harus tau

bahwa ada hak yang perempuan harus dapatkan pasca pereraian. Bukan

hanya harta bersama yang harus didapatkan tapi juga hak anak. .

Ibu SMR, beliau berpendapat bahwasanya perceraian itu merupakan

hal yang di benci oleh Allah Swt, karena masing-masing pasangan

berkewajiban untuk menjaga kelanggengan dan memelihara prinsip-prinsip

pernikahan, diantaranya yaitu:

a. Prinsip sakinah mawaddah wa rohmah (cinta kasih sayang)

b. Prinsip saling melengkapi dan melindungi

c. Prinsip memperlakukan pasangan dengan baik.

Tetapi jika prinsip tersebut sudah tidak dijalankan maka salah satu dari

pasangan boleh bercerai.

Ibu SM, beliau berpendapat bahwasanya kedudukan perempuan adalah

sama dengan laki-laki dalam hal perceraian. Keduanya sama-sama

mempunyai hak dalam memutuskan pernikahan, karena perceraian secara

sepihak tidak akan jatuh dan harus diucapkan dimuka pengadilan.

Ibu IS, beliau berpendapat bahwasanya tidak sdikit juga kami para

wanita meminta cerai karena kami telah mendapati suami kami bersama

orang lain diluar sana, suami kami tidak memikirkan perasaan kami dan

anak..
56

Ibu SM, beliau berpendapat bahwa nafkah iddah adalah nafkah yang

kami dapatkan setelah bercerai dan itu adalah tanggungan suami sebelum

putusan di Pengadilan.

Banyaknya perempuan yang bekerja membuat mereka kini tidak lagi

bergantung kepada laki – laki. Apalagi jika suami sebagai kepala keluarga

tidak bertanggung jawab dan tidak memikirkan kebutuhan istri dan anaknya,

serta istri merasa mampu untuk hidup sendiri, maka istri cenderung memilih

untuk berpisah dengan suaminya. Perempuan sekarang berani hidup sendiri,

berbeda dengan dulu ketika perempuan lebih banyak bergantung kepada

laki-laki. Berdasarkan hasil wawancara, pada saat ini terjadi perubahan

situasi karena biasanya suami yang menggugat istri, tetapi sekarang

sebaliknya istri yang menggugat suami. Hal ini menimbulkan penafsiran,

bahwa pihak perempuan telah mempunyai kesadaran cukup tinggi dalam

menuntut haknya kepada suami.

Ibu SM, beliau berpendapat bahwa dalam masa pacaran dan masa

menikah akan sangat berbeda seperti halnya suami saya pada saat pacaran

beliau orangnya sangat sopan dan rajin ibadah tetapi, pada saat menikah

awal-awal masa pernikahan suami saya memperlakukan saya seperti ratu,

jelang 3 tahun pernikahan semua sifat aslinya keluar, dia sering mabuk-

mabukan dan memukul saya.

Ibu SMR, beliau beranggapan bahwa:

“pentingnya kita tau dulu sifat suami kita seperti apa sebelum
menikah”.
57

Ibu ANS, beliau berpendapat jika dalam pernikahan sang istri yang

sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan suami dan ingin segera untuk

berpisah maka, perempuan bisa mengajukan cerai ke Pengadilan Agama

dengan alasan-alasan yang dibenarkan.

Ibu SM, pendapat bahwa kita sebagai perempuan atau istri harus tau

dalam hal apa saja kita harus bertindak karena tidak semua laki-laki atau

suami tau akan haknya dalam berumah tangga.

Ibu IS berpendapat bahwa, jika suami mulai bertingkah dan tidak sadar

lagi akan haknya sebagai suami, perempuan boleh meminta cerai kepada

suaminya dengan alasan-alasan:

a. Sikap suami yang mendzalimi istri

b. Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya

c. Seorang suami yang tidak menjalankan hak atau pun kewajibannya

terhadap istri

d. Seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik

e. Suami hilang tanpa kabar.

2. Implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan

Kolaka

Implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama

Kolaka mulai terealisasi. Seperti hasil wawancara penulis dengan ibu SMR

yang berpendapat:

“Iya, hak-hak yang sudah pasti yaitu hak asuh anak karena anak yang
masih kecil akan jatuh ketangan ibunya, berhubung anak saya 2 dan
58

semuanya masih kecil jadi saya yang mengurusnya tetapi tetap bapaknya
sendiri yang memberikan biaya sekolah dan kebutuhan lainnya”
Perceraian selama ini seringkali menyisakan problem-problem, terutama

persoalan hak-hak anak yang mencakup seluruh hak yang melekat pada anak

yaitu hak memperoleh pendidikan, kesehatan, biaya pemeliharaan dan lain

sebagainya. Sehingga pemenuhan hak-hak anak masih terdapat sebagian

besar orang tua belum memenuhi hak-hak anak pasca perceraiannya. Akibat

perceraian terkadang hak-hak anak ada yang dikesampingkan, terutama yang

berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu biaya pemeliharaan, pendidikan,

tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Terlebih lagi ketika

orang tuanya sudah memiliki keluarga baru sehingga memungkinkan

berkurangnya waktu untuk memenuhi hak-hak anaknya. Meskipun orang tua

sudah tidak lagi dalam satu keluarga akan tetapi persoalan hak-hak anak tetap

menjadi tanggung jawab orang tua dan tidak boleh dialihkan kepada orang

lain selain kedua orang tuanya.

Senada dengan itu ibu IS berpendapat bahwa:

“Iya, saya mengetahui beberapa hak perempuan pasca perceraian atau


setelah bercerai karena saya diberi penjelasan dari pihak pengadilan
melalui sosialisasi dalam pengadilan”

Ada sebagian orang tua cenderung melalaikan tanggung jawabnya dalam

memenuhi hak-hak anak, sehingga yang terjadi adalah anak seringkali

dititipkan kepada keluarga terdekat ayah atau ibu. Tidak hanya itu, akibat dari

perceraian selama ini psikologi anak mengalami perubahan. Sebagai

dampaknya adalah anak jarang berkomunikasi dengan kedua orang tuanya,


59

cenderung pendiam, malas, minder serta cenderung nakal dan sebagainya. Ini

semua disebabkan karena adanya kurang perhatian orang tua terhadap hakhak

anaknya.

Namun ada juga yang kurang mngetahui seperti pernyataan dari ibu ANS

berpendapat bahwa:

“Saya kurang mengetahui hak-hak perempuan setelah bercerai, karena


memang juga saya tidak tau.”

Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas

kesejahteraan anak, kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian

rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas,

sehat, berbakti kepada orang tua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa dan berkemauan serta berkemampuan meneruskan cita-

cita bangsa berdasarkan Pancasila.

Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya, dapat dicabut

kuasa asuhnya dengan putusan Hakim. Pencabutan kuasa asuh tidak

menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan,

pemeliharaan dan pendidikan anak sesuai kemampuan penghidupannya.

Ibu SM, beliau berpendapat bahwasanya antara laki-laki dan perempuan

mempunyai hak yang sama dalam memutuskan pernikahan. Beliau

beranggapan bahwa:

“Apabila istri tidak tahan lagi menanggung derita karena suaminya,


maka istri diperbolehkan mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.
karena pada saat itu suami saya tidak memberikan nafkah selama
kurang lebih 5 tahun, dan saya harus mencari nafkah untuk memenuhi
60

kebutuhan anak-anak saya dan kurangnya pemahaman saya tentang hak-


hak saya setelah bercerai”.

Ibu IS, beliau berpendapat bahwasanya alasan dari masyarakat tentang

tidak banyak mengetahui hak antara laki-laki dan perempuan dalam

memutuskan pernikahan adalah:

“Dengan berkembangnya pendidikan dan ilmu pengetahuan.


Bahwasanya untuk sekarang ini banyak perempuan yang sudah mulai
berani berbicara tentang penderitaan dan kekerasan yang mereka alami,
baik di lingkup rumah tangga maupun masyarakat. Keberanian
perempuan dalam melakukan gugat cerai terhadap suaminya adalah
pertanda bahwa makin banyak perempuan yang mulai mengerti akan
hak-haknya dalam pernikahan.”
Jika kita melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat saat ini,

bahwasanya laki-laki tidak selamanya dan semuanya mempunyai kemampuan

sebagai pemimpin bagi perempuan (keluarga). Dalam hal ini, banyak sekali

fenomena atau kejadian menjadi kepala rumah tangga karena suaminya tidak

mampu dan dalam keadaan tertentu itulah perempuan dapat mengambil alih

peran laki-laki dalam bidang apapun khususnya ekonomi. Oleh karena itu

penting untuk perempuan mengetahui hak-haknya setelah bercerai dan juga

pembagian harta gono-gini. Seperti wawancara dengan ibu SMR yang

mengatakan bahwa:

“iya sudah, saya juga menerima hak mut‟ah dari mantan suami saya
selain itu harta gono-gini telah kami bagi rata semuanya.”

Kompilasi Hukum Islam (inpres No. 1 Tahun 1991) Pasal 85 disebutkan

bahwa: “adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Pasal ini

menyebutkan adanya harta gono-gini dalam perkawinan. Dengan kata lain


61

Kompilasi Hukum Islam mendukung adanya persatuan harta dalam

perkawinan (gono-gini), meskipun sudah bersatu tidak menutup kemungkinan

adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan, baik suami maupun

istri.

Namun berbeda dengan ibu IS yang menyatakan bahwa:

“hak saya telah diberikan penuh oleh suami pasca perceraian dan semua
harta gono-gini jatuh ketangan saya karena suami saya dulu terbukti
selingkuh.”

Banyaknya perempuan yang bekerja membuat mereka kini tidak lagi

bergantung kepada laki – laki. Apalagi jika suami sebagai kepala keluarga

tidak bertanggung jawab dan tidak memikirkan kebutuhan istri dan anaknya,

serta istri merasa mampu untuk hidup sendiri, maka istri cenderung memilih

untuk berpisah dengan suaminya. Perempuan sekarang berani hidup sendiri,

berbeda dengan dulu ketika perempuan lebih banyak bergantung kepada

laki-laki.

Berdasarkan hasil wawancara, pada saat ini terjadi perubahan situasi

karena biasanya suami yang menggugat istri, tetapi sekarang sebaliknya istri

yang menggugat suami. Hal ini menimbulkan penafsiran, bahwa pihak

perempuan telah mempunyai kesadaran cukup tinggi dalam menuntut

haknya kepada suami.

Selain itu ada juga yang tidak menuntut hak dan membagi harta gono-

gini seperti pernyataan dari ibu ANS yang menyatakan bahwa:


62

“saya tidak menuntut hak apa-apa dari suami karena pernikahan kami
seumur jagung. Saya menikah karena dijodohkan dan sampai bercerai
saya dan suami tidak memiliki dan tidak mempermasalahkan harta gono-
gini.”
Pengadilan Kolaka sejauh ini sangat membantu perempuan dalam

mendapat hak-haknya seperti yang dinyatakan ibu SM yang menyatakan

bahwa:

“pengadilan sangat membantu saya dalam mengetahui hak-hak saya


pasca perceraian.”
Sejalan dengan itu ibu SMR juga mengatakan bahwa:

“peran pengadilan sangat penting karena dulu bercerai pihak


pengadilan banyak membantu dan mengedukasi tentang hak-hak pasca
perceraian.”

C. Pembahasan

1. Kesadaran perempuan terkait hak – haknya dalam tingkat perceraian

di Pengadilan Agama Kolaka

Hal ini sesuai dengan bunyi KHI Pasal 77 ayat (5) yaitu

“Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat


mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”.

Kemudian dalam KHI Pasal 114 yang berbunyi:

“Putusnya Perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi


karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.

Alasan yang dipakai masyarakat Kabupaten Kolaka tentang hak cerai

ditangan laki-laki adalah:

a) Laki – laki adalah tulang punggung keluarga, sedangkan perempuan hanya

sebagai pendamping atau pelengkap.


63

Masyarakat Kabupaten Kolaka beranggapan bahwasanya yang

mempunyai peran produktif adalah laki – laki karena dia dianggap lebih kuat,

struktur dan kekuatan fisiknya mendukung, memiliki kelebihan emosional

maupun mental dibandingkan perempuan, laki – laki berani menghadapi

tantangan, tanggung jawab dan mandiri. Sedangkan perempuan

hanyamempunyai peran di wilayah domestik, pencitraan kepada perempuan

seperti ini telah berlangsung sangat lama. Oleh karena itu, masyarakat dulu

selalu menempatkan laki – laki sebagai pencari nafkah untuk keluarganya.

Peran reproduktif menjadi bagian hidup perempuan dengan argumentasi

yang mudah dilacak, bahwa perempuan mempunyai fungsi reproduksi

biologis seperti haid, hamil, melahirkan, menyusui dan kemudian dicitrakan

sebagai makhluk yang lemah, tidak berani tantangan dan harus dikontrol.

Peran yang ditempelkan kepada perempuan yang dekat dengan stereotype

yang diberikan kepadanya, seperti bercocok tanam, beternak, merawat dan

mengasuh anak, memasak, mencuci, mengatur rumah dan seterusnya.

Pembagian peran ini sesungguhnya tidak menjadi masalah jika kedua

peran tersebut mendapat penghargaan yang setara. Namun kenyataan yang

terjadi di masyarakat Kabupaten Kolaka justru telah membentuk suatu emage

bahwa pekerjaan publik lebih tinggi karena mendapatkan penghasilan

(dibayar). Sedangkan pekerjaan domestik rumah tangga lebih rendah karena

tidak menghasilkan uang. Pandangan tersebut kemudian berlanjut pada laki-

laki (suami) lebih tiggi derajatnya dari perempuan (istri) karena dialah yang
64

menjadi tulang punggung keluarga, pencari nafkah dan pengendali hak – hak

keluarga yang ditanggungnya.

Istri merupakan pasangan suami dalam keluarga yang saling

melengkapi. Tanpa adanya perempuan, kehidupan manusia akan mengalami

kerusakan. Islam juga memuliakan perempuan (istri – istri) dimana Allah

menjadikan mereka sebagai tanda kekuasaan-Nya.

b) Kurangnya kesadaran pihak laki – laki dan perempuan tentang persamaan

peran yang seharusnya mereka miliki dan berlaku umum

Memunculkan kesadaran tentang persamaan peran yang harus dimiliki

antara laki – laki dan perempuan adalah penting, karena jika tidak ada

kesadaran tersebut maka akan mendorong terjadinya diskriminasi.

Perempuan ketika menikah, maka dia akan menjadi istri dari seorang suami.

Dalam aturan Islam, seorang istri mempunyai peran yang signifikan dalam

kehidupan rumah tangga bersama suaminya. Akan tetapi, peran istri

seringkali dipandang sebagai ibu rumah tangga yang dalam artian sempit

karena mereka mendapatkan mahar dan nafkah dari suami.

Pandangan tersebut sebetulnya lebih dipengaruhi oleh tradisi yang

bersifat memihak daripada pandangan agama. Islam sebagai agama yang

memberikan kebebasan sangat menghargai perempuan, Islam memberikan

kesempatan yang besar kepada perempuan untuk ikut berperan termasuk

dalam keluarga. Sementara sebagai seorang ibu, perempuan mempunyai

tugas yang mulia yaitu sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Tugas

mendidik dan mengasuh anak-anaknya tidak sepenuhnya tugas perempuan,


65

melainkan laki – laki juga memiliki peran yang sama dalam urusan tersebut.

Peran pendidik membutuhkan bekal kemampuan yang cukup sehingga

anak-anak yang berada dalam pengasuhannya tidak akan terlantar.

c) Adanya kekeliruan pemahaman terhadap nilai agama yang dijunjung tinggi

dalam masyarakat yang membedakan peran laki – laki dan perempuan.

Pendapat masyarakat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam yang

benar-benar mempunyai perhatian yang sangat tinggi untuk memberikan

pembelaan dan perlindungan terhadap kaum perempuan, sekaligus

memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan sendiri

kehidupannya, tanpa adanya pihak-pihak yang boleh mengintervensi.

Kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak sebagaimana

diduga atau dipraktikan sebagian masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya

memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada

perempuan. Islam telah mendudukkan perempuan di tempat yang mulia dan

setara dengan laki – laki. Pengakuan kedudukan perempuan yang mulia

dalam Islam dibuktikan dengan penghapusan tradisi – tradisi yang bersifat

diskriminatif terhadap perempuan.

d) Pelabelaan masyarakat terhadap perempuan sebagai makhluk yang lemah

Masyarakat Kabupaten Kolaka dulunya berpendapat bahwasannya

perempuan adalah makhluk yang lemah, pendapat ini berdasarkan firman

Allah Q.S. An-Nisa‟ ayat 34.

Masyarakat Kabupaten Kolaka dulunya memahami ayat tersebut

dengan makna bahwasanya laki – laki (suami) adalah sebagai pemimpin


66

bagi perempuan (istri) karena kemampuan intelektual dan fisik laki – laki

yang lebih baik dan unggul dari pada perempuan. Jadi mereka beranggapan

bahwa yang mempunyai hak dalam perceraian adalah laki – laki, sedangkan

perempuan dalam hal ini tidak mempunyai hak sama sekali. Dalam sebuah

rumah tangga antara suami dan istri yaitu memiliki posisi yang saling

melengkapi, meskipun dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa laki – laki

(suami) adalah sebagai pemimpin bagi perempuan.

e) Penomorduaan perempuan dalam berbagai hal

Kaum perempuan secara sosial (termasuk dalam keluarga) selalu

diposisikan sebagai manusia kelas dua, hanya, dalam hal ini istri adalah

parasit yang tidak memiliki posisi mandiri, dia selalu melekat pada suami.

Hal inilah yang menjadikan istri merasa termarjinalkan dalam

kehidupan rumah tangga. Jika dalam kehidupannya terjadi kekerasan dalam

rumah tangga, dia tetap pasrah dan bertahan dengan penderitaannya

tersebut, itu karena adanya faktor ketergantungan istri terhadap suami.

Pendapat masyarakat dulu (orang tua terdahulu) tentang tugas

perempuan adalah melayani laki-laki. Pendapat tersebut mengakibatkan

terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan yang

dinomorduakan. Karena adanya anggapan bahwa perempuan itu mempunyai

sifat memelihara dan rajin, maka anggapan tersebut membawa akibat

adanya pendapat bahwa pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab

perempuan, yang kemudian dikembangkan menjadi pendapat masyarakat


67

bahwa perempuan identik dengan kepasrahan dan kepatuhan kepada laki –

laki.

f) Pengetahuan perempuan dalam bidang perceraian

Perempuan di Kabupaen Kolaka dulunya berpandangan bahwa dirinya

tidak mempunyai hak dalam memutuskan perkawinan tidak seperti laki –

laki, dan hanya bisa pasrah jika dalam kehidupan rumah tangga ia selalu

menderita. Karena perempuan pada saat itu tidak bisa berbuat apa – apa dan

harus selalu taat serta mengikuti perintah suami. Seiring berkembangnya

waktu, maka terjadilah perubahan sosial yaitu dari pola pikir masyarakat,

dimana kaum perempuan mulai mengetahui akan haknya dalam perkawinan.

Hal ini juga dilatar belakangi oleh peran KUA, dimana calon

pengantin diwajibkan mengikuti Kursus Calon Pengantin (Suscatin). Kursus

ini seperti seminar, karena semua calon pengantin dikumpulkan dalam satu

ruangan. Didalamnya diberikan nasihat panjang tentang pernikahan, materi

yang diberikan yaitu tentang bagaimana istri membahagiakan suami dan

bagaimana suami membahagiakan istri, suami harus bisa memahami

kekurangan istri, begitu pula sebaliknya. Kemudian dijelaskan hak-hak dan

kewajiban suami istri, Undang – Undang Pernikahan dan lain sebagainya.

2. Implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan

Kolaka

Dalam sebuah rumah tangga antara suami dan istri memiliki posisi yang

saling melengkapi, meskipun pemahaman masyarakat dulu dalam Q.S. an-

Nisa‟ ayat 34 yaitu bahwa laki – laki (suami) adalah sebagai pemimpin bagi
68

perempuan. Namun, jika kita melihat kondisi sosial dan ekonomi masyarakat

pada sekarang ini yaitu bahwasanya laki – laki tidak selamanya dan semuanya

mempunyai kemampuan dalam hal itu, banyak sekali fenomena atau kejadian

perempuan (istri) menjadi kepala rumah tangga karena suaminya tidak

mampu dan dalam keadaan tertentu itulah perempuan dapat mengambil alih

peran laki – laki dalam bidang ekonomi.

Di masa modern ini, permasalahan antara peran laki-laki dan perempuan

dalam berbagai hal mulai berkurang, karena terlihat dari adanya kesadaran

masyarakat sendiri akan peran laki – laki dan perempuan yang saat ini banyak

melakukan pertukaran peran, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Jika masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan yang bercerai

akan memiliki nilai buruk di masyarakat itu salah besar, karena kenapa hanya

perempuan sedangkan laki – laki tidak. Padahal yang membedakan di mata

Allah hanyalah ketaqwaannya. Firman Allah Q.S. Al-Hujarat ayat 13. Ayat

tersebut menjelaskan bahwa manusia adalah satu keluarga. Proses penciptaan

yang seragam merupakan bukti bahwa pada dasarnya semua manusia adalah

memiliki kedudukan yang sama.

Pada hakikatnya, antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak

ada perbedaan, tidak ada kelebihan seorang individu atas individu lainnya.

Oleh karena itu, tidak dibenarkan jika satu golongan menyombongkan diri

terhadap yang lain atau menghina yang lain.


69

Di dalam Islam yang mempunyai hak talak atau cerai itu tidak hanya laki

– laki, perempuan juga mempunyai hak cerai yang dalam istilah fiqh

dinamakan khulu‟ (talak tebus).

Di Pengadilan Agama Kolaka peneliti menemukan adanya pemenuhan

hak-hak perempuan pasca bercerai yang tidak sesuai, seorang ayah tidak

melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nafkah terhadap anaknya

pasca perceraian. Pemberian nafkah merupakan kewajiban seorang ayah

terhadap anaknya, baik itu berupa makan, minum, pakaian, dan tempat

tinggal serta pendidikan. Bagi seorang ayah memberikan nafkah hukumnya

wajib, apabila seorang ayah tidak menafkahi anaknya berarti seorang ayah

telah melanggar Allah Swt. Dalam pemberian biaya hadhanah bagi anak yang

merupakan yang berumur di bawah 21 tahun yang penulis teliti, telah sesuai

dengan isi point 1 dan 3 bunyi Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

menyatakan dalam hal terjadinya perceraian, yaitu:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah haknya ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebgai pemegang hak pemeliharaan.

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pendidikan yang tinggi memberikan kesempatan untuk mendapatkan

pekerjaan dan kemandirian ekonomi yang semakin besar. Yang dulunya

perempuan dalam kehidupan rumah tangganya hanya bisa pasrah dan


70

bergantung kepada suami, tetapi untuk saat ini ketergantungan perempuan

terhadap suami pun sudah semakin berkurang.

Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa

harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi

putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah

dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh

dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya

walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah,

biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai

kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan

dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah

bercerai anak tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari

kedua orang tuanya.

Sengketa hak asuh anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa

harta putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi

putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah

dengan anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh

dipertajam ketika sudah diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya

walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah,

biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai

kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan

dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah


71

bercerai anak tetap bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari

kedua orang tuanya.

Masyarakat dulu dalam hal pendidikan itu mempunyai anggapan,

bahwasanya perempuan mempunyai akses yang rendah di dalam dunia

pendidikan yang disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa laki – laki

adalah tulang punggung keluarga, dan karenanya merekalah yang lebih perlu

memperoleh pendidikan agar kelak mendapat pekerjaan yang layak. Sementara

perempuan tidak memiliki tanggung jawab sebesar laki – laki dalam hal

memperoleh pekerjaan dan memberikan nafkah kepada keluarga. Jadi pasca

pereceraian perempuan tidak cukup banyak yang mengetahui hak-haknya

setelah bercerai.

Mantan istri berhak berhak mendapat nafkah selama menjalani iddahnya

sebagai akibat bahwa suami istri tersebut pernah dalam ikatan perkawinan.

Selama masa iddahnya seharusnya mantan istri tinggal di tempat yang

disediakan oleh mantan suami. Istri dapat membebaskan kewajiban suaminya

apabila isteri nusyuz atau istri mengikhlaskannya. Dalam nafkah iddah apabila

mantan suami tidak memberikan haknya mantan istri dapat mengajukan

perkara ke Pengadilan Agama.

Hal ini sesuai dengan bunyi KHI Pasal 77 ayat (5) yaitu

“Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat


mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”.

Kemudian dalam KHI Pasal 114 yang berbunyi

“Putusnya Perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi


karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.
72

Mut‟ah yang dibebankan kepada suami dalam setiap perkara,

pembebanannya pemberian mut‟ah pasti berbeda-beda. Adakalanya istri mendapat

pemerian mut‟ah yang besar, adakalanyajuga istri mendapatkan mut‟ah yang

sedikit. Dalam melihat kemampuan dari suami, putusan pengadilan tidak serta

merta membebani suami yang memiliki penghasilan kecil dibebani dengan mut‟ah

yang besar, sedangkan suami yang memiliki penghasilan kecil di bebani dengan

mut‟ah yang sedikit. Dalam menentukan besarnya mut‟ah yang harus di bayar,

selain mempetimbangkan aspek kemampuan dari suami, lama perkawinan juga

menjadi salah satu pertimbangan bagi putusan pengadilan untuk menentukan

besarnya pemberian mut‟ah yang akan dibebankan kepada suami.

Oleh karena adanya kebersamaan harta kekayaan antara suami istri, maka

harta gono gini menjadi hak milik keduanya. Untuk menjelaskan hal ini

sebenarnya ada dua macam hak dalam harta bersama, yaitu hak milik dan hak

guna, artinya mereka berdua sama-sama berhak menggunakan harta tersebut

dengan syarat harus mendapat persetujuan dari pasangannya.

Jika suami yang akan menggunakan harta gono gini, dia harus minta izin

dari istrinya. Demikian hal sebaliknya, istri harus mendapat izin suaminya jika

akan menggunakan harta gono gini Undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (1)

menyebutkan :“ Mengenaihartabersamasuamiatauistri dapat bertindak atas

persetujuan kedua belah pihak “


73

Undang-undang perkawinan pasal 36 ayat (1) menyebutkan : “Mengenai

harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah

pihak”.

Jika penggunaan harta gono gini tidak mendapat persetujuan dari salah

satu pihak dari keduanya, tindakan tersebut dianggap melanggar hukum karena

merupakan tindak pidana yang bisa saja dituntut secara hukum. Dasarnya adalah

KHI pasal 92. : “ Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan

menjual atau memindahkan harta bersama“. Suami /istri juga diperbolehkan

menggunakan harta gono gini sebagai barang jaminan asalkan mendapat

persetujuan dari salah satu pihak. Tentang hal ini, KHI pasal 91 ayat (4) mengatur

bahwa : “Harta bersama dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak

atas persetujuan pihak lainnya“. Demikian juga ketentuan hukum harta gono gini

yang terkait dengan utang, Pasal 93 KHI ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan kepada hartanya

masing-masing”. Maksudnya utang yang secara khusus dimiliki suami/istri

menjadi tanggung jawab masing-masing. Misalnya, ,salah satu dari mereka

mempunyai utang sebelum mereka menikah, maka utang itu menjadi tanggung

jawabnya sendiri. Ketentuan ini tidak berlaku, jika utang tersebut terkait dengan

kepentingan keluarga, hal ini diatur dalam pasal 93 KHI ayat (2):

“Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga,

dibebankan kepada harta suami”.

Kompilasi Hukum Islam mengatur harta gono gini dalam perkawinan

poligami . Pasal 94 ayat (1) menyebutkan : “Harta bersama dari perkawinan


74

seorang suami imempunyai istri lebih dari seorang masing masing terpisah dan

berdiri sendiri”. Berdasarkan ketentuan ini, harta gono gini dalam perkawinan

poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama, kedua dan

seterusnya. Ayat (2) pasal yang sama mengatur ketentuan tentang masa penentuan

kepemilikan harta gono gini dalam hal ini: “Pemilikan harta bersama dari

perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagai

tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang

kedua, ketiga, atau keempat“. Ketentuan harta gono gini dalam poligami juga

diatur dalam Undang-undang Perkawinan pasal 65 ayat (1) menegaskan bahwa

jika seorang suami berpoligami.

1) Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan

anaknya.

2) Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta gono gini yang

telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan seterusnya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, perempuan untuk

sekarang ini banyak yang tidak sadar akan haknya setelah bercerai, karena

kebanyakan perempuan tidak mementingkan akan haknya pasca perceraian

karna untuk mempercepat proses perceraian. Berbeda kalau mempunyai anak

karena seorang ibu pasti akan berusaha untuk menganbil hak asuh anak

tersebut.

Hak-hak perempuan pasca perceraian, diantaranya adalah: mendapatkan

mut‟ah yang layak baik berupa uang atau benda kecuali mantan istrinya qabla

al-dukhul (belum digauli), mendapatkan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan

kiswah (pakaian), mendapat mahar yang masih terutang, mendapat biaya

hadhanah untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.

B. Saran

1. Pengetahuan mengenai hak perempuan dalam perkawinan ini sejak dini

seharusnya sudah diberikan oleh Pemerintah dan KUA setempat agar

tidak terjadi kesenjangan pemikiran antara masyarakat yang satu dengan

yang lainnya.

59
75
76

2. Sebaiknya perceraian ini tidak dilakukan oleh setiap orang baik laki-laki

maupun perempuan, karena pernikahan adalah hal yang sakral dan

perceraian adalah hal yang dibenci oleh Allah SWT.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2014. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Baroroh, Umul. 2015. Fiqh Keluarga Muslim Indonesia.Semarang: Karya Abadi


Jaya

Djamil, M. 2015. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Ernaningsih, Wahyu dan Samawati, Putu.2006.Hukum Perkawinan Indonesia.


Palembang: PT. Rambang Palembang.

Imron, Ali. 2015. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.semarang: Karya Abadi


Jaya.

Kharlie, Ahmad Tholabi. 2013. Hukum keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.

Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.

Muhammad, Abdul Kadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra


Aditya Bakti.
Ramulyono, Mohd Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam: Suatu analisis
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta:
PT. bumi Aksara.

Susilo, Budi. 2008. Prosedur Gugatan Cerai. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

77
78

Subekti. 2000. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Internusa.

Thalib, Sajuti. 1982. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Yahanan, Annalisa. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.

Agustina, Nova. 2019. Hubungan Antara Kesadaran Hak-Hak Individu Pada


Perempuan Dengan Tingkat Keinginan Cerai Gugat Di Kota Banda Aceh.

(http://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=55701&page=7diakses pada
tanggal 21 September 2019)

Aulia, Nida. 2018. Persepsi Masyarakat Tentang Hak Perempuan Dalam


Memutuskan Perkawinan (Studi Analisis DiDesa Pidodo Kecamatan
Karangtengah Kabupaten Demak).

(http://eprintis.walinsongo.ac.id/8058/1/132111067.pdfdiakses pada tanggal


21 September 2019)

Apriliani, Detty. 2014. Makalah Perceraian.


(http://makalahtugakuliahku.blogspot.com/2014/10/hukum-perdata-
makalah-perceraian.html?=1diakses pada tanggal 23 September 2019)

Julianto, Muhammad. 2016. Dampak Perceraian dan Pemberdayan Keluarga


(Studi Kasus di Kabupaten Wonogiri), Vol. 1, No. 1,
(http://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/buana-
gender/article/download/71/53diakses pada 21 September 2019)

Muhammad, Bakhtiar Hasan Arza. 2010. Perceraian Dan Perubahan Sosial Di


Kabupaten Bungo (Studi Terhadap Tren Pola Perceraian dari Talak Cerai
ke Gugat Cerai), Vol. 26, Nomor. 2,
79

(http://media.neliti.com/media/publication/37143-ID-perceraian-dan-
perubahan-sosial-di-kabupaten-bungo-studi-terhadap-tren-pola-
perc.pdfdiakses pada tanggal 27 September 2019)

Subhandi, Handar. 2014. Pengertian Perceraian Dan Dasar Hukum Perceraian.


(http://www.researchgate.net/profile/Handar_Subhadi/publication/3205577
31_Pengertian_Perceraian_Dan_Dasar_Hukum_Perceraian/links/59ed7fea
0f7e9bfdeb71b3a8/Pengertian-Perceraian-Dan-Dasar-Hukum-
Perceraian.pdf?origin=publication_detaildiakses pada tanggal 24
September 2019).
L

N
DAFTAR INFORMAN PENELITIAN

1. Informan I, Nama SMR (Sintia Miandra Razak) 40 tahun, guru paud.

Wawancara dilakukan pada tanggal 5 November 2020 pada pukul 19.00

WITA.

2. Informan II, Nama ANS (Anisa Niken Safitri) 45 tahun, petani.

Wawancara dilakukan pada tanggal 8 November 2020 pada pukul 17.30

WITA.

3. Informan III, Nama IS (Intan Suriamin) 30 tahun, pedagang pasar.

Wawancara dilakukan pada tanggal 11 November 2020 pada pukul 20.00

WITA.

4. Informan IV, Nama SM (Sitti Maryam) 38 tahun, Pedagang. Wawancara

dilakukan pada tanggal 15 November 2020 pada pukul 13.00 WITA.


PEDOMAN WAWANCARA

JUDUL : IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN


DI PENGADILAN AGAMA KOLAKA
NAMA:

UMUR:

PEKERJAAN:

1. Apakah ibu mengetahui hak-hak perempuan pasca perceraian?

2. Apakah ibu sudah menerima hak-hak yang ibu tuntut tersebut, bisa ibu

jelaskan?

3. Bagaimana dengan pembagian harta gono-gini selama pernikahan?

4. Bagaiamana dengan hak asuh anak dan biaya hidup anak?

5. Bagaimana peran pengadilan dalam penuntutan hak ibu setelah bercerai?


INFORMAN

1. Apakah ibu mengetahui hak-hak perempuan pasca perceraian?

NO Nama Umur Pekerjaan Hasil Wawancara

1 Sintia Miandra 35 tahun Guru paud Iya, hak-hak yang

Razak (SMR) sudah pasti yaitu

hak asuh anak

karena anak yang

masih kecil akan

jatuh ketangan

ibunya,

berhubung anak

saya 2 dan

semuanya masih

kecil jadi saya

yang

mengurusnya

tetapi tetap

bapaknya sendiri

yang memberikan

biaya sekolah dan

kebutuhan

lainnya.
2 Anisa Niken Safitri 45 tahun Petani Saya mengetahui

(ANS) beberapa tapi saya

belum paham

betul.

3 Intan Suriamin (IS) 30 tahun Pedagang Saya mengetahui

beberapa hak

perempuan pasca

percerian atau

setelah bercerai.

4 Sitti Maryam (SM) 38 tahun Pedagang Saya mengetahui

sedikit-sedikit.

2. Bapakah ibu sudah menerima hak-hak yang ibu tuntut, bisa ibu jelaskan?

NO Nama Umur Pekerjaan Hasil Wawancara

1 Sintia Miandra 35 tahun Guru paud Iya sudah, tapi

Razak (SMR) hak mut‟ah masih

dalam peninjauan

hakim dan

pengacara karena

mantan suami

pekerjaanya
belum jelas. Jadi

pemberian mut‟ah

belum jelas

jumlahnya

berapa.

2 Anisa Niken Safitri 45 tahun Petani Banyak dan ada

(ANS) beberapa yang

saya tuntut dan

belum ada ke

saya atau

diberikan ke saya

dan masih

sementara

pengurusan.

3 Intan Suriamin (IS) 30 tahun Pedagang Iya, saya telah

menerima hak

yang telah saya

tuntut karena saya

dan mantan suami

tidak mempunyai

anak dan saya

tidak menuntut

banyak.
4 Sitti Maryam (SM) 38 tahun Pedagang Ada beberapa

yang saya terima

dan ada juga yang

tidak saya terima.

3. Bagaimana dengan pembagian harta gono-gini selama pernikahan?

NO Nama Umur Pekerjaan Hasil Wawancara

1 Sintia Miandra 35 tahun Guru paud Belum karena

Razak (SMR) masih dalam

musyawarah

keluarga dan

menunggu

panggilan lagi

untuk siding

selanjutnya.

2 Anisa Niken Safitri 45 tahun Petani Pembagian

(ANS) tersebut tidak ada,

karena sebelum

bercerai suami
saya telah

menjual satu-

persatu barang-

barang kami

karena berjudi.

Jadi setelah

putusan cerai

hanya rumah

yang tersisa dan

rumah ini masih

milik orang tua

saya.

4 Intan Suriamin (IS) 30 tahun Pedagang Iya, saya

menerima rumah

dan mobil. Pihak

pengadilan juga

masih mengurus

beberapa.

5 Sitti Maryam (SM) 38 tahun Pedagang Semua di bagi

dua dengan suami

mobil, gudang,

dan tanah.
4. Bagaimana dengan hak asuh anak dan biaya hidup anak?

NO Nama Umur Pekerjaan Hasil Wawancara

1 Sintia Miandra 35 tahun Guru paud Hak asuh anak

Razak (SMR) masih jatuh ke

saya dan biaya

hidup anak masih

ditanggung oleh

ayahnya.

2 Anisa Niken Safitri 45 tahun Petani Untuk sementara

(ANS) ini saya yang

mengasuh anak

saya karena

suami saya masih

belum bisa di

hubungi dan di

ajak komunikasi

untuk menghadiri

sidang.

3 Intan Suriamin (IS) 30 tahun Pedagang Saya dan mantan

suami tidak

mempunyai anak

jadi saya dan


mantan suami

tidak mempunyai

hak itu.

4 Sitti Maryam (SM) 38 tahun Pedangang Anak saya 3

orang, yang

pertama berumur

21 tahundi dalam

putusan

perceraian di

pengadilan anak

yang berusia 21

tahun mereka

disuruh memilih

ikut bersama ibu

atau ayahnya, dan

anak saya

memilih ikut

bersama ayahnya,

sementara anak

saya yang 2 orang

masih jatuh ke

hak asuh saya

(ibu).
5. Bagaimana peran Pengadilan dalam pemutusan hak ibu setelah bercerai?

NO Nama Umur Pekerjaan Hasil Wawancara

1 Sintia Miandra 35 tahun Guru paud Peran Pengadilan

Razak (SMR) sangat penting

karena

Pengadilan sangat

membantu saya

dalam mengurus

hak-hak saya

setelah bercerai.

2 Anisa Niken Safitri 45 tahun Petani Sangat membantu

(ANS) karena

Pengadilan yang

berwenang atas

segala perceraian.

3 Intan Suriamin (IS) 30 tahun Pedagang Pengadilan hanya

membantu

sampai putusan

perceraian (ketuk

palu).

4 Sitti Maryam (SM) 38 tahun Pedangang Pengadilan sangat


membantu saya

dan saya bisa

mengetahui hak-

hak saya setelah

bercerai.
LEMBAR OBSERVASI

No. PENYATAAN YA TIDAK INTERPRESTASI

1. Perempuan yang sudah Tidak

bercerai mengetahui hak-

haknya pasca perceraian.

2. Perempuan yang sudah Ya

bercerai sudah

mendapatkan hak-haknya.

3. Perempuan dan mantan Ya

suami sepakat untuk

membagi rata harta gono

gini selama pernikahan.

4. Hak anak dan biaya Ya

pendidikan anak

ditanggung oleh bapaknya

dan hak asuh anak jatuh ke

tangan ibunya jika anak

tersebut masih di bawah

umur 21 tahun.

5. Nafkah iddah, maskan dan Ya

kiswah didapatkan setelah

bercerai.
DOKUMENTASI

1.1 PENGADILAN AGAMA KOLAKA

1.2 VISI DAN MISI PENGADILAN AGAMA KOLAKA


1.3 ROLE MODEL PENGADILAN AGAMA KOLAKA

1.4 SALAH SATU PERLENGKAPAN SPANDUK


1.5 PROSES SIDANG PERCERAIAN

1.6 GRAFIK PERKARA (2012 – 2017)


RIWAYAT HIDUP

TARA FATHIN RUSLI, Lahir pada tanggal 28

Desember 1997 di Soppeng desa Donri-donri Kecamatan

Donri-donri Kabupaten Soppeng. Putri pertama dari dua

bersaudara dari pasangan H. Rusli M dan Hj. Najmiah K.

Penulis masuk Sekolah Dasar Negeri 1 Pomalaa

Kecamatan Pomala tahun 2003 dan tamat pada tahun 2009. Tamat SMPS

ANTAM Pomalaa tahun 2012. Dan tamat SMA Negeri 1 Pomalaa tahun 2015.

Pada tahun yang sama 2015, penulis melanjutkan pendidikan pada program strata

(S1) program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar dan selesai

tahun 2020.

Anda mungkin juga menyukai