Anda di halaman 1dari 86

KONSEP KETERJAGAAN AL-QUR’AN

MENURUT AL-SYA‘RĀWĪ

(KAJIAN ATAS MAKNA LAHĀFIẒŪN)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Ali Muharrom
NIM: 1112034000023

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H /2019 M
ABSTRAK

Ali Muharrom

Konsep Keterjagaan al-Qur’an Menurut al-Sya’rāwī (Kajian Atas Makna


lahāfiẓūn)

Skripsi ini ingin menguji pertanyaan “Bagaimana penafsiran al-Sya„rāwī

atas Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses penjagaan al-Qur‟an?.” Pada satu sisi,

skripsi ini ingin membantah pendapat Eva Nugraha dalam Disertasinya mengenai

ekstensifikasi struktur laḥāfiẓūn. Pendapat Eva Nugraha, mufasir abad-15

cenderung memahami adanya keterlibatan pihak-pihak selain Allah dalam

penjagaan al-Qur„an.

Untuk memudahkan pencarian data yang akan diolah pada Tafsīr al-

Sya‘rāwī, penulis menggunakan bantuan aplikasi Maktabah Syamela. Sehingga

penulis bisa menentukan metode analisis isi kualitatif sebagai metode yang

penulis anggap pas untuk mengolah data yang terkumpul.

Adapun kesimpulan dari skripsi ini menunjukan bahwa proses penjagaan al-

Qur„an menurut al-Sya„rāwi jika dilihat secara tekstual adalah hak preogratif

Allah, Allah tidak menjadikan “penjagaan al-Qur„an” sebagai tugas yang

dibebankan kepada manusia. Hal ini dikarenakan QS. al-Ḥijr/ 15:9 adalah ucapan

Allah yang akan dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi ḥujjah terhadap

manusia. Di sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur„an berbeda dengan

Kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, terlebih dari sisi kemurniannya. Adapun

Secara kontekstual, mengacu pada Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 yang dijadikan argumen

penjelas atas ayat lain, al-Sya„rāwī menilai bahwa mereka para penghafal al-

i
Qur„an dan mereka yang melakukan sedemikian cara untuk menjaga al-Qur„an

tidak ia katakan sebagai pihak-pihak yang ikut terlibat dalam proses penjagaan al-

Qur„an. Karena menurut al-Sya„rāwī, pada hakikatnya Allah lah yang

menghendaki mereka untuk menghafal, Allah lah yang kuasa menjadikan mereka

hafal, dan Allah pula yang menjaga hafalan dalam ingatan mereka.

ii
KATA PENGANTAR

Alḥamddulillāh al-lażī bini‘matihī tatimmu al-ṣāliḥāt.

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan

semangat yang terus-menerus dijaga, sehingga skripsi dengan judul “Konsep

Keterjagaan al-Qur„an Menurut al-Sya„rāwī (Kajian atas Makna Laḥāfiẓūn)” ini

mampu penulis selesaikan meskipun masih dalam kategori banyak

kekurangannya. Shalawat serta Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada

baginda Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wasallām.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak lepas

dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, dengan segala

kerendahan hati, penulis menghaturkan banyak terimakasih yang tak terhingga

kepada mereka. Semoga Allah membalas dengan sebaik-baik balasan.

Data penulisan skripsi ini, berawal dari diskusi penulis dengan Dosen

Pembimbing Akademik Bapak Dr. Eva Nugraha, MA. tanpa adanya kesediaan

beliau untuk memberikan bimbingan dan arahan tidak mungkin skripsi ini bisa

diselesaikan. Bahkan tidak hanya sampai disana, pintu rumah beliau, siang malam

selalu terbuka lebar untuk penulis bahkan siapa saja yang membutuhkan

bimbingannya. Ya Allah, Penulis bersaksi atas semua kebaikan yang beliau

berikan. Jika Engkau berkenan, semoga Engkau membalas dengan sebaik-baik

balasan. Sekali lagi, terimakasih yang tak akan pernah terhingga penulis

sampaikan kepada beliau serta keluarga (Ibu Aisyah, aa Fadl, Teh Lintang, Meto).

Jazākumullāh aḥsan al-jazā fi al-dunyā wa al-āhkirah.

iii
Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada yang

terhormat Prof. Dr. Hamdani Anwar selaku pembimbing yang telah memberi

banyak bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. Juga kepada segenap

civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany

Burhanuddin Umar Lubis., M.A., selaku Rektor Universitas Negeri Syarif

Hidayatullah, Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Usuluddin dan

Filsafat, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur„an dan

Tafsir, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur„an

dan Tafsir yang selalu melayani penulis dalam urusan administrasi akademik, dan

juga penulis haturkan terimakasih kepada seluruh dosen Fakultas Usuluddin yang

telah banyak mengajarkan ilmu kepada penulis (Jazāhumullāh wanafa‘anā bi

‘ulūmihim).

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dulur-dulur

Keluarga Besar Himalaya Jakarta (a Olot, a Irfan, a Ashly, Mama, dsb.), Keluarga

Besar Alumni Pondok Pesantren Baitulhikmah Jabodetabek (Neng Hj. Ayu,

Sandi, dsb.) Keluarga Besar FOKUS KAHAZEFA (a Fahmi, Haji Ara, Pak Ocad,

Pak Angga), Rekan Kantor Cabang Citanduy (Pak Adon, Pak Usup, Pak Malik),

dulur-dulur HIMABO Jakarta, kawan-kawan CETAR, kawan-kawan TH A 2012.

Bersama mereka semua, penulis berproses bersama-sama.

Khusus untuk saudara penulis, Kang Adi Fadilah, S.Th.I sahabat karib

penulis sejak lama Agung Arabian serta keluarga, Asep M. Fajarudin, mereka

khususnya yang telah banyak memberikan sumbangsih baik moril maupun materil

untuk penulis, semoga Allah membalas kebaikan kalian.

iv
Untuk kawan-kawan EVANGER12, Ahmad Sya„roni (cebong), Aan

Suherman, Acep Sabiq, Ahmad Rizal Sidiq (Sukoy), Kholiq Ramdhan Mahesa,

Aang, Imam Konde, Rojali Hidayatullah, Moh Sufyan, Beri, dsb. Atas semua

bantuan dan suportnya, Ucapan terimakasih dan penghargaan patut penulis

sampaikan, kalian luar biasa.

Terakhir, ucapan terimakasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada

kedua orang tua penulis, Ayahanda Agus Latif, S.Pd.I, Ibunda Ida Rasyidah,

untuk keduanya; Allāhummaghfir lahumā warhamhumā kamā Rabbayānā Ṣigārā.

Juga kepada Mamah Hj. Omay, Bapak H. Dudung, Hanya Allah yang bisa

membalas kasih sayang, do„a dan semua pemberian mereka yang tak pernah

terhingga untuk penulis. Juga adik tercinta Nurul Latifah yang sedang

menyelesaikan Study di kesehatan, semoga cepat lulus, mendapat ilmu yang

berkah dan bermanfaat. Berkat kesabaran dan dukungan mereka semua, penulisan

skripsi ini berjalan lancar. Dan kepada mereka pula skripsi ini penulis

persembahkan.

Ciputat, 02 Mei 2019

Penulis

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK .........................................................................................................i

KATA PENGANTAR .......................................................................................iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................xi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... . xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1

B. Permasalahan

1]. Identifikasi Masalah .......................................................................... 5

2]. Pembatasan Masalah.......................................................................... 5

3]. Perumusan Masalah ........................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6

E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 6

F. Metodologi Penelitian ...........................................................................13

G. Sistematika Penulisan ...........................................................................15

BAB II GAMBARAN UMUM KETERJAGAAN AL-QUR‘AN

A. Definisi dan Argumen Keterjagaan al-Qur‘an ......................................17

1. Definisi Keterjagaan al-Qur‘an ........................................................17

2. Argumen Keterjagaan al-Qur‘an ......................................................19

B. Sejarah Ringkas Penjagaan al-Qur‘an ..................................................20

1. Periode Nabi Muhammad SAW .......................................................21

xi
2. Periode Abū Bakr al-Ṣiddīq .............................................................24

3. Periode ‘Uṡmān bin ‘Affān ..............................................................28

C. Pemaknaan Para Mufasir atas Keterjagaan al-Qur‘an ..........................32

BAB III BIOGRAFI DAN GAMBARAN UMUM TAFSĪR AL-SYA‘RᾹWĪ

A. Biografi al-Sya‘rāwī..............................................................................35

B. Latar Belakang Pemikiran.....................................................................38

1. Pengaruh Sosial Politik ....................................................................39

2. Pengaruh Intelektual .........................................................................40

C. Profil Tafsīr al-Sya‘rāwī .......................................................................41

1. Nama Tafsīr al-Sya‘rāwī ..................................................................41

2. Metodologi dan Corak Penafsiran ....................................................42

3. Sistematika Penafsiran .....................................................................43

4. Sumber Penafsiran............................................................................45

5. Kelebihan dan Kekurangan ..............................................................45

BAB IV PANDANGAN AL-SYA‘RᾹWĪ MENGENAI KETERJAGAAN

AL-QUR‘AN

A. Surah al-Hijr/ 15:9 sebagai Argumen Utama Keterjagaan al-Qur‘an ...47

1. Ilustrasi Logis Tentang al-Qur‘an dalam Tafsīr al-Sya’rāwī ...........48

2. Argumen Ayat Tentang al-Qur‘an dalam Tafsīr al-Sya’rāwī ..........49

3. Argumen Historis dan Sosiologis Tentang Penjagan al-Qura’an.....51

B. Surah al-Hijr/ 15:9 sebagai Argumen Pelengkap Keterjaan al-Qur‘an 52

1. Argumen al-Sya’rāwī tentang Penjelasan Damīr Innā ....................53

2. Argumen al-Sya’rāwī tentang Penjelasan Diksi Nazzalnā ...............55

3. Argumen al-Sya’rāwī tentang Penjelasan Diksi al-Ẓikr ..................56

xii
4. Argumen al-Sya’rāwī tentang Penjelasan Diksi Laḥāfiżūn..............59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................................63

B. Saran .....................................................................................................63

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................65

xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia

Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/u/1987

1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ ṡ es dengan titik atas

‫ج‬ J Je

‫ح‬ ḥ ha dengan titik bawah

‫خ‬ Kh ka dan ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Ż zet dengan titik atas

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy es dan ye

‫ص‬ ṣ es dengan titik bawah

‫ض‬ ḍ de dengan titik bawah

‫ط‬ ṭ te dengan titik bawah

vi
‫ظ‬ ẓ zet dengan titik bawah

‫ع‬ ‘ Koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ Gh ge dan ha

‫ؼ‬ F Ef

‫ؽ‬ Q Qi

‫ؾ‬ K Ka

‫ؿ‬ L El

‫ـ‬ M Em

‫ف‬ N En

‫ك‬ W We

‫ق‬ H Ha

‫ء‬ ’ Apostrof

‫ي‬ Y Ye

2. Vokal

Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.

Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ A Fatḥah

‫ﹻ‬ I Kasrah

‫ﹹ‬ U Ḍammah

Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

vii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷي‬ Ai a dan i

‫ﹷك‬ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan

dengan harkat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ىَا‬ Ā a dengan topi di atas

‫ىِي‬ Ī i dengan topi di atas

‫ىػُو‬ Ū u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf

‫ اؿ‬dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf

qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda (‫)ﹽ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ‫ الضركرة‬tidak ditulis ad-

ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

viii
6. Tā’ Marbūṭah

Kata Arab Alih Aksara Keterangan

‫طريقة‬ Ṭarīqah Berdiri sendiri

‫اجلامعة اإلسالمية‬ Al-jāmi‘ah al-


Diikuti oleh kata sifat
islāmiyyah
‫كحدة الوجود‬ waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih aksara

huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalan

Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permukaan kalimat,

huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang, dan lain-lain. Jika nama

seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital

adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya: Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī

bukan Muḥammad Mutawalli Al-Sya‘rāwī.

Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian

halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk

nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak

dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Contoh:

Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara

terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:

Kata Arab Alih Aksara


ِّ ‫إِنَّا ََنن نػََّزلنَا‬
‫الذكَر‬ ُ Innā naḥnu nazzalnā al-żikra

ix
‫َكإِنَّا لَهُ ََلَافِظُو َف‬ wa innā lahū laḥāfiẓūn

‫ََي ُك ُم ِِبَا النَّبِيُّو َف‬ Yaḥkumu bihā al-nabiyyūna

‫ين أَسلَ ُموا‬ ِ َّ


َ ‫الذ‬ al-lażīna aslamū

9. Singkatan

Huruf Latin Keterangan

Swt, Subḥāh wa ta‘ālā

Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam

QS. Quran Surat

M Masehi

H Hijriyah

w. Wafat

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Perbedaan Kodifikasi al-Qur‘an 32

Tabel 4. 4 Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Sebagai Penjelas Lafadz al-Żikr 56

Tabel 4. 5 Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Penjelas Kata Laḥāfiżūn (Keterjagaan al-Qur‘an) 59

Bagan 4. 1 : Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Sebagai Argumen Utama 47

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ibn al-Jauzi (wafat 508 H/ 1200 M) mengatakan; Allah senantiasa menjaga

al-Qur‟an dari penyimpangan dan kedustaan, penambahan dan pengurangan.

Sekiranya Allah menyerahkan tugas penjagaan al-Qur‟an ini kepada kita semua,

niscaya penyimpangan itu tak bisa dihindarkan, seperti yang terjadi pada kitab-

kitab sebelum al-Qur‟an.1

Merujuk pada ayat al-Qur‟an, ayat yang seringkali dijadikan argumen

penjagaan al-Qur‟an adalah Q.S. al-Ḥijr/ 15:9;

 ‫إِنَّا حَْن ُن نحَّزلْنحا الذ ْكحر حوإِنَّا لحهُ حَلحافِظُو حن‬

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur„an, dan pasti Kami


(pula) yang memeliharanya”.2

Pertanyaannya adalah apa makna yang bisa diungkapkan ketika memaknai

ayat tersebut diatas, apakah memeliharanya disana hanya peran Allah saja atau

ada keterlibatan pihak lain. Perdebatan ulama pada ayat itu berkisar pada apa

makna kata al-żikr dan penjelasan atas marji„ „alaīh ḍamīr “hu” pada kata

“lahū”.3

1
Ibn al-Jauzi, Bustanul Wa‟izhin: Sulub Penyucian Jiwa, Penerjemah Iman Firdaus;
Penyunting Mimad Faisal (Jakarta: Qithi Press, 2009), h. 360
2
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
3
Paparan lebih lanjut bisa dilihat pada; Disertasi Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi
dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia
Kontemporer, (Desertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), (versi ujian promosi), h. 164

1
2

Dalam disertasi Eva Nugraha,4 ada beberapa literatur kitab tafsir mulai abad

pertama sampai abad ke-14 yang menjelaskan tentang perkembangan makna

“laḥāfiẓūn” atau keterjagaan al-Qur‟an. Kecenderungan tafsir-tafsir abad 14 dalam

memaknai “laḥāfiẓūn” adalah bahwa keterjagaan al-Qur‟an telah melibatkan

banyak pihak. Seperti pendapat Rashid Ridha dalam al-Manār nya yang

memberikan contoh seperti banyaknya para penghafal al-Qur‟an pada setiap

masanya, begitu pun pendapat al-Maraghi. Kemudian sejumlah tulisan sejak

zaman sahabat hingga sekarang, dan juga sikap kaum muslim yang penuh teliti

dan koreksi tashih dalam memperlakukan al-Qur‟an yang mana hal ini belum

pernah ada pada kitab suci lainnya maupun pada buku apa pun. Oleh karena itu,

dengan banyaknya keterlibatan sejumlah orang ini maka objek yang bisa ditangkal

atas ketidak murnian al-Qur‟an bertambah banyak, antara lain bertambah dengan

terminologi keterjagaan dengan al-ifsād wa al-ibtāl, padahal sebelumnya hanya

ada pada term al-ziyādah wa al-nuqṣān.5

Dari temuan yang dilakukan oleh Eva Nugraha, bahwa tafsir-tafsir abad 14

cenderung memaknai kalimat innā laḥū laḥāfiẓūn dengan adanya keterlibatan

banyak pihak, tidak hanya Allah. Pertanyaannya kemudian, apakah

kecenderungan tersebut berimbas pada mufasir abad 15 Hijriah. Dari penelusuran

singkat penulis, pada aplikasi maktabah syamila6 penulis menemukan sebuah

tafsir yaitu Tafsīr al-Sya‟rāwī, yang memaknai kalimat innā lahū laḥāfiẓūn

dengan penafsiran;

4
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian promosi)
5
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci, h. 167
6
Al-Maktabah al-Syamila, versi 3.48. Al-Maktab al-ta‟awun li al-dakwah bi al-Raudhah:
www.arrawdah.com http://shamela.ws
3

“walammā nataammalu qaulahu ta„ālā {innā naḥnu nazzalnā al-żikra wa innā


lahū laḥāfiẓūn} (al-Ḥijr/ 15:9) narā anna al-ḥaqqa subḥānahu anzala al-
Qur‟āna wa tawallā ḥifẓahū binafsihi subḥānahu wa ta‟ālā wa lam yuwakkilhu
ilā aḥadin, ma„a anna fī al-Qur‟ān asyā‟an wa iḥdātsan lam tūjad ba„du, fa
kaanna Allāha ta‟ālā yaḥfaẓuhā „alā nafsihī wa yusajjiluhā”.
Dalam pemahaman singkat penulis, apa yang dikatakan al-Sya„rāwī ini lebih

cenderung memaknai kalimat innā lahū laḥāfiẓūn dengan tidak adanya

keterlibatan pihak lain, dengan kata lain hanya Allah saja yang menjaganya.

Hal itu seakan-akan berbeda dengan apa yang telah ditemukan Eva Nugraha

dalam disertasinya yang mengatakan “berdasarkan perluasan makna dari mufasir

abad ke 15 lah, penulis berkesimpulan bahwa laḥāfiẓūn atau keterjagaan al-Qur‟an

telah melibatkan banyak pihak”.7 Meskipun di pihak lain, al-Sya„rāwī pun

memunculkan beberapa kategori tantangan yang akan dihadapi seperti yang

ditemukan oleh Eva Nugraha.

Mengutip pembicaraan Quraish Shihab dalam sebuah acara kajian tafsir di

salah satu stasiun televisi, saat menjelaskan Q.S. al-Ḥijr ayat 9; “Satu hal yang

ingin saya katakan, biasanya kalau tuhan menunjuk dirinya dengan kata “kami”,

maka itu ada selain tuhan yang terlibat. Di sini Dia katakan “Kami menurunkan

al-Qur‟an, Allah yang menurunkan, Malaikat yang membawa. “Kami yang

memeliharanya, Allah yang pelihara, manusia juga ikut memelihara. Jadi ini

jaminan bahwa al-Qur‟an terpelihara”.8

Selain itu, Faizah Ali Syibromalisi dalam sebuah artikelnya mengatakan

“meskipun Allah swt telah menjamin pemeliharaan al-Qur‟an dari sisi otentisitas

7
Eva Nugraha, “Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci”, h. 168
8
Diakses melalui youtube pada tanggal 28-08-2018 pada halaman
https://www.youtube.com/watch?v=gzRDbaU8sU8&feature=youtu.be
4

dan orisinalitasnya (Q.S al-Ḥijr/ 15:9) namun keterlibatan peran manusia yaitu

umat Islam dalam pemeliharaan tersebut termasuk di dalamnya”.9

Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut

bagaimana al-Sya„rāwī memaparkan tentang keterjagaan al-Qur‟an menurut

persfektifnya. Selama ini, kajian-kajian tentang al-Sya„rāwī dalam tiga tahun

terakhir hanya berkisar pada; sumber, metode, dan ittijāh Tafsīr al-Sya„rāwī,

Idiom dalam Tafsīr al-Sya„rāwī, Kesetaraan gender dalam dalam hal waris, hak-

hak perempuan, analisis kohesi koherensi, isyarat-isyarat psikologi pembentukan

karakter anak. Tahun-tahun belakangannya mereka tidak membahas lebih jauh

adanya ruang perbedaan antara bagaimana al-Sya„rāwī menafsirkan keterjagaan

al-Qur‟an. Di pihak lain, kajian-kajian tentang penjagaan al-Qur‟an cenderung

lebih membahas dari sisi bentuk penjagaan al-Qur‟an seperti pengembangan

metode taḥfīẓ al-Qur‟an. Kemudian apa yang dilakukan oleh Eva Nugraha pun

tidak terlalu jauh dikarenakan pembahasan tersebut hanya menjadi pelengkap

untuk menunjukan tema besar penelitiannya yang ingin membuktikan adanya

“sistem penjagaan”.

Adapun hal lain yang melatarbelakangi penulis dalam menentukan al-

Sya‟rawi sebagai objek penelitian ini adalah karena ditemukan adanya perbedaan

kecenderungan al-Sya„rāwī dengan kecenderungan mufasir-mufasir abad 15

lainnya dalam memaknai keterjagaan al-Qur‟an seperti yang telah dibahas.

Sehingga karena itulah penulis menganggap bahwa penelitian ini menjadi penting

adanya.

9
Faizah Ali Syibromalisi, “urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia”. (Artikel
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 2.
5

B. Permasalahan

1]. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang bisa dijadikan bahan penelitian.

a. perbedaan kecenderungan beberapa mufasir mulai abad pertama hingga

masa sekarang dalam memahami QS. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses

penjagaan al-Qur„an

b. sebagaimana kesimpulan Eva Nugraha, bahwa para mufasir belakangan

lebih cenderung memahami laḥāfiżūn dengan adanya keterlibatan pihak-

pihak selain Allah, akan tetapi penulis menemukan satu mufasir yang lebih

menekankan bahwa proses penjagaan al-Qur„an tidak melibatkan pihak lain

selain Allah, yaitu al-Sya„rāwī yang mana ia hidup pada abad 15.

2]. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis membatasi penelitian ini

hanya dilakukan pada tafsīr al-Sya„rāwī surah al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen

utama dan surah al-Ḥijr/ 15:9 yang dijadikan sebagai argumen penjelas ayat lain.

3]. Perumusan Masalah

Dengan pembatasan ini, maka rumusan masalah yang menjadi fokus

penelitian penulis adalah: Bagaimana penafsiran al-Sya„rāwī atas Q.S. al-Ḥijr/

15:9 terkait dengan proses penjagaan al-Qur‟an?

C. Tujuan Penelitian

1. Menguraikan hasil pembacaan penulis atas penafsiran al-Sya„rāwī pada Q.S.

al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses penjagaan al-Qur‟an.


6

2. Menguraikan persamaan dan perbedaan dalam penafsiran Q.S. al-Ḥijr/ 15:9

terkait dengan proses penjagaan al-Qur‟an antara kecenderungan pandangan

al-Sya„rāwī dengan kecenderungan mufasir abad 15 lainnya, sebagaimana

yang telah disimpulkan oleh hasil penelitian Eva Nugraha.

3. Memenuhi tugas akhir perkuliahan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar

Strata 1 di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

D. Manfaat Penelitian

Secara akademik penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi hasil

penelitian sebelumnya yaitu Eva Nugraha10 dalam mengkaji sistem keterjagaan al-

Qur‟an. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada

setiap pembaca dalam memahami perluasan makna laḥāfiẓūn atau keterjagaan al-

Qur‟an dan kajian tentang al-Sya„rāwī. Kemudian untuk menjadi ruang penelitian

lanjutan untuk para pengkaji al-Qur‟an.

E. Tinjauan Pustaka

Kajian tentang kemukjizatan al-Qur‟an dari sisi keterjagaannya telah banyak

ditemukan, baik dalam bentuk buku ataupun penelitian. Namun penulis belum

menemukan buku atau penelitian yang membahas tentang pandangan al-Sya„rāwī

dalam memaknai keterjagaan al-Qur‟an. Penulis mengumpulkan beberapa

penelitian terdahulu yang dianggap berkaitan diantaranya;

10
Dalam penelitiannya, Eva Nugraha berfokus pada sistem laḥū laḥāfiẓūn melalui kasus
Industri Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia kontemporer. namun pada sub bab
perkembangan dan perluasan makna laḥāfiẓūn hanya sampai pada mufasir abad 14. Lihat Eva
Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan
Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
7

Faizah Ali Sybromalisi,11 "urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia.”

Dalam artikel ini, Faizah memaparkan secara ringkas urgensi mendirikan lajnah

pentashih al-Qur‟an, sebagai bentuk peran pemerintah Indonesia sebagai negara

mayoritas muslim dalam upaya dan aktivitas pemeliharaan al-Qur‟an.

Muhamad Fajar Pramono,12 “pola-pola pemeliharaan al-Qur‟an dalam

tinjauan historis.” Dalam artikel ini, Fajar mencoba mengungkapkan bagaimana

pola-pola bentuk penjagaan Allah dari masa ke masa. Kajian ini menggunakan

pendekatan historis. Hasil kajian diketahui bahwa pola-pola bentuk penjagaan

Allah SWT secara umum ada tiga pola, yaitu: Pertama, bertumpu pada kekuatan

al-Qur‟an sendiri (bahasa dan sastra). Kedua, terletak pada kekuatan ummat Islam,

baik dalam tradisi menghafal dan menulis. Ketiga, jaminan dari Allah SWT itu

sendiri.

Aniesa Maqbullah,13 Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzāb ayat 72;

Perspektif penafsiran al-Sya‟rawi. Dalam skripsi ini, Aniesa meneliti bagaimana

amanah dalam Q.S al-Aḥzāb/ 33:72 menurut al-Sya„rāwī. Dengan menggunakan

metode tafsir maudhu‟i, Aniesa menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa amanah

dalam pandangan al-Sya„rāwī adalah amanah untuk memilih antara beriman atau

kafir, taat atau maksiat. Sya‟rawi dengan tegas mengatakan bahwa manusia adalah

makhluk yang dzalim lagi bodoh, apabila mereka mau menerimatugas namun

enggan untuk melaksanakannya. Namun di sisi lain, kesanggupan yang manusia

janjikan kepada Allah justru mencontohkan bahwa walaupun manusia adalah


11
Faizah Ali Sybromalisi, “urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia.” Makalah ini
dipresentasikan pada Pelatihan Pentashih Mushaf al-Qur‟an di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada hari Senin 20 Juni 2011 (UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2011) h. 2
12
Muhamad Fajar Pramono, “pola-pola pemeliharaan al-Qur‟an dalam tinjauan historis,”
jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Agama Isy Karima, (2017): h. 3
13
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan amanah dalam surah al-Aḥzāb ayat 72; Perspektif
penafsiran al-Sya‟rawi. Skripsi S1 Prodi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. v
8

makhluk yang kecil tetapi mereka sanggup mengemban amanah yang begitu besar

yang diberikan oleh Allah. Ini membuktikan bahwa manusia memanglah khalīfah

fī al-ard.

Hikmatiar Pasya,14 ”Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī.” Dalam penelitian

ini, Pasya memaparkan tentang biografi al-Sya„rāwī, latar belakang pemikiran,

kemudian metodologi dan corak penafsiran. Kesimpulan inti penelitian ini adalah

bahwa metode penafsiran Tafsīr al-Sya‟rāwī adalah tahlili, dengan pendekatan

pengkajiannya menggunakan bi al-ra‟yi. Adapun coraknya adalah adabi dan

i‟jazi. Sedangkan sumber-sumber penafsiran sangat dominan menggunakan al-

Qur ‟an dengan al-Qur ‟an, sebagai realisasi terhadap pandangannya bahwa

keutamaan menjelaskan al-Qur‟an adalah dengan al-Qur‟an, dengan dasar al-

Qur‟an yufassiru ba‟duhū ba‟dhan.

Mohd Fathi Yakan Bin Zakaria,15 “Konsep Tawakkal dalam al-Qur‟an

(Kajian Komparatif antara Tafsir al-Sya„rāwī dan Tafsir al-Azhar).” Dalam skripsi

ini, Fathi mencoba meneliti konsep tawakkal menurut al-Sya„rāwī dan Hamka

berikut aplikasinya dalam kehidupan. Melalui penelitian perpustakaan dan dengan

menggunakan pendekatan metode tafsīr muqāran, Fathi menyimpulkan bahwa

tawakkal menurut al-Sya„rāwī maupun Hamka sama-sama memiliki kesamaan

dalam pengertiannya, yaitu satuan usaha atau menyerahkan segala keputusan dari

usaha dan ikhtiar. Menepis anggapan sebahagian orang yang menganggap bahwa

tawakkal itu hanya berserah tanpa melakukan usaha sebelumnya.

14
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī. Jurnal Studi Quran Studia
Quranika Universitas Darussalam Gontor Vol. 1, No. 2, Januari 2017, h. 153
15
Mohd Fathi Yakan Bin Zakaria, Konsep Tawakkal dalam al-Qur‟an (Kajian Komparatif
antara Tafsīr al-Sya„rāwī dan Tafsīr al-Azhār) (Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013).
9

Resti Yuni Mentari,16 “Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur‟an tentang

Wanita karir.” Dalam skripsi ini, Resti mencoba meneliti bagaimana pandangan

al-Sya„rāwī tentang wanita karir. Melalui penelitian kepustakaan dengan

menggunakan pendekatan metode tafsīr maudhū‟i, Resti menyimpulkan bahwa al-

Sya„rāwī membolehkan perempuan bekerja di luar rumah sepanjang pekerjaan itu

tidak menimbulkan fitnah, dapat memelihara prinsip-prinsip ajaran agama,

kesusilaan, kesopanan, dan dapat menjaga diri.

Muhammad Azmi,17 “Parenting Dalam al-Qur‟an; Studi terhadap Tafsīr

Khawātir al-Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karīm karya Syeikh Mutawalli al-

Sya„rāwī.” Dalam tesis ini, Azmi merumuskan 3 pokok penelitiannya. Pertama,

bagaimana tantangan dalam mendidik anak pada zaman modern dalam al-Qur‟an

menurut al-Sya„rāwī. Kedua, mengapa diperlukan konsep parenting dalam al-

Qur‟an menurut al-Sya„rāwī. Ketiga, bagaimana penerapan konsep pendidikan

anak dalam al-Qur‟an menurut al-Sya„rāwī. Dengan menggunakan metode

analisis interpretatif dengan pendekatan kritis-analitis, Azmi menjawab 3 pokok

masalahnya tersebut diatas. Pertama, tantangannya adalah kurang bertanggung

jawab dan nafsu yang membelenggu dalam jiwanya. Maka untuk menopang hal

tersebut diperlukan untuk senantiasa menjaga dengan penuh tanggung jawab.

Kedua, untuk meningkatkan rasa syukur kepada Allah, meningkatkan kualitas

keluarga dengan baik, memberikan hikmah nasehat serta memberikan hak terbaik

kepada anak. Ketiga, dengan cara bersabar dalam shalat dalam berkeluarga,

16
Resti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur‟an tentang Wanita karir.
Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011). h. 62
17
Muhammad Azmi, Parenting Dalam al-Qur‟an; Studi terhadap Tafsīr Khawātir al-
Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karīm karya Syeikh Mutawalli al-Sya„rāwī, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017). h. 99.
10

membekali hal-hal yang berkenaan dengan akhirat kepada anak, serta memberikan

faktor pendukung pendidikan terutama dari orang tua, do‟a, rizki yang halal serta

lemah lembut terhadap anak.

Nasrul Hidayat,18 “Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya„rāwī.” Dalam

tesis ini, Nasrul mencoba meneliti bagaimana hakikat, bentuk, dan urgensi

wasatiyyah dalam tafsir al-Sya„rāwī. Melalui pendekatan tafsir dengan

menggunakan metode kualitatif dengan content analysis, Nasrul menyimpulkan

al-Sya„rāwī dalam tafsirnya menjelaskan tentang wasatiyyah dengan iman dan

aqidah. Kemudian asy-Sya‟rawi mengisyaratkan bahwa umat Islam harus paham

dengan agamanya yang moderat tanpa taklid buta. Selain itu, al-Sya„rāwī

menuntut agar bersifat pertengahan dalam hal kecenderungan manusia dalam

mementingkan urusan dunia dan akhirat.

Yovik Iryana,19 “Pendidikan Anak dalam Tafsīr al-Sya‟rāwī; Studi Analisis

Atas Perlindungan Anak.” Dalam skripsi ini, Yovik meneliti tentang bagaimana

perlindungan anak dalam al-Qur‟an menurut al-Sya„rāwī. Menurutnya, dilihat dari

penafsiran al-Sya„rāwī, beliau berpendapat bahwa perlindungan anak memang

wajib kepada setiap orang tua karena anak merupakan mutiara kehidupan di masa

yang akan datang. Perlindungan anak dibagi menjadi dua tingkatan yakni pada

tingkatan fisik dan psikis. Pada tingkatan fisik, al-Sya„rāwī diantarnya

menafsirkan Q.S al-Isrā ayat 31, dan pada psikis menafsirkan Q.S Thāhā ayat 132,

pada tingkatan fisik al-Sya„rāwī menafsirkan melarang adanya kekerasan atau

18
Nasrul Hidayat, Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya„rāwī, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016). h. 119.
19
Yovik Iryana, Pendidikan Anak dalam Tafsīr al-Sya„rāwī; Studi Analisis Atas
Perlindungan Anak. (Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017), h. i
11

penganiayaan pada anak. Sedangkan tingkatan psikis beliau menafsirkan supaya

mendidik, memberi pengajaran pada anak dari segi ruhaniyah maupun jasmani.

Debibik Nabilatul Fauziah,20 “Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif

Tafsir al-Sya„rāwī (Studi Analisis al-Qur‟an Surah Luqman Ayat 12-19).” Dalam

penelitian ini, Debibik mengungkapkan betapa pentingnya pendidikan anak. Oleh

karena itu, ia rumuskan penelitiannya tentang pendidikan anak dalam Islam

menurut perspektif Tafsīr al-Sya‟rāwī, studi analisis surah Luqman. Melalui

pendekatan deskriptif analistis, Debibik menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa

ada 11 wasiat Luqman yang diabadikan dalam al-Qur‟an, yang kemudian ia petik

maknanya: 1) Anjuran kepada orang tua memberi wasiat untuk anaknya dengan

hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. 2) Pendidikan untuk anak dimulai

dengan pengajaran tauhid dan menjauhi syirik karena dapat menyia-nyiakan amal.

3) Kewajiban untuk bersyukur kepada Allah SWT dan kepada kedua orang tua,

dan kewajiban berbakti dan berhubungan baik kepada keduanya. 4) Kewajiban

untuk taat kepada kedua orang tua kecuali perintah untuk maksiat kepada Allah

SWT. 5) Pengawasan Allah SWT selalu ada di setiap kondisi, baik sembunyi-

sembunyi atau terang-terangan, di tempat sepi atau ramai. 6) Tidak meremehkan

kebaikan atau keburukan meskipun kecil dan sedikit. 7) Kewajiban mendirikan

shalat beserta rukun dan syaratnya dengan tuma‟ninah. 8) Kewajiban amar ma‟ruf

nahi munkar dengan ilmu dan kelembutan sesuai kemampuan. 9) Bersabar dari

gangguan disebabkan amar ma‟ruf nahi munkar yang dilakukan. 10) Larangan

sombong dan angkuh ketika berjalan. 11) Bersikap pertengahan dalam berjalan,

20
Debibik Nabilatul Fauziah, Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Tafsīr al-Sya„rāwī
(Studi Analisis al-Qur‟an Surah Luqmān Ayat 12-19). (Artikel jurnal Dosen Pendidikan Islam
Anak Usia Dini (PIAUD) Fakultas Agama Islam Unsika Karawang, 2016), h. 8
12

tidak cepat dan tidak lambat. 12) Tidak meninggikan suara tanpa keperluam

karena itu kebiasaan keledai. 13) Bersikap pertengahan di setiap perkara.

Karya lainnya adalah tulisan Anisah Indriati mengenai ragam tradisi

penjagaan al-Qur‟an.21 Ia mengkaji kitab suci melalui nuansa fenomenologi

budaya yang lebih dikenal dengan kajian living Qur‟an. Kajian ini berupaya

mendalami bagaimana pesantren tersebut berinteraksi dengan al-Qur‟an. Sehingga

nilai-nilai dasar al-Qur‟an dapat dimanifestasikan dalam setiap kegiatan sehari-

hari Muslim dan kemudian selalu dapat membawa tuntutan rohani bagi jiwa

mereka. Menurutnya Ada beberapa pesantren al-Qur‟an yang memberikan

kontribusi penting dalam mengembangkan interaksi Muslim terhadap al-Qur‟an.

Huffāẓ al-Qur‟an Peranan mereka dalam menciptakan ratusan atau bahkan ribuan

menjadi bukti eksistensi mereka dalam living Qur‟an. Berbagai variasi metode

dan proses interaksi al-Qur‟an dijalankan, sehingg al-Qur‟an menjadi sebuah

entitas yang hidup di antara komunitas Muslim, khususnya di kalangan pesantren.

Ahmad Kusaini,22 “Pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an.” Skripsi S1

Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya 1991. Dalam skripsi ini, Ahmad

mengungkapkan keinginannya untuk meneliti sejauh mana usaha-usaha

pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an pada masa Rasulullah, Abu Bakar, dan

Utsman Bin Affan.

21
Anisah Indriati, Ragam Tradisi Penjagaan al-Qur‟an di Pesantren (Studi Living Qur‟an di
Pesantren Al-Munawwir Krapyak, An-Nur Ngrukem, dan Al-Asy‟ariyyah Kalibeber), (jurnal al-
Itqan Volume 3, No. 1, Januari – Juli 2017). h. 1
22
Ahmad Kusaini, Pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an. Skripsi S1 Fakultas Adab IAIN
Sunan Ampel Surabaya 1991, h. 3
13

Bunyamin,23 “keterlibatan manusia dalam memelihara keotentikan al-

Qur‟an (sebuah kajian historis).” Dalam penelitiannya, Bunyamin merumuskan

pokok masalahnya pada bagaimana proses pengkodifikasian al-Qur‟an dan sejauh

mana keterlibatan manusia dalam memelihara al-Qur‟an, melalui pendekatan

historis dengan metode deskriptif analitis.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kajian pustaka (library research), dengan jenis

penelitian kualitatif. Penelitian kepustakaan merupakan sebuah penelitian yang

fokus menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam literatur

seperti kitab, buku, naskah catatan, kisah sejarah, dokumen dan lain-lain.24

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan

menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,

pemikiran orang secara individual maupun kelompok.25

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, ada dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.

Penulis menggunakan al-Qur‟an dan terjemahnya, dan kitab Tafsīr al-Sya‟rāwī

sebagai data primer. Hal ini dikarenakan penulis menjadikan Tafsīr al-Sya‟rāwī

sebagai objek pembahas ayat al-Qur‟an tentang “konsep keterjagaan al-Qur‟an”

yang berkenaan dengan tema penelitian ini.

Kemudian terkait data sekunder, penulis menggunakan alat informasi

lainnya yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaran datanya yang relevan

23
Bunyamin, keterlibatan manusia dalam memelihara keotentikan al-Qur‟an (sebuah kajian
historis). Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadits IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33
25
Nana Syaudih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. VI, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2010), h. 60
14

dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti kitab tafsir, buku-buku, jurnal,

artikel di majalah dan internet, disertasi, tesis, skripsi dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melacak penggunaan ayat dan

pemaknaannya dalam kitab Tafsīr al-Sya‟rāwī. Untuk mempermudah proses

pelacakan tersebut, karena Tafsīr al-Sya‟rāwī ini berjumlah 20 juz, maka penulis

menggunakan aplikasi maktabah syamila.

4. Teknik Pengolahan Data

Untuk menjawab masalah dan mencapai tujuan penelitian sebagaimana yang

telah dirumuskan, maka metode yang digunakan adalah analisis isi kualitatif, yaitu

suatu metode yang biasa digunakan untuk memahami pesan simbolik dari suatu

wacana atau teks.26

Ada 5 tahapan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini. Tahap 1,

pengumpulan data mentah, yang diambil dari kitab Tafsīr al-Sya‟rāwī. Tahap 2,

pemilahan data untuk memudahkan analisis. Tahap 3, membaca data terpilih

secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai alat koding.

Tahap 4, pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,

penulis membaginya menjadi dua, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai premis mayor atau

argumen utama dan Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai premis minor atau argumen

pelengkap. Tahap 5, mendeskripsikan hasil koding atas data terpilih sesuai

besaran kode di atas dengan menggunakan analisis teks. Penulis mencoba

menggambarkan sejumlah tahapan tersebut di atas pada bagan 1.127 berikut;

26
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2001), h. 13
27
Bagan 1.1 diadaptasi dari: Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab
Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Desertasi S3
15

Deskripsi hasil koding

Argumen Utama Argumen Penjelas

Validasi akurasi Koding atas Data


informasi

Membaca Data Terpilah

Memilah data

Data Mentah (Tafsīr al-Sya‘rāwī)

Bagan 1. 1: Analisis Data Kualitatif

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu kepada Pedoman Penulisan Skripsi dalam

Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 terbitan Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.28

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran singkat kerangka penelitian ini, penulis

membaginya ke dalam lima bab, masing-masing bab berisi persoalan-persoalan

tertentu dengan tetap saling berkaitan satu sama lain.

Bab I berisi pendahuluan yang merupakan penjelasan secara umum tentang

penelitian ini, dengan mencakup latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian
promosi), h. 22
28
Amsal Bakhtiar, dkk., Pedoman Akademik Program strata 1 2012/2013 (Jakarta: T.tt,
2012), h. 368
16

Bab II merupakan landasan teori dari penelitian ini, gambaran umum

penjagaan al-Qur‟an sebagai kerangka untuk melihat bagaimana para mufasir

memaknai keterjagaan/ keterpeliharaan al-Qur‟an. Bab ini terdiri dari definisi dan

sejarah ringkas penjagaan al-Qur‟an, pemaknaan para mufasir atas keterjagaan al-

Qur‟an.

Bab III sekilas mengenai Tafsīr al-Sya‟rāwī, merupakan penyajian data

yang dibaca oleh bab dua. Bab ini meliputi biografi singkat al-Sya„rāwī, gambaran

umum pemikiran al-Sya„rāwī dan profil Tafsīr al-Sya‟rāwī.

Bab IV berisi argumen keterjagaan al-Qur‟an, yang merupakan hasil

analisis penulis berdasarkan pendekatan kualitatif berupa tela„ah atas makna

keterjagaan al-Qur‟an menurut syekh Mutawalli al-Sya„rāwī. Bab ini meliputi a].

Surah al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen utama keterjagaan al-Qur‟an, b]. Surah al-

Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen pelengkap.

Bab V merupakan penutup sebagai jawaban atas pertanyaan dari rumusan

masalah yang berupa kesimpulan, dan saran sebagai dampak atau implikasi dari

penelitian ini.
BAB II

GAMBARAN UMUM KETERJAGAAN AL-QUR‘AN

Penulis menganggap bab ini penting adanya, karena akan memberikan

penjelasan tentang tema penelitian skripsi ini. Selain itu, bab ini juga merupakan

landasan teori untuk penelitian pada bab selanjutnya.

Ada tiga pembahasan utama yang akan penulis uraikan pada bab ini, yaitu;

definisi dan argumen keterjagaan al-Qur„an, sejarah ringkas penjagaan al-Qur„an

dari mulai masa Rasulullah sampai kepada para Sahabat, dan terakhir pemaknaan

para mufasir atas keterjagaan al-Qur„an.

A. Definisi dan Argumen Keterjagaan al-Qur‘an

1. Definisi Keterjagaan al-Qur‘an

Term keterjagaan al-Qur„an tersusun dari dua kata, keterjagaan dan al-

Qur„an. Dalam bahasa arab, term keterjagaan al-Qur„an ini diambil dari diksi

potongan ayat al-Qur„an “Laḥāfiẓūn” yang berasal dari kata ḥafiẓa yaḥfaẓu ḥifẓan.

Ḥāfiẓūn merupakan kata bahasa Arab yang berakar dari huruf (ḥa-fa-ẓa), artinya

memelihara sesuatu dan dimaknai pula sebagai kebalikan dari lupa,1

Keterjagaan berasal dari kata terjaga, terjaga asal katanya adalah jaga. Ia

memiliki padanan “ter” dan “an” yang menjadikannya memiliki arti terawat,

terpelihara, dan terurus.2 Kemudian al-Qur„an, ia berasal dari bahasa arab qaraa

yaqrau qur„ānan yang berarti bacaan. Sedangkan menurut istilah ialah “Kalam

1
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Desertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian promosi), h. 163
2
Nasional, Departemen Pendidikan. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Cet I (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2009), h. 248

17
18

Allah yang merupakan mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi

Muhammad s.a.w. dan membacanya adalah ibadah.”3

Dengan definisi ini, Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain

Nabi Muhammad tidak dinamakan al-Qur„an seperti Taurāt yang diturunkan

kepada Nabi Musa a.s., atau Injīl yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s., demikian

pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang tidak

dianggap membacanya sebagai ibadah, seperti Hadīts Qudsi, tidak pula ia

dinamakan al-Qur„an.

Selain itu, al-Qur„an mempunyai banyak nama yang kesemuanya

menunjukan ketinggian peran dan kedudukannya, diantaranya adalah; al-Qur„ān,

al-Furqān, al-Kitāb, al-Tanzīl dan al-Ẓikr.4

1. Dinamakan al-Qur„ān sebagaimana QS. al-Isrā/ 17:9

‫َررا َببًِا‬ َّ ‫ات أ‬ ِ َّ ‫إِ َّن ى َذا الْ ُقرآ َن ي ه ِدي لِلَِِّت ِىي أَقْ وم وي بشِّر الْمؤِمنِني الَّ ِذين ي عملُو َن‬
ِ ‫اِل‬
ْ ‫َن َلُ ْ ْم أ‬ َ ‫الص‬ َ ْ َ َ َ ْ ُ ُ َُ َ ُ َ َ َْ ْ َ
)٩(
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang
mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar

2. Dinamakan al-Furqān sebagaimana QS. al-Furqān/ 25:1

)١( ‫ني نَ ِذيرا‬ ِ ِ ِ ِِ ِ


َ ‫تَبَ َارَك الَّذي نََّزَل الْ ُف ْرقَا َن َعلَى َعْبده ليَ ُكو َن ل ْل َعالَم‬
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada
hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.

3. Dinamakan al-Kitāb sebagaimana QS. al-Dukhān/ 44:1-3

3
Munīroh M. Nāṣir al-Dausuriy, Asmā„u Suwar al-Qur„ān wa Fadhāiluhā (Dār Ibn al-
Jauzi, 1426 H), h. 22
4
Munīroh M. Nāṣir al-Dausuriy, Asmā„u Suwar al-Qur„ān wa Fadhāiluhā (Dār Ibn al-
Jauzi, 1426 H), h. 32
19

)٣( ‫ين‬ِِ ٍِ ٍ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫) إنَّا أَنْ َزلْنَاهُ ِف لَْي لَة ُمبَ َارَبة إنَّا ُبنَّا ُمْنذر‬٢( ‫) َوالْكتَاب الْ ُمبني‬١( ‫ح ْم‬
Haa miim, demi kitab (Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan.

4. Dinamakan al-Tanzīl sebagaimana QS. al-Syu„arā/ 26:192-193

)١٩٣( ‫ني‬ ِ ُّ ‫) نََزَل بِِو‬١٩٢( ‫ني‬ ِ ِّ ‫وإِنَّو لَتَ ْن ِزيل ر‬


ُ ‫وح األم‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ب الْ َعالَم‬َُ ُ َ
dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)

5. Dinamakan al-Ẓikr sebagaimana QS. al-Ḥijr/ 15:9

)٩( ‫الذ ْبَر َوإِنَّا لَوُ َِلَافِظُو َن‬


ِّ ‫إنَّا ََْنن نََّزلْنَا‬
ُ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya.5

2. Argumen Keterjagaan al-Qur‘an

al-Qur„an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah

satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin

oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. “Innā nahnu nazzalnā al-

ẓikra wa innā lahū laḥāfiẓūn”. Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Qur„an

dan kami-lah yang memeliharanya.6 Ayat ini merupakan jaminan pemeliharaan

dari cacat dan cela, dan dari tangan-tangan usil yang mencoba untuk mengurangi

atau mengubahnya, sehingga tidak ada seorangpun yang sanggup

menyelewengkan apalagi menghapusnya. Menurut Hamka karena Allah yang

5
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
6
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Mizan Pustaka, 2007), h. 21
20

menurunkannya dan Allah pula yang akan menjaganya. Tidak ada satu kekuatan

pun yang akan sanggup menghambat.7

Demikianlah Allah menjamin keotentikan al-Qur„an, jaminan yang

diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuanNya, serta berkat upaya-

upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhlukNya, terutama oleh manusia.

Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan

didengarnya sebagai al-Qur„an tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah

dibaca Rasulullah dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi s.a.w.8

B. Sejarah Ringkas Penjagaan al-Qur‘an

Dua metode pemeliharaan al-Qur„an dalam literatur klasik ulūm al-Qur‟ān

dikenal dengan istilah jam‟u al-Qur„an, yang berarti pengumpulan.9 Pengumpulan

al-Qur„an dalam arti menghafal sudah berlangsung pada masa Nabi Muhammad

s.a.w., tepatnya ketika Allah menyemayamkannya ke dalam lubuk hati Nabi

secara mantap sebelum orang lain menghafalnya terlebih dahulu.10 Hingga

kemudian, Nabi membacakannya kepada sejumlah sahabat agar terjaga didalam

hati mereka.

Selain pemeliharaan dengan hafalan, upaya pengumpulan al-Qur„an dalam

arti penulisan juga sudah berkembang pada masa itu, meskipun belum

terkodifikasi seperti sekarang. Adapun penulisannya variatif dan dalam lembaran-

lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran pada beberapa jenis benda yang

7
Hamka, Tafsīr al-Azhār (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 175
8
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 21
9
Muhammad Baqir Hakim, Ulūmul Qur‟an, terj. Nashirul Haq, Abdul Ghafur, et all, cet. 2
(Jakarta: al-Huda, 2012), h. 166
10
Lihat Shubhi al-Shālih, Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-Ilm, al-Malayin,
1977), h. 71
21

dapat dijadikan sebagai alat tulis-menulis ketika itu.11 Hingga pasca wafatnya

Nabi, penjagaan al-Qur„an berpindah kepada para khalifah pilihan, yang mampu

menjaga dan menstandarisasikan bacaan al-Qur„an sampai sekarang.

Kodifikasi al-Qur„an melalui usaha penulisan dan pembukuan pada masa

awal Islam, terjadi dalam tiga periode yakni periode Nabi SAW, Abū Bakr al-

Ṣiddīq, dan „Utsmān bin „Affān.12 Berikut adalah sejarah panjang mushaf al-

Qur„an dari masa ke masa.

1. Periode Nabi Muhammad SAW

Upaya pemeliharaan al-Qur„an pada masa Rasulullah mulai dilakukan baik

secara hafalan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sendiri beserta sahabat,

maupun secara penulisan yang dilakukan oleh para sahabat pilihan atas perintah

Rasulullah. Pada awalnya al-Qur„an masa Rasulullah masih berbentuk hafalan,

bahkan selama kurun waktu 23 tahun masa pewahyuan tersebut, Rasulullah

mengajarkan dan memperdengarkan ayat yang diterima kepada para sahabat

secara lisan.

Meskipun demikian, bukan berarti dengan kuatnya hafalan para sahabat dan

masyarakat Arab masa itu, lantas menjadikan Rasulullah luput akan pentingnya

baca-tulis. Hal ini terbukti pada saat wahyu turun, Rasulullah secara rutin

memanggil para penulis untuk menuliskan wahyu tersebut, termasuk didalamnya

Zaid bin Tsabit. Bahkan terdeteksi tidak kurang dari enam puluh lima orang

11
Anshori, Ulūm al-Qur‟ān; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (ed.) M. Ulinnuha
Khusnan (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 81
12
Mawardi Abdullah, Ulūm al-Qur‟ān (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 16. Adapun
Manna„ Khalīl al-Qaṭṭān dalam bukunya Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān, menyatakan bahwa
pengkodifikasian al-Qur„an sepanjang sejarah Islam hanya terjadi dua kali. Yakni periode Abū
Bakr dan „Utsmān.
22

sahabat yang bertindak sebagai penulis wahyu.13 Berdasarkan kebiasaan

Rasulullah tersebut, dapat dikatakan bahwa pada masa ini budaya penulisan al-

Qur„an sudah dilakukan bahkan al-Qur„an telah sempurna penulisannya di zaman

ini, meskipun penulisannya masih tercecer dalam berbagai bentuk seperti di kulit

binatang, pelepah kurma, kepingan-kepingan tulang, kayu yang diletakkan

dipunggung onta dan bebatuan.14

Pada masa ini apabila wahyu turun, sahabat menyegerakan untuk

menghafalkannya dan langsung ditulis oleh para penulis wahyu. Adapun al-

Zarqāni berkata:

“Rasulullah memberi petunjuk kepada mereka letak ayat atau surah yang

harus di tulis. Sehingga mereka menuliskannya pada apa saja yang dapat

digunakan untuk menulis seperti pelepah daun kurma, batu-batu, daun, kulit

binatang, dan tulang-tulang. Kemudian semua yang sudah ditulis

dikumpulkan di rumah Rasulullah, Sehingga ketika Rasulullah wafat al-

Qur„an telah terkumpul seperti itu adanya.”15

Namun, pada masa ini belum ada upaya untuk mengkodifikasikan al-Qur„an

dalam satu mushaf secara utuh, meskipun secara keseluruhan wahyu tersebut telah

tertulis.

13
M. Musthafa al-A‟zāmi, Sejarah Teks al-Qur‟an dari wahyu sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 72. Adapun sahabat yang
mengumpulkan al-Qur‟an, setidaknya hanya empat sampai enam orang saja. Diantaranya Mu„ādz
bin Jabāl, Zaid bin Tsābit, Ubay bin Ka„ab, Abu Ayyūb al-Anshārī, Abū Zayd. Lihat pemaparan
riwayat dalam Rasul Ja‟fariyan, Menolak Isu Perubahan al-Qur‟an, terj. Abdurrahman (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1991), h. 23
14
Tim Forum karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Purna Siswa 2011
MHM Lirboyo Kota Kediri, (ed). Abu Hafsin, al-Qur„an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir
Kalamullah, cet. 3 (Kediri: Lirboyo Press, 2013), h. 46
15
al-Zarqāni „Abd al-Azhīm, Manāhil al-Irfān fi Ulūm al-Qur'ān, jilid 1 (Beirut: Jāmi' al-
Huqūq Makhfūẓah, Dār al-Kitāb al-'Arabi, 1415 H, 1995 M), h. 240
23

Beberapa faktor yang melatar belakangi hal diatas. Pertama, wahyu masih

proses turun berangsur-angsur dan terkadang ayat yang turun berikut menghapus

ayat sebelumnya.16 Kedua, Belum ada kebutuhan mendesak untuk melakukan

upaya tersebut. Sebab penghafal al-Qur„an masih banyak, tidak adanya fitnah

perselisihan tentang perdebatan perbedaan bahasa, dan sarana tulis menulis masih

sangat sulit hingga kodifikasi al-Qur„an dengan cara menghafal menjadi kunci

utama masa itu.17 Ketiga, Adapun pada masa ini antara ayat dan surah masih

berada dalam lembaran secara terpisah dalam tujuh huruf, belum dikumpulkan

secara tertib dalam satu mushaf . Bahkan susunan atau tertib penulisan ayat dan

surah al-Qur„an tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi dituliskan sesuai dengan

petunjuk Nabi. Sebab, wahyu-wahyu diturunkan sesuai dengan munculnya

masalah yang melatarbelakangi turunnya wahyu.18

Setelah berakhir proses turunnya wahyu dengan wafatnya Nabi, maka Allah

mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada Khulafā al-Rāsyidīn

sesuai dengan janji Allah yang benar kepada umat ini tentang jaminan

pemeliharaannya.19 Hal ini terjadi kali pertama pada masa Abū Bakr atas

pertimbangan usulan „Umar bin Khattab. Adapun pengumpulan al-Qur„an di masa

Nabi ini dinamakan penghafalan (ḥifẓan) dan pembukuan (kitābatan) pertama.20

Diantara faktor yang mendorong penulisan al-Qur„an pada masa Nabi

adalah: Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat,

dan mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak
16
Mannā‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir, cet. 16 (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h. 187
17
Mawardi Abdullah, Ulūm al-Qur‟ān..., h. 22
18
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an.., h. 187
19
Ini suatu isyarat kepada firman Allah: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-
Qur‟an, dan kami pula yang akan menjaganya”. (al-Hijr/ 15:9)
20
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur„an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
cet. 6 (Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011), h. 158
24

dari hafalan para sahabat saja tidak cukup, karena adakalanya luput dari

hafalannya atau sebagian dari mereka sudah wafat. Sehingga dengan adanya

pindahan berupa tulisan, akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi wahyu

al-Qur„an masih ditulis ditempat-tempat tertentu yang masih tercecer.21

2. Periode Abū Bakar al-Ṣiddīq

Pasca Rasulullah wafat, perselisihan tentang penggantian kekuasaan terjadi

hingga memperoleh satu keputusan bahwa Abū Bakar diangkat sebagai khalifah

pengganti Rasulullah. Ia dibay„at sebagai khalifah dalam musyawarah di Tsaqifah

Bani Sa„diyah.22 Terpilihnya Abū Bakar sebagai khalifah, lantas memunculkan

pembangkangan terhadap khalifah, yaitu kelompok pengekang zakat, kaum

murtad dan kelompok pengaku menjadi Nabi diantaranya Musaylamah al-Kaẓẓāb.

Tiga kelompok ini kemudian di bumihanguskan oleh khalifah dengan

mengirimkan pasukan tentara dibawah pimpinan Khālid bin Walīd, hingga

terjadilah Perang Yamāmah pada tahun 12 H yang melibatkan sebagian besar

sahabat penghafal al-Qur„an. Dalam peperangan tersebut tidak kurang dari 70

penghafal al-Qur„an gugur, bahkan dalam suatu riwayat disebutkan sekitar 500

orang23.

Berawal dari peristiwa inilah „Umar bin Khattāb mengusulkan agar

dilakukan pembukuan al-Qur„an. Hal ini dikhawatirkan al-Qur„an akan berangsur-

angsur hilang bila hanya mengandalkan hafalan semata. Kebijakan „Umar dalam

21
Rosihon Anwar, Ulūm al-Qur‟ān,cet. 6 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 39
22
Eva Nugraha, Kebijakan „Utsmān Atas Kompilasi al-Qur„an (Tesis S2 Program Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2000), h. 12
23
Muhammad Quraish Shihab, et. al, Sejarah & Ulūm al-Qur‟an, cet. 4 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h. 28
25

hal ini semakin memperjelas kedudukannya sebagai sahabat sekaligus penasehat

Abū Bakar.24

Dalam menanggapi usulan „Umar tersebut, Abū Bakar merasa ragu lantaran

pada masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim dilakukan. Akan tetapi karena

desakan „Umar, akhirnya Abū Bakar menyetujui dan menunjuk Zaid bin Tsbit

sebagai ketua tim kodifikasi al-Qur„an. Awalnya Zaid merasa ragu dan penuh

pertimbangan dalam memenuhi tugas ini.25 Hingga Zaid menuturkan pikirannya

saat mendengar penugasan itu, “Demi Allah, seandainya ia menugasiku untuk

memindahkan sebuah gunung, tidak akan lebih berat dibanding tugas untuk

mengumpulkan al-Qur„an. Maka setelah itu aku mengumpulkan al-Qur„an dari

pelepah kurma, lempengan batu, dari ingatan orang-orang, dari potongan kulit

hewan, dan dari tulang-tulang hingga aku menemukan akhir surah at-Taubah

pada Abu Khuzaimah al-Anshari. Ayat itu tidak kutemukan di tempat dan orang

lain, selain dia.”26

Namun, kecintaannya terhadap al-Qur„an telah menghapus keraguannya,

dan menggerakkan Zaid untuk melacak dan menghimpun lembaran-lembaran al-

Qur„an yang berserakan. Dalam menjalankan tugasnya Zaid lebih selektif dan

hati-hati. Artinya tidak semua setoran dari para sahabat diterima begitu saja

dengan tangan terbuka, melainkan harus disertai sumber tertulis dan saksi

24
Lihat: Eva Nugraha, Kebijakan „Usmān Atas Kompilasi al-Qur„an,... h. 13
25
Mustafa Murad, Kisah Hidup „Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4 (Jakarta: Zaman, 2013), h. 72. Lihat pula dalam al-Hafīẓ Ibn Katsīr, Perjalanan
Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, terj. Abu Ihsan al-As‟ari, cet. 8 (Jakarta: Darul Haq,
2011), h. 21-22
26
Mustafa Murad, Kisah Hidup Abū Bakr as-siddiq,... h.147
26

(setidaknya dua saksi27). Hal ini dilakukan Zaid untuk mencari kesepakatan bahwa

setoran yang diterimanya benar-benar ayat al-Qur„an dari Nabi Muhammad.28

Dengan demikian, pengumpulan al-Qur„an yang dilakuakan oleh Zaid pada

periode ini berpijak pada empat hal, yaitu: ayat-ayat al-Qur„an yang ditulis

dihadapan Nabi dan yang disimpan dirumah beliau, ayat-ayat yang ditulis adalah

yang dihafal para sahabat penghafal al-Qur„an, tidak menerima ayat yang hanya

terdapat pada tulisan atau hafalan saja, melainkan harus ada bukti bahwa itu

tertulis dan dihafal, kemudian penulisan dipersaksikan kepada dua orang sahabat

bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi pada saat Nabi masih

hidup.29

Tugas penulisan al-Qur„an dilaksaakan oleh Zaid dalam kurun waktu satu

tahun sejak selesai perang Yamamah sampai sebelum Abū Bakar wafat.

Lembaran-lembaran ini disimpan oleh Abū Bakr sampai wafat dan kemudian

disimpan „Umar bin Khattāb, hingga kemudian disimpan oleh Ḥafṣah bint

„Umar.30 Kompilasi al-Qur„an pada masa ini disebut dengan istilah shuhūf,

merupakan kata jamak yang secara literal artinya, keping atau kertas.31 Adapun

27
Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan pengertian dua saksi (syāhidain), tidak harus
keduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Seorang sahabat yang
membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang dibawanya didukung oleh dua hafalan atau
tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh seorang
sahabat akan dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.
Adapun pemahaman ini berbeda dengan yang diusulkan as-Sakhawi (w.643 H), yang memandang
bahwa syāhidain di sini artinya adalah catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat
tertentu yang disodorkan sahabat sudah dapat diterima jika memiliki dua saksi yang menegaskan
bahwa catatan tersebut memang ditulis dihadapan Nabi. Lihat al-Suyuti, al-Itqan, jilid 1, h. 60
28
M. Musṭafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an,... h. 87
29
Mawardi Abdullah, Ulūmul Qur‟an,... h. 25
30
Murad, Kisah Hidup „Umar..., h. 147. Lihat juga Dār al-„Ilm, Atlas Sejarah Islam, Peny.
Koeh (Jakarta: Kaysa Media, 2011), h. 55
31
M. Musṭafa al-A„zāmi, Sejarah Teks al-Qur‟an,... h. 92
27

pembukuan al-Qur„an masa Abū Bakr ini disebut sebagai pembukuan al-Qur„an

kedua setelah masa Rasulullah.32

Adapun sebagian karakterisrik penulisan al-Qur„an pada masa Abū Bakr

yaitu mushaf ini telah menghimpun semua ayat al-Qur„an dengan cara yang

sangat teliti, ayat dan surah telah tersusun menurut susunan yang sebenarnya

seperti yang diwahyukan Allah kepada Nabi SAW., mushaf ini juga meniadakan

ayat-ayat al-Qur„an yang telah di mansūkh, kemudian mushaf ini mencakup tujuh

bahasa sebagaimana al-Qur„an diturunkan. Selain itu, mushaf ini juga telah

diterima secara luas dan semua ayat-ayatnya juga bersifat mutawatir.33

Pasca wafatnya Abū Bakr, mushaf terjaga dengan ketat di bawah tanggung

jawab „Umar bin Khattāb sebagai khalifah kedua. Pada masa ini al-Qur„an tinggal

melestarikan ke berbagai wilayah. Selain itu „Umar juga diperintahkan untuk

menyalin mushaf masa Abū Bakr tersebut ke dalam lembaran. Dalam hal ini

„Umar tidak menggandakan lembaran-lembaran tersebut, karena memang hanya

untuk dijadikan naskah orosinil, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah serangkaian

penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah untuk disimpan. Hal

ini dengan pertimbangan, selain ia sebagai putri Abū Bakr sekaligus Istri

Rasulullah ia juga pandai membaca dan menulis.34

Penjagaan oleh Ḥafṣah ini berlanjut sampai setelah wafatnya „Umar.

Begitupun Ḥafṣah wafat, mushaf al-Qur„an diambil resmi oleh Marwan ibn al-

Hakam untuk dibakar.35 Sebelumnya Marwan pernah meminta Ḥafṣah agar

32
Lihat Mannā„ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi... h. 162
33
Mawardi Abdullah, Ulūmul Qur‟an,... h. 27
34
Rosihon Anwar, Ulūm al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 45
35
Marwān ibn al-Hakam adalah walikota Madinah masa itu. Banyak versi periwayatan
berkenaan dengan keterangan ini. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Marwan
memerintahkan untuk membakar mushaf orisinil karena berbagai pertimbangan. Adapun ungkapan
28

lembaran-lembaran mushaf yang disimpannya itu dibakar, tetapi ditolak oleh

Ḥafṣah.36 Tindakan ini dilakukan Marwan untuk menjaga keseragaman mushaf

dan menghindari keraguan di masa yang akan datang akan adanya mushaf-mushaf

lain yang setara dengannya. Hal tersebut dikarenakan mushaf Abū Bakr/ Ḥafṣah

tidak lengkap. Selain itu, adanya perubahan susunan penulisan yang dilakukan

Zaid antara mushaf Abū Bakr dengan mushaf „Utsmān.

Hemat penulis pada masa „Umar tidak ada upaya kodifikasi al-Qur„an

sebagaimana pada masa Abū Bakr. Pada masa ini hanya dilakukan penjagaan,

karena al-Qur„an sudah tersebar ke berbagai wilayah. Sehingga al-Qur„an masa ini

mengalami stagnasi, artinya tidak ada pembaruan apapun, baik pengkodifikasian

atau pengantian tulisan.

3. Periode ‘Utsmān bin ‘Affan

„Utsmān bin „Affān menjadi pemegang jabatan kekhalifahan sepeninggal

„Umar bin Khattab. Pada masa ini, banyak para penghafal al-Quran yang ia

tugaskan ke berbagai daerah untuk menjadi imam sekaligus mengajarkan al-Quran

kepada masyarakat. Namun dalam proses penyebaran ini, masing-masing sahabat

mempunyai cara dan metode yang berbeda dalam penyampaiannya begitu juga

dengan versi qirāat nya. Bahkan Hudzaifah Ibn al-Yaman yang ikut dalam

pembukaan Armenia dan Azerbaijan, ketika itu ia mendengar bacaan al-Qur„an

penduduk setempat yang berbeda satu sama lain, bahkan saling membenarkan

versi qira‟at masing-masing, sehingga menimbulkan pertikaian sesama umat.

Marwan: “Saya lakukan hal ini karena khawatir, ketika zaman berlalu atau dikemudian hari,
manusia akan meragukan keadaan ini.” lihat uraian dalam Muhammad Quraish Shihab, et. al,
Sejarah dan Ulūm al-Qur‟an,... h. 31
36
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, cet. 3
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 19
29

Melihat hal ini Hudzaifah berkata kepada „Utsmān, “Wahai amīrul

mu‟minīn! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Qur„an seperti

perselisihan Yahudi dan Nasrani.”37

Sejak peristiwa inilah kemudian „Utsmān berinisiatif untuk menyalin

kembali al-Qur„an, tepatnya akhir tahun ke-24 H dan awal ke-25 H38 dengan

menunjuk 12 orang termasuk Zaid bin Tsabit (sebagai ketua), „Abdullah bin

Zubair, Said ibn al-sh, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam.39 Kodifikasi

ini dilakukan sebagaimana pada masa Abū Bakr. Akan tetapi kodifikasi al-Qur„an

pada masa „Utsmān bukan karena keberadaan al-Qur„an yang masih tercecer,

melainkan menyalin mushaf dalam rangka untuk menyeragamkan bacaan. Upaya

ini diawali dengan menyalin mushaf Abū Bakr yang dijaga oleh Ḥafṣah ke dalam

beberapa mushaf.40 Sebelum tim kodifikasi bekerja sesuai tugasnya masing-

masing, „Utsmān memberikan pengarahan kepada tim agar berpedoman kepada

bacaan mereka yang hafal al-Qur„an dengan baik dan benar, dan bila ada

perbedaan bacaan yang digunakan harus dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab

al-Qur„an diturunkan sebagaimana dialek yang mereka gunakan.

Setelah penyalinan al-Qur„an selesai dikerjakan, maka lembaran-lembaran

al-Qur„an yang dipinjam dari Ḥafṣah dikembalikan kepadanya. Adapun al-Qur„an

yang telah dibukukan itu dinamai “al-Mushaf ”. Dari penggandaan tersebut,

37
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an.., h. 193
38
Musṭafa Murād, Kisah Hidup „Utsmān Ibn „Affan, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4, (Jakarta: Zaman, 2013), h. 65. Lihat pula Mannā‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur‟an.., h. 200
39
Lihat al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur„an,... h. 100, bandingkan dengan al-Qaṭṭān, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur‟an,... h. 193, „Utsmān hanya menunjuk empat orang dan ketiga diantaranya
selain Zaid adalah orang Quraisy, sehingga jika terjadi perdebatan „Utsmān memerintahkan agar
yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga kawannya ditulis dalam dialek Quraisy.
40
Lihat Ibn Katsīr, Perjalanan Hidup..., h. 453
30

mushaf di gandakan sebanyak 5 buah,41 4 buah diantaranya dikirim ke berbagai

wilayah yakni Mekkah, Syam (Syiria), Basrah dan kuffah, agar ditempat-tempat

tersebut disalin pula dengan mushaf yang sama.42 Sementara satu buah mushaf,

ditinggalkan di Madinah untuk „Utsmān sendiri dan yang terakhir inilah yang

disebut “Musḥāf al-Imām”. Setelah itu, „Utsmān memerintahkan untuk

mengumpulkan semua lembaran-lembaran al-Qur„an yang ditulis sebelum

pembakuan dan mushaf- mushaf lain yang tidak sesuai untuk dibakar. Hal ini

dilakukan untuk mencegah pertikaian dikalangan umat.43

Kodifikasi periode „Utsmān ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti.

Hal ini terlihat pada pengambilan lafadz-lafadz yang diriwayatkan secara

mutawatir dan mengesampingkan riwayat secara ahad. Menyingkirkan lafal yang

di nasakh (dihapus) dan lafadz yang diragukan. Penyusunan al-Qur„an dilakukan

dengan sistematika al-Qur„an sesuai dengan susunan surah dan ayat sebagaimana

terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan menuliskan lafadz yang disepakati, tim

kodifikasi menghimpun dan merundingkan semua gaya bacaan (qira‟at) yang

dikenal oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka dipilihlah

qira‟ah Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-

41
Lihat al-Suyūti, al-Itqān..., jilid 1, h. 132. Banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah
mushaf yang dikirimkan „Utsmān ke berbagai daerah. Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān dalam bukunya
Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān, h. 199, menuliskan: ada yang mengatakan jumlahnya 4 buah (masing-
masing dikirimkan ke Kuffah, Basrah, Syam, dan mushaf Imam), dan 5 buah (masing-masing
adalah yang disebutkan pada poin pertama ditambah Mekkah). as-Suyuti berkata bahwa pendapat
inilah yang masyhur, 7 buah (masing-masing adalah kota yang disebutkan sebelumnya
ditambahkan Yaman dan Bahrain). Sementara al-Ya‟qubi, seorang sejarawan Syi‟ah mengatakan
bahwa mushaf „Utsmān ada 9 eksemplar, yang tersebar ke tujuh tempat sebelumnya ditambah
wilayah Mesir dan al-Jazirah, al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an.., h. 105
42
Lihat Dār al-Ilmi, Atlas Sejarah..., h. 55
43
Musṭafa Murad, Kisah Hidup „Utsmān,... h. 66
31

Qur„an, misalnya catatan-catatan kaki yang yang ditulis oleh para sahabat sebagai

penjelasan atas suatu bagian al-Qur„an, penjelasan tentang nasikh dan mansukh.44

Sejak saat itu sejarah mencatat, hasil kodifikasi „Utsmān bin „Affan cukup

efektif untuk dapat mengikat persatuan umat Islam dalam ranah standarisasi teks

al-Qur„an. Setidaknya masa „Utsmān ini menjadi kodifikasi terakhir umat Islam

dalam penyatuan bacaan. Artinya setelah fase ini tidak ada lagi pembukuan atau

standarisasi berikutnya. Pengumpulan al-Qur„an masa „Utsmān ini disebut dengan

pengumpulan/ pembukuan ketiga setelah masa Abū Bakr. Adapun masa

pemberlakuan mushaf „Utsmāni di kalangan umat Islam terjeda rentang waktu

yang cukup lama, yakni hingga masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan.45

Dari penyalinan mushaf masa „Utsmān ini, maka kaum muslimin diseluruh

pelosok menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara model dan metode

tulisan yang digunakan didalam mushaf „Utsmān ini kemudian dikenal dengan

sebutan “Rasm „Utsmāni”.46 Dengan demikian, maka penulisan al-Qur„an di masa

„Utsmān memiliki manfaat besar, diantaranya menyatukan kaum muslimin pada

satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya, menyatukan bacaan walaupun

masih ada perbedaan tetapi setidaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan

mushaf-mushaf „Utsmān. Sedangkan ejaan yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf

„Utsmān, tidak diperbolehkan penggunaannya. Kemudian menyatukan tertib

susunan surah-surah menurut urutan seperti yang terlihat pada mushaf- mushaf

sekarang. Sehubungan dengan kodifikasi al-Qur„an yang berlangsung pada masa

44
Musṭafa Murad, Kisah Hidup „Utsmān,... h. 67
45
Zaenal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm „Utsmāni dalam Penulisan al-Qur‟an”, dalam
Journal of Qur‟anic and Hadits Studies, Vol. 1, No. 2, 2012, h. 220
46
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān (Riyad: Mansūrat al-Hasr wa al-
Hadīts, 1393 H/ 1973 M.), h. 146
32

Abū Bakr dan masa „Utsmān, setidaknya terlihat beberapa perbedaan, sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Kodifikasi al-Qur‘an

Perbedaan Kodifikasi al-Qur‘an


pada Masa Abū Bakr dan Masa ‘Utsmān
Pada masa Abū Bakr Pada masa „Utsmān bin „Affan

1. Motivasi penulisannya karena 1. Motivasi penulisannya karena terjadinya


adanya kekhawatiran sirnanya al- perselisihan cara membaca al-Qur„an
Qur„an dengan wafatnya beberapa (qirā„at). Sehingga menyebabkan
sahabat penghafal al-Qur„an pada timbulnya sikap saling menyalahkan.
perang Yamāmah.
2. „Utsmān mengumpulkan al-Qur„an
2. Abū Bakr melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf
dengan mengumpulkan tulisan- pada satu dialek, yakni dialek Quraish,
tulisan al-Qur„an yang masih dengan tujuan mulia yakni mempersatukan
tercecer pada pelepah kurma, kaum muslimin dalam satu mushaf
kulit, tulang dan daun.

C. Pemaknaan Para Mufasir Atas Keterjagaan al-Qur‘an

Merujuk pada Q.S al-Ḥijr/ 15:9, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa

al-Qur„an berasal dari Allah berikut dengan komitmenNya untuk menjaga dari

berbagai perubahan baik pengurangan ataupun penambahan isinya.47

Sebagaimana penjelasan di awal, term keterjagaan ini diambil dari kata Ḥāfiẓūn

pada potongan ayat Q.S al-Hijr/ 15:9 Innā naḥnu nazzalnā al-dhikr wa innā lahu

laḥāfizūn.

47
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 163
33

Pertanyaannya kemudian adalah; siapa dan bagaimana proses penjagaan al-

Qur„an tersebut dilakukan? Pada sub bab ini penulis akan memaparkan pendapat

beberapa mufasir terkait pertanyaan tersebut dengan menjadikan Q.S al-Ḥijr/ 15:9

sebagai rujukan utamanya.

Pangkal perdebatan para ulama awal dalam menafsirkan Q.S al-Ḥijr/ 15:9

ini, ada pada ḍamīr ha kata lahu. al-Tabāri mengemukakan sejumlah pendapat

yang kemudian pendapat al-Tabāri ini dipakai pula oleh sejumlah mufasir abad

ketiga dan keempat Hijriah seperti al-Ṣan„ānī (w. 211 H), al-Juzzāz (w. 311 H),

dan Ibn Abī Ḥātim (w. 327 H) mengenai siapa yang berbeda tersebut.

Pertama, pendapat Mujahid, ḍamir ha dimaknai „indanā, (pada kami).

Kedua, riwayat Sa„īd dan Qatādah, ḍāmir ha kembali ke al-dhikr. Ia menyatakan

kaitan antara ayat laḥāfizūn dengan ayat Lā ya‟itīhi al-bāṭil yang merujuk ke iblīs,

sehingga Iblis tidak mungkin untuk menambahkan di dalamnya sesuatu yang

batil, dan benar-benar tidak akan bisa mengurangi apa pun karena Allah-lah yang

menjaga al-Qur„an dari kemungkinan terjadinya peristiwa tersebut. Ketiga, Masih

pendapat Qatādah, hanya saja riwayatnya berasal dari Ma„mar. Bahwa Allah-lah

yang menjaganya dari upaya setan untuk menambahkan sesuatu di dalamnya

secara batil, begitu pula upayanya untuk mengurangi sesuatu darinya. Keempat,

ḍāmir hu kembali pada al-Ẓikr yang bermakna Ẓikr Muhammad (ingatan Nabi

Muhammad), atas dasar sebuah riwayat “Wainnā li Muḥammadin ḥāfiẓūna

mimman arādahu bisū‟in min a„dā‟ihi,” hanya saja al-Tabāri tidak menjelaskan

siapa yang mengungkapkan riwayat tersebut.48

48
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 164
34

Abū Manṣūr al-Māturīdī, mufasir pertengahan abad ke empat, menjadi awal

perkembangan pendapat bahwa yang tadinya hanya Iblis kini siapapun memiliki

potensi menjadi subyek dari pengurangan dan penambahan pada al-Qur„an.49

Maka dari itu, hal ini juga berpengaruh besar pada kesimpulan siapa dan

bagaimana bentuk penjagaan al-Qur„an selanjutnya.50

Pada abad ke enam, Ibn „Atiyyah (w. 542 H) menyebutkan bahwa

“laḥāfiẓūn bi ikhtizānihi fī ṣudūr al-rijāl,” lebih lanjut Ia menyatakan: “Ay huwa

maḥfūẓun fi al-qulūb.” Jika ditarik kesimpulan, para mufasir pada abad ini mulai

memiliki pendapat baru bahwa para penghafal al-Qur„an dan mereka yang telah

mengumpulkan al-Qur„an adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penjagaan al-

Qur„an.51 begitu pula dengan Al-Rāzī yang mulai memasukkan peran sahabat

yang melakukan jam„ al-Qur‟ān adalah bagian dari para penjaga al-Qur„an.

Kemudian Al-Qurṭūbī juga memasukkan keberadaan mushaf „Usmān sebagai

bagian dari pola penjagaan. Namun di sisi lain, al-Zamakhshārī (w. 538 H) juga

menambahkan istilah tabdīl dan taghyīr bersamaan dengan ziyādah dan nuqṣān

sebagai potensi yang akan lahir dari subyek yang baru.

49
Muḥammad Ibn Muḥammad Ibn Maḥmūd, Abū Manṣūr al-Māturīdī (w.333 H), Tafsīr al-
Māturīdī –Ta‟wīlāt ahl al-Sunnah, Juz 6, Cet I (Bayrūt Lubnān: Dār al-Kutub al-„Alamiah, 1426
H/2005 M), 424.
50
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 165
51
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 165
BAB III

BIOGRAFI DAN GAMBARAN UMUM TAFSĪR AL-SYA‘RĀWĪ

Penulis menganggap bab ini penting adanya, karena pembahasan pada bab

ini akan memudahkan penulis dalam melihat identitas pemikiran dan profil tafsir

yang menjadi objek analisa pada bab IV.

Ada tiga sub bab yang penulis anggap penting dalam bab ini, yaitu biografi

singkat al-Sya„rāwī, latar belakang pemikirannya, kemudian profil tafsirnya. Hal

ini karena pemikiran seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang yang

mempengaruhinya, terlebih dalam mengkaji metodologi penafsiran.

A. Biografi al-Sya‘rāwī

Muhammad Mutawalli al-Sya„rāwī al-Ḥusaini merupakan nama lengkap al-

Sya„rāwī, beliau lahir pada hari ahad tanggal 17 Rābi’ al-Tsāni 1329 H bertepatan

dengan 16 April 1911 M di sebuah desa Daqadus, salah satu kota kecil yang

terletak tidak jauh dari kota Mayyit Ghamr, provinsi Daqḥiliyyāt.1

Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī lahir dari keluarga sederhana, keluarga

yang dipimpin oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai petani yang ‘ālim dalam

beribadah.2 Pada lingkungan yang demikian itu, tumbuhlah pengaruh besar yang

sangat signifikan pada perkembangan keilmuan ke-Islaman beliau, sebab ayahnya

memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter al-Sya„rāwī.

Di usianya yang terbilang masih sangat muda yaitu 11 tahun, al-Sya„rāwī

mampu menyelesaikan hafalan al-Qur„an melalui bimbingan seorang ulama di

1
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Al-Syaīkh Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rāwī (Imām
al-‘Ashr) (Kairo, Mesir: Nahdlah, 1990), h. 11
2
Sa‟īd Abū al-„Ainaīn, al-Sya’rāwī alladzī lā na’rifuhu (Mesir: Dār Akhbār al-Yaūm,
1995), h. 16

35
36

daerahnya yang bernama Syekh „Abd al-Majīd Basha.3 Pendidikan formalnya

diawali dengan menuntut ilmu di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926

M, Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di daerah yang sama dan

meraih ijazah pada tahun 1936 M. Kemudian melanjutkan pendidikannya di

Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1937 M.4 Kemudian ia

juga menyelesaikan pendidikan A‟lamiyyah dan mendapatkan lisensi mengajar

pada tahun 1943 M.

Tahun 1950 M al-Sya„rāwī dipercaya menjadi dosen ilmu syariah di

Universitas Ummu al-Quro. Kelebihannya dalam hal keilmuan dan kecerdikannya

dalam pergerakan politik pada posisinya sebagai pengajar di universitas Islam

ternama ini menjadikan Syekh al-Sya„rāwī cukup terkenal di Mesir dan

pemerintah saat itu yang dipimpin Jamal Abdul Nasser.5 Selain itu, beliau juga

menjadi tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur

Tengah, antara lain al-Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyah, Zaqaziq, Universitas

Malik Ibn Abdul Aziz Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, dan lain-lain.6

Pada tahun 1963 M terjadi perselisihan antara presiden Jamal Abdul Naser

dan Raja Saudi. Dengan adanya perselisihan ini akhirnya beliau memutuskan

kembali ke Kairo dan menjadi direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein

Ma„mun. Setelah itu, beliau juga menjadi ketua delegasi al-Azhar di Algeria dan

menetap di sana selama 7 tahun. Kemudian kembali lagi ke Kairo dan ditugaskan

3
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syifuaikh Muhammad al-Mutawalli al-Sya‘rāwī
(Imâm al-‘Ashr), h. 74.
4
Said Abu al-Ainain, al-Sya’rawi Alladzi Lâ Na’rifuh (Kairo: Akhbar al-Youm, 1995), h.
28-29.
5
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya„rāwī Khawatir al-Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karim.”
Diakses pada 10 Oktober 2018 dari https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya„rāwī
- khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/
6
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‘rāwī
(Jakarta:Mizan, 2004), h. 27
37

sebagai kepala Departemen Agama provinsi Gharbiyah. Setelah itu ia dipercaya

menjadi Wakil Dakwah dan Pemikiran, serta menjadi utusan al-Azhar untuk

kedua kalinya ke Kerajaan Saudi Arabia, mengajar di Universitas King Abdul

Aziz.7

Berkat dukungannya terhadap Pemerintah Mesir pada November 1976 M, ia

pun sempat diangkat menjadi menteri wakaf dan urusan Al-Azhar. Pada

pemerintahan Anwar Sadat, yang dikenal meneruskan garis perjuangan Abdul

Nasser. Jabatan menteri hanya ia pegang selama tidak kurang dari dua tahun

hingga Oktober 1978.8 Kemudian al-Sya„rāwī ditunjuk sebagai anggota litbang

bahasa Arab oleh lembaga Mujamma’ al-Khaidin, perkumpulan yang menangani

perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun 1987 M. Tahun 1988 M, ia

memperoleh medali kenegaraan dari Presiden Husni Mubarak di acara peringatan

Hari Da„i dan mendapatkan Ja’izah al-Daulah al-Taqdiriyyah (penghormatan

kehormatan kenegaraan).9

Pada tahun 1990 M, al-Sya„rāwī mendapat gelar Profesor dari Universitas

al-Mansurah dalam Bidang Adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia memperoleh

gelar kehormatan sebagai al-Syahksiyyah al-Islāmiyah al-Ūlā di Dubai serta

mendapat penghargaan dalam bentuk uang dari Putera Mahkota al-Nahyan,

namun ia menyerahkan penghargaan ini kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu‟uts al-

Islāmiyah (pelajar yang berasal dari negara-negara Islam di seluruh dunia).10

7
Muhammad Siddīq al-Minsyāwī, al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt (t.t.:
t.p.,t. th.), h. 8
8
Muhammad Siddīq al-Minsyāwī, al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt, h. 8
9
Mahmud Rizq al-Amal, Tarikh al-Imam al-Sya‘rāwī, dalam majalah Manār al-Islam
(September, 2001), no. 6 vol. XXVII, h. 35
10
Taha Badri, Qaluan al-Sya‘rāwī ba’da Rahilihi (al-Qahirah: Maktabah Al-Turas al-
Islami, t.t), h. 5-6
38

Syekh Mutawalli al-Sya„rāwī adalah satu dari sekian ulama dunia yang

cukup berpengaruh pada abad ke-20, baik dalam bidang keagamaan, sosial,

maupun politik internasional, khususnya wilayah Timur Tengah,11 sehingga Gelar

Mujaddid Abad ke-20 tampaknya tidak terlalu berlebihan jika disandangkan untuk

sosok Syekh Mutawalli al-Sya„rāwī.

Ayahnya memberi gelar “Amin” dan gelar ini dikenal masyarakat di

daerahnya. Beliau adalah ayah dari tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan,

mereka adalah Sami, Abd al-Rahīm, Ahmad, Fāthimah dan Shālihah.12 al-

Sya„rāwī tutup usia pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, bertepatan dengan tanggal 22

Safar 1419 H, dalam usia 87 tahun.13 Tentunya menyimpan duka bagi masyarakat

Islam, baik masyarakat Mesir itu sendiri maupun dunia Islam atas kepergiannya. 14

B. Latar Belakang Pemikiran al-Sya‘rāwī

Sebuah pemikiran tidaklah tumbuh dan berkembang dari sebuah ruang

kosong, melainkan lahir dari pergumulan yang intens dengan realitas yang

melingkungi dan melatar belakanginya. Demikian itu, dapat diketahui dari latar

belakang yang mempengaruhi pemikiran tokoh sekaligus tujuan penulis atau

mufasir pada saat akan menulis kitab tafsir.

Dari uraian sebelumnya, menerangkan bahwa pemikirannya tidak hanya

terbentuk dari aktifitasnya sebagai seorang intelektual saja, namun juga situasi

politik yang terjadi di Mesir. Pergolakan politik di Mesir dalam memperoleh

kemerdekaan sampai masa kepemimpinan Anwar Sadat juga turut andil dalam
11
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzab ayat 72; Perspektif
penafsiran al-Sya‟rawi. h. 41
12
Husain Jauhar, Ma’a Dāiyah al-Islām Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwī Imām
al-‘Asr (Kairo: Maktabah Nahdah, tt), h. 14
13
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2006), h. 277
14
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya’rawi: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah (Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 40.
39

membentuk karakter pemikiran al-Sya„rāwī. Demikian itu perlu dijelaskan

mengenai latar belakang yang dapat mempengaruhi pemikiaran al-Sya„rāwī,

sehingga sampai tewujud karya besarnya dalam bidang tafsir.15

1. Pengaruh Sosial Politik

Menjelang abad 20, Mesir mengalami gejolak politik yang ditandai dengan

pergantian bentuk pemerintahan. Mulai dari bentuk pemerintahan monarki

absolut, kemudian bentuk pemerintahan monarki konstitusional, sampai akhirnya

terbentuk pemerintahan Republik, yaitu sejak terjadinya revolusi pada tahun 1952

yang dipimpin Gamal Abdu Nasser.16

Situasi politik yang disebabkan perubahan bentuk pemerintahan menjadi

Republik menjadi sebab munculnya ide-ide pembaharuan yang didasarkan kepada

formulasi modernisme Islam dan kemunculan Nasionalisme Mesir.17 Pada tanggal

22 Januari 1922, Mesir memproklamasikan diri sebagai negara merdeka,

kemudian diikuti dengan pemberlakuan sebuah konstitusi.

Kemudian umat muslim mendirikan organisasi Ikhwanul Muslimin (the

Muslim Brotherhood) pada tahun 1928 yang diprakarsai oleh seorang tokoh,

Hasan al-Banna. Ia mewariskan ide-ide reformasi-tradisional melalui

organisasinya untuk dua tujuan: Pertama, terbebas dari jajahan asing. Kedua,

menjadi Negara sebagai basis Islam.

Partai Wafd, menyebar luas kepenjuru Mesir, salah satunya Daqadus,

tempat kelahiran al-Sya„rāwī. Pengaruh ide-ide pembaharu dalam pergerakan dan

sikap nasionalisme memiliki peran yang signifikan bagi perkembangan pemikiran

15
Hikmatiar Pasya,”Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī”, Jurnal Studia Qur’anika Vol. I,
no. 2 (Januari, 2017), h. 145
16
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzab ayat 72; Perspektif
penafsiran al-Sya‟rawi. h. 50
17
Lihat: Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 146
40

al-Sya„rāwī, karena al-Sya„rāwī merupakan salah satu tokoh yang juga

mengagumi Hasan al-Banna karena idealismenya dan keikhlasannya dalam

berdakwah. Namun, ia keluar disebabkan telah jauh dari ide-ide pendirinya.

2. Pengaruh Intelektual

Abad ke 19, al-Azhar masih menggunakan sistem tradisional, dimana

hampir seluruh lembaga pendidikan di Mesir menggunakan sistem modern

sekuler. Demikian itu, sedikit banyak mempengaruhi pada sistem al-Azhar, yang

kemudian mulai muncul sistem ujian untuk mendapatkan ijazah al-„alamiyah

(kesarjanahan) al-Azhar pada tahun 1872 M. Disusul kemudian dengan

dibentuknya dewan administrasi di al-Azhar pada tahun 1896 M.18

Pada masa itu, al-Azhar menjadi pilihan pertama bagi masyarakat Mesir

untuk menimba ilmu. Alasan itulah yang menjadikan orang tua al-Sya„rāwī sangat

menginginkan anaknya untuk belajar di sana. Ia mengatakan pengalamannya di al-

Azhar pada tahun 1926 tak seperti al-Azhar sebelumnya, dimana menjadi basis

gerakan kebencian terhadap Inggris. Sehingga sempat dikenal berporos pada suatu

gerakan politik tertentu.19

Saat menjadi siswa, al-Sya„rāwī sangat gemar dengan sastra, khususnya

sya‟ir yang mewarnai corak keislaman. Sya„ir-sya„irnya memiliki keunggulan, di

antaranya penyusunan pada kalimatnya mudah dipahami dan memiliki keindahan,

terdengar tegas namun tetap lembut, terlebih banyak mengutip dari ayat-ayat al-

Qur‟an.

Hal tersebut menjadikannya bagian dari Fakultas Bahasa Arab di al-Azhar.

Fakultas ini tidak hanya mempelajari sastra Bahasa Arab, tetapi juga ilmu-ilmu
18
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya„rāwī: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah. h. 31-32
19
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
41

lainnya seperti Tafsīr, Hadīts, Fiqh, dan sebagainya. Sehingga membentuknya

menjadi seorang tokoh yang kaya akan hazanah keilmuan pada bidangnya,

khususnya kajian tafsir.20

C. Profil Tafsir al-Sya‘rāwī

1. Nama Tafsir al-Sya‘rāwī

Tafsīr al-Sya‘rāwī diberi nama sesuai pemiliknya yakni Muhammad

Mutawalli al-Sya„rāwī. Menurut Muḥammad „Ali al-Iyazy, judul yang terkenal

dari karya ini adalah Tafsīr Khawātir al-Sya‘rāwī Haula al-Qur’ān al-Karīm.

Pada mulanya tafsir ini hanya di beri nama Khawātir al-Sya’rāwī, dimaksudkan

sebagai sebuah perenungan (Khawātīr) dari diri al-Sya„rāwī terhadap ayat-ayat al-

Qur‟an.21

Muḥammad al-Sinrāwi, „Abd al-Wāris al-Dasuqī adalah murid sekaligus

kreator Tafsīr al-Sya‘rāwī. Hal ini dikarenakan Tafsīr al-Sya‘rāwī merupakan

kumpulan hasil pidato atau ceramah al-Sya„rāwī yang kemudian di edit ke dalam

bentuk tulisan buku. Adapun hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-

Sya‘rāwī di takhrīj oleh Ahmad „Umar Hasyim.

Kitab ini diterbitkan oleh Akhbār al-Yawm Idarah al-Kutub wa al-Maktabah

pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya„rāwī meninggal dunia). Dengan

demikian, Tafsir ini merupakan golongan tafsīr bi al-lisān atau tafsir sauti (hasil

pidato atau ceramah yang kemudian di bukukan).22

20
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
21
Riesti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur„an tentang Wanita Karir, h.
36
22
Muhammad Alī Iyāzi, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhājuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thabā`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268
42

2. Metodologi dan Corak Penafsiran

Tafsīr al-Sya‘rāwī jika dilihat dari segi sumber penafsiran, ia dapat

dikategorikan sebagai tafsir bi al-Ra‘yi,23 sebab pada proses menafsirkan makna

dan maksud syara„ yang terkandung dalam ayat bersangkutan didominasi oleh

ijtihad al-Sya„rāwī. Di samping ijtihadnya sendiri, sebagai sandarannya al-

Sya„rāwī juga mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadits Nabi SAW,

pendapat para sahabat dan tabi„in yang dianggap memiliki korelasi pada kajian

yang sedang dibahas guna memberikan pemahaman yang lebih baik, sehingga

mudah untuk dipahami. Pernafsiran dengan model seperti ini banyak sekali

ditemukan dalam tafsir al-Sya„rāwī. Di sisi lain, menurut hemat penulis, ini juga

sebagai bukti bahwa penafsiran al-Sya„rāwī tidak lepas dari penggunaan sumber

penafsiran āyah bi al-āyah, āyah bi al-riwāyah yang lebih kita kenal dengan

sumber penafsiran bi al-ma‘tsūr.24

Adapun jika dilihat dari metodenya, tafsir ini tampaknya agak sulit

dipetakan sebab pada mulanya tafsir ini bukanlah karya tafsir yang sengaja

disusun sebagai satu karya tafsir al-Qur„an dalam bentuk tulisan ilmiah melainkan

merupakan tafsīr bi al-lisān atau tafsīr sauti (hasil pidato atau ceramah yang

kemudian dibukukan). Namun, secara umum tafsir ini menggunakan metode

taḥlīli atau analisis. Dengan kata lain al-Sya„rāwī memaparkan kandungan dan

maksud ayat secara umum melalui analisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari

sudut pandang bahasa Arab, menerangkan unsur-unsur fashāhah, bayān dan

i‘jāznya khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan

23
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
24
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi” (Tesis S2 Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016), h. 36
43

balāgah, menerangkan sebab-sebab turunnya ayat (asbāb nuzūl), dan

menerangkan hubungan (munāsabah) antara satu ayat dengan ayat lainnya.25

Dari segi corak, yang menonjol dalam penafsirannya adalah corak Adābi

Ijtimā‘i. al-Sya„rāwī memberikan contoh-contoh yang aktual dan kekinian untuk

mendekatkan makna yang semula dianggap jauh menjadi lebih dekat dan

dipahami oleh pendengar maupun pembaca, sehingga benar-benar meresap ke

dalam hati sanubari.26 Selain itu, al-Sya„rāwī juga mengemukakan pemikirannya

tentang pendidikan, perhatiannya terhadap problematika masyarakat muslim juga

problematika pemerintahan.

Syekh Sya„rāwī dalam penafsirannya bisa dikatakan seorang reformer dan

pejuang, meskipun Ia tidak melalaikan pendapat ulama-ulama tafsir sebelumnya.

Dia juga berkomitmen menjelaskan akidah dan akhlak, mengaitkan penafsiran

dengan kehidupan masyarakat dan aktifitasnya.

3. Sistematika Penafsiran

Sistematika penafsiran Tafsīr al-Sya‘rāwī dimulai dengan muqaddimah,

menerangkan makna ta„awuz, dan tartīb nuzūl al-Qur‘ān. Sistematika penulisan

tafsirnya sebagai berikut:

1. I Pendahuluan, Q.S al-Fātiḥah sampai Q.S al-Baqarah: 154.

2. II Q.S al-Baqarah: 155 sampai Q.S Ᾱli„Imrān: 13.

3. III Q.S Ᾱli„Imrān: 14 sampai 189.

4. IV Q.S Ᾱli„Imrān: 190 sampai Q.S al-Nisā: 100.

5. V Q.S al-Nisā: 101 sampai Q.S al-Māidah 54.

25
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‘an (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013),
h. 173-174. Lihat juga Al-Ḥayy Al-Farmāwy, Metode Tafsir Mauḍu‘ī: Suatu Pengantar, Terj.
Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 45-46
26
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”. h. 43
44

6. VI Q.S al-Māidah: 55 sampai Q.S al-An„ām: 109.

7. VII Q.S al-An„ām: 110 sampai Q.S al-A„rāf: 188.

8. VIII Q.S al-A„rāf: 189 sampai Q.S al-Taubah: 44.

9. IX Q.S al-Taubah: 45 sampai Q.S Yūnus: 14.

10. X Q.S Yūnus: 15 sampai Q.S Hūd: 27.

11. XI Q.S Hūd: 28 sampai Q.S Yūsuf: 96.

12. XII Q.S Yūsuf: 97 sampai Q.S al-Ḥijr: 47.

13. XIII Q.S al-Ḥijr: 48 sampai Q.S al-Isrā: 4.

14. XIV Q.S al-Isrā: 5 sampai Q.S al-Kahfi: 98.

15. XV Q.S al-Kahfi: 99 sampai Q.S al-Anbiyā: 90.

16. XVI Q.S al-Anbiyā: 91 sampai Q.S al-Nūr: 35.

17. XVII Q.S al-Nūr: 36 sampai Q.S al-Qaṣaṣ: 29.

18. XVIII Q.S al-Qaṣaṣ: 30 sampai Q.S al-Rūm: 58.

19. XIX Q.S al-Rūm: 59 sampai Q.S al-Aḥzāb: 63.

Berdasarkan sitematika di atas, maka tafsir ini tidak memuat dari surah

Luqmān hingga surah al-Nās atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30

dalam al-Qur„an.27

Dalam menafsirkan setiap surat, beliau memulai dengan menjelaskan makna

surat, hikmah, dan hubungan surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya.

Kemudian menjelaskan maksud ayat dengan menghubungkan ayat lain sehingga

disebut menafsirkan ayat al-Qur„an dengan al-Qur„an.28

27
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”... h. 54
28
Riesti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur„an tentang Wanita Karir, h.
37
45

Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Quran

merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang

disebutkan secara ringkas di suatu tempat diuraikan di tempat lain. Ketentuan

yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam

suatu ayat di-takhsīs oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu

pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).29

4. Sumber Penafsiran

Sumber-sumber penafsiran al-Sya„rāwī diantaranya: seperti Tafsīr al-Manār

karya Muḥammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsīr Fī Zilāl al-Qur’ān yang

dikarang oleh Sayyid Quṭub, Tafsīr al-Ṭabārī karya Ibn Jarīr al-Ṭabārī, Mafātih

al-Ghaīb karya Fakhruddīn al-Rāzī, al-Kasyāf karya al-Zamakhsyārī, al-Anwār

al-Tanẓīl wa asrār al-Ta’wīl karya al-Baidhāwī, dan Dur al-Mansūr fī Tafsīr bi

al-Ma‘tsūr karya Jalāluddīn al-Suyūṭi.30

5. Kelebihan dan Kekurangan

Dalam dunia tafsir, pola penyajian adalah kerangka dan tata kerja yang

dipakai dalam proses penafsiran al-Qur‟an. Secara historis, setiap penfsiran telah

menggunakan suatu pola atau lebih. Pilihan pola tergantung pada kecenderungan

dan sudut pandang penafsir serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain

yang melingkupinya. Banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh tafsīr al-

Sya‘rāwī yang diantaranya adalah: Sya„rāwī menyajikan karya tafsirnya dengan

nuansa yang bersentuhan langsung dengan tema-tema kemasyarakatan, melalui

teknik bahasa yang cukup sederhana. Hal ini sebagai upaya meletakan al-Qur‟an

pada posisi sebagai pedoman dalam realitas kehidupan sosial. Serta dalam tafsir
29
Mahmud Basuni Faudah, Tafsīr-tafsīr al-Qur‘ān Perkenalan dengan Metodologi Tafsīr,
terj. M. Muhtar Zoeni dan Abdul Qadir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), h. 24-25
30
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”, h. 54
46

al-Sya„rāwī kandungan di dalamnya dapat menjawab persoalan masyarakat yang

selalu selalu berkembang karena menggunakan corak al-Adab al-Ijtima‟i. Namun

juga ada kekurangan dalam tafsir ini al-Sya„rāwī tidak banyak memberikan

perhatian kepada pembahasan kosakata atau tata bahasa, kecuali dalam batas-

batas untuk mengantarkan kepada pemahaman kandungan petunjuk petunjuk al-

Qur‟an. Serta tidak adanya sebuah referensi ketika terdapat penyebutan sebuah

pendapat ulama lain. Dan tidak adanya perhatian terhadap sanad hadis.31

31
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”, h. 55
BAB IV

PANDANGAN AL-SYA’RᾹWĪ MENGENAI KETERJAGAAN

AL-QUR‘AN

Pembahasan utama bab ini berisi uraian tentang bagaimana keterjagaan al-

Qur‟an dalam pandangan al-Sya„rāwī. Akan tetapi, penting untuk penulis

sampaikan bahwa setelah melalui penelitian pada bahan-bahan yang digunakan,

penulis menganggap bahwa penafsiran al-Sya„rāwī pada Q.S al-Ḥijr/ 15:9

dianggap belum memenuhi kebutuhan jika penulis kaitkan dengan pokok

permasalahan penelitian ini.

Maka dari itu, pada uraian bab ini penulis mencoba melakukan penelitian

dengan menggunakan pola berikut. Pertama, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 pada tafsīr al-

Sya„rāwī ini diposisikan sebagai argumen utama keterjagaan al-Qur‟an. Hal ini

dimaksudkan untuk melihat bagaimana keterjagaan al-Quran itu dijelaskan al-

Sya„rāwī dalam satu ayat tersebut. Kedua, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 diposisikan sebagai

argumen pelengkap.

A. Surah al-Hijr/ 15:9 sebagai Argumen Utama Keterjagaan al-Qur‘an

Bagan 4.1 : Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Sebagai Argumen Utama

Q.S al-Hijr/ 15:9

Ilustrasi logis Argumen ayat tentang Argumen historis /


tentang al-Qur‘an al-Qur‘an sosiologis

Didahului oleh Q.S al-Māidah/5:44 Fenomena


kitab-kitab suci
sebelumnya
Masa Masa
Q.S al-Baqarah/ 2:146
Lampau kini
Zikr – Qur‘an = Q.S al-Baqarah/
Kitab 2:79 Q.S al-Fath/ 29

47
48

Melalui bagan di atas, penulis inginmenunjukkan model yang digunakan al-

Sya„rāwī dalam menafsirkan Q.S al-Hijr/ 15:9. Pertama, al-Sya„rāwī

menggunakan ilustrasi logis atau dalīl „aqli tentang al-Qur„an. Kedua, ia

menggunakan argumen ayat atau dalīl naqli tentang bagaimana proses keterjagaan

al-Qur„an. Ketiga, al-Sya„rāwī menyuguhkan argumen historis dan sosiologis

melalui berbagai fenomena penjagaan al-Qur„an pada masa lampau ataupun pada

masa dimana ia hidup (masa kini).

1. Ilustrasi logis (dalīl ‘aqli) tentang al-Qur‘an dalam Tafsir al-Sya‘rāwī

 ‫الذ ْكَر َوإِنَّا لَوُ ََلَافِظُو َن‬


ِّ ‫إِنَّا ََْنن نََّزلْنَا‬
ُ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur„an, dan pasti Kami


(pula) yang memeliharanya”.1

Dalam menafsirkan ayat di atas sebagai argumen utama keterjagaan al-

Qur„an, melalui sebuah ilustrasi logis al-Sya„rāwī terlebih dahulu memberikan

gambaran bagaimana kedudukan al-Qur„an jika dibandingkan dengan kitab suci

sebelumnya. Penulis mengutip penafsiran al-Sya„rāwī sebagai berikut;

‫أي كتاب منها‬


َّ ‫ وكان كل كتاب منها حيمل منهج اهلل؛ إال أن‬،‫”والقرآن قد جاء بعد ُكتب متعددة‬

، َ‫صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّم‬


َ ‫أي رسول سبق سيدنا رسول اهلل‬ ِّ ‫مل يَ ُك ْن معجزة؛ بل كانت امل ْعجزة تنزل مع‬
ُ
. 2“‫وعادة ما تكون املعجزة من صنف ما نبغ فيو القوم الذين نزل فيهم‬
Menurut al-Sya„rāwī, al-Qur„an turun setelah Kitab-kitab terdahulu yang

membawa kaidah-kaidah atau aturan-aturan Allah. Akan tetapi tidak semua kitab

1
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
2
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2 (Kairo: Akhbār al-Yaūm
Idārah al-Kutub wa al-Maktabāt, 1991), h. 7652.
49

itu bernilai mu„jizat kecuali yang diturunkan Allah beserta para Rasul sebelum

Nabi Muhammad SAW. Biasanya, mu„jizat itu tersusun dan lahir sesuai kategori

masyarakat yang kitab itu turun ditengah-tengah mereka.

Ketika disebutkan kata al-Żikr, maknanya menunjukan al-Qur„an. Ia adalah

al-Kitab yang membawa aturan Allah, dan Allah telah menghendaki untuk

menjaganya, karena al-Qur„an adalah sebuah mu„jizat yang menjadi bukti

kebenaran diutusnya Rasulullah SAW. 3

2. Argumen ayat (dalīl naqli) tentang al-Qur‘an dalam Tafsir al-Sya‘rāwī

Dalam menjelaskan bagaimana al-Qur„an itu terjaga, al-Sya„rāwī mengutip

satu ayat Q.S al-Maidah/ 5:44 sebagai berikut;

‫َحبَ ُار ِِبَا‬ ِ ِ َِّ ِ َّ ِ ِ ِ ِ


ْ ‫ادوا َوا َّلربَّانيُّو َن َو ْاْل‬
ُ ‫ين َى‬
َ ‫َسلَ ُموا للذ‬ َ ‫ور َْحي ُك ُم ِبَا النَّبيُّو َن الذ‬
ْ ‫ين أ‬ ٌ ُ‫إنَّا أَنْ َزلْنَا الت َّْوَراةَ ف َيها ُى ًدى َون‬
ِ َ‫استُ ْح ِفظُوا ِمن كِت‬
... ‫اب اللَّ ِو‬ ْ
ْ
Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya, yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada
Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para
ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan
memelihara kitab-kitab Allah ...4

Pertanyaannya kemudian adalah apa kaitannya ayat tersebut dengan

keterjagaan al-Qur„an?.

ِ ِ
ْ‫َسلَ ُموا‬
ْ ‫ور َْحي ُك ُم ِبَا النبيون الذين أ‬ َ ‫ {إِنَّآ أ‬:‫”وجند اَلق سبحانو وتعاىل يقول‬
ٌ ُ‫َنزلْنَا التوراة ف َيها ُى ًدى َون‬
ِ َ‫ادواْ والربانيون واْلحبار ِِبَا استحفظوا ِمن كِت‬
‫ أن اَلق‬:‫] أي‬44 :‫ } [املائدة‬... ‫اب اهلل‬ ِ َِّ
ُ ‫ين َى‬
َ ‫للذ‬

3
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7652.
4
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 152
50

‫سبحانو وتعاىل قد كلّفهم وطلب منهم أ ْن حيفظوا كتبهم اليت حتمل منهجو؛ وىذا التكليف عُ ْرضة‬

‫حرفوا‬
ّ ‫صوا أمر اَلق سبحانو وتكليفو باَلفظ؛ ذلك أهنم‬
َ ‫ وعُ ْرضة أ ْن يُعصى؛ وىم قد َع‬،‫أ ْن يطاع‬
5
“.‫وبدلوا وحذفوا من تلك الكتب الكثري‬
Menurut hemat penulis, al-Sya„rāwī berpendapat bahwa proses penjagaan

Allah terhadap al-Qur„an terlebih dahulu melihat fenomena yang terjadi pada

masa penjagaan kitab-kitab sebelum al-Qur„an. Melalui ayat di atas, al-Sya„rāwī

menjelaskan perbedaan ketika Allah menugaskan dan meminta kepada kaum-

kaum terdahulu untuk menjaga kitab-kitab mereka yang berisi ketentuan-

ketentuan Allah, namun sesekali mereka patuh, dan di lain kesempatan mereka

mengingkarinya dengan cara merubah, menggantikan, bahkan mereka

menghapusnya.

Untuk menegaskan argumen tersebut, kemudian al-Sya„rāwī

mengemukakan sebuah fakta yang terjadi melalui potongan ayat lain Q.S al-

Baqarah/ 2:146 sebagai berikut;

ْ ‫َوإِ َّن فَ ِري ًقا ِمْن ُه ْم لَيَكْتُ ُمو َن‬


 ‫اَلَ َّق َوُى ْم يَ ْعلَ ُمو َن‬

dan sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran,


padahal mereka mengetahui(nya).6

Menurut al-Sya„rāwī, mereka berkata bahwa apa yang mereka katakan

(setelah mereka merubah, mengganti bahkan menghapus) “ini lah menurut Allah.”

Sehingga kemudian Allah berkata kepada mereka dalam Q.S al-Baqarah/ 2:79;

5
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7652.
6
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 28
51

‫اب بِأَيْ ِدي ِه ْم ُُثَّ يَ ُقولُو َن َى َذا ِم ْن ِعْن ِد اللَّ ِو لِيَ ْشتَ ُروا بِِو ََثَنًا قَلِ ًيًل فَ َويْ ٌل ََلُ ْم ِِمَّا‬ ِ
َ َ‫ين يَكْتُبُو َن الْكت‬
ِ َِّ
َ ‫فَ َويْ ٌل للذ‬

ِ ‫َكتَبت أَي ِدي ِهم وويل ََلم ِِمَّا يك‬


 ‫ْسبُو َن‬ َ ُْ ٌ ْ َ َ ْ ْ ْ َ

Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka


(sendiri), kemudian berkata; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk
menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan
tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.7

Hal ini tentunya menunjukan bahwa mereka telah berbuat dosa dengan

berbohong dan tidak menjaga amanah Allah. Mereka tidak menjaga kitab-kitab

yang dititipkan kepada mereka sebagaimana penjagaan yang telah dilakukan para

nabi dan rasul-rasul sebelum Muhammad SAW.

Oleh karena itu, menjaga al-Qur„an tidak Allah jadikan tugas untuk

manusia, karena terkadang mereka ta„ati dan terkadang pula mereka ingkari.

Demikian pula ini sebagai tanda bahwa al-Qur„an dibedakan dari kitab-kitab

sebelumnya dalam hal membawa aturan-aturan Allah, serta karena al-Qur„an

adalah mu„jizat yang menjadi bukti kebenaran diutusnya Rasulullah Muhammad

SAW.8

3. Argumen Historis dan Sosiologis tentang Penjagaan al-Qur‘an

Sebelum penjelasan bagaimana proses penjagaan al-Qur„an pada masa

modern, al-Sya„rāwī menjelaskan bagaimana para sahabat ikut serta dalam

mencatat wahyu itu ketika ia turun. Para sahabat telah melakukan penulisan al-

Qur„an secara langsung ketika ia turun kepada nabi Muhammad SAW.

7
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 15
8
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7653
52

Dewasa ini kita temukan orang yang tidak meyakini al-Qur„an, akan tetapi

mereka berkreasi dalam menjaganya. Ada pula orang yang menuliskan mushaf

dalam satu lembar, orang yang mencetak mushaf dengan cara dokumentasi

modern.

Hal yang sama ditemukan, di Jerman ada sebuah perpustakaan yang

menyimpan tentang segala hal yang terkait dengan ayat-ayat al-Qur„an dalam

ruang khusus dan dibatasi. Selain itu, di negara-negara Muslim bisa kita saksikan

sekelompok orang yang memutuskan untuk menghafal al-Qur‟an sejak usia dini

dan menuntaskannya padahal umur mereka masih cukup muda. Namun demikian,

mereka tak mengetahui apa makna dari apa yang mereka baca.9

B. Surah al-Hijr/ 15:9 sebagai Argumen Pelengkap Keterjagaan al-Qur‘an

Untuk menjelaskan struktur ayat Q.S al-Ḥijr/ 15:9 secara jelas, penulis

beranggapan bahwa pola yang digunakan al-Sya„rāwī adalah menjadikan Q.S al-

Ḥijr/ 15:9 sebagai penguat dan penjelasan atas ayat-ayat yang lain. Tidak kurang

dari dua puluh lima ayat yang dikuatkan argumennya dengan menggunakan Q.S

al-Ḥijr/ 15:9. Pada bagian ini penulis menyimpulkan empat pembahasan utama

yaitu;

1. Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen al-Sya„rāwī tentang penjelasan Ḍamīr


Innā
2. Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen al-Sya„rāwī tentang penjelasan Diksi
Nazzalnā
3. Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen al-Sya„rāwī tentang penjelasan Diksi al-
Ẓikr
4. Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen al-Sya„rāwī tentang penjelasan Diksi
Laḥāfiżūn.

9
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7654.
53

1]. Argumen al-Sya‘rāwī tentang Penjelasan Ḍamīr Innā

Dalam pencarian penulis, ditemukan sebanyak tujuh ayat yang dalam

penafsirannya al-Sya„rāwī menggunakan Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai rujukan.

Diantaranya adalah; QS. al-Baqarah/2: 119 dan QS. al-Nisā 163. Sejauh ini relasi

yang penulis temukan hanya sebagai penguat dan pembanding atas diksi terkait

pada ayat tersebut. Dengan kata lain, penjelasan kata Innā beserta penggunaannya

terdapat pada tafsiran tujuh ayat tersebut.

Penjelasan mengenai penggunaan ḍamīr dalam uslūb Qur„ani, Menurut al-

Sya„rāwī, Allah menunjuk diriNya pada teks al-Qur„an dengan tiga pola.10

Pertama, Dia hadir dengan ḍamīr mutakallim yang bermakna Nahnu (bentuk

jamak atau dalam istilah ilmu nahwu dikenal sebagai mutakallim ma„a al-ghaīr)

yaitu Innā. Hanya saja dalam pandangan al-Sya„rawi mutakallim ma„a al-ghaīr di

sini tidak bisa dimaknai jamak ataupun “Allah dengan yang lainnya”, melainkan

ia lebih menegaskan bahwa itu untuk menunjukkan keagungan Allah. Maka ia

menyebut Nūn disana sebagai Nūn Udzmah. Hal ini dibuktikan dengan tafsirnya

al-Sya„rāwī sebagai berikut;

‫ أو‬.‫ «َنن» للجماعة‬:‫”انك إذا رأيت «نون العظمة» اليت نسميها «نون اجلمع» جند أننا نقول‬

:‫ أمل يقولوا يف امللكية‬،‫ ولذلك نًلحظها حىت يف قانون البشر‬،‫للمتكلم الواحد حني يعظم نفسو‬

‫ العظمة‬، »‫ إمنا ىو «نون العظمة‬.‫ وىذه النون بالنسبة هلل ليست نون اجلماعة‬، »‫«َنن امللك‬

“‫اجلامعة لكل صفات الكمال اليت يتطلبها أي فعل من اْلفعال‬


al-Sya„rāwī memaparkan sejumlah pendapat mengenai letak Nūn „Uẓmah.

Di antaranya, ia berkaitan dengan kata kerja atau perbuatan tuhan yang

10
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I, h. 559.
54

mengandung sifat-sifat kesempurnaanNya,11 seperti hal nya “mengutus

Muhammad” pada QS. al-Baqarah/2: 119, “mewahyukan al-Qur„an” pada QS

Annisā/ :163 dan perbuatan tuhan tidak berdiri dengan sendirinya karena tuhan

mempunyai sifat kesempurnaan.

Kedua, Allah hadir dengan ḍamīr mutakallim yang bermakna Anā (bentuk

mufrad atau dalam istilah ilmu nahwu dikenal sebagai mutakallim waḥdah) yaitu

Innī atau Innanī.

‫ مثل قولو‬. .‫ولكن حني يتكلم اهلل عن ألوىيتو وحده وعن عبادتو وحده يستخدم ضمري املفرد‬

]44 :‫ {إنين أَنَا اهلل ال إلو إال أَنَاْ فاعبدين َوأَقِ ِم الصًلة لذكري} [طو‬:‫سبحانو‬
al-Sya„rāwī menegaskan bahwa bentuk mufrad ini hadir ketika Allah

menunjukkan ke-Esa-an Dzat-Nya12 seperti pada QS. Thāhā/ 20:14 “Innanī anā

Allāhu”, QS. al-Māidah/ :115 “Qāla Allāhu Innī munazziluhā”. Ditemukan pula

penjelasan mengenai kehadiran ḍamīr mutakallim berbentuk mufrad ini pada

setiap perintah untuk menyembah-Nya13 seperti pada potongan ayat QS. Ṭāhā/

20:14 “Fa„budnī”.

Ketiga, sesekali Allah menunjuk diriNya dengan ḍamīr yang dikenal

sebagai ḍamīr al-ghāibah yaitu huwa. Pendapat al-Sya„rāwī, ḍamīr yang kita

sebut sebagai ḍamīr al-ghāibah ini menunjukkan kesempurnaan Allah dan tidak

akan pernah ditemukan marji „alaīh nya kecuali Allah, seperti hal nya pada QS.

al-Ikhlāṣ/ 112:1 “Qul huwa Allāhu aḥad”14

11
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I, h. 559.
12
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 2815.
13
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 559.
14
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 6, h. 3676.
55

2. Argumen al-Sya‘rāwī tentang penjelasan kata Nazzalnā (Pola Turunnya

al-Qur‘an)

Dalam menjelaskan pola turunnya al-Qur„an, penulis menemukan QS. al-

Hijr/ 15:9 yang dijadikan oleh al-Sya„rāwī sebagai argumen penjelas pada satu

ayat saja yaitu QS. al-Isrā/ :105.

Posisi al-Hijr/ 15:9 pada ayat ini untuk menegaskan bahwa pola penurunan

al-Qur‟an itu adalah sesuatu yang dianggap oleh al-Sya„rāwī hak. Bukti bahwa ia

hak (benar) adalah bahwa ia tetap terjaga;

‫ كلها َح ٌّق ثابت‬،‫ونبوات ومعجزات وأحكام وشرائع‬


ّ ‫ إَليات ومًلئكة‬:‫”نزل القرآن ِبا ىو َح ٌّق من‬
‫ فنزل اَلق الثابت من اهلل بواسطة َم ِن اصطفاه من املًلئكة وىو جربيل على َم ِن‬،‫ك فيو‬
َّ ‫ال َش‬
15
.“‫ ويف طي ما نزل اَلق الثابت الذي ال يتغري‬،‫اصطفاه من الناس وىو حممد‬
Dia menggambarkan bahwa al-Qur„an yang ada sekarang itu sama persis

dengan al-Qur„an yang ada di Lauḥ al-Mahfūẓ, sedangkan al-Qur„an yang ada di

Lauḥ al-Mahfūẓ turun secara sekaligus. Padahal kita ketahui bahwa al-Qur„an

yang ada dihadapan kita hari ini, itu adalah al-Qur„an yang turun secara

berangsur-angsur.

Selain itu, al-Sya„rāwī juga berpendapat bahwa al-Qur‟an adalah sesuatu

yang ḥaq, karena dia berasal dari al-Ḥaq. Karena itu, ia diturunkan pula dengan

cara-cara yang ḥaq dan hanya melalui utusan yang ḥaq (Jibril.a.s kepada Nabi

Muhammad). Sedangkan utusan yang ḥaq tidak akan pernah menyembunyikan

apa yang telah diwahyukan padanya. Hal itu, al-Sya„rāwī buktikan dengan QS. al-

Hijr/ 15:9.

15
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 14, h. 8793
56

3. Argumen al-Sya‘rāwī tentang Penjelasan Lafadz al-Żikr

Bagian ketiga dari penelitian ini adalah QS. al-Hijr/ 15:9 sebagai rujukan

atau argumen yang dibangun al-Sya„rāwī dalam menjelaskan kata al-ẓikr pada

ayat lain. Penulis menemukan sebanyak enam ayat, namun yang berkaitan

langsung dengan al-Qur„an hanya ada pada surah berikut:

Tabel 4. 4 Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Sebagai Penjelas Lafadz al-Żikr

No Ayat Konteks Ayat Diksi Terkait Relasi

ِّ ‫ك‬
‫الذ ْكَر‬ َ ‫َوأَنْ َزلْنَا إِلَْي‬
Allah menurunkan Penjelasan
1 al-Naḥl/ :44
al-Qur‟an kata al-Żikr

Allah memberikan ‫اك ِم ْن لَ ُدنَّا‬ َ َ‫َوقَ ْد آتَْي ن‬ Penjelasan


2 Thāhā/ 20:99 al-Qur‟an kepada
Nabi ‫ِذ ْكًرا‬ kata al-Żikr

Dari keenam ayat yang penulis temukan pada tafsīr al-Sya„rāwī, penulis

menyimpulkan beberapa makna kata al-Żikr sebagai berikut;

Pertama, kata al-Żikr dimaknai dengan al-Qur‟an. al-Sya„rāwī

mencontohkan hal ini seperti pada QS. Ali Imran/ 3:58 dan QS. al-Hijr/ 15:9

 ‫اَلَ ِكي ِم‬ ِ


ِّ ‫ات و‬
ْ ‫الذ ْك ِر‬ ِ َ ‫ك نَْت لُوه علَي‬ِ
َ َ‫ك م َن ْاْلي‬ ْ َ ُ َ ‫ذَل‬

Demikianlah (kisah 'Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari


bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al Quran yang penuh
hikmah. 16

 ‫الذ ْكَر َوإِنَّا لَوُ ََلَافِظُو َن‬


ِّ ‫إِنَّا ََْنن نََّزلْنَا‬
ُ

16
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 72
57

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur„an, dan Sesungguhnya


Kami benar-benar memeliharanya.17

Kedua, al-Żikr dimaknai dengan ingatan dan kemuliaan.18 Hal ini

diibaratkan al-Sya„rāwī dengan sesuatu yang terngiang dan terus ada dalam

ingatan banyak orang, yang mana ingatan itu disebabkan oleh al-Qur‟an itu

sendiri. al-Sya„rāwī mencontohkan QS. al-Zukhruf/ 43:44

ِ َ‫وإِنَّو لَ ِذ ْكر ل‬
 ‫ف تُ ْسأَلُو َن‬ َ ‫ك َول َق ْوِم‬
َ ‫ك َو َس ْو‬ َ ٌ ُ َ

Dan Sesungguhnya al-Qur„an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar


bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungan
jawab.19

Bahwasanya al-Qur‟an adalah kemuliaan yang besar bagi nabi Muhammad

SAW dan bagi ummatnya, maka dari itu Allah menjadikan al-Qur‟an sebagai

sesuatu yang akan terus ada dalam ingatan banyak orang sampai hari kiamat.

Kemudian kemuliaan yang disebabkan oleh al-Qur‟an dicontohkan dengan al-

Qur‟an yang berbahasa Arab, sehingga Arab mendapatkan kemuliaan dari al-

Qur‟an karena al-Qur‟an berbahasa arab, meskipun kata Rasul tidak ada

kemuliaan atau nilai lebih bagi orang arab diatas yang lainnya kecuali dilihat dari

ketaqwaannya.20

Ketiga, al-Żikr dimaksudkan dengan segala sesuatu yang diturunkan Allah

kepada para rasul, seperti pada QS. al-Anbiya/21: 2 dan 48.

17
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
18
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 7, h. 4196.
19
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 706
20
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 7, h. 4196.
58

ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫َما يَأْتي ِه ْم م ْن ذ ْك ٍر م ْن َرِِّب ْم ُْحم َدث إَِّال‬
 ‫استَ َمعُوهُ َوُى ْم يَْل َعبُو َن‬

Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur„an pun yang baru (di-
turunkan) dari tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main.21

 ‫ني‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫وسى َوَى ُارو َن الْ ُف ْرقَا َن َوضيَاءً َوذ ْكًرا ل ْل ُمتَّق‬
َ ‫َولََق ْد آتَْي نَا ُم‬

Dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun kitab
Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.22

Melalui dua ayat di atas, al-Sya„rāwī sekali lagi menegaskan bahwa setiap yang

diturunkan kepada para rasul itu adalah al-Żikr.

Terakhir, al-Żikr dimaknai dengan i„tibār atau pelajaran.23 Hal ini

dicontohkan al-Sya„rāwī dengan QS. al-Furqān/25 :18

‫ك ِم ْن أ َْولِيَاءَ َولَ ِك ْن َمت َّْعتَ ُه ْم َوآبَاءَ ُى ْم َح َّىت نَ ُسوا‬


َ ِ‫َّخ َذ ِم ْن ُدون‬
ِ ‫ك ما َكا َن ي ْنبغِي لَنَا أَ ْن نَت‬
ََ َ َ َ‫قَالُوا ُسْب َحان‬

 ‫ورا‬ ِّ
ً ُ‫الذ ْكَر َوَكانُوا قَ ْوًما ب‬

Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut
bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi
Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup,
sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang
binasa.24

21
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 448
22
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 454
23
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 12, h. 7321.
24
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 504
59

4. Argumen al-Sya‘rāwī tentang Penjelasan Kata Laḥāfiẓūn (Keterjagaan al-

Qur‘an)

Pada sub bab ini penulis akan memaparkan bagaimana al-Sya„rāwī

menjelaskan keterjagaan al-Qur‟an. sub bab ini penulis anggap penting karena al-

Sya„rāwī mencantumkan al-Hijr/ 15:9 untuk menguatkan sejumlah ayat. Ada 12

ayat yang penulis temukan, hanya saja yg berkaitan langsung dengan gambaran

proses penjagaan al-Qur„an hanya ada pada surah berikut;

Tabel 4. 5 Q.S al-Ḥijr/ 15:9 Penjelas Keterjagaan al-Qur„an

No Ayat Konteks Ayat Diksi Terkait Relasi


Penjelasan kata al-
Kitāb (perbedaan
Al-Qur‟an sebagai
‫اب‬ ِ َ ِ‫َذل‬
ُ َ‫ك الْكت‬
Al-Baqarah/
1 penjagaan al-Kitāb
2:2 petunjuk
dengan kitab-kitab
selainnya)

Al-Māidah/
Perintah ‫استُ ْح ِفظُوا ِم ْن‬ ِ
ْ ‫ِبَا‬ Penjelasan kata
2 memelihara kitab-
:44
kitab Allah ‫اب اللَّ ِو‬
ِ َ‫كِت‬ Ustuhfiẓū

Allah menurunkan
‫اب‬ ِ َ ‫أَنْزلْنَا إِلَي‬
al-Qur‟an dengan َ َ‫ك الْكت‬ ْ َ
‫ص ِّدقًا لِ َما‬ ْ ِ‫ب‬
Penjelasan atas ayat
Al-Māidah/
membawa
َ ‫اَلَ ِّق ُم‬ penjelas Q.S al-
3 kebenaran dan
:48
membenarkan ‫ني يَ َديِْو ِم َن‬
َ ْ َ‫ب‬
Māidah/ :44
(Ustuhfiẓū)
kitab-kitab yang ِ َ‫الْ ِكت‬
‫اب‬
sebelumnya

Pada Q.S al-Baqarah/ 2:2, al-Sya„rāwī menggunakan Q.S al-Hijr/ 15:9

sebagai argumen pada penjelasan kata al-Kitāb. Ia menerangkan perbedaan

Qur‟an dengan Kitab. Qur‟an maknanya adalah bacaan, sedangkan Kitab

maknanya adalah sesuatu yang tidak hanya terjaga dalam hati melainkan tertulis

dan terjaga hingga hari kiamat.25 Adapun pada ayat ke dua Q.S al-Baqarah Allah

25
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 111.
60

menggunakan kata al-Kitab, sebagai pembeda atas kitab-kitab yang ada di dunia

yang diturunkan sebelum al-Kitab. Menurutnya, ini merupakan taukīd dari Allah

dalam membedakan keagungan al-Qur‟an. Maka atas dasar penjelasan tersebut,

al-Sya„rāwī memandang bahwa al-Qur‟an adalah al-Kitab karena tidak akan

pernah sampai kepadanya perubahan atau penggantian atas tangan siapapun,

sebagai bukti kebenaran janji Allah sebagaimana Q.S al-Hijr/ 15:9. Hal ini

berbeda dengan penjagaan kitab-kitab sebelum al-Qur‟an yang Allah tugaskan

kepada manusia. Sesekali mereka lupakan, jika tidak mereka lupakan mereka

ganti, ataupun bahkan mereka mengklaim bahwa itu ucapan manusia.26

Penjelasan serupa ditemukan pada Q.S al-Māidah/ 5:44 pada kata ustuḥfiẓū.

Di sini al-Sya„rāwī menjelaskan perbedaan pola penjagaan al-Qur‟an dengan

kitab-kitab sebelumnya. Menurutnya, Allah pernah menjadikan penjagaan taurat

sebagai tugas kepada manusia namun hal itu menjadi tidak sempurna ketika

mereka melupakan, menyembunyikan, bahkan merubahnya dan mengatakan hal

itu bagian dari perkataan mereka sendiri.27 Maka dari itu, dalam pola penjagaan

al-Qur‟an Allah tidak lagi menjadikannya tugas kepada manusia melainkan Allah

sendiri yang berkomitmen untuk menjaganya.

Selain itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa setiap rasul atau utusan datang

dengan membawa mu„jizat sebagai bukti kebenaran diutusnya oleh Allah. Akan

tetapi mu„jizat rasul-rasul sebelum Muhammad merupakan mu„jizat yang terpisah

dari manhaj, lain halnya dengan rasul Muhammad S.A.W. Dikisahkan mu„jizat

Musa a.s berupa tongkat dan mampu membelah lautan, namun manhajnya adalah

kitab taurāt. Begitu pun Isa a.s berupa kemampuan menyembuhkan orang sakit

26
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 111.
27
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 3159.
61

dan buta, akan tetapi manhajnya adalah injīl. Berbeda dengan Nabi Muhammad

SAW yang mana mu„jizatnya merupakan manhajnya itu sendiri (al-Qur‟an).28

Kemudian pada Q.S al-Baqarah/ 2:29 pada penjelasan kata istawā, al-

Sya„rāwī menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan Dzat Allah

tidak bisa dipersepsikan dengan segala sesuatu yang ada pada selainNya.29 Ia

hanya ingin menjelaskan bahwa apa yang Allah lakukan berbeda dengan apa yang

makhlukNya lakukan. Kemudian pertanyaannya kemudian adalah apa kaitannya

dengan Q.S al-Hijr/ 15:9. Kaitannya adalah bahwa sekalipun manusia menjaga al-

Qur‟an, pola penjagaan Allah tentu berbeda dengan pola penjagaan manusia,

karena sifat penjagaan Allah sudah ada sebelum yang akan dijaganya itu ada. Hal

ini dicontohkan al-Sya„rāwī dengan sifat Allah pemberi rezeki yang sudah ada

jauh sebelum orang yang akan diberi rezeki itu ada.30 Dari penjelasan tersebut, al-

Sya„rāwī menegaskan bahwa argumen al-Ḥijr/ 15:9 adalah bagian dari keagungan

Allah menjaga kalamNya yang akan menjadi hujjah terhadap manusia.

Penjelasan serupa ditemukan pada penjelasan tentang janji Allah

memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. al-Sya„rāwī berpendapat bahwa

apapun yang telah menjadi ketentuan Allah di dalam al-Qur‟an adalah mu„jizat

yang terjaga dan Allah berkomitmen untuk menjaganya begitu pun dengan al-

Qur‟an. Maka, yang menjaga al-Qur‟an ialah Ia yang mengatakan Innā naḥnu

nazzalnā al-żikra wa innā lahū laḥāfiẓūn.31 Menurutnya, Allah tidak akan berjanji

menjaganya kecuali hal itu menjadi argumen atas kebenaran dari ucapanNya. Hal

28
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 3159.
29
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 233.
30
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 233.
31
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 2, h. 1198.
62

ini juga ditegaskan al-Sya„rāwī pada penjelasan surah Luqmān/ 31:20 dan surah

al-Sajdah/ 32:26.

Penulis merangkum beberapa kata kunci penafsiran al-Sya„rāwī terkait

dengan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses penjagaan al-Qur„an.

Diantaranya; “fakullu syaiin yakūnu natījatu fi„lin min af„ālillāh”. Menurut hemat

penulis, hal ini dianggap cukup membuktikan bahwa apa yang diyakini al-

Sya„rāwī terkait dengan penjagaan al-Qur„an adalah hak preogratif Allah,

meskipun manusia secara lahiriyahnya ikut terlibat dalam hal tersebut, itu semata-

mata kehendak Allah.

Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan penafsiran mufasir lainnya seperti

Muḥammad Rashīd bin „Ali Riḍā (w 1354 H), Ahmad bin Mustafa al-Marāghī (w.

1371), keduanya menunjukkan sejumlah bukti bahwa keterjagaan al-Qur‟an

melibatkan banyak pihak. Misalnya, para penghafal al-Qur„an yang jumlahnya

ribuan di setiap masa, sejumlah tulisan sejak zaman sahabat hingga sekarang,

bagaimana pula kaum Muslim memperlakukan al-Qur‟an sejak masa percetakan

dimulai, dengan penuh ketelitian dan koreksi tashih. Hal itu belum pernah ada

pada kitab suci yang lainnya maupun pada buku apa pun.32 Bahkan al-Marāghī

menilai mereka yang mengajak orang lain untuk membaca al-Qur‟an, mengambil

hikmah pelajaran (ibārah), akhlaq dan ilmu dari al-Qur‟an pun termasuk pihak-

pihak yang terlibat.

Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa apa yang menjadi pendapat

al-Sya„rāwī terkait dengan penjagaan al-Qur„an menguatkan apa yang telah

disampaikan para mujahid seperti yang dikutip oleh al-Ṭabārī.33

32
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 157
33
Lihat Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 153
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka

penafsiran al-Sya„rāwī atas Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses penjagaan al-

Qur‟an adalah sebagai berikut;

Secara tekstual, mengacu pada Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 bahwa proses penjagaan

al-Qur„an menurut al-Sya„rāwi adalah hak preogratif Allah, Allah tidak

menjadikan “penjagaan al-Qur„an” sebagai tugas yang dibebankan kepada

manusia. al-Sya„rāwī menegaskan bahwa al-Ḥijr/ 15:9 adalah ucapan Allah yang

akan dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi ḥujjah terhadap manusia. Di

sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur„an berbeda dengan Kitab-kitab

yang diturunkan sebelumnya, terlebih dari sisi kemurniannya.

Secara kontekstual, mengacu pada Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 yang dijadikan

argumen penjelas atas ayat lain, al-Sya„rāwī menilai bahwa mereka para

penghafal al-Qur„an dan mereka yang melakukan sedemikian cara untuk menjaga

al-Qur„an tidak ia katakan sebagai pihak-pihak yang ikut terlibat dalam proses

penjagaan al-Qur„an. Karena menurut al-Sya„rāwī, pada hakikatnya Allah lah

yang menghendaki mereka untuk menghafal, Allah lah yang kuasa menjadikan

mereka hafal, dan Allah pula yang menjaga hafalan dalam ingatan mereka.

B. Saran

Setelah menyelesaikan penelitian ini, penulis sangat menyadari bahwa

penelitian ini jauh dari cukup apalagi sempurna. Sehingga, sudah jadi barang tentu

jika penelitian ini meninggalkan banyak kesalahan dan kekurangan.

63
64

Penulis berharap para pengkaji al-Qur„an dapat melanjutkan penelitian ini,

ada baiknya membandingkan pemikiran sekian jumlah mufasir atau tafsir yang

ada pada abad 14 bahkan 15 terkait dengan penafsiran QS. al-Ḥijr/ 15:9 apakah

ada kesamaan dengan al-Sya„rāwī atau sesuai dengan kesimpulan yang ada pada

Disertasi Eva Nugraha. Selain itu, akan lebih baik pula jika polarisasi para mufasir

tidak hanya dilakukan berdasarkan abad, akan tetapi berdasarkan teologi

mufasirnya itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel Jurnal


al-Sya„rāwī, Muḥammad Mutawalli. Tafsīr al-Sya‘rāwī. Kairo: Akhbār al-Yaūm
Idārah al-Kutub wa al-Maktabāt, 1991.
al-Jauzi, Ibn. Bustanul Wa’izhin: Sulub Penyucian Jiwa, Penerjemah Iman
Firdaus; Penyunting Mimad Faisal. Jakarta: Qithi Press, 2009.
Kementerian Agama RI. al-Qur‘an dan Terjemahnya. Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012.
Husin al-Munawar, Said Agil. al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
cet. 3. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Qaradawi, Yusuf. and Abdul Hayyie Kattani. Berinteraksi dengan al-Qur'an,
jakarta: Gema Insani Press, 1999
M. Nāṣir al-Dausuriy, Munīroh. Asmā‘u Suwar al-Qur‘ān wa Fadhāiluhā. Dār
Ibn al-Jauzi, 1426 H
Syaudih Sukmadinata, Nana. “Metode Penelitian Pendidikan”, Cet. VI, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2010
Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2001
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju, 1996
Bakhtiar, Amsal dkk., Pedoman Akademik Program strata 1 2012/2013 Jakarta:
T.tt, 2012.
Sugiono. “Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D”, Cet. VIII Bandung: Alfa Beta, 2009
Pasya, Hikmatiar. “Studi Metodologi Tafsir Asy-Sya‟rawi.” Jurnal Studi Quran
Studia Quranika Universitas Darussalam Gontor Vol. 1, No. 2, Januari
2017
Ali Sybromalisi, Faizah. “urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia.”
Makalah ini dipresentasikan pada Pelatihan Pentashih Mushaf al-Qur‟an di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Senin 20 Juni 2011. UIN Syarif
hidayatullah Jakarta, 2011

65
66

Fajar Pramono, Muhamad. “pola-pola pemeliharaan al-Qur‟an dalam tinjauan


historis,” artikel jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Agama Isy Karima, (2017)
Indriati, Anisah. “Ragam Tradisi Penjagaan al-Qur‟an di Pesantren (Studi Living
Qur‟an di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, An-Nur Ngrukem, dan Al-
Asy‟ariyyah Kalibeber), Jurnal al-Itqan Volume 3, No. 1, Januari – Juli
2017
Nasional, Departemen Pendidikan. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa. Cet I. Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2009.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Mizan Pustaka, 2007.
Hamka, Tafsīr al-Azhār. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat.
Hakim, Muhammad Baqir, Ulūmul Qur’an, terj. Nashirul Haq, Abdul Ghafur, et
all, cet. 2. Jakarta: al-Huda, 2012.
al-Shālih, Shubhi, Mabāhis fī ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Ilm, al-Malayin,
1977.
Anshori, Ulūm al-Qur’ān; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (ed.) M.
Ulinnuha Khusnan. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Abdullah, Mawardi, Ulūm al-Qur’ān . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
al-A‟zāmi, M. Musthafa. Sejarah Teks al-Qur’an dari wahyu sampai Kompilasi,
terj. Sohirin Solihin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Tim Forum karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Purna Siswa
2011 MHM Lirboyo Kota Kediri, (ed). Abu Hafsin, al-Qur‘an Kita: Studi
Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, cet. 3. Kediri: Lirboyo Press, 2013.
al-Zarqāni „Abd al-Azhīm, Manāhil al-Irfān fi Ulūm al-Qur'ān, jilid 1. Beirut:
Jāmi' al-Huqūq Makhfūẓah, Dār al-Kitāb al-'Arabi, 1415 H, 1995 M.
Mannā‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, cet. 16. Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‘an, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni, cet. 6. Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011.
Anwar, Rosihon, Ulūm al-Qur’ān,cet. 6. Bandung: Pustaka Setia, 2015.
67

Shihab, Muhammad Quraish, et. al, Sejarah & Ulūm al-Qur’an, cet. 4. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Murad, Mustafa. Kisah Hidup ‘Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu
M. Sunman, cet. 4. Jakarta: Zaman, 2013.
Ibn Katsīr, al-Hafīẓ. Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, terj.
Abu Ihsan al-As‟ari, cet. 8. Jakarta: Darul Haq, 2011.
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‘rāwī
Jakarta:Mizan, 2004.
al-Minsyāwī, Muhammad Siddīq. al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt. t.t.:
t.p.,t. th.
Rizq al-Amal, Mahmud. Tarikh al-Imam al-Sya‘rāwī, dalam majalah Manār al-Islam
(September, 2001), no. 6 vol. XXVII.
Badri, Taha. Qaluan al-Sya‘rāwī ba’da Rahilihi. al-Qahirah: Maktabah Al-Turas al-
Islami, t.t

Disertasi, Tesis dan Skripsi


Nugraha, Eva. “Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus
Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer”, Disertasi
S3 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta: 2018. (versi ujian promosi).
Nugraha, Eva. Kebijakan „Utsmān Atas Kompilasi al-Qur„an. Tesis S2 Program
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2000.
Hidayat, Nasrul. ”Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir asy-Sya‟rawi”, Tesis S2
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar: 2016.
Barizi, Muhammad Mabrur. "Implikasi Sejarah Transmisi Al-Qur‟an Terhadap
kerja Orientalis", Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities 2.1:
(2017)
Azmi, Muhammad. “Parenting Dalam al-Qur‟an; Studi terhadap tafsir Khawatir
al-Sya‟rawi Haula al-Qur‟an al-Karim karya Syeikh Mutawalli asy-
Sya‟rawi”, Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya: 2017
68

Yakan Bin Zakaria, Mohd Fathi. ”Konsep Tawakkal dalam al-


Qur‟an(KajianKomparatif antara Tafsir asy-Sya‟rawi dan Tafsir al-Azhar”,
Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau: 2013.
Yuni Mentari, Resti. “Penafsiran asy-Sya‟rawi terhadap al-Qur‟an tentang Wanita
karir”. Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011
Maqbullah, Aniesa. “Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzab ayat 72;
Perspektif penafsiran al-Sya‟rawi.” Skripsi S1 Prodi Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2018
Iryana, Yovik. “Pendidikan Anak dalam tafsir asy-Sya‟rawi; Studi Analisis Atas
Perlindungan Anak.” Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung: 2017
Debibik Nabilatul Fauziah, “Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Tafsir al-
Sya‟rawi (Studi Analisis al-Qur‟an Surah Luqman Ayat 12-19).” Artikel
jurnal Dosen Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Fakultas Agama
Islam Unsika Karawang 2016
Kusaini, Ahmad. “Pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an.” Skripsi S1 Fakultas Adab
IAIN Sunan Ampel Surabaya: 1991
Bunyamin. “Keterlibatan Manusia dalam Memelihara Keotentikan al-Qur‟an
(sebuah kajian historis).” Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadits IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: 1999
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya„rāwī Khawatir al-Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karim.”
Diakses pada 10 Oktober 2018 dari
https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya„rāwī - khawatir-al-
syarawi-haula-al-quran-al-karim/
1435H Surat # 15 al-Hijr ayat 1-9 tafsir al-Misbah MetroTV 2014, youtube,
diakses pada tanggal 28-08-2018 pada halaman
https://www.youtube.com/watch?v=gzRDbaU8sU8&feature=youtu.be
Al-Maktabah al-Syamila, versi 3.48. Al-Maktab al-ta’awun li al-dakwah bi al-
Raudhah: www.arrawdah.com http://shamela.ws

Anda mungkin juga menyukai