MENURUT AL-SYA‘RĀWĪ
Skripsi
Oleh:
Ali Muharrom
NIM: 1112034000023
FAKULTAS USHULUDDIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H /2019 M
ABSTRAK
Ali Muharrom
atas Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses penjagaan al-Qur‟an?.” Pada satu sisi,
skripsi ini ingin membantah pendapat Eva Nugraha dalam Disertasinya mengenai
penjagaan al-Qur„an.
Untuk memudahkan pencarian data yang akan diolah pada Tafsīr al-
penulis bisa menentukan metode analisis isi kualitatif sebagai metode yang
Adapun kesimpulan dari skripsi ini menunjukan bahwa proses penjagaan al-
Qur„an menurut al-Sya„rāwi jika dilihat secara tekstual adalah hak preogratif
dibebankan kepada manusia. Hal ini dikarenakan QS. al-Ḥijr/ 15:9 adalah ucapan
Allah yang akan dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi ḥujjah terhadap
manusia. Di sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur„an berbeda dengan
Secara kontekstual, mengacu pada Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 yang dijadikan argumen
penjelas atas ayat lain, al-Sya„rāwī menilai bahwa mereka para penghafal al-
i
Qur„an dan mereka yang melakukan sedemikian cara untuk menjaga al-Qur„an
tidak ia katakan sebagai pihak-pihak yang ikut terlibat dalam proses penjagaan al-
menghendaki mereka untuk menghafal, Allah lah yang kuasa menjadikan mereka
hafal, dan Allah pula yang menjaga hafalan dalam ingatan mereka.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak lepas
dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, dengan segala
Data penulisan skripsi ini, berawal dari diskusi penulis dengan Dosen
Pembimbing Akademik Bapak Dr. Eva Nugraha, MA. tanpa adanya kesediaan
beliau untuk memberikan bimbingan dan arahan tidak mungkin skripsi ini bisa
diselesaikan. Bahkan tidak hanya sampai disana, pintu rumah beliau, siang malam
selalu terbuka lebar untuk penulis bahkan siapa saja yang membutuhkan
balasan. Sekali lagi, terimakasih yang tak akan pernah terhingga penulis
sampaikan kepada beliau serta keluarga (Ibu Aisyah, aa Fadl, Teh Lintang, Meto).
iii
Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada yang
terhormat Prof. Dr. Hamdani Anwar selaku pembimbing yang telah memberi
banyak bimbingan dan arahan dalam penulisan skripsi ini. Juga kepada segenap
civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany
Hidayatullah, Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Usuluddin dan
Filsafat, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur„an dan
Tafsir, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur„an
dan Tafsir yang selalu melayani penulis dalam urusan administrasi akademik, dan
juga penulis haturkan terimakasih kepada seluruh dosen Fakultas Usuluddin yang
‘ulūmihim).
Keluarga Besar Himalaya Jakarta (a Olot, a Irfan, a Ashly, Mama, dsb.), Keluarga
Sandi, dsb.) Keluarga Besar FOKUS KAHAZEFA (a Fahmi, Haji Ara, Pak Ocad,
Pak Angga), Rekan Kantor Cabang Citanduy (Pak Adon, Pak Usup, Pak Malik),
Khusus untuk saudara penulis, Kang Adi Fadilah, S.Th.I sahabat karib
penulis sejak lama Agung Arabian serta keluarga, Asep M. Fajarudin, mereka
khususnya yang telah banyak memberikan sumbangsih baik moril maupun materil
iv
Untuk kawan-kawan EVANGER12, Ahmad Sya„roni (cebong), Aan
Suherman, Acep Sabiq, Ahmad Rizal Sidiq (Sukoy), Kholiq Ramdhan Mahesa,
Aang, Imam Konde, Rojali Hidayatullah, Moh Sufyan, Beri, dsb. Atas semua
kedua orang tua penulis, Ayahanda Agus Latif, S.Pd.I, Ibunda Ida Rasyidah,
Juga kepada Mamah Hj. Omay, Bapak H. Dudung, Hanya Allah yang bisa
membalas kasih sayang, do„a dan semua pemberian mereka yang tak pernah
terhingga untuk penulis. Juga adik tercinta Nurul Latifah yang sedang
berkah dan bermanfaat. Berkat kesabaran dan dukungan mereka semua, penulisan
skripsi ini berjalan lancar. Dan kepada mereka pula skripsi ini penulis
persembahkan.
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
B. Permasalahan
xi
2. Periode Abū Bakr al-Ṣiddīq .............................................................24
A. Biografi al-Sya‘rāwī..............................................................................35
4. Sumber Penafsiran............................................................................45
AL-QUR‘AN
xii
4. Argumen al-Sya’rāwī tentang Penjelasan Diksi Laḥāfiżūn..............59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................................63
B. Saran .....................................................................................................63
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Republik Indonesia
1. Padanan Aksara
ب B Be
ت T Te
ج J Je
خ Kh ka dan ha
د D De
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy es dan ye
vi
ظ ẓ zet dengan titik bawah
غ Gh ge dan ha
ؼ F Ef
ؽ Q Qi
ؾ K Ka
ؿ L El
ـ M Em
ف N En
ك W We
ق H Ha
ء ’ Apostrof
ي Y Ye
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.
ﹷ A Fatḥah
ﹻ I Kasrah
ﹹ U Ḍammah
vii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷي Ai a dan i
ﹷك Au a dan u
3. Vokal Panjang
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf
اؿdialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ()ﹽ, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضركرةtidak ditulis ad-
viii
6. Tā’ Marbūṭah
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih aksara
huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalan
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permukaan kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang, dan lain-lain. Jika nama
seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk
nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Contoh:
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
ix
َكإِنَّا لَهُ ََلَافِظُو َف wa innā lahū laḥāfiẓūn
9. Singkatan
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
x
DAFTAR TABEL
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
Sekiranya Allah menyerahkan tugas penjagaan al-Qur‟an ini kepada kita semua,
niscaya penyimpangan itu tak bisa dihindarkan, seperti yang terjadi pada kitab-
إِنَّا حَْن ُن نحَّزلْنحا الذ ْكحر حوإِنَّا لحهُ حَلحافِظُو حن
ayat tersebut diatas, apakah memeliharanya disana hanya peran Allah saja atau
ada keterlibatan pihak lain. Perdebatan ulama pada ayat itu berkisar pada apa
makna kata al-żikr dan penjelasan atas marji„ „alaīh ḍamīr “hu” pada kata
“lahū”.3
1
Ibn al-Jauzi, Bustanul Wa‟izhin: Sulub Penyucian Jiwa, Penerjemah Iman Firdaus;
Penyunting Mimad Faisal (Jakarta: Qithi Press, 2009), h. 360
2
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
3
Paparan lebih lanjut bisa dilihat pada; Disertasi Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi
dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia
Kontemporer, (Desertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018), (versi ujian promosi), h. 164
1
2
Dalam disertasi Eva Nugraha,4 ada beberapa literatur kitab tafsir mulai abad
banyak pihak. Seperti pendapat Rashid Ridha dalam al-Manār nya yang
zaman sahabat hingga sekarang, dan juga sikap kaum muslim yang penuh teliti
dan koreksi tashih dalam memperlakukan al-Qur‟an yang mana hal ini belum
pernah ada pada kitab suci lainnya maupun pada buku apa pun. Oleh karena itu,
dengan banyaknya keterlibatan sejumlah orang ini maka objek yang bisa ditangkal
atas ketidak murnian al-Qur‟an bertambah banyak, antara lain bertambah dengan
Dari temuan yang dilakukan oleh Eva Nugraha, bahwa tafsir-tafsir abad 14
tafsir yaitu Tafsīr al-Sya‟rāwī, yang memaknai kalimat innā lahū laḥāfiẓūn
dengan penafsiran;
4
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian promosi)
5
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci, h. 167
6
Al-Maktabah al-Syamila, versi 3.48. Al-Maktab al-ta‟awun li al-dakwah bi al-Raudhah:
www.arrawdah.com http://shamela.ws
3
keterlibatan pihak lain, dengan kata lain hanya Allah saja yang menjaganya.
Hal itu seakan-akan berbeda dengan apa yang telah ditemukan Eva Nugraha
salah satu stasiun televisi, saat menjelaskan Q.S. al-Ḥijr ayat 9; “Satu hal yang
ingin saya katakan, biasanya kalau tuhan menunjuk dirinya dengan kata “kami”,
maka itu ada selain tuhan yang terlibat. Di sini Dia katakan “Kami menurunkan
memeliharanya, Allah yang pelihara, manusia juga ikut memelihara. Jadi ini
“meskipun Allah swt telah menjamin pemeliharaan al-Qur‟an dari sisi otentisitas
7
Eva Nugraha, “Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci”, h. 168
8
Diakses melalui youtube pada tanggal 28-08-2018 pada halaman
https://www.youtube.com/watch?v=gzRDbaU8sU8&feature=youtu.be
4
dan orisinalitasnya (Q.S al-Ḥijr/ 15:9) namun keterlibatan peran manusia yaitu
Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian lebih lanjut
terakhir hanya berkisar pada; sumber, metode, dan ittijāh Tafsīr al-Sya„rāwī,
Idiom dalam Tafsīr al-Sya„rāwī, Kesetaraan gender dalam dalam hal waris, hak-
metode taḥfīẓ al-Qur‟an. Kemudian apa yang dilakukan oleh Eva Nugraha pun
“sistem penjagaan”.
Sya‟rawi sebagai objek penelitian ini adalah karena ditemukan adanya perbedaan
Sehingga karena itulah penulis menganggap bahwa penelitian ini menjadi penting
adanya.
9
Faizah Ali Syibromalisi, “urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia”. (Artikel
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 2.
5
B. Permasalahan
masa sekarang dalam memahami QS. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses
penjagaan al-Qur„an
pihak selain Allah, akan tetapi penulis menemukan satu mufasir yang lebih
selain Allah, yaitu al-Sya„rāwī yang mana ia hidup pada abad 15.
hanya dilakukan pada tafsīr al-Sya„rāwī surah al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen
utama dan surah al-Ḥijr/ 15:9 yang dijadikan sebagai argumen penjelas ayat lain.
C. Tujuan Penelitian
Jakarta
D. Manfaat Penelitian
penelitian sebelumnya yaitu Eva Nugraha10 dalam mengkaji sistem keterjagaan al-
setiap pembaca dalam memahami perluasan makna laḥāfiẓūn atau keterjagaan al-
Qur‟an dan kajian tentang al-Sya„rāwī. Kemudian untuk menjadi ruang penelitian
E. Tinjauan Pustaka
ditemukan, baik dalam bentuk buku ataupun penelitian. Namun penulis belum
10
Dalam penelitiannya, Eva Nugraha berfokus pada sistem laḥū laḥāfiẓūn melalui kasus
Industri Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia kontemporer. namun pada sub bab
perkembangan dan perluasan makna laḥāfiẓūn hanya sampai pada mufasir abad 14. Lihat Eva
Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan
Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
7
Dalam artikel ini, Faizah memaparkan secara ringkas urgensi mendirikan lajnah
pola-pola bentuk penjagaan Allah dari masa ke masa. Kajian ini menggunakan
Allah SWT secara umum ada tiga pola, yaitu: Pertama, bertumpu pada kekuatan
al-Qur‟an sendiri (bahasa dan sastra). Kedua, terletak pada kekuatan ummat Islam,
baik dalam tradisi menghafal dan menulis. Ketiga, jaminan dari Allah SWT itu
sendiri.
dalam pandangan al-Sya„rāwī adalah amanah untuk memilih antara beriman atau
kafir, taat atau maksiat. Sya‟rawi dengan tegas mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang dzalim lagi bodoh, apabila mereka mau menerimatugas namun
makhluk yang kecil tetapi mereka sanggup mengemban amanah yang begitu besar
yang diberikan oleh Allah. Ini membuktikan bahwa manusia memanglah khalīfah
fī al-ard.
kemudian metodologi dan corak penafsiran. Kesimpulan inti penelitian ini adalah
Qur ‟an dengan al-Qur ‟an, sebagai realisasi terhadap pandangannya bahwa
(Kajian Komparatif antara Tafsir al-Sya„rāwī dan Tafsir al-Azhar).” Dalam skripsi
ini, Fathi mencoba meneliti konsep tawakkal menurut al-Sya„rāwī dan Hamka
dalam pengertiannya, yaitu satuan usaha atau menyerahkan segala keputusan dari
usaha dan ikhtiar. Menepis anggapan sebahagian orang yang menganggap bahwa
14
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī. Jurnal Studi Quran Studia
Quranika Universitas Darussalam Gontor Vol. 1, No. 2, Januari 2017, h. 153
15
Mohd Fathi Yakan Bin Zakaria, Konsep Tawakkal dalam al-Qur‟an (Kajian Komparatif
antara Tafsīr al-Sya„rāwī dan Tafsīr al-Azhār) (Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2013).
9
Wanita karir.” Dalam skripsi ini, Resti mencoba meneliti bagaimana pandangan
bagaimana tantangan dalam mendidik anak pada zaman modern dalam al-Qur‟an
jawab dan nafsu yang membelenggu dalam jiwanya. Maka untuk menopang hal
keluarga dengan baik, memberikan hikmah nasehat serta memberikan hak terbaik
kepada anak. Ketiga, dengan cara bersabar dalam shalat dalam berkeluarga,
16
Resti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur‟an tentang Wanita karir.
Skripsi S1 Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011). h. 62
17
Muhammad Azmi, Parenting Dalam al-Qur‟an; Studi terhadap Tafsīr Khawātir al-
Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karīm karya Syeikh Mutawalli al-Sya„rāwī, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017). h. 99.
10
membekali hal-hal yang berkenaan dengan akhirat kepada anak, serta memberikan
faktor pendukung pendidikan terutama dari orang tua, do‟a, rizki yang halal serta
tesis ini, Nasrul mencoba meneliti bagaimana hakikat, bentuk, dan urgensi
dengan agamanya yang moderat tanpa taklid buta. Selain itu, al-Sya„rāwī
Atas Perlindungan Anak.” Dalam skripsi ini, Yovik meneliti tentang bagaimana
wajib kepada setiap orang tua karena anak merupakan mutiara kehidupan di masa
yang akan datang. Perlindungan anak dibagi menjadi dua tingkatan yakni pada
menafsirkan Q.S al-Isrā ayat 31, dan pada psikis menafsirkan Q.S Thāhā ayat 132,
18
Nasrul Hidayat, Konsep Wasatiyyah dalam Tafsir al-Sya„rāwī, (Tesis S2 Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016). h. 119.
19
Yovik Iryana, Pendidikan Anak dalam Tafsīr al-Sya„rāwī; Studi Analisis Atas
Perlindungan Anak. (Skripsi S1 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2017), h. i
11
mendidik, memberi pengajaran pada anak dari segi ruhaniyah maupun jasmani.
Tafsir al-Sya„rāwī (Studi Analisis al-Qur‟an Surah Luqman Ayat 12-19).” Dalam
ada 11 wasiat Luqman yang diabadikan dalam al-Qur‟an, yang kemudian ia petik
maknanya: 1) Anjuran kepada orang tua memberi wasiat untuk anaknya dengan
hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. 2) Pendidikan untuk anak dimulai
dengan pengajaran tauhid dan menjauhi syirik karena dapat menyia-nyiakan amal.
3) Kewajiban untuk bersyukur kepada Allah SWT dan kepada kedua orang tua,
untuk taat kepada kedua orang tua kecuali perintah untuk maksiat kepada Allah
SWT. 5) Pengawasan Allah SWT selalu ada di setiap kondisi, baik sembunyi-
shalat beserta rukun dan syaratnya dengan tuma‟ninah. 8) Kewajiban amar ma‟ruf
nahi munkar dengan ilmu dan kelembutan sesuai kemampuan. 9) Bersabar dari
gangguan disebabkan amar ma‟ruf nahi munkar yang dilakukan. 10) Larangan
sombong dan angkuh ketika berjalan. 11) Bersikap pertengahan dalam berjalan,
20
Debibik Nabilatul Fauziah, Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Tafsīr al-Sya„rāwī
(Studi Analisis al-Qur‟an Surah Luqmān Ayat 12-19). (Artikel jurnal Dosen Pendidikan Islam
Anak Usia Dini (PIAUD) Fakultas Agama Islam Unsika Karawang, 2016), h. 8
12
tidak cepat dan tidak lambat. 12) Tidak meninggikan suara tanpa keperluam
budaya yang lebih dikenal dengan kajian living Qur‟an. Kajian ini berupaya
hari Muslim dan kemudian selalu dapat membawa tuntutan rohani bagi jiwa
Huffāẓ al-Qur‟an Peranan mereka dalam menciptakan ratusan atau bahkan ribuan
menjadi bukti eksistensi mereka dalam living Qur‟an. Berbagai variasi metode
Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya 1991. Dalam skripsi ini, Ahmad
21
Anisah Indriati, Ragam Tradisi Penjagaan al-Qur‟an di Pesantren (Studi Living Qur‟an di
Pesantren Al-Munawwir Krapyak, An-Nur Ngrukem, dan Al-Asy‟ariyyah Kalibeber), (jurnal al-
Itqan Volume 3, No. 1, Januari – Juli 2017). h. 1
22
Ahmad Kusaini, Pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an. Skripsi S1 Fakultas Adab IAIN
Sunan Ampel Surabaya 1991, h. 3
13
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
fokus menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam literatur
seperti kitab, buku, naskah catatan, kisah sejarah, dokumen dan lain-lain.24
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, ada dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder.
sebagai data primer. Hal ini dikarenakan penulis menjadikan Tafsīr al-Sya‟rāwī
23
Bunyamin, keterlibatan manusia dalam memelihara keotentikan al-Qur‟an (sebuah kajian
historis). Skripsi S1 Jurusan Tafsir Hadits IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996), h. 33
25
Nana Syaudih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. VI, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2010), h. 60
14
dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti kitab tafsir, buku-buku, jurnal,
pelacakan tersebut, karena Tafsīr al-Sya‟rāwī ini berjumlah 20 juz, maka penulis
telah dirumuskan, maka metode yang digunakan adalah analisis isi kualitatif, yaitu
suatu metode yang biasa digunakan untuk memahami pesan simbolik dari suatu
pengumpulan data mentah, yang diambil dari kitab Tafsīr al-Sya‟rāwī. Tahap 2,
secara keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai alat koding.
Tahap 4, pemberian kode pada data yang telah dibaca. Secara besaran kode,
penulis membaginya menjadi dua, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai premis mayor atau
argumen utama dan Q.S al-Ḥijr/ 15:9 sebagai premis minor atau argumen
26
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2001), h. 13
27
Bagan 1.1 diadaptasi dari: Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab
Suci; Studi Kasus Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Desertasi S3
15
Memilah data
5. Teknik Penulisan
G. Sistematika Penulisan
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian
promosi), h. 22
28
Amsal Bakhtiar, dkk., Pedoman Akademik Program strata 1 2012/2013 (Jakarta: T.tt,
2012), h. 368
16
memaknai keterjagaan/ keterpeliharaan al-Qur‟an. Bab ini terdiri dari definisi dan
sejarah ringkas penjagaan al-Qur‟an, pemaknaan para mufasir atas keterjagaan al-
Qur‟an.
yang dibaca oleh bab dua. Bab ini meliputi biografi singkat al-Sya„rāwī, gambaran
keterjagaan al-Qur‟an menurut syekh Mutawalli al-Sya„rāwī. Bab ini meliputi a].
Surah al-Ḥijr/ 15:9 sebagai argumen utama keterjagaan al-Qur‟an, b]. Surah al-
masalah yang berupa kesimpulan, dan saran sebagai dampak atau implikasi dari
penelitian ini.
BAB II
penjelasan tentang tema penelitian skripsi ini. Selain itu, bab ini juga merupakan
Ada tiga pembahasan utama yang akan penulis uraikan pada bab ini, yaitu;
dari mulai masa Rasulullah sampai kepada para Sahabat, dan terakhir pemaknaan
Term keterjagaan al-Qur„an tersusun dari dua kata, keterjagaan dan al-
Qur„an. Dalam bahasa arab, term keterjagaan al-Qur„an ini diambil dari diksi
potongan ayat al-Qur„an “Laḥāfiẓūn” yang berasal dari kata ḥafiẓa yaḥfaẓu ḥifẓan.
Ḥāfiẓūn merupakan kata bahasa Arab yang berakar dari huruf (ḥa-fa-ẓa), artinya
Keterjagaan berasal dari kata terjaga, terjaga asal katanya adalah jaga. Ia
memiliki padanan “ter” dan “an” yang menjadikannya memiliki arti terawat,
terpelihara, dan terurus.2 Kemudian al-Qur„an, ia berasal dari bahasa arab qaraa
yaqrau qur„ānan yang berarti bacaan. Sedangkan menurut istilah ialah “Kalam
1
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci; Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer, (Desertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), (versi ujian promosi), h. 163
2
Nasional, Departemen Pendidikan. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Cet I (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2009), h. 248
17
18
Dengan definisi ini, Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain
kepada Nabi Musa a.s., atau Injīl yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s., demikian
pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang tidak
dinamakan al-Qur„an.
َررا َببًِا َّ ات أ ِ َّ إِ َّن ى َذا الْ ُقرآ َن ي ه ِدي لِلَِِّت ِىي أَقْ وم وي بشِّر الْمؤِمنِني الَّ ِذين ي عملُو َن
ِ اِل
ْ َن َلُ ْ ْم أ َ الص َ ْ َ َ َ ْ ُ ُ َُ َ ُ َ َ َْ ْ َ
)٩(
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang
mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar
3
Munīroh M. Nāṣir al-Dausuriy, Asmā„u Suwar al-Qur„ān wa Fadhāiluhā (Dār Ibn al-
Jauzi, 1426 H), h. 22
4
Munīroh M. Nāṣir al-Dausuriy, Asmā„u Suwar al-Qur„ān wa Fadhāiluhā (Dār Ibn al-
Jauzi, 1426 H), h. 32
19
)٣( ينِِ ٍِ ٍ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ ) إنَّا أَنْ َزلْنَاهُ ِف لَْي لَة ُمبَ َارَبة إنَّا ُبنَّا ُمْنذر٢( ) َوالْكتَاب الْ ُمبني١( ح ْم
Haa miim, demi kitab (Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya
Kami-lah yang memberi peringatan.
oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. “Innā nahnu nazzalnā al-
dari cacat dan cela, dan dari tangan-tangan usil yang mencoba untuk mengurangi
5
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
6
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Mizan Pustaka, 2007), h. 21
20
menurunkannya dan Allah pula yang akan menjaganya. Tidak ada satu kekuatan
Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan
didengarnya sebagai al-Qur„an tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah
dibaca Rasulullah dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi s.a.w.8
al-Qur„an dalam arti menghafal sudah berlangsung pada masa Nabi Muhammad
hati mereka.
arti penulisan juga sudah berkembang pada masa itu, meskipun belum
lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran pada beberapa jenis benda yang
7
Hamka, Tafsīr al-Azhār (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 175
8
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 21
9
Muhammad Baqir Hakim, Ulūmul Qur‟an, terj. Nashirul Haq, Abdul Ghafur, et all, cet. 2
(Jakarta: al-Huda, 2012), h. 166
10
Lihat Shubhi al-Shālih, Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-Ilm, al-Malayin,
1977), h. 71
21
dapat dijadikan sebagai alat tulis-menulis ketika itu.11 Hingga pasca wafatnya
Nabi, penjagaan al-Qur„an berpindah kepada para khalifah pilihan, yang mampu
awal Islam, terjadi dalam tiga periode yakni periode Nabi SAW, Abū Bakr al-
Ṣiddīq, dan „Utsmān bin „Affān.12 Berikut adalah sejarah panjang mushaf al-
secara hafalan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah sendiri beserta sahabat,
maupun secara penulisan yang dilakukan oleh para sahabat pilihan atas perintah
secara lisan.
Meskipun demikian, bukan berarti dengan kuatnya hafalan para sahabat dan
masyarakat Arab masa itu, lantas menjadikan Rasulullah luput akan pentingnya
baca-tulis. Hal ini terbukti pada saat wahyu turun, Rasulullah secara rutin
Zaid bin Tsabit. Bahkan terdeteksi tidak kurang dari enam puluh lima orang
11
Anshori, Ulūm al-Qur‟ān; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (ed.) M. Ulinnuha
Khusnan (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 81
12
Mawardi Abdullah, Ulūm al-Qur‟ān (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 16. Adapun
Manna„ Khalīl al-Qaṭṭān dalam bukunya Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān, menyatakan bahwa
pengkodifikasian al-Qur„an sepanjang sejarah Islam hanya terjadi dua kali. Yakni periode Abū
Bakr dan „Utsmān.
22
Rasulullah tersebut, dapat dikatakan bahwa pada masa ini budaya penulisan al-
ini, meskipun penulisannya masih tercecer dalam berbagai bentuk seperti di kulit
menghafalkannya dan langsung ditulis oleh para penulis wahyu. Adapun al-
Zarqāni berkata:
“Rasulullah memberi petunjuk kepada mereka letak ayat atau surah yang
harus di tulis. Sehingga mereka menuliskannya pada apa saja yang dapat
digunakan untuk menulis seperti pelepah daun kurma, batu-batu, daun, kulit
Namun, pada masa ini belum ada upaya untuk mengkodifikasikan al-Qur„an
dalam satu mushaf secara utuh, meskipun secara keseluruhan wahyu tersebut telah
tertulis.
13
M. Musthafa al-A‟zāmi, Sejarah Teks al-Qur‟an dari wahyu sampai Kompilasi, terj.
Sohirin Solihin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 72. Adapun sahabat yang
mengumpulkan al-Qur‟an, setidaknya hanya empat sampai enam orang saja. Diantaranya Mu„ādz
bin Jabāl, Zaid bin Tsābit, Ubay bin Ka„ab, Abu Ayyūb al-Anshārī, Abū Zayd. Lihat pemaparan
riwayat dalam Rasul Ja‟fariyan, Menolak Isu Perubahan al-Qur‟an, terj. Abdurrahman (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1991), h. 23
14
Tim Forum karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), Purna Siswa 2011
MHM Lirboyo Kota Kediri, (ed). Abu Hafsin, al-Qur„an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir
Kalamullah, cet. 3 (Kediri: Lirboyo Press, 2013), h. 46
15
al-Zarqāni „Abd al-Azhīm, Manāhil al-Irfān fi Ulūm al-Qur'ān, jilid 1 (Beirut: Jāmi' al-
Huqūq Makhfūẓah, Dār al-Kitāb al-'Arabi, 1415 H, 1995 M), h. 240
23
Beberapa faktor yang melatar belakangi hal diatas. Pertama, wahyu masih
proses turun berangsur-angsur dan terkadang ayat yang turun berikut menghapus
upaya tersebut. Sebab penghafal al-Qur„an masih banyak, tidak adanya fitnah
perselisihan tentang perdebatan perbedaan bahasa, dan sarana tulis menulis masih
sangat sulit hingga kodifikasi al-Qur„an dengan cara menghafal menjadi kunci
utama masa itu.17 Ketiga, Adapun pada masa ini antara ayat dan surah masih
berada dalam lembaran secara terpisah dalam tujuh huruf, belum dikumpulkan
secara tertib dalam satu mushaf . Bahkan susunan atau tertib penulisan ayat dan
surah al-Qur„an tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi dituliskan sesuai dengan
Setelah berakhir proses turunnya wahyu dengan wafatnya Nabi, maka Allah
sesuai dengan janji Allah yang benar kepada umat ini tentang jaminan
pemeliharaannya.19 Hal ini terjadi kali pertama pada masa Abū Bakr atas
adalah: Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat,
dan mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak
16
Mannā‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir, cet. 16 (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h. 187
17
Mawardi Abdullah, Ulūm al-Qur‟ān..., h. 22
18
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an.., h. 187
19
Ini suatu isyarat kepada firman Allah: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-
Qur‟an, dan kami pula yang akan menjaganya”. (al-Hijr/ 15:9)
20
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur„an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni,
cet. 6 (Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011), h. 158
24
dari hafalan para sahabat saja tidak cukup, karena adakalanya luput dari
hafalannya atau sebagian dari mereka sudah wafat. Sehingga dengan adanya
pindahan berupa tulisan, akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi wahyu
hingga memperoleh satu keputusan bahwa Abū Bakar diangkat sebagai khalifah
penghafal al-Qur„an gugur, bahkan dalam suatu riwayat disebutkan sekitar 500
orang23.
angsur hilang bila hanya mengandalkan hafalan semata. Kebijakan „Umar dalam
21
Rosihon Anwar, Ulūm al-Qur‟ān,cet. 6 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 39
22
Eva Nugraha, Kebijakan „Utsmān Atas Kompilasi al-Qur„an (Tesis S2 Program Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2000), h. 12
23
Muhammad Quraish Shihab, et. al, Sejarah & Ulūm al-Qur‟an, cet. 4 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h. 28
25
Abū Bakar.24
Dalam menanggapi usulan „Umar tersebut, Abū Bakar merasa ragu lantaran
pada masa Rasulullah hal tersebut tidak lazim dilakukan. Akan tetapi karena
desakan „Umar, akhirnya Abū Bakar menyetujui dan menunjuk Zaid bin Tsbit
sebagai ketua tim kodifikasi al-Qur„an. Awalnya Zaid merasa ragu dan penuh
memindahkan sebuah gunung, tidak akan lebih berat dibanding tugas untuk
pelepah kurma, lempengan batu, dari ingatan orang-orang, dari potongan kulit
hewan, dan dari tulang-tulang hingga aku menemukan akhir surah at-Taubah
pada Abu Khuzaimah al-Anshari. Ayat itu tidak kutemukan di tempat dan orang
Qur„an yang berserakan. Dalam menjalankan tugasnya Zaid lebih selektif dan
hati-hati. Artinya tidak semua setoran dari para sahabat diterima begitu saja
dengan tangan terbuka, melainkan harus disertai sumber tertulis dan saksi
24
Lihat: Eva Nugraha, Kebijakan „Usmān Atas Kompilasi al-Qur„an,... h. 13
25
Mustafa Murad, Kisah Hidup „Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4 (Jakarta: Zaman, 2013), h. 72. Lihat pula dalam al-Hafīẓ Ibn Katsīr, Perjalanan
Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, terj. Abu Ihsan al-As‟ari, cet. 8 (Jakarta: Darul Haq,
2011), h. 21-22
26
Mustafa Murad, Kisah Hidup Abū Bakr as-siddiq,... h.147
26
(setidaknya dua saksi27). Hal ini dilakukan Zaid untuk mencari kesepakatan bahwa
periode ini berpijak pada empat hal, yaitu: ayat-ayat al-Qur„an yang ditulis
dihadapan Nabi dan yang disimpan dirumah beliau, ayat-ayat yang ditulis adalah
yang dihafal para sahabat penghafal al-Qur„an, tidak menerima ayat yang hanya
terdapat pada tulisan atau hafalan saja, melainkan harus ada bukti bahwa itu
tertulis dan dihafal, kemudian penulisan dipersaksikan kepada dua orang sahabat
bahwa ayat-ayat tersebut benar-benar ditulis dihadapan Nabi pada saat Nabi masih
hidup.29
Tugas penulisan al-Qur„an dilaksaakan oleh Zaid dalam kurun waktu satu
tahun sejak selesai perang Yamamah sampai sebelum Abū Bakar wafat.
Lembaran-lembaran ini disimpan oleh Abū Bakr sampai wafat dan kemudian
disimpan „Umar bin Khattāb, hingga kemudian disimpan oleh Ḥafṣah bint
„Umar.30 Kompilasi al-Qur„an pada masa ini disebut dengan istilah shuhūf,
merupakan kata jamak yang secara literal artinya, keping atau kertas.31 Adapun
27
Menurut Ibn Hajar, yang dimaksud dengan pengertian dua saksi (syāhidain), tidak harus
keduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Seorang sahabat yang
membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang dibawanya didukung oleh dua hafalan atau
tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa oleh seorang
sahabat akan dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.
Adapun pemahaman ini berbeda dengan yang diusulkan as-Sakhawi (w.643 H), yang memandang
bahwa syāhidain di sini artinya adalah catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat
tertentu yang disodorkan sahabat sudah dapat diterima jika memiliki dua saksi yang menegaskan
bahwa catatan tersebut memang ditulis dihadapan Nabi. Lihat al-Suyuti, al-Itqan, jilid 1, h. 60
28
M. Musṭafa al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an,... h. 87
29
Mawardi Abdullah, Ulūmul Qur‟an,... h. 25
30
Murad, Kisah Hidup „Umar..., h. 147. Lihat juga Dār al-„Ilm, Atlas Sejarah Islam, Peny.
Koeh (Jakarta: Kaysa Media, 2011), h. 55
31
M. Musṭafa al-A„zāmi, Sejarah Teks al-Qur‟an,... h. 92
27
pembukuan al-Qur„an masa Abū Bakr ini disebut sebagai pembukuan al-Qur„an
yaitu mushaf ini telah menghimpun semua ayat al-Qur„an dengan cara yang
sangat teliti, ayat dan surah telah tersusun menurut susunan yang sebenarnya
seperti yang diwahyukan Allah kepada Nabi SAW., mushaf ini juga meniadakan
ayat-ayat al-Qur„an yang telah di mansūkh, kemudian mushaf ini mencakup tujuh
bahasa sebagaimana al-Qur„an diturunkan. Selain itu, mushaf ini juga telah
Pasca wafatnya Abū Bakr, mushaf terjaga dengan ketat di bawah tanggung
jawab „Umar bin Khattāb sebagai khalifah kedua. Pada masa ini al-Qur„an tinggal
menyalin mushaf masa Abū Bakr tersebut ke dalam lembaran. Dalam hal ini
untuk dijadikan naskah orosinil, bukan sebagai bahan hafalan. Setelah serangkaian
penulisan selesai, naskah tersebut diserahkan kepada Ḥafṣah untuk disimpan. Hal
ini dengan pertimbangan, selain ia sebagai putri Abū Bakr sekaligus Istri
Begitupun Ḥafṣah wafat, mushaf al-Qur„an diambil resmi oleh Marwan ibn al-
32
Lihat Mannā„ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi... h. 162
33
Mawardi Abdullah, Ulūmul Qur‟an,... h. 27
34
Rosihon Anwar, Ulūm al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 45
35
Marwān ibn al-Hakam adalah walikota Madinah masa itu. Banyak versi periwayatan
berkenaan dengan keterangan ini. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Marwan
memerintahkan untuk membakar mushaf orisinil karena berbagai pertimbangan. Adapun ungkapan
28
dan menghindari keraguan di masa yang akan datang akan adanya mushaf-mushaf
lain yang setara dengannya. Hal tersebut dikarenakan mushaf Abū Bakr/ Ḥafṣah
tidak lengkap. Selain itu, adanya perubahan susunan penulisan yang dilakukan
Hemat penulis pada masa „Umar tidak ada upaya kodifikasi al-Qur„an
sebagaimana pada masa Abū Bakr. Pada masa ini hanya dilakukan penjagaan,
karena al-Qur„an sudah tersebar ke berbagai wilayah. Sehingga al-Qur„an masa ini
„Umar bin Khattab. Pada masa ini, banyak para penghafal al-Quran yang ia
mempunyai cara dan metode yang berbeda dalam penyampaiannya begitu juga
dengan versi qirāat nya. Bahkan Hudzaifah Ibn al-Yaman yang ikut dalam
penduduk setempat yang berbeda satu sama lain, bahkan saling membenarkan
Marwan: “Saya lakukan hal ini karena khawatir, ketika zaman berlalu atau dikemudian hari,
manusia akan meragukan keadaan ini.” lihat uraian dalam Muhammad Quraish Shihab, et. al,
Sejarah dan Ulūm al-Qur‟an,... h. 31
36
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, cet. 3
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 19
29
mu‟minīn! Satukanlah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Qur„an seperti
kembali al-Qur„an, tepatnya akhir tahun ke-24 H dan awal ke-25 H38 dengan
menunjuk 12 orang termasuk Zaid bin Tsabit (sebagai ketua), „Abdullah bin
Zubair, Said ibn al-sh, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam.39 Kodifikasi
ini dilakukan sebagaimana pada masa Abū Bakr. Akan tetapi kodifikasi al-Qur„an
pada masa „Utsmān bukan karena keberadaan al-Qur„an yang masih tercecer,
ini diawali dengan menyalin mushaf Abū Bakr yang dijaga oleh Ḥafṣah ke dalam
bacaan mereka yang hafal al-Qur„an dengan baik dan benar, dan bila ada
perbedaan bacaan yang digunakan harus dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab
37
Mannā„ Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an.., h. 193
38
Musṭafa Murād, Kisah Hidup „Utsmān Ibn „Affan, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4, (Jakarta: Zaman, 2013), h. 65. Lihat pula Mannā‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur‟an.., h. 200
39
Lihat al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur„an,... h. 100, bandingkan dengan al-Qaṭṭān, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur‟an,... h. 193, „Utsmān hanya menunjuk empat orang dan ketiga diantaranya
selain Zaid adalah orang Quraisy, sehingga jika terjadi perdebatan „Utsmān memerintahkan agar
yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga kawannya ditulis dalam dialek Quraisy.
40
Lihat Ibn Katsīr, Perjalanan Hidup..., h. 453
30
wilayah yakni Mekkah, Syam (Syiria), Basrah dan kuffah, agar ditempat-tempat
tersebut disalin pula dengan mushaf yang sama.42 Sementara satu buah mushaf,
ditinggalkan di Madinah untuk „Utsmān sendiri dan yang terakhir inilah yang
pembakuan dan mushaf- mushaf lain yang tidak sesuai untuk dibakar. Hal ini
Kodifikasi periode „Utsmān ini dilakukan dengan sangat cermat dan teliti.
dengan sistematika al-Qur„an sesuai dengan susunan surah dan ayat sebagaimana
terlihat saat ini. Sebelum menetapkan dan menuliskan lafadz yang disepakati, tim
dikenal oleh para sahabat, dan jika tetap terjadi perselisihan maka dipilihlah
qira‟ah Quraish. Selain itu, tim juga menyisihkan segala sesuatu yang bukan al-
41
Lihat al-Suyūti, al-Itqān..., jilid 1, h. 132. Banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah
mushaf yang dikirimkan „Utsmān ke berbagai daerah. Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān dalam bukunya
Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān, h. 199, menuliskan: ada yang mengatakan jumlahnya 4 buah (masing-
masing dikirimkan ke Kuffah, Basrah, Syam, dan mushaf Imam), dan 5 buah (masing-masing
adalah yang disebutkan pada poin pertama ditambah Mekkah). as-Suyuti berkata bahwa pendapat
inilah yang masyhur, 7 buah (masing-masing adalah kota yang disebutkan sebelumnya
ditambahkan Yaman dan Bahrain). Sementara al-Ya‟qubi, seorang sejarawan Syi‟ah mengatakan
bahwa mushaf „Utsmān ada 9 eksemplar, yang tersebar ke tujuh tempat sebelumnya ditambah
wilayah Mesir dan al-Jazirah, al-A‟zami, Sejarah Teks al-Qur‟an.., h. 105
42
Lihat Dār al-Ilmi, Atlas Sejarah..., h. 55
43
Musṭafa Murad, Kisah Hidup „Utsmān,... h. 66
31
Qur„an, misalnya catatan-catatan kaki yang yang ditulis oleh para sahabat sebagai
penjelasan atas suatu bagian al-Qur„an, penjelasan tentang nasikh dan mansukh.44
Sejak saat itu sejarah mencatat, hasil kodifikasi „Utsmān bin „Affan cukup
efektif untuk dapat mengikat persatuan umat Islam dalam ranah standarisasi teks
al-Qur„an. Setidaknya masa „Utsmān ini menjadi kodifikasi terakhir umat Islam
dalam penyatuan bacaan. Artinya setelah fase ini tidak ada lagi pembukuan atau
yang cukup lama, yakni hingga masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan.45
Dari penyalinan mushaf masa „Utsmān ini, maka kaum muslimin diseluruh
pelosok menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara model dan metode
tulisan yang digunakan didalam mushaf „Utsmān ini kemudian dikenal dengan
satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya, menyatukan bacaan walaupun
masih ada perbedaan tetapi setidaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan
mushaf-mushaf „Utsmān. Sedangkan ejaan yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf
susunan surah-surah menurut urutan seperti yang terlihat pada mushaf- mushaf
44
Musṭafa Murad, Kisah Hidup „Utsmān,... h. 67
45
Zaenal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm „Utsmāni dalam Penulisan al-Qur‟an”, dalam
Journal of Qur‟anic and Hadits Studies, Vol. 1, No. 2, 2012, h. 220
46
Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī ulūm al-Qur‟ān (Riyad: Mansūrat al-Hasr wa al-
Hadīts, 1393 H/ 1973 M.), h. 146
32
Abū Bakr dan masa „Utsmān, setidaknya terlihat beberapa perbedaan, sebagai
berikut:
Merujuk pada Q.S al-Ḥijr/ 15:9, ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa
al-Qur„an berasal dari Allah berikut dengan komitmenNya untuk menjaga dari
Sebagaimana penjelasan di awal, term keterjagaan ini diambil dari kata Ḥāfiẓūn
pada potongan ayat Q.S al-Hijr/ 15:9 Innā naḥnu nazzalnā al-dhikr wa innā lahu
laḥāfizūn.
47
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 163
33
Qur„an tersebut dilakukan? Pada sub bab ini penulis akan memaparkan pendapat
beberapa mufasir terkait pertanyaan tersebut dengan menjadikan Q.S al-Ḥijr/ 15:9
Pangkal perdebatan para ulama awal dalam menafsirkan Q.S al-Ḥijr/ 15:9
ini, ada pada ḍamīr ha kata lahu. al-Tabāri mengemukakan sejumlah pendapat
yang kemudian pendapat al-Tabāri ini dipakai pula oleh sejumlah mufasir abad
ketiga dan keempat Hijriah seperti al-Ṣan„ānī (w. 211 H), al-Juzzāz (w. 311 H),
dan Ibn Abī Ḥātim (w. 327 H) mengenai siapa yang berbeda tersebut.
kaitan antara ayat laḥāfizūn dengan ayat Lā ya‟itīhi al-bāṭil yang merujuk ke iblīs,
batil, dan benar-benar tidak akan bisa mengurangi apa pun karena Allah-lah yang
pendapat Qatādah, hanya saja riwayatnya berasal dari Ma„mar. Bahwa Allah-lah
secara batil, begitu pula upayanya untuk mengurangi sesuatu darinya. Keempat,
ḍāmir hu kembali pada al-Ẓikr yang bermakna Ẓikr Muhammad (ingatan Nabi
mimman arādahu bisū‟in min a„dā‟ihi,” hanya saja al-Tabāri tidak menjelaskan
48
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 164
34
perkembangan pendapat bahwa yang tadinya hanya Iblis kini siapapun memiliki
Maka dari itu, hal ini juga berpengaruh besar pada kesimpulan siapa dan
maḥfūẓun fi al-qulūb.” Jika ditarik kesimpulan, para mufasir pada abad ini mulai
memiliki pendapat baru bahwa para penghafal al-Qur„an dan mereka yang telah
Qur„an.51 begitu pula dengan Al-Rāzī yang mulai memasukkan peran sahabat
yang melakukan jam„ al-Qur‟ān adalah bagian dari para penjaga al-Qur„an.
bagian dari pola penjagaan. Namun di sisi lain, al-Zamakhshārī (w. 538 H) juga
menambahkan istilah tabdīl dan taghyīr bersamaan dengan ziyādah dan nuqṣān
49
Muḥammad Ibn Muḥammad Ibn Maḥmūd, Abū Manṣūr al-Māturīdī (w.333 H), Tafsīr al-
Māturīdī –Ta‟wīlāt ahl al-Sunnah, Juz 6, Cet I (Bayrūt Lubnān: Dār al-Kutub al-„Alamiah, 1426
H/2005 M), 424.
50
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 165
51
Eva Nugraha, Diseminasi Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h. 165
BAB III
Penulis menganggap bab ini penting adanya, karena pembahasan pada bab
ini akan memudahkan penulis dalam melihat identitas pemikiran dan profil tafsir
Ada tiga sub bab yang penulis anggap penting dalam bab ini, yaitu biografi
ini karena pemikiran seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang yang
A. Biografi al-Sya‘rāwī
Sya„rāwī, beliau lahir pada hari ahad tanggal 17 Rābi’ al-Tsāni 1329 H bertepatan
dengan 16 April 1911 M di sebuah desa Daqadus, salah satu kota kecil yang
yang dipimpin oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai petani yang ‘ālim dalam
beribadah.2 Pada lingkungan yang demikian itu, tumbuhlah pengaruh besar yang
1
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Al-Syaīkh Muhammad al-Mutawalli al-Sya’rāwī (Imām
al-‘Ashr) (Kairo, Mesir: Nahdlah, 1990), h. 11
2
Sa‟īd Abū al-„Ainaīn, al-Sya’rāwī alladzī lā na’rifuhu (Mesir: Dār Akhbār al-Yaūm,
1995), h. 16
35
36
diawali dengan menuntut ilmu di sekolah dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926
Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1937 M.4 Kemudian ia
pemerintah saat itu yang dipimpin Jamal Abdul Nasser.5 Selain itu, beliau juga
Malik Ibn Abdul Aziz Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, dan lain-lain.6
Pada tahun 1963 M terjadi perselisihan antara presiden Jamal Abdul Naser
dan Raja Saudi. Dengan adanya perselisihan ini akhirnya beliau memutuskan
kembali ke Kairo dan menjadi direktur di kantor Syekh al-Azhar Syekh Husein
Ma„mun. Setelah itu, beliau juga menjadi ketua delegasi al-Azhar di Algeria dan
menetap di sana selama 7 tahun. Kemudian kembali lagi ke Kairo dan ditugaskan
3
Ahmad al-Mursi Husein Jauhar, Asy-Syifuaikh Muhammad al-Mutawalli al-Sya‘rāwī
(Imâm al-‘Ashr), h. 74.
4
Said Abu al-Ainain, al-Sya’rawi Alladzi Lâ Na’rifuh (Kairo: Akhbar al-Youm, 1995), h.
28-29.
5
Ahmad karomain, “Tafsir al-Sya„rāwī Khawatir al-Sya„rāwī Haula al-Qur‟an al-Karim.”
Diakses pada 10 Oktober 2018 dari https://karomain.wordpress.com/2012/12/06/tafsir- al-Sya„rāwī
- khawatir-al-syarawi-haula-al-quran-al-karim/
6
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‘rāwī
(Jakarta:Mizan, 2004), h. 27
37
menjadi Wakil Dakwah dan Pemikiran, serta menjadi utusan al-Azhar untuk
Aziz.7
pun sempat diangkat menjadi menteri wakaf dan urusan Al-Azhar. Pada
Nasser. Jabatan menteri hanya ia pegang selama tidak kurang dari dua tahun
kehormatan kenegaraan).9
al-Mansurah dalam Bidang Adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia memperoleh
namun ia menyerahkan penghargaan ini kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu‟uts al-
7
Muhammad Siddīq al-Minsyāwī, al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt (t.t.:
t.p.,t. th.), h. 8
8
Muhammad Siddīq al-Minsyāwī, al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt, h. 8
9
Mahmud Rizq al-Amal, Tarikh al-Imam al-Sya‘rāwī, dalam majalah Manār al-Islam
(September, 2001), no. 6 vol. XXVII, h. 35
10
Taha Badri, Qaluan al-Sya‘rāwī ba’da Rahilihi (al-Qahirah: Maktabah Al-Turas al-
Islami, t.t), h. 5-6
38
Syekh Mutawalli al-Sya„rāwī adalah satu dari sekian ulama dunia yang
cukup berpengaruh pada abad ke-20, baik dalam bidang keagamaan, sosial,
Mujaddid Abad ke-20 tampaknya tidak terlalu berlebihan jika disandangkan untuk
daerahnya. Beliau adalah ayah dari tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan,
mereka adalah Sami, Abd al-Rahīm, Ahmad, Fāthimah dan Shālihah.12 al-
Sya„rāwī tutup usia pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, bertepatan dengan tanggal 22
Safar 1419 H, dalam usia 87 tahun.13 Tentunya menyimpan duka bagi masyarakat
Islam, baik masyarakat Mesir itu sendiri maupun dunia Islam atas kepergiannya. 14
kosong, melainkan lahir dari pergumulan yang intens dengan realitas yang
melingkungi dan melatar belakanginya. Demikian itu, dapat diketahui dari latar
terbentuk dari aktifitasnya sebagai seorang intelektual saja, namun juga situasi
kemerdekaan sampai masa kepemimpinan Anwar Sadat juga turut andil dalam
11
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzab ayat 72; Perspektif
penafsiran al-Sya‟rawi. h. 41
12
Husain Jauhar, Ma’a Dāiyah al-Islām Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rāwī Imām
al-‘Asr (Kairo: Maktabah Nahdah, tt), h. 14
13
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2006), h. 277
14
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya’rawi: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah (Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 40.
39
Menjelang abad 20, Mesir mengalami gejolak politik yang ditandai dengan
terbentuk pemerintahan Republik, yaitu sejak terjadinya revolusi pada tahun 1952
Muslim Brotherhood) pada tahun 1928 yang diprakarsai oleh seorang tokoh,
organisasinya untuk dua tujuan: Pertama, terbebas dari jajahan asing. Kedua,
15
Hikmatiar Pasya,”Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī”, Jurnal Studia Qur’anika Vol. I,
no. 2 (Januari, 2017), h. 145
16
Aniesa Maqbullah, Pemaknaan amanah dalam surah al-Ahzab ayat 72; Perspektif
penafsiran al-Sya‟rawi. h. 50
17
Lihat: Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 146
40
2. Pengaruh Intelektual
sekuler. Demikian itu, sedikit banyak mempengaruhi pada sistem al-Azhar, yang
Pada masa itu, al-Azhar menjadi pilihan pertama bagi masyarakat Mesir
untuk menimba ilmu. Alasan itulah yang menjadikan orang tua al-Sya„rāwī sangat
Azhar pada tahun 1926 tak seperti al-Azhar sebelumnya, dimana menjadi basis
gerakan kebencian terhadap Inggris. Sehingga sempat dikenal berporos pada suatu
terdengar tegas namun tetap lembut, terlebih banyak mengutip dari ayat-ayat al-
Qur‟an.
Fakultas ini tidak hanya mempelajari sastra Bahasa Arab, tetapi juga ilmu-ilmu
18
Badruzzaman M. Yunus, Tafsir al-Sya„rāwī: Tinjauan Terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah. h. 31-32
19
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
41
menjadi seorang tokoh yang kaya akan hazanah keilmuan pada bidangnya,
dari karya ini adalah Tafsīr Khawātir al-Sya‘rāwī Haula al-Qur’ān al-Karīm.
Pada mulanya tafsir ini hanya di beri nama Khawātir al-Sya’rāwī, dimaksudkan
sebagai sebuah perenungan (Khawātīr) dari diri al-Sya„rāwī terhadap ayat-ayat al-
Qur‟an.21
kumpulan hasil pidato atau ceramah al-Sya„rāwī yang kemudian di edit ke dalam
bentuk tulisan buku. Adapun hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-
pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya„rāwī meninggal dunia). Dengan
demikian, Tafsir ini merupakan golongan tafsīr bi al-lisān atau tafsir sauti (hasil
20
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
21
Riesti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur„an tentang Wanita Karir, h.
36
22
Muhammad Alī Iyāzi, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhājuhum, (Teheran:
Mu‟assasah al-Thabā`ah wa al-Nasyr, 1372 H), h. 268
42
dan maksud syara„ yang terkandung dalam ayat bersangkutan didominasi oleh
Sya„rāwī juga mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadits Nabi SAW,
pendapat para sahabat dan tabi„in yang dianggap memiliki korelasi pada kajian
yang sedang dibahas guna memberikan pemahaman yang lebih baik, sehingga
mudah untuk dipahami. Pernafsiran dengan model seperti ini banyak sekali
ditemukan dalam tafsir al-Sya„rāwī. Di sisi lain, menurut hemat penulis, ini juga
sebagai bukti bahwa penafsiran al-Sya„rāwī tidak lepas dari penggunaan sumber
penafsiran āyah bi al-āyah, āyah bi al-riwāyah yang lebih kita kenal dengan
Adapun jika dilihat dari metodenya, tafsir ini tampaknya agak sulit
dipetakan sebab pada mulanya tafsir ini bukanlah karya tafsir yang sengaja
disusun sebagai satu karya tafsir al-Qur„an dalam bentuk tulisan ilmiah melainkan
merupakan tafsīr bi al-lisān atau tafsīr sauti (hasil pidato atau ceramah yang
taḥlīli atau analisis. Dengan kata lain al-Sya„rāwī memaparkan kandungan dan
maksud ayat secara umum melalui analisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari
23
Hikmatiar Pasya, Studi Metodologi Tafsir al-Sya„rāwī, h. 148
24
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi” (Tesis S2 Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 2016), h. 36
43
Dari segi corak, yang menonjol dalam penafsirannya adalah corak Adābi
mendekatkan makna yang semula dianggap jauh menjadi lebih dekat dan
problematika pemerintahan.
3. Sistematika Penafsiran
25
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‘an (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013),
h. 173-174. Lihat juga Al-Ḥayy Al-Farmāwy, Metode Tafsir Mauḍu‘ī: Suatu Pengantar, Terj.
Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 45-46
26
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”. h. 43
44
Berdasarkan sitematika di atas, maka tafsir ini tidak memuat dari surah
Luqmān hingga surah al-Nās atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30
dalam al-Qur„an.27
surat, hikmah, dan hubungan surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya.
27
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”... h. 54
28
Riesti Yuni Mentari, Penafsiran al-Sya„rāwī terhadap al-Qur„an tentang Wanita Karir, h.
37
45
merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang
yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam
suatu ayat di-takhsīs oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu
4. Sumber Penafsiran
karya Muḥammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsīr Fī Zilāl al-Qur’ān yang
dikarang oleh Sayyid Quṭub, Tafsīr al-Ṭabārī karya Ibn Jarīr al-Ṭabārī, Mafātih
Dalam dunia tafsir, pola penyajian adalah kerangka dan tata kerja yang
dipakai dalam proses penafsiran al-Qur‟an. Secara historis, setiap penfsiran telah
menggunakan suatu pola atau lebih. Pilihan pola tergantung pada kecenderungan
dan sudut pandang penafsir serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain
yang melingkupinya. Banyak sekali kelebihan yang dimiliki oleh tafsīr al-
teknik bahasa yang cukup sederhana. Hal ini sebagai upaya meletakan al-Qur‟an
pada posisi sebagai pedoman dalam realitas kehidupan sosial. Serta dalam tafsir
29
Mahmud Basuni Faudah, Tafsīr-tafsīr al-Qur‘ān Perkenalan dengan Metodologi Tafsīr,
terj. M. Muhtar Zoeni dan Abdul Qadir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), h. 24-25
30
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”, h. 54
46
juga ada kekurangan dalam tafsir ini al-Sya„rāwī tidak banyak memberikan
perhatian kepada pembahasan kosakata atau tata bahasa, kecuali dalam batas-
Qur‟an. Serta tidak adanya sebuah referensi ketika terdapat penyebutan sebuah
pendapat ulama lain. Dan tidak adanya perhatian terhadap sanad hadis.31
31
Nasrul Hidayat, “Konsep Wasatiyyah Dalam Tafsir al-Sya‟rawi”, h. 55
BAB IV
AL-QUR‘AN
Pembahasan utama bab ini berisi uraian tentang bagaimana keterjagaan al-
Maka dari itu, pada uraian bab ini penulis mencoba melakukan penelitian
dengan menggunakan pola berikut. Pertama, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 pada tafsīr al-
Sya„rāwī ini diposisikan sebagai argumen utama keterjagaan al-Qur‟an. Hal ini
Sya„rāwī dalam satu ayat tersebut. Kedua, Q.S al-Ḥijr/ 15:9 diposisikan sebagai
argumen pelengkap.
47
48
menggunakan argumen ayat atau dalīl naqli tentang bagaimana proses keterjagaan
melalui berbagai fenomena penjagaan al-Qur„an pada masa lampau ataupun pada
membawa kaidah-kaidah atau aturan-aturan Allah. Akan tetapi tidak semua kitab
1
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
2
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2 (Kairo: Akhbār al-Yaūm
Idārah al-Kutub wa al-Maktabāt, 1991), h. 7652.
49
itu bernilai mu„jizat kecuali yang diturunkan Allah beserta para Rasul sebelum
Nabi Muhammad SAW. Biasanya, mu„jizat itu tersusun dan lahir sesuai kategori
al-Kitab yang membawa aturan Allah, dan Allah telah menghendaki untuk
keterjagaan al-Qur„an?.
ِ ِ
َْسلَ ُموا
ْ ور َْحي ُك ُم ِبَا النبيون الذين أ َ {إِنَّآ أ:”وجند اَلق سبحانو وتعاىل يقول
ٌ َُنزلْنَا التوراة ف َيها ُى ًدى َون
ِ َادواْ والربانيون واْلحبار ِِبَا استحفظوا ِمن كِت
أن اَلق:] أي44 : } [املائدة... اب اهلل ِ َِّ
ُ ين َى
َ للذ
3
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7652.
4
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 152
50
سبحانو وتعاىل قد كلّفهم وطلب منهم أ ْن حيفظوا كتبهم اليت حتمل منهجو؛ وىذا التكليف عُ ْرضة
حرفوا
ّ صوا أمر اَلق سبحانو وتكليفو باَلفظ؛ ذلك أهنم
َ وعُ ْرضة أ ْن يُعصى؛ وىم قد َع،أ ْن يطاع
5
“.وبدلوا وحذفوا من تلك الكتب الكثري
Menurut hemat penulis, al-Sya„rāwī berpendapat bahwa proses penjagaan
Allah terhadap al-Qur„an terlebih dahulu melihat fenomena yang terjadi pada
ketentuan Allah, namun sesekali mereka patuh, dan di lain kesempatan mereka
menghapusnya.
mengemukakan sebuah fakta yang terjadi melalui potongan ayat lain Q.S al-
(setelah mereka merubah, mengganti bahkan menghapus) “ini lah menurut Allah.”
Sehingga kemudian Allah berkata kepada mereka dalam Q.S al-Baqarah/ 2:79;
5
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7652.
6
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 28
51
اب بِأَيْ ِدي ِه ْم ُُثَّ يَ ُقولُو َن َى َذا ِم ْن ِعْن ِد اللَّ ِو لِيَ ْشتَ ُروا بِِو ََثَنًا قَلِ ًيًل فَ َويْ ٌل ََلُ ْم ِِمَّا ِ
َ َين يَكْتُبُو َن الْكت
ِ َِّ
َ فَ َويْ ٌل للذ
Hal ini tentunya menunjukan bahwa mereka telah berbuat dosa dengan
berbohong dan tidak menjaga amanah Allah. Mereka tidak menjaga kitab-kitab
yang dititipkan kepada mereka sebagaimana penjagaan yang telah dilakukan para
Oleh karena itu, menjaga al-Qur„an tidak Allah jadikan tugas untuk
manusia, karena terkadang mereka ta„ati dan terkadang pula mereka ingkari.
Demikian pula ini sebagai tanda bahwa al-Qur„an dibedakan dari kitab-kitab
SAW.8
mencatat wahyu itu ketika ia turun. Para sahabat telah melakukan penulisan al-
7
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 15
8
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7653
52
Dewasa ini kita temukan orang yang tidak meyakini al-Qur„an, akan tetapi
mereka berkreasi dalam menjaganya. Ada pula orang yang menuliskan mushaf
dalam satu lembar, orang yang mencetak mushaf dengan cara dokumentasi
modern.
menyimpan tentang segala hal yang terkait dengan ayat-ayat al-Qur„an dalam
ruang khusus dan dibatasi. Selain itu, di negara-negara Muslim bisa kita saksikan
sekelompok orang yang memutuskan untuk menghafal al-Qur‟an sejak usia dini
dan menuntaskannya padahal umur mereka masih cukup muda. Namun demikian,
mereka tak mengetahui apa makna dari apa yang mereka baca.9
Untuk menjelaskan struktur ayat Q.S al-Ḥijr/ 15:9 secara jelas, penulis
beranggapan bahwa pola yang digunakan al-Sya„rāwī adalah menjadikan Q.S al-
Ḥijr/ 15:9 sebagai penguat dan penjelasan atas ayat-ayat yang lain. Tidak kurang
dari dua puluh lima ayat yang dikuatkan argumennya dengan menggunakan Q.S
al-Ḥijr/ 15:9. Pada bagian ini penulis menyimpulkan empat pembahasan utama
yaitu;
9
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I2, h. 7654.
53
Diantaranya adalah; QS. al-Baqarah/2: 119 dan QS. al-Nisā 163. Sejauh ini relasi
yang penulis temukan hanya sebagai penguat dan pembanding atas diksi terkait
pada ayat tersebut. Dengan kata lain, penjelasan kata Innā beserta penggunaannya
Sya„rāwī, Allah menunjuk diriNya pada teks al-Qur„an dengan tiga pola.10
Pertama, Dia hadir dengan ḍamīr mutakallim yang bermakna Nahnu (bentuk
jamak atau dalam istilah ilmu nahwu dikenal sebagai mutakallim ma„a al-ghaīr)
yaitu Innā. Hanya saja dalam pandangan al-Sya„rawi mutakallim ma„a al-ghaīr di
sini tidak bisa dimaknai jamak ataupun “Allah dengan yang lainnya”, melainkan
menyebut Nūn disana sebagai Nūn Udzmah. Hal ini dibuktikan dengan tafsirnya
أو. «َنن» للجماعة:”انك إذا رأيت «نون العظمة» اليت نسميها «نون اجلمع» جند أننا نقول
: أمل يقولوا يف امللكية، ولذلك نًلحظها حىت يف قانون البشر،للمتكلم الواحد حني يعظم نفسو
العظمة، » إمنا ىو «نون العظمة. وىذه النون بالنسبة هلل ليست نون اجلماعة، »«َنن امللك
10
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I, h. 559.
54
Annisā/ :163 dan perbuatan tuhan tidak berdiri dengan sendirinya karena tuhan
Kedua, Allah hadir dengan ḍamīr mutakallim yang bermakna Anā (bentuk
mufrad atau dalam istilah ilmu nahwu dikenal sebagai mutakallim waḥdah) yaitu
مثل قولو. .ولكن حني يتكلم اهلل عن ألوىيتو وحده وعن عبادتو وحده يستخدم ضمري املفرد
]44 : {إنين أَنَا اهلل ال إلو إال أَنَاْ فاعبدين َوأَقِ ِم الصًلة لذكري} [طو:سبحانو
al-Sya„rāwī menegaskan bahwa bentuk mufrad ini hadir ketika Allah
menunjukkan ke-Esa-an Dzat-Nya12 seperti pada QS. Thāhā/ 20:14 “Innanī anā
Allāhu”, QS. al-Māidah/ :115 “Qāla Allāhu Innī munazziluhā”. Ditemukan pula
setiap perintah untuk menyembah-Nya13 seperti pada potongan ayat QS. Ṭāhā/
20:14 “Fa„budnī”.
sebagai ḍamīr al-ghāibah yaitu huwa. Pendapat al-Sya„rāwī, ḍamīr yang kita
sebut sebagai ḍamīr al-ghāibah ini menunjukkan kesempurnaan Allah dan tidak
akan pernah ditemukan marji „alaīh nya kecuali Allah, seperti hal nya pada QS.
11
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz I, h. 559.
12
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 2815.
13
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 559.
14
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 6, h. 3676.
55
al-Qur‘an)
Hijr/ 15:9 yang dijadikan oleh al-Sya„rāwī sebagai argumen penjelas pada satu
Posisi al-Hijr/ 15:9 pada ayat ini untuk menegaskan bahwa pola penurunan
al-Qur‟an itu adalah sesuatu yang dianggap oleh al-Sya„rāwī hak. Bukti bahwa ia
dengan al-Qur„an yang ada di Lauḥ al-Mahfūẓ, sedangkan al-Qur„an yang ada di
Lauḥ al-Mahfūẓ turun secara sekaligus. Padahal kita ketahui bahwa al-Qur„an
yang ada dihadapan kita hari ini, itu adalah al-Qur„an yang turun secara
berangsur-angsur.
yang ḥaq, karena dia berasal dari al-Ḥaq. Karena itu, ia diturunkan pula dengan
cara-cara yang ḥaq dan hanya melalui utusan yang ḥaq (Jibril.a.s kepada Nabi
apa yang telah diwahyukan padanya. Hal itu, al-Sya„rāwī buktikan dengan QS. al-
Hijr/ 15:9.
15
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 14, h. 8793
56
Bagian ketiga dari penelitian ini adalah QS. al-Hijr/ 15:9 sebagai rujukan
atau argumen yang dibangun al-Sya„rāwī dalam menjelaskan kata al-ẓikr pada
ayat lain. Penulis menemukan sebanyak enam ayat, namun yang berkaitan
ِّ ك
الذ ْكَر َ َوأَنْ َزلْنَا إِلَْي
Allah menurunkan Penjelasan
1 al-Naḥl/ :44
al-Qur‟an kata al-Żikr
Dari keenam ayat yang penulis temukan pada tafsīr al-Sya„rāwī, penulis
mencontohkan hal ini seperti pada QS. Ali Imran/ 3:58 dan QS. al-Hijr/ 15:9
16
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 72
57
diibaratkan al-Sya„rāwī dengan sesuatu yang terngiang dan terus ada dalam
ingatan banyak orang, yang mana ingatan itu disebabkan oleh al-Qur‟an itu
ِ َوإِنَّو لَ ِذ ْكر ل
ف تُ ْسأَلُو َن َ ك َول َق ْوِم
َ ك َو َس ْو َ ٌ ُ َ
SAW dan bagi ummatnya, maka dari itu Allah menjadikan al-Qur‟an sebagai
sesuatu yang akan terus ada dalam ingatan banyak orang sampai hari kiamat.
Qur‟an yang berbahasa Arab, sehingga Arab mendapatkan kemuliaan dari al-
Qur‟an karena al-Qur‟an berbahasa arab, meskipun kata Rasul tidak ada
kemuliaan atau nilai lebih bagi orang arab diatas yang lainnya kecuali dilihat dari
ketaqwaannya.20
17
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 355
18
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 7, h. 4196.
19
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 706
20
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 7, h. 4196.
58
ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َما يَأْتي ِه ْم م ْن ذ ْك ٍر م ْن َرِِّب ْم ُْحم َدث إَِّال
استَ َمعُوهُ َوُى ْم يَْل َعبُو َن
Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur„an pun yang baru (di-
turunkan) dari tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main.21
ني ِ ِ ِ ِ
َ وسى َوَى ُارو َن الْ ُف ْرقَا َن َوضيَاءً َوذ ْكًرا ل ْل ُمتَّق
َ َولََق ْد آتَْي نَا ُم
Dan Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun kitab
Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa.22
Melalui dua ayat di atas, al-Sya„rāwī sekali lagi menegaskan bahwa setiap yang
ورا ِّ
ً ُالذ ْكَر َوَكانُوا قَ ْوًما ب
Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut
bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi
Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup,
sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang
binasa.24
21
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 448
22
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 454
23
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 12, h. 7321.
24
Kementerian Agama RI, al-Qur„an dan Terjemahnya (Bekasi: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), h. 504
59
Qur‘an)
menjelaskan keterjagaan al-Qur‟an. sub bab ini penulis anggap penting karena al-
ayat yang penulis temukan, hanya saja yg berkaitan langsung dengan gambaran
Al-Māidah/
Perintah استُ ْح ِفظُوا ِم ْن ِ
ْ ِبَا Penjelasan kata
2 memelihara kitab-
:44
kitab Allah اب اللَّ ِو
ِ َكِت Ustuhfiẓū
Allah menurunkan
اب ِ َ أَنْزلْنَا إِلَي
al-Qur‟an dengan َ َك الْكت ْ َ
ص ِّدقًا لِ َما ْ ِب
Penjelasan atas ayat
Al-Māidah/
membawa
َ اَلَ ِّق ُم penjelas Q.S al-
3 kebenaran dan
:48
membenarkan ني يَ َديِْو ِم َن
َ ْ َب
Māidah/ :44
(Ustuhfiẓū)
kitab-kitab yang ِ َالْ ِكت
اب
sebelumnya
maknanya adalah sesuatu yang tidak hanya terjaga dalam hati melainkan tertulis
dan terjaga hingga hari kiamat.25 Adapun pada ayat ke dua Q.S al-Baqarah Allah
25
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 111.
60
menggunakan kata al-Kitab, sebagai pembeda atas kitab-kitab yang ada di dunia
yang diturunkan sebelum al-Kitab. Menurutnya, ini merupakan taukīd dari Allah
sebagai bukti kebenaran janji Allah sebagaimana Q.S al-Hijr/ 15:9. Hal ini
kepada manusia. Sesekali mereka lupakan, jika tidak mereka lupakan mereka
Penjelasan serupa ditemukan pada Q.S al-Māidah/ 5:44 pada kata ustuḥfiẓū.
sebagai tugas kepada manusia namun hal itu menjadi tidak sempurna ketika
itu bagian dari perkataan mereka sendiri.27 Maka dari itu, dalam pola penjagaan
al-Qur‟an Allah tidak lagi menjadikannya tugas kepada manusia melainkan Allah
Selain itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa setiap rasul atau utusan datang
dengan membawa mu„jizat sebagai bukti kebenaran diutusnya oleh Allah. Akan
dari manhaj, lain halnya dengan rasul Muhammad S.A.W. Dikisahkan mu„jizat
Musa a.s berupa tongkat dan mampu membelah lautan, namun manhajnya adalah
kitab taurāt. Begitu pun Isa a.s berupa kemampuan menyembuhkan orang sakit
26
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 111.
27
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 3159.
61
dan buta, akan tetapi manhajnya adalah injīl. Berbeda dengan Nabi Muhammad
Kemudian pada Q.S al-Baqarah/ 2:29 pada penjelasan kata istawā, al-
Sya„rāwī menjelaskan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan Dzat Allah
tidak bisa dipersepsikan dengan segala sesuatu yang ada pada selainNya.29 Ia
hanya ingin menjelaskan bahwa apa yang Allah lakukan berbeda dengan apa yang
dengan Q.S al-Hijr/ 15:9. Kaitannya adalah bahwa sekalipun manusia menjaga al-
Qur‟an, pola penjagaan Allah tentu berbeda dengan pola penjagaan manusia,
karena sifat penjagaan Allah sudah ada sebelum yang akan dijaganya itu ada. Hal
ini dicontohkan al-Sya„rāwī dengan sifat Allah pemberi rezeki yang sudah ada
jauh sebelum orang yang akan diberi rezeki itu ada.30 Dari penjelasan tersebut, al-
Sya„rāwī menegaskan bahwa argumen al-Ḥijr/ 15:9 adalah bagian dari keagungan
apapun yang telah menjadi ketentuan Allah di dalam al-Qur‟an adalah mu„jizat
yang terjaga dan Allah berkomitmen untuk menjaganya begitu pun dengan al-
Qur‟an. Maka, yang menjaga al-Qur‟an ialah Ia yang mengatakan Innā naḥnu
nazzalnā al-żikra wa innā lahū laḥāfiẓūn.31 Menurutnya, Allah tidak akan berjanji
menjaganya kecuali hal itu menjadi argumen atas kebenaran dari ucapanNya. Hal
28
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 5, h. 3159.
29
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 233.
30
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 1, h. 233.
31
Muḥammad Mutawalli al-Sya„rāwī, Tafsīr al-Sya„rāwī, Juz 2, h. 1198.
62
ini juga ditegaskan al-Sya„rāwī pada penjelasan surah Luqmān/ 31:20 dan surah
al-Sajdah/ 32:26.
dengan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam proses penjagaan al-Qur„an.
Diantaranya; “fakullu syaiin yakūnu natījatu fi„lin min af„ālillāh”. Menurut hemat
penulis, hal ini dianggap cukup membuktikan bahwa apa yang diyakini al-
meskipun manusia secara lahiriyahnya ikut terlibat dalam hal tersebut, itu semata-
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan penafsiran mufasir lainnya seperti
Muḥammad Rashīd bin „Ali Riḍā (w 1354 H), Ahmad bin Mustafa al-Marāghī (w.
ribuan di setiap masa, sejumlah tulisan sejak zaman sahabat hingga sekarang,
dimulai, dengan penuh ketelitian dan koreksi tashih. Hal itu belum pernah ada
pada kitab suci yang lainnya maupun pada buku apa pun.32 Bahkan al-Marāghī
menilai mereka yang mengajak orang lain untuk membaca al-Qur‟an, mengambil
hikmah pelajaran (ibārah), akhlaq dan ilmu dari al-Qur‟an pun termasuk pihak-
32
Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 157
33
Lihat Eva Nugraha, Diseminasi, Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci,... h 153
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
penafsiran al-Sya„rāwī atas Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 terkait dengan proses penjagaan al-
Secara tekstual, mengacu pada Q.S. al-Ḥijr/ 15:9 bahwa proses penjagaan
manusia. al-Sya„rāwī menegaskan bahwa al-Ḥijr/ 15:9 adalah ucapan Allah yang
sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa al-Qur„an berbeda dengan Kitab-kitab
argumen penjelas atas ayat lain, al-Sya„rāwī menilai bahwa mereka para
penghafal al-Qur„an dan mereka yang melakukan sedemikian cara untuk menjaga
al-Qur„an tidak ia katakan sebagai pihak-pihak yang ikut terlibat dalam proses
yang menghendaki mereka untuk menghafal, Allah lah yang kuasa menjadikan
mereka hafal, dan Allah pula yang menjaga hafalan dalam ingatan mereka.
B. Saran
penelitian ini jauh dari cukup apalagi sempurna. Sehingga, sudah jadi barang tentu
63
64
ada baiknya membandingkan pemikiran sekian jumlah mufasir atau tafsir yang
ada pada abad 14 bahkan 15 terkait dengan penafsiran QS. al-Ḥijr/ 15:9 apakah
ada kesamaan dengan al-Sya„rāwī atau sesuai dengan kesimpulan yang ada pada
Disertasi Eva Nugraha. Selain itu, akan lebih baik pula jika polarisasi para mufasir
65
66
Shihab, Muhammad Quraish, et. al, Sejarah & Ulūm al-Qur’an, cet. 4. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Murad, Mustafa. Kisah Hidup ‘Umar bin Khaṭṭāb, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu
M. Sunman, cet. 4. Jakarta: Zaman, 2013.
Ibn Katsīr, al-Hafīẓ. Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, terj.
Abu Ihsan al-As‟ari, cet. 8. Jakarta: Darul Haq, 2011.
Istibzyaroh, Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-Sya‘rāwī
Jakarta:Mizan, 2004.
al-Minsyāwī, Muhammad Siddīq. al-Syaīkh al-Sya‘rāwī wa Hadīts al-Dzikrayāt. t.t.:
t.p.,t. th.
Rizq al-Amal, Mahmud. Tarikh al-Imam al-Sya‘rāwī, dalam majalah Manār al-Islam
(September, 2001), no. 6 vol. XXVII.
Badri, Taha. Qaluan al-Sya‘rāwī ba’da Rahilihi. al-Qahirah: Maktabah Al-Turas al-
Islami, t.t