Anda di halaman 1dari 94

PERAN MASJID PATHOK NEGORO AD-DAROJAT DALAM

PERUBAHAN SOSIAL KEAGAMAAN KAMPUNG BABADAN LAMA

BANGUNTAPAN BANTUL YOGYAKARTA (1942-2019)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh :

ELISA NOVI KARTIKASARI


NIM 53010160038

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN HUMANIORA JURUSAN

SEJARAH PERADABAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA TAHUN AJARAN

2020

i
ii
iii
iv
MOTTO

“ Jangan pernah berhenti untuk bermimpi, karena


impianlah yang bisa mengetuk pintu hati kita untuk selalu
berusaha mencapainya “

(Merry Riana)

v
PERSEMBAHAN

Allahamdulillah dengan izin Allah SWT Karya berupa skripsi ini terwujud

berkat motivasi, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dan Ibu yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepadaku dari

kecil hingga sekarang dan selalu memberikan motivasi, doa serta

dukungan untuk menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Drs. Taufiqul Mu’in, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah sabar dan memberikan motivasi supaya skripsi ini jadi dan ikhlas

mencurahkan pikiran, tenaga dan pengorbanan waktu dalam upaya

membimbing penulis skripsi ini.

3. Suami saya Adikiya Dwi Pratomo yang selalu membantu dan

memberikan semangat, semoga dipermudah dalam segala urusan.

4. Anakku Arsyila Vikya Kusumaningrum yang selalu menghibur ketika

lelah saat penulisan skripsi ini.

5. Sahabat kampus Keluarga Balakurawa dan tak lupa teman seperjuangan

Indah, Wildani, Anistya, Retno, Qurota, Rihana dan Meilasari, terima

kasih yang selalu memberikan motivasi serta setia menemani saat

mengerjakan skripsi, semoga persahabatan ini selalu terjaga.

6. Bapak Ibu serta saudara-saudara di rumah yang telah mendoakan dan

memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dan

penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.

vi
7. Deo Print, yang sudah membantu merapikan dan melancarkan penulisan

skripsi ini.

Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apapun.

Hanya untaian kata terima kasih yang bisa penulis sampaikan, semoga Allah SWT

senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka serta membalas semua amal

baik yang telah diberikan kepada penulis.

vii
ABSTRAK
Kartikasari, Elisa Novi. 2020. “ Peran Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dalam
Perubahan Sosial Keagamaan Kampung Babadan Lama Banguntapan
Bantul Yogyakarta (1942-2019)”. Skripsi Program Studi Sejarah
Peradaban Islam. Fakultas Usuluddin Adab dan Humaniora. Institut
Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. Taufiqul Mu’in, M.Ag.

Kata Kunci: Masjid Pathok Negoro, Perubahan Sosial, Yogyakarta.


Kerajaan Mataram, yang telah mengalami berbagai macam peristiwa
disintegrasi dan perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu
Yogyakarta dan Surakarta. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima
Masjid Pathok Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan
di timur, Wonokromo di tenggara dan Dongelan di Selatan Kraton Yogyakarta,
yang dikenal sebagai konsep papat kalimo pancer.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk


mengetahui gambaran umum lokasi penelitian yaitu di Kampung Babadan Lama
Banguntapan Bantul Yogyakarta 2) Untuk mengetahui Profil Masjid Pathok
Negoro Ad-Darojat dan kondisi Kampung Babadan Lama 3) Untuk mengetahui
Aktivitas sosial-keagamaan masyarakat Kampung Babadan Lama di Masjid Ad-
Darojat. Penelitian ini menggunakan metode library research, yaitu penelitian
tersebut dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan objek
penelitian, dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, baik secara primer
maupun sekunder. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara reduksi data,
penyajian data dan menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Lokasi Penelitian ini dilakukan di
Kampung Babadan Lama Banguntapan Bantul Yogyakarta, dan di kampung
tersebut terdapat Masjid Pathok Negoro yang bernama Ad-Darojat. 2) Masjid
Pathok Negoro dibangun pada tahun 1774 namun pada saat kedudukan Jepang
1942 Masjid ini dibongkar dan dipindahkan ke Babadan Baru atau Babadan
Kentungan, pada tahun 1960 salah satu warga Babadan bernama Mutohar
membangun kembali Masjid ini kembali ke Kampung Babadan Lama
Banguntapan di padukuhan Plumbon. 3) Aktivitas sosial keagamaan masyarakat
yang dilakukan rutin di Masjid Ad-Darojat ini beragam seperti : Kajian Tafsir
Qu’an,Kajian Tahsin Qur’an, Kajian Pemuda Islam, Kajian Khusnul Khatimah,
Pengajian Ahad Pagi, dan Pengajian anak. Sedangkan kegiatan lain yang diadakan
di Masjid Ad-Darojat ini ada Shalat Tarawih saat Ramadhan, Shalat Idul Fitri,
Shalat Idul Adha, Penyembelihan hewan qurban dan kadang ada pengajian akbar.

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah puji syukur dengan menyebut nama Allah yang Maha

Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan karunia, hidayah, dan

kenikmatan kepada penulis. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikut setianya.

Sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran Masjid Pathok Negoro

Ad-Darojat dalam Perubahan Sosial Keagamaan Kampung Babadan Lama

Banguntapan Bantul Yogyakarta (1942-2019). Penulis skripsi ini merupakan

suatu pengalaman yang berharga bagi penulis dan semoga akan mendatangkan

kebermaknaan yang melimpah bagi penulis, pembaca, dan dunia akademik.

1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag. selaku Rektor IAIN

Salatiga.

2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Adab dan Humaniora.

3. Bapak Sutrisna S. Ag., M. Ag. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Agama Islam.

4. Bapak Drs, Taufiqul Mu’in, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah membimbing dengan ikhlas, mencurahkan segala tenaga,

pikiran dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

5. Bapak Drs. Taufiqul Mu’in. juga selaku Dosen Pembimbing Akademik.

ix
6. Bapak dan Ibu Dosen IAIN Salatiga Khusunya Bapak Ibu Dosen Sejarah

Peradaban Islam yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan,

sehingga penulis mempu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak Ramidi dan Ibu Dwi Ambaryani yang selalu memberikan do’a

semangat, motivasi dan kasih sayang tiada tara.

8. Kepada semua pengurus Masjid Ad-Darojat

9. Kepada semua warga masyarakat Kampung Babadan Lama

10. Semua pihak yang telah membanyu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Atas jasa mereka penulis hanya dapat memohon do’a semoga amal mereka

mendapatkan balasan yang lebih serta mendapatkan kesuksesan baik disunia

dan akhirat.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Dengan

keterbatasan kemampuan, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna oleh

karena itu, kritik, dan saran yang membangun terbuka luas dan selalu penulis

harapkan untuk perbaikan skripsi ini.

Salatiga, 08 September 2020

Penulis

Elisa Novi Kartikasari


NIM.53010160038

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN DAN PUBLIKASI ........................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... iii

PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................................... iv

MOTTO ..................................................................................................................v

PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi

ABSTRAK .......................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1


B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................................3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................4
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................4
E. Kerangka Konseptual ...................................................................................5
F. Metode Penelitian.........................................................................................8
G. Sistematika Penulisan.................................................................................13
H. Sistematika Penulisan.................................................................................15

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...............................................17

A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta ......................................17


B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro ...................................18

xi
C. Kondisi Agama...........................................................................................24
D. Kondisi Sosial-Budaya .............................................................................28
BAB III

MASJID PATHOK NEGORO AD-DAROJAT DI KAMPUNG BABADAN


BANGUNTAPAN BANTUL ...............................................................................32

A. Profil Masjid Ad-Darojat ...........................................................................32


B. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta ...................................................35
C. Makna Simbolik Arsitektur Masjid............................................................36
D. Teknik Konstruksi Masjid ..........................................................................39
E. Gambaran Umum Kampung Babadan Lama .............................................44
F. Kondisi Keagamaan Kampung Babadan Lama .........................................51
BAB IV

AKTIVITAS SOSIAL-KEAGAMAAN MASYARAKAT BABADAN LAMA


DENGAN MASJID AD-DAROJAT ...................................................................53

A. Peran Masjid Dalam Kegiatan Sosio-Religius ...........................................53


B. Aktivitas Sosial-Keagamaan Ikatan Pemuda Islam Babadan Dengan
Masyarakat Babadan Lama ........................................................................57
C. Kegiatan Rutin Yang Diadakan di Masjid Ad-Darojat ..............................62
BAB V

PENUTUP .............................................................................................................67

A. Kesimpulan ................................................................................................67
B. Saran...........................................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................71

LAMPIRAN ..........................................................................................................73

xii
DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Keterangan
1 Lampiran 1 Foto Masjid Pathok Negoro Wonokromo
2 Lampiran 2 Foto Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning
3 Lampiran 3 Foto Masjid Pathok Negoro Mlangi
4 Lampiran 4 Foto Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan
5 Lampiran 5 Foto Masjid Pathok Negoro Dongkelan
6 Lampiran 6 Pengajian Masyarakat Babadan Lama di Masjid
Ad-Darojat
7 Lampiran 7 Foto Anggota IPIB dan Pengurus Masjid Ad-
Darojat
8 Lampiran 8 Foto Anggota IPIB dan Ketua Takmir Masjid A-
Darojat
9 Lampiran 9 Foto Takmir dan Ustadz Masjid Ad-Darojat

10 Lampiran 10 Foto Pengurus IPIB

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat kita adalah masyarakat yang berkembang dengan cukup pesat.

Oleh sebab itu, kecenderungan terjadinya perubahan sosial merupakan gejala yang

wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-

perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antar

manusia dan antar masyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan

dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti

perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan

perkembangan zaman. 1

Oleh karena itu, terjadinya perubahan sosial diakibatkan dari perubahan

yang berkembang dengan pesat dari pengaruhnya pembangunan, selain itu juga

karena adanya pengaruh kebudayaan dari luar yang masuk dengan mudah akibat

dari proses pembangunannya. Perubahan sosial bisa disebabkan dari berbagai

sumber seperti pertambahan penduduk yang akan menimbulkan perubahan

ekologi dan dapat menyebabkan perubahan tata hubungan antar kelompok-

kelompok sosial.2 Perubahan sosial bisa disebut sebagai suatu konsep yang serba

1
Alfin nitiharjo, “Teori-teori Perubahan Sosial,” di akses pada 8 Mei 2019
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html jam 10.00
2
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1986), Hlm. 303.

1
meyeluruh yang difokuskan kepadaperubahan fenomena sosial di berbagai

kehidupan dari tingkat individual hingga tingkat dunia. 3

Dalam hal ini penulis mencoba membahas tentang Peran Masjid Pathok

Negoro Ad-Darojat dalam Perubahan Sosial Kampung Babadan Lama. Murray

dalam Evers berpendapat bahwa kampung bukanlah suatu entitas yang mampu

merencanakan strategi, tetapi suatu komunitas dari orang perorang yang

menyesuaikan diri mereka dengan situasi perkotaan dari kian hari kian banyak

orang yang datang untuk bekerja sama dan bersaing.4

Kampung Babadan Banguntapan Bantul atau lebih dikenal Kampung

Babadan Lama, terletak di belakang kampus Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan

Yogyakarta. Kampung ini pernah mengalami “kematian” panjang. Waktu zaman

Jepang, warga beserta seluruh isi kampung Babadan itu dipindahkan ke

Kentungan. Di antaranya adalah masjid yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku

Buwono I itu. Kampung baru yang menampung warga beserta seluruh isi

Kampung Babadan itu kini juga bernama Babadan Kentungan atau lebih dikenal

dengan Kampung Babadan Baru, di sebelah utara Markas Batalyon Infanteri 403

di jalan Kaliurang. Di antara warga Babadan Banguntapan dan Babadan

Kentungan sampai sekarang tetap terjalin silaturahmi.

Ketika pengusiran itu terjadi, tidak semua warga Babadan menuruti

kemauan Jepang. Isu perluasan pangkalan pesawat terbang yang dijadikan alasan

3
Robert H Lauer, Persepektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), Hlm.
5.
4
Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan
Dalam Ruang-Ruang Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2002, Hlm. 408-409

2
Jepang untuk pengusiran itu diyakini beberapa warga tidak akan pernah menjadi

kenyataan. Yang mempunyai keyakinan seperti itu, memilih tinggal di sekitar

bekas kampung halamannya itu. Bekas kampung itu sendiri menjelma menjadi

semak belukar. Adapun bekas masjidnya hanya tinggal fondasi dan tembok yang

mengelilinginya. Pada masa jayannya PKI di tahun 1960-an, bekas masjid itu

hendak disulap menjadi panggung kethoprak. Tetapi, sebelum niat itu terealisir,

PKI telah diberantas seiring kegagalan mereka dalam gerakan penghianatan 30

September 1965. 5Dengan demikian perlu dilakukan penelitian agar diketahui

bagaimana peran Masjid Ad-Darojat dalam perubahan sosial keagamaan di

Kampung Babadan Lama ? karena pengaruh yang terjadi di daerah tersebut

adanya perubahan-perubahan sosial sebagaimana yang menjadi kajian penelitian

ini. Alasan penulis memilih judul ini karena belum pernah ada yang menulis tema

tersebut. Dan perlu diperbanyak lagi menulis sejarah lokal, karena masih

minimnya penelitian tentang sejarah lokal.

B. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua

yaitu batasan spasial dan temporal. Dalam batasan spasial penelitian ini

dilaksanakan di Babadan Padukuhan Plumbon RW 17 Banguntapan Bantul

Yogyakarta. Batasan temporal dalam penelitian ini yaitu pada tahun1942-

0219. Penulis mengambil tahun 1942 merupakan tahun Jepang mengusir

penduduk Kampung Babadan Lama, dan pada tahun 2019 merupakan tahun

berkembangnya Kampung Babadan Lama.

5
Muhammad Fuad Riyadi. Kampung Santri.Yogyakarta:(Ittaqa Press,2001) Hlm.101-106

3
C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kondisi Sosial Kampung Babadan Lama tahun 1942 ?

2. Bagaimana Profil Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dan Kondisi

Kampung Babadan Lama ?

3. Bagaimana Perubahan Sosial Keagamaan Masyarakat Kampung Babadan

Lama di Masjid Ad-Darojat ?

D. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana Kampung Babadan Lama Banguntapan Bantul

Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui profil Masjid Ad-Darojat dan kondisi masyarakat Kampung

Babadan Lama.

3. Menganalisa perubahan sosial keagamaan di Kampung Babadan Lama

Banguntapan Bantul.

Manfaat yang dicapai adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Mempertajam aplikasi teori-teori tentang perubahan sosial dalam sebuah

studi krisis tentang perubahan sosial.

b. Mengetahui perubahan sosial keagamaan masyarakat Kampung Babadan

Lama.

4
2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan sebagai sumber bacaan

untuk perpustakaan.

b. Dapat dijadikan bahan perbandingan apabila peneliti yang sama diadakan

pada waktu-waktu mendatang dan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan ataupun refrensi bagi penelitian yang akan datang.

E. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pada permasalahan yang akan diteliti, peneliti telah

menemukan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik itu

dalam konsep perubahan sosial sebagai objek yang diteliti maupun refrensi yang

menunjang penelitian penulis, diantara rujukkan yang ada adalah sebagai berikut :

Pertama Kampung Santri Tatanan Dari Tepi Sejarah, Muhammad Fuad

Riyadi, 2002. Merupakan buku yang membahas tentang Yogyakarta yang pada

khususnya menceritakan perkampungan santri seperti Kampung Kotagede,

Wonokromo, Mlangi, Kauman, Ploso Kuningan, Babadan, Dongeklan,

Karangkajen, dan Nitikan. Selain menarik buku ini juga menceritakan bagaimana

Kampung Babadan Lama beserta masjid Pathok Negoro yang ada disana digusur

oleh Jepang untuk pelebaran pangkalan pesawat dan gudang senjata. Daerah yang

menjadi obyek penelitian dalam buku tersebut memang bukan hanya Kampung

Babadan Lama melainkam kampung-kampung santri yang ada di Yogyakarta.

Namun salah satu isi buku tersebut membahas tentang Kampung Babadan

merupakan referensi yang bagus dan berguna dalam tulisan ini.

5
Kedua Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah

Yogyakarta , Ahmad Adaby Darban, 2000. Merupakan buku yang membahas

tentang sejarah lokal dan perubahan sosial suatu daerah tertentu, yaitu Kampung

Kauman. Kampung Kauman Yogyakarta sendiri dulunya juga salah satu

kompleks hunian bagi para ahli abdi dalem pemethakan, yang bertugas dalam

bidang keagamaan, khususnya urusan kemasjidan. Di dalam buku tersebut

diungkapkan bahwa terjadi banyak perubahan di kampung tersebut dalam kurun

waktu 1900-1950. Namun demikian perubahan yang terjadi pada tatanan nilai

tetapi lebih banyak pada ranah tatanan norma kehidupan masyarkat. Daerah yang

menjadi obyek penelitian dalam buku tersebut memang bukan Kampung Santri

Babadan Lama melainkan kampung Kauman, namun demikian obyek yang

membahas salah satu wilayah tertentu merupakan refrensi yang bagus dan

berguna dalam tulisan ini. Hasil penelitian tentang Babadan Lama lebih titik

beratkan penelitiannya pada bidang perubahan sosial khususnya keagamaan.

Ketiga Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Kampung Adat Pulo Desa

Cangkung Kabupaten Garut (Kjian Historis Tahun 1976-2000). Gina Novia

Purgasari, 2011. Dalam penelitian ini menganalisa tentang kondisi umum

Kampung Adat Pulo Kabupaten Garut, kondisi sosial budaya masyarakat

kampung adat pulo, dan bagaimana peran masyarakat terhadap perubahan nilai

tradisi di kampung adat pulo.6 Penelitian ini menggunakan metode Heuristik,

Kritik atau Analisis, Interpretasi, Historiografi atau penulisan sejarah. Serta

6
Gina Novia Purgasari, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat di Kampung Adat Pulo Desa
Cangkuang Kabupaten Garut (Kajian Historis Tahun 1976-2000), “Skripsi S1 Fakultas
Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial, Universitas Perdikan Indonesia, 2011), Hlm. 9.

6
pengumpulan datanya memakai Studi kepustakaan dan Wawancara. 7 Setelah

melakukan penelitian Gina Novia Purgasari menyimpulkan bahwa masyarakat

kampung Adat Pulo masih memegang teguh suatu adat dan tradisi yang

diturunkan oleh leluhurnyadan masih dikerjakan sampai sekarang ini. Agama

yang dipeluk oleh masyarakat ini adalah islam akan tetapi masyarakatnya masih

melaksanakan ajaran-ajaran agama hindu. Mata pencaharian masyarakat

Kampung Adat Pulo hampir semuanya berprofesi sebagai petani, kemudian pada

tahun 1976-an masyarakat Kampung Adat Pulo banyak yang melakukan aktifitas

berdagang disekitar perumahan masyarakat Kampung Pulo. Hal ini disebabkan

pada tahun 1976 Situ Cangkuang resmi dijadikan objek pariwisata oleh

pemerintah karena ditemukannya cagar budaya berupa candi peninggalan Hindu

yang disebut candi Cangkuang. Salah satu contoh yang membawa pengaruh

positif yaitu masyarakat Kampung Adat Pulo mempunyai mata pencaharian baru

yaitu sebagai pedagang dan mereka tidak hanya mengandalkan hasil dari

pertanian saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sedangkan dampak

negatifnya adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai tradisi dalam kehidupan sehari-

hari seperti, gaya hidup, sistem kesenian, sistem peralatan, dan pola pikir

masyarakat setempat8. Penelitian yang dipaparkan diatas berisikan mengenai

perubahan-perubahan sosial. Penelitian-penelitian diatas mempunyai kesamaan

dengan penelitian yang ingin diteliti oleh penulis, yaitu sama-sama ingin

7
Gina Novia Purgasari, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat di Kampung Adat Pulo Desa
Cangkuang Kabupaten Garut (Kajian Historis Tahun 1976-2000), “Skripsi S1 Fakultas
Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial, Universitas Perdikan Indonesia, 2011), Hlm. 11.
8
Gina Novia Purgasari, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat di Kampung Adat Pulo Desa
Cangkuang Kabupaten Garut (Kajian Historis Tahun 1976-2000), “Skripsi S1 Fakultas
Pendidikan Ilmu Pendidikan Sosial, Universitas Perdikan Indonesia, 2011), Hlm. 110.

7
mengetahui perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Dan bedanya, skripsi ini

mengkaji perubahan sosial di suatu Kampung yaitu Kampung santri Babadan

Lama khususnya mengkaji dalam bidang perubahan sosial mulai dari perubahan

ekonomi, keagamaan,dan budaya.

F. Kerangka Konseptual

Terkait dengan masalah diatas, maka tulisan ini juga mencoba untuk

menggunakan pendekatan dari ilmu sosial yang lain. Sebagaimana telah

dijabarkan sebelumnya bahwa tema besar yang diambil sebagai fokus dalam

penelitian ini adalah perubahan sosial. Oleh karena itu, pendekatan yang akan

digunakan adalah teori-teori yang relevan dengan perubahan sosial. Ada begitu

banyak teori yang telah dihasilkan oleh para ahli baik dari dalam atau luar negeri

sehubungan dengan perubahan sosial. Sebagaimana diungkapkan Sartono

Kartodirjo bahwa perubahan sosial merupakan tema yang luas cakupannya.

Kedatangan agama Islam beserta sistem politiknya ke wilayah Indonesia,

masuknya bangsa Barat dengan modernisasi (westernisasi); dan peningkatan

proses modernisasi sejak abad ke-19 merupakan peristiwa-peristiwa yang sarat

akan perubahan sosial. Hal ini berdampak pada berbagai bidang kehidupan, baik

ekonomi, sosial, politik dan budaya.9

Salah satu lapisan kehidupan masyarakat yang terkena dampak dari proses

modernisasi yang melanda bangsa Indonesia sejak abad ke- 19 tersebut adalah

kampung. Kata kampung sendiri tentu saja tidak asing dan sudah sangat lazim

9
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama. 1993, Hlm. 145

8
digunakan. Dalam penulisan karya ilmiah ini subyek yang menjadi obyek

penelitian adalah Kampung Babadan Lama di Yogyakarta. Dalam kurun waktu

1942-2019. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan diuraikan tentang definisikan

kampung itu sendiri. Sebagaimana dipaparkan oleh Sulivan dan Murray dalam

Hans-Dieter Evers Urbanisme di Asia Tenggara bahwa istilah kampung

setidaknya memperlihatkan suatu yang terkait dengan desa dan komunitas-

komunitas. Namun istilah tersebut sebenarnya tidak bisa di definisikan sebagai

komunitas usaha (corporate comunity) karena ikatan sosial yang ada umumnya

adalah antar tetangga saja. Aspek komunitas dalam kampung itu telah ditunjukkan

dengan baik, yaitu dalam urusan bertetangga atau neighbourship. Sulivan juga

menyatakan bahwa terdapat tekanan kuat pada orang kampung agar menjadi

tetangga yang baik. Tetangga yang baik (neighbourliness) persisnya ditetapkan

dalam kampung, begitu juga sanksi-sanksi berat yang berfungsi untuk membuat

anggota komunitas berperilaku sejalan dengan konvensi-konvensi yang berlaku.

Sedangkan Murray dalam Evers berpendapat bahwa kampung bukanlah

suatu entitas yang mampu merencanakan strategi, tetapi suatu komunitas dari oran

perorang yang menyesuaikan diri merekan dengan situasi perkotaan dari kian hari

kian banyak orang yang datang untuk bekerja sama dan bersaing.10

Berdasarkan uraian di atas dapat di ketahui bahwa corak kehidupan

kampung kota juga memiliki suatu kehasan tersendiri yang tentu berbeda dengan

pedesaan. Lebih lanjut lagi hal ini juga akan berpengaruh pada ciri dan

10
Hans-Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan
Dalam Ruang-Ruang Sosial, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2002, Hlm. 408-409

9
karakteristik masyarakat di dalamnya. Oleh karena itulah masyarakat yang

berdiam di perkampungan kota di kenal dengan istilah masyarakat kota. Namun

demikian,terlepas dari berbagai perbedaan yang ada, perubahan sosial merupakan

suatu proses yang terjadi baik di desa ataupun di kota. Berbagai pengaruh yang

masuk dalam suatu komunitas pemukiman baik di desa ataupun di kota juga turut

mendorong terjadinya perubahan, baik yang sifatnya kemajuan (progress) ataupun

kemunduran (regress). Perubahn sosial tersebut biasanya terjadi tidak dalam

jangka waktu yang singkat. Sebagaimana di paparkan oleh Darwis Khuwidori

bahwa homogenitas penduduk kampung mulai terkikis, baik dari segi agama, suku

bangsa, aliran politik, mata pencaharian maupun tingkat pendapatan. Keterkaitan

terhadap kampung dan kehidupan pertetanggaan bagi sebagian penduduk juga

berkurang seiring dengan tuntutan moderenisasi. Namun ada dua kenyataan yang

belum akan berubah dalam jangka waktu yang lama,yaitu pertama,bahwa

kampung merupakan satu-satunya jenis pemukiman yang bisa menampung

golongan penduduk Indonesia yang tingkat perekonomian dan pendidikannya

paling rendah, meskpun tidak tertutup bagi penduduk dengan penghasilan dan

tingkat pendidikan yang tinggi. Kedua, bahwa terdapat organisasi sosial di setiap

kampung yang mengatur dan mengawasi tatatertip kehidupan kemasyarakatan

warga kampung yang bersangkutan.11

Lebih jauh lagi, Sartono berpendapat bahwa apabila di pandang dari

perspektif sejarah sosial, proses sejarah dalam keseluruhannya merupakan proses

11
Dawis Khudori, Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-
akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggiran Kali Code, Yogyakarta : Yayasan Pondok
Rakyat. 2002, Hlm.7-8

10
perubahan sosianl dalam berbagai dimensi. Di pandang sebagai proses

modernisasi, perubahan sosial mencakup permasalahan sebagai berikut: 12

1. proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat

menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian

berdasarkan kondisi,disposisi,dan referensi kultural yang menetukan sikap

terhadap pengaruh baru.

2. berkaitan dengan proses akulturasi itu kemudian muncul adanya proses

seleksi dan diferensiasi berdasarkan lokasi sosiohistoris berbagai golongan

sosial. Variasi sikap kultural dan heterogenits baik yang sifatnya penolakan

atau penerimaan mulai muncul. Di sisni konflik sosial merupakan dampak

yang menyertai terjadinya perubahan sosial.

3. perubahan dan heterogenitas yang inkoheren ke heterogenitas yang koheren.

4. proses modernisasi yang merupakan proses pokok dalam transformasi

struktural.

5. adanya proses integrasi dan desintegrasi,atau disorganisasi dan reorganisasi

yang silih berganti sebagai bentuk transformasi sosial.

6. munculya jaringan sosial yang mencakup interdependensi antara berbagai

sektor atau fungsi masyarakat yang dalam keseluruhannya mewujudkan

12
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama. 1993, Hlm. 160

11
suatu sistem sebagai akibat dari kompleksitas stukturasi hubungan sosial

masyarakat.

7. perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan

atau pertumbuhan (defelopment). Penting di ketahui bahwa proses

perkembangan itu tidak dengan sendirinya menunjukan arah pertumbuhan

serta tujuan. Berdasarkan kerangka teoritisnya, evolusionisme,

fungsionalisme, positivisme, berbagai paradikma menujukan bahwa masing-

masing memandang arah dan tujuan perkembangan secara berbeda-beda.13

Teori perubahan sosial lain yang turut mendukung datang dari Selo

Soemardjan yang berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan

pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan

polaperilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.14 Masih menurut

Selo Soemardjan, bahwa jenis dari perubahan sosial penting diketahui agar dapat

mengetahui pelopor perubahannya. Pelopor perubahan adalah seseorang atau

sekelompok orang yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam

salah satu atau beberapa lembaga sosial. Orang atau kelompok itu mempelopori

jalan meninggalkan masa lampau menuju zaman baru, yakni menetapkan kaidah

sistem sosial baru atau yang diperbaharui. Perubahan-perubahan yang terjadi di

Yogyakarta sendiri sejak akhir masa penjajahan Belanda dapat dibagi ke dalam

dua kategori, yaitu perubahan yang disengaja atau direncanakan sebelumnya

13
Ibid., Hlm. 160-162
14
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Jakarta : Komunitas Bambu. 2009. Hlm. 147

12
(intended) dan perubahan yang tidak disengaja/ tidak diketahui dan direncanakan

(unintended). Proses perubahan yang disengaja dan tidak disengaja tersebut

memiliki kecenderungan untuk saling memperkuat satu dengan yang lainnya.

Adalah salah satu contoh perubahan sosial yang terjadi di Kampung

Babadan Lama, yaitu yang pada awalnya merupakan kampung yang sempat

mati, kemudian dibangun lagi dan berhasil menjadi salah satu kampung yang

berkembang di berbagai bidang. Karena yang awalnya hanya berdagang sekarang

pekerjaan mereka beragam, dapat digolongkan pada perubahan yang tidak

disengaja dan tidak direncanakan. Situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan

sekitar didukung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah membawa dampak

terjadinya perubahan tanpa direncanakan sebelumnya.

G. Metode Penelitian

Penulisan sejarah dilakukan secara ilmiah maka penelitian dan penulisan

sejarah menggunakan metode sejarah. Metode adalah suatu cara, prosedur atau

teknik untuk mencapai susuatu tujuan secara efektif dan efisien. Dalam metode

penelitian dibagi menjadi 4 metode yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan

historiografi. Metode penelitian tersebut digunakan untuk mengetahui sejarah

pada masa lampau.

1. Metode penelitan yang pertama yaitu Heuristik, Heuristik adalah

kegiatan menghimpun sumber-sumber sejarah15. Semua jenis tulisan

atau penelitian tentang sejarah menempatkan sumber sejarah sebagai

15
A. Daliman,metode penelitian sejarah,(yogyakarta: penerbit ombak,2012),hlm 28

13
syarat mutlak yang harus ada. Tanpa sumber sejarah, kisah masa lalu

tidak dapat direkonstruksi oleh sejarawan. Penentuan sumber sejarah

akan mempengaruhi tempat (dimana) atau siapa (sumber informasi

lisan) dan cara memperolehnya. Sumber sejarah dibedakan atas sumber

tulisan, lisan, dan benda16. Didalam penelitian ini penulis memperoleh

sumber dari Masjid Ad-Darojat Ad-Darojat Babadan, Penelitian-

peneilian yang bertemakan Masjid Pathok Negoro, dan wawancara

dengan Sekertaris Takmir Masjid Ad-darojat Babadan.

2. Setelah melakukan penentuan sumber sejarah tahap selanjutnya kritik

sumber, memilih apakah sumber-sumber itu sejati baik bentuk maupun

isinya17. Semua sumber yang sudah didapatkan terlebih dahulu di

verifikasi sebelum digunakan. Dua aspek yang di kritik ialah

otensitasnya (keaslian sumber) dan kredibilitasnya (tingkat kebenaran

informasi) sumber sejarah18.

3. Metode yang ketiga ialah interpretasi, untuk menentapkan dan saling

hubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi19. Fakta sejarah

digabung-gabungkan berdasarkan pada subjek kajian, tema pokok

kajian merupakan kaidah yang dijadikan sebagai kriteria dalam

menggabungkan data sejarah.

16
Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta:
penerbit ombak,2011)hlm 43
17
Op. cit hal 28
18
Abd Rahman dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: penerbit
ombak, 2011), hlm 47.
19
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: penerbit ombak,2012), hlm 29

14
4. Historiografi ialah tahap terkhir dalam metode penelitian sejarah,

Historiografi merupakan penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam

bentuk suatu kisah sejarah. Historiografi merupakan puncak dari segala-

galanya dalam metode penelitian sejarah. Sejarawan pada fase ini

mencoba menangkap dan memahami histoire ralite atau sejarah

sebagaimana terjadinya.

Dengan ada tahapan metode penelitian sejarah diatas sejarah dapat

digunakan secara utuh dan kisah masa lalu dapat direkonstruksi. Dengan adanya

metode tersebut sejarah bisa diceritakan dan ditulis secara runtut.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini,

maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai

berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka

konseptual, metode penulisan sejarah, dan sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tentang Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Pada bab

ini akan dibahas tentang lokasi penelitian yaitu Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat

yang berada di Kampung Babadan Lama, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Bab III Profil Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dan Kondisi Kampung

Babadan Lama. Pada bab ini akan dibahas tentang Profil Masjid Pathok Negoro

Ad-Darojat dan Kondisi Kampung Babadan Lama..

15
Bab IV Aktivitas Sosial-Keagamaan yang dilakukan di Masjid Ad-

Darojat. Pada bab ini akan dibahas tentang apa saja kegiatan sosial-keagamaan

yang ada di Masjid Ad-Darojat.

Bab V Penutup. Simpulan dan saran. Pada bab ini membahas kesimpulan

penulis terhadap pembahasan skripsi ini. Saran-saran dan kalimat penutup yang

dianggap penting dan daftar pustaka.

16
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga dalam

bab ini akan menjelaskan mengenai gambaran umum wilayah di Daerah Istimewa

Yogyakarta dan secara khusus Kabupaten Bantul.

A. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.85,80 km² dengan

perbatasan wilayah dari arah Timur : Kabupaten Wonogiri di Provinsi Jawa

Tengah, arah Barat : Kabupaten Purworejo di Provinsi Jawa Tengah, arah Utara :

Provinsi Jawa Tengah dan arah Selatan : Samudera Hindia. Dengan letak

geografis 7033’ – 8012 lintang selatan dan 110000’ – 110050’ bujur timur.

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 4 kabupaten dan 1 kota,

diantaranya Kabupaten Kulon Progo, Gunung Kidul, Bantul, Sleman dan Kota

Yogyakarta. Dan ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Kota Yogyakarta.

Daerah ini memiliki nama Daerah Istimewa Yogyakarta dikarenakan masih

menggunakan sistem kerajaan kesultanan. Daerah Istimewa Yogyakarta meskipun

memiliki wilayah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan provinsi lain, tapi

tidak menutupi bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta ini memiliki potensi budaya

dan sejarah yang dijaga dengan baik.20

20
Gordianus Jemadi, “Konektivitas Ruang Pada Majid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)”, “Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, 2020), Hlm. 31.

17
Daerah Istimewa Yogyakarta ini juga memiliki potensi dalam

perekonomian yang baik dan menempatkan predikat sebagai Kota Pelajar dan

Kota Berbudaya, sehingga mendatangkan para wisatawan dari berbagai

mancanegara maupun lokal. Dalam hal ini Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki

suatu sektor keunggulan yang baik dalam perekonomian daerah. Sekor pariwisata

di Daerah Istimewa Yogyakarta ini meliputi pariwisata alam, seperti pantai,

gunung, dan lain-lain serta budaya dan candi peninggalan zaman dahulu.

Persebaran Masjid Pathok Negoro di Daerah Istimewa Yogyakarta

diantaranya Majid Mlangi Nogotirto, Gamping, Sleman, Masjid Ploso Kuning,

Ngaglik, Sleman, Masjid Dongkelan, Tirtonimolo, Bantul, Masjid Wonokromo,

Pleret, Bantul dan Masjid Ad-Darojat, Babadan, Banguntapan Bantul serta Masjid

Agung Kraton yang berada di Alun-alun kota Yogyakarta. Namun secara

administrasi penelitian ini dilakukan dilakukan di Masjid Ad-Darojat, Babadan,

Banguntapan Bantul Yogyakarta.21

B. Sejarah singkat berdirinya Masjid Pathok Negoro

Masjid Pathok Negoro sebagai masjid peninggalan kekuasaan Sri Sultan

Hamengku Buwono I merupakan masjid yang menjadi titik perkembangan

peribadatan umat Islam kala itu. Namun seringkali masyarakat melupakan fungsi

utama Masjid Pathok Negoro terkait dengan perkembangan kota Yogyakarta.

Masjid Pathok Negoro dibangun sekitar 1723-1819. Empat Masjid Pathok Negoro

21
Gordianus Jemadi, “Konektivitas Ruang Pada Majid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)”, “Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, 2020), Hlm. 31-32.

18
dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dan khusus

Masjid Wonokromo ini diperkirakan didirikan sekitar tahun 1819. Masjid Pathok

Negoro terletak di luar Kutanegara, yaitu wilayah Negara Agung (5-10 km dari

Kutanegara/pusat pemerintahan).

Di sisi selatan terdapat Masjid Dongkelan (Kecamatan Kasihan Kabupaten

Bantul) dan Masjid Wonokromo (Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul), di Timur

Masjid Ad-Darojat Babadan (Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul), Barat

Masjid Mlangi dan di Utara Ploso Kuning.22

Dalam catatan di tiang Masjid Mlangi sebelum dipugar tertulis angka

1723, dimana pada masa tersebut Yogyakarta belum berdiri, masih berstatus

kerajaan Mataram. Hal tersebut dikarenakan pendiri Masjid Pathok Negoro

Mlangi merupakan anak dari Amangkurat IV atau kakak dari Hamengku Buwono

I yang beda ibu. Mlangi merupakan wilayah kekuasaan Mataram sehingga bisa

saja Masjid Mlangi didirikan terlebih dahulu daripada Keraton Yogyakarta.

Didalam istilah bahasa Jawa Pathok adalah kayu atau bambu yang ditancapkan

sebagai tengger / tanda yang tetap, sedang Negoro adalah sebuah tanda kekuasaan

raja dan tanda tersebut tidak dapat dirubah.

Masjid Pathok Negoro dibangun pada tahun 1723-1819. Namun pada

status Desa Wonokromo, menurut catatan yang tertulis status desa perdikan

Wonokromo sudah ada jauh sebelum Perjanjian Giyanti. Sejarah mencatat bahwa

22
Gordianus Jemadi, “Konektivitas Ruang Pada Majid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)”, “Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, 2020), Hlm. 33

19
desa perdikan Wonokromo merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwono I

kepada Kyai Muh. Fakih selaku imam yang bertanggung jawab atas tanah

perdikan karena merupakan guru mengaji Sultan sekaligus kakak ipar Sultan.

Pada tahun 1701 Sultan menunjuk secara birokratis kepada Kyai Muh. Fakih

sebagai kepala Pathok Negoro, kemudian Kyai Muh. Fakih yang bergelar Kyai

Welid meminta Sultan untuk menunjuk orang-orang yang dapat dipercaya untuk

membimbing akhlak dan budi pekerti masyarakat. Hingga akhirnya Kyai Muh.

Fakih menjadi imam masjid kecil di tanah perdikan yang dinamakan “wanakrama’

yang berasal dari kata “Wa Anna Karama” diharapkan area tersebut senantiasa

memberikan kemuliaan bagi masyarakat setempat, lantas nama Wonokromo

menjadi familiar hingga sekarang. Masjid Taqwa sebagai Masjid Pathok Negoro

di Wonokromo merupakan saksi sejarah perjuangan masyarakat Yogyakrta

melawan kependudukan Belanda dan Jepang. Melihat dari usianya pastilah Masjid

Pathok Negoro ini memiliki sejarah yang cukup panjang dari masa penjajahan

Belanda sampai Jepang. Mlangi yang merupakan pusat keagamaan pada masanya

disebut juga sebagai perdikan ageng.

Pengembangan Masjid Pathok Negoro pada masa itu merupakan

pengembangan rancangan jangka panjang dari dinasti Hamengku Buwono untuk

memantapkan eksistensinya. Masjid Pathok Negoro ditetapkan sebagai bagian

dari kesultanan dan untuk menandakan batas wilayah negara atau nagari yaitu

Yogyakarta itu sendiri. Itu sebabnya masjid-masjid yang kemudian didirikan

dinamakan Masjid Pathok Negoro yang berarti batas negara “Pathok Negoro”.

Masjid Gedhe Kauman yang merupakan pancer atau pusat dari keempat masjid

20
yang pertama dibangun di empat penjuru mata angin sehingga terdapat istilah

formasi pathok kiblat papat lima pancer.

Pola ruang pada masa awal berdirinya Keraton Yogyakarta pasca

Perjanjian Giyanti terpecah menjadi beberapa kabupaten dan kota madya.

Sebelum terpecah menjadi Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta

batas wilayah Kerajaan Mataram Islam cukup luas. Batas wilayah saat itu

menggunakan sistem indrawi manusia seperti pengelihatan dan pendengaran, sak

pandelengan yaitu batas mata manusia bisa memandang. Sungai mempunyai

peran penting dalam penentuan pola permukiman, Kota Yogyakarta sendiri

dibatasi oleh dua sungai yaitu sungai Winogo dan sungai Gajah Wong. Wilayah

Kabupaten Bantul dan Sleman bagian barat yang berbatasan dengan Kulon Progo

dibatasi dengan sungai Progo. Penduduk yang tinggal di sekitar sungai cenderung

mempunyai kepadatan yang tinggi.

Sedangkan sumbu kosmologi Jogja (sebutan masyarakat untuk

Yogyakarta) sendiri juga menggunakan sistem sejauh mata memandang, yaitu

Laut Selatan, keraton, Tugu Jogja dan Gunung Merapi yang ada pada garis lurus.

Hal tersebut merupakan bentuk manifestasi bahwa manusia mempunyai peran

dalam keterbatasannya.

Sebagai batas wilayah kekuasaan yang ada di Yogyakarta masjid-masjid

ini dikepalai oleh pemuka adat atau imam yang mengelola dan mengatur segala

bentuk kebijakan masjid dan langsung di bawah pemerintahan Sultan yang

berkuasa pada masa itu. Masjid Jami’ Annur Mlangi yang didirikan pertama kali

21
merupakan batas di sebelah barat. Masjid Sulthoni Ploso Kuning didirikan

setelahnya merupakan wilayah sebelah utara, terletak di Desa Ploso Kuning

Condong Catur. Masjid Babadan Banguntapan sebagai batas wilayah sebelah

timur. Masjid Ad-Dajorat Babadan terletak di Desa Babadan, Kecamatan

Banguntapan, Kabupaten Bantul. Masjid Taqwa Wonokromo yang dibangun oleh

Kyai Muh. Fakih yang tidak lain merupakan kakak ipar dari Sultan Hamengku

Buwono I diangkat sebagai kepala pathok pada tahun 1701 yang memberikan

tanah perdikannya berupa alas awar-awar yang selanjutnya dibangun masjid yang

berada di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.23

Berikut adalah Masjid Pathok Negoro yang juga disebut sebagai Kiblat

Papat Lima Pancer yang ada dan masih lestari hingga saat ini :

1. Masjid Taqwa Wonokromo

Masjid ini didirikan dan dibangun oleh Kyai Muhammad Faqih yang tidak lain

merupakan kakak ipar dari Sulatan Hamengku Buwono I pada tahun 1819. Masjid

ini berada di Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta yang mana keberadaanya

berada di dekat Tempuran dekat sungai Opak dan sungai Oya yang cukup jauh

dari keramaian kota. Oleh karena itu lingkungannya yang tenang ini membuat

para jamaah lebih khusyu’ dalam melakukan sholat. Tanah dengan luas 420 m²

dan telah melakukan pengembangan hingga kini menjadi 750 m² yang memiliki

ruang perpustakaan seluas 90 meter dan halamannya seluas 4.000 m².

23
Gordianus Jemadi, “Konektivitas Ruang Pada Majid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)”, “Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, 2020), Hlm. 34-36

22
2. Masjid Sulthoni Plosokuning

Masjid Pathok Negoro berikutnya berada di Jalan Ploso Kuning Raya Nomor 99,

Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Bangunannya menempati luas 2.500

m² dengan tanah milik kesultanan Yogyakarta. Luas bangunannya sendiri adalah

288 m² yang setelah mengalami perombakan menjadi 328 m². Masjid Sulthoni

Plosokuning ini dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono III. Beliau merupakan

ayah dari Paneran Diponegoro yakni Raden Mustafa (Hanafi I) yang telah

menjadi abdi dalem Kraton Kasultanan.

3. Masjid Jam’i An-Nur Mlangi

Masjid ini beralamat di dusun Mlangi, desa Nogotirto, kecamatan Gampung,

kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kawaan masjid ini masuk ke dalam desa wisata

Mlangi. Area masjid menempati tanah seluas 1.000 m² dari Kesultanan

Yogyakarta. Bangunannya terbagi menjadi beberapa ruangan. Ruangan utamanya

seluas 20x20 m², serambi masjid 12x20 m², ruang perpustakaan 7x7 m². Luas

halaman masjid ini sendiri adalah 500 m². Masjid ini berada di tanah yang lebih

rendah dari tanah lainnya oleh karena itu ada beberapa anak tangga yang dapat

digunakan untuk menuju ke lokasi.

4. Masjid Ad-Darojat Babadan

Lokasi di Desa Babadan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, masjid yang mudah

ditemukan karena dengan JEC. Masjid penuh kisah ini dibangun pada tahun 1774

oleh Sultan Hamengku Buwono I dan memiliki arsitektur sama dengan Masjid

Pathok Negoro.

23
5. Masjid Nurul Huda Dongkelan

Terletak di desa Kauman, Dongkelan, Tirtomartani, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

yang pada tahun 1775 digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus juga benteng

pertahanan. Yang menjadi penghulu dan tugas pengelolaan masjid adalah Kyai

Syaihabuddin yang memenangkan sayembara Pangeran Mangkubumi mencari

pengawal dengan kekuatan sakti.24

C. Kondisi Agama

Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga Islam

datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil Tuhan (Allah

SWT) dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh karena itu rakyat

memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan raja dan keluarganya

dalam mengatur kehidupan mereka agar lebih baik, dalam wujud istilah: papat

kalimo pancer, yang berarti empat sisi dengan pusat di tengahnya sebagai

pengatur yang disebut raja.

Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keislaman yang telah

menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam bentuk

perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,

dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan Garebeg Besar, sebagai

tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai perayaan rakyat sebagai simbol

kemurahan hati raja (Sunan Surakarta atau Sultan Yogyakarta).

24
Gordianus Jemadi, “Konektivitas Ruang Pada Majid-Masjid Kraton Yogyakarta (5 Masjid
Pathok Negara dan Masjid Agung Gedhe Kauman)”, “Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta, 2020), Hlm. 36-39

24
Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung oleh

VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap bahwa

meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka Masjid Demak

dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang abadi, yang menjadi

dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat Jawa. Pada masa itu pihak VOC tidak

terlalu tertarik pada masalah Islam di kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya

adalah keuntungan dalam berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa

yang disebut peristiwa pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh

Pakubuwono IV yang didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha

menegakkan agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung,

namun hal tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan

gabungan dari Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC.

Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan

Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin

Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan dunia dan

agama (akhirat) di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima sebagai agama

resmi. Semenjak berhasil membangun Kesultanan Yogyakarta, Sultan

Hamengkubuwono I berusaha membangun jaringan keagamaan dengan

berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok Negoro, yang sebagian

besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti Masjid Dongkelan di bagian

selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di Kecamatan Pleret, Bantul

,yogyakarta, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan berada 8 km di daerah timur

25
dan Masjid Plosokuning di bagian utara, serta Masjid Mlangi, di barat daya

Kraton.

Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit,

tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual dan religius rakyat

Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak terdapat di wilayah Kasunanan

Surakarta atau di Kadipaten Mangkunegara dan Pakualaman. Pada pusat

Kotagede sendiri telah mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan

Senopati, serta terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri dan

agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar Masjid Agung

Kotagede.

Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam, merupakan

hal yang sangat disesali oleh Pangeran Diponegoro yang melihat kebobrokan

mental para bangsawan. Pangeran Diponegoro selama masa Perang Jawa

menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah Jawa yang mengobarkan

perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayidin

Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Banyak di antara pendukungnya adalah

santri dan kaum ulama, terutama Kyai Mojo, Kyai Taptayani dan Kyai Nitiprojo

serta ulama-ulama dari Kotagede dan sekitar Masjid Pathok Negoro.

Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum bumiputra

percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan privillage pada keadaan

dan diri seseorang tokoh seperti Kyai. Snouck C. Hurgronje, sebagai penasehat

pemerintah, dia menganggap masalah Islam secara negatif, setidaknya ada tiga

26
poin dalam pandangan pemerintah kolonial dalam memandang Islam, 1). Domain

agama murni, yaitu memunculkan sikap netral, 2). Domain hukum, yang

menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan perubahan tidak seimbang

untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3). Domain politik, pada bagian ini

pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa penentangan terhadap adanya

pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan dengan kekuatan militer segala

bentuk gerakan-gerakan perlawanan.Seluruh poin-poin tersebut ditujukan untuk

satu hal, yaitu politik asosiasi.

Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan berakhir dengan

bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah kolonial Belanda pada saat

berlangsungnya Perang Jawa, hingga kemudian diambil kesimpulan bahwa

masalah keagamaan serta pendidikan agama Islam di pondok-pondok pesantren

harus diawasi dengan ketat serta ditekan sedemikian rupa, agar segala bentuk

embrio perlawanan dapat diredam sebelum muncul ke permukaan, sehingga

program-program pemerintah kolonial Belanda dapat berjalan dengan lancar.

Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan sosial- politik

yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran melalui dakwah dan

pendidikan. Politik pengawasan agama tersebut berlangsung hingga berakhirnya

pemerintahan kolonial pada tahun 1942. Selepas tahun tersebut politik asimilasi

Pemerintah Pendudukan Jepang, berhasil menghimpun dukungan rakyat dengan

pendirian laskar Hizbullah.

27
Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk,

pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan penyebaran

ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme sesungguhnya telah

ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para santri maupun para bandit, yang

secara rapi terorganisir dan mempunyai struktur, bahkan keberadaan organisasi

dan keberadaan banditpun diikat oleh nilai religius dan kerjasama mereka dengan

aparat desa. Tidak boleh dilupakan peran dari para santri yang mewakili golongan

“putih”, di mana pencak silat (bela diri) diajarkan dan agaknya menjadi salah satu

kurikulum yang tak resmi di lingkungan pondok pesantren tradisional yang

tesebar di seluruh Jawa. Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan

tarekat yang menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat sekitarnya

yang diwakili oleh para kyai dan kaum santri.

Masuknya organisasi kemasyarakatan modern di bidang keagamaan sejak

awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan Muhammadiyah, ikut membentuk

perilaku keagamaan, meskipun empat dari lima Masjid Pathok Negoro cenderung

berafiliasi dengan ormas NU dan satu dekat dengan Muhammadiyah, namun

sebagai sebuah kesatuan religius, afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta

persatuan yang telah terbangun.25

D. Kondisi Sosial–Budaya

Kekayaan di Jawa adalah tanah, raja adalah sebagai pemilik tanah yang

berguna untuk menggaji keluarga dan pegawai, salah satu bentuk gajinya adalah

25
Johan Eko Praetyo, “Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning 1724-2014 (Kajian Sejarah
Arsitektur Jawa)”, “Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), Hlm.26-30

28
pemberian tanah lungguh dengan ukuran cacah, yaitu ukuran banyaknya keluarga

petani yang mendiami sebuah wilayah tanah lungguh. Pengelolaan tanah oleh para

pemagang tanah tersebut, diserahkan pada demang dan bekel, yang memberikan

mereka kedudukan ekonomis dan politis atas nama raja. Demang adalah kepala

kampung atau daerah sekarang setara dengan Bupati, sedangkan Bekel adalah

pamong desa pada zaman dahulu (setingkat di bawah lurah), pengurus sawah

milik bangsawan pada masa raja-raja.

Perkembangan kependudukan atau demografis di Jawa mengalami

peningkatan dan penurunan yang tidak stabil sebagai akibat perang yang terus-

menerus terjadi. Penduduk di seluruh Jawa pada waktu itu sekitar lima sampai

enam juta jiwa hingga tahun 1790-an. Registrasi kasar dalam sensus penduduk

Jawa yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles di awal abad kesembilan belas,

menunjukkan peningkatan, namun tidak dapat dijadikan acuan, sebab registrasi

sensus tersebut tidak menyeluruh, karena terbatas pada perkiraan yang dilaporkan

oleh para bupati-bupati bawahan kolonial dengan sistem cacah.

Pengaruh agama Hindu dan Buddha dalam Islam di Jawa, mengakibatkan

tumbuh suburnya legenda mistik seperti akan adanya Ratu Adil yang akan

menyelamatkan keadaan mereka dari kesengsaraan. Masyarakat yang kebanyakan

golongan abangan menganggap bahwa legenda yang ada pada keberadaan dan

peninggalan benda orang-orang hebat, dengan mempersonifikasikan hal itu dalam

sifat-sifat kemuliaan dan kekeramatan orang tersebut, dengan harapan kebaikan

orang tersebut akan berguna bagi orang dan wilayah di sekitarnya seperti para

kaum atau kaum santri yang merupakan representasi keagamaan orang Jawa

29
kebanyakan. Pada peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan mereka (rakyat

Jawa), mitos tersebut selalu dihubung-hubungkan dengan kehidupan mereka.

Sunan dan sultan selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib, terutama dikatakan

bahwa mereka mempunyai hubungan khusus dengan penguasa Laut Selatan, Nyi

Roro Kidul sejak zaman Sultan Agung.

Kraton adalah simbol dan pusat dari kebudayaan Jawa, makin jauh dari

kraton maka makin jauh dan makin pudar pula cerminan budaya yang terpancar

dan muncul dari dalam kraton, oleh sebab itu setiap raja berusaha untuk

mencitrakan dan selalu berusaha membawa sejauh mungkin hasil-hasil yang telah

dia ciptakan untuk rakyatnya. Oleh karena itu diciptakanlah mitos di dalam

ingatan kolektif rakyat. Fungsi mitos sendiri adalah untuk menyediakan rasa dan

makna hidup, yang membuat orang yang bersangkutan akan merasa bahwa

hidupnya tidak akan sia-sia, hal itu juga merupakan tonggak ketahanan fisik dan

mental dengan keyakinan akan harapan untuk menggapai suatu tujuan di masa

depan. Mitos kemudian oleh masyarakat dipersamakan dalam lambang dan simbol

Islam,yang dimaknai sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Pada Perang Diponegoro, simbol-simbol tersebut diwujudkan dengan

bentuk perlawanan, pada orang kafir yang terwujud dalam bentuk kelompok

tertentu seperti pada golongan Tionghoa dan Belanda, yang selalu menyusahkan

kehidupan mereka, dalam penarikan pajak gerbang tol dan aktivitas perdagangan

candu mereka yang merusak. Keputusan pemerintah kolonial yang melarang

penyewaan tanah kepada pengusaha Eropa di Jawa pada tahun 1824,

mengakibatkan banyak para bangsawan dan tuan tanah yang jatuh miskin, sebab

30
uang sewa yang telah mereka terima sudah habis dan tidak dapat

mengembalikannya dan ini juga menjadi salah satu pemicu perang.

Masyarakat Babadan pada masa modern tidaklah tergantung pada kraton

sebagai pusat sumber kehidupan, namun Kraton Yogyakarta tetap didudukkan

sebagai simbol saja. Sebagai masyarakat bebas, kebanyakan penduduk di sekitar

masjid berprofesi sebagai pedagang dan pengusaha, terutama di lingkungan santri,

sedangkan sebagian besar penduduk di luar lingkungan tersebut, memang masih

banyak yang berprofesi sebagai petani.

Pada waktu-waktu tertentu mereka semua berkumpul untuk

menyelenggarakan acara khusus, baik dalam bentuk tradisi seperti kendurian

ataupun acara keagamaan yang sifatnya lokal maupun global, seperti acara

tahlilan, haul ulama pendiri yang telah wafat ataupun perayaan maulid Nabi

Muhammad atau hari-hari besar Islam lainnya.

Pendidikan dalam Islam adalah sebagai obat bagi ketertinggalan dan

prosesnya harus dilakukan dengan benar sesuai tuntutan zaman. Pendidikan Islam

dalam hal ini adalah pendidikan Islam yang ada di Masjid Ad-Darojat Babadan

Lama.26

26
Johan Eko Praetyo, “Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning 1724-2014 (Kajian Sejarah
Arsitektur Jawa)”, “Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), Hlm.31-35

31
BAB III

MASJID PATHOK NEGORO AD-DAROJAT DI KAMPUNG BABADAN

BANGUNTAPAN BANTUL

A. Profil Masjid Ad-Darojat

Pada zaman penjajahan Jepang yakni pada tahun 1940, Masjid Ad-Darojat

dan masyarakat Babadan dipindah ke Desa Babadan Jl. Kaliurang, Kentungan,

Sleman. Perpindahan ini dikarenakan saat itu daerah Babadan terkena pelebaran

pangkalan pesawat terbang dan sebagai gudang senjata. Akibat perpindahan

tersebut denyut kampung Babadan sebagai kampung santri sempat mengalami

tidur panjang. Akibat perpindahan yang dilakukan oleh Jepang tersebut, masjid

Pathok Negara atau Negoro tersebut menjadi tak terurus. Saat terjadi pengusiran

oleh Jepang, memang tidak semua penduduk ikut boyong ke Kentungan. Sebagian

warga Babadan tetap tinggal di kampung halamannya. Setelah ditinggalkan

warga, masjid ini hanya tersisa fondasi dan temboknya saja. Hal ini dikarenakan

seluruh konstruksi kayu masjid ikut dipindah dan dibangun kembali di Babadan

Kentungan. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 yang akhirnya seluruh

personil dan tentaranya meninggalkan Indonesia, secara otomatis pembangunan

perluasan pangkalan udara pun urung dilaksanakan. Sekitar tahun 1950-an mulai

banyak masyarakat yang datang ke kampung Babadan dan akhirnya menetap di

sana.

Pada tahun 1960-an salah seorang warga Babadan bernama Muthohar

membangun kembali masjid peninggalan Sultan Hamengkubuwono I tersebut.

32
Pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan semasa Sri Sultan Hamengku

Buwono IX. Atas dukungan Sultan maka nama Sultan Hamengku Buwana IX

"Ndoro Jatun" diabadikan menjadi nama masjid Patok Negara tersebut dengan

nama Masjid Ad-Darojat. Meski bentuk masjid mengalami perubahan, namun

bentuk khas sebagai masjid kraton masih tetap dipertahankan. Seperti pada masjid

Pathok Negoro lainnya, di sisi barat masjid adalah pemakaman tempat

bersemayam para tokoh agama maupun masyarakat setempat. Karena latar

belakang sejarah demikian ini, antara warga Babadan dengan Babadan Baru

Kentungan meskipun terpisah secara geografis namun tetap terjalin hubungan

yang harmonis. Setiap tahun menjelang datangnya bulan suci Ramadhan, banyak

warga Babadan Baru yang datang ke Babadan Lama untuk menggelar acara tradisi

nyadran. Silaturahmi setiap kegiatan nyadran tersebut berlanjut saat Lebaran Idul

Fitri tiba, karena banyak juga diantara mereka yang masih merupakan saudara

sedarah.

Pertama kali masjid ini dibangun pada tahun 1774, arsitektur Masjid Ad-

Darojat sama persis dengan ketiga masjid Patok Negara lainnya. Kesamaan

bentuk masjid tersebut terlihat hampir di semua bagian. Bangunan ruang utama

masjid menggunakan konstruksi joglo dengan empat soko guru dan terdapat

pawestren disampingnya. Serambi masjid menggunakan konstruksi bentuk

limasan serta terdapat kolam di sebelah timur masjid sebagai tempat bersuci

sebelum memasuki masjid, di depan masjid juga terdapat pohon kepel.

Dikarenakan pengusiran oleh Jepang pada tahun 1940-an, bersamaan dengan

boyongnya penduduk Babadan ke Kentungan, seluruh bangunan masjid ikut

33
dipindah dan dibangun kembali di daerah Kentungan. Tempat tersebut kemudian

diberi nama Kampung Babadan Baru. Baru pada tahun 1960-an bekas lokasi

masjid di Babadan kembali dibangun .27

Pada pembangunan awal di tahun 1964, bentuk masjid masih semi

permanen. Baru pada tahun 1988 dibangun kembali serambi tengah dengan

sumber dana dari pemerintah dan swadaya masyarakat. Meski bentuk masjid

mengalami perubahan, namun ciri khas sebagai Masjid Pathok Negara tetap

dipertahankan, seperti mustoko masjid yang masih disimpan dengan baik. Baru

pada tahun 1992 bangunan induk utama dibongkar kembali dan disarankan agar

disesuaikan seperti bentuk semula yakni joglo yang berasal dari kayu jati.

Pada tahun 1993 akhirnya pembangunan ruang utama masjid berhasil

dilakukan dengan membangun joglo dengan 4 soko guru masing-masing setinggi

7 meter. Pembangunan kelengkapan masjid seperti serambi depan, gerbang

masuk, serta tempat wudhu dan wc dilakukan pada tahun 2001. Atas kesepakatan

para tokoh agama setempat pada tahun 2003, mustoko yang asli yang terbuat dari

tanah liat tidak jadi dipasang dan diganti dengan mustoko dari kuningan.

Meskipun demikian mustoko yang asli sampai sekarang masih tersimpan dengan

baik di Masjid Ad-Darojat.

Melalui peranan masjid ini, masyarakat Babadan begitu lekat dengan

ajaran-ajaran Islam. Di tengah-tengah masyarakat pada akhirnya memang muncul

beragam pandangan. Namun keragaman ini dapat disikapi dengan bijak oleh

27
http://kerajaannusantara.com/id/yogyakarta-hadiningrat/tempat –ibadah/ diakses pada tanggal
20 juli jam 20.30

34
warga masyarakat Babadan. Toleransi di kampung santri Babadan sungguh dapat

menjadi teladan dalam kehidupan beragama di masyarakat. Terlebih dalam

menyikapi adanya perbedaan pandangan di kalangan masyarakat, perbedaan

pandangan di kalangan umat Islam dalam menjalani syariat, tidak berlkaku bagi

masyarakt perkampungan santri Babadan. Rasa toleransi ini telah terjalin sejak

lama terutama dalm menghadapi bulan Ramadhan yakni pada pelaksanaan sholat

tarawih. Fanatisme perbedaan faham antara NU dan Muhammadiyah dapat

diantisipasi dengan baik oleh masyarakat Babadan. 28

B. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta

Kedudukan atau status dalam struktur kerajaan, berkaitan dengan

tingkatan derajat, baik dalam bentuk, posisi maupun pancaran perhatian dari pusat

atau Kraton raja. Raja digambarkan sebagai pusat kekuasaan yang memancarakan

sinarnya ke segala penjuru kerajaan. Raja Jawa selalu dianggap sebagai wakil

Tuhan dalam segala hal, baik dunia maupun akhirat, hal itu tercermin dari

gelarnya Sampeyan Ndalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono

Kaping atau Senopati Ingalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalipatullah

ing Ngayogyakarta.

Masjid Pathok Negoro, bertugas sebagai asisten khusus penghulu hakim

yang bertanggung jawab dalam pengadilan surambi di Masjid Agung Kraton dan

berjumlah empat orang. Keberadaan Pathok Negoro ini mengikuti konsep

mancapat dengan penghulu di tengah-tengahnya. Keempat orang penghulu dari

28
http://pathoknagari.id/, diakses pada 20 Juli 2020 jam 21.00

35
Masjid Pathok Negoro tersebut, menempati desa yang ditetapkan sebagai desa

perdikan dan bernama Kauman (nama Kauman mengikuti sifat perdikan-nya).

Keempat desa tersebut adalah: (1) Mlangi; (2) Plosokuning; (3) Babadan; dan (4)

Dongkelan. Pada keterangan Bonneff tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebutan

Pathok Negoro meliputi: jabatan asisten penghulu, masjid, dan desa yang

berstatus perdikan.29

C. Makna Simbolik Arsitektur Masjid

Simbol bagi manusia, adalah sarana komunikasi yang diwujudkan dalam

bentuk-bentuk atau makna-makna tertentu, untuk disampaikan kepada manusia

yang lain agar mengerti keinginan dan kebutuhannya. Pada manusia Jawa, simbol

sebagai sarana komunikasi, diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang mempunyai

makna-makna tertentu, yang diharapkan dapat diingat, dikupas dan terus

dilestarikan semangatnya oleh generasi selanjutnya. Bangunan Masjid Pathok

Negoro Ad-Darojat Babadan, dapat dinyatakan sebagai sebuah simbol dalam

bentuk tetenger. Setiap bangunan menurut Romo Y.B Mangunwidjoyo,

seharusnya memiliki aspek guna dan citra. Makna dari kata Guna adalah selalu

berkaitan dengan kegunaan, untuk apa bangunan itu dibangun dan dengan dengan

maksud yang bagaimana bangunan itu dibuat. Sedangkan makna kata Citra

adalah, bagaimana kesan dan penghayatan akan makna simbolik yang mungkin

ditimbulkan dari sebuah bangunan. Dapat diketahui dalam beberapa aspek, yaitu:

29
Johan Eko Praetyo, “Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning 1724-2014 (Kajian Sejarah
Arsitektur Jawa)”, “Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), Hlm.64-65

36
1. Politik

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa asal kata dari Pathok

Negoro, adalah batas negara. Masjid Pathok Negoro secara nyata adalah batas

negara Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta dalam bentuk

bangunan rumah ibadah. Masjid di masa penjajahan selain berfungsi sebagai

tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk bermusyawarah, menggalang

persatuan dan kesatuan untuk mengusir penjajah.

Semenjak berdiri negara Kesultanan Yogyakarta di tahun 1755 M, Masjid

Pathok Negoro telah menjadi semacam tanda perbatasan wilayah antara

Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta. Pada masa itu (sebelum

tahun 1830 M) wilayah Kesultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta

saling bercampur aduk, sehingga dibutuhkan batas politis berupa bangunan atau

tetenger tertentu yang menandakan batas wilayah negara masing-masing.

Simbol berupa pengakuan Masjid-Masjid Pathok Negoro memunculkan

kesan bahwa Sultan, sebagai pemimpin negara Kesultanan Yogyakarta,

melindungi aset fisiknya secara politis dengan mengakui secara informal dan

formal, daerah yang mengembangkan agama Islam dengan memberikan

keistimewaan tanah dan penduduknya, sebagai bagian dari klaim religius dengan

cara melindungi di bawah naungannya. Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat

Babadan adalah daerah perbatasan milik Kesultanan Yogyakarta, yang terletak di

perbatasan bagian timur.

37
2. Budaya

Konsep arsitektur yang dimunculkan di Masjid Pathok Negoro Ad-

Darojat, adalah hasil penghayatan adat dan tradisi arsitektur lokal di tanah Jawa

pada waktu itu. Bangunan rumah ibadah seperti masjid di Jawa, tentu selalu

mengikuti pakem atau standar yang telah lebih dulu ada, yaitu Masjid Agung

Demak. Bangunan Masjid tidak pernah ditentukan standar bentuknya dalam

Islam, bahkan tiap daerah mempunyai standar dan gaya arsitektur nya sendiri,

sehingga inti nilainya, yaitu beribadah sholat dan aktivitas religius lainnya, tidak

terganggu oleh adanya perbedaan bentuk. Hanya tujuan penghadapan nya tetap

sama, yaitu menghadap kiblat sebagai pusat penghadapan umat Islam dalam

menjalankan ibadah shalat di seluruh dunia, serta adanya tempat pengimaman.

Keadaan itulah yang memunculkan akulturasi budaya dan nilai Islam yang

terwujud dalam arsitektur Masjid Pathok Negoro Ad-Drojat Babadan di

Kesultanan Yogyakarta.

Sebagai Masjid Pathok Negoro dengan status otonomi yang lebih rendah

dari Masjid Agung Kraton, maka standar pembangunannyapun berbeda dan

disesuaikan dengan yang lebih tinggi derajatnya secara birokratis. Contoh paling

mudah dilihat adalah atap tumpang yang hanya berundak (bersusun) dua dan

bukan tiga seperti di Masjid Agung Kraton.

Kraton Yogyakarta adalah salah satu simbol dan pusat dari kebudayaan

masyarakat Jawa. Makin jauh masyarakat dari kraton, maka makin jauh dan

makin pudar pula cerminan budaya yang terpancar dan muncul dari dalam kraton,

38
oleh sebab itu setiap raja berusaha untuk mencitrakan dan selalu berusaha

membawa sejauh mungkin hasil-hasil yang telah dia ciptakan untuk rakyatnya.

Mengikuti tradisi konstruksi dalam budaya Jawa, maka rumah-rumah di

sekitarnyapun dibuat mengikuti kaidah arsitektur Jawa, terutama bagian atap dan

tata letak ruangan nya. Meskipun telah terjadi perubahan secara perlahan, namun

arsitektur utama Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan tetap lestari sebagai

simbol arsitektur dalam budaya Jawa, yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya.

Aspek budaya lainnya yang diwujudkan dalam arsitektur Masjid Pathok

Negoro adalah pelestarian budaya Jawa, yang dilakukan secara nyata dibangun

sesuai dengan kaidah dan panduan dalam adat dan tradisi masyarakat Jawa, baik

dalam tata peletakan maupun pemunculan simbol- simbolnya. Masyarakat yang

tinggal di sekitar Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan, juga ikut memaknai

simbol-simbol arsitektur Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan dengan

caranya sendiri, berupa aktifitas sosial dan religius, yang ditujukan semata-mata

untuk beribadah kepada Allah SWT.30

D. Teknik Konstruksi Masjid

Arsitektur di Jawa selalu mengikuti aturan dalam konstruksi yang lebih

besar, di pusat kota (Kotaraja). Arsitektur tradisional selalu memperhatikan aspek

budaya, iklim dan ekologis. Pada Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat, semua aspek

tersebut diperhatikan, mulai dari bentuk, fungsi maupun bahan.

30
Johan Eko Praetyo, “Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur
Jawa)”, “Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016), Hlm.74-76

39
Penerapan teknik konstruksi masjid mengikuti konsep yang lama, dapat

dilihat dari bangunan masjid agung kraton, yang mengikuti bentuk Masjid Agung

Demak. Penerapan akan tinjauan budaya, melalui konsep konstruksi masjid dapat

diketahui dari intensitas perubahan cahaya dan suhu, melalui ilmu falak dan

tradisi setempat dalam teknik konstruksi masjid.

Ada tiga landasan sikap utama dalam yang dapat diketahui dari teknik

konstruksi tradisional Jawa, yaitu: sikap kawruh, yaitu pengetahuan dasar

terhadap falsafah hidup dan alam. Sikap dharma, pengamalan ajaran agama di

dalam lingkungan, sebagai wadah bagi kehidupan dunia dan akhirat. Terakhir

adalah sikap tertib laksana, yang menyatakan bahwa manusia adalah subyek yang

bertanggungjawab langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang diwajibkan

untuk menambah kesadaran dan pengetahuan hidup.

Masjid dalam tradisi Jawa merupakan perwujudan dari kegiatan religius

sebagai bagian dari pusat kekuasaan. Konstruksi atap berwujud meru, mendapat

pengaruh Hindu dalam konstruksinya. Teknik konstruksi tiang sokoguru yang

diletakkan di atas umpak batu, tiang sokoguru adalah sesuatu yang menjadi

penegak atau pengukuh yang berfungsi sebagai peredam getaran. Bagian

sambungan kayu atap joglomeru, dipakai teknik ikatan kayu yang saling mengikat

konsol dengan pasak kayu tanpa paku. Teknik tersebut terbukti tahan terhadap

berbagai goncangan, baik gempa bumi maupun angin. Masjid Pathok Negoro Ad-

Darojat Babadan secara geografis berada di jalur arah angin dari gunung Merapi,

terutama pada malam hari dan juga berada di atas wilayah yang rentan gempa.

40
Teknik konstruksi tersebut, diadopsi dari teknik bangunan Masjid Demak

yang berada di pinggir laut utara Jawa, yang kuat bertahan dari hantaman angin

laut di siang dan malam hari. Karena di zaman itu belum ada teknik konstruksi

beton bertulang, maka teknik inilah yang paling tepat digunakan. Setidaknya ada

tiga guncangan gempa besar yang pernah melanda Yogyakarta, yaitu tahun 1824

M, 1867 M dan 2006 M, meskipun mengalami kerusakan, namun hasilnya masjid

tetap kokoh berdiri.

Tiap-tiap bagian dalam struktur masjid, mempunyai fungsinya masing-

masing. Penjelasan ini berguna untuk melihat penggunaan bagian-bagian masjid,

sesuai dengan konsep dan tujuan pembangunan dari bagian-bagian masjid.

Adapun fungsi-fungsi pada bagian-bagian masjid, yaitu:

1. Bagian Dalam

Bagian utama adalah struktur Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan,

sebagaimana telah dijabarkan di atas, terdiri dari tiga bagian, yaitu: mihrab, ruang

sholat dan mimbar. Penjelasan yang ada pada bagian ini disatukan, tidak terpisah-

pisah menurut susunan tersebut. Bagian utama masjid adalah bagian terbatas,

yang dibatasi oleh pintu kayu dan kaca serta dinding pembatas. Pada saat ini tidak

ada fungsi lain di bagian dalam masjid, kecuali untuk ritual sholat, I’tikaf,

mengaji dan prosesi yang ada dalam sholat Jum’at serta sholat lainnya yang

membutuhkan khatib. Bagian kecil di bagian barat masjid yang berbentuk kubus

kecil (mihrab), berfungsi utama sebagai ruang imam memimpin sholat, tidak ada

41
fungsi lainnya. Pada bagian dalam masjid di sebelah kanan (utara), terdapat

mimbar

2. Bagian Luar

Bagian luar berupa serambi, pawestren, halaman dan makam, mempunyai

beberapa fungsi. Fungsi-fungsi dari bagian tambahan masjid Pathok Negoro Ad-

Darojat Babadan, ada yang bersifat praktis (utama) dan tambahan, yang

sebenarnya bukan peruntukkan asli bagiannya, namun tetap digunakan sesuai

dengan keadaan dan kebutuhan penggunaan ruang masjid saat ini.

a. Serambi

Bagian serambi terdapat dua bagian dan masing-masing bagian

mempunyai dua fungsi. Bagian pertama serambi, adalah pawestren, dengan fungsi

utama yaitu tempat (ruangan) sholat khusus untuk kaum wanita, baik di sebelah

utara (kanan) dan selatan (kiri). Fungsi lainnya adalah tambahan tempat sholat

kaum pria pada hari Jum’at, ketika kaum wanita tidak melaksanakan sholat

Jum’at.

Serambi yang terbesar di bagian timur mempunyai banyak fungsi. Fungsi

utamanya adalah tempat untuk sholat, jika terpaksa bagian dalam masjid telah

penuh, maka fungsi tersebut menjadi paling penting, terutama saat sholat Jum’at.

Fungsi utama lainnya adalah, tempat bersilaturrahimnya para jama’ah masjid

selepas sholat dan saat acara tertentu seperti saat diadakan pengajian rutin atau

saat peringatan hari besar Islam tertentu. Fungsi tambahannya yaitu untuk

42
beristirahat para jama’ah atau pengunjung masjid, karena istirahat (tidur) di dalam

bagian dalam masjid, sangat dilarang

Adapula fungsi lainnya yaitu sebagai tempat untuk menaruh inventaris

masjid, di bagian kiri dan kanan yang tidak ada pintunya, yaitu untuk menaruh

perangkat alat musik rebana dan rak buku perpustakaan kecil masjid.

b. Pawestren

Bagian pawestren fungsi utamanya adalah tempat untuk shalat kaum Hawa

(wanita). Fungsi utama ini berlaku setiap hari dalam shalat lima waktu, bahkan

pada waktu shalat Jum’at, beberapa jama’ah wanita, ikut dalam shalat Jum’at,

meskipun jumlahnya tidak banyak. Tidak ada fungsi tambahan di bagian

pawestren.

c. Halaman

Fungsi utama bagian halaman adalah sebagai tempat untuk kegiatan non-

ritual keagamaan seperti, tempat warga berkumpul membuat acara tertentu.

Adakalanya bagian halaman juga digunakan untuk aspek ritual keagamaan, seperti

saat sholat di hari-hari besar seperti Iedul Fitri atau Iedul Adha.

Pada perayaan hari-hari besar tertentu, seperti pengajian akbar, bagian

halaman menjadi tempat berkumpulnya jama’ah untuk audiensi. Bagian halaman

juga dibatasi oleh sebuah pagar tembok (panyengker), yang berfungsi sebagai

pembatas antara bagian luar masjid dengan lingkungan dalam masjid.

43
d. Makam

Fungsi utama makam Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan, adalah

tempat untuk mengebumikan jenazah para pemuka agama Masjid Ad-Darojat dan

masyarakat asli Kampung Babadan Khususnya Padukuhan Plumbon yang

beragama Islam. Tidak ada fungsi praktis lainnya untuk bagian makam, hanya

fungsi religi saja yang dapat diketahui. Sebab makam berada di bagian barat

masjid, maka makam sejak zaman Kesultanan Demak, berfungsi sebagai tempat

penghormatan dan pengingat para jama’ah yang berziarah, untuk selalu mengingat

kehidupan akhirat kelak.31

E. Gambaran Umum Kampung Babadan Lama

Dalam peta Kota Yogyakarta di masa lalu, Kampung Babadan menempati

bagian timur Kesultanan Yogyakarta. Sama seperti Pathok Negoro yang lain,

wilayah Babadan ditandai dengan masjid Keraton sebagai simbol. Masjid yang

mulanya bernama Masjid Pathok Negoro Kauman Babadan32 dan kemudian

berubah menjadi “Ad-Darojat” ini dibangun oleh Sulata Hamengku Buwono I

pada 1774 diatas tanah mutiban dikawasan timur pusat Kesultanan Yogyakarta.

Kampung Babadan Bangutapan Bantul terletak di belakang kampus

Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL) Yogyakarta. Kampung ini pernah

mengalami kematian panjang. Ceritanya, waktu zaman Jepang, warga beserta

seluruh isi kampung Babadan dipindahkan ke Kentungan. Diantaranya adalah

31
Hasil Wawancara dengan Sekertaris Masjid Ad-Darojat Bapak Suhari pada Tanggal 19 Juli
2020 di serambi Masjid pukul 16.30
32
http://teamtouring.net/masjid-pathok-negoro-ad-darojat-babadan.html, diakses pada 20 Juli jam
21.05

44
masjid yang dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kampung baru yang

menampung warga beserta seluruh isi kampung Babadan itu kini juga bernama

Babadab Kentungan, di sebelah utara markas Batalyon Infanteri 403 di jalan

Kaliurang. Di antara warga Babadan Banguntapan dan Babadan Kentungan

sampai sekarang tetap terjalin silaturahmi.

Ketika pengusiran itu terjadi, tidak semua warga Babadan menuruti

kemauan Jepang. Isu perluasan pangkalan pesawat terbang yang dijadikan alasan

Jepang untuk pengusiran itu diyakini beberapa warga tidak akan pernah terjadi

kenyataan. Yang mempunyai keyakinan seperti itu, memilih tinggal di sekitar

bekas kampung halamannya itu. Bekas kampung itu sendiri menjelma menjadi

semak belukar.

Adapun bekas masjidnya hanya tinggal pondasi dan tembok yang

mengelilinginya. Pada masa kejayaan PKI di tahun 1960-an, bekas masjid itu

hendak disulap menjadi panggung ketoprak. Tetapi, sebelum niat itu terealisir PKI

keburu diberantas seiring kegagalan mereka dalam gerakan penghianatan 30

September 1965.33

Warga Kampung Babadan identik dengan bisnis jagal hewan. Mereka

adalah salah satu penyuplai kebutuhan daging untuk Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY). Khusus Babadan Baru, mereka kini menjadi penyuplai kebutuhan daging

kambing untuk warung-warung sate di DIY. Terbentang dari Prambanan sampai

Gamping. Pernah pula ada yang menjagal sapi tetapi kini mulai sepi. Ada juga

33
Muhammad Fuad Riyadi. Kampung Santri. Yogyakarta :(Ittaqa Press,2001)Hlm. 101-102

45
yang membuat warung sate sendiri. Selain warga Babadan Baru, mantan warga

yang kini tinggal dikampung-kampung lain pun bisnisnya tidak lepas dari urusan

daging. Misalnya, di Kampung Kuncen pedagang-pedagang sate kambingnya

adalah keturunan warga Babadan. Di Kampung Glagahsari Umbulharjo, warga

keturunan Babadan di sana berbisnis kulit binatang. Di Kampung Semaki,

keturunan Babadan di tempat itu bebisnis daging ayam potong.

Khusus daging kambing dari Babadan Baru, selain di setor ke warung-

warung sate juga dijual ke sejumlah pasar seperti Kranggan, Jambu, Pingit dan

Beringharjo. Adapun Kampung Babadan Lama, bisnis jual beli daging ini mulai

menyurut. Itu karena warga asli Babadan memang tinggal sedikit, kebanyakan

adalah pendatang.34

Secara formal, memang pengurus kemasjidan sebagai abdi dalem Keraton

masih hadir di Babadan. Di samping itu, Gusti Joyokusumo sebagai wakil

Keraton sebagai wakil Keraton juga masih tetap rutin berkunjung. Takmir masjid /

pengurus masjid juga masih tetap secara rutin mengikuti kegiatan pengajian di

Keraton yang disebut Bukhoren / Ahad Pon-an35. Namun berbeda dari dua Pathok

Negoro lainnya masih menjalankan ritual-ritual keagamaan yang telah menjadi

tradisi. Masyarakat setempat menyatakan Pathok Negoro dengan nuansa

34
Muhammad Fuad Riyadi. Kampung Santri. Yogyakarta :(Ittaqa Press,2001)Hlm.. 108-109
35
Ahad Pon-an adalah pengajian yang diselenggarakan oleh Keraton untuk para takmir dari
masjid-masjid kagungan dalem Keraton. Biasanya, takmir memakai seragam khusus berupa baju
koko putih, celana hitam, serta kopiah. Dinamakan pengajian Ahan Pon-an karena pengajian ini di
selenggarakan pada hari Ahad (kata Ahad berasal dari bahasa Arab yang artinya hari Minggu)
yang bertepatan dengan weton Jawa Pon. Biasanya, Ahad Pon-an ini dilakukan tiap selapan (35
hari) sekali.

46
keislaman yang kuat, banyak sekali budaya mereka yang telah berubah. Hal ini

dikarenakan masyarakat Babadan saat ini sudah sangat heterogen.

Meskipun Babadan sudah mengalami banyak perubahan, ia masih tetap

mendapat perhatian dari Keraton. Ini karena, bagimanapun Babadan bukan

wilayah biasa. Masjidnya tetap kagungan dalem kaeraton. Dari sisi historis, ia

juga menjalankan peran penting sebagai Pathok Negoro di masa lalu.

Bagaimanapun, perhatian Keraton itu bisa juga mengindikasikan

kemungkinan yang berbeda. Misalnya, bisa saja perhatian itu merupakan bentuk

kontrolnya atas tentunya akan membuat Babadan suatu saat lepas sama sekali dan

meninggalkan sejarah pentingnya dalam sejarah Keraton.

Dalam konteks ruang fisik, Babadan terletak di bagian timur dari Keraton

Yogyakarta. Saat itu, penanganan segala urusan di bagian timur Keraton

Yogyakarta dipusatkan di Babadan. Sebagaimana Pathok Negoro yang lain, selain

sebagai Pengadilan Surambi yang berhubungan dengan sistem peradilan dan lebih

condong ke arah administratif, Babadan juga digunakan sebagai suatu titik tempat

penyebaran agama Islam. Secara simbolis, Keraton menempatkan Pathok Negoro

sebagai satu titik desentralisasi kekuasaan Keraton dalam hal penyebaran agama

Islam dan peradilan Islami. Hanya saja, kemudian banyak sekali pengaruh

eksternal mempengaruhi sekaligus merubah Babadan. Perubahan-perubahan ini

lebih banyak terjadi dalam ranah fisik. Konsep Babadan sebagai ruang fisik ini

menentukan perubahan dalam ruang imanjinernya (psikologis).

47
Babadan didirikan di sebelah timur Keraton Yogyakarta yang dalam

perkembangannya menjadi salah satu lokasi yang strategis di wilayah Yogyakarta.

Pada 1936, Belanda mendirikan lapangan udara di Maguwo (cikal bakal

Lapangan Udara Adi Sucipto saat ini) untuk kepentingan Angkatan Udara

Belanda. Hanya saja, di tahun 1942 lapangan udara ini berhasil direbut oleh

Jepang ketika Jepang mulai masuk dan menduduki Indonesia. Kampung Babadan

yang merupakan lokasi strategis saat itu dimanfaatkan oleh Jepang untuk

digunakan sebagai gudang mesiu. Akibatnya, terpaksa dilakukan perpindahan

besar-besaran Masjid Pathok Negoro Babadan, yang dalam bahasa Jawa disebut

bedhol desa. Masjid dipindahkan di daerah Kentungan, saat ini daerah ini dikenal

dengan nama Babadan Baru.

Pada saat itu, tidak ada perlawanan yang berarti dari masyarakat meskipun

masyarakat bisa saja menyatakan perang dan melawan. Hal ini karena ada

peringatan keras dari Gubernur Belanda penguasa Yogyakarta dan Sultan sebagai

raja. Nugroho Notosusanto menuliskan bahwa setelah Jepang menduduki

Yogyakarta pada 5 Maret 1942, Jepang berunding dengan Gubernur L. Adam

(Gubernur Belanda) selama dua hari. Setelahnya, gubernur mengeluarkan

pernyataan yang dimuat di surat kabar Mataram tanggal 7 Maret 1942 yang isinya

bahwa ia memegang kekuasaan gewest Yogyakarta bersama dua orang

zelfbestuurder. Tugas utamanya adalah mejaga keamanan. Dengan itu, ia juga

memperingatkan orang-orang Jawa untuk bersikap baik larangan berkumpul

dijalan-jalan.

48
Selain aturan yang keras muncul tiba-tiba itu, perintah Sultan juga

berpengaruh kuat sehingga masyarakat Babadan mau pindah tanpa perlawanan

berarti. Pada hari pertama Jepang menduduki Yogyakarta, banyak masyarakat

pribumi yang melakukan perampokan terhadap orang-orang Belanda yang saat itu

dalam posisi kalah, dan orang asing di kamar bola (Kauman, saat ini di Muka Seni

Sorong). Saat itu, muncul Sultan dan memperingatkan rakyat secara langsung

dengan berkata ; “...hal keadaan ini saja nengerti djuga bahwa sekalijan jang

sama ambil barang-barang ini banja terdorong dari lain orang telah

mengambilnja, maka sebab kita harus djudjur dan suktji itulah tidak berguna lagi

dan tidak mangfaat, maka dari itu jang sudah terlanjur barang-barang tadi

supaja dikembalikan...”36.

Pada hari berikutnya, Sultan memerintahkan pepatih dalem K.P.H.H.

Danoereja VIII untuk menyampaikan kepada rakyat sebuah pengumuman yang

isinya menhgajak mereka untuk menjaga ketentraman dan menaati pemerintah

supaya tidak mendapat hukuman berat (baik dari Belanda maupun dari Jepang)

dan tidak mencemarkan nama nagari dan Sultan sendiri. 37

Setelah masa pemerintahan Jepang di Indonesia habis, wilayah Babadan

Lama yang sudah tidak memiliki bangunan masjid dan ditinggalkan warganya

kemudian mengalami hantaman kembali ketika wilayahnya dikuasai oleh PKI.

PKI mengkavlingkan tanah wilayah Babadan Lama untuk kemudian mereka jual

36
P.J. Suwarno, 1994. HB IX dan Sistem Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974.Sebuah Tinjauan
Historis.Yogyakarta. Kanisius. Hlm. 92.
37
Wara-Wara Pepatih Dalem ing Keraton Ngajogjakarta K.P.A.A Dhanoeredjo 6 Maret 1942.
Hlm. 92.

49
bebas atau malah dibagi-bagi begitu saja. Pengkavlingan ini menyebabkan bentuk

tata kota di Kampung Babadan menjadi rapi berbentuk kotak-kotak dan memiliki

jalan lebar. Karena itulah saat ini bila dibanding dengan kampung-kampung kuno

lainnya, bentuk tata kota Kampung Babadan cenderung lebih modern. Mobil bisa

masuk karena jalan lebar, dan hal ini membuat Babadan manarik pedatang baru

tempat tinggal di sana.

Selanjutnya Babadan mengalami peristiwa besar lain yang cukup menjadi

penentu perubahan kampung ini. Ketika Indonesia telah bebas dari PKI dan relatif

stabil, masjid dan masyarakatnya telah dipindahkan ke Babadan Baru

(Kentungan) dikembalikan ke Kampung Babadan (lokasi awal). Di saat

bersamaan, kondisi kekuasaan politik Orde Baru mulai goyang. Soeharto sebagai

penguasa Orde Baru telah cukup kehilangan dukungan dari kekuatan militer dan

klan CSIS yang sebagiannya orang-orang Katolik. Menghadapi kenyataan ini,

Soeharto mulai melirik kalangan Muslim. Saat itu, secara simbolik Soeharto

merangkul umat Islam dengan merestui berdirinya ICMI dan melakukan

pembangunan sarana ibadah berupa pembangunan masjid di berbagai penjuru

tanah air, termasuk membiayai pemugaran dan pemeliharaannya. 38

Maka pada 1960-an, Kyai Muthohar menjadi tokoh yang sangat

berpengaruh juga dalam dibangunnya kembali Masjid Babadan di lokasi awal

sekaligus memberi nama baru Masjid, yakni Ad-Darojat. Nama ini diambilkan

dari nama Sultan Hamengku Buwono IX (Dorojatun) yang merestui

38
Widyastuti.Fungsi Latar Belakang Pendiri dan Peranan Masjid-Masjid Pathok Negoro.( Skripsi
S1 Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra,Universitas Gadjah Mada,1995) Hlm. 148

50
pembangunan kembali masjid ini. Di sinilah perubahan signifikan psikologis

Babadan terjadi karena adanya perpecahan pada masyarakat Babadan. Masyarakat

asli Babadan menjadi berkurang dikarenakan banyak penduduk Babadan yang

dulu ikut hijrah ke Babadan Baru tidak ikut kembali ke Babadan yang lama saat

pindah kembali. Selain itu banyak pula penduduk Babadan asli yang kemudian

pindah ke daerah-daerah asal mereka terdahulu seperti Kauman, Karangkajen,

Kotagede dan Pakuncen.39

Dari cerita panjang diatas, tampak jelas bahwa perubahan yang begitu

kompleks terjadi pada Babadan sebagian besar terkait dengan perubahan ruang.

Perubahan- perubahan ini melahirkan identitas baru pada Babadan.

F. Kondisi Keagamaan Kampung Babadan Lama

Babadan bisa dikatakan menghapuskan identitas Pathok Negoro-nya

ketika ia perlahan-lahan menghapuskan Islam tradisional dan ritual keagamaan

yang lekat pada Islam atau Islam tradisional (sebagai karakter utama dari Islam

Keraton) yang menjadi karakter dasarnya. Identitas Babadan saat ini lebih

cenderung sebagai kampung Islam dalam pemahaman Islam sebagai agama dan

bukan sebagai budaya atau hanya ritual budaya tertentu. Identitas Babadan

sebagai Pathok Negoro hilang, tetapi identitasnya sebagai wilayah yang

didominasi dengan kegiatan Islami masih tetap berjalan. Hal ini bertolak pada

pemahaman bahwa identitas sebagai Pathok Negoro tidak melulu berkaitan erat

39
Yenny Retno Mallany. Pathok Negoro Mengahadapi Perubahan Zaman.(PolGov,2016). Hlm.
149

51
dengan hal bercorak Islam, akan tetapi dengan kuat juga bersandar pada cara,

ritual, dan budaya yang dikaitkan dengan keagamaan. Babadan saat ini telah

menganut cara atau ajaran baru dalam menghidupi kebutuhan religius

masyarakatnya. Pathok negoro masih menjadi satu kebanggaan bagi Kampung

Babadan, akan tetapi untuk menjaga eksisensinya sebagai Pathok Negoro,

Babadan tidak memilih untuk terus terikat pada budaya lamanya.

Kampung Pathok Negoro Babadan merupakan kampung yang relatif aktif

kegiatan keagamaan. Salah satunya karena 80% masyarakatnya merupakan

Muslim taat, baik penduduk asli maupun pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa

Babadan sangat terbuka kepada pendatang.

52
BAB IV

AKTIVITAS SOSIAL - KEAGAMAAN MASYARAKAT BABADAN

LAMA DENGAN MASJID AD-DAROJAT

A. Peran Masjid Dalam Kegiatan Sosio-Religus

Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1942 menandai berakhirnya

tradisi lama dalam status dan stratifikasi sosisal seperti pada zaman Belanda.

Aktivitas religius yang diselenggarakan oleh masyarakat sebagai wujud dari

memakmurkan masjid, selalu dilakukan. Adanya aktivitas tersebut, secara

langsung mempertemukan masyarakat dalam satu wadah silaturahmi di masjid

sebagai pusatnya. Aktivitas religius dapat berarti aktivitas sosial, dengan cara

bertatap muka dan bertukar pikiran. Tradisi slametan, kenduren, tahlilan dan lain-

lain seperti pengajian akbar ataupun hanya sekedar rutinitas shalat berjamaah,

membuat seluruh kegiatan masyarakat tertuju pada aspek moral dan terkesan

agamis.

Peran masjid dan perangkatnya sebagai monumen religius adalah

pemersatu masyarakat Babadan Lama pada khususnya dan masyarakat

Yogyakarta pada umumnya sejak pertama kali didirikan, aspek-aspek tersebut

tidak pernah hilang, hanya bergeser perlahan sesuai zamannya. Terdapat paling

tidak tiga fungsi utama Majid Pathok Negoro sebagai upaya memperkuat identitas

keislaman dan kemasyarakatan, selain sebagai tempat ibadah. Berdasarkan hal itu,

maka fungsi masjid Pathok Negoro dapat dipisahkan menjadi :

53
1. Fungsi Politis meliputi : pemerintahan, pertahan dan peradilan

2. Fungsi Edukatif meliputi : tempat belajar dan majelis taklim

3. Fungsi Kemasyarakatan meliputi : pengurusan kematian, penyelenggaraan

pernikahan dan kegiatan-kegiatan keagamaan.40

a. Pengurusan Kematian atau Pengurusan Jenazah :

Masjid sebagai tempat pengurusan kematian atau jenazah ini merupakan

bagian fungsi masjid dalam melayani masyarakat, hal ini penting untuk

diperhatikan dalam pengelolaannya, karena kegiatan satu ini tanpa diduga-duga

dan harus setiap saat dalam pengurusannya, maka pengurus masjid harus dapat

mempersiapkan yang matang dalam pengelolaan dan melaksanakan bidang

pengurusan jenazah.

Dalam bidang pengelolaan jenazah ini seorang yang ditugaskan dalam

pengurusan seperti memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan

tentu tidaklah orang sembarangan, tentu masjid dapat menunjuk salah satu

seorang imam masjid untuk dapat mengurusi dari awal hingga akhir. Sehingga

keluarga duka akan terbantu dan tidak perlu mencari dalam pengurusan ini karena

masjid sudah siap dan bersedia kapanpun.

40
Tim Museum Sonobudoyo, Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan Yogyakarta, Hlm. 54
dan 74

54
b. Penyelenggaraan Pernikahan

Dalam agama, pernikahan itu dianggap sebagai suatu hal yang suci. Acara

pernikahan adalah upacara yang suci, yang kedua belah pihak dihubungkan

menjadi pasangan suami-istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan

hidupnya. Dalam pandangan agama Islam, di samping pernikahan itu sebagai

perbuatan ibadah, ia juga termasuk sunnah Allah dan sunnah Rasul. Bahkan

pernikahan dalam Islam dianggap sebagai sebuah perintah Allah dan juga dari

Rasul.

Masjid adalah satu tempat yang sering digunakan untuk

menyelenggarakan Akad Nikah. Karena masjid dianggap menjadi tempat yang

suci dan sakral untuk dilakukannya prosesi Ijab Kabul. Di Masjid Pathok Negoro

Babadan sendiri banyak beberapa warganya ada yang melakukan prosesi Ijab

tersebut di Masjid Ad-Darojat.

c. Kegiatan-Kegiatan Keagamaan

Sebagai tempat kegiatan ibadah ini masjid merupakan pusat atau tempat

bagi jama’ah untuk berkomunikasi dengan penciptanya dalam bentuk ibadah

shalat, dzikir dan lain-lain. Kegiatan ibadah ini mencangkup kegiatan ibadah ritual

atau madhah yaitu ibadah yang erat kaitannya dengan Allah SWT dan ibadah

Ijtimaiyah (ibadah sosial) yaitu merupakan ibadah yang berhubungan dengan

sesama manusia.

Maka fungsi masjid sebagai kegiatan ibadah ini dapat menjadi dua bidang

yang pertama sebagai ibadah madhad dan ibadah sosial, berkaitan hal tersebut

55
kegiatan ibadah madhah maupun kegiatan sosial yang ada di Masjid Pathok

Negoro Babadan adalah sebagai berikut :

Ibadah Madhah : Shalat berjamaah, Shalat dua hari raya, Shalat jum’at, Dzikir dan

berdoa, Tadarus Al-Qur’an dan lain-lain.

Ibadah sosial : Adanya kegiatan majelis ta’lim, Pengelolaan zakat infak dan

shadaqah, Pengelolaan daging qurban, Pendidikan TPA dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan keagamaan cukup padat dengan sistem dan struktur

kerja yang jelas. Pemuda ditempatkan sebagai roda penggerak utama dalam

dakwah. Kegitan mereka diwadahi dalam sebuah perkumpulan yang dinamakan

Ikatan Pemuda Islam Babadan. Perkumpulan ini dibentuk oleh tokoh-tokoh

pemuda pada 1971, sesaat setelah masjid direhabilitasi. Babadan memberi nama

Ikatan Pemuda Islam dan bukannya ikatan pemuda masjid seperti biasanya

kelompok pemuda masjid-masjid lain agar kelompok ini bisa merangkul

masyarakat secara keseluruhan.

Kelompok ini terstruktur atas departemen-departemen tertentu, yakni

departemen perpustakaan (bertanggung jawab atas penerbitan majalah dinding

masjid), departemen keputrian, departemen kesejahteraan anggota (berurusan

dengan piknik, donor darah, dan dengan perkara informasi beasiswa), departemen

wiraswasta, dan departemen pendidikkan dan dakwah (mengadakan pembicara

Jumat, Ramadan, TPA, Ahad pagi, pemuda tiap RT). Di antara departemen-

56
departemen ini yang paling krusial adalah departemen pendidikan dan dakwah.

Departemen inilah yang berurusan langsung dengan pembentukkan kader baru. 41

B. Aktivitas Sosial-Keagamaan Ikatan Pemuda Islam Babadan Dengan

Masyarakat Babadan Lama

Tampak di sini bahwa Babadan tidak ingin terus menerus melekatkan diri

pada performa masjid yang dikenal dengan Pathok Negoro. Babadan berusaha

agar terbentuk masyarakat Islami secara rill yang terlepas dari klaim identitas

masjid sebagai Pathok Negoro. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya

kepengurusan masjid sebagai pengayom hampir di seluruh kehidupan masyarakat

Babadan dengan sistematis dan terperinci. Babadan membuat struktur pengurusan

yang sistematis dan sangat jelas di masyarakat yang diwakili oleh para pemuda.

Bahkan, keberadaan pemuda-pemuda di Babadan dapat digolongkan sebagai

kelompok yang spesial. Selain diserahi tugas yang besar untuk memegang dan

mampu menggerakkan kegiatan Islam, pemuda Babadan juga berkesempatan

menerima beasiswa dari para tokoh-tokoh yang memang bisa digolongkan sebagai

kaya di sana.

Banyak warga kampung ini menjadi donatur yang membiayai pendidikan

anak-anak mulai dari sekolah menengah hingga sampai ke perguruan tinggi.

Setiap tahun, rata-rata 35 anak bisa bersekolah dari hasil donasi orang-orang kaya

di Babadan. Ini telah berlangsung sejak 1984. Donatur terdiri dari orang asli

Babadan yang kuliah di luar Babadan dan ketika sukses kembali lagi ke Babadan.

41
Yenny Retno Mallany. Pathok Negoro Mengahadapi Perubahan Zaman.(PolGov,2016). Hlm.
150

57
Hal ini menampakkan kepedulian yang besar di masyarakat Babadan terhadap

pendidikan. Apalagi masyarakat mendukung hal ini dengan kegiatan swadaya.

Maka secara rill kepedulian terhadap pendidikan terbukti. Pendidikan ini pula

yang mempengaruhi bagaimana masyarakat Babadan bersikap. Karenannya, di

Babadan Islam hanya dianggap tidak lebih sebagai agama yang dianut dan harus

dijalani dengan baik dan sempurna. Bukan merupakkan paham golongan yang

memberikan perbedaan terhadap golongan Islam lain. Islam di Babadan diakui

sebagai agama, bukan paham kelompok/golongan/organisasi tertentu saja.

Ini menyiratkan karakter Babadan yang sangat terbuka. Dalam fakta pun

diketahui bahwa banyak aliran memang mempengaruhi model Islam di Babadan,

seperti Muhammadiyah atau jamaah Hizbut Tahrir. Kedua golongan ini

sebenarnya berkarakter sama, yakni mengharapkan adanya pembaruan dalam

melihat Islam, Islam harus dimurnikan dan harus terlepas dari budaya. Namun,

masyarakat Babadan cukup cerdas dalam melihat fenomena ini, mereka tidak

melihatnya sebagai suatu gejala terkotak-kotaknya masyarakat yang akan

mendorong munculnya pihak pemenang dan dominan. Hal ini terlihat dari

beberapa bingkai tulisan yang dipasang di setiap sisi masjid Babadan yang

bertuliskan kalimat kurang lebig seperti ini : “MASJID ADALAH MILIK

UMAT ISLAM, BUKAN MILIK GOLONGAN, ORGANISASI, ATAUPUN

KELOMPOK TERTENTU”

Hal ini menyiratkan masyarakat Babadan sepakat untuk menempatkan

perbedaan pada individu masing-masing. Semua Muslim beribadah kepada Tuhan

dan perbedaan terletak pada cara masing-masing. Inilah mengapa hubungan antar-

58
Muslim tetap terjaga di Babadan meskipun ragam keislaman yang mereka anut

sangat majemuk.

Salah satu kegiatan yang menunjukkan bahwa di Masjid Ad-Darojat

Babadan yang menunjukkan persatuan dan kerukunan adalah Shalat Taraweh dua

macam di bulan Ramadhan. Jelas ini merupakan hal yang langka terjadi. Shalat

teraweh kloter pertama 11 rakaat dan keloter kedua berikutnya 23 rakaat.

Mengenai hal itu merupakan perwujudan rasa saling menghargai dan persatuan

antara orang yang suka shalat 11 rakaat dan yang suka taraweh 23 rakaat. Dalam

prakteknya, beberapa orang malah kadang ikut teraweh 11 rakaat, dan di kala lain

ikut yang 23 rakaat. 42

Menilik sisi lain, sistem yang sedemikian tersusun rapi di Babadan

sebenarnya belum menjadi jaminan terlaksananya tujuan yang diharapkan.

Banyak faktor yang mempengaruhi berjalan atau tidaknya sebuah sistem. Di

antaranya kemauan keras. Di Babadan, kualitas pendidikan nonformal yang

bersifat keagamaan sangat dijaga, dengan tujuan utama untuk pengaderan.

Selain itu, hal lain yang juga mendukung berjalannya sistem ini adalah

adanya kontrol sosial sangat tinggi. Misalnya, ada salah satu warga saja yang

tidak terlihat beribadah ke masjid, maka ia akan diperhatikan oleh tetangganya.

Karenannya, masing-masing individu memiliki kesadaran dan pemahaman yang

membuat mereka merasa tidak enak jika tidak ikut bergabung. Ini menjadi

kesepakatan tidak tertulis bahwa masjid menjadi penanda kehadiran masyarakat.

42
Muhammad Fuad Riyadi. Kampung Santri. Yogyakarta :(Ittaqa Press,2001)Hlm. 104

59
Masjid sebagai tolak ukur keberadaan individu-individu masyarakat Babadan.

Begitu juga dengan pengajian-pengajian. Ketika seseorang tidak hadir dalam

pengajian, maka akan diperhatikan dan dicari tahu apakah ia sakit atau ada hal

lain yang terjadi. Artinya, ketika ada suatu ketidakserasian di masyarakat,

masyarakat cepat tanggap. Karenannya, masyarakat Babadan terjaga selalu berada

pada jalur kebersamaan.

Meskipun identitas Babadan sebagai Pathok Negoro semakin pudar,

identitas Babadan sebagai kampung Muslim masih tetap kuat. Warga mengakui

bahwa mereka memang cenderung bersikap radikal jika menghadapi pendatang

yang melenceng dari nilai-nilai religius, misalnya, pemuda yang mengunjungi

seorang perempuan lebih dari jam 22.00 malam, orang yang mabuk-mabukan di

sekitar Babadan, atau bahkan pencuri.

Karena sifatnya yang Islami, ditambah dengan historis Babadan adalah

Pathok Negoro, Babadan memiliki kemampuan untuk mengontrol dan

mempengaruhi kebijakan tentang siapa yang berhak dan tidak berhak tinggal

disekitar wilayah mereka. Bukan masalah ketika pendatang adalah muslim yang

beribadah dengan baik, tetapi jika ia nonmuslim, maka jelas kebebasannya

dibatasi. Misalnya, dengan tidak boleh melepas anjing peliharaan diluar rumahnya

sendiri. Jika dilepas, maka bukan tdak mungkin masyarakat bertindak keras

dengan memukul atau bahkan membunuh anjing tersebut. Hal ini dikarenakan

anjing merupakan hewan dengan air liur najis bagi orang Islam. Selain itu, jika

pendatang tidak mencerminkan perilaku yang baik, mereka juga tidak akan bisa

tinggal lama di Babadan.

60
Pola yang cukup serupa dimiliki oleh masyarakat Babadan dalam

menghadapi pendatang non-Islam yang bisa dibilang cukup kuat dan memiliki

kemungkinan bisa mendesak kehadiran mereka sebagai kelompok masyarakat

yang sangat berorientasi Islam. Hal ini diperlihatkan lewat kasus pembangunan

gereja yang tidak jauh dari pusat (Masjid Pathok Negoro Babadan). Menurut

masyarakat, warga pendatang non-Muslim itu tinggal disebuah bangunan dengan

izin sebagai rumah. Namun, rumah tersebut difungsikan sebagai gereja.

Akibatnya, masyarakat Babadan marah dan bersikap keras sehingga aktivitas

gereja mati.

Yang menarik dalam menjalankan sikap tersebut, masyarakat Babadan

tidak sendiri. Mereka mendapat banyak bantuan dari penduduk Kentungan,

Karangkajen, Kotagede, Kunto dan Kauman. Bantuan ini mereka berikan karena

ikatan emosional masih sangat kuat sebab dulu mereka satu kesatuan. Ada makna

yang sangat dalam di sini. Maka agamais dan makna kolektivitasan yang didasari

oleh kepercayaan (perasaan agamais) yang kemudian ditunjukkan dengan cara

yang sama, yakni melawan berdirinya gereja disekitar Pathok Negoro Babadan.

Artinya, meskipun semakin terlepas dari identitasya sebagai Pathok Negoro,

identitasnya sebagai masyarakat Muslim muncul sendidri menjadikan Babadan

terlihat tunggal. Keberadaanya samar jika dilihat dari keberadaanya sebagai

Pathok Negoro. Namun sebaliknya, kehadirannya kuat jika dilihat dari

sekelompok masyrakat Muslim moderat.43

43
Yenny Retno Mallany. Pathok Negoro Mengahadapi Perubahan Zaman.(PolGov,2016). Hlm.
150-154.

61
C. Kegiatan Rutin yang diadakan di Masjid Ad-Darojat

Masjid merupakan tempat yang paling banyak dikumandangkan nama

Allah melaui Azan, Qomat, Tasbih, Tahmid, Tahlil Istigfar, dan ucapan lain yang

dianjurkan dibaca di Masjid sebagai bagian dari lafaz yang berkaitan dengan

pengangungan asma Allah. Sedangkan fungsi masjid adalah pusat kegiatan

peribadatan dan pusat kegiatan kemasyarakatan. Jadi fungsi Masjid adalah

kegunaan suatu tempat dimana diajarkan, dibentuk, ditumbuhkan dan

dikembangkan segala ajaran-ajaran agama kepada masyarakat melalui kegiatan-

kegiatan masjid baik secara langsung maupun tidak langsung.

Masjid adalah merupakan simbol eksestensi sebuah masyarakat muslim,

masjid juga merupakan suatu bangunan yang dipergunakan sebagai tempat

mengerjakan shalat, baik untuk shalat lima waktu maupun shalat Jum’at maupun

shalat hari raya. Sehingga berfungsi dan tidaknya masjid ditentukan oleh takmir

masjid dan Ikatan Pemuda Masjid Babadan (IPIB). Oleh karena itu takmir dan

pemuda masjid melakukan kegiatan-kegiatan untuk memfungsikan masjid.44

a. Adapun kegiatan-kegiatan rutin yang dilakukan oleh takmir dan pemuda

masjid dalam penyiaran Islam adalah :

1. Kajian Tafsir Qur’an

Kajian Tafsir Qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan

menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur’an dan isinya berfungsi sebagai

44
Wawancara dengan Sekertaris Masjid Ad-darojat Bapak Suhari Pada Tanggal 19 Juli 2020 di
Serambi Masjid pukul 16.30.

62
mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti kandungan Al-quran,

khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya.

Kegiatan ini diadakan untuk meningkatkan pengetahuan bahasa Arab dan juga

untuk mendalami makna yang terkandung di dalam Al’Qur’an. Ini salah satu

kegiatan yang dilakukan setiap ba’da Maghrib di Masjid Ad-Darojat Babadan dan

diikuti oleh Jamaah Masjid Ad-darojat Babadan, biasanya kebanyakan yang

mengikuti adalah pemuda-pemudi Kampung Babadan.

2. Kajian Tahsin Qur’an

Kajian Tahsin Qur’an adalah kegiatan memperbaiki, atau meningkatkan

bacaan dalam membaca Al-Qur’an. Kegiatan ini biasanya berisi penyempurnaan

pengucapan huruf-hurf Al-Qur’an seperti Idzahr, Idgham, Ikhfa dan sebagainya.

Kegiatan tersebut dilakukan setiap Ahad ba’da Maghrib di Masjid Ad-Darojat

Babadan dan diikuti jamaah Masjid Ad-Darojat Babadan, biasanya kebanyakan

yang mengikuti adalah pemuda-pemudi Kampung Babadan.

3. Kajian Pemuda Islam

Kajian Pemuda Islam adalah kegiatan yang dilakukan oleh IPIB (Ikatan

Pemuda Islam Babadan) setiap Ahad malam dua pekan sekali di Masjid Ad-

Darojat Babadan. Kegiatan ini berisi kajian-kajian agama yang dibawakan oleh

salah satu pemuda IPIB secara bergiliran tiap ahad dua pekan sekali dengan tema

yang berbeda-beda. Kegiatan ini tidak hanya di ikuti oleh pemuda saja namun

juga orang tua dan anak-anak.

63
4. Kajian Khusnul Khotimah

Kajian Khusnul Khotimah adalah kegiatan yang dilakukan untuk

mayarakat Lansia di Kampung Babadan setiap Jum’at pukul 16.00 WIB di Masjid

Ad-Darojat Babadan. Kajian Khusnul Khatimah ini biasanya di isi oleh Kyai atau

Ustadz yang tinggal di Kampung Babadan. Kajian ini berisi tentang bagaimana

kelak kita bisa meninggal secara khusnul khotimah, juga mengajak kita untuk

lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT terutama untuk masyarakat yang sudah

lanjut usia.

5. Pengajian Ahad Pagi

Pengajian Ahad Pagi adalah kegiatan yang dilakukan untuk warga

Babadan dan umum yang dilakukan pada Ahad pukul 06.00 WIB dua pekan

sekali di Masjid Ad-Darojat Babadan. Kegiatan pengajian ini selalu di isi oleh

Kyai atau Ustadz sekitar Kampung Babadan bahkan kadang dari luar kota.

Kegiatan ini depelopori oleh IPIB (Ikatan Pemuda Islam Babadan), mereka selalu

berkoordinasi untuk menentukan siapa Ustadz atau Kyai yang mau didatangkan

dalam pengajian Ahad Pagi tersebut.

6. Pengajian Anak (TPA)

Pengajian Anak (TPA) adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari Senin,

dan Kamis di Masjid Ad-Darojat Babadan. Kegiatan ini diikuti oleh Anak-Anak

TPA Kampung Babadan. Pengajian ini biasanya di isi oleh guru TPA bahkan

kadang beberapa anggota IPIB yang bersedia untuk mengisi pengajian anak ini.

64
Isi dari kegiatan ini adalah : mengaji Al-Qur’an, Iqra’, hafalan surat-surat pendek,

menyanyi nyanyian Islam, bercerita tentang Nabi-Nabi dan masih banyak lagi.

7. Tadarus Bapak-Bapak

Tadarus Bapak-Bapak adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari Selasa,

Jum’at dan Sabtu setiap ba’da Maghrib di Masjid Ad-Darojat Babadan. Kegiatan

ini biasanya hanya diikuti oleh jamaah Masjid Ad-Darojat yang laki-laki saja.45

Sedangkan untuk kegiatan lain yang diadakan di Masjid Ad-Darojat

Babadan selain kegiatan diatas adalah seperti : Shalat Tarawih berjamaah saat

bulan Ramadhan, Shalat Idul Fitri berjamaah, Shalat Idul Adha, Penyembelihan

Hewan Kurban dan kadang diadakan pengajian akbar di Masjid saat hari besar

Islam seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.

b. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Penyiaran Islam dalam

Rangka Memakmurkan Masjid

Dalam sebuah organisasi atau lembaga dalam menjalankan aktivitas

kegiatannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program

kerja, adapun faktor pendukung dan penghambat yang terdapat dalam aktivitas

kegiatan pemakmuran Masjid Ad-Darojat adalah :

1. Faktor pendukung antara lain :

a. Masyarakat sekitar Masjid Ad-Darojat terutama Padukuhan Plumbon RW 17

selalu ikut serta dalam setiap kegiatan yang diadakan di Masjid.

45
https://pathoknagari.id/ diakses pada tanggal 29 Agustus 2020 jam 19.19

65
b. Masyarakat Padukuhan Plumbon tidak keberatan jika dikenakan iuran jika

sedang ada kegiatan di Masjid, bahkan ada yang sukarela memberi tanpa disuruh.

Contohnya seperti pembagian nasi dan minuman setiap Hari Jumat selepas Shalat

Jumat diadakan.

c. Di Padukuhan Plumbon sendiri sudah banyak yang menjadi donatur, dan

donatur tersebut bukan hanya dari dalam kampung saja namun juga ada yang dari

luar kampung. Contohnya donatur memberikan sumbangan untuk progam

beasiswa anak kurang mampu dan santunan untuk Lansia.

2. Faktor penghambat antara lain :

Hampir tidak ada faktor penghambat , karena masyarakat Padukuhan

Plumbon khususnya RW 17 yang berdekatan dengan Masjid Ad-Darojat

berkomitmen jika ada kegiatan dimasjid semua itu sama tidak ada perbedaan

golongan. Tidak ada yang membesar-besarkan golongan, organisasi ataupun

kelompok tertentu . Bagi mereka Islam itu satu hanya memang aliran atau

golongannya bermacam-macam. Karena di Masjid Ad-Darojat pun sudah terbiasa

terjadinya toleransi, tidak ada yang saling menonjolkan golongannya.

66
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian di atas dapat disimpulkan :

1. Pada zaman penjajahan Jepang yakni pada tahun 1940, Masjid Ad-

Darojat dan masyarakat Babadan dipindah ke Desa Babadan Jl. Kaliurang,

Kentungan, Sleman. Perpindahan ini dikarenakan saat itu daerah Babadan terkena

pelebaran pangkalan pesawat terbang dan sebagai gudang senjata. Akibat

perpindahan tersebut denyut kampung Babadan sebagai kampung santri sempat

mengalami tidur panjang. Akibat perpindahan yang dilakukan oleh Jepang

tersebut, masjid Patok Negara atau Negoro tersebut menjadi tak terurus.Saat

terjadi pengusiran oleh Jepang, memang tidak semua penduduk ikut boyong ke

Kentungan. Sebagian warga Babadan tetap tinggal di kampung halamannya.

Setelah ditinggalkan warga, masjid ini hanya tersisa fondasi dan temboknya saja.

Hal ini dikarenakan seluruh konstruksi kayu masjid ikut dipindah dan dibangun

kembali di Babadan Kentungan. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2

yang akhirnya seluruh personil dan tentaranya meninggalkan Indonesia, secara

otomatis pembangunan perluasan pangkalan udara pun urung dilaksanakan.

Sekitar tahun 1950-an mulai banyak masyarakat yang datang ke kampung

Babadan dan akhirnya menetap di sana.

2. Pada tahun 1960-an salah seorang warga Babadan bernama Muthohar

membangun kembali masjid peninggalan Sultan Hamengkubuwono I tersebut.

67
Pembangunan kembali masjid tersebut dilakukan semasa Sri Sultan Hamengku

Buwono IX. Atas dukungan Sultan maka nama Sultan Hamengku Buwana IX

"Ndoro Jatun" diabadikan menjadi nama masjid Patok Negara tersebut dengan

nama Masjid Ad-Darojat. Meski bentuk masjid mengalami perubahan, namun

bentuk khas sebagai masjid kraton masih tetap dipertahankan.

Masjid Pathok Negoro, bertugas sebagai asisten khusus penghulu hakim

yang bertanggung jawab dalam pengadilan surambi di Masjid Agung Kraton dan

berjumlah empat orang. Keberadaan Pathok Negoro ini mengikuti konsep

mancapat dengan penghulu di tengah-tengahnya. Keempat orang penghulu dari

Masjid Pathok Negoro tersebut, menempati desa yang ditetapkan sebagai desa

perdikan dan bernama Kauman (nama Kauman mengikuti sifat perdikan-nya).

Keempat desa tersebut adalah: (1) Mlangi; (2) Plosokuning; (3) Babadan; dan (4)

Dongkelan. Pada keterangan Bonneff tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebutan

Pathok Negoro meliputi: jabatan asisten penghulu, masjid, dan desa yang

berstatus perdikan.

Dalam peta Kota Yogyakarta di masa lalu, Kampung Babadan

menempati bagian timur Kesultanan Yogyakarta. Sama seperti Pathok Negoro

yang lain, wilayah Babadan ditandai dengan masjid Keraton sebagai simbol.

Masjid yang mulanya bernama Masjid Pathok Negoro Kauman Babadan dan

kemudian berubah menjadi “Ad-Darojat” ini dibangun oleh Sultan Hamengku

Buwono I pada 1774 diatas tanah mutiban dikawasan timur pusat Kesultanan

Yogyakarta.

68
3. Masjid adalah merupakan simbol eksestensi sebuah masyarakat

muslim, masjid juga merupakan suatu bangunan yang dipergunakan sebagai

tempat mengerjakan shalat, baik untuk shalat lima waktu maupun shalat Jum’at

maupun shalat hari raya. Sehingga berfungsi dan tidaknya masjid ditentukan oleh

takmir masjid dan Ikatan Pemuda Masjid Babadan (IPIB). Oleh karena itu takmir

dan pemuda masjid melakukan kegiatan-kegiatan untuk memfungsikan masjid.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh takmir dan pemuda masjid

dalam penyiaran Islam di Masjid Ad-Darojat adalah :

a. Kajian Tafsir Qur’an

Kajian Tafsir Qur’an adalah kegiatan yang dilakukan setiap ba’da Maghrib di

Masjid Ad-Darojat Babadan.

b. Kajian Tahsin Qur’an adalah kegiatan yang dilakukan setiap Ahad ba’da

Maghrib di Masjid Ad-Darojat Babadan.

c. Kajian Pemuda Islam adalah kegiatan yang dilakukan Ahad malam dua pekan

sekali di Masjid Ad-Darojat Babadan.

d. Kajian Khusnul Khotimah adalah kegiatan yang dilakukan untuk mayarakat

Lansia di Kampung Babadan setiap Jum’at pukul 16.00 WIB di Masjid Ad-

Darojat Babadan.

f. Pengajian Ahad Pagi adalah kegiatan yang dilakukan untuk warga Babadan dan

umum yang dilakukan pada Ahad pukul 06.00 WIB dua pekan sekali di Masjid

Ad-Darojat Babadan.

69
g. Pengajian Anak adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari Senin, dan Kamis di

Masjid Ad-Darojat Babadan.

h. Tadarus Bapak-Bapak adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari Selasa,

Jum’at dan Sabtu setiap ba’da Maghrib di Masjid Ad-Darojat Babadan.

Sedangkan untuk kegiatan lain yang diadakan di Masjid Ad-Darojat

Babadan selain kegiatan diatas adalah seperti : Shalat Tarawih berjamaah saat

bulan Ramadhan, Shalat Idul Fitri berjamaah, Shalat Idul Adha, Penyembelihan

Hewan Kurban dan kadang diadakan pengajian akbar di Masjid saat hari besar

Islam seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj.

B. Saran

Penelitian ini menunjukkan salah satu Masjid Pathok Negoro yang berada

di Kampung Babadan Banguntapan Bantul yaitu Masjid Ad-Darojat. Masjid Ad-

Darojat dan Kampung Babadan ini memiliki sejarah yang panjang. Seperti

Kampung Babadan yang pernah digusur oleh Jepang pada saat kedudukan Jepang

Di Yogyakarta dan Masjid Pathok Negoro yang berada di dalam Kampung

Babadan ini juga ikut terbongkar.

Setelah melalui banyak waktu akhirnya Kampung Babadan ini dapat

kembali dan Masjid Pathok Negoro juga dibangun kembali di Kampung ini tanpa

meninggalkan ciri khasya sebagai Masjid Kesultanan Yogyakarta. Masjid Ad-

Darojat dan Kampung Babadan Banguntapan ini berada disebelah Timur dari

Kesultanan Yogyakarta.

70
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Daliman, A. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012.

Dieter Evers, Hans dan Korff Rudiger. Urbanisme di Asia Tenggara Makna dan
Kekuasaan Dalam Ruang Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 2002.

Hamid, Abd Rahman dan Muhammad Saleh Madjid. Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2011.

Kartodirjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodelogi Sejarah. Jakarta :


PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993.

Khadori, Dawis. Menuju Kampung Pemerdekan Masyarakat Sipil dari Akar-


Akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggiran Kali Code. Yogyakarta :
Yayasan Pondok Rakyat. 2002.

Mallany, Retno Yenny. Pathok Negoro Menghadapi Perubahan Zaman.


Yogyakarta : PolGov. 2016.

Riyadi, M. Fuad. Kampung Santri. Yogyakarta : Ittaqa Press. 2001

Robert, H. Laurer. Persepektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka


Cipta. 1993.

Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press. 1986.

Suwamo, P.J. HB IX dan Sistem Pemerintahan Yogyakarta. Yogyakarta :


Kanisius. 1994.

71
Tim Museum Sonobudoyo. Masjid-Masjid Pathok Negoro di Kesultanan
Yogyakarta. 2006.

KARYA ILMIAH :

Jemadi, Geordianus. Konektivitas Ruang Pada Masjid-Masjid Kraton Yogyakarta


( 5 Masjid Pathok Negoro dan Masjid Agung Gedhe Kauman). Yogyakarta :
Skripsi S1 Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi
Nasional Yogyakarta. 2020.

Prasetyo, Johan Eko. Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning 1724-2014 (Kajian
Sejarah Arsitektur Jawa). Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.

Purgasari, Gina Novia. Perubahan Sosial Budaya Masyarakat di Kmapung Adat


Pulo Desa Cangkuang Kabupaten Garut (Kajian Historis Tahun 1976-2000).
Jakarta : Skripsi S1 Fakultas Ilmu Pendidikan Nasional Universitas Perdikan
Indonesia. 2011.

Widyastuti. Fungsi Latar Belakang Pendiri dan Peranan Masjid-Masjid Pathok


Negoro. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 1995.

INTERNET :

IPIB (Ikatan Pemuda Islam Babadan). Profil Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat.
Dalam http://pathoknagari.id . Artikel. 20 Juli 2020.

IPIB (Ikatan Pemuda Islam Babadan). Profil Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat.
Dalam http://teamtouring.net/masjid-pathok-negoro-ad-darojat-
babadan.html . Artikel. 20 Juli 2020.

72
Mudra, Al Mahyudin. Dalam http://kerajaannusantara.com/id/yogyakata-
hadiningrat/tempat-ibadah. Artikel. Juli 2020.

Nitiharjo, Alfin. Teori-Teori Perubahan Sosial. Dalam


http://alfinnitiharjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.ohl12689.html
.Pdf. 08 Mei 2019.

WAWANCARA :

Suhari. “Sejarah Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat dan Kegiatan yang Ada di
Masjid Ad-Darojat Babadan”. Hasil wawancara Pribadi pada 19 Juli 2020.
Di serambi Masjid Ad-Darojat Bantul Yogyakarta.

73
LAMPIRAN

74
Lampiran 1

Masjid Pathok Negoro Wonokromo

Lampiran 2

Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning

75
Lampiran 3

Masjid Pathok Negoro Mlangi

Lampiran 4

Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan

76
Lampiran 5

Masjid Pathok Negoro Dongkelan

Lampiran 6

Kegiatan Pengajian Warga Babadan Lama di Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat

77
Lampiran 7

Anggota IPIB dan Para Pengurus Masjid Ad-Darojat

Lampiran 8

Anggota IPIB dan Ketua Takmir Masjid Ad-Darojat

78
Lampiran 9

Takmir dan Ustadz Masjid Ad-Darojat Tahun 2018-2019 :

Ketua Takmir Wakil Takmir

Drs. H. Harsoyo, Msi. ir. H. Syaiful Huda, MT.

Bendahara Sekertaris

H. Zamzuri, SH, S.Ag. H. Suhari

Ustadz

Zaenal Syrifudin, M.Ag.

79
Lampiran 10

Pengurus IPIB (IKATAN PEMUDA ISLAM BABADAN)

Ketua I Ketua II

Naufal Ahmad Hadiyan Haris

Ketua III

Indrajaya

80
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Elisa Novi Kartikasari

Nama Panggilan : Elisa

Tempat Tanggal Lahir : Kabupaten Semarang, 10 November 1997

Alamat Asli : Dusun Ngisrep, Desa Jambu, RT. 03 RW.04, Kecamatan

Jambu, Kabupaten Semarang

Alamat Sekarang : Dusun Ngisrep, Desa Jambu, RT. 03 RW.04, Kecamatan

Jambu, Kabupaten Semarang

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat E-mail : elisanovi1011@gmail.com

Nomor HP : 083842716239

Kode Pos : 50663

PENDIDIKAN

SD Negeri Isdiman :2004-2010

SMP Negeri 1 Jambu :2011-2013

SMK Negeri Pringsurat :2013-2016

81

Anda mungkin juga menyukai