Oleh:
M A S R I P A TT U N N I S A
NIM.1612048000002
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Ilukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Masripattunnisa
N I M. 1612048000002
I
Di Bawah Bimbingan:
Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.
Jakarta, 07 Mei2014
Mengesahkan
PANITIA UJIAN
Ketua Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.
NIP. 1 9500306197603 1001
Munaqasyah F-akultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ihnu Ilukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Flidayatullah Jal<arta pada langgal 07 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Double Degree Ilmu llukurn.
Jakarta, 07 Mei2014
Mengesahkan
PANITIA UJIAN
Ketua Dr. Diawahir Hejazziev.S.H..M.A..M.H.
NIP. 1 9500306197603 1001
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dar karya orang lain, maka saya bersedia menerima
Jakarta.
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis
memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima
1. Dr. H. J.M. Muslimin, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu
Hukum dan Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu
vi
4. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi
5. Ayahanda tercinta H.Hasan Ma’ruf (Alm) dan Ibunda tersayang Hj. Masto’ah,
sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini,
Nenekku tersayang Emak Jonah dan Anakku tercinta M.Taufiq Sahniyar Nur
Kedua; M.Ishar Helmi, M. Andriansyah, Uuf Rouf, Ihsan Badruni Nasution, dan
Ahmad Farhan Subhi. Thank for all. Kalian selalu setia menemani dari awal
masuk hingga saat ini dan telah memberikan canda dan tawa serta suka duka
Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. v
BAB I Pendahuluan
Kehakiman
A. Pengertian Pengawasan......................................................................... 17
.............................................................................................................. 23
ix
D. WewenangPengawasan Hakimdalam Perspektif Perundang-undangan
Kehakiman
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ......................................................................................... 81
B. Saran-saran ......................................................................................... 82
ix
BAB I
PENDAHULUAN
kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; Kedua, tidak
kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga
1
Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum,
yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial dari negara-negara tertentu. Oleh karena
itu, setiap komisi yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks
negaranya. Hingga saat ini setidaknya sudah ada 43 negara (termasuk Indonesia) yang mengatur
komisi yudisial dalam konstitusinya dengan sebutan yang beragam. Lihat A.Ahsin Thohari, Komisi
Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), h, 106.
2
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: UII
Press, 2007), h, 149.
1
2
khusus; dan Kelima pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan
dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak
boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan
pun dirasa masih lemah. Ada faktor-faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan
terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan
rakyat itu sendiri. Di tengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang
seolah-olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa
3
Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan
Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan
Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006.
3
norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia
mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem
untuk membangun sistem checks and balances di dalam sistem dan struktur
kehakiman.5
antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses
pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi
serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de
perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan
4
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h, 56.
5
Bambang Widjoyanto, Komisi Yudisial: Checks and Balances – Dan Urgensi
Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006,
h, 111.
4
mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi
yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga
masyarakat.
6
Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian
Kompas tanggal 2 Maret 2005, h, 5.
7
Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang
Komisi Yudisial, 2005, h, 52.
5
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri
terhadap saksi (Pasal 22A ayat (2). Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat meminta
bantuan instansi penegak hukum untuk melakukan penyadapan (Pasal 20 ayat (3).
pengawasan terhadap perilaku hakim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Tidak
hanya monopoli badan pengawas internal peradilan atau oleh Komisi Yudisial saja
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sepakat dalam pembentukan
pada masyarakat pencari keadilan yang selama ini membutuhkan keadilan yang
memahami hukum dengan baik serta media online juga belumlah cukup
memfasilitasi sebagai salah satu alat dan cara untuk mensosialisasikan fungsi
penghubung yang terbentuk itu akan berdampak pada hakim itu sendiri khususnya
pada kekuasaan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum dan keadilan. Maka
fungsi pengawasan terhadap hakim yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan judul:
1. Pembatasan Masalah
2. Perumusan Masalah
Kehakiman Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 secara teori sudah jelas bahwa
dalam fungsi pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial maupun oleh Mahkamah
keadilan dan hukum di ranah pengadilan yang masih dianggap buram karena
perilaku para hakim yang tidak melaksanakan fungsinya sebagai hakim dengan
baik.
sebagai berikut:
Yudisial ?
Kehakiman.
8
C. Tujuan Penelitian
bertujuan :
Yudisial.
kehakiman
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini dalam mengkaji efektivitas
berikut :
dalam bidangnya, khususnya para hakim itu sendiri agar bisa menegakkan
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
E. Studi Review
kehakiman, adakah
kerjasama antara
dua lembaga
Fakultas Hukum
Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penulisan Hukum
(skripsi). 2007.
F. Metode Penelitian
adalah:
8
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang :
Bayumedia Pubblishing, 2008) h.294.
12
antara lain :
saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal
9
Ibid, h. 295
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Rajawali
Press, 1985),h.85.
11
Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2003), h, 94.
13
data, yaitu :
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
Pasal 44.
ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal
penelitian skripsi ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992),
h.51.
14
hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data
digital.
penelitian ini berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer,
dibahas.
rumusan masalah.
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali
Press, 1985), h.201.
15
konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain :
e. Teknik Penulisan
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
G. Sistematika Penulisan
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut :
Pendahuluan dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi review,
kekuasaan kehakiman.
Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini
sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian
terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pengertian Pengawasan
pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi yaitu sebagai
pengendalian. Pengawasan dalam arti sempit segala usaha atau kegiatan untuk
atau pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Adapun pengendalian
itu pengertiannya lebih “forceful” dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta,
TP, 2008), h, 123.
p
2
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6 (Bandung: Nusa Media,
2012), h. 101
3
Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h, 53
.
17
18
usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas
pengawasan pelaksanaan tugas dan pekerjaan dalam suatu organisasi tertentu itu
telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan apakah tujuan yang
itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah
dilakukan sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang
berlaku.
unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapa pun
4
Ibid, h, 53.
5
Dari pengertian ini nampak bahwa pengawasan dititik beratkan pada tindakan ealuasi
serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan
rencana. Dengan demikian, tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan
yang sedang berjalan, justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan itu menghasilkan sesuatu.
George R Terry, yang dikutip dalam bukunya Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), h,
36.
19
pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi. Melihat pengawasan tidak lain
dengan apa yang telah ditetapkan atau tidak, dan untuk mengetahui kesulitan-
kesulitan apa saja yang dijumpai oleh para pelaksana agar kemudian diambil
langkah perbaikan.7
organisasi harus mengetahui ciri-ciri suatu proses pengawasan dan yang lebih
1. Pengawasan harus bersifat “fact finding” dalam arti bahwa pelaksanaan fungsi
6
Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, (Jakarta: Komisi Yudisial, TT), h, 207.
7
Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h, 103.
8
Sondang P.Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: CV. Gunung Agung, 1985), h, 135).
20
pengendalian manajemen.
karenanya memiliki sifat yang mutlak, yang berarti harus dilakukan. Meskipun
seorang pemimpin atau manajer telah dibantu oleh suatu aparat yang khusus
lingkungan pemerintah.
b. Kontrol ekstern. Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang
9
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: PT.Grasindo, 2006), h, 133.
22
mencegah penyimpangan.
yang keliru.
sebagai berikut:
internal secara hierarkis oleh atasan adalah jenis penilaian segi hukum
dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negoisasi antara
mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan peradilan
yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi
penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak
punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan
boleh mempengaruhi dan terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum
satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, pasal-pasal
10
RE. Baringbang, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi
Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), h, 31.
11
Ibid, h, 117.
25
UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945.
2. Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-
pengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh
pengadilan.
lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in
every shape hape full swing. Only in proportion as publicity has place can any
exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself
12
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember
2007, h, 11.
13
Ibid, h, 12.
26
(perkara).
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
kalau dikatakan secara universal Komisi Yudisial tidak dapat mengawasi hakim
eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim
Undang Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20,21,24, 24A, 24B, 24C
dan 25 UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah
justice system. Sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem
penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh.
Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
perkara pidana.
memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting
“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary
manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI
Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan
eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu
dimana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama.
tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat
15
Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan
Presiden Secara Langsung, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006), h, 24.
16
Paulus E.Lotulung, Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum, (Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “ Penegakan Hukum
dalam Era Pembangunan Berkelanjutan”, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia), Denpasar, 14-18 Juli 2003, h, 7.
29
kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh
bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum
dan tugasnya berupa pengawasan preventif dalam bentuk seleksi hakim agung
juga memiliki wewenang dan tugas pengawasan refresif sebagai wewenang dan
tugas konstitusional yang muncul dari frasa”..... mempunyai wewenang lain dalam
hukum wewenang pengawasan Komisi Yudisial yang tertuang dalam Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 22
sehingga mengakibatkan: (1) hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku
etiknya harus diawasi Komisi Yudisial; dan (2) Komisi Yudisial tidak lagi
18
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004, LN No. 89, TLN No. 4415.
19
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006,
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23
Agustus 2006.
31
hakim.
Akan tetapi, sayangnya, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 cenderung lebih
untuk mencari kesalahan hakim daripada sebagai mitra kerja sejajar (sparing
pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUDNRI Tahun 1945 hanya memberikan
Council of the Judiciary juga berwenang melakukan mutasi dan promosi hakim.20
20
The Constitution of Italy, The Translation of the Later Amandements by Bernard E.
Delury, Jr, Published in 1994.
32
Service Commission). Fungsi pelayanan terhadap hakim inilah yang tidak diatur
adanya kewenangan mutasi dan promosi hakim. Sebagai contoh, kewenangan ini
negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan
dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat sungguh-
21
Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi
Nugroho dan M.Zaki Hussein, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan-
LeIP, 2002), h, 13.
33
yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak
mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan
penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik
(code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan dengan soal kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau
sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di
sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun, untuk lebih
22
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h, 158.
23
Ibid, h, 159.
34
sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan
pengawasnya.
sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka kedudukan
BPK. Karena, Komisi Yudisial itu sendiri bukanlah lembaga negara yang
martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang
Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih dekat dengan Mahkamah Agung dan
tegasnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarak sehingga tidak menjadi alat
24
Ibid, h, 160.
35
politik para politisi, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif,
atas lima ayat. Mahkamah Agung adalah puncak dari kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan
Dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa “ Mahkamah
oleh UUD 1945, Mahkamah Agung secara tegas diamanati dengan dua
kewenangan konstitusional, yaitu (i) mengadili pada tingkat kasasi, dan (ii)
25
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2012), h, 135.
37
perilaku hakim.
d. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode
dari virus-virus mafia, maka fungsi pengawasanlah yang bekerja ekstra keras.
38
Mahkamah Agung”.
oleh Mahkamah Agung. Namun masalah yang muncul ialah pengawasan secara
internal cenderung tertutup sehingga segala macam bentuk kesalahan hakim pun
tak akan sampai diketahui oleh masyarakat luar. Entah sebagai bentuk pengawasan
moral ataukah penjagaan citra dan martabat di lingkungannya sendiri. Hal ini perlu
bentuk pengawasan secara obyektif serta tak berpihak dan menjadi media kontrol
dari luar (eksternal) terhadap penegakan perilaku hakim, Maka muncullah Komisi
Yudisial. Salah satu alasan hadirnya Komisi Yudisial ialah karena kegagalan
memeriksa dan memutus perkara. Bentuk gangguan tersebut salah satunya dalam
lembaga yang mampu menyaring (filter) pengaduan tersebut maka akan sangat
menjaga keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal ini semakin
dipertegas dalam ayat (2) bahwa Komisi Yudisial harus tetap menjaga agar kode
etik hakim tetap terpatri dalam diri para hakim. Jika terdapat pelanggaran kode
etik, maka komisi yudisial harus memeriksanya terlebih dahulu lalu membuat
hal penjatuhan sanksi terhadap hakim yang telah melanggar kode etik.
Masalah yang muncul kembali ialah jika tidak adanya koordinasi yang
baik antara Komisi yudisial dan Mahkamah Agung dalam hal pengawasan
menyebabkan saling tumpah tindih serta gengsi berlebih. Hal ini berdampak ketika
bersama.
Jika tak ada kordinasi serta kerjasama yang baik maka sampai kapanpun
akan sangat susah untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih dan
40
akibatnya pun akan sangat kompleks. Maka salah satu bentuk perjuangan
Undang Komisi Yudisial berisi terobosan pengawasan yang baru dan progresif.26
26
Muhammad Fhadil, Menjelajahi Sistem Pengawasan Hakim, Artikel di akses pada
tanggal 15 Januari 2014 dari
http://muhammadfadhilpermahi.blogspot.com/2012/12/menjelajahisistempengawasan
-hakim.html.
BAB III
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Mengawasi Hakim
Nomor 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam lima pasal yaitu
pasal 13 huruf (b), pasal 20, pasal 21, pasal 22, dan pasal 23. Beberapa pasal
terminologis hakim yang dimaksud adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan
1
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”,
(Jakarta: Genta Press, 2013), h. 89.
41
42
huruf (b), Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap
dan/atau Hakim.
hakim.
4. Komisi Yudisial memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
berbagai hambatan setelah wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
2
Ibid, h. 90-91.
43
3
Ibid. h. 106-107.
4
Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
5
Lihat pasal 20 UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisal.
44
kegiatan yang menegaskan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Hal ini dapat
2. Penyadapan6
dapat meminta bantuan aparat penegak hukum dari lembaga KPK, Kepolisian
6
Lihat pasal 20 ayat 1 huruf (d) sampai dengan huruf (e) dan ayat 3 UU No. 18 Tahun
2011 tentang perubahan atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
7
Komisi Yudisial mempunyai hak dalam menetukan dan menilai hakim yang melakukan
pelanggaran terhadap etika dan perilaku hakim yang dianggap dapat mencedrai kehormatan, keluhuran
dan martabat hakim.
8
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, h.
109-110.
45
3. Rekomendasi Sanksi
waktu 60 hari, hal itu otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan Mahkamah
tidak lagi. Jadi, ketika Komisi Yudisial menjatuhkan rekomendasi sanksi bagi
4. Sanksi Terperinci
a) Sanksi ringan, berupa teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak
b) Sanksi sedang, yaitu penundaan kenaikan gaji berkala paling lama satu
tahun, penurunan kenaikan gaji berkala paling lama satu tahun, penundaan
kenaikan pangkat paling lama satu tahun dan hakim non palu paling lama
c) Sanski berat, yaitu pembebasan dari jabatan struktural, hakim non palu lebih
9
Ibid, h. 111.
46
berupa pemberhentian tetap dengan tidak hormat. Untuk sanksi ini sudah
Komisi Yudisial kini bukan lagi hanya menyeleksi hakim agung, tetapi
juga hakim ad hoc di Mahkamah Agug karena itulah Komisi Yudisial kini
7. Penghubung di Daerah
yang mempunyai tugas akan tetapi control intern Mahkamah Agung harus terus
luar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
berdasarkan ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran
10
Ibid, h. 123-124.
11
Jimly Asshiddiqie, “Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial
& Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), h, 13-14.
48
diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum
maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang
Karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari
ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa jabatan hakim
dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan kehormatan yang harus
dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga
Lebih lanjut Jimly menegaskan, bahwa rumusan ketentuan Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga dapat menimbulkan kontroversi tersendiri
keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Artinya, tugas pertama komisi ini
Karena tugas pertama dikaitkan dengan „hakim agung‟ dan tugas kedua dengan
„hakim‟ saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi Yudisial
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta;
Konstitusi Press, 2011), h, 199.
49
hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan
pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer serta ternasuk hakim
konstitusi.
Tahun 1945. Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial
yang tidak bisa diabaikan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung diberi
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial dan UU Nomor 5 Tahun 2004 Tentang
13
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum (Hakim,Jaksa, Polisi, dan Pengacara)
(Jakarta: Kompas, 2008), h, 31.
50
peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dan keuangan. (3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
Tentang Komisi Yudisial belum bisa menjawab konflik pengawasan ini, maka
terjadi beda pendapat terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan Komisi
Yudisial tersebut (Pasal 22E ayat 2). Walaupun kemudian jika belum juga terdapat
kesepakatan, maka sanksi oleh Komisi Yudisial otomatis berlaku dan harus
dialog dan negoisasi antara pengawas dan yang diawasi. Model pengawasan ini
bertujuan untuk mencari fakta (fact finding) terhadap pelanggaran etika dan
Mahkamah Agung yang dijabarkan dalam Pasal 22E ayat (2) UU Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial tentu dapat mengatasi konflik-konflik yang
terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial khususnya dalam hal
pengawasan terhadap perilaku hakim. Akan tetapi demi menunjang fungsi pasal
ini tentu perlu diupayakan membangun sinergi pengawasan hakim baik melalui
kontrol intern yang dilakukan Mahkamah Agung maupun kontrol ekstern yang
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial ini khususnya untuk mencegah
a. Saling menghormati
peradilan.
b. Saling percaya
Komisi Yudisial, harus dibangun rasa saling percaya antara Mahkamah Agung
Efektifitas secara bahasa berasal dari kata efek yaitu pengaruh yang
14
Rishan, Idul. Komisi Yudisial, Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta,
2013, h, 147.
53
effective ialah bentuk adjective yang apabila disandingkan dengan kata order,
contract, dst. Berarti in operation of given time. bisa juga berarti performing
whitin the range of normal and efected standarch atau juga productive
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur atau memaksa masyarakat
kaidah hukum yang memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku
tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak.18 dia juga menambahkan mengenai derajat efektifitas suatu hukum
15
Pius A. Partanto dan Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola.
1994), h. 128.
16
Hidayatullah, Skripsi "Efektiftas Mediasi di pengadilan Agama Depok”. (Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 47.
17
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum , (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 62.
18
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), h. 7.
54
yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal
hukum ini.20
artinya apakah hukum dibentuk dan dilaksanakan oleh orang-orang atau badan-
2. Bekerjanya Hukum
pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha
19
Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang
Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, (UIN Malang: Program Magister al-
Ahwalsyakhsiyah, 2012), h. 17.
20
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Bandung: Rajawali Press, 1996) h. 20.
21
Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1988)
Cet. 5, h. 80.
55
memenuhi tiga unsur law of life, yakni berlaku secara yuridis, sosiologis dan
filosofis.
3. Teori Efektifitas
a) Faktor Hukum
22
Fariha, Tesis "Efektifitas Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Sistem Sidang
Keliling Di Pengadilan Agama Kabupaten Malang Jawa Timur, (UIN Malang: Program Magister al-
Ahwalsyakhsiyah, 2012), h.19-20
23
Ibid, h. 17-18.
24
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007) h. 5.
56
menerapkan undang-undang,
cukup dan seterusnya. Apabila hal-hal tesebut tidak terpenuhi maka mustahil
25
Ibid, h. 17-18.
26
Ibid, h. 19.
57
penegakan hukum akan tercapai27, bahkan bisa jadi para penegak hukum
melakukan korupsi atau suap untuk mendapatkan sarana atau fasilitas yang
mereka butuhkan.
d) Faktor Masyarakat
dari masyarakat. Yang mana dari sudut pandang tertentu masyarakat dapat
e) Faktor Kebudayaan
Yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
27
Ibid, h. 37.
28
Ibid, h. 45.
29
Ibid, h. 59-60.
BAB IV
dari Komisi Yudisial berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa wakil ketua
58
59
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas
pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak
transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang
selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak
terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk
fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua
faktor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan
60
membuka peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan
kode etik. Oleh karena itu, dibutuhkan kehadiran suatu lembaga khusus yang
Kegagalan sistem peradilan tersebut menyangkut banyak aspek mulai dari aspek
antara lain mencakup sub aspek pengawasan baik pengawasan administrasi, teknis
kelihatannya belum dapat diatasi oleh Mahkamah Agung, namun dilain pihak pada
waktu yang bersamaan juga dilaksanakan konsep peradilan satu atap (one roof
a. Kedudukan
pengawasan hakim.
mengenai Komisi Yudisial terlihat bahwa apa yang dimaksud „mandiri‟ dalam
mengenai itu pada Masa Perubahan Kedua masih menjadi pembahasan yang
alot, apakah Komisi Yudisial menjadi lembaga yang berada dalam struktur
internal Mahkamah Agung atau sebagai lembaga mandiri yang terlepas dari
sementara bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga mandiri yang terlepas dari
Mahkamah Agung.
sebagai lembaga negara mandiri semakin menemukan titik terang. Apa yang
Mahkamah Agung/badan peradilan) dan juga independen dalam arti bebas dari
Hamdan Zoelva pada rapat Pleno PAH I BP MPR ke-35, 25 September 2001,
berikut:
Hal yang dikhawatirkan apabila para hakim adalah tidak bisa memberikan
putusan tanpa berpihak. Oleh karena itu dibutuhkan satu lembaga, satu komisi
62
dikeluarkan oleh Komisi ini diharapkan akan lebih independen dan tidak pernah
kewenangan komisi ini jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari Irjen dan juga jauh
lebih kuat dari Dewan Kehormatan Hakim yang ada pada waktu itu.
power untuk pengertian yang berada pada garis horisontal dan bersifat
fungsional, dan territorial division of power untuk pengertian yang vertikal dan
dengan lembaga negara lainnya (seperti Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA,
dan MK) dalam posisi horisontal/sederajat dan hanya dipisahkan secara fungsi.
63
b. Wewenang Pengawasan
justifikasi Pasal 24B hasil perubahan Ketiga UUD 1945 yang salahsatunya
Komisi Yudisial. Dalam Bab III Pasal 13 UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi
hakim‟.
Selain itu, UU No 22 Tahun 2004 juga menjadi titik lemah terkait dengan
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e yang menyebutkan bahwa “
Ditambah lagi tidak ada klausul yang jelas bagaimana konsekwensinya jika
Komisi Yudisial.
64
masyarakat.
menarik garis tegas pada tindakan tertentu menjadi bagian dari aspek teknis
sebelumnya. Padahal menurut Komisi Yudisial hal tersebut masuk pada ranah
oleh Mahkamah Agung diatasi melalui Pasal 22E yang mengatur “ Dalam hal
sanksi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3)
maka usulan Komisi Yudisial berlaku secara otomatis dan wajib dilaksanakan.”
Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sanksi sedang, dan sanksi
berat selain sebagimana dimaksud dalam Pasal 22 D ayat (2) huruf c angka 4)
1
Muhammad Fajrul Falakh, MA-MK-KY, “Kekaburan Konstitusi”, Artikel di Kompas, 11
Juli 2006.
66
dan angka 5), dilakukan pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan
mufakat “Dalam hal Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) tidak mencapai kata
sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 22B ayat (1) huruf a, berlaku
pertama, meskipun ada ketentuan wajib dan berlaku otomatis mengenai usul
penjatuhan sanksi, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah Agung apabila tidak
menyangkut kode etik‟. Sementara hal mana yang termasuk domain kode etik
dan perilaku belum cukup jelas diatur pembedaannya secara tegas dalam UU
aquo.
2
UU No 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial pada Pasal 22B ayat (1) huruf a
merumuskan “Pemeriksaan oleh Komisi Yudisial meliputi pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim”.
67
maupun pasif.
utama yang menjadi ukuran adalah data awal (laporan masyarakat dan/atau
dan sikap hakim, maupun rekam jejak para pihak (hakim, JPU, institusi, serta
sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 Komisi Yudisial telah menerima
dan pedoman perilaku hakim yang dapat ditindaklanjuti sebanyak 1621 laporan
sanksi kepada hakim karena terbukti melanggar KE dan PPH, tidak seluruhnya
karena dinilai menyangkut ranah teknis yudisial. 7 Ditolak dengan alasan lain,
ditolak dengan alasan merupakan ranah teknis yudisial maupun ditolak dengan
alasan lain dan bahkan tidak mendapat tanggapan. Fakta tersebut memberikan
meliputi;
69
tidak efektif.
3
Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung
menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU No 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
70
daerah, yakni perkara sengketa Pilkada yang harus diputus paling lambat
wacana kocok ulang hakim agung. Puncak resistensi Komisi Yudisial terjadi
etik tidak mendapat tanggapan dari Mahkamah Agung. Pada tahun 2005
Pilkada Depok cukup aneh karena ketua majelis hakim ketika diperiksa Komisi Yudisial
menyatakan, untuk beberapa pertanyaan penting yang diajukan tidak akan dijawab dengan
alasan atas perintah MA karena sudah menyangkut materi putusan.
71
Agung.5 Pada periode berikutnya hal itu masih juga terjadi, misalnya pada
pengawasan.
2) Faktor Regulasi
Terkait dengan faktor regulasi, ada 2 (dua) hal utama yang menjadi
Berikut penjelasannya:
5
Misalnya, dalam kasus hakim PN Jakarta Selatan, I Ketut Manika. Komisi Yudisial
menjatuhkan rekomendasi sanksi Pemberhentian sementara dari jabatan hakim selama 1 tahun
dikarenakan hakim yang bersangkutan telah telah bertindak tidak profesional karena dengan sengaja
mencari celah/kelemahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan
merubah delik formil menjadi delik materiil. Namun Mahkamah Agung menolak rekomendasi terseut
melalui surat No 29/WKMA-NJ/VI/2006 tanggal 21 Juni 2006.
72
efektif.
Komisi Yudisial pada Pasal 22D ayat (1) hanya mengatur “Dalam hal
Yudisial dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
Sementara dalam Pasal 22E ayat (1) mengatur “ Dalam hal tidak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22D ayat (3) maka usulan Komisi
73
Agung.”
tiga ranah sekaligus yaitu perilaku, teknis yudisial, dan ranah administrasi
peradilan.
dalam kasus laporan pengaduan pelanggaran kode etik oleh 3 (tiga) hakim
yang ditanganinya.
oleh Mahkamah Agung karena dinilai bahwa hal itu termasuk ranah
6
Kasus Antasari Azhar diregister oleh Komisi Yudisial No.113/L/KY/III/ 2010.
7
Keputusan Pleno Komisi Yudisial dalam perkara Antasari Azhar disertai adanya dissenting
opinion dari 3 (tiga) Anggota Komisi Yudisial yaitu, Abbas Said, Jaja Ahmad Djajus, dan Ibrahim.
76
3) Faktor Internal
Dalam hal ini terdapat 2 (dua) hal utama. Pertama, kurang massifnya
hakim. Sesuai amanat UUD 1945 disebutkan bahwa Komisi Yudisial juga
yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Hal
cukup rigid sehingga banyak hakim yang tidak cukup paham terhadap KE
8
Kiprah 7 tahun Komisi Yudisial, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2012, h. 58-
59.
78
mantan hakim dan jaksa dengan jumlah yang terbatas dan statusnya
9
Berdasarkan Data dari Bagian Kepegawaian Komisi Yudisial, saat ini Tenaga Ahli di Komisi
Yudisial berjumlah 18 orang.
79
kode etik dan perilaku hakim secara cepat bisa ditangani. Kendala
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) UU Nomor 18 Tahun
kelembagaan serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan
PPH).
10
Jumlah tersebut diambil dari Cetak Biru Pembaruan Komisi Yudisial 2010-2025, Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2010 h. 81.
80
PENUTUP
A. Kesimpulan
data dan fakta yang ada mengenai kedudukan dan pelaksanaan wewenang Komisi
1. Kedudukan Komisi Yudisial bila dilacak dalam proses pembahasan UUD 1945,
adalah sebagai lembaga negara mandiri yang terlepas dari intervensi kekuasaan
berlaku otomatis, namun tidak ada sanksi bagi Mahkamah Agung apabila tidak
3. Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim belum cukup efektif karena masih
terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE
dan tidak adanya pembedaan yang tegas mengenai ranah pengawasan yang
terkait dengan teknis yudisial dan ranah perilaku. Keduanya berakibat pada
Faktor lainnya adalah faktor internal yang dalam hal ini meliputi tiga hal.
B. Saran
tegas pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah
legislasi yang dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. “Kata Pengantar” dalam buku Thohari, A.Ahsin, Komisi Yudisial
& Reformasi Peradilan, ELSAM: Jakarta, 2004.
-------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-2,
Sinar Grafika: Jakarta, 2012.
-------, Manan, Bagir. et. al, Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden
Secara Langsung, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia: Jakarta, 2006.
Baringbang, RE. Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi
Hukum, Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001.
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah, cet. Ke-6, Bandung: Nusa Media,
2012.
-------, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta: UII Press,
2007.
Mahendra, Yusril Ihza. Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah
Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
MD, Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, cet. Ke
2, LP3ES, Jakarta, 2011
Rishan, Idul. Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”, Genta
Press: Jakarta, 2013.
------- dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Usfunan, Yohanes. Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, Jakarta: Komisi Yudisial, TT.
Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, diterjemahkan oleh Adi
Nugroho dan M.Zaki Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan-LeIP, 2002.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004,
LN No. 89, TLN No. 4415.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
85
Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah
Agung menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun
UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Artikel
Falakh, Muhammad Fajrul. MA-MK-KY, “Kekaburan Konstitusi”, Artikel di
Kompas, 11 Juli 2006.
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-
Desember 2007.