DI BAWAH UMUR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
SUNENDI
Nim: 105045101500
DI BAWAH UMUR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
SUNENDI
NIM: 105045101500
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kenikmatan serta manisnya
Iman dan Islam sehingga kita dapat berjalan dibawah ridha-nya. Shalawat dan salam
semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuanganya
kepada umatnya, sehingga kita dapat merasakan keindahan hidup dibawah naungan
Islam.
Rasa syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah daan taufiknya, sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan tepat pada waktunya. Dalam proses penulisan skripsi ini banyak kendala
yang penulis hadapi, baik yang bersifat akademisi maupun non akademisi. Selama
konsentrasi, oleh karena itu bila tidak dibantu dengan kesabaran hati, bantuan bahan-
bahan, kerelaan meluangkan waktu secara khusus serta jeri payah dari perseorangan
dan lembaga-lembaga, skripsi ini tidak akan sampai pada bentuk yang sekarang.
Munculnya berbagai hambatan dan kesulitaan seakan terasa ringan berkat bantuan
dan dorongan berbagai pihak. Dengan penuh hormat penulis menyatakan ungkapan
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung membantu serta mendorong
2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas
4. Asmawi, M. Ag dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
5. Prof. Dr. H. M. Abduh Malik dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku dosen
masukan dan saran serta meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan penilaian sehingga
6. Dr. H. A. Mukri Aji. MA dan Burhanuddin SH. M.Hum, selaku penguji sidang
skripsi yang dengan tegas dan teliti telah menguji daan memberikan masukan
7. Segenap para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi pengetahuan pemikiran dan
8. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
9. Untuk kedua orang tua penulis Bapak Kadi Maulyana dan Ibunda Asia yang
senantiasa memberikan kasih sayang dan bimbingan dari kecil sampai penulis
10. Ustd. Priyatno di Bogor dan tante Marina (Rina) di Cengkareng yang selalu
mendukung untuk percepatan penyelesaian skripsi ini. Tak lupa pula kepada
Habiburrahman (ilyas), Nur Sidiq, Ade Suganda (bentot), Fahrul Roji (fa’ung),
11. Teman-teman seperjuangan Abdul Malik, Abdul Razak, Abdul Wahid Muharrom,
Adi Supriatna, Ahmad Jaelani, Ahmad Sanusi, Amien Indah Fitria, Asep Bahrul
Jaman, Asharyanto, Deni Junaidih, Dewi Kurnia Sari, Fitrotul Amalia, Ifada
Imaniah, Khusnul Anwar, Iin Sugiarto, Laila Latifa, Laili Maulida, Miftahu
Chairina, Mohammad Trezal, Nasori, Raijak, Santoso Hari Wibowo, Sayidi, Siti
Nafisah, Siti Widya Umiyati, Suspemilri, Usep Syafi’i Sanjabil MSSY, Yayah
Ramadyan, Yazid Syukri, Zaki Tsani’ yang dari awal selalu belajar bereng di
abadi.
12. Teman-teman KKS 21 Juli – 20 Agustus 2008 Kel. Sukamulya Kec. Cikupa Kab.
Nasrullah, Saukah, Ahmad Hambali, Ali Imron, Dedi Aldi Wahyudi, Ifan
13. Wanita yang selalu penulis cinta dan sayangi, Annisa Tri Hapsari, interaksi yang
cinta yang susut, dan senyumkan dikalah cemberut melanda diri, engkau
merupakan anugerah terindah dari Tuhan yang tak terhingga kepada penulis, yang
selalu memotifasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan cepat-cepat cari
Akhirnya, tidak ada gading yang retak demikian pula dalam skripsi ini, bila
terdapat kebenaran semata hanya petunjuknya, dan kesalahan adalah bukti nyata
lemah hamba-nya. Kritik konstruktif dan masukan dalam skripsi ini, mutlak penulis
harapan dalam rangka penjelajahan ilmu yang semakin luas. Semoga skripsi ini tidak
18 Rajab 1430 H
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengaan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Sunendi
SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH
UMUR
(Kajian Hukum Islam dan Hukum Pidana Indonesia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
SUNENDI
NIM : 105045101500
Di bawah Bimbingan
Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Skripsi berjudul Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan Di Bawah Umur (Kajian
Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kosentrasi Pidana Islam.
Panitia Ujian
BAB I PENDAHULUAN
Halaman
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
D. Tinjauan Pustaka...................................................................... 9
1. ...................................................................................... Perka
2. ...................................................................................... Perka
Umur ....................................................................................... 77
1. ......................................................................................
2. ......................................................................................
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................... 95
Saran-Saran ................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 98
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar
pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama,
yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi
(haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah.
Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah
benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti
sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus
pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang
berhaji.
kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang
jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam
agama. Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara
pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah
memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai.
yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki
kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang
Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam
semesta ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah di tetapkan oleh
Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Islam menganjurkan orang untuk
berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga,
adalah naluri makhluk Allah, termasuk manusia,2 sebagaiman firmannya dalam QS.
1
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 76.
2
Abd. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 11-12.
Dalam QS. Yaasiin (36) ayat 36 dinyatakan:3
Dalam sebuah hadist Nabi SAW, kita juga dianjurkan untuk menikah, seperti
yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang berasal dari
َ*َ+ْ!َ#َ َ,َ-َِْ وَﺱ0َ-َ َُلَ رَﺱُ ْلَ ا2 :َُْ َُ"ْ!ُ ْدٍ رََِ ا# ِ$ْ% ِ)َ&ِْ(ُ َ'ْ&ِ ا
ْ$َ#ََ*جِ و4ْ-ِ ُ$َ5ْ)ََ*ِ وَأ5َ'ْ-ِ 78َ9َُ أ:جْ =َ<ِﻥ:َ?َ>َو0ْ-َ= َُ ا ْ'َءَة,ُBِْ# ََعDَ?ِْ اﺱ$َ# ِ'َب:+ ا
4
(رJ' اKَءٌ )رواHُِ َُ و: ْمِ =َ<ِﻥ:5 ِ% ِْ0َ-َ!َ= ْFِDَ?ْ"َ ْ,َ
Artinya: Rasulullah bersabda ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa diantara kalian
yang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah ia kawin.
Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga
kehormatan, barang siapa yaang belum mampu hendaklah berpuasa, karena
puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari)
Islam yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah.
3
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-syifa, 1998)
4
Imam Bhukhari, Sahih Bukhari, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
adalah sebagai berikut, Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya, agar
terwujud tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, oleh karena
itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal
tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Usia
bahwa: ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7
adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tidak menghendaki perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia apakah
yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah
5
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal .
77.
diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia
perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang
telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia
minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka
yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan
melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam
kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Konvensi
untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum
yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang
instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum
menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18
kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terkait
menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah
Di lain pihak Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak
umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan
yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk
menikah. Tidak menentukan secara spesifik batasan umur tertentu bagi orang untuk
kalangan para ulama. Bahkan ada salah satu tokoh masyarakat di wilayah Semarang
undang baik yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun
yang sudah tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 288 KUHP, UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, membuat penulis merasa tertarik
untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur dan
sanksi apa yang berlaku bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah
umur menurut kajian hukum Islam dan dalam aturan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Hasil penelitian akan
dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ”SANKSI PIDANA
tentang perkawinan yang dilakukan oleh orang laki-laki dewasa yang menikahi anak
perempuan yang notabene masih di bawah usia untuk menikah (kawin) dalam konsep
perkawinan di bawah umur, serta bagaimana sanksi yang akan diberikan kepada
pelaku yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur dalam pandangan hukum
Islam dan hukum positif Indonesia yang kemudian mengacu kepada undang-undang
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP khususnya dalam
Pasal 288 dan mengacu pula kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 23
Indonesia, berkaitan dengan sanksi pidana apakah ada atau tidaknya dalam dua aturan
hukum tersebut. Serta apa saja yang menjadi hak dari seorang anak yang melakukan
2. Apa sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif Indonesia terhadap
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian secara khusus dalam penulisan Skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui adakah sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek
Adapun tujuan penelitian secara umum dalam penulisan Skripsi ini adalah :
dibawah umur, baik menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
2. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengharapkan dapat membantu dalam
khususnya umat Islam tentang praktek perkawinan dibawah umur yang dapat
D. Tinjauan Pustaka
ada Skripsi dan buku-buku atau penelitian yang membahas tentang perkawinan di
bawah umur. Misalnya, pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiyah
mahasiswa (skripsi) di fakutas Syariah terdapat skripsi yang ditulis oleh, Boy Valdi
yang berjudul ”Dispensasi nikah bagi perkawinan di bawah umur (Studi analisis
berikanya dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang belum cukup
karya Drs. Adami Chazawi, SH, membicarakan tentang Kejahatan kesusilaan dalam
persetubuhan dengan Istri yang belum waktunya untuk dikawin terkait dengan pasal
288 ayat (1), (2), dan (3) KUHP. Dari uraian di atas, sudah ada literatur yang
membahas tentang perkawinan secara umum. Untuk itu disini penulis membedakan
serta lebih memfokuskan penulisan skripsi mengenai sanksi pidana bagi praktek
pemecahan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (Library
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan mengulas buku-buku, dokumen-
dokumen, majalah, jurnal-jurnal yang ada relevansinya dengan tema penelitian yang
teoritis yang berupa konsep, pendapat para Fuqaha dan para ahli hukum pidana atau
literatur yang berhubungan dengan materi yang menjadi pokok permasalahan dalam
penulisan skripsi ini. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan
membandingkanya.
Adapun mengenai sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data
primer dan sekunder, data primer,6 merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber utama (pertama), yakni yang diperoleh dari hasil kajian hukum baik dalam
literatur hukum Islam maupun terhadap perundang-undangan yang dalam hal ini
adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan Undang-
6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia , UI-
Press, 1986), h. 12.
undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Data sekunder adalah semua
bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, dalam hal ini
bahan dokumen yang tertulis berbentuk buku-buku, artikel dan makalah dan hasilnya
berupa kutipan atau catatan. Setelah data-data tersebut terkumpul, kemudian penulis
1. Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data yang bertitik tolak dari
data yang bersifat umum, kemudian di tarik atau diambil kesimpulan yang
bersifat khusus.
Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2007.7
F. Sistematika Penulisan
pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dengan kata pengantar, daftar isi dan
dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk
penulisan.
BAB II Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Menurut Hukum Islam Dan
hukum pidana islam mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-
tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-unsur tindak pidana dalam hukum
Hukum Islam dan Hukum Positif; Terdiri dari enam sub bab yaitu:
perlindungan anak.
BAB V Penutup; merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran dari
A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana
sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah
SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir.8 Adapun menurut istilah syar’i, jinayah
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu mengenai (merugikan)
jiwa atau harta benda ataupun lain-lainya. 9 Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih
Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu
Para Fuqaha sering memakai kata-kata ”jinayah” ini untuk ”jarimah”, bahkan
mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul,
adalah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had
8
Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.
9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1990), Cet Ke-23, h. 396.
dan ta’zir. Kemudian Ahmad Hanafi mengkatagorikaan jarimah kepada tiga macam
bentuk, yaitu:11
a. Jarimah Hudud
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan.
Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau
batas tertinggi, dan pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa
dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh
b. Jarimah Qisas-diyat
hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat
batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan
pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka
c. Jarimah Ta’zir
beberapa hukuman Ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran
jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-
11
Ahmad Hanafi, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) h. 7-8
ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim
macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak
Sementara itu, hukum Islam memuat suatu aturan hukum yang sangat berat
dan tegas, tetapi memiliki sesuatu keluwesan dalam menerapkan sanksi pidana
tersebut menunjukan pada bagaimana hukum yang berlaku bagi pelaku kejahatan atau
perbuatn yang dilakukan. Kata sanksi dalam pidana Islam disebut dengan istilah al-
Uqubah yang berasal dari bahasa arab yang artinya adalah pembalasan dengan
adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas
Ahmad Fathi Bahasi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam
bahwa maksud pokok Hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara dan menciptakan
12
Abdul Qadir’ Audah , al-Tassyri’ al- Jinai al-Islami, (Bairut: Muassasah al- Risalah, 1992),
Cet. Ke-II, Zuz I, h. 812.
13
Ahmad Ratomi Zain, Sanksi Atas Penyalagunaan Tanah Wakaf oleh Nazhir Dalam
Perfektif Hukum Fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004, Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Wahab Kampung
Cantiga Cipondo Tangerang, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk
dan pelajaran kepada manusia. 14 Begitu juga menurut A. Hanafi, bahwa tujuan dari
pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan (ar-radu
sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau
lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip
Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan
tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut
akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya
masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai
kewajibannya masing-masing.16
Hukuman tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi
apa-apa, dengan hukuman (sanksi) perintah atau larangan akan diperhitungkan dan
14
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menaggulangi Kejahatan), Loc. Cit.
15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Loc. Cit.
16
Ibid., h. 191-192
memiliki arti. Meskipun sanksi itu sendiri bukan merupakan suatu kebaikan, bahkan
yang di atasnya berdiri bangunan besar masyarakat, serta membuat masyarakat dapat
karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita karena kedurhakaan
mereka terhadapnya.
larangan syara yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan
tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh.
berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan
artinya panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan, dan
Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab), tetapi tidak
akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila dan anak-anak yang belum
tamyiz maka keduanya dipersamakan dengan benda-benda mati bahkan hewan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sukar diberi pembebanan (taklif),
perincian-perinciannya.
Unsur-unsur kejahatan dalam hukum Pidana Islam secara garis besar dapat
dibagi dua, yaitu: Unsur-unsur dasar umum dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur
1. Rukun Syar’i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan yang jelas
2. Rukun Maddi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa perbuatan,
baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan pasif atau pengabaian (omisi);
17
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy Syamil, 2001), h. 135.
3. Rukun Adaby atau unsur budaya/ unsur moril (cultural element) yang
hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur
normatif dan moral. Unsur yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu
dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan
hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu
sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk
menerima segala sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat
Dari pembicaraan diatas kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap
sebagai berikut:19
pelakunya, dan unsur ini biasa disebut ”unsur Formal” (rukun syar’i).
18
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Cet.ke-1. h. 22.
19
Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 6
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-
perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat sesuatu, dan unsur ini biasa
di atas. Hal ini menunjukan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut sesuatu perbuatan
tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana), untuk dapat
secara keseluruhan. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat
pengambilan dengan diam-diam pada jarimah pencurian, atau dalam tindak pidana
Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsur-
unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat
umum dan khusus dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu dari suatu
jarimah.
3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam
Islam yang memiliki tujuan yang luhur baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana
maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menurut keduanya bahwa
a) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam Al-qur’an
2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut juga dengan
perbuatan maksiat.
b) Hukuman dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang
lain, yaitu:
dera seratus kali kepada pelaku zinah yang belum kawin (ghairu
muhson).
diletakan dilehernya.
2. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas
hukuman rajam.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti
terhadap anak yang mengakibatkan luka-luka yang mana membahayakan atas diri
sang anak karena dalam suatu perkawinan melakukan persetubuhan dengan anak
(istri) yang seharusnya atau sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, maka
penguasa dalam hal ini negara dapat melakukan suatu tindakan dalam upaya menjerat
dan menghukum pelaku sesuai dengan hukuman yang berlaku di negara tersebut,
sebagai berikut:
1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan, maka hukuman yang terpenting dalam hal
dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan.
3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta, dalam hal ini yang terpenting
Secara terminologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata Tindak
dan kata Pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan,
tingkah laku, kelakuan, sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan
kriminal dan pelanggaran. Sementara kalau dilihat dari segi hukum berarti hukum
Dalam keterangan yang lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana,
bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani
seseorang.21 Secara tradisional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang
menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ”strafbaar feit”. Perkataan ”feit” itu
sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een
sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai
20
Poerwa Darminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
h. 1074.
21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 55.
22
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 27.
”bagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak
tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.
Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undang-
undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya
telah ia maksud dengan perkatan ”strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”strafbaar feit”
tersebut. Para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda-beda di
dalam bukunya Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa kata ”strafbaar feit”
adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di
dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus
dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
23
P.A.F, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997) h. 181.
24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) Cet. Ke-7. h. 54.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut,
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit (tindak pidana) menurut
hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani
terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang
untuk menjalankannya.
Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana.
dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu ”Sanc’tie” yang
artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. 25 Sedangkan
hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, (undang-
undang).26 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu
jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) dari
pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat hukum yang dimaksud disini adalah berupa
25
S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,
1990) h.560.
26
J.C.T. Simorangkir dkk, Kamus hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 152.
suatu tindakan, yaitu dimana hukum dijatuhkan berhubung telah dilanggarnya suatu
merupakan akibat hukum (rechtsgecolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat
sesuatu norma oleh seseorang. Tugas dari sanksi adalah suatu jaminan bahwa suatu
norma akan ditaati. Pada azasnya tiap norma dapat dijamin dengan sanksi yang
berbentuk siksaan (leed) karena itu hukum pidana di dalam lapangan hukum disebut
”het strafrecht is de citadel van het recht” (hukum pidana adalah merupakan benteng
hukum). Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau sikap berupa hukuman yang dijatuhkan
atau diberikan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat
hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat didalam masyarakat.
Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-
unsurnya, maka yang pertama dapat kita jumpai adalah disebutkanya sesuatu tindakan
manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang
tindakan itu dapat merupakan ”een doen atau een niet doen” atau dapat merupakan
hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di
27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (T.tp., Balai Lektur Mahasiswa)
dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”een nalaten” yang juga berarti hal
dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut pandang undang-
undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin
kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-
unsur dari suatu tindak pidana menurut beberapa teoritisi dari para sarjana hukum
pidana diantaranya harus memuat: kelakuan dan akibat (adanya suatu perbuatan);
Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, menyatakan bahwa
unsur-unsur dari suatu tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:29 adanya
suatu perbuatan manusia; sifat melawan hukum; adanya sifat kesalahan; pelaku dapat
dipertanggungjawabkan;
28
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 63.
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008) h. 81.
Walaupun dari rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya
Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang
pada dasarnya terbagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif.30
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut,
antaranya:
2. Maksud atau ”voornemen” pada suatu percobaan atau poging seperti yang
30
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997) h. 193-194.
31
Ibid., h. 194
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti terdapat di dalam kejahatan-
Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai
berikut, diantaranya:
2. Kualitas dari diri si pelaku itu sendiri, misalnya ”keadaan sebagai seorang
Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum); itu harus
selalu dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur
tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah
satu unsur dari suatu delik yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya rumusan unsur-
unsur dari suatu tindak pidana yang dilakukan si pelaku (penjahat) maka kepada
pekarjaan aparat penegak hukum, baik sebagai peserta pemain maupun sebagai
peninjau. Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang
bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) di
memenuhi ketentuan yang telah di cantumkan dalam bunyi pasal yang disangkakan
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-
jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel dalam
KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antara pidana pokok dengan
pidana tambahan.
1. Pidana Mati
Berdasarkan pada hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah suatu
hukuman yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyerangan terhadap hak hidup
bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak
heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung
Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah
dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas
pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila dikemudian hari ternyata
mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas
kesalahan terpidana.
2. Pidana penjara
Pidana penjara adalah suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi
tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk
dan didalamya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata
3. Pidana kurungan
Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu
sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, namun
dalam hal pidana kurungan masa lamanya seseorang dalam menjalani pidananya
4. Pidana denda
alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis
dibayar terpidana menjadi milik negara, oleh karena itu, kejaksaan setelah menerima
Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam
dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim
boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta
segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan
Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Namun dalam praktik hukum selama ini pidana
tutupan ini sangat jarang diterapkan oleh hakim dalam putusan hukumnya.
Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat
memberikan kepada negara melalui alat atau lembaganya yang berwenang melakukan
pencabutan hak tertentu saja, menurut pasal 35 ayaat (1) KUHP, hak-hak yang dapat
aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,
barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal
perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas
a. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari
psikotropika; dan
terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) bila tidak, putusan itu batal demi hukum.
Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang
perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
surat kabar, melalui media radio maupun televisi yang beban pembiayaannya
demikian ini, adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu
agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain
dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak
Dari uraian diatas terdapat suatu perbedaan antara hukuman pokok dengan
hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman yang lain
sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman tanpa ada hukuman pokok terlebih
HUKUM POSITIF
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
kelamin atau bersetubuh.32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari
kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan
dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah. 34 Secara terminologis kitab-
kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat (1) memberikan suatu
32
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Cet. Ke-3,
edisi ke-2, h. 456.
33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 7.
34
Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus
Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.
35
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 74.
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) untuk menaati
perintah Allah dan menjalankanya merupakan suatu ibadah. Menurut pendapat Abu
Yahya Zakariya Al-Anshary yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya
Fiqih Munakahat mendefinisikan nikah menurut istilah syara ialah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafad nikah atau
undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat
saya ambil benang merah bahwa perkawinan (nikah) adalah akad yang sangat kuat
kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita serta
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh
perkawinan. Diantaranya dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam surat An-
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Selain itu terdapat ayat lain dalam surat An-Nisaa (04): ayat 3.
perkawinan. Di antaranya dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah bin Mas’ud
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda:
”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa di antara kalian yaang telah mampu
lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah Ia kawin. Sesungguhnya
perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan.
Barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu
sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari).
Hadist Nabi dari Anas Bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh
Ibnu Hibban bahwasanya Nabi SAW’ memerintahkan nikah dan melarang keras
perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan
Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya
adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum.
Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang
melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situsi yang melingkupi
37
Imam Bhukhari, Sahih Bukhar, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
38
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 44.
suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan
hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, maka dapat
a. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas
perkawinan.
istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan
c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk
istrinya.
e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua
kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan
sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan
syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak
ada atau tidak lengkap.40 Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan dalam Islam
memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun
ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dapat berakibat
hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan
c. Wali
40
Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, h. 59.
41
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h. 13-14.
Sedangkan menurut pendapat Sidi Nazar Bakry rukun perkawinan itu
adalah:42
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat lima rukun yang termuat
a. Calon Suami;
b. Calon istri;
c. Wali nikah;
2. Syarat-Syarat Perkawinan
di kutip oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menentukan
42
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.
29.
43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 71.
1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam;
b. Laki-laki;
c. Jelas orangnya;
a. Beragama Islam;
b. Perempuan;
a. Laki-laki;
b. Dewasa;
d. Beragama Islam;
e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
e. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah;
f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon
mempelai pria, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.
penambahan untuk kedua mempelai, dimana ada pembatasan usia jika akan
melangsungkan suatu pernikahan dengan rumusan pasal 7 ayat (1) dan (2) sebagai
berikut:
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-
tahun.
Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus
dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa, calon suami istri harus telah masak jiwa
dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada pintu perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri maupun salah satu diantara
keduanya yang masih dibawah umur (anak-anak). Masalah penentuan umur dalam
ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih yang lalu. Namun demikian,
apabila kita lacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda maupun tua-muda dibawah
ketentuan yang diatur UU No.1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang
perkawinan, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan
a. Tujuan Perkawinan
Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang diatur
oleh pranata hukum. Karena hakekat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai
media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni
pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (suami-istri). Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, maka Islam menetapkan tujuan perkawinan sebagai
platform bagi pasangan suami istri yang ingin membentuk rumah tangga yang
menyangkut masalah lahir maupun batin yang dihiasi dengan adanya rasa kasih dan
sayang antara kedua belah pihak. Dengan memahami tujuan ini, maka sejak awal
untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga untuk saling memahami, saling
menghormati dan saling mengasihi antara kedua belah pihak. Sehingga mewujudkan
tujuan perkawinan sebagaimana tersirat dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, secara
kedua belah pihak hingga kelak pada usia tua nanti bahkan sampai ajal yang
memisahkan diantara mereka, karena cinta dan sayang diantara keduanya begitu
besar.
Bila dalam QS. Ar-Ruum ayat 21 ditegaskan bahwa tujuan perkawinan untuk
menciptakan ketentraman pada pasangan suami istri yang diliputi oleh rasa kasih dan
sayang, maka dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pun tidak jauh
berbeda, yakni tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 1. Pengertian ”bahagia” dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun
1974 termuat dalam kata ”tentram” dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, karena dengan
terciptanya suatu ketentraman dalam suatu keluarga, maka dengan sendirinya akan
muncul suasana bahagia. Demikian pula dengan kata ”kekal” dalam UU No. 1 Tahun
1974, terkandung dalam kalimat ”diliputi rasa kasih dan sayang” dalam QS. Ar-
Ruum ayat 21. Hal ini dikarenakan bahwa perwujudan rasa kasih dan sayang tidak
mungkin ada bila perkawinan itu hanya berlangsung dengan batas waktu, karena rasa
kasih dan sayang erat kaitanya dengan hubungan batin kedua bela pihak. Sehingga
hanya perkawinan yang bersifat kekal sajalah rasa kasih dan sayang dapat terwujud.45
b. Hikmah Perkawinan
keluarga yang tenang, damai, tentram dan penuh kasih sayang. Disamping itu
perkawinan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik
maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara dengan baik, baik yang berkaitan
dengan nasab dalam arti asal-usul seseorang, maupun terpelihara dalam arti jasmani
dan rohaninya. Salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk memperoleh
keturunan yang baik, salih dan salihah. Dengan demikian, pernikahan dalam Islam
45
Ibid., h. 4.
mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu,
keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat
3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram, dengan adanya cinta dan
5. Perkawinan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezki yang halal serta
barokah.
sebagaimana yang dimuat dalam koran al-Sya’b yang terbit pada hari sabtu,
(hidup sendiri tanpa pasangan) seperti seorang duda, janda, sendiri karena
hikmah dari suatu perkawinan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan suatu naluri yang paling kuat, yang
jalam alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan menjadi segar, jiwa jadi
tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana
kamanusiaan seseorang.
47
Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 69-72.
4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah
memperbanyak produksi.
perkawinan. Usia adalah kata lain dari (lebih takzim) umur, yang berarti lama waktu
hidup. Atau dapat pula diartikan sebagai masa, misalnya masa hidupnya cukup lama
berarti ia memiliki usia yang panjang.48 Sedangkan kawin merupakan kata yang
yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang
bahagia.
Dari pengertian yang sederhana itu dapat dirumuskan bahwa, usia perkawinan
adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melakukan
perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap membangun kehidupan
rumah tangga. Dengan usia perkawinan yang cocok dan telah memiliki kematangan
psikologi, diharapkan terwujud rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohma
yang didambakan dan kelak dapat mencerminkan suatu kehidupan masyarakat yang
Perkawinan dalam Islam tidak ditentukan oleh batas usia harus berumur 16
tahun bagi perempuan dan berumur 20 tahun bagi laki-laki baru boleh kawin. Padahal
dalam Islam tidak demikian, tetapi perkawinan dalam Islam yang esensi dan
subtansial adalah akil baligh, layak kawin siap mental, tidak ditentukan oleh batas
usia sepanjang sudah memenuhi persyaratan syariat Islam perkawinan sudah sah dan
48
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 1113.
Rasulullah itu sudah sah menurut syariat Islam, tetapi Rasulullah belum
menggaulinya karena belum akil baligh. Rasulullah baru menggaulinya ketika Siti
Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh
apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04): 6.
Pb☺,$dT#4 O4M!$d-4
O4M $ 4"o? 4^{
^ _ G 4 %?l"Y 2"fQ#4
4mD(kC -Ujf
-U-"#? O4}M!"YT"Y
( 6:4\ )ا "ء... O -U7{8MJ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.
Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan
bergantung kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak
usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya telah
agak lanjut, tetapi belum matang pemikiranya.49 Dalam hukum Islam, usia dewasa
dikenal dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang lelaki telah baligh jika sudah
49
Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), Juz IV, h. 266.
disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, sangat sulit memastikan pada
usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami
menstruasi.
Para Ulama mazhab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti dari ke-
baligh-an dari seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh
sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-
laki. Namun dalam pandangan ulama klasik terdahulu serta menurut pendapat Majlis
Ulama Indonesia (MUI), berdasarkan pada hasil dari ijtihadnya masing-masing, telah
diantaranya:
1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak
kedewasaan itu datang tidak sama untuk setiap orang, maka kedewasaan
ditentukan oleh umur. Disamakan masa kedewasaan untuk pria dan wanita
adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh akal, dengan akallah terjadi
perempuan usia 17 tahun. Pendapat Abu Hanifah dalam hal usia baligh ini
untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia
3. Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Husain
Agama dan Gender menyebut kedewasaan itu pada usia 15 tahun untuk laki-
nafaqah.52
perbedaan pendapat tentang batas usia menimal seseorang boleh kawin itu
dikarenakan adanya perbedaan sudut tinjauan. Dikatakan bulugh al nikah itu dengan
50
Hilman Ismail, Perkawinan Usia Muda dan Pengaruhnya Tergadap Tingkat Perceraian
Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Jatisari Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, (Skripsi S1
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
51
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 68.
52
Boy Valdi, Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No.
008/PDT.P/2006/PAJP, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 42.
kecerdasan karena tinjauannya dititik beratkan pada segi mental, yakni dilihat pada
sikap dan tingkah laku seseorang. Bagi yang mengatakan cukup umur dan bermimpi,
yang berarti fokus tinjauanya pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf.
Jadi, dalam hukum Islam saat paling tepat untuk menikah tidak dilihat dari
segi umur, karena kebutuhan seseorang untuk menikah adalah berbeda-beda. Aisyah
r.a. dalam sebuah riwayat, ketika menikah dengan Rasulullah SAW masih berumur 9
tahun. Tetapi kedewasaan dan kesiapannya untuk menikah telah matang, mungkin
sama dengan mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum seperti saat sekarang ini.
hukum Islam jika di simplikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka
mencapai usi baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Demikian pula,
asumsi yang dibangun ialah bahwa usia balig harus mengacu pada dimensi yang
komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan
aspek-aspek ini seharusnya dimiliki oleh calon suami istri sebagai konsekuensi ”sense
lingkungannya.
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir
adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang,
hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin
adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang
sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Karena itu salah satu prinsip dan
tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia
atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua.
Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU No.1 Tahun
1974 ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Jika ada penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita (Pasal 7 ayat 2).53 KUHPerdata dalam pasal 29 menentukan,
Setiap laki-laki yang belum berusia 18 tahun penuh dan wanita yang belum berusia
15 tahun penuh, tidak diperbolehkan mengadakan perkawinan namun bila ada alasan-
dispensasi.54
53
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 2006), Cet. Ke- 37. h. 540.
54
Ibid., h. 8.
Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 15 ayat (1),
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan
calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1
Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara
eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
seorang ibu.56
1 Tahun 1974
maksud anak dibawah umur. Anak di bawah umur yaitu anak yang belum mumayyid
atau anak yang belum bisa dibebankan suatu tanggung jawab, karena karena kurang
cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan cakap dalam bertindak yaitu akal.
Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban.
Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang
55
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan PerUndang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 10.
56
Undang-undang RI No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlidungan Anak, (Jakarta: Trinity, 2007),
Cet. Ke-1. h. 3.
dipikul kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat
terbatas dan ada pula yang bersifat sempurna. Berdasarkan hubungan ini, yang
oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi syarat umur yang
Sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini:
”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Dan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), ”Untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri
rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik
yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat, maupun yang berkaitan
dengan hukum (aturan) pernikahan. Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip
yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai
universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al
nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al-Bajuri menuturkan bahwa
agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama
ditentukan secara tegas dalam literatur hukum Islam. Mayoritas pakar hukum Islam
interpretasi dari QS. Ath Thalaaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa
Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini
merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat, sejumlah fakta pernikahan para
sahabat dengan perempuan di bawah umur, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-
Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib dan Qudamah
perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas seperti
ungkapan ”boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan
yang masih kecil” atau ”boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan
yang masih kecil” sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam yang dikutip oleh Amir
secara tidak langsung sebagaimana setiap kitab fiqh menyebutkan kewenangan wali
57
Amir Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2006) h. 66.
mujbir mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan. Bahkan dalam
seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si istri disusukan oleh ibu si suami,
maka istrinya itu menjadi haram baginya. dari ungkapan ini dapat dipahami bahwa
istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu
ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun kurang. Hal ini
umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini,
tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana
yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah
yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).60 Salah
satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan dalam
60
Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, (Yordania), juz II, h. 1600.
<!<m!"Y E9-"-C4
#':D(J !v"i,E
P D[$" E"# C;,(#4
M964 >,"#J
!K[$N %J <:!hJ
(34 5wd$N $ P <:⌧M
Z-J D J(3 !:"
( 4:65\قPD )ا4QD<
Artinya: ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan
barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya”.
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh
Bukhori Muslim.
ِْ0َ-َ ُ اU:-ََِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹH: ﺕَ>َو:ْQََ2 َRَْ َُ رََِ اSَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ)
61
(,-"# Kَ )روا$ْ0ِِِ ﺱFْ"ُِ ﺕQِْ% َِ وَأَﻥ% Uََ%ََ و$ْ0ِِِّ ﺱQِ"ِ َ,:-َوَﺱ
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah
mengawini aku ketika aku berumur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku
pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R. Muslim).
Selain dari mayoritas ulama fiqih yang membolehkan perkawinan dalam usia
muda, ada juga yang mengatakan bahwa perkawinan gadis di usia muda itu tidak sah
atau dilarang. Seperti pendapat dari Ibnu Syubrumah, beliau menyatakan beberapa
61
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
َ,:-َِْ وَﺱ0َ-َ ُ اU:-َ رَﺱُ ْلَ اُ ﺹ: أَن:َُْ ُ ا:َِِ هُ*َْ*َةَ ر%َ)َ&ِْ(ُ أ
َ :َُ ْا2 ،َ ﺕُ"ْ?َ]ْذَنU:?َ) ُ*ْBِ'ْ َ^ُ اBُْ وَ_َ ﺕ،َ*َ#ْ]َ?ْ"ُ ﺕU:?َ) ُ,َِّ`َْ^ُ اBَُْلَ _َﺕ2
62
(,-"# Kَ )رواQُBْ"َ أَنْ ﺕ:ََل2 َ؟Rَُ إِذْﻥcْ0َرَﺱُ ْلَ اِ وَآ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: Janda tidak
boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuannya, dan perawan tidak boleh
dinikahkan sebelum dimintai restunya, para sahabat bertanya, wahai
Rasulullah, bagaimana tanda restu seorang perawan? Beliau menjawab:
”yaitu jika diam”. (H.R. Muslim).
Hadist ini mewajibkan wali termasuk bapak untuk meminta izin dari anak
gadisnya sebelum berlangsung akad nikahnya. Oleh karena sahnya akad nikah
tergantung pada izin sedangkan izin dari orang tua atau gadis yang belum dewasa
tidak dianggap, maka wajiblah atas wali menunggu sampai anak gadisnya dewasa
untuk mendapatkan izinnya. Dalil ini kita kemukakan sebagai alasan dari pendirian
Syubrumah sendiri menurut riwayat at-tahawi, dalil yang harus kita kemukakan
adalah sebagai berikut: tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mendapatkan
keturunan dan memelihara diri dari kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan
memelihara tentulah dengan jalan persetubuhan, sedangkan maksud utama ini hanya
dapat dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan untuk disetubuhi.
dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam
62
Ibid,. h. 1056.
bahwa tidak sah sama sekali mengawinkan anak yang masih kecil. Akad nikah yang
dilakukan oleh wali sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal.
pandangan Ibnu Syubrumah itu, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam
perkawinan yang serupa itu (perkawinan dibawah umur), bahkan akan mendatangkan
kemudharatan.63 Selain dari pada pendapat dari Ibnu Syubrumah, di atas yang tidak
memperkenankan perkawinan dalam usia muda, ada juga dalil-dalil syar’i lainya yang
diantaranya:
perkawinannya.64
63
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, h. 131.
64
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 132.
2. Kaidah-kaidah dalam Fiqihiyah antara lain:65
namun mudharat atau resiko jauh lebih besar dari pada manfaat atau
muda itu ditunda sampai orang itu cukup dewasa dan matang pisik,
ulama tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang
belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka penulis lebih
condong pada pendapat Ibnu Syubrumah dan dengan disertai landasan atas kaidah-
kaidah fiqh untuk tidak memperkenankan perkawinan usia muda dengan alasan
bahwa perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina
65
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet. Ke-2. h. 9.
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan
dari kedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental kedua pihak belum
cukup matang. Kemudian persoalan yang paling krusial tentang kawin muda adalah
dalam pandangan para ahli fiqh, adalah faktor ada tidaknya unsur kemaslahatan
didalamnya terutama untuk pihak istri, karena dikhawatirkan dalam perkawinan usia
maksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifdz al-’irdh) agar tidak
keturunan (hifdz al-nasl) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang di
penuhi kasih sayang antara suami istri dan saling membantu antara keduanya untuk
kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, maka pengaturan keluarga dan usaha-usaha
menjaga kesehatan reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian
yang serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas
Tahun 1974.
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau kelak berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Jadi menurut undang-undang perkawinan itu adalah ikatan antara
seorang pria dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan
perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena itu dalam undang-undang
No. 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainya yang mengatur tentang
umum dapat di katagorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia muda secara
global dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan berakhir pada usia 21 (dua puluh
satu) tahun.66
1 Tahun 1974 dengan Pasal 7 ayat (1), maka pengertian tersebut dapat diuraikan
66
Siti Rahayu Aditono, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagianya, (Yogyakarta: Gaja
Mada Press, 1989), h. 219.
c. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang
tahun bagi calon pria dan berusia 16 (enam belas) tahun bagi calon wanita;
f. Harus ada izin dari orang tua terhadap perkawinan yang belum sampai umur
g. Harus ada dispensasi kawin dari Pengadilan Agama atas permintaan orang tua
umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua belah
pihak mempelai yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi calon
mempelai wanita dan umur 19 (sembilan belas) tahun bagi calon mempelai pria,
dispensasi kawin disini adalah adanya suatu penetapan hukum dari Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang
beragama Islam. Dengan adanya suatu penetapan tersebut maka perkawinan dibawah
dimungkinkan;
c. Adanya kepentingan yang mendesak, misalnya calon istri telah hamil lebih
d. Persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa tekanan atau
berikut:
a. Minta surat pengantar dari ketua RT (rukun tetangga) dimana calon mempelai
bertempat tinggal, yang ditujukan kepada kelurahan. Dan dari kelurahan itulah
surat keterangan untuk kawin, surat model NH yang berisi surat keterangan
tentang orang tua, surat model NI yang berisi surat keterangan asal-usul dan
surat persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa ada
tekanan dari pihak manapun dan setuju untuk melangsungkan perkawinan
sidang. Sidang dihadiri oleh kedua orang tua/walinya, calon mempelai dan
saksi-saksi;
67
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) Pedoman Penyuluhan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta: 1983).
7. Setelah Kantor Urusan Agama menerima berkas-berkas itu kemudian
8. Setelah hari kesepuluh waktu kerja, tidak ada halangan dan pencegahan
Jika kita mengkaji lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan
diatas, prinsip dasar dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terdapat
umur, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1). Namun dalam
kesempatan yang sama didalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan pun
dengan adanya dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan dengan ketentuan
bawah umur, dampaknya telah terjadi peningkatan angka perceraian atau banyaknya
kasus kematian ibu saat melahirkan, selain itu perceraian juga menjadi pintu bagi
masuknya tradisi baru yakni pelacuran. Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan
bisa dibatalkan bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan pada
perkawinan di bawah umur masuk dalam kategori eksploatasi anak, karena seorang
anak yang masih dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu
Pembinaan tumbuh kembang anak adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh
semua pihak, baik orangtua, tenaga kesehatan, serta anggota masyarakat dengan baik,
utuh, dan optimal sejak anak berusia dini dan bahkan sejak dalam kandungan,
sehingga anak benar-benar menjadi generasi masa depan bangsa yang diharapkan.
Selain pemenuhan hak untuk tumbuh kembang anak, segala bentuk perlakuan yang
Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah ”seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir ke dunia dalam keadaan
fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang
anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat.68 Masalah perlindungan hukum dan
hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi
68
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2005), Cet ke-1. h. 1.
anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur,
tertib, dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan
Undang-Undang Dasar 1945.69 serta prinsip-prinsip dasar konvensi atas hak-hak anak
a. Non diskriminasi;
anak mengemukakan bahwa oleh karena anak, baik secara rohani jasmani dan sosial
belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi
oleh pihak yang mengasuhnya yang dalam hal ini orang tua sang anak dan di bawah
pengawasan dan bimbingan negara, dan dimana perlu oleh negara sendiri. Karena
wajib pula melindunginya dari gangguan yang datang dari luar maupun dari diri anak
69
Wagianti Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet ke-1. h.
67.
sendiri. Ketentuan yang tertuang di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna atas
dasar kesempatan yang sama. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1).
kesempatan bermain merupakan fitrah anak yang berbeda dengan rekreasi dan
hiburan yang kadangkala perlu pula untuk dilakukan oleh orang dewasa ketika
membutuhkanya. Perbedaan itu di sadari atas tujuan yang ingin dicapai baik anak-
anak maupun orang dewasa pada umumnya. Bagi seorang anak, waktu bermain dan
menyebutkan bahwa:
Pasal 11
”Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.
3. Hak Perlindungan
Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang
perlakuan:
a. Diskriminasi;
Ketentuan diatas tertuang dalam Pasal 13 ayat (1), bahwa anak harus
Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal
bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat
tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini
disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak
dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain,
hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada
Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas
dasar faktor ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin
bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat
membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun
negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur. Kondisi ini pada
memandang bahwa anak merupakan sebuah property/ asset keluarga dan bukan
sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri. Satu hal
terbaik bagi anak dalam memberikan hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak
dan diskriminasi. Serta yang paling penting adalah menempatkan posisi anak pada
dunia anak itu sendiri untuk berkembang sesuai dengan usia perkembangan anak.
BAB IV
Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah jika tanpa disertai
dengan adanya penetapan atau Dispensasi dari Pengadilan. Istilah pernikahan dini
menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,
pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum maupun
yang telah baligh namun belum mencapai usia yang ditetapkaan dalam UU
Perkawinan. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno
yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang
Dalam karya tulis ini akan mencoba untuk memaparkan bagaimana dua sistem
hukum baik dalam hukum Islam dan hukum Positif dalam mencermati perkawinan
dibawah umur tersebut, untuk itu penulis akan mengawalinya dengan analisa dalam
hukum Islam terlebih dahulu kemudian dilanjutkan analisa dalam hukum Positif,
dalam pemaparan analisa dalam karya tulis ini penulis berusaha untuk bersikap
moderat dan tidak memihak kepada salah satu sistem hukum, sehingga hasilnya akan
lebih objektif.
Memori kita mungkin belum lupa tentang pernikahan Syekh Puji dengan
Ulfa, gadis berusia 12 tahun. Pernikahan yang sempat membuat heboh jagat hukum
nasional. Hampir semua media cetak dan elektronik mengulas pernikahan tidak lazim
pandangan hukum Islam tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa tersebut? Sah
atau tidak? Silang pendapat pun muncul. Ada yang menjawab sah, sedangkan
kalangan yang lain tidak sah. Jumhur ulama membolehkan perkawinan dibawah umur
sebagian ulama yang lain tidak membolehkan. sebagaimana yang telah di uraikan
penulis dalam bab-bab sebelumnya khususnya dalam bab III, namun dalam karya
tulis ini kita tidak akan membahas kasus dari Syekh Puji yang menikahi Ulfa tersebut.
Terlepas dari silang pendapat tersebut, kasus pernikahan dibawah umur akan
lebih menarik jika dijadikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk
berfikir secara falsafat dalam hukum Islam. Artinya dibalik hukum Islam yang
normatif, ada filsafat hukum Islam yang melatari dan menjadi inti dari adanya hukum
Islam tersebut. Dengan pendekatan filsafat hukum Islam ini, kita akan bisa melihat
dan membandingkan dengan jelas mana di antara dua pendapat di atas yang lebih
sesuai dengan tujuan hukum Islam. Salah satu konsep penting dan fundamental dalam
hukum Islam adalah konsep dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Tujuan utama
dan menjaga kemanfaatannya.71 Konsep ini telah diakui oleh para ulama. Adapun inti
menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang
sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum,
tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut
demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam
melihat perkawinan di bawah umur yang menjadi bahan pembicaraan dari berbagai
kalangan saat sekarang ini, penulis sampaikan adalah keharusan adanya pembedaan
dalam hukum Islam antara dua hal yang menjadi titik krusial dalam melihat
perkawinan di bawah umur, pertama: yaitu antara proses berlangsungnya akad nikah
(ijab dan qabul) tersebut. Dan yang kedua: adalah proses persetubuhan (jima) antara
keduanya, yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri setelah melakukan proses
71
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 117.
Untuk soal yang pertama yaitu proses berlangsungnya akad nikah (ijab dan
qabul) bahwa dalam hukum Islam, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur
ulama bahwa pernikahan dibawah umur jika telah memenuhi macam-macam dari
ketentuan rukun perkawinan maka nikah itu adalah sah secara hukum Islam karena
rukun dan syarat nikah telah terpenuhi sehingga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU
No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dimana adanya kedua belah pihak, adanya Wali, saksi, mahar dan akad (ijab dan
qabul) sudah terpenuhi. Untuk masalah soal umur istri yang masih di bawah usia
hukum Islam, karena dalam hukum Islam yang dilihat adalah kebalighan seseorang,
dan kebalighan itu dilihat dari kondisi seseorang, dimana untuk seorang laki-laki
adalah Ia pernah bermimpi basah sedangkan untuk seorang wanita adalah Ia pernah
Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah pun dilakukan dalam usia yang sangat muda.
keduanya, dalam masalah ini konsep penting dan fundamental dari hukum Islam dari
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia kiranya harus diterapkan dan
diutamakan tentunya. Dalam persoalan ini kita harus bisa melihatnya secara
menyeluruh dalam arti bahwa kita tidak bisa hanya melihat dari sisi aspek kepuasan
dari salah satu pihak saja, namun dibalik itu kita juga harus melihat dari sisi yang lain
yang kemungkinan besar bisa berdampak buruk bagi perkembangan salah satu pihak
khususnya untuk diri sang istri, untuk itu alangkah lebih baiknya jika proses
persetubuhan itu ditunda terlebih dahulu dan proses persetubuhan dilakukan ketika
kematangan dari organ-organ reproduksi sang istri benar-benar telah siap, sehingga
tidak menggangu dan tidak mendatangkan kemudharatan bagi sang istri dan anak-
anak yang dilahirkan kelak nantinya sebagaimana konsep dari hukum Islam atas
maqasid al-syari’ah. Dalam hukum Islam yang menjadi titik persoalan dari
perkawinan dibawah umur ini adalah permasalahan yang kedua (persetubuhan) yang
harus mendapatkan perhatian yang serius, bukan dari persoalan akad nikahnya
Perkawinan No. 1 tahun 1974 khususnya dalam pasal 7 ayat (1). Dimana untuk
dan akan mendatangkan bahaya sebagaimana yang di sampaikan oleh parah ahli di
bidang kesehatan dan medis terlebih untuk pihak wanita (istri) alangkah lebih baiknya
untuk menunda persetubuhan itu sampai benar-benar kesiapan fisik dan psikis dari
Jika kita kaji lebih mendalam lagi ketentuan syariat hukum pidana Islam
tentang tindak pidana maka disana akan kita temukan pembagian tindak pidana dalam
Islam, salah satunya adalah jarimah ta’zir. Dimana tindak pidana ta’zir ini bisa
pelakunya bisa di kenakan hukuman ta’zir, hukuman ini bukan dikenakan atas zatnya
dari suatu perkawinan melainkan hukuman ini dikenakan kepada pelaku karena sifat-
sifat dari perbuatannya itu yang mengganggu kepentingan, membahayakan serta
merusak baik fisik dan psikis, terlebih kepada kesehatan sang istri di kemudian hari,
proses persetubuhan tanpa adanya masa jedah dari proses akad nikah dengan proses
persetubuhan tersebut, di mana dari peristiwa persetubuhan dengan sang istri itu jika
mendatangkan kemudharatan dan keburukan yang nyata dan berdampak besar, yang
semestinya proses dari pada persetubuhan itu seharusnya ditunda terlebih dahulu.
SAW dengan Aisyah, yang ada masa jedah dari proses akad nikah dengan proses
persetubuhan itu sendiri, dimana Nabi menikahi Aisyah dalam usia 6 (enam )tahun
kemudian Nabi baru tinggal serumah dan menjalin hubungan rumah tangga dengan
Aisyah ketika Ia berusia 9 (sembilan) tahun. Sebagaimana hadist yang datang dari
Aisyah:
ِْ0َ-َ ُ اU:-ََِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹH: ﺕَ>َو:ْQََ2 َRَْ َُ رََِ اSَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ)
72
(,-"# Kَ )روا$ْ0ِِِ ﺱFْ"ُِ ﺕQِْ% َِ وَأَﻥ% Uََ%ََ و$ْ0ِِِّ ﺱQِ"ِ َ,:-ﺱ
َ َو
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah
mengawini aku ketika aku berimur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku
pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R Muslim)
tak’zir karena telah melanggar dan membuat kemudharatan kepada istrinya sendiri,
72
Imam Abi al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
dan menjaga kemaslahatan sang istri dan masyarakkat merupakan alasan yang kuat
bagi syara’ untuk menetapkan hukuman-hukuman ta’zir yang demikian itu kepada
pelaku, sehingga akan tercipta sebuah kemaslahatan dan keadilan bersama. Namun
pada dasarnya menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah
dilarang dan tidak dipidana atau dihukumi hukuman ta’zir. Baru dapat dikenakan
hukuman ta’zir apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka dan yang
membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab
disetubuhi.
Titik akhir analisa penulis demi terwujudkannya serta memelihara dari suatu
kemaslahatan umat manusia umumnya, khususnya bagi pihak wanita (istri) alangkah
lebih baiknya untuk tidak memperkenankan perkawinan yang masih dibawah umur
dan di usahakan kepada pihak laki-laki untuk menunda dan menunggu sampai usia
sang mempelai wanita telah dewasa sebagaimana batasan usia untuk menikah yang
perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina keluarga
yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan tujuan
darikedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental belum cukup matang
sebenarnya adalah hal yang lazim dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di
Indonesia menyebabkan perihal pernikahan dini ini menjadi suatu hal yang
kontroversial. Masyarakat yang berlatar belakang penganut agama Islam yang kuat
menganggap bahwa pernikahan dibawah umur adalah suatu hal yang halal dan tidak
ada masalah karena syarat-syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama Islam
kondisi dari kesiapan fisik dan psikis sang istri benar-benar telah siap, sebagaimana
diantaranya:
Pelanggaran hukum yang pertama, dapat kita lihat dalam undang-undang No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) di mana dalam ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila
Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat
teori hukum Islam, pernikahan dibawah umur pada dasarnya adalah sah karena
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) terdapat ketentuan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun ketentuan Pasal 7 ayat (1)
dalam UU Perkawinan ini bisa diambil jalan keluarnya dan tetap melakukan
nikah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang ini, yang
menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) dapat
dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk.
Namun dalam persoalan pernikahan dibawah umur ini bisa dilakukan upaya
pencegahan baik sebelum dilakukaan pernikahan dan bisa pula dilakukan setelah
pernikahan itu sudah terjadi adanya, caranya adalah dengan pembatalan atas suatu
kita lihat dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 16 UU Perkawinan yaitu:
Pasal 13: ”Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Pasal 14: Ayat (1) ”Yang dapat mencegah perkawinan ialah para pihak dalam garis
keturunan lurus ke atas ke bawah, saudara, wali nikah, pengampuh dari
salah seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”.
Ayat (2) ”Mereka yang disebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini”.
Pasal 16: Ayat (1) ”Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), dan pasal
8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini tidak terpenuhi”.
dibawah umur sebelum dikeluarkanya dispensasi nikah dari Pengadilan Agama bagi
yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang beragama Islam. Namun
jika perkawinan itu sudah terjadi atau terlajur dilaksanakan maka upaya hukum yang
dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua
suami istri, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23 daan Pasal 25 UU
Pasal 22: ”Perkawinan dapat dibatalkan, apabila pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan”.
Pasal 23: ”Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yaang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undaang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus”.
yang tidak dapat menunjukan surat atau izin dari pengadilan atas dispensasi nikahnya.
umur, terlebih atas kasus perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji baru-baru ini
segera disikapi oleh Departemen Agama (Depag). Saat ini, Depag sedang merancang
perkawinan di bawah umur dengan sanksi yang jelas. Ke depan, pelaku perkawinan
di bawah umur akan mendapat sanksi denda mencapai Rp.6 juta dan sanksi untuk
penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp.12 juta dan kurungan tiga bulan. "RUU
ini lebih rinci daripada UU Perkawinan, khususnya tentang sanksi," kata Dirjen
Bimas Islam Depag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar seusai Konsultasi Nasional Hukum
Keluarga Islam di Indonesia di Jakarta, Selasa.73 Sekalipun baru dalam tahapan
rancangan atas terapan UU Peradilan Agama tentang perkawinan, namun paling tidak
umur yang terjadi di dalam masyarakat kita dapat diminimalisir adanya bahkan kelak
Pasal 288: Ayat (1) ”Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang
perempuan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun.
Mengenai kejahataan, dapat dirumuskan pada ayat (1), sedangkan ayat (2) dan
ayat (3) merupakan dasar pemberat pidananya. Kejahatan pada ayat (1) terdapat
Unsur-unsur Objektif:
a. Perbuatannya: bersetubuh;
73
Batam Pos, Ancaman Pidana Perkawinan di Bawah Umur, berita di akses pada 5 Februari
2009 dari http://batampos.co.id/Nasional/Ancaman Pidana Pernikahan di Bawah Umur. html.
c. Menimbulkan akibat luka-luka;
Unsur Subjektif:
Perempuan yang disetubihi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum
waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk disetubuhi
karena masih anak-anak (dibawah umur). Pada Pasal 288 ini tidak dimasukan unsur
belum berumur lima belas tahun seperti dalam Pasal 287. apakah disini tidak berlaku
mengenai umur lima belas tahun? Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang
menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal itu
tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk dikawin, maka
dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan (ditafsirkan) bahwa perempuan (istrinya)
yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas atau enam belas
menikah usia enam belas tahun untuk wanita). Kejahatan dalam pasal ini tidak dioper
dari Wvs Belanda, melainkan khusus ada dalam WvS Hindia Belanda (kini KUHP),
berdasarkan pertimbangan bahwa pada penduduk asli Indonesia dahulu sering terjadi
adanya pernikahan anak. Seperti pada istilah kawin gantung dalam hukum adat, yang
maksud sebenarnya hanya sekedar ikatan resmi perkawinan yang belum boleh
disetubuhi. Oleh karena itu, apabila suaminya tidak sabar menahan gejolak
anak itu, tetapi jangan sampai luka-luka. Jika sampai luka-luka maka kepada
pelakunya (suami) Ia dipidana. Konsep ini pada dasarnya sama seperti konsep dalam
hukum Islam, dimana ada masa jedah dari proses akad nikah itu sendiri dengan
Perempuan (istri) yang belum waktunya untuk dikawin adalah unsur objektif.
Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu, apabila Ia
tahu secara pasti tentang keadaan itu. Dia sepatutnya harus menduga bahwa
perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Inilah unsur kesalahan si
pembuat. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka.
Akibat luka-luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya
untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas untuk disetubuhi, tidaklah
waktunya untuk disetubuhi. Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekedar luka-luka,
tetapi menimbulkan luka-luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling
lama 8 (delapan tahun). Bahkan apabila berakibat kematian istrinya itu, maka dapat
dijatuhkan pidana penjara peling lama 12 (dua belas tahun). Akibat luka berat atau
kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini. Mengenai luka
berat oleh Undang-undang telah diberikan pengertian khusus secara limitatif oleh
a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
pekerjaan pencaharian;
Itulah pengertian luka berat, karena telah dirinci secara limitatif maka tidak
ada luka berat selain yang telah disebutkan secara limitatif menurut Pasal 90 tersebut.
Dari ketentuan di atas dapat kita ambil benang merah bahwa ada persamaan dalam
ketentuan hukum Positif dengan hukum Islam yang mana sama-sama dipidananya
pelaku (suami) apabila dari perkawinan dibawah umur itu dapat mendatangkan
kemudharatan dan keburukan (luka-luka) kepada sang mempelai wanita (istri) karena
telah mensetubuhi istrinya padahal harus diketahui bahwa belum waktunya untuk
disetibuhi, sehingga kepada pelakunya dapat dikenakan hukuman ta’zir dalam hukum
Perlindungan Anak khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa yang
dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
Perlindungan anak memberikan batasan umur lebih tinggi dari pada ketentuan yang
disebut UU Perkawinan dalam penyebutan angka, namun pada dasarnya dua
perkawinan itu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar telah dewasa, sehingga
calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah
Terlebih jika usia mempelai wanita itu masih dibawah batas umur untuk
bolehnya melangsungkan pernikahan, sudah barang tentu hak-hak dari sang anak
Dibawah ini akan diuraikan pasal dari pada hak-hak anak. Dalam ketentuan Pasal 3
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
dan sejahtera. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
Ketentuan lain yang berkaitan ada dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa Setiap
anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Ketentuan-
ketentuan tersebut bisa dikatakan telah dilanggar jika dalam usia anak-anak atau
remaja telah terjadinya suatu perkawinan dibawah umur, maka dikhawatirkan akan
berdampak buruk bagi anak dimana Ia tidak dapat tumbuh, berkembang karena
beralihnya status dari seorang anak menjadi ibu rumah tangga yang berarti pula
bahwa Ia telah lepas dari bimbingan orang tuanya sesuai ketentuan yang ada dalam
Pasal 6.
Selain itu ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu
dalam Pasal 11 juga dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi,
dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri. Jika perkawinan dibawah umur tetap dilakukan maka hal tersebut
jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang ini. Dengan tidak
bersekolah, maka dia tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui
karakter pribadi dalam diri sang anak. Selain itu juga mengurangi hak anak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang serta bergaul, bermain dengan teman-
teman sebayanya karena dengan berstatus sebagai istri yang berarti bahwa Ia sudah
memiliki kewajiban terhadap suaminya, sehingga hak-hak atas dirinya sendiri akan
terabaikan adanya.
Jika kita lihat dalam Pasal 26 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Orang tua
dan minatnya, dan terlebih lagi adalah bahwa orang tua berkewajiban untu mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Melihat dari segala ketentuan ini bisa
dikatakan bahwa jika orang tua yang telah membiarkan atau bahkan memaksakan
kepada anak-anaknya untuk menikah dalam usia muda dan terlebih usianya belum
mencukupi sebagaimana yang ditentukan dalam batas usia boleh menikah dalam
ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) maka orang tua telah
melakukan pelanggaran hak anak yaitu bahwa orang tua telah melalaikan kewajiban
untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak seperti yang tercantum
dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a di atas. Selain itu juga orang tua telah melakukan
pelanggaran hak anak karena tidak berusaha untuk mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak seperti ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf C UU ini.
Sehingga setiap orang termasuk orang tua yang dengan sengaja maupun tidak
mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga fungsi
sosialnya atau penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit
atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) kepada pelakunya. Sehingga diharapkan di masa yaang akan
datang dengan adanya aturan ini hak-hak dari pada anak dapat terjamin dan
terlaksana dengan baik dan praktek perkawinan di bawah umur yang masih terjadi di
berbagai pelosok daerah negeri ini dapat diminimalisir dan pada akhirnya dapat
dihilangkan budaya perkawinan dalam usia muda, karena selain perkawinan itu
menghilangkan hak-hak dari seorang anak, perkawinan itu pun melanggar dari pada
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari akhir penulisan karya tulis ini penulis sampaikan ada beberapa hal atau
poin yang bisa kita ambil dalam kesempatan ini. Yang mana hal tersebut merupakan
jika telah memenuhi ketentuan rukun dari suatu perkawinan, Namun untuk
terjadi terlebih dahulu (ditunda) sebelum kondisi baik mental maupun psikis
dari sang anak (istri) telah siap untuk itu, siap dalam artian bahwa tidak
mencukupi batas usia untuk menikah sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1),
namun dalam keadan tertentu UU ini pun memberikan kelonggaran kepada
ditentukan.
3. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 288 ayat
(1) KUHP telah menggariskan bahwa jika dalam suatu perkawinan bersetubuh
dengan seorang wanita atau yang sepatutnya harus diduga bahwa yang
sehingga jika dari perkawinan dibawah umur ini kepada pihak perempuan
pelakunya bahkan kepada orang tua yang dengan sengaja membiarkan atau
dapat dikenakan pidana sebagaimana suatu keharusan bagi orang tua untuk
C UU Perlindungan Anak.
B. Saran-Saran
pidana harus diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat menjerahkan kepada
pelaku dan menjadikan peristiwa itu sebagai contoh yang baik kepada
masyarakat.
dan diawali dari pribadi sendiri, sehingga akan tercipta ketertiban hukum
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia.
Surabaya: Al- Hidayah.
Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy.
Penerjemah Tim Tsalisah. Jakarta : PT. Kharisma Ilmu, 2007.
Bakry, Nazar Sidi. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993.
Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Cet. Ke-7.
Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Cet.Ke-2.
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2003.
cet ke-5.
Salam, Moch Faisal. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar
Maju, 2005. Cet ke-1.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung: PT. Asy Syamil Press,
2001. cet ke-2.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Perkawinan Dan Keluarga. Jakarta:
eLSAS, 2008. cet ke-2.
Siregar, Bismar. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Soetodjo, Wagianti. Hukum Pidana Anak. Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Surkalam, Luthfi. Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita. Tangerang: CV.
Pamulang, 2005.
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. Ke1.
Yafie, Alie. dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. T.tp: PT. Kharisma Ilmu.
Legislasi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 1946.