Anda di halaman 1dari 115

SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN

DI BAWAH UMUR

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :
SUNENDI
Nim: 105045101500

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM


PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN

DI BAWAH UMUR

(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif)

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:
SUNENDI
NIM: 105045101500

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik Sri Hidayati, M. Ag


Nip: 150 094 391 Nip: 150 282 403

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM


PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita kenikmatan serta manisnya

Iman dan Islam sehingga kita dapat berjalan dibawah ridha-nya. Shalawat dan salam

semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuanganya

dalam membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan memberikan pencerahan

kepada umatnya, sehingga kita dapat merasakan keindahan hidup dibawah naungan

Islam.

Rasa syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah daan taufiknya, sehingga skripsi ini dapat penulis

selesaikan tepat pada waktunya. Dalam proses penulisan skripsi ini banyak kendala

yang penulis hadapi, baik yang bersifat akademisi maupun non akademisi. Selama

proses penulisan, penulis merasakan campuran perasaan tertekan, kehilangan rasa

konsentrasi, oleh karena itu bila tidak dibantu dengan kesabaran hati, bantuan bahan-

bahan, kerelaan meluangkan waktu secara khusus serta jeri payah dari perseorangan

dan lembaga-lembaga, skripsi ini tidak akan sampai pada bentuk yang sekarang.

Munculnya berbagai hambatan dan kesulitaan seakan terasa ringan berkat bantuan

dan dorongan berbagai pihak. Dengan penuh hormat penulis menyatakan ungkapan

rasa terimakasi yang sebesar-besarnya kepada semuanya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua

pihak baik secara langsung maupun tidak langsung membantu serta mendorong

selesainya skripsi ini , penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada:


1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk menimbah ilmu.

2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Asmawi, M. Ag dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku Ketua dan Sekretaris

Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Prof. Dr. H. M. Abduh Malik dan Ibunda Sri Hidayati, M. Ag, selaku dosen

pembimbing skripsi dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan banyak

masukan dan saran serta meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan penilaian sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Dr. H. A. Mukri Aji. MA dan Burhanuddin SH. M.Hum, selaku penguji sidang

skripsi yang dengan tegas dan teliti telah menguji daan memberikan masukan

dalam perbaikan skripsi penulis.

7. Segenap para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berbagi pengetahuan pemikiran dan

gagasan kepada penulis.

8. Pimpinan dan Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya


yang sangat membantu penulis dalam memperoleh buku-buku referensi dalam

penyusunan karya ilmiah ini.

9. Untuk kedua orang tua penulis Bapak Kadi Maulyana dan Ibunda Asia yang

senantiasa memberikan kasih sayang dan bimbingan dari kecil sampai penulis

menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Ustd. Priyatno di Bogor dan tante Marina (Rina) di Cengkareng yang selalu

mendukung untuk percepatan penyelesaian skripsi ini. Tak lupa pula kepada

Adik-adik dan ponakan penulis, Handri (ahong), Muhammad Ilyas

Habiburrahman (ilyas), Nur Sidiq, Ade Suganda (bentot), Fahrul Roji (fa’ung),

Fajar, Jahid, dan ade Faturahman (fatur).

11. Teman-teman seperjuangan Abdul Malik, Abdul Razak, Abdul Wahid Muharrom,

Adi Supriatna, Ahmad Jaelani, Ahmad Sanusi, Amien Indah Fitria, Asep Bahrul

Jaman, Asharyanto, Deni Junaidih, Dewi Kurnia Sari, Fitrotul Amalia, Ifada

Imaniah, Khusnul Anwar, Iin Sugiarto, Laila Latifa, Laili Maulida, Miftahu

Chairina, Mohammad Trezal, Nasori, Raijak, Santoso Hari Wibowo, Sayidi, Siti

Nafisah, Siti Widya Umiyati, Suspemilri, Usep Syafi’i Sanjabil MSSY, Yayah

Ramadyan, Yazid Syukri, Zaki Tsani’ yang dari awal selalu belajar bereng di

kelas, bersaing dalam prestasi, mengukir kebersamaan dalam sebuah persahabatan

abadi.

12. Teman-teman KKS 21 Juli – 20 Agustus 2008 Kel. Sukamulya Kec. Cikupa Kab.

Tangerang, Teuku Mahdar Ardian, Harry Candra, Sulaiman Ali, M. Imam

Baihaqi, Syahrul Syawaludin, Abing Abdul Kabir, A. Zommy Dairobi, Fauzul


Azim, Fitria Hasanah, Hamdan Roziana AM, Leni Wulandari, M. Syuhadak

Nasrullah, Saukah, Ahmad Hambali, Ali Imron, Dedi Aldi Wahyudi, Ifan

Sunarya, Sabarudin Bintang, Asharyanto, Mohammad Trezal, Yazid Syukri.

13. Wanita yang selalu penulis cinta dan sayangi, Annisa Tri Hapsari, interaksi yang

multidimensi dengannya, telah banyak sulutan semangat yang redup, kembangkan

cinta yang susut, dan senyumkan dikalah cemberut melanda diri, engkau

merupakan anugerah terindah dari Tuhan yang tak terhingga kepada penulis, yang

selalu memotifasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dan cepat-cepat cari

kerja untuk kehidupan bersama.

Akhirnya, tidak ada gading yang retak demikian pula dalam skripsi ini, bila

terdapat kebenaran semata hanya petunjuknya, dan kesalahan adalah bukti nyata

lemah hamba-nya. Kritik konstruktif dan masukan dalam skripsi ini, mutlak penulis

harapan dalam rangka penjelajahan ilmu yang semakin luas. Semoga skripsi ini tidak

hanya dorongan formalitas semata, tetapi bagian terpenting dalam meneguhkan

semangat dalam belajar.

Jakarta, 12 juni 2009 M

18 Rajab 1430 H

Penulis
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengaan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 12 Juni 2009

Sunendi
SANKSI PIDANA BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH
UMUR
(Kajian Hukum Islam dan Hukum Pidana Indonesia)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:
SUNENDI
NIM : 105045101500

Di bawah Bimbingan
Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. M. Abduh Malik Sri Hidayati, M. Ag


Nip. 150 094 391 Nip. 150 282 403

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM


PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan Di Bawah Umur (Kajian
Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kosentrasi Pidana Islam.

Jakarta, 12 Juni 2009.


Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.


Nip. 150 210 422

Panitia Ujian

Ketua : Asmawi, M. Ag (....................................)


Nip. 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag (....................................)


Nip. 150 282 403

Pembimbing I : Prof. Dr. H. Abduh Malik (………………………)


Nip. 150 094 391

Pembimbing II : Sri Hidayati, M. Ag (....................................)


Nip. 150 282 403

Penguji I : Dr. H. A. Mukri Aji. MA (.....................................)


Nip. 150 220 554

Penguji II : Burhanuddin SH. M.Hum (.....................................)


Nip. 130 770 738
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. ....... i

DAFTAR ISI ............................................................................................ ....... v

BAB I PENDAHULUAN
Halaman
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................. 8

D. Tinjauan Pustaka...................................................................... 9

E. Metode Penelitian ................................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 11

BAB II TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM


ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai tindak pidana dan Sanksi
Pidana ..................................................................................... 13
1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana
Dalam Hukum Islam .......................................................... 13
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Islam .. 17

3. Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam ....................... 21


B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai tindak pidana dan
Sanksi Pidana............................................................................ 24
1. Pengertian Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana

Dalam Hukum Positif......................................................... 24

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam hukum Pidana Positif.. 27

3. Jenis-Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif ...................... 31

BAB III PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM


HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian dan dasar Hukum Perkawinan ................................ 36

B. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan .................................... 41

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan .............................................. 46

D. Seputar Usia Perkawinan ........................................................ 51

1. Pengertian Usia Perkawinan .............................................. 51

2. Usia Perkawinan Dalam Islam............................................ 52

3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif ............................. 56

E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan Undang-

undang Perkawinan ................................................................. 58

1. ...................................................................................... Perka

winan Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam .................. 59

2. ...................................................................................... Perka

winan Di Bawah Umur Menurut Undang-Undang Perkawinan

No. 1 Tahun 1974 .............................................................. 67


F. Praktek Perkawinan dibawah Umur Menurut Undang-undang

Perlindungan Anak ................................................................. 72

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP


PRAKTEK PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
A............................................................................................ Studi

Analisa Tentang Sanksi Pidana Bagi Praktek Perkawinan dibawah

Umur ....................................................................................... 77

1. ......................................................................................

Analisa Hukum Islam......................................................... 78

2. ......................................................................................

Analisa Hukum Positif ....................................................... 84

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ................................................................................... 95

Saran-Saran ................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 98
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar

hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan

pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas ulama,

yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi

(haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah.

Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah

benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti

sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus

pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang

berhaji.

Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan

kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi,

kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang

jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam

agama. Menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga negara

pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah
memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai.

Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga

yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki

kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang

menekankan pada aspek kebahagiyaan lahir dan batin.

Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah

Rasul. Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam

semesta ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah di tetapkan oleh

Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.1 Islam menganjurkan orang untuk

berkeluarga karena dari segi batin orang dapat mencapainya melalui berkeluarga,

dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodoh

adalah naluri makhluk Allah, termasuk manusia,2 sebagaiman firmannya dalam QS.

Adz-Dzariyaat (51) ayat 49:

 ⌧  


  !"# 
(49:51\‫ )ا ارت‬$%'()⌧*"
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
meningatkan kebesaran Allah SWT”.

1
Amir Syarifuddin, “Garis-Garis Besar Fiqh”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 76.
2
Abd. Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 11-12.
Dalam QS. Yaasiin (36) ayat 36 dinyatakan:3

$56 12(34 ,"-.0


<☺ :; 78964
D AB-C964 >?@!
KL <☺ E?:FG HIJ
( 36:36\) $%M☺D!$N
Artinya: ” Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang mereka tidak ketahui”.

Dalam sebuah hadist Nabi SAW, kita juga dianjurkan untuk menikah, seperti

yang dinyatakan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang berasal dari

Abdullah ibn Mas’ud, ucapan Nabi:

َ*َ+ْ!َ#َ َ,َ-َ‫ِْ وَﺱ‬0َ-َ ُ‫َلَ رَﺱُ ْلَ ا‬2 :َُْ ُ‫َ"ْ!ُ ْدٍ رََِ ا‬# ِ$ْ% ِ‫)َ&ِْ(ُ َ'ْ&ِ ا‬
ْ$َ#َ‫َ*جِ و‬4ْ-ِ ُ$َ5ْ)َ‫َ*ِ وَأ‬5َ'ْ-ِ 78َ9َ‫ُ أ‬:‫جْ =َ<ِﻥ‬:‫َ?َ>َو‬0ْ-َ= َ‫ُ ا ْ'َءَة‬,ُBِْ# َ‫َع‬Dَ?ْ‫ِ اﺱ‬$َ# ِ‫'َب‬:+ ‫ا‬
4
(‫ر‬J' ‫ ا‬K‫َءٌ )روا‬Hِ‫ُ َُ و‬:‫ ْمِ =َ<ِﻥ‬:5 ِ% ِْ0َ-َ!َ= ْFِDَ?ْ"َ ْ,َ
Artinya: Rasulullah bersabda ”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa diantara kalian
yang telah mampu lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah ia kawin.
Sesungguhnya perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga
kehormatan, barang siapa yaang belum mampu hendaklah berpuasa, karena
puasa itu sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari)

Hukum Negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di lain pihak hukum

Islam yang mengatur mengenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan dan tujuannya

3
Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya, (Semarang: CV. Asy-syifa, 1998)
4
Imam Bhukhari, Sahih Bukhari, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
adalah sebagai berikut, Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah

bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya, agar

terwujud tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, oleh karena

itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal

untuk melangsungkan suatu perkawinan.5 Ketentuan mengenai batas umur minimal

tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

yang mengatakan bahwa: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Usia

Perkawinan dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 menyebutkan

bahwa: ”untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7

Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya

berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. Dengan

adanya batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tidak menghendaki perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Instrumen Hak Asasi Manusia apakah

yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah

5
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal .
77.
diratifikasi oleh Pemerintah RI tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia

perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang

telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia

minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka

yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan

melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam

kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Konvensi

tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan

Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and

Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini

akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum

untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum

yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang

menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan

kepentingan pasangan yang akan menikah.

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai

instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum

menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18

tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila

dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi: a. non diskriminasi; b.

kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terkait

pernikahan di bawah umur, pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002

menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Di lain pihak Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits tidak

menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah, persyaratan

umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan

yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk

menikah. Tidak menentukan secara spesifik batasan umur tertentu bagi orang untuk

melaksanakan perkawinan, hal ini menimbulkan suatu argumentasi serta penafsiran

yang berbeda tentang batasan umur untuk dapat melangsungkan pernikahan di

kalangan para ulama. Bahkan ada salah satu tokoh masyarakat di wilayah Semarang

Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) mengatakan hukum Islam membolehkan

perkawinan di bawah umur sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Adanya pandangan yang berbeda terhadap batas umur untuk dapat

melangsungkan suatu perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-

undang baik yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun

yang sudah tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana khususnya dalam Pasal 288 KUHP, UU

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, membuat penulis merasa tertarik

untuk mengetahui lebih jauh tentang pelaksanaan perkawinan di bawah umur dan

sanksi apa yang berlaku bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan dibawah

umur menurut kajian hukum Islam dan dalam aturan peraturan perundang-undangan

yang berlaku sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Hasil penelitian akan

dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: ”SANKSI PIDANA

BAGI PRAKTEK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (KAJIAN HUKUM

ISLAM DAN HUKUM POSITIF)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini menjelaskan apa sebetulnya dan bagaimana pola pengaturan

tentang perkawinan yang dilakukan oleh orang laki-laki dewasa yang menikahi anak

perempuan yang notabene masih di bawah usia untuk menikah (kawin) dalam konsep

perkawinan di bawah umur, serta bagaimana sanksi yang akan diberikan kepada

pelaku yang melakukan praktek perkawinan dibawah umur dalam pandangan hukum

Islam dan hukum positif Indonesia yang kemudian mengacu kepada undang-undang

Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP khususnya dalam

Pasal 288 dan mengacu pula kepada Undang-undang Republik Indonesia No. 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Sehingga kita bisa menganalisa dan mengetahui dari dua sisi pandangan

hukum, baik dalam hukum Islam maupun dalam aturan perundang-undangan

Indonesia, berkaitan dengan sanksi pidana apakah ada atau tidaknya dalam dua aturan

hukum tersebut. Serta apa saja yang menjadi hak dari seorang anak yang melakukan

perkawinan di bawah umur, sehingga kepentingan anak tidak terabaikan adanya.

Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Adakah sanksi hukum yang ditentukan dalam hukum Islam terhadap

praktek perkawinan dibawah umur?

2. Apa sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif Indonesia terhadap

praktek perkawinan dibawah umur?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian secara khusus dalam penulisan Skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui adakah sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek

perkawinan dibawah umur menurut hukum Islam.

2. Untuk mengetahui ketentuan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan

praktek perkawinan dibawah umur menurut hukum positif Indonesia.

Adapun tujuan penelitian secara umum dalam penulisan Skripsi ini adalah :

1. Secara akademis, untuk menambah khazanah pengetahuan hukum pidana

mengenai sanksi pidana bagi mereka yang melakukan praktek perkawinan

dibawah umur, baik menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
2. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengharapkan dapat membantu dalam

memberikan pemahaman yang lebih baik pada masyarakat umum dan

khususnya umat Islam tentang praktek perkawinan dibawah umur yang dapat

dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku.

D. Tinjauan Pustaka

Berbicara mengenai perkawinan terlebih perkawinan di bawah umur sudah

ada Skripsi dan buku-buku atau penelitian yang membahas tentang perkawinan di

bawah umur. Misalnya, pada pembahasan sebelumnya dari pelacakan karya ilmiyah

mahasiswa (skripsi) di fakutas Syariah terdapat skripsi yang ditulis oleh, Boy Valdi

yang berjudul ”Dispensasi nikah bagi perkawinan di bawah umur (Studi analisis

putusan No. 008/PDT.P/2006/PJAP)” dalam skripsinya ia mengutarakan apa yang

dimaksud dengan perkawinan di bawah umur dan peringanan untuk dapat di

berikanya dispensasi nikah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang belum cukup

umur untuk dapat melangsungkan suatu pernikahan.

Dari buku yang membahas tentang ”Tindak Pidana Mengenai Kesopanan”,

karya Drs. Adami Chazawi, SH, membicarakan tentang Kejahatan kesusilaan dalam

persetubuhan dengan Istri yang belum waktunya untuk dikawin terkait dengan pasal

288 ayat (1), (2), dan (3) KUHP. Dari uraian di atas, sudah ada literatur yang

membahas tentang perkawinan secara umum. Untuk itu disini penulis membedakan

serta lebih memfokuskan penulisan skripsi mengenai sanksi pidana bagi praktek

perkawinan di bawah umur.


E. Metode Penelitian

Dalam penulisaan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu

pemecahan masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau

mengklasifikasikannya, kemudian menganalisa data dan menginterprestasikannya.

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (Library

Research), yaitu yaitu pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dimana

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan mengulas buku-buku, dokumen-

dokumen, majalah, jurnal-jurnal yang ada relevansinya dengan tema penelitian yang

dibahas. Tujuan digunakan studi kepustakaan adalah untuk mendapatkan landasan

teoritis yang berupa konsep, pendapat para Fuqaha dan para ahli hukum pidana atau

literatur yang berhubungan dengan materi yang menjadi pokok permasalahan dalam

penulisan skripsi ini. Dalam mengolah dan menganalisa data, penulis menggunakan

metode Kualitatif dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas

dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan permasalahan kemudian

membandingkanya.

Adapun mengenai sumber data yang penulis pergunakan adalah sumber data

primer dan sekunder, data primer,6 merupakan data yang diperoleh langsung dari

sumber utama (pertama), yakni yang diperoleh dari hasil kajian hukum baik dalam

literatur hukum Islam maupun terhadap perundang-undangan yang dalam hal ini

adalah: Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KUHP dan Undang-

6
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia , UI-
Press, 1986), h. 12.
undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Data sekunder adalah semua

bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, dalam hal ini

adalah buku-buku, literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini.

Kemudian teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah menggunakan

bahan dokumen yang tertulis berbentuk buku-buku, artikel dan makalah dan hasilnya

berupa kutipan atau catatan. Setelah data-data tersebut terkumpul, kemudian penulis

mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode:

1. Metode Deduktif, yaitu suatu cara menganalisa data yang bertitik tolak dari

data yang bersifat umum, kemudian di tarik atau diambil kesimpulan yang

bersifat khusus.

2. Metode Komparatif, yaitu membandingkaan antara keduanya antara hukum

Islam dengan hukum Positif dengan cara menganalisa keduanya.

Teknik penulisan dalam pembuatan skripsi ini mengacu pada buku pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2007.7

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan

pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dengan kata pengantar, daftar isi dan

dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk

lebih jelasnya gambaran pembagian bab-bab sebagai berikut:


7
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
BAB I Pendahuluan; Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II Tindak Pidana Dan Sanksi Pidana Menurut Hukum Islam Dan

Hukum Positif; Terbagi menjadi dua sub bab. Pertama, ketentuan

hukum pidana islam mengenai tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-

unsur tindak pidana dalam hukum pidana islam, jenis-jenis hukuman

dalam hukum islam. Kedua, ketentuan hukum pidana positif mengenai

tindak pidana dan sanksi pidana, unsur-unsur tindak pidana dalam hukum

pidana positif, jenis-jenis hukuman dalam hukum positif.

BAB III Tinjauan Umum Tentang Perkawinan di Bawah Umur Menurut

Hukum Islam dan Hukum Positif; Terdiri dari enam sub bab yaitu:

pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat sahnya

perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, seputar usia perkawinan,

perkawinan di bawah umur menurut hukum islam dan undang-undang

perkawinan, praktek perkawinan di bawah umur menurut undang-undang

perlindungan anak.

BAB VI Analisa Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Praktek

Perkawinan di Bawah Umur; Studi analisa tentang sanksi pidana bagi

praktek perkawinan di bawah umur.

BAB V Penutup; merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran dari

penulis tentang hal-hal yang telah dibahas dalam penelitian ini.


BAB II

TINDAK PIDANA DAN SANKSI PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF

DAN HUKUM ISLAM

A. Ketentuan Hukum Pidana Islam Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Dalam ensiklopedi hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah) diartikan

sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah

SWT dengan hukuman hudud atau ta’zir.8 Adapun menurut istilah syar’i, jinayah

adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu mengenai (merugikan)

jiwa atau harta benda ataupun lain-lainya. 9 Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih

Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu

membunuh orang, melukai, memotong anggota badan, menghilangkan anggota

badan, seperti salah satu panca indera.10

Para Fuqaha sering memakai kata-kata ”jinayah” ini untuk ”jarimah”, bahkan

kebanyakan Fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang

mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul,

menggugurkan kandungan dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan jarimah

adalah larangan-larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had

8
Alie Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.
9
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1990), Cet Ke-23, h. 396.
dan ta’zir. Kemudian Ahmad Hanafi mengkatagorikaan jarimah kepada tiga macam

bentuk, yaitu:11

a. Jarimah Hudud

Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu

hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan.

Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau

batas tertinggi, dan pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa

dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), atau pun oleh

masyarakat yang di wakili oleh negara (sultan).

b. Jarimah Qisas-diyat

Jarimah Qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan

hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat

adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai

batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan

pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka

hukuman tersebut menjadi hapus.

c. Jarimah Ta’zir

Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan satu atau

beberapa hukuman Ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran

(at-ta’dib). Syara tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap

jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-
11
Ahmad Hanafi, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005) h. 7-8
ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim

diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan

macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak

mempunyai batas tertentu.

Sementara itu, hukum Islam memuat suatu aturan hukum yang sangat berat

dan tegas, tetapi memiliki sesuatu keluwesan dalam menerapkan sanksi pidana

terhadap pelaku kejahatan yang melanggar terhadap hak-hak masyarakat. Ketentuan

tersebut menunjukan pada bagaimana hukum yang berlaku bagi pelaku kejahatan atau

perbuatn yang dilakukan. Kata sanksi dalam pidana Islam disebut dengan istilah al-

Uqubah yang berasal dari bahasa arab yang artinya adalah pembalasan dengan

keburukan. Sedangkan Abdul Qadir’ Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman

adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas

perbuatannya melanggar perintah Allah SWT.12

Ahmad Fathi Bahasi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam

skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan berbentuk ancaman

yang ditetapkaan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang

dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.13 Menurut A. Djazuli

bahwa maksud pokok Hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara dan menciptakan

12
Abdul Qadir’ Audah , al-Tassyri’ al- Jinai al-Islami, (Bairut: Muassasah al- Risalah, 1992),
Cet. Ke-II, Zuz I, h. 812.
13
Ahmad Ratomi Zain, Sanksi Atas Penyalagunaan Tanah Wakaf oleh Nazhir Dalam
Perfektif Hukum Fiqh dan UU No. 41 Tahun 2004, Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Wahab Kampung
Cantiga Cipondo Tangerang, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk

dan pelajaran kepada manusia. 14 Begitu juga menurut A. Hanafi, bahwa tujuan dari

pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan (ar-radu

waz-zajru) dan pengajaran serta pendididkan (al-islah wat taahdzib).15

Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus

sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau

lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip

keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat

Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan

memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan

tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut

akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya

terhadap melakukan jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat

jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk

masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai

antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan

kewajibannya masing-masing.16

Hukuman tanpa sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi

apa-apa, dengan hukuman (sanksi) perintah atau larangan akan diperhitungkan dan

14
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Upaya Menaggulangi Kejahatan), Loc. Cit.
15
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Loc. Cit.
16
Ibid., h. 191-192
memiliki arti. Meskipun sanksi itu sendiri bukan merupakan suatu kebaikan, bahkan

suatu perusakan bagi si pelaku kejahatan sekurang-kurangnya, namun sanksi tersebut

diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat

(kepentingan publik). Syariat Islam menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai

kejahatan dan mengancam dengan hukuman tertentu untuk perbuatan-perbuatan

tersebut dengan maksud melindungi kepentingan- kepentingan kolektif dan sistem

yang di atasnya berdiri bangunan besar masyarakat, serta membuat masyarakat dapat

menyelamatkan nilai-nilai moral dan kehidupan yang harmoni. Tuhan mengadakan

larangan-larangan (hukuman/sanksi) tidak akan mendapatkan suatu keuntungan

karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita karena kedurhakaan

mereka terhadapnya.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pengerian jarimah ialah larangan-

larangan syara yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan

tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh.

Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata syara, dimaksudkan

bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nas-nas) syara dan

berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan

hukuman (sanksi) terhadapnya.

Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari syara

maka perintah-perintah dan larangan-larangan itu hanya ditunjukan kepada orang


yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan (taklif), sebab pembebanan itu

artinya panggilan (khitab), dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan, dan

benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut.

Bahkan orang yang dapat memahami pokok panggilan (khitab), tetapi tidak

mengetahui perincian-perinciannya, apakah berupa suruhan atau larangan, apakah

akan membawa pahala atau siksa, seperti orang gila dan anak-anak yang belum

tamyiz maka keduanya dipersamakan dengan benda-benda mati bahkan hewan yang

tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu sukar diberi pembebanan (taklif),

karena untuk dapat memahami pembebanan tersebut, bukan saja diperlukan

pengertiannya pokok panggilan, tetapi juga diperlukan pengertiannya terhadap

perincian-perinciannya.

Unsur-unsur kejahatan dalam hukum Pidana Islam secara garis besar dapat

dibagi dua, yaitu: Unsur-unsur dasar umum dan unsur-unsur khusus. Unsur-unsur

dasar (umum) mencakup:17

1. Rukun Syar’i atau unsur hukum (legal element) yaitu ketentuan yang jelas

untuk melarang suatu perbuatan yang merupakan kejahatan dan menentukan

hukuman atasnya (ketentuan-ketentuan syariat);

2. Rukun Maddi atau unsur materiil (essential element) yaitu berupa perbuatan,

baik perbuatan aktif (komisi) maupun perbuatan pasif atau pengabaian (omisi);

17
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy Syamil, 2001), h. 135.
3. Rukun Adaby atau unsur budaya/ unsur moril (cultural element) yang

meliputi kedewasaan, dapat bertanggungjawab dan dapat dipersalahkan

kepada diri si pelaku atas perbuatannya.

Sedangkan menurut pendapat Zainuddin Ali, untuk menentukan suatu

hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur

normatif dan moral. Unsur yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu

dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan

hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu

sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang

diperintahkan oleh Allah SWT. Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk

menerima segala sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat

dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut Mukallaf. Mukallaf adalah orang

Islam yang sudah baligh dan berakal sehat.18

Dari pembicaraan diatas kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa tiap-tiap

jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi, diantaranya unsur-unsur

sebagai berikut:19

1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadap

pelakunya, dan unsur ini biasa disebut ”unsur Formal” (rukun syar’i).

18
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) Cet.ke-1. h. 22.
19
Ahmad. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 6
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-

perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat sesuatu, dan unsur ini biasa

disebut ”unsur materiil” (rukun maddi).

3. Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu orang yang dapat dimintai

pertanggung jawabkan terhadap suatu jarimah yang diperbuatnya, dan

unsur ini biasa disebut dengan ”unsur moral” (rukun adabi).

Sesuatu perbuatan dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah jika

perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun yang telah disebutkan

di atas. Hal ini menunjukan bahwa tanpa ketiga unsur tersebut sesuatu perbuatan

tidak dapat dikatagorikan sebagai perbuatan jarimah (tindak pidana), untuk dapat

dipertanggungjawabkan kepada si pelaku maka ketiga unsur tersebut harus terpenuhi

secara keseluruhan. Disamping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat

unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman (sanksi), seperti unsur

pengambilan dengan diam-diam pada jarimah pencurian, atau dalam tindak pidana

perzinahan, unsur bersenggama ini merupakan sesuatu yang harus dipenuhi.

Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur-unsur khusus ialah kalau unsur-

unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat

berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah yang dilakukan si

pembuat kejahatan. Dikalangan fuqaha biasanya pembicaraan tentang kedua unsur

umum dan khusus dipersatukan, yaitu ketika membicarakan satu persatu dari suatu

jarimah.
3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Islam

Hukum pidana Islam merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat

Islam yang memiliki tujuan yang luhur baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana

maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu menurut keduanya bahwa

hukuman menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidananya, yaitu:

a) Hukuman dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam Al-qur’an

dan Hadist, yaitu:

1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishas, diyat, kafarat.

Misalnya pencurian, perzinahan, minum khamar, murtad.

2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut juga dengan

hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, melakukan

perbuatan maksiat.

b) Hukuman dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman yang

lain, yaitu:

1. Hukuman pokok (uqubat ashliyah), yaitu hukuman yang asal bagi

suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman

dera seratus kali kepada pelaku zinah yang belum kawin (ghairu

muhson).

2. Hukuman Pengganti (uqubat badaliyah), yaitu hukuman yang

menempati tempat hukuman pokok apabila hukuman pokok itu tidak

dapat dilaksanakan karena satu alasan hukum, seperti hukuman diyat

atau denda bagi pembunuhan sengaja yang telah mendapatkan maaf


oleh pihak keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila suatu alasan

hukum pokok yang berupa had tidak dapat dilaksanakan.

3. Hukuman Tambahan (uqubat taba’iyah), yaitu hukuman yang

dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok,

seperti terhalangnya seorang pembunuh.

4. Hukuman Pelengkap (uqubat takmiliyah), yaitu hukuman yang

dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang dijatuhkan,

seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong dan

diletakan dilehernya.

c) Hukuman dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, yaitu:

1. Hukuman yang memiliki batas tertentu, dimana hakim tidak dapat

menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.

2. Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas

terendah di mana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil

dijatuhkan kepada terdakwa, seperti pada kasus maksiat, mengganggu

kemaslahatan dan ketertiban umum yang diancam hukuman ta’zir.

d) Hukuman dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu:

1. Hukuman badan, hukuman yang dijatuhkan atas badan, seperti

hukuman dera (jilid).

2. Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, seperti hukuman mati,

hukuman rajam.
3. Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

4. Hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti hukuman diyat, denda.

Berdasarkan pemaparan diatas apabila seseorang melakukan suatu tindak

pidana khususnya di bidang pelanggaraan dalam hukum perkawinan dan kejahatan

terhadap anak yang mengakibatkan luka-luka yang mana membahayakan atas diri

sang anak karena dalam suatu perkawinan melakukan persetubuhan dengan anak

(istri) yang seharusnya atau sepatutnya belum waktunya untuk dikawin, maka

penguasa dalam hal ini negara dapat melakukan suatu tindakan dalam upaya menjerat

dan menghukum pelaku sesuai dengan hukuman yang berlaku di negara tersebut,

artinya kepada pelaku dapat dikenakan suatu hukuman ta’zir.

Adapun macam-macam sanksi yang berkaitan dengan jarimah ta’zir adalah

sebagai berikut:

1. Sanksi ta’zir yang mengenai badan, maka hukuman yang terpenting dalam hal

ini adalah hukuman mati dan hukumaan jilid.

2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, sanksi yang terpenting

dalam hal ini adalah penjara dengan berbagai macamnya dan pengasingan.

3. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan harta, dalam hal ini yang terpenting

adalah denda, penyitaan atau perampasan.

4. Sanksi-sanksi lainya yang ditentukan ulil amri demi kemaslahatan umum

(masyarakat pada umumnya).


B. Ketentuan Hukum Pidana Positif Mengenai Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana

Secara terminologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata Tindak

dan kata Pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan,

tingkah laku, kelakuan, sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan

kriminal dan pelanggaran. Sementara kalau dilihat dari segi hukum berarti hukum

mengenai perbuatan-perbuatan kejahatan dan pelanggaran terhadap penguasa.20

Dalam keterangan yang lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana,

ialah untuk menyatakan konkrit sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan

bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani

seseorang.21 Secara tradisional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang

dikenakan kepada si pembuat karena melakukan suatu delik (kejahatan).22 Pembentuk

undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”strafbaar feit” untuk

menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan ”strafbaar feit”. Perkataan ”feit” itu

sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een

gedeelte van de werkelijkheid sedangkan ”strafbaar” berarti dapat dihukum,

sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai
20
Poerwa Darminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976).
h. 1074.
21
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 55.
22
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 27.
”bagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak

tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya

adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.

Oleh karena seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undang-

undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya

telah ia maksud dengan perkatan ”strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin

berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan ”strafbaar feit”

tersebut. Para sarjana hukum telah merumuskan suatu teori yang berbeda-beda di

antara mereka, antara lain adalah:

Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh Lamintang

dalam bukunya Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia bahwa kata ”strafbaar feit”

adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di

dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus

ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat

memaksa yang terdapat di dalamnya.23

Moeljatno mengatakan bahwa perkataan ”strafbaar feit” secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut.24

23
P.A.F, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997) h. 181.
24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) Cet. Ke-7. h. 54.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum tersebut,

dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan straafbaar feit (tindak pidana) menurut

hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani

seseorang yang bertentangan dengan hukum atau mengadakan suatu pelanggaran

terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang

bersalah dan orang itu mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas

perbuatannya, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang

untuk menjalankannya.

Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana.

Namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya dibandingkan

dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari Bahasa Belanda yaitu ”Sanc’tie” yang

artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. 25 Sedangkan

menurut kamus Bahasa Indonesia, sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan,

hukuman) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan

undang-undang. Dalam kamus istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman

hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, (undang-

undang).26 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu

jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) dari

pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat hukum yang dimaksud disini adalah berupa

25
S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve,
1990) h.560.
26
J.C.T. Simorangkir dkk, Kamus hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 152.
suatu tindakan, yaitu dimana hukum dijatuhkan berhubung telah dilanggarnya suatu

aturan oleh seseorang.27

Diatas diterangkan bahwa apabila dipandang dari sudut sifatnya, sanksi

merupakan akibat hukum (rechtsgecolg) dari pada pelanggaran suatu kaidah. Akibat

ini merupakan suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya

sesuatu norma oleh seseorang. Tugas dari sanksi adalah suatu jaminan bahwa suatu

norma akan ditaati. Pada azasnya tiap norma dapat dijamin dengan sanksi yang

berbentuk siksaan (leed) karena itu hukum pidana di dalam lapangan hukum disebut

”het strafrecht is de citadel van het recht” (hukum pidana adalah merupakan benteng

hukum). Dari beberapa definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa sanksi pidana adalah tindakan atau sikap berupa hukuman yang dijatuhkan

atau diberikan karena adanya pelanggaran atau perbuatan kejahatan sebagai akibat

hukum untuk menjamin ditaatinya suatu norma yang terdapat didalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Positif

Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-

unsurnya, maka yang pertama dapat kita jumpai adalah disebutkanya sesuatu tindakan

manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang

terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu

tindakan itu dapat merupakan ”een doen atau een niet doen” atau dapat merupakan

hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di

27
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (T.tp., Balai Lektur Mahasiswa)
dalam doktrin juga sering disebut sebagai ”een nalaten” yang juga berarti hal

mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang).

Membicarakan unsur-unsur dari tindak pidana, dapat dibedakan setidaknya

dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut pandang undang-

undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin

pada bunyi rumusannya. Sedangkan dari sudut undang-undang adalah sebagaimana

kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-

pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Maka timbullah di dalam doktrin

unsur dari suatu tindak pidana menurut beberapa teoritisi dari para sarjana hukum

yang berbeda-beda, antara lain:

Moeljatno memberikan beberapa elemen atau unsur-unsur dari suatu tindak

pidana diantaranya harus memuat: kelakuan dan akibat (adanya suatu perbuatan);

keadaan yang menyertai perbuatan; adanya tambahan yang memberatkan pidana;

unsur melawan hukum baik yang objektif dan subjektif.28

Sedangkan menurut pendapat Jonkers sebagaimana yang dikutip oleh Adami

Chazawi dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, menyatakan bahwa

unsur-unsur dari suatu tindak pidana dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:29 adanya

suatu perbuatan manusia; sifat melawan hukum; adanya sifat kesalahan; pelaku dapat

dipertanggungjawabkan;

28
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) h. 63.
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian satu, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008) h. 81.
Walaupun dari rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya

ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai

perbuatannya dengan unsur-unsur yang mengenai diri orangnya. Sungguh pun

demikian setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang

pada dasarnya terbagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan

unsur-unsur objektif.30

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang

melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan

termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang

ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.31

Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai berikut,

antaranya:

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau ”voornemen” pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud didalam pasal 53 ayat1 KUHP;

30
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1997) h. 193-194.
31
Ibid., h. 194
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti terdapat di dalam kejahatan-

kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau ”voorbedachte raad” seperti yang

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP;

Sedangkan unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah sebagai

berikut, diantaranya:

1. Sifat melanggar hukum atau ”wederrechtelijkheid” ;

2. Kualitas dari diri si pelaku itu sendiri, misalnya ”keadaan sebagai seorang

pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan

sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijkheid (melawan hukum); itu harus

selalu dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur

tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah

satu unsur dari suatu delik yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya rumusan unsur-

unsur dari suatu tindak pidana yang dilakukan si pelaku (penjahat) maka kepada

pelaku dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatanya didepan hukum.

Untuk kebutuhan praktek, perumusan dari tiap-tiap unsur sangat memudahkan

pekarjaan aparat penegak hukum, baik sebagai peserta pemain maupun sebagai

peninjau. Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang

dirumuskan dalam pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau

pencocokan (bagian-bagian/kejadian kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-


unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah cocok maka dapat di tentukan

bahwa perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat) di

pertanggungjawabkan kepada pelakunya, namun jika unsur-unsur tersebut tidak

memenuhi ketentuan yang telah di cantumkan dalam bunyi pasal yang disangkakan

maka kepada pelakunya tidak dapat dimintai pertanggungjawabkan.

3. Jenis - Jenis Hukuman Dalam Hukum Positif

KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-

jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel dalam

KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antara pidana pokok dengan

pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari:

1. Pidana Mati

Berdasarkan pada hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah suatu

hukuman yang terberat, yang pelaksanaanya berupa penyerangan terhadap hak hidup

bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak

heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung

dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah

dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas

pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila dikemudian hari ternyata

penjatuhan pidana terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau


pembuatnya atau petindaknya, maupun kekeliruan atas tindak pidana yang

mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas

kesalahan terpidana.

2. Pidana penjara

Pidana penjara adalah suatu sifat dari menghilangkan dan atau membatasi

kemerdekan bergerak seseorang, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu

tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk

dan didalamya wajib untuk tunduk, mentaati dan menjalankan semua peraturan tata

tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan.

3. Pidana kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu

sifat dari menghilangkan dan atau membatasi kemerdekan bergerak seseorang, namun

dalam hal pidana kurungan masa lamanya seseorang dalam menjalani pidananya

relatif lebih singkat dari pada pidana penjara.

4. Pidana denda

Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran, baik sebagai

alternatif dari pidana kurungan maupun berdiri sendiri. Begitu juga terhadap jenis

kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa. Dimana uang denda yang

dibayar terpidana menjadi milik negara, oleh karena itu, kejaksaan setelah menerima

dari terpidana, uang itu harus disetor ke kas negara.


5. Pidana tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20

Tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang

menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam

dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim

boleh menjatuhkan pidana tutupan. Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta

segala sesuatu yang perlu untuk melaksanakan UU No. 20 Tahun 1946 diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan

Pemerintah tentang Rumah Tutupan. Namun dalam praktik hukum selama ini pidana

tutupan ini sangat jarang diterapkan oleh hakim dalam putusan hukumnya.

Pidana tambahan terdiri dari:

1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu;

Menurut hukum, pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang dapat

mengakibatkan kematian perdata (burgerlijke daad) tidak diperkenankan. UU hanya

memberikan kepada negara melalui alat atau lembaganya yang berwenang melakukan

pencabutan hak tertentu saja, menurut pasal 35 ayaat (1) KUHP, hak-hak yang dapat

dicabut tersebut adalah:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. Hak menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersenjata/TNI;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan,

hak menjadi wali, wali pengawas, pengampuh, atau pengampuh pengawas

atas anak yang bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

pengampuan atas anak sendiri;

f. Hak menjalankan mata pencaharian;

2. Pidana perampasan barang-barang tertentu;

Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya diperkenankan atas barang-

barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. UU tidak mengenal

perampasan untuk semua kekayaan. Ada dua jenis barang yang dapat dirampas

melalui keputusan hakim pidana, yaitu:

a. Barang-barang yang berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan (bukan dari

pelanggaran) yang disebut dengan corpora delictie, misalnya uang palsu

dari kejahatan pemalsuan uang, narkoba dari kejahataan narkoba atau

psikotropika; dan

b. Barang-barang yang digunakan dalam melakukan kejahatan, yang disebut

dengan instrumenta delictie, misalnya pisau yang digunakan dalam

kejahatan pembunuhan atau penganiayaan, anak kunci palsu yang

digunakan dalam tindak kejahatan pencurian.


3. Pidana pengumuman keputusan hakim;

Setiap putusan hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang

terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) bila tidak, putusan itu batal demi hukum.

Tetapi pengumuman putusan hakim sebagai suatu pidana bukanlah seperti yang

disebutkan di atas. Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu

publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan.

Dalam pidana pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas menentukan

perihal cara melaksanakan pengumuman itu. Hal tersebut dapat dilakukan melalui

surat kabar, melalui media radio maupun televisi yang beban pembiayaannya

dibebankan kepada terpidana. Maksud dari pengumuman putusan hakim yang

demikian ini, adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu

agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Maksud yang lain

adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul

dan berhubungan dengan orang-orang yang dapat disangka tidak jujur sehingga tidak

menjadi korban dari kejahatan (tindak pidana).

Dari uraian diatas terdapat suatu perbedaan antara hukuman pokok dengan

hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman yang lain

(imperatif), berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Adapun

hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok (fakultatif),

sehingga tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman tanpa ada hukuman pokok terlebih

dahulu (tidak mandiri).


BAB III

PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin atau bersetubuh.32 Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan” berasal dari

kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan

digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan

untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.33

Arti nikah menurut Paunoh Daly ialah bergabung dan berkumpul;

dipergunakan juga dengan arti wata’ atau akad nikah. 34 Secara terminologis kitab-

kitab fiqih banyak diartikan dengan akad atau perjanjian yang mengandung maksud

membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafad nakaha atau zawaja.35

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal I ayat (1) memberikan suatu

definisi tentang perkawinan (nikah) dengan merumuskan “perkawinan ialah ikatan

32
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) Cet. Ke-3,
edisi ke-2, h. 456.
33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 7.
34
Paunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus
Sunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.
35
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 74.
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 2 menyebutkan

bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqon gholidhon) untuk menaati

perintah Allah dan menjalankanya merupakan suatu ibadah. Menurut pendapat Abu

Yahya Zakariya Al-Anshary yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly dalam bukunya

Fiqih Munakahat mendefinisikan nikah menurut istilah syara ialah akad yang

mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafad nikah atau

dengan kata-kata yang semakna denganya. 36

Dari pendapat yang disampaikan diatas maupun yang termaktub dalam

undang-undang No. 1 Tahun 1974 serta dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat

saya ambil benang merah bahwa perkawinan (nikah) adalah akad yang sangat kuat

(mitsaqon gholidhon) atau perjanjian lahir batin yang mengandung maksud

kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita serta

pemenuhan kewajiban bagi masing-masing pihak dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh

oleh Nabi, banyak suruhan-suruhan Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan

perkawinan. Diantaranya dapat kita lihat dalam firman Allah SWT dalam surat An-

Nuur (24): ayat 32.


36
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 8.
PC☺,$N964 O4M"FIJ
D $F"?,RS#4 E Q
P -U .W3$? - )T$.
 34$'"!Y O4MIM $N %?
ZJ?4D["Y  34 U?: N
(32:24\‫[ )ا  ر‬ET?$] \\F08 34 

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.

Selain itu terdapat ayat lain dalam surat An-Nisaa (04): ayat 3.

`LJ ^ _HF %?


PCc,$d*#4 b? O4M aFG!
U "#  " $ O4M"FI"Y
Phi$  3gGf#4 f
%?l"Y O \,$kC j,!E
O4M #m!" `LJ E9HF
D>"$ $ J nm8M"Y
@#8"o P -U ,☺NJ
( 3:4\‫ )ا "ء‬O4M #M!" `LJ 4bpTJ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Begitu banyak pula suruhan Nabi kepada umatnya untuk melakukan

perkawinan. Di antaranya dinyatakan dalam hadits riwayat dari Abdullah bin Mas’ud

ra, Rasulullah SAW’ bersabda:


َ,َ-َ‫ِْ وَﺱ‬0َ-َ ُ‫َلَ رَﺱُ ْلَ ا‬2 :َُْ ُ‫َ"ْ!ُ ْدٍ رََِ ا‬# ِ$ْ% ِ‫)َ&ِْ(ُ َ'ْ&ِ ا‬
ِ*َ5َ'ْ-ِ 78َ9َ‫ُ أ‬:‫جْ =َ<ِﻥ‬:‫َ?َ>َو‬0ْ-َ= َ‫ُ ا ْ'َءَة‬,ُBِْ# َ‫َع‬Dَ?ْ‫ِ اﺱ‬$َ# ِ‫'َب‬:+ ‫َ*َ ا‬+ْ!#َ َ
K‫َءٌ )روا‬Hِ‫ُ َُ و‬:‫ ْمِ =َ<ِﻥ‬:5 ِ% ِْ0َ-َ!َ= ْFِDَ?ْ"َ ْ,َ ْ$َ#َ‫َ*جِ و‬4ْ-ِ ُ$َ5ْ)‫وََأ‬
(‫ر‬J' ‫ا‬
37

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Mas’ud ra, bahwa Rasulullah bersabda:
”Wahai golongan pemuda! Barangsiapa di antara kalian yaang telah mampu
lahir dan batin untuk kawin, maka hendaklah Ia kawin. Sesungguhnya
perkawinan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan.
Barangsiapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu
sebagai penawar hawa nafsu”. (HR. Bukhari).

Hadist Nabi dari Anas Bin Malik menurut riwayat Ahmad dan disahkan oleh

Ibnu Hibban bahwasanya Nabi SAW’ memerintahkan nikah dan melarang keras

membujang seraya beliau bersabda:

Artinya: ”Nikahlah kamu dengan perempuan-perempuan penyayang dan banyak


anak, karena sesungguhnya aku akan berbangga-banga dengan banyaknya
kamu terhadap umat lain di hari kiamat”.38

Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakn

perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan

Nabi untuk dilaksanakan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya

adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum.

Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang

melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situsi yang melingkupi

37
Imam Bhukhari, Sahih Bukhar, juz 7 (Beirut Libanon: Daar al-Fikr. T.tp) h. 3
38
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 44.
suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan

hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, maka dapat

dihukumi sebagai berikut:39

a. Sunnah, bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas

untuk kawin dan ia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkaan

perkawinan.

b. Makruh, bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum

berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga

belum ada, sehingga takut akan menimbulkan berbagai kemusykilan bagi

istri dan anaknya, seperti tidak memperhatikan hak istri dan anaknya dengan

sewajarnya karena ia masih mementingkan dirinya saja.

c. Wajib, bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk

kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, dan ia khawatir akan

terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin.

d. Haram, bagi orang-orang yang tidak mampu membiayai nafkah rumah

tangganya, tidak ada sumber penghasilan untuk membiayai dirinya dan

keluarganya atau berat dugaan bahwa ia akan berbuat zalim terhadap

istrinya.

e. Mubah, bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk

kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa

kepada siapa pun.


39
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 79.
B. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan

syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak

ada atau tidak lengkap.40 Sebagai suatu perbuatan hukum, perkawinan dalam Islam

memiliki lima rukun yang harus dipenuhi secara kumulatif. Pemenuhan lima rukun

ini dimaksudkan agar perkawinan yang merupakan perbuatan hukum dapat berakibat

hukum, yakni timbulnya hak dan kewajiban. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan

mengenai rukun dan syarat perkawinan, diantaranya sebagai berikut:

1. Rukun Perkawinan (nikah)

Menurut jumhur ulama rukun nikah itu ada empat, yaitu:41

a. Sighah (ijab dan qabul);

b. Calon suami dan calon istri;

c. Wali

40
Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, h. 59.
41
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h. 13-14.
Sedangkan menurut pendapat Sidi Nazar Bakry rukun perkawinan itu

adalah:42

a. Calon pengantin laki-laki dan perempuan;

b. Wali dari pihak calon perempuan;

c. Dua orang saksi yang adil (laki-laki);

d. Ijab dari wali calon pengantin perempuan atau wakilnya;

e. Kabul dari pihak calon pengantin kali-laki;

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat lima rukun yang termuat

dalam pasal 14 yang meliputi:

a. Calon Suami;

b. Calon istri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi;

e. Ijab dan qabul;

2. Syarat-Syarat Perkawinan

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Kholil Rahman sebagaimana yang

di kutip oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia menentukan

bahwa syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, diantaranya, yaitu:43

42
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.
29.
43
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 71.
1. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam;

b. Laki-laki;

c. Jelas orangnya;

d. Dapat memberikan persetujuan;

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam;

b. Perempuan;

c. Dapat dimintai persetujuanya;

d. Tidak terdapat halangan perkawinan.

3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki;

b. Dewasa;

c. Mempunyai hak perwalian;

d. Tidak terdapat halangan perwalian.

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang saksi laki-laki;

b. Hadir dalam ijab qabul;

c. Dapat mengerti maksud akad;

d. Beragama Islam;

e. Dewasa.
5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki;

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij;

d. Antara ijab dan qabul bersamaan (bersambungan)

e. Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram

haji/umrah;

f. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon

mempelai pria, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 dimana ada syarat

penambahan untuk kedua mempelai, dimana ada pembatasan usia jika akan

melangsungkan suatu pernikahan dengan rumusan pasal 7 ayat (1) dan (2) sebagai

berikut:

(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan

belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua

pihak pria maupun wanita.

KHI dalam Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU

Perkawinan dengan rumusan sebagai berikut:

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-

kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16

tahun.

Hal-hal yang disebutkan diatas memberi isyarat bahwa perkawinan itu harus

dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa, calon suami istri harus telah masak jiwa

dan raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada pintu perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu

harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri maupun salah satu diantara

keduanya yang masih dibawah umur (anak-anak). Masalah penentuan umur dalam

UU Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, memang bersifat

ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqih yang lalu. Namun demikian,

apabila kita lacak referensi syar’inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat

Allah dalam surat an-Nisaa (04): 9.

-M"# stu2(34 gr*#


E?:HY D O4M )$'"
O4M!Y2"6 nH,!Fy QvwNxC!o
(34 O4M wd*Y"Y -U?:T$]
QL-M"2 O4M #M *#
( 9:4\‫ )ا "ء‬4zmNm0
Artinya: ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
Perkataan yang benar”.

Ayat tersebut bersifat umum, tidak secara langsung menunjukan bahwa

perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia muda maupun tua-muda dibawah
ketentuan yang diatur UU No.1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang

dikhawatirkan kesejahteraan maupun perkembangan fisik dan psikisnya tidak baik.

Akan tetapi berdasarkan pada pengamatan berbagai pihak rendahnya usia

perkawinan, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan

tujuan dari perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga

berdasarkan kasih dan sayang.

C. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan

a. Tujuan Perkawinan

Sebagai lembaga hukum, perkawinan sudah tentu memiliki tujuan yang diatur

oleh pranata hukum. Karena hakekat perkawinan pada dasarnya bukan hanya sebagai

media pemenuhan kebutuhan biologis semata, tetapi lebih dari pada itu yakni

pemenuhan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (suami-istri). Berkaitan

dengan hal tersebut di atas, maka Islam menetapkan tujuan perkawinan sebagai

platform bagi pasangan suami istri yang ingin membentuk rumah tangga yang

harmonis,44 sebagaimana tersebut dalam QS. Ar-Ruum (30): 21.

%J HZ{d,$N4 D


-U FG HIJ Df  "# $56
O4}MQ  G$9~# 2☯8J
U .Q$ K!h :T"#?
b? €%? P 8v☺D{C Q€TM€
ƒ„-M"~# >,$N‚ @#8"o
(21:30\‫ )ا *وم‬$%'(⌧H$d$N
44
Lutfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita, (Tangerang: CV Pamulang,
2005), h. 3.
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”.
Dari ayat tersebut diatas dapat kita ambil pengertian bahwa Islam

menghendaki dengan adanya perkawinan tersebut tercipta rasa tentram, baik

menyangkut masalah lahir maupun batin yang dihiasi dengan adanya rasa kasih dan

sayang antara kedua belah pihak. Dengan memahami tujuan ini, maka sejak awal

pasangan yang hendak mewujudkan sebuah rumah tangga, haruslah mempunyai

komitmen bahwa penyatuan hubungan antara mereka berdua bukanlah semata-mata

untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga untuk saling memahami, saling

menghormati dan saling mengasihi antara kedua belah pihak. Sehingga mewujudkan

tujuan perkawinan sebagaimana tersirat dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, secara

konsisten diharapkan berbagai goncangan yang mungkin saja terjadi selama

mengarungi kehidupan rumah tangga tidak dapat mengurangi keharmonisan bagi

kedua belah pihak hingga kelak pada usia tua nanti bahkan sampai ajal yang

memisahkan diantara mereka, karena cinta dan sayang diantara keduanya begitu

besar.

Bila dalam QS. Ar-Ruum ayat 21 ditegaskan bahwa tujuan perkawinan untuk

menciptakan ketentraman pada pasangan suami istri yang diliputi oleh rasa kasih dan

sayang, maka dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pun tidak jauh

berbeda, yakni tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini sebagaimana
yang tersebut dalam pasal 1. Pengertian ”bahagia” dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun

1974 termuat dalam kata ”tentram” dalam QS. Ar-Ruum ayat 21, karena dengan

terciptanya suatu ketentraman dalam suatu keluarga, maka dengan sendirinya akan

muncul suasana bahagia. Demikian pula dengan kata ”kekal” dalam UU No. 1 Tahun

1974, terkandung dalam kalimat ”diliputi rasa kasih dan sayang” dalam QS. Ar-

Ruum ayat 21. Hal ini dikarenakan bahwa perwujudan rasa kasih dan sayang tidak

mungkin ada bila perkawinan itu hanya berlangsung dengan batas waktu, karena rasa

kasih dan sayang erat kaitanya dengan hubungan batin kedua bela pihak. Sehingga

hanya perkawinan yang bersifat kekal sajalah rasa kasih dan sayang dapat terwujud.45

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam yang ditetapkan dalam pasal 3

menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupaan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

b. Hikmah Perkawinan

Islam sangat menganjurkan pernikahan dalam rangka mewujudkan tatanan

keluarga yang tenang, damai, tentram dan penuh kasih sayang. Disamping itu

perkawinan merupakan salah satu sarana untuk melahirkan generasi yang baik

(dzurriyyah tayyibah). Dengan adanya perkawinan sebagaimana yang diatur agama,

maka anak-anak dan keturunan akan terpelihara dengan baik, baik yang berkaitan

dengan nasab dalam arti asal-usul seseorang, maupun terpelihara dalam arti jasmani

dan rohaninya. Salah satu harapan adanya pernikahan juga untuk memperoleh

keturunan yang baik, salih dan salihah. Dengan demikian, pernikahan dalam Islam
45
Ibid., h. 4.
mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi kehidupan individu,

keluarga, masyarakat, bahkan agama, bangsa dan negara serta kelangsungan umat

manusia. Secara detil beberapa hikmah dari perkawinan tersebut diantaranya:46

1. Perkawinan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan

keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.

2. Upaya untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran

hawa nafsu yang tidak benar seperti perzinahan dan perkosaan.

3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram, dengan adanya cinta dan

kasih sayang diantara kedua belah pihak.

4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan

mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab, baik dalam

hubungan suami-istri maaupun orang tua dan anak.

5. Perkawinan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezki yang halal serta

barokah.

6. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat, terutama antar kedua

keluarga sehingga terwujud solidaritas sosial (takaful ijtima’i) dengan

perluasan hubungan persaudaraan, antara dua keluarga besar, yaitu keluarga

besar dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan.

7. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu laporanya,

sebagaimana yang dimuat dalam koran al-Sya’b yang terbit pada hari sabtu,

tanggal 1 juni 1959, melaporkan bahwa pasangan suami-istri akan bertahan


46
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, h. 42-44.
hidup lebih lama jika dibandingkan dengan yang bukan pasangan suami-istri

(hidup sendiri tanpa pasangan) seperti seorang duda, janda, sendiri karena

perceraian, lelaki bujangan maupun gadis yang belum menikah.

Selain hikmah-hikmah diatas, Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-

hikmah dari suatu perkawinan sebagaimana yang dikutip oleh Abd. Rahman Ghazaly

dalam bukunya Fiqih Munakahat, sebagai berikut:47

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan suatu naluri yang paling kuat, yang

selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluarnya tidak

dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami

kegoncangan, kacau, daan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan

jalam alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan

memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan menjadi segar, jiwa jadi

tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati

barang yang halal.

2. Kawin merupakan jalan yang terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi

mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.

3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana

hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah,

cinta dan sayang yaang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan

kamanusiaan seseorang.
47
Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Prenada Media, 2003), h. 69-72.
4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah

tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas

tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.

5. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan

menimbulkan sikap rajin daan sunguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan

pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung

jawab dan memikul kewajibanya, sehingga ia akan banyak bekerja dan

mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan

memperbanyak produksi.

6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkaan tali kekeluargaan,

memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat

hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang.

Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyanyagi akan

terbentuk masyarakat yang kuat dan bahagia.

D. Seputar Usia Perkawinan

1. Pengertian Usia Perkawinan

Usia perkawinan merupakan suatu prase (kelompok kata) usia dan

perkawinan. Usia adalah kata lain dari (lebih takzim) umur, yang berarti lama waktu

hidup. Atau dapat pula diartikan sebagai masa, misalnya masa hidupnya cukup lama
berarti ia memiliki usia yang panjang.48 Sedangkan kawin merupakan kata yang

bermakna aktif, mendapat prefiks (pe-an) menjadi perkawinan adalah pernikahan

yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang

bahagia.

Dari pengertian yang sederhana itu dapat dirumuskan bahwa, usia perkawinan

adalah usia yang dianggap cocok secara fisik dan mental untuk melakukan

perkawinan. Usia perkawinan dalam pengertian ini penekananya adalah pada

perhitungan atas umur yang secara fisik dan mental siap membangun kehidupan

rumah tangga. Dengan usia perkawinan yang cocok dan telah memiliki kematangan

psikologi, diharapkan terwujud rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohma

yang didambakan dan kelak dapat mencerminkan suatu kehidupan masyarakat yang

damai, sejahtera, dan dinamis.

2. Usia Perkawinan Dalam Islam

Perkawinan dalam Islam tidak ditentukan oleh batas usia harus berumur 16

tahun bagi perempuan dan berumur 20 tahun bagi laki-laki baru boleh kawin. Padahal

dalam Islam tidak demikian, tetapi perkawinan dalam Islam yang esensi dan

subtansial adalah akil baligh, layak kawin siap mental, tidak ditentukan oleh batas

usia sepanjang sudah memenuhi persyaratan syariat Islam perkawinan sudah sah dan

halalan toyyibah. Sebagaimana perkawinan Rasulullah saw untuk diteladani oleh

umatnya yakni perkawinan Rasulullah dengan Siti Aisyah. Meski perkawinan

48
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, h. 1113.
Rasulullah itu sudah sah menurut syariat Islam, tetapi Rasulullah belum

menggaulinya karena belum akil baligh. Rasulullah baru menggaulinya ketika Siti

Aisyah sudah akil baligh (dewasa).

Islam secara tegas tidak menentukan batas minimal kapan seseorang boleh

melangsungkan perkawinan. Sekalipun hukum Islam tidak membatasi usia menimal

untuk dapat melangsungkan perkawinan, namun hukum Islam menyatakan bahwa

seseorang baru dikenakan kewajiban melakukan pekerjaan atau perbuatan hukum

apabila telah mukallaf, untuk itu Allah berfirman dalam QS. An-Nisaa (04): 6.

Pb☺,$dT#4 O4M!$d-4
O4M $ 4"o? 4€^{
^ _ G 4 %?l"Y 2"fQ#4
4mD(kC -U‡jf
-U‡-ˆ"#? O4}M!"YT"Y
( 6:4\‫ )ا "ء‬... O -U7{8MJ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.

Ketika menafsirkan ayat ini, Hamka mengatakan bulugh al nikah itu diartikan

dengan dewasa. Kedewasaan itu bukanlah bergantung kepada umur, tetapi

bergantung kepada kecerdasan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak

usianya belum dewasa, tetapi ia telah cerdik dan ada pula seseorang usianya telah

agak lanjut, tetapi belum matang pemikiranya.49 Dalam hukum Islam, usia dewasa

dikenal dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang lelaki telah baligh jika sudah

pernah bermimpi basah (mengeluarkan sperma). Sedangkan seorang perempuan

49
Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), Juz IV, h. 266.
disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, sangat sulit memastikan pada

usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami

menstruasi.

Para Ulama mazhab sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti dari ke-

baligh-an dari seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh

sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-

laki. Namun dalam pandangan ulama klasik terdahulu serta menurut pendapat Majlis

Ulama Indonesia (MUI), berdasarkan pada hasil dari ijtihadnya masing-masing, telah

menetapkan dan menentukan batasan usia ideal untuk melangsungkan perkawinan

diantaranya:

1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak

laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun. Dengan alasan bahwa tanda-tanda

kedewasaan itu datang tidak sama untuk setiap orang, maka kedewasaan

ditentukan oleh umur. Disamakan masa kedewasaan untuk pria dan wanita

adalah karena kedewasaan itu ditentukan oleh akal, dengan akallah terjadi

taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum.

2. Imam Maliki menetapkannya 18 tahun sementara itu Imam Abu Hanifah

menetapkan usia baligh bagi laki-laki adalah 19 tahun, sedangkan anak

perempuan usia 17 tahun. Pendapat Abu Hanifah dalam hal usia baligh ini

adalah batas maksimal, sedangkaan usia minimalnya adalah usia 12 tahun

untuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Sebab pada usia

tersebut seorang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma,


menghamili atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak

perempuan dapat hamil atau haid.50

3. Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Husain

Muhammad dalam bukunya Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana

Agama dan Gender menyebut kedewasaan itu pada usia 15 tahun untuk laki-

laki maupun untuk perempuan.51

4. Sedangkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) hanya memberikan dua kriteria

sebelum melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dikutip dari skripsi

Boy Valdi, “Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi

Analisis Putusan No. 008/PDT.P/2006/PAJP,”, yakni spiritual daan material.

Secara spiritual agar di dalamnya diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir

dan batin yang memungkinkan berkembangnya cinta dan kasih sayang.

Adapun secara material merupakan kesanggupan membayar mahar dan

nafaqah.52

Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adanya

perbedaan pendapat tentang batas usia menimal seseorang boleh kawin itu

dikarenakan adanya perbedaan sudut tinjauan. Dikatakan bulugh al nikah itu dengan

50
Hilman Ismail, Perkawinan Usia Muda dan Pengaruhnya Tergadap Tingkat Perceraian
Studi Kasus Pada Masyarakat Desa Jatisari Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor, (Skripsi S1
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).
51
Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Reflekasi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKIS, 2001), Cet. Ke-1, h. 68.
52
Boy Valdi, Dispensasi Nikah Bagi Perkawinan Di Bawah Umur Studi Analisis Putusan No.
008/PDT.P/2006/PAJP, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 42.
kecerdasan karena tinjauannya dititik beratkan pada segi mental, yakni dilihat pada

sikap dan tingkah laku seseorang. Bagi yang mengatakan cukup umur dan bermimpi,

yang berarti fokus tinjauanya pada fisik lahiriyah dan sekaligus telah mukallaf.

Jadi, dalam hukum Islam saat paling tepat untuk menikah tidak dilihat dari

segi umur, karena kebutuhan seseorang untuk menikah adalah berbeda-beda. Aisyah

r.a. dalam sebuah riwayat, ketika menikah dengan Rasulullah SAW masih berumur 9

tahun. Tetapi kedewasaan dan kesiapannya untuk menikah telah matang, mungkin

sama dengan mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum seperti saat sekarang ini.

Hal diatas merupakan konsekuensi bahwa soal usia perkawinan menurut

hukum Islam jika di simplikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka

mencapai usi baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Demikian pula,

asumsi yang dibangun ialah bahwa usia balig harus mengacu pada dimensi yang

komplementer, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi. Bahkan

aspek-aspek ini seharusnya dimiliki oleh calon suami istri sebagai konsekuensi ”sense

of responsibility” baik terhadap pribadi masing-masing maupun bagi keturunan dan

lingkungannya.

3. Usia Perkawinan Dalam Hukum Positif

Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir

adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang,

hubungan mana mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin
adalah hubungan yang tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang

sungguh-sungguh, yang mengikat kedua pihak saja. Karena itu salah satu prinsip dan

syarat perkawinan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 6 Ayat (1) UU

Perkawinan, dinyatakan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua

calon mempelai artinya, kedua mempelai sepakat untuk melangsungkan perkawinan

tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga. Hal ini sesuai dengan hak asasi manusia

atas perkawinan, dan sesuai juga dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal. Ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat ijin kedua orang tua.

Batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan menurut UU No.1 Tahun

1974 ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)

tahun. Jika ada penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat (1) ini, dapat meminta dispensasi

kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita (Pasal 7 ayat 2).53 KUHPerdata dalam pasal 29 menentukan,

Setiap laki-laki yang belum berusia 18 tahun penuh dan wanita yang belum berusia

15 tahun penuh, tidak diperbolehkan mengadakan perkawinan namun bila ada alasan-

alasan penting Presiden dapat menghapuskan larangan itu dengan memberikan

dispensasi.54

53
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 2006), Cet. Ke- 37. h. 540.
54
Ibid., h. 8.
Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 15 ayat (1),

untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan

calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1

Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.55 Sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara

eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah

mereka yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

seorang ibu.56

E. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No.

1 Tahun 1974

Sebelum mengemukakan perkawinan dibawah umur dalam pandangan hukum

Islam dan UU Perkawinan, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan tentang

maksud anak dibawah umur. Anak di bawah umur yaitu anak yang belum mumayyid

atau anak yang belum bisa dibebankan suatu tanggung jawab, karena karena kurang

cakapnya dalam bertindak. Adapun patokan cakap dalam bertindak yaitu akal.

Apabila akal seseorang masih kurang maka ia belum bisa dibebani kewajiban.

Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna ia wajib menunaikan beban tugas yang

55
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan PerUndang-undangan Tentang
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2005), h. 10.
56
Undang-undang RI No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlidungan Anak, (Jakarta: Trinity, 2007),
Cet. Ke-1. h. 3.
dipikul kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat

terbatas dan ada pula yang bersifat sempurna. Berdasarkan hubungan ini, yang

dimaksud dengan perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan

oleh salah satu calon mempelai atau keduanya belum memenuhi syarat umur yang

ditentukan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebagaimana ketentuan yang ditegaskan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang ini:

”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan

belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Dan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), ”Untuk

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon

mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun

1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.”

1. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Hukum Islam

Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah fleksibel, universal,

rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik

yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat, maupun yang berkaitan

dengan hukum (aturan) pernikahan. Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip

yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai

universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al

nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al-Bajuri menuturkan bahwa
agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama

harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan,

niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.

Pada dasarnya ketentuan tentang batas umur minimal perkawinan tidak

ditentukan secara tegas dalam literatur hukum Islam. Mayoritas pakar hukum Islam

melegalkan pernikahan dini (mensahkanya). Pemahaman ini merupakan hasil

interpretasi dari QS. Ath Thalaaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa

Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini

merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat, sejumlah fakta pernikahan para

sahabat dengan perempuan di bawah umur, seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-

Khatthab ketika menikahi Ummu Kaltsum, putri ‘Ali bin Abi Thalib dan Qudamah

bin Math’ghun yang menikahi putri Zubair.

Bahkan dalam kitab-kitab fiqh memperbolehkan kawin antara laki-laki dan

perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas seperti

ungkapan ”boleh terjadi perkawinan antara laki-laki yang masih kecil dan perempuan

yang masih kecil” atau ”boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dan perempuan

yang masih kecil” sebagaimana pendapat Ibnu al-Humam yang dikutip oleh Amir

Syarufuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih

munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.57 Begitu pula kebolehan itu disebutkan

secara tidak langsung sebagaimana setiap kitab fiqh menyebutkan kewenangan wali

57
Amir Syarufuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2006) h. 66.
mujbir mengawinkan anak-anak yang masih kecil atau perawan. Bahkan dalam

literatur fiqh kontemporer ditemukan ungkapan bila seorang laki-laki mengawini

seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si istri disusukan oleh ibu si suami,

maka istrinya itu menjadi haram baginya. dari ungkapan ini dapat dipahami bahwa

istri berumur dua tahun kebawah, karena susuan yang menyebabkan hukum haram itu

ialah bila berlangsung selagi yang menyusu masih berumur dua tahun kurang. Hal ini

berarti boleh melangsungkan perkawinan selagi pengantin perempuan masih bayi. 58

Sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi

konsensus pakar hukum Islam.59 Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah

umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini,

tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana

yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:

“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah

yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).60 Salah

satu argumentasi yang digunakan adalah firman Allah SWT yang menyatakan dalam

QS. Ath Thalaaq (65): 4.

  G‰$N C;,(#4


 Š‹TF"☺#4
%? - W3gG?v
58
Ibid., h. 66-67.
59
Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara.
http://dovesmotion.blog.friendster.com/2008/11/fikih-perkawinan-di-bawahumur/.

60
Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, (Yordania), juz II, h. 1600.
<‡!<m!"Y E9-"-C4
#':D(J !v"i,E
P D[$" E"# C;,(#4
‘’M964 >,"#ŽJ
!K[$N %J <:!hJ
(34 5wd$N $ P <:’⌧M
Z”-•J D “J(3 !:"
( 4:65\‫ق‬PD ‫ )ا‬4QˆD<–
Artinya: ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid, dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan
barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya”.

Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh

Bukhori Muslim.

ِْ0َ-َ ُ‫ ا‬U:-َ‫َِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹ‬H:‫ ﺕَ>َو‬:ْQََ2 َRَْ ُ‫َ رََِ ا‬Sَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ)
61
(,-"# K‫َ )روا‬$ْ0ِِ‫ِ ﺱ‬Fْ"ِ‫ُ ﺕ‬Qِْ% َ‫ِ وَأَﻥ‬% Uََ%َ‫َ و‬$ْ0ِِ‫ِّ ﺱ‬Qِ"ِ َ,:-َ‫وَﺱ‬
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah
mengawini aku ketika aku berumur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku
pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R. Muslim).

Selain dari mayoritas ulama fiqih yang membolehkan perkawinan dalam usia

muda, ada juga yang mengatakan bahwa perkawinan gadis di usia muda itu tidak sah

atau dilarang. Seperti pendapat dari Ibnu Syubrumah, beliau menyatakan beberapa

alasanya, di antaranya hadist Abu Hurairah yang di riwayatkan oleh Muslim.

61
Imam Abi Al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
َ,:-َ‫ِْ وَﺱ‬0َ-َ ُ‫ ا‬U:-َ‫ رَﺱُ ْلَ اُ ﺹ‬:‫ أَن‬:َُْ ُ‫ ا‬:َِ‫ِ هُ*َْ*َةَ ر‬%َ‫)َ&ِْ(ُ أ‬
َ :‫َُ ْا‬2 ،َ‫ ﺕُ"ْ?َ]ْذَن‬U:?َ) ُ*ْBِ'ْ ‫َ^ُ ا‬Bُْ‫ وَ_َ ﺕ‬،َ*َ#ْ]َ?ْ"ُ‫ ﺕ‬U:?َ) ُ,َِّ`ْ‫َ^ُ ا‬Bُْ‫َلَ _َﺕ‬2
62
(,-"# K‫َ )روا‬QُBْ"َ‫ أَنْ ﺕ‬:َ‫َل‬2 ‫َ؟‬Rُ‫َ إِذْﻥ‬cْ0َ‫رَﺱُ ْلَ اِ وَآ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: Janda tidak
boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuannya, dan perawan tidak boleh
dinikahkan sebelum dimintai restunya, para sahabat bertanya, wahai
Rasulullah, bagaimana tanda restu seorang perawan? Beliau menjawab:
”yaitu jika diam”. (H.R. Muslim).

Hadist ini mewajibkan wali termasuk bapak untuk meminta izin dari anak

gadisnya sebelum berlangsung akad nikahnya. Oleh karena sahnya akad nikah

tergantung pada izin sedangkan izin dari orang tua atau gadis yang belum dewasa

tidak dianggap, maka wajiblah atas wali menunggu sampai anak gadisnya dewasa

untuk mendapatkan izinnya. Dalil ini kita kemukakan sebagai alasan dari pendirian

Ibnu Syubrumah menurut riwayat Ibnu Hazam. Sedangkan pendirian Ibnu

Syubrumah sendiri menurut riwayat at-tahawi, dalil yang harus kita kemukakan

adalah sebagai berikut: tujuan utama dari pernikahan adalah untuk mendapatkan

keturunan dan memelihara diri dari kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan

memelihara tentulah dengan jalan persetubuhan, sedangkan maksud utama ini hanya

dapat dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan untuk disetubuhi.

Lebih lanjut Ibnu Syubrumah dan al-Batti berpendapat sebagaimana yang

dikutip oleh Peunoh Daly dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam

Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam,

62
Ibid,. h. 1056.
bahwa tidak sah sama sekali mengawinkan anak yang masih kecil. Akad nikah yang

dilakukan oleh wali sebagai ganti dari anak yang masih kecil itu dianggap batal.

Penulis menyatakan bahwa hikmah hukum perkawinan dalam Islam memperkuat

pandangan Ibnu Syubrumah itu, karena tidak ada kemaslahatan bagi anak kecil dalam

perkawinan yang serupa itu (perkawinan dibawah umur), bahkan akan mendatangkan

kemudharatan.63 Selain dari pada pendapat dari Ibnu Syubrumah, di atas yang tidak

memperkenankan perkawinan dalam usia muda, ada juga dalil-dalil syar’i lainya yang

dapat menunjukan isyarat untuk kedewasaan seseorang sebelum lakukan suatu

perkawinan itu diharuskan adanya suatu kedewasaan. Dalil-dalil hukum itu

diantaranya:

1. Sadd Adz-Dzari’ah, artinya melaksanakan suatu perbuatan yang semula

mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan),

dimana menutup jalan yang bisa membawa malapetaka, karena kawin di

bawah umur bisa membawa malapetaka bagi keluarga dan akibat-akibat

lainya yang negatif maka wajib menghindari dengan jalan menunda

perkawinannya.64

63
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam, h. 131.
64
Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 132.
2. Kaidah-kaidah dalam Fiqihiyah antara lain:65

a) ُ‫َ*َارُ ُ>َال‬e ‫ا‬


Artinya: ”Mudharat atau malapetaka itu harus dihilangkan”.

Karena kawin di bawah umur membawa mudharat baik kepada

dirinya, keluarga maupun kepada masyarakat, maka seharusnya kawin

di bawah umur harus dihindari.

b) ِ^َِ5َf ‫ِ ا‬gْ-َH ْ$ِ# ٌ‫م‬:&َhُ# ِ&ِ‫َﺱ‬4َf ‫ا‬


Artinya: ”Menghindari mafsadat atau kerusakan harus didahulukan

dari pada mencari maslahat atau kebaikan”.

Kawin di bawah umur mungkin adapula manfatnya atau maslahatnya,

namun mudharat atau resiko jauh lebih besar dari pada manfaat atau

kebaikanya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kawin di bawah usia

muda itu ditunda sampai orang itu cukup dewasa dan matang pisik,

pikis dan mentalnya.

Dengan memperlihatkan argumen-argumen yang telah disampaikan oleh para

ulama tersebut diatas, baik yang memperbolehkan perkawinan seorang gadis yang

belum dewasa (usia muda) dan yang tidak memperbolehkannya, maka penulis lebih

condong pada pendapat Ibnu Syubrumah dan dengan disertai landasan atas kaidah-

kaidah fiqh untuk tidak memperkenankan perkawinan usia muda dengan alasan

bahwa perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina

65
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet. Ke-2. h. 9.
keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan

tujuan untuk mencapai kemaslahatan sebagaimana yang didambakan oleh keluarga

dari kedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental kedua pihak belum

cukup matang. Kemudian persoalan yang paling krusial tentang kawin muda adalah

dalam pandangan para ahli fiqh, adalah faktor ada tidaknya unsur kemaslahatan

didalamnya terutama untuk pihak istri, karena dikhawatirkan dalam perkawinan usia

muda itu dapat menimbulkaan kemudharatan, kerusakaan atau keburukan, terutama

kepada pihak istri.

Dengan demikian maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan di

maksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hifdz al-’irdh) agar tidak

terjerumus kedalam perbuatan terlarang, melangsungkan kehidupan manusia atau

keturunan (hifdz al-nasl) yang sehat mendirikan kehidupan rumah tangga yang di

penuhi kasih sayang antara suami istri dan saling membantu antara keduanya untuk

kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, maka pengaturan keluarga dan usaha-usaha

menjaga kesehatan reproduksi menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian

yang serius dari semua pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas

usia perkawinan yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi calon

wanita demi kemaslahatan bersama.


2. Perkawinan di Bawah Umur Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974.

Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah, ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau kelak berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Jadi menurut undang-undang perkawinan itu adalah ikatan antara

seorang pria dengan seorang wanita, berarti perkawinan sama dengan perikatan

(Verbintenis). Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 tersebut

perlu difahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena itu dalam undang-undang

No. 1 Tahun 1974 maupun dalam peraturan lainya yang mengatur tentang

perkawinan. Apabila dianalisis lebih lanjut, kondisi perkawinan di Indonesia secara

umum dapat di katagorikan mempunyai pola perkawinan muda. Usia muda secara

global dimulai sejak umur 12 (dua belas) tahun dan berakhir pada usia 21 (dua puluh

satu) tahun.66

Apabila dihubungkan antara Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No.

1 Tahun 1974 dengan Pasal 7 ayat (1), maka pengertian tersebut dapat diuraikan

menjadi beberapa unsur:

a. Perkawinan merupakan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita;

b. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin;

66
Siti Rahayu Aditono, Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagianya, (Yogyakarta: Gaja
Mada Press, 1989), h. 219.
c. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang

kekal dan bahagia;

d. Perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

e. Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah berusia 19 (sembilan belas)

tahun bagi calon pria dan berusia 16 (enam belas) tahun bagi calon wanita;

f. Harus ada izin dari orang tua terhadap perkawinan yang belum sampai umur

21 (dua puluh satu) tahun;

g. Harus ada dispensasi kawin dari Pengadilan Agama atas permintaan orang tua

bagi yang ingin melangsungkan perkawinan di bawah umur.

Dari unsur-unsur diatas dapat diambil pengertian bahwa perkawinan di bawah

umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh salah satu pihak atau kedua belah

pihak mempelai yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi calon

mempelai wanita dan umur 19 (sembilan belas) tahun bagi calon mempelai pria,

sehingga diperlukan dispensasi kawin dari pengadilan. Yang dimaksud dari

dispensasi kawin disini adalah adanya suatu penetapan hukum dari Pengadilan

Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang

beragama Islam. Dengan adanya suatu penetapan tersebut maka perkawinan dibawah

umur dapat dilangsungkan.

Adapun yang dapat dijadikan bahan pertimbangan hukum untuk mendapatkan

dispensasi kawin adalah sebagai berikut:


a. Kondisi yang sangat memaksa (darurat), perkawinan di bawah umur batas

minimum sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perkawinan tersebut

dimungkinkan;

b. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, menyangkut susila yang

berlaku di masyarakat pada umumnya;

c. Adanya kepentingan yang mendesak, misalnya calon istri telah hamil lebih

dahulu yang dibuktikan dengn keterangan dokter;

d. Persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa tekanan atau

paksaan dari pihak manapun dan setuju untuk melasungkan perkawinan,

ditandatangani oleh kedua calon mempelai.

Adapun pelaksanaan perkawinan di bawah umur, prosedurnya adalah sebagai

berikut:

a. Minta surat pengantar dari ketua RT (rukun tetangga) dimana calon mempelai

bertempat tinggal, yang ditujukan kepada kelurahan. Dan dari kelurahan itulah

calon mempelai akan mendapatkan surat model PI yang berisi surat

pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Nikah, surat model NA yang berisi

surat keterangan untuk kawin, surat model NH yang berisi surat keterangan

tentang orang tua, surat model NI yang berisi surat keterangan asal-usul dan

surat persetujuan yang menyatakan bahwa atas dasar sukarela tanpa ada
tekanan dari pihak manapun dan setuju untuk melangsungkan perkawinan

yang ditandatangani kedua calon mempelai;67

b. Setelah mendapatkan surat-surat diatas kemudian mempelai mengajukan

permohonan dispensasi kawin kepada Ketua Pengadilan Agama yang di buat

oleh orang tua/walinya atau wakilnya;

c. Sebelum diadakan sidang Pengadilan, calon mempelai terlebih dahulu

mendapat nasehat perkawinan dari BP-4;

d. Setelah Pengadilan mempelajari arti permohonan ini kemudian mengadakan

sidang. Sidang dihadiri oleh kedua orang tua/walinya, calon mempelai dan

saksi-saksi;

e. Setelah mendapatkan penetapan dispensasi kawin dari Pengadilan Agama,

kemudian ke Kantor Urusan Agama yang mewakili wilayah hukum dimana

tempat tinggal mempelai dengan membawa sekaligus menyerahkan surat-

surat yang telah diisi oleh Kepala Desa, yang meliputi:

1. Surat keterangan untuk nikah (Model N1)

2. Surat keterangan asal-usul (Model N2)

3. Surat persetujuan mempelai (Model N3)

4. Surat tentang orang tua (Model N4)

5. Surat izin orang tua (Model N5)

6. Surat pemberitahuan kehendak untuk menika (Model N7)

67
KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) Pedoman Penyuluhan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta: 1983).
7. Setelah Kantor Urusan Agama menerima berkas-berkas itu kemudian

diadakan penelitian dan selanjutnya mengadakan pengumuman.

8. Setelah hari kesepuluh waktu kerja, tidak ada halangan dan pencegahan

perkawinan, maka pada hari yang telah ditentukan kemudian dilangsungkan

perkawinan sesuai dengan peraturan.

Jika kita mengkaji lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan

diatas, prinsip dasar dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terdapat

pelarangan untuk melangsungkan perkawinan kepada pihak-pihak yang belum cukup

umur, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1). Namun dalam

kesempatan yang sama didalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Perkawinan pun

secara tersirat membolehkan dilangsungkanya praktek perkawinan dibawah umur,

dengan adanya dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan dengan ketentuan

dan syarat-syarat yang mengaturnya.

Namun, disisi lain akibat adanya dispensasi kawin dalam perkawinan di

bawah umur, dampaknya telah terjadi peningkatan angka perceraian atau banyaknya

kasus kematian ibu saat melahirkan, selain itu perceraian juga menjadi pintu bagi

masuknya tradisi baru yakni pelacuran. Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan

bisa dibatalkan bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan pada

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. ”Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 maka

perkawinan di bawah umur masuk dalam kategori eksploatasi anak, karena seorang

anak yang masih dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan

belajar. Perkawinan di bawah umur jelas merampas hak anak itu.


F. Praktek Perkawinan di Bawah Umur Menurut UU Perlindungan Anak

Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan

bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berahlak mulia.

Pembinaan tumbuh kembang anak adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh

semua pihak, baik orangtua, tenaga kesehatan, serta anggota masyarakat dengan baik,

utuh, dan optimal sejak anak berusia dini dan bahkan sejak dalam kandungan,

sehingga anak benar-benar menjadi generasi masa depan bangsa yang diharapkan.

Selain pemenuhan hak untuk tumbuh kembang anak, segala bentuk perlakuan yang

mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan

harus segera dihentikan tanpa kecuali termasuk perkawinan di bawah umur.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

perlindungan anak, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah ”seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”. Ajaran agama menyatakan setiap anak terlahir ke dunia dalam keadaan

fitrah atau suci, bak kertas putih. Kemudian orang tuanya yang menjadikan sang

anak, menjadi baik ataukah sebaliknya, jahat.68 Masalah perlindungan hukum dan

hak-haknya bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi

68
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2005), Cet ke-1. h. 1.
anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur,

tertib, dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan

perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.69 serta prinsip-prinsip dasar konvensi atas hak-hak anak

yang meliputi diantaranya:

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam penjelasan secara umum Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang perlindungan

anak mengemukakan bahwa oleh karena anak, baik secara rohani jasmani dan sosial

belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban bagi

generasi terdahulu untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan

anak. Pemeliharaan, jasmani dan pengamanan kepentingan itu selayaknya dilakukan

oleh pihak yang mengasuhnya yang dalam hal ini orang tua sang anak dan di bawah

pengawasan dan bimbingan negara, dan dimana perlu oleh negara sendiri. Karena

merupakan kewajiban, maka yang bertanggung jawab terhadap pengasuhan anak

wajib pula melindunginya dari gangguan yang datang dari luar maupun dari diri anak

69
Wagianti Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), Cet ke-1. h.
67.
sendiri. Ketentuan yang tertuang di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa hak-hak anak diantaranya:

1. Hak Memperoleh Pendidikan dan Pengajaran

Deklarasi hak anak yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada 20

November 1952, antara lain menyatakan bahwa anak-anak berhak mendapatkan

pendidikan wajib belajar secara cuma-cuma, sekurang-kurangnya di tingkat sekolah

dasar.70 Mereka harus mendapatkan pendidikan yang dapat meningkatkan

pengetahuan umumnya dan pengetahuan yang memungkinkan mereka

mengembangkan kemampuanya, pendapat pribadinya serta tanggung jawab moral

dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna atas

dasar kesempatan yang sama. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1).

Pasal 9 ayat (1)

”Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka


pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya”.

2. Hak Beristirahat dan Bermain

Beristirahat sesungguhnya adalah kebutuhan manusia termasuk bagi anak, dan

kesempatan bermain merupakan fitrah anak yang berbeda dengan rekreasi dan

hiburan yang kadangkala perlu pula untuk dilakukan oleh orang dewasa ketika

membutuhkanya. Perbedaan itu di sadari atas tujuan yang ingin dicapai baik anak-

anak maupun orang dewasa pada umumnya. Bagi seorang anak, waktu bermain dan

istirahat mutlak diperlukan guna membantu pertumbuhannya dan perkembangan diri


70
Bismar Siregar, dkk., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 19.
baik secara fisik, mental dan sosial. Hal ini tersebut merupakan tuntutan keadaan dan

kondisi dimana ia dapat belajar, beraktifitas dan berinteraksi sesuai dengan

kesenangannya sebagai rangsangan. Dalam Pasal 11 UU Perlindungan Anak

menyebutkan bahwa:

Pasal 11

”Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.

3. Hak Perlindungan

Setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang

bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari

perlakuan:

a. Diskriminasi;

Ketentuan diatas tertuang dalam Pasal 13 ayat (1), bahwa anak harus

dilindungi dari perbuatan yang mengarah kedalam bentuk diskriminasi

rasial, agama, mupun bentuk-bentuk diskriminasi lainya.

b. Eksploitasi, baik Ekonomi maupun Seksual;

Eksploitasi ekonomi dengan menjadikan barang dagangan,

mempekerjakan anak usia dibawah umur, eksploitasi seksual dimana anak

menjadi objek perilaku penyimpangan seksual.

Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal

26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan

bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat

tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini

disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak

dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain,

hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada

akhirnya adanya keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.

Disisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas

dasar faktor ekonomi (kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin

beranggapan bahwa dengan menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di

bawah umur akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dimungkinkan dapat

membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir akan dampak positif ataupun

negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih dibawah umur. Kondisi ini pada

akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan “kekuasaan” atas ekonomi dengan

memandang bahwa anak merupakan sebuah property/ asset keluarga dan bukan

sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri. Satu hal

yang juga harus menjadi perhatian bersama adalah mengedepankan kepentingan

terbaik bagi anak dalam memberikan hak pendidikan, hak tumbuh kembang, hak

bermain, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, segala bentuk eksploitasi,

dan diskriminasi. Serta yang paling penting adalah menempatkan posisi anak pada

dunia anak itu sendiri untuk berkembang sesuai dengan usia perkembangan anak.
BAB IV

ANALISA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PRAKTEK

PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini

(pernikahan dibawah umur). Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal

Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah jika tanpa disertai

dengan adanya penetapan atau Dispensasi dari Pengadilan. Istilah pernikahan dini

menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,

pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum maupun

yang telah baligh namun belum mencapai usia yang ditetapkaan dalam UU

Perkawinan. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno

yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali

muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang

terjadi antara para sarjana Islam dalam merespons pernikahan tersebut.

Dalam karya tulis ini akan mencoba untuk memaparkan bagaimana dua sistem

hukum baik dalam hukum Islam dan hukum Positif dalam mencermati perkawinan

dibawah umur tersebut, untuk itu penulis akan mengawalinya dengan analisa dalam

hukum Islam terlebih dahulu kemudian dilanjutkan analisa dalam hukum Positif,

dalam pemaparan analisa dalam karya tulis ini penulis berusaha untuk bersikap
moderat dan tidak memihak kepada salah satu sistem hukum, sehingga hasilnya akan

lebih objektif.

1. Analisa Hukum Islam

Memori kita mungkin belum lupa tentang pernikahan Syekh Puji dengan

Ulfa, gadis berusia 12 tahun. Pernikahan yang sempat membuat heboh jagat hukum

nasional. Hampir semua media cetak dan elektronik mengulas pernikahan tidak lazim

tersebut. Hebohnya kasus tersebut menimbulkan pertanyaan dimasyarakat, bagaimana

pandangan hukum Islam tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa tersebut? Sah

atau tidak? Silang pendapat pun muncul. Ada yang menjawab sah, sedangkan

kalangan yang lain tidak sah. Jumhur ulama membolehkan perkawinan dibawah umur

sebagian ulama yang lain tidak membolehkan. sebagaimana yang telah di uraikan

penulis dalam bab-bab sebelumnya khususnya dalam bab III, namun dalam karya

tulis ini kita tidak akan membahas kasus dari Syekh Puji yang menikahi Ulfa tersebut.

Terlepas dari silang pendapat tersebut, kasus pernikahan dibawah umur akan

lebih menarik jika dijadikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk

berfikir secara falsafat dalam hukum Islam. Artinya dibalik hukum Islam yang

normatif, ada filsafat hukum Islam yang melatari dan menjadi inti dari adanya hukum

Islam tersebut. Dengan pendekatan filsafat hukum Islam ini, kita akan bisa melihat

dan membandingkan dengan jelas mana di antara dua pendapat di atas yang lebih

sesuai dengan tujuan hukum Islam. Salah satu konsep penting dan fundamental dalam

hukum Islam adalah konsep dari maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum

Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia.


Sedangkan definisi dari al-Maslahah al-Mursalah sendiri yaitu suatu kemaslahatan

yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya. Tujuan utama

al-Maslahah al-Mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan

dan menjaga kemanfaatannya.71 Konsep ini telah diakui oleh para ulama. Adapun inti

dari konsep maqasid al-syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus

menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang

sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena

penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum,

tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut

sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan kemaslahatan dan keadilannya. Dengan

demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam

adalah maslahat, maslahat manusia universal. Kembali kepada pembicaraan awal

melihat perkawinan di bawah umur yang menjadi bahan pembicaraan dari berbagai

kalangan saat sekarang ini, penulis sampaikan adalah keharusan adanya pembedaan

dalam hukum Islam antara dua hal yang menjadi titik krusial dalam melihat

perkawinan di bawah umur, pertama: yaitu antara proses berlangsungnya akad nikah

(ijab dan qabul) tersebut. Dan yang kedua: adalah proses persetubuhan (jima) antara

keduanya, yang biasa dilakukan oleh pasangan suami istri setelah melakukan proses

akad nikah pada umumnya.

71
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. Ke-1. h. 117.
Untuk soal yang pertama yaitu proses berlangsungnya akad nikah (ijab dan

qabul) bahwa dalam hukum Islam, sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur

ulama bahwa pernikahan dibawah umur jika telah memenuhi macam-macam dari

ketentuan rukun perkawinan maka nikah itu adalah sah secara hukum Islam karena

rukun dan syarat nikah telah terpenuhi sehingga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU

No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dimana adanya kedua belah pihak, adanya Wali, saksi, mahar dan akad (ijab dan

qabul) sudah terpenuhi. Untuk masalah soal umur istri yang masih di bawah usia

sebagaimana yang ditentukan dalam UU Perkawinan tidak menjadi masalah dalam

hukum Islam, karena dalam hukum Islam yang dilihat adalah kebalighan seseorang,

dan kebalighan itu dilihat dari kondisi seseorang, dimana untuk seorang laki-laki

adalah Ia pernah bermimpi basah sedangkan untuk seorang wanita adalah Ia pernah

menstruasi (haid), sebagaimana yang pernah dicontohkan dari pernikahan baginda

Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah pun dilakukan dalam usia yang sangat muda.

Namun untuk masalah yang kedua yaitu proses persetubuhan antara

keduanya, dalam masalah ini konsep penting dan fundamental dari hukum Islam dari

maqasid al-syari’ah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari’atkan untuk

mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia kiranya harus diterapkan dan

diutamakan tentunya. Dalam persoalan ini kita harus bisa melihatnya secara

menyeluruh dalam arti bahwa kita tidak bisa hanya melihat dari sisi aspek kepuasan

dari salah satu pihak saja, namun dibalik itu kita juga harus melihat dari sisi yang lain

yang kemungkinan besar bisa berdampak buruk bagi perkembangan salah satu pihak
khususnya untuk diri sang istri, untuk itu alangkah lebih baiknya jika proses

persetubuhan itu ditunda terlebih dahulu dan proses persetubuhan dilakukan ketika

kematangan dari organ-organ reproduksi sang istri benar-benar telah siap, sehingga

tidak menggangu dan tidak mendatangkan kemudharatan bagi sang istri dan anak-

anak yang dilahirkan kelak nantinya sebagaimana konsep dari hukum Islam atas

maqasid al-syari’ah. Dalam hukum Islam yang menjadi titik persoalan dari

perkawinan dibawah umur ini adalah permasalahan yang kedua (persetubuhan) yang

harus mendapatkan perhatian yang serius, bukan dari persoalan akad nikahnya

sebagaimana yang di permasalahkan dan menjadi acuan dalam ketentuan UU

Perkawinan No. 1 tahun 1974 khususnya dalam pasal 7 ayat (1). Dimana untuk

masalah persetubuhan diantara keduanya jika dikhawatirkan akan berdampak buruk

dan akan mendatangkan bahaya sebagaimana yang di sampaikan oleh parah ahli di

bidang kesehatan dan medis terlebih untuk pihak wanita (istri) alangkah lebih baiknya

untuk menunda persetubuhan itu sampai benar-benar kesiapan fisik dan psikis dari

sang istri benar-benar telah siap untuk disetubuhi.

Jika kita kaji lebih mendalam lagi ketentuan syariat hukum pidana Islam

tentang tindak pidana maka disana akan kita temukan pembagian tindak pidana dalam

Islam, salah satunya adalah jarimah ta’zir. Dimana tindak pidana ta’zir ini bisa

dikenakan hukuman kepada pelaku jarimah manakala telah melakukan perbuatan

pelanggaran-pelanggaran. Persoalan kasus perkawinan dibawah umur inipun kepada

pelakunya bisa di kenakan hukuman ta’zir, hukuman ini bukan dikenakan atas zatnya

dari suatu perkawinan melainkan hukuman ini dikenakan kepada pelaku karena sifat-
sifat dari perbuatannya itu yang mengganggu kepentingan, membahayakan serta

merusak baik fisik dan psikis, terlebih kepada kesehatan sang istri di kemudian hari,

karena melakukan perkawinan di bawah umur kemudian terjadi atau berlangsungnya

proses persetubuhan tanpa adanya masa jedah dari proses akad nikah dengan proses

persetubuhan tersebut, di mana dari peristiwa persetubuhan dengan sang istri itu jika

mendatangkan kemudharatan dan keburukan yang nyata dan berdampak besar, yang

semestinya proses dari pada persetubuhan itu seharusnya ditunda terlebih dahulu.

Sebagaimna yang telah dicontohkaan dari pernikahan baginda Nabi Muhammad

SAW dengan Aisyah, yang ada masa jedah dari proses akad nikah dengan proses

persetubuhan itu sendiri, dimana Nabi menikahi Aisyah dalam usia 6 (enam )tahun

kemudian Nabi baru tinggal serumah dan menjalin hubungan rumah tangga dengan

Aisyah ketika Ia berusia 9 (sembilan) tahun. Sebagaimana hadist yang datang dari

Aisyah:

ِْ0َ-َ ُ‫ ا‬U:-َ‫َِْ رَﺱُ ْلَ اِ ﺹ‬H:‫ ﺕَ>َو‬:ْQََ2 َRَْ ُ‫َ رََِ ا‬Sَ+ِTَ ُ(ْ&ِ َ)
72
(,-"# K‫َ )روا‬$ْ0ِِ‫ِ ﺱ‬Fْ"ِ‫ُ ﺕ‬Qِْ% َ‫ِ وَأَﻥ‬% Uََ%َ‫َ و‬$ْ0ِِ‫ِّ ﺱ‬Qِ"ِ َ,:-‫ﺱ‬
َ َ‫و‬
Artinya: ”Diriwayatkan dari Aisyah r.a bahwa ia telah berkata: Rasulullah SAW telah
mengawini aku ketika aku berimur 6 (enam) tahun, dan tinggal bersamaku
pada waktu aku berusia 9 (sembilan) tahun. (H.R Muslim)

Sehingga tepatlah kiranya kepada pelaku (suami) mendapatkan hukuman

tak’zir karena telah melanggar dan membuat kemudharatan kepada istrinya sendiri,

sehingga terjadi bahaya dan mengganggu kesehatan sang istri. Kebutuhan-kebutuhan

72
Imam Abi al-Husaini Muslim, Sahih Muslim, juz 2 (Beirut Libanon: T.tp) h. 1038.
dan menjaga kemaslahatan sang istri dan masyarakkat merupakan alasan yang kuat

bagi syara’ untuk menetapkan hukuman-hukuman ta’zir yang demikian itu kepada

pelaku, sehingga akan tercipta sebuah kemaslahatan dan keadilan bersama. Namun

pada dasarnya menyetubuhi istrinya yang belum waktunya untuk dikawin ini tidaklah

dilarang dan tidak dipidana atau dihukumi hukuman ta’zir. Baru dapat dikenakan

hukuman ta’zir apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka dan yang

membahayakan. Akibat luka-luka serta yang mendatangkan kemudharatan adalah

membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya untuk disetubuhi. Sebab

perempuan yang sudah pantas untuk disetubuhi, tidaklah menimbulkan luka-luka

serta tidak membahayakan sebagaimana perempuan yang belum waktunya untuk

disetubuhi.

Titik akhir analisa penulis demi terwujudkannya serta memelihara dari suatu

kemaslahatan umat manusia umumnya, khususnya bagi pihak wanita (istri) alangkah

lebih baiknya untuk tidak memperkenankan perkawinan yang masih dibawah umur

dan di usahakan kepada pihak laki-laki untuk menunda dan menunggu sampai usia

sang mempelai wanita telah dewasa sebagaimana batasan usia untuk menikah yang

ditentukan dalam ketentuan undang-undang dengan alasan bahwa pertimbangan dari

perkawinan usia muda dapat mengarah kepada kegagalan dalam membina keluarga

yang bahagia dan sejahtera. Dimana kegagalan tersebut bertentangan dengan tujuan

untuk mencapai kemaslahatan sebagaimana yang didambakan oleh keluarga

darikedua belah pihak (suami istri) disebabkan persiapan mental belum cukup matang

khususnya bagi pihak wanita.


2. Analisa Hukum Positif

Dalam perspektif masyarakat di Indonesia, perkawinan dibawah umur

sebenarnya adalah hal yang lazim dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di

beberapa daerah tertentu. Beragamnya latar belakang serta kebudayaan masyarakat di

Indonesia menyebabkan perihal pernikahan dini ini menjadi suatu hal yang

kontroversial. Masyarakat yang berlatar belakang penganut agama Islam yang kuat

menganggap bahwa pernikahan dibawah umur adalah suatu hal yang halal dan tidak

ada masalah karena syarat-syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama Islam

sudah terpenuhi, namun untuk masalah persetubuhan hendaknya ditunda sampai

kondisi dari kesiapan fisik dan psikis sang istri benar-benar telah siap, sebagaimana

uraian dalam analisa hukum Islam diatas.

Namun apabila dilihat dari perspektif hukum nasional, pernikahan dibawah

umur terindikasi telah melanggar beberapa aturan perundang-undangan yang ada

diantaranya:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 288 KUHP;

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Pelanggaran hukum yang pertama, dapat kita lihat dalam undang-undang No.

1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) di mana dalam ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut pemahaman dalam

teori hukum Islam, pernikahan dibawah umur pada dasarnya adalah sah karena

syarat-syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama Islam sudah terpenuhi.

Namun pencatatan perkawinan tersebut terganjal ketentuan lain yang berkaitan

dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang ini.

Ketentuan yang mengganjal tersebut ialah terdapat dalam Pasal 7 undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) terdapat ketentuan

bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun ketentuan Pasal 7 ayat (1)

dalam UU Perkawinan ini bisa diambil jalan keluarnya dan tetap melakukan

perkawinan dibawah umur dengan syarat mengajukan upaya permohonan dispensasi

nikah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) undang-undang ini, yang

menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) dapat

dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada Pengadilan atau pejabat lain yang

ditunjuk.

Namun dalam persoalan pernikahan dibawah umur ini bisa dilakukan upaya

pencegahan baik sebelum dilakukaan pernikahan dan bisa pula dilakukan setelah

pernikahan itu sudah terjadi adanya, caranya adalah dengan pembatalan atas suatu

perkawinan jika tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkaan perkawinan


sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pencegahan itu dapat

kita lihat dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 16 UU Perkawinan yaitu:

Pasal 13: ”Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Pasal 14: Ayat (1) ”Yang dapat mencegah perkawinan ialah para pihak dalam garis
keturunan lurus ke atas ke bawah, saudara, wali nikah, pengampuh dari
salah seorang mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan”.

Ayat (2) ”Mereka yang disebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini”.

Pasal 16: Ayat (1) ”Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), dan pasal
8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini tidak terpenuhi”.

Pasal-pasal di atas adalah pasal yang mengatur tentang pencegahan

perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan termasuk perkawinan

dibawah umur sebelum dikeluarkanya dispensasi nikah dari Pengadilan Agama bagi

yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri selain yang beragama Islam. Namun

jika perkawinan itu sudah terjadi atau terlajur dilaksanakan maka upaya hukum yang

bisa dilakukan adalah dengan pembatalan perkawinan tersebut kepada pengadilan

dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua

suami istri, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 22, Pasal 23 daan Pasal 25 UU

Perkawinan, bunyi Pasal tersebut adalah:

Pasal 22: ”Perkawinan dapat dibatalkan, apabila pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan”.
Pasal 23: ”Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yaang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undaang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus”.

Pasal 24: ”Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada kepada pengadilan


dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat
tinggal kedua suami istri”.

Sebagaimana ketentuan diatas bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan

apabila dalam perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan, termasuk perkawinan yang dilakukan dibawah umur

yang tidak dapat menunjukan surat atau izin dari pengadilan atas dispensasi nikahnya.

Terlebih dengan banyaknya tanggapan dari masyarakat tentang pernikahan di bawah

umur, terlebih atas kasus perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji baru-baru ini

segera disikapi oleh Departemen Agama (Depag). Saat ini, Depag sedang merancang

UU Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan yang akan menghadang

perkawinan di bawah umur dengan sanksi yang jelas. Ke depan, pelaku perkawinan

di bawah umur akan mendapat sanksi denda mencapai Rp.6 juta dan sanksi untuk

penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp.12 juta dan kurungan tiga bulan. "RUU

ini lebih rinci daripada UU Perkawinan, khususnya tentang sanksi," kata Dirjen

Bimas Islam Depag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar seusai Konsultasi Nasional Hukum
Keluarga Islam di Indonesia di Jakarta, Selasa.73 Sekalipun baru dalam tahapan

rancangan atas terapan UU Peradilan Agama tentang perkawinan, namun paling tidak

dengan adanya rancangan UU ini diharapkan praktek-praktek perkawinan dibawah

umur yang terjadi di dalam masyarakat kita dapat diminimalisir adanya bahkan kelak

di harapkan dapat dihilangkan budaya-budaya perkawinan dalam usia muda.

Pelanggaran hukum kedua, adalah pelanggaran dalam ketentuan KUHP atas

tindakan menyetubuhi istri yang sepatutnya belum waktunya untuk dikawin,

sebagaimana dalam Pasal 288 yang selengkapnya adalah sebagai berikut:

Pasal 288: Ayat (1) ”Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang
perempuan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa yang
bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun.

Ayat (2) ”Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan


pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun”.

Ayat (3) ”Jika mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara


paling lama 12 (dua belas) tahun”.

Mengenai kejahataan, dapat dirumuskan pada ayat (1), sedangkan ayat (2) dan

ayat (3) merupakan dasar pemberat pidananya. Kejahatan pada ayat (1) terdapat

unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur Objektif:

a. Perbuatannya: bersetubuh;

b. Objek: dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin;

73
Batam Pos, Ancaman Pidana Perkawinan di Bawah Umur, berita di akses pada 5 Februari
2009 dari http://batampos.co.id/Nasional/Ancaman Pidana Pernikahan di Bawah Umur. html.
c. Menimbulkan akibat luka-luka;

Unsur Subjektif:

a. Diketahuinya atau sepatutnya harus di duga bahwa perempuan itu belum

waktunya untuk dikawin.

Perempuan yang disetubihi si pembuat ini adalah istrinya sendiri, yang belum

waktunya dikawin. Belum waktunya dikawin artinya belum pantas untuk disetubuhi

karena masih anak-anak (dibawah umur). Pada Pasal 288 ini tidak dimasukan unsur

belum berumur lima belas tahun seperti dalam Pasal 287. apakah disini tidak berlaku

mengenai umur lima belas tahun? Berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 287 yang

menyebutkan sebagai alternatif dari belum berumur lima belas tahun, dalam hal itu

tidak diketahui secara jelas umurnya adalah belum waktunya untuk dikawin, maka

dalam Pasal 288 ini dapat juga diartikan (ditafsirkan) bahwa perempuan (istrinya)

yang belum waktunya untuk dikawin itu belum berumur lima belas atau enam belas

tahun (merujuk kepada Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan boleh untuk

menikah usia enam belas tahun untuk wanita). Kejahatan dalam pasal ini tidak dioper

dari Wvs Belanda, melainkan khusus ada dalam WvS Hindia Belanda (kini KUHP),

berdasarkan pertimbangan bahwa pada penduduk asli Indonesia dahulu sering terjadi

adanya pernikahan anak. Seperti pada istilah kawin gantung dalam hukum adat, yang

maksud sebenarnya hanya sekedar ikatan resmi perkawinan yang belum boleh

disetubuhi. Oleh karena itu, apabila suaminya tidak sabar menahan gejolak

seksualnya, undang-undang memperbolehkan menyetubuhi istrinya yang masih anak-

anak itu, tetapi jangan sampai luka-luka. Jika sampai luka-luka maka kepada
pelakunya (suami) Ia dipidana. Konsep ini pada dasarnya sama seperti konsep dalam

hukum Islam, dimana ada masa jedah dari proses akad nikah itu sendiri dengan

proses memperbolehkan suami untuk menyetubuhi istrinya. Sebagaimana yang telah

diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa lampau.

Perempuan (istri) yang belum waktunya untuk dikawin adalah unsur objektif.

Tentang keadaan yang sebenarnya ini harus diketahui oleh suaminya itu, apabila Ia

tahu secara pasti tentang keadaan itu. Dia sepatutnya harus menduga bahwa

perempuan (istrinya) itu belum pantas untuk disetubuhi. Inilah unsur kesalahan si

pembuat. Baru dapat dipidana apabila dari persetubuhan itu timbul akibat luka-luka.

Akibat luka-luka adalah membuktikan bahwa perempuan (istri) itu belum waktunya

untuk disetubuhi. Sebab perempuan yang sudah pantas untuk disetubuhi, tidaklah

menimbulkan luka-luka yang membahayakan sebagaimana perempuan yang belum

waktunya untuk disetubuhi. Apabila akibat menyetubuhi itu bukan sekedar luka-luka,

tetapi menimbulkan luka-luka berat, maka dapat dijatuhkan pidana penjara paling

lama 8 (delapan tahun). Bahkan apabila berakibat kematian istrinya itu, maka dapat

dijatuhkan pidana penjara peling lama 12 (dua belas tahun). Akibat luka berat atau

kematian adalah berupa dasar pemberatan pidana pada Pasal 288 ini. Mengenai luka

berat oleh Undang-undang telah diberikan pengertian khusus secara limitatif oleh

Pasal 90 KUHP, yang menyatakan, bahwa luka berat itu berarti:

a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, atau yang menimbulkaan bahaya;


b) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencaharian;

c) Kehilangan salah satu pancaindra;

d) Mendapat cacat berat;

e) Menderita sakit limpuh;

f) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

g) Gugur atau matinya kandungan seorang ibu.

Itulah pengertian luka berat, karena telah dirinci secara limitatif maka tidak

ada luka berat selain yang telah disebutkan secara limitatif menurut Pasal 90 tersebut.

Dari ketentuan di atas dapat kita ambil benang merah bahwa ada persamaan dalam

ketentuan hukum Positif dengan hukum Islam yang mana sama-sama dipidananya

pelaku (suami) apabila dari perkawinan dibawah umur itu dapat mendatangkan

kemudharatan dan keburukan (luka-luka) kepada sang mempelai wanita (istri) karena

telah mensetubuhi istrinya padahal harus diketahui bahwa belum waktunya untuk

disetibuhi, sehingga kepada pelakunya dapat dikenakan hukuman ta’zir dalam hukum

Islam dan hukuman pidana dalam hukum Positif.

Pelanggaran hukum yang ketiga, adalah dalam ketentuan undang-undang

Perlindungan Anak, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa yang

dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan, sekalipun dalam Undang-undang

Perlindungan anak memberikan batasan umur lebih tinggi dari pada ketentuan yang
disebut UU Perkawinan dalam penyebutan angka, namun pada dasarnya dua

ketentuan yang terdapat didalamnya mengindikasikan diharapkannya bahwa suatu

perkawinan itu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar telah dewasa, sehingga

calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah

perkawinan yang dilakukan dibawah umur.

Terlebih jika usia mempelai wanita itu masih dibawah batas umur untuk

bolehnya melangsungkan pernikahan, sudah barang tentu hak-hak dari sang anak

yang semestinya didapatkan akan terabaikan dengan adanya ikatan perkawinan,

Dibawah ini akan diuraikan pasal dari pada hak-hak anak. Dalam ketentuan Pasal 3

Undang-undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa perlindungan terhadap anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,

dan sejahtera. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Ketentuan lain yang berkaitan ada dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa Setiap

anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Ketentuan-

ketentuan tersebut bisa dikatakan telah dilanggar jika dalam usia anak-anak atau
remaja telah terjadinya suatu perkawinan dibawah umur, maka dikhawatirkan akan

berdampak buruk bagi anak dimana Ia tidak dapat tumbuh, berkembang karena

beralihnya status dari seorang anak menjadi ibu rumah tangga yang berarti pula

bahwa Ia telah lepas dari bimbingan orang tuanya sesuai ketentuan yang ada dalam

Pasal 6.

Selain itu ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap

anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan

pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu

dalam Pasal 11 juga dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan

memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi,

dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi

pengembangan diri. Jika perkawinan dibawah umur tetap dilakukan maka hal tersebut

jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang ini. Dengan tidak

bersekolah, maka dia tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui

jalur pendidikan formal yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan

karakter pribadi dalam diri sang anak. Selain itu juga mengurangi hak anak untuk

beristirahat dan memanfaatkan waktu luang serta bergaul, bermain dengan teman-

teman sebayanya karena dengan berstatus sebagai istri yang berarti bahwa Ia sudah

memiliki kewajiban terhadap suaminya, sehingga hak-hak atas dirinya sendiri akan

terabaikan adanya.

Jika kita lihat dalam Pasal 26 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: Mengasuh, memelihara, mendidik, dan


melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,

dan minatnya, dan terlebih lagi adalah bahwa orang tua berkewajiban untu mencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Melihat dari segala ketentuan ini bisa

dikatakan bahwa jika orang tua yang telah membiarkan atau bahkan memaksakan

kepada anak-anaknya untuk menikah dalam usia muda dan terlebih usianya belum

mencukupi sebagaimana yang ditentukan dalam batas usia boleh menikah dalam

ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) maka orang tua telah

melakukan pelanggaran hak anak yaitu bahwa orang tua telah melalaikan kewajiban

untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak seperti yang tercantum

dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a di atas. Selain itu juga orang tua telah melakukan

pelanggaran hak anak karena tidak berusaha untuk mencegah terjadinya perkawinan

pada usia anak-anak seperti ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf C UU ini.

Sehingga setiap orang termasuk orang tua yang dengan sengaja maupun tidak

sengaja telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mana

mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun moril sehingga fungsi

sosialnya atau penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit

atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah) kepada pelakunya. Sehingga diharapkan di masa yaang akan

datang dengan adanya aturan ini hak-hak dari pada anak dapat terjamin dan

terlaksana dengan baik dan praktek perkawinan di bawah umur yang masih terjadi di

berbagai pelosok daerah negeri ini dapat diminimalisir dan pada akhirnya dapat
dihilangkan budaya perkawinan dalam usia muda, karena selain perkawinan itu

menghilangkan hak-hak dari seorang anak, perkawinan itu pun melanggar dari pada

ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Perlindungan Anak


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari akhir penulisan karya tulis ini penulis sampaikan ada beberapa hal atau

poin yang bisa kita ambil dalam kesempatan ini. Yang mana hal tersebut merupakan

hasil dari simpulkan atas pembahasan dalam karya tulis ini.

1. Dalam hukum Islam perkawinan dibawah umur pada dasarnya di perbolehkan

jika telah memenuhi ketentuan rukun dari suatu perkawinan, Namun untuk

persoalan persetubuhan diantara keduanya (suami istri) diharapkan tidak

terjadi terlebih dahulu (ditunda) sebelum kondisi baik mental maupun psikis

dari sang anak (istri) telah siap untuk itu, siap dalam artian bahwa tidak

mendatangkan luka-luka yang membahayakan, serta tidak mendatangkan

kemudharatan atau keburukan di kemudian hari atas persetubuhan tersebut

terhadap istrinya. Namun jika persetubuhan itu mendatangkan luka-luka yang

membahayakan, serta terjadi suatu kemudharatan kepada istrinya karena

proses persetubuhan tersebut yang semestinya ditunda terlebih dahulu maka

kepada pelakunya di hukumi dengan hukuman ta’zir.

2. Dalam Undang-undang Perkawinan pada dasarnya tidak memperbolehkan

terjadinya praktek perkawinan dibawah umur jika kedua pasangan belum

mencukupi batas usia untuk menikah sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1),
namun dalam keadan tertentu UU ini pun memberikan kelonggaran kepada

mereka yang hendak melakukan perkawinan dibawah umur dengan cara

mengajukaan permohonan Dispensasi nikah kepada Pengadilan diwilayah

hukum yang telah ditentukan dalam UU ini dengan syarat-syarat yang

ditentukan.

3. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 288 ayat

(1) KUHP telah menggariskan bahwa jika dalam suatu perkawinan bersetubuh

dengan seorang wanita atau yang sepatutnya harus diduga bahwa yang

bersangkutan belum waktunya untuk dikawin (setubuhi), apabila perbuatan

tersebut mengakibatkan luka-luka yang membahayakan terhadap istri (yang

notabene masih dibawah umur), maka diancam dengan pidana penjara,

sehingga jika dari perkawinan dibawah umur ini kepada pihak perempuan

(istri) mendapatkan luka-luka yang membahayakan sebagaimana ketentuan

dalam pasal 288 ayat (1) maka kepada pelakunya di pidanakan.

4. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak telah melarang terjadinya praktek

perkawinan yang melibatkan anak-anak didalamnya, sehingga kepada

pelakunya bahkan kepada orang tua yang dengan sengaja membiarkan atau

bahkan menyuruh kepada anak-anaknya untuk menikah dalam usia muda

dapat dikenakan pidana sebagaimana suatu keharusan bagi orang tua untuk

mencegah terjadinya perkawinan pada anak-anak (belum cukup umur untuk

menikah), sebagaimana ketentuan yang di gariskan dalam Pasal 26 ayat 1 sub

C UU Perlindungan Anak.
B. Saran-Saran

1. Perlunya ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-

penyuluhan hukum, sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap

warga masyarakat meningkat di masa yang akan datang.

2. Perlunya dilakukan sebuah usaha sistematis yang terarah dalam rangka

pengawasan yang menyangkut pernikahan agar tidak terjadi lagi kasus

pernikahan terhadap anak di bawah umur.

3. Kepada pelaku yang benar-benar telah terbukti bersalah melakukan tindak

pidana harus diberikan sanksi yang tegas sehingga dapat menjerahkan kepada

pelaku dan menjadikan peristiwa itu sebagai contoh yang baik kepada

masyarakat.

4. Berhubung dengan adanya Dispensasi nikah dari Pengadilan bagi meraka

yang belum mencukupi syarat-syarat untuk menikah, termasuk didalamnya

tentang batasan usia, diharapkan semua pihak membangun kesadaran hukum

dan diawali dari pribadi sendiri, sehingga akan tercipta ketertiban hukum

dengan mengkomunikasikannya ke pihak terkait dalam hal ini KUA dan

Pengadilan Agama. Sehingga adanya peringatan dari lembaga perkawinan

seandainya terjadi suatu penyimpangan dalam penerapannya di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia.
Surabaya: Al- Hidayah.

Aditono, Siti Rahayu. Psikologi Perkembangan dan Bagian-bagianya. Yogyakarta:


Gaja Mada Press, 1989.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy.
Penerjemah Tim Tsalisah. Jakarta : PT. Kharisma Ilmu, 2007.

Bakry, Nazar Sidi. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1993.

Chazawi, Adami. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam


KalanganAhlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1988.

Furchan, Arief. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional,


1992.

Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Bogor: Kencana, 2003.

Hosen, Ibrahim. Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus,


2003.
Kertanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu. (Balai Lektur
Mahasiswa)

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:


Kencana, 2006.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Cet. Ke-7.

Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia, 2001. Cet.Ke-2.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 1997.

Projodikoro, Wirjono. Asas-asas hukum pidana di Indonesia. Bandung: PT. Rafika


Aditama, 2003.

Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT: Raja Grafindo Persada, 2003.
cet ke-5.

Salam, Moch Faisal. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar
Maju, 2005. Cet ke-1.

Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Bandung: PT. Asy Syamil Press,
2001. cet ke-2.
Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Perkawinan Dan Keluarga. Jakarta:
eLSAS, 2008. cet ke-2.

Siregar, Bismar. Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

Soetodjo, Wagianti. Hukum Pidana Anak. Jakarta: PT. Refika Aditama, 2006.

Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.

Surkalam, Luthfi. Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita. Tangerang: CV.
Pamulang, 2005.

Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. Ke1.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar FIQH. Jakarta: Kencana, 2003.

_______________, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

_______________, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara fiqih munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007.

Yafie, Alie. dkk. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam. T.tp: PT. Kharisma Ilmu.

Legislasi
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 1946.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,


Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan


Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

Anda mungkin juga menyukai