Anda di halaman 1dari 2

ARUS KONTEKSTUALISASI FIQH DI INDONESIA

Kementerian Agama menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-
20 degan tema “Islamic in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and
Public Policy”, atau reaktualisasi fikh dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik.
Penyelenggaran AICIS ke-20 ini berlangsung di Kota Surakarta dengan tuan rumah UIN Raden
Mas Said. Pergelaran AICIS ini diharapkan berdampak dalam penguatan identitas ilmu
pengetahuan Islam Indonesia yang menjadi rujukan keilmuan Islam dunia seperti pandemic,
moderasi beragama, kerukunan, harmoni, tata kelola pendidikan, serta isu spesifik lain seperti isu
wistata halal.
AICIS kali ini diesempurnakan dengan hadirnya apikasi AICIS One Touch. Dengan aplikasi ini,
para panelis dan peserta akan mendapatkan kemudahan dalam mengikuti konferensi dari mana
saja melalui gawai yang ada dalam genggaman mereka
Di dalam penyelenggaran AICIS 2021 ini terdapat beberapa konsep yang akan diberikan seperti:
1. Dalam teori hukum Islam klasik (usul fiqh), norma agama (ahkam; singular, hukm)
merupakan respon terhadap kenyataan. Tujuan norma agama (maqasid al-shari'ah) adalah
untuk menjamin kesejahteraan spiritual dan material kemanusiaan.
2. Ahli hukum Sunni yang diakui oleh dunia, Imam al-Ghazali dan Imam al-Shatibi,
mengidentifikasi lima komponen utama maqasid al-shari'ah, yaitu pelestarian iman,
kehidupan, keturunan, akal dan harta.
3. Norma-norma agama bisa bersifat universal dan tidak berubah—misalnya, keharusan
seseorang berusaha mencapai kesempurnaan moral dan spiritual—atau bisa juga bersifat
"fleksibel", jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan
tempat yang selalu berubah
4. Konstitusi negara dan hukum / sistem hukum ng muncul dari proses politik modern, dan
hubungannya dengan syari'ah.]
5. Setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung),
juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) - hanya akan menimbulkan bencana bagi umat
Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh
dunia.

MENGENAL KONTEKSTUALISASI FIQH

Kontekstualisasi sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam
kenyataannya semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fiqh pasti kontekstual. Artinya fiqh tidak ada
yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’alaih, dan ini sangat sedikit.

Sebagai contoh mudah, dalam bab ribawi. Dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus
sebanding atau senilai. Tetapi dalam keadaan terpaksa Rasulullah menyatakan boleh saja tidak
sebanding, dan kemudian yang dikenal dengan bai’ul aroyah. Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang
masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau
di Indonesia sendiri seperti menjual padi yang masih di sawa dengan nasi. Pada awalnya tidak boleh
karena timbangan atau nilainya belum tentu sama. Tapi karena kebutuhan maka Rasulullah
membolehkan praktik tersebut.

Segala hal yang berhubungan dengan mu’amalah, fiqh selalu kontekstual, tinggal bagaimana kita
memahami konteks tersebut. Bukankah Allah SWT sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-
Baqarah (2): 185 “yuridullaha bikumul yusro wala yuridu bikumul ‘usro”, (Allah SWT menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu). Di sinilah makna kemurahan Tuhan
kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya terkadang berada
pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah
menciptakan demikian atau karena hal-hal yang disebabkan ketidak mampuannya.

BAHAYA KONTEKSTUALISASI FIQH BAGI KAUM MUSLIM

Ketika kita mengambil fiqh dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi,
kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas akan tinggi. Dari dulu dalam
agama secara praktis, kontekstualisasi itu telah ada dan sering kita lakukan, walaupun tanpa kita sadari
seperti yang dilakukan Rasulullah. Namun berbeda halnya yang dilakukan pemerintah saat ini. Mereka
menyalahgunakan kontekstualisasi fiqh sehingga dapat mendatangkan penyelewengan, penghiatan,
bahkan penindasan dan keburukan-keburukan lainnya terhadap masyarakat.

Penyalahgunaan ini seperti pengajuan beberapa konsep di AICIS 2021 yang sangat kontroversi di
kalangan umat Islam. Salah satunya mengenai kehinaan terhadap khilafah, yang dimana pemerintah
mengatakan bahwa dengan berdirinya Khilafah dapat menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena
akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia. Padahal jika kita
meninjau lebih dalam tentang Khilafah kenyataannya tidaklah sama dengan yang diperkirakan.

Kontekstualisasi fiqh yang pemerintah lakukan selama ini pun juga dapat menampilkan sistem sekuler
yang dilabeli dengan Islam. Kontekstualisasi fikih yg diaruskan oleh pemerintah memiliki bahaya yang
lebih besar dibanding ide awalnya yang didukung orang-orang yang memiliki kedengkian pada Islam.

Anda mungkin juga menyukai