Anda di halaman 1dari 106

UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM


PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN
PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG NOMOR


43/PDT.G/2017.PN.PLG)

TESIS

SORAYA AN NISAA
1806276990

FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2021
UNIVERSITAS INDONESIA

AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM


PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN KETENTUAN
PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

(PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG NOMOR


43/PDT.G/2017.PN.PLG)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan

SORAYA AN NISAA
1806276990

FAKULTAS HUKUM
MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
2021

ii
ABSTRAK

Nama : Soraya An Nisaa


NPM : 1806276990
Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Judul : Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Pasal 81
Undang-Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
Pembimbing : Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H.
: Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn.

Tesis ini membahas akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) yang menjadi dasar timbulnya perkara perdata dalam Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg. Akta tersebut dibuat dihadapan Notaris untuk
menuangkan risalah RUPS sebuah Perseroan Terbatas yang diselenggarakan tanpa didahului
oleh prosedur pemanggilan rapat kepada seluruh pemegang saham. Oleh karena itu
permasalahan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum terhadap akta
Pernyataan Keputusan RUPS yang tidak sesuai ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) serta pertanggungjawaban Notaris
terhadap pembuatan akta terkait penyelenggaraan RUPS tersebut dalam Putusan Pengadilan
Negeri Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg. Metode yang digunakan untuk
menganalisis pokok permasalahan dari penelitian ini adalah yuridis normatif yang diolah
melalui tipologi penelitian eksplanatoris. Simpulan dari penelitian tesis ini bahwa akta
Pernyataan Keputusan RUPS dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat akibat
penyelenggaraan RUPS yang cacat hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UU
PT. Notaris yang turut menjadi tergugat dalam kasus tersebut dalam menjalankan jabatanya
telah bertindak secara tidak seksama sehingga dapat dikenakan sanksi administratif
berdasarkan ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Adapun saran dalam tesis ini adalah diperlukannya ketelitian ekstra dari Notaris
dalam memeriksa dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPS terutama terkait bukti
pemanggilan rapat, serta diperlukannya fitur tambahan dalam sistem Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk verifikasi dokumen terkait
penyelenggaraan RUPS, guna memastikan keabsahan dari RUPS sebelum menerbitkan Surat
Keputusan atas pengesahan akta yang diajukan.

Kata kunci: Pemanggilan Rapat, Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham,
Tanggung Jawab Notaris

iii
ABSTRACT

Name : Soraya An Nisaa


Student Number : 1806276990
Programme : Master of Notary Faculty of Law Universitas Indonesia
Title : The Legal Effects to the General Meeting of Shareholders
Resolution Deed That is Not inAccordance with the Article 81 of
Limited Liability Company Law (Verdict of District Court
PalembangNumber 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
Advisor : Dr. Sonyendah Retnaningsih, S.H., M.H.
: Tjhong Sendrawan, S.H., M.Kn.

This thesis examines the General Meeting of Shareholders (GMS) Resolution Deed
that became a basis of dispute on Verdict of District Court Palembang Number
43/PDT.G/2017.PN.PLG. Those deed is made before the Notary to accumulate the resolution
of GMS that is performed without summoning the meeting to all shareholders. The main
issues that will be analized on this thesis is the legal effects to the GMS Resolution Deed that
is not in accordance with the Article 81 of Law Number 40 Year 2007 concerning Limited
Liability Company and the responsibility of Notary in regards to the making of the deed
relating to those GMS in Verdict of District Court Palembang Number
43/PDT.G/2017.PN.PLG. This thesis is using a normative-juridical research method through
an explanatory research typology. The summary of this thesis is that the GMS Resolution
Deed to be not binding for the relevant parties due to the legal defect of the GMS
performance that is violating the Article 81 of Limited Liability Company Law. The Notary
who is also sued as a co-defendant of the case is considered careless while performing her
duties hence may be subjected to an administrative sanction pursuant to the Article 85 of the
Law Number 30 Year 2004 concerning Notary Occupation. The suggestion of this thesis is
the Notary shall be more thorough to verify the relevant documents of GMS especially
relating to the meeting summons, Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia
shall adding new feature on their system to verify the completion of GMS documents. Thus
to ensure the legality of GMS performance before issuing a Decree Letter of an approval of
the submitted deed.

Key words: Meeting Summons, General Meeting of Shareholders Resolution Deed,


Responsibility of Notary

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………………... ii
ABSTRACT……………………………………………………………………. iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………....... 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….… 11
1.4 Metode Penelitian ………………………………………………… 12
1.5 Sistematika Penulisan …………………………………….………. 14

BAB 2 PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
NOMOR 40 TAHUN 2007 DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS
2.1. Tata Cara Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham………...... 14
2.1.1. Jenis RUPS………………………………………………… 15
2.1.2. Penyelenggara RUPS……………………………………… 17
2.1.3. Pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham……………. 21
2.1.4. Hak Suara (Voting Right)…………………………………. 25
2.1.5. Kuorum Rapat Umum Pemegang Saham ………………… 29
2.1.6. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham………………….. 30
2.1.7. Pengambilan Keputusan di Luar Rapat Umum Pemegang
Saham……………………………………………………… 31
2.2. Peran dan Tanggung Jawab Notaris……………………………….. 32
2.2.1. Notaris sebagai Pejabat Umum……………………………… 32
2.2.2. Kewenangan Notaris………………………………………… 36
2.2.3. Kewajiban dan Larangan Notaris…………………………… 38
2.2.4. Akta Notaris sebagai Akta Otentik…………………………. 43
2.2.5. Nilai Pembuktian Akta Notaris……………………………… 50
2.2.6. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta…………... 57
2.2.7. Peran Notaris dalam Penyelenggaraan RUPS………………. 66
2.3. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/PDT.G/2017.PN.PLG….………………………………………. 69
2.4. Asas Kepastian Hukum dalam Pembuatan Akta…………………... 70

BAB 3AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PERNYATAAN


KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK
SESUAI DENGAN KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG
PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)
3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum
Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81
Undang-Undang Perseroan Terbatas ……………………………... 73
3.2. Pertanggungjawaban Notaris terhadap Pembuatan Akta terkait

v
Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak
Sesuai dengan Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan
Terbatas dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg………………………………………………

BAB 4 PENUTUP
4.1. Simpulan …………………………………………………………..
4.2. Saran……………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perseroan Terbatas sebagai salah satu bentuk usaha ekonomi memiliki organ-organ
spesifik. Organ pertama disebut Rapat Umum Pemegang (RUPS), yang secara umum
bertugas untuk menentukan segala kebijaksanaan umum perseroan. Organ kedua adalah
direksi yang bertugas menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan
RUPS. Organ ketiga adalah dewan komisaris yang bertugas sebagai pengawas untuk dan
atas nama pemegang saham.1
RUPS merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk
menentukan arah dan tujuan perseroan dan memiliki segala kewenangan yang tidak
diberikan kepada direksi dan komisaris perseroan. Konkretnya, RUPS merupakan sebuah
forum yang mewakili seluruh pemegang saham perseroan, yang mana para pemegang
saham memiliki kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai
perseroan, baik dari dewan komisaris maupun direksi.2 Kewenangan tersebut merupakan
kewenangan eksklusif (exclusive authority) yang tidak dapat diserahkan kepada organ lain
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (PT) dan Anggaran Dasar (AD) Perseroan.3
Berbeda dengan persekutuan, tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas
(limited liability) sebesar modal yang dimasukkannya, tidak meliputi harta pribadinya. 4
1
Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapannya dalam
Akta Notaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 103.
2

Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.

3
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, “Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas”. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 78.

4
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk-Bentuk Perusahaan,
Jilid 2, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 36.
2

Karakteristik limited liability ini terkait erat dengan karakteristik PT sebagai legal entity
yang eksistensinya terpisah (separate existence) dari para pemodal, direksi, dan
karyawannya. Istilah Perseroan Terbatas sendiri pada hakikatnya mengacu pada sifat
limitation of liability.5
RUPS sebagai organ perseroan tidak terlepas dari esensi pendirian suatu PT, yang
berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PT merupakan persekutuan modal dari para pendiri PT
tersebut. Sebagai pendiri PT dan sekaligus pemegang saham PT yang telah memberikan
kontribusi modal awal (initial capital) untuk menjalankan kegiatan usaha, sudah
seyogianya setiap keputusan yang menyangkut tujuan awal (original objective) para pendiri
dalam mendirikan PT berada di tangan mereka melalui lembaga RUPS.6
Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UU PT akan ada selama UU PT belum
dirubah. Sedangkan wewenang eksklusif dalam AD Perseroan yang disahkan atau disetujui
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dapat diubah melalui
perubahan AD sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UU PT. 7 Walaupun tidak
ada ketentuan yang tegas dalam undang-undang mengenai batas-batas dan ruang lingkup
kewenangan yang dapat dilakukan oleh RUPS dalam suatu perseroan terbatas, tetapi dapat
ditarik beberapa pedoman sebagai berikut:
1. RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum yang
berlaku;
2. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan ketentuan dalam
Anggaran Dasarnya. Namun demikian, Anggaran Dasar dapat dirubah oleh RUPS asal
memenuhi syarat untuk itu;
3. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan yang
dilindungi oleh hukum yaitu kepentingan stakeholders, seperti pemegang saham

Agus Sardjono, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan, Pengantar
5

Hukum Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016) Pengantar Hukum Dagang, hlm. 72.

6
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm 2.

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. (Jakarta: Raja Grafindo
7

Persada, 2003), hlm. 78.

Universitas Indonesia
3

minoritas, karyawan, kreditor, masyarakat sekitar, dan sebagainya;


4. RUPS tidak boleh mengambil keputusan yang merupakan kewenangan dari Direksi
dan Dewan Komisaris, sejauh kedua organ perusahaan tersebut tidak menyalahgunakan
kewenangannya. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip kewenangan residual
dari RUPS.8
Umumnya RUPS diadakan setahun sekali dengan ketentuan untuk membahas segala
masalah-masalah penting yang berkaitan dengan jalannya perusahaan.9 Wewenang RUPS
tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak
suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan diantaranya ialah
menyetujui atau menolak:
1. Rencana perubahan Anggaran Dasar;
2. Rencana penjualan asset dan pemberian jaminan hutang;
3. Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/ atau komisaris;
4. Laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi;
5. Pertanggungjawaban direksi;
6. Rencana penggabungan, peleburan dan pengambilalihan;
7. Rencana pembubaran perseroan.10
Pelaksanaan RUPS adalah bagian dari tugas direksi, sehingga yang mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakan RUPS adalah direksi. Hal ini dinyatakan jelas dalam
Pasal 79 ayat (1) UU PT yang menentukan bahwa direksi menyelenggarakan RUPS
Tahunan dan RUPS lainnya dengan didahului dengan pemanggilan RUPS.11 Kewajiban
tersebut merupakan amanah yang diberikan UU PT kepada direksi untuk melaksanakan

8
Ibid., hlm. 180.

9
Nugroho Hirman, S.S dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good Corporate
Governance dan Doktrin Piercing The Corporate Veil, (Solo: Iltizam, 2007), hlm. 66.

10
Usman Rachmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas (Bandung : Alumni, 2004),
hlm. 131.
11

Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UU PT No. 40 Tahun 2007,
LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 79 ayat (1).

Universitas Indonesia
4

RUPS. Berdasarkan ketentuan Pasal 82 UU PT, Direksi melakukan pemanggilan kepada


pemegang saham sebelum menyelenggarakan RUPS.
Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan
tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dapat dilakukan dengan surat tercatat dan/atau dengan
iklan dalam surat kabar. Adapun yang perlu dicantumkan dalam panggilan RUPS adalah
tanggal, waktu, tempat dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan
dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan
RUPS sampai dengan RUPS diadakan.12
Pemanggilan RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient information)
yang benar-benar dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi pemegang saham
untuk menentukan apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS tersebut, meskipun dia
tahu resikonya, bahwa dia tunduk kepada hasil keputusan RUPS sekalipun dia absen pada
RUPS yang dimaksud.13 RUPS juga dapat dilaksanakan atas pemanggilan oleh komisaris
atau pemegang saham. Selain atas pemanggilan RUPS oleh direksi, Pasal 79 ayat (2) UU
PT menyebutkan bahwa penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu)
orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh)
atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan
suatu jumlah yang lebih kecil. Permintaan dari pemegang saham untuk penyelenggaraan
RUPS harus diajukan kepada direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya, dan
pemegang saham harus menyampaikan tembusannya kepada Dewan Komisaris.
Alasan yang menjadi dasar permintaan diadakan RUPS oleh pemegang saham, antara
lain karena direksi tidak mengadakan RUPS tahunan sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan atau masa jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris akan
berakhir. Selanjutnya dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS dimaksud,
maka permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada dewan komisaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (7) UU PT, dewan komisaris melakukan pemanggilan
12
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009),
hlm. 99-100.

13
Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 324.

Universitas Indonesia
5

sendiri RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak
tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
Pasal 80 UU PT kemudian lebih lanjut mengatur mengenai hal apabila direksi atau
dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 79 ayat (5) dan ayat (7) UU PT, maka pemegang saham yang
meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan
pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
Pelaksanaan RUPS yang dilakukan tanpa pemanggilan terlebih dahulu adalah sah dan
keputusannya mempunyai kekuatan mengikat selama dihadiri oleh seluruh pemegang
saham dan disetujui secara bulat. Apabila pelaksanaan RUPS tidak didahului dengan
pemanggilan dan tidak dihadiri oleh seluruh pemegang saham, maka RUPS tidak dapat
dilaksanakan.14
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU PT, disebutkan bahwa setiap
penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan ditandatangani oleh ketua rapat dan
paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS.
Penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan kebenaran isi
risalah RUPS tersebut.15 Pasal 90 ayat (2) UU PT kemudian menegaskan bahwa tanda
tangan dalam risalah RUPS tidak disyaratkan apabila risalah RUPS tersebut dibuat dengan
akta Notaris.
Risalah RUPS yang dibuat dengan akta Notaris adalah sesuai dengan salah satu
kewenangan Notaris, yaitu membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

14
Elza Syarief, Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan Penyelesaian
Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 24.

15
Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta: Tatanusa,
2015) hlm. 81.

Universitas Indonesia
6

semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang16.
Akta Notaris sendiri terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu akta yang dibuat oleh (door)
Notaris yang dalam praktek disebut akta relaas atau akta berita acara dan akta yang dibuat
di hadapan (ten overstaan) Notaris, yang dalam prakteknya disebut akta pihak. Berkaitan
dengan penyelenggaraan RUPS, akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) atas RUPS yaitu
akta yang dibuat di hadapan Notaris, mendasarkan risalah RUPS dibuat di bawah tangan.
Dalam akta PKR atas RUPS, Notaris hanya sebatas menuangkan risalah RUPS di bawah
tangan yang dibawa oleh kuasa risalah RUPS tersebut ke dalam akta notarial. Oleh
karenanya akta PKR atas RUPS PT disebut juga sebagai “Partij Akte” atau “Akta Pihak-
Pihak”.
Akta Berita Acara RUPS, yaitu dibuat oleh Notaris atas permintaan direksi suatu PT
agar Notaris berkenan menjadi notulis atas RUPS. Penghadap atau yang berada dihadapan
Notaris adalah para pemegang saham yang mengadakan RUPS tersebut. Berita Acara
RUPS PT ditulis atau dicatat Notaris atas semua yang didengar, dilihat, dibicarakan dan
diputuskan dalam RUPS tersebut. Berita Acara RUPS yang dibuat oleh atau dihadapan
Notaris disebut sebagai “Akta Pejabat” atau “Relas Akta” (Ambtelijke Akte).17
Dalam melaksanakan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya menjalankan pekerjaan
yang diamanatkan oleh undang-undang saja tapi juga sekaligus menjalankan suatu fungsi
sosial yang sangat penting yaitu bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan yang
diberikan masyarakat umum yang dijalaninya, seorang notaris harus berpegang teguh
kepada kode etik Notaris dan juga berkewajiban menegakkan kode etik Notaris dan
memiliki perilaku profesional (professional behavior) yaitu mempunyai integritas moral,
menghindari sesuatu yang tidak baik, jujur, sopan santun, tidak semata-mata karena

16
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356, Ps.15
ayat (1).

17
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas (PT), (Yogyakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 10.

Universitas Indonesia
7

pertimbangan uang dan berpegang teguh pada kode etik profesi dimana didalamnya
ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh Notaris.18
Notaris sebagai Pejabat Umum selanjutnya menurut N. G. Yudara adalah organ
negara yang dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan dan
peresmian alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata, sebagaimana
ditentukan Pasal 1868 KUHPerdata.19 Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang
berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik.20
Akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna di antara para pihak dan
memiliki kekuatan mengikat. Sempurna berarti suatu akta otentik sudah cukup untuk
membuktikan suatu peristiwa atau keadaan tanpa diperlukannya penambahan bukti-bukti
lainnya. Mengikat berarti segala sesuatu yang dicantumkan di dalam akta harus dipercayai
dan dianggap benar telah terjadi, jadi jika ada pihak-pihak yang membantah atau
meragukan kebenarannya maka pihak tersebutlah yang harus membuktikan keraguan dan
ketidakbenaran akta otentik tersebut. Salah satu syarat lagi yang harus ditambahkan di
dalam akta otentik tersebut di dalamnya telah termasuk semua unsur bukti tulisan, saksi-
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.21
Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan Notaris dalam masyarakat serta
kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan
Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-
undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai Notaris
bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan terebut dengan sebaik-baiknya serta
18
Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Cet.3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.
90.
19
N. G. Yudara, Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya, Makalah
Diskusi Panel UUHT, Program Studi Notariat, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 15 Juni 1996, hlm. 4.

20
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2008), hlm. 58.
21

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 6.

Universitas Indonesia
8

menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya. 22 Seorang pejabat
Notaris seringkali dalam praktiknya terlibat dengan perkara hukum baik sebagai saksi
maupun sebagai tersangka.23 Notaris pada dasarnya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, karena Notaris hanya bertanggungjawab pada sisi formal
pembuatan Akta.24
Kenyataaanya dalam praktik sehari-hari muncul berbagai kasus yang berkaitan
dengan akta Notaris yang menjadi sengketa karena dianggap merugikan pihak yang terlibat
di dalamnya. Salah satunya adalah akta PKR yang memuat risalah RUPS suatu Perseroan
Terbatas (PT), yang dalam pelaksanaannya RUPS tersebut tidak memenuhi syarat formil
yang ditetapkan UU PT terkait pemanggilan rapat. Contoh kasus yang terjadi pada Notaris
HJ di Palembang, Sumatera Selatan yang turut menjadi tergugat dalam sebuah kasus
perdata karena dinyatakan telah membuat akta RUPS untuk PT XYZ yang tidak sesuai
dengan fakta sebenarnya.
Kasus tersebut bermula di tahun 2008 ketika IA yang merupakan salah satu
pemegang saham PT XYZ yang juga menjabat sebagai direktur utama menyelenggarakan
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda untuk merubah
Anggaran Dasar (AD) perseroan, merubah susunan pemegang saham dan merubah susunan
direksi serta komisaris. PT XYZ sendiri sahamnya dimiliki oleh 4 (empat) orang pemegang
saham yaitu IA, ET, AB dan AP.
Seluruh pemegang saham terkecuali ET hadir dalam RUPSLB tersebut dengan
mewakili 80% (delapan puluh persen) dari total keseluruhan saham perseroan. Ketiga
pemegang saham tersebut menyetujui seluruh agenda yang diputuskan dalam rapat
sehingga kemudian IA meminta Notaris HJ untuk menuangkannya dalam sebuah akta PKR.
Dalam keterangannya kepada Notaris HJ, IA menyatakan bahwa keputusan yang diambil

22
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Yogyakarta: Deepublish CV Budi
Utama, 2012), hlm. 5.

Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV, (Yogyakarta:
23

Cakrawala Media, 2010), hlm. 2.

24
Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya,
Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya, 2009.

Universitas Indonesia
9

dalam RUPSLB tersebut telah disetujui oleh seluruh pemegang saham perseroan termasuk
ET yang dibuktikan dengan tanda tangan ET dalam risalah RUPSLB tersebut.
Pada tahun 2016, ET baru mengetahui bahwa pada tahun 2008 telah diselenggarakan
RUPSLB tanpa sepengetahuannya. ET merasa tidak pernah menerima undangan atas
pemanggilan rapat RUPSLB tersebut sehingga keterangan yang menyatakan dirinya hadir
dan tanda tangannya pada risalah RUPSLB di tahun 2008 tersebut adalah palsu. Keputusan
yang diambil dalam RUPS tersebut dianggap telah merugikan dirinya baik sebagai
pemegang saham maupun direktur perseroan PT XYZ. ET kemudian mengajukan gugatan
ke Pengadilan Negeri Palembang untuk meminta Pengadilan membatalkan RUPS dan akta
PKR yang dibuat dihadapan Notaris HJ.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum atas
pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan Pasal 86
UU PT, pelaksanaan pemanggilan rapat harus tetap dilaksanakan sesuai ketentuan UU PT
dan Pasal 22 Anggaran Dasar PT XYZ yaitu 7 (tujuh) hari sebelum diselenggarakannya
RUPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim memutuskan bahwa risalah
RUPSLB cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Kasus tersebut merupakan salah satu contoh bahwa prosedur pemanggilan rapat
dalam RUPS menjadi suatu unsur yang wajib untuk dipenuhi karena dapat menentukan
keabsahan atas pelaksanaan RUPS itu sendiri, terbukti dengan pertimbangan Majelis
Hakim yang menyatakan suatu risalah atas RUPSLB menjadi cacat hukum karena
pemanggilan rapat yang tidak dilaksanakan sebelum RUPS.
Pada persidangan kasus PT XYZ tersebut, Para Tergugat yang terdiri dari pemegang
saham IA, AB, AP menyatakan pemanggilan rapat telah dilakukan sebelum
penyelenggaraan RUPS dan ET dinyatakan telah menerima pemanggilan tersebut. Namun
Para Tergugat termasuk Notaris HJ sebagai Turut Tergugat tidak dapat menunjukkan
warkah-warkah yang membuktikan bahwa pemanggilan rapat benar telah dilakukan, seperti
salinan surat tercatat atau pemberitahuan rapat, salinan tanda terima pemberitahuan rapat
dan salinan dari daftar hadir rapat itu sendiri.
Pemanggilan RUPS sendiri bertujuan untuk memberitahukan kepada para pemegang
saham bahwa perseroan dipandang perlu mengambil keputusan-keputusan penting terkait

Universitas Indonesia
10

jalannya perseroan, yang mana kewenangan untuk menyetujui keputusan tersebut hanya
diberikan kepada pemegang saham. Pemanggilan RUPS yang tidak dilaksanakan dapat
menyebabkan ketidaktahuan pemegang saham atas RUPS yang akan diselenggarakan,
sehingga pemegang saham tersebut tidak dapat menggunakan hak suaranya dalam
mengambil keputusan yang disepakati dalam rapat.
Prosedur pemanggilan rapat dalam RUPS juga merupakan unsur yang seharusnya
diperhatikan oleh Notaris setiap kali diminta untuk membuat akta atas pelaksanaan RUPS
sebuah perseroan. Notaris yang memastikan bahwa pelaksanaan RUPS telah sesuai dengan
syarat formil UU PT, terutama terkait prosedur pemanggilan rapat dapat meminimalisir
risiko terjadinya sengketa sehingga pertanggungjawabannya sebagai Notaris yang membuat
akta tersebut tidak dapat dipermasalahkan oleh pihak yang terlibat di dalamnya.
Tugas notaris dalam pembuatan akta otentik adalah berkaitan dengan kebenaran
formil. Suatu akta Notaris akan memiliki pertanggungjawaban hukum baik dari segi Kode
Etik Notaris, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) maupun bentuk
pertanggungjawaban perdata bahkan pertanggungjawaban pidana. Kode Etik Notaris
ditetapkan dan ditegakkan oleh Ikatan Notaris Indonesia selaku organisasi Notaris satu-
satunya. Sehingga dalam melaksanakan tugasnya, notaris harus selalu memperhatikan kode
etik yang melekat pada jabatannya.25 Berdasarkan peraturan dan kode etik yang mengikat
Notari, maka apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam menjalankan jabatannya baik
dengan unsur kesengajaan maupun dengan unsur kelalaian, maka Notaris harus diberikan
sanksi yang tegas apabila terbukti melakukan pelanggaran tersebut.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, penelitian ini ditujukan untuk mengangkat
permasalahan mengenai keabsahan akta PKR atas RUPS yang diselenggarakan tanpa
pemanggilan rapat terlebih dahulu dan pertanggungjawaban Notaris terhadap akta PKR
tersebut dengan suatu bentuk penelitian berjudul Akibat Hukum Akta Pernyataan
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan
Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas (Putusan Pengadilan Negeri Palembang
Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg).

25
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1982), hlm. 47.

Universitas Indonesia
11

1.2. Rumusan Masalah


Penelitian ini akan lebih lanjut menganalisa dan meneliti permasalahan hukum yang
akan dibahas lebih lanjut berdasarkan uraian latar belakang di atas sebagai berikut:
1. Bagaimana akibat hukum akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas?
2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pembuatan akta terkait
penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham yang tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas dalam Putusan Pengadilan Negeri
Palembang Nomor 43/Pdt.G/2017.Pn.Plg?
CONTOH SPASI YANG BENAR
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan gambaran bahwa
penyelenggaraan RUPS yang tidak memenuhi persyaratan formil UU PT terkait
pemanggilan rapat dapat mengakibatkan konsekuensi hukum tersendiri terhadap risalah dan
akta atas RUPS tersebut.
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mengidentifikasi dan menganalisis akibat hukum akta Pernyataan
Keputusan RUPS yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UU PT; dan
2) Untuk mengidentifikasi dan menganalisis pertanggungjawaban Notaris terhadap
pembuatan akta terkait penyelenggaraan RUPS yang tidak sesuai dengan Pasal 81
UU PT dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini adalah diharapkan memberikan pemahaman serta
penegasan terhadap pentingnya melaksanakan RUPS sesuai prosedur dan persyaratan
formil dalam UU PT terutama terkait pemanggilan rapat. Dengan demikian, akan terdapat

Universitas Indonesia
12

kesamaan pemahaman di kalangan Perseroan Terbatas bahwa penyelenggaraan RUPS yang


sesuai prosedur dan persyaraan formil UU PT dapat menjamin kepastian hukum atas
keputusan yang diambil dalam rapat, termasuk keabsahan atas akta Notaris yang diterbitkan
untuk menuangkan risalah atas RUPS tersebut.
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah memberikan pemahaman bagi kalangan
profesi Notaris dan organ Perseroan Terbatas, yaitu pemegang saham, direksi dan dewan
komisaris bahwa sebuah akta Notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna dapat
dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh pengadilan akibat penyelenggaraan
RUPS yang tidak sesuai persyaratan formil UU PT. Dengan demikian, dapat disepakati
kesamaan persepsi mengenai prosedur penyelenggaraan RUPS dan pemanggilan rapat
sesuai UU PT.

1.4. Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan hal yang penting dan merupakan blueprint suatu
penelitian, artinya segala gerak dan aktivitas penelitian tercermin di dalam metode
penelitian.26 Metode penelitian yang digunakan yakni yuridis normatif, yang mana
penelitian dilaksanakan dengan menelaah norma peraturan perundang-undangan dan teori
hukum melalui literatur kepustakaan sebagai data sekunder.
Penelitian ini menganalisa kasus Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu jenis data-
data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku-buku, jurnal ilmiah, dan peraturan
perundang-undangan terkait.27 Data sekunder digolongkan ke dalam bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini akan menggunakan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer yang akan digunakan yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Undang Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, dan Undang-Undang

Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
26

Hukum Universitas Indonesia., 2005), hlm. 21

27
Mamudji, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, hlm. 6.

Universitas Indonesia
13

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi segala dokumen
tertulis seperti buku dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian, contohnya antara lain:
1. Buku Hukum Perseroan Terbatas yang ditulis oleh Yahya Harahap;
2. Buku Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik
yang ditulis oleh Habib Adjie; dan
3. Buku Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum yang ditulis oleh Orinton Purba.
Metodologi penelitian adalah alat pengumpulan data yang digunakan sebagai pisau
analisa dalam penelitian, yang terbagi menjadi studi dokumen, wawancara dan
pengamatan.28Penelitian ini menggunakan studi dokumen dan pengamatan yang
mempergunakan teknik content analysis untuk menganalisa bahan hukum primer maupun
sekunder yang digunakan. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode kualitatif karena didasarkan atas kebenaran dan kemampuan penalaran terhadap
data yang tersedia.
Tipologi penelitian dilihat berdasarkan sifat dan bentuknya. Bedasarkan sifatnya,
tipologi penelitian dalam penelitian ini menggunakan penelitian eksplanatoris yang
dimaksud untuk menguji hipotesa tertentu serta terhadap hasil-hasil penelitian lainnya. 29
Berdasarkan bentuknya, tipologi penelitian di dalam penelitian ini menggunakan penelitian
preskriptif. Penelitian preskriptif merupakan penelitian yang ditujukan untuk mendapat
saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. 30
Berdasarkan tujuannya, tipologi penelitian dalam penelitian ini adalah menggambarkan
keadaan yang sebenarnya dan menyampaikan keadaan tersebut menurut teori, dan
peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, maka kasus
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
43/Pdt.G/2017.Pn.Plg.

28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2014), hlm. 21.

29
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 47.

30
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm.10.

Universitas Indonesia
14

1.5. Sistematika Penulisan


Tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan di setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab.
Sistematika penulisannya ialah seperti yang diuraikan berikut ini:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai latar belakang dipilihnya topik serta
permasalahan yang dianalisis. Setelah dijabarkan latar belakang atas
permasalahan yang diangkat, isi dari Pendahuluan selanjutnya secara
berturut-turut adalah rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2 PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM


MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS DAN
PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS
Bab ini berisikan uraian teori mengenai penyelenggaraan RUPS sesuai
UU PT, definisi mengenai akta notaris serta nilai pembuktiannya, jenis
pertanggungjawaban Notaris, uraian kasus posisi serta teori yang
digunakan dalam menganalisa kasus.

BAB 3 AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT


UMUM PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN
KETENTUAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERSEROAN
TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALEMBANG
NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)”.
Bab ini membahas dan menjawab rumusan masalah serta memuat analisis
mengenai akibat hukum akta Pernyataan Keputusan RUPS yang tidak
sesuai dengan ketentuan Pasal 81 UU PT dan pertanggungjawaban
Notaris terhadap pembuatan akta terkait penyelenggaraan RUPS dalam
Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG.

BAB 4 PENUTUP

Universitas Indonesia
15

Bab ini memuat simpulan dan saran atas hasil peneliti.

Universitas Indonesia
BAB 2
PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS NOMOR 40
TAHUN 2007 DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS

2.1. Tata Cara Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham


Otoritas tertinggi di dalam suatu perusahaan disebut sebagai Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS). Umumnya RUPS diadakan setahun sekali dengan ketentuan
untuk membahas segala masalah-masalah penting yang berkaitan dengan berjalannya
perusahaan.31 RUPS atau algemene vergardering van aandeelhourders merupakan
lembaga yang mewadahi para pemegang saham (stockholder, aandeelhourder) dan
merupakan organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang
kewenangan yang tidak diserahkan kepada direksi dan Komisaris.32
RUPS merupakan organ perseroan yang memiliki kewenangan eksklusif,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UU PT), tidak akan pernah diberikan atau dialihkan kepada
komisaris ataupun direksi. Konkretnya, RUPS merupakan sebuah forum yang mewakili
seluruh pemegang saham perseroan, dimana para pemegang saham memiliki
kewenangan utama untuk memperoleh keterangan-keterangan mengenai perseroan, baik
dari komisaris maupun direksi.33
Setiap pemegang saham mempunyai hak menghadiri RUPS. Undang-Undang
Perseroan pada masa modern mengatur ketentuan yang menegaskan hak tersebut, begitu
juga Anggaran Dasar (AD) Perseroan, mengatur ketentuan Perseroan harus mengadakan
RUPS paling tidak satu kali dalam satu tahun. Pada dasarnya, dalam RUPS pemegang
saham melakukan kontrol atas jalannya kepengurusan Perseroan yang dilakukan
direksi.34
RUPS dapat dilakukan di tempat kedudukan perseroan atau di tempat perseroan
31
Elza Syarief, Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan Penyelesaian
Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), hlm. 20.
32
Hirman Sigit Sapto Nugroho dan Yuni Purwati, Hukum Perseroan Terbatas (Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing The Corporate Veil), (Solo: Iltizam, 2017), hlm. 66.
33
Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum, (Depok: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 27.
16

melakukan kegiatan usahanya yang Utama. RUPS dapat dilakukan dimanapun dalam
wilayah Republik Indonesia dengan syarat, semua pemegang saham hadir dan setuju
dengan agenda tertentu dan dapat mengambil keputusan apabila disetujui secara bulat.
Penyelenggaraan RUPS juga dapat dimungkinkan melalui telekonferensi, video
konferensi/sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS
saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat dengan
kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam UU PT atau
AD Perseroan.35

2.1.1 Jenis RUPS


UU PT sebagai hukum Perseroan di Indonesia, mengatur mengenai RUPS pada
Bab VI, yang terdiri atas Pasal 75 – 91. Berdasarkan jenisnya, RUPS dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1. RUPS Tahunan; dan
2. RUPS Luar Biasa (RUPSLB).
RUPS Tahunan biasanya diselenggarakan dalam kaitannya dengan tahun buku
perseroan yang bersangkutan.36 Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) sifat dan syarat RUPS
Tahunan adalah:37
1. wajib diadakan setiap tahun; dan
2. syarat penyelenggaraannya, diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6
(enam) bulan setelah tahun buku berakhir.
Selanjutnya menurut pasal 78 ayat (3), dalam RUPS Tahunan direksi harus
mengajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan sesuai ketentuan Pasal 66
ayat (2) yang terdiri atas:38
1. laporan keuangan;
34
James D. Cox, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal, Corporations, Alpen Law & Business, 1977,
hlm. 306.
35
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, (Yogyakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 22.
36
Agus Sardjono, Yetty Komalasari, Rosewitha Irawaty, Togi Pangaribuan, Pengantar Hukum
Dagang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 79.
37
Yahya Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”. (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 315.

38
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40 Tahun
2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 78.
17

2. laporan mengenai kegiatan Perseroan;


3. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL);
4. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan
Perseroan;
5. laporan tugas pengawasan yang dilaksanakan dewan komisaris;
6. nama anggota direksi dan dewan komisaris; dan
7. gaji dan tunjangan anggota direksi dan dewan komisaris.
Bertitik tolak dari ketentuan dimaksud, setiap Perseroan harus mengadakan RUPS
Tahunan setiap tahun kalender. Ketentuan itu tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi
diterapkan pada semua negara seperti yang dikatakan Walter Coon, “every company
must hold an annual general meeting once every calender year”.39 Menurut Yahya
Harahap, ketentuan Pasal 78 ayat (2) adalah bersifat imperatif (mandatory rule).
Rumusannya dengan tegas mempergunakan kata “wajib”. Oleh karena itu, RUPS
Tahunan mesti dilaksanakan oleh direksi dalam batas jangka waktu yang ditentukan
undang-undang, yaitu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.40
Pasal 78 ayat (1) maupun ayat (4), menyebut RUPS lainnya, akan tetapi
penjelasan Pasal 78 ayat (1) mengatakan, yang dimaksud dengan RUPS lainnya dalam
praktik, sering dikenal dengan RUPSLB yang diadakan setiap waktu dan digantungkan
berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan, jadi kapan saja kepentingan
Perseroan membutuhkan diadakan RUPS, direksi dapat menyelenggarakan RUPSLB
asal benar-benar secara objektif kepentingan Perseroan membutuhkannya. Selain RUPS
Tahunan (general annual meeting), dapat dilihat bahwa undang-undang
memperbolehkan diadakan RUPSLB (extraordinary meeting), baik hal itu atas ini setiap
direksi maupun atas permintaan pemegang saham atau dewan komisaris.41

2.1.2 Penyelenggara RUPS


Pada dasarnya yang berfungsi dan berwenang menyelenggarakan RUPS Tahunan
maupun RUPSLB adalah direksi. Hal tersebut ditegaskan oleh Pasal 79 ayat (1) bahwa
penyelenggaraan diadakannya RUPS sepenuhnya merupakan inisiatif dari direksi.

39
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 315.

40
Ibid., hlm. 316.

41
Ibid.
18

Namun tidak menutup kemungkinan penyelenggara atas RUPS Tahunan atau RUPSLB
adalah selain direksi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 79 ayat (2) UU PT, RUPS dapat dilakukan atas
permintaan:
1. 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang Bersama-sama mewakili 1/10
(satu per sepuluh) atau lebih dan jumlah seluruh saham dengan hak suara,
kecuali AD menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
2. dewan komisaris.
Menurut penjelasan Pasal 79 ayat (3), alasan yang menjadi dasar permintaan
diadakannya RUPS, adalah karena direksi tidak mengadakan RUPS Tahunan sesuai
dengan batas waktu yang ditentukan Pasal 78 ayat (2), yang mewajibkan RUPS
Tahunan diadakan dalam jangka waktu paling 6 (enam) bulan setelah tahun buku
berakhir atau masa jabatan anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris akan
berakhir. Alasan tersebut tidak hanya terbatas pada apa yang dikemukakan di atas,
karena penjelasan Pasal tersebut menyebut antara lain sehingga bisa dipergunakan
alasan lain yang dianggap mendasar untuk kepentingan Perseroan.42
Apabila ada permintaan dari pemegang saham atau dari dewan komisaris yang
memenuhi syarat kepada direksi agar diadakan RUPS, maka menurut pasal 79 ayat (5):
1. direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS;
2. Panggilan RUPS harus dilakukan direksi, paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima direksi.
RUPS yang diselenggarakan direksi berdasar panggilan RUPS atas permintaan,
pada prinsipnya hanya membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan yang
dikemukakan pada surat permintaan. Namun demikian Pasal 79 ayat (8), membolehkan
membicarakan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh direksi. 43 Apabila
direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS Tahunan dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari dari tanggal permintaan diterimanya, maka dapat ditempuh upaya sebagai
berikut berdasarkan ketentuan pasal 79 ayat (6):
1. Pemegang saham dapat mengajukan kembali permintaan tersebut kepada
dewan komisaris; atau

42
Ibid., hlm. 317.

43
Ibid., hlm. 318.
19

2. Jika yang meminta kepada direksi adalah dewan komisaris, maka dewan
komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS tersebut.
Dewan komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS
diterima, jika permintaan kembali penyelenggaraan RUPS oleh pemegang saham
diajukan kepada dewan komisaris. Selanjutnya, RUPS yang diselenggarakan dewan
komisaris berdasarkan panggilan RUPS atas permintaan pemegang saham, hanya
membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan yang dikemukakan dalam surat
permintaan.44
Berbeda dengan ketentuan Pasal 79 ayat (9) tersebut, Pasal 79 ayat (8)
menyatakan RUPS yang diadakan direksi berdasarkan permintaan, selain membicarakan
masalah yang berkaitan dengan alasan yang dikemukakan dalam permintaan, dapat juga
membicarakan mata acara rapat lainnya yang dipandang perlu oleh direksi. Sedangkan
apabila yang mengadakan RUPS adalah dewan komisaris atas permintaan pemegang
saham, hanya terbatas membicarakan masalah yang berkaitan dengan alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan. Tidak dibenarkan untuk membicarakan mata
acara lain.45
Permintaan penyelenggaraan RUPS kepada Ketua Pengadilan Negeri diatur
dalam Pasal 80 UUPT, yang memberi hak kepada pemegang saham untuk mengajukan
permohonan penyelenggaraan RUPS kepada Ketua Pengadilan Negeri:
1. apabila direksi atau dewan komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari dari tanggal penerimaan surat
permintaan;
2. bentuknya adalah permohonan yang dituangkan dalam surat permohonan
(verzoekschrift, petition), bukan gugatan (vordering, claim);
3. diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai asas actor sequitur forum rei,
yakni yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan;
4. isi permintaan permohonan, agar Ketua Pengadilan Negeri menetapkan
pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS.

44
Ibid.

45
Ibid.
20

Memperhatikan ketentuan di atas, hak pemegang saham mengajukan permohonan


meminta penyelenggaraan RUPS, tidak langsung demi hukum terbuka. Harus ditempuh
lebih dahulu permintaan kepada direksi atau dewan komisaris. Apabila mereka tidak
memenuhi permintaan paling lambat dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari dari
tanggal surat permintaan diterima, baru terbuka hak pemegang saham mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.46
Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan bentuk, isi, dan jangka waktu
pemanggilan RUPS serta menunjuk ketua rapat tanpa terikat pada ketentuan UUPT atau
AD. Jika RUPS diselenggarakan atas izin Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan
Negeri dapat memerintahkan direksi atau Komisaris untuk hadir. Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri mengenai pemberian izin merupakan penetapan instansi pertama dan
terakhir.47
Mata acara RUPS berdasar permohonan pemegang saham, menurut Pasal 80 ayat
(6) hanya boleh membicarakan mata acara yang tercantum dalam amar penetapan
Pengadilan. RUPS dilarang membicarakan mata acara lain, di luar yang disebut dalam
penetapan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan, hal tersebut
dituangkan dalam bentuk penetapan yang bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap, yang terhadapnya tertutup segala upaya hukum biasa (banding dan kasasi)
maupun upaya luar biasa (peninjauan kembali). Hal tersebut ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 80 ayat (6) UUPT, ketentuan ini dimaksudkan agar pelaksanaan RUPS
tidak tertunda.48

2.1.3 Pemanggilan RUPS


Untuk menyelenggarakan RUPS direksi melakukan pemanggilan kepada
pemegang saham, namun untuk hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam AD Perseroan,
pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh dewan komisaris. Pemanggilan RUPS
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan. 49 Dewan

46
Ibid., hlm. 319.

47
Frans Satriyo Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, direksi dan Komisaris Perseroan
Terbatas (PT), (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009), hlm. 22.
48
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 322.

49
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 22.
21

komisaris baru berwenang melakukan pemanggilan RUPS dalam hal yang ditentukan
Pasal 79 ayat (6) UU PT dan Penjelasan Pasal 81 ayat (2) UU PT, dalam hal:50
1. direksi tidak melakukan panggilan RUPS dalam tempo 15 (lima belas) hari
dari tanggal permintaan RUPS yang diajukan dewan komisaris diterima
direksi. Pasal 79 ayat (2) huruf b UU PT memberi hak kepada dewan
komisaris meminta penyelenggaraan RUPS kepada direksi. Dalam hal direksi
tidak melakukan pemanggilan RUPS berdasarkan permintaan dewan komisaris
dalam tempo 15 (lima belas) hari dari tanggal direksi menerima surat
permintaan, maka berdasarkan Pasal 79 ayat (6) huruf b UU PT, memberi hak
kepada dewan komisaris untuk melakukan pemanggilan sendiri;
2. direksi berhalangan;
3. terdapat pertentangan kepentingan antara direksi dan Perseroan.
Dalam hal-hal yang demikian, undang-undang memberikan wewenang kepada
dewan komisaris melakukan pemanggilan RUPS.
Pasal 81 ayat (1) UU PT juga memberikan hak kepada pemegang saham untuk
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan izin
melakukan sendiri pemanggilan RUPS. Hak itu terbuka apabila direksi atau dewan
komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari
dari tanggal direksi atau dewan komisaris menerima surat permintaan penyelenggaraan
RUPS dari pemegang saham. Apabila Pengadilan mengabulkan permohonan pemegang
saham tersebut, maka berdasar penetapan Pengadilan itu, pemegang saham dimaksud
melakukan pemanggilan RUPS.51
Perseroan wajib memberikan salinan bahan rapat kepada pemegang saham secara
cuma-cuma. Jika pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan, keputusan tetap sah jika
RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara
yang sah dan disetujui dengan suara bulat. Bagi perseroan terbuka, sebelum
pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului pengumuman mengenai akan diadakan
pemanggilan RUPS dalam surat kabar. Pengumuman tersebut dilakukan paling lambat
14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.52

50
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 323.

51
Ibid., hlm. 324.

52
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm.23.
22

Secara rinci mengenai tenggang waktu pemanggilan RUPS, diatur pada Pasal 82
ayat (1) bahwa yang dipanggil adalah seluruh pemegang saham yang sahamnya
mempunyai hak suara, pemanggilan RUPS kepada pemegang saham dilakukan sebelum
RUPS diselenggarakan dan pemanggilan RUPS harus dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan dengan tidak
memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS.
Menurut penjelasan Pasal 82 ayat (1) UU PT, jangka waktu 14 (empat belas) hari
adalah jangka waktu minimal untuk memanggil RUPS. Oleh karena itu, AD Perseroan
tidak dapat atau dilarang menentukan jangka waktu pemanggilan RUPS yang lebih
singkat dari 14 (empat belas) hari. Kecuali untuk RUPS kedua atau RUPS ketiga yang
disebutkan Pasal 86 ayat (6), Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (4) UU PT,
pemanggilan dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua
atau ketiga dilangsungkan.53
Bentuk pemanggilan RUPS yang sah menurut Pasal 82 ayat (2) UU PT harus
dilakukan dalam bentuk Surat Tercatat dan/atau berbentuk iklan dalam Surat Kabar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 UU PT, Surat Kabar adalah Surat Kabar
berbahasa Indonesia yang beredar atau yang berskala nasional. Tidak ditentukan berapa
besar ukuran iklannya, dan di halaman mana dicantumkan. Namun demikian, harus
sesuai dengan kepatutan dan kewajaran. Jika pemegang sahamnya tersebar luas, harus
diiklankan dalam Surat Kabar yang menjangkau seluruh pemegang saham. Begitu juga
letak dan ukuran iklannya, harus patut dan proporsional, yakni mudah dilihat dan
dibaca.54
Mengenai isi panggilan RUPS kepada pemegang saham, digariskan pada Pasal 82
ayat (3) UU PT harus mencatumkan:55
1. tanggal RUPS diadakan;
2. tempat RUPS diadakan;
3. waktu RUPS diadakan;
4. mata acara RUPS;

53
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 324.

54
Ibid., hlm. 325.

55
Ibid.
23

5. pemberitahuan bahwa bahan RUPS yang akan dibicarakan, tersedia di kantor


Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal
RUPS diadakan.
Menurut Yahya Harahap, hal yang paling penting diperhatikan, pemanggilan
RUPS harus memuat informasi yang cukup (sufficient information) yang benar-benar
dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi pemegang saham untuk menentukan
apakah dia akan menghadiri atau tidak RUPS tersebut, meskipun dia tahu resikonya,
bahwa dia akan tunduk kepada hasil keputusan RUPS sekalipun dia absen pada RUPS
yang dimaksud.56
Apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan
Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU PT, maka berdasarkan ketentuan Pasal 82
ayat (5) UU PT, RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusan RUPS tetap sah
dengan syarat:
1. Jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam
RUPS; dan
2. Keputusan RUPS disetujui dengan suara bulat.
Jika syarat tersebut terpenuhi, yakni semua pemegang saham dengan hak suara,
hadir atau diwakili dalam RUPS, panggilan itu tidak batal. RUPS dapat dilangsungkan
dan keputusan yang diambil saham apabila disetujui dengan suara bulat oleh peserta
RUPS.57
Khusus bagi Perseroan Terbuka, Pasal 83 menambah syarat pemanggilan yang
ditentukan Pasal 82 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pemanggilan RUPS Perseroan
Terbuka wajib memenuhi syarat:
1. sebelum pemanggilan RUPS dilakukan, wajib didahului dengan pengumuman
yang memberitahukan akan diadakan pemanggilan RUPS;
2. pengumumannya harus memperhatikan peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal;
3. pengumuman dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum pemanggilan RUPS.

56
Ibid.

57
Ibid., hlm. 326.
24

Maksud pengumuman tersebut menurut penjelasan Pasal 83 ayat (1), bertujuan


untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham mengusulkan kepada direksi
penambahan mata acara RUPS. Ketentuan mengenai pemanggilan harus didahului
dengan pengumuman pada Perseroan Terbuka, bersifat imperatif. Apabila dilanggar,
mengakibatkan panggilan tidak sah.58

2.1.4 Hak Suara (Voting Right)


Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Jika
keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan diambil
berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah,
kecuali undang-undang Perseroan dan AD Perseroan menentukan bahwa keputusan
harus diambil berdasrkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak biasa.59
Pemegang saham dengan hak suara yang sah, baik sendiri maupun dengan kuasa
tertulis berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam pemungutan
suara, anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan karyawan perseroan yang
bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap saham
yang dikeluarkan memiliki satu hak suara, kecuali AD Perseroan menentukan lain.
Saham Perseroan yang dimiliki oleh Perseroan itu sendiri tidak memiliki hak suara.
Saham induk perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak memiliki
hak suara.60
Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa prinsip umum yang melekat pada hak
suara pemegang saham, yaitu:61
a. Satu saham, satu suara (one vote, for one share)
Prinsip ini ditegaskan pada Pasal 84 ayat (1) yang mengatakan bahwa setiap
saham yang dikeluarkan, mempunyai satu hak suara, kecuali AD Perseroan menentukan
lain. Maksud dari kecuali AD Perseroan menentukan lain, adalah apabila AD Perseroan
mengeluarkan satu saham tanpa hak suara. Jika AD Perseroan tidak menentukan hak

58
Ibid., hlm. 327.

59
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm. 24.

60
Ibid.

61
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 327.
25

yang seperti itu, berlaku prinsip umum bahwa setiap saham yang dikeluarkan Perseroan
mempunyai satu hak suara.62
Bertitik dari prinsip ini, hak suara merupakan hak yang melekat secara inherent
pada diri setiap pemegang saham (is inherent in ownership of share). Berarti setiap
pemegang saham berhak menghadiri dan berbicara serta mengeluarkan suara dalam
RUPS. Maka atas dasar hak hadir dan bersuara (is entitled to attend and speak) dalam
RUPS mewajibkan direksi harus memanggil pemegang saham.63
b. Saham yang dimiliki Perseroan baik langsung atau tidak, tidak mempunyai
hak suara
Pada dasarnya, hanya saham yang dimiliki atau dikuasai pemegang saham yang
mempunyai hak suara. Sebaliknya saham yang dimiliki atau dikuasai Perseroan baik
langsung atau tidak, tidak mempunyai hak suara. Prinsip ini ditegaskan Pasal 84 ayat
(2). Bahkan dalam penjelasan Pasal ini digariskan bahwa saham yang dimiliki atau
dikuasai Perseroan tidak hanya terbatas tidak mempunyai hak suara, tetapi juga tidak
dihitung dalam penentuan kuorum.
Ketentuan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 40 UUPT dimana saham yang
dikuasai Perseroan karena pembelian kembali, perolehan karena hukum, hibah atau
hibah wasiat, tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS, dan tidak
dihitung dalam menentukan kuorum, serta tidak berhak mendapat pembagian dividen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 84 ayat (2), kriteria saham yang tidak memiliki hak suara
adalah:
1) saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
2) saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung
atau tidak langsung; atau
3) saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara
langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.
Menurut penjelasan Pasal 84 ayat (2) huruf a, yang dimaksud dengan dikuasai
sendiri adalah dikuasai baik karena hubungan kepemilikian, pembelian kembali maupun
karena gadai.
c. Hak Suara (Voting Right), merupakan pelaksanaan kontrol akhir pemegang

62
Ibid.

63
Ibid.
26

saham
Dari segi tujuan, hak suara mengandung maksud sebagai pelaksanaan kontrol
akhir dari pemegang saham terhadap Perseroan, direksi dan dewan komisaris. Artinya,
pada forum RUPS melalui hak suara yang dimilikinya pemegang saham dapat
menentukan sikap apakah tindakan yang dilakukan Perseroan, direksi dan dewan
komisaris yang berlangsung sebelum RUPS diadakan, dapat dibenarkan atau disetujui
atau tidak oleh para pemegang saham.64
Pasal 85 ayat (1) mengatur bahwa Pemegang saham dalam RUPS menggunakan
hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Hal tersebut sejalan
dengan prinsip satu saham satu suara (one vote for one share).65 Pasal 85 ayat (3)
kemudian lebih lanjut mengatur bahwa pemegang saham dalam menghadiri RUPS baik
secara sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa, namun pemegang saham tidak
berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah
saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda.
Menurut penjelasan Pasal 85 ayat (3), ketentuan tersebut merupakan perwujudan
asas musyawarah mufakat, oleh karena itu suara yang berbeda (split voting) tidak
dibenarkan. Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham
berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak
memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham
yang dimilikinya dengan suara yang berbeda. Ini artinya UUPT melarang voting yang
terbelah.66
Oleh karena itu, dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan pemegang
saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya. Namun bagi Perseroan Terbuka,
suara berbeda yang dikeluarkan oleh bank kustodian atau perusahaan efek yang
mewakili pemegang saham dalam dana bersama (mutual fund) bukan merupakan suara
yang berbeda sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan ini.67
Mengenai siapa saja yang dapat ditunjuk sebagai kuasa oleh pemegang saham
untuk menghadiri RUPS, Pasal 85 ayat (4) mengatur bahwa anggota direksi, anggota
64
Ibid., hlm. 329.

65
Ibid.

66
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Jala Permata Aksara, 2009), hlm. 160.

67
Harahap, “Hukum Perseroan Terbatas”, hlm. 330
27

dewan komisaris dan Karyawan Perseroan dapat ditunjuk sebagai kuasa yang dihitung
dalam menetapkan kuorum RUPS, namun dalam pemungutan suara anggota direksi,
anggota dewan komisaris dan Karyawan Perseroan sebagai kuasa pemegang saham
tidak berhak mengeluarkan suara.68

2.1.5. Kuorum Rapat Umum Pemegang Saham


Permasalahan kuorum diatur pada Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88 dan Pasal 89
UUPT. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, diatur kuorum yang berbeda
besarnya. Perbedaan besarnya kuorum untuk setiap RUPS, digantungkan pada materi
acara yang dibicarakan dalam rapat.
RUPS dapat dilangsungkan jika dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili
lebih dari 1/2 bagian jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, kecuali undang-
undang dan atau AD Perseroan menentukan lain. 69 Menurut penjelasan Pasal 86 ayat
(1), ketentuan besarnya kuorum kehadiran tidak boleh disimpangi. Oleh karena itu AD
Perseroan tidak boleh mengatur kuorum kehadiran yang lebih kecil dari 1/2 bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara, tetapi yang boleh diatur dalam AD Perseroan
adalah kuorum kehadiran yang lebih besar dari patokan yang ditentukan dalam Pasal 86
ayat (1) UU PT tersebut, yaitu 1/2 bagian.
Jika kuorum tidak tercapai, diadakan pemanggilan RUPS kedua, yang harus
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua diselenggarakan. RUPS
kedua diselenggarakan paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh
satu) hari dari RUPS pertama. RUPS kedua adalah sah dan berhak mengambil
keputusan jika dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili keputusan jika dihadiri
oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/3 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah. Namun jika kuorum RUPS kedua tetap tidak
tercapai, Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan perseroan ditetapkan kuorum.70 Isi
permohonan meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar menetapkan kuorum RUPS
ketiga.

68
Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UUPT No. 40 Tahun
2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756, Ps. 85 ayat (4)
69
Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, hlm 23.

70
Ibid.
28

Adapun untuk perubahan AD Perseroan, kuorum RUPS pertama adalah 2/3 bagian
dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil
berdasarkan 2/3 dari jumlah suara tersebut. Apabila RUPS pertama gagal, dan kuorum
RUPS kedua tetap sama, maka keputusan dapat diambil berdasarkan suara terbanyak
dari jumlah suara tersebut.71
Sementara untuk penggabungan, peleburan, pengambil-alihan, kepailitan dan
pembubaran perseroan, kuorum RUPS minimum 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara yang sah dan keputusan diambil berdasarkan 3/4 dari jumlah suara
tersebut.72

2.1.6. Risalah Rapat Umum Pemegang Saham


Mengenai penyelenggaraan RUPS, menurut Yahya Harahap setiap
penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalahnya. Oleh karena itu, pembuatannya
bersifat imperatif (mandatory rule). RUPS yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan
dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam
RUPS tidak dapat dilaksanakan.73 Berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUPT,
disebutkan bahwa setiap penyelenggaraan RUPS, risalah RUPS wajib dibuat dan
ditandatangani oleh ketua rapat dan paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang
ditunjuk dari dan oleh peserta RUPS. Penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk
menjamin kepastian dan kebenaran isi risalah RUPS tersebut.74
Berdasar pada Pasal 90 ayat (1), risalah RUPS wajib ditandatangani. Apabila
risalah RUPS tidak dibuat dengan Akta Notaris, yang dibebani kewajiban untuk
menandatangani adalah:
1. ketua Rapat; dan
2. paling sedikit 1 (satu) orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh
peserta RUPS.

C.S.T Kansil dan Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang
71

Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 12.


72
Ibid.

73
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 340.

74
Subandi Martha, Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta:
Tatanusa, 2015) hlm. 81.
29

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 90 ayat (2) risalah RUPS yang dibuat dengan
Akta Notaris, tidak disyaratkan harus ditandatangani ketua rapat dan 1 (satu) orang
pemegang saham. Tanpa ditandatangani, risalah RUPS yang dibuat dengan Akta
Notaris, isi yang terdapat di dalamnya dianggap pasti kebenarannya. Hal itu sesuai
dengan fungsi yuridis Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna (volledig) tentang apa yang dimuat di dalamnya dan
mengikat (bindend) kepada para pihak yang membuat serta terhadap orang yang
mendapat hak dari mereka.75

2.1.7. Pengambilan Keputusan di Luar RUPS


UUPT juga memberikan kemungkinan kepada para pemegang saham untuk
mengambil keputusan di luar RUPS yang mengikat PT yang bersangkutan. Caranya
dilakukan dengan mengedarkan surat berisi usulan yang harus diputuskan oleh para
pemegang saham. Cara ini biasanya disebut dengan istilah keputusan sirkuler. Agar
keputusan para pemegang saham itu mengikat PT yang bersangkutan, syaratnya semua
pemegang saham harus menyetujui secara tertulis usulan yang bersangkutan dengan
menandatangani surat yang berisi usulan tersebut. Namun yang perlu dicatat adalah
bahwa keputusan sirkuler bukanlah keputusan RUPS.76 Hal tersebut ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 91 UUPT bahwa pemegang saham dapat juga mengambil keputusan
yang mengikat di luar RUPS selama semua pemegang saham menyetujui secara tertulis
dengan menandatangani usul yang bersangkutan.
Pasal tersebut menegaskan bahwa keputusan itu adalah keputusan di luar RUPS.
Dengan demikian, keputusan itu tetap bukanlah keputusan organ PT. Namun demikian,
jika AD Perseroan yang bersangkutan secara tegas menetapkan kemungkinan bahwa
keputusan sirkuler dapat menggantikan kedudukan keputusan RUPS, maka daya
lakunya (validity) juga sama dengan keputusan RUPS. Tentu saja semua persyaratan
formal dan material dari keputusan sirkuler harus tetap dipenuhi, antara lain
menyangkut tata cara dan substansi keputusan yang tidak boleh bertentangan atau
melanggar aturan di dalam AD Perseroan yang bersangkutan dan UUPT.77

75
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 340.

76
Agus Sardjono dkk, Pengantar Hukum Dagang, hlm. 81.

77
Ibid.
30

Persetujuan dari seluruh pemegang saham, merupakan syarat mutlak keabsahan


keputusan di luar RUPS. Tidak boleh satu pemegang saham pun yang tidak setuju. Jika
terjadi hal yang seperti itu, mengakibatkan usul keputusan yang diedarkan atau circular
resolution tersebut menjadi tidak sah (onwettig, unlawful). Keputusan di luar RUPS
yang disetujui oleh seluruh pemegang saham merupakan keputusan yang mengikat,
maksudnya keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
keputusan RUPS yang dilakukan secara fisik dan konvensional.78

2.2. Peran dan Tanggung Jawab Notaris


Keberadaan lembaga notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk
mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat
dalam wilayah hukum perdata (privat), negara menempatkan notaris sebagai Pejabat
Umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan
pembuktian atau alat bukti.79

2.2.1 Notaris sebagai Pejabat Umum


Keberadaan lembaga notaris muncul hadir di negara kita, karena untuk
mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat
dalam wilayah hukum perdata (privat), negara menempatkan notaris sebagai Pejabat
Umum yang berwenangan dalam hal pembuatan akta otentik, untuk kepentingan
pembuktian atau alat bukti.80
Pengaturan tentang jabatan notaris telah dimulai diatur dengan Reglement op Het
Notarisin Nederlands Indie (stbl.1860:3)81, pada tahun Pengaturan tentang jabatan
notaris telah dimulai diatur dengan Reglement op Het Notarisin Nederlands Indie
(stbl.1860:3), pada tahun 2004 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Pengaturan jabatan notaris lebih disempurnakan lagi dengan
adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan

78
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 341.

79
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Jogjakarta: Deepublish,
2015), hlm. 1.
80
Laurensius Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim, (Jogjakarta: Deepublish,
2015), hlm. 1.
81
Reglement op Het Notaris in Nederlands Indie (stbl.1860:3) merupakan peraturan pembaharuan
mengenai jabatan Notaris di Indonesia pada zaman Hindia-Belanda, peraturan ini merupakan pengganti
dari Instructie voor de Notarissen Residerende in Ambit in Nederlands Indie.
31

Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang
telah disahkan pada tanggal 17 Januari tahun 2014 oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI).82
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemah dari istilah Openbare Amtbtenaren
yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 KUHPerdata. Khusus berkaitan
dengan Openbare Amtbtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan
sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani
kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.83
Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik.84 Perubahan UUJN memberikan pengertian bahwa Notaris adalah
Pejabat Umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan
undang-undang lainnya.85
Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya
bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu Akta Notaris, dimana Notaris
merupakan salah satu Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang.86 Wewenang
membuat akta otentik ini hanya dilaksanakan oleh notaris sejauh pembuatan akta otentik
tertentu tidak dikhususkan bagi Pejabat Umum lainnya.87

82
Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum, hlm. 2.

83
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 27.
84
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2007), hlm. 58.
85
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356,
Ps. 1 angka 1.
86
Santia Dewi dan R.M Fauwas Diradja, Panduan Teori dan Praktik Notaris, (Jogjakarta: Pustaka
Yustika, 2011), hlm. 9.
87
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notari, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 40.
32

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang


Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain,
seperti Kantor Catatan Sipil, tidak memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi
hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang
ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti
semula sebagai Pegawai Negeri.88
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki para pihak atau menurut
aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Pembuatan akta tersebut harus
berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur pembuatan Akta Notaris,
sehingga jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain
yang berkaitan dengan kewenangan Notaris, seperti Notaris sebagai pembuat Akta
Koperasi; Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Pemberian sebutan lain
kepada Notaris seperti tersebut di atas telah mencederai makna Pejabat Umum, seakan-
akan Notaris akan mempunyai kewenangan tertentu jika disebutkan dalam suatu aturan
hukum dari instansi pemerintah.89
Menurut Kode Etik Notaris 2015, Notaris adalah setiap orang yang memangku
dan menjalankan tugas jabatan sebagai Pejabat Umum, sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-undang tentang Jabatan Notaris. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka
4 Kode Etik Notaris 2015. Jabatan Notaris sebagai jabatan umum mempunyai
karakteristik yaitu Notaris sebagai jabatan, Notaris yang mempunyai kewenangan
tertentu, Notaris yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak menerima gaji
maupun pensiunan dari yang mengangkatnya, dan akuntabilitas atas pekerjaannya
kepada masyarakat. Notaris merupakan jabatan yang diberikan oleh negara. Dalam
melakukan pekerjaannya, Notaris tidak menerima gaji, melainkan menerima
honorarium dari kliennya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.90 Ciri pengembanan profesi Notaris menurut Herlien Budiono meliputi enam
hal pokok, antara lain:
88
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris sebagai
Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum di Indonesia, (Ikatan Notaris
Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei 1998), hlm. 7.
89
Habib Adjie, Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum, (Majalah Renvoii
Nomor 04, Th. II), 3 September 2004, hlm. 32.
33

1. Jujur, mandiri, tidak berpihak, dan bertanggung jawab;


2. Mengutamakan pengabdian pada kepentingan masyarakat dan Negara;
3. Tidak mengacu pamrih (disinterestedness);
4. Rasionalitas yang berarti mengacu kebenaran objektif;
5. Spesifitas fungsional;
6. Solidaritas antara sesama rekan dengan tujuan menjaga kualitas dan martabat
profesi.
Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau
diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan
akta otentik, dan Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan
untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu, Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi
Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.91

2.2.2. Kewenangan Notaris


Menurut Habib Adjie, dalam hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh
secara Atribusi, Delegasi, dan Mandaat.92 Wewenang secara atribusi adalah pemberian
wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan atau aturan hukum. Wewenang secara Delegasi merupakan
pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-
undangan atau aturan hukum. Sedangkan wewenang yang diperoleh secara Mandaat
sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang
berkompeten berhalangan.93
Berdasarkan hukum administrasi terdapat tiga cara untuk memperoleh
kewenangan, yaitu secara atribusi, mandat, atau delegasi. Berdasarkan UUJN, Notaris
memperoleh wewenang secara atribusi karena wewenang tersebut diciptakan dan
diberikan oleh UUJN sendiri, bukan berasal dari lembaga lain. Setiap wewenang yang

90
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 1995), hlm. 28.

91
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 30.

92
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 77.

93
Ibid., hlm. 78.
34

diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat
berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya, dengan
demikian jika seorang Pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang
yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.94
Wewenang Notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya menurut G.H.S.
Lumban Tobing meliputi empat hal, yaitu sebagai berikut:95
a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuatnya itu;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang atau untuk kepentingan
siapa akta tersebut dibuat;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta tersebut
dibuat;
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Pasal 15 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat Akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
menyimpan Akta, memberikan salinan, dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk
melakukan tindakan hukum tertentu, seperti:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokkan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

94
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm. 15.

95
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hlm. 49.
35

f. Membuat akta yang berkaitan dengan tanah; atau


g. Membuat akta risalah lelang.
Pasal 51 UUJN menyatakan bahwa Notaris berwenang untuk membetulkan
kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah
ditandatangani. Pembetulan tersebut dilakukan dengan membuat berita acara dan
memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan
tanggal dan nomor berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara tersebut wajib
disampaikan kepada para pihak.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya
sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan
wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan
suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar wewenang.96

2.2.3. Kewajiban dan Larangan Notaris


Otoritas Notaris diberikan oleh undang-undang untuk pelayanan kepentingan
publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi notaris. 97 Oleh karena itu kewajiban-
kewajiban yang diemban Notaris adalah kewajiban jabatan (ambtsplicht). Notaris wajib
melakukan perintah tugas jabatannya itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak
memangku jabatan notaris.98 Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas atau
kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah imperatif undang-undang
yang dibebankan kepadanya.99
Kewajiban Notaris diatur dalam Bagian Kedua UUJN tentang kewajiban. Pasal
16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 juncto Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris yaitu:100
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
96
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif hlm. 33.

97
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV, (Jogjakarta:
Cakrawala Media, 2010), hlm. 1.
98
Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008) hlm. 13.
99
Ibid.

100
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan, hlm. 49.
36

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga


kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
37

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling


sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.
(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.
(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Akta penawaran pembayaran tunai;
c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga;
d. Akta kuasa;
e. Akta keterangan kepemilikan; dan
f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata Berlaku sebagai satu dan satu
berlaku untuk semua.
(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap
pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan
jelas, serta penutup Akta.
38

(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7)
tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan.
(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan
Akta wasiat.
(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga
kepada Notaris.
(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n
dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.
Kewajiban Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang- Undang
Jabatan Notaris tersebut di atas, dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. kewajiban moral normatif sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf a;
2. kewajiban teknis prosedural sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf
b sampai dengan huruf n.
Larangan bagi Notaris diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 juncto Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dalam
penjelasan Pasal 17 Undang-Undang tersebut, adanya ketentuan terhadap larangan
Notaris dimaksudkan diantaranya untuk untuk menjamin kepentingan masyarakat yang
memerlukan jasa Notaris dan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan
sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan
jabatannya, yaitu:
(1) Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7
39

(tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;


c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau
pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan
usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan
dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
(2) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikenai sanksi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan
hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak
hormat.

2.2.4. Akta Notaris sebagai Akta Otentik


Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, akta berasal dari kata acta, yang
merupakan bentuk jamak dari kata actum dan berasal dari bahasa Latin yang berarti
perbuatan-perbuatan.101 Menurut Pitlo yang dikutip oleh Suharjono, akta merupakan
suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk
dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.102
Sedangkan menurut Veegens-Oppenheim-Polak yang dikutip oleh Tan Thong
Kie, akta adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan

101
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya, 1980), hlm. 9.

Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123,
102

(Desember 1995), hlm. 43.


40

sebagai bukti. Akta juga memiliki pengertian lain yaitu suatu tulisan yang semata-mata
dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, yang karenanya suatu akta
haruslah ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersepakat.103
Dalam Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta
otentik yaitu:104
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
Pejabat Umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Otentik atau Authentiek dapat diartikan sebagai bersifat umum, bersifat jabatan,
memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat), khususnya dalam kata
authentieke akte. Para Notaris istimewa ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas
permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak
membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.105
Menurut Djoko Soepadmo akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan atau menurut aturan dalam undang-undang oleh atau dihadapan umum
yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. 106 Menurut Husni Thamrin,
akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari
pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat
dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan, akta otentik tersebut memuat
keterangan seorang pejabat yang menerangakan tentang apa yang dilakukannya atau
dilihat dihadapanya.107

103

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.

104
Ibid., hlm. 6.

105
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel – dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda –
Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 37.
106

Arliman, Notaris dan Penegakan Hukum, hlm. 1.


107
Husni Thamrin, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, cetakan 2, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo, 2011), hlm. 11.
41

Menurut ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan dilakukan


dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Pasal
1868 KUHPer lebih lanjut menjelaskan bahwa tulisan-tulisan otentik berupa akta
otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di
hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana
akta tersebut dibuat. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan
dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau
tidak di hadapan Pejabat Umum yang berwenang.
Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan
tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini
terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat
bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu
dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna.108
Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta otentik tersebut di dalamnya telah
termasuk semua unsur bukti:109
a. tulisan;
b. saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula
ditentukan bahwa siapa pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa
dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.110 Bahwa akta otentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat
tertentu yang dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, seperti Akta Otentik tidak saja
dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat

108
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 7.

109
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 6.

110
Ibid., hlm. 6.
42

Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.111 Pengertian akta otentik didefinisikan dalam
pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang mendefinisikan akta
otentik sebagai suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berwenang untuk itu di
tempat akta itu dibuat.112
Akta Notaris sebagai akta otentik berisikan hal-hal yang mencakup mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum
atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta.
Otentisitas dari akta Notaris bersumber dari undang-undang yaitu Undang-Undang
Jabatan Notaris (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014), dimana Notaris dijadikan
sebagai Pejabat Umum, sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya
tersebut memperoleh sifat akta otentik.
Menurut G.H.S Tobing, akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai sifat otentik,
bukan karena undang-undang menetapkan demikian, akan tetapi oleh karena akta itu
dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum, seperti dimaksud dalam pasal 1868
KUHPer.113 Bahwa disebut Akta Notaris, karena akta tersebut sebagai akta otentik yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang dibuat di hadapan atau
oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN). Akta Notaris sudah pasti akta otentik, tapi akta otentik bisa
juga Akta Notaris, Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Risalah Lelang Pejabat
Lelang dan Akta Catatan Sipil.114
Pasal 1 angka 7 UUJN menjelaskan akta yang dibuat di hadapan atau oleh
Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang

111
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hlm. 146. Akta PPAT juga dikategorikan sebagai
akta otentik, meskipun sampai saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai Akta
PPAT. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan tanggal 22 Maret 1972, nomor
937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang dilaksanakan di hadapan PPAT dianggap sebagai bukti
surat yang mempunyai kekuatan bukti sempurna,
112
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 178.

113
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 38.

114
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 8.
43

ditetapkan dalam UUJN , hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon,
bahwa syarat akta otentik, yaitu:115
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku);
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum.
Menurut Irawan Soerodjo, ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat
formal suatu akta otentik, yaitu:116
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk
itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Akta Notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap Notaris,
tanpa adanya keinginan seperti itu, Akta Notaris tidak akan pernah dibuat. Kewajiban
Notaris membingkainya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga akta tersebut
dikualifikasikan sebagai akta otentik. Isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak
para pihak, bukan kehendak atau keinginan Notaris. Notaris berkewajiban memberikan
penjelasan kepada para penghadap, agar tindakannya yang dituangkan dalam akta
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.117
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris,
yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang:
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang;
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan
tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris;

Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31
115

Januari 2001, hlm. 3.


116
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surayabaya: Arkola, 2003),
hlm. 148.
117
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama, 2015), hlm.
84.
44

5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin
kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Habib Adjie memberikan beberapa karakter yuridis dari suatu Akta Notaris
yaitu:118
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-
undang (UUJN);
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan karena
keinginan Notaris;
3. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama Notaris, dalam hal ini notaris tidak
berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang
namanya tercantum dalam akta;
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta
Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain selain yang tercantum dalam akta
tersebut;
5. Pembatalan daya ikat Akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para
pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, pihak
yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta
yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat
dibuktikan.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas
atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan
Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak
yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk Akta Notaris. Akta yang dibuat dihadapan
(ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian
atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan
Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam
bentuk Akta Notaris.119
Pembuatan Akta Notaris baik Akta Relaas maupun Akta Pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan Akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau
kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan

118
Adjie, Hukum Notaris Indonesia, hlm.38.

119
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 51.
45

para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk
memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, Notaris dapat memberikan saran
dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak
dan dituangkan dalam Akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap
merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris
atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.120

2.2.5. Nilai Pembuktian Akta Notaris


Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang
membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal
1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian mengatur ada 2
(dua) syarat, yaitu syarat subjektif yang berkaitan dengan yang subjek yang
mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kemudian syarat objektif, yaitu
syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang
dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab
yang tidak dilarang.121
Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat
objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat
dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau
yang berkepentingan. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum (nietig) tanpa perlu ada permintaan dari para pihak. Perjanjian dengan demikian
dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.122 Perjanjian dikarenakan sudah
dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling
menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.123
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam Akta Notaris. Syarat subjektif
dicantumkan dalam awal akta dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta
sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai

120
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 10.

121
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 52.

122
Ibid.

123
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Internasa, 2005), hlm. 22.
46

kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para
pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya.124
Jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris
tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut
dapat dibatalkan. Akta Notaris yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex
nunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap ada sampai
dilakukan pembatalan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta
tersebut batal demi hukum. Akta Notaris yang batal demi hukum berarti akta tersebut
termasuk ex tunc, yang berarti perbuatan dan akibat dari akta tersebut dianggap tidak
pernah ada (inexistence).125
Menurut Habib Adjie, oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah
menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka
timbul kerancuan antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi
hukum. Jika pembatalan diajukan untuk membatalkan Akta Notaris karena tidak
memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk
membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal
akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada
pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi Akta
yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif
tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.126
Berkaitan dengan kebatalan atau pembatalan akta Notaris, Pasal 84 UUJN telah
mengatur tersendiri, yaitu jika Notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48,
Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi
hukum.127

Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, (Jurnal Yuridika Fakultas


124

Hukum Universitas Airlangga, Vol. XVIII, No. 3, Mei 2003), hlm. 219.
125
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 53.

126
Ibid., hlm. 54.

127
Ibid., hlm. 66.
47

Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai


akta di bawah tangan atau akan menjadi batal demi hukum, dapat dilihat dan ditentukan
dari:
1. Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan;
2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta
yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka
pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk
ke dalam akta batal demi hukum.128

Akta Notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang sudah
ditentukan menurut hukum, tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari yang
bersangkutan yang berkepentingan sehingga bersifat pasif. Oleh karena itu, kebatalan
bersifat pasif, artinya tanpa ada tindakan aktif atau upaya apapun para pihak yang
terlibat dalam suatu perjanjian, maka akan batal atau batal demi hukum karena serta
merta ada syarat-syarat yang tidak dipenuhi.129
Istilah pembatalan bersifat aktif, meskipun syarat-syarat perjanjian telah dipenuhi,
tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar perjanjian yang
dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu, bai katas dasar
kesepakatan atau dengan mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan umum,
misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang pernah dibuatnya, atau
diketahui ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi yang tidak diketahui sebelumnya,
dan para pihak ingin membatalkannya.130
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan
Notaris, jika suatu Akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:131

128
Ibid.

129
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum, hlm. 58.

130
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 67.

131
Ibid., hlm. 11.
48

1. para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas
akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak
mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari
pembatalan tersebut;132
2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah
satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk
mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah
didegradasikan, maka hakim yang memerikasa gugatan dapat memberikan
penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan. Apakah
tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, hal ini tergantung pembuktian dan
penilaian hakim.133
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta
yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan
berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan dengan kewajiban
penggugat dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan
akibat langsung dari Akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat
membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal
dan aspek materiil atas Akta Notaris.
Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian sebagai
berikut:134
1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht);
2. Formal (formele bewijskracht);
3. Material (materiele bewijskracht).
Kemampuan lahiriah Akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese
ipsa). Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda
132
Ibid. Menurut Habib Adjie, pembatalan dengan cara seperti ini selaras dengan Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 1420 K/Sip/1978, tanggal 1 Mei 1979, bahwa pengadilan
tidak dapat membatalkan suatu Akta Notaris, tetapi hanya dapat menyatakan Akta Notaris yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berarti hanya para pihaklah yang dapat
membatalkannya.
133
Ibid.

134
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rajawali,
1982), hlm. 55.
49

tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan
adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Penyangkalan atau
pengingkaran bahwa secara lahiriah Akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta
otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada syarat-syarat Akta
Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya
gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta
yang menjadi objek gugatan bukan Akta Notaris.135
Kekuatan pembuktian formal Akta Notaris adalah memberi kepastian bahwa suatu
kejadian dan fakta yang tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau
diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta
sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal
untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu
menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para
pihak/penghadap, saksi dan Notaris dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para
pihak/penghadap (pada akta pihak).136
Pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal Akta Notaris dapat dilakukan
jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh
Notaris, dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat
membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang
bersangkutan, misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap
Notaris pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta pukul yang tersebut dalam awal akta,
atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal
bersangkutan terjadi, penghadap tersebut dapat menggugat Notaris dan membuktikan
ketidakbenaran aspek formal tersebut.137
Nilai pembuktian material merupakan kepastian materi suatu akta, bahwa apa
yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang
dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para

135
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 19.

136
Ibid.

137
Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hlm. 61.
50

pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus
dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan dalam akta berlaku sebagai yang benar
atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang keterangannya
dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata
pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal
tersebut menjadi tanggung jawab pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu.
Dengan demikian, isi Akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya,
menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para
penerima hak mereka.138
Ketiga aspek tersebut merupakan kesempurnaan Akta Notaris sebagai akta otentik
dan siapapun yang terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu
persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta
yang bersangkutan hanya mampu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta
di bawah tangan.139
Menurut Dr. Mulyoto, dalam praktiknya dapat juga terjadi Notaris dalam
membuat Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) atas RUPSLB suatu PT yang
notabene akta yang demikian adalah merupakan partij akta, Notaris bisa menjadi
terdakwa tunggal, bahkan hingga dijatuhi hukuman penjara, dengan dakwaan Notaris
telah memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Padahal dalam partij akta
yang berupa PKR atas RUPSLB, Notaris hanya sebatas menuangkan risalah RUPSLB
yang dibawa oleh kuasa ke dalam Akta Notaris yang bernama PKR RUPSLB.140
Jika ternyata risalah RUPSLB tersebut mengandung unsur kepalsuan sebagai
misal tanda tangan pemegang saham yang dipalsukan atau ada pemegang saham yang
tidak hadir karena merasa tidak diundang, sebenarnya hal demikian seharusnya yang
memalsukan data dan meminta dimasukkan risalah RUPSLB ke dalam Akta PKR
adalah pemegang saham melalui kuasa tersebut. Sehingga untuk partij akta yang

138
Adjie, Kebatalan dan Pembatalan, hlm. 20.

139
Ibid., hlm. 21.

Mulyoto, Pertanggungjawaban Notaris-PPAT dalam Menjalankan Tugas Jabatannya,


140

(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2014). hlm. 18.


51

demikian, sebenarnya jika terbukti ada kepalsuan dalam risalah RUPSLB dimaksud,
seharusnya bukan merupakan kesalahan dan menjadi tanggung jawab Notaris.141
Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika
ada prosedur yang tidak dipenuhi, maka akta tersbeut dengan proses pengadilan dapat
dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu maka nilai pembuktiannya diserahkan
kepada Hakim.142

2.2.6. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta


Notaris diberi kewenangan dalam pembuatan suatu akta otentik, oleh karena itu
Notaris yang bersangkutan berkewajiban memenuhi segala persyaratan yang telah
ditentukan, khususnya dalam pembuatan akta agar akta yang dibuat tersebut memenuhi
segala persyaratan sebagai akta otentik. Konsekuensi yang timbul atas kewenangan
tersebut adalah Notaris tersebut harus bertanggungjawab dan apabila terjadi
pelanggaran atau penyimpangan persyaratan pembuatan akta yang dibuatnya, maka
akan membawa akibat terhadap tidak sahnya akta yang dibuat oleh notaris tersebut.143
Dalam melaksanakan tugasnya sesuai undang-undang, Notaris berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya mempunyai tanggung jawab terhadap jabatannya serta
tanggung jawab kepada kliennya dalam membuat akta. Menurut Sudarsono, tanggung
jawab adalah keharusan kepada seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa
yang telah diwajibkan kepadanya. Obyek tanggung jawab adalah tindakan yang
sungguh-sungguh manusiawi bertolak dari bagian manusia yang bertindak melalui
kehendak bebas.”144
Tanggungjawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan
kebenaran materiil dibedakan dalam:

141
Ibid.

142
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 55.

143
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Surabaya:
Mandar Maju, 2011), hlm. 17.

144
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 84.
52

1. tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap


akta yang dibuatnya;
2. tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil akta yang
dibuatnya;
3. tanggungjawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan Notaris terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; dan
4. tanggungjawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris.145
Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap kewajiban yang diemban Notaris
berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, mengakibatkan ketidakteraturan yang
sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan. Oleh karena itu
fungsi sanksi diterapkan sebagai instrument yuridis yang biasanya diberikan apabila
kewajiban-kewajiban yang ditentukan telah dilanggar.
Sanksi kepada Notaris merupakan penyadaran bahwa Notaris dalam melakukan
tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas
jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN, dan untuk mengembalikan
tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan
UUJN. Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN mengatur mengenai 2 (dua) macam sanksi terhadap
Notaris, yaitu sanksi perdata dan sanksi administratif.146

2.2.6.1. Sanksi Perdata


Sanksi ini berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga yang merupakan akibat
yang akan diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan
berubah kekuatan pembuktiannya. Pasal 84 UUJN menyebutkan bahwa pihak yang
dirugikan dengan berubahnya kekuataan pembuktian akta Notaris dapat mengajukan
gugatan terhadap Notaris. Sanksi perdata dapat dijatuhkan kepada Notaris apabila akta
yang dibuatnya hanya mempunyai kekuataan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
atau menjadi batal demi hukum. Pihak yang karena perbuatannya menimbulkan

145

Abdul Gofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta:
UII Press, 2009), hlm. 34.

146
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 90
53

kerugian kepada pihak pihak harus bertanggung jawab dan mengganti kerugian yang
timbul karena perbuatan tersebut, termasuk Notaris.147
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena
melanggar ketentuan tertentu, akan terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta bawah tangan. Sedangkan suatu akta
yang batal demi hukum, maka akta tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah
dibuat. Menurut Habib Adjie, sesuatu yang tidak pernah dibuat tidak dapat dijadikan
dasar suatu tuntutan dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Dengan
demikian, seharusnya suatu akta Notaris yang batal demi hukum tidak menimbulkan
akibat untuk memberikan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada para pihak
yang tersebut dalam akta.148
Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris secara perdata, R. Wirjono
Prodjodikoro dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru muncul ketika
orang itu melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum. Sebagian besar
dari perbuatan-perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang dalam KUHPerdata
dinamakan dengan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).149 Perbuatan
melawan hukum diatur dalam KUHPerdata Buku III Bab III tentang perikatan-perikatan
dari Pasal 1365 hingga Pasal 1380. Secara lengkap bunyi Pasal 1365 KUHPerdata
adalah bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
orang, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, unsur-unsur perbuatan melawan
hukum adalah sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melawan hukum;
b. Harus ada kesalahan;
c. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
147
Anita Afriana, “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam Penyelesaian
Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”, Jurnal Poros Hukum Padjajaran, Vol. I,
No. 2 (Mei 2020), hlm. 246-261

148
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 91
149

R. Wirjono Prodjodikiro, Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut Hukum Perdata,
(Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 80.
54

d. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.150


Apabila profesi Notaris dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum, maka
apabila Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dengan sengaja melakukan suatu
perbuatan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak yang menghadap di dalam
pembuatan suatu akta dan hal itu benar-benar dapat diketahui, bahwa sesuatu yang
dilakukan oleh Notaris misalnya bertentangan dengan undang-undang, maka Notaris
dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.151
Namun apabila Notaris yang tugasnya juga memberikan pelayanan kepada
masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau
pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta itu terdapat suatu klausula yang
bertentangan misalnya dengan undang-undang, sehingga menimbulkan kerugian
terhadap orang lain, sedangkan para pihak yang menghadap sama sekali tidak
mengetahuinya, maka dengan sikap pasif atau diam itu Notaris yang bersangkutan dapat
dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata.152
Sejalan dengan hal tersebut, M.A. Moegni Djojodirdjo menyatakan bahwa Pasal
1365 KUHPerdata hanya mengatur kapan seseorang yang mengalami kerugian karena
perbuatan orang lain, maka seseorang itu dapat mengajukan gugatan ganti kerugian
kepada Pengadilan Negeri. Artinya dalam hal ini terhadap pihak yang dirugikan dalam
pembuatan akta otentik yang dibuat baik oleh maupun di hadapan Notaris, dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan supaya Notaris mengganti kerugian yang
ditimbulkan.153
Tanggung jawab yang dimiliki oleh Notaris menganut prinsip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan, dalam pembuatan akta otentik Notaris harus bertanggung jawab
apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja
oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para
pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai

150
Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Putra Abidin, 1999), hlm. 76.

151
Nico, Tanggung Jawab Notaris, hlm. 86

152
Ibid.

153
Agnes M. Toar, Kursus Hukum Perikatan tentang Perbuatan Melawan Hukum, sebagaimana
dikutip dalam Makalah Cipto Soenaryo, Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Pelayanan
kepada Publik sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang,(Medan, 2011), hlm. 10
55

peraturan, Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Hal


tersebut dikarenakan Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak
untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak
adalah menjadi tanggung jawab para pihak.154
Habib Adjie menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap Notaris dalam bentuk
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga akibat akta Notaris mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum, berdasarkan adanya:
1. hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan
bentuk sebagai perbuatan melawan hukum;
2. ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam:
2.3. teknik administratif membuat akta berdasarkan UUJN;
2.4. penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang
bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak didasarkan pada
kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan
hukum pada umumnya.155
Sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi
dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa:
1. adanya diderita kerugian;
2. antara kerugian yang diderita dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris
terdapat hubungan kausal;
3. pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.156

2.2.6.2. Sanksi Administratif


Dalam Pasal 85 UUJN, ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi administratif,
yaitu:
1. teguran lisan;
2. teguran tertulis;

154
Andi Mamminanga, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam
Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, (Yogyakarta: Tesis Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, 2008), hlm. 32.

155
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 104.

156
Ibid.
56

3. pemberhentian sementara;
4. pemberhentian tidak hormat.157
Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang mulai dari teguran lisan
sampai dengan pemberhentian tidak hormat, karena Notaris melanggar pasal-pasal
tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN yaitu pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b, Pasal 16
ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1)
huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i,
Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal
32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63.158
Teguran lisan ditempatkan oleh Pasal 85 UUJN pada urutan pertama pemberian
sanksi, yang merupakan suatu peringatan kepada Notaris dari Majelis Pengawas yang
jika tidak dipenuhi ditindaklanjuti dengan sanksi teguran tertulis. Apabila sanksi
tersebut tidak juga dipatuhi oleh Notaris yang bersangkutan, maka dapat dijatuhi sanksi
yang berikutnya secara berjenjang. Sebelum menjatuhkan sanksi administratif berupa
pemberhentian dengan tidak hormat terhadap Notaris tersebut, ditempuh dulu
penjatuhan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis, untuk kemudian mengusulkan
pemberian sanksi pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam)
bulan dan selanjutnya mengusulkan untuk pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya. Hal tersebut dapat dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada yang
bersangkutan untuk membela diri dan memperbaiki diri.159
Penempatan sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis sebagai awal untuk
menjatuhkan sanksi yang selanjutnya bukan termasuk sanksi administratif. Dalam
sanksi administratif beruapa paksaan pemerintah, sebelum dijatuhkan sanksi harus
didahului oleh teguran lisan dan teguran tertulis, hal ini dimasukkan sebagai aspek
prosedur paksaan nyata.160 Pelaksanaan teguran lisan dan maupun tertulis bertujuan
157
Ibid., hlm. 109

158
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2014, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356,
Ps.85.

159
Ibid., hlm. 104

160
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), hlm. 245.
57

untuk menguji ketepatan dan kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis
dengan pelanggaran yang dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku.161
Penegakan hukum menyebutkan bahwa instrumen penegakkan hukum meliputi
pengawasan dan penegakkan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk
memaksakan kepatuhan, dan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk
memaksakan kepatuhan. Dalam menegakkan sanksi administratif terhadap Notaris,
Majelis Pengawas menjadi instrumen pengawas yang mengambil langkah-langkah
preventif untuk menerapkan sanksi yang represif serta memaksakan kepatuhan agar
sanksi-sanksi tersebut dapat dilaksanakan. Langkah-langkah preventif dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan secara berkala 1 (satu) kali dalam satu tahun atau setiap waktu
yang dianggap perlu untuk memeriksa ketaatan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya yang dilihat dari pemeriksaan protokolnya oleh Majelis Pengawas Daerah
(MPD).
MPD kemudian dapat memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah
(MPW), jika atas laporan yang diterima MPD menemukan adanya unsur pidana,
kemudian juga dapat menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. Jika hasil
pemeriksaan MPD menemukan pelanggaran, maka MPD tidak dapat menunjukkan
sanski yang represif kepada Notaris melainkan hanya dapat melaporkan kepada MPW.
MPW dapat melakukan langkah preventif dengan menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan
melalui MPW dan memanggil Notaris sebagai terlapor untuk dilakukan pemeriksaan,
MPW juga memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan MPD. MPW dapat melakukan
langkah represif, yaitu menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanski
ini bersifat final, dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat (MPP) berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam)
bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat.

2.2.6.3. Sanksi Pidana


Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas
jabatan Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus
berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal tersebut, yaitu UUJN. Apabila

161
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 115.
58

semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh, suatu hal yang tidak mungkin secara
sengaja Notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut.
Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh Notaris, merupakan suatu tindakan yang
disadari atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal Notaris
sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan Bersama-sama dengan para penghadap.
Sanksi pidana terhadap Notaris tunduk kepada ketentuan pidana umum, yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UUJN tidak mengatur mengenai tindak
pidana khusus untuk Notaris.162
Banyaknya kasus pidana yang berkaitan dengan profesi jabatan Notaris, sehingga
Notaris harus dapat mempertanggung jawabkan terhadap akta otentik yang dibuat dan
berindikasi perbuatan pidana, mengharuskan Notaris hadir dalam pemeriksaan awal
yaitu penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan sampai dengan proses
persidangan di Pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat membuat
pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan Kepolisian. Adapun pasal-pasal
tindak pidana yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas Notaris yaitu Pasal 263
KUHP jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat.
Pasal 263 KUHP menyebutkan ada (2) dua macam pemalsuan surat, yaitu
membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yang merupakan perbuatan membuat surat
yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar. Dalam hal ini dibuat suatu surat
yang isinya tidak benar namun suratnya sendiri asli karena tidak ada sesuatu yang
dirubah, ditambah ataupun dikurangi. Pemalsuan yang kedua yaitu memalsukan surat
(vervalscht) dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian
tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya ada tetapi surat itu kemudian
dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya.163

2.2.7. Peran Notaris dalam Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan Terbatas
Salah satu syarat dari Akta Pendirian PT yang diatur pada Pasal 7 ayat (1) UUPT
adalah cara mendirikan Perseroan harus dibuat secara tertius (schriftelijk, in writing),
dalam bentuk akta, yakni:164

162
Ibid., hlm. 119

163
Soegeng Santosa, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap, “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”, Majalah Renvoi No. 22, (Maret 2005), hlm 30.

164
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, hlm. 168.
59

1. berbentuk Akta Notaris, tidak boleh berbentuk akta bawah tangan;


2. keharusan Akta Pendirian mesti berbentuk Akta Notaris, tidak hanya berfungsi
sebagai probationis causa. Maksudnya, Akta Notaris tersebut tidak hanya
berfungsi sebagai alat bukti atas perjanjian pendirian Perseroan. Tetapi, Akta
Notaris itu berdasar Pasal 7 ayat (1), sekaligus bersifat dan berfungsi sebagai
solemnitatis causa yakni apabila tidak dibuat dalam Akta Notaris, Akta
Pendirian Perseroan itu tidak memenuhi syarat, sehingga terhadapnya tidak
dapat diberikan pengesahan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Menurut Dr. Mulyoto, di masa lalu pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia turut membantu atas kebenaran secara keseluruhan akta
pendirian PT demikian juga yang berlaku dalam hal perubahan AD Perseroan yang
memerlukan persetujuan Menteri. Hal tersebut dikarenakan di masa lalu permohonan
pengesahan atas akta pendirian PT, salinan akta pendirian PT dikirim ke Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia kemudian dikoreksi oleh korektor,
jika ada kesalahan di coret-coret dan diberi catatan pembetulan kemudian dikirim
kembali ke kantor Notaris untuk dibetulkan.165
Dr. Mulyoto menyatakan lebih lanjut bahwa sekarang ini segala sesuatu
diusahakan dengan serba cepat, praktis, efisien dan menghindarkan sejauh mungkin
kontak person (face to face) untuk menghindari kolusi dan sebagainya, yaitu dengan
diterapkannya Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dimana segala sesuatunya
dilakukan secara elektronik melalui internet. Untuk keperluan guna mendapatkan
pengesahan atas akta pendirian PT, Notaris tidak lagi harus mengirimkan dokumen fisik
ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, melainkan Notaris
selaku kuasa dari pendiri PT cukup memasukkan sebagian data.166
Selain berperan untuk membuat Akta Pendirian Perseroan, peran Notaris lainnya
yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas yaitu membuat akta atas penyelenggaraan
RUPS yang diselenggarakan perseroan. Berkaitan dengan fungsinya sebagai pejabat
umum, Notaris oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menuangkan semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang dikehendaki oleh para pemegang saham untuk

165
Mulyoto, Pertanggungjawaban Notaris, hlm. 14.

166
Ibid.
60

ke dalam sebuah akta. Hal tersebut agar akta yang dibuatnya tersebut memiliki kekuatan
bukti yang sempurna untuk dimintakan pengesahan kepada pemerintah.
Mengenai penyelenggaraan RUPS, menurut Yahya Harahap setiap
penyelenggaraan RUPS wajib dibuatkan risalahnya. Oleh karena itu, pembuatannya
bersifat imperatif (mandatory rule). RUPS yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan
dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam
RUPS tidak dapat dilaksanakan.
Dalam penyelenggaraan RUPS, Notaris selaku Pejabat Umum berwenang untuk
membuatkan akta otentik/akta Notaris atas pelaksanaan RUPS tersebut. Terdapat 2
(dua) jenis akta otentik berkaitan dengan RUPS Perseroan, yaitu:
1. Akta Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham; dan
2. Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham.
Kedua jenis akta tersebut melahirkan pertanggungjawaban yang berbeda bagi
Notaris yang membuatnya.
Akta Berita Acara RUPS adalah termasuk akta relaas yang menguraikan secara
otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan
Notaris sebagai pembuat akta itu. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian
dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat
oleh.
Sedangkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
merupakan akta para pihak atau partij akta yang berisikan suatu cerita dari apa yang
terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang (para pihak) di hadapan
Notaris. Artinya yang diterangkan atau yang diceritakan oleh orang-orang ataupun para
pihak yang menghadap kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak/orang-orang itu sengaja datang di hadapan Notaris dan
memberikan keterangan itu, atau melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar
keterangan atau perbuatannya itu dikonstatir (diformulasikan) oleh Notaris di dalam
suatu akta otentik. Akta yang sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat di hadapan
Notaris.

2.3. Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Palembang 43/PDT.G/2017.PN.PLG


Pada tahun 2008, IA yang merupakan salah satu pemegang saham dan juga
menjabat sebagai direktur utama PT XYZ menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda
61

untuk merubah Anggaran Dasar (AD) perseroan, merubah susunan pemegang saham
dan merubah susunan direksi serta komisaris. PT XYZ sendiri sahamnya dimiliki oleh 4
(empat) orang pemegang saham yaitu IA, ET, AB dan AP.
Seluruh pemegang saham terkecuali ET hadir dalam RUPSLB tersebut dengan
mewakili 80% (delapan puluh persen) dari total keseluruhan saham perseroan. Ketiga
pemegang saham tersebut menyetujui seluruh agenda yang diputuskan dalam rapat,
sehingga kemudian IA meminta Notaris HJ untuk menuangkannya dalam sebuah akta
PKR. Dalam keterangannya kepada Notaris HJ, IA menyatakan bahwa keputusan yang
diambil dalam RUPSLB tersebut telah disetujui oleh seluruh pemegang saham
perseroan termasuk ET yang dibuktikan dengan tanda tangan ET dalam risalah
RUPSLB tersebut.
Pada tahun 2016, ET baru mengetahui bahwa pada tahun 2008 telah
diselenggarakan RUPSLB tanpa sepengetahuannya. ET merasa tidak pernah menerima
undangan atas pemanggilan rapat RUPSLB tersebut sehingga keterangan yang
menyatakan dirinya hadir dan tanda tangannya pada risalah RUPSLB di tahun 2008
tersebut adalah palsu. Keputusan yang diambil dalam RUPSLB tersebut dianggap telah
merugikan dirinya baik sebagai pemegang saham maupun direktur perseroan PT XYZ.
ET kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Palembang untuk meminta
Pengadilan membatalkan RUPSLB dan akta PKR yang dibuat dihadapan Notaris HJ.
Pada jalannya persidangan, Para Tergugat yang terdiri dari pemegang saham IA,
AB, AP menyatakan pemanggilan rapat telah dilakukan sebelum penyelenggaraan
RUPSLB dan ET dinyatakan telah menerima pemanggilan tersebut. Namun Para
Tergugat termasuk Notaris HJ sebagai Turut Tergugat tidak dapat menunjukkan
warkah-warkah yang membuktikan bahwa pemanggilan rapat benar telah dilakukan,
seperti salinan surat tercatat atau pemberitahuan rapat, salinan tanda terima
pemberitahuan rapat dan salinan dari daftar hadir rapat itu sendiri.
Para Tergugat menyatakan pengambilan keputusan dalam RUPS adalah sah
dikarenakan ketiga pemegang saham yang secara bersama-sama mewakili 80% (delapan
puluh) saham telah hadir dan menyetujui agenda rapat dalam RUPSLB tersebut,
sehingga kehadiran dan hak suara ET tidak lagi diperlukan. Para Tergugat juga
menyatakan bahwa apabila ET sebagai Penggugat merasa keterangan atas kehadiran
dirinya pada saat RUPSLB adalah tidak benar dan tanda tangan dirinya pada risalah
62

rapat adalah palsu, seharusnya ET melaporkan IA atas tuduhan pemalsuan keterangan


dan tanda tangan ke pihak kepolisian bukan malah mengajukan gugatan untuk
membatalkan akta PKR atas RUPSLB tersebut ke Pengadilan Negeri.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun kuorum
atas pengambilan keputusan rapat tanpa kehadiran ET telah terpenuhi sesuai ketentuan
Pasal 86 UU PT, pelaksanaan pemanggilan rapat harus tetap dilaksanakan sesuai
ketentuan UU PT dan Pasal 22 Anggaran Dasar PT XYZ yaitu 7 (tujuh) hari sebelum
diselenggarakannya RUPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim
memutuskan bahwa risalah RUPSLB cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Berdasarkan risalah RUPSLB yang dinyatakan cacat hukum dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat tersebut, maka akta PKR Nomor 2 tanggal 23 April 2008 yang
dibuat IA selaku Tergugat dihadapan Turut Tergugat Notaris HJ juga dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan mengikat. Para Tergugat termasuk Notaris HJ juga dihukum
secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara.

2.4. Asas Kepastian Hukum dalam Pembuatan Akta


Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen dengan menyertakan
beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan
aksi manusia yang deliberative. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik
dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut
menimbulkan kepastian hukum.167
Dalam suatu peraturan hukum, terkandung asas-asas hukum yang menjadi dasar
pembentuknya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum dapat diartikan
sebagai “jantungnya” peraturan hukum.168 Dalam pembentukan aturan hukum,
terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas

167
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58.

168
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 45.
63

tersebut ialah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini awalnya
diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul “einführung in die
rechtswissenschaften”. Radbruch menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat 3 (tiga)
nilai dasar, yakni keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan
kepastian hukum (rechtssicherheit).169
Sejatinya keberadaan asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah
pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan.
Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi
yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu.170
Kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum saat ini sangat krusial dan
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga setiap
elemen-elemen dalam masyarakat yang berhubungan baik langsung maupun tidak
langsung dengan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut haruslah memiliki
parameter yang sama yaitu tercapainya kepastian hukum.171 Peningkatan kebutuhan
akan jaminan kepastian hukum ini berakibat dengan semakin dibutuhkannya keberadaan
Notaris untuk pembuatan akta dalam semua aspek perbuatan hukum yang dilakukan
oleh masyarakat. Profesi Notaris sangatlah penting karena sifat dan hakikat dari
pekerjaaan Notaris yang sangat berorientasi pada legalisasi, sehingga dapat menjadi
fundamen hukum utama tentang status harta benda, hak, dan kewajiban para pihak yang
terlibat. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya seorang notaris harus berpegang
teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris.172
Profesi Notaris merupakan profesi yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat untuk pembuatan alat-alat bukti yang berupa akta, sehingga Notaris tidak
memihak kesalah satu Pihak dan harus berprilaku adil terhadap kedua belah pihak serta

169
Ibid., hlm. 19.

170
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), hlm. 2.

171
Abdul Hakim, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998), hlm. 70.

172
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm.51.
64

menjelaskan akibat-akibat perjanjian yang dibuatnya terhadap masing-masing. Tugas


dan wewenang Notaris erat hubungannya dengan perjanjian-perjanjian, perbuatan-
perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara
para pihak, yaitu memberikan jaminan atau alat bukti terhadap perbuatan, perjanjian,
dan juga ketetapan tersebut agar para pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai
kepastian hukum.173

173
Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif, hlm. 32
BAB 3
AKIBAT HUKUM AKTA PERNYATAAN KEPUTUSAN RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM YANG TIDAK SESUAI DENGAN PASAL 81 UNDANG-
UNDANG PERSEROAN TERBATAS (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
PALEMBANG NOMOR 43/PDT.G/2017.PN.PLG)

3.1. Akibat Hukum Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham

yang Tidak Sesuai dengan Pasal 81 Undang-Undang Perseroan Terbatas

Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum memiliki peran


untuk memberikan kepastian hukum dalam masyarakat khususnya yang berkaitan
dengan hubungan hukum keperdataan. Untuk dapat menciptakan suatu kepastian hukum
perdata di masyarakat, dalam menjalankan jabatannya Notaris harus menjalankan
jabatannya dengan berlandaskan Asas Kepastian Hukum,174 artinya Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum
yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan
dalam akta.

Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku sepatutnya akan memberikan


kepastian bagi para pihak yang melakukan perjanjian dalam akta, bahwa akta yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
sehingga jika terjadi permasalahan dikemudian hari, akta tersebut dapat dijadikan
pedoman oleh para pihak untuk menyelesaikan masalah diantara para pihak.175 Notaris
dalam menjalankan jabatannya harus berdasarkan asas kepastian hukum tersebut,
sehingga walaupun Notaris tidak bertanggungjawab atas keterangan para pihak, namun
Notaris tetap harus menelaah keterangan para pihak tersebut agar apa yang hendak
dituangkan ke dalam akta bukan merupakan keterangan atau kesepakatan yang
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.

174
Putri A. R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, (Medan: Sofmedia, 2011), hlm. 21-31.

175
Habib Adjie, Meneropong Khasanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan tulisan Tentang
Notaris dan PPAT, (Bandung; Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 185.
67

Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat dituangkan


dalam bentuk akta atau tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua
dokumen yang diperlihatkan kepadanya sebelum membuat akta, meneliti semua bukti
yang ditunjukkan dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak secara
seksama. Peran utama Notaris dalam menciptakan kepastian hukum di masyarakat
adalah dengan pembuatan akta, baik akta partij maupun akta relaas. Berkaitan dengan
peran Notaris dalam Perseroan Terbatas (PT), Notaris menciptakan otentisitas dari akta
yang dibuatnya berisi kehendak-kehendak para pemegang saham dalam memutuskan
hal-hal terkait keberlangsungan perseroan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), wewenang untuk mengambil
keputusan dalam perseroan tersebut diberikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).

Dalam penyelenggaraan RUPS sebuah PT, Notaris berdasarkan jabatannya


berwenang untuk membuatkan akta otentik/akta Notaris atas pelaksanaan RUPS
tersebut, baik berbentuk Akta Berita Acara RUPS atau Akta Pernyataan Keputusan
Rapat (PKR). Akta Berita Acara RUPS merupakan akta relaas sedangkan Akta PKR
merupakan akta para pihak atau partij acta yang berisikan uraian atau keterangan,
pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris untuk
dikonstatir (diformulasikan) oleh Notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang
sedemikian itu dinamakan akta yang dibuat di hadapan Notaris.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata (KUHPerdata) yang merupakan sumber untuk otentisitas akta Notaris, akta
PKR yang dibuat dihadapan Notaris telah memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai
akta otentik karena:

1. Akta tersebut dibuat dihadapan Notaris yang bertindak sebagai seorang Pejabat
Umum;

2. Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh UU JN; dan

3. Notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta PKR tersebut mempunyai
kewenangan untuk membuat akta sesuai kewenangannya dalam UU JN.
68

Berdasarkan sifatnya sebagai akta otentik maka akta PKR tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kebenaran dan nilai pembuktian akta
tersebut tidak diragukan lagi apabila digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Semua
pihak yang terlibat dalam akta tersebut terikat untuk mematuhi apa yang tercantum di
dalamnya tanpa dapat ditafsirkan lain. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat
dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta.

Seperti yang telah diuraikan dalam Bab 2 sebelumnya, akta PKR yang menjadi
objek sengketa dalam perkara Putusan Pengadilaan 43/PDT.G/2017.PN.PLG adalah
akta partij yang dibuat Notaris HJ selaku Turut Tergugat atas penyelenggaraan Rapat
Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT XYZ pada tanggal 18 April 2008.
Penghadap akta adalah IA yang merupakan pemegang saham dan direktur utama PT
XYZ. IA menerangkan bahwa PT XYZ telah menyelenggarakan RUPSLB untuk
menyetujui beberapa keputusan yaitu penyesuaian Anggaran Dasar (AD) perseroan
dengan UU PT, perubahan kepemilikan pemegang saham dan perubahan susunan
direksi perseroan. IA menyatakan dalam keterangannya kepada Notaris HJ bahwa
seluruh pemegang saham hadir dan menyetujui secara bulat keputusan yang diambil
dalam RUPSLB tersebut. Padahal, ET selaku direktur dan juga pemilik atas 20% (dua
puluh persen) saham perseroan baru mengetahui perihal mengenai pelaksanaan
RUPSLB tersebut di tahun 2016 sehingga sangat mustahil bagi ET untuk hadir dan
menandatangani risalah RUPSLB di tahun 2008 tersebut.

ET yang merasa dirugikan atas keputusan yang diambil dalam RUPSLB tersebut
kemudian mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Palembang untuk
menyatakan RUPSLB PT XYZ di tahun 2008 tersebut adalah cacat hukum dan tidak
memiliki kekuatan berlaku secara yuridis serta menyatakan akta PKR Nomor 2 tanggal
23 April 2008 yang telah diterbitkan atas RUPSLB tersebut menjadi cacat hukum
sehingga batal dan tidak memiliki kekuatan berlaku secara yuridis. ET selaku Penggugat
menggugat Para Tergugat yang terdiri dari IA bersama 2 (dua) pemegang saham PT
XYZ lainnya, yaitu AB dan AP serta Notaris HJ selaku pembuat akta PKR sebagai
Turut Tergugat.
69

Akta Notaris sesuai dengan fungsi yuridisnya berlaku sebagai akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) tentang apa
yang dimuat di dalamnya dan mengikat (bindende bewijskracht) kepada para pihak
yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka. Kekuatan
pembuktian akta otentik diatur dalam Pasal 1870 KUHPer yang mengatakan bahwa
suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat didalamnya.

Berdasarkan kekuatan yang melekat pada akta otentik, maka dengan demikian
kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum dalam akta PKR Nomor 2 tanggal 23
April 2008 menjadi sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang
disebut dalam akta. Sehingga, apabila diajukan suatu gugatan untuk membatalkan isi
dari akta PKR tersebut, Penggugat ET harus membuktikan terlebih dahulu bahwa unsur
nilai pembuktian akta PKR sebagai akta otentik tidak terpenuhi agar akta tersebut
kekuatan pembuktiannya terdegradasi menjadi akta berkekuatan di bawah tangan.

Apabila akta PKR PT XYZ yang dibuat oleh Notaris HJ dikaitkan dengan
kekuatan nilai pembuktian yang bersifat lahiriah (uitwendige bewijskracht) dan formal
(formele bewijskracht), maka akta PKR tersebut telah mampu membuktikan
keabsahannya sebagai sebuah akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Parameter
untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik secara lahiriah, yaitu tanda tangan
dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya
awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Selama jalannya persidangan,
baik ET dalam gugatannya maupun Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya,
sama sekali tidak menyebutkan dalil yang berkaitan dengan tanda tangan Notaris HJ
ataupun atau awal serta dan akhir akta PKR yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya
sehingga dapat disimpulkan bahwa akta PKR atas RUPSLB PT XYZ di tahun 2008
tersebut telah terpenuhi unsur kekuatan pembuktian lahiriahnya sebagai akta otentik.

Berkaitan dengan kekuatan pembuktian formal akta Notaris, akta PKR PT XYZ
yang menjadi objek perkara tersebut telah memberi kepastian bahwa kejadian dan fakta
atas penyelenggaraan RUPS pada tahun 2008 benar-benar terjadi dan diterangkan oleh
70

IA selaku penghadap dan tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal, akta PKR tersebut membuktikan
kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, waktu menghadapnya IA
kepada Notaris HJ serta membuktikan kebenaran atas paraf dan tanda tangan IA selaku
penghadap, saksi dan Notaris HJ selaku pejabat yang berwenang membuat akta PKR
tersebut.

Pada jalannya persidangan, baik ET dalam gugatannya maupun Majelis Hakim


dalam pertimbangan putusannya tidak menyebutkan dalil untuk menyangkal aspek
formal akta PKR tersebut seperti misalnya bahwa IA selaku penghadap dapat disangkal
kehadirannya pada saat menghadap Notaris HJ pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta
pukul yang tersebut dalam awal akta, atau dinyatakan tanda tangan IA selaku
penghadap yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Berdasarkan tidak
adanya dalil dalam persidangan yang menyangkal aspek formal akta PKR PT XYZ yang
disengketakan, maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian formal akta PKR
atas risalah RUPSLB PT XYZ sebagai akta otentik telah terpenuhi unsurnya.

Nilai pembuktian materil akta (materiele bewijskracht) merupakan kepastian


tentang materi suatu akta, bahwa apa yang dicantumkan dalam akta merupakan
pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta, kecuali ada pembuktian
sebaliknya (tegenbewijs). Apabila dikaitkan dengan kekuatan pembuktian material,
maka akta PKR yang dibuat oleh Notaris HJ atas keterangan yang diberikan IA
dihadapannya mengenai RUPSLB PT XYZ telah dinilai benar dan mempunya kepastian
sebagai yang sebenarnya serta menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pemegang
saham sebagai pihak yang terikat di dalamnya.

Untuk membuktikan aspek materil dari akta PKR dalam kasus PT XYZ, maka ET
sebagai pihak yang menderita kerugian atas adanya akta PKR tersebut dalam
persidangan harus dapat membuktikan bahwa keterangan yang diberikan IA selaku
penghadap akta di hadapan Notaris menjadi tidak benar. Dalam gugatannya, ET
menyatakan beberapa hal untuk menyangkal isi dari akta PKR atas RUPSLB yang
menjadi objek sengketa sebagai berikut:
71

1. bahwa tidak benar apabila ET pernah menerima undangan atas pemanggilan


RUPSLB PT XYZ yang diadakan pada tanggal 18 April 2008;

2. bahwa tidak benar apabila ET hadir dalam RUPSLB PT XYZ yang


dilaksanakan pada 18 April 2008 tersebut di Jl. H. Faqih Umar, Palembang;

3. bahwa tidak benar apabila ET menandatangani risalah RUPSLB atas


persetujuan agenda rapat;

4. bahwa tidak benar apabila tanda tangan yang tercantum dalam RUPSLB PT
XYZ tertanggal 18 April 2008 tersebut adalah tanda tangan dirinya.

Untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya di muka pengadilan, ET mengajukan


beberapa alat bukti tertulis antara lain seperti salinan risalah RUPSLB PT XYZ yang
didalilkan Para Tergugat telah ditandatangani oleh ET, salinan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan salinan Passport. Dalam pertimbangan putusan, Majelis Hakim menyatakan
bahwa secara kasat mata, tanda tangan ET yang tertera dalam risalah RUPSLB PT XYZ
tertanggal 18 April 2008 adalah sangat berbeda dengan yang tercantum dalam KTP dan
passport ET. Bukti-bukti tertulis yang menunjukkan bahwa pemanggilan rapat atas
RUPSLB di tanggal 18 April 2008 tersebut juga tidak pernah dihadirkan dalam
persidangan, terutama oleh Para Tergugat.

Hal tersebut menunjukkan bahwa keterangan yang didalilkan ET dalam


persidangan terbukti dapat menyangkal keterangan yang diberikan IA selaku penghadap
akta kepada Notaris HJ mengenai RUPSLB yang diselenggarakan pada 18 April 2008
tersebut. Dengan demikian, nilai pembuktian materil atas akta PKR yang disengketakan
menjadi tidak terpenuhi, sehingga kekuatan pembuktian akta PKR tersebut sebagai akta
otentik menjadi tidak utuh.

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga akta


tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang
tertulis dalam akta tersebut.176 Berkaitan dengan akta PKR PT XYZ yang dalam
persidangan dapat dibuktikan bahwa aspek pembuktian materilnya tidak terpenuhi,
176
Habib Adjie, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 48
72

maka akta PKR tersebut telah terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di
bawah tangan.

Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak


mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari satu pihak. Menurut Pasal 1875
KUHPerdata, jika para pihak mengakuinya maka akta di bawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik. Namun jika ada salah
satu pihak yang tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang
menyangkal akta tersebut. Penilaian atas penyangkalan bukti tersebut diserahkan kepada
Majelis Hakim untuk dapat menafsirkan dan memutus keabsahan atas akta yang
disengketakan.

Setelah dapat membuktikan bahwa nilai pembuktian akta PKR PT XYZ kini
hanya bersifat di bawah tangan, maka selanjutnya adalah tugas Majelis Hakim untuk
menilai keabsahan dari akta tersebut berdasarkan keterangan dan bukti-bukti yang
diajukan para pihak yang bersengketa dalam persidangan. Parameter untuk mengukur
keabsahan suatu akta adalah dengan menilai keabsahan dan kebenaran peristiwa hukum
yang terjadi di dalamnya, karena sejatinya suatu akta partij atau akta para pihak
berisikan keterangan-keterangan yang diceritakan atau diterangkan pihak yang
menghadap kepada Notaris agar keterangan tersebut dituangkan dalam suatu akta.

Peristiwa hukum yang dimuat dalam akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April 2008
adalah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT XYZ yang diselenggarakan pada
18 April 2008, sehingga untuk menilai keabsahan akta PKR tersebut maka prosedur atas
penyelenggaraan RUPSLB harus dianalisa terlebih dahulu kesesuaiannya terhadap tata
cara pelaksanaan RUPS oleh UU PT dan Anggaran Dasar PT XYZ itu sendiri. Tata cara
pelaksanaan RUPS sebagaimana diatur dalam UU PT tidak hanya menentukan
persyaratan material yang harus dipenuhi pada saat jalannya RUPS seperti kuorum
kehadiran untuk mengambil keputusan dalam rapat, namun juga mengatur persyaratan
formil sebelum RUPS tersebut dilangsungkan yaitu mengenai pemanggilan rapat.

Fakta di persidangan kasus PT XYZ menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 22


Anggaran Dasar PT XYZ yang termuat dalam Akta Pendirian Nomor 48 tanggal 23
April 2001 menentukan bahwa pemanggilan rapat harus dilakukan paling lambat 7
73

(tujuh) hari sebelum diselenggarakannya rapat. Berkaitan dengan pemanggilan rapat


yang didalilkan Penggugat tidak diterimanya sebelum RUPSLB PT XYZ dilangsungkan
pada 18 April 2008, Para Tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan Penggugat
menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa sebelum dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

seluruh pemegang saham sudah diberikan undangan untuk menghadiri RUPS


dimaksud, termasuk dalam hal ini adalah Penggugat juga pasti sudah diberikan
Surat Undangan untuk pelaksanaan RUPS tersebut.”177

Pada jalannya persidangan, Para Tergugat bersama-sama dengan Notaris HJ


selaku Turut Tergugat tidak pernah mendalilkan waktu atas pelaksanaan pemanggilan
rapat sebelum RUPSLB diselenggarakan, baik itu dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari
sebelum pelaksanaan rapat atau diluar tenggat waktu tersebut. Para Tergugat dalam
mengajukan bukti-bukti tertulis di persidangan juga tidak pernah menyerahkan salinan
atas bukti pemanggilan rapat tersebut seperti misalnya bukti salinan atas surat tercatat
dan/atau iklan dalam surat kabar maupun salinan tanda terima surat tercatat atas
pemanggilan RUPS yang telah diterima Penggugat ET.

Notaris HJ selaku pejabat yang membuat akta PKR atas risalah RUPSLB yang
disengketakan tersebut juga tidak pernah hadir dalam persidangan untuk membuktikan
apa yang didalilkan penggugat adalah tidak benar, sehingga Majelis Hakim menyatakan
dalam pertimbangannya bahwa apa yang didalilkan oleh Para Tergugat bahwa

177
Pengadilan Negeri Palembang, Putusan Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG.
74

pemanggilan rapat telah dilakukan dan Penggugat ET telah diberikan surat undangan
atas pemanggilan rapat tersebut adalah tidak benar.

Syarat sah pemanggilan RUPS diatur dalam Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) UU PT yaitu dilakukan minimal dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari sebelum tanggal RUPS diadakan, berbentuk surat tercatat dan/atau iklan dalam
surat kabar serta mencantumkan tanggal, waktu, tempat dan mata acara yang akan
dibicarakan dalam RUPS. Pasal 82 ayat (5) kemudian menjelaskan akibat hukum
apabila pemanggilan RUPS tidak sesuai dengan syarat-syarat tersebut yaitu bahwa
RUPS tetap dapat dilangsungkan dan keputusannya berlaku sah selama semua
pemegang saham dengan hak suara hadir dan keputusan yang diambil dapat RUPS
tersbeut disetujui dengan suara bulat.

Merujuk pada ketentuan mengenai syarat sah pemanggilan RUPS sesuai UU PT


tersebut, maka keputusan yang diambil dalam RUPSLB PT XYZ pada tanggal 18 April
2008 adalah menjadi tidak sah, karena selain pemanggilan RUPS yang tidak
dilaksanakan oleh direksi maupun komisaris PT XYZ, ET selaku pemegang saham
dalam perseroan juga tidak hadir dan menyetujui agenda rapat yang diputuskan dalam
RUPSLB tersebut. Berdasarkan penyelenggaraan RUPSLB yang tidak sah, maka sudah
sepatutnya risalah atas RUPSLB PT XYZ tertanggal 18 April 2008 juga dinyatakan
sebagai cacat hukum dan tidak sah mengikat para pemegang saham yang terikat dalam
akta tersebut.

Atas risalah RUPSLB PT XYZ yang cacat hukum, maka gugatan yang diajukan
oleh Penggugat ET adalah untuk membatalkan akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April
2008 yang dibuat Notaris HJ. Gugatan tersebut diajukan berdasarkan fakta bahwa
walaupun keputusan yang diambil dalam RUPSLB sebagaimana tertuang dalam risalah
rapat tersebut adalah tidak sah, tetapi akta yang memuat keterangan dan persetujuan atas
RUPSLB tersebut telah diterbitkan oleh Notaris dan berlaku mengikat bagi para pihak
yang terlibat di dalamnya hingga adanya putusan perkara perdata yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan sebaliknya.

Hal tersebut berdasarkan penerapan Asas Praduga Sah (Vermoeden van


Rechmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa, yang mana akta Notaris sebagai produk
75

yang sah dikeluarkan oleh pejabat umum harus diakui kebenarannya dan dianggap sah
sampai ada yang membuktikan sebaliknya atau menyatakan akta tersebut tidak sah.
Pembuktian untuk menyatakan bahwa sebuah akta Notaris adalah tidak sah harus
dilakukan dengan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Selama gugatan berjalan
hingga ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Akta
Notaris tetap sah dan mengikat para pihak yang berkepentingan dengan akta tersebut.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa walaupun


persyaratan pengambilan keputusan dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh
pemegang saham yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) dari jumlah seluruh saham
telah terpenuhi berdasarkan ketentuan Pasal 86 UU PT, akan tetapi pemanggilan rapat
terhadap pemegang saham harus tetap dilakukan secara sah sesuai dengan Anggaran
Dasar PT XYZ yang menyebutkan panggilan rapat harus dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari sebelum diselenggarakan rapat.

Lebih lanjut dalam pertimbangannya Majelis Hakim menegaskan bahwa terkait


pemanggilan RUPS yang dimaksud, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh para
pihak, khususnya oleh Tergugat tidak pernah diajukan dalam persidangan. Fakta bahwa
Notaris HJ sebagai pembuat akta tidak hadir dalam persidangan menjadi pembenaran
atas apa yang didalilkan oleh Penggugat ET bahwa keterangan bahwa dirinya hadir dan
ikut bertandatangan dalam risalah RUPSLB tersebut adalah tidak benar.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Pengadilan mengabulkan


gugatan ET untuk menyatakan bahwa risalah RUPSLB PT XYZ tanggal 18 April 2008
cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Akta PKR Nomor 2 tanggal 23
April 2008 yang dibuat oleh Notaris HJ juga turut dinyatakan cacat hukum dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat, sehingga segala dokumen yang dibuat berdasarkan akta
PKR tersebut juga tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan pengadilan tersebut
juga menghukum Para Tergugat dan Notaris HJ selaku Turut Tergugat secara tanggung
renteng untuk membayar perkara.

Apabila dikaitkan dengan penerapan UU PT mengenai prosedur pelaksanaan


RUPS, maka putusan pengadilan untuk menyatakan akta PKR atas pelaksanaan
RUPSLB PT XYZ tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat telah sesuai
76

dengan penerapan Pasal 82 UU PT terkait pemanggilan rapat. Akta Notaris yang


dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat, maka isi akta tersebut tidak lagi dapat
diterapkan kepada para pihak, namun eksistensi lahiriah atas akta tersebut tetap ada
karena unsur-unsur yang menyatakan bahwa akta PKR tersebut adalah akta Notaris
telah terpenuhi.

Notaris HJ secara prosedural telah membuat akta PKR tersebut berdasarkan


ketentuan undang-undang, hanya saja isi atas akta tersebut yang dinyatakan cacat
hukum karena tindakan hukum yang terjadi di dalam isi akta tersebut yaitu pelaksanaan
RUPSLB dapat dibuktikan dalam persidangan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya,
sehingga menyebabkan isi dari akta tersebut tidak lagi memiliki kekuatan mengikat bagi
para pihak yang terlibat di dalamnya. Eksistensi akta PKR tersebut sebagai akta Notaris
masih diakui sehingga Notaris tetap wajib menyimpan akta tersebut dalam reportorium
dan buku daftar akta sehingga kronologi yang runtut atas penyelenggaraan RUPSLB
sebagai perbuatan hukum PT XYZ tersebut tetap tercatat.

3.2. Pertanggungjawaban Notaris terhadap Pembuatan Akta Pernyataan


Keputusan Rapat atas Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
yang Tidak Sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas terkait Pemanggilan
Rapat dalam Putusan Pengadilaan 43/PDT.G/2017.PN.PLG

Peran Notaris sangat penting bagi lalu lintas hukum di masyarakat. Dalam
menjalankan jabatannya, Notaris tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian hukum
yang mumpuni saja tetapi juga harus menjalankan kewajibannya dengan tanggung
jawab dan penghayatan terhadap keluhuran martabat dan etika. Oleh sebab itu, Notaris
harus dapat menjalankan jabatannya secara profesional, berdedikasi tinggi, serta selalu
menjunjung tinggi harkat dan martabatnya dengan menjalankan tugasnya sesuai amanat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Di dalam ilmu hukum dikenal adanya hak dan kewajiban dalam hukum. Hak itu
memberi kenikmatan dan keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya,
sedangkan kewajiban merupakan pembatasan atau beban. Hak adalah kepentingan yang
77

dilindungi oleh hukum sedangkan kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan


kepada seseorang oleh hukum178. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan oleh
hukum kepada Notaris juga merupakan kewajiban hukum Notaris di hadapan hukum.
Mengikuti pola pikir Hans Kelsen, bahwa adanya suatu konsep yang berhubungan
antara konsep kewajiban hukum dengan tanggungjawab hukum yaitu bahwa kewajiban
hukum menimbulkan tanggungjawab hukum.

Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Notaris sebagai pejabat umum


dalam menjalankan tugas jabatannya wajib mengangkat sumpah yang merupakan
persyaratan formal berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUJN. Isi pasal
tersebut menyatakan bahwa, sebelum menjalankan jabatannya Notaris wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat
yang ditunjuk.

Bentuk tanggung jawab Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah dengan


melaksanakan kewajibannya dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
berdasarkan kode etik Notaris maupun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam menjalani pelaksanaan jabatannya seorang Notaris
haruslah bersikap sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) bahwa dalam
pelaksanaan jabatannya Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, bahwa dalam
pembuatan akta Notaris dituntut untuk bersikap cermat dan hati-hati. Sikap cermat
Notaris merupakan salah satu sikap profesional dalam pelaksanaan jabatannya.

Selanjutnya, Notaris wajib membacakan isi akta yang dibuatnya, pembuatan akta
PKR atas penyelenggaraan RUPS memiliki syarat dimana para pihak yang menghadap
Notaris harus dikenal Notaris dan Notaris harus memperoleh keyakinan bahwa identitas
serta kewenangan penghadap yang diuraikan dalam aktanya adalah sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Apabila Notaris tidak yakin atau merasa ragu, maka penghadap
dapat diperkenalkan oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Pembacaan akta oleh Notaris
wajib dilakukan kepada penghadap dan para saksi sebelum dilakukan penandatanganan
178
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed.2. (Yogyakarta: Liberty,
1993), hlm.4l.
78

agar Notaris memperoleh keyakinan dan kepastian bahwa apa yang tertuang dalam akta
benar telah sesuai dengan keinginan penghadap serta penghadap benar telah memahami
apa yang tertuang dalam akta.

Pembacaan akta yang dilakukan oleh Notaris memiliki konsekuensi bahwa


Notaris akan memperoleh keyakinan mengenai apa yang tertuang dalam akta benar
telah sesuai dengan keinginan penghadap serta penghadap benar telah memahami apa
yang tertuang dalam akta. Dengan telah dilakukannya pembacaan akta, maka Notaris
juga turut bertanggungjawab bahwa isi akta telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Setelah pembacaan akta selesai, maka akta tersebut harus
ditandatangani oleh penghadap dan para saksi dihadapan notaris. 179 Dalam pembuatan
akta otentik, Notaris bertanggungjawab atas akta tersebut baik secara formil mengenai
otentisitas akta yang dibuat dihadapannya maupun secara materiil bahwa akta yang
dibuatnya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Dalam akta Pernyataan
Keputusan Rapat yang merupakan akta para pihak, Notaris tidak bertanggungjawab atas
kebenaran materiil dari keterangan para pihak berkaitan dengan akta yang dibuatnya
karena Notaris hanya menuangkan keinginan para pihak kedalam akta. Namun
walaupun tidak bertanggungjawab atas kebenaran materiil akta, Notaris tetap bertugas
dan memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan hukum berkaitan dengan akta
yang dibuatnya sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN.

Penyuluhan hukum yang dimaksud dapat diartikan sebagai usaha


menyebarluaskan informasi dan pemahaman atas norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk mewujudkan dan mengembangkan kesadaran
hukum pihak-pihak yang membuat akta agar taat atau patuh terhadap norma hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyuluhan hukum yang dimaksud bukan
untuk masyarakat secara umum dengan materi tidak terbatas, melainkan merupakan
kewajiban Notaris kepada para pihak atau para penghadap terbatas berkaitan dengan
pembuatan akta yang dimintakan kepadanya. Notaris memberikan penyuluhan hukum
dalam bentuk memberikan penjelasan, penerangan dan pemahaman yang berkaitan
dengan perbuatan hukum yang akan diterapkan dalam akta.
179
Lily Harjati Soedewo, ”Peranan dan Tanggung Jawab Notaris,” dalam Pembuatan Kata
Notaris, Pengesahan (Legalisasi), Serta Pendaftaran (Waarmerking) Akta Dibawah Tangan”, (Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2004), hlm. 59.
79

Isi materi yang dituangkan dalam akta merupakan kehendak para pihak, sehingga
Notaris tidak memiliki kewenangan dan tidak diperkenankan untuk mengarahkan apa
yang hendak dituangkan dalam akta, namun Notaris memiliki kewenangan untuk
memberikan masukan sebagai informasi dalam bentuk penyuluhan hukum untuk
dipertimbangkan oleh para pihak. Notaris tidak hanya menerima begitu saja apa yang
diminta oleh para pihak untuk dituangkan dalam akta, melainkan juga harus membuat
penilaian terhadap isi dari akta yang dimintakan kepadanya dan tidak segan untuk
menyatakan kebenaran atau menolak jika para pihak meminta Notaris melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan kelayakan umum maupun undang-undang.

Penyuluhan hukum ini akan menambah wawasan dan pengetahuan para pihak
yang hendak membuat akta untuk membuat klausul perjanjian yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan keinginan
mereka.180 Berdasarkan kewenangan Notaris untuk memberikan penyuluhan hukum
tersebut maka lahir pula tanggung jawab Notaris untuk memastikan segala tindakan
penghadap yang memintanya melakukan pelayanan telah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

Dasar dalam penyusunan akta Notaris adalah keterangan atau penjelasan para
pihak yang disertai dengan bukti berupa dokumen pendukung yang diberikan kepada
Notaris, ataupun berdasarkan hasil penelitian awal serta negosiasi dan pernyataan untuk
kemudian dirumuskan dan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.181 Ketika
penghadap datang ke hadapan Notaris untuk membuat akta atas peristiwa hukum yang
terjadi maka kemudian Notaris akan mengkonstantir keterangan-keterangan yang
diceritakan penghadap ke dalam akta otentik sesuai dengan kewenangan bertindak para
pihak. Notaris dalam membuat akta atas permintaan atau keinginan penghadap tersebut
akan memberikan landasan kepada para penghadap perihal telah terjadinya hubungan
hukum antara para pihak sesuai yang telah dinyatakan dalam akta otentik. Oleh karena
itu, Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut

A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, (Putra
180

Media Nusantara: Surabaya, 2010), hlm. 6.

181
Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: PT Refika Aditama, 2013),
hal. 37.
80

aturan dan ketentuan hukum yang sudah ditentukan sehingga kepentingan dan
kedudukan yang bersangkutan dalam suatu perikatan terlindungi dengan dibuatnya akta
tersebut.

Pada proses pembuatan akta PKR Notaris hanya menuangkan isi akta berdasarkan
keterangan para pihak, namun sebelum membuat akta, Notaris wajib meminta bukti
dokumen pendukung yang berkaitan dengan pembuatan akta tersebut. Pada praktiknya,
dokumen yang biasanya dibutuhkan adalah dokumen yang hanya berkaitan dengan awal
akta yakni mengenai identitas dan kewenangan penghadap. Kebenaran dokumen yang
berkaitan dengan keterangan para pihak bukanlah menjadi tanggung jawab Notaris
sepenuhnya, contohnya ketika Notaris diminta untuk membuat akta atas peristiwa jual
beli, Notaris tidak diwajibkan untuk memeriksa kebenaran tentang pembayaran atas
transaksi jual beli tersebut. Notaris hanya akan mendapatkan keterangan berdasarkan
cerita dari para penghadap saja baik secara lisan maupun dalam bentuk kwitansi yang
tidak resmi. Padahal seharusnya untuk menjamin hak dan kewajiban para pihak
mengenai kebenaran materiil peristiwa jual beli tersebut, Notaris dapat meminta
dokumen berupa bukti transfer dari pihak Bank. Ketelitian dan keseksamaan Notaris
dalam menjalankan tugasnya tersebut merupakan kewajiban yang seharusnya dimiliki
setiap Notaris, karena pada dasarnya fungsi Notaris adalah memberikan kepastian
hukum dan menghindarkan para pihak dari kemungkinan apapun berkenaan dengan
risiko terjadinya sengketa di masa depan.

Apabila dikaitkan dengan kasus sengketa PT XYZ dalam Putusan Pengadilan


Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG, maka Notaris HJ dapat
dikategorikan telah melakukan pelanggaran atas ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN yang
mana Notaris HJ dalam pelaksanaan jabatannya tidak bertindak secara seksama.
Peristiwa hukum yang ingin dituangkan IA sebagai penghadap adalah penyelenggaraan
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT XYZ yang diselenggarakan
pada 18 April 2008. Walaupun Notaris HJ tidak bertanggungjawab sepenuhnya
terhadap kebenaran materiil atas penyelenggaraan RUPSLB tersebut, namun Notaris HJ
memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan penyuluhan
hukum terkait akta yang dibuatnya.
81

Notaris HJ sebagai pejabat umum yang ditunjuk berdasarkan undang-undang


sudah seharusnya dianggap memiliki pengetahuan dan keahlian hukum mengenai akta
yang dibuatnya. Notaris HJ seharusnya terlebih dahulu memastikan bahwa
penyelenggaraan RUPSLB PT XYZ yang diterangkan oleh IA sebagai penghadap telah
memenuhi persyaratan materiil dan formil Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor
40 Tahun 2007 (UU PT) dan Anggaran Dasar (AD) PT XYZ itu sendiri. Dalam
memastikan keabsahan RUPSLB yang sesuai UU PT dan AD PT XYZ, Notaris HJ
sudah seharusnya meminta dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan RUPSLB
tersebut terutama bukti pemanggilan rapat yang wajib dilakukan direksi 7 (tujuh) hari
sebelum tanggal RUPS seperti yang tercantum dalam Pasal 22 AD PT XYZ.

Berkaitan dengan pemanggilan rapat, seharusnya IA ketika menghadap Notaris HJ


dapat memperlihatkan bukti dalam bentuk salinan surat tercatat atau iklan di surat kabar
yang memuat informasi terkait pelaksanaan dan mata acara atau agenda rapat yang akan
dibahas dalam RUPSLB tersebut. Selain bukti pemanggilan tersebut, Notaris HJ juga
seharusnya memastikan kehadiran seluruh pemegang saham dalam rapat sesuai
keterangan IA sebagai penghadap dalam daftar hadir RUPSLB tertanggal 18 April
tersebut. Notaris HJ dapat memeriksa apakah tanda tangan para pemegang saham yang
tercantum dalam daftar hadir rapat telah sesuai dan sama dengan tanda tangan di
dokumen identitas masing-masing pemegang saham (KTP dan Pasasport).

Majelis Hakim dalam pertimbangannya pada Putusan Pengadilan Negeri


Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG menyatakan bahwa keterangan bahwa
Penggugat ET hadir dan bertandatangan dalam risalah RUPSLB tertanggal 18 April
2008 adalah tidak benar. Hal tersebut didasarkan atas fakta di persidangan bahwa
panggilan-panggilan sah dalam RUPSLB yang dimaksud, berdasarkan bukti-bukti yang
diajukan oleh para pihak, khususnya oleh Para Tergugat tidak pernah dimunculkan,
sedangkan tanda tangan Penggugat ET dalam akta PKR secara kasat mata sangat
berbeda dengan tanda tangan di KTP maupun paspor Penggugat ET.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim mengabulkan gugatan


Penggugat ET untuk menyatakan RUPSLB tertanggal 18 April 2008 tersebut cacat
hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Akta PKR yang dibuat oleh Notaris HJ
82

berdasarkan RUPSLB tersebut juga turut dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat
bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Putusan pengadilan tersebut juga yang
menyatakan Notaris HJ sebagai Turut Tergugat dihukum secara tanggung renteng
dengan Para Tergugat untuk membayar biaya perkara. Notaris HJ dinilai tidak teliti atau
seksama dalam menjalankan jabatannya pada saat membuat akta PKR atas RUPSLB PT
XYZ. Walaupun dalam pembuatan akta PKR Notaris HJ tidak bertanggung jawab
sepenuhnya atas kebenaran materiil dari keterangan yang disampaikan IA sebagai
penghadap, Notaris HJ tetap melalaikan kewajibannya sesuai Pasal 16 ayat (1) UUJN
dalam bertindak secara seksama serta tidak menjalankan kewenangannya dalam
melakukan penyuluhan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya sesuai Pasal 15
ayat (2) huruf e UUJN.

Tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan


kebenaran materiil akta yang dibuatnya dibagi menjadi 4 (empat) poin, yaitu:182
a. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap
akta yang dibuatnya;
b. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil terhadap
akta yang dibuatnya;
c. Tanggung jawab Notaris berdasarkan UUJN terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya;
d. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris.

Pada Bab 2 tesis ini, penulis telah menjelaskan mengenai kewajiban Notaris, yang
mana dari kewajiban tersebut lahirlah tanggung jawab Notaris, ketika ada pelanggaran
yang dilakukan oleh Notaris, maka ada sanksi yang dikenakan kepadanya, adapun
dalam kasus ini, karena Notaris melanggar isi Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, maka ia
dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur di dalam Pasal 85 UUJN.

Berdasarkan isi dari Pasal 85 UUJN, pelanggaran ketentuan sebagaimana


dimaksud Pasal 16 ayat (1) huruf a dapat dikenai sanksi berupa:

182
Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center for Documentation
and Studies of Business Law, 2003), hlm. 21.
83

a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau pemberhentian dengan tidak hormat.

Sanksi merupakan alat pemeriksa, selain hukuman, juga untuk mentaati ketetapan
yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat
pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Menurut Philipus M.
Hadjon,183 sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang
digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum
administrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi, yaitu:

a. Sebagai alat kekuasaan;


b. Bersifat hukum publik;
c. Digunakan oleh oleh penguasa;
d. Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan.

Sanksi merupakan bagian esensial dalam hukum, setiap aturan hukum yang
berlaku di Indonesia selalu memiliki klausul mengenai sanksi pada akhir bagian aturan
hukum tersebut. Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat dalam bentuk
undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri
ataupun bentuk lain di bawah undang- undang. Pencantuman sanksi dalam berbagai
aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap
aturan hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan
atau tidak dapat ditegakkan apabila pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi.
Dengan demikian pada sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang
biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang ada dalam
ketentuan hukum telah dilanggar, dan di balik pintu ketentuan perintah dan larangan
(geen verboden) tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.

183
Philipis M. Hadjon, Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan
Ketentuan Pasal 20 Ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, No. 1 Tahun XI,
Januari- Pebruari 1996, hlm. 1.
84

Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris juga merupakan sebagai penyadaran,


bahwa Notaris dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan
mengenai pelaksanaan tugas jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam UUJN, dan
untuk mengembalikan tindakan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk
tertib sesuai dengan UUJN. Selain itu, pemberian sanksi terhadap Notaris juga untuk
melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikan masyarakat,
misalnya membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang bersangkutan sebagaimana
yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut untuk menjaga martabat lembaga
Notaris sebagai lembaga kepercayaan, karena jika Notaris melakukan pelanggaran,
dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Secara individu sanksi
terhadap Notaris merupakan suatu nestapa dan pertaruhan dalam menjalankan tugas
jabatannya, apakah masyarakat masih dapat mempercayakan pembuatan akta terhadap
Notaris yang bersangkutan atau tidak. UUJN yang mengatur jabatan Notaris berisikan
ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa atau merupakan suatu aturan hukum yang
imperatif untuk ditegakkan terhadap Notaris yang telah melakukan pelanggaran dalam
menjalankan tugas jabatannya.

Berdasarkan pelanggaran Notaris HJ terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a


terkait pembuatan akta PKR PT XYZ secara tidak seksama, maka Notaris HJ dapat
dikenakan sanksi sesuai ketentuan Pasal 85 UUJN. Teguran lisan ditempatkan dalam
pasal tersebut pada urutan pertama tentang pemberian sanksi, yang merupakan suatu
peringatan kepada Notaris dari Majelis Pengawas yang apabila tidak dipenuhi, akan
ditindaklanjuti dengan sanksi berupa teguran tertulis. Apabila Notaris yang dijatuhi
sanksi tetap tidak mematuhi sanksi tersebut, maka Notaris tersebut dapat dikenakan
sanksi berikutnya secara berjenjang.

Sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis adalah awal untuk menjatuhkan
sanksi yang selanjutnya merupakan sanksi administratif, yaitu pemberhentian Notaris.
Pelaksanaan teguran lisan dan tertulis bertujuan untuk mengukur ketepatan dan
kecermatan (akurasi) antara teguran lisan dan tertulis dengan pelanggaran yang
dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Notaris yang dikenai teguran lisan
dan tertulis tersebut akan memiliki hak untuk membela diri dalam suatu upaya
85

administrasi sebelum pihak berwenang yaitu Majelis Pengawas Notaris dapat


menerapkan sanksi selanjutnya berupa pembehentian Notaris.

Sanksi terhadap Notaris tidak hanya sebatas pada ketentuan di dalam UUJN, akan
tetapi dalam menjalankan jabatannya, Notaris juga bisa dikenakan sanksi secara
Perdata, Administratif dan Pidana, tergantung kerugian apa yang ditimbulkan dari
perbuatan Notaris tersebut. Sanksi perdata merupakan penggantian biaya, ganti rugi,
dan bunga sebagai akibat yang diterima Notaris atas tuntutan para penghadap jika akta
yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan atau akta menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan analisis yang dikemukakan pada sub bab 3.1 tesis ini, akta PKR
Nomor 2 tertanggal 23 April 2008 yang dibuat oleh Notaris HJ berdasarkan putusan
Majelis Hakim dinyatakan sebagai akta yang tidak memiliki kekuatan mengikat karena
dalam jalannya persidangan, Penggugat dapat mendalilkan pembuktian yang
menyatakan bahwa akta tersebut sebagai akta otentik tidak mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, karena aspek materiil akta tersebut mengandung
keterangan yang tidak benar. Atas tidak terpenuhinya nilai pembuktian materiil dalam
akta tersebut, maka nilai kekuatan pembuktian akta PKR tersebut yang semula bersifat
sempurna menjadi terdegradasi sebagai akta dengan nilai pembuktian di bawah tangan
sehingga Notaris HJ dapat dituntut untuk melakukan penggantian biaya, ganti rugi atau
bunga kepada pihak yang dirugikan.

Penjatuhan sanksi perdata dapat dituntut terhadap Notaris dengan didasarkan pada
suatu hubungan hukum antara Notaris dengan para pihak yang menghadap Notaris. Jika
ada pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat langsung dari suatu akta Notaris, maka
yang bersangkutan dapat menuntut secara perdata terhadap Notaris. Dengan demikian,
tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris tidak berdasarkan
atas penilaian atau kedudukan suatu alat bukti yang berubah karena melanggar
ketentuan tertentu menurut Pasal 84 UUJN, tapi hanya dapat didasarkan pada hubungan
hukum yang ada atau yang terjadi antara Notaris dengan para penghadap.

Hubungan hukum terjadi ketika penghadap datang ke Notaris agar perbuatannya


diformulasikan ke dalam sebuah akta otentik sesuai kewenangan Notaris, dan kemudian
86

Notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut. Atas
adanya hubungan hukum tersebut, maka Notaris harus menjamin bahwa akta yang
dibuatnya telah sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang
bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Dengan hubungan hukum yang seperti
itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal
dari tanggunggugat Notaris.184

Untuk memberikan landasan kepada hubungan hukum seperti di atas, perlu


ditentukan tanggunggugat Notaris, apakah berlandaskan kepada:185

1. Wanprestasi; atau
2. Perbuatan melawan hukum (Oonrechmatigedaad); atau
3. Pemberian kuasa (Zaakwarneming); atau
4. Pemberian kuasa (Lastgeving); atau
5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan
perburuhan.

Apabila dikaitkan dengan kasus PT XYZ, maka yang berhak untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga adalah IA sebagai penghadap kepada Notaris
HJ. Hubungan hukum keduanya tidak dapat digolongkan dalam bentuk wanprestasi
karena IA datang menghadap Notaris HJ bukan berdasarkan kontraktual. IA datang
menghadap kepada Notaris HJ atas keinginannya sendiri untuk meminta dibuatkan akta
PKR atas penyelenggaraan RUPSLB perusahaannya yaitu PT XYZ. Dengan tidak
adanya perjanjian tertulis atau lisan yang dinyatakan secara tegas atas pembuatan akta
tersebut, maka tidak tepat apabila hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan
kontraktual sehingga Notaris HJ tidak dapat dituntut dengan dasar gugatan Notaris HJ
telah wanprestasi.

Perbuatan melawan hukum terjadi apabila satu pihak merugikan pihak lain
sehingga mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Pada praktiknya, Notaris melakukan suatu pekerjaan berdasarkan

184
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2017), hlm. 100
185

Ibid.
87

kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai Notaris berdasarkan
UUJN. Sepanjang Notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai UUJN, dan telah
memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuatan akta, serta akta yang
bersangkutan telah pula sesuai dengan kehendak para pihak yang menghadap, maka
tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak dapat diajukan.

Ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum di dalam hukum perdata diatur
dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. perbuatan yang melanggar hukum;
2. harus ada kesalahan;
3. harus ada kerugian yang ditimbulkan;
4. adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Berdasarkan intisari dari Pasal 1365 KUHPerdata tersebut, lebih jelas lagi
dijelaskan G.H.S Lumban Tobing bahwa pertanggungjawaban dan ganti rugi dapat
dibebankan kepada Notaris apabila akta itu batal karena tidak memenuhi syarat-syarat
formal dalam pembuatan akta otentik. Akibatnya Notaris yang bersangkutan dapat
dikenakan sanksi dengan membayar ganti kerugian, bunga dan biaya. Dalam hal ini
terlebih dahulu harus dibuktikan:186

1. Adanya kerugian yang diderita.


2. Bahwa kerugian yang diderita itu dan pelanggaran atau kelalaian dari Notaris.
3. Bahwa pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian itu disebabkan kesalahan yang
dapat dipertanggung-jawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.

Apabila dikaitkan dengan kasus PT XYZ, maka hubungan hukum antara Notaris
HJ dengan Penghadap IA dilandasi oleh perbuatan melawan hukum sehingga
Penghadap IA dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga terhadap Notaris
HJ. Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris HJ adalah Notaris
HJ telah lalai dan tidak seksama dalam membuat akta PKR PT XYZ yang diminta IA
sebagai penghadap dengan tidak memeriksa dokumen-dokumen terkait persyaratan

186
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm.
36.
88

formil pelaksanaan RUPS berdasarkan UU PT dan AD Perseroan yaitu berkenaan


dengan pemanggilan rapat.

Berdasarkan analisis yang diuraikan, maka pertanggungjawaban Notaris HJ dalam


perkara Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG
terhadap akta PKR Nomor 2 tertanggal 23 April 2008 yang menjadi objek sengketa
terbagi menjadi 2 (dua).

Pertanggungjawaban pertama terkait akta PKR tersebut adalah


pertanggungjawaban Notaris HJ terhadap kerugian yang disebabkan akta yang
dibuatnya kepada Penggugat ET. Atas pelanggaran yang dilakukan Notaris HJ terhadap
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a, maka Notaris HJ dapat dikenakan sanksi berupa
teguran lisan dan teguran tertulis oleh Majelis Pengawas Notaris. Sanksi tersebut
dijatuhkan karena Notaris HJ terbukti tidak seksama dalam menjalankan tugasnya
dalam membuat akta PKR yang dimaksud, dengan tidak meneliti dokumen-dokumen
menyangkut pemanggilan rapat RUPSLB PT XYZ yang merupakan syarat formil dan
parameter atas keabsahan penyelenggaraan RUPS berdasarkan UU PT.

Notaris HJ juga telah lalai dalam memeriksa dan mencocokkan tanda tangan para
pemegang saham dalam risalah RUPSLB tersebut dengan tanda tangan yang tercantum
dalam dokumen identitas pemegang saham sehingga fakta bahwa Penggugat ET tidak
pernah hadir dan menyetujui mata rapat yang diambil dapat RUPSLB tersebut tidak
diketahui lebih awal. Sengketa yang terjadi dalam kasus PT XYZ sejatinya dapat
terhindarkan apabila Notaris HJ dapat menyadari lebih awal bahwa pemanggilan rapat
RUPSLB PT XYZ tidak pernah dilakukan oleh IA selaku direktur utama dan tanda
tangan yang Penggugat ET yang tertera di risalah RUPSLB tersebut adalah palsu.

Pertanggungjawaban selanjutnya yang dapat dibebankan kepada Notaris HJ


selaku pembuat akta PKR tersebut yaitu berupa pengenaan sanksi perdata berupa
permintaan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Namun berdasarkan hubungan
hukum Notaris dengan penghadap berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka IA
adalah pihak yang dapat meminta penggantian biaya, ganti rugi dan bunga atas kerugian
yang disebabkan. Walaupun dalam kasus PT XYZ, Penggugat ET adalah pihak yang
89

mengajukan gugatan karena akta yang diterbitkan Notaris HJ merugikan dirinya selaku
pemegang saham dan direktur PT XYZ.

Namun berdasarkan putusan pengadilan, akta PKR tersebut dinyatakan Majelis


Hakim sebagai akta yang tidak memiliki kekuatan mengikat sehingga dapat diartikan
bahwa keseluruhan isi dari akta PKR yang diterbitkan Notaris HJ tidak memiliki dasar
hukum lagi untuk diterapkan kepada pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai
penghadap yang meminta Notaris HJ untuk membuatkan akta atas peristiwa hukum
yang diterangkannya, IA dapat mengajukan penggantian biaya, ganti rugi atau bunga
atas akta yang diprakarsainya tersebut. Walaupun dalam kenyataannya, IA juga dinilai
terlibat dalam pemalsuan keterangan dan tanda tangan Penggugat ET dalam risalah
RUPSLB yang diperkarakan. Notaris HJ dalam jalannya persidangan tidak pernah hadir
untuk menyangkal, memberikan keterangan ataupun mengajukan bukti atas gugatan
yang diajukan dalam pengadilan sehingga Majelis Hakim dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa tindakan Notaris HJ tersebut membenarkan gugatan yang didalilkan
oleh Penggugat. Majelis Hakim juga menghukum Notaris HJ secara tanggungrenteng
dengan Para Penggugat lainnya untuk membayar biaya perkara persidangan, dan
menurut penulis putusan tersebut sudah tepat kiranya untuk diberika
BAB 4
PENUTUP

4.1. Simpulan
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan berdasarkan teori dan
peraturan hukum yang berlaku, serta dengan melakukan analisis terhadap kasus serta
putusan maka berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Akibat Hukum terhadap Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR) atas
penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tidak sesuai Undang-
Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (UU PT) terkait pemanggilan
rapat adalah akta tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat bagi pihak
yang terlibat di dalamnya. Akta PKR tersebut kekuatan pembuktiannya tidak lagi
sempurna sebagaimana sifatnya sebagai sebuah akta otentik. Isi akta tersebut tidak
memiliki kekuatan untuk diterapkan kepada para pihak, sehingga para pihak yang
terlibat di dalamnya tidak lagi terikat atas pemenuhan kewajiban dan hak yang
tercantum dalam isi akta tersebut. Namun eksistensi atas akta tersebut tetap dianggap
ada sehingga Notaris masih berkewajiban untuk mencatatkan akta tersebut dalam
buku daftar Akta Notaris sehingga kronologis yang runtut atas perbuatan hukum
dalam akta tersebut tetap tercatat. Akta PKR tersebut dinyatakan tidak memiliki
kekuatan mengikat karena tidak sahnya peristiwa hukum yang terjadi yaitu RUPS
yang diselenggarakan tanpa pemanggilan rapat terlebih dahulu sesuai UU PT dan
Anggaran Dasar (AD) Perseroan. Risalah atas RUPS yang diselenggarakan
dinyatakan cacat hukum karena tidak diselenggarakan sesuai prosedur. Pada
kenyataannya, akta PKR yang menjadi objek sengketa dalam Putusan Pengadilan
Negeri Palembang Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG sebenarnya juga mengandung
unsur pemalsuan keterangan dan pemalsuan tanda tangan. Namun dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa prosedur pemanggilan rapat
89

dalam RUPS harus tetap dilaksanakan berdasarkan ketentuan UU PT dan AD


Perseroan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanggilan rapat yang merupakan
syarat formil atas penyelenggaraan RUPS merupakan suatu esensi yang penting
karena dapat menentukan keabsahan atas keputusan yang diambil dalam RUPS
tersebut. Majelis Hakim terlebih dahulu menilai keabsahan prosedural
penyelenggaraan RUPS itu sendiri sebagai pertimbangan untuk memutus perkara
dalam menyatakan akta PKR yang menjadi objek sengketa menjadi tidak memiliki
kekuatan mengikat.
2. Pertanggungjawaban Notaris lahir atas kewenangan yang dimilikinya sebagai
pejabat umum yang ditunjuk undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 15
ayat (2) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris (UUJN). Notaris memiliki kewenangan untuk melakukan
penyuluhan hukum berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Walaupun Notaris
tidak bertanggungjawab secara utuh dalam memastikan kebenaran materiil atas
penyelenggaraan RUPS PT XYZ yang diminta penghadap untuk dituangkan
dalam akta PKR, Notaris bersangkutan tetap wajib memberikan penyuluhan
kepada penghadap berkaitan dengan persyaratan formil yang harus dipenuhi
atas penyelenggaraan RUPS tersebut termasuk salah satunya prosedur
pemanggilan rapat. Kelalaian Notaris dalam memeriksa dokumen terkait
pelaksanaan RUPS seperti bukti pemanggilan rapat dan daftar hadir RUPS
dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1)
huruf a UUJN yang mana Notaris telah bertindak secara tidak seksama dalam
membuat akta. Atas pelanggaran tersebut, Notaris dapat dikenakan sanksi
administratif berdasarkan Pasal 85 UUJN yang diawali dengan teguran lisan
dan teguran tertulis oleh Majelis Pengawas Notaris.
4.2 Saran
1. Direksi sebuah Perseroan Terbatas sudah semestinya mengawal jalannya RUPS
sesuai dengan UU PT dan Anggaran Dasar Perseroan. Selain memastikan
bahwa penyelenggaraan RUPS berjalan dengan memenuhi persyaratan, Direksi
wajib memastikan bahwa dokumen-dokumen atau warkah-warkah atas
penyelenggaraan RUPS tersebut dilengkapi dan sesuai dengan keadaan
90

sebenarnya. Berdasarkan persyaratan pemanggilan RUPS UU PT, Direksi


wajib menyerahkan kepada Notaris salinan atas surat tercatat atau iklan
pemanggilan dalam surat kabar, tanda terima undangan rapat dan daftar hadir
rapat. Hal tersebut dilakukan untuk membuktikan kepada Notaris bahwa
penyelenggaraan RUPS yang risalahnya akan dituangkan Notaris tersebut
untuk dinyatakan kedalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat, telah
diselenggarakan sesuai amanat UU PT dan Anggaran Dasar Perseroan.
Pengajuan warkah-warkah tersebut kepada Notaris dapat menjamin kepastian
hukum dan menghindarkan para pihak terkait untuk merasa dirugikan di
kemudian hari;
2. Notaris yang diminta untuk membuatkan Akta, terutama Akta terkait Perseroan
Terbatas seperti Akta Pernyataan Keputusan Rapat (PKR), sudah semestinya
berhati-hati dan teliti sebelum membuat Akta PKR tersebut. Sebelum
membuatkan Akta PKR, Notaris wajib mengumpulkan dan memeriksa
dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa penyelenggaraan RUPS telah
berjalan sesuai prosedur yang disyaratkan undang-undang dan Anggaran Dasar
Perseroan. Apabila Notaris menemukan fakta bahwa dokumen-dokumen yang
diajukan tidak sesuai dengan keaslian dan keterangan yang diberikan oleh para
pihak terkait, atau Notaris menyadari bahwa dokumen-dokumen yang
disyaratkan tidak dapat dipenuhi oleh pihak-pihak yang minta dibuatkan Akta,
maka sudah semestinya Notaris tersebut menolak untuk membuatkan Akta
yang diminta;
3. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham) selaku operator dan
pengawas Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH), guna menghindari
kesalahan dan kejadian serupa, sebaiknya merubah alur sistem layanan
pengesahan Akta Perseroan secara daring yang selama ini dapat dengan
mudahnya diakses oleh Notaris. Sebaiknya SABH ditambahkan checklist dan
fitur unggah dokumen pendukung RUPS yang Akta atas Risalahnya
dimohonkan Surat Keputusan (SK) nya oleh Kemenkumham. Apabila Notaris
tidak dapat memenuhi checklist dan mengunggah dokumen terkait, seperti
91

salinan undangan rapat, salinan surat tercatat dan/atau salinan iklan dalam surat
kabar, maka sudah semestinya SABH tidak menerbitkan SK yang dimohonkan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijke Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 41. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013.

Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, UU PT No. 40


Tahun 2007. LN No. 106 Tahun 2007, TLN No.4756.

________. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang


Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, UUJN No. 2 Tahun 2004, LN No.
6 Tahun 2004, TLN No. 4356.

B. Putusan Pengadilan

Pengadilan Negeri Palembang. Putusan Nomor 43/PDT.G/2017.PN.PLG

C. Buku
Adjie, Habib. Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama,
2015.

__________. Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris Dalam Bentuk Akta
Keterangan Ahli Waris. Bandung: CV. Mandar Maju, 2008.

__________. Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2015.

__________. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat


Publik. Bandung: Refika Aditama, 2007.

Arliman, Laurensius. Notaris dan Penegakan Hukum oleh Hakim. Yogyakarta:


Deepublish, 2015.

Arikunto, Suharmisi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.


92

Boediarto, M. Ali. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad. Jakarta: Swa Justitia, 2005.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.

Cox, James D, Thomas Lee Hazen, Hedge O’Neal. Corporations, Alpen Law &
Business, 1977.

Dewi, Santia dan R.M Fauwas Diradja. Panduan Teori dan Praktik Notaris.
Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2011.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, 2005.

Hakim, Abdul. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia, 1998).

Harahap, Yahya. “Hukum Perseroan Terbatas”. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cetakan kedua.
Jawa Timur: Media Publishing, 2006.

Kansil, C.S.T dan Christine Kansil. Seluk Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Latumeten, Pieter E. Cacat Yuridis Akta Notaris Dalam Peristiwa Hukum Konkrit dan

Implikasi Hukumnnya. Jakarta: Tuma Press, 2011.

Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta: Erlangga, 1983.

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak. Surabaya: Yuridika,


Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2003.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2005

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.


2008.

Mulyoto. Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Dasar CV,


Yogyakarta: Cakrawala Media. 2010.
93

_______. Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas PT.


Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010.

_______. Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas.


Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010.

_______. Pertanggungjawaban Notaris-PPAT dalam Menjalankan Tugas Jabatannya.


Yogjakarta: Cakrawala Media, 2004.

Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.

Nico. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum. Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law (CDSBL), 2003.

Nugroho, Hirman S.S dan Yuni Purwati. Hukum Perseroan Terbatas Prinsip Good
Corporate Governance dan Doktrin Piercing The Corporate Veil. Solo: Iltizam,
2007.

Notodisoerjo, R. Soegondo. Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan. Jakarta:


Rajawali, 1982.

Prodjodikoro, R. Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2000.

____________________, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.


Surabaya: Mandar Maju, 2011.

Purba, Orinton. Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan
Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum. Depok: Raih Asa Sukses, 2011.

Purwosutjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Bentuk-Bentuk


Perusahaan, Jakarta: Djambatan, 2007.

Rachmadi, Usman. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung:


Alumni, 2004.

Salim, HS. Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak). Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.

Sardjono, Agus, Yetty Komalasari Dewi, Rosewitha Irawaty dan Togi Pangaribuan.
Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2016.

Sembiring, Sentosa. Hukum Perusahaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan.


Bandung: Nuansa Aulia, 2006.
94

Setiawan, Rachmat. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Putra Abidin, 1999.

Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.

Sjaifurrachman. Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta.


Surabaya: Mandar Maju, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press,


2008.

Soerodjo, Irawan. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola,
2003.

Subandi, Martha. Perseroan Terbatas Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007. Jakarta:
Tatanusa, 2005.

Subekti, R. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, 1989.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.

Suratman, dan Philips Dillah. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2013.

Syarief, Elza. Sengketa Antar Organ Perseroan Perspektif Teori, Praktik, dan
Penyelesaian Sengketa di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Thamrin, Husni. Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris. Yogyakarta: Laksbang


Pressindo, 2011.

Wicaksono, Frans Satrio. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris
Perseroan Terbatas. Jakarta: Visimedia, 2009.

Widjaja, Gunawan. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.

Yani, Ahmad, dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.

D. Artikel Jurnal

Afriana, Anita. “Kedudukan dan Tanggung Jawab Notaris sebagai Pihak dalam
Penyelesaian Sengketa Perdata di Indonesia terkait Akta yang Dibuatnya”. Jurnal
Poros Hukum Padjajaran. Volume I Nomor 2 (Mei 2020). hlm. 246-261.
95

Marzuki, Peter Mahmud. “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”. Jurnal Yuridika


Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Volume XVIII Nomor 3 (Mei 2003).
hlm. 219.

Septianingsih, Komang Ayuk. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian
Perkara Perdata”. Jurnal Analogi Hukum. Volume 2 Nomor 3 (2020). hlm. 336-
340.

E. Artikel/Makalah
Adjie, Habib. “Penggerogotan Wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum”. Majalah
Renvoii Nomor 04, 2004.

Erawati, Elly dan Herlien Budiono. “Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian”.
Nasional Legal Reform Program. Jakarta, 2010.

Hadjon, Philipus M. “Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik”. Surabaya Post,
3 Januari 2010.

Latumeten, Pieter E. “Kebatalan dan Degredasi Kekuatan Bukti Akta Notaris


Serta Model Aktanya”. Makalah Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia di Surabaya,
2009.

Mertokusumo, Sudikno. “Arti Penemuan Hukum Bagi Notaris”. Majalah Renvooi


Nomor 2, (3 Mei 2004)

Santosa, Soegeng, Doddy Radjasa Waluyo, Zulkifli Harahap. “Aspek Pidana Dalam
Pelaksanaan Tugas Notaris”. Majalah Renvoi Nomor 22 (Maret 2005). hlm 30.

Setiawan, “Wawan. Kedudukan dan Keberadaan serta Fungsi dan Peranan Notaris
sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Menurut Sistem Hukum
di Indonesia”. Ikatan Notaris Indonesia: Jawa Timur, 22 – 23 Mei 1998.

Soenaryo, Cipto. “Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Pelayanan kepada Publik
sesuai dengan Moral Etika Profesi dan Undang-Undang”. Medan, 2011.

Yudara, N. G. “Mencermati Undang-Undang Hak Tanggungan dan Permasalahannya”.


Makalah Diskusi Panel UUHT. Program Studi Notariat Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 5 Juni 1996.
96
97

Catatan Untuk Tesis Soraya


1. Belum ada halaman sampul tesis
2. Penulisan spasi untuk judul dan outline tesis salah karena sebelumnya setting spasi
1,5 seharusnya 1,0.
3. Penulisan abstrak juga salah formatnya karena sebelumnya jarak antara Judul
abstrak dengan isi abstrak adalah 1 spasi seharusnya 3 spasi.
4. Jarak isi abstrak dengan kata kunci juga salah karena 1 spasi seharusnya 3 spasi.
Maksud dari pedoman tesis jarak antara judul dengan isi adalah 3 spasi, soraya
harus enter sebanyak 3 (tiga) kali.
5. Spasi antar footnote juga salah karena sebelumnya setting spasi 1,0 seharusnya 1,5
… Footnote yg gua highlight kuning itu udah bener spasinya
6. Penulisan sub penulisan pada halaman 2 dan seterusnya yg gua highlight kuning,
soraya harus tarik ke kiri… Jadi setting penulisannya harus rata kiri.
7. Pada halaman 11 gua udah kasih contoh spasi yang bener dari isi tesis ke judul bab
atau judul sub bab.. Seharusnya dikasih spasi 1,5… Cara settingnya lo block
antara isi dengan judul sub bab lalu lo klik remove space after paragraph,
terakhir lo klik 1,5

8. Pada halaman 72 terdapat kesalahan penulisan kutipan… Seharusnya antara isi tesis
dengan kutipan lo klik enter sebanyak 3 kali (3spasi) dan setting spasi kutipan lo
set ke 1,0 bukan 1,5.

9. Pada bab penutup, lo harus tarik maksimal ke batas kiri… Pada halaman 88 Yg
highlight kuning itu yang benar.

10. Pada halaman 90 terdapat kesalahan seharusnya lo setting remove space after
paragraph.. Contoh kesalahannya yg gua highlight kuning…

11. Menurut gua penulisan spasi daftar pustaka yg lo buat udah bener dan udah sesuai
pedoman, gua pun juga begitu… tapi Pak Tjhong pengen versi dia sebagaimana
terlampir di grup, saran gua ganti aja sesuai versi pak tjhong lalu pas sidang lo ganti
lg dengan versi yg sesuai pedoman.

12. Kesalahan Fatal: Lo ga ada Footnote Universitas Indonesia (Halaman 13


Pedoman tesis).

13. Setiap lo mulai bab misalkan bab 2, Footnote harus dimulai dari Nomor 1,
Footnote harus dimulai seperti baru…
98

Bab 3, dan Bab 4 juga begitu harus dimulai dari bab baru.

Anda mungkin juga menyukai