Anda di halaman 1dari 19

Perdamaian dan Acara Istimewa

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata

Dosen Pengampu: Ika Atikah, S.H.I., M.H.

KELOMPOK 3

Disusun Oleh :

IA IHDINIYAH NURHIDAYAH : 191130132

LISKA MAFTUHAH : 191130152

PUTRI LU’LU’ AMANSYUROH : 191130140

WISNU RUSLLY PRATAMA : 191130137

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

2020/2021

KATA PENGANTAR

1
Segala puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat,
nikmat, rahmat, hidayah serta inayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita yakni Nabi
Muhamad SAW. berserta keluarganya para sahabatnya dan kita selaku ummatnya
kelak sampai yaumul qiyamah.

Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Ika Atikah, S.H.I., M.H.
atas bimbingannya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
membahas ini tentang Upaya Hukum Biasa. Yang menurut kami menjadikan ilmu
yang bermanfaat tentang materi tersebut dan berguna bagi kehidupan kita sehari-
hari.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami pembaca. Karena tiada
gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, tegur sapa
dan saran dan pembaca sangat kami harapkan dengan menjaga dari kesalahan
yang justru akan membawa kepada kesalahan orang lain. Dan atas kesediaan
memberikan teguran, sapa, dan saranan, tak lupa kami sampaikan banyak-banyak
terimakasih.

Serang, 22 Maret 2021

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR................................................................................

DAFTAR ISI…………......…………....………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………..…...………………………….……..

1.2 Rumusan Masalah………………...…………………...……......

1.3 Tujuan………………..……………………………………...

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Upaya Hukum Biasa..............................................................

2.2 Banding....................................................................................................

2.3 Kasasi.......................................................................................................

2.4 Verzet.......................................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

BAB I

3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pengertian Upaya Hukum Biasa?
2. Apa Yang Dimaksud Banding?
3. Apa Yang Dimaksud Kasasi?
4. Apa Yang Dimaksud Verzet?
C. Tujuan Masalah
1.Untuk dapat mengetahui Pengertian dari Hukum Upaya Biasa.
2.Untuk dapat mengetahui Banding.
3.Untuk dapat mengetahui Kasasi.
4.Untuk dapat mengetahui Verzet.

BAB II

4
PEMBAHASAN

2.1 Perdamaian (Dading)


Dalam pemeriksaan perkara di persidangan Pengadilan Negeri, hakim
diberi berwenang menawarkan perdamaian kepada para pihak yang
beperkara. Tawaran perdamaian dapat diusahakan sepanjang pemeriksaan
perkara sebelum hakim menjatuhkan putusannya. Perdamaian ditarwarkan
bukan hanya pada sidang permulaan saja, melainkan juga pada setiap kali
sidang. Hal ini sesuai dengan sifat perkara perdata bahwa inisiatif beperkara
itu datang dari pihak- pihak, karena itu pihak pula yang dapat mengakhirinya
melalui perdamaian dengan perantaraan hakim di persidangan. Menurut
ketentuan Pasal 16 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Hakiman dinyatakan bahwa Pengadilan tidak menutup kemungkinan untuk
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian. Dalam Hukum Acara
Perdata yang mengatur, diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg1.

Lembaga perdamaian dalam Pasal 130 HIR / 154 RBg dalam praktiknya
dijalankan oleh para hakim sebagai pelindung formalitas untuk menempuh
upaya damai, maka pemeriksaan perkara yang melaporkannya pada
persidangan berikutnya, sehingga dalam hal ini lembaga perdamaian dalam
Pasal 130 HIR / 154 RBg tidak berfungsi secara optimal, maka jumlah
perkara perdata yang masuk dan harus serta diputus oleh Pengadilan Negeri
semakin lama semakin banyak dan menumpuk serta menjadi larangan perkara
yang cukup berat bagi Mahkamah Agung yang memeriksa perkara dalam
tingkat kasasi untuk semua lingkungan peradilan di Indonesia.

Mengingat kondisi perkara yang menumpuk dan dengan


mempertimbangkan kelebihan sengketa penyelesaian, maka Mahkamah
Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang 2

1
Dr. Bambang SugengA.S., S.H., M. Sujayadi, S,H. Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi hlm. 25
2
Dr. Bambang SugengA.S., S.H., M. Sujayadi, S,H. Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi hlm. 26-27

5
Prosedur Mediasi di Pengadilan selanjutnya disebut sebagai “Perma No. 1
Tahun 2008”. Perma No. 1 Tahun 2008 ini merupakan revisi dari Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 dalam Menerapkan Lembaga Damai
yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 130 HIR / 154 RBg, di mana menurut
ketentuan dalam perkara perdata wajib mengaruhi para pihak dalam sidang
pertama untuk menempuh perdamaian. Mediasi dalam rangka Perma No. 1
Tahun 2008 bersifat wajib dicapai dalam perkara perdata yang diajukan ke
pengadilan pada tingkat pertama atau di Pengadilan Negeri, demikian Pasal 2
ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 berada karenanya para pihak tidak bisa
menolak atau meminta secara langsung pernyataan pemeriksaan perkara
secara litigasi kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara itu. Dan lebih
lanjut dalam 2 ayat (3) Perma No. 1 Tahun 2008 ditentukan bahwa
persyaratan dan ketentuan yang diberlakukan dan diputus tidak menempuh
prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan sebuah konflik
terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan / atau Pasal 154 Rbg yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pada tahap pra mediasi, pada sidang pertama yang dihadiri penggugat dan
tergugat atau kuasa hukumnya, hakim mewajibkan para pihak untuk terlebih
dahulu menjalankan mediasi (Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008).
Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari
kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator baik yang ada di
dalam daftar yang dimiliki oleh pengadilan atau di luar daftar pengadilan,
termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator
bukan hakim (Pasal 11 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008). Mediator yang
dipilih bisa dari kalangan hakim, asalkan bukan halkim yang memeriksa
perkara tersebut, atau pun mediator dari kalangan nonhakim dengan syarat
telah memiliki sertifikat sebagai mediator yang telah diakreditasi oleh MA
(Pasal 9 Perma No. 1 Tahun 2008).

6
Pelaksanaan 3
Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang
pengadilan dan penggunaan ruangan ini tidak dikenakan biaya, sedangkan
penerapan pelaksanaan mediasi dilakukan di tempat lain, maka biaya yang
timbul dari penggunaan tempat tersebut dibebankan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan. Demikian pula penggunaan mediator hakim tidak
dikenakan biaya sedangkan untuk mediator bukan hakim biayanya
ditanggung oleh pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 10 Perma No. 1 Tahun
2008).

Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan
mediator, para pihak wajib menyerahkan resume perkara kepada satu sama
lain dan kepada mediator (Pasal 13 ayat (1) Perma Tahun 2008). Proses
mediasi berlangsung selama empat puluh hari kerja sejak mediator yang
dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat
(3) Perma No. 1 Tahun 2008) dan Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka
waktu mediasi dapat diperlama paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak
berakhir masa 40 (empat puluh) hari yang dimaksud dalam ayat 3 (Pasal 13
ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2008). Dalam pelaksanaan mediasi para pihak
atau pun kuasa hukumnya dan mediator dapat mengundang saksi ahli dalam
bidang tertentu untuk memberikan penjelasan ataupun pertimbangan yang
terkait dengan penyelesaian sengketa, di mana segala biaya pemanggilan
saksi ahli ini dibebankan kepada para nihal (Pasal 16 Perma No. 1 Tahun
2008).

Tercapai kesepakatan, maka kesepakatan harus dirumuskan secara tertulis


serta ditandatangani para pihak dan mediator pemeriksaan kembali
kesepakatan tersebut untuk meng- hindari adanya kesepakatan yang saling
bertentangan. Atas kesepakatan yang telah dicapai berdasarkan permintaan
para pihak, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan itu sebagai akta
perdamaian (akta van dading) yang memiliki kekuatan hukum tetap, dan
sebaliknya pihak pihak tidak menghendaki dikukuhkannya kesepakatan itu

3
Dr. Bambang SugengA.S., S.H., M. Sujayadi, S,H. Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi hlm. 27-28

7
dalam akta perdamaian, maka dalam kesepakatan tertulis itu harus terdapat
klausula yang mem4uat pernyataan pencabutan perkara (Pasal 17 Perma No. 1
Tahun 2008).

Apabila tidak tercapai kesepakatan dalam mediasi hingga basis waktu


yang ditentukan, mediator wajib menyatakan bahwa acara mediasi gagal dan
memberitahukannya kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara. Segera
setelah pemberitahuan itu hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara
sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (Pasal 18
Perma No. 1 Tahun 2008). Jika mediasi gagal mencapai kesepakatan dan
proses pemeriksaan perkara di persidangan kembali, maka segala pernyataan
dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi ti- dak dapat digunakan
dalam proses persidangan yang berhubungan atau perkara lainnya. Demikian
pula fotokopi dokumen, notulen, dan catatan mediator wajib dimusnahkan
dan medliator tidak dapat menjadi saksi dalam persidangan perkara yang
bersangkutan (Pasal 19 Perma No. 1 Tahun 2008).

2.2 Perihal Acara Istimewa

2.2. 1. Pemanggilan Para Pihak

Kata Panggil Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa


pengertian yaitu memanggil, mengajak (meminta) , datang dengan menyerukan
nama dan sebagainya. Sedangkan Pemangilan yaitu Proses, cara, atau perbuatan
memanggil. Secara Istilah dalam Kamus Hukum, kata Panggilan berarti
Convocatie; BijeenRoeping (Belanda) dan Convocation dalam bahasa Inggris.

Dari beberapa istilah diatas, pengertian pemanggilan berarti suatu proses


memanggil dan mengajak dengan nama dan sebagainya kepada seseorang atau
kelompok untuk datang atau menghadiri dan menghadap kepada orang yang
memanggil.

4
Dr. Bambang SugengA.S., S.H., M. Sujayadi, S,H. Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh
Dokumen Litigasi hlm. 28

8
Sehingga jika pengertian pemanggilan ini dipakai dalam proses pengadilan
Acara Perdata maka mengandung pengertian bahwa proses memanggil atau
menyeru yang dilakukan oleh jurusita pengadilan untuk memberitahukan perihal
menghadiri persidangan dan hal-hal lain menyangkut persiapan pembelaan
terhadap dirinya dalam proses persidangan nanti.

a. Bentuk Pemanggilan

Pemanggilan dilakukan oleh jurusita yang menyerahkan surat panggilan


(exploit) beserta salinan surat gugat itu kepada tergugat pribadi di tempat
tinggalnya. Maka surat panggilan itu diserahkan kepada kepala desa tersebut
untuk di teruskan (pasal 390 ayat 1 HIR, 781 ayat 1 Rbg).

Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita pengadilan sesuai kompetensi


relatif jurusita yang bersangkutan. Ruang lingkup kompetensi relatif jurusita
pengadilan mengikuti kompetensi relatif PN yang bersangkutan, sehingga jika
pemanggilan para pihak dilakukan diluar jangkauan kompetensi relatifnya,
jurusita melakukan pendelegasian pemanggilan kepada jurusita diwilayah hukum
pengadilan dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal. Jika pemanggilan
dilakukan oleh jurusita diluar kompetensi relatifnya, maka pemanggilan tersebut
dianggap tidak sah karena pemanggilan dilakukan oleh jurusita yang tidak
berwenang.

Pasal 390 HIR ayat 3 menyatakan tentang orang yang tidak diketahui tempat
diamnya atau tingalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita
itu disampaikan kepada bupati, yang dalam pegangannya terletak tempat tinggal
orang yang menggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam pegangannya
berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu memaklumkan surat jurusita itu
dengan menempelkan pada pintu yang terbesar di tempat persidangan hakim yang
berhak.

Surat panggilan tersebut berisi ;


1. Nama yang dipanggil
2. Hari, jam, dan tempat sidang
3. Membawa saksi-saksi yang diperlukan

9
4. Membawa surat-surat yang hendak digunakan
5. Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat

Menurut Yahya Harahap, syarat pertama dan kedua itu bersifat mutlak harus
ada sedangkan syarat selebihnya dapat ditolerir dalam arti tidak serta merta dapat
dinyatakantidak sah.

b. Tata cara pemanggilan pihak-pihak, petugas dan kewajibannya

Setelah gugatan didaftar dan dibagikan dengan surat penetapan penunjukan


oleh Ketua Pengadilan Negeri kepada hakim yang akan memeriksanya, maka
hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan menentukan hari sidang perkara
tersebut dan sekaligus menyuruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap
di Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa
saksi-saksi serta bukti-bukti yang diperlukan.(pasal 121 ayat 1 HIR, 145 ayat 1
Rbg).

Jika tergugat telah diketahui tempat tinggal atau kediamannya, surat paggilan
diajukan kepada tergugat sendiri secara langsung (in person), istilah in person
dapat diperluas lagi sampai meliputi keluarga tergugat dalam garis lurus ke atas
dan ke bawah (orang tua dan anak), serta termasuk istri dan suami. Perluasan
pengertian in person tersebut dilakukan jika tergugat diketahui tempat tinggala
atau kediamannya tanpa tidak berada ditempat.

Cara pemanggilan pihak –pihak, petugas dan kewajibannya, diatur dalam pasal
388 H.I.R dan seterusnya.

Dari ketentuan pasal 388 H.I.R dapat diketahui bahwa:

(1). Untuk menjalankan panggilan, pemberitahuan dan sekalian surat jurusita


yang lain,juga untuk melakukan perintah hakim dan putusan hakim, sama-sama
berhak dan diwajibkan sekalian jurusita dan pesuruh yang bekerja pada majelis
pengadilan dan pegawai kuasa hukum.

10
(2). Jika tidak ada orang yang demikian itu, maka ketua majelis pengadilan,
yang dalam pegangannya surat jurusita itu akan dijalankan, harus menunjukan
seorang yang patut dan boleh dipercayai untuk pekerjaan itu.

Jika tempat tinggal dan kediaman tergugat diketahui tapi ia tidak berada
ditempat dan begitu jua keluarganya, surat panggilan itu disampaikan kepada
kepala desa setempat dengan disertai perintah agar kepala desa tersebut
menyampaikan panggilan itu kepada tergugat. Jika jurusita tidak menemui
tergugat atau keluarganyadi tempat tinggal atau kediamannya, dan menurut kepala
desa tergugat telah meninggalkan tempat itu dan tidak menyebutkan alamat baru,
maka surat panggilan disampaikan kepada bupati atau walikota kemudian
mengumumkan surat jurusita itu dengan menempelkan di pintu ruang sidang
pengadilan.

Kalau tergugat sudah meninggal, maka surat panggilan itu disampaikan kepada
ahli warisnya; jika ahli warisnya tidak diketahui, maka disampaikan kepada
kepala desa di tempat tinggal terakhir dari tergugat yang meninggal tersebut.
Apabila tidak diketahui tempat tinggal tergugat, surat panggilan diserahkan
kepada bupati dan selanjutnya durat panggilan tersebut ditempatkan pada papan
pengumuman di Pengadilan Negeri.

Pasal 392 HIR menentukan bahwa;

(1). Saksi-saksi yang dipanggil, baik dalam perkara pidana, maupun perdata,
dan datang menghadiri persidangan atau diluar dari pada itu, berhak mendapat
ganti rugi ongkos perjalanan dan penginapan berdasarkan tarif yang ada atau yang
telah ditentukan.

Pasal 126 HIR (pasal 150 Rbg) memberi kemungkinan untuk memanggil sekali
lagi tergugat sebelum perkaranya diputus oleh hakim. Ketentuan ini adalah layak
dan bijaksana. Sebab didalam suatu perkara perdata bukan hanya kepentingan
penggugat sajalah yang harus diperhatikan, melainkan kepentingan tergugatpun
harus pula diperhatikan (audi et alteram partem). Oleh karena itu tergugat
haruslah dipanggil secara patut. Setelah melakukan panggilan, jurusita harus

11
menyerahkan risalah (relaas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa
perkara tersebut, yang merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil.

c. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang

jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang didasarkan antara tempat
tinggal atau kediaman tergugat dengan pengadilan.

– Jika jaraknya dekat, maka waktu pemanggilan 8 hari,

– jika jaraknya agak jauh, maka waktu pemanggilan 14 hari,

– jika jaraknya jauh waktu pemanggilan 20 hari.

Dalam keadaan terdesak, waktu pemanggilan tidak boleh kurang dari 3 hari.
Jika tergugat terdiri dari beberapa orang, maka patokan jangka waktu diambil
berdasarkan jarak tempat tinggal tergugat yang jauh.

2.2.2 Pengertian Gugur dan Prestek

Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu,
salah satu pihak, baik itu pihak penggugat kesemuanya atau pihak tergugat
kesemuanya tidak hadir atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada
sidang yang telah di tentukan, maka berlakukan acara istimewa yang diatur dalam
pasal 124 dan pasal 125 H.I.R.

Untuk lebih jelasnya berikut ini dimuat ketentuan pasal 124 H.I.R yang
mengatur perihal gugur, yang berbunyi sebagai berikut:

“Jikalau sipenggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap


pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang
lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan
sipenggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi sipenggugat berhak,
sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukan gugatanya sekali lagi”.

sebelum gugatan digugurkan, hakim harus terlebih dahulu dengan teliti


memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak, apakah pihak penggugat telah

12
dipanggil dengan patut, seksama dan seandainya cara pemanggilan telah
dilakukan sebagaimana mestinya, hakim tidak boleh gugurkan gugatan melainkan
akan menyuruh jurista untuk memanggil pihak penggugat sekali lagi.

Apa bila pihak penggugat telah dipanggil dengan patut, pihak penggugat telah
mengirim orang atau surat yang menyatakan bahwa pihak penggugat berhalangan
secara sah (misalnya, karna ia sedang sakit keras) atau pihak penggugat telah
mengutus wakilnya, akan tetapi ternyata surat kuasa yang ia telah berikan kepada
wakilnya itu tidak memenuhi persyaratan (di dalamnya terdapat kesalahan), maka
hakim harus cukup bijaksana untuk mengundurkan sidang.

Dalam hal penggugat sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada
ahliwarisnya apakah mereka akan meneruskan perkara tersebut atau akan
menyabut perkara yang bersangkutan. Hendaknya para ahliwaris datang
menghadap pada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk mengutarakan
maksudnya.

Apa bila gugat digugurkan, maka dibuatlah suatu putusan dan penggugat
dihukum untuk membayar biaya perkara. Pihak penggugat yang perkaranya
digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia
terlebih dahulu membayar perkara (kekurangannya) dan membayar persekot
untuk perkara yang baru.

Dalam perkara yang digugurkan pokok persoalan sama sekali belum diperiksa,
oleh karna itu tidaklah perkenankan, dan adalah salah apa bila sekalian dengan
menggugurkan gugatan, pokok perkara ditolak.

2.2.3 Putusan Verstek Dan Upaya Hukumnya

Yang mengatur persoalan perstek adalah pasal 125 H.I.R yang berbunyi
sebagai berikut:

Jikalau sitergugat walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pada hari
yang ditentukan, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku
wakilnya, maka gugatan itu diterima dengan keputusan tak hadir, kecuali jika
13
nyata kepada pengadilan negeri, bahwa gugatan itu melawan hak atau tidak
beralasan.

Akan tetapi jika sitergugat dalam surat jawabanya yang tersebut dalam pasal
121 mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berhak
menerima perkara itu, hendaklah pengadilan negeri, walaupun sitergugat sendiri
atau wakilnya tidak menghadap, sesudah didengar sipenggugat, mengadili
perlawanannya dan hanya kalau perlawanan itu ditolak, maka keputusan
dijatuhkan mengenai pokok perkara.

7 Perstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut


hukum acara harus datang. Prestek hanya dapat dinyatakan, apabila perkara
diundurkan sesuai dengan pasal 126 H.I.R., juga pihak tergugat kesemuanya tidak
datang menghadap lagi.

Pasal 125 ayat 1 H.I.R., menentukan bahwa untuk putusan perstek yang
mengabulkan gugat diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang
yang telah ditentukan;

2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil/ kuasanya yang syah untuk


menghadap;

3. Ia atau mereka kesmuanya telah dipanggil dengan patut;

4. Petitum tidak melawan hak;

5. Petitum beralasan.

Syarat-syarat tersebut diatas harus satu persatu diperiksa dengan seksama. Baru
apabila benar-benar persyaratan itu kesemuanya terpenuhi, putusan perstek
dijatuhkan dengan mengabulkan gugat.

14
Apabila syarat 1, 2, dan 3 di penuhi, akan tetapi petitumnya ternyata melawan
hak atau tidak beralasan, maka meskipun perkara diputus dengan prestek, gugat
ditolak

Apabila syarat 1, 2, dan 3 terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahan formil
dalam gugatan, misalnya gugatan diajukan oleh orang yang tidak berhak, kuasa
yang menandatangani surat gugat ternyata tidak memiliki surat kuasa khusus dari
pihak penggugat, maka gugatan dnyatakan tidak dapat diterima. Dalam hal
tersebut di atas nyata benar, bahwa putusan perstek tidak secara otomatis akan
menguntungkan bagi penggugat.

2..2.4 Cara Pemberitahuan Putusan Perstek

Putusan perstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan


kepadanya diterangkan, bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap
putusan perstek tersebut kepada pengadilan negeri yang sama, dalam tenggang
waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam pasal 129 H.I.R

Di bawah surat putusan perstek ditulis siapa yang diperintahkan untuk


menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis. Seperti
halnya berita acara pemanggilan pihak-pihak untuk menghadap pada sidang
pengadilan negeri, surat pemberitahuan putusan perstek dibuat oleh jurista atas
sumpah jabatan dan yang sempurna. Oleh karenanya surat pemberitahuan putusan
perstek harus menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi dan
menyebutkan dengan siapa jurista tersebut bertemu dan apa yang dikatakan oleh
yang bersangkutan, dengan maksud, agar putusan tersebut benar-benar diketahui
oleh pihak yang kalah dan apabila ia menghendakinya dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan perstek tersebut, dalam tenggang waktu yang
menurut cara yang ditentukan dalam pasal 129 H.I.R

15
2.2.5 Keharusan pengunduran sidang apabila salah seorang tergugat pada
sidang pertama tidak datang

Ketentuan pasal 126 H.I.R memberi kebebasan pada hakim, apabila ia


menganggap perlu, untuk apabila pada sidang pertama baik penggugat atau
tergugat kesemuanya atau salah seorang dari mereka tidak datang, mengundurkan
sidang dan memerintahkan untuk memanggil pihak atau pihak-pihak yang tidak
datang sekali lagi. Kebebasan yang diberikan kepada hakim untuk mengundurkan
sidang yang termuat dalam pasal 126 H.I.R, berarti bahwa tidak ada keharusan
untuk menjatuhkan suatu putusan perstek atau putusan gugur, meskipun pihak
tergugat kesemuanya atau penggugat kesemuanya tidak datang.

12 Pasal 127 H.I.R, menegaskan bahwa apabila pada sidang yang pertama, salah
seorang tergugat tidak datang, pula tidak menyuruh orang lainuntuk menghadap
sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara ditangguhkan pada hari persidangan
lain, sedapat-dapatnya jangan terlampau lama. Pada azasnya putusan perstek yang
mengabulkan gugatan untuk seluruhnya atau untuk sebagian tidak boleh
dilaksanakan sebelum lewat 14 hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada
pihak yang kalah, jika yang kalah itu akan mengajukan perlawanan.

Pengecualiannya ada, ialah apabila pelaksanaan putusan memang sangat


diperlukan, misalnya dalam acara singkat, dan apabila putusan tersebut telah
diberikan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada
banding atau perlawanan atas dasar pasal 180 (1) H.I.R. Perihal tersebut diatur
oleh pasal 128 H.I.R.

2.2.6 Cara Mengajukan Perlawanan Terhadap Putusan Perstek (Verzet


Tegen Verstek)

Perihal cara mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek diatur dalam


Pasal 129 H.I.R. Menurut ayat 1 pasal 129 H.I.R tersebut, yang dapat mengajukan
perlawanan adalah tergugat atau para tergugat yang dihukum dengan putusan
tidak hadir dan tidak menerima putusan tersebut. jadi hanya tergugat yang dapat
mengajukan perlawanan. Jika Dalam hal yang bersangkutan buta huruf, ia dapat

16
mengajukan perlawanan berdasarkan pasal 129 H.I.R. Tenggang waktu untuk
mengajukan perlawanan adalah :

1. Dalam waktu 14 hari setelah putusaan perstek diberitahukan kepada


pihak yang dikalahkan itu sendiri;

2. Sampai hari kedelapan setelah teguran seperti yang dimaksud pasal 196
H.I.R., apabila yang diteur itu datang menghadap;

3. Kalaui ia tidak datang waktu dietegur, sampai hari kedelapan setelah


sita eksekutorial (Pasal 197 H.I.R).\

Perlawanan terhadap putusan perstek hanya dapat diajukan sekali saja, artinya
hanya terhadap putusan perstek yang pertama, sedang terhadap putusan perstek
yang kedua yang bersangkutan hanya diperkenankan untuk mengajukan
permohonan banding.

Pasal 8 Undang-undang No. 20 tahun 1947, yang mengatur perihal banding,


berbunyi sebagai berikut:

1) Dari putusan Pengadilan Negeri, yang dijatuhkan di luar hadir tergugat,


tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulang melainkan hanya dapat
mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi
jikalau penggugat minta pemeriksaan ulangan tergugat tidak mempergunakan hak
perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.

2) Jika dari sebab apapun juga tergugat tidak dapat mempergunakan hak
perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta
pemeriksaan ulangan.

Dari pasal tersebut di atas nampak jelas bahwa tergugat yang untuk pertama
kalinya dikalahkan dengan putusan prestek, tidak diperkenankan untuk
mengajukan permohonan banding, melainkan hanya diperkenankan untuk
mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek saja sesuai dengan pasal 129
H.I.R

17
BAB III
PENUTUP
3,1 SIMPULAN

3.2 SARAN

18
19

Anda mungkin juga menyukai