Anda di halaman 1dari 68

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEPIHAK OLEH


PT. FAREL ATHARHESA PRATAMA PADANG
(Analisis Putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg)
Skripsi

Disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh


Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HALENDRADES
No BP: 1810003600010

BAGIAN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI
PADANG
2022
ABSTRAK

Pemutusan hubungan kerja merupakan hal yang sering terjadi dalam dunia
kerja. Menurut Pasal 151 angka 2 dan angka 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : “Dalam hal segala upaya
telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka
maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
pekerja/buruh”,”Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud Ayat(2) benar
benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan
hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”. Namun ada kalanya
pemutusan hubungan kerja dilakukan secara sepihak oleh pihak perusahaan
sehingga merugikan pihak pekerja. Terjadi PHK terhadap Pekerja yang diputus
hubungan kerjanya secara sepihak oleh pihak Perusahaan tanpa menerima hak-
haknya atau pesangon dari pihak Perusahaan. Pada putusan Nomor 1/Pdt.Sus-
PHI/2022/PN.Pdg.
Perumusan masalah yang diteliti adalah Pertama, Bagaimana
pertimbangan hakim dalam memutus perkara perselisihan hubungan kerja sepihak
pada putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg ?. Kedua, Bagaimana akibat
hukum dari putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg terhadap para pihak
yang berperkara?
Spesifikasi Penelitian ini bersufat Deskriptif Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian dilakukan
terhadap permasalahan dengan memperhatikan norma-norma hukum yang berlaku
dan menganalisis kaidah-kaidah hukum masalah dalam hubungan kerja yang
berkaitan dengan pemutusan. Sumber data yang digunakan data sekunder yang
diperoleh dengan penelitian pustaka/studi dokumen, data yang sudah diperoleh
dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan :
Pertama, Pertimbangan hakim dalam memutus perkara perselisihan hubungan
kerja sepihak pada putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg adalah Majelis
hakim memiliki dua pertimbangan Yuridis dan Non-Yuridis, Dalam kasus ini
Hakim dalam menjatuhkan putusan didasarkan pada pertimbangan yuridis, Hakim
Menimbang, bahwa yang menjadi gugatan pokok Penggugat adalah menuntut
sejumlah uang sebagai kompensasi atas pemutusan hubungan kerja menjadi
kontradiktif. Alasan pemutusan hubungan kerja Tergugat adalah karena
Penggugat tidak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Kedua,
Akibat Hukum Putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg, Mengabulkan
gugatan Penggugat untuk sebagian ,Menghukum Tergugat untuk membayar hak
hak Penggugat sebesar Rp.3.179.572,48 (tiga juta seratus tujuh puluh sembilan
ribu lima ratus tujuh puluh dua rupiah koma empat delapan sen), Memerintahkan
Tergugat untuk memberikan rekomendasi berupa Surat Pengalaman Bekerja
kepada Penggugat, Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya,
Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara sebesar
Rp.460.000,00 (empat ratus enam puluh ribu rupiah).

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat Rahmat dan

Hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Shalawat beserta salam

kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul, “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA

PEMAKSAAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEPIHAK OLEH PT.

FAREL ATHARHESA PRATAMA PADANG (Analisis Putusan Nomor

1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg)”. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan skripsi

ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

hukum di jurusan program studi Ilmu Hukum Universitas Ekasakti.

Khusus ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda

Samsuwir dan Ibunda Desi Onastari tercinta atas kasih sayang yang tulus,

bimbingan, dukungan, do’a restu pergorbanannya selama ini, sehingga Penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, oleh karena itu, pada kesempatan ini

dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Hendry Mappesona, S.E M.Sc Ketua Yayasan Perguruan Tinggi

Padang.

2. Bapak Dr. Otong Rosadi, S.H,.M.Hum, Rektor Universitas Ekasakti.

3. Ibu Prof.Dr.Dra.Hj. Darmini Roza, S.H,.M.Hum, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Ekasakti.

4. Bapak Meydianto Mene,S.H.,M.H, Wakil Dekan Fakultas Hukum

Universitas Ekasakti.

iii
5. Ibu Yenni Fitria, S.H.,M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Ekasakti sekaligus sebagai Dosen Penguji Utama Seminar

hasil dan Kompherensif.

6. Ibu Besse Patmawati,S.H,M.H, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Ekasakti.

7. Ibu Dra. Hj. Yunimar, S.H.,M.H, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas

Hukum.

8. Bapak Drs.Kamaruddin,S.H.,M.Hum, Selaku Pembimbing I.

9. Ibu Kiki Yulinda, S.H.,M.H, selaku Pembimbing II.

10. Bapak Suroso, S.E sebagai Kepala Tata Usaha beserta Staf Fakultas

Hukum Universitas Ekasakti

11. Kepada sahabat Rio Elman Julian, Irwan Wahyuda, Rani Ramadhani, Egi

Persada Gupta, Belvin Syaputra yang telah memberi dukungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat

keterbatasan pengetahuan, waktu serta literatur yang penulis miliki. Oleh karena

itu semua kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan

demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua

pihak yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini selesai. Semoga Allah

SWT memberikan penghargaan yang layak Amin.

Padang, Agustus 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


ABSTRAK ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang .....................................................................................1
B. Perumusan masalah .............................................................................7
C. Tujuan penelitian.................................................................................7
D. Kegunaan penelitian ............................................................................8
E. Metode penelitian ................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Tentang Pertimbangan hakim ...........................................12
1. Pengertian Pertimbangan Hakim.................................................12
2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara ................13
3. Jenis-Jenis Pertimbangan Hakim ................................................15
B. Tinjauan Tentang Putusan Hakim ...................................................16
1. Pengertian Putusan Hakim ..........................................................16
2. Jenis-Jenis Putusan Hakim ..........................................................17
3. Tugas Dan Wewenang Hakim ....................................................20
C. Tinjauan Hukum Tentang ketenagakerjaan .....................................24
1. Pengertian Dan Dasar Hukum Ketenagakerjaan .........................24
2. Asas-Asas Hukum ketenagakejaan .............................................25
D. Tinjauan Hukum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja ..................27
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja......................................27
2. Dasar Hukum Pemutusan Hubungan Kerja ................................29

BAB III HASIL PENELITIAN


(Putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg)

A. Para Pihak Yang Berperkara............................................................31


B. Duduk Perkara .................................................................................32
C. Pertimbangan Hakim .......................................................................38
D. Putusan.............................................................................................42

BAB IV HASIL PEMBAHASAN


A. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Perselisihan
Hubungan Kerja Sepihak pada Putusan (Nomor 1/Pdt.Sus-
PHI/2022/PN.Pdg) ...........................................................................45
B. Akibat Hukum Dari Putusan Nomor (Nomor 1/Pdt.Sus-
PHI/2022/PN.Pdg) Terhadap Para Pihak yang Bersengketa ..........50

iv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................60
B. Saran-saran ......................................................................................61

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan,

sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara

wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan,

kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua, karena tujuan dari pekerja melakukan

pekerjaan adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.1

Manusia adalah makhluk sosial, yang saling bergantungan antara satu

dengan yang lain, terutama untuk dapat melengkapi kebutuhan hidup. Dalam

kehidupan ini manusia dituntut untuk bekerja guna membiayai kehidupannya,

baik itu pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja dengan orang lain.

Majunya suatu Negara diikuti dengan majunya masyarakat yang terdapat dalam

Negara tersebut, dimana mereka membangun perusahaan-perusahaan dan institusi

yang berkembang.

Di Indonesia Hubungan Industrial ternyata berkaitan dengan semua pihak

yang terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan tanpa mempertimbangkan

gender, keanggotaan dalam serikat pekerja/serikat buruh, dan jenis pekerjaan.

Hubungan Industrial pada dasarnya adalah proses terbinanya komunikasi,

konsultasi musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan komitmen

yang tinggi dari semua elemen yang ada didalam perusahaan.2

1
FX Djumialdji, Perjanjian Kerja, Pustaka belajar, Jakarta, 2005, hlm. 44.
2
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.23.

1
2

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat, sedangkan pengertian pekerja/buruh adalah setiap

orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan demikian tenaga kerja merupakan salah satu dari faktor–faktor

produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam kegiatan produksi tenaga

kerja merupakan input yang terpenting selain bahan baku dan juga modal. Di

beberapa negara, tenaga kerja juga dijadikan aset terpenting karena memberikan

pemasukan kepada negara yang bersangkutan. Sangat beruntung sekali bagi

negara-negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, karena negara tersebut

pasti memiliki jumlah tenaga kerja yang besar pula.

Tenaga kerja juga merupakan sebagai salah satu elemen utama dalam

suatu sistem kerja, sehingga tenaga kerja masih sangat di butuhkan oleh setiap

perusahaan. Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah dampak

krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini

yang mengakibatkan banyak perusahaan perusahaan yang tidak mampu bertahan

dan berimbas kepada tenaga kerja dampak yang terjadi terhadap tenaga kerja

adalah Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.

Masalah PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya,

khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang

bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan

keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial
3

(pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan

segala upaya harus diusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja

Pasal 151 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Berdasarkan Pasal 151 Ayat (1) Undang-undang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : “baik pihak pengusaha maupun pekerja

malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK Jika

segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud

PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja”.3

Segala upaya yang dimaksudkan dalam Pasal 151 Ayat (1) Undang-

undang Ketenagakerjaan memiliki arti bahwa setiap kegiatan yang positif yang

secara prinsip menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, seperti antara

lain melakukan pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja,

dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh. Sehingga dan oleh karenanya

upaya pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja adalah merupakan upaya

tindakan terakhir yang dapat dilakukan pengusaha. Bila segala upaya pencegahan

telah gagal, baru pemutusan hubungan kerja boleh dilakukan. Akibat krisis

ekonomi yang melanda Indonesia yang dampaknya masih dapat dirasakan sampai

saat ini dan mengakibatkan banyaknya Perusahaan yang melakukan restrukturisasi

dan diikuti oleh meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang

dilakukan oleh perusahaan. Untuk mengatasinya, banyak dari penduduk di negara-

negara dunia ketika memilih berprofesi di sektor apa saja salah satunya adalah

sebagai tenaga kerja (buruh), dikarenakan sulitnya dalam mencari lapangan

3
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 11, PT. RajaGrafindo,
Jakarta, 2012, hlm. 195.
4

pekerjaan yang layak guna memenuhi kebutuhan hidup tanpa memerlukan

pendidikan yang tinggi. Dengan demikian kesenjangan social dan perlakukan

tidak adil terhadap tenaga kerja akan senantiasa membayangi para tenaga kerja.

Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar

yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam

Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 “Tiap-tiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 33 Ayat

(1) Undang-undang 1945 yang menyatakan bahwa“ Perekonomian disusun

sebagai usaha bersama atas kekeluargaan”. Pelanggaran terhadap hak dasar yang

dilindungi konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata

sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat

sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat

secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. 4

Dengan demikian perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas

umum hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati

oleh kedua belah pihak. Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

yang telah dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut dengan

demikian maka pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan5.

4
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2007, hlm. 1
5
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, Jakarta. 1992.
Hlm.77.
5

Asas kemitraan mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang

berhadapan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua

mitra yang berjanji, terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kerjasama, asas

kemitraan itu sangat diperlukan.

Hubungan kerja yang diatur dalam perjanjian kerja dapat berlangsung

untuk waktu tidak tertentu dan juga diadakan untuk jangka waktu tertentu.

Adapun bentuk perjanjian kerja dalam praktik dikenal dua bentuk perjanjian,

yaitu:

1. Perjanjian tertulis, yaitu perjanjian yang sifatnya tertentu atau adanya

kesepakatan para pihak bahwa perjanjian yang dibuat harus secara

tertulis agar lebih ada kepastian hukum.

2. Perjanjian tak tertulis, yaitu perjanjian yang oleh Undang-undang tidak

disyaratkan dalam bentuk tertulis.

Hukum perdata (burgelijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum

yang mengatur hubungan antara orang satu dengan orang lain, dengan

menitikberatkan pada kepentingan perseorangan. Hukum perdata yang mengatur

Hak dan Kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut “Hukum Perdata Materil”

sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan

mempertahankan hak dan kewajiban disebut “Hukum Perdata Formil”, hukum

perdata lazim disebut Hukum Acara Perdata.6

Selama ini diketahui bahwa setiap hubungan kerja dalam pembangunan

industri selalu menimbulkan sifat-sifat yang berbeda dalam hubungan antara


6
Anhar karim, Wikipedia bahasa indonesia,Ensiklopedia bebas
Https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Undang_Undang_Perdata&Action=history
Diakses tanggal 4 januari 2022,jam 15:00 wib.
6

pengusaha dan pekerja sehingga menimbulkan pengaruh sosial dalam masyarakat.

Satjipto Raharjo mengungkapkan bahwa penguasaan atas usaha perindustrian tak

dapat disamakan begitu saja dengan konsepsi yang lama tentang penguasaan

manusia atas barang dan sejumlah perubahan lain dalam pengorganisasian dalam

masyarakat.7

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja

karena hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja dan pengusah. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu

peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari pihak pekerja/buruh,

karena dengan PHK tersebut pekerja/buruh yang bersangkutanakan kehilangan

mata pencaharian untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Oleh karenanya

pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan industrial hendaknya mengusahakan

dengan segala upaya agar jangan terjadi PHK8.

Menurut Pasal 25 Undang-undang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan

kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha.

Bagi pekerja/buruh pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi momok

bagi pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam kelangsungan

hidupnya dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta dilapangan

bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah. Semakin ketatnya persaingan,

Angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu fluktuatif,

7
Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial, Pustaka Belajar, Jakarta, 2010. hlm.2.
8
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hlm.65
7

sangatlah wajar jika pekerja/buruh selalu khawatir dengan pemutusan hubungan

kerja itu9.

Demikianlah pula halnya dengan Gugatan Perkara Nomor 1/Pdt.Sus-

PHI/2022/PN.Pdg yang penulis jadikan sebagai bahan kajian analisis dalam

penulisan ini, dimana pada putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg berkaitan

dengan pemutusan hubungan kerja pada intinya dengan alasan yang tidak jelas.

Sehingga muncul adanya tuntutan Penggugat mengenai pesangon dan pembayaran

upah hingga jatuhnya putusan pengadilan.

Berdasarkan latar belakang tersebut menarik perhatian penulis untuk

membuat penelitian skripsi dengan judul “Pertimbangan Hakim dalam

Memutus Perkara Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak (Studi Putusan

Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg)”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus perkara Perselisihan

Hubungan Kerja Sepihak Pada Putusan Nomor 1/Pdt.sus-PHI/2022/PN.Pdg ?

2. Bagaimana akibat hukum dari putusan Nomor 1/Pdt.sus-PHI/2022/PN.Pdg

terhadap para pihak yang bersengketa ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini sebagai

berikut :

9
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung. 2014, hlm.175.
8

1. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara

Perselisihan Hubungan Kerja Sepihak Pada Putusan Nomor /Pdt.Sus-

PHI/2022/PN.Pdg

2. Untuk mengetahui hukum dari putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg

terhadap para pihak yang bersengketa

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian yang akan dilaksanakan ini dapat

dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Secara Teoristis

a. Melatih kemampuan penulis dalam melakukan penelitian dan menulis

secara ilmiah dan hasil penelitian dalam bentuk skripsi.

b. Agar dapat menerapkan ilmu-ilmu secara teoritis yang di terima

diperkuliahan dan untuk dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan.

c. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam bidang hukum

perjanjian.

2. Secara Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak baik penegak

hukum, pemerintah, dan masyarakat


9

E. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penulisan deskriptif analitis berusaha memberikan dengan sistematis

dan cermat fakta-fakta aktual dengan sifat populasi tertentu.

Jenis Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analitis

memberikan gambaran secara sistematis karena berdasarkan dan otentik . Adapun

pengertian dari deskriptif analitis, yaitu suatu metode yang berfungsi untuk

mendeskripsikan atau memberikan gambaran suatu objek yang diteliti melalui

data atau sampel yang telah dikumpulkan sebagaimana adanya tanpa melakukan

analisis membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Putusan sidang tentang

perkara pemutusan hubungan industrial di Pengadilan Negeri Padang.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

Yuridis normatif, disebut juga hukum doktrinal pada jenis ini, seringkali hukum

ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

(Law In Books).

Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis kaidah-kaidah hukum yang

hidup dalam Hubungan kerja atau hukum positif yang tertulis dan berkaitan

dengan perkara pemutusan hubungan kerja sepihak.


10

3. Sumber Data

Sumber data yang dikenalkan sebagai berikut;

a. Data Sekunder

Data sekunder dapat dibedakan menjadi Bahan Hukum Primer, Bahan

Hukum Sekunder, Dan Bahan Hukum Tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah Bahan-bahan yang mempunyai kekuatan

mengikat. Terdiri dari:

a) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

c) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

d) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman

e) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

f) PERMA Nomor 01 Tahun 2016 Tentang mediasi

g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial

h) Putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang

merupakan dokumen tidak resmi. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder

hanya sebagai penjelas dari bahan hukum primer seperti buku hukum perdata,

pendapat para pakar, Hukum yang relevan dengan penelitian ini.


11

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum testier merupakan bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, data penjelas dari

pendapat orang tertentu tentang isi data sekunder dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah;

a. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan yaitu

tehnik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap

buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang

ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Studi kepustakaan

dilakukan dengan mengadakan studi penelitian terhadap literatur, buku-

buku, dan Undang-undang yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Analisis dan Penyajian Data

Dalam metode analisis data secara kualitatif dengan menganalisis data

yang meliputi jurusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, dokumen-

dokumen, Buku-buku Kepustakaan,dan literatur lainnya yang mengatur sengketa

pemutusan hubungan kerja, yang kemudian akan dihubungkan dengan data-data

yang diperoleh penulis, kemudian akan dihubungkan dengan data data yang secara

sistematis serta menguraikan dengan kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik

sebuah kesimpulan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim

1. Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu

juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila

pertimbangan hakim tidak teliti, baik,dan cermat, maka putusan hakim yang

berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.10

Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya

pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling

penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk

memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar

terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat

menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut

10
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004, hlm.140

12
13

benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya

hubungan hukum antara para pihak.11

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat

tentang hal-hal sebagai berikut :12

a. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.
b. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek
menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c. Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat
dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan

kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945

Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun

2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan

kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam

penjelasan Pasal 24 Ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang

11
Ibid,hlm.141
12
Ibid,hlm.142
14

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia

tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia13.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur

tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut

dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan

dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim

alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga

putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24

Ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah

konstitusi.

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak

(impartial jugde) Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009. Istilah

tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan

putusannya hakim harus memihak yang benar. Lebih tapatnya perumusan

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 Ayat (1): “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.14

13
Ibid,hlm.142
14
Ibid,hlm.95
15

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan

tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih

dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi

penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum

yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap

peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak

boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan

kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35

Tahun 1999 juncto. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu pengadilan tidak

boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk

bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin).

Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 Ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu “Hakim wajib menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.


16

B. Tinjauan Tentang Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan

merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak

yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-

baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak- pihak yang bersengketa

mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka

hadapi.15

Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan

kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur Negara

yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang

sebenarnya, serta peraturan hukum yang mengaturnya yang akan diterapkan, baik

peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perUndang-undangan maupun

hukum yang tidak tertulis16 seperti hukum kebiasaan. Karenanya dalam Undang-

Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.

Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan

nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau

15
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT.Rineka Cipta, Jakarta
2004, hlm.124
16
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta:1998, hlm. 83
17

fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta cerminan etika, mentalitas, dan

moralitas dari hakim yang bersangkutan17.

2. Jenis-jenis Putusan Hakim

Putusan hakim/pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:

Jenis-jenis putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata, yang dimaksud

dengan Putusan Hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan persidangan

di pengadilan dalam suatu perkara. Putusan akhir dalam suatu sengketa yang

diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya

mengandung sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu

persidangan di pengadilan.18 Sanksi hukuman ini baik dalam hukum acara perdata

maupun acara pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar

hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam hukum acara perdata

hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada

pihak yang telah dirugikan atau dimenangkan dalam persidangan pengadilan suatu

sengketa, sedangkan dalam hukum acara pidana umumnya hukumannya penjara

dan atau denda.

1) Putusan Declaratoir (Pernyataan)

Putusan Declaratoir (Pernyataan) adalah putusan hanya menegaskan

atau menyatakan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya: Putusan

17
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana,Indonesia,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.129
18
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 100.
18

tentang keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris yang sah,

putusan pemilik atas suatu benda yang sah dan lain sebagainya. 19

2) Putusan Constitutief (Pengaturan)

Putusan Constitutief (Pengaturan) adalah putusan yang dapat

meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum

yang baru. Misalnya: putusan tentang perceraian, putusan yang menyatakan

bahwa seseorang jatuh pailit, putusan tidak berwenangnya pengadilan

menangani suatu perakra dan lain sebagainya.

3) Putusan Condemnatoir (Menghukum)

Putusan Condemnatoir (Menghukum) adalah putusan yang bersifat

menghukum pihak yang dikalahkan dalam persidangan untuk memenuhi

prestasi. Pada umumnya putusan condemnatoir ini terjadi disebabkan oleh

kareana dalam hubungan perikatan anatara Penggugat dengan Tergugat yang

bersumber pada perjanjian atau Undang-undang telah terjadinya wanprestasi

dan perkaranya diselesaikan di Pengadilan.

4) Putusan Preparatoir

Putusan Preparatoir adalah putusan sela yang dipergunakan untuk

mempersiapkan putusan akhir. Putusan ini tidak mempunyai pengaruh atas

pokok perkara atau putusan akhir karena putusannya dimaksudkan untuk

mempersipkan putusan akhir.

19
Ucuk Agiyanto, Penegakan Hukum Eksploitasi Konsep Keadilan Berdimensi
Ketuhanan,Hukum Ransendental, Universitas Muhammadiyah Ponogoro, Jawa Timur, 2018. hlm.
2.
19

5) Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoir adalah putusan sela yang berisi tentang perintah

untuk mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap bukti-bukti yang

ada pada para pihak yang sedang berperkara dan para saksi yang

dipergunakan untuk menentukan putusan akhir. Putusan interlocutoir ini

dapat mempengaruhi putusan akhir karena bahan pertimbangan untuk

membuat keputusan akhir.

6) Putusan Insidentil

Putusan Insidentil adalah putusan sela yang berhubungan

dengan insident atau peristiwa yang dapat menghendtikan proses peradilan

biasa untuk sementara.

7) Putusan Provisionil

Putusan provisionil adalah putusan sela yang dijatuhkan sebelum

putusan akhir sehubungan dengan pokok perkara, agar untuk sementara

sambil menunggu putusan akhir dilaksanakan terlebih dahulu dengan alasan

yang sangat mendesak demi untuk kepentingan salah satu pihak. Misalnya:

Putusan dalam perkara perceraian di mana pihak istri mohon agar di

perkenankan meninggalkan tempat tinggal bersama suami selama proses

persidangan beralangsung.

8) Putusan Contradictoir

Putusan Contradictoir adalah putusan yang menyatakan bahwa

Tergugat atau para Tergugat pernah hadir dalam persidangan, tetapi dalam

persidangan selanjutnya tergugat atau para tergugat atau salah satu dari
20

tergugat tidak pernah hadir walaupun telah dipanggil dengan patut. Dan

Putusan Contradictoir merupakan lawan dari putusan verstek, dalam putusan

contradictoir diberikan disebabkan oleh tergugat atau para tergugat yang

pernah hadir dipersidangan, tetapi dalam sidang-sidang berikutnya tergugat

atau salah satu dari tergugat tidak pernah hadir, sedangkan putusan verstek

adalah putusan diberikan oleh hakim karena tergugat tidak pernah hadir

dipersidangan.

9) Putusan Verstek atau In Absensia

Putusan Verstek atau In Absensia adalah putusan tidak hadirnya

tergugat dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut

tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau

kuasa hukumnya untuk menghadiri dalam persidangan. (Putusan Hakim

Dalam Hukum Acara Perdata)

3. Tugas Dan Wewenang Hakim

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib

menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan

oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.20 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar hukum, dipidana

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pada hakikatnya tugas pokok

20
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, PT Prenadamedia
Group, Depok, 2018. hlm. 11.
21

hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan

setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai

berikut: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Asas Ius Curia).21

Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara

normatif telah diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, antara lain:22

1) Pasal 4 Ayat (1), mengadili menurut hukum dengan tidak


membeda- bedakan orang.
2) Pasal 4 Ayat (2), membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
3) Pasal 10 Ayat (1), tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
4) Pasal 5 Ayat (1), hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.

21
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006. hlm. 16.
22
Ibid, hlm. 126.
22

Adapun secara konkrit tugas hakim dalam mengadili suatu perkara melalui

3 (tiga) tindakan secara bertahap, yaitu : 23

a) Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu mengakui atau membenarkan


telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka
persidangan. Syaratnya adalah peristiwa konkret itu harus dibuktikan
terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan
suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi. Jadi mengkonstatir
peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah
terbuktinya peristiwa tersebut.
b) Mengkualifisir yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-
benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang amanah atau
seperti apa. Dengan kata lain mengkualifisir adalah menemukan
hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir
c) Mengkonstituir (mengkonstitii) atau memberikan konstitusinya, yaitu
hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang
bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya
premise mayor (peraturan hukumnya) dan premise minor
(peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu
memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional
yaitu : keadilan, kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.

C. Tinjauan Hukum Tentang Ketenagakerjaan

1. Pengertian dan dasar hukum ketenagakerjaan

Pengertian tenaga kerja menurut para ahli :24

a. Molenaar
Hukum ketenagakerjaan adalah bagi hukum yang berlaku yang pada
pokoknya mengatur hubungan antara pekerja dengan majikan antara
pekerja dengan pekerja dan antara pekerja dengan pengusaha.
b. Mole
Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang berkenaan dengan
pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan dengan
keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerja itu.
c. Profesor Iman Soepomo,SH
Hukum ketenagakerjaan adalah himpunan peraturan baik tertulis
maupun himpunan tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana
seorang bekerja pada orang lain dengan orang lain dengan menerima upah.

23
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, PT Rafika Aditama, Bandung, 2007. hlm.
2.
24
CG.Karta Sapoetra dan RG.Widianingsih,Pokok-Pokok Hukum Perburuhan ,
Armico,Bandung, 1982,hlm.2
23

d. Soetikno
Hukum Ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan-peraturan
hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara
pribadi ditempatkan dibawah perintah atau pimpinan orang lain atau
mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut
dengan hubungan kerja tersebut.

Ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dirumuskan istilah ketenagakerjaan, yaitu segala hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa

kerja. Menurut Undang- Undang ini, tenaga kerja adalah “setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”25.

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 2 disebutkan bahwa

tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat26.

Sedangkan menurut DR Payaman Siamanjuntak dalam bukunya

“Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia” tenaga kerja adalah penduduk yang

sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang

melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.

25
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2013,
hlm.46
26
Subijanto, Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia , Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan , Jakarta, 2011, hlm.78
24

Secara praksis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurut dia hanya

dibedakan oleh batas umur.27

Hukum ketenagakerjaan di Indonesia diatur di dalam Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hukum ketenagakerjaan

mengatur tentang segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

sebelum, selama, dan sesudah kerja.28

2. Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan

Dengan mengacu pada Pancasila sebagai landasan filosofis dan Undang-

undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional, maka norma hukum

hubungan industrial di Indonesia, terutama Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 3, menganut asas-asas sebagai berikut :29

1. Asas Manfaat, dalam pengertian memberikan manfaat bagi buruh,


pengusaha, pemerintah, serta masyarakat.
2. Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan; dalam pengertian Demokrasi
Ekonomi yaitu maka usaha bersama perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas asas sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan dalam perekonomian Indonesia
3. Asas Demokrasi adalah keputusan diambil berdasarkan musyawarah
bersama
4. Asas Keterbukaan: yaitu asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.
5. Asas Adil dan Merata; yaitu asas yang menempatkan seseorang pada
kedudukan yang sama serta untuk semua orang bukan hanya terbatas
pada kewilayahan, suku bangsa, ras, agama dan lain sebagainya; atau
bahwa pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai usaha

27
Sendjun H Manululang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT
Rineka Citra, Jakarta,1998, hlm.03
28
https://elvira.rahayupartners.id/id/know-the-rules/manpower- Diakses pada tanggal 10,
Agustus, 2022, Pukul 20:30 WIB.
29
https://www.bphn.go.id/data/documents/ketenagakerjaan.pdf Diakses pada tanggal
,10,Agustus, 2022, Pukul 20:40 WIB.
25

bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh


wilayah tanah air.
6. Asas Kemitraan Kerja, mengandung arti : (a) bahwa pekerja dan
pengusaha adalah merupakan mitra kerja dalam proses produksi yang
berarti bahwa keduanya haruslah bekerjasama saling membantu dalam
kelancaran usaha perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan,
perusahaan dan produktivitas; (b) bahwa pekerja dan pengusaha
adalaha merupakan mitra dalam menikmati hasil perusahaan yang
berarti bahwa hasil perusahaan haruslah dinikmati secara bersama
dengan bagian yang layak dan serasi; (c) bahwa pekerja dan
pengusaha merupakan mitra dalam tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanggung jawab kepada Bangsa
dan Negara, tanggung jawab kepada masyarakat sekelilingnya,
tanggung jawab kepada pekerja serta keluarganya, dan tanggung
jawab kepada perusahaan dimana tempat mereka berkerja.
7. Asas Keterpaduan; keterpaduan dalam arti melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Dalam Penjelasan Pasal
ini disebutkan bahwa Asas pembangunan ketenagakerjaan pada
dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas
demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh.
8. Asas Non Diskriminasi, diskriminasi dalam hal ini adalah dalam hal
pengupahan. Pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Sebagimana diatur
dalam dalam Undang-undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang
Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor100
mengenai pengupahan yang sama bagi buruh laki laki dan perempuan
untuk pekerjaan yang sama nilainya.

D. Tinjauan Hukum Tentang Pemutusan Hubungan Kerja

1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut Tulus, pemutusan hubungan kerja (separation) adalah

mengembalikan karyawan ke masyarakat. Sedangkan menurut Hasibuan

pemutusan hubungan kerja adalah pemberhentian seseorang karyawan dengan

suatu organisasi (perusahaan). Pemutusan hubungan kerja adalah permasalahan

utama dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja di samping permasalahan

upah. Pemutusan hubungan kerja pada hakikatnya merupakan suatu pengakhiran


26

sumber nafkah bagi pekerja/buruh dan keluarganya yang dilakukan oleh

pengusaha. Pemutusan hubungan kerja merupakan awal hilangnya mata

pencaharian bagi pekerja/buruh yang juga menyebabkan kehilangan pekerjaan dan

penghasilan. Oleh sebab itu, istilah pemutusan hubungan kerja bisa menjadi

momok bagi setiap pekerja/buruh karena mereka dan keluarganya terancam

kelangsungan hidupnya dan merasakan derita akibat dari pemutusan bubungan

kerja itu. Mengingat fakta di lapangan bahwa mencari pekerjaan tidaklah mudah

seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya persaingan, Angkatan kerja terus

bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu fluktuatif, sangatlah wajar jika

pekerja/buruh selalu khawatir dengan ancaman pemutusan hubungan kerja

tersebut. 30

Umar Kasim mengemukakan bahwa berakhirnya hubungan kerja dapat

mengakibatkan pekerja/buruh kehilangan mata pencaharian yang berarti pula

permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk

menjamin kepastian hidup pekerja/buruh, seharusnya tidak ada pemutusan

hubungan kerja.

Kenyataan membuktikan bahwa pemutusan hubungan kerja tidak dapat

dicegah seluruhnya. Umar Kasim juga mengemukakan bahwa pemutusan

hubungan kerja merupakan isu yang sensitif, pengusaha seharusnya bijaksana

dalam melakukan pemutusan hubungan kerja karena pemutusan hubungan kerja

dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan peluang kehilangan

pekerjaan dan mengakibatkan pengangguran. Bagi pengusaha dan perusahaan

30
Abdul Khakim, Loc.Cit.
27

terjadinya pemutusan hubungan kerja sebenarnya merupakan suatu kerugian

karena harus melepas pekerja/buruh yang selama ini sadar sudah dilatih dengan

mengeluarkan ongkos yang banyak dan sudah mengetahui cara kerja yang

dibutuhkan perusahaan tetapi ada beberapa saat perlu dilakukan pemutusan

hubungan kerja untuk menyelamatkan perusahaan serta untuk mencegah korban

yang lebih besar.31

Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh akan tetap berlangsung

dengan baik apabila kedua belah pihak yang saling membutuhkan tersebut dapat

saling menjaga keharmonisan. Pemutusan hubungan kerja dapat dihindari jika

pengusaha dan pekerja/buruh tidak melanggar berbagai ketentuan yang telah

diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

beserta peraturan pelaksanaannya, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan

Perjanjian Kerja Bersama yang menjadi dasar pengusaha dan pekerja/buruh dalam

menjalankan hubungan kerja yang melindungi hak dan kewajiban kedua belah

pihak. Kesalahan atau pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh salah satu pihak,

pengusaha atau pekerja/buruh, sudah ditentukan sanksinya sesuai dengan Undang-

undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta peraturan

pelaksanaannya, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja

Bersama. Sanksi pelanggaran bagi pekerja/buruh yang paling berat dalam

hubungan kerja adalah pemutusan hubungan kerja itu sendiri yang mengakibatkan

berakhirnya hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Pekerja/buruh yang bekerja pada pihak lain dalam hal ini pengusaha berada di

31
Broto Suwiryo, Hukum Ketenagakerjaan, Lakbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm
97
28

bawah pimpinan pengusaha maka kewajiban terpenting bagi pekerja/buruh adalah

melakukan pekerjaan menurut petunjuk pengusaha.

Kewajiban pekerja/buruh pada umumnya terlihat pada hak pengusaha,

seperti juga hak pekerja/buruh terlihat pada kewajiban pengusaha. Pemutusan

hubungan kerja yang terjadi setelah adanya hubungan kerja dan perjanjian kerja

berarti hak pekerja/buruh harus dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan aturan

dalam perjanjian yang telah disetujui bersama.

2. Dasar Hukum Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: “Pemutusan hubungan kerja adalah

pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan

berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.”

Dalam Pasal 151 angka 1 angka 2 dan angka 3 menyebutkan bahwa:


angka 1 : “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.”,

angka 2 : ”Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan


hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan
kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”.

dan angka 3 : “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam Ayat


(2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.
BAB III
HASIL PENELITIAN

(Putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg)

A. Para pihak yang berperkara

Pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah CHAYSA AL

AZHANY, S.H., Warga Negara Indonesia, Perempuan, Lahir di Padang tanggal

24-07-1990, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan PT. Farel Atharhesa Pratama

Padang, beralamat di Anduring Nomor15 RT.003 RW.002, Kelurahan Anduring,

Kecamatan Kuranji, Kota Padang Provinsi Sumatera Barat, Pemegang NIK :

1371096407900004, dalam hal ini diwakili oleh Sahnan Sahuri Siregar S.H., M.H.

dkk, Kesemuanya adalah Advokat pada Rumah Bantuan Hukum (RBH) Padang,

yang beralamat kantor di Jl. Bandar Purus Nomor 52 Padang, Sematera Barat,

Telp/Fax (0751) 35943. Dalam hal ini bertindak baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama, berdasarkan kekuatan Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 Desember

2021 yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Padang Klas

IA pada hari Senin, tanggal 10 Januari 2022, dibawah Nomor 01/Pf.Pdt.Sus-

PHI/II/2022/PN Pdg, sebagai Penggugat;

PT. FAREL ATHARHESA PRATAMA PADANG, beralamat kantor di

Jalan Raya By Pass KM 7 Nomor49, Kota Padang – Sumatera Barat, Telp. (0751)

74955 Fax. (0751) 74454, Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 Desember 2021 yang

telah didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Padang Klas IA pada hari

Senin, tanggal 10 Januari 2022, dibawah Nomor 01/Pf.Pdt.Sus- PHI/II/2022/PN

Pdg, sebagai Tergugat.;

29
30

B. Duduk Perkara

Bahwa Penggugat dengan Surat Gugatan tanggal 20 Desember 2021 yang

dilampiri anjuran atau risalah penyelesaian Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian

Kota Padang Nomor: 563/1053/DTKP/2021 tanggal 20 September 2021, yang

diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Padang pada tanggal 13 Januari 2022 dalam Register Nomor

1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Pdg, telah mengajukan gugatan sebagai berikut :

1. Bahwa Penggugat adalah karyawan di perusahan Tergugat, yang terhitung

sebagai karyawan tetap (pekerja tetap) dengan masa kerja mulai bulan

Desember 2019 sampai dengan 14 Juni 2021 atau terhitung selama 1 (satu)

tahun 6 (enam) bulan dengan jabatan terakhir sebagai Tenaga Administrasi

dan menerima gaji/upah terakhir sebesar Rp.2.484.041,- (dua juta empat

ratus delapan puluh empat ribu empat puluh satu rupiah) setiap bulannya;

2. Bahwa selama Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat yang bergerak

dibidang Pendistribusian Pupuk Petrokima Gersik, telah melakukan

pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, memberikan kontribusi dan telah

mengabdi pada perusahaan;

3. Bahwa Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat 6 (enam) hari kerja

setiap minggunya, dengan jadwal masuk dari jam 09.00 Wib sampai

dengan jam 17.00 Wib dan Penggugat diwaktu tertentu bekerja lembur;

4. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat mulai timbul perselisihan

hubungan kerja sejak tanggal 14 Juni 2021, Penggugat telah dipanggil oleh
31

Direktur Perusahaan dan pada hari yang sama diberhentikan dan/atau di

Putus Hubungan Kerja (PHK), karena Penggugat dianggap kurang

pengalaman sebagai tenaga administrasi dengan Surat Pemutusan

Hubungan Kerja Nomor118/FAP/06.2021 tertanggal 14 Juni 2021;

5. Bahwa semenjak Penggugat diberhentikan oleh Tergugat melalui Surat

PHK Nomor 118/FAP/06.2021 tertanggal 14 Juni 2021, Tergugat tidak

membayarkan hak-hak normatif Penggugat berupa Uang Pesangon, Uang

Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak Lain sebesar 15%

berupa Tunjangan Kesehatan dan Perumahan dan Cuti Tahunan yang

belum diambil;

6. Bahwa Pumutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Tergugat

terhadap Penggugat dengan Surat Pemutusan Hubungan Kerja

Nomor118/FAP/06.2021 tertanggal 14 Juni 2021 adalah tidak sah dan

bertentangan dengan hukum, yang mana Penggugat sewaktu

menandatangani surat tersebut berada dibawah tekanan dan desakan dari

Tergugat, maka Penggugat telah memohon kepada Dinas Tenaga Kerja

dan Perindustrian Kota Padang untuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial/Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada tanggal 5 Agustus

2021.

7. Bahwa Tergugat dalam melakukan PHK kepada Penggugat terlalu

mengada-ada yang mana sampai saat ini Penggugat belum pernah

melakukan kesalahan dalam bentuk apapun termasuk peringatan lisan, SP

I, SP II, dan SP III, sehingga tidak ada alasan yang sah dari Tergugat
32

untuk melakukan PHK, dan bahkan Tergugat mencari-cari alasan dengan

keaadaan perusahaan sedang melakukan efesiensi dan menganggap

Penggugat kurang pengalaman, sehingga Tergugat tidak bersedia

membayarkan hak-hak normatif Penggugat yang telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Juncto

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Juncto

Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian

Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan

Pemutusan Hubungan Kerja;

8. Bahwa tindakan Tergugat melakukan PHK secara sepihak kepada

Penggugat dan tidak bersedia membayarkan hak-hak normatif Penggugat

sebagaimana dimaksud Posita Angka 4, Angka 5, Angka 6 dan Angka 7

diatas adalah merupakan tindakan tidak sah menurut ketentuan Pasal 164

Ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Jo Pasal 43 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 35

Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu

Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja., yakni

Penggugat berhak mendapatkan hak berupa Uang Pesangon sebesar 1

(satu) kali ketentuan Pasal 40 Ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1

(satu) kali ketentuan Pasal 40 Ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai

ketentuan Pasal 40 Ayat (4)


33

9. Bahwa menindak lanjuti Permohonan Penggugat tersebut (Posita Angka

6), Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Padang telah memanggil

Penggugat dan Tergugat berdasarkan Suratnya Nomor :

563/907/DTKP/2021 tertangal 9 Agustus 2021, untuk menghadap guna

penyelesaian melalui proses mediasi dan telah melakukan perundingan

secara Tripartit sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tanggal 16 Agustus 2021

dan tanggal 19 Agustus 2021, sebagaimana yang tertuang dalam Risalah

Perundingan melalui Mediasi, namun dalam perundingan tersebut tidak

tercapai kesepakatan;

10. Bahwa setelah melalui proses mediasi, dengan tidak tercapainya

kesepakatan Mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota

Padang mengeluarkan Anjuran Tertulis Nomor 563/1053/DTKP/2021

tanggal 20 September 2021, yang pada intinya menganjurkan kepada

Tergugat untuk memberikan dan membayarkan kepada Penggugat haknya

berdasarkan Pasal 43 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih

Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan

Kerja., berupa Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang

Penggantian Hak dengan rincian sebagai berikut :

a. Agar Pengusaha membayarkan kepada pekerja:


1) Uang Pesangon sebesar 2 x Rp. 2.484.041,- Rp.4.968.082,
2) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum Gugur 12/25 x
Rp. 2.484.041,- Rp. 1.192.340,-
Jumlah yang diterima Rp. 6.160.422,-
b. Agar pekerja dapat menerima pemberhentian ini dengan
mendapatkan hak sesuai poin (a) di atas;
34

c. Agar kedua belah pihak memberikan jawaban atas anjuran tersebut


selambat-lambatnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh)_ hari kerja
setelah menerima surat anjuran ini.

11. Bahwa terhadap anjuran Mediator pada Dinas Tenaga Kerja dan

Perindustrian Kota Padang sebagaimana dimaksud Posita Angka 10 diatas,

Penggugat telah memberikan jawaban secara lisan dengan mengatakan

menerima anjuran Mediator tertanggal 20 September 2021 dan akan

melanjutkan sengketa ini melalui Pengadilan Hubungan Industrial

dikarenakan Tergugat tidak menerima dan melaksanakan anjuran mediator

tersebut;

12. Bahwa semenjak Tergugat mengluarkan Surat PHK Nomor 118/FAP/06-

2021 tertanggal 14 Juni 2021, maka berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 37/UU/IX/2021, Tergugat harus tetap membayar

gaji Penggugat sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan hukum

tetap (inkraht van gewijde) yang jumlahnya akan ditentukan oleh Majelis

Hakim dalam perkara a quo. Namun jika dihitung sejak Penggugat di PHK

sampai dengan gugatan ini diajukan ke Pengadilan maka upah/gaji yang

harus dibayarkan oleh Tergugat adalah sebesar Rp. 14.904.246,- (empat

belas juta sembilan ratus empat dua ratus empat puluh enam rupiah),

dengan rincian sebagai berikut;

a. Gaji bulan Juni 2021 Rp. 2.484.041,


b. Gaji bulan Juli 2021 Rp. 2.484.041,-
c. Gaji bulan Agustus 2021 Rp.2.484.041,-
d. Gaji bulan September 2021 Rp.2.484.041,-
e. Gaji bulan Oktober 2021 Rp.2.484.041,-
f. Gaji bulan November 2021 Rp.2.484.041,-
Jumlah = Rp. 14.904.246,-
35

13. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup Penggugat berserta dan anak-

anak Penggugat yang masih membutuhkan biaya, sementara Penggugat

sejak tanggal 14 Juni 2021 tidak lagi bekerja karena telah dilakukan PHK

secara sepihak oleh Tergugat dan telah pula menghentikan pembayaran

gaji Penggugat, maka cukup beralasan hukum bagi Penggugat meminta

Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara a quo

menjatuhkan Putusan Provisi melalui Putusan Sela untuk memerintahkan

Tergugat membayarkan gaji Penggugat/upah proses kepada Penggugat

sampai dengan diajukannya gugatan perkara a quo ke pengadilan sejumlah

Rp. 14.904.246,- (empat belas juta sembilan ratus empat dua ratus empat

puluh enam rupiah), sebagaimana dimaksud Posita Angka 12 di atas, dan

selanjutnya memerintahkan Tergugat tetap membayarkan gaji

Penggugat/upah proses kepada Penggugat setiap bulannya terhitung sejak

bulan Desember 2021 sampai dengan perkara a quo memiliki kekuatan

hukum tetap (inkract van gewijzde);

14. Bahwa dengan dikabulkannya gugatan a quo, maka untuk menjaga

kesinambungan Penggugat mendapatkan pekerjaan di kemudian hari,

maka cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan

menyidangkan perkara a quo untuk menghukum Tergugat mengeluarkan

surat keterangan pernah bekerja kepada Penggugat yang pada intinya

menyatakan Penggugat telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik

selama bekerja pada Tergugat;


36

15. Bahwa untuk menjamin agar Tergugat membayarkan seluruh hak

Penggugat dan menghindari timbulnya kerugian yang lebih besar lagi bagi

Penggugat maka cukup beralasan bagi Penggugat meminta diletakkan sita

jaminan (conservatoir beslag) terhadap aset-aset yang dimiliki oleh

Tergugat;

16. Bahwa untuk menghindari Tergugat berbuat ingkar atas putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan berpedoman

dari putusan pengadilan sebelumnya perusahaan tetap tidak mau

menjalankan putusan setelah berkekuatan hukum tetap, maka cukup

beralasan bagi Penggugat meminta Pengadilan untuk menghukum

Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sejumlah Rp.1.000.000,-

(satu juta rupiah) per/hari keterlambatan terhitung semenjak putusan ini

memiliki kekuatan hukum tetap;

Berdasarkan uraian dan dalil-dalil gugatan Penggugat tersebut di atas,

maka Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri Padang Kelas IA, untuk memanggil kami kedua belah pihak

yang berperkara dalam suatu hari persidangan yang akan ditentukan kemudian,

serta selanjutnya memeriksa dan memutus perkara ini dengan putusan yang dapat

dijalankan serta merta (uit voerbaar bij voorraad) meskipun ada

perlawanan/verzet dan kasasi.

C. Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa pada halaman akhir jawabannya, Tergugat memohon

agar Majelis Hakim menerima eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; Menimbang,


37

bahwa di dalam replik Penggugat menyatakan menolak eksepsi Tergugat tersebut

karena dalam jawabannya Tergugat hanya membantah pokok perkara saja tanpa

mengajukan eksepsi;

Menimbang, bahwa eksepsi dalam hukum acara perdata bermakna

tangkisan atau bantahan (objection) yang diajukan kepada hal-hal yang

menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang

diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan

tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima;

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim memperhatikan dengan cermat

dan teliti jawaban Tergugat sebagaimana diuraikan diatas, ternyata Tergugat sama

sekali tidak mendalilkan alasan-alasan terkait eksepsi dimaksud, baik eksepsi

mengenai kewenagan mengadili maupun eksepsi lainnya yang bukan mengenai

kewenangan mengadili, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa

permohonan Tergugat tersebut tidak relevan dan sepatutnya dinyatakan tidak

dapat diterima;

DALAM PROVISI

Menimbang, bahwa didalam gugatannya Penggugat mengajukan tuntutan

Provisi yang pada pokoknya memohon agar Majelis Hakim memerintahkan

Tergugat untuk membayar gaji Penggugat/upah proses kepada Penggugat

terhitung sejak Tergugat melakukan Pemutusan hubungan kerja sampai gugatan a

quo diajukan ke pengadilan, dan seterusnya tetap membayar upah Penggugat

setiap bulannya sampai dengan perkara a quo memiliki kekuatan hukum tetap

(inkracth van gewisjd);


38

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan provisi tersebut Majelis Hakim akan

mempertimbangkan dua hal yakni mengenai putusan sela dalam perselisihan

hubungan industrial sebagai jawaban tuntutan provisionil dan mengenai hak upah

proses bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, sebagai berikut:

1. Putusan Sela dalam Perselisihan Hubungan Industrial; Bahwa berdasarkan

ketentuan Pasal 96 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004

Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang mengutip

selengkapnya sebagai berikut: Ayat (1). Apabila dalam persidangan pertama,

secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan

kewajibannya sebagaimana dimaksud Pasal 155 Ayat (3) Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua sidang harus

segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk

membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh

yang bersangkutan. Ayat (2). Putusan Sela sebagaimana dimaksud dalam

Ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari

persidangan kedua. Bahwa ketentuan tersebut di atas merujuk kepada Pasal

155 Ayat (3) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, dimana Pasal dimaksud telah dihapus oleh Undang -

undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang sebelumnya

berbunyi “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada

pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan

tetap wajib membayar upah serta hak-hak lainnya yang biasa diterima
39

pekerja/buruh”, dengan demikian terdapat kaidah hukum bahwa putusan sela

dalam perkara peselisihan hubungan industrial dapat dikabulkan apabila

Pengusaha benar-benar terbukti telah melakukan tindakan skorsing terhadap

pekerja yang sedang dalam proses PHK namum secara nyata tidak membayar

upah serta hak- hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja/buruh; Bahwa

oleh karena sepanjang pemeriksaan perkara a quo baik berdasarkan bukti

bukti tertulis maupun keterangan saksi saksi tidak ditemukan fakta bahwa

adanya tindakan skorsing yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat

selama dalam proses pemutusan hubungan kerja, maka Mejelis Hakim

berpendapat belum cukup alasan hukum untuk mengabulkan tuntutan Provisi

Penggugat tersebut;

2. Upah proses bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja;

Bahwa mengenai hak pekerja terhadap upah proses pemutusan hubungan

kerja, Majelis Hakim berpendapat tidak semua pekerja yang di PHK berhak

atas upah proses tersebut, hal mana pekerja yang berhak menerima upah

proses pemutusan hubungan kerja adalah pekerja yang di PHK namun alasan

PHK tersebut bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan atau alasan PHK

tidak terbukti menurut hukum, sehingga apakah pekerja yang di PHK berhak

atau tidaknya atas upah proses dapat ditentukan setelah seluruh proses

pemutusan hubungan kerja tersebut diperiksa berdasarkan bukti-bukti yang

diajukan para pihak di dalam persidangan, dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa tuntutan terhadap upah proses telah masuk ke dalam

pokok perkara;
40

Bahwa yang dimaksud dengan putusan provisi adalah putusan Majelis

Hakim yang menjatuhkan putusan sementara yang mendahului putusan akhir

yang tidak menyangkut dengan pokok perkara;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Majelis

Hakim berpendapat bahwa terhadap tuntutan provisi Penggugat tersebut tidak

beralasan hukum dan haruslah dinyatakan ditolak.

D. Putusan

Pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri kelas 1A

memeriksa dan memutus perkara-perkara perselisihan hubungan industrial pada

tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perrkara

gugatan antara:

Memperhatikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagaimana dirubah, dihapus dan ditambahkan sebagian oleh

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Undang- undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan

peraturan-peraturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini :


41

MENGADILI:

DALAM EKSEPSI

- Menyatakan Eksepsi Tergugat tidak dapat diterima;

DALAM PROVISI

- Menolak Tuntutan Provisi Penggugat tersebut;

DALAM POKOK PERKARA

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan Penggugat adalah karyawan di perusahaan Tergugat, dengan

jabatan terakhir sebagai Tenaga Administrasi;

3. Menyatakan Putus Hubungan Kerja antara Penggugat dengan Tergugat

sejak tanggal 14 Juni 2021;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak hak Penggugat sebesar

Rp.3.179.572,48 (tiga juta seratus tujuh puluh sembilan ribu lima ratus

tujuh puluh dua rupiah koma empat delapan sen) dengan perincian sebagai

berikut :

a. Uang pesangon 1 x Rp.2.484.041,00 = Rp.2.484.041,00


b. Sisa cuti yang belum diambil dan belum gugur Rp.2.484.041 x 7 = Rp.
695.531,48 25
c. Jumlah = Rp.3.179.572,48

5. Memerintahkan Tergugat untuk memberikan rekomendasi berupa Surat

Pengalaman Bekerja kepada Penggugat;

6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;

7. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara sebesar

Rp.460.000,00 (empat ratus enam puluh ribu rupiah);


42

Demikian diputuskan dalam sidang permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Padang Kelas 1A, pada

hari Kamis, tanggal 31 Maret 2022, oleh kami, Yuzaida, S.H.,M.H., sebagai

Hakim Ketua , Eko Pramono, S.H. dan Abdul Rahman Lubis, S.P. masing-masing

sebagai Hakim Anggota, yang ditunjuk berdasarkan Surat Penetapan Ketua

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Padang Nomor

1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN Pdg tanggal 13 Januari 2022, putusan tersebut pada hari

Kamis, tanggal 7 April 2022, diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum

oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota tersebut, Winda

Gustina, S.H., Panitera Pengganti, kuasa Penggugat, tanpa dihadiri oleh kuasa

Tergugat;
BAB IV

HASIL PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara pemutusan hubungan kerja

sepihak pada putusan (Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/PN.Pdg)

Di Indonesia sendiri lembaga yang mempunyai kewenangan untuk

mengadili dan menjatuhkan sanksi disebut lembaga peradilan, yang di dalamnya

terdapat aparatur negara yang melaksanakan kewenangan untuk mengadili dan

memutus suatu perkara atau masalah yang terjadi di dalam masyarakat yang di

kenal sebagai Hakim. Tugas hakim sesunguhnya adalah sebuah tugas yang

mulia,sebagaimana dijelaskan oleh Roeslan saleh, tentang “pergulatan

kemanusiaan”32. Dalam pernyataan tersebut terlihat besarnya tanggung jawab

seorang hakim dalam menjalankan tugasnya,dimana mereka harus menghadapi

pergulatan batin serta gejolak dalam jiwanya ketika harus membuat suatu pilihan

yang tidak mudah dalam membuat suatu Putusan dalam perkara yang

diadilinya,dan lebih dari itu semua seorang hakim juga harus meletekan

telinganya pada pendapat dan rasa keadilan yang di harapkan oleh masyarakat.

Dengan demikian sebuah putusan hakim merupakan cermin dari

sikap,moralitas,penalaran dan banyak hal lainnya yang dideskripsikan sebagai

Pengalaman seorang hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini

menunjukan bahwa sebenarnya putusan hakim sangat bersifat relativisme cultural

sehingga tidak menutup kemungkinan pandangan setiap hakim dalam suatu

perkara bisa berbeda-beda.


32
Satjipto Rahrdjo, Perang Dibalik Toga Hakim, Kompas. Jakarta, 2006, hlm. 91.

43
44

Dalam praktek peradilan perdata dikenal sumber hukum berupa burgerlijk

wetboek (BW) disebut juga sekarang ini dengan KUHPerdata yang terdiri dari

1993 Pasal. KUHPerdata tersebut berdasarkan Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-

undang 1945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini. KUHPerdata berlaku

untuk sebagian warganegara Indonesia yaitu mereka yang termasuk golongan

Eropa, mereka yang termasuk golongan Tionghoa dengan beberapa kekecualian

dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1917 – 129. Mereka

yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tionghoa dengan

kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara tahun 1924 –

556. Sementara itu untuk golongan Bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat

yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih

belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal

dalam kehidupan masyarakat.

Majelis hakim memiliki dua pertimbangan Yuridis dan Non-Yuridis,

adapun pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg,

Hakim telah menjatuhkan putusan berdasarkan pertimbangan Yuridis yaitu seperti

yang telah kita ketahui pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan

yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap dalam persidangan mengenai

alat bukti dan penerapan ketentuan hukum pada peristiwa yang telah dikemukakan

para pihak atau dengan kata lain yaitu pertimbangan hakim yang diterapkan dalam

kasus ini.

Dalam kasus ini Hakim dalam menjatuhkan putusan didasarkan pada

pertimbangan yuridis, yaitu adanya fakta-fakta yang terungkap di persidangan


45

yakni bukti surat-surat yang sah serta dihubungkan dengan keterangan tergugat.

Hal ini dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan

dengan bukti- bukti yang menguatkan tersebut. Kemudian, tergugat membuat

kesepakatan yang dituangkan dalam surat PHK Nomor.118/FAP/06.2021

Tertanggal 14 Juni 2021.

Kemudian bukti-bukti dan kesaksian-kesaksian bahwa memang benar

Penggugat tersebut adalah karyawan atau pekerja pada perusahaan tergugat yang

diakhiri hubungan kerja oleh Tergugat dengan pembuktian-pembuktian.

Bahwa terhadap jawaban Tergugat tersebut, Kuasa Hukum Penggugat

telah mengajukan replik pada tanggal 20 September 2021 dan terhadap replik

Penggugat tersebut, Replik dan Duplik mana tidak termuat dalam putusan ini,

yang secara lengkap sebagaimana termuat dalam berita acara persidangan;

Untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugat telah mengajukan surat

bukti, berupa bukti surat P-1A sampai dengan P-5D yang telah dibubuhi meterai

secukupnya sebagai berikut:

a. Bukti P-1A : foto copy slip gaji bulan Maret 2021;

b. Bukti P-1B : foto copy slip gaji bulan April 2021;

c. Bukti P-1C : foto copy slip gaji bulan Mei 2021, bukti 1A, 1B dan 1C

tersebut pada pokoknya menerangkan bahwa antara Penggugat dengan

Tergugat memiliki hubungan kerja;

d. Bukti P-2 : foto copy kartu BPJS atas nama Penggugat, bukti ini pada

pokoknya menerangkan bahwa Penggugat adalah peserta BPJS yang

iurannya dipotong sebagian dari upah Penggugat;


46

e. Bukti P-3 : foto copy Surat Nomor : 118/FAP/06-2021 tentang Pemutusan

Hubungan Kerja, bukti ini pada pokoknya menerangkan bahwa Tergugat

telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Penggugat;

f. Bukti P-4 : foto copy Surat Pernyataan, bukti ini pada pokoknya

menerangkan bahwa pada saat menandatangani surat pemutusan hubungan

kerja Penggugat berada dibawah tekanan dan desakan Tergugat;

g. Bukti P-5A : foto copy Surat Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota

Padang Nomor: 563/907/DTKP/2021 Tanggal 9 Agustus 2021, perihal

Panggilan Mediasi I;

h. Bukti P-5B : foto copy risalah perundingan mediasi tanggal 16 Agustus

2021;

i. Bukti P-5C : foto copy risalah mediasi tanggal 19 Agustus 2021;

j. Bukti P-5D : foto copy Anjuran Mediator Hubungan Industrial pada Dinas

Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Padang Nomor:

563/1053/DTKP/2021 tanggal 20 September 2021;

Menimbang, bahwa selain mengajukan surat-surat bukti tersebut, untuk

menguatkan dalil gugatannya Penggugat menghadirkan di persidangan 2 (dua)

orang saksi yang bernama:

1. Seska Nurjamingsih, Perempuan, lahir di Padang tanggal 8 Juni 1998,

pekerjaan swasta, alamat Jl.Nanggalo Lama, Indarung, RT/RW 002/004,

Kel. Indarung, Kec. Lubuk Kilangan Kota Padang, dengan disumpah

menurut agamanya telah memberikan keterangan, yang selengkapnnya

termuat dalam Berita Acara Persidangan ini;


47

2. Loli Nisrina Putri, Perempuan, lahir di Tangerang tanggal 19 Januari 2003,

pekerjaan Mahasiswa, alamat Terendam III Nomor1B RT/RW 001/004

Kel. Sawahan Kec. Padang Timur, dengan disumpah menurut agamanya

telah memberikan keterangan, yang selengkapnnya termuat dalam Berita

Acara Persidangan ini

Menimbang, bahwa untuk mempertahankan dalil-dalil sangkalannya,

Tergugat mengajukan bukti lawan berupa fotocopy bukti-bukti surat yang telah

dibubuhi materai secukupnya yakni bukti T-1 sampai dengan T-6 dan bukti bukti

tersebut diberi tanda sebagai berikut:

a. Bukti T-1 : foto copy Akte Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham

Luar Biasa PT. Farrel Atharhesa Pratama Nomor 02 tanggal 05 Agustus

2021, bukti ini pada pokoknya menerangkan bahwa Rico Kurniadi telah

diangkat sebagai Direktur PT. Farrel Atharhesa Pratama;

b. Bukti T-2 : foto copy Surat Keputusan Kemenkumham Nomor AHU-

AH.01.03.0441916 tanggal 30 Agustus 2021, bukti ini pada pokoknya

menerangkan bahwa perubahan akta PT. Farrel Atharhesa Pratama telah

disahkan di Kemenkumham;

c. Bukti T-3 : foto copy bukti tanda terima gaji karyawan PT. Farrel

Atharhesa Pratama bulan Februari 2021, bukti ini pada pokonya

menerangkan bahwa Penggugat mulai menerima haknya/gaji pada bulan

Februari 2021;

d. Bukti T-4 : foto copy bukti tanda terima gaji karyawan PT. Farrel

Atharhesa Pratama bulan Maret 2021, bukti ini pada pokonya


48

menerangkan bahwa Penggugat telah menerima haknya pada bulan Maret

2021;

e. Bukti T-5 : foto copy bukti tanda terima gaji karyawan PT. Farrel

Atharhesa Pratama bulan April 2021, bukti ini pada pokonya menerangkan

bahwa Penggugat telah menerima haknya pada bulan April 2021;

f. Bukti T-6 : foto copy bukti tanda terima gaji karyawan PT. Farrel

Atharhesa Pratama bulan Mei 2021, bukti ini pada pokonya menerangkan

bahwa Penggugat telah menerima haknya pada bulan Mei 2021;

Menimbang, bahwa pihak Penggugat maupun pihak Tergugat masing

masing melalui kuasa hukumnya telah menyerahkan kesimpulan secara tertulis

pada tanggal 31 Maret 2022.

B. Akibat Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Pemutusan

Hubungan Kerja sepihak Putusan ( Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg).

Pertimbangan hakim dalam Pengadilan Negeri adalah solusi terakhir yang

diharapkan dapat membantu mereka yang sedang bersengketa. Di dalam kasus

Pemutusan Hubungan Industrial penggugat harus melawan salah satu pihak

sebagai Tergugat. Pada saat penggugat mengajukan surat gugatannya harus

memuat apa yang dituntut terhadap tergugat, dasar-dasarnya penututan tersebut

dan bahwa tuntutan itu harus terang dan tertentu. Meskipun peristiwa atau

faktanya itu disajikan oleh para pihak, hakim harus tahu pasti akan peristiwa yang

disajikan itu. Hakim harus mengkonstatir hakim harus mengakui kebenaran

peristiwa yang bersangkutan. Dan kebenaran peristiwa ini hanya dapat diperoleh

dengan pembuktian.
49

Segala peristiwa yang menimbulkan sesuatu hak harus dibuktikan oleh

yang menuntut hak tersebut, sedang peristiwa yang menghapuskan hak harus

dibuktikan oleh para pihak33. Putusan hakim sangat diperlukan untuk

menyelesaikan suatu perkara perdata. Putusan hakim adalah suatu pernyataan

yang diucapkan oleh seorang hakim dalam persidangan untuk memberikan

penyelesaian kepada para pihak yang berperkara atau bersengketa. Jadi putusan

hakim sangat diperlukan dalam memberikan penyelesaian akhir yang adil bagi

pihak yang dilanggar haknya.

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan Penggugat mengenai upah proses

PHK, Majelis Hakim berpendapat tidak semua pekerja yang di PHK berhak atas

upah proses, karena pekerja yang berhak menerima upah proses pemutusan

hubungan kerja adalah pekerja yang di PHK namun alasan PHK tersebut

bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan atau alasan PHK tidak terbukti

menurut hukum, dengan perkataan lain bahwa tuntutan terhadap upah proses telah

masuk ke dalam pokok perkara.

Menimbang, bahwa oleh karena isi gugatan Penggugat disangkal

kebenarannya oleh Tergugat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 283 RBg, adalah

merupakan kewajiban dari Penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil

gugatannya, sedangkan pihak Tergugat dapat mengajukan bukti lawan (tegen

bewijst).

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalilnya Penggugat telah

mengajukan bukti berupa bukti P-1A sampai dengan P-5D, serta menghadirkan 2

33
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 82.
50

(dua) orang saksi , sedangkan untuk menguatkan dalil sangkalannya Tergugat

telah mengajukan bukti berupa bukti T-1 sampai dengan T-6, akan tetapi tidak

menghadirkan saksi-saksi meskipun Majelis Hakim telah memberikan kesempatan

untuk itu;

Menimbang, bahwa sepanjang bukti-bukti serta keterangan saksi yang

diajukan kedua belah pihak di dalam persidangan tidak ada relevansinya dengan

pokok perkara, maka tidak akan dipertimbangkan satu persatu ; Menimbang,

bahwa oleh karena Penggugat mendalilkan lamanya masa kerja Penggugat adalah

1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sejak bulan Desember 2019 sampai dengan 14 Juni

2021, namun hal tersebut disangkal oleh Tergugat, maka Majelis Hakim perlu

mempertimbangkan terlebih dahulu bukti bukti yang diajukan para pihak yang

berkenaan dengan lamanya masa kerja Penggugat tersebut sebagai berikut:

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 identik dengan bukti T-4, bukti

P-2 identik dengan bukti T-5 dan bukti P-3 identik dengan bukti T-6, berupa slip

gaji pada perusahaan PT. Farrel Atharhesa Pratama (i.c Tergugat) untuk dan atas

nama Chaysa Al Azhany, SH (i.c Penggugat), ditemukan fakta bahwa benar

antara Penggugat dengan Tergugat terdapat hubungan kerja, dimana Penggugat

menerima upah dari Tergugat sebesar Rp.2.484.041,- untuk bulan Maret 2021,

bulan April 2021 dan bulan Mei 2021; Menimbang, bahwa berdasarkan

keterangan saksi Seska Nurjamingsih, yang bekerja pada perusahaan PT.Harapan

Putnas Persada sebagai Tenaga Administrasi sejak bulan Desember 2019 sampai

dengan bulan Juni 2020, diketahui bahwa Penggugat adalah karyawan

PT.Harapan Putnas Persada bersama sama dengan saksi yang berkedudukan


51

kantor pada gedung yang sama dengan PT.Farrel Atharhesa Pratama, keterangan

mana bersesuaian dengan yang sampaikan saksi Loli Nisrina Putri yang

mengatakan bahwa Penggugat adalah karyawan PT. Harapan Putnas Persada yang

sekaligus sebagai Pembimbing saksi selama magang di PT.Harapan Putnas

Persada pada bulan September 2020 sampai bulan Nopember 2020, disamping itu

saksi Seska Nurjamingsih juga menerangkan bahwa Managemen keuangan antara

PT.Putnas Harapan Persada berbeda dengan PT.Farrel Artharhesa Pratama yang

memiliki Tenaga Administrasi masing-masing, dan saksi mengatakan bahwa

pemilik daripada kedua perusahaan tersebut adalah orang yang sama yakni

saudara Beni, namun saksi tidak dengan jelas mengetahui apakah saudara Beni

sebagai Direktur, sebagai Komisaris atau sebagai pemegang saham pada

perusahaan tersebut;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti T-3, ditemukan fakta bahwa pada

bulan Februari 2021 Penggugat juga telah menerima upah dari Tergugat, hal mana

menurut kebiasaan upah yang diterima bulan Februari adalah merupakan hasil

kerja pada bulan Januari; Menimbang, bahwa memperhatikan pertimbangan

hukum dan pendapat Mediator dalam Anjuran Nomor :563/1053/DTKP/2021

tanggal 20 September 2021 sebagaimana lampiran gugatan a quo dan juga

diajukan Penggugat sebagai bukti P-5D, pada huruf C Angka 1 mengutip

selengkapnya “bahwa kedua belah pihak membenarkan pekerja Sdri. Chaysa Al

Azhany memang telah bekerja di PT.Harapan Putnas Persada mulai bulan

Desember 2019 dan pada bulan Januari 2021 di PT. Farrel Atharhesa Pratama

sebagai Tenaga Administrasi dengan mendapat upah/gaji Rp.2.484.041,00 (dua


52

juta empat ratus delapan puluh empat ribu empat puluh satu rupiah) / bulan;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan tersebut diatas dapat

ditafsirkan bahwa sejak Desember 2019 Penggugat adalah karyawan PT.Harapan

Putnas Persada sampai dengan bulan Desember 2020 dan selanjutnya sejak bulan

Januari 2021 Penggugat adalah karyawan PT.Farrel Atharhesa Pratama;

Menimbang, bahwa PT.Harapan Putnas Persada dan PT.Farrel Atharhesa

Pratama adalah bentuk usaha yang berbadan hukum yakni Perseroan Terbatas

yang masing-masing keduanya merupakan subyek hukum mandiri, oleh

karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa apabila terjadi perpindahan tempat

kerja atau peralihan hubungan kerja seorang pekerja dari satu perseroan ke

perseroan yang lain, maka masa kerja pekerja tersebut tidakdapat diakumulasi

meskipun owner atau pemegang saham kedua perusahaan tersebut adalah orang

yang sama, kecuali alasan peralihan hubungan kerja mana disebabkan terjadinya

perubahan status perusahaan sebagaimana dimaksud Pasal 154A Ayat (1) huruf

(a) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;

Menimbang, bahwa oleh karena faktanya gugatan Penggugat dalam

perkara a quo hanya ditujukan kepada PT.Farrel Atharhesa Pratama dan tidak

ditemukan fakta adanya perubahan status perusahaan antara PT.Harapan Putnas

dengan PT.Farrel Atharhesa Persada, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa

lamanya masa kerja antara Penggugat dengan PT.Harapan Putnas Persada (sejak

Desember 2019 sampai dengan bulan Desember 2020) tidak dapat diperhitungkan

untuk menjadi tanggung jawab PT.Farrel Atharhesa Persada (i.c Tergugat) apabila

terjadi pemutusan hubungan kerja;


53

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Majelis

Hakim berkesimpulan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat benar adanya

hubungan kerja selama 6 (enam) bulan, yaitu terhitung sejak bulan Januari 2021

sampai dengan Juni 2021 dan Penggugat menerima upah terakhir sebesar

Rp.2.484.041,00 (dua juta empat ratus delapan puluh empat ribu empat puluh satu

rupiah).

Menimbang, oleh karena pemutusan hubungan kerja antara Penggugat

dengan Tergugugat telah dipertimbangkan dan dinyatakan sah menurut hukum,

maka selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Petitum gugatan

Penggugat sebagai berikut:

Menimbang, bahwa tentang Petitum 1 : akan dipertimbangkan setelah

semua petitum dipertimbangkan;

Menimbang, bahwa Petitum 2 : yang pada pokoknya agar menyatakan

Penggugat adalah karyawan perusahaan Tergugat dengan jabatan terakhir sebagai

Tenaga Administrasi, Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh karena hubungan

kerja antara para pihak telah diakui Tergugat, dan didukung bukti- bukti surat

sebagaimana yang telah dipertimbangkan diatas, maka petitum tersebut haruslah

dinyatakan dikabulkan;

Menimbang, bahwa Petitum 3 : yang pokoknya agar menyatakan

pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tidak sah menurut

hukum, Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: Bahwa setelah

memperhatikan dengan cermat dan teliti seluruh dalil posita dan

menghubungkannya dengan petitum gugatan Penggugat dalam perkara a quo


54

disimpulkan bahwa yang menjadi gugatan pokok Penggugat adalah menuntut

sejumlah uang sebagai kompensasi atas pemutusan hubungan kerja antara

Penggugat dengan Tergugat; Bahwa agar putusan a quo tidak menjadi kontradiktif

maka pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat tersebut

haruslah dinyatakan sah sejak tanggal 14 Juni 2021 sebagaimana yang telah

diuraikan pada pertimbangan di atas;

Bahwa oleh karena pemutusan hubungan kerja antara Penggugat dengan

Tergugat telah dinyatakan sah, maka petitum tersebut menjadi tidak relevan dan

haruslah dikesampingkan;

Menimbang, bahwa Petitum 4 : yang pokoknya agar menghukum

Tergugat untuk membayar hak-hak normatif Penggugat atas pemutusan hubungan

kerja yang dilakukan oleh Tergugat, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai

berikut:

Bahwa yang menjadi alasan pemutusan hubungan kerja antara Penggugat

dengan Tergugat adalah karena Penggugat tidak memenuhi kompetensi yang

dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga Tergugat terpaksa harus melakukan

efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian perusahaan;

Bahwa berdasarkan Pasal 43 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih

Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja,

menyatakan “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah

terjadinya kerugian maka pekerja/buruh berhak atas:


55

a. Uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40 Ayat (2);


b. Uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 40
Ayat (3);
c. Uang penggatian hak sesuai ketentuan Pasal 40 Ayat (4);

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, oleh karena masa kerja Penggugat

terhitung selama 6 (enam) bulan, maka Majelis Hakim berpendapat terhadap

petitum Penggugat sepanjang mengenai hak normatif Penggugat yang menjadi

kewajiban Tergugat tersebut haruslah dikabulkan yang perhitungannya adalah

sebagai berikut:

a. Uang pesangon 1 x Rp.2.484.041,00 = Rp.2.484.041,00


b. Sisa cuti yang belum diambil dan belum gugur Rp.2.484.041 x 7 = Rp.
695.531,48 25 Jumlah = Rp.3.179.572,48 (tiga juta seratus tujuh puluh
sembilan ribu lima ratus tujuh puluh dua rupiah koma empat delapan sen);

Menimbang, bahwa Petitum 5 : adanya tuntutan Penggugat agar Tergugat

mengeluarkan surat pengalaman kerja, maka menurut Majelis Hakim adalah wajar

untuk diserahkan oleh Tergugat kepada Penggugat sebagaimana dimaksud Pasal

1602z KUHPerdata, dengan demikian petitum gugatan Penggugat Angka 7 cukup

beralasan dan haruslah dikabulkan;

Menimbang, bahwa Petitum 6 : dalam gugatan Penggugat agar Majelis

Hakim menyatakan sah dan berharga (van waarde verklaad) sita jaminan yang

diletakkan terhadap aset-aset yang dimiliki Tergugat, oleh karena Pengadilan

Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Padang Kelas IA tidak melakukan

sita jaminan dalam perkara a quo maka permohonan ini tidak berdasar dan

menurut hukum haruslah ditolak

Menimbang, Bahwa Petitum 7 : gugatan Penggugat berupa permohonan

agar menghukum Tergugat untuk membayar uang denda sebesar Rp.100.000,00


56

(seratus ribu rupiah) per hari terhadap keterlambatan Tergugat dalam

melaksanakan putusan ini, menurut Majelis Hakim bahwa setiap putusan perdata

dapat pula disertai suatu dwangsom apabila hal tersebut memang diminta oleh

Penggugat kecuali salah satunya yang ditetapkan dalam Pasal 611 a Ayat 1 (Rv)

juncto Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 791 K/Sip/1972 tanggal 26

Februari 1973 yang menentukan bahwa dwangsom dapat dijatuhkan oleh Hakim

kecuali terhadap penghukuman pembayaran sejumlah uang karena pemenuhan

penghukuman dapat diperoleh dengan suatu upaya hukum biasa, dengandemikian

tuntutan ini haruslah ditolak;

Menimbang, bahwa mengenai permohonan Petitum 8 : gugatan

Penggugat agar menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu

meskipun ada upaya hukum, oleh karena gugatan Penggugat tidak memenuhi

sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 191 Ayat (1) RBg jo. SEMA RI

Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta dan Provisionil, Majelis Hakim

berpendapat belum cukup alasan menurut hukum untuk mengabulkan

permohonan ini sehingga harus dinyatakan ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena petitum gugatan Penggugat ada yang

dinyatakan dikabulkan dan ada pula yang dinyatakan ditolak maka terhadap

petitum Angka 1 gugatan Penggugat dinyatakan dikabulkan untuk sebagian;

Menimbang, bahwa oleh karena nilai gugatan Penggugat dibawah

Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka berdasarkan ketentuan

Pasal 58 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan


57

Hubungan Industrial biaya yang timbul dalam perkara a quo dibebankan kepada

Negara sebesar Rp.460.000,00 (empat ratus enam puluh ribu rupiah).

Memperhatikan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagaimana dirubah, dihapus dan ditambahkan sebagian oleh

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Undang- undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan

peraturan-peraturan lain yang bersangkutan dengan perkara ini;


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemutusan hubungan kerja

sepihak pada putusan (Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/PN.Pdg) Majelis hakim

memiliki dua pertimbangan Yuridis dan Non-Yuridis, Dalam kasus ini Hakim

dalam menjatuhkan putusan didasarkan pada pertimbangan Yuridis, Hakim

Menimbang, bahwa yang menjadi gugatan pokok Penggugat adalah menuntut

sejumlah uang sebagai kompensasi atas pemutusan hubungan kerja menjadi

kontradiktif. Alasan pemutusan hubungan kerja Tergugat adalah karena

Penggugat tidak memenuhi kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan,

sehingga Tergugat terpaksa harus melakukan efisiensi untuk mencegah

terjadinya kerugian perusahaan.

2. Akibat Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Pemutusan Hubungan

Kerja sepihak Putusan Nomor 1/Pdt.SUS-PHI/2022/PN.Pdg, Mengabulkan

gugatan Penggugat untuk sebagian , Menghukum Tergugat untuk membayar

hak hak Penggugat sebesar Rp.3.179.572,48 (tiga juta seratus tujuh puluh

sembilan ribu lima ratus tujuh puluh dua rupiah koma empat delapan sen),

Memerintahkan Tergugat untuk memberikan rekomendasi berupa Surat

Pengalaman Bekerja kepada Penggugat, Menolak gugatan Penggugat selain

dan selebihnya, Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada

Negara sebesar Rp.460.000,00 (empat ratus enam puluh ribu rupiah).

58
59

B. Saran-saran

1. Diharapkan hakim dalam mempertimbangkan dan memutus perkara Perdata

dapat berlaku adil seperti halnya dalam memutus perkara ini, disini Hakim

tidak membebankan semua kepada para pihak dan terus mengkaji dan

mengaitkan dalil-dalil yang diajukan penggugat dengan Undang-undang serta

hukum yang berlaku saat ini.

2. Diharapkan setelah timbulnya akibat dari ketidaksamaan sudut pandang

antara pihak Penggugat dan pihak Tergugat yang berdampak pada Pemutusan

Hubungan Kerja Sepihak diatas, diharapkan tidak ada kasus-kasus yang sama

seperti ini lagi, sebaiknya dengan adanya hubungan kerja para pihak dapat

memenuhi prestasinya yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja yang

telah di sepakati pihak-pihak.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,PT.Citra Aditya


Bakti, Bandung,2014.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Abadi, 1992.

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP,Rineka Cipta, Jakarta, 1996,

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006

Boy Nurdin, Kedudukan Dan Fungsi Hakim, Dalam Penegakan Hukum Di


Indonesia, PT Alumni, Bandung: 2012

Broto Suwiryo, Hukum Ketenagakerjaan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta,2010

CG.Karta Sapoetra dan RG.Widianingsih,Pokok-Pokok Hukum Perburuhan ,


Armico,Bandung, 1982

Darmoko Yuti Witanto, Arya Putran Negara Kutawaringin, Diksresi Hakim


Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-
Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, 2013
,Arya Putran Negara Kutawaringin, Diksresi Hakim, Bandung, 2013

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, PT Rafika Aditama, Bandung, 2007

FX Djumialdji, Perjanjian Kerja, Jakarta, 2005.

Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, PT Prenadamedia


Group, Depok, 2018

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cet. 11, PT.


RajaGrafindo,Jakarta, 2012.

Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana,Indonesia,
Bandung,2010

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,Pustaka Pelajar,


Yogyakarta 2004
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, PT.Rineka Cipta,
Jakarta 2004

Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,


Pustaka Kartini, Jakarta:1998

R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Penerbit Pustaka Setia,


Bandung,2013

Satjipto Rahrdjo, Perang Dibalik Toga Hakim, Kompas. Jakarta, 2006

Sendjun H Manululang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, PT Rineka


Citra, Jakarta,1998

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2007.

Ucuk Agiyanto, Penegakan Hukum Eksploitasi Konsep Keadilan Berdimensi


Ketuhanan,Hukum Ransendental, Universitas Muhammadiyah Ponogoro, Jawa
Timur, 2018.

Wildan Suyuti Mustofa, Kode Etik Hakim, Kencana,Jakarta.2008

Zaeni Asyhadie, Peradilan Hubungan Industrial,Rajawali Pers,Jakarta, 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

PERMA Nomor 01 Tahun 2016 Tentang mediasi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial

Putusan Nomor 1/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Pdg


C. Jurnal

Subijanto, Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia , Jurnal


Pendidikan Dan Kebudayaan ( vol 17 no 6, 2011)

D. Website/internet

Anhar karim, Wikipedia bahasa indonesia,Ensiklopedia bebas


Https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kitab_Undang_Undang_Perdat
a&Action=history
https://elvira.rahayupartners.id/id/know-the-rules/manpower
https://www.bphn.go.id/data/documents/ketenagakerjaan.pdf

Anda mungkin juga menyukai